Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Sabtu, 01 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - KI AGENG TUNGGUL KEPARAT

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com


LAKSANA terbang kuda coklat berlari kencang di bawah 

panas teriknya matahari. Dalam waktu yang singkat 

bersama penunggangnya dia sudah sampai di kaki 

bukit untuk selanjutnya lari terus memasuki lembah subur 

yang terhampar di kaki bukit. Si penunggang kuda 

mendongak ke langit. Matahari dilihatnya tepat di ubun-

ubun kepalanya. Parasnya kontan berubah. 

"Celaka!" keluhnya dalam hati. "Celaka! Aku hanya 

punya waktu dua belas jam lagi! Kalau apa yang kucari tak 

dapat kutemui mampuslah aku!" Dia memandang lagi ke 

matahari di atasnya lalu menyentakkan tali kekang agar 

kuda tunggangannya lari lebih cepat. 

Orang itu berpakaian biru gelap. Kulitnya yang hitam liat 

menjadi lebih hitam karena warna pakaiannya itu. Dibawah 

blangkon yang menutupi kepalanya, wajahnya tidak sedap 

untuk dipandang kalau tak mau dikatakan mengerikan. 

Pada pipinya sebelah kiri mulai dari ujung bibir sampai ke 

tepi mata terdapat parut bekas luka yang lebar. Cacat ini 

membuat daging pipinya tertarik sedemikian rupa sehingga 

matanya terbujur keluar, kelopak sebelah bawah membe–

liak merah dan selalu berair sedang mulutnya tertarik 

pecong. 

Di satu pedataran tinggi yang ditumbuhi pohon-pohon 

kapas, dihentikannya kudanya dan memandang berkeliling. 

Pada wajahnya yang buruk itu kelihatan bayangan harapan 

sewaktu sepasang matanya melihat puncak atap-atap 

rumah penduduk di sebelah tenggara pedataran. 

"Aku harus ke desa itu," kata lelaki itu pada dirinya 

sendiri. "Mungkin di situ bakal kutemukan apa yang kucari. 

Kalau tidak..." kata hatinya itu tidak diteruskan. Dipukulnya  pinggul kuda tunggangannya dan binatang itu melompat ke 

muka, lari kembali menuju ke tenggara. 

Sewaktu angin dari timur bertiup keras, sewaktu daun-

daun pepohonan mengeluarkan suara berdesir kencang, 

maka penunggang kuda itu telah memasuki sebuah jalan 

teduh di mulut desa. Diperlambatnya lari kudanya. Kedua 

matanya menyapu ke setiap penjuru. Jalan yang ditempuh–

nya sunyi sepi. Pintu-pintu rumah penduduk tampak 

tertutup. Melewati suatu pengkolan dilihatnya beberapa 

orang anak kecil tengah bermain-main. Nafasnya terasa 

sesak seketika. Lalu dekat sebuah kandang kuda, seorang 

tua berjanggut putih duduk merokok memperhatikannya. 

Tanpa memperdulikan orang tua itu laki-laki ini terus 

berlalu. 

Kemudian dipapasinya beberapa penduduk desa yang 

agaknya baru kembali dari sawah atau ladang mereka. 

Meski orang-orang itu mengangguk hormat kepadanya tapi 

lelaki penunggang kuda itu tahu bahwa dalam sikap 

hormat itu dilihatnya bayangan rasa ngeri di wajah mereka 

sewaktu melihat parasnya. Dalam hati masing-masing 

mungkin mengutuk habis-habisan. 

Harapan yang sebelumnya ada di hati lelaki ini menjadi 

semakin kecil dan hampir padam bertukar dengan 

kemangkelan dan kekecewaan sewaktu dia mencapai 

ujung jalan dan hanya tinggal beberapa buah rumah saja 

yang harus dilewatinya. 

"Apakah harus kutanyai orang-orang di sini?" tanya 

lelaki itu dalam hati. Tiba-tiba sepasang matanya menyipit. 

Dia memutar kepala berkeliling dan mendengar baik-baik. 

"Hah, inilah yang kucari! Pasti...! Pasti itu suara tangisan 

bayi." 

Segera diputarnya kuda coklatnya dan menuju ke 

rumah yang terletak di antara pohon-pohon pisang yaitu 

dari arah mana tadi didengarnya suara tangisan bayi. 

Pintu dan jendela rumah itu tertutup. Dia turun dari 

kudanya dan mengitari rumah satu kali lalu melangkah ke 

pintu depan. Dia memandang dulu kian kemari baru 


mengetuk pintu. Suara tangisan bayi di dalam rumah 

terdengar semakin keras dan laki-laki itu mengetuk lagi 

lebih kencang. 

Terdengar langkah-langkah mendatangi pintu. Suara 

tangis bayi juga terdengar mendekati pintu itu. Sesaat 

sesudah itu pintu terbuka. Seorang perempuan muda 

memunculkan diri sambil membadung seorang bayi yang 

baru berusia kurang dari dua minggu dan masih merah. 

Begitu melihat tampang lelaki yang mengerikan di ambang 

pintu, perempuan itu menyurut. Jelas kelihatan pada 

wajahnya rasa takut amat sangat. 

Lelaki tak dikenal memandang si bayi dalam dukungan 

beberapa lama. Diteguknya liurnya lalu berkata, "Aku 

mencari suamimu..." 

"Dia belum kembali dari sawah," jawab perempuan yang 

mendukung anak. 

Lelaki bermuka setan kembali memandang bayi merah 

dalam dukungan. 

"Ini anakmu...?" 

Perempuan itu mengangguk dan memandang ke 

jurusan lain karena takut melihat wajah tamunya. 

"Kemarin aku telah bicara dengan suamimu," kata 

orang bermuka cacat, "Dia bersedia menjual anak ini." 

"A... apa?!" kaget perempuan yang mendukung anak 

bukan kepalang. 

Sang tamu tampak acuh tak acuh. Dan dalam sabuknya 

dikeluarkannya sebuah kantong kecil yang mengeluarkan 

suara berdering tanda berisi uang. 

"Ini ambillah," katanya. "Dan serahkan anakmu 

padaku." 

Perempuan yang mendukung bayi surut beberapa 

langkah. Digelengkannya kepalanya dan berkata, "Tidak! 

Suamiku tak pernah mengatakan bahwa dia hendak 

menjual anak ini. Sekalipun dia mungkin bermaksud 

demikian, saya tidak akan menjual anak ini dengan harga 

berapapun. Ini anak kami yang pertama..." 

Air muka sang tamu tampak berobah mengelam. 


Tenggorokannya turun naik dan sepasang bola matanya 

berputar-putar liar. 

"Kalau kau tak mau tak jadi apa," katanya. Lalu kantong 

uang dimasukkannya kembali ke dalam sabuknya. "Aku 

akan datang kembali kalau suamimu sudah pulang," 

katanya. 

Perempuan mendukung anak tidak menyahuti malah 

buru-buru hendak menutupkan pintu rumah. Tapi baru saja 

jari-jari tangannya menempel di pinggiran pintu tiba-tiba 

tamu bermuka cacat itu mengulurkan kedua tangannya, 

menyentak kain pembadung bayi hingga terlepas sedang 

sang ibu jatuh tersungkur di ambang pintu. Secepat dia 

bangun secepat itu pula perempuan ini berteriak, "Anakku! 

Tolong...! Anakku dilarikan orang! Culik...!" 

Beberapa pintu rumah tetangga kelihatan terbuka. 

Empat orang lelaki dan seorang perempuan datang 

berlarian untuk melihat apa yang terjadi. Namun si 

penculik bayi telah melompat ke atas kuda coklatnya dan 

meninggalkan tempat itu dengan cepat sebelum orang-

orang tersebut sempat melakukan sesuatu. 

*** 

HARI Kamis malam Jum’at Kliwon... Hujan gerimis turun 

menambah dingin dan seramnya suasana malam. Kuda 

coklat yang ditunggangi lelaki bermuka cacat tampak 

mendaki di lereng bukit berbatu-batu, terus menuju ke 

puncaknya. Sesosok binatang serta penunggangnya yang 

hitam pekat dalam kegelapan malam tak ubahnya seperti 

setan yang tengah gentayangan! 

Puncak bukit batu itu tinggi sekali dan jalan menuju ke 

situ sukar bukan main. Beberapa kali kuda coklat tersebut 

terserandung. Lidahnya menjulur ke luar bersama busahan 

ludah. Meskipun udara malam dingin namun tubuhnya 

berselimutkan keringat yang telah bercampur baur dengan 

air hujan. Untuk kesekian kalinya binatang ini tersandung 

dan akhirnya tegak mematung tak mau melangkah lagi. 


Setengah mengomel lelaki bermuka cacat turun dari 

kudanya. Di dalam dukungan tangan kirinya saat itu ada 

bungkusan kain yang isinya bukan lain adalah bayi yang 

tadi siang diculiknya. 

"Kudaku, tunggu di sini sampai aku kembali," kata 

orang tersebut pada kuda tunggangannya. Lalu sambil 

mendukung bayi dia melanjutkan perjalanan ke puncak 

bukit dengan melompat dari satu batu ke batu yang lain. 

Gerakan lelaki ini gesit luar biasa tanda dia memiliki ilmu 

meringankan dan mengimbangi tubuh yang sempurna. 

Dalam tempo yang tidak begitu lama akhirnya dia sampai 

di puncak bukit batu yang paling tinggi. 

Setelah memandang berkeliling dia mendongak ke 

langit. Sesaat itu kilat menyambar. Keadaan terang 

seketika untuk kemudian kembali kegelapan menyelimut. 

Bayi dalam bungkusan kain terdengar menangis. Si 

muka cacat menyeringai. Dibukanya kain pembungkus. 

Udara malam yang dingin dan siraman hujan rintik-rintik 

membuat si bayi menangis tambah keras. 

Dari balik pinggangnya laki-laki ini mengeluarkan 

sebilah pisau yang besarnya hampir menyerupai sebilah 

golok. Sekali lagi dia mendongak ke langit. Kali ini seraya 

mengacungkan pisau besar di tangan kanan tinggi-tinggi ke 

udara dan sambil berseru lantang, 

"Guru! 

Demi sumpah yang harus dipatuhi 

Bersaksi pada langit di atas kepala 

Bersaksi pada batu di bawah kaki 

Saat ini murid siap untuk mandi!" 

Habis berseru demikian manusia bermuka cacat yang 

seperti kemasukan setan ini menggerakkan tangan 

kanannya. Dan, cras! Sungguh mengerikan. Suara tangisan 

bayi lenyap seketika. Darah mengucur dari luka besar pada 

lehernya yang kini hanya tinggal kutungan, sedang 

kepalanya menggelinding jatuh entah ke mana. 

Lelaki itu menyirami kepalanya dengan darah yang 

mancur 

dari 

leher 

bayi. 

Gerahamnya 

terdengar 


bergemeletakan. Matanya berputar-putar liar. Sekujur 

tubuhnya bergetar. 

Pada saat darah berhenti memancur maka kembali 

manusia bermuka iblis ini berteriak, 

"Guru! 

Sumpah sudah dilaksanakan 

Murid mohon diri 

Dan akan datang lagi malam Jum’at Kliwon 

Bulan depan!" 

Tanpa perikemanusiaan sama sekali, dilemparkannya 

tubuh bayi di tangan kirinya. Dalam keadaan tubuh basah 

kuyup oleh keringat, air hujan, dan darah, dia melompat 

dari atas batu, terus berlari turun ke tempat di mana dia 

sebelumnya meninggalkan kudanya. 


BAB 2



DI BEKAS reruntuhan kuil tua yang terletak di puncak 

Bukit Mangatas, empat orang laki-laki yang rata-rata 

bertubuh kekar dan bertampang buas berdiri dengan 

tidak sabar. Sebentar-sebentar mereka melayangkan 

pandangan ke jalan kecil yang berliku-liku di lereng bukit. 

Sementara itu di ufuk barat matahari penerang jagat 

hampir tenggelam masuk ke peraduannya. 

"Kalau sampai maghrib si Gundara itu tidak juga 

muncul, kita tinggalkan saja tempat ini!" kata salah 

seorang dari mereka. Namanya Rah Gludak. 

Lelaki yang tegak sambil rangkapkan tangan tanpa 

menoleh pada Rah Gludak berkata, "Aku yang jadi 

pemimpin di sini Gludak. Tindakan apapun yang dilakukan 

adalah atas keputusanku!" 

"Jika begitu kau mau jadi patung terus-terusan di sini 

Parereg," tukas Rah Gludak. 

"Jadi setan sekalipun aku tidak perduli!" 

Lelaki bernama Bayana ikut bicara, "Memang rencana 

kita ini bukan rencana sembarangan. Untuk itu sudah patut 

kita melakukannya dengan hati penuh sabar..." 

"Diam semua!" sentak Lor Parereg. "Aku mendengar 

derap kaki kuda di kejauhan!" 

Di antara keempat orang itu memang Lor Parereglah 

yang memiliki ilmu paling tinggi. Karena itu dia lebih dulu 

mendengar suara derap kaki-kaki kuda di bawah bukit. 

Kemudian berturut-turut yang mendengar suara derap 

kuda itu adalah Kunto Handoko, Rah Gludak dan Tunggul 

Bayana. 

Semuanya berdiam diri. Masing-masing menunggu 

penuh tegang. Selama mereka malang melintang menjadi  empat rampok yang ditakuti di selatan Hutan Roban, belum 

pernah mereka mempunyai rencana besar seperti yang 

akan mereka lakukan saat itu. 

Derap kaki-kaki kuda semakin keras tanda binatang 

dan penunggangnya tambah dekat. Di bawah pantulan 

sinar kuning emas matahari yang hendak tenggelam, dari 

mulut jalan tak lama kemudian muncullah seeker kuda 

hitam ditunggangi oleh seorang laki-laki bertubuh kurus 

tinggi berpipi cekung. Begitu sampai di hadapan ke empat 

laki-laki di depan kuil, penunggang kuda ini melompat 

turun dan menjura. 

"Lekas terangkan apa yang sudah kau ketahui!" kata 

Lor Parereg seraya menurunkan tangan kirinya yang sejak 

tadi memuntir-muntir kumisnya yang tebal melintang. 

Gundara, orang yang barusan datang menyeka peluh–

nya. Setelah memandang berkeliling pada keempat orang 

di depannya baru dia membuka mulut, "Karena sesuatu 

halangan rombongan itu tak jadi berangkat besok..." 

"Hah?!" sepasang mata Lor Parereg melotot besar. 

"Keberangkatan mereka dibatalkan?" bertanya Tunggul 

Bayana. 

Gundara menggeleng. "Rombongan itu akan mening–

galkan kotaraja pagi-pagi lusa. Terdiri dari dua buah kereta. 

Satu kereta membawa uang dan peti-peti perhiasan, kereta 

lainnya membawa Ning Larasati, anak Sri Baginda dari selir 

yang ke enam." 

Lor Parereg memandang pada ketiga kambratnya. 

"Bunga jelita itu, sobatku...," katanya dengan menyeringai 

penuh arti. 

"Besar betul rejeki kita sekali ini," kata Rah Gludak 

seraya membasahi bibirnya dengan ujung lidah. 

"Menurutku sebaiknya kalian jangan ganggu gadis itu," 

berkata Gundara. 

"Heh, apa urusanmu?" tanya Lor Parereg. 

"Perampokan uang dan harta benda bagi Sri Baginda 

bukan apa-apa. Tapi kehilangan Ning Larasati benar-benar 

bisa membuat Sri Baginda murka. Kalian tahu, Larasati 


adalah puteri yang paling disayangi Sri Baginda. Jika terjadi 

apa-apa dengan dirinya bukan mustahil Baginda akan 

mengerahkan seluruh balatentara Demak. Dan kalian bisa 

berabe." 

Lor Parereg tertawa bergelak. 

"Tak ada satu orangpun yang bakal tahu siapa yang 

menghadang rombongan itu. Tak ada satu orangpun yang 

bisa mengetahui siapa yang merampok barang-barang itu 

serta siapa yang menculik Larasati. Kecuali jika ada di 

antara kita yang berkhianat!" 

"Tak akan ada yang berkhianat Parereg," kata Tunggul 

Bayana. "Rejeki yang sudah ditakdirkan buat kita walau 

bagaimanapun harus kita ambil. Ning Larasati harus jadi 

milik kita!" 

"Betul sekali Bayana," kata Lor Parereg. Lalu laki-laki itu 

berpaling pada Gundara dan berkata, "Apapun yang kami 

lakukan adalah urusan kami! Kau mesti tahu bahwa kau 

cuma seorang yang kami mintakan keterangan. Kau 

mengerti Gundara?" 

"Mengerti Parereg. Nasehat itu kusampaikan untuk 

kebaikan kalian. Mau diperhatikan atau tidak terserah." 

"Berapa prajurit yang bakal mengawal rombongan itu?" 

tanya Parereg pula. 

"Duapuluh. 

Mereka 

dipimpin 

oleh 

Raden 

Mas 

Panawa..." 

"Aku belum pernah dengar nama itu," kata Lor Parereg. 

Dia berpaling pada kawan-kawannya dan bertanya, "Kalian 

tahu siapa dia?" 

Yang menjawab adalah Kunto Handoko. "Umurnya 

sekitar tigapuluhan. Tadinya orang desa biasa. Karena 

berbuat jasa diberi gelar Raden Mas dan diangkat jadi 

perwira kerajaan. Ilmunya tinggi. Sendiri-sendiri mungkin 

sukar menghadapinya. Tapi berempat dia tak perlu dipan–

dang sebelah mata!" 

Lor Parereg mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari 

balik pakaiannya dikeluarkannya satu kantong berisi uang. 

Benda itu dilemparkannya dan segera disambut oleh  Gundara. 

"Tugasmu selesai, Gundara. Cepat tinggalkan tempat 

ini. Kalau sampai rencana penghadangan ini bocor, aku 

cuma tahu satu orang untuk digorok batang lehernya. Kau!" 

"Saya tak bakal membuka rahasia Parereg!" kata 

Gundara pula. Dia menjura, memutar tubuh dan melompat 

ke punggung kuda. Sekali dia menyentakkan tali kekang 

maka binatang itupun bergerak ke muka. 

Namun untuk selanjutnya kuda hitam itu hanya lari 

sendirian karena dengan amat tiba-tiba sebuah pisau 

melayang dan menancap tepat di punggung Gundara. 

Lelaki ini terdorong ke depan. Tubuhnya hilang kese–

imbangan. Dan jatuh dari punggung kuda. Susah payah dia 

coba bangkit. Memandang ke arah Lor Parereg dengan 

pandangan penuh amarah. Dari mulutnya keluar suara 

yang tak jelas. Setelah merintih panjang Gundara akhirnya 

rubuh ke tanah dan tak bergerak lagi. 

Lor Parereg tertawa mengekeh. "Aku tak percaya pada 

kunyuk ini," katanya sambil pelintir kumis. "Sebelum kasip 

sebaiknya dihabiskan riwayatnya!" 

"Tindakanmu tepat sekali Parereg," ujar Tunggul 

Bayana. 

"Kita kembali ke goa," kata Parereg pada kawan-

kawannya. Keempatnya kemudian meninggalkan tempat 

tersebut. Sementara matahari telah tenggelam dan siang 

berganti dengan malam. 

Hari Kamis Paing adalah hari di mana menurut 

keterangan Gundara yang telah dibunuh itu, rombongan 

yang bakal dihadang akan meninggalkan Kotaraja. Kira-

kira dua jam perjalanan di luar kotaraja sebelah timur, di 

satu daerah yang berbukit-bukit, di balik kelebatan semak 

belukar yang tumbuh sepanjang jalan kecil berdebu, sejak 

pagi tadi empat orang berpakaian serba hitam sudah 

berada di sana. Mereka bukan lain Lor Parereg dan kawan-

kawannya. 

"Kurasa terlalu jauh kita melakukan penghadangan di 

sini, Parereg," kata Tunggul Bayana memecah kesunyian. 


Lor Parereg mendehem beberapa kali. "Bukan saatnya 

membicarakan hal itu," sahutnya tak acuh. 

"Aku khawatir kalau-kalau rombongan itu membelok 

mengambil jalan lain." 

"Menghadang 

lebih 

dekat 

ke 

kotaraja 

berarti 

menambah besarnya bahaya. Apa kau mau tanggung 

jawab jika salah seorang dari mereka nanti sempat 

menjemput balabantuan? Apa kau mau tanggung jawab 

jika tokoh-tokoh silat istana turun tangan? Kita meng–

hadang di sini. Itu sesuai dengan rencanaku. Tak perlu 

diributkan lagi!" 

Sunyi beberapa lamanya. Sementara itu matahari pagi 

mulai naik dan terasa bertambah panas sinarnya. Lor 

Parereg mengeluarkan tembakau serta daun kawung dan 

mulai menggulung sebatang rokok. Setelah beberapa kali 

dihisapnya rokok itu dia membuka mulut, "Bila peng–

hadangan ini berhasil, ingat baik-baik rencana kita selan–

jutnya. Kau Rah Gludak lari ke timur. Ini untuk mengelabuhi 

orang-orang kerajaan. Satu hari kemudian kau harus 

datang, selambat-lambatnya tengah hari di kuil tua Bukit 

Mangatas. Kau Kunto Handoko dan Tunggul Bayana 

larikan seluruh barang rampokan ke jurusan barat. Ambil 

jalan memutar lalu segera menuju Bukit Mangatas dan 

tanam semua harta rampokan itu di lobang yang telah kita 

gali. Tunggu di sana sampai aku datang." 

"Kau sendiri ke mana?" 

Lor Parereg menyeringai. "Ingat Ning Larasati?" 

tanyanya. "Aku akan bersenang-senang dulu dengan dia di 

satu tempat. Dan kalian tak usah tahu di mana!" 

Beberapa waktu berlalu tanpa ada satu orangpun yang 

bicara. Tiba-tiba Lor Parereg mengangkat tangan memberi 

isyarat. "Aku mendengar sesuatu," katanya. "Mungkin 

rombongan itu!" Lalu dengan satu gerakan enteng dia 

melompat ke cabang sebatang pohon. Dari tempat 

ketinggian ini dia memandang jauh ke depan. Wajahnya 

nampak tegang ketika dia melompat turun kembali. 

"Mereka datang!" katanya. "Lekas menyebar seperti 


yang sudah diatur!" 

Kunto Handoko, Rah Gludak, dan Bayana segera 

menyebar bersembunyi. 

Mereka menunggu kira-kira sepeminuman teh. Tak 

lama kemudian dari arah depan muncullah rombongan itu. 

Pada kepala rombongan kelihatan seorang lelaki muda 

keren menunggang kuda. Di pinggangnya tergantung 

sebilah pedang. Di sebelah belakang terdapat dua puluh 

prajurit yang juga menunggang kuda, bergerak maju 

mengapit dua buah kereta. Dilihat dari bentuk kendaraan, 

kereta sebelah depan jelas kereta barang sedang yang di 

belakang merupakan kereta penumpang yang bagus. 

Penunggang kuda di sebelah depan tampak heran 

ketika melihat ada seorang lelaki berpakaian hitam, ber–

kumis melintang tegak menghadang di tengah jalan. Dia 

memberi isyarat pada rombongan untuk berhenti lalu maju 

mendekati orang di tengah jalan dan dengan sikap sopan 

tapi juga waspada. 

"Bapak, rombonganku hendak lewat. Harap kau suka 

menepi memberi jalan." 

Lor Parereg tertawa. 

"Anak muda, bukankah kau perwira kerajaan yang 

bernama Panawa?" 

"Bapak tidak keliru. Memang saya Panawa. Sekarang 

silahkan Bapak menepi..." 

"Aku kenal kau tapi apakah kau kenal aku, perwira?" 

Raden Mas Panawa sudah mengetahui jelas orang tak 

dikenal di hadapannya mempunyai maksud tidak baik. Tapi 

melakukan hal itu seorang diri terlalu berani. Pasti dia 

mengandalkan sesuatu. Maka perwira muda yang cerdik ini 

memandang berkeliling. Dia segera mengetahui ada tiga 

orang lainnya bersembunyi di balik semak belukar. 

"Bapak, jika kau sudah tahu kami adalah rombongan 

kerajaan harap jangan mengganggu lebih lama..." 

"Eh, siapa mengganggu siapa?" tanya Lor Parereg 

sambil puntir kumis. "Kehadiranku di sini justru dengan 

maksud baik. Yaitu serahkan dua kereta itu padaku dan kalian boleh kembali ke kotaraja dengan aman..." 

"Bapak, kau jangan berani main-main dengan pasukan 

kerajaan." Raden Mas Panawa memperingatkan. Dia masih 

berusaha menyabarkan diri. 

Akan tetapi seorang anak buah di samping kanannya 

maju seraya berkata, "Raden, biar saya beri pelajaran pada 

orang ini!" 

"Nah, kau dengar sendiri," kata Panawa. "Jangan 

sampai kami menurunkan tangan kasar!" 

"Jadi kau tidak mau menyerahkan dua kereta itu?" 

tanya Lor Parereg sambil bertolak pinggang. 

Panawa berpaling pada anak buahnya. Kesabarannya 

telah hilang. "Singkirkan manusia itu," perintahnya. 

Sret! 

Pembantu yang diberi perintah cabut pedang dan 

memajukan kudanya mendekati Lor Parereg. Pedang 

berdesing diayunkan ke arah kepalanya. Dengan satu 

gerakan gesit kepala rampok ini merunduk lalu dari 

samping memukul lengan lawan. 

Krak! 

Terdengar patahnya tulang lengan pengawal itu. 

Tubuhnya yang hilang keseimbangan langsung jatuh dan 

sebelum mencium tanah disambut oleh Lor Parereg 

dengan tendangan kaki kanan. 

Melihat gerakan Lor Parereg yang sebat itu maklumlah 

Raden Mas Panawa bahwa rombongannya berhadapan 

dengan seorang berkepandaian tinggi. Tanpa tunggu lebih 

lama dia melompat turun dari punggung kuda. Begitu 

menjejak tanah dia langsung menyerbu Parereg dengan 

tangan kosong. 


BAB 3


LOR PAREREG yang sengaja hendak mengetahui 

kehebatan perwira muda ini segera menyongsong 

serangan lawan, menyambut dengan balas memukul. 

Akibatnya dua lengan saling bentrok. 

Kepala rampok Hutan Roban ini berubah parasnya 

ketika dapatkan dirinya terjajar ke belakang akibat saling 

bentrokan lengan itu. Nyatalah bahwa lawannya yang 

masih muda itu memiliki keampuhan tenaga dalam 

melebihi yang dimilikinya. Maka dia bersuit memberi 

isyarat. Tiga anak buahnya melompat keluar dari tempat 

persembunyian masing-masing dan langsung mengurung 

Raden Mas Panawa. 

"Bagus! Kalian sudah keluar semua! Aku masih berikan 

kesempatan terakhir pada kalian agar meninggalkan 

tempat ini!" 

Lor Parereg tertawa keras. "Perwira muda! Aku Lor 

Parereg dan kawan-kawan baru akan pergi setelah 

mendapatkan apa yang kami ingini. Sebaliknya justru aku 

menawarkan agar kau dan para pengawal berlalu saja dari 

sini..." 

"Rampok-rampok bodoh! Bersiaplah untuk menerima 

hukuman!" bentak Panawa. Karena tiga pengeroyok dili–

hatnya sudah memegang senjata maka dia segera pula 

cabut pedang panjangnya. Pertempuran empat lawan satu 

segera berkecamuk. Meskipun Panawa memiliki ilmu silat 

tinggi namun karena yang mengeroyok adalah rampok-

rampok kawakan maka tiga jurus saja dia sudah terkurung 

rapat dan terdesak. 

Dalam satu bentrokan senjata, pedang di tangan 

perwira muda itu terpukul lepas. Melihat pimpinan mereka 


berada dalam keadaan bahaya maka sepuluh pengawal 

segera maju membantu. Pertempuran menjadi makin seru. 

Panawa kini pergunakan sebilah keris. Senjata ini meru–

pakan senjata pemberian gurunya dan dengan senjata ini 

di tangan dia mengamuk. Satu kali dia berhasil melukai 

bahu kanan Kunto Handoko. 

Walaupun pengawal-pengawal itu berjumlah banyak. 

Namun mereka bukanlah tandingan rampok-rampok Hutan 

Roban yang bertempur penuh kebuasan karena meng–

harapkan barang rampokan yang tidak sedikit jumlahnya. 

Satu demi satu mereka roboh bahkan Panawa sendiri 

tubuhnya telah penuh dengan luka-luka dan agaknya tak 

bakal dapat bertahan lama. 

"Selesaikan dia!" kata Lor Parereg. Dia melompat keluar 

dari kalangan pertempuran. Sudah saatnya dia turun 

tangan melakukan sesuatu sesuai dengan rencana–nya. 

Dia bergerak cepat ke arah kereta sebelah belakang. 

Raden Mas Panawa yang dapat menduga apa yang 

hendak dilakukan oleh kepala rampok itu cepat berteriak, 

"Lindungi puteri!" 

Sepuluh pengawal yang sejak tadi tidak ikut bertempur 

mendengar perintah itu menjadi bingung. Semula mereka 

hendak membantu Panawa dan pengawal-pengawal lain 

yang jelas kelihatan dalam keadaan kepepet. Namun kini 

mereka malah diperintahkan mengamankan Ning Larasati. 

Lalu siapa pula yang akan menjaga kereta pertama yang 

membawa uang dan harta benda berharga itu? 

Akhirnya lima pengawal bergerak ke arah kereta yang 

ditumpangi Ning Larasati dan pengasuhnya sedang lima 

lagi memasuki kalangan pertempuran untuk menye–

lamatkan kawan-kawan dan pimpinan mereka. Namun 

usaha mereka ini sia-sia saja. 

Lima prajurit yang menjaga kereta sebelah belakang 

bukan apa-apa bagi Lor Parereg. Satu demi satu mereka 

dihantam roboh. Lalu dia mendobrak pintu kereta dan 

sepasang matanya melotot melihat wajah cantik yang 

ketakutan di dalam kereta itu. Pengasuhnya yang memeluk 


dan berusaha melindunginya berkata, "Jangan ganggu dia! 

Dia puteri Sultan!" 

Lor Parereg menyeringai. Hidungnya kembang kempis 

membayangkan apa yang bakal dinikmatinya. "Aku tidak 

akan menyakitimu Larasati. Asalkan kau mau keluar baik-

baik dan ikut aku..." 

"Tidak... pergi! Aku tidak mau ikut kau...!" jerit Ning 

Larasati beringsut ke sudut kereta. 

"Gadis manis kau tak seharusnya menolak begitu..." 

ujar Lor Parereg. Lalu sekali sentak saja dia berhasil 

menarik Ning Larasati keluar dari kereta. Pengasuhnya 

yang berusaha mencegah ditendang hingga roboh tak 

sadarkan diri. 

Ning 

Larasati 

menjerit 

dan 

meronta-ronta 

dari 

panggulan Lor Parereg. Namun tak berhasil melepaskan 

diri. 

Di bagian lain Panawa yang berusaha berjuang mati-

matian akhirnya tak sanggup lagi bertahan. Dia roboh 

dengan tubuh mandi darah penuh bacokan. Dua pengawal 

yang masih hidup putus nyali mereka dan ambil langkah 

seribu. 

Sesuai dengan yang telah diatur, Rah Gludak kemudian 

memacu kudanya ke arah timur. Kunto Handoko dan 

Tunggul Bayana melarikan kereta berisi uang dan harta ke 

arah barat. 

"Beres!" kata Lor Parereg puas. Ning Larasati 

dinaikkannya ke atas kuda lalu kepala rampok ini memacu 

binatang ini memasuki rimba belantara dan lenyap dari 

pemandangan. 

*** 

TEPAT tengah hari Kunto Handoko dan Tunggul Bayana 

sampai di kuil tua yang terletak di Bukit Mangatas. Tunggul 

Bayana turun dari kereta yang dikemudikannya itu dan 

membuka pintu. Ada empat buah peti besi di dalam 

kendaraan ini. Setelah diperiksa ternyata dua peti berisi 


uang emas dan dua lainnya penuh perhiasan berbagai 

bentuk. 

"Kita akan kaya raya Bayana!" kata Kunto Handoko 

tertawa gembira. 

Tunggul Bayana memutar kepala. Wajahnya tidak 

menunjukkan kegembiraan. 

"Ada apa dengan kau?" tanya Kunto Handoko agak 

heran. "Apa tidak senang mendapat barang rampokan 

sebanyak ini? Tujuh turunan kurasa kita bisa ongkang-

ongkang kaki!" 

Tunggul Bayana tersenyum kecil. 

"Yang aku khawatirkan adalah luka di bahumu yang 

membengkak, Kunto," kata Tunggul Bayana. 

Kunto Handoko baru ingat luka bekas tusukan keris 

Panawa pada bahunya. 

"Luka biasa, tak perlu dikhawatirkan," kata Kunto 

Handoko pula. 

"Aku yakin keris itu mengandung racun. Kalau tidak 

kenapa lukamu cepat sekali membengkak dan berwarna 

biru begini?" 

Kunto Handoko memperhatikan luka di bahunya. "Ah 

tak apa-apa," katanya kemudian. 

"Sebaiknya kau telan obatku ini. Mujarab sekali untuk 

menolak segala macam racun. Sementara itu aku akan ke 

belakang kuil memeriksa lobang tempat penimbunan peti-

peti itu." 

Kunto Handoko mengambil sebutir obat berwarna 

hitam yang diberikan Tunggul Bayana, lalu tanpa ragu-ragu 

menelannya. Ketika Tunggul Bayana lenyap di balik 

reruntuhan tembok kuil sebelah belakang, cepat-cepat 

Kunto Handoko mendekati empat peti besi dalam kereta. 

Salah satu peti dibukanya lalu dimasukkannya tangannya 

mengeruk uang emas yang terdapat dalam peti itu. 

Sewaktu uang tersebut hendak dimasukkannya ke dalam 

sebuah kantong di balik pakaiannya, tiba-tiba dirasakannya 

dadanya amat sakit. Begitu sakitnya hingga uang yang ada 

dalam genggamannya terlepas dan kepalanya terasa berat sedang 

pemandangannya 

berkunang-kunang. 

Kedua 

tangannya kini memegangi dada yang terasa sesak. Tiba-

tiba dia membuka mulut hendak batuk tapi yang keluar 

adalah semburan darah! 

"Jahanam!" maki Kunto Handoko. "Tunggul Bayana 

pasti telah memberikan racun padaku!" Dihunusnya 

pedangnya lalu melangkah ke bagian belakang kuil namun 

setengah jalan lututnya goyah. Sebelum terguling pingsan 

ke tanah Kunto Handoko masih sempat menotok urat 

besar di pangkal lehernya. Tunggul Bayana muncul. 

Menyaksikan Kunto Handoko menggeletak tak bergerak 

dia tertawa gelak-gelak. 

"Dasar manusia tolol!" katanya. "Sekarang semua uang 

dan harta itu menjadi milikku! Semuanya! Aku akan jadi 

kaya raya! Ha... ha... ha!" Laksana orang gila Tunggul 

Bayana membuka peti-peti itu satu demi satu dan 

mengaduk-aduk isinya. Hatinya gembira setinggi langit. Dia 

puas sekali karena rencana yang diam–diam diaturnya 

sejak lama kini menjadi kenyataan. 

Kuda tunggangannya diikatkan di belakang kereta. 

Sebelum meninggalkan tempat itu sekali lagi dia meman–

dang pada sosok tubuh Kunto Handoko 

"Sobatku yang tolol, sayang kau tak sempat menikmati 

hasil rampokan ini. Selamat tinggal, selamat jalan ke 

akherat!" Dia tertawa panjang-panjang lalu menyentakkan 

tali kekang. 

Tunggul Bayana tidak mengetahui sama sekali kalau 

saat itu Kunto Handoko cuma menggeletak pingsan, bukan 

mati. 


BAB 4


LOR PAREREG menunggang kudanya memasuki rimba 

belantara. Meskipun pohon-pohon di situ tumbuh 

rapat tapi karena sudah tahu betul seluk beluk daerah 

tersebut, dia dapat memacu kudanya dalam kecepatan 

tinggi. 

Kira-kira dua kali peminuman teh berlalu. Lor Parereg 

sudah berada di pertengahan Hutan Roban. Di satu tempat 

dia menyeruak memasuki semak belukar lebat. Di 

belakang semak belukar itu ternyata terdapat sebuah goa 

besar dan tinggi. Lor Parereg melompat dari kudanya dan 

memanggul tubuh Ning Larasati memasuki goa. Bagian 

dalam goa itu tak beda dengan sebuah ruangan dalam 

satu bangunan yang bagus. Di sebelah depan terdapat 

seperangkat kursi dan meja terbuat dari rotan. Ruangan itu 

dipisah dua oleh sebuah tirai bambu yang tipis. 

Lor Parereg menyibakkan tirai bambu. Ruangan yang 

dimasukinya bagus sekali dan di situ terdapat tiga buah 

pembaringan rotan. Pemimpin rampok ini melangkah ke 

pembaringan di ujung kanan yaitu yang paling besar dan 

bagus. Ning Larasati yang berada dalam keadaan pingsan 

dibujurkannya di atas pembaringan itu. Dari dalam sebuah 

lemari Lor Parereg mengeluarkan sebuah kendi berisi tuak. 

Sambil meneguk minuman itu dia duduk di tepi pem–

baringan memperhatikan wajah Ning Larasati. 

"Cantik sekali... cantik sekali," kata Lor Parereg dalam 

hati berulang kali. Hawa hangat dari minuman yang 

diteguknya memanasi jalan darahnya. Butir-butir keringat 

memercik di keningnya. Hidungnya kembang kempis. 

Nafsu mesum mulai membakar tubuhnya. Lor Parereg 

beringsut. Dielusnya betis putih mulus gadis itu. Betapa  lembutnya. Setelah puas memijit-mijit betis Larasati 

tangannya menjalar ke atas lebih ingin tahu, makin ke 

atas, membuat Lor Parereg menggeram panas dingin. 

Tiba-tiba Ning Larasati siuman dari pingsannya dan 

menggeliat. Begitu sadar akan dirinya puteri Sultan Demak 

ini menjerit dan melompat dari atas pembaringan rotan. 

Dia memekik tiada henti, meronta dan menerjang. 

Melakukan apa saja terhadap Lor Parereg yang coba 

mendekapnya. Namun kepala rampok itu terlalu kuat bagi 

gadis sehalus Larasati. Pakaiannya robek-robek dan tubuh 

Lor Parereg menghimpitnya dari atas. Karena tak tahu apa 

lagi yang dapat dilakukannya untuk melepaskan diri, 

akhirnya Larasati hanya bisa menangis. Seumur hidup tak 

pernah terpikir olehnya bakal mengalami nasib yang 

mengerikan 

begini 

rupa. 

Dia 

menangis 

sambil 

memejamkan matanya. Lalu dirasakannya tangan-tangan 

Lor Parereg melepas pakaiannya secara paksa. Nafas 

lelaki itu yang berbau minuman keras menghembus-

hembus di wajahnya. Kemudian terasa bulu-bulu dada Lor 

Parereg menggamangi dadanya yang kini tiada tertutup 

lagi. Kemudian... kemudian... 

Suara raungan laksana harimau lapar meledak keluar 

dari mulut Lor Parereg. Ning Larasati terkejut. Dibukanya 

kedua matanya. Apa yang telah terjadi? 

Dilihatnya Lor Parereg dalam keadaan setengah 

telanjang terhampar di sudut ruangan. Di hadapannya 

berdiri seorang perempuan amat tua berambut panjang 

terurai awut-awutan dan berwarna putih. Perempuan tua 

ini mengenakan sehelai jubah panjang menyentuh lantai 

berwarna putih polos. Kaki dan tangannya yang tersembul 

dari balik pakaian itu juga berwarna putih seputih parasnya 

yang keriputan. 

"Nenek tua berwajah putih ini apakah dia manusia atau 

setan?" pikir Larasati. Untuk sesaat dia lupa akan keadaan 

dirinya. Begitu sadar cepat-cepat disambarnya pakaiannya. 

"Bangsat tua! Siapa kau?!" teriak Lor Parereg seraya 

melompat. 


Perempuan tua itu tertawa tawar. Barisan gigi-giginya 

ternyata masih utuh dan berwarna putih bersih. 

"Siapa aku...?" ujarnya. "Itulah yang aku sendiri tidak 

tahu!" 

"Bedebah gila! Kalau tidak lekas angkat kaki dari sini 

kupatahkan batang lehermu!" 

"Kau mau patahkan batang leherku? Lucu... lucu," kata 

si nenek sambil tertawa geli. "Rupanya tendanganku tadi 

masih belum cukup?" 

"Tua bangka keparat! Sampai ke liang kubur kau akan 

menyesali diri!" bentak Lor Parereg. Lalu dia melompat ke 

muka. Kedua tangannya bergerak cepat hendak menang–

kap leher perempuan tua itu. 

Plak! 

Lor Parereg terhuyung ke belakang. Tamparan nenek 

muka putih itu keras sekali membuat pemandangannya 

berkunang-kunang. Amarahnya makin memuncak. Untuk 

kedua kalinya dia menerjang ke muka namun sekali inipun 

tamparan lawan menghantam parasnya lebih dulu. Mem–

buat Lor Parereg untuk kedua kalinya berdiri nanar 

kesakitan! 

"Anjing tua! Mampuslah!" 

Lor Parereg lepaskan satu pukulan tangan kosong. 

Angin deras menggebu. Itu adalah satu pukulan tangan 

kosong yang hebat. Tapi si perempuan tua muka putih 

hanya ganda melambaikan lengan jubahnya maka 

serangan Lor Parereg menjadi musnah. Tubuhnya lalu 

berkelebat lenyap dan kemudian plak... plak... plak... 

tamparan keras bertubi-tubi mendarat di muka Lor 

Parereg. Kepala rampok ini terpelanting ke lantai. Mukanya 

sembab biru, bibirnya pecah, salah satu giginya tanggal. 

Dalam merintih menahan sakit Lor Parereg menyambar 

pedangnya dari atas tempat tidur lalu untuk kesekian 

kalinya menyerbu lagi. 

"Bajingan edan! Kau pantas dihajar setengah hidup 

setengah mampus!" nenek tua itu berseru. Jengkel sekali 

dia kelihatannya, Selagi senjata lawan berkelebat ganas 


siap membuat celaka tubuhnya, dengan satu gerakan aneh 

luar biasa perempuan muka putih itu malah menyusup ke 

depan dan tahu-tahu tubuh Lor Parereg terbetot sedang 

pedangnya sudah berpindah tangan! 

Keringat dingin mengucur di tengkuk Lor Parereg. Kini 

dia sadar kalau sedang berhadapan dengan manusia 

berilmu tinggi luar biasa. Namun dia rasa-rasa masih 

kurang percaya. Dia masih belum yakin lawannya benar-

benar dapat bertindak begitu cepat. Ilmu silat apakah yang 

telah dipergunakan oleh nenek tua bermuka putih itu? 

Meskipun hatinya kecut namun kemarahannya melebihi 

segala-galanya. Dengan dua tangan terpentang dan 

rahang-rahang bertonjolan Lor Parereg maju mendekati si 

nenek. 

"Makan ini!" bentak Lor Parereg seraya memukulkan 

kedua tangannya dengan serentak. Empat rangkum angin 

yang berlainan warna menderu. Goa itu laksana mau 

runtuh. Empat larik angin pukulan itu dengan hebatnya 

melabrak tubuh si muka putih dari empat jurusan yang 

sukar untuk dikelit! 

"Manusia bajingan! Pukulan Angin Empat Racun inikah 

yang hendak kau andalkan? Belajarlah dulu sampai becus 

baru nanti dipergunakan lagi!" Habis berkata begitu 

perempuan tua itu mendorongkan kedua telapak tangan–

nya ke muka. Serangan Lor Parereg kontan tertahan dan 

kemudian membalik sebat ke arah pemiliknya sendiri! 

Lor Parereg berseru kaget. Jika saja dia tidak lekas 

menjatuhkan diri dan berguling menjauh niscaya dirinya 

dilanda maut! 

Melihat kenyataan ini kepala rampok Hutan Roban itu 

kini benar-benar sadar dan putus nyalinya. Sekalipun dia 

punya lima kepala sepuluh tangan tak bakal dia bisa 

mengalahkan perempuan tua yang muncul secara aneh itu. 

Tanpa tunggu lebih lama dia segera putar tubuh dan lari 

pontang-panting keluar goa. Di mulut goa masih sempat 

didengarnya suara perempuan tua itu berkata, "Kalau saja 

pantangan membunuhku sudah habis waktunya, niscaya 


sudah tadi-tadi kupecahkan batok kepalamu!" 

Lalu orang tua ini berpaling pada Ning Larasati dan 

menarik nafas dalam. Saat itu Larasati berdiri di sudut 

ruangan dengan wajah pucat pasi. 

"Kau tak usah takut. Mari ikut denganku," kata si 

nenek. 

Larasati tak bergerak di tempatnya. Dia sadar telah 

ditolong oleh si nenek tapi dia sendiri tidak tahu siapa 

orang tua ini. Apakah benar-benar bakal menolongnya atau 

lebih jahat dari Lor Parereg. 

Si orang tua mendatangi dan tersenyum. "Ayo kita 

keluar dari tempat ini." 

"Nenek... terima kasih kau telah menolongku. Tapi kau 

siapa sebenarnya?" tanya Larasati. 

Perempuan tua itu tertawa, "Siapa aku itulah yang aku 

sendiri tidak tahu. Namun mimpiku semalam kini betul-

betul menjadi kenyataan. Kau berjodoh denganku, anak." 

Lalu tanpa banyak bicara lagi perempuan tua itu 

memegang pinggang Larasati. Sekali lompat saja dia sudah 

berada di mulut goa! 

*** 

KERETA itu bergerak cepat sekali menyusuri kali kecil 

berair kuning lalu membelok memasuki jalan yang berbatu-

batu. Di jalan seburuk itu tak mungkin kereta bergerak 

secepat sebelumnya. Namun Tunggul Bayana mencambuki 

terus punggung kedua kuda penarik kereta hingga 

binatang ini lari seperti kesetanan. Kereta meluncur miring, 

kadang-kadang terhempas dan mental ke atas. 

Ketika matahari mulai condong ke barat baru Tunggul 

Bayana memperlambat lari dua ekor kuda itu. Dia 

kemudian memasuki sebuah lembah yang tak pernah 

didatangi manusia dan menghentikan kereta di bawah 

sebuah pohon besar. 

Setelah memandang dulu berkeliling baru dia melompat 

turun dari atas kereta. Disibakkannya serumpunan semak 


belukar. Di balik semak-semak itu terdapat sebuah lobang 

besar. Lobang ini memang telah disiapkannya sejak tiga 

hari lalu. Dia kembali ke kereta lalu satu demi satu dengan 

susah payah keempat peti itu diseretnya dan dimasuk–

kannya ke dalam lobang. Dari salah satu peti diambilnya 

sejumlah uang emas dan dimasukkannya dalam kantong. 

Lobang itu kemudian ditimbunnya dengan tanah. Di atas 

timbunan ditutupnya dengan potongan semak belukar 

sehingga tak kentara sama sekali kalau di tempat itu ada 

bekas galian. Setelah meneliti dan memastikan segala 

sesuatunya, Tunggul Bayana membawa kereta ke sebuah 

danau. Kendaraan ini ditenggelamkannya sedang dua ekor 

kuda dilepaskannya. Lalu dengan menunggangi kudanya 

sendiri dia meninggalkan lembah liar itu menuju ke utara 

yaitu ke jurusan Kotaraja. 

*** 

SEWAKTU senja memasuki malam, dua orang prajurit 

kerajaan tampak memacu kuda masing-masing memasuki 

Kotaraja. Salah seorang di antaranya membawa sesosok 

tubuh perempuan di depan pangkuannya. Mereka lang–

sung menuju istana dan sama sekali tidak melayani 

pertanyaan-pertanyaan para pengawal. 

Di hadapan pintu gerbang besar sebelah dalam yang 

menuju ke tempat persemayaman Sultan Trenggono, salah 

seorang dari prajurit itu berkata, "Beri tahu pada Sultan 

bahwa kami ingin menghadap." 

"Malam-malam begini, ada apa...?" 

"Sesuatu telah terjadi dengan rombongan Gusti Ayu 

Ning Larasati. Kuharap kau jangan banyak tanya dulu. Aku 

harus memberikan laporan!" 

Mendengar itu prajurit-prajurit yang mengawal pintu 

gerbang tersebut segera masuk ke dalam. Beberapa saat 

kemudian dia keluar lagi dan menerangkan bahwa Sultan 

telah siap menunggu di ruangan dalam. Dengan masih 

membawa sosok tubuh perempuan, kedua prajurit tadi 


bertindak masuk. 

Air muka Sultan Trenggono tampak berobah melihat 

masuknya dua prajurit itu. Sementara kedua prajurit men–

jura, mata Sultan memandang lekat-lekat pada perempuan 

yang ada di bahu kiri salah seorang dari prajurit yang 

datang menghadap. 

"Kalau aku tidak salah itu adalah pengasuh Larasati. 

Apa yang terjadi? Dan mana puteriku?" tanya Sultan 

Trenggono. 

"Kami dalam perjalanan pulang dari Leces. Perempuan 

ini kami temui di tengan jalan di antara mayat-mayat 

prajurit kerajaan. Sebuah kereta istana juga kami temui di 

situ dalam keadaan kosong." 

Sultan Trenggono berdiri dari kursinya. Untuk beberapa 

lamanya dia hanya bisa tegak mematung dengan mulut 

menganga dan kedua mata terbuka lebar. 

"Pasti rombongan puteriku telah dihadang orang-orang 

jahat. Semua prajurit pengawal mati katamu?" 

"Betul Sultan. Bahkan mayat Raden Mas Panawa kami 

dapati di antara korban yang tewas. Kami belum sempat 

mengurus mayat-mayat itu karena ingin cepat-cepat 

melapor." 

"Celaka...," desis Sultan Trenggono. Dia maju beberapa 

langkah. Ditelitinya sosok tubuh perempuan yang dipang–

gul. "Masih hidup?" 

Prajurit yang ditanya mengangguk. "Bawa dia ke salah 

satu kamar di belakang. Panggil tabib dan usahakan agar 

dia siuman secepat mungkin agar bisa ditanyai." 

Sebelum menjalankan perintah dua prajurit itu menjura 

lebih dulu. Pengasuh yang pingsan dimasukkan ke dalam 

sebuah kamar. Tabib dipanggil dan segera datang. Begitu 

perempuan itu siuman Sultan Trenggono segera diberitahu 

dan segera datang. 

"Kau ikut bersama rombongan Larasati bukan?" 

"Betul Sultan..." 

"Kau ditemui dalam keadaan pingsan. Katakan apa 

yang terjadi." 


Pengasuh Ning Larasati itu menyeka peluh di keningnya 

lebih dulu baru menjawab dengan muka yang masih pucat. 

"Waktu itu kami baru saja meninggalkan desa 

Kalicamat. Tiba-tiba hamba dengar ringkikan-ringkikan 

kuda dan suara bentakan. Ternyata rombongan kami telah 

dihadang orang jahat. Mereka berjumlah empat orang, 

berpakaian serba hitam. Raden Mas Panawa turun dari 

kuda, bertempur dengan salah satu orang jahat itu. Lalu 

perkelahian terjadi. Walau mereka berjumlah cuma empat 

tapi ternyata mereka memiliki kepandaian tinggi. Perwira 

muda itu dan seluruh pengawal menemui ajal. Gusti Ayu 

dipaksa keluar dari kereta dan dilarikan. Hamba..., hamba 

tak kuasa melindunginya karena hamba ditendang dan tak 

ingat apa-apa lagi..." 

Sultan berpaling pada prajurit-prajurit yang telah mene–

mukan pengasuh itu. "Apa kalian sudah meneliti tempat 

kejadian itu dan tidak menemukan puteriku?" 

"Sudah Sultan dan Gusti Ayu tidak ada di situ." 

Sultan merasakan dadanya sesak. "Panggil Brajaseta 

kemari!" perintahnya. 


BAB 5


BRAJASETA adalah Perwira Tinggi di Demak yang 

memegang 

jabatan 

sebagai 

Kepala 

Pasukan 

Kerajaan. Orangnya tinggi kekar. Dia amat disegani 

dan dihormati karena ilmu silat dan kesaktiannya yang 

tinggi. 

Begitu Brajaseta memasuki kamar Sultan Trenggono 

segera menerangkan apa yang telah terjadi dan memberi 

perintah agar saat itu juga Brajaseta bersama beberapa 

perwira kerajaan dan seratus prajurit melakukan penyeli–

dikan dan pengejaran. 

"Selambat-lambatnya besok pagi aku harus sudah 

mendapat kabar tentang puteriku itu!" Lalu dengan hati 

masygul Sultan meninggalkan tempat tersebut. Baginya 

kehilangan empat peti uang dan perhiasan bukan menjadi 

apa dibandingkan dengan keselamatan puteri yang sangat 

disayanginya itu meski cuma puteri dari seorang selir. 

Sultan Trenggono baru saja masuk ke dalam kamarnya 

sewaktu tiba-tiba pintu diketuk dan Brajaseta muncul di 

ambang pintu. 

"Ada apa Brajaseta? Bukankah kau seharusnya sudah 

berangkat?" 

Perwira Tinggi itu menjura. "Harap dimaafkan Sultan. 

Ketika saya menemui tokoh-tokoh silat istana untuk 

berunding, seorang pengawal mengatakan ada seorang 

lelaki ingin menghadap Sultan. Ketika ditanya maksud 

kedatangannya dia tidak mau menerangkan. Katanya dia 

hanya mau bicara dengan Sultan dan katanya ada sangkut-

pautnya dengan malapetaka yang barusan dilaporkan." 

"Bawa 

orang 

itu 

kemari!" 

kata 

Sultan 

seraya 

mendudukkan diri di kursi. 


Sultan tak menunggu lama. Pintu ruangan terbuka dan 

Brajaseta bersama dua prajurit masuk membawa seorang 

laki-laki berpakaian kumal, bermuka lusuh. Di hadapan 

Sultan orang ini menjura dalam-dalam. 

"Terangkan 

siapa 

kau 

dan 

jelaskan 

maksud 

kedatanganmu," kata Sultan setelah lebih dulu meneliti 

orang itu beberapa saat lamanya. 

"Nama hamba Wiku Tembereng. Hamba seorang petani 

miskin dari desa Kalicamat. Pagi tadi hamba dalam 

perjalanan ke hutan untuk mencari kayu jati. Tiba-tiba di 

balik semak belukar hamba lihat empat orang laki-laki 

berpakaian serba hitam. Mereka membicarakan sesuatu. 

Karena sikap mereka mencurigakan maka diam-diam 

hamba mencuri dengar apa yang dibicarakan. Rupanya 

mereka adalah perampok-perampok Hutan Roban yang 

hendak melakukan penghadangan. Nama-nama mereka 

adalah Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko. Orang 

keempat tak tahu jelas siapa namanya. Keempatnya 

menyebut nama Gusti Ayu Ning Larasati..." 

"Tunggu dulu!" potong Sultan Trenggono. "Bagaimana 

kau bisa tahu nama ketiga orang itu?" 

Si petani menelan ludahnya dan menjawab, "Mereka 

bicara saling memanggil nama..." 

"Teruskan keteranganmu!" 

"Yang bernama Parereg rupanya yang menjadi pim–

pinan di antara mereka. Hamba dengar dia mengatur 

rencana penghadangan dan pelarian. Begitu pengha–

dangan berhasil, salah seorang kawannya disuruhnya lari 

ke timur. Dua orang membawa lari barang rampokan ke 

sebuan kuil di Bukit Mangatas dan menanamnya dalam 

lobang. Parereg sendiri hamba dengar mengatakan bahwa 

dia akan menculik Gusti Ayu dan menyembunyikannya di 

satu tempat lalu akan melakukan pemerasan terhadap 

Sultan..." 

"Bedebah!" maki Sultan sambil kepalkan tinju. 

"Apa kau tahu ke mana Gusti Ayu dibawa?" tanya 

Brajaseta pada si petani. 


"Hamba tidak tahu, perwira," jawab si petani, "Namun 

menurut Parereg besok mereka akan bertemu di Bukit 

Mangatas itu dan kemungkinan Parereg akan membawa 

Gusti Ayu ke situ." 

Sunyi seketika. 

"Coba kau terangkan ciri-ciri orang bernama Parereg 

itu," kata Brajaseta. 

Wiku Tembereng menerangkan ciri-ciri Lor Parereg. 

"Kemudian apa yang terjadi?" tanya sang perwira. 

"Sebelum hamba ketahuan berada di situ, hamba 

cepat-cepat pergi dan pulang ke rumah. Hamba ceritakan 

kejadian itu pada istri hamba dan dia mengusulkan agar 

hamba cepat-cepat memberi tahu istana. Hamba seorang 

petani miskin, tak punya kuda. Hamba jalan kaki untuk 

datang kemari. Itu sebabnya malam-malam begini baru 

sampai." 

Sultan berpikir sejenak. Lalu berpaling pada Brajaseta. 

"Bagaimana pendapatmu Dimas Brajaseta?" 

"Ada baiknya jika saya melakukan penyelidikan dulu ke 

Bukit Mangatas." 

"Bolehkah hamba mengemukakan pendapat?" tiba-tiba 

si petani menyeletuk. 

Semua mata ditujukan pada Wiku Tembereng. 

"Bicaralah," kata Sultan pula. 

"Rampok-rampok Hutan Roban rata-rata licik dan amat 

cerdik dalam melakukan segala tindakan. Hamba khawatir 

penyelidikan pendahuluan yang akan diadakan diketahui 

oleh mereka. Mungkin Sultan bisa mendapatkan semua 

harta yang ditanam di kuil itu kembali. Tapi Parereg tentu 

bakal diberi laporan sehingga dia tak jadi datang ke situ. Ini 

berarti Gusti Ayu tak bakal bisa diselamatkan. Menurut 

pendapat hamba yang tolol ini sebaiknya dilakukan 

penyergapan pada tengah hari besok. Yaitu pada saat 

keempat penjahat itu melakukan pertemuan di Bukit 

Mangatas di mana Parereg akan datang membawa Gusti 

Ayu..." 

Apa yang dikatakan petani ini memang ada benarnya. 


Untuk beberapa lamanya semua orang berdiam diri. Akhir–

nya Sultan Trenggono memecah kesunyian. 

"Apa yang kau katakan itu pantas untuk dipikirkan." 

Lalu Sultan berpaling pada salah seorang pembantu. 

"Berikan lima keping uang perak dan seekor kuda padanya 

untuk pulang ke rumah." 

"Sultan," si petani berkata seraya menjura, "apa yang 

hamba lakukan ini sama sekali tidak mengharap pamrih 

balas jasa. Itu adalah kewajiban." 

Sultan tersenyum. Dia memberi isyarat. Si petani 

dibawa keluar ruangan. 

"Sultan," kata Brajaseta begitu si petani pergi, "Hamba 

merasakan ada hal-hal yang tidak wajar pada diri petani 

yang mengaku bernama Wiku Tembereng itu." 

"Hem, apa maksudmu Brajaseta?" 

"Sikap hormat dan bicaranya seperti dibuat-buat..." 

Sultan tersenyum "Lebih tepat kalau dikatakan petani 

itu agak gugup berhadapan dengan kita. Tapi itu bukan 

alasan untuk curiga. Seorang rakyat biasa yang tak pernah 

masuk istana dan berhadapan dengan rajanya, biasanya 

gugup macam begitu." 

"Hal lain yang mencurigakan hamba...," kata Kepala 

Pasukan Demak itu, "ialah jalan pikirannya yang cerdik. 

Seorang petani biasa tak mungkin bisa mengemukakan 

pendapat secerdik dia..." 

Sultan melambaikan tangannya. "Lenyapkan segala 

kecurigaanmu. Tidak selamanya rakyat jelata atau orang 

dari kalangan rendah itu berotak tolol. Banyak dari mereka 

yang pandai dan cerdik." 

"Satu lagi Sultan," kata Brajaseta masih belum mau 

mengalah. "Wiku Tembereng menerangkan bahwa dia telah 

berjalan kaki dari desanya kemari. Tadi saya perhatikan. 

Boleh dikata hampir tak ada debu yang melekat di kedua 

kakinya. Mana mungkin..." 

"Sudahlah. Yang penting sekarang siapkan orangmu 

dan besok siang tepat tengah hari sudah harus ada di 

Bukit Mangatas." Habis berkata begitu Sultan Trenggono 


berdiri. Brajaseta tak bisa berbuat apa-apa lagi padahal 

tadi dia sudah punya rencana untuk memanggil petani itu 

kembali. Dalam hatinya dia tetap menaruh syak wasangka. 

Sementara itu si petani yang mengaku bernama Wiku 

Tembereng memacu kuda hadiahnya keluar dari Kotaraja. 

Sepanjang jalan lima keping uang perak yang dimasuk–

kannya ke dalam saku pakaian berdering-dering. Sepan–

jang jalan itu pula di mulut Wiku Tembereng tersungging 

senyum. 

"Kukira cuma si Kunto Handoko saja manusia tolol di 

dunia ini! Kiranya Sultan dan Kepala Pasukan Demak 

itupun bisa kutipu! Ha... ha! Dan si Parereg itu pasti akan 

terjebak kalau dia betul-betul datang ke Bukit Mangatas 

besok!" 

Sekali lagi Wiku Tembereng tertawa terbahak-bahak. 

Memang cukup lucu karena namanya sebenarnya bukan–

lah Wiku Tembereng melainkan Tunggul Bayana. 


BAB 6


KETIKA pada tengah hari itu Rah Gludak sampai di 

Bukit Mangatas, terkejutlah dia. Kunto Handoko 

ditemuinya menggeletak tak bergerak di tanah. Rah 

Gludak melompat dari punggung kuda dan langsung 

menghampiri sosok tubuh kawannya. Hatinya lega sedikit 

ketika mengetahui bahwa Kunto Handoko masih bernafas 

meskipun satu-satu seperti orang siap sekarat 

"Apa yang terjadi dengan dirinya," pikir Rah Gludak. Dia 

memandang berkeliling. "Di mana pula si Tunggul Bayana. 

Seharusnya dia ada di sini saat ini." 

Selintas pikiran muncul di benak Rah Gludak. Dia cepat 

berdiri dan setengah berlari menuju ke bagian belakang 

kuil. Sepasang matanya jadi melotot. Lobang yang tempo 

hari digalinya bersama teman-temannya kosong melom–

pong, tak beda dengan keadaan sebelumnya. 

"Apa yang terjadi! Mungkinkah Tunggul Bayana ber–

khianat?!" 

Rah Gludak cepat berpaling ketika didengarnya suara 

kaki-kaki kuda dari arah belakang. Semula disangkanya 

Tunggul Bayana. Yang muncul ternyata Lor Parereg. 

"Apa yang terjadi dengan Kunto Handoko?" tanya Lor 

Parereg. 

Rah Gludak melihat bibir Lor Parereg pecah. Dia 

menjawab, "Ada yang tak beres di sini Parereg. Tunggul 

Bayana tidak kelihatan mata hidungnya! Harta-harta 

rampokan juga tidak ada. Lobang yang kita gali tempo hari 

ternyata kosong melompong!" 

Berobahlah paras Lor Parereg. Sekali lompat saja dia 

sudah berada di tepi lobang. 

"Keparat!" kata Lor Parereg sambil mengepalkan tinju. 


"Pasti si Tunggul Bayana itu berkhianat!" Dia kelihatan 

marah sekali. Pelipisnya bergerak-gerak. Lalu dia pergi ke 

bagian depan kuil dan memeriksa tubuh Kunto Handoko. 

"Dia telah diracuni!" kata Lor Parereg setelah meneliti 

keadaan Kunto Handoko. Bibirnya jelas kelihatan membiru. 

Kemudian dilihatnya bekas totokan pada pangkal leher 

anak buahnya itu. "Untung dia masih bisa menotok jalan 

darahnya. Kalau tidak pasti dia sudah mati saat ini!" 

Dari balik pakaiannya Lor Parereg mengeluarkan satu 

lipatan kertas berisi sejenis bubuk berwarna putih. Bubuk 

ini dimasukkannya ke dalam mulut Kunto Handoko. 

Setelah menunggu beberapa lama dilepaskannya totokan 

pada pangkal leher laki-laki itu. Tak selang berapa lama 

Kunto Handoko membuka kedua matanya perlahan-lahan. 

Lor Parereg yang sudah tak sabaran menepuk-nepuk muka 

anak buahnya itu. 

"Hai! Ayo bangun! Bangun! Sadar, jangan mimpi!" 

Lor Parereg menyandarkan kepala Kunto Handoko pada 

reruntuhan tembok kuil. Sepasang mata Kunto Handoko 

memandang berkeliling. Dia berusaha mengumpulkan 

ingatannya kembali. 

"Ceritakan apa yang terjadi," kata Lor Parereg. 

Yang ditanya masih berdiam diri macam orang bingung. 

"Ayo ceritakan! Kau kutemui menggeletak pingsan. Apa 

yang terjadi? Siapa yang punya pekerjaan? Ayo!" Kembali 

Lor Parareg menepuk-nepuk pipi Kunto Handoko. 

Rasa sakit pada mukanya memulihkan ingatan Kunto 

Handoko. Tapi yang dilakukan laki-laki ini bukannya men–

jawab pertanyaan Lor Parereg melainkan duduk bersila 

mengatur jalan nafas dan darahnya. Lor Parereg 

menggerutu habis-habisan. Tapi dia memaklumi apa yang 

dilakukan Kunto Handoko itu adalah satu keharusan yaitu 

untuk menghindarkan luka dalam akibat keracunan. 

Selesai mengatur jalan nafas dan peredaran darahnya 

Kunto Handoko muntah-muntah. Dadanya yang tadi sesak 

perlahan-lahan terasa lega. Kepalanya yang berat kini 

menjadi enteng. 


"Sekarang cepat terangkan apa yang terjadi!" kata Lor 

Parereg tak sabar lagi. 

Kunto Handoko lalu menerangkan bahwa dia dan 

Tunggul Bayana sampai di tempat itu sekitar tengah hari 

kemarin. Diceritakannya bagaimana Tunggul Bayana 

mengkhawatirkan luka di bahunya lalu memberikan sebutir 

obat. Tak lama sesudah obat itu ditelannya kepalanya 

terasa berat. Dadanya sakit, lalu dia muntah-muntah dan 

tak ingat apa-apa lagi. 

"Tunggul Bayana keparat haram jadah!" Suara Lor 

Parereg menggeram bergetar. "Berani dia mengkhianati 

kita! Kita harus cari dia dan cincang sampai lumat!" 

"Dia pantas digantung kaki ke atas kepala ke bawah. 

Lalu dihukum picis!" kata Rah Gludak yang sejak tadi diam 

saja. 

Ketiga orang itu melangkah menuju ke kuda masing-

masing. Namun langkah mereka serta- merta terhenti. 

Sepasang kaki mereka laksana dipantek ke tanah. Mata 

mereka membeliak dan memandang berkeliling. 

Sesaat itu dari balik semak belukar muncul puluhan 

prajurit bersenjata lengkap, mengurung puncak bukit itu 

dalam dua lapor berbentuk lingkaran. Seorang lelaki 

berpakaian perwira dan bertubuh tinggi kekar diiringi oleh 

dua orang pemuda yang juga mengenakan seragam 

perwira kerajaan melangkah kehadapan Lor Parereg dan 

dua kawannya. 

"Kalian bertiga sudah terkurung!" kata perwira yang 

paling depan dan bukan lain adalah Brajaseta. "Tidak ada 

guna melawan. Menyerah lebih baik!" 

"Apa-apaan ini?!" tanya Lor Parereg membentak. 

"Kau dan dua kawanmu kami tangkap Parereg! Dan 

jangan banyak mulut!" kata Brajaseta pula. 

"Ditangkap?" Sepasang mata Lor Parereg melotot dan 

berputar liar "Bah! Kami tidak ada urusan dengan kalian 

kecoak-kecoak kerajaan!" 

Brajaseta menyeringai mendengar dirinya dan anak 

buahnya disebut kecoak kerajaan. Dengan kedua tangan  diletakkan di pinggang Brajaseta kembali membuka mulut, 

"Kau dan kawan-kawanmu telah menghadang rombongan 

Gusti Ayu Ning Larasati. Merampok barang-barang kerajaan 

dan menculik puteri Sultan!" 

Lor Parereg orangnya memang pandai dan licik. Dia 

memandang pada Kunto Handoko dan Rah Gludak. Ketiga 

orang itu lalu tertawa gelak-gelak. Dua perwira muda yang 

turut bersama Brajaseta kelihatan sudah tidak sabar untuk 

buru-buru turun tangan. Namun tanpa mendapat isyarat 

atau perintah mereka tidak berani bertindak mendahului. 

Sambil balas berkacak pinggang Lor Parereg berkata, 

"Perwira, kau lihatkah matahari bersinar terik di atas batok 

kepalamu? Ini satu pertanda bahwa saat ini tengah hari 

bolong! Dan adalah aneh kalau kau bicara melantur 

macam orang mimpi mengigau! Jangan menuduh yang 

bukan-bukan! Jangan mimpi di siang bolong!" 

Dengan tenang malah sambil tertawa Brajaseta 

menjawab, "Mungkin kau yang mimpi Lor Parereg!" 

"Hem, tunggu dulu! Dari mana kau tahu namaku Lor 

Parereg?!" 

"Tanya jawab ini bisa kita lanjutkan nanti di Kotaraja!" 

jawab Brajaseta. Dia memandang berkeliling. "Setahuku 

kalian berjumlah empat orang. Mana kunyuk yang satu 

lagi?!" 

Lor Parereg geleng-gelengkan kepala. 

"Sebaiknya jangan teruskan mimpi anehmu itu. Sekali 

aku bilang tak ada urusan dengan kalian, tetap tak ada 

urusan. Sekarang minggir! Beri jalan!" 

"Hem kau mau ke mana Parereg? Jika hendak pergi ke 

Kotaraja kami akan mengantarkan kau dan kawan-kawan–

mu ke sana!" kata Brajaseta pula. Lalu dia goyangkan 

kepala pada dua perwira muda di sampingnya. Ketiganya 

maju bersamaan. 

"Gila! Kalian hendak turun tangan terhadap orang yang 

tidak punya salah apa-apa?!" teriak Lor Parereg. 

"Kejahatan kalian telah jelas. Segala apa yang kalian 

bicarakan sudah kami dengar. Jika kau dan teman-teman


mu tidak mau menyerahkan diri dengan damai, kekerasan 

mungkin lebih baik!" 

"Cara kekerasan dan mengeroyok! Pengecut! Kau 

mengandalkan puluhan prajurit!" kata Lor Parereg. 

"Jangan khawatir. Prajurit-prajurit itu hanya menjadi 

penonton. Kecuali kalau kau coba melarikan diri!" 

"Perwira tolol! Kau mencari mati!" bentak Lor Parereg 

lalu hunus kerisnya. Kunto Handoko dan Rah Gludak 

mencabut pedang. Brajaseta serta dua perwira muda 

segera pula mengeluarkan senjata masing-masing yakni 

sebatang pedang berukuran pendek. Sesaat kemudian 

pertempuran satu lawan satu berkecamuk hebat. 

Dalam memainkan keris Lor Parereg tidak kalah hebat 

jika dibandingkan dengan cara dia memainkan pedang. 

Tubuhnya berkelebat gesit sekali. Kerisnya seolah-olah 

lenyap dan senjata itu menderu-deru sebat menusuk dan 

membabat kian kemari secara tidak terduga dan ganas. 

Selama malang melintang menjadi kepala rampok Hutan 

Roban betapapun tangguh lawan yang dihadapinya, paling 

lama si lawan hanya sanggup bertahan sampai duapuluh 

jurus. Tapi kali ini setelah berkelahi sepuluh jurus saja Lor 

Parereg segara menyadari bahwa lawan yang dihadapinya 

memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Dalam waktu 

dekat dia pasti akan roboh di tangan lawan! Meskipun 

demikian Lor Parereg tidak mau menyerah mentah-

mentah. Segala tipu daya dan jurus-jurus ilmu silat simpa–

nannya dikeluarkan. Permainan kerisnya sekali-kali diseling 

dengan pukulan tangan kosong yang hebat. Bahkan dia 

berulang kali melepaskan pukulan sakti Angin Empat 

Racun. Tapi kesemuanya itu sia-sia belaka. 

Kalau dengan bersenjata Lor Parereg tidak sanggup 

mempertahankan diri lama-lama maka tanpa senjata dua 

jurus kemudian dia tidak dapat berbuat apa-apa ketika 

hulu pedang pendek di tangan Brajaseta membalik dan 

menghantam ganas keningnya. Lor Parereg menggeletak 

pingsan. Dua orang prajurit atas perintah Brajaseta dengan 

cepat meringkusnya, mengikat tangan serta kakinya. 


Sementara itu perkelahian antara Kunto Handoko dan 

Rah Gludak melawan dua perwira muda kerajaan tak kalah 

serunya. Sampai duapuluh jurus suasana kelihatan seim–

bang. Namun setelah dua perwira itu merobah permainan 

silat mereka maka dua anak buah Lor Parereg itu jadi 

dibikin sibuk. Di samping itu tertangkapnya Lor Parereg 

sedikit banyak mempengaruhi nyali mereka. Sehingga 

meskipun bertahan mati-matian akhirnya keduanya kena 

dirobohkan juga. Mula-mula Kunto Handoko terdengar 

menjerit. Bahu kirinya luka parah disambar pedang lawan. 

Lalu satu tendangan pada dadanya membuat tubuhnya 

mencelat dan roboh tak sadarkan diri. 

Rah Gludak mengalami nasib sama. Masih untung dia 

tidak mendapat luka-luka. Tubuhnya kena ditotok pada 

bagian bawah ketiak. Dia tergelimpang di tanah dalam 

keadaan kaku. 

Brajaseta dan orang-orangnya memeriksa seluruh 

puncak Bukit Mangatas. Tak satupun yang dapat mereka 

temui untuk dijadikan bahan pelacakan empat peti harta 

dan Ning Larasati. Bersama ketiga tawanan itu akhirnya 

mereka kembali ke Kotaraja. Tapi Brajaseta tak lupa untuk 

menempatkan beberapa prajurit di situ guna mengawasi 

daerah tersebut. 


BAB 7


SETELAH dihadapkan pada Sultan Trenggono ketiga 

tawanan dimasukkan ke sebuah ruangan di bawah 

tanah. Di situ terdapat berbagai macam alat-alat aneh 

untuk menyiksa manusia. Masih dalam keadaan terikat Lor 

Parereg dan kawan-kawannya dibaringkan di lantai kotor 

yang ada bekas-bekas darahnya. Dekat kaki dan kepala 

mereka terdapat sebuah roda besar dari kayu yang 

dicanteli rantai besar. Setiap roda kayu ditangani oleh 

seorang juru penyiksa. 

"Parereg," menegur Brajaseta. "Kau tidak terlalu tolol 

untuk mengetahui di mana kau berada bukan?" 

Sesaat Lor Parereg memandang berkeliling. Lalu dia 

berpaling pada Brajaseta dan dua perwira muda yang 

berdiri disamping Kepala Pasukan Demak itu. Tiba-tiba dia 

menyeringai aneh. 

"Manusia-manusia tak berdaya dijebloskan ke dalam 

ruang penyiksaan. Apakah ini tindakan manusia yang 

mengaku beradab?" 

Brajaseta keluarkan suara mendengus. "Terhadap 

manusia-manusia macammu dan kawan-kawanmu tak 

perlu diributkan soal peradaban. Peradaban tak ada 

kamusnya untuk manusia-manusia biadab macam kalian! 

Duapuluh prajurit Demak kalian bunuh. Bahkan juga 

seorany perwira Kerajaan. Apakah itu beradab?" 

"Mereka sudah ditakdirkan mati! Aku muak bicara 

tentang manusia-manusia yang sudah mati!" 

"Sebentar lagi kaupun akan mati Parereg. Juga dua 

kawanmu ini!" 

"Oh begitu?" 

"Ya!" 


"Berarti Sultan Trenggono akan kehilangan empat peti 

uang serta barang-barang berharga. Akan kehilangan puteri 

yang paling dikasihinya untuk selama-lamanya!" ujar Lor 

Parereg lalu tertawa gelak-gelak, 

"Bagus!" ujar Brajaseta. "Kau rupanya bukan seekor 

tikus yang takut mati. Tapi ingat kematian itu bukan apa-

apa. Hanya beberapa detik saja. Tapi saat-saat menjelang 

kematian itu yang justru amat mengerikan. Lebih menyiksa 

dan lebih kejam dari kematian itu sendiri!" 

Lor Parereg tertawa dingin. "Hari ini kau boleh gembira 

dengan kematianku. Hari ini kau boleh berpesta pora 

dengan kematian kami bertiga. Tapi jangan lupa sobat, 

pesta kematianmu-pun kelak bakal tiba. Lebih meriah dari 

kematian kami!" 

Brajaseta mengangkat tangan memberi isyarat. Prajurit-

prajurit yang berada di samping roda-roda besar mengikat 

kedua tangan dan kaki tiga rampok Hutan Roban itu. Lalu 

roda-roda itu mulai diputar hingga tubuh Lor Parereg, 

Kunto Handoko dan Rah Gludak terangkat ke atas. Setiap 

kali roda itu diputar, kaki dan tangan meraka tambah 

meregang hingga akhirnya ketiganya terpental di atas 

lantai! 

"Kita mulai lagi bicara, Parereg!" kata Brajaseta. 

"Sekarang kau tentu lebih sedap untuk berbincang-

bincang. Nah di mana kau sembunyikan Gusti Ayu Ning 

Larasati?" 

Lor 

Parereg 

menyeringai. 

Antara 

dendam 

dan 

kesakitan. "Tanyakan pada roh manusia-manusia yang 

pernah kau siksa sampai mati di ruangan ini!" katanya. 

"Di mana kau simpan barang-barang rampokan?" 

"Tanyakan pada setan nereka!" 

"Di mana kawanmu yang seorang lagi?" tanya Brajaseta 

lagi. 

"Tanya pada dedemit Hutan Roban," sahut Lor Parereg. 

Rahang Brajaseta menggembung. Dia memberi tanda 

pada juru putar yang ada di dekat Kunto Handoko. Dua 

prajurit ini segera memutar roda-roda kayu itu. Makin   kencang, makin kencang hingga tubuh Kunto Handoko 

tambah meregang. Keringat memercik di muka dan seluruh 

tubuh perampok ini. Dia mengernyit tanda menahan sakit 

yang amat sangat. Dan roda-roda penyiksa itu masih terus 

diputar. Kunto Handoko merasa sepasang kaki dan 

tangannya seperti mau tanggal berserabutan. Sakitnya 

bukan kepalang. Dia menjerit mengerikan. Untuk beberapa 

lamanya suara jeritannya masih menggema di ruangan 

penyiksaan itu! 

"Kau dengar jeritan itu Parereg!" kata Brajaseta seraya 

menyeringai. 

Lor Parereg tak menjawab. Matanya memandang ke 

langit-langit ruangan. 

Brajaseta memberi isyarat. Kini pada dua prajurit yang 

menjaga roda-roda kayu penyiksa Rah Gludak. Salah 

seorang dari mereka mendekati Rah Gludak lalu merobek 

bajunya. Kawannya mengeluarkan segulung cambuk. 

Benda ini diputar-putarnya di udara hingga mengeluarkan 

suara menderu-deru. Tiba-tiba cambuk itu melesat ke 

bawah dan menghantam dada Rah Gludak yang terbuka. 

Rah Gludak memekik kesakitan. Lalu mulutnya 

terkancing menahan rasa sakit. Di saat itu kembali cambuk 

melanda tubuhnya. Lagi dan lagi hingga Rah Gludak 

berteriak tiada henti macam orang gila. Dadanya penuh 

dengan guratan-guratan luka yang dalam. Darah mem–

basah. 

Dari dalam sakunya salah seorang prajurit mengeluar–

kan sebuah jeruk nipis. Dia menggigit buah ini lalu 

memerasnya di atas dada Rah Gludak yang berlumuran 

darah. Rah Gludak melolong setinggi langit sewaktu air 

perasan jeruk itu membasahi luka-luka di dadanya! 

"Kau dengar lolongan itu Parereg?" tanya Brajaseta 

dekat-dekat ke telinga Lor Parereg. Yang ditanya masih 

tetap memandang ke langit-langit ruangan. 

"Kau mendengar. Pasti mendengar. Tapi kau pura-pura 

mempertuli telingamu. Pura-pura tak mendengar. Kau tak 

mungkin lari dari kengerian itu. Karena kau juga bakal 


mengalaminya. Bakal merasakannya! Kecuali kalau kau 

mau buka mulut!" 

"Buka mulut soal apa?!" tanya Lor Parereg. Meski dia 

sudah tahu keterangan apa yang diinginkan Brajaseta tapi 

dia pura-pura bertanya mengulur waktu. 

"Tentang Gusti Ayu Larasati. Tentang barang-barang 

kerajaan yang kau rampok. Juga tentang kawanmu yang 

seorang lagi!" jawab Brajaseta. 

"Dua pertanyaanmu yang pertama tak bisa kujawab!" 

kata Lor Parereg. 

"Aneh!" sahut Brajaseta sambil rangkapkan lengan di 

muka dada. 

"Aku tidak tahu di mana Gusti Ayu Larasati. Juga 

barang-barang itu!" 

Brajaseta manggut-manggut. "Lalu pertanyaan yang 

ketiga?" 

"Aku juga tidak tahu di mana dia berada sekarang. 

Namanya Tunggul Bayana. Dia pengkhianat busuk! Kelak 

akan kucincang tubuhnya sampai lumat!" 

"Aku tak percaya padamu Parereg. Lekas katakan di 

mana Gusti Ayu dan empat peti itu berada!" 

"Sekalipun kau korek biji mataku, aku tak bakal dapat 

memberi keterangan karena aku betul-betul tidak tahu!" 

"Pengasuh Gusti Ayu mengatakan kaulah yang telah 

menculik Gusti Ayu!" 

"Perempuan itu tentu sudah miring otaknya akibat 

tendanganku!" kata Lor Parereg. "Ada satu hal yang ingin 

kutanyakan. Bagaimana kau tahu bahwa aku dan kawan-

kawan ada di Bukit Mangatas?" 

"Dedemit Hutan Roban yang mengatakan padaku!" 

jawab Kepala Pasukan Demak. 

Lor Parereg tertawa. "Rupanya kau juga bisa bergurau 

sobat! Apakah kau juga bersedia melepaskan ikatan rantai 

besi pada tangan dan kakiku?" 

"Itu soal gampang saja. Asal kau mau memberi 

keterangan!" sahut Brajaseta. 

"Aku benar-benar tidak tahu!" 


"Kalau begitu biar alat penyiksa itu yang akan 

menanyakannya padamu!" Brajaseta mulai jengkel. Dia 

melambaikan tangannya pada dua prajurit. Keduanya 

segera memutar roda-roda kayu. Kaki dan tangan Lor 

Parereg terpentang makin tegang. Lor Parereg merasa 

ajalnya segera akan sampai. Bagaimanapun dia tak mau 

mati. 

"Tunggu dulu!" teriak Lor Parereg. 

"Ah, kau mau bicara Parereg?!" tanya Brajaseta. 

"Ya." 

"Bicaralah! Itu lebih bagus daripada tangan dan kakimu 

tanggal satu demi satu!" 

"Dekatkan telingamu Brajaseta. Apa yang hendak 

kukatakan ini rahasia sekali!" 

Brajaseta mendekatkan telinganya ke muka Lor 

Parereg. Saat itu pula Lor Parereg berteriak, "Kau keparat 

gila!" 

"Bangsat 

kurang 

ajar!" 

teriak 

Brajaseta. 

Kedua 

tangannya kiri kanan meninju muka Lor Parereg hingga 

babak belur. Kedua matanya menggembung bengkak. 

Bibirnya pecah dan hidung melelehkan darah kental. 

"Kepala Pasukan Demak ternyata saorang manusia 

pengecut! Hanya berani pada orang yang tidak berdaya!" 

Brajaseta jadi panas. 

"Lepaskan ikatannya." 

Dua prajurit segera melakukan perintah itu. Ikatan 

rantai besi pada kaki dan tangannya dicopot. Dia berdiri 

dengan sempoyongan, bersandar ke salah satu roda kayu. 

Sepasang matanya menyorotkan dendam kesumat. 

"Lor Parereg! Akan kubuktikan bahwa aku bukan 

pengecut! Mulailah!" kata Brajaseta. 

Lor Parereg maju selangkah. Tiba-tiba dia menerjang 

ganas. Kedua tangannya dipukulkan serentak. Delapan 

larik asap menggebu ke arah Kepala Pasukan Demak itu. 

Brajaseta melompat ke atas. Pukulan Angin Empat Racun 

yang dilepaskan Lor Parereg menghantam sebuah rak yang 

berisi seperangkat alat-alat penyiksa. Benda-benda itu 


hancur berantakan berikut raknya. 

"Keluarkan semua kesaktianmu Parereg!" kata Braja–

seta yang tetap tenang sambil memasang kuda-kuda. 

Keduanya 

berputar-putar 

mengintai 

kelemahan 

dan 

kelengahan lawan. 

Tiba-tiba Lor Parereg menyambar sepotong besi dan 

dengan benda itu dia menyerang Brajaseta dalam jurus-

jurus ilmu pedang yang ganas. 

Untuk beberapa jurus lamanya Brajaseta harus berlaku 

hati-hati karena Lor Parereg kelihatan sangat kalap. 

Potongan besi di tangannya yang cukup berat itu menderu-

deru lenyap menjadi sinar hitam dan mengurung Brajaseta. 

"Ciaat!" 

Kepala Pasukan Demak itu membentak nyaring. 

Tubuhnya berkelebat lenyap. Lor Parereg merasakan sam–

baran angin di punggungnya. Dengan cepat dia memutar 

batangan besi ke belakang lalu membalik sambil melan–

carkan satu pukulan tangan kosong dengan tangan kiri. 

Sekali lagi Brajaseta membentak dan sekali lagi pula 

tubuhnya berkelebat lenyap. Kembali Lor Parereg merasa–

kan ada sambaran angin serangan di belakangnya. Seperti 

tadi kembali dia membalik seraya hantamkan potongan 

besi. Tapi kali ini dia hanya sempat membuat gerakan 

setengah memutar karena saat itu satu pukulan keras 

menghantam lengannya. Lor Parereg mengeluh kesakitan. 

Tulang lengannya seperti patah. Potongan besi terlepas 

dan jatuh ke lantai ruangan. 

Lor Parereg masih belum melihat di mana saat itu 

lawannya berada. Tahu-tahu satu jotosan keras melanda 

mukanya. Kepalanya serasa meledak. Sesaat dia tertegak 

nanar lalu roboh pingsan dengan muka matang biru babak 

belur. 

"Ikat dia kembali!" perintah Brajaseta. Bersama dua 

perwira muda itu dia lalu meninggalkan ruang penyiksaan. 


BAB 8


HARI ITU adalah hari yang kedua Lor Parereg dan 

kawan-kawannya disekap di ruang penyiksaan. 

Ketiganya masih dipentang di atas roda kayu. 

Mereka sama sekali tidak diberi makan, hanya diberi 

minum sedikit. Keadaan ketiganya seperti setengah 

sekarat. 

Kunto Handoko membuka kedua matanya yang 

bengkak. Dengan lemah dia berpaling pada Lor Parereg. 

Dilihatnya kedua mata Lor Parereg tertutup. Tubuhnya tak 

bergerak. Sudah matikah dia, pikir Handoko. 

"Kau tidur atau pingsan atau mati Parereg?" tanya 

Kunto Handoko. 

"Sialan! Kau kira di sorgakah kita saat ini hingga aku 

bisa tidur?!" terdengar suara Lor Parereg. Suaranya masih 

keras tapi kedua matanya yang gembung tetap tertutup. 

"Ajal kita tak lama lagi tamat di tempat terkutuk ini!" 

bicara lagi Kunto Handoko sementara Rah Gludak diam-

diam ikut mendengarkan pembicaraan itu. 

"Kita tak bakal dibunuh. Aku yakin!" kata Lor Parereg. 

"Yakin?" ujar Handoko. "Bagaimana kau bisa yakin?" 

"Selama mereka belum tahu di mana puteri Sultan 

berada, selama itu pula mereka akan membiarkan kita 

hidup." 

"Tapi aku tak tahan siksaan-siksaan yang mereka 

lakukan. Cepat atau lambat kita bakal mati!" Kali ini Rah 

Gludak ikut bicara. 

Sunyi sejenak. 

Kemudian 

terdengar 

Kunto 

Handoko 

bertanya, 

"Sebenarnya di mana kau sembunyikan puteri Sultan 

Trenggono?" 


Lor Parereg berpaling dan memandang pada kawannya. 

Dia hendak mengatakan sesuatu tapi saat itu didengarnya 

pintu ruangan terbuka. Brajaseta masuk diiringi dua orang 

pengawal. Setelah diberi isyarat dua pengawal itu 

meninggalkan ruangan. Pintu ditutup kembali. Brajaseta 

melangkah mengelilingi ketiga tawanan itu, akhirnya dia 

berhenti di samping sosok tubuh Lor Parereg. 

"Setelah dua hari di sini tentunya sekarang kalian 

merasa kerasan bukan?" tegur Brajaseta mengejek. 

"Memang betul. Seperti di rumah sendiri!" sahut Lor 

Parereg balas mengejek. 

"Syukur. Syukur. Sayang kami tidak bisa memberikan 

makanan yang enak-enak untuk kalian. Minumanmu cuma 

air comberan!" 

"Keparat!" Rutuk Lor Parereg. 

"Paling lambat sampai tengah malam nanti kalian 

bertiga sudah harus mati!" kata. Brajaseta. 

"Hem... Rupanya Sultanmu lebih suka kehilangan 

puterinya," tukas Lor Parereg. 

"Semua sudah dipertimbangkan. Tak ada jalan lain. 

Kalian harus mati tapi..." 

"Tapi apa...?" 

"Harus disiksa lebih dulu!" Brajaseta bertepuk dua kali. 

Pintu terbuka. Dua prajurit masuk menggotong sebuah 

anglo tanah berisi api yang berkobar-kobar. Di dalam anglo 

itu terdapat sebuah besi panjang yang gagangnya diberi 

lapisan karat. Besi ini ujungnya berbentuk bulat. "Dirang–

ket, dicambuk dan dipukuli memang bukan apa-apa bagi 

kalian. Tapi pernahkah kalian melihat kerbau atau sapi 

yang dicap tubuhnya dengan besi panas?" tanya Brajaseta. 

Lor Parereg mendengus. Rah Gludak dan Kunto 

Handoko menjadi pucat wajah masing-masing. 

"Parereg!" kata Handoko dengan suara bergetar. "Tak 

ada gunanya. Sebaiknya terangkan saja di mana puteri 

Sultan kau sembunyikan!" 

"Bangsat! Tutup mulutmu!" sentak Lor Parereg. Dia 

marah sekali. "Kunyuk-kunyuk Kerajaan ini tetap akan 


membunuh kita sekalipun kita memberi keterangan!" 

Kunto Handoko menggerutu dalam hati. Kalau saja dia 

tahu di mana puteri itu berada pasti sudah dikatakannya. 

"Aku heran mengapa kau jadi orang begini tolol 

Parereg!" kata Brajaseta seraya melangkah ke anglo besar 

dan mengeluarkan besi merah panas itu. Lalu dia melang–

kah mendekati Rah Gludak. Tentu saja orang ini ketakutan 

setengah mati! 

"Parereg!" teriak Rah Gludak. "Lekas kau katakan! 

Bicaralah! Bicaralah Parereg! Jangan tolol!" 

Tapi Lor Parereg tenang-tenang saja. Seperti tidak 

mendengar teriakan temannya itu. 

Brajaseta menempelkan besi merah yang dipegangnya 

ke pinggul Rah Gludak. Terdengar suara mendesis seperti 

bara kena air. Detik itu pula meledak jeritan Rah Gludak. 

Bau sangitnya daging yang terpanggang memenuhi 

ruangan itu. Brajaseta sekali lagi menempelkan besi panas 

itu ke tubuh Rah Gludak. Sekali lagi pula Rah Gludak 

berteriak setinggi langit. 

"Kau lihat Parereg? Kau dengar?!" ujar Brajaseta. 

"Kenapa masih berlaku tolol?!" 

"Demi setan aku tidak tahu di mana puteri Sultan 

berada!" Lor Parereg akhirnya memberi tahu. 

"Kalau begitu berteriaklah memanggil setan!" kata 

Brajaseta pula. Ujung besi panas itu lalu ditempelkannya di 

kening Lor Parereg. 

Cess! 

Kulit dan daging kening itu terpanggang merah. Tulang 

keningnya kelihatan jelas. Jeritan Lor Parereg menggelegar. 

Tubuhnya yang terpentang bergoncang-goncang padahal 

keempat anggota badannya sudah terentang tegang. 

Beberapa lamanya ruang penyiksaan itu digelegari oleh 

jeritan-jeritan Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko. 

Daging tubuh dan muka mereka kelihatan berlobang-

lobang hangus. Teriakan mereka baru berhenti setelah 

ketiganya jatuh pingsan. 

Brajaseta melemparkan besi panas ke dalam Anglo. Dia berdiri bertolak pinggang. Pelipisnya bergerak-gerak. 

"Keparat-keparat tolol semua!" maki Kepala Pasukan 

Demak ini. Lalu ditinggalkannya ruangan itu. 

Malam harinya Brajaseta masuk kembali ke ruangan itu 

seorang diri. Pintu dikuncinya dari dalam. Ketiga tawanan 

terpentang tak bergerak di atas roda-roda kayu, entah tidur 

entah masih pingsan. Brajaseta mendekati Lor Parereg. 

Matanya menyipit melihat keadaan tubuh serta muka 

kepala rampok Hutan Roban itu. Penuh luka-luka, bekas-

bekas hangus serta darah yang membeku. 

Brajaseta menjambak rambut Lor Parereg. "Bangun!" 

sentaknya. 

Lor Parereg tidak bergerak. Kedua matanya yang 

gembung terus menutup. Kepala Pasukan Demak itu 

berteriak lebih keras. Terdengar erangan panjang keluar 

dari sela bibir Lor Parereg. Perlahan-lahan kedua matanya 

membuka walau hanya sedikit. Mata itu berkaca-kaca oleh 

cairan kuning sedang di kedua sudut mata mengental 

bekuan darah. 

"Manusia iblis!" desis Lor Parereg. "Siksaan apa lagi 

yang bakal kau lakukan?!" 

"Dengar Parereg, aku mau bicara!" 

"Bicara nanti dengan rohku!" 

Brajaseta mendekatkan mukanya ke wajah tawanan itu. 

"Dengar, semua harta yang kau rampok itu kau boleh 

ambil. Aku tidak perduli. Tapi beritahu di mana Larasati 

berada..." 

"Heh... untuk pertama kali kudengar kau menyebut 

nama puteri itu tanpa gelaran Gusti Ayu." 

"Itu bukan urusanmu," kata Brajaseta. "Aku punya 

kepentingan sendiri. Jika kau beri keterangan aku 

bersumpah untuk melepaskanmu." 

Ini satu hal yang aneh bagi Lor Parereg. 

"Apa kepentinganmu itu?" dia bertanya. 

"Akan kukatakan setelah kau memberi keterangan!" 

"Heh, begitu?" 

"Ya!" 

Lor Parereg menyeringai. "Goroklah batang lehermu! 

Dan kau akan tahu di mana puteri itu berada!" 

"Rupanya kau tak menginginkan kehidupan lagi? Sudah 

bosan hidup? Kau tak ingin membalaskan sakit hatimu 

pada Tunggul Bayana yang telah mengkhianatimu?!" 

"Yang aku inginkan saat ini," sahut Lor Parereg pula, 

"ialah memuntir lehermu dan menghisap darahmu! 

Bangsat terkutuk!" 

Brajaseta melepaskan jambakannya. Dia melangkah 

mondar mandir. 

"Kau tolol Parereg. Atau mungkin kau tak percaya 

padaku?!" 

"Aku lebih percaya pada setan dari kau!" 

Brajaseta berpikir sejenak. "Dengar, kalau kukatakan 

padamu apa kepentinganku tadi apakah kau mau memberi 

keterangan?" 

Lor Parereg tidak menjawab. Kedua matanya kembali 

dipejamkan. 

"Dengar Parereg, ini satu rahasia. Tapi aku akan 

terangkan padamu. Aku percaya kau akan memberi tahu di 

mana Larasati berada." Sesaat Kepala Pasukan Demak itu 

memperhatikan wajah Lor Parereg, baru meneruskan kata-

katanya, "Aku sejak lama mencintai puteri Sultan itu. 

Secara diam-diam. Aku bahkan telah mengajukan lamaran 

pada Sultan. Entah mengapa lamaranku ditolak. Nah aku 

sudah jelaskan kepentinganku. Sekarang lekas kau beri–

tahu di mana Larasati berada. Hidupku akan tersiksa kalau 

sampai dia celaka, apalagi kalau sampai mati!" 

Dalam hatinya Lor Parereg tertawa mendengar kata-

kata Brajaseta itu. Diam-diam otaknya berputar mencari 

akal. 

"Kau akan kulepaskan Parereg. Aku bersumpah!" 

"Hanya aku sendiri?" tanya kepala rampok itu. 

"Kau dan kedua kawanmu!" jawab Brajaseta. 

"Aku tidak percaya." 

"Sekali ini kau harus percaya!" 

Lor Parereg berpikir sebentar lalu berkata, "Aku juga 


bersumpah bahwa aku benar-benar tidak tahu di mana 

puteri Sultan itu berada. Tapi aku bisa menghubungkan 

kau dengan seseorang yang mengetahui tentang puteri 

itu." 

"Katakan siapa orang itu dan di mana tempatnya," ujar 

Brajaseta cepat. 

"Aku akan katakan dengan satu syarat. Yaitu keluarkan 

dulu aku bersama kedua temanku dan bawa ke satu 

tempat yang kuingini." 

"Itu satu hal yang tak mungkin. Kau bisa menipuku!" 

kata Brajaseta. 

Lor Parereg terdiam. Dia berpikir lalu, "Aku akan 

menulis sepucuk surat. Seseorang yang kau percaya bisa 

disuruh membawa surat itu kepadanya." 

Brajaseta mempertimbangkan usul Lor Parereg itu. 

Kemudian dia membuka pintu. Dua orang prajurit disuruh–

nya melepaskan rantai yang mengikat tangan serta kaki 

Lor Parereg. Karena tubuhnya lemah sekali dan tak 

sanggup berdiri Lor Parereg digotong ke sudut ruangan, 

didudukkan di atas sebuah kursi besar. Sehelai kertas dan 

sebuah pena bulu ayam lengkap dengan tintanya diberikan 

padanya. Dengan susah payah Lor Parereg menulis. 

Tulisannya buruk sekali, apalagi saat itu dia memang tidak 

dapat menulis secara wajar. 

Setelah surat selesai Brajaseta memeriksanya. "Tak 

sebaris katapun dalam suratmu itu kumengerti!" kata 

Kepala Pasukan Demak itu. 

Lor Parereg tersenyum. "Terus terang aku tidak yakin 

kau akan memenuhi sumpahmu, Brajaseta. Surat itu 

sengaja kubuat dalam tulisan rahasia. Jika kau tidak 

menipuku segala sesuatunya akan berjalan beres..." 

Brajaseta menjadi gusar. Tapi dia berlagak tenang. "Ke 

mana surat ini harus diantar?" tanyanya. 

"Ke selatan. Ke Bukit Tuntang," jawab Lor Parereg. "Di 

puncak bukit itu diam seorang kakek bermata satu. 

Berikan surat itu padanya dan dia pasti akan membalas 

dan memberi tahu di mana puteri Sultan berada." 


"Siapa adanya kakek itu?" tanya Brajaseta. "Itu kau tak 

perlu tahu. Namanya tidak penting. Yang penting bagimu 

bukankah untuk mengetahui di mana kekasihmu itu 

berada?" sahut Lor Parereg. 

Brajaseta melipat surat itu. Dia berpaling pada dua 

prajurit tadi dan memerintahkan untuk merejang Lor 

Parereg kembali di antara dua roda penyiksa. 

"Kenapa kau melakukan ini?!" tanya Lor Parereg ketika 

mendapatkan dirinya diseret kembali ke tempat penyik–

saan. "Bukankah kau harus membebaskan aku dan kawan-

kawan?!" 

Brajaseta tersenyum. "Kau baru bebas bila Larasati 

sudah ditemui dan dalam keadaan selamat." 

"Bukan begitu perjanjian kita tadi!" Brajaseta hanya 

ganda tertawa dan tinggalkan tempat itu. 

"Keparat penipu! Kau akan rasakan pembalasanku!" 

teriak Lor Parereg. 


BAB 9


DARI PINTU gerbang selatan Kotaraja kelihatan 

seorang perwira muda menunggangi seekor kuda 

berbulu kelabu. Perwira ini bernama Aria Galing dan 

merupakan salah seorang bawahan paling dipercaya oleh 

Kepala Pasukan Demak Brajaseta. Kepadanya telah 

diserahkan sepucuk surat yang dibuat oleh Lor Parereg 

untuk diantarkan pada kakek bermata satu yang menurut 

keterangan Lor Parereg tinggal di puncak Bukit Tuntang. 

Aria Galing sengaja diperintahkan berangkat pada sore hari 

agar bisa sampai esok sorenya di tempat yang dituju. 

Perjalanan Aria Galing tidak mendapat kesukaran. Dia 

hanya membutuhkan waktu untuk tidur dan istirahat di 

sebuah desa. Sebagai seorang perwira, kepala desa 

menyambut kedatangannya dengan pelayanan yang baik. 

Pagi harinya Aria Galing meneruskan perjalanan. Lewat 

rembang petang dari kejauhan mulai terlihat Bukit 

Tuntang, sebuah bukit besar yang tidak ubahnya seperti 

gunung. Dari kaki bukit menuju ke puncak perjalanan agak 

sukar. Namun demikian sebelum matahari tenggelam Aria 

Galing sudah sampai di puncak bukit yang menjadi 

tujuannya. 

Di satu pedataran sempit dan tinggi Aria Galing 

menghentikan kudanya. Dia memandang berkeliling. 

Hatinya lega karena begitu memandang ke jurusan timur 

terlihat sebuah pondok. Pondok ini terletak di tengah 

sebuah danau yang luas. Tak ada satu jembatan atau 

titianpun yang kelihatan. Aria Galing segera menuju ke 

danau. 

Di bawah siraman sinar kuning emas sang surya yang 

hendak tenggelam, pondok dan danau serta sekelilingnya 


diselimuti kesunyian. Perwira ini turun dari kudanya dan 

melangkah ke tepi danau. Tak sebuah perahupun atau 

rakit kelihatan di sekitar situ. Sesaat dia tegak berpikir, 

bagaimana dia bisa sampai ke pondok di tengah danau itu. 

Apakah dia harus berenang? Dilihatnya danau itu airnya 

tidak seberapa dalam karena dia dapat melihat jelas dasar 

danau. 

Selagi dia berpikir-pikir begitu tiba-tiba dia dikejutkan 

oleh belasan potongan bambu yang melesat ke udara dan 

jatuh bertebaran, mengapung di atas air danau. Belum 

habis kejutnya, satu bayangan hitam yang amat tinggi, 

laksana seekor burung terbang dari tepi danau sebelah 

tenggara dan mempergunakan potongan-potongan bambu 

yang mengapung sebagai peniti kaki hingga akhirnya 

sampai di daratan sempit di tengah danau dan lenyap 

masuk ke dalam pondok. 

"Pasti orang itulah kakek yang harus kutemui," pikir Aria 

Galing. Diam-diam dia merasa kagum melihat bagai–mana 

si bayangan hitam mempergunakan potongan-potongan 

bambu yang mengapung di air sebagai jembatan 

penyeberang. Meskipun dia tidak sempat melihat jelas 

sosok tubuhnya namun Aria Galing menyaksikan bagai–

mana tidak satupun potongan bambu itu terbenam ke 

dalam air sewaktu orang itu menginjaknya! Dia membatin 

apakah dia mampu berbuat yang sama, karena hanya 

potongan-potongan bambu itulah satu-satunya jembatan 

penyeberang baginya. 

Setelah menguatkan hati Aria Galing melompat ke 

tengah danau. Potongan bambu pertama yang dipijaknya 

tenggelam ke dalam air danau, namun tubuhnya masih 

tertahan dan masih sanggup meneruskan lompatan ke 

bambu yang kedua, demikian seterusnya. Sampai di depan 

pondok kakinya basah kuyup. Dia melangkah menuju pintu 

yang tertutup lalu mengetuk. Sampai berulang kali dilaku–

kannya, tak ada yang menjawab. 

"Mustahil orang itu tidak mendengar. Atau mungkin dia 

tuli?" pikir Aria Galing. Dia mengetuk lebih keras. Tetap tak  ada sahutan. "Biar kucoba masuk saja!" kata perwira itu 

dalam hati mengambil keputusan. Tangannya sudah siap 

untuk mendorong daun pintu. Semangatnya serasa terbang 

sewaktu tahu-tahu di belakangnya terdengar satu ben–

takan keras dan garang. 

"Perwira bedebah! Ada urusan apa kowe nyasar 

kemari?!" 

Aria Galing membalik. Hatinya bergetar. Sosok tubuh 

manusia yang berdiri di hadapannya jika memang manusia 

memiliki tinggi luar biasa. Tinggi dan juga kurus sekali. 

Seumur hidupnya baru sekali itu Aria Galing melihat 

manusia bertubuh demikian tinggi dan demikian kurusnya. 

Dia terpaksa mendongak untuk melihat wajah orang itu. 

Dan kembali hatinya berdebar. Orang itu bermuka panjang 

cekung. Kulit mukanya hitam sekali dan berminyak. Mata–

nya yang sebelah kiri hanya merupakan sebuah rongga 

kosong. Sebaliknya mata kanannya besar sekali dan 

membeliak merah. Manusia ini sama sekali tidak memiliki 

alis. Rambutnya pendek kasar, kaku dan tegak macam 

bulu landak! 

"Aku utusan Kepala Pasukan Demak," Aria Galing 

perkenalkan diri sementara si tinggi hitam menelitinya dari 

atas sampai ke bawah dengan matanya yang cuma satu. 

"Aku datang membawa surat." 

Perwira itu lalu mengeluarkan surat Lor Parereg yang 

diterimanya dari Brajaseta dan menyerahkannya pada si 

tinggi itu. 

Kakek tinggi hitam mengambil surat itu dengan kasar. 

Lalu membacanya dengan matanya yang satu. Dalam 

membaca mata itu kelihatan seperti berputar-putar. 

Selesai membaca dia memandang tepat-tepat pada Aria 

Galing. 

"Kepala Pasukan Demak dan orang yang menulis surat 

itu meminta balasan," berkata Aria Galing. 

"Baik... baik, aku akan berikan balasannya Padamu," 

jawab si tinggi hitam. Tidak terduga tahu-tahu laksana kilat 

tangannya bergerak menyambar leher Aria Galing dan, 


krak! Patahlah tulang leher perwira kerajaan itu. Dia roboh 

dan mati detik itu juga! 

Sebagai seorang perwira Aria Galing memiliki kepan–

daian yang dapat diandalkan. Namun apa yang dilakukan 

si tinggi hitam selain amat cepat juga tidak disangka-

sangka sama sekali hingga akhirnya perwira itu menemui 

ajalnya hanya dalam satu kejapan mata saja! 

Seperti tak ada kejadian apa-apa si tinggi hitam untuk 

kedua kalinya membaca surat yang diterimanya. 

Paduka guru, Supit Ireng 

Akibat pengkhianatan keparat Tunggul Bayana, 

aku, Rah Gludak dan Kunto Handoko 

telah dijebloskan dan disiksa setengah mati 

dalam ruang penyiksaan istana Demak. 

Kalau Paduka guru tidak segera turun tangan, 

kami bertiga akan segera 

menjadi umpan cacing-cacing tanah, alias mampus! 

Muridmu, Lor Parereg 

"Wong edan! Wong edan!" Si tinggi hitam bernama Supit 

Ireng itu berkata berulang kali. Dia membungkuk, 

mencengkeram kedua kaki Aria Galing. Tubuh tak ber–

nyawa itu diputarnya di atas kepala beberapa kali. 

"Kowe pergilah!" bentaknya. Lalu mayat Aria Galing 

dilemparkannya jauh-jauh dan jatuh di tepi danau sebelah 

selatan. 

Supit Ireng kemudian berkelebat ke tengah danau. 

Melompat dari satu potongan bambu ke potongan lainnya 

hingga akhirnya sampai di tepi danau di mana kuda milik 

Aria Galing tertambat. Supit Ireng melompat ke punggung 

binatang ini dan memacunya ke jurusan timur yaitu menuju 

Kotaraja. 

*** 

KEHENINGAN dinihari yang dingin itu dihantui oleh 

derap kaki-kaki kuda dan kerontang roda kereta. Kenda–

raan ini menderu cepat di atas jalanan tanah. Pengemudi nya bertubuh tinggi bermuka hitam. Pakaiannya yang hitam 

menambah angker tampangnya yang memang sudah 

mengerikan. Dia duduk di bagian depan kereta laksana 

setan. Di satu lereng jalan dia dapat melihat kelap-kelip 

lampu-lampu Kotaraja. Kereta dipercepatnya. Dia harus 

sampai di Kotaraja secepatnya dan pergi sebelum fajar 

menyingsing. 

Sepeminuman teh akan mencapai pintu gerbang 

selatan Kotaraja, orang ini memutar keretanya memasuki 

hutan kapas hingga akhirnya sampai di tembok Kotaraja 

sebelah timur. Kereta ditinggalkannya dalam hutan kapas 

yang gelap, kemudian dengan cepat dia mendekati tem–

bok. Sekali lompat saja dia sudah berada di atas tembok 

yang tinggi itu. Setelah meneliti keadaan di bawah sana 

dan dirasakannya aman, orang ini melompat ke wuwungan 

bangunan istana. Gelapnya hari, pakaian hitam yang 

dikenakannya serta gerakannya yang cepat membuat 

dirinya tiada beda dengan hembusan angin dinihari yang 

tidak kelihatan. 

Siapakah manusia ini? Dia bukan lain adalah Supit 

Ireng. Di lain saat dia sudah sampai di wuwungan istana 

sebelah timur. Sekali lagi dia meneliti suasana lalu berge–

rak ke jurusan barat dan akhirnya melompat turun mema–

suki halaman istana. Begitu kedua kakinya menginjak 

rumput taman, seorang pengawal yang kebetulan berada di 

situ membentak curiga, "Siapa itu?!" 

Supit Ireng memaki. Dia cepat merunduk dan sembunyi 

di balik sebuah pot bunga besar. Pengawal tadi dengan 

tangan kanan siap di hulu pedang cepat mengejar. Di 

depan pot bunga dia berhenti. 

"Heran, manusia atau setan? Kalau manusia kenapa 

bisa lenyap secepat itu?" membatin si pengawal. Dia ber–

pikir dan memutuskan untuk memberitahu kepala penga–

wal. Namun sebelum dia melangkah, lima jari membuat 

lidahnya terjulur keluar dan tak dapat bernafas! 

Sekujur tubuh pengawal ini gemetar, tengkuknya dingin 

ketika dia berhasil melihat tampang makhluk yang mencekiknya. Dia hendak berteriak tapi tak bisa. Dicobanya 

mencabut pedangnya namun tenaganya seperti lenyap. 

"Kalau kowe tidak mau mampus, lekas tunjukkan di 

mana letak ruang penyiksaan tawanan!" Supit Ireng meng–

ancam. 

Pengawal itu menggelepar-geleparkan kedua tangannya 

lalu menunjuk ke kiri. Dari mulutnya hanya keluar suara 

uh... uh... uuuh. 

"Jalan, bawa aku ke sana!" kata Supit Ireng. Cekikannya 

dilepaskan tapi terlebih dulu urat di pangkal leher 

pengawal itu ditotoknya hingga si pengawal tidak bisa 

bersuara lagi. Mereka memasuki sebuah pintu, melewati 

beberapa gang dan ruangan. Agar tidak berpapasan 

dengan pengawal-pengawal lainnya kerap kali Supit Ireng 

harus menarik pengawal itu ke tempat gelap atau yang 

kelindungan. Mereka sampai pada mulut sebuah gang di 

mana dua orang pengawal kelihatan berjaga-jaga. 

"Kau jalan duluan," desis Supit Ireng. "Lewati kedua 

pengawal itu!" 

Supit Ireng kemudian merapatkan diri ke balik tembok. 

Pengawal yang diperintahkan melangkah ke mulut gang. 

Dua pengawal yang tegak berjaga-jaga mula-mula tidak 

menunjukkan kecurigaan. Namun sesudah pengawal satu 

itu lebih mendekat, mereka melihat adanya kelainan pada 

tindak-tanduk teman mereka ini. Serta merta mereka 

melintangkan tombak dan menyuruhnya berhenti. 

Pada saat itulah Supit Ireng keluar dari balik dinding 

dan dengan cepat mengirimkan totokan jarak jauh yang 

lihai! Kedua pengawal di mulut lorong hanya bisa 

mengeluarkan seruan pelan, lalu keduanya tegak laksana 

patung, tak bisa bersuara tak bisa bergerak! 

Di ujung gang terdapat sebuah ruangan. Di sini terletak 

sebuah meja panjang dan empat buah kursi. Ruangan ini 

merupakan ruang pengawalan yang ketat karena di ujung 

ruangan inilah terletak tangga yang menuju ke bagian 

bawah istana di mana terdapat ruangan tahanan dan 

ruang penyiksaan. Saat itu di sana kelihatan empat orang 


berjaga-jaga. Tiga pengawal tingkat rendah dan seorang 

berpakaian perwira. 

Dari kejauhan Supit Ireng meneliti keadaan. Dia tak 

mau bertindak ceroboh. Bukan mustahil ruangan itu 

dilengkapi 

alat-alat 

rahasia. 

Tiba-tiba 

Supit 

Ireng 

menangkap pinggang pengawal yang tadi dipaksanya 

menjadi penunjuk jalan. Sesaat kemudian pengawal itu 

dilemparkannya ke arah empat orang yang berada di 

ruangan penjagaan. Jatuhnya tepat di atas meja! 

Sudah barang tentu orang-orang yang ada di situ kaget 

bukan main. Selagi mereka terkejut inilah Supit Ireng ber–

tindak cepat. Tubuhnya berkelebat. Pengawal di sebelah 

kanan terjengkang dan melingkar di lantai tanpa bisa 

berkutik karena tulang dada dan tulang-tulang iganya 

melesak ke dalam akibat tendangan kaki kanan Supit 

Ireng. 

"Kurang ajar! Setan alas dari mana yang berani masuk 

mengacau?!" bentak perwira yang ada di tempat itu. Sekali 

dia bergerak pedangnya sudah berada di tangan dan di lain 

kejap senjata itu menderu memapas ke pinggang Supit 

Ireng. 

Dua pengawal yang ada di situ begitu hilang kagetnya 

kini tampak ngeri memandang wajah manusia hitam yang 

datang menyerbu itu. Karenanya tanpa tunggu lebih lama 

mereka segera mengikuti jejak atasannya dan mencabut 

pedang masing-masing, lalu menyerang. 


BAB 10


SUPIT IRENG bergerak gesit. Tangan kanannya 

berkelebat dan prak! Kepala pengawal yang kedua 

pecah. Nyawanya lepas sebelum tubuhnya mencium 

lantai. Hal ini membuat kemarahan membara di hati 

perwira muda sedang pengawal yang satu lagi sebenarnya 

sudah lumer nyalinya. Karenanya gerakan pedangnya tidak 

tetap. Dalam satu gebrakan cepat Supit Ireng lepaskan 

pukulan tangan kosong yang keras dan tepat menghantam 

dada si pengawal. Orang ini terhuyung-huyung sambil 

pegangi dada. Nafasnya sesak, dia coba menghirup udara 

dalam-dalam tapi dari mulutnya melompat muntahan 

darah. Dia terkapar di lantai, berkelojotan beberapa ketika 

lalu diam tak bergerak lagi. 

Satu-satunya yang tinggal, yakni perwira tadi boleh 

dikatakan kini sudah dingin tengkuknya. Dia bertahan mati-

matian dengan pedang di tangan. Namun bagaimanapun 

Supit Ireng bukanlah tandingannya. Setelah mengelakkan 

satu sambaran pedang, si tinggi hitam ini menubruk ke 

depan. Sang perwira coba menusukkan pedangnya, tapi 

lawan lebih cepat menyodok ulu hatinya dengan satu 

jotosan. Selagi dia melintir kesakitan Supit Ireng kepruk 

kepalanya. 

Di saat yang sama kaki perwira itu terpeleset. Tubuhnya 

terjungkal dan disambut oleh tendangan kaki kiri Supit 

Ireng. Perwira ini mencelat, terguling di lantai. Sebelum 

ajalnya sampai dia masih sempat menjangkau sebuah 

tombol rahasia di dinding dan menekan tombol ini kuat-

kuat. Hal ini tidak diperhatikan lagi oleh Supit Ireng karena 

saat itu dia melangkah ke pintu dan dengan satu 

tendangan keras pintu ruangan penyiksaan itu berhasil 


dibobolnya hingga ambruk! 

Dalam hidupnya Supit Ireng telah banyak menyaksikan 

kematian manusia dalam cara yang mengerikan dan 

mengenaskan. Namun seumur hidupnya belum pernah dia 

melihat manusia direjang pada roda-roda kayu, diikat 

dengan rantai besi dalam keadaan tubuh bergelimang luka 

dan darah. Amarahnya meluap ketika menyaksikan 

muridnya Lor Parereg terpentang dalam keadaan sangat 

mengerikan itu. Sekujur tubuh muridnya itu penuh luka-

luka bekas cambukan. Lalu luka-luka hangus bekas 

sentuhan besi panas, ditambah gelimangan darah yang 

sebagian telah membeku. Rah Gludak serta Kunto 

Handoko tidak lebih baik keadaan mereka. 

"Benar-benar biadab! Keparat! Pembalasanku segera 

akan tiba!" kata Supit Ireng dengan rahang menggembung 

dan geraham bergemeletakan. 

Dari atas rak diambilnya sebuah kapak besar. Dengan 

senjata ini disertai kerahan tenaga dalam tentunya, 

diputuskannya rantai-rantai besi yang mengikat kaki 

tangan Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko. 

Ketiga orang itu terbanting ke lantai. Dengan kapak masih 

di tangan, seperti menggendong boneka saja, Supit Ireng 

menumpuk tubuh Lor Parereg dan dua kawannya di bahu 

kiri lalu cepat-cepat menuju pintu. Namun pada saat yang 

sama di mulut gang telah menyerbu masuk sepuluh 

pengawal kelas satu! 

"Lekas menyerah dan kembalikan tahanan!" teriak 

salah seorang pengawal. 

Supit Ireng mendengus. Bola matanya yang cuma satu 

berputar. Kapak di tangan kanannya digenggamnya erat-

erat. 

"Baik, aku akan menyerah!" katanya menyeringai. "Tapi 

makan dulu ini!" 

Kapak itu menderu. Tiga orang pengawal di sebelah 

depan menjerit dan roboh mandi darah. Tujuh kawannya 

meski terkesima tapi cuma seketika, lalu serentak 

menyerbu. Supit Ireng kembali putar kapak di tangan  kanannya. Pekik kematian kembali menggema di tempat 

itu. 

Dua pengawal yang masih hidup tak berani melakukan 

pengejaran ketika Supit Ireng meninggalkan gang di tingkat 

bawah itu. Di tangga yang menuju tingkat atas sepuluh 

pengawal tingkat satu kembali menghadang. Kali ini 

mereka malah dibantu oleh dua perwira tinggi. 

"Keparat! Kalian bikin repot aku saja!" rutuk Supit Ireng. 

Dia sama sekali tidak takut melihat lawan yang berjumlah 

banyak itu. Malah dia yang mendahului menye–rang. 

Kapak di tangannya berkelebat ganas kian kemari, 

menyebar maut. Kakinya kiri dan kanan bergantian 

mengirimkan tendangan. Korban demi korban berjatuhan 

termasuk satu dari dua perwira tinggi. Pada satu kesem–

patan Supit Ireng menerobos meninggalkan lawan-lawan–

nya yang masih hidup dan sesaat kemudian telah berada di 

taman istana, siap untuk melompati tembok halaman. 

Akan tetapi pada saat itu seluruh penjuru sudah diku–

rung. Puluhan prajurit muncul dari mana-mana ditambah 

pengawal-pengawal kelas satu dan perwira perwira tinggi 

Kerajaan. 

Memandang ke jurusan kanan Supit Ireng melihat 

seseorang berpakaian kebesaran mendatangi dengan 

cepat, diiringi dua orang tua berselempang kain putih. 

Ketiganya melangkah enteng dan dalam waktu singkat 

sudah berdiri lima langkah dari hadapan Supit Ireng. Guru 

Lor Parereg ini segera mengenali ketiganya. Sesaat hatinya 

tercekat tetapi dia sama sekali tidak takut. 

Yang termuda dari ketiga orang itu, yang berpakaian 

kebesaran adalah Brajaseta, Kepala Pasukan Demak. 

Orang tua di samping kanan dikenalnya dengan julukan Si 

Cakar Malaikat. Lalu yang di sebelah kiri terkenal dengan 

gelaran Si Kipas Besi. Kedua orang ini adalah tokoh-tokoh 

silat istana yang tinggi ilmu silatnya. 

Adapun tombol rahasia yang ditekan oleh perwira di 

ruangan penjagaan sebelumnya, berhubungan langsung 

dengan sebuah genta tanda bahaya di dalam kamar tidur 


Brajaseta. Ketika genta itu berbunyi Brajaseta segera 

melompat dari tempat tidur, mengenakan pakaian dan 

sengaja menghubungi Si Cakar Malaikat dan Si Kipas Besi. 

Ketiganya maklum sesuatu telah terjadi di ruangan penyik–

saan bawah tanah. Brajaseta memerintahkan menutup 

semua jalan keluar. Sewaktu Supit Ireng muncul di taman 

istana maka dia sudah terkurung rapat! 

"Supit Ireng!" tegur Si Kipas Besi. Rupanya tokoh silat 

istana ini juga mengenali siapa adanya manusia tinggi 

hitam bermata satu di hadapannya itu. "Kau sudah 

terkurung. Tunggu apa lagi? Lekas berlutut dan serahkan 

diri!" 

Supit Ireng tertawa hambar. "Bagus sekali omonganmu 

Kipas Besi. Berapa kowe dibayar untuk jadi cecunguk 

istana?!" 

Panaslah Si Kipas Besi. "Manusia tidak tahu diri! Nyawa 

sudah di depan mata masih bicara ngaco! Jangan jadi 

orang tolol Supit Ireng!" 

"Jangan kira aku takut pada kalian!" dengus Supit Ireng. 

"Majulah, satu-satu atau berbarengan sekaligus biar cepat 

aku membereskan kalian!" 

Brajaseta yang sudah tidak dapat menahan amarah, 

apalagi setelah menyadari kalau dia telah ditipu Lor 

Parereg, segera berteriak, "Supit Ireng! Serahkan nyawa 

anjingmu!" Lalu Kepala Pasukan Demak ini cabut 

pedangnya dan langsung menyerang. 

Trang! 

Pedang dan kapak saling bentrokan. Bunga api 

memercik. Kagetlah Brajaseta. Tangan kanannya tergetar 

keras. Tidak disangkanya tenaga dalam lawan begitu tinggi. 

Perubahan air muka Brajaseta terlihat jelas oleh dua 

tokoh silat istana. Keduanya tidak menunggu lebih lama. 

Dengan sepuluh jari tangan yang berkuku panjang 

dipentang ke depan Si Cakar Malaikat terjun ke kalangan 

pertempuran. Di lain pihak Si Kipas Besi telah keluarkan 

pula senjatanya yakni sebuah kipas terbuat dari besi yang 

jika dikembang lebarnya hampir setengah tetampah 


(nyiru)! 

Sekali 

dia 

menggerakkan 

kipas 

ini 

maka 

menderulah angin kencang laksana hembusan topan. 

Ketika dia masuk ke dalam pertempuran, Supit Ireng 

maklum bahwa keadaannya amat berbahaya. Apalagi saat 

itu dia tidak bisa bergerak leluasa akibat beban tiga 

manusia yang masih berada di atas panggulannya di bahu 

kiri. Otak licinnya segera mencari akal. 

"Tunggu! Aku mau bicara!" teriak Supit Ireng tiba-tiba. 

Ketiga lawannya hentikan serangan tapi masih dalam 

sikap mengurung dan waspada. 

"Kau mau bicara apa?!" bentak Brajaseta. 

"Dengar...," kata Supit Ireng sambil matanya yang satu 

itu berputar-putar. Tiba-tiba secepat kilat tangan kanannya 

diayunkan! 

Brajaseta kaget dan gerakkan pedangnya untuk 

menangkis. Demikian juga Si Kipas Besi serta Si Cakar 

Malaikat. Tapi terlambat! 

Terdengar pekik Si Cakar Malaikat sewaktu kapak besar 

itu menancap di pangkal lehernya. Darah muncrat. 

Sepasang matanya memandang mendelik ke arah Supit 

Ireng. Kedua tangannya menggapai ke udara. Tubuhnya 

lalu roboh dan terkapar di taman istana tanpa nyawa lagi! 

"Setan alas! Mampuslah!" teriak Brajaseta dan kirim–

kan satu bacokan kilat. 

Tapi Kepala Pasukan Demak ini masih kalah cepat 

dengan Supit Ireng yang licik itu. 

Sebelum 

bacokan 

pedang 

sampai 

Supit 

Ireng 

melemparkan sebuah benda bulat ke hadapan Brajaseta 

dan Si Kipas Besi. Detik itu juga terdengar suara letusan 

dan sesaat kemudian tempat itu sampai sejauh empat 

tombak telah tertutup oleh asap hitam yang memerihkan 

mata. Selagi semua orang berkedap-kedip dan gosok-

gosok matanya maka kesempatan ini dipergunakan Supit 

Ireng untuk meloloskan diri, melompat ke tembok istana 

dan lenyap dalam udara pagi yang masih gelap itu. 

"Siapkan kuda! Buka pintu gerbang!" teriak Brajaseta 

ketika menyadari kalau lawan telah melarikan diri. 


Meskipun dua ekor kuda penarik kereta itu telah berlari 

dalam kecepatan tinggi namun Supit Ireng masih terus 

mencambukinya agar mereka berlari lebih cepat. 

Kira-kira dua kali peminuman teh dia meninggalkan 

tapal batas Kotaraja lapat-lapat telinganya yang tajam 

mendengar derap kaki kuda banyak sekali dari arah bela–

kang. Supit Ireng berpaling. Di kejauhan dilihatnya serom–

bongan orang-orang Kerajaan melakukan pengejaran. Dia 

kertakkan rahang. Di depan sekali tampak Brajaseta dan Si 

Kipas Besi. Supit Ireng cambuk lagi kuda-kuda penarik 

kereta bertubi-tubi. 

Jalan yang buruk, penuh lobang serta bebatuan yang 

bertonjolan membuat kereta itu tidak bisa berlari kencang. 

Sementara itu para pengejar semakin lama semakin dekat 

juga dan hari mulai terang tanah. Dari arah belakang Si 

Kipas Besi mulai lepaskan serangan-serangan kipas yang 

menghembuskan angin kencang hingga kuda-kuda penarik 

kereta terganggu larinya. Brajaseta sendiri juga tidak 

tinggal diam. Puluhan jarum beracun dilepaskannya ke 

arah Supit Ireng. 

Sambil memacu kereta Supit Ireng terpaksa berulang 

kali memukulkan tangannya ke belakang untuk menangkis 

serangan angin puyuh Si Kipas Besi dan hujan jarum maut 

Brajaseta! 

Di satu tebing tinggi Brajaseta dan rombongan berhasil 

mengejar kereta itu. 

"Supit Ireng! Kalau tak mau mampus percuma hentikan 

kereta lekas!" memperingatkan Si Kipas Besi. 

"Tak usah diberi peringatan lagi paman!" ujar Brajaseta 

dan lemparkan lagi selusin jarum maut. 

Kuda penarik kereta meringkik lalu rubuh. Binatang-

binatang ini bersama kereta terguling beberapa kali. 

Sekejap saja tempat itu sudah dikurung belasan perwira 

tinggi dan puluhan prajurit. Brajaseta dan Si Kipas Besi 

melompat cepat dari kuda masing-masing dan mendekati 

kereta. Mereka terkejut ketika di situ mereka tidak 

menemukan Supit Ireng ataupun tawanan yang tiga orang  itu. Kereta yang berantakan itu kosong! 

"Kurang ajar! Kita kena ditipu!" rutuk Brajaseta sambil 

bantingkan kaki ke tanah sampai tanah itu melesak dalam! 

"Apa yang kita lakukan sekarang?" bertanya salah 

seorang perwira. 

"Dia pasti tidak lari jauh! Jelajahi seluruh daerah 

berbukit-bukit ini! Tangkap dia hidup atau mati! Juga ketiga 

tawanan itu!" sahut Brajaseta. 

Hampir seratus prajurit, belasan perwira tinggi ber–

sama-sama Si Kipas Besi serta Brajaseta menjelajahi 

seluruh daerah itu. Namun sampai tengah hari Supit Ireng 

dan tiga tawanan tak berhasil ditemukan. Mereka laksana 

lenyap ditelan bumi! 

"Kita cari di Bukit Tuntang!" kata Brajaseta setelah 

berunding dengan Si Kipas Besi. 

Maka rombongan segera menuju ke Bukit Tuntang yaitu 

tempat kediaman Supit Ireng. Tapi tempat itu sunyi senyap. 

Tak ada Supit Ireng dan tawanan itu di sana. Yang mereka 

temui hanyalah mayat Aria Galing yang membusuk. Dengan 

penuh 

geram 

Brajaseta 

menyuruh 

anak 

buahnya 

membakar habis tempat kediaman Supit Ireng. 


BAB 11


SAAT ITU memasuki rembang petang. Di lereng sebuah 

bukit, dua orang penunggang kuda kelihatan memacu 

kuda masing-masing menuju sebuah jalan kecil di 

kaki bukit. Sesaat kemudian keduanya sudah menempuh 

jalan itu terus menuju ke utara. Ternyata mereka adalah 

sepasang muda-mudi. Yang pemuda bertampang cakap 

gagah sedang si pemudi berparas jelita dengan kedua 

pipinya kemerah-merahan disengat oleh matahari petang. 

Di satu persimpangan keduanya berhenti. 

"Guru menyuruh kita menunggu di sini," kata si pemuda 

lalu turun dari kudanya dan melangkah ke tempat yang 

rindang. Sementara kuda mereka merumput mengisi perut, 

kedua muda-mudi ini duduk bercakap-cakap. 

"Jaka, aku tidak mengerti. Mengapa guru membawa 

kita ke puncak Gunung Karang. Bukankah di tempat 

kediamannya sekarang cukup bagus untuk melatih dan 

mendidik kita?" 

Si pemuda tersenyum. "Satu hal harus kau ketahui. 

Setiap orang sakti mempunyai sifat-sifat aneh. Kalau guru 

mengajak kita ke Gunung Karang pasti dia tahu bahwa di 

tempat itu jauh lebih bagus baginya untuk menggembleng 

kita." 

"Kalau aku sudah pandai silat nanti," kata si pemudi, 

"akan kucari bangsat bernama Lor Parereg itu dan kucin–

cang sampai lumat!" 

"Pembalasan memang sudah wajar," sahut si pemuda 

yang bernama Jakawulung. "Namun aku sangsi apakah kau 

akan betah tinggal di puncak Gunung Karang." 

"Kalau tidak betah mengapa aku bersedia ikut?" 

"Jangan lupa Larasati. Kau adalah puteri Sultan 


Trenggono yang tinggal di istana dan terbiasa dengan alam 

kehidupan serba mewah. Di mana segala yang kau ingini 

telah tersedia. Di puncak Gunung Karang kau tidak bakal 

menemukan itu, bahkan kesulitan yang kau hadapi. Di 

samping itu sewaktu-waktu kau tentu rindu pada orang 

tuamu atau..." 

"Atau apa Jaka?" 

"Atau kekasihmu..." 

Si pemudi yang ternyata adalah Gusti Ayu Ning Larasati 

tersenyum. "Setiap manusia tentu merasa kangen pada 

orang tuanya jika berpisah jauh. Tapi aku bisa menguasai 

kerinduan itu, Jaka. Dan soal kekasih... aku tidak punya." 

"Kalaupun tak punya tentu kau pernah mengagumi atau 

memuja atau menaksir seorang pemuda dalam hidupmu..." 

kata Jakawulung pula. 

Larasati menggeleng. 

"Atau sebaliknya ada pemuda yang memujamu?" 

"Itu urusan dia. Aku bukan dewi yang pantas dipuja-

puji!" 

"Tapi bagi seorang pemuda yang jatuh cinta, kekasih 

pujaannya lebih cantik dari dewi manapun." 

"Itu namanya sinting!" 

"Lho, orang jatuh cinta itu memang seperti sinting. Apa 

kau tidak tahu?" kata Jakawulung lalu kedua muda-mudi 

itu tertawa gelak gelak. 

"Guru tetap tak mengizinkan kau menemui kedua orang 

tuamu lebih dulu sebelum dia menggemblengmu?" tanya 

Jaka. 

Ning Larasati menggeleng. "Guru yakin, jika aku minta 

izin dulu, orang tuaku pasti tidak membiarkan. Sekalipun 

guru telah menyelamatkan nyawa dan kehormatanku dari 

tangan Lor Parereg. Di samping itu..." 

Larasati tidak meneruskan kata-katanya karena saat itu 

dilihatnya Jaka memberi isyarat dengan menempelkan jari 

telunjuk di atas bibir. 

"Aku mendengar suara kaki-kaki kuda. Banyak sekali..." 

menerangkan Jaka. Perlahan-lahan dia berdiri dan  memandang berkeliling. Larasati mengikuti gerakannya. 

"Lihat!" kata Jaka tiba-tiba seraya menunjuk ke depan. 

Larasati menoleh ke arah yang ditunjuk. Berubahlah 

paras gadis ini. Puluhan prajurit bersenjata lengkap 

dilihatnya muncul dari ujung jalan sebelah kiri, lalu juga 

dari arah kanan. Menyusul dari dalam rimba belantara. 

"Pasti mereka telah tahu bahwa kau berada di sini," 

kata Jaka. 

"Jika mereka memang pasukan Kerajaan kau tak usah 

khawatir. Aku akan suruh mereka pergi," sahut Larasati. 

Namun hati Jakawulung tetap tidak enak. Dia melang–

kah ke tempat kudanya merumput dan memberi isyarat 

pada Larasati agar mereka segera meninggalkan tempat 

itu. Namun justru saat itu terdengar suara memerintah, 

"Jangan bergerak! Tetap di tempat kalian!" 

Jakawulung dan Larasati berpaling. 

Seorang berpakaian kebesaran tentara dan bertubuh 

tinggi kekar melompat dari punggung kudanya. Gerakannya 

enteng sekali. Jakawulung maklum kalau orang ini memiliki 

ilmu tinggi. Ning Larasati segera mengenali Kepala 

Pasukan Demak ini dan membisikkannya pada Jaka. 

"Gusti Ayu Larasati," kata Brajaseta sambil menjura, 

"syukur kami akhirnya menemui Gusti Ayu di sini. Sultan 

dan seisi istana sangat cemas atas lenyapnya Gusti Ayu!" 

Ning Larasati tidak menjawab apa-apa. Dia tahu kalau 

lagak sikap menghormat yang ditunjukkan Kepala Pasukan 

Demak itu lebih banyak bersifat pura-pura belaka dan 

gadis ini tahu bahwa Brajaseta menyukainya dan pernah 

melamar pada Sultan tetapi ditolak. 

Melihat tanggapan si gadis ayem-ayem saja, Brajaseta 

lalu berpaling pada Jakawulung dan bertanya, "Siapa 

pemuda ini?!" 

"Dia sahabatku, Paman Brajaseta!" jawab Larasati. 

Sebenarnya Brajaseta tidak suka dipanggil dengan sebutan 

paman. Dia lebih suka Larasati memanggilnya dengan se–

butan mas atau kangmas. Namun melihat perbedaan umur 

mereka sebetulnya panggilan itu sudah cukup pantas. 


"Sahabatmu Gusti Ayu? Ini adalah aneh!" kata Kepala 

Pasukan Demak itu. Dan rasa cemburu memanasi 

dadanya. "Gusti Ayu lenyap diculik gerombolan rampok Lor 

Parereg. Tahu-tahu kini ditemui di sini bersama seorang 

sahabat! Gusti Ayu, kami tak ingin mendapat dampratan 

dari Sultan. Harap Gusti Ayu menjelaskan dengan jujur." 

"Apa yang saya katakan adalah jujur, Paman. Apa 

paman tidak percaya?" 

Brajaseta menggelengkan kepalanya. "Tentu, tentu 

paman percaya padamu Gusti Ayu. Tapi terhadap pemuda 

ini paman menaruh curiga." Brajaseta berpaling pada 

beberapa perwira dan lalu memerintahkan, "Tangkap 

pemuda ini!" 

Lima perwira kerajaan segera melangkah maju. 

"Hai!" seru Larasati. "Jangan kalian bertindak samba–

rangan!" 

Langkah lima perwira tertahan. 

Brajaseta maju dan berkata, "Gusti Ayu, apakah benar 

pemuda ini sahabatmu atau bukan, bisa kita urus kemudi–

an. Yang jelas saat ini dia harus diamankan dulu dan 

dibawa ke Kotaraja!" Lalu sekali lagi Brajaseta memerin–

tahkan orang-orangnya untuk menangkap Jakawulung. 

"Tunggu!" seru Larasati kembali. "Saya bicara atas 

nama ayah, Sultan Demak! Jika kalian berani menangkap–

nya akan berhadapan dengan Sultan!" 

"Perbolehkan aku bicara!" Jakawulung buka mulut. 

"Manusia hina dina," memotong Brajaseta, "Kau tidak 

layak bicara!" 

"Layak atau tidak itu bukan persoalan!" tukas Jaka–

wulung. Sebagai manusia tentu saja dia merasa amat di–

rendahkan. "Aku tidak punya kesalahan apapun. Mengapa 

ditangkap?!" 

"Kau telah menculik puteri Sultan, merayu dan 

membujuknya hingga Gusti Ayu membelamu dan berani 

menantang kami orang-orang Kerajaan!" 

"Tidak! Dia sama sekali tidak menculik saya!" Yang 

menjawab Ning Larasati sendiri. 


Brajaseta berpaling pada gadis itu dan berkata, "Gusti 

Ayu, paman lihat kau selalu membelanya. Agaknya ada 

sesuatu di antara kalian?" 

"Paman Brajaseta! Mulutmu keliwat lancang. Bawa 

orang-orangmu pergi dari sini!" 

"Memang kami akan membawamu kembali ke Kotaraja 

Gusti Ayu!" 

"Siapa sudi ikut dengan kalian!" 

"Sudi atau tidak kami hanya menjalankan tugas dari 

Sultan Demak!" jawab Brajaseta. Lalu dia memberi isyarat 

pada lima perwira tadi. Kelima perwira ini bergerak cepat. 

Jakawulung mundur beberapa langkah seraya berkata 

memberi ingat, "Jika kalian berani menyentuh tubuhku, 

jangan salahkan kalau aku menurunkan tangan kasar!" 

"Kurang ajar! Berani dia menantang perwira Kerajaan. 

Lekas ringkus dia!" teriak Brajaseta marah. 

Lima perwira bergerak kembali. Tapi yang paling depan 

kemudian terhuyung dan terduduk di tanah kesakitan. 

Tinju kanan Jakawulung mendarat tak terduga di ulu 

hatinya. Melihat ini empat kawannya jadi gusar dan 

menyerbu. Kiranya Jakawulung meskipun masih muda 

bukanlah seorang yang tidak mempunyai isi. Empat perwira 

itu dibuat kewalahan kalang kabut tak berhasil meringkus–

nya, malah satu demi satu mereka kena dihajar! Tidak sia-

sia tokoh silat Malaikat Tak Bernama menggemblengnya 

selama lima tahun! 

Setelah lima jurus berlalu perwira-perwira itu masih 

belum mampu menangkap si pemuda, Brajaseta memben–

tak marah, "Pergunakan senjata!" Empat pedang dicabut 

secara serentak. 

"Pengecut! Curang!" teriak Ning Larasati. 

Jakawulung mengeluh karena saat itu dia tidak memiliki 

senjata untuk dapat melayani keroyokan empat pedang 

lawan yang ganas. Dia berusaha bertahan sambil sekali-

sekali kirimkan serangan balasan. Namun keadaannya 

cukup sulit kini. Selagi dia dipepet demikian rupa tiba-tiba 

dari belakang sepasang tangan yang kokoh merangkulnya. 


Brajaseta! 

"Lekas selesaikan dia!" teriak Brajaseta pada empat 

perwira di depannya. Sesaat perwira-perwira itu tertegun 

karena bagaimanapun mereka merasa sungkan membu–

nuh lawan yang tidak berdaya dan disaksikan sekian puluh 

mata. Namun mereka juga harus menjalankan perintah 

Kepala Pasukan Demak itu. Maka keempatnya lalu tusuk–

kan pedang masing-masing ke tubuh Jakawulung. 

Ning Larasati menjerit! 


BAB 12


PADA SAAT empat pedang hendak menembus tubuh 

Jakawulung pada detik itu pula terlihat berkelebat 

satu bayangan putih, disusul terdengarnya jeritan 

empat perwira kerajaan. Mereka terhuyung-huyung sambil 

pegangi bahu masing-masing. Ternyata bahu mereka telah 

ditancapi oleh sebuah panah putih yang panjangnya tak 

lebih dari sejengkal! 

"Itu pembalasan bagi siapa yang berani menurunkan 

tangan jahat terhadap murid-muridku! Siapa lagi yang 

hendak melakukan hal itu?!" Terdengar suara menghardik. 

Brajaseta merasakan ada yang mendorong tubuhnya 

dan rangkulannya terhadap tubuh Jakawulung lepas. Dia 

terjajar beberapa langkah. Memandang ke depan dilihat–

nya seorang nenek bermuka putih dan berpakaian serba 

putih tegak di samping kanan Jakawulung. Rambut nenek 

inipun keseluruhannya berwarna putih. Bahkan kedua 

tangan serta kakinya yang tersembul dari balik jubah putih 

juga berwarna putih. 

Si Kipas Besi yang saat itu masih duduk tenang-tenang 

di punggung kudanya begitu melihat si nenek muka putih 

jadi menyipit sepasang matanya lalu membentak, "Malai–

kat Tak Bernama, apa-apaan kau berani mencampuri 

urusan orang lain?!" 

"Mmmm..." si nenek bergumam dan melirik ke arah Si 

Kipas Besi. "Sejak jadi kaki tangan istana mulutmu sudah 

tambah besar, Kipas Besi. Apa perlu kurobek agar lebih 

lebar?!" 

Muka si Kipas Besi jadi mengelam merah. Dia hendak 

membentak tapi Brajaseta sudah mendahului, "Orang tua, 

apa yang terjadi di sini tak ada sangkut-pautnya dengan  dirimu. Sebaiknya..." 

"Tak ada sangkut pautnya?!" potong si nenek lalu 

tertawa tinggi dan panjang. "Kedua orang muda-mudi ini 

murid-muridku. 

Bagaimana 

mulutmu 

bisa 

lancang 

mengatakan tak ada sangkut paut?!" 

"Heh!" Brajaseta melengak heran. Tadipun dia sudah 

mendengar manusia muka putih itu menyebut Jakawulung 

dan Larasati murid-muridnya. "Nenek muka putih, kau 

jangan bicara melantur. Sultan Trenggono tidak pernah 

mengambil guru manusia macam kau...!" 

"Begitu...?" si nenek muka putih tenang-tenang saja. 

"Lalu pernah atau tidaknya apa urusanmu!" Tanpa perduli–

kan lagi Brajaseta, Malaikat Tak Bernama berpaling pada 

muda-mudi itu dan berkata, "Murid-muridku, mari kita 

tinggalkan tempat ini." 

"Mana bisa begitu?!" hardik Brajaseta. Dia mengha–

dang di tengah jalan. "Atas nama kerajaan, kau kami 

tangkap...!" 

"Dengan tuduhan apa?" tanya Malaikat Tak Bernama. 

"Menculik Gusti Ayu Ning Larasati!" jawab Brajaseta. 

Si Malaikat Tak Bernama tertawa gelak-gelak. Gigi-

giginya tampak masih lengkap dan putih. 

"Dia tidak menculikku. Dia justru yang menyelamatkan 

aku dari tangan Lor Parereg!" tiba-tiba Larasati berkata. 

"Hmmm, paman khawatir jalan pikiranmu sudah 

disesatkan tua bangka ini Gusti Ayu. Kau pasti telah 

diobatinya!" kata Brajaseta. 

"Brajaseta! Mulutmu terlalu lancang! Aku bukan guru 

cabul!" 

"Aku sama sekali tidak mengatakan kau guru cabul! 

Terserah kalau kau membuka kedokmu sendiri!" tukas 

Brajaseta. 

Muka putih Malaikat Tak Bernama berobah merah. 

"Kalau saja aku tidak berpantang membunuh sudah kupe–

cahkan kepalamu, Brajaseta!" kata si nenek. 

"Tangkap mereka! Bunuh kalau melawan! Selamatkan 

Gusti Ayu!" perintah Brajaseta. 


Puluhan prajurit, delapan perwira berkepandaian tinggi 

dan menyusul Brajaseta sendiri serta Si Kipas Besi segera 

menyerbu Malaikat Tak Bernama dan muridnya Jaka–

wulung. 

Melihat pengeroyokan ini Jakawulung segera meng–

ambil pedang salah seorang perwira yang tadi dipanah 

gurunya lalu mengamuk dahsyat. Si Malaikat Tak Bernama 

sendiri didahului oleh lengkingan tinggi berkelebat lenyap 

dan di sebelah kiri kanan susul menyusul terdengar jeritan 

prajurit-prajurit yang mengeroyok. 

Dalam pertempuran itu meskipun Malaikat Tak Ber–

nama dan Jakawulung menunjukkan kehebatan luar biasa 

namun jumlah lawan terlalu banyak. Di samping itu mereka 

harus melindungi Larasati hingga perhatian mereka jadi 

terbagi. Belum lagi serangan jarak jauh yang dilepaskan 

oleh Brajaseta dan Si Kipas Besi. 

Dalam hebatnya kecamuk pertempuran, Brajaseta dan 

Si Kipas Besi merangsak masuk mendekati Malaikat Tak 

Bernama. Dalam satu jurus yang hebat si nenek ini terpak–

sa bergerak melindungi Larasati ketika Brajaseta hendak 

merenggut tangannya. Justru saat itu Si Kipas Besi 

menyerbu dari kiri, menghantamkan senjatanya. Hanya ada 

dua pilihan bagi si nenek, melepaskan Larasati atau 

mengelakkan serangan kipas besi. 

Si nenek ini ternyata tidak mau memilih. Dia ingin 

menyelamatkan diri dan sekaligus menyelamatkan Lara–

sati. Maka tangan kanan mempertahankan gadis itu dan 

tangan kiri dipergunakan untuk menangkis serangan kipas. 

Si Kipas Besi berlaku cerdik. Dengan mengerahkan 

tenaga dalam ke senjatanya dia hantam pergelangan 

tangan lawan. Si nenek muka putih mengeluh tinggi. 

Tulang lengannya patah. Sedang Si Kipas Besi menyurut 

kaget. Senjatanya ambrol rusak! 

"Jaka! Lekas pergi dari sini! Bawa Larasati!" seru 

Malaikat Tak Bernama. 

"Tidak guru! Saya lebih rela mati bersamamu di sini!" 

jawab Jakawulung. Dan pedangnya berkelebat ganas. 


Seorang prajurit roboh. 

"Jangan jadi orang tolol Jaka!" teriak si nenek. "Yang 

penting selamatkan Larasati!" 

"Akupun rela berkubur di sini guru!" teriak Larasati. 

Si nenek jadi terharu. Gadis itu baru saja diambilnya 

jadi murid, bahkan dilatihpun belum. Namun kesetiaannya 

terhadapnya benar-benar mengagumkan. Kecamuk pera–

saan ini justru membuat si nenek menjadi lengah. Pedang 

Brajaseta berhasil melukai dadanya. 

"Jakawulung! Tunggu apa lagi! Lari dan selamatkan 

Larasati!" teriak si nenek. Suaranya keras dan bernada 

marah. 

Jakawulung jadi bingung. Dalam pada itu dilihatnya 

gurunya tersungkur ke depan. Dia memegang tangan Lara–

sati erat-erat. Lima perwira mengurung mereka. Brajaseta 

ikut membantu. Lima pedang perwira datang menderu. Tak 

ada jalan lain. Jakawulung harus menangkis. Tiga pedang 

sekaligus menghantam pedangnya hingga terlepas mental. 

Masih untung dia masih dapat menyelamatkan diri dari 

sambaran dua pedang lainnya. Tapi itupun tak ada 

gunanya. Karena dari kiri tusukan pedang Brajaseta datang 

dengan ganas! 

Namun sebelum ajal berpantang mati, sebuah benda 

hitam entah dari mana datangnya melesat laksana meteor 

dan menghantam tangan kanan Brajaseta. Kepala Pasu–

kan Demak ini mengeluh kesakitan dan terpaksa lepaskan 

pedang. Di saat yang sama satu angin sedahsyat topan 

prahara menggebu. Belasan prajurit dan beberapa perwira, 

termasuk Brajaseta tersapu sampai satu tombak. Ketika 

tiupan angin itu sirna, di tengah kalangan pertempuran 

tegaklah seorang pemuda bertubuh tegap, mengenakan 

pakaian putih yang bagian dadanya tidak dikancingkan. 

Sikapnya gagah tapi gayanya lucu seperti orang tolol. Dia 

memandang berkeliling sambil tersenyum. 

Tak satu orangpun di situ yang kenal siapa adanya 

pemuda yang telah menyelamatkan Jakawulung ini, kecuali 

si Malaikat Tak Bernama yang saat itu terduduk di tanah 


dengan tubuh penuh luka-luka. Si pemuda tak menunggu 

lebih lama, selagi semua orang terkesiap, dia segera 

dukung tubuh si nenek. 

Si nenek usap-usap rambut gondrong si pemuda seraya 

berkata, "Pendekar 212! Syukur, di saat aku mau mati 

begini rupa masih sempat bertemu denganmu..." 

Si pemuda tertawa dan menjawab, "Orang tua, siapa 

bilang kau bakal mati? Ajal di tangan Tuhan." 

"Wiro Sableng! Memang benar ajal di tangan Tuhan. 

Tapi kau lebih dari tahu kalau saat ini aku segera akan 

mati." 

"Sudahlah nenek muka putih. Mari kita tinggalkan 

tempat celaka ini!" Si pemuda yang bukan lain adalah 

murid Eyang Sinto Gendeng alias Pendekar Kapak Maut 

Naga Geni 212 berpaling pada Jakawulung dan Larasati 

yang berdiri bengong setelah diri mereka diselamatkan 

secara tidak terduga. 

Dari seberang Brajaseta dan Kipas Besi segera men–

datangi. 

"Pemuda asing! Kau juga mencari penyakit! Turunkan 

tubuh tua bangka itu dan pergi dari sini! Jangan sampai 

aku merubah pikiran untuk menangkapmu sekaligus!" 

bentak Brajaseta. 

Wiro Sableng ganda tertawa. Dia berkata, "Brajaseta, 

sebagai alat kerajaan kau memang pantas dipuji karena 

telah menjalankan tugas dengan baik! Tapi tindakanmu 

kelewat batas! Bawa pasukanmu meninggalkan tempat 

ini!" 

Mendengar kata-kata pemuda yang tidak dikenalnya itu 

tentu saja Brajaseta marah. Di saat itu sepasang mata Si 

Kipas Besi melihat tiga deretan angka pada dada si pemu–

da dan menjadi terkejut. 212. Dia sadar berhadapan 

dengan siapa dan cepat-cepat hendak memberitahu pada 

Brajaseta. Tapi Kepala Pasukan Demak ini sudah melang–

kah maju seraya melepaskan jotosan keras ke kepala Wiro 

Sableng. Pendekar ini melompat ke belakang hingga 

serangan Brajaseta hanya mengenai tempat kosong. 


Malaikat Tak Bernama tertawa bergelak ketika melihat 

Brajaseta hampir tersungkur karena kehilangan keseim–

bangan. Penasaran Kepala Pasukan Demak ini hendak 

memburu lawannya dengan serangan kedua. Namun saat 

itu Wiro Sableng sudah lepaskan satu pukulan dahsyat. 

Dan terjadilah hal yang luar biasa. 

Bumi laksana digoncang gempa. Pasir dan batu di 

tengah jalan menggebu beterbangan. Ranting pepohonan 

berputusan bahkan ada dua pohon yang tumbang. Belasan 

prajurit terguling-guling. Belasan perwira tinggi tergelim–

pang. Si Kipas Besi dan Brajaseta terkejut dan lekas ber–

lindung di balik sebatang pohon besar. Mereka menyangka 

tiba-tiba ada serangan topan dan tak berani bergerak atau 

melakukan apapun. 

Wiro yang memanggul Malaikat Tak Bernama dan 

Jakawulung serta Larasati yang berada di bagian yang tidak 

diselubungi angin besar itu memberi isyarat pada kedua 

muda-mudi agar segera mengikutinya. Mereka memasuki 

rimba belantara. Dari sini Wiro lepaskan satu pukulan Sinar 

Matahari ke arah orang-orang kerajaan itu hingga mereka 

merasa seperti dunia ini mau kiamat! Dan tak satu orang 

pun yang berani melakukan pengejaran! 

Setelah berada jauh dalam hutan, Malaikat Tak Ber–

nama terdengar berkata, "Kau hebat sekali Wiro," memuji 

nenek muka putih ini. "Aku berterima kasih kau telah 

menyelamatkan diriku dan murid-muridku. Tapi nyawaku 

rasanya tidak tertolong lagi..." 

"Sudahlah nenek, kau tak boleh banyak bicara dulu. 

Aku akan obati luka-lukamu," menyahuti Wiro. 

"Turunkan aku, aku ingin berbaring..." 

Wiro terpaksa membaringkan orang tua ini di bawah 

sebatang pohon yang rindang. 

"Larasati... mana Larasati...?" si nenek bertanya. 

"Saya di sini guru," jawab si gadis dan datang men–

dekat. 

"Aku akan pergi muridku..." 

"Tidak, guru akan sembuh. Bukankah guru telah berjanji  untuk menggembleng saya di puncak Gunung Karang?" 

Malaikat Tak Bernama tersenyum pahit. Diulurkannya 

tangannya untuk membelai rambut si gadis. Namun 

setengah jalan tangan itu terkulai. 

Larasati terpekik. Jakawulung merasakan dadanya 

sesak dan menahan air mata yang hendak membersit 

keluar. Malaikat Tak Bernama sudah tiada lagi. 

Setelah membiarkan kedua muda-mudi itu dilamun 

oleh suasana duka cita beberapa lamanya, Wiro lalu 

membuka mulut "Di mana jenazah guru kalian ini akan 

dikubur. Lalu apa yang akan kita lakukan?" 

Larasati berdiam diri karena dia memang tak tahu 

harus mengubur jenazah gurunya di mana. Jakawulung 

termenung, berpikir-pikir. 

"Sebaiknya kita pergi ke Danau Merak Biru..." kata 

Jakawulung kemudian. 

"Kenapa ke situ?" tanya Larasati. 

"Di sana diam seorang Empu. Namanya Pamenang. Dia 

masih ada hubungan darah dengan guru. Kita akan kubur–

kan jenazah guru di sana." 


BAB 13


AIR DANAU yang amat biru dan tenang itu merupakan 

satu pemandangan indah. Di langit sang surya 

memancarkan sinar lembut kuning. Empat sosok 

tubuh berdiri mengelilingi kuburan merah di salah satu 

tepian danau. Setiap wajah menunjukkan rasa duka cita 

yang mendalam. 

"Maut adalah kuasanya Tuhan," kata orang tua 

berbadan bungkuk yang tegak di samping Wiro Sableng. 

"Semua kita akan mengalami kematian. Semoga adikku 

mendapat tempat yang sebaik-baiknya di alam baka..." 

Perlahan-lahan orang tua itu memutar tubuh dan 

melangkah ke arah sebuah pondok. Wiro, Jakawulung dan 

Larasati mengikuti dari belakang. 

Di dalam pondok... 

Setelah suasana sunyi cukup lama mencengkam maka 

berkatalah orang tua bungkuk yang pakaiannya merupakan 

selempangan kain putih itu. Dialah Empu Pamenang, 

penghuni pondok sunyi di Danau Merak Biru, saudara 

sepupu si Malaikat Tak Bernama. 

"Jakawulung, Larasati. Karena kau sudah datang 

kemari maka tanggung jawab atas diri kalian terletak di 

tanganku. Biarlah aku mewakili saudaraku untuk meng–

gembleng kalian. Kalau saja aku tidak mempunyai 

larangan membunuh, maulah aku membalaskan sakit hati 

kematian saudaraku itu. Karena itu kelak kalian harus 

belajar sungguh-sungguh agar di kemudian hari bisa 

melakukan pembalasan yang setimpal terhadap orang-

orang yang telah berlaku sewenang-wenang itu." 

Empu Pamenang memalingkan kepalanya pada Wiro 

Sableng, "Pendekar muda, jika tidak karena kau tentu..." 


"Ah, aku tak berani menerima ucapanmu itu Empu," 

Wiro memotong cepat. "Semua kita hanya melakukan 

kewajiban masing-masing." 

"Betul, memang kewajiban." Kata Empu Pamenang 

pula. Lalu orang tua ini kelihatan seperti merenung, "Ingat 

pada kewajiban itu aku serasa hidup di atas bara panas..." 

Baik Wiro maupun Larasati serta Jakawulung tidak 

mengerti maksud kata-kata orang tua itu. Mereka saling 

bertanya-tanya dalam hati dan Wiro merasakan adanya 

kelainan pada air muka Empu Pamenang. 

"Kewajiban telah memburuku sejak sepuluh tahun yang 

silam. Namun kewajiban itu tidak pernah bisa kulaksana–

kan karena adanya pantangan membunuh!" 

"Gurupun mempunyai pantangan begitu," berkata 

Jakawulung. "Apakah sebabnya?" 

Empu Pamenang tersenyum rawan. 

"Tak bisa kuterangkan sebabnya, Jaka..." 

"Kalau saya boleh bertanya," kata Wiro pula, "Kewa–

jiban apakah yang telah memburu Empu sejak sepuluh 

tahun itu?" 

Empu Pamenang menghela nafas dalam. Lewat pintu 

pondok yang terbuka dia memandang ke danau berair biru. 

Kini air danau itu mulai bergelombang-gelombang kecil 

karena tiupan angin di rembang petang. 

"Limabelas tahun yang lalu aku mempunyai tiga orang 

murid yang amat kukasihi. Setelah lima tahun kugembleng 

di tempat ini, datanglah manusia jahat pembawa malape–

taka itu. Tanpa pasal tanpa alasan ketiga muridku dibunuh. 

Tubuh mereka dipotong-potong dan kepala mereka disate 

dengan sebuah tombak lalu tombak itu ditancapkan di atas 

pondok ini. Dan atas semua itu aku tak bisa melakukan 

pembalasan..." 

"Empu tidak tahu siapa pembunuhnya?" bertanya 

Jakawulung. 

"Bukan, bukan karena aku tidak tahu. Tapi karena aku 

mempunyai larangan membunuh." 

"Boleh saya tahu siapa manusia yang jahat luar biasa 


itu, Empu?" Kali ini Wiro Sableng yang bertanya. 

"Sebelum aku menjawab, maukah kau melakukan satu 

permintaanku Wiro? Tentu saja kau berhak menolak..." 

"Katakanlah, Empu." 

"Wakili diriku membalas sakit hati dendam kesumat 

yang telah kupendam selama sepuluh tahun itu." 

Wiro termenung. Setelah berpikir dalam-dalam akhirnya 

dia menjawab, "Kepercayaan yang Empu berikan akan saya 

laksanakan sedapat mungkin." 

"Terima kasih," jawab sang Empu. "Manusia itu ber–

nama Supit Jagal. Dia tinggal di sebuah goa batu di Teluk 

Burung, di pantai utara. Kabarnya dia mempunyai seorang 

adik yang tak kalah jahatnya, bernama Supit Ireng." 

"Baiklah Empu, sesuai dengan permintaanmu saya 

akan coba melaksanakan pembalasan." 

Bagi murid Eyang Sinto Gendeng ini meski dia tidak 

punya sangkut paut dengan Supit Jagal namun setiap 

manusia-manusia jahat golongan hitam sudah semestinya 

diberi ganjaran. Dibasmi dari permukaan bumi. Dengan 

tugas itu di pundaknya keesokan paginya Pendekar 212 

Wiro Sableng meninggalkan Danau Merak Biru. 

*** 

DI keheningan malam itu hanya siliran angin yang 

terdengar. Bahkan burung-burung hantu-pun yang biasa 

memperdengarkan suaranya yang seram malam ini 

membisu. Menjelang dinihari kesunyian yang dicengkam 

oleh dinginnya udara mendadak sontak dirobek oleh suara 

lolongan anjing. Lolongan itu terdengar berulang kali, 

panjang dan menggidikkan. Mungkin anjing-anjing itu 

melihat setan-setan gentayangan. Namun yang jelas tak 

lama setelah suara lolongan binatang itu berhenti, dari 

arah timur desa Pasirginting terdengar derap kaki kuda. 

Tak lama kemudian dalam kegelapan kelihatanlah tiga 

penunggang kuda memasuki desa. Ketiganya berpakaian 

serba hitam pekat. Tampang mereka penuh cacat, amat 


mengerikan. Jika ada orang yang kebetulan melihat 

mereka pastilah menduga ketiga penunggang kuda itu 

adalah setan-setan yang sedang keluyuran. 

"Pasti ini rumahnya!" kata penunggang kuda paling 

depan seraya menahan tali kekang kudanya. Dua kawan–

nya behenti di sampingnya. Rambut mereka rata-rata gon–

drong dan acak-acakan. Kumis serta cambang bawuk yang 

liar menambah keseraman wajah yang penuh cacat itu! 

Saat itu ketiganya berhenti di depan sebuah rumah 

paling besar di seluruh desa Pasirginting. Lelaki yang tadi 

bicara berpaling pada kawan-kawannya dan berkata, "Rah 

Gludak, kau berjaga-jaga di pintu belakang. Dan kau Kunto, 

naik ke atas atap. Awasi seluruh pekarangan. Kalau ada 

yang datang hantam saja dengan senjata rahasia. Yang 

penting kau harus mengawasi jangan sampai bangsat itu 

melarikan diri!" 

"Tak usah khawatir Parereg," jawab Kunto Handoko. 

"Dia tak kan bisa lolos!" 

Lor Parereg berkata lagi, "Aku akan masuk dari pintu 

depan, bila kalian dengar aku sudah bicara dengan keparat 

itu kalian baru bertindak masuk. Mengerti?" 

Kunto Handoko dan Rah Gludak mengangguk. Dengan 

gerakan laksana seekor burung dia melompat ke atap 

rumah tanpa menimbulkan sedikit suara pun. Sedang Rah 

Gludak bergerak ke pintu belakang dan Lor Parereg lang–

sung mendekati pintu depan. Pada saat itu di samping 

rumah muncullah dua orang berbadan tinggi kekar yang 

langsung melompat ke hadapan Lor Parereg. Ternyata 

keduanya adalah penjaga rumah. 

"Pencuri tengik berani mencari mati! Berani mencuri di 

rumah kepala desa!" teriak salah seorang dari penjaga 

rumah. Namun keduanya sesaat jadi tercekat ketika 

melihat wajah manusia yang mereka sangka pencuri itu. 

Benar manusia atau setankah orang ini?! Kalau manusia 

mengapa wajahnya lebih seram daripada setan? 

"Dengar sobat-sobatku," kata Lor Parereg tenang. "Aku 

bukan pencuri. Aku justru datang untuk membawakan 


hadiah untuk kalian! Ini, terimalah!" 

Lor Parereg mengulurkan kedua tangannya dan, prak! 

Kedua orang itu kontak menggeletak di tanah dengan 

kepala masing-masing rengkah akibat diadu satu sama lain 

oleh Lor Parereg. 

Dengan sikap tenang, seperti barusan tidak terjadi apa-

apa Lor Parereg mendekati pintu. Mudah sekali, entah 

bagaimana caranya pintu yang terkunci itu dibukanya 

tanpa menimbulkan suara sedikitpun! 

Ruangan depan rumah besar itu dilengkapi perabotan 

yang mewah, tiga perangkat sekaligus. Lor Parereg masuk 

lebih jauh ke dalam, melewati ruangan demi ruangan 

hingga akhirnya sampai pada sederetan pintu yang 

tertutup. Di hadapan sebuah pintu yang paling besar dan 

penuh ukiran, yang dari bagian celah bawahnya menyeruak 

sinar terang, Lor Parereg berhenti. Sesaat dia merapatkan 

telinganya ke daun pintu. Di ruangan belakang pintu 

didengarnya 

suara 

orang 

bercakap-cakap 

perlahan, 

diseling suara tertawa kecil perempuan lalu suara tempat 

tidur bergoyang-goyang. 

Parereg memasang telinga lebih lama. Setelah yakin 

bahwa suara lelaki di balik pintu adalah suara orang yang 

dicarinya maka sekali tendang saja bobollah pintu itu dan 

di lain kejap Lor Parereg sudah berada di dalam kamar 

yang amat bagus, beralaskan permadani tebal berbunga-

bunga. 

Dua sosok tubuh lelaki dan perempuan yang berte–

lanjang bulat yang tadi bergulung-gulung di atas tempat 

tidur terlompat kaget! 

Lor Parereg tertawa gelak-gelak. Dengan tangan kirinya 

disibakkannya kelambu. Perempuan di atas tempat tidur 

menjerit begitu melihat tampangnya yang mengerikan 

sedang yang lelaki membeliak ketakutan. 

"Ayo teruskan permainan kalian! Anggap saja aku tak 

ada di kamar ini!" kata Parereg sambil masih tertawa. 

"Kau... kau siapa?" tanya lelaki di atas tempat tidur. 

Saking takut dan terkejutnya saat itu dia maupun yang  perempuan sama-sama lupa akan keadaan tubuh masing-

masing yang tiada tertutup selembar benangpun! 

Pada saat itu dari atas langit-langit kamar yang tiba-tiba 

bobol melompat sesosok bayangan hitam sedang dari 

pintu belakang mendobrak masuk orang ke tiga. Semuanya 

berpakaian serba hitam dan memiliki wajah seperti setan, 

penuh cacat bekas luka! Untuk kedua kalinya perempuan 

di atas tempat tidur memekik ngeri sedang yang lelaki 

sudah sepucat kain kafan wajahnya! 

"Pemandangan yang hebat bukan, kawan-kawan?" kata 

Lor Parereg pada Kunto Handoko dan Rah Gludak. Sesaat 

mereka tegak menikmati tubuh putih mulus perempuan di 

atas tempat tidur. 

"Ka... kalian ini si... siapa?" 

"Ha... ha... Tak disalahkan kalau kau tidak mengenali 

kami lagi. Tampang kami telah berobah menjadi setan. 

Mengerikan! Dan kau tahu manusia keparat, kaulah yang 

menjadi penyebab mengapa kami jadi begini!" 

"A... aku...?" 

"Ya, kau!" 

"Kau sekarang hidup senang Tunggul Bayana!" mem–

buka mulut Kunto Handoko. "Uang dan harta berlimpah. 

Istri cantik dan peliharaan banyak! Alangkah hebatnya!" 

"Namaku bukan Tunggul Bayana. Aku Ki Ageng Tunggul! 

Kepala Desa Pasirginting!" kata lelaki di atas tempat tidur. 

Lor Parereg, Kunto Handoko dan Rah Gludak saling 

pandang. Lalu ketiganya tertawa gelak-gelak. 

"Kau boleh berganti nama seribu kali sehari. Tapi kau 

tetap adalah Tunggul Bayana! Manusia pengkhianat ter–

kutuk! Laknat haram jadah!" bentak Rah Gludak. 

"Nama yang pantas bagimu adalah Ki Ageng Tunggul 

Keparat!" kata Lor Parereg. Dan kembali ketiga orang itu 

tertawa gelak-gelak. 

Orang yang menjadi kepala desa Pasirginting dan 

mengaku bernama Ki Ageng Tunggul itu merasakan 

tengkuknya menjadi dingin. Sekujur tubuhnya basah oleh 

keringat ketakutan. Dadanya bergetar keras. Benarkah 


muka-muka yang cacat ini milik tiga orang yang pernah 

dikenalnya? Benarkah muka-muka setan ini kepunyaan 

manusia-manusia yang dulu pernah menjadi kawannya? 

Muka Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko?! 

"Kalau kalian mencari seorang bernama Tunggul 

Bayana, kalian telah salah alamat!" kata kepala desa itu 

yang sebenarnya memang adalah Tunggul Bayana. 

Lor Parereg maju selangkah. "Manusia keparat! Muka–

ku dan muka kawan-kawan memang cacat. Tetapi mata 

kami belum buta! Otak kami belum pikun!" Lalu Lor Parereg 

menjambak rambut Tunggul Bayana alias Ki Ageng 

Tunggul. "Lepaskan! Atau kupanggil pengawal!" teriak yang 

dijambak. 

"Kau ingin memanggil pengawal?" ujar Lor Parereg. Dia 

berpaling pada Kunto Handoko. "Kawan, coba kau bawa 

kedua pengawal itu!" 

Kunto Handoko keluar dari kamar. Sesaat kemudian dia 

masuk lagi membawa dua orang pengawal yang sudah jadi 

mayat dengan kepala rengkah. Makin pucatlah wajah 

Tunggul Bayana. Istri di sebelahnya menjerit dan pingsan 

sewaktu Kunto Handoko meletakkan dua sosok mayat itu 

di atas tempat tidur. 

"Nah, itu pengawal-pengawalmu. Silahkan minta tolong 

pada mereka," kata Lor Parereg dengan seringai setan. 

Sedang 

jambakannya 

semakin 

diperkeras, 

"Tunggul 

Bayana, kami tidak punya waktu lama. Katakan di mana 

kau simpan uang emas dan harta itu?!" 

"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan ini. Aku 

tidak kenal kau dan juga dua kawanmu ini!" kata Ki Ageng 

Tunggul. 

"Ohh, begitu?" ujar Parereg. "Jadi kau pura-pura tidak 

kenal kami. Pura-pura tidak tahu apa yang aku bicarakan! 

Nah kau makan dulu jariku ini!" 

Habis berkata begitu Lor Parereg menusukkan jari 

telunjuk tangan kirinya ke paha kanan Ki Ageng Tunggul 

hingga paha itu berlobang dan mengucurkan darah. Ki 

Ageng Tunggul merintih kesakitan sambil tekap pahanya. 


"Lobang-lobang seperti itu akan kubuat di seluruh tubuh 

dan mukamu, Bayana! Hingga wajahmu jauh lebih 

menyeramkan dari wajah kami!" 

Tiba-tiba Ki Ageng Tunggul Bayana meraung dan 

mencengkeram ke arah selangkangan Lor Parereg. 

"Benar-benar manusia keparat!" maki Lor Parereg. 

Disentakkannya kepala Ki Ageng Tunggul Bayana hingga 

tubuh kepala desa ini terjelapak di lantai. Ketika Bayana 

hendak bangkit berdiri secepat kilat Lor Parereg menginjak 

leher orang itu hingga Tunggul Bayana merasakan sakit 

yang bukan kepalang. Nafasnya seperti tertahan. Dadanya 

sesak. Lidahnya menjulur. 

"Tobat! Ampun! Ampuni selembar nyawaku ini Parereg!" 

"Ah... akhirnya kau mengenaliku juga!" kata Lor Parereg. 

"Minta tobat dan minta ampun. Jangan khawatir sobat. 

Kami akan ampuni kau. Tapi katakan dulu di mana kau 

sembunyikan uang emas dan harta itu!" 

"Akan kukatakan Parereg. Akan kukatakan. Tapi beri–

kan waktu tiga hari padaku!" 

"Waktu tiga hari buat apa?!" tanya Lor Parereg. 

"Untuk menipu dan mengkhianati kita lagi tentunya!" 

kata Kunto Handoko. 

"Aku bersumpah kawan-kawan! Demi persahabatan kita 

di masa lampau, aku tidak akan mengkhianati kalian untuk 

kedua kali! Beri aku waktu tiga hari. Hanya itu yang aku 

minta..." 

"Baik, akan kuberikan waktu tiga hari," kata Lor 

Parereg. 

"Jangan tolol Parereg!" seru Rah Gludak. 

Lor Parereg mengedipkan matanya. "Dia tak bakal lari, 

kawan. Sekalipun dia lari sampai ke perut bumi kita akan 

mengejarnya. Tiga hari tidak lama. Di samping itu kita bisa 

melepaskan lelah sambil bersenang-senang dengan istri 

dan perempuan-perempuan peliharannya. Bukan begitu 

Tunggul Bayana?" 

"Terserah apapun yang akan kau lakukan. Asal kau mau 

mengampuni aku dan memberikan waktu tiga hari..." 

Lor Parereg tertawa. Perlahan-lahan kakinya diangkat 

dari batang leher Ki Ageng Tunggul. 


BAB 14


TELUK Burung diselimuti kabut tebal. Hujan rintik-rintik 

turun sejak pagi. Dalam udara yang buruk itu seorang 

penunggang kuda berbaju biru bergerak di antara 

puing-puing batu. Mukanya pucat, matanya merah dn 

sekujur tubuhnya terasa letih. Sesekali kaki-kaki kuda 

tunggangannya terpeleset di batu licin. Namun dengan 

segala kekuatannya dan harapan untuk hidup orang ini 

terus membawa kudanya ke jurusan timur hingga akhirnya 

dia sampai di sebuah lamping bukit batu yang merupakan 

sebuah tembok panjang, membelintang dari timur ke 

selatan. Di salah satu bagian lamping batu tersebut, orang 

ini menghentikan kudanya dan memandang berkeliling. 

Hujan rintik-rintik telah berhenti. Tetapi kabut masih 

kelihatan di mana-mana menutupi pemandangan. Dia 

menunggu beberapa lama. Matahari muncul dan kabut 

mulai lenyap. Dia memandang berkeliling sekali lagi. Apa 

yang dicarinya kelihatan di kejauhan. Tepat di pertengahan 

lamping batu sebelah bawah kelihatan sebuah lobang 

besar. Dengan hati-hati orang ini membawa kudanya 

menuruni lereng batu itu, kemudian bergerak sepanjang 

tepi pasir menuju ke lobang batu yang tadi dilihatnya dari 

atas. 

Cuaca sementara itu telah berangsur cerah. Tepat di 

depan goa orang tadi hentikan kudanya dan melompat 

turun. Dengan memanggul sebuah kantong kulit dia 

melangkah menuju mulut goa. Lima langkah dia akan 

sampai ke mulut goa sekonyong-konyong dari dalam 

menggelegar bentakan. "Siapa yang berani datang ke 

tempatku tanpa diundang?!" 

Sesaat orang itu terkesima. Setelah habis kagetnya   maka diapun menjawab. "Aku Ki Ageng Tunggul kepala 

desa Pasirginting ingin bertemu dengan orang tua sakti 

bernama Supit Jagal." 

"Katakan apa keperluanmu!" orang dalam goa berkata. 

Ki Ageng Tunggul alias Tunggul Bayana menjawab, "Aku 

datang untuk mohon diambil jadi murid!" 

"Bah?! Maksud sintingmu membuat aku ingin melihat 

tampangmu. Masuk cepat!" 

Ki Ageng Tunggul masuk. Ternyata goa batu itu di 

bagian dalam tidak seberapa besar. Udara di sini terasa 

dingin karena ada tiupan angin dari laut. Di tengah ruangan 

duduk seorang kakek berpakaian putih kotor penuh 

tambalan. Rambutnya keriting macam bulu domba. Pada 

pipinya sebelah kanan terdapat cacat bekas luka yang 

amat besar. Daun telinganya sebelah kanan sumplung 

sedang sepasang matanya sipit sekali hampir seperti 

terpejam. 

"Duduk!" orang tua ini memerintah. 

Ki Ageng Tunggul duduk. Kantong kulit diletakkan di 

sampingnya. 

Setelah meneliti tamu di hadapannya kakek bernama 

Supit Jagal ini berkata, "Sudah tua bangka sepertimu ini 

minta diambil jadi murid. Tentunya kau sinting! Paling tidak 

edan!" 

"Soalnya 

terpaksa," 

jawab 

Ki 

Ageng 

Tunggul. 

"Sebelumnya aku telah memiliki dasar ilmu silat sejurus 

dua jurus." 

"Kau terpaksa minta jadi murid? Coba kau terangkan 

manusia sedeng!" 

"Tiga orang jahat mengancam hendak membunuhku. 

Mereka berilmu tinggi." 

"Untuk menghadapi mereka kau lalu minta ilmu 

padaku! Begitu!" 

"Betul!" 

"Kenapa tiga manusia itu hendak membunuhmu?!" 

"Dulu mereka adalah kawan-kawanku. Kemudian 

kukhianati!" Ki Ageng Tunggul lalu menceritakan peristwa 


di masa lampau itu. "Entah bagaimana mereka bisa lolos 

dari penjara istana. Kini mereka jauh lebih tinggi ilmu silat 

serta kesaktiannya dari dulu-dulu." Lelaki ini diam sebentar 

lalu menyambung. "Atas kesediaanmu mengambilku jadi 

murid, aku akan memberi imbalan yang cukup." Ki Ageng 

Tunggul lalu meletakkan kantong besar itu di hadapan 

Supit Jagal. Supit Jagal membuka kantong dan tampaklah 

uang emas di dalamnya. Sepasang mata Supit Jagal 

semakin menyipit. 

"Aku tak mungkin mengambilmu jadi murid!" tiba-tiba 

Supit Jagal berkata yang membuat paras Ki Ageng Tunggul 

jadi berubah. 

"Kenapa? Apakah pemberianku masih kurang?!" 

"Bukan. Tapi karena aku yakin kau tak bakal sanggup 

menjalankan syarat yang akan kutetapkan." 

"Syarat apapun akan kupatuhi!" jawab Ki Ageng 

Tunggul. 

"Kepala desa, begini saja. Kau atur agar ketiga 

musuhmu itu datang kemari. Urusan selanjutnya biar aku 

yang membereskan!" 

"Begitupun aku setuju," jawab Ki Ageng Tunggul. "Yang 

penting mereka dapat dibunuh!" 

"Tapi syarat yang telah kutetapkan harus kau jalankan." 

"Akan kulaksanakan orang tua. Katakanlah." 

"Kau harus bersumpah dulu bahwa kau betul-betul 

akan melaksanakannya!" 

"Demi Tuhan aku akan melaksanakan!" 

"Bukan demi Tuhan tolol! Tapi Demi Supit Jagal!" 

"Ya... ya. Demi Supit Jagal aku bersumpah!" kata Ki 

Ageng Tunggul alias Tunggul Bayana yang sekarang sudah 

jadi kepala desa itu. 

"Bagus. Sekarang kau telan dulu benda ini!" Supit Jagal 

melemparkan sebuah benda hitam ke pangkuan Ki Ageng 

Tunggul. 

"Benda apa ini?" tanya Ki Ageng Tunggul. 

"Telan saja! Jangan banyak tanya!" 

Tunggul Bayana menelannya. Supit Jagal tertawa 

panjang. "Yang kau telan itu adalah racun penghancur 

usus!" 

Pucatlah paras Ki Ageng Tunggul. 

"Racun ini akan bekerja setelah dua hari. Jika kau 

melaksanakan syarat yang kutetapkan kau boleh kembali 

ke sini membawa ketiga manusia itu. Aku akan memberi 

obat penawar racun itu. Tapi kalau kau bersumpah palsu 

dan ingkar, kau akan mampus dengan usus berantakan!" 

Supit Jagal kembali tertawa. 

Tunggul Bayana merasakan sekujur tubuhnya menjadi 

dingin. 

"Sekarang mengenai syarat itu," kata Supit Jagal pula. 

"Tepat tengah malam besok yaitu Kamis malam Jum’at 

Kliwon kau harus menggorok leher seorang bayi dan 

memandikan darahnya di kepala serta tubuhmu! Itu harus 

kau lakukan di bukit batu ini kira-kira seratus langkah di 

belakang lamping batu! 

Kedua mata Tunggul Bayana membeliak laksana 

hendak copot dari rongganya ketika mendengar kata-kata 

Supit Jagal itu. Bulu romanya berdiri. 

Supit Jagal menyeringai. "Kalau tidak kau laksanakan, 

jangan harap umurmu akan lebih panjang dari dua hari!" 

"Syarat itu, apakah bisa diganti dengan syarat lain? 

Tobat! Aku tak dapat melaksanakannya!" 

"Kalau begitu angkat kaki saja dari sini!" 

Ki Ageng Tunggul jadi bingung dan takut. Syarat yang 

harus dilakukannya sungguh sangat mengerikan. Tak 

sanggup dia menjalankan. Tapi kalau dia menolak, racun 

yang 

mengindap 

dalam 

perutnya 

akan 

merenggut 

nyawanya! Tak ada hal lain yang menjadi pilihan kecuali 

melakukan apa yang disyaratkan Supit Jagal! 

Demikianlah, seperti telah dituturkan di permulaan 

cerita, Ki Ageng Tunggul telah berhasil menculik seorang 

bayi. Dia membawa bayi itu ke puncak bukit batu, menebas 

lehernya lalu memandikan kepala dan tubuhnya dengan 

darah sang bayi! 


BAB 15


KEEMPAT penunggang kuda itu berhenti di ujung 

lamping bukit batu Teluk Burung. Angin laut bertiup 

keras. Di antara deru angin yang keras itu, orang 

yang berada paling depan bertanya, "Mana goanya?!" 

"Di bawah sana Parereg. Kita harus turun lewat lereng 

di ujung sana." 

"Aku mendapat firasat si Tunggul Keparat ini menipu 

kita," kata Rah Gludak. 

"Kalau nanti terbukti begitu, tak akan susah memisah 

tubuhnya dengan kepala," sahut Lor Parereg. 

Ki Ageng Tunggul menunggangi kudanya di sebelah 

depan. Di ujung lereng batu dia menurun diikuti Lor 

Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko. Keempatnya kini 

menyusuri pasir pantai. 

"Inilah goanya." Kata Ki Ageng Tunggul begitu sampai di 

goa tujuan. "Peti-peti itu kutumpuk di dalam." Habis 

berkata begitu dia hendak turun dari kudanya. Tapi Lor 

Parereg mencegah. 

"Tetap di tempatmu, Tunggul!" Dia melangkah men–

dekati Ki Ageng Tunggul lalu menotok punggungnya, 

membuat Ki Ageng Tunggul kini laksana patung tak bisa 

bergerak di atas punggung kudanya. 

"Kalian berdua masuk dan periksa goa. Aku menunggu 

di sini!" kata Lor Parereg. 

Sret! 

Kunto Handoko cabut pedangnya, meletakkan bagian 

yang tajam dari senjata ini di leher Ki Ageng Tunggul dan 

berpaling pada Lor Parereg. 

"Parereg! Kita sudah tahu tempat peti-peti itu 

disembunyikan. Bagaimana kalau detik ini kupisahkan saja 


nyawanya dari badan?!" 

"Nyawa anjingnya soal mudah Kunto! Yang penting kau 

bersama Gludak harua memeriksa dulu apa betul peti-peti 

itu ada di dalam goa!" 

"Percayalah! Aku tidak menipu kalian!" kata Ki Ageng 

Tunggul dengan tengkuk dingin. Kalau Kunto Handoko 

menabas batang lehernya detik itu juga habislah ceritanya. 

"Silahkan kalian bertiga masuk dan memeriksa!" Diam-

diam hatinya tidak enak karena sampai saat itu Supit Jagal 

belum juga muncul. 

"Kita akan lihat Tunggul Keparat, kita akan lihat!" kata 

Lor Parereg. Dia memberi isyarat pada dua kawannya. 

Kunto Handoko dan Rah Gludak melompat turun dari 

kuda masing-masing dan melangkah mendekati goa. Tiba-

tiba baru saja mereka sampai di mulut goa, dari dalam 

menderu selarik angin yang amat deras dan panas! 

Keduanya berseru kaget dan secepat kilat melompat ke 

samping selamatkan diri. Sambaran angin menyapu lewat 

dan melabrak kuda yang ditunggangi Lor Parereg. Binatang 

ini meringkik keras lalu roboh ke tanah dengan kepala 

hangus! Setelah melejang-lejang seketika akhirnya mati tak 

berkutik lagi! Lor Parereg membeliak. Mukanya pucat! 

Hampir saja dia jadi korban ditambus angin panas. Dia 

hendak bergerak melompati Ki Ageng Tunggul, namun saat 

itu dari dalam goa dilihatnya seorang kakek bermuka iblis 

dan berpakaian penuh tambalan muncul dan memandang 

beringas dengan matanya yang sipit ke arah Lor Parereg 

dan kawan-kawan. 

"Kepala desa, apakah ini tiga manusia yang menurutmu 

tak layak hidup lebih lama di dunia ini?!" tanya Supit Jagal. 

"Betul!" sahut Ki Ageng Tunggul. "Bunuh mereka. Aku 

akan memberi sekantong uang emas lagi untukmu!" 

Supit Jagal menyeringai. 

"Hemm... tampang-tampang mereka memang serupa 

iblis penjaga neraka. Jadi memang pantas kalau dikirim ke 

neraka!" Dengan tangan terpentang Supit Jagal melangkah 

ke hadapan Lor Parereg dan kawan-kawannya. 



"Parereg! Apa kataku! Bangsat keparat ini telah menipu 

kita!" seru Kunto Handoko marah dan secepat kilat mengi–

rimkan satu jotosan ke perut Ki Ageng Tunggul yang masih 

duduk di atas punggung kuda tanpa mampu bergerak. 

Namun sebelum jotosan itu sampai, selarik angin menderu 

dari samping. Terpaksa Kunto Handoko melompat mundur! 

"Tua bangka sialan! Kau rupanya sudah bosan hidup!" 

bentak Lor Parereg. Tangan kanannya dihantamkan ke 

depan. Sementara dari belakang Kunto Handoko dengan 

bernafsu lepaskan selusin paku hitam beracun. Rah 

Gludak juga tidak tinggal diam. Pedangnya berkelebat ke 

batok kepala Supit Jagal. Diserang hebat begitu rupa Supit 

Jagal ganda tertawa. Didahului dengan satu bentakan 

keras dia mengangkat kedua tangannya ke atas Lor 

Parereg. Rah Gludak dan Kunto Handoko melihat sinar 

hitam bergulung-gulung dan menyambar laksana petir ke 

arah mereka. Serta merta ketiga orang ini berserabutan 

selamatkan diri. Namun mereka tak punya kesempatan 

lagi. Serangan sinar hitam begitu luar biasa cepatnya. 

Ketiganya menjerit keras karena sadar bahwa mereka tak 

akan lolos dari kematian! 

Namun di saat yang kritis itu tiba-tiba menggeledek 

satu bentakan, "Supit Jagal! Apa kau sudah gila hendak 

membunuh murid-muridku?!" 

Satu angin aneh menyambar dan tahu-tahu buyarlah 

sambaran sinar hitam yang tadi dilepaskan Supit Jagal! 

Supit Jagal terkejut bukan main. Suara itu sangat 

dikenalnya. Dia berpaling. Satu bayangan hitam berkelebat 

turun dari tebing batu. 

"Supit Ireng! Apa-apaan kau?" seru Supit Jagal. 

"Kowe yang apa-apaan!" balas Supit Ireng. "Ketiga orang 

ini adalah muridku. Dan kowe hendak membunuh mereka!" 

"Bah!" Supit Jagal delikkan mata. "Muridmu... Jadi?!" Dia 

berpaling pada Ki Ageng Tunggul yang saat itu sudah pucat 

pasi mukanya. 

"Kalau begitu bangsat ini hendak mengadu domba kita! 

Keparat kurang ajar!" Sekali melompat saja Supit Jagal 


sudah jambak rambut Ki Ageng Tunggul dan menyeretnya 

dari punggung kuda. 

"Demi Tuhan, ampuni selembar nyawaku!" lirih Ki Ageng 

Tunggul. "Semua harta dan uang emas itu akan 

kuserahkan pada kalian! Ampuni diriku!" 

"Lepaskan totokannya Supit Jagal," kata Supit Ireng. 

Supit Jagal lepaskan totokan di tubuh Ki Ageng Tunggul. 

Lor Parereg melangkah mendekati laki-laki ini bersama-

sama Supit Ireng. 

"Dengar Tunggul Bayana," kata Lor Parereg. "Nyawamu 

akan kami ampuni jika kau benar-benar mau menerangkan 

di mana peti-peti itu berada." 

"Terima kasih... terima kasih..." 

"Lekas terangkan!" hardik Parereg. 

"Peti-peti itu... peti-peti itu kutanam di belakang 

rumahku di desa Pasirginting," menerangkan Ki Ageng 

Tunggul. Kali ini dia tidak berdusta. 

"Kau tidak bohong?!" 

"Demi Tuhan aku tidak bohong!" 

"Bagus! Nyawamu diampuni. Kau bebas sekarang untuk 

pergi. Pergi ke neraka!" Lalu dengan kaki kanannya Lor 

Parereg menendang perut Ki Ageng Tunggul hingga orang 

ini mencelat dan terguling di tanah. 

Belum lagi dia sempat bangun tendangan Kunto Han–

doko mendarat di kepalanya. Kembali Ki Ageng Tunggul 

terlempar. Hidungnya yang kena tendang mengucurkan 

darah. Dia mengeluh panjang. Rah Gludak menambah satu 

tendangan lagi di dadanya membuat tulang-tulang iganya 

patah. 

"Demi Tuhan ampuni jiwaku!" teriak Ki Ageng Tunggul. 

Dia merangkak ke arah Supit Jagal. "Tolong... tolong aku," 

pintanya. 

Supit Jagal tegak bertolak pinggang. Dia tertawa 

mengekeh. "Ini hadiah dariku!" Lalu tendangannya meng–

hajar lambung Ki Ageng Tunggul. 

Begitulah Ki Ageng Tunggul ditendang kian kemari 

hingga babak belur. Mukanya berlumuran darah. Tulang-tulangnya berpatahan. Dia meraung tiada henti. Kemudian 

raungannya hanya tinggal erangan dan akhirnya dia 

terkapar tak berkutik lagi. Mati! 

Supit Jagal menarik nafas panjang. Dia memandang 

pada saudaranya. "Supit Ireng! Kalau kau tidak cepat 

muncul niscaya ketiga muridmu sudah konyol di tanganku!" 

Supit Ireng hanya bisa tertawa pendek. Tapi tawanya ini 

mendadak lenyap berganti seruan. "Lihat!" 

Semua orang berpaling. Saat itu sepanjang lereng batu, 

ujung timur dan ujung barat telah dikurung oleh lebih dari 

seratus prajurit berkuda bersenjata lengkap. 

"Mau apa kunyuk-kunyuk kerajaan itu!" kata Supit Jagal 

sementara Lor Parereg dan kawan-kawannya juga meman–

dang gelisah. 

Baru saja Supit Jagal mengeluarkan ucapan itu dari 

lamping batu sebelah kiri terdengar seruan, "Lima orang 

yang berada di tepi pantai menyerahlah!" 

"Itu suara si keparat Brajaseta!" kata Lor Parereg. 

"Brajaseta! Kalau kau datang untuk mengantar nyawa 

silahkan turun kemari!" teriak Supit Ireng. Matanya yang 

hanya satu itu seperti menyala karena ingat manusia itulah 

yang telah menyiksa ketiga muridnya. Bukan sampai di situ 

saja. Habis membentak Supit Ireng lalu hantamkan 

tangannya ke arah lereng batu. Satu larik sinar hitam 

menggebu. Terdengar suara menggelegar. Lamping batu 

hancur berantakan. Tiga prajurit jatuh bersama kuda-kuda 

tunggangan mereka sedang Brajaseta sempat selamatkan 

diri dengan melompat ke bawah seraya berteriak memberi 

komando untuk menyerbu. 

Dari lamping batu sebelah kiri melesat satu sosok 

tubuh seraya mengebutkan sebuah benda berbentuk sete–

ngah lingkaran. Ternyata manusia ini adalah Si Kipas Besi. 

Deru angin yang keluar dari kipas saktinya itu membuat 

pasir pantai beterbangan dan untuk beberapa ketika 

menutup pemandangan. 

Sewaktu udara terang kembali maka kelihatanlah 

bahwa seratus lebih prajurit itu telah bergerak mempersempit kurungan. Di depan prajurit-prajurit itu berjejer 

limabelas perwira tinggi. Di sebelah depan sekali tegak 

Brajaseta dan Si Kipas Besi. 

Dikurung seketat itu Supit Jagal dan Supit Ireng tidak 

merasa khawatir. Malah Supit Jagal masih bisa tertawa-

tawa. 

"Kalian sudah terkurung! Tak mungkin bisa lari. 

Menyerahlah!" memperingatkan Brajaseta. 

"Lari? Menyerah?!" ujar Supit Jagal. Lalu dia tertawa 

gelak-gelak. 

"Brajaseta!" Supit Ireng angkat bicara. "Apa yang telah 

kau perbuat terhadap murid-muridku hari ini kutagih 

berikut bunganya! Dan kau juga Kipas Besi, jangan harap 

ampunan dariku!" Supit Ireng masih ingat sewaktu terjadi 

pertempuran di halaman istana. Habis berkata begitu dia 

langsung menyerbu. Kakak serta ketiga muridnya tidak 

tinggal diam. Maka pertempuran hebat tidak dapat lagi 

dihindarkan. 

Dalam jumlah memang pihak Brajaseta lebih banyak. 

Namun Supit Jagal serta Supit Ireng bukan manusia-

manusia yang mudah dirobohkan dengan mengandalkan 

pengeroyokan. Di samping itu Lor Parereg, Rah Gludak dan 

Kunto Handoko telah pula mendapat tambahan ilmu dari 

guru mereka! 

Sekelompok demi sekelompok prajurit-prajurit Demak 

menemui ajal dihantam pukulan-pukulan sakti yang dile–

paskan Supit Jagal serta adiknya. Satu demi satu perwira 

tinggi meregang nyawa. Brajaseta menjadi tergetar hatinya. 

Tidak diduganya dua manusia golongan hitam itu demikian 

tinggi ilmunya. Kepala Pasukan Demak ini malah makin 

tercekat ketika dilihatnya Supit Jagal berhasil merampas 

kipas sakti di tangan Si Kipas Besi, lalu dengan senjatanya 

sendiri Si Kipas Besi digebuk kepalanya hingga hancur! 

Brajaseta sadar bahwa keadaannya juga tak bakal 

bertahan lama ketika bahu kirinya luka disambar ujung 

pedang Lor Parereg. 

"Celaka!" keluh Kepala Pasukan Demak ini. Dia me–mandang berkeliling. Kecil harapan untuk menyelamatkan 

diri. Dengan kertakkan rahang dia putar pedangnya lak–

sana titiran. Tiba-tiba Brajaseta merasakan ada sambaran 

angin serangan datang dari arah kiri. Cepat dia lepaskan 

pukulan tangan kosong. Tapi betapa terkejutnya ketika 

sambaran angin itu lenyap tahu-tahu pedang di tangan 

kanannya dibetot lepas! Di sampingnya tertawa bergelak 

Supit Ireng! 

"Kini hutang berikut bunganya harus kau bayar 

Brajaseta!" kata Supit Ireng seraya bolang-balingkan 

pedang milik Kepala Pasukan Demak itu. 

"Guru, biar aku yang membereskan bangsat itu!" 

terdengar seruan Lor Parereg. 

"Tentu. Jangan khawatir. Kau dan dua kawanmu bakal 

dapat bagian paling banyak. Beri aku kesempatan hanya 

untuk mencungkil mata kirinya! Biar tampangnya mirip-

mirip aku!" Supit Ireng lalu tusukkan ujung pedang ke mata 

kiri Brajaseta! 

Pada saat itulah tiba-tiba terjadi hal yang luar biasa. 

Seolah-olah datang dari laut terdengar suara menderu 

aneh. Teluk Burung laksana dilanda topan. Pasir pantai 

menggebubu beterbangan membuat udara menjadi gelap. 

Ombak yang senantiasa bergulung dan memecah di pasir 

saat itu seperti terbendung oleh deru dahsyat tadi. Prajurit-

prajurit bergelimpangan. Beberapa perwira tinggi ter–

huyung-huyung lalu jatuh duduk di tanah! 

Semua orang terkejut bukan main. Apakah dunia akan 

kiamat? Dalam gelapnya udara itu tiba-tiba kelihatan sinar 

putih menyilaukan berputar-putar. Gerakan Supit Ireng 

yang tadi hendak mencungkil mata kiri Brajaseta kini jadi 

tertahan dan di lain kejap terdengar suara berkerontang. 

Pedang di tangan manusia tinggi bermuka hitam ini ter–

lepas mental dan patah tiga! 

Seorang pemuda berambut gondrong mengenakan baju 

tak berkancing berdiri di tengah-tengah kalangan pertem–

puran. Di dadanya ada tulisan 212. Tangan kanan bertolak 

pinggang sedang tangan kiri memegang sebilah kapak 



besar bermata dua yang bertuliskan 212. 

Supit Ireng, Supit Jagal dan Lor Parereg serta dua 

kawannya tidak mengenal siapa adanya pemuda ini. 

Sebaliknya Brajaseta jadi terkesiap ketika mengenali 

pemuda itu bukan lain orang yang menyebabkan lolosnya 

Malaikat Tak Bernama, Jakawulung dan Ning Larasati. 

Terus terang terhadap pemuda ini Brajaseta menaruh 

dendam kesumat. Tetapi hari itu justru dia muncul dan 

menyelamatkan dirinya. Siapakah pemuda ini sebenarnya? 

"Yang mana di antara kalian bernama Supit Jagal?!" 

Pendekar 212 Wiro Sableng bertanya sambil menatap 

Supit Ireng dan Supit Jagal berganti-ganti. 

"Budak sontoloyo! Ada apakah kau mencari majikanmu 

ini?!" menyahuti Supit Jagal. 

Sesaat Wiro menatap orang itu. Jadi inilah manusianya 

yang bernama Supit Jagal, katanya dalam hati. Dia lalu 

tertawa gelak-gelak, "Supit Jagal, ketahuilah. Aku datang 

mewakili Empu Pamenang dari Danau Merak Biru yang tiga 

orang muridnya telah kau bunuh secara biadab!" 

"Begitu...?" Kini Supit Jagal yang tertawa meledak. 

"Pemuda tolol. Hadiah apa yang diberikan kakek keropos 

itu hingga kau mau mewakilinya? Apakah dia tidak punya 

nyali untuk datang sendiri?!" 

"Ah, orang tua itu terlalu sibuk. Karenanya dia meng–

utus manusia kroco macamku ini untuk membereskanmu!" 

"Keparat busuk! Kau duduklah tenang-tenang di batu 

sana. Biar kuselesaikan dulu urusan dengan kecoak-

kecoak kerajaan ini!" 

Sementara itu selagi semua perhatian tertuju pada Wiro 

Sableng dan Supit Jagal kesempatan ini dipergunakan oleh 

Lor Parereg untuk mendekati Brajaseta dari belakang dan 

menusuk punggungnya dengan pedang hingga tembus ke 

dada. Kepala Pasukan Demak ini roboh tak bernyawa lagi! 

Meskipun sebenarnya tidak senang terhadap Brajaseta, 

tapi melihat Kepala Pasukan Demak ini di bunuh secara 

pengecut, Wiro Sableng menjadi geram dan memutar 

kapaknya ke arah batok kepala Lor Parereg. Namun dua pukulan tangan kosong yang hebat menerpanya dari kiri 

kanan. Ternyata Supit Jagal dan Supit Ireng telah menye–

rangnya secara bersamaan! 


BAB 16


PENDEKAR 212 bersuit nyaring. Kapaknya berputar 

membabat ke arah kedua lawan tangguh itu. Di lain 

saat pengeroyoknya jadi berjumlah lima orang karena 

Lor Parereg, Kunto Handoko dan Rah Gludak telah turun 

pula ke kalangan pertempuran. 

Sementara itu sisa-sisa prajurit dan perwira kerajaan 

yang masih hidup sudah tak punya hasrat lagi untuk 

meneruskan pertempuran. Yang mereka lakukan saat itu 

ialah lekas-lekas menyingkir dan menyelamatkan jenazah 

Brajaseta serta Si Kipas Besi. 

Di saat yang sama di atas lereng batu kelihatan tiga 

orang berdiri menyaksikan pertempuran di tepi pantai 

Teluk Burung itu. 

"Empu, saya rasa sudah saatnya kita turun tangan 

membantu Wiro." 

Empu Pamenang menggeleng-gelengkan kepalanya 

mendengar ucapan Jakawulung itu. "Tak usah khawatir 

Jaka. Pemuda itu bukan manusia sembarangan. Jika 

Kapak Naga Geni 212 berada di tangannya lawan macam 

apapun yang ada di hadapannya pasti dimusnahkannya!" 

"Tapi satu lawan lima benar-benar perkelahian yang 

tidak adil! Dan lima manusia itu adalah orang-orang jahat," 

kata Ning Larasati. 

Ketiga orang itu berada di situ karena ingin menyak–

sikan pertempuran yang hebat itu. Empu Pamenang ingin 

melihat sendiri kematian musuh besarnya si Supit Jagal. 

Sedang Jakawulung dan Larasati berhasrat membantu 

Wiro. Karena itulah tak lama setelah Wiro pergi ketiganya 

segera menyusul. 


"Kau betul Larasati, kau betul. Itu perkelahian yang 

tidak adil. Tapi bagi Wiro sendiri itu bukan soal. Dan aku, 

jika saja tidak ada pantangan membunuh pasti sudah 

turun tangan sejak tadi," kata Empu Pamenang pula. 

"Aku tetap akan membantunya Empu!" kata Jaka–

wulung. Dia hendak melompat dari lereng batu. Tapi Empu 

Pamenang memegang bahunya. 

"Lihat Jaka... lihat apa yang terjadi di bawah sana!" kata 

Empu Pamenang seraya menunjuk ke bawah, ke arah 

pantai. 

Jaka melihat ke bawah. Pada saat itu tampak dua dari 

lima pengeroyok roboh bermuncratan darah kena hanta–

man Kapak Naga Geni 212 di tangan Wiro Sableng! Dua 

korban pertama ini adalah Rah Gludak dan Kunto Han–

doko! 

Dua jurus kemudian menyusul korban ke tiga yaitu si 

tinggi hitam Supit Ireng. Lehernya hampir putus disambar 

mata kapak yang tajam. Supit Jagal meraung melihat 

kematian adiknya. Tangannya kiri kanan tiada henti 

melepaskan pukulan-pukulan sakti. Namun jurus demi 

jurus dia mulai terdesak. 

Lor Parereg menggempur dengan nyali setengah 

meleleh. Akibatnya bahu kirinya kena di makan senjata 

lawan hingga buntung. Manusia ini melolong kesakitan dan 

lari meninggalkan kalangan pertempuran dengan ter–

huyung-huyung. Wiro tidak perdulikan lawan yang lari. 

Musuh besar yang harus dibunuhnya adalah Supit Jagal, 

sebagaimana tugas yang telah diterimanya dari Empu 

Pamenang. 

Ketika melihat Lor Parereg melarikan diri, Ning Larasati 

yang memang mendendam setengah mati, tiba-tiba men–

cabut pedang di pinggang Jakawulung. Dengan senjata ini 

di tangan dia mengejar Lor Parereg. 

"Manusia dajal! Kau mau kabur ke mana?!" sentak 

Larasati. 

Lor Parereg hentikan larinya. Nafasnya megap-megap. 

Pemandangannya berkunang-kunang. "Kau... kau...," hanya itu yang bisa diucapkannya ketika dia melihat dan menge–

nal Larasati. 

"Ya, aku. Aku Larasati datang untuk membalas sakit 

hati!" Lalu puteri Sultan itu tusukkan pedangnya ke perut 

Lor Parerag tanpa Lor Parereg mampu untuk mengelak 

ataupun menangkis. Dia seperti sudah pasrah ditambus 

senjata itu. Larasati sendiri menjerit ngeri ketika menyak–

sikan apa yang dilakukannya. Seumur hidup baru kali itu 

dia membunuh manusia. Dia terus-menerus menjerit 

sampai Empu Pamenang dan Jakawulung datang untuk 

menenteramkannya. 

Dalam keadaan sangat terdesak tiba-tiba Supit Jagal 

berkata, "Orang muda! Antara kita tidak ada silang seng–

keta. Mengapa kau inginkan jiwaku?!" 

"Aku hanya menjalankan tugas Supit Jagal. Lagi pula 

kupikir manusia jahat macammu ini tak layak... Akh...!" 

Wiro tak teruskan ucapannya karena saat itu dilihatnya 

lawan melepaskan satu pukulan sakti yang mengeluarkan 

hawa panas luar biasa! Sambil melompat ke samping dia 

sapukan Kapak Naga Geni 212. Serangan lawan langsung 

buyar. Tetapi ketika memandang ke depan dilihatnya Supit 

Jagal melarikan diri ke arah lereng bukit batu. Sewaktu 

Wiro hendak mengejar kembali, Supit Jagal lepaskan 

pukulan tangan kosong dua kali berturut-turut! 

"Sialan! Bangsat ini benar-benar licik!" maki Wiro. Dia 

kerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sambil berseru 

nyaring kelihatan tubuhnya melesat ke udara dan Supit 

Jagal menjadi kaget ketika didapatinya tahu-tahu pemuda 

itu sudah tegak di atas lereng batu menghadangnya! 

Supit Jagal membelok ke kiri sambil lepaskan lagi 

pukulan sakti. Wiro kembali melompat. Sekali ini dia 

langsung menyerbu ke arah lawan sambil melepaskan satu 

tendangan. Nekad Supit Jagal coba menangkap kaki kanan 

Wiro. Tapi tenaga tendangan itu tidak mampu ditahannya. 

Akibatnya tubuhnya mencelat ke bawah bukit batu, tangan 

kirinya patah di bagian pergelangan. 

Malang bagi Supit Jagal. Jatuhnya tepat di depan Empu 


Pamenang. Orang tua ini langsung hadiahkan satu 

tendangan ke punggung Supit Jagal hingga tulang 

punggungnya remuk dan dia meraung kesakitan. 

"Sayang aku mempunyai Pantangan membunuh!" kata 

Empu Pamenang menyesali diri. 

Sambil terhuyung-huyung Supit Jagal mencoba bangkit. 

Saat itu Wiro Sableng sudah tegak di hadapannya. Supit 

Jagal menggembor keras. Tangan kanannya menghantam 

ke arah selangkangan Pendekar 212. Tapi serangannya 

hanya mengenai tempat kosong. Dia merasakan rambut–

nya dijambak, lalu tubuhnya terangkat dan berputar-putar 

di udara. Pekiknya terdengar tiada henti. Kepalanya serasa 

tanggal. 

Tiba-tiba Wiro lepaskan cengkeramannya. Tubuh Supit 

Jagal melayang dan byur dia masuk ke dalam air laut. 

Sesaat tampak kedua tangannya menggapai-gapai ke atas, 

lalu lenyap bersamaan dengan lenyapnya tubuhnya di telan 

gelombang! 

Empu Pamenang memejamkan kedua matanya. Dari 

mulutnya terdengar suara lirih. "Murid-muridku, manusia 

jahat yang telah membunuh kalian telah menemui 

kematiannya. Kuharap kini kalian bisa tenteram di alam 

baka." Kakek ini kemudian melangkah mendekati Wiro 

Sableng. 

"Orang muda, terimalah ucapan terima kasihku... Kau 

benar-benar hebat!" 

"Empu Pamenang, kau keliwat memuji. Tugasku sudah 

selesai. Aku mohon diri..." Wiro membungkuk hormat lalu 

sekali berkelebat diapun lenyap. Empu Pamenang menarik 

nafas panjang. Ning Larasati mendekati seorang perwira 

tinggi dan berkata, "Kembalilah ke Kotaraja. Katakan pada 

ayahanda bahwa aku telah diambil murid oleh Empu 

Pamenang dari Danau Merak Biru. Katakan bahwa beliau 

tak usah khawatir tentang diriku. Jika sudah selesai 

menuntut ilmu pasti aku akan kembali." 

Perwira itu mengangguk lalu menjura dan berlalu. Empu 

Pamenang, Jakawulung dan Ning Larasati kembali ke Danau Merak Biru. 

Dengan matinya Lor Parereg dan manusia-manusia 

jahat lainnya itu maka tak satu orangpun yang mengetahui 

mengenai peti-peti berisi uang dan perhiasan yang ditanam 

Ki Ageng Tunggul di belakang rumahnya di Pasirginting. 

Peti-peti itu akan terus terpendam sampai kiamat, kecuali 

kalau ada orang lain yang menemukannya. 



                                  TAMAT 


Penulis : Bastian Tito

Created : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com





Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive