Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Sabtu, 08 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - JANDA PULAU CINGKUK


https://matjenuh-channel.blogspot.com




 SATU

KESERAKAHAN manusia terhadap tahta, apalagi tahta yang dikuasai 

secara merebut dan tidak sah, pada akhirnya bilamana kehendak Yang 

Maha Kuasa berlaku maka semua kekuasaan dan keserakahan itu 

akan menjadi bencana. Itulah yang terjadi dengan Nyi Harum Sarti 

yang menobatkan diri sebagai Ratu Laut Utara, merampas tahta 

Kerajaan Laut Utara dari tangan Ayu Lestari, yang menerima warisan 

syah dari Ratu Sepuh Ratu Pertama Kerajaan Laut Utara.

Nyi Harum Sarti akhirnya menemui kematiannya di tangan Ratu 

Duyung yang membekal Pedang Naga Suci 212 pemberian Sinto 

Gendeng. Karena kecintaannya pada Pendekar 212 Wiro Sableng, di 

saat-saat nyawa akan lepas meninggalkan jazad kasarnya Nyi Harum 

Sarti masih sempat mengeluarkan ucapan yang sungguh meng-

harukan namun ditutup dengan kata-kata yang membuat murid Sinto 

Gendeng menjadi terkesiap dan dingin sekujur tubuhnya.

Dalam keadaan tubuh bersimbah darah Ratu Laut Utara 

melangkah terhuyung-huyung, berusaha mendekati Wiro. Dua langkah 

dari hadapan sang pendekar dia tak mampu lagi berjalan, jatuh ber-

lutut tapi kepala masih menatap lurus ke arah Wiro dan mulut masih 

mampu keluarkan ucapan.

“Wiro. Kasih sayangku padamu bukannya loyang. Kasih sayang-

ku padamu akan aku bawa sampai ke liang lahat. Aku sangat 

berbahagia karena kau turut menyaksikan kepergianku. Walau di 

dunia kita tidak bisa bersatu, aku akan menantimu di akhirat...”

Ratu Laut Utara ulurkan tangan kanan, berusaha menyentuh 

wajah Pendekar 212. Namun tangan itu terkulai jatuh ke tanah. Tubuh 

kaku tak bergerak tapi mulut masih sanggup mengeluarkan kata-kata 

walau kali ini suara yang keluar jauh lebih perlahan, tak ada yang 

mendengar kecuali Wiro.

“Kekasihku, ini bukan akhir dari satu perjalanan. Ini bukan akhir 

dari segala-galanya. Kita akan bertemu lagi. Karena aku akan menitis 

masuk ke dalam diri Ken Permata...”

Pendekar 212 serta merta merasa sekujur tubuh mendadak 

menjadi dingin. Apa barusan dia tidak salah mendengar. Apa dalam 

keadaan sekarat perempuan itu sadar akan apa yang diucapkannya? 

Ken Permata adalah puteri Nyi Retno Mantili, istri mendiang Patih 

Kerajaan Wira Bumi, yang selama ini dicarinya dan sekarang tidak 

tahu berada di mana. (Kisah terbunuhnya Ratu Laut Utara alias Nyi 

Harum Sarti oleh Ratu Duyung dapat dibaca dalam episode 

sebelumnya berjudul “Cinta Tiga Ratu” sedang kematian Patih Wira Bumi dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul “Bayi Satu Suro”. 

Patih kerajaan itu menemui ajal ditangan Pendekar 212 Wiro Sableng 

dengan golok besar milik Wira Bumi sendiri).

Perlahan-lahan tubuh Ratu Laut Utara terhuyung ke depan lalu 

tersungkur di tanah. Mahkota emas bertabur batu permata tanggal 

dari kepala, terjatuh ke tanah. Ratu Sepuh menatap sayu ke depan. 

Dengan ujung tongkat emasnya dia mengait mahkota yang jatuh lalu 

menyerahkan pada Ayu Lestari.

“Akhir dari nafsu berkuasa dan keserakahan...” ucap Ratu 

Pertama Kerajaan Laut Utara ini dalam hati.

Sementara semua orang terdiam dalam pikiran dan hati masing-

masing tiba-tiba satu bayangan biru berkelebat Satu tendangan 

melesat cepat dan deras. Tubuh tak bernyawa Ratu Laut Utara 

mencelat mental lalu terkapar di tanah. Mulut dan sebagian mukanya 

tampak hancur mengerikan.

Semua orang tersentak dan berseru kaget. Memandang 

berkeliling mereka melihat Bidadari Angin Timur yang sejak tadi berdiri 

di samping Ratu Sepuh tak ada lagi di tempat itu. Wiro ingin sekali 

mengejar ke arah lenyapnya gadis berambut pirang itu. Namun dalam 

keadaan seperti itu dia merasa tidak enak melakukan hal itu.

“Dia menendang kepala mayat, apakah karena ada dendam dan 

sangkut pautnya dengan ucapan Ratu Laut Utara yang mengatakan 

dirinya janda.” Membatin murid Sinto Gendeng.

Sebelum tewas di tangan Ratu Duyung seperti telah diceritakan 

sebelumnya dalam episode “Cinta Tiga Ratu”, Ratu Laut Utara dengan 

suara lantang setengah berteriak saat itu berkata sehingga semua 

orang mendengar.

“Wiro, aku tahu kau tidak mencintai gadis bernama Ratu Duyung 

yang setengah manusia dan setengah ikan itu! Aku juga tahu kau 

tidak mencintai gadis berambut pirang bernama Bidadari Angin Timur 

yang janda muda dari Kepala Pengawal Kesultanan Cirebon Tubagus 

Kesumaputra itu!”

Murid Sinto Gendeng menggaruk kepala.

“Uuhhh...”

Bujang Gila Tapak Sakti yang sejak tadi berdiam diri tak dapat 

menahan sakit, keluarkan suara mengeluh sambil pegangi bagian 

bawah perutnya yang bengkak melembung akibat sengatan tubuh 

kalajengking beracun yang dilepas Ning Kameswari atas perintah 

Datuk Api Batu Neraka salah seorang pembantu kepercayaan Ratu 

Laut Utara. Dikisahkan dalam episode “Cinta Tiga Ratu”, Datuk Api 

Batu Neraka menemui ajal dibunuh Jin Durna Rawana sedang Ning 

Kameswari tewas ditendang Ratu Laut Utara.

“Gendut, kau tenanglah barang sebentar...” kata Ratu Sepuh 

pula.“Bagaimana bisa tenang Nek. Kau tidak merasakan. Anuku 

melembung bengkak. Sakitnya seperti ditusuki ratusan jarum api! 

Delapan puluh tahun hidup di dunia baru kali ini sengsara begini rupa. 

Kalau tidak percaya apa kau mau lihat sendiri?!”

Habis berkata begitu Bujang Gila Tapak Sakti hendak rorotkan 

celana komprang hitamnya. Ratu Duyung cepat-cepat melengos. Ayu 

Lestari melongo kaget dan memandang ke jurusan lain. Nyi Roro 

Manggut mesem-mesem palingkan kepala tapi setengah-setengah 

masih melirik juga.

Ratu Sepuh angkat tongkat emas di tangan kanan.

“Kalau kau berani kurang ajar, aku gedor barangmu. Kau akan 

sengsara seumur-umur!”

Bujang Gila Tapak Sakti bergumam dan cemberut kesal 

mendengar perabotannya akan digedor! Sambil menahan sakit dia 

mundur dua langkah menjauhi ujung tongkat si nenek yang siap 

disodokkan ke bagian bawah perutnya.

“Sebelum pergi aku mau bicara dulu dengan nenek satu itu.” 

Kata Ratu Sepuh lalu melangkah mendekati perempuan yang 

berambut putihnya dikonde di atas kepala, mengenakan kebaya dan 

kain putih. Inilah Nenek Cempaka, pembantu utama Ratu Sepuh 

ketika dia masih menjadi Ratu Laut Utara yang pertama sebelum 

menyerahkan tahta kepada Ayu Lestari. Sebelumnya ketika Nyi Harum 

Sarti sang Ratu Laut Utara palsu merampas tahta memerintahkan

nenek sakti ini untuk membunuh Ratu Sepuh, dengan tongkat saktinya 

yang terbuat dari Ratu Sepuh membuat Nenek Cempaka menjadi 

patung, kaku tak bergerak. Namun karena masih berada dalam 

sirapan ilmu hitam Ratu Laut Utara dan tadi sebelumnya dia sudah 

bergerak hendak menyerang Ratu Sepuh, maka begitu bebas Nenek 

Cempaka kembali lanjutkan serangannya.

Ratu Sepuh sekali lagi angkat tongkat sakti. Kini ujung tongkat 

emas diarahkan tepat ke dada Nenek Cempaka sambil mulutnya 

berucap.

“Sudah! Sudah! Buyar! Buyar! Ilmu Hitam masuk ke dalam 

tanah! Segala kebaikan masuk ke dalam darah!”

Cahaya kuning berkiblat di ujung tongkat emas. Saat itu juga 

Nenek Cempaka mengeluh seperti kesakitan. Muka berubah pucat 

Tenung sirapan ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat Hati yang selama ini 

menguasai dirinya musnah. Begitu sadar nenek itu jatuhkan diri di 

tanah sambil pegangi dua kaki Ratu Sepuh dia menangis tersedu-sedu.

“Kanjeng Sri Ratu, saya Cempaka mohon maaf dan ampunanmu 

Sri Ratu. Apapun yang telah terjadi saya siap menerima hukuman.”

“Menghukummu semudah aku membaliktelapak tangan. Katakan 

dulu apa yang telah terjadi?” Ucap Ratu Sepuh.

“Nyi Harum Sarti, dia menenung saya dengan Ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat Hati. Saya berusaha membebaskan diri namun dia 

memiliki kekuatan ilmu hitam dia atas kemampuan saya...”

“Kalau begitu kejadiannya, kau tidak salah. Manusia yang 

bersalah telah menerima hukumannya. Bangunlah!”

Ratu Sepuh dan Ayu Lestari menolong Nenek Cempaka bangkit 

berdiri. Ketiga orang itu berpeluk-pelukan beberapa lama lalu Ratu 

Sepuh beranjak mendekati Purnama.

“Cucuku manis, tadi kau hendak menyerangku dengan ilmu yang 

luar biasa hebat. Aku baru hari ini melihatmu. Rasa-rasanya kau 

bukan orang dari negeri ini. Sekarang ceritakan padaku. Nasib apa 

yang menimpa dirimu hingga kesasar ke sini dan menjadi kaki tangan 

Ratu Laut Utara palsu.”

Seperti terhadap Nenek Cempaka, Ratu Sepuh sapukan tongkat 

emas ke arah kepala Purnama. Saat itu juga Purnama mampu 

menggerakkan tubuhnya kembali. Begitu bebas gadis dari alam 1200 

silam ini segera melanjutkan serangannya yang tadi tertahan yakni 

hendak melancarkan pukulan Kutuk Alam Gaib Lapis Ke Tujuh.

Kembali Ratu Sepuh angkat tongkat sakti, ujungnya diarahkan 

ke dada kiri Purnama, mulut berucap.

“Sudah! Sudah! Buyar! Buyar! Ilmu hitam masuk ke dalam 

tanah! Segala kebaikan masuk ke dalam darah!”

Purnama terhuyung-huyung, coba tertahan dan mengimbangi 

diri namun akhirnya jatuh terduduk di tanah. Mulutnya keluarkan 

suara mengerang. Dadanya terasa sakit Wajah yang cantik tampak 

pucat Sepasang mata menatap ke arah Ratu Sepuh lalu memandang 

pada orang-orang yang mengelilinginya.

Tanpa dibantu siapa-siapa gadis dari Negeri Latanahsilam ini 

berdiri dan melangkah ke hadapan Ratu Sepuh. Setelah membungkuk 

dalam-dalam Purnama berkata.

“Ratu Sepuh, saya menghaturkan banyak terima kasih atas 

semua budi kebaikanmu hingga saat ini saya bisa bergerak dan bicara 

kembali. Nama saya Purnama. Saya memang datang dari negeri asing 

seribu dua ratus silam...”

“Ah, hebat sekali!” kata Ratu Sepuh dengan sepasang mata 

bening memperhatikan Purnama dari ujung rambut sampai ke kaki. 

“Seribu dua ratus tahun silam lalu. Dan kau masih merupakan seorang 

gadis cantik jelita. Sungguh luar biasa...”

“Nek, kau keliwat memuji.” Purnama memandang ke arah Wiro, 

Ratu Duyung dan Nyi Roro Manggut. Lalu kembali menatap Ratu 

Sepuh. “Nek, para sahabat semua, saya akan mengatakan sesuatu. 

Yaitu apa yang akan terjadi dengan diri saya. Apa yang saya 

sampaikan bukan merupakan pembelaan diri. Jika kalian semua 

menganggap saya bersalah, saya siap menerima hukuman. Dibunuh 

sekalipun akan saya terima..Ratu Sepuh anggukan kepala. Nyi Roro Manggut manggut-

manggut beberapa kali. Wiro dan Ratu Duyung diam saja sementara 

Nenek Cempaka dan Ayu Lestari saling melirik.

“Soal hukuman soal kedua. Yang penting kami ingin tahu 

mengapa kau berserikat dengan Ratu Laut Utara palsu. Tega 

mengkhianati para sahabat. Bahkan aku dengar ada seorang nenek 

sahabat kalian yang menemui ajal di kawasan laut utara...”

“Saya mohon maaf atas semua yang terjadi. Seperti Nenek 

Cempaka, saya terkena sirap tenung Penyejuk Jiwa Pemikat Hati yang 

diterapkan oleh Nyi Kuncup Jiwa...”

“Hemm...” Ratu Sepuh bergumam. “Berarti aku akan memberi-

kan pengampunan atas dirimu sama dengan yang aku berikan pada 

Nenek Cempaka. Tapi antara kau dan aku tidak ada ikatan apa-apa. 

Hingga aku tidak bisa memberi keputusan seperti halnya dengan 

Nenek Cempaka. Semua putusan akan diambil oleh teman-temanmu 

yang ada di sini.” Ratu Sepuh memandang pada Wiro, Ratu Duyung 

dan Nyi Roro Manggut.

“Ratu Sepuh, aku memberi maaf padamu.” Pendekar 212 yang 

pertama kali memberikan jawaban.

“Terima kasih Wiro. Kau mau mengerti dan memaafkan diriku,” 

kata Purnama pada Pendekar 212.

“Nyi Roro Manggut tiba-tiba keluarkan ucapan.

“Ratu Sepuh, mohon maaf. Juga pada semua yang ada disini. 

Barusan aku mendapat perintah jarak jauh dari Nyai Roro Kidul. Aku 

dan Ratu Duyung diminta menghadap untuk segera menyerahkan Batu 

Mustika Angin Laut Kencana Biru yang telah kami dapatkan dan 

sebelumnya dirampas oleh Ratu Laut Utara palsu.”

Si Nenek membungkuk memberi hormat pada Ratu Sepuh, 

Nenek cempaka dan Ayu Lestari. Pada Wiro dia layangkan ejekan 

dengan pencongkan mulut Lalu tanpa menunggu lebih lama Nyi Roro 

Manggut tarik tangan Ratu Duyung. Dalam waktu sekejapan saja ke 

dua orang itu sudah berkelebat jauh ke arah pantai.


DUA 


PURNAMA tampak gelisah. Dia menatap Wiro sebentar lalu berpaling 

pada Ayu Lestari, Nenek Cempaka dan Ratu Sepuh.

“Ratu Sepuh, saya sangat menyesalkan terjadinya keadaan 

seperti ini. Jika semua memang sudi memaafkan saya maka saya 

mohon izin pergi dari sini. Sekali lagi saya mengucapkan banyak 

terima kasih atas segala budi baik Ratu Sepuh, Nenek Cempaka dan 

sahabat saya yang baru Ratu Laut Utara Ayu Lestari.”

Ayu Lestari dan Nenek Cempaka tersenyum mendengar ucapan 

Cempaka. Namun Ratu Sepuh buru-buru berkata.

“Tunggu, jangan pergi dulu. Purnama, walau aku dan Ayu Lestari 

serta Nenek Cempaka belum berunding, tapi rasanya kami bertiga bisa 

sepakat untuk menawarkan sesuatu kepadamu.”

“Menawarkan sesuatu? Menawarkan apa Ratu Sepuh?” tanya 

Purnama.

“Setelah Ratu Laut Utara Nyi Harum Sarti menemui ajal maka 

kekuasaan di kerajaan Laut Utara kembali kepada pemiliknya yang 

syah yaitu Ayu Lestari. Aku sebenarnya tidak ingin lagi ikut campur 

urusan dunia. Apalagi yang menyangkut tahta Kerajaaan. Nenek 

Cempaka sudah lama uzur dan aku yakin dia juga sama dengan aku, 

tak mau lagi mengurusi segala sesuatu yang bersangkutan dengan 

Kerajaan Laut Utara. Namun itu bukan berarti kami akan berlepas 

tangan bilamana terjadi sesuatu dengan Kerajaan yang aku bangun 

ini. Aku merasa, di masa depan keadaan akan lebih banyak tantangan. 

Sebagai penguasa laut utara aku percaya Ayu Lestari akan sanggup 

menghadapi semua tantangan itu. Namun betapapun dia 

membutuhkan seorang pembantu sekaligus sahabat yang bisa 

dipercaya. Kami bertiga, aku, Ayu Lestari, dan Nenek Cempaka telah 

menemukan calon yang sangat cocok. Yaitu dirimu. Kami harap kau 

jangan sampai menampik.”

“Untuk beberapa lamanya Purnama tegak tertegun memandang 

pada ke tiga orang di hadapannya itu sementara di samping lain 

Bujang Gila Tapak Sakti goyang-goyang kepala sambil menghembus-

hembus dan tekap bagian bawah perutnya menahan sakit. Tubuhnya 

yang berwarna biru mandi keringat. Kopiah kupluk basah kuyup. Kipas 

kertasnya hilang entah kemana. Serba salah akhirnya si gendut itu 

duduk di bawah patung dengan dua kaki berkembang. Dada yang 

gembrot turun naik, mulut meniup-niup seperti ikan. Tangan 

mengipas-ngipas bagian bawah perut. Dia sama sekali tidak 

perdulikan apa yang dibicarakan orang.Pendekar 212 juga terheran-heran mendengar ucapan Ratu 

Sepuh. Apakah Purnama akan bersedia menerima permintaan nenek 

sakti yang merupakan Ratu Laut Utara pertama itu? Selama ini dia 

kian kemari tidak berumah tidak bertempat tinggal tetap. Bukankah 

memang lebih baik kalau dia mau bermukim di Kerajaan Laut Utara?”

Apa yang terpikir oleh Wiro saat itu sebenarnya juga terlintas 

dalam benak dan hati Purnama.

“Cucuku cantik, kau hanya tertegun. Apakah tidak akan 

memberikan jawaban?” Nenek Cempaka kini yang berkata. Rupanya 

dia juga sangat berkenan dengan gadis dari Latanahsilam ini.

“Saya...saya sudah menanam budi pada semua orang yang ada 

di sini. Saya belum sempat membalas sudah diberikan lagi budi yang 

sangat besar. Saya harus memikirkan baik-baik supaya tidak ada yang 

dikecewakan. Ratu Sepuh, Nenek Cempaka dan Ayu Lestari, apakah 

saya boleh diberi waktu untuk menjawab?”

“Mengapa kau tidak bisa menjawab sekarang saja, Purnama?” 

tanya Ayu Lestari.

“Ratu muda sahabatku, saya masih punya satu urusan yang 

harus saya selesaikan. Maafkan saya Ratu Sepuh. Maafkan saya Nenek 

Cempaka. Saya harus mencari dan menemui seseorang...Mungkin dua 

orang.”

Ratu Sepuh yang arif berkata. “Aku mengerti, aku sudah 

maklum. Baiklah, kami bertiga tidak akan memaksa. Secepatnya kau 

ada kesempatan temui Ayu Lestari.”

“Kalau begitu apakah saya boleh minta diri sekarang?” tanya 

Purnama.

“Pergilah. Berlakulah hati-hati. Bukan mustahil masih ada anak 

buah Nyi Harum Sarti yang tidak kita ketahui masih berkeliaran di 

sekitar sini.”

Purnama mengangguk, membungkuk hormat pada ketiga orang 

di hadapannya lalu tinggalkan tempat itu.

Ratu Sepuh menghela napas dalam. Lalu berkata setengah 

berbisik pada Ayu Lestari yang juga didengar oleh Nenek Cempaka. 

“Kalau saja dia mau bergabung dengan kita atau paling tidak menunda 

kepergiannya barang satu hari...Aku punya firasat dia akan menemui 

halangan besar di perjalanan. Nenek Cempaka, sebentar lagi harap 

kau ikuti gadis berbaju biru itu.” Habis berkata begitu Ratu Sepuh 

berpaling pada Wiro. “Pendekar Dua Satu Dua, apakah kau juga 

hendak cepat-cepat meninggalkan tempat ini?”

Wiro tersenyum dan garuk kepala. “Tidak Ratu Sepuh. Saya 

tidak akan pergi. Saya masih menunggu sampai Ratu Sepuh menolong 

sahabat saya si gendut yang sejak tadi kesakitan setengah mati itu.”

“Ahh... aku sampai terlupa dengan sobatmu itu. Mana coba aku 

lihat apa penyakitnya.” Sambil senyum-senyum Ratu Sepuh dekati Bujang Gila Tapak Sakti yang duduk dengan kaki berkembang di 

bawah patung. “Anak muda yang konon sudah berusia delapan puluh 

tahun. Kau memberi tahu tubuhmu sebelah bawah bengkak besar dan 

sakit bukan main lalu sekujur kulit tubuhmu menjadi biru gara-gara 

diantuk tujuh ekor kalajengking biru yang dilepas oleh Ning Kameswari 

anak buah Ratu Laut Utara palsu.”

“Aku sudah menceritakan. Apa kau mau aku bercerita lagi? Aduh 

Nenek Ratu, aku sudah tidak bisa menahan sakit. Rasanya kepalaku 

atas bawah mau meledak pecah!”

Ning Kameswari gadis cantik. Jangan-jangan kau bukan diantuk 

kalajengking tapi diantuk gadis itu. Hik...hik...hik! Betul?” Rupanya 

Ratu Sepuh pandai juga bergurau.

“Ratu Sepuh jangan bercanda. Kau bisa dan mau menolongku 

apa tidak? Kalau tidak biar aku gebuk kepalaku saat ini. Mati rasanya 

akan lebih baik dari pada kesakitan begini!”

“Jangan marah, apa lagi sampai nekad bunuh diri. Kalau aku 

tidak bermaksud menolongmu pasti waktu dipantai aku tidak akan 

menelanmu hidup-hidup. Nah, sekarang buka kakimu lebih lebar. Biar 

ujung tongkatku tidak meleset menyodok bagian bawah perutmu!”

“Apa Nek?!” ucap Bujang Gila Tapak Sakti sambil cepat-cepat 

tekap bagian bawah perutnya. “Kau mau menyodok perabotanku yang 

lagi bengkak dan sakit setengah mati dengan tongkatmu?! Wong 

edan! Kepalaku saja kau gebuk sampai pecah Nek! Biar beres 

urusannya! Aku...”

Selagi Bujang Gila Tapak Sakti bicara Ratu Sepuh sodokkan 

kuat-kuat ujung tongkat emasnya ke bagian bawah perut si gendut ini.

“Dukkk!”

“Dess...dess...dess!”

Bujang Gila Tapak Sakti menjerit setinggi langit. Tubuhnya 

terpental ke udara. Dari bawah perutnya terdengar tiga kali letupan 

disertai mengepulnya asap biru. Sebelum jatuh bergedebuk ke tanah 

si gendut ini menggapai dan berpegangan pada tubuh patung Wiro 

yang sedang membungkuk meneduhi tubuh patung Ratu Laut Utara. 

Dua kakinya dikibas-kibas. Patung batu bergoyang-goyang menahan 

berat tubuh si gendut yang ratusan kati.

Ratu Sepuh ketok pantat Bujang Gila Tapak Sakti dengan ujung 

tongkat. Membuat pemuda ini terlepas pegangannya dari tubuh 

patung lalu jatuh bergedebuk menungging di tanah. Dari hidung, 

telinga dan mulut mengepul asap biru. Sementara dari pantat butt... 

butt...butt meletup-letup suara kentut yang juga memancarkan asap 

biru! Dalam keadaan menungging Bujang Gila Tapak Sakti mengerang 

tiada henti.Tiba-tiba suara erangannya berhenti. Matanya yang belok 

berputar-putar. Rasa sakit di bagian bawah perut mendadak 

lenyap.Tubuhnya kini malah terasa sejuk membuat matanya nyaman meram melek. “Nek, Ratu

Sepuh, kau apakan anuku...?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti 

sambil duduk di tanah. Lalu dia usap-usap bagian bawah perutnya. 

Belum puas dua tangan dimasukkan ke balik celana. Meraba kian 

kemari. Malah kemudian mengucak-ucak. “Eh...” Si Gendut menatap 

ke arah Ratu Sepuh. “Weehhh, kempes Nek. Kau...”

Si nenek Cuma senyum-senyum. Dia mengeluarkan sesuatu dari 

balik pakaian beludrunya dan melemparkan benda itu pada Bujang 

Gila Tapak Sakti seraya berseru.

“Ambil!”

Bujang Gila Tapak Sakti cepat menangkap benda yang 

dilemparkan.Ternyata satu kantong terbuat dari kulit binatang.

“Di dalam kantong itu ada obat bubuk. Anumu memang sudah 

kempes dan sembuh. Tapi sekujur kulit tubuhmu masih tetap biru. 

Bubuk di dalam kantong itu adalah obat penyembuhnya. Cara 

pengobatan satu-satunya adalah seseorang harus menaburkan bubuk 

itu di atas anumu lalu mengusapnya tujuh kali sesuai jumlah kelabang 

yang menyengat. Sambil mengusap dia harus meniup-niup anumu. 

Juga tujuh kali...”

“Kau bercanda Nek?!” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.

“Aku menolongmu, bukan bercanda. Bujang Gila, apakah kau 

sudah beristri? Maksudku jika sudah maka istrimu bisa melakukan hal 

itu. Lebih cepat lebih bagus.”

Bujang Gila Tapak Sakti menggeleng. Dia tetap berpikiran si 

nenek tangah mengenainya.

“Aku tidak punya istri Nek.”

“Kalau begitu kekasihmu saja...” kata Ratu Sepuh juga.

“Kekasihku juga aku tidak gablek Nek.”

“Kalau kau tidak punya istri tidak punya kekasih berarti kau 

harus mencari seorang perempuan untuk menolongmu.” Kata Ratu 

Sepuh pula. “Begitu?” Bujang Gila Tapak Sakti tertegun sesaat. Lalu 

kepalanya dipalingkan pada Ayu Lestari. Mata belok mendelik, mulut 

menyeringai. Saat itu juga pewaris syah Kerajaan Laut Utara 

melompat jauh lalu secepat kilat lari ke arah pantai.

Ratu Sepuh melakukan hal sama. Sekali dia ketukkan ujung 

tongkat emas ke tanah maka tubuhnya berubah menjadi buaya putih 

besar, melesat tinggi ke udara lalu laksana terbang melesat ke arah 

pantai sambil umbar tawa cekikikan.

Bujang Gila Tapak Sakti tampak bingung. “Celaka, bagaimana 

ini. Perempuan mana...” Tiba-tiba pandangannya membentur Nenek 

Cempaka. “Ah, tidak rotan akarpun jadi! Nenek ini kan perempuan 

juga. Walau sudah tua tapi masih cantik...”

Si nenek yang sudah bisa meraba apa yang ada di benak Bujang 

Gila tapak Sakti serta merta melangkah mundur sambil mulutnya berucap.”O0...00...Tidak aku. Jangan aku.” Lalu tidak menunggu lebih 

lama dia segera berkelebat hendak pergi dari situ.

Namun si gendut lebih cepat. Dia berhasil mencekal tangan kiri 

si nenek lalu menariknya. Sesaat kemudian Nenek Cempaka sudah 

berada dalam gendongannya. Perempuan tua itu berteriak-teriak.

“Lepaskan! Lepaskan! Aku tidak mau! Aku tidak mau melakukan 

itu!”

“Nek, kau harus menolongku.” Kata Bujang Gila Tapak Sakti 

sambil membawa si nenek ke arah serumpunan semak belukar lebat.

“Tidak! Aku tidak mau!” kembali nenek Cempaka berteriak.

“Ingat Nek, ini pesan Ratu Sepuh!”

“Aku tahu! Tapi dia tidak bilang harus aku yang melakukan!”

“Jangan takut Nek. Perabotanku tidak burik. Juga tidak ada 

tanduknya.Tapi bagus mulus. Masih kencang Nek! Kata orang aku 

masih perjaka. Padahal aku tidak tahu apa artinya perjaka. 

Ha...ha...ha!”

“Gendut kurang ajar! Kau ini bicara apa?! Lepaskan diriku!”

Bujang Gila Tapak Sakti sampai di balik semak belukar. Jeritan 

nenek makin keras.

“Tolong Nek. Aku buka celanaku yah?”

“Gendut kurang ajar! Najis!”

“Nek, obatnya sudah aku taburkan. Tinggal kau usap dan kau 

tiup-tiup...”

“Tidaakkk!”

“Wiro yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan tertawa 

gelak-gelak.

“Nenek Cempaka!” teriak Wiro. “Kata Ratu Sepuh usap tujuh 

kali! Tiup tujuh kali! Jangan kurang jangan lebih! Ha...ha...ha!”

Tiba-tiba tawanya lenyap ketika pandangannya mengarah pada 

dua patung yang sedang bersatu badan. Patung dirinya dengan Nyi 

Harum Sarti.

“Patung jahanam! Biar yang satu ini aku bereskan lebih dulu!”

Lalu murid Sinto Gendeng ini terapkan ajian Pukulan Sinar 

Matahari. Begitu tangan kanan menghantam, kiblatan cahaya putih 

perak panas dan menyilaukan menderu.

“Buk...!”

Hanya sekali hantam saja dua patung mesum di atas bukit kecil 

Pulau Menjangan Kecil hancur berkeping-keping, sama rata dengan 

tanah!

Di balik semak belukar tidak terdengar lagi jeritan Nenek 

Cempaka. Juga tak ada suara Bujang Gila Tapak Sakti. Wiro merasa 

khawatir.

“Jangan-jangan si gendut itu sudah mati konyol diremas 

perabotannya!” pikir murid Sinto Gendeng. Maka dia berteriak “Bujang Gila! Apakah urusanmu sudah selesai?”

Dari semak belukar tiba-tiba terdengar jawaban.

“Sedikit lagi! Jangan pergi dulu! Tunggu aku! Wah...wah. 

Sobatku Wiro! Usapannya melebihi nikmatnya usapan anak gadis! 

Ha...ha...ha...!Terima kasih Nek. Sekarang tiup Nek. Ingat Ratu Sepuh 

yang bilang begitu.Harus ditiup.Tujuh kali! Nah...nah! Aduh enak, 

asyik Nek. Sejuk sekali! Ha...ha...ha!”



TIGA


RATU DUYUNG dan Nyi Roro Manggut sampai di pantai selatan Pulau 

Menjangan Kecil. Dia merasa heran melihat si nenek mengambil jalan 

yang tidak langsung menuju pantai tapi seperti sengaja melewati 

bebukitan kecil yang penuh ditumbuhi pepohonan serta semak 

belukar. Sampai di pantai Nyi Roro Manggut menyelinap ke balik 

gundukan batu di belakang serumpun pohon bakau. Melihat sikap Nyi 

Roro Manggut, Ratu Duyung akhirnya membuka mulut bertanya pada 

si nenek.

“Nyi Roro, apakah kau sungguhan menerima pesan jarak jauh 

dari Junjungan kita Nyi Roro Kidul? Bahwa kau dan aku agar segera 

menghadap untuk menyerahkan Batu Mustika Angin Laut Kencana 

Biru?”

Nenek bertubuh cebol bermata juling gelung rambut putihnya di 

atas kepala. Sambil tertawa cengengesan dan usap hidungnya yang 

pesek rata dia menjawab.

“Kau tahu, ini cuma akal-akalanku saja...”

“Mengapa kau berbuat begitu? Takut Bujang Gila Tapak Sakti 

akan memilihmu untuk mengobati dirinya seperti yang dikatakan Ratu 

Sepuh?”

“Hik...hik!” Nyi Roro Manggut tertawa. “Si gendut itu pasti tidak 

akan memilih diriku. Masih ada dirimu dan Ayu Lestari.Tapi terus 

terang itu memang salah satu alasanku mengapa aku mengajakmu 

cepat-cepat pergi. Si nenek memandang ke langit. Di arah timur 

tampak kelompok awan hitam menggumpal tebal, berarak mendekati 

kawasan laut di dekat pulau Menjangan Kecil.

“Kita tidak bisa meninggalkan Wiro begitu saja Nek. Aku dan dia 

mati-matian berusaha mendapatkan kembali Batu Mustika Angin Laut 

Kencana Biru yang kini sudah kau simpan dalam tubuhmu.”

“Kau tak usah khawatir pendekar itu. Cepat atau lambat dia 

akan bergabung dengan kita. Atau kau cemburu dengan Ayu Lestari?”

“Kau ini ada-ada saja Nek. Coba katakan, apa alasan lain kau 

cepat-cepat mau pergi.”

“Kau ingat apa yang diucapkan dengan suara keras oleh Nyi 

Harum Sarti tentang dirimu dan Bidadari Angin Timur?” tanya Nyi Roro 

Manggut.

“Ah, itu rupanya. Terus terang aku memang merasa heran dan 

tidak enak. Mengapa Nyi Harum Sarti sampai bermulut ember, 

keluarkan ucapan seperti itu.”

“Dia ingin mempermalukan kalian di hadapan orang banyak.Sekaligus sengaja memancing di air keruh.”

“Aku memang tidak suka dengan ucapannya yang mengatakan 

diriku adalah setengah manusia setengah ikan. Tapi aku pikir ujud 

keadaan diriku memang dulu seperti itu. Jadi walau jengkel aku 

memilih diam saja.”

“Kau bisa berbuat begitu. Tapi bagaimana dengan Bidadari Angin 

Timur? Kau mendengar sendiri apa yang diteriakkan Nyi Harum Sarti 

pada Bidadari Angin Timur sebelum kau membunuh Ratu celaka itu 

dengan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua. Gadis berambut pirang itu 

dikatakan janda muda Kepala pengawal Kesultanan Cirebon Tubagus 

Kesumaputra! Tidak heran kalau Bidadari Angin Timur kemudian 

menendang hancur mulut dan kepalanya walau Nyi Harum Sarti sudah 

jadi mayat! Tidak kusangka Bidadari Angin Timur bisa seganas itu. 

Tapi aku bisa memaklumi. Aku bicara terus terang saja. Si rambut 

pirang itu cinta setengah mati pada Wiro. Dibilang janda di hadapan 

Wiro apa tidak sama saja dengan kiamat bagi gadis berambut pirang 

itu? Apa lagi dia pasti juga sudah menyirap kabar tentang 

kedatanganmu bersama Wiro menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. 

Kini semakin banyak penghalang baginya untuk mendapatkan 

pendekar itu. Kalaupun dia tidak kawin dengan Tubagus Kesumaputra 

tapi paling tidak dia sudah mau diajak ke Cirebon. Apa itu bukan 

berarti pengkhianatan kalau dia memang benar-benar mengasihi 

Wiro? Kalau tidak ada api mana mungkin muncul asap!”

Lama Ratu Duyung terdiam mendengar ucapan Nyi Roro 

manggut. Akhirnya dengan suara perlahan Ratu Duyung berucap.

“Memang aneh dan sangat kurang ajar sikap serta ucapan Nyi 

Harum Sarti. Tapi bagaimana dia bisa mengeluarkan ucapan seperti 

itu. Dari mana dia tahu? Apakah benar sahabat kita Bidadari Angin 

Timur janda dari Kepala Pengawal Kesultanan Cirebon bernama 

Tubagus Kesumaputra itu? Setahuku Tubagus Kesumaputra 

sebenarnya adalah pemuda bernama Jatilandak, putera Purnama. 

Purnama sendiri di negerinya dikenal dengan nama Luhmintari. Kalau 

Bidadari Angin Timur janda dari Kepala Pengawai, berarti mereka 

pernah kawin. Lalu kapan kawinnya?”

“Hal siapa sebenarnya Tubagus Kesumaputra itu bagiku tidak 

jadi persoalan. Yang membuat cerita jadi panjang dan sangat 

membuat marah Bidadari Angin Timur ialah dari siapa Nyi Harum Sarti 

alias Ratu Laut Utara palsu mengetahui kalau Bidadari Angin Timur 

adalah seorang janda!”

Ratu Duyung menatap wajah si nenek beberapa saat lalu 

meluncur ucapannya. “Aku ingat sekarang Nek. Ketika Nyi Harum Sarti 

meneriakkan kata-kata yang sangat memalukan itu, wajah Bidadari 

Angin Timur marah membesi. Rahang menggembung. Dua tangan 

terkepal. Dia seperti mau menguyah Nyi Harum Sarti sampai lumat dari ujung rambut sampai ujung kaki. Namun sekilas aku melihat juga 

bagaimana dia melirik tajam penuh kebencian pada Purnama. Kalau 

ucapan Nyi Harum Sarti benar, aku yakin Bidadari Angin Timur punya 

prasangka atau tuduhan bahwa Purnamalah yang telah menebar 

fitnah...”

“Bagaimana kalau itu bukan fitnah, tapi sebenarnya terjadi?” 

tanya Ratu Duyung yang agaknya terpengaruh dengan ucapan si 

nenek: Kalau tidak ada api mana mungkin muncul asap. (Mengenai 

kisah “jandanya” Bidadari Angin Timur harap baca episode sebelumnya 

berjudul “Badai laut Utara”) Lalu gadis cantik bermata biru itu 

menambahkan. “Kalau dipikir-pikir sebenarnya Purnama juga adalah 

seorang janda dari perkawinannya yang terputus dengan ayah 

puteranya yang bernama Jatilandak itu. Wiro tahu benar riwayat gadis 

itu.”

Kepala si nenek manggut-manggut berulang kali. “Bidadari 

Angin Timur memang pernah lama tidak muncul sejak beberapa waktu 

belakangan ini. Kemana menghilangnya? Pergi ke Cirebon. Kawin di 

sana Lalu bagaimana ceritanya kemudian menjadi janda? Aneh!”

“Aku sendiri pernah tahu Nek,” kata Ratu Duyung pula. 

“Jatilandak pernah menyelamatkan Bidadari Angin Timur ketika 

hendak diperkosa oleh satu mahluk dari negeri asalnya. Mahluk itu 

berjuluk Hantu Muka Dua. Memang agaknya rasa saling menanam 

budi cukup alasan kalau mereka mau menikah. Tapi mengapa kita 

para sahabat sampai tidak mengetahui peristiwa perkawinan itu?” 

(riwayat hampir diperkosa Bidadari Angin Timur oleh Hantu Muka Dua 

baca serial Wiro Sableng berjudul “RumahTanpa Dosa”).

Nyi Roro Manggut kembali angguk-anggukan kepala. Sepasang 

matanya yang juling menatap ke arah pantai dimana berjejer 

beberapa perahu kayu dan jukung yang keadaannya sudah setengah 

lapuk karena lama ditinggalkan dan tidak dipergunakan lagi oleh 

pemiliknya. Dia kembali memandang ke langit. Lalu berkata.

“Langit tampak hitam. Agaknya sebentar lagi hujan lebat akan 

turun disertai angin kencang. Mungkin badai.”

Baru saja si nenek berkata begitu di langit sebelah barat kilat 

menyambar di susul gelegar guntur.

Ratu Duyung tidak perdulikan keadaan cuaca yang berubah 

cepat.

“Nyi Roro, aku ingin tahu mengapa tadi kita tidak langsung 

menuju ke pantai. Kau sengaja melewati jalan berputar yang lebih 

jauh. Mengapa kau berbuat begitu?”

“Aku tidak ingin kehadiran kita di sini diketahui orang atau 

dilihat orang-orang itu...”

“Orang-orang siapa maksudmu Nyi Roro Manggut?” tanya ratu 

Duyung pula.“Bidadari Angin Timur dan Purnama.”

“Bidadari Angin Timur sudah lebih dulu pergi dari kita. Tak 

mungkin masih berada di pulau ini.”

Nyi Roro Manggut menggeleng.

“Dia masih berada sekitar pulau ini. Dia tengah menunggu 

seseorang. Aku punya firasat sesuatu akan terjadi di sekitar tempat 

ini. Pasang matamu baik-baik dan pentang telingamu tajam-tajam. 

Sayang cermin saktimu sudah hancur. Tapi coba kau kerahkan Ilmu 

Menembus Pandang...”

Baru saja si nenek keluarkan ucapan tiba-tiba dari balik sebuah 

pulau kecil muncul satu perahu. Penumpangnya mengenakan pakaian 

biru tipis, rambut pirang panjang melambai lepas tertiup angin. Sekali-

kali dia mencelupkan tangan ke dalam air. Perahu melesat deras di 

permukaan laut. Di satu tempat sejarak belasan tombak dari pantai 

perahu dihentikan, terombang ambing dipermainkan ombak kecil. 

Perlahan-lahan penumpang di atas perahu bangkit, tegak sambil 

rangkapkan dua tangan di atas dada. Mata menatap tajam ke arah 

pantai.

“Bidadari Angin Timur...” bisik Ratu Duyung.

“Benar,” sahut Nyi Roro Manggut. “Dia tengah menanti 

kedatangan seseorang. Orang itu aku yakin sebentar lagi akan berada 

di tempat ini. Aku harap Bidadari Angin Timur tidak mengetahui 

kehadiran kita di balik batu karang ini.”

“Purnama!” tiba-tiba gadis berambut pirang berpakaian biru tipis 

yang berdiri di atas perahu di tengah laut berteriak lantang. “Aku tahu 

kau berada di tepi pantai. Jangan bersembunyi! Aku sudah cukup lama 

menunggu kemunculanmu! Cepat unjukkan diri! Ada yang perlu kau 

jawab sebelum aku menghabisi dirimu!”

“Dugaanku tidak keliru!” kata Nyi Roro Manggut. “Tapi aku tidak 

menduga Bidadari AnginTimur punya dendam begitu hebat hingga dia 

ingin membunuh Purnama!”

“Kau bilang apa yang terjadi sama dengan kiamat bagi gadis itu. 

Dan Purnama sangat tersangkut dengan kejadian tersebut.” Ucap Ratu 

Duyung pula. Dia berpaling ke kanan. “Aku mendengar desiran angin. 

Aku melihat sesuatu berkelebat di balik deretan pohon kelapa sebelah 

sana...” bisik Ratu Duyung.

Saat itu juga terlihat seorang perempuan berpakaian biru pekat, 

rambut digulung di atas kepala, berlari laksana terbang ke arah 

pantai. Ternyata dia adalah Purnama alias Luhmintari ibu dari 

Jatilandak alias Tubagus Kesumaputra.

Purnama angkat tangan kirinya ke arah Bidadari Angin Timur 

yang berada dia atas perahu.

“Bidadari Angin Timur! Aku tahu kau akan menungguku. Aku 

tidak sembunyi. Justru aku memang ingin menemuimu agar bisa diajak bicara! Antara kita mungkin telah terjadi kesalah fahaman!”

“Bukan mungkin! Bukan juga kesalah fahaman! Seseorang telah 

menghina mempermalukan diriku akibat fitnah yang berasal dari 

mulutmu!”

“Aku akan menerangkan padamu duduk perkaranya! Kita 

bersahabat sejak lama Aku tidak akan bermulut keji seperti yang kau 

duga. Sesuatu telah terjadi pada diriku!”

“Perempuan liar dari negeri najis!” teriak Bidadari Angin Timur. 

“Jika kau memang ingin bicara sebelum kematianmu, tunjukkan 

kehebatanmu! Datang temui aku di sini! Kita bicara di tengah laut ini!”

Ditantang begitu rupa Purnama tidak tinggal diam. Dia melirik ke 

arah deretan perahu di tepi pasir. Secepat kilat dia melompat 

mendekati salah satu perahu lalu mendorong ke dalam laut. Begitu 

berada di dalam air dia terus berenang sambil mendorong perahu. Dua 

gerakan kakinya yang sebat membuat perahu terdorong pesat di atas 

permukaan air.

Ketika tinggal beberapa tombak lagi dari perahu yang 

ditumpangi Bidadari Angin Timur baru Purnama melompat ke atas 

perahu. Aneh, kepala, tubuh, dan pakaian tidak ada yang basah. Gadis 

ini telah melindungi tubuh dan pakaian dengan ilmu yang 

mengeluarkan cahaya biru bergemeriap.

Begitu berdiri di atas perahu yang kini berdampingan dan hanya 

terpisah dengan perahu Bidadari Angin Timur sejarak dua jengkal, 

Purnama segera keluarkan ucapan.

“Sahabatku Bidadari Angin Timur, kalau kita bicara aku harap 

kita bicara dengan kepala dingin walau hati panas...”

“Hentikan bicara manismu!” Bentak Bidadari Angin Timur. 

“Antara kita tidak ada lagi jalinan persahabatan. Karena kau telah 

membuka aib diriku yang nyata-nyata adalah fitnah dan 

menyampaikannya pada Ratu Laut Utara keparat bernama Nyi Harum 

Sarti itu!”

“Aku tidak mengingkari. Aku memang bicara tentang keadaan 

dirimu setelah gagalnya pernikahanmu dengan Kepala Pengawal 

Kesultanan Cirebon bernama Tubagus Kesumaputra itu! Nyi Harum 

Sarti berusaha mengorek banyak keterangan dariku. Dan aku bicara 

dalam keadaan pikiran tidak waras akibat ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat 

Hati yang disirapkan seorang nenek anak buah Nyi Harum Sarti atas 

diriku...”

“Aku tidak peduli ilmu setan apapun yang ditenungkan pada 

dirimu. Kau tidak bisa membantah kenyataan bahwa sumber fitnah 

yang sangat keji memalukan itu berasal dari mulutmu!”

“Aku mengakui hal itu. Namun harap kau bisa mengerti...”

“Tutup mulutmu! Jangan terlalu banyak bicara! Aku hanya ingin 

tahu satu hal lagi! Dari mana kau mengetahui peristiwa gagalnya pernikahanku dengan Kepala Pasukan Kesultanan Cirebon yang 

sebenarnya adalah anak kandungmu sendiri!”

“Berita baik berita buruk berjalan secepat angin bertiup,” jawab 

Purnama tanpa mau berterus terang siapa orang yang menjadi sumber 

cerita peristiwa itu. Seperti diketahui Purnama mendapat penjelasan 

langsung dari puteranya sendiri yaitu Jatilandak alias Tubagus 

Kesumaputra. “Kuharap kau mau bersikap penuh pengertian. Walau 

aku menyadari buruknya diriku ini aku sebenarnya adalah bekas 

mertuamu juga...”

Mendengar kata-kata Purnama itu wajah Bidadari Angin Timur 

berubah merah. Rahang menggembung. Dada seperti mau meledak. 

Sepasang mata berkilat-kilat. Dari mulutnya menyembur tawa 

melengking panjang yang diakhiri dengan suara mendengus.

“Perempuan jahanam! Kau bukan saja terpesat dari negeri 

hantu! Tapi juga membuat keonaran di tanah Jawa! Aku tidak pernah 

nikah dengan anakmu! Aku tidak pernah merasa jadi janda seperti 

yang kau fitnahkan!”

“Bidadari Angin Timur, aku bersedia bersujud minta maaf 

padamu. Bukankah lebih baik kita lupakan saja persoalan ini? Semua 

terjadi bukan karena kemauan kita. Ini gara-gara kejahatan Ratu Laut 

Utara palsu bersama kaki tangannya!”

“Hebat dan pandai sekali kau mencari kambing hitam!” Tukas 

Bidadari Angin Timur. “Memang bukan terjadi karena kemauankulTapi 

kemauan busukmu!” Teriak Bidadari Angin Timur. Kepala disentakkan.

“Wutt!”

Rambut pirang laksana tabasan golok menyambar ke arah leher 

Purnama. Jangankan leher manusia, patung batupun akan dibabat 

putus oleh tebasan rambut pirang yang berubah menjadi kaku keras 

laksana lempengan besi!

Selagi Purnama menjauhkan diri untuk menghindari serangan 

Bidadari Angin Timur kembali lancarkan serangan susulan berupa 

pukulan tangan mengandung hawa sakti dan tenaga dalam tinggi!

Bagi dua orang yang memiliki kepandaian yang sudah mencapai 

puncaknya, bertarung di daratan adalah satu hal yang biasa. Tapi 

berkelahi di atas perahu kayu yang mengambang di atas laut sungguh 

merupakan kejadian yang sangat langka. Walau memiliki kesaktian 

serta tenaga dalam tinggi, tapi jika tidak berbekal ilmu meringankan 

tubuh yang luar biasa, kedua petarung bisa sama-sama celaka!

“Dukkk!”

Tangan kanan Bidadari Angin Timur yang melancarkan pukulan 

ke arah dada beradu dengan lengan kanan Purnama yang diperguna-

kan untuk menangkis sekaligus dipakai mendorong sebagai serangan 

balasan.

Dua gadis cantik sama-sama terpekik. Tangan bergetar hebat

dan membekas merah biru. Tubuh mereka serentak terhuyung ke 

belakang akibat keras beradunya dua tangan. Dalam keadaan seperti 

itu dengan gerakan kilat mengandalkan ilmu meringankan tubuh 

tinggi. Keduanya melompat ke udara. Sambil melayang turun untuk 

menjejakkan kaki di atas lantai perahu mereka kembali menabur 

serangan.

Purnama melepas pukulan Menahan Raga Menyerap Tenaga. 

Dengan ilmu ini dia mampu membuat lawan menjadi lemas tak 

berdaya. Jelas gadis dari Latanahsilam ini tidak berniat untuk

mencelakakan lawan.

Sebaliknya Bidadari Angin Timur yang sudah nekad hendak 

menghabisi Purnama menghantamkan dua tangan ke arah lawan. Dua 

larik sinar biru berkiblat Ilmu kesaktian ini tidak bernama, Nyi Kuncup 

Jingga pernah mengatakan bahwa sambaran dua cahaya biru itu 

adalah Pedang Biru Liang Akhirat. (Baca “Cinta Tiga Ratu”)

Laksana sepasang pedang, dua cahaya biru dengan ganas 

menyambar ke arah kepala dan dada Purnama. Bila dua cahaya biru 

mengenai sasaran maka kepala dan dada Purnama akan terbelah!

Di saat bersamaan kilat kembali menyambung di langit dan 

guntur menggelegar dahsyat. Selagi dua gadis yang bertarung belum 

sempat menjejakkan kaki dan serangan masing-masing belum saling 

bentrokan tiba-tiba angin deras turun bergemuruh, bertiup dahsyat 

membuat air laut membuntal membentuk gelombang luar biasa besar!

Dalam keadaan seperti itu dua buah perahu kayu tiba-tiba 

melesat dari arah pantai. Orang yang berperahu di sisi kanan 

berteriak.

“Bidadari Angin Timur! Purnama! Jangan tolol bertarung 

melawan sahabat sendiri! Semua bisa diselesaikan dengan saling 

bicara!”

Tapi gelombang luar biasa besar keburu menghantam. Empat 

perahu mencelat ke udara, hancur berkeping-keping. Nyi Roro 

Manggut cepat melesat menyambar tangan Bidadari Angin Timur

sementara Ratu Duyung berusaha menggapai pinggang Purnama. 

Namun keduanya luput! Ketika gelombang kedua menyapu dan hujan 

serta angin menderu ganas sementara udara menjadi gelap, ke empat 

orang itu tidak kelihatan lagi!

***



EMPAT


KETIKA Nyi Roro Manggut dan Ratu Duyung siuman, mereka 

dapatkan diri terbujur di atas pasir pantai Menjangan Kecil.

“Astaga, apa yang terjadi dengan diriku!” ucap si nenek seraya 

bangkit duduk. Dia memandang dan meraba dada sendiri, merasa lega 

karena mengetahui Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru milik Nyai 

Roro Kidul masih berada dalam tubuhnya. Di sebelahnya duduk Ratu 

Duyung sambil mengibas-ngibas rambut yang basah, sepasang mata 

menatap ke arah laut yang kini berada dalam keadaan tenang. Di atas 

pasir keping kayu hancuran perahu bertebaran dipermainkan ujung 

ombak sementara langit cerah tak berawan. Sang surya condong jauh 

ke barat, memancarkan cahaya kekuningan pertanda saat itu hari 

telah sore.

“Ada badai waktu kita hendak mencegah Bidadari Angin Timur 

dan Purnama saling berbunuhan.” Ratu Duyung keluarkan ucapan. 

“Nyi Roro, menurutmu apakah badai itu merupakan badai setan 

jejadian seperti yang kita alami sebelumnya?”

“Jin pencipta badai yaitu Durna Rawana sudah menemui ajal. 

Yang tadi adalah badai sungguhan.” Jawab Nyi Roro Manggut. “Kita 

berdua tergeletak tak sadarkan diri cukup lama di tempat ini.”

Ratu Duyung bangkit berdiri, menarap ke arah laut lepas. Selain 

pulau-pulau kecil dia tidak melihat apa-apa lagi.

“Nek, hatiku sangat kawatir. Apa yang terjadi dengan Purnama 

dan Bidadari AnginTimur. Jangan-jangan selagi kita tergeletak pingsan 

di sini kedua orang itu telah saling berbunuhan. Sama-sama menemui 

ajal!”

“Kalau mereka memang sama-sama sudah menemui ajal. Ada 

dua kemungkinan. Pertama tubuh mereka hancur berkeping-keping. 

Berarti kita tidak akan menemui jazad utuh mereka. Kemungkinan 

kedua jenazah mereka masih dalam keadaan utuh tapi tenggelam ke 

dasar laut. Paling cepat butuh waktu satu hari satu malam jenazah 

keduanya baru muncul mengambang di permukaan laut. Apakah kita 

akan menunggu? Kita masih banyak urusan penting yang harus segera 

dilaksanakan.”

“Kita tidak bisa menunggu selama itu, Nek. Selain itu aku 

merasa sangat perlu menemui Wiro terlebih dulu.”

Nyi Roro Manggut tidak menjawab melainkan menatap diam 

dengan matanya yang jereng ke arah laut

“Apa yang ada dalam pikiranmu Nek?” tanya ratu Duyung.

“Aku coba mengingat-ingat...” jawab si nenek pula. “Sewaktu gelombang besar menghantam kita, yaitu sebelum kita mampu 

mencegah terjadinya saling serang pukulan sakti antara Purnama dan 

Bidadari Angin Timur, aku sekelebatan melihat satu benda putih 

panjang muncul dari dalam laut, melesat di dalam gulungan 

gelombang, menyambar ke arah kita...”

“Aku tidak melihat benda itu Nyi Roro,” kata Ratu Duyung pula.

“Bisa saja kau tidak melihat Namun aku berpikir, bila cuma 

gelombang besar yang menghantam kita, tidak mungkin kita sampai 

terkapar pingsan sekian lama di tepi pantai ini. Aku yakin benda putih 

panjang itulah yang melepas kekuatan dahsyat membuat kita 

terpental hingga tidak sadarkan diri.”

“Kalau begitu ucapanmu, bisa saja dua sahabat kita itu telah 

mengalami celaka oleh benda itu. Tapi benda putih aneh itu mahluk

apa gerangan?”

“Aku punya dugaan. Tapi kawatir kalau kesalahan...” ucap si 

nenek perlahan.

“Katakan saja padaku Nek. Masa kau tidak percaya aku akan 

menjaga rahasia?”

“Nanti saja. Ini bukan perkara percaya atau tidak percaya.” 

Jawab Nyi Roro manggut.

Sambil meraba pinggang pakaian di bagian dimana dia 

menyimpan gulungan Pedang Naga Suci 212 Ratu Duyung berkata.

“Kalau begitu sebelum matahari tenggelam sebaiknya kita 

kembali dulu ke bukit menemui Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti. Lalu 

dengan mengandalkan Batu Mustika Sakti bersama-sama kembali ke 

daratan Jawa...”

Mendadak ucapan ratu Duyung terputus. Gadis itu terpekik.

“Ada apa?!” tanya Nyi Roro Manggut tersentak kaget.

“Pedang Naga Suci!” sahut Ratu Duyung dengan wajah berubah 

pucat. “Pedang sakti bergulung itu lenyap! Sebelumnya aku simpan di 

balik pinggang sini!”

“Celaka! Pasti ada yang mencuri ketika kita dalam keadaan 

pingsan!” Si nenek lalu membantu memeriksa dan mencari senjata 

sakti itu namun tidak berhasil ditemukan.

Ratu Duyung terduduk lemas di atas pasir. Mengusap wajah 

berulang kali. “Apa yang akan kita lakukan sekarang? Kemana harus 

mencari pedang sakti itu? Senjata itu titipan orang, bukan milikku! Ah 

mengapa musibah buruk selalu datang tidak berkeputusan. 

Sebelumnya batu mustika sakti. Kini pedang sakti...”

“Kita sedang apes,” ujar Nyi Roro Manggut pula. “Pedang itu 

bukan cuma sekedar titipan, tapi lebih penting dari itu adalah tanda 

ikatan jodohmu dengan murid Sinto Gendeng.”

Ratu Duyung diam saja. Wajahnya yang tadi pucat kini bersemu 

merah mendengar kata-kata si nenek. Ucapan Nyi Roro Manggut membuat hatinya jadi tambah gelisah tambah kawatir.

“Bagaimana kalau kita menyelidik dulu ke bukit kecil di dalam 

pulau? Siapa tahu Wiro masih ada di sana.” Ratu Duyung akhirnya 

berkata.

Kedua orang itu segera kembali ke atas bukit tempat dimana 

mereka sebelumnya bertemu dengan Ratu Laut Utara Nyi Harum Sarti 

dan Ratu Sepuh. Namun mereka tidak menemui siapapun di situ. 

Bahkan patung Wiro dan Nyi Harum Sarti juga telah musnah berubah 

menjadi kepingan bertabur sama rata di atas tanah. Sesaat setelah 

matahari tenggelam dan malam segera turun Nyi Roro Manggut 

berkata.

“Kita sudah mencari hampir di seluruh pulau kecil ini. Kau telah 

mengerahkan ilmu Menembus Pandang. Tapi sia-sia saja semua 

usaha. Tidak seorangpun ada di pulau ini. Lebih baik kita kembali ke 

pantai selatan.”

“Nyi Roro, kau berangkatlah duluan ke Kerajaan Laut Selatan. 

Temui Nyi Roro Kidul dan sampaikan permohonan maafku. Aku tidak 

bisa ikut bersamamu. Aku harus mencari dan menemukan Pedang 

Naga Suci Dua Satu Dua terlebih dulu.”

Nyi Roro Manggut terdiam mendengar ucapan Ratu Duyung itu 

lalu bertanya.”Kau mau mencari kemana pedang sakti itu?”

“Aku juga tidak tahu Nyi Roro. Mudah-mudahan Yang Maha 

Kuasa memberi petunjuk.”

“Dengar ratu Duyung.” Ucap si nenek sambil pegang bahu gadis 

bermata biru. “Dugaanku ada dua kemungkinan. Pedang itu memang 

dicuri orang ketika kau tergeletak pingsan di atas pasir. Atau bisa juga 

terlempar jatuh ke dalam laut sewaktu kita dihantam gelombang besar 

dan kibasan benda putih panjang.”

“Aku akan berusaha menyelidik. Apapun yang terjadi Pedang 

Naga Suci Dua Satu Dua harus didapatkan kembali.”

“Aku bisa mengerti tindakanmu. Aku akan memberi tahu Nyai 

Roro Kidul apa yang terjadi. Aku pergi Sekarang. Hati-hatilah...”

Ratu Duyung mengangguk.

“Kau juga hati-hati Nek,” kata si gadis.

Nyi Roro Manggut letakkan tangan kanannya di atas dada 

dimana tersimpan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Sekati dia 

menghentakkan kaki kanan ke atas pasir pantai, tubuhnya melesat ke 

udara lalu melayang laksana terbang ke arah selatan.

APA yang terjadi dengan Purnama dan Bidadari Angin Timur? 

Pada saat badai muncul dan gelombang besar menghantam, baik 

Purnama maupun Bidadari Angin Timur telah sama-sama sempat 

melepas pukulan sakti. Purnama melancarkan pukulan Menahan Raga 

Menyerap Tenaga yang tidakakan mencelakai lawan, hanya sekedar 

membuatnya tidak berdaya. Sebaliknya Bidadari AnginTimur yang membekal amarah serta dendam kesumat besar menghantam dengan 

serangan mematikan yaitu pukulan ilmu Pedang Biru Liang Akhirat.

Walau saat badai menghantam dan membuat kedua gadis itu 

sama-sama terlempar namun serangan mereka lepas masih sempat 

menghajar ke arah lawan. Akibatnya memang sangat berbahaya. Yaitu 

Bidadari Angin Timur akan lemas tak berdaya seluruh tubuh 

sementara Purnama bisa jadi menemui ajal paling tidak ada bagian 

tubuhnya yang terbabat putus atau terkoyak lebar!

Pada saat itulah benda putih panjang muncul dari dalam air laut, 

berkelebat ke atas di antara dua gadis yang barusan sama-sama 

melepas pukulan sakti. Kibasan dahsyat benda putih itu sanggup 

membuat Bidadari Angin Timur dan Purnama terpental lebih jauh. 

Meskipun demikian dua gadis tetap mengalami cidera.

Bidadari Angin Timur menjerit keras ketika dia merasa tubuh 

sebelah kanannya mulai dari ujung jari tangan sampai ke bahu dan 

terus ke kaki menjadi lemas tak bisa digerakkan lagi. Ketika 

gelombang besar menghantam dirinya tak ampun gadis ini amblas 

masuk ke dalam laut. Walau dia memiliki ilmu bisa bertahan lama di 

dalam air yang didapat dari Kiai Gede Tapa Pamungkas namun dalam 

keadaan separuh tubuh cidera berat seperti itu dia tak mungkin

menggantungkan nyawanya pada ilmu tersebut Ketika megap-megap 

muncul di permukaan air, dia berusaha dan masih sempat menggapai 

dengan tangan kiri sekeping papan pecahan perahu. Dia tidak 

menyadari kalau ada benda melekat di atas kepingan papan yang kini 

menjadi gantungan hidupnya itu. Lalu gelombang kembali 

menghantam tubuhnya hingga terpental dan diseret jauh ke arah 

barat.

Akan halnya Purnama, gadis dari alam gaib 1200 tahun silam ini 

dalam keadaan terpental masih sanggup selamatkan diri dari salah 

satu cahaya biru yang menyambar ke arahnya. Namun sambaran 

cahaya biru kedua tak mampu dielakkan. Laksana pedang membabat 

cahaya biru masih sempat menyambar pinggulnya sebelah kiri. Darah 

mengucur dari luka besar di pinggul. Air laut sekitar situ tampak 

kemerahan. Dia sulit menggerakkan diri, apa lagi berusaha berenang 

mencapai pantai. Sebelum pingsan gadis ini berusaha sedapatnya 

melafatkan ajian bernama Empat Penjuru Air Alam Gaib. Dengan ilmu 

ini, jika dia mampu membacakan manteranya sampai selesai maka 

tubuhnya akan mengambang di atas air. Berarti kehidupannya kini 

tinggal tergantung kemana arus air laut membawa menghanyutkan 

tubuhnya.



LIMA


MALAM Jum'at Kliwon di tanah Jawa. Malam Jum'at yang sama di 

Pulau Andalas. Langit cerah tak berawan, dihias bulan sabit. Saat itu 

lewat tengah malam. Di tepi Danau Maninjau, di atas sebuah batu 

datar dialas selembar kulit kambing putih, Datuk Rao Basaluang Ameh 

baru saja selesai melakukan sembahyang tahajud dan siap berzikir 

ketika tiba-tiba di kejauhan terdengar alunan suara serunai memecah 

kesunyian malam.

Sang Datuk angkat kepala. Wajah berubah, hati tercekat, dada 

berdebar. Perlahan mulutnya berucap.

“Puluhan tahun aku tidak pernah mendengar suara bebunyian 

itu. Apakah dia yang meniup? Apakah dia yang datang? Ah, 

mungkinkah dia masih hidup? Adakah kerinduan yang tersemat di 

hatiku juga ada di hatinya hingga dia datang ke sini?”

Datuk Rao Basaluang Ameh duduk tak bergerak. Mengambil 

sikap menunggu sambil sepasang matanya yang biru menatap ke arah 

jauh di kegelapan dari mana datangnya suara tiupan serunai yang 

mendayu berhiba-hiba, menimbulkan perasaan haru di lubuk hati 

Datuk Rao Basaluang Ameh. Orang tua yang konon adalah setengah 

roh manusia dan telah menemui kematian seratus tahun silam ini 

pegang saluang yaitu seruling khas Minang yang terbuat dari emas 

dan terselip di pinggang. Perlahan-lahan dia tarik saluang ini lalu 

ujungnya ditempelkan ke bibir. Sesaat kemudian suara tiupan saluang 

menggema di udara malam, menimpali dan saling bersahutan dengan 

suara serunai. Seolah-olah dua mahluk gaib yang tengah memadu 

kasih. Di tengah Danau Maninjau, permukaan air tampak bergetar, 

membentuk gelombang-gelombang halus yang beriringan berarak ke 

tepian danau.

Untuk beberapa lama dua suara dua bebunyian itu saling 

bersambut indah di keheningan malam. Begitu menyentuh hati 

sehingga tanpa sadar butir-butir air mata meluncur jatuh di pipi Datuk 

Rao Basaluang Ameh. Tangannya yang memegang saluang bergetar 

dan tiupannya sesekali tertahan-tahan. Jauh di kegelapan ada suara 

tersendat seperti orang menahan isak dan bersamaan dengan itu 

suara tiupan serunai terdengar turun naik tak menentu.

Perlahan-lahan Datuk Rao Basaluang Ameh turunkan tangan. 

Saluang emas diletakkan di atas pangkuan. Mata terus menatap ke 

arah kegelapan. Mulut berucap gemetar.

“Laras Parantili. Jika memang kau yang datang perlihatkanlah 

dirimu. Jangan membuat diriku sesak seperti dikurung dalam keranda besi yang hendak ditenggelamkan ke dasar Danau Maninjau.”

Suara tiupan serunai di kegelapan berubah perlahan lalu lenyap 

sama sekali, tak lama kemudian kelihatan seseorang melangkah 

keluar dari balik deretan pohon-pohon Kayu Manis berusia ratusan 

tahun. Orang itu berjalan ke arah batu besar di tepi danau dimana 

Datuk Rao Basaluang Ameh duduk lalu berhenti. Sang Datuk masih 

belum bisa melihat jelas. Hatinya berkata. “Datanglah lebih dekat agar 

aku bisa melihat dirimu...”

Seperti terdengar suara hati sang Datuk, orang dalam gelap 

lanjutkan langkah, mendatangi. Hanya sejarak dua belas langkah dari 

tempatnya duduk, Datuk Rao Basaluang Ameh kini tak ragu lagi. Dia 

benar-benar mengenali siapa orang yang datang ini. Bukan saja dari 

raut wajahnya tapi juga dari pakaian yang dikenakan.

“Allah Maha Besar! Aku memanjatkan beribu syukur! Laras 

Parantili! Benar kau yang datang rupanya!”

Datuk Rao Basaluang Ameh segera berdiri. Saluang Ameh 

diselipkan di pinggang.Tongkat kayu putih miliknya yang tadi 

tergeletak di atas tikar kulit kambing diambil lalu cepat turun dari atas 

batu.

Dua belas langkah di hadapannya berdiri seorang perempuan 

tua bertubuh tinggi semampai berambut putih perak, disanggul rapi 

dihias sesusun sunting rendah terbuat dari suasa. Wajahnya bujur 

telur berhidung mancung. Walau banyak kerut dan sepasang mata 

agak sembab tanda habis menangis, wajah itu bersih dan masih 

membayangkan kecantikan dimasa muda. Sehelai selendang biru 

bergelung di leher, menjulai ke dada. Perempuan tua itu mengenakan 

kebaya panjang dalam menyerupai jubah berwarna kuning gelap, 

penuh dengan taburan sulaman bunga yang terbuat dari sulaman 

benang perak. Di bawah kebaya panjang kuning dia mengenakan 

sehelai celana panjang berwarna hitam. Di tangan kanan, sambil 

diletakkan di atas dada dia memegang sebuah serunai, yaitu 

bebunyian menyerupai suling tapi agak menggembung dan berkeluk di 

bagian tengah.

Untuk beberapa lama dua orang itu hanya saling bertatapan. 

Kemudian Datuk Rao melangkah mendekati namun dua langkah di

hadapan perempuan tua itu dia berhenti. Jika menurutkan perasaan 

hati, saat itu juga sang Datuk ingin sekali memeluk erat perempuan

tua berwajah cantik itu.

“Laras Parantili, ini kebesaran Tuhan yang paling indah. Aku 

tidak menyangka kau akan datang. Ah... Berapa tahun kita tidak 

pernah berjumpa? Sepuluh... dua puluh... empat puluh tahun...”

“Setengah abad Datuk. Setengah abad kita tak pernah saling 

bertemu...” menjawab perempuan tua bernama Laras Parantili.

“Setengah abad. Benar sekali. Aku benar-benar berbahagia 

Kalau bukan langkah Tuhan yang membimbingmu kemari tentu kita 

tidak berjumpa malam ini.”

“Disitulah rahasia Kebesaran Allah,” kata Laras Parantili.

“Sejuta puji sejuta syukur!” ucap Datuk Rao Basaluang Ameh. 

“Laras, mari kita bicara di atas rumah gadang gonjong lima. Aku tidak 

tahu kau datang dari mana.Tapi yang pasti datang dari tempat yang 

jauh. Kau pasti lelah. Kau perlu secangkir minuman panas untuk 

menghangatkan diri. Selain itu kau tentu butuh istirahat...”

Laras Parantili tersenyum. Dia menatap ke arah kejauhan 

dimana terlihat sebuah rumah panggung besar beratap ijuk dengan

gonjong berbentuk tanduk kerbau sebanyak lima buah.

“Terima kasih, Datuk. Kau tetap baik dan lembut seperti yang 

sudah-sudah. Kalau kau tidak keberatan, biar kita bicara di sini saja. 

Aku tidak ingin mengganggu ketenangan tidur para penghuni gadang.”

Mendengar ucapan orang, Datuk Rao Basaluang Ameh maklum 

kalau si nenek datang membawa suatu maksud dan maksud itu ingin 

disampaikan secara cepat. Berarti dia tidak akan lama melihat 

perempuan yang selama fni selalu dirindukannya itu.

“Laras Parantili, aku tidak akan memaksa kau agar mau naik ke 

rumah gadang. Namun kalau boleh aku bertanya sudilah mengatakan 

gerangan maksud kedatanganmu. Apakah ini menyangkut hubungan 

kita masa lalu?”

“Datuk... pembicaraan kita mungkin akan sampai di sana. 

Namun berterus terang aku katakan, kedatanganku membawa satu 

kabar serta tujuan besar.”

Sekilas harapan membayang di wajah Datuk Basaluang Ameh.

“Aku gembira mendengar hal itu. Katakanlah. Jika memang 

perlu kita rundingkan maka akan segera kita bicarakan saat ini juga.”

“Datuk, ketahuilah bahwa kedatanganku membawa satu amanat 

dari alam gaib, menyangkut mahluk titisan...”

Datuk Rao Basaluang Ameh tatap wajah Laras Parantili. 

Wajahnya membayangkan tanda tanya.

“Kau pasti belum mengerti. Biar aku lanjutkan ucapan,” kata si 

nenek pula sambil membetulkan gelungan selendang biru di lehernya. 

“Aku tahu di dalam rumah gadang tempat kediamanmu saat ini ada 

seorang anak perempuan berusia menjelang dua tahun. Bernama Ken 

Permata.”

Datuk Rao Basaluang Ameh sembunyikan keterkejutannya 

dengan tersenyum. “Lima puluh tahun tidak bertemu, lima puluh 

tahun tidak pernah datang, bagaimana begitu muncul Laras Parantili 

mengetahui kalau dirumahku ada seorang anak perempuan berusia 

hampir dua tahun bernama Ken Permata.” Sebelum sempat orang tua 

ini mengatakan sesuatu, si nenek bermuka bulat sudah lebih dulu 

lanjutkan ucapan.“Anak perempuan itu adalah puteri dari seorang Tumenggung di 

tanah Jawa bernama Wira Bumi yang kemudian menjadi Patih 

Kerajaan. Nasib buruk sang Patih, dia tewas di tangan tokoh persilatan 

golongan putih. Istrinya, ibu dari Ken Permata bernama Nyi Retno 

Mantili, saat ini masih hidup tapi dalam keadaan tersiksa sengsara 

karena telah kehilangan ingatan warasnya. Konon perempuan itu 

masih berada di tanah Jawa.”

“Dia tahu banyak tentang Ken Permata dan kedua orang 

tuanya,” ucap Datuk Rao dalam hati. Lalu pada si nenek dia berkata. 

“Laras, tadi kau menyebut-nyebut soal titisan...”

“Ceritaku akan sampai ke sana Datuk.” Jawab si nenek pula 

dengan suara tenang penuh kesabaran sementara sebaliknya Datuk 

Rao ingin cepat-cepat mengetahui apa sebenarnya maksud semua 

ucapan dan kedatangan si nenek.

“Datuk, nasib anak perempuan bernama Ken Permata itu 

mungkin akan sama buruk dengan apa yang terjadi dengan ibunya 

jika tidak ada seseorang yang mau turun tangan dan menolong 

menghindarkan kejadian itu...”

Datuk Rao yang tidak sabaran langsung memutus ucapan 

dengan bertanya. “Lalu apakah kedatanganmu adalah sebagai orang 

yang hendak menolong anak perempuan itu?”

“Aku tak kuasa menolong, aku hanya orang yang ketitlpan 

amanat agar anak perempuan itu dapat menerima titisan yang bakal 

datang atas dirinya. Bagaimana perjalanan hidupnya nanti Yang Maha 

Kuasalah yang akan menentukan...”

“Laras parantili, terus terang aku masih belum jelas akan semua 

apa yang kau katakan ini. Roh siapa yang akan menitis ke dalam diri 

Ken Permata? Kapan hal itu akan terjadi?”

“Roh yang akan menitis berasal dari diri seorang perempuan 

usia empat puluh tahun bernama Nyi Harum Sarti. Seorang 

perempuan yang pernah menduduki tahta Kerajaan Laut Utara sebagai 

Ratu namun tewas tiga hari yang lalu.”

“Kapan penitisan akan terjadi?” tanya Datuk Rao yang kini 

menjadi tampak tegang.

“Malam ini. Dan aku dibebankan amanat agar petitisan itu 

terjadi dengan sebaik-baiknya tanpa halangan.”

“Laras, kau mengatakan roh yang akan menitis ke dalam diri 

Ken Permata adalah roh seorang ratu dari Kerajaan Laut Utara yang 

tewas tiga hari lalu.”

“Betul sekail Datuk.” Jawab Laras Parantili.

“Kalau kau mengatakan dia tewas maka aku mempunyai dugaan 

Ratu itu menemui kematiannya secara tidak wajar. Dibunuh 

Orang?”tanya Datuk Rao.

“Soal kematiannya, dibunuh atau bukan, siapa yang membunuh rasanya tidaklah penting Datuk. Jika penitisan terjadi maka Ken 

Permata setelah usianya mencapai tahun ke tiga kelak akan memiliki 

dasar-dasar ilmu kepandaian tingkat tinggi seperti hawa sakti, tenaga 

dalam, tenaga luar dan sebagainya.”

“Kalau yang masuk ke dalam diri anak itu adalah ilmu hitam, 

apakah ada manfaatnya?” tanya Datuk Rao Basaluang Ameh.

“Ilmu putih ilmu hitam tergantung bagaimana seseorang 

mempergunakannya. Sekalipun menguasai ilmu putih tapi jika 

digunakan untuk kejahatan maka akan berarti orang itu telah merubah 

ilmu putih menjadi ilmu hitam.”

Datuk Rao Basaluang merenung beberapa ketika. Dalam hati 

orang tua ini membatin.

“Tadinya aku mengira dia datang untuk berbaik-baik 

membicarakan hubungan di masa lalu. Ternyata membekal sesuatu 

maksud yang tidak aku duga. Kalau dia memang ketitipan amanat, 

dirinya memang tidak bisa disalahkan. Tapi bagaimana hal ini bisa 

terjadi?”

“Laras, sebelum aku mengizinkan terjadinya penitisan itu, aku 

minta waktu untuk lebih dulu menyelidiki siapa Nyi Harum Sarti itu 

sebenarnya...”

“Datuk, mungkin kita tidak punya banyak waktu lagi. Seperti 

kataku tadi, penitisan tadi akan terjadi malam ini.” Jawab si nenek 

cantik bernama Laras Parantili sambil menatap ke langit lepas di atas 

danau.

“Laras, ketahuilah, kesembuhan penyakit jiwa ibu Ken Permata 

yang bernama Nyi Retno Mantili itu adalah jika dia berhasil 

menemukan puterinya. Jika sebelum pertemuan si anak sudah 

ketitisan roh orang lain, aku kawatir seandainya terjadi pertemuan 

mungkin sekali kesembuhan tidak akan terjadi. Nyi Retno Mantili akan 

sengsara seumur-umur. Saat ini cucu muridku Pendekar Dua Satu Dua 

Wiro Sableng tengah berusaha mencari Nyi Retno Mantili dan 

membawanya ke Danau Maninjau ini. Untuk dipertemukan dengan 

puterinya.”

“Datuk, aku mengerti kekawatiran Datuk, jawab Laras Parantili 

pula. “Namun apakah Datuk juga memikirkan. Kalau penitisan tidak 

terlaksana maka akan dua orang yang menderita sengsara yaitu Ken 

Permata dan Nyi Retno Mantili.”

“Aku tidak sependapat denganmu Laras. Sekarang bukankah 

lebih baik kita membicarakan soal lain saja...”

Laras Parantili tersenyum. Senyum yang membuat Datuk Rao 

Basaluang Ameh merasa berbunga-bunga hatinya.

“Kalau itu maumu, baiklah Datuk,” kata si nenek pula. Lalu dari 

balik pakaian kuningnya dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berbalut 

kain beludru merah yang telah kusam dan koyak di beberapa sudut pertanda kotak ini sudah agak usang dimakan umur.

Melihat kotak yang dipegang Laras Parantili bercahayalah wajah 

Datuk Rao.

“Kotak beludru merah. Dia masih menyimpannya. Berarti dia 

datang benar-benar karena masih mengingat hubungan kasih sayang 

di masa muda. Sekali ini dia tidak akan aku biarkan pergi kemana-

mana lagi.” Kata Datuk Rao dalam hati. “Laras, aku merasa bahagia 

kau masih mendambakan diriku...”

Namun semua rasa senang bahagia orang tua sakti ini serta 

merta sirna ketika Laras Parantili berkata.

“Datuk, puluhan tahun aku membawa kotak ini kemana aku 

pergi. Kujaga baik-baik, seolah aku membawa nyawaku sendiri. Di 

dalamnya masih tersimpan dua cincin kuning terbuat dari batu Giok. 

Para tetua kita dulu mengharapkan suatu ketika dua cincin itu akan 

saling kita jadikan kalung di leher masing-masing sebagai pertanda 

ikatan perjodohan. Namun setelah setengah abad berlalu apa yang 

pernah diharapkan tidak pernah terjadi. Aku di timur kau di barat. Aku 

di selatan kau di utara. Aku membawanya kali ini dengan penuh 

perasaan sedih. Karena aku akan menyerahkan kotak berisi dua cincin 

Batu Giok ini padamu. Lebih baik kau yang menyimpannya. Aku harap 

kau menjadi maklum, penyerahan dua cincin ini sebagai pertanda 

bahwa kita memang tidak saling berjodoh.”

Datuk Rao Basaluang Ameh seperti dihenyakkan ke bumi. Langit 

seolah runtuh menimpa kepalanya.

“Laras, tunggu dulu. Jangan kau berkata begitu. Malam ini 

adalah malam berkat Tuhan Yang Maha Besar. Kau datang membawa 

sepasang cincin. Bukankah ini berarti bahwa kita memang saling 

berjodoh walau harus menunggu sampai setengah abad?”

Datuk Rao tidak berani menerima kotak beludru merah.

“Datuk, aku senang mendengar kata-katamu. Kalau saja kata-

kata itu kau ucapkan lima puluh tahun yang lalu. Sebaiknya kau buka 

dulu kotak itu. Lihat dan periksa, apakah benar dua cincin Giok kuning 

masih ada di dalamnya dan apakah dalam keadaan baik, tidak retak 

tidak gumpil?”

“Aku yakin kau telah menjaga kotak ini baik-baik. Aku percaya 

dua buah cincin Giok kuning tidak kurang suatu apa.”

Datuk Rao lalu mengambil kotak beludru merah dari tangan 

Laras Palantili dan membuka penutupnya. Begitu tutup kotak dibuka 

menyemburlah asap kuning pekat berbau busuk. Asap langsung 

memasuki jalan pernafasan sang Datuk. Orang sakti ini cepat totok 

dua urat besar dipangkal lehernya namun terlambat. Asap beracun 

telah melewati tenggorokan dan mengancing dua paru-parunya. 

Sebelum jatuh pingsan Datuk Rao Basaluang Ameh keluarkan suara 

menggembor lalu roboh ke tepi Danau Maninjau. Mulut lelehkan cairan kuning!



ENAM


TERANG dan hangatnya cahaya mentari pagi menyadarkan Datuk rao 

Basaluang Ameh dari pingsannya. Telinganya menangkap suara kicau 

burung. Orang tua ini batuk-batuk beberapa kali, muntah-kan cairan 

kuning. Terhuyung-huyung dia mencoba bangun. Dua kaki sulit 

digerakkan. Akhirnya dia mampu duduk bersila. Pejamkan mata, tarik 

dan hembuskan nafas panjang berulang kali. Hawa sakti dialirkan, 

tenaga dalam dikerahkan. Ada denyutan rasa sakit di dada. Agaknya 

masih ada racun asap kuning yang mengendap dalam tubuhnya. 

Orang tua itu duduk bersila luruskan dada. Dua telapak tangan 

ditekankan ke tanah. Sesaat kemudian perlahan-lahan tubuhnya 

melayang naik ke udara. Pada ketinggian lima belas jengkal dari tanah 

tubuh ini berbalik lalu menukik turun, kaki ke atas kepala ke bawah.

Begitu kepala menyentuh tanah Datuk Rao Basaluang menotok 

urat besar di dada kiri kanan, pangkal leher serta kedua pelipisnya. 

Saat itu juga ada hawa aneh menyedot dari dalam tanah. Inilah cara 

orang sakti ini menguras racun yang mendekam dalam tubuhnya. 

Selain mengandalkan kemampuan sendiri juga meminjam kekuatan 

bumi. Cairan kuning meleleh keluar dari mata, hidung, telinga dan 

mulut. Setelah itu tubuhnya melayang naik kembali, membalik di 

udara turun dengan kaki lebih dulu.

Orang tua sakti ini telah terlepas dari bahaya besar yakni 

lumpuh seumur hidup akibat racun jahat kuning!

“Laras Parantili. Tidak kusangka setega ini hati dan perbuatanmu 

terhadapku...” ucap sang Datuk dalam hati. Dia berdiri dengan lutut 

masih terasa goyah, memandang berkeliling. Perempuan itu tak ada 

lagi. Lalu dia melihat kotak beludru merah tergeletak di tanah. Cepat 

dihampiri dan diperiksa. Kotak ternyata dalam keadaan kosong. Tak

ada dua cincin Giok kuning.

“Laras, kau memang tidak membunuhku.Tapi apa yang kau 

telah lakukan sama saja membuat aku mati dalam hidupku. Ini lebih

menyakitkan dari kematian sesungguhnya.”

Tiba-tiba orang tua itu ingat.

“Ken Permata. Anak itu...!”

Secepat kilat Datuk Rao menghambur ke arah rumah gadang. Di 

langkan depan rumah dia menemukan harimau sakti putih besar 

Datuk Rao Bamato Hijau terbaring mendengkur di lantai.

“Tidak biasanya Datuk tidur di tempat ini. Sesuatu telah terjadi 

dengan dirinya...” Datuk Rao cepat memegang kepala binatang itu, 

mengusap beberapa kali lalu meniup keningnya. Tiba-tiba harimau 

putih menggoreng keras dan melompat bangun. Sepasang matanya yang hijau menatap ke arah Datuk Rao. Sesaat kemudian harimau 

putih ini rundukkan kepala sambil menggoreng halus, mencium kaki 

Datuk Rao.

“Datuk, aku tahu, aku tahu sesuatu telah terjadi. Ada seseorang 

menyirapmu, membuat dirimu tertidur tak berdaya. Dan kau mengaku 

salah...”

Datuk Rao kembali mengusap kepala harimau putih lalu dia 

melangkah ke arah sebuah kamar di tengah rumah gadang. Di dalam 

kamar dia menemukan Mande Saleha, perempuan yang merawat dan 

menjaga Ken Permata terbaring tertelungkup di lantai papan dekat 

pintu. Tangan kanannya terjulur seperti hendak menggapai sesuatu. 

Ken Permata sendiri, anak perempuan yang biasa tidur dalam 

pelukannya tidak ada di dalam kamar itu.Tempat tidur beralas kasur 

tinggi dua jengkal kosong.

Datuk Rao tepuk punggung Mande Saleha sampai perempuan 

berusia hampir setengah abad ini terbangun. Begitu matanya nyalang, 

mulutnya langsung berteriak.

“Datuk! Saya mohon ampunmu...”

“Tenang Saleha. Katakan apa yang terjadi.” Kata Datuk Rao 

Basaluang Ameh pula. “Dimana Ken Permata?”

“Malam tadi Datuk...” jawab Mande Saleha setengah menahan 

tangis. Lalu perempuan ini menerangkan. “Malam tadi Ken Permata 

sudah tidur. Saya masih mengawang-awang, belum bisa memicingkan 

mata. Tiba-tiba entah mengapa bulu kuduk saya terasa meremang. 

Saya merasakan ada seorang lain dalam kamar. Saya bangun. 

Memandang berkeliling. Pandangan saya bertumbuk dengan sosok 

seorang perempuan berambut putih. Dia tegak tak bergerak di sudut 

sana. Tubuhnya tinggi. Mengenakan baju panjang kuning berbunga 

perak. Dia memakai sunting pendek. Ada selendang biru menggelung 

di lehernya. Meski takut saya masih mampu bertanya menanyakan 

siapa dirinya. Dia tidak menjawab. Tangan kanannya diangkat, dua 

jari dituding lurus. Lalu saya melihat ada larikan sinar kuning keluar 

dari sela jarinya. Saat itu juga saya menggelinding jatuh dari kasur. 

Meski saya masih sadar namun saya tidak bisa bersuara. Sebagian 

dari tubuh saya, yang sebelah kiri terasa berat. Lalu perempuan tua 

membuka jendela lebar-lebar. Saat itu saya melihat satu cahaya putih 

menyilaukan datang dari luar, masuk ke dalam kamar melalui jendela. 

Cahaya ini menyelubungi tubuh Ken Permata. Beberapa kali saya lihat 

tubuh anak Itu terangkat ke atas. Lalu cahaya putih lenyap seolah 

habis diserap masuk oleh Ken Permata. Sebelum jatuh pingsan saya 

berusaha mencegah tapi tak berhasil.” Selesai memberikan penjelasan 

Mande Saleha menangis sejadi-jadinya. “Ini kali yang kedua kejadian 

seperti ini...” katanya di antara tangisnya. (Baca “Bayi Satu Suro” 

dimana Ken Permata diculik oleh Wira Bumi dan Nyai Tumbal Jiwo).“Saleha, hentikan tangismu. Kalau musibah sudah ditakdirkan 

datang, tidak ada yang bisa mencegah. Aku akan mencari anak itu...”

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara anak menangis.

“Datuk...Itu suara Ken Permata...”Ucap Mande Saleha.

Tidak ditunggu lebih lama Datuk Rao Basaluang Ameh melompat 

keluar rumah lewat jendela yang terbuka. Berkelebat ke arah 

terdengar suara tangisan anak kecil. Harimau putih besar 

mengikuti.Tangisan itu ternyata hanya datang dari dalam goa batu 

pualam yang menjadi tempat kediaman sekaligus pertapaan Datuk 

Rao. Ken Permata ditemukan duduk tersandar di dinding goa, 

menangis menjerit-jerit. Ketika melihat Datuk Rao Basaluang Ameh, 

anak ini hentikan tangis. Dua matanya yang bening menatap 

memperhatikan si orang tua.

Datuk Rao melihat pancaran aneh keluar dari mata anak 

perempuan itu. Juga caranya memandang terasa tidak seperti 

biasanya.

“Cucuku, kau bermain jauh sekali. Mande Saleha sampar 

menangis mencarimu. Mari kita pulang ke rumah gadang.” Datuk Rao 

dukung Ken Permata, melangkah cepat kembali ke rumah bergonjong 

sambil membelai punggung si anak.

“Tubuh anak ini ringan sekali. Tidak seperti biasanya...” kata 

Datuk Rao dalam hati ketika melangkah sambil menggendong Ken 

Permata.

Sampai di dalam rumah Ken Permata diberikan pada Mande 

Saleha yang menyambut si anakdengan menangis keras tapi kali ini 

merupakan tangis bahagia. Sementara Mande Saleha mendukungnya 

Datuk Rao Basaluang Ameh memeriksa keadaan Ken Permata. Mula-

mula diperiksa bagian punggung dan kepala sebelah belakang. Lalu 

diteliti wajahnya serta tangan dan kaki. Tidak ditemui kelainan. Datuk 

Rao menyuruh Mande Saleha membaringkan Ken Permata di atas 

kasur. Dada diperiksa. Tetap tidak ada hal yang mencurigakan.Tapi 

ketika sang datuk menyingkapkan pakaian di bagian perut Ken 

Permata disitulah dia melihat tanda biru pada pusar si anak.

Datuk Rao Basaluang Ameh picingkan kedua mata. Menarik 

nafas panjang berulang kali. Hatinya membatin.

“Titisan telah terjadi. Melewati pusar anak ini. Pusar adalah 

lambang pintu yang senantiasa tertutup. Kalau ada yang mampu 

membuka maka itu akan terjadi sekali seumur hidup. Berarti aku, atau 

siapapun tidak bisa mengeluarkan roh dari mahluk yang telah menitis 

masuk ke dalam tubuh anak ini. Ya Tuhan, ya Robbi. Yang buruk 

selalu datang dari kami manusia jelata. Yang baik selalu datang dari 

diriMu. Berilah semua kebaikan pada diri anak ini. Lindungilah dia 

dalam segala usia, pada segala tempat dan pada setiap kurun waktu.”



TUJUH


BEBERAPA minggu setelah peristiwa di Pulau Menjangan Kecil. Pada 

masa itu dunia perdagangan antara pulau Jawa dan Pulau Andalas 

mengalami kemajuan pesat. Tidak mengherankan kalau Selat Sunda 

setiap hari siang maupun malam dilayari oleh perahu-perahu dagang 

besar membawa berbagai macam barang dagangan dan bahan 

mentah termasuk rempah-rempah. Beberapa negeri asing ikut 

meramaikan perdagangan dengan mengirim perahu-perahu layar 

besar. Kota-kota pelabuhan di pesisir utara pulau Jawa dan pesisir 

selatan pulau Andalas berkembang menjadi pelabuhan besar dan 

penting. Kehidupan rakyat yang dulunya hanya bertani maupun jadi 

nelayan kini banyak yang membuka usaha, ikut berdagang. Tingkat 

kehidupan penduduk menjadi jauh lebih baik dari pada yang sudah-

sudah.

Namun keadaan itu berubah ketika jalur lintas pelayaran Selat 

Sunda diganggu oleh kaum perompak atau bajak laut. Dengan perahu-

perahu layar kecil berkecepatan tinggi mereka menghadang kapal-

kapal dagang, mengeroyok dan menjarahnya di tengah lautan. Konon 

para perompak memiliki senjata api berupa bedil yang mereka rampas 

dari orang-orang Portugis. Beberapa waktu sebelumnya memang 

terjadi kejahatan di tengah laut. Namun tidak sesering dan sehebat 

belakangan ini. Kabarnya para perompak yang mencari mangsa di 

kawasan Selat Sunda itu dilakukan oleh komplotan besar. Dan yang 

membuat seluruh kawasan menjadi geger konon mereka memiliki 

pimpinan baru seorang perempuan yang dikenal dengan panggilan 

Janda pulau Cingkuk. Sejak perempuan yang kabarnya memiliki ilmu 

silat serta kesaktian tinggi dan disebut Janda pulau Cingkuk itu 

menjadi pimpinan kaum perompak walau kejahatan mereka tambah 

merajalela namun jarang sekali ada korban yang terbunuh. Paling 

banyak hanya terluka, itupun tidak parah.

Akibat dari terjadinya penjarahan di tengah laut yang tidak 

berkeputusan ini arus pelayaran kapal dagang di Selat Sunda hari 

demi hari jadi jauh berkurang. Perdagangan merosot jatuh. Yang 

paling dirugikan bukan saja para pedagang dan pemilik kapal layar 

tapi juga penduduk di sepanjang pesisir utara pulau Jawa sebelah 

barat dan pesisir selatan pulau Andalas yang selama ini mencari 

tambahan mata pencaharian dari ramainya perdagangan antar pulau 

dan antar negeri itu.

Sepak terjang para perompak yang dipimpin oleh janda Pulau 

Cingkuk itu akhirnya sampai ke pusat Kesultanan Banten. Banten yang 

punya hubungan dagang berupa jual beli lada dengan para petani dan pedagang di pulau Andalas sebelah selatan menderita kerugian paling 

besar karena belasan kapal-kapal dagang Kerajaan yang membawa 

lada dirompak di tengah laut.

Sultan memanggil para pembantunya. Dicari jalan bagaimana 

cara untuk dapat menumpas para perompak. Diputuskan, sebelum 

tindakan diambil perlu dilakukan penyelidikan rahasia tentang 

kekuatan lawan. Siapa saja pimpinan mereka selain Janda Pulau 

Cingkuk serta dimana pusat persembunyian mereka. Sekitar dua belas 

orang berkepandaian tinggi disebar sebagai mata-mata, menyamar 

melakukan tugas itu.

Dari dua belas orang yang berangkat hanya delapan yang 

kembali. Yang empat orang tidak diketahui kemana raibnya atau apa 

yang terjadi dengan diri mereka;

Berdasarkan penuturan delapan orang yang kembali menghadap 

Sultan Banten didapat keterangan bahwa para perompak bermarkas di 

sebuah pulau kecil yang oleh para nelayan disebut Pulau Cingkuk. 

Jumlah mereka sekitar dua belas orang. Kecuali Janda Pulau Cingkuk 

tidak terdapat seorang perempuan pun di pulau itu. Ada dugaan 

bahwa para perompak yang tentunya mempunyai anak istri itu 

mempunyai pemukiman rahasia di pulau lain dekat Pulau Cingkuk 

dimana keluarga mereka tinggal. Sebelum para perompak bermukim 

di sana, tentunya pulau itu hanya dihuni ratusan kera berbulu coklat. 

Para nelayan yang jarang berhenti di pulau itu menyebut kera-kera itu 

dengan nama cingkuk karena sepanjang hari binatang-binatang itu 

selalu mengeluarkan suara riuh kuk...kuk...kuk. Sejak itu pulau 

tersebut dikenal dengan nama Pulau Cingkuk.

Letak Pulau Cingkuk agak tersembunyi di antara gugusan pulau-

pulau kecil di Selat Sunda, tepatnya di selatan Pulau Rakata Kecil dan 

di utara Pulau Rakata Besar. Menurut para mata-mata bilamana 

Kesultanan Banten mengirim pasukan besar untuk menumpas kaum 

perompak kemungkinan mereka akan terjebak. Karena waktu mereka 

lewat akan sangat mudah menjadi bulan-bulanan serangan. Apa lagi 

kalau para perompak memang benar memiliki senjata yang bisa 

berdentam dan mampu membunuh dari jarak jauh yaitu yang disebut 

bedil atau senapan. Korban yang jatuh diantara kedua belah pihak 

akan-berjumlah besar.

Mengenai pemimpin yang bernama Janda Pulau Cingkuk 

diketahui dia seorang perempuan bertubuh tinggi semampai, 

berpakaian serba merah. Kepala sampai ke rambut ditutup selendang 

merah, wajah dilindungi cadar merah. Sebegitu jauh tidak ada

seorangpun anak buahnya yang tahu siapa nama perempuan Ku 

sebenarnya. Juga tidak pernah ada yang melihat wajahnya. Namun 

dari gerak gerik, bentuk tubuh serta suaranya agaknya dia masih 

sangat muda dan kemungkinan sekali memiliki wajah cantik.Diberitahukan pula bahwa perempuan itu selain punya ilmu silat dan 

kesaktian serta gerakan cepat laksana kilat hingga dianggap bisa 

menghilang, dia juga memiliki sebilah pedang sakti berwarna hijau 

yang disebut Pedang Lumut Batu. Menurut cerita ketika pertama kali 

menundukkan Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda yang menjadi 

pimpinan kaum perompak, Janda Pulau Cingkuk pergunakan pedang 

sakti dan berhasil mengalahkan pimpinan bajak laut itu bersama 

hampir dua ratus anak buahnya. Dalam pertempuran hebat tidak ada 

lawan yang terbunuh sementara Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda 

hanya tergores luka lengan kirinya. Menyadari kehebatan perempuan 

itu yang kalau mau bisa membunuhnya, Hang Damar Hantu Laut Selat 

Sunda yang telah berusia enam puluh lima tahun menyatakan 

menyerah dan tunduk tanpa ada rasa dendam sama sekali. Dia 

merasa memang sudah saatnya kedudukan sebagai kepala bajak laut 

digantikan oleh orang lain yang lebih muda dan berkepandaian tinggi. 

Hanya saja Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda tidak pernah 

menyangka kalau penggantinya adalah seorang perempuan penuh 

misteri.

Sejak Janda Pulau Cingkuk memegang tampuk pimpinan 

gerombolan bajak laut terjadi banyak perubahan pada diri para 

perompak. Mereka yang tadinya bertampang sangar memelihara 

kumis lebat dan cambang bawuk lebat serta berambut gondrong, kini 

rata-rata berwajah klimis. Cara bicara dan sikap mereka yang selama 

ini kasar kini tampak sopan dan lembut. Selain itu mereka sekarang 

lebih suka mengenakan pakaian putih-putih dari pada pakaian serba 

hitam. Ikat kepala kain merah diganti dengan daster atau belangkon 

bahkan banyak yang memakai peci hitam.

Terbetik pula berita bahwa sebagian besar hasil rampokan di 

tengah laut ternyata disumbangkan kepada ratusan penduduk miskin 

di berbagai tempat dalam bentuk uang serta makanan. Yang paling 

banyak menerima sumbangan tersebut adalah penduduk di bagian 

selatan Pulau Andalas dan bagian Pulau Jawa terutama rakyat Banten.

“Janda Pulau Cingkuk,” kata Sultan pula menyebut nama 

pimpinan bajak laut yang malang melintang di Selat Sunda itu. 

“Perempuan yang penuh rahasia. Dia menjadi kepala gerombolan 

bajak laut. Namun dibaiik kejahatannya dia berbuat kebaikan. Ini 

seperti cerita seribu satu malam. Dia banyak membantu rakyat miskin 

termasuk rakyat Banten. Kita tidak bisa mengambil tindakan 

sembarangan atas dirinya. Tapi bagaimanapun kejahatan harus 

dihentikan...”

Sultan mengusap dagu, merenung sejenak lalu bertanya pada 

delapan orang yang duduk di hadapannya. “Ada diantara kalian yang 

mengetahui siapa dan berasal dari mana perempuan bernama Janda Tidak ada yang menjawab karena memang tidak ada yang tahu.

“Ada yang pernah melihat wajahnya?” tanya Sultan lagi.

Delapan orang yang ditanya gelengkan kepala.

Sultan Banten tersenyum seolah saat itu yang dibicarakan 

bukanlah satu masalah besar, satu komplotan rampok beranggota 

ratusan orang, yang telah menjarah puluhan kapal pedagang milik 

Kesultanan Banten dan membuat Kerajaan kehilangan hasil 

perdagangan lada dengan daerah di kawasan selatan Pulau Andalas.

“Baiklah, pertemuan aku nyatakan selesai.” Kata Sultan Banten 

pula. “Kalian semua boleh pergi dan beristirahat disertai ucapan terima 

kasihku. Ramanda Maulana Yusuf, harap Ramanda tetap di sini dulu. 

Ada yang akan saya bicarakan.”

Setelah delapan orang itu pergi, sultan Banten berpaling pada 

Maulana Yusuf, seorang tua arif bijaksana berusia tujuh puluh tahun 

yang selama ini menjadi penasehat Sultan. Dalam banyak hal Suitan 

memperlakukan orang tua ini sebagai ayahnya sendiri.

“Ramanda, mendengar semua keterangan orang kita tadi, saya 

tidak akan menempuh jalan kekerasan. Saya merasa ada sesuatu 

dibalik semua kejahatan yang terjadi. Terutama sejak perempuan 

bernama Janda Pulau Cingkuk itu menjadi pimpinan kaum perompak.”

“Sri Paduka Sultan telah mengambil sikap sangat bijaksana. 

Saya sangat mengharap agar jangan sampai terjadi pertumpahan 

darah atau jatuh korban,” ucap Maulana Yusuf. “Mungkin kita bisa 

mengundang Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda untuk datang kesini 

dan bicara mewakili pimpinannya. Saya cukup kenal dirinya sebelum 

dia jadi kepala perompak.”

“Itu rencana bagus. Tapi kalau Ramanda setuju saya ada 

rencana lain,” kata sultan Banten pula.

“Kalau saya diberi tahu dan jika saya diberi kepercayaan saya 

bersedia menjalankan rencana itu.”

“Saya belum akan memberi tahu sebelum menerima petunjuk 

serta keredohan Allah Yang Maha Kuasa. Malam ini saya akan 

melakukan tirakat. Sholat tahajud, berzikir dan berdoa. Mudah-

mudahan Tuhan memberi petunjuk. Menjelang pagi tunggu saya di 

halaman mesjid kecil.”

MALAM itu kawasan Istana Kesultanan Banten diselimuti 

kesunyian. Di luar tembok Istana hanya ada beberapa perajurit yang 

meronda sementara di dalam istana tidak ada satu orang pengawalpun 

kelihatan bertugas. Ini satu pertanda betapa tingginya tingkat 

keamanan di Kotaraja dan sekitarnya, sekaligus merupakan petunjuk 

bahwa Kesultanan Banten berada dalam keadaan damai tenteram dan 

Sang Raja yang tahu bagaimana rakyat mencintai dirinya tidak merasa 

kawatirakan keselamatannya.

Di dalam kawasan tembok Istana terdapat sebuah mesjid kecil.Disitulah setiap saat Sultan Banten melakukan sholat lima waktu, 

berdoa dan berzikir serta melaksanakan sembahyang sunat lainnya. 

Acap kali pula Sultan mengajak permaisuri dan putera puterinya 

sembahyang bersama berjamaah. Di mesjid itu pula Sultan Banten 

sering mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa, terutama pada 

saat-saat Sultan membutuhkan petunjuk atas setiap rencana yang 

akan dilakukannya.

Sementara Sultan Banten masih berada dalam mesjid, di 

halaman dibawah kerindangan satu pohon besar, di atas sehelai tikar 

putih, Maulana Yusuf dengan sabar menunggu Sultan menyelesaikan 

permohonannya pada Yang Maha Kuasa untuk dberikan petunjuk 

dalam menghadapi komplotan perampok pimpinan Janda Pulau 

Cingkuk.

Bertepatan dengan kokok ayam jantan pertama pertanda hari 

telah pagi dan fajar tak lama lagi segera akan menyingsing, Maulana 

Yusuf melihat Sultan keluar dari mesjid kecil. Orang tua ini segera 

berdiri, menggulung tikar lalu melangkah menemui Sultan.

“Ah, Ramanda tentu sudah sangat lama menunggu saya,” Sultan 

Banten menyapa lebih dulu.

“Apakah Sri Paduka Sultan sudah mendapatkan petunjuk dari 

Allah Yang Maha Pengasih?” Maulana Yusuf langsung ajukan 

pertanyaan.

Sultan pegang bahu orang tua itu lalu berkata.

“Tolong Ramanda panggilkan pangeran Aji Triyasa.”

“Pangeran Aji Triyasa?” Maulana Yusuf mengulang nama itu.

Sultan mengangguk.

“Pergilah, saya menunggu di sini. Kalau dia datang kita bicara di 

dalam mesjid.”

Walau merasa heran karena tidak bisa menduga apa hubungan 

sang pangeran Aji Triyasa dengan persoalan yang tengah dihadapi 

namun si orang tua melakukan apa yang dikatakan Sultan.

Aji Triyasa adalah putera adik lelaki Sultan, berarti dia adalah 

keponakan Sultan. Usianya baru dua puluh dua tahun. Selain bertubuh 

tegap perkasa dan berwajah tampan dia memiliki ilmu silat dan 

kesaktian tinggi karena konon selama dua belas tahun digembleng 

oleh seorang kiai sakti di puncak Gunung Karang dalam berbagai ilmu 

termasuk ilmu keagamaan. Sejak kecil Aji Triyasa lebih dekat dengan 

Suitan dari pada ayah kandungnya. Kepada Sultan pemuda itu sangat 

hormat dan patuh. Gagah tampan, memiliki ilmu silat dan kesaktian 

tinggi, mendalami ilmu agama serta budi pekerti baik membuat Sultan 

memiliki rasa sayang yang berlebihan atas diri keponakannya itu.

Kegagahan Pangeran yang dekat dengan rakyat ini konon telah 

tersiar ke berbagai penjuru hingga menjadi kerinduan banyak gadis 

yang ingin melihat diri dan menatap langsung wajahnya. Yang merasa

cantik apa lagi puteri bangsawan atau pejabat Kesultanan tentu saja 

berharap bisa menambat hati sang pangeran dan membawanya ke 

pelaminan. Sebegitu jauh Pangeran AjiTriyasa belum diketahui telah 

memiliki seorang gadis yang menjadi pilihan buah hatinya.



DELAPAN


ENAM orang perompak yang masing-masing berlindung di balik 

kelebatan pohon bakau di dua pulau kecil mengapit arus laut jalan 

masuk menuju Pulau Cingkuk menatap dengan mata besar tak 

berkesip ke arah sebuah perahu yang tengah meluncur perlahan di 

atas permukaan air laut.

Sang penumpang duduk di sebelah belakang perahu, di atas 

bangku yang menyatu dengan badan perahu. Orang itu ternyata 

adalah pemuda berambut panjang sekuping, mengenakan blangkon 

biru. Kepala merunduk, dada serta bahu terlihat bidang dan kokoh. 

Saat itu pemuda yang mengenakan baju lengan panjang dan celana 

putih-putih sederhana itu tengah asyik membaca kitab keagamaan 

bertuliskan huruf Arab gundul berjudul “Kasih Allah Sepanjang Zaman, 

Kasih Ibu Sepanjang Jalan, Kasih Anak Sepanjang Penggalan.” Gaya 

sikap pemuda itu seperti seseorang yang tengah pesiar berjalan-jalan. 

Pemandangan laut di kawasan itu memang indah dengan beberapa 

pulau kedi bertebaran dimana-mana. Sesekali sekawanan burung 

terbang melayang rendah di atas permukaan air laut lalu naik 

membumbung ke udara.

Apakah si pemuda tidak menyadari kalau saat itu dia berada di 

kawasan sarang kediaman Janda Pulau Cingkuk, pimpinan bajak laut 

Selat Sunda yang ditakuti?

Demikian asyiknya pemuda ini membaca kitab hingga dia tidak 

sadar kalau perahu akan melewati dua pulau kecil apitan menuju 

Pulau Cingkuk. Dia juga unjukkan sikap tenang ketika ada suara suitan 

bersahutan lalu menyusul suara bentakan menggeledek.

“Orang di atas perahu! Hentikan perahu! Berputar balik!

Tinggalkan kawasan ini!”

Si pemuda angkat kepala, menatap ke pulau sebelah kanan dari 

mana tadi datangnya suara membentak. Dia mendengar bentakan 

namun tidak melihat siapa-siapa. Maka enak saja dia meneruskan 

menikmati bacaannya.

“Kami sudah memperingatkan! Kau berpura tuli! Terima 

nasibmu!” Kembali terdengar orang membentak. Kali ini diikuti gelegar 

suara letusan!

Perahu kecil yang ditumpangi pemuda berblangkon biru 

bergoncang. Namun dengan sentuhan ringan tangan kiri si pemuda 

pada pinggiran kiri, perahu itu kembali mengapung tenang.

“Suara apa itu? Baru sekali ini aku mendengar.”

Ucap si pemuda dalam hati. Dia memandang ke pulau kecil dikiri kanan. Kali ini matanya segera melihat orang-orang yang 

berlindung di balik semak belukar dan pohon bakau. Pemuda itu 

memandang ke lantai perahu ketika merasa dua kakinya yang 

mengenakan kasut kulit sapi basah dan dingin. Ternyata air laut sudah 

memenuhi lantai perahu, menggenang sampai ke mata kaki. Pemuda 

itu membungkuk memperhatikan. Dia melihat ada sebuah lobang 

sebesar lingkaran jari telunjuk dan ibu jari tangan pada dinding perahu 

sebelah depan sekitar setengah jengkal di atas lantai perahu. Dari 

lobang itulah air laut mengucur masuk.

“Bunyi letusan dan lobang di perahu. Apakah ada 

hubungannya?” Pemuda itu berpikir. Lalu dengan tangan kiri dia 

mematahkan ujung kayu yang ada di bagian depan atas perahu yang 

di pahat begitu rupa seperti kepala kerbau. Sekali tangan kirinya 

meremas maka kayu yang keras itu menjadi bongkahan lunak, mudah 

dibentuk seolah berubah menjadi lilin. Oleh si pemuda bongkahan 

kayu disumbatkan ke dalam lobang hingga air laut berhenti mengucur 

masuk.

“Aman sekarang,” kata si pemuda. Dia kembali duduk di bagian 

belakang perahu. Kitab dibuka lalu kembali membaca. Belum lama 

membaca mendadak empat buah perahu masing-masing ditumpangi 

tiga orang lelaki berpakaian serba putih telah menghadang.

Salah satu dari dua belas orang itu menahan bagian depan 

perahu si pemuda dengan kaki kiri sementara yang lain-lain tegak 

menghunus golok, enam orang menarik gendewa siap 

menghamburkan panah dan seorang lagi tegak sambil mengarahkan 

moncong sebuah besi panjang bergagang kayu yang bukan lain adalah 

sepucuk bedil.

Pemuda di atas perahu perhatikan kedua belas orang itu. Tidak

seorangpun diantara mereka memiliki wajah angker. Juga tidak ada 

yang memelihara cambang bawuk dan rambut panjang. Kebanyakan 

dari mereka mengenakan pakaian putih gunting Cina serta kopiah 

hitam.

“Eh, apakah mereka ini bajak laut perompak anak buah Janda 

Pulau Cingkuk? Aneh! Tidak satupun dari mereka berwajah seram.” Si 

pemuda berkata dalam hati. Saat itu kitab yang tadi dibaca sudah 

dilipat dan dikempit di ketiak kanan.

Lelaki yang memegang bedil di atas perahu terdepan arahkan 

mulut senjatanya ke dada si pemuda.

“Kami sudah memerintahkan agar kau meninggalkan kawasan 

ini! Mengapa berpura tuli!”

“Ki sanak, mohon dimaafkan. Saya datang ke sini tidak 

membawa maksud buruk. Tadi mungkin saya terlalu asyik membaca.”

Beberapa orang memperhatikan bagian bawah perahu yang 

telah disumbat sambil berpikir-pikir dengan apa dan bagaimana pemuda itu mampu menyumbat perahu yang bolong.

Lelaki memegang bedil memberi tanda pada kawan-kawannya. 

Perahu bergerak lebih mendekati perahu si pemuda hingga kini ujung 

bedil bisa ditempelkan ke dada kiri si pemuda, tepat di arah jantung.

“Anak muda, aku dan kawan-kawan tidak perduli apa maksud 

kedatanganmu ke sini. Kau sudah mendengar apa perintah kami. Ini 

kawasan terlarang bagi siapa saja. Putar perahumu, tinggalkan tempat 

ini. Atau aku akan membuat satu lobang besar di dadamu!” jari 

telunjuk orang yang memegang pemicu bedil bergerak-gerak turun 

naik, siap melepaskan tembakan.

“Ki sanak harap mau bersabar dulu. Saya akan terangkan 

maksud kedatanganku ke sini!” Kata si pemuda dengan suara perlahan 

dan sikap tenang.

“Kami tidak perlu keteranganmu!” Lelaki di perahu sebelah 

kanan membentak. “Jagran! Lekas kau tembak saja! Tunggu apa lagi?! 

Atau aku akan suruh teman-teman menembus tubuhnya dengan enam 

anak panah sekaligus. Pemuda ini bicara manis tapi aku tahu dia 

sangat berbahaya!” Jagran adalah orang yang memegang bedil. 

Agaknya dia yang jadi pimpinan diantara rombongan orang-orang itu.

Tidak peduli apa yang diucapkan orang si pemuda mengambil 

kitab yang ada dikempitan tangan kanan, membuka lalu mengambil 

secarik lipatan kertas yang ada di salah satu bagian kitab.

“Saya datang membawa surat untuk disampaikan pada seorang 

paman bernama Barat Sanjaya. Beliau tinggal di Pulau Cingkuk. Paling 

tidak beliau ada di kawasan ini.”

Jagran berpaling ke arah kawan-kawannya yang sebelas orang. 

Semua menggelengkan kepala.

Tidak ada yang bernama Barat Sanjaya di Pulau Cingkuk! Jangan 

mengarang cerita! Lekas putar perahumu atau kutembak sekarang 

juga.”

“Ki sanak, saya yakin kau pasti mampu membunuh saya. Apa 

lagi dengan senjata berbentuk aneh yang mampu mengeluarkan suara 

keras berdentam itu.” Sambil berkata si pemuda usap-usap besi bedil 

dengan tangan kiri. “Saya tidak percaya tidak ada yang bernama Barat 

Sanjaya di Pulau Cingkuk. Kata mereka yang pernah melihat, 

orangnya tinggi besar, dulu memelihara rambut sepinggang, dijalin 

dan digulung di atas kepala. Memelihara cambang bawuk meranggas 

serta berkumis lebat melintang. Memiliki sepasang mata besar dan 

merah. Kesukaannya selalu bertelanjang dada. Dada penuh otot dan 

berbulu. Di bagian kiri dada ada jarahan gambar tengkorak dengan 

tulang bersilang.” Si pemuda diam sebentar, memperhatikan wajah 

dua belas orang disekitamya. Dia dapat melihat perubahan pada wajah 

orang-orang itu. Malah secara sembunyi-sembunyi ada yang saling 

berbisik. “Nah, apakah orang dengan ciri-ciri seperti yang saya katakan itu benar-benar tidak ada di Pulau Cingkuk?”

Dua belas orang termasuk Jagran tidak menjawab, tidak 

bersuara.

“Jika semua ki sanak di sini tidak ada yang kenal dengan Barat 

Sanjaya baiklah, saya akan memberi tahu. Orang itu juga dikenal 

dengan nama Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda.”

Semua kepala tertegak. Semua mata membesar.

“Anak muda, kau ini siapa sebenarnya?!” tanya Jagran masih 

dengan suara keras membentak.

“Saya hanya seorang santri yang bodoh dari kesultanan Banten. 

Jika kalian tidak mengizinkan saya menemui paman Barat Sanjaya 

atau Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda tidak jadi apa. Tapi tolong 

sampaikan surat ini pada beliau. Jika beliau nanti mencari saya,

katakan bahwa saya sudah pergi sesuai dengan perintah ki sanak di 

sini.”

Sehabis berkata begitu pemuda berpakaian putih berblangkon 

biru ulurkan lipatan kertas pada Jagran seraya berkata “Jangan lupa 

mengatakan pada paman Barat Sanjaya atau Hang Damar Hantu Laut 

Selat Sunda. Surat ini datang dari Panembahan Maulana Yusuf, orang 

tua di Kesultanan Banten yang sudah dianggap sebagai kakak sendiri 

oleh paman Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda.”

Mendengar ucapan si pemuda semua orang terutama Jagran 

yang memegang bedil jadi terkejut dan berubah wajahnya. Ada 

bayangan rasa takut.

“Anak muda, aku akan ambil surat ini dan serahkan pada 

pimpinan kami. Tapi kau jangan kemana-mana. Tunggu di sini. Aku 

akan memberi tahu kedatanganmu pada Hang Damar Hantu Laut Selat 

Sunda. Kami tidak tahu kalau nama sebenarnya Hang Damar adalah 

Barat Sanjaya.

Jagran dan dua temannya satu perahu segera tinggalkan tempat 

sementara sembilan orang di atas tiga perahu tetap berada di tempat 

itu, di atas perahu masing-masing. Sikap mereka tidak lagi garang dan 

penuh curiga. Golok sudah diselipkan di pinggang. Busur digantung di 

bahu dan anak panah dimasukkan ke dalam sarangnya.

Tak selang berapa lama Jagran dan tiga kawannya muncul. Dia 

atas perahu kini, disebelah depan berdiri seorang lelaki tinggi besar 

bertelanjang dada penuh bulu, hanya mengenakan celana putih dan 

sabuk kulit hitam besar. Dua tangan dirangkap di depan dada. 

Sepuluh jari tangan berwarna hitam sampai ke ujung kuku. Pada dada 

kiri ada jarahan berupa tengkorak bersilang dua tulang. Sepasang 

mata menatap lurus ke depan. Rambut panjang dijalin dan disusun di 

atas kepala. Kumis tebal melintang, dagu tertutup janggut tipis rapi, 

tidak memelihara berewok atau cambang bawuk. Melihat raut wajah 

usianya sudah cukup lanjut, sekitar enam puluh lima tahun.Kurang satu tombak dari perahu orang ini tiba-tiba melesat. Di 

lain saat dia telah berdiri di bagian depan perahu yang ditumpangi 

pemuda berblangkon biru. Walau tubuhnya besar namun ketika 

kakinya menginjak lantai perahu, perahu kayu kecil itu sama sekali 

tidak bergoyang, air laut tidak bergelombang!

Sungguh dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat!

Begitu berhadapan dengan orang tinggi besar ini pemuda 

berblangkon biru segera menunduk dan memberi salam.

“Paman Hang Damar yang juga saya kenal dengan nama Barat 

Sanjaya, salam sejahtera untukmu. Assalam'mualaikum...”

Si tinggi besar bertelanjang dada penuh bulu sesaat terdiam. 

Sudah lama sekali dia tidakdisalaml orang seperti itu. Kalau 

sebelumnya ada rasa tidak senang pada pemuda itu kini perasaan itu 

jadi mengendur. Setelah menyahuti salam Aji Triyasa, Hang Damar 

Hantu Laut Selat Sunda bertanya.

“Anak muda, apakah kau yang membawa surat ini?” Suara si 

tinggi besar ini keras dan serak tapi tidak menunjukkan keberangasan.

“Benar sekali Paman,” jawab si pemuda.

Dipanggil paman untuk kedua kalinya Hang Damar Hantu Laut 

Selat Sunda tersenyum

“Saya mohon maaf kalau kedatangan saya telah mengganggu 

ketenangan dan ketentraman paman.”

“Kau sendiri apa hubunganmu dengan Panembahan Maulana 

Yusuf?”

“Saya hanya seorang santri.” Jawab si pemuda pula.

“Santri?” Dua alis Hang Damar naik ke atas.”Anak buahku 

memberi tahu kau mampu menambal lobang besar di dinding perahu 

dengan menghancurkan kayu perahu, apakah ilmu kepandaian seperti 

itu diajarkan pada para santri di Banten?”

“Mohon maaf paman. Saat itu memang saya takut sekali. Tetapi 

Allah menolong saya. Saya tidak sadar telah melakukan apa karena 

setengah mati takut tenggelam.”

Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda tatap sepasang mata si 

anak muda, tersenyum lalu membuka lipatan surat yang dibawanya, 

membacanya sekali lagi dan berkata.

“Dalam surat ini, kakakku Panembahan Maulana Yusuf memang 

tidak mengatakan siapa dirimu. Dia hanya bilang agar aku bisa 

mempertemukanmu dengan pimpinan kami. Janda Pulau Cingkuk. 

Sekarang katakan siapa kau sebenarnya?”

“Paman, maaf kalau saya menolak menjawab. Tapi saya akan 

mengatakan siapa saya hanya kepada pimpinan paman.”

Hang Damar perhatikan si pemuda mulai dari blangkon sampai 

ke ujung kaki yang tersembunyi di balik genangan air laut di lantai 

perahu. Dalam hati bekas pimpinan perompak ini membatin.“Sikapnya memang sikap seorang santri. Sopan bersahaja. 

Sepasang tangannya halus seperti tangan perempuan. Wajah bersih 

seperti paras seorang gadis. Namun dibalik semua ini aku merasa ada 

satu kekuatan dahsyat dalam tubuhnya. Aku pernah satu kali melihat 

wajah Sultan Banten yang gagah dan cakap. Jangan-jangan...”

“Paman, apakah saya diperkenankan menemui pimpinan?” 

Bertanya si pemuda.

Hang Damar menyeringai, lalu tertawa. Makin lama tawanya 

makin keras hingga perahu bergoncang keras, air laut mendadak 

membuntal. Hampir tidak kelihatan telapak tangan kirinya menekan ke 

bawah ke arah air laut. Tiba-tiba dari bawah air laut bergulung 

gelombang besar. Saat itu juga perahu dimana kedua orang itu berada 

melesat terpental ke udara!

Jagran dan anak buahnya berseru kaget menyaksikan apa yang 

terjadi kemudian. Perahu yang mental ke udara terbelah dua lalu jatuh 

kembali ke dalam laut. Pada salah satu belahan perahu tegak berdiri 

Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda. Sementara pemuda berblangkon 

biru tidak kelihatan, tapi tampak ada tangan kiri yang mencuat ke atas 

permukaan laut memegang kitab.Tak lama kemudian muncul kepala si 

pemuda, megap-megap berusaha berenang mencapai belahan perahu 

kedua.

“Tolong! Tolong! Saya tidak dapat berenang...”

Hang Damar berteriak memberi perintah pada anak buahnya 

agar segera menolong si pemuda. Maka empat orang terjun ke laut 

dan menaikkan pemuda yang telah kehilangan blangkonnya itu ke atas 

perahu. Sekujur tubuh dan pakaian basah kuyup. Hanya kitab 

bertuliskan huruf Arab gundul “Kasih Allah Sepanjang Zaman, Kasih 

Ibu Sepanjang Jalan, Kasih Anak Sepanjang Penggalan.” Yang masih 

berada dalam keadaan kering.

Hang Damar tersenyum. Dalam hati dia membatin. “Aku tadi 

menjajalnya. Dia memperlihatkan diri seperti tidak punya ilmu 

kepandaian. Atau mungkin dia cerdik bersandiwara. Aku menaruh 

curiga anak muda itu memiliki ilmu lebih tinggi dari yang aku punya. 

Mungkin dia berbahaya, mungkin juga tidak. Kalau bukan Panembahan 

Maulana Yusuf yang mengirim sudah kuremukkan tubuhnya. Sebelum 

dia menghadap pimpinan, aku harus memberi salinan pakaian 

padanya. Lalu sewaktu dia menghadap pimpinan aku harus 

mengawasinya.”



SEMBILAN


KETIKA mendarat di Pulau Cingkuk pemuda yang mengaku santri dari 

Kesultanan Banten itu melihat hampir seluruh tepian pantai berada 

dalam keadaan terbuka dan gersang. Tak ada semak belukar tak ada 

deretan pohon kelapa. Di tempat-tempat tertentu dia melihat 

gundukan-gundukan batu dan di belakang setiap gundukan terdapat 

lobang setinggi bahu manusia. Di situ tempat terdapat satu bangunan 

tinggi terbuat dari bambu. Agaknya semua keadaan ini telah 

dipersiapkan jika sewaktu-waktu ada serangan.

Sampai saat itu dua belas orang yang tadi naik. perahu masih 

terus melakukan pengawalan atas diri si pemuda. Sang “paman” Hang 

Damar Hantu Laut Selat Sunda membawanya ke sebuah goa. Di sini 

dia diberi pakaian bersih warna biru pengganti pakaian yang basah. Di 

dalam goa ini si pemuda melihat banyak sekali senjata. Mulai dari 

pisau dan golok serta pedang, sampai pada busur panah biasa dan 

panah api. Lalu ada pula senjata yang bisa meletus yang disebut bedil 

itu. Jumlahnya sekitar dua puluh pucuk.

Setelah berganti pakaian Hang Damar minta si pemuda 

mengikuti mendaki sebuah bukit kecil. Dua belas orang anggota 

perompak tidak lagi mengawal. Mereka menyebar ke berbagai arah.

Ketika mencapai puncak bukit matahari telah menggelincir ke 

barat pertanda siang mulai memasuki petang. Memperhatikan ke 

depan si pemuda hampir tak percaya dengan penglihatannya. Bagian 

bukit yang membentang di hadapannya merupakan satu pedataran 

rumput. Sejarak tiga puluh langkah dari tempatnya berdiri 

menghampar satu kebun bunga ditumbuhi berbagai macam bunga 

yang saat itu sedang berkembang mekar. Lalu banyak pohon buah-

buahan yang tumbuh berselang seling dan ditata rapi. Dikelilingi oleh 

taman bunga itu terdapat sebuah mesjid kecil lengkap dengan menara 

perak yang diatasnya terpancang bulan sabit yang juga terbuat dari 

perak berkilat.

“Kalau ini adalah sarangnya bajak laut Pulau Cingkuk maka 

sungguh diluar dugaan. Ada taman...ada pohon bebuahan, ada 

mesjid...” Si pemuda berkata dalam hati.

Hang Damar pegang bahu anak muda yang tegak terkagum-

kagum.

“Santri muda,” katanya. Saat ini sholat zuhur sudah datang. 

Pergilah sembahyang di mesjid kecil itu. Selesai sholat pergilah ke 

pohon cemara laut yang tumbuh lima berderet di sebelah timur sana. 

Jika pimpinan bersedia menemuimu dia akan mendatangimu di tempat 

itu. Jika tidak maka kau harus segera meninggalkan pulau ini.”

“Paman, terima kasih. Sejak kedatangan saya kau telah banyak 

menolong. Juga terima kasih saya diperkenankan boleh 

bersembahyang di mesjid yang bagus itu.”

“Mesjid adalah rumah Tuhan. Siapa saja boleh melakukan ibadat 

di sana.” Habis berkata begitu Hang Damar yang bertelanjang dada 

segera memutar tubuh. Dua kali kakinya melangkah maka dia telah 

berada jauh di arah bukit sebelah selatan.

Si pemuda geleng-geleng kepala.

“Kalau semua penjahat seperti dia rasanya dunia ini akan aman-

aman saja...” Seperti yang dipesankan Hang Damar, selesai 

menunaikan sholat zuhur santri muda dari Kesultanan Banten itu 

segera menuju bukit sebelah timur dimana tumbuh berderet lima 

pohon cemara laut. Di tempat itu udara terasa sejuk karena angin 

bertiup sepoi-sepoi basah. Sementara menunggu si pemuda 

melangkah mundar mandir di samping lima pohon cemara. Setiap dia 

melangkah di samping pohon cemara sebelah tengah kakinya terasa 

menginjak tanah yang bagian bawahnya kosong.

“Ada rongga, mungkin juga lobang besar di bawah tanah ini,” 

pikir si pemuda. Dia memperhatikan berkeliling. Di samping kanan 

deretan lima pohon cemara tumbuh subur pohon kembang berbentuk 

terompet berwarna kuning. Selain bentuknya yang indah kembang itu 

menebar bau harum semerbak. Tiba-tiba pandangan matanya melihat 

ada satu batu hitam menonjol di bagian bawah pohon bunga terompet. 

“Aneh, batu itu kelihatan bersih. Sepertinya sering disentuh...”

Karena ingin tahu si pemuda melangkah mendekati. Saat itulah 

bahunya dipegang orang. Ketika dia tersentak kaget dan berbalik, 

yang memegang ternyata adalah sang paman, Hang Damar Hantu 

Laut Selat Sunda.

“Ah, paman kiranya. Apakah...”

“Kau beruntung. Pimpinan bersedia menemuimu. Sebentar lagi 

dia datang.” Kata Hang Damar.

Baru saja ucapan dikeluarkan tiba-tiba dari balik pohon cemara 

paling ujung kiri kelihatan satu bayangan seseorang berpakaian 

merah. Sesaat kemudian di hadapan si pemuda telah berdiri sosok 

elok tinggi semampai seorang perempuan yang tubuh dan pakaiannya 

menebar bau wangi. Perempuan ini mengenakan pakaian ringkas 

warna merah. Kepala dan wajah ditutup sehelai kain merah. Yang 

kelihatan hanya sepasang mata bening tajam bercahaya. Di balik 

punggung menonjol gagang sebilah pedang berbentuk kepala binatang 

yang tak jelas apa adanya karena tertutup sejenis lapisan tebal 

bergerunjul berwarna hijau pekat.

Setelah menatap beberapa ketika, si pemuda keluarkan ucapan.

“Paman, apakah saya berhadapan dengan pimpinan...?” Hang Damar mengangguk.

Si pemuda cepat-cepat memutar diri menghadap lurus-lurus, 

kitab dikempit di ketiak kanan lalu rundukkan tubuh dan rapatkan dua 

tangan di depan kepala.

“Saya sangat berterima kasih pimpinan mau menemui saya. 

Harap sudi menerima salam hormat saya.”

Sepasang mata perempuan berpakaian dan bercadar merah 

memperhatikan si pemuda tak berkesip. Untuk beberapa lama dia 

tegak diam tertegun tak bergerak. Dada berdebar. Hati terucap. 

“Kalau saja kulitnya tidak lebih putih, tubuhnya tidak lebih langsing 

dan rambutnya tidak lebih pendek... Bagaimana mungkin wajahnya 

bisa mirip dengan...Ah! Apakah pandangan mataku yang menipu? 

Pikiranku yang berkhayal atau hatiku yang mengada-ada?”

Si pemuda sadar kalau dirinya diperhatikan berusaha balas 

memandang. Namun dia hanya bisa melihat sepasang mata bagus 

yang bercahaya, tidak mampu menembus cadar merah untuk melihat 

wajah yang terlindung. Hatinya berkata. “Jadi inilah perempuannya 

yang menyebut diri Janda Pulau Cingkuk. Pimpinan bajak laut yang 

selama ini malang melintang di kawasan Salat Sunda. Sungguh sulit 

aku pencaya.

“Pimpinan, inilah pamuda yang mengaku santri dari Kesultanan 

Banten. Dia datang membawa surat dari Panembahan Maulana Yusuf. 

Minta dipertemukan oangan piiiipman.

“Jadi kau seorang santri? Betul?”

“Betul sekail, pimpinan. Saya mohon maaf kalau...”

“Apakah kau punya nama?” tanya perempuan bercadar merah.

“Nama saya Aji Triyasa.” Jawab si pemuda.

“Apa?!” Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda keluarkan ucapan 

kaget

“Ada apa ayahanda Hang Damar?” si cadar merah bertanya

Kini sang santri muda yang jadi kaget. “Dia menyebut si dada 

berbulu ayahanda Jadi Hang Damar adalah ayah Janda Pulau Cingkuk? 

Turut yang aku dengar bukan begitu ceritanya. Lantas mengapa dia 

menyebut ayahanda.”

“Aji Triyasa! Tunggu dulu!” kata Hang Damar pula. “Aji 

Triyasa...Aji Triyasa...” Lelaki bertubuh besar berusia enam puluh lima 

tahun itu mengusap wajahnya sambil menyebut nama si pemuda 

berulang kali. Otaknya berusaha mengingat-ingat. Tiba-tiba dia 

berseru.”Kau...Kau bukan seorang santri! Aku ingat sekarang! 

Wajahmu! Namamu! Kau adalah salah seorang keponakan Sultan 

Banten! Kau seorang Pangeran Kesultanan Banten!”

Mendengar ucapan Hang Damar, sang pimpinan alias Janda 

Pulau Cingkuk secepat kilat melompat. Sekali bergerak tangan kirinya 

telah menjambak rambut panjang sekuping si pemuda yang bernama ji Triyasa. Tangan kanan yang dipentang lurus pancarkan cahaya biru 

redup, siap dihantamkan ke kening si pemuda. Tangan itu bisa 

berubah jadi palu godam, juga bisa merupakan mata pedang luar 

biasa tajam. Sekali menggeprak kepala Aji Triyasa bisa remuk atau 

terbelah!

“Siapa kau adanya! Aku tidak peduli kau keponakan Sultan atau 

keponakan setan! Katakan apa maksud kedatangan menemui diriku!” 

Janda Pulau Cingkuk bicara dengan suara keras namun sepasang 

matanya tidak lepas dari menatap si pemuda bernama Aji Triyasa. Dan 

setiap dia memandang dadanya terasa berdebar.

Hang Damar tidak tinggal diam.

“Pimpinan, serahkan pemuda ini pada saya! Kemungkinan besar 

dia tengah melakukan tugas mata-mata!” Hang Damar Hantu Laut 

Selat Sunda dengan satu gerakan cepat menelikung tangan kanan Aji 

Triyasa hingga kitab yang dikempitnya terlepas jatuh ke tanah. Dalam 

keadaan tangan ditelikung ke punggung dan bisa patah malahan 

tanggal jika dia berani melawan, si pemuda hanya mampu meringis 

kesakitan.

“Kalau saya telah melakukan kesalahan, betapa pun kecilnya 

saya ikhlas menerima hukuman. Tapi saya yakin saya tidak melakukan 

apa-apa. Jangankan melakukan, berpikir jahatpun tidak ada dalam 

benak dan hati saya. Panembahan Maulana Yusuf bukankah sudah 

menerangkan dalam suratnya maksud kedatangan saya adalah untuk 

menemui pimpinan.”

“Aji Triyasa! Katakan apa maksudmu menemui pimpinan kami!” 

bentak Hang Damar.

“Saya akan mengatakan. Tapi langsung pada pimpinan. Saya 

tidak ingin ada orang lain berada di tempat ini. Saya tidak ingin ada 

orang lain ikut mendengar apa yang akan saya sampaikan.”

Mendengar ucapan si pemuda, Janda Pulau Cingkuk dengan 

cepat menggerakkan tangan. Saat itu juga sekujur tubuh, tangan 

serta kaki Aji Triyasa menjadi kaku tak bisa digerakkan. Kini dia hanya 

mampu bicara saja.

“Ayahanda, tak usah kawatir. Silahkan meninggalkan tempat ini. 

Kalau nanti dia bicara kurang ajar akan saya robek mulutnya!”

“Hati-hati pimpinan,” kata Hang Damar pula. Walau dirinya 

disebut ayahanda namun terhadap Janda Pulau Cingkuk dia tetap 

memanggil pimpinan. Dengan melangkah mundur dia menjauhi ke dua 

orang itu.

Setelah Hang Damar berada sejauh hampir dua puluh tombak 

Janda Pulau Cingkuk keluarkan ucapan.

“Sekarang hanya kita berdua di tempat ini! Katakan rahasia apa 

yang kau bawa. ke hadapanku. Awas kalau kau berani bicara kurang 

ajar!”“Maafkan saya pimpinan. Pertama saya tidak tahu harus 

memanggilmu apa...”

“Orang-orang memanggilku Janda Pulau Cingkuk. Apa sulitnya 

bagimu memanggilku dengan nama itu?”

“Terus terang rasanya saya tidak suka menyebutmu dengan 

nama itu. Tapi jika kau yang menyuruh...Ah, bagaimana ini. Biar saya 

memanggilmu sahabat saja...”

“Sudah, jangan banyak mulut! Jangan bicara bertele-tele! 

Katakan maksudmu menemui diriku.” Bentak Janda Pulau Cingkuk.

“Sahabat, sebelum mengatakan saya mohon beribu maaf. Saya 

datang menemuimu untuk meminang dirimu sebagai istri...”

“Manusia kurang ajar! Beraninya kau...!”

Janda Pulau Cingkuk angkat tangan kanannya.

“Plaakkk!”

Satu tamparan keras mendarat di muka Aji Triyasa.

Saking kerasnya tamparan tubuh Aji Triyasa yang berada dalam 

keadaan kaku akibat totokan sampai melintir. Untung tidak terbanting 

roboh. Darah meleleh dari luka di sudut kiri bibir. Melihat apa yang 

terjadi Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda segera mendatangi.

“Pimpinan, ada apa?!” Matanya membeliak merah menyorot. 

Sepuluh jari tangan yang berwarna hitam dipentang.

“Ayahanda, silahkan kembali ke tempatmu. Saya belum habis 

bicara dengan orang satu ini.”

“Kau yakin tidak akan apa-apa kutinggal sen-dirian?Mtanya 

Hang Damar.

“Dia masih dalam keadaan tertotok. Ayahanda tidak perlu 

kawatir.” Janda Pulau Cingkuk mengangguk.

Setelah Hang Damar kembali ke tempatnya semula Janda Pulau 

Cingkuk cabut pedang yang tersembul di balik punggung. Senjata ini 

bentuknya aneh. Penuh dengan gerunjulan tebal berwarna hijau mulai 

dari ujung lancip sampai ke gagang. Pedang yang memancarkan 

cahaya hijau redup ini diletakkan di atas bahu kiri Aji Triyasa. Setiap 

kejap mata pedang menempel di leher siap menggorok jebol leher 

pemuda dari Banten itu!

Si pemuda tersenyum. Membuat Janda Pulau Cingkuk jadi geram 

dan membentak.

“Manusia konyol! Mengapa kau tersenyum?!”

“Saya sudah dalam keadaan tertotok. Sahabat masih mau 

mengancam dengan golok terhunus. Apa perlunya? Apalagi saya 

datang membawa maksud baik, tidak ada kejahatan yang saya 

sembunyikan.”

Dibalik cadar merah wajah Janda Pulau Cingkuk berubah merah.

“Aji Triyasa, sekalipun kau keponakan Sultan Banten, apa kau 

kira aku tidak berani menghabisimu?!”“Sahabat, saya tahu kau seorang berhati mulia. Tidak mungkin 

akan menggorok batang leher saya.”

“Siapa bilang?” Jawab Janda Pulau Cingkuk sambil menekan 

mata pedang ke leher si pemuda.

“Saya yang bilang. Karena ada banyak hal yang sahabat ingin 

tahu dari saya!” Jawab Aji Triyasa pula.

“Nyawa ikan di sekitar pulau ini lebih berharga dari nyawamu!”

“Begitu? Ya sudah, silahkan sahabat membunuh saya sekarang 

juga! Kalau saya sudah mati silahkan dipanggang, diberi bumbu. Pasti 

tubuh saya lebih sedap rasanya dari ikan sekitar pulau ini.”

“Kurang ajar!”

Rahang Janda Pulau Cingkuk menggembung. Matanya 

membeliak namun tangan kanannya yang memegang gagang pedang 

hijau tidak bergerak.

“Berpenampilan halus, bicara halus dan sikap sopan! Tapi 

mengapa sikapnya hampir sama konyol dengan manusia satu itu!” 

Janda Pulau Cingkuk menggeram dalam hati.



SEPULUH


SAHABAT, mengapa kau ragu mem bunuhku? Aji Triyasa bertanya. 

“Diam! Jangan banyak mulut!” bentak Janda Pulau Cingkuk.

“Kalau begitu perintahmu mulai saat ini saya tidak akan bicara. 

Saya akan diam seribu bahasa. Anggap saja kau bicara dengan 

patung!”

“Benar-benar kurang ajar! Katakan apa maksudmu mau 

meminang diriku jadi istrimu? Kau sengaja hendak menghinaku?!” Aji 

Triyasa diam saja. “Hai! Ayo bicara! Mengapa bungkam?!” Si pemuda 

tetap membisu. Janda Pulau Cingkuk ketukkan gagang pedang hijau 

ke kening si pemuda hingga benjut dan kucurkan darah. Aji Triyasa 

mengerenyit kesakitan tapi tetap tidak keluarkan suara. Diam-diam 

perempuan di hadapannya jadi merasa kasihan.

“Aku bertanya mengapa kau tidak menjawab?!”

“Tadi kau memerintahkan agar saya tutup mulut. Apa sekarang 

sudah boleh bicara?” Aji Triyasa akhirnya bicara juga.

“Manusia konyol! Kau mau bicara apa?!”

“Sahabat, jika kau mau menerima pinanganku maka kau telah 

berbuat satu kebajikan besar.”

“Enak saja kau bicara! Siapa yang menyuruhmu datang ke sini?”

“Saya mau sendiri. Selain itu memang ada dorongan dari 

Kesultanan Banten dalam rangka mencari jalan yang terbaik untuk 

menghentikan perompakan di Selat Sunda.”

“Aku tidak mengerti maksudmu!” kata Janda Pulau Cingkuk pula.

“Kalau begitu saya akan menjelaskan. Sahabat, sebelum kau 

menjadi pimpinan para bajak Selat Sunda, banyak kerugian baik harta 

maupun nyawa manusia yang telah jadi korban. Setelah kau jadi 

pimpinan memang korban nyawa tidak ada lagi, tapi penjarahan tetap 

meraja lela di perairan Selat Sunda. Semua ini mendatangkan

kerugian sangat besar bagi Kesultanan Banten serta penderitaan bagi 

rakyat. Hubungan dagang dengan beberapa negeri asing menjadi, 

terhenti, dan rusak. Kami memang mendengar kabar ada sebagian 

barang jarahan dijadikan uang dan dibagi-bagi untuk membantu 

rakyat miskin? Tapi apakah itu ada manfaat dan pahalanya? Menolong 

orang dengan barang haram? Sultan ingin semua kejahatan itu 

dihentikan. Saya sendiri melihat tempatmu bukan di sini atau di 

tengah lautan. Kami semua yakin kau berasal dari orang baik-baik. 

Karena itu kami bersepakat meminangmu, menjadikan kau sebagai 

istri saya. Jangan lihat kedudukan saya sebagai Pangeran keponakan 

Sultan, itu tidak ada arti apa-apa. Saya sama dengan manusia lainnya,sama dengan dirimu. Yang penting kau bisa merubah jalan hidup, 

menjadi seorang perempuan dan istri baik-baik. Sultan akan memberi 

pengampunan pada seluruh anak buahmu. Mereka dipersilahkan 

datang ke Banten dan tinggal di sana Mereka juga boleh memilih 

tempat kediaman baru yang mereka inginkan. Semua barang jarahan 

yang ada di tangan mereka silahkan dibagi-bagi sebagai modal hidup 

baru. Yang penting Selat Sunda menjadi aman, tidak ada lagi 

pembajakan, tidak ada lagi perompakan. Jika kau mau melakukan itu, 

bukankah itu satu kebajikan yang sangat besar?”

“Aku seperti bermimpi!” kata Janda Pulau Cingkuk lalu tertawa 

panjang.

“Sahabat, kau tidak bermimpi. Yang kau hadapi adalah 

kenyataan!” Kata Aji Triyasa pula.

Janda Pulau Cingkuk geleng-gelengkan kepala.

“Luar biasa! Mula-mula kau muncul mengaku sebagai seorang 

santri. Lalu kenyataannya kau adalah keponakan Sultan Banten. 

Sekarang kau memperlihatkan dirimu seolah-olah seorang sunan yang 

tengah menebar ajaran agama.”

“Sahabat, jangan kau salah mengira. Untuk menebar kebaikan 

seseorang tidak perlu menjadi Sunan lebih dahulu.”

“Kau pandai bicara! Aku tidak suka pada manusia yang pandai 

bicara!”

“Sahabat, kau boleh saja tidak suka pada saya. Tapi saya akan 

tetap ingin meminangmu untuk dijadikan istri.”

“Orang tololpun bisa tahu kalau kau hanya menjalankan siasat 

busuk!”

“Tidak sahabat, aku tidak berdusta. Kau akan tetap menjadi 

penguasa kawasan Laut Selatan bersama sekian ratus anak buahmu 

bagiku tak jadi apa. Tapi apakah itu ada artinya bagimu? Apakah itu 

tujuan hidupmu? Sementara jalan baik penuh kebajikan dan 

ketentraman terbentang luas di hadapanmu. Dengar, siapapun kau 

adanya, aku benar-benar menginginkan kau menjadi istriku.”

“Seorang pemuda yang masih jaka mau kawin dengan seorang 

janda? Hik...hik!”

“Apa salahnya?” jawab Aji Triyasa.

“Kita tidak pernah berkenalan sebelumnya. Kau tidak pernah 

melihat wajahku!”

“Itu betul.Tapi aku yakin, bahkan hakkulyakin kau sahabat 

adalah seorang yang cantik jelita dan berhati mulia.”

“Bagaimana kalau nanti kau lihat wajahku yang buruk?”

“Saya tetap akan meminangmu.”

“Konyol sekali” Ucap janda Pulau Cingkuk.

Aji Triyasa tertawa.

“Apakah kau akan memperlihatkan wajahmu pada saya?”Pemuda itu bertanya.

“Kau akan menyesal!” kata Janda Pulau Cingkuk pula.

“Insya Allah tidak,” jawab si pemuda.

“Kalau begitu buka matamu lebar-lebar!” Janda Pulau Cingkuk 

berucap lalu dia singkapkan kain merah yang menutupi seluruh 

wajahnya. Maka kelihatanlah satu wajah yang dipenuhi koreng 

bernanah, luar biasa mengerikan dan menjijikan.

“Tukak nanah!” kata Aji Triyasa menyebut penyakit di wajah 

Janda Pulau Cingkuk dengan wajah mengerenyit terkesima.

Janda Pulau Cingkuk tutup kembali wajahnya dengan cadar 

merah.

“Kau sudah lihat wajahku! Apakah kau masih tetap hendak 

meminangku?”

Lama Aji Triyasa terdiam dan masih memandangi wajah yang 

sudah tertutup kain merah itu. Perlahan-lahan si pemuda anggukkan 

kepala dan keluarkan ucapan.

“Saya tetap ingin sahabat menjadi istri saya.”

Janda Pulau Cingkuk terperangah dan tersurut satu langkah!

“Kau seorang pangeran, seorang keponakan Raja. Tapi otakmu 

agaknya tidak waras. Kasihan sekali...”

“Terimakasih sahabat berkata begitu. Saya ingin mendengar 

jawaban dari sahabat atas pinangan saya. Jika sahabat...”

“Pemuda sinting! Dengar dulu ucapanku!” hardik Janda Pulau 

Cingkuk. “Aku telah membuat aturan. Siapa saja yang melihat 

wajahku maka dia tidak akan pernah meninggalkan pulau ini untuk 

selama-lamanya.”

“Tadi saya telah minta di bunuh. Saya ikhlas menemui kematian 

di tangan sahabat...”

Janda Pulau Cingkuk sarungkan pedang hijau lalu angkat tangan 

kiri memberi tanda pada Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda.

“Ada apa pimpinan?” tanya Hang Damar begitu sampai di 

hadapan Janda Pulau Cingkuk.

“Ayahanda, lemparkan manusia satu ini ke Pulau Kerikil. Jangan 

diberi minum, jangan diberi makan! Jangan dilepas totokannya! Kita 

tunggu sampai dia berteriak minta ampun atas kekurang ajarannya!”

Hang Damar membungkuk tanda siap menjalankan perintah. Dia 

lalu bersuit tiga kali. Enam orang anggota bajak segera berdatangan 

ke tempat itu. Hang Damar lantas berikan perintah yang sama seperti 

diucapkan Janda Pulau Cingkuk. Aji Triyasa digotong beramai-ramai ke 

arah pantai tanpa pemuda itu keluarkan sepotong ucapanpun. Dia 

hanya sempat menatap dengan pandangan mata sayu ke arah Janda 

Pulau Cingkuk. Perempuan itu tidak berani balas menatap melainkan 

memandang berkeliling. Pandangan kemudian membentur kitab milik 

Aji Triyasa yang jatuh dan tergeletak di tanah.Janda Pulau Cingkuk lalu membungkuk mengambil kitab itu, 

memperhatikan sebentar. Dia sangat tertarik namun tidak mampu 

membaca kitab yang bertuliskan huruf Arab gundul itu.

“Ayahanda, saya tahu ayahanda mengerti bahasa dan tulisan 

Arab. Apakah ayahanda bisa membaca kitab ini?

Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda segera mengambil kitab 

yang diberikan Janda Pulau Cingkuk. Setelah dia membalik-balik dia 

mengangguk.

“Saya bisa membacanya pimpinan.” “Kitab apa itu?”

“Pimpinan, saya tidak tahu apa isi kitab ini. Namun di bagian 

depan tertulis Kasih Allah Sepanjang Zaman, Kasih Ibu Sepanjang 

Jalan, Kasih Anak Sepanjang Penggalan.”

Setelah mendengar nama kitab itu, Janda Pulau Cingkuk terdiam 

beberapa lama. Lubuk hatinya bersuara pilu. Apakah selama ini aku 

mengingat dan dekat kepada Allah. Aku tidak tahu siapa ibuku bahkan 

kedua orang tuaku. Kemudian perempuan itu berkata.

“Ayahanda, maukah ayahanda tolong menyalinkan isi kitab ini ke 

daiam bahasa Jawa Kuno?”

“Untuk pimpinan saya akan melakukan apa saja,” jawab bekas 

penguasa kawasan laut Selat Sunda.

MALAM hari di atas pembaringan. Janda Pulau Cingkuk dapatkan 

dirinya sulit memincingkan mata. Dia selalu teringat kejadian siang 

tadi. Masih terbayang olehnya bagaimana tatapan sepasang mata 

pemuda bernama Aji Triyasa itu ke arahnya ketika dia digotong untuk 

di bawa ke Pulau Kerikil.

“Aku tahu semua yang dikatakan pemuda itu adalah benar.Tapi 

niatnya untuk menjadikan diriku sebagai istri... Dia sebenarnya 

menginginkan diriku atau menginginkan lenyapnya perompakan di 

Selat Sunda? Mungkin kedua-duanya. Dia... apakah dia mencintai 

diriku? Mustahil. Aku belum pernah bertemu sebelumnya. Tadi siang 

dia telah melihat wajahku. Dan dia masih saja menginginkan diriku 

jadi istrinya. Apakah dia... Apakah dibalik ini semua ada satu tipu 

daya? Aku mengetuk keningnya dengan gagang pedang hingga 

benjutdan berdarah! Ah... Dan kini dia berada di Pulau Kerikil. Seorang 

diri dalam keadaan tertotok tak berdaya. Dia seorang Pangeran. Dia 

pasti kedinginan, haus dan juga lapar. Apakah aku telah berlaku 

kejam?”

Djbuncah oleh berbagai macam pikiran dan duga-duga dalam 

hati menjelang pagi baru Janda Pulau Cingkukdapat memejamkan 

mata dan tertidur. Itupun dia tidak bisa pulas lama karena sebelum 

fajar menyingsing dia sudah terbangun. Begitu bangun ingatannya 

kembali pada pemuda bernama Aji Triyasa.

Akhirnya dengan diam-diam tanpa diketahui seorangpun 

termasuk Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda melalui jalan rahasia Janda Pulau Cingkuk menyeberang ke Pulau Kerikil yang terletak tak 

seberapa jauh dari Pulau Cingkuk.

Pulau Kerikil merupakan pulau paling kecil di kawasan kepulauan 

Rakata. Disebut Pulau Kerikil karena di pulau itu hanya ada timbunan 

batu kerikil setebal lutut.Tak ada tetumbuhan, tak ada air bahkan 

binatangpun tak ada yang hidup di situ. Konon

timbunan batu kerikil itu terjadi dan berasal dari Pulau Rakata 

besar yang meletus dan memuntahkan bebatuan termasuk batu kerikil 

ke kawasan sekitar.

Ketika Janda Pulau Cingkuk sampai di pulau itu dan berkeliling 

sampai tiga kali namun dia tidak menemukan orang yang dicari.

“Aneh, apakah dia tidak sampai ke sini. Atau berhasil melarikan 

diri?” Perempuan itu dudukkan diri di atas tumpukan batu kerikil.

Janda Pulau Cingkuk sengaja menunggu sampai sang surya 

terbit. Begitu matahari menyembul dan keadaan di pulau menjadi 

terang, sekali lagi dia mengelilingi pulau itu namun tetap saja dia tidak 

menemukan Aji Triyasa.

“Kalau dia ternyata seorang mata-mata, aku harus bersiap-siap. 

Pasukan Kesultanan Banten bisa saja menyerbu secara tidak 

terduga...”

Ketika perahu Janda Pulau Cingkuk perlahan-lahan 

meninggalkan Pulau Kerikil, salah satu lapisan tebal tumpukan kerikil 

tampak bergerak-gerak. Sesaat kemudian menyeruak muncul satu 

kepala, memandang tersenyum ke arah perahu yang makin menjauh.

“Janda Pulau Cingkuk, ternyata kau tidak bisa melupakan diriku. 

Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya. Aku hanya menuruti petunjuk 

Panembahan Maulana Yusuf yang mendapat penjelasan dari Sultan 

Banten bahwa kau adalah seorang perempuan muda cantik jelita. 

Masih muda dan cantik. Bagaimana jalan ceritanya kau menyebut diri 

sebagai seorang janda?”




SEBELAS


KITA kembali ke pulau Menjangan Kecil. Setelah dengan terpaksa 

menolong menyembuhkan ”barang antik” Bujang Gila Tapak Sakti 

untuk beberapa lama Nenek Cempaka terduduk ditanah, mata 

terpejam, wajah pucat dan dada berdebar. Seumur hidup nenek tidak 

pernah menyangkali akan mendapat pengalaman luar biasa seperti ini. 

Bujang Gila Tapak Sakti rapikan celana gombrangnya. Usap-usap 

bagian bawah perut. Untuk beberapa lama dia pandangi si nenek 

dengan perasaan iba. Dia tahu tadi waktu mengusap dan meniup 

'barang antiknya!' si nenek kelihatan biasa-biasa saja, tetapi 

sesungguhnya dia telah menguras tenaga dalam dan hawa sakti. Itu 

sebabnya si nenek tampak kuyu lunglai seperti tubuh yang tidak 

bertulang.

Sambil mesem-mesem murid Sinto Gendeng dekati Bujang Gila 

Tapak Sakti lalu berbisik.

“Dut, kau harus berterima kasih pada nenek itu. Kalau dia tidak 

menolong seumur-umur barangmu akan melendung bengkak dan 

berwarna biru. Sakit dari pagi sampai malam, dari malam sampai 

pagi!” Si gendut mengangguk.

“Aku akan melakukan sesuatu. Mudah-mudahan cukup imbal 

sebagai pembatas budi baiknya.” Bujang Gila Tapak Sakti lalu dekati si 

nenek yang masih duduk tak bergerak dan pejamkan mata. Dua 

telapak tangan digosokan satu sama lain. Dari sela-sela telapak 

tangan mengepul asap kelabu disusul menebarnya hawa dingin.

Perlahan-lahan Bujang Gila Tapak Sakti berlutut dihadapan 

Nenek Cempaka. Beberapa lama mulutnya komat kamit merapal satu 

aji kesaktian. Kemudian dua telapak tangan diusapkan ke wajah si 

nenek, terus ke kepala dan rambut sambil mulut berucap.

“Nek, aku Bujang Gila Tapak Sakti berterima kasih padamu 

karena kau telah menyembuhkan anuku yang bengkak dan biru. 

Semoga Tuhan selalu memberkahimu...”

Dua tangan Bujang Gila Tapak Sakti memang memiliki kesaktian 

luar biasa. Bukan saja mampu menyembuhkan cacat bekas luka, atau 

membentuk dan membuat sesuatu dari batu dan kayu, tapi juga 

seperti apa yang dilakukannya terhadap nenek Cempaka, orang 

kepercayaan Ratu Sepuh Penguasa Laut Utara. Hanya saja ilmu yang 

satu ini sangat jarang dikeluarkannya.

Begitu diusap mukanya maka wajah si nenek yang tadinya loyo 

dan keriput kini menjadi kencang bagus tidak beda seperti perempuan 

yang masih berumur tiga puluh tahun. Selesai kepala dan rambut 

diusap maka rambut yang tadinya putih tergulung kini menjadi hitam tergerai. Nenek Cempaka telah berubah menjadi seorang perempuan 

muda yang cantik jelita!

Murid Sinto Gendeng terperangah dan geleng-geleng kepala dan 

melihat apa yang terjadi sementara Nenek Cempaka masih terduduk 

picingkan mata.

“Ayo kita cepat pergi,” bisik Bujang Gila pada Wiro. “Kalau dia 

keburu sadar siapa dirinya sekarang habis kau digusalnya. Sewaktu 

masih nenek saja hebat bukan main. Apa lagi sudah muda seperti ini. 

Hik...hik!”

Sambil menahan tawa kedua orang itu segera tinggalkan 

perempuan tua yang kini berubah muda itu. Di tengah jalan 

sementara berlari Wiro ingat sesuatu. Dia pegang lengan Bujang Gila 

Tapak Sakti dan bertanya.

“Sobatku gendut, apakah kau tidak kelupaan sesuatu?”

“Kelupaan apa?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.

“Kau mengusap wajah dan rambut hingga nenek itu kini jadi 

perempuan muda cantik jelita. Tapi kau tidak mengusap dadanya.”

“Maksudmu?”

Tanya Bujang Gila kurang tanggap. “Maksudku wajahnya wajah 

perempuan muda tapi dadanya masih peot rata...”

Bujang Gila Tapak Sakti hentikan lari. Berpikir-pikir lalu tertawa 

lebar.

“Kau betul Wiro. Ah, kasihan nenek itu. Aku harus kembali...”

“Kurasa tidak perlu. Kapan-kapan kalau kau ketemu dia lagi kau 

bisa melakukan hal itu. Merubah dadanya yang rata peot menjadi 

padat menonjol...”

“Tapi aku bisa melakukan dari sini,” kata Bujang Gila Tapak 

Sakti pula. “Cuma harus memakai perantara. Yaitu dengan cara 

mengusap dadamu tapi membayangkan si nenek. Mari, aku pinjam 

dadamu sebentar...”

Lalu Bujang Gila Tapak Sakti gosokkan dua telapak tangan satu 

sama lain. Seperti tadi asap putih mengepul dan udara terasa dingin. 

Dua telapak tangan ditempelkan ke dada Wiro, diusap-usap sambil 

mulut merapal berkomat-kamit. Pikiran membayangkan dada dan 

wajah si nenek.Tapi celakanya si gendut melakukan hal yang keliru. 

Dia membayangkan dada dan wajah Wiro.

“Wuttt!”

“Breett!”

Dada baju hitam Pendekar 212 robek kiri kanan.

Dua buah benda putih mencuat dari balik robekan. Murid Sinto 

Gendeng berseru kaget, mulutnya menganga mata membeliak.

“Gendut! Kau melakukan apa? Mengapa dadaku jadi begini?!”

Bujang GilaTapak sakti tak kalah kejutnya. Matanya yang belok 

membeliak.Astaga! Aku melakukan kesalahan!” Ucap Bujang Gila Tapak 

Sakti lalu tertawa gelak-gelak.

“Jangan tertawa! kembalikan dadaku ke asalnya!” Teriak Wiro 

yang saat itu dadanya telah berubah menjadi seperti dada perempuan, 

besar dan kencang!

“Tunggu...sabar! Akan aku perbaiki. Akan aku betulkan!”

Bujang Gila Tapak Sakti kembali gosok-gosok dua telapak 

tangan. Begitu asap mengepul dua tangan diletakkan di atas dada 

Wiro dan diusap-usap. Kali ini karena dadanya berbentuk dada 

perempuan Wiro jadi kegelian dan mengeliat-geliat.

“Kalau kau tidak bisa diam nanti keliru lagi!” Kata Bujang 

GilaTapak Sakti pula.

Wiro terpaksa berusaha diam menahan geli.

“Nah sudah! Beres! Dadamu sudah kembali ke bentuk asal. 

Begitu saja repot!” Wiro menunduk sambil pegang dadanya. Dia 

merasa keanehan lain kini. Cepat-cepat baju hitam dibuka lalu 

berteriak keras.

“Bujang Gila sialan! Jangan membuat aku marah! Lihat!”

Si gendut terperangah, sampai tersurut mundur satu langkah. 

Dada sang pendekar dilihatnya telah berubah menjadi dada seorang 

nenek-nenek, peot rata dengan dua puting hitam besar ayun-ayunan!

Bujang Gila tak dapat menahan tawa bergelaknya. Dia akan 

terus tertawa kalau tidak dijambak dan dkepalkan tinju oleh Wiro.

“Guraumu sudah keterlaluan!” kata Wiro yang ketakutan kalau 

bentuk dadanya tidak bisa kembali seperti semula. “Kau tahu, aku 

punya ilmu yang disebut Menahan Darah Memindah jazad. Kau mau 

kantong menyan dan burung hantumu aku pindahkan ke jidat?!”

“Sobatku gondrong! Jangan segila itu! Semua ini terjadi secara

tidak sengaja Tenang, tenang. Akan aku kembalikan. Pasti...Lihat 

saja.”

Lalu untuk ke tiga kalinya Bujang Gila Tapak Sakti gosokkan dua 

telapak tangan. Asap putih mengepul lagi. Hawa dingin kembali 

menebar. Sedikit agak tegang si gendut usapkan dua tangannya ke 

dada sang pendekar. Sesaat kemudian dua payudara peot datar 

lenyap. Keadaan dada Wiro kembali ke bentuk semula.

SEBELUM Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti mencapai pantai 

tiba-tiba turun badai. Dalam cuaca buruk dan gelap kedua orang itu 

memaksa jalan terus. Akibatnya arah yang mereka tuju yakni bagian 

selatan pulau jadi bergeser mendekati bagian timur. Ketika akhirnya 

mereka sampai di pantai yang salah badai baru berhenti.

“Tidak ada perahu, tidak ada nelayan. Sebentar lagi malam 

datang. Kita terpaksa menunggu sampai pagi. Tidak ada gubuk, 

berarti kita akan tidur di pantai ini dalam udara dingin ditambah 

guyuran embun Berkata Pendekar 212 Wiro Sableng sambil menggaruk kepala.

“Soal udara buruk perlu apa ditakutkan. Kau merasa dingin, aku 

malah mulai merasa kepanasan. Kipas kertasku hilang entah kemana.”

Bujang Gila Tapak Sakti yang memang lekas merasa kepanasan 

dan keringatan sementara orang lain kedinginan, buka kopiah 

hitamnya lalu dikipas-kipas ke wajahnya yang keringatan.

“Sobatku gondrong, perihal perahu tidak usah dikawatirkan. Kau 

boleh ngorok dimana kau suka. Kalau kau bangun aku sudah membuat 

dua perahu untuk kita layari malam ini juga. Cuma kita mau menuju 

kemana?”

“Aku masih ada satu urusan besar yang belum rampung,” jawab 

Wiro.

“Soal perkawinanmu dengan Ratu Duyung yang aku dengar kini 

bernama Intan itu?”

Wiro tertawa lalu gelengkan kepala.

“Aku harus mencari Nyi Retno Mantili dan mempertemukan 

perempuan itu dengan anaknya yang bernama Ken Permata. Menurut 

ceritamu kau pernah bertemu Nyi Retno. Lalu diserang oleh seorang 

kakek bernama Demang Cambuk Item yang ternyata datang bersama 

Serikat Tiga Momok yang mau memakan hati, jantung serta ginjal Nyi 

Retno Mantili...”

“Aku sial sekali waktu itu,” menyahuti Bujang Gila Tapak Sakti 

sambil usap mukanya yang keringatan. “tereka berhasil membawa lari 

Nyi Retno. Ketika aku

bertemu Purnama, gadis dari negeri seribu dua ratus tahun silam 

itu memberi tahu kalau Nyi Retno ditolong oleh Manusia Paku 

Sandaka. Katanya perempuan itu dibawa ke tempat kediaman gurunya 

untuk dinikahi.”

“Hah! Apa? Manusia Paku Sandaka Arto Gampito hendak 

menikahi Nyi Retno?!”

“Itu yang diceritakan Purnama. Purnama mendapat tahu hal itu 

dari puteranya bernama Jatilandak. Kabarnya Jatilandak telah menjadi 

Kepala Pasukan di Kesultanan Cirebon. Kau cemburu atau patah hati 

kalau Nyi Retno Mantili kawin dengan Manusia Paku?” tanya Bujang 

Gila Tapak Sakti sambil senyum-senyum. “Ini adalah aneh!”

“Aneh bagaimana?” tanya Wiro.

“Nyi Retno pernah bilang padaku kalau ayah Kemuning, boneka 

kayu itu adalah dirimu! Apa tidak aneh kalau manusia punya anak 

boneka kayu? Memangnya kau apakan perempuan itu?”

Wiro tertawa gelak-gelak lalu menggaruk kepala.

“Sebetulnya,” kata Bujang Gila tapak Sakti pula. “Kalau Kakek 

Segala Tahu tidak menyuruh aku ke laut utara bergabung denganmu, 

mungkin aku sudah pergi menyelidik dan mencari Nyi Retno Mantili.”

“Kita sudah tahu siapa yang membawa Nyi Retno dan kemana dibawanya. Yang aku tidak mengerti apakah Manusia Paku sengaja 

menculik dan memaksa Nyi Retno kawin dengannya? Kalau mereka 

suka sama suka perduli amat.Tapi bukankah lebih baik kalau Nyi 

Retno lebih dulu bertemu dengan anaknya agar sakit ingatannya bisa 

disembuhkan?”

Aku juga kasihan sama Nyi Retno. Kalau sampai dinikahi oleh 

manusia yang sekujurtubuhnya itu penuh paku. Ihhh! Apa perempuan 

bertubuh kecil itu tidak akan jebol atas bawah?!” kata Bujang 

GilaTapak Sakti pula. (Kisah diculiknya Nyi Retno Mantili dari tangan 

Bujang Gila Tapak Sakti oleh komplotan yang menamakan diri Serikat 

Momok Tiga Racun dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul 

“Perjodohan Berdarah”. Baca juga episode berjudul “Badai Laut 

Utara”)

“Sobatku gendut, sebelum ditolong oleh Ratu Sepuh, kau 

sempat bersama-sama Bidadari Angin Timur. Selama perjalanan dia 

bicara apa saja?”

“Buuaaannnyyaaaakk!” jawab Bujang Gila Tapak sakti dengan 

mulut dimonyongkan lalu tertawa cengengesan.

“Tentang diriku?”

Si gendut menggeleng. “Setiap aku bicara mengenai dirimu, 

gadis itu kelihatannya tidak mau mendengar. Aku menduga agaknya 

dia sangat marah atau benci padamu. Mungkin karena tahu kau sudah 

dijodohkan dengan Ratu Duyung?”

“Perjodohan itu belum terlaksana,” jawab Wiro. “Aku tahu 

mengapa dia marah dan benci padaku. Ada penyebab lain.”

“Aku tidak tahu urusan orang lain.Tapi kalau kau mau 

menceritakan, aku juga mau mendengarkan.”

“Asal kau berjanji tidak bermulut ember, menceritakan pada 

orang lain.” Kata Wiro pula.

“Aku berjanji!” jawab Bujang Gila Tapak Sakti

sambil mengangkat tangan kanan ke atas lalu tangan itu 

ditepukkan ke pantatnya yang gembrot besar hingga mengeluarkan 

suara keras!

“Waktu itu aku dan Ratu Duyung tengah mengejar Nyi Wulas

Pikan yang menyaru menjadi Ratu Duyung. Dia telah memperdayai 

diriku hingga aku menyerahkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru 

padanya karena mengira dia Ratu Duyung benaran. Di satu tempat 

Ratu Duyung memberi tahu ada seseorang yang mengikuti. Orang itu 

menebar bau tubuh dan pakaian yang wangi. Aku yakin dia adalah 

Bidadari Angin Timur. Lantas saja muncul hasratku hendak 

menggodanya. Ratu Duyung aku ciumi habis-habisan...”

“Ah, hal itu pasti menyakiti hati Bidadari Angin Timur. 

Perbuatanmu konyol sekali!”

Wiro menggaruk kepala “Hal itu sudah terjadi. Tidak ada gunanya disesalkan. Yang jelas 

setelah kejadian itu Bidadari AnginTimur menghilang. Aku dan Ratu 

Duyung bisa lebih memusatkan perhatian pada pengejaran atas diri 

Nyi Wulan Pikan. Sekarang dimana beradanya gadis itu. Dia kabur 

setelah menendang hancur muka Nyi Harum Sarti. Gara-gara dirinya 

dikatakan janda Tubagus Kesumaputera alias Jatilandak.”

“Aku rasa kini dia akan membuat perhitungan dengan Purnama. 

Bidadari Angin Timur telah ditelanjangi di hadapan banyak orang. Dari 

mana Ratu Laut Utara palsu itu tahu soal diri Bidadari Angin Timur 

kalau bukan dari Purnama?”

“Berarti apakah dia sudah dinikahi Tubagus Kesumaputera? 

Kalau memang benar lalu kenapa sesingkat itu menjadi janda? Apa 

yang terjadi? Mereka cerai hidup atau sang suami menemui 

kematian?”

“Aku tidak bisa menduga. Aku tidak tahu ceritanya kalau 

memang sudah kawin atau nikah kapan kawin atau nikahnya. 

Sayangnya Purnama juga pergi begitu saja. Kau harus menyelidiki hal 

itu. Karena kalau kau tidak suka dinikahi dengan Ratu Duyung dan 

lebih suka dengan Bidadari Angin Timur, berarti kau kawin dengan 

janda kembang bukan dengan anak perawan! Berarti kau dapat bekas 

orang!”

Wajah Pendekar 212 jadi mengelam merah mendengar kata-

kata terakhir Bujang Gila itu.

“Maafkan kalau aku menyinggung perasaanmu. Tapi urusan 

kawin bukan urusan main-main. Rumah tangga bisa jadi sorga tapi 

bisa juga jadi neraka...”

“Aku tahu, itu sebabnya kau yang mengaku sudah berusia 

delapan puluh tahun belum kawin-kawin sampai sekarang.”

Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak hingga sekujur 

tubuhnya yang gemuk gembrot bergoyang-goyang.

Wiro kembali menggaruk kepala. Lalu berkata.

“Aku tahu tempat kediaman guru Manusia Paku. Kita harus 

segera kesana. Mudah-mudahan tidak terlambat. Katamu kau akan 

membuat dua perahu. Makin cepat kau lakukan makin baik.”

Bujang GilaTapak sakti memandang berkeliling. Dia menunjuk ke 

arah sebatang pohon kelapa paling tinggi dan paling besar sejarak tiga 

tombak dari tempat mereka berdiri.

“Aku minta bantuanmu. Toiong kau tumbangkan pohon kelapa 

itu.”

Wiro tidak menunggu lebih lama. Tanpa beranjak dari tempatnya 

berdiri dia menghantam bagian bawah pohon kelapa besar dengan 

pukulan Segulung Ombak Menerpa karang. Jangankan pohon kelapa, 

batu karang saja bisa dihantam hancur oleh pukulan sakti warisan 

Sinto Gnedeng itu.“Braakk!”

Bagian paling bawah pohon kelapa besar hancur berkeping-

keping. Bagian atas pohon tumbang bergemuruh.

Bujang GilaTapak Sakti menyeringai. Dua telapak tangan 

digosok-gosok. Dengan ilmu kesaktiannya dia memang bisa merubah 

dan membuat batang kelapa besar itu menjadi dua perahu. Ketika si 

gendut ini mulai hendak bekerja tiba-tiba ada suara perempuan 

berseru. Datangnya dari arah laut.

“Kalau hanya memerlukan perahu mengapa harus merusak 

alam? Dua sahabat muda. Aku bisa memberikan perahu ini pada 

kalian!”

Bujang GilaTapak Sakti dan Pendekar 212 Wiro Sableng serentak 

berpaling ke arah kiri. Kedua orang ini sama-sama kaget.



DUA BELAS


ASTAGA! Dia! ucap Bujang Gila Tapak Sakti. Wajah si gendut ini 

berubah. “Sobatku gendut. Dia pura-pura menawarkan perahu. 

Sebenarnya dia mencarimu. Pasti dia tidak melupakan apa yang tadi 

siang dilakukannya. Belum satu hari sudah kangen mau mengusap 

dan meniup perabotanmu lagi! Ha... ha...!”

“Eh, apa dia sudah tahu kalau wajahnya sekarang sudah 

berubah jadi muda?” ucap Bujang GilaTapak Sakti. “Bagaimana ini, 

kita mau bilang apa? Menolak saja tawarannya?” Si gendut tampak 

bingung juga ada rasa takut gara-gara ucapan Wiro tadi. Tapi Wiro 

malah membalikkan ucapan.

“Tolol kalau kau menolak. Pertama kau tidak perlu susah payah 

membuat dua perahu. Kedua... Ehem... ini yang penting. Kau bakalan 

dapat kesenangan. Bukankah kau sendiri yang bilang usapannya lebih

hebat dari usapan anak gadis? Ha...ha...ha!” Wiro tertawa gelak-gelak.

Di tepi pantai, di bagian laut yang dangkal sepinggang tampak 

sebuah jukung besar. Di atasnya duduk senyum-senyum perempuan 

muda berwajah cantik yang bukan lain adalah nenek Cempaka yang 

wajahnya telah dirubah oleh Bujang GilaTapak Sakti sehingga kini 

menjadi muda jelita.

Perempuan di atas perahu lambaikan tangan.

“Hai! Kenapa kalian kelihatan seperti bingung? Apa mengira aku 

mau berbuat jahat? Salah seorang dari kalian telah berbuat kebajikan 

besar padaku walau kini aku jadi rikuh berkeadaan seperti ini.”

“Nenek Cempaka!” Wiro menyahuti. Lalu menggaruk kepala.”Ah, 

seharusnya aku tidak memanggilmu Nenek lagi. Aku akan panggil Nyi 

Cempaka saja ya? Boleh?!”

Perempuan di atas perahu tertawa panjang dan anggukkan 

kepala.

Wiro pegang lengan Bujang Gila Tapak Sakti.

“Ayo, orang mau menolong jangan ditolak. Naik saja dulu ke 

atas perahu. Nanti kalian berdua apa mau main usap-usapan terserah 

saja. Aku pura-pura tidak melihat.”

Wiro lalu tarik tangan si gendut. Keduanya lari ke pantai lalu 

melesat masuk ke dalam perahu. Wiro sampai duluan. Dia sengaja 

memilih bagian perahu di ujung kiri, berseberangan dengan Nyi 

Cempaka. Bujang Gila Tapak Sakti yang sampai kemudian terpaksa 

memilih bagian tengah perahu jukung.

Seperti ketika Wiro injakkan kaki di atas jukung, sewaktu hal 

yang sama dilakukan oleh Bujang Gila Tapak Sakti jukung besar itu tidak bergoyang sama sekali. Begitu berada di dalam perahu si gendut 

melirik ke dada perempuan di depannya dan merasa gembira karena 

melihat kini dada pakaian tidak lagi rata tapi tampak membusung. 

Berarti ilmu yang diterapkannya lewat tubuh Wiro berhasil 

dilaksanakan.

“Sahabat muda,” kata Nyi Cempaka pada Bujang GilaTapak 

Sakti.

“Walau aku rikuh menjadi muda begini, aku sangat berterima 

kasih, atas apa yang telah kau lakukan terhadap diriku.”

“Aku juga berterima kasih padamu Nyi Cempaka. Kalau bukan 

kau yang menyembuhkan pasti... hemmm...”Bujang Gila Tapak Sakti 

tidak teruskan ucapan. Hanya senyum-senyum dan menggeliat ketika 

dari belakang Wiro menusuk-nusuk pinggangnya.

“Tapi apakah perubahan ini hanya untuk sementara saja? 

Jangan-jangan sehari dua hari luntur seperti kain murahan.”

“Nyi Cempaka, kau tak usah kawatir. Ilmu yang aku dapat atas

kuasa Tuhan bukan ilmu sulap atau ilmu sihir. Keadaan wajah dan 

tubuhmu akan seperti ini seumur-umur...”

“Gusti Allah Maha Besar! Aku sungguh-sungguh bersyukur atas 

berkah rakhmat ini.” Kata Nyi Cempaka pula penuh gembira. Nenek 

tua mana yang tidak akan bahagia kalau dirinya bisa dibuat muda? 

“Sahabatku, apakah ilmu itu bisa kau terapkan pada semua orang?”

“Tidak Nyi Cempaka. Hal itu hanya bisa terjadi jika dikehendaki 

dan diredhohi Gusti Allah,” jawab Bujang GilaTapak Sakti.

“Kalau bisa untuk semua wah, setiap hari ada ratusan nenek-

nenek ngantri mencari si gendut ini!” kata Wiro pula.

Nyi Cempaka tertawa.

“Sebagai tanda terima kasih, aku mau memberikan sesuatu 

padamu,” kata Nyi Cempaka pula sambil membuka kancing atas 

pakaiannya. Sepasang mata Bujang GilaTapak Sakti jadi berkilat 

ketika sempat melihat sebagian dada putih perempuan itu. Dari balik 

dada pakaian Nyi Cempaka mengeluarkan satu benda yang ternyata 

adalah sebuah kipas lipat terbuat dari susunan campuran kayu 

cendana dan kayu besi. Ketika kipas itu dikembangkan oleh Bujang 

Gila Tapak Sakti bentuknya indah sekali, kuning kayu cendana harum 

diseling warna hitam kayu besi.

“Terima kasih Nyi, kau baik sekali. Kebetulan kipas kertas 

bututku rusak dan tercecer entah kemana. Kipas yang kau berikan ini 

bisa aku pergunakan seumur hidup karena terbuat dari kayu yang 

kuat.”

“Harap kau mau menjaga baik-baik. Karena kipas itu bukan 

kipas sembarangan. Bisa kau jadikan senjata, lebih ampuh dari kipas 

kertasmu yang hilang. Kau bisa menciptakan topan dengan kipas itu. 

Kau juga bisa melancarkan serangan serangan berupa cahaya kuning hitam dengan kipas itu. Lalu tersembunyi di antara lipatan kayu 

cendana dan kayu besi ada puluhan jarum beracun yang hanya boleh 

kau pergunakan sebagai senjata dalam keadaan terdesak. Jarum itu 

bisa melesat kalau kau menekan bagian bawah gagang kipas.”

“Terima kasih Nyi Cempaka, terima kasih banyak,” ucap Bujang 

Gila Tapak Sakti. Kipas dilipat dan dibuka beberapa kali. Lalu dengan 

hati-hati dia coba mengerahkan sedikit tenaga dalam maka kipas itu 

pancarkan cahaya kuning muda dan hitam pekat.”Luar biasa! Aku 

akan menjaganya baik-baik. Kipas ini boleh aku namakan Kipas Nyi 

Cempaka?”

Nyi Cempaka tertawa.

“Silahkan, kalau kau menyukai namaku itu.”

“Gendut, kau mau memberikan apa pada Nyi Cempaka sebagai 

tanda terima kasih?” Wiro yang dudukdi belakang Bujang Gila Tapak 

Sakti keluarkan ucapan. Dengan ilmu memindahkan suara Wiro 

mengiangkan menyambung ucapan ke telinga Bujang GilaTapak Sakti. 

“Dut, berikan saja salah satu buahmu buat mainan perempuan itu. 

Aku bisa melakukan dengan Ilmu Menahan Darah Memindah Jazad.”

Bujang Gila Tapak Sakti pukulkan tangan kanannya ke belakang. 

Pukulan menghantam tempurung lutut Wiro sebelah kanan hingga 

murid Sinto Gendeng ini kelojotan kesakitan.

“Ah, aku...aku tidak punya apa-apa. Bagaimana ini?” Si gendut 

tampak bingung dan seka mukanya yang keringatan.

Nyi Cempaka tersenyum. “Aku tidak mengharapkan pamrih apa-

apa. Apa yang telah kau lakukan terhadap diriku rasanya aku 

menerima seisi dunia ini.”

Sementara ke tiga orang itu bercakap-cakap jukung bergerak 

perlahan ke tengah laut dan hari telah malam.

“Nyi Cempaka, sebenarnya kau hendak pergi kemana? Kami 

tidak mau kalau karena menolong kami urusanmu jadi terganggu.”

“Sebentar lagi aku akan meninggalkan kalian berdua. Perahu ini 

menjadi milik kalian,” jawab Nyi Cempaka. Dia memandang sekeliling 

lalu memperhatikan laut di sekitarnya. Tiba-tiba di dalam laut 

kelihatan kilauan cahaya putih kebiruan.”Aku sudah melihat tanda,” 

kata Nyi Cempaka pula. “Saat aku akan meninggalkan kalian 

berdua...”

“Di tengah laut begini? Nyi Cempaka kau mau kemana? Tanya 

Bujang Gila Tapak Sakti heran. Selain itu entah mengapa kepergian 

perempuan itu tiba-tiba membuatnya jadi sedih.

“Laut adalah kehidupanku. Sejak dulu laut adalah tempat 

tinggalku...” Menjelaskan Nyi Cempaka sambil menatap wajah 

keringatan Bujang Gila Tapak Sakti.

Si gendut putar-putar kopiah hitam kupluk di atas kepalanya.

“Lalu, apakah kita... Maksudku kami berdua bisa bertemu lagi 

denganmu?”

Selama air laut masih hijau, selama langit masih biru kita pasti 

akan bertemu iagi,” jawab Nyi Cempaka.

Bujang Gila Tapak Sakti berpaling pada Wiro. Pendekar 212 

maklum apa yang dirasakan si gendut saat itu. Sobatnya ini tiba-tiba 

merasa sayang pada nenek yang dirobahnya sendiri menjadi seorang 

perempuan muda cantik jelita.

“Kalau kau mau ikut Nyi Cempaka melihat-lihat kehidupan di 

alam laut, aku yakin Nyi Cempaka tidak keberatan membawamu serta. 

Bukan begitu Nyi Cempaka?” Wiro berkata sambil memandang ke arah 

Nyi Cempaka dan kedipkan mata kiri.

Nyi Cempaka tersenyum mendengar ucapan Wiro.

Bujang Gila Tapak Sakti kembali putar-putar kopiah di atas 

kepala. Wiro letakkan tumit kaki kirinya di pinggang Bujang Gila Tapak 

Sakti. Begitu tumit didorong tak ampun lagi si gendut ini terpental 

jatuh ke dalam laut. Nyi Cempaka tertawa tergelak-gelak lalu 

melompat ke arah jatuhnya Bujang Gila Tapak Sakti. Kedua orang itu 

lenyap dari pemandangan.

Tinggal sendirian di atas jukung Pendekar 212 Wiro Sableng 

tarik nafas dalam-dalam lalu geleng-gelengkan kepala.

“Bujang Gila, akalmu panjang juga! Mula-mula kau ketakutan 

melihat perempuan itu muncul. Kini malah kepicut mau ikutan! Bukan 

dia yang mau mengusap tapi kau yang kepingin di usap! Ha...ha...ha!”

Tiba-tiba gelak tawa murid Sinto Gendeng lenyap. Kagetnya 

bukan alang kepalang ketika satu tangan tiba-tiba mencuat dari dalam 

laut mengusap bagian bawah perutnya. Sewaktu diperhatikan ternyata 

itu adalah tangan Bujang Gila Tapak Sakti yang sengaja memunculkan 

diri untuk menggoda lalu masuk kembali ke dalam laut.

“Sialan! Aku kira Nyi Cempaka yang mengusap!” gerutu 

Pendekar 212 lalu kembali tertawa gelak-gelak

Namun lagi-lagi tawanya tertahan ketika di samping kanan 

muncul bayangan perempuan diserta terdengar ucapan berbisik di 

telinga “Kalau kau suka kau boleh berikan salah satu buahmu buat 

mainanku! Hik...hik...hik!”

Kaget sang pendekar bukan alang kepalang. Berpaling ke 

samping dilihatnya wajah Nyi Cempaka tertawa dan kedipkan mata 

padanya. Lalu sosok perempuan ini lenyap masuk ke dalam laut.

“Aku tidak mengira. Apa yang aku ucapkan dalam hati dia bisa 

mendengar.” Kata Murid Sinto Gendeng sambil menggaruk kepala.

                        TAMAT

PENULIS : BASTIAN TITO

CREATED : MATJENUH CHANNEL

BLOG : https://matjenuh-channel.blogspot.com


Apa yang selanjutnya terjadi pada Ken Permata? Siapa 

sebenarnya Janda Pulau Cingkuk. Kemana lenyapnya Pedang Naga 

suci 212? Bagaimana nasib Purnama setelah terlempar ke dalam laut? 

Bisakah dia menyelamatkan diri dengan ilmu Empat Penjuru Air Alam 

Gaibi

Ikuti episode berikutnya berjudul:

BAYI TITISAN


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive