LAKSANA terbang kuda coklat berlari kencang di bawah
panas teriknya matahari. Dalam waktu yang singkat
bersama penunggangnya dia sudah sampai di kaki
bukit untuk selanjutnya lari terus memasuki lembah subur
yang terhampar di kaki bukit. Si penunggang kuda
mendongak ke langit. Matahari dilihatnya tepat di ubun-
ubun kepalanya. Parasnya kontan berubah.
"Celaka!" keluhnya dalam hati. "Celaka! Aku hanya
punya waktu dua belas jam lagi! Kalau apa yang kucari tak
dapat kutemui mampuslah aku!" Dia memandang lagi ke
matahari di atasnya lalu menyentakkan tali kekang agar
kuda tunggangannya lari lebih cepat.
Orang itu berpakaian biru gelap. Kulitnya yang hitam liat
menjadi lebih hitam karena warna pakaiannya itu. Dibawah
blangkon yang menutupi kepalanya, wajahnya tidak sedap
untuk dipandang kalau tak mau dikatakan mengerikan.
Pada pipinya sebelah kiri mulai dari ujung bibir sampai ke
tepi mata terdapat parut bekas luka yang lebar. Cacat ini
membuat daging pipinya tertarik sedemikian rupa sehingga
matanya terbujur keluar, kelopak sebelah bawah membe–
liak merah dan selalu berair sedang mulutnya tertarik
pecong.
Di satu pedataran tinggi yang ditumbuhi pohon-pohon
kapas, dihentikannya kudanya dan memandang berkeliling.
Pada wajahnya yang buruk itu kelihatan bayangan harapan
sewaktu sepasang matanya melihat puncak atap-atap
rumah penduduk di sebelah tenggara pedataran.
"Aku harus ke desa itu," kata lelaki itu pada dirinya
sendiri. "Mungkin di situ bakal kutemukan apa yang kucari.
Kalau tidak..." kata hatinya itu tidak diteruskan. Dipukulnya pinggul kuda tunggangannya dan binatang itu melompat ke
muka, lari kembali menuju ke tenggara.
Sewaktu angin dari timur bertiup keras, sewaktu daun-
daun pepohonan mengeluarkan suara berdesir kencang,
maka penunggang kuda itu telah memasuki sebuah jalan
teduh di mulut desa. Diperlambatnya lari kudanya. Kedua
matanya menyapu ke setiap penjuru. Jalan yang ditempuh–
nya sunyi sepi. Pintu-pintu rumah penduduk tampak
tertutup. Melewati suatu pengkolan dilihatnya beberapa
orang anak kecil tengah bermain-main. Nafasnya terasa
sesak seketika. Lalu dekat sebuah kandang kuda, seorang
tua berjanggut putih duduk merokok memperhatikannya.
Tanpa memperdulikan orang tua itu laki-laki ini terus
berlalu.
Kemudian dipapasinya beberapa penduduk desa yang
agaknya baru kembali dari sawah atau ladang mereka.
Meski orang-orang itu mengangguk hormat kepadanya tapi
lelaki penunggang kuda itu tahu bahwa dalam sikap
hormat itu dilihatnya bayangan rasa ngeri di wajah mereka
sewaktu melihat parasnya. Dalam hati masing-masing
mungkin mengutuk habis-habisan.
Harapan yang sebelumnya ada di hati lelaki ini menjadi
semakin kecil dan hampir padam bertukar dengan
kemangkelan dan kekecewaan sewaktu dia mencapai
ujung jalan dan hanya tinggal beberapa buah rumah saja
yang harus dilewatinya.
"Apakah harus kutanyai orang-orang di sini?" tanya
lelaki itu dalam hati. Tiba-tiba sepasang matanya menyipit.
Dia memutar kepala berkeliling dan mendengar baik-baik.
"Hah, inilah yang kucari! Pasti...! Pasti itu suara tangisan
bayi."
Segera diputarnya kuda coklatnya dan menuju ke
rumah yang terletak di antara pohon-pohon pisang yaitu
dari arah mana tadi didengarnya suara tangisan bayi.
Pintu dan jendela rumah itu tertutup. Dia turun dari
kudanya dan mengitari rumah satu kali lalu melangkah ke
pintu depan. Dia memandang dulu kian kemari baru
mengetuk pintu. Suara tangisan bayi di dalam rumah
terdengar semakin keras dan laki-laki itu mengetuk lagi
lebih kencang.
Terdengar langkah-langkah mendatangi pintu. Suara
tangis bayi juga terdengar mendekati pintu itu. Sesaat
sesudah itu pintu terbuka. Seorang perempuan muda
memunculkan diri sambil membadung seorang bayi yang
baru berusia kurang dari dua minggu dan masih merah.
Begitu melihat tampang lelaki yang mengerikan di ambang
pintu, perempuan itu menyurut. Jelas kelihatan pada
wajahnya rasa takut amat sangat.
Lelaki tak dikenal memandang si bayi dalam dukungan
beberapa lama. Diteguknya liurnya lalu berkata, "Aku
mencari suamimu..."
"Dia belum kembali dari sawah," jawab perempuan yang
mendukung anak.
Lelaki bermuka setan kembali memandang bayi merah
dalam dukungan.
"Ini anakmu...?"
Perempuan itu mengangguk dan memandang ke
jurusan lain karena takut melihat wajah tamunya.
"Kemarin aku telah bicara dengan suamimu," kata
orang bermuka cacat, "Dia bersedia menjual anak ini."
"A... apa?!" kaget perempuan yang mendukung anak
bukan kepalang.
Sang tamu tampak acuh tak acuh. Dan dalam sabuknya
dikeluarkannya sebuah kantong kecil yang mengeluarkan
suara berdering tanda berisi uang.
"Ini ambillah," katanya. "Dan serahkan anakmu
padaku."
Perempuan yang mendukung bayi surut beberapa
langkah. Digelengkannya kepalanya dan berkata, "Tidak!
Suamiku tak pernah mengatakan bahwa dia hendak
menjual anak ini. Sekalipun dia mungkin bermaksud
demikian, saya tidak akan menjual anak ini dengan harga
berapapun. Ini anak kami yang pertama..."
Air muka sang tamu tampak berobah mengelam.
Tenggorokannya turun naik dan sepasang bola matanya
berputar-putar liar.
"Kalau kau tak mau tak jadi apa," katanya. Lalu kantong
uang dimasukkannya kembali ke dalam sabuknya. "Aku
akan datang kembali kalau suamimu sudah pulang,"
katanya.
Perempuan mendukung anak tidak menyahuti malah
buru-buru hendak menutupkan pintu rumah. Tapi baru saja
jari-jari tangannya menempel di pinggiran pintu tiba-tiba
tamu bermuka cacat itu mengulurkan kedua tangannya,
menyentak kain pembadung bayi hingga terlepas sedang
sang ibu jatuh tersungkur di ambang pintu. Secepat dia
bangun secepat itu pula perempuan ini berteriak, "Anakku!
Tolong...! Anakku dilarikan orang! Culik...!"
Beberapa pintu rumah tetangga kelihatan terbuka.
Empat orang lelaki dan seorang perempuan datang
berlarian untuk melihat apa yang terjadi. Namun si
penculik bayi telah melompat ke atas kuda coklatnya dan
meninggalkan tempat itu dengan cepat sebelum orang-
orang tersebut sempat melakukan sesuatu.
***
HARI Kamis malam Jum’at Kliwon... Hujan gerimis turun
menambah dingin dan seramnya suasana malam. Kuda
coklat yang ditunggangi lelaki bermuka cacat tampak
mendaki di lereng bukit berbatu-batu, terus menuju ke
puncaknya. Sesosok binatang serta penunggangnya yang
hitam pekat dalam kegelapan malam tak ubahnya seperti
setan yang tengah gentayangan!
Puncak bukit batu itu tinggi sekali dan jalan menuju ke
situ sukar bukan main. Beberapa kali kuda coklat tersebut
terserandung. Lidahnya menjulur ke luar bersama busahan
ludah. Meskipun udara malam dingin namun tubuhnya
berselimutkan keringat yang telah bercampur baur dengan
air hujan. Untuk kesekian kalinya binatang ini tersandung
dan akhirnya tegak mematung tak mau melangkah lagi.
Setengah mengomel lelaki bermuka cacat turun dari
kudanya. Di dalam dukungan tangan kirinya saat itu ada
bungkusan kain yang isinya bukan lain adalah bayi yang
tadi siang diculiknya.
"Kudaku, tunggu di sini sampai aku kembali," kata
orang tersebut pada kuda tunggangannya. Lalu sambil
mendukung bayi dia melanjutkan perjalanan ke puncak
bukit dengan melompat dari satu batu ke batu yang lain.
Gerakan lelaki ini gesit luar biasa tanda dia memiliki ilmu
meringankan dan mengimbangi tubuh yang sempurna.
Dalam tempo yang tidak begitu lama akhirnya dia sampai
di puncak bukit batu yang paling tinggi.
Setelah memandang berkeliling dia mendongak ke
langit. Sesaat itu kilat menyambar. Keadaan terang
seketika untuk kemudian kembali kegelapan menyelimut.
Bayi dalam bungkusan kain terdengar menangis. Si
muka cacat menyeringai. Dibukanya kain pembungkus.
Udara malam yang dingin dan siraman hujan rintik-rintik
membuat si bayi menangis tambah keras.
Dari balik pinggangnya laki-laki ini mengeluarkan
sebilah pisau yang besarnya hampir menyerupai sebilah
golok. Sekali lagi dia mendongak ke langit. Kali ini seraya
mengacungkan pisau besar di tangan kanan tinggi-tinggi ke
udara dan sambil berseru lantang,
"Guru!
Demi sumpah yang harus dipatuhi
Bersaksi pada langit di atas kepala
Bersaksi pada batu di bawah kaki
Saat ini murid siap untuk mandi!"
Habis berseru demikian manusia bermuka cacat yang
seperti kemasukan setan ini menggerakkan tangan
kanannya. Dan, cras! Sungguh mengerikan. Suara tangisan
bayi lenyap seketika. Darah mengucur dari luka besar pada
lehernya yang kini hanya tinggal kutungan, sedang
kepalanya menggelinding jatuh entah ke mana.
Lelaki itu menyirami kepalanya dengan darah yang
mancur
dari
leher
bayi.
Gerahamnya
terdengar
bergemeletakan. Matanya berputar-putar liar. Sekujur
tubuhnya bergetar.
Pada saat darah berhenti memancur maka kembali
manusia bermuka iblis ini berteriak,
"Guru!
Sumpah sudah dilaksanakan
Murid mohon diri
Dan akan datang lagi malam Jum’at Kliwon
Bulan depan!"
Tanpa perikemanusiaan sama sekali, dilemparkannya
tubuh bayi di tangan kirinya. Dalam keadaan tubuh basah
kuyup oleh keringat, air hujan, dan darah, dia melompat
dari atas batu, terus berlari turun ke tempat di mana dia
sebelumnya meninggalkan kudanya.
BAB 2
DI BEKAS reruntuhan kuil tua yang terletak di puncak
Bukit Mangatas, empat orang laki-laki yang rata-rata
bertubuh kekar dan bertampang buas berdiri dengan
tidak sabar. Sebentar-sebentar mereka melayangkan
pandangan ke jalan kecil yang berliku-liku di lereng bukit.
Sementara itu di ufuk barat matahari penerang jagat
hampir tenggelam masuk ke peraduannya.
"Kalau sampai maghrib si Gundara itu tidak juga
muncul, kita tinggalkan saja tempat ini!" kata salah
seorang dari mereka. Namanya Rah Gludak.
Lelaki yang tegak sambil rangkapkan tangan tanpa
menoleh pada Rah Gludak berkata, "Aku yang jadi
pemimpin di sini Gludak. Tindakan apapun yang dilakukan
adalah atas keputusanku!"
"Jika begitu kau mau jadi patung terus-terusan di sini
Parereg," tukas Rah Gludak.
"Jadi setan sekalipun aku tidak perduli!"
Lelaki bernama Bayana ikut bicara, "Memang rencana
kita ini bukan rencana sembarangan. Untuk itu sudah patut
kita melakukannya dengan hati penuh sabar..."
"Diam semua!" sentak Lor Parereg. "Aku mendengar
derap kaki kuda di kejauhan!"
Di antara keempat orang itu memang Lor Parereglah
yang memiliki ilmu paling tinggi. Karena itu dia lebih dulu
mendengar suara derap kaki-kaki kuda di bawah bukit.
Kemudian berturut-turut yang mendengar suara derap
kuda itu adalah Kunto Handoko, Rah Gludak dan Tunggul
Bayana.
Semuanya berdiam diri. Masing-masing menunggu
penuh tegang. Selama mereka malang melintang menjadi empat rampok yang ditakuti di selatan Hutan Roban, belum
pernah mereka mempunyai rencana besar seperti yang
akan mereka lakukan saat itu.
Derap kaki-kaki kuda semakin keras tanda binatang
dan penunggangnya tambah dekat. Di bawah pantulan
sinar kuning emas matahari yang hendak tenggelam, dari
mulut jalan tak lama kemudian muncullah seeker kuda
hitam ditunggangi oleh seorang laki-laki bertubuh kurus
tinggi berpipi cekung. Begitu sampai di hadapan ke empat
laki-laki di depan kuil, penunggang kuda ini melompat
turun dan menjura.
"Lekas terangkan apa yang sudah kau ketahui!" kata
Lor Parereg seraya menurunkan tangan kirinya yang sejak
tadi memuntir-muntir kumisnya yang tebal melintang.
Gundara, orang yang barusan datang menyeka peluh–
nya. Setelah memandang berkeliling pada keempat orang
di depannya baru dia membuka mulut, "Karena sesuatu
halangan rombongan itu tak jadi berangkat besok..."
"Hah?!" sepasang mata Lor Parereg melotot besar.
"Keberangkatan mereka dibatalkan?" bertanya Tunggul
Bayana.
Gundara menggeleng. "Rombongan itu akan mening–
galkan kotaraja pagi-pagi lusa. Terdiri dari dua buah kereta.
Satu kereta membawa uang dan peti-peti perhiasan, kereta
lainnya membawa Ning Larasati, anak Sri Baginda dari selir
yang ke enam."
Lor Parereg memandang pada ketiga kambratnya.
"Bunga jelita itu, sobatku...," katanya dengan menyeringai
penuh arti.
"Besar betul rejeki kita sekali ini," kata Rah Gludak
seraya membasahi bibirnya dengan ujung lidah.
"Menurutku sebaiknya kalian jangan ganggu gadis itu,"
berkata Gundara.
"Heh, apa urusanmu?" tanya Lor Parereg.
"Perampokan uang dan harta benda bagi Sri Baginda
bukan apa-apa. Tapi kehilangan Ning Larasati benar-benar
bisa membuat Sri Baginda murka. Kalian tahu, Larasati
adalah puteri yang paling disayangi Sri Baginda. Jika terjadi
apa-apa dengan dirinya bukan mustahil Baginda akan
mengerahkan seluruh balatentara Demak. Dan kalian bisa
berabe."
Lor Parereg tertawa bergelak.
"Tak ada satu orangpun yang bakal tahu siapa yang
menghadang rombongan itu. Tak ada satu orangpun yang
bisa mengetahui siapa yang merampok barang-barang itu
serta siapa yang menculik Larasati. Kecuali jika ada di
antara kita yang berkhianat!"
"Tak akan ada yang berkhianat Parereg," kata Tunggul
Bayana. "Rejeki yang sudah ditakdirkan buat kita walau
bagaimanapun harus kita ambil. Ning Larasati harus jadi
milik kita!"
"Betul sekali Bayana," kata Lor Parereg. Lalu laki-laki itu
berpaling pada Gundara dan berkata, "Apapun yang kami
lakukan adalah urusan kami! Kau mesti tahu bahwa kau
cuma seorang yang kami mintakan keterangan. Kau
mengerti Gundara?"
"Mengerti Parereg. Nasehat itu kusampaikan untuk
kebaikan kalian. Mau diperhatikan atau tidak terserah."
"Berapa prajurit yang bakal mengawal rombongan itu?"
tanya Parereg pula.
"Duapuluh.
Mereka
dipimpin
oleh
Raden
Mas
Panawa..."
"Aku belum pernah dengar nama itu," kata Lor Parereg.
Dia berpaling pada kawan-kawannya dan bertanya, "Kalian
tahu siapa dia?"
Yang menjawab adalah Kunto Handoko. "Umurnya
sekitar tigapuluhan. Tadinya orang desa biasa. Karena
berbuat jasa diberi gelar Raden Mas dan diangkat jadi
perwira kerajaan. Ilmunya tinggi. Sendiri-sendiri mungkin
sukar menghadapinya. Tapi berempat dia tak perlu dipan–
dang sebelah mata!"
Lor Parereg mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari
balik pakaiannya dikeluarkannya satu kantong berisi uang.
Benda itu dilemparkannya dan segera disambut oleh Gundara.
"Tugasmu selesai, Gundara. Cepat tinggalkan tempat
ini. Kalau sampai rencana penghadangan ini bocor, aku
cuma tahu satu orang untuk digorok batang lehernya. Kau!"
"Saya tak bakal membuka rahasia Parereg!" kata
Gundara pula. Dia menjura, memutar tubuh dan melompat
ke punggung kuda. Sekali dia menyentakkan tali kekang
maka binatang itupun bergerak ke muka.
Namun untuk selanjutnya kuda hitam itu hanya lari
sendirian karena dengan amat tiba-tiba sebuah pisau
melayang dan menancap tepat di punggung Gundara.
Lelaki ini terdorong ke depan. Tubuhnya hilang kese–
imbangan. Dan jatuh dari punggung kuda. Susah payah dia
coba bangkit. Memandang ke arah Lor Parereg dengan
pandangan penuh amarah. Dari mulutnya keluar suara
yang tak jelas. Setelah merintih panjang Gundara akhirnya
rubuh ke tanah dan tak bergerak lagi.
Lor Parereg tertawa mengekeh. "Aku tak percaya pada
kunyuk ini," katanya sambil pelintir kumis. "Sebelum kasip
sebaiknya dihabiskan riwayatnya!"
"Tindakanmu tepat sekali Parereg," ujar Tunggul
Bayana.
"Kita kembali ke goa," kata Parereg pada kawan-
kawannya. Keempatnya kemudian meninggalkan tempat
tersebut. Sementara matahari telah tenggelam dan siang
berganti dengan malam.
Hari Kamis Paing adalah hari di mana menurut
keterangan Gundara yang telah dibunuh itu, rombongan
yang bakal dihadang akan meninggalkan Kotaraja. Kira-
kira dua jam perjalanan di luar kotaraja sebelah timur, di
satu daerah yang berbukit-bukit, di balik kelebatan semak
belukar yang tumbuh sepanjang jalan kecil berdebu, sejak
pagi tadi empat orang berpakaian serba hitam sudah
berada di sana. Mereka bukan lain Lor Parereg dan kawan-
kawannya.
"Kurasa terlalu jauh kita melakukan penghadangan di
sini, Parereg," kata Tunggul Bayana memecah kesunyian.
Lor Parereg mendehem beberapa kali. "Bukan saatnya
membicarakan hal itu," sahutnya tak acuh.
"Aku khawatir kalau-kalau rombongan itu membelok
mengambil jalan lain."
"Menghadang
lebih
dekat
ke
kotaraja
berarti
menambah besarnya bahaya. Apa kau mau tanggung
jawab jika salah seorang dari mereka nanti sempat
menjemput balabantuan? Apa kau mau tanggung jawab
jika tokoh-tokoh silat istana turun tangan? Kita meng–
hadang di sini. Itu sesuai dengan rencanaku. Tak perlu
diributkan lagi!"
Sunyi beberapa lamanya. Sementara itu matahari pagi
mulai naik dan terasa bertambah panas sinarnya. Lor
Parereg mengeluarkan tembakau serta daun kawung dan
mulai menggulung sebatang rokok. Setelah beberapa kali
dihisapnya rokok itu dia membuka mulut, "Bila peng–
hadangan ini berhasil, ingat baik-baik rencana kita selan–
jutnya. Kau Rah Gludak lari ke timur. Ini untuk mengelabuhi
orang-orang kerajaan. Satu hari kemudian kau harus
datang, selambat-lambatnya tengah hari di kuil tua Bukit
Mangatas. Kau Kunto Handoko dan Tunggul Bayana
larikan seluruh barang rampokan ke jurusan barat. Ambil
jalan memutar lalu segera menuju Bukit Mangatas dan
tanam semua harta rampokan itu di lobang yang telah kita
gali. Tunggu di sana sampai aku datang."
"Kau sendiri ke mana?"
Lor Parereg menyeringai. "Ingat Ning Larasati?"
tanyanya. "Aku akan bersenang-senang dulu dengan dia di
satu tempat. Dan kalian tak usah tahu di mana!"
Beberapa waktu berlalu tanpa ada satu orangpun yang
bicara. Tiba-tiba Lor Parereg mengangkat tangan memberi
isyarat. "Aku mendengar sesuatu," katanya. "Mungkin
rombongan itu!" Lalu dengan satu gerakan enteng dia
melompat ke cabang sebatang pohon. Dari tempat
ketinggian ini dia memandang jauh ke depan. Wajahnya
nampak tegang ketika dia melompat turun kembali.
"Mereka datang!" katanya. "Lekas menyebar seperti
yang sudah diatur!"
Kunto Handoko, Rah Gludak, dan Bayana segera
menyebar bersembunyi.
Mereka menunggu kira-kira sepeminuman teh. Tak
lama kemudian dari arah depan muncullah rombongan itu.
Pada kepala rombongan kelihatan seorang lelaki muda
keren menunggang kuda. Di pinggangnya tergantung
sebilah pedang. Di sebelah belakang terdapat dua puluh
prajurit yang juga menunggang kuda, bergerak maju
mengapit dua buah kereta. Dilihat dari bentuk kendaraan,
kereta sebelah depan jelas kereta barang sedang yang di
belakang merupakan kereta penumpang yang bagus.
Penunggang kuda di sebelah depan tampak heran
ketika melihat ada seorang lelaki berpakaian hitam, ber–
kumis melintang tegak menghadang di tengah jalan. Dia
memberi isyarat pada rombongan untuk berhenti lalu maju
mendekati orang di tengah jalan dan dengan sikap sopan
tapi juga waspada.
"Bapak, rombonganku hendak lewat. Harap kau suka
menepi memberi jalan."
Lor Parereg tertawa.
"Anak muda, bukankah kau perwira kerajaan yang
bernama Panawa?"
"Bapak tidak keliru. Memang saya Panawa. Sekarang
silahkan Bapak menepi..."
"Aku kenal kau tapi apakah kau kenal aku, perwira?"
Raden Mas Panawa sudah mengetahui jelas orang tak
dikenal di hadapannya mempunyai maksud tidak baik. Tapi
melakukan hal itu seorang diri terlalu berani. Pasti dia
mengandalkan sesuatu. Maka perwira muda yang cerdik ini
memandang berkeliling. Dia segera mengetahui ada tiga
orang lainnya bersembunyi di balik semak belukar.
"Bapak, jika kau sudah tahu kami adalah rombongan
kerajaan harap jangan mengganggu lebih lama..."
"Eh, siapa mengganggu siapa?" tanya Lor Parereg
sambil puntir kumis. "Kehadiranku di sini justru dengan
maksud baik. Yaitu serahkan dua kereta itu padaku dan kalian boleh kembali ke kotaraja dengan aman..."
"Bapak, kau jangan berani main-main dengan pasukan
kerajaan." Raden Mas Panawa memperingatkan. Dia masih
berusaha menyabarkan diri.
Akan tetapi seorang anak buah di samping kanannya
maju seraya berkata, "Raden, biar saya beri pelajaran pada
orang ini!"
"Nah, kau dengar sendiri," kata Panawa. "Jangan
sampai kami menurunkan tangan kasar!"
"Jadi kau tidak mau menyerahkan dua kereta itu?"
tanya Lor Parereg sambil bertolak pinggang.
Panawa berpaling pada anak buahnya. Kesabarannya
telah hilang. "Singkirkan manusia itu," perintahnya.
Sret!
Pembantu yang diberi perintah cabut pedang dan
memajukan kudanya mendekati Lor Parereg. Pedang
berdesing diayunkan ke arah kepalanya. Dengan satu
gerakan gesit kepala rampok ini merunduk lalu dari
samping memukul lengan lawan.
Krak!
Terdengar patahnya tulang lengan pengawal itu.
Tubuhnya yang hilang keseimbangan langsung jatuh dan
sebelum mencium tanah disambut oleh Lor Parereg
dengan tendangan kaki kanan.
Melihat gerakan Lor Parereg yang sebat itu maklumlah
Raden Mas Panawa bahwa rombongannya berhadapan
dengan seorang berkepandaian tinggi. Tanpa tunggu lebih
lama dia melompat turun dari punggung kuda. Begitu
menjejak tanah dia langsung menyerbu Parereg dengan
tangan kosong.
BAB 3
LOR PAREREG yang sengaja hendak mengetahui
kehebatan perwira muda ini segera menyongsong
serangan lawan, menyambut dengan balas memukul.
Akibatnya dua lengan saling bentrok.
Kepala rampok Hutan Roban ini berubah parasnya
ketika dapatkan dirinya terjajar ke belakang akibat saling
bentrokan lengan itu. Nyatalah bahwa lawannya yang
masih muda itu memiliki keampuhan tenaga dalam
melebihi yang dimilikinya. Maka dia bersuit memberi
isyarat. Tiga anak buahnya melompat keluar dari tempat
persembunyian masing-masing dan langsung mengurung
Raden Mas Panawa.
"Bagus! Kalian sudah keluar semua! Aku masih berikan
kesempatan terakhir pada kalian agar meninggalkan
tempat ini!"
Lor Parereg tertawa keras. "Perwira muda! Aku Lor
Parereg dan kawan-kawan baru akan pergi setelah
mendapatkan apa yang kami ingini. Sebaliknya justru aku
menawarkan agar kau dan para pengawal berlalu saja dari
sini..."
"Rampok-rampok bodoh! Bersiaplah untuk menerima
hukuman!" bentak Panawa. Karena tiga pengeroyok dili–
hatnya sudah memegang senjata maka dia segera pula
cabut pedang panjangnya. Pertempuran empat lawan satu
segera berkecamuk. Meskipun Panawa memiliki ilmu silat
tinggi namun karena yang mengeroyok adalah rampok-
rampok kawakan maka tiga jurus saja dia sudah terkurung
rapat dan terdesak.
Dalam satu bentrokan senjata, pedang di tangan
perwira muda itu terpukul lepas. Melihat pimpinan mereka
berada dalam keadaan bahaya maka sepuluh pengawal
segera maju membantu. Pertempuran menjadi makin seru.
Panawa kini pergunakan sebilah keris. Senjata ini meru–
pakan senjata pemberian gurunya dan dengan senjata ini
di tangan dia mengamuk. Satu kali dia berhasil melukai
bahu kanan Kunto Handoko.
Walaupun pengawal-pengawal itu berjumlah banyak.
Namun mereka bukanlah tandingan rampok-rampok Hutan
Roban yang bertempur penuh kebuasan karena meng–
harapkan barang rampokan yang tidak sedikit jumlahnya.
Satu demi satu mereka roboh bahkan Panawa sendiri
tubuhnya telah penuh dengan luka-luka dan agaknya tak
bakal dapat bertahan lama.
"Selesaikan dia!" kata Lor Parereg. Dia melompat keluar
dari kalangan pertempuran. Sudah saatnya dia turun
tangan melakukan sesuatu sesuai dengan rencana–nya.
Dia bergerak cepat ke arah kereta sebelah belakang.
Raden Mas Panawa yang dapat menduga apa yang
hendak dilakukan oleh kepala rampok itu cepat berteriak,
"Lindungi puteri!"
Sepuluh pengawal yang sejak tadi tidak ikut bertempur
mendengar perintah itu menjadi bingung. Semula mereka
hendak membantu Panawa dan pengawal-pengawal lain
yang jelas kelihatan dalam keadaan kepepet. Namun kini
mereka malah diperintahkan mengamankan Ning Larasati.
Lalu siapa pula yang akan menjaga kereta pertama yang
membawa uang dan harta benda berharga itu?
Akhirnya lima pengawal bergerak ke arah kereta yang
ditumpangi Ning Larasati dan pengasuhnya sedang lima
lagi memasuki kalangan pertempuran untuk menye–
lamatkan kawan-kawan dan pimpinan mereka. Namun
usaha mereka ini sia-sia saja.
Lima prajurit yang menjaga kereta sebelah belakang
bukan apa-apa bagi Lor Parereg. Satu demi satu mereka
dihantam roboh. Lalu dia mendobrak pintu kereta dan
sepasang matanya melotot melihat wajah cantik yang
ketakutan di dalam kereta itu. Pengasuhnya yang memeluk
dan berusaha melindunginya berkata, "Jangan ganggu dia!
Dia puteri Sultan!"
Lor Parereg menyeringai. Hidungnya kembang kempis
membayangkan apa yang bakal dinikmatinya. "Aku tidak
akan menyakitimu Larasati. Asalkan kau mau keluar baik-
baik dan ikut aku..."
"Tidak... pergi! Aku tidak mau ikut kau...!" jerit Ning
Larasati beringsut ke sudut kereta.
"Gadis manis kau tak seharusnya menolak begitu..."
ujar Lor Parereg. Lalu sekali sentak saja dia berhasil
menarik Ning Larasati keluar dari kereta. Pengasuhnya
yang berusaha mencegah ditendang hingga roboh tak
sadarkan diri.
Ning
Larasati
menjerit
dan
meronta-ronta
dari
panggulan Lor Parereg. Namun tak berhasil melepaskan
diri.
Di bagian lain Panawa yang berusaha berjuang mati-
matian akhirnya tak sanggup lagi bertahan. Dia roboh
dengan tubuh mandi darah penuh bacokan. Dua pengawal
yang masih hidup putus nyali mereka dan ambil langkah
seribu.
Sesuai dengan yang telah diatur, Rah Gludak kemudian
memacu kudanya ke arah timur. Kunto Handoko dan
Tunggul Bayana melarikan kereta berisi uang dan harta ke
arah barat.
"Beres!" kata Lor Parereg puas. Ning Larasati
dinaikkannya ke atas kuda lalu kepala rampok ini memacu
binatang ini memasuki rimba belantara dan lenyap dari
pemandangan.
***
TEPAT tengah hari Kunto Handoko dan Tunggul Bayana
sampai di kuil tua yang terletak di Bukit Mangatas. Tunggul
Bayana turun dari kereta yang dikemudikannya itu dan
membuka pintu. Ada empat buah peti besi di dalam
kendaraan ini. Setelah diperiksa ternyata dua peti berisi
uang emas dan dua lainnya penuh perhiasan berbagai
bentuk.
"Kita akan kaya raya Bayana!" kata Kunto Handoko
tertawa gembira.
Tunggul Bayana memutar kepala. Wajahnya tidak
menunjukkan kegembiraan.
"Ada apa dengan kau?" tanya Kunto Handoko agak
heran. "Apa tidak senang mendapat barang rampokan
sebanyak ini? Tujuh turunan kurasa kita bisa ongkang-
ongkang kaki!"
Tunggul Bayana tersenyum kecil.
"Yang aku khawatirkan adalah luka di bahumu yang
membengkak, Kunto," kata Tunggul Bayana.
Kunto Handoko baru ingat luka bekas tusukan keris
Panawa pada bahunya.
"Luka biasa, tak perlu dikhawatirkan," kata Kunto
Handoko pula.
"Aku yakin keris itu mengandung racun. Kalau tidak
kenapa lukamu cepat sekali membengkak dan berwarna
biru begini?"
Kunto Handoko memperhatikan luka di bahunya. "Ah
tak apa-apa," katanya kemudian.
"Sebaiknya kau telan obatku ini. Mujarab sekali untuk
menolak segala macam racun. Sementara itu aku akan ke
belakang kuil memeriksa lobang tempat penimbunan peti-
peti itu."
Kunto Handoko mengambil sebutir obat berwarna
hitam yang diberikan Tunggul Bayana, lalu tanpa ragu-ragu
menelannya. Ketika Tunggul Bayana lenyap di balik
reruntuhan tembok kuil sebelah belakang, cepat-cepat
Kunto Handoko mendekati empat peti besi dalam kereta.
Salah satu peti dibukanya lalu dimasukkannya tangannya
mengeruk uang emas yang terdapat dalam peti itu.
Sewaktu uang tersebut hendak dimasukkannya ke dalam
sebuah kantong di balik pakaiannya, tiba-tiba dirasakannya
dadanya amat sakit. Begitu sakitnya hingga uang yang ada
dalam genggamannya terlepas dan kepalanya terasa berat sedang
pemandangannya
berkunang-kunang.
Kedua
tangannya kini memegangi dada yang terasa sesak. Tiba-
tiba dia membuka mulut hendak batuk tapi yang keluar
adalah semburan darah!
"Jahanam!" maki Kunto Handoko. "Tunggul Bayana
pasti telah memberikan racun padaku!" Dihunusnya
pedangnya lalu melangkah ke bagian belakang kuil namun
setengah jalan lututnya goyah. Sebelum terguling pingsan
ke tanah Kunto Handoko masih sempat menotok urat
besar di pangkal lehernya. Tunggul Bayana muncul.
Menyaksikan Kunto Handoko menggeletak tak bergerak
dia tertawa gelak-gelak.
"Dasar manusia tolol!" katanya. "Sekarang semua uang
dan harta itu menjadi milikku! Semuanya! Aku akan jadi
kaya raya! Ha... ha... ha!" Laksana orang gila Tunggul
Bayana membuka peti-peti itu satu demi satu dan
mengaduk-aduk isinya. Hatinya gembira setinggi langit. Dia
puas sekali karena rencana yang diam–diam diaturnya
sejak lama kini menjadi kenyataan.
Kuda tunggangannya diikatkan di belakang kereta.
Sebelum meninggalkan tempat itu sekali lagi dia meman–
dang pada sosok tubuh Kunto Handoko
"Sobatku yang tolol, sayang kau tak sempat menikmati
hasil rampokan ini. Selamat tinggal, selamat jalan ke
akherat!" Dia tertawa panjang-panjang lalu menyentakkan
tali kekang.
Tunggul Bayana tidak mengetahui sama sekali kalau
saat itu Kunto Handoko cuma menggeletak pingsan, bukan
mati.
BAB 4
LOR PAREREG menunggang kudanya memasuki rimba
belantara. Meskipun pohon-pohon di situ tumbuh
rapat tapi karena sudah tahu betul seluk beluk daerah
tersebut, dia dapat memacu kudanya dalam kecepatan
tinggi.
Kira-kira dua kali peminuman teh berlalu. Lor Parereg
sudah berada di pertengahan Hutan Roban. Di satu tempat
dia menyeruak memasuki semak belukar lebat. Di
belakang semak belukar itu ternyata terdapat sebuah goa
besar dan tinggi. Lor Parereg melompat dari kudanya dan
memanggul tubuh Ning Larasati memasuki goa. Bagian
dalam goa itu tak beda dengan sebuah ruangan dalam
satu bangunan yang bagus. Di sebelah depan terdapat
seperangkat kursi dan meja terbuat dari rotan. Ruangan itu
dipisah dua oleh sebuah tirai bambu yang tipis.
Lor Parereg menyibakkan tirai bambu. Ruangan yang
dimasukinya bagus sekali dan di situ terdapat tiga buah
pembaringan rotan. Pemimpin rampok ini melangkah ke
pembaringan di ujung kanan yaitu yang paling besar dan
bagus. Ning Larasati yang berada dalam keadaan pingsan
dibujurkannya di atas pembaringan itu. Dari dalam sebuah
lemari Lor Parereg mengeluarkan sebuah kendi berisi tuak.
Sambil meneguk minuman itu dia duduk di tepi pem–
baringan memperhatikan wajah Ning Larasati.
"Cantik sekali... cantik sekali," kata Lor Parereg dalam
hati berulang kali. Hawa hangat dari minuman yang
diteguknya memanasi jalan darahnya. Butir-butir keringat
memercik di keningnya. Hidungnya kembang kempis.
Nafsu mesum mulai membakar tubuhnya. Lor Parereg
beringsut. Dielusnya betis putih mulus gadis itu. Betapa lembutnya. Setelah puas memijit-mijit betis Larasati
tangannya menjalar ke atas lebih ingin tahu, makin ke
atas, membuat Lor Parereg menggeram panas dingin.
Tiba-tiba Ning Larasati siuman dari pingsannya dan
menggeliat. Begitu sadar akan dirinya puteri Sultan Demak
ini menjerit dan melompat dari atas pembaringan rotan.
Dia memekik tiada henti, meronta dan menerjang.
Melakukan apa saja terhadap Lor Parereg yang coba
mendekapnya. Namun kepala rampok itu terlalu kuat bagi
gadis sehalus Larasati. Pakaiannya robek-robek dan tubuh
Lor Parereg menghimpitnya dari atas. Karena tak tahu apa
lagi yang dapat dilakukannya untuk melepaskan diri,
akhirnya Larasati hanya bisa menangis. Seumur hidup tak
pernah terpikir olehnya bakal mengalami nasib yang
mengerikan
begini
rupa.
Dia
menangis
sambil
memejamkan matanya. Lalu dirasakannya tangan-tangan
Lor Parereg melepas pakaiannya secara paksa. Nafas
lelaki itu yang berbau minuman keras menghembus-
hembus di wajahnya. Kemudian terasa bulu-bulu dada Lor
Parereg menggamangi dadanya yang kini tiada tertutup
lagi. Kemudian... kemudian...
Suara raungan laksana harimau lapar meledak keluar
dari mulut Lor Parereg. Ning Larasati terkejut. Dibukanya
kedua matanya. Apa yang telah terjadi?
Dilihatnya Lor Parereg dalam keadaan setengah
telanjang terhampar di sudut ruangan. Di hadapannya
berdiri seorang perempuan amat tua berambut panjang
terurai awut-awutan dan berwarna putih. Perempuan tua
ini mengenakan sehelai jubah panjang menyentuh lantai
berwarna putih polos. Kaki dan tangannya yang tersembul
dari balik pakaian itu juga berwarna putih seputih parasnya
yang keriputan.
"Nenek tua berwajah putih ini apakah dia manusia atau
setan?" pikir Larasati. Untuk sesaat dia lupa akan keadaan
dirinya. Begitu sadar cepat-cepat disambarnya pakaiannya.
"Bangsat tua! Siapa kau?!" teriak Lor Parereg seraya
melompat.
Perempuan tua itu tertawa tawar. Barisan gigi-giginya
ternyata masih utuh dan berwarna putih bersih.
"Siapa aku...?" ujarnya. "Itulah yang aku sendiri tidak
tahu!"
"Bedebah gila! Kalau tidak lekas angkat kaki dari sini
kupatahkan batang lehermu!"
"Kau mau patahkan batang leherku? Lucu... lucu," kata
si nenek sambil tertawa geli. "Rupanya tendanganku tadi
masih belum cukup?"
"Tua bangka keparat! Sampai ke liang kubur kau akan
menyesali diri!" bentak Lor Parereg. Lalu dia melompat ke
muka. Kedua tangannya bergerak cepat hendak menang–
kap leher perempuan tua itu.
Plak!
Lor Parereg terhuyung ke belakang. Tamparan nenek
muka putih itu keras sekali membuat pemandangannya
berkunang-kunang. Amarahnya makin memuncak. Untuk
kedua kalinya dia menerjang ke muka namun sekali inipun
tamparan lawan menghantam parasnya lebih dulu. Mem–
buat Lor Parereg untuk kedua kalinya berdiri nanar
kesakitan!
"Anjing tua! Mampuslah!"
Lor Parereg lepaskan satu pukulan tangan kosong.
Angin deras menggebu. Itu adalah satu pukulan tangan
kosong yang hebat. Tapi si perempuan tua muka putih
hanya ganda melambaikan lengan jubahnya maka
serangan Lor Parereg menjadi musnah. Tubuhnya lalu
berkelebat lenyap dan kemudian plak... plak... plak...
tamparan keras bertubi-tubi mendarat di muka Lor
Parereg. Kepala rampok ini terpelanting ke lantai. Mukanya
sembab biru, bibirnya pecah, salah satu giginya tanggal.
Dalam merintih menahan sakit Lor Parereg menyambar
pedangnya dari atas tempat tidur lalu untuk kesekian
kalinya menyerbu lagi.
"Bajingan edan! Kau pantas dihajar setengah hidup
setengah mampus!" nenek tua itu berseru. Jengkel sekali
dia kelihatannya, Selagi senjata lawan berkelebat ganas
siap membuat celaka tubuhnya, dengan satu gerakan aneh
luar biasa perempuan muka putih itu malah menyusup ke
depan dan tahu-tahu tubuh Lor Parereg terbetot sedang
pedangnya sudah berpindah tangan!
Keringat dingin mengucur di tengkuk Lor Parereg. Kini
dia sadar kalau sedang berhadapan dengan manusia
berilmu tinggi luar biasa. Namun dia rasa-rasa masih
kurang percaya. Dia masih belum yakin lawannya benar-
benar dapat bertindak begitu cepat. Ilmu silat apakah yang
telah dipergunakan oleh nenek tua bermuka putih itu?
Meskipun hatinya kecut namun kemarahannya melebihi
segala-galanya. Dengan dua tangan terpentang dan
rahang-rahang bertonjolan Lor Parereg maju mendekati si
nenek.
"Makan ini!" bentak Lor Parereg seraya memukulkan
kedua tangannya dengan serentak. Empat rangkum angin
yang berlainan warna menderu. Goa itu laksana mau
runtuh. Empat larik angin pukulan itu dengan hebatnya
melabrak tubuh si muka putih dari empat jurusan yang
sukar untuk dikelit!
"Manusia bajingan! Pukulan Angin Empat Racun inikah
yang hendak kau andalkan? Belajarlah dulu sampai becus
baru nanti dipergunakan lagi!" Habis berkata begitu
perempuan tua itu mendorongkan kedua telapak tangan–
nya ke muka. Serangan Lor Parereg kontan tertahan dan
kemudian membalik sebat ke arah pemiliknya sendiri!
Lor Parereg berseru kaget. Jika saja dia tidak lekas
menjatuhkan diri dan berguling menjauh niscaya dirinya
dilanda maut!
Melihat kenyataan ini kepala rampok Hutan Roban itu
kini benar-benar sadar dan putus nyalinya. Sekalipun dia
punya lima kepala sepuluh tangan tak bakal dia bisa
mengalahkan perempuan tua yang muncul secara aneh itu.
Tanpa tunggu lebih lama dia segera putar tubuh dan lari
pontang-panting keluar goa. Di mulut goa masih sempat
didengarnya suara perempuan tua itu berkata, "Kalau saja
pantangan membunuhku sudah habis waktunya, niscaya
sudah tadi-tadi kupecahkan batok kepalamu!"
Lalu orang tua ini berpaling pada Ning Larasati dan
menarik nafas dalam. Saat itu Larasati berdiri di sudut
ruangan dengan wajah pucat pasi.
"Kau tak usah takut. Mari ikut denganku," kata si
nenek.
Larasati tak bergerak di tempatnya. Dia sadar telah
ditolong oleh si nenek tapi dia sendiri tidak tahu siapa
orang tua ini. Apakah benar-benar bakal menolongnya atau
lebih jahat dari Lor Parereg.
Si orang tua mendatangi dan tersenyum. "Ayo kita
keluar dari tempat ini."
"Nenek... terima kasih kau telah menolongku. Tapi kau
siapa sebenarnya?" tanya Larasati.
Perempuan tua itu tertawa, "Siapa aku itulah yang aku
sendiri tidak tahu. Namun mimpiku semalam kini betul-
betul menjadi kenyataan. Kau berjodoh denganku, anak."
Lalu tanpa banyak bicara lagi perempuan tua itu
memegang pinggang Larasati. Sekali lompat saja dia sudah
berada di mulut goa!
***
KERETA itu bergerak cepat sekali menyusuri kali kecil
berair kuning lalu membelok memasuki jalan yang berbatu-
batu. Di jalan seburuk itu tak mungkin kereta bergerak
secepat sebelumnya. Namun Tunggul Bayana mencambuki
terus punggung kedua kuda penarik kereta hingga
binatang ini lari seperti kesetanan. Kereta meluncur miring,
kadang-kadang terhempas dan mental ke atas.
Ketika matahari mulai condong ke barat baru Tunggul
Bayana memperlambat lari dua ekor kuda itu. Dia
kemudian memasuki sebuah lembah yang tak pernah
didatangi manusia dan menghentikan kereta di bawah
sebuah pohon besar.
Setelah memandang dulu berkeliling baru dia melompat
turun dari atas kereta. Disibakkannya serumpunan semak
belukar. Di balik semak-semak itu terdapat sebuah lobang
besar. Lobang ini memang telah disiapkannya sejak tiga
hari lalu. Dia kembali ke kereta lalu satu demi satu dengan
susah payah keempat peti itu diseretnya dan dimasuk–
kannya ke dalam lobang. Dari salah satu peti diambilnya
sejumlah uang emas dan dimasukkannya dalam kantong.
Lobang itu kemudian ditimbunnya dengan tanah. Di atas
timbunan ditutupnya dengan potongan semak belukar
sehingga tak kentara sama sekali kalau di tempat itu ada
bekas galian. Setelah meneliti dan memastikan segala
sesuatunya, Tunggul Bayana membawa kereta ke sebuah
danau. Kendaraan ini ditenggelamkannya sedang dua ekor
kuda dilepaskannya. Lalu dengan menunggangi kudanya
sendiri dia meninggalkan lembah liar itu menuju ke utara
yaitu ke jurusan Kotaraja.
***
SEWAKTU senja memasuki malam, dua orang prajurit
kerajaan tampak memacu kuda masing-masing memasuki
Kotaraja. Salah seorang di antaranya membawa sesosok
tubuh perempuan di depan pangkuannya. Mereka lang–
sung menuju istana dan sama sekali tidak melayani
pertanyaan-pertanyaan para pengawal.
Di hadapan pintu gerbang besar sebelah dalam yang
menuju ke tempat persemayaman Sultan Trenggono, salah
seorang dari prajurit itu berkata, "Beri tahu pada Sultan
bahwa kami ingin menghadap."
"Malam-malam begini, ada apa...?"
"Sesuatu telah terjadi dengan rombongan Gusti Ayu
Ning Larasati. Kuharap kau jangan banyak tanya dulu. Aku
harus memberikan laporan!"
Mendengar itu prajurit-prajurit yang mengawal pintu
gerbang tersebut segera masuk ke dalam. Beberapa saat
kemudian dia keluar lagi dan menerangkan bahwa Sultan
telah siap menunggu di ruangan dalam. Dengan masih
membawa sosok tubuh perempuan, kedua prajurit tadi
bertindak masuk.
Air muka Sultan Trenggono tampak berobah melihat
masuknya dua prajurit itu. Sementara kedua prajurit men–
jura, mata Sultan memandang lekat-lekat pada perempuan
yang ada di bahu kiri salah seorang dari prajurit yang
datang menghadap.
"Kalau aku tidak salah itu adalah pengasuh Larasati.
Apa yang terjadi? Dan mana puteriku?" tanya Sultan
Trenggono.
"Kami dalam perjalanan pulang dari Leces. Perempuan
ini kami temui di tengan jalan di antara mayat-mayat
prajurit kerajaan. Sebuah kereta istana juga kami temui di
situ dalam keadaan kosong."
Sultan Trenggono berdiri dari kursinya. Untuk beberapa
lamanya dia hanya bisa tegak mematung dengan mulut
menganga dan kedua mata terbuka lebar.
"Pasti rombongan puteriku telah dihadang orang-orang
jahat. Semua prajurit pengawal mati katamu?"
"Betul Sultan. Bahkan mayat Raden Mas Panawa kami
dapati di antara korban yang tewas. Kami belum sempat
mengurus mayat-mayat itu karena ingin cepat-cepat
melapor."
"Celaka...," desis Sultan Trenggono. Dia maju beberapa
langkah. Ditelitinya sosok tubuh perempuan yang dipang–
gul. "Masih hidup?"
Prajurit yang ditanya mengangguk. "Bawa dia ke salah
satu kamar di belakang. Panggil tabib dan usahakan agar
dia siuman secepat mungkin agar bisa ditanyai."
Sebelum menjalankan perintah dua prajurit itu menjura
lebih dulu. Pengasuh yang pingsan dimasukkan ke dalam
sebuah kamar. Tabib dipanggil dan segera datang. Begitu
perempuan itu siuman Sultan Trenggono segera diberitahu
dan segera datang.
"Kau ikut bersama rombongan Larasati bukan?"
"Betul Sultan..."
"Kau ditemui dalam keadaan pingsan. Katakan apa
yang terjadi."
Pengasuh Ning Larasati itu menyeka peluh di keningnya
lebih dulu baru menjawab dengan muka yang masih pucat.
"Waktu itu kami baru saja meninggalkan desa
Kalicamat. Tiba-tiba hamba dengar ringkikan-ringkikan
kuda dan suara bentakan. Ternyata rombongan kami telah
dihadang orang jahat. Mereka berjumlah empat orang,
berpakaian serba hitam. Raden Mas Panawa turun dari
kuda, bertempur dengan salah satu orang jahat itu. Lalu
perkelahian terjadi. Walau mereka berjumlah cuma empat
tapi ternyata mereka memiliki kepandaian tinggi. Perwira
muda itu dan seluruh pengawal menemui ajal. Gusti Ayu
dipaksa keluar dari kereta dan dilarikan. Hamba..., hamba
tak kuasa melindunginya karena hamba ditendang dan tak
ingat apa-apa lagi..."
Sultan berpaling pada prajurit-prajurit yang telah mene–
mukan pengasuh itu. "Apa kalian sudah meneliti tempat
kejadian itu dan tidak menemukan puteriku?"
"Sudah Sultan dan Gusti Ayu tidak ada di situ."
Sultan merasakan dadanya sesak. "Panggil Brajaseta
kemari!" perintahnya.
BAB 5
BRAJASETA adalah Perwira Tinggi di Demak yang
memegang
jabatan
sebagai
Kepala
Pasukan
Kerajaan. Orangnya tinggi kekar. Dia amat disegani
dan dihormati karena ilmu silat dan kesaktiannya yang
tinggi.
Begitu Brajaseta memasuki kamar Sultan Trenggono
segera menerangkan apa yang telah terjadi dan memberi
perintah agar saat itu juga Brajaseta bersama beberapa
perwira kerajaan dan seratus prajurit melakukan penyeli–
dikan dan pengejaran.
"Selambat-lambatnya besok pagi aku harus sudah
mendapat kabar tentang puteriku itu!" Lalu dengan hati
masygul Sultan meninggalkan tempat tersebut. Baginya
kehilangan empat peti uang dan perhiasan bukan menjadi
apa dibandingkan dengan keselamatan puteri yang sangat
disayanginya itu meski cuma puteri dari seorang selir.
Sultan Trenggono baru saja masuk ke dalam kamarnya
sewaktu tiba-tiba pintu diketuk dan Brajaseta muncul di
ambang pintu.
"Ada apa Brajaseta? Bukankah kau seharusnya sudah
berangkat?"
Perwira Tinggi itu menjura. "Harap dimaafkan Sultan.
Ketika saya menemui tokoh-tokoh silat istana untuk
berunding, seorang pengawal mengatakan ada seorang
lelaki ingin menghadap Sultan. Ketika ditanya maksud
kedatangannya dia tidak mau menerangkan. Katanya dia
hanya mau bicara dengan Sultan dan katanya ada sangkut-
pautnya dengan malapetaka yang barusan dilaporkan."
"Bawa
orang
itu
kemari!"
kata
Sultan
seraya
mendudukkan diri di kursi.
Sultan tak menunggu lama. Pintu ruangan terbuka dan
Brajaseta bersama dua prajurit masuk membawa seorang
laki-laki berpakaian kumal, bermuka lusuh. Di hadapan
Sultan orang ini menjura dalam-dalam.
"Terangkan
siapa
kau
dan
jelaskan
maksud
kedatanganmu," kata Sultan setelah lebih dulu meneliti
orang itu beberapa saat lamanya.
"Nama hamba Wiku Tembereng. Hamba seorang petani
miskin dari desa Kalicamat. Pagi tadi hamba dalam
perjalanan ke hutan untuk mencari kayu jati. Tiba-tiba di
balik semak belukar hamba lihat empat orang laki-laki
berpakaian serba hitam. Mereka membicarakan sesuatu.
Karena sikap mereka mencurigakan maka diam-diam
hamba mencuri dengar apa yang dibicarakan. Rupanya
mereka adalah perampok-perampok Hutan Roban yang
hendak melakukan penghadangan. Nama-nama mereka
adalah Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko. Orang
keempat tak tahu jelas siapa namanya. Keempatnya
menyebut nama Gusti Ayu Ning Larasati..."
"Tunggu dulu!" potong Sultan Trenggono. "Bagaimana
kau bisa tahu nama ketiga orang itu?"
Si petani menelan ludahnya dan menjawab, "Mereka
bicara saling memanggil nama..."
"Teruskan keteranganmu!"
"Yang bernama Parereg rupanya yang menjadi pim–
pinan di antara mereka. Hamba dengar dia mengatur
rencana penghadangan dan pelarian. Begitu pengha–
dangan berhasil, salah seorang kawannya disuruhnya lari
ke timur. Dua orang membawa lari barang rampokan ke
sebuan kuil di Bukit Mangatas dan menanamnya dalam
lobang. Parereg sendiri hamba dengar mengatakan bahwa
dia akan menculik Gusti Ayu dan menyembunyikannya di
satu tempat lalu akan melakukan pemerasan terhadap
Sultan..."
"Bedebah!" maki Sultan sambil kepalkan tinju.
"Apa kau tahu ke mana Gusti Ayu dibawa?" tanya
Brajaseta pada si petani.
"Hamba tidak tahu, perwira," jawab si petani, "Namun
menurut Parereg besok mereka akan bertemu di Bukit
Mangatas itu dan kemungkinan Parereg akan membawa
Gusti Ayu ke situ."
Sunyi seketika.
"Coba kau terangkan ciri-ciri orang bernama Parereg
itu," kata Brajaseta.
Wiku Tembereng menerangkan ciri-ciri Lor Parereg.
"Kemudian apa yang terjadi?" tanya sang perwira.
"Sebelum hamba ketahuan berada di situ, hamba
cepat-cepat pergi dan pulang ke rumah. Hamba ceritakan
kejadian itu pada istri hamba dan dia mengusulkan agar
hamba cepat-cepat memberi tahu istana. Hamba seorang
petani miskin, tak punya kuda. Hamba jalan kaki untuk
datang kemari. Itu sebabnya malam-malam begini baru
sampai."
Sultan berpikir sejenak. Lalu berpaling pada Brajaseta.
"Bagaimana pendapatmu Dimas Brajaseta?"
"Ada baiknya jika saya melakukan penyelidikan dulu ke
Bukit Mangatas."
"Bolehkah hamba mengemukakan pendapat?" tiba-tiba
si petani menyeletuk.
Semua mata ditujukan pada Wiku Tembereng.
"Bicaralah," kata Sultan pula.
"Rampok-rampok Hutan Roban rata-rata licik dan amat
cerdik dalam melakukan segala tindakan. Hamba khawatir
penyelidikan pendahuluan yang akan diadakan diketahui
oleh mereka. Mungkin Sultan bisa mendapatkan semua
harta yang ditanam di kuil itu kembali. Tapi Parereg tentu
bakal diberi laporan sehingga dia tak jadi datang ke situ. Ini
berarti Gusti Ayu tak bakal bisa diselamatkan. Menurut
pendapat hamba yang tolol ini sebaiknya dilakukan
penyergapan pada tengah hari besok. Yaitu pada saat
keempat penjahat itu melakukan pertemuan di Bukit
Mangatas di mana Parereg akan datang membawa Gusti
Ayu..."
Apa yang dikatakan petani ini memang ada benarnya.
Untuk beberapa lamanya semua orang berdiam diri. Akhir–
nya Sultan Trenggono memecah kesunyian.
"Apa yang kau katakan itu pantas untuk dipikirkan."
Lalu Sultan berpaling pada salah seorang pembantu.
"Berikan lima keping uang perak dan seekor kuda padanya
untuk pulang ke rumah."
"Sultan," si petani berkata seraya menjura, "apa yang
hamba lakukan ini sama sekali tidak mengharap pamrih
balas jasa. Itu adalah kewajiban."
Sultan tersenyum. Dia memberi isyarat. Si petani
dibawa keluar ruangan.
"Sultan," kata Brajaseta begitu si petani pergi, "Hamba
merasakan ada hal-hal yang tidak wajar pada diri petani
yang mengaku bernama Wiku Tembereng itu."
"Hem, apa maksudmu Brajaseta?"
"Sikap hormat dan bicaranya seperti dibuat-buat..."
Sultan tersenyum "Lebih tepat kalau dikatakan petani
itu agak gugup berhadapan dengan kita. Tapi itu bukan
alasan untuk curiga. Seorang rakyat biasa yang tak pernah
masuk istana dan berhadapan dengan rajanya, biasanya
gugup macam begitu."
"Hal lain yang mencurigakan hamba...," kata Kepala
Pasukan Demak itu, "ialah jalan pikirannya yang cerdik.
Seorang petani biasa tak mungkin bisa mengemukakan
pendapat secerdik dia..."
Sultan melambaikan tangannya. "Lenyapkan segala
kecurigaanmu. Tidak selamanya rakyat jelata atau orang
dari kalangan rendah itu berotak tolol. Banyak dari mereka
yang pandai dan cerdik."
"Satu lagi Sultan," kata Brajaseta masih belum mau
mengalah. "Wiku Tembereng menerangkan bahwa dia telah
berjalan kaki dari desanya kemari. Tadi saya perhatikan.
Boleh dikata hampir tak ada debu yang melekat di kedua
kakinya. Mana mungkin..."
"Sudahlah. Yang penting sekarang siapkan orangmu
dan besok siang tepat tengah hari sudah harus ada di
Bukit Mangatas." Habis berkata begitu Sultan Trenggono
berdiri. Brajaseta tak bisa berbuat apa-apa lagi padahal
tadi dia sudah punya rencana untuk memanggil petani itu
kembali. Dalam hatinya dia tetap menaruh syak wasangka.
Sementara itu si petani yang mengaku bernama Wiku
Tembereng memacu kuda hadiahnya keluar dari Kotaraja.
Sepanjang jalan lima keping uang perak yang dimasuk–
kannya ke dalam saku pakaian berdering-dering. Sepan–
jang jalan itu pula di mulut Wiku Tembereng tersungging
senyum.
"Kukira cuma si Kunto Handoko saja manusia tolol di
dunia ini! Kiranya Sultan dan Kepala Pasukan Demak
itupun bisa kutipu! Ha... ha! Dan si Parereg itu pasti akan
terjebak kalau dia betul-betul datang ke Bukit Mangatas
besok!"
Sekali lagi Wiku Tembereng tertawa terbahak-bahak.
Memang cukup lucu karena namanya sebenarnya bukan–
lah Wiku Tembereng melainkan Tunggul Bayana.
BAB 6
KETIKA pada tengah hari itu Rah Gludak sampai di
Bukit Mangatas, terkejutlah dia. Kunto Handoko
ditemuinya menggeletak tak bergerak di tanah. Rah
Gludak melompat dari punggung kuda dan langsung
menghampiri sosok tubuh kawannya. Hatinya lega sedikit
ketika mengetahui bahwa Kunto Handoko masih bernafas
meskipun satu-satu seperti orang siap sekarat
"Apa yang terjadi dengan dirinya," pikir Rah Gludak. Dia
memandang berkeliling. "Di mana pula si Tunggul Bayana.
Seharusnya dia ada di sini saat ini."
Selintas pikiran muncul di benak Rah Gludak. Dia cepat
berdiri dan setengah berlari menuju ke bagian belakang
kuil. Sepasang matanya jadi melotot. Lobang yang tempo
hari digalinya bersama teman-temannya kosong melom–
pong, tak beda dengan keadaan sebelumnya.
"Apa yang terjadi! Mungkinkah Tunggul Bayana ber–
khianat?!"
Rah Gludak cepat berpaling ketika didengarnya suara
kaki-kaki kuda dari arah belakang. Semula disangkanya
Tunggul Bayana. Yang muncul ternyata Lor Parereg.
"Apa yang terjadi dengan Kunto Handoko?" tanya Lor
Parereg.
Rah Gludak melihat bibir Lor Parereg pecah. Dia
menjawab, "Ada yang tak beres di sini Parereg. Tunggul
Bayana tidak kelihatan mata hidungnya! Harta-harta
rampokan juga tidak ada. Lobang yang kita gali tempo hari
ternyata kosong melompong!"
Berobahlah paras Lor Parereg. Sekali lompat saja dia
sudah berada di tepi lobang.
"Keparat!" kata Lor Parereg sambil mengepalkan tinju.
"Pasti si Tunggul Bayana itu berkhianat!" Dia kelihatan
marah sekali. Pelipisnya bergerak-gerak. Lalu dia pergi ke
bagian depan kuil dan memeriksa tubuh Kunto Handoko.
"Dia telah diracuni!" kata Lor Parereg setelah meneliti
keadaan Kunto Handoko. Bibirnya jelas kelihatan membiru.
Kemudian dilihatnya bekas totokan pada pangkal leher
anak buahnya itu. "Untung dia masih bisa menotok jalan
darahnya. Kalau tidak pasti dia sudah mati saat ini!"
Dari balik pakaiannya Lor Parereg mengeluarkan satu
lipatan kertas berisi sejenis bubuk berwarna putih. Bubuk
ini dimasukkannya ke dalam mulut Kunto Handoko.
Setelah menunggu beberapa lama dilepaskannya totokan
pada pangkal leher laki-laki itu. Tak selang berapa lama
Kunto Handoko membuka kedua matanya perlahan-lahan.
Lor Parereg yang sudah tak sabaran menepuk-nepuk muka
anak buahnya itu.
"Hai! Ayo bangun! Bangun! Sadar, jangan mimpi!"
Lor Parereg menyandarkan kepala Kunto Handoko pada
reruntuhan tembok kuil. Sepasang mata Kunto Handoko
memandang berkeliling. Dia berusaha mengumpulkan
ingatannya kembali.
"Ceritakan apa yang terjadi," kata Lor Parereg.
Yang ditanya masih berdiam diri macam orang bingung.
"Ayo ceritakan! Kau kutemui menggeletak pingsan. Apa
yang terjadi? Siapa yang punya pekerjaan? Ayo!" Kembali
Lor Parareg menepuk-nepuk pipi Kunto Handoko.
Rasa sakit pada mukanya memulihkan ingatan Kunto
Handoko. Tapi yang dilakukan laki-laki ini bukannya men–
jawab pertanyaan Lor Parereg melainkan duduk bersila
mengatur jalan nafas dan darahnya. Lor Parereg
menggerutu habis-habisan. Tapi dia memaklumi apa yang
dilakukan Kunto Handoko itu adalah satu keharusan yaitu
untuk menghindarkan luka dalam akibat keracunan.
Selesai mengatur jalan nafas dan peredaran darahnya
Kunto Handoko muntah-muntah. Dadanya yang tadi sesak
perlahan-lahan terasa lega. Kepalanya yang berat kini
menjadi enteng.
"Sekarang cepat terangkan apa yang terjadi!" kata Lor
Parereg tak sabar lagi.
Kunto Handoko lalu menerangkan bahwa dia dan
Tunggul Bayana sampai di tempat itu sekitar tengah hari
kemarin. Diceritakannya bagaimana Tunggul Bayana
mengkhawatirkan luka di bahunya lalu memberikan sebutir
obat. Tak lama sesudah obat itu ditelannya kepalanya
terasa berat. Dadanya sakit, lalu dia muntah-muntah dan
tak ingat apa-apa lagi.
"Tunggul Bayana keparat haram jadah!" Suara Lor
Parereg menggeram bergetar. "Berani dia mengkhianati
kita! Kita harus cari dia dan cincang sampai lumat!"
"Dia pantas digantung kaki ke atas kepala ke bawah.
Lalu dihukum picis!" kata Rah Gludak yang sejak tadi diam
saja.
Ketiga orang itu melangkah menuju ke kuda masing-
masing. Namun langkah mereka serta- merta terhenti.
Sepasang kaki mereka laksana dipantek ke tanah. Mata
mereka membeliak dan memandang berkeliling.
Sesaat itu dari balik semak belukar muncul puluhan
prajurit bersenjata lengkap, mengurung puncak bukit itu
dalam dua lapor berbentuk lingkaran. Seorang lelaki
berpakaian perwira dan bertubuh tinggi kekar diiringi oleh
dua orang pemuda yang juga mengenakan seragam
perwira kerajaan melangkah kehadapan Lor Parereg dan
dua kawannya.
"Kalian bertiga sudah terkurung!" kata perwira yang
paling depan dan bukan lain adalah Brajaseta. "Tidak ada
guna melawan. Menyerah lebih baik!"
"Apa-apaan ini?!" tanya Lor Parereg membentak.
"Kau dan dua kawanmu kami tangkap Parereg! Dan
jangan banyak mulut!" kata Brajaseta pula.
"Ditangkap?" Sepasang mata Lor Parereg melotot dan
berputar liar "Bah! Kami tidak ada urusan dengan kalian
kecoak-kecoak kerajaan!"
Brajaseta menyeringai mendengar dirinya dan anak
buahnya disebut kecoak kerajaan. Dengan kedua tangan diletakkan di pinggang Brajaseta kembali membuka mulut,
"Kau dan kawan-kawanmu telah menghadang rombongan
Gusti Ayu Ning Larasati. Merampok barang-barang kerajaan
dan menculik puteri Sultan!"
Lor Parereg orangnya memang pandai dan licik. Dia
memandang pada Kunto Handoko dan Rah Gludak. Ketiga
orang itu lalu tertawa gelak-gelak. Dua perwira muda yang
turut bersama Brajaseta kelihatan sudah tidak sabar untuk
buru-buru turun tangan. Namun tanpa mendapat isyarat
atau perintah mereka tidak berani bertindak mendahului.
Sambil balas berkacak pinggang Lor Parereg berkata,
"Perwira, kau lihatkah matahari bersinar terik di atas batok
kepalamu? Ini satu pertanda bahwa saat ini tengah hari
bolong! Dan adalah aneh kalau kau bicara melantur
macam orang mimpi mengigau! Jangan menuduh yang
bukan-bukan! Jangan mimpi di siang bolong!"
Dengan tenang malah sambil tertawa Brajaseta
menjawab, "Mungkin kau yang mimpi Lor Parereg!"
"Hem, tunggu dulu! Dari mana kau tahu namaku Lor
Parereg?!"
"Tanya jawab ini bisa kita lanjutkan nanti di Kotaraja!"
jawab Brajaseta. Dia memandang berkeliling. "Setahuku
kalian berjumlah empat orang. Mana kunyuk yang satu
lagi?!"
Lor Parereg geleng-gelengkan kepala.
"Sebaiknya jangan teruskan mimpi anehmu itu. Sekali
aku bilang tak ada urusan dengan kalian, tetap tak ada
urusan. Sekarang minggir! Beri jalan!"
"Hem kau mau ke mana Parereg? Jika hendak pergi ke
Kotaraja kami akan mengantarkan kau dan kawan-kawan–
mu ke sana!" kata Brajaseta pula. Lalu dia goyangkan
kepala pada dua perwira muda di sampingnya. Ketiganya
maju bersamaan.
"Gila! Kalian hendak turun tangan terhadap orang yang
tidak punya salah apa-apa?!" teriak Lor Parereg.
"Kejahatan kalian telah jelas. Segala apa yang kalian
bicarakan sudah kami dengar. Jika kau dan teman-teman
mu tidak mau menyerahkan diri dengan damai, kekerasan
mungkin lebih baik!"
"Cara kekerasan dan mengeroyok! Pengecut! Kau
mengandalkan puluhan prajurit!" kata Lor Parereg.
"Jangan khawatir. Prajurit-prajurit itu hanya menjadi
penonton. Kecuali kalau kau coba melarikan diri!"
"Perwira tolol! Kau mencari mati!" bentak Lor Parereg
lalu hunus kerisnya. Kunto Handoko dan Rah Gludak
mencabut pedang. Brajaseta serta dua perwira muda
segera pula mengeluarkan senjata masing-masing yakni
sebatang pedang berukuran pendek. Sesaat kemudian
pertempuran satu lawan satu berkecamuk hebat.
Dalam memainkan keris Lor Parereg tidak kalah hebat
jika dibandingkan dengan cara dia memainkan pedang.
Tubuhnya berkelebat gesit sekali. Kerisnya seolah-olah
lenyap dan senjata itu menderu-deru sebat menusuk dan
membabat kian kemari secara tidak terduga dan ganas.
Selama malang melintang menjadi kepala rampok Hutan
Roban betapapun tangguh lawan yang dihadapinya, paling
lama si lawan hanya sanggup bertahan sampai duapuluh
jurus. Tapi kali ini setelah berkelahi sepuluh jurus saja Lor
Parereg segara menyadari bahwa lawan yang dihadapinya
memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Dalam waktu
dekat dia pasti akan roboh di tangan lawan! Meskipun
demikian Lor Parereg tidak mau menyerah mentah-
mentah. Segala tipu daya dan jurus-jurus ilmu silat simpa–
nannya dikeluarkan. Permainan kerisnya sekali-kali diseling
dengan pukulan tangan kosong yang hebat. Bahkan dia
berulang kali melepaskan pukulan sakti Angin Empat
Racun. Tapi kesemuanya itu sia-sia belaka.
Kalau dengan bersenjata Lor Parereg tidak sanggup
mempertahankan diri lama-lama maka tanpa senjata dua
jurus kemudian dia tidak dapat berbuat apa-apa ketika
hulu pedang pendek di tangan Brajaseta membalik dan
menghantam ganas keningnya. Lor Parereg menggeletak
pingsan. Dua orang prajurit atas perintah Brajaseta dengan
cepat meringkusnya, mengikat tangan serta kakinya.
Sementara itu perkelahian antara Kunto Handoko dan
Rah Gludak melawan dua perwira muda kerajaan tak kalah
serunya. Sampai duapuluh jurus suasana kelihatan seim–
bang. Namun setelah dua perwira itu merobah permainan
silat mereka maka dua anak buah Lor Parereg itu jadi
dibikin sibuk. Di samping itu tertangkapnya Lor Parereg
sedikit banyak mempengaruhi nyali mereka. Sehingga
meskipun bertahan mati-matian akhirnya keduanya kena
dirobohkan juga. Mula-mula Kunto Handoko terdengar
menjerit. Bahu kirinya luka parah disambar pedang lawan.
Lalu satu tendangan pada dadanya membuat tubuhnya
mencelat dan roboh tak sadarkan diri.
Rah Gludak mengalami nasib sama. Masih untung dia
tidak mendapat luka-luka. Tubuhnya kena ditotok pada
bagian bawah ketiak. Dia tergelimpang di tanah dalam
keadaan kaku.
Brajaseta dan orang-orangnya memeriksa seluruh
puncak Bukit Mangatas. Tak satupun yang dapat mereka
temui untuk dijadikan bahan pelacakan empat peti harta
dan Ning Larasati. Bersama ketiga tawanan itu akhirnya
mereka kembali ke Kotaraja. Tapi Brajaseta tak lupa untuk
menempatkan beberapa prajurit di situ guna mengawasi
daerah tersebut.
BAB 7
SETELAH dihadapkan pada Sultan Trenggono ketiga
tawanan dimasukkan ke sebuah ruangan di bawah
tanah. Di situ terdapat berbagai macam alat-alat aneh
untuk menyiksa manusia. Masih dalam keadaan terikat Lor
Parereg dan kawan-kawannya dibaringkan di lantai kotor
yang ada bekas-bekas darahnya. Dekat kaki dan kepala
mereka terdapat sebuah roda besar dari kayu yang
dicanteli rantai besar. Setiap roda kayu ditangani oleh
seorang juru penyiksa.
"Parereg," menegur Brajaseta. "Kau tidak terlalu tolol
untuk mengetahui di mana kau berada bukan?"
Sesaat Lor Parereg memandang berkeliling. Lalu dia
berpaling pada Brajaseta dan dua perwira muda yang
berdiri disamping Kepala Pasukan Demak itu. Tiba-tiba dia
menyeringai aneh.
"Manusia-manusia tak berdaya dijebloskan ke dalam
ruang penyiksaan. Apakah ini tindakan manusia yang
mengaku beradab?"
Brajaseta keluarkan suara mendengus. "Terhadap
manusia-manusia macammu dan kawan-kawanmu tak
perlu diributkan soal peradaban. Peradaban tak ada
kamusnya untuk manusia-manusia biadab macam kalian!
Duapuluh prajurit Demak kalian bunuh. Bahkan juga
seorany perwira Kerajaan. Apakah itu beradab?"
"Mereka sudah ditakdirkan mati! Aku muak bicara
tentang manusia-manusia yang sudah mati!"
"Sebentar lagi kaupun akan mati Parereg. Juga dua
kawanmu ini!"
"Oh begitu?"
"Ya!"
"Berarti Sultan Trenggono akan kehilangan empat peti
uang serta barang-barang berharga. Akan kehilangan puteri
yang paling dikasihinya untuk selama-lamanya!" ujar Lor
Parereg lalu tertawa gelak-gelak,
"Bagus!" ujar Brajaseta. "Kau rupanya bukan seekor
tikus yang takut mati. Tapi ingat kematian itu bukan apa-
apa. Hanya beberapa detik saja. Tapi saat-saat menjelang
kematian itu yang justru amat mengerikan. Lebih menyiksa
dan lebih kejam dari kematian itu sendiri!"
Lor Parereg tertawa dingin. "Hari ini kau boleh gembira
dengan kematianku. Hari ini kau boleh berpesta pora
dengan kematian kami bertiga. Tapi jangan lupa sobat,
pesta kematianmu-pun kelak bakal tiba. Lebih meriah dari
kematian kami!"
Brajaseta mengangkat tangan memberi isyarat. Prajurit-
prajurit yang berada di samping roda-roda besar mengikat
kedua tangan dan kaki tiga rampok Hutan Roban itu. Lalu
roda-roda itu mulai diputar hingga tubuh Lor Parereg,
Kunto Handoko dan Rah Gludak terangkat ke atas. Setiap
kali roda itu diputar, kaki dan tangan meraka tambah
meregang hingga akhirnya ketiganya terpental di atas
lantai!
"Kita mulai lagi bicara, Parereg!" kata Brajaseta.
"Sekarang kau tentu lebih sedap untuk berbincang-
bincang. Nah di mana kau sembunyikan Gusti Ayu Ning
Larasati?"
Lor
Parereg
menyeringai.
Antara
dendam
dan
kesakitan. "Tanyakan pada roh manusia-manusia yang
pernah kau siksa sampai mati di ruangan ini!" katanya.
"Di mana kau simpan barang-barang rampokan?"
"Tanyakan pada setan nereka!"
"Di mana kawanmu yang seorang lagi?" tanya Brajaseta
lagi.
"Tanya pada dedemit Hutan Roban," sahut Lor Parereg.
Rahang Brajaseta menggembung. Dia memberi tanda
pada juru putar yang ada di dekat Kunto Handoko. Dua
prajurit ini segera memutar roda-roda kayu itu. Makin kencang, makin kencang hingga tubuh Kunto Handoko
tambah meregang. Keringat memercik di muka dan seluruh
tubuh perampok ini. Dia mengernyit tanda menahan sakit
yang amat sangat. Dan roda-roda penyiksa itu masih terus
diputar. Kunto Handoko merasa sepasang kaki dan
tangannya seperti mau tanggal berserabutan. Sakitnya
bukan kepalang. Dia menjerit mengerikan. Untuk beberapa
lamanya suara jeritannya masih menggema di ruangan
penyiksaan itu!
"Kau dengar jeritan itu Parereg!" kata Brajaseta seraya
menyeringai.
Lor Parereg tak menjawab. Matanya memandang ke
langit-langit ruangan.
Brajaseta memberi isyarat. Kini pada dua prajurit yang
menjaga roda-roda kayu penyiksa Rah Gludak. Salah
seorang dari mereka mendekati Rah Gludak lalu merobek
bajunya. Kawannya mengeluarkan segulung cambuk.
Benda ini diputar-putarnya di udara hingga mengeluarkan
suara menderu-deru. Tiba-tiba cambuk itu melesat ke
bawah dan menghantam dada Rah Gludak yang terbuka.
Rah Gludak memekik kesakitan. Lalu mulutnya
terkancing menahan rasa sakit. Di saat itu kembali cambuk
melanda tubuhnya. Lagi dan lagi hingga Rah Gludak
berteriak tiada henti macam orang gila. Dadanya penuh
dengan guratan-guratan luka yang dalam. Darah mem–
basah.
Dari dalam sakunya salah seorang prajurit mengeluar–
kan sebuah jeruk nipis. Dia menggigit buah ini lalu
memerasnya di atas dada Rah Gludak yang berlumuran
darah. Rah Gludak melolong setinggi langit sewaktu air
perasan jeruk itu membasahi luka-luka di dadanya!
"Kau dengar lolongan itu Parereg?" tanya Brajaseta
dekat-dekat ke telinga Lor Parereg. Yang ditanya masih
tetap memandang ke langit-langit ruangan.
"Kau mendengar. Pasti mendengar. Tapi kau pura-pura
mempertuli telingamu. Pura-pura tak mendengar. Kau tak
mungkin lari dari kengerian itu. Karena kau juga bakal
mengalaminya. Bakal merasakannya! Kecuali kalau kau
mau buka mulut!"
"Buka mulut soal apa?!" tanya Lor Parereg. Meski dia
sudah tahu keterangan apa yang diinginkan Brajaseta tapi
dia pura-pura bertanya mengulur waktu.
"Tentang Gusti Ayu Larasati. Tentang barang-barang
kerajaan yang kau rampok. Juga tentang kawanmu yang
seorang lagi!" jawab Brajaseta.
"Dua pertanyaanmu yang pertama tak bisa kujawab!"
kata Lor Parereg.
"Aneh!" sahut Brajaseta sambil rangkapkan lengan di
muka dada.
"Aku tidak tahu di mana Gusti Ayu Larasati. Juga
barang-barang itu!"
Brajaseta manggut-manggut. "Lalu pertanyaan yang
ketiga?"
"Aku juga tidak tahu di mana dia berada sekarang.
Namanya Tunggul Bayana. Dia pengkhianat busuk! Kelak
akan kucincang tubuhnya sampai lumat!"
"Aku tak percaya padamu Parereg. Lekas katakan di
mana Gusti Ayu dan empat peti itu berada!"
"Sekalipun kau korek biji mataku, aku tak bakal dapat
memberi keterangan karena aku betul-betul tidak tahu!"
"Pengasuh Gusti Ayu mengatakan kaulah yang telah
menculik Gusti Ayu!"
"Perempuan itu tentu sudah miring otaknya akibat
tendanganku!" kata Lor Parereg. "Ada satu hal yang ingin
kutanyakan. Bagaimana kau tahu bahwa aku dan kawan-
kawan ada di Bukit Mangatas?"
"Dedemit Hutan Roban yang mengatakan padaku!"
jawab Kepala Pasukan Demak.
Lor Parereg tertawa. "Rupanya kau juga bisa bergurau
sobat! Apakah kau juga bersedia melepaskan ikatan rantai
besi pada tangan dan kakiku?"
"Itu soal gampang saja. Asal kau mau memberi
keterangan!" sahut Brajaseta.
"Aku benar-benar tidak tahu!"
"Kalau begitu biar alat penyiksa itu yang akan
menanyakannya padamu!" Brajaseta mulai jengkel. Dia
melambaikan tangannya pada dua prajurit. Keduanya
segera memutar roda-roda kayu. Kaki dan tangan Lor
Parereg terpentang makin tegang. Lor Parereg merasa
ajalnya segera akan sampai. Bagaimanapun dia tak mau
mati.
"Tunggu dulu!" teriak Lor Parereg.
"Ah, kau mau bicara Parereg?!" tanya Brajaseta.
"Ya."
"Bicaralah! Itu lebih bagus daripada tangan dan kakimu
tanggal satu demi satu!"
"Dekatkan telingamu Brajaseta. Apa yang hendak
kukatakan ini rahasia sekali!"
Brajaseta mendekatkan telinganya ke muka Lor
Parereg. Saat itu pula Lor Parereg berteriak, "Kau keparat
gila!"
"Bangsat
kurang
ajar!"
teriak
Brajaseta.
Kedua
tangannya kiri kanan meninju muka Lor Parereg hingga
babak belur. Kedua matanya menggembung bengkak.
Bibirnya pecah dan hidung melelehkan darah kental.
"Kepala Pasukan Demak ternyata saorang manusia
pengecut! Hanya berani pada orang yang tidak berdaya!"
Brajaseta jadi panas.
"Lepaskan ikatannya."
Dua prajurit segera melakukan perintah itu. Ikatan
rantai besi pada kaki dan tangannya dicopot. Dia berdiri
dengan sempoyongan, bersandar ke salah satu roda kayu.
Sepasang matanya menyorotkan dendam kesumat.
"Lor Parereg! Akan kubuktikan bahwa aku bukan
pengecut! Mulailah!" kata Brajaseta.
Lor Parereg maju selangkah. Tiba-tiba dia menerjang
ganas. Kedua tangannya dipukulkan serentak. Delapan
larik asap menggebu ke arah Kepala Pasukan Demak itu.
Brajaseta melompat ke atas. Pukulan Angin Empat Racun
yang dilepaskan Lor Parereg menghantam sebuah rak yang
berisi seperangkat alat-alat penyiksa. Benda-benda itu
hancur berantakan berikut raknya.
"Keluarkan semua kesaktianmu Parereg!" kata Braja–
seta yang tetap tenang sambil memasang kuda-kuda.
Keduanya
berputar-putar
mengintai
kelemahan
dan
kelengahan lawan.
Tiba-tiba Lor Parereg menyambar sepotong besi dan
dengan benda itu dia menyerang Brajaseta dalam jurus-
jurus ilmu pedang yang ganas.
Untuk beberapa jurus lamanya Brajaseta harus berlaku
hati-hati karena Lor Parereg kelihatan sangat kalap.
Potongan besi di tangannya yang cukup berat itu menderu-
deru lenyap menjadi sinar hitam dan mengurung Brajaseta.
"Ciaat!"
Kepala Pasukan Demak itu membentak nyaring.
Tubuhnya berkelebat lenyap. Lor Parereg merasakan sam–
baran angin di punggungnya. Dengan cepat dia memutar
batangan besi ke belakang lalu membalik sambil melan–
carkan satu pukulan tangan kosong dengan tangan kiri.
Sekali lagi Brajaseta membentak dan sekali lagi pula
tubuhnya berkelebat lenyap. Kembali Lor Parereg merasa–
kan ada sambaran angin serangan di belakangnya. Seperti
tadi kembali dia membalik seraya hantamkan potongan
besi. Tapi kali ini dia hanya sempat membuat gerakan
setengah memutar karena saat itu satu pukulan keras
menghantam lengannya. Lor Parereg mengeluh kesakitan.
Tulang lengannya seperti patah. Potongan besi terlepas
dan jatuh ke lantai ruangan.
Lor Parereg masih belum melihat di mana saat itu
lawannya berada. Tahu-tahu satu jotosan keras melanda
mukanya. Kepalanya serasa meledak. Sesaat dia tertegak
nanar lalu roboh pingsan dengan muka matang biru babak
belur.
"Ikat dia kembali!" perintah Brajaseta. Bersama dua
perwira muda itu dia lalu meninggalkan ruang penyiksaan.
BAB 8
HARI ITU adalah hari yang kedua Lor Parereg dan
kawan-kawannya disekap di ruang penyiksaan.
Ketiganya masih dipentang di atas roda kayu.
Mereka sama sekali tidak diberi makan, hanya diberi
minum sedikit. Keadaan ketiganya seperti setengah
sekarat.
Kunto Handoko membuka kedua matanya yang
bengkak. Dengan lemah dia berpaling pada Lor Parereg.
Dilihatnya kedua mata Lor Parereg tertutup. Tubuhnya tak
bergerak. Sudah matikah dia, pikir Handoko.
"Kau tidur atau pingsan atau mati Parereg?" tanya
Kunto Handoko.
"Sialan! Kau kira di sorgakah kita saat ini hingga aku
bisa tidur?!" terdengar suara Lor Parereg. Suaranya masih
keras tapi kedua matanya yang gembung tetap tertutup.
"Ajal kita tak lama lagi tamat di tempat terkutuk ini!"
bicara lagi Kunto Handoko sementara Rah Gludak diam-
diam ikut mendengarkan pembicaraan itu.
"Kita tak bakal dibunuh. Aku yakin!" kata Lor Parereg.
"Yakin?" ujar Handoko. "Bagaimana kau bisa yakin?"
"Selama mereka belum tahu di mana puteri Sultan
berada, selama itu pula mereka akan membiarkan kita
hidup."
"Tapi aku tak tahan siksaan-siksaan yang mereka
lakukan. Cepat atau lambat kita bakal mati!" Kali ini Rah
Gludak ikut bicara.
Sunyi sejenak.
Kemudian
terdengar
Kunto
Handoko
bertanya,
"Sebenarnya di mana kau sembunyikan puteri Sultan
Trenggono?"
Lor Parereg berpaling dan memandang pada kawannya.
Dia hendak mengatakan sesuatu tapi saat itu didengarnya
pintu ruangan terbuka. Brajaseta masuk diiringi dua orang
pengawal. Setelah diberi isyarat dua pengawal itu
meninggalkan ruangan. Pintu ditutup kembali. Brajaseta
melangkah mengelilingi ketiga tawanan itu, akhirnya dia
berhenti di samping sosok tubuh Lor Parereg.
"Setelah dua hari di sini tentunya sekarang kalian
merasa kerasan bukan?" tegur Brajaseta mengejek.
"Memang betul. Seperti di rumah sendiri!" sahut Lor
Parereg balas mengejek.
"Syukur. Syukur. Sayang kami tidak bisa memberikan
makanan yang enak-enak untuk kalian. Minumanmu cuma
air comberan!"
"Keparat!" Rutuk Lor Parereg.
"Paling lambat sampai tengah malam nanti kalian
bertiga sudah harus mati!" kata. Brajaseta.
"Hem... Rupanya Sultanmu lebih suka kehilangan
puterinya," tukas Lor Parereg.
"Semua sudah dipertimbangkan. Tak ada jalan lain.
Kalian harus mati tapi..."
"Tapi apa...?"
"Harus disiksa lebih dulu!" Brajaseta bertepuk dua kali.
Pintu terbuka. Dua prajurit masuk menggotong sebuah
anglo tanah berisi api yang berkobar-kobar. Di dalam anglo
itu terdapat sebuah besi panjang yang gagangnya diberi
lapisan karat. Besi ini ujungnya berbentuk bulat. "Dirang–
ket, dicambuk dan dipukuli memang bukan apa-apa bagi
kalian. Tapi pernahkah kalian melihat kerbau atau sapi
yang dicap tubuhnya dengan besi panas?" tanya Brajaseta.
Lor Parereg mendengus. Rah Gludak dan Kunto
Handoko menjadi pucat wajah masing-masing.
"Parereg!" kata Handoko dengan suara bergetar. "Tak
ada gunanya. Sebaiknya terangkan saja di mana puteri
Sultan kau sembunyikan!"
"Bangsat! Tutup mulutmu!" sentak Lor Parereg. Dia
marah sekali. "Kunyuk-kunyuk Kerajaan ini tetap akan
membunuh kita sekalipun kita memberi keterangan!"
Kunto Handoko menggerutu dalam hati. Kalau saja dia
tahu di mana puteri itu berada pasti sudah dikatakannya.
"Aku heran mengapa kau jadi orang begini tolol
Parereg!" kata Brajaseta seraya melangkah ke anglo besar
dan mengeluarkan besi merah panas itu. Lalu dia melang–
kah mendekati Rah Gludak. Tentu saja orang ini ketakutan
setengah mati!
"Parereg!" teriak Rah Gludak. "Lekas kau katakan!
Bicaralah! Bicaralah Parereg! Jangan tolol!"
Tapi Lor Parereg tenang-tenang saja. Seperti tidak
mendengar teriakan temannya itu.
Brajaseta menempelkan besi merah yang dipegangnya
ke pinggul Rah Gludak. Terdengar suara mendesis seperti
bara kena air. Detik itu pula meledak jeritan Rah Gludak.
Bau sangitnya daging yang terpanggang memenuhi
ruangan itu. Brajaseta sekali lagi menempelkan besi panas
itu ke tubuh Rah Gludak. Sekali lagi pula Rah Gludak
berteriak setinggi langit.
"Kau lihat Parereg? Kau dengar?!" ujar Brajaseta.
"Kenapa masih berlaku tolol?!"
"Demi setan aku tidak tahu di mana puteri Sultan
berada!" Lor Parereg akhirnya memberi tahu.
"Kalau begitu berteriaklah memanggil setan!" kata
Brajaseta pula. Ujung besi panas itu lalu ditempelkannya di
kening Lor Parereg.
Cess!
Kulit dan daging kening itu terpanggang merah. Tulang
keningnya kelihatan jelas. Jeritan Lor Parereg menggelegar.
Tubuhnya yang terpentang bergoncang-goncang padahal
keempat anggota badannya sudah terentang tegang.
Beberapa lamanya ruang penyiksaan itu digelegari oleh
jeritan-jeritan Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko.
Daging tubuh dan muka mereka kelihatan berlobang-
lobang hangus. Teriakan mereka baru berhenti setelah
ketiganya jatuh pingsan.
Brajaseta melemparkan besi panas ke dalam Anglo. Dia berdiri bertolak pinggang. Pelipisnya bergerak-gerak.
"Keparat-keparat tolol semua!" maki Kepala Pasukan
Demak ini. Lalu ditinggalkannya ruangan itu.
Malam harinya Brajaseta masuk kembali ke ruangan itu
seorang diri. Pintu dikuncinya dari dalam. Ketiga tawanan
terpentang tak bergerak di atas roda-roda kayu, entah tidur
entah masih pingsan. Brajaseta mendekati Lor Parereg.
Matanya menyipit melihat keadaan tubuh serta muka
kepala rampok Hutan Roban itu. Penuh luka-luka, bekas-
bekas hangus serta darah yang membeku.
Brajaseta menjambak rambut Lor Parereg. "Bangun!"
sentaknya.
Lor Parereg tidak bergerak. Kedua matanya yang
gembung terus menutup. Kepala Pasukan Demak itu
berteriak lebih keras. Terdengar erangan panjang keluar
dari sela bibir Lor Parereg. Perlahan-lahan kedua matanya
membuka walau hanya sedikit. Mata itu berkaca-kaca oleh
cairan kuning sedang di kedua sudut mata mengental
bekuan darah.
"Manusia iblis!" desis Lor Parereg. "Siksaan apa lagi
yang bakal kau lakukan?!"
"Dengar Parereg, aku mau bicara!"
"Bicara nanti dengan rohku!"
Brajaseta mendekatkan mukanya ke wajah tawanan itu.
"Dengar, semua harta yang kau rampok itu kau boleh
ambil. Aku tidak perduli. Tapi beritahu di mana Larasati
berada..."
"Heh... untuk pertama kali kudengar kau menyebut
nama puteri itu tanpa gelaran Gusti Ayu."
"Itu bukan urusanmu," kata Brajaseta. "Aku punya
kepentingan sendiri. Jika kau beri keterangan aku
bersumpah untuk melepaskanmu."
Ini satu hal yang aneh bagi Lor Parereg.
"Apa kepentinganmu itu?" dia bertanya.
"Akan kukatakan setelah kau memberi keterangan!"
"Heh, begitu?"
"Ya!"
Lor Parereg menyeringai. "Goroklah batang lehermu!
Dan kau akan tahu di mana puteri itu berada!"
"Rupanya kau tak menginginkan kehidupan lagi? Sudah
bosan hidup? Kau tak ingin membalaskan sakit hatimu
pada Tunggul Bayana yang telah mengkhianatimu?!"
"Yang aku inginkan saat ini," sahut Lor Parereg pula,
"ialah memuntir lehermu dan menghisap darahmu!
Bangsat terkutuk!"
Brajaseta melepaskan jambakannya. Dia melangkah
mondar mandir.
"Kau tolol Parereg. Atau mungkin kau tak percaya
padaku?!"
"Aku lebih percaya pada setan dari kau!"
Brajaseta berpikir sejenak. "Dengar, kalau kukatakan
padamu apa kepentinganku tadi apakah kau mau memberi
keterangan?"
Lor Parereg tidak menjawab. Kedua matanya kembali
dipejamkan.
"Dengar Parereg, ini satu rahasia. Tapi aku akan
terangkan padamu. Aku percaya kau akan memberi tahu di
mana Larasati berada." Sesaat Kepala Pasukan Demak itu
memperhatikan wajah Lor Parereg, baru meneruskan kata-
katanya, "Aku sejak lama mencintai puteri Sultan itu.
Secara diam-diam. Aku bahkan telah mengajukan lamaran
pada Sultan. Entah mengapa lamaranku ditolak. Nah aku
sudah jelaskan kepentinganku. Sekarang lekas kau beri–
tahu di mana Larasati berada. Hidupku akan tersiksa kalau
sampai dia celaka, apalagi kalau sampai mati!"
Dalam hatinya Lor Parereg tertawa mendengar kata-
kata Brajaseta itu. Diam-diam otaknya berputar mencari
akal.
"Kau akan kulepaskan Parereg. Aku bersumpah!"
"Hanya aku sendiri?" tanya kepala rampok itu.
"Kau dan kedua kawanmu!" jawab Brajaseta.
"Aku tidak percaya."
"Sekali ini kau harus percaya!"
Lor Parereg berpikir sebentar lalu berkata, "Aku juga
bersumpah bahwa aku benar-benar tidak tahu di mana
puteri Sultan itu berada. Tapi aku bisa menghubungkan
kau dengan seseorang yang mengetahui tentang puteri
itu."
"Katakan siapa orang itu dan di mana tempatnya," ujar
Brajaseta cepat.
"Aku akan katakan dengan satu syarat. Yaitu keluarkan
dulu aku bersama kedua temanku dan bawa ke satu
tempat yang kuingini."
"Itu satu hal yang tak mungkin. Kau bisa menipuku!"
kata Brajaseta.
Lor Parereg terdiam. Dia berpikir lalu, "Aku akan
menulis sepucuk surat. Seseorang yang kau percaya bisa
disuruh membawa surat itu kepadanya."
Brajaseta mempertimbangkan usul Lor Parereg itu.
Kemudian dia membuka pintu. Dua orang prajurit disuruh–
nya melepaskan rantai yang mengikat tangan serta kaki
Lor Parereg. Karena tubuhnya lemah sekali dan tak
sanggup berdiri Lor Parereg digotong ke sudut ruangan,
didudukkan di atas sebuah kursi besar. Sehelai kertas dan
sebuah pena bulu ayam lengkap dengan tintanya diberikan
padanya. Dengan susah payah Lor Parereg menulis.
Tulisannya buruk sekali, apalagi saat itu dia memang tidak
dapat menulis secara wajar.
Setelah surat selesai Brajaseta memeriksanya. "Tak
sebaris katapun dalam suratmu itu kumengerti!" kata
Kepala Pasukan Demak itu.
Lor Parereg tersenyum. "Terus terang aku tidak yakin
kau akan memenuhi sumpahmu, Brajaseta. Surat itu
sengaja kubuat dalam tulisan rahasia. Jika kau tidak
menipuku segala sesuatunya akan berjalan beres..."
Brajaseta menjadi gusar. Tapi dia berlagak tenang. "Ke
mana surat ini harus diantar?" tanyanya.
"Ke selatan. Ke Bukit Tuntang," jawab Lor Parereg. "Di
puncak bukit itu diam seorang kakek bermata satu.
Berikan surat itu padanya dan dia pasti akan membalas
dan memberi tahu di mana puteri Sultan berada."
"Siapa adanya kakek itu?" tanya Brajaseta. "Itu kau tak
perlu tahu. Namanya tidak penting. Yang penting bagimu
bukankah untuk mengetahui di mana kekasihmu itu
berada?" sahut Lor Parereg.
Brajaseta melipat surat itu. Dia berpaling pada dua
prajurit tadi dan memerintahkan untuk merejang Lor
Parereg kembali di antara dua roda penyiksa.
"Kenapa kau melakukan ini?!" tanya Lor Parereg ketika
mendapatkan dirinya diseret kembali ke tempat penyik–
saan. "Bukankah kau harus membebaskan aku dan kawan-
kawan?!"
Brajaseta tersenyum. "Kau baru bebas bila Larasati
sudah ditemui dan dalam keadaan selamat."
"Bukan begitu perjanjian kita tadi!" Brajaseta hanya
ganda tertawa dan tinggalkan tempat itu.
"Keparat penipu! Kau akan rasakan pembalasanku!"
teriak Lor Parereg.
BAB 9
DARI PINTU gerbang selatan Kotaraja kelihatan
seorang perwira muda menunggangi seekor kuda
berbulu kelabu. Perwira ini bernama Aria Galing dan
merupakan salah seorang bawahan paling dipercaya oleh
Kepala Pasukan Demak Brajaseta. Kepadanya telah
diserahkan sepucuk surat yang dibuat oleh Lor Parereg
untuk diantarkan pada kakek bermata satu yang menurut
keterangan Lor Parereg tinggal di puncak Bukit Tuntang.
Aria Galing sengaja diperintahkan berangkat pada sore hari
agar bisa sampai esok sorenya di tempat yang dituju.
Perjalanan Aria Galing tidak mendapat kesukaran. Dia
hanya membutuhkan waktu untuk tidur dan istirahat di
sebuah desa. Sebagai seorang perwira, kepala desa
menyambut kedatangannya dengan pelayanan yang baik.
Pagi harinya Aria Galing meneruskan perjalanan. Lewat
rembang petang dari kejauhan mulai terlihat Bukit
Tuntang, sebuah bukit besar yang tidak ubahnya seperti
gunung. Dari kaki bukit menuju ke puncak perjalanan agak
sukar. Namun demikian sebelum matahari tenggelam Aria
Galing sudah sampai di puncak bukit yang menjadi
tujuannya.
Di satu pedataran sempit dan tinggi Aria Galing
menghentikan kudanya. Dia memandang berkeliling.
Hatinya lega karena begitu memandang ke jurusan timur
terlihat sebuah pondok. Pondok ini terletak di tengah
sebuah danau yang luas. Tak ada satu jembatan atau
titianpun yang kelihatan. Aria Galing segera menuju ke
danau.
Di bawah siraman sinar kuning emas sang surya yang
hendak tenggelam, pondok dan danau serta sekelilingnya
diselimuti kesunyian. Perwira ini turun dari kudanya dan
melangkah ke tepi danau. Tak sebuah perahupun atau
rakit kelihatan di sekitar situ. Sesaat dia tegak berpikir,
bagaimana dia bisa sampai ke pondok di tengah danau itu.
Apakah dia harus berenang? Dilihatnya danau itu airnya
tidak seberapa dalam karena dia dapat melihat jelas dasar
danau.
Selagi dia berpikir-pikir begitu tiba-tiba dia dikejutkan
oleh belasan potongan bambu yang melesat ke udara dan
jatuh bertebaran, mengapung di atas air danau. Belum
habis kejutnya, satu bayangan hitam yang amat tinggi,
laksana seekor burung terbang dari tepi danau sebelah
tenggara dan mempergunakan potongan-potongan bambu
yang mengapung sebagai peniti kaki hingga akhirnya
sampai di daratan sempit di tengah danau dan lenyap
masuk ke dalam pondok.
"Pasti orang itulah kakek yang harus kutemui," pikir Aria
Galing. Diam-diam dia merasa kagum melihat bagai–mana
si bayangan hitam mempergunakan potongan-potongan
bambu yang mengapung di air sebagai jembatan
penyeberang. Meskipun dia tidak sempat melihat jelas
sosok tubuhnya namun Aria Galing menyaksikan bagai–
mana tidak satupun potongan bambu itu terbenam ke
dalam air sewaktu orang itu menginjaknya! Dia membatin
apakah dia mampu berbuat yang sama, karena hanya
potongan-potongan bambu itulah satu-satunya jembatan
penyeberang baginya.
Setelah menguatkan hati Aria Galing melompat ke
tengah danau. Potongan bambu pertama yang dipijaknya
tenggelam ke dalam air danau, namun tubuhnya masih
tertahan dan masih sanggup meneruskan lompatan ke
bambu yang kedua, demikian seterusnya. Sampai di depan
pondok kakinya basah kuyup. Dia melangkah menuju pintu
yang tertutup lalu mengetuk. Sampai berulang kali dilaku–
kannya, tak ada yang menjawab.
"Mustahil orang itu tidak mendengar. Atau mungkin dia
tuli?" pikir Aria Galing. Dia mengetuk lebih keras. Tetap tak ada sahutan. "Biar kucoba masuk saja!" kata perwira itu
dalam hati mengambil keputusan. Tangannya sudah siap
untuk mendorong daun pintu. Semangatnya serasa terbang
sewaktu tahu-tahu di belakangnya terdengar satu ben–
takan keras dan garang.
"Perwira bedebah! Ada urusan apa kowe nyasar
kemari?!"
Aria Galing membalik. Hatinya bergetar. Sosok tubuh
manusia yang berdiri di hadapannya jika memang manusia
memiliki tinggi luar biasa. Tinggi dan juga kurus sekali.
Seumur hidupnya baru sekali itu Aria Galing melihat
manusia bertubuh demikian tinggi dan demikian kurusnya.
Dia terpaksa mendongak untuk melihat wajah orang itu.
Dan kembali hatinya berdebar. Orang itu bermuka panjang
cekung. Kulit mukanya hitam sekali dan berminyak. Mata–
nya yang sebelah kiri hanya merupakan sebuah rongga
kosong. Sebaliknya mata kanannya besar sekali dan
membeliak merah. Manusia ini sama sekali tidak memiliki
alis. Rambutnya pendek kasar, kaku dan tegak macam
bulu landak!
"Aku utusan Kepala Pasukan Demak," Aria Galing
perkenalkan diri sementara si tinggi hitam menelitinya dari
atas sampai ke bawah dengan matanya yang cuma satu.
"Aku datang membawa surat."
Perwira itu lalu mengeluarkan surat Lor Parereg yang
diterimanya dari Brajaseta dan menyerahkannya pada si
tinggi itu.
Kakek tinggi hitam mengambil surat itu dengan kasar.
Lalu membacanya dengan matanya yang satu. Dalam
membaca mata itu kelihatan seperti berputar-putar.
Selesai membaca dia memandang tepat-tepat pada Aria
Galing.
"Kepala Pasukan Demak dan orang yang menulis surat
itu meminta balasan," berkata Aria Galing.
"Baik... baik, aku akan berikan balasannya Padamu,"
jawab si tinggi hitam. Tidak terduga tahu-tahu laksana kilat
tangannya bergerak menyambar leher Aria Galing dan,
krak! Patahlah tulang leher perwira kerajaan itu. Dia roboh
dan mati detik itu juga!
Sebagai seorang perwira Aria Galing memiliki kepan–
daian yang dapat diandalkan. Namun apa yang dilakukan
si tinggi hitam selain amat cepat juga tidak disangka-
sangka sama sekali hingga akhirnya perwira itu menemui
ajalnya hanya dalam satu kejapan mata saja!
Seperti tak ada kejadian apa-apa si tinggi hitam untuk
kedua kalinya membaca surat yang diterimanya.
Paduka guru, Supit Ireng
Akibat pengkhianatan keparat Tunggul Bayana,
aku, Rah Gludak dan Kunto Handoko
telah dijebloskan dan disiksa setengah mati
dalam ruang penyiksaan istana Demak.
Kalau Paduka guru tidak segera turun tangan,
kami bertiga akan segera
menjadi umpan cacing-cacing tanah, alias mampus!
Muridmu, Lor Parereg
"Wong edan! Wong edan!" Si tinggi hitam bernama Supit
Ireng itu berkata berulang kali. Dia membungkuk,
mencengkeram kedua kaki Aria Galing. Tubuh tak ber–
nyawa itu diputarnya di atas kepala beberapa kali.
"Kowe pergilah!" bentaknya. Lalu mayat Aria Galing
dilemparkannya jauh-jauh dan jatuh di tepi danau sebelah
selatan.
Supit Ireng kemudian berkelebat ke tengah danau.
Melompat dari satu potongan bambu ke potongan lainnya
hingga akhirnya sampai di tepi danau di mana kuda milik
Aria Galing tertambat. Supit Ireng melompat ke punggung
binatang ini dan memacunya ke jurusan timur yaitu menuju
Kotaraja.
***
KEHENINGAN dinihari yang dingin itu dihantui oleh
derap kaki-kaki kuda dan kerontang roda kereta. Kenda–
raan ini menderu cepat di atas jalanan tanah. Pengemudi nya bertubuh tinggi bermuka hitam. Pakaiannya yang hitam
menambah angker tampangnya yang memang sudah
mengerikan. Dia duduk di bagian depan kereta laksana
setan. Di satu lereng jalan dia dapat melihat kelap-kelip
lampu-lampu Kotaraja. Kereta dipercepatnya. Dia harus
sampai di Kotaraja secepatnya dan pergi sebelum fajar
menyingsing.
Sepeminuman teh akan mencapai pintu gerbang
selatan Kotaraja, orang ini memutar keretanya memasuki
hutan kapas hingga akhirnya sampai di tembok Kotaraja
sebelah timur. Kereta ditinggalkannya dalam hutan kapas
yang gelap, kemudian dengan cepat dia mendekati tem–
bok. Sekali lompat saja dia sudah berada di atas tembok
yang tinggi itu. Setelah meneliti keadaan di bawah sana
dan dirasakannya aman, orang ini melompat ke wuwungan
bangunan istana. Gelapnya hari, pakaian hitam yang
dikenakannya serta gerakannya yang cepat membuat
dirinya tiada beda dengan hembusan angin dinihari yang
tidak kelihatan.
Siapakah manusia ini? Dia bukan lain adalah Supit
Ireng. Di lain saat dia sudah sampai di wuwungan istana
sebelah timur. Sekali lagi dia meneliti suasana lalu berge–
rak ke jurusan barat dan akhirnya melompat turun mema–
suki halaman istana. Begitu kedua kakinya menginjak
rumput taman, seorang pengawal yang kebetulan berada di
situ membentak curiga, "Siapa itu?!"
Supit Ireng memaki. Dia cepat merunduk dan sembunyi
di balik sebuah pot bunga besar. Pengawal tadi dengan
tangan kanan siap di hulu pedang cepat mengejar. Di
depan pot bunga dia berhenti.
"Heran, manusia atau setan? Kalau manusia kenapa
bisa lenyap secepat itu?" membatin si pengawal. Dia ber–
pikir dan memutuskan untuk memberitahu kepala penga–
wal. Namun sebelum dia melangkah, lima jari membuat
lidahnya terjulur keluar dan tak dapat bernafas!
Sekujur tubuh pengawal ini gemetar, tengkuknya dingin
ketika dia berhasil melihat tampang makhluk yang mencekiknya. Dia hendak berteriak tapi tak bisa. Dicobanya
mencabut pedangnya namun tenaganya seperti lenyap.
"Kalau kowe tidak mau mampus, lekas tunjukkan di
mana letak ruang penyiksaan tawanan!" Supit Ireng meng–
ancam.
Pengawal itu menggelepar-geleparkan kedua tangannya
lalu menunjuk ke kiri. Dari mulutnya hanya keluar suara
uh... uh... uuuh.
"Jalan, bawa aku ke sana!" kata Supit Ireng. Cekikannya
dilepaskan tapi terlebih dulu urat di pangkal leher
pengawal itu ditotoknya hingga si pengawal tidak bisa
bersuara lagi. Mereka memasuki sebuah pintu, melewati
beberapa gang dan ruangan. Agar tidak berpapasan
dengan pengawal-pengawal lainnya kerap kali Supit Ireng
harus menarik pengawal itu ke tempat gelap atau yang
kelindungan. Mereka sampai pada mulut sebuah gang di
mana dua orang pengawal kelihatan berjaga-jaga.
"Kau jalan duluan," desis Supit Ireng. "Lewati kedua
pengawal itu!"
Supit Ireng kemudian merapatkan diri ke balik tembok.
Pengawal yang diperintahkan melangkah ke mulut gang.
Dua pengawal yang tegak berjaga-jaga mula-mula tidak
menunjukkan kecurigaan. Namun sesudah pengawal satu
itu lebih mendekat, mereka melihat adanya kelainan pada
tindak-tanduk teman mereka ini. Serta merta mereka
melintangkan tombak dan menyuruhnya berhenti.
Pada saat itulah Supit Ireng keluar dari balik dinding
dan dengan cepat mengirimkan totokan jarak jauh yang
lihai! Kedua pengawal di mulut lorong hanya bisa
mengeluarkan seruan pelan, lalu keduanya tegak laksana
patung, tak bisa bersuara tak bisa bergerak!
Di ujung gang terdapat sebuah ruangan. Di sini terletak
sebuah meja panjang dan empat buah kursi. Ruangan ini
merupakan ruang pengawalan yang ketat karena di ujung
ruangan inilah terletak tangga yang menuju ke bagian
bawah istana di mana terdapat ruangan tahanan dan
ruang penyiksaan. Saat itu di sana kelihatan empat orang
berjaga-jaga. Tiga pengawal tingkat rendah dan seorang
berpakaian perwira.
Dari kejauhan Supit Ireng meneliti keadaan. Dia tak
mau bertindak ceroboh. Bukan mustahil ruangan itu
dilengkapi
alat-alat
rahasia.
Tiba-tiba
Supit
Ireng
menangkap pinggang pengawal yang tadi dipaksanya
menjadi penunjuk jalan. Sesaat kemudian pengawal itu
dilemparkannya ke arah empat orang yang berada di
ruangan penjagaan. Jatuhnya tepat di atas meja!
Sudah barang tentu orang-orang yang ada di situ kaget
bukan main. Selagi mereka terkejut inilah Supit Ireng ber–
tindak cepat. Tubuhnya berkelebat. Pengawal di sebelah
kanan terjengkang dan melingkar di lantai tanpa bisa
berkutik karena tulang dada dan tulang-tulang iganya
melesak ke dalam akibat tendangan kaki kanan Supit
Ireng.
"Kurang ajar! Setan alas dari mana yang berani masuk
mengacau?!" bentak perwira yang ada di tempat itu. Sekali
dia bergerak pedangnya sudah berada di tangan dan di lain
kejap senjata itu menderu memapas ke pinggang Supit
Ireng.
Dua pengawal yang ada di situ begitu hilang kagetnya
kini tampak ngeri memandang wajah manusia hitam yang
datang menyerbu itu. Karenanya tanpa tunggu lebih lama
mereka segera mengikuti jejak atasannya dan mencabut
pedang masing-masing, lalu menyerang.
BAB 10
SUPIT IRENG bergerak gesit. Tangan kanannya
berkelebat dan prak! Kepala pengawal yang kedua
pecah. Nyawanya lepas sebelum tubuhnya mencium
lantai. Hal ini membuat kemarahan membara di hati
perwira muda sedang pengawal yang satu lagi sebenarnya
sudah lumer nyalinya. Karenanya gerakan pedangnya tidak
tetap. Dalam satu gebrakan cepat Supit Ireng lepaskan
pukulan tangan kosong yang keras dan tepat menghantam
dada si pengawal. Orang ini terhuyung-huyung sambil
pegangi dada. Nafasnya sesak, dia coba menghirup udara
dalam-dalam tapi dari mulutnya melompat muntahan
darah. Dia terkapar di lantai, berkelojotan beberapa ketika
lalu diam tak bergerak lagi.
Satu-satunya yang tinggal, yakni perwira tadi boleh
dikatakan kini sudah dingin tengkuknya. Dia bertahan mati-
matian dengan pedang di tangan. Namun bagaimanapun
Supit Ireng bukanlah tandingannya. Setelah mengelakkan
satu sambaran pedang, si tinggi hitam ini menubruk ke
depan. Sang perwira coba menusukkan pedangnya, tapi
lawan lebih cepat menyodok ulu hatinya dengan satu
jotosan. Selagi dia melintir kesakitan Supit Ireng kepruk
kepalanya.
Di saat yang sama kaki perwira itu terpeleset. Tubuhnya
terjungkal dan disambut oleh tendangan kaki kiri Supit
Ireng. Perwira ini mencelat, terguling di lantai. Sebelum
ajalnya sampai dia masih sempat menjangkau sebuah
tombol rahasia di dinding dan menekan tombol ini kuat-
kuat. Hal ini tidak diperhatikan lagi oleh Supit Ireng karena
saat itu dia melangkah ke pintu dan dengan satu
tendangan keras pintu ruangan penyiksaan itu berhasil
dibobolnya hingga ambruk!
Dalam hidupnya Supit Ireng telah banyak menyaksikan
kematian manusia dalam cara yang mengerikan dan
mengenaskan. Namun seumur hidupnya belum pernah dia
melihat manusia direjang pada roda-roda kayu, diikat
dengan rantai besi dalam keadaan tubuh bergelimang luka
dan darah. Amarahnya meluap ketika menyaksikan
muridnya Lor Parereg terpentang dalam keadaan sangat
mengerikan itu. Sekujur tubuh muridnya itu penuh luka-
luka bekas cambukan. Lalu luka-luka hangus bekas
sentuhan besi panas, ditambah gelimangan darah yang
sebagian telah membeku. Rah Gludak serta Kunto
Handoko tidak lebih baik keadaan mereka.
"Benar-benar biadab! Keparat! Pembalasanku segera
akan tiba!" kata Supit Ireng dengan rahang menggembung
dan geraham bergemeletakan.
Dari atas rak diambilnya sebuah kapak besar. Dengan
senjata ini disertai kerahan tenaga dalam tentunya,
diputuskannya rantai-rantai besi yang mengikat kaki
tangan Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko.
Ketiga orang itu terbanting ke lantai. Dengan kapak masih
di tangan, seperti menggendong boneka saja, Supit Ireng
menumpuk tubuh Lor Parereg dan dua kawannya di bahu
kiri lalu cepat-cepat menuju pintu. Namun pada saat yang
sama di mulut gang telah menyerbu masuk sepuluh
pengawal kelas satu!
"Lekas menyerah dan kembalikan tahanan!" teriak
salah seorang pengawal.
Supit Ireng mendengus. Bola matanya yang cuma satu
berputar. Kapak di tangan kanannya digenggamnya erat-
erat.
"Baik, aku akan menyerah!" katanya menyeringai. "Tapi
makan dulu ini!"
Kapak itu menderu. Tiga orang pengawal di sebelah
depan menjerit dan roboh mandi darah. Tujuh kawannya
meski terkesima tapi cuma seketika, lalu serentak
menyerbu. Supit Ireng kembali putar kapak di tangan kanannya. Pekik kematian kembali menggema di tempat
itu.
Dua pengawal yang masih hidup tak berani melakukan
pengejaran ketika Supit Ireng meninggalkan gang di tingkat
bawah itu. Di tangga yang menuju tingkat atas sepuluh
pengawal tingkat satu kembali menghadang. Kali ini
mereka malah dibantu oleh dua perwira tinggi.
"Keparat! Kalian bikin repot aku saja!" rutuk Supit Ireng.
Dia sama sekali tidak takut melihat lawan yang berjumlah
banyak itu. Malah dia yang mendahului menye–rang.
Kapak di tangannya berkelebat ganas kian kemari,
menyebar maut. Kakinya kiri dan kanan bergantian
mengirimkan tendangan. Korban demi korban berjatuhan
termasuk satu dari dua perwira tinggi. Pada satu kesem–
patan Supit Ireng menerobos meninggalkan lawan-lawan–
nya yang masih hidup dan sesaat kemudian telah berada di
taman istana, siap untuk melompati tembok halaman.
Akan tetapi pada saat itu seluruh penjuru sudah diku–
rung. Puluhan prajurit muncul dari mana-mana ditambah
pengawal-pengawal kelas satu dan perwira perwira tinggi
Kerajaan.
Memandang ke jurusan kanan Supit Ireng melihat
seseorang berpakaian kebesaran mendatangi dengan
cepat, diiringi dua orang tua berselempang kain putih.
Ketiganya melangkah enteng dan dalam waktu singkat
sudah berdiri lima langkah dari hadapan Supit Ireng. Guru
Lor Parereg ini segera mengenali ketiganya. Sesaat hatinya
tercekat tetapi dia sama sekali tidak takut.
Yang termuda dari ketiga orang itu, yang berpakaian
kebesaran adalah Brajaseta, Kepala Pasukan Demak.
Orang tua di samping kanan dikenalnya dengan julukan Si
Cakar Malaikat. Lalu yang di sebelah kiri terkenal dengan
gelaran Si Kipas Besi. Kedua orang ini adalah tokoh-tokoh
silat istana yang tinggi ilmu silatnya.
Adapun tombol rahasia yang ditekan oleh perwira di
ruangan penjagaan sebelumnya, berhubungan langsung
dengan sebuah genta tanda bahaya di dalam kamar tidur
Brajaseta. Ketika genta itu berbunyi Brajaseta segera
melompat dari tempat tidur, mengenakan pakaian dan
sengaja menghubungi Si Cakar Malaikat dan Si Kipas Besi.
Ketiganya maklum sesuatu telah terjadi di ruangan penyik–
saan bawah tanah. Brajaseta memerintahkan menutup
semua jalan keluar. Sewaktu Supit Ireng muncul di taman
istana maka dia sudah terkurung rapat!
"Supit Ireng!" tegur Si Kipas Besi. Rupanya tokoh silat
istana ini juga mengenali siapa adanya manusia tinggi
hitam bermata satu di hadapannya itu. "Kau sudah
terkurung. Tunggu apa lagi? Lekas berlutut dan serahkan
diri!"
Supit Ireng tertawa hambar. "Bagus sekali omonganmu
Kipas Besi. Berapa kowe dibayar untuk jadi cecunguk
istana?!"
Panaslah Si Kipas Besi. "Manusia tidak tahu diri! Nyawa
sudah di depan mata masih bicara ngaco! Jangan jadi
orang tolol Supit Ireng!"
"Jangan kira aku takut pada kalian!" dengus Supit Ireng.
"Majulah, satu-satu atau berbarengan sekaligus biar cepat
aku membereskan kalian!"
Brajaseta yang sudah tidak dapat menahan amarah,
apalagi setelah menyadari kalau dia telah ditipu Lor
Parereg, segera berteriak, "Supit Ireng! Serahkan nyawa
anjingmu!" Lalu Kepala Pasukan Demak ini cabut
pedangnya dan langsung menyerang.
Trang!
Pedang dan kapak saling bentrokan. Bunga api
memercik. Kagetlah Brajaseta. Tangan kanannya tergetar
keras. Tidak disangkanya tenaga dalam lawan begitu tinggi.
Perubahan air muka Brajaseta terlihat jelas oleh dua
tokoh silat istana. Keduanya tidak menunggu lebih lama.
Dengan sepuluh jari tangan yang berkuku panjang
dipentang ke depan Si Cakar Malaikat terjun ke kalangan
pertempuran. Di lain pihak Si Kipas Besi telah keluarkan
pula senjatanya yakni sebuah kipas terbuat dari besi yang
jika dikembang lebarnya hampir setengah tetampah
(nyiru)!
Sekali
dia
menggerakkan
kipas
ini
maka
menderulah angin kencang laksana hembusan topan.
Ketika dia masuk ke dalam pertempuran, Supit Ireng
maklum bahwa keadaannya amat berbahaya. Apalagi saat
itu dia tidak bisa bergerak leluasa akibat beban tiga
manusia yang masih berada di atas panggulannya di bahu
kiri. Otak licinnya segera mencari akal.
"Tunggu! Aku mau bicara!" teriak Supit Ireng tiba-tiba.
Ketiga lawannya hentikan serangan tapi masih dalam
sikap mengurung dan waspada.
"Kau mau bicara apa?!" bentak Brajaseta.
"Dengar...," kata Supit Ireng sambil matanya yang satu
itu berputar-putar. Tiba-tiba secepat kilat tangan kanannya
diayunkan!
Brajaseta kaget dan gerakkan pedangnya untuk
menangkis. Demikian juga Si Kipas Besi serta Si Cakar
Malaikat. Tapi terlambat!
Terdengar pekik Si Cakar Malaikat sewaktu kapak besar
itu menancap di pangkal lehernya. Darah muncrat.
Sepasang matanya memandang mendelik ke arah Supit
Ireng. Kedua tangannya menggapai ke udara. Tubuhnya
lalu roboh dan terkapar di taman istana tanpa nyawa lagi!
"Setan alas! Mampuslah!" teriak Brajaseta dan kirim–
kan satu bacokan kilat.
Tapi Kepala Pasukan Demak ini masih kalah cepat
dengan Supit Ireng yang licik itu.
Sebelum
bacokan
pedang
sampai
Supit
Ireng
melemparkan sebuah benda bulat ke hadapan Brajaseta
dan Si Kipas Besi. Detik itu juga terdengar suara letusan
dan sesaat kemudian tempat itu sampai sejauh empat
tombak telah tertutup oleh asap hitam yang memerihkan
mata. Selagi semua orang berkedap-kedip dan gosok-
gosok matanya maka kesempatan ini dipergunakan Supit
Ireng untuk meloloskan diri, melompat ke tembok istana
dan lenyap dalam udara pagi yang masih gelap itu.
"Siapkan kuda! Buka pintu gerbang!" teriak Brajaseta
ketika menyadari kalau lawan telah melarikan diri.
Meskipun dua ekor kuda penarik kereta itu telah berlari
dalam kecepatan tinggi namun Supit Ireng masih terus
mencambukinya agar mereka berlari lebih cepat.
Kira-kira dua kali peminuman teh dia meninggalkan
tapal batas Kotaraja lapat-lapat telinganya yang tajam
mendengar derap kaki kuda banyak sekali dari arah bela–
kang. Supit Ireng berpaling. Di kejauhan dilihatnya serom–
bongan orang-orang Kerajaan melakukan pengejaran. Dia
kertakkan rahang. Di depan sekali tampak Brajaseta dan Si
Kipas Besi. Supit Ireng cambuk lagi kuda-kuda penarik
kereta bertubi-tubi.
Jalan yang buruk, penuh lobang serta bebatuan yang
bertonjolan membuat kereta itu tidak bisa berlari kencang.
Sementara itu para pengejar semakin lama semakin dekat
juga dan hari mulai terang tanah. Dari arah belakang Si
Kipas Besi mulai lepaskan serangan-serangan kipas yang
menghembuskan angin kencang hingga kuda-kuda penarik
kereta terganggu larinya. Brajaseta sendiri juga tidak
tinggal diam. Puluhan jarum beracun dilepaskannya ke
arah Supit Ireng.
Sambil memacu kereta Supit Ireng terpaksa berulang
kali memukulkan tangannya ke belakang untuk menangkis
serangan angin puyuh Si Kipas Besi dan hujan jarum maut
Brajaseta!
Di satu tebing tinggi Brajaseta dan rombongan berhasil
mengejar kereta itu.
"Supit Ireng! Kalau tak mau mampus percuma hentikan
kereta lekas!" memperingatkan Si Kipas Besi.
"Tak usah diberi peringatan lagi paman!" ujar Brajaseta
dan lemparkan lagi selusin jarum maut.
Kuda penarik kereta meringkik lalu rubuh. Binatang-
binatang ini bersama kereta terguling beberapa kali.
Sekejap saja tempat itu sudah dikurung belasan perwira
tinggi dan puluhan prajurit. Brajaseta dan Si Kipas Besi
melompat cepat dari kuda masing-masing dan mendekati
kereta. Mereka terkejut ketika di situ mereka tidak
menemukan Supit Ireng ataupun tawanan yang tiga orang itu. Kereta yang berantakan itu kosong!
"Kurang ajar! Kita kena ditipu!" rutuk Brajaseta sambil
bantingkan kaki ke tanah sampai tanah itu melesak dalam!
"Apa yang kita lakukan sekarang?" bertanya salah
seorang perwira.
"Dia pasti tidak lari jauh! Jelajahi seluruh daerah
berbukit-bukit ini! Tangkap dia hidup atau mati! Juga ketiga
tawanan itu!" sahut Brajaseta.
Hampir seratus prajurit, belasan perwira tinggi ber–
sama-sama Si Kipas Besi serta Brajaseta menjelajahi
seluruh daerah itu. Namun sampai tengah hari Supit Ireng
dan tiga tawanan tak berhasil ditemukan. Mereka laksana
lenyap ditelan bumi!
"Kita cari di Bukit Tuntang!" kata Brajaseta setelah
berunding dengan Si Kipas Besi.
Maka rombongan segera menuju ke Bukit Tuntang yaitu
tempat kediaman Supit Ireng. Tapi tempat itu sunyi senyap.
Tak ada Supit Ireng dan tawanan itu di sana. Yang mereka
temui hanyalah mayat Aria Galing yang membusuk. Dengan
penuh
geram
Brajaseta
menyuruh
anak
buahnya
membakar habis tempat kediaman Supit Ireng.
BAB 11
SAAT ITU memasuki rembang petang. Di lereng sebuah
bukit, dua orang penunggang kuda kelihatan memacu
kuda masing-masing menuju sebuah jalan kecil di
kaki bukit. Sesaat kemudian keduanya sudah menempuh
jalan itu terus menuju ke utara. Ternyata mereka adalah
sepasang muda-mudi. Yang pemuda bertampang cakap
gagah sedang si pemudi berparas jelita dengan kedua
pipinya kemerah-merahan disengat oleh matahari petang.
Di satu persimpangan keduanya berhenti.
"Guru menyuruh kita menunggu di sini," kata si pemuda
lalu turun dari kudanya dan melangkah ke tempat yang
rindang. Sementara kuda mereka merumput mengisi perut,
kedua muda-mudi ini duduk bercakap-cakap.
"Jaka, aku tidak mengerti. Mengapa guru membawa
kita ke puncak Gunung Karang. Bukankah di tempat
kediamannya sekarang cukup bagus untuk melatih dan
mendidik kita?"
Si pemuda tersenyum. "Satu hal harus kau ketahui.
Setiap orang sakti mempunyai sifat-sifat aneh. Kalau guru
mengajak kita ke Gunung Karang pasti dia tahu bahwa di
tempat itu jauh lebih bagus baginya untuk menggembleng
kita."
"Kalau aku sudah pandai silat nanti," kata si pemudi,
"akan kucari bangsat bernama Lor Parereg itu dan kucin–
cang sampai lumat!"
"Pembalasan memang sudah wajar," sahut si pemuda
yang bernama Jakawulung. "Namun aku sangsi apakah kau
akan betah tinggal di puncak Gunung Karang."
"Kalau tidak betah mengapa aku bersedia ikut?"
"Jangan lupa Larasati. Kau adalah puteri Sultan
Trenggono yang tinggal di istana dan terbiasa dengan alam
kehidupan serba mewah. Di mana segala yang kau ingini
telah tersedia. Di puncak Gunung Karang kau tidak bakal
menemukan itu, bahkan kesulitan yang kau hadapi. Di
samping itu sewaktu-waktu kau tentu rindu pada orang
tuamu atau..."
"Atau apa Jaka?"
"Atau kekasihmu..."
Si pemudi yang ternyata adalah Gusti Ayu Ning Larasati
tersenyum. "Setiap manusia tentu merasa kangen pada
orang tuanya jika berpisah jauh. Tapi aku bisa menguasai
kerinduan itu, Jaka. Dan soal kekasih... aku tidak punya."
"Kalaupun tak punya tentu kau pernah mengagumi atau
memuja atau menaksir seorang pemuda dalam hidupmu..."
kata Jakawulung pula.
Larasati menggeleng.
"Atau sebaliknya ada pemuda yang memujamu?"
"Itu urusan dia. Aku bukan dewi yang pantas dipuja-
puji!"
"Tapi bagi seorang pemuda yang jatuh cinta, kekasih
pujaannya lebih cantik dari dewi manapun."
"Itu namanya sinting!"
"Lho, orang jatuh cinta itu memang seperti sinting. Apa
kau tidak tahu?" kata Jakawulung lalu kedua muda-mudi
itu tertawa gelak gelak.
"Guru tetap tak mengizinkan kau menemui kedua orang
tuamu lebih dulu sebelum dia menggemblengmu?" tanya
Jaka.
Ning Larasati menggeleng. "Guru yakin, jika aku minta
izin dulu, orang tuaku pasti tidak membiarkan. Sekalipun
guru telah menyelamatkan nyawa dan kehormatanku dari
tangan Lor Parereg. Di samping itu..."
Larasati tidak meneruskan kata-katanya karena saat itu
dilihatnya Jaka memberi isyarat dengan menempelkan jari
telunjuk di atas bibir.
"Aku mendengar suara kaki-kaki kuda. Banyak sekali..."
menerangkan Jaka. Perlahan-lahan dia berdiri dan memandang berkeliling. Larasati mengikuti gerakannya.
"Lihat!" kata Jaka tiba-tiba seraya menunjuk ke depan.
Larasati menoleh ke arah yang ditunjuk. Berubahlah
paras gadis ini. Puluhan prajurit bersenjata lengkap
dilihatnya muncul dari ujung jalan sebelah kiri, lalu juga
dari arah kanan. Menyusul dari dalam rimba belantara.
"Pasti mereka telah tahu bahwa kau berada di sini,"
kata Jaka.
"Jika mereka memang pasukan Kerajaan kau tak usah
khawatir. Aku akan suruh mereka pergi," sahut Larasati.
Namun hati Jakawulung tetap tidak enak. Dia melang–
kah ke tempat kudanya merumput dan memberi isyarat
pada Larasati agar mereka segera meninggalkan tempat
itu. Namun justru saat itu terdengar suara memerintah,
"Jangan bergerak! Tetap di tempat kalian!"
Jakawulung dan Larasati berpaling.
Seorang berpakaian kebesaran tentara dan bertubuh
tinggi kekar melompat dari punggung kudanya. Gerakannya
enteng sekali. Jakawulung maklum kalau orang ini memiliki
ilmu tinggi. Ning Larasati segera mengenali Kepala
Pasukan Demak ini dan membisikkannya pada Jaka.
"Gusti Ayu Larasati," kata Brajaseta sambil menjura,
"syukur kami akhirnya menemui Gusti Ayu di sini. Sultan
dan seisi istana sangat cemas atas lenyapnya Gusti Ayu!"
Ning Larasati tidak menjawab apa-apa. Dia tahu kalau
lagak sikap menghormat yang ditunjukkan Kepala Pasukan
Demak itu lebih banyak bersifat pura-pura belaka dan
gadis ini tahu bahwa Brajaseta menyukainya dan pernah
melamar pada Sultan tetapi ditolak.
Melihat tanggapan si gadis ayem-ayem saja, Brajaseta
lalu berpaling pada Jakawulung dan bertanya, "Siapa
pemuda ini?!"
"Dia sahabatku, Paman Brajaseta!" jawab Larasati.
Sebenarnya Brajaseta tidak suka dipanggil dengan sebutan
paman. Dia lebih suka Larasati memanggilnya dengan se–
butan mas atau kangmas. Namun melihat perbedaan umur
mereka sebetulnya panggilan itu sudah cukup pantas.
"Sahabatmu Gusti Ayu? Ini adalah aneh!" kata Kepala
Pasukan Demak itu. Dan rasa cemburu memanasi
dadanya. "Gusti Ayu lenyap diculik gerombolan rampok Lor
Parereg. Tahu-tahu kini ditemui di sini bersama seorang
sahabat! Gusti Ayu, kami tak ingin mendapat dampratan
dari Sultan. Harap Gusti Ayu menjelaskan dengan jujur."
"Apa yang saya katakan adalah jujur, Paman. Apa
paman tidak percaya?"
Brajaseta menggelengkan kepalanya. "Tentu, tentu
paman percaya padamu Gusti Ayu. Tapi terhadap pemuda
ini paman menaruh curiga." Brajaseta berpaling pada
beberapa perwira dan lalu memerintahkan, "Tangkap
pemuda ini!"
Lima perwira kerajaan segera melangkah maju.
"Hai!" seru Larasati. "Jangan kalian bertindak samba–
rangan!"
Langkah lima perwira tertahan.
Brajaseta maju dan berkata, "Gusti Ayu, apakah benar
pemuda ini sahabatmu atau bukan, bisa kita urus kemudi–
an. Yang jelas saat ini dia harus diamankan dulu dan
dibawa ke Kotaraja!" Lalu sekali lagi Brajaseta memerin–
tahkan orang-orangnya untuk menangkap Jakawulung.
"Tunggu!" seru Larasati kembali. "Saya bicara atas
nama ayah, Sultan Demak! Jika kalian berani menangkap–
nya akan berhadapan dengan Sultan!"
"Perbolehkan aku bicara!" Jakawulung buka mulut.
"Manusia hina dina," memotong Brajaseta, "Kau tidak
layak bicara!"
"Layak atau tidak itu bukan persoalan!" tukas Jaka–
wulung. Sebagai manusia tentu saja dia merasa amat di–
rendahkan. "Aku tidak punya kesalahan apapun. Mengapa
ditangkap?!"
"Kau telah menculik puteri Sultan, merayu dan
membujuknya hingga Gusti Ayu membelamu dan berani
menantang kami orang-orang Kerajaan!"
"Tidak! Dia sama sekali tidak menculik saya!" Yang
menjawab Ning Larasati sendiri.
Brajaseta berpaling pada gadis itu dan berkata, "Gusti
Ayu, paman lihat kau selalu membelanya. Agaknya ada
sesuatu di antara kalian?"
"Paman Brajaseta! Mulutmu keliwat lancang. Bawa
orang-orangmu pergi dari sini!"
"Memang kami akan membawamu kembali ke Kotaraja
Gusti Ayu!"
"Siapa sudi ikut dengan kalian!"
"Sudi atau tidak kami hanya menjalankan tugas dari
Sultan Demak!" jawab Brajaseta. Lalu dia memberi isyarat
pada lima perwira tadi. Kelima perwira ini bergerak cepat.
Jakawulung mundur beberapa langkah seraya berkata
memberi ingat, "Jika kalian berani menyentuh tubuhku,
jangan salahkan kalau aku menurunkan tangan kasar!"
"Kurang ajar! Berani dia menantang perwira Kerajaan.
Lekas ringkus dia!" teriak Brajaseta marah.
Lima perwira bergerak kembali. Tapi yang paling depan
kemudian terhuyung dan terduduk di tanah kesakitan.
Tinju kanan Jakawulung mendarat tak terduga di ulu
hatinya. Melihat ini empat kawannya jadi gusar dan
menyerbu. Kiranya Jakawulung meskipun masih muda
bukanlah seorang yang tidak mempunyai isi. Empat perwira
itu dibuat kewalahan kalang kabut tak berhasil meringkus–
nya, malah satu demi satu mereka kena dihajar! Tidak sia-
sia tokoh silat Malaikat Tak Bernama menggemblengnya
selama lima tahun!
Setelah lima jurus berlalu perwira-perwira itu masih
belum mampu menangkap si pemuda, Brajaseta memben–
tak marah, "Pergunakan senjata!" Empat pedang dicabut
secara serentak.
"Pengecut! Curang!" teriak Ning Larasati.
Jakawulung mengeluh karena saat itu dia tidak memiliki
senjata untuk dapat melayani keroyokan empat pedang
lawan yang ganas. Dia berusaha bertahan sambil sekali-
sekali kirimkan serangan balasan. Namun keadaannya
cukup sulit kini. Selagi dia dipepet demikian rupa tiba-tiba
dari belakang sepasang tangan yang kokoh merangkulnya.
Brajaseta!
"Lekas selesaikan dia!" teriak Brajaseta pada empat
perwira di depannya. Sesaat perwira-perwira itu tertegun
karena bagaimanapun mereka merasa sungkan membu–
nuh lawan yang tidak berdaya dan disaksikan sekian puluh
mata. Namun mereka juga harus menjalankan perintah
Kepala Pasukan Demak itu. Maka keempatnya lalu tusuk–
kan pedang masing-masing ke tubuh Jakawulung.
Ning Larasati menjerit!
BAB 12
PADA SAAT empat pedang hendak menembus tubuh
Jakawulung pada detik itu pula terlihat berkelebat
satu bayangan putih, disusul terdengarnya jeritan
empat perwira kerajaan. Mereka terhuyung-huyung sambil
pegangi bahu masing-masing. Ternyata bahu mereka telah
ditancapi oleh sebuah panah putih yang panjangnya tak
lebih dari sejengkal!
"Itu pembalasan bagi siapa yang berani menurunkan
tangan jahat terhadap murid-muridku! Siapa lagi yang
hendak melakukan hal itu?!" Terdengar suara menghardik.
Brajaseta merasakan ada yang mendorong tubuhnya
dan rangkulannya terhadap tubuh Jakawulung lepas. Dia
terjajar beberapa langkah. Memandang ke depan dilihat–
nya seorang nenek bermuka putih dan berpakaian serba
putih tegak di samping kanan Jakawulung. Rambut nenek
inipun keseluruhannya berwarna putih. Bahkan kedua
tangan serta kakinya yang tersembul dari balik jubah putih
juga berwarna putih.
Si Kipas Besi yang saat itu masih duduk tenang-tenang
di punggung kudanya begitu melihat si nenek muka putih
jadi menyipit sepasang matanya lalu membentak, "Malai–
kat Tak Bernama, apa-apaan kau berani mencampuri
urusan orang lain?!"
"Mmmm..." si nenek bergumam dan melirik ke arah Si
Kipas Besi. "Sejak jadi kaki tangan istana mulutmu sudah
tambah besar, Kipas Besi. Apa perlu kurobek agar lebih
lebar?!"
Muka si Kipas Besi jadi mengelam merah. Dia hendak
membentak tapi Brajaseta sudah mendahului, "Orang tua,
apa yang terjadi di sini tak ada sangkut-pautnya dengan dirimu. Sebaiknya..."
"Tak ada sangkut pautnya?!" potong si nenek lalu
tertawa tinggi dan panjang. "Kedua orang muda-mudi ini
murid-muridku.
Bagaimana
mulutmu
bisa
lancang
mengatakan tak ada sangkut paut?!"
"Heh!" Brajaseta melengak heran. Tadipun dia sudah
mendengar manusia muka putih itu menyebut Jakawulung
dan Larasati murid-muridnya. "Nenek muka putih, kau
jangan bicara melantur. Sultan Trenggono tidak pernah
mengambil guru manusia macam kau...!"
"Begitu...?" si nenek muka putih tenang-tenang saja.
"Lalu pernah atau tidaknya apa urusanmu!" Tanpa perduli–
kan lagi Brajaseta, Malaikat Tak Bernama berpaling pada
muda-mudi itu dan berkata, "Murid-muridku, mari kita
tinggalkan tempat ini."
"Mana bisa begitu?!" hardik Brajaseta. Dia mengha–
dang di tengah jalan. "Atas nama kerajaan, kau kami
tangkap...!"
"Dengan tuduhan apa?" tanya Malaikat Tak Bernama.
"Menculik Gusti Ayu Ning Larasati!" jawab Brajaseta.
Si Malaikat Tak Bernama tertawa gelak-gelak. Gigi-
giginya tampak masih lengkap dan putih.
"Dia tidak menculikku. Dia justru yang menyelamatkan
aku dari tangan Lor Parereg!" tiba-tiba Larasati berkata.
"Hmmm, paman khawatir jalan pikiranmu sudah
disesatkan tua bangka ini Gusti Ayu. Kau pasti telah
diobatinya!" kata Brajaseta.
"Brajaseta! Mulutmu terlalu lancang! Aku bukan guru
cabul!"
"Aku sama sekali tidak mengatakan kau guru cabul!
Terserah kalau kau membuka kedokmu sendiri!" tukas
Brajaseta.
Muka putih Malaikat Tak Bernama berobah merah.
"Kalau saja aku tidak berpantang membunuh sudah kupe–
cahkan kepalamu, Brajaseta!" kata si nenek.
"Tangkap mereka! Bunuh kalau melawan! Selamatkan
Gusti Ayu!" perintah Brajaseta.
Puluhan prajurit, delapan perwira berkepandaian tinggi
dan menyusul Brajaseta sendiri serta Si Kipas Besi segera
menyerbu Malaikat Tak Bernama dan muridnya Jaka–
wulung.
Melihat pengeroyokan ini Jakawulung segera meng–
ambil pedang salah seorang perwira yang tadi dipanah
gurunya lalu mengamuk dahsyat. Si Malaikat Tak Bernama
sendiri didahului oleh lengkingan tinggi berkelebat lenyap
dan di sebelah kiri kanan susul menyusul terdengar jeritan
prajurit-prajurit yang mengeroyok.
Dalam pertempuran itu meskipun Malaikat Tak Ber–
nama dan Jakawulung menunjukkan kehebatan luar biasa
namun jumlah lawan terlalu banyak. Di samping itu mereka
harus melindungi Larasati hingga perhatian mereka jadi
terbagi. Belum lagi serangan jarak jauh yang dilepaskan
oleh Brajaseta dan Si Kipas Besi.
Dalam hebatnya kecamuk pertempuran, Brajaseta dan
Si Kipas Besi merangsak masuk mendekati Malaikat Tak
Bernama. Dalam satu jurus yang hebat si nenek ini terpak–
sa bergerak melindungi Larasati ketika Brajaseta hendak
merenggut tangannya. Justru saat itu Si Kipas Besi
menyerbu dari kiri, menghantamkan senjatanya. Hanya ada
dua pilihan bagi si nenek, melepaskan Larasati atau
mengelakkan serangan kipas besi.
Si nenek ini ternyata tidak mau memilih. Dia ingin
menyelamatkan diri dan sekaligus menyelamatkan Lara–
sati. Maka tangan kanan mempertahankan gadis itu dan
tangan kiri dipergunakan untuk menangkis serangan kipas.
Si Kipas Besi berlaku cerdik. Dengan mengerahkan
tenaga dalam ke senjatanya dia hantam pergelangan
tangan lawan. Si nenek muka putih mengeluh tinggi.
Tulang lengannya patah. Sedang Si Kipas Besi menyurut
kaget. Senjatanya ambrol rusak!
"Jaka! Lekas pergi dari sini! Bawa Larasati!" seru
Malaikat Tak Bernama.
"Tidak guru! Saya lebih rela mati bersamamu di sini!"
jawab Jakawulung. Dan pedangnya berkelebat ganas.
Seorang prajurit roboh.
"Jangan jadi orang tolol Jaka!" teriak si nenek. "Yang
penting selamatkan Larasati!"
"Akupun rela berkubur di sini guru!" teriak Larasati.
Si nenek jadi terharu. Gadis itu baru saja diambilnya
jadi murid, bahkan dilatihpun belum. Namun kesetiaannya
terhadapnya benar-benar mengagumkan. Kecamuk pera–
saan ini justru membuat si nenek menjadi lengah. Pedang
Brajaseta berhasil melukai dadanya.
"Jakawulung! Tunggu apa lagi! Lari dan selamatkan
Larasati!" teriak si nenek. Suaranya keras dan bernada
marah.
Jakawulung jadi bingung. Dalam pada itu dilihatnya
gurunya tersungkur ke depan. Dia memegang tangan Lara–
sati erat-erat. Lima perwira mengurung mereka. Brajaseta
ikut membantu. Lima pedang perwira datang menderu. Tak
ada jalan lain. Jakawulung harus menangkis. Tiga pedang
sekaligus menghantam pedangnya hingga terlepas mental.
Masih untung dia masih dapat menyelamatkan diri dari
sambaran dua pedang lainnya. Tapi itupun tak ada
gunanya. Karena dari kiri tusukan pedang Brajaseta datang
dengan ganas!
Namun sebelum ajal berpantang mati, sebuah benda
hitam entah dari mana datangnya melesat laksana meteor
dan menghantam tangan kanan Brajaseta. Kepala Pasu–
kan Demak ini mengeluh kesakitan dan terpaksa lepaskan
pedang. Di saat yang sama satu angin sedahsyat topan
prahara menggebu. Belasan prajurit dan beberapa perwira,
termasuk Brajaseta tersapu sampai satu tombak. Ketika
tiupan angin itu sirna, di tengah kalangan pertempuran
tegaklah seorang pemuda bertubuh tegap, mengenakan
pakaian putih yang bagian dadanya tidak dikancingkan.
Sikapnya gagah tapi gayanya lucu seperti orang tolol. Dia
memandang berkeliling sambil tersenyum.
Tak satu orangpun di situ yang kenal siapa adanya
pemuda yang telah menyelamatkan Jakawulung ini, kecuali
si Malaikat Tak Bernama yang saat itu terduduk di tanah
dengan tubuh penuh luka-luka. Si pemuda tak menunggu
lebih lama, selagi semua orang terkesiap, dia segera
dukung tubuh si nenek.
Si nenek usap-usap rambut gondrong si pemuda seraya
berkata, "Pendekar 212! Syukur, di saat aku mau mati
begini rupa masih sempat bertemu denganmu..."
Si pemuda tertawa dan menjawab, "Orang tua, siapa
bilang kau bakal mati? Ajal di tangan Tuhan."
"Wiro Sableng! Memang benar ajal di tangan Tuhan.
Tapi kau lebih dari tahu kalau saat ini aku segera akan
mati."
"Sudahlah nenek muka putih. Mari kita tinggalkan
tempat celaka ini!" Si pemuda yang bukan lain adalah
murid Eyang Sinto Gendeng alias Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 berpaling pada Jakawulung dan Larasati
yang berdiri bengong setelah diri mereka diselamatkan
secara tidak terduga.
Dari seberang Brajaseta dan Kipas Besi segera men–
datangi.
"Pemuda asing! Kau juga mencari penyakit! Turunkan
tubuh tua bangka itu dan pergi dari sini! Jangan sampai
aku merubah pikiran untuk menangkapmu sekaligus!"
bentak Brajaseta.
Wiro Sableng ganda tertawa. Dia berkata, "Brajaseta,
sebagai alat kerajaan kau memang pantas dipuji karena
telah menjalankan tugas dengan baik! Tapi tindakanmu
kelewat batas! Bawa pasukanmu meninggalkan tempat
ini!"
Mendengar kata-kata pemuda yang tidak dikenalnya itu
tentu saja Brajaseta marah. Di saat itu sepasang mata Si
Kipas Besi melihat tiga deretan angka pada dada si pemu–
da dan menjadi terkejut. 212. Dia sadar berhadapan
dengan siapa dan cepat-cepat hendak memberitahu pada
Brajaseta. Tapi Kepala Pasukan Demak ini sudah melang–
kah maju seraya melepaskan jotosan keras ke kepala Wiro
Sableng. Pendekar ini melompat ke belakang hingga
serangan Brajaseta hanya mengenai tempat kosong.
Malaikat Tak Bernama tertawa bergelak ketika melihat
Brajaseta hampir tersungkur karena kehilangan keseim–
bangan. Penasaran Kepala Pasukan Demak ini hendak
memburu lawannya dengan serangan kedua. Namun saat
itu Wiro Sableng sudah lepaskan satu pukulan dahsyat.
Dan terjadilah hal yang luar biasa.
Bumi laksana digoncang gempa. Pasir dan batu di
tengah jalan menggebu beterbangan. Ranting pepohonan
berputusan bahkan ada dua pohon yang tumbang. Belasan
prajurit terguling-guling. Belasan perwira tinggi tergelim–
pang. Si Kipas Besi dan Brajaseta terkejut dan lekas ber–
lindung di balik sebatang pohon besar. Mereka menyangka
tiba-tiba ada serangan topan dan tak berani bergerak atau
melakukan apapun.
Wiro yang memanggul Malaikat Tak Bernama dan
Jakawulung serta Larasati yang berada di bagian yang tidak
diselubungi angin besar itu memberi isyarat pada kedua
muda-mudi agar segera mengikutinya. Mereka memasuki
rimba belantara. Dari sini Wiro lepaskan satu pukulan Sinar
Matahari ke arah orang-orang kerajaan itu hingga mereka
merasa seperti dunia ini mau kiamat! Dan tak satu orang
pun yang berani melakukan pengejaran!
Setelah berada jauh dalam hutan, Malaikat Tak Ber–
nama terdengar berkata, "Kau hebat sekali Wiro," memuji
nenek muka putih ini. "Aku berterima kasih kau telah
menyelamatkan diriku dan murid-muridku. Tapi nyawaku
rasanya tidak tertolong lagi..."
"Sudahlah nenek, kau tak boleh banyak bicara dulu.
Aku akan obati luka-lukamu," menyahuti Wiro.
"Turunkan aku, aku ingin berbaring..."
Wiro terpaksa membaringkan orang tua ini di bawah
sebatang pohon yang rindang.
"Larasati... mana Larasati...?" si nenek bertanya.
"Saya di sini guru," jawab si gadis dan datang men–
dekat.
"Aku akan pergi muridku..."
"Tidak, guru akan sembuh. Bukankah guru telah berjanji untuk menggembleng saya di puncak Gunung Karang?"
Malaikat Tak Bernama tersenyum pahit. Diulurkannya
tangannya untuk membelai rambut si gadis. Namun
setengah jalan tangan itu terkulai.
Larasati terpekik. Jakawulung merasakan dadanya
sesak dan menahan air mata yang hendak membersit
keluar. Malaikat Tak Bernama sudah tiada lagi.
Setelah membiarkan kedua muda-mudi itu dilamun
oleh suasana duka cita beberapa lamanya, Wiro lalu
membuka mulut "Di mana jenazah guru kalian ini akan
dikubur. Lalu apa yang akan kita lakukan?"
Larasati berdiam diri karena dia memang tak tahu
harus mengubur jenazah gurunya di mana. Jakawulung
termenung, berpikir-pikir.
"Sebaiknya kita pergi ke Danau Merak Biru..." kata
Jakawulung kemudian.
"Kenapa ke situ?" tanya Larasati.
"Di sana diam seorang Empu. Namanya Pamenang. Dia
masih ada hubungan darah dengan guru. Kita akan kubur–
kan jenazah guru di sana."
BAB 13
AIR DANAU yang amat biru dan tenang itu merupakan
satu pemandangan indah. Di langit sang surya
memancarkan sinar lembut kuning. Empat sosok
tubuh berdiri mengelilingi kuburan merah di salah satu
tepian danau. Setiap wajah menunjukkan rasa duka cita
yang mendalam.
"Maut adalah kuasanya Tuhan," kata orang tua
berbadan bungkuk yang tegak di samping Wiro Sableng.
"Semua kita akan mengalami kematian. Semoga adikku
mendapat tempat yang sebaik-baiknya di alam baka..."
Perlahan-lahan orang tua itu memutar tubuh dan
melangkah ke arah sebuah pondok. Wiro, Jakawulung dan
Larasati mengikuti dari belakang.
Di dalam pondok...
Setelah suasana sunyi cukup lama mencengkam maka
berkatalah orang tua bungkuk yang pakaiannya merupakan
selempangan kain putih itu. Dialah Empu Pamenang,
penghuni pondok sunyi di Danau Merak Biru, saudara
sepupu si Malaikat Tak Bernama.
"Jakawulung, Larasati. Karena kau sudah datang
kemari maka tanggung jawab atas diri kalian terletak di
tanganku. Biarlah aku mewakili saudaraku untuk meng–
gembleng kalian. Kalau saja aku tidak mempunyai
larangan membunuh, maulah aku membalaskan sakit hati
kematian saudaraku itu. Karena itu kelak kalian harus
belajar sungguh-sungguh agar di kemudian hari bisa
melakukan pembalasan yang setimpal terhadap orang-
orang yang telah berlaku sewenang-wenang itu."
Empu Pamenang memalingkan kepalanya pada Wiro
Sableng, "Pendekar muda, jika tidak karena kau tentu..."
"Ah, aku tak berani menerima ucapanmu itu Empu,"
Wiro memotong cepat. "Semua kita hanya melakukan
kewajiban masing-masing."
"Betul, memang kewajiban." Kata Empu Pamenang
pula. Lalu orang tua ini kelihatan seperti merenung, "Ingat
pada kewajiban itu aku serasa hidup di atas bara panas..."
Baik Wiro maupun Larasati serta Jakawulung tidak
mengerti maksud kata-kata orang tua itu. Mereka saling
bertanya-tanya dalam hati dan Wiro merasakan adanya
kelainan pada air muka Empu Pamenang.
"Kewajiban telah memburuku sejak sepuluh tahun yang
silam. Namun kewajiban itu tidak pernah bisa kulaksana–
kan karena adanya pantangan membunuh!"
"Gurupun mempunyai pantangan begitu," berkata
Jakawulung. "Apakah sebabnya?"
Empu Pamenang tersenyum rawan.
"Tak bisa kuterangkan sebabnya, Jaka..."
"Kalau saya boleh bertanya," kata Wiro pula, "Kewa–
jiban apakah yang telah memburu Empu sejak sepuluh
tahun itu?"
Empu Pamenang menghela nafas dalam. Lewat pintu
pondok yang terbuka dia memandang ke danau berair biru.
Kini air danau itu mulai bergelombang-gelombang kecil
karena tiupan angin di rembang petang.
"Limabelas tahun yang lalu aku mempunyai tiga orang
murid yang amat kukasihi. Setelah lima tahun kugembleng
di tempat ini, datanglah manusia jahat pembawa malape–
taka itu. Tanpa pasal tanpa alasan ketiga muridku dibunuh.
Tubuh mereka dipotong-potong dan kepala mereka disate
dengan sebuah tombak lalu tombak itu ditancapkan di atas
pondok ini. Dan atas semua itu aku tak bisa melakukan
pembalasan..."
"Empu tidak tahu siapa pembunuhnya?" bertanya
Jakawulung.
"Bukan, bukan karena aku tidak tahu. Tapi karena aku
mempunyai larangan membunuh."
"Boleh saya tahu siapa manusia yang jahat luar biasa
itu, Empu?" Kali ini Wiro Sableng yang bertanya.
"Sebelum aku menjawab, maukah kau melakukan satu
permintaanku Wiro? Tentu saja kau berhak menolak..."
"Katakanlah, Empu."
"Wakili diriku membalas sakit hati dendam kesumat
yang telah kupendam selama sepuluh tahun itu."
Wiro termenung. Setelah berpikir dalam-dalam akhirnya
dia menjawab, "Kepercayaan yang Empu berikan akan saya
laksanakan sedapat mungkin."
"Terima kasih," jawab sang Empu. "Manusia itu ber–
nama Supit Jagal. Dia tinggal di sebuah goa batu di Teluk
Burung, di pantai utara. Kabarnya dia mempunyai seorang
adik yang tak kalah jahatnya, bernama Supit Ireng."
"Baiklah Empu, sesuai dengan permintaanmu saya
akan coba melaksanakan pembalasan."
Bagi murid Eyang Sinto Gendeng ini meski dia tidak
punya sangkut paut dengan Supit Jagal namun setiap
manusia-manusia jahat golongan hitam sudah semestinya
diberi ganjaran. Dibasmi dari permukaan bumi. Dengan
tugas itu di pundaknya keesokan paginya Pendekar 212
Wiro Sableng meninggalkan Danau Merak Biru.
***
DI keheningan malam itu hanya siliran angin yang
terdengar. Bahkan burung-burung hantu-pun yang biasa
memperdengarkan suaranya yang seram malam ini
membisu. Menjelang dinihari kesunyian yang dicengkam
oleh dinginnya udara mendadak sontak dirobek oleh suara
lolongan anjing. Lolongan itu terdengar berulang kali,
panjang dan menggidikkan. Mungkin anjing-anjing itu
melihat setan-setan gentayangan. Namun yang jelas tak
lama setelah suara lolongan binatang itu berhenti, dari
arah timur desa Pasirginting terdengar derap kaki kuda.
Tak lama kemudian dalam kegelapan kelihatanlah tiga
penunggang kuda memasuki desa. Ketiganya berpakaian
serba hitam pekat. Tampang mereka penuh cacat, amat
mengerikan. Jika ada orang yang kebetulan melihat
mereka pastilah menduga ketiga penunggang kuda itu
adalah setan-setan yang sedang keluyuran.
"Pasti ini rumahnya!" kata penunggang kuda paling
depan seraya menahan tali kekang kudanya. Dua kawan–
nya behenti di sampingnya. Rambut mereka rata-rata gon–
drong dan acak-acakan. Kumis serta cambang bawuk yang
liar menambah keseraman wajah yang penuh cacat itu!
Saat itu ketiganya berhenti di depan sebuah rumah
paling besar di seluruh desa Pasirginting. Lelaki yang tadi
bicara berpaling pada kawan-kawannya dan berkata, "Rah
Gludak, kau berjaga-jaga di pintu belakang. Dan kau Kunto,
naik ke atas atap. Awasi seluruh pekarangan. Kalau ada
yang datang hantam saja dengan senjata rahasia. Yang
penting kau harus mengawasi jangan sampai bangsat itu
melarikan diri!"
"Tak usah khawatir Parereg," jawab Kunto Handoko.
"Dia tak kan bisa lolos!"
Lor Parereg berkata lagi, "Aku akan masuk dari pintu
depan, bila kalian dengar aku sudah bicara dengan keparat
itu kalian baru bertindak masuk. Mengerti?"
Kunto Handoko dan Rah Gludak mengangguk. Dengan
gerakan laksana seekor burung dia melompat ke atap
rumah tanpa menimbulkan sedikit suara pun. Sedang Rah
Gludak bergerak ke pintu belakang dan Lor Parereg lang–
sung mendekati pintu depan. Pada saat itu di samping
rumah muncullah dua orang berbadan tinggi kekar yang
langsung melompat ke hadapan Lor Parereg. Ternyata
keduanya adalah penjaga rumah.
"Pencuri tengik berani mencari mati! Berani mencuri di
rumah kepala desa!" teriak salah seorang dari penjaga
rumah. Namun keduanya sesaat jadi tercekat ketika
melihat wajah manusia yang mereka sangka pencuri itu.
Benar manusia atau setankah orang ini?! Kalau manusia
mengapa wajahnya lebih seram daripada setan?
"Dengar sobat-sobatku," kata Lor Parereg tenang. "Aku
bukan pencuri. Aku justru datang untuk membawakan
hadiah untuk kalian! Ini, terimalah!"
Lor Parereg mengulurkan kedua tangannya dan, prak!
Kedua orang itu kontak menggeletak di tanah dengan
kepala masing-masing rengkah akibat diadu satu sama lain
oleh Lor Parereg.
Dengan sikap tenang, seperti barusan tidak terjadi apa-
apa Lor Parereg mendekati pintu. Mudah sekali, entah
bagaimana caranya pintu yang terkunci itu dibukanya
tanpa menimbulkan suara sedikitpun!
Ruangan depan rumah besar itu dilengkapi perabotan
yang mewah, tiga perangkat sekaligus. Lor Parereg masuk
lebih jauh ke dalam, melewati ruangan demi ruangan
hingga akhirnya sampai pada sederetan pintu yang
tertutup. Di hadapan sebuah pintu yang paling besar dan
penuh ukiran, yang dari bagian celah bawahnya menyeruak
sinar terang, Lor Parereg berhenti. Sesaat dia merapatkan
telinganya ke daun pintu. Di ruangan belakang pintu
didengarnya
suara
orang
bercakap-cakap
perlahan,
diseling suara tertawa kecil perempuan lalu suara tempat
tidur bergoyang-goyang.
Parereg memasang telinga lebih lama. Setelah yakin
bahwa suara lelaki di balik pintu adalah suara orang yang
dicarinya maka sekali tendang saja bobollah pintu itu dan
di lain kejap Lor Parereg sudah berada di dalam kamar
yang amat bagus, beralaskan permadani tebal berbunga-
bunga.
Dua sosok tubuh lelaki dan perempuan yang berte–
lanjang bulat yang tadi bergulung-gulung di atas tempat
tidur terlompat kaget!
Lor Parereg tertawa gelak-gelak. Dengan tangan kirinya
disibakkannya kelambu. Perempuan di atas tempat tidur
menjerit begitu melihat tampangnya yang mengerikan
sedang yang lelaki membeliak ketakutan.
"Ayo teruskan permainan kalian! Anggap saja aku tak
ada di kamar ini!" kata Parereg sambil masih tertawa.
"Kau... kau siapa?" tanya lelaki di atas tempat tidur.
Saking takut dan terkejutnya saat itu dia maupun yang perempuan sama-sama lupa akan keadaan tubuh masing-
masing yang tiada tertutup selembar benangpun!
Pada saat itu dari atas langit-langit kamar yang tiba-tiba
bobol melompat sesosok bayangan hitam sedang dari
pintu belakang mendobrak masuk orang ke tiga. Semuanya
berpakaian serba hitam dan memiliki wajah seperti setan,
penuh cacat bekas luka! Untuk kedua kalinya perempuan
di atas tempat tidur memekik ngeri sedang yang lelaki
sudah sepucat kain kafan wajahnya!
"Pemandangan yang hebat bukan, kawan-kawan?" kata
Lor Parereg pada Kunto Handoko dan Rah Gludak. Sesaat
mereka tegak menikmati tubuh putih mulus perempuan di
atas tempat tidur.
"Ka... kalian ini si... siapa?"
"Ha... ha... Tak disalahkan kalau kau tidak mengenali
kami lagi. Tampang kami telah berobah menjadi setan.
Mengerikan! Dan kau tahu manusia keparat, kaulah yang
menjadi penyebab mengapa kami jadi begini!"
"A... aku...?"
"Ya, kau!"
"Kau sekarang hidup senang Tunggul Bayana!" mem–
buka mulut Kunto Handoko. "Uang dan harta berlimpah.
Istri cantik dan peliharaan banyak! Alangkah hebatnya!"
"Namaku bukan Tunggul Bayana. Aku Ki Ageng Tunggul!
Kepala Desa Pasirginting!" kata lelaki di atas tempat tidur.
Lor Parereg, Kunto Handoko dan Rah Gludak saling
pandang. Lalu ketiganya tertawa gelak-gelak.
"Kau boleh berganti nama seribu kali sehari. Tapi kau
tetap adalah Tunggul Bayana! Manusia pengkhianat ter–
kutuk! Laknat haram jadah!" bentak Rah Gludak.
"Nama yang pantas bagimu adalah Ki Ageng Tunggul
Keparat!" kata Lor Parereg. Dan kembali ketiga orang itu
tertawa gelak-gelak.
Orang yang menjadi kepala desa Pasirginting dan
mengaku bernama Ki Ageng Tunggul itu merasakan
tengkuknya menjadi dingin. Sekujur tubuhnya basah oleh
keringat ketakutan. Dadanya bergetar keras. Benarkah
muka-muka yang cacat ini milik tiga orang yang pernah
dikenalnya? Benarkah muka-muka setan ini kepunyaan
manusia-manusia yang dulu pernah menjadi kawannya?
Muka Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko?!
"Kalau kalian mencari seorang bernama Tunggul
Bayana, kalian telah salah alamat!" kata kepala desa itu
yang sebenarnya memang adalah Tunggul Bayana.
Lor Parereg maju selangkah. "Manusia keparat! Muka–
ku dan muka kawan-kawan memang cacat. Tetapi mata
kami belum buta! Otak kami belum pikun!" Lalu Lor Parereg
menjambak rambut Tunggul Bayana alias Ki Ageng
Tunggul. "Lepaskan! Atau kupanggil pengawal!" teriak yang
dijambak.
"Kau ingin memanggil pengawal?" ujar Lor Parereg. Dia
berpaling pada Kunto Handoko. "Kawan, coba kau bawa
kedua pengawal itu!"
Kunto Handoko keluar dari kamar. Sesaat kemudian dia
masuk lagi membawa dua orang pengawal yang sudah jadi
mayat dengan kepala rengkah. Makin pucatlah wajah
Tunggul Bayana. Istri di sebelahnya menjerit dan pingsan
sewaktu Kunto Handoko meletakkan dua sosok mayat itu
di atas tempat tidur.
"Nah, itu pengawal-pengawalmu. Silahkan minta tolong
pada mereka," kata Lor Parereg dengan seringai setan.
Sedang
jambakannya
semakin
diperkeras,
"Tunggul
Bayana, kami tidak punya waktu lama. Katakan di mana
kau simpan uang emas dan harta itu?!"
"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan ini. Aku
tidak kenal kau dan juga dua kawanmu ini!" kata Ki Ageng
Tunggul.
"Ohh, begitu?" ujar Parereg. "Jadi kau pura-pura tidak
kenal kami. Pura-pura tidak tahu apa yang aku bicarakan!
Nah kau makan dulu jariku ini!"
Habis berkata begitu Lor Parereg menusukkan jari
telunjuk tangan kirinya ke paha kanan Ki Ageng Tunggul
hingga paha itu berlobang dan mengucurkan darah. Ki
Ageng Tunggul merintih kesakitan sambil tekap pahanya.
"Lobang-lobang seperti itu akan kubuat di seluruh tubuh
dan mukamu, Bayana! Hingga wajahmu jauh lebih
menyeramkan dari wajah kami!"
Tiba-tiba Ki Ageng Tunggul Bayana meraung dan
mencengkeram ke arah selangkangan Lor Parereg.
"Benar-benar manusia keparat!" maki Lor Parereg.
Disentakkannya kepala Ki Ageng Tunggul Bayana hingga
tubuh kepala desa ini terjelapak di lantai. Ketika Bayana
hendak bangkit berdiri secepat kilat Lor Parereg menginjak
leher orang itu hingga Tunggul Bayana merasakan sakit
yang bukan kepalang. Nafasnya seperti tertahan. Dadanya
sesak. Lidahnya menjulur.
"Tobat! Ampun! Ampuni selembar nyawaku ini Parereg!"
"Ah... akhirnya kau mengenaliku juga!" kata Lor Parereg.
"Minta tobat dan minta ampun. Jangan khawatir sobat.
Kami akan ampuni kau. Tapi katakan dulu di mana kau
sembunyikan uang emas dan harta itu!"
"Akan kukatakan Parereg. Akan kukatakan. Tapi beri–
kan waktu tiga hari padaku!"
"Waktu tiga hari buat apa?!" tanya Lor Parereg.
"Untuk menipu dan mengkhianati kita lagi tentunya!"
kata Kunto Handoko.
"Aku bersumpah kawan-kawan! Demi persahabatan kita
di masa lampau, aku tidak akan mengkhianati kalian untuk
kedua kali! Beri aku waktu tiga hari. Hanya itu yang aku
minta..."
"Baik, akan kuberikan waktu tiga hari," kata Lor
Parereg.
"Jangan tolol Parereg!" seru Rah Gludak.
Lor Parereg mengedipkan matanya. "Dia tak bakal lari,
kawan. Sekalipun dia lari sampai ke perut bumi kita akan
mengejarnya. Tiga hari tidak lama. Di samping itu kita bisa
melepaskan lelah sambil bersenang-senang dengan istri
dan perempuan-perempuan peliharannya. Bukan begitu
Tunggul Bayana?"
"Terserah apapun yang akan kau lakukan. Asal kau mau
mengampuni aku dan memberikan waktu tiga hari..."
Lor Parereg tertawa. Perlahan-lahan kakinya diangkat
dari batang leher Ki Ageng Tunggul.
BAB 14
TELUK Burung diselimuti kabut tebal. Hujan rintik-rintik
turun sejak pagi. Dalam udara yang buruk itu seorang
penunggang kuda berbaju biru bergerak di antara
puing-puing batu. Mukanya pucat, matanya merah dn
sekujur tubuhnya terasa letih. Sesekali kaki-kaki kuda
tunggangannya terpeleset di batu licin. Namun dengan
segala kekuatannya dan harapan untuk hidup orang ini
terus membawa kudanya ke jurusan timur hingga akhirnya
dia sampai di sebuah lamping bukit batu yang merupakan
sebuah tembok panjang, membelintang dari timur ke
selatan. Di salah satu bagian lamping batu tersebut, orang
ini menghentikan kudanya dan memandang berkeliling.
Hujan rintik-rintik telah berhenti. Tetapi kabut masih
kelihatan di mana-mana menutupi pemandangan. Dia
menunggu beberapa lama. Matahari muncul dan kabut
mulai lenyap. Dia memandang berkeliling sekali lagi. Apa
yang dicarinya kelihatan di kejauhan. Tepat di pertengahan
lamping batu sebelah bawah kelihatan sebuah lobang
besar. Dengan hati-hati orang ini membawa kudanya
menuruni lereng batu itu, kemudian bergerak sepanjang
tepi pasir menuju ke lobang batu yang tadi dilihatnya dari
atas.
Cuaca sementara itu telah berangsur cerah. Tepat di
depan goa orang tadi hentikan kudanya dan melompat
turun. Dengan memanggul sebuah kantong kulit dia
melangkah menuju mulut goa. Lima langkah dia akan
sampai ke mulut goa sekonyong-konyong dari dalam
menggelegar bentakan. "Siapa yang berani datang ke
tempatku tanpa diundang?!"
Sesaat orang itu terkesima. Setelah habis kagetnya maka diapun menjawab. "Aku Ki Ageng Tunggul kepala
desa Pasirginting ingin bertemu dengan orang tua sakti
bernama Supit Jagal."
"Katakan apa keperluanmu!" orang dalam goa berkata.
Ki Ageng Tunggul alias Tunggul Bayana menjawab, "Aku
datang untuk mohon diambil jadi murid!"
"Bah?! Maksud sintingmu membuat aku ingin melihat
tampangmu. Masuk cepat!"
Ki Ageng Tunggul masuk. Ternyata goa batu itu di
bagian dalam tidak seberapa besar. Udara di sini terasa
dingin karena ada tiupan angin dari laut. Di tengah ruangan
duduk seorang kakek berpakaian putih kotor penuh
tambalan. Rambutnya keriting macam bulu domba. Pada
pipinya sebelah kanan terdapat cacat bekas luka yang
amat besar. Daun telinganya sebelah kanan sumplung
sedang sepasang matanya sipit sekali hampir seperti
terpejam.
"Duduk!" orang tua ini memerintah.
Ki Ageng Tunggul duduk. Kantong kulit diletakkan di
sampingnya.
Setelah meneliti tamu di hadapannya kakek bernama
Supit Jagal ini berkata, "Sudah tua bangka sepertimu ini
minta diambil jadi murid. Tentunya kau sinting! Paling tidak
edan!"
"Soalnya
terpaksa,"
jawab
Ki
Ageng
Tunggul.
"Sebelumnya aku telah memiliki dasar ilmu silat sejurus
dua jurus."
"Kau terpaksa minta jadi murid? Coba kau terangkan
manusia sedeng!"
"Tiga orang jahat mengancam hendak membunuhku.
Mereka berilmu tinggi."
"Untuk menghadapi mereka kau lalu minta ilmu
padaku! Begitu!"
"Betul!"
"Kenapa tiga manusia itu hendak membunuhmu?!"
"Dulu mereka adalah kawan-kawanku. Kemudian
kukhianati!" Ki Ageng Tunggul lalu menceritakan peristwa
di masa lampau itu. "Entah bagaimana mereka bisa lolos
dari penjara istana. Kini mereka jauh lebih tinggi ilmu silat
serta kesaktiannya dari dulu-dulu." Lelaki ini diam sebentar
lalu menyambung. "Atas kesediaanmu mengambilku jadi
murid, aku akan memberi imbalan yang cukup." Ki Ageng
Tunggul lalu meletakkan kantong besar itu di hadapan
Supit Jagal. Supit Jagal membuka kantong dan tampaklah
uang emas di dalamnya. Sepasang mata Supit Jagal
semakin menyipit.
"Aku tak mungkin mengambilmu jadi murid!" tiba-tiba
Supit Jagal berkata yang membuat paras Ki Ageng Tunggul
jadi berubah.
"Kenapa? Apakah pemberianku masih kurang?!"
"Bukan. Tapi karena aku yakin kau tak bakal sanggup
menjalankan syarat yang akan kutetapkan."
"Syarat apapun akan kupatuhi!" jawab Ki Ageng
Tunggul.
"Kepala desa, begini saja. Kau atur agar ketiga
musuhmu itu datang kemari. Urusan selanjutnya biar aku
yang membereskan!"
"Begitupun aku setuju," jawab Ki Ageng Tunggul. "Yang
penting mereka dapat dibunuh!"
"Tapi syarat yang telah kutetapkan harus kau jalankan."
"Akan kulaksanakan orang tua. Katakanlah."
"Kau harus bersumpah dulu bahwa kau betul-betul
akan melaksanakannya!"
"Demi Tuhan aku akan melaksanakan!"
"Bukan demi Tuhan tolol! Tapi Demi Supit Jagal!"
"Ya... ya. Demi Supit Jagal aku bersumpah!" kata Ki
Ageng Tunggul alias Tunggul Bayana yang sekarang sudah
jadi kepala desa itu.
"Bagus. Sekarang kau telan dulu benda ini!" Supit Jagal
melemparkan sebuah benda hitam ke pangkuan Ki Ageng
Tunggul.
"Benda apa ini?" tanya Ki Ageng Tunggul.
"Telan saja! Jangan banyak tanya!"
Tunggul Bayana menelannya. Supit Jagal tertawa
panjang. "Yang kau telan itu adalah racun penghancur
usus!"
Pucatlah paras Ki Ageng Tunggul.
"Racun ini akan bekerja setelah dua hari. Jika kau
melaksanakan syarat yang kutetapkan kau boleh kembali
ke sini membawa ketiga manusia itu. Aku akan memberi
obat penawar racun itu. Tapi kalau kau bersumpah palsu
dan ingkar, kau akan mampus dengan usus berantakan!"
Supit Jagal kembali tertawa.
Tunggul Bayana merasakan sekujur tubuhnya menjadi
dingin.
"Sekarang mengenai syarat itu," kata Supit Jagal pula.
"Tepat tengah malam besok yaitu Kamis malam Jum’at
Kliwon kau harus menggorok leher seorang bayi dan
memandikan darahnya di kepala serta tubuhmu! Itu harus
kau lakukan di bukit batu ini kira-kira seratus langkah di
belakang lamping batu!
Kedua mata Tunggul Bayana membeliak laksana
hendak copot dari rongganya ketika mendengar kata-kata
Supit Jagal itu. Bulu romanya berdiri.
Supit Jagal menyeringai. "Kalau tidak kau laksanakan,
jangan harap umurmu akan lebih panjang dari dua hari!"
"Syarat itu, apakah bisa diganti dengan syarat lain?
Tobat! Aku tak dapat melaksanakannya!"
"Kalau begitu angkat kaki saja dari sini!"
Ki Ageng Tunggul jadi bingung dan takut. Syarat yang
harus dilakukannya sungguh sangat mengerikan. Tak
sanggup dia menjalankan. Tapi kalau dia menolak, racun
yang
mengindap
dalam
perutnya
akan
merenggut
nyawanya! Tak ada hal lain yang menjadi pilihan kecuali
melakukan apa yang disyaratkan Supit Jagal!
Demikianlah, seperti telah dituturkan di permulaan
cerita, Ki Ageng Tunggul telah berhasil menculik seorang
bayi. Dia membawa bayi itu ke puncak bukit batu, menebas
lehernya lalu memandikan kepala dan tubuhnya dengan
darah sang bayi!
BAB 15
KEEMPAT penunggang kuda itu berhenti di ujung
lamping bukit batu Teluk Burung. Angin laut bertiup
keras. Di antara deru angin yang keras itu, orang
yang berada paling depan bertanya, "Mana goanya?!"
"Di bawah sana Parereg. Kita harus turun lewat lereng
di ujung sana."
"Aku mendapat firasat si Tunggul Keparat ini menipu
kita," kata Rah Gludak.
"Kalau nanti terbukti begitu, tak akan susah memisah
tubuhnya dengan kepala," sahut Lor Parereg.
Ki Ageng Tunggul menunggangi kudanya di sebelah
depan. Di ujung lereng batu dia menurun diikuti Lor
Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko. Keempatnya kini
menyusuri pasir pantai.
"Inilah goanya." Kata Ki Ageng Tunggul begitu sampai di
goa tujuan. "Peti-peti itu kutumpuk di dalam." Habis
berkata begitu dia hendak turun dari kudanya. Tapi Lor
Parereg mencegah.
"Tetap di tempatmu, Tunggul!" Dia melangkah men–
dekati Ki Ageng Tunggul lalu menotok punggungnya,
membuat Ki Ageng Tunggul kini laksana patung tak bisa
bergerak di atas punggung kudanya.
"Kalian berdua masuk dan periksa goa. Aku menunggu
di sini!" kata Lor Parereg.
Sret!
Kunto Handoko cabut pedangnya, meletakkan bagian
yang tajam dari senjata ini di leher Ki Ageng Tunggul dan
berpaling pada Lor Parereg.
"Parereg! Kita sudah tahu tempat peti-peti itu
disembunyikan. Bagaimana kalau detik ini kupisahkan saja
nyawanya dari badan?!"
"Nyawa anjingnya soal mudah Kunto! Yang penting kau
bersama Gludak harua memeriksa dulu apa betul peti-peti
itu ada di dalam goa!"
"Percayalah! Aku tidak menipu kalian!" kata Ki Ageng
Tunggul dengan tengkuk dingin. Kalau Kunto Handoko
menabas batang lehernya detik itu juga habislah ceritanya.
"Silahkan kalian bertiga masuk dan memeriksa!" Diam-
diam hatinya tidak enak karena sampai saat itu Supit Jagal
belum juga muncul.
"Kita akan lihat Tunggul Keparat, kita akan lihat!" kata
Lor Parereg. Dia memberi isyarat pada dua kawannya.
Kunto Handoko dan Rah Gludak melompat turun dari
kuda masing-masing dan melangkah mendekati goa. Tiba-
tiba baru saja mereka sampai di mulut goa, dari dalam
menderu selarik angin yang amat deras dan panas!
Keduanya berseru kaget dan secepat kilat melompat ke
samping selamatkan diri. Sambaran angin menyapu lewat
dan melabrak kuda yang ditunggangi Lor Parereg. Binatang
ini meringkik keras lalu roboh ke tanah dengan kepala
hangus! Setelah melejang-lejang seketika akhirnya mati tak
berkutik lagi! Lor Parereg membeliak. Mukanya pucat!
Hampir saja dia jadi korban ditambus angin panas. Dia
hendak bergerak melompati Ki Ageng Tunggul, namun saat
itu dari dalam goa dilihatnya seorang kakek bermuka iblis
dan berpakaian penuh tambalan muncul dan memandang
beringas dengan matanya yang sipit ke arah Lor Parereg
dan kawan-kawan.
"Kepala desa, apakah ini tiga manusia yang menurutmu
tak layak hidup lebih lama di dunia ini?!" tanya Supit Jagal.
"Betul!" sahut Ki Ageng Tunggul. "Bunuh mereka. Aku
akan memberi sekantong uang emas lagi untukmu!"
Supit Jagal menyeringai.
"Hemm... tampang-tampang mereka memang serupa
iblis penjaga neraka. Jadi memang pantas kalau dikirim ke
neraka!" Dengan tangan terpentang Supit Jagal melangkah
ke hadapan Lor Parereg dan kawan-kawannya.
"Parereg! Apa kataku! Bangsat keparat ini telah menipu
kita!" seru Kunto Handoko marah dan secepat kilat mengi–
rimkan satu jotosan ke perut Ki Ageng Tunggul yang masih
duduk di atas punggung kuda tanpa mampu bergerak.
Namun sebelum jotosan itu sampai, selarik angin menderu
dari samping. Terpaksa Kunto Handoko melompat mundur!
"Tua bangka sialan! Kau rupanya sudah bosan hidup!"
bentak Lor Parereg. Tangan kanannya dihantamkan ke
depan. Sementara dari belakang Kunto Handoko dengan
bernafsu lepaskan selusin paku hitam beracun. Rah
Gludak juga tidak tinggal diam. Pedangnya berkelebat ke
batok kepala Supit Jagal. Diserang hebat begitu rupa Supit
Jagal ganda tertawa. Didahului dengan satu bentakan
keras dia mengangkat kedua tangannya ke atas Lor
Parereg. Rah Gludak dan Kunto Handoko melihat sinar
hitam bergulung-gulung dan menyambar laksana petir ke
arah mereka. Serta merta ketiga orang ini berserabutan
selamatkan diri. Namun mereka tak punya kesempatan
lagi. Serangan sinar hitam begitu luar biasa cepatnya.
Ketiganya menjerit keras karena sadar bahwa mereka tak
akan lolos dari kematian!
Namun di saat yang kritis itu tiba-tiba menggeledek
satu bentakan, "Supit Jagal! Apa kau sudah gila hendak
membunuh murid-muridku?!"
Satu angin aneh menyambar dan tahu-tahu buyarlah
sambaran sinar hitam yang tadi dilepaskan Supit Jagal!
Supit Jagal terkejut bukan main. Suara itu sangat
dikenalnya. Dia berpaling. Satu bayangan hitam berkelebat
turun dari tebing batu.
"Supit Ireng! Apa-apaan kau?" seru Supit Jagal.
"Kowe yang apa-apaan!" balas Supit Ireng. "Ketiga orang
ini adalah muridku. Dan kowe hendak membunuh mereka!"
"Bah!" Supit Jagal delikkan mata. "Muridmu... Jadi?!" Dia
berpaling pada Ki Ageng Tunggul yang saat itu sudah pucat
pasi mukanya.
"Kalau begitu bangsat ini hendak mengadu domba kita!
Keparat kurang ajar!" Sekali melompat saja Supit Jagal
sudah jambak rambut Ki Ageng Tunggul dan menyeretnya
dari punggung kuda.
"Demi Tuhan, ampuni selembar nyawaku!" lirih Ki Ageng
Tunggul. "Semua harta dan uang emas itu akan
kuserahkan pada kalian! Ampuni diriku!"
"Lepaskan totokannya Supit Jagal," kata Supit Ireng.
Supit Jagal lepaskan totokan di tubuh Ki Ageng Tunggul.
Lor Parereg melangkah mendekati laki-laki ini bersama-
sama Supit Ireng.
"Dengar Tunggul Bayana," kata Lor Parereg. "Nyawamu
akan kami ampuni jika kau benar-benar mau menerangkan
di mana peti-peti itu berada."
"Terima kasih... terima kasih..."
"Lekas terangkan!" hardik Parereg.
"Peti-peti itu... peti-peti itu kutanam di belakang
rumahku di desa Pasirginting," menerangkan Ki Ageng
Tunggul. Kali ini dia tidak berdusta.
"Kau tidak bohong?!"
"Demi Tuhan aku tidak bohong!"
"Bagus! Nyawamu diampuni. Kau bebas sekarang untuk
pergi. Pergi ke neraka!" Lalu dengan kaki kanannya Lor
Parereg menendang perut Ki Ageng Tunggul hingga orang
ini mencelat dan terguling di tanah.
Belum lagi dia sempat bangun tendangan Kunto Han–
doko mendarat di kepalanya. Kembali Ki Ageng Tunggul
terlempar. Hidungnya yang kena tendang mengucurkan
darah. Dia mengeluh panjang. Rah Gludak menambah satu
tendangan lagi di dadanya membuat tulang-tulang iganya
patah.
"Demi Tuhan ampuni jiwaku!" teriak Ki Ageng Tunggul.
Dia merangkak ke arah Supit Jagal. "Tolong... tolong aku,"
pintanya.
Supit Jagal tegak bertolak pinggang. Dia tertawa
mengekeh. "Ini hadiah dariku!" Lalu tendangannya meng–
hajar lambung Ki Ageng Tunggul.
Begitulah Ki Ageng Tunggul ditendang kian kemari
hingga babak belur. Mukanya berlumuran darah. Tulang-tulangnya berpatahan. Dia meraung tiada henti. Kemudian
raungannya hanya tinggal erangan dan akhirnya dia
terkapar tak berkutik lagi. Mati!
Supit Jagal menarik nafas panjang. Dia memandang
pada saudaranya. "Supit Ireng! Kalau kau tidak cepat
muncul niscaya ketiga muridmu sudah konyol di tanganku!"
Supit Ireng hanya bisa tertawa pendek. Tapi tawanya ini
mendadak lenyap berganti seruan. "Lihat!"
Semua orang berpaling. Saat itu sepanjang lereng batu,
ujung timur dan ujung barat telah dikurung oleh lebih dari
seratus prajurit berkuda bersenjata lengkap.
"Mau apa kunyuk-kunyuk kerajaan itu!" kata Supit Jagal
sementara Lor Parereg dan kawan-kawannya juga meman–
dang gelisah.
Baru saja Supit Jagal mengeluarkan ucapan itu dari
lamping batu sebelah kiri terdengar seruan, "Lima orang
yang berada di tepi pantai menyerahlah!"
"Itu suara si keparat Brajaseta!" kata Lor Parereg.
"Brajaseta! Kalau kau datang untuk mengantar nyawa
silahkan turun kemari!" teriak Supit Ireng. Matanya yang
hanya satu itu seperti menyala karena ingat manusia itulah
yang telah menyiksa ketiga muridnya. Bukan sampai di situ
saja. Habis membentak Supit Ireng lalu hantamkan
tangannya ke arah lereng batu. Satu larik sinar hitam
menggebu. Terdengar suara menggelegar. Lamping batu
hancur berantakan. Tiga prajurit jatuh bersama kuda-kuda
tunggangan mereka sedang Brajaseta sempat selamatkan
diri dengan melompat ke bawah seraya berteriak memberi
komando untuk menyerbu.
Dari lamping batu sebelah kiri melesat satu sosok
tubuh seraya mengebutkan sebuah benda berbentuk sete–
ngah lingkaran. Ternyata manusia ini adalah Si Kipas Besi.
Deru angin yang keluar dari kipas saktinya itu membuat
pasir pantai beterbangan dan untuk beberapa ketika
menutup pemandangan.
Sewaktu udara terang kembali maka kelihatanlah
bahwa seratus lebih prajurit itu telah bergerak mempersempit kurungan. Di depan prajurit-prajurit itu berjejer
limabelas perwira tinggi. Di sebelah depan sekali tegak
Brajaseta dan Si Kipas Besi.
Dikurung seketat itu Supit Jagal dan Supit Ireng tidak
merasa khawatir. Malah Supit Jagal masih bisa tertawa-
tawa.
"Kalian sudah terkurung! Tak mungkin bisa lari.
Menyerahlah!" memperingatkan Brajaseta.
"Lari? Menyerah?!" ujar Supit Jagal. Lalu dia tertawa
gelak-gelak.
"Brajaseta!" Supit Ireng angkat bicara. "Apa yang telah
kau perbuat terhadap murid-muridku hari ini kutagih
berikut bunganya! Dan kau juga Kipas Besi, jangan harap
ampunan dariku!" Supit Ireng masih ingat sewaktu terjadi
pertempuran di halaman istana. Habis berkata begitu dia
langsung menyerbu. Kakak serta ketiga muridnya tidak
tinggal diam. Maka pertempuran hebat tidak dapat lagi
dihindarkan.
Dalam jumlah memang pihak Brajaseta lebih banyak.
Namun Supit Jagal serta Supit Ireng bukan manusia-
manusia yang mudah dirobohkan dengan mengandalkan
pengeroyokan. Di samping itu Lor Parereg, Rah Gludak dan
Kunto Handoko telah pula mendapat tambahan ilmu dari
guru mereka!
Sekelompok demi sekelompok prajurit-prajurit Demak
menemui ajal dihantam pukulan-pukulan sakti yang dile–
paskan Supit Jagal serta adiknya. Satu demi satu perwira
tinggi meregang nyawa. Brajaseta menjadi tergetar hatinya.
Tidak diduganya dua manusia golongan hitam itu demikian
tinggi ilmunya. Kepala Pasukan Demak ini malah makin
tercekat ketika dilihatnya Supit Jagal berhasil merampas
kipas sakti di tangan Si Kipas Besi, lalu dengan senjatanya
sendiri Si Kipas Besi digebuk kepalanya hingga hancur!
Brajaseta sadar bahwa keadaannya juga tak bakal
bertahan lama ketika bahu kirinya luka disambar ujung
pedang Lor Parereg.
"Celaka!" keluh Kepala Pasukan Demak ini. Dia me–mandang berkeliling. Kecil harapan untuk menyelamatkan
diri. Dengan kertakkan rahang dia putar pedangnya lak–
sana titiran. Tiba-tiba Brajaseta merasakan ada sambaran
angin serangan datang dari arah kiri. Cepat dia lepaskan
pukulan tangan kosong. Tapi betapa terkejutnya ketika
sambaran angin itu lenyap tahu-tahu pedang di tangan
kanannya dibetot lepas! Di sampingnya tertawa bergelak
Supit Ireng!
"Kini hutang berikut bunganya harus kau bayar
Brajaseta!" kata Supit Ireng seraya bolang-balingkan
pedang milik Kepala Pasukan Demak itu.
"Guru, biar aku yang membereskan bangsat itu!"
terdengar seruan Lor Parereg.
"Tentu. Jangan khawatir. Kau dan dua kawanmu bakal
dapat bagian paling banyak. Beri aku kesempatan hanya
untuk mencungkil mata kirinya! Biar tampangnya mirip-
mirip aku!" Supit Ireng lalu tusukkan ujung pedang ke mata
kiri Brajaseta!
Pada saat itulah tiba-tiba terjadi hal yang luar biasa.
Seolah-olah datang dari laut terdengar suara menderu
aneh. Teluk Burung laksana dilanda topan. Pasir pantai
menggebubu beterbangan membuat udara menjadi gelap.
Ombak yang senantiasa bergulung dan memecah di pasir
saat itu seperti terbendung oleh deru dahsyat tadi. Prajurit-
prajurit bergelimpangan. Beberapa perwira tinggi ter–
huyung-huyung lalu jatuh duduk di tanah!
Semua orang terkejut bukan main. Apakah dunia akan
kiamat? Dalam gelapnya udara itu tiba-tiba kelihatan sinar
putih menyilaukan berputar-putar. Gerakan Supit Ireng
yang tadi hendak mencungkil mata kiri Brajaseta kini jadi
tertahan dan di lain kejap terdengar suara berkerontang.
Pedang di tangan manusia tinggi bermuka hitam ini ter–
lepas mental dan patah tiga!
Seorang pemuda berambut gondrong mengenakan baju
tak berkancing berdiri di tengah-tengah kalangan pertem–
puran. Di dadanya ada tulisan 212. Tangan kanan bertolak
pinggang sedang tangan kiri memegang sebilah kapak
besar bermata dua yang bertuliskan 212.
Supit Ireng, Supit Jagal dan Lor Parereg serta dua
kawannya tidak mengenal siapa adanya pemuda ini.
Sebaliknya Brajaseta jadi terkesiap ketika mengenali
pemuda itu bukan lain orang yang menyebabkan lolosnya
Malaikat Tak Bernama, Jakawulung dan Ning Larasati.
Terus terang terhadap pemuda ini Brajaseta menaruh
dendam kesumat. Tetapi hari itu justru dia muncul dan
menyelamatkan dirinya. Siapakah pemuda ini sebenarnya?
"Yang mana di antara kalian bernama Supit Jagal?!"
Pendekar 212 Wiro Sableng bertanya sambil menatap
Supit Ireng dan Supit Jagal berganti-ganti.
"Budak sontoloyo! Ada apakah kau mencari majikanmu
ini?!" menyahuti Supit Jagal.
Sesaat Wiro menatap orang itu. Jadi inilah manusianya
yang bernama Supit Jagal, katanya dalam hati. Dia lalu
tertawa gelak-gelak, "Supit Jagal, ketahuilah. Aku datang
mewakili Empu Pamenang dari Danau Merak Biru yang tiga
orang muridnya telah kau bunuh secara biadab!"
"Begitu...?" Kini Supit Jagal yang tertawa meledak.
"Pemuda tolol. Hadiah apa yang diberikan kakek keropos
itu hingga kau mau mewakilinya? Apakah dia tidak punya
nyali untuk datang sendiri?!"
"Ah, orang tua itu terlalu sibuk. Karenanya dia meng–
utus manusia kroco macamku ini untuk membereskanmu!"
"Keparat busuk! Kau duduklah tenang-tenang di batu
sana. Biar kuselesaikan dulu urusan dengan kecoak-
kecoak kerajaan ini!"
Sementara itu selagi semua perhatian tertuju pada Wiro
Sableng dan Supit Jagal kesempatan ini dipergunakan oleh
Lor Parereg untuk mendekati Brajaseta dari belakang dan
menusuk punggungnya dengan pedang hingga tembus ke
dada. Kepala Pasukan Demak ini roboh tak bernyawa lagi!
Meskipun sebenarnya tidak senang terhadap Brajaseta,
tapi melihat Kepala Pasukan Demak ini di bunuh secara
pengecut, Wiro Sableng menjadi geram dan memutar
kapaknya ke arah batok kepala Lor Parereg. Namun dua pukulan tangan kosong yang hebat menerpanya dari kiri
kanan. Ternyata Supit Jagal dan Supit Ireng telah menye–
rangnya secara bersamaan!
BAB 16
PENDEKAR 212 bersuit nyaring. Kapaknya berputar
membabat ke arah kedua lawan tangguh itu. Di lain
saat pengeroyoknya jadi berjumlah lima orang karena
Lor Parereg, Kunto Handoko dan Rah Gludak telah turun
pula ke kalangan pertempuran.
Sementara itu sisa-sisa prajurit dan perwira kerajaan
yang masih hidup sudah tak punya hasrat lagi untuk
meneruskan pertempuran. Yang mereka lakukan saat itu
ialah lekas-lekas menyingkir dan menyelamatkan jenazah
Brajaseta serta Si Kipas Besi.
Di saat yang sama di atas lereng batu kelihatan tiga
orang berdiri menyaksikan pertempuran di tepi pantai
Teluk Burung itu.
"Empu, saya rasa sudah saatnya kita turun tangan
membantu Wiro."
Empu Pamenang menggeleng-gelengkan kepalanya
mendengar ucapan Jakawulung itu. "Tak usah khawatir
Jaka. Pemuda itu bukan manusia sembarangan. Jika
Kapak Naga Geni 212 berada di tangannya lawan macam
apapun yang ada di hadapannya pasti dimusnahkannya!"
"Tapi satu lawan lima benar-benar perkelahian yang
tidak adil! Dan lima manusia itu adalah orang-orang jahat,"
kata Ning Larasati.
Ketiga orang itu berada di situ karena ingin menyak–
sikan pertempuran yang hebat itu. Empu Pamenang ingin
melihat sendiri kematian musuh besarnya si Supit Jagal.
Sedang Jakawulung dan Larasati berhasrat membantu
Wiro. Karena itulah tak lama setelah Wiro pergi ketiganya
segera menyusul.
"Kau betul Larasati, kau betul. Itu perkelahian yang
tidak adil. Tapi bagi Wiro sendiri itu bukan soal. Dan aku,
jika saja tidak ada pantangan membunuh pasti sudah
turun tangan sejak tadi," kata Empu Pamenang pula.
"Aku tetap akan membantunya Empu!" kata Jaka–
wulung. Dia hendak melompat dari lereng batu. Tapi Empu
Pamenang memegang bahunya.
"Lihat Jaka... lihat apa yang terjadi di bawah sana!" kata
Empu Pamenang seraya menunjuk ke bawah, ke arah
pantai.
Jaka melihat ke bawah. Pada saat itu tampak dua dari
lima pengeroyok roboh bermuncratan darah kena hanta–
man Kapak Naga Geni 212 di tangan Wiro Sableng! Dua
korban pertama ini adalah Rah Gludak dan Kunto Han–
doko!
Dua jurus kemudian menyusul korban ke tiga yaitu si
tinggi hitam Supit Ireng. Lehernya hampir putus disambar
mata kapak yang tajam. Supit Jagal meraung melihat
kematian adiknya. Tangannya kiri kanan tiada henti
melepaskan pukulan-pukulan sakti. Namun jurus demi
jurus dia mulai terdesak.
Lor Parereg menggempur dengan nyali setengah
meleleh. Akibatnya bahu kirinya kena di makan senjata
lawan hingga buntung. Manusia ini melolong kesakitan dan
lari meninggalkan kalangan pertempuran dengan ter–
huyung-huyung. Wiro tidak perdulikan lawan yang lari.
Musuh besar yang harus dibunuhnya adalah Supit Jagal,
sebagaimana tugas yang telah diterimanya dari Empu
Pamenang.
Ketika melihat Lor Parereg melarikan diri, Ning Larasati
yang memang mendendam setengah mati, tiba-tiba men–
cabut pedang di pinggang Jakawulung. Dengan senjata ini
di tangan dia mengejar Lor Parereg.
"Manusia dajal! Kau mau kabur ke mana?!" sentak
Larasati.
Lor Parereg hentikan larinya. Nafasnya megap-megap.
Pemandangannya berkunang-kunang. "Kau... kau...," hanya itu yang bisa diucapkannya ketika dia melihat dan menge–
nal Larasati.
"Ya, aku. Aku Larasati datang untuk membalas sakit
hati!" Lalu puteri Sultan itu tusukkan pedangnya ke perut
Lor Parerag tanpa Lor Parereg mampu untuk mengelak
ataupun menangkis. Dia seperti sudah pasrah ditambus
senjata itu. Larasati sendiri menjerit ngeri ketika menyak–
sikan apa yang dilakukannya. Seumur hidup baru kali itu
dia membunuh manusia. Dia terus-menerus menjerit
sampai Empu Pamenang dan Jakawulung datang untuk
menenteramkannya.
Dalam keadaan sangat terdesak tiba-tiba Supit Jagal
berkata, "Orang muda! Antara kita tidak ada silang seng–
keta. Mengapa kau inginkan jiwaku?!"
"Aku hanya menjalankan tugas Supit Jagal. Lagi pula
kupikir manusia jahat macammu ini tak layak... Akh...!"
Wiro tak teruskan ucapannya karena saat itu dilihatnya
lawan melepaskan satu pukulan sakti yang mengeluarkan
hawa panas luar biasa! Sambil melompat ke samping dia
sapukan Kapak Naga Geni 212. Serangan lawan langsung
buyar. Tetapi ketika memandang ke depan dilihatnya Supit
Jagal melarikan diri ke arah lereng bukit batu. Sewaktu
Wiro hendak mengejar kembali, Supit Jagal lepaskan
pukulan tangan kosong dua kali berturut-turut!
"Sialan! Bangsat ini benar-benar licik!" maki Wiro. Dia
kerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sambil berseru
nyaring kelihatan tubuhnya melesat ke udara dan Supit
Jagal menjadi kaget ketika didapatinya tahu-tahu pemuda
itu sudah tegak di atas lereng batu menghadangnya!
Supit Jagal membelok ke kiri sambil lepaskan lagi
pukulan sakti. Wiro kembali melompat. Sekali ini dia
langsung menyerbu ke arah lawan sambil melepaskan satu
tendangan. Nekad Supit Jagal coba menangkap kaki kanan
Wiro. Tapi tenaga tendangan itu tidak mampu ditahannya.
Akibatnya tubuhnya mencelat ke bawah bukit batu, tangan
kirinya patah di bagian pergelangan.
Malang bagi Supit Jagal. Jatuhnya tepat di depan Empu
Pamenang. Orang tua ini langsung hadiahkan satu
tendangan ke punggung Supit Jagal hingga tulang
punggungnya remuk dan dia meraung kesakitan.
"Sayang aku mempunyai Pantangan membunuh!" kata
Empu Pamenang menyesali diri.
Sambil terhuyung-huyung Supit Jagal mencoba bangkit.
Saat itu Wiro Sableng sudah tegak di hadapannya. Supit
Jagal menggembor keras. Tangan kanannya menghantam
ke arah selangkangan Pendekar 212. Tapi serangannya
hanya mengenai tempat kosong. Dia merasakan rambut–
nya dijambak, lalu tubuhnya terangkat dan berputar-putar
di udara. Pekiknya terdengar tiada henti. Kepalanya serasa
tanggal.
Tiba-tiba Wiro lepaskan cengkeramannya. Tubuh Supit
Jagal melayang dan byur dia masuk ke dalam air laut.
Sesaat tampak kedua tangannya menggapai-gapai ke atas,
lalu lenyap bersamaan dengan lenyapnya tubuhnya di telan
gelombang!
Empu Pamenang memejamkan kedua matanya. Dari
mulutnya terdengar suara lirih. "Murid-muridku, manusia
jahat yang telah membunuh kalian telah menemui
kematiannya. Kuharap kini kalian bisa tenteram di alam
baka." Kakek ini kemudian melangkah mendekati Wiro
Sableng.
"Orang muda, terimalah ucapan terima kasihku... Kau
benar-benar hebat!"
"Empu Pamenang, kau keliwat memuji. Tugasku sudah
selesai. Aku mohon diri..." Wiro membungkuk hormat lalu
sekali berkelebat diapun lenyap. Empu Pamenang menarik
nafas panjang. Ning Larasati mendekati seorang perwira
tinggi dan berkata, "Kembalilah ke Kotaraja. Katakan pada
ayahanda bahwa aku telah diambil murid oleh Empu
Pamenang dari Danau Merak Biru. Katakan bahwa beliau
tak usah khawatir tentang diriku. Jika sudah selesai
menuntut ilmu pasti aku akan kembali."
Perwira itu mengangguk lalu menjura dan berlalu. Empu
Pamenang, Jakawulung dan Ning Larasati kembali ke Danau Merak Biru.
Dengan matinya Lor Parereg dan manusia-manusia
jahat lainnya itu maka tak satu orangpun yang mengetahui
mengenai peti-peti berisi uang dan perhiasan yang ditanam
Ki Ageng Tunggul di belakang rumahnya di Pasirginting.
Peti-peti itu akan terus terpendam sampai kiamat, kecuali
kalau ada orang lain yang menemukannya.
TAMAT
Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar