SATU
Di DALAM telaga yang kedalamannya setinggi leher,
Pendekar 212 Wiro Sableng kibas-kibaskan rambut
gondrong basahnya. Dia bermaksud hendak
menselulupkan tubuhnya sampai kepala sekali lagi baru
keluar dari telaga itu. Namun tiba-tiba, pluk! Sebuah benda
menghantam kepalanya. Kagetnya sang pendekar bukan
kepalang. Pundaknya sampai tersentak ke atas. Benda
yang tadi mengenai kepalanya itu jatuh ke telaga. Sebelum
tenggelam ke dalam air Wiro cepat mengambilnya.
Ternyata sebuah jambu muda berwarna hijau. Wiro
memandang berkeliling. “Tak ada pohon jambu sekitar
telaga ini. Berarti ada orang jahil mempermainkanku!” pikir
murid Sinto Gendeng sambil memperhatikan seputar
telaga. Tapi dia tak melihat siapa-siapa. “Jangan-jangan ini
pekerjaan bocah konyol Naga Kuning atau si kakek geblek
Setan Ngompol. Awas mereka berdua. Akan kubalas nanti!”
Wiro lalu memasukkan tubuh dan kepalanya ke dalam
air telaga yang sejuk itu. Sesaat kemudian kepala disusul
tubuhnya mencuat kembali di permukaan air telaga. Justru
saat itu sebuah jambu muda berwarna hijau kembali
melayang di atas telaga lalu mendarat di kepalanya!
“Sialan! Naga Kuning! Setan Ngompol! Awas kalian
berdua! Jangan berani kurang ajar menimpuk
mempermainkanku!”
Dari balik sebuah pohon besar yang dikelilingi semak
belukar lebat tiba-tiba terdengar suara tertawa haha-hihi.
Pendekar 212 kerenyitkan kening dan menggaruk
kepalanya yang basah. “Itu bukan suara Naga Kuning atau
Setan Ngompol...” kata Wiro dalam hati. Kalau tadi diamerasa jengkel dan marah kini perasaannya jadi tidak
enak. Dengan cepat dia melangkah dalam air, menyisi
tepian telaga ke tempat dia meninggalkan pakaiannya
yaitu di celah kering antara dua batu besar. Sebelum
mengenakan pakaian, lebih dulu dia memeriksa Kapak
Naga Geni 212, batu sakti warna hitam pasangan kapak
mustika itu dan sebuah tongkat batu memancarkan cahaya
biru redup. Tongkat ini didapatnya dari Luhjelita beberapa
waktu yang lalu. Tiga benda itu masih berada dalam lipatan
baju dan celana putihnya. Wiro dengan cepat mengenakan
pakaiannya kembali. Baru saja dia selesai mengikatkan tali
celananya tiba-tiba, pluk! Kembali sebutir jambu hijau
mendarat di kepalanya lalu seperti tadi dari balik pohon
besar terdengar suara tawa cekikikan.
Wiro ikat tali celananya kencang-kencang. Rahangnya
menggembung dan matanya memandang menyorot ke
arah pohon besar. Dengan membungkuk-bungkuk dia
menyusup mendekati pohon itu. Sesaat kemudian, sekali
lompat dia sudah berada di balik pohon. Di situ dia tidak
menemukan siapa-siapa. Tapi di tanah dia melihat hampir
selusin jambu muda bertebaran. Beberapa di antaranya
ada bekas gigitan.
“Kurang ajar... Kabur mereka! Siapa makhluk-makhluk
kurang ajar itu adanya!” Wiro memaki dalam hati lalu
membungkuk mengambil sebuah jambu hijau yang paling
besar. Jambu itu ditimang-timangnya sesaat. Setelah
dibersihkannya dengan bajunya lalu dimakannya. “Hemm...
Enak juga,” berucap Pendekar 212 dalam hati sambil
menyeringai. Namun seringai murid Sinto Gendeng dari
Gunung Gede ini serta merta lenyap begitu pluk... pluk...
pluk... Dari atas pohon berjatuhan jambu-jambu hijau
menimpa kepalanya! Menyusul terdengar suara tawa
cekikikan.
“Benar-benar kurang ajar!” Wiro mendongak ke atas
sambil tangan kanannya siap untuk menghantamkan.
Namun di atas pohon dia tidak melihat manusia atau
binatang. Walau begitu matanya yang tajam bisa melihatdedaunan pada dua cabang besar bergerak-gerak. Wiro
memperhatikan tak berkedip. Tangan kirinya menggaruk
kepala. “Tadi pasti ada orang di atas pohon itu. Binatang
pasti tidak bisa ketawa cekikikan. Dari suara tawanya
agaknya lebih dari satu orang. Mereka memiliki
kepandaian bergerak sangat cepat. Aku tidak dapat
melihat sosok mereka padahal suara tawa mereka masih
menggema.”
Sepasang mata Wiro melirik tajam seputar tempatnya
berdiri. Beberapa langkah dari pohon besar dari atas mana
tadi berjatuhan buah-buah jambu yang menimpa
kepalanya, ada lagi sebuah pohon yang batangnya sebesar
pemelukan lengan. Wiro tersenyum. “Makhluk-makhluk
yang menyambiti kepalaku itu pasti pindah melompat ke
atas pohon sana! Kini giliranku mengerjai mereka!”
Pendekar 212 dekati pohon itu lalu lingkarkan dua
lengannya merangkul batang pohon sambil mengerahkan
tenaga dalam. Dengan mengandalkan hawa sakti itu
Pendekar 212 mulai menggoyang batang pohon. Mula-
mula perlahan. Pohon bergeletar mulai dari akar sampai ke
puncaknya.
“Hik... hik! Aih nyamannya...” Di atas pohon berdaun
rimbun itu terdengar suara orang.
“Aku juga enak. Aku bahagia...” Ada satu suara lain
menyahuti.
Wiro kerahkan tenaga dalam lebih besar. Kini dia
menggoncang lebih keras. Cabang-cabang pohon sampai
ke ranting-ranting bergoyang kencang, keluarkan suara
berderik-derik. Dedaunan bergeletar seperti ditiup angin.
Suara orang tertawa di atas pohon serta merta lenyap.
“Wahai! Mengapa mendadak jadi kencang begini? Tak
sedap nian rasanya?”
“Getarannya membuat aku seperti mau kencing! Hik...
hik... hik! Saudaraku, baiknya kita tinggalkan pohon ini!”
“Tunggu, jambuku sudah habis. Kau masih punya?
Pemuda gondrong itu agaknya suka jambu hijau itu. Aku
dengar tadi dia mengatakan jambu itu enak. Hik... hik...hik!”
“Jambuku juga sudah habis! Wahai, getaran pohon ini
semakin keras. Ayo kita pergi saja!”
Di bawah pohon Wiro memandang ke atas. “Sial!” Dia
menggerendeng. “Ranting dan daun pohon ini rapat sekali!
Aku tidak dapat melihat orang-orang di atas sana! Mereka
pasti sudah kabur lagi!” Wiro lepaskan rangkulannya pada
batang di bawah pohon. Lalu memutar tubuh, maksudnya
hendak duduk bersandar di bawah pohon itu. Namun
begitu berputar mendadak sontak dia jadi tersentak kaget.
Matanya membeliak dan mulut ternganga. Di hadapannya
berdiri dua orang gadis cantik, yang wajah serta potongan
tubuh seperti pinang dibelah dua, mirip sekali satu dengan
lainnya. Dua gadis ini mengenakan pakaian dari kulit kayu
yang sangat halus hingga menyerupai kain biasa, berwarna
putih keabu-abuan dan agak berkilat. Rambut mereka yang
tergerai panjang sampai ke pinggang berwarna kepirang-
pirangan. Ketika tersenyum kelihatan barisan gigi-gigi
mereka yang putih berkilat dan rata.
“Dua gadis cantik berpakaian serba putih di dalam
rimba belantara. Sekian lama berada di Negeri
Latanahsilam ini, baru sekali ini aku bertemu sepasang
dara kembar. Apa mereka makhluk hidup sungguhan,
bangsa peri atau, jangan-jangan...” Pendekar 212
memandang ke bawah, memperhatikan sepasang kaki
gadis itu.
“Hik... hik...” Gadis di sebelah kanan tertawa. “Lihat,”
katanya pada gadis di sebelahnya. “Dia memperhatikan
kaki kita. Hik... hik! Di negerinya makhluk halus memang
tidak menginjak tanah. Rupanya dia hendak menyamakan
di sana dengan di sini...”
“Kalian siapa...?” bertanya Pendekar 212. Walau dia
senang bertemu dengan dua dara cantik jelita itu namun
hatinya mendua karena menduga jangan-jangan mereka
adalah hantu penghuni rimba belantara itu.
“Kami dua gadis bahagia!” menjawab dara di sebelah
kiri.“Aku tidak mengerti,” kata Wiro pula sambil garuk-garuk
kepala.
“Biar aku menerangkan,” ujar gadis di sebelah kiri.
“Hidup di muka bumi ini hanya sementara. Mengapa harus
berbuat sia-sia? Setiap makhluk hidup harus berbuat dan
merasa bahagia! Kebahagiaan membuat hati senang, dada
lapang. Langit akan tampak cerah, sang surya tampak
gagah dan rembulan berseri indah. Kebahagiaan
menghindarkan segala macam penyakit, membuat
makhluk berumur panjang, tak ada musuh tetapi justru
banyak sahabat...”
Wiro tambah keras menggaruk kepalanya. “Aku setuju
dengan semua ucapan kalian. Tapi kalian ini siapa
sebenarnya?”
“Kami orang-orang di atas pohon yang tadi kau
goncang-goncang!” jawab gadis di samping kanan sambil
tidak putus-putusnya tersenyum.
“Yang tadi berlaku kurang ajar melempari kepalaku
dengan jambu hijau?!” tanya Pendekar 212.
Dua gadis itu tertawa gelak-gelak. “Itulah salah satu
kebahagiaan hidup!”
“Melempar orang kau bilang kebahagiaan hidup?!” ujar
Wiro dengan mata dibesarkan.
“Betul, karena kami melakukan bukan dengan hati
jahat! Tapi niat mencari kebahagiaan semata. Buktinya
kami berdua bisa tertawa-tawa. Dan kau sendiri setelah
tahu siapa yang melempar pasti juga merasa bahagia!
Hik... hik... hik!”
Pendekar 212 menyeringai. Sesaat kemudian dia ikut-
ikutan tertawa malah lebih keras dari tawa dua gadis itu.
“Wahai, rupanya kebahagiaan telah menjadi bagianmu
pula! Kami bahagia melihat kau bisa tertawa!”
Mendengar kata-kata si gadis Wiro hentikan tawanya.
“Jangan-jangan dua gadis ini miring otaknya,” pikir Wiro.
Lalu dia berkata. “Jadi kalian rupanya kesasar di rimba
belantara ini karena mencari kebahagiaan!”
Dua gadis kembali tersenyum. Yang di samping kananmenjawab. “Kami tidak kesasar. Kami tengah melakukan
perjalanan bersenang-senang, mencari dirimu!”
“Mencari diriku? Sekarang sudah bertemu. Apa yang
hendak kalian lakukan?”
“Membuat dirimu bahagia!”
“Caranya?” tanya Pendekar 212 sambil dalam hati
bertanya-tanya apa sebenarnya niat dua gadis tak dikenal
dan kelihatan genit meriah ini.
“Caranya yaitu membebaskan dirimu dari satu beban
yang sebenarnya tak perlu terjadi...”
“Beban? Beban apa? Aku tidak merasa punya beban,”
kata Wiro pula.
Dua gadis itu tersenyum manis. Yang satu bertanya.
“Apa benar kau orang dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang?”
Wiro mengangguk.
“Wahai, perbedaan waktu antara negeri ini dengan
negeri asalmu saja sudah merupakan beban bagi dirimu.
Lalu rangkaian kejadian yang kau alami di negeri
Latanahsilam ini, apakah itu bukan merupakan beban?
Bukan cuma satu, tapi banyak. Apakah kau tidak sadar?”
Wiro garuk-garuk kepala. “Mungkin ucapanmu benar.
Tapi harap kau suka memberi tahu siapa kau dan
temanmu ini adanya. Kulihat wajah kalian sangat mirip
satu sama lain. Harap kau juga mau memberi tahu
mengapa kalian mencariku.”
“Pertanyaan pertama biar aku yang menjawab,” kata
gadis di sebelah kanan. “Kami adalah dua gadis kembar.
Aku yang tua bernama Luhkemboja dan adikku ini
bernama Luhkenanga. Kami biasa dipanggil dengan
sebutan Sepasang Gadis Bahagia.”
“Kemboja dan Kenanga... Itu dua bunga yang ada
sangkut pautnya dengan kematian. Bunga kemboja banyak
tumbuh di pekuburan. Bunga kenanga bunga taburan di
atas makam orang yang sudah mati...” Rasa tidak enak
kembali menyelubungi Pendekar 212 walau dua gadis
cantik di hadapannya selalu bicara dan memandangpadanya dengan senyum.
Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ingat sesuatu. Langsung
saja dia ajukan pertanyaan sambil menatap tajam pada
dua gadis di hadapannya itu. “Kalian mengaku dijuluki
sebagai Sepasang Gadis Bahagia. Apakah kalian punya
sangkut paut dengan Istana Kebahagiaan, sarangnya
Hantu Muka Dua, makhluk yang dijuluki Hantu Segala Keji,
Segala Tipu, Segala Nafsu itu?”
Mendengar kata-kata Wiro itu dua gadis cantik tertawa
panjang. Wiro bertambah curiga.
***
DUA
Gadis bernama Luhkemboja hentikan tawanya lalu
berkata. “Kebahagiaan itu ada dua macam wahai
pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang. Pertama kebahagiaan yang dicari berdasarkan
nafsu. Seperti hasrat ingin kaya, ingin kedudukan tinggi
dan ingin berkuasa, ingin mendapatkan anak gadis orang.
Hantu Muka Dua termasuk dalam golongan ini. Lalu ada
kebahagiaan yang diinginkan secara wajar, diniati dengan
hati ikhlas bersih. Kami berdua berusaha masuk ke dalam
golongan ini. Kami tidak ada sangkut pautnya dengan
Istana Kebahagiaan dan Hantu Muka Dua...”
Walau masih menaruh hati tidak enak namun Wiro
merasa agak tenteram mengetahui bahwa dua gadis ini
bukan kaki tangan Hantu Muka Dua, musuh bebuyutannya
sejak menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam.
Gadis bernama Luhkenanga kemudian membuka mulut
menyambung ucapan kakak kembarnya. “Kami mencarimu
karena ingin membantu membebaskan dirimu dari beban
paling akhir yang mungkin kau tidak sadar telah jatuh di
atas pundakmu.”
Wiro usap-usap pundaknya kiri kanan. “Beban yang
mana? Beban apa maksudmu?” Murid Sinto Gendeng
ajukan pertanyaan karena makin lama bicara dengan dua
gadis itu semakin banyak yang dia tidak mengerti.
“Belum lama berselang kau menerima sebuah tongkat
terbuat dari batu berwarna biru. Tongkat itu bukan milikmu.
Kau tak tahu harus menyerahkannya pada siapa. Kau tidak
tahu pasti siapa pemiliknya. Wahai, bukankah itu suatu
beban bagimu?”Selagi Wiro terkejut mendengar kata-kata itu, dua gadis
kembali memandang tersenyum padanya.
“Kalian pasti salah menduga. Aku tidak pernah
menerima atau memiliki tongkat yang kalian sebutkan itu,”
kata Wiro berdusta. Dia yakin, tongkat batu biru yang
diterimanya dari Luhjelita dan saat itu terselip di pinggang
di bawah baju putihnya, tongkat itulah yang dimaksudkan
dua gadis kembar ini.
“Berdusta adalah satu penyakit yang membuat manusia
jadi tidak bahagia...” kata Luhkenanga pula.
“Tongkat itu tidak ada padaku. Kalaupun ada belum
tentu aku berikan padamu karena aku yakin benda itu
bukan milik kalian...”
“Memang bukan milik kami. Tapi kami mendapat tugas
untuk mencarinya sampai dapat...”
“Siapa yang memberi tugas...?” tanya Wiro.
Dua gadis itu saling pandang lalu sama-sama
tersenyum. “Pemiliknya yang sah tentu. Tapi kami tidak
bisa memberi tahu padamu,” jawab Luhkenanga.
Wiro ganti tersenyum. “Tidak mau bicara jujur dan polos
adalah satu beban yang membuat orang tidak bahagia.
Bagaimana kalian bisa menemukan kebahagiaan kalau
dalam hati sendiri ada ganjalan yang tidak melapangkan
dada?”
Walau kata-kata Wiro membuat dua gadis kembar
menjadi merah wajah masing-masing namun keduanya
tetap saja melayangkan senyum.
“Aku bahagia mendengar ucapanmu,” menyahuti
Luhkemboja. “Tapi harap kau bisa membedakan
kebahagiaan dengan tugas. Bila seseorang bisa
melaksanakan tugas maka itu akan menjadi satu
kebahagiaan besar baginya. Lagi pula kami tidak akan
membebani dirimu dengan hal-hal yang tidak kau ingini
kalau kami tidak mendapat keterangan jelas bahwa
tongkat batu biru itu memang ada padamu.”
Wiro tertawa. Sambil geleng-gelengkan kepala dia
bertanya. “Siapa yang memberi keterangan bodoh itu padakalian?”
“Siapa lagi kalau bukan kekasihmu!” jawab
Luhkemboja.
“Kekasihku?” Murid Sinto Gendeng jadi terkejut. “Aku
tidak punya kekasih di negeri Latanahsilam ini!”
Luhkemboja dan Luhkenanga tertawa gelak-gelak.
“Siapa yang mengaku-aku kalau aku ini kekasihnya?”
Wiro jadi penasaran. “Kalian berdua mengarang cerita!”
“Wahai, si gadis sendiri yang mengatakan. Bagaimana
kami tidak percaya?”
“Kalau begitu lekas katakan siapa orangnya!”
“Luhjelita!” jawab Luhkemboja dan Luhkenanga
berbarengan.
Tentu saja Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi kaget
mendengar ucapan itu.
“Wajahmu berubah merah, sikapmu menunjukkan
keterkejutan. Kau sengaja menyembunyikan kebahagiaan
atau bagaimana?”
“Antara aku dengan gadis bernama Luhjelita itu tidak
ada hubungan apa-apa, kecuali sebagai sahabat. Di mana
dia sekarang?”
“Saat ini dia berada di satu tempat aman. Terpaksa
kami sembunyikan untuk dijadikan jaminan bahwa dia
memberikan keterangan benar! Dia mengatakan kau
kekasihnya sedang kau mengatakan dia hanya seorang
sahabat. Dia mengatakan tongkat batu biru itu ada
padamu, tapi kau sendiri berkata tidak memilikinya. Siapa
yang berdusta, siapa yang menyembunyikan kebenaran
dengan menginjak kebahagiaan?” Luhkemboja yang
barusan bicara menatap lekat-lekat ke arah Pendekar 212.
“Wahai kakakku Luhkemboja, mengapa kita tidak
memutuskan secara adil saja?” Dara kembar bernama
Luhkenanga berkata. “Pemuda ini berucap benar bahwa
gadis bernama Luhjelita itu bukan kekasih, atau belum
menjadi kekasihnya tapi baru merupakan seorang sahabat
saja. Lalu Luhjelita juga berucap benar bahwa tongkat batu
biru itu telah diserahkannya pada pemuda ini yangmenurut dia bernama Wiro Sableng. Bukankah sejak tadi
kita sudah melihat bayangan tongkat mustika itu di balik
baju putihnya? Wahai pemuda dari negeri seribu dua ratus
tahun mendatang, apa jawabmu?”
Untuk beberapa lamanya Wiro hanya tegak berdiam diri.
Kemudian sambil garuk-garuk kepala dia berkata. “Baiklah,
kalau kalian memang sudah tahu, aku mengaku. Tongkat
batu biru itu saat ini ada padaku. Tapi aku tidak akan
memberikannya. Kalau aku ingin membebaskan diri dari
beban, maka tongkat ini akan kuserahkan pada Luhjelita.
Katakan saja di mana dia kalian sembunyikan...”
“Dia berada di dalam sebuah goa, di satu kaki bukit di
kawasan selatan. Tak jauh dari sini. Jika kau keluar dari
rimba belantara ini dan mengikuti sebuah jalan setapak,
goa itu pasti akan kau temui. Wahai, demi kebahagiaan
kita semua, apakah kau kini bersedia menyerahkan
tongkat batu biru itu?”
“Aku akan merasa lebih bahagia jika tongkat ini aku
serahkan pada Luhjelita lalu gadis itu menyerahkan
padamu. Aku terlepas dari beban dan kalian merasa
bahagia...” jawab Wiro yang tetap tidak mau menyerahkan
tongkat batu biru pada dua gadis berjuluk Sepasang Gadis
Bahagia itu. Bisa saja dua gadis ini tengah melakukan
siasat hendak menipunya. Selain itu dia merasa tongkat
batu biru ini pastilah satu tongkat yang sangat berharga.
“Untuk mendapatkan kebahagiaan terkadang memang
kita harus menempuh jalan berliku. Tapi jika ada jalan
pintas yang sama baiknya mengapa tidak langsung
dilaksanakan. Tongkat itu milik kakek kami. Kami
ditugaskan untuk mencarinya dan membawanya kembali
kepadanya...”
“Apakah kakekmu itu yang berjuluk Si Tongkat Biru
Pengukur Bumi?” bertanya Pendekar 212.
“Dari mana kau tahu nama itu?” balik bertanya
Luhkenanga.
“Ketika Luhjelita memberikan tongkat itu padaku, dia
menjelaskan tongkat itu ditemuinya dekat sesosok mayatseorang kakek yang dikenalnya sebagai Si Tongkat Biru
Pengukur Bumi...”
“Si Tongkat Biru Pengukur Bumi bukan kakek kami. Dia
justru yang mencuri tongkat itu dari kakek kami. Si Tongkat
Biru Pengukur Bumi adalah kaki tangan Hantu Muka Dua.
Orang ini kemudian dihabisi oleh Hantu Muka Dua sendiri
karena dikhawatirkan akan berkhianat. Mayatnyalah yang
ditemukan Luhjelita...”
“Aku percaya keteranganmu, Luhkenanga. Tapi tongkat
ini tetap tidak bisa kuserahkan padamu atau saudaramu.
Agar sama-sama mendapat kebahagiaan, kita sama-sama
pergi ke goa di mana kalian menyekap Luhjelita. Tongkat
kuserahkan padanya dan kalian kemudian boleh
mengambil dari tangannya...”
“Sayang sekali kami inginkan tongkat itu sekarang...”
kata Luhkemboja.
“Apakah kebahagiaan bisa didapat dengan cara
memaksa?” tukas Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kami tidak memaksa. Kami tengah menjalankan
tugas!” jawab Luhkemboja.
“Apakah tugas bisa dijadikan topeng alasan untuk
mendapatkan kebahagiaan?” kembali murid Sinto
Gendeng menukas. Kali ini wajah dua gadis kembar
menjadi kemerahan walau senyum tetap menghias bibir
mereka.
“Wahai, untuk mendapatkan kebahagiaan terkadang
memang harus menempuh jalan sulit berliku,” kata
Luhkemboja pula. Dia memandang pada Luhkenanga.
“Adikku, rupanya tak ada jalan lain. Agaknya kali ini kita
hanya bisa mendapatkan kebahagiaan dengan
menghadapi kenyataan. Apakah kau sudah siap adikku?”
“Aku sudah siap wahai Luhkemboja. Tapi biarkan aku
membujuk pemuda ini sekali lagi,” jawab Luhkenanga. Lalu
gadis ini mendekati Wiro dua langkah dan berkata.
“Kepercayaan adalah salah satu dasar kebahagiaan. Kami
telah menceritakan kebenaran padamu. Sahabatmu
Luhjelita ada dalam keadaan baik di goa itu. Tongkat yangada padamu bukan milikmu. Apa sulitnya menyerahkan
pada kami?”
“Kau bicara tentang kepercayaan. Aku mau bicara
tentang kebijaksanaan. Harap kalian sudi memaafkan.
Bagaimanapun juga tongkat ini tidak akan aku serahkan
pada kalian. Kupersilahkan kalian jalan duluan. Kita sama-
sama ke goa itu. Apa sulitnya menerima usulanku?”
Luhkenanga berpaling pada Luhkemboja. Sang kakak
gelengkan kepalanya. Luhkenanga lalu berkata. “Usulmu
tidak kami terima. Kebahagiaan ada di tangan kita
bersama. Aku mohon kau mau menyerahkan tongkat batu
biru.”
Wiro balas dengan gelengan kepala.
Luhkenanga menarik nafas dalam. “Tak ada jalan lain.
Kakak Luhkemboja, aku sudah siap!”
Luhkemboja mengangguk. Dua gadis ini lalu melangkah
mundur. Di satu tempat mereka hentikan langkah. Lalu
dari mulut mereka yang selalu menyunggingkan senyum
tiba-tiba keluar suara gelak tawa berderai.
“Jurus Bahagia Naik ke Pelaminan!” Luhkemboja
berseru.
Sosok dua gadis kembar itu melesat ke udara. Dua kaki
dirapatkan begitu rupa, dua tangan diletakkan di atas lutut.
Sikap mereka seperti pengantin sedang duduk di kursi
atau di atas pelaminan. Mulut tersenyum simpul. Namun
tiba-tiba kaki kiri mereka ditendangkan ke depan.
Wuttt!
Wuuut!
Murid Eyang Sinto Gendeng tersentak kaget ketika
dapatkan dua larik angin deras menghantam ke arahnya.
Karena tidak mengira akan mendapat serangan, Wiro
hanya sempat menghindarkan diri dari sambaran angin
yang datang dari sebelah kanan. Sedang hantaman angin
dari sebelah kiri yang berasal dari tendangan Luhkemboja
tak dapat dielakkannya.
Bukkk!
Walau angin yang melabrak, tapi begitu mengenaidadanya terdengar suara bergedebuk. Wiro seolah-olah
terkena jotosan. Tubuhnya terpental sampai beberapa
langkah lalu terjengkang di tepi telaga.
Luhkemboja dan Luhkenanga tertawa terpingkal-
pingkal. Lalu dua gadis kembar ini membuat gerakan
seperti orang berenang. Selagi Wiro berusaha bangkit
berdiri tiba-tiba Luhkemboja berseru.
“Jurus Bahagia Menyelam Sungai Menyambar Ikan!”
Sosok dua gadis itu yang sesaat masih melayang di
udara tiba-tiba menukik ke bawah, menyambar ke arah
Pendekar 212. Wiro yang tidak mau kebablasan sampai
dua kali segera hantamkan tangan kirinya, menyongsong
gerakan dua lawan dengan pukulan Benteng Topan
Melanda Samudera. Dua gelombang angin menderu
dahsyat. Namun serangan Wiro hanya mengenai tempat
kosong karena dua gadis yang memiliki gerakan luar biasa
cepatnya benar-benar laksana menyelam. Dua tangan
mereka menyambar, satu ke kepala Wiro satunya lagi ke
pinggang.
Dalam keadaan seperti itu tentu saja Pendekar 212
lebih memperhatikan serangan berbahaya yang di arahkan
ke kepala. Sambil bergulingan dia pukulkan tangan kiri
untuk menangkis serangan di sebelah atas sedang dengan
menendang dia coba menghajar tangan lawan yang
menyambar ke arah pinggang.
Ternyata serangan ke kepala hanya tipuan belaka.
Begitu perhatian Wiro terpecah, sambaran yang ke arah
pinggang tak dapat dimentahkannya dengan tendangan.
Tangan lawan yang menyambar lewat di bawah kakinya,
melesat laksana kilat ke pinggangnya. Lalu dua suara tawa
cekikikan mengumandang di tempat itu. Suara tawa
lenyap. Wiro tersentak kaget dan cepat bangkit berdiri.
Ternyata dua gadis kembar tak ada lagi di situ. Gerakan
mereka melenyapkan diri sungguh cepat luar biasa.
“Astaga!” Wiro pegang seputar pinggangnya. Kapak
Maut Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya masih
ada. Tapi tongkat batu biru lenyap! Dia memandangberkeliling. Karena tidak sempat melihat ke arah mana
kaburnya dua gadis kembar tadi, Wiro hanya bisa memaki
sendiri. “Sial! Aku kecolongan!” Wiro termangu dan garuk-
garuk kepala. “Jurus Bahagia Menyelam Sungai
Menyambar Ikan... Mereka mempergunakan jurus aneh itu
untuk menyambar dan merampas tongkat batu biru yang
ada di balik bajuku...” Wiro geleng-gelengkan kepala.
“Hanya sebuah tongkat batu butut. Mengapa harus aku
pikirkan...” membatin murid Sinto Gendeng. “Tapi kalau
cuma tongkat jelek, mengapa dua gadis kembar itu sangat
menginginkan? Siapa sebenarnya pemilik tongkat itu?
Mungkin aku harus menyelidik sementara menunggu
munculnya Si Setan Ngompol dan Naga Kuning...”
Karena tidak tahu mau mengejar ke mana, ketika dia
ingat keterangan Luhkemboja dan Luhkenanga tentang
Luhjelita, Wiro segera saja berkelebat ke arah selatan.
Mungkin dua gadis kembar itu bicara dusta tentang
Luhjelita yang mereka sekap di dalam goa. Tapi tak ada
salahnya menyelidik. Apalagi letak goa itu tidak jauh dari
sana.
Wiro berlari sekencang yang bisa dilakukannya. Dalam
berlari seperti itu dia tidak memperhatikan lagi keadaan di
sekitarnya. Dia tidak menyadari kalau di udara, jauh di
belakangnya ada satu benda putih terbang mengikutinya.
***
TIGA
Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah
berusaha menyelidik goa tempat Luhjelita disekap.
Kita lebih dulu menuju ke Lembah Seribu Kabut
tempat kediaman Lasedayu.
Walau langit di ufuk timur telah kelihatan merah namun
sang surya belum nampak muncul. Dinginnya udara pagi
masih mencekam tulang dan persendian tubuh. Kegelapan
masih menghitam di mana-mana. Apa lagi di kawasan
selatan Negeri Latanahsilam di mana terletak sebuah
lembah yang disebut Lembah Seribu Kabut. Keadaan
masih gelap gulita karena kabut mengapung di seantero
tempat. Jangankan pada malam atau pagi hari, siang hari
saja ketika matahari bersinar terik, kabut tebal acap kali
menutupi pemandangan.
Dalam keadaan seperti itu dari jurusan tenggara
berkelebat seseorang. Kegelapan dan pekatnya kabut yang
menyungkup serta cepat gerakkannya membuat sosoknya
hanya berupa satu bayangan hijau yang meninggalkan bau
seperti kubangan di belakangnya. Agaknya orang ini
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak mustahil dia
bisa bergerak demikian cepat di kawasan yang banyak
pepohonan dan berbatu-batu serta masih gelap itu.
Sepasang matanya seolah bisa menembus kegelapan
malam menjelang pagi serta kepekatan kabut yang
menggantung di mana-mana.
Cepat sekali bayangan hijau tadi telah berada di
pertengahan lembah. Orang ini berkelebat ke arah sebuah
batu besar di atas mana mendekam satu sosok aneh.
Sosok ini tidak tegak pada dua kakinya tetapimempergunakan sepasang tangan untuk dijadikan kaki.
Sementara dua kakinya berada di sebelah atas. Makhluk
ini hanya mengenakan sehelai celana compang-camping.
Karena cara berdirinya yang aneh maka rambutnya yang
putih panjang, begitu juga kumis dan janggutnya menjulai
ke bawah menutupi wajahnya. Dari sekujur tubuh orang ini
mengepul keluar asap tipis berwarna kebiruan. Sepertinya
ada satu kekuatan dahsyat di dalam tubuhnya yang
terpendam dan tak bisa dikeluarkan.
Sosok di atas batu ini masih tetap mendekam tak
bergerak ketika bayangan hijau yang muncul dari kegela–
pan dan kabut sampai di hadapannya. Ternyata yang mun–
cul ini adalah satu makhluk aneh angker. Sosoknya mulai
dari ujung rambut di atas kepala sampai ke kaki seperti
terbungkus lumpur tebal berwarna hijau gelap dan basah.
Tetesan-tetesan air jatuh menitik dari tubuh yang basah
ini. Sepasang matanya juga berwarna hijau pekat. Menatap
angker tak berkesip ke arah makhluk yang tegak dengan
kaki ke atas kepala ke bawah.
Jempol kaki kanan orang di atas batu bergerak dua kali.
Lalu dari balik riap rambut dan kumis serta janggut putih
panjang yang menutupi wajah terdengar suara berucap.
“Aku mencium bau kubangan. Di balik kelopak mataku
yang tertutup ada bayangan warna hijau. Sepasang
telingaku mendengar tetesan-tetesan air jatuh ke tanah.
Wahai, kuharap aku tidak salah menduga. Yang muncul di
hadapanku saat ini bukankah kerabat berjuluk Hantu
Lumpur Hijau...”
Sosok hijau yang tegak di depan batu sesaat masih
pandangi orang yang tegak kaki ke atas kepala ke bawah
itu. Setelah kedipkan mata hijaunya satu kali makhluk yang
disebut Hantu Lumpur Hijau ini membuka mulut. Ternyata
gigi dan lidahnya juga berwarna hijau pekat!
“Puluhan tahun tidak bertemu. Mata dan telinga
tertutup rambut terjulai. Tapi kau masih mengenali diriku.
Wahai aku juga ingin memastikan. Bukankah kau yang
konon disebut Hantu Langit Terjungkir. Yang dulu dikenalbernama Lasedayu? Kalau benar, sungguh dahsyat
keadaanmu. Kau memang layak dinamakan Hantu Langit
Terjungkir!”
Orang di atas batu terdengar menarik nafas dalam dan
panjang. “Belasan tahun tidak pernah kedatangan tamu.
Sungguh hari ini aku merasa bahagia ada seorang yang
mau datang berkunjung. Wahai kerabat lama, selamat
datang di Lembah Seribu Kabut. Ada gerangan apa sampai
kau datang berjauh-jauh ke tempat kediamanku yang tidak
nyaman ini?”
Hantu Lumpur Hijau mendehem beberapa kali lalu
menjawab. “Kedatanganku membekal maksud kurang
enak. Aku datang untuk minta pertanggungan jawabmu.”
Dua kaki Hantu Langit Terjungkir mengembang ke
samping. Dari balik riapan rambut panjangnya yang men–
julai ke bawah menyentuh batu mengepul asap biru tipis.
“Datang dari jauh dengan maksud kurang enak. Wahai
harap kau berterus terang Hantu Lumpur Hijau. Katakan
apa yang kurang enak itu! Hidupku sudah dibenam derita
sengsara sejak puluhan tahun silam. Jangan menambah
deritaku dengan tidak berterus terang...”
“Muridmu telah merampas ilmu kesaktianku yang
bernama Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh!” kata Hantu
Lumpur Hijau dengan suara keras bergetar tanda dia
berusaha menahan didihan amarah.
Suara orang seperti tercekik keluar dari tenggorokan
Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir. “Muridku? Muridku
yang mana? Seumur-umur aku tidak pernah mempunyai
murid...”
Hantu Lumpur Hijau mendengus. “Pemuda itu datang
mengagul membawa nama besarmu! Dia mengatakan
membawa perintah darimu untuk mengambil ilmu
kesaktianku itu. Ketika aku melawan dia langsung
menyerangku habis-habisan. Kesaktiannya tinggi sekali.
Aku tak sanggup menghadapinya. Dia kabur setelah
berhasil merampas ilmu kesaktian itu.”
“Kau tidak menyebutkan apa pemuda itu punya namaatau tidak. Tapi apa perduliku. Bernama atau tidak aku
memang tidak pernah punya murid!”
“Dia mengaku bernama Lajundai! Dia juga mengaku
bernama Labahala! Lalu dia menyebutkan gelarnya Hantu
Muka Dua. Raja Diraja Segala Hantu di Negeri
Latanahsilam ini!”
“Lajundai... Labahala! Hantu Muka Dua! Memang dia!”
“Wahai! Sekarang kau mengaku kalau dia muridmu!”
“Tidak, aku bukan mengaku!”
“Lalu apa maksud ucapanmu tadi. Memang dia!”
“Maksudku,” jawab Lasedayu alias Hantu Langit
Terjungkir. “Pemuda itu pernah muncul di lembah ini...”
“Hantu Langit Terjungkir, apapun kilahmu aku tetap
berpegang pada ucapan Lajundai. Bahwa kau gurunya dan
kau yang menyuruh dia untuk merampas ilmu kesaktian
yang paling aku andalkan itu...”
“Kita lama bersahabat walau jarang bertemu muka. Apa
kau lebih percaya pada ucapan pemuda jahat itu daripada
ucapanku?” ujar Hantu Langit Terjungkir pula.
“Kalau kau memberi tahu di mana pemuda itu berada
dan membantu aku mendapatkan kembali ilmu
kesaktianku, mungkin aku bisa berubah pikiran...”
“Tidak mungkin. Tidak mungkin wahai kerabatku.
Pemuda itu tinggi sekali ilmu kesaktiannya. Jangankan kau
sendiri, kita berdua bahkan tak mungkin menghadapinya.”
“Kau bersiasat! Kau sengaja melindunginya karena dia
memang muridmu!”
“Aku tidak bersiasat wahai Hantu Lumpur Hijau. Aku
tidak pula berniat melindunginya. Sejak sekian tahun silam
aku juga ingin menghajarnya. Tapi aku sadar aku tak bisa
melawannya!”
“Kau berdusta! Kesaktianmu tidak di bawah Hantu
Tangan Empat yang dianggap sebagai orang paling hebat di
negeri ini. Lagi-lagi kau memang bersiasat untuk
melindunginya!”
“Dengar kerabatku wahai Hantu Lumpur Hijau. Hantu
Muka Dua, dalam keadaan kita seperti ini bukanlahtandingan kita. Jika Para Dewa menurunkan pertolongan,
satu hari kelak mungkin kita bisa membalaskan sakit hati!”
“Aku sudah lama menunggu pertolongan Dewa. Tapi
pertolongan itu mana mau datang kalau kita sendiri tidak
berusaha! Hantu Langit Terjungkir, jika kau berserikat
dengan muridmu terpaksa aku menjatuhkan tangan kasar
terhadapmu! Ketahuilah, walau ilmu kesaktianku Pukulan
Hantu Hijau Penjungkir Roh telah dirampas oleh muridmu,
aku masih ada beberapa ilmu lain. Memang tidak sehebat
ilmu yang satu itu. Tapi aku yakin akan sanggup
mengirimmu ke alam roh hanya dalam dua tiga jurus saja!”
“Wahai, kalau begitu takdir nasibku memang buruk.
Hantu Lumpur Hijau, puluhan tahun menderita sengsara,
hidup terjungkir menghadap langit ke atas kepala ke
bawah, bertangan kaki seperti ini membuat kematian
bagiku merupakan satu hal yang aku dambakan. Kematian
akan mengakhiri semua derita sengsara itu...”
“Kalau memang kau sudah pasrah menerima kematian,
akupun tidak merasa ragu-ragu lagi!” kata Hantu Lumpur
Hijau pula. Lalu tangannya dihantamkan ke depan. Selarik
sinar hijau menderu ke arah dada Lasedayu. Sinar ini
menyerupai sebatang tombak yang meluncur cepat dan
deras sekali.
Di atas batu Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir
keluarkan suara berdesah. “Pukulan Tombak Lumpur
Penambus Roh!” Makhluk ini tidak bergerak sedikitpun
untuk selamatkan diri. Agaknya dia memang sudah benar-
benar pasrah menerima kematian.
Sesaat lagi larikan angin sakti yang berbentuk tombak
itu akan mendarat di dada Hantu Langit Terjungkir tiba-tiba
terdengar suara gelegar ringkikan kuda. Di lain kejap
sesosok tubuh melesat di udara. Lalu sebuah benda bulat
menghantam ke arah Tombak Lumpur Penambus Roh.
Traaanggg!
***
EMPAT
Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng
sebelumnya dengan judul “Rahasia Kincir Hantu”,
seluruh kesaktian yang dimiliki Lasedayu telah
dirampas dan dikuras habis oleh Labahala alias Hantu
Muka Dua. Hal itu dilakukannya dengan mempergunakan
benda sakti bernama Sendok Pelangkah Nasib yang juga
disebut Sendok Pemasung Nasib. Sejak itu pula dunia ini
menjadi terjungkir balik bagi Lasedayu. Selain kehilangan
ilmu kesaktian, keadaannya jadi berubah. Dia tidak lagi
bisa berdiri sebagai wajarnya manusia biasa yakni kaki ke
bawah kepala ke atas. Tapi dia hanya bisa berdiri dan
berjalan dengan mempergunakan sepasang tangannya.
Dua kaki berada di atas, dua tangan berada di bawah.
Sejak itulah orang-orang di Negeri Latanahsilam
menyebutnya dengan julukan Hantu Langit Terjungkir.
Walau ilmu kesaktian yang pernah dimilikinya telah
dirampas seluruhnya oleh Hantu Muka Dua, namun saat
itu sebenarnya Hantu Langit Terjungkir telah memiliki satu
ilmu baru yang secara tak sengaja didapat dan
dipelajarinya dari alam.
Selama bertahun-tahun dia mengamati keadaan
lembah di sekitarnya yang selalu tertutup kabut berwarna
putih kelabu dan terkadang tampak seperti kebiru-biruan.
Ke manapun dia pergi di lembah itu sosoknya selalu
dikelilingi oleh kabut. Penciuman dan jalan pernafasannya
selalu bersentuhan dengan kabut. Dari hasil
pengamatannya itu Lasedayu menyadari bahwa kabut yang
sebenarnya hanya merupakan salah satu lapisan udara
yang mengapung dan tidak bisa diraba itu sesungguhnyaadalah satu kekuatan dahsyat. Maka sedikit demi sedikit,
hari demi hari, dia mulai menyerap kabut itu ke dalam
tubuhnya melalui jalan pernafasan. Selama bertahun-tahun
hal itu dilakukannya. Sampai pada suatu hari dia
merasakan tubuhnya menjadi sangat ringan seolah
seenteng kapas. Dia bisa mengapung seolah mampu
berjalan di udara.
“Tubuhku seperti kabut! Ringan sekali. Seperti kabut
aku bisa bergerak ke mana aku suka. Wahai! Mukjizat apa
yang telah diberikan alam padaku!”
Keterkejutan Lasedayu tidak sampai di situ. Ketika
dicobanya ternyata dia mampu mengatur aliran darah
dalam tubuhnya. Tubuhya yang selama ini berada dalam
keadaan kaku dan dingin kini seolah dialiri hawa panas.
Lasedayu mencoba lebih jauh. Dia menghimpun tenaga
dalam di pusarnya yang bolong. Berkali-kali dicobanya tapi
tidak terjadi apa-apa. Lasedayu tidak putus asa. Kalau dia
mampu mengatur jalan darah berarti ada kemungkinan dia
juga mampu menghimpun satu kekuatan tenaga dalam
baru di dalam tubuhnya.
Entah berapa ratus kali dia mencoba dan tak juga
berhasil maka berpikirlah orang tua ini. “Ketika aku masih
hidup dengan kepala ke atas kaki ke bawah, pusat
kekuatan tenaga dalamku memang di pusar. Sekarang
keadaanku seperti ini. Pusar tak punya. Semua serba
terbalik. Jangan-jangan pusat kekuatan tenaga dalamku
juga berubah terbalik. Berpindah ke bagian badan yang
lain.”
Lasedayu lalu mengusapi sekujur tubuhnya. Dia tidak
menemukan apa-apa. Dia tidak mendapat petunjuk.
Sampai berminggu-minggu berlalu dia masih belum juga
menemukan di mana kini beradanya pusat kekuatannya.
Suatu pagi, sang surya baru saja terbit dan cuaca di
lembah mulai terang. Lasedayu tegak kaki ke atas kepala
ke bawah. Salah satu tangannya yang selama ini dijadikan
kaki mengusap dan memijit-mijit keningnya. Lama-lama dia
merasakan kening serta jari-jari tangan itu menjadi panas.Butiran-butiran keringat memercik di keningnya. Lalu dari
sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak
kaki mengepul asap tipis berwarna kebiru-biruan.
Dicobanya menarik nafas dalam lalu menghembus ke
depan. Selarik asap biru melesat keluar dari mulut orang
tua ini.
Lasedayu berteriak gembira. “Aku memiliki tenaga
dalam baru! Pusat tenaga dalamku ada di kening! Wahai!
Aku menemukan satu ilmu kesaktian baru!” Namun
kegembiraannya seperti sirna ketika dia berpikir, jangan-
jangan dia hanya sekedar memiliki kemampuan menyerap
dan menghembuskan udara. Apa arti dan kegunaannya?
Bukankah di tempat dingin semua orang bisa
mengeluarkan udara berbentuk seperti asap dari mulut
dan hidungnya setiap kali dia bernafas?
Untuk beberapa lamanya Lasedayu seperti terhenyak
dalam keputus-asaan. Namun ketika dia teringat pada
Labahala alias Hantu Muka Dua yang telah mencelakai
dirinya begitu rupa, dendam berkecamuk dalam tubuhnya,
perlahan-lahan semangatnya bangkit kembali.
“Aku harus membuktikan bahwa apa yang ada dalam
tubuhku saat ini benar-benar satu hawa sakti yang dapat
kumanfaatkan untuk membalas dendam!” katanya dalam
hati. Lalu orang tua ini kerahkan aliran darah ke kepalanya.
Sepasang matanya yang kelabu memancarkan cahaya
aneh. Keningnya menjadi panas. Bersamaan dengan itu
dia gerakkan dua kakinya. Menendang di udara.
Wuuttt!
Wutttt!
Dua larik sinar biru menderu di udara. Membelah kabut.
Lalu di sebelah sana terdengar suara benda berderak
patah. Lasedayu sibakkan rambut dan kumis yang menjulai
menutupi wajahnya. Sepasang matanya yang berwarna
kelabu membeliak besar. Dua pohon yang selama
bertahun-tahun tumbuh tegak di sebelah sana hancur
patah bagian tengah batangnya, lalu bergemuruh tumbang!
Sekujur batang pohon yang telah patah itu berubahmenjadi biru!
Walau menyaksikan dengan mata kepala sendiri apa
yang terjadi namun Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir
masih belum percaya diri. Perlahan-lahan tubuhnya
diapungkan ke atas. Dua tangannya bergerak. Sosoknya
lalu diputar ke arah sebuah batu besar sejarak tiga tombak
dari tempatnya berdiri kepala ke bawah kaki ke atas. Kalau
tadi dua kakinya yang digerakkan maka kali ini tangan
kanannya yang dipukulkan.
Wuuuttt!
Selarik sinar biru menggebubu dari telapak tangan
Lasedayu. Lalu di depan sana, braakk! Batu besar hancur
berantakan. Pecahan-pecahan batu berubah menjadi
kebiru-biruan. Orang tua ini berseru girang. Sosoknya
mencelat ke atas beberapa kali. Lalu dari mulutnya keluar
teriakan. “Lajundai! Labahala! Hantu Muka Dua! Siapapun
kau adanya! Aku akan mencarimu! Tunggu pembalasanku!”
Habis berteriak begitu Lasedayu segera hendak
tinggalkan tempat itu. Namun selintas ingatan muncul
dalam benaknya. Apakah memang perlu dia mencari Hantu
Muka Dua untuk melampiaskan dendam kesumat? Seperti
yang dikatakan Lamanyala, makhluk api utusan atau Wakil
Para Dewa, bukankah bencana yang dialaminya akibat
ulah perbuatannya di masa muda? Dia telah membunuh
seorang bernama Latumpangan yang ketitipan sebuah
jimat sakti bernama Jimat Hati Dewa. Setelah membunuh
Latumpangan dan merampas serta memakan Jimat Hati
Dewa, dia kemudian mencelakai Lamanyala, Wakil Para
Dewa di Negeri Latanahsilam. Kutukan kemudian jatuh
atas dirinya. Yang membuat dirinya tersiksa seumur-umur.
Hidup terjungkir kaki di atas kepala di bawah!
Dendam yang membara dalam diri Lasedayu perlahan-
lahan mengendur. Apalagi ketika dia ingat pada istri dan
empat orang anaknya yang tidak diketahuinya di mana
rimbanya.
“Apakah perlu aku membalaskan dendam kesumat
sakit hati? Bukankah keadaan diriku sampai begini rupakarena dimakan hukum sebab akibat? Bukankah lebih baik
sisa hidup ini kupergunakan untuk menanti datangnya
kematian? Hanya kematian yang akan mempertemukan
aku dengan istri dan anak-anakku di alam roh kalau
memang mereka telah menemui ajal akibat bencana banjir
puluhan tahun silam itu...”
Berhari-hari lamanya Lasedayu mendekam di Lembah
Seribu Kabut dengan benak dibuncah alam pikiran seperti
itu hingga akhirnya dia mengambil keputusan untuk tidak
mencari Hantu Muka Dua guna melakukan pembalasan.
Perasaan ingin mati cepat inilah yang kemudian membuat
Hantu Langit Terjungkir tidak berusaha menyelamatkan
diri, hanya tegak diam penuh pasrah sewaktu Pukulan
Tombak Lumpur Penambus Roh yang dilepaskan Hantu
Lumpur Hijau menghantam ke arahnya! Orang tua ini
benar-benar akan menemui ajal jika saat itu tidak ada
sebuah benda berbentuk bulat menderu menangkis
serangan orang.
Traaannggg!
Walau jelas benda berbentuk tombak hijau itu hanya
merupakan selarik sinar namun luar biasanya begitu
beradu dengan benda bulat dia mengeluarkan suara
berkerontangan seolah terbuat dari besi betulan.
Tombak sinar hijau terpental ke udara dan lenyap. Dada
Lasedayu selamat dari tambusannya. Benda bulat yang
dipakai menangkis serangan gugus gompal sedikit
sementara satu sosok tinggi besar terhuyung jatuh tapi
cepat bangkit kembali dan bergerak ke arah Hantu Lumpur
Hijau yang saat itu tengah berusaha bangkit berdiri.
Bentrokan tombaknya dengan benda bulat tadi membuat
dia terdorong hebat dan jatuh terjengkang. Sosok tubuhnya
yang seperti lumpur berdenyut-denyut dan tetesan air
keluar lebih banyak. Ini satu pertanda bahwa makhluk ini
tengah dirasuk kobaran kemarahan luar biasa. Begitu
berdiri dia putar tubuh ke arah makhluk yang
mendatanginya.
Dukkk... Dukkkk.
Tanah lembah bergetar. Muka hijau Hantu Lumpur
Hijau sesaat berubah redup kelabu pertanda dia tengah
mengalami keterkejutan. Hantu Lumpur Hijau memang
kaget besar ketika dia memandang ke depan dan
mengenali siapa yang melangkah mendekatinya.
***
LIMA
Hantu Kaki Batu...” desis Hantu Lumpur Hijau. “Apa
hubungan makhluk ini dengan Hantu Langit
Terjungkir hingga dia barusan bertindak
menyelamatkan orang itu...” Sambil menduga-duga begitu
Hantu Lumpur Hijau melirik ke arah kejauhan di mana
tampak seekor kuda hitam besar berkaki enam yang
merupakan tunggangan orang yang dijuluki Hantu Kaki
Batu itu.
Seperti Hantu Lumpur Hijau, Lasedayu juga merasa
heran mengapa ada orang yang selama ini hanya dikenal
namanya tapi tidak punya hubungan apa-apa telah
menyelamatkan dirinya dari kematian.
Duukkk... duukkkk... duukkkk!
Sosok tinggi besar yang sepasang kakinya terbungkus
batu bulat melangkah terus mendekati Hantu Lumpur
Hijau. Dua langkah di hadapan Hantu Lumpur Hijau, orang
ini yang bukan lain Lakasipo adanya hentikan langkah lalu
berucap.
“Hantu Lumpur Hijau, aku tidak ada permusuhan
denganmu. Karenanya lekas kau angkat kaki dari Lembah
Seribu Kabut ini!”
Walau tadi hatinya kecut melihat kemunculan Hantu
Kaki Batu yang jelas tidak berpihak kepadanya namun
ucapan Lakasipo membuat Hantu Lumpur Hijau merasa
sangat dihina dipandang enteng. Dalam marahnya dia
menyahuti. “Wahai! Kau yang muncul mencari lantai
terjungkat! Sekarang kau pula yang berucap tidak punya
permusuhan dengan diriku! Sungguh aneh!”
Hantu Kaki Batu menyeringai. “Sudahlah, tak perlubicara berpanjang lebar. Tinggalkan saja tempat ini agar
lantai terjungkat yang kau katakan itu tidak kupatahkan!”
“Pongahnya dirimu! Apa hubunganmu dengan Hantu
Langit Terjungkir?! Hingga mencampuri urusanku dan
menyelamatkan dirinya?!” Hantu Lumpur Hijau membentak
sambil melirik pada Lasedayu. Lasedayu sendiri saat itu
tentu saja ingin tahu dan ingin mendengar jawaban
Lakasipo.
“Antara aku dan orang tua itu tidak ada hubungan apa-
apa. Tapi niat menolong adalah dasar hubungan baik bagi
semua makhluk di Negeri Latanahsilam ini!”
“Wahai! Kau menolong orang yang salah! Kau
menolong makhluk jahat! Apakah itu pantas disebut dasar
hubungan baik?!”
Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara menggeram
tapi tetap tak bergerak di tempatnya. Lakasipo ajukan
pertanyaan. “Apa kesalahan Hantu Langit Terjungkir. Apa
kejahatan yang telah diperbuatnya?”
“Aku datang ke Lembah Seribu Kabut ini untuk minta
pertanggungan jawabnya. Muridnya telah merampas ilmu
kesaktianku!” jawab Hantu Lumpur Hijau.
“Kalau aku tidak salah, orang tua ini tadi sudah
memberi tahu padamu bahwa Hantu Muka Dua bukan
muridnya. Seumur-umur dia tidak punya murid. Mengapa
kau berkeras kepala tidak mempercayai ucapan orang?!”
“Hemmm... Kalau begitu rupanya kau sudah lama
berada di tempat ini hingga mendengar pembicaraan
kami!” tukas Hantu Lumpur Hijau.
“Aku sudah berada di sini sebelum kau muncul. Itu jika
kau ingin tahu!” ujar Lakasipo pula yang membuat Hantu
Langit Terjungkir jadi terkejut dan menduga-duga jangan-
jangan manusia berkaki batu ini juga punya niat jahat
terhadap dirinya walaupun pertama kali muncul telah
menolong menyelamatkan dirinya dari serangan maut
Hantu Lumpur Hijau.
“Aku tidak percaya pada ucapan Hantu Langit
Terjungkir. Sama dengan aku tidak mempercayai dirimu!Aku yakin antara dia dengan Hantu Muka Dua ada
hubungan tertentu!”
“Sudahlah! Kita habisi saja pembicaraan sampai di sini.
Harap kau mau pergi dari sini!”
“Bagaimana kalau kau saja yang segera angkat kaki
dari sini?!” tukas Hantu Lumpur Hijau.
Lakasipo tertawa bergelak. “Tubuhmu mulai dari kepala
sampai ke kaki merupakan lumpur lembek dan busuk! Tapi
wahai! Otakmu keras dalam ketololan! Mungkin ini bisa
membuatmu untuk tidak bicara berpanjang lebar!”
Habis berkata begitu Lakasipo alias Hantu Kaki Batu
jentikkan lima jari tangan kanannya.
Wussss!
Lima larik sinar hitam menggebubu ganas. Menyambar
ke arah lima bagian tubuh Hantu Lumpur Hijau membuat
orang ini terkejut besar. Sambil berteriak menyebut nama
serangan itu dia cepat melompat cari selamat.
“Lima Kutuk Dari Langit!”
Lima lobang hitam mengepulkan asap menguak di
tanah bekas tempat Hantu Lumpur Hijau tadi berdiri tegak!
Sang hantu bergeletar sekujur tubuh lumpurnya. Sejak ilmu
kesaktian yang sangat diandalkannya dirampas Hantu
Muka Dua, Hantu Lumpur Hijau memiliki satu kelemahan
yakni tidak tahan terhadap hawa panas, apalagi pukulan
sakti mengandung hawa panas seperti Lima Kutuk Dari
Langit yang tadi dihantamkan Lakasipo!
Sadar kalau saat itu tak mungkin baginya untuk
menghadapi Lakasipo maka Hantu Lumpur Hijau berpaling
pada Hantu Langit Terjungkir dan berkata. “Nasibmu masih
baik. Ada orang tolol muncul menolong. Tapi lain waktu
jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!”
Habis berkata begitu Hantu Lumpur Hijau lalu
berkelebat dan sosoknya lenyap di belakang kabut yang
mengapung di udara.
Hantu Langit Terjungkir tertawa mengekeh. “Dia yang
bodoh mengatakan orang tolol!” Lalu orang tua ini
berpaling ke arah Lakasipo. Dari balik julaian rambutputihnya yang panjang dia memperhatikan kemudian
berkata. “Wahai, selama ini hanya nama yang kukenal.
Apakah benar dugaanku kau adalah makhluk yang dijuluki
Hantu Kaki Batu, korban kebusukan nenek jahat bernama
Hantu Santet Laknat?”
“Wahai!” seru Lakasipo. “Dugaanmu tidak salah! Kau
sebut nama nenek keparat itu! Mengingatkan aku bahwa
masih ada urusan dendam kesumat yang belum
terselesaikan dengannya!”
Hantu Langit Terjungkir menyeringai di balik julaian
rambut putihnya. “Selama dunia terkembang, walau langit
terjungkir seperti yang saat ini aku lihat, urusan dendam
kesumat tidak pernah habis-habisnya! Akupun sebenarnya
memiliki satu dendam kesumat besar luar biasa! Tapi apa
ada gunanya untuk dilampiaskan?”
“Lalu itu sebabnya waktu tadi Hantu Lumpur Hijau
hendak membunuh kau hanya diam pasrah?” ujar
Lakasipo.
Hantu Langit Terjungkir kembali menyeringai. “Wahai,
turut bicaramu kau sudah lama berada di tempat ini.
Bahkan sebelum Hantu Lumpur Hijau muncul. Kau
menyelamatkan diriku dari kematian! Tapi aku perlu
kejelasan apakah kau datang dengan maksud baik atau
membekal niat jahat seperti makhluk yang barusan merat
itu?!”
“Aku datang membekal maksud baik. Aku membawa
amanat dari seseorang untuk disampaikan padamu,”
menjelaskan Lakasipo.
“Sungguh luar biasa kejadian hari ini!” kata Hantu
Langit Terjungkir sambil geleng-gelengkan kepala. “Aku
hendak dibunuh orang tapi diselamatkan orang lain. Kini
orang lain itu berkata dia datang membawa satu amanat!
Wahai Hantu Kaki Batu, amanat apa yang hendak kau
sampaikan pada diri tua rapuh dimakan usia dan derita
ini?!”
“Sebelum kujawab pertanyaanmu, aku juga ingin satu
kejelasan bahwa kau memang adalah Hantu LangitTerjungkir yang terlahir bernama Lasedayu. Kulihat
pusarmu yang berlubang, kulihat cara tegakmu yang
terbalik, kaki ke atas tangan dijadikan kaki. Namun di
Negeri Latanahsilam ini seseorang bisa saja menyamar
memalsukan diri. Hantu Muka Dua misalnya, dia bisa
membentuk ujudnya seperti sosok dirimu!”
Hantu Langit Terjungkir tertawa panjang. “Aku suka
pada orang cerdik sepertimu. Ada ujar-ujar yang
mengatakan begini, ‘Seseorang harus tulus seperti seekor
burung merpati. Tapi ada kalanya harus cerdik seperti ular.’
Hantu Kaki Batu, kau sendiri sudah mengetahui bahwa aku
begitu pasrah menghadapi bahkan menginginkan
kematian. Jika kau tadi tidak yakin aku adalah benar-benar
Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu, tentu kau tidak
akan menolong menyelamatkan nyawaku dari Hantu
Lumpur Hijau!”
“Wahai, mendengar ucapanmu itu aku yakin kau
memang adalah Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu.
Sebelum kukatakan amanat yang kubawa itu, apakah kau
berkesudian menceritakan riwayat hingga kau berkeadaan
seperti ini?”
Si orang tua menarik nafas panjang dan dalam.
“Wahai, menceritakan nasib sendiri sama dengan
menusukkan duri ke lubuk hati yang telah sarat dengan
derita sengsara ini. Tapi mungkin juga bisa sedikit
menghapus ganjalan hati. Kalau kau suka mendengar akan
kuceritakan. Tapi pendek-pendek saja...”
“Aku suka mendengar riwayatmu,” jawab Lakasipo.
“Semua derita sengsara ini terjadi ketika seorang
bernama Lajundai alias Labahala yang mengaku Raja
Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini, bergelar
Hantu Muka Dua, suatu hari di masa puluhan tahun silam
muncul di lembah ini. Sebelum muncul di Lembah Seribu
Kabut ini rupanya dia telah mendatangi beberapa tokoh di
tempat lain dan merampas ilmu kepandaian para tokoh itu.
Ternyata dia mendatangiku juga dengan maksud yang
sama. Dia membekal sebuah benda terbuat dari emasyang disebut Sendok Pelangkah Nasib atau lebih dikenal
dengan nama Sendok Pemasung Nasib. Kejutku bukan
alang kepalang. Karena sendok itu adalah satu-satunya
benda di muka bumi ini yang bisa menguras semua ilmu
kesaktian yang kumiliki! Dengan satu gerakan kilat Hantu
Muka Dua menusukkan sendok emas itu ke perutku,
mencungkil pusarku. Kau lihat sendiri saat ini. Pusarku
hanya merupakan satu lobang besar di pertengahan
perutku. Dalam keadaan tak berdaya dan mandi darah
setelah ditinggal kabur oleh Hantu Muka Dua tiba-tiba
muncul Lamanyala...”
“Lamanyala, aku pernah dengar nama itu. Siapa orang
itu adanya?” tanya Lakasipo.
“Dia adalah utusan atau Wakil Para Dewa di Negeri
Latanahsilam. Dia memiliki kesaktian hebat. Sekujur
tubuhnya dikobari api. Sejak puluhan tahun dia telah
menjadi musuh besarku. Karena aku telah merampas dan
menelan Jimat Hati Dewa yang berada di bawah
pengawasannya. Selain itu tubuhnya telah kubikin cacat
mengerikan...”
“Lamanyala pasti muncul untuk membalas dendam!”
memotong Lakasipo.
Hantu Langit Terjungkir gelengkan kepala. “Dia muncul
hanya untuk mengatakan sesuatu yang sampai saat ini
masih terngiang di telingaku, ‘Hidup keluargamu morat-
marit! Kau tak tahu di mana istrimu berada. Kau juga tidak
tahu di mana ke empat anakmu! Si bungsu anakmu yang
ke empat telah menjadi musuh besarmu! Kau telah
kehilangan seluruh kesaktianmu!’ Setelah berkata begitu
dia mengutuk, ‘Mulai hari ini kau akan hidup
menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah. Kau akan
berjalan dengan dua tanganmu! Kau akan jadi makhluk
tersiksa seumur-umur!’ Seperti kau saksikan sendiri saat
ini. Aku benar-benar hidup menyungsang. Kaki ke atas
kepala ke bawah!” (Mengenai riwayat Lasedayu alias Hantu
Langit Terjungkir harap baca serial Wiro Sableng dua
Episode sebelumnya yaitu “Hantu Muka Dua” dan “RahasiaKincir Hantu”).
“Wahai... Riwayatmu sungguh hebat. Aku baru tahu
kalau kau punya empat orang anak...”
“Empat orang anak. Tapi apa artinya...” ujar Hantu
Langit Terjungkir. “Aku tidak tahu di mana mereka
sekarang. Kalau masih hidup kira-kira seusiamu. Aku juga
tidak tahu apakah istriku Luhpingitan masih hidup atau
entah sudah tiada...”
“Sungguh berat beban derita hidup orang tua ini,” kata
Lakasipo dalam hati. Lalu pada Hantu Langit Terjungkir dia
berkata. “Orang tua, karena kau sudah menceritakan
riwayat nasib dirimu, sekarang tiba saatnya aku memenuhi
janji. Memberi tahu amanat apa yang aku bawa untukmu.
Apakah kau kenal dengan seorang tua bernama
Lawungu?”
Hantu Langit Terjungkir keluarkan seruan tertahan.
Berkali-kali dia menarik nafas dalam. Tenggorokannya
turun naik. “Lawungu... Lawungu...” katanya beberapa kali.
“Puluhan tahun silam, kau belum lagi dilahirkan. Di Negeri
Latanahsilam ini ada satu kelompok orang-orang yang
mengaku gagah karena paling tinggi ilmunya. Mereka tiga
bersahabat. Yang pertama adalah yang dikenal dengan
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Yang kedua aku sendiri.
Yang ketiga Lawungu itu. Karena sibuk dengan urusan
masing-masing kami kemudian berpisah dan lama tak
saling bertemu... Wahai! Mengapa kau bertanyakan
Lawungu padaku?”
“Karena kakek itulah yang menitipkan amanat yang
kukatakan itu,” jawab Lakasipo.
“Kau... Lawungu! Amanat apa yang dititipkan sahabatku
itu?!” tanya Hantu Langit Terjungkir. Dengan tangan kirinya
dia sibakkan rambut serta kumis yang terjulai hingga kini
Lakasipo untuk pertama kalinya dapat melihat jelas
sebagian wajah orang tua itu. Wajah ini putih seperti tidak
berdarah sedang sepasang matanya berwarna kelabu.
“Katakan cepat. Amanat apa yang dititipkan Lawungu
padamu!”“Aku dimintanya menyerahkan benda ini...” kata
Lakasipo seraya mengeluarkan sebuah benda berwarna
kuning yang berkilauan tertimpa sinar sang surya pagi.
“Sendok Pemasung Nasib!” seru Hantu Langit
Terjungkir dengan keras dan mata mendelik besar. Sekujur
tubuhnya bergeletar. Lebih-lebih ketika Lakasipo
mengulurkan tangannya siap menyerahkan sendok itu
pada si orang tua.
Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara seperti hendak
menangis. Tangan kanannya bergetar keras ketika
diulurkan untuk mengambil sendok emas itu. Namun
hanya sekejapan lagi sendok itu akan disentuhnya tiba-tiba
satu bayangan kuning berkelebat, dan...! Lakasipo serta
Hantu Langit Terjungkir sama-sama berseru kaget. Sendok
Pemasung Nasib lenyap disambar orang. Bersamaan
dengan itu bayangan kuning yang tadi berkelebat ikut
menghilang!
Lakasipo coba mengejar sambil lepaskan pukulan Lima
Kutuk Dari Langit. Namun tak ada gunanya. Yang hendak
dihantam sudah keburu kabur.
Hantu Langit Terjungkir meraung keras. Betapa tidak.
Melihat sendok emas tadi timbul kembali harapan
hidupnya dengan memiliki segudang kesaktian. Namun
harapan tinggal harapan. Sendok emas amblas dirampas
sosok kuning tidak dikenal.
***
ENAM
Kembali kepada Pendekar 212 Wiro Sableng yang
tengah berusaha menyelidiki di mana beradanya
Luhjelita. Kawasan selatan yang didatanginya
ternyata merupakan daerah mendaki berbatu-batu. Di situ
tumbuh sejenis pepohonan setinggi kepala manusia, yang
batang, ranting serta dedaunannya ditancapi duri-duri
berwarna coklat kehitaman. Melihat duri-duri itu Wiro ingat
pada sahabatnya yang malang yaitu Hantu Jatilandak. Dia
tidak tahu di mana pemuda yang sekujur tubuhnya penuh
duri landak itu kini berada.
Karena pepohonan berduri tumbuh cukup rapat, Wiro
tak bisa berlari cepat. Dia harus hati-hati, jangan sampai
tergores duri coklat yang bukan mustahil mengandung
racun. Di satu tempat ketinggian murid Eyang Sinto
Gendeng dari Gunung Gede ini hentikan larinya,
memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur
sesuatu yang tergantung melambai-lambai di ujung sebuah
ranting berduri. Wiro segera bergerak, memperhatikan
lebih dekat. Ternyata benda yang melambai-lambai di ujung
ranting berduri itu adalah robekan pakaian terbuat dari
kulit kayu halus berwarna jingga.
“Kain jingga...” ujar Wiro berdebar. “Siapa lagi
pemiliknya kalau bukan Luhjelita. Aku menempuh arah
yang benar. Agaknya gadis itu berada di sekitar sini. Kini
tinggal mencari di mana goanya.” Wiro memandang
berkeliling, tak berkesip. Dia tidak melihat apa-apa. Juga
tidak menemukan petunjuk lain. Lalu dia mendengar ada
suara menderu di udara. Memandang ke atas dia tidak
melihat sesuatupun. Langit cerah. Sinar sang surya terasamulai menyengat. Wiro sibakkan semak belukar di samping
kirinya lalu meneruskan perjalanan.
Berjalan sejauh belasan tombak mendadak dia melihat
kelainan pada serumpunan semak belukar dan pohon-
pohon berduri di arah sebelah kanan. Semak-semak dan
pepohonan itu terkuak ke kiri kanan dan ada tanda-tanda
bekas rambasan.
“Ada orang membuat jalan setapak di tempat itu. Aku
harus mengikuti jalan itu. Mungkin menuju ke goa yang
dikatakan dua gadis kembar cantik tapi sialan itu!” Berpikir
begitu Pendekar 212 Wiro Sableng segera bergerak ke
ujung semak belukar yang terkuak. Tak lama mengikuti
jalan kecil itu tiba-tiba dia dikejutkan oleh sebuah benda
aneh yang mencuat seperti bukit batu kecil, berwarna
coklat. Selagi tegak keheranan Wiro kembali terkejut
karena bukit batu ini kelihatan bergerak. Tidak mau
mengalami celaka yang tidak terduga, Wiro segera
kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan untuk sewaktu-
waktu bisa menghantamkan pukulan sakti.
Batu coklat itu kembali bergerak. Tiba-tiba di ujung
kanan bukit batu ada sesuatu yang lain, bergerak naik ke
atas. Ternyata kepala seekor kura-kura raksasa.
“Astaga, Laecoklat! Kura-kura raksasa tunggangan
Luhjelita...” Dalam kejutnya Wiro juga merasa gembira.
Kalau tunggangannya berada di sana, berarti Luhjelita
tidak berada jauh dari situ.
Laecoklat berpaling pada Wiro. Matanya dikedip-
kedipkan. Melihat binatang ini tidak bersikap galak Wiro
beranikan diri mendekat lalu melompat ke atas
punggungnya yang keras atos. Sambil mengusap kepala
binatang itu Wiro berkata. “Laecoklat, bisa kau
menunjukkan padaku di mana Luhjelita berada?”
Kura-kura raksasa itu kedipkan sepasang matanya dua
kali lalu palingkan kepalanya ke kiri. Setelah menghadap
ke kiri, kepala itu sedikit ditundukkan. Wiro
memperhatikan. Dadanya berdebar. Di balik lima rumpun
pohon berduri yang telah dirambas orang kelihatan sebuahmulut goa batu yang tingginya sepenyandak kepala
manusia.
“Kura-kura pintar!” Memuji Wiro. Lalu sekali melompat
dia sudah sampai di depan pintu goa. Tanpa menunggu
lebih lama murid Sinto Gendeng ini segera masuk ke dalam
goa yang ternyata bagian dalamnya terbuat dari sejenis
batu putih berkilauan hingga keadaan di situ tidak gelap.
Berjalan masuk sejauh enam tindak, Wiro tiba-tiba
hentikan langkahnya. Dia mendengar suara orang
mendesah dan sesenggukan berulang kali. Suara
perempuan. Luhjelita-kah itu? Apa yang terjadi dengan
dirinya? Karena belum melihat sosok orang, Wiro
melangkah masuk lebih jauh ke dalam goa. Untuk kedua
kalinya kembali langkah sang pendekar terhenti.
Di sana, sejarak enam langkah di hadapannya, di lantai
goa batu putih tergeletak sesosok tubuh perempuan.
Pakaiannya, sehelai baju panjang berwarna jingga bertebar
di lantai. Hanya sebagian saja yang masih menutupi
auratnya hingga sosok perempuan itu nyaris tidak
terlindung. Wiro memperhatikan wajah perempuan itu. Dia
segera mengenali dan berseru memanggil.
“Luhjelita!”
Seperti mendengar suara malaikat, perempuan yang
tergeletak di atas lantai putar kepalanya. Begitu dia
melihat dan mengenali siapa yang berdiri di depan sana
langsung dia meraung.
“Wiro...!”
Perempuan itu yang memang Luhjelita adanya
menangis tersedu-sedu. Wajahnya yang cantik nampak
pucat pasi dan basah oleh air mata. Gadis itu kemudian
tutup mukanya dengan dua tangan dan menangis lebih
keras.
“Luhjelita, apa yang terjadi dengan dirimu!” seru Wiro
lalu mendekat dan duduk di samping sosok Luhjelita. Dia
hendak meraba kening gadis ini namun Luhjelita lebih dulu
bergerak bangkit dan rangkulkan kedua tangannya ke
leher Wiro lalu menangis lebih keras.“Luhjelita, tenangkan dirimu. Katakan apa yang telah
terjadi. Dengar, kenakan pakaianmu lebih dulu... Aku
menyesal tidak bisa datang lebih cepat menolongmu...”
“Terlambat Wiro, tak ada gunanya penyesalan. Mungkin
ini sudah takdir nasib diriku. Harus mengalami hal seperti
ini. Jangan sentuh diriku lagi... Pergilah, pergi dan jangan
pernah menemui diriku lagi. Aib yang aku derita terlalu
besar. Jangan sesalkan dirimu Wiro...” Gadis itu lepaskan
rangkulannya di leher Wiro lalu menangis lebih keras
sambil menutupkan dua tangannya di atas wajah.
Pendekar 212 jadi bingung. Dia tak berani menyentuh
tubuh Luhjelita yang saat itu memang tidak tertutup apa-
apa. Akhirnya diambilnya pakaian Luhjelita yang
bertebaran di lantai. Pakaian ini ditutupkannya sebisanya
ke tubuh si gadis. Pada saat itulah dia melihat ada
bayangan bergerak di dinding goa. Berarti ada seseorang di
mulut goa. Wiro berpaling, hendak bangkit berdiri. Namun
gerakannya tertahan oleh suara Luhjelita.
“Wiro...”
Wiro terpaksa kembali mendekati gadis itu, duduk
disampingnya. “Kenakan pakaianmu, baru nanti kita
bicara. Aku merasa ada seseorang di luar goa. Aku akan
menyelidik sebentar. Nanti kembali lagi ke sini...”
“Jangan... jangan pergi. Aku takut Wiro. Takut sekali.
Aku... rasanya aku ingin mati saja saat ini. Jangan pergi.
Siapapun yang ada di luar sana biar saja...”
“Gadis ini sedang kacau pikiran,” kata Wiro dalam hati.
“Tadi disuruhnya aku pergi, jangan menemuinya lagi.
Sekarang dia tidak mau ditinggal...”
Wiro terpaksa mengikuti kata-kata Luhjelita. Karena si
gadis tidak berusaha mengenakan pakaiannya, setengah
memaksa Wiro membantu Luhjelita berpakaian. Dalam
keadaan lain, berdua-dua seperti itu bisa membuat sang
pendekar jadi panas dingin.
“Gila, mengapa keadaan bisa seperti ini. Kalau ada
orang lain yang melihat bisa-bisa dia salah sangka!” Wiro
membatin sambil garuk-garuk kepala.“Nah, kau sudah berpakaian rapi. Duduklah bersandar
ke dinding goa sebelah sini. Kelihatannya kau berada
dalam satu goncangan besar...”
“Luar biasa besarnya Wiro. Membuat aku rasanya ingin
mati saja saat ini,” jawab Luhjelita lirih. Gadis ini beringsut
ke kiri lalu duduk bersandar ke dinding goa.
“Ceritakan apa yang terjadi...” kata Wiro pula seraya
duduk di hadapan si gadis.
“Aku ingin tahu dulu, bagaimana kau bisa sampai di
sini?” tanya Luhjelita sambil mengusap air mata yang
membasahi pipinya. Wajahnya masih pucat tak berdarah.
Rambutnya awut-awutan.
Wiro lalu bercerita.
“Aku bertemu dan diserang oleh dua orang gadis
kembar mengaku berjuluk Sepasang Gadis Bahagia...”
Mendengar Wiro mengucapkan nama itu Luhjelita
langsung terpekik. “Dua gadis jahanam itu! Mereka...!”
Jeritan Luhjelita terputus, bersambung dengan ratapan
panjang.
***
Kita tinggalkan Wiro dan Luhjelita yang ada di dalam
goa. Kita kembali pada saat-saat sebelumnya ketika Wiro
berusaha mencari goa di mana Luhjelita disekap oleh
sepasang dara kembar. Seperti dituturkan karena
perhatiannya sangat terpusat pada usaha mencari dan
menyelamatkan Luhjelita, murid Sinto Gendeng ini sampai
tidak memperhatikan kalau di udara ada sesosok burung
besar yang bukan lain adalah Laeputih, angsa raksasa
milik Peri Angsa Putih. Binatang ini terbang mengikutinya
dari kejauhan. Tentu saja binatang itu melayang mengikuti
atas kehendak si pemiliknya yakni Peri Angsa Putih yang
ada di atas punggungnya.
Sang Peri merasa heran melihat Wiro berlari ke arah
kawasan tinggi berbatu-batu dan dipenuhi semak belukar
serta pohon-pohon berduri. Saat itulah angsa tunggangan
yang bernama Laeputih itu keluarkan suara menguik halus.
Peri Angsa Putih yang sudah tahu sifat binatang
kesayangannya itu mengusap kepala Laeputih seraya
berucap.
“Aku tahu, kau melihat sesuatu. Tapi mataku masih
belum melihat apa-apa. Melayanglah lebih rendah. Hati-
hati. Jangan sampai orang yang kita ikuti melihat kita...”
Laeputih menguik halus lalu tukikkan kepalanya ke
bawah. Sesaat kemudian angsa putih inipun melayang
merendah. Gerakan sayapnya dibuat demikian rupa hingga
dia terbang hampir tanpa suara. Di ketinggian tertentu
Laeputih berputar dua kali. Peri Angsa Putih memandang
ke bawah. Dia melihat bebukitan. Batu-batu diseling oleh
semak belukar dan pohon-pohon berduri aneh. Tiba-tiba
matanya melihat sesuatu. Tapi belum jelas benar. Dada
sang peri mendadak berdebar. Matanya digosoknya.
“Lae...” bisik Peri Angsa Putih pada binatang
tunggangannya. “Berputar sekali lagi, jangan terlalu
cepat...”
Laeputih lakukan apa yang dikatakan Peri Angsa Putih.
Binatang ini kembali melayang berputar. Peri Angsa Putih
memasang mata tajam-tajam. Debaran di dadanya
semakin kencang. Matanya membelalak dan dua
tangannya memegangi pangkal leher. Wajahnya berubah
pucat.
“Laecoklat...” desis sang peri. “Kura-kura bersayap
tunggangan Luhjelita! Laeputih, lekas terbang ke balik
bukit sana. Melayang berputar sampai aku memberi
perintah berikutnya!”
Di langit sebelah timur Laeputih berputar berulang kali.
Namun sang Peri masih belum memberi aba-aba
selanjutnya. Di atas punggung angsa putih itu Peri Angsa
Putih justru berada dalam pikiran kacau balau serta hati
tak karuan rasa.
“Wiro... Dia menuju ke bukit terpencil itu. Ternyata di
situ ada Laecoklat, kura-kura terbang milik Luhjelita. Pasti
gadis itu juga berada di bukit itu. Jangan-jangan antaramereka memang sudah ada perjanjian untuk bertemu...
Wahai para Dewa, wahai para Peri Agung. Apa yang harus
aku lakukan?!” Rasa cemburu membakar diri Peri ini
hingga wajahnya yang cantik jelita menjadi merah sampai
ke pangkal leher.
Seperti diketahui sejak dia pertama kali bertemu
dengan Wiro yang masih berada dalam sosok kecil
dibanding dengan orang-orang yang ada di Negeri
Latanahsilam, Peri Angsa Putih memang telah merasa suka
kepadanya. Lalu sewaktu sosok Wiro berubah menjadi
besar, rasa suka sang Peri semakin bertambah besar,
malah berubah menjadi rasa menyayangi. Peri Angsa Putih
menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada Pendekar 212.
Satu perasaan yang sangat menjadi pantangan bagi
bangsa Peri di Negeri Atas Langit.
Sebelumnya dia pernah tertarik pada lelaki gagah
bernama Lakasipo berjuluk Hantu Kaki Batu. Rasa tertarik
ini lebih didorong karena hiba melihat nasib yang dialami
Lakasipo yakni setelah istrinya meninggal bunuh diri.
Namun setelah kejadian itu, jika kini dia boleh memilih
maka rasa tertarik dan cinta kasihnya ingin diberikannya
sepenuhnya pada pemuda dari negeri seribu dua ratus
tahun mendatang itu. Peri Angsa Putih sadar akan
pantangan yang hendak dilanggarnya serta akibat besar
yang bakal dihadapinya. Namun dia seperti tidak berdaya.
Semakin dia coba menghilangkan Wiro dari pikirannya,
semakin berkobar dan terpateri kasih sayang dalam lubuk
hatinya. Semakin dicobanya untuk keluar dari telaga cinta,
semakin jauh dia tenggelam ke dalamnya. Dalam keadaan
seperti itu berbagai ganjalan kemudian ditemuinya.
Luhjelita, gadis cantik berkepandaian tinggi itu muncul
dan dirasakannya sebagai saingannya. Kemudian muncul
pula gadis yang dikenalnya dengan nama Luhcinta.
Kecantikannya melebihi Luhjelita dan agaknya antara si
gadis dengan Wiro telah terjalin satu hubungan. Semua
kecemburuan ini membuat Peri Angsa Putih merasa
seolah-olah langit hendak runtuh menyungkup dirinya.Apalagi kemudian dia menyirap kabar yang bersifat teka-
teki. Hantu Raja Obat kabarnya pernah berucap bahwa ada
seorang gadis yang akan memberikan cinta kasihnya hanya
pada Wiro seorang. Lalu dia juga pernah mendengar
sendiri Luhrinjani berucap. Istri Lakasipo yang sebenarnya
telah lama meninggal dunia tapi rohnya bisa muncul
kembali seperti manusia biasa itu berucap bahwa memang
ada seorang gadis yang sangat mencintai Wiro Sableng.
Celakanya Luhrinjani tidak mau menyebutkan siapa
orangnya. Namun Peri Angsa Putih selain penasaran juga
merasa sangat khawatir. Gadis yang dimaksud Luhrinjani
itu tentulah gadis penghuni Negeri Latanahsilam, bukan
bangsa Peri seperti dirinya. Seringkali dalam merenung di
malam sepi Peri Angsa Putih mengucurkan air mata. Itu
sebabnya dia merasa lebih suka berada di Negeri
Latanahsilam dari pada berada di negerinya sendiri.
Kalaupun dia berada di negeri bangsa Peri, dia lebih suka
memencilkan diri.
Terkadang ada hasrat di hatinya untuk menemui Hantu
Raja Obat atau mencari makhluk roh bernama Luhrinjani
itu untuk menanyakan. Siapa sebenarnya gadis yang
mereka katakan sebagai satu-satunya gadis yang
memberikan cintanya hanya kepada Wiro? Namun setelah
dipikirnya lebih dalam dia memutuskan untuk tidak
melakukan hal itu. Bisa-bisa tersiar kabar bahwa dirinya
telah tergila-gila pada Pendekar 212 Wiro Sableng dan
menaruh cemburu pada gadis-gadis lainnya yang pernah
berhubungan dengan pemuda itu.
Kini menghadapi kenyataan bahwa Wiro berada di
sebuah bukit di mana dipastikannya Luhjelita juga ada di
situ, Peri Angsa Putih merasa seolah sekujur tubuhnya
terpanggang oleh panasnya hawa cemburu.
“Gadis bernama Luhjelita itu. Dia selalu mendahului
atau memotong setiap rencana yang hendak aku lakukan.
Kini mereka melakukan pertemuan rahasia di bukit itu.
Apakah aku harus menyelidik apa yang mereka lakukan?
Ah... Bagaimana ini!” Dalam bingungnya Peri Angsa Putihmembiarkan angsa tunggangannya melayang berputar-
putar sampai beberapa kali. “Daripada tambah hancur
hatiku, kurasa lebih baik aku pergi saja dari sini. Luhjelita
bukan saja cantik. Tapi juga pandai memikat. Aku tidak
punya kepandaian seperti itu. Aku... Laeputih, kita harus...”
Namun maksud sang Peri hendak memerintahkan angsa
putihnya meninggalkan kawasan itu tidak terucapkan.
Malah pada saat-saat hati dan pikirannya tambah kacau,
akhirnya dia mengambil keputusan yang berbeda.
“Lae, kita kembali ke bukit tadi. Hati-hati, jangan
sampai terlihat oleh Laecoklat...”
***
TUJUH
Hampir tanpa suara dan tidak terlihat oleh kura-kura
coklat, Peri Angsa Putih menyusup di balik kelebatan
semak belukar dan pohon-pohon berduri hingga
akhirnya dia sampai ke mulut goa. Di mulut goa Peri ini
hentikan langkahnya. Sesaat hatinya meragu, apakah akan
terus masuk ke dalam goa atau bagaimana. Jangan-jangan
gadis bernama Luhjelita berada di dalam goa. Dia tidak
suka pada Luhjelita dan dia yakin Luhjelitapun benci sekali
padanya. Semua ini berpangkal pada perasaan mereka
yang sama-sama ingin menyayangi Pendekar 212 Wiro
Sableng. Perselisihan mereka sampai pada saling pukul
memukul (baca Episode sebelumnya berjudul “Hantu Muka
Dua”).
Tiba-tiba Peri Angsa Putih dikejutkan oleh suara
perempuan menangis keluar dari dalam goa. Dia
memasang telinga. Sulit untuk mengenali suara tangisan
siapa itu adanya. Dengan dada berdebar akhirnya Peri
Angsa Putih bergerak masuk ke dalam goa.
Tepat di pertengahan goa, langkah Peri Angsa Putih
tertahan. Sepasang kakinya laksana dipantek. Sekujur
badannya menjadi panas bergeletar. Dua matanya
membeliak. Apa yang disaksikannya membuat dia ingin
menjerit. Hatinya benar-benar terpukul.
Lututnya mulai goyah. Dia seperti mau roboh!
Di depan sana, seorang gadis dalam keadaan tanpa
pakaian duduk di lantai sambil rangkulkan ke dua
tangannya ke leher Pendekar 212 Wiro Sableng. Dan gadis
itu bukan lain adalah si cantik genit Luhjelita! Saat itu
terdengar Luhjelita berkata lirih tapi jelas seperti petirmenyambar masuknya ke telinga Peri Angsa Putih.
“Terlambat Wiro, tak ada gunanya penyesalan. Mungkin
ini sudah takdir nasib diriku. Harus mengalami hal seperti
ini. Jangan sentuh diriku lagi... Pergilah, pergi dan jangan
pernah menemui diriku lagi. Aib yang aku derita terlalu
besar. Jangan sesalkan dirimu Wiro...”
Menggigil sekujur tubuh Peri Angsa Putih melihat
keadaan kedua orang itu, lebih-lebih mendengar apa yang
barusan diucapkan Luhjelita. Dia tidak dapat
membayangkan apa arti maksud ucapan gadis itu. Tapi
pasti telah terjadi sesuatu. “Mereka telah melakukan
sesuatu di dalam goa ini sebelum aku datang. Wahai
Dewa... Wahai Peri!” Peri Angsa Putih tekapkan dua
tangannya erat-erat ke leher, berusaha menahan jeritan
yang mungkin bisa membersit keluar dari mulutnya.
Khawatir dia tidak sanggup menahan diri, tanpa menunggu
lebih lama gadis dari Negeri Atas Langit ini segera memutar
tubuh dan tinggalkan goa itu. Namun bayangannya sempat
terlihat oleh Wiro di dinding goa. Murid Sinto Gendeng ini
segera hendak bergerak keluar goa guna menyelidik. Tapi
niatnya batal karena mendadak Luhjelita memanggilnya.
Di luar goa saking bingungnya Peri Angsa Putih
bukannya kembali menemui angsa putih tunggangannya
yang ditinggalkannya di satu tempat kelindungan, tapi dia
justru lari ke dalam rimba belantara. Di satu tempat ketika
dadanya terasa sesak dan kakinya bergetar berat tak
sanggup lagi di langkahkan kakinya, Peri Angsa Putih
gulingkan diri di tanah lalu menangis tersedu-sedu.
Sang Peri tidak tahu berapa lama dia berada dalam
keadaan seperti itu ketika tiba-tiba ada cahaya biru
berkelebat di atasnya disertai menebarnya bau harum
semerbak. Peri Angsa Putih turunkan dua tangan yang
sejak tadi ditekapkannya ke wajahnya yang basah oleh air
mata. Peri ini terbelalak ketika melihat siapa yang tegak di
depannya. Dia segera menghapus air matanya, mengusap
wajahnya dan membungkuk,
“Peri Bunda... Simpul Agung Dari Segala Peri, PeriJunjungan Dari Segala Junjungan...”
Yang tegak di hadapan Peri Angsa Putih saat itu
ternyata adalah Peri Bunda, Peri separuh baya berwajah
cantik. Pakaian birunya yang panjang menjela-jela sampai
ke tanah. Di kepalanya ada sebentuk mahkota bertabur
batu permata. Walau usianya sudah agak baya namun
kecantikannya masih mempesona.
Peri Bunda adalah salah seorang Peri yang sangat
dihormati. Itu sebabnya Peri Angsa Putih tadi membungkuk
dan menyapa dengan segala panggilan penghormatan.
Dalam kejutnya melihat Peri Bunda, Peri Angsa Putih
bertanya-tanya bagaimana Peri Bunda tahu-tahu berada di
tempat itu. Walau ingin mengetahui, namun Peri Angsa
Putih tidak berani menanya. Malah sebaliknya Peri Bunda
berkata padanya dengan penuh kelembutan.
“Wahai Peri Angsa Putih kerabatku yang cantik. Setelah
cukup lama kau meninggalkan negeri kita, sungguh aneh
menemukan dirimu di dalam rimba belantara ini. Lebih
aneh lagi tadi kau dalam keadaan terguling di tanah.
Menangis. Dari suara tangismu agaknya ada suatu
keperihan yang sangat mendalam di relung hatimu. Peri
Angsa Putih katakan padaku apa yang terjadi. Katakan jika
ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk menolongmu.”
Ditegur begitu rupa kesedihan Peri Angsa Putih jadi
bertambah, membuat dia kembali menangis tersedu-sedu
dan tutupkan lagi dua tangannya ke wajahnya yang berurai
air mata.
Peri Bunda dekati kerabatnya itu. Sambil membelai
rambut hitam Peri Angsa Putih dia berkata. “Peri Angsa
Putih, segala kesulitan dan kesedihan tidak dapat diakhiri
hanya dengan air mata. Aku ingin menolongmu dari duka
deritamu. Karena itu mulailah menceritakan padaku apa
yang terjadi...”
Peri Angsa Putih pergunakan pakaian putihnya untuk
mengusap wajahnya lalu berkata. “Peri Bunda, semuanya
serba tidak terduga. Aku... dia...” Kembali Peri Angsa Putih
sesenggukan.“Kuatkan hatimu wahai Peri Angsa Putih. Bicaralah
dengan ketabahan seorang Peri. Tak usah terburu-buru.
Aku akan mendengarkan dengan sabar...” Kembali Peri
Bunda membelai kepala Peri Angsa Putih dengan penuh
kasih sayang.
“Peri Bunda, sungguh baik sekali hatimu. Kau sangat
memperhatikan diriku. Apakah kau masih ingat
pembicaraan kita beberapa waktu lalu tentang menipisnya
batas antara kita para Peri dengan manusia di bawah
langit?”
Peri Bunda pejamkan mata sesaat seperti merenung.
Begitu dia membuka kedua matanya yang bagus, diapun
berkata, “Wahai, tentu saja aku ingat. Pembicaraan itu
sangat besar artinya bagimu bukan? Bagiku merupakan
sesuatu yang perlu mendapat perhatian. Apakah ada
hubungan pembicaraan kita waktu itu dengan keadaanmu
saat ini?”
“Peri Bunda, terus terang hatiku memang telah
melangkah jauh walau sepasang kakiku masih terikat demi
menjaga segala pantangan dan larangan kaum Peri...”
Peri Bunda kerenyitkan keningnya. “Aku tidak mengerti
maksud ucapanmu wahai Peri Angsa Putih. Atau...
hemmm... Mungkinkah kau...”
“Peri Bunda, barusan saja aku menyaksikan sesuatu di
dalam sebuah goa tak jauh dari tempat ini.”
“Apa yang kau saksikan di dalam goa itu wahai Peri
Angsa Putih?” tanya Peri Bunda pula.
“Aku menyaksikan Luhjelita...”
“Luhjelita, gadis cantik genit perayu lelaki itu! Apa yang
kau saksikan wahai kerabatku? Mengapa dia, sedang apa
dia?” Pertanyaan Peri Bunda datang beruntun.
Tenggorokan Peri Angsa Putih turun naik dan suaranya
bergetar ketika dia berucap, “Gadis itu... Tanpa pakaian...
Dia berdua dengan...” Tangis Peri Angsa Putih kembali
tersembur.
Setelah tangisnya mereda baru Peri Bunda bertanya.
“Kau melihat Luhjelita. Berdua dengan siapa wahaikerabatku?”
Karena memang hanya akan membuat sesak dadanya
menahan-nahan cerita, maka Peri Angsa Putih lalu
menuturkan apa yang dilihatnya di dalam goa beberapa
waktu lalu. Sepasang mata Peri Bunda jadi terbelalak,
wajahnya sebentar memutih pucat sebentar bersemu
merah mendengar apa yang dituturkan Peri Angsa Putih.
Dia memandang lekat-lekat pada Peri Angsa Putih yang
memandang kepadanya dengan sepasang mata berurai air
mata.
“Wahai Peri Bunda...” kata Peri Angsa Putih tersengguk-
sengguk. “Sungguh aku tidak menduga mereka mau
melakukan hal itu. Dan setelah itu terjadi mereka bicara
segala macam penyesalan... Sangat menjijikkan...!”
Lama Peri Bunda terdiam. Setelah geleng-gelengkan
kepala beberapa kali baru dia berucap, “Begitulah sifat dan
martabat bangsa manusia di muka bumi, yang tidak sama
dan tidak boleh terjadi dengan kita para Peri dari Negeri
Atas Langit. Luhjelita, gadis perayu itu tidak menghargai diri
dan kesuciannya sendiri. Begitu mudah dia menyerahkan
diri. Dan pemuda bernama Wiro Sableng itu aku menaruh
curiga dia sebenarnya adalah apa yang disebut sebagai
pemuda hidung belang. Kau dengar mereka bicara segala
penyesalan. Itu semua hanyalah siasat basa-basi karena
pasti di lain saat mereka akan melakukan hal-hal mesum
seperti itu... Dan aku yakin, pemuda dari negeri seribu dua
ratus tahun mendatang itu, setelah mendapatkan kesucian
Luhjelita, pasti dia akan mencari mangsa lainnya!”
Mendengar kata-kata Peri Bunda itu Peri Angsa Putih
tekapkan dua tangannya ke wajah, lalu kembali terisak-
isak.
“Peri Angsa Putih, turunkan dua tanganmu. Angkat
wajahmu dan pandang wajahku. Aku harus menanyakan
sesuatu padamu. Aku harus mengatakan sesuatu padamu.
Apakah kau mendengar ucapanku wahai kerabatku?”
Perlahan-lahan Peri Angsa Putih turunkan kedua
tangannya, menatap wajah Peri Bunda dan menunggusampai Peri yang digelari Simpul Agung Segala Peri, Peri
Junjungan Dari Segala Junjungan itu berkata.
“Melihat kepada air mukamu. Dari cara kau
menuturkan apa yang kau saksikan, aku melihat dan bisa
merasakan bahwa kau sangat terpukul. Kalau aku boleh
bertanya wahai Peri Angsa Putih, dan jika kau mau berterus
terang, apakah kau mempunyai satu perasaan tertentu
terhadap pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang itu?”
Peri Angsa Putih gigit bibirnya menahan agar tidak
terisak. Setelah menguatkan hatinya baru dia berkata.
“Wahai Peri Bunda, itu sebabnya tadi aku mengingatkanmu
pada pembicaraan kita beberapa waktu lalu...”
“Hemmm... Aku mengerti sekarang,” ujar Peri Bunda
pula. “Rupanya kau telah jatuh cinta pada pemuda itu...”
“Wahai Peri Bunda, aku tidak tahu perasaan apa yang
ada dalam hatiku terhadap pemuda itu. Karena selama ini
hal-hal seperti itu tidak pernah aku alami. Lagipula
bukankah itu merupakan satu pantangan besar yang berat
hukumannya jika sampai dilanggar...”
“Jadi benar kau telah jatuh cinta pada pemuda
bernama Wiro Sableng itu?”
“Peri Bunda,” sahut Peri Angsa Putih yang bermata biru
itu. “Ingat pembicaraan kita dulu. Waktu itu aku
menanyakan padamu, apakah kau sependapat denganku
bahwa dunia kita semakin lama semakin mengalami
banyak perbedaan. Bahwa batas antara kita bangsa Peri
dan manusia di bawah langit sana semakin tipis. Laksana
kabut pagi yang mudah dipupus ditelan sinar matahari...?”
“Aku memang ingat pembicaraan kita itu, wahai
kerabatku. Tapi saat ini yang aku inginkan ialah agar kau
mau menjawab pertanyaanku tadi. Benarkah kau telah
jatuh cinta pada Wiro Sableng?”
Ditanya seperti itu Peri Angsa Putih jadi tundukkan
kepala.
“Kau tidak mau menjawab pertanyaanku Peri Angsa
Putih?”Karena didesak akhirnya dalam menunduk Peri Angsa
Putih anggukkan kepalanya. Peri Bunda pejamkan
sepasang matanya. Wajahnya sesaat memucat. Tanpa
diketahuinya saat itu Peri Angsa Putih telah mengangkat
kepala dan memandang padanya. Peri Angsa Putih merasa
heran melihat sikap Peri Bunda yang mendongakkan wajah
dengan mata terpejam seperti itu.
“Peri Bunda...” memanggil Peri Angsa Putih.
Sadar dan agak terkejut Peri Bunda buka sepasang
matanya, menatap ke dalam mata biru Peri Angsa Putih,
lalu berkata.
“Kerabatku Peri Angsa Putih, jangan berisau hati.
Mungkin kau memang telah melakukan satu kesalahan.
Jatuh cinta pada insan lain yang bukan kaum kita. Namun
dalam keadaan seperti itu kau masih ingat bahwa hal itu
merupakan satu pantangan besar. Yang jika kau langgar
akan menimbulkan malapetaka besar, bukan saja bagi
dirimu tapi juga bagi negeri kita. Ingat apa yang terjadi di
Negeri Atas Langit ketika seorang peri yang kemudian
mengganti namanya menjadi Luhmintari bercinta dengan
seorang lelaki berasal dari Negeri Latanahsilam bahkan
kemudian melangsungkan perkawinan yang membuahi
seorang anak cacat mengerikan bernama Jatilandak? Alam
kita tercemar, segala tuah tidak lagi mujarab. Angin tidak
berhembus selama setahun penuh. Kalaupun berhembus
maka hawa busuk tercium di mana-mana dan udara terasa
pengap. Air berhenti mengucur dari tempat ketinggian ke
tempat rendah. Akibatnya banyak kawasan mengalami
kekeringan. Bunga-bunga menjadi layu. Pucuk tidak akan
menjadi buah. Buah banyak yang jatuh busuk ke tanah.
Lalu semacam penyakit menular bertebar menakutkan.
Aku, kita semua bangsa Peri tidak ingin kejadian itu
terulang kembali. Karenanya wahai kerabatku Peri Angsa
Putih, aku mewakili para Peri di Negeri Atas Angin,
berharap dengan sepuluh jari tersusun di atas kepala.
Sebelum terlambat, sebelum datang penyesalan yang tiada
gunanya, jangan kau lanjutkan kesesatan itu. Janganlanggar pantangan kaum kita. Sirnakan cintamu, kikis rasa
kasih sayangmu, buang jauh-jauh rasa sukamu, apapun
namanya terhadap pemuda bernama Wiro Sableng itu. Aku
tahu kau belum melangkah terlalu jauh. Aku tahu kau
punya kebesaran jiwa ketabahan hati dan sikap tegas
dalam mengambil keputusan. Jauhi pemuda itu, lupakan
semua yang ada di hatimu terhadapnya. Aku dan para Peri
akan berusaha menolongmu...”
Peri Angsa Putih tercekat mendengar kata-kata Peri
Bunda itu. Wajahnya kembali pucat tidak berdarah. “Peri
Bunda...” ucapnya tersendat. “Mungkinkah... Mungkinkah
aku bisa melupakan pemuda itu? Kasih sayang, cinta
tulusku terhadapnya telah terpendam di lubuk hati,
menjadi satu dalam aliran darahku. Berada dalam setiap
tarikan nafasku. Ke mana mataku memandang, wajahnya
yang terlihat. Wahai...”
Peri Bunda tersenyum. “Dengar baik-baik wahai Peri
Angsa Putih. Kita para Peri tidak mengenal dan tidak boleh
mengenal kasih sayang atau cinta tulus terhadap makhluk
di bumi. Terhadap manusia di Negeri Latanahsilam saja hal
itu sudah merupakan satu pantangan besar yang jika
dilanggar sangat mengerikan akibatnya. Apalagi pemuda
itu konon datang dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang. Satu negeri yang tidak kita kenal. Ingat ketika
pertama kali dia dan kawan-kawannya muncul di sini?
Sosok mereka tidak lebih besar dari jari kaki kita...!”
Peri Angsa Putih, Peri yang memiliki sepasang bola
mata berwarna biru bagus ini mengusap air mata yang
berderai jatuh di pipinya. “Peri Bunda... Wahai, aku tidak
tahu harus mengatakan apa...”
“Kau tidak perlu mengatakan apa-apa dengan
mulutmu, wahai Peri Angsa Putih. Tapi berucaplah dalam
hatimu bahwa kau akan menjauhkan pemuda itu dan
melupakannya untuk selama-lamanya. Semua apa yang
terjadi hanya kita berdua yang tahu. Aku tidak akan
mengungkapkannya pada Peri yang lain.”
Peri Angsa Putih terduduk bersimpuh. Mukanyaditekapnya kembali pada wajahnya. Kepalanya
digelengkan, dadanya bergetar menahan isak. Mulutnya
bergerak, tapi suaranya hanya keluar di dalam hati.
“Tidak mungkin Peri Bunda... Tidak mungkin aku
menjauhkan dirinya karena dirinya sudah terpateri dalam
hatiku. Cinta kasihku terhadapnya sudah larut dalam aliran
darahku. Kasih sayangku terhadapnya menjadi satu
dengan hembusan nafasku. Peri Bunda, jika aku harus
memilih sesuatu yang lain, aku lebih suka memilih
kematian...”
“Peri Angsa Putih, aku tahu kau tidak akan
mengecewakan aku dan kerabat para Peri lainnya. Aku
tahu kau akan mengambil keputusan sesuai dengan
semua nasihat yang kusampaikan tadi. Aku tidak punya
waktu berlama-lama di sini dan harus kembali ke Negeri
Atas Langit. Kuharap kau juga segera kembali ke sana.
Semakin berlama-lama kau di negeri ini semakin buruk
akibatnya bagimu...”
Setelah berucap begitu dengan lembut Peri Bunda cium
kening Peri Angsa Putih lalu melesat ke udara dan lenyap
di ketinggian langit sebelah timur.
Hanya sesaat setelah Peri Bunda meninggalkan tempat
itu, dari balik batu rerimbunan semak belukar lebat,
beranjak pula seseorang yang telah lama mendekam di
situ. Dia telah mendengar seluruh pembicaraan antara Peri
Bunda dengan Peri Angsa Putih. Apa yang didengarnya itu
membuat hatinya tergoncang hebat. Dia baru menyadari
betapa dalam kasih sayangnya terhadap pemuda itu
setelah mengetahui benar-benar ada gadis lain yang
mencintai si pemuda. Dalam pikiran kacau seperti itu dia
tidak lagi memperhatikan arah maupun gerak jalannya.
Pakaiannya tersangkut di ujung ranting lancip. Secarik kecil
robekannya terkait tinggal di ujung ranting.
***
DELAPAN
Kembali e dalam goa di mana Pendekar 212 Wiro
Sableng berada bersama gadis cantik Luhjelita. Saat
itu Luhjelita telah mengenakan pakaian jingganya
kembali. Gadis ini duduk di lantai goa, bersandar ke
dinding batu. Sepasang matanya sembab bekas menangis
dan wajahnya masih agak pucat.
“Luhjelita, apakah sekarang kau bisa mengatakan apa
yang terjadi? Tadi aku menyebutkan nama Sepasang Gadis
Bahagia. Kau begitu terkejut, marah besar malah meraung
keras!”
“Dua gadis kembar itu! Mereka jahanam-jahanam yang
telah mencelakai menodaiku!” teriak Luhjelita. Lalu gadis
itu hantamkan tinjunya ke dinding goa.
Braakkk! Goa batu bergetar. Bagian yang terkena
pukulan hancur berlobang besar.
“Aku ingin menghancurkan kepala mereka seperti aku
menghancurkan dinding batu ini!” teriak Luhjelita. Lalu,
braakkk! Sekali lagi dia hantamkan kepalan tangan
kanannya. Lobang ke dua menganga di dinding goa. Ketika
Luhjelita yang seperti kesetanan hendak menghantam
untuk ke tiga kalinya, Wiro cepat pegang tangan gadis itu
dan berkata.
“Gadis berkepandaian tinggi sepertimu jangan sampai
dirasuk amarah dan melakukan hal yang hanya mencelakai
diri sendiri!”
Luhjelita menggerung. Dua matanya memandang besar
berapi-api pada Wiro. Wiro coba tersenyum. Perlahan-lahan
gadis ini turunkan tangannya.
“Diriku memang sudah celaka! Saat ini matipun akumau! Kau mau lihat bagaimana aku memecahkan kepala
dengan membenturkannya ke dinding batu ini?! Mau?!”
“Jangan jadi orang gila!” kata Wiro pula tapi cepat-cepat
menekap kepala si gadis dengan dua tangannya karena
khawatir Luhjelita benar-benar mau bertindak nekad. “Aku
percaya dua gadis kembar itu telah mencelakaimu karena
mereka memang bukan gadis baik-baik. Mereka telah
merampas tongkat batu biru yang dulu kau berikan
padaku. Dengar, aku percaya mereka telah mencelakaimu.
Tapi kalau kau katakan mereka juga menodaimu, ini yang
aku tidak mengerti!”
“Tidak mengerti! Apa yang tidak kau mengerti! Apa kau
tidak tahu siapa mereka?!”
“Siapapun mereka, mana mungkin mereka menodaimu.
Mana ada perempuan menodai perempuan...” kata Wiro
pula sambil garuk-garuk kepala.
Luhjelita mendengus gemas. “Kau dengar baik-baik
Wiro!” katanya setengah berteriak. “Dua gadis itu adalah
gadis-gadis binal yang cuma bergairah melakukan
hubungan badan dengan sejenisnya!”
Wiro melongo ternganga. “Maksudmu...” Pendekar 212
kembali garuk-garuk kepala. “Aku tidak...”
“Kau tidak mengerti! Kau juga tolol! Apa perlu
kujelaskan terang-terangan?! Menjijikkan!”
“Apanya yang menjijikkan?” tanya Wiro.
Luhjelita acungkan tinjunya. Siap hendak dijotoskan ke
mulut Wiro. Wiro diam dan tenang saja. Pelahan-lahan
Luhjelita turunkan tangannya. Matanya berkaca-kaca dan
isakannya memenuhi goa itu.
“Aku tidak bermaksud mempermainkanmu. Tapi aku
benar-benar tidak mengerti...”
“Aku akan jelaskan...” kata Luhjelita akhirnya dengan
suara lirih. “Dua gadis kembar itu memiliki kelainan.
Mereka tidak pernah suka pada laki-laki. Mereka hanya
bergairah dan bernafsu pada kaum perempuan. Mereka
menghadangku di satu tempat, menanyakan tongkat batu
biru yang kutemukan dekat mayat Si Tongkat BiruPengukur Bumi. Aku tak mau memberi tahu. Terjadi perang
mulut disusul perkelahian. Dua gadis kembar itu ternyata
memiliki kepandaian tinggi dan juga licik. Mereka berhasil
membuatku tidak berdaya. Mereka membawaku ke dalam
goa ini lalu mengancam. Jika aku tidak menerangkan di
mana beradanya tongkat batu biru itu maka mereka akan
menodai diriku... Daripada menjadi korban kebejatan dan
kemesuman mereka aku terpaksa mengatakan bahwa
tongkat batu biru itu telah aku berikan padamu. Tapi
memang dasar mereka dua manusia bejat. Setelah kuberi
tahu mereka tetap saja berbuat keji menodaiku!”
“Menodaimu... Maksudmu, maaf... Maksudmu mereka
mengancam hendak memperkosamu?”
Luhjelita beliakkan matanya ke arah Wiro tapi
kemudian anggukkan kepalanya lalu palingkan wajah yang
bersemu merah ke arah lain.
“Luhjelita, bagaimana mungkin... Bagaimana mungkin
mereka melakukan hal itu padamu? Bagaimana bisa
perempuan dengan perempuan... Memangnya mereka
memakai apa...?”
“Pertanyaan gila!” teriak Luhjelita kembali marah.
“Mereka menanggalkan pakaianku secara paksa! Mereka
menggerayangi seluruh tubuhku! Bukan cuma meraba!
Mereka melakukan perbuatan mesum itu! Menodaiku
bergantian!” Luhjelita tekapkan dua tangannya ke
wajahnya lalu menangis terisak-isak.
Wiro terdiam melongo, pandangi Luhjelita sambil garuk-
garuk kepala. “Luhjelita... Kalaupun mereka menodaimu,
kurasa saat ini kau masih tetap perawan. Maksudku kau
tidak sampai kehilangan kegadisanmu!”
Plaaakkk!
Tamparan Luhjelita mendarat di pipi kiri Pendekar 212
hingga Wiro sempoyongan. Melihat Wiro mengerenyit
kesakitan sambil usap-usap pipinya yang terasa sakit
pedas, Luhjelita jadi sadar dan menyesal atas
perbuatannya. Saking menyesalnya gadis ini langsung
memeluk Wiro seraya berkata. “Maafkan diriku. Aku tidakberniat menyakiti dirimu. Aku... pikiranku sangat kacau.
Semua yang kau ucapkan seperti mempermainkan diriku.
Aku menyesal... Maafkan...”
Wiro pegang dua lengan Luhjelita. Lalu berkata. “Dulu...
Di negeri asalku di tanah Jawa, aku juga pernah mengalami
kejadian aneh, lucu tapi juga mesum menjijikkan. Aku
bertemu dengan dua gadis cantik. Mereka hendak
menggagahiku. Ternyata mereka adalah dua orang lelaki
yang hanya punya gairah terhadap lelaki. Aku... Tapi aku
tidak sempat... Ah sudahlah!” Wiro menutupkan tangannya
ke mulut. Tapi semburan tawanya tidak terbendung.
Akhirnya murid Sinto Gendeng ini tersadar ke dinding goa
dan tertawa gelak-gelak sampai keluar air mata. Luhjelita
mula-mula memandang dengan wajah beringas. Lalu
cemberut. Namun kemudian dia ikut-ikutan tertawa walau
sambil banting-banting kaki (Mengenai apa yang dikatakan
Wiro itu harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Sepasang
Iblis Betina”).
Tiba-tiba Luhjelita hentikan tawanya. Wajahnya yang
cantik kembali kelihatan beringas. Lalu berubah sayu
sedih. Dia menarik nafas panjang dan dalam lalu berkata.
“Bagaimana hidupku selanjutnya. Aku merasa sangat
malu. Kalau saja ada orang lain yang tahu...”
“Mengapa kau mengkhawatirkan kehidupanmu
selanjutnya. Memangnya ada sesuatu yang hilang pada
dirimu...?”
“Pemuda sinting...! Jangan bergurau terus!”
“Aku tidak bergurau. Walau apa yang kau alami akan
sangat menghantui dirimu tapi lambat laun harus bisa kau
lupakan. Apalagi kau memang tidak kehilangan apa-apa.
Lalu tak ada orang lain yang menyaksikan atau tahu hal itu
kecuali aku. Dan aku tidak akan mungkin menceritakannya
pada orang lain. Lalu...”
“Sudah! Yang jelas aku akan mencari dua gadis kembar
jahanam itu! Sebelum mereka kuhabisi belum puas
hatiku!”
“Kau harus berlaku hati-hati Luhjelita. Menurutmumereka berkepandaian tinggi. Aku sendiri sudah
menghadapi mereka. Keduanya memiliki gerakan sangat
cepat. Buktinya mereka berhasil merampas tongkat batu
biru itu. Kalau kau suka, aku mau membantumu! Sekaligus
mendapatkan tongkat itu kembali. Tapi apa perlu sampai
membunuh mereka segala?!”
“Kalau tidak dibunuh mereka akan menodai gadis-gadis
lainnya! Sampai saat ini entah sudah berapa puluh gadis
yang jadi korban kemesuman mereka. Setan betul,
mengapa nasibku sampai begini. Kalau sudah kubunuh
mereka mungkin aku akan menjalani kehidupan
memencilkan diri. Aku merasa malu sendiri melihat dunia
ini...”
“Jangan bodoh. Kau masih muda! Masakan mau
memencilkan diri. Memangnya kau mau jadi apa...?”
“Mau jadi apa bukan urusanmu. Tapi...” Luhjelita ingat
pada ilmu yang tengah dicari dan dituntutnya.
Dipandanginya tangan kanannya di mana terlihat tiga buah
tahi lalat hitam. Lalu dia melirik pada Wiro. Dia tahu karena
pernah melihat dan hampir mendapatkan.
Di bawah pusar sang pendekar ada tiga buah tahi lalat
yang dulu hampir dapat dipindahkannya ke telapak
tangannya kalau tidak terhalang dengan kemunculan
seseorang berjuluk Si Pelawak Sinting (Baca Episode Wiro
Sableng berjudul “Hantu Tangan Empat”).
“Tapi apa?” Wiro bertanya.
Luhjelita gelengkan kepala. Lalu dia bangkit berdiri.
“Aku harus pergi sekarang.”
“Mencari dua gadis kembar itu?” tanya Wiro.
“Aku perlu menemui seseorang terlebih dulu. Kau
betulan ingin membantuku menghadapi dua gadis kembar
itu?”
“Tentu. Tapi aku juga perlu mencari dua sahabatku
lebih dulu,” jawab Wiro.
“Kakek tukang ngompol bau pesing dan anak lelaki
konyol itu?”
Wiro tertawa mendengar kata-kata Luhjelita itu.“Karena saat itu masing-masing kita punya
kepentingan, bagaimana kalau kita berjanji bertemu di
satu tempat...”
“Setuju-setuju saja,” jawab Wiro. “Kau yang
menentukan tempat dan waktunya...”
“Di sebelah selatan Gunung Latinggimeru ada sebuah
kawasan dipenuhi batu-batu berbentuk aneh. Aku akan
menunggumu di dekat tiga buah batu berbentuk tonggak
lancip mengarah ke langit. Saatnya malam bulan purnama
penuh mendatang.”
Wiro anggukkan kepala.
“Kau benar-benar akan datang?” Luhjelita bertanya
seolah tidak percaya.
“Kita memang tak sering berjumpa. Tapi apakah aku
pernah berdusta padamu?”
“Mana aku tahu,” jawab Luhjelita. “Mungkin di saat
pertemuan, sebelum mencari Sepasang Gadis Bahagia kita
perlu bicara soal bunga mawar kuning beracun tempo
hari...”
Wiro jentikkan jari-jari tangannya seraya berkata. “Itu
memang salah satu keinginanku!”
Luhjelita ulurkan tangan kanannya seperti hendak
memegang lengan Pendekar 212. Tapi niatnya itu
dibatalkan. Dia membalikkan badan dan melangkah cepat
menuju mulut goa.
Tak jauh dari mulut goa, di satu tempat yang
kelindungan seseorang yang sejak tadi menunggu
mengintai begitu melihat kemunculan Luhjelita, dalam hati
dia berkata. “Agaknya apa yang dikatakan Peri Bunda
benar adanya. Tadi di dalam goa kulihat dan kudengar
sendiri dia menangis menyesali diri yang ditimpa aib. Kini
keluar dari goa kulihat wajahnya cerah. Malah ada
sekelumit senyum di bibirnya. Rupanya memang dia gadis
yang pandai merayu lelaki untuk diajak berbuat mesum!”
Baru saja dia berkata begitu sepasang mata biru orang
yang mengintai tampak membesar ketika dari mulut goa
dia melihat pula sosok Pendekar 212 melangkah keluarsambil garuk-garuk kepala.
“Mungkin memang ada benarnya aku harus menuruti
nasehat Peri Bunda. Menjauhi dan melupakan pemuda itu!
Seperti gadis murahan tadi dia juga tampak keluar sambil
cengar-cengir! Sungguh menjijikkan!” Orang ini balikkan
badannya siap hendak melangkah pergi. Namun ada
kebimbangan di wajahnya. “Wahai... Apakah aku memang
sanggup melupakannya? Mungkin aku harus menemui
Hantu Raja Obat untuk mencari keterangan. Mungkin juga
aku perlu mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab untuk
mendapatkan petunjuk...”
***
SEMBILAN
Lembah Seribu Kabut. Saking marahnya Lakasipo
hantamkan kaki batunya hingga sebatang pohon
besar patah dan tumbang menggemuruh. Di atas batu
Hantu Langit Terjungkir mendesah berulang kali sambil
menjambak-jambak rambutnya yang putih terjulai.
“Tololnya diriku! Bagaimana mungkin aku berlaku ayal
dan lengah! Hingga benda yang sangat berharga itu sampai
dirampas dan dilarikan orang. Wahai, titipan amanat orang
aku sia-siakan. Bagaimana aku harus
mempertanggungjawabkan!” Lakasipo alias Hantu Kaki
Batu menatap orang tua yang tegak kaki ke atas kepala ke
bawah di atas batu. “Hantu Langit Terjungkir, aku mohon
maaf atas kelalaianku ini. Aku bersumpah akan mencari si
pencuri dan dapatkan kembali Sendok Pemasung Nasib
itu.”
“Aku memang ikut menyesali kejadian ini...” kata Hantu
Langit Terjungkir alias Lasedayu. “Tapi mau dibilang apa.
Mungkin ini sudah takdir para Dewa bahwa hidupku
seumur-umur akan sengsara seperti ini.” Hantu Langit
Terjungkir sibakkan rambutnya yang menjulai. Orang tua ini
ternyata memiliki wajah pucat putih seolah tidak berdarah.
Sepasang matanya berwarna kelabu, menatap ke arah
Lakasipo lalu berkata.
“Orang yang tadi merampas Sendok Pemasung Nasib
itu dari tanganmu, pastilah seorang berkepandaian luar
biasa tinggi. Gerakannya laksana kilatan cahaya, seperti
hantu di siang bolong. Aku tidak sempat melihat sosok,
apalagi wajahnya. Siapa dia tak bisa diduga...”
“Aku akan menyelidik. Aku musti mendapatkan sendokemas itu kembali...” kata Lakasipo pula.
“Terus terang, aku tidak terlalu berharap wahai Hantu
Kaki Batu,” kata si orang tua setengah berputus asa. “Saat
ini aku hanya menginginkan satu pertolongan saja
darimu...”
“Katakanlah, mungkin itu bisa sebagai penebus
kesalahanku,” ujar Lakasipo.
“Jika kau bertemu sahabatku bernama Lawungu itu,
atau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, beri tahu bahwa
aku ada di lembah ini. Katakan padanya bahwa sebelum
mati aku sangat ingin bertemu dengannya. Terutama Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Mungkin dia tahu perihal istri
dan empat anakku...”
“Permintaanmu pasti akan kulaksanakan, Hantu Langit
Terjungkir. Jika kau mengizinkan aku juga akan menyirap
kabar tentang anak istrimu. Kau telah menjelaskan bahwa
istrimu bernama Luhpingitan. Kalau aku boleh tahu,
siapakah nama ke empat anakmu?”
Hantu Langit Terjungkir kelihatan sedih. “Kau orang
baik. Kalau anak-anakku masih hidup usia mereka kira-kira
sebaya denganmu. Hanya sayang... Wahai. Waktu aku pergi
meninggalkan mereka sebelum banjir besar melanda
negeri, aku belum berkesempatan memberikan nama
kepada masing-masing mereka...”
“Sayang sekali, tapi aku akan berusaha melakukan apa
yang bisa aku lakukan,” kata Lakasipo lalu menyambung
ucapannya. “Dengan memohon maaf sekali lagi atas
kelalaianku, aku minta diri. Cepat atau lambat aku akan
menemuimu kembali di Lembah Seribu Kabut ini.”
Lakasipo menjura lalu balikkan tubuhnya. Ketika dia
melangkah pergi sepasang kaki batunya mengeluarkan
suara bergemuruh menggetarkan tanah. Hantu Langit
Terjungkir memperhatikan dengan pandangan sepasang
mata kelabunya. Tiba-tiba orang tua ini melihat sesuatu di
lengan atas sebelah belakang, dekat ketiak Lakasipo. Mata
Hantu Langit Terjungkir membeliak besar. Dadanya
berdebar keras.“Tanda bunga dalam lingkaran! Dewa Maha Besar!
Tidak salahkah penglihatanku?! Jangan-jangan dia adalah
salah satu dari...” Hantu Langit Terjungkir usap kedua
matanya berulang kali. Dari mulutnya kemudian melesat
teriakan yang membahana di Seantero lembah.
“Hantu Kaki Batu! Tunggu dulu! Kembali!”
Di balik kabut di kejauhan sana Lakasipo hentikan
langkahnya lalu berbalik. Hatinya bertanya-tanya ada apa
Hantu Langit Terjungkir memanggilnya. Tetapi justru ketika
Lakasipo membalik, pada saat yang sama satu gelombang
api sangat dahsyat berkiblat seolah mencurah dari langit.
Lakasipo cepat melompat mundur.
Nyala api mengobari kawasan lembah. Ketika akhirnya
kobaran api itu sirna Hantu Langit Terjungkir tidak
kelihatan lagi di tempatnya.
“Ada gelombang api dari atas langit! Apa yang terjadi?
Ke mana lenyapnya orang tua itu?!”
Tiba-tiba di langit terdengar suara tawa bergelak.
Lakasipo mendongak ke atas. Di langit sebelah timur ada
sesosok tubuh dibalut kobaran api, melesat laksana
terbang menuju ke utara.
“Lamanyala... Pasti itu Lamanyala. Makhluk Wakil Para
Dewa yang diceritakan Hantu Langit Terjungkir...” pikir
Lakasipo. “Jangan-jangan dia telah mencelakai orang tua
itu. Telah membunuhnya!” Lakasipo berkelebat kian
kemari. Mencari sambil memanggil-manggil. Namun tak
ada jawaban. Tak ada gerakan. Lembah Seribu Kabut kini
disungkup kesunyian.
***
TAK lama setelah Lakasipo meninggalkan Lembah
Seribu Kabut, satu batu besar tampak bergerak lalu
terguling ke kiri. Dari sebuah lobang di bagian bawah batu
itu muncul sosok tubuh Hantu Langit Terjungkir, kotor
coreng-moreng oleh tanah liat basah. Ketika kejadian
gelombang api melesat dari langit orang tua ini bukan sajasudah tahu apa yang bakal terjadi, tetapi juga mengetahui
siapa yang punya pekerjaan. Secepat kilat dia melompat
lalu menyelinap masuk ke dalam lobang di bawah batu
besar itu. Lobang tersebut memang sengaja dibuatnya
untuk berlindung dari segala macam bahaya yang tidak
diinginkan. Hantu Langit Terjungkir selamat dari sambaran
api karena setelah mendapat ilmu yang ditimbanya dari
kekuatan alam tubuhnya menjadi sangat enteng seperti
kabut dan dia mampu bergerak luar biasa cepatnya.
Dari tempatnya berdiri kaki ke atas tangan ke bawah
Hantu Langit Terjungkir memandang ke langit. Mulutnya
komat-kamit, pelipisnya menggembung. Matanya yang
kelabu menyorotkan hawa amarah.
“Jahanam Lamanyala! Siapa lagi kalau bukan dia yang
punya pekerjaan! Belum puas dia rupanya! Caranya tadi
menghantam dengan gelombang api jelas hendak
memisahkan aku dengan Hantu Kaki Batu. Tepat pada
saat aku melihat sebuah tanda di lengan lelaki itu.
Mungkin sekali Lamanyala tidak menginginkan aku
mendapatkan jejak anak-anakku!”
Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir memandang ke
arah lenyapnya Lakasipo. “Hantu Kaki Batu...” desisnya.
“Firasatku mengatakan kau memang salah seorang dari
mereka. Tidak ada manusia lain di dunia ini yang memiliki
tanda bunga dalam lingkaran seperti yang kau miliki di
belakang lenganmu sebelah kanan. Kau... Wahai para
Dewa, mengapa kau putus petunjuk ini? Ke mana aku
harus mencarinya? Lakasipo... Hantu Kaki Batu, aku yakin
kau salah seorang dari mereka. Kalaupun aku tidak
menemukan tiga lainnya, kau seorang sudah cukup
menjadi pengobat hati dan derita sengsara puluhan tahun
ini. Lakasipo... Nama gagah walau bukan aku yang
memberikan. Istriku Luhpingitan, wahai... Di mana kau
berada. Apakah kita masih bisa bertemu atau kau telah
mendahuluiku ke alam roh?” Sepasang mata kelabu si
orang tua berkaca-kaca. Dia menghela nafas dalam
beberapa kali. “Mungkin saatnya aku harus meninggalkan
Lembah Seribu Kabut ini! Mendekam di sini berpuluh
tahun tidak akan mungkin aku bisa menemukan istri dan
anak-anakku. Aku harus keluar dari sini. Aku harus mencari
jejak ke mana perginya Hantu Kaki Batu tadi. Lakasipo...
Aku yakin... Aku yakin sekali. Kalau saja si keparat
Lamanyala tadi tidak melancarkan serangan kobaran api
niscaya aku sudah mendapat kejelasan mengenai dirimu.”
Habis berkata begitu Hantu Langit Terjungkir gerakkan
dua kakinya. Dua larik sinar biru membeset, membuat
kabut yang mengapung bersibak di udara. Di saat itu pula
sosok si orang tua berkelebat ke arah timur. Kepalanya
masih tetap di sebelah bawah dengan rambut melambai
awut-awutan.
Mendadak ada cahaya merah membabat udara,
memotong gerakan Hantu Langit Terjungkir.
“Kurang ajar! Masih ada saja orang hendak mencelakai
diriku!” teriak Hantu Langit Terjungkir marah ketika
menyadari cahaya merah itu bukan cuma memotong
gerakannya tapi tiba-tiba laksana seekor ular api membalik
menghantam ke arahnya.
Sambil berjumpalitan di udara orang tua itu tendangkan
ke dua kakinya.
Wuuuutttt!
Wuuuutttt!
Dua larik sinar kebiru-biruan menyambar keluar dari
sepasang kaki Hantu Langit Terjungkir. Begitu beradu
dengan cahaya merah terdengar suara desssss... desss!
Asap tebal mengepul di udara akibat bentrokan dua
kekuatan sakti, yang satu mengandalkan panasnya
kekuatan api sedang yang lainnya berasal dari kabut alam
yang sejuk!
Hanya sesaat setelah terjadinya dua bentrokan
kekuatan dahsyat itu di kejauhan terdengar suara orang
menjerit kesakitan. Orangnya sendiri tidak kelihatan entah
berada di mana.
Sementara itu Hantu Langit Terjungkir sendiri terpental
sampai dua tombak lalu jatuh bergulingan di tanah. Diacepat berdiri di atas ke dua tangannya. Walau dadanya
berdenyut sakit namun dia tidak menderita cidera luar
maupun dalam.
“Penyerang jahanam! Membokong secara pengecut!
Aku sudah tahu siapa kau adanya! Mengapa masih
menyembunyikan tampang?!” Berteriak Hantu Langit
Terjungkir.
Saat itu juga dari balik pohon yang dikelilingi semak
belukar keluar sesosok tubuh, melangkah tertatih-tatih.
Keadaannya sungguh mengerikan.
“Jahanam kurang ajar! Memang dia rupanya!” kertak
Hantu Langit Terjungkir seraya cepat kerahkan tenaga
dalamnya yang kini berpusat di kening. Tidak mustahil
orang yang barusan keluar dari balik pohon itu akan
menghantamnya secara licik untuk ke dua kali.
***
SEPULUH
Sosok yang melangkah ke hadapan Hantu Langit
Terjungkir itu bukan lain adalah Lamanyala, makhluk
yang telah dicabut kewenangannya sebagai Wakil
atau Utusan Para Dewa di Negeri Latanahsilam.
Keadaannya tidak berbeda seperti terakhir kali muncul.
Tubuhnya masih dikobari api mulai dari kepala sampai ke
kaki. Sisi kanan badannya hanya merupakan satu lobang
menggeroak besar mengerikan. Ini akibat hantaman yang
dilancarkan Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir
sewaktu dulu terjadi perkelahian hebat antara mereka.
Saat itu Lasedayu masih memiliki kesaktian Jimat Hati
Dewa yang dirampasnya dari Latumpangan lalu ditelannya
(Baca Episode berjudul “Hantu Muka Dua”).
Walau bentrokan kekuatan hawa sakti tadi membuat
Lamanyala menderita sakit cukup parah namun begitu
sampai di hadapan Hantu Langit Terjungkir dia menyeringai
dan semburkan tawa mengekeh.
“Tidak kira tua bangka yang sudah dikuras seluruh ilmu
kesaktiannya ternyata masih membekal ilmu. Tapi sayang
cuma ilmu kepengan hingga tidak ada gunanya, tidak ada
yang menaruh rasa takut! Ha... ha... ha!”
Hantu Langit Terjungkir balas tertawa lalu meludah ke
tanah. “Sosokmu masih berbentuk setengah manusia
setengah setan tapi masih bisa jual lagak di hadapanku!
Jangan menyesal kalau sekali lagi kuhantam tubuhmu
bisa-bisa hanya tinggal jerangkong! Ha... ha... ha!”
“Kutuk telah jatuh atas dirimu! Bertahun-tahun kau
didera derita sengsara. Tapi masih saja sombong kalau
bicara!” tukas Lamanyala. Dia meniup ke depan. Darimulut, hidung dan dua telinganya menyembur kobaran api.
“Mungkin aku perlu menambahkan derita sengsaramu jadi
beberapa kali lipat!”
“Wahai! Jika kau memang mampu silahkan mencoba!”
jawab Hantu langit Terjungkir pula. Lalu kedua kakinya
digerakkan. Satu ke depan satu ke belakang. Sebelum
kedua kaki itu menghantam, di depan sana Lamanyala
tekukkan lututnya lalu serentak pukulkan kedua
tangannya. Maka menggebubulah dua gelombang kobaran
api, laksana ombak besar menggemuruh menggulung ke
arah Hantu Langit Terjungkir.
Hantu Langit terjungkir yang tidak jerih menghadapi
serangan lawan putar tubuhnya bagian pinggang ke kaki
dalam gerakan setengah lingkaran lalu menendang. Dua
larik sinar kebiru-biruan menebar. Hawa dingin
menyambar. Satu larik menangkis dan menghambat
datangnya dua gelombang kobaran api serangan lawan.
Satu larik lagi menyusup ke bawah lalu menderu di atas
permukaan tanah, menyambar ke arah Lamanyala.
Deesssss!
Asap mengepul ke udara begitu larikan sinar kebiruan
saling bentrok dengan dua gelombang api. Lamanyala
terkejut sekali ketika melihat bagaimana serangannya
terdorong hebat lalu pecah ke kiri dan ke kanan akibat
bentrokan dengan kekuatan lawan. Di saat itu pula larikan
sinar biru kedua menyambar ke arah kakinya.
Kakek berbadan geroak bolong ini tersentak kaget.
Sambil berteriak keras dia melompat ke atas lalu meniup
dengan kekuatan tenaga dalam penuh. Empat larik
kobaran api laksana gurita menyerbu Hantu Langit
Terjungkir. Orang tua yang diserang tetap berlaku tenang.
Kalau tadi dia pergunakan kekuatan kaki maka kini dia
hadapi serangan lawan dengan menjentikkan lima jari
tangan kanannya. Serta merta melesatlah lima sinar biru
memapasi empat sinar api serangan lawan. Kejut
Lamanyala bukan kepalang. Masih setengah jalan dia
sudah dapat merasakan getaran dahsyat serangan HantuLangit Terjungkir. Sambil berseru keras dia cepat-cepat
melesat ke udara.
“Belum apa-apa kau sudah memperlihatkan ketakutan
menghadapiku Lamanyala! Jangan kira kau bisa lari dari
tanganku! Sekali ini aku tidak memberi ampun lagi
padamu!”
Baru saja Hantu Langit Terjungkir berkata begitu tiba-
tiba dari samping kanan mencuat satu sinar hijau. Sebuah
cahaya aneh berbentuk tombak raksasa menderu ke arah
Hantu Langit Terjungkir.
“Kerabatku Lamanyala! Jangan takutkan makhluk
pencuri jimat itu! Aku datang membantumu! Kita berdua
masakan tidak bisa menyingkirkannya dari muka negeri
ini!”
Hantu Langit Terjungkir karuan saja jadi tercekat besar
dan berteriak keras. Serangan lima larik sinar birunya
terpaksa ditarik lalu dia cepat-cepat mencari selamat.
“Kurang ajar! Makhluk keparat itu datang lagi!” merutuk
Hantu Langit Terjungkir ketika melihat siapa yang
menyerangnya, bukan lain Hantu Lumpur Hijau. Seperti
dituturkan sebelumnya makhluk ini telah melarikan diri
karena takut menghadapi Hantu Kaki Batu yang muncul
membantu Hantu Langit Terjungkir.
“Kerabatku Hantu Lumpur Hijau! Terima kasih kau mau
menolongku! Kita berdua pasti bisa membereskan
makhluk tak berguna ini. Tapi ketahuilah, kematian terlalu
enak baginya. Aku ingin membunuhnya secara perlahan-
lahan. Biar dia tersiksa dulu seumur-umur!”
“Kalau begitu katamu wahai Lamanyala, aku mengikut
saja. Mari kita berebut pahala menggebuk manusia tidak
tahu diri ini!”
Dikeroyok dua walau dia bisa bertahan sambil sekali-
sekali balas menghantam namun lambat laun Hantu Langit
Terjungkir menjadi agak terdesak juga. Untung saja dia
memiliki keringanan tubuh serta gerakan yang luar biasa
cepatnya hingga sampai dua puluh jurus berlalu dua
lawannya itu masih belum sanggup menyentuhnya.Namun Lamanyala yang pernah menjadi Utusan atau
Wakil Para Dewa walau cacat, selain memiliki kepandaian
tinggi juga berotak cerdik. Setelah dua puluh lima jurus
berlalu dia dan Hantu Lumpur Hijau tidak sanggup
merobohkan lawan maka dia mulai memutar otak. Hanya
sebentar saja, dia segera menemui kelemahan lawan.
Seperti diketahui Hantu Langit Terjungkir yang telah
dikuras habis ilmu kesaktiannya oleh Hantu Muka Dua kini
memiliki ilmu kesaktian baru berdasarkan kekuatan alam,
terutama kekuatan yang berasal dari kabut yang selalu
menyungkup kawasan lembah. Kabut bersifat hampa dan
hanya ada di udara dingin. Untuk melenyapkan kekuatan
kabut hawa panas adalah musuh utamanya. Walau sekujur
tubuh Lamanyala dikobari api panas namun tidak cukup
kuat untuk mempengaruhi kekuatan lawan. Maka
Lamanyala lalu menciptakan kobaran api besar. Dia berlari
mengelilingi Hantu Langit Terjungkir sementara Hantu
Lumpur Hijau terus lancarkan serangan.
Sosok Lamanyala yang dikobari api berputar
mengelilingi Hantu Langit Terjungkir. Saat demi saat dia
memperciut putaran lingkarannya sambil menambah besar
kekuatan api yang mengobari tubuhnya.
“Celaka! Apa yang dilakukan bangsat bertubuh geroak
itu!” ujar Hantu Langit Terjungkir ketika dia dapatkan
dirinya dikelilingi lingkaran api hanya sejarak beberapa
jengkal saja sementara sosok Lamanyala tidak kelihatan
lagi! “Aku tidak dapat melihat apa-apa. Hanya api! Tubuhku
seperti mau leleh. Dua tanganku seolah berubah menjadi
besi dibakar!”
Dalam keadaan seperti itu pukulan-pukulan Hantu
Lumpur Hijau mulai pula bersarang di punggung, perut
atau dadanya. Sekujur tubuhnya babak belur. Darah
mengucur dari hidung dan mulutnya. Dua tulang iganya
malah sudah patah! Kalau dia tidak bisa keluar dari
lingkaran api, paling lama orang tua ini hanya bisa
bertahan tiga jurus di muka! Tubuhnya akan lumat
dihantam pukulan serta tendangan Hantu Lumpur Hijaulalu hangus gosong dipanggang kobaran api Lamanyala!
Sebelum ajal berpantang mati. Begitu kata ujar-ujar.
Dalam keadaan siap meregang nyawa karena Hantu Langit
Terjungkir tidak mungkin tertolong lagi, tiba-tiba terjadi satu
keanehan. Langit di atas lembah seolah redup padahal
tidak ada mendung tidak ada hamparan kabut. Lalu udara
mendadak berubah menjadi dingin. Makin lama hawa
dingin ini semakin menggila hingga dua kakek yang
mengeroyok Hantu Langit Terjungkir mulai menggigil
kedinginan.
“Gila! Apa yang terjadi! Api di sekujur tubuhku meredup
padam. Aku merasa dingin luar biasa!” Lamanyala
menggigil. Rahangnya sampai bergemeletakan. “Hantu
Lumpur Hijau! Apa kau juga merasa dingin?!”
Tak ada jawaban. Lamanyala berpaling dan kagetlah
dia. Hantu Lumpur Hijau dilihatnya seolah telah berubah
menjadi patung. Sekujur tubuhnya kaku tegang dibungkus
hawa dingin dan mengepulkan asap. Makhluk ini telah
berubah menjadi patung es! Tak bisa bergerak, tak bisa
bersuara. Sepasang matanya yang hijau melotot
membeliak tapi bola matanya tidak bisa bergerak
sedikitpun!
Nyali Lamanyala menjadi leleh. Bukan saja dia merasa
kecut melihat apa yang terjadi dengan Hantu Lumpur Hijau,
tapi juga ketika menyaksikan kobaran api di tubuhnya telah
mati semua. Kobaran api yang diciptakannya untuk
menggempur Hantu Langit Terjungkir, juga ikut-ikutan
mengecil akhirnya lenyap sama sekali! Lalu hawa dingin
seperti menggempur sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-
ubun sampai telapak kaki. Mulai dari permukaan jangat
sampai ke tulang sumsum!
“Celaka! Aku tak bisa menggerakkan dua tanganku!”
Lamanyala keluarkan seruan tertahan. “Kakiku juga kaku!”
Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Hawa
panas mengalir dari pusarnya tapi segera sirna. Malah rasa
dingin yang menyungkup tubuhnya jadi berlipat ganda. Kini
bukan hanya asap yang mengepul dari badan makhluk itu.
Tapi dari pinggiran mata, dari liang hidung, telinga dan
mulutnya mulai membersit darah kental. Begitu meleleh
begitu darah ini membeku!
Lamanyala menjerit setinggi langit. Tapi..., hekkk!
Tenggorokannya seperti tersumpal. Suaranya lenyap seolah
direnggut setan. Lalu seperti Hantu Lumpur Hijau makhluk
ini tak bisa lagi bergerak ataupun bersuara! Dia telah
berubah menjadi patung es!
***
SEBELAS
Walau Hantu Langit Terjungkir berada sangat dekat
dengan Hantu Lumpur Hijau dan Lamanyala yang
saat itu telah berubah menjadi patung-patung kaku
dingin dan mengepulkan asap, namun kakek satu ini sama
sekali tidak mengalami hal seperti yang dialami kedua
orang itu. Ini satu pertanda apapun yang terjadi, Hantu
Langit Terjungkir tidak ikut menjadi sasaran untuk dijadi–
kan patung es!
Terheran-heran Hantu Langit Terjungkir memandang
berkeliling. Pandangannya membentur sosok seorang
pemuda berpakaian serba putih, berambut gondrong.
Pemuda tak dikenalnya ini berdiri sekitar dua belas
langkah di sebelah sana sambil angkat sepasang tangan
dengan telapak diarahkan ke depan. Perlahan-lahan
pemuda ini kemudian menurunkan dua tangannya itu lalu
dirangkapkan di atas dada.
“Pemuda itu... Aku tak kenal siapa dia. Tapi agaknya dia
mempunyai satu ilmu aneh. Dia barusan menolongku
dengan ilmunya itu! Wahai... Aku harus menemuinya!”
Hantu Langit Terjungkir membatin sambil melirik pada dua
musuhnya yang masih tak bisa bergerak tak bisa bersuara
dan tubuh mereka terus-menerus mengepulkan asap
dingin.
“Edan!” Tiba-tiba si gondrong membentak. “Apa yang
salah! Mengapa aku ikut-ikut kedinginan dan mau
kencing!” Si gondrong ini segera salurkan hawa panas ke
dalam aliran darahnya. Tapi rasa ingin kencing memang
tak dapat ditahannya lagi. Begitu tangannya digerakkan
langsung saja dia menggaruk kepala lalu lari ke baliksemak belukar. Di sini dia segera dodorkan celana
putihnya. Belum sempat dia membuang air seninya tiba-
tiba dari balik semak belukar terdengar orang memaki dan
menjauhkan diri sebelum diguyur air kencing!
“Anak setan! Kau kira aku ini patung kayu apa! Enak
saja mau dikencingi!”
Si gondrong terkejut dan memandang ke depan. “Setan
Ngompol! Kau rupanya! Mengapa kau sembunyi di situ?!
Pasti kau tadi mengganggu mantera aji kesaktian Angin Es
yang aku keluarkan!”
“Wiro! Aku jengkel padamu!” kata kakek bermata jereng
berkuping lebar dan sebentar-sebentar ngompol itu.
“Sudah sejak lama aku tidak ngompol-ngompol. Datang ke
sini mencarimu tahu-tahu kau hajar dengan Ilmu Angin Es
yang membuat aku tak tahan langsung ngocor! Itu
sebabnya tadi aku sengaja mengacau agar kau juga
kebagian ngompolnya! Ha... ha... ha!”
“Tua bangka brengsek! Kalau kau tidak berniat nakal,
Ilmu Angin Es itu tidak akan mempengaruhimu! Pasti kau
memang sudah punya niat jahil sebelumnya! Pantas aku
ikut-ikutan kedinginan dan tak bisa menahan kencing!” Si
gondrong berpakaian putih yang bukan lain Pendekar 212
Wiro Sableng adanya memaki.
“Hik... hik... hik! Sekali-sekali kau rasakan bagaimana
enaknya ngompol di celana!” Satu suara ikut menimbrung.
Suara anak-anak.
Wiro putar tubuhnya.
“Naga Kuning sialan! Ayo buka mulutmu lebar-lebar.
Bicara lagi biar aku guyur dengan air kencing!”
“Hik... hik... hik! Kalau mau mengencingi jangan aku!
Dia saja!” kata Naga Kuning. Lalu anak ini dorong sosok si
Setan Ngompol ke balik semak belukar. Tepat pada saat
itu Pendekar 212 Wiro Sableng memang tidak dapat lagi
menahan diri. Air kencingnya mengucur dan jatuh muncrat
di muka si Setan Ngompol. Memercik di kedua matanya
yang jereng bahkan ada yang sempat masuk ke dalam
mulutnya.“Hueekkk!” Setan Ngompol memaki habis-habisan lalu
meludah muntah-muntah!
Wiro cepat-cepat rapikan celananya ketika dilihatnya
ada orang mendatangi. Ternyata orang tua yang berjalan
dengan mempergunakan dua tangannya itu.
“Orang muda, aku tidak tahu mengapa kau barusan
menolongku. Wahai! Aku mengucapkan terima kasih kau
telah menyelamatkan nyawaku...” Hantu Langit Terjungkir
sibakkan rambut putihnya. Matanya yang kelabu dikedip-
kedipkannya pada Wiro. Mulutnya menyunggingkan
senyum dan dua kakinya digerak-gerakkan. “Kau memiliki
ilmu aneh. Sanggup membuat dua kakek jahat itu kaku
tegang seolah dibungkus es. Siapakah kau adanya anak
muda berambut panjang sebahu? Yang di dadanya aku
lihat ada jarahan angka 212?”
Wiro balas tersenyum. “Aku bernama Wiro Sableng...”
“Wahai! Tunggu! Logat suaramu terdengar lucu. Kau...
Aku pernah menyirap kabar. Kau pastilah pemuda asing
yang katanya datang dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang itu!”
“Aku dan teman-teman ini...” kata Wiro sambil
menunjuk pada Setan Ngompol dan Naga Kuning, “tak
sengaja kesasar sampai di negeri ini. Aku datang ke
lembah ini karena mencari seorang sahabat.”
“Aku adalah satu-satunya penghuni Lembah Seribu
Kabut. Apakah sahabat yang kau cari itu memang tinggal di
sini?” tanya Hantu Langit Terjungkir.
Wiro gelengkan kepala. “Sahabatku itu datang ke sini
karena dia harus menyampaikan satu amanat untuk
seorang bernama Hantu Langit Terjungkir. Jika melihat
keadaan dirimu, bukankah kau kakek gagah yang
mempunyai julukan hebat itu?”
Hantu Langit Terjungkir tertawa gelak-gelak. “Sudah
lama aku tak pernah tertawa,” katanya. “Bicara denganmu
enak juga! Kau pandai memuji tapi hatimu polos! Anak
muda, ucapanmu tadi membuat dadaku berdebar.
Siapakah sahabat yang sedang kau cari itu? Apakah diaberpunya nama?”
“Namanya Lakasipo. Berjuluk Hantu Kaki Batu...”
Wajah si orang tua tampak berubah kaget. “Kau
mencari ke tempat yang betul. Tapi sayangnya, Lakasipo
telah lebih dulu meninggalkan tempat ini. Dia... Wahai,
justru saat ini timbul satu permintaanku padamu. Jika kau
bertemu dengan Lakasipo, katakan agar dia segera datang
ke tempat ini. Dia tidak perlu mengurusi mencari Sendok
Pemasung Nasib itu! Aku ingin sekali bicara dengan dia!
Sangat penting! Menyangkut rahasia dirinya dan diriku!”
“Hantu Langit Terjungkir, aku merasa heran mendengar
ucapanmu. Setahuku sahabatku Lakasipo datang ke sini
untuk menyerahkan Sendok Pemasung Nasib itu padamu
sesuai yang diamanatkan seorang kakek sakti bernama
Lawungu. Sekarang mengapa kau mengatakan bahwa dia
tidak perlu mencari sendok sakti itu...?”
“Aku harus menceritakan sesuatu padamu wahai anak
muda. Ketika Lakasipo hendak menyerahkan sendok itu
padaku, ada seorang berkepandaian tinggi merampas lalu
melarikannya!” Orang tua itu lalu menuturkan peristiwa
lenyapnya sendok emas itu. Lalu menghela nafas berulang
kali. “Aku kecewa sekali, benar-benar kecewa. Tapi apa
mau dikata. Wahai, mungkin nasibku memang harus
sengsara seumur-umur. Tapi, ada satu kejadian yang
membuatku penuh harapan hidup kembali. Aku
mempunyai firasat akan bertemu dengan anak-anakku
kembali. Paling tidak dengan salah seorang dari mereka...”
“Kek, rupanya kau punya riwayat hidup yang luar biasa.
Kau punya berapa orang anak dan apakah selama ini tidak
pernah bertemu dengan mereka?”
Ditanya begitu sepasang mata Hantu Langit Terjungkir
jadi berkaca-kaca. “Aku punya empat orang anak. Dari
seorang istri bernama Luhpingitan. Tapi aku tidak tahu di
mana mereka berada sekarang. Aku tak bisa menuturkan
riwayatku padamu. Jika kau dapat mencari Lakasipo dan
menyuruhnya datang ke sini itu sudah sangat menolong
bagiku. Aku berpengharapan besar bahwa Lakasipo yangberjuluk Hantu Kaki Batu itu adalah...” Hantu Langit
Terjungkir tidak mampu meneruskan penuturannya.
Mungkin juga dia tidak mau bercerita terlalu banyak
dengan orang-orang yang baru dikenalnya itu. Melihat hal
ini Wiro lalu merubah pembicaraan.
“Kek, apa benar kau tidak bisa berdiri di atas kedua
kakimu. Hingga sepasang tangan terpaksa kau jadikan
kaki?”
“Makhluk bernama Lamanyala itu telah menjatuhkan
kutuk atas diriku. Para Dewa menerima kutuknya karena
aku telah mencuri dan menelan satu benda sakti yang
disebut Jimat Hati Dewa. Akibat kutukannya itu aku jadi
begini...”
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya,
memandang pada Si Setan Ngompol dan Naga Kuning.
“Kek, boleh aku mencoba menurunkan sepasang kakimu
ke bawah lalu menaikkan kepalamu ke atas? Kurasa kau
bisa berjalan seperti wajarnya semua orang.”
Hantu Langit Terjungkir tersenyum pahit.
“Aku sudah mencobanya ratusan bahkan mungkin
ribuan kali. Setiap kucoba kedua kakiku kembali naik ke
atas. Kalau kau mau membuktikan sendiri silahkan saja...”
kata Hantu Langit Terjungkir pula.
Wiro lalu pegang bahu orang tua itu. Naga Kuning dan
Si Setan Ngompol pegang dua kaki si kakek lalu
menariknya ke bawah. Perlahan-lahan sosok Hantu Langit
Terjungkir berputar demikian rupa hingga ke dua kakinya
turun ke bawah, menyentuh tanah sementara kepalanya
naik ke atas sebagaimana wajarnya manusia.
“Ah, tubuhmu ternyata seringan kapas, Kek!” kata Wiro
terheran-heran. “Nah begini cara berdiri yang benar. Wah,
kau ternyata masih gagah Kek!” kata Wiro.
Hantu Langit Terjungkir tertawa lalu berkata.
“Anak muda, kau lihat sendiri. Kau telah berhasil
membalikkan diriku kepala ke atas kaki menginjak tanah.
Sekarang coba kalian lepaskan tangan-tangan kalian dari
bahu dan kakiku!”Wiro ikuti ucapan Hantu Langit Terjungkir. Begitu Wiro
lepaskan tangannya dari bahu orang tua itu, dan Naga
Kuning serta Si Setan Ngompol lepaskan pula pegangan
mereka pada sepasang kaki si kakek, sosok Hantu Langit
Terjungkir secara aneh mumbul ke atas lalu perlahan-lahan
kepalanya berputar ke samping, terus turun ke bawah.
Dengan sendirinya kedua kakinya naik ke atas. Sebelum
kepalanya menyentuh tanah, orang tua itu cepat ulurkan
tangan ke bawah untuk menopang tubuhnya.
Wiro memperhatikan apa yang terjadi dengan perasaan
aneh dan garuk-garuk kepala. Naga Kuning mencolek
tangan Si Setan Ngompol lalu berkata. “Ada keanehan
pada orang satu ini. Kurasa jangan-jangan kantong
menyannya besar seperti bola dan ada hawa di dalamnya.
Mungkin itu yang membuat tubuhnya sebelah bawah selalu
naik ke atas karena lebih ringan dari udara.”
Si Setan Ngompol menekap hidung dan mulutnya
menahan ketawa mendengar ucapan Naga Kuning itu.
Ditekap di atas yang di bawah lolos. Serrr... Kakek itu
kembali pada penyakit lamanya. Kencingnya tumpah tak
bisa ditahan!
“Hantu Langit Terjungkir, kami akan meneruskan
perjalanan. Mudah-mudahan kami bisa menemui Lakasipo
secepatnya dan menyuruhnya ke sini...” Wiro memberitahu.
Hantu Langit Terjungkir anggukkan kepala lalu pegang
betis Wiro dan berkata. “Kau telah menyelamatkan diriku.
Di negerimu aku dengar ada ujar-ujar seperti ini, Ada ubi
ada talas. Ada budi ada balas. Kelak satu ketika aku akan
mencarimu, membalas budi baikmu...”
“Kau baik hati, tapi aku menolong tidak mengharapkan
pamrih...”
“Kek, aku mau tanya. Apa yang hendak kau lakukan
pada dua manusia jahat itu?!” Naga Kuning tiba-tiba
ajukan pertanyaan sambil menunjuk pada Hantu Lumpur
Hijau dan Lamanyala.
“Berapa lama dia akan menjadi patung es seperti itu?”
balik bertanya Hantu Langit Terjungkir pada Pendekar 212.“Jika mereka tetap berada di udara terbuka tapi
terkena cahaya matahari, mereka baru bisa bebas sekitar
tujuh hari. Jika tidak terkena matahari bisa-bisa dua puluh
hari. Tapi jika mereka berada dalam air bisa-bisa empat
puluh hari.”
Naga Kuning menyambung kata-kata Wiro itu. “Waktu
ke sini, kami melihat ada satu comberan busuk, dalamnya
sekitar seleher. Di dalamnya ada macam-macam kotoran,
ular air, kodok dan lintah. Mengapa tidak dijebloskan saja
dua kakek jahat itu ke sana?!”
Hantu Langit Terjungkir menyeringai geli. “Ada baiknya
aku mengikuti usulmu itu wahai sahabat kecil yang nakal!
Ha... ha... haaa!”
Di sebelah sana Hantu Lumpur Hijau dan Lamanyala
walau berada dalam keadaan tak bisa bergerak tak
mampu bersuara dan dilamun hawa dingin luar biasa tapi
keduanya masih bisa mendengar apa yang diucapkan
Naga Kuning tadi. Karuan saja keduanya menyumpah
habis-habisan.
Ketika mereka sampai di tepi lembah sebelah timur,
Naga Kuning berkata. “Wiro, sebenarnya kami mencarimu
karena ada satu benda ajaib kami temui dalam sebuah goa
di kawasan sebelah selatan. Jika kita mencari Lakasipo
lebih dulu mungkin benda itu sudah diboyong orang...”
“Benda ajaib. Benda ajaib apa maksudmu, Naga
Kuning?” tanya Pendekar 212.
“Sebuah patung batu perempuan cantik. Patung itu bisa
tersenyum. Pandai mengedipkan mata tapi juga bisa
menangis.”
“Jangan kau bergurau. Mana ada patung seperti yang
kau katakan itu!”
“Anak ini tidak dusta. Aku sendiri ikut berada dalam goa
itu...” berkata Si Setan Ngompol. “Aku sampai terkencing-
kencing melihat keanehan itu! Kalau saja patung itu
makhluk hidup mungkin aku sudah jatuh hati dan tidak
akan meninggalkannya!”
“Kalau begitu...” kata Wiro sambil menghentikanlangkah dan garuk kepala. “Mungkin ada baiknya kita
segera menuju ke goa itu.”
***
DUA BELAS
Seperti diceritakan dalam episode sebelumnya,
“Rahasia Patung Menangis”, patung cantik
Luhmintari yang hendak diboyong para Peri ke Negeri
Atas Langit berhasil diselamatkan oleh Peri Angsa Putih.
Patung ini kemudian disembunyikannya dalam sebuah goa
di satu tempat terpencil. Secara tidak sengaja Naga Kuning
dan Si Setan Ngompol terpesat ke tempat itu, masuk ke
dalam goa dan menemukan patung Luhmintari.
Kedua orang ini bukan saja heran bisa menemukan
patung begitu bagus halus dan cantik di dalam goa, namun
juga merasa aneh karena melihat dari kedua mata patung
sesekali meluncur jatuh tetesan-tetesan air. Ketika
disentuh ternyata tetesan air itu terasa hangat seperti air
mata betulan.
“Aku melihat dia seperti tersenyum...” bisik Setan
Ngompol dengan suara gemetar. “Aku khawatir ini satu
tempat angker. Kalau aku ngompol dan kencingku sampai
jatuh di tempat ini bisa-bisa ada yang bakal mengutuk
diriku. Aku keluar dulu...” Sebenarnya si kakek sudah
merasa takut dan dingin tengkuknya. Itu sebabnya dia
buru-buru keluar. Ditinggal sendirian Naga Kuning jadi
kecut pula. Rasa takutnya tak dapat ditahannya lagi ketika
dilihatnya mata kiri patung itu seperti mengedip! Anak ini
langsung menghambur lari keluar goa.
“Kita harus mencari Wiro, memberi tahu adanya patung
itu. Jangan-jangan patung itu satu patung keramat. Jangan-
jangan ada kesaktian tersembunyi di dalamnya!”
Si kakek setuju maksud Naga Kuning. Kedua orang itu
segera tinggalkan tempat tersebut dan pergi mencariPendekar 212 yang kemudian mereka temukan di Lembah
Seribu Kabut.
Dari Lembah Seribu Kabut ketiga orang itu langsung
menuju kawasan di mana goa berisi patung terletak.
Setelah melewati sebuah bukit yang penuh ditumbuhi
bunga-bunga yang tengah mekar akhirnya mereka sampai
ke tempat tujuan. Di dalam goa lama murid Sinto Gendeng
tegak terkagum-kagum memperhatikan patung perempuan
cantik dengan rambut tergerai lepas itu.
“Belum pernah aku melihat patung sebagus ini. Halus
sekali. Para pemahat di tanah Jawa kurasa tidak sanggup
membuat yang seapik ini...” Wiro geleng-geleng kepala. Dia
perhatikan wajah patung lalu berkata pada dua temannya.
“Kalian bilang patung ini bisa menangis menitikkan air
mata. Bisa mengedipkan mata. Saat ini kulihat biasa-biasa
saja. Kecantikan dan kehalusan buatannya memang
mengagumkan sekali.”
“Kalau tidak berpenyakit suka ngompol rasanya mau
aku tinggal di dalam goa ini,” kata Si Setan Ngompol sambil
tekap bagian bawah perutnya dengan tangan kiri tapi
tangan kanannya enak saja mengusap-usap perut patung.
Wiro melangkah seputar patung. Ketika dia sampai di
sebelah depan patung kembali, pendekar kita mendadak
tersurut dua langkah. Dia melihat bibir patung seperti
bergerak membentuk senyum.
“Kau tak percaya! Apa kataku!” bisik Naga Kuning.
Pendekar 212 ulurkan tangan hendak mengusap bibir
patung. Tiba-tiba di mulut goa terdengar suara aneh.
Buuuuttttttttttt..!
“Hai, suara apa itu?” Mata jereng Si Setan Ngompol
berputar. Tangannya langsung turun menekap ke bawah.
Buuuuttttttt...!
Suara aneh panjang itu kembali terdengar. Datangnya
memang dari luar goa.
“Ada bayangan di dinding goa. Ada orang di luar sana,”
bisik Naga Kuning.
“Jangan-jangan pemilik goa, pemilik patung ini. Lekassembunyi di balik lekukan goa di ujung sana!” kata Wiro.
Ketiga orang itu lalu menyingkir ke ujung goa di mana
ada sebuah lekukan batu. Mereka mendekam di lekukan
ini. Dari sebelah depan tidak terlihat sebaliknya dari
tempat mereka berada ketiganya dapat melihat sebagian
goa sebelah depan dan seluruh sosok belakang patung.
Bayangan di dinding goa kembali bergerak. Lalu,
serrrr... Seperti angin berhembus satu sosok berpakaian
kuning melangkah seolah melayang di dalam goa.
Buuuutttttt...!
“Ada orang masuk...” bisik Wiro.
“Kau dengar suara itu...?” ujar Naga Kuning.
“Seperti suara orang kentut...” berucap Wiro.
“Kalau memang kentut mengapa panjang amat. Juga
mengapa sering sekali. Dari tadi sudah tiga kali kudengar!”
kata Naga Kuning.
Setan Ngompol mendekamkan punggungnya ke dinding
goa. Pejamkan mata tak berani bergerak tak berani
bersuara. Dua tangannya sudah menekap bagian bawah
perut menahan ngompol.
Buuutttttt...
Suara aneh itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras
karena lebih dekat, pertanda sumber suara sudah berada
dalam goa.
“Celaka... Aku tak tahan mau beser!” kata Setan
Ngompol.
“Jangan ngawur! Harus kau tahan!” kata Naga Kuning.
“Siapa tahu ini tempat suci tak boleh dikotori. Salah-salah
kita bisa kesambet semua!” (kesambet = kemasukan roh
halus)
“Jangan bicara menakuti aku! Nanti aku kencing
benaran!” kata si kakek mata jereng sambil cucukkan
jempol kakinya ke pantat Naga Kuning yang duduk
berjongkok di depannya.
Buuuutttttt...!
“Bunyi sialan!” rutuk Setan Ngompol. Dia sudah tidak
sanggup menahan kencing. Dan di saat seperti itu tiba-tibaseperti meledak satu suara tawa keras melengking
menggelegar di seantero goa. Suara tawa perempuan.
Habis sudah! Setan Ngompol tak bisa menguasai diri.
Kencingnya mancur, jatuh ke bawah sepanjang kaki
celananya.
“Hai! Apa ini?!” ujar Naga Kuning ketika merasa
punggung pakaiannya basah oleh cairan hangat. Dia
menoleh ke belakang. “Sialan! Kek! Kau mengencingi
punggungku!”
“Jangan berisik! Tahan ucapan kalian! Lihat, ada orang
aneh berdiri di depan patung!” bisik Wiro.
Naga Kuning dan Setan Ngompol segera ulurkan
kepala, memandang ke arah depan. Memang benar. Saat
itu di depan patung cantik Luhmintari, tegak seorang
nenek-nenek yang keadaan dirinya serba kuning. Mulai dari
rambut, muka sampai pada pakaian. Di atas kepalanya,
pada rambut yang disanggul di sebelah atas tapi diriapkan
di sebelah kuduk menancap tiga buah sunting berhias batu
permata warna kuning. Tiga sunting ini selalu bergoyang
kian kemari.
Selain berhiaskan tiga buah sunting di kepalanya, si
nenek juga memakai giwang-giwang bulat berbentuk rantai.
Lalu di lehernya bergelantungan banyak sekali kalung.
Semuanya juga berwarna kuning.
Naga Kuning colek pinggul Pendekar 212 lalu berbisik.
“Lihat kalung-kalung nenek itu. Salah satu di antaranya
bukankah itu sendok sakti yang terbuat dari emas...?”
Wiro besarkan matanya dan perhatikan rangkaian
kalung yang tergantung di leher si nenek.
“Astaga...! Kau benar Naga Kuning. Salah satu yang
dijadikan kalung oleh si nenek adalah Sendok Pemasung
Nasib. Jadi dia rupanya yang merampas dan melarikan
sendok sakti itu ketika Lakasipo hendak menyerahkannya
pada Hantu Langit Terjungkir...”
“Kita harus hati-hati. Jangan-jangan dia bangsa nenek-
nenek jahat...” kata Si Setan Ngompol mulai kecut.
“Jahat dan sinting!” menyambungi Naga Kuning.
“Nenek seperti ini biasanya suka menggerayangi kakek
sepertimu!”
“Sialan kau!” maki Si Setan Ngompol.
Tiba-tiba nenek muka kuning itu songgengkan
pantatnya. Lalu, buuuuuutttttttt...! Ada suara keluar dari
bagian tubuhnya sebelah bawah belakang disertai
sambaran angin.
“Gila! Nenek sialan itu rupanya yang kentut sejak tadi!”
kata Naga Kuning. “Kentutnya keras amat. Lantai goa ini
seolah terasa bergetar. Untung tidak mengandung bau
yang membuat hidung tanggal! Hik... hik... hik!”
“Aku pingin kencing!” kata Setan Ngompol.
“Kencing saja! Biasanya tidak pakai bilang segala!”
tukas Naga Kuning jengkel.
Si nenek muka kuning kembali tertawa melengking.
Lalu dia melangkah ke hadapan patung, memandang dan
berdecak terkagum-kagum sambil goleng-goleng kepala.
Beberapa kali dia melangkah berkeliling sambil sesekali
mengusap tubuh patung. Selama melangkah mengelilingi
patung itu kentutnya terpancar berulang kali bertalu-talu.
Setelah tertawa sekali lagi nenek ini jatuhkan diri di depan
patung. Sambil usap-usap kaki patung dia berkata diseling
suara terkadang seperti orang meratap, terkadang seperti
orang tertawa.
“Wahai patung cantik jelita di dalam goa! Pertemuan ini
sungguh tidak disangka tidak diduga. Tidak dikira tidak
dinyana. Agaknya kaulah patung sakti yang akan dapat
menolong penyakit diriku...” Si nenek diam sebentar lalu,
butttt... Kembali dia kentut. Habis kentut dia sambung
ucapannya tadi. “Puluhan tahun aku mencari orang pandai.
Puluhan tahun aku mencari obat. Namun wahai.
Penyakitku tak kunjung sembuh! Tidak aku menenggak
angin. Tidak aku menyantap udara. Tapi mengapa kentutku
panjang bertalu-talu! Sehari dua ratus kali kentut. Berapa
seminggu? Berapa sebulan? Berapa dalam setahun? Hik...
hik... hik...! Silahkan hitung sendiri!”
Buuuutttt...!Si nenek muka kuning bangkit berlutut lalu peluk
patung batu itu. “Wahai patung batu berwajah cantik jelita.
Mengapa kau diam saja. Tidakkah kau pandai bersuara?
Wahai patung batu cantik jelita. Tolong diriku. Sembuhkan
penyakitku! Jawablah wahai patung. Jawablah!” Si nenek
sesenggukan, lalu kentut panjang dan tertawa cekikikan.
“Wahai patung batu di dalam goa, mengapa kau belum
juga menjawab ucapanku! Tolong diriku...”
Di balik lekukan goa Naga Kuning menggamit Wiro lalu
menunjuk-nunjuk ke arah nenek muka kuning. “Nenek
tukang kentut itu pasti miring otaknya. Supaya dia cepat
keluar dari sini mengapa tidak kau jawab saja...”
“Gila! Kita tidak tahu siapa adanya dia. Mengapa mau
mencari penyakit. Jika sudah bosan dia pasti pergi sendiri
dari sini...”
“Kalau dia bosan! Kalau tujuh hari tujuh malam dia
nongkrong terus di sini celaka kita semua...”
“Aduh, aku kencing lagi!” Setan Ngompol bersandar ke
dinding goa. Celananya kembali basah kuyup. Naga Kuning
buru-buru menjauh.
Wiro garuk-garuk kepala. Ucapan Naga Kuning ada
betulnya pikirnya. Dia usap-usap tenggorokannya.
“Rubah suaramu seperti suara perempuan...” bisik
Naga Kuning.
“Patung batu cantik jelita,” si nenek kembali berucap.
Dan kembali kentut panjang. “Wahai patung batu cantik
jelita... Aku mohon jawab permintaanku. Tolong diriku.
Sembuhkan penyakitku...”
***
TIGA BELAS
TIBA TIBA di dalam goa muncul satu suara menyahuti
ucapan-ucapan si nenek. Suara perempuan, agak
tersendat-sendat. “Wahai perempuan tua bermuka
kuning. Siapa dirimu hingga berani menginjakkan kaki
mengotori goa suci ini?”
Si nenek tersentak kaget hingga bangkit berdiri. Sesaat
dia pandangi patung batu itu dengan wajah berubah. Lalu
dia meraung panjang, menangis keras. Habis menangis dia
tertawa-tawa gembira terpingkal-pingkal sambil
berjingkrak-jingkrak. Setiap berjingkrak dari bawah
tubuhnya bertalu-talu keluar suara buuuutttttt... buuuttttt...
buutttt...
“Patung baik! Ternyata kau bisa bicara! Hik... hik... hik!
Jika kau bisa bicara pasti kau patung sakti keramat. Berarti
pasti bisa mengobati penyakitku!”
Buuuutttttt...
“Nenek muka kuning, waktuku tidak banyak. Siapa kau
adanya dan apa penyakit yang kau idap?” di dalam goa
kembali ada suara perempuan.
“Wahai patung cantik jelita. Siapa namaku sebenarnya
aku tidak tahu. Hik... hik... hik! Tapi orang-orang memberi
aku nama Luhkentut! Mereka juga menggelariku Nenek
Selaksa Kentut. Hik... hik... hik! Soal penyakitku masakan
kau tidak tahu waw... waw! Hik... hik! Kau sudah dengar
sendiri. Kau sudah saksikan sendiri. Setiap saat tubuhku
mengeluarkan angin yang bisa bersuara buutt buutt!
Bukankah itu namanya kentut?! Hik... hik... hik. Aku ingin
dengan kesaktianmu kau bisa mengobatiku wahai patung
cantik jelita...”“Sudah berapa lama kau menderita penyakit kentut-
kentut ini wahai nenek muka kuning?”
“Aku tidak ingat. Mungkin dua puluh tahun, mungkin
lima puluh tahun, bisa juga lebih. Aku sudah bosan
mendengar kentutku sendiri...”
“Apa ada bagian tubuhmu yang lecet akibat kentut-
kentut itu?”
“Geblek!” Naga Kuning menukas perlahan. “Mengapa
kau ajukan pertanyaan tolol begitu?”
“Hik... hik... hik! Aku tidak pernah memeriksa wahai
patung cantik jelita. Mungkin kau bisa tolong memeriksa
sendiri...” Habis berkata begitu di depan patung si nenek
lalu angkat bagian bawah pakaian kuningnya dan
menungging.
Wiro membuang muka! Si Setan Ngompol melotot
jereng. Naga Kuning tutupkan dua tangannya ke mata
sambil berkata. “Rasakan sekarang!”
“Bagaimana wahai patung batu sakti. Ada yang lecet di
tubuhku sebelah bawah?” bertanya si nenek muka kuning.
“Tidak... sudah...”
“Coba lihat, periksa sekali lagi wahai patung cantik
jelita!”
“Mampus kau!” kata Naga Kuning pada Wiro.
Buuuttttt...!
“Sudah... sudah kuperiksa. Tak ada yang lecet!
Turunkan pakaianmu...” kata Wiro cepat.
“Wahai, gembira aku mendengar tidak ada perabotanku
yang lecet atau rusak! Hik... hik... hik! Sekarang wahai
patung sakti, bisakah kau menolong menyembuhkan
penyakit kentut-kentutku ini?”
Wiro garuk-garuk kepala sambil memandang pada
Setan Ngompol dan Naga Kuning.
“Ubi... ubi...” bisik si kakek mata jereng.
Wiro kerenyitkan kening.
“Nenek muka kuning bernama Luhkentut, bergelar
Nenek Selaksa Kentut, aku perlu tahu asal muasal
penyakitmu. Coba kau ingat-ingat apakah kau pernah salahmakan...?”
“Wahai mana aku ingat...”
“Apa dulu kau pernah makan ubi sampai berkeranjang-
keranjang...?”
“Hik... hik... hik! Kau betul! Kau tahu asal muasal sebab
penyakitku! Berarti kau bisa mengobati diriku! Dulu waktu
hidupku morat-marit tak karuan aku memang banyak
makan ubi, ubi hutan yang hitam-hitam itu! Hik... hik... hik!
Apa obatnya wahai patung sakti? Aku ingin cepat
sembuh...”
Buuuuttttt...
“Kau beruntung wahai Luhkentut. Penyakit kentutmu
tidak disertai bau. Kalau ada baunya akan sulit sekali
disembuhkan...”
“Wahai patungku, patung penolongku...” si nenek
jatuhkan diri menciumi kaki patung sambil terkentut-
kentut. “Apa yang harus kulakukan? Apa obat yang
mujarab...?”
“Apakah sebelumnya kau pernah minta pertolongan
Hantu Raja Obat?”
“Hantu keparat itu! Memang pernah...!”
“Kau diberinya obat?”
“Dia menipuku.! Makhluk jahat itu malah mencelakai
diriku!” jawab Luhkentut alias Nenek Selaksa Kentut.
“Menipu mencelakai bagaimana?”
“Dia menambal tubuhku dengan tumbukan daun cabai-
cabaian! Akibatnya aku megap-megap setengah mati
kepanasan!”
Wiro, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol sama-sama
menekap mulut menahan ketawa.
“Patung cantik patung jelita! Mengapa kau diam saja!
Kau belum mengatakan apa obat buatku! Apa yang harus
kulakukan...”
“Wahai, apa kau tahu ‘kibul’ ayam?”
“Ayam aku tahu. Tapi kibul aku tidak tahu...” jawab si
nenek muka kuning.
“Anus... Anus ayam kau tahu?”Si nenek menggeleng. “Anus aku juga tidak tahu! Hik...
hik... hik...!”
Buuutttttt...!
“Kau tidak tahu kibul, tidak tahu anus...?”
“Tidak, aku tidak tahu wahai patung sakti cantik
jelita...”
Wiro garuk-garuk kepala.
“Dubur... dubur...” bisik Si Setan Ngompol.
“Kalau dubur kau tahu?!”
“Wahai, kalau dubur aku tahu betul!” jawab si nenek
lalu buuutttt... dia kembali kentut.
“Nenek geblek! Padahal dubur dan anus sama saja!”
memaki Naga Kuning.
“Luhkentut, dengar baik-baik. Untuk menyembuhkan
penyakitmu kau harus mencari dan makan dubur ayam
sebanyak tujuh puluh tujuh buah. Ambil bagian yang ada
lancip-lancipnya. Itu yang namanya kibul! Makan mentah-
mentah!”
“Mentah-mentah...?!” Si nenek keluarkan suara tercekik
seperti mau muntah.
“Mentah-mentah dan tidak boleh dicuci!”
Lidah si nenek muka kuning terjulur. Air liurnya
muncrat. Dia seperti mau muntah betulan. Tapi kemudian
malah tertawa melengking-lengking dan berjingkrak-
jingkrak.
“Aku sudah sembuh! Aku sudah sembuh!” teriaknya.
Buuuttt... buuutttt... buuutttt!
“Nenek Selaksa Kentut, aku menolong tidak pernah
minta imbalan. Tapi sekali ini aku terpaksa melanggar
pantangan. Jika kau merasa sudah sembuh bolehkah aku
meminta sesuatu darimu?”
“Hik... hik... hik! Katakan saja! Asal kau tidak minta
duburku! Hik... hik... hik!”
Buuttttt!
“Jika kau tidak keberatan, aku ingin kau memberikan
kalung berbentuk sendok itu...”
Si nenek tundukkan kepala. Dia mengacak-acak kalungyang banyak bergelantungan di lehernya. Lalu tertawa
panjang. “Matamu awas juga wahai patung cantik jelita.
Benda ini tidak ada artinya bagiku. Kau meminta pasti aku
berikan. Tapi tidak sekarang...”
“Kapan...?”
“Kalau aku sudah makan tujuh puluh tujuh kibul alias
anus alias dubur ayam itu! Hik... hik... hik!”
Buuuttttt...!
“Celaka, bagaimana aku bisa menolong Hantu Langit
Terjungkir...” kata Wiro dalam hati sambil garuk-garuk
kepala.
“Kau yang salah. Mengapa sampai kau minta dia
makan tujuh puluh tujuh kibul ayam. Coba kalau cuma
tujuh saja. Pasti bisa lebih cepat mendapatkan sendok
emas itu!” kata Naga Kuning.
Sekonyong-konyong tubuh nenek muka kuning mumbul
ke atas. Ketika dia menukik tahu-tahu sudah berada di
hadapan Wiro dan kawan-kawannya. Pendekar 212
tergagau. Naga Kuning keluarkan seruan kejut tertahan
sedang Si Setan Ngompol langsung mancur kencingnya.
Si nenek tertawa cekikikan.
Dia menunjuk pada Wiro seraya berkata.
“Satu!”
Lalu, buuuttttt!
Dia menunjuk pada Naga Kuning.
“Dua!”
Buuuttttt!
Sekali lagi dia menunjuk. Kali terakhir ini pada Si Setan
Ngompol. Bahkan bukan cuma menunjuk tapi sekaligus
menowel puncak hidung si kakek hingga dalam takutnya
kencing si kakek tumpah laksana pancuran!
Buuuttt!
“Kalian bertiga! Hik... hik... hikkk! Ketahuan! Hik... hik...
hik...!”
Buuuttttt...!
“Wahai! Ternyata kalian lelaki semua! Hik... hik... hik!
Yang mana di antara kalian tadi meniru suaraperempuan...” Sepasang mata kuning si nenek
memandang menyambar wajah-wajah di depannya.
“Aku,” kata Wiro mengakui. Dia menduga perempuan
tua muka kuning itu akan marah besar atau
menyerangnya.
Si nenek pandangi wajah sang pendekar sejenak lalu
tertawa gelak-gelak. “Anak berambut panjang macam
perempuan habis sakit panas! Siapa namamu?!”
“Namaku Wiro Sableng,” jawab Wiro.
Si nenek meledak tawanya. “Wiro Sableng! Hik... hik!
Kau tahu apa arti sableng di Negeri Latanahsilam ini?”
“Aku tahu. Pernah seorang sahabat memberitahu.”
“Apa...? Apa artinya sableng?”
“Sableng di sini artinya kencing kuda,” jawab Wiro.
Luhkentut tertawa cekikikan. Lalu kentut buutttt...
buuttt... buttt!
“Dengar kalian bertiga. Aku tidak tahu permainan atau
tipuan apa yang kalian lakukan. Tapi kalau sehabis makan
tujuh puluh tujuh dubur ayam penyakit kentutku tidak
sembuh, kalian bertiga akan kupesiangi. Dubur kalian akan
kupanggang! Ingat itu baik-baik! Awas!”
Wiro tetap tenang. Naga Kuning kelihatan kecut
sementara Si Setan Ngompol kembali mengucur air
kencingnya.
“Hik... hik...! Aku sembuh! Aku sembuh!”
Si nenek jingkrak-jingkrakan. Dan seperti tadi kentutnya
kembali memberondong.
Buuutttt... Buuutttt... Buutttt!
“Kalian bertiga ingat perjanjian kita! Hik... hik... hik!” Si
nenek kedipkan matanya pada Si Setan Ngompol lalu
kembali kentut, banyak dan panjang.
“Eh! Aku ingat sesuatu!” Luhkentut alias Nenek Selaksa
Kentut pijit-pijit keningnya. “Bagaimana aku yakin kalian
tidak akan kabur atau sembunyikan diri jika nanti terbukti
aku tidak sembuh! Wahai! Aku perlu jaminan dari salah
satu kalian! Jaminan berupa... Hik... hik! Potongan salah
satu bagian tubuh kalian!”“Mati aku!” kata Naga Kuning dalam hati.
Wiro terkesiap sedang si kakek Setan Ngompol sudah
jatuh melosoh ke lantai goa.
“Wahai! Kalian bertiga jangan takut. Aku tidak minta
yang aneh-aneh. Aku cuma minta kalian menyerahkan
salah satu daun telinga kalian! Hik... hik... hik!”
Si Setan Ngompol dan Naga Kuning langsung tekap
kuping masing-masing. Wiro merunduk tapi mengawasi
waspada. Si nenek kembali tertawa dan kentut-kentut.
“Siapa yang sukarela mau menyerahkan sepotong
kupingnya?!”
Tak ada yang menjawab, tak ada yang bergerak.
Luhkentut pandangi tiga orang di depannya satu persatu.
Ketika dia memandang pada Naga Kuning, bocah yang
ketakutan kupingnya mau diambil ini segera berkata
sambil menunjuk pada Si Setan Ngompol. “Kuping dia saja.
Kupingnya besar lebar!”
“Anak jahanam! Biar kutendang bokongmu!” Setan
Ngompol marah besar. Kaki kanannya hendak
ditendangkan.
“Sudah! Serahkan saja kupingmu! Daripada dia minta
bagian tubuhmu yang lain! Apa kau mau menyerahkan
anumu!” teriak Naga Kuning karena saat itu dilihatnya si
nenek mulai bergerak mendekati.
“Anak setan!” Si Setan Ngompol tendangkan kakinya.
Tapi gerakannya didahului si nenek. Mendadak Setan
Ngompol merasakan ada sambaran angin halus di pipi
kanannya. Lalu telinganya terasa dingin sekali. Dia cepat
meraba telinganya yang kanan. Astaga! Daun telinganya
yang lebar tak ada lagi!
Si nenek tertawa panjang sambil ulurkan tangannya. Di
atas telapak tangannya yang terkembang kelihatan
potongan daun telinga Si Setan Ngompol.
“Gila! Dia benar-benar mengambil telinga kakek itu!
Bagaimana mungkin! Bagaimana dia melakukan? Tak ada
darah dan si kakek seperti tidak merasa sakit!” Wiro
terheran-heran tapi rasa-rasa ngeri juga. Naga Kuningmendelik. Mukanya pucat dan mulutnya ternganga.
Ketika meraba dan menyadari daun telinganya sebelah
kanan tak ada lagi, Si Setan Ngompol terlonjak lalu
berteriak tak karuan. Di sebelah bawah kencingnya
berbusaian! Nenek muka kuning kembali terkentut-kentut.
Dia lambai-lambaikan potongan daun telinga Si Setan
Ngompol. Lalu sambil tertawa cekikikan dia berkelebat
lenyap di mulut goa.
“Lebih baik kita segera tinggalkan goa ini!” kata Si
Setan Ngompol sambil tekap telinga kanannya yang sudah
rata.
Wiro dan Naga Kuning menyetujui. Ketiganya segera
menuju ke mulut goa. Tapi belum sampai, tiba-tiba
meledak tawa melengking. Satu bayangan kuning
berkelebat. Ketiga orang itu terdorong seperti dilanda
angin dan jatuh tumpang tindih di lantai goa.
Memandang ke depan ternyata si nenek muka kuning
telah berdiri di mulut goa, menghalangi jalan mereka. Si
Setan Ngompol jadi pucat pasi dan terkencing-kencing.
“Celaka! Jangan-jangan dia mau minta kupingmu yang
satu lagi!” bisik Naga Kuning pada Setan Ngompol,
membuat kakek ini bergeletar ketakutan dan basah lagi
celananya.
“Mending kalau cuma kuping! Bagaimana kalau si
nenek minta barang langka yang ada di bawah pusarmu!”
ujar Wiro. Setan Ngompol tambah muncrat kencingnya.
“Wahai! Aku lupa menanyakan! Anak muda bernama
Wiro Sableng! Dubur ayam yang harus kumakan mentah-
mentah itu! Dubur ayam betina atau ayam jantan?!”
Wiro garuk-garuk kepala. Bingung menjawab karena
memang semua yang dikatakannya itu cuma dikarang-
karang. Tapi tidak diduga akibatnya jadi begini!
“Dubur ayam jantan Nek!” yang menjawab Naga
Kuning.
Luhkentut pelototkan matanya yang kuning. “Aku
bertanya pada si rambut panjang itu! Bukan padamu!” Lalu
si nenek berpaling pada Wiro.Murid Sinto Gendeng ini cepat berkata. “Benar Nek,
memang dubur ayam jantan!”
“Heemmmmm, begitu? Hik... hik... hik!” Si nenek
manggut-manggut lalu tertawa dan, buuutttt... buuuttt!
Sehabis kentut panjang dua kali itu dia melirik pada Setan
Ngompol, kedip-kedipkan matanya, memutar badan dan
berkelebat pergi.
Wiro menoleh pada Naga Kuning. “Anak geblek!
Mengapa kau katakan padanya kalau dia harus makan
dubur ayam jantan?”
“Dubur ayam jantan keras dan alot!” sahut Naga
Kuning. “Biar nenek itu kesusahan memakannya! Bisa-bisa
dia kelolotan tercekik! Dia membuat kita semua jadi susah.
Biar gantian dia nanti yang susah!”
Wiro jadi tertawa bergelak. Si Setan Ngompol walau
dalam bingung berat akibat kehilangan telinga kanan tapi
akhirnya ikut-ikutan terkekeh mendengar ucapan Naga
Kuning itu.
TAMAT
Penulis : bastian tito
Create : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
Episode Berikutnya: RAHASIA MAWAR BERACUN
0 comments:
Posting Komentar