SATU
GURUN Tengger siang terik panas membara. Hari itu
hari ke 305, merupakan hari terakhir dari tapa
samadi yang dilakukan Cakra Mentari di atas pohon
tanjung besar yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa.
Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki
memutih tertutup lapisan debu gurun pasir. Sekian ratus
hari dia duduk tidak bergerak, bahkan seolah tanpa
bernafas di atas pohon tanjung yang menghadap ke utara.
Setiap hari, tepat pada pertengahan siang, sekuntum
bunga tanjung melayang jatuh ke arah kepalanya, secara
gaib masuk ke dalam tubuh lewat ubun-ubun. Itulah satu-
satunya makanan sekaligus minuman yang memberi
kehidupan pada Cakra Mentari.
Perlahan-lahan matahari bergerak menuju titik ter–
tingginya. Menjelang bola penerang jagat itu mencapai titik
kulminasinya, sekujur tubuh Cakra Mentari tampak ber–
getar. Ada hawa dingin aneh menyelimuti, membuat tubuh
pemuda itu mengeluarkan asap tipis yang memancarkan
cahaya kebiruan. Sekuntum bunga tanjung luruh, melayang
jatuh masuk ke dalam kepalanya. Itulah kuntum bunga
yang ke 305, merupakan makanan terakhir di penutup
tapa samadinya.
Tiba-tiba di arah timur muncul satu titik putih, bergerak
ke arah pohon tanjung besar di tengah gurun pasir Teng–
ger. Saat demi saat noktah putih ini berubah besar dan
ketika hanya tinggal puluhan langkan dari pohon di mana
Cakra Mentari berada, benda yang tadi berupa titik itu kini
membentuk sosok seorang berpakaian selempang kain
putih.
Hebat luar biasanya bahkan boleh dikata mengerikan. orang ini tidak memiliki wajah, tidak mempunyai muka,
licin polos dan rata tanpa mata dan alis, tanpa hidung
maupun mulut. Kepala ditumbuhi rambut putih menjulai
panjang. Dagu digantungi janggut putih melambai. Hanya
itu yang merupakan satu-satunya pertanda bahwa makhluk
aneh ini telah berusia lanjut.
Samar-samar di tangan kanannya si muka rata ini
memegang sebuah tongkat emas yang ujung atasnya
berbentuk lingkaran dihias berbagai permata aneka warna.
Seperti tertulis pada halaman pertama Kitab Jagat Pusaka
Alam Gaib hanya Cakra Mentari seorang yang bisa melihat
pohon tanjung di gurun pasir Tengger itu.
Kalau kini ada makhluk lain yang mampu mengetahui
keberadaan pohon tanjung tersebut, maka berarti dia
adalah seorang yang luar biasa ilmu kesaktiannya.
Makhluk ini melesat ke atas pohon. Seolah seringan kapas
dia berdiri di pucuk pohon paling atas, tatapkan wajah
polos ke arah sosok Cakra Mentari yang duduk di cabang
pohon di bawahnya. Tongkat emas dimelintangkan di
depan dada.
“Duabelas purnama telah berlalu. Satu tahun pertama
telah berakhir. Aku masih harus menunggu duabelas pur–
nama lagi. Setelah itu semua akan berada di tanganku...”
Wajah licin itu pancarkan cahaya merah. Tangan yang
memegang tongkat emas diajukan ke bawah, ke arah
Cakra Mentari. Saat itu juga melesat sinar kuning, mem–
bungkus tubuh pemuda itu beberapa ketika lalu lenyap. Di
lain kejap makhluk tanpa wajah tidak kelihatan lagi di atas
pohon. Hawa dingin yang sejak tadi menyelimuti tubuh
Cakra Mentari kini lenyap, begitu pula cahaya kebiruan
yang membungkusnya ikut sirna.
Hanya beberapa saat setelah makhluk tanpa wajah
lenyap dari tempat itu, sang surya sampai pada titik ter–
tingginya. Di langit muncul satu lengkungan aneh meman–
carkan cahaya tiga warna, merah, biru dan hijau. Lalu dari
arah barat gurun bertiup angin kencang. Pohon tanjung
besar bergetar keras. Dahan dan rerantingan serta daun daun dan bunga tanjung bergoyang-goyang. Daun luruh,
bunga tanjung berguguran, jatuh ke atas pedataran pasir,
lenyap dari pemandangan. Pohon tanjung besar kini
tampak gundul. Yang kelihatan hanya batang, cabang serta
rerantingan dan tentu saja sosok Cakra Mentari yang
masih duduk bersila pejamkan mata di atas dahan.
Tiupan angin yang begitu keras membuat seluruh debu
gurun pasir yang menyelimuti sekujur tubuh Cakra Mentari
mulai dari rambut sampai ke ujung kaki terkikis pupus. Dan
sungguh aneh luar biasa! Keadaan diri pemuda ini tidak
berubah sedikitpun. Pakaian hitamnya bersih tidak lusuh.
Rambut hitam pekat tidak bertambah panjang. Begitu juga
kumis kecil, janggut dan berewok tipisnya sama sekali
tidak berubah, rapi seperti dulu dan tidak pula menjadi
panjang. Wajah gagah bersih kelimis!
Di langit matahari mencapai titik tertinggi.
Desss!
Kepulan asap memancarkan cahaya merah, biru dan
hijau keluar dan ubun-ubun, liang telinga, hidung serta
mata Cakra Mentari yang masih terpejam. Bersamaan
dengan itu lengkungan tiga warna yang ada di langit seperti
ular raksasa menggeliat bergerak berputar lalu melesat ke
arah pohon tanjung dan masuk ke dalam tubuh si pemuda.
Saat itu pula putera Tajurpambayan dan Sulin dari Desa
Tumpang di barat Pegunungen Tengger ini perlahan-lahan
membuka kedua matanya. Pertama sekali dilihatnya
adalah gurun pasir Tengger. Dia menatap ke langit putih
bersih, lalu memandang ke atas memperhatikan pohon
besar yang kini tinggal dahan dan ranting. Akhirnya
pemuda ini perhatikan dirinya sendiri.
“Tubuhku terasa sangat enteng. Pandangan mataku
lebih tajam dari yang sudah-sudah. Tiga ratus lima hari
telah berlalu. Aneh, diriku tidak mengalami perubahan.
Apakah saat ini aku sudah memperolah ilmu baru sesuai
petunjuk dalam kitab?”
Ingat akan kitab, Cakra Mentari meraba balik pakaian–
nya sebelah kiri di mana dia menyimpan Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Kitab masih berada di situ. “Sesuai
petunjuk di dalam kitab, aku baru bisa membaca kitab
pada hari yang ke tigaratus enam. Berarti besok. Semen–
tara menunggu apa yang harus aku lakukan?”
Tiba-tiba Cakra Mentari merasa ada serangkum angin
bertiup dari bawah. Dia tukikkan pandangan ke bawah
pohon.
“Aneh, bagaimana tahu-tahu orang berjubah hitam itu
ada di bawah sana tanpa aku melihat kedatangannya?”
Cakra Mentari berucap dalam hati sewaktu melihat di
bawah pohon ada seorang tinggi besar mengenakan jubah
dan sorban hitam. Orang ini hanya memiliki satu mata.
Mata sebelah kiri tinggal merupakan rongga besar dan
dalam mengerikan, masih digenangi darah. Dari bawah
pohon dia berusaha melesat ke atas. Namun setiap dia
melakukan hal itu ada satu cahaya kuning membendung
gerakannya, membuat dia berbalik jatuh ke tanah. Orang di
bawah pohon sama sekali tidak bisa melihat pohon tanjung
besar tapi mampu melihat sosok Cakra Mentari yang
seolah duduk bersila di awang-awang.
“Cakra Mentari, turunlah cepat! Ada satu hal penting
yang harus aku sampaikan padamu!” Orang berjubah
hitam di bawah pohon yang bukan lain adalah Deewana
Khan berteriak.
“Orang itu mengenal diriku. Apakah aku mengenalnya?”
Cakra Mentari menduga-duga.
“Aku Deewana Khan. Abdi penolongmu. Cepat turun!”
Orang bermata satu kembali berseru.
Sebelumnya Tajurpambayan, ayah Cakra Mentari
pernah bercerita pada pemuda itu tentang seorang asing
bernama Deewana Khan. Namun saat itu si pemuda tidak
ingat apa-apa lagi.
Di pedataran pasir Tengger sebelah timur tiba-tiba ber–
kelebat satu bayangan putih.
“Insan Tanpa Wajah...,” ucap Deewana Khan dengan
suara bergetar. Wajah seramnya berubah. Rasa cemas
mencekam diri. “Cakra Mentari! Cepat turun!” Deewana Khan berteriak. Seperti diceritakan sebelumnya, Deewana
Khan adalah manusia misterius yang telah menolong
kelahiran bayi Cakra Mentari dan sekaligus melindungi
anak itu ketika terjadi penitisan oleh Suma Mahendra
(Baca serial Wiro Sableng berjudul ‘Misteri Bunga Noda’).
Merasa orang sangat memerlukan dirinya Cakra
Mentari segera hendak melompat turun dari dahan di
mana saat itu dia duduk bersila. Namun tubuhnya sebelah
bawah tak bisa digerakkan. Seolah menempel dengan da–
han pohon! Bagaimanapun pemuda itu berusaha dengan
berbagai cara tetap saja tubuhnya tak bisa lepas dari
dahan yang didudukinya.
Cakra ingat akan petunjuk dalam Kitab Jagat Pusaka
Alam Gaib halaman kedua, Kelak kau akan mendapatkan
ilmu yang lebih hebat. Maka pemuda ini segera kerahkan
tenaga dalam. Namun sebelum sesuatu terjadi, tiba-tiba di
bawah sana terdengar satu letusan keras disertai berki–
blatnya selarik cahaya kuning terang menyilaukan, disusul
jeritan. Pohon tanjung besar bergoyang kencang. Tubuh
Deewana Khan terpental tiga tombak, terkapar di peda–
taran pasir mengepulkan asap kuning. Dia berusaha
bangkit sambil menunjuk ke arah orang berselempang kain
putih memegang tongkat emas. Mulutnya lelehkan darah
kental.
“Insan Tanpa Wajah... Aku tahu siapa kau. Aku tahu
siapa dirimu. Manusia culas pengkhianat busuk!”
Orang berselempang kain putih goyangkan tongkat
emas di tangan kanan. Selarik sinar kuning kembali mele–
sat ke arah Deewana Khan. Untuk kedua kalinya lelaki
bertubuh besar mengenakan jubah hitam itu terpental.
Sorban hitam tanggal dari kepalanya. Kali ini dia tak
mampu bangkit lagi. Sekujur tubuhnya berubah kuning, lalu
menciut dan berubah hitam. Angin gurun bertiup kencang.
Pasir gurun beterbangan menutupi sosok mayat Deewana
Khan hingga akhirnya tertimbun dan lenyap dari peman–
dangan.
Di atas pohon Cakra Mentari memperhatikan semua yang terjadi. Entah mengapa dia merasa sedih melihat
kematian orang berjubah dan bersorban hitam walau dia
tidak tahu siapa adanya orang itu, seperti ada kontak
kejiwaan yang tidak dipahaminya. Di bawah pohon orang
berselempang kain putih tanpa wajah arahkan mukanya
pada Cakra Mentari. Saat itu pula si pemuda mendengar
suara mengiang di kedua telinganya.
“Jangan lakukan apa saja yang tidak diberi petunjuk di
dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Jika kau melanggar
pantangan dan merusak apa yang sudah direncanakan,
maka dirimu akan mengalani kerusakan lebih dulu.”
Cakra Mentari terdiam, namun hatinya berkata. “Siapa
yang menyampaikan ucapan padaku? Orang aneh tak
berwajah di bawah sana? Apakah aku mengenalnya?
Mengapa dia mengancam diriku? Apakah aku berada di
bawah kekuasaan makhluk itu? Apakah aku harus tunduk
kepadanya? Apa yang terjadi dengan diriku.”
Seperti tertulis dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib
halaman kedua, Pada saat kau mendudukkan diri di
cabang pohon, saat itu pula terputus hubunganmu dengan
masa lalu. Kau tidak ingat apa-apa lagi. Bahkan kau tidak
ingat lagi ayah ibumu.
Sebenarnya Cakra Mentari sebelumnya telah melihat
makhluk aneh tak berwajah itu. Yakni tatkala makhluk
tersebut mencelakai Suma Mahendra sehingga Suma ter–
pental jatuh ke bawah Gunung Mahameru. Namun karena
jalan pikirannya dengan masa lalu terputus maka dia tidak
mengingat lagi kejadian itu.
Hanya ada satu hal saja dari masa lalu yang masih
melekat di benaknya. Yaitu namanya. Dia tidak pernah lupa
kalau dia bernama Cakra Mentari.
Tiba-tiba untuk kedua kalinya terdengar suara mengi–
ang di telinga Cakra Mentari.
“Anak manusia bernama Cakra Mentari. Jangan
menyelidik dengan hatimu. Jangan mencari tahu dengan
pikiranmu. Jangan berusaha turun dari pohon karena itu
bisa menghancurkan dirimu sendiri. Besok pagi begitu matahari terbit di timur kau berkewajiban melanjutkan
membaca Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib pada halaman ke
tiga.”
Cakra Mentari memandang ke bawah pohon. Makhluk
tanpa wajah itu ternyata tak ada lagi di tempatnya semula
DUA
LANGIT di ufuk timur mulai terang pertanda di kejauhan
sana fajar telah menyingsing dan tak berapa lama lagi
sang surya akan kelihatan memunculkan diri. Di atas
dahan pohon tanjung yang menghadap ke utara Cakra
Mentari segera ingat. Saat itu adalah saat di mana dia
harus segera membuka Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib.
Cakra keluarkan kitab dari balik baju hitamnya. Dia me–
nunggu sesaat sampai keadaan lebih terang baru mem–
buka kitab pada halaman ke tiga dan mulai membacanya.
Yang disebut halaman ke tiga ini ternyata terdiri dari empat
halaman.
KITAB JAGAT PUSAKA ALAM GAIB
- Halaman Ke Tiga -
Bunga Tanjung Bunga Bertuah
Wahai anak manusia!
305 hari telah berlalu, tapa samadimu telah selesai
Sekarang kau akan menghadapi masa depan
dengan bekal ilmu silat serta kesaktian
dari alam gaib yang tidak ada tandingannya
Kau kini memiliki ilmu pukulan sakti
bernama ‘Tiga Cahaya Alam Gaib’
Tidak manusia tidak jin
yang akan sanggup menghadapimu
Tuntunan ilmu silat akan kau dapatkan
melalui mimpi di alam tidurmu
Usapkan tangan kananmu ke kaki kanan
usapkan tangan kirimu ke kaki kiri
maka kau akan mendapatkan sepasang kasut pembungkus kaki
Kasut ini yang akan menuntun
setiap langkah perjalananmu
Hal pertama yang harus kau lakukan
begitu menginjakkan kaki di tanah
memandanglah ke arah barat laut
Kau akan melihat satu gurun pasir
yang puluhan kali lebih luas
dari Pedataran Pasir Tengger
Itulah Gurun Pasir Thar di negeri India
Pejamkan matamu
maka kekuatan gaib akan membawamu
memasuki sebuah goa bernama Goa Binaker
Di sana kau akan menemui seorang Resi
terkapar di lantai goa
Jazadnya hidup dalam kematian
mati dalam kehidupan
Masuklah ke dalam tubuh Resi ini
Kau akan mampu melakukan
karena kau memiliki kesaktian
Di dalam tubuh sang Resi kau akan menemukan
sebuah patung batu
lambang dari lelaki dan perempuan
yang tengah melakukan sanggama
Itulah patung Kamasutra
Ambillah patung itu
Selanjutnya kekuatan gaib
akan membawamu kembali ke tanah Jawa
Dunia serba fana, demikian juga dengan diri
serta ilmu baru yang kau miliki
Namun dalam kefanaan ada kebakaan
Ilmu kesaktian yang ada dalam dirimu
akan tetap berada di sana
untuk selama-lamanya
Namun ada petuah yang harus kau ikuti
dan tak boleh kau tolak
Kau harus bisa meniduri paling sedikit 1 orang gadis yang masih perawan
Rayulah mereka, perlihatkan Patung Kamasutra
Jika mereka sudah berada di bawah pengaruhmu
tempelkan sekuntum bunga tanjung di keningnya
Niscaya dia akan menyerahkan diri padamu
Namun rahasia harus dijaga
Karena itu setiap gadis yang berhasil kau tiduri
harus kau bunuh
Pada saat kau bercumbu,
bunga tanjung akan datang sendiri
dan berada dalam genggamanmu
Bunga tanjung juga dapat kau jadikan
senjata rahasia yang mematikan
Namun ada pantangan yang harus kau ingat
jangan sekali-kali bunga tanjung
sampai melekat atau menempel di keningmu
Untuk menambah kekuatan ilmu dalam dirimu
Ada tugas lain yang harus kau laksanakan
Kau harus membunuh
sebanyak mungkin para pendekar
golongan putih rimba persilatan tanah Jawa
Tetapi akan lebih baik jika kau mampu
membuat dirinya sengsara seumur-umur
dengan melumpuhkan kejantanannya
Letakkan bunga tanjung di bawah pusarnya
maka kekuatan alam gaib
akan menyelesaikan perkara
Tugasmu terakhir setelah semua tugas di atas
selesai kau laksanakan
adalah menyerahkan Patung Kamasutra
pada seseorang yang akan menunggumu
di puncak Gunung Mahameru
tepat di tempat di mana kau pernah bersamadi
pada malam hari Jum’at Legi minggu pertama
duabelas purnama dari sekarang
Wahai anak manusia!
Jika kau melaksanakan petunjuk dalam kitab maka kau kelak akan menjadi seorang tokoh besar
Kau akan menjadi seorang sakti mandraguna
Kau akan menjadi rajadiraja rimba persilatan
Namun bila kau menolak melakukan
atau sengaja menyesatkan diri
maka kutuk akan jatuh atas dirimu
Azab kesengsaraan akan membuat
kau menderita seumur-umur
Jalan nasibmu telah ditentukan
oleh apa yang dinamakan takdir
Wahai anak manusia
Pohon tanjung akan masuk ke dalam tanah
itulah saatnya kau meninggalkan tempat ini
Ingat baik-baik semua yang tertulis di halaman ini
Karena Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib
akan lenyap dari alam fana untuk selama-lamanya
Bunga Tanjung Bunga Bertuah
Setelah bersamadi di atas pohon tanjung di pedataran
gurun Tengger, Cakra Mentari memiliki daya ingat luar
biasa. Sekali membaca saja dia sanggup mengingat semua
yang tertulis dalam halaman ke tiga yang terdiri dari empat
lembar. Selain itu perubanan besar terjadi dalam jiwa dan
dirinya. Sebelumnya pemuda ini adalah seorang yang
memiliki hati mulia, pembela rakyat, penegak keadilan dan
menjadi musuh besar kaum penjahat termasuk para tokoh
silat penjilat yang berada di istana. Ketika membaca hala–
man ke tiga Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib di mana dia
harus merusak kehormatan 41 orang gadis dan membu–
nuh para pendekar silat golongan putih, pemuda ini me–
rasa itu memang satu tugas yang harus dilaksanakannya.
Menggauli 41 orang gadis! Bukankah itu satu kenikmatan
luar biasa?
Samadi setahun serta ilmu yang kini dimiliki Cakra
Mentari serta isi Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib seolah-olah
telah mencuci otak pemuda itu. Membuatnya berubah
menjadi seorang pemuda berhati dingin dan menghalalkan segala cara demi mempertahankan ilmu kesaktian yang
dimilikinya.
Cakra Mentari tutup kitab yang barusan dibaca. Dia
bermaksud hendak menyimpan kitab itu kembali ke balik
baju hitamnya. Namun seperti yang tertulis di akhir
halaman ke tiga kitab, tiba-tiba Kitab Jagat Pusaka Alam
Gaib keluarkan suara meletup. Kejap itu juga kitab dikobari
api yang entah dari mana datangnya. Cakra melepas
pegangannya pada kitab, kitab jatuh dan musnah sebelum
menyentuh tanah berpasir.
Cakra Mentari ingat salah satu kalimat di dalam kitab
yang tadi dibacanya, Usapkan tangan kananmu ke kaki
kanan, usapkan tangan kirimu ke kaki kiri, maka kau akan
mendapatkan, sepasang kasut pembungkus kaki. Kasut ini
yang akan menuntun setiap langkah perjalananmu.
Tidak menunggu lebih lama Cakra Mentari usapkan ke
dua tangannya secara berbarengan ke kaki kiri dan kaki
kanan. Saat itu juga dua kakinya yang tadi telanjang kini
telah terbungkus dua kasut kulit berwarna hitam.
“Luar biasa” ucap Cakra Mentari. Belum habis rasa
kagumnya atas apa yang terjadi, tiba-tiba pohon tanjung
besar di mana dia berada bergerak ke bawah, perlahan-
lahan masuk ke dalam tanah. Sebelum dirinya ikut terse–
dot dan pohon besar itu amblas lenyap dari pemandangan,
Cakra Mentari cepat melompat turun. Begitu dua kakinya
menginjak tanah berpasir seperti yang tertulis dalam kitab,
Cakra Mentari arahkan pandangan ke barat laut. Meman–
danglah ke arah barat laut, kau akan melihat satu gurun
pasir, yang puluhan kali lebih luas, dari Pedataran Pasir
Tengger. Itulah Gurun Pasir Thar di negeri India. Pejamkan
matamu, maka kekuatan gaib akan membawamu, mema–
suki sebuah goa bernama Goa Binaker
Jauh di arah barat laut ke jurusan mana matanya
memandang, Cakra Mentari melihat satu gurun pasir.
Belum pernah dia menyaksikan gurun pasir seluas itu.
“Bagaimana hal ini bisa terjadi...?” pikir si pemuda. Lalu
sesuai petunjuk selanjutnya dalam kitab dia pejamkan kedua matanya. Saat itu juga sosoknya lenyap, melesat ke
langit. Di lain kejap Cakra Mentari dapatkan dirinya berada
di dalam sebuah lorong yang terletak di bawah Gurun Pasir
Thar di India. Inilah lorong di dalam Goa Binaker yang
membawanya ke satu ruangan rahasia di mana sebelum–
nya disimpan Patung Kamasutra yang konon telah berusia
lebih dari limaribu tahun.
Di kiri kanan lorong berdiri beberapa orang berpakaian
dan berpenampilan seperti resi tampaknya sedang berjaga-
jaga. Namun mereka seperti tidak melihat Cakra Mentari
yang berjalan melewati mereka.
Ada enam pintu rahasia yang dilewati dan ditembus
Cakra Mentari secara gaib. Pemuda ini sampai ke hadapan
pintu ke tujuh. Begitu masuk dia dapatkan sesosok tubuh
orang tua berselempang kain putih, berambut dan ber–
janggut putih tergeletak di lantai ruangan. Kepala rengkah
darah menggenangi lantai batu.
Cakra Mentari ingat apa yang dibacanya di dalam Kitab
Jagat Pusaka Alam Gaib. Di sana kau akan menemui
seorang Resi terkapar di lantai Goa. Jazadnya hidup dalam
kematian. Mati dalam kehidupan. Masuklah ke dalam
tubuh Resi ini. Kau akan mampu melakukan karena kau
memiliki kesaktian. Di dalam tubuh sang Resi kau akan
menemukan sebuah patung batu lambang dari lelaki dan
perempuan yang tengah melakukan sanggama. Itulah
Patung Kamasutra. Ambillah patung itu. Selanjutnya keku–
atan gaib akan membawamu kembali ke tanah Jawa.
Resi tua yang tergeletak di atas lantai batu seperti yang
dituturkan dalam kisah terdahulu, Petaka Patung Kama–
sutra, bukan lain adalah Resi Kepala Mirpur Patel. Resi ini
berlaku nekad melakukan bunuh diri dengan memben–
turkan kepalanya ke dinding batu. Ini merupakan ungkapan
penyesalan serta rasa berdosanya atas kelalaian hingga
Patung Kamasutra yang ada di dalam sebuah keranda
kaca lenyap dicuri orang.
“Bagaimana caranya aku masuk ke dalam tubuh orang
tua malang ini...” pikir Cakra Mentari. Dia sama sekali tidak merasa jerih bagaimana nanti dia masuk dan berada
dalam tubuh mayat itu. Cakra melangkah lebih dekat. Tiba-
tiba seolah berubah menjadi bayang-bayang sosok si
pemuda masuk ke dalam tubuh sang Resi. Begitu tubuh
mereka menyatu, di bagian dada orang tua itu Cakra
Mentari melihat ada cahaya merah redup. Ternyata cahaya
itu keluar dari sebuah patung batu abu-abu kehitaman.
Berbentuk sepasang lelaki dan perempuan tengah
melakukan hubungan badan.
“Patung Kamasutra,” membatin Cakra Mentari. Semua
yang tertulis dalam kitab benar-benar merupakan kenyata–
an. Pemuda ini ulurkan tangan. Begitu dia menyentuh
patung batu, tiba-tiba wuttt...! Sosok Cakra Mentari melesat
keluar dari mayat Resi Mirpur Patel, berkelebat ke arah
sebuah lobang di atap ruangan batu dan lenyap dari
pemandangan.
Angin gurun bertiup kencang. Pasir gurun masuk ke
dalam ruangan. Lima hari kemudian seluruh ruangan
rahasia di Goa Binaker itu telah tertimbun tumpukan pasir
gurun.
Tujuh hari setelah lenyapnya Patung Kamasutra dan
matinya Resi Kepala Mirpur Patel, Resi Ketua Khandawa
Abitar memerintahkan orang-orangnya untuk menggali
jenazah Mirpur Patel. Namun sampai seluruh pasir yang
ada di dalam ruangan batu itu digali dan dibersihkan,
jenazah Resi Kepala Mirpur Patel tidak ditemukan.
Seperti yang tertulis dalam Kitab Jagat Pusaka Alam
Gaib, Cakra Mentari secara gaib kembali ke tanah Jawa
untuk mengamalkan ajaran sesat yang bersumber dari
kitab sesat serta Patung Kamasutra dan bunga tanjung
bunga noda. Satu persatu korban berjatuhan. Belasan
gadis dirusak kehormatannya lalu dibunuh. Dari kalangan
rimba persilatan justru Pendekar 212 Wiro Sableng yang
menjadi korban pertamanya.
TIGA
GUBUK di tikungan Kali Progo tampak sepi. Suara arus
air kali yang cukup deras mengalun berkepanjangan
serta kicau burung di pagi itu seperti tidak dapat
mengusik kesunyian. Pintu gubuk yang menghadap ke kali
terbuka berkereketan. Seorang kakek berkepala setengah
sulah, berdaun telinga lebar yang salah satunya terbalik,
keluar melangkah sambil pegangi bagian bawah perutnya.
Siapa lagi kalau bukan Setan Ngompol. Dia pergi duduk di
pinggir kali, di atas sebuah batu besar. Wajahnya tampak
murung. Sesekali lengan kirinya yang basah diusapkan ke
kepala, padahal basahan itu adalah air kencingnya sendiri.
Tiga hari lalu dengan susah payah bersama Ki Tambak–
pati dia berhasil membawa Pendekar 212 Wiro Sableng
dari sebuah bukit ke gubuk itu. Ki Tambakpati yang dikenal
dengan julukan Si Tangan Penyembuh berusaha mengobati
murid Sinto Gendeng, namun sampai hari itu dia masih
belum berhasil. Wiro masih tergeletak tak sadarkan diri di
atas ranjang bambu.
Tanpa diketahui Setan Ngompol, di atas cabang sebuah
pohon besar berdaun rindang di seberang kali, berdiri
sosok samar seorang gadis cantik berwajah pucat, menge–
nakan kebaya putih panjang, rambut hitam tergerai di
punggung. Sepasang matanya yang bening tapi dingin
memperhatikan kakek yang duduk di tepi sungai. Dia kenal
kakek itu dan cukup bersahabat. Namun dia tak ingin
menemuinya saat itu. Pandangannya kemudian dialihkan
ke arah gubuk.
Tak lama kemudian dari dalam gubuk keluar pula
seorang kakek berjubah hijau. Terbungkuk-bungkuk dia
melangkah ke tepi kali, lalu duduk di atas batu besar disamping Setan Ngompol.
Setan Ngompol tekap dulu bagian bawah perutnya baru
membuka mulut bertanya, “Sahabatku Ki Tambakpati,
bagaimana menurut penglihatanmu sakitnya murid Sinto
Gendeng itu?”
Setelah terdiam sejurus dan lebih dulu menarik nafas
dalam, Ki Tambakpati menjawab.
“Sampai saat ini aku masih menyesali perbuatan orang-
orang kerajaan yang menghancurkan rumah dan peralatan
pengobatanku. Aku tidak dapat menyelidiki apalagi
memberikan kesembuhan tuntas pada pendekar itu.
Sakitnya luar biasa aneh. Mungkin aku hanya mampu
membuatnya siuman. Itu pun menunggu sampai dua hari
lagi. Kau telah meraba sendiri. Tubuhnya diselimuti hawa
dingin aneh yang berpusat pada syaraf di bagian bawah
pusar. Kita berdua telah sama-sama mengerahkan tenaga
dalam dan mengalirkan hawa panas. Namun hawa dingin
yang bersarang di tubuh pemuda itu tak bisa dilenyapkan.
Sudah dua kali aku memeriksa darahnya dengan menusuk
jari tangannya. Ternyata darahnya masih berwarna hitam.
Ada racun jahat mendekam dalam tubuh dan aliran darah
pemuda itu. Sulit dimusnahkan.”
“Apakah pemuda itu benar-benar tidak dapat
disembuhkan? Dengan cara apapun?” tanya Setan
Ngompol.
“Aku tidak dapat memastikan. Kalaupun dia bisa
disembuhkan, ada satu hal yang akan tetap membawa
kesengsaraan bagi dirinya seumur-umur...”
“Aku tahu. Kau sudah mengatakan. Dia akan menjadi
lelaki tidak sempurna. Dia kehilangan kejantanannya.
Sama saja dia mati dalam hidupnya.”
“Kita hanya tinggal satu harapan. Kalau dia siuman
mungkin bisa memberitahu apa yang terjadi dengan
dirinya. Mungkin dari situ kita bisa mencari jalan untuk
menyembuhkan.”
“Aku punya dugaan...” kata Setan Ngompol sambil
pegangi bagian bawah perut yang siap mengucur “Siapun orang yang berlaku jahat terhadap pendekar itu, dia
memang sengaja tidak membunuhnya. Tapi membuatnya
menderita seumur hidup.”
Seerrr! Habis keluarkan ucapan akhirnya Setan
Ngompol pancarkan juga air kencingnya.
“Aku tidak mau bicara jelek tentang sahabat muda kita
itu.” kata Ki Tambakpati pula. “Selama ini aku dengar
banyak gadis cantik rimba persilatan yang menaruh hati
padanya. Dari sekian banyak gadis itu mungkin ada yang
dicintai oleh pemuda lain. Namun bertepuk sebelah tangan
karena sang gadis sudah terpikat pada Wiro. Nah, mungkin
orang ini yang berbuat jahat terhadap pendekar itu.”
“Jika memang begitu kejadiannya, suatu saat pasti
akan ketahuan siapa orangnya,” kata Setan Ngompol pula.
Ki Tambakpati keluarkan suling perak yang ditemuinya
di puncak bukit dekat bangunan candi dekat sosok tubuh
Pendekar 212 yang tergeletak pingsan.
“Suling ini kutemui di halaman candi. Mungkin milik
orang jahat yang mencelakai Wiro. Melalui benda ini kita
bisa menyelidik. Lalu jika kita bisa mendapatkan Kitab
Seribu Pengobatan mungkin di sana ada petunjuk untuk
penyembuhan penyakit yang diderita pemuda itu...”
berkata Ki Tambakpati.
Setan Ngompol perhatikan suling perak di tangan Ki
Tambakpati. Dia tidak pernah melihat benda ini sebe–
lumnya, tak bisa menduga siapa pemiliknya. “Setahuku
kitab itu ada pada Wiro. Tapi waktu kita memeriksa dirinya
kita tidak menemukan kitab itu. Mungkin telah diserahkan
pada gurunya atau disimpan di satu tempat.”
“Aku tak habis kasihan pada murid Sinto Gendeng itu...”
kata Ki Tambakpati pula. “Dia belum pernah menikah.
Belum pernah kawin. Sekarang malah kejatuhan penyakit
yang menjadikan dia seorang lelaki tidak sempurna. Walau
banyak yang menyukai dan mencintainya tapi sekarang
gadis mana yang akan bersedia mengambilnya jadi
suami?”
Tiba-tiba sebuah perahu meluncur terombang-ambing dipermukaan air Kali Progo. Setan Ngompol memperhatikan
lalu berkata.
“Ada perahu tanpa penumpang. Datang dari hulu kali.
Tidakkah kau merasa aneh?”
“Mungkin saja perahu itu tadinya tertambat di satu
tempat. Tambatannya putus lalu dihanyutkan air sampai ke
sini...” menduga Ki Tambakpati.
“Sobatku, aku tidak sependapat denganmu. Kau tunggu
di sini. Aku mau menyelidik.” Habis berkata begitu sambil
satu tangan masih memegangi bagian bawah celananya
yang lepek Setan Ngompol melompat ke atas perahu yang
mengapung di kali. Karena ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya sudah mencapai tingkat tinggi maka ketika dua
kakinya menjejak lantai perahu, perahu itu tidak bergoyang
sedikitpun. Si kakek perhatikan keadaan perahu dengan
matanya yang belok. Lalu dia membungkuk, mengendus
dalam-dalam. Mula-mula dia mencium bau air pesingnya
sendiri. Kemudian dia mencium bau harum. Setan Ngom–
pol luruskan tubuh, memandang sepanjang kali, memper–
hatikan kiri kanan tepian Kali Progo, namun dia tidak
melihat siapapun, termasuk sosok samar gadis bermuka
pucat yang berdiri di cabang pohon. Kakek ini segera
melesat ke tepi kali, membiarkan perahu meluncur dibawa
arus ke hilir.
“Kau menemukan sesuatu?” tanya Ki Tambakpati.
Setan Ngompol mengangguk sambil buru-buru tekap
bagian bawah perutnya yang kembali hendak berulah.
“Ada seseorang di atas perahu itu sebelumnya. Seorang
perempuan.” Menjelaskan Setan Ngompol.
“Bagaimana kau bisa tahu ada orang dan perempuan
pula!” berkata Ki Tambakpati.
“Aku mencium bau harum bekas tubuh dan pakaiannya
di dalam perahu.” Jawab Setan Ngompol. “Aku kenal betul
bau harum yang satu itu. Kira-kira bisa menduga siapa
orangnya. Tapi aku tidak mau memberi tahu dulu...”
“Aneh, jika ada orang di atas perahu mengapa dia
kemudian meninggalkan perahu begitu saja? Pergi kemana? Apa keperluannya melewati daerah ini? Seorang
perempuan pula!”
“Ki Tambak,” ucap Setan Ngompol setengah berbisik.
“Sebenarnya sejak tadi aku merasa kehadiran seseorang di
sekitar tempat ini. Namun aku tidak bisa melihat tubuh
kasarnya...”
“Di tikungan kali ini banyak demitnya” kata Ki
Tambakpati.
Setan Ngompol terlompat dari duduknya. Dua tangan
buru-buru menekap bagian bawah perut. “Kau jangan
menakuti. Aku bisa ngocor terus-terusan!”
Karena terlalu asyik bicara, dua kakek ini tidak
memperhatikan bagaimana satu bayangan biru melesat di
belakang mereka, masuk ke dalam gubuk melalui jendela
yang terbuka.
“Aku mencium bau harum santar sekali!” kata Setan
Ngompol tiba-tiba.
Ki Tambakpati mendongak dan menghirup udara
dalam-dalam, “Eh, aku juga mencium bau wangi itu. Tapi
aneh, mengapa wanginya bau kembang kenanga? Kem–
bang mayat? Jangan-jangan asin mulutku. Tadi aku cuma
bergurau. Tapi mungkin benaran ada demit di tempat ini!”
Serrr!
Setan Ngompol memaki panjang pendek dan lagi-lagi
pancarkan air kencing.
Dua sahabat ini kemudian terus saja bercakap-cakap
membicarakan keadaan Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Aku ingat pada Liris Biru. Gadis itu begitu nekad
mencari ke Kuto Gede pemuda berpakaian hitam yang
katanya membunuh Liris Merah. Aku khawatir dia akan
mengalami celaka seperti kakaknya. Digagahi lalu dibunuh
seorang pemuda tak dikenal.”
“Pangeran Matahari sudah mati. Sekarang muncul lagi
penjahat terkutuk tukang perkosa. Apakah kejahatan tidak
pernah berhenti di muka bumi ini?” ucap Ki Tambakpati
sambil menghela nafas panjang.
Sementara itu di bagian lain tepi Kali Progo, tiga orang penunggang kuda berhenti di balik sederetan pohon besar
yang tumbuh rapat. Ketiganya adalah gadis-gadis cantik
dan mereka menunggangi kuda sama-sama berwarna
putih. Gadis paling depan mengenakan pakaian ringkas
warna kelabu dihias manik-manik putih dan merah. Ram–
but hitam digulung di atas kepala. Sepasang bola mata
berwarna biru. Gadis berwajah jelita ini memutar kudanya
sedikit, berpaling pada dua gadis di belakangnya yang juga
berparas cantik lalu berkata, “Kurasa kita sudah sampai di
tempat tujuan. Orang yang aku cari berada di sekitar sini.
Kalian berdua cukup mengantarku sampai di sini. Kemba–
lilah ke laut selatan.”
“Ratu Duyung,” salah seorang dari dua gadis menjawab
sambil sedikit bungkukkan dada. “Sebenarnya kami masih
ingin berlama-lama mendampingimu. Bertahun-tahun hi–
dup di dasar samudera, sekali-sekali berada di alam terbu–
ka seperti ini kami sungguh merasa bahagia. Karena itu
kami memohon izin agar terus bisa bersamamu.”
Si jelita berbola mata biru yang rupanya adalah Ratu
Duyung tersenyum, “Masih banyak kesempatan di lain
waktu. Sekarang ini aku tengah menghadapi beberapa
urusan besar. Tapi jika kalian memang ingin mencari
kesenangan, kalian boleh menunda kepulangan sampai
dua hari. Aku tidak memerlukan tunggangan lagi. Bawa
kuda ini bersama kalian.” Ratu Duyung usap tengkuk kuda
tunggangannya lalu melompat turun.
“Terima kasih Ratu... Terima kasih,” kata dua gadis
penuh gembira. “Kami mohon pamit sekarang juga.”
Ratu Duyung mengangguk. Dua gadis yang bertindak
sebagai pengiring Ratu Duyung tundukkan kepala lalu
tinggalkan tempat itu. Anehnya walau kuda mereka dipacu
kencang namun kaki-kaki binatang itu tidak mengeluarkan
suara berderap. Tiga ekor kuda berlari laksana melayang di
atas tanah! Itu sebabnya ketika ketiganya datang tadi, baik
Ki Tambakpati maupun Setan Ngompol tidak mendengar
suara derap kaki binatang-binatang itu.
Setelah dua pengiring pergi, Ratu Duyung gerakkan tangan kanan ke balik baju kelabu. Biasanya gadis cantik
bermata biru ini selalu mengenakan pakaian hitam men–
colok ketat dengan potongan dada rendah serta belahan
tinggi pada pinggul kiri kanan. Namun sejak ditegur oleh
Kiai Gede Tapa Pamungkas beberapa waktu lalu maka dia
merubah penampilan dan cara berpakaiannya (Baca serial
Wiro Sableng berjudul ‘Misteri Pedang Naga Merah’). Kalau
tidak mengenakan jubah dalam maka dia berpakaian
ringkas seperti yang dikenakannya saat itu. Seperangkat
perhiasan terbuat dari kerang hijau menghias telinga, leher
dan lengan.
“Kurasa sebelum mendatangi gubuk di tikungan kali itu
sebaiknya sekali lagi aku memantau keadaan lebih dulu...”
Entah mengapa tergerak saja hati Ratu Duyung untuk
bersikap hati-hati. Dari balik baju kelabu dia keluarkan
sebuah benda yang ternyata adalah cermin bulat berga–
gang biru. Selain merupakan senjata sakti cermin ini juga
mampu dipakai untuk melihat atau memantau keadaan
sampai jarak cukup jauh.
Memperhatikan ke dalam cermin, Ratu Duyung melihat
dua orang kakek tengah duduk di sebuah batu besar di
tepi kali, asyik bercakap-cakap. Dia segera mengenali salah
seorang dari dua kakek itu adalah Setan Ngompol. Cermin
digerakkan, diarahkan ke atas kali. Di kejauhan masih
sempat terlihat sebuah perahu kosong meluncur ke arah
hilir. Mendadak kening sang ratu mengerenyit Pinggiran
cermin bulat sebelah kanan atas memunculkan sepasang
kaki samara tegak di atas cabang pohon di tepi kali. Ratu
Duyung geser cermin saktinya hingga kini dia dapat melihat
keseluruhan sosok samar seorang perempuan yang tengah
berdiri di atas cabang pohon itu. Cermin sakti digoyang,
diusap, namun tetap saja sosok di atas pohon tidak bisa
terlihat jelas, tetap berujud bayangan samar.
“Makhluk dari alam lain. Siapa...?” ucap Ratu Duyung
dalam hati. Dia coba menerka, “Makhluk itu mungkin
Bunga gadis dari alam roh yang telah bersahabat sejak
lama dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun mungkin juga gadis dari negeri 1200 tahun silam yang dikenalnya
dengan nama Purnama. Gadis ini terakhir sekali ditemui–
nya sewaktu dia bersama Wiro menyerbu Gedung Kadi–
paten Losari (Baca serial Wiro Sableng berjudul ‘Sang
Pembunuh’). Hati sang ratu mendadak merasa tidak enak
kalau tidak mau dikatakan cemburu. Ini karena dia tahu
kalau Purnama telah jatuh hati dan diam-diam mencintai
Pendekar 212. Cinta gadis alam roh 1200 tahun silam ini
terhadap Wiro jauh lebih dahsyat dari cinta Bunga yang
juga makhluk dari alam roh.
“Aku harus mampu mengetahui siapa yang hadir di sini.
Bunga atau Purnama. Jika Purnama lebih baik aku pergi
saja dari sini. Tapi bagaimana dengan Wiro yang sedang
sakit...?” ucap Ratu Duyung dalam hati. Gadis cantik ber–
mata biru ini selain khawatir juga tampak bingung.
Ratu Duyung geser lagi cermin saktinya. Dia dapat
melihat gubuk di tikungan kali itu. Cermin digoyang. Kini
Ratu Duyung dapat melihat bagian dalam gubuk. Sepasang
bola mata biru gadis cantik ini membesar.
“Aku keduluan. Bagaimana dia bisa berada di sini lebih
dulu dariku?” Suara Ratu Duyung perlahan agak lirih. “Apa
yang harus aku lakukan? Menerobos masuk ke dalam
gubuk? Atau menunggu sampai dia pergi. Tapi mungkin dia
akan menunggui Wiro sampai berhari-hari.”
EMPAT
SEMENTARA Ratu Duyung memperhatikan keadaan
dalam gubuk melalui cermin saktinya, di dalam gubuk
Bidadari Angin Timur tegak di tepi ranjang, tubuh
sedikit tertunduk, dua tangan mendekap dada dan
sepasang mata memperhatikan Wiro tak berkesip.
Perlahan-lahan sepasang mata gadis cantik berambut
pirang ini mulai berkaca-kaca. Sesaat kemudian air mata
mengucur membasahi pipinya. Jauh di lubuk hatinya dia
berucap, “Gusti Allah mengapa dia selalu mengalami nasib
sengsara seperti ini. Apakah benar ucapan yang kudengar
tadi. Bahwa dia...”
Satu tangan memegang bahu Bidadari Angin Timur
membuat si gadis tersentak kaget. Dia berpaling.
“Kakek Setan Ngompol,” ucap Bidadari Angin Timur
begitu tahu siapa yang memegang bahunya.
Di belakang si kakek berdiri Ki Tambakpati.
“Aku sudah mengira kau akan muncul di tempat ini. Aku
mencium harum bau tubuh dan pakaianmu di perahu. Kau
datang langsung masuk ke dalam. Padahal kami berdua
ada di luar.” Berkata Setan Ngompol.
“Harap maafkan aku, Kek. Pikiranku sangat kacau. Aku
menyirap kabar ditangkapnya Wiro. Lalu ada yang mem–
bebaskannya keluar dari penjara kerajaan. Aku mengikuti
apa yang terjadi dan berusaha secepat mungkin menuju
Kotaraja. Kemudian aku ketahui kakek berdua membawa
Wiro ke tempat ini” Bidadari Angin Timur mulai terisak.
“Kek, apakah aku tidak keliru mendengar apa yang tadi
kalian bicarakan di luar?”
“Memangnya kami bicara apa?” tanya Ki Tambakpati.
“Ketika berada di tepi kali, aku sempat mendengar pembicaraan kakek berdua. Apa betul Wiro telah menjadi
seorang lelaki yang tidak sempurna? Apa benar dia telah
kehilangan kejantanannya? Apakah dia memang tidak bisa
disembuhkan untuk selama-lamanya?”
Setan Ngompol pegangi bagian bawah perutnya. Ki
Tambakpati tak bisa menjawab. Tangis Bidadari Angin
Timur pecah.
“Sahabatku, mari kita keluar. Kita bicara di luar...”
Setan Ngompol membujuk.
Bidadari Angin Timur gigit bibirnya sendiri. Gelengkan
kepala dan berkata. “Rasanya tidak ada yang perlu dibica–
rakan, Kek. Aku sudah sempat mendengar semuanya...”
Gadis berambut pirang itu membungkuk, mengusap kening
Pendekar 212 yang terasa sangat dingin.
“Kami berdua akan terus berusaha memusnahkan
penyakitnya.” Berucap Ki Tambakpati.
Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Dia letakkan
kepalanya di dada Pendekar 212 lalu menangis keras.
“Hentikan tangismu, sebaiknya kau membantu dengan
memanjatkan doa pada Gusti Allah agar Wiro bisa
disembuhkan...”
“Akan aku lakukan, Kek. Akan aku lakukan...” jawab
Bidadari Angin Timur. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia
melangkah ke pintu.
“Bidadari Angin Timur, tunggu dulu!” Setan Ngompol
memanggil.
Namun gadis cantik itu telah lenyap dari pemandangan.
Dikejar keluar sosoknya tak kelihatan lagi. Ki Tambakpati
menghela nafas dalam. Setan Ngompol yang berada di luar
gubuk sandarkan punggung ke dinding. Selagi dia berusa–
ha menahan kencing yang hendak mengucur tiba-tiba dari
atas pohon besar di seberang kali melayang turun satu
sosok putih disertai menebarnya bau harum bunga kena–
nga, membuat si kakek tersirap kaget dan semburkan air
kencing.
“Bau kembang kenanga. Kembang mayat! Jangan-
jangan tempat ini memang benar-benar ada demitnya.”Membatin Setan Ngompol dan tekap kuat-kuat bagian
bawah perutnya.
Di saat yang hampir bersamaan dari balik semak belu–
kar di tebing kali melesat pula satu sosok kelabu. Kedua
sosok ini saling bertemu di halaman gubuk, beberapa
langkah di hadapan Setan Ngompol.
“Ratu Duyung!” seru Setan Ngompol ke arah orang yang
datang dari balik semak belukar. Aku hampir tak menge–
nalimu. Caramu berpakaian jauh berbeda dari yang sudah-
sudah.” Memandang ke kiri kakek ini agak ragu sebentar.
Lalu berkata. “Gadis berkebaya putih, bukankah kau Bunga
sahabat Pendekar 212 Wiro Sableng?”
Baik Ratu Duyung dari laut selatan maupun Bunga
gadis dari alam roh tidak menyahuti sapaan si kakek. Dua
gadis ini saling pandang. Bunga tersenyum. Ratu Duyung
membalas dengan membungkukkan badan memberi
penghormatan.
“Ah, aku gembira kalian berdua datang ke tempat ini.
Apakah kalian telah mengetahui apa yang terjadi dengan
Wiro?” Berkata Setan Ngompol.
Bunga mengangguk. Wajahnya yang pucat tampak
sedih.
Ratu Duyung bertanya. “Apakah kami berdua boleh
menjenguknya ke dalam?”
“Masuklah... Silahkan masuk.” kata Setan Ngompol
pula. Lalu dia berseru pada Ki Tambakpati memberitahu
kedatangan dua gadis cantik itu.
Kalau tak ada orang lain di dalam gubuk itu baik Bunga
maupun Ratu Duyung pasti telah menjatuhkan diri di
samping ranjang dan memeluk Pendekar 212.
Bunga perhatikan sosok Pendekar 212 mulai dari
rambut sampai ke kaki. Gadis ini memperhatikan bukan
dengan mata nyalang tetapi justru dengan mata terpejam.
Dalam keadaan mata yang terpejam Bunga melihat
Pendekar 212 seperti onggokan tulang belulang, nyaris
menyerupai jerangkong. Darah hitam mengalir melewati
tulang belulang putih dari ujung kaki sampai ke kepala lalu lenyap. Sesaat kemudian kelihatan lagi darah hitam
mengalir, juga mulai dari kaki naik ke atas dan lenyap.
Begitu terus menerus. Perlahan-lahan gadis dari alam roh
ini angkat dua tangannya, telapak dikembangkan dan
diarahkan ke kepala serta tubuh Wiro.
Wuttt!
Ada satu gelombang kekuatan memukul ke atas,
membuat dua tangan Bunga bergetar. Dia coba bertahan
namun akhirnya dua tangan itu terpental. Bunga picingkan
mata kencang-kencang. Dua kaki bersurut setengah
langkah. Sepuluh jari tangan digenggam. Ketika gengga–
man dilepas tahu-tahu di tangan itu terlihat masing-masing
empat dan tiga kuntum kembang kenanga.
Masih dengan mata terpicing Bunga pergunakan tujuh
kembang kenanga untuk menotok tubuh Wiro, dua di
kepala, tiga di tubuh dan dua lagi di bagian kaki. Saat itu
juga terdengar tujuh kali letupan kecil. Bagian tubuh dan
kepala yang tadi ditotok kepulkan asap berwarna merah,
biru dan hijau. Satu dorongan yang kuat menerpa ke arah
Bunga membuat tubuh gadis ini bergetar hebat.
Ratu Duyung yang sejak tadi diam memperhatikan kini
tidak mau tinggal diam. Dia kerahkan tenaga dalam dan
hawa sakti pada dua tangannya lalu dengan cepat ditem–
pelkan ke punggung Bunga. Dorongan kuat yang menye–
rang Bunga terpental, membuat jebol dinding gubuk di sisi
kiri ranjang di mana Wiro terbaring. Asap merah, biru dan
hijau sirna. Dalam mata yang masih terpicing Bunga meli–
hat sebuah benda kecil putih kekuningan berputar-putar di
dalam gubuk lalu melesat menembus atap.
“Bunga tanjung. Aneh...” Bunga berkata perlahan lalu
buka kedua matanya. Dia mengucapkan terima kasih pada
Ratu Duyung yang telah memberi tambahan kekuatan
untuk bertahan bahkan memusnahkan kekuatan gaib yang
menyerangnya.
“Apa yang terjadi?” tanya Ratu Duyung setengah
berbisik.
“Ada kekuatan aneh menguasai diri Wiro. Kekuatan itu berusaha menggagalkan niatku menolongnya. Untung ber–
kat pertolonganmu untuk sementara kita berhasil mengusir
kekuatan gaib itu. Wiro juga mengalami kelainan di dalam
tubuhnya. Darahnya mengalir terbalik. Itu yang menyebab–
kan sekujur tubuhnya dingin. Aku coba menghentikan
keanehan ini dengan menotokkan tujuh bunga kenanga.
Tapi aliran darahnya tetap terbalik. Totokan hanya meno–
long membuat dia sadar satu hari lebih cepat.” Bunga
berhenti bicara. Lalu dia bertanya pada Ratu Duyung.
“Sahabatku, apakah kau tidak merasakan sesuatu pada
tubuhmu?”
“Apa...? Astaga!” Ratu Duyung baru sadar kalau cermin
sakti yang ada di balik pakaiannya bergetar dan menge–
luarkan hawa panas.
“Cermin saktimu! Lihat cermin saktimu!”
Ratu Duyung segera keluarkan cermin bulat dari balik
bajunya. Ketika memperhatikan ke dalam cermin, dia
melihat sosok seorang lelaki berselempang kain putih,
berjanggut dan berambut putih. Orang ini sama sekali tidak
memiliki wajah. Licin polos!
“Manusia tanpa wajah!” ucap Ratu Duyung.
Bunga menarik tangan Ratu Duyung, coba melihat ke
dalam cermin lalu gadis alam roh ini berteriak, “Dia ada di
atas atap!”
Sambil melesat ke atas Bunga lepaskan pukulan Roh
Membelah Langit. Selarik angin dahsyat disertai sambaran
sinar putih berkiblat. Atap gubuk hancur berantakan. Di
luar sana terdengar suara dentuman keras. Lalu ada kila–
tan tiga cahaya terang sekali. Merah, biru dan hijau. Bunga
melesat keluar gubuk lewat atap yang hancur. Ratu Duyung
menyusul. Di atas atap kedua gadis ini memandang berke–
liling, lalu melayang turun ke tanah. Sosok makhluk tanpa
wajah yang tadi jelas terlihat di cermin tidak mereka temui.
Ratu Duyung melihat sebuah benda kecil putih keku–
ningan di tanah. Dia mendekati dan membungkuk hendak
mengambil. Namun tarik tangannya ketika terdengar
Bunga berteriak.“Jangan sentuh!”
Ratu Duyung merasa tangannya yang tadi dijulurkan
seperti disengat hawa panas.
“Itu bunga tanjung yang aku lihat waktu memejamkan
mata” Berkata Bunga. Lalu gadis alam roh ini jentikkan jari
telunjuknya ke arah bunga tanjung di tanah. Kejap itu juga
bunga tanjung hancur dengan memancarkan cahaya
merah, biru dan hijau.
“Sahabatku Ratu Duyung,” berkata Bunga. “Tidakkah
kau melihat keanehan?”
Ratu Duyung mengangguk.
“Bunga tanjung biasa tidak akan memancarkan tiga
cahaya berwarna seperti itu. Benar katamu. Ada satu
kekuatan yang berusaha menghalangi maksud kita meno–
long Pendekar 212.”
“Sahabat, aku ingin berada lebih lama di tempat ini.
Ingin sekali melanjutkan menolong Wiro. Tapi waktuku di
dunia luar sangat terbatas. Aku harus segera pergi. Aku
titip Wiro padamu. Jaga dia baik-baik. Selidiki asal muasal
sakit aneh yang dideritanya. Aku tahu kau akan mampu
menolongnya. Beritahu kakek pemilik gubuk kalau aku
minta maaf telah merusak tempat kediamannya...”
“Tak usah khawatir. Tidak jauh dari sini ada satu
bangunan kosong. Dekat aliran Kali Progo juga. Aku akan
meminta mereka pindah dan membawa Wiro ke sana.”
Bunga memberikan sekuntum kembang kenanga
kuning pada Ratu Duyung. “Simpanlah. Jika sewaktu-waktu
kau membutuhkan diriku cium kembang ini dan sebut
namaku. Aku akan muncul”
Habis menyerahkan kembang kenanga dan keluarkan
ucapan Bunga berkelebat. Gadis alam roh ini lenyap dari
hadapan Ratu Duyung.
Saat itu Ki Tambakpati dan Setan Ngompol sudah
berada di luar gubuk.
“Apa yang terjadi? Mana Bunga?” tanya Setan Ngompol.
“Dia sudah pergi. Kek, ada sebuah bangunan kosong
tak jauh dari sini. Kurasa lebih baik kita memindahkan Wiro ke sana. Namun sebelumnya aku ingin bertanya
bagaimana kejadiannya sampai Wiro mengidap penyakit
aneh itu...”
“Aku yang pertama kali menemukannya tergeletak di
halaman candi di atas sebuah bukit. Aku mendapat
petunjuk dalam mimpi. Aku bicara dengan Sinto Gendeng,
guru Wiro...” Lalu Ki Tambakpati menuturkan bagaimana
dan di mana dia menemui Pendekar 212 di bawah hujan
lebat beberapa hari lalu.
Setelah mendengar penuturan Ki Tambakpati, Ratu
Duyung bertanya. “Kek, menurut ceritamu kau menemukan
sebuah suling perak tak jauh dari tempat Wiro tergeletak di
halaman candi. Boleh aku melihat suling itu?”
Ki Tambakpati masuk ke dalam gubuk. Waktu keluar
dia membawa sebuah suling perak yang berkilat-kilat ter–
kena sinar matahari. Suling diberikan pada Ratu Duyung.
Gadis bermata biru ini memperhatikan dengan seksama
sambil berpikir-pikir. Kemudian dia berkata.
“Kalau aku tidak salah menduga, suling ini pernah
menjadi milik paderi perempuan dari negeri Cina. Paderi itu
bernama Loan Nio. Sebelum kembali ke negerinya dia
menyerahkan suling pada seorang nenek rambut kelabu,
makhluk jejadian kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar
Tilu...”
“Bagaimana kau bisa tahu hal itu, Ratu Duyung?” tanya
Setan Ngompol.
“Aku menyaksikan sendiri kejadian itu” jawab Ratu
Duyung seraya mengembalikan suling perak pada Ki Tam–
bakpati. “Kalau suling itu ditemukan dekat Wiro tergeletak
pingsan mungkin sekali makhluk jejadian itu juga ada di
sana. Lalu ke mana perginya nenek itu?”
“Kau mencurigai dia yang mencelakai Wiro?” tanya
Setan Ngompol.
Ratu Duyung menggeleng. “Dia berhutang budi pada
Wiro. Makhluk jejadian tidak seperti manusia. Dia tak
mungkin akan membalas budi orang dengan kejahatan.
Tapi siapa tahu, keadaan bisa saja membuat makhluk itu berubah. Kita harus mencari nenek itu untuk ditanyai. Tapi
menolong Wiro adalah hal paling pertama harus kita
lakukan. Sahabat kita Bunga menerangkan apa yang
dialami Wiro. Tadi waktu berada di sini, aku sempat men–
dengar pembicaraan kakek berdua...”
“Syukur kalau kau sudah tahu nasib buruk yang diderita
pemuda itu. Kita hanya memohon pada Gusti Allah dan
berusaha menyelamatkannya dari penyakit yang menyeng–
sarakan seumur hidup itu. Tadi kami membicarakan Kitab
Seribu Pengobatan. Mungkin ada petunjuk penyembuhan
dalam kitab itu.”
“Setahuku kitab itu pernah hilang kemudian ditemukan
kembali. Terakhir dicuri oleh paderi dari Cina itu. Namun
dia sudah mengembalikan pada Wiro.” Menjelaskan Ratu
Duyung.
“Justru kami tidak menemukan kitab itu padanya” Kata
Ki Tambakpati pula. “Aku berharap kitab itu tidak lenyap
lagi untuk ke sekian kalinya.”
“Sementara hari masih pagi, matahari belum bersinar
terik, sebaiknya kita membawa Wiro ke bangunan kosong
itu.” Berkata Ratu Duyung.
Ketika orang-orang itu sampai di bangunan yang dika–
takan Ratu Duyung ternyata bangunan itu sebuah rumah
panggung berkolong rendah. Seharusnya keadaan bangu–
nan serba kotor, paling tidak penuh debu dan sarang laba-
laba karena sekian lama tidak pernah ditinggali. Namun
anehnya ketika mereka sampai di depan tangga mereka
dapatkan keadaan bangunan sangat bersih. Lantai kayu
licin berkilat, begitu juga dinding dan langit-langit. Di dalam
sebuah kamar terdapat satu ranjang bambu rendah ber–
alaskan tikar yang walaupun sudah robek-robek tapi
bersih. Di salah satu sudut kamar terdapat sebuah gentong
lumayan besar. Ketika diperiksa ternyata berisi air jernih
dan sejuk. Di dinding dekat gentong air ini tergantung
sebuah gayung terbuat dari batok kelapa. Ki Tambakpati
dan Setan Ngompol dengan bantuan Ratu Duyung mem–
baringkan Pendekar 212 di atas ranjang bambu.Sambil memandang berkeliling, lalu berdiri membela–
kangi jendela yang terbuka Ratu Duyung berkata, “Aneh,
siapa yang membersihkan bangunan ini? Siapa yang
mengisi tempayan dengan air bersih?”
Tiba-tiba ada suara perempuan menyahuti ucapan Ratu
Duyung.
“Para sahabat bertiga, saat ini hanya itu bantuan yang
bisa aku berikan.”
Tiga orang yang ada di dalam rumah sama-sama
terkejut karena tidak menyangka ada orang lain di rumah
panggung itu. Namun ketika melihat siapa yang muncul
Setan Ngompol unjukkan air muka gembira.
Ki Tambakpati karena tidak mengenal hanya tegak
memperhatikan sambil dalam hati bertanya-tanya. Semen–
tara Ratu Duyung yang memang mengenal siapa adanya
orang dan tidak menyangka kehadirannya di tempat itu
berusaha menyembunyikan perasaan terkejutnya.
LIMA
SETAN Ngompol datang menghampiri seraya berkata.
“Sahabatku gadis dari negeri seribu duaratus tahun
silam, aku gembira melihatmu. Bagaimana kau bisa
berada di sini. Kaukah yang membersihkan bangunan ini?”
Gadis yang disapa si kakek ternyata adalah Luhmintari,
gadis dari Latanahsilam yang kini dipanggil Purnama, nama
pemberian Pendekar 212 Wiro Sableng.
Purnama yang mengenakan pakaian biru, rambut hitam
digulung di atas kepala, menjura memberi penghormatan
pada tiga orang itu, lalu menjawab pertanyaan Setan
Ngompol, “Kek, sebelum ke sini aku datang ke rumah di
pinggir Kali Progo. Ketika mendengar kakek bertiga akan
mempergunakan bangunan ini, aku buru-buru ke sini
menyiapkannya. Maaf kalau aku bertindak lancang
mendahului.”
“Siapa yang bilang kau lancang! Perbuatanmu sangat
terpuji dan sangat menolong. Daripada aku yang menyapu
membersihkan rumah ini, bisa terkencing-kencing.
Lantainya bukan jadi bersih malah tambah kotor bau
pesing! Ha... ha... ha!”
Semua orang tertawa geli mendengar ucapan Setan
Ngompol itu.
Purnama berpaling pada Ratu Duyung membungkuk
memberi penghormatan lalu berkata, “Sahabat, waktu kau
menyelamatkan diriku di atas atap Gedung Kadipaten dari
tangan jahat Raja Racun Bumi Langit aku belum sempat
mengucapkan terima kasih. Saat ini aku...”
Ratu Duyung tersenyum. “Tak usah memakai peradatan
segala. Antara sesama sahabat bukankah wajar-wajar saja
saling menolong?”“Walau begitu aku tetap ingin menyampaikan rasa
terima kasihku. Aku bukan cuma berhutang budi, tapi juga
berhutang nyawa padamu.” Kata Purnama pula.
Sementara dua gadis itu bicara diam-diam Ki Tambak–
pati memperhatikan dan menimbang-nimbang. Mana yang
lebih cantik di antara mereka. Purnama tinggi semampai
memiliki wajah anggun sedap dipandang. Sementara Ratu
Duyung memiliki sepasang mata biru penuh pesona ditam–
bah bentuk tubuh yang indah. Dia juga ingat pada gadis
cantik berambut pirang Bidadari Angin Timur yang sebe–
lumnya muncul di gubuk di Kali Progo. Dalam hati kakek ini
berkata. “Aku menyirap kabar tiga gadis itu ditambah gadis
berwajah pucat bertubuh samar, mereka semua mencintai
Wiro. Yang mana kelak yang bakal mendapatkan pendekar
itu? Apakah tidak akan terjadi saling bentrok di antara
mereka?”
“Ada hal yang lebih penting,” kata Ratu Duyung
“Sahabat kita Pendekar 212 tengah menderita sakit parah.
Kita harus menolongnya...”
Tiba-tiba Setan Ngompol ingat sesuatu. “Purnama,
setahuku kau telah meredam seluruh isi Kitab Seribu
Pengobatan. Mungkin kau bisa melakukan sesuatu? Men–
cari petunjuk untuk menyembuhkan Wiro.”
“Aku akan mencoba, Kek. Mudah-mudahan Gusti Allah
menolong kita semua. Namun kalau Kakek bisa menceri–
takan, aku ingin lebih dulu mengetahui bagaimana asal
mula kejadiannya, apa yang diderita Wiro. Lalu tindakan
apa saja yang telah dilakukan dalam usaha menyembuh–
kannya.”
Setan Ngompol meminta Ki Tampakpati memberi
penjelasan. Kakek ahli pengobatan ini lalu menceritakan
bagaimana pertama kali dia menemui Wiro termasuk
kemunculan Damar Sarka dan Surah Sentono. Kakek ini
juga memberi tahu apa yang dialami Wiro lalu apa yang
telah dilakukannya walau tidak banyak menolong. Setan
Ngompol kemudian menambahkan apa yang terjadi
sewaktu Bunga berusaha mengobati sang pendekar.Diantar ke tiga orang itu Purnama kemudian masuk ke
dalam kamar di mana Wiro terbaring di atas ranjang
bambu.
Purnama memperhatikan sosok Wiro sejenak. Lalu
mulutnya berucap perlahan, “Ada duabelas bekas totokan
di tubuh Wiro. Ada orang yang telah berusaha menolongnya
sebelum gadis bernama Bunga menotok tujuh kali dengan
kembang kenanga.”
Gadis dari negeri 1200 tahun silam ini kemudian
letakkan telapak tangan kirinya di atas kening Pendekar
212. Terasa sangat dingin. Gadis ini lalu berpaling pada Ki
Tambakpati. “Kek, turut penjelasanmu serta keterangan
yang diberikan Bunga agaknya Wiro bukan hanya mende–
rita satu penyakit. Pintu pertama yang harus dilalui untuk
mengobati semua penyakitnya adalah terlebih dulu mem–
perbaiki jalan darahnya yang terbalik. Sahabat bertiga, aku
akan mulai. Bantulah dengan doa.”
Purnama pejamkan mata. Tangan kiri yang menyentuh
kening Wiro perlahan-lahan dialiri hawa sakti. Ketika hawa
sakti ini bersentuhan dengan kening Wiro, di luar rumah
terdengar letusan aneh seperti petir menyambar. Rumah
panggung bergetar. Purnama seperti disengat api. Gadis
alam gaib ini lipat gandakan tenaga dalam. Mulut menge–
rang menahan sakit. Tiga cahaya merah, biru dan hijau
muncul dalam ruangan.
Ratu Duyung berteriak keras lalu melesat ke luar rumah
sambil tarik cermin sakti dari balik baju. Di udara dia meli–
hat jelas satu bayangan putih berkelebat ke arah pohon
besar. Cermin sakti diputar. Selarik sinar putih menderu
keluar dari dalam cermin. Pohon besar yang dilanda sinar
putih langsung dikobari api. Namun bayangan putih lenyap
dari pemandangan.
“Manusia tanpa wajah! Pasti dia! Aku mengenali
pakaiannya. Makhluk itu memiliki kesaktian sangat tinggi.
Dia sepertinya berusaha menghalangi pengobatan atas diri
Wiro.”
Ratu Duyung mengawasi keadaan sekeliling, la1u cepat-cepat masuk kembali ke dalam rumah. Masuk ke
dalam ruangan didapatnya Wiro masih terbaring seperti
tadi. Purnama masih berdiri di samping ranjang. Tangan
tetap menempel di kening Wiro namun keadaan gadis dari
alam 1200 tahun silam ini mengenaskan. Dua mata yang
terpejam tampak membengkak. Sebagian pakaian birunya
hangus. Wajah sebelah kiri merah melepuh. Rambut yang
sebelumnya digulung di atas kepala kini tergerai kusut riap-
riapan. Di sela bibir tampak lelehan darah.
“Purnama, kau terluka di dalam!” teriak Ratu Duyung
lalu cepat merangkul gadis itu.
“Sahabat, tak usah khawatir. Aku masih dapat mengu–
asai diri. Aku tahu siapa yang barusan menyerang. Makhluk
yang kau lihat dalam cermin. Dia berusaha menghalangi
apa yang hendak kita takukan. Yang penting serangan gaib
tadi tidak sampai mencelakai Wiro. Sekarang aku akan
berusaha menyembuhkan kelainan darah di tubuh Wiro.
Mudah-mudahan aku menemukan petunjuk dalam Kitab
Seribu Pengobatan.”
Ketika Purnama hentikan ucapannya, keadaan di dalam
ruangan itu sehening di pekuburan. Ki Tambakpati tampak
pucat. Setan Ngompol bersandar ke dinding sambil pega–
ngi bagian bawah perut.
Cukup lama kesunyian mencekam, kemudian Purnama
berucap, “Kitab Seribu Pengobatan... Halaman tujuhpuluh
dua. Pengobatan ke tigaratus satu. Barang siapa menderita
kelainan darah yang biasanya disertai gangguan aliran
darah maka penyembuhannya terdiri dari lima tahap.
Pertama, memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
Maha Penyembuh agar orang yang sakit disembuhkan dari
penderitaannya. Kedua, si sakit diminumkan tujuh cangkir
air tumbukan jahe hangat setiap hari selama tiga hari.
Ketiga, jika aliran darahnya terganggu, si sakit harus diurut
pembuluh darah utamanya ke arah berlawanan dari aliran
darah yang ada mulai dari saat matahari terbit sampai
matahari tenggelam. Untuk mengurut harus dipergunakan
madu lebah yang dihangatkan. Keempat, si sakit harus diapungkan di atas sungai mulai dari matahari terbit
sampai siang hari dengan kepala menghadap ke arah
datangnya arus sungai dari hulu. Kelima, tepat pada saat
matahari mencapai titik tertinggi, tusuk sepuluh ujung jari
tangan dan ujung jari kaki dengan benda apa saja yang
runcing dan tajam. Bila darah yang keluar kembali ke asal
merah dan segar maka dengan kehendak serta Ridho
Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh si sakit akan
terhapus dari deritanya.”
Ketika Purnama tarik tangannya yang memegang
kening Wiro, Ki Tambakpati mendekati dan bertanya
setengah berbisik, “Petunjuk yang kau dapat adalah untuk
mengobati jalan darahnya yang terbalik. Bagaimana
dengan penyembuhan itunya. Maksudku kemampuannya
sebagai laki-laki...”
Purnama tak segera menjawab. Sewaktu mendengar
cerita Ki Tambakpati sebelumnya mengenai penyakit yang
diidap Wiro bahwa pemuda itu akan mengalami kelum–
puhan kejantanan selama-lamanya sebenarnya hatinya
merasa perih dan sangat terpukul. Dalam hati dia mem–
batin, siapa yang punya dendam terhadap Wiro hingga
memperlakukannya demikian kejam? Makhluk tanpa
wajah yang dilihatnya dalam cermin?
“Kek,” akhirnya Purnama berkata. “Kita baru berusaha
membuka pintu kesembuhan. Jika kita berhasil mengobati
kelainan jalan darah Wiro, mudah-mudahan kita bisa
menyembuhkan penyakitnya yang lain. Jangan lupa, Wiro
harus sadar lebih dulu. Kalau tidak bagaimana dia bisa
meneguk air jahe. Jika Wiro siuman kita perlu meminta
keterangan apa yang terjadi dengan dirinya. Baru nanti kita
bisa menentukan mau berbuat apa. Aku selalu siap untuk
mencari petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan. Seka–
rang baiknya kita sama-sama berdoa untuk kesembuhan
Wiro. Setelah itu masing-masing kita menyiapkan segala
sesuatu yang akan dipergunakan untuk alat penyem–
buhan.”
“Aku akan mencari madu lebah,” berkata Setan Ngompol.
“Aku akan mencari jahe. Nanti biar aku juga yang akan
mengurut tubuh pendekar itu.” Berucap Ki Tambakpati.
Purnama dan Ratu Duyung sama-sama tersenyum.
Purnama lalu memberi tanda agar semua orang siap untuk
sama-sama memanjatkan doa. Selesai berdoa Ki Tambak–
pati tinggalkan rumah panggung untuk mencari jahe
sedang Setan Ngompol pergi ke hutan mencari madu
lebah.
Setelah dua kakek itu pergi, Ratu Duyung bertanya
pada Purnama. “Sahabat, kau merasa baik-baik saja?”
“Tadi aku memang terluka di dalam. Untung aku bisa
bertahan. Mudah-mudahan sekarang aku tak kurang suatu
apa. Kau tentu dapat menduga, sakitnya Wiro bukan sakit
sembarangan. Ada kekuatan dari alam gaib yang berusaha
mencegah penyembuhan dan membuat keadaan jadi lebih
buruk.”
“Manusia tanpa wajah yang kita lihat dalam cermin.
Siapa dia?” ucap Ratu Duyung.
“Sulit diketahui siapa adanya makhluk itu. Apa sebe–
narnya kepentingannya. Makhluk itu mengandalkan ilmu
kesaktian yang memancarkan tiga warna merah, biru dan
hijau. Itu yang dipakainya waktu menyerangku.” Kata
Purnama pula.
“Sahabat, luka dalammu mungkin benar sudah
sembuh. Tapi apa kau menyadari ada bagian yang terbakar
pada wajahmu sebelah kiri...”
“Aku memang merasa sedikit perih. Aku tidak tahu
seberapa parahnya.”
Ratu Duyung keluarkan cermin bulat lalu diserahkan
pada Purnama. Gadis dari negeri 1200 tahun silam ini
dekatkan mukanya ke cermin. Ketika melihat wajahnya
dalam cermin, langsung dia terpekik. Kening kiri, pipi
sampai ke dagu kiri kelihatan merah kehitaman. Sebagian
kulit wajahnya ada yang mengelupas.
“Lukamu akan sembuh. Pasti ada obat untuk menyem–
buhkan” Ratu Duyung berusaha membujuk sambil meng–elus punggung Purnama. “Coba kau lihat petunjuk dalam
Kitab Seribu Pengobatan. Pasti kau akan menemukan obat
dan cara penyembuhannya.”
“Akan kucoba...” kata Purnama lalu pejamkan mata.
Setelah cukup lama merenung, sambil menarik nafas
dalam gadis ini buka kedua matanya. Perlahan-lahan
kepala digelengkan. “Aku tidak menemukan obat dan cara
penyembuhan...”
“Mustahil. Ada seribu macam pengobatan dalam kitab
itu” ujar Ratu Duyung.
“Semua menyangkut penyakit. Bukan untuk kecan–
tikan.” Jawab Purnama dengan suara lirih.
“Aku tidak yakin. Kalau saja kita bisa mendapatkan
kitab yang asli, mungkin ada yang tidak terserap dalam
benakmu...”
“Aku sudah menguasai seluruh isi kitab itu. Kitab Seribu
Pengobatan bukan untuk menyembuhkan dan membuat
kecantikan. Aku akan cacat seumur hidup. Mungkin aku
harus kembali ke alamku dan tidak pernah muncul lagi di
muka bumi ini untuk selama-lamanya...” Purnama berucap
perlahan. Seperlahan ucapannya seperlahan itu pula air
mata menetes ke wajahnya yang kini cacat.
“Aku tetap tidak yakin. Kau bukan mencari atau
membuat kecantikan. Kau mengobati dirimu yang terluka.
Kalau kau mampu menyembuhkan luka parah yang dialami
Wiro sewaktu dihantam pukulan Pangeran Muda dari
Keraton Kaliningrat, kalau kau mampu menyembuhkan
Wiro dari patukan ular gaib Walang Gambir alias Kobra
Biru, masakan kau tidak mampu mengobati luka luar
dirimu sendiri?”
“Luka yang aku alami bukan luka biasa. Ada kekuatan
gaib sangat dahsyat yang melakukannya.”
“Sahabat, aku tahu hatimu sedang tergoncang. Kita
semua dalam bingung dan susah. Tapi cobalah sekali lagi.
Aku yakin kau akan mendapat petunjuk dari Kitab Seribu
Pengobatan yang sudah kau ingat dalam benakmu itu...”
“Kalau begitu baiklah. Akan kucoba sekali lagi.”Kali ini Purnama pejamkan kedua matanya, pikiran
benar-benar dipusatkan. Tak lama kemudian mulutnya
berucap.
“Kitab Seribu Pengobatan. Halaman...” Ucapan
Purnama terputus. “Ada yang tidak beres! Aku melihat
kabut hitam. Pikiranku gelap, pemandanganku terhalang.
Ada makhluk jahat...”
Tiba-tiba meledak tawa cekikikan di tempat itu. Disusul
ucapan nyaring perempuan.
“Kau tidak akan mampu mengobati lukamu. Kau akan
cacat seumur hidup! Tidak ada lelaki yang mau padamu.
Termasuk Pendekar 212! Hik... hik... hik!”
“Siapa?!” Bentak Ratu Duyung. Dia merasa ada angin
berkelebat ke arah serambi rumah panggung. Ratu Duyung
mengejar. Sepasang matanya yang biru memancarkan
sinar terang. Lalu wuut... wuut! Dua larik sinar biru melesat
ke udara. Itulah ilmu kesaktian yang disebut Inti Biru Laut
Selatan. Di udara terdengar satu letupan keras disertai
kiblatan cahaya ungu terang. Lalu menyusul suara pekikan
perempuan.
“Kau berhasil menghajarnya. Mudah-mudahan dia
kapok menggangguku,” ucap Purnama yang ikut mengejar
dan kini berdiri di halaman rumah panggung di samping
Ratu Duyung.
“Lagi-lagi makhluk gaib. Kau tahu siapa atau makhluk
apa?”
“Makhluk perempuan dari negeriku. Aku pernah
bertarung dan menghajamya. Tapi dia tak pernah jera.
Kurasa tadi kau telah melukainya. Biar kapok!”
Dalam hati Ratu Duyung berkata. “Kalau makhluk gaib
perempuan itu berasal dari alam yang sama dengannya.
Kalau makhluk itu menyumpahinya tidak ada laki-laki yang
mau padanya termasuk Wiro, berarti makhluk itu sebenar–
nya ingin memiliki Wiro. Apakah dia yang telah mencelakai
Wiro?”
“Ratu, kau tengah memikirkan apa?” bertanya Purnama
ketika dilihatnya Ratu Duyung tegak terdiam.“Ah...” Ratu Duyung tersenyum. “Sahabat, sebaiknya
kita masuk kembali ke dalam rumah. Kau coba lagi men–
dapatkan petunjuk dari Kitab Seribu Pengobatan. Kali ini
kau pasti berhasil.”
“Tak usah di dalam rumah. Di sini pun bisa kulakukan”
jawab Purnama. Lalu gadis alam 1200 tahun silam ini
pejamkan mata. Sesaat kemudian dia berseru. “Ratu! Aku
berhasil! Aku akan membaca dan mengucapkannya! Kitab
Seribu Pengobatan, halaman empatpuluh sembilan,
pengobatan ke duaratus dua. Barang siapa yang terluka
kulit sampai dagingnya akibat penyakit atau api atau
benda panas lainnya, yang berasal dari alam nyata maupun
alam gaib maka penyembuhannya adalah sebagai berikut.
Pertama, memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
Maha Penyembuh agar si sakit disembuhkan dari sakit dan
penderitaannya. Kedua, siapkan satu kendi susu sapi.
Campur sedikit dengan tanah merah karena manusia
berasal dari tanah dan tubuhnya mengandung unsur tanah.
Ketiga, letakkan kendi berisi susu bercampur tanah di
tempat ketinggian, jangan ditutup, embunkan di udara ter–
buka mulai saat malam tiba sampai fajar menyingsing. Di
pagi yang sama menghadaplah ke arah matahari tengge–
lam. Keempat, siramkan air susu dalam kendi ke bagian
yang cidera sambil melafatkan kata-kata: Manusia berasal
dari tanah. Tanah pula yang akan menjadi pengobat.
Manusia memulai hidup dengan air susu. Air susu pula
yang akan menjadi pengobat. Tuhan Maha Kuasa Maha
Penyembuh... Jika semua sudah dilakukan mudah-muda–
han Yang Maha Kuasa akan menyembuhkan si sakit.”
Purnama membuka kedua matanya. Wajahnya yang
cacat tampak agak berseri.
“Aku berhasil. Terima kasih kau telah meyakinkan
diriku...”
“Kau akan mencari susu sapi?”
Purnama menggeleng. “Akan kulakukan kalau Wiro
sudah berhasil kita sembuhkan...”
“Kalau begitu biar aku yang mencarikan untukmu.”Purnama pegang lengan Ratu Duyung. “Terima kasih
kau mau berbuat baik. Tapi jangan. Tidak seorang pun dari
kita yang boleh meninggalkan tempat ini sebelum Wiro
sembuh.”
Ratu Duyung akhirnya mengangguk perlahan. Dalam
hati dia membatin, “Kecintaannya terhadap pemuda itu
sungguh luar biasa. Dia rela menanggung cacat, asal Wiro
bisa disembuhkan. Apakah kecintaannya melebihi kecinta–
anku?”
Menjelang sang surya tenggelam Ki Tambakpati muncul
kembali bertelanjang dada, membawa setumpuk jahe yang
dibungkus dalam jubah hijaunya.
“Mana kakek tukang ngompol itu. Kukira dia sampai
duluan,” kata Ki Tambakpati sambil letakkan tumpukan
jahe di tangga rumah.
Tiba-tiba terdengar suara orang berlari sambil meng–
aduh-aduh panjang pendek tiada henti.
“Hai! Itu suara kakek Setan Ngompol.” ujar Ratu
Duyung.
Tak lama kemudian kakek kepala setengah sulah ber–
kuping lebar itu muncul berlari-lari. Tangan kanan
menenteng dua buah kelapa hijau. Tangan kiri menekapi
bawah perut yang kelihatan aneh melembung.
“Katanya mencari madu lebah ke hutan. Pulang malah
membawa dua butir kelapa. Aneh sobatku satu ini!” Ucap
Ki Tambakpati.
Sampai di depan rumah panggung Setan Ngompol
jatuhkan diri. Dua buah kelapa diletakkan di tanah. Dia lalu
telentangkan badan di tanah sambil dua kaki mencak-
mencak kian kemari sementara dari mulutnya terus saja
teriakan, “Aduh... aduh... aduh!”
“Kek, ada apa ini?” bertanya Ratu Duyung.
“Kek, apa yang terjadi?” Purnama ikut bertanya.
“Hai! Kenapa celanamu gembung seperti ditiup angin!”
Bertanya Ki Tambakpati.
“Lebah sialan!” teriak Setan Ngompol “Aku bukan ditiup
angin. Tapi ditiup lebah keparat!”“Tenang, Kek. Ceritakan apa yang terjadi” kata
Purnama pula.
“Lebah sialan! Lebah keparat! Aku disengat ratusan
lebah waktu mengambil madunya di hutan!”
“Pasti kau tidak kulo nuwun (minta ijin) dulu!” kata Ki
Tambakpati.
“Kulo nuwun, kulo nuwun! Memangnya lebah ngerti
bahasa manusia!” gerutu Setan Ngompol. “Lihat anuku!
Melembung bengkak seperti semangka mau pecah!” Setan
Ngompol enak saja hendak rorotkan celananya yang basah
lepek oleh air kencing.
“Hai! Tahan! Tunggu dulu! Jangan main buka samba–
rangan. Ada gadis di sini! Mending anumu bagus! Ha... ha...
ha!” Ki Tambakpati tertawa gelak-gelak.
“Sudah Kek. Nyebur ke kali sana! Biar adem! Biar cepat
kempes anunya!” kata Ratu Duyung kasihan ada geli juga
ada.
“Yang penting kau dapatkan madunya apa tidak?” Ki
Tambakpati bertanya sambil pegangi perut menahan tawa.
“Itu sudah kumasukkan dalam buah kelapa!” jawab
Setan Ngompol lalu sambil kucurkan air kencing dia ber–
gulingan di tanah, menggelinding masuk Kali Progo.
“Pegangan Kek! Kalau kau hanyut kami juga yang
susah!” berseru Purnama.
Tiba-tiba dari dalam rumah panggung terdengar jeritan-
jeritan keras. Empat orang yang ada di halaman rumah
tersentak.
“Wiro!” Ratu Duyung dan Purnama berseru hampir
berbarengan.
Setan Ngompol yang baru saja sebentar berendam di
dalam kali, mendengar jeritan Wiro segera melompat
keluar dari dalam air. Dia seperti melupakan rasa sakit
bekas sengatan lebah. Terbeser-beser dia menghampiri Ki
Tambakpati.
“Apa yang dikatakan Bunga gadis alam roh itu benar
adanya. Wiro sadar satu hari lebih cepat. Tapi mengapa
menjerit-jerit?“Dia sadar dalam keadaan jalan darah yang masih
terbalik. Sakitnya lebih hebat dari sundutan bara api!”
jawab Ki Tambakpati.
Lalu dua kakek ini berkelebat menyusul dua gadis
masuk ke dalam rumah.
ENAM
DI ATAS ranjang bambu tubuh Pendekar 212 Wiro
Sableng bergetar hebat, basah oleh keringat dan
kepulkan asap tiga warna, merah, biru dan hijau.
Mulutnya tiada henti berteriak. Matanya hanya bagian
putih saja yang kelihatan.
“Totok jalan suaranya. Kasihan kalau dia berteriak
terus-terusan...” kata Ki Tambakpati.
Ratu Duyung bertindak cepat. Sekali menotok urat
besar di pangkal leher Wiro maka suara jeritan serta merta
lenyap. Pancaran tiga cahaya perlahan-lahan meredup
walau tidak hilang sama sekali. Begitu juga getaran yang
menjalari sekujur tubuh masih berlangsung.
“Dia menderita sakit luar biasa. Ketika pingsan dia
tidak merasakan. Begitu sadar baru berteriak. Tapi dia
belum sadar penuh. Baru mati rasanya yang sembuh.” Ki
Tambakpati menjelaskan. “Kita harus mempercepat
pengobatan.
Semua orang kemudian sibuk. Jahe ditumbuk, madu
untuk mengurut disiapkan. Ki Tambakpati dan Setan
Ngompol membuat rakit kecil nanti untuk dipakai meng–
apungkan tubuh Wiro di dalam kali sebagaimana petunjuk
Kitab Seribu Pengobatan yang dilafatkan Purnama.
Ketika jahe hangat selesai dibuat, cukup sulit untuk
meminumkan karena walau setengah sadar namun boleh
dikatakan murid Sinto Gendeng tidak punya tenaga keku–
atan sama sekali. Jangankan mengangkat tangan, untuk
menelan air obat saja dia mengalami kesulitan. Sementara
itu kedua matanya masih kelihatan memutih. Purnama dan
Ratu Duyung dengan susah payah berhasil meminumkan
obat jahe ke dalam mulut Wiro. Setan Ngompol dan KiTambakpati berdua mengurut sekujur tubuh Wiro dengan
madu. Keempat orang itu bekerja sampai jauh malam.
Keesokan paginya Ratu Duyung meminta izin tiga kerabat
untuk melepas totokan Wiro.
“Kita tidak mungkin menunggu sampai tiga hari seperti
petunjuk kitab sakti. Aku tidak tega melihat tubuhnya terus
menerus bergetar berkelojotan. Bagaimana kalau kita coba
melepas jalan suaranya. Siapa tahu Wiro sembuh lebih
cepat...”
Ki Tambakpati agak bersangsi. Namun Setan Ngompol
dan Purnama memberikan tanda persetujuan dengan ang–
gukan kepala. Maka Ratu Duyung segera menotok urat
besar di pangkal leher Pendekar 212. Begitu jalan suara–
nya terlepas dari mulut Wiro langsung melesat keluar suara
teriakan. Ratu Duyung tersentak, cepat-cepat dia tutup
kembali jalan suara Pendekar 212 dengan menotok lagi
urat besar di leher.
“Dia masih berteriak tanda kesakitan. Tapi ada
perubahan. Suara teriakannya tidak sekeras sebelumnya.”
berucap Ki Tambakpati.
“Kita harus melakukan sesuatu...” kata Ratu Duyung
sambil pejamkan mata. Tiba-tiba dia ingat pada Bunga.
“Mungkin kita harus memanggil Bunga...”
Seperti diketahui, sebelum pergi gadis berwajah pucat
dari alam roh itu memberikan sekuntum kembang kenanga
kuning pada Ratu Duyung disertai pesan. Jika sewaktu-
waktu dirinya dibutuhkan maka dengan mencium kembang
kenanga serta menyebut namanya dia akan muncul.
Sebenarnya Purnama merasa rikuh jika Bunga hadir di
tempat itu. Hal ini karena dia mengetahui kalau Bunga
lebih bersahabat terhadap Ratu Duyung daripada dirinya.
Namun saat itu dia harus membuang jauh-jauh segala
perasaan pribadi demi untuk menyelamatkan Pendekar
212 Wiro Sableng.
Diperhatikan oleh ketiga orang di dalam ruangan Ratu
Duyung keluarkan kembang kenanga dari balik baju kelabu
lalu mencium kembang ini sambil berkata. “Bunga, kami memerlukan bantuanmu. Datanglah.”
Begitu kata diucapkan dalam ruangan berpijar cahaya
putih menyilaukan disertai menebarnya bau kembang
kenanga. Di lain kejap Bunga si gadis alam roh telah
berada di tempat itu dalam pakaian kebaya putih ber–
kancing besar dan celana panjang putih sebetis.
“Para sahabat. Kesulitan kalian adalah kesulitanku
juga. Mari kita sama-sama mencari jalan untuk dapat
menolong Wiro.” Gadis alam roh berucap.
“Bunga, kau mampu membuat Wiro sadar lebih cepat?
Kami sudah melakukan apa yang kami bisa. Namun kami
harus menunggu selama dua hari lagi. Kami tidak tega
melihat Wiro tersiksa selama itu. Apakah kau mampu
mempercepat kesembuhan kelainan jalan darah yang
dideritanya?” Tanya Ratu Duyung.
Bunga pandangi wajah dan sosok Pendekar 212
dengan mata sayu. Dengan suara perlahan dia berkata,
“Wiro pernah menyabung nyawa ketika menyelamatkan
diriku dari sekapan guci iblis. Sekarang dia dalam kesulitan
besar. Bukankah ini saatnya membalas segala budi dan
hutang nyawa?” (Baca serial Wiro Sableng berjudul ‘Si
Cantik Dalam Guci’).
Bunga berpaling pada Ratu Duyung dan Purnama. Dari
dalam genggaman tangannya gadis alam roh ini keluarkan
tiga kuntum kembang kenanga yang masih segar. Satu
diberikan pada Ratu Duyung, satu pada Purnama.
“Kunyah dan telanlah kembang yang kuberikan.” Kata
Bunga lalu dia masukkan kembang kenanga yang dipe–
gangnya ke dalam mulut, langsung dikunyah. Ratu Duyung
dan Purnama tanpa ragu melakukan hal yang sama. Bunga
kemudian memegang tangan kedua gadis itu hingga
tangan kanan mereka bertiga saling berjabatan.
“Perhatikan apa yang aku lakukan,” berkata Bunga lalu
letakkan tangan kiri di atas kening Wiro “Letakkan tangan–
mu di atas tanganku,” kata Bunga pada Ratu Duyung lalu
pada Purnama dia berkata, “Letakkan tangan kirimu di
atas tangan Ratu Duyung.”Maka tiga tangan saling berjabatan, tiga lainnya
bersusun diletakkan di atas kening Pendekar 212.
“Kalian berdua, jika aku mengedipkan mata cepat
alirkan tenaga dalam penuh. Kita berusaha. Selebihnya
Tuhan yang akan menolong!” Bunga menunggu sesaat.
Lalu mulutnya berucap, “Gusti Allah Maha Pengasih Maha
Penyayang. Kasih sayangMu terlimpah pada kami bertiga.
Kekuatan kasih sayangMu lebih dahsyat dari kekuatan
gelombang samudera. Kekuatan kasih sayangMu lebih
dahsyat dari kekuatan sang surya. Kekuatan kasih
sayangMu lebih hebat dari kekuatan topan prahara!
Dengan izinMu ya Allah semua kekuatan dalam bungkus
kasih sayangMu itu akan menghancurkan kejahatan, akan
menyembuhkan penyakit. Kami bertiga yang rendah ini
memohon ya Allah. Apa yang Engkau kehendaki terjadilah!”
Habis keluarkan ucapan yang membuat tengkuk semua
orang yang ada di tempat itu jadi merinding, Bunga
kedipkan kedua matanya. Tiga tenaga dalam tingkat tinggi
sama-sama dikerahkan.
Blaarrr! Ledakan keras menggoncang rumah panggung.
Muka tiga gadis cantik tampak pucat seolah tidak
berdarah, terlebih Bunga. Ketiganya jatuh terkapar, tubuh
bergetar dada mendenyut sakit. Di sela bibir Ratu Duyung
tampak ada lelehan darah pertanda gadis ini menderita
luka dalam.
Bunga serahkan sekuntum kembang kenanga pada
Ratu Duyung. “Cepat kunyah dan telan!” katanya. Ratu
Duyung mengambil kembang kenanga, memasukkan ke
dalam mulut lalu mengunyah dan menelan dengan cepat.
Dadanya yang tadi mendenyut sakit, kepalanya yang tadi
agak pening kini semua itu serta merta lenyap. Ratu
Duyung maklum, sebagai dua orang dari alam lain,
Purnama dan Bunga masih mampu bertahan terhadap
serangan gaib tadi. Sementara dia walau bisa hidup di
darat dan di laut, bagaimanapun juga dia tetap manusia
biasa.
Di luar rumah terdengar suara gelombang angin men–deru. Daun-daun pepohonan berkesiuran. Ranting-ranting
patah berjatuhan. Di dalam rumah panggung tiba-tiba
berlangsung keanehan. Sosok Pendekar 212 melayang
naik setinggi satu jengkal, lalu ketika turun tagi ke ranjang
bambu, dari telinga, mata dan hidungnya serta mulut
meleleh darah kental berwama hitam! Cahaya merah, biru
dan hijau masih membayangi tubuhnya. Semua orang
tercekat kaget. Ratu Duyung seperti mau menangis. Pur–
nama pejamkan mata menahan isak. Hanya Bunga yang
tetap tenang. Ketiganya kemudian mengeluarkan sehelai
sapu tangan dari balik pakaian masing-masing lalu mem–
bersihkan darah dari wajah Wiro. Tiga sapu tangan yang
basah oleh darah hitam itu kemudian diletakkan di atas
selembar papan yang menempel ke dinding di ujung kaki
ranjang.
Keheningan dipecah oleh suara Ki Tambakpati.
“Darahnya masih hitam! Matanya masih nyalang!”
“Itu darah hitam terakhir yang masih bersisa dalam
tubuhnya. Besok jika totokannya dilepas, mudah-mudahan
aliran darah dalam tubuh Wiro sudah sembuh dan dia tidak
akan berteriak lagi. Bersamaan dengan itu matanya akan
terpejam. Bagian hitam bola matanya akan kembali ke
keadaan semula.” Menjelaskan Bunga.
“Bagaimana dengan pengobatan sesuai petunjuk Kitab
Seribu Pengobatan? Apakah harus dihentikan?” bertanya
Purnama.
“Harus diteruskan. Itu akan lebih menolong.” Jawab
Bunga.
“Sebenarnya ada yang hendak aku sampaikan pada
para sahabat. Hanya saja apakah para sahabat dapat
mempercayai ceritaku...”
“Bunga, jika kau mengetahui sesuatu sehubungan
dengan penyakit Wiro harap kau menceritakan. Jangan ada
yang disembunyikan...” ujar Ratu Duyung.
Setelah berdiam sebentar akhirnya Bunga berkata.
“Sewaktu kembali ke alamku aku berusaha mencari tahu
apa sebenarnya yang terjadi dengan Wiro. Aku menemukan tanda bahwa ada manusla titisan yang mencelakainya.
Manusia ini berada di bawah satu kekuatan gaib yang
sangat dahsyat, berasal dari negeri sangat jauh, di belahan
timur bumi...”
“Apakah kau mengetahui sebab musabab mengapa
manusia titisan itu mencelakai Wiro?” bertanya Purnama.
“Makhluk titisan hanya bertindak sebagai pelaku. Dia
berada di bawah bayang-bayang atau kuasa satu makhluk
gaib. Aku menduga makhluk gaib yang muncul tanpa wajah
itulah biang keladi semua kejadian ini. Namun mengapa
sang makhluk melakukan hal itu masih merupakan satu
hal yang kabur bagiku...”
“Manusia yang ketitisan itu, apakah kau sempat
melihat ujudnya?” Ratu Duyung bertanya.
“Aku hanya mampu melihat bayangan hitam sangat
samar. Manusia itu dilindungi oleh makhluk gaib tadi.
Setiap aku memusatkan perhatian pada dirinya, ada sinar
merah redup yang melindungi. Agaknya dia membawa
sebuah benda sakti bertuah. Para sahabat pernah men–
dengar peristiwa perkosaan dan pembunuhan atas diri
banyak gadis cantik belakangan ini?”
Ratu Duyung tidak menjawab karena memang belum
mendengar. Purnama berdiam diri. Ki Tambakpati berpa–
ling pada Setan Ngompol dan membisikkan sesuatu.
“Aku pernah mendengar kejadian terkutuk itu. Kejadi–
annya sampai beberapa kali.”
“Setiap gadis yang dibunuh ada bunga tanjung menem–
pel di keningnya...” Menjelaskan Bunga.
“Aku jadi ingat cerita sahabat mudaku Liris Biru, murid
Hantu Malam Bergigi Perak yang tewas di tangan Sinto
Gendeng karena salah paham,” berkata Setan Ngompol.
“Kakak perempuannya yang bernama Liris Merah dibunuh
seorang pemuda berpakaian hitam, mengenakan ikat
kepala merah. Berkumis, ada berewok dan janggut tipis...”
Setan Ngompol tekap dulu bagian bawah perutnya yang
mau mengucur, baru meneruskan ucapan. “Ketika Liris
Biru menemukan mayat kakaknya, di kening Liris Merah menempel sekuntum bunga tanjung. Bibirnya biru. Setelah
tadi kau bicara soal pemerkosaan dan pembunuhan gadis-
gadis cantik, aku menaruh duga pembunuhnya adalah
manusia titisan itu. Karena katamu setiap ada gadis yang
dibunuh, selalu ada kembang tanjung menempal di
keningnya.”
“Bunga tanjung...” ucap Ratu Duyung dengan suara
bergetar.
Dia berpaling pada Bunga. “Ingat bunga tanjung yang
kita temui di halaman gubuk di Kali Progo? Yang meman–
carkan cahaya marah, biru dan hijau?”
Bunga mengangguk. “Aku menduga bunga itu agaknya
salah satu kekuatan jahat sekaligus pelindung makhluk
tanpa wajah.”
“Saat itu mungkin manusia jahat itu muncul di sekitar
gubuk di tikungan kali. Namun karena kesaktiannya kita
tidak bisa melihat.”
“Bisa jadi,” ucap Ratu Duyung pula.
“Kalau begitu kita harus mencari pemuda dengan ciri-
ciri seperti yang dikatakan Liris Biru itu,” kata Purnama
pula.
“Cepat atau lambat, kalau tidak kita pasti ada tokoh
persilatan akan menemukan orang itu. Namun sementara
itu masih banyak korban lagi akan berjatuhan. Manusia
titisan ini, dia memiliki kesaktian luar biasa tinggi. Bersum–
ber pada tiga cahaya. Merah, biru dan hijau. Buktinya tadi
kami bertiga masih kalah dalam kekuatan tenaga dalam.”
“Makhluk yang menitis pada manusia itu, apakah
sahabat berhasil mencari tahu siapa dia adanya?” tanya
Purnama pula.
Bunga menggeleng. “Yang aku tahu hanyalah dia
berasal dari masa ratusan tahun silam. Pada masa awal-
awal Kerajaan Singosari. Jika para sahabat pernah men–
dengar cerita tentang lenyapnya pohon tanjung besar di
alun-alun Kerajaan, maka makhluk yang menitis itu kira-
kira hidup di masa kejadian itu.”
“Ah, riwayat pohon tanjung yang lenyap itu” kata KiTambakpati pula. “Aku pernah mendengar dari seorang
tua. Orangnya sudah meninggal. Konon seluruh Kerajaan
menjadi geger. Semua orang dilanda ketakutan karena
menganggap ada kemarahan dewa yang luar biasa. Dan
ada dugaan kejadian itu ada hubungannya dengan
pertumpahan darah tak kunjung henti karena mempe–
rebutkan tahta Kerajaan.”
“Pohon tanjung...” ucap Ratu Duyung. “Kalau kita bisa
menyelidik ke mana lenyapnya pohon tanjung di alun-alun
Kerajaan Singosari itu, di mana beradanya sekarang,
mungkin kita bisa mendapat petunjuk penting.”
Purnama tarik nafas dalam lalu berkata. “Makhluk gaib
tanpa wajah, makhluk penitis, manusia yang ketitisan,
pohon tanjung, bunga tanjung, pemuda berpakaian hitam...
Aku yakin semuanya saling punya hubungan.” Gadis dari
Latanahsilam ini seperti lupa keadaan wajahnya yang
cacat.
“Sahabat semua” berkata Bunga. “Aku terpaksa harus
pergi sekarang. Aku titip Pendekar 212 di tangan kalian. “.
“Bunga, kami sangat berterima kasih padamu...” kata
Purnama sambil pegang tangan Bunga.
Gadis dari alam roh ini tersenyum dan balas memegang
tangan Purnama yang juga gadis dari alam yang sama.
Bunga berkata, “Kita semua harus berterima kasih
pada Gusti Allah.” Lalu saat itu juga tubuhnya sirna dari
pemandangan, meninggalkan harum kembang kenanga.
Tak lama setelah Bunga meninggalkan rumah pang–
gung, selagi Ratu Duyung dan Purnama menyiapkan madu
untuk mengurut dan Ki Tambakpati serta Setan Ngompol
menebang tiga cabang pohon yang akan dipergunakan
untuk mengapungkan tubuh Wiro, tiba-tiba terdengar suara
melenguh keras sekali dan berulang-ulang.
Setan Ngompol tersentak kaget, langsung pancarkan
air kencing. Dia memandang pada Ki Tambakpati. “Suara
apa itu? Suara kerbau atau suara demit?”
Serrr..., menyebut demit Setan Ngompol kembali
pancarkan air kencing
TUJUH
TIBA-TIBA dari balik sederetan pohon tak jauh dari kali
muncul seekor sapi putih. Di punggungnya duduk
seorang anak gembala. Tangan kiri memegang batang
bambu kecil. Tangan kanan memegang leher sapi erat-erat.
Wajahnya pucat, sangat ketakutan. Sapi yang muncul
adalah sapi betina gemuk. Susunya besar berayun-ayun
kian-kemari.
“Sapi ini pasti baru melahirkan. Lihat susunya melar ke
mana-mana. Aneh, dari mana datangnya tahu-tahu muncul
di sini.” ujar Setan Ngompol. Lalu dia datangi sapi dan
anak penggembala.
“Hai bocah! Di sini bukan tempat mengangon sapi. Di
dalam rumah ada orang sakit! Lenguh sapimu sangat
mengganggu! Ayo pergi sana!”
Si bocah bukan saja ketakutan karena dibentak tapi
juga ngeri melihat tampang Setan Ngompol. Untuk bebe–
rapa ketika dia tertegun di atas punggung sapi.
“Hai! Kau tidak dengar apa aku bilang! Mau aku peper
sama air kencing?!” Setan Ngompol delikkan mata dan
masukkan tangan kanan ke balik celananya yang lepek.
Anak lelaki di punggung sapi cepat melompat turun ke
tanah. Dengan suara putus-putus dia berkata.
“Kek, sa... saya juga ti... tidak tahu bagaimana bisa
berada di tempat ini! Kek, sa... saya takut. Saya lagi angon
si Ucup ini di desa dekat sawah... La... lalu...”
Rupanya sapi itu bernama si Ucup.
“Lalu?” tanya Ki Tambakpati pula.
Si bocah teruskan ceritanya. “Saya me... melihat
perempuan can... cantik di atas pohon. Rambutnya hitam
sepinggang. Perempuan cantik itu mengangkat du... dua tangannya. Tahu-tahu si Ucup naik ke udara. Tahu-tahu
saya sa... sama si Ucup ada di... di sini!”
“Bocah pendusta! Mau kujewer kupingmu?! Mana ada
sapi bisa naik ke udara! Siapa perempuan cantik itu?
Demit? Kuntilanak?!” Setan Ngompol jadi marah karena
merasa dibohongi. Tapi begitu menyebut demit dan kunti–
lanak kakek ini jadi kucurkan air kencing.
Ki Tambakpati pegang bahu Setan Ngompol. “Sobatku,
anak itu tampaknya tidak berdusta. Tidakkah kau melihat
ada keanehan?”
Suara ribut lenguh sapi membuat Ratu Duyung dan
Purnama keluar dari rumah panggung untuk melihat apa
yang terjadi. Dua gadis cantik ini tentu saja terheran-heran
melihat di halaman rumah Setan Ngompol tengah mema–
rahi seorang anak lelaki. Lalu di halaman ada pula seekor
sapi betina bersusu besar.
Purnama tekap mulutnya dengan tangan kiri, bola mata
membesar. Hatinya berdetak. Dia pegang lengan Ratu
Duyung lalu menariknya mendekati sapi betina dan anak
lelaki. Ketika ditanyai oleh Ratu Duyung si bocah ini men–
ceritakan hal sama seperti yang dikatakannya pada Setan
Ngompol.
“Perempuan di atas pohon. Pasti Bunga!” ucap Ratu
Duyung. “Dengan kesaktiannya dia mengirimkan sapi ini ke
sini. Luar biasa!”
“Jangan-Jangan dia mendengar dari alam gaib apa yang
aku bacakan dari Kitab Seribu Pengobatan.” Kata Purnama
sambil mengusap punggung sapi. “Tapi siapa yang bisa
memeras susu binatang ini?”
“Kek, kau saja yang memeras susu sapi ini,” kata Ratu
Duyung pada Setan Ngompol.
Serrr! Si kakek langsung pancarkan air kencing. Sambil
melangkah mundur Setan Ngompol berkata. “Aku masih
tidak mengerti apa yang terjadi dengan sapi dan bocah ini.
Kini kau malah membuat aku tambah bingung! Menyuruh
aku memeras susu binatang itu. Susu manusia saja tak
pernah aku peras. Sekarang disuruh memeras susu bina–tang! Ha... ha... ... ha!” Setan Ngompol tertawa gelak-gelak
sambil tekap bagian bawah perutnya kuat-kuat.
“Kalau tidak ada yang bisa memeras, saya bisa
melakukan.” Tiba-tiba bocah yang muncul bersama sapi
berkata.
“Ah, kau! Kau bisa melakukan?” tanya Purnama.
“Ayah pernah menyuruh saya beberapa kali,” jawab si
bocah sambil perhatikan wajah cacat Purnama. Gadis dari
Latanahsilam ini usap kepala si anak. Lalu berpaling pada
Ratu Duyung.
“Sesuai petunjuk kitab kita memerlukan kendi tanah
untuk menampung susu sapi itu. Bagaimana mungkin di
tempat ini bisa mendapatkan kendi?” ujar Purnama. “Aku
bisa meninggalkan tempat ini. Mencari kendi. Mungkin di
pasar. Tidak lama. Tapi aku tidak mau pergi sebelum Wiro
sembuh. Soal cacat di wajahku bisa disembuhkan kemu–
dian.”
“Susu sapi sudah ada di hadapan kita. Tinggal meme–
ras saja. Untuk menampungnya kurasa tidak usah harus
kendi.” Kata Ratu Duyung. “Benda apa saja asal terbuat
dari tanah. Kau tunggu di sini.”
“Hai! Kau mau ke mana?” tanya Purnama.
“Ke kali. Di sana pasti ada tanah liat. Aku akan mem–
buat mangkuk dari tanah liat. Selagi matahari terik, mang–
kuk itu bisa cepat dikeringkan.”
“Aku...” Purnama benar-benar terharu. “Kau baik
sekali...” ucapnya. Lalu dia jatuhkan diri, berlutut di tanah.
Mulutnya berkata. “Bunga, di manapun kau berada, kau
pasti mendengar ucapanku. Aku sangat berterima kasih.
Kau memerlukan menolong diriku dengan mengirim sapi
itu. Padahal saat ini kita masih menghadapi musibah
besar, menyelamatkan Wiro...” Dalam hati Purnama ber–
kata “Aku merasa berdosa. Sebelumnya aku telah mena–
ruh dugaan yang tidak baik pada gadis alam roh itu. Ter–
nyata hatinya putih dan tulus. Dia menolongku. Juga Ratu
Duyung. Mereka baik semua. Ah bagaimana aku harus Tak lama kemudian Ratu Duyung muncul kembali
membawa tanah liat yang masih basah dan sudah
dibentuk seperti sebuah mangkuk besar. Di dalam mang–
kuk tanah yang masih basah lembab ini terdapat beberapa
lempengan tanah liat.
Purnama cepat-cepat berdiri dan mengusap matanya
yang berkaca-kaca.
“Matahari bersinar cukup terik. Biar mangkuk ini aku
letakkan di atap rumah. Agar lebih cepat kering.” Kata Ratu
Duyung lalu melesat ke udara dan meletakkan mangkuk
tanah di atas atap rumah panggung.
“Kalian ini sebenarnya tengah melakukan apa?” tanya
Setan Ngompol. Ki Tambakpati yang menyaksikan hal itu
meski terheran-heran tapi diam saja. Sebagai seorang ahli
pengobatan dia sudah bisa menduga, dua gadis cantik itu
tengah mempersiapkan sesuatu untuk pengobatan.
“Sobat kecil, siapa namamu?” tanya Purnama pada
bocah kecil di samping sapi betina.
“Kudin.” Jawab si bocah.
“Kudin, kau mau menunggu sebentar? Kalau mangkuk
tanah di atas atap itu sudah kering, kau mau menolong
memeras susu sapi itu? Dimasukkan ke dalam mangkuk
tanah?”
Kudin mengangguk agak ragu. “Ya, saya mau. Tapi
jangan terlalu lama. Saya mau cepat kembali ke desa. Ayah
pasti marah kalau sudah sore saya tidak pulang.”
“Jangan takut. Sekarang belum tengah hari. Kalau
ayahmu marah biar aku nanti yang bicara padanya.” Kata
Ratu Duyung pula.
“Kudin, karena kau mau menolong ini hadiah untuk–
mu.” Kata Purnama lalu dari pakaiannya gadis ini keluar–
kan secarik kain hitam. Dengan cekatan tangannya berge–
rak melipat-lipat kain itu. Sesaat kemudian kain hitam
telah berubah menjadi topi yang bagus. Topi diletakkan di
atas kepala Kudin. Anak ini tertawa girang sambil pegangi
topi di kepalanya. Tiba-tiba tawa Kudin lenyap. Anak ini
menunjuk ke langit “Burung jingga besar!” teriak Kudin.
Ratu Duyung, Purnama, Ki Tambakpati dan Setan
Ngompol sama-sama mendongak ke atas. Di atas atap
tampak berkelebat satu bayangan ungu.
“Astaga! Itu bukan burung!” ucap Ratu Duyung.
Purnama mendongak dan menghirup udara dalam-
dalam. Dia segera mencium bau sesuatu yang sudah dike–
nalnya.
“Itu makhluk perempuan celaka yang selalu meng–
gangguku! Lihat! Dia hendak mengambil mangkuk tanah di
atas atap!” teriak Purnama.
“Belum mati dia rupanya! Belum kapok! Kali ini aku
tidak akan memberi hati!” kata Ratu Duyung pula. Dua
matanya yang biru pancarkan cahaya terang lalu dari
kedua mata itu melesat sinar biru. Inilah ilmu kesaktian
yang disebut Inti Biru Laut Selatan.
Sebelumnya ketika makhluk putih itu muncul di gubuk
Ki Tambakpati, Ratu Duyung telah menyerangnya dengan
imu kesaktian ini. Sang makhluk menjerit keras. Purnama
dan Ratu Duyung mengira makhluk tersebut mengalami
celaka berat. Ternyata dia muncul lagi. Bersamaan dengan
melancarkan serangan Inti Biru Laut Selatan itu Ratu
Dayung tarik keluar cermin bulat dari balik pakaian. Sekali
tenaga dalam dikerahkan dan tangan yang memegang
cermin digerakkan maka gulungan cahaya putih berbentuk
lingkaran berkiblat ke udara, ke arah makhluk putih yang
hendak mengambil mangkuk tanah di atas atap rumah
panggung. Gulungan sinar putih yang keluar dari cermin ini
disebut Penjerat Raga Pencekal Jiwa, merupakan salah
satu ilmu kesaktian yang diwarisi Ratu Duyung dari Nyai
Roro Kidul, penguasa laut selatan. Lawan yang masuk
dalam lingkaran cahaya jika dia seorang manusia akan
menemui kematian dengan tubuh hancur lumat. Jika dia
seorang makhluk gaib maka tubuhnya akan terbakar
hangus!
Purnama tidak tinggal diam. Dua bahu digoyang. Kejap
itu juga cahaya biru bergemerlap melesat ke atas atap rumah. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Menahan Raga
Menyerap Tenaga. Siapa saja yang terkena cahaya terse–
but akan menjadi rontok kekuatan dirinya hingga dia tidak
mampu lagi menggerakkan dua tangan dan dua kaki.
Di udara di atas atap, bayangan putih keluarkan suara
tawa panjang seolah mencemooh semua serangan yang
diarahkan padanya. Tubuhnya mencelat ke atas setinggi
satu tombak. Serangan Inti Biru Laut Selatan menyambar
udara kosong di bawah kakinya. Dengan hantaman tangan
kanan yang menebar cahaya putih berkilau makhluk itu
mentahkan serangan Menahan Raga Menyerap Tenaga
yang dilancarkan Purnama. Selanjutnya dengan membuat
gerakan jungkir balik walau tubuhnya sempat terserempet
cahaya serangan yang keluar dari cermin sakti, makhluk itu
masih bisa lolos dari lobang jarum kehancuran. Malah
dengan gerakan kilat dia kemudian melayang turun sambil
tangan kanan dihantamkan ke arah atap rumah panggung.
Satu sinar ungu menyilaukan berkiblat.
“Makhluk celaka itu hendak menghancurkan mangkuk
tanah di atas atap!” teriak Purnama. Dia cepat melesat ke
atas. Ratu Duyung menyusul sambil lancarkan lagi sera–
ngan dengan cermin sakti. Namun kedua orang ini agaknya
kalah cepat. Sesaat lagi sinar ungu yang dilepaskan makh–
luk gaib akan menghancurkan mangkuk tanah bahkan
seluruh atap rumah kayu, tiba-tiba di udara berdesing tiga
cahaya hijau kekuningan disertai menebarnya bau harum
kembang kenanga!
DELAPAN
MAKHLUK jingga yang hendak menghancurkan
mangkuk tanah di atas atap menjerit keras.
Tubuhnya menggeliat beberapa kali lalu jatuh ke
tanah, terkapar menelentang. Sosoknya yang tadi samar
untuk beberapa saat kelihatan jelas. Ternyata dia adalah
seorang gadis cantik berkulit putih. Berpakaian ungu yang
sisi kanannya tampak hangus. Rambut hitam tergerai di
tanah. Di keningnya menancap tiga kuntum kembang
kenanga. Anehnya tak ada darah yang mengucur.
Sepasang mata gadis cantik ini bergerak berputar lalu
menatap ke arah Purnama.
“Luhrembulan! Jadi kau rupanya!” teriak Purnama kaget
besar ketika gadis dari negeri 1200 tahun silam ini
mengenali siapa adanya sosok berpakaian ungu yang
tergeletak di tanah itu.
“Kau mengenalinya?!” tanya Ratu Duyung.
Belum sempat Purnama menjawab, gadis yang terge–
letak di tanah keluarkan ucapan, “Kalian berdua manusia-
manusia laknat terkutuk! Jangan mengira kalian akan
mendapatkan Wiro! Pendekar 212 adalah suamiku! Berani
mengambilnya berarti kematian bagi kalian!”
Purnama ternganga, sesaat tak bisa berkata apa-apa.
Tapi Ratu Duyung malah membentak.
“Jika Pendekar 212 suamimu mengapa kau mencelakai
kami! Padahal kami hendak menolongnya!”
Gadis cantik yang disebut dengan nama Luhrembulan
masih bisa sunggingkan senyum mengejek. Lalu berkata.
“Siapa yang tidak bisa menduga. Di balik maksud kalian
menolong tersembunyi hasrat untuk memilikinya!”
Ratu Duyung jadi panas. Kembali dia menghardik. “Aku tidak tahu kau ini manusia atau bangsa setan! Kalau Wiro
suamimu, mengapa kau tidak turun tangan sendiri menye–
lamatkannya! Kau malah gentayangan cekakak-cekikik
membuat hal-hal tidak karuan!”
Luhrembulan lagi-lagi tersenyum. Kali ini dia tidak
menjawab bentakan Ratu Duyung. Tubuhnya kepulkan
asap ungu. Lalu sosoknya berubah menyeramkan. Wajah
yang tadi cantik kini berubah menjadi seperti burung gagak
hitam. Mulut dan hidung jadi satu berbentuk paruh panjang
dan bengkok. Sepasang mata kecil menonjol keluar tanpa
alis. Tubuh bagus yang tadi dibalut pakaian ungu kini ber–
ubah menjadi sehelai jubah terbuat dari jerami kering.
Makhluk ini buka lebar-lebar paruh panjangnya, menge–
luarkan suara menguik panjang lalu, desss! Didahului
suara letupan serta kepulan asap hitam tubuhnya lenyap
dari pemandangan.
Semua orang yang ada di tempat itu kini sama
memandang pada Purnama. Ratu Duyung pegang lengan
gadis ini lalu bertanya. “Siapa makhluk tadi?”
“Dia makhluk dari alamku yang selama ini mengikutiku.
Berusaha menggagalkan setiap apa yang aku lakukan.
Bahkan berniat hendak mencelakai diriku. Aku, aku tidak
menyalahkan kalau dia sangat membenci diriku. Kini dia
juga membenci dirimu...”
“Mengapa?!” tanya Ratu Duyung. “Karena Wiro? Apa
benar Wiro telah menjadi suaminya?”
“Gadis itu bernama Luhrembulan. Ujud aslinya adalah
bentuk burung gagak tadi. Nama sebenarnya Hantu Santet
Laknat. Dia berada dalam keadaan seperti itu karena ada
kutukan turun temurun atas diri moyang dan keturu–
nannya. Di alamku dia merupakan seorang teramat jahat.
Ketika Wiro terpesat ke sana, dia jatuh cinta pada Wiro. Dia
minta bantuan seorang juru kawin, nenek bernama Lama–
hila, agar dia dikawinkan dengan Wiro. Perkawinan dengan
manusia seperti Wiro merupakan satu-satunya cara untuk
membebaskan dirinya dari kutukan itu...” (Baca serial Wiro
Sableng di Negeri Latanahsilam mulai dari ‘Bola-bola Iblis’s/d ‘Istana Kebahagiaan’).
“Ah...” Ratu Duyung keluarkan suara tercekat sambil
pegangi leher yang putih bagus. Dia ingat akan nasib
dirinya. Dia juga pernah mengalami hal seperti itu, menjadi
makhluk setengah ikan setengah manusia. Wirolah yang
menolong melepas dirinya dari kutukan itu hingga dia
memiliki ujud manusia sempurna (Baca serial Wiro Sableng
berjudul ‘Wasiat Iblis’ s/d ‘Kiamat di Pangandaran’).
“Ada apa?” tanya Purnama pada Ratu Duyung.
“Tidak... tidak ada apa-apa. Lanjutkan ceritamu.”
Purnama berpaling pada Setan Ngompol. “Kek, kau
tahu kejadian kawinnya Wiro dengan Luhrembulan alias
Hantu Santet Laknat. Karena kau bersama Naga Kuning
ikut terpesat ke Latanahsilam.”
Setan Ngompol manggut-manggut lalu berkata, “Saha–
batku muda, lanjutkan saja ceritamu. Biar para sahabat di
sini semua tahu.”
“Perkawinan Wiro dengan Luhrembulan tidak sah.
Karena Wiro ditipu. Diberi minuman yang membuat dia
lupa pikiran. Wiro dibawa ke Bukit Batu Kawin. Dalam
keadaan tidak sadar juru kawin Lamahila menikahkan Wiro
dengan Luhrembulan.”
“Kalau aku tidak salah menyirap berita...” kata Setan
Ngompol pula. “Hanya beberapa saat setelah berlang–
sungnya perkawinan, Bukit Batu Kawin dilanda badai.
Semua orang terpencar. Sebelum Wiro kembali ke tanah
Jawa aku tidak tahu apakah Wiro pernah bertemu lagi
dengan Luhrembulan di Latanahsilam.”
Purnama yang di Latanahsilam bernama Luhmintari
lanjutkan kisahnya. “Waktu Istana Kebahagiaan hancur,
hampir semua tokoh di Latanahsilam terpesat ke tanah
Jawa, termasuk diriku. Juga Luhrembulan. Dia pasti men–
cari Wiro. Sekaligus ingin mencelakai diriku karena dia
merasa aku hendak merampas pendekar yang dianggap–
nya sudah jadi suaminya itu...”
Sewaktu Purnama selesai dengan ceritanya keadaan di
tempat itu menjadi sunyi. Ki Tambakpati tiba-tiba ingat sesuatu, “Ketika gadis itu terbujur di tanah, aku melihat
tiga kembang kenanga menancap di keningnya.”
“Kembang kematian itu yang melumpuhkannya. Sera–
ngan kami berdua nyaris tak berbekas...” kata Purnama
pula. Dia menatap ke langit. “Bunga, kau tidak putus-
putusnya menolong kami. Aku dan para sahabat sangat
berterima kasih.”
“Apakah gadis aneh tadi itu akan muncul lagi
mengganggumu?” bertanya Setan Ngompol pada Purnama.
“Pasti Kek, tapi kali ini dia akan tenggelam di alamnya
dalam waktu cukup lama. Paling tidak seratus hari lebih...”
Menjawab Purnama.
“Apa tidak ada kekuatan yang bisa membuatnya teng–
gelam selama-lamanya?” bertanya Ki Tambakpati.
“Biji damar,” ucap Purnama. “Itu buah pantangan yang
bisa melumpuhkan kami orang-orang perempuan dari
Latanahsilam...”
“Ah, kalau bijiku bisa dipakai memoles dan melum–
puhkan gadis tadi, pasti aku berikan!” Kata Setan Ngompol
pula yang lalu ditepuk punggungnya oleh Ratu Duyung.
Kakek ini tertawa gelak-gelak sambil terkencing-kencing.
Sementara Purnama tampak senyum-senyum.
“Kantong menyanmu yang disengat tawon masih
bengkak. Bau pesing pula! Mana bisa jadi alat pelumpuh!”
kata Ki Tambakpati.
Tiba-tiba tempat itu dibisingi oleh suara lenguh sapi.
Semua orang terkejut. Setan Ngompol memaki panjang
pendek menahan kencingnya yang mau terpancar.
“Hai! Ke mana bocah bernama Kudin itu?” tiba-tiba Ki
Tambakpati bertanya. “Kudin!” Si kakek berteriak
memanggil.
Dari balik pohon besar Kudin keluar dengan wajah
tampak pucat. Rupanya apa yang terjadi di tempat itu
membuat anak ini ketakutan dan sembunyi di balik pohon.
“Kudin, kau sudah siap menolong memeras susu sapi
itu?” tanya Ratu Duyung. Si bocah mengangguk. Ratu
Duyung menatap ke atas atap rumah panggung. “Kurasa mangkuk tanah itu sudah kering. Sudah bisa dipakai untuk
menampung susu.” Lalu Ratu Duyung melesat ke atas atap
rumah mengambil mangkuk tanah yang memang ternyata
telah kering dan menjadi keras.
“Kakek berdua, kalau madu sudah siap, sebaiknya
mulai saja mengurut Wiro,” kata Purnama.
“Pasti akan segera kami lakukan. Tapi kami berdua
juga ingin tahu apa yang hendak kalian lakukan dengan
susu sapi itu.” Jawab Ki Tambakpati.
“Kalian tidak akan meminum susu sapi itu, bukan?
Nanti kalian bisa jadi gembrot! Ha... ha... ha!” Setan
Ngompol tertawa dan mancurkan air kencingnya.
“Kalau kau suka, kau boleh meneguknya langsung dari
puting susu sapi betina itu Kek!” kata Ratu Duyung sambil
tertawa. Dia tuntun Kudin mendekati sapi lalu letakkan
mangkuk tanah di bawah perut binatang itu.
“Ayo peras yang banyak. Sampai mangkuk itu penuh
dengan susu.” Kata Ratu Duyung sementara Purnama
jongkok di samping si bocah.
Cekatan sekali Kudin memeras susu sapi. Tangannya
naik turun tiada henti. Susu sapi mengucur deras. Sebentar
saja mangkuk tanah sudah penuh.
“Sahabat, kau sekarang tinggal menuruti apa yang ada
dalam Kitab Seribu Pengobatan,” kata Ratu Duyung pada
Purnama.
“Susu dalam mangkuk ini harus diaduk agar tanah
merah di dalamnya leleh menyatu. Lalu susu diembunkan
semalam suntuk. Mulai dari matahari tenggelam sampai
besok fajar menyingsing. Sekarang biar susu ini disimpan
dulu dalam rumah.” Kata Purnama lalu mendahului tiga
orang itu masuk ke dalam rumah. Namun di tangga kayu
gadis cantik dari negeri 1200 tahun silam ini hentikan
langkah dan berbalik, memandang berkeliling.
“Bocah itu... Sapi tadi...” ucap Purnama.
Semua orang ikut memutar tubuh. Kudin dan sapi putih
ternyata tak ada lagi di tempat itu.
“Sahabat kita Bunga pasti sudah mengembalikan sapi dan anak itu ke tempatnya semula di sawah,” kata Ratu
Duyung pula.
“Sahabatku Bunga, aku... kami benar-benar sangat
berterima kasih padamu.” Ucap Purnama sambil mem–
bungkukkan tubuhnya.
Sampai di dalam rumah Ratu Duyung dan Purnama
memasukkan cairan jahe ke dalam mulut Wiro, mengurut
bagian dada dan leher sang pendekar hingga air jahe bisa
tertelan. Sementara itu Ki Tambakpati dan Setan Ngompol
mengurut sekujur tubuh Wiro dengan madu hangat.
Pada saat matahari tenggelam, Purnama mengambil
susu dalam mangkuk tanah lalu membawa dan meletak–
kannya di atas atap rumah.
Malam itu sambil terus mengobati Wiro semua orang
bersikap waspada berjaga-jaga. Bukan mustahil akan
muncul lagi gangguan dari makhluk-makhluk yang tidak
suka melihat kesembuhan Pendekar 212 dan juga kesem–
buhan Purnama. Sesekali Purnama dan Ratu Duyung naik
ke atas atap untuk melihat susu dalam mangkuk tanah
serta memperhatikan keadaan sekitar rumah panggung.
“Aku tidak mengawatirkan Luhrembulan alias Hantu
Santet Laknat. Dia tidak akan muncul sampai seratus hari
di muka. Yang aku takutkan adalah makhluk yang kita lihat
dalam cermin. Manusia tak berwajah itu.” Kata Purnama.
“Aku akan berjaga-jaga di sini...” kata Ratu Duyung pula
sambil terapkan ilmu Menembus Pandang untuk menjajagi
keadaan sekitar rumah panggung. “Kau masuklah ke
dalam rumah. Bantu dua kakek itu mengobati Wiro.”
“Biar aku saja yang di sini. Kau yang masuk ke rumah,”
jawab Purnama pula.
Ratu Duyung tersenyum. “Kalau begitu biar aku mene–
manimu dulu di sini. Pertemuan semacam ini jarang bisa
kita lakukan. Saat ini kita bisa berbagi cerita dan penga–
laman. Aku ingin sekali mendengar cerita tentang negeri
asalmu Latanahsilam. Negeri seribu duaratus tahun silam
itu.”
“Banyak memang yang bisa aku ceritakan padamu”jawab Purnama. “Tapi setelah itu rasanya sangat penting
untuk membicarakan sakitnya Wiro. Kita tahu kalau jalan
darahnya bisa disembuhkan masih ada penyakit yang
mendekam di tubuhnya. Dia kehilangan kejantanannya...”
Larut malam puas bercakap-cakap kedua gadis itu
masuk ke dalam rumah. Mereka tak bisa memicingkan
mata. Ki Tambakpati dan Setan Ngompol masih menguruti
Wiro walau jelas tampak terkantuk-kantuk. Sampai fajar
menyingsing keadaan aman-aman saja, tidak terjadi apa-
apa.
Begitu langit di ufuk timur tampak terang, Ratu Duyung
memberi isyarat pada Purnama. Kedua gadis cantik ini
keluar dari rumah lalu melesat naik ke atas atap rumah.
Begitu sampai di atap, mereka terbelalak kaget dan sama-
sama keluarkan seruan tertahan. Mangkuk berisi susu sapi
tak ada lagi di atas atap!
“Kurang ajar! Siapa yang mencuri mangkuk!” teriak
Ratu Duyung marah. “Semalam suntuk kita berjaga-jaga.
Kita tidak mendengar suara apa-apa yang mencurigakan.”
Purnama pegang tangan gadis itu, menarik nafas dalam
dan berkata. “Mungkin belum saatnya aku mendapat
kesembuhan. Aku pasrah...”
Ratu Duyung tetap penasaran. Dia memandang
berkeliling. Terapkan ilmu Menembus Pandang. Dia tidak
melihat ada orang yang sembunyi sekitar halaman. Dia
perhatikan setiap pohon, tidak ada makhluk yang mende–
kam. Gadis bermata biru ini akhirnya keluarkan cermin
saktinya.
“Dengan cermin sakti ini masakan tidak tembus!” kata
Ratu Duyung pula.
“Aku khawatir ini lagi-lagi pekerjaan makhluk tanpa
wajah!” ujar Purnama.
Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Datangnya
dari kolong rumah panggung. Sesaat kemudian melesat
satu bayangan hitam. Sosok ini kemudian telah berdiri di
atas atap, di hadapan Ratu Duyung dan Purnama.
SEMBILAN
SAHABAT berdua, apa kalian mencari ini?” Sosok hitam
bertanya.
“Naga Kuning!” Ratu Duyung berteriak. “Bocah nakal!
Apa yang kau lakukan?! Yang kau pegang itu bukan benda
sembarangan! Awas tumpah!” Sementara Purnama berdiri
memperhatikan sambil geleng-geleng kepala.
Sosok yang berdiri di atas atap di depan dua gadis
cantik itu adalah seorang bocah berambut jabrik, menge–
nakan pakaian hitam bergambar naga bergelung di bagian
dada. Dia bukan lain adalah Naga Kuning alias Gunung
alias Kiai Paus Samudera Biru.
“Naga Kuning! Lekas serahkan mangkuk itu padaku!”
berkata Purnama.
Naga Kuning serahkan mangkuk susu pada Purnama.
Ratu Duyung yang masih belum puas bertanya, “Kau
menyelinap, kau mengambil mangkuk berisi susu itu. Apa
Naga Kuning betulan?! Atau makhluk jejadian yang me–
nyamar diri?!” tanya Ratu Duyung sambil alirkan tenaga
dalam ke tangan kanan siap untuk lepaskan pukulan sakti.
“Bocah seperti aku mana ada yang palsu,” jawab Naga
Kuning sambil senyum-senyum seenaknya. Lalu dia mene–
rangkan, “Aku mendengar kabar sobatku Pendekar 212
ditangkap orang-orang kerajaan. Aku menyelidik dan sam–
pai ke sini. Kulihat rumah sepi-sepi saja. Di atas atap ada
benda ini. Ketika aku ambil ternyata berisi susu dingin
sejuk. Kebetulan aku haus...”
“Astaga! Jadi susu itu sudah kau minum?” tanya
Purnama tercekat.
“Lancang dan rakus!” hardik Ratu Duyung penuh
gemas.Naga Kuning tertawa sambil usap-usap perutnya.
Purnama jadi jengkel. Ratu Duyung tambah kesal. Dia
membentak. “Jawab pertanyaan kami! Kau minum susu
dalam mangkuk itu? Hai! Kau datang sendirian atau
dengan siapa?!”
“Tadinya aku memang mau minum susu ini. Keliha–
tannya enak sekali. Tapi, tapi tak jadi kulakukan. Sebenar–
nya aku mau menyelamatkan susu dalam mangkuk ini.”
“Apa maksudmu?” tanya Purnama.
“Aku disuruh untuk mengambil mangkuk ini dan
menunggu di sini. Tadi aku sembunyi di kolong rumah.
Waktu melihat kalian berdua aku naik ke atap sini.”
“Siapa yang menyuruhmu mengambil dan menunggu di
sini? Kau datang dengan siapa?!” bentak Ratu Duyung.
“Gondoruwo Patah Hati...” jawab Naga Kuning.
“Hemm... Nenek kekasihmu itu. Mana dia?” tanya Ratu
Duyung.
“Ada di kali... Lagi kencing!” jawab si bocah berambut
jabrik yang ujud aslinya adalah seorang kakek sakti berusia
hampir 120 tahun dan dikenal dengan panggilan Kiai Paus
Samudera Biru.
“Mengapa nenek itu menyuruhmu mengambil mangkuk
berisi susu ini?” tanya Purnama pula.
Naga Kuning menggeleng. “Aku tidak tahu. Aku hanya
menurut perintahnya saja...”
“Serahkan mangkuk berisi susu itu padaku!” kata
Purnama. Setelah menerima mangkuk tanah dari Naga
Kuning Purnama lalu berkata pada Ratu Duyung. “Hari
semakin terang. Kurasa sebaiknya pengobatan aku laku–
kan sekarang juga sesuai petunjuk dalam Kitab Seribu
Pengobatan. Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus
cepat-cepat menolong Wiro. Biar pengobatan aku lakukan
sekarang di atas atap ini!”
Ratu Duyung mengangguk dan kerahkan ilmu Menem–
bus Pandang untuk mengawasi keadaan sekitar rumah.
Purnama memutar tubuh, menghadap ke arah matahari
tenggelam yaitu sesuai dengan apa yang tertulis dalam Kitab Seribu Pengobatan. Perlahan-lahan dia angkat
mangkuk ke atas kepala. Siap untuk diguyurkan ke
wajahnya yang terkelupas cacat di bagian kiri. Tiba-tiba
satu bayangan biru berkelebat menyusul suara teriakan.
“Tahan! Jangan guyur kepalamu dengan cairan dalam
mangkuk!”
Semua orang yang ada di atas atap sama terkejut. Di
halaman rumah panggung berdiri sosok seorang nenek
berjubah biru, rambut kelabu wajah seram angker. Sepuluh
kuku jari tangannya panjang hitam. Nenek ini memberi
isyarat dengan lambaian tangan agar semua orang turun
ke tanah.
“Nek, ada apa ini?!” teriak Ratu Duyung dari atas atap.
Dia telah mengenali nenek di bawah sana yang bukan lain
adalah Gondoruwo Patah Hati.
“Turun saja ke sini! Nanti kalian akan lihat sendiri!”
jawab si nenek.
Naga Kuning melesat turun lebih dulu. Akhirnya
Purnama dan Ratu Duyung ikutan turun ke tanah. Si nenek
membungkuk sedikit, melihat dan membaui cairan yang
ada dalam mangkuk tanah yang dipegang Purnama.
Saat itu mendengar suara orang bicara di halaman dan
di atas atap rumah Ki Tambakpati dan Setan Ngompol
segera keluar. Mereka terheran-heran melihat si bocah dan
si nenek ada di situ. Gondoruwo Patah Hati yang sudah
kenal pada Setan Ngompol kedipkan matanya, tersenyum
sedikit lalu kembali membungkuk, mencium dan memper–
hatikan cairan dalam mangkuk.
“Susu sapi...” ucap si nenek perlahan. Dia menatap
wajah sebelah kiri Purnama yang tampak merah menge–
lupas.
“Kau akan pergunakan susu itu untuk mengobati luka
di wajahmu. Betul?” bertanya Gondoruwo Patah Hati.
Purnama mengangguk.
“Susu itu mengandung racun!”
Ucapan si nenek membuat Purnama dan Ratu Duyung
terkejut. Ki Tambakpati melongo sedang Setan Ngompol cepat-cepat tekap bagian bawah perutnya.
“Racun dari mana? Siapa yang memasukkan ke dalam
susu? Bagaimana mungkin! Kami berjaga-jaga semalam
suntuk. Tidak ada seorangpun mendekati tempat ini!” Kata
Purnama sambil memperhatikan susu dalam mangkuk lalu
memandang pada si nenek.
“Racun itu dikirim dari jauh...” kata Gondoruwo Patah
Hati pula. “Kalau kalian tidak percaya lihat apa yang akan
aku lakukan. Aku akan membersihkan racun dalam susu.
Kalau sudah bersih, kau boleh pergunakan susu itu untuk
mengobati luka di wajahmu. Pegang kuat-kuat mangkuk itu
dan lihat...”
Gondoruwo Patah Hati kembangkan dua telapak
tangan, sepuluh jari ditukikkan ke arah susu dalam mang–
kuk. Mulut berkomat-kamit membaca mantera. Tak lama
kemudian susu dalam mangkuk tampak bergejolak seperti
mendidih. Lalu mengepul asap hitam. Dengan sepuluh
kuku jarinya si nenek sedot asap hitam itu. Ketika gejolak
air susu di dalam mangkuk berhenti, Gondoruwo Patah Hati
mundur tujuh langkah. Mulut masih berkomat-kamit. Dia
berhenti di dekat serumpun semak belukar. Tangan kanan
diulurkan. Tangan kiri meremas pergelangan tangan
kanan. Saat itu juga dari lima ujung jari si nenek mengucur
keluar cairan hitam pekat berkilat, menebar bau busuk.
Ganti tangan kanan meremas tangan kiri. Cairan hitam
kembali mengucur. Begitu cairan hitam menyentuh semak
belukar, tumbuhan ini serta merta berubah gosong hitam
lalu rontok ke tanah disertai kepulan asap dan bau luar
biasa busuk, membuat beberapa orang yang ada di tempat
itu jadi mual berusaha menahan muntah.
Gondoruwo Patah Hati melangkah mendekati Purnama
yang tegak dengan muka pucat. “Sahabatku muda. Kalau
susu itu tadi sampai membasahi kepalamu, kulitmu akan
jadi gosong seumur hidup, rambut di kepalamu akan
rontok. Dicari ke manapun tak ada obat penyembuhnya.”
“Nek, aku sangat berterima kasih. Kalau bukan kau
yang menolong hidupku akan celaka seumur-umur. Nek,kau berbuat baik padaku, padahal kita baru sekali bertemu
sewaktu kau muncul di Gedung Kadipaten Losari. Kita
bahkan tidak sempat saling menyapa.”
Gondoruwo Patah Hati tersenyum mendengar ucapan
Purnama. “Siapapun sahabat Pendekar 212 adalah saha–
batku juga...” Si nenek pegang bahu gadis dari Latanah–
silam ini lalu berkata. “Susu itu sudah bersih. Tak ada lagi
racun di dalamnya. Silahkan kau mengobati diri...”
Purnama sekali lagi mengucapkan terima kasih lalu
memutar tubuh dan wajah menghadap ke arah matahari
tenggelam. Dua tangan yang memegangi mangkuk berisi
susu di angkat di atas kepala. Sesuai dengan petunjuk
dalam Kitab Seribu Pengobatan sambil mengguyurkan
susu ke atas kepalanya, Purnama melafatkan kata-kata:
Manusia berasal dari tanah. Tanah pula yang akan
menjadi pengobat. Manusia memulai hidup dengan air
susu. Air susu pula yang akan menjadi pengobat. Tuhan
Maha Kuasa Maha Penyembuh.
Susu putih susu sapi di dalam mangkuk diguyur mem–
basahi kepala, wajah dan sebagian tubuh Purnama sebe–
lah atas. Saat itu juga di langit kelihatan kilatan cahaya tiga
warna merah, biru dan hijau. Gondoruwo Patah Hati yang
pertama sekali melihat kilatan cahaya itu langsung han–
tamkan dua tangan ke atas. Sepuluh kuku jari mencuat
lebih panjang, berubah dari hitam menjadi merah. Sepuluh
larik cahaya merah kemudian melesat ke arah kilatan
cahaya tiga warna di langit, Ilmu Kuku Api!
Blaar... blaarr... blaar!
Satu kekuatan gaib menerpa si nenek, membuatnya
terhuyung dan buru-buru dipegang oleh Ratu Duyung. Di
langit cahaya tiga warna lenyap tanpa bekas.
“Luar biasa! Kekuatan gaib itu luar biasa kuat dan
jahat!” kata Gondoruwo Patah Hati sambil pegangi dadanya
yang berdebar keras.
“Dari cahaya tiga warna itu aku yakin lagi-lagi manusia
tanpa wajah itu yang punya pekerjaan!” ucap Ratu Duyung.
Gondoruwo menatap wajah Purnama dan tersenyum.“Cacat di wajahnya lenyap. Kau sudah sembuh!”
Purnama terpekik. Ratu Duyung berseru gembira. Ki
Tambakpati mengucap berulang kali sedang Setan Ngom–
pol tertawa girang sambil pegangi bagian bawah celananya.
“Sungguh luar biasa! Kau benar-benar sembuh!” Kata
Ratu Duyung lalu ambil cermin sakti dan diberikan pada
Purnama. Gadis dari negeri Latanahsilam ini perhatikan
wajahnya di dalam cermin. Matanya langsung berkaca-
kaca. Luka cacat di wajahnya sebelah kiri benar-benar
telah lenyap.
“Racun yang ada di dalam susu itu adalah racun ular
jahat yang cuma hidup di gurun pasir.” Menerangkan si
nenek.
Purnama peluk Gondoruwo Patah Hati lalu merangkul
Ratu Duyung. Ketiga orang ini larut dalam rasa haru serta
gembira.
“Aku tidak kebagian dipeluk?” Naga Kuning keluarkan
ucapan.
Gondoruwo Patah Hati jewer telinga kiri anak ini.
“Bocah rakus. Untung kau tidak menenggak susu itu. Kalau
sampai kau tenggak saat ini tubuhmu sudah gosong men–
jadi jerangkong hitam!”
“Aduh Nek, ampun. Suaakiittt” Jerit Naga Kuning. Tapi
begitu jeweran dilepas anak ini tertawa gelak-gelak.
Purnama kemudian berkata. “Saatnya kita menangani
Wiro. Mudah-mudahan dia mendapatkan kesembuhan pagi
ini.”
Semua orang masuk ke dalam rumah panggung. Yang
pertama sekali bergerak adalah Ratu Duyung. Dengan
tangan agak gemetar gadis sakti dari laut selatan ini
menotok urat besar di pangkal leher Wiro untuk melepas
jalan suara.
Kleekk!
Tidak seperti biasanya, totokan mengeluarkan suara
aneh. Ratu Duyung sendiri merasa dua jari tangan yang
dipergunakan untuk menotok panas bergetar. Agaknya
masih ada kekuatan gaib berusaha mencegah penyembu–han yang dilakukan atas diri sang pendekar. Semua orang
menunggu penuh tegang.
Tiba-tiba dari tenggorokan Pendekar 212 keluar suara
mengorok, keras dan panjang. Suara mengorok berhenti.
Mulut Wiro terbuka lebar. Semua orang jadi bertambah
tegang. Tak ada suara teriakan keluar dari mulut itu. Bah–
kan mulut yang terbuka lebar perlahan-lahan menutup
kembali. Sepasang mata yang sebelumnya terus-terusan
nyalang dan hanya kelihatan putih kini mengatup terpejam.
“Dia tidak keluarkan jeritan. Apakah berarti jalan
darahnya sudah pulih...?” bisik Ki Tambakpati.
“Mudah-mudahan begitu,” menyahuti Ratu Duyung.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Setan
Ngompol, tak lupa menekap perabotannya dengan dua
tangan.
“Kita harus mengikuti petunjuk Kitab Seribu Pengo–
batan berikutnya. Kita harus membawa Wiro ke kali dan
mengapungkannya.” Ucap Purnama.
Wiro lalu diangkat dari ranjahg bambu, dipindah ke atas
tiga batang kayu yang sudah disiapkan Setan Ngompol dan
Ki Tambakpati. Lalu batang kayu itu beramai-ramai digo–
tong dan dimasukkan ke dalam Kali Progo dengan kepala
menghadap ke arah datangnya arus air kali. Tiga utas tali
dipakai untuk mengikat batang kayu ke pepohonan kecil di
tepi kali. Setan Ngompol, Naga Kuning, Ki Tambakpati
berendam di dalam air memegangi batang kayu. Gondo–
ruwo Patah Hati, Ratu Duyung dan Purnama berjaga-jaga di
tebing kali. Mereka menunggu sampai matahari mencapai
titik tertingginya yaitu saat di mana sepuluh jari tangan dan
sepuluh jari kaki Wiro harus ditusuk sampai mengeluarkan
darah.
Menunggu dari pagi sampai saat sang surya mencapai
titik tertingginya terasa sangat lama. Apalagi disertai
perasaan tegang. Suasana di kali terasa sunyi. Sesekali
kesunyian dipecah oleh suara kicau dan terpaan sayap
burung yang terbang dari pohon ke pohon. Air kali yang
datang dari hulu membasahi sebagian kepala dan tubuh Wiro. Di dalam kali Setan Ngompol entah sudah berapa kali
kucurkan air kencing. Sekujur tubuhnya mulai terasa dingin
sementara mata yang belok kelihatan redup terkantuk-
kantuk.
“Kek, kau naiklah ke sini. Biar aku yang menggantikan.”
Kata Gondoruwo Patah Hati. Lalu tanpa menunggu jawa–
ban orang si nenek masuk ke dalam kali. Belum sempat
Setan Ngompol naik ke darat tiba-tiba dari hilir terdengar
suara menderu. Di permukaan kali kelihatan dua benda
coklat panjang berjajar meluncur cepat ke arah di mana
orang-orang itu berada.
“Buaya!” teriak Naga Kuning.
“Ada dua ekor!” Gondoruwo Patah Hati ikut berteriak.
Ratu Duyung yang duduk di tepi kali melompat bangkit.
“Purnama, kau yang kiri aku yang kanan!” Teriak sang ratu.
“Aku mencium sesuatu! Ini bukan buaya sungguhan!”
teriak Purnama.
SEPULUH
SEMUA orang yang ada di dalam dan di pinggir kali
menjadi geger. Ratu Duyung dan Purnama bertindak
cepat. Keduanya serentak melesat ke tengah kali.
Dua tangan lepaskan pukulan sakti. Ratu Duyung meng–
hantam buaya di sebelah kanan dengan pukulan ganas
bernama Pedang Inti Samudera. Dari tangan kanan si
gadis mencuat sinar biru sepanjang satu tombak mem–
bentuk pedang. Ketika sinar biru menghantam, buaya
keluarkan suara lolongan seperti anjing meraung. Kepala
binatang ini terbabat putus. Tak ada darah mengalir! Begitu
suara raungan lenyap, buaya itu juga ikut sirna!
“Purnama benar! Ini makhluk jejadian!” ucap Ratu
Duyung dengan tengkuk dingin.
Sementara itu Purnama yang menghadapi buaya kedua
menghajar binatang jejadian ini dengan pukulan yang
memancarkan cahaya biru bergemerlap. Tapi buaya
jejadian yang satu ini bersikap lebih waspada. Agaknya dia
mengetahui apa yang terjadi dengan temannya. Dengan
cepat binatang ini menyelinap ke bawah air. Pukulan yang
dilepas Purnama hanya mengenai tempat kosong. Air Kali
Progo muncrat setinggi dua tombak. Tanah dan lumpur di
dasar kali terbongkar berhamburan ke udara. Di lain saat
buaya tadi muncul kembali dan tahu-tahu sudah berada di
samping Wiro yang tergeletak di atas tiga batang kayu
dengan mulut menganga siap melahap! Purnama dan Ratu
Duyung tersentak kaget. Untuk menolong dengan melan–
carkan serangan mereka merasa khawatir karena kedua–
nya berada pada kedudukan menghadap ke arah Wiro.
Ditambah lagi buaya coklat besar sudah berjarak sangat
dekat dengan Wiro hingga setiap pukulan yang dilancarkan bisa saja mengenai Pendekar 212. Ki Tambakpati dan
Setan Ngompol dalam keterkejutan mereka tidak sempat
berbuat apa. Naga Kuning cepat kerahkan tenaga dalam
untuk melepas pukulan Naga Murka Menjebol Bumi.
Namun bocah sakti ini tidak bisa bertindak leluasa karena
dia berada di sisi lain kali dan terhalang sosok Wiro
sementara di seberang sana ada Ratu Duyung dan
Purnama. Sekali serangannya meleset, kalau tidak Wiro,
salah satu dari dua gadis itu akan celaka!
Pada saat yang sangat menentukan itu, Gondoruwo
Patah Hati yang baru saja mencebur dan berada di dalam
kali keluarkan bentakan keras. Tangan kanan menghan–
tam ke arah kepala buaya yang telah membuka mulutnya
lebar-lebar untuk melahap tubuh Pendekar 212.
Selarik sinar merah bercampur biru bergulung seperti
sebuah batu besar, menghajar kepala buaya jejadian
dengan telak. Pukulan Batu Naroko! Seperti buaya tadi
binatang yang satu ini keluarkan suara menyerupai anjing
meraung. Kepala hancur, tubuh menggelepar-gelepar lalu
tenggelam ke dalam air dan lenyap.
“Keji dan jahat sekali!” ucap Purnama setengah
menyumpah. “Kekuatan gaib masih terus berusaha meng–
halangi kita menyelamatkan Wiro!”
“Kurasa aku perlu minta bantuan Nyai Roro Kidul untuk
memagari tempat ini,” berkata Ratu Duyung. “Aku khawatir
makhluk celaka berkekuatan gaib membawa ilmu hitam
kembali berusaha menghalangi. Padahal ini adalah taha–
pan akhir usaha kita menyelamatkan Wiro. Sekali gagal,
bencana besar akan menimpa Wiro!”
Habis berkata begitu Ratu Duyung melompat ke tebing
kali di mana terdapat sebuah batang kayu besar tergeletak
tumbang. Dia duduk di atas tumbangan pohon ini, pejam–
kan mata, kaki bersila dan dua tangan diletakkan di atas
dada.
Tak lama kemudian terdengar Setan Ngompol berseru
sambil pegangi bagian bawah perut. “Hai, mengapa udara
mendadak mendung?”Ki Tambakpati menepuk bahu sahabatnya ini. “Tenang
saja. Jangan banyak bicara. Ratu Duyung tengah melaku–
kan sesuatu.”
Saat itu memang udara mendadak agak gelap, langit
yang tadi cerah berubah mendung. Arus air kali seolah tak
bergerak, angin tidak terasa bertiup. Keadaan sunyi senyap
seperti malam hari di pekuburan. Tiba-tiba dari arah timur
tampak sepuluh titik bercahaya biru, bergerak ke arah kali
di mana orang-orang itu berada. Saat demi saat titik itu
membesar dan ternyata adalah sepuluh ujung tombak.
Masing-masing tombak dipegang oleh seorang gadis cantik
berambut hitam panjang tergerai, mengenakan pakaian
hitam ketat dengan potongan rendah di bagian dada serta
belahan tinggi sampai ke pangkal paha di bagian sisi kiri
kanan.
“Bidadari turun ke bumi...!” ucap Setan Ngompol
dengan mata melotot dan pegangi bagian bawah perut
yang terasa kedut-kedut. “Pasti mereka hendak menolong
Wiro. Ah, aku juga kepingin sakit kalau yang mengobati
bidadari cantik seperti itu...”
“Sobatku, kau kakek bangkotan yang masih mata
keranjang rupanya,” kata Ki Tambakpati. Saat itu keduanya
dan juga Naga Kuning serta Gondoruwo Patah Hati masih
berada di dalam kali. “Jangan bicara sembarangan. Itu
adalah pasukannya Nyai Roro Kidul yang akan menjaga
tempat ini.”
Sepuluh gadis pembawa tombak bercahaya mengapung
di udara mengelilingi Ratu Duyung. Mereka membungkuk
memberi penghormatan.
Perlahan-lahan Ratu Duyung turunkan dua tangan yang
sejak tadi diletakkan di dada. Mulutnya berucap, mata
masih terpejam. “Terima kasih kalian sudah datang. Dua di
sudut timur. Dua di sudut barat. Dua di sudut utara. Dua di
sudut selatan. Dua di tengah antara empat sudut.”
Dalam gerakan menyamai kecepatan kejapan mata,
sepuluh gadis cantik yang membawa tombak bercahaya,
sepasang demi sepasang melesat ke lima penjuru yang disebutkan Ratu Duyung. Di lima titik ini mereka melepas
pegangan pada tombak. Walau dilepas setiap tombak
tetap berdiri lurus, hanya saja perlahan-lahan bentuknya
menjadi samar, cahaya meredup dan akhirnya lenyap dari
pandangan mata. Sepuluh gadis cantik kembali berkumpul
mengelilingi Ratu Duyung.
“Terima kasih kalian sudah melaksanakan tugas
dengan baik. Kalian boleh kembali ke laut selatan. Bila
tugas sudah selesai sepuluh tombak akan pulang ke
tempat asalnya. Kalian tak usah menjemput. Salam hormat
dan terima kasihku untuk Junjungan Nyai Roro Kidul.”
Sepuluh gadis membungkuk lalu satu per satu melesat
ke langit dan lenyap dari pemandangan. Saat itu juga
udara yang tadi mendung kini berubah terang benderang
kembali.
“Ah, mereka pergi semua...” kata Setan Ngompol seolah
kecewa oleh lenyapnya pemandangan indah tadi.
Di atas tumbangan pohon Ratu Duyung buka kedua
matanya. Dia menatap ke arah lima titik lalu bangkit
berdiri, mendatangi orang-orang yang ada di kali.
“Para sahabat, tempat ini sudah dipagari. Kita
menunggu sampai tengah hari tepat.”
“Apa yang akan terjadi pada tengah hari tepat?”
bertanya Gondoruwo Patah Hati yang memang tidak tahu
kelanjutan cara pengobatan atas diri Wiro.
Purnama lalu menjelaskan. “Sesuai petunjuk Kitab
Seribu Pengobatan, tepat tengah hari nanti sepuluh jari
tangan dan sepuluh jari kaki Wiro harus ditusuk dengan
benda tajam sampai keluar darah. Jika darah mengucur
dan warnanya merah segar berarti dia telah sembuh dari
penyakitnya...”
Gondoruwo Patah Hati geleng-geleng kepala. Sambil
menggeleng matanya menatap wajah Pendekar 212. Ada
rasa iba di wajahnya yang angker. Nenek ini lantas ingat
kejadian beberapa waktu lalu, ketika dia ikut dengan Wiro
dan para tokoh silat menghancurkan 113 Lorong Kematian
yang jadi markas manusia pocong pimpinan Pangeran Matahari. Saat itu Wiro terlibat bentrokan pukulan sakti
dengan Ketua Barisan Pocong 113 Lorong Kematian. Wiro
terpental, coba ditolong oleh Gondoruwo Patah Hati.
Keduanya jatuh bergulingan di tanah. Secara tak sengaja
sewaktu bergulingan bibir mereka saling bertempelan. Saat
itu juga ujud si nenek berubah menjadi sosok seorang
gadis cantik, memeluk dan menciumi Wiro. Memang ujud
asli Gondoruwo Patah Hati sebenarnya adalah seorang
gadis cantik jelita bernama Ning Intan Lestari. Si nenek
melarang Wiro menyeka bibirnya. Malah berkata. “Dengar
ada satu rahasia dalam diriku yang bisa menyesakkan
dada jika tidak aku katakan padamu. Kalau saja aku tidak
keburu jatuh cinta pada bocah berambut jabrik itu, kaulah
jadi penggantinya.” Celakanya ketika si nenek mencium
Pendekar 212, Dewa Tuak yang berada tak jauh dari
tempat itu sempat melihat! Gondoruwo Patah Hati tarik
nafas panjang dan usap bibirnya (Baca serial Wiro Sableng
berjudul ‘Kematian Kedua’).
“Siapa yang akan menusuk jari tangan dan kaki Wiro?”
Purnama bertanya sambil memandang berkeliling.
“Nek, kau saja yang melakukan,” kata Ratu Duyung.
“Kukumu panjang-panjang. Kita tidak perlu mencari alat
lagi. Harap kau mau membantu...”
Gondoruwo Patah Hati mengangguk. Dia merasa ber–
syukur diberi kesempatan menolong pemuda yang diam-
diam dicintainya itu. Purnama kemudian menunjukkan
bagian mana dari jari tangan dan kaki Wiro yang harus
ditusuk. Gondoruwo Patah Hati menusuk sepuluh jari
tangan dan sepuluh jari kaki Wiro, semua di bagian ujung
jari.
Setelah menunggu cukup lama tidak terjadi apa-apa,
yaitu tidak ada darah yang mengucur keluar dari luka kecil
bekas tusukan kuku baik pada sepuluh jari tangan maupun
sepuluh jari kaki, Purnama menatap ke arah Ratu Duyung.
Dua gadis ini sama-sama menunjukkan rasa cemas. Setan
Ngompol dan Ki Tambakpati terdiam tegang. Naga Kuning
memandang ke langit sebelah timur lalu membisikkan sesuatu pada Gondoruwo Patah Hati sambil menunjuk ke
arah timur. Selanjutnya nenek ini pegang lengan Ratu
Duyung seraya berkata.
“Aku rasa ada yang menghalangi. Lihat di arah timur
ada cahaya biru berkelap-kelip.”
Ratu Duyung cepat menatap ke arah langit sebelah
timur. Di arah itu tampak dua cahaya biru berkedap-kedip.
“Kau benar Nek. Dua tombak biru pemagar tempat ini
di arah timur memberi tanda. Ada yang berusaha masuk!
Satu kekuatan gaib! Aku mohon kita semua sama-sama
lepaskan pukulan sakti ke arah timur!”
Kecuali Ki Tambakpati yang memang tidak memiliki
pukulan sakti, semua orang segera kerahkan tenaga dalam
dan siapkan pukulan sakti terhebat yang mereka miliki.
Masing-masing mengerahkan tenaga dalam penuh.
Jangankan manusia atau makhluk gaib, gunungpun rasa-
rasanya jika dihantam bersama-sama seperti itu akan
hancur berantakan.
“Kek” kata Ratu Duyung pada Setan Ngompol. “Kau tak
usah ikut menyerang. Lindungi Wiro!”
“Tunggu dulu, aku melihat sesuatu di arah timur!”
Berkata Purnama. “Ada dua sosok samar sedang berkelahi
di atas sana. Satu berpakaian putih, satu mengenakan
pakaian hitam. Ratu Duyung coba kau selidiki. Keluarkan
cermin saktimu!”
Ratu Duyung cepat keluarkan cermin sakti. Serta-merta
di dalam cermin terlihat seorang berselempang kain putih,
berambut dan berjanggut panjang putih dengan wajah
polos tengah berkelahi hebat melawan seorang pemuda
gagah. Si pemuda mengenakan pakaian serba hitam,
memelihara kumis, janggut dan cambang bawuk. Dari
jalannya perkelahian kelihatan pemuda ini terdesak dan
beberapa kali jatuh tersungkur. Makhluk tidak berwajah
mempergunakan sebatang tongkat bercahaya kuning
sebagai senjata ampuh.
Ratu Duyung menerangkan apa yang dilihatnya dalam
cermin.“Manusia tanpa wajah itu! Dia hendak menembus
melewati pagar gaib pengaman. Pemuda berpakaian hitam
berusaha mencegah tapi kalah ilmu. Dia akan segera
dimusnahkan oleh manusia tanpa wajah. Tapi tunggu
dulu... Bunga! Bunga muncul membantu pemuda berpa–
kaian hitam. Puluhan kembang kenanga melesat dari
tangannya, membuat manusia tanpa wajah terpaksa
mundur. Makhluk jahat ini membalikkan diri, melesat ke
langit. Lari!”
Di langit tampak tiga cahaya, merah, biru dan hijau
berkiblat lalu lenyap.
Purnama dan beberapa orang lainnya yang merasa
tidak puas kalau tidak menyaksikan sendiri berusaha meli–
hat ke dalam cermin. Namun saat itu keadaan cermin
hanya tinggal bening putih. Pertanda semua makhluk tadi
tak ada di langit sebelah timur.
“Hai lihat!” Tiba-tiba Gondoruwo Patah Hati berteriak.
Membuat semua orang terkejut namun kemudian bersorak
gembira. Dari duapuluh luka kecil di ujung jari tangan dan
kaki Wiro membersit keluar darah merah.
“Darahnya merah dan segar!” teriak Ki Tambakpati.
“Wiro sembuh!” ucap Ratu Duyung sambil menekap
wajah menahan tangis.
“Angkat! Bawa ke dalam rumah!” kata Purnama.
Semua orang, beramai-ramai mengangkat tiga batang
kayu ke tepi kali. Lalu mereka menggotong Wiro, memba–
wanya masuk ke dalam rumah panggung dan dibaringkan
di atas ranjang bambu. Darah kental, merah dan segar
masih mengalir dari duapuluh luka kecil di jari tangan dan
jari kaki Wiro. Sesaat kemudian kucuran darah berhenti.
Gondoruwo Patah Hati pergunakan ujung jubah birunya
untuk membersihkan sisa-sisa darah di tangan dan kaki
Wiro.
Tiba-tiba!
Buuuttt... buuuttt... prett!
“Kurang ajar! Siapa yang kentut?!” Hardik Setan Ngom–
pol. Mata mendelik dua tangan cepat menekap bagian bawah perut.
Saat itu terdengar suara tawa cekikikan dalam rumah
panggung disusul berkelebatnya satu bayangan kuning.
Sesaat kemudian di dalam kamar itu telah berdiri seorang
nenek serba kuning mulai dari pakaian sampai dandanan–
nya. Nenek ini mengenakan jubah kuning. Rambut kuning
digulung di atas kepala, ditancapi lima sunting yang juga
berwarna kuning. Lalu di telinga kiri kanan mencantel
giwang berbentuk rantai kuning. Di leher menggantung
sebuah kalung besar berwarna kuning.
Setan Ngompol, Naga Kuning dan Purnama yang
mengenali nenek ini serentak berseru menyebut namanya.
SEBELAS
LUHKENTUT!” Nenek berjubah kuning yang tegak di
ambang pintu ruangan tertawa panjang. Dia tepuk-
tepuk pantatnya yang songgeng karena dulunya terla–
lu banyak kentut lalu berkata, “Aku kebetulan lewat di sini.
Aku mencium bau makhluk dari alamku. Ternyata kau yang
berada di sini Luhmintari.” Si nenek berucap dan menyebut
nama Purnama yang asli lalu memandang berkeliling. “Ah,
sobatku Setan Ngompol dan Naga Kuning, kalian juga ada
di sini” Si nenek lantas memandang ke arah ranjang bam–
bu. Kening mengerenyit. “Astaga! Bukankah itu Pendekar
212 Wiro Sableng?”
Purnama anggukkan kepala. Sampai saat itu sepasang
matanya terus memperhatikan si nenek. Dia merasa ada
kelainan pada diri perempuan tua berjubah kuning ini.
“Apa yang terjadi dengan dirinya?” tanya si nenek.
Siapa nenek ini sebenarnya? Di negeri Latanahsilam dia
dikenal dengan nama Luhkentut alias Hantu Selaksa Angin.
Sewaktu Wiro bersama Setan Ngompol dan Naga Kuning
terpesat ke negeri 1200 tahun silam Wiro menolong dan
berhasil menyembuhkan nenek ini dari penyakit kentut
yang dideritanya selama puluhan tahun. Sebelumnya si
nenek bisa kentut ratusan kali sehari. Setelah ditolong oleh
Wiro penyakitnya sembuh. Kalaupun masih terkentut
hanya keluar sesekali saja. Sebagai tanda terima kasih si
nenek mewariskan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad
kepada Wiro.
Sewaktu para tokoh menyerbu 113 Lorong Kematian,
Luhkentut ikut ambil bagian dan kemudian ditugasi
mencari Hantu Muka Dua. Ternyata Hantu Muka Dua yang
juga makhluk dari negeri 1200 tahun silam itu telah menemui ajal di tangan Bidadari Angin Timur (Nyi Bodong)
(Baca serial Wiro Sableng ‘Api Di Puncak Merapi’).
“Wiro menderita sakit aneh. Saat ini dalam tahap
penyembuhan...” menjelaskan Naga Kuning. Sepasang
mata bocah ini memperhatikan si nenek dari kepala
sampai ke kaki yang tersembul di balik ujung jubah kuning.
Tidak biasanya, pandangan mata si bocah yang selalu
nakal kini kelihatan seolah menyelidik. Seperti diketahui
ujud asli Naga Kuning adalah seorang kakek sakti berusia
lebih seratus tahun.
Si nenek jubah kuning delikkan mata lalu geleng-geleng
kepala.
“Di Latanahsilam dia menyembuhkan penyakit kentut-
kentutku! Saatnya aku membalas budi. Siapa tahu aku bisa
menyembuhkan penyakitnya. Aku perlu memeriksanya.”
Lalu nenek ini melangkah mendekati ranjang bambu di
mana Wiro terbaring dalam keadaan mata masih terpejam.
Saat itu di sudut ruangan Gondoruwo Patah Hati
memberi isyarat dengan gerakan tangan kanan pada Ratu
Duyung. Ratu Duyung yang baru saja mengerahkan ilmu
Menembus Pandang atas diri Luhkentut anggukkan kepala
lalu memberi isyarat pada Purnama. Gadis dari Latanah–
silam ini segera menghadang langkah nenek berjubah
kuning.
“Nek, tunggu. Sebelum kau memeriksa Wiro, kita bicara
dulu di luar rumah.”
“Kau mau membicarakan apa? Mengapa harus di luar
rumah, tidak di sini saja?” tanya Luhkentut heran.
Tanpa menjawab, Purnama tarik tangan si nenek,
membawanya ke halaman. Ratu Duyung dan Gondoruwo
Patah Hati bersama Naga Kuning mengikuti. Sebelum
meninggalkan ruangan si nenek berkata pada dua kakek.
“Jaga pemuda ini. Ada yang tidak beres dengan nenek
satu itu!”
Sampai di halaman Luhkentut memandang pada
Purnama. “Kita sudah di luar rumah. Apa yang hendak kau
bicarakan?”“Nek, aku menaruh curiga pada keadaan dirimu.”
Berucap Purnama.
“Bercuriga pada keadaan diriku? Memangnya ada apa
dengan diriku? Aku tidak mengerti.”
Gondoruwo Patah Hati melangkah ke hadapan
Luhkentut. “Kita tua sama tua. Jangan berani berdusta.
Kau datang ke tempat ini bukan secara kebetulan seperti
katamu tadi.”
“Aih, aku jadi tambah tidak, mengerti!” Luhkentut alias
Hantu Selaksa Angin mulai tampak kesal.
“Kau datang membawa makhluk asing dalam tubuhmu!
Kau bersekutu dengan makhluk gaib untuk mencelakai
Wiro!” Kini giliran Ratu Duyung yang keluarkan ucapan.
Si nenek menatap Ratu Duyung tak berkesip lalu
tertawa mengekeh. “Aku membawa makhluk asing dalam
tubuhku katamu! Hik.. hik... hik! Untuk mencelakai Wiro?!
Benar-benar gila! Kalian mau aku telanjang? Biar aku buka
jubah kuning ini agar kalian melihat apa aku menyem–
bunyikan seseorang!”
“Tidak perlu Nek,” jawab Ratu Duyung. “Kalau kau tidak
percaya akan aku perlihatkan padamu!” Ratu Duyung
ambil cermin bulat sakti.
Purnama memberi tanda agar jangan bertindak dulu.
Dia berkata pada si nenek. “Aku melihat ada cahaya samar
tiga warna dalam tubuhmu! Kau membawa satu makhluk!
Apa hubunganmu dengan manusia tanpa wajah yang
belakangan ini selalu hendak mencelakai kami dan Wiro?!”
Dalam bingungnya Luhkentut akhirnya tertawa gelak-
gelak. “Manusia tanpa wajah itu siapa? Setan atau
manusia yang mukanya tersiram air panas?! Manusia
sepertimu atau makhluk alam roh seperti sobatku Luhmin–
tari ini? Lelaki atau perempuan, atau tidak punya kelamin
sama sekali. Ikutan polos bagian bawahnya?! Hik.. hik...
hik!”
Mendengar ucapan si nenek Ratu Duyung jadi marah.
Tangan kanannya yang memegang cermin digoyang tiga
kali. Saat itu juga tiga sinar putih berkilau mengandung hawa panas menyambar ke arah Luhkentut.
“Aku datang bersahabat! Kau menyerangku! Sungguh
keterlaluan!” teriak Luhkentut marah. Nenek ini kebutkan
lengan jubah kuningnya kiri kanan seraya melesat dua
tombak ke atas. Di udara menggema dua letusan dahsyat
sewaktu dua larik sinar kuning yang keluar dari lengan
jubah si nenek bentrokan dengan dua sinar putih menyi–
laukan yang melesat dari dalam cermin sementara sinar
putih ke tiga berhasil dielakkan oleh Luhkentut dengan
cara melompat tadi.
Ketika si nenek melesat ke atas, Purnama ikut berke–
lebat. Di udara dia lambaikan tangan ke arah punggung si
nenek. Selarik sinar biru bergemerlap menyapu. Saat itu
juga Luhkentut merasa sekujur tubuh menjadi kaku,
tangan dan kaki tak bisa digerakkan. Didahului jeritan
keras dia melayang jatuh ke tanah.
“Pengecut! Apa yang telah aku perbuat pada kalian
hingga menyerangku beramai-ramai!” Teriak Luhkentut.
Meski tubuhnya kaku ternyata nenek ini masih bisa ber–
suara. Dia berusaha kerahkan tenaga dalam dan hawa
sakti ke tangan kanan untuk melancarkan serangan
mematikan namun tidak berhasil.
Sebagai jawaban seolah tidak memberi ampun, Ratu
Duyung kembali gerakkan tangan kanannya yang meme–
gang cermin sakti.
Dari dalam cermin melesat keluar gulungan cahaya
putih panas, langsung menelan si nenek. Inilah ilmu
kesaktian yang disebut Penjerat Raga Pencekal Jiwa. Di
saat yang hampir bersamaan Purnama lepaskan satu
pukulan sakti memancarkan sinar biru bergemerlap dan
Naga Kuning menghantam dengan pukulan Naga Murka
Menghancur Tujuh Dinding Gaib.
Semua serangan yang dilakukan ketiga orang itu
memiliki kekuatan untuk membakar dan menghancurkan
lawan yang mengandalkan kekuatan gaib.
Luhkentut menjerit keras mengenaskan. Namun yang
membuat semua orang tercekat ada satu raungan keras lain menyertai jeritan si nenek. Tubuh Luhkentut dikobari
api berwarna merah dan biru. Perlahan-lahan tubuh itu
leleh berubah menjadi cairan putih mengepulkan asap lalu
lenyap. Sebelum leleh, satu bayangan putih keluar dari
tubuh si nenek. Sekilas kelihatan kepalanya yang tidak
memiliki wajah, tertutup rambut dan janggut putih.
Purnama, Ratu Duyung dan Naga Kuning, kini juga
Gondoruwo Patah Hati serentak menghantam dengan
pukulan sakti. Cepat sekali makhluk tanpa wajah itu
melesat ke langit. Salah satu bagian dari pakaian putih
yang dikenakannya tampak dikobari api. Sambil melesat
makhluk ini menebar cahaya merah, biru dan hijau
berbentuk kipas, menyambar ke arah para penyerang.
Ratu Duyung, Naga Kuning, Purnama dan Gondoruwo
Patah Hati kalau tidak cepat menjatuhkan diri sama rata
dengan tanah pasti akan celaka. Sebagian tanah halaman
terbongkar hangus. Dua pohon besar dan beberapa
rerumpunan semak belukar gosong menghitam! Untuk
beberapa lamanya tempat itu tenggelam dalam kesunyian.
Mendadak terdengar seseorang berucap perlahan tapi
cukup jelas.
“Kalian telah membunuh seorang sahabat.”
Semua orang yang ada di halaman sama tersentak
kaget dan palingkan kepala ke arah rumah panggung.
“Wiro!”
Empat orang berseru berbarengan menyebut nama
Pendekar 212. Di atas rumah panggung, tepat di depan
tangga kayu, berdiri murid Sinto Gendeng, dipapah oleh
Setan Ngompol di sebelah kanan dan Ki Tambakpati di
samping kiri. Wajah tampak pucat dan tubuh agak
tertunduk. Walau semua orang gembira melihat sang
pendekar mampu berdiri meskipun dipapah namun ucapan
yang tadi dikeluarkan Wiro membuat mereka yang semula
hendak datang mendekati kini tertegak bimbang meragu
dan saling pandang satu sama lain.
Wiro palingkan kepala pada dua kakek yang mema–
pahnya lalu balikkan badan, masuk ke dalam rumah.“Kalian dengar ucapan Wiro tadi...” berkata Gondoruwo
Patah Hati. “Ada kesalahpahaman. Sebaiknya kita masuk
ke dalam menemui Wiro.”
Keempat orang itu lalu masuk ke dalam rumah dan
menemui Wiro sudah berbaring di atas ranjang bambu.
Sepasang mata terbuka namun menatap lurus ke atas
langit-langit ruangan.
“Wiro, kami bersyukur dan berterima kasih pada Gusti
Allah ternyata kau telah disembuhkan...” Gondoruwo Patah
Hati membuka pembicaraan.
Wiro diam saja. Matanya masih terus menatap ke atas.
Ki Tambakpati membuka mulut. “Jalan darahnya boleh
dikatakan sudah pulih. Namun tubuhnya masih lemah. Aku
tadi sempat memeriksa. Dia tidak kehilangan tenaga
dalam ataupun hawa sakti yang dimiliki. Hanya saja dia
butuh paling sedikit dua hari untuk dapat memulihkan
kekuatan, mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti.”
Purnama lebih mendekat ke tepi ranjang.
“Wiro, apakah kau bisa bicara? Jika kau cukup kuat
untuk bicara kami ingin menanyakan beberapa hal...”
Hening beberapa ketika. Lalu tampak mulut Wiro
bergerak dan terdengar suaranya berucap perlahan.
Sementara sepasang mata masih tetap melihat ke atas.
“Aku berterima kasih. Sangat-sangat berterima kasih.
Semua para tetua dan sahabat di sini telah mau bersusah
payah menolongku, menyelamatkan jiwaku...”
“Semua terjadi dengan kuasanya Gusti Allah Yang Maha
Pengasih Maha Penyembuh...” Kata Ratu Duyung pula.
“Hanya ada satu hal sangat aku sesalkan. Keselama–
tanku ternyata menjadi tumbal kematian bagi seorang
sahabat. Mengapa kalian membunuh sahabatku nenek
bernama Luhkentut itu?”
Tak ada yang menjawab. Untuk beberapa lama tempat
itu diselimuti kesunyian. Ratu Duyung berpaling pada
Purnama. Purnama memandang pada Gondoruwo Patah
Hati. Akhirnya nenek ini yang bicara.
DUABELAS
WIRO, kami perlu menjelaskan agar tidak terjadi
kesalahpahaman. Kami tidak ada niat membunuh
Luhkentut. Namun dia datang membawa makhluk
gaib berupa makhluk tidak punya wajah. Makhluk ini hen–
dak mencelakaimu, hendak membunuhmu. Kami harus
membunuh makhluk itu sebelum dia sempat mencelakai–
mu...”
“Apakah makhluk tidak berwajah itu berhasil kalian
bunuh?” Wiro.
Tidak ada yang menjawab.
Wiro berkata lagi. “Apakah untuk mengusir atau mem–
bunuh makhluk tidak berwajah itu harus dengan cara
membunuh sahabatku Luhkentut? Apa tidak ada cara lain
yang lebih bijaksana?”
Ketika masih tidak ada yang memberikan jawaban Wiro
meneruskan ucapannya. “Luhkentut sama sekali tidak
bermaksud jahat terhadapku. Dia hanya ketumpangan
makhluk gaib. Luhkentut bahkan tidak tahu kalau dirinya
ketumpangan.”
“Wiro, kami sangat menyesal apa yang terjadi dengan
Luhkentut” kata Gondoruwo Patah Hati. “Namun saat itu
kami tidak ingin melihat kau terbunuh.”
“Sahabat semua, sesungguhnya aku saat ini sudah
mati dalam hidupku. Ki Tambakpati telah menceritakan
apa yang terjadi dengan diriku. Aku kehilangan kejan–
tananku...”
Semua orang tundukkan kepala. Purnama sembunyikan
wajah dengan mata berkaca-kaca. Ratu Duyung kemudian
menatap ke luar pintu ruangan. Ada yang menyesalkan seharusnya Ki Tambakpati tidak perlu cepat-cepat mem–
beritahu pada Wiro atas apa yang terjadi dengan dirinya
menyangkut kejantanannya. Selain itu semua orang yang
ada di tempat itu sama bertanya dalam hati. Mengapa
dalam kegembiraan sembuhnya Wiro kini terjadi hal seperti
ini?
Purnama usap sepasang matanya yang basah lalu
berkata, “Wiro, kami..., maksudku aku, Ratu Duyung, Naga
Kuning dan Gondoruwo Patah Hati mengaku bersalah.
Apakah ada cara untuk menebus dosa kesalahan itu?”
“Aku hanya memberitahu bahwa seorang sahabat telah
terbunuh. Soal dosa kesalahan bukan wewenang diriku.
Aku yakin semua ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa.
Aku hanya ingin semua ini menjadi pelajaran sangat baik.
Aku ingin kalian tahu bahwa di balik setiap kebenaran itu
akan selalu ada apa yang dinamakan kebijaksanaan.
Seseorang mungkin merasa telah bertindak benar. Padahal
jika dia mau berpikir maka selalu ada apa yang namanya
kebijaksanaan di atas kebenaran!”
Semua orang jadi terdiam mendengar kata-kata Wiro
itu. Gondoruwo Patah Hati, Naga Kuning, Ratu Duyung dan
Purnama merasa paling bersalah dengan terbunuhnya
Luhkentut. Sementara makhluk tanpa wajah berhasil lolos
melarikan diri. Hanya pakaiannya saja yang terbakar.
Selain itu semua orang melihat ada kelainan pada diri
Pendekar 212 dan membuat mereka bertanya-tanya.
Apakah karena masih belum sempurna kesembuhannya
maka Wiro bicara tenang perlahan seperti itu? Lalu tidak
seperti biasanya kali ini Wiro bicara seperti orang tua
memberi wejangan. Apa telah terjadi satu perubahan
dalam diri sang pendekar? Padahal pada saat dia sadar
tadi seharusnya dia ingin mencari tahu di mana dia berada,
bagaimana dia bisa sampai di rumah panggung itu dan apa
yang telah terjadi atas dirinya. Sebaliknya Ki Tambakpati
dan Setan Ngompol yang banyak bicara dan memberi tahu
keadaan dirinya.
Sementara semua orang tenggelam dalam alam pikiran masing-masing Ki Tambakpati memecah kesunyian, “Wiro,
ketika kami menemui dirimu dan memeriksa keadaanmu,
kami tidak menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Kami
khawatir kitab itu hilang lagi...”
“Aku telah menyimpan kitab itu di satu tempat.” Jawab
Wiro.
“Wiro...” kata Ratu Duyung. “Kami semua belum
merasa benar-benar lega sebelum kau mendapat kesem–
buhan sempurna. Kami ingin kau menceritakan bagaimana
kejadiannya sampai dirimu ditemui Ki Tambakpati di atas
bukit, di halaman sebuah candi dalam keadaan pingsan.”
“Dari ceritamu,” menyambung Purnama. “Kami mung–
kin bisa menyelidik siapa yang telah berlaku jahat atas
dirimu.”
“Mudah-mudahan kami juga bisa mencari petunjuk
penyembuhan atas penyakit yang melumpuhkan kejanta–
nanmu,” menyambung Gondoruwo Patah Hati.
“Aku sudah di sini, kalian sudah menyelamatkan diriku.
Apa masih perlu segala macam cerita dari kejadian yang
telah lewat?” bertanya Pendekar 212. Suaranya perlahan
dan tenang saja.
“Wiro, kau pendekar besar! Mengapa menunjukkan
sikap seperti tidak punya gairah hidup lagi? Kalau kau mau
bercerita aku yakin ada jalan untuk menyembuhkan dirimu.
Selain itu kami semua ingin sekali mengetahui siapa orang
yang telah mencelakai dirimu. Kalau saja Pangeran Mata–
hari masih hidup pasti dia orangnya. Tapi begundal satu itu
sudah mati.” Habis berkata Naga Kuning usap-usap dada
Pendekar 212.
Setelah berdiam diri beberapa lamanya akhirnya Wiro
mau juga menceritakan apa yang telah terjadi dengan
dirinya. Dimulai ketika dia menolong Raden Ayu Ambarsari
yang diperkosa oleh seorang pemuda mengaku bernama
Cakra. Sewaktu menyeberangi Kali Progo yang arusnya
sangat deras, dirinya diserang secara gelap dengan lima
senjata rahasia berupa bunga tanjung. Satu dari lima
bunga tanjung menancap di lehernya hingga dia jatuh pingsan.
“Ketika sadar diriku berada dalam tahanan Kerajaan
atas perintah Pangeran Tua Sena Wirapala. Ternyata
Ambarsari adalah cucu Pangeran Tua. Gadis itu ditemui di
tepi Kali Progo dalam keadaan tak bernyawa setelah sebe–
lumnya diperkosa. Aku dituduh memperkosa dan mem–
bunuh Ambarsari. Aku tak berdaya membebaskan diri
karena Pangeran Tua menotok tubuhku dengan totokan
luar biasa hebat. Kemudian muncul kembaran ke tiga
Eyang Sepuh Kembar Tilu. Dengan menyamar sebagai
Eyang Sinto Gendeng nenek itu berhasil mengeluarkan aku
dari penjara. Nenek itu membawaku ke sebuah candi di
puncak bukit. Dia berusaha melepaskan totokan di tubuh–
ku tapi tak berhasil. Entah dari mana datangnya, muncul
seorang pemuda berpakaian hitam, berikat kepala kain
merah. Pemuda ini menolong diriku melepas duabelas
totokan yang ada di tubuhku. Ketika pemuda itu pergi aku
baru sadar. Ciri-cirinya sama dengan pemuda yang menu–
rut Ambarsari hendak memperkosanya. Aku dan si nenek
berusaha mencari dan mengejar. Tapi dia lenyap seperti
ditelan bumi. Kemudian sesuatu terjadi atas diriku. Sekujur
tubuhku panas seolah berubah jadi bara api. Aku muntah
darah segar. Si nenek berusaha menolong dengan mela–
kukan beberapa totokan. Kemudian dia menemukan
sebuah bunga tanjung di bawah pusarku. Ketika bunga
diambil terjadi tiga letusan. Dari bawah perutku melesat
keluar satu hawa kekuatan aneh. Menyambar nenek itu
hingga dirinya terpental. Sebelum pingsan aku ingat satu
hal. Waktu itu hujan turun lebat sekali di puncak bukit.”
Seperti diceritakan sebelumnya Wiro sama sekali tidak
mengetahui apa yang kemudian terjadi dengan nenek
kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Di bawah
hujan lebat, dari tubuh nenek itu keluar sebentuk tubuh
ramping tinggi semampai seorang gadis berkulit putih
berwajah cantik jelita, berambut hitam sepinggang. Gadis
ini mengenakan kebaya pendek dan celana panjang
ringkas berwarna kuning. Begitu keluar dari tubuh si nenek, di bawah hujan lebat yang tidak membasahi tubuh serta
pakaiannya gadis misterius itu melangkah pergi dan lenyap
dari pemandangan.
“Di halaman candi, tak jauh dari tubuhmu tergeletak,
aku menemukan sebuah seruling...” Ki Tambakpati keluar–
kan sebuah suling perak dari balik pakaiannya dan mem–
perlihatkan pada Wiro.
“Suling itu milik paderi Cina Loan Nio. Diberikan pada si
nenek sebelum dia kembali ke negerinya...” menjelaskan
Wiro. “Tolong kau simpan dulu suling itu Kek.”
Kejadian selanjutnya diceritakan oleh Ki Tambakpati,
mulai saat dia mencari Sinto Gendeng tapi menemukan
Wiro dalam keadaan tak sadar diri di puncak bukit. Lalu
kemunculan Damar Sarka dan Surah Sentono yang tengah
mencari jejak madat lima puluh kati.
“Ketika mereka menyiksa diriku karena mengira aku
menyembunyikan madat itu, paling tidak tahu di mana
beradanya, muncul sobatku Setan Ngompol bersama Liris
Biru murid mendiang Hantu Malam Bergigi Perak. Perteng–
karan disusul perkelahian tidak terelakkan. Ketika Liris
Biru dalam keadaan terdesak dan terancam jiwanya oleh
Damar Sarka, muncul pemuda berpakaian hitam berikat
kepala merah. Pemuda itu membunuh Damar Sarka lalu
pergi begitu saja. Liris Biru ingat ciri-ciri pemuda itu sangat
sama dengan orang yang membunuh dan memperkosa
kakaknya. Karena pemuda itu sebelum pergi mengatakan
akan menuju Kuto Gede, Liris Biru mengambil keputusan
untuk mengejar ke sana...”
“Aku khawatir akan keselamatan gadis itu. Bisa-bisa dia
jadi korban seperti Liris Merah, kakaknya...!” ucap Setan
Ngompol.
“Pemuda berpakaian hitam berikat kepala merah itu,
apakah dia memelihara kumis, jenggot dan berewokan
lebat?” tanya Ratu Duyung sambil memandang pada Wiro.
“Betul, tapi kumisnya cuma tipis, jenggot serta
berewokannya juga tipis rapi. Mengapa kau bertanya hal
itu. Apakah pernah melihatnya?” Wiro menjelaskan lalu balik bertanya.
“Sejak kau sakit beberapa kali muncul makhluk gaib
tak berwajah berusaha mencelakaimu termasuk semua
kami yang ada di sini. Malam tadi dia muncul lagi, ber–
usaha menembus pagar pengaman yang dibuat oleh anak
buahku. Melalui cermin aku lihat ada seorang pemuda
berpakaian hitam berusaha mencegah hingga terjadi
perkelahian. Namun pemuda dalam cermin itu tidak
mengenakan ikat kepala merah. Kumis, janggut serta
berewok cambang bawuknya lebat tidak terpelihara.”
Sampai saat itu meskipun sudah bicara namun Wiro
tetap saja mengarahkan pandangannya ke langit-langit
ruangan.
“Bunga tanjung...” ucap murid Sinto Gendeng.
“Beberapa kali perkosaan dan pembunuhan yang terjadi
atas gadis cantik yang aku dengar, korban selalu ditempeli
bunga tanjung di keningnya. Aku roboh dihantam bunga
tanjung di leherku. Aku jatuh sakit karena ada yang
menempelkan bunga tanjung di bawah pusarku. Agaknya
bunga tanjung ini merupakan pangkal bahala dari banyak
malapetaka yang terjadi belakangan ini. Termasuk yang
menimpa diriku. Pemuda berpakaian hitam, berikat kepala
kain merah dan berkumis tipis itu, agaknya dia berada di
belakang semua ini...”
“Wiro, kau tahu di mana nenek kembaran ke tiga Eyang
Sepuh Kembar Tilu itu sekarang beradanya?” tanya Ratu
Duyung.
“Aku tidak tahu,” jawab Wiro. Lalu melanjutkan,
“Mungkin Ki Tambakpati bisa memberitahu karena dia
yang pertama kali menemukan diriku di dekat candi.”
“Ketika aku sampai di sana, aku hanya menemui dirimu
dan suling ini. Tidak ada orang lain...” menjelaskan Ki
Tampakpati.
“Jika dia lenyap begitu saja, meninggalkan dirimu yang
sedang ditimpa malapetaka, apakah tidak ada kecurigaan
mengapa dia berlaku seperti itu?” Yang berkata adalah
Gondoruwo Patah Hati “Mengingat begitu banyak pertolongannya atas diriku
selama ini, aku tidak menaruh syak wasangka terhadap
nenek satu itu. Kita tidak tahu apa yang terjadi atas
dirinya.” Jawab Wiro pula. Lalu murid Sinto Gendeng ini
meneruskan kata-katanya. “Dua hari lagi jika keadaanku
sudah pulih, aku akan menemui guruku di puncak Gunung
Gede. Setelah itu akan mengucilkan diri, mencari tempat
yang baik di puncak gunung itu untuk mulai bertapa. Aku
tidak tahu apakah aku akan turun gunung lagi atau akan
menjadi pertapa seumur-umur...”
Ucapan ini tentu saja membuat semua orang terkejut.
“Wiro, kau jangan berputus asa seperti itu.” Kata Naga
Kuning sambil pegang lengan Pendekar 212.
“Kalaupun Tuhan mencabut nyawaku saat ini rasanya
aku pasrah.”
Semua orang jadi merinding mendengar kata-kata sang
pendekar. Setan Ngompol pancarkan air kencing.
“Wiro, ini hanya satu cobaan saja. Setiap cobaan pasti
ada akhirnya,” kata Gondoruwo Patah Hati.
“Rimba persilatan masih membutuhkan pendekar
sepertimu. Mengapa kau memilih jadi pertapa?” Ucap Ratu
Duyung sambil memperhatikan air muka Wiro. Dia tidak
melihat kalau pendekar ini tengah bergurau.
“Makhluk jahat yang mencelakaimu masih gentayangan
di alam bebas...” kata Setan Ngompol pula. “Aku belum
puas sebelum mengencingi mayatnya!”
“Kalau begitu kalian semua keluarlah dari tempat ini.
Aku mau tidur saja...”
Semua orang kini jadi melongo. Naga Kuning pegang
lengan Gondoruwo Patah Hati, menarik nenek ini keluar
ruangan. Di luar ruangan si bocah bicara berbisik.
“Aku khawatir Wiro kini benar-benar sudah sableng!
Pikirannya jadi tidak waras gara-gara tahu kalau dirinya
tidak jantan lagi. Memang kasihan. Aku tahu betul, seumur
hidup dia belum pernah mempergunakan alat kejantanan–
nya itu...”
“Husss! Orang lagi sakit bicaramu enak saja!” tukas Gondoruwo Patah Hati.
“Aku bicara apa adanya!” jawab Naga Kuning. “Kalau
aku jadi dia akan aku coba dan buktikan dulu. Akan kuper–
gunakan dulu anuku. Apa benar aku kehilangan kejan–
tananku!”
“Anak geblek! Kau yang sudah berubah sableng!” maki
Gondoruwo Patah Hati lalu puntir telinga kiri Naga Kuning.
Tapi diam-diam si nenek berpikir dan bertanya-tanya dalam
hati. Ucapan Naga Kuning bisa juga betul. Bagaimana Ki
Tambakpati dan Setan Ngompol tahu kalau Wiro benar-
benar telah kehilangan kejantanannya. “Hal itu memang
harus dibuktikan. Kejantanan Wiro harus diuji...” kata si
nenek dalam hati sambil senyum-senyum.
“Hai, ada apa kau mesem-mesem?” bertanya Naga
Kuning sambil usap-usap kupingnya yang barusan dijewer
dan masih terasa pedas. “Pasti ada pikiran kotor dalam
otakmu!”
“Huss! Diam saja kau!” bentak Gondoruwo Patah Hati.
Malam itu hujan turun lebat sekali mencurah bumi.
Udara dingin bukan kepalang. Mungkin karena keletihan,
semua orang yang ada di dalam rumah panggung kepu–
lasan. Dini hari Gondoruwo Patah Hati terjaga lalu mem–
bangunkan Naga Kuning.
“Hatiku terasa tidak enak,” kata si nenek. Ketika
keduanya memasuki ruangan di mana Wiro berada, mere–
ka dapatkan pendekar itu tak ada lagi di atas ranjang
bambu. Seisi rumah panggung menjadi heboh.
Ratu Duyung memandang berkeliling.
“Tidak semua kita berada di tempat ini. Mana Pur–
nama?” Ucapan gadis bermata biru itu membuat sadar
semua orang kalau Purnama memang tidak ada di tempat
itu.
“Kurang ajar! Gadis alam roh itu melarikan Wiro. Paling
tidak membujuknya meninggalkan tempat ini! Jauh sebe–
lumnya aku sudah menduga gadis satu ini berhati culas!”
Gondoruwo Patah Hati keluarkan suara keras.
Ratu Duyung ambil cermin sakti. Tenaga dalam dike–rahkan ke mata. Dua tangan yang memegang cermin
bergetar.
“Aku melihat bayangan Wiro. Di arah barat. Samar
tanda sudah jauh sekali meninggalkan tempat ini.”
“Kau juga melihat gadis alam roh bernama Purnama
itu?” tanya Gondoruwo Patah Hati.
Ratu Duyung goyang-goyangkan cermin sakti. Lalu
menggelengkan kepala. “Tidak tampak orang lain. Hanya
Wiro...”
“Gadis culas itu pasti menggunakan ilmu kesaktiannya
untuk menangkal agar tidak terlihat dalam cermin.”
“Kita harus mengejar Wiro. Mungkin dia dalam perjala–
nan menuju Gunung Gede menemui gurunya. Kita harus
mencegahnya untuk menjadi pertapa. Sebenarnya aku juga
harus menuju ke sana karena ada pesan dari Kiai Gede
Tapa Pamungkas untuk menemuinya.”
“Aku khawatir...” Naga Kuning tidak meneruskan uca–
pannya, tapi melihat dulu pada Gondoruwo Patah Hati.
“Kau khawatir apa?” sentak si nenek.
“Aku khawatir Wiro diajak pergi oleh Purnama untuk
menguji kejantanannya...” ucap Naga Kuning pula.
“Anak edan!” maki Gondoruwo Patah Hati lalu jambak
rambut jabrik Naga Kuning. Sementara anak ini meringis
dan mengeluh kesakitan Setan Ngompol kucurkan air
kencing habis-habisan! Ki Tambakpati cuma bisa senyum-
senyum dan Ratu Duyung kelihatan merah rona wajahnya.
“Bisa jadi, bisa jadi! Bisa jadi apa yang dikatakan Naga
Kuning betul.” membatin Gondoruwo Patah Hati dengan
tubuh merinding karena cemburu.
“Nek...” ujar Naga Kuning.
“Apa?!” tanya Gondoruwo Patah Hati agak jengkel.
“Kalau kau..., apa kau mau menguji keampuhan
perabotannya Wiro?”
“Anak setan!” Damprat si nenek sambil mencubit
pinggang Naga Kuning hingga anak ini melintir kesakitan.
TAMAT
PENULIS : BASTIAN TITO
CREATED : MATJENUH CHANNEL
BLOG : https://matjenuh-channel.blogspot.com
Episode Berikutnya: SANG PEMIKAT
0 comments:
Posting Komentar