Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Selasa, 18 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - HANTU LANGIT TERJUNGKIR

https://matjenuh-channel.blogspot.com


SATU

Di DALAM telaga yang kedalamannya setinggi leher, 

Pendekar 212 Wiro Sableng kibas-kibaskan rambut 

gondrong basahnya. Dia bermaksud hendak 

menselulupkan tubuhnya sampai kepala sekali lagi baru 

keluar dari telaga itu. Namun tiba-tiba, pluk! Sebuah benda 

menghantam kepalanya. Kagetnya sang pendekar bukan 

kepalang. Pundaknya sampai tersentak ke atas. Benda 

yang tadi mengenai kepalanya itu jatuh ke telaga. Sebelum 

tenggelam ke dalam air Wiro cepat mengambilnya. 

Ternyata sebuah jambu muda berwarna hijau. Wiro 

memandang berkeliling. “Tak ada pohon jambu sekitar 

telaga ini. Berarti ada orang jahil mempermainkanku!” pikir 

murid Sinto Gendeng sambil memperhatikan seputar 

telaga. Tapi dia tak melihat siapa-siapa. “Jangan-jangan ini 

pekerjaan bocah konyol Naga Kuning atau si kakek geblek 

Setan Ngompol. Awas mereka berdua. Akan kubalas nanti!” 

Wiro lalu memasukkan tubuh dan kepalanya ke dalam 

air telaga yang sejuk itu. Sesaat kemudian kepala disusul 

tubuhnya mencuat kembali di permukaan air telaga. Justru 

saat itu sebuah jambu muda berwarna hijau kembali 

melayang di atas telaga lalu mendarat di kepalanya! 

“Sialan! Naga Kuning! Setan Ngompol! Awas kalian 

berdua! Jangan berani kurang ajar menimpuk 

mempermainkanku!” 

Dari balik sebuah pohon besar yang dikelilingi semak 

belukar lebat tiba-tiba terdengar suara tertawa haha-hihi. 

Pendekar 212 kerenyitkan kening dan menggaruk 

kepalanya yang basah. “Itu bukan suara Naga Kuning atau 

Setan Ngompol...” kata Wiro dalam hati. Kalau tadi diamerasa jengkel dan marah kini perasaannya jadi tidak 

enak. Dengan cepat dia melangkah dalam air, menyisi 

tepian telaga ke tempat dia meninggalkan pakaiannya 

yaitu di celah kering antara dua batu besar. Sebelum 

mengenakan pakaian, lebih dulu dia memeriksa Kapak 

Naga Geni 212, batu sakti warna hitam pasangan kapak 

mustika itu dan sebuah tongkat batu memancarkan cahaya 

biru redup. Tongkat ini didapatnya dari Luhjelita beberapa 

waktu yang lalu. Tiga benda itu masih berada dalam lipatan 

baju dan celana putihnya. Wiro dengan cepat mengenakan 

pakaiannya kembali. Baru saja dia selesai mengikatkan tali 

celananya tiba-tiba, pluk! Kembali sebutir jambu hijau 

mendarat di kepalanya lalu seperti tadi dari balik pohon 

besar terdengar suara tawa cekikikan. 

Wiro ikat tali celananya kencang-kencang. Rahangnya 

menggembung dan matanya memandang menyorot ke 

arah pohon besar. Dengan membungkuk-bungkuk dia 

menyusup mendekati pohon itu. Sesaat kemudian, sekali 

lompat dia sudah berada di balik pohon. Di situ dia tidak 

menemukan siapa-siapa. Tapi di tanah dia melihat hampir 

selusin jambu muda bertebaran. Beberapa di antaranya 

ada bekas gigitan. 

“Kurang ajar... Kabur mereka! Siapa makhluk-makhluk 

kurang ajar itu adanya!” Wiro memaki dalam hati lalu 

membungkuk mengambil sebuah jambu hijau yang paling 

besar. Jambu itu ditimang-timangnya sesaat. Setelah 

dibersihkannya dengan bajunya lalu dimakannya. “Hemm... 

Enak juga,” berucap Pendekar 212 dalam hati sambil 

menyeringai. Namun seringai murid Sinto Gendeng dari 

Gunung Gede ini serta merta lenyap begitu pluk... pluk... 

pluk... Dari atas pohon berjatuhan jambu-jambu hijau 

menimpa kepalanya! Menyusul terdengar suara tawa 

cekikikan. 

“Benar-benar kurang ajar!” Wiro mendongak ke atas 

sambil tangan kanannya siap untuk menghantamkan. 

Namun di atas pohon dia tidak melihat manusia atau 

binatang. Walau begitu matanya yang tajam bisa melihatdedaunan pada dua cabang besar bergerak-gerak. Wiro 

memperhatikan tak berkedip. Tangan kirinya menggaruk 

kepala. “Tadi pasti ada orang di atas pohon itu. Binatang 

pasti tidak bisa ketawa cekikikan. Dari suara tawanya 

agaknya lebih dari satu orang. Mereka memiliki 

kepandaian bergerak sangat cepat. Aku tidak dapat 

melihat sosok mereka padahal suara tawa mereka masih 

menggema.” 

Sepasang mata Wiro melirik tajam seputar tempatnya 

berdiri. Beberapa langkah dari pohon besar dari atas mana 

tadi berjatuhan buah-buah jambu yang menimpa 

kepalanya, ada lagi sebuah pohon yang batangnya sebesar 

pemelukan lengan. Wiro tersenyum. “Makhluk-makhluk 

yang menyambiti kepalaku itu pasti pindah melompat ke 

atas pohon sana! Kini giliranku mengerjai mereka!” 

Pendekar 212 dekati pohon itu lalu lingkarkan dua 

lengannya merangkul batang pohon sambil mengerahkan 

tenaga dalam. Dengan mengandalkan hawa sakti itu 

Pendekar 212 mulai menggoyang batang pohon. Mula-

mula perlahan. Pohon bergeletar mulai dari akar sampai ke 

puncaknya. 

“Hik... hik! Aih nyamannya...” Di atas pohon berdaun 

rimbun itu terdengar suara orang. 

“Aku juga enak. Aku bahagia...” Ada satu suara lain 

menyahuti. 

Wiro kerahkan tenaga dalam lebih besar. Kini dia 

menggoncang lebih keras. Cabang-cabang pohon sampai 

ke ranting-ranting bergoyang kencang, keluarkan suara 

berderik-derik. Dedaunan bergeletar seperti ditiup angin. 

Suara orang tertawa di atas pohon serta merta lenyap. 

“Wahai! Mengapa mendadak jadi kencang begini? Tak 

sedap nian rasanya?” 

“Getarannya membuat aku seperti mau kencing! Hik... 

hik... hik! Saudaraku, baiknya kita tinggalkan pohon ini!” 

“Tunggu, jambuku sudah habis. Kau masih punya? 

Pemuda gondrong itu agaknya suka jambu hijau itu. Aku 

dengar tadi dia mengatakan jambu itu enak. Hik... hik...hik!” 

“Jambuku juga sudah habis! Wahai, getaran pohon ini 

semakin keras. Ayo kita pergi saja!” 

Di bawah pohon Wiro memandang ke atas. “Sial!” Dia 

menggerendeng. “Ranting dan daun pohon ini rapat sekali! 

Aku tidak dapat melihat orang-orang di atas sana! Mereka 

pasti sudah kabur lagi!” Wiro lepaskan rangkulannya pada 

batang di bawah pohon. Lalu memutar tubuh, maksudnya 

hendak duduk bersandar di bawah pohon itu. Namun 

begitu berputar mendadak sontak dia jadi tersentak kaget. 

Matanya membeliak dan mulut ternganga. Di hadapannya 

berdiri dua orang gadis cantik, yang wajah serta potongan 

tubuh seperti pinang dibelah dua, mirip sekali satu dengan 

lainnya. Dua gadis ini mengenakan pakaian dari kulit kayu 

yang sangat halus hingga menyerupai kain biasa, berwarna 

putih keabu-abuan dan agak berkilat. Rambut mereka yang 

tergerai panjang sampai ke pinggang berwarna kepirang-

pirangan. Ketika tersenyum kelihatan barisan gigi-gigi 

mereka yang putih berkilat dan rata. 

“Dua gadis cantik berpakaian serba putih di dalam 

rimba belantara. Sekian lama berada di Negeri 

Latanahsilam ini, baru sekali ini aku bertemu sepasang 

dara kembar. Apa mereka makhluk hidup sungguhan, 

bangsa peri atau, jangan-jangan...” Pendekar 212 

memandang ke bawah, memperhatikan sepasang kaki 

gadis itu. 

“Hik... hik...” Gadis di sebelah kanan tertawa. “Lihat,” 

katanya pada gadis di sebelahnya. “Dia memperhatikan 

kaki kita. Hik... hik! Di negerinya makhluk halus memang 

tidak menginjak tanah. Rupanya dia hendak menyamakan 

di sana dengan di sini...” 

“Kalian siapa...?” bertanya Pendekar 212. Walau dia 

senang bertemu dengan dua dara cantik jelita itu namun 

hatinya mendua karena menduga jangan-jangan mereka 

adalah hantu penghuni rimba belantara itu. 

“Kami dua gadis bahagia!” menjawab dara di sebelah 

kiri.“Aku tidak mengerti,” kata Wiro pula sambil garuk-garuk 

kepala. 

“Biar aku menerangkan,” ujar gadis di sebelah kiri. 

“Hidup di muka bumi ini hanya sementara. Mengapa harus 

berbuat sia-sia? Setiap makhluk hidup harus berbuat dan 

merasa bahagia! Kebahagiaan membuat hati senang, dada 

lapang. Langit akan tampak cerah, sang surya tampak 

gagah dan rembulan berseri indah. Kebahagiaan 

menghindarkan segala macam penyakit, membuat 

makhluk berumur panjang, tak ada musuh tetapi justru 

banyak sahabat...” 

Wiro tambah keras menggaruk kepalanya. “Aku setuju 

dengan semua ucapan kalian. Tapi kalian ini siapa 

sebenarnya?” 

“Kami orang-orang di atas pohon yang tadi kau 

goncang-goncang!” jawab gadis di samping kanan sambil 

tidak putus-putusnya tersenyum. 

“Yang tadi berlaku kurang ajar melempari kepalaku 

dengan jambu hijau?!” tanya Pendekar 212. 

Dua gadis itu tertawa gelak-gelak. “Itulah salah satu 

kebahagiaan hidup!” 

“Melempar orang kau bilang kebahagiaan hidup?!” ujar 

Wiro dengan mata dibesarkan. 

“Betul, karena kami melakukan bukan dengan hati 

jahat! Tapi niat mencari kebahagiaan semata. Buktinya 

kami berdua bisa tertawa-tawa. Dan kau sendiri setelah 

tahu siapa yang melempar pasti juga merasa bahagia! 

Hik... hik... hik!” 

Pendekar 212 menyeringai. Sesaat kemudian dia ikut-

ikutan tertawa malah lebih keras dari tawa dua gadis itu. 

“Wahai, rupanya kebahagiaan telah menjadi bagianmu 

pula! Kami bahagia melihat kau bisa tertawa!” 

Mendengar kata-kata si gadis Wiro hentikan tawanya. 

“Jangan-jangan dua gadis ini miring otaknya,” pikir Wiro. 

Lalu dia berkata. “Jadi kalian rupanya kesasar di rimba 

belantara ini karena mencari kebahagiaan!” 

Dua gadis kembali tersenyum. Yang di samping kananmenjawab. “Kami tidak kesasar. Kami tengah melakukan 

perjalanan bersenang-senang, mencari dirimu!” 

“Mencari diriku? Sekarang sudah bertemu. Apa yang 

hendak kalian lakukan?” 

“Membuat dirimu bahagia!” 

“Caranya?” tanya Pendekar 212 sambil dalam hati 

bertanya-tanya apa sebenarnya niat dua gadis tak dikenal 

dan kelihatan genit meriah ini. 

“Caranya yaitu membebaskan dirimu dari satu beban 

yang sebenarnya tak perlu terjadi...” 

“Beban? Beban apa? Aku tidak merasa punya beban,” 

kata Wiro pula. 

Dua gadis itu tersenyum manis. Yang satu bertanya. 

“Apa benar kau orang dari negeri seribu dua ratus tahun 

mendatang?” 

Wiro mengangguk. 

“Wahai, perbedaan waktu antara negeri ini dengan 

negeri asalmu saja sudah merupakan beban bagi dirimu. 

Lalu rangkaian kejadian yang kau alami di negeri 

Latanahsilam ini, apakah itu bukan merupakan beban? 

Bukan cuma satu, tapi banyak. Apakah kau tidak sadar?” 

Wiro garuk-garuk kepala. “Mungkin ucapanmu benar. 

Tapi harap kau suka memberi tahu siapa kau dan 

temanmu ini adanya. Kulihat wajah kalian sangat mirip 

satu sama lain. Harap kau juga mau memberi tahu 

mengapa kalian mencariku.” 

“Pertanyaan pertama biar aku yang menjawab,” kata 

gadis di sebelah kanan. “Kami adalah dua gadis kembar. 

Aku yang tua bernama Luhkemboja dan adikku ini 

bernama Luhkenanga. Kami biasa dipanggil dengan 

sebutan Sepasang Gadis Bahagia.” 

“Kemboja dan Kenanga... Itu dua bunga yang ada 

sangkut pautnya dengan kematian. Bunga kemboja banyak 

tumbuh di pekuburan. Bunga kenanga bunga taburan di 

atas makam orang yang sudah mati...” Rasa tidak enak 

kembali menyelubungi Pendekar 212 walau dua gadis 

cantik di hadapannya selalu bicara dan memandangpadanya dengan senyum. 

Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ingat sesuatu. Langsung 

saja dia ajukan pertanyaan sambil menatap tajam pada 

dua gadis di hadapannya itu. “Kalian mengaku dijuluki 

sebagai Sepasang Gadis Bahagia. Apakah kalian punya 

sangkut paut dengan Istana Kebahagiaan, sarangnya 

Hantu Muka Dua, makhluk yang dijuluki Hantu Segala Keji, 

Segala Tipu, Segala Nafsu itu?” 

Mendengar kata-kata Wiro itu dua gadis cantik tertawa 

panjang. Wiro bertambah curiga. 

***


DUA


Gadis bernama Luhkemboja hentikan tawanya lalu 

berkata. “Kebahagiaan itu ada dua macam wahai 

pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun 

mendatang. Pertama kebahagiaan yang dicari berdasarkan 

nafsu. Seperti hasrat ingin kaya, ingin kedudukan tinggi 

dan ingin berkuasa, ingin mendapatkan anak gadis orang. 

Hantu Muka Dua termasuk dalam golongan ini. Lalu ada 

kebahagiaan yang diinginkan secara wajar, diniati dengan 

hati ikhlas bersih. Kami berdua berusaha masuk ke dalam 

golongan ini. Kami tidak ada sangkut pautnya dengan 

Istana Kebahagiaan dan Hantu Muka Dua...” 

Walau masih menaruh hati tidak enak namun Wiro 

merasa agak tenteram mengetahui bahwa dua gadis ini 

bukan kaki tangan Hantu Muka Dua, musuh bebuyutannya 

sejak menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam. 

Gadis bernama Luhkenanga kemudian membuka mulut 

menyambung ucapan kakak kembarnya. “Kami mencarimu 

karena ingin membantu membebaskan dirimu dari beban 

paling akhir yang mungkin kau tidak sadar telah jatuh di 

atas pundakmu.” 

Wiro usap-usap pundaknya kiri kanan. “Beban yang 

mana? Beban apa maksudmu?” Murid Sinto Gendeng 

ajukan pertanyaan karena makin lama bicara dengan dua 

gadis itu semakin banyak yang dia tidak mengerti. 

“Belum lama berselang kau menerima sebuah tongkat 

terbuat dari batu berwarna biru. Tongkat itu bukan milikmu. 

Kau tak tahu harus menyerahkannya pada siapa. Kau tidak 

tahu pasti siapa pemiliknya. Wahai, bukankah itu suatu 

beban bagimu?”Selagi Wiro terkejut mendengar kata-kata itu, dua gadis 

kembali memandang tersenyum padanya. 

“Kalian pasti salah menduga. Aku tidak pernah 

menerima atau memiliki tongkat yang kalian sebutkan itu,” 

kata Wiro berdusta. Dia yakin, tongkat batu biru yang 

diterimanya dari Luhjelita dan saat itu terselip di pinggang 

di bawah baju putihnya, tongkat itulah yang dimaksudkan 

dua gadis kembar ini. 

“Berdusta adalah satu penyakit yang membuat manusia 

jadi tidak bahagia...” kata Luhkenanga pula. 

“Tongkat itu tidak ada padaku. Kalaupun ada belum 

tentu aku berikan padamu karena aku yakin benda itu 

bukan milik kalian...” 

“Memang bukan milik kami. Tapi kami mendapat tugas 

untuk mencarinya sampai dapat...” 

“Siapa yang memberi tugas...?” tanya Wiro. 

Dua gadis itu saling pandang lalu sama-sama 

tersenyum. “Pemiliknya yang sah tentu. Tapi kami tidak 

bisa memberi tahu padamu,” jawab Luhkenanga. 

Wiro ganti tersenyum. “Tidak mau bicara jujur dan polos 

adalah satu beban yang membuat orang tidak bahagia. 

Bagaimana kalian bisa menemukan kebahagiaan kalau 

dalam hati sendiri ada ganjalan yang tidak melapangkan 

dada?” 

Walau kata-kata Wiro membuat dua gadis kembar 

menjadi merah wajah masing-masing namun keduanya 

tetap saja melayangkan senyum. 

“Aku bahagia mendengar ucapanmu,” menyahuti 

Luhkemboja. “Tapi harap kau bisa membedakan 

kebahagiaan dengan tugas. Bila seseorang bisa 

melaksanakan tugas maka itu akan menjadi satu 

kebahagiaan besar baginya. Lagi pula kami tidak akan 

membebani dirimu dengan hal-hal yang tidak kau ingini 

kalau kami tidak mendapat keterangan jelas bahwa 

tongkat batu biru itu memang ada padamu.” 

Wiro tertawa. Sambil geleng-gelengkan kepala dia 

bertanya. “Siapa yang memberi keterangan bodoh itu padakalian?” 

“Siapa lagi kalau bukan kekasihmu!” jawab 

Luhkemboja. 

“Kekasihku?” Murid Sinto Gendeng jadi terkejut. “Aku 

tidak punya kekasih di negeri Latanahsilam ini!” 

Luhkemboja dan Luhkenanga tertawa gelak-gelak. 

“Siapa yang mengaku-aku kalau aku ini kekasihnya?” 

Wiro jadi penasaran. “Kalian berdua mengarang cerita!” 

“Wahai, si gadis sendiri yang mengatakan. Bagaimana 

kami tidak percaya?” 

“Kalau begitu lekas katakan siapa orangnya!” 

“Luhjelita!” jawab Luhkemboja dan Luhkenanga 

berbarengan. 

Tentu saja Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi kaget 

mendengar ucapan itu. 

“Wajahmu berubah merah, sikapmu menunjukkan 

keterkejutan. Kau sengaja menyembunyikan kebahagiaan 

atau bagaimana?” 

“Antara aku dengan gadis bernama Luhjelita itu tidak 

ada hubungan apa-apa, kecuali sebagai sahabat. Di mana 

dia sekarang?” 

“Saat ini dia berada di satu tempat aman. Terpaksa 

kami sembunyikan untuk dijadikan jaminan bahwa dia 

memberikan keterangan benar! Dia mengatakan kau 

kekasihnya sedang kau mengatakan dia hanya seorang 

sahabat. Dia mengatakan tongkat batu biru itu ada 

padamu, tapi kau sendiri berkata tidak memilikinya. Siapa 

yang berdusta, siapa yang menyembunyikan kebenaran 

dengan menginjak kebahagiaan?” Luhkemboja yang 

barusan bicara menatap lekat-lekat ke arah Pendekar 212. 

“Wahai kakakku Luhkemboja, mengapa kita tidak 

memutuskan secara adil saja?” Dara kembar bernama 

Luhkenanga berkata. “Pemuda ini berucap benar bahwa 

gadis bernama Luhjelita itu bukan kekasih, atau belum 

menjadi kekasihnya tapi baru merupakan seorang sahabat 

saja. Lalu Luhjelita juga berucap benar bahwa tongkat batu 

biru itu telah diserahkannya pada pemuda ini yangmenurut dia bernama Wiro Sableng. Bukankah sejak tadi 

kita sudah melihat bayangan tongkat mustika itu di balik 

baju putihnya? Wahai pemuda dari negeri seribu dua ratus 

tahun mendatang, apa jawabmu?” 

Untuk beberapa lamanya Wiro hanya tegak berdiam diri. 

Kemudian sambil garuk-garuk kepala dia berkata. “Baiklah, 

kalau kalian memang sudah tahu, aku mengaku. Tongkat 

batu biru itu saat ini ada padaku. Tapi aku tidak akan 

memberikannya. Kalau aku ingin membebaskan diri dari 

beban, maka tongkat ini akan kuserahkan pada Luhjelita. 

Katakan saja di mana dia kalian sembunyikan...” 

“Dia berada di dalam sebuah goa, di satu kaki bukit di 

kawasan selatan. Tak jauh dari sini. Jika kau keluar dari 

rimba belantara ini dan mengikuti sebuah jalan setapak, 

goa itu pasti akan kau temui. Wahai, demi kebahagiaan 

kita semua, apakah kau kini bersedia menyerahkan 

tongkat batu biru itu?” 

“Aku akan merasa lebih bahagia jika tongkat ini aku 

serahkan pada Luhjelita lalu gadis itu menyerahkan 

padamu. Aku terlepas dari beban dan kalian merasa 

bahagia...” jawab Wiro yang tetap tidak mau menyerahkan 

tongkat batu biru pada dua gadis berjuluk Sepasang Gadis 

Bahagia itu. Bisa saja dua gadis ini tengah melakukan 

siasat hendak menipunya. Selain itu dia merasa tongkat 

batu biru ini pastilah satu tongkat yang sangat berharga. 

“Untuk mendapatkan kebahagiaan terkadang memang 

kita harus menempuh jalan berliku. Tapi jika ada jalan 

pintas yang sama baiknya mengapa tidak langsung 

dilaksanakan. Tongkat itu milik kakek kami. Kami 

ditugaskan untuk mencarinya dan membawanya kembali 

kepadanya...” 

“Apakah kakekmu itu yang berjuluk Si Tongkat Biru 

Pengukur Bumi?” bertanya Pendekar 212. 

“Dari mana kau tahu nama itu?” balik bertanya 

Luhkenanga. 

“Ketika Luhjelita memberikan tongkat itu padaku, dia 

menjelaskan tongkat itu ditemuinya dekat sesosok mayatseorang kakek yang dikenalnya sebagai Si Tongkat Biru 

Pengukur Bumi...” 

“Si Tongkat Biru Pengukur Bumi bukan kakek kami. Dia 

justru yang mencuri tongkat itu dari kakek kami. Si Tongkat 

Biru Pengukur Bumi adalah kaki tangan Hantu Muka Dua. 

Orang ini kemudian dihabisi oleh Hantu Muka Dua sendiri 

karena dikhawatirkan akan berkhianat. Mayatnyalah yang 

ditemukan Luhjelita...” 

“Aku percaya keteranganmu, Luhkenanga. Tapi tongkat 

ini tetap tidak bisa kuserahkan padamu atau saudaramu. 

Agar sama-sama mendapat kebahagiaan, kita sama-sama 

pergi ke goa di mana kalian menyekap Luhjelita. Tongkat 

kuserahkan padanya dan kalian kemudian boleh 

mengambil dari tangannya...” 

“Sayang sekali kami inginkan tongkat itu sekarang...” 

kata Luhkemboja. 

“Apakah kebahagiaan bisa didapat dengan cara 

memaksa?” tukas Pendekar 212 Wiro Sableng. 

“Kami tidak memaksa. Kami tengah menjalankan 

tugas!” jawab Luhkemboja. 

“Apakah tugas bisa dijadikan topeng alasan untuk 

mendapatkan kebahagiaan?” kembali murid Sinto 

Gendeng menukas. Kali ini wajah dua gadis kembar 

menjadi kemerahan walau senyum tetap menghias bibir 

mereka. 

“Wahai, untuk mendapatkan kebahagiaan terkadang 

memang harus menempuh jalan sulit berliku,” kata 

Luhkemboja pula. Dia memandang pada Luhkenanga. 

“Adikku, rupanya tak ada jalan lain. Agaknya kali ini kita 

hanya bisa mendapatkan kebahagiaan dengan 

menghadapi kenyataan. Apakah kau sudah siap adikku?” 

“Aku sudah siap wahai Luhkemboja. Tapi biarkan aku 

membujuk pemuda ini sekali lagi,” jawab Luhkenanga. Lalu 

gadis ini mendekati Wiro dua langkah dan berkata. 

“Kepercayaan adalah salah satu dasar kebahagiaan. Kami 

telah menceritakan kebenaran padamu. Sahabatmu 

Luhjelita ada dalam keadaan baik di goa itu. Tongkat yangada padamu bukan milikmu. Apa sulitnya menyerahkan 

pada kami?” 

“Kau bicara tentang kepercayaan. Aku mau bicara 

tentang kebijaksanaan. Harap kalian sudi memaafkan. 

Bagaimanapun juga tongkat ini tidak akan aku serahkan 

pada kalian. Kupersilahkan kalian jalan duluan. Kita sama-

sama ke goa itu. Apa sulitnya menerima usulanku?” 

Luhkenanga berpaling pada Luhkemboja. Sang kakak 

gelengkan kepalanya. Luhkenanga lalu berkata. “Usulmu 

tidak kami terima. Kebahagiaan ada di tangan kita 

bersama. Aku mohon kau mau menyerahkan tongkat batu 

biru.” 

Wiro balas dengan gelengan kepala. 

Luhkenanga menarik nafas dalam. “Tak ada jalan lain. 

Kakak Luhkemboja, aku sudah siap!” 

Luhkemboja mengangguk. Dua gadis ini lalu melangkah 

mundur. Di satu tempat mereka hentikan langkah. Lalu 

dari mulut mereka yang selalu menyunggingkan senyum 

tiba-tiba keluar suara gelak tawa berderai. 

“Jurus Bahagia Naik ke Pelaminan!” Luhkemboja 

berseru. 

Sosok dua gadis kembar itu melesat ke udara. Dua kaki 

dirapatkan begitu rupa, dua tangan diletakkan di atas lutut. 

Sikap mereka seperti pengantin sedang duduk di kursi 

atau di atas pelaminan. Mulut tersenyum simpul. Namun 

tiba-tiba kaki kiri mereka ditendangkan ke depan. 

Wuttt! 

Wuuut! 

Murid Eyang Sinto Gendeng tersentak kaget ketika 

dapatkan dua larik angin deras menghantam ke arahnya. 

Karena tidak mengira akan mendapat serangan, Wiro 

hanya sempat menghindarkan diri dari sambaran angin 

yang datang dari sebelah kanan. Sedang hantaman angin 

dari sebelah kiri yang berasal dari tendangan Luhkemboja 

tak dapat dielakkannya. 

Bukkk! 

Walau angin yang melabrak, tapi begitu mengenaidadanya terdengar suara bergedebuk. Wiro seolah-olah 

terkena jotosan. Tubuhnya terpental sampai beberapa 

langkah lalu terjengkang di tepi telaga. 

Luhkemboja dan Luhkenanga tertawa terpingkal-

pingkal. Lalu dua gadis kembar ini membuat gerakan 

seperti orang berenang. Selagi Wiro berusaha bangkit 

berdiri tiba-tiba Luhkemboja berseru. 

“Jurus Bahagia Menyelam Sungai Menyambar Ikan!” 

Sosok dua gadis itu yang sesaat masih melayang di 

udara tiba-tiba menukik ke bawah, menyambar ke arah 

Pendekar 212. Wiro yang tidak mau kebablasan sampai 

dua kali segera hantamkan tangan kirinya, menyongsong 

gerakan dua lawan dengan pukulan Benteng Topan 

Melanda Samudera. Dua gelombang angin menderu 

dahsyat. Namun serangan Wiro hanya mengenai tempat 

kosong karena dua gadis yang memiliki gerakan luar biasa 

cepatnya benar-benar laksana menyelam. Dua tangan 

mereka menyambar, satu ke kepala Wiro satunya lagi ke 

pinggang. 

Dalam keadaan seperti itu tentu saja Pendekar 212 

lebih memperhatikan serangan berbahaya yang di arahkan 

ke kepala. Sambil bergulingan dia pukulkan tangan kiri 

untuk menangkis serangan di sebelah atas sedang dengan 

menendang dia coba menghajar tangan lawan yang 

menyambar ke arah pinggang. 

Ternyata serangan ke kepala hanya tipuan belaka. 

Begitu perhatian Wiro terpecah, sambaran yang ke arah 

pinggang tak dapat dimentahkannya dengan tendangan. 

Tangan lawan yang menyambar lewat di bawah kakinya, 

melesat laksana kilat ke pinggangnya. Lalu dua suara tawa 

cekikikan mengumandang di tempat itu. Suara tawa 

lenyap. Wiro tersentak kaget dan cepat bangkit berdiri. 

Ternyata dua gadis kembar tak ada lagi di situ. Gerakan 

mereka melenyapkan diri sungguh cepat luar biasa. 

“Astaga!” Wiro pegang seputar pinggangnya. Kapak 

Maut Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya masih 

ada. Tapi tongkat batu biru lenyap! Dia memandangberkeliling. Karena tidak sempat melihat ke arah mana 

kaburnya dua gadis kembar tadi, Wiro hanya bisa memaki 

sendiri. “Sial! Aku kecolongan!” Wiro termangu dan garuk-

garuk kepala. “Jurus Bahagia Menyelam Sungai 

Menyambar Ikan... Mereka mempergunakan jurus aneh itu 

untuk menyambar dan merampas tongkat batu biru yang 

ada di balik bajuku...” Wiro geleng-gelengkan kepala. 

“Hanya sebuah tongkat batu butut. Mengapa harus aku 

pikirkan...” membatin murid Sinto Gendeng. “Tapi kalau 

cuma tongkat jelek, mengapa dua gadis kembar itu sangat 

menginginkan? Siapa sebenarnya pemilik tongkat itu? 

Mungkin aku harus menyelidik sementara menunggu 

munculnya Si Setan Ngompol dan Naga Kuning...” 

Karena tidak tahu mau mengejar ke mana, ketika dia 

ingat keterangan Luhkemboja dan Luhkenanga tentang 

Luhjelita, Wiro segera saja berkelebat ke arah selatan. 

Mungkin dua gadis kembar itu bicara dusta tentang 

Luhjelita yang mereka sekap di dalam goa. Tapi tak ada 

salahnya menyelidik. Apalagi letak goa itu tidak jauh dari 

sana. 

Wiro berlari sekencang yang bisa dilakukannya. Dalam 

berlari seperti itu dia tidak memperhatikan lagi keadaan di 

sekitarnya. Dia tidak menyadari kalau di udara, jauh di 

belakangnya ada satu benda putih terbang mengikutinya. 

***


TIGA


Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah 

berusaha menyelidik goa tempat Luhjelita disekap. 

Kita lebih dulu menuju ke Lembah Seribu Kabut 

tempat kediaman Lasedayu. 

Walau langit di ufuk timur telah kelihatan merah namun 

sang surya belum nampak muncul. Dinginnya udara pagi 

masih mencekam tulang dan persendian tubuh. Kegelapan 

masih menghitam di mana-mana. Apa lagi di kawasan 

selatan Negeri Latanahsilam di mana terletak sebuah 

lembah yang disebut Lembah Seribu Kabut. Keadaan 

masih gelap gulita karena kabut mengapung di seantero 

tempat. Jangankan pada malam atau pagi hari, siang hari 

saja ketika matahari bersinar terik, kabut tebal acap kali 

menutupi pemandangan. 

Dalam keadaan seperti itu dari jurusan tenggara 

berkelebat seseorang. Kegelapan dan pekatnya kabut yang 

menyungkup serta cepat gerakkannya membuat sosoknya 

hanya berupa satu bayangan hijau yang meninggalkan bau 

seperti kubangan di belakangnya. Agaknya orang ini 

memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak mustahil dia 

bisa bergerak demikian cepat di kawasan yang banyak 

pepohonan dan berbatu-batu serta masih gelap itu. 

Sepasang matanya seolah bisa menembus kegelapan 

malam menjelang pagi serta kepekatan kabut yang 

menggantung di mana-mana. 

Cepat sekali bayangan hijau tadi telah berada di 

pertengahan lembah. Orang ini berkelebat ke arah sebuah 

batu besar di atas mana mendekam satu sosok aneh. 

Sosok ini tidak tegak pada dua kakinya tetapimempergunakan sepasang tangan untuk dijadikan kaki. 

Sementara dua kakinya berada di sebelah atas. Makhluk 

ini hanya mengenakan sehelai celana compang-camping. 

Karena cara berdirinya yang aneh maka rambutnya yang 

putih panjang, begitu juga kumis dan janggutnya menjulai 

ke bawah menutupi wajahnya. Dari sekujur tubuh orang ini 

mengepul keluar asap tipis berwarna kebiruan. Sepertinya 

ada satu kekuatan dahsyat di dalam tubuhnya yang 

terpendam dan tak bisa dikeluarkan. 

Sosok di atas batu ini masih tetap mendekam tak 

bergerak ketika bayangan hijau yang muncul dari kegela–

pan dan kabut sampai di hadapannya. Ternyata yang mun–

cul ini adalah satu makhluk aneh angker. Sosoknya mulai 

dari ujung rambut di atas kepala sampai ke kaki seperti 

terbungkus lumpur tebal berwarna hijau gelap dan basah. 

Tetesan-tetesan air jatuh menitik dari tubuh yang basah 

ini. Sepasang matanya juga berwarna hijau pekat. Menatap 

angker tak berkesip ke arah makhluk yang tegak dengan 

kaki ke atas kepala ke bawah. 

Jempol kaki kanan orang di atas batu bergerak dua kali. 

Lalu dari balik riap rambut dan kumis serta janggut putih 

panjang yang menutupi wajah terdengar suara berucap. 

“Aku mencium bau kubangan. Di balik kelopak mataku 

yang tertutup ada bayangan warna hijau. Sepasang 

telingaku mendengar tetesan-tetesan air jatuh ke tanah. 

Wahai, kuharap aku tidak salah menduga. Yang muncul di 

hadapanku saat ini bukankah kerabat berjuluk Hantu 

Lumpur Hijau...” 

Sosok hijau yang tegak di depan batu sesaat masih 

pandangi orang yang tegak kaki ke atas kepala ke bawah 

itu. Setelah kedipkan mata hijaunya satu kali makhluk yang 

disebut Hantu Lumpur Hijau ini membuka mulut. Ternyata 

gigi dan lidahnya juga berwarna hijau pekat! 

“Puluhan tahun tidak bertemu. Mata dan telinga 

tertutup rambut terjulai. Tapi kau masih mengenali diriku. 

Wahai aku juga ingin memastikan. Bukankah kau yang 

konon disebut Hantu Langit Terjungkir. Yang dulu dikenalbernama Lasedayu? Kalau benar, sungguh dahsyat 

keadaanmu. Kau memang layak dinamakan Hantu Langit 

Terjungkir!” 

Orang di atas batu terdengar menarik nafas dalam dan 

panjang. “Belasan tahun tidak pernah kedatangan tamu. 

Sungguh hari ini aku merasa bahagia ada seorang yang 

mau datang berkunjung. Wahai kerabat lama, selamat 

datang di Lembah Seribu Kabut. Ada gerangan apa sampai 

kau datang berjauh-jauh ke tempat kediamanku yang tidak 

nyaman ini?” 

Hantu Lumpur Hijau mendehem beberapa kali lalu 

menjawab. “Kedatanganku membekal maksud kurang 

enak. Aku datang untuk minta pertanggungan jawabmu.” 

Dua kaki Hantu Langit Terjungkir mengembang ke 

samping. Dari balik riapan rambut panjangnya yang men–

julai ke bawah menyentuh batu mengepul asap biru tipis. 

“Datang dari jauh dengan maksud kurang enak. Wahai 

harap kau berterus terang Hantu Lumpur Hijau. Katakan 

apa yang kurang enak itu! Hidupku sudah dibenam derita 

sengsara sejak puluhan tahun silam. Jangan menambah 

deritaku dengan tidak berterus terang...” 

“Muridmu telah merampas ilmu kesaktianku yang 

bernama Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh!” kata Hantu 

Lumpur Hijau dengan suara keras bergetar tanda dia 

berusaha menahan didihan amarah. 

Suara orang seperti tercekik keluar dari tenggorokan 

Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir. “Muridku? Muridku 

yang mana? Seumur-umur aku tidak pernah mempunyai 

murid...” 

Hantu Lumpur Hijau mendengus. “Pemuda itu datang 

mengagul membawa nama besarmu! Dia mengatakan 

membawa perintah darimu untuk mengambil ilmu 

kesaktianku itu. Ketika aku melawan dia langsung 

menyerangku habis-habisan. Kesaktiannya tinggi sekali. 

Aku tak sanggup menghadapinya. Dia kabur setelah 

berhasil merampas ilmu kesaktian itu.” 

“Kau tidak menyebutkan apa pemuda itu punya namaatau tidak. Tapi apa perduliku. Bernama atau tidak aku 

memang tidak pernah punya murid!” 

“Dia mengaku bernama Lajundai! Dia juga mengaku 

bernama Labahala! Lalu dia menyebutkan gelarnya Hantu 

Muka Dua. Raja Diraja Segala Hantu di Negeri 

Latanahsilam ini!” 

“Lajundai... Labahala! Hantu Muka Dua! Memang dia!” 

“Wahai! Sekarang kau mengaku kalau dia muridmu!” 

“Tidak, aku bukan mengaku!” 

“Lalu apa maksud ucapanmu tadi. Memang dia!” 

“Maksudku,” jawab Lasedayu alias Hantu Langit 

Terjungkir. “Pemuda itu pernah muncul di lembah ini...” 

“Hantu Langit Terjungkir, apapun kilahmu aku tetap 

berpegang pada ucapan Lajundai. Bahwa kau gurunya dan 

kau yang menyuruh dia untuk merampas ilmu kesaktian 

yang paling aku andalkan itu...” 

“Kita lama bersahabat walau jarang bertemu muka. Apa 

kau lebih percaya pada ucapan pemuda jahat itu daripada 

ucapanku?” ujar Hantu Langit Terjungkir pula. 

“Kalau kau memberi tahu di mana pemuda itu berada 

dan membantu aku mendapatkan kembali ilmu 

kesaktianku, mungkin aku bisa berubah pikiran...” 

“Tidak mungkin. Tidak mungkin wahai kerabatku. 

Pemuda itu tinggi sekali ilmu kesaktiannya. Jangankan kau 

sendiri, kita berdua bahkan tak mungkin menghadapinya.” 

“Kau bersiasat! Kau sengaja melindunginya karena dia 

memang muridmu!” 

“Aku tidak bersiasat wahai Hantu Lumpur Hijau. Aku 

tidak pula berniat melindunginya. Sejak sekian tahun silam 

aku juga ingin menghajarnya. Tapi aku sadar aku tak bisa 

melawannya!” 

“Kau berdusta! Kesaktianmu tidak di bawah Hantu 

Tangan Empat yang dianggap sebagai orang paling hebat di 

negeri ini. Lagi-lagi kau memang bersiasat untuk 

melindunginya!” 

“Dengar kerabatku wahai Hantu Lumpur Hijau. Hantu 

Muka Dua, dalam keadaan kita seperti ini bukanlahtandingan kita. Jika Para Dewa menurunkan pertolongan, 

satu hari kelak mungkin kita bisa membalaskan sakit hati!” 

“Aku sudah lama menunggu pertolongan Dewa. Tapi 

pertolongan itu mana mau datang kalau kita sendiri tidak 

berusaha! Hantu Langit Terjungkir, jika kau berserikat 

dengan muridmu terpaksa aku menjatuhkan tangan kasar 

terhadapmu! Ketahuilah, walau ilmu kesaktianku Pukulan 

Hantu Hijau Penjungkir Roh telah dirampas oleh muridmu, 

aku masih ada beberapa ilmu lain. Memang tidak sehebat 

ilmu yang satu itu. Tapi aku yakin akan sanggup 

mengirimmu ke alam roh hanya dalam dua tiga jurus saja!” 

“Wahai, kalau begitu takdir nasibku memang buruk. 

Hantu Lumpur Hijau, puluhan tahun menderita sengsara, 

hidup terjungkir menghadap langit ke atas kepala ke 

bawah, bertangan kaki seperti ini membuat kematian 

bagiku merupakan satu hal yang aku dambakan. Kematian 

akan mengakhiri semua derita sengsara itu...” 

“Kalau memang kau sudah pasrah menerima kematian, 

akupun tidak merasa ragu-ragu lagi!” kata Hantu Lumpur 

Hijau pula. Lalu tangannya dihantamkan ke depan. Selarik 

sinar hijau menderu ke arah dada Lasedayu. Sinar ini 

menyerupai sebatang tombak yang meluncur cepat dan 

deras sekali. 

Di atas batu Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir 

keluarkan suara berdesah. “Pukulan Tombak Lumpur 

Penambus Roh!” Makhluk ini tidak bergerak sedikitpun 

untuk selamatkan diri. Agaknya dia memang sudah benar-

benar pasrah menerima kematian. 

Sesaat lagi larikan angin sakti yang berbentuk tombak 

itu akan mendarat di dada Hantu Langit Terjungkir tiba-tiba 

terdengar suara gelegar ringkikan kuda. Di lain kejap 

sesosok tubuh melesat di udara. Lalu sebuah benda bulat 

menghantam ke arah Tombak Lumpur Penambus Roh. 

Traaanggg! 

***


EMPAT


Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng 

sebelumnya dengan judul “Rahasia Kincir Hantu”, 

seluruh kesaktian yang dimiliki Lasedayu telah 

dirampas dan dikuras habis oleh Labahala alias Hantu 

Muka Dua. Hal itu dilakukannya dengan mempergunakan 

benda sakti bernama Sendok Pelangkah Nasib yang juga 

disebut Sendok Pemasung Nasib. Sejak itu pula dunia ini 

menjadi terjungkir balik bagi Lasedayu. Selain kehilangan 

ilmu kesaktian, keadaannya jadi berubah. Dia tidak lagi 

bisa berdiri sebagai wajarnya manusia biasa yakni kaki ke 

bawah kepala ke atas. Tapi dia hanya bisa berdiri dan 

berjalan dengan mempergunakan sepasang tangannya. 

Dua kaki berada di atas, dua tangan berada di bawah. 

Sejak itulah orang-orang di Negeri Latanahsilam 

menyebutnya dengan julukan Hantu Langit Terjungkir. 

Walau ilmu kesaktian yang pernah dimilikinya telah 

dirampas seluruhnya oleh Hantu Muka Dua, namun saat 

itu sebenarnya Hantu Langit Terjungkir telah memiliki satu 

ilmu baru yang secara tak sengaja didapat dan 

dipelajarinya dari alam. 

Selama bertahun-tahun dia mengamati keadaan 

lembah di sekitarnya yang selalu tertutup kabut berwarna 

putih kelabu dan terkadang tampak seperti kebiru-biruan. 

Ke manapun dia pergi di lembah itu sosoknya selalu 

dikelilingi oleh kabut. Penciuman dan jalan pernafasannya 

selalu bersentuhan dengan kabut. Dari hasil 

pengamatannya itu Lasedayu menyadari bahwa kabut yang 

sebenarnya hanya merupakan salah satu lapisan udara 

yang mengapung dan tidak bisa diraba itu sesungguhnyaadalah satu kekuatan dahsyat. Maka sedikit demi sedikit, 

hari demi hari, dia mulai menyerap kabut itu ke dalam 

tubuhnya melalui jalan pernafasan. Selama bertahun-tahun 

hal itu dilakukannya. Sampai pada suatu hari dia 

merasakan tubuhnya menjadi sangat ringan seolah 

seenteng kapas. Dia bisa mengapung seolah mampu 

berjalan di udara. 

“Tubuhku seperti kabut! Ringan sekali. Seperti kabut 

aku bisa bergerak ke mana aku suka. Wahai! Mukjizat apa 

yang telah diberikan alam padaku!” 

Keterkejutan Lasedayu tidak sampai di situ. Ketika 

dicobanya ternyata dia mampu mengatur aliran darah 

dalam tubuhnya. Tubuhya yang selama ini berada dalam 

keadaan kaku dan dingin kini seolah dialiri hawa panas. 

Lasedayu mencoba lebih jauh. Dia menghimpun tenaga 

dalam di pusarnya yang bolong. Berkali-kali dicobanya tapi 

tidak terjadi apa-apa. Lasedayu tidak putus asa. Kalau dia 

mampu mengatur jalan darah berarti ada kemungkinan dia 

juga mampu menghimpun satu kekuatan tenaga dalam 

baru di dalam tubuhnya. 

Entah berapa ratus kali dia mencoba dan tak juga 

berhasil maka berpikirlah orang tua ini. “Ketika aku masih 

hidup dengan kepala ke atas kaki ke bawah, pusat 

kekuatan tenaga dalamku memang di pusar. Sekarang 

keadaanku seperti ini. Pusar tak punya. Semua serba 

terbalik. Jangan-jangan pusat kekuatan tenaga dalamku 

juga berubah terbalik. Berpindah ke bagian badan yang 

lain.” 

Lasedayu lalu mengusapi sekujur tubuhnya. Dia tidak 

menemukan apa-apa. Dia tidak mendapat petunjuk. 

Sampai berminggu-minggu berlalu dia masih belum juga 

menemukan di mana kini beradanya pusat kekuatannya. 

Suatu pagi, sang surya baru saja terbit dan cuaca di 

lembah mulai terang. Lasedayu tegak kaki ke atas kepala 

ke bawah. Salah satu tangannya yang selama ini dijadikan 

kaki mengusap dan memijit-mijit keningnya. Lama-lama dia 

merasakan kening serta jari-jari tangan itu menjadi panas.Butiran-butiran keringat memercik di keningnya. Lalu dari 

sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak 

kaki mengepul asap tipis berwarna kebiru-biruan. 

Dicobanya menarik nafas dalam lalu menghembus ke 

depan. Selarik asap biru melesat keluar dari mulut orang 

tua ini. 

Lasedayu berteriak gembira. “Aku memiliki tenaga 

dalam baru! Pusat tenaga dalamku ada di kening! Wahai! 

Aku menemukan satu ilmu kesaktian baru!” Namun 

kegembiraannya seperti sirna ketika dia berpikir, jangan-

jangan dia hanya sekedar memiliki kemampuan menyerap 

dan menghembuskan udara. Apa arti dan kegunaannya? 

Bukankah di tempat dingin semua orang bisa 

mengeluarkan udara berbentuk seperti asap dari mulut 

dan hidungnya setiap kali dia bernafas? 

Untuk beberapa lamanya Lasedayu seperti terhenyak 

dalam keputus-asaan. Namun ketika dia teringat pada 

Labahala alias Hantu Muka Dua yang telah mencelakai 

dirinya begitu rupa, dendam berkecamuk dalam tubuhnya, 

perlahan-lahan semangatnya bangkit kembali. 

“Aku harus membuktikan bahwa apa yang ada dalam 

tubuhku saat ini benar-benar satu hawa sakti yang dapat 

kumanfaatkan untuk membalas dendam!” katanya dalam 

hati. Lalu orang tua ini kerahkan aliran darah ke kepalanya. 

Sepasang matanya yang kelabu memancarkan cahaya 

aneh. Keningnya menjadi panas. Bersamaan dengan itu 

dia gerakkan dua kakinya. Menendang di udara. 

Wuuttt! 

Wutttt! 

Dua larik sinar biru menderu di udara. Membelah kabut. 

Lalu di sebelah sana terdengar suara benda berderak 

patah. Lasedayu sibakkan rambut dan kumis yang menjulai 

menutupi wajahnya. Sepasang matanya yang berwarna 

kelabu membeliak besar. Dua pohon yang selama 

bertahun-tahun tumbuh tegak di sebelah sana hancur 

patah bagian tengah batangnya, lalu bergemuruh tumbang! 

Sekujur batang pohon yang telah patah itu berubahmenjadi biru! 

Walau menyaksikan dengan mata kepala sendiri apa 

yang terjadi namun Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir 

masih belum percaya diri. Perlahan-lahan tubuhnya 

diapungkan ke atas. Dua tangannya bergerak. Sosoknya 

lalu diputar ke arah sebuah batu besar sejarak tiga tombak 

dari tempatnya berdiri kepala ke bawah kaki ke atas. Kalau 

tadi dua kakinya yang digerakkan maka kali ini tangan 

kanannya yang dipukulkan. 

Wuuuttt! 

Selarik sinar biru menggebubu dari telapak tangan 

Lasedayu. Lalu di depan sana, braakk! Batu besar hancur 

berantakan. Pecahan-pecahan batu berubah menjadi 

kebiru-biruan. Orang tua ini berseru girang. Sosoknya 

mencelat ke atas beberapa kali. Lalu dari mulutnya keluar 

teriakan. “Lajundai! Labahala! Hantu Muka Dua! Siapapun 

kau adanya! Aku akan mencarimu! Tunggu pembalasanku!” 

Habis berteriak begitu Lasedayu segera hendak 

tinggalkan tempat itu. Namun selintas ingatan muncul 

dalam benaknya. Apakah memang perlu dia mencari Hantu 

Muka Dua untuk melampiaskan dendam kesumat? Seperti 

yang dikatakan Lamanyala, makhluk api utusan atau Wakil 

Para Dewa, bukankah bencana yang dialaminya akibat 

ulah perbuatannya di masa muda? Dia telah membunuh 

seorang bernama Latumpangan yang ketitipan sebuah 

jimat sakti bernama Jimat Hati Dewa. Setelah membunuh 

Latumpangan dan merampas serta memakan Jimat Hati 

Dewa, dia kemudian mencelakai Lamanyala, Wakil Para 

Dewa di Negeri Latanahsilam. Kutukan kemudian jatuh 

atas dirinya. Yang membuat dirinya tersiksa seumur-umur. 

Hidup terjungkir kaki di atas kepala di bawah! 

Dendam yang membara dalam diri Lasedayu perlahan-

lahan mengendur. Apalagi ketika dia ingat pada istri dan 

empat orang anaknya yang tidak diketahuinya di mana 

rimbanya. 

“Apakah perlu aku membalaskan dendam kesumat 

sakit hati? Bukankah keadaan diriku sampai begini rupakarena dimakan hukum sebab akibat? Bukankah lebih baik 

sisa hidup ini kupergunakan untuk menanti datangnya 

kematian? Hanya kematian yang akan mempertemukan 

aku dengan istri dan anak-anakku di alam roh kalau 

memang mereka telah menemui ajal akibat bencana banjir 

puluhan tahun silam itu...” 

Berhari-hari lamanya Lasedayu mendekam di Lembah 

Seribu Kabut dengan benak dibuncah alam pikiran seperti 

itu hingga akhirnya dia mengambil keputusan untuk tidak 

mencari Hantu Muka Dua guna melakukan pembalasan. 

Perasaan ingin mati cepat inilah yang kemudian membuat 

Hantu Langit Terjungkir tidak berusaha menyelamatkan 

diri, hanya tegak diam penuh pasrah sewaktu Pukulan 

Tombak Lumpur Penambus Roh yang dilepaskan Hantu 

Lumpur Hijau menghantam ke arahnya! Orang tua ini 

benar-benar akan menemui ajal jika saat itu tidak ada 

sebuah benda berbentuk bulat menderu menangkis 

serangan orang. 

Traaannggg! 

Walau jelas benda berbentuk tombak hijau itu hanya 

merupakan selarik sinar namun luar biasanya begitu 

beradu dengan benda bulat dia mengeluarkan suara 

berkerontangan seolah terbuat dari besi betulan. 

Tombak sinar hijau terpental ke udara dan lenyap. Dada 

Lasedayu selamat dari tambusannya. Benda bulat yang 

dipakai menangkis serangan gugus gompal sedikit 

sementara satu sosok tinggi besar terhuyung jatuh tapi 

cepat bangkit kembali dan bergerak ke arah Hantu Lumpur 

Hijau yang saat itu tengah berusaha bangkit berdiri. 

Bentrokan tombaknya dengan benda bulat tadi membuat 

dia terdorong hebat dan jatuh terjengkang. Sosok tubuhnya 

yang seperti lumpur berdenyut-denyut dan tetesan air 

keluar lebih banyak. Ini satu pertanda bahwa makhluk ini 

tengah dirasuk kobaran kemarahan luar biasa. Begitu 

berdiri dia putar tubuh ke arah makhluk yang 

mendatanginya. 

Dukkk... Dukkkk.

Tanah lembah bergetar. Muka hijau Hantu Lumpur 

Hijau sesaat berubah redup kelabu pertanda dia tengah 

mengalami keterkejutan. Hantu Lumpur Hijau memang 

kaget besar ketika dia memandang ke depan dan 

mengenali siapa yang melangkah mendekatinya. 

***


LIMA


Hantu Kaki Batu...” desis Hantu Lumpur Hijau. “Apa 

hubungan makhluk ini dengan Hantu Langit 

Terjungkir hingga dia barusan bertindak 

menyelamatkan orang itu...” Sambil menduga-duga begitu 

Hantu Lumpur Hijau melirik ke arah kejauhan di mana 

tampak seekor kuda hitam besar berkaki enam yang 

merupakan tunggangan orang yang dijuluki Hantu Kaki 

Batu itu. 

Seperti Hantu Lumpur Hijau, Lasedayu juga merasa 

heran mengapa ada orang yang selama ini hanya dikenal 

namanya tapi tidak punya hubungan apa-apa telah 

menyelamatkan dirinya dari kematian. 

Duukkk... duukkkk... duukkkk! 

Sosok tinggi besar yang sepasang kakinya terbungkus 

batu bulat melangkah terus mendekati Hantu Lumpur 

Hijau. Dua langkah di hadapan Hantu Lumpur Hijau, orang 

ini yang bukan lain Lakasipo adanya hentikan langkah lalu 

berucap. 

“Hantu Lumpur Hijau, aku tidak ada permusuhan 

denganmu. Karenanya lekas kau angkat kaki dari Lembah 

Seribu Kabut ini!” 

Walau tadi hatinya kecut melihat kemunculan Hantu 

Kaki Batu yang jelas tidak berpihak kepadanya namun 

ucapan Lakasipo membuat Hantu Lumpur Hijau merasa 

sangat dihina dipandang enteng. Dalam marahnya dia 

menyahuti. “Wahai! Kau yang muncul mencari lantai 

terjungkat! Sekarang kau pula yang berucap tidak punya 

permusuhan dengan diriku! Sungguh aneh!” 

Hantu Kaki Batu menyeringai. “Sudahlah, tak perlubicara berpanjang lebar. Tinggalkan saja tempat ini agar 

lantai terjungkat yang kau katakan itu tidak kupatahkan!” 

“Pongahnya dirimu! Apa hubunganmu dengan Hantu 

Langit Terjungkir?! Hingga mencampuri urusanku dan 

menyelamatkan dirinya?!” Hantu Lumpur Hijau membentak 

sambil melirik pada Lasedayu. Lasedayu sendiri saat itu 

tentu saja ingin tahu dan ingin mendengar jawaban 

Lakasipo. 

“Antara aku dan orang tua itu tidak ada hubungan apa-

apa. Tapi niat menolong adalah dasar hubungan baik bagi 

semua makhluk di Negeri Latanahsilam ini!” 

“Wahai! Kau menolong orang yang salah! Kau 

menolong makhluk jahat! Apakah itu pantas disebut dasar 

hubungan baik?!” 

Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara menggeram 

tapi tetap tak bergerak di tempatnya. Lakasipo ajukan 

pertanyaan. “Apa kesalahan Hantu Langit Terjungkir. Apa 

kejahatan yang telah diperbuatnya?” 

“Aku datang ke Lembah Seribu Kabut ini untuk minta 

pertanggungan jawabnya. Muridnya telah merampas ilmu 

kesaktianku!” jawab Hantu Lumpur Hijau. 

“Kalau aku tidak salah, orang tua ini tadi sudah 

memberi tahu padamu bahwa Hantu Muka Dua bukan 

muridnya. Seumur-umur dia tidak punya murid. Mengapa 

kau berkeras kepala tidak mempercayai ucapan orang?!” 

“Hemmm... Kalau begitu rupanya kau sudah lama 

berada di tempat ini hingga mendengar pembicaraan 

kami!” tukas Hantu Lumpur Hijau. 

“Aku sudah berada di sini sebelum kau muncul. Itu jika 

kau ingin tahu!” ujar Lakasipo pula yang membuat Hantu 

Langit Terjungkir jadi terkejut dan menduga-duga jangan-

jangan manusia berkaki batu ini juga punya niat jahat 

terhadap dirinya walaupun pertama kali muncul telah 

menolong menyelamatkan dirinya dari serangan maut 

Hantu Lumpur Hijau. 

“Aku tidak percaya pada ucapan Hantu Langit 

Terjungkir. Sama dengan aku tidak mempercayai dirimu!Aku yakin antara dia dengan Hantu Muka Dua ada 

hubungan tertentu!” 

“Sudahlah! Kita habisi saja pembicaraan sampai di sini. 

Harap kau mau pergi dari sini!” 

“Bagaimana kalau kau saja yang segera angkat kaki 

dari sini?!” tukas Hantu Lumpur Hijau. 

Lakasipo tertawa bergelak. “Tubuhmu mulai dari kepala 

sampai ke kaki merupakan lumpur lembek dan busuk! Tapi 

wahai! Otakmu keras dalam ketololan! Mungkin ini bisa 

membuatmu untuk tidak bicara berpanjang lebar!” 

Habis berkata begitu Lakasipo alias Hantu Kaki Batu 

jentikkan lima jari tangan kanannya. 

Wussss! 

Lima larik sinar hitam menggebubu ganas. Menyambar 

ke arah lima bagian tubuh Hantu Lumpur Hijau membuat 

orang ini terkejut besar. Sambil berteriak menyebut nama 

serangan itu dia cepat melompat cari selamat. 

“Lima Kutuk Dari Langit!”

Lima lobang hitam mengepulkan asap menguak di 

tanah bekas tempat Hantu Lumpur Hijau tadi berdiri tegak! 

Sang hantu bergeletar sekujur tubuh lumpurnya. Sejak ilmu 

kesaktian yang sangat diandalkannya dirampas Hantu 

Muka Dua, Hantu Lumpur Hijau memiliki satu kelemahan 

yakni tidak tahan terhadap hawa panas, apalagi pukulan 

sakti mengandung hawa panas seperti Lima Kutuk Dari 

Langit yang tadi dihantamkan Lakasipo! 

Sadar kalau saat itu tak mungkin baginya untuk 

menghadapi Lakasipo maka Hantu Lumpur Hijau berpaling 

pada Hantu Langit Terjungkir dan berkata. “Nasibmu masih 

baik. Ada orang tolol muncul menolong. Tapi lain waktu 

jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!” 

Habis berkata begitu Hantu Lumpur Hijau lalu 

berkelebat dan sosoknya lenyap di belakang kabut yang 

mengapung di udara. 

Hantu Langit Terjungkir tertawa mengekeh. “Dia yang 

bodoh mengatakan orang tolol!” Lalu orang tua ini 

berpaling ke arah Lakasipo. Dari balik julaian rambutputihnya yang panjang dia memperhatikan kemudian 

berkata. “Wahai, selama ini hanya nama yang kukenal. 

Apakah benar dugaanku kau adalah makhluk yang dijuluki 

Hantu Kaki Batu, korban kebusukan nenek jahat bernama 

Hantu Santet Laknat?” 

“Wahai!” seru Lakasipo. “Dugaanmu tidak salah! Kau 

sebut nama nenek keparat itu! Mengingatkan aku bahwa 

masih ada urusan dendam kesumat yang belum 

terselesaikan dengannya!” 

Hantu Langit Terjungkir menyeringai di balik julaian 

rambut putihnya. “Selama dunia terkembang, walau langit 

terjungkir seperti yang saat ini aku lihat, urusan dendam 

kesumat tidak pernah habis-habisnya! Akupun sebenarnya 

memiliki satu dendam kesumat besar luar biasa! Tapi apa 

ada gunanya untuk dilampiaskan?” 

“Lalu itu sebabnya waktu tadi Hantu Lumpur Hijau 

hendak membunuh kau hanya diam pasrah?” ujar 

Lakasipo. 

Hantu Langit Terjungkir kembali menyeringai. “Wahai, 

turut bicaramu kau sudah lama berada di tempat ini. 

Bahkan sebelum Hantu Lumpur Hijau muncul. Kau 

menyelamatkan diriku dari kematian! Tapi aku perlu 

kejelasan apakah kau datang dengan maksud baik atau 

membekal niat jahat seperti makhluk yang barusan merat 

itu?!” 

“Aku datang membekal maksud baik. Aku membawa 

amanat dari seseorang untuk disampaikan padamu,” 

menjelaskan Lakasipo. 

“Sungguh luar biasa kejadian hari ini!” kata Hantu 

Langit Terjungkir sambil geleng-gelengkan kepala. “Aku 

hendak dibunuh orang tapi diselamatkan orang lain. Kini 

orang lain itu berkata dia datang membawa satu amanat! 

Wahai Hantu Kaki Batu, amanat apa yang hendak kau 

sampaikan pada diri tua rapuh dimakan usia dan derita 

ini?!” 

“Sebelum kujawab pertanyaanmu, aku juga ingin satu 

kejelasan bahwa kau memang adalah Hantu LangitTerjungkir yang terlahir bernama Lasedayu. Kulihat 

pusarmu yang berlubang, kulihat cara tegakmu yang 

terbalik, kaki ke atas tangan dijadikan kaki. Namun di 

Negeri Latanahsilam ini seseorang bisa saja menyamar 

memalsukan diri. Hantu Muka Dua misalnya, dia bisa 

membentuk ujudnya seperti sosok dirimu!” 

Hantu Langit Terjungkir tertawa panjang. “Aku suka 

pada orang cerdik sepertimu. Ada ujar-ujar yang 

mengatakan begini, ‘Seseorang harus tulus seperti seekor 

burung merpati. Tapi ada kalanya harus cerdik seperti ular.’

Hantu Kaki Batu, kau sendiri sudah mengetahui bahwa aku 

begitu pasrah menghadapi bahkan menginginkan 

kematian. Jika kau tadi tidak yakin aku adalah benar-benar 

Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu, tentu kau tidak 

akan menolong menyelamatkan nyawaku dari Hantu 

Lumpur Hijau!” 

“Wahai, mendengar ucapanmu itu aku yakin kau 

memang adalah Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu. 

Sebelum kukatakan amanat yang kubawa itu, apakah kau 

berkesudian menceritakan riwayat hingga kau berkeadaan 

seperti ini?” 

Si orang tua menarik nafas panjang dan dalam. 

“Wahai, menceritakan nasib sendiri sama dengan 

menusukkan duri ke lubuk hati yang telah sarat dengan 

derita sengsara ini. Tapi mungkin juga bisa sedikit 

menghapus ganjalan hati. Kalau kau suka mendengar akan 

kuceritakan. Tapi pendek-pendek saja...” 

“Aku suka mendengar riwayatmu,” jawab Lakasipo. 

“Semua derita sengsara ini terjadi ketika seorang 

bernama Lajundai alias Labahala yang mengaku Raja 

Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini, bergelar 

Hantu Muka Dua, suatu hari di masa puluhan tahun silam 

muncul di lembah ini. Sebelum muncul di Lembah Seribu 

Kabut ini rupanya dia telah mendatangi beberapa tokoh di 

tempat lain dan merampas ilmu kepandaian para tokoh itu. 

Ternyata dia mendatangiku juga dengan maksud yang 

sama. Dia membekal sebuah benda terbuat dari emasyang disebut Sendok Pelangkah Nasib atau lebih dikenal 

dengan nama Sendok Pemasung Nasib. Kejutku bukan 

alang kepalang. Karena sendok itu adalah satu-satunya 

benda di muka bumi ini yang bisa menguras semua ilmu 

kesaktian yang kumiliki! Dengan satu gerakan kilat Hantu 

Muka Dua menusukkan sendok emas itu ke perutku, 

mencungkil pusarku. Kau lihat sendiri saat ini. Pusarku 

hanya merupakan satu lobang besar di pertengahan 

perutku. Dalam keadaan tak berdaya dan mandi darah 

setelah ditinggal kabur oleh Hantu Muka Dua tiba-tiba 

muncul Lamanyala...” 

“Lamanyala, aku pernah dengar nama itu. Siapa orang 

itu adanya?” tanya Lakasipo. 

“Dia adalah utusan atau Wakil Para Dewa di Negeri 

Latanahsilam. Dia memiliki kesaktian hebat. Sekujur 

tubuhnya dikobari api. Sejak puluhan tahun dia telah 

menjadi musuh besarku. Karena aku telah merampas dan 

menelan Jimat Hati Dewa yang berada di bawah 

pengawasannya. Selain itu tubuhnya telah kubikin cacat 

mengerikan...” 

“Lamanyala pasti muncul untuk membalas dendam!” 

memotong Lakasipo. 

Hantu Langit Terjungkir gelengkan kepala. “Dia muncul 

hanya untuk mengatakan sesuatu yang sampai saat ini 

masih terngiang di telingaku, ‘Hidup keluargamu morat-

marit! Kau tak tahu di mana istrimu berada. Kau juga tidak 

tahu di mana ke empat anakmu! Si bungsu anakmu yang 

ke empat telah menjadi musuh besarmu! Kau telah 

kehilangan seluruh kesaktianmu!’ Setelah berkata begitu 

dia mengutuk, ‘Mulai hari ini kau akan hidup 

menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah. Kau akan 

berjalan dengan dua tanganmu! Kau akan jadi makhluk 

tersiksa seumur-umur!’ Seperti kau saksikan sendiri saat 

ini. Aku benar-benar hidup menyungsang. Kaki ke atas 

kepala ke bawah!” (Mengenai riwayat Lasedayu alias Hantu 

Langit Terjungkir harap baca serial Wiro Sableng dua 

Episode sebelumnya yaitu “Hantu Muka Dua” dan “RahasiaKincir Hantu”). 

“Wahai... Riwayatmu sungguh hebat. Aku baru tahu 

kalau kau punya empat orang anak...” 

“Empat orang anak. Tapi apa artinya...” ujar Hantu 

Langit Terjungkir. “Aku tidak tahu di mana mereka 

sekarang. Kalau masih hidup kira-kira seusiamu. Aku juga 

tidak tahu apakah istriku Luhpingitan masih hidup atau 

entah sudah tiada...” 

“Sungguh berat beban derita hidup orang tua ini,” kata 

Lakasipo dalam hati. Lalu pada Hantu Langit Terjungkir dia 

berkata. “Orang tua, karena kau sudah menceritakan 

riwayat nasib dirimu, sekarang tiba saatnya aku memenuhi 

janji. Memberi tahu amanat apa yang aku bawa untukmu. 

Apakah kau kenal dengan seorang tua bernama 

Lawungu?” 

Hantu Langit Terjungkir keluarkan seruan tertahan. 

Berkali-kali dia menarik nafas dalam. Tenggorokannya 

turun naik. “Lawungu... Lawungu...” katanya beberapa kali. 

“Puluhan tahun silam, kau belum lagi dilahirkan. Di Negeri 

Latanahsilam ini ada satu kelompok orang-orang yang 

mengaku gagah karena paling tinggi ilmunya. Mereka tiga 

bersahabat. Yang pertama adalah yang dikenal dengan 

Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Yang kedua aku sendiri. 

Yang ketiga Lawungu itu. Karena sibuk dengan urusan 

masing-masing kami kemudian berpisah dan lama tak 

saling bertemu... Wahai! Mengapa kau bertanyakan 

Lawungu padaku?” 

“Karena kakek itulah yang menitipkan amanat yang 

kukatakan itu,” jawab Lakasipo. 

“Kau... Lawungu! Amanat apa yang dititipkan sahabatku 

itu?!” tanya Hantu Langit Terjungkir. Dengan tangan kirinya 

dia sibakkan rambut serta kumis yang terjulai hingga kini 

Lakasipo untuk pertama kalinya dapat melihat jelas 

sebagian wajah orang tua itu. Wajah ini putih seperti tidak 

berdarah sedang sepasang matanya berwarna kelabu. 

“Katakan cepat. Amanat apa yang dititipkan Lawungu 

padamu!”“Aku dimintanya menyerahkan benda ini...” kata 

Lakasipo seraya mengeluarkan sebuah benda berwarna 

kuning yang berkilauan tertimpa sinar sang surya pagi. 

“Sendok Pemasung Nasib!” seru Hantu Langit 

Terjungkir dengan keras dan mata mendelik besar. Sekujur 

tubuhnya bergeletar. Lebih-lebih ketika Lakasipo 

mengulurkan tangannya siap menyerahkan sendok itu 

pada si orang tua. 

Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara seperti hendak 

menangis. Tangan kanannya bergetar keras ketika 

diulurkan untuk mengambil sendok emas itu. Namun 

hanya sekejapan lagi sendok itu akan disentuhnya tiba-tiba 

satu bayangan kuning berkelebat, dan...! Lakasipo serta 

Hantu Langit Terjungkir sama-sama berseru kaget. Sendok 

Pemasung Nasib lenyap disambar orang. Bersamaan 

dengan itu bayangan kuning yang tadi berkelebat ikut 

menghilang! 

Lakasipo coba mengejar sambil lepaskan pukulan Lima 

Kutuk Dari Langit. Namun tak ada gunanya. Yang hendak 

dihantam sudah keburu kabur. 

Hantu Langit Terjungkir meraung keras. Betapa tidak. 

Melihat sendok emas tadi timbul kembali harapan 

hidupnya dengan memiliki segudang kesaktian. Namun 

harapan tinggal harapan. Sendok emas amblas dirampas 

sosok kuning tidak dikenal. 

***


ENAM


Kembali kepada Pendekar 212 Wiro Sableng yang 

tengah berusaha menyelidiki di mana beradanya 

Luhjelita. Kawasan selatan yang didatanginya 

ternyata merupakan daerah mendaki berbatu-batu. Di situ 

tumbuh sejenis pepohonan setinggi kepala manusia, yang 

batang, ranting serta dedaunannya ditancapi duri-duri 

berwarna coklat kehitaman. Melihat duri-duri itu Wiro ingat 

pada sahabatnya yang malang yaitu Hantu Jatilandak. Dia 

tidak tahu di mana pemuda yang sekujur tubuhnya penuh 

duri landak itu kini berada. 

Karena pepohonan berduri tumbuh cukup rapat, Wiro 

tak bisa berlari cepat. Dia harus hati-hati, jangan sampai 

tergores duri coklat yang bukan mustahil mengandung 

racun. Di satu tempat ketinggian murid Eyang Sinto 

Gendeng dari Gunung Gede ini hentikan larinya, 

memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur 

sesuatu yang tergantung melambai-lambai di ujung sebuah 

ranting berduri. Wiro segera bergerak, memperhatikan 

lebih dekat. Ternyata benda yang melambai-lambai di ujung 

ranting berduri itu adalah robekan pakaian terbuat dari 

kulit kayu halus berwarna jingga. 

“Kain jingga...” ujar Wiro berdebar. “Siapa lagi 

pemiliknya kalau bukan Luhjelita. Aku menempuh arah 

yang benar. Agaknya gadis itu berada di sekitar sini. Kini 

tinggal mencari di mana goanya.” Wiro memandang 

berkeliling, tak berkesip. Dia tidak melihat apa-apa. Juga 

tidak menemukan petunjuk lain. Lalu dia mendengar ada 

suara menderu di udara. Memandang ke atas dia tidak 

melihat sesuatupun. Langit cerah. Sinar sang surya terasamulai menyengat. Wiro sibakkan semak belukar di samping 

kirinya lalu meneruskan perjalanan. 

Berjalan sejauh belasan tombak mendadak dia melihat 

kelainan pada serumpunan semak belukar dan pohon-

pohon berduri di arah sebelah kanan. Semak-semak dan 

pepohonan itu terkuak ke kiri kanan dan ada tanda-tanda 

bekas rambasan. 

“Ada orang membuat jalan setapak di tempat itu. Aku 

harus mengikuti jalan itu. Mungkin menuju ke goa yang 

dikatakan dua gadis kembar cantik tapi sialan itu!” Berpikir 

begitu Pendekar 212 Wiro Sableng segera bergerak ke 

ujung semak belukar yang terkuak. Tak lama mengikuti 

jalan kecil itu tiba-tiba dia dikejutkan oleh sebuah benda 

aneh yang mencuat seperti bukit batu kecil, berwarna 

coklat. Selagi tegak keheranan Wiro kembali terkejut 

karena bukit batu ini kelihatan bergerak. Tidak mau 

mengalami celaka yang tidak terduga, Wiro segera 

kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan untuk sewaktu-

waktu bisa menghantamkan pukulan sakti. 

Batu coklat itu kembali bergerak. Tiba-tiba di ujung 

kanan bukit batu ada sesuatu yang lain, bergerak naik ke 

atas. Ternyata kepala seekor kura-kura raksasa. 

“Astaga, Laecoklat! Kura-kura raksasa tunggangan 

Luhjelita...” Dalam kejutnya Wiro juga merasa gembira. 

Kalau tunggangannya berada di sana, berarti Luhjelita 

tidak berada jauh dari situ. 

Laecoklat berpaling pada Wiro. Matanya dikedip-

kedipkan. Melihat binatang ini tidak bersikap galak Wiro 

beranikan diri mendekat lalu melompat ke atas 

punggungnya yang keras atos. Sambil mengusap kepala 

binatang itu Wiro berkata. “Laecoklat, bisa kau 

menunjukkan padaku di mana Luhjelita berada?” 

Kura-kura raksasa itu kedipkan sepasang matanya dua 

kali lalu palingkan kepalanya ke kiri. Setelah menghadap 

ke kiri, kepala itu sedikit ditundukkan. Wiro 

memperhatikan. Dadanya berdebar. Di balik lima rumpun 

pohon berduri yang telah dirambas orang kelihatan sebuahmulut goa batu yang tingginya sepenyandak kepala 

manusia. 

“Kura-kura pintar!” Memuji Wiro. Lalu sekali melompat 

dia sudah sampai di depan pintu goa. Tanpa menunggu 

lebih lama murid Sinto Gendeng ini segera masuk ke dalam 

goa yang ternyata bagian dalamnya terbuat dari sejenis 

batu putih berkilauan hingga keadaan di situ tidak gelap. 

Berjalan masuk sejauh enam tindak, Wiro tiba-tiba 

hentikan langkahnya. Dia mendengar suara orang 

mendesah dan sesenggukan berulang kali. Suara 

perempuan. Luhjelita-kah itu? Apa yang terjadi dengan 

dirinya? Karena belum melihat sosok orang, Wiro 

melangkah masuk lebih jauh ke dalam goa. Untuk kedua 

kalinya kembali langkah sang pendekar terhenti. 

Di sana, sejarak enam langkah di hadapannya, di lantai 

goa batu putih tergeletak sesosok tubuh perempuan. 

Pakaiannya, sehelai baju panjang berwarna jingga bertebar 

di lantai. Hanya sebagian saja yang masih menutupi 

auratnya hingga sosok perempuan itu nyaris tidak 

terlindung. Wiro memperhatikan wajah perempuan itu. Dia 

segera mengenali dan berseru memanggil. 

“Luhjelita!” 

Seperti mendengar suara malaikat, perempuan yang 

tergeletak di atas lantai putar kepalanya. Begitu dia 

melihat dan mengenali siapa yang berdiri di depan sana 

langsung dia meraung. 

“Wiro...!” 

Perempuan itu yang memang Luhjelita adanya 

menangis tersedu-sedu. Wajahnya yang cantik nampak 

pucat pasi dan basah oleh air mata. Gadis itu kemudian 

tutup mukanya dengan dua tangan dan menangis lebih 

keras. 

“Luhjelita, apa yang terjadi dengan dirimu!” seru Wiro 

lalu mendekat dan duduk di samping sosok Luhjelita. Dia 

hendak meraba kening gadis ini namun Luhjelita lebih dulu 

bergerak bangkit dan rangkulkan kedua tangannya ke 

leher Wiro lalu menangis lebih keras.“Luhjelita, tenangkan dirimu. Katakan apa yang telah 

terjadi. Dengar, kenakan pakaianmu lebih dulu... Aku 

menyesal tidak bisa datang lebih cepat menolongmu...” 

“Terlambat Wiro, tak ada gunanya penyesalan. Mungkin 

ini sudah takdir nasib diriku. Harus mengalami hal seperti 

ini. Jangan sentuh diriku lagi... Pergilah, pergi dan jangan 

pernah menemui diriku lagi. Aib yang aku derita terlalu 

besar. Jangan sesalkan dirimu Wiro...” Gadis itu lepaskan 

rangkulannya di leher Wiro lalu menangis lebih keras 

sambil menutupkan dua tangannya di atas wajah. 

Pendekar 212 jadi bingung. Dia tak berani menyentuh 

tubuh Luhjelita yang saat itu memang tidak tertutup apa-

apa. Akhirnya diambilnya pakaian Luhjelita yang 

bertebaran di lantai. Pakaian ini ditutupkannya sebisanya 

ke tubuh si gadis. Pada saat itulah dia melihat ada 

bayangan bergerak di dinding goa. Berarti ada seseorang di 

mulut goa. Wiro berpaling, hendak bangkit berdiri. Namun 

gerakannya tertahan oleh suara Luhjelita. 

“Wiro...” 

Wiro terpaksa kembali mendekati gadis itu, duduk 

disampingnya. “Kenakan pakaianmu, baru nanti kita 

bicara. Aku merasa ada seseorang di luar goa. Aku akan 

menyelidik sebentar. Nanti kembali lagi ke sini...” 

“Jangan... jangan pergi. Aku takut Wiro. Takut sekali. 

Aku... rasanya aku ingin mati saja saat ini. Jangan pergi. 

Siapapun yang ada di luar sana biar saja...” 

“Gadis ini sedang kacau pikiran,” kata Wiro dalam hati. 

“Tadi disuruhnya aku pergi, jangan menemuinya lagi. 

Sekarang dia tidak mau ditinggal...” 

Wiro terpaksa mengikuti kata-kata Luhjelita. Karena si 

gadis tidak berusaha mengenakan pakaiannya, setengah 

memaksa Wiro membantu Luhjelita berpakaian. Dalam 

keadaan lain, berdua-dua seperti itu bisa membuat sang 

pendekar jadi panas dingin. 

“Gila, mengapa keadaan bisa seperti ini. Kalau ada 

orang lain yang melihat bisa-bisa dia salah sangka!” Wiro 

membatin sambil garuk-garuk kepala.“Nah, kau sudah berpakaian rapi. Duduklah bersandar 

ke dinding goa sebelah sini. Kelihatannya kau berada 

dalam satu goncangan besar...” 

“Luar biasa besarnya Wiro. Membuat aku rasanya ingin 

mati saja saat ini,” jawab Luhjelita lirih. Gadis ini beringsut 

ke kiri lalu duduk bersandar ke dinding goa. 

“Ceritakan apa yang terjadi...” kata Wiro pula seraya 

duduk di hadapan si gadis. 

“Aku ingin tahu dulu, bagaimana kau bisa sampai di 

sini?” tanya Luhjelita sambil mengusap air mata yang 

membasahi pipinya. Wajahnya masih pucat tak berdarah. 

Rambutnya awut-awutan. 

Wiro lalu bercerita. 

“Aku bertemu dan diserang oleh dua orang gadis 

kembar mengaku berjuluk Sepasang Gadis Bahagia...” 

Mendengar Wiro mengucapkan nama itu Luhjelita 

langsung terpekik. “Dua gadis jahanam itu! Mereka...!” 

Jeritan Luhjelita terputus, bersambung dengan ratapan 

panjang. 

*** 

Kita tinggalkan Wiro dan Luhjelita yang ada di dalam 

goa. Kita kembali pada saat-saat sebelumnya ketika Wiro 

berusaha mencari goa di mana Luhjelita disekap oleh 

sepasang dara kembar. Seperti dituturkan karena 

perhatiannya sangat terpusat pada usaha mencari dan 

menyelamatkan Luhjelita, murid Sinto Gendeng ini sampai 

tidak memperhatikan kalau di udara ada sesosok burung 

besar yang bukan lain adalah Laeputih, angsa raksasa 

milik Peri Angsa Putih. Binatang ini terbang mengikutinya 

dari kejauhan. Tentu saja binatang itu melayang mengikuti 

atas kehendak si pemiliknya yakni Peri Angsa Putih yang 

ada di atas punggungnya. 

Sang Peri merasa heran melihat Wiro berlari ke arah 

kawasan tinggi berbatu-batu dan dipenuhi semak belukar 

serta pohon-pohon berduri. Saat itulah angsa tunggangan

yang bernama Laeputih itu keluarkan suara menguik halus. 

Peri Angsa Putih yang sudah tahu sifat binatang 

kesayangannya itu mengusap kepala Laeputih seraya 

berucap. 

“Aku tahu, kau melihat sesuatu. Tapi mataku masih 

belum melihat apa-apa. Melayanglah lebih rendah. Hati-

hati. Jangan sampai orang yang kita ikuti melihat kita...” 

Laeputih menguik halus lalu tukikkan kepalanya ke 

bawah. Sesaat kemudian angsa putih inipun melayang 

merendah. Gerakan sayapnya dibuat demikian rupa hingga 

dia terbang hampir tanpa suara. Di ketinggian tertentu 

Laeputih berputar dua kali. Peri Angsa Putih memandang 

ke bawah. Dia melihat bebukitan. Batu-batu diseling oleh 

semak belukar dan pohon-pohon berduri aneh. Tiba-tiba 

matanya melihat sesuatu. Tapi belum jelas benar. Dada 

sang peri mendadak berdebar. Matanya digosoknya. 

“Lae...” bisik Peri Angsa Putih pada binatang 

tunggangannya. “Berputar sekali lagi, jangan terlalu 

cepat...” 

Laeputih lakukan apa yang dikatakan Peri Angsa Putih. 

Binatang ini kembali melayang berputar. Peri Angsa Putih 

memasang mata tajam-tajam. Debaran di dadanya 

semakin kencang. Matanya membelalak dan dua 

tangannya memegangi pangkal leher. Wajahnya berubah 

pucat. 

“Laecoklat...” desis sang peri. “Kura-kura bersayap 

tunggangan Luhjelita! Laeputih, lekas terbang ke balik 

bukit sana. Melayang berputar sampai aku memberi 

perintah berikutnya!” 

Di langit sebelah timur Laeputih berputar berulang kali. 

Namun sang Peri masih belum memberi aba-aba 

selanjutnya. Di atas punggung angsa putih itu Peri Angsa 

Putih justru berada dalam pikiran kacau balau serta hati 

tak karuan rasa. 

“Wiro... Dia menuju ke bukit terpencil itu. Ternyata di 

situ ada Laecoklat, kura-kura terbang milik Luhjelita. Pasti 

gadis itu juga berada di bukit itu. Jangan-jangan antaramereka memang sudah ada perjanjian untuk bertemu... 

Wahai para Dewa, wahai para Peri Agung. Apa yang harus 

aku lakukan?!” Rasa cemburu membakar diri Peri ini 

hingga wajahnya yang cantik jelita menjadi merah sampai 

ke pangkal leher. 

Seperti diketahui sejak dia pertama kali bertemu 

dengan Wiro yang masih berada dalam sosok kecil 

dibanding dengan orang-orang yang ada di Negeri 

Latanahsilam, Peri Angsa Putih memang telah merasa suka 

kepadanya. Lalu sewaktu sosok Wiro berubah menjadi 

besar, rasa suka sang Peri semakin bertambah besar, 

malah berubah menjadi rasa menyayangi. Peri Angsa Putih 

menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada Pendekar 212. 

Satu perasaan yang sangat menjadi pantangan bagi 

bangsa Peri di Negeri Atas Langit. 

Sebelumnya dia pernah tertarik pada lelaki gagah 

bernama Lakasipo berjuluk Hantu Kaki Batu. Rasa tertarik 

ini lebih didorong karena hiba melihat nasib yang dialami 

Lakasipo yakni setelah istrinya meninggal bunuh diri. 

Namun setelah kejadian itu, jika kini dia boleh memilih 

maka rasa tertarik dan cinta kasihnya ingin diberikannya 

sepenuhnya pada pemuda dari negeri seribu dua ratus 

tahun mendatang itu. Peri Angsa Putih sadar akan 

pantangan yang hendak dilanggarnya serta akibat besar 

yang bakal dihadapinya. Namun dia seperti tidak berdaya. 

Semakin dia coba menghilangkan Wiro dari pikirannya, 

semakin berkobar dan terpateri kasih sayang dalam lubuk 

hatinya. Semakin dicobanya untuk keluar dari telaga cinta, 

semakin jauh dia tenggelam ke dalamnya. Dalam keadaan 

seperti itu berbagai ganjalan kemudian ditemuinya. 

Luhjelita, gadis cantik berkepandaian tinggi itu muncul 

dan dirasakannya sebagai saingannya. Kemudian muncul 

pula gadis yang dikenalnya dengan nama Luhcinta. 

Kecantikannya melebihi Luhjelita dan agaknya antara si 

gadis dengan Wiro telah terjalin satu hubungan. Semua 

kecemburuan ini membuat Peri Angsa Putih merasa 

seolah-olah langit hendak runtuh menyungkup dirinya.Apalagi kemudian dia menyirap kabar yang bersifat teka-

teki. Hantu Raja Obat kabarnya pernah berucap bahwa ada 

seorang gadis yang akan memberikan cinta kasihnya hanya 

pada Wiro seorang. Lalu dia juga pernah mendengar 

sendiri Luhrinjani berucap. Istri Lakasipo yang sebenarnya 

telah lama meninggal dunia tapi rohnya bisa muncul 

kembali seperti manusia biasa itu berucap bahwa memang 

ada seorang gadis yang sangat mencintai Wiro Sableng. 

Celakanya Luhrinjani tidak mau menyebutkan siapa 

orangnya. Namun Peri Angsa Putih selain penasaran juga 

merasa sangat khawatir. Gadis yang dimaksud Luhrinjani 

itu tentulah gadis penghuni Negeri Latanahsilam, bukan 

bangsa Peri seperti dirinya. Seringkali dalam merenung di 

malam sepi Peri Angsa Putih mengucurkan air mata. Itu 

sebabnya dia merasa lebih suka berada di Negeri 

Latanahsilam dari pada berada di negerinya sendiri. 

Kalaupun dia berada di negeri bangsa Peri, dia lebih suka 

memencilkan diri. 

Terkadang ada hasrat di hatinya untuk menemui Hantu 

Raja Obat atau mencari makhluk roh bernama Luhrinjani 

itu untuk menanyakan. Siapa sebenarnya gadis yang 

mereka katakan sebagai satu-satunya gadis yang 

memberikan cintanya hanya kepada Wiro? Namun setelah 

dipikirnya lebih dalam dia memutuskan untuk tidak 

melakukan hal itu. Bisa-bisa tersiar kabar bahwa dirinya 

telah tergila-gila pada Pendekar 212 Wiro Sableng dan 

menaruh cemburu pada gadis-gadis lainnya yang pernah 

berhubungan dengan pemuda itu. 

Kini menghadapi kenyataan bahwa Wiro berada di 

sebuah bukit di mana dipastikannya Luhjelita juga ada di 

situ, Peri Angsa Putih merasa seolah sekujur tubuhnya 

terpanggang oleh panasnya hawa cemburu. 

“Gadis bernama Luhjelita itu. Dia selalu mendahului 

atau memotong setiap rencana yang hendak aku lakukan. 

Kini mereka melakukan pertemuan rahasia di bukit itu. 

Apakah aku harus menyelidik apa yang mereka lakukan? 

Ah... Bagaimana ini!” Dalam bingungnya Peri Angsa Putihmembiarkan angsa tunggangannya melayang berputar-

putar sampai beberapa kali. “Daripada tambah hancur 

hatiku, kurasa lebih baik aku pergi saja dari sini. Luhjelita 

bukan saja cantik. Tapi juga pandai memikat. Aku tidak 

punya kepandaian seperti itu. Aku... Laeputih, kita harus...” 

Namun maksud sang Peri hendak memerintahkan angsa 

putihnya meninggalkan kawasan itu tidak terucapkan. 

Malah pada saat-saat hati dan pikirannya tambah kacau, 

akhirnya dia mengambil keputusan yang berbeda. 

“Lae, kita kembali ke bukit tadi. Hati-hati, jangan 

sampai terlihat oleh Laecoklat...” 

***


TUJUH


Hampir tanpa suara dan tidak terlihat oleh kura-kura 

coklat, Peri Angsa Putih menyusup di balik kelebatan 

semak belukar dan pohon-pohon berduri hingga 

akhirnya dia sampai ke mulut goa. Di mulut goa Peri ini 

hentikan langkahnya. Sesaat hatinya meragu, apakah akan 

terus masuk ke dalam goa atau bagaimana. Jangan-jangan 

gadis bernama Luhjelita berada di dalam goa. Dia tidak 

suka pada Luhjelita dan dia yakin Luhjelitapun benci sekali 

padanya. Semua ini berpangkal pada perasaan mereka 

yang sama-sama ingin menyayangi Pendekar 212 Wiro 

Sableng. Perselisihan mereka sampai pada saling pukul 

memukul (baca Episode sebelumnya berjudul “Hantu Muka 

Dua”). 

Tiba-tiba Peri Angsa Putih dikejutkan oleh suara 

perempuan menangis keluar dari dalam goa. Dia 

memasang telinga. Sulit untuk mengenali suara tangisan 

siapa itu adanya. Dengan dada berdebar akhirnya Peri 

Angsa Putih bergerak masuk ke dalam goa. 

Tepat di pertengahan goa, langkah Peri Angsa Putih 

tertahan. Sepasang kakinya laksana dipantek. Sekujur 

badannya menjadi panas bergeletar. Dua matanya 

membeliak. Apa yang disaksikannya membuat dia ingin 

menjerit. Hatinya benar-benar terpukul. 

Lututnya mulai goyah. Dia seperti mau roboh! 

Di depan sana, seorang gadis dalam keadaan tanpa 

pakaian duduk di lantai sambil rangkulkan ke dua 

tangannya ke leher Pendekar 212 Wiro Sableng. Dan gadis 

itu bukan lain adalah si cantik genit Luhjelita! Saat itu 

terdengar Luhjelita berkata lirih tapi jelas seperti petirmenyambar masuknya ke telinga Peri Angsa Putih. 

“Terlambat Wiro, tak ada gunanya penyesalan. Mungkin 

ini sudah takdir nasib diriku. Harus mengalami hal seperti 

ini. Jangan sentuh diriku lagi... Pergilah, pergi dan jangan 

pernah menemui diriku lagi. Aib yang aku derita terlalu 

besar. Jangan sesalkan dirimu Wiro...”

Menggigil sekujur tubuh Peri Angsa Putih melihat 

keadaan kedua orang itu, lebih-lebih mendengar apa yang 

barusan diucapkan Luhjelita. Dia tidak dapat 

membayangkan apa arti maksud ucapan gadis itu. Tapi 

pasti telah terjadi sesuatu. “Mereka telah melakukan 

sesuatu di dalam goa ini sebelum aku datang. Wahai 

Dewa... Wahai Peri!” Peri Angsa Putih tekapkan dua 

tangannya erat-erat ke leher, berusaha menahan jeritan 

yang mungkin bisa membersit keluar dari mulutnya. 

Khawatir dia tidak sanggup menahan diri, tanpa menunggu 

lebih lama gadis dari Negeri Atas Langit ini segera memutar 

tubuh dan tinggalkan goa itu. Namun bayangannya sempat 

terlihat oleh Wiro di dinding goa. Murid Sinto Gendeng ini 

segera hendak bergerak keluar goa guna menyelidik. Tapi 

niatnya batal karena mendadak Luhjelita memanggilnya. 

Di luar goa saking bingungnya Peri Angsa Putih 

bukannya kembali menemui angsa putih tunggangannya 

yang ditinggalkannya di satu tempat kelindungan, tapi dia 

justru lari ke dalam rimba belantara. Di satu tempat ketika 

dadanya terasa sesak dan kakinya bergetar berat tak 

sanggup lagi di langkahkan kakinya, Peri Angsa Putih 

gulingkan diri di tanah lalu menangis tersedu-sedu. 

Sang Peri tidak tahu berapa lama dia berada dalam 

keadaan seperti itu ketika tiba-tiba ada cahaya biru 

berkelebat di atasnya disertai menebarnya bau harum 

semerbak. Peri Angsa Putih turunkan dua tangan yang 

sejak tadi ditekapkannya ke wajahnya yang basah oleh air 

mata. Peri ini terbelalak ketika melihat siapa yang tegak di 

depannya. Dia segera menghapus air matanya, mengusap 

wajahnya dan membungkuk, 

“Peri Bunda... Simpul Agung Dari Segala Peri, PeriJunjungan Dari Segala Junjungan...” 

Yang tegak di hadapan Peri Angsa Putih saat itu 

ternyata adalah Peri Bunda, Peri separuh baya berwajah 

cantik. Pakaian birunya yang panjang menjela-jela sampai 

ke tanah. Di kepalanya ada sebentuk mahkota bertabur 

batu permata. Walau usianya sudah agak baya namun 

kecantikannya masih mempesona. 

Peri Bunda adalah salah seorang Peri yang sangat 

dihormati. Itu sebabnya Peri Angsa Putih tadi membungkuk 

dan menyapa dengan segala panggilan penghormatan. 

Dalam kejutnya melihat Peri Bunda, Peri Angsa Putih 

bertanya-tanya bagaimana Peri Bunda tahu-tahu berada di 

tempat itu. Walau ingin mengetahui, namun Peri Angsa 

Putih tidak berani menanya. Malah sebaliknya Peri Bunda 

berkata padanya dengan penuh kelembutan. 

“Wahai Peri Angsa Putih kerabatku yang cantik. Setelah 

cukup lama kau meninggalkan negeri kita, sungguh aneh 

menemukan dirimu di dalam rimba belantara ini. Lebih 

aneh lagi tadi kau dalam keadaan terguling di tanah. 

Menangis. Dari suara tangismu agaknya ada suatu 

keperihan yang sangat mendalam di relung hatimu. Peri 

Angsa Putih katakan padaku apa yang terjadi. Katakan jika 

ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk menolongmu.” 

Ditegur begitu rupa kesedihan Peri Angsa Putih jadi 

bertambah, membuat dia kembali menangis tersedu-sedu 

dan tutupkan lagi dua tangannya ke wajahnya yang berurai 

air mata. 

Peri Bunda dekati kerabatnya itu. Sambil membelai 

rambut hitam Peri Angsa Putih dia berkata. “Peri Angsa 

Putih, segala kesulitan dan kesedihan tidak dapat diakhiri 

hanya dengan air mata. Aku ingin menolongmu dari duka 

deritamu. Karena itu mulailah menceritakan padaku apa 

yang terjadi...” 

Peri Angsa Putih pergunakan pakaian putihnya untuk 

mengusap wajahnya lalu berkata. “Peri Bunda, semuanya 

serba tidak terduga. Aku... dia...” Kembali Peri Angsa Putih 

sesenggukan.“Kuatkan hatimu wahai Peri Angsa Putih. Bicaralah 

dengan ketabahan seorang Peri. Tak usah terburu-buru. 

Aku akan mendengarkan dengan sabar...” Kembali Peri 

Bunda membelai kepala Peri Angsa Putih dengan penuh 

kasih sayang. 

“Peri Bunda, sungguh baik sekali hatimu. Kau sangat 

memperhatikan diriku. Apakah kau masih ingat 

pembicaraan kita beberapa waktu lalu tentang menipisnya 

batas antara kita para Peri dengan manusia di bawah 

langit?” 

Peri Bunda pejamkan mata sesaat seperti merenung. 

Begitu dia membuka kedua matanya yang bagus, diapun 

berkata, “Wahai, tentu saja aku ingat. Pembicaraan itu 

sangat besar artinya bagimu bukan? Bagiku merupakan 

sesuatu yang perlu mendapat perhatian. Apakah ada 

hubungan pembicaraan kita waktu itu dengan keadaanmu 

saat ini?” 

“Peri Bunda, terus terang hatiku memang telah 

melangkah jauh walau sepasang kakiku masih terikat demi 

menjaga segala pantangan dan larangan kaum Peri...” 

Peri Bunda kerenyitkan keningnya. “Aku tidak mengerti 

maksud ucapanmu wahai Peri Angsa Putih. Atau... 

hemmm... Mungkinkah kau...” 

“Peri Bunda, barusan saja aku menyaksikan sesuatu di 

dalam sebuah goa tak jauh dari tempat ini.” 

“Apa yang kau saksikan di dalam goa itu wahai Peri 

Angsa Putih?” tanya Peri Bunda pula. 

“Aku menyaksikan Luhjelita...” 

“Luhjelita, gadis cantik genit perayu lelaki itu! Apa yang 

kau saksikan wahai kerabatku? Mengapa dia, sedang apa 

dia?” Pertanyaan Peri Bunda datang beruntun. 

Tenggorokan Peri Angsa Putih turun naik dan suaranya 

bergetar ketika dia berucap, “Gadis itu... Tanpa pakaian... 

Dia berdua dengan...” Tangis Peri Angsa Putih kembali 

tersembur. 

Setelah tangisnya mereda baru Peri Bunda bertanya. 

“Kau melihat Luhjelita. Berdua dengan siapa wahaikerabatku?” 

Karena memang hanya akan membuat sesak dadanya 

menahan-nahan cerita, maka Peri Angsa Putih lalu 

menuturkan apa yang dilihatnya di dalam goa beberapa 

waktu lalu. Sepasang mata Peri Bunda jadi terbelalak, 

wajahnya sebentar memutih pucat sebentar bersemu 

merah mendengar apa yang dituturkan Peri Angsa Putih. 

Dia memandang lekat-lekat pada Peri Angsa Putih yang 

memandang kepadanya dengan sepasang mata berurai air 

mata. 

“Wahai Peri Bunda...” kata Peri Angsa Putih tersengguk-

sengguk. “Sungguh aku tidak menduga mereka mau 

melakukan hal itu. Dan setelah itu terjadi mereka bicara 

segala macam penyesalan... Sangat menjijikkan...!” 

Lama Peri Bunda terdiam. Setelah geleng-gelengkan 

kepala beberapa kali baru dia berucap, “Begitulah sifat dan 

martabat bangsa manusia di muka bumi, yang tidak sama 

dan tidak boleh terjadi dengan kita para Peri dari Negeri 

Atas Langit. Luhjelita, gadis perayu itu tidak menghargai diri 

dan kesuciannya sendiri. Begitu mudah dia menyerahkan 

diri. Dan pemuda bernama Wiro Sableng itu aku menaruh 

curiga dia sebenarnya adalah apa yang disebut sebagai 

pemuda hidung belang. Kau dengar mereka bicara segala 

penyesalan. Itu semua hanyalah siasat basa-basi karena 

pasti di lain saat mereka akan melakukan hal-hal mesum 

seperti itu... Dan aku yakin, pemuda dari negeri seribu dua 

ratus tahun mendatang itu, setelah mendapatkan kesucian 

Luhjelita, pasti dia akan mencari mangsa lainnya!” 

Mendengar kata-kata Peri Bunda itu Peri Angsa Putih 

tekapkan dua tangannya ke wajah, lalu kembali terisak-

isak. 

“Peri Angsa Putih, turunkan dua tanganmu. Angkat 

wajahmu dan pandang wajahku. Aku harus menanyakan 

sesuatu padamu. Aku harus mengatakan sesuatu padamu. 

Apakah kau mendengar ucapanku wahai kerabatku?” 

Perlahan-lahan Peri Angsa Putih turunkan kedua 

tangannya, menatap wajah Peri Bunda dan menunggusampai Peri yang digelari Simpul Agung Segala Peri, Peri 

Junjungan Dari Segala Junjungan itu berkata. 

“Melihat kepada air mukamu. Dari cara kau 

menuturkan apa yang kau saksikan, aku melihat dan bisa 

merasakan bahwa kau sangat terpukul. Kalau aku boleh 

bertanya wahai Peri Angsa Putih, dan jika kau mau berterus 

terang, apakah kau mempunyai satu perasaan tertentu 

terhadap pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun 

mendatang itu?” 

Peri Angsa Putih gigit bibirnya menahan agar tidak 

terisak. Setelah menguatkan hatinya baru dia berkata. 

“Wahai Peri Bunda, itu sebabnya tadi aku mengingatkanmu 

pada pembicaraan kita beberapa waktu lalu...” 

“Hemmm... Aku mengerti sekarang,” ujar Peri Bunda 

pula. “Rupanya kau telah jatuh cinta pada pemuda itu...” 

“Wahai Peri Bunda, aku tidak tahu perasaan apa yang 

ada dalam hatiku terhadap pemuda itu. Karena selama ini 

hal-hal seperti itu tidak pernah aku alami. Lagipula 

bukankah itu merupakan satu pantangan besar yang berat 

hukumannya jika sampai dilanggar...” 

“Jadi benar kau telah jatuh cinta pada pemuda 

bernama Wiro Sableng itu?” 

“Peri Bunda,” sahut Peri Angsa Putih yang bermata biru 

itu. “Ingat pembicaraan kita dulu. Waktu itu aku 

menanyakan padamu, apakah kau sependapat denganku 

bahwa dunia kita semakin lama semakin mengalami 

banyak perbedaan. Bahwa batas antara kita bangsa Peri 

dan manusia di bawah langit sana semakin tipis. Laksana 

kabut pagi yang mudah dipupus ditelan sinar matahari...?” 

“Aku memang ingat pembicaraan kita itu, wahai 

kerabatku. Tapi saat ini yang aku inginkan ialah agar kau 

mau menjawab pertanyaanku tadi. Benarkah kau telah 

jatuh cinta pada Wiro Sableng?” 

Ditanya seperti itu Peri Angsa Putih jadi tundukkan 

kepala. 

“Kau tidak mau menjawab pertanyaanku Peri Angsa 

Putih?”Karena didesak akhirnya dalam menunduk Peri Angsa 

Putih anggukkan kepalanya. Peri Bunda pejamkan 

sepasang matanya. Wajahnya sesaat memucat. Tanpa 

diketahuinya saat itu Peri Angsa Putih telah mengangkat 

kepala dan memandang padanya. Peri Angsa Putih merasa 

heran melihat sikap Peri Bunda yang mendongakkan wajah 

dengan mata terpejam seperti itu. 

“Peri Bunda...” memanggil Peri Angsa Putih. 

Sadar dan agak terkejut Peri Bunda buka sepasang 

matanya, menatap ke dalam mata biru Peri Angsa Putih, 

lalu berkata. 

“Kerabatku Peri Angsa Putih, jangan berisau hati. 

Mungkin kau memang telah melakukan satu kesalahan. 

Jatuh cinta pada insan lain yang bukan kaum kita. Namun 

dalam keadaan seperti itu kau masih ingat bahwa hal itu 

merupakan satu pantangan besar. Yang jika kau langgar 

akan menimbulkan malapetaka besar, bukan saja bagi 

dirimu tapi juga bagi negeri kita. Ingat apa yang terjadi di 

Negeri Atas Langit ketika seorang peri yang kemudian 

mengganti namanya menjadi Luhmintari bercinta dengan 

seorang lelaki berasal dari Negeri Latanahsilam bahkan 

kemudian melangsungkan perkawinan yang membuahi 

seorang anak cacat mengerikan bernama Jatilandak? Alam 

kita tercemar, segala tuah tidak lagi mujarab. Angin tidak 

berhembus selama setahun penuh. Kalaupun berhembus 

maka hawa busuk tercium di mana-mana dan udara terasa 

pengap. Air berhenti mengucur dari tempat ketinggian ke 

tempat rendah. Akibatnya banyak kawasan mengalami 

kekeringan. Bunga-bunga menjadi layu. Pucuk tidak akan 

menjadi buah. Buah banyak yang jatuh busuk ke tanah. 

Lalu semacam penyakit menular bertebar menakutkan. 

Aku, kita semua bangsa Peri tidak ingin kejadian itu 

terulang kembali. Karenanya wahai kerabatku Peri Angsa 

Putih, aku mewakili para Peri di Negeri Atas Angin, 

berharap dengan sepuluh jari tersusun di atas kepala. 

Sebelum terlambat, sebelum datang penyesalan yang tiada 

gunanya, jangan kau lanjutkan kesesatan itu. Janganlanggar pantangan kaum kita. Sirnakan cintamu, kikis rasa 

kasih sayangmu, buang jauh-jauh rasa sukamu, apapun 

namanya terhadap pemuda bernama Wiro Sableng itu. Aku 

tahu kau belum melangkah terlalu jauh. Aku tahu kau 

punya kebesaran jiwa ketabahan hati dan sikap tegas 

dalam mengambil keputusan. Jauhi pemuda itu, lupakan 

semua yang ada di hatimu terhadapnya. Aku dan para Peri 

akan berusaha menolongmu...” 

Peri Angsa Putih tercekat mendengar kata-kata Peri 

Bunda itu. Wajahnya kembali pucat tidak berdarah. “Peri 

Bunda...” ucapnya tersendat. “Mungkinkah... Mungkinkah 

aku bisa melupakan pemuda itu? Kasih sayang, cinta 

tulusku terhadapnya telah terpendam di lubuk hati, 

menjadi satu dalam aliran darahku. Berada dalam setiap 

tarikan nafasku. Ke mana mataku memandang, wajahnya 

yang terlihat. Wahai...” 

Peri Bunda tersenyum. “Dengar baik-baik wahai Peri 

Angsa Putih. Kita para Peri tidak mengenal dan tidak boleh 

mengenal kasih sayang atau cinta tulus terhadap makhluk 

di bumi. Terhadap manusia di Negeri Latanahsilam saja hal 

itu sudah merupakan satu pantangan besar yang jika 

dilanggar sangat mengerikan akibatnya. Apalagi pemuda 

itu konon datang dari negeri seribu dua ratus tahun 

mendatang. Satu negeri yang tidak kita kenal. Ingat ketika 

pertama kali dia dan kawan-kawannya muncul di sini? 

Sosok mereka tidak lebih besar dari jari kaki kita...!” 

Peri Angsa Putih, Peri yang memiliki sepasang bola 

mata berwarna biru bagus ini mengusap air mata yang 

berderai jatuh di pipinya. “Peri Bunda... Wahai, aku tidak 

tahu harus mengatakan apa...” 

“Kau tidak perlu mengatakan apa-apa dengan 

mulutmu, wahai Peri Angsa Putih. Tapi berucaplah dalam 

hatimu bahwa kau akan menjauhkan pemuda itu dan 

melupakannya untuk selama-lamanya. Semua apa yang 

terjadi hanya kita berdua yang tahu. Aku tidak akan 

mengungkapkannya pada Peri yang lain.” 

Peri Angsa Putih terduduk bersimpuh. Mukanyaditekapnya kembali pada wajahnya. Kepalanya 

digelengkan, dadanya bergetar menahan isak. Mulutnya 

bergerak, tapi suaranya hanya keluar di dalam hati. 

“Tidak mungkin Peri Bunda... Tidak mungkin aku 

menjauhkan dirinya karena dirinya sudah terpateri dalam 

hatiku. Cinta kasihku terhadapnya sudah larut dalam aliran 

darahku. Kasih sayangku terhadapnya menjadi satu 

dengan hembusan nafasku. Peri Bunda, jika aku harus 

memilih sesuatu yang lain, aku lebih suka memilih 

kematian...” 

“Peri Angsa Putih, aku tahu kau tidak akan 

mengecewakan aku dan kerabat para Peri lainnya. Aku 

tahu kau akan mengambil keputusan sesuai dengan 

semua nasihat yang kusampaikan tadi. Aku tidak punya 

waktu berlama-lama di sini dan harus kembali ke Negeri 

Atas Langit. Kuharap kau juga segera kembali ke sana. 

Semakin berlama-lama kau di negeri ini semakin buruk 

akibatnya bagimu...” 

Setelah berucap begitu dengan lembut Peri Bunda cium 

kening Peri Angsa Putih lalu melesat ke udara dan lenyap 

di ketinggian langit sebelah timur. 

Hanya sesaat setelah Peri Bunda meninggalkan tempat 

itu, dari balik batu rerimbunan semak belukar lebat, 

beranjak pula seseorang yang telah lama mendekam di 

situ. Dia telah mendengar seluruh pembicaraan antara Peri 

Bunda dengan Peri Angsa Putih. Apa yang didengarnya itu 

membuat hatinya tergoncang hebat. Dia baru menyadari 

betapa dalam kasih sayangnya terhadap pemuda itu 

setelah mengetahui benar-benar ada gadis lain yang 

mencintai si pemuda. Dalam pikiran kacau seperti itu dia 

tidak lagi memperhatikan arah maupun gerak jalannya. 

Pakaiannya tersangkut di ujung ranting lancip. Secarik kecil 

robekannya terkait tinggal di ujung ranting. 

***


DELAPAN

Kembali e dalam goa di mana Pendekar 212 Wiro 

Sableng berada bersama gadis cantik Luhjelita. Saat 

itu Luhjelita telah mengenakan pakaian jingganya 

kembali. Gadis ini duduk di lantai goa, bersandar ke 

dinding batu. Sepasang matanya sembab bekas menangis 

dan wajahnya masih agak pucat. 

“Luhjelita, apakah sekarang kau bisa mengatakan apa 

yang terjadi? Tadi aku menyebutkan nama Sepasang Gadis 

Bahagia. Kau begitu terkejut, marah besar malah meraung 

keras!” 

“Dua gadis kembar itu! Mereka jahanam-jahanam yang 

telah mencelakai menodaiku!” teriak Luhjelita. Lalu gadis 

itu hantamkan tinjunya ke dinding goa. 

Braakkk! Goa batu bergetar. Bagian yang terkena 

pukulan hancur berlobang besar. 

“Aku ingin menghancurkan kepala mereka seperti aku 

menghancurkan dinding batu ini!” teriak Luhjelita. Lalu, 

braakkk! Sekali lagi dia hantamkan kepalan tangan 

kanannya. Lobang ke dua menganga di dinding goa. Ketika 

Luhjelita yang seperti kesetanan hendak menghantam 

untuk ke tiga kalinya, Wiro cepat pegang tangan gadis itu 

dan berkata. 

“Gadis berkepandaian tinggi sepertimu jangan sampai 

dirasuk amarah dan melakukan hal yang hanya mencelakai 

diri sendiri!” 

Luhjelita menggerung. Dua matanya memandang besar 

berapi-api pada Wiro. Wiro coba tersenyum. Perlahan-lahan 

gadis ini turunkan tangannya. 

“Diriku memang sudah celaka! Saat ini matipun akumau! Kau mau lihat bagaimana aku memecahkan kepala 

dengan membenturkannya ke dinding batu ini?! Mau?!” 

“Jangan jadi orang gila!” kata Wiro pula tapi cepat-cepat 

menekap kepala si gadis dengan dua tangannya karena 

khawatir Luhjelita benar-benar mau bertindak nekad. “Aku 

percaya dua gadis kembar itu telah mencelakaimu karena 

mereka memang bukan gadis baik-baik. Mereka telah 

merampas tongkat batu biru yang dulu kau berikan 

padaku. Dengar, aku percaya mereka telah mencelakaimu. 

Tapi kalau kau katakan mereka juga menodaimu, ini yang 

aku tidak mengerti!” 

“Tidak mengerti! Apa yang tidak kau mengerti! Apa kau 

tidak tahu siapa mereka?!” 

“Siapapun mereka, mana mungkin mereka menodaimu. 

Mana ada perempuan menodai perempuan...” kata Wiro 

pula sambil garuk-garuk kepala. 

Luhjelita mendengus gemas. “Kau dengar baik-baik 

Wiro!” katanya setengah berteriak. “Dua gadis itu adalah 

gadis-gadis binal yang cuma bergairah melakukan 

hubungan badan dengan sejenisnya!” 

Wiro melongo ternganga. “Maksudmu...” Pendekar 212 

kembali garuk-garuk kepala. “Aku tidak...” 

“Kau tidak mengerti! Kau juga tolol! Apa perlu 

kujelaskan terang-terangan?! Menjijikkan!” 

“Apanya yang menjijikkan?” tanya Wiro. 

Luhjelita acungkan tinjunya. Siap hendak dijotoskan ke 

mulut Wiro. Wiro diam dan tenang saja. Pelahan-lahan 

Luhjelita turunkan tangannya. Matanya berkaca-kaca dan 

isakannya memenuhi goa itu. 

“Aku tidak bermaksud mempermainkanmu. Tapi aku 

benar-benar tidak mengerti...” 

“Aku akan jelaskan...” kata Luhjelita akhirnya dengan 

suara lirih. “Dua gadis kembar itu memiliki kelainan. 

Mereka tidak pernah suka pada laki-laki. Mereka hanya 

bergairah dan bernafsu pada kaum perempuan. Mereka 

menghadangku di satu tempat, menanyakan tongkat batu 

biru yang kutemukan dekat mayat Si Tongkat BiruPengukur Bumi. Aku tak mau memberi tahu. Terjadi perang 

mulut disusul perkelahian. Dua gadis kembar itu ternyata 

memiliki kepandaian tinggi dan juga licik. Mereka berhasil 

membuatku tidak berdaya. Mereka membawaku ke dalam 

goa ini lalu mengancam. Jika aku tidak menerangkan di 

mana beradanya tongkat batu biru itu maka mereka akan 

menodai diriku... Daripada menjadi korban kebejatan dan 

kemesuman mereka aku terpaksa mengatakan bahwa 

tongkat batu biru itu telah aku berikan padamu. Tapi 

memang dasar mereka dua manusia bejat. Setelah kuberi 

tahu mereka tetap saja berbuat keji menodaiku!” 

“Menodaimu... Maksudmu, maaf... Maksudmu mereka 

mengancam hendak memperkosamu?” 

Luhjelita beliakkan matanya ke arah Wiro tapi 

kemudian anggukkan kepalanya lalu palingkan wajah yang 

bersemu merah ke arah lain. 

“Luhjelita, bagaimana mungkin... Bagaimana mungkin 

mereka melakukan hal itu padamu? Bagaimana bisa 

perempuan dengan perempuan... Memangnya mereka 

memakai apa...?” 

“Pertanyaan gila!” teriak Luhjelita kembali marah. 

“Mereka menanggalkan pakaianku secara paksa! Mereka 

menggerayangi seluruh tubuhku! Bukan cuma meraba! 

Mereka melakukan perbuatan mesum itu! Menodaiku 

bergantian!” Luhjelita tekapkan dua tangannya ke 

wajahnya lalu menangis terisak-isak. 

Wiro terdiam melongo, pandangi Luhjelita sambil garuk-

garuk kepala. “Luhjelita... Kalaupun mereka menodaimu, 

kurasa saat ini kau masih tetap perawan. Maksudku kau 

tidak sampai kehilangan kegadisanmu!” 

Plaaakkk! 

Tamparan Luhjelita mendarat di pipi kiri Pendekar 212 

hingga Wiro sempoyongan. Melihat Wiro mengerenyit 

kesakitan sambil usap-usap pipinya yang terasa sakit 

pedas, Luhjelita jadi sadar dan menyesal atas 

perbuatannya. Saking menyesalnya gadis ini langsung 

memeluk Wiro seraya berkata. “Maafkan diriku. Aku tidakberniat menyakiti dirimu. Aku... pikiranku sangat kacau. 

Semua yang kau ucapkan seperti mempermainkan diriku. 

Aku menyesal... Maafkan...” 

Wiro pegang dua lengan Luhjelita. Lalu berkata. “Dulu... 

Di negeri asalku di tanah Jawa, aku juga pernah mengalami 

kejadian aneh, lucu tapi juga mesum menjijikkan. Aku 

bertemu dengan dua gadis cantik. Mereka hendak 

menggagahiku. Ternyata mereka adalah dua orang lelaki 

yang hanya punya gairah terhadap lelaki. Aku... Tapi aku 

tidak sempat... Ah sudahlah!” Wiro menutupkan tangannya 

ke mulut. Tapi semburan tawanya tidak terbendung. 

Akhirnya murid Sinto Gendeng ini tersadar ke dinding goa 

dan tertawa gelak-gelak sampai keluar air mata. Luhjelita 

mula-mula memandang dengan wajah beringas. Lalu 

cemberut. Namun kemudian dia ikut-ikutan tertawa walau 

sambil banting-banting kaki (Mengenai apa yang dikatakan 

Wiro itu harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Sepasang 

Iblis Betina”). 

Tiba-tiba Luhjelita hentikan tawanya. Wajahnya yang 

cantik kembali kelihatan beringas. Lalu berubah sayu 

sedih. Dia menarik nafas panjang dan dalam lalu berkata. 

“Bagaimana hidupku selanjutnya. Aku merasa sangat 

malu. Kalau saja ada orang lain yang tahu...” 

“Mengapa kau mengkhawatirkan kehidupanmu 

selanjutnya. Memangnya ada sesuatu yang hilang pada 

dirimu...?” 

“Pemuda sinting...! Jangan bergurau terus!” 

“Aku tidak bergurau. Walau apa yang kau alami akan 

sangat menghantui dirimu tapi lambat laun harus bisa kau 

lupakan. Apalagi kau memang tidak kehilangan apa-apa. 

Lalu tak ada orang lain yang menyaksikan atau tahu hal itu 

kecuali aku. Dan aku tidak akan mungkin menceritakannya 

pada orang lain. Lalu...” 

“Sudah! Yang jelas aku akan mencari dua gadis kembar 

jahanam itu! Sebelum mereka kuhabisi belum puas 

hatiku!” 

“Kau harus berlaku hati-hati Luhjelita. Menurutmumereka berkepandaian tinggi. Aku sendiri sudah 

menghadapi mereka. Keduanya memiliki gerakan sangat 

cepat. Buktinya mereka berhasil merampas tongkat batu 

biru itu. Kalau kau suka, aku mau membantumu! Sekaligus 

mendapatkan tongkat itu kembali. Tapi apa perlu sampai 

membunuh mereka segala?!” 

“Kalau tidak dibunuh mereka akan menodai gadis-gadis 

lainnya! Sampai saat ini entah sudah berapa puluh gadis 

yang jadi korban kemesuman mereka. Setan betul, 

mengapa nasibku sampai begini. Kalau sudah kubunuh 

mereka mungkin aku akan menjalani kehidupan 

memencilkan diri. Aku merasa malu sendiri melihat dunia 

ini...” 

“Jangan bodoh. Kau masih muda! Masakan mau 

memencilkan diri. Memangnya kau mau jadi apa...?” 

“Mau jadi apa bukan urusanmu. Tapi...” Luhjelita ingat 

pada ilmu yang tengah dicari dan dituntutnya. 

Dipandanginya tangan kanannya di mana terlihat tiga buah 

tahi lalat hitam. Lalu dia melirik pada Wiro. Dia tahu karena 

pernah melihat dan hampir mendapatkan. 

Di bawah pusar sang pendekar ada tiga buah tahi lalat 

yang dulu hampir dapat dipindahkannya ke telapak 

tangannya kalau tidak terhalang dengan kemunculan 

seseorang berjuluk Si Pelawak Sinting (Baca Episode Wiro 

Sableng berjudul “Hantu Tangan Empat”). 

“Tapi apa?” Wiro bertanya. 

Luhjelita gelengkan kepala. Lalu dia bangkit berdiri. 

“Aku harus pergi sekarang.” 

“Mencari dua gadis kembar itu?” tanya Wiro. 

“Aku perlu menemui seseorang terlebih dulu. Kau 

betulan ingin membantuku menghadapi dua gadis kembar 

itu?” 

“Tentu. Tapi aku juga perlu mencari dua sahabatku 

lebih dulu,” jawab Wiro. 

“Kakek tukang ngompol bau pesing dan anak lelaki 

konyol itu?” 

Wiro tertawa mendengar kata-kata Luhjelita itu.“Karena saat itu masing-masing kita punya 

kepentingan, bagaimana kalau kita berjanji bertemu di 

satu tempat...” 

“Setuju-setuju saja,” jawab Wiro. “Kau yang 

menentukan tempat dan waktunya...” 

“Di sebelah selatan Gunung Latinggimeru ada sebuah 

kawasan dipenuhi batu-batu berbentuk aneh. Aku akan 

menunggumu di dekat tiga buah batu berbentuk tonggak 

lancip mengarah ke langit. Saatnya malam bulan purnama 

penuh mendatang.” 

Wiro anggukkan kepala. 

“Kau benar-benar akan datang?” Luhjelita bertanya 

seolah tidak percaya. 

“Kita memang tak sering berjumpa. Tapi apakah aku 

pernah berdusta padamu?” 

“Mana aku tahu,” jawab Luhjelita. “Mungkin di saat 

pertemuan, sebelum mencari Sepasang Gadis Bahagia kita 

perlu bicara soal bunga mawar kuning beracun tempo 

hari...” 

Wiro jentikkan jari-jari tangannya seraya berkata. “Itu 

memang salah satu keinginanku!” 

Luhjelita ulurkan tangan kanannya seperti hendak 

memegang lengan Pendekar 212. Tapi niatnya itu 

dibatalkan. Dia membalikkan badan dan melangkah cepat 

menuju mulut goa. 

Tak jauh dari mulut goa, di satu tempat yang 

kelindungan seseorang yang sejak tadi menunggu 

mengintai begitu melihat kemunculan Luhjelita, dalam hati 

dia berkata. “Agaknya apa yang dikatakan Peri Bunda 

benar adanya. Tadi di dalam goa kulihat dan kudengar 

sendiri dia menangis menyesali diri yang ditimpa aib. Kini 

keluar dari goa kulihat wajahnya cerah. Malah ada 

sekelumit senyum di bibirnya. Rupanya memang dia gadis 

yang pandai merayu lelaki untuk diajak berbuat mesum!” 

Baru saja dia berkata begitu sepasang mata biru orang 

yang mengintai tampak membesar ketika dari mulut goa 

dia melihat pula sosok Pendekar 212 melangkah keluarsambil garuk-garuk kepala. 

“Mungkin memang ada benarnya aku harus menuruti 

nasehat Peri Bunda. Menjauhi dan melupakan pemuda itu! 

Seperti gadis murahan tadi dia juga tampak keluar sambil 

cengar-cengir! Sungguh menjijikkan!” Orang ini balikkan 

badannya siap hendak melangkah pergi. Namun ada 

kebimbangan di wajahnya. “Wahai... Apakah aku memang 

sanggup melupakannya? Mungkin aku harus menemui 

Hantu Raja Obat untuk mencari keterangan. Mungkin juga 

aku perlu mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab untuk 

mendapatkan petunjuk...” 

***


SEMBILAN


Lembah Seribu Kabut. Saking marahnya Lakasipo 

hantamkan kaki batunya hingga sebatang pohon 

besar patah dan tumbang menggemuruh. Di atas batu 

Hantu Langit Terjungkir mendesah berulang kali sambil 

menjambak-jambak rambutnya yang putih terjulai. 

“Tololnya diriku! Bagaimana mungkin aku berlaku ayal 

dan lengah! Hingga benda yang sangat berharga itu sampai 

dirampas dan dilarikan orang. Wahai, titipan amanat orang 

aku sia-siakan. Bagaimana aku harus 

mempertanggungjawabkan!” Lakasipo alias Hantu Kaki 

Batu menatap orang tua yang tegak kaki ke atas kepala ke 

bawah di atas batu. “Hantu Langit Terjungkir, aku mohon 

maaf atas kelalaianku ini. Aku bersumpah akan mencari si 

pencuri dan dapatkan kembali Sendok Pemasung Nasib 

itu.” 

“Aku memang ikut menyesali kejadian ini...” kata Hantu 

Langit Terjungkir alias Lasedayu. “Tapi mau dibilang apa. 

Mungkin ini sudah takdir para Dewa bahwa hidupku 

seumur-umur akan sengsara seperti ini.” Hantu Langit 

Terjungkir sibakkan rambutnya yang menjulai. Orang tua ini 

ternyata memiliki wajah pucat putih seolah tidak berdarah. 

Sepasang matanya berwarna kelabu, menatap ke arah 

Lakasipo lalu berkata. 

“Orang yang tadi merampas Sendok Pemasung Nasib 

itu dari tanganmu, pastilah seorang berkepandaian luar 

biasa tinggi. Gerakannya laksana kilatan cahaya, seperti 

hantu di siang bolong. Aku tidak sempat melihat sosok, 

apalagi wajahnya. Siapa dia tak bisa diduga...” 

“Aku akan menyelidik. Aku musti mendapatkan sendokemas itu kembali...” kata Lakasipo pula. 

“Terus terang, aku tidak terlalu berharap wahai Hantu 

Kaki Batu,” kata si orang tua setengah berputus asa. “Saat 

ini aku hanya menginginkan satu pertolongan saja 

darimu...” 

“Katakanlah, mungkin itu bisa sebagai penebus 

kesalahanku,” ujar Lakasipo. 

“Jika kau bertemu sahabatku bernama Lawungu itu, 

atau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, beri tahu bahwa 

aku ada di lembah ini. Katakan padanya bahwa sebelum 

mati aku sangat ingin bertemu dengannya. Terutama Hantu 

Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Mungkin dia tahu perihal istri 

dan empat anakku...” 

“Permintaanmu pasti akan kulaksanakan, Hantu Langit 

Terjungkir. Jika kau mengizinkan aku juga akan menyirap 

kabar tentang anak istrimu. Kau telah menjelaskan bahwa 

istrimu bernama Luhpingitan. Kalau aku boleh tahu, 

siapakah nama ke empat anakmu?” 

Hantu Langit Terjungkir kelihatan sedih. “Kau orang 

baik. Kalau anak-anakku masih hidup usia mereka kira-kira 

sebaya denganmu. Hanya sayang... Wahai. Waktu aku pergi 

meninggalkan mereka sebelum banjir besar melanda 

negeri, aku belum berkesempatan memberikan nama 

kepada masing-masing mereka...” 

“Sayang sekali, tapi aku akan berusaha melakukan apa 

yang bisa aku lakukan,” kata Lakasipo lalu menyambung 

ucapannya. “Dengan memohon maaf sekali lagi atas 

kelalaianku, aku minta diri. Cepat atau lambat aku akan 

menemuimu kembali di Lembah Seribu Kabut ini.” 

Lakasipo menjura lalu balikkan tubuhnya. Ketika dia 

melangkah pergi sepasang kaki batunya mengeluarkan 

suara bergemuruh menggetarkan tanah. Hantu Langit 

Terjungkir memperhatikan dengan pandangan sepasang 

mata kelabunya. Tiba-tiba orang tua ini melihat sesuatu di 

lengan atas sebelah belakang, dekat ketiak Lakasipo. Mata 

Hantu Langit Terjungkir membeliak besar. Dadanya 

berdebar keras.“Tanda bunga dalam lingkaran! Dewa Maha Besar! 

Tidak salahkah penglihatanku?! Jangan-jangan dia adalah 

salah satu dari...” Hantu Langit Terjungkir usap kedua 

matanya berulang kali. Dari mulutnya kemudian melesat 

teriakan yang membahana di Seantero lembah. 

“Hantu Kaki Batu! Tunggu dulu! Kembali!” 

Di balik kabut di kejauhan sana Lakasipo hentikan 

langkahnya lalu berbalik. Hatinya bertanya-tanya ada apa 

Hantu Langit Terjungkir memanggilnya. Tetapi justru ketika 

Lakasipo membalik, pada saat yang sama satu gelombang 

api sangat dahsyat berkiblat seolah mencurah dari langit. 

Lakasipo cepat melompat mundur. 

Nyala api mengobari kawasan lembah. Ketika akhirnya 

kobaran api itu sirna Hantu Langit Terjungkir tidak 

kelihatan lagi di tempatnya. 

“Ada gelombang api dari atas langit! Apa yang terjadi? 

Ke mana lenyapnya orang tua itu?!” 

Tiba-tiba di langit terdengar suara tawa bergelak. 

Lakasipo mendongak ke atas. Di langit sebelah timur ada 

sesosok tubuh dibalut kobaran api, melesat laksana 

terbang menuju ke utara. 

“Lamanyala... Pasti itu Lamanyala. Makhluk Wakil Para 

Dewa yang diceritakan Hantu Langit Terjungkir...” pikir 

Lakasipo. “Jangan-jangan dia telah mencelakai orang tua 

itu. Telah membunuhnya!” Lakasipo berkelebat kian 

kemari. Mencari sambil memanggil-manggil. Namun tak 

ada jawaban. Tak ada gerakan. Lembah Seribu Kabut kini 

disungkup kesunyian. 

*** 

TAK lama setelah Lakasipo meninggalkan Lembah 

Seribu Kabut, satu batu besar tampak bergerak lalu 

terguling ke kiri. Dari sebuah lobang di bagian bawah batu 

itu muncul sosok tubuh Hantu Langit Terjungkir, kotor 

coreng-moreng oleh tanah liat basah. Ketika kejadian 

gelombang api melesat dari langit orang tua ini bukan sajasudah tahu apa yang bakal terjadi, tetapi juga mengetahui 

siapa yang punya pekerjaan. Secepat kilat dia melompat 

lalu menyelinap masuk ke dalam lobang di bawah batu 

besar itu. Lobang tersebut memang sengaja dibuatnya 

untuk berlindung dari segala macam bahaya yang tidak 

diinginkan. Hantu Langit Terjungkir selamat dari sambaran 

api karena setelah mendapat ilmu yang ditimbanya dari 

kekuatan alam tubuhnya menjadi sangat enteng seperti 

kabut dan dia mampu bergerak luar biasa cepatnya. 

Dari tempatnya berdiri kaki ke atas tangan ke bawah 

Hantu Langit Terjungkir memandang ke langit. Mulutnya 

komat-kamit, pelipisnya menggembung. Matanya yang 

kelabu menyorotkan hawa amarah. 

“Jahanam Lamanyala! Siapa lagi kalau bukan dia yang 

punya pekerjaan! Belum puas dia rupanya! Caranya tadi 

menghantam dengan gelombang api jelas hendak 

memisahkan aku dengan Hantu Kaki Batu. Tepat pada 

saat aku melihat sebuah tanda di lengan lelaki itu. 

Mungkin sekali Lamanyala tidak menginginkan aku 

mendapatkan jejak anak-anakku!” 

Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir memandang ke 

arah lenyapnya Lakasipo. “Hantu Kaki Batu...” desisnya. 

“Firasatku mengatakan kau memang salah seorang dari 

mereka. Tidak ada manusia lain di dunia ini yang memiliki 

tanda bunga dalam lingkaran seperti yang kau miliki di 

belakang lenganmu sebelah kanan. Kau... Wahai para 

Dewa, mengapa kau putus petunjuk ini? Ke mana aku 

harus mencarinya? Lakasipo... Hantu Kaki Batu, aku yakin 

kau salah seorang dari mereka. Kalaupun aku tidak 

menemukan tiga lainnya, kau seorang sudah cukup 

menjadi pengobat hati dan derita sengsara puluhan tahun 

ini. Lakasipo... Nama gagah walau bukan aku yang 

memberikan. Istriku Luhpingitan, wahai... Di mana kau 

berada. Apakah kita masih bisa bertemu atau kau telah 

mendahuluiku ke alam roh?” Sepasang mata kelabu si 

orang tua berkaca-kaca. Dia menghela nafas dalam 

beberapa kali. “Mungkin saatnya aku harus meninggalkan

Lembah Seribu Kabut ini! Mendekam di sini berpuluh 

tahun tidak akan mungkin aku bisa menemukan istri dan 

anak-anakku. Aku harus keluar dari sini. Aku harus mencari 

jejak ke mana perginya Hantu Kaki Batu tadi. Lakasipo... 

Aku yakin... Aku yakin sekali. Kalau saja si keparat 

Lamanyala tadi tidak melancarkan serangan kobaran api 

niscaya aku sudah mendapat kejelasan mengenai dirimu.” 

Habis berkata begitu Hantu Langit Terjungkir gerakkan 

dua kakinya. Dua larik sinar biru membeset, membuat 

kabut yang mengapung bersibak di udara. Di saat itu pula 

sosok si orang tua berkelebat ke arah timur. Kepalanya 

masih tetap di sebelah bawah dengan rambut melambai 

awut-awutan. 

Mendadak ada cahaya merah membabat udara, 

memotong gerakan Hantu Langit Terjungkir. 

“Kurang ajar! Masih ada saja orang hendak mencelakai 

diriku!” teriak Hantu Langit Terjungkir marah ketika 

menyadari cahaya merah itu bukan cuma memotong 

gerakannya tapi tiba-tiba laksana seekor ular api membalik 

menghantam ke arahnya. 

Sambil berjumpalitan di udara orang tua itu tendangkan 

ke dua kakinya. 

Wuuuutttt! 

Wuuuutttt! 

Dua larik sinar kebiru-biruan menyambar keluar dari 

sepasang kaki Hantu Langit Terjungkir. Begitu beradu 

dengan cahaya merah terdengar suara desssss... desss! 

Asap tebal mengepul di udara akibat bentrokan dua 

kekuatan sakti, yang satu mengandalkan panasnya 

kekuatan api sedang yang lainnya berasal dari kabut alam 

yang sejuk! 

Hanya sesaat setelah terjadinya dua bentrokan 

kekuatan dahsyat itu di kejauhan terdengar suara orang 

menjerit kesakitan. Orangnya sendiri tidak kelihatan entah 

berada di mana. 

Sementara itu Hantu Langit Terjungkir sendiri terpental 

sampai dua tombak lalu jatuh bergulingan di tanah. Diacepat berdiri di atas ke dua tangannya. Walau dadanya 

berdenyut sakit namun dia tidak menderita cidera luar 

maupun dalam. 

“Penyerang jahanam! Membokong secara pengecut! 

Aku sudah tahu siapa kau adanya! Mengapa masih 

menyembunyikan tampang?!” Berteriak Hantu Langit 

Terjungkir. 

Saat itu juga dari balik pohon yang dikelilingi semak 

belukar keluar sesosok tubuh, melangkah tertatih-tatih. 

Keadaannya sungguh mengerikan. 

“Jahanam kurang ajar! Memang dia rupanya!” kertak 

Hantu Langit Terjungkir seraya cepat kerahkan tenaga 

dalamnya yang kini berpusat di kening. Tidak mustahil 

orang yang barusan keluar dari balik pohon itu akan 

menghantamnya secara licik untuk ke dua kali. 

***


SEPULUH


Sosok yang melangkah ke hadapan Hantu Langit 

Terjungkir itu bukan lain adalah Lamanyala, makhluk 

yang telah dicabut kewenangannya sebagai Wakil 

atau Utusan Para Dewa di Negeri Latanahsilam. 

Keadaannya tidak berbeda seperti terakhir kali muncul. 

Tubuhnya masih dikobari api mulai dari kepala sampai ke 

kaki. Sisi kanan badannya hanya merupakan satu lobang 

menggeroak besar mengerikan. Ini akibat hantaman yang 

dilancarkan Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir 

sewaktu dulu terjadi perkelahian hebat antara mereka. 

Saat itu Lasedayu masih memiliki kesaktian Jimat Hati 

Dewa yang dirampasnya dari Latumpangan lalu ditelannya 

(Baca Episode berjudul “Hantu Muka Dua”). 

Walau bentrokan kekuatan hawa sakti tadi membuat 

Lamanyala menderita sakit cukup parah namun begitu 

sampai di hadapan Hantu Langit Terjungkir dia menyeringai 

dan semburkan tawa mengekeh. 

“Tidak kira tua bangka yang sudah dikuras seluruh ilmu 

kesaktiannya ternyata masih membekal ilmu. Tapi sayang 

cuma ilmu kepengan hingga tidak ada gunanya, tidak ada 

yang menaruh rasa takut! Ha... ha... ha!” 

Hantu Langit Terjungkir balas tertawa lalu meludah ke 

tanah. “Sosokmu masih berbentuk setengah manusia 

setengah setan tapi masih bisa jual lagak di hadapanku! 

Jangan menyesal kalau sekali lagi kuhantam tubuhmu 

bisa-bisa hanya tinggal jerangkong! Ha... ha... ha!” 

“Kutuk telah jatuh atas dirimu! Bertahun-tahun kau 

didera derita sengsara. Tapi masih saja sombong kalau 

bicara!” tukas Lamanyala. Dia meniup ke depan. Darimulut, hidung dan dua telinganya menyembur kobaran api. 

“Mungkin aku perlu menambahkan derita sengsaramu jadi 

beberapa kali lipat!” 

“Wahai! Jika kau memang mampu silahkan mencoba!” 

jawab Hantu langit Terjungkir pula. Lalu kedua kakinya 

digerakkan. Satu ke depan satu ke belakang. Sebelum 

kedua kaki itu menghantam, di depan sana Lamanyala 

tekukkan lututnya lalu serentak pukulkan kedua 

tangannya. Maka menggebubulah dua gelombang kobaran 

api, laksana ombak besar menggemuruh menggulung ke 

arah Hantu Langit Terjungkir. 

Hantu Langit terjungkir yang tidak jerih menghadapi 

serangan lawan putar tubuhnya bagian pinggang ke kaki 

dalam gerakan setengah lingkaran lalu menendang. Dua 

larik sinar kebiru-biruan menebar. Hawa dingin 

menyambar. Satu larik menangkis dan menghambat 

datangnya dua gelombang kobaran api serangan lawan. 

Satu larik lagi menyusup ke bawah lalu menderu di atas 

permukaan tanah, menyambar ke arah Lamanyala. 

Deesssss! 

Asap mengepul ke udara begitu larikan sinar kebiruan 

saling bentrok dengan dua gelombang api. Lamanyala 

terkejut sekali ketika melihat bagaimana serangannya 

terdorong hebat lalu pecah ke kiri dan ke kanan akibat 

bentrokan dengan kekuatan lawan. Di saat itu pula larikan 

sinar biru kedua menyambar ke arah kakinya. 

Kakek berbadan geroak bolong ini tersentak kaget. 

Sambil berteriak keras dia melompat ke atas lalu meniup 

dengan kekuatan tenaga dalam penuh. Empat larik 

kobaran api laksana gurita menyerbu Hantu Langit 

Terjungkir. Orang tua yang diserang tetap berlaku tenang. 

Kalau tadi dia pergunakan kekuatan kaki maka kini dia 

hadapi serangan lawan dengan menjentikkan lima jari 

tangan kanannya. Serta merta melesatlah lima sinar biru 

memapasi empat sinar api serangan lawan. Kejut 

Lamanyala bukan kepalang. Masih setengah jalan dia 

sudah dapat merasakan getaran dahsyat serangan HantuLangit Terjungkir. Sambil berseru keras dia cepat-cepat 

melesat ke udara. 

“Belum apa-apa kau sudah memperlihatkan ketakutan 

menghadapiku Lamanyala! Jangan kira kau bisa lari dari 

tanganku! Sekali ini aku tidak memberi ampun lagi 

padamu!” 

Baru saja Hantu Langit Terjungkir berkata begitu tiba-

tiba dari samping kanan mencuat satu sinar hijau. Sebuah 

cahaya aneh berbentuk tombak raksasa menderu ke arah 

Hantu Langit Terjungkir. 

“Kerabatku Lamanyala! Jangan takutkan makhluk 

pencuri jimat itu! Aku datang membantumu! Kita berdua 

masakan tidak bisa menyingkirkannya dari muka negeri 

ini!” 

Hantu Langit Terjungkir karuan saja jadi tercekat besar 

dan berteriak keras. Serangan lima larik sinar birunya 

terpaksa ditarik lalu dia cepat-cepat mencari selamat. 

“Kurang ajar! Makhluk keparat itu datang lagi!” merutuk 

Hantu Langit Terjungkir ketika melihat siapa yang 

menyerangnya, bukan lain Hantu Lumpur Hijau. Seperti 

dituturkan sebelumnya makhluk ini telah melarikan diri 

karena takut menghadapi Hantu Kaki Batu yang muncul 

membantu Hantu Langit Terjungkir. 

“Kerabatku Hantu Lumpur Hijau! Terima kasih kau mau 

menolongku! Kita berdua pasti bisa membereskan 

makhluk tak berguna ini. Tapi ketahuilah, kematian terlalu 

enak baginya. Aku ingin membunuhnya secara perlahan-

lahan. Biar dia tersiksa dulu seumur-umur!” 

“Kalau begitu katamu wahai Lamanyala, aku mengikut 

saja. Mari kita berebut pahala menggebuk manusia tidak 

tahu diri ini!” 

Dikeroyok dua walau dia bisa bertahan sambil sekali-

sekali balas menghantam namun lambat laun Hantu Langit 

Terjungkir menjadi agak terdesak juga. Untung saja dia 

memiliki keringanan tubuh serta gerakan yang luar biasa 

cepatnya hingga sampai dua puluh jurus berlalu dua 

lawannya itu masih belum sanggup menyentuhnya.Namun Lamanyala yang pernah menjadi Utusan atau 

Wakil Para Dewa walau cacat, selain memiliki kepandaian 

tinggi juga berotak cerdik. Setelah dua puluh lima jurus 

berlalu dia dan Hantu Lumpur Hijau tidak sanggup 

merobohkan lawan maka dia mulai memutar otak. Hanya 

sebentar saja, dia segera menemui kelemahan lawan. 

Seperti diketahui Hantu Langit Terjungkir yang telah 

dikuras habis ilmu kesaktiannya oleh Hantu Muka Dua kini 

memiliki ilmu kesaktian baru berdasarkan kekuatan alam, 

terutama kekuatan yang berasal dari kabut yang selalu 

menyungkup kawasan lembah. Kabut bersifat hampa dan 

hanya ada di udara dingin. Untuk melenyapkan kekuatan 

kabut hawa panas adalah musuh utamanya. Walau sekujur 

tubuh Lamanyala dikobari api panas namun tidak cukup 

kuat untuk mempengaruhi kekuatan lawan. Maka 

Lamanyala lalu menciptakan kobaran api besar. Dia berlari 

mengelilingi Hantu Langit Terjungkir sementara Hantu 

Lumpur Hijau terus lancarkan serangan. 

Sosok Lamanyala yang dikobari api berputar 

mengelilingi Hantu Langit Terjungkir. Saat demi saat dia 

memperciut putaran lingkarannya sambil menambah besar 

kekuatan api yang mengobari tubuhnya. 

“Celaka! Apa yang dilakukan bangsat bertubuh geroak 

itu!” ujar Hantu Langit Terjungkir ketika dia dapatkan 

dirinya dikelilingi lingkaran api hanya sejarak beberapa 

jengkal saja sementara sosok Lamanyala tidak kelihatan 

lagi! “Aku tidak dapat melihat apa-apa. Hanya api! Tubuhku 

seperti mau leleh. Dua tanganku seolah berubah menjadi 

besi dibakar!” 

Dalam keadaan seperti itu pukulan-pukulan Hantu 

Lumpur Hijau mulai pula bersarang di punggung, perut 

atau dadanya. Sekujur tubuhnya babak belur. Darah 

mengucur dari hidung dan mulutnya. Dua tulang iganya 

malah sudah patah! Kalau dia tidak bisa keluar dari 

lingkaran api, paling lama orang tua ini hanya bisa 

bertahan tiga jurus di muka! Tubuhnya akan lumat 

dihantam pukulan serta tendangan Hantu Lumpur Hijaulalu hangus gosong dipanggang kobaran api Lamanyala! 

Sebelum ajal berpantang mati. Begitu kata ujar-ujar. 

Dalam keadaan siap meregang nyawa karena Hantu Langit 

Terjungkir tidak mungkin tertolong lagi, tiba-tiba terjadi satu 

keanehan. Langit di atas lembah seolah redup padahal 

tidak ada mendung tidak ada hamparan kabut. Lalu udara 

mendadak berubah menjadi dingin. Makin lama hawa 

dingin ini semakin menggila hingga dua kakek yang 

mengeroyok Hantu Langit Terjungkir mulai menggigil 

kedinginan. 

“Gila! Apa yang terjadi! Api di sekujur tubuhku meredup 

padam. Aku merasa dingin luar biasa!” Lamanyala 

menggigil. Rahangnya sampai bergemeletakan. “Hantu 

Lumpur Hijau! Apa kau juga merasa dingin?!” 

Tak ada jawaban. Lamanyala berpaling dan kagetlah 

dia. Hantu Lumpur Hijau dilihatnya seolah telah berubah 

menjadi patung. Sekujur tubuhnya kaku tegang dibungkus 

hawa dingin dan mengepulkan asap. Makhluk ini telah 

berubah menjadi patung es! Tak bisa bergerak, tak bisa 

bersuara. Sepasang matanya yang hijau melotot 

membeliak tapi bola matanya tidak bisa bergerak 

sedikitpun! 

Nyali Lamanyala menjadi leleh. Bukan saja dia merasa 

kecut melihat apa yang terjadi dengan Hantu Lumpur Hijau, 

tapi juga ketika menyaksikan kobaran api di tubuhnya telah 

mati semua. Kobaran api yang diciptakannya untuk 

menggempur Hantu Langit Terjungkir, juga ikut-ikutan 

mengecil akhirnya lenyap sama sekali! Lalu hawa dingin 

seperti menggempur sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-

ubun sampai telapak kaki. Mulai dari permukaan jangat 

sampai ke tulang sumsum! 

“Celaka! Aku tak bisa menggerakkan dua tanganku!” 

Lamanyala keluarkan seruan tertahan. “Kakiku juga kaku!” 

Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Hawa 

panas mengalir dari pusarnya tapi segera sirna. Malah rasa 

dingin yang menyungkup tubuhnya jadi berlipat ganda. Kini 

bukan hanya asap yang mengepul dari badan makhluk itu.

Tapi dari pinggiran mata, dari liang hidung, telinga dan 

mulutnya mulai membersit darah kental. Begitu meleleh 

begitu darah ini membeku! 

Lamanyala menjerit setinggi langit. Tapi..., hekkk! 

Tenggorokannya seperti tersumpal. Suaranya lenyap seolah 

direnggut setan. Lalu seperti Hantu Lumpur Hijau makhluk 

ini tak bisa lagi bergerak ataupun bersuara! Dia telah 

berubah menjadi patung es! 

***


SEBELAS


Walau Hantu Langit Terjungkir berada sangat dekat 

dengan Hantu Lumpur Hijau dan Lamanyala yang 

saat itu telah berubah menjadi patung-patung kaku 

dingin dan mengepulkan asap, namun kakek satu ini sama 

sekali tidak mengalami hal seperti yang dialami kedua 

orang itu. Ini satu pertanda apapun yang terjadi, Hantu 

Langit Terjungkir tidak ikut menjadi sasaran untuk dijadi–

kan patung es! 

Terheran-heran Hantu Langit Terjungkir memandang 

berkeliling. Pandangannya membentur sosok seorang 

pemuda berpakaian serba putih, berambut gondrong. 

Pemuda tak dikenalnya ini berdiri sekitar dua belas 

langkah di sebelah sana sambil angkat sepasang tangan 

dengan telapak diarahkan ke depan. Perlahan-lahan 

pemuda ini kemudian menurunkan dua tangannya itu lalu 

dirangkapkan di atas dada. 

“Pemuda itu... Aku tak kenal siapa dia. Tapi agaknya dia 

mempunyai satu ilmu aneh. Dia barusan menolongku 

dengan ilmunya itu! Wahai... Aku harus menemuinya!” 

Hantu Langit Terjungkir membatin sambil melirik pada dua 

musuhnya yang masih tak bisa bergerak tak bisa bersuara 

dan tubuh mereka terus-menerus mengepulkan asap 

dingin. 

“Edan!” Tiba-tiba si gondrong membentak. “Apa yang 

salah! Mengapa aku ikut-ikut kedinginan dan mau 

kencing!” Si gondrong ini segera salurkan hawa panas ke 

dalam aliran darahnya. Tapi rasa ingin kencing memang 

tak dapat ditahannya lagi. Begitu tangannya digerakkan 

langsung saja dia menggaruk kepala lalu lari ke baliksemak belukar. Di sini dia segera dodorkan celana 

putihnya. Belum sempat dia membuang air seninya tiba-

tiba dari balik semak belukar terdengar orang memaki dan 

menjauhkan diri sebelum diguyur air kencing! 

“Anak setan! Kau kira aku ini patung kayu apa! Enak 

saja mau dikencingi!” 

Si gondrong terkejut dan memandang ke depan. “Setan 

Ngompol! Kau rupanya! Mengapa kau sembunyi di situ?! 

Pasti kau tadi mengganggu mantera aji kesaktian Angin Es 

yang aku keluarkan!” 

“Wiro! Aku jengkel padamu!” kata kakek bermata jereng 

berkuping lebar dan sebentar-sebentar ngompol itu. 

“Sudah sejak lama aku tidak ngompol-ngompol. Datang ke 

sini mencarimu tahu-tahu kau hajar dengan Ilmu Angin Es

yang membuat aku tak tahan langsung ngocor! Itu 

sebabnya tadi aku sengaja mengacau agar kau juga 

kebagian ngompolnya! Ha... ha... ha!” 

“Tua bangka brengsek! Kalau kau tidak berniat nakal, 

Ilmu Angin Es itu tidak akan mempengaruhimu! Pasti kau 

memang sudah punya niat jahil sebelumnya! Pantas aku 

ikut-ikutan kedinginan dan tak bisa menahan kencing!” Si 

gondrong berpakaian putih yang bukan lain Pendekar 212 

Wiro Sableng adanya memaki. 

“Hik... hik... hik! Sekali-sekali kau rasakan bagaimana 

enaknya ngompol di celana!” Satu suara ikut menimbrung. 

Suara anak-anak. 

Wiro putar tubuhnya. 

“Naga Kuning sialan! Ayo buka mulutmu lebar-lebar. 

Bicara lagi biar aku guyur dengan air kencing!” 

“Hik... hik... hik! Kalau mau mengencingi jangan aku! 

Dia saja!” kata Naga Kuning. Lalu anak ini dorong sosok si 

Setan Ngompol ke balik semak belukar. Tepat pada saat 

itu Pendekar 212 Wiro Sableng memang tidak dapat lagi 

menahan diri. Air kencingnya mengucur dan jatuh muncrat 

di muka si Setan Ngompol. Memercik di kedua matanya 

yang jereng bahkan ada yang sempat masuk ke dalam 

mulutnya.“Hueekkk!” Setan Ngompol memaki habis-habisan lalu 

meludah muntah-muntah! 

Wiro cepat-cepat rapikan celananya ketika dilihatnya 

ada orang mendatangi. Ternyata orang tua yang berjalan 

dengan mempergunakan dua tangannya itu. 

“Orang muda, aku tidak tahu mengapa kau barusan 

menolongku. Wahai! Aku mengucapkan terima kasih kau 

telah menyelamatkan nyawaku...” Hantu Langit Terjungkir 

sibakkan rambut putihnya. Matanya yang kelabu dikedip-

kedipkannya pada Wiro. Mulutnya menyunggingkan 

senyum dan dua kakinya digerak-gerakkan. “Kau memiliki 

ilmu aneh. Sanggup membuat dua kakek jahat itu kaku 

tegang seolah dibungkus es. Siapakah kau adanya anak 

muda berambut panjang sebahu? Yang di dadanya aku 

lihat ada jarahan angka 212?” 

Wiro balas tersenyum. “Aku bernama Wiro Sableng...” 

“Wahai! Tunggu! Logat suaramu terdengar lucu. Kau... 

Aku pernah menyirap kabar. Kau pastilah pemuda asing 

yang katanya datang dari negeri seribu dua ratus tahun 

mendatang itu!” 

“Aku dan teman-teman ini...” kata Wiro sambil 

menunjuk pada Setan Ngompol dan Naga Kuning, “tak 

sengaja kesasar sampai di negeri ini. Aku datang ke 

lembah ini karena mencari seorang sahabat.” 

“Aku adalah satu-satunya penghuni Lembah Seribu 

Kabut. Apakah sahabat yang kau cari itu memang tinggal di 

sini?” tanya Hantu Langit Terjungkir. 

Wiro gelengkan kepala. “Sahabatku itu datang ke sini 

karena dia harus menyampaikan satu amanat untuk 

seorang bernama Hantu Langit Terjungkir. Jika melihat 

keadaan dirimu, bukankah kau kakek gagah yang 

mempunyai julukan hebat itu?” 

Hantu Langit Terjungkir tertawa gelak-gelak. “Sudah 

lama aku tak pernah tertawa,” katanya. “Bicara denganmu 

enak juga! Kau pandai memuji tapi hatimu polos! Anak 

muda, ucapanmu tadi membuat dadaku berdebar. 

Siapakah sahabat yang sedang kau cari itu? Apakah diaberpunya nama?” 

“Namanya Lakasipo. Berjuluk Hantu Kaki Batu...” 

Wajah si orang tua tampak berubah kaget. “Kau 

mencari ke tempat yang betul. Tapi sayangnya, Lakasipo 

telah lebih dulu meninggalkan tempat ini. Dia... Wahai, 

justru saat ini timbul satu permintaanku padamu. Jika kau 

bertemu dengan Lakasipo, katakan agar dia segera datang 

ke tempat ini. Dia tidak perlu mengurusi mencari Sendok 

Pemasung Nasib itu! Aku ingin sekali bicara dengan dia! 

Sangat penting! Menyangkut rahasia dirinya dan diriku!” 

“Hantu Langit Terjungkir, aku merasa heran mendengar 

ucapanmu. Setahuku sahabatku Lakasipo datang ke sini 

untuk menyerahkan Sendok Pemasung Nasib itu padamu 

sesuai yang diamanatkan seorang kakek sakti bernama 

Lawungu. Sekarang mengapa kau mengatakan bahwa dia 

tidak perlu mencari sendok sakti itu...?” 

“Aku harus menceritakan sesuatu padamu wahai anak 

muda. Ketika Lakasipo hendak menyerahkan sendok itu 

padaku, ada seorang berkepandaian tinggi merampas lalu 

melarikannya!” Orang tua itu lalu menuturkan peristiwa 

lenyapnya sendok emas itu. Lalu menghela nafas berulang 

kali. “Aku kecewa sekali, benar-benar kecewa. Tapi apa 

mau dikata. Wahai, mungkin nasibku memang harus 

sengsara seumur-umur. Tapi, ada satu kejadian yang 

membuatku penuh harapan hidup kembali. Aku 

mempunyai firasat akan bertemu dengan anak-anakku 

kembali. Paling tidak dengan salah seorang dari mereka...” 

“Kek, rupanya kau punya riwayat hidup yang luar biasa. 

Kau punya berapa orang anak dan apakah selama ini tidak 

pernah bertemu dengan mereka?” 

Ditanya begitu sepasang mata Hantu Langit Terjungkir 

jadi berkaca-kaca. “Aku punya empat orang anak. Dari 

seorang istri bernama Luhpingitan. Tapi aku tidak tahu di 

mana mereka berada sekarang. Aku tak bisa menuturkan 

riwayatku padamu. Jika kau dapat mencari Lakasipo dan 

menyuruhnya datang ke sini itu sudah sangat menolong 

bagiku. Aku berpengharapan besar bahwa Lakasipo yangberjuluk Hantu Kaki Batu itu adalah...” Hantu Langit 

Terjungkir tidak mampu meneruskan penuturannya. 

Mungkin juga dia tidak mau bercerita terlalu banyak 

dengan orang-orang yang baru dikenalnya itu. Melihat hal 

ini Wiro lalu merubah pembicaraan. 

“Kek, apa benar kau tidak bisa berdiri di atas kedua 

kakimu. Hingga sepasang tangan terpaksa kau jadikan 

kaki?” 

“Makhluk bernama Lamanyala itu telah menjatuhkan 

kutuk atas diriku. Para Dewa menerima kutuknya karena 

aku telah mencuri dan menelan satu benda sakti yang 

disebut Jimat Hati Dewa. Akibat kutukannya itu aku jadi 

begini...” 

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya, 

memandang pada Si Setan Ngompol dan Naga Kuning. 

“Kek, boleh aku mencoba menurunkan sepasang kakimu 

ke bawah lalu menaikkan kepalamu ke atas? Kurasa kau 

bisa berjalan seperti wajarnya semua orang.” 

Hantu Langit Terjungkir tersenyum pahit. 

“Aku sudah mencobanya ratusan bahkan mungkin 

ribuan kali. Setiap kucoba kedua kakiku kembali naik ke 

atas. Kalau kau mau membuktikan sendiri silahkan saja...” 

kata Hantu Langit Terjungkir pula. 

Wiro lalu pegang bahu orang tua itu. Naga Kuning dan 

Si Setan Ngompol pegang dua kaki si kakek lalu 

menariknya ke bawah. Perlahan-lahan sosok Hantu Langit 

Terjungkir berputar demikian rupa hingga ke dua kakinya 

turun ke bawah, menyentuh tanah sementara kepalanya 

naik ke atas sebagaimana wajarnya manusia. 

“Ah, tubuhmu ternyata seringan kapas, Kek!” kata Wiro 

terheran-heran. “Nah begini cara berdiri yang benar. Wah, 

kau ternyata masih gagah Kek!” kata Wiro. 

Hantu Langit Terjungkir tertawa lalu berkata. 

“Anak muda, kau lihat sendiri. Kau telah berhasil 

membalikkan diriku kepala ke atas kaki menginjak tanah. 

Sekarang coba kalian lepaskan tangan-tangan kalian dari 

bahu dan kakiku!”Wiro ikuti ucapan Hantu Langit Terjungkir. Begitu Wiro 

lepaskan tangannya dari bahu orang tua itu, dan Naga 

Kuning serta Si Setan Ngompol lepaskan pula pegangan 

mereka pada sepasang kaki si kakek, sosok Hantu Langit 

Terjungkir secara aneh mumbul ke atas lalu perlahan-lahan 

kepalanya berputar ke samping, terus turun ke bawah. 

Dengan sendirinya kedua kakinya naik ke atas. Sebelum 

kepalanya menyentuh tanah, orang tua itu cepat ulurkan 

tangan ke bawah untuk menopang tubuhnya. 

Wiro memperhatikan apa yang terjadi dengan perasaan 

aneh dan garuk-garuk kepala. Naga Kuning mencolek 

tangan Si Setan Ngompol lalu berkata. “Ada keanehan 

pada orang satu ini. Kurasa jangan-jangan kantong 

menyannya besar seperti bola dan ada hawa di dalamnya. 

Mungkin itu yang membuat tubuhnya sebelah bawah selalu 

naik ke atas karena lebih ringan dari udara.” 

Si Setan Ngompol menekap hidung dan mulutnya 

menahan ketawa mendengar ucapan Naga Kuning itu. 

Ditekap di atas yang di bawah lolos. Serrr... Kakek itu 

kembali pada penyakit lamanya. Kencingnya tumpah tak 

bisa ditahan! 

“Hantu Langit Terjungkir, kami akan meneruskan 

perjalanan. Mudah-mudahan kami bisa menemui Lakasipo 

secepatnya dan menyuruhnya ke sini...” Wiro memberitahu. 

Hantu Langit Terjungkir anggukkan kepala lalu pegang 

betis Wiro dan berkata. “Kau telah menyelamatkan diriku. 

Di negerimu aku dengar ada ujar-ujar seperti ini, Ada ubi 

ada talas. Ada budi ada balas. Kelak satu ketika aku akan 

mencarimu, membalas budi baikmu...” 

“Kau baik hati, tapi aku menolong tidak mengharapkan 

pamrih...” 

“Kek, aku mau tanya. Apa yang hendak kau lakukan 

pada dua manusia jahat itu?!” Naga Kuning tiba-tiba 

ajukan pertanyaan sambil menunjuk pada Hantu Lumpur 

Hijau dan Lamanyala. 

“Berapa lama dia akan menjadi patung es seperti itu?” 

balik bertanya Hantu Langit Terjungkir pada Pendekar 212.“Jika mereka tetap berada di udara terbuka tapi 

terkena cahaya matahari, mereka baru bisa bebas sekitar 

tujuh hari. Jika tidak terkena matahari bisa-bisa dua puluh 

hari. Tapi jika mereka berada dalam air bisa-bisa empat 

puluh hari.” 

Naga Kuning menyambung kata-kata Wiro itu. “Waktu 

ke sini, kami melihat ada satu comberan busuk, dalamnya 

sekitar seleher. Di dalamnya ada macam-macam kotoran, 

ular air, kodok dan lintah. Mengapa tidak dijebloskan saja 

dua kakek jahat itu ke sana?!” 

Hantu Langit Terjungkir menyeringai geli. “Ada baiknya 

aku mengikuti usulmu itu wahai sahabat kecil yang nakal! 

Ha... ha... haaa!” 

Di sebelah sana Hantu Lumpur Hijau dan Lamanyala 

walau berada dalam keadaan tak bisa bergerak tak 

mampu bersuara dan dilamun hawa dingin luar biasa tapi 

keduanya masih bisa mendengar apa yang diucapkan 

Naga Kuning tadi. Karuan saja keduanya menyumpah 

habis-habisan. 

Ketika mereka sampai di tepi lembah sebelah timur, 

Naga Kuning berkata. “Wiro, sebenarnya kami mencarimu 

karena ada satu benda ajaib kami temui dalam sebuah goa 

di kawasan sebelah selatan. Jika kita mencari Lakasipo 

lebih dulu mungkin benda itu sudah diboyong orang...” 

“Benda ajaib. Benda ajaib apa maksudmu, Naga 

Kuning?” tanya Pendekar 212. 

“Sebuah patung batu perempuan cantik. Patung itu bisa 

tersenyum. Pandai mengedipkan mata tapi juga bisa 

menangis.” 

“Jangan kau bergurau. Mana ada patung seperti yang 

kau katakan itu!” 

“Anak ini tidak dusta. Aku sendiri ikut berada dalam goa 

itu...” berkata Si Setan Ngompol. “Aku sampai terkencing-

kencing melihat keanehan itu! Kalau saja patung itu 

makhluk hidup mungkin aku sudah jatuh hati dan tidak 

akan meninggalkannya!” 

“Kalau begitu...” kata Wiro sambil menghentikanlangkah dan garuk kepala. “Mungkin ada baiknya kita 

segera menuju ke goa itu.” 

***


DUA BELAS


Seperti diceritakan dalam episode sebelumnya, 

“Rahasia Patung Menangis”, patung cantik 

Luhmintari yang hendak diboyong para Peri ke Negeri 

Atas Langit berhasil diselamatkan oleh Peri Angsa Putih. 

Patung ini kemudian disembunyikannya dalam sebuah goa 

di satu tempat terpencil. Secara tidak sengaja Naga Kuning 

dan Si Setan Ngompol terpesat ke tempat itu, masuk ke 

dalam goa dan menemukan patung Luhmintari. 

Kedua orang ini bukan saja heran bisa menemukan 

patung begitu bagus halus dan cantik di dalam goa, namun 

juga merasa aneh karena melihat dari kedua mata patung 

sesekali meluncur jatuh tetesan-tetesan air. Ketika 

disentuh ternyata tetesan air itu terasa hangat seperti air 

mata betulan. 

“Aku melihat dia seperti tersenyum...” bisik Setan 

Ngompol dengan suara gemetar. “Aku khawatir ini satu 

tempat angker. Kalau aku ngompol dan kencingku sampai 

jatuh di tempat ini bisa-bisa ada yang bakal mengutuk 

diriku. Aku keluar dulu...” Sebenarnya si kakek sudah 

merasa takut dan dingin tengkuknya. Itu sebabnya dia 

buru-buru keluar. Ditinggal sendirian Naga Kuning jadi 

kecut pula. Rasa takutnya tak dapat ditahannya lagi ketika 

dilihatnya mata kiri patung itu seperti mengedip! Anak ini 

langsung menghambur lari keluar goa. 

“Kita harus mencari Wiro, memberi tahu adanya patung 

itu. Jangan-jangan patung itu satu patung keramat. Jangan-

jangan ada kesaktian tersembunyi di dalamnya!” 

Si kakek setuju maksud Naga Kuning. Kedua orang itu 

segera tinggalkan tempat tersebut dan pergi mencariPendekar 212 yang kemudian mereka temukan di Lembah 

Seribu Kabut. 

Dari Lembah Seribu Kabut ketiga orang itu langsung 

menuju kawasan di mana goa berisi patung terletak. 

Setelah melewati sebuah bukit yang penuh ditumbuhi 

bunga-bunga yang tengah mekar akhirnya mereka sampai 

ke tempat tujuan. Di dalam goa lama murid Sinto Gendeng 

tegak terkagum-kagum memperhatikan patung perempuan 

cantik dengan rambut tergerai lepas itu. 

“Belum pernah aku melihat patung sebagus ini. Halus 

sekali. Para pemahat di tanah Jawa kurasa tidak sanggup 

membuat yang seapik ini...” Wiro geleng-geleng kepala. Dia 

perhatikan wajah patung lalu berkata pada dua temannya. 

“Kalian bilang patung ini bisa menangis menitikkan air 

mata. Bisa mengedipkan mata. Saat ini kulihat biasa-biasa 

saja. Kecantikan dan kehalusan buatannya memang 

mengagumkan sekali.” 

“Kalau tidak berpenyakit suka ngompol rasanya mau 

aku tinggal di dalam goa ini,” kata Si Setan Ngompol sambil 

tekap bagian bawah perutnya dengan tangan kiri tapi 

tangan kanannya enak saja mengusap-usap perut patung. 

Wiro melangkah seputar patung. Ketika dia sampai di 

sebelah depan patung kembali, pendekar kita mendadak 

tersurut dua langkah. Dia melihat bibir patung seperti 

bergerak membentuk senyum. 

“Kau tak percaya! Apa kataku!” bisik Naga Kuning. 

Pendekar 212 ulurkan tangan hendak mengusap bibir 

patung. Tiba-tiba di mulut goa terdengar suara aneh. 

Buuuuttttttttttt..! 

“Hai, suara apa itu?” Mata jereng Si Setan Ngompol 

berputar. Tangannya langsung turun menekap ke bawah. 

Buuuuttttttt...! 

Suara aneh panjang itu kembali terdengar. Datangnya 

memang dari luar goa. 

“Ada bayangan di dinding goa. Ada orang di luar sana,” 

bisik Naga Kuning. 

“Jangan-jangan pemilik goa, pemilik patung ini. Lekassembunyi di balik lekukan goa di ujung sana!” kata Wiro. 

Ketiga orang itu lalu menyingkir ke ujung goa di mana 

ada sebuah lekukan batu. Mereka mendekam di lekukan 

ini. Dari sebelah depan tidak terlihat sebaliknya dari 

tempat mereka berada ketiganya dapat melihat sebagian 

goa sebelah depan dan seluruh sosok belakang patung. 

Bayangan di dinding goa kembali bergerak. Lalu, 

serrrr... Seperti angin berhembus satu sosok berpakaian 

kuning melangkah seolah melayang di dalam goa. 

Buuuutttttt...! 

“Ada orang masuk...” bisik Wiro. 

“Kau dengar suara itu...?” ujar Naga Kuning. 

“Seperti suara orang kentut...” berucap Wiro. 

“Kalau memang kentut mengapa panjang amat. Juga 

mengapa sering sekali. Dari tadi sudah tiga kali kudengar!” 

kata Naga Kuning. 

Setan Ngompol mendekamkan punggungnya ke dinding 

goa. Pejamkan mata tak berani bergerak tak berani 

bersuara. Dua tangannya sudah menekap bagian bawah 

perut menahan ngompol. 

Buuutttttt... 

Suara aneh itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras 

karena lebih dekat, pertanda sumber suara sudah berada 

dalam goa. 

“Celaka... Aku tak tahan mau beser!” kata Setan 

Ngompol. 

“Jangan ngawur! Harus kau tahan!” kata Naga Kuning. 

“Siapa tahu ini tempat suci tak boleh dikotori. Salah-salah 

kita bisa kesambet semua!” (kesambet = kemasukan roh 

halus) 

“Jangan bicara menakuti aku! Nanti aku kencing 

benaran!” kata si kakek mata jereng sambil cucukkan 

jempol kakinya ke pantat Naga Kuning yang duduk 

berjongkok di depannya. 

Buuuutttttt...! 

“Bunyi sialan!” rutuk Setan Ngompol. Dia sudah tidak 

sanggup menahan kencing. Dan di saat seperti itu tiba-tibaseperti meledak satu suara tawa keras melengking 

menggelegar di seantero goa. Suara tawa perempuan. 

Habis sudah! Setan Ngompol tak bisa menguasai diri. 

Kencingnya mancur, jatuh ke bawah sepanjang kaki 

celananya. 

“Hai! Apa ini?!” ujar Naga Kuning ketika merasa 

punggung pakaiannya basah oleh cairan hangat. Dia 

menoleh ke belakang. “Sialan! Kek! Kau mengencingi 

punggungku!” 

“Jangan berisik! Tahan ucapan kalian! Lihat, ada orang 

aneh berdiri di depan patung!” bisik Wiro. 

Naga Kuning dan Setan Ngompol segera ulurkan 

kepala, memandang ke arah depan. Memang benar. Saat 

itu di depan patung cantik Luhmintari, tegak seorang 

nenek-nenek yang keadaan dirinya serba kuning. Mulai dari 

rambut, muka sampai pada pakaian. Di atas kepalanya, 

pada rambut yang disanggul di sebelah atas tapi diriapkan 

di sebelah kuduk menancap tiga buah sunting berhias batu 

permata warna kuning. Tiga sunting ini selalu bergoyang 

kian kemari. 

Selain berhiaskan tiga buah sunting di kepalanya, si 

nenek juga memakai giwang-giwang bulat berbentuk rantai. 

Lalu di lehernya bergelantungan banyak sekali kalung. 

Semuanya juga berwarna kuning. 

Naga Kuning colek pinggul Pendekar 212 lalu berbisik. 

“Lihat kalung-kalung nenek itu. Salah satu di antaranya 

bukankah itu sendok sakti yang terbuat dari emas...?” 

Wiro besarkan matanya dan perhatikan rangkaian 

kalung yang tergantung di leher si nenek. 

“Astaga...! Kau benar Naga Kuning. Salah satu yang 

dijadikan kalung oleh si nenek adalah Sendok Pemasung 

Nasib. Jadi dia rupanya yang merampas dan melarikan 

sendok sakti itu ketika Lakasipo hendak menyerahkannya 

pada Hantu Langit Terjungkir...” 

“Kita harus hati-hati. Jangan-jangan dia bangsa nenek-

nenek jahat...” kata Si Setan Ngompol mulai kecut. 

“Jahat dan sinting!” menyambungi Naga Kuning.

“Nenek seperti ini biasanya suka menggerayangi kakek 

sepertimu!” 

“Sialan kau!” maki Si Setan Ngompol. 

Tiba-tiba nenek muka kuning itu songgengkan 

pantatnya. Lalu, buuuuuutttttttt...! Ada suara keluar dari 

bagian tubuhnya sebelah bawah belakang disertai 

sambaran angin. 

“Gila! Nenek sialan itu rupanya yang kentut sejak tadi!” 

kata Naga Kuning. “Kentutnya keras amat. Lantai goa ini 

seolah terasa bergetar. Untung tidak mengandung bau 

yang membuat hidung tanggal! Hik... hik... hik!” 

“Aku pingin kencing!” kata Setan Ngompol. 

“Kencing saja! Biasanya tidak pakai bilang segala!” 

tukas Naga Kuning jengkel. 

Si nenek muka kuning kembali tertawa melengking. 

Lalu dia melangkah ke hadapan patung, memandang dan 

berdecak terkagum-kagum sambil goleng-goleng kepala. 

Beberapa kali dia melangkah berkeliling sambil sesekali 

mengusap tubuh patung. Selama melangkah mengelilingi 

patung itu kentutnya terpancar berulang kali bertalu-talu. 

Setelah tertawa sekali lagi nenek ini jatuhkan diri di depan 

patung. Sambil usap-usap kaki patung dia berkata diseling 

suara terkadang seperti orang meratap, terkadang seperti 

orang tertawa. 

“Wahai patung cantik jelita di dalam goa! Pertemuan ini 

sungguh tidak disangka tidak diduga. Tidak dikira tidak 

dinyana. Agaknya kaulah patung sakti yang akan dapat 

menolong penyakit diriku...” Si nenek diam sebentar lalu, 

butttt... Kembali dia kentut. Habis kentut dia sambung 

ucapannya tadi. “Puluhan tahun aku mencari orang pandai. 

Puluhan tahun aku mencari obat. Namun wahai. 

Penyakitku tak kunjung sembuh! Tidak aku menenggak 

angin. Tidak aku menyantap udara. Tapi mengapa kentutku 

panjang bertalu-talu! Sehari dua ratus kali kentut. Berapa 

seminggu? Berapa sebulan? Berapa dalam setahun? Hik... 

hik... hik...! Silahkan hitung sendiri!” 

Buuuutttt...!Si nenek muka kuning bangkit berlutut lalu peluk 

patung batu itu. “Wahai patung batu berwajah cantik jelita. 

Mengapa kau diam saja. Tidakkah kau pandai bersuara? 

Wahai patung batu cantik jelita. Tolong diriku. Sembuhkan 

penyakitku! Jawablah wahai patung. Jawablah!” Si nenek 

sesenggukan, lalu kentut panjang dan tertawa cekikikan. 

“Wahai patung batu di dalam goa, mengapa kau belum 

juga menjawab ucapanku! Tolong diriku...” 

Di balik lekukan goa Naga Kuning menggamit Wiro lalu 

menunjuk-nunjuk ke arah nenek muka kuning. “Nenek 

tukang kentut itu pasti miring otaknya. Supaya dia cepat 

keluar dari sini mengapa tidak kau jawab saja...” 

“Gila! Kita tidak tahu siapa adanya dia. Mengapa mau 

mencari penyakit. Jika sudah bosan dia pasti pergi sendiri 

dari sini...” 

“Kalau dia bosan! Kalau tujuh hari tujuh malam dia 

nongkrong terus di sini celaka kita semua...” 

“Aduh, aku kencing lagi!” Setan Ngompol bersandar ke 

dinding goa. Celananya kembali basah kuyup. Naga Kuning 

buru-buru menjauh. 

Wiro garuk-garuk kepala. Ucapan Naga Kuning ada 

betulnya pikirnya. Dia usap-usap tenggorokannya. 

“Rubah suaramu seperti suara perempuan...” bisik 

Naga Kuning. 

“Patung batu cantik jelita,” si nenek kembali berucap. 

Dan kembali kentut panjang. “Wahai patung batu cantik 

jelita... Aku mohon jawab permintaanku. Tolong diriku. 

Sembuhkan penyakitku...” 

***

TIGA BELAS


TIBA TIBA di dalam goa muncul satu suara menyahuti 

ucapan-ucapan si nenek. Suara perempuan, agak 

tersendat-sendat. “Wahai perempuan tua bermuka 

kuning. Siapa dirimu hingga berani menginjakkan kaki 

mengotori goa suci ini?” 

Si nenek tersentak kaget hingga bangkit berdiri. Sesaat 

dia pandangi patung batu itu dengan wajah berubah. Lalu 

dia meraung panjang, menangis keras. Habis menangis dia 

tertawa-tawa gembira terpingkal-pingkal sambil 

berjingkrak-jingkrak. Setiap berjingkrak dari bawah 

tubuhnya bertalu-talu keluar suara buuuutttttt... buuuttttt... 

buutttt... 

“Patung baik! Ternyata kau bisa bicara! Hik... hik... hik! 

Jika kau bisa bicara pasti kau patung sakti keramat. Berarti 

pasti bisa mengobati penyakitku!” 

Buuuutttttt... 

“Nenek muka kuning, waktuku tidak banyak. Siapa kau 

adanya dan apa penyakit yang kau idap?” di dalam goa 

kembali ada suara perempuan. 

“Wahai patung cantik jelita. Siapa namaku sebenarnya 

aku tidak tahu. Hik... hik... hik! Tapi orang-orang memberi 

aku nama Luhkentut! Mereka juga menggelariku Nenek 

Selaksa Kentut. Hik... hik... hik! Soal penyakitku masakan 

kau tidak tahu waw... waw! Hik... hik! Kau sudah dengar 

sendiri. Kau sudah saksikan sendiri. Setiap saat tubuhku 

mengeluarkan angin yang bisa bersuara buutt buutt! 

Bukankah itu namanya kentut?! Hik... hik... hik. Aku ingin 

dengan kesaktianmu kau bisa mengobatiku wahai patung 

cantik jelita...”“Sudah berapa lama kau menderita penyakit kentut-

kentut ini wahai nenek muka kuning?” 

“Aku tidak ingat. Mungkin dua puluh tahun, mungkin 

lima puluh tahun, bisa juga lebih. Aku sudah bosan 

mendengar kentutku sendiri...” 

“Apa ada bagian tubuhmu yang lecet akibat kentut-

kentut itu?” 

“Geblek!” Naga Kuning menukas perlahan. “Mengapa 

kau ajukan pertanyaan tolol begitu?” 

“Hik... hik... hik! Aku tidak pernah memeriksa wahai 

patung cantik jelita. Mungkin kau bisa tolong memeriksa 

sendiri...” Habis berkata begitu di depan patung si nenek 

lalu angkat bagian bawah pakaian kuningnya dan 

menungging. 

Wiro membuang muka! Si Setan Ngompol melotot 

jereng. Naga Kuning tutupkan dua tangannya ke mata 

sambil berkata. “Rasakan sekarang!” 

“Bagaimana wahai patung batu sakti. Ada yang lecet di 

tubuhku sebelah bawah?” bertanya si nenek muka kuning. 

“Tidak... sudah...” 

“Coba lihat, periksa sekali lagi wahai patung cantik 

jelita!” 

“Mampus kau!” kata Naga Kuning pada Wiro. 

Buuuttttt...! 

“Sudah... sudah kuperiksa. Tak ada yang lecet! 

Turunkan pakaianmu...” kata Wiro cepat. 

“Wahai, gembira aku mendengar tidak ada perabotanku 

yang lecet atau rusak! Hik... hik... hik! Sekarang wahai 

patung sakti, bisakah kau menolong menyembuhkan 

penyakit kentut-kentutku ini?” 

Wiro garuk-garuk kepala sambil memandang pada 

Setan Ngompol dan Naga Kuning. 

“Ubi... ubi...” bisik si kakek mata jereng. 

Wiro kerenyitkan kening. 

“Nenek muka kuning bernama Luhkentut, bergelar 

Nenek Selaksa Kentut, aku perlu tahu asal muasal 

penyakitmu. Coba kau ingat-ingat apakah kau pernah salahmakan...?” 

“Wahai mana aku ingat...” 

“Apa dulu kau pernah makan ubi sampai berkeranjang-

keranjang...?” 

“Hik... hik... hik! Kau betul! Kau tahu asal muasal sebab 

penyakitku! Berarti kau bisa mengobati diriku! Dulu waktu 

hidupku morat-marit tak karuan aku memang banyak 

makan ubi, ubi hutan yang hitam-hitam itu! Hik... hik... hik! 

Apa obatnya wahai patung sakti? Aku ingin cepat 

sembuh...” 

Buuuuttttt... 

“Kau beruntung wahai Luhkentut. Penyakit kentutmu 

tidak disertai bau. Kalau ada baunya akan sulit sekali 

disembuhkan...” 

“Wahai patungku, patung penolongku...” si nenek 

jatuhkan diri menciumi kaki patung sambil terkentut-

kentut. “Apa yang harus kulakukan? Apa obat yang 

mujarab...?” 

“Apakah sebelumnya kau pernah minta pertolongan 

Hantu Raja Obat?” 

“Hantu keparat itu! Memang pernah...!” 

“Kau diberinya obat?” 

“Dia menipuku.! Makhluk jahat itu malah mencelakai 

diriku!” jawab Luhkentut alias Nenek Selaksa Kentut. 

“Menipu mencelakai bagaimana?” 

“Dia menambal tubuhku dengan tumbukan daun cabai-

cabaian! Akibatnya aku megap-megap setengah mati 

kepanasan!” 

Wiro, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol sama-sama 

menekap mulut menahan ketawa. 

“Patung cantik patung jelita! Mengapa kau diam saja! 

Kau belum mengatakan apa obat buatku! Apa yang harus 

kulakukan...” 

“Wahai, apa kau tahu ‘kibul’ ayam?” 

“Ayam aku tahu. Tapi kibul aku tidak tahu...” jawab si 

nenek muka kuning. 

“Anus... Anus ayam kau tahu?”Si nenek menggeleng. “Anus aku juga tidak tahu! Hik... 

hik... hik...!” 

Buuutttttt...! 

“Kau tidak tahu kibul, tidak tahu anus...?” 

“Tidak, aku tidak tahu wahai patung sakti cantik 

jelita...” 

Wiro garuk-garuk kepala. 

“Dubur... dubur...” bisik Si Setan Ngompol. 

“Kalau dubur kau tahu?!” 

“Wahai, kalau dubur aku tahu betul!” jawab si nenek 

lalu buuutttt... dia kembali kentut. 

“Nenek geblek! Padahal dubur dan anus sama saja!” 

memaki Naga Kuning. 

“Luhkentut, dengar baik-baik. Untuk menyembuhkan 

penyakitmu kau harus mencari dan makan dubur ayam 

sebanyak tujuh puluh tujuh buah. Ambil bagian yang ada 

lancip-lancipnya. Itu yang namanya kibul! Makan mentah-

mentah!” 

“Mentah-mentah...?!” Si nenek keluarkan suara tercekik 

seperti mau muntah. 

“Mentah-mentah dan tidak boleh dicuci!” 

Lidah si nenek muka kuning terjulur. Air liurnya 

muncrat. Dia seperti mau muntah betulan. Tapi kemudian 

malah tertawa melengking-lengking dan berjingkrak-

jingkrak. 

“Aku sudah sembuh! Aku sudah sembuh!” teriaknya. 

Buuuttt... buuutttt... buuutttt! 

“Nenek Selaksa Kentut, aku menolong tidak pernah 

minta imbalan. Tapi sekali ini aku terpaksa melanggar 

pantangan. Jika kau merasa sudah sembuh bolehkah aku 

meminta sesuatu darimu?” 

“Hik... hik... hik! Katakan saja! Asal kau tidak minta 

duburku! Hik... hik... hik!” 

Buuttttt! 

“Jika kau tidak keberatan, aku ingin kau memberikan 

kalung berbentuk sendok itu...” 

Si nenek tundukkan kepala. Dia mengacak-acak kalungyang banyak bergelantungan di lehernya. Lalu tertawa 

panjang. “Matamu awas juga wahai patung cantik jelita. 

Benda ini tidak ada artinya bagiku. Kau meminta pasti aku 

berikan. Tapi tidak sekarang...” 

“Kapan...?” 

“Kalau aku sudah makan tujuh puluh tujuh kibul alias 

anus alias dubur ayam itu! Hik... hik... hik!” 

Buuuttttt...! 

“Celaka, bagaimana aku bisa menolong Hantu Langit 

Terjungkir...” kata Wiro dalam hati sambil garuk-garuk 

kepala. 

“Kau yang salah. Mengapa sampai kau minta dia 

makan tujuh puluh tujuh kibul ayam. Coba kalau cuma 

tujuh saja. Pasti bisa lebih cepat mendapatkan sendok 

emas itu!” kata Naga Kuning. 

Sekonyong-konyong tubuh nenek muka kuning mumbul 

ke atas. Ketika dia menukik tahu-tahu sudah berada di 

hadapan Wiro dan kawan-kawannya. Pendekar 212 

tergagau. Naga Kuning keluarkan seruan kejut tertahan 

sedang Si Setan Ngompol langsung mancur kencingnya. 

Si nenek tertawa cekikikan. 

Dia menunjuk pada Wiro seraya berkata. 

“Satu!” 

Lalu, buuuttttt! 

Dia menunjuk pada Naga Kuning. 

“Dua!” 

Buuuttttt! 

Sekali lagi dia menunjuk. Kali terakhir ini pada Si Setan 

Ngompol. Bahkan bukan cuma menunjuk tapi sekaligus 

menowel puncak hidung si kakek hingga dalam takutnya 

kencing si kakek tumpah laksana pancuran! 

Buuuttt! 

“Kalian bertiga! Hik... hik... hikkk! Ketahuan! Hik... hik... 

hik...!” 

Buuuttttt...! 

“Wahai! Ternyata kalian lelaki semua! Hik... hik... hik! 

Yang mana di antara kalian tadi meniru suaraperempuan...” Sepasang mata kuning si nenek 

memandang menyambar wajah-wajah di depannya. 

“Aku,” kata Wiro mengakui. Dia menduga perempuan 

tua muka kuning itu akan marah besar atau 

menyerangnya. 

Si nenek pandangi wajah sang pendekar sejenak lalu 

tertawa gelak-gelak. “Anak berambut panjang macam 

perempuan habis sakit panas! Siapa namamu?!” 

“Namaku Wiro Sableng,” jawab Wiro. 

Si nenek meledak tawanya. “Wiro Sableng! Hik... hik! 

Kau tahu apa arti sableng di Negeri Latanahsilam ini?” 

“Aku tahu. Pernah seorang sahabat memberitahu.” 

“Apa...? Apa artinya sableng?” 

“Sableng di sini artinya kencing kuda,” jawab Wiro. 

Luhkentut tertawa cekikikan. Lalu kentut buutttt... 

buuttt... buttt! 

“Dengar kalian bertiga. Aku tidak tahu permainan atau 

tipuan apa yang kalian lakukan. Tapi kalau sehabis makan 

tujuh puluh tujuh dubur ayam penyakit kentutku tidak 

sembuh, kalian bertiga akan kupesiangi. Dubur kalian akan 

kupanggang! Ingat itu baik-baik! Awas!” 

Wiro tetap tenang. Naga Kuning kelihatan kecut 

sementara Si Setan Ngompol kembali mengucur air 

kencingnya. 

“Hik... hik...! Aku sembuh! Aku sembuh!” 

Si nenek jingkrak-jingkrakan. Dan seperti tadi kentutnya 

kembali memberondong. 

Buuutttt... Buuutttt... Buutttt! 

“Kalian bertiga ingat perjanjian kita! Hik... hik... hik!” Si 

nenek kedipkan matanya pada Si Setan Ngompol lalu 

kembali kentut, banyak dan panjang. 

“Eh! Aku ingat sesuatu!” Luhkentut alias Nenek Selaksa 

Kentut pijit-pijit keningnya. “Bagaimana aku yakin kalian 

tidak akan kabur atau sembunyikan diri jika nanti terbukti 

aku tidak sembuh! Wahai! Aku perlu jaminan dari salah 

satu kalian! Jaminan berupa... Hik... hik! Potongan salah 

satu bagian tubuh kalian!”“Mati aku!” kata Naga Kuning dalam hati. 

Wiro terkesiap sedang si kakek Setan Ngompol sudah 

jatuh melosoh ke lantai goa. 

“Wahai! Kalian bertiga jangan takut. Aku tidak minta 

yang aneh-aneh. Aku cuma minta kalian menyerahkan 

salah satu daun telinga kalian! Hik... hik... hik!” 

Si Setan Ngompol dan Naga Kuning langsung tekap 

kuping masing-masing. Wiro merunduk tapi mengawasi 

waspada. Si nenek kembali tertawa dan kentut-kentut. 

“Siapa yang sukarela mau menyerahkan sepotong 

kupingnya?!” 

Tak ada yang menjawab, tak ada yang bergerak. 

Luhkentut pandangi tiga orang di depannya satu persatu. 

Ketika dia memandang pada Naga Kuning, bocah yang 

ketakutan kupingnya mau diambil ini segera berkata 

sambil menunjuk pada Si Setan Ngompol. “Kuping dia saja. 

Kupingnya besar lebar!” 

“Anak jahanam! Biar kutendang bokongmu!” Setan 

Ngompol marah besar. Kaki kanannya hendak 

ditendangkan. 

“Sudah! Serahkan saja kupingmu! Daripada dia minta 

bagian tubuhmu yang lain! Apa kau mau menyerahkan 

anumu!” teriak Naga Kuning karena saat itu dilihatnya si 

nenek mulai bergerak mendekati. 

“Anak setan!” Si Setan Ngompol tendangkan kakinya. 

Tapi gerakannya didahului si nenek. Mendadak Setan 

Ngompol merasakan ada sambaran angin halus di pipi 

kanannya. Lalu telinganya terasa dingin sekali. Dia cepat 

meraba telinganya yang kanan. Astaga! Daun telinganya 

yang lebar tak ada lagi! 

Si nenek tertawa panjang sambil ulurkan tangannya. Di 

atas telapak tangannya yang terkembang kelihatan 

potongan daun telinga Si Setan Ngompol. 

“Gila! Dia benar-benar mengambil telinga kakek itu! 

Bagaimana mungkin! Bagaimana dia melakukan? Tak ada 

darah dan si kakek seperti tidak merasa sakit!” Wiro 

terheran-heran tapi rasa-rasa ngeri juga. Naga Kuningmendelik. Mukanya pucat dan mulutnya ternganga. 

Ketika meraba dan menyadari daun telinganya sebelah 

kanan tak ada lagi, Si Setan Ngompol terlonjak lalu 

berteriak tak karuan. Di sebelah bawah kencingnya 

berbusaian! Nenek muka kuning kembali terkentut-kentut. 

Dia lambai-lambaikan potongan daun telinga Si Setan 

Ngompol. Lalu sambil tertawa cekikikan dia berkelebat 

lenyap di mulut goa. 

“Lebih baik kita segera tinggalkan goa ini!” kata Si 

Setan Ngompol sambil tekap telinga kanannya yang sudah 

rata. 

Wiro dan Naga Kuning menyetujui. Ketiganya segera 

menuju ke mulut goa. Tapi belum sampai, tiba-tiba 

meledak tawa melengking. Satu bayangan kuning 

berkelebat. Ketiga orang itu terdorong seperti dilanda 

angin dan jatuh tumpang tindih di lantai goa. 

Memandang ke depan ternyata si nenek muka kuning 

telah berdiri di mulut goa, menghalangi jalan mereka. Si 

Setan Ngompol jadi pucat pasi dan terkencing-kencing. 

“Celaka! Jangan-jangan dia mau minta kupingmu yang 

satu lagi!” bisik Naga Kuning pada Setan Ngompol, 

membuat kakek ini bergeletar ketakutan dan basah lagi 

celananya. 

“Mending kalau cuma kuping! Bagaimana kalau si 

nenek minta barang langka yang ada di bawah pusarmu!” 

ujar Wiro. Setan Ngompol tambah muncrat kencingnya. 

“Wahai! Aku lupa menanyakan! Anak muda bernama 

Wiro Sableng! Dubur ayam yang harus kumakan mentah-

mentah itu! Dubur ayam betina atau ayam jantan?!” 

Wiro garuk-garuk kepala. Bingung menjawab karena 

memang semua yang dikatakannya itu cuma dikarang-

karang. Tapi tidak diduga akibatnya jadi begini! 

“Dubur ayam jantan Nek!” yang menjawab Naga 

Kuning. 

Luhkentut pelototkan matanya yang kuning. “Aku 

bertanya pada si rambut panjang itu! Bukan padamu!” Lalu 

si nenek berpaling pada Wiro.Murid Sinto Gendeng ini cepat berkata. “Benar Nek, 

memang dubur ayam jantan!” 

“Heemmmmm, begitu? Hik... hik... hik!” Si nenek 

manggut-manggut lalu tertawa dan, buuutttt... buuuttt! 

Sehabis kentut panjang dua kali itu dia melirik pada Setan 

Ngompol, kedip-kedipkan matanya, memutar badan dan 

berkelebat pergi. 

Wiro menoleh pada Naga Kuning. “Anak geblek! 

Mengapa kau katakan padanya kalau dia harus makan 

dubur ayam jantan?” 

“Dubur ayam jantan keras dan alot!” sahut Naga 

Kuning. “Biar nenek itu kesusahan memakannya! Bisa-bisa 

dia kelolotan tercekik! Dia membuat kita semua jadi susah. 

Biar gantian dia nanti yang susah!” 

Wiro jadi tertawa bergelak. Si Setan Ngompol walau 

dalam bingung berat akibat kehilangan telinga kanan tapi 

akhirnya ikut-ikutan terkekeh mendengar ucapan Naga 

Kuning itu. 


TAMAT 

Penulis : bastian tito

Create : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com


Episode Berikutnya: RAHASIA MAWAR BERACUN















Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive