Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Kamis, 20 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - GENDRUWO PATAH HATI

https://matjenuh-channel.blogspot.com


BASTIAN TITO

GONDORUWO PATAH HATI

 TUBUH SI NENEK BERGETAR KERAS, BASAH OLEH

KERINGAT. RACAU DARI MULUTNYA SEMAKIN KERAS 

PERTANDA APAPUN YANG TENGAH DILAKUKAN 

PEREMPUAN TUA INI AKAN SEGERA MENCAPAI 

PUNCAKNYA. DALAM KEADAAN SEPERTI ITU MENDADAK 

DI UDARA PAGI TERDENGAR SUARA BERDESING. SATU 

BENDA HITAM MELESAT SEPERTI JATUH DARI LANGIT, 

MELAYANG TURUN DAN BLUKK! JATUH TEPAT DI 

PANGKUAN SI NENEK.

 SUARA RACAU SI NENEK LENYAP, BERGANTI DENGAN 

JERITAN KERAS. TUBUHNYA TERHENYAK JATUH KE BATU 

BESAR, LALU TERGULING KE BAWAH DAN TERJENGKANG 

DI TANAH. DI PANGKUANNYA SAAT ITU, SEOLAH 

LENGKET, MELINGKAR SOSOK SEORANG ANAK LELAKI 

BERUSIA SEKITAR DUA BELAS TAHUN, BERPAKAIAN 

HITAM, BERAMBUT JABRIK.

 "BOCAH JAHANAM! KAU YANG JADI GARA-GARA! 

KUBUNUH KAU!"


SATU


PERAPIAN telah lama padam. Dinginnya udara men-

jelang pagi itu terasa semakin mencucuk. Di samping 

perapian tergolek bergelung sosok seorang pemuda 

berpakaian biru. Tampaknya dia tertidur pulas, tak perduli 

embun mulai membasahi pakaian dan tubuhnya. 

Kenyenyakan tidur si pemuda tidak berlangsung lama. 

Beberapa saat berselang kelopak matanya yang terpejam 

kelihatan bergerak-gerak. Telinga kiri yang lebih dekat ke 

tanah mendengar satu suara di kejauhan, membuat dia 

terjaga. Sepasang mata itu membuka makin lebar. Si 

pemuda bangkit, duduk, memasang telinga.

 "Derap kaki kuda. Dipacu sangat kencang ke arah sini. 

Firasatku mengatakan bakal terjadi satu kejadian buruk. 

Sebaiknya aku berlaku waspada, berjaga-jaga...."

Pemuda berambut licin, berkumis kecil rapi ini meman-

dang berkeliling. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.

Sesaat dia memandang ke arah datangnya suara derap

kaki kuda. Lalu dengan satu gerakan luar biasa

cepatnya, laksana hembusan angin tubuhnya melesat

ke atas cabang satu pohon besar. Mendekam dalam

gelap di balik kerimbunan ranting dan dedaunan,

menunggu.

 Si pemuda tidak menunggu lama. Suara kaki kuda

yang tadi dipacu kencang datang mendekat tapi berubah

perlahan. Lalu dari dalam kegelapan muncul kepala

seekor kuda hitam. Menyusul kelihatan penunggangnya.

Ternyata di atas punggung binatang itu bukan cuma

satu orang, melainkan ada dua penunggang.

 Orang pertama adalah kakek mengenakan jubahkelabu penuh renda kuning. Di pinggangnya melilit

seutas tali kuning, dihias rumbai-rumbai pada kedua

ujungnya. Kakek yang mulutnya selalu komat kamit ini

memutar kudanya beberapa kali mengelilingi perapian.

Sepasang mata berputar, memperhatikan tajam keadaan

sekitarnya.

 "Apinya memang padam. Tapi aku masih merasa ada 

hawa panas. Berarti di tempat ini sebelumnya ada orang. 

Lalu menghilang kemana?" Si kakek memandang ber-

keliling. Semula dia hendak berhenti sekedar istirahat

di tempat itu. Namun niatnya dibatalkan. Rasa tidak enak 

menyamaki hatinya.

 Di depan sosok si kakek, di atas punggung kuda

kelihatan orang kedua. Orang ini tidak duduk seperti

keadaannya kakek itu tetapi menggeletak menelungkup.

Dan dia adalah seorang perempuan. Sesekali tangan

kiri si kakek kelihatan mengusap tubuh perempuan itu

sambil berkomat-kamit dan menyeringai.

 Di atas pohon besar, pemuda berpakaian biru

memperhatikan sambil membatin. "Aku tidak melihat

wajahnya, tapi dari keadaan tubuhnya perempuan itu

masih muda. Menelungkup di atas kuda, mungkin

pingsan atau ditotok. Melihat cara si kakek mengelus

tubuh perempuan itu agaknya ada yang tidak beres.

Jangan-jangan...." Setelah memperhatikan sekelilingnya

sekali lagi, kakek berjubah kelabu memutuskan

meninggalkan tempat itu. Tali kekang disentakkan. Kuda 

tunggangan menghambur ke depan, menembus kegelapan 

malam.

 Di atas pohon pemuda berpakaian biru usap-usap

dagu sambil berpikir. "Belakangan ini aku banyak

menyirap kabar menggemparkan. Terutama beberapa

kejadian di Kotaraja. Orang tua tadi, aku belum pernah

melihatnya sebelumnya. Tapi melihat kepada ciri-cirinya

besar kemungkinan dialah tokoh silat Keraton, momok

cabang atas yang dijuluki Hantu Muka Licin Bukit Tidar.Wajahnya kulihat biasa-biasa saja, mengapa sampai

punya gelar aneh seperti itu? Dia memboyong seorang

perempuan muda. Mungkin perempuan culikan Aku

sudah mendengar lama, ada beberapa tokoh silat Istana

punya sifat keji. Suka berbuat mesum. Ada baiknya

aku mengikuti kakek itu. Siapa tahu dia pernah bertemu

atau melihat saudara yang tengah aku cari."

 Memikir sampai di situ pemuda di atas pohon lalu

berkelebat ke cabang sebelah bawah, melayang turun

ke tanah. Sesaat kemudian laksana terbang dia lari ke

arah lenyapnya kakek penunggang kuda hitam.

Kl BALANGNIPA alias Hantu Muka Licin Bukit Tidar

mempunyai sebuah pondok di Prambangan. Pondok ini

terletak tak jauh dari tikungan Kali Oyo, di satu

kawasan ditumbuhi pohon-pohon besar rapat serta

tertutup oleh semak belukar lebat. Ke pondok inilah si

kakek membawa perempuan boyongannya yang bukan

lain adalah Kinasih, istri mendiang Raden Mas Sura

Kalimarta juru ukir Keraton yang mati dibunuh oleh

seorang pemuda mengaku bernama Bagus Srubud.

Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Tiga

Makam Setan) Kinasih sendiri akhirnya jatuh hati pada

pemuda itu dan selama beberapa hari bersenang-senang

di dalam sebuah goa.

 Pondok di tikungan Kali Oyo itu walau lama tidak

dikunjungi dan tidak terpelihara namun keadaannya

cukup bersih. Hantu Muka Licin Bukit Tidar baringkan

tubuh Kinasih di atas sebuah ranjang kayu beralaskan

tikar jerami. Sambil pandangi sosok Kinasih, si kakek

duduk di tepi ranjang, komat kami menyeringai.

 "Wajah ayu, tubuh bagus. Rejeki besar. Sayang masih 

pingsan. Membuat aku tidak sabar. Aku harus melakukan 

sesuatu agar dia siuman...." Hantu Muka Licin usap tubuh 

Kinasih mulai dari kening sampai ke kaki. Usapannya 

berhenti di kaki kiri Kinasih. Tiba-tiba jari-jari tangannya 

memencet urat besar di atas tumit kiri Kinasih. Begitudipencet jalan darahnya, Kinasih menggeliat dan 

keluarkan suara keluhan panjang. Matanya terbuka. Dia 

masih belum melihat sosok si kakek. Pandangannya lurus 

ke atas ke arah atap pondok.

 "Di mana aku..." bisik Kinasih. Kepalanya diputar

ke kanan. Satu pekikan keluar dari mulutnya begitu

melihat Hantu Muka Licin. Dia rasa-rasa pernah

melihat orang tua ini sebelumnya, tapi karena

ingatannya belum pulih benar dia tidak tahu kapan

atau dimana. Kinasih bergerak bangkit, beringsut ke

sudut ranjang.

 "Orang tua, siapa kau? Aku berada di mana?"

 Hantu Muka Licin menjawab pertanyaan Kinasih dengan 

tawa mengekeh. "Aku suamimu sendiri, apa tidak 

mengenali? Saat ini kita berada di pondok milikku. Pondok 

buruk memang, tapi kita berdua bisa menjadikan tempat 

ini satu sorga dunia! Ha... ha...ha...!"

 Kagetlah Kinasih mendengar ucapan itu. Wajahnya

serta merta menjadi pucat. "Orang tua, beraninya kau

mengaku suamiku. Kalau otakmu tidak miring pasti...."

 Gelak Hantu Muka Licin kembali meledak. "Kau tidak

mengakui aku sebagai suamimu? Ha... ha...! Apakah aku 

lebih buruk dari mendiang suamimu si Sura Kalimarta? 

Dia hanya seorang juru ukir Keraton. Aku tokoh silat 

pejabat Istana! Dia tidak memiliki kejantanan sebagai 

suami! Aku lebih jantan dari seekor kuda liar! Ha... ha... ha! 

Kinasih.... Kau tidak mau menganggap aku sebagai suami 

tidak jadi apa. Anggap saja aku kekasihmu! Ha... ha... ha!"

 "Orang tua gila!" Kinasih melompat turun dari ranjang 

kayu, berusaha lari ke arah pintu. Tapi pinggangnya 

dengan cepat dirangkul Hantu Muka Licin. Tubuhnya 

kemudian dilemparkan kembali ke atas ranjang.

 "Dengar, aku menyelamatkan kau dari tangan Momok 

Dempet Tunggul Gono. Kau pantas berterima kasih dengan 

cara melayani aku sebagai suami, sebagai kekasih!"

 Ucapan Hantu Muka Licin memulihkan ingatan Kinasih.Malam tadi, dia bersama Wiro berada di depan makam 

suaminya di satu pekuburan di pinggiran Kotaraja. Lalu 

muncul kakek berjubah kelabu ini bersama seorang 

bertubuh tinggi seram dikenal dengan nama Tunggul Gono 

dan membawa sejumlah pasukan. Mereka menuduh, 

Wirolah yang telah membunuh suaminya. Dia bingung 

antara percaya dan tidak. Lalu terjadi pertempuran.

 Wiro menghancurkan tangan kiri Tunggul Gono. Wiro

sendiri kemudian roboh di tangan kakek berjubah kelabu

ini. Lalu si kakek menyambar tubuhnya, menaikkannya

ke atas kuda. Di atas kuda Kinasih berusaha

membebaskan diri tapi sia-sia belaka. Malah karena

kehabisan tenaga perempuan ini akhirnya jatuh pingsan.

 Kinasih serta merta sadar bahwa dirinya dalam bahaya. 

Kakek satu ini punya maksud jahat terkutuk atas dirinya. 

Kata-kata si kakek bahwa dia telah menyelamatkan 

dirinya dari tangan Tunggul Gono hanya omong kosong 

belaka karena sebenarnya dia sendiri sudah punya maksud 

keji.

 "Orang tua, jika kau benar-benar tokoh silat pejabat

Istana, kau harus menolongku. Membawa aku kembali

ke Kotaraja...."

 "Itu soal mudah, bisa aku lakukan kemudian.

Jangankan ke Kotaraja, ke bulan pun kau akan

kuantarkan. Ha... ha... ha!"

 Tiba-tiba Hantu Muka Licin melompat naik ke atas

ranjang. Kinasih terpekik. Kaki kanannya didorongkan

ke dada Hantu Muka Licin. Dua tangan si kakek dapat

memegang kaki itu di bagian paha. Ketika dua

tangannya direnggutkan ke bawah, kain panjang yang

dikenakan Kinasih robek besar, melorot turun.

 Kinasih kembali menjerit. Cepat tutup auratnya yang

tersingkap. Sebaliknya Hantu Muka Licin berkomat-

kamit, mengekeh panjang. Dua tangannya kembali

bergerak. Kinasih jatuh tertelentang di atas ranjang

kayu.

Kinasih berusaha melawan. Tapi Hantu Muka Licin kuat 

sekali. Apalagi saat itu setan nafsu turut membantu 

memberi kekuatan padanya. Sebentar saja Kinasih sudah 

terkapar di atas ranjang dalam keadaan tidak berdaya.

 Hantu Muka Licin tertawa panjang. Dengan cepat

dia tanggalkan jubah kelabunya.

 Di atas atap pondok, pemuda baju biru berkumis kecil 

yang sejak tadi mendekam mengintip apa yang terjadi, 

tanpa tunggu lebih lama segera saja hendak menjebol 

atap dan melesat turun ke dalam pondok. Namun tidak 

terduga mendahului gerakannya tiba-tiba terdengar suara 

bentakan.

 "Tua bangka keparat! Kalau mencari' kesenangan

jangan serakah sendiri saja!"

 Bersamaan dengan itu dinding pondok sebelah kanan

jebol. Sesosok tubuh melesat masuk. Di lain kejap

ranjang kayu di atas mana Hantu Muka Licin siap-siap

hendak menindih tubuh Kinasih mencelat ke atas, hancur 

berantakan. Kinasih menjerit keras. Hantu Muka Licin 

keluarkan kutuk serapah. Sementara Kinasih jatuh

terkapar di lantai, si kakek membuat gerakan jungkir

balik. Sambil melesat ke sudut pondok dia lepaskan satu 

pukulan tangan kosong ke arah sosok yang barusan

masuk ke dalam pondok dengan cara menjebol dinding!

Tapi serangannya luput karena yang dihantam ternyata

mampu berkelit gesit. Lalu di dalam pondok terdengar

suara tawa mengekeh disertai menebarnya bau yang

tidak sedap.

 Di atas atap, pemuda baju biru memperhatikan terheran-

heran. "Makhluk aneh, mata lebar kuping terbalik! Dia ini 

mau menolong atau ikut minta bagian?!"

* * *


DUA


JAHANAM kurang ajar!" membentak Hantu Muka Licin 

begitu mengenali siapa adanya orang di dalam pondok. 

"Bukankah kau cecunguk mengaku berjuluk Setan 

Ngompol, yang mengencingi sumur sumber air mandi Sri 

Baginda?! Dijebloskan dalam penjara! Mengapa bisa 

lolos?!"

 Orang yang muncul di dalam pondok memang Si Setan 

Ngompol yang belum lama berselang diselamatkan oleh 

Wiro dan gadis cantik dari alam roh bernama Suci alias 

Bunga.

 "Bagus kau masih mengenali siapa diriku. Sekarang ayo 

kau lepaskan perempuan itu! Jangan sampai aku sewot 

mengencingi mukamu!"

 "Benar-benar kurang ajar berani mati! Baru jadi setan 

kecil sudah berani mencari perkara dengan aku hantu 

besar!"

 "Ha... ha! Apamu yang besar? Anumu? Kejahatanmu? 

Atau nafsu terkutukmu?!"

 "Tua bangka tak tahu diri! Tampang dan badan tidak 

karuan! Kau muncul mau minta bagian rupanya! Baik, ini 

bagian untukmu!" Selesai membentak Hantu Muka Licin 

cepat loloskan tali kuning yang melilit di pinggang. Begitu 

tali diputar, menggaung bunyi dahsyat disertai berkiblat-

nya cahaya kuning berbentuk lingkaran, memapas laksana 

senjata tajam ke arah Setan Ngompol. Kinasih menjerit, 

jatuhkan diri ke lantai. Setan Ngompol tercekat dan 

langsung kucurkan air kencing.

 "Braakk!"

 Empat dinding pondok hancur. Pondok itu sendiri seperti 

diangkat angin puting beliung, melesat ke udara laluhancur berantakan!

 Tubuh Kinasih ikut terlempar ke udara lalu melayang 

jatuh dengan kepala lebih dulu. Perempuan ini menjerit 

keras. Sesaat lagi kepalanya akan remuk menumbuk 

tanah tiba-tiba satu bayangan biru berkelebat menyam-

bar tubuhnya. Di lain saat Kinasih merasakan dirinya 

seperti dibawa terbang lalu di satu tempat yang aman 

perlahan-lahan diturunkan ke tanah di belakang pohon 

besar. Semula perempuan muda ini hendak menjerit lagi, 

tetapi ketika melihat siapa yang menolongnya hatinya 

menjadi lega malah diam-diam merasa senang.

 "Kau... kau siapa...?" Kinasih bertanya pada pemuda 

gagah berpakaian biru, berambut licin dan memelihara 

kumis hitam rapi yang barusan menyelamatkannya.

 "Namaku Adimesa. Kau tak usah takut. Tetap berada 

di balik pohon ini...."

 "Kau mau kemana?" tanya Kinasih sambil memegang 

lengan si pemuda.

 "Kakek mata jereng berkuping terbalik yang

menolongmu tadi. Ilmunya memang tinggi tapi dia bakal

menemui kesulitan menghadapi lawannya. Aku harus

menolongnya."

 "Buat apa ditolong. Dia bisa saja sama bejatnya dengan 

jahanam berjubah kelabu itu...."

 "Akan kita lihat nanti. Kau tunggu di sini," jawab

Adimesa.

 Hancurnya pondok membuat perkelahian antara

Hantu Muka Licin dan Setan Ngompol kini berlangsung

di tempat terbuka sementara langit di ufuk timur mulai

kelihatan terang pertanda fajar sebentar lagi akan

menyingsing.

 Saat itu Hantu Muka Licin tengah melakukan serangan 

gencar. Cahaya kuning yang memancar dan tali ikat 

pinggangnya yang merupakan senjata andalan mengurung 

Setan Ngompol. Yang diserang berkelebat gesit, sambil 

balas menghantam dengan pukulan-pukulan saktisementara kencingnya terus memancar tak berkeputusan, 

muncrat kemana-mana bahkan ada yang menyiprat ke 

wajah Hantu Muka Licin, membuat orang ini menjadi 

marah besar dan lancarkan serangan habis-habisan.

 Walau terdesak hebat namun Setan Ngompol tidak

mau kalah. Dia bertahan mati-matian. Serangan-

serangan balasannya datang tidak terduga dan cepat

sekali. Bahkan beberapa kali dia berhasil menyusup

menembus lingkaran cahaya kuning lalu

menghantamkan jotosan ke dada dan perut lawan!

 Hantu Muka Licin kertakkan rahang. Mulutnya

berkomat-kamit seperti membaca mantera. Tiba-tiba

dia membentak garang. Lingkaran sinar kuning yang

mengurung Setan Ngompol menebar hawa dingin.

Bersamaan dengan itu Setan Ngompol merasakan

dirinya tergulung, tersedot masuk ke dalam putaran

cahaya kuning yang dengan cepat menciut segera aneh!

 Setan Ngompol berseru keras. Dia berusaha loloskan

diri dari sedotan cahaya kuning dengan cara melesat

ke atas. Dari atas lalu lancarkan dua serangan maut.

Yang pertama berupa tendangan dalam jurus Setan

Ngompol Mengencingi Pusara.

 Serangan ke dua berupa pukulan tangan kosong

dalam jurus Setan Ngompol Mengencingi Bumi. Angin

dahsyat disertai semburan air kencing menebar bau

pesing menderu ke arah Hantu Muka Licin.

 " Keparat!" rutuk Hantu Muka Licin. Kakek ini lipat

gandakan tenaga dalamnya ketika melihat bagaimana

lawan sanggup menembus lingkaran cahaya kuning.

Tangan kanan digerakkan secara aneh sedang mulut

berteriak "Sedot!"

 Saat itu juga Setan Ngompol keluarkan seruan

tertahan. Air kencingnya mengucur deras. Dia rasakan

tendangannya hampir menyentuh batok kepala

la wan.Tapi entah mengapa tiba-tiba seperti ada tembok

gaib menahan kakinya. Lalu cepat sekali tubuhnyaseperti ditarik masuk ke dalam lingkaran, terseret ke

bawah. Jika dia tadi mampu keluar dari sedotan sinar

kuning kali ini seolah tak punya daya sosoknya

menggapai-gapai kian kemari. Kalau dia sampai masuk

ke dalam inti atau pusaran lingkaran cahaya kuning,

sekujur sosok kakek bermata jereng ini akan remuk

seperti dijepit batu besar!

 " Kau mau menghancurkan tubuhku! Aku tidak takut

mati!" teriak Setan Ngompol.

 Pemuda berpakaian biru yang menyaksikan kejadian

itu geleng-geleng kepala. " Kakek edan, apa betul dia

tidak takut mati?!"

 Masih dalam keadaan melayang, tersedot ke bawah

tiba-tiba Setan Ngompol selorotkan celana bututnya di

sebelah depan. Lalu serrrrrrr!

 Hantu Muka Licin berteriak marah melihat apa yang

dilakukan lawan. Terlebih karena pipi dan bahu kirinya

sempat terkena guyuran air kencing Setan Ngompol.

Setan Ngompol tertawa tergelak, berusaha melayang

turun sambil jauhkan diri dari lawan.

 Memaki panjang pendek Hantu Muka Licin usap

wajahnya dengan tangan kiri. Saat itu juga wajah itu

berubah licin. Hidung, mata dan mulut lenyap entah

kemana! Suara tawa Setan Ngompol mendadak sirap!

Si kakek mata jereng terkesiap kaget melihat perubahan

pada wajah lawannya. Kesempatan seperti inilah yang

ditunggu Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Dengan cepat

dia kibaskan tali kuning di tangan kanan. Saat itu juga

enam puluh jarum putih menderu berkilauan dalam

gelapnya udara, menghambur ke arah enam puluh titik

darah di muka dan tubuh Setan Ngompol.

 Selama ini tidak satu musuhpun sanggup menyelamat-

kan diri dari jarum maut bernama Jarum Perontok Syaraf 

itu. Dalam waktu satu hari satu malam nyawanya tidak 

akan ketolongan akibat racun jahat yang ada di jarum. 

Kalaupun korban bisa bertahan hidup, atau mampumencabut jarum-jarum itu, maka bekas tusukan pada kulit 

dan daging akan membusuk. Dia akan menjadi cacat 

mengerikan dan menjijikkan seumur hidup! Pendekar 212 

Wiro Sableng telah mengalami hal ini. Untung saja dia 

masih sempat diselamatkan oleh Bunga, gadis dari alam 

roh yang juga dikenal dengan nama Suci. Bunga bukan 

saja mencabut puluhan jarum yang menancap di tubuh 

pemuda yang dikasihinya itu, tapi sekaligus memusnahkan 

racun yang mendekam di permukaan kulit dan daging 

tubuh Wiro hingga dia terhindar dari kebusukan.

 Setan Ngompol sadar kesalahan yang dibuatnya.

Dalam keadaan seperti itu dia tidak bisa berbuat suatu

apapun. Mata terbelalak, mulut keluarkan seruan putus

asa. Dia masih coba mengangkat tangan untuk

melepaskan pukulan tangan kosong berkekuatan tenaga

dalam penuh. Namun terlambat. Kecuali ada keajaiban,

kakek satu ini tidak akan tertolong.

 Hanya sesaat singkat puluhan jarum akan menancap

di muka dan tubuh Setan Ngompol, tiba-tiba berkelebat

satu bayangan biru disertai suara srett... srett! Tujuh

warna aneh memancar di udara yang masih gelap.

Membentuk tameng setengah lingkaran.

 "Sett... s'ettt!"

 Puluhan jarum terbendung di udara, menancap di

satu permukaan yang masih belum jelas apa adanya.

 Hantu Muka Licin berseru kaget ketika dapatkan

dirinya terdorong keras hingga terjajar dua langkah ke

belakang. Dadanya mendenyut sakit dan jalan darahnya

jadi tidak karuan. Dia coba bertahan, lututnya goyah.

Kalau tidak cepat dia mengimbangi diri niscaya jatuh

terhenyak di tanah. Setelah mengerahkan segala

kekuatan dan kemampuan, masih untung dia hanya

jatuh berlutut.

 Malu dan marah berkecamuk di dalam diri si kakek.

Wajahnya yang tadi licin serta merta kembali ke

asalnya.Dua matanya membeliak besar ketika melihat

bagaimana rumbai-rumbai pada dua ujung tali yang jadi

senjata andalannya saat itu telah gugus berputusan.

Ketika dia menggerakkan tali, kakek ini keluarkan

seruan tertahan. Seperti terbakar dan berubah jadi

debu, tali kuning itu rontok jatuh ke tanah. Dengan

mata menyorot si kakek memandang ke depan. Hatinya

menyumpah habis-habisan.

 Di hadapannya, hanya dua langkah di depan kakek

berjuluk Setan Ngompol, tegak seorang pemuda

berpakaian biru. Rambutnya disisir rapi ke belakang,

licin berkilat karena memakai sejenis minyak. Di atas

bibirnya menghias kumis kecil rapi. Pembawaannya

sangat tenang. Di tangan kirinya pemuda berwajah

gagah ini memegang sebuah benda yang ternyata adalah

sehelai kipas tujuh lipatan. Masing-masing lipatan

berwarna berbeda, sesuai dengan warna pelangi.

Melihat kipas di tangan si pemuda berubahlah wajah

Hantu Muka Licin.


TIGA


PENDEKAR Kipas Pelangi," ucap Hantu Muka Licin 

dengan suara perlahan tercekat.

 "Kalau tidak salah, bukankah saat ini aku berhadapan 

dengan seorang tokoh besar rimba persilatan, bernama 

Ki Balangnipa, berjuluk Hantu Muka Licin Bukit Tidar."

 Hantu Muka Licin keluarkan suara bergumam.

Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. "Kalau memang

sudah tahu siapa diriku, mengapa berani mencampuri

urusan orang?!" Berucap Hantu Muka Licin.

 Pendekar Kipas Pelangi tersenyum lalu membuka mulut 

menjawab ucapan orang.

 "Ki Balangnipa, ketahuilah di dunia ini pada dasarnya

tidak ada satu orangpun suka mencampuri urusan orang 

lain. Tapi kalau yang namanya urusan menyangkut

kejahatan keji seperti perbuatan mesum yang hendak

kau lakukan terhadap perempuan muda itu, rasanya

tidak ada satu orang pun di rimba persilatan yang mau

berpangku tangan begitu saja."

 "Sombong sekali bicaramu. Membuat aku muak! Jangan 

mengira dengan kepandaianmu kau telah merasa jadi 

tokoh paling hebat dalam rimba persilatan."

 Si pemuda hanya tersenyum tenang mendengar kata-

kata itu. Dia dekatkan kipas di tangan kiri ke wajahnya. 

Dia pandangi sesaat enam puluh jarum putih yang me-

nancap di permukaan kipas itu. Lalu mulutnya meniup. 

Enam puluh jarum serta merta luruh berjatuhan, amblas 

masuk ke dalam tanah. Sesaat tengkuk Hantu Muka Licin 

terasa dingin menyaksikan kejadian itu. Tapi dia menjaga 

agar tidak terjadi perubahan pada wajahnya. Setan 

Ngompol yang ikut menyaksikan tahu betul. Kalau pemudabaju biru itu mau, puluhan jarum yang menancap dikipas 

bisa dihantamkannya kembali pada si pemilik.

 "Pendekar Kipas Pelangi!" si kakek tiba-tiba membentak. 

"Kau boleh merasa punya ilmu tinggi! Tapi jangan me-

nyombongkan kepandaian di depanku! Jauh sebelum kau 

dilahirkan ibumu ke dunia, aku sudah malang melintang di 

rimba persilatan!"

 Tiba-tiba terdengar orang tertawa bergelak. Yang

tertawa adalah kakek mata jereng Setan Ngompol.

"Bicara ngelantur boleh saja. Tapi mengapa membawa

Ibu orang! Menyebut-nyebut soal lahir segala! Mengapa

tidak menyebut dukun beranaknya sekalian?! Atau

mungkin kau punya kepandaian seperti dukun beranak.

Buktinya tadi kau hendak menanggalkan pakaian

perempuan cantik itu! Apakah dia mau beranak? Aneh,

hamil tidak, bunting juga tidak! Bagaimana bisa beranak? 

Ha... ha... ha... ha!"

 "Tua bangka sinting!" maki Hantu Muka Licin pada Setan 

Ngompol. "Kalau urusanku dengan pemuda ini selesai, aku 

akan carikan tempat paling baik untukmu di neraka!"

 "Walah!" Setan Ngompol berseru dan melompat berdiri 

sambil kucurkan kencing. "Aku baru tahu kalau kau ini 

mandor neraka rupanya! Ha... ha... ha!"

 Tak dapat menahan amarahnya Hantu Muka Licin

melompat ke arah Setan Ngompol sambil melepas satu

pukulan tangan kosong. Namun dari samping ada deru

angin menahan gerakannya. Ternyata dengan menggerak-

kan kipas saktinya, tanpa membukanya, Adimesa berhasil 

mementahkan serangan Iblis Muka Licin.

 "Pemuda setan!" kutuk Hantu Muka Licin. "Kau sudah 

bertindak terlalu jauh! Namamu sejak dua tahun

belakangan ini memang telah menggegerkan rimba per-

silatan tanah Jawa. Sayangnya hal itu telah membuat 

dirimu menjadi sombong! Padahal sifat sombong, 

memandang rendah orang lain hanya satu jengkal dari 

liang kubur!"Pendekar Kipas Pelangi cuma tersenyum mendengar

ucapan itu. Sikapnya tenang, sama sekali tidak tampak

rasa amarah. Masih tersenyum dia berkata. "Aku tidak

menyangka, juga tidak tahu bagaimana caranya kau

menghitung jarak antara kesombongan dengan liang

kubur. Lagipula, siapa yang bersifat sombong

merendahkan?!"

 "Sahabatku muda, tuan penolong, aku tahu cara

kakek muka pantat itu menghitung jarak antara

kesombongan dengan liang kubur!" Si Setan Ngompol

membuka mulut.

 Pendekar Kipas Pelangi palingkan kepala ke arah Setan 

Ngompol. Sepasang alisnya naik ke atas. Lalu tersenyum 

dan anggukkan kepala. "Orang tua, mohon aku diberitahu 

rahasia bagaimana dia mengukur jarak antara 

kesombongan dengan liang kubur."

 "Mudah saja," jawab kakek mata jereng. "Dia pasti

mengukur dengan mempergunakan tali kuningnya. Tapi

sekarang talinya sudah jadi bubuk, berarti dia tidak

bisa menghitung lagi! Kalau dia mau, paling-paling dia

bisa mengukur mempergunakan anunya. Tapi melihat

potongan badannya aku kira-kira anunya cuma pendek,

tidak sampai setengah jengkal!" Habis berkata si Setan

Ngompol tertawa mengekeh lalu terkencing-kencing.

 Tampang Hantu Muka Licin kelihatan merah mengelam. 

Sekujur tubuhnya bergetar.

 "Benar, aku kira kau benar Kek," menyahut Pendekar 

Kipas Pelangi menimpali canda ejek Setan Ngompol. 

"Sekarang mohon kau memberitahu, mengapa tadi kau 

menyebut kakek itu dengan sebutan kakek muka pantat."

 "Gampang saja jawabnya!" sahut Setan Ngompol sambil 

senyum-senyum. Dia bisa merubah wajahnya jadi licin, tak 

ada mata, tak punya hidung, tak punya mulut. Pantat juga 

tidak punya mata, tidak punya mulut, tidak punya hidung! 

Jadi pantat dan mukanya sama kan? Ha... ha... ha!"

 Meledaklah amarah Hantu Muka Licin Bukit Tidar

Sekali bergerak saja dia sudah melompat ke hadapan

Setan Ngompol. Gerakannya luar biasa cepat.

 Setan Ngompol tak tinggal diam, cepat angkat dua

tangannya, satu siap menangkis satunya menggempur.

Tapi saat itu Pendekar. Kipas Pelangi telah mendahului.

Dia berkelebat memotong gerakan Hantu Muka Licin

sekaligus membuat Setan Ngompol menahan gerakan

dua tangannya.

 Hantu Muka Licin jadi mengkelap. Dari tenggorokannya 

keluar suara menggembor. Tangan kanan bergerak 

mengebut lengan jubah. Dari ujung lengan jubah itu 

menyambar asap berwarna kelabu, menebar bau aneh. 

Dari bau itu Pendekar Kipas Pelangi maklum kalau asap 

itu mengandung racun sangat berbahaya. Cepat dia tutup 

jalan nafas dan bersamaan dengan itu tangan kirinya 

yang memegang kipas digerakkan.

 "Srett!"

 Kipas mengembang. Tujuh warna pelangi menyambar. 

Asap kelabu beracun berbalik menghantam ke arah wajah 

Hantu Muka Licin . Kakek ini berteriak kaget, berusaha 

menghindar tapi sebagian asap beracun telah memasuki 

saluran pernafasannya. Raungan dahsyat melesat dari 

mulut Hantu Muka Licin. Mukanya mendadak berubah biru. 

Sosoknya lunglai, rubuh ke tanah.

 "Celaka! Nyawaku bisa-bisa amblas!" keluh Hantu Muka 

Licin dengan tengkuk dingin muka keringatan. Susah 

payah dia memasukkan tangan kanan ke balik jubah, 

mengeluarkan sebuah tabung kecil terbuat dari bambu. 

Penutup tabung dibukanya. Benda berbentuk butir-butiran 

hitam yang ada di dalam tabung dituang ke dalam mulut, 

ditelan dengan cepat. Sesaat dia terkapar di tanah, tak 

bergerak. Mata membeliak menatap langit yang mulai 

terang. Tiba-tiba kakek ini bangkit berdiri. Tubuh tertekuk. 

Mulut terbuka lebar-lebar, matanya mendelik. Lalu dari 

mulutnya menyembur muntah keluar cairan biru kehitam-

an. Itulah racun asap yang tadi sempat dihisapnya. Diamasih untung bertindak cepat menelan obat penangkal 

hingga lolos dari kematian!

 Berdiri terhuyung-huyung Hantu Muka Licin menunjuk 

tepat-tepat ke arah Pendekar Kipas Pelangi.

 "Manusia jahanam! Kau tunggu pembalasanku!" Masih 

terhuyung-huyung Hantu Muka Licin putar tubuhnya lalu 

seperti orang mabok dia lari meninggalkan tempat itu.

 Begitu Hantu Muka Licin lenyap. Setan Ngompol segera 

mendekati Pendekar Kipas Pelangi sementara Kinasih 

dengan agak ragu-ragu melangkah keluar dari balik pohon 

besar.

 "Pendekar gagah, aku tua bangka bau pesing yang

biasa dipanggil orang dengan sebutan Setan Ngompol

menghaturkan banyak terimakasih padamu. Jika tadi

kau tidak menolong, saat ini pasti diriku sudah jadi

bangkai tak berguna, ditancapi puluhan jarum celaka!"

 Pendekar Kipas Pelangi tersenyum. Sebelumnya dia

tidak pernah mendengar nama kakek ini. Tapi diam-

diam maklum kalau manusia aneh satu ini bukan orang

sembarangan.

 Sesaat mata Pendekar Kipas Pelangi seperti mengawasi 

si kakek, lalu melirik ke arah Kinasih yang melangkah 

mendatangi, kembali lagi memandangi Setan Ngompol.

 "Kek, tadi waktu kau menjebol dinding dan

menghambur masuk ke dalam pondok, aku mendengar

kau berucap seperti minta bagian ingin mendapatkan

perempuan itu."

 "Anak muda, pandangan matamu seolah mencurigai

diriku," kata Setan Ngompol. "Aku tidak menyalahkan

dirimu. Apa yang aku ucapkan itu hanya senda gurau

saja. Aku memang suka bergurau, mulutku bisa bicara

jahil seenaknya. Tapi kita sama-sama lelaki...."

 "Maksudmu Kek?"

 "Maksudku lelaki itu tua atau muda sama saja.

Sama-sama suka melihat wajah cantik dan tubuh mulus!

Apakah kemudian di dalam hatinya muncul maksudkeji dan mesum, itu persoalan lain...."

 "Kau sendiri apa termasuk yang persoalan lain itu?"

tanya Pendekar Kipas Pelangi sambil tersenyum.

 Setan Ngompol tertawa gelak-gelak. Lalu goleng-goleng 

kepala. "Pendekar gagah, aku sekali lagi mengucapkan 

terima kasih. Aku tidak bakal melupakan budi perto-

longanmu. Aku mohon pamit...."

 "Tunggu dulu Kek," kata Pendekar Kipas Pelangi pula. 

"Ada beberapa pertanyaan ingin kusampaikan padamu." 

Saat itu Kinasih sudah berada di dekat ke dua orang itu. 

Dia memilih tegak di samping si pemuda dan mem-

perhatikan Setan Ngompol tak habis heran. Dalam hati dia 

membatin.

 "Aneh, bagaimana ada manusia seperti ini. Mata jereng, 

muka jelek, kuping terbalik, pakaian lusuh compang 

camping, bau pesing kencing melulu!"

 "Apa yang hendak kau tanyakan, anak muda?"

 "Pertama, bagaimana kau bisa terpesat ke tempat ini?"

 Setan Ngompol tertawa lebar. "Jika aku bertanyakan hal 

yang sama padamu, mungkin jawaban kita tidak berbeda. 

Aku berada di satu tempat tak jauh dari sini ketika kakek 

mesum itu lewat memacu kuda membawa perempuan. 

Tadinya aku mengikuti hanya karena ingin tahu saja. 

Ternyata keingintahuanku harus kubayar mahal. Bahkan 

jiwaku hampir amblas!"

 Setan Ngompol tidak mau menceritakan perihal bahwa 

dia sebenarnya belum lama terpesat dari Negeri

Latanahsilam dan sejak berpisah dengan Pendekar 212

Wiro Sableng dia tengah mencari bocah aneh bernama

Naga Kuning. Siapa saja yang diceritakan tentang

riwayat Negeri Latanahsilam pasti tidak akan mem-

percayai. Bisa-bisa dia dianggap sinting. "Pertanyaanku ke 

dua," kata Pendekar Kipas Pelangi pula. "Apakah kau 

pernah mendengar seorang pemuda bernama Adisakal"

 "Adisaka.... Adisaka...." Setan Ngompol garuk-garuk

kepalanya. Hampir terlanjur mengatakan bahwa selamaIni dia berada di satu tempat disebut Negeri latanahsilam. 

Untung dia cepat menyadari lalu menggelengkan kepala. 

"Tidak pernah aku mendengar orang dengan nama itu. 

Bagaimana ciri-ciri orang yang kau cari Itu?"

 Adimesa menarik nafas dalam. "Itulah sulitnya, aku

tidak tahu ciri-cirinya...."

 "Aneh, kau mencari orang. Tapi tidak tahu ciri-cirinya."

 "Sebenarnya, dia kakakku. Tapi kami berpisah belasan 

tahun lalu. Sejak kami masih kecil. Bertahun-tahun aku

berusaha mencarinya. Sampai sekarang tidak berhasil...."

 "Ah, kau agaknya punya kisah hidup yang hebat. Dengar 

anak muda, kau telah menolongku. Aku berjanji akan 

balas menolongmu, mencari keterangan tentang kakakmu 

itu."

 "Terima kasih Kek."

 "Sebelum pergi bolehkah aku mengetahui siapa namamu 

sebenarnya?" tanya Setan Ngompol.

 "Namaku Adimesa."

 Ketika hendak melangkah pergi Setan Ngompol melirik 

pada Kinasih lalu berkata. "Ternyata aku tidak punya 

maksud menjahilimu 'kan? Ha... ha... ha!"

 Kinasih cuma diam tersenyum.

 Sesaat setelah si kakek pergi dan malam perlahan-lahan 

memasuki pagi, Kinasih berkata. "Seperti kakek aneh tadi 

itu, aku juga ingin menyampaikan rasa terima kasih. 

Kau...."

 "Tak usah ucapkan itu," kata Adimesa. "Lebih baik kau 

ceritakan siapa dirimu, mengapa sampai dibawa lari ke 

pondok itu oleh Hantu Muka Licin."

 Dengan singkat Kinasih menuturkan malapetaka

yang dialaminya. Mulai dari saat dia diculik oleh lelaki

bernama Bagus Srubud sampai kemudian ditolong oleh

Pendekar 212 Wiro Sableng.

 Adimesa terkejut mendengar Kinasih menyebut

nama itu. "Jadi kau ditolong oleh Pendekar 212 Wiro

Sableng? Dimana-pendekar itu sekarang?"

"Dia ditangkap oleh orang-orang berkepandaian tinggi 

dari Keraton," jawab Kinasih. Lalu perempuan ini 

bertanya. "Kau pernah tahu orang bernama Bagus

Srubud yang tadi aku ceritakan? Mungkin tahu dimana

aku harus mencarinya?"

 Adimesa menggeleng. "Orang seperti itu terlalu

berbahaya kalau kau cari. Lupakan dia. Walau orangnya

nyata tapi nama itu kurasa tak pernah ada. Kejahatan

yang dilakukannya atas dirimu pasti akan mendapat

hukuman dari Yang Maha Kuasa. Sekarang yang

penting kau harus segera kembali ke Kotaraja."

 Di tempat itu mereka menemukan kuda hitam bekas

tunggangan Hantu Muka Licin yang ditinggal begitu

saja. Sebenarnya Kinasih ingin sekali diantar pulang ke

Kotaraja oleh Pendekar Kipas Pelangi. Tetapi sang

pemuda tidak menawarkan. Kinasih sendiri merasa

sungkan untuk meminta. Padahal diam-diam sebenarnya

hatinya tertarik pada pemuda bertubuh tegap berwajah

gagah ini. Dia merasa menyesal telah menceritakan

riwayat dirinya. Kini Adimesa tentu menganggapnya

sebagai seorang perempuan rendah.

 "Kalau saja tadi aku tidak terlanjur bicara berterus

terang padanya, mungkin dia akan suka mengantar

aku ke Kotaraja," kata Kinasih dalam hati.

 Sebelum berpisah Adimesa bertanya pada Kinasih.

"Menurutmu apakah tuduhan orang-orang Keraton

bahwa Pendekar 212 yang membunuh suamimu, bisa

dipercaya?"

 "Sulit aku menjawab. Sampai saat ini aku masih bingung 

menyangkut hal yang satu itu...."

 Adimesa menepuk pinggul kuda tunggangan Kinasih.

Binatang itu segera melangkah pergi membawa

penunggangnya menuju Kotaraja. Namun naasnya

perempuan muda ini tidak pernah sampai di Kotaraja

dalam keadaan hidup.

 Siang di hari yang sama Kotaraja kembali dilandakegemparan. Kinasih pertama kali ditemukan para

pengawal di pintu gerbang timur, tertelungkup

melintang di atas punggung kuda. Dua mata membeliak,

wajah menunjukkan bayangan rasa takut amat sangat.

Di keningnya ada guratan angka 212. Jari-jari tangan

kanannya tergenggam kencang. Tubuhnya masih

hangat, pertanda belum lama menemui ajal.

* * *


EMPAT


HUJAN lebat turun sejak malam menjelang pagi.

Pedataran rendah di hilir Kali Lanang mulai digenangi air. 

Kalau hujan tak segera berhenti, hamparan sawah subur 

yang padinya siap dituai akan dilanda banjir, para petani 

akan menderita kerugian datar. Rupanya alam tidak mau 

menyengsarakan ummat, apalagi yang namanya rakyat 

kecil. Sebelum fajar menyingsing hujan mulai berhenti. 

Banjir yang ditakutkan tidak terjadi.

 Di satu tempat ketinggian di hulu Kali Lanang, hawa

dingin dan kabut tipis menutupi pemandangan. Samar-

samar di bawah bayangan gelap pohon beringin besar

hanya tiga tombak dari pinggiran kali, satu sosok

berjubah hitam duduk tak bergerak di atas sebuah batu

besar Sosok ini ternyata adalah seorang perempuan

tua renta bermuka seram seperti setan.

 Saat itu sebenarnya udara dingin bukan kepalang.

Jangankan seorang nenek, orang mudapun pasti akan

menggigil kedinginan. Tetapi disinilah letak keanehan.

Walau udara mencucuk dingin luar biasa, tanah kali

sekitar pohon beringin besar mengeluarkan hawa panas.

Hawa panas yang bersentuhan dengan udara dingin

menimbulkan uap hangat. Uap hangat ini bukan saja

menyelimuti udara di pinggiran kali itu, tetapi juga

membungkus batu besar, terus menyelimuti tubuh si

nenek yang duduk di atasnya, hingga sosok orang tua

berwajah seram itu kelihatan seperti mengepulkan asap

putih, mulai dari kepala sampai ke kaki sementara

sepasang matanya terpejam rapat.

 Bersamaan dengan terangnya langit di sebelah timur

tanda fajar telah menyingsing, dari mulut si nenek

keluar suara meracau aneh. Mula-mula perlahan saja,kemudian berubah keras. Sekujur tubuhnya bergetar.

Uap putih mengepul semakin banyak. Secara aneh sosok

si nenek yang tadi duduk di atas batu perlahan-lahan

bergerak ke atas lalu berhenti mengapung satu jengkal

di atas batu. Jelas sudah si nenek tengah mengerahkan

kesaktian dalam semedinya. Jika dia tidak memiliki

tenaga dalam luar biasa, tidak mungkin tubuhnya

mengapung seperti itu.

 Di atas kepala, rambutnya yang kelabu awut-awutan 

naik tegak lurus ke atas, seolah berubah menjadi ijuk 

kaku. Sesaat kemudian jubah hitam yang membungkus 

tubuh nenek ini bergerak membuka, seolah ada tangan 

gaib yang menanggalkan. Pundak kiri kanan si nenek 

tersingkap. Aneh, pundak itu kelihatan putih dan bagus. 

Jubah merosot lagi ke bawah, menyembulkan dada. Untuk 

seorang nenek berusia hampir delapan puluh tahun seperti 

dia, dada itu seharusnya hanya tinggal daging tipis 

pembalut tulang. Tapi luar biasanya, nenek satu ini masih 

memiliki dada bagus dan putih. Jubah hitam merosot lagi,

menyingkapkan perut, tertahan sebentar di pangkuannya

lalu jatuh ke atas batu. Sosok tubuh si nenek kini hanya 

terlindung kepulan uap putih. Suara gumam racau yang 

keluar dari mulutnya terdengar semakin keras. Sementara 

dua mata masih tetap terpejam.

 Menyusul terjadi satu keanehan lagi. Dua tangan si

nenek tampak bergetar hebat. Getaran itu menjalar

sampai ke ujung-ujung jarinya yang berkuku putih

panjang. Lalu di sebelah pundak kiri kanan ada cahaya

aneh berwarna merah. Cahaya ini bergerak ke bawah

sepanjang dua lengan, memasuki dua telapak tangan

terus ke arah sepuluh jari. Perlahan-lahan sepuluh kuku

berwarna putih berubah menjadi merah. Makin merah,

makin merah seolah sepuluh kuku itu telah menjadi

bara menyala.

 Tubuh si nenek bergetar keras, basah oleh keringat.

Racau dari mulutnya semakin keras pertanda apapuyang tengah dilakukan perempuan tua ini akan segera

mancapai puncaknya.

 Dalam keadaan seperti itu mendadak di udara pagi

terdangar suara berdesing. Satu benda hitam melesat

seperti jatuh dari langit, melayang turun dan blukkk!

Jatuh tepat di pangkuan si nenek.

 Suara racau si nenek lenyap, berganti dengan jeritan

keras. Tubuhnya terhenyak jatuh ke batu besar, lalu

terguling ke bawah dan terjengkang di tanah. Si nenek

menjerit lagi ketika dia mengangkat dua tangan, dia

melihat warna merah bara api di sepuluh kukunya telah

lenyap! Di pangkuannya saat itu, seolah lengket,

melingkar sosok seorang anak lelaki berusia sekitar

dua belas tahun, berpakaian hitam berambut jabrik.

Anak ini sendiri keluarkan seruan tertahan, kaget karena

tidak menyangka akan jatuh begitu rupa di atas

pangkuan seseorang. Padahal sebelumnya, dalam

keadaan setengah sadar setengah pingsan dia sudah

pasrah bahwa tubuhnya akan hancur remuk jatuh

menghantam tanah atau batu.

 Si nenek memekik panjang. "Habis! Hancur! Gagal

sudah!" Sepasang matanya mendelik besar memandangi

anak lelaki di depannya. "Bocah jahanam! Kau yang

jadi gara-gara! Kubunuh kau!"

 Tangan si nenek menjambak rambut jabrik si bocah

lalu anak itu dibantingkannya ke tanah. Si bocah

menjerit kesakitan.

 "Remuk... walah.... Remuk tubuhku..." si bocah

mengeluh, menggeliat di tanah lalu berusaha bangkit.

 "Bocah setan! Bukan cuma tubuhmu! Nyawamu juga

akan kubikin remuk!" Si nenek membentak, marah luar

biasa. Sekali dia melompat kaki kanannya menghantam

ke arah kepala si bocah.

 "Nek, tunggu!" si bocah berteriak sambil tutupkan dua 

tangannya di atas kepala tapi matanya memperhatikan 

nakal. "Kalau memang mau membunuhku, jangantelanjang begitu rupa. Nanti setan akhirat jadi bingung 

mau mengirimku ke mana. Ke sorga atau ke neraka!"

 Si nenek hendak menghardik marah tapi sadar kalau

saat itu dia memang tidak mengenakan apapun.

 "Hah?!"

 Si nenek batalkan tendangannya. Dua tangan sibuk

repot berusaha menutupi aurat yang telanjang. Dia ingat

pada jubah hitamnya. Pakaian itu tergeletak di atas

batu. Disambarnya lalu cepat dikenakan. Ketika dia

selesai berpakaian dilihatnya bocah berpakaian hitam

tadi tidak ada lagi di tempatnya semula.

 "Kurang ajar! Lari kemana bocah setan itu! Sampai

dimana, sampai kapanpun akan kucari! Akan kupecahkan 

batok kepalanya!"

 Saking marahnya si nenek gerakkan kaki kanan.

 "Braakkk!"

 Batu hitam di pinggir kali yang tadi jadi tempat duduk-

nya hancur berkeping-keping. Di atas pohon beringin

anak berusia dua belas tahun yang mendekam di balik

kerimbunan dedaunan delikkan mata, mulut ternganga.

 "Makhluk aneh. Tampang berbentuk nenek muka

setan. Tapi mengapa memiliki tubuh begitu bagus dan

mulus? Tapi gila! Batu saja hancur oleh tendangannya.

Apalagi kepalaku! Siapa gerangan adanya nenek ini?

Sebelum celaka di tangannya lebih baik aku cepat-cepat 

menyingkir dari sini."

 Baru saja anak itu berucap dalam hati, seolah tahu

kalau orang yang dicarinya sembunyi di atas pohon, si

Nenek tiba-tiba dongakkan kepala lalu pukulkan tangan

kanannya. Dari tangan dan ujung jubah hitam menderu

lalu gelombang angin luar biasa derasnya. Saat itu

juga seluruh daun pohon di balik mana anak berpakaian

hitam sembunyi rontok luruh ke tanah. Si anak jadi

terlihat jelas, tegak sempoyongan di salah satu cabang,

muka pucat pasi. Tubuhnya terasa kaku. Sambaran

angin yang tadi dihantamkan nenek muka setan di bawahsana mempengaruhi jalan darahnya.

 Sadar kalau orang sudah melihatnya serta sulit bergerak 

cepat untuk melarikan diri, anak ini nekad melompat ke 

bawah. Dua kali jungkir balik tak karuan akhirnya dia 

mampu juga menjejak tanah, tegak terbungkuk-bungkuk 

di depan si nenek sambil pegangi kepala, takut akan kena 

gebuk atau ditendang lagi.

 "Nek, kalau kau memang mau membunuhku, aku tidak 

punya daya untuk selamatkan diri. Tapi aku mau tahu dulu 

apa dosa kesalahanku hingga kau mau menghabisi 

nyawaku."

 "Bocah setan! Dosa kesalahanmu setinggi langit sedalam 

laut!" bentak si nenek.

 "Walah, begitu amat Nek? Harap kau mau memberitahu 

yang salah apaku, yang dosa apaku?"

 "Jahanam! Empat puluh hari empat puluh malam aku 

melakukan samadi! Tidak perduli hujan, tidak perduli

panas. Makan tidak minum juga tidak! Hampir rampung

ilmu yang aku dalami tahu-tahu kau merusak semuanya!

Jahanam betul!"

 Si nenek menggembor keras lalu menyergap.

Tangannya kembali menjambak rambut jabrik si bocah.

Ketika dia hendak membantingkan anak itu tak sengaja

sepasang matanya bentrokan dengan dua bola mata si

bocah. Ada sekilas cahaya aneh di mata anak itu

membuat darah si nenek tersirap. Lalu dibalik wajah si

bocah, dia seperti melihat satu wajah lain yang

menyebabkan dadanya berdebar keras.

 "Kurang ajar, ada apa dengan anak ini. Matanya

menyorotkan ketakutan. Tapi dibalik bayang ketakutan

Itu aku melihat satu bayangan lain. Hatiku... mengapa

hatiku tiba-tiba bergetar?"

 "Bocah setan! Siapa kau adanya! Mengapa berani

mengusik semediku, menjatuhkan diri ke pangkuanku!

 Siapa yang menyuruhmu? Siapa yang mengirimmu

ke Banyuanget ini?! Pasti kakek keparat itu!"

"Maaf Nek, jangan kau salah mengira. Tidak ada yang 

mengirimku ke sini! Aku tidak ada niat mengusik semedi-

mu, apa lagi sengaja menjatuhkan diri kepangkuanmu...."

 "Jangan dusta! Kau memang punya niat jahat dan niat 

cabul!" Si nenek perkencang jambakannya lalu meng-

angkat tubuh si anak tinggi-tinggi, siap untuk dibanting-

kan.

 "Nek... aku... aku tidak tahu apa maksudmu...."

"Jangan dusta! Kau sengaja muncul untuk mengusik

semediku hingga aku gagal mendapatkan ilmu itu! Lalu 

kau juga sengaja menunggu sampai seluruh pakaian di 

tubuhku tanggal. Baru dijatuhkan diri di pangkuanku!"

 "Nak, semua terjadi serba tidak sengaja. Aku...."

 Tangan si nenek bergerak, siap membantingkan anak

yang dljambaknya. Tapi si anak cepat berseru. "Tahan,

tunggu dulu Nek! Beri kesempatan untuk

menerangkan.."

 "Nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan mata!

Apa yang hendak kau katakan?!"

 "Kalau aku ceritakan bagaimana asal usulnya aku

sampai melesat dari langit, melayang jatuh ke pang-

kuanmu, pasti kau tidak percaya. Sumpah Nek, aku tidak 

sengaja jatuh ke pangkuanmu! Juga sumpah aku tidak 

punya niat cabul terhadapmu!"

 "Siapa percaya mulut dan segala sumpahmu! Siapa

namamu? Siapa menyuruhmu menggagalkan

semediku?!" bentak si nenek.

 "Namaku Naga Kuning, Nek. Tidak ada yang

menyuruhku. Aku memang terlempar dari langit. Nasib

apes jatuh di pangkuanmu pada saat kau dalam keadaan

bugil. Nek, dengar Nek. Terus terang aku kagum padamu. 

Mukamu lebih jelek dari setan, tapi keadaan tubuhmu 

tidak kalah bagusnya dengan tubuh janda kembang...."

 "Jahanam kurang ajar! Sekarang mampuslah!"

 "Nek, aku mohon...."

 "Mohonlah pada setan!"Tangan si nenek sudah siap membanting. Tiba-tiba

terjadi keanehan. Rambut si bocah mendadak berubah

sangat licin seperti dilumuri minyak. Ketika si nenek

hendak memperkencang jambakannya, cekatannya

malah lolos. Si bocah jatuhkan diri ke tanah.

 "Ternyata kau punya ilmu kepandaian! Bagus! Coba

rasakan dulu tendanganku ini!"

 Kaki kanan si nenek menderu tapi. Namun tendangan-

nya luput. Anak yang jadi sasaran membuat gerakan lebih 

cepat, membuang diri ke kiri lalu bergulingan di tanah 

ke arah pohon beringin. Si nenek mengejar. Tapi anak itu 

menghilang seperti ditelan bumi.

 "Kemana lenyapnya bocah kurang ajar itu?!" Si nenek 

memandang berkeliling, memperhatikan ke atas pohon 

beringin. Tapi Naga Kuning kali ini benar-benar lenyap. Si 

nenek usap wajah setannya, menarik nafas panjang 

berulang kali, lalu melangkah ke pinggir kali dan duduk 

merenung.

 "Bocah kurang ajar bernama Naga Kuning itu.

Mungkinkah dia...? Mustahil. Puluhan tahun telah

berlalu. Aku tidak pernah mendengar riwayatnya lagi.

Aku tak pernah mengharapkan dirinya lagi. Sakit hati,

kekecewaan besar. Semua itu yang aku dapat darinya

sebagai balas kebaikan hatiku padanya. Kalaupun yang

tadi itu memang dia mengapa ujudnya seperti itu? Kalau

dia masih hidup, usianya sudah di atas seratus tahun.

Tidak mungkin. Namun, sejak dua purnama belakangan ini 

mengapa aku selalu terkenang pada dirinya?"

 Si nenek memandangi arus Kali Lanang yang deras

akibat curahan hujan lebat malam menjelang pagi tadi.

Dia kembali mengingat-ingat. "Sewaktu rambutnya

kujambak, rambut itu tiba-tiba menjadi licin. Anak itu

memiliki ilmu meloloskan diri dengan menjadikan

rambutnya licin. Memang di tanah Jawa ini banyak

Ilmu aneh yang membuat orang bisa jadi licin. Ilmu

Belut Putih, Ilmu Pelicin Raga dan sebagainya. Tapisepanjang pengetahuanku hanya ada satu ilmu sejenis

itu yang hebat luar biasa. Ilmu itu disebut Ilmu Ikan

Paus Putih. Dan dimiliki oleh kakek sakti setengah

manusia setengah roh yang adalah ayah angkatku

sendiri. Kiai Gede Tapa Pamungkas. Apakah anak itu

ada sangkut pautnya dengan Kiai? Setahuku Kiai tidak

pernah mengangkat murid. Tapi selama puluhan tahun

aku berpisah dengan ayah angkatku itu, mungkin saja

terjadi hal-hal yang aku tidak ketahui. Hai! Tololnya

aku! Anak itu paling banyak berusia dua belas tahun.

Mana mungkin dia sudah ada puluhan tahun silam?

Mana mungkin dia bisa menguasai ilmu kesaktian tinggi

dalam usia seperti dia?" Si nenek muka setan menghela

nafas panjang berulang kali. Dia hendak bergerak

bangkit. Mendadak dia mendengar suara orang berlari.

Suara itu demikian halusnya seolah yang berlari tidak

menginjak tanah. Si nenek menoleh. Satu bayangan

berkelebat di belakangnya. Tahu-tahu seorang pemuda

berpakaian biru, berkumis rapi berwajah tampan muncul, 

tegak berdiri beberapa langkah di hadapannya.

 "Nek," pemuda itu menyapa sambil membungkukkan 

badan memberi hormat. "Maafkan kalau aku mengganggu 

ketenteramanmu, aku kebetulan lewat, melihatmu ada di 

sini, ingin menanyakan sesuatu...."

 "Anak muda aku sedang tidak enak hati. Salah-salah 

lehermu bisa kupatahkan! Lekas minggat dari hadapanku!"

 Pemuda berbaju biru yang bukan lain adalah Adimesa 

alias Pendekar Kipas Pelangi pandangi si nenek dengan 

wajah tenang lalu tersenyum. "Tampaknya nenek ber-

wajah seram ini bukan manusia sembarangan. Tanda-

tanda di sekitar sini menunjukkan agaknya sebelumnya 

terjadi satu perkelahian di tempat ini. Ada hancuran batu, 

ada pohon beringin yang gundul sebagian daunnya. Dari 

pada mencari urusan tak karuan memang lebih baik aku 

menyingkir dari tempat ini."

 "Nek, terima kasih kau telah memberi ingat. Silahkanmeneruskan bersunyi diri. Sekali lagi maaf kalau aku

telah mengganggu" Pendekar Kipas Pelangi membungkuk 

lalu tinggalkan tempat itu.

 Si nenek sesaat seperti tak acuh. Kemudian dia menoleh 

memperhatikan. "Anak muda itu bersikap tenang, bersifat 

polos. Tapi dia datang dengan berlari. Cepat tapi tanpa 

suara. Tahu-tahu muncul di hadapanku. Pasti dia mem-

bekal ilmu tidak rendah. Ada baiknya kalau aku ketahui 

apa yang hendak ditanyakannya."

 "Anak muda! Tunggu!" si nenek berseru.

 Pendekar Kipas Pelangi hentikan langkah tapi hanya

diam berdiri, tidak mau mendekati si nenek. Sebaliknya

si nenek kini yang bangkit berdiri dan menyampari

pemuda itu.

 "Apa yang hendak kau tanyakan padaku?"

 Si pemuda memandang wajah setan si nenek, lalu ter-

senyum. "Terima kasih, kau mau memberi kesempatan," 

katanya. "Tidak jauh dari sini, sebelumnya aku melihat ada 

sebuah benda melayang di udara. Aku berusaha meng-

ikuti. Benda itu melesat ke arah sekitar sini lalu lenyap. 

Aku berusaha mencarinya tapi tidak berhasil. Mungkin kau 

melihat sesuatu Nek?"

 Si nenek diam sebentar. Dalam hati dia membatin.

"Jangan-jangan bocah kurang ajar tadi yang dicari 

pemuda ini. Bukan mustahil dia sahabat anak bernama 

Naga Kuning itu."

 "Benda yang melayang di udara itu, apakah manusia,

batu, kayu, binatang atau apa?!" si nenek ajukan

pertanyaan.

 Pendekar Kipas Pelangi tersenyum. "Benda itu

melesat cepat sekali. Seperti jatuh dari langit. Aku

sulit menduga. Namun besar kemungkinan benda itu

adalah sosok manusia...."

 "Kau pasti gila! Mana ada manusia bisa jatuh melayang 

dari langit lalu lenyap. Dan kau muncul di sini bertanya 

padaku! Benar-benar edan!""Nek, belakangan ini memang banyak hal gila dan

edan terjadi dalam rimba persilatan. Bahkan kegilaan

dan keedanan itu merambat sampai ke Kotaraja. Kalau

kita tidak menyiasati dan berjaga-jaga, kita bisa ikut-

ikutan gila dan edan."

 "Kau salah satu diantaranya yang sudah jadi gila

dan edan!" tukas si nenek. "Heh, apa seorang bocah

bernama Naga Kuning ada sangkut pautnya dengan

dirimu? Mungkin dia orang yang tengah kau cari?"

 "Naga Kuning?" Pendekar Kipas Pelangi gelengkan

kepala. "Tak pernah aku mengenal bocah dengan nama

itu."

 "Kalau begitu jangan berdiri lebih lama di depanku!

Pergilah sebelum aku merasa terusik...."

 "Nenek aneh," kata Pendekar Kipas Pelangi dalam hati. 

Namun dengan tersenyum dia bungkukkan diri lalu 

melangkah pergi.

 Tak lama setelah Pendekar Kipas Pelangi pergi, si

nenek ingat sesuatu. Dia mengejar ke arah lenyapnya

pemuda itu. Tapi yang dikejar tak kelihatan lagi.

 "Tololnya aku. Seharusnya aku tanya siapa adanya

pemuda itu. Siapa namanya!" Si nenek geleng-gelengkan 

kepala. Sekali berkelebat dia lenyap dari tempat itu.

 Belum jauh berlari Pendekar Kipas Pelangi juga ingat

sesuatu. Dia segera memutar larinya, kembali ke tepi kali. 

Namun di tempat itu orang yang dicarinya tak kelihatan 

lagi. Si pemuda usap-usap dagunya. "Seharusnya tadi aku 

tanyakan siapa adanya nenek itu. Mungkin dia tahu perihal 

Adisaka, kakakku. Tapi yah.... Sudahlah."



LIMA


MATAHARI hampir tenggelam ketika Naga Kuning 

sampai di tepi selatan Telaga Gajahmungkur. Anak ini 

menatap dengan mata sayu. Dia teringat pada peristiwa 

beberapa waktu lalu ketika kehancuran melanda segala 

sesuatu yang ada di dasar telaga.

 Perlahan-lahan Naga Kuning mendudukkan diri di tepian 

telaga. Mula-mula dia merasa ragu, tapi apa boleh buat. 

Dia menginginkan keterangan yang sangat dibutuhkannya 

itu. Satu-satunya yang bisa memberikan penjelasan 

adalah penguasa Telaga Gajahmungkur yang merupakan 

makhluk alam gaib dikenal dengan nama Kiai Gede Tapa 

Pamungkas. (Baca serial Wiro Sableng yang berjudul 

"Wasiat Iblis" dst. terdiri dari 11 episode)

 "Peristiwanya sudah lama sekali. Aku tidak bisa

memastikan, sejak isi telaga porak poranda, apakah

Kiai masih suka datang ke tempat ini?"

 Naga Kuning rangkapkan dua tangan di depan dada.

Setelah memperhatikan sekitar telaga, anak ini pejamkan 

ke dua matanya, pendengaran terhadap alam luar ditutup. 

Sosoknya tidak bergerak. Dia telah berubah seolah 

patung. Menjelang tengah malam hujan gerimis turun. 

Udara menebar bau aneh, seperti bau kemenyan dibakar. 

Kepala Naga Kuning bergoyang, sekali ke kiri, sekali ke 

kanan. Bau kemenyan menyirap masuk ke jalan pernafas-

an, mendekam di dada.

 Sesaat kemudian mulut anak itu tampak bergerak.

Lalu terdengar suaranya berucap perlahan. "Kiai Gede

Tapa Pamungkas, saya mohon, datanglah menampakkan 

diri. Ada satu masalah besar yang ingin saya tanyakanpadamu. Saya tahu kau berada jauh di telaga tiga warna 

puncak Gunung Gede. Tapi dengan ilmu kesaktianmu, 

dengan redho Gusti Allah, tidak sulit bagimu untuk bisa 

muncul di telaga Gajahmungkur ini. Jika engkau men-

dengar permintaan saya ini Kiai, saya mohon kau mau 

mengabulkan...."

 Sunyi, sesekali terdengar gemerisik dedaunan tertiup

angin. Sesekali terdengar riak air telaga disapu hembusan 

angin.

 "Kiai, jika engkau mendengar harap kau mau mengabul-

kan permintaan saya...." Kembali Naga Kuning berucap.

 Masih sunyi. Namun laksana sebilah pedang raksasa

tiba-tiba dari atas langit yang mulai gelap, menyabung

kilat disertai gelegar yang menggoncang tanah. Sesaat

cahaya terang menyilaukan menghantam permukaan

telaga, tembus sampai ke dasar. Air telaga mencuat

ke atas belasan tombak, berubah menjadi panas. Ketika

air telaga panas ini jatuh kembali ke permukaan telaga

yang dingin, terdengar suara mendesis panjang

menggidikkan.

 Di tepi telaga Naga Kuning kelihatan terhuyung-huyung. 

Mulutnya komat kamit. Kalau dia tidak mengerahkan 

segala kekuatan luar dan dalam, niscaya sejak tadi-tadi 

tubuhnya sudah terbanting ke tanah.

 Naga Kuning merasakan ada angin aneh menyapu

wajah dan permukaan kulit tubuhnya, membuat anak

ini merinding. Dengan hati berdebar dia buka dua mata-

nya yang sejak tadi dipejamkan. Mula-mula dia tidak

melihat apa-apa. Kemudian ada hamparan kabut putih

di tengah telaga. Kabut ini perlahan-lahan bergerak ke

tepi telaga, di arah mana Naga Kuning duduk bersila.

Semakin dekat ke tepi telaga semakin jelas bahwa

kabut itu membentuk sosok seorang tua, tegak

mengawang di atas permukaan air telaga.

 Naga Kuning membuka matanya lebih besar. Tak

berkedip dia memandang pada makhluk di atas telaga.Makhluk ini berupa seorang tua berselempang kain putih.

Wajahnya tertutup oleh rambut panjang, kumis dan

janggut warna putih.

 "Kiai Gede Tapa Pamungkas, saya sangat bersyukur dan 

berterima kasih Kiai mau datang," ucap Naga Kuning lalu 

masih dalam keadaan bersila dia membungkuk dalam-

dalam.

 "Anak manusia bernama Gunung, menjalani hidup

sebagai Pangeran terbuang, yang aku kenal dengan

gelar julukan Kiai Paus Samudera Biru, yang sehari-hari 

dipanggil dengan nama Naga Kuning alias Naga Cilik, alias 

Naga Kecil. Mungkin kau lupa bahwa aku sebenarnya 

tidak pernah ingin bertemu lagi denganmu?"

 "Kiai. maafkan saya. Saya tidak lupa. Sejak rangkaian 

peristiwa tempo hari, sampai Telaga Gajahmungkur 

dilanda musibah besar, saya tahu, tidak pantas lagi bagi 

Kiai untuk menemui saya. Namun, sekali lagi dengan 

seribu maaf, saya mohon, ada satu hal yang perlu saya 

tanyakan pada Kiai...."

 "Naga Kuning, aku sudah muak dengan segala urusan. 

Permintaanmu hanya mengusik ketenanganku di alam 

roh...."Naga Kuning terdiam. Lalu dengan suara perlahan 

sedih anak ini berkata. "Kalau Kiai memang tidak lagi mau 

mencampuri urusan dunia, kalau memang saya telah 

mengusik ketenangan Kiai di alam roh, saya mohon maaf. 

Apa yang hendak saya tanyakan pada Kiai biarlah tetap 

menjadi ganjalan dalam diri saya seumur-umur...."

 Sosok orang tua berselempang kain putih itu kini ganti 

terdiam. Dua matanya yang bening tapi tajam menatap 

wajah Naga Kuning beberapa ketika lalu muncul 

sekelumit senyum, membuat Naga Kuning merasa lega.

 "Naga Kuning, sebelum kita meneruskan bicara, harap 

perlihatkan dulu dirimu yang sebenarnya. Dunia masa kini 

penuh dengan berbagai ilmu aneh. Di dalam keanehan itu 

banyak sekali manusia yang memanfaatkan ilmu untuk 

menipu. Kau yang duduk bersila di hadapanku, bisa sajabukan Naga Kuning sebenarnya. Jadi harap kau perlihat-

kan dulu padaku ujudmu yang sebenarnya...."

 Naga Kuning membungkuk dalam, lalu perlahan lahan 

bangkit berdiri. Dua telapak tangan disatukan, diletakkan 

di atas dada, di arah jantung seperti lazimnya orang 

melakukan sholat. Suasana sunyi menyelimuti kawasan 

telaga. Perlahan-lahan sosok anak bernama Naga Kuning 

itu terlihat samar-samar seolah terbungkus kabut. Begitu 

kabut lenyap yang tegak di tepi telaga itu kini bukan lagi 

sosok seorang anak lelaki berpakaian hitam, melainkan 

sosok seorang tua berambut, berjanggut dan berkumis 

kelabu. Sepasang alis matanya putih panjang menjulai ke 

bawah. Pakaiannya sehelai kain hitam, melilit di bagian 

pinggang ke bawah,menyelempang di atas perut dan dada.

 "Kiai Paus Samudera Biru," berucap Kiai Gede Tapa

Pamungkas. "Aku sudah melihat ujudmu sebenarnya.

Kini tidak ada kebimbangan dalam diriku siapa kau

adanya."

 Orang tua berselempang kain hitam membungkuk.

Begitu tubuhnya diluruskan, ujudnya berubah ke bentuk

seorang bocah bernama Naga Kuning. Anak ini

kemudian kembali duduk bersila di tanah di tepi telaga.

 "Naga Kuning, sekarang sampaikan apa yang hendak

kau tanyakan. Ingat, waktuku tidak lama." Kiai Gede

Tapa Pamungkas berkata.

 "Maafkan saya Kiai. Saya tidak ingin mengganggu

Kiai berlama-lama. Karenanya bolehkah saya

menerangkan sesuatu lalu mengajukan satu dua

pertanyaan?"

 "Aku menyirap rasa, lama sekali kau tidak berada

di negeri ini. Begitu muncul kau ingin bertemu

denganku...."

 "Kiai betul. Saya dengan dua orang kawan secara

tidak sengaja terpesat masuk ke dalam negeri aneh

Latanahsilam yang seribu dua ratus tahun berada

sebelum tanah Jawa ini. Hanya Kuasa Gusti Allah yangmemungkinkan saya dan kawan-kawan kembali ke

tanah Jawa ini."

 "Siapa dua orang kawanmu itu?" tanya makhluk di

atas telaga yang dipanggil dengan sebutan Kiai Gede

Tapa Pamungkas.

 "Yang pertama Pendekar 212 Wiro Sableng...."

 "Murid Sinto Weni alias Sinto Gendeng, murid si

perempuan sinting itu! Aku tidak bergembira mendengar

pendekar itu menjadi sahabatmu. Naga Kuning. Gurunya

adalah muridku. Sejak Sinto Gendeng menguasai Kapak 

Maut Naga Geni 212 dan menyembunyikan Pedang Naga 

Suci 212, berbagai kejadian yang membuat aku marah 

telah dilakukannya. Untung Pedang Naga Suci sekarang 

sudah berada di tangan pewaris yang berjodoh yakni Puti 

Andini." (Baca "Wasiat Malaikat", Episode ke 9 dari 

rangkaian 11 Episode "Wasiat Iblis" dst.)

 Naga Kuning diam saja. Tak berani menanggapi ucapan 

sang Kiai. Lalu terdengar Kiai Gede Tapa Pamungkas 

bertanya. "Siapa temanmu yang kedua?"

 "Kakek sakti berjuluk Setan Ngompol...."

 Kiai Gede Tapak Pamungkas mendesah panjang

mendengar jawaban Naga Kuning bocah yang selama

bertahun-tahun pernah menjadi orang kepercayaannya

itu. "Setan Ngompol! Kau mungkin lupa, tapi aku tidak

akan pernah melupakan. Bukankah manusia satu itu

yang masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur, membawa

dan menebar air larangan hingga telaga dan isinya

laksana dijungkir balikkan? Dan orang seperti itulah

yang menjadi temanmu! Sungguh aku menyesal muncul

di hadapanmu saat ini. Naga Kuning!"

 "Saya mohon beribu maaf. Kiai. Saya...."

 "Sudah! Sekarang ajukan saja pertanyaanmu."

 Naga Kuning membungkuk dalam-dalam lalu berkata.

"Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan seorang

perempuan tua yang saya tidak kenal siapa dia adanya."

Lalu Naga Kuning menuturkan riwayatnya jatuh kepangkuan seorang nenek yang duduk bersemedi dalam

keadaan telanjang di tepi Kali Lanang. "Walau saya

tidak pernah melihat nenek ini sebelumnya namun dari

suaranya saya seperti mengenali siapa dirinya. Ketika

ingatan itu muncul dan saya sadar, saya kembali ke

tempat pertemuan. Tapi nenek itu tak ada lagi di tepi

kali. Saya punya dugaan, dan saya berharap tidak keliru.

Perempuan tua itu adalah puteri angkat Kiai sendiri,

yang bernama Ning Intan Lestari...."

 "Ning Intan Lestari...." Kiai Gede Tapa Pamungkas

menyebut nama itu dengan suara perlahan. Di wajahnya

nampak kesedihan mendalam.

 "Kau menyebut Ning Intan Lestari sebagai anakku.

Naga Kuning, agaknya sampai saat ini rasa tanggung

jawab atas kejadian di masa silam masih belum muncul

dalam dirimu."

 "Kiai...." Naga Kuning hendak mengatakan sesuatu.

Kalau perlu mengembangkan kembali riwayat di masa

silam dimana dia lebih banyak kejatuhan dosa

kesalahan.

 "Sudah, apa yang hendak kau tanyakan?"

 "Pertama apakah Ning Intan Lestari masih hidup.

Saya memang berharap dia masih hidup. Pertanyaan

kedua, mungkin Kiai mengetahui bahwa perempuan

tua yang suaranya sama dengan suara Ning Intan

Lestari itu memang Ning Intan Lestari, adanya?"

 "Bagaimana ciri-ciri perempuan tua yang kau temui

di tapi Kali Lanang itu?" bertanya Kiai Gede Tapa

Pamungkas.

 "Mukanya seram, lebih seram dari setan. Rambut

kelabu. Berpakaian jubah hitam...."

 "Menurutmu, kira-kira berapa usianya?"

 "Antara delapan sampai sembilan puluh tahun. Namun 

saya melihat keanehan pada tubuhnya...." Naga Kuning 

tidak meneruskan ucapannya.

 "Keanehan apa?""Saya tidak berani menceritakan. Pertanyaan saya,

mungkinkah nenek itu puteri angkat Kiai yang bernama

Ning Intan Lestari?'

 Kiai Gede Tapa Pamungkas tidak menjawab, melainkan 

memandang lekat-lekat ke wajah bocah yang duduk 

bersila di tepi telaga itu. Dia menunggu, mengharapkan 

jawaban.

 "Naga Kuning," sang Kiai akhirnya berkata. "Aku tak bisa 

menjawab pertanyaanmu. Mungkin nenek itu memang 

puteri angkatku, mungkin juga tidak. Untuk memastikan, 

hanya kau sendirilah yang harus melakukan penyelidik-

an. Jika kemudian kau mengetahui bahwa nenek itu bukan 

Ning Intan Lestari, urusan cukup cuma sampai disitu. Tapi 

jika dia memang Ning Intan Lestari, aku ingin tahu apa 

tindakanmu selanjutnya?"

 Naga Kuning tidak menduga akan mendapat

pertanyaan seperti itu. Dia terdiam beberapa lamanya.

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Agaknya dia

tidak mau memaksa dan merasa tidak perlu menunggu

jawaban si bocah.

 "Naga Kuning, usiamu sebenarnya sekitar seratus

dua puluh tahun. Kematangan hati dan pikiranmu

apakah masih perlu dipertanyakan? Apapun persoalan

yang terjadi antara kau dengan puteri angkatku adalah

menjadi tanggung jawab kalian berdua. Berarti kalian

berdua pula yang harus menyelesaikan...."

 Naga Kuning terdiam.

 "Kau mengerti maksud kata-kataku, Naga Kuning?"

 Si bocah mengangguk, lalu membungkuk dalam-

dalam seraya berkata. "Saya mengerti Kiai. Maafkan

kalau saya sudah membuat Kiai merasa terganggu.

Saya merasa bersyukur Kiai tidak marah terhadap

saya...."

 "Kemarahan tidak pernah menyelesaikan masalah.

Apapun masalahnya. Ingat hal itu baik-baik Kiai Paus

Samudera Biru.Wajah Naga Kuning tampak kemerah-merahan

mendengar Kiai Gede Tapa Pamungkas menyebut

gelarnya. Dia merasa seperti tidak layak menyandang

gelar itu.

 "Naga Kuning, pernahkah kau mendengar seorang

nenek berilmu tinggi dipanggil dengan sebutan

Gondoruwo Patah Hati"

 Naga Kuning menggeleng.

 "Carilah nenek itu. Kelak kau akan menemukan sesuatu," 

kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.

 "Saya akan mencari nenek itu. Terima kasih atas

petunjuk Kiai. Kalau saya boleh bertanya, apakah

Gundoruwo Patah Hati itu...."

 Tiba-tiba dari langit menyambar kilat. Sekejapan

kawasan telaga menjadi terang benderang. Air telaga

bergejolak muncrat. Lalu segala sesuatunya sirap sunyi

kembali. Sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas tak kelihatan

lagi, lenyap dari permukaan telaga.

 Lama Naga Kuning termenung di tepi telaga itu.

"Kalau nenek itu memang Ning Intan Lestari adanya,

apa yang telah terjadi dengan dirinya. Mengapa

wajahnya menjadi buruk, seram mengerikan seperti

itu. Lalu kemana aku harus mencari dia? Setelah dua

tahun terpesat ke Negeri Latanahsilam, tanah Jawa

seolah asing bagiku. Siapa pula sebenarnya nenek

bernama Gondoruwo Patah Hati itu? Mengapa Kiai

menyuruhku mencarinya. " Naga Kuning menghela

nafas dalam lalu bangkit berdiri. Gerakannya berubah

menjadi lompatan terkejut ketika dekat sekali di

belakangnya tiba-tiba terdengar suara tertawa keras,

panjang menyeramkan.

 Naga Kuning cepat membalik. Anak ini keluarkan

seruan tertahan ketika melihat sosok yang berdiri di

hadapannya. Orang ini berjubah hitam, berambut putih,

tegak membelakanginya. Tangan kanan buntung. Di

daun telinga sebelah kanan belakang ada tahi lalatmerah sebesar ujung jari kelingking.

 "Orang ini, aku rasa-rasa pernah melihat

sebelumnya," kata Naga Kuning dalam hati.

* *


ENAM


TIBA-TIBA si jubah hitam yang tegak membelakang itu 

keluarkan suara tertawa melengking panjang. Lalu 

dibalikkannya tubuhnya hingga kini berhadap-hadapan 

dengan Naga Kuning. Orang ini ternyata adalah nenek 

berjubah hijau tua. Rambut putih panjang riap-riapan. 

Muka hancur. Mata kiri hanya tinggal rongga besar 

menyeramkan sedang mata kanan terbujur keluar seperti 

mau melompat tanggai. Luar biasanya di keningnya 

menempel potongan tangan kanan miliknya sendiri.

 "Luhjahilio...." Naga Kuning tergagau. Lututnya

bergetar. (Mengenai nenek seram Luhjahilio yang

merupakan salah satu dari Sepasang Hantu Bercinta,

silahkan baca riwayat Wiro Sableng di Negeri

Latanahsilam "Rahasia Patung Menangis", "Rahasia

Mawar Beracun" dsb.) "Bagaimana bangkai butut

Latanahsilam ini bisa berada di tempat ini? Apakah dia

Ikut terlempar ke tanah Jawa dari negeri seribu dua ratus

tahun silam?"

 Si nenek berwajah lebih hebat dari setan ini mendongak 

ke langit lalu tertawa panjang. "Gelapnya udara malam, 

lama tidak bertemu, ternyata kau masih mengenali diriku. 

Hik... hik... hik! Anak keparat! Mana dua temanmu si Wiro 

dan si Setan Ngompol? Selama di Negeri Latanahsilam 

kalian bertiga telah membuat aku dan kekasihku banyak 

susah! Dulu aku tidak sempat membunuhmu! Mungkin kau 

memang harus menemui ajal di negeri sendiri! Hik... hik... 

hik!"

 Mula-mula Naga Kuning memang agak kecut juga

melihat kemunculan tidak terduga Luhjahilio. Ternyatakeseraman wajah nenek satu ini lebih hebat dari nenek

yang ditemuinya di tepi Kali Lanang. Tapi setelah

menenangkan diri dan keberaniannya muncul, anak ini

segera menyahuti ucapan orang.

 "Nenek muka setan! Kau muncul cuma sendirian. Mana 

kekasihmu si Lajahilio?! Kau ini datang di tanah Jawa ada 

yang mengundang, atau sekedar pesiar atau diam-diam 

mengikuti si Setan Ngompol? Jangan-jangan kau sudah 

jatuh cinta pada kakek bau pesing sahabatku itu!"

 Luhjahilio kembali tertawa. Bola mata kanannya yang

tergantung di pipi bergerak-gerak turun naik.

 "Wahai! Kau memang pandai bergurau! Aku mau lihat

apakah kau masih bisa bergurau kalau sudah jadi mayat!"

 "Wahai!" Naga Kuning meniru ucapan si nenek. "Ini

bukan di Latanahsilam lagi, bicara memakai wahai segala!

Jauh-jauh datang ke tanah Jawa kau cuma merusak

pemandangan. Lebih baik kembali pulang ke kampungmu

sebelum kawanan anjing pasar menggerogoti dirimu!"

 Wajah Luhjahilio tampak mengkerut. "Tidak heran!"

katanya. "Di negeri orang kau kurang ajar. Di negeri

sendiri pasti lebih kurang ajar! Kau tidak mau memberi

tahu dimana dua sahabatmu itu berada?"

 "Kalau sadar kau berada di negeri orang pandai-pandai

membawa diri! Baru muncul sudah membawa niat jahat

hendak membunuh!" Luhjahilio tertawa lagi. Tiba-tiba 

melompat. Tangan kirinya menyambar

 "Breettt!"

 Naga Kuning berseru kaget. Serangan yang dilancarkan 

Luhjahilio bukan saja tidak terduga tapi juga sangat cepat. 

Untung dia masih punya kesempatan bergerak surut dua 

langkah. Kalau tidak, bukan Cuma pakaian hitamnya yang 

robek disambar jari-jari tangan berkuku panjang si nenek, 

daging dan tulang dadanya bisa ikutan jebol. Naga Kuning 

merasa heran. Semasa di Negeri Latanahsilam Luhjahilio 

bersama pasangannya, Luhjahilio, memang memiliki ilmu 

tinggi. Namun bila dibanding dengan para tokoh lainnya,sepasang kakek nenek ini belum termasuk di jajaran atas. 

Kini mengapa gerakannya begitu cepat luar biasa hingga 

dia tidak mampu mengelak menyelamatkan diri? "Jangan-

jangan makhluk ini penjelmaan Gondoruwo Patah Hati 

yang dikatakan Kiai Gede Tapa Pamungkas..." pikir Naga

Kuning.

 "Nenek jelek! Jauh-jauh datang ke tanah Jawa cuma

untuk mengantar nyawa!" teriak Naga Kuning. Lalu anak

Ini membalas serangan si nenek. Didahului jeritan keras

tubuh Naga Kuning melesat, melepas pukulan Naga Murka 

Merobek Langit.

 Luhjahilio hadapi serangan orang dengan tertawa

memandang enteng. Dia sengaja menyongsong datang-

nya serangan dengan balas memukulkan tangan kiri. 

Agaknya si nenek ingin menjajal sampai dimana kehebat-

an kekuatan lawan.

 Kaget Luhjahilio bukan alang kepalang ketika bukkk!

Lengan kirinya beradu keras dengan lengan kanan Naga

Kuning. Si nenek terlempar sampai empat langkah. Muka

setannya mengkerut kesakitan. Sebaliknya Naga Kuning

sendiri terpental tiga langkah, termonyong-monyong

meniup lengan kanannya yang bengkak membiru.

 Mengira kekuatan tenaga dalamnya masih jauh lebih

tinggi dari Naga Kuning, sambil membentak garang

Luhjahilio kembali menyerbu.

 Menghadapi serangan kedua ini. Naga Kuning melesat

ke atas hampir setinggi satu tombak. Lalu sambil

melayang turun dia hantamkan kaki kanannya dalam jurus

Naga Murka Menjebol Bumi. Yang di arah adalah kepala

lawan.

 Si nenek tertawa cekikikan. Kepalanya dijauhkan ke

belakang. Ketika kaki Naga Kuning lewat di depan

keningnya, tidak disangka-sangka tangan kanannya yang

menempel di kening bisa bergerak mencekal pergelangan

kaki Naga Kuning.

 Sebenarnya cekalan ini tidak ada bahayanya. Yangberbahaya adalah serangan susulan tangan kiri yang

sengaja dihantamkan ke selangkangan Naga Kuning.

 "Nenek cabul! Kau bukannya berkelahi! Tapi sengaja

hendak memegang barangku!" teriak Naga Kuning. Dia

kerahkan tenaga dalam ke kaki kanan yang kena dicekal.

Luhjahilio berseru kaget ketika kaki yang dipegangnya

terasa menjadi sangat berat. Demikian beratnya hingga

kepala dan tubuhnya tertekan hebat. Mau tak mau dia

terpaksa lepaskan cekalan pada kaki kanan si bocah.

Begitu kakinya lepas, dengan kaki yang sama Naga Kuning

hantam pipi si nenek.

 Luhjahilio meraung kesakitan. Tubuhnya terlempar

jauh. Kepalanya seperti pecah. Pemandangan gelap.

Untuk beberapa saat lamanya dia terkapar di tanah

sambil pegangi pipi kanan yang bengkak membiru dengan

tangan kiri. Tampangnya semakin seram tidak karuan.

 Naga Kuning tegak berkacak pingang di hadapan

Luhjahilio. "Nenek jelek! Apa kau masih betah tinggal di

tanah Jawa ini? Atau mungkin bisa kubantu

melemparkanmu ke langit agar kembali ke negeri

asalmu?!"

 "Makhluk jahanam! Aku belum kalah!" teriak

Luhjahilio. Tubuhnya yang terkapar di tanah tiba-tiba

bergulingan, mengeluarkan suara bergemuruh seolah-

olah gelondongan batang kayu raksasa menggelinding.

 "Bagus, kau datang sendiri mencari tendangan!" seru

Naga Kuning. Anak ini menunggu sampai sosok Luhjahilio

hanya tinggal dua langkah dari hadapannya baru dia

mengangkat kaki kanan menendang.

 Luhjahilio keluarkan pekikan keras. Bersamaan

dengan itu tubuhnya yang masih menggelinding di tanah

berputar. Dua kaki membabat laksana gunting. Naga

Kuning menendang. Dua kaki lawan membuka. Lalu

menutup kembali dengan cepat.

 Naga Kuning berteriak kaget ketika dapatkan kaki

kanannya tahu-tahu sudah berada dalam jepitan dua kaliLuhjahilio. Dia berusaha menyentakkan kaki, tapi tak

berhasil lolos. Jepitan dua kaki si nenek terasa panas

dan seperti hendak menggergaji putus tulang keringnya.

 Tidak menunggu lebih lama Naga Kuning hantamkan

dua tangan sambil keluarkan aji Ikan Paus Putih untuk

melicinkan kakinya yang dijepit lawan.

 Luhjahilio berteriak keras ketika melihat dua larik sinar

hitam, dekat sekali menyambar ke arahnya. Nenek dari

Negeri Latanahsilam ini kebutkan lengan jubah sebelah

kiri. Satu gelombang angin luar biasa deras menangkis

dua pukulan sakti Naga Murka Menjebol Bumi yang

dilepaskan Naga Kuning.

 "Desss!"

 "Desss!"

 Naga Kuning keluarkan keluhan pendek. Meski dia

berhasil meloloskan diri, namun tubuhnya terpental ke

atas setinggi dua tombak, dadanya mendenyut sakit,

aliran darahnya kacau balau. Tubuhnya kemudian

terbanting ke tanah. Untuk sesaat lamanya anak ini

terkapar tak bergerak. Tubuh luluh lantak, pemandangan

gelap berkunang!

 Sebaliknya Luhjahilio terhenyak amblas di tanah

sedalam satu jengkal. Mulut kembang kempis susah

bernafas. Dua tulang iganya patah. Darah meleleh dari

mulutnya. Namun sungguh hebat nenek muka setan ini.

Sesaat setelah menggapai-gapai dia berhasil keluar dari

dalam lobang. Mata kanan guntal-gantil melotot. Begitu

melihat Naga Kuning terkapar tak bergerak, niat hendak

membunuh kembali berkobar dan memberi kekuatan.

Dua kali bergerak dia sudah melompat ke hadapan Naga

Kuning. Kaki kanannya menendang, yang di arah tepat

ubun-ubun batok kepala si bocah. Sekali ini Naga Kuning

benar-benar akan menemui kematian dengan kepala

pecah. Kecuali kalau Naga Hantu Langit Ke Tujuh, ilmu

kesaktian yang mendekam di dadanya memunculkan diri

menolongnya. Tetapi hal ini mungkin tidak akan terjadi

karena saat itu Naga Kuning sendiri berada dalam

keadaan setengah sadar setengah pingsan. Bahkan dia

tidak tahu bahaya maut yang datang mengancamnya.

 Sesaat lagi kepala Naga Kuning akan remuk dihantam

tendangan Luhjahilio, tiba-tiba satu bayangan putih

berkelebat.

 "Luhjahilio! Jangan kau bunuh anak itu!"

 "Setan keparat! Siapa berani campur urusanku!"

teriak Luhjahilio marah. Tanpa perduli dia teruskan

tendangannya.

 Saat itulah menerpa satu gelombang angin luar biasa

kerasnya, membuat Luhjahilio terhuyung-huyung

beberapa langkah lalu jatuh terduduk di tanah. Si nenek

meraung keras, bukan karena kesakitan tapi karena

marah besar.

 "Makhluk kurang ajar! Siapa kau?!" bentak si nenek

lalu terhuyung-huyung bangkit berdiri. Saat itu Naga

Kuning mulai siuman dan berusaha tegak. Masih kurang

Jelas, dia melihat satu sosok tinggi besar samar-samar

berdiri di hadapannya.

*

* *



TUJUH


ORANG tinggi besar yang berdiri di hadapan Naga 

Kuning mengenakan jubah putih menjela tanah. Di atas 

kepalanya, bertengger sebuah songkok atau tudung tinggi 

dilapisi kain hitam. Bukan saja kepalanya yang tertutup 

kain hitam tapi sebagian wajahnya juga terlindung hingga 

sulit untuk dikenali.

 "Makhluk jahanam bersongkok hitam! Siapa kau?!"

teriak Luhjahilio marah. Kali ini sambil membentak dia

melompat ke hadapan si tinggi besar. Tangan kanannya

bergerak cepat luar biasa menyambar tudung di kepala

orang. Naga Kuning sudah memastikan, tudung dan

kain hitam yang menyembunyikan wajah orang berjubah

putih pasti akan kena dijambret. Kepala dan wajah

orang itu segera tersingkap.

 Namun tenang saja, si tinggi besar undurkan kaki

kanan satu langkah. Sambil merunduk dan jauhkan

kepalanya ke belakang dia kebutkan lengan kanan jubah

putihnya.

 Luhjahilio bukan saja gagal menyingkap wajah orang, 

tapi dia sendiri terpental satu tombak dan hampir 

terjengkang di tanah kalau tidak lekas mengimbangi diri. 

Saat itulah si nenek kembali merasakan sakit dua tulang 

iganya yang patah akibat hantaman Naga Kuning. 

Luhjahilio tegak terbungkuk sambil pegangi dada, 

memandang geram dengan matanya yang cuma satu ke 

arah makhluk berjubah putih bertudung hitam.

 "Luhjahilio..." si jubah putih menegur, "Siapa aku tidak 

penting. Lekas menyingkir dari sini. Serahkan bocah ini 

padaku!"

 Rahang Luhjahilio menggembung. Si nenek mana maupergi dari situ. Namun dia sadar kalau orang berjubah 

memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari dirinya. Maka 

sekedar mengalah nenek ini melesat ke satu cabang 

pohon, mendekam di sana memperhatikan apa yang bakal 

terjadi. Lebih dari itu dia ingin tahu ada urusan apa antara 

si jubah putih dengan Naga Kuning. Lalu juga ingin tahu 

siapa adanya si tinggi besar bersongkok hitam ini.

 Seperti si nenek Luhjahilio, Naga Kuning juga tidak 

mengetahui siapa adanya orang berjubah di hadapannya 

saat itu. Tapi dia dapat mencium bahaya besar.

Siapapun adanya adanya orang ini, agaknya dia 

membekal dendam kesumat jauh lebih besar terhadap 

dirinya dibanding dengan dendam kesumat yang 

bersarang dalam diri Luhjahilio.

 "Anak setan!" si tinggi besar membentak. Suaranya 

membahana, menggetarkan tanah, membuat Naga Kuning 

tersentak.

 "Bapak setan!" Naga Kuning tiba-tiba membalas, 

menyahuti bentakan orang.

 Si tinggi besar menggeram. Tangan kanannya

digerakkan. Naga Kuning berseru kaget. Di atas pohon

Luhjahilio juga terkesiap. Tangan kanan yang bergerak

itu mendadak berubah besar dan panjang. Belum sempat

bergerak tahu-tahu pinggang Naga Kuning sudah dicekal

lalu dicengkeram dengan keras. Si bocah keluarkan

suara seperti mau muntah. Lidahnya terjulur. Isi

perutnya seolah mau terbongkar keluar. "Anak setan!

Kau dengar baik-baik! Isi perutmu akan kujebol keluar,

lalu kusumpalkan ke mulutmu biar kau makan sendiri!

Kecuali kau mau menyelesaikan satu perkara!"

 "Per... perkara apa...?" tanya Naga Kuning dengan

muka pucat, lidah terjulur dan perut seperti mau pecah.

"A... aku tidak kenal siapa kau. Bagaimana mungkin

ada perkara di antara kita?!" Diam-diam Naga Kuning

segera keluarkan "Ilmu Ikan Paus Putih" untuk

melicinkan tubuh agar bisa meloloskan diri.

Si tinggi besar bersongkok hitam kembali keluarkan

suara menggeram. "Kau boleh keluarkan semua ilmu

kesaktian yang kau miliki! Ilmu pelicin tubuhmu tidak

mempan terhadap cekalanku! Kau boleh membuktikan!"

 Si tinggi besar cengkeramkan lima jari tangan

kanannya yang besar-besar. Naga Kuning mengeluh

kesakitan. Cairan bening bercampur darah keluar dari

mulutnya. Dia telah mengeluarkan ilmu kesaktian pelicin

tubuh, tapi aneh kali ini dia tidak mampu melepaskan

diri! Tidak pikir lebih panjang anak ini hantamkan tangan

kanannya, ke atas. Yang diarahnya adalah dagu si tinggi

besar. Yang dilancarkannya adalah pukulan "Naga

Murka Merobek Langit."

 Si tinggi besar tertawa mengekeh. Sekali tangan

kirinya bergerak, lengan kanan Naga Kuning sudah

berada dalam cekalannya. Anak ini mengeluh kesakitan.

Cekalan lawan seperti cengkeraman besi yang hendak

menghancurkan tulang-tulangnya. Tidak ada jalan lain,

kalau orang memang hendak membunuhnya, harapannya

hanya tinggal pada kemunculan "Naga Hantu Langit

Ke Tujuh," makhluk jejadian berbentuk Naga Kuning

yang menjadi pelindungnya dan berada dalam tubuhnya.

Tetapi sang makhluk tidak keluar karena saat itu orang 

berjubah putih memang belum berniat untuk

membunuhnya!

 "Bapak setan! Katakan, perkara apa yang ada di

antara kita.'!" Naga Kuning ajukan pertanyaan lalu

berteriak. Dia sudah tidak sanggup menahan rasa sakit

cengkeraman lima jari raksasa yang menghunjam di

perutnya.

 Wajah yang terlindung dibalik kain hitam

menggembung merah. Sebelum menjawab pertanyaan

Naga Kuning, kembali dia cengkeramkan lima jari

tangan kanannya ke pinggang si anak hingga Naga

Kuning menggeliat melintir dan menjerit kesakitan.

 "Anak setan! Kau pasang telingamu baik-baik! Akuakan katakan perkara apa yang ada di antara kita!" Si

tinggi besar berjubah putih berucap. "Beberapa waktu

lalu...."

 Belum sempat orang ini menyelesaikan ucapannya

tiba-tiba terdengar kuda meringkik. Di lain kejap satu

bayangan hitam melesat di udara lalu bukkk! Satu

hantaman keras melanda punggung orang berjubah

putih. Bayangan hitam ini sesaat mengapung di udara

lalu berkelebat, berbalik ke tempat dari arah mana

tadi dia melesat. Kembali terdengar suara kuda

meringkik.

 Sosok si tinggi besar terlempar ke depan.

Cekalannya pada pinggang Naga Kuning terlepas.

Begitu lolos si bocah segera mencari tempat aman

sambil memasang mata. Dia melengak kaget tapi juga

gembira ketika melihat siapa yang barusan

menolongnya. Orang itu duduk tak bergerak di atas

punggung seekor kuda putih. Dia bukan lain nenek muka

setan berambut kelabu berjubah hitam yang beberapa

waktu lalu pernah ditemuinya di tepi Kali Lanang dan

ingin dicarinya. Naga Kuning coba tersenyum dan

lambaikan tangan pada si nenek. Tapi si nenek muka

setan ini seolah tidak perduli. Pandangannya di arahkan

pada orang tinggi besar yang kepala dan mukanya

tertutup tudung berkain hitam.

 "Makhluk yang sembunyikan muka di balik tudung!

Perkara apa yang membuat kau sampai menyiksa anak

itu?!" Si nenek muka setan bertanya.

 Si tinggi besar menggeram. "Ada hubungan apa

kau dengan anak setan itu hingga turun tangan

menyelamatkannya?!"

 Nenek berjubah hitam mendengus. "Kau menyebut

bocah itu anak setan. Kau boleh memanggil aku dengan

sebutan ibu setan! Hik... hik... hik!"

 Orang bertudung hitam tertawa bergelak. "Rupanya

kau ibu dari anak setan itu! Baik, jika perkara memangtidak bisa diselesaikan, tidak ada salahnya aku

menghabisi anak dan ibu setan sekaligus! Kau ibunya

setan biar aku singkirkan lebih dulu!"

 Si nenek balas gelak orang dengan tawa panjang.

"Puluhan tahun malang melintang di tanah Jawa. Baru

hari ini bertemu tikus comberan tak dikenal berujud

makhluk berjubah putih bertudung hitam sepertimu!

Harap kau suka memperkenalkan diri siapa kau adanya

sebelum nyawamu kukirim ke akhirat!"

 "Nenek muka setan! Kalau kau memang tahu seluk

beluk akhirat, silahkan nanti tanya sendiri pada penjaga

akhirat siapa aku adanya! Sekarang biar tubuhmu

kuremukkan lebih dulu!"

 Habis berkata begitu si jubah putih gerakkan tangan

kanannya. Seperti tadi tangan itu mendadak sontak

berubah besar dan panjang, melesat ke arah pinggang

si nenek yang masih berada di atas punggung kuda

putih."Ilmu tipuan iblis tidak laku di hadapanku!" seru

si nenek muka setan. Lalu tangan kirinya dikibaskan

ke samping.

 "Bukkk!"

 "Breett"

 Dua tangan bentrokan keras di udara disertai suara

robeknya pakaian.

 Orang berjubah putih terpental lima langkah. Tubuh

terbungkuk, muka di balik tudung hitam mengerenyit

menahan sakit dan mata membelalak ketika melihat

bagaimana ujung lengan jubahnya sebelah kanan robek

besar akibat sambaran kuku-kuku jari nenek muka

setan. Dua robekan kecil jubah putihnya masih

menyangkut di ujung-ujung kuku tangan kanan nenek

muka setan.

 Dari balik robekan ujung lengan yang menyingkapkan

tangannya dia melihat bagaimana daging dan kulit

lengannya menggembung bengkak berwarna hitam

kebiruan.Di atas pohon Luhjahilio yang menyaksikan kejadian

itu sempat terkesiap. Dia tidak menyangka kalau nenek

muka setan di bawah sana memiliki tenaga dalam begitu

tinggi. Kalau si tudung hitam saja bisa dibuatnya men-

tal berarti dirinya tidak ada arti apa-apa jika sampai

berhadapan dengan nenek itu. Niatnya untuk

mengetahui perkara yang menyangkut si tudung hitam

dan anak bernama Naga Kuning serta keinginannya

mengetahui siapa adanya orang tinggi besar bertudung

hitam itu terpaksa ditunda dulu. Yang penting lebih

baik dia cari selamat. Karenanya sebelum terjadi apa-

apa Luhjahilio segera saja melompat dari cabang pohon

tempatnya mendekam ke cabang pohon di sampingnya

lalu lenyap dalam kegelapan malam. Si nenek berjubah

hitam walau sempat terjajar dua langkah namun masih

bisa keluarkan tawa mengekeh.

 "Makhluk bersongkok hitam! Sayang sekali, aku

tidak berkesempatan menemui malaikat di akhirat untuk

menanyakan siapa dirimu adanya. Biar kau saja yang

mewakili aku, berangkat duluan ke akhirat!"

 Habis berkata begitu nenek muka setan yang sampai

saat itu masih tetap duduk di atas punggung kuda

putihnya jentikkan lima jari tangannya. Dari ujung-ujung

kukunya yang panjang runcing memancar lima larik

sinar hitam menggidikkan.

 "Setan tua! Jangan sonbong! Siapa takutkan

dirimu!" teriak orang bersongkok hitam. Dia cepat

gerakkan tangan kanan. Dari telapak tangan kanannya

melesat keluar satu cahaya, bergulung besar lalu

memecah menjadi tujuh. Dua menyambar ke arah

kepala si nenek, lima menghantam ke jurusan badan.

 "Hebat!" teriak nenek muka setan. Seolah memuji

tapi sebenarnya tidak karena saat itu juga dia melompat

ke atas, berdiri di punggung kuda dan putar pergelangan

tangan kanannya. Lima sinar hitam yang menyembur

dari kuku-kuku jarinya berputar demikian rupa, langsungmenyambar tujuh larik sinar putih serangan lawan.

 "Bummm! Bummm! Bummmm!"

 Tiga letusan keras menggelegar, menggoncang udara

malam. Orang tinggi besar keluarkan seruan keras,

cepat-cepat melompat mundur sambil dua tangannya

dipergunakan untuk memadamkan api yang berkobar

membakar jubah putihnya di tiga bagian!

 Nenek muka setan walau mendelik tapi tidak

tampakkan wajah kaget apalagi takut ketika melihat

bagaimana ujung lengan jubah sebelah kiri telah berubah

menjadi bubuk hitam alias hangus!

 "Nenek celaka ini! Aku tidak bisa menandinginya!

Lebih baik mengurut dada bersabar diri..." membatin

orang tinggi besar. Dia lalu berpaling pada Naga Kuning.

"Anak Setan! Hari ini kau selamat karena ada ibu

setan menolongmu! Tapi kau tak akan kubiarkan lama!

Aku akan muncul mencarimu kembali!"

 Habis berkata begitu orang ini serta merta

berkelebat hendak tinggalkan tempat itu. Namun nenek

berkuda putih cepat menghadang. Naga Kuning tak

tinggal diam. Anak ini segera pula melompat ke hadapan

si tinggi besar. Melihat gelagat tidak baik orang ini

cepat mengambil sebuah benda yang disembunyikan di

balik songkok hitamnya lalu dibantingkan ke tanah.

Terdengar satu letusan keras menusuk telinga disusul

menggebubunya asap hitam pekat menutupi

pemandangan.

 "Setan alas! Kau mau lari kemana!" terdengar bentakan 

nenek muka setan. Dia menghantam dengan tangan 

kanan. Tapi terlambat.

 Ketika asap hitam surut dan lenyap dan udara terang

kembali. Naga Kuning terkejut. Bukan saja si tinggi

besar berjubah putih tak ada lagi di tempat itu, tetapi

si nenek muka setan juga ikut lenyap bersama kuda

putihnya!

 "Nenek muka setan itu, dia barusan menolongku.

Lantas mengapa melenyapkan diri begitu saja? Dia seperti

tidak mengharapkan ucapan terima kasih. Tapi apa itu

sebab sebenarnya dia menghilang? Mungkin dia tidak

ingin menemuiku." Naga Kuning merenung cukup lama.

Namun tetap saja dia tidak bisa memecahkan teka-

teki keanehan nenek yang telah menolongnya. "Aku

harus mencarinya. Untuk sementara aku terpaksa

menunda mencari Wiro dan Setan Ngompol."

*

* *



DELAPAN



BUKIT kecil itu terletak tak jauh dari Karangmojo. Di 

bawah siraman sinar rembulan empat belas hari puncak 

bukit yang ditumbuhi pohon teh tampak indah. Di sebuah 

gubuk berbentuk dangau, dua orang asyik bercakap-

cakap.

 "Wiro, kalau tidak mendengar kau sendiri yang bercerita, 

rasanya sulit dipercaya bagaimana kau dan teman-

temanmu terpesat ke negeri seribu dua ratus tahun silam."

 "Memang begitu adanya. Nyata tapi sukar dipercaya. 

Itu sebabnya, ketika Setan Ngompol ditangkap, dia tidak 

mungkin menceritakan bahwa dirinya terlempar dari 

langit, jatuh masuk ke dalam sumur sumber air mandi 

raja. Siapa yang mau percaya? Masih untung kuasa 

Tuhan bisa mengembalikan kami ke tanah Jawa ini. Kalau

tidak...." Wiro garuk-garuk kepala. "Aku sudah bertemu 

dengan Setan Ngompol. Bagaimana kejadiannya dengan 

anak konyol bernama Naga Kuning belum kuketahui. Aku 

perlu menyelidik, apakah dia ikut terlempar kembali ke 

tanah Jawa. Kalau sampai tertinggal di Latanah silam, 

kasihan anak itu."

 "Apakah kau tidak berniat mencari beberapa orang yang 

telah lama berpisah denganmu?" Bunga bertanya.

 "Siapa?"

 "Ada empat orang. Cantik-cantik...."

 Wiro tertawa karena sudah dapat menduga kemana 

maksud pertanyaan Bunga. Apalagi sebelumnya gadis 

alam roh itu telah menceritakan bagaimana Anggini, Ratu 

Duyung, Puti Andini, dan Bidadari Angin Timur berusaha 

mencarinya, sampai-sampai menemukan dua makam 

setan. Semua gara-gara ada berita bahwa dirinya telahmeninggal dunia setahun silam. Kemungkinan di kubur di 

salah satu dari tiga tempat yakni Pekuburan Banyubiru, 

dekat Candi Kopeng dan terakhir Puncak Gunung Gede.

Empat gadis cantik telah menyelidik di dua tempat

pertama, yang mereka temukan ternyata adalah makam-

makam setan. Jenazah atau tulang belulang Wiro tidak 

ditemukan. Tentu saja karena sampai saat itu dia masih 

hidup, masih bernafas.

 "Apa yang kau pikirkan Wiro?" bertanya Bunga.

 "Empat gadis yang kau sebutkan tadi..." jawab Pendekar 

212 Wiro Sableng. "Mereka sahabat-sahabat baikku." kata 

Wiro polos. "Aku banyak berhutang budi bahkan nyawa 

(terhadap mereka. Seperti diriku, mereka adalah 

manusia-manusia makhluk Tuhan yang tidak lepas dari 

berbagai perasaan. Mendengar ceritamu, aku bertanya-

tanya siapa adanya orang yang mempermainkan mereka

dengan membuat makam-makam setan itu...."

 Bunga tersenyum. "Kau pandai mengalihkan

pembicaraan."

 Wiro pegang lengan gadis itu. "Terus terang, aku

khawatir akan keselamatan mereka. Dua kali mereka

dijebak dengan makam setan. Pada makam ke tiga

jangan-jangan muncul bahaya tidak terduga...."

 "Kau mungkin bisa menduga siapa biang racun yang

melakukan semua itu?" tanya Bunga.

 "Aku pasti akan menyelidik. Saat ini memang ada

beberapa dugaan. Kau pernah mendengar seorang

pemuda bernama Bagus Srubud?"

 Bunga menggeleng. "Siapa dia?"

 "Pemuda keji yang memperdaya Kinasih, istri

mendiang juru ukir Keraton. Mungkin nama itu palsu

belaka...." Wiro menggaruk kepala lalu melanjutkan.

"Kau tahu, di dunia ini mungkin aku satu-satunya

manusia yang tidak disukai oleh banyak orang. Aku

banyak musuh."

 "Kau bicara seolah menyesali diri, Wiro. Padahalkenyataan yang kau hadapi adalah tantangan rimba

persilatan, yang harus dihadapi oleh setiap pendekar

pembela kebenaran."

 Wiro memandang ke langit, menatap ke arah rembulan 

bundar bercahaya terang sejuk. "Kalau saja orang tuaku 

tidak menemui ajal di tangan Ranaweleng, aku tidak 

akan pernah diambil murid oleh Eyang Sinto Gendeng, aku 

tidak akan menjadi pendekar geblek macam ini...."

 "Jangan bicara seperti itu Wiro. Segala sesuatu dalam 

kehidupan kita, sejak kita dilahirkan, malah sejak kita 

masih berbentuk janin, keadaan dan takdir diri kita 

telah ditentukan oleh Gusti Allah. Mengumpat diri sendiri 

sama saja dengan mengumpat semua kehendak Allah...."

 "Aku paling takut pada Tuhan," kata Wiro. "Tapi

mengapa aku kebagian segala macam hal yang sulit-sulit, 

penuh tantangan, darah dan nyawa...."

 Bunga usap kepala Pendekar 212 lalu berkata. "Mungkin 

Tuhan baru memberi sedikit cobaan dan ujian padamu? 

Mengapa kau berucap seperti orang berputus asa? 

Tantangan hidup seharusnya membuat seorang pendekar 

menjadi lebih tabah, lebih kokoh lahir dan batin. Lebih 

kokoh dari batu karang ditepi pantai yang setiap hari 

didera angin dan ombak! Bahkan ketika topan datang 

melanda dia tetap berdiri tegar!"

 Mendengar kata-kata Bunga itu Wiro merangkul si

gadis erat-erat dan mencium kening serta pipinya

berulang kali. "Terima kasih Bunga, terima kasih...."

 Bunga balas memeluk. Wajahnya dibenamkan ke dada 

sang pendekar, menyembunyikan sepasang matanya 

yang berkaca-kaca. Wiro dapat merasakan kehangatan air 

mata si gadis. "Wiro, aku tidak malu mengatakan, 

sebenarnya aku ingin selalu dekat dengan dirimu. 

Namun keadaan diriku tidak memungkinkan hal itu."

 "Aku gembira mendengar ucapanmu itu Bunga. Walau 

kita tidak bisa saling berdekatan, tapi kini aku tahu, 

diriku ternyata selalu ada dalam hati sanubarimu.Sekali lagi aku berterima kasih...." Wiro mencium rambut 

harum sang dara lalu mengangkat wajahnya, mengecup ke 

dua matanya yang basah.

 Pada saat itulah tiba-tiba ada suara orang berkata.

 "Rembulan purnama di malam indah. Dua insan saling 

bermesra. Cuma sayang yang perempuan hanyalah setan 

kesasar dari alam roh!"

 "Bagaimana kalau pemudanya kita rubah jadi roh pula 

agar keduanya bisa bermesraan lebih asyik?!" Satu suara 

lain menimpali ucapan tadi.

 Tempat itu kemudian dipenuhi oleh tawa bergelak.

 Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak kaget. Lepaskan 

pelukannya di tubuh Bunga lalu bangkit berdiri, tegak di 

lantai dangau. Bunga tak. Kalah kejutnya. Namun gadis 

ini tampak tenang saja. Sepasang matanya yang tadi 

basah lembut kini memandang tak berkesip, dingin beku 

seperti es!

 Di sekitar dangau, berdiri empat orang bertampang

seram mengerikan. Orang pertama mengenakan

pakaian hitam. Di kepalanya bertengger sebuah

blangkon yang juga berwarna hitam. Mata kirinya ditutup 

dengan selapis kulit hitam bertali yang diikat ke bagian

belakang kepala. Sepintas lalu, orang ini kelihatan

seperti bajak laut. Dia bukan lain adalah Iblis Batu

Hitam, yang dianggap sebagai pimpinan tokoh silat

istana. Namun sejak senjata andalannya berupa batu

sakti dihancurkan dan mata kirinya dibuat buta

dengan tancapan bunga kenanga oleh Bunga, Iblis

Batu Hitam kehilangan pamor. Menyadari keadaan

dirinya yang kehilangan kesaktian, ditambah dendam

kesumat pada Bunga dan Wiro, malam setelah

dirinya dipecundangi Iblis Batu Hitam menemui

gurunya untuk meminta bantuan membalaskan

dendam kesumat sakit hati.

 Orang kedua, tegak disamping Iblis Batu Hitam

adalah Momok Dempet Tunggul Gono. Kepalanyadibalut menutupi telinga kiri yang cidera berat akibat

tancapan bunga kenaga yang dilemparkan Bunga.

 "Heran, dua manusia jahat ini, kalau tidak ada yang 

menolong bagaimana bisa sembuh secepat ini," bisik Wiro 

pada Bunga.

 Si gadis tidak menyahuti, melainkan memandang

pada dua orang yang tegak di belakang Tunggul Gono

dan Iblis Batu Hitam. Dia segera memaklumi. Tunggul

Gono dan Iblis Batu Hitam boleh saja dianggap enteng, 

tapi dua lainnya di sebelah belakang tidak bisa dibuat 

main. Yang pertama dari dua orang ini, kakek berbadan 

tinggi kerempeng, berkulit hitam laksana kayu gosong 

dimakan api. Di tangan kirinya dia memegang sebatang 

tongkat terbuat dari tulang putih, dipenuhi lobang-lobang 

kecil. Dua pipinya sangat cekung hingga sepasang 

matanya tampak sangat angker seperti melesak ke dalam. 

Rambut, kumis serta janggutnya putih, punggungnya agak 

bungkuk. Kakek ini jarang muncul dalam rimba persilatan,

karenanya walau ilmunya tinggi dirinya tidak begitu

dikenal. Dia bernama Ki Sepuh Item. berjuluk Si Tongkat 

Akhirat. Dan dia bukan lain guru Iblis Batu Hitam!

 Orang kedua, inilah sosok yang paling angker

diantara empat orang yang muncul di tempat itu. Dia

hanya mengenakan sehelai celana hitam komprang.

Tubuhnya yang telanjang penuh ditumbuhi bulu, mulai

dari tangan sampai ke dada, terus ke pangkal leher.

Kulit muka berwarna kebiru-biruan. Di sela bibirnya

kiri kanan menyembul taring hingga tampangnya tak

beda dengan raksasa. Sepasang matanya merah

dihias empat buah alis merah, satu di bawah, satu

di atas pada masing-masing mata. Pada pinggang

kirinya tergantung sebuah guci terbuat dari perunggu

berkilat. Dan yang hebatnya, kepalanya, mulai dari

kening ke atas berbentuk empat persegi, kelabu

kehitaman dan sangat keras. Di atas kepala ini

terletak sebuah pendupa batu yang mengepulkan asapdan menebar bau kemenyan. Ketika melihat guci

perunggu itu, wajah Bunga si gadis alam roh yang

memang sudah pucat pasi kini tambah memutih.

Dadanya berdebar. Dia mengenali siapa adanya

makhluk satu ini.

 "Iblis Kepala Batu Alis Empat..." membatin Bunga.

"Aku tidak takutkan dirinya. Tapi jika aku gagal

berarti aku tidak dapat menyelamatkan orang yang

aku cintai. Jika itu sampai terjadi, paling tidak yang

tiga orang itu harus dapat aku habisi!"

 "Wiro," bisik Bunga. "Kau serahkan yang tiga orang itu 

padaku. Orang keempat, yang menjunjung pendupaan 

memiliki ilmu gaib yang sulit dijajagi kehebatannya. Jika 

aku tidak bisa menghadapinya, aku akan memberi isyarat 

dengan mengangkat tangan kanan. Begitu kau melihat 

isyarat itu, larilah. Selamatkan dirimu. Jangan pikirkan 

hal-hal lain, termasuk diriku...."

 "Tidak Bunga, apapun yang terjadi aku tidak akan

meninggalkanmu seorang diri di tempat ini!" jawab Wiro.

 "Jangan Wiro, kau harus dengar apa yang aku

katakan. Terlalu berbahaya.... Ingat, aku makhluk

alam roh. Aku tidak mengenal kematian di alamku.

Tapi bagimu lain...."

 "Memangnya bangsat penjunjung dupa itu siapa?"

murid Sinto Gendeng bertanya.

 "Dia punya beberapa julukan. Di antaranya Iblis Kepala 

Batu Alis Empat, Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. Dia 

punya kesaktian aneh, bisa menangkap makhluk halus 

dan jin. Termasuk makhluk alam gaib seperti diriku...."

 "Kalau begitu biar kugempur dia sekarang juga!" kata 

Wiro.

 "Jangan. Dia dengan mudah bisa melumpuhkanmu," 

jawab Bunga. Lalu gadis alam roh ini melompat dari atas 

dangau, turun ke tanah. Di langit, sekelompok awan hitam 

bergerak menutupi rembulan hingga keadaan di puncak 

bukit menjadi gelap temaram. Wiro tak tinggal diam. Diasegera pula berkelebat turun. Tangan kiri bersiaga dengan

Pukulan Sinar Matahari, tangan kanan siap mencabut

Kapak Maut Naga Geni 212 sedang tumit kanan setiap 

saat bisa dihunjamkan ke tanah mengeluarkan ilmu 

Membelah Bumi Menyedot Arwah yang didapatnya dari 

Hantu Santet Laknat alias Luhrembulan di Negeri 

Latanahsilam. (Baca riwayat petualangan Wiro Sableng 

di Negeri Latanahsilam terdiri dari 18 Episode mulai dari 

Bola Bola Iblis sampai Istana Kebahagiaan.)


SEMBILAN


SEPASANG muda-mudi! Mengapa tidak terus 

bermesraan. Padahal kami ingin menyaksikan

kelanjut-an permainan asmara kalian! Ha... ha... ha!"

Yang berseru dan kemudian tertawa bergelak adalah

Iblis Batu Hitam.

 Di sebelahnya Momok Dempet Tunggul Gono

menyambungi. "Tampang kalian berdua kulihat sangat

pucat! Jangan kawatir! Kami datang tidak untuk

membunuh kalian! Nyawa kalian tidak ada artinya. Yang

kami inginkan ialah bagian-bagian tubuh kalian,

pengganti bagian tubuh kami yang telah kalian rusak!"

 Bunga mendengus dan maju satu langkah. "Manusia-

manusia tidak tahu diri! Pelajaran yang aku berikan

rupanya tidak bisa membuat kalian sadar! Minta

ditambah?!"

 "Iblis Batu Hitam!" Wiro berkata. "Kurasa kau tidak

pantas lagi menyandang gelar itu. "Bagaimana kalau

kau ganti saja dengan gelar lain. Misal Iblis Mata

Picak?!" Wiro tertawa gelak-gelak lalu menoleh pada

Tunggul Gono. "Makhluk kaki kuda! Ujudmu kulihat

tambah tidak karuan! Tangan kiri buntung, disambung

dengan besi.Kuping kananmu pasti sudah budek! Kuda

benaran masih ada gunanya dari pada makhluk tak

karuan macammu ini! Ha... ha... ha!"

 Iblis Batu Hitam dan Tunggul Gono segera hendak

menerjang Wiro karena tidak dapat menahan geram.

Tapi Ki Sepuh Item alias Si Tongkat Akhirat cepat

memberi isyarat lalu maju satu langkah ke hadapan

Wiro. Dengan matanya yang cekung melesak ke dalam

dia perhatikan murid Sinto Gendeng mulai dari kepalaampai ke kaki.

 "Bangkai gosong!" ucap Wiro seenaknya. "Kau rupanya 

jarang melihat manusia hingga memandangiku seperti 

aneh. Atau matamu sudah terbalik, mengira aku ini 

perempuan? Ha... ha... ha!"

 Ki Sepuh Item mendongak ke langit lalu ikutan

tertawa. "Orang yang mau mampus biasanya membaca

segala macam doa, minta ampun atas segala dosa,

bertobat sebelum ajal. Tapi kau aneh. Malah meracau

tidak karuan!" 

 "Kakek gosong! Aku tidak tahu siapa kau adanya.

Rupanya kau setan puntung neraka yang kesasar

muncul hendak menjemput diriku. Apakah kau datang

membawa kuda sembrani, atau aku harus

membonceng di punggungmu? Kulihat tubuhmu sudah

bungkuk keropos, apa masih sanggup mendukung aku?

Bagaimana kalau temanku gadis cantik ini ikut-ikutan

minta didukung?!"

 Rahang Ki Sepuh Item menggembung. Dari ubun-

ubun kepalanya mengepul asap hitam pertanda orang

ini marah besar mendengar ejekan Wiro tadi.

 "Pemuda kurang ajar! Berani kau menghina guruku

Si Tongkat Akhirat!" teriak Iblis Batu Hitam marah

sekali.

 "Walah! Kakek gosong berjuluk Si Tongkat Akhirat

ini ternyata gurumu! Astaga, harap maafkan diriku.

Aku melihat dia memang membawa tongkat. Berarti

kini aku tidak meragukan kemampuannya bisa

mendukungku! Kakek gosong, apakah kau sudah siap

menggendongku ke neraka?"

 "Iblis Batu Hitam! Tunggul Gono! Aku tidak mau

menghabiskan waktu mengotori tangan! Bunuh pemuda

rambut gondrong ini!" teriak Ki Sepuh Item.

 Mendengar perintah itu Iblis Batu Hitam dan Momok

Dempet Tunggul Gono segera melompat menyerang

Pendekar 212 Wiro Sableng Seperti diketahui Iblis Batu Hitam menjadi ketua

para tokoh silat istana karena dia memiliki batu hitam

sakti yang menjadi senjata andalannya. Setelah batu

itu dihancurkan Bunga, oleh gurunya dia dibekali sebilah

golok anelt. Golok ini memiliki gagang di sebelah tengah,

bagian yang tajam dan runcing ada dua yaitu di kiri

kanan gagang. Melihat kepada bentuk dan cara

memainkannya golok ini tidak beda dengan sebuah toya

pendek. Sekali golok diputar maka bertaburlah sinar

hitam berbentuk lingkaran, menebar hawa dingin

menggidikkan.

 Momok Dempet Tunggul Gono melompat sambil

tusukkan tangan kirinya yang disambung dengan

selongsong besi dan memiliki ujung lancip berkeluk.

Yang diarah adalah leher lawan. Kehebatan selongsong

besi ini, jika lawan mampu mengelak maka dia akan

menarik tangannya. Ujung besi yang berbentuk lancip

berkeluk dengan sendirinya akan mengait lawan dari

belakang.

 Murid Sinto Gendeng gerakkan tangan kiri, siap

menyambut serangan dua lawan dengan pukulan Sinar

Matahari. Sementara tangan kanan bergerak untuk

mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi Wiro jadi

tersurut mundur dua langkah ketika tiba-tiba dua sinar

merah berkiblat, menyambar dari kiri ke kanan,

menyapu ke arah dua orang yang mengirimkan

serangan.

 Iblis Batu Hitam berseru keras, melompat mundur

dengan muka pucat sambil kibas-kibaskan tangan

kanan. Golok bermata dua terpaksa dilepaskannya,

dibanting demikian rupa dan menancap di tanah. Dua

mata golok saat itu telah berubah menjadi besi panas

membara akibat hantaman sinar merah. Telapak

tangannya sendiri kelihatan merah melepuh!

 Dibanding dengan Tunggul Gono, Iblis Batu Hitam

masih beruntung karena dia bisa membuang goloknyayang berubah menjadi besi menyala. Tunggul Gono

menjerit kalang kabut. Selongsong besi yang menjadi

sambungan tangan kirinya juga telah berubah menjadi

besi membara. Karena besi itu terkait kencang ke

lengan sebelah atas maka dia tidak bisa melepaskannya.

Ki Sepuh Item cepat memukul besi panas itu dengan

tongkat tulangnya sehingga lepas dari sambungannya.

 "Aku telah memberi pelajaran! Apa kalian masih

keras kepala? Lekas menyingkir dari tempat ini! Bawa

dua orang itu!" Yang berucap adalah Bunga.

 "Gadis makhluk alam roh!" yang berkata dengan

suara lantang adalah Iblis Kepala Batu Alis Empat alias

Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. "Mentang-mentang

kau bisa mempecundangi kedua orang itu, jangan

bersikap sombong pongah. Ilmu kesaktian Roh Mendera

Bumi yang tadi kau perlihatkan tidak ada arti apa-apa

bagiku! Kau sudah terlalu lama gentayangan di alam

yang bukan alammu! Tiba saatnya aku memasungmu.

Sampai kiamat kau tak bakal bisa kemana-mana lagi!"

 Habis berkata begitu Iblis Kepala Batu Alis Empat

kedipkan matanya tiga kali berturut-turut. Pendupaan

menyala di atas kepalanya yang berbentuk batu segi

empat mengobarkan api dan mengepulkan asap

sebanyak tiga kali.

 "Apa yang hendak dilakukan bangsat kepala batu

ini," pikir Wiro.

 Bunga memperhatikan setiap gerak dan perbuatan

Iblis Kepala Batu Alis Empat dengan dada berdebar.

Ketika dilihatnya orang itu mengambil guci yang

tergantung di pinggangnya, gadis dari alam roh ini

segera maklum apa yang hendak dilakukan orang.

Dengan cepat dia hentakkan kaki kanan ke tanah. Di

tanah muncul cahaya merah, menjalar naik memasuki

tubuhnya, terus ke kepala. Begitu cahaya merah sampai

di mata, dari sepasang mata si gadis berkiblat dua

larik sinar merah, menggunting ke arah Iblis KepalaBatu Alis Empat. Inilah ilmu kesaktian yang disebut

Roh Mendera Bumi, yang tadi membuat musnah

serangan Iblis Batu Hitam dan Tunggul Gono.

 Iblis Kepala Batu dengan tenang angkat tangan

kirinya sementara tangan kanan memegang guci

perunggu, perlahan-lahan diletakkan di atas pendupaan

yang menyala.

 Tangan kiri dan sekujur tubuh Iblis Kepala Batu

bergetar keras ketika dua larik sinar merah sepanas

bara api melabrak tubuhnya. Tapi ternyata dua sinar

maut itu tidak sampai menyentuh dirinya, tertahan satu

jengkal. Untuk menahan serangan gadis alam roh itu.

Iblis Kepala Batu mengerahkan seluruh tenaga luar

dalam, menguras seluruh hawa sakti yang dimilikinya.

Tubuhnya bergetar hebat, mandi keringat. Sepasang

matanya yang merah seperti dikobari api. Taring yang

mencuat dari sudut-sudut bibirnya kelihatan bertambah

panjang. Tiba-tiba Iblis Kepala Batu dorongkan tangan

kirinya sambil meniup ke depan.

 "Bummm!"

 Satu ledakan dahsyat menggema. Puncak bukit

bergoyang. Pohon-pohon teh rambas. Dangau di

belakang sana roboh. Pendekar 212 Wiro Sableng

terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk. Iblis Kepala Batu

tak kuasa menahan getaran yang mendera sekujur

tubuhnya, perlahan-lahan jatuhkan diri, berlutut di tanah,

mulut komat-kamit.

 Bunga kelihatan masih mampu berdiri walau sekujur

tubuhnya juga dilanda getaran dahsyat. Wajahnya yang

cantik tambah pucat. Mendadak gadis alam roh ini

merasa tubuhnya seperti leleh. Memandang ke depan,

dari kiri kanan sosok Iblis Kepala Batu muncul dua

makhluk raksasa melayang, mengenakan cawat,

berambut panjang yang dijalin sampai ke punggung.

Bunga bisa melihat dua makhluk ini, tetapi Wiro tidak.

 "Dua jin dari alam roh," desis Bunga. "Celaka! Akutidak mungkin melawannya." Bunga berpaling ke arah

Wiro. Ketika Wiro memandang padanya gadis ini cepat

angkat tangan kanan memberi tanda. "Wiro, lekas

tinggalkan tempat ini!" Bunga berteriak.

 Wiro tidak tahu apa yang akan terjadi. Dia kumpulkan 

tenaga lalu melompat bangkit. Kapak Maut Naga Geni 212 

sudah tergenggam di tangan.

 "Wiro, lekas lari! Tinggalkan tempat ini! Cepat!"

Kembali Bunga berteriak.

 Tiba-tiba Wiro mendengar suara menggemuruh.

Suara teriakan si gadis lenyap ditelan gemuruh itu.

Lalu Wiro melihat Bunga meronta-ronta kian kemari

seperti ada yang memegangi dan menyeretnya. Sesaat

kemudian sosok gadis ini naik ke udara dan anehnya,

tubuhnya berubah menjadi asap panjang, mengecil,

melayang meliuk-liuk masuk ke dalam mulut guci

tembaga kuning di atas kepala Iblis Kepala Batu.

 "Astaga! Apa yang terjadi dengan gadis itu?" ujar

murid Sinto Gendeng dengan mata terbelalak.

 "Bunga!" Wiro berusaha mengejar sambil kiblatkan

kapak saktinya. Cahaya putih menyilaukan dan panas

disertai gaung seperti ribuan tawon mengamuk

memenuhi udara.

 Iblis Kepala Batu angkat tangan kirinya. Kembali

terdengar suara,menggemuruh. Wiro merasakan ada

dua sambaran angin di kiri kanannya seolah ada dua

makhluk besar tak kelihatan mendatangi. Lalu dua

tangan tak kelihatan mendorongnya hingga dia

terbanting jatuh punggung di tanah. Kapak sakti terlepas

jatuh dari tangannya. Ketika dia berusaha bangkit sambil

berusaha menghantam dengan dua pukulan tangan

kosong, satu kaki yang tidak kelihatan menginjak

dadanya, membuat Wiro tidak berdaya. Tak mampu

menggerakkan tangan bahkan nafasnyapun seperti

amblas!

 Iblis Kepala Batu Alis Empat tertawa mengekeh."Budak gondrong!" katanya pada Wiro. "Kalau aku

ingin membunuhmu gampang saja. Semudah meniup

debu di tangan. Tapi biar nyawamu kuserahkan pada

sahabatku Ki Sepuh Item. Ha... ha... ha! Selamat tinggal

Pendekar 212. Apa yang kucari sudah kudapat. Ha...

ha... ha!"

 Iblis Kepala Batu buka mulutnya. Dari dalam mulut

dia muntahkan satu benda berwarna hitam. Benda ini

kemudian disumpalkannya ke mulut guci tembaga. Dia

memandang sekali lagi ke arah Wiro lalu didahului suara

tawa panjang sosoknya berkelebat lenyap dari

pemandangan.'

 Saat itu juga injakan berat di dada Pendekar 212

lenyap. Tanpa perdulikan kapak yang masih tergeletak

di tanah dengan cepat Wiro melompat, mengejar ke

arah berkelebatnya Iblis Kepala Batu Alis Empat.

 "Iblis jahanam!" Wiro berteriak. Dia lepaskan

Pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung dengan tangan 

kiri sementara tangan kanan berbarengan didorong

melancarkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu

Karang yakni pukulan ke dua dari enam pukulan sakti

yang dipelajarinya dari Kitab Putih Wasiat Dewa. Pohon-

pohon teh di puncak bukit hancur berantakan, mental

bertaburan di udara. Sayangnya Iblis Kepala Batu Alis

Empat telah lenyap, hanya suara tawanya yang masih

tertinggal mengumandang.

 "Celaka! Bunga... gadis itu lenyap masuk ke dalam

guci tembaga! Bagaimana aku harus menolongnya!"

Wiro kepalkan tangan, cemas sekali dan juga geram

marah luar biasa. Kemarahannya kini ditujukan pada

Iblis Batu Hitam, Tunggul Gono dan Ki Sepuh Item

alias Si Tongkat Akhirat. Lebih-lebih ketika dilihatnya

Ki Sepuh Hitam si kakek kulit gosong tengah

membungkuk hendak mengambil Kapak Maut Naga Geni

212 yang tercampak di tanah. Didahului bentakan keras

murid Sinto Gendeng melompat ke arah Ki Sepuh Item.Kaki kanannya bergerak menderu laksana topan.

 Sementara itu, tidak diketahui oleh ke empat orang

yang berada di bukit itu, di atas punggung seekor kuda

coklat yang hidungnya berwarna putih, di balik sebuah

pohon besar, satu-satunya pohon di puncak bukit teh

itu, seorang pemuda berpakaian kuning celana hitam

menyaksikan semua yang terjadi tadi dengan mata

hampir tak pernah berkedip. Pemuda ini bukan lain

adalah Damar Wulung yang terakhir kali beberapa

waktu lalu muncul di tempat kediaman Tumenggung

Cokro Pambudi, membawa dua buah peti berisi harta

perhiasan dan uang. emas milik Kerajaan serta sebilah

keris yang semula diduga adalah Keris Kiai Naga Kopek 

pusaka Keraton ternyata palsu. (Baca Episode

sebelumnya berjudul "Roh Dalam Keraton")

 Dari balik pohon besar, Damar Wulung telah

menyaksikan apa yang terjadi di puncak bukit teh itu.

Sambil menyeringai dan usap-usap dagunya dia berkata

dalam hati.

 "Iblis Kepala Batu Alis Empat memang hebat. Tapi

kehebatannya mengandalkan ilmu gaib dan kekuatan

jin. Pendekar 212 Wiro Sableng, pendekar satu ini

memang berbahaya. Tapi juga gagah. Tidak salah kalau

aku menduga Dewi memendam rasa gairah

terhadapnya. Ketika dia tidak merasa mendapat

tanggapan, rasa suka berubah menjadi dendam.

Hemm... ini kali pertama aku melihatnya. Jadi ini

manusianya yang menurut Dewi harus aku tangkap

hidup-hidup." Damar Wulung tersenyum. "Pendekar

212 Wiro Sableng bisa menunggu. Dewi boleh bersabar.

Aku harus mengatur siasat, biar bisa berlama-lama

menikmati kesenangan dengannya. Semakin lama aku

bisa bersiasat, semakin banyak kejadian besar di rimba

persilatan tanah Jawa ini. Aku bisa menjadi penonton

yang baik, sambil mencari keuntungan." Seringai

menyungging lagi di mulut Damar Wulung. Dengantenang pemuda itu duduk di atas kudanya,

memperhatikan dari balik pohon apa yang selanjutnya

akan terjadi antara Wiro dengan tiga orang yang masih

ada di puncak bukit teh setelah Iblis Kepala Batu Alis

Empat meninggalkan tempat itu.



SEPULUH


DI DALAM sebuah pondok kayu, tak berapa jauh dari Kali 

Lanang, malam itu nenek berwajah setan tidak dapat 

memicingkan mata. Banyak persoalan membuncah benak 

dan hatinya. Namun yang paling membuatnya gelisah dan 

tak habis-habis merenung adalah pertemuan dengan

anak berambut jabrik bernama Naga Kuning itu. Dua kali 

sudah dia bertemu. Malah pada kali terakhir dia sempat 

menyelamatkan nyawa anak itu. Dia sendiri merasa heran, 

begitu ingin dia melihat si bocah tetapi mengapa setelah 

menolong dia melarikan diri?

 "Hatiku masih diselimuti kekecewaan di masa lalu. Lagi 

pula aku masih belum yakin. Kalau-kalau dia bukan 

orangnya, tak jadi apa. Tapi kalau memang dia, 

bagaimana aku...." Si nenek geleng-geleng kepala, 

menarik nafas dalam beberapa kali. "Ah, mengapa aku 

terlalu berkhawatir. Dengan keadaanku seperti ini, dia tak 

mungkin mengenali diriku. Tetapi...." Si nenek terdiam 

sejenak. Dadanya terasa berdebar. "Waktu aku samadi di 

tepi Kali Lanang malam itu, dia sempat melihat keadaan 

tubuhku. Jika dia berusaha menyelidik keanehan itu, 

aku...."

 Si nenek duduk di ujung ranjang, perhatikan sepuluh 

jarinya yang diletakkan di atas pangkuan. Lalu kembali 

gelengkan kepala. "Anak itu.... Kalau saja dia tidak jatuh di 

pangkuanku ketika aku hendak merampungkan ilmu 

kesaktian i,tu, pasti saat ini aku sudah menguasai Ilmu 

Kuku Api. Nasibku sial...."Si nenek menghela nafas 

panjang. "Saat ini agaknya hari hampir pagi. Aku masih 

belum bisa memejamkam mata. Ada apa dengan diriku."

 Tiba-tiba si nenek menahan nafas. Dua matanyamemandang ke atas atap pondok yang terbuat dari daun 

rumbia kering. Telinganya dipasang.

 "Tak mungkin aku salah dengar. Itu bukan suara angin. 

Ada orang di atas atap. Satu orang....Tidak, mungkin dua." 

Ingat kejadian malam kemarin yaitu perkelahiannya 

dengan orang bertudung hitam, mengira orang datang 

hendak membalas dendam, si nenek berkelebat ke pintu. 

Sekali tendang saja pintu pondok jebol. Di iain kejap 

nenek bermuka setan itu sudah berada di halaman depan 

pondok. Memandang ke atas dia .melihat seseorang berdiri 

di atas atap. Dari bentuk tubuh serta pakaian, apalagi 

orang itu tidak bertudung, si nenek segera maklum, orang 

di atas atap bukansi tinggi besar berjubah putih yang 

disangkanya.

 "Siapapun manusia itu dia pasti bermaksud tidak baik! 

Malam-malam buta mendekam di atas atap rumah orang!" 

membatin si nenek. Lalu dia segera hendak melompat ke 

atas wuwungan sambil siapkan pukulan tangan kosong di 

tangan kanan, tapi mendadak sudut matanya melihat 

bayangan sesuatu di sebelah kiri. Cepat dia berpaling. 

Kejut amat sangat membuatnya tersurut ketika matanya

membentur satu sosok putih samar-samar di dalam kabut. 

Si nenek serta merta jatuhkan diri berlutut, membungkuk 

dalam. Suaranya tercekat dalam ketika berucap.

 "Ayah...."

 Makhluk dalam kabut bergerak mendekat. Lalu si nenek 

merasakan usapan halus di kepalanya. Perlahan-lahan dia 

angkat wajahnya sedikit. Dekat sekali di depannya berdiri 

seorang tua berselempang kain putih.

 "Kalau saja mata hati dan mata perasaanku tidak 

mendapat redho Gusti Allah, niscaya aku tidak 

mengetahui bahwa yang ada di depanku saat ini adalah 

puteriku sendiri. Ning Intan Lestari, berdirilah. Benar 

rupanya apa yang aku dengar. Mengapa kau jadi seperti 

ini?"

 Perlahan-lahan si nenek muka setan yang dipanggildengan nama Ning Intan Lestari bangkit berdiri. 

Kepalanya masih ditundukkan, tak berani memandang 

pada orang tua di depannya. Si orang tua pegang dagu si 

nenek lalu mengangkatnya hingga kini dia dapat melihat 

dengan jelas wajah seram itu. Desah panjang keluar dari 

mulut kakek berselempang kain putih.

 "Anakku, aku tahu penderitaanmu setinggi langit

sedalam lautan. Tetapi sungguh aku tidak menyangka 

kalau tidak melihat sendiri. Apa yang telah menyebabkan 

wajahmu cacat begini rupa?"

 "Ayah...."

 Kembali orang tua berselempang kain putih mendesah 

dalam. "Aku bisa mengerti, simpan ucapanmu. Tak usah 

kau terangkan kalau itu hanya akan menambah beban 

derita hatimu."

 "Ayah, maafkan kalau selama ini anakmu tidak pernah 

menyambangimu di puncak Gunung Gede atau di Telaga 

Gajahmungkur. Pertemuan ini membuat anakmu ini 

merasa sangat berdosa. Karena ayah yang datang 

mencari, bukannya saya yang mencari ayah."

 "Tak ada rasa kecewa dalam hatiku. Aku datang

menemuimu dengan satu harapan. Agar kau bisa

melupakan masa lalu. Lalu dalam sisa usiamu yang entah 

tinggal berapa tahun lagi kau dapat menghabiskan dan 

menikmatinya sebagaimana layaknya manusia yang 

pernah hidup di dunia ini. Sebagaimana layaknya seorang 

perempuan, seorang gadis...."

 "Ayah, saya gembira bisa bertemu dengan Ayah. Tapi 

saya tidak tahu apa arti maksud kedatangan Ayah" Si 

nenek tundukkan kepalanya, menyembunyikan sepasang 

matanya yang mulai berkaca-kaca.

 Kakek berselempang kain putih pegang bahu si nenek 

lalu berkata. "Anakku, kau tidak bisa hidup seperti ini 

terus menerus. Segala derita masa lalu harus disingkirkan. 

Segala kehancuran hati dan jiwa masa silam harus 

dilenyapkan. Kau lihat orang di atas atap pondok itu?"Si nenek melirik ke wuwungan pondok.

 "Saya lihat Ayah. Siapakah dia?" tanya si nenek.

 "Kau akan segera mengetahui, anakku." Si kakek

lambaikan tangan kirinya. Melihat isyarat ini, orang di 

atap pondok tampak bergerak. Sekali berkelebat dia 

sudah berdiri di hadapan ke dua orang itu. Ternyata dia 

adalah seorang kakek berwajah jernih, berusia sekitar 

delapan puluhan. Mengenakan pakaian ringkas warna 

biru gelap, di usianya yang sudah sangat lanjut kakek ini 

tampak gagah. Di masa mudanya pastilah dia merupakan

seorang pemuda sangat cakap.

 "Rana Suwarte, aku sudah mengantarkanmu sampai ke 

hadapan orang yang selama ini kau cari. Tugasku selesai. 

Semoga nasibmu beruntung dan kau bisa menemui 

kebahagiaan."

 "Kiai Gede Tapa Pamungkas, saya sangat berterima 

kasih atas kebaikan Kiai...." Kakek bernama Rana 

Suwarte berkata seraya membungkuk.

 Orang tua berselempang kain putih yang ternyata 

adalah Kiai Gede Tapa Pamungkas, makhluk setengah 

manusia setengah roh anggukkan kepala lalu berpaling 

pada si nenek.

 "Anakku Ning Intan Lestari, aku berharap malam ini 

segala derita sengsaramu selama ini akan lenyap dan 

biarlah menjadi satu kenangan belaka. Kau harus 

menerima dan bersedia menghadapi kenyataan yang 

datang padamu karena datangnya dari Yang Maha Kuasa 

dan Maha Pengasih. Selamat tinggal anakku. Bungkus 

benakmu dengan pikiran jernih. Urapi hatimu dengan 

kecintaan yang tulus. Aku harapkan kalian berdua akan 

menemui kesepakatan demi kebahagiaan yang selama 

ini kalian dambakan...."

 "Kiai...." Si nenek berucap.

 Angin malam berhembus kencang. Kabut mengapung 

naik. Sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas lenyap dari 

pemandangan. Si nenek tersurut. Dia melirik sekilas padakakek di sampingnya, lalu tanpa berkata apa-apa dia 

segera hendak melangkah pergi.

 "Intan, tunggu!" kakek berwajah jernih bergerak

mengejar..

 Si nenek bimbang sesaat. Kakinya sudah melangkah, 

namun diurungkan. Dia berhenti, dia menunggu. Tidak 

berpaling pada si kakek, melainkan memandang ke 

jurusan lain. Kakek bernama Rana Suwarte mendatangi, 

tegak dua langkah di hadapan si nenek. Dia pandangi 

wajah buruk si nenek beberapa ketika. Rangkungannya

turun naik bertanda dia tengah menahan gejolak hati 

yang sulit diutarakan. Akhirnya mulutnya berucap juga.

 "Intan, kalau tidak ditolong dan diantar sendiri oleh Kiai 

Gede Tapa Pamungkas, mungkin aku tidak akan pernah 

bisa mencarimu. Aku tidak tahu kalau selama ini orang 

yang memakai julukan Gondoruwo Patah Hati itu 

sebenarnya adalah engkau."

 Ning Intan Lestari melirik, tapi tetap tak bergerak, juga 

tidak menjawab ucapan orang.

 "Intan, ketahuilah berpuluh tahun aku mencarimu. Aku 

merasa bersyukur pada Gusti Allah, saat ini akhirnya 

dengan pertolongan Kiai Gede Tapa Pamungkas akhirnya 

aku bisa menemuimu...."

 "Puluhan tahun adalah waktu yang sangat panjang. 

Mengapa kau bersusah payah mencariku...?" tiba-tiba si 

nenek ajukan pertanyaan.

 "Apakah aku masih perlu menerangkan, padahal hatimu 

tentu sudah menduga mengapa aku melakukan semua 

itu."

 "Maafkan. Tidak, aku tidak bisa menduga. Puluhan 

tahun terlalu lama untuk mengingat-ingat. Aku sudah 

hampir pikun," jawab nenek muka setan.

 Rana Suwarte terdiam sesaat, hanya matanya yang tak 

berhenti menatapi wajah si nenek. Dalam hati kakek ini 

berkata. "Dia berkata dusta. Mustahil tidak tahu mengapa 

aku mencari dan ingin menemuinya. Tapi aku dapat

memaklumi. Derita masa silam yang begitu parah terlalu 

sulit untuk disembuhkan."

 "Intan, terus terang, aku tidak malu-malu mengatakan. 

Apalagi tadi Kiai sempat menerangkan. Aku mencarimu 

karena perasaan hatiku terhadapmu sejak puluhan tahun 

lalu tidak pernah berubah. Aku masih tetap 

mengharapkan...."

 "Mengharapkan apa?" si nenek memotong.

 "Sejak kita berpisah, kita telah dilanda gelombang

kepedihan hati dan jiwa. Dalam semua derita sengsara itu 

sampai saat ini kau masih tetap seorang gadis, aku sendiri 

sampai saat ini masih tetap perjaka. Kita sama-sama 

memiliki ketabahan hati. Mungkin itu satu pertanda 

bahwa dalam derita dan ketabahan hati itu kita bisa 

bersatu.Mewujudkan cita-cita di masa muda...."

 "Cita-cita apa?" tanya si nenek.

 Pertanyaan itu membuat Rana Suwarte bersemu merah 

wajahnya. Tapi dengan sabar, malah dengan mengulum 

senyum dia berucap.

 "Intan, tujuh puluh tahun lebih kau hidup dalam beban 

kepatahan hati. Apakah itu tidak cukup? Apakah kau tidak 

mendambakan satu kehidupan yang lebih baik. Kau harus 

mengubur gelar yang diberikan orang-orang padamu.

Gelar Gondoruwo Patah Hati itu tidak pantas bagi dirimu. 

Kau tahu Intan, aku mencintaimu sepenuh hati...."

 "Setelah melihat wajahku yang seperti setan ini, 

apakah kau masih mencintaiku?"

 " Kasih sayangku padamu, cinta kasihku padamu, tidak 

pernah berubah. Dari dulu sampai sekarang. Apapun yang 

terjadi dengan dirimu...."

 Dalam hatinya si nenek berkata. "Manusia gila!

Bagaimana mungkin dia bisa berkata begitu? Jangan-

jangan

 "Kau berdusta! Mukaku cacat buruk begini rupa, lebih 

seram dari setan. Dan kau mengatakan masih mencintai 

diriku. Siapa orangnya yang bisa percaya? Kau tidakbuta, kau bisa melihat dunia ini dengan segala isinya. 

Puluh perempuan cantik bertebaran di mana-mana. Jika 

kau memang menginginkan kehidupan berumah tangga,

perempuan-perempuan itu lebih pantas bagimu daripada 

nenek cacat bermuka setan seperti aku ini."

 "Intan, jika seandainya aku menginginkan perempuan 

lain, sudah sejak lama aku berumah tangga. Jika aku 

tidak mengasihimu sepenuh hati, tidak mungkin aku 

meminta pertolongan Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk 

mencarimu. Kini setelah bertemu, aku mohon jangan kau 

tolak diri tua buruk ini. Hidup kita berdua mungkin tidak 

berapa lama lagi. Mengapa sisa hidup itu harus kita jalani

dengan kesia-siaan?"

 "Aku tidak merasa sisa hidupku sebagai satu kesia-

siaan...."

 "Mulutmu bisa berkata begitu. Tetapi hatimu mungkin 

berbeda. Intan, aku ingin membawamu ke Telaga di 

puncak Gunung Gede, meminta restu Kiai Tapa Gede 

Pamungkas...."

 "Gunung Gede...." Si nenek mengucapkan kata- kata itu 

sambil tersenyum. Ini untuk pertama kali si kakek melihat 

Intan Lestari tersenyum. Dia merasa ada sekelumit 

harapan muncul, namun jadi terkesima ketika mendengar 

si nenek melanjutkan ucapannya. "Di puncak Gunung 

Gede, bukankah di situ juga merupakan tempat 

kediaman Sinto Weni yang lebih dikenal dengan nama 

Sinto Gendeng, orang yang pernah menjalin cinta kasih

denganmu di masa muda?"

 Kakek bermuka jernih berpakaian ringkas biru menarik 

nafas dalam. "Intan, kau mungkin salah menyirap kabar. 

Antara aku dan Sinto Gendeng tidak ada jalinan hubungan 

apa-apa. Dimasa muda dia memang pernah tinggal di 

tempat kediaman guruku, untuk menjadi teman latihan 

ilmu silat. Kiai Gede Tapa Pamungkas juga mengetahui 

hal ini. Kemudian Sinto Gendeng pergi bersama pemuda 

bernama Sukat Tandika yang dikenal dengan julukan TuaGila Dari Andalas. Entah bagaimana kelanjutannya, yang 

jelas Sukat Tandikapun ditinggalkannya. Kabarnya dia 

melarikan sebuah pedang pusaka...." (Baca serial Wiro

Sableng Episode "Tua Gila Dari Andalas" sampai "Gerhana 

Di Gajahmungkur" terdiri dari 11 Episode)

 "Kau merasa dipermainkan bahkan mungkin ditipu oleh 

Sinto Gendeng, lalu berpaling padaku?"

 Rana Suwarte gelengkan kepala. "Sinto Gendeng

tidak mempermainkan diriku, juga tidak menipu.

Antara kami memang tidak ada hubungan apa-apa

selain persahabatan karena dikenalkan oleh guru

masing-masing...."

 Wajah setan si nenek kembali tersenyum. "Aku

perlu menjajagi apa ucapanmu itu betul adanya.

Tapi apa ada gunanya? Maafkan aku, aku ada

keperluan lain. Aku terpaksa meninggalkanmu."

 "Intan, aku mohon," si kakek cepat bergerak

dan berdiri di hadapan orang yang dikasihinya itu.

 "Dengar," si nenek berkata seraya mundur satu

langkah. "Aku hargai perasaanmu dan aku

berterima kasih. Tapi aku tidak menerima semua

ucapan dan hasratmu. Antara kita biar tetap menjadi

dua sahabat. Tidak lebih dari itu...."

 "Intan, Kiai Gede Tapa Pamungkas akan sangat

kecewa...."

 "Kiai adalah orang ketiga. Yang mengambil

keputusan adalah kita berdua."

 "Aku sudah mengambil keputusan. Aku ingin

kau menjadi istriku. Dengan sepenuh hati."

 "Terima kasih kalau memang itu keputusanmu.

Tapi aku belum bisa memberikan keputusan yang

sama...."

 "Sekarang belum, mungkin nanti. Aku akan

menunggu. Sampai kapanpun," kata Rana Suwarte

pula.

 "Mungkin keputusan itu tidak akan pernah akuambil. Maaf kalau aku mengatakan perasaanku apa

adanya.""Intan, aku harap kau sudi merenung,

memikirkan...."

 "Aku sudah terlalu lama merenung dan berpikir

hingga menjadi tua bangka tak berguna seperti ini."

 "Kau, kau bukan tua bangka tak berguna Intan.

Kau segala akhir dari harapanku..." si kakek

berusaha mendekat sambil ulurkan tangan hendak

memegang lengan si nenek, tapi perempuan tua

itu cepat bersurut.

 "Maafkan aku. Harapanmu terlalu indah, aku

tidak bisa menerimanya. Aku pergi sekarang...."

 Rana Suwarte tampak benar-benar kecewa. Dua

matanya dipejamkan dan mulutnya berucap. "Intan,

ini satu kenyataan dari harapanku yang tidak

terduga. Teganya hatimu. Seandainya kau

menusukkan pisau panjang menghunjam jantungku

tembus sampai ke punggung mungkin tidak seperti

ini sakitnya. Sebelum kau pergi, ada satu

pertanyaan yang aku ingin kau menjawabnya

dengan segala kejujuran...."

 "Kejujuran, apakah di dunia ini masih ada apa

yang dinamakan kejujuran?" bertanya si nenek.

 "Kejujuran selalu ada dalam setiap lubuk hati

sanubari manusia. Hanya saja kadang-kadang

manusia sengaja menyembunyikannya, apapun

alasannya."

 Ning Intan Lestari tersenyum. "Baiklah, apa yang

hendak kau tanyakan?"

 "Kau menolak maksud baikku, apakah karena

kau belum lama ini mengetahui bahwa seorang

yang pernah kau cintai di masa muda telah muncul

kembali?"

 Tergetar hati si nenek mendengar pertanyaan

yang tidak disangka-sangka itu. Tapi dengan cepat

dia ajukan pertanyaan."Siapa maksudmu? Siapa orang yang aku cintai

di masa muda itu?"

 "Kau tahu siapa orangnya. Mengapa harus

pura-pura balik bertanya?"

 Si nenek mendongak ke langit kelam. Lalu

tertawa panjang.

 "Suara tawamu aneh terdengar di telingaku.

Intan. Ada getaran hati menggema dalam gaung

tawamu. Seolah, menyatakan bahwa memang

begitulah sebenarnya alasanmu menolak hasrat

baikku."

 "Maafkan aku. Agaknya aku belum bisa menjadi

orang jujur. Aku tidak bisa menjawab

pertanyaanmu. Selamat tinggal. Jangan coba

mencariku lagi."

 "Intan, tunggu!"

 Tapi si nenek bernama Ning Intan Lestari telah

berkelebat lenyap, meninggalkan Rana Suwarte

termangu seorang diri. Wajahnya yang jernih

tampak mengelam.

 "Dunia penuh keanehan. Bagaimana bisa terjadi

seseorang menolak kebaikan yang datang dari hati

yang putih bersih? Intan, aku tahu kau mencintai

orang itu. Jika kau menolakku, bukan berarti kau

akan mendapatkan dirinya. Puluhan tahun aku

menunggu, sekarang mungkin sudah kepalang

tanggung." Rana Suwarte kepalkan dua tinjunya

lalu diletakkan di atas kepala. Dua gelungan asap

mengepul keluar dari tangan yang dikepalkan. Si

kakek ternyata tidak dapat mengendalikan tenaga

dalam akibat gejolak yang membakar dirinya.

 *

* *


SEBELAS


KITA kembali ke puncak bukit teh di Karangmojo. Walau 

hampir berhasil menyentuh Kapak Maut Naga Geni 212 

namun mendengar deru angin keras menerjangnya dari 

samping dengan cepat Ki Sepuh Item menyingkir 

selamatkan diri sambil pukulkan tongkat tulang putihnya. 

Dari lobang-lobang di badan tongkat menggema suara 

seruling seperti ditiup berbarengan, menggetarkan 

gendang-gendang telinga.

 Wiro terkesiap. Bukan saja tendangannya hanya

mengenai tempat kosong, tapi angin yang keluar dari

lobang-lobang tongkat tulang putih lawan terasa dingin

mencucuk, membuat kakinya yang masih terulur seperti

ditusuk puluhan jarum dan mendadak sontak terasa

kaku. Cepat-cepat murid Sinto Gendeng tarik pulang

kakinya lalu jatuhkan diri di tanah. Sambil bergulingan

Wiro sambar kapak saktinya.

 Ki Sepuh Hitam alias Si Tongkat Akhirat melintangkan 

tongkat tulangnya di depan dada lalu umbar tawa 

bergelak.

 "Pendekar 212! Kekasihmu gadis makhluk alam roh

sudah diringkus Iblis Kepala Batu Alis Empat! Sekarang

siapa yang hendak kau andalkan menjadi penyelamat

nyawamu?!"

 Habis berucap begitu kakek berkulit hitam ini

sabetkan tongkat saktinya ke depan. Wusss! Selarik

angin mengeluarkan asap putih menyambar ke arah

Wiro. Dari bau aneh yang bertabur dalam tebaran asap

Pendekar 212 segera maklum kalau asap yang keluar

dari dalam tongkat tulang itu mengandung racun jahat.

Sambil melompat mundur dan menutup penciumannyaWiro pukulkan tangan kirinya ke arah lawan.

 Satu gelombang angin melabrak ke arah ki Sepuh

Item.

 "Cuma pukulan Benteng Topan Melanda Samuderal

Siapa takut!" seru si kakek. Sambil melompat ke samping 

dia gerakkan tangannya yang memegang tongkat.

 Murid Sinto Gendeng bukan saja penasaran melihat

lawan tahu nama pukulan yang dilancarkannya, namun

juga jengkel karena angin yang keluar dari sambaran

tongkat Ki Sepu Item membuat amblas pukulan saktinya

sementara tangan kirinya tergetar hebat. Sebenarnya

Ki Sepuh Item sendiri merasakan dadanya mendenyut

sakit akibat bentrokan itu namun dia mampu

menyembunyikan keterkejutannya. Dia tidak

menyangka pemuda lawannya memiliki tingkat tenaga

dalam demikian tinggi.

 Didahului teriakan keras Wiro kembali menyerbu.

Kali ini dia menghantam dengan Kapak Maut Naga

Geni212.

 Satu cahaya putih menyilaukan berkiblat. Hawa

panas menyambar dan dengung suara tawon mengamuk

memenuhi udara.

 Sambil lindungi matanya yang silau dengan tangan

kiri, Ki Sepuh Item membuat gerakan aneh. Tubuhnya

yang bungkuk meliuk rendah, tongkat di tangan

kanannya bergetar keras hingga berubah menjadi enam

buah. Luar biasanya, ke enam ujung tongkat menyusup

tembus ke arah tangan kanan lawan lalu memukul!

 "Traang!"

 Wiro berseru kaget. Tangan kanannya bergetar hebat.

 Selagi dia berusaha bertahan hawa panas yang

keluar dari kapak sakti membalik memukul ke arah

tangan dan sisi tubuhnya sebelah kanan. Pendekar 212

berseru keras. Genggaman tangannya pada gagang

kapak goyah. Ketika lawan menggerakkan tangan

kanannya kembali, tongkat berubah lagi menjadi enam

buah dan menabur serangan ke arah dada, leher serta

kepala, mau tak mau murid Sinto Gendeng melompat

mundur sambil babatkan senjata. Mata kapak

membabat ke arah pinggang lawan. Saat itulah tongkat

tulang mengayun dari bawah ke atas.

 "Traang!"

 Untuk ke dua kalinya dua senjata, kapak dan tulang

saling beradu di udara. Wiro berseru kaget. Kapak

sakti terlepas dari genggamannya, mental ke udara.

Sebaliknya Ki Sepuh Item tak kalah kejutnya ketika

meneliti dia dapatkan ujung tongkat tulangnya telah

berkurang satu jengkal, putus dibabat Kapak Maut Naga

Geni 212! Selagi lawan terkesiap, Wiro cepat melompat

ke udara, menyambar kapak sakti yang melayang jatuh.

 "Kehebatan kapak itu ternyata bukan cuma nama

kosong!" kata Ki Sepuh Item dalam hati. "Dari pada

mencari penyakit, aku harus cepat-cepat menyudahi

pertempuran ini!"

 Kakek berkulit gosong ini angkat tangan kirinya

sebatas tinggi telinga kiri. Telapak dibentang begitu

rupa, diarahkan pada lawan. Bersamaan dengan itu

tongkat tulangnya diarahkan ke depan, menjaga jarak

sehingga lawan tidak mudah mendekatinya.'Ki Sepuh

Item melirik pada muridnya Iblis Batu Hitam dan

Momok Dempet Tunggul Gono.

 "Kalian berdua, apakah tidak ingin berebut pahala

membereskan manusia satu ini? Membalas dendam dan

mencari jasa pada Kerajaan?!"

 Walau memang mendendam berat pada Pendekar

212 Wiro Sableng namun sejak tadi dua orang itu

tidak mau ikut terjun ke dalam pertempuran. Bukan

saja karena merasa sungkan terhadap Ki Sepuh Item,

tetapi juga karena diam-diam merasa jerih terhadap

Wiro. Tunggul Gono masih menderita sakit luar biasa

akibat selongsong besi tangan kirinya putus dan

membakar ujung lengannya. Sementara Iblis Hitammasih melepuh sakit tangan-kanannya. Semua akibat

hantaman cahaya merah membara yang dilepas Bunga

dari sepasang matanya.

 Didahului satu bentakan garang, Ki Sepuh Item

melesat ke depan. Tangan kanan yang memegang

tongkat bergerak. Tongkat tulang bergetar

mengeluarkan angin deras dan suara seperti beberapa

seruling ditiup berbarengan. Tongkat yang berubah

menjadi banyak itu menerpa ganas, menebar mengurung

Wiro dari enam penjuru.

 Sambil menyerang dengan tongkat tulang putih,

tangan kiri Ki Sepuh Item tak berhenti bergerak. Dari

telapak tangannya yang dikembangkan, seperti ada

kaca memantul cahaya, menyambar menyilaukan dua

mata Pendekar 212. Inilah ilmu kesaktian yang disebut

Kaca Hantu. Pada telapak tangan kirinya itu Ki Sepuh

menanam sejenis susuk. Jika dia mengerahkan tenaga

dalam maka telapak tangannya bisa memancarkan

cahaya menyilaukan seperti pantulan sinar matahari

jatuh ke atas kaca.

 "Sialan! Ilmu setan apa yang ada di telapak tangan

makhluk gosong pantat kuali ini!" geram Wiro dalam hati.

 Lima jurus pertama murid Sinto Gendeng benar-

benar dibuat kelabakan. Serangan tongkat lawan

laksana curahan air hujan. Gerakan kapaknya untuk

melindungi diri ataupun balas menyerang seperti ditekan

hingga dia tidak bisa leluasa bergerak. Dua kaki Wiro

bergerak dalam jurus-jurus silat "Orang Gila" yang

didapatnya dari Tua Gila sedang gerakan kapak

mengandalkan jurus-jurus silat yang dipelajarinya dari

Sinto Gendeng.

 Ilmu tongkat yang dimiliki Ki Sepuh Item sebenarnya

tidaklah terlalu hebat. Namun jurus-jurusnya memiliki

daya susup yang tidak terduga selain tongkat itu sendiri

memang luar biasa. Disamping itu cahaya menyilaukan

yang keluar dari telapak tangan Ki Sepuh membuatWiro kadang-kadang mati langkah karena kesilauan.

 Setelah bertahan sampai lima belas jurus, dalam

satu gebrakan hebat kakek kulit gosong ini berhasil

susupkan satu tusukan ke arah lambung Wiro. Murid

Sinto Gendeng cepat berkelit tapi masih terlambat.

 "Breettt!"

 Masih untung cuma baju putihnya yang kena

disambar robek. Kalau sampai lambungnya yang

dimakan, isi perutnya pasti akan keluar berbusaian.

 Ki Sepuh Item tertawa bergelak. Saat itu Tunggul

Gono dan Iblis Batu Hitam mulai bergerak memasuki

kalangan pertempuran. Iblis Batu Hitam mencekal golok

mata duanya yang telah berubah menjadi besi hitam.

Sementara Tunggul Gono yang tidak punya senjata

hanya mengandalkan tangan kosong.

 Seperti diketahui walau tangannya kini cuma satu

yaitu tangan kanan sedang tangan kiri buntung dan

cidera hebat, namun Tunggul Gono masih sanggup.

melancarkan serangan-serangan berupa pukulan sakti

seperti Ladam Setan, Palu dan Ladam Membongkar

Bumi. Menghadapi Ki Sepuh Item sendirian Wiro sudah

banyak mendapat kesulitan.

 Apalagi kalau dikeroyok tiga. Selain itu dia agak

sulit memusatkan perhatian karena sedikit banyak

pikirannya terbagi pada Bunga yang telah diculik dan

dimasukkan ke dalam guci tembaga oleh Iblis Kepala

Batu Alis Empat.

 Ketika ketiga orang itu sama-sama menggebrak,

mulai menggempurnya, dari balik pinggang Wiro

keluarkan batu hitam pasangan kapak sakti. Melihat

ini Ki Sepuh Item segera berteriak memberi ingat pada

Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam.

 "Awas! Dia hendak menyulut api membakar kita!"

 Memang betul. Baru saja teriakan kakek kulit gosong

itu lenyap, Wiro telah menempelkan batu hitam ke

mata kapak lalu digeser kuat-kuat dengan pengerahantenaga dalam.

 "Wuss!"

 Lidah api menyambar. Tiga orang di depan sana

berteriak, berlompatan berserabutan. Sekali lagi lidah

api menggebubu, lagi dan lagi. Tetapi yang diserang

Wiro sebenarnya bukan langsung ke tiga lawannya itu,

melainkan pohon-pohon teh sekitar mereka. Dalam

waktu beberapa kejapan mata saja api mengurung

dimana-mana.

 Di balik pohon besar. Damar Wulung yang masih

duduk di atas kuda coklatnya menyaksikan pertempuran

dengan asyik kini terheran-heran.

 "Apa perlunya pemuda gondrong itu menyemburkan

api sakti demikian rupa? Untuk mengacaukan lawan?"

 Selagi ketiga orang dibuat kalang kabut terkurung

api, tiba-tiba terdengar suara reettttt! Menyusul

teriakan Tunggul Gono.

 "Awas! Ilmu hantu membelah bumi!"

 Iblis Batu Hitam dan gurunya si kakek muka gosong

tidak mengerti apa yang dimaksudkan Tunggul Gono

berteriak seperti itu. Mereka baru sadar dan sama-

sama berteriak kaget ketika melihat bagaimana tanah

di depan mereka terkuak membelah, bergerak mengejar

ke arah kaki-kaki mereka!

 Ki Sepuh Item pukulkan tongkatnya ke tanah.

Maksudnya menghentikan gerakan tanah yang

membelah dan memburu ke arahnya. Hantaman tombak

membuat tanah terbongkar dan malah mempercepat

gerak tanah yang membelah. Hendak lari api telah

mengurung. Hendak melompat ke atas, pemandangan

tertutup oleh asap tebal yang mengepul dari pohon-

pohon teh yang terbakar.

 "Jahanam celaka!" maki Ki Sepuh Item.

Tengkuknya dingin, mata mendelik ketika menyaksikan

bagaimana sosok Tunggul Gono dan muridnya Iblis Batu

Hitam terperosok masuk ke dalam tanah yangmembelah.

 Jeritan mereka lenyap bersamaan dengan lenyap

amblasnya sosok ke dua orang itu ke dalam tanah!

 Dalam keadaan maut sudah di depan mata seperti

itu, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda cepat

sekali. Lalu satu tangan kuat kokoh menyambar

pinggang Ki Sepuh Item. Tubuhnya seperti melayang

di udara, dibawa keluar dari kurungan api, selamat

dari jepitan tanah.

 Di luar kurungan api Pendekar 212 terkesiap kaget.

Di bawah bayang-bayang kobaran api dia melihat seekor

kuda coklat berhidung putih ditunggangi seorang yang

tiarap di atas punggung binatang itu. Dia hanya sempat

melihat sekilas pintas wajah si penunggang. Setelah

itu kuda dan penunggangnya lenyap di arah timur bukit.

Memandang ke depan, sosok Ki Sepuh Item tak

kelihatan lagi.

 "Setan alas! Siapa penunggang kuda coklat yang

menyelamatkan kakek gosong pantat kuali itu?! Aku

rasa-rasa pernah melihatnya sebelumnya. Sial! Seharusnya

tadi aku hantam dengan pukulan Sinar Matahari!" Wiro

memaki marah, garuk-garuk kepala habis-habisan.

 DI KAKI bukit teh, saat itu keadaan masih gelap

dan udara dingin. Di satu tempat yang datar

penunggang kuda coklat menjatuhkan sosok Ki Sepuh

Item ke tanah kemudian melompat turun dari punggung

tunggangannya.

 Ki Sepuh Item sesaat bergulingan lalu melompat

dan tegak berdiri. Dia langsung menghadap ke arah

penunggang kuda yang barusan melompat turun. Dia

tidak menyangka kalau yang telah menolongnya itu

ternyata adalah seorang pemuda belia.

 "Anak muda, kau telah menolong diriku! Namun

siapa dirimu aku belum tahu! Lalu mengapa kau sampaiberbaik hati menyelamatkanku?!" Ki Sepuh Item alias

Si Tongkat Akhirat menegur tapi sama sekali tidak

membungkuk atau memberi penghormatan sebagaimana

lazimnya orang yang telah ditolong.

 "Namaku Damar Wulung! Setiap budi kebaikan pasti

ada balas imbalannya. Bukankah begitu?!" Pemuda

berpakaian kuning celana hitam mengaku bernama

Damar Wulung menyahuti.

 Kening Ki Sepuh Item mengerenyit. Alis kiri kanan

mencuat naik. "Kalau saat ini aku bisa membalas

budimu akan aku lakukan sekarang juga! Harap kau

mau mengatakan bagaimana aku harus membalas budi

kebaikanmu agar diantara kita tidak ada segala hutang

piutang!"

 Damar Wulung tertawa.

 "Bagiku segala hutang piutang tidak perlu ditagih

cepat-cepat. Makin lama makin baik karena ada

bunganya. Bukan begitu? Ha... ha... ha!"

 "Anak muda bernama Damar Wulung, apa

maksudmu?" Ki Sepuh Item jadi merasa tidak enak.

 "Kelak satu hari aku akan muncul untuk minta balas

imbal budi baik menyelamatkan nyawamu malam ini!

Ingat itu baik-baik."

 "Aku akan ingat dan aku akan lakukan!" jawab si

kakek penasaran, terlebih ketika dilihatnya begitu saja

pemuda itu melompat naik ke atas punggung kudanya

seolah tidak mengacuhkan dirinya.

 "Kau mau kemana?" bertanya Ki Sepuh Item.

 "Apakah perlu aku katakan padamu?!"

 "Sialan!" maki si kakek dalam hati. "Mentang-

mentang sudah menolongku, aku dianggap rendah saja."

 Masih penasaran Ki Sepuh Item kembali bertanya.

"Jika aku memerlukan dirimu, kemana aku harus

mencari?"

 "Kau tak perlu mencariku. Karena aku yang akan

mencarimu!""Benar-benar kurang ajar!" rutuk Ki Sepuh Item

lagi-lagi dalam hati. Dengan mata tak berkedip dia

perhatikan pemuda itu memutar kudanya lalu

menghambur pergi dari tempat itu.

 "Pemuda aneh, kurang ajar! Siapa dia sebenarnya!

Damar Wulung.... Damar Wulung. Apakah aku pernah

mendengar nama itu sebelumnya?" Ki Sepuh Item coba

mengingat-ingat. Tiba-tiba dipukulnya kening

sendiri."Astaga, nama itu! Damar Wulung! Bukankah

itu pemuda yang menimbulkan kehebohan di Keraton?

Dia kabarnya yang menggulung kepala rampok hutan

Roban Warok Mata Api! Yang kemudian menipu

Tumenggung Cokro Pambudi dengan Keris Kiai Naga

Kopek palsu! Dia belum tentu manusia baik-baik. Jelas!

Tapi mengapa dia menolong menyelamatkan diriku?

Ada sesuatu yang disembunyikannya dibalik pertolongan

ini? Persetan! Mengapa aku terlalu memikirkan

pemuda itu! Yang harus aku pikirkan adalah mencari

manusia bernama Wiro Sableng yang telah membunuh

muridku dan Tunggul Gono. Dia menipuku dengan

serangan lidah api. Lalu membunuh dengan ilmu jahanam

aneh yang bisa membelah tanah! Muridku Iblis Batu

Hitam, aku akan membalaskan dendam kematianmu!"

Ki Sepuh Item jadi merinding sendiri bila dia ingat

kematian yang dialami muridnya. Tanah terbelah. Iblis

Batu Hitam menjerit. Suara jeritan dan tubuhnya

kemudian amblas lenyap di dalam tanah yang kembali

menyatu.

 "Seumur hidup belum pernah aku menyaksikan ilmu

mengerikan seperti itu. Aku yakin Sinto Gendeng

sekalipun tidak memiliki ilmu celaka itu! dari mana

pemuda jahanam itu mendapatkan ilmu keparat yang

bisa membelah tanah dan mengubur amblas hidup-hidup

muridku dan si Tunggul Gono. Wiro Sableng tunggu



DUA BELAS


WIRO duduk di bawah pohon besar di puncak bukit teh. 

Matanya mengawasi sisa-sisa kobaran api dan kepulan 

asap. Apa yang telah dilakukannya dalam menghadapi tiga 

pengeroyok tadi membuat Wiro ingat pada Luhrembulan, 

gadis cantik di Negeri Latanahsilam yang ujud sebenarnya 

adalah seorang nenek buruk berjuluk Hantu Santet 

Laknat. (Baca petualangan Wiro di Negeri Latanahsilam 

terdiri dari 18 Episode)

 "Selama di tanah Jawa, sudah dua kali aku

mengeluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah.

Kalau dulu dia tidak memaksa memberikan ilmu itu

padaku, dapat dibayangkan apa yang terjadi dengan

diriku. Mati sia-sia. Bagaimana keadaannya sekarang?

Masih di negeri seribu dua ratus tahun silam itu atau

mungkin sudah terpesat pula ke tanah Jawa seperti

yang terjadi dengan Luhjahilio? Ingin sekali rasanya

aku bertemu dengan dia."

 Dalam keadaan termenung dan mengingat-ingat

seperti itu tiba-tiba Wiro mendengar suara derap kaki

kuda banyak sekali. Datangnya dari kaki bukit teh

sebelah selatan. Wiro berdiri, melangkah ke tempat

ketinggian lalu memandang ke bawah. Dia melihat obor

barisan banyak sekali. Di bawah nyala api obor tampak

para penunggang kuda.

Hampir semuanya mengenakan pakaian seragam

pasukan Kerajaan. Hanya beberapa orang saja di

sebelah depan tidak berseragam.

 "Aneh, satu pasukan besar Kerajaan naik ke puncak

bukit ini? Ada apa? Mungkin gara-gara melihat pohon

teh yang terbakar?"Menjelang mencapai puncak bukit, di satu lereng

pasukan besar itu berpencar membentuk lingkaran. Lalu

perlahan-lahan dalam gerakan mengurung mendaki naik

ke atas.

 Karena merasa kehadiran pasukan kerajaan itu tidak

ada sangkut paut dengan dirinya, murid Sinto Gendeng

tidak beranjak dari tempatnya. Malah ada rasa ingin

tahu apa yang hendak diperbuat oleh orang-orang itu.

 Rombongan pasukan kerajaan semakin dekat,

akhirnya sampai di puncak bukit. Wiro memandang

berkeliling. Dia baru menyadari, bahwa berdiri di bawah

pohon besar itu dirinya terkurung di tengah-tengah

lingkaran pasukan yang ternyata hampir dua ratus or-

ang banyaknya!

 Ketika dia menyadari hal itu tiba-tiba seorang prajurit

di ujung kiri berteriak.

 "Perwira Kepala! Orang yang kita cari ternyata

memang ada di puncak bukit! Lihat ke bawah pohon

besar sana!"

 Wiro mulai merasa tidak enak. Dia memperhatikan

ke arah prajurit yang barusan berteriak. Dilihatnya

seorang berseragam Perwira Kerajaan memandang

ke arahnya. Perwira ini lalu menggerakkan kudanya

mende-kati kelompok penunggang kuda lainnya. Dipating

depan ada orang berpakaian kebesaran serba merah.

Wiro segera mengenali. Orang itu bukan lain adalah

Raden Mas Selo Kaliangan, Patih Kerajaan.

 "Kalau tak ada perkara besar, tidak nanti Patih

Kerajaan langsung turun tangan," membatin Wiro.

 Disekitar sang patih ada beberapa penunggang kuda

yang dari pakaian serta sikap dan gerak gerik mereka

mudah diketahui kalau mereka adalah para tokoh silat

Istana.

 Setelah menerima laporan dari Perwira Kepala,

Patih Selo Kaliangan memberi isyarat pada orang-or-

ang disekitarnya. Mereka berjumlah lima orang. Kelimaorang ini lalu mendahului menggebrak kuda masing-

masing ke arah pohon besar tempat Wiro berdiri, sang

patih menyusul sementara Perwira Kepala tadi memberi

tanda pada ratusan prajurit untuk bergerak naik ke

atas puncak bukit, mempersempit lingkaran mengurung.

 Para tokoh silat utama yang mendampingi Pati Selo

Kaliangan, yang pertama adalah Hantu Muka Licin Bukit

Tidar. Mukanya masih tampak pucat karena belum

sembuh benar dari racun miliknya sendiri yang terhisap

ke dalam tubuhnya akibat hantaman Pendekar Pelangi

ketika dia dipergoki hendak menggagahi Kinasih.

 (Baca Episode "Roh Dalam Keraton")

 Sebelumnya dia memiliki sebuah senjata yakni

seutas tali kuning yang bisa mengeluarkan jarum maut.

Seperti diketahui senjata andalannya telah musnah di

tangan Pendekar Kipas Pelangi. Sebenarnya Patih

Kerajaan tidak begitu suka membawa tokoh silat satu

ini, apalagi diketahui dia telah menculik Kinasih. Namun

karena tenaganya diperlukan maka mau tak mau dia

diajak serta bersama rombongan pasukan besar itu.

Biasanya dia selalu mengenakan jubah kelabu. Tapi

sekali ini Hantu Muka Licin mengenakan sehelai baju

biru dan celana komprang juga berwarna biru.

 Orang kedua dalam rombongan besar itu adalah

Tumenggung Cokro Pambudi. Tumenggung ini

memaksakan diri ikut bersama rombongan karena ingin

menelusuri jejak Damar Wulung yang lenyap begitu

saja.

 Tokoh silat ke tiga seorang lelaki separuh baya

berwajah merah seperti udang rebus. Dulu dia adalah

seorang pentolan bajak sungai yang sangat ganas.

Beberapa tahun lalu dia bertobat melakukan kejahatan

dan mengabdi menjadi tokoh silat Istana.

 Nama sebenarnya tidak ada yang tahu, dia hanya

dikenal dengan julukan Sanca Merah Bengawan So/o.

Bajak sungai ini memang mempunyai sejenis ilmu aneh.Sekali dia bisa menempelkan tangan atau kakinya ke

tubuh lawan maka dengan cepat dia bisa menggulung

tubuh itu seperti seekor ular. Lawan yang kena digulung

akan menemui ajal dalam keadaan luluh hancur tulang

belulangnya mulai dari batok kepala sampai ujung kaki!

 Di samping Sanca Merah Bengawan Solo, di atas

seekor kuda hitam bertotol kelabu, duduk tokoh silat

Istana ke empat. Dia adalah seorang lelaki berusia

enam puluh tahun, berwajah gagah dan berpakaian

sangat rapi lengkap dengan blangkon. Orang ini

membekal sebilah keris.

 Tidak seperti kebiasaan dimana orang membawa

keris di pinggang sebelah belakang, lelaki ini membawa

keris di pinggang sebelah depan. Dan tidak cuma satu,

tapi sekaligus dua di pinggang kiri kanan. Dia diketahui

bernama Jalak Kumboro, bergelar Pendekar Keris

Kembar. Ilmu silatnya tinggi, otaknya terkenal cerdas.

Kabarnya dia berhasrat besar hendak menduduki

jabatan Patih Kerajaan. Apalagi konon dia masih

keponakan seorang Pangeran yang sangat dihormati di

kalangan Keraton.

Selama ini dia lebih banyak berada di Surokerto. Namun

begitu mendengar banyak huru-hara terjadi di Kotaraja

maka dia menyempatkan diri untuk lebih banyak berada

di Keraton.

 Tokoh silat terakhir atau ke lima yang ikut bersama,

rombongan pasukan besar yang dipimpin langsung Patih

Kerajaan adalah seorang kakek aneh. Kepalanya yang

botak dicat kuning. Di hidungnya menyantel sebuah

anting-anting. Walau pakaiannya tak kalah bagus

dengan yang dikenakan Jalak Kumboro namun dia

menunggang kuda dengan bertelanjang kaki. Mungkin

ada sebabnya dia tidak mengenakan alas atau penutup

kaki.

 Karena seperti yang terlihat sepuluh kuku jari

kakinya panjang-panjang dan berwarna hitam kebirubiruan.

 Di Kotaraja, kakek kepala plontos kuning ini dikenal

dengan julukan Si Bisu Penyabut Nyawa Tanpa Suara.

Gelar ini memang cocok dengan keadaan dirinya karena

selain bisu atau tidak bisa bicara, jika membunuh dia

melakukan tanpa suara sama sekali. Kebanyakan dari

musuh yang menjadi korbannya menemui ajal akibat

hunjaman kuku-kuku kakinya yang hitam angker.

 Walau hatinya semakin tidak enak namun murid

Sinto Gendeng tetap berdiri tenang di bawah pohon.

Dia melihat Patih Kerajaan menyeruak diantara para

tokoh silat Istana, bergerak mendekati. Begitu sang

patih berada di hadapannya, sebagaimana lazimnya

rakyat biasa Wiro segera membungkuk memberi

hormat.

 ' "Pendekar 212 Wiro Sableng," berucap sang patih.

"Aku benar-benar merasa menyesal mengikuti anjuran

mendiang Malaikat Alis Biru membebaskanmu dari

penjara. Ternyata kau adalah seorang pembunuh keji!"

 Murid Sinto Gendeng terkejut. "Patih Kerajaan,

mohon saya diberitahu...."

 Saat itu Perwira Kepala sudah berada di hadapan Wiro. 

Dia memandang ke arah Patih Kerajaan menunggu 

isyarat. Ketika sang patih anggukkan kepala Perwira ini 

cepat berkata dengan suara lantang.

 "Pendekar 212 Wiro Sableng! Atas nama Kerajaan

kau kami tangkap dan saat ini juga dibawa ke Kotaraja.

Kau dituduh dengan bukti-bukti telah melakukan

beberapa pembunuhan!"

 Wiro pandangi wajah Perwira Kepala itu sesaat lalu

berpaling pada Patih Selo Kaliangan.

 "Patih Kerajaan, mohon diberitahu kesalahan saya.

Siapa saja yang saya bunuh...."

 Patih Selo Kaliangan goyangkan kepalanya pada

Perwira Kepala. Sang perwira kembali membuka mulut.

 "Kau diketahui membunuh seorang prajurit petugaskepenjaraan bernama Lodan. Lalu kau juga dituduh

membunuh juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta.

Korban kejimu berikutnya adalah istri sang juru ukir

bernama Kinasih. Kau membunuhnya dengan kejam,

malah tega-teganya mengguratkan jarahan 212 di

kening perempuan itu! Lalu kau juga dituduh sebagai

orang yang berada di belakang lenyapnya Keris Kiai

Naga Kopek, senjata pusaka Keraton."

 Sesaat Pendekar 212 Wiro Sableng jadi ternganga

mendengar semua tuduhan itu. Dia pandangi Patih

Kerajaan sambil garuk-garuk kepala.

 "Pemuda gondrong! Jangan menunjukkan sikap

berpura-pura bego!" membentak si muka merah Sanca

Merah Bengawan Solo.

 Wiro pandangi tampang merah udang rebus di atas

kuda itu sesaat, lalu memandang berkeliling. Melihat

ini Sanca Merah Bengawan Solo kembali membentak.

 "Kau tengah berusaha mengintai mencari peluang

melarikan diri hah? Lakukanlah! Akan kulibas tubuhmu

sampai remuk mulai dari kepala sampai kaki!"

 "Saya merasa tidak bersalah, mengapa harus melarikan 

diri?!" jawab Pendekar 212.

 "Saya mengaku membunuh orang bernama Lodan.

Itu untuk menyelamatkan diri. Dia hendak mengguyurkan

kelabang beracun ke tubuhku! Semua orang jika

diperlakukan seperti itu pasti berusaha membela

menyelamatkan diri! Seorang hamba Kerajaan berbuat

kejam seperti itu sebelum membuktikan kesalahan

orang, apa layak? Tidak disebut gila, kejam atau keji?!"

 "Apakah kau juga dalam usaha menyelamatkan diri

ketika membunuh Raden Mas Sura Kalimarta serta

istrinya Kinasih?!" bentak Hantu Muka Licin Bukit Tidar.

 "Hantu bejat! Yang aku tahu adalah kabar bahwa

kau menculik istri juru ukir itu! Kau bawa kemana

perempuan itu. Apa yang kau lakukan?! Sekarang

kelihatannya kau paling bersemangat menuduh diriku!Kau sengaja menyembunyikan kebejatan dirimu sambil

berusaha memperlihatkan bahwa kau ingin berjasa besar

pada Kerajaan! Hanya manusia laknat yang bisa berbuat

seperti itu!"

 "Pembunuh jahanam! Berani kau bicara kurang ajar

menghinaku!" teriak Hantu Muka Licin Bukit Tidar yang

masih sakit hati atas kejadian yang menimpanya belum

lama berselang, kini menjadi marah besar karena

merasa ditelanjangi di depan orang banyak. Dia

sentakkan tali kekang kudanya. Begitu tunggangannya

melompat maju kaki kanannya ditendangkan ke dada

Pendekar 212.

 Mana ada orang yang mau ditendang mentah-mentah

seperti itu. Termasuk Pendekar 212. Murid Sinto

Gendeng ini cepat menyingkir ke kiri. Begitu tendangan

orang lewat, tangan kanannya secepat kilat berkelebat

membuat gerakan menotok.

 Yang ditotok bukannya kaki atau tubuh Hantu Muka

Licin, tapi urat besar di leher kuda tunggangan orang.

Totokan ini bukan totokan yang melumpuhkan binatang

itu tetapi membuat arus darahnya mengalir terbalik!

Akibatnya kuda besar ini meringkik keras kesakitan.

Dua kakinya dihentakkan, dinaikkan tinggi-tinggi ke atas

lalu menghambur kabur. Tak dapat tidak Hantu Muka

Licin pasti akan jungkir baiik, terbanting berkelukuran

di tanah.

 Sambil memaki Hantu Muka Licin lesatkan tubuhnya

ke atas, berusaha menyambar cabang pohon besar di

atasnya. Dia memang berhasil memegang dan

bergantung di cabang pohon itu, tetapi satu kejadian

sangat memalukan terjadi tak terduga. Pada saat

tubuhnya melayang ke atas untuk bergantung di pohon,

sebuah benda kecil yang adalah sebutir batu ikut melesat

ke atas.

 "Tess!"

 Batu kecil ini memutus tali celana komprang biruHantu Muka Licin. Celakanya sang hantu tidak

mengenakan celana dalam. Ketika celana luarnya jatuh

merosot ke bawah, tak ampun lagi auratnya sebelah

bawah tersingkap amburadul tak karuan!

 "Walah! Barang jelek saja dipertontonkan!" seru

Pendekar 212 lalu tertawa gelak-gelak.

 Puncak bukit teh menjadi gempar. Patih Kerajaan

tidak tahu mau berkata atau berbuat apa.

 Si botak kepala kuning bisu keluarkan suara ha-hu

ha-hu berulang kali sambil menekap mulut menahan

tawa. Di atas pohon Hantu Muka Licin tampak

kelabakan. Tadinya dia hendak pergunakan salah satu

tangan untuk menutupi aurat. Tapi percuma saja. Lagi

pula keadaan tubuhnya yang lemah membuat dia

khawatir tak dapat bertahan menggantung terlalu lama.

 Sambil memaki panjang pendek, tanpa celana, semua

orang melihat bagaimana Hantu Muka Licin menggapai

di cabang pohon, memanjat ke atas lalu mendekam

sembunyikan diri di balik kerimbunan daun-daun, tak

berani turun.

 "Ada tangan jahil kurang ajar melempar dengan batu! 

Memutus tali celana Hantu Muka Licin!" Seseorang 

berteriak sambil menunjuk ke balik serumpun pohon teh 

yang masih utuh tak kena terbakar.

 Orang yang berteriak ini adalah Jalak Kumboro alias

Pendekar Keris Kembar. Rupanya dia sempat melihat apa 

yang terjadi. Begitu berteriak tubuhnya melesat ke arah 

rerumpunan pohon teh. Tapi dia kecewa besar karena 

orang yang tadi dipastikannya sembunyi di tempat itu tak 

ada lagi di situ.

 "Kabur!" kata Jalak Kumboro cemas. "Kalau tidak

berilmu tinggi tidak mungkin bisa lenyap secepat itu!

Tindakan jahil begitu rupa, apakah orang ini ada sangkut

pautnya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng?" Sambil

terus berpikir-pikir dia melangkah cepat kembali ke

kudanya.Patih Selo Kaliangan melompat turun dari kudanya.

Rahangnya menggembung, memandang membelalak

pada Pendekar 212 yang masih tertawa gelak-gelak.

 "Pendekar 212, sebenarnya kami orang-orang

Keraton masih menaruh hormat terhadap gurumu Eyang

Sinto Gendeng. Apalagi kau dan gurumu pernah banyak

membantu Kerajaan. Tapi apa yang terjadi di tempat

ini benar-benar sudah keterlaluan. Kau terpaksa

dijebloskan ke penjara. Hukuman sangat berat bakal

jatuh atas dirimu!"

 "Patih, saya tahu kau hanya menjalankan perintah!

Tapi menjalankan perintah tanpa menjalankan pikiran

sehat dan mempergunakan hati jernih sama saja melaku-

kan satu tindakan tolol!"

 "Pasukan! Tangkap pemuda ini!" teriak Patih

Kerajaan. "Ikat tangan dan kakinya! Perwira Kepala,

totok tubuhnya, cepat!"

 Perwira Kepala yang berhidung pesek segera

melompat dari kudanya lalu kirimkan satu totokan

ke urat besar di pangkal leher Wiro.

 "Tunggu! Jangan!" teriak murid Sinto Gendeng

sambil dua tangannya diangkat dan digoyang-goyangkan

di depan dada Perwira Kepala. Hampir tak ada satu

orangpun yang melihat, sebelum totokan Perwira

Kerajaan menyentuh urat besar di pangkal lehernya,

totokan yang disusupkan Wiro lebih dulu mendarat di

pangkal bahu kiri kanan sang perwira.

 Saat itu juga Perwira ini menjadi kaku kaki, kepala

dan tubuhnya. Tapi dua tangannya bergerak-gerak

seperti orang setengah menari setengah bersilat.

 "Kurang ajar! Apa yang dilakukan si gondrong

keparat itu!" teriak Sanca Merah Bengawan Soto yang

pertama kali menyadari apa yang terjadi. Kembali

tempat Ku dilanda kehebohan.

 Selagi semua orang terheran-heran. Pendekar 212

menyusup di bawah perut kuda Patih Kerajaan. Diamenggayutkan tangan kirinya di leher binatang itu, lalu

berlindung di balik tubuh kuda. Sesaat kemudian kuda

tinggi besar ini meringkik keras. Dari hidungnya

menyembur cairan, dua matanya membelalak. Di lain

kejap binatang ini melompat lalu menghambur lari luar

biasa cepatnya.

 Para prajurit yang mengurung tak berani

menghadang. Takut diterjang kuda tinggi besar.

 "Kejar! Jangan biarkan lolos!" teriak Patih Kerajaan.

 "Tangkap! Jika melawan habisi saja!" menimpali

Sanca Merah Bengawan Solo. Bersama Pendekar Keris

Kembar dia segera membedal kuda masing-masing,

melakukan pengejaran.

 Perwira Kepala bersama hampir dua puluh anak

buahnya ikut pula melakukan pengejaran. Di atas

kudanya si bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara

manggut-manggut sementara Tumenggung Cokro

Pambudi hanya bisa mengepal-ngepalkan tinju.

 Tak selang berapa lama orang-orang yang

melakukan pengejaran itu kembali dengan tangan

kosong. Perwira Kepala yang muncul paling belakang

memberitahu, Pendekar 212 Wiro Sableng tidak berhasil

mereka kejar. Selain kudanya lari luar biasa cepat,

pemuda itu kemungkinan menyelinap ke satu jalan gelap

yang tidak mereka ketahui.

 Patih Selo Kaliangan membanting kaki. "Bagaimana

aku menyampaikan kejadian memalukan ini pada Sri

Baginda?" katanya sambil geleng-gelengkan kepala.

Lalu menyambung ucapannya. "Heran," aku tahu betul.

Kuda tungganganku waktu sampai di puncak bukit ini

kaki kanannya mengalami cidera cukup parah. Tapi

mengapa binatang itu bisa lari secepat itu, seperti

dikejar setan!"

 "Maafkan saya Patih Kerajaan," kata seorang

prajurit. "Saya sempat melihat, waktu membedal kuda

itu, pemuda gondrong bukannya menyentakkan talikekang kuda. Tapi memencet biji kuda jantan itu. Kuda

manapun kalau dipencet begitu rupa, dalam kesakitan

luar biasa akan lari seperti dikejar setan. Ke neraka

sekalipun kuda itu mau saja menghambur...."

 Patih Kerajaan melototkan mata, membuat si

prajurit yang barusan bicara ketakutan lalu cepat-cepat

memutar tubuh. Beberapa orang palingkan wajah,

menyembunyikan tawa.

 Di atas kudanya tokoh silat gagu Si Bisu Pencabut

Nyawa Tanpa Suara usap-usap kepala kuning botaknya.

Lalu tertawa ha-hu ha-hu! Tangan kirinya ditunjuk-

tunjukkan ke bagian belakang bawah kuda

tunggangannya sementara tangan kanan diangkat

membuat gerakan memencet. Si gagu ini seolah hendak

mengatakan. "Itu akibat memiliki kuda jantan. Kalau

menunggang kuda betina seperti milikku ini pasti tidak

ada bijinya yang bisa dipencet!"

 "Ha-hu... ha-hu!"


TAMAT

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive