Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Kamis, 06 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - INSAN TANPA WAJAH

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com



SATU


GURUN Tengger siang terik panas membara. Hari itu 

hari ke 305, merupakan hari terakhir dari tapa 

samadi yang dilakukan Cakra Mentari di atas pohon 

tanjung besar yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa. 

Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki 

memutih tertutup lapisan debu gurun pasir. Sekian ratus 

hari dia duduk tidak bergerak, bahkan seolah tanpa 

bernafas di atas pohon tanjung yang menghadap ke utara. 

Setiap hari, tepat pada pertengahan siang, sekuntum 

bunga tanjung melayang jatuh ke arah kepalanya, secara 

gaib masuk ke dalam tubuh lewat ubun-ubun. Itulah satu-

satunya makanan sekaligus minuman yang memberi 

kehidupan pada Cakra Mentari. 

Perlahan-lahan matahari bergerak menuju titik ter–

tingginya. Menjelang bola penerang jagat itu mencapai titik 

kulminasinya, sekujur tubuh Cakra Mentari tampak ber–

getar. Ada hawa dingin aneh menyelimuti, membuat tubuh 

pemuda itu mengeluarkan asap tipis yang memancarkan 

cahaya kebiruan. Sekuntum bunga tanjung luruh, melayang 

jatuh masuk ke dalam kepalanya. Itulah kuntum bunga 

yang ke 305, merupakan makanan terakhir di penutup 

tapa samadinya. 

Tiba-tiba di arah timur muncul satu titik putih, bergerak 

ke arah pohon tanjung besar di tengah gurun pasir Teng–

ger. Saat demi saat noktah putih ini berubah besar dan 

ketika hanya tinggal puluhan langkan dari pohon di mana 

Cakra Mentari berada, benda yang tadi berupa titik itu kini 

membentuk sosok seorang berpakaian selempang kain 

putih. 

Hebat luar biasanya bahkan boleh dikata mengerikan. orang ini tidak memiliki wajah, tidak mempunyai muka, 

licin polos dan rata tanpa mata dan alis, tanpa hidung 

maupun mulut. Kepala ditumbuhi rambut putih menjulai 

panjang. Dagu digantungi janggut putih melambai. Hanya 

itu yang merupakan satu-satunya pertanda bahwa makhluk 

aneh ini telah berusia lanjut. 

Samar-samar di tangan kanannya si muka rata ini 

memegang sebuah tongkat emas yang ujung atasnya 

berbentuk lingkaran dihias berbagai permata aneka warna. 

Seperti tertulis pada halaman pertama Kitab Jagat Pusaka 

Alam Gaib hanya Cakra Mentari seorang yang bisa melihat 

pohon tanjung di gurun pasir Tengger itu. 

Kalau kini ada makhluk lain yang mampu mengetahui 

keberadaan pohon tanjung tersebut, maka berarti dia 

adalah seorang yang luar biasa ilmu kesaktiannya. 

Makhluk ini melesat ke atas pohon. Seolah seringan kapas 

dia berdiri di pucuk pohon paling atas, tatapkan wajah 

polos ke arah sosok Cakra Mentari yang duduk di cabang 

pohon di bawahnya. Tongkat emas dimelintangkan di 

depan dada. 

“Duabelas purnama telah berlalu. Satu tahun pertama 

telah berakhir. Aku masih harus menunggu duabelas pur–

nama lagi. Setelah itu semua akan berada di tanganku...” 

Wajah licin itu pancarkan cahaya merah. Tangan yang 

memegang tongkat emas diajukan ke bawah, ke arah 

Cakra Mentari. Saat itu juga melesat sinar kuning, mem–

bungkus tubuh pemuda itu beberapa ketika lalu lenyap. Di 

lain kejap makhluk tanpa wajah tidak kelihatan lagi di atas 

pohon. Hawa dingin yang sejak tadi menyelimuti tubuh 

Cakra Mentari kini lenyap, begitu pula cahaya kebiruan 

yang membungkusnya ikut sirna. 

Hanya beberapa saat setelah makhluk tanpa wajah 

lenyap dari tempat itu, sang surya sampai pada titik ter–

tingginya. Di langit muncul satu lengkungan aneh meman–

carkan cahaya tiga warna, merah, biru dan hijau. Lalu dari 

arah barat gurun bertiup angin kencang. Pohon tanjung 

besar bergetar keras. Dahan dan rerantingan serta daun daun dan bunga tanjung bergoyang-goyang. Daun luruh, 

bunga tanjung berguguran, jatuh ke atas pedataran pasir, 

lenyap dari pemandangan. Pohon tanjung besar kini 

tampak gundul. Yang kelihatan hanya batang, cabang serta 

rerantingan dan tentu saja sosok Cakra Mentari yang 

masih duduk bersila pejamkan mata di atas dahan. 

Tiupan angin yang begitu keras membuat seluruh debu 

gurun pasir yang menyelimuti sekujur tubuh Cakra Mentari 

mulai dari rambut sampai ke ujung kaki terkikis pupus. Dan 

sungguh aneh luar biasa! Keadaan diri pemuda ini tidak 

berubah sedikitpun. Pakaian hitamnya bersih tidak lusuh. 

Rambut hitam pekat tidak bertambah panjang. Begitu juga 

kumis kecil, janggut dan berewok tipisnya sama sekali 

tidak berubah, rapi seperti dulu dan tidak pula menjadi 

panjang. Wajah gagah bersih kelimis! 

Di langit matahari mencapai titik tertinggi. 

Desss! 

Kepulan asap memancarkan cahaya merah, biru dan 

hijau keluar dan ubun-ubun, liang telinga, hidung serta 

mata Cakra Mentari yang masih terpejam. Bersamaan 

dengan itu lengkungan tiga warna yang ada di langit seperti 

ular raksasa menggeliat bergerak berputar lalu melesat ke 

arah pohon tanjung dan masuk ke dalam tubuh si pemuda. 

Saat itu pula putera Tajurpambayan dan Sulin dari Desa 

Tumpang di barat Pegunungen Tengger ini perlahan-lahan 

membuka kedua matanya. Pertama sekali dilihatnya 

adalah gurun pasir Tengger. Dia menatap ke langit putih 

bersih, lalu memandang ke atas memperhatikan pohon 

besar yang kini tinggal dahan dan ranting. Akhirnya 

pemuda ini perhatikan dirinya sendiri. 

“Tubuhku terasa sangat enteng. Pandangan mataku 

lebih tajam dari yang sudah-sudah. Tiga ratus lima hari 

telah berlalu. Aneh, diriku tidak mengalami perubahan. 

Apakah saat ini aku sudah memperolah ilmu baru sesuai 

petunjuk dalam kitab?” 

Ingat akan kitab, Cakra Mentari meraba balik pakaian–

nya sebelah kiri di mana dia menyimpan Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Kitab masih berada di situ. “Sesuai 

petunjuk di dalam kitab, aku baru bisa membaca kitab 

pada hari yang ke tigaratus enam. Berarti besok. Semen–

tara menunggu apa yang harus aku lakukan?” 

Tiba-tiba Cakra Mentari merasa ada serangkum angin 

bertiup dari bawah. Dia tukikkan pandangan ke bawah 

pohon. 

“Aneh, bagaimana tahu-tahu orang berjubah hitam itu 

ada di bawah sana tanpa aku melihat kedatangannya?” 

Cakra Mentari berucap dalam hati sewaktu melihat di 

bawah pohon ada seorang tinggi besar mengenakan jubah 

dan sorban hitam. Orang ini hanya memiliki satu mata. 

Mata sebelah kiri tinggal merupakan rongga besar dan 

dalam mengerikan, masih digenangi darah. Dari bawah 

pohon dia berusaha melesat ke atas. Namun setiap dia 

melakukan hal itu ada satu cahaya kuning membendung 

gerakannya, membuat dia berbalik jatuh ke tanah. Orang di 

bawah pohon sama sekali tidak bisa melihat pohon tanjung 

besar tapi mampu melihat sosok Cakra Mentari yang 

seolah duduk bersila di awang-awang. 

“Cakra Mentari, turunlah cepat! Ada satu hal penting 

yang harus aku sampaikan padamu!” Orang berjubah 

hitam di bawah pohon yang bukan lain adalah Deewana 

Khan berteriak. 

“Orang itu mengenal diriku. Apakah aku mengenalnya?” 

Cakra Mentari menduga-duga. 

“Aku Deewana Khan. Abdi penolongmu. Cepat turun!” 

Orang bermata satu kembali berseru. 

Sebelumnya Tajurpambayan, ayah Cakra Mentari 

pernah bercerita pada pemuda itu tentang seorang asing 

bernama Deewana Khan. Namun saat itu si pemuda tidak 

ingat apa-apa lagi. 

Di pedataran pasir Tengger sebelah timur tiba-tiba ber–

kelebat satu bayangan putih. 

“Insan Tanpa Wajah...,” ucap Deewana Khan dengan 

suara bergetar. Wajah seramnya berubah. Rasa cemas 

mencekam diri. “Cakra Mentari! Cepat turun!” Deewana Khan berteriak. Seperti diceritakan sebelumnya, Deewana 

Khan adalah manusia misterius yang telah menolong 

kelahiran bayi Cakra Mentari dan sekaligus melindungi 

anak itu ketika terjadi penitisan oleh Suma Mahendra 

(Baca serial Wiro Sableng berjudul ‘Misteri Bunga Noda’). 

Merasa orang sangat memerlukan dirinya Cakra 

Mentari segera hendak melompat turun dari dahan di 

mana saat itu dia duduk bersila. Namun tubuhnya sebelah 

bawah tak bisa digerakkan. Seolah menempel dengan da–

han pohon! Bagaimanapun pemuda itu berusaha dengan 

berbagai cara tetap saja tubuhnya tak bisa lepas dari 

dahan yang didudukinya. 

Cakra ingat akan petunjuk dalam Kitab Jagat Pusaka 

Alam Gaib halaman kedua, Kelak kau akan mendapatkan 

ilmu yang lebih hebat. Maka pemuda ini segera kerahkan 

tenaga dalam. Namun sebelum sesuatu terjadi, tiba-tiba di 

bawah sana terdengar satu letusan keras disertai berki–

blatnya selarik cahaya kuning terang menyilaukan, disusul 

jeritan. Pohon tanjung besar bergoyang kencang. Tubuh 

Deewana Khan terpental tiga tombak, terkapar di peda–

taran pasir mengepulkan asap kuning. Dia berusaha 

bangkit sambil menunjuk ke arah orang berselempang kain 

putih memegang tongkat emas. Mulutnya lelehkan darah 

kental. 

“Insan Tanpa Wajah... Aku tahu siapa kau. Aku tahu 

siapa dirimu. Manusia culas pengkhianat busuk!” 

Orang berselempang kain putih goyangkan tongkat 

emas di tangan kanan. Selarik sinar kuning kembali mele–

sat ke arah Deewana Khan. Untuk kedua kalinya lelaki 

bertubuh besar mengenakan jubah hitam itu terpental. 

Sorban hitam tanggal dari kepalanya. Kali ini dia tak 

mampu bangkit lagi. Sekujur tubuhnya berubah kuning, lalu 

menciut dan berubah hitam. Angin gurun bertiup kencang. 

Pasir gurun beterbangan menutupi sosok mayat Deewana 

Khan hingga akhirnya tertimbun dan lenyap dari peman–

dangan. 

Di atas pohon Cakra Mentari memperhatikan semua yang terjadi. Entah mengapa dia merasa sedih melihat 

kematian orang berjubah dan bersorban hitam walau dia 

tidak tahu siapa adanya orang itu, seperti ada kontak 

kejiwaan yang tidak dipahaminya. Di bawah pohon orang 

berselempang kain putih tanpa wajah arahkan mukanya 

pada Cakra Mentari. Saat itu pula si pemuda mendengar 

suara mengiang di kedua telinganya. 

“Jangan lakukan apa saja yang tidak diberi petunjuk di 

dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Jika kau melanggar 

pantangan dan merusak apa yang sudah direncanakan, 

maka dirimu akan mengalani kerusakan lebih dulu.” 

Cakra Mentari terdiam, namun hatinya berkata. “Siapa 

yang menyampaikan ucapan padaku? Orang aneh tak 

berwajah di bawah sana? Apakah aku mengenalnya? 

Mengapa dia mengancam diriku? Apakah aku berada di 

bawah kekuasaan makhluk itu? Apakah aku harus tunduk 

kepadanya? Apa yang terjadi dengan diriku.” 

Seperti tertulis dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib 

halaman kedua, Pada saat kau mendudukkan diri di 

cabang pohon, saat itu pula terputus hubunganmu dengan 

masa lalu. Kau tidak ingat apa-apa lagi. Bahkan kau tidak 

ingat lagi ayah ibumu.

Sebenarnya Cakra Mentari sebelumnya telah melihat 

makhluk aneh tak berwajah itu. Yakni tatkala makhluk 

tersebut mencelakai Suma Mahendra sehingga Suma ter–

pental jatuh ke bawah Gunung Mahameru. Namun karena 

jalan pikirannya dengan masa lalu terputus maka dia tidak 

mengingat lagi kejadian itu. 

Hanya ada satu hal saja dari masa lalu yang masih 

melekat di benaknya. Yaitu namanya. Dia tidak pernah lupa 

kalau dia bernama Cakra Mentari. 

Tiba-tiba untuk kedua kalinya terdengar suara mengi–

ang di telinga Cakra Mentari. 

“Anak manusia bernama Cakra Mentari. Jangan 

menyelidik dengan hatimu. Jangan mencari tahu dengan 

pikiranmu. Jangan berusaha turun dari pohon karena itu 

bisa menghancurkan dirimu sendiri. Besok pagi begitu matahari terbit di timur kau berkewajiban melanjutkan 

membaca Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib pada halaman ke 

tiga.” 

Cakra Mentari memandang ke bawah pohon. Makhluk 

tanpa wajah itu ternyata tak ada lagi di tempatnya semula


DUA 


LANGIT di ufuk timur mulai terang pertanda di kejauhan 

sana fajar telah menyingsing dan tak berapa lama lagi 

sang surya akan kelihatan memunculkan diri. Di atas 

dahan pohon tanjung yang menghadap ke utara Cakra 

Mentari segera ingat. Saat itu adalah saat di mana dia 

harus segera membuka Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. 

Cakra keluarkan kitab dari balik baju hitamnya. Dia me–

nunggu sesaat sampai keadaan lebih terang baru mem–

buka kitab pada halaman ke tiga dan mulai membacanya. 

Yang disebut halaman ke tiga ini ternyata terdiri dari empat 

halaman. 

KITAB JAGAT PUSAKA ALAM GAIB 

- Halaman Ke Tiga - 

Bunga Tanjung Bunga Bertuah

Wahai anak manusia!

305 hari telah berlalu, tapa samadimu telah selesai

Sekarang kau akan menghadapi masa depan

dengan bekal ilmu silat serta kesaktian

dari alam gaib yang tidak ada tandingannya

Kau kini memiliki ilmu pukulan sakti

bernama ‘Tiga Cahaya Alam Gaib’

Tidak manusia tidak jin

yang akan sanggup menghadapimu

Tuntunan ilmu silat akan kau dapatkan

melalui mimpi di alam tidurmu

Usapkan tangan kananmu ke kaki kanan

usapkan tangan kirimu ke kaki kiri

maka kau akan mendapatkan sepasang kasut pembungkus kaki

Kasut ini yang akan menuntun

setiap langkah perjalananmu

Hal pertama yang harus kau lakukan

begitu menginjakkan kaki di tanah

memandanglah ke arah barat laut

Kau akan melihat satu gurun pasir

yang puluhan kali lebih luas

dari Pedataran Pasir Tengger

Itulah Gurun Pasir Thar di negeri India

Pejamkan matamu

maka kekuatan gaib akan membawamu

memasuki sebuah goa bernama Goa Binaker

Di sana kau akan menemui seorang Resi

terkapar di lantai goa

Jazadnya hidup dalam kematian

mati dalam kehidupan

Masuklah ke dalam tubuh Resi ini

Kau akan mampu melakukan

karena kau memiliki kesaktian

Di dalam tubuh sang Resi kau akan menemukan

sebuah patung batu

lambang dari lelaki dan perempuan

yang tengah melakukan sanggama

Itulah patung Kamasutra

Ambillah patung itu

Selanjutnya kekuatan gaib

akan membawamu kembali ke tanah Jawa

Dunia serba fana, demikian juga dengan diri

serta ilmu baru yang kau miliki

Namun dalam kefanaan ada kebakaan

Ilmu kesaktian yang ada dalam dirimu

akan tetap berada di sana

untuk selama-lamanya

Namun ada petuah yang harus kau ikuti

dan tak boleh kau tolak

Kau harus bisa meniduri paling sedikit 1 orang gadis yang masih perawan

Rayulah mereka, perlihatkan Patung Kamasutra

Jika mereka sudah berada di bawah pengaruhmu

tempelkan sekuntum bunga tanjung di keningnya

Niscaya dia akan menyerahkan diri padamu

Namun rahasia harus dijaga

Karena itu setiap gadis yang berhasil kau tiduri

harus kau bunuh

Pada saat kau bercumbu,

bunga tanjung akan datang sendiri

dan berada dalam genggamanmu

Bunga tanjung juga dapat kau jadikan

senjata rahasia yang mematikan

Namun ada pantangan yang harus kau ingat

jangan sekali-kali bunga tanjung

sampai melekat atau menempel di keningmu

Untuk menambah kekuatan ilmu dalam dirimu

Ada tugas lain yang harus kau laksanakan

Kau harus membunuh

sebanyak mungkin para pendekar

golongan putih rimba persilatan tanah Jawa

Tetapi akan lebih baik jika kau mampu

membuat dirinya sengsara seumur-umur

dengan melumpuhkan kejantanannya

Letakkan bunga tanjung di bawah pusarnya

maka kekuatan alam gaib

akan menyelesaikan perkara

Tugasmu terakhir setelah semua tugas di atas

selesai kau laksanakan

adalah menyerahkan Patung Kamasutra

pada seseorang yang akan menunggumu

di puncak Gunung Mahameru

tepat di tempat di mana kau pernah bersamadi

pada malam hari Jum’at Legi minggu pertama

duabelas purnama dari sekarang

Wahai anak manusia!

Jika kau melaksanakan petunjuk dalam kitab maka kau kelak akan menjadi seorang tokoh besar

Kau akan menjadi seorang sakti mandraguna

Kau akan menjadi rajadiraja rimba persilatan

Namun bila kau menolak melakukan

atau sengaja menyesatkan diri

maka kutuk akan jatuh atas dirimu

Azab kesengsaraan akan membuat

kau menderita seumur-umur

Jalan nasibmu telah ditentukan

oleh apa yang dinamakan takdir

Wahai anak manusia

Pohon tanjung akan masuk ke dalam tanah

itulah saatnya kau meninggalkan tempat ini

Ingat baik-baik semua yang tertulis di halaman ini

Karena Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib

akan lenyap dari alam fana untuk selama-lamanya

Bunga Tanjung Bunga Bertuah

Setelah bersamadi di atas pohon tanjung di pedataran 

gurun Tengger, Cakra Mentari memiliki daya ingat luar 

biasa. Sekali membaca saja dia sanggup mengingat semua 

yang tertulis dalam halaman ke tiga yang terdiri dari empat 

lembar. Selain itu perubanan besar terjadi dalam jiwa dan 

dirinya. Sebelumnya pemuda ini adalah seorang yang 

memiliki hati mulia, pembela rakyat, penegak keadilan dan 

menjadi musuh besar kaum penjahat termasuk para tokoh 

silat penjilat yang berada di istana. Ketika membaca hala–

man ke tiga Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib di mana dia 

harus merusak kehormatan 41 orang gadis dan membu–

nuh para pendekar silat golongan putih, pemuda ini me–

rasa itu memang satu tugas yang harus dilaksanakannya. 

Menggauli 41 orang gadis! Bukankah itu satu kenikmatan 

luar biasa? 

Samadi setahun serta ilmu yang kini dimiliki Cakra 

Mentari serta isi Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib seolah-olah 

telah mencuci otak pemuda itu. Membuatnya berubah 

menjadi seorang pemuda berhati dingin dan menghalalkan segala cara demi mempertahankan ilmu kesaktian yang 

dimilikinya. 

Cakra Mentari tutup kitab yang barusan dibaca. Dia 

bermaksud hendak menyimpan kitab itu kembali ke balik 

baju hitamnya. Namun seperti yang tertulis di akhir 

halaman ke tiga kitab, tiba-tiba Kitab Jagat Pusaka Alam 

Gaib keluarkan suara meletup. Kejap itu juga kitab dikobari 

api yang entah dari mana datangnya. Cakra melepas 

pegangannya pada kitab, kitab jatuh dan musnah sebelum 

menyentuh tanah berpasir. 

Cakra Mentari ingat salah satu kalimat di dalam kitab 

yang tadi dibacanya, Usapkan tangan kananmu ke kaki 

kanan, usapkan tangan kirimu ke kaki kiri, maka kau akan 

mendapatkan, sepasang kasut pembungkus kaki. Kasut ini 

yang akan menuntun setiap langkah perjalananmu.

Tidak menunggu lebih lama Cakra Mentari usapkan ke 

dua tangannya secara berbarengan ke kaki kiri dan kaki 

kanan. Saat itu juga dua kakinya yang tadi telanjang kini 

telah terbungkus dua kasut kulit berwarna hitam. 

“Luar biasa” ucap Cakra Mentari. Belum habis rasa 

kagumnya atas apa yang terjadi, tiba-tiba pohon tanjung 

besar di mana dia berada bergerak ke bawah, perlahan-

lahan masuk ke dalam tanah. Sebelum dirinya ikut terse–

dot dan pohon besar itu amblas lenyap dari pemandangan, 

Cakra Mentari cepat melompat turun. Begitu dua kakinya 

menginjak tanah berpasir seperti yang tertulis dalam kitab, 

Cakra Mentari arahkan pandangan ke barat laut. Meman–

danglah ke arah barat laut, kau akan melihat satu gurun 

pasir, yang puluhan kali lebih luas, dari Pedataran Pasir 

Tengger. Itulah Gurun Pasir Thar di negeri India. Pejamkan 

matamu, maka kekuatan gaib akan membawamu, mema–

suki sebuah goa bernama Goa Binaker

Jauh di arah barat laut ke jurusan mana matanya 

memandang, Cakra Mentari melihat satu gurun pasir. 

Belum pernah dia menyaksikan gurun pasir seluas itu. 

“Bagaimana hal ini bisa terjadi...?” pikir si pemuda. Lalu 

sesuai petunjuk selanjutnya dalam kitab dia pejamkan kedua matanya. Saat itu juga sosoknya lenyap, melesat ke 

langit. Di lain kejap Cakra Mentari dapatkan dirinya berada 

di dalam sebuah lorong yang terletak di bawah Gurun Pasir 

Thar di India. Inilah lorong di dalam Goa Binaker yang 

membawanya ke satu ruangan rahasia di mana sebelum–

nya disimpan Patung Kamasutra yang konon telah berusia 

lebih dari limaribu tahun. 

Di kiri kanan lorong berdiri beberapa orang berpakaian 

dan berpenampilan seperti resi tampaknya sedang berjaga-

jaga. Namun mereka seperti tidak melihat Cakra Mentari 

yang berjalan melewati mereka. 

Ada enam pintu rahasia yang dilewati dan ditembus 

Cakra Mentari secara gaib. Pemuda ini sampai ke hadapan 

pintu ke tujuh. Begitu masuk dia dapatkan sesosok tubuh 

orang tua berselempang kain putih, berambut dan ber–

janggut putih tergeletak di lantai ruangan. Kepala rengkah 

darah menggenangi lantai batu. 

Cakra Mentari ingat apa yang dibacanya di dalam Kitab 

Jagat Pusaka Alam Gaib. Di sana kau akan menemui 

seorang Resi terkapar di lantai Goa. Jazadnya hidup dalam 

kematian. Mati dalam kehidupan. Masuklah ke dalam 

tubuh Resi ini. Kau akan mampu melakukan karena kau 

memiliki kesaktian. Di dalam tubuh sang Resi kau akan 

menemukan sebuah patung batu lambang dari lelaki dan 

perempuan yang tengah melakukan sanggama. Itulah 

Patung Kamasutra. Ambillah patung itu. Selanjutnya keku–

atan gaib akan membawamu kembali ke tanah Jawa.

Resi tua yang tergeletak di atas lantai batu seperti yang 

dituturkan dalam kisah terdahulu, Petaka Patung Kama–

sutra, bukan lain adalah Resi Kepala Mirpur Patel. Resi ini 

berlaku nekad melakukan bunuh diri dengan memben–

turkan kepalanya ke dinding batu. Ini merupakan ungkapan 

penyesalan serta rasa berdosanya atas kelalaian hingga 

Patung Kamasutra yang ada di dalam sebuah keranda 

kaca lenyap dicuri orang. 

“Bagaimana caranya aku masuk ke dalam tubuh orang 

tua malang ini...” pikir Cakra Mentari. Dia sama sekali tidak merasa jerih bagaimana nanti dia masuk dan berada 

dalam tubuh mayat itu. Cakra melangkah lebih dekat. Tiba-

tiba seolah berubah menjadi bayang-bayang sosok si 

pemuda masuk ke dalam tubuh sang Resi. Begitu tubuh 

mereka menyatu, di bagian dada orang tua itu Cakra 

Mentari melihat ada cahaya merah redup. Ternyata cahaya 

itu keluar dari sebuah patung batu abu-abu kehitaman. 

Berbentuk sepasang lelaki dan perempuan tengah 

melakukan hubungan badan. 

“Patung Kamasutra,” membatin Cakra Mentari. Semua 

yang tertulis dalam kitab benar-benar merupakan kenyata–

an. Pemuda ini ulurkan tangan. Begitu dia menyentuh 

patung batu, tiba-tiba wuttt...! Sosok Cakra Mentari melesat 

keluar dari mayat Resi Mirpur Patel, berkelebat ke arah 

sebuah lobang di atap ruangan batu dan lenyap dari 

pemandangan. 

Angin gurun bertiup kencang. Pasir gurun masuk ke 

dalam ruangan. Lima hari kemudian seluruh ruangan 

rahasia di Goa Binaker itu telah tertimbun tumpukan pasir 

gurun. 

Tujuh hari setelah lenyapnya Patung Kamasutra dan 

matinya Resi Kepala Mirpur Patel, Resi Ketua Khandawa 

Abitar memerintahkan orang-orangnya untuk menggali 

jenazah Mirpur Patel. Namun sampai seluruh pasir yang 

ada di dalam ruangan batu itu digali dan dibersihkan, 

jenazah Resi Kepala Mirpur Patel tidak ditemukan. 

Seperti yang tertulis dalam Kitab Jagat Pusaka Alam 

Gaib, Cakra Mentari secara gaib kembali ke tanah Jawa 

untuk mengamalkan ajaran sesat yang bersumber dari 

kitab sesat serta Patung Kamasutra dan bunga tanjung 

bunga noda. Satu persatu korban berjatuhan. Belasan 

gadis dirusak kehormatannya lalu dibunuh. Dari kalangan 

rimba persilatan justru Pendekar 212 Wiro Sableng yang 

menjadi korban pertamanya.


TIGA 


GUBUK di tikungan Kali Progo tampak sepi. Suara arus 

air kali yang cukup deras mengalun berkepanjangan 

serta kicau burung di pagi itu seperti tidak dapat 

mengusik kesunyian. Pintu gubuk yang menghadap ke kali 

terbuka berkereketan. Seorang kakek berkepala setengah 

sulah, berdaun telinga lebar yang salah satunya terbalik, 

keluar melangkah sambil pegangi bagian bawah perutnya. 

Siapa lagi kalau bukan Setan Ngompol. Dia pergi duduk di 

pinggir kali, di atas sebuah batu besar. Wajahnya tampak 

murung. Sesekali lengan kirinya yang basah diusapkan ke 

kepala, padahal basahan itu adalah air kencingnya sendiri. 

Tiga hari lalu dengan susah payah bersama Ki Tambak–

pati dia berhasil membawa Pendekar 212 Wiro Sableng 

dari sebuah bukit ke gubuk itu. Ki Tambakpati yang dikenal 

dengan julukan Si Tangan Penyembuh berusaha mengobati 

murid Sinto Gendeng, namun sampai hari itu dia masih 

belum berhasil. Wiro masih tergeletak tak sadarkan diri di 

atas ranjang bambu. 

Tanpa diketahui Setan Ngompol, di atas cabang sebuah 

pohon besar berdaun rindang di seberang kali, berdiri 

sosok samar seorang gadis cantik berwajah pucat, menge–

nakan kebaya putih panjang, rambut hitam tergerai di 

punggung. Sepasang matanya yang bening tapi dingin 

memperhatikan kakek yang duduk di tepi sungai. Dia kenal 

kakek itu dan cukup bersahabat. Namun dia tak ingin 

menemuinya saat itu. Pandangannya kemudian dialihkan 

ke arah gubuk. 

Tak lama kemudian dari dalam gubuk keluar pula 

seorang kakek berjubah hijau. Terbungkuk-bungkuk dia 

melangkah ke tepi kali, lalu duduk di atas batu besar disamping Setan Ngompol. 

Setan Ngompol tekap dulu bagian bawah perutnya baru 

membuka mulut bertanya, “Sahabatku Ki Tambakpati, 

bagaimana menurut penglihatanmu sakitnya murid Sinto 

Gendeng itu?” 

Setelah terdiam sejurus dan lebih dulu menarik nafas 

dalam, Ki Tambakpati menjawab. 

“Sampai saat ini aku masih menyesali perbuatan orang-

orang kerajaan yang menghancurkan rumah dan peralatan 

pengobatanku. Aku tidak dapat menyelidiki apalagi 

memberikan kesembuhan tuntas pada pendekar itu. 

Sakitnya luar biasa aneh. Mungkin aku hanya mampu 

membuatnya siuman. Itu pun menunggu sampai dua hari 

lagi. Kau telah meraba sendiri. Tubuhnya diselimuti hawa 

dingin aneh yang berpusat pada syaraf di bagian bawah 

pusar. Kita berdua telah sama-sama mengerahkan tenaga 

dalam dan mengalirkan hawa panas. Namun hawa dingin 

yang bersarang di tubuh pemuda itu tak bisa dilenyapkan. 

Sudah dua kali aku memeriksa darahnya dengan menusuk 

jari tangannya. Ternyata darahnya masih berwarna hitam. 

Ada racun jahat mendekam dalam tubuh dan aliran darah 

pemuda itu. Sulit dimusnahkan.” 

“Apakah pemuda itu benar-benar tidak dapat 

disembuhkan? Dengan cara apapun?” tanya Setan 

Ngompol. 

“Aku tidak dapat memastikan. Kalaupun dia bisa 

disembuhkan, ada satu hal yang akan tetap membawa 

kesengsaraan bagi dirinya seumur-umur...” 

“Aku tahu. Kau sudah mengatakan. Dia akan menjadi 

lelaki tidak sempurna. Dia kehilangan kejantanannya. 

Sama saja dia mati dalam hidupnya.” 

“Kita hanya tinggal satu harapan. Kalau dia siuman 

mungkin bisa memberitahu apa yang terjadi dengan 

dirinya. Mungkin dari situ kita bisa mencari jalan untuk 

menyembuhkan.” 

“Aku punya dugaan...” kata Setan Ngompol sambil 

pegangi bagian bawah perut yang siap mengucur “Siapun orang yang berlaku jahat terhadap pendekar itu, dia 

memang sengaja tidak membunuhnya. Tapi membuatnya 

menderita seumur hidup.” 

Seerrr! Habis keluarkan ucapan akhirnya Setan 

Ngompol pancarkan juga air kencingnya. 

“Aku tidak mau bicara jelek tentang sahabat muda kita 

itu.” kata Ki Tambakpati pula. “Selama ini aku dengar 

banyak gadis cantik rimba persilatan yang menaruh hati 

padanya. Dari sekian banyak gadis itu mungkin ada yang 

dicintai oleh pemuda lain. Namun bertepuk sebelah tangan 

karena sang gadis sudah terpikat pada Wiro. Nah, mungkin 

orang ini yang berbuat jahat terhadap pendekar itu.” 

“Jika memang begitu kejadiannya, suatu saat pasti 

akan ketahuan siapa orangnya,” kata Setan Ngompol pula. 

Ki Tambakpati keluarkan suling perak yang ditemuinya 

di puncak bukit dekat bangunan candi dekat sosok tubuh 

Pendekar 212 yang tergeletak pingsan. 

“Suling ini kutemui di halaman candi. Mungkin milik 

orang jahat yang mencelakai Wiro. Melalui benda ini kita 

bisa menyelidik. Lalu jika kita bisa mendapatkan Kitab 

Seribu Pengobatan mungkin di sana ada petunjuk untuk 

penyembuhan penyakit yang diderita pemuda itu...” 

berkata Ki Tambakpati. 

Setan Ngompol perhatikan suling perak di tangan Ki 

Tambakpati. Dia tidak pernah melihat benda ini sebe–

lumnya, tak bisa menduga siapa pemiliknya. “Setahuku 

kitab itu ada pada Wiro. Tapi waktu kita memeriksa dirinya 

kita tidak menemukan kitab itu. Mungkin telah diserahkan 

pada gurunya atau disimpan di satu tempat.” 

“Aku tak habis kasihan pada murid Sinto Gendeng itu...” 

kata Ki Tambakpati pula. “Dia belum pernah menikah. 

Belum pernah kawin. Sekarang malah kejatuhan penyakit 

yang menjadikan dia seorang lelaki tidak sempurna. Walau 

banyak yang menyukai dan mencintainya tapi sekarang 

gadis mana yang akan bersedia mengambilnya jadi 

suami?” 

Tiba-tiba sebuah perahu meluncur terombang-ambing dipermukaan air Kali Progo. Setan Ngompol memperhatikan 

lalu berkata. 

“Ada perahu tanpa penumpang. Datang dari hulu kali. 

Tidakkah kau merasa aneh?” 

“Mungkin saja perahu itu tadinya tertambat di satu 

tempat. Tambatannya putus lalu dihanyutkan air sampai ke 

sini...” menduga Ki Tambakpati. 

“Sobatku, aku tidak sependapat denganmu. Kau tunggu 

di sini. Aku mau menyelidik.” Habis berkata begitu sambil 

satu tangan masih memegangi bagian bawah celananya 

yang lepek Setan Ngompol melompat ke atas perahu yang 

mengapung di kali. Karena ilmu meringankan tubuh yang 

dimilikinya sudah mencapai tingkat tinggi maka ketika dua 

kakinya menjejak lantai perahu, perahu itu tidak bergoyang 

sedikitpun. Si kakek perhatikan keadaan perahu dengan 

matanya yang belok. Lalu dia membungkuk, mengendus 

dalam-dalam. Mula-mula dia mencium bau air pesingnya 

sendiri. Kemudian dia mencium bau harum. Setan Ngom–

pol luruskan tubuh, memandang sepanjang kali, memper–

hatikan kiri kanan tepian Kali Progo, namun dia tidak 

melihat siapapun, termasuk sosok samar gadis bermuka 

pucat yang berdiri di cabang pohon. Kakek ini segera 

melesat ke tepi kali, membiarkan perahu meluncur dibawa 

arus ke hilir. 

“Kau menemukan sesuatu?” tanya Ki Tambakpati. 

Setan Ngompol mengangguk sambil buru-buru tekap 

bagian bawah perutnya yang kembali hendak berulah. 

“Ada seseorang di atas perahu itu sebelumnya. Seorang 

perempuan.” Menjelaskan Setan Ngompol. 

“Bagaimana kau bisa tahu ada orang dan perempuan 

pula!” berkata Ki Tambakpati. 

“Aku mencium bau harum bekas tubuh dan pakaiannya 

di dalam perahu.” Jawab Setan Ngompol. “Aku kenal betul 

bau harum yang satu itu. Kira-kira bisa menduga siapa 

orangnya. Tapi aku tidak mau memberi tahu dulu...” 

“Aneh, jika ada orang di atas perahu mengapa dia 

kemudian meninggalkan perahu begitu saja? Pergi kemana? Apa keperluannya melewati daerah ini? Seorang 

perempuan pula!” 

“Ki Tambak,” ucap Setan Ngompol setengah berbisik. 

“Sebenarnya sejak tadi aku merasa kehadiran seseorang di 

sekitar tempat ini. Namun aku tidak bisa melihat tubuh 

kasarnya...” 

“Di tikungan kali ini banyak demitnya” kata Ki 

Tambakpati. 

Setan Ngompol terlompat dari duduknya. Dua tangan 

buru-buru menekap bagian bawah perut. “Kau jangan 

menakuti. Aku bisa ngocor terus-terusan!” 

Karena terlalu asyik bicara, dua kakek ini tidak 

memperhatikan bagaimana satu bayangan biru melesat di 

belakang mereka, masuk ke dalam gubuk melalui jendela 

yang terbuka. 

“Aku mencium bau harum santar sekali!” kata Setan 

Ngompol tiba-tiba. 

Ki Tambakpati mendongak dan menghirup udara 

dalam-dalam, “Eh, aku juga mencium bau wangi itu. Tapi 

aneh, mengapa wanginya bau kembang kenanga? Kem–

bang mayat? Jangan-jangan asin mulutku. Tadi aku cuma 

bergurau. Tapi mungkin benaran ada demit di tempat ini!” 

Serrr! 

Setan Ngompol memaki panjang pendek dan lagi-lagi 

pancarkan air kencing. 

Dua sahabat ini kemudian terus saja bercakap-cakap 

membicarakan keadaan Pendekar 212 Wiro Sableng. 

“Aku ingat pada Liris Biru. Gadis itu begitu nekad 

mencari ke Kuto Gede pemuda berpakaian hitam yang 

katanya membunuh Liris Merah. Aku khawatir dia akan 

mengalami celaka seperti kakaknya. Digagahi lalu dibunuh 

seorang pemuda tak dikenal.” 

“Pangeran Matahari sudah mati. Sekarang muncul lagi 

penjahat terkutuk tukang perkosa. Apakah kejahatan tidak 

pernah berhenti di muka bumi ini?” ucap Ki Tambakpati 

sambil menghela nafas panjang. 

Sementara itu di bagian lain tepi Kali Progo, tiga orang penunggang kuda berhenti di balik sederetan pohon besar 

yang tumbuh rapat. Ketiganya adalah gadis-gadis cantik 

dan mereka menunggangi kuda sama-sama berwarna 

putih. Gadis paling depan mengenakan pakaian ringkas 

warna kelabu dihias manik-manik putih dan merah. Ram–

but hitam digulung di atas kepala. Sepasang bola mata 

berwarna biru. Gadis berwajah jelita ini memutar kudanya 

sedikit, berpaling pada dua gadis di belakangnya yang juga 

berparas cantik lalu berkata, “Kurasa kita sudah sampai di 

tempat tujuan. Orang yang aku cari berada di sekitar sini. 

Kalian berdua cukup mengantarku sampai di sini. Kemba–

lilah ke laut selatan.” 

“Ratu Duyung,” salah seorang dari dua gadis menjawab 

sambil sedikit bungkukkan dada. “Sebenarnya kami masih 

ingin berlama-lama mendampingimu. Bertahun-tahun hi–

dup di dasar samudera, sekali-sekali berada di alam terbu–

ka seperti ini kami sungguh merasa bahagia. Karena itu 

kami memohon izin agar terus bisa bersamamu.” 

Si jelita berbola mata biru yang rupanya adalah Ratu 

Duyung tersenyum, “Masih banyak kesempatan di lain 

waktu. Sekarang ini aku tengah menghadapi beberapa 

urusan besar. Tapi jika kalian memang ingin mencari 

kesenangan, kalian boleh menunda kepulangan sampai 

dua hari. Aku tidak memerlukan tunggangan lagi. Bawa 

kuda ini bersama kalian.” Ratu Duyung usap tengkuk kuda 

tunggangannya lalu melompat turun. 

“Terima kasih Ratu... Terima kasih,” kata dua gadis 

penuh gembira. “Kami mohon pamit sekarang juga.” 

Ratu Duyung mengangguk. Dua gadis yang bertindak 

sebagai pengiring Ratu Duyung tundukkan kepala lalu 

tinggalkan tempat itu. Anehnya walau kuda mereka dipacu 

kencang namun kaki-kaki binatang itu tidak mengeluarkan 

suara berderap. Tiga ekor kuda berlari laksana melayang di 

atas tanah! Itu sebabnya ketika ketiganya datang tadi, baik 

Ki Tambakpati maupun Setan Ngompol tidak mendengar 

suara derap kaki binatang-binatang itu. 

Setelah dua pengiring pergi, Ratu Duyung gerakkan tangan kanan ke balik baju kelabu. Biasanya gadis cantik 

bermata biru ini selalu mengenakan pakaian hitam men–

colok ketat dengan potongan dada rendah serta belahan 

tinggi pada pinggul kiri kanan. Namun sejak ditegur oleh 

Kiai Gede Tapa Pamungkas beberapa waktu lalu maka dia 

merubah penampilan dan cara berpakaiannya (Baca serial 

Wiro Sableng berjudul ‘Misteri Pedang Naga Merah’). Kalau 

tidak mengenakan jubah dalam maka dia berpakaian 

ringkas seperti yang dikenakannya saat itu. Seperangkat 

perhiasan terbuat dari kerang hijau menghias telinga, leher 

dan lengan. 

“Kurasa sebelum mendatangi gubuk di tikungan kali itu 

sebaiknya sekali lagi aku memantau keadaan lebih dulu...” 

Entah mengapa tergerak saja hati Ratu Duyung untuk 

bersikap hati-hati. Dari balik baju kelabu dia keluarkan 

sebuah benda yang ternyata adalah cermin bulat berga–

gang biru. Selain merupakan senjata sakti cermin ini juga 

mampu dipakai untuk melihat atau memantau keadaan 

sampai jarak cukup jauh. 

Memperhatikan ke dalam cermin, Ratu Duyung melihat 

dua orang kakek tengah duduk di sebuah batu besar di 

tepi kali, asyik bercakap-cakap. Dia segera mengenali salah 

seorang dari dua kakek itu adalah Setan Ngompol. Cermin 

digerakkan, diarahkan ke atas kali. Di kejauhan masih 

sempat terlihat sebuah perahu kosong meluncur ke arah 

hilir. Mendadak kening sang ratu mengerenyit Pinggiran 

cermin bulat sebelah kanan atas memunculkan sepasang 

kaki samara tegak di atas cabang pohon di tepi kali. Ratu 

Duyung geser cermin saktinya hingga kini dia dapat melihat 

keseluruhan sosok samar seorang perempuan yang tengah 

berdiri di atas cabang pohon itu. Cermin sakti digoyang, 

diusap, namun tetap saja sosok di atas pohon tidak bisa 

terlihat jelas, tetap berujud bayangan samar. 

“Makhluk dari alam lain. Siapa...?” ucap Ratu Duyung 

dalam hati. Dia coba menerka, “Makhluk itu mungkin 

Bunga gadis dari alam roh yang telah bersahabat sejak 

lama dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun mungkin juga gadis dari negeri 1200 tahun silam yang dikenalnya 

dengan nama Purnama. Gadis ini terakhir sekali ditemui–

nya sewaktu dia bersama Wiro menyerbu Gedung Kadi–

paten Losari (Baca serial Wiro Sableng berjudul ‘Sang 

Pembunuh’). Hati sang ratu mendadak merasa tidak enak 

kalau tidak mau dikatakan cemburu. Ini karena dia tahu 

kalau Purnama telah jatuh hati dan diam-diam mencintai 

Pendekar 212. Cinta gadis alam roh 1200 tahun silam ini 

terhadap Wiro jauh lebih dahsyat dari cinta Bunga yang 

juga makhluk dari alam roh. 

“Aku harus mampu mengetahui siapa yang hadir di sini. 

Bunga atau Purnama. Jika Purnama lebih baik aku pergi 

saja dari sini. Tapi bagaimana dengan Wiro yang sedang 

sakit...?” ucap Ratu Duyung dalam hati. Gadis cantik ber–

mata biru ini selain khawatir juga tampak bingung. 

Ratu Duyung geser lagi cermin saktinya. Dia dapat 

melihat gubuk di tikungan kali itu. Cermin digoyang. Kini 

Ratu Duyung dapat melihat bagian dalam gubuk. Sepasang 

bola mata biru gadis cantik ini membesar. 

“Aku keduluan. Bagaimana dia bisa berada di sini lebih 

dulu dariku?” Suara Ratu Duyung perlahan agak lirih. “Apa 

yang harus aku lakukan? Menerobos masuk ke dalam 

gubuk? Atau menunggu sampai dia pergi. Tapi mungkin dia 

akan menunggui Wiro sampai berhari-hari.”


EMPAT


SEMENTARA Ratu Duyung memperhatikan keadaan 

dalam gubuk melalui cermin saktinya, di dalam gubuk 

Bidadari Angin Timur tegak di tepi ranjang, tubuh 

sedikit tertunduk, dua tangan mendekap dada dan 

sepasang mata memperhatikan Wiro tak berkesip. 

Perlahan-lahan sepasang mata gadis cantik berambut 

pirang ini mulai berkaca-kaca. Sesaat kemudian air mata 

mengucur membasahi pipinya. Jauh di lubuk hatinya dia 

berucap, “Gusti Allah mengapa dia selalu mengalami nasib 

sengsara seperti ini. Apakah benar ucapan yang kudengar 

tadi. Bahwa dia...” 

Satu tangan memegang bahu Bidadari Angin Timur 

membuat si gadis tersentak kaget. Dia berpaling. 

“Kakek Setan Ngompol,” ucap Bidadari Angin Timur 

begitu tahu siapa yang memegang bahunya. 

Di belakang si kakek berdiri Ki Tambakpati. 

“Aku sudah mengira kau akan muncul di tempat ini. Aku 

mencium harum bau tubuh dan pakaianmu di perahu. Kau 

datang langsung masuk ke dalam. Padahal kami berdua 

ada di luar.” Berkata Setan Ngompol. 

“Harap maafkan aku, Kek. Pikiranku sangat kacau. Aku 

menyirap kabar ditangkapnya Wiro. Lalu ada yang mem–

bebaskannya keluar dari penjara kerajaan. Aku mengikuti 

apa yang terjadi dan berusaha secepat mungkin menuju 

Kotaraja. Kemudian aku ketahui kakek berdua membawa 

Wiro ke tempat ini” Bidadari Angin Timur mulai terisak. 

“Kek, apakah aku tidak keliru mendengar apa yang tadi 

kalian bicarakan di luar?” 

“Memangnya kami bicara apa?” tanya Ki Tambakpati. 

“Ketika berada di tepi kali, aku sempat mendengar pembicaraan kakek berdua. Apa betul Wiro telah menjadi 

seorang lelaki yang tidak sempurna? Apa benar dia telah 

kehilangan kejantanannya? Apakah dia memang tidak bisa 

disembuhkan untuk selama-lamanya?” 

Setan Ngompol pegangi bagian bawah perutnya. Ki 

Tambakpati tak bisa menjawab. Tangis Bidadari Angin 

Timur pecah. 

“Sahabatku, mari kita keluar. Kita bicara di luar...” 

Setan Ngompol membujuk. 

Bidadari Angin Timur gigit bibirnya sendiri. Gelengkan 

kepala dan berkata. “Rasanya tidak ada yang perlu dibica–

rakan, Kek. Aku sudah sempat mendengar semuanya...” 

Gadis berambut pirang itu membungkuk, mengusap kening 

Pendekar 212 yang terasa sangat dingin. 

“Kami berdua akan terus berusaha memusnahkan 

penyakitnya.” Berucap Ki Tambakpati. 

Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Dia letakkan 

kepalanya di dada Pendekar 212 lalu menangis keras. 

“Hentikan tangismu, sebaiknya kau membantu dengan 

memanjatkan doa pada Gusti Allah agar Wiro bisa 

disembuhkan...” 

“Akan aku lakukan, Kek. Akan aku lakukan...” jawab 

Bidadari Angin Timur. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia 

melangkah ke pintu. 

“Bidadari Angin Timur, tunggu dulu!” Setan Ngompol 

memanggil. 

Namun gadis cantik itu telah lenyap dari pemandangan. 

Dikejar keluar sosoknya tak kelihatan lagi. Ki Tambakpati 

menghela nafas dalam. Setan Ngompol yang berada di luar 

gubuk sandarkan punggung ke dinding. Selagi dia berusa–

ha menahan kencing yang hendak mengucur tiba-tiba dari 

atas pohon besar di seberang kali melayang turun satu 

sosok putih disertai menebarnya bau harum bunga kena–

nga, membuat si kakek tersirap kaget dan semburkan air 

kencing. 

“Bau kembang kenanga. Kembang mayat! Jangan-

jangan tempat ini memang benar-benar ada demitnya.”Membatin Setan Ngompol dan tekap kuat-kuat bagian 

bawah perutnya. 

Di saat yang hampir bersamaan dari balik semak belu–

kar di tebing kali melesat pula satu sosok kelabu. Kedua 

sosok ini saling bertemu di halaman gubuk, beberapa 

langkah di hadapan Setan Ngompol. 

“Ratu Duyung!” seru Setan Ngompol ke arah orang yang 

datang dari balik semak belukar. Aku hampir tak menge–

nalimu. Caramu berpakaian jauh berbeda dari yang sudah-

sudah.” Memandang ke kiri kakek ini agak ragu sebentar. 

Lalu berkata. “Gadis berkebaya putih, bukankah kau Bunga 

sahabat Pendekar 212 Wiro Sableng?” 

Baik Ratu Duyung dari laut selatan maupun Bunga 

gadis dari alam roh tidak menyahuti sapaan si kakek. Dua 

gadis ini saling pandang. Bunga tersenyum. Ratu Duyung 

membalas dengan membungkukkan badan memberi 

penghormatan. 

“Ah, aku gembira kalian berdua datang ke tempat ini. 

Apakah kalian telah mengetahui apa yang terjadi dengan 

Wiro?” Berkata Setan Ngompol. 

Bunga mengangguk. Wajahnya yang pucat tampak 

sedih. 

Ratu Duyung bertanya. “Apakah kami berdua boleh 

menjenguknya ke dalam?” 

“Masuklah... Silahkan masuk.” kata Setan Ngompol 

pula. Lalu dia berseru pada Ki Tambakpati memberitahu 

kedatangan dua gadis cantik itu. 

Kalau tak ada orang lain di dalam gubuk itu baik Bunga 

maupun Ratu Duyung pasti telah menjatuhkan diri di 

samping ranjang dan memeluk Pendekar 212. 

Bunga perhatikan sosok Pendekar 212 mulai dari 

rambut sampai ke kaki. Gadis ini memperhatikan bukan 

dengan mata nyalang tetapi justru dengan mata terpejam. 

Dalam keadaan mata yang terpejam Bunga melihat 

Pendekar 212 seperti onggokan tulang belulang, nyaris 

menyerupai jerangkong. Darah hitam mengalir melewati 

tulang belulang putih dari ujung kaki sampai ke kepala lalu lenyap. Sesaat kemudian kelihatan lagi darah hitam 

mengalir, juga mulai dari kaki naik ke atas dan lenyap. 

Begitu terus menerus. Perlahan-lahan gadis dari alam roh 

ini angkat dua tangannya, telapak dikembangkan dan 

diarahkan ke kepala serta tubuh Wiro. 

Wuttt! 

Ada satu gelombang kekuatan memukul ke atas, 

membuat dua tangan Bunga bergetar. Dia coba bertahan 

namun akhirnya dua tangan itu terpental. Bunga picingkan 

mata kencang-kencang. Dua kaki bersurut setengah 

langkah. Sepuluh jari tangan digenggam. Ketika gengga–

man dilepas tahu-tahu di tangan itu terlihat masing-masing 

empat dan tiga kuntum kembang kenanga. 

Masih dengan mata terpicing Bunga pergunakan tujuh 

kembang kenanga untuk menotok tubuh Wiro, dua di 

kepala, tiga di tubuh dan dua lagi di bagian kaki. Saat itu 

juga terdengar tujuh kali letupan kecil. Bagian tubuh dan 

kepala yang tadi ditotok kepulkan asap berwarna merah, 

biru dan hijau. Satu dorongan yang kuat menerpa ke arah 

Bunga membuat tubuh gadis ini bergetar hebat. 

Ratu Duyung yang sejak tadi diam memperhatikan kini 

tidak mau tinggal diam. Dia kerahkan tenaga dalam dan 

hawa sakti pada dua tangannya lalu dengan cepat ditem–

pelkan ke punggung Bunga. Dorongan kuat yang menye–

rang Bunga terpental, membuat jebol dinding gubuk di sisi 

kiri ranjang di mana Wiro terbaring. Asap merah, biru dan 

hijau sirna. Dalam mata yang masih terpicing Bunga meli–

hat sebuah benda kecil putih kekuningan berputar-putar di 

dalam gubuk lalu melesat menembus atap. 

“Bunga tanjung. Aneh...” Bunga berkata perlahan lalu 

buka kedua matanya. Dia mengucapkan terima kasih pada 

Ratu Duyung yang telah memberi tambahan kekuatan 

untuk bertahan bahkan memusnahkan kekuatan gaib yang 

menyerangnya. 

“Apa yang terjadi?” tanya Ratu Duyung setengah 

berbisik. 

“Ada kekuatan aneh menguasai diri Wiro. Kekuatan itu berusaha menggagalkan niatku menolongnya. Untung ber–

kat pertolonganmu untuk sementara kita berhasil mengusir 

kekuatan gaib itu. Wiro juga mengalami kelainan di dalam 

tubuhnya. Darahnya mengalir terbalik. Itu yang menyebab–

kan sekujur tubuhnya dingin. Aku coba menghentikan 

keanehan ini dengan menotokkan tujuh bunga kenanga. 

Tapi aliran darahnya tetap terbalik. Totokan hanya meno–

long membuat dia sadar satu hari lebih cepat.” Bunga 

berhenti bicara. Lalu dia bertanya pada Ratu Duyung. 

“Sahabatku, apakah kau tidak merasakan sesuatu pada 

tubuhmu?” 

“Apa...? Astaga!” Ratu Duyung baru sadar kalau cermin 

sakti yang ada di balik pakaiannya bergetar dan menge–

luarkan hawa panas. 

“Cermin saktimu! Lihat cermin saktimu!” 

Ratu Duyung segera keluarkan cermin bulat dari balik 

bajunya. Ketika memperhatikan ke dalam cermin, dia 

melihat sosok seorang lelaki berselempang kain putih, 

berjanggut dan berambut putih. Orang ini sama sekali tidak 

memiliki wajah. Licin polos! 

“Manusia tanpa wajah!” ucap Ratu Duyung. 

Bunga menarik tangan Ratu Duyung, coba melihat ke 

dalam cermin lalu gadis alam roh ini berteriak, “Dia ada di 

atas atap!” 

Sambil melesat ke atas Bunga lepaskan pukulan Roh 

Membelah Langit. Selarik angin dahsyat disertai sambaran 

sinar putih berkiblat. Atap gubuk hancur berantakan. Di 

luar sana terdengar suara dentuman keras. Lalu ada kila–

tan tiga cahaya terang sekali. Merah, biru dan hijau. Bunga 

melesat keluar gubuk lewat atap yang hancur. Ratu Duyung 

menyusul. Di atas atap kedua gadis ini memandang berke–

liling, lalu melayang turun ke tanah. Sosok makhluk tanpa 

wajah yang tadi jelas terlihat di cermin tidak mereka temui. 

Ratu Duyung melihat sebuah benda kecil putih keku–

ningan di tanah. Dia mendekati dan membungkuk hendak 

mengambil. Namun tarik tangannya ketika terdengar 

Bunga berteriak.“Jangan sentuh!” 

Ratu Duyung merasa tangannya yang tadi dijulurkan 

seperti disengat hawa panas. 

“Itu bunga tanjung yang aku lihat waktu memejamkan 

mata” Berkata Bunga. Lalu gadis alam roh ini jentikkan jari 

telunjuknya ke arah bunga tanjung di tanah. Kejap itu juga 

bunga tanjung hancur dengan memancarkan cahaya 

merah, biru dan hijau. 

“Sahabatku Ratu Duyung,” berkata Bunga. “Tidakkah 

kau melihat keanehan?” 

Ratu Duyung mengangguk. 

“Bunga tanjung biasa tidak akan memancarkan tiga 

cahaya berwarna seperti itu. Benar katamu. Ada satu 

kekuatan yang berusaha menghalangi maksud kita meno–

long Pendekar 212.” 

“Sahabat, aku ingin berada lebih lama di tempat ini. 

Ingin sekali melanjutkan menolong Wiro. Tapi waktuku di 

dunia luar sangat terbatas. Aku harus segera pergi. Aku 

titip Wiro padamu. Jaga dia baik-baik. Selidiki asal muasal 

sakit aneh yang dideritanya. Aku tahu kau akan mampu 

menolongnya. Beritahu kakek pemilik gubuk kalau aku 

minta maaf telah merusak tempat kediamannya...” 

“Tak usah khawatir. Tidak jauh dari sini ada satu 

bangunan kosong. Dekat aliran Kali Progo juga. Aku akan 

meminta mereka pindah dan membawa Wiro ke sana.” 

Bunga memberikan sekuntum kembang kenanga 

kuning pada Ratu Duyung. “Simpanlah. Jika sewaktu-waktu 

kau membutuhkan diriku cium kembang ini dan sebut 

namaku. Aku akan muncul” 

Habis menyerahkan kembang kenanga dan keluarkan 

ucapan Bunga berkelebat. Gadis alam roh ini lenyap dari 

hadapan Ratu Duyung. 

Saat itu Ki Tambakpati dan Setan Ngompol sudah 

berada di luar gubuk. 

“Apa yang terjadi? Mana Bunga?” tanya Setan Ngompol. 

“Dia sudah pergi. Kek, ada sebuah bangunan kosong 

tak jauh dari sini. Kurasa lebih baik kita memindahkan Wiro ke sana. Namun sebelumnya aku ingin bertanya 

bagaimana kejadiannya sampai Wiro mengidap penyakit 

aneh itu...” 

“Aku yang pertama kali menemukannya tergeletak di 

halaman candi di atas sebuah bukit. Aku mendapat 

petunjuk dalam mimpi. Aku bicara dengan Sinto Gendeng, 

guru Wiro...” Lalu Ki Tambakpati menuturkan bagaimana 

dan di mana dia menemui Pendekar 212 di bawah hujan 

lebat beberapa hari lalu. 

Setelah mendengar penuturan Ki Tambakpati, Ratu 

Duyung bertanya. “Kek, menurut ceritamu kau menemukan 

sebuah suling perak tak jauh dari tempat Wiro tergeletak di 

halaman candi. Boleh aku melihat suling itu?” 

Ki Tambakpati masuk ke dalam gubuk. Waktu keluar 

dia membawa sebuah suling perak yang berkilat-kilat ter–

kena sinar matahari. Suling diberikan pada Ratu Duyung. 

Gadis bermata biru ini memperhatikan dengan seksama 

sambil berpikir-pikir. Kemudian dia berkata. 

“Kalau aku tidak salah menduga, suling ini pernah 

menjadi milik paderi perempuan dari negeri Cina. Paderi itu 

bernama Loan Nio. Sebelum kembali ke negerinya dia 

menyerahkan suling pada seorang nenek rambut kelabu, 

makhluk jejadian kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar 

Tilu...” 

“Bagaimana kau bisa tahu hal itu, Ratu Duyung?” tanya 

Setan Ngompol. 

“Aku menyaksikan sendiri kejadian itu” jawab Ratu 

Duyung seraya mengembalikan suling perak pada Ki Tam–

bakpati. “Kalau suling itu ditemukan dekat Wiro tergeletak 

pingsan mungkin sekali makhluk jejadian itu juga ada di 

sana. Lalu ke mana perginya nenek itu?” 

“Kau mencurigai dia yang mencelakai Wiro?” tanya 

Setan Ngompol. 

Ratu Duyung menggeleng. “Dia berhutang budi pada 

Wiro. Makhluk jejadian tidak seperti manusia. Dia tak 

mungkin akan membalas budi orang dengan kejahatan. 

Tapi siapa tahu, keadaan bisa saja membuat makhluk itu berubah. Kita harus mencari nenek itu untuk ditanyai. Tapi 

menolong Wiro adalah hal paling pertama harus kita 

lakukan. Sahabat kita Bunga menerangkan apa yang 

dialami Wiro. Tadi waktu berada di sini, aku sempat men–

dengar pembicaraan kakek berdua...” 

“Syukur kalau kau sudah tahu nasib buruk yang diderita 

pemuda itu. Kita hanya memohon pada Gusti Allah dan 

berusaha menyelamatkannya dari penyakit yang menyeng–

sarakan seumur hidup itu. Tadi kami membicarakan Kitab 

Seribu Pengobatan. Mungkin ada petunjuk penyembuhan 

dalam kitab itu.” 

“Setahuku kitab itu pernah hilang kemudian ditemukan 

kembali. Terakhir dicuri oleh paderi dari Cina itu. Namun 

dia sudah mengembalikan pada Wiro.” Menjelaskan Ratu 

Duyung. 

“Justru kami tidak menemukan kitab itu padanya” Kata 

Ki Tambakpati pula. “Aku berharap kitab itu tidak lenyap 

lagi untuk ke sekian kalinya.” 

“Sementara hari masih pagi, matahari belum bersinar 

terik, sebaiknya kita membawa Wiro ke bangunan kosong 

itu.” Berkata Ratu Duyung. 

Ketika orang-orang itu sampai di bangunan yang dika–

takan Ratu Duyung ternyata bangunan itu sebuah rumah 

panggung berkolong rendah. Seharusnya keadaan bangu–

nan serba kotor, paling tidak penuh debu dan sarang laba-

laba karena sekian lama tidak pernah ditinggali. Namun 

anehnya ketika mereka sampai di depan tangga mereka 

dapatkan keadaan bangunan sangat bersih. Lantai kayu 

licin berkilat, begitu juga dinding dan langit-langit. Di dalam 

sebuah kamar terdapat satu ranjang bambu rendah ber–

alaskan tikar yang walaupun sudah robek-robek tapi 

bersih. Di salah satu sudut kamar terdapat sebuah gentong 

lumayan besar. Ketika diperiksa ternyata berisi air jernih 

dan sejuk. Di dinding dekat gentong air ini tergantung 

sebuah gayung terbuat dari batok kelapa. Ki Tambakpati 

dan Setan Ngompol dengan bantuan Ratu Duyung mem–

baringkan Pendekar 212 di atas ranjang bambu.Sambil memandang berkeliling, lalu berdiri membela–

kangi jendela yang terbuka Ratu Duyung berkata, “Aneh, 

siapa yang membersihkan bangunan ini? Siapa yang 

mengisi tempayan dengan air bersih?” 

Tiba-tiba ada suara perempuan menyahuti ucapan Ratu 

Duyung. 

“Para sahabat bertiga, saat ini hanya itu bantuan yang 

bisa aku berikan.” 

Tiga orang yang ada di dalam rumah sama-sama 

terkejut karena tidak menyangka ada orang lain di rumah 

panggung itu. Namun ketika melihat siapa yang muncul 

Setan Ngompol unjukkan air muka gembira. 

Ki Tambakpati karena tidak mengenal hanya tegak 

memperhatikan sambil dalam hati bertanya-tanya. Semen–

tara Ratu Duyung yang memang mengenal siapa adanya 

orang dan tidak menyangka kehadirannya di tempat itu 

berusaha menyembunyikan perasaan terkejutnya.


LIMA


SETAN Ngompol datang menghampiri seraya berkata. 

“Sahabatku gadis dari negeri seribu duaratus tahun 

silam, aku gembira melihatmu. Bagaimana kau bisa 

berada di sini. Kaukah yang membersihkan bangunan ini?” 

Gadis yang disapa si kakek ternyata adalah Luhmintari, 

gadis dari Latanahsilam yang kini dipanggil Purnama, nama 

pemberian Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Purnama yang mengenakan pakaian biru, rambut hitam 

digulung di atas kepala, menjura memberi penghormatan 

pada tiga orang itu, lalu menjawab pertanyaan Setan 

Ngompol, “Kek, sebelum ke sini aku datang ke rumah di 

pinggir Kali Progo. Ketika mendengar kakek bertiga akan 

mempergunakan bangunan ini, aku buru-buru ke sini 

menyiapkannya. Maaf kalau aku bertindak lancang 

mendahului.” 

“Siapa yang bilang kau lancang! Perbuatanmu sangat 

terpuji dan sangat menolong. Daripada aku yang menyapu 

membersihkan rumah ini, bisa terkencing-kencing. 

Lantainya bukan jadi bersih malah tambah kotor bau 

pesing! Ha... ha... ha!” 

Semua orang tertawa geli mendengar ucapan Setan 

Ngompol itu. 

Purnama berpaling pada Ratu Duyung membungkuk 

memberi penghormatan lalu berkata, “Sahabat, waktu kau 

menyelamatkan diriku di atas atap Gedung Kadipaten dari 

tangan jahat Raja Racun Bumi Langit aku belum sempat 

mengucapkan terima kasih. Saat ini aku...” 

Ratu Duyung tersenyum. “Tak usah memakai peradatan 

segala. Antara sesama sahabat bukankah wajar-wajar saja 

saling menolong?”“Walau begitu aku tetap ingin menyampaikan rasa 

terima kasihku. Aku bukan cuma berhutang budi, tapi juga 

berhutang nyawa padamu.” Kata Purnama pula. 

Sementara dua gadis itu bicara diam-diam Ki Tambak–

pati memperhatikan dan menimbang-nimbang. Mana yang 

lebih cantik di antara mereka. Purnama tinggi semampai 

memiliki wajah anggun sedap dipandang. Sementara Ratu 

Duyung memiliki sepasang mata biru penuh pesona ditam–

bah bentuk tubuh yang indah. Dia juga ingat pada gadis 

cantik berambut pirang Bidadari Angin Timur yang sebe–

lumnya muncul di gubuk di Kali Progo. Dalam hati kakek ini 

berkata. “Aku menyirap kabar tiga gadis itu ditambah gadis 

berwajah pucat bertubuh samar, mereka semua mencintai 

Wiro. Yang mana kelak yang bakal mendapatkan pendekar 

itu? Apakah tidak akan terjadi saling bentrok di antara 

mereka?” 

“Ada hal yang lebih penting,” kata Ratu Duyung 

“Sahabat kita Pendekar 212 tengah menderita sakit parah. 

Kita harus menolongnya...” 

Tiba-tiba Setan Ngompol ingat sesuatu. “Purnama, 

setahuku kau telah meredam seluruh isi Kitab Seribu 

Pengobatan. Mungkin kau bisa melakukan sesuatu? Men–

cari petunjuk untuk menyembuhkan Wiro.” 

“Aku akan mencoba, Kek. Mudah-mudahan Gusti Allah 

menolong kita semua. Namun kalau Kakek bisa menceri–

takan, aku ingin lebih dulu mengetahui bagaimana asal 

mula kejadiannya, apa yang diderita Wiro. Lalu tindakan 

apa saja yang telah dilakukan dalam usaha menyembuh–

kannya.” 

Setan Ngompol meminta Ki Tampakpati memberi 

penjelasan. Kakek ahli pengobatan ini lalu menceritakan 

bagaimana pertama kali dia menemui Wiro termasuk 

kemunculan Damar Sarka dan Surah Sentono. Kakek ini 

juga memberi tahu apa yang dialami Wiro lalu apa yang 

telah dilakukannya walau tidak banyak menolong. Setan 

Ngompol kemudian menambahkan apa yang terjadi 

sewaktu Bunga berusaha mengobati sang pendekar.Diantar ke tiga orang itu Purnama kemudian masuk ke 

dalam kamar di mana Wiro terbaring di atas ranjang 

bambu. 

Purnama memperhatikan sosok Wiro sejenak. Lalu 

mulutnya berucap perlahan, “Ada duabelas bekas totokan 

di tubuh Wiro. Ada orang yang telah berusaha menolongnya 

sebelum gadis bernama Bunga menotok tujuh kali dengan 

kembang kenanga.” 

Gadis dari negeri 1200 tahun silam ini kemudian 

letakkan telapak tangan kirinya di atas kening Pendekar 

212. Terasa sangat dingin. Gadis ini lalu berpaling pada Ki 

Tambakpati. “Kek, turut penjelasanmu serta keterangan 

yang diberikan Bunga agaknya Wiro bukan hanya mende–

rita satu penyakit. Pintu pertama yang harus dilalui untuk 

mengobati semua penyakitnya adalah terlebih dulu mem–

perbaiki jalan darahnya yang terbalik. Sahabat bertiga, aku 

akan mulai. Bantulah dengan doa.” 

Purnama pejamkan mata. Tangan kiri yang menyentuh 

kening Wiro perlahan-lahan dialiri hawa sakti. Ketika hawa 

sakti ini bersentuhan dengan kening Wiro, di luar rumah 

terdengar letusan aneh seperti petir menyambar. Rumah 

panggung bergetar. Purnama seperti disengat api. Gadis 

alam gaib ini lipat gandakan tenaga dalam. Mulut menge–

rang menahan sakit. Tiga cahaya merah, biru dan hijau 

muncul dalam ruangan. 

Ratu Duyung berteriak keras lalu melesat ke luar rumah 

sambil tarik cermin sakti dari balik baju. Di udara dia meli–

hat jelas satu bayangan putih berkelebat ke arah pohon 

besar. Cermin sakti diputar. Selarik sinar putih menderu 

keluar dari dalam cermin. Pohon besar yang dilanda sinar 

putih langsung dikobari api. Namun bayangan putih lenyap 

dari pemandangan. 

“Manusia tanpa wajah! Pasti dia! Aku mengenali 

pakaiannya. Makhluk itu memiliki kesaktian sangat tinggi. 

Dia sepertinya berusaha menghalangi pengobatan atas diri 

Wiro.” 

Ratu Duyung mengawasi keadaan sekeliling, la1u cepat-cepat masuk kembali ke dalam rumah. Masuk ke 

dalam ruangan didapatnya Wiro masih terbaring seperti 

tadi. Purnama masih berdiri di samping ranjang. Tangan 

tetap menempel di kening Wiro namun keadaan gadis dari 

alam 1200 tahun silam ini mengenaskan. Dua mata yang 

terpejam tampak membengkak. Sebagian pakaian birunya 

hangus. Wajah sebelah kiri merah melepuh. Rambut yang 

sebelumnya digulung di atas kepala kini tergerai kusut riap-

riapan. Di sela bibir tampak lelehan darah. 

“Purnama, kau terluka di dalam!” teriak Ratu Duyung 

lalu cepat merangkul gadis itu. 

“Sahabat, tak usah khawatir. Aku masih dapat mengu–

asai diri. Aku tahu siapa yang barusan menyerang. Makhluk 

yang kau lihat dalam cermin. Dia berusaha menghalangi 

apa yang hendak kita takukan. Yang penting serangan gaib 

tadi tidak sampai mencelakai Wiro. Sekarang aku akan 

berusaha menyembuhkan kelainan darah di tubuh Wiro. 

Mudah-mudahan aku menemukan petunjuk dalam Kitab 

Seribu Pengobatan.” 

Ketika Purnama hentikan ucapannya, keadaan di dalam 

ruangan itu sehening di pekuburan. Ki Tambakpati tampak 

pucat. Setan Ngompol bersandar ke dinding sambil pega–

ngi bagian bawah perut. 

Cukup lama kesunyian mencekam, kemudian Purnama 

berucap, “Kitab Seribu Pengobatan... Halaman tujuhpuluh 

dua. Pengobatan ke tigaratus satu. Barang siapa menderita 

kelainan darah yang biasanya disertai gangguan aliran 

darah maka penyembuhannya terdiri dari lima tahap. 

Pertama, memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa 

Maha Penyembuh agar orang yang sakit disembuhkan dari 

penderitaannya. Kedua, si sakit diminumkan tujuh cangkir 

air tumbukan jahe hangat setiap hari selama tiga hari. 

Ketiga, jika aliran darahnya terganggu, si sakit harus diurut 

pembuluh darah utamanya ke arah berlawanan dari aliran 

darah yang ada mulai dari saat matahari terbit sampai 

matahari tenggelam. Untuk mengurut harus dipergunakan 

madu lebah yang dihangatkan. Keempat, si sakit harus diapungkan di atas sungai mulai dari matahari terbit 

sampai siang hari dengan kepala menghadap ke arah 

datangnya arus sungai dari hulu. Kelima, tepat pada saat 

matahari mencapai titik tertinggi, tusuk sepuluh ujung jari 

tangan dan ujung jari kaki dengan benda apa saja yang 

runcing dan tajam. Bila darah yang keluar kembali ke asal 

merah dan segar maka dengan kehendak serta Ridho 

Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh si sakit akan 

terhapus dari deritanya.” 

Ketika Purnama tarik tangannya yang memegang 

kening Wiro, Ki Tambakpati mendekati dan bertanya 

setengah berbisik, “Petunjuk yang kau dapat adalah untuk 

mengobati jalan darahnya yang terbalik. Bagaimana 

dengan penyembuhan itunya. Maksudku kemampuannya 

sebagai laki-laki...” 

Purnama tak segera menjawab. Sewaktu mendengar 

cerita Ki Tambakpati sebelumnya mengenai penyakit yang 

diidap Wiro bahwa pemuda itu akan mengalami kelum–

puhan kejantanan selama-lamanya sebenarnya hatinya 

merasa perih dan sangat terpukul. Dalam hati dia mem–

batin, siapa yang punya dendam terhadap Wiro hingga 

memperlakukannya demikian kejam? Makhluk tanpa 

wajah yang dilihatnya dalam cermin? 

“Kek,” akhirnya Purnama berkata. “Kita baru berusaha 

membuka pintu kesembuhan. Jika kita berhasil mengobati 

kelainan jalan darah Wiro, mudah-mudahan kita bisa 

menyembuhkan penyakitnya yang lain. Jangan lupa, Wiro 

harus sadar lebih dulu. Kalau tidak bagaimana dia bisa 

meneguk air jahe. Jika Wiro siuman kita perlu meminta 

keterangan apa yang terjadi dengan dirinya. Baru nanti kita 

bisa menentukan mau berbuat apa. Aku selalu siap untuk 

mencari petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan. Seka–

rang baiknya kita sama-sama berdoa untuk kesembuhan 

Wiro. Setelah itu masing-masing kita menyiapkan segala 

sesuatu yang akan dipergunakan untuk alat penyem–

buhan.” 

“Aku akan mencari madu lebah,” berkata Setan Ngompol. 

“Aku akan mencari jahe. Nanti biar aku juga yang akan 

mengurut tubuh pendekar itu.” Berucap Ki Tambakpati. 

Purnama dan Ratu Duyung sama-sama tersenyum. 

Purnama lalu memberi tanda agar semua orang siap untuk 

sama-sama memanjatkan doa. Selesai berdoa Ki Tambak–

pati tinggalkan rumah panggung untuk mencari jahe 

sedang Setan Ngompol pergi ke hutan mencari madu 

lebah. 

Setelah dua kakek itu pergi, Ratu Duyung bertanya 

pada Purnama. “Sahabat, kau merasa baik-baik saja?” 

“Tadi aku memang terluka di dalam. Untung aku bisa 

bertahan. Mudah-mudahan sekarang aku tak kurang suatu 

apa. Kau tentu dapat menduga, sakitnya Wiro bukan sakit 

sembarangan. Ada kekuatan dari alam gaib yang berusaha 

mencegah penyembuhan dan membuat keadaan jadi lebih 

buruk.” 

“Manusia tanpa wajah yang kita lihat dalam cermin. 

Siapa dia?” ucap Ratu Duyung. 

“Sulit diketahui siapa adanya makhluk itu. Apa sebe–

narnya kepentingannya. Makhluk itu mengandalkan ilmu 

kesaktian yang memancarkan tiga warna merah, biru dan 

hijau. Itu yang dipakainya waktu menyerangku.” Kata 

Purnama pula. 

“Sahabat, luka dalammu mungkin benar sudah 

sembuh. Tapi apa kau menyadari ada bagian yang terbakar 

pada wajahmu sebelah kiri...” 

“Aku memang merasa sedikit perih. Aku tidak tahu 

seberapa parahnya.” 

Ratu Duyung keluarkan cermin bulat lalu diserahkan 

pada Purnama. Gadis dari negeri 1200 tahun silam ini 

dekatkan mukanya ke cermin. Ketika melihat wajahnya 

dalam cermin, langsung dia terpekik. Kening kiri, pipi 

sampai ke dagu kiri kelihatan merah kehitaman. Sebagian 

kulit wajahnya ada yang mengelupas. 

“Lukamu akan sembuh. Pasti ada obat untuk menyem–

buhkan” Ratu Duyung berusaha membujuk sambil meng–elus punggung Purnama. “Coba kau lihat petunjuk dalam 

Kitab Seribu Pengobatan. Pasti kau akan menemukan obat 

dan cara penyembuhannya.” 

“Akan kucoba...” kata Purnama lalu pejamkan mata. 

Setelah cukup lama merenung, sambil menarik nafas 

dalam gadis ini buka kedua matanya. Perlahan-lahan 

kepala digelengkan. “Aku tidak menemukan obat dan cara 

penyembuhan...” 

“Mustahil. Ada seribu macam pengobatan dalam kitab 

itu” ujar Ratu Duyung. 

“Semua menyangkut penyakit. Bukan untuk kecan–

tikan.” Jawab Purnama dengan suara lirih. 

“Aku tidak yakin. Kalau saja kita bisa mendapatkan 

kitab yang asli, mungkin ada yang tidak terserap dalam 

benakmu...” 

“Aku sudah menguasai seluruh isi kitab itu. Kitab Seribu 

Pengobatan bukan untuk menyembuhkan dan membuat 

kecantikan. Aku akan cacat seumur hidup. Mungkin aku 

harus kembali ke alamku dan tidak pernah muncul lagi di 

muka bumi ini untuk selama-lamanya...” Purnama berucap 

perlahan. Seperlahan ucapannya seperlahan itu pula air 

mata menetes ke wajahnya yang kini cacat. 

“Aku tetap tidak yakin. Kau bukan mencari atau 

membuat kecantikan. Kau mengobati dirimu yang terluka. 

Kalau kau mampu menyembuhkan luka parah yang dialami 

Wiro sewaktu dihantam pukulan Pangeran Muda dari 

Keraton Kaliningrat, kalau kau mampu menyembuhkan 

Wiro dari patukan ular gaib Walang Gambir alias Kobra 

Biru, masakan kau tidak mampu mengobati luka luar 

dirimu sendiri?” 

“Luka yang aku alami bukan luka biasa. Ada kekuatan 

gaib sangat dahsyat yang melakukannya.” 

“Sahabat, aku tahu hatimu sedang tergoncang. Kita 

semua dalam bingung dan susah. Tapi cobalah sekali lagi. 

Aku yakin kau akan mendapat petunjuk dari Kitab Seribu 

Pengobatan yang sudah kau ingat dalam benakmu itu...” 

“Kalau begitu baiklah. Akan kucoba sekali lagi.”Kali ini Purnama pejamkan kedua matanya, pikiran 

benar-benar dipusatkan. Tak lama kemudian mulutnya 

berucap. 

“Kitab Seribu Pengobatan. Halaman...” Ucapan 

Purnama terputus. “Ada yang tidak beres! Aku melihat 

kabut hitam. Pikiranku gelap, pemandanganku terhalang. 

Ada makhluk jahat...” 

Tiba-tiba meledak tawa cekikikan di tempat itu. Disusul 

ucapan nyaring perempuan. 

“Kau tidak akan mampu mengobati lukamu. Kau akan 

cacat seumur hidup! Tidak ada lelaki yang mau padamu. 

Termasuk Pendekar 212! Hik... hik... hik!” 

“Siapa?!” Bentak Ratu Duyung. Dia merasa ada angin 

berkelebat ke arah serambi rumah panggung. Ratu Duyung 

mengejar. Sepasang matanya yang biru memancarkan 

sinar terang. Lalu wuut... wuut! Dua larik sinar biru melesat 

ke udara. Itulah ilmu kesaktian yang disebut Inti Biru Laut 

Selatan. Di udara terdengar satu letupan keras disertai 

kiblatan cahaya ungu terang. Lalu menyusul suara pekikan 

perempuan. 

“Kau berhasil menghajarnya. Mudah-mudahan dia 

kapok menggangguku,” ucap Purnama yang ikut mengejar 

dan kini berdiri di halaman rumah panggung di samping 

Ratu Duyung. 

“Lagi-lagi makhluk gaib. Kau tahu siapa atau makhluk 

apa?” 

“Makhluk perempuan dari negeriku. Aku pernah 

bertarung dan menghajamya. Tapi dia tak pernah jera. 

Kurasa tadi kau telah melukainya. Biar kapok!” 

Dalam hati Ratu Duyung berkata. “Kalau makhluk gaib 

perempuan itu berasal dari alam yang sama dengannya. 

Kalau makhluk itu menyumpahinya tidak ada laki-laki yang 

mau padanya termasuk Wiro, berarti makhluk itu sebenar–

nya ingin memiliki Wiro. Apakah dia yang telah mencelakai 

Wiro?” 

“Ratu, kau tengah memikirkan apa?” bertanya Purnama 

ketika dilihatnya Ratu Duyung tegak terdiam.“Ah...” Ratu Duyung tersenyum. “Sahabat, sebaiknya 

kita masuk kembali ke dalam rumah. Kau coba lagi men–

dapatkan petunjuk dari Kitab Seribu Pengobatan. Kali ini 

kau pasti berhasil.” 

“Tak usah di dalam rumah. Di sini pun bisa kulakukan” 

jawab Purnama. Lalu gadis alam 1200 tahun silam ini 

pejamkan mata. Sesaat kemudian dia berseru. “Ratu! Aku 

berhasil! Aku akan membaca dan mengucapkannya! Kitab 

Seribu Pengobatan, halaman empatpuluh sembilan, 

pengobatan ke duaratus dua. Barang siapa yang terluka 

kulit sampai dagingnya akibat penyakit atau api atau 

benda panas lainnya, yang berasal dari alam nyata maupun 

alam gaib maka penyembuhannya adalah sebagai berikut. 

Pertama, memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa 

Maha Penyembuh agar si sakit disembuhkan dari sakit dan 

penderitaannya. Kedua, siapkan satu kendi susu sapi. 

Campur sedikit dengan tanah merah karena manusia 

berasal dari tanah dan tubuhnya mengandung unsur tanah. 

Ketiga, letakkan kendi berisi susu bercampur tanah di 

tempat ketinggian, jangan ditutup, embunkan di udara ter–

buka mulai saat malam tiba sampai fajar menyingsing. Di 

pagi yang sama menghadaplah ke arah matahari tengge–

lam. Keempat, siramkan air susu dalam kendi ke bagian 

yang cidera sambil melafatkan kata-kata: Manusia berasal 

dari tanah. Tanah pula yang akan menjadi pengobat. 

Manusia memulai hidup dengan air susu. Air susu pula 

yang akan menjadi pengobat. Tuhan Maha Kuasa Maha 

Penyembuh... Jika semua sudah dilakukan mudah-muda–

han Yang Maha Kuasa akan menyembuhkan si sakit.” 

Purnama membuka kedua matanya. Wajahnya yang 

cacat tampak agak berseri. 

“Aku berhasil. Terima kasih kau telah meyakinkan 

diriku...” 

“Kau akan mencari susu sapi?” 

Purnama menggeleng. “Akan kulakukan kalau Wiro 

sudah berhasil kita sembuhkan...” 

“Kalau begitu biar aku yang mencarikan untukmu.”Purnama pegang lengan Ratu Duyung. “Terima kasih 

kau mau berbuat baik. Tapi jangan. Tidak seorang pun dari 

kita yang boleh meninggalkan tempat ini sebelum Wiro 

sembuh.” 

Ratu Duyung akhirnya mengangguk perlahan. Dalam 

hati dia membatin, “Kecintaannya terhadap pemuda itu 

sungguh luar biasa. Dia rela menanggung cacat, asal Wiro 

bisa disembuhkan. Apakah kecintaannya melebihi kecinta–

anku?” 

Menjelang sang surya tenggelam Ki Tambakpati muncul 

kembali bertelanjang dada, membawa setumpuk jahe yang 

dibungkus dalam jubah hijaunya. 

“Mana kakek tukang ngompol itu. Kukira dia sampai 

duluan,” kata Ki Tambakpati sambil letakkan tumpukan 

jahe di tangga rumah. 

Tiba-tiba terdengar suara orang berlari sambil meng–

aduh-aduh panjang pendek tiada henti. 

“Hai! Itu suara kakek Setan Ngompol.” ujar Ratu 

Duyung. 

Tak lama kemudian kakek kepala setengah sulah ber–

kuping lebar itu muncul berlari-lari. Tangan kanan 

menenteng dua buah kelapa hijau. Tangan kiri menekapi 

bawah perut yang kelihatan aneh melembung. 

“Katanya mencari madu lebah ke hutan. Pulang malah 

membawa dua butir kelapa. Aneh sobatku satu ini!” Ucap 

Ki Tambakpati. 

Sampai di depan rumah panggung Setan Ngompol 

jatuhkan diri. Dua buah kelapa diletakkan di tanah. Dia lalu 

telentangkan badan di tanah sambil dua kaki mencak-

mencak kian kemari sementara dari mulutnya terus saja 

teriakan, “Aduh... aduh... aduh!” 

“Kek, ada apa ini?” bertanya Ratu Duyung. 

“Kek, apa yang terjadi?” Purnama ikut bertanya. 

“Hai! Kenapa celanamu gembung seperti ditiup angin!” 

Bertanya Ki Tambakpati. 

“Lebah sialan!” teriak Setan Ngompol “Aku bukan ditiup 

angin. Tapi ditiup lebah keparat!”“Tenang, Kek. Ceritakan apa yang terjadi” kata 

Purnama pula. 

“Lebah sialan! Lebah keparat! Aku disengat ratusan 

lebah waktu mengambil madunya di hutan!” 

“Pasti kau tidak kulo nuwun (minta ijin) dulu!” kata Ki 

Tambakpati. 

“Kulo nuwun, kulo nuwun! Memangnya lebah ngerti 

bahasa manusia!” gerutu Setan Ngompol. “Lihat anuku! 

Melembung bengkak seperti semangka mau pecah!” Setan 

Ngompol enak saja hendak rorotkan celananya yang basah 

lepek oleh air kencing. 

“Hai! Tahan! Tunggu dulu! Jangan main buka samba–

rangan. Ada gadis di sini! Mending anumu bagus! Ha... ha... 

ha!” Ki Tambakpati tertawa gelak-gelak. 

“Sudah Kek. Nyebur ke kali sana! Biar adem! Biar cepat 

kempes anunya!” kata Ratu Duyung kasihan ada geli juga 

ada. 

“Yang penting kau dapatkan madunya apa tidak?” Ki 

Tambakpati bertanya sambil pegangi perut menahan tawa. 

“Itu sudah kumasukkan dalam buah kelapa!” jawab 

Setan Ngompol lalu sambil kucurkan air kencing dia ber–

gulingan di tanah, menggelinding masuk Kali Progo. 

“Pegangan Kek! Kalau kau hanyut kami juga yang 

susah!” berseru Purnama. 

Tiba-tiba dari dalam rumah panggung terdengar jeritan-

jeritan keras. Empat orang yang ada di halaman rumah 

tersentak. 

“Wiro!” Ratu Duyung dan Purnama berseru hampir 

berbarengan. 

Setan Ngompol yang baru saja sebentar berendam di 

dalam kali, mendengar jeritan Wiro segera melompat 

keluar dari dalam air. Dia seperti melupakan rasa sakit 

bekas sengatan lebah. Terbeser-beser dia menghampiri Ki 

Tambakpati. 

“Apa yang dikatakan Bunga gadis alam roh itu benar 

adanya. Wiro sadar satu hari lebih cepat. Tapi mengapa 

menjerit-jerit?“Dia sadar dalam keadaan jalan darah yang masih 

terbalik. Sakitnya lebih hebat dari sundutan bara api!” 

jawab Ki Tambakpati. 

Lalu dua kakek ini berkelebat menyusul dua gadis 

masuk ke dalam rumah.


ENAM


DI ATAS ranjang bambu tubuh Pendekar 212 Wiro 

Sableng bergetar hebat, basah oleh keringat dan 

kepulkan asap tiga warna, merah, biru dan hijau. 

Mulutnya tiada henti berteriak. Matanya hanya bagian 

putih saja yang kelihatan. 

“Totok jalan suaranya. Kasihan kalau dia berteriak 

terus-terusan...” kata Ki Tambakpati. 

Ratu Duyung bertindak cepat. Sekali menotok urat 

besar di pangkal leher Wiro maka suara jeritan serta merta 

lenyap. Pancaran tiga cahaya perlahan-lahan meredup 

walau tidak hilang sama sekali. Begitu juga getaran yang 

menjalari sekujur tubuh masih berlangsung. 

“Dia menderita sakit luar biasa. Ketika pingsan dia 

tidak merasakan. Begitu sadar baru berteriak. Tapi dia 

belum sadar penuh. Baru mati rasanya yang sembuh.” Ki 

Tambakpati menjelaskan. “Kita harus mempercepat 

pengobatan. 

Semua orang kemudian sibuk. Jahe ditumbuk, madu 

untuk mengurut disiapkan. Ki Tambakpati dan Setan 

Ngompol membuat rakit kecil nanti untuk dipakai meng–

apungkan tubuh Wiro di dalam kali sebagaimana petunjuk 

Kitab Seribu Pengobatan yang dilafatkan Purnama. 

Ketika jahe hangat selesai dibuat, cukup sulit untuk 

meminumkan karena walau setengah sadar namun boleh 

dikatakan murid Sinto Gendeng tidak punya tenaga keku–

atan sama sekali. Jangankan mengangkat tangan, untuk 

menelan air obat saja dia mengalami kesulitan. Sementara 

itu kedua matanya masih kelihatan memutih. Purnama dan 

Ratu Duyung dengan susah payah berhasil meminumkan 

obat jahe ke dalam mulut Wiro. Setan Ngompol dan KiTambakpati berdua mengurut sekujur tubuh Wiro dengan 

madu. Keempat orang itu bekerja sampai jauh malam. 

Keesokan paginya Ratu Duyung meminta izin tiga kerabat 

untuk melepas totokan Wiro. 

“Kita tidak mungkin menunggu sampai tiga hari seperti 

petunjuk kitab sakti. Aku tidak tega melihat tubuhnya terus 

menerus bergetar berkelojotan. Bagaimana kalau kita coba 

melepas jalan suaranya. Siapa tahu Wiro sembuh lebih 

cepat...” 

Ki Tambakpati agak bersangsi. Namun Setan Ngompol 

dan Purnama memberikan tanda persetujuan dengan ang–

gukan kepala. Maka Ratu Duyung segera menotok urat 

besar di pangkal leher Pendekar 212. Begitu jalan suara–

nya terlepas dari mulut Wiro langsung melesat keluar suara 

teriakan. Ratu Duyung tersentak, cepat-cepat dia tutup 

kembali jalan suara Pendekar 212 dengan menotok lagi 

urat besar di leher. 

“Dia masih berteriak tanda kesakitan. Tapi ada 

perubahan. Suara teriakannya tidak sekeras sebelumnya.” 

berucap Ki Tambakpati. 

“Kita harus melakukan sesuatu...” kata Ratu Duyung 

sambil pejamkan mata. Tiba-tiba dia ingat pada Bunga. 

“Mungkin kita harus memanggil Bunga...” 

Seperti diketahui, sebelum pergi gadis berwajah pucat 

dari alam roh itu memberikan sekuntum kembang kenanga 

kuning pada Ratu Duyung disertai pesan. Jika sewaktu-

waktu dirinya dibutuhkan maka dengan mencium kembang 

kenanga serta menyebut namanya dia akan muncul. 

Sebenarnya Purnama merasa rikuh jika Bunga hadir di 

tempat itu. Hal ini karena dia mengetahui kalau Bunga 

lebih bersahabat terhadap Ratu Duyung daripada dirinya. 

Namun saat itu dia harus membuang jauh-jauh segala 

perasaan pribadi demi untuk menyelamatkan Pendekar 

212 Wiro Sableng. 

Diperhatikan oleh ketiga orang di dalam ruangan Ratu 

Duyung keluarkan kembang kenanga dari balik baju kelabu 

lalu mencium kembang ini sambil berkata. “Bunga, kami memerlukan bantuanmu. Datanglah.” 

Begitu kata diucapkan dalam ruangan berpijar cahaya 

putih menyilaukan disertai menebarnya bau kembang 

kenanga. Di lain kejap Bunga si gadis alam roh telah 

berada di tempat itu dalam pakaian kebaya putih ber–

kancing besar dan celana panjang putih sebetis. 

“Para sahabat. Kesulitan kalian adalah kesulitanku 

juga. Mari kita sama-sama mencari jalan untuk dapat 

menolong Wiro.” Gadis alam roh berucap. 

“Bunga, kau mampu membuat Wiro sadar lebih cepat? 

Kami sudah melakukan apa yang kami bisa. Namun kami 

harus menunggu selama dua hari lagi. Kami tidak tega 

melihat Wiro tersiksa selama itu. Apakah kau mampu 

mempercepat kesembuhan kelainan jalan darah yang 

dideritanya?” Tanya Ratu Duyung. 

Bunga pandangi wajah dan sosok Pendekar 212 

dengan mata sayu. Dengan suara perlahan dia berkata, 

“Wiro pernah menyabung nyawa ketika menyelamatkan 

diriku dari sekapan guci iblis. Sekarang dia dalam kesulitan 

besar. Bukankah ini saatnya membalas segala budi dan 

hutang nyawa?” (Baca serial Wiro Sableng berjudul ‘Si 

Cantik Dalam Guci’). 

Bunga berpaling pada Ratu Duyung dan Purnama. Dari 

dalam genggaman tangannya gadis alam roh ini keluarkan 

tiga kuntum kembang kenanga yang masih segar. Satu 

diberikan pada Ratu Duyung, satu pada Purnama. 

“Kunyah dan telanlah kembang yang kuberikan.” Kata 

Bunga lalu dia masukkan kembang kenanga yang dipe–

gangnya ke dalam mulut, langsung dikunyah. Ratu Duyung 

dan Purnama tanpa ragu melakukan hal yang sama. Bunga 

kemudian memegang tangan kedua gadis itu hingga 

tangan kanan mereka bertiga saling berjabatan. 

“Perhatikan apa yang aku lakukan,” berkata Bunga lalu 

letakkan tangan kiri di atas kening Wiro “Letakkan tangan–

mu di atas tanganku,” kata Bunga pada Ratu Duyung lalu 

pada Purnama dia berkata, “Letakkan tangan kirimu di 

atas tangan Ratu Duyung.”Maka tiga tangan saling berjabatan, tiga lainnya 

bersusun diletakkan di atas kening Pendekar 212. 

“Kalian berdua, jika aku mengedipkan mata cepat 

alirkan tenaga dalam penuh. Kita berusaha. Selebihnya 

Tuhan yang akan menolong!” Bunga menunggu sesaat. 

Lalu mulutnya berucap, “Gusti Allah Maha Pengasih Maha 

Penyayang. Kasih sayangMu terlimpah pada kami bertiga. 

Kekuatan kasih sayangMu lebih dahsyat dari kekuatan 

gelombang samudera. Kekuatan kasih sayangMu lebih 

dahsyat dari kekuatan sang surya. Kekuatan kasih 

sayangMu lebih hebat dari kekuatan topan prahara! 

Dengan izinMu ya Allah semua kekuatan dalam bungkus 

kasih sayangMu itu akan menghancurkan kejahatan, akan 

menyembuhkan penyakit. Kami bertiga yang rendah ini 

memohon ya Allah. Apa yang Engkau kehendaki terjadilah!” 

Habis keluarkan ucapan yang membuat tengkuk semua 

orang yang ada di tempat itu jadi merinding, Bunga 

kedipkan kedua matanya. Tiga tenaga dalam tingkat tinggi 

sama-sama dikerahkan. 

Blaarrr! Ledakan keras menggoncang rumah panggung. 

Muka tiga gadis cantik tampak pucat seolah tidak 

berdarah, terlebih Bunga. Ketiganya jatuh terkapar, tubuh 

bergetar dada mendenyut sakit. Di sela bibir Ratu Duyung 

tampak ada lelehan darah pertanda gadis ini menderita 

luka dalam. 

Bunga serahkan sekuntum kembang kenanga pada 

Ratu Duyung. “Cepat kunyah dan telan!” katanya. Ratu 

Duyung mengambil kembang kenanga, memasukkan ke 

dalam mulut lalu mengunyah dan menelan dengan cepat. 

Dadanya yang tadi mendenyut sakit, kepalanya yang tadi 

agak pening kini semua itu serta merta lenyap. Ratu 

Duyung maklum, sebagai dua orang dari alam lain, 

Purnama dan Bunga masih mampu bertahan terhadap 

serangan gaib tadi. Sementara dia walau bisa hidup di 

darat dan di laut, bagaimanapun juga dia tetap manusia 

biasa. 

Di luar rumah terdengar suara gelombang angin men–deru. Daun-daun pepohonan berkesiuran. Ranting-ranting 

patah berjatuhan. Di dalam rumah panggung tiba-tiba 

berlangsung keanehan. Sosok Pendekar 212 melayang 

naik setinggi satu jengkal, lalu ketika turun tagi ke ranjang 

bambu, dari telinga, mata dan hidungnya serta mulut 

meleleh darah kental berwama hitam! Cahaya merah, biru 

dan hijau masih membayangi tubuhnya. Semua orang 

tercekat kaget. Ratu Duyung seperti mau menangis. Pur–

nama pejamkan mata menahan isak. Hanya Bunga yang 

tetap tenang. Ketiganya kemudian mengeluarkan sehelai 

sapu tangan dari balik pakaian masing-masing lalu mem–

bersihkan darah dari wajah Wiro. Tiga sapu tangan yang 

basah oleh darah hitam itu kemudian diletakkan di atas 

selembar papan yang menempel ke dinding di ujung kaki 

ranjang. 

Keheningan dipecah oleh suara Ki Tambakpati. 

“Darahnya masih hitam! Matanya masih nyalang!” 

“Itu darah hitam terakhir yang masih bersisa dalam 

tubuhnya. Besok jika totokannya dilepas, mudah-mudahan 

aliran darah dalam tubuh Wiro sudah sembuh dan dia tidak 

akan berteriak lagi. Bersamaan dengan itu matanya akan 

terpejam. Bagian hitam bola matanya akan kembali ke 

keadaan semula.” Menjelaskan Bunga. 

“Bagaimana dengan pengobatan sesuai petunjuk Kitab 

Seribu Pengobatan? Apakah harus dihentikan?” bertanya 

Purnama. 

“Harus diteruskan. Itu akan lebih menolong.” Jawab 

Bunga. 

“Sebenarnya ada yang hendak aku sampaikan pada 

para sahabat. Hanya saja apakah para sahabat dapat 

mempercayai ceritaku...” 

“Bunga, jika kau mengetahui sesuatu sehubungan 

dengan penyakit Wiro harap kau menceritakan. Jangan ada 

yang disembunyikan...” ujar Ratu Duyung. 

Setelah berdiam sebentar akhirnya Bunga berkata. 

“Sewaktu kembali ke alamku aku berusaha mencari tahu 

apa sebenarnya yang terjadi dengan Wiro. Aku menemukan tanda bahwa ada manusla titisan yang mencelakainya. 

Manusia ini berada di bawah satu kekuatan gaib yang 

sangat dahsyat, berasal dari negeri sangat jauh, di belahan 

timur bumi...” 

“Apakah kau mengetahui sebab musabab mengapa 

manusia titisan itu mencelakai Wiro?” bertanya Purnama. 

“Makhluk titisan hanya bertindak sebagai pelaku. Dia 

berada di bawah bayang-bayang atau kuasa satu makhluk 

gaib. Aku menduga makhluk gaib yang muncul tanpa wajah 

itulah biang keladi semua kejadian ini. Namun mengapa 

sang makhluk melakukan hal itu masih merupakan satu 

hal yang kabur bagiku...” 

“Manusia yang ketitisan itu, apakah kau sempat 

melihat ujudnya?” Ratu Duyung bertanya. 

“Aku hanya mampu melihat bayangan hitam sangat 

samar. Manusia itu dilindungi oleh makhluk gaib tadi. 

Setiap aku memusatkan perhatian pada dirinya, ada sinar 

merah redup yang melindungi. Agaknya dia membawa 

sebuah benda sakti bertuah. Para sahabat pernah men–

dengar peristiwa perkosaan dan pembunuhan atas diri 

banyak gadis cantik belakangan ini?” 

Ratu Duyung tidak menjawab karena memang belum 

mendengar. Purnama berdiam diri. Ki Tambakpati berpa–

ling pada Setan Ngompol dan membisikkan sesuatu. 

“Aku pernah mendengar kejadian terkutuk itu. Kejadi–

annya sampai beberapa kali.” 

“Setiap gadis yang dibunuh ada bunga tanjung menem–

pel di keningnya...” Menjelaskan Bunga. 

“Aku jadi ingat cerita sahabat mudaku Liris Biru, murid 

Hantu Malam Bergigi Perak yang tewas di tangan Sinto 

Gendeng karena salah paham,” berkata Setan Ngompol. 

“Kakak perempuannya yang bernama Liris Merah dibunuh 

seorang pemuda berpakaian hitam, mengenakan ikat 

kepala merah. Berkumis, ada berewok dan janggut tipis...” 

Setan Ngompol tekap dulu bagian bawah perutnya yang 

mau mengucur, baru meneruskan ucapan. “Ketika Liris 

Biru menemukan mayat kakaknya, di kening Liris Merah menempel sekuntum bunga tanjung. Bibirnya biru. Setelah 

tadi kau bicara soal pemerkosaan dan pembunuhan gadis-

gadis cantik, aku menaruh duga pembunuhnya adalah 

manusia titisan itu. Karena katamu setiap ada gadis yang 

dibunuh, selalu ada kembang tanjung menempal di 

keningnya.” 

“Bunga tanjung...” ucap Ratu Duyung dengan suara 

bergetar. 

Dia berpaling pada Bunga. “Ingat bunga tanjung yang 

kita temui di halaman gubuk di Kali Progo? Yang meman–

carkan cahaya marah, biru dan hijau?” 

Bunga mengangguk. “Aku menduga bunga itu agaknya 

salah satu kekuatan jahat sekaligus pelindung makhluk 

tanpa wajah.” 

“Saat itu mungkin manusia jahat itu muncul di sekitar 

gubuk di tikungan kali. Namun karena kesaktiannya kita 

tidak bisa melihat.” 

“Bisa jadi,” ucap Ratu Duyung pula. 

“Kalau begitu kita harus mencari pemuda dengan ciri-

ciri seperti yang dikatakan Liris Biru itu,” kata Purnama 

pula. 

“Cepat atau lambat, kalau tidak kita pasti ada tokoh 

persilatan akan menemukan orang itu. Namun sementara 

itu masih banyak korban lagi akan berjatuhan. Manusia 

titisan ini, dia memiliki kesaktian luar biasa tinggi. Bersum–

ber pada tiga cahaya. Merah, biru dan hijau. Buktinya tadi 

kami bertiga masih kalah dalam kekuatan tenaga dalam.” 

“Makhluk yang menitis pada manusia itu, apakah 

sahabat berhasil mencari tahu siapa dia adanya?” tanya 

Purnama pula. 

Bunga menggeleng. “Yang aku tahu hanyalah dia 

berasal dari masa ratusan tahun silam. Pada masa awal-

awal Kerajaan Singosari. Jika para sahabat pernah men–

dengar cerita tentang lenyapnya pohon tanjung besar di 

alun-alun Kerajaan, maka makhluk yang menitis itu kira-

kira hidup di masa kejadian itu.” 

“Ah, riwayat pohon tanjung yang lenyap itu” kata KiTambakpati pula. “Aku pernah mendengar dari seorang 

tua. Orangnya sudah meninggal. Konon seluruh Kerajaan 

menjadi geger. Semua orang dilanda ketakutan karena 

menganggap ada kemarahan dewa yang luar biasa. Dan 

ada dugaan kejadian itu ada hubungannya dengan 

pertumpahan darah tak kunjung henti karena mempe–

rebutkan tahta Kerajaan.” 

“Pohon tanjung...” ucap Ratu Duyung. “Kalau kita bisa 

menyelidik ke mana lenyapnya pohon tanjung di alun-alun 

Kerajaan Singosari itu, di mana beradanya sekarang, 

mungkin kita bisa mendapat petunjuk penting.” 

Purnama tarik nafas dalam lalu berkata. “Makhluk gaib 

tanpa wajah, makhluk penitis, manusia yang ketitisan, 

pohon tanjung, bunga tanjung, pemuda berpakaian hitam... 

Aku yakin semuanya saling punya hubungan.” Gadis dari 

Latanahsilam ini seperti lupa keadaan wajahnya yang 

cacat. 

“Sahabat semua” berkata Bunga. “Aku terpaksa harus 

pergi sekarang. Aku titip Pendekar 212 di tangan kalian. “. 

“Bunga, kami sangat berterima kasih padamu...” kata 

Purnama sambil pegang tangan Bunga. 

Gadis dari alam roh ini tersenyum dan balas memegang 

tangan Purnama yang juga gadis dari alam yang sama. 

Bunga berkata, “Kita semua harus berterima kasih 

pada Gusti Allah.” Lalu saat itu juga tubuhnya sirna dari 

pemandangan, meninggalkan harum kembang kenanga. 

Tak lama setelah Bunga meninggalkan rumah pang–

gung, selagi Ratu Duyung dan Purnama menyiapkan madu 

untuk mengurut dan Ki Tambakpati serta Setan Ngompol 

menebang tiga cabang pohon yang akan dipergunakan 

untuk mengapungkan tubuh Wiro, tiba-tiba terdengar suara 

melenguh keras sekali dan berulang-ulang. 

Setan Ngompol tersentak kaget, langsung pancarkan 

air kencing. Dia memandang pada Ki Tambakpati. “Suara 

apa itu? Suara kerbau atau suara demit?” 

Serrr..., menyebut demit Setan Ngompol kembali 

pancarkan air kencing


TUJUH


TIBA-TIBA dari balik sederetan pohon tak jauh dari kali 

muncul seekor sapi putih. Di punggungnya duduk 

seorang anak gembala. Tangan kiri memegang batang 

bambu kecil. Tangan kanan memegang leher sapi erat-erat. 

Wajahnya pucat, sangat ketakutan. Sapi yang muncul 

adalah sapi betina gemuk. Susunya besar berayun-ayun 

kian-kemari. 

“Sapi ini pasti baru melahirkan. Lihat susunya melar ke 

mana-mana. Aneh, dari mana datangnya tahu-tahu muncul 

di sini.” ujar Setan Ngompol. Lalu dia datangi sapi dan 

anak penggembala. 

“Hai bocah! Di sini bukan tempat mengangon sapi. Di 

dalam rumah ada orang sakit! Lenguh sapimu sangat 

mengganggu! Ayo pergi sana!” 

Si bocah bukan saja ketakutan karena dibentak tapi 

juga ngeri melihat tampang Setan Ngompol. Untuk bebe–

rapa ketika dia tertegun di atas punggung sapi. 

“Hai! Kau tidak dengar apa aku bilang! Mau aku peper 

sama air kencing?!” Setan Ngompol delikkan mata dan 

masukkan tangan kanan ke balik celananya yang lepek. 

Anak lelaki di punggung sapi cepat melompat turun ke 

tanah. Dengan suara putus-putus dia berkata. 

“Kek, sa... saya juga ti... tidak tahu bagaimana bisa 

berada di tempat ini! Kek, sa... saya takut. Saya lagi angon 

si Ucup ini di desa dekat sawah... La... lalu...” 

Rupanya sapi itu bernama si Ucup. 

“Lalu?” tanya Ki Tambakpati pula. 

Si bocah teruskan ceritanya. “Saya me... melihat 

perempuan can... cantik di atas pohon. Rambutnya hitam 

sepinggang. Perempuan cantik itu mengangkat du... dua tangannya. Tahu-tahu si Ucup naik ke udara. Tahu-tahu 

saya sa... sama si Ucup ada di... di sini!” 

“Bocah pendusta! Mau kujewer kupingmu?! Mana ada 

sapi bisa naik ke udara! Siapa perempuan cantik itu? 

Demit? Kuntilanak?!” Setan Ngompol jadi marah karena 

merasa dibohongi. Tapi begitu menyebut demit dan kunti–

lanak kakek ini jadi kucurkan air kencing. 

Ki Tambakpati pegang bahu Setan Ngompol. “Sobatku, 

anak itu tampaknya tidak berdusta. Tidakkah kau melihat 

ada keanehan?” 

Suara ribut lenguh sapi membuat Ratu Duyung dan 

Purnama keluar dari rumah panggung untuk melihat apa 

yang terjadi. Dua gadis cantik ini tentu saja terheran-heran 

melihat di halaman rumah Setan Ngompol tengah mema–

rahi seorang anak lelaki. Lalu di halaman ada pula seekor 

sapi betina bersusu besar. 

Purnama tekap mulutnya dengan tangan kiri, bola mata 

membesar. Hatinya berdetak. Dia pegang lengan Ratu 

Duyung lalu menariknya mendekati sapi betina dan anak 

lelaki. Ketika ditanyai oleh Ratu Duyung si bocah ini men–

ceritakan hal sama seperti yang dikatakannya pada Setan 

Ngompol. 

“Perempuan di atas pohon. Pasti Bunga!” ucap Ratu 

Duyung. “Dengan kesaktiannya dia mengirimkan sapi ini ke 

sini. Luar biasa!” 

“Jangan-Jangan dia mendengar dari alam gaib apa yang 

aku bacakan dari Kitab Seribu Pengobatan.” Kata Purnama 

sambil mengusap punggung sapi. “Tapi siapa yang bisa 

memeras susu binatang ini?” 

“Kek, kau saja yang memeras susu sapi ini,” kata Ratu 

Duyung pada Setan Ngompol. 

Serrr! Si kakek langsung pancarkan air kencing. Sambil 

melangkah mundur Setan Ngompol berkata. “Aku masih 

tidak mengerti apa yang terjadi dengan sapi dan bocah ini. 

Kini kau malah membuat aku tambah bingung! Menyuruh 

aku memeras susu binatang itu. Susu manusia saja tak 

pernah aku peras. Sekarang disuruh memeras susu bina–tang! Ha... ha... ... ha!” Setan Ngompol tertawa gelak-gelak 

sambil tekap bagian bawah perutnya kuat-kuat. 

“Kalau tidak ada yang bisa memeras, saya bisa 

melakukan.” Tiba-tiba bocah yang muncul bersama sapi 

berkata. 

“Ah, kau! Kau bisa melakukan?” tanya Purnama. 

“Ayah pernah menyuruh saya beberapa kali,” jawab si 

bocah sambil perhatikan wajah cacat Purnama. Gadis dari 

Latanahsilam ini usap kepala si anak. Lalu berpaling pada 

Ratu Duyung. 

“Sesuai petunjuk kitab kita memerlukan kendi tanah 

untuk menampung susu sapi itu. Bagaimana mungkin di 

tempat ini bisa mendapatkan kendi?” ujar Purnama. “Aku 

bisa meninggalkan tempat ini. Mencari kendi. Mungkin di 

pasar. Tidak lama. Tapi aku tidak mau pergi sebelum Wiro 

sembuh. Soal cacat di wajahku bisa disembuhkan kemu–

dian.” 

“Susu sapi sudah ada di hadapan kita. Tinggal meme–

ras saja. Untuk menampungnya kurasa tidak usah harus 

kendi.” Kata Ratu Duyung. “Benda apa saja asal terbuat 

dari tanah. Kau tunggu di sini.” 

“Hai! Kau mau ke mana?” tanya Purnama. 

“Ke kali. Di sana pasti ada tanah liat. Aku akan mem–

buat mangkuk dari tanah liat. Selagi matahari terik, mang–

kuk itu bisa cepat dikeringkan.” 

“Aku...” Purnama benar-benar terharu. “Kau baik 

sekali...” ucapnya. Lalu dia jatuhkan diri, berlutut di tanah. 

Mulutnya berkata. “Bunga, di manapun kau berada, kau 

pasti mendengar ucapanku. Aku sangat berterima kasih. 

Kau memerlukan menolong diriku dengan mengirim sapi 

itu. Padahal saat ini kita masih menghadapi musibah 

besar, menyelamatkan Wiro...” Dalam hati Purnama ber–

kata “Aku merasa berdosa. Sebelumnya aku telah mena–

ruh dugaan yang tidak baik pada gadis alam roh itu. Ter–

nyata hatinya putih dan tulus. Dia menolongku. Juga Ratu 

Duyung. Mereka baik semua. Ah bagaimana aku harus Tak lama kemudian Ratu Duyung muncul kembali 

membawa tanah liat yang masih basah dan sudah 

dibentuk seperti sebuah mangkuk besar. Di dalam mang–

kuk tanah yang masih basah lembab ini terdapat beberapa 

lempengan tanah liat. 

Purnama cepat-cepat berdiri dan mengusap matanya 

yang berkaca-kaca. 

“Matahari bersinar cukup terik. Biar mangkuk ini aku 

letakkan di atap rumah. Agar lebih cepat kering.” Kata Ratu 

Duyung lalu melesat ke udara dan meletakkan mangkuk 

tanah di atas atap rumah panggung. 

“Kalian ini sebenarnya tengah melakukan apa?” tanya 

Setan Ngompol. Ki Tambakpati yang menyaksikan hal itu 

meski terheran-heran tapi diam saja. Sebagai seorang ahli 

pengobatan dia sudah bisa menduga, dua gadis cantik itu 

tengah mempersiapkan sesuatu untuk pengobatan. 

“Sobat kecil, siapa namamu?” tanya Purnama pada 

bocah kecil di samping sapi betina. 

“Kudin.” Jawab si bocah. 

“Kudin, kau mau menunggu sebentar? Kalau mangkuk 

tanah di atas atap itu sudah kering, kau mau menolong 

memeras susu sapi itu? Dimasukkan ke dalam mangkuk 

tanah?” 

Kudin mengangguk agak ragu. “Ya, saya mau. Tapi 

jangan terlalu lama. Saya mau cepat kembali ke desa. Ayah 

pasti marah kalau sudah sore saya tidak pulang.” 

“Jangan takut. Sekarang belum tengah hari. Kalau 

ayahmu marah biar aku nanti yang bicara padanya.” Kata 

Ratu Duyung pula. 

“Kudin, karena kau mau menolong ini hadiah untuk–

mu.” Kata Purnama lalu dari pakaiannya gadis ini keluar–

kan secarik kain hitam. Dengan cekatan tangannya berge–

rak melipat-lipat kain itu. Sesaat kemudian kain hitam 

telah berubah menjadi topi yang bagus. Topi diletakkan di 

atas kepala Kudin. Anak ini tertawa girang sambil pegangi 

topi di kepalanya. Tiba-tiba tawa Kudin lenyap. Anak ini 

menunjuk ke langit “Burung jingga besar!” teriak Kudin. 

Ratu Duyung, Purnama, Ki Tambakpati dan Setan 

Ngompol sama-sama mendongak ke atas. Di atas atap 

tampak berkelebat satu bayangan ungu. 

“Astaga! Itu bukan burung!” ucap Ratu Duyung. 

Purnama mendongak dan menghirup udara dalam-

dalam. Dia segera mencium bau sesuatu yang sudah dike–

nalnya. 

“Itu makhluk perempuan celaka yang selalu meng–

gangguku! Lihat! Dia hendak mengambil mangkuk tanah di 

atas atap!” teriak Purnama. 

“Belum mati dia rupanya! Belum kapok! Kali ini aku 

tidak akan memberi hati!” kata Ratu Duyung pula. Dua 

matanya yang biru pancarkan cahaya terang lalu dari 

kedua mata itu melesat sinar biru. Inilah ilmu kesaktian 

yang disebut Inti Biru Laut Selatan.

Sebelumnya ketika makhluk putih itu muncul di gubuk 

Ki Tambakpati, Ratu Duyung telah menyerangnya dengan 

imu kesaktian ini. Sang makhluk menjerit keras. Purnama 

dan Ratu Duyung mengira makhluk tersebut mengalami 

celaka berat. Ternyata dia muncul lagi. Bersamaan dengan 

melancarkan serangan Inti Biru Laut Selatan itu Ratu 

Dayung tarik keluar cermin bulat dari balik pakaian. Sekali 

tenaga dalam dikerahkan dan tangan yang memegang 

cermin digerakkan maka gulungan cahaya putih berbentuk 

lingkaran berkiblat ke udara, ke arah makhluk putih yang 

hendak mengambil mangkuk tanah di atas atap rumah 

panggung. Gulungan sinar putih yang keluar dari cermin ini 

disebut Penjerat Raga Pencekal Jiwa, merupakan salah 

satu ilmu kesaktian yang diwarisi Ratu Duyung dari Nyai 

Roro Kidul, penguasa laut selatan. Lawan yang masuk 

dalam lingkaran cahaya jika dia seorang manusia akan 

menemui kematian dengan tubuh hancur lumat. Jika dia 

seorang makhluk gaib maka tubuhnya akan terbakar 

hangus! 

Purnama tidak tinggal diam. Dua bahu digoyang. Kejap 

itu juga cahaya biru bergemerlap melesat ke atas atap rumah. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Menahan Raga 

Menyerap Tenaga. Siapa saja yang terkena cahaya terse–

but akan menjadi rontok kekuatan dirinya hingga dia tidak 

mampu lagi menggerakkan dua tangan dan dua kaki. 

Di udara di atas atap, bayangan putih keluarkan suara 

tawa panjang seolah mencemooh semua serangan yang 

diarahkan padanya. Tubuhnya mencelat ke atas setinggi 

satu tombak. Serangan Inti Biru Laut Selatan menyambar 

udara kosong di bawah kakinya. Dengan hantaman tangan 

kanan yang menebar cahaya putih berkilau makhluk itu 

mentahkan serangan Menahan Raga Menyerap Tenaga 

yang dilancarkan Purnama. Selanjutnya dengan membuat 

gerakan jungkir balik walau tubuhnya sempat terserempet 

cahaya serangan yang keluar dari cermin sakti, makhluk itu 

masih bisa lolos dari lobang jarum kehancuran. Malah 

dengan gerakan kilat dia kemudian melayang turun sambil 

tangan kanan dihantamkan ke arah atap rumah panggung. 

Satu sinar ungu menyilaukan berkiblat. 

“Makhluk celaka itu hendak menghancurkan mangkuk 

tanah di atas atap!” teriak Purnama. Dia cepat melesat ke 

atas. Ratu Duyung menyusul sambil lancarkan lagi sera–

ngan dengan cermin sakti. Namun kedua orang ini agaknya 

kalah cepat. Sesaat lagi sinar ungu yang dilepaskan makh–

luk gaib akan menghancurkan mangkuk tanah bahkan 

seluruh atap rumah kayu, tiba-tiba di udara berdesing tiga 

cahaya hijau kekuningan disertai menebarnya bau harum 

kembang kenanga!


DELAPAN


MAKHLUK jingga yang hendak menghancurkan 

mangkuk tanah di atas atap menjerit keras. 

Tubuhnya menggeliat beberapa kali lalu jatuh ke 

tanah, terkapar menelentang. Sosoknya yang tadi samar 

untuk beberapa saat kelihatan jelas. Ternyata dia adalah 

seorang gadis cantik berkulit putih. Berpakaian ungu yang 

sisi kanannya tampak hangus. Rambut hitam tergerai di 

tanah. Di keningnya menancap tiga kuntum kembang 

kenanga. Anehnya tak ada darah yang mengucur. 

Sepasang mata gadis cantik ini bergerak berputar lalu 

menatap ke arah Purnama. 

“Luhrembulan! Jadi kau rupanya!” teriak Purnama kaget 

besar ketika gadis dari negeri 1200 tahun silam ini 

mengenali siapa adanya sosok berpakaian ungu yang 

tergeletak di tanah itu. 

“Kau mengenalinya?!” tanya Ratu Duyung. 

Belum sempat Purnama menjawab, gadis yang terge–

letak di tanah keluarkan ucapan, “Kalian berdua manusia-

manusia laknat terkutuk! Jangan mengira kalian akan 

mendapatkan Wiro! Pendekar 212 adalah suamiku! Berani 

mengambilnya berarti kematian bagi kalian!” 

Purnama ternganga, sesaat tak bisa berkata apa-apa. 

Tapi Ratu Duyung malah membentak. 

“Jika Pendekar 212 suamimu mengapa kau mencelakai 

kami! Padahal kami hendak menolongnya!” 

Gadis cantik yang disebut dengan nama Luhrembulan 

masih bisa sunggingkan senyum mengejek. Lalu berkata. 

“Siapa yang tidak bisa menduga. Di balik maksud kalian 

menolong tersembunyi hasrat untuk memilikinya!” 

Ratu Duyung jadi panas. Kembali dia menghardik. “Aku tidak tahu kau ini manusia atau bangsa setan! Kalau Wiro 

suamimu, mengapa kau tidak turun tangan sendiri menye–

lamatkannya! Kau malah gentayangan cekakak-cekikik 

membuat hal-hal tidak karuan!” 

Luhrembulan lagi-lagi tersenyum. Kali ini dia tidak 

menjawab bentakan Ratu Duyung. Tubuhnya kepulkan 

asap ungu. Lalu sosoknya berubah menyeramkan. Wajah 

yang tadi cantik kini berubah menjadi seperti burung gagak 

hitam. Mulut dan hidung jadi satu berbentuk paruh panjang 

dan bengkok. Sepasang mata kecil menonjol keluar tanpa 

alis. Tubuh bagus yang tadi dibalut pakaian ungu kini ber–

ubah menjadi sehelai jubah terbuat dari jerami kering. 

Makhluk ini buka lebar-lebar paruh panjangnya, menge–

luarkan suara menguik panjang lalu, desss! Didahului 

suara letupan serta kepulan asap hitam tubuhnya lenyap 

dari pemandangan. 

Semua orang yang ada di tempat itu kini sama 

memandang pada Purnama. Ratu Duyung pegang lengan 

gadis ini lalu bertanya. “Siapa makhluk tadi?” 

“Dia makhluk dari alamku yang selama ini mengikutiku. 

Berusaha menggagalkan setiap apa yang aku lakukan. 

Bahkan berniat hendak mencelakai diriku. Aku, aku tidak 

menyalahkan kalau dia sangat membenci diriku. Kini dia 

juga membenci dirimu...” 

“Mengapa?!” tanya Ratu Duyung. “Karena Wiro? Apa 

benar Wiro telah menjadi suaminya?” 

“Gadis itu bernama Luhrembulan. Ujud aslinya adalah 

bentuk burung gagak tadi. Nama sebenarnya Hantu Santet 

Laknat. Dia berada dalam keadaan seperti itu karena ada 

kutukan turun temurun atas diri moyang dan keturu–

nannya. Di alamku dia merupakan seorang teramat jahat. 

Ketika Wiro terpesat ke sana, dia jatuh cinta pada Wiro. Dia 

minta bantuan seorang juru kawin, nenek bernama Lama–

hila, agar dia dikawinkan dengan Wiro. Perkawinan dengan 

manusia seperti Wiro merupakan satu-satunya cara untuk 

membebaskan dirinya dari kutukan itu...” (Baca serial Wiro 

Sableng di Negeri Latanahsilam mulai dari ‘Bola-bola Iblis’s/d ‘Istana Kebahagiaan’). 

“Ah...” Ratu Duyung keluarkan suara tercekat sambil 

pegangi leher yang putih bagus. Dia ingat akan nasib 

dirinya. Dia juga pernah mengalami hal seperti itu, menjadi 

makhluk setengah ikan setengah manusia. Wirolah yang 

menolong melepas dirinya dari kutukan itu hingga dia 

memiliki ujud manusia sempurna (Baca serial Wiro Sableng 

berjudul ‘Wasiat Iblis’ s/d ‘Kiamat di Pangandaran’). 

“Ada apa?” tanya Purnama pada Ratu Duyung. 

“Tidak... tidak ada apa-apa. Lanjutkan ceritamu.” 

Purnama berpaling pada Setan Ngompol. “Kek, kau 

tahu kejadian kawinnya Wiro dengan Luhrembulan alias 

Hantu Santet Laknat. Karena kau bersama Naga Kuning 

ikut terpesat ke Latanahsilam.” 

Setan Ngompol manggut-manggut lalu berkata, “Saha–

batku muda, lanjutkan saja ceritamu. Biar para sahabat di 

sini semua tahu.” 

“Perkawinan Wiro dengan Luhrembulan tidak sah. 

Karena Wiro ditipu. Diberi minuman yang membuat dia 

lupa pikiran. Wiro dibawa ke Bukit Batu Kawin. Dalam 

keadaan tidak sadar juru kawin Lamahila menikahkan Wiro 

dengan Luhrembulan.” 

“Kalau aku tidak salah menyirap berita...” kata Setan 

Ngompol pula. “Hanya beberapa saat setelah berlang–

sungnya perkawinan, Bukit Batu Kawin dilanda badai. 

Semua orang terpencar. Sebelum Wiro kembali ke tanah 

Jawa aku tidak tahu apakah Wiro pernah bertemu lagi 

dengan Luhrembulan di Latanahsilam.” 

Purnama yang di Latanahsilam bernama Luhmintari 

lanjutkan kisahnya. “Waktu Istana Kebahagiaan hancur, 

hampir semua tokoh di Latanahsilam terpesat ke tanah 

Jawa, termasuk diriku. Juga Luhrembulan. Dia pasti men–

cari Wiro. Sekaligus ingin mencelakai diriku karena dia 

merasa aku hendak merampas pendekar yang dianggap–

nya sudah jadi suaminya itu...” 

Sewaktu Purnama selesai dengan ceritanya keadaan di 

tempat itu menjadi sunyi. Ki Tambakpati tiba-tiba ingat sesuatu, “Ketika gadis itu terbujur di tanah, aku melihat 

tiga kembang kenanga menancap di keningnya.” 

“Kembang kematian itu yang melumpuhkannya. Sera–

ngan kami berdua nyaris tak berbekas...” kata Purnama 

pula. Dia menatap ke langit. “Bunga, kau tidak putus-

putusnya menolong kami. Aku dan para sahabat sangat 

berterima kasih.” 

“Apakah gadis aneh tadi itu akan muncul lagi 

mengganggumu?” bertanya Setan Ngompol pada Purnama. 

“Pasti Kek, tapi kali ini dia akan tenggelam di alamnya 

dalam waktu cukup lama. Paling tidak seratus hari lebih...” 

Menjawab Purnama. 

“Apa tidak ada kekuatan yang bisa membuatnya teng–

gelam selama-lamanya?” bertanya Ki Tambakpati. 

“Biji damar,” ucap Purnama. “Itu buah pantangan yang 

bisa melumpuhkan kami orang-orang perempuan dari 

Latanahsilam...” 

“Ah, kalau bijiku bisa dipakai memoles dan melum–

puhkan gadis tadi, pasti aku berikan!” Kata Setan Ngompol 

pula yang lalu ditepuk punggungnya oleh Ratu Duyung. 

Kakek ini tertawa gelak-gelak sambil terkencing-kencing. 

Sementara Purnama tampak senyum-senyum. 

“Kantong menyanmu yang disengat tawon masih 

bengkak. Bau pesing pula! Mana bisa jadi alat pelumpuh!” 

kata Ki Tambakpati. 

Tiba-tiba tempat itu dibisingi oleh suara lenguh sapi. 

Semua orang terkejut. Setan Ngompol memaki panjang 

pendek menahan kencingnya yang mau terpancar. 

“Hai! Ke mana bocah bernama Kudin itu?” tiba-tiba Ki 

Tambakpati bertanya. “Kudin!” Si kakek berteriak 

memanggil. 

Dari balik pohon besar Kudin keluar dengan wajah 

tampak pucat. Rupanya apa yang terjadi di tempat itu 

membuat anak ini ketakutan dan sembunyi di balik pohon. 

“Kudin, kau sudah siap menolong memeras susu sapi 

itu?” tanya Ratu Duyung. Si bocah mengangguk. Ratu 

Duyung menatap ke atas atap rumah panggung. “Kurasa mangkuk tanah itu sudah kering. Sudah bisa dipakai untuk 

menampung susu.” Lalu Ratu Duyung melesat ke atas atap 

rumah mengambil mangkuk tanah yang memang ternyata 

telah kering dan menjadi keras. 

“Kakek berdua, kalau madu sudah siap, sebaiknya 

mulai saja mengurut Wiro,” kata Purnama. 

“Pasti akan segera kami lakukan. Tapi kami berdua 

juga ingin tahu apa yang hendak kalian lakukan dengan 

susu sapi itu.” Jawab Ki Tambakpati. 

“Kalian tidak akan meminum susu sapi itu, bukan? 

Nanti kalian bisa jadi gembrot! Ha... ha... ha!” Setan 

Ngompol tertawa dan mancurkan air kencingnya. 

“Kalau kau suka, kau boleh meneguknya langsung dari 

puting susu sapi betina itu Kek!” kata Ratu Duyung sambil 

tertawa. Dia tuntun Kudin mendekati sapi lalu letakkan 

mangkuk tanah di bawah perut binatang itu. 

“Ayo peras yang banyak. Sampai mangkuk itu penuh 

dengan susu.” Kata Ratu Duyung sementara Purnama 

jongkok di samping si bocah. 

Cekatan sekali Kudin memeras susu sapi. Tangannya 

naik turun tiada henti. Susu sapi mengucur deras. Sebentar 

saja mangkuk tanah sudah penuh. 

“Sahabat, kau sekarang tinggal menuruti apa yang ada 

dalam Kitab Seribu Pengobatan,” kata Ratu Duyung pada 

Purnama. 

“Susu dalam mangkuk ini harus diaduk agar tanah 

merah di dalamnya leleh menyatu. Lalu susu diembunkan 

semalam suntuk. Mulai dari matahari tenggelam sampai 

besok fajar menyingsing. Sekarang biar susu ini disimpan 

dulu dalam rumah.” Kata Purnama lalu mendahului tiga 

orang itu masuk ke dalam rumah. Namun di tangga kayu 

gadis cantik dari negeri 1200 tahun silam ini hentikan 

langkah dan berbalik, memandang berkeliling. 

“Bocah itu... Sapi tadi...” ucap Purnama. 

Semua orang ikut memutar tubuh. Kudin dan sapi putih 

ternyata tak ada lagi di tempat itu. 

“Sahabat kita Bunga pasti sudah mengembalikan sapi dan anak itu ke tempatnya semula di sawah,” kata Ratu 

Duyung pula. 

“Sahabatku Bunga, aku... kami benar-benar sangat 

berterima kasih padamu.” Ucap Purnama sambil mem–

bungkukkan tubuhnya. 

Sampai di dalam rumah Ratu Duyung dan Purnama 

memasukkan cairan jahe ke dalam mulut Wiro, mengurut 

bagian dada dan leher sang pendekar hingga air jahe bisa 

tertelan. Sementara itu Ki Tambakpati dan Setan Ngompol 

mengurut sekujur tubuh Wiro dengan madu hangat. 

Pada saat matahari tenggelam, Purnama mengambil 

susu dalam mangkuk tanah lalu membawa dan meletak–

kannya di atas atap rumah. 

Malam itu sambil terus mengobati Wiro semua orang 

bersikap waspada berjaga-jaga. Bukan mustahil akan 

muncul lagi gangguan dari makhluk-makhluk yang tidak 

suka melihat kesembuhan Pendekar 212 dan juga kesem–

buhan Purnama. Sesekali Purnama dan Ratu Duyung naik 

ke atas atap untuk melihat susu dalam mangkuk tanah 

serta memperhatikan keadaan sekitar rumah panggung. 

“Aku tidak mengawatirkan Luhrembulan alias Hantu 

Santet Laknat. Dia tidak akan muncul sampai seratus hari 

di muka. Yang aku takutkan adalah makhluk yang kita lihat 

dalam cermin. Manusia tak berwajah itu.” Kata Purnama. 

“Aku akan berjaga-jaga di sini...” kata Ratu Duyung pula 

sambil terapkan ilmu Menembus Pandang untuk menjajagi 

keadaan sekitar rumah panggung. “Kau masuklah ke 

dalam rumah. Bantu dua kakek itu mengobati Wiro.” 

“Biar aku saja yang di sini. Kau yang masuk ke rumah,” 

jawab Purnama pula. 

Ratu Duyung tersenyum. “Kalau begitu biar aku mene–

manimu dulu di sini. Pertemuan semacam ini jarang bisa 

kita lakukan. Saat ini kita bisa berbagi cerita dan penga–

laman. Aku ingin sekali mendengar cerita tentang negeri 

asalmu Latanahsilam. Negeri seribu duaratus tahun silam 

itu.” 

“Banyak memang yang bisa aku ceritakan padamu”jawab Purnama. “Tapi setelah itu rasanya sangat penting 

untuk membicarakan sakitnya Wiro. Kita tahu kalau jalan 

darahnya bisa disembuhkan masih ada penyakit yang 

mendekam di tubuhnya. Dia kehilangan kejantanannya...” 

Larut malam puas bercakap-cakap kedua gadis itu 

masuk ke dalam rumah. Mereka tak bisa memicingkan 

mata. Ki Tambakpati dan Setan Ngompol masih menguruti 

Wiro walau jelas tampak terkantuk-kantuk. Sampai fajar 

menyingsing keadaan aman-aman saja, tidak terjadi apa-

apa. 

Begitu langit di ufuk timur tampak terang, Ratu Duyung 

memberi isyarat pada Purnama. Kedua gadis cantik ini 

keluar dari rumah lalu melesat naik ke atas atap rumah. 

Begitu sampai di atap, mereka terbelalak kaget dan sama-

sama keluarkan seruan tertahan. Mangkuk berisi susu sapi 

tak ada lagi di atas atap! 

“Kurang ajar! Siapa yang mencuri mangkuk!” teriak 

Ratu Duyung marah. “Semalam suntuk kita berjaga-jaga. 

Kita tidak mendengar suara apa-apa yang mencurigakan.” 

Purnama pegang tangan gadis itu, menarik nafas dalam 

dan berkata. “Mungkin belum saatnya aku mendapat 

kesembuhan. Aku pasrah...” 

Ratu Duyung tetap penasaran. Dia memandang 

berkeliling. Terapkan ilmu Menembus Pandang. Dia tidak 

melihat ada orang yang sembunyi sekitar halaman. Dia 

perhatikan setiap pohon, tidak ada makhluk yang mende–

kam. Gadis bermata biru ini akhirnya keluarkan cermin 

saktinya. 

“Dengan cermin sakti ini masakan tidak tembus!” kata 

Ratu Duyung pula. 

“Aku khawatir ini lagi-lagi pekerjaan makhluk tanpa 

wajah!” ujar Purnama. 

Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Datangnya 

dari kolong rumah panggung. Sesaat kemudian melesat 

satu bayangan hitam. Sosok ini kemudian telah berdiri di 

atas atap, di hadapan Ratu Duyung dan Purnama.


SEMBILAN


SAHABAT berdua, apa kalian mencari ini?” Sosok hitam 

bertanya. 

“Naga Kuning!” Ratu Duyung berteriak. “Bocah nakal! 

Apa yang kau lakukan?! Yang kau pegang itu bukan benda 

sembarangan! Awas tumpah!” Sementara Purnama berdiri 

memperhatikan sambil geleng-geleng kepala. 

Sosok yang berdiri di atas atap di depan dua gadis 

cantik itu adalah seorang bocah berambut jabrik, menge–

nakan pakaian hitam bergambar naga bergelung di bagian 

dada. Dia bukan lain adalah Naga Kuning alias Gunung 

alias Kiai Paus Samudera Biru. 

“Naga Kuning! Lekas serahkan mangkuk itu padaku!” 

berkata Purnama. 

Naga Kuning serahkan mangkuk susu pada Purnama. 

Ratu Duyung yang masih belum puas bertanya, “Kau 

menyelinap, kau mengambil mangkuk berisi susu itu. Apa 

Naga Kuning betulan?! Atau makhluk jejadian yang me–

nyamar diri?!” tanya Ratu Duyung sambil alirkan tenaga 

dalam ke tangan kanan siap untuk lepaskan pukulan sakti. 

“Bocah seperti aku mana ada yang palsu,” jawab Naga 

Kuning sambil senyum-senyum seenaknya. Lalu dia mene–

rangkan, “Aku mendengar kabar sobatku Pendekar 212 

ditangkap orang-orang kerajaan. Aku menyelidik dan sam–

pai ke sini. Kulihat rumah sepi-sepi saja. Di atas atap ada 

benda ini. Ketika aku ambil ternyata berisi susu dingin 

sejuk. Kebetulan aku haus...” 

“Astaga! Jadi susu itu sudah kau minum?” tanya 

Purnama tercekat. 

“Lancang dan rakus!” hardik Ratu Duyung penuh 

gemas.Naga Kuning tertawa sambil usap-usap perutnya. 

Purnama jadi jengkel. Ratu Duyung tambah kesal. Dia 

membentak. “Jawab pertanyaan kami! Kau minum susu 

dalam mangkuk itu? Hai! Kau datang sendirian atau 

dengan siapa?!” 

“Tadinya aku memang mau minum susu ini. Keliha–

tannya enak sekali. Tapi, tapi tak jadi kulakukan. Sebenar–

nya aku mau menyelamatkan susu dalam mangkuk ini.” 

“Apa maksudmu?” tanya Purnama. 

“Aku disuruh untuk mengambil mangkuk ini dan 

menunggu di sini. Tadi aku sembunyi di kolong rumah. 

Waktu melihat kalian berdua aku naik ke atap sini.” 

“Siapa yang menyuruhmu mengambil dan menunggu di 

sini? Kau datang dengan siapa?!” bentak Ratu Duyung. 

“Gondoruwo Patah Hati...” jawab Naga Kuning. 

“Hemm... Nenek kekasihmu itu. Mana dia?” tanya Ratu 

Duyung. 

“Ada di kali... Lagi kencing!” jawab si bocah berambut 

jabrik yang ujud aslinya adalah seorang kakek sakti berusia 

hampir 120 tahun dan dikenal dengan panggilan Kiai Paus 

Samudera Biru. 

“Mengapa nenek itu menyuruhmu mengambil mangkuk 

berisi susu ini?” tanya Purnama pula. 

Naga Kuning menggeleng. “Aku tidak tahu. Aku hanya 

menurut perintahnya saja...” 

“Serahkan mangkuk berisi susu itu padaku!” kata 

Purnama. Setelah menerima mangkuk tanah dari Naga 

Kuning Purnama lalu berkata pada Ratu Duyung. “Hari 

semakin terang. Kurasa sebaiknya pengobatan aku laku–

kan sekarang juga sesuai petunjuk dalam Kitab Seribu 

Pengobatan. Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus 

cepat-cepat menolong Wiro. Biar pengobatan aku lakukan 

sekarang di atas atap ini!” 

Ratu Duyung mengangguk dan kerahkan ilmu Menem–

bus Pandang untuk mengawasi keadaan sekitar rumah. 

Purnama memutar tubuh, menghadap ke arah matahari 

tenggelam yaitu sesuai dengan apa yang tertulis dalam Kitab Seribu Pengobatan. Perlahan-lahan dia angkat 

mangkuk ke atas kepala. Siap untuk diguyurkan ke 

wajahnya yang terkelupas cacat di bagian kiri. Tiba-tiba 

satu bayangan biru berkelebat menyusul suara teriakan. 

“Tahan! Jangan guyur kepalamu dengan cairan dalam 

mangkuk!” 

Semua orang yang ada di atas atap sama terkejut. Di 

halaman rumah panggung berdiri sosok seorang nenek 

berjubah biru, rambut kelabu wajah seram angker. Sepuluh 

kuku jari tangannya panjang hitam. Nenek ini memberi 

isyarat dengan lambaian tangan agar semua orang turun 

ke tanah. 

“Nek, ada apa ini?!” teriak Ratu Duyung dari atas atap. 

Dia telah mengenali nenek di bawah sana yang bukan lain 

adalah Gondoruwo Patah Hati. 

“Turun saja ke sini! Nanti kalian akan lihat sendiri!” 

jawab si nenek. 

Naga Kuning melesat turun lebih dulu. Akhirnya 

Purnama dan Ratu Duyung ikutan turun ke tanah. Si nenek 

membungkuk sedikit, melihat dan membaui cairan yang 

ada dalam mangkuk tanah yang dipegang Purnama. 

Saat itu mendengar suara orang bicara di halaman dan 

di atas atap rumah Ki Tambakpati dan Setan Ngompol 

segera keluar. Mereka terheran-heran melihat si bocah dan 

si nenek ada di situ. Gondoruwo Patah Hati yang sudah 

kenal pada Setan Ngompol kedipkan matanya, tersenyum 

sedikit lalu kembali membungkuk, mencium dan memper–

hatikan cairan dalam mangkuk. 

“Susu sapi...” ucap si nenek perlahan. Dia menatap 

wajah sebelah kiri Purnama yang tampak merah menge–

lupas. 

“Kau akan pergunakan susu itu untuk mengobati luka 

di wajahmu. Betul?” bertanya Gondoruwo Patah Hati. 

Purnama mengangguk. 

“Susu itu mengandung racun!” 

Ucapan si nenek membuat Purnama dan Ratu Duyung 

terkejut. Ki Tambakpati melongo sedang Setan Ngompol cepat-cepat tekap bagian bawah perutnya. 

“Racun dari mana? Siapa yang memasukkan ke dalam 

susu? Bagaimana mungkin! Kami berjaga-jaga semalam 

suntuk. Tidak ada seorangpun mendekati tempat ini!” Kata 

Purnama sambil memperhatikan susu dalam mangkuk lalu 

memandang pada si nenek. 

“Racun itu dikirim dari jauh...” kata Gondoruwo Patah 

Hati pula. “Kalau kalian tidak percaya lihat apa yang akan 

aku lakukan. Aku akan membersihkan racun dalam susu. 

Kalau sudah bersih, kau boleh pergunakan susu itu untuk 

mengobati luka di wajahmu. Pegang kuat-kuat mangkuk itu 

dan lihat...” 

Gondoruwo Patah Hati kembangkan dua telapak 

tangan, sepuluh jari ditukikkan ke arah susu dalam mang–

kuk. Mulut berkomat-kamit membaca mantera. Tak lama 

kemudian susu dalam mangkuk tampak bergejolak seperti 

mendidih. Lalu mengepul asap hitam. Dengan sepuluh 

kuku jarinya si nenek sedot asap hitam itu. Ketika gejolak 

air susu di dalam mangkuk berhenti, Gondoruwo Patah Hati 

mundur tujuh langkah. Mulut masih berkomat-kamit. Dia 

berhenti di dekat serumpun semak belukar. Tangan kanan 

diulurkan. Tangan kiri meremas pergelangan tangan 

kanan. Saat itu juga dari lima ujung jari si nenek mengucur 

keluar cairan hitam pekat berkilat, menebar bau busuk. 

Ganti tangan kanan meremas tangan kiri. Cairan hitam 

kembali mengucur. Begitu cairan hitam menyentuh semak 

belukar, tumbuhan ini serta merta berubah gosong hitam 

lalu rontok ke tanah disertai kepulan asap dan bau luar 

biasa busuk, membuat beberapa orang yang ada di tempat 

itu jadi mual berusaha menahan muntah. 

Gondoruwo Patah Hati melangkah mendekati Purnama 

yang tegak dengan muka pucat. “Sahabatku muda. Kalau 

susu itu tadi sampai membasahi kepalamu, kulitmu akan 

jadi gosong seumur hidup, rambut di kepalamu akan 

rontok. Dicari ke manapun tak ada obat penyembuhnya.” 

“Nek, aku sangat berterima kasih. Kalau bukan kau 

yang menolong hidupku akan celaka seumur-umur. Nek,kau berbuat baik padaku, padahal kita baru sekali bertemu 

sewaktu kau muncul di Gedung Kadipaten Losari. Kita 

bahkan tidak sempat saling menyapa.” 

Gondoruwo Patah Hati tersenyum mendengar ucapan 

Purnama. “Siapapun sahabat Pendekar 212 adalah saha–

batku juga...” Si nenek pegang bahu gadis dari Latanah–

silam ini lalu berkata. “Susu itu sudah bersih. Tak ada lagi 

racun di dalamnya. Silahkan kau mengobati diri...” 

Purnama sekali lagi mengucapkan terima kasih lalu 

memutar tubuh dan wajah menghadap ke arah matahari 

tenggelam. Dua tangan yang memegangi mangkuk berisi 

susu di angkat di atas kepala. Sesuai dengan petunjuk 

dalam Kitab Seribu Pengobatan sambil mengguyurkan 

susu ke atas kepalanya, Purnama melafatkan kata-kata: 

Manusia berasal dari tanah. Tanah pula yang akan 

menjadi pengobat. Manusia memulai hidup dengan air 

susu. Air susu pula yang akan menjadi pengobat. Tuhan 

Maha Kuasa Maha Penyembuh.

Susu putih susu sapi di dalam mangkuk diguyur mem–

basahi kepala, wajah dan sebagian tubuh Purnama sebe–

lah atas. Saat itu juga di langit kelihatan kilatan cahaya tiga 

warna merah, biru dan hijau. Gondoruwo Patah Hati yang 

pertama sekali melihat kilatan cahaya itu langsung han–

tamkan dua tangan ke atas. Sepuluh kuku jari mencuat 

lebih panjang, berubah dari hitam menjadi merah. Sepuluh 

larik cahaya merah kemudian melesat ke arah kilatan 

cahaya tiga warna di langit, Ilmu Kuku Api!

Blaar... blaarr... blaar! 

Satu kekuatan gaib menerpa si nenek, membuatnya 

terhuyung dan buru-buru dipegang oleh Ratu Duyung. Di 

langit cahaya tiga warna lenyap tanpa bekas. 

“Luar biasa! Kekuatan gaib itu luar biasa kuat dan 

jahat!” kata Gondoruwo Patah Hati sambil pegangi dadanya 

yang berdebar keras. 

“Dari cahaya tiga warna itu aku yakin lagi-lagi manusia 

tanpa wajah itu yang punya pekerjaan!” ucap Ratu Duyung. 

Gondoruwo menatap wajah Purnama dan tersenyum.“Cacat di wajahnya lenyap. Kau sudah sembuh!” 

Purnama terpekik. Ratu Duyung berseru gembira. Ki 

Tambakpati mengucap berulang kali sedang Setan Ngom–

pol tertawa girang sambil pegangi bagian bawah celananya. 

“Sungguh luar biasa! Kau benar-benar sembuh!” Kata 

Ratu Duyung lalu ambil cermin sakti dan diberikan pada 

Purnama. Gadis dari negeri Latanahsilam ini perhatikan 

wajahnya di dalam cermin. Matanya langsung berkaca-

kaca. Luka cacat di wajahnya sebelah kiri benar-benar 

telah lenyap. 

“Racun yang ada di dalam susu itu adalah racun ular 

jahat yang cuma hidup di gurun pasir.” Menerangkan si 

nenek. 

Purnama peluk Gondoruwo Patah Hati lalu merangkul 

Ratu Duyung. Ketiga orang ini larut dalam rasa haru serta 

gembira. 

“Aku tidak kebagian dipeluk?” Naga Kuning keluarkan 

ucapan. 

Gondoruwo Patah Hati jewer telinga kiri anak ini. 

“Bocah rakus. Untung kau tidak menenggak susu itu. Kalau 

sampai kau tenggak saat ini tubuhmu sudah gosong men–

jadi jerangkong hitam!” 

“Aduh Nek, ampun. Suaakiittt” Jerit Naga Kuning. Tapi 

begitu jeweran dilepas anak ini tertawa gelak-gelak. 

Purnama kemudian berkata. “Saatnya kita menangani 

Wiro. Mudah-mudahan dia mendapatkan kesembuhan pagi 

ini.” 

Semua orang masuk ke dalam rumah panggung. Yang 

pertama sekali bergerak adalah Ratu Duyung. Dengan 

tangan agak gemetar gadis sakti dari laut selatan ini 

menotok urat besar di pangkal leher Wiro untuk melepas 

jalan suara. 

Kleekk! 

Tidak seperti biasanya, totokan mengeluarkan suara 

aneh. Ratu Duyung sendiri merasa dua jari tangan yang 

dipergunakan untuk menotok panas bergetar. Agaknya 

masih ada kekuatan gaib berusaha mencegah penyembu–han yang dilakukan atas diri sang pendekar. Semua orang 

menunggu penuh tegang. 

Tiba-tiba dari tenggorokan Pendekar 212 keluar suara 

mengorok, keras dan panjang. Suara mengorok berhenti. 

Mulut Wiro terbuka lebar. Semua orang jadi bertambah 

tegang. Tak ada suara teriakan keluar dari mulut itu. Bah–

kan mulut yang terbuka lebar perlahan-lahan menutup 

kembali. Sepasang mata yang sebelumnya terus-terusan 

nyalang dan hanya kelihatan putih kini mengatup terpejam. 

“Dia tidak keluarkan jeritan. Apakah berarti jalan 

darahnya sudah pulih...?” bisik Ki Tambakpati. 

“Mudah-mudahan begitu,” menyahuti Ratu Duyung. 

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Setan 

Ngompol, tak lupa menekap perabotannya dengan dua 

tangan. 

“Kita harus mengikuti petunjuk Kitab Seribu Pengo–

batan berikutnya. Kita harus membawa Wiro ke kali dan 

mengapungkannya.” Ucap Purnama. 

Wiro lalu diangkat dari ranjahg bambu, dipindah ke atas 

tiga batang kayu yang sudah disiapkan Setan Ngompol dan 

Ki Tambakpati. Lalu batang kayu itu beramai-ramai digo–

tong dan dimasukkan ke dalam Kali Progo dengan kepala 

menghadap ke arah datangnya arus air kali. Tiga utas tali 

dipakai untuk mengikat batang kayu ke pepohonan kecil di 

tepi kali. Setan Ngompol, Naga Kuning, Ki Tambakpati 

berendam di dalam air memegangi batang kayu. Gondo–

ruwo Patah Hati, Ratu Duyung dan Purnama berjaga-jaga di 

tebing kali. Mereka menunggu sampai matahari mencapai 

titik tertingginya yaitu saat di mana sepuluh jari tangan dan 

sepuluh jari kaki Wiro harus ditusuk sampai mengeluarkan 

darah. 

Menunggu dari pagi sampai saat sang surya mencapai 

titik tertingginya terasa sangat lama. Apalagi disertai 

perasaan tegang. Suasana di kali terasa sunyi. Sesekali 

kesunyian dipecah oleh suara kicau dan terpaan sayap 

burung yang terbang dari pohon ke pohon. Air kali yang 

datang dari hulu membasahi sebagian kepala dan tubuh Wiro. Di dalam kali Setan Ngompol entah sudah berapa kali 

kucurkan air kencing. Sekujur tubuhnya mulai terasa dingin 

sementara mata yang belok kelihatan redup terkantuk-

kantuk. 

“Kek, kau naiklah ke sini. Biar aku yang menggantikan.” 

Kata Gondoruwo Patah Hati. Lalu tanpa menunggu jawa–

ban orang si nenek masuk ke dalam kali. Belum sempat 

Setan Ngompol naik ke darat tiba-tiba dari hilir terdengar 

suara menderu. Di permukaan kali kelihatan dua benda 

coklat panjang berjajar meluncur cepat ke arah di mana 

orang-orang itu berada. 

“Buaya!” teriak Naga Kuning. 

“Ada dua ekor!” Gondoruwo Patah Hati ikut berteriak. 

Ratu Duyung yang duduk di tepi kali melompat bangkit. 

“Purnama, kau yang kiri aku yang kanan!” Teriak sang ratu. 

“Aku mencium sesuatu! Ini bukan buaya sungguhan!” 

teriak Purnama.



SEPULUH


SEMUA orang yang ada di dalam dan di pinggir kali 

menjadi geger. Ratu Duyung dan Purnama bertindak 

cepat. Keduanya serentak melesat ke tengah kali. 

Dua tangan lepaskan pukulan sakti. Ratu Duyung meng–

hantam buaya di sebelah kanan dengan pukulan ganas 

bernama Pedang Inti Samudera. Dari tangan kanan si 

gadis mencuat sinar biru sepanjang satu tombak mem–

bentuk pedang. Ketika sinar biru menghantam, buaya 

keluarkan suara lolongan seperti anjing meraung. Kepala 

binatang ini terbabat putus. Tak ada darah mengalir! Begitu 

suara raungan lenyap, buaya itu juga ikut sirna! 

“Purnama benar! Ini makhluk jejadian!” ucap Ratu 

Duyung dengan tengkuk dingin. 

Sementara itu Purnama yang menghadapi buaya kedua 

menghajar binatang jejadian ini dengan pukulan yang 

memancarkan cahaya biru bergemerlap. Tapi buaya 

jejadian yang satu ini bersikap lebih waspada. Agaknya dia 

mengetahui apa yang terjadi dengan temannya. Dengan 

cepat binatang ini menyelinap ke bawah air. Pukulan yang 

dilepas Purnama hanya mengenai tempat kosong. Air Kali 

Progo muncrat setinggi dua tombak. Tanah dan lumpur di 

dasar kali terbongkar berhamburan ke udara. Di lain saat 

buaya tadi muncul kembali dan tahu-tahu sudah berada di 

samping Wiro yang tergeletak di atas tiga batang kayu 

dengan mulut menganga siap melahap! Purnama dan Ratu 

Duyung tersentak kaget. Untuk menolong dengan melan–

carkan serangan mereka merasa khawatir karena kedua–

nya berada pada kedudukan menghadap ke arah Wiro. 

Ditambah lagi buaya coklat besar sudah berjarak sangat 

dekat dengan Wiro hingga setiap pukulan yang dilancarkan bisa saja mengenai Pendekar 212. Ki Tambakpati dan 

Setan Ngompol dalam keterkejutan mereka tidak sempat 

berbuat apa. Naga Kuning cepat kerahkan tenaga dalam 

untuk melepas pukulan Naga Murka Menjebol Bumi. 

Namun bocah sakti ini tidak bisa bertindak leluasa karena 

dia berada di sisi lain kali dan terhalang sosok Wiro 

sementara di seberang sana ada Ratu Duyung dan 

Purnama. Sekali serangannya meleset, kalau tidak Wiro, 

salah satu dari dua gadis itu akan celaka! 

Pada saat yang sangat menentukan itu, Gondoruwo 

Patah Hati yang baru saja mencebur dan berada di dalam 

kali keluarkan bentakan keras. Tangan kanan menghan–

tam ke arah kepala buaya yang telah membuka mulutnya 

lebar-lebar untuk melahap tubuh Pendekar 212. 

Selarik sinar merah bercampur biru bergulung seperti 

sebuah batu besar, menghajar kepala buaya jejadian 

dengan telak. Pukulan Batu Naroko! Seperti buaya tadi 

binatang yang satu ini keluarkan suara menyerupai anjing 

meraung. Kepala hancur, tubuh menggelepar-gelepar lalu 

tenggelam ke dalam air dan lenyap. 

“Keji dan jahat sekali!” ucap Purnama setengah 

menyumpah. “Kekuatan gaib masih terus berusaha meng–

halangi kita menyelamatkan Wiro!” 

“Kurasa aku perlu minta bantuan Nyai Roro Kidul untuk 

memagari tempat ini,” berkata Ratu Duyung. “Aku khawatir 

makhluk celaka berkekuatan gaib membawa ilmu hitam 

kembali berusaha menghalangi. Padahal ini adalah taha–

pan akhir usaha kita menyelamatkan Wiro. Sekali gagal, 

bencana besar akan menimpa Wiro!” 

Habis berkata begitu Ratu Duyung melompat ke tebing 

kali di mana terdapat sebuah batang kayu besar tergeletak 

tumbang. Dia duduk di atas tumbangan pohon ini, pejam–

kan mata, kaki bersila dan dua tangan diletakkan di atas 

dada. 

Tak lama kemudian terdengar Setan Ngompol berseru 

sambil pegangi bagian bawah perut. “Hai, mengapa udara 

mendadak mendung?”Ki Tambakpati menepuk bahu sahabatnya ini. “Tenang 

saja. Jangan banyak bicara. Ratu Duyung tengah melaku–

kan sesuatu.” 

Saat itu memang udara mendadak agak gelap, langit 

yang tadi cerah berubah mendung. Arus air kali seolah tak 

bergerak, angin tidak terasa bertiup. Keadaan sunyi senyap 

seperti malam hari di pekuburan. Tiba-tiba dari arah timur 

tampak sepuluh titik bercahaya biru, bergerak ke arah kali 

di mana orang-orang itu berada. Saat demi saat titik itu 

membesar dan ternyata adalah sepuluh ujung tombak. 

Masing-masing tombak dipegang oleh seorang gadis cantik 

berambut hitam panjang tergerai, mengenakan pakaian 

hitam ketat dengan potongan rendah di bagian dada serta 

belahan tinggi sampai ke pangkal paha di bagian sisi kiri 

kanan. 

“Bidadari turun ke bumi...!” ucap Setan Ngompol 

dengan mata melotot dan pegangi bagian bawah perut 

yang terasa kedut-kedut. “Pasti mereka hendak menolong 

Wiro. Ah, aku juga kepingin sakit kalau yang mengobati 

bidadari cantik seperti itu...” 

“Sobatku, kau kakek bangkotan yang masih mata 

keranjang rupanya,” kata Ki Tambakpati. Saat itu keduanya 

dan juga Naga Kuning serta Gondoruwo Patah Hati masih 

berada di dalam kali. “Jangan bicara sembarangan. Itu 

adalah pasukannya Nyai Roro Kidul yang akan menjaga 

tempat ini.” 

Sepuluh gadis pembawa tombak bercahaya mengapung 

di udara mengelilingi Ratu Duyung. Mereka membungkuk 

memberi penghormatan. 

Perlahan-lahan Ratu Duyung turunkan dua tangan yang 

sejak tadi diletakkan di dada. Mulutnya berucap, mata 

masih terpejam. “Terima kasih kalian sudah datang. Dua di 

sudut timur. Dua di sudut barat. Dua di sudut utara. Dua di 

sudut selatan. Dua di tengah antara empat sudut.” 

Dalam gerakan menyamai kecepatan kejapan mata, 

sepuluh gadis cantik yang membawa tombak bercahaya, 

sepasang demi sepasang melesat ke lima penjuru yang disebutkan Ratu Duyung. Di lima titik ini mereka melepas 

pegangan pada tombak. Walau dilepas setiap tombak 

tetap berdiri lurus, hanya saja perlahan-lahan bentuknya 

menjadi samar, cahaya meredup dan akhirnya lenyap dari 

pandangan mata. Sepuluh gadis cantik kembali berkumpul 

mengelilingi Ratu Duyung. 

“Terima kasih kalian sudah melaksanakan tugas 

dengan baik. Kalian boleh kembali ke laut selatan. Bila 

tugas sudah selesai sepuluh tombak akan pulang ke 

tempat asalnya. Kalian tak usah menjemput. Salam hormat 

dan terima kasihku untuk Junjungan Nyai Roro Kidul.” 

Sepuluh gadis membungkuk lalu satu per satu melesat 

ke langit dan lenyap dari pemandangan. Saat itu juga 

udara yang tadi mendung kini berubah terang benderang 

kembali. 

“Ah, mereka pergi semua...” kata Setan Ngompol seolah 

kecewa oleh lenyapnya pemandangan indah tadi. 

Di atas tumbangan pohon Ratu Duyung buka kedua 

matanya. Dia menatap ke arah lima titik lalu bangkit 

berdiri, mendatangi orang-orang yang ada di kali. 

“Para sahabat, tempat ini sudah dipagari. Kita 

menunggu sampai tengah hari tepat.” 

“Apa yang akan terjadi pada tengah hari tepat?” 

bertanya Gondoruwo Patah Hati yang memang tidak tahu 

kelanjutan cara pengobatan atas diri Wiro. 

Purnama lalu menjelaskan. “Sesuai petunjuk Kitab 

Seribu Pengobatan, tepat tengah hari nanti sepuluh jari 

tangan dan sepuluh jari kaki Wiro harus ditusuk dengan 

benda tajam sampai keluar darah. Jika darah mengucur 

dan warnanya merah segar berarti dia telah sembuh dari 

penyakitnya...” 

Gondoruwo Patah Hati geleng-geleng kepala. Sambil 

menggeleng matanya menatap wajah Pendekar 212. Ada 

rasa iba di wajahnya yang angker. Nenek ini lantas ingat 

kejadian beberapa waktu lalu, ketika dia ikut dengan Wiro 

dan para tokoh silat menghancurkan 113 Lorong Kematian 

yang jadi markas manusia pocong pimpinan Pangeran Matahari. Saat itu Wiro terlibat bentrokan pukulan sakti 

dengan Ketua Barisan Pocong 113 Lorong Kematian. Wiro 

terpental, coba ditolong oleh Gondoruwo Patah Hati. 

Keduanya jatuh bergulingan di tanah. Secara tak sengaja 

sewaktu bergulingan bibir mereka saling bertempelan. Saat 

itu juga ujud si nenek berubah menjadi sosok seorang 

gadis cantik, memeluk dan menciumi Wiro. Memang ujud 

asli Gondoruwo Patah Hati sebenarnya adalah seorang 

gadis cantik jelita bernama Ning Intan Lestari. Si nenek 

melarang Wiro menyeka bibirnya. Malah berkata. “Dengar 

ada satu rahasia dalam diriku yang bisa menyesakkan 

dada jika tidak aku katakan padamu. Kalau saja aku tidak 

keburu jatuh cinta pada bocah berambut jabrik itu, kaulah 

jadi penggantinya.” Celakanya ketika si nenek mencium 

Pendekar 212, Dewa Tuak yang berada tak jauh dari 

tempat itu sempat melihat! Gondoruwo Patah Hati tarik 

nafas panjang dan usap bibirnya (Baca serial Wiro Sableng 

berjudul ‘Kematian Kedua’). 

“Siapa yang akan menusuk jari tangan dan kaki Wiro?” 

Purnama bertanya sambil memandang berkeliling. 

“Nek, kau saja yang melakukan,” kata Ratu Duyung. 

“Kukumu panjang-panjang. Kita tidak perlu mencari alat 

lagi. Harap kau mau membantu...” 

Gondoruwo Patah Hati mengangguk. Dia merasa ber–

syukur diberi kesempatan menolong pemuda yang diam-

diam dicintainya itu. Purnama kemudian menunjukkan 

bagian mana dari jari tangan dan kaki Wiro yang harus 

ditusuk. Gondoruwo Patah Hati menusuk sepuluh jari 

tangan dan sepuluh jari kaki Wiro, semua di bagian ujung 

jari. 

Setelah menunggu cukup lama tidak terjadi apa-apa, 

yaitu tidak ada darah yang mengucur keluar dari luka kecil 

bekas tusukan kuku baik pada sepuluh jari tangan maupun 

sepuluh jari kaki, Purnama menatap ke arah Ratu Duyung. 

Dua gadis ini sama-sama menunjukkan rasa cemas. Setan 

Ngompol dan Ki Tambakpati terdiam tegang. Naga Kuning 

memandang ke langit sebelah timur lalu membisikkan sesuatu pada Gondoruwo Patah Hati sambil menunjuk ke 

arah timur. Selanjutnya nenek ini pegang lengan Ratu 

Duyung seraya berkata. 

“Aku rasa ada yang menghalangi. Lihat di arah timur 

ada cahaya biru berkelap-kelip.” 

Ratu Duyung cepat menatap ke arah langit sebelah 

timur. Di arah itu tampak dua cahaya biru berkedap-kedip. 

“Kau benar Nek. Dua tombak biru pemagar tempat ini 

di arah timur memberi tanda. Ada yang berusaha masuk! 

Satu kekuatan gaib! Aku mohon kita semua sama-sama 

lepaskan pukulan sakti ke arah timur!” 

Kecuali Ki Tambakpati yang memang tidak memiliki 

pukulan sakti, semua orang segera kerahkan tenaga dalam 

dan siapkan pukulan sakti terhebat yang mereka miliki. 

Masing-masing mengerahkan tenaga dalam penuh. 

Jangankan manusia atau makhluk gaib, gunungpun rasa-

rasanya jika dihantam bersama-sama seperti itu akan 

hancur berantakan. 

“Kek” kata Ratu Duyung pada Setan Ngompol. “Kau tak 

usah ikut menyerang. Lindungi Wiro!” 

“Tunggu dulu, aku melihat sesuatu di arah timur!” 

Berkata Purnama. “Ada dua sosok samar sedang berkelahi 

di atas sana. Satu berpakaian putih, satu mengenakan 

pakaian hitam. Ratu Duyung coba kau selidiki. Keluarkan 

cermin saktimu!” 

Ratu Duyung cepat keluarkan cermin sakti. Serta-merta 

di dalam cermin terlihat seorang berselempang kain putih, 

berambut dan berjanggut panjang putih dengan wajah 

polos tengah berkelahi hebat melawan seorang pemuda 

gagah. Si pemuda mengenakan pakaian serba hitam, 

memelihara kumis, janggut dan cambang bawuk. Dari 

jalannya perkelahian kelihatan pemuda ini terdesak dan 

beberapa kali jatuh tersungkur. Makhluk tidak berwajah 

mempergunakan sebatang tongkat bercahaya kuning 

sebagai senjata ampuh. 

Ratu Duyung menerangkan apa yang dilihatnya dalam 

cermin.“Manusia tanpa wajah itu! Dia hendak menembus 

melewati pagar gaib pengaman. Pemuda berpakaian hitam 

berusaha mencegah tapi kalah ilmu. Dia akan segera 

dimusnahkan oleh manusia tanpa wajah. Tapi tunggu 

dulu... Bunga! Bunga muncul membantu pemuda berpa–

kaian hitam. Puluhan kembang kenanga melesat dari 

tangannya, membuat manusia tanpa wajah terpaksa 

mundur. Makhluk jahat ini membalikkan diri, melesat ke 

langit. Lari!” 

Di langit tampak tiga cahaya, merah, biru dan hijau 

berkiblat lalu lenyap. 

Purnama dan beberapa orang lainnya yang merasa 

tidak puas kalau tidak menyaksikan sendiri berusaha meli–

hat ke dalam cermin. Namun saat itu keadaan cermin 

hanya tinggal bening putih. Pertanda semua makhluk tadi 

tak ada di langit sebelah timur. 

“Hai lihat!” Tiba-tiba Gondoruwo Patah Hati berteriak. 

Membuat semua orang terkejut namun kemudian bersorak 

gembira. Dari duapuluh luka kecil di ujung jari tangan dan 

kaki Wiro membersit keluar darah merah. 

“Darahnya merah dan segar!” teriak Ki Tambakpati. 

“Wiro sembuh!” ucap Ratu Duyung sambil menekap 

wajah menahan tangis. 

“Angkat! Bawa ke dalam rumah!” kata Purnama. 

Semua orang, beramai-ramai mengangkat tiga batang 

kayu ke tepi kali. Lalu mereka menggotong Wiro, memba–

wanya masuk ke dalam rumah panggung dan dibaringkan 

di atas ranjang bambu. Darah kental, merah dan segar 

masih mengalir dari duapuluh luka kecil di jari tangan dan 

jari kaki Wiro. Sesaat kemudian kucuran darah berhenti. 

Gondoruwo Patah Hati pergunakan ujung jubah birunya 

untuk membersihkan sisa-sisa darah di tangan dan kaki 

Wiro. 

Tiba-tiba! 

Buuuttt... buuuttt... prett! 

“Kurang ajar! Siapa yang kentut?!” Hardik Setan Ngom–

pol. Mata mendelik dua tangan cepat menekap bagian bawah perut. 

Saat itu terdengar suara tawa cekikikan dalam rumah 

panggung disusul berkelebatnya satu bayangan kuning. 

Sesaat kemudian di dalam kamar itu telah berdiri seorang 

nenek serba kuning mulai dari pakaian sampai dandanan–

nya. Nenek ini mengenakan jubah kuning. Rambut kuning 

digulung di atas kepala, ditancapi lima sunting yang juga 

berwarna kuning. Lalu di telinga kiri kanan mencantel 

giwang berbentuk rantai kuning. Di leher menggantung 

sebuah kalung besar berwarna kuning. 

Setan Ngompol, Naga Kuning dan Purnama yang 

mengenali nenek ini serentak berseru menyebut namanya.


SEBELAS 


LUHKENTUT!” Nenek berjubah kuning yang tegak di 

ambang pintu ruangan tertawa panjang. Dia tepuk-

tepuk pantatnya yang songgeng karena dulunya terla–

lu banyak kentut lalu berkata, “Aku kebetulan lewat di sini. 

Aku mencium bau makhluk dari alamku. Ternyata kau yang 

berada di sini Luhmintari.” Si nenek berucap dan menyebut 

nama Purnama yang asli lalu memandang berkeliling. “Ah, 

sobatku Setan Ngompol dan Naga Kuning, kalian juga ada 

di sini” Si nenek lantas memandang ke arah ranjang bam–

bu. Kening mengerenyit. “Astaga! Bukankah itu Pendekar 

212 Wiro Sableng?” 

Purnama anggukkan kepala. Sampai saat itu sepasang 

matanya terus memperhatikan si nenek. Dia merasa ada 

kelainan pada diri perempuan tua berjubah kuning ini. 

“Apa yang terjadi dengan dirinya?” tanya si nenek. 

Siapa nenek ini sebenarnya? Di negeri Latanahsilam dia 

dikenal dengan nama Luhkentut alias Hantu Selaksa Angin. 

Sewaktu Wiro bersama Setan Ngompol dan Naga Kuning 

terpesat ke negeri 1200 tahun silam Wiro menolong dan 

berhasil menyembuhkan nenek ini dari penyakit kentut 

yang dideritanya selama puluhan tahun. Sebelumnya si 

nenek bisa kentut ratusan kali sehari. Setelah ditolong oleh 

Wiro penyakitnya sembuh. Kalaupun masih terkentut 

hanya keluar sesekali saja. Sebagai tanda terima kasih si 

nenek mewariskan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad 

kepada Wiro. 

Sewaktu para tokoh menyerbu 113 Lorong Kematian, 

Luhkentut ikut ambil bagian dan kemudian ditugasi 

mencari Hantu Muka Dua. Ternyata Hantu Muka Dua yang 

juga makhluk dari negeri 1200 tahun silam itu telah menemui ajal di tangan Bidadari Angin Timur (Nyi Bodong) 

(Baca serial Wiro Sableng ‘Api Di Puncak Merapi’). 

“Wiro menderita sakit aneh. Saat ini dalam tahap 

penyembuhan...” menjelaskan Naga Kuning. Sepasang 

mata bocah ini memperhatikan si nenek dari kepala 

sampai ke kaki yang tersembul di balik ujung jubah kuning. 

Tidak biasanya, pandangan mata si bocah yang selalu 

nakal kini kelihatan seolah menyelidik. Seperti diketahui 

ujud asli Naga Kuning adalah seorang kakek sakti berusia 

lebih seratus tahun. 

Si nenek jubah kuning delikkan mata lalu geleng-geleng 

kepala. 

“Di Latanahsilam dia menyembuhkan penyakit kentut-

kentutku! Saatnya aku membalas budi. Siapa tahu aku bisa 

menyembuhkan penyakitnya. Aku perlu memeriksanya.” 

Lalu nenek ini melangkah mendekati ranjang bambu di 

mana Wiro terbaring dalam keadaan mata masih terpejam. 

Saat itu di sudut ruangan Gondoruwo Patah Hati 

memberi isyarat dengan gerakan tangan kanan pada Ratu 

Duyung. Ratu Duyung yang baru saja mengerahkan ilmu 

Menembus Pandang atas diri Luhkentut anggukkan kepala 

lalu memberi isyarat pada Purnama. Gadis dari Latanah–

silam ini segera menghadang langkah nenek berjubah 

kuning. 

“Nek, tunggu. Sebelum kau memeriksa Wiro, kita bicara 

dulu di luar rumah.” 

“Kau mau membicarakan apa? Mengapa harus di luar 

rumah, tidak di sini saja?” tanya Luhkentut heran. 

Tanpa menjawab, Purnama tarik tangan si nenek, 

membawanya ke halaman. Ratu Duyung dan Gondoruwo 

Patah Hati bersama Naga Kuning mengikuti. Sebelum 

meninggalkan ruangan si nenek berkata pada dua kakek. 

“Jaga pemuda ini. Ada yang tidak beres dengan nenek 

satu itu!” 

Sampai di halaman Luhkentut memandang pada 

Purnama. “Kita sudah di luar rumah. Apa yang hendak kau 

bicarakan?”“Nek, aku menaruh curiga pada keadaan dirimu.” 

Berucap Purnama. 

“Bercuriga pada keadaan diriku? Memangnya ada apa 

dengan diriku? Aku tidak mengerti.” 

Gondoruwo Patah Hati melangkah ke hadapan 

Luhkentut. “Kita tua sama tua. Jangan berani berdusta. 

Kau datang ke tempat ini bukan secara kebetulan seperti 

katamu tadi.” 

“Aih, aku jadi tambah tidak, mengerti!” Luhkentut alias 

Hantu Selaksa Angin mulai tampak kesal. 

“Kau datang membawa makhluk asing dalam tubuhmu! 

Kau bersekutu dengan makhluk gaib untuk mencelakai 

Wiro!” Kini giliran Ratu Duyung yang keluarkan ucapan. 

Si nenek menatap Ratu Duyung tak berkesip lalu 

tertawa mengekeh. “Aku membawa makhluk asing dalam 

tubuhku katamu! Hik.. hik... hik! Untuk mencelakai Wiro?! 

Benar-benar gila! Kalian mau aku telanjang? Biar aku buka 

jubah kuning ini agar kalian melihat apa aku menyem–

bunyikan seseorang!” 

“Tidak perlu Nek,” jawab Ratu Duyung. “Kalau kau tidak 

percaya akan aku perlihatkan padamu!” Ratu Duyung 

ambil cermin bulat sakti. 

Purnama memberi tanda agar jangan bertindak dulu. 

Dia berkata pada si nenek. “Aku melihat ada cahaya samar 

tiga warna dalam tubuhmu! Kau membawa satu makhluk! 

Apa hubunganmu dengan manusia tanpa wajah yang 

belakangan ini selalu hendak mencelakai kami dan Wiro?!” 

Dalam bingungnya Luhkentut akhirnya tertawa gelak-

gelak. “Manusia tanpa wajah itu siapa? Setan atau 

manusia yang mukanya tersiram air panas?! Manusia 

sepertimu atau makhluk alam roh seperti sobatku Luhmin–

tari ini? Lelaki atau perempuan, atau tidak punya kelamin 

sama sekali. Ikutan polos bagian bawahnya?! Hik.. hik... 

hik!” 

Mendengar ucapan si nenek Ratu Duyung jadi marah. 

Tangan kanannya yang memegang cermin digoyang tiga 

kali. Saat itu juga tiga sinar putih berkilau mengandung hawa panas menyambar ke arah Luhkentut. 

“Aku datang bersahabat! Kau menyerangku! Sungguh 

keterlaluan!” teriak Luhkentut marah. Nenek ini kebutkan 

lengan jubah kuningnya kiri kanan seraya melesat dua 

tombak ke atas. Di udara menggema dua letusan dahsyat 

sewaktu dua larik sinar kuning yang keluar dari lengan 

jubah si nenek bentrokan dengan dua sinar putih menyi–

laukan yang melesat dari dalam cermin sementara sinar 

putih ke tiga berhasil dielakkan oleh Luhkentut dengan 

cara melompat tadi. 

Ketika si nenek melesat ke atas, Purnama ikut berke–

lebat. Di udara dia lambaikan tangan ke arah punggung si 

nenek. Selarik sinar biru bergemerlap menyapu. Saat itu 

juga Luhkentut merasa sekujur tubuh menjadi kaku, 

tangan dan kaki tak bisa digerakkan. Didahului jeritan 

keras dia melayang jatuh ke tanah. 

“Pengecut! Apa yang telah aku perbuat pada kalian 

hingga menyerangku beramai-ramai!” Teriak Luhkentut. 

Meski tubuhnya kaku ternyata nenek ini masih bisa ber–

suara. Dia berusaha kerahkan tenaga dalam dan hawa 

sakti ke tangan kanan untuk melancarkan serangan 

mematikan namun tidak berhasil. 

Sebagai jawaban seolah tidak memberi ampun, Ratu 

Duyung kembali gerakkan tangan kanannya yang meme–

gang cermin sakti. 

Dari dalam cermin melesat keluar gulungan cahaya 

putih panas, langsung menelan si nenek. Inilah ilmu 

kesaktian yang disebut Penjerat Raga Pencekal Jiwa. Di 

saat yang hampir bersamaan Purnama lepaskan satu 

pukulan sakti memancarkan sinar biru bergemerlap dan 

Naga Kuning menghantam dengan pukulan Naga Murka 

Menghancur Tujuh Dinding Gaib.

Semua serangan yang dilakukan ketiga orang itu 

memiliki kekuatan untuk membakar dan menghancurkan 

lawan yang mengandalkan kekuatan gaib. 

Luhkentut menjerit keras mengenaskan. Namun yang 

membuat semua orang tercekat ada satu raungan keras lain menyertai jeritan si nenek. Tubuh Luhkentut dikobari 

api berwarna merah dan biru. Perlahan-lahan tubuh itu 

leleh berubah menjadi cairan putih mengepulkan asap lalu 

lenyap. Sebelum leleh, satu bayangan putih keluar dari 

tubuh si nenek. Sekilas kelihatan kepalanya yang tidak 

memiliki wajah, tertutup rambut dan janggut putih. 

Purnama, Ratu Duyung dan Naga Kuning, kini juga 

Gondoruwo Patah Hati serentak menghantam dengan 

pukulan sakti. Cepat sekali makhluk tanpa wajah itu 

melesat ke langit. Salah satu bagian dari pakaian putih 

yang dikenakannya tampak dikobari api. Sambil melesat 

makhluk ini menebar cahaya merah, biru dan hijau 

berbentuk kipas, menyambar ke arah para penyerang. 

Ratu Duyung, Naga Kuning, Purnama dan Gondoruwo 

Patah Hati kalau tidak cepat menjatuhkan diri sama rata 

dengan tanah pasti akan celaka. Sebagian tanah halaman 

terbongkar hangus. Dua pohon besar dan beberapa 

rerumpunan semak belukar gosong menghitam! Untuk 

beberapa lamanya tempat itu tenggelam dalam kesunyian. 

Mendadak terdengar seseorang berucap perlahan tapi 

cukup jelas. 

“Kalian telah membunuh seorang sahabat.” 

Semua orang yang ada di halaman sama tersentak 

kaget dan palingkan kepala ke arah rumah panggung. 

“Wiro!” 

Empat orang berseru berbarengan menyebut nama 

Pendekar 212. Di atas rumah panggung, tepat di depan 

tangga kayu, berdiri murid Sinto Gendeng, dipapah oleh 

Setan Ngompol di sebelah kanan dan Ki Tambakpati di 

samping kiri. Wajah tampak pucat dan tubuh agak 

tertunduk. Walau semua orang gembira melihat sang 

pendekar mampu berdiri meskipun dipapah namun ucapan 

yang tadi dikeluarkan Wiro membuat mereka yang semula 

hendak datang mendekati kini tertegak bimbang meragu 

dan saling pandang satu sama lain. 

Wiro palingkan kepala pada dua kakek yang mema–

pahnya lalu balikkan badan, masuk ke dalam rumah.“Kalian dengar ucapan Wiro tadi...” berkata Gondoruwo 

Patah Hati. “Ada kesalahpahaman. Sebaiknya kita masuk 

ke dalam menemui Wiro.” 

Keempat orang itu lalu masuk ke dalam rumah dan 

menemui Wiro sudah berbaring di atas ranjang bambu. 

Sepasang mata terbuka namun menatap lurus ke atas 

langit-langit ruangan. 

“Wiro, kami bersyukur dan berterima kasih pada Gusti 

Allah ternyata kau telah disembuhkan...” Gondoruwo Patah 

Hati membuka pembicaraan. 

Wiro diam saja. Matanya masih terus menatap ke atas. 

Ki Tambakpati membuka mulut. “Jalan darahnya boleh 

dikatakan sudah pulih. Namun tubuhnya masih lemah. Aku 

tadi sempat memeriksa. Dia tidak kehilangan tenaga 

dalam ataupun hawa sakti yang dimiliki. Hanya saja dia 

butuh paling sedikit dua hari untuk dapat memulihkan 

kekuatan, mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti.” 

Purnama lebih mendekat ke tepi ranjang. 

“Wiro, apakah kau bisa bicara? Jika kau cukup kuat 

untuk bicara kami ingin menanyakan beberapa hal...” 

Hening beberapa ketika. Lalu tampak mulut Wiro 

bergerak dan terdengar suaranya berucap perlahan. 

Sementara sepasang mata masih tetap melihat ke atas. 

“Aku berterima kasih. Sangat-sangat berterima kasih. 

Semua para tetua dan sahabat di sini telah mau bersusah 

payah menolongku, menyelamatkan jiwaku...” 

“Semua terjadi dengan kuasanya Gusti Allah Yang Maha 

Pengasih Maha Penyembuh...” Kata Ratu Duyung pula. 

“Hanya ada satu hal sangat aku sesalkan. Keselama–

tanku ternyata menjadi tumbal kematian bagi seorang 

sahabat. Mengapa kalian membunuh sahabatku nenek 

bernama Luhkentut itu?” 

Tak ada yang menjawab. Untuk beberapa lama tempat 

itu diselimuti kesunyian. Ratu Duyung berpaling pada 

Purnama. Purnama memandang pada Gondoruwo Patah 

Hati. Akhirnya nenek ini yang bicara.



DUABELAS


WIRO, kami perlu menjelaskan agar tidak terjadi 

kesalahpahaman. Kami tidak ada niat membunuh 

Luhkentut. Namun dia datang membawa makhluk 

gaib berupa makhluk tidak punya wajah. Makhluk ini hen–

dak mencelakaimu, hendak membunuhmu. Kami harus 

membunuh makhluk itu sebelum dia sempat mencelakai–

mu...” 

“Apakah makhluk tidak berwajah itu berhasil kalian 

bunuh?” Wiro. 

Tidak ada yang menjawab. 

Wiro berkata lagi. “Apakah untuk mengusir atau mem–

bunuh makhluk tidak berwajah itu harus dengan cara 

membunuh sahabatku Luhkentut? Apa tidak ada cara lain 

yang lebih bijaksana?” 

Ketika masih tidak ada yang memberikan jawaban Wiro 

meneruskan ucapannya. “Luhkentut sama sekali tidak 

bermaksud jahat terhadapku. Dia hanya ketumpangan 

makhluk gaib. Luhkentut bahkan tidak tahu kalau dirinya 

ketumpangan.” 

“Wiro, kami sangat menyesal apa yang terjadi dengan 

Luhkentut” kata Gondoruwo Patah Hati. “Namun saat itu 

kami tidak ingin melihat kau terbunuh.” 

“Sahabat semua, sesungguhnya aku saat ini sudah 

mati dalam hidupku. Ki Tambakpati telah menceritakan 

apa yang terjadi dengan diriku. Aku kehilangan kejan–

tananku...” 

Semua orang tundukkan kepala. Purnama sembunyikan 

wajah dengan mata berkaca-kaca. Ratu Duyung kemudian 

menatap ke luar pintu ruangan. Ada yang menyesalkan seharusnya Ki Tambakpati tidak perlu cepat-cepat mem–

beritahu pada Wiro atas apa yang terjadi dengan dirinya 

menyangkut kejantanannya. Selain itu semua orang yang 

ada di tempat itu sama bertanya dalam hati. Mengapa 

dalam kegembiraan sembuhnya Wiro kini terjadi hal seperti 

ini? 

Purnama usap sepasang matanya yang basah lalu 

berkata, “Wiro, kami..., maksudku aku, Ratu Duyung, Naga 

Kuning dan Gondoruwo Patah Hati mengaku bersalah. 

Apakah ada cara untuk menebus dosa kesalahan itu?” 

“Aku hanya memberitahu bahwa seorang sahabat telah 

terbunuh. Soal dosa kesalahan bukan wewenang diriku. 

Aku yakin semua ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa. 

Aku hanya ingin semua ini menjadi pelajaran sangat baik. 

Aku ingin kalian tahu bahwa di balik setiap kebenaran itu 

akan selalu ada apa yang dinamakan kebijaksanaan. 

Seseorang mungkin merasa telah bertindak benar. Padahal 

jika dia mau berpikir maka selalu ada apa yang namanya 

kebijaksanaan di atas kebenaran!” 

Semua orang jadi terdiam mendengar kata-kata Wiro 

itu. Gondoruwo Patah Hati, Naga Kuning, Ratu Duyung dan 

Purnama merasa paling bersalah dengan terbunuhnya 

Luhkentut. Sementara makhluk tanpa wajah berhasil lolos 

melarikan diri. Hanya pakaiannya saja yang terbakar. 

Selain itu semua orang melihat ada kelainan pada diri 

Pendekar 212 dan membuat mereka bertanya-tanya. 

Apakah karena masih belum sempurna kesembuhannya 

maka Wiro bicara tenang perlahan seperti itu? Lalu tidak 

seperti biasanya kali ini Wiro bicara seperti orang tua 

memberi wejangan. Apa telah terjadi satu perubahan 

dalam diri sang pendekar? Padahal pada saat dia sadar 

tadi seharusnya dia ingin mencari tahu di mana dia berada, 

bagaimana dia bisa sampai di rumah panggung itu dan apa 

yang telah terjadi atas dirinya. Sebaliknya Ki Tambakpati 

dan Setan Ngompol yang banyak bicara dan memberi tahu 

keadaan dirinya. 

Sementara semua orang tenggelam dalam alam pikiran masing-masing Ki Tambakpati memecah kesunyian, “Wiro, 

ketika kami menemui dirimu dan memeriksa keadaanmu, 

kami tidak menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Kami 

khawatir kitab itu hilang lagi...” 

“Aku telah menyimpan kitab itu di satu tempat.” Jawab 

Wiro. 

“Wiro...” kata Ratu Duyung. “Kami semua belum 

merasa benar-benar lega sebelum kau mendapat kesem–

buhan sempurna. Kami ingin kau menceritakan bagaimana 

kejadiannya sampai dirimu ditemui Ki Tambakpati di atas 

bukit, di halaman sebuah candi dalam keadaan pingsan.” 

“Dari ceritamu,” menyambung Purnama. “Kami mung–

kin bisa menyelidik siapa yang telah berlaku jahat atas 

dirimu.” 

“Mudah-mudahan kami juga bisa mencari petunjuk 

penyembuhan atas penyakit yang melumpuhkan kejanta–

nanmu,” menyambung Gondoruwo Patah Hati. 

“Aku sudah di sini, kalian sudah menyelamatkan diriku. 

Apa masih perlu segala macam cerita dari kejadian yang 

telah lewat?” bertanya Pendekar 212. Suaranya perlahan 

dan tenang saja. 

“Wiro, kau pendekar besar! Mengapa menunjukkan 

sikap seperti tidak punya gairah hidup lagi? Kalau kau mau 

bercerita aku yakin ada jalan untuk menyembuhkan dirimu. 

Selain itu kami semua ingin sekali mengetahui siapa orang 

yang telah mencelakai dirimu. Kalau saja Pangeran Mata–

hari masih hidup pasti dia orangnya. Tapi begundal satu itu 

sudah mati.” Habis berkata Naga Kuning usap-usap dada 

Pendekar 212. 

Setelah berdiam diri beberapa lamanya akhirnya Wiro 

mau juga menceritakan apa yang telah terjadi dengan 

dirinya. Dimulai ketika dia menolong Raden Ayu Ambarsari 

yang diperkosa oleh seorang pemuda mengaku bernama 

Cakra. Sewaktu menyeberangi Kali Progo yang arusnya 

sangat deras, dirinya diserang secara gelap dengan lima 

senjata rahasia berupa bunga tanjung. Satu dari lima 

bunga tanjung menancap di lehernya hingga dia jatuh pingsan. 

“Ketika sadar diriku berada dalam tahanan Kerajaan 

atas perintah Pangeran Tua Sena Wirapala. Ternyata 

Ambarsari adalah cucu Pangeran Tua. Gadis itu ditemui di 

tepi Kali Progo dalam keadaan tak bernyawa setelah sebe–

lumnya diperkosa. Aku dituduh memperkosa dan mem–

bunuh Ambarsari. Aku tak berdaya membebaskan diri 

karena Pangeran Tua menotok tubuhku dengan totokan 

luar biasa hebat. Kemudian muncul kembaran ke tiga 

Eyang Sepuh Kembar Tilu. Dengan menyamar sebagai 

Eyang Sinto Gendeng nenek itu berhasil mengeluarkan aku 

dari penjara. Nenek itu membawaku ke sebuah candi di 

puncak bukit. Dia berusaha melepaskan totokan di tubuh–

ku tapi tak berhasil. Entah dari mana datangnya, muncul 

seorang pemuda berpakaian hitam, berikat kepala kain 

merah. Pemuda ini menolong diriku melepas duabelas 

totokan yang ada di tubuhku. Ketika pemuda itu pergi aku 

baru sadar. Ciri-cirinya sama dengan pemuda yang menu–

rut Ambarsari hendak memperkosanya. Aku dan si nenek 

berusaha mencari dan mengejar. Tapi dia lenyap seperti 

ditelan bumi. Kemudian sesuatu terjadi atas diriku. Sekujur 

tubuhku panas seolah berubah jadi bara api. Aku muntah 

darah segar. Si nenek berusaha menolong dengan mela–

kukan beberapa totokan. Kemudian dia menemukan 

sebuah bunga tanjung di bawah pusarku. Ketika bunga 

diambil terjadi tiga letusan. Dari bawah perutku melesat 

keluar satu hawa kekuatan aneh. Menyambar nenek itu 

hingga dirinya terpental. Sebelum pingsan aku ingat satu 

hal. Waktu itu hujan turun lebat sekali di puncak bukit.” 

Seperti diceritakan sebelumnya Wiro sama sekali tidak 

mengetahui apa yang kemudian terjadi dengan nenek 

kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Di bawah 

hujan lebat, dari tubuh nenek itu keluar sebentuk tubuh 

ramping tinggi semampai seorang gadis berkulit putih 

berwajah cantik jelita, berambut hitam sepinggang. Gadis 

ini mengenakan kebaya pendek dan celana panjang 

ringkas berwarna kuning. Begitu keluar dari tubuh si nenek, di bawah hujan lebat yang tidak membasahi tubuh serta 

pakaiannya gadis misterius itu melangkah pergi dan lenyap 

dari pemandangan. 

“Di halaman candi, tak jauh dari tubuhmu tergeletak, 

aku menemukan sebuah seruling...” Ki Tambakpati keluar–

kan sebuah suling perak dari balik pakaiannya dan mem–

perlihatkan pada Wiro. 

“Suling itu milik paderi Cina Loan Nio. Diberikan pada si 

nenek sebelum dia kembali ke negerinya...” menjelaskan 

Wiro. “Tolong kau simpan dulu suling itu Kek.” 

Kejadian selanjutnya diceritakan oleh Ki Tambakpati, 

mulai saat dia mencari Sinto Gendeng tapi menemukan 

Wiro dalam keadaan tak sadar diri di puncak bukit. Lalu 

kemunculan Damar Sarka dan Surah Sentono yang tengah 

mencari jejak madat lima puluh kati. 

“Ketika mereka menyiksa diriku karena mengira aku 

menyembunyikan madat itu, paling tidak tahu di mana 

beradanya, muncul sobatku Setan Ngompol bersama Liris 

Biru murid mendiang Hantu Malam Bergigi Perak. Perteng–

karan disusul perkelahian tidak terelakkan. Ketika Liris 

Biru dalam keadaan terdesak dan terancam jiwanya oleh 

Damar Sarka, muncul pemuda berpakaian hitam berikat 

kepala merah. Pemuda itu membunuh Damar Sarka lalu 

pergi begitu saja. Liris Biru ingat ciri-ciri pemuda itu sangat 

sama dengan orang yang membunuh dan memperkosa 

kakaknya. Karena pemuda itu sebelum pergi mengatakan 

akan menuju Kuto Gede, Liris Biru mengambil keputusan 

untuk mengejar ke sana...” 

“Aku khawatir akan keselamatan gadis itu. Bisa-bisa dia 

jadi korban seperti Liris Merah, kakaknya...!” ucap Setan 

Ngompol. 

“Pemuda berpakaian hitam berikat kepala merah itu, 

apakah dia memelihara kumis, jenggot dan berewokan 

lebat?” tanya Ratu Duyung sambil memandang pada Wiro. 

“Betul, tapi kumisnya cuma tipis, jenggot serta 

berewokannya juga tipis rapi. Mengapa kau bertanya hal 

itu. Apakah pernah melihatnya?” Wiro menjelaskan lalu balik bertanya. 

“Sejak kau sakit beberapa kali muncul makhluk gaib 

tak berwajah berusaha mencelakaimu termasuk semua 

kami yang ada di sini. Malam tadi dia muncul lagi, ber–

usaha menembus pagar pengaman yang dibuat oleh anak 

buahku. Melalui cermin aku lihat ada seorang pemuda 

berpakaian hitam berusaha mencegah hingga terjadi 

perkelahian. Namun pemuda dalam cermin itu tidak 

mengenakan ikat kepala merah. Kumis, janggut serta 

berewok cambang bawuknya lebat tidak terpelihara.” 

Sampai saat itu meskipun sudah bicara namun Wiro 

tetap saja mengarahkan pandangannya ke langit-langit 

ruangan. 

“Bunga tanjung...” ucap murid Sinto Gendeng. 

“Beberapa kali perkosaan dan pembunuhan yang terjadi 

atas gadis cantik yang aku dengar, korban selalu ditempeli 

bunga tanjung di keningnya. Aku roboh dihantam bunga 

tanjung di leherku. Aku jatuh sakit karena ada yang 

menempelkan bunga tanjung di bawah pusarku. Agaknya 

bunga tanjung ini merupakan pangkal bahala dari banyak 

malapetaka yang terjadi belakangan ini. Termasuk yang 

menimpa diriku. Pemuda berpakaian hitam, berikat kepala 

kain merah dan berkumis tipis itu, agaknya dia berada di 

belakang semua ini...” 

“Wiro, kau tahu di mana nenek kembaran ke tiga Eyang 

Sepuh Kembar Tilu itu sekarang beradanya?” tanya Ratu 

Duyung. 

“Aku tidak tahu,” jawab Wiro. Lalu melanjutkan, 

“Mungkin Ki Tambakpati bisa memberitahu karena dia 

yang pertama kali menemukan diriku di dekat candi.” 

“Ketika aku sampai di sana, aku hanya menemui dirimu 

dan suling ini. Tidak ada orang lain...” menjelaskan Ki 

Tampakpati. 

“Jika dia lenyap begitu saja, meninggalkan dirimu yang 

sedang ditimpa malapetaka, apakah tidak ada kecurigaan 

mengapa dia berlaku seperti itu?” Yang berkata adalah 

Gondoruwo Patah Hati “Mengingat begitu banyak pertolongannya atas diriku 

selama ini, aku tidak menaruh syak wasangka terhadap 

nenek satu itu. Kita tidak tahu apa yang terjadi atas 

dirinya.” Jawab Wiro pula. Lalu murid Sinto Gendeng ini 

meneruskan kata-katanya. “Dua hari lagi jika keadaanku 

sudah pulih, aku akan menemui guruku di puncak Gunung 

Gede. Setelah itu akan mengucilkan diri, mencari tempat 

yang baik di puncak gunung itu untuk mulai bertapa. Aku 

tidak tahu apakah aku akan turun gunung lagi atau akan 

menjadi pertapa seumur-umur...” 

Ucapan ini tentu saja membuat semua orang terkejut. 

“Wiro, kau jangan berputus asa seperti itu.” Kata Naga 

Kuning sambil pegang lengan Pendekar 212. 

“Kalaupun Tuhan mencabut nyawaku saat ini rasanya 

aku pasrah.” 

Semua orang jadi merinding mendengar kata-kata sang 

pendekar. Setan Ngompol pancarkan air kencing. 

“Wiro, ini hanya satu cobaan saja. Setiap cobaan pasti 

ada akhirnya,” kata Gondoruwo Patah Hati. 

“Rimba persilatan masih membutuhkan pendekar 

sepertimu. Mengapa kau memilih jadi pertapa?” Ucap Ratu 

Duyung sambil memperhatikan air muka Wiro. Dia tidak 

melihat kalau pendekar ini tengah bergurau. 

“Makhluk jahat yang mencelakaimu masih gentayangan 

di alam bebas...” kata Setan Ngompol pula. “Aku belum 

puas sebelum mengencingi mayatnya!” 

“Kalau begitu kalian semua keluarlah dari tempat ini. 

Aku mau tidur saja...” 

Semua orang kini jadi melongo. Naga Kuning pegang 

lengan Gondoruwo Patah Hati, menarik nenek ini keluar 

ruangan. Di luar ruangan si bocah bicara berbisik. 

“Aku khawatir Wiro kini benar-benar sudah sableng! 

Pikirannya jadi tidak waras gara-gara tahu kalau dirinya 

tidak jantan lagi. Memang kasihan. Aku tahu betul, seumur 

hidup dia belum pernah mempergunakan alat kejantanan–

nya itu...” 

“Husss! Orang lagi sakit bicaramu enak saja!” tukas Gondoruwo Patah Hati. 

“Aku bicara apa adanya!” jawab Naga Kuning. “Kalau 

aku jadi dia akan aku coba dan buktikan dulu. Akan kuper–

gunakan dulu anuku. Apa benar aku kehilangan kejan–

tananku!” 

“Anak geblek! Kau yang sudah berubah sableng!” maki 

Gondoruwo Patah Hati lalu puntir telinga kiri Naga Kuning. 

Tapi diam-diam si nenek berpikir dan bertanya-tanya dalam 

hati. Ucapan Naga Kuning bisa juga betul. Bagaimana Ki 

Tambakpati dan Setan Ngompol tahu kalau Wiro benar-

benar telah kehilangan kejantanannya. “Hal itu memang 

harus dibuktikan. Kejantanan Wiro harus diuji...” kata si 

nenek dalam hati sambil senyum-senyum. 

“Hai, ada apa kau mesem-mesem?” bertanya Naga 

Kuning sambil usap-usap kupingnya yang barusan dijewer 

dan masih terasa pedas. “Pasti ada pikiran kotor dalam 

otakmu!” 

“Huss! Diam saja kau!” bentak Gondoruwo Patah Hati. 

Malam itu hujan turun lebat sekali mencurah bumi. 

Udara dingin bukan kepalang. Mungkin karena keletihan, 

semua orang yang ada di dalam rumah panggung kepu–

lasan. Dini hari Gondoruwo Patah Hati terjaga lalu mem–

bangunkan Naga Kuning. 

“Hatiku terasa tidak enak,” kata si nenek. Ketika 

keduanya memasuki ruangan di mana Wiro berada, mere–

ka dapatkan pendekar itu tak ada lagi di atas ranjang 

bambu. Seisi rumah panggung menjadi heboh. 

Ratu Duyung memandang berkeliling. 

“Tidak semua kita berada di tempat ini. Mana Pur–

nama?” Ucapan gadis bermata biru itu membuat sadar 

semua orang kalau Purnama memang tidak ada di tempat 

itu. 

“Kurang ajar! Gadis alam roh itu melarikan Wiro. Paling 

tidak membujuknya meninggalkan tempat ini! Jauh sebe–

lumnya aku sudah menduga gadis satu ini berhati culas!” 

Gondoruwo Patah Hati keluarkan suara keras. 

Ratu Duyung ambil cermin sakti. Tenaga dalam dike–rahkan ke mata. Dua tangan yang memegang cermin 

bergetar. 

“Aku melihat bayangan Wiro. Di arah barat. Samar 

tanda sudah jauh sekali meninggalkan tempat ini.” 

“Kau juga melihat gadis alam roh bernama Purnama 

itu?” tanya Gondoruwo Patah Hati. 

Ratu Duyung goyang-goyangkan cermin sakti. Lalu 

menggelengkan kepala. “Tidak tampak orang lain. Hanya 

Wiro...” 

“Gadis culas itu pasti menggunakan ilmu kesaktiannya 

untuk menangkal agar tidak terlihat dalam cermin.” 

“Kita harus mengejar Wiro. Mungkin dia dalam perjala–

nan menuju Gunung Gede menemui gurunya. Kita harus 

mencegahnya untuk menjadi pertapa. Sebenarnya aku juga 

harus menuju ke sana karena ada pesan dari Kiai Gede 

Tapa Pamungkas untuk menemuinya.” 

“Aku khawatir...” Naga Kuning tidak meneruskan uca–

pannya, tapi melihat dulu pada Gondoruwo Patah Hati. 

“Kau khawatir apa?” sentak si nenek. 

“Aku khawatir Wiro diajak pergi oleh Purnama untuk 

menguji kejantanannya...” ucap Naga Kuning pula. 

“Anak edan!” maki Gondoruwo Patah Hati lalu jambak 

rambut jabrik Naga Kuning. Sementara anak ini meringis 

dan mengeluh kesakitan Setan Ngompol kucurkan air 

kencing habis-habisan! Ki Tambakpati cuma bisa senyum-

senyum dan Ratu Duyung kelihatan merah rona wajahnya. 

“Bisa jadi, bisa jadi! Bisa jadi apa yang dikatakan Naga 

Kuning betul.” membatin Gondoruwo Patah Hati dengan 

tubuh merinding karena cemburu. 

“Nek...” ujar Naga Kuning. 

“Apa?!” tanya Gondoruwo Patah Hati agak jengkel. 

“Kalau kau..., apa kau mau menguji keampuhan 

perabotannya Wiro?” 

“Anak setan!” Damprat si nenek sambil mencubit 

pinggang Naga Kuning hingga anak ini melintir kesakitan. 

                 TAMAT


PENULIS : BASTIAN TITO

CREATED : MATJENUH CHANNEL

BLOG : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Episode Berikutnya: SANG PEMIKAT

 


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive