Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Selasa, 18 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - RAHASIA PATUNG MENANGIS

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com

SINOPSIS :

 

HANTU JATILANDAK INGAT PADA CAIRAN HANGAT YANG 

TERSENTUH JARI-JARI TANGANNYA. KETIKA DIA 

MEMPERHATIKAN WAJAH PATUNG ITU KAGET HANTU 

JATILANDAK BUKAN KEPALANG. TERNYATA CAIRAN HANGAT 

ITU KELUAR DARI DUA MATA PATUNG. SEOLAH TETESAN-

TETESAN AIR MATA. "PATUNG MENANGIS...." DESIS HANTU 

JATILANDAK.

 BARU SAJA HANTU JATILANDAK SELESAI MEMBATIN TIBA-

TIBA DALAM GELAPNYA MALAM TERDENGAR DUA SUARA 

TAWA BERGELAK. "MANUSIA BURUK RUPA! TIDAK BISA 

BERCINTA DENGAN MANUSIA, MELAMPIASKAN NAFSU 

BERPELUK-PELUKAN DENGAN PATUNG BATU! HA... HA... HA!"


SATU


DI DALAM kamar yang diterangi dua obor itu, di atas 

tempat tidur kayu tergeletak menelentang seorang 

perempuan. Wajahnya yang cantik tertutup oleh keringat 

serta kerenyit menahan sakit. Dari mulutnya terus 

menerus keluar suara erangan, ditingkah desau nafas 

yang membersit dari hidung. Perempuan ini memiliki perut 

besar luar biasa, tertutup sehelai kain rajutan terbuat dari 

rumput kering. Ketika pandangannya membentur sosok 

nenek dukun beranak yang hendak menolong 

melahirkannya, dua mata perempuan itu membeliak 

besar. Dari mulutnya keluar gerengan seperti suara 

gerengan babi hutan.

 "Tua bangka buruk! Siapa kau?!"

 Lahambalang, suami perempuan yang hendak 

melahirkan itu cepat mendekat dan berkata. "Wahai istriku

Luhmintari, nenek Luhumuntu ini, dia dukun beranak yang 

akan menolongmu melahirkan...."

 "Menolong aku melahirkan." Sepasang mata 

perempuan di atas ranjang kayu semakin membesar dan

wajahnya bertambah beringas. "Siapa yang akan 

melahirkan?! Aku tidak akan melahirkan!"

 "Tenanglah Luhmintari. Orang akan menolongmu...."

 "Aku tidak akan melahirkan! Aku tidak butuh 

pertolongan' Tidak akan ada apapun yang keluar dari 

perutku. Tidak akan ada bayi yang keluar dari rahimku! 

Kau dengar wahai Lahambalang?! Kau dengar nenek 

buruk dukun beranak celaka?!" Habis membentak seperti 

itu Luhmintari tertawa panjang.

 Luhumuntu, si nenek dukun beranak jadi merinding.

Dia dekati lahambalang lalu berbisik. "Suara istrimu

kudengar lain Tawanya kudengar aneh...."

 Baru saja si nenek berkata begitu tiba-tiba dari perut

besar Luhmintari terdengar suara gerangan keras. 

Bersamaan dengan itu di kejauhan terdengar pula suara

lolongan anjing hutan. Si dukun beranak Luhumuntu tarik

rumput kering yang menutupi tubuh Luhmintari. Begitu 

perut yang hamil besar itu tersingkap, si nenek langsung

tersurut. Lahambalang sendiri keluarkan seruan tertahan 

lalu mundur dua langkah!Lazimnya perut perempuan hamil, biasanya 

menggembung besar dan licin. Namun yang dilihat oleh 

Luhumuntu dan Lahambalang adalah satu perut yang 

didalamnya seperti ada puluhan duri. Permukaan perut

Luhmintari tampak penuh tonjolan-tonjolan runcing dan

tiada hentinya berdenyut bergerak-gerak mengerikan!

Seumur hidup baru kali ini dukun beranak itu melihat

perut yang keadaannya seperti itu.

 "Demi Dewa dan Peri!" ujar Lahambalang dengan

suara tergetar "Apa yang terjadi dengan istriku! Mengapa 

perutnya seperti ini?!"

 Dukun beranak Luhumuntu angkat tangan kirinya.

"Lahambalang, istrimu segera akan kutangani. Harap kau 

cepat keluar dari kamar ini."

 "Nenek Luhumuntu, kalau boleh aku ingin 

menungguinya sampai dia melahirkan..." kata 

Lahambalang pula.

 "Keluar!" teriak Luhumuntu.

 Mau tak mau Lahambalang keluar juga dari kamar itu. 

Si nenek segera membanting pintu. Ketika dia melangkah 

mendekati tempat tidur kembali Luhmintari perlihatkan 

tampang beringas.

 "Nenek celaka! Kau juga harus keluar dari kamar ini!"

 "Luhmintari, aku akan menolongmu melahirkan. Aku 

akan melepaskan tali yang diikatkan suamimu pada dua 

kakimu. Jangan kau berbuat yang bukan-bukan!"

 "Kau yang berkata dan akan berbuat yang bukan-

bukan!" sentak Luhmintari. "Aku tidak hamil! Aku tidak

akan melahirkan! Tidak ada bayi dalam perutku! Tidak ada 

bayi yang akan keluar dari rahimmu! Hik... hik... hik!"

Luhmintari keluarkan suara seperti tertawa tapi juga

setengah menangis.

 "Tenang Luhmintari. Kau jelas hamil besar dan siap

melahirkan. Kau akan melahirkan seorang bayi hasil

hubunganmu sebagai suami istri dengan Lahambalang...." 

Si nenek lalu dekati tempat tidur. Dengan hati-hati dia 

lepaskan ikatan tali pada dua kaki Luhmintari. Begitu dua 

kakinya bebas, kaki yang kanan tidak terduga bergerak 

menendang.

 "Bukkkk!"

 Si nenek Luhumuntu terpekik dan terpental ke dinding. 

Di luar Lahambalang berteriak. "Nenek Luhumuntu! Ada 

apa"?!"

 Luhumuntu usap-usap perutnya yang barusan kena

tendangan. "Tidak ada apa-apa Lahambalang! Kau tak

usah khawatir!" Lalu si nenek memandang pada 

Luhmintari dan berkata. "Sebagai dukun aku berkewajiban

menolongmu melahirkan. Apapun yang akan keluar dari

rahimmu aku tidak perduli!" Lalu dengan cepat si nenekkembangkan dua kaki Luhmintari. Dengan dua tangannya 

dia kemudian menekan perut perempuan itu.

 Luhmintari meraung keras. Dari dalam perutnya

kembali terdengar suara menggereng. Di kejauhan lagi-

lagi terdengar suara lolongan anjing hutan.

 "Jangan sentuh perutku! Nenek celaka! Pergi kau!"

 Si nenek dukun beranak tidak perdulikan hardikan

Luhmintari. Dua tangannya terus menekan perut 

perempuan itu. Semakin kuat. Luhmintari menjerit keras.

Lalu terdengar suara robek besar. Bersamaan dengan itu 

ada suara tangisan kecil. Seperti suara tangisan bayi, tapi 

anehnya disertai suara gerengan halus!

 Luhumuntu terpekik ketika ada suatu benda melesat

menyambar perutnya. Nenek ini mundur terhuyung-

huyung. Ketika dia memperhatikan keadaan dirinya 

ternyata di bagian perut ada tiga guratan luka cukup 

dalam dan mengucurkan darah! Dari sudut kamar 

terdengar suara tangisan bayi aneh! Di atas ranjang kayu 

sosok Luhmintari tidak bergerak sedikitpun. Tubuhnya 

yang tadi hangat dan penuh keringat perlahan-lahan 

menjadi dingin.

 "Braaakkk!"

 Pintu kamar terpentang hancur. Lahambalang 

melompat masuk. Dia tidak perdulikan si nenek dukun

beranak yang tegak terbungkuk-bungkuk sambil meringis 

pegangi perutnya yang luka bergelimang darah.

Lahambalang melangkah ke arah tempat tidur. Namun

gerakannya serta merta tertahan. Dua kakinya seperti

dipantek ke lantai. Matanya membeliak besar. Sosok

istrinya tergeletak tak bergerak. Mata mendelik mulut

menganga. Perutnya robek besar mengerikan. Dan darah 

masih mengucur mengerikan!

 "Luhmintari!" teriak Lahambalang. Dia memandang

seputar kamar. Begitu melihat si nenek dia kembali

berteriak. "Nenek Luhumuntu! Apa yang terjadi dengan

istriku?! Aku mendengar tangisan bayi! Mana anakku?!"

 Sambil sandarkan punggungnya ke dinding kamar si 

nenek dukun beranak menjawab. "Istrimu tewas wahai

Lahambalang! Tewas ketika melahirkan bayinya! 

Bayinya... bukan bayi biasa! Bayi itu tidak keluar secara

wajar. Tapi melalui perut istrimu yang tiba-tiba pecah!

Robek besar!"

 "Kau...! Apa katamu?!" Dua mata Lahambalang

membeliak besar. "Aku tidak percaya! Kau... kau pasti

memakai cara gila! Kau pasti menoreh perut istriku

dengan pisau!"

 "Aku tidak pernah membawa pisau wahai 

Lahambalang. Aku tidak pernah menolong orang dengan 

memakai pisau!" jawab si nenek. Tubuhnya melosohkelantai. Dua tangannya masih terus menekapi perutnya

yang luka.

 "Mana bayiku! Mana anakku!" teriak Lahambalang.

 Si nenek Luhumuntu angkat tangan kirinya. Dengan

gemetar dia menunjuk ke sudut kamar. "Itu.... Benda

yang di sudut sana.... Itulah bayimu. Kuharap kau bisa

menabahkan diri menghadapi kenyataan wahai 

Lahambalang...."

 Lahambalang berpaling ke arah yang ditunjuk si nenek. 

Karena tidak tersentuh cahaya api obor, sudut kamar yang 

ditunjuk berada dalam keadaan gelap. Namun 

Lahambalang masih bisa melihat seonggok benda

bergelimang darah tergeletak di sana. Dan dia 

mendengar suara tangisan bayi. Walau suara itu 

kedengarannya agak aneh.

 "Anakku..." desis Lahambalang. Dia melangkah

membungkuk. Satu langkah dari hadapan benda di sudut 

kamar tiba-tiba satu jeritan keras menggeledek dari 

mulutnya. "Tidaaakkkk!"

 "Lahambalang, kataku kau harus tabah menghadapi 

kenyataan...." berucap si nenek dukun beranak.

 "Tidaakkk!" teriak Lahambalang sekali lagi. "Itu bukan 

bayiku! Itu bukan anakku!"

 "Lahambalang, betapapun kau tidak mau mengakui itu 

bukan anakmu bukan bayimu! Tapi itulah kenyataan yang 

keluar dari perut istrimu!" kata Luhumuntu pula.

 Lahambalang tekapkan dua tangannya ke muka lalu

menggerung keras. Di sebelah sana, di sudut yang

kegelapan terdengar suara tangisan bayi aneh karena

disertai suara menggereng halus. Sosok yang 

menggeletak masih berlumuran darah di sudut kamar itu

memang satu sosok menyerupai bayi kecil. Tapi sekujur 

permukaan tubuhnya, mulai dari kepala sampai ke kaki 

penuh ditumbuhi duri-duri aneh berwarna kecoklatan!

 "Lahambalang, itu anakmu. Itu bayimu! Jangan biarkan 

dia kedinginan di sudut kamar itu..." Luhumuntu si dukun 

beranak berucap.

 Sekujur tubuh Lahambalang bergetar. Mulutnya

mengucapkan sesuatu tetapi tidak jelas kedengaran apa

yang dikatakannya.

 "Lahambalang, ambil anakmu. Dukung bayi itu...."

 Lahambalang pejamkan dua matanya. 

Tenggorokannya turun naik, sesenggukan menahan 

tangis. Dua tangannya terkepal kencang.

 "Apa yang terjadi dengan diri kami! Wahai istriku

Luhmintari! Nasibmu... nasibku... nasib anak kita! Apa

semua ini karena kau melanggar larangan? Karena

sebenarnya sebagai seorang Peri kau tidak boleh kawin

denganku manusia biasa? Kalau ini memang satu kutukan,sungguh kejam dan jahat!"

 Tiba-tiba Lahambalang bangkit berdiri. Mukanya

kelihatan menjadi sangat mengerikan. Dadanya 

bergemuruh turun naik. Dua tangannya mengepal 

semakin kencang hingga mengeluarkan suara 

berkeretakan. Satu teriakan dahsyat kemudian keluar dari

mulutnya.

 "Wahai para Peri di atas langit! Kalau ini benar

kutukan dari kalian! Mengapa istriku yang kalian bunuh!

Mengapa bayi tak berdosa ini yang kalian bikin cacat?!

Mengapa tidak diriku yang kalian bikin mati! Kejam! Jahat

Peri keparat terkutuk! Aku akan mencari seribu jalan 

melakukan pembalasan! Kalian tunggu pembalasanku!"

 Habis berteriak begitu Lahambalang membungkuk

mengambil sosok bayi aneh yang tergeletak di sudut

kamar. Lalu dia lari keluar bangunan. Seperti gila sambil

lari tidak henti-hentinya dia berteriak.

 "Ini bukan anakku! Ini bukan bayiku! Kalian menukar

bayiku dongan makhluk celaka ini! Peri jahat! Peri 

jahanam! Tunggu pembalasanku!"

 Dalam gelap dan dinginnya malam menjelang fajar itu 

Lahambalang lari terus membawa bayi aneh yang tiada 

hentinya menangis. Lelaki itu baru hentikan larinya ketika 

dapatkan dirinya tahu-tahu telah berada di ujung sebuah 

tebing. Di depannya menghadang satu jurang lebar. Di 

kejauhan terbentang lautan luas. Di sebelah timur langit 

mulai terang tanda sang surya siap memunculkan diri.

 "Ini bukan bayiku! Ini bukan anakku! Para Peri diatas 

langit tunggu pembalasanku!"

 Dengan tubuh bergefetar dan basah oleh keringat

Lahambalang angkat bayi bergelimang darah dan penuh

duri aneh itu. Sang bayi menangis keras. Di kejauhan

seolah datang dari tengah laut terdengar lolongan seperti

lolongan anjing hutan. Didahului teriakan keras dan

panjang Lahambalang yang seolah sudah kerasukan setan 

itu lemparkan bayi di tangan kanannya. Bayi malang itu 

melesat jauh ke udara, lenyap dari pemandangan seolah 

menembus langit. Lahambalang pandangi tangannya 

yang berlumuran darah lalu menatap ke langit. Sekali lagi 

ia menjerit, meraung dahsyat! (Untuk jelasnya mengenai 

peristiwa lahirnya bayi aneh ini harap baca serial Wiro 

Sableng berjudul "Hantu Jati-

landak").

 LAHAMBALANG lari laksana dikejar setan. Walau

sekujur tubuhnya telah mandi keringat dan tenaganya

hampir terkuras namun dia lari terus. Dalam dukungannya 

terbujur sosok Luhmintari yang telah jadi mayat, mulai 

kaku dan dingin. Walau telah berkurang namun masih adadarah yang mengucur dari luka besar di perut perempuan 

malang ini.

 Di satu kawasan bebukitan berbatu-batu, Lahambalang 

mulai terhuyung. Nafasnya menyengat panas di

tenggorokan dan dadanya menggemuruh sesak. Dalam

keadaan seperti itu dia masih juga terus berlari. Puncak

bukit! Dia berusaha mencapai puncak bukit batu itu! Tapi

ketika satu tonjolan batu menyandung kaki kirinya, tak

ampun lagi Lahambalang terguling jatuh. Dengan sosok

istrinya masih dalam dukungan, lelaki ini menggelinding

belasan tombak ke bawah bukit lalu terhampar di samping 

sebuah batu besar.

 Lahambalang mengerang pendek lalu bangkit dan

duduk. Mayat istrinya diletakkan di pangkuan. Dia 

memandang berkeliling.

 "Luhmintari istriku! Di mana aku jatuh di situlah tempat 

perpisahan kita. Mungkin ini satu petunjuk. Agaknya di 

sini aku harus menyemayamkan dirimu! Wahai Luhmintari, 

tubuh kasar kita boleh berpisah. Tapi rasanya mungkin tak 

akan lama kau menunggu. Aku akan menyusulmu. 

Tunggu aku di alam roh wahai istriku!"

 Dengan hati-hati Lahambalang dudukkan mayat istrinya 

di tanah, bersandar ke batu besar di belakangnya. Air 

mata mengucur membasahi dua pipinya yang cekung dan 

penuh berewok meranggas. Berkali-kali dia mengusap 

rambut Luhmintari. Berkali-kali pula dia menciumi wajah 

perempuan itu. Kalau tadi sekujur tubuhnya letih seolah 

tidak bertulang lagi, namun saat itu tiba-tiba

seperti mendapat satu kekuatan, Lahambalang melompat 

ke atas batu. Dengan dua tangan terkepal dan

diacungkan ke langit dia berteriak.

 "Para Peri di atas langit! Untuk semua apa yang telah 

kalian lakukan atas diriku, atas diri istriku dan atas diri 

anakku! Aku bersumpah akan melakukan pembalasan! 

Aku bersumpah kutuk jahat akan jatuh atas Negeri Atas 

Langit dan semua Peri yang ada di sana!"

 Begitu Lahambalang selesai berteriak mendadak di atas 

langit terdengar suara menggelegar disertai berkiblatnya 

satu cahaya putih yang menyambar ke bawah. Satu hawa 

yang sangat dingin menyapu ke arah batu di mana 

Lahambalang berdiri. Lelaki ini terpental dari atas batu lalu 

jatuh berguling-guling ke kaki bukit. Untuk beberapa 

lamanya hawa dingin masih menyungkup sekitar batu 

besar, di dekat mana sosok mayat Luhmintari berada. 

Demikian dingin dan anehnya hawa yang turun dari atas 

langit itu, semua benda cair yang ada di tempat itu 

menjadi beku. Semua benda keras menjadi tegang kaku 

berubah bentuk menjadi kelabu kehitaman.

 Selagi hawa dingin luar biasa membuncah begitu rupatiba-tiba ada satu benda biru meluncur dari langit sebelah 

selatan. Benda ini berputar-putar beberapa kali di atas 

bukit batu sebelum melayang turun mendekati batu besar 

di mana sebelumnya Lahambalang tegak

meneriakkan sumpah dan kutuknya.

 "Wahai..." benda biru itu mengeluarkan suara. Ternyata 

dia adalah sosok Peri Bunda yang mengenakan pakaian 

sutera biru panjang menjela dan menebar bau harum 

semerbak. Mahkota kecil ditaburi batu-batu permata di 

atas kepalanya memantulkan sinar berkilauan. Wajah 

jelita sang Peri kelihatan berubah ketika dia menatap ke 

arah batu besar dan memperhatikan sosok perempuan 

yang ada di belakang batu. "Wahai.... Jangan-jangan 

para Peri telah keliru dan terlambat menurunkan Hawa 

Dingin Pembendung Bala itu. Lahambalang lenyap. Yang 

ada hanya jenazah istrinya. Dan...."

 Belum habis Peri Bunda mengucapkan suara hatinya itu 

tiba-tiba dari langit sebelah timur, di bawah terik silaunya 

sinar matahari, menukik sebuah benda berwarna putih 

disertai suara menguik panjang dan suara kepakan yang 

menimbulkan sambaran angin keras.

 Peri Bunda segera palingkan kepalanya. Benda putih 

yang melayang turun itu adalah seekor angsa putih

raksasa. Di atas punggung binatang ini duduk seorang

dara berpakaian putih. Keharuman tubuh dan pakaiannya 

telah menebar ke Seantero tempat walau dia masih

puluhan tombak di atas sana. Dialah Peri tercantik di

Negeri Atas Langit yang memiliki sepasang mata biru.

 "Peri Bunda, Simpul Agung Dari Segala Peri, Peri

Junjungan Dari Segala Junjungan, untung aku lekas

menemuimu!" berkata Peri Angsa Putih dari atas 

punggung Laeputih angsa tunggangannya.

 "Wahai Peri Angsa Putih, kulihat kau seperti terburu-

buru. Wajahmu agak pucat. Gerangan apakah hingga kau 

mendadak muncul menyusul aku ke sini selagi aku

melakukan tugas menangani satu masalah besar. Apakah 

kau menaruh syak wasangka kalau-kalau aku turun ke 

negeri ini untuk menemui pemuda...."

 "Wahai Peri Bunda!" Peri Angsa Putih cepat memotong 

ucapan Peri Bunda. "Ketahuilah, Peri Sesepuh yang 

memerintahkan aku untuk mencarimu lalu memintamu 

segera kembali ke Negeri Atas Langit!"

 "Hemm... Begitu? Gerangan apa sebab musababnya 

maka Peri Sesepuh berlaku begitu padahal dia juga yang 

memberi perintah agar aku turun ke sini?"

 "Telah terjadi sesuatu di Negeri Atas Langit!" jawab

Peri Angsa Putih.

 "Telah terjadi sesuatu? Apa maksudmu Peri AngsaPutih

"Negeri dilanda musibah besar. Satu penyakit kulit

menyerang semua penghuni Negeri Atas Langit! Lihat

kulitku..." Peri Angsa Putih ulurkan dua tangannya. Ketika 

Peri Bunda memperhatikan terkejutlah dia. Dua lengan 

Peri Angsa Putih penuh dengan bercak-bercak putih 

berair. "Gelembung Air..." desis Peri Bunda dengan

muka pucat. Dia menatap paras Peri Angsa Putih sesaat.

 "Ada apa, Peri Bunda?" tanya Peri Angsa Putih tidak

enak.

 "Wajahmu.... Gelembung Air itu juga ada pada

wajahmu!"

 Peri Angsa Putih terpekik mendengar ucapan Peri

Bunda dan segera usapkan dua tangannya ke wajahnya

yang cantik. Dia merasakan, pada wajahnya yang 

sebelumnya mulus itu kini ada gelembung-gelembung 

kecil berair.

 Peri Bunda tak sengaja perhatikan pula lengannya yang 

tersembul dari balik pakaian birunya lalu terpekik ketika 

melihat gelembung-gelembung kecil itu juga ada pada 

tangannya!

 Selama dua tahun para Peri di Negeri Atas Langit

dengan berbagai cara dan bantuan beberapa orang

pandai akhirnya mampu melenyapkan penyakit kulit 

menular yang menyerang. Semua Peri berhasil 

disembuhkan tanpa meninggalkan cacat di tubuh serta 

wajah masing-masing. Namun hawa dingin aneh yang 

menyungkup kawasan bukit batu tak dapat dilenyapkan 

dan menyebabkan tempat itu menjadi satu kawasan

mengandung rahasia yang hanya bisa diawasi oleh Peri 

dari kejauhan.


DUA


PULUHAN tahun berlalu setelah peristiwa 

Lahambalang melempar bayinya dan terjadinya kegegeran 

di Negeri Atas Langit....

 DI tikungan sungai yang penuh dengan semak belukar, 

hampir tersamar mendekam seorang berpakaian serba 

hitam. Wajahnya dilumuri lumpur dan diberi jelaga hitam. 

Dari keseluruhan mukanya hanya bagian sekitar sepasang 

bola matanya saja yang masih kelihatan putih. Orang ini 

tidak putus-putusnya memandang ke arah

rimba belantara di depannya.

 "Seharian lebih aku berada di sini. Kakek itu masih

belum kelihatan. Kalau aku menyelidik ke dalam hutan

mungkin aku akan menemuinya. Tapi berarti gadis yang

kuperkirakan akan lewat di tempat ini tidak dapat 

kutemui. Dua orang itu sama-sama pentingnya. Aku harus

mengambil keputusan...."

 Di dalam hutan suara kicau burung tiba-tiba berhenti

dan lenyap. Orang di balik semak belukar memasang

telinga dan kembali menatap tajam ke arah depan. Dia

berusaha tenang namun tak dapat menahan debar dada-

nya ketika di depan sana dia melihat satu bayangan putih

berkelebat laksana angin, bergerak sejajar dengan tepian 

sungai.

 Tanpa menunggu lebih lama orang di balik semak

belukar ini segera melesat keluar. Di lain saat dia telah

berada dekat sebuah pohon besar, siap memotong lari

orang berjubah putih.

 Melihat ada orang tak dikenal, berpakaian dan bermuka 

hitam menghadang jalannya, si jubah putih segera

hentikan larinya. Kedua orang itu saling memperhatikan

dengan perasaan sama-sama heran.

 Si jubah putih merasa heran melihat si penghadang

yang mukanya dilumuri tanah liat lalu diberi jelaga hitam.

Sebaliknya si muka hitam terkesiap karena tidak 

menyangka orang yang dicarinya selama ini begitu 

angker penampilannya. Orang berjubah putih di 

hadapannya itu ternyata adalah seorang kakek yang 

otaknya terletak diluar kepala, terbungkus oleh sejenis 

selubung bening hingga dia dapat melihat otak itubergerak berdenyut menggidikkan!

 Untuk beberapa saat lamanya ke dua orang ini tegak

tak bergerak dan saling tatap. Di antara mereka agaknya

sama-sama sungkan untuk mulai menegur. Namun si

kakek berjubah putih, setelah berdehem beberapa kali

akhirnya membuka mulut juga.

 "Wahai kerabat tak dikenal. Pakaianmu serba hitam

pertanda kau seperti dalam satu perkabungan. Wajahmu

sengaja dilumuri tanah liat. Lalu diberi jelaga hitam.

Pertanda kau tidak ingin dirimu dikenali siapa adanya.

Lalu walau jelas-jelas kehadiranmu sengaja 

menghadangku tapi kau tidak menegur membuka suara. 

Pertanda ada satu keraguan mengganjal dalam hatimu!

Wahai, apakah betul semua ucapanku...?"

 Sepasang mata orang bermuka hitam sesaat membesar 

lalu redup kembali. "Orang tua berotak di luar kepala ini 

agaknya tajam dalam pandangan dan pandai dalam 

mengajuk rasa..." Si muka hitam membatin.

 "Orang muka hitam, aku hanya bertanya satu kali.

Jika kau tak mau menjawab, aku harap kau jangan

menghalangi jalanku lebih lama!"

 "Orang tua, aku tidak bermaksud jahat...."

 "Wahai! Tidak ada yang menuduhmu begitu. Katakan 

saja apa keinginanmu!"

 "Agar kau tidak kesalahan, pertama sekali aku ingin

menanyakan apakah engkau kakek sakti yang di Negeri

Latanahsilam ini disebut sebagai Hantu Sejuta Tanya

Sejuta Jawab?"

 Si kakek yang otaknya terletak di luar kepala 

mengangguk membenarkan. Lalu berkata, "Aku sudah 

mengiyakan dengan anggukan kepala. Sekarang aku 

balas bertanya. Apakah kau orangnya yang sejak 

beberapa lama belakangan ini menebar kebaikan dan budi 

pertolongan dimana-mana? Hingga kau dikenal dengan

lulukan Si Penolong Budiman? Yang dianggap bahkan

dipuja sebagai penolong yang hebat dan luar biasa?"

 Si muka hitam terkejut, karena tidak menyangka kakek 

berjubah putih itu telah mengetahui siapa dirinya.

 "Wahai, orang-orang memang menggelariku begitu.

Padahal aku merasa sangat tidak pantas mendapat

julukan itu. Menolong adalah sifat yang terlahir ada

dalam setiap diri manusia. Hanya saja masing-masing 

orang mempunyai cara serta saat sendiri-sendiri untuk 

mau melakukan pertolongan atau tidak. Lagi pula aku

bukanlah seorang hebat dan luar biasa. Sesuatu yang 

hebat dan luar biasa itu tidak akan bertahan lama. Yang

bisa bertahan adalah sesuatu yang serba sederhana dan

terbungkus dalam timbang rasa bijaksana...."

 Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tatap wajah hitamdi depannya. Lalu kakek ini sibakkan rambut putih 

panjang yang menjulai menutupi wajahnya. Seringai tipis

muncul di wajahnya.

 "Muka hitam, kau pandai bertutur bicara sepandai

kau menutupi wajahmu dengan tanah liat dan jelaga

hitam. Tapi apakah kau tahu, seorang yang tidak jujur

hidupnya hanya mencari celaka?"

 "Wahai, kejujuran bukan segala-galanya. Terkadang 

seseorang memang harus menjadi seekor burung

merpati untuk menunjukkan ketulusan hatinya. Tetapi

ada kalanya seseorang harus berubah menjadi secerdik

ular untuk menyelamatkan dirinya dari orang lain. Jadi

jika kau berniat untuk menanyakan siapa diriku, tak

banyak yang bisa kuberikan sebagai jawaban. Sejak

lama aku mencarimu. Hanya saja baru pada kesempatan

ini aku bisa menemuimu. Mohon maaf jika kau tidak

berkenan dengan caraku. Sebagai orang yang dijuluki

Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, yang tahu sejuta

masalah dan punya sejuta jawaban, ada hal yang ingin

kutanyakan padamu...."

 "Wahai, aku bukan orang yang tahu segala-galanya.

Seseorang yang menganggap dirinya tahu segala-gala 

sama saja dengan mencari bencana. Karena 

pengetahuannya itu akan menjadi bayang-bayang yang 

selalu mengejarnya sepanjang hidup...."

 "Wahai, aku tidak sependapat dengan ucapanmu,"

 kata Si Penolong Budiman. "Menurutku, baik buruknya

 Ilmu pengetahuan tergantung bagaimana seseorang

 mempergunakannya."

 Si kakek tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Ucapan-

ucapanku hanya untuk menguji. Ternyata dia memang 

seorang yang jujur polos dan punya sifat berterus terang 

untuk mengatakan sesuatu yang tidak selalu benar."

 "Wahai kerabat muka hitam. Baiklah, aku menunggu 

apa gerangan yang hendak kau tanyakan padaku."

 "Aku tengah mencari seorang bernama Lajundai alias 

Labahala yang konon kini dianggap sebagai Raja Diraja 

Segaia Hantu di Negeri Latanahsilam ini dan dijuluki Hantu 

Muka Dua. Sebelum melakukan pencarian Ingin 

kutanyakan padamu. Di luaran aku menyirap kabar bahwa 

Hantu Muka Dua adalah muridmu. Apakah hal itu benar 

wahai Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"

 Si kakek terdiam, usap mukanya lalu gelak mengekeh.

 "Dunia luar dunia penuh sejuta keanehan. Salah satu di 

antaranya adalah berita yang kau dengar itu..." Hantu 

Sejuta Tanya Sejuta Jawab gelengkan kepala.

 "Hantu Muka Dua bukan muridku, aku bukan guru 

Hantu Muka Dua. Tidak pernah aku mengajarkan secuil 

ilmupun padanya. Bagaimana hal itu tersebar diluaransetelah kuselidiki ternyata adalah ulah perbuatan Hantu 

Muka Dua sendiri. Dia sengaja menebar kabar dengan 

maksud tujuan tertentu.

 "Wahai, terima kasih kau telah mau memberi 

keterangan. Jika kelak aku bertemu dengan Hantu Muka

Dua, aku tak akan bersikap ragu dan tak ada ganjalan 

bagiku untuk menghadapinya...."

 "Orang muka hitam, dari penampilan dan tutur 

bicaramu aku melihat ada satu ganjalan hidup yang penuh

teka-teki dalam dirimu. Jika kau tidak bisa 

memecahkannya kau mungkin akan mengakhiri hayat 

dalam keadaan kecewa penasaran...."

 "Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, penglihatanmu ,

sungguh tajam, perasaanmu sangat dalam. Aku 

berterima kasih. Apakah kau mungkin memberikan satu

petunjuk yang harus kulakukan?"

 Kakek yang otaknya berada di luar batok kepala itu

merenung sejenak. Lalu dia berkata. "Sebelum matahari

tenggelam pergilah ke arah selatan. Jangan berhenti

sekalipun kau harus menempuh perjalanan sekian hari

sekian malam. Kau baru berhenti jika sampai di satu

kawasan bukit batu dimana udara terasa sangat dingin

walau sang surya bersinar terik pada siang hari...."

 "Jika aku sampai di tempat itu, apa yang harus

kulakukan wahai Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"

 Si kakek tersenyum. "Tadi kukatakan, aku bukan

manusia yang tahu segalanya. Lakukan saja apa yang

kukatakan. Sampai di sana mungkin kau akan mendapat

petunjuk dari para Dewa…..”

 “Kalau begitu, sekali lagi aku mengucapkan terima 

kasih,” kata Si Penolong Budiman seraya tundukkan 

kepala dan menjura. Ketika dia angkat kepalanya kembali, 

kakek jubah putih itu tidak ada lagi dihadapannya.


TIGA


GAGAK hitam itu mengeluarkan suara menguik

panjang, terbang berputar-putar di atas hutan jati lalu 

hinggap di cabang rendah sebuah pohon. Makhluk yang 

sekujur tubuhnya berwarna kuning serta ditumbuhi duri-

duri coklat dan hanya mengenakan cawat itu hentikan 

larinya, memandang ke atas pohon. Orang ini adalah 

Hantu Jatilandak, manusia yang lahir dalam kutukan para 

Peri karena ibunya Luhmintari yang merupakan seorang 

Peri melanggar pantangan, kawin dengan Lahambalang 

seorang manusia biasa.

 "Gagak hitam itu.... Wahai, ada yang kurasa aneh,'

kata Hantu Jatilandak dalam hati. "Sejak pagi tadi ke

mana aku pergi di situ dia muncul. Seperti sengaja

mengikuti perjalananku. Apa mungkin kakek Tringgiling

Liang Batu yang mengirimnya. Tidak boleh jadi. Kakek

tak pernah memelihara burung. Wahai, pertanda apa ini

sebenarnya?" Pemuda itu memandang berkeliling, 

menduga-duga dimana dia berada saat itu. "Mungkin aku

harus kembali ke pulau. Menemui kakek di hutan 

Lahitamkelam...."

 Gagak hitam di atas pohon kembali keluarkan suara

menguik. Lalu binatang ini kepakkan sayapnya, terbang

ke pohon lain dan hinggap di salah satu cabang. Dia 

memandang ke arah Hantu Jatilandak seperti sengaja

menunggu. Gerak-gerik burung ini lama-lama membuat

Hantu Jatilandak jadi kesal. Dia segera mematahkan satu 

ranting kecil lalu dilemparkannya ke arah gagak hitam. 

Patahan ranting menancap di cabang pohon. kalau gagak 

hitam tidak lekas bergerak terbang, ranting itu akan 

menancap tepat di tenggorokannya. Binatang itu terbang 

dan hinggap di pohon lain. Ternyata dia tidak terbang 

jauh dan hinggap diam, memandang ke arah Hantu 

Jatilandak. Dalam kesalnya Hantu Jatilandak sudah punya 

niat untuk membunuh burung itu dengan duri-duri coklat 

yang ada di tubuhnya. Namun selintas pikiran muncul 

dalam benaknya.

 "Kalau kuperhatikan, gagak itu selalu terbang ke satu 

arah. Ke selatan. Setiap kuusik dia melarikan diri, tapi 

tidak terbang jauh. Hinggap di pohon, memandanganeh padaku.... Kalau saja dia bisa bicara...."

 Gagak di atas pohon menguik keras. Lalu melesat

ke pohon lain. "Terbang lagi.... Tetap ke arah selatan..."

kata Hantu Jatilandak sambil memperhatikan. "Jika aku

menuju ke pulau berarti arah yang kutempuh adalah arah

berlawanan. Ke utara. Akan kucoba lari ke arah utara.

Apa yang terjadi...."

 Habis berkata begitu Hantu Jatilandak balikkan 

tubuhnya, pura-pura lari ke jurusan utara. Burung gagak

hitam menguik lagi lalu melesat terbang melintas didepan 

Hantu Jatilandak, demikian terus berulang kali. Ketika 

akhirnya pemuda bertubuh kuning dengan duri-duri 

mengerikan itu hentikan larinya, burung gagak tadi

melesat ke pohon di sebelah kanan dan hinggap disalah

satu cabangnya. Hantu Jatilandak memperhatikan. 

Ternyata seperti sebelumnya, gagak hitam itu lagi-lagi 

berada di arah selatan. Kini ada perasaan di hati Hantu

Jatilandak bahwa gagak hitam itu bukan burung biasa.

 "Ketika aku lari ke utara, burung itu seperti berusaha

menghalangi. Kini akan kucoba lari ke selatan...." Sekali

lompat saja Hantu Jatilandak lalu melesat dua tombak,

terus lari secepat yang bisa dilakukannya menuju selatan. 

Di atas sana, gagak hitam tadi ternyata juga terbang ke 

arah selatan. Malah seperti sengaja berada di sebelah 

depan, seolah menuntun lari Hantu Jatilandak.

 Hantu Jatilandak tidak, tahu berapa lama dan berapa

jauh dia lari mengikuti gagak hitam itu. Dia baru sadar

ketika dua kakinya mendadak terasa berat dan di barat

sang surya hampir menggelincir masuk ke titik 

tenggelamnya. Memandang ke depan Hantu Jatilandak 

melihat gagak hitam melayang turun lalu hinggap di atas

sebuah batu besar di tempat ketinggian. Hantu Jatilandak 

memperhatikan berkeliling. Dia dapatkan dirinya berada di 

satu bukit penuh bebatuan. Ketika dia memandang lagi 

ke arah ketinggian di depan sana, gagak hitam itu tak 

kelihatan lagi di atas batu besar! Sementara udara mulai 

berangsur gelap. Batu- batu besar di sekelilingnya 

kelihatan seperti berubah aneh dalam kehitaman malam 

yang segera turun.

 "Burung gagak itu lenyap. Benar-benar aneh..." kata

Hantu Jatilandak dalam hati. Saat itulah dia baru 

menyadari bahwa tempat dimana dia berada diselimuti 

hawa dingin luar biasa. Tubuhnya yang tanpa pakaian dan 

penuh keringatan mulai menggigil. Tak ada pepohonan 

atau semak belukar untuk berlindung dari hawa dingin. 

Hantu Jatilandak melangkah mendekati sebuah batu 

besar. Dalam gelap dia melihat ada sedikit cegukan pada 

batu itu. Mungkin dia bisa berlindung di cegukan tersebut. 

Hantu Jatilandak hampiri batu besar itu lalu sandarkanpunggungnya.

 "Apa yang harus kulakukan di tempat ini? Burung

'gagak hitam itu lenyap entah kemana. Petunjuk apa yang

 sebenarnya hendak diberikan binatang itu. Apa aku

 harus terus berada di sini, menunggu sampai pagi?"

 Hantu Jatilandak rangkapkan dua tangan di depan dada

 menahan dingin yang amat sangat. Sambil berpikir-pikir

 Hantu Jatilandak ulurkan kepalanya sedikit, memandang

 berkeliling. Dia dapati ternyata di samping kiri ada sebuah 

batu yang dalam gelap bentuk dan besarnya menyerupai 

sosok manusia. Hantu Jatilandak ulurkan tangannya 

mengusap bagian batu yang menghadap kearahnya. Dia 

tersentak kaget tapi juga gembira karena ketika 

tangannya menyentuh batu ada hawa hangat menjalar 

masuk ke dalam tubuhnya hingga dia tidak kedinginan 

dan menggigil seperti tadi.

 Dari hanya memegang bagian belakang batu itu

 Hantu Jatilandak alihkan pegangannya ke depan. Jari-

 jarinya mengusap-usap kian kemari. Baru dia menyadari

 kalau jari-jarinya bukan seperti menyentu batu yang

 keras dan kasar, tetapi seolah mengusap sosok tubuh

manusia benaran, halus dan lembut! Pemuda bersosok

aneh itu terus mengusap bagian depan batu. Usapannya

naik ke atas. Mendadak dia jadi tersentak ketika jari-

jarinya terasa basah oleh cairan hangat.

 Hantu Jatilandak bergerak keluar dari dalam cegukan 

batu besar. Ketika dia memperhatikan batu yang tadi 

diusap-usapnya itu terkejutlah dia karena batu itu

berbentuk satu sosok patung perempuan berambut 

terurai.

 "Wahai siapa yang membuat patung begini bagus.

Halus... benar-benar menyerupai manusia hidup. Aneh!

Bagaimana patung ini bisa berada di tempat ini? Mungkin

ada seorang pemahat yang tengah mengerjakan 

pembuatan patung ini pada siang hari. Kalau malam dia 

pergi untuk istirahat. Tak bisa jadi. Patung ini benar-

benar sudah rampung. Bagus dan sangat halus 

buatannya...." Hantu Jatilandak ingat pada cairan hangat 

yang tersentuh jari-jari tangannya. Ketika dia 

memperhatikan wajah patung itu kaget Hantu Jatilandak 

bukan kepalang. Ternyata cairan hangat itu keluar dari 

dua mata patung. Seolah tetesan-tetesan air mata.

 "Patung menangis...." desis Hantu Jatilandak. 

"Bagaimana mungkin.... Apa arti semua keanehan ini. 

Bermula dari burung gagak hitam itu. Lalu sekarang 

patung ini...." Hantu Jatilandak pegang wajah patung itu 

dengan dua tangannya. "Benar-benar cantik..." katanya. 

Lalu anehnya tetesan air mata semakin banyak keluar 

dari sepasang mata patung. "Aku harus menunggu sampai pagi! Kalau patung ini memang sedang dikerjakan 

seseorang, besok pasti aku akan bertemu dengan 

pemahatnya. Kalau tidak, mungkin aku akan menemukan

keanehan lain atau satu petunjuk...."

 Baru saja Hantu Jatilandak selesai berucap tiba-tiba

entah dari mana datangnya, seolah dari kejauhan 

bergema satu suara halus. Suara perempuan.

 "Wahai anak manusia, kau mengadakan perjalanan

siang malam sejauh ini. Di matamu yang kuning terpancar 

satu ganjalan hati yang selama ini membayangimu 

kemana kau pergi. Hal apakah yang menjadi onak

dan duri dalam hati sanubarimu?"

 "Siapa yang barusan bicara?!" kata Hantu Jatilandak 

setengah berseru. Dia memandang berkeliling

menembus kegelapan. Lalu pandangannya tertuju

kembali pada patung perempuan cantik di hadapannya. 

Diperhatikannya mulut patung. Tak ada perubahan, apa 

lagi bergerak. Tengkuk Hantu Jatilandak terasa merinding.

 "Wahai anak malang. Kau tak bersedia menjawab.

Tak jadi apa...."

 "Tunggu dulu!" kata Hantu Jatilandak. "Dengan siapa 

aku bicara? Siapa yang bicara dengan diriku! Bagaimana 

aku bisa bicara dengan seseorang yang tak bisa kulihat!"

 "Anak malang, kau bicara dengan hatinuranimu

sendiri. Selama kau tidak mau berterus terang dengan

dirimu sendiri maka ganjalan hidup akan tetap men-

dekam dalam dirimu...."

 "Wahai, baik... aku bicara. Aku anak manusia yang

tidak tahu siapa ayah dan siapa ibuku! Bertahun-tahun

aku coba memecahkan teka-teki, mencari tahu siapa

mereka adanya dan dimana mereka berada. Tapi sia-sia

belaka...."

 "Anak malang, kau harus segera meninggalkan

tempat ini..." kata suara di kejauhan. Hantu Jatilandak

perhatikan mulut patung. Ternyata memang tidak 

bergerak.

 "Tidak, aku akan menunggu sampai pagi. Aku ingin

melihat kecantikan dan kemulusan patung ini di bawah

sapuan sinar matahari..." 

 "Wahai anak malang..." 

 "Kau terus-terusan menyebutku anak malang. Apakah 

kau mengetahui seluk beluk rahasia diriku?" Hantu

Jatilandak bertanya. 

 "Tak akan kujawab pertanyaanmu wahai anak malang. 

Karena jawabnya ada dalam dirimu sendiri. Satu

hal aku minta padamu, jangan bellama-lama berada di

tempat ini. Sesuatu tidak terduga bisa saja terjadi. 

Sekarang juga tinggalkan tempat ini. Pergilah ke Negeri

Latanahtembikar. Temui Kepala Negeri yang bernamaLatrubus. Orang ini dulunya bernama Lahambalang.

Dialah ayahmu. Jika dia tidak mengakui dirimu sebagai

puteranya karena ragu tidak percaya, temuilah seorang

nenek dukun beranak bernama Luhumuntu di Negeri

Latanahsilam. Dialah satu-satunya saksi yang mengetahui 

siapa dirimu. Bawa perempuan tua ke hadapan Kepala 

Negeri Latanahtembikar agar lenyap segala ke-raguan.,,."

 Hantu Jatilandak serasa tidak percaya mendengar

 ucapan orang yang tak kelihatan itu. Dia memandang

 berkeliling lalu mendongak ke langit. "Wahai, sungguh

 ini satu berita yang mengejutkan. Hatiku gembira luar

 biasa. Namun...."

 "Jangan membuat keraguan dalam dirimu sendiri

 wahai anak malang. Pergilah segera. Semoga Dewa

 memberkatimu...."

 Hantu Jatilandak menyeringai mendengar ucapan

 terakhir itu. Dia memandang ke arah kegelapan.

 "Wajahmu menandakan ada yang tidak berkenan di

 hatimu. Kau mengalihkan muka ke jurusan lain pertanda

 ada kekecewaan dalam dirimu. Wahai, jelaskan padaku

 sebelum kau pergi. Gerangan apa yang kau rasakan saat

 ini?"'

 "Kesengsaraan hidup yang aku alami saat ini justru

 karena kutuk Para Dewa dan Para Peri. Apakah mungkin

 aku mengharapkan berkah dari para Dewa?"

 "Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu karena

 jawabnya ada dalam dirimu sendiri. Sekarang pergilah

 wahai anak malang..., Waktumu hampir habis...."

 "Aku ingin menolong seorang sahabat. Dia juga

 tidak mengetahui siapa dan dimana ayah bundanya.

 Namanya Luhcinta. Apakah kau bisa menolong memberi

 petunjuk?"

 "Menolong orang lain adalah sangat baik, apa lagi

dilakukan dengan hati bersih. Tetapi jika hal itu berada di 

luar jangkauan kita mengapa harus mempersulit diri 

sementara diri sendiri diselubungi berbagai kesulitan?

Berkah para Dewa juga akan turun pada diri sahabatmu

itu. Dia kelak akan mengetahui siapa ibu dan ayahnya.

Wahai jangan berada lebih lama di tempat ini. Pergilah....

Aku melihat tanda-tanda kurang baik...."

 Hantu Jatilandak pandangi patung batu di hadapannya. 

Suara itu memang datang dari kejauhan dan mulut

patung sejak tadi diperhatikannya sedikitpun tidak 

bergerak. Tapi ada rasa percaya dalam diri pemuda ini

bahwa yang barusan bicara padanya adalah patung

perempuan itu. "Aku akan menguji..." kata Hantu 

Jatilandak dalam hati. Lalu dengan hati-hati dia tempelkan

pipinya yang berduri ke pipi patung perempuan itu seraya

berbisik"Patung batu, kau bukan saja cantik tetapi juga baik.

Aku tidak menganggapmu patung. Bagiku kau adalah

manusia hidup. Jika saja aku memang pernah punya ibu,

aku ingin ibuku secantik dan sebaik dirimu. Aku pergi

sekarang. Selamat tinggal. Jika ada kesempatan aku

pasti akan menemuimu lagi di tempat ini...."

 Sekonyong-konyong ada detak aneh di bagian

dada patung. Lalu dari dua mata patung itu mengalir

deras tetesan air mata. Sepasang mata Hantu Jatilandak 

membesar "Berarti... wahai! Berarti dia mendengar, 

paling tidak patung ini mengerti apa yang aku ucapkan. 

Aku yakin dia juga tadi yang bicara secara aneh 

padaku...."

 Baru saja Hantu Jatilandak selesai membatin tiba-tiba 

dalam gelapnya malam terdengar dua suara tawa

bergelak. Satu suara tawa lelaki, satunya lagi suara tawa

perempuan.

 "Manusia buruk rupa! Tidak bisa bercinta dengan

manusia, melampiaskan nafsu berpeluk-pelukan de-

ngan patung batu! Ha... ha... ha!"


EMPAT


KITA tinggalkan sementara Hantu Jatilandak dan 

patung menangis di bukit berbatu-batu itu. Kita ikuti dulu 

perjalanan Pendekar 212 Wiro Sableng dan dua temannya 

yaitu si bocah konyol Naga Kuning dan kakek bau pesing 

Si Setan Ngompol.

 Pemilik perahu bertubuh gemuk buntak itu lambaikan 

tangannya pada tiga orang yang berada di tepi sungai. 

"Aku tahu kalian hendak ke Tanahsilam. Perjalanan cukup 

jauh dari sini. Jika ada perahu mengapa mau berlelah-

lelah berjalan kaki? Dengan perahu kalian bisa sampai 

lebih cepat!"

 "Bagaimana kerbau buntak itu tahu kita hendak ke

Latanahsilam," tanya Wiro pada dua temannya, Naga

Kuning dan Si Setan Ngompol.

 Di atas perahu si gemuk kembali berseru. "Aku

pernah melihat kalian bertiga di Negeri Latanahsilam.

Bukankah kalian orang-orang gagah yang kabarnya 

datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang?

Wahai, jika kalian mau naik perahuku biar tidak 

dibayarpun aku mau! Aku merasa bangga bisa membawa

orang-orang hebat seperti kalian...."

 "Kalau tidak bayar memang lumayan juga!" kata

Naga Kuning.

 "Dengan naik perahu bisa mengurangi kencingku.

Berarti menghemat air yang ada dalam tubuhku!" kata

Si Setan Ngompol sambil senyum-senyum. Lalu bersama 

Naga Kuning dia mendahului naik ke atas perahu.

 Wiro masih tegak di tepi sungai. Memperhatikan

pemilik perahu itu sejenak.

 "Hai! Kau memilih jalan kaki atau bagaimana?!" seru

Naga Kuning.

 Akhirnya Pendekar 212 menyusul masuk ke dalam

perahu. Sepanjang perjalanan pemilik perahu yang

mengaku bernama Labuntalan itu tidak henti-hentinya

berceloteh. Menurutnya orang senegeri Latanahsilam

mulai mengenal Wiro dan kawan-kawannya sejak tubuh

mereka masih merupakan sosok-sosok katai.

 "Orang di Latanahsilam mulai mengenal kalian bertiga 

setelah terjadi Bakucarok, perkelahian hidup mati antara 

Lahopeng dengan Lakasipodi tanah lapang," kataLabuntalan pula. (Baca Serial Wiro Sableng berjudul

"Bola-Bola Iblis").

 Sambil bercerita pemilik perahu itu terus saja 

mendayung. Diam-diam Wiro memperhatikan. Sekali 

dayungnya dikayuh perahu melesat sampai beberapa 

tombak ke depan. Padahal saat itu mereka melawan arus.

Murid Eyang Sinto Gendeng mempunyai kesan bahwa

Labuntalan mengayuh perahunya bukan cuma mengan-

dalkan tenaga kasar dan tenaga luar. "Agaknya si gendut

satu ini memiliki tenaga dalam tidak rendah. Aku me-

naruh curiga jangan-jangan dia bukan tukang penyewa

perahu biasa. Setahuku orang di Negeri Latanahsilam

pelit-pelit. Adalah aneh kalau dia mau-mauan mengantar

sejauh ini ke Latanahsilam tidak usah dibayar. Aku harus

mengetahui siapa dia sebenarnya. Aku akan menguji...."

 Diam-diam Pendekar 212 kerahkan tenaga dalam

lalu dialirkan ke sebelah bawah tubuhnya. Perahu yang

sedang meluncur laju itu perlahan-lahan bergerak turun

ke bawah seolah beban yang dibawanya bertambah

berat ratusan kati. Sewaktu air sungai hampir mencapai

pinggiran perahu baru Naga Kuning dan Si Setan Ngompol 

menyadari dan sama terkejut. Namun Wiro cepat

memberi tanda. Dia terus memperhatikan si gemuk yang

mendayung perahu. Walau perahu itu menjadi sangat

berat dan daya luncurnya tertahan namun Labuntalan

terus saja mendayung seolah tidak terjadi apa-apa. Kini

kecurigaan Pendekar 212 jadi bertambah besar. Saat itu

di depan mereka tampak meluncur perlahan sebuah

perahu, didayung oleh seorang perempuan. Karena

orang ini membelakangi maka wajahnya tidak kelihatan.

 "Labuntalan, harap kau suka menepikan perahu,"

kata Wiro.

 "Wahai, ada apa? Kita masih jauh dari tujuan!" ujar

pemilik perahu seraya mengayuh lebih kuat hingga pe-

rahunya meluncur mendekati perahu di sebelah depan.

 "Kami ada keperluan sebentar. Kakek temanku ini

kepingin kencing! Kecuali kalau kau membolehkan dia

beser di atas perahumu!" kata Naga Kuning pula.

 Pada saat perahu yang ditumpangi Wiro berjajar

dengan perahu di depannya, perempuan yang mendayung 

palingkan kepala. Ternyata dia adalah seorang perempuan 

tua berdandan mencorong. Selagi Wiro dan Naga Kuning 

rasa-rasa pernah melihat nenek itu, Si Setan Ngompol 

sudah lebih dulu berseru seraya lambaikan tangan.

 "Luhlampiri!"

 Si nenek di atas perahu balas melambaikan tangan

disertai lontaran senyum yang membuat Si Setan Ngompol 

jadi belingsatan lupa diri. Langsung saja dia berdiri

di atas perahu hingga perahu yang masih berat olehtenaga dalam Wiro itu bergoyang kian kemari. Air sungai

masuk ke dalam perahu. Si kakek seolah tidak acuh,

terus saja lambai-lambaikan tangannya kegirangan. 

Sebenarnya jika Setan Ngompol mengerahkan tenaga 

dalam dan ilmu meringankan tubuh maka sekalipun dia

berjingkrak-jingkrak, perahu itu tidak akan bergoyang

sedikitpun.

 "Kek, kau mabok atau kesurupan melihat nenek

mencorong itu!" berkata Naga Kuning.

 "Kurasa mabok belum, kesurupan juga tidak. Tapi

kegatalan!" menjawab Pendekar 212.

 Si Setan Ngompol tidak perdulikan ejekan dua 

sahabatnya itu. Sambil terus melambaikan tangan dan

senyum-senyum dia berkata. "Luhlampiri, nenek cantik

bertubuh montok! Kucari-cari belum sempat bertemu.

Tahu-tahu kini kau muncul sendiri seolah diantar malaikat! 

Bukan main.... Kau tambah cantik saja. Kulitmu

tambah putih, seperti berkilau!" Si kakek leletkan lidahnya 

sambil geleng-geleng kepala. Matanya yang jereng

berputar-putar.

 "Wahai kakek gagah dari negeri seribu dua ratus

tahun mendatang! Apa kau tega membiarkan aku 

kedinginan seorang diri dalam perahu ini?"

 "Wahai! Mana tahan aku mendengar ucapanmu

sahabatku cantik!" Si Setan Ngompol kedipkan matanya

lalu berpaling pada Wiro dan Naga Kuning. "Rejeki besar

ini tidak boleh dilewatkan. Kawan-kawan aku terpaksa

meninggalkan kalian. Aku mau pindah perahu! 

Berdempet-dempet dengan kalian di perahu ini gerah 

rasanya! Dari pada semaput lebih baik aku pindah ke 

perahu nenek cantik itu!"

 "Kakek sialan..." memaki Naga Kuning.

 Si Setan Ngompol siap hendak melompat. Tapi

celananya digaet jari-jari Naga Kuning hingga merosot

ke bawah. Kalau tidak lekas kakek ini pegangi celananya,

auratnya akan tersingkap jelas depan belakang.

 Di seberang sana si nenek tertawa cekikikan melihat

kejadian itu.

 "Anak kurang ajar! Kau mau kutendang?!" sentak Si

Setan Ngompol sambil menahan kencingnya.

 "Kek, apa kau lupa ucapan Lakasipo?!" Wiro cepat

menegur.

 "Weh! Ucapannya yang mana?!" tanya si kakek.

 "Lakasipo pernah menerangkan. Nenek itu pernah

kawin dengan... entah sepuluh entah selusin laki-laki.

Semua suaminya menemui ajal! Kau mau ikut-ikutan

mati?!"

 "Anak tolol! Memangnya aku mau kawin sama nenek 

itu?!" ujar Setan Ngompol seraya pegangi bagianbawah perutnya.

 "Kawin betulan memang belum tentu. Tapi kalau

ketelanjuran kawin-kawinan berarti kau memang sengaja 

mencari penyakit...."

 "Kalian berdua masih muda-muda tahu apa. Penyakit 

itu ada dua macam tahu! Pertama penyakit yang

benar-benar sakit. Ke dua penyakit sakit-sakit enak. Nah

aku mau mendapatkan penyakit yang sakit-sakit enak

itu! Aku tahu kalian berdua ngiri! Jangan khawatir dua

sobatku. Nenek itu tak mungkin hamil! Ha... ha... ha!"

Setan Ngompol tertawa bergelak. Lalu tanpa tunggu

lebih lama dia melompat. Tubuhnya melayang di udara,

masuk ke dalam perahu yang ditumpangi si nenek.

 "Tua bangka edan! Namanya saja Luhlampiri. Masih

saudara dengan Nenek Lampir tukang cekik. Kalau sudah 

dicekik lehernya atas bawah baru kakek geblek itu

tahu rasa!" Naga Kuning memaki panjang pendek.

 Begitu masuk di dalam perahu, Si Setan Ngompol

segera mengambil pendayung dari tangan Luhlampiri.

Keduanya bicara sambil tertawa-tawa seolah sudah

akrab dan kenal lama.

 Tiba-tiba perahu itu berbalik berputar arah.

 "Eh, mau kemana mereka?!" ujar Wiro keheranan.

 "Mereka agaknya tak mau searah dengan kita..."

ucap Naga Kuning.

 Ketika berpapasan Si Setan Ngompol tempelkan

dua jari tangan kanannya di bibir lalu dilayangkan ke

depan. "Silahkan meneruskan perjalanan. Tunggu aku

di Latanahsilam. Aku mau mencari penyakit enak-enak!

Ha... ha... ha!"

 "Benar-benar kakek geblek!" sungut Wiro.

 "Biarkan saja! Kalau belum kena batunya dia belum

kapok! Biar kita meneruskan perjalanan ke 

Latanahsilam..." Wiro berpaling ke haluan. "Astaga! Si 

gendut itu lenyap!"

 Naga Kuning kaget besar. Dia memutar kepala.

Pemilik perahu bernama Labuntalan yang tadi duduk di

sebelah belakang mereka tak ada lagi di atas perahu.

Pendayung juga ikut lenyap. Sementara itu perahu 

perlahan-lahan miring ke samping. Air masuk dari lamping

sebelah kanan.

 "Dinding perahu berlobang besar!" ujar Pendekar

212 sambil meraba dengan kaki kanannya.

 "Pasti ini pekerjaan si gendut celaka itu!"

 "Aku memang sudah curiga sebelumnya! Tak bisa

kuduga siapa dia sebenarnya! Naga Kuning, kita harus

segera tinggalkan perahu ini sebelum karam. Sungai ini

cukup dalam!"

 Wiro dan Naga Kuning kerahkan ilmu meringankantubuh. Pada saat perahu itu amblas karam ke dalam

sungai ke duanya telah melesat di udara, melompat ke

tebing sungai.

 "Naga Kuning, dengar. Kalau si gendut pemilik perahu 

itu musuh dalam selimut, aku khawatir jangan-jangan 

nenek berdandan mencorong itu sama belangnya! Berarti 

sahabat kita Si Setan Ngompol berada dalam bahaya!"

 "Bahaya apa?!" sungut Naga Kuning. "Saat ini jangan-

jangan dia sudah mendapatkan penyakit enak-enak itu! 

Aku tahu betul kelakuan si kakek itu! Pasti sudah

dilakukannya-di atas perahu!"

 "Aku tidak perduli apa yang dilakukannya! Yang aku

khawatirkan nyawanya saat ini tengah terancam! Kita

harus mengejarnya!"

 "Kita tak punya perahu!"

 "Kita mengejar dengan berlari sepanjang tepian

sungai!" kata Wiro lalu tidak perdulikan Naga Kuning dia

segera lari ke arah lenyapnya Si Setan Ngompol dan

Luhlampiri. Naga Kuning banting-banting kaki kesal.

Sebelumnya dia sudah punya rencana begitu sampai di

Latanahsilam dia akan segera mencari gadis cantik

bernama Luhkimkim yang selalu dikenangnya itu.


Lima


ATAS perahu pembicaraan antara Si Setan

Ngompol dan si nenek bernama Luhlampiri berlangsung 

meriah. Sesekali diseling gelak tawa. Sikap nenek yang 

genit membuat Setan Ngompol jadi berani. Tangannya 

merangkul kian kemari. Hidungnya menciumi wajah si 

nenek yang berdandan mencorong hingga muka Setan 

Ngompol berselomotan bedak dan gincu. Ketika Setan 

Ngompol hendak menyelinapkan tangannya ke balik kain 

si nenek, Luhlampiri tertawa cekikikan dan menggeser 

duduknya menjauhi si kakek tapi ke dua kakinya sengaja 

diangkat demikian rupa hingga tersingkap mulai dari lutut 

ke atas. Walau sudah tua ternyata sepasang paha si 

nenek masih kencang dan putih mulus. Melihat sikap si 

nenek yang jelas-jelas mengundang hampir saja Setan 

Ngompol hendak melompati nenek itu.

 "Di hutan di tepi sungai sana, ada satu pondokan.

Aku sudah lama tidak ke sana. Tempatnya bersih. 

Agaknya sekali ini bersamamu aku ingin sekali menginap

paling tidak tujuh hari tujuh malam! Bagaimana 

pendapatmu wahai kakek gagah?" Luhlampiri kedipkan

matanya dan lontarkan senyum genit.

 Sepasang mata jereng Setan Ngompol membuka

lebar dan berputar-putar. Nafasnya belum apa-apa sudah 

memburu dan darahnya menjadi panas. "Jangankan

tujuh hari tujuh malam! Tujuh ratus hari tujuh ratus

malampun aku mau mendekam di pondok itu 

bersamamu!"

 "Hik... hik... hik!" Luhlampiri tertawa cekikikan. "Sejak 

pertama kali aku melihatmu di Tanahsilam dulu, aku

sudah menduga kaulah lelaki idaman menjadi kawan

hidupku untuk selama-lamanya! Ternyata dugaanku tidak 

meleset!"

 "Dan kau adalah nenek cantik montok. Kau akan

kujadikan panutan hati, ganjalan kekasih hidupku siang

dan malam...."

 "Hik... hik.... Kau kakek nakal! Masakan aku akan

kau jadikan ganjalan? Memangnya mau diganjal 

bagaimana?!" tanya Luhlampiri lalu digigitnya telinga kiri 

Si Setan Ngompol yang lebar hingga kakek ini menjerit

kesakitan dan balas menggigit dada si nenek. Ke duanya

lalu tertawa ha-ha-hi-hi.

 "Kakek gagah kekasihku, lekas dayung dan bawaperahu ke tepi sana...."

 Setan Ngompol segera mendayung perahu menuju

tepi sungai. Di satu tempat begitu perahu berhenti 

sepasang kakek nenek ini segera naik ke darat. Tak jauh

berjalan memasuki rimba belantara sampailah mereka

ke sebuah pondok kayu. Dari keadaan kayu serta 

bersihnya pondok agaknya bangunan itu belum lama 

didirikan.

 "Aku malu mengatakan," kata Luhlampiri sambil

mendorong pintu pondok. "Sebenarnya pondok ini sudah

lama kusiapkan, sengaja untuk kita berdua. Begitu lama

aku menunggu kau, baru hari ini bertemu dan 

membawamu ke sini. Aku benar-benar tersiksa dalam 

kerinduan...."

 "Aku tidak tahu begitu besar perhatianmu terhadapku, 

Luhlampiri..." kata Setan Ngompol seraya peluk nenek itu 

penuh gairah.

 Tanpa menutup pintu si nenek langsung saja 

melangkah ke satu ranjang kayu di sudut kanan pondok.

Dia tegak di samping ranjang, berbalik dan memandang

pada Setan Ngompol.

 "Tidakkah kau ingin membuka pakaianmu wahai

kakek gagah kekasihku?"

 "Aku...." ditantang begitu rupa Setan Ngompol jadi

kikuk dan terkencing. "Aku justru ingin kau membuka

pakaian lebih dulu...."

 "Kau orang tua nakal! Maunya untung dan senang

sendiri!" kata Luhlampiri. "Tapi tak apa. Kau kekasihku

dan aku suka padamu. Demimu apapun akan kulakukan!" 

Lalu dengan cepat si nenek buka bajunya yang terbuat 

dari kulit kayu kering dan lembut itu.

 Si Setan Ngompol jadi panas dingin. Matanya 

dipentang tak berkesip. Sebentar lagi dia akan 

menyaksikan satu tubuh putih montok yang selama ini 

diimpi-impikannya. Tapi apa yang terjadi kemudian justru 

tidak seperti yang diduga Si kakek!

 Begitu pakaian si nenek terbuka, ternyata di bawah

pakaian itu dia masih mengenakan pakaian lain berwarna 

warni. Tak ada kulit putih dan dada montok yang

terlihat. Malah satu pemandangan lain membuat Setan

Ngompol kaget tercekat. Setelah membuka baju luarnya

kelihatanlah kini, ternyata si nenek memiliki dua tangan

palsu yang terbuat dari besi yang sudah karatan mulai

dari bahu sampai ke ujung-ujung jari!

 "Wahai kekasihku, kulihat mukamu berubah! Ada

apakah?!" Luhlampiri bertanya sambil tersenyum. "Ingin

sekali aku merangkul tubuhmu dengan dua tanganku

ini!" Si nenek angkat ke dua tangannya. Jari-jarinya

runcing tajam seperti mata pisau. Setan Ngompol cepatmundur dan terkencing! Dia memperhatikan sepasang

kaki si nenek. Baru disadarinya kalau kaki itu pendek

sebelah! Berdebar dada Setan Ngompol.

 "Aneh! Waktu di atas perahu kau terus menerus

memelukku. Tanganmu menggerayang kian kemari. Se-

karang kau seperti ketakutan. Wajahmu pucat. Malah

kau mundur menjauhiku! Wahai kekasihku kakek gagah.

Hik... hik... hik! Mengapa kau berubah kaku...?!"

 "Luhlampiri.... Aku tidak menyangka.... Apa yang

terjadi dengan ke dua tanganmu?!" tanya Setan Ngompol.

 "Kau tidak menyangka...? Wahai! Coba kau perhatikan 

ini! Kau pasti lebih tidak menyangka!"

 Tangan besi sebelah kiri si nenek bergerak ke 

mukanya.

 "Breeettt!"

 Satu topeng tipis terbuat dari daun kering robek dan

tanggal dari wajah si nenek. Kini kelihatanlah wajahnya

yang asli. Satu wajah perempuan tua berkumis halus

dan ada anting-anting besar mencantel di kedua 

telinganya. Kejut Setan Ngompol bukan alang kepalang. 

Mata jerengnya mendelik besar. Lututnya goyah dan 

mukanya sepucat kain kafan! Kencingnya mancur 

membasahi lantai pondok.

 "Nenek Pembedol Usus" mulut Si Setan Ngompol

bergetar mengucap nama orang yang tegak di depannya

sambil bertolak pinggang dan tertawa cekikikan. 

Tenggorokannya seolah menenggak batu panas!

 "Kau memang kekasihku tercinta! Buktinya kau masih 

ingat siapa diriku! Hik... hik... hik!"

 Si nenek yang tadinya menyaru sebagai Luhlampiri

ternyata adalah anak buah Hantu Muka Dua yang dikenal

dengan julukan Nenek Pembedol Usus.

 "Saat ini, apakah kau masih ingin melihat tubuhku

wahai makhluk berasal dari negeri seribu dua ratus tahun

mendatang?"

 Setan Ngompol tak menjawab. Dia hanya tegak

dengan mata jereng melotot. Kencingnya mengucur tak

berkeputusan.

 "Hik... hik! Untuk orang yang akan segera mampus

biar aku memberikan satu hadiah besar. Semoga kau

bisa menemui ajal sambil ketawa! Hik... hik... hik!" Si

nenek lalu robek dada pakaiannya. Dadanya yang besar

tapi peot memberojol keluar bergundal-gundil! "Buka

matamu lebar-lebar! Puaskan hatimu melihat tubuhku!

Hik... hik... hik!"

 Si nenek lalu berhenti tertawa. Mukanya berubah

garang.

 "Setan Ngompol! Aku akan membuat bukan cuma

air kencing yang mengucur dari tubuhmu! Tapi jugadarahmu! Ingat peristiwa di sumur melintang beberapa

waktu lalu? Waktu terjadi pertempuran kau mengencingi

dua tanganku hingga tidak bisa kembali ke asalnya! Hik...

hik! Dua tanganku boleh musnah! Tapi kemampuanku

membedol usus manusia tidak pernah lenyap walau kini

aku hanya memiliki sepasang tangan palsu! Hik... hik!

Apa kau sudah puas melihat dadaku?!" (mengenai 

peristiwa perkelahian Setan Ngompol dengan Nenek 

Pembedol Usus silahkan baca serial Wiro Sableng berjudul

"Hantu Muka Dua").

 Kalau tadi Si Setan Ngompol memang kecut karena

kaget, kini keberaniannya muncul, walau otak kotor masih 

melekat di kepalanya. "Perempuan tua, siapapun kau

adanya! Peristiwa lama mengapa harus diingat! Semua

terjadi karena kau mengambil langkah keliru hingga

sempat diperalat orang lain...."

 "Tua bangka keparat! Siapa yang memperalat diriku?!" 

sentak Nenek Pembedol Usus.

 "Jangan mencari dalih! Bukankah kau diperalat oleh

Hantu Muka Dua? Kalau saat ini kau mau insaf bukankah

sebaiknya kita melanjutkan kemesraan sejak di perahu

tadi? Aku tidak menampik kalau kau suka...."

 Nenek Pembedol Usus meludah ke tanah. Tua

bangka berotak kotor! Baik, aku setuju kita melanjutkan

kemesraan. Sekarang biar kau rasakan bagaimana 

sedapnya kalau auratmu kuusap dengan tangan besi ini!"

 Didahului suara tawa mengikik Nenek Pembedol

Usus melompat ke depan. "Wuttt!" Tangan besinya 

menyambar ke bawah perut si kakek. Setan Ngompol 

berseru kaget.

 "Breeett!"

 Celana Si Setan Ngompol yakni celana baru hasil

rampasan dari Hantu Muka Dua (baca serial Wiro Sableng 

berjudul "Rahasia Kincir Hantu") robek besar di bagian 

bawah pusarnya. Walau air kencingnya muncrat

kemana-mana namun si kakek masih sempat melompat

selamatkan diri.

 "Nenek tolol! Jelek-jelek begini tidak semua

perempuan aku suka! Kuberi kesempatan untuk bermesra

kau malah minta disuguhkan racun! Kalau kuhancurkan

dua payudaramu yang peot itu apa kau kira bisa diganti

dengan payudara palsu seperti sepasang tanganmu itu?!

Ha... ha... ha!"

 Mendengar ejekan Setan Ngompol meledaklah

amarah si nenek. Didahului teriakan keras dia melompat

kirimkan serangan. Si kakek sambut gebrakan lawan

dengan jurus Setan Ngompol Mengencingi Langit. Satu

gelombang angin menebar hawa lembab dan bau pesing

menghantam si nenek. Membuat tubuh Nenek PembedolUsus terdorong dan tangan kanannya yang dipakai

menyerang terbanting ke kanan. Namun hebatnya dengan 

membuat gerakan seperti bersalto, si nenek kembali 

lancarkan serangan. Kini tangan kirinya yang menyambar. 

Lalu sambil miringkan tubuh kaki kanannya membeset ke 

samping.

 Dengan mudah Setan Ngompol elakkan serangan

tangan besi yang menyambar hendak menjebol perutnya. 

Namun dia tidak mampu meloloskan diri dari tendangan 

kaki si nenek.

 "Buukkk!"

 Setan Ngompol terpental begitu kaki lawan mendarat 

di pinggul kirinya. Dalam keadaan termiring-miring

dan menahan sakit lawan kembali menggempur. Dua

tangan besi si nenek menyambar ganas. Sepuluh jarinya

yang menyerupai pisau berkarat berkelebat dan selalu

mengarah ke perut Setan Ngompol. Untuk beberapa

jurus si nenek berhasil mendesak Setan Ngompol hingga

lawannya ini terkencing-kencing habis-habisan.

 Dalam keadaan celana basah kuyup Setan ngompol

berusaha keluar dari desakan lawan. Dia mainkan jurus-

jurus ilmu silat langka yang dimilikinya dan selama ini

jarang dikeluarkan. Setiap serangan mengandalkan tenaga 

dalam dan ilmu meringankan tubuh hiqgga sosoknya 

berkelebat seolah tidak menginjak tanah. Selain itu

setiap pukulan yang dilancarkannya selalu menebar

hawa lembab pengap dan bau pesing.

 Sebelum dirinya terdesak, Nenek Pembedol Usus

segera maklum, satu-satunya cara menghadapi lawan

ialah dia harus bergerak cepat dan mengatur pernafasan

demikian rupa hingga tidak menghirup hawa pengap dan

bau pesing itu. Dengan menjerit garang si nenek melesat

ke udara. Terjadilah perkelahian hebat antara dua tua

renta itu, yang boleh dikatakan jarang kejadian dan

jarang disaksikan orang. Mereka berkelahi serang 

menyerang, gempur menggempur dengan tubuh 

berkelebat di udara, hanya sesekali menjejak tanah untuk 

kemudian melancarkan serangan lagi.

 Beberapa kali sudah lengan atau kaki mereka saling

beradu. Setiap lengannya bentrokan dengan lengan besi

si nenek, Setan Ngompol merasa seolah tulang 

tangannya hancur luluh. Mau tak mau dia terpaksa 

menghindarkan bentrokan seperti itu. Sebaliknya setiap 

dua kaki mereka saling beradu, si neneklah yang 

menderita kesakitan. Akibatnya setiap dia menjejak tanah 

gerakannya selalu goyah. Satu kali tendangan Si Setan 

Ngompol mendarat di tanah. Untuk sesaat lamanya dia 

tak bisa bergerak. Tulang pinggulnya sebelah kiri ternyata 

remuk.Dari mulutnya keluar suara mengerang.

 "Setan Ngompol.... Aku... sebenarnya hanya

menguji hatimu. Aku ingin tahu sampai di mana rasa

suka yang kau ucapkan. Ternyata kau tega menjatuhkan

tangan keras..." Sepasang mata si nenek tampak berkaca-

kaca. "Aku pasrah.... Aku ingin kau membunuhku saat ini 

juga. Tapi sebelum aku menemui ajal, ingin kutunjukkan 

padamu. Sebenarnya aku sejak lama diam-diam 

mencintaimu...."

 Tentu saja Si Setan Ngompol jadi melongo mendengar 

ucapan si nenek. "Kau... kau mencintaiku sejak lama?"

 "Dengan sepenuh hati wahai kekasihku. Penuhi

permintaanku. Bunuhlah diriku. Aku akan merasa 

tenteram di alam roh jika tanganmu sendiri yang 

merenggut nyawaku...."

 "Aku.... Tak mungkin aku membunuhmu!" kata Setan 

Ngompol pula seraya melangkah mendekat.

 "Bunuh aku dan peluk diriku sebelum ajalku 

melayang...."

 "Kalau kau memang mencintai diriku, bagaimana

mungkin aku membunuhmu! Mari kulihat cidera di 

pinggulmu. Aku menyesal menjatuhkan tangan keras. Aku

akan mengobatimu...."

 "Kau berjanji akan mengobatiku wahai kakek gagah

kekasihku?"

 "Aku bersumpah!"

 "Kalau begitu malam nanti, maukah kau jadikan

malam pengantin bagi kita berdua?" Sambil berkata

begitu si nenek kedap-kedipkan matanya dan layangkan

senyum manja. Tangan kirinya bergerak membuka dada

pakaiannya yang robek.

 Setan Ngompol mengangguk berulang kali. "Aku

akan mendukungmu ke dalam pondok..." Sesaat matanya 

terkesima memandangi dada si nenek.

 Si nenek tertawa lepas. "Aku bangga dan bahagia

punya kekasih sepertimu. Mendekatlah. Peluk aku 

sebelum kau dukung," pintanya. Matanya kembali tampak

berkaca-kaca.

 Penuh haru Setan Ngompol membungkuk, ulurkan

dua tangannya untuk merangkul si nenek.

 "Peluk diriku kekasihku. Pejamkan matamu. Ingin

sekali aku mencium wajahmu...." kata si nenek lirih.

 "Jangan wajahku. Aku ingin kau mencium bibirku!"

kata Si Setan Ngompol masih bisa menawar dalam

keadaan seperti itu.

 Lalu kakek geblek ini pejamkan matanya sambil

monyongkan bibirnya. Perlahan-lahan dia turunkan 

kepalanya. Dekatkan bibirnya ke bibir si nenek yang juga

ikut-ikutan runcingkan mulutnya. Sesaat lagi bibir-bibidua tua bangka itu akan saling berkecupan, tiba-tiba

tangan kanan si nenek yang terbuat dari besi berkarat

melesat ke atas! Tepat ke pertengah perut Si Setan

Ngompol!


ENAM


SEKEJAPAN lagi perut Setan Ngompol akan jebol dan 

ususnya dibedol si nenek, tiba-tiba satu sinar putih 

berkiblat disertai hamparan hawa panas. Dua pekikan 

keras tenggelam dalam deru dahsyat seperti ribuan tawon 

mengamuk.

 Sosok Si Setan Ngompol terpental dan terguling-

guling. Bahu bajunya hangus mengepulkan asap. Tertatih-

tatih kakek ini bangkit terduduk di tanah. Mukanya

yang keriput tampak pucat pasi sedang di sebelah bawah

kencingnya mancur habis-habisan! Dia memandang

kian kemari. Celangak-celinguk. Rasa kejutnya kini 

berganti keheranan. Lucunya sampai saat itu bibirnya 

yang tadi diruncingkan karena hendak mencium Nenek 

Pembedol Usus sampai saat itu masih saja dalam keadaan

monyong.

 "Kekasihku.... Di mana kau...?" Si kakek bersuara.

Tangan kanannya diletakkan di atas mulut lalu bibirnya

diusap-usap berulang kali.

 "Tua bangka geblek! Jangan mimpi di siang bolong!

Jangan mengigau selagi matamu mendelik!"

 Setan Ngompol palingkan kepalanya. Dia merasa heran 

ketika melihat sosok Naga Kuning berada di hadapannya. 

"Eh, kau...! Apa maksud ucapanmu barusan?!"

 Wirodekati kakek itu lalu usap-usap jidatnya. "Ingat

Kek, sadar! Kau tidak kesambat tidak kesurupan. Juga

tidak mimpi! Orang yang kau sebut kekasih itu sudah jadi

bangkai gosong! Sedikit saja kami terlambat, perutmu

hampir dijebolnya. Ususmu hampir dibusainya!"

 Melihat si kakek masih bengong Naga Kuning jadi

jengkel. Sosok tanpa nyawa Nenek Pembedol Usus

diseretnya lalu diletakkannya di depan Setan Ngompol.

 Seperti si kakek, sewaktu cahaya putih berkiblat

Nenek Pembedol Usus juga terpental. Tubuhnya mencelat 

ke udara lalu jatuh terbanting ke tanah tak berkutik lagi. 

Sekujur sosoknya gosong hitam mengepulkan asap. Dua 

tangannya yang terbuat dari besi tampak merah menyala!

 "Pukulan Sinar Matahari.... Dia menemui ajal akibat

hantaman pukulan Sinar Matahari..." desis si kakek begitu 

memperhatikan tubuh gosong yang terkapar di tanah

di hadapannya.

 "Kalau sobatku ini salah memilih sudut pukulan,

kaupun akan mengalami nasib seperti itu..." kata NagaKuning pula.

 "Serrrr!" Si kakek langsung terkencing. Kesadarannya 

pulih. "Jadi kalian berdua telah menolongku. Aku

mengucapkan terima kasih..." Setan Ngompol usap

mukanya berulang kali. Sekali lagi dipandanginya sosok

hangus Nenek Pembedol Usus. "Nenek ini ternyata

memalsu diri. Menyamar menjadi Luhlampiri. Maksud-

nya hendak membalaskan dendam. Sungguh jahat! Aku

bersyukur. Luhlampiri yang asli masih hidup..." Perlahan-

lahan si kakek bangkit berdiri lalu melangkah menuju 

tepian sungai.

 "Kek! Kau mau kemana?!" berseru Naga Kuning.

 "Ke sungai mencari perahu! Aku mau ke Negeri

Latanahsilam. Sudah kukatakan Luhlampiri yang asli

masih hidup. Aku ke sana menemuinya!"

 "Tua bangka geblek! Benar-benar ngebet edan!"

Naga Kuning hendak mengejar.

 "Biarkan saja! Otaknya sedang kacau! Dinasihatipun tak 

ada gunanya!"

 Di tepi sungai dia segera menemukan perahu yang

sebelumnya ditumpanginya bersama Nenek Pembedol

Usus. Tanpa banyak cerita dia melompat masuk ke

dalam perahu. Pada saat dia membungkuk menjangkau

pendayung, dua tangan kukuh tiba-tiba mencuat dari

dalam air. Dengan cepat dua tangan ini mencekal salah

satu kaki Setan Ngompol lalu menariknya ke dalam air.

 Wiro berpaling pada Naga Kuning. "Aku mendengar

suara seperti orang mencebur ke dalam air. Kakek itu

pergi mencari perahu atau mencebur mandi!"

 Naga Kuning tak menjawab. Wiro berpikir-pikir sambil 

garuk-garuk kepala. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. Serta

merta Wiro melompat dan lari menuju tepi sungai. Naga

Kuning mengikuti dari belakang. Di tepi sungai Wiro dan

Naga Kuning hanya menemukan perahu dalam keadaan

mengapung terbalik. Si Setan Ngompol tak kelihatan

mata hidungnya. Tiba-tiba Naga Kuning berseru seraya

menunjuk ke tengah sungai.

 "Wiro! Lihat!"

 Air sungai di sebelah tengah tampak merah.

 "Darah!" ujar Wiro. "Jangan-jangan kakek itu bunuh

diri atau dibunuh orang!'?

 "Bunuh diri? Apa alasannya? Dibunuh orang, oleh

siapa?!" kata Naga Kuning pula.

 "Aku akan menyelidik!" Wiro segera hendak melompat 

terjun ke dalam sungai yang lebar dan dalam itu. Tapi 

Naga Kuning cepat menghalangi. "Urusan di dalam

air serahkan padaku! Sudah lama aku tidak menyelam!"

Seperti diketahui Naga Kuning sebenarnya adalah seorang 

kakek sakti yang berusia sekitar 120 tahun. Diamerupakan orang kepercayaan Kiai Gede Tapa 

Pamungkas, seorang penguasa dan penjaga salah satu

kawasan samudera sebelah selatan yang oleh sementara 

orang dianggap sebagai makhluk setengah manusia

setengah roh. Jika Naga Kuning sanggup mengarungi

dan menyelami laut luas, maka sungai baginya bukan

berarti apa-apa. Sekali melompat maka sosoknya lenyap

di bawah permukaan air sungai. (Mengenai asal usul

Naga Kuning harap baca serial Wiro Sableng berjudul

"Tua Gila Dari Andalas" terdiri dari 11 Episode).

 Di dalam sungai, walau air sungai kuning dan agak

keruh namun dengan kesaktian yang dimilikinya Naga

Kuning bisa melihat cukup jelas. Dua orang dilihatnya

tengah bergumul, saling mencekik dan saling menendang. 

Naga Kuning segera mengenali. Ke dua orang itu bukan 

lain adalah Si Setan Ngompol dan Labuntalan, si gendut 

pemilik perahu yang sebelumnya lenyap secara aneh.

 Dalam ilmu kesaktian sebenarnya Setan Ngompol

jauh berada di atas Labuntalan. Tetapi berkelahi di dalam

air tak biasa dilakukan si kakek. Begitu dia diseret lawan

masuk ke dasar sungai, kakek ini segera megap-megap.

Dengan mudah Labuntalan yang memang memiliki 

kepandaian berkelahi di dalam air menjadikan si kakek

bulan-bulanan jotosan dan tendangannya. Darah 

mengucur dari hidung dan mulut Si Setan Ngompol. Darah

inilah yang kemudian muncul di permukaan sungai dan

terlihat oleh Wiro serta Naga Kuning. Dalam keadaan

tak berdaya kakek ini dicekik oleh Labuntalan lalu 

dibenamkannya ke dasar sungai. Pada saat genting itulah

Naga Kuning melesat laksana seekor ikan pesut.

 Labuntalan tersentak kaget ketika tiba-tiba rambutnya 

ada yang mencengkeram. Lalu kepalanya disentakkan ke 

belakang. Lehernya seperti mau tanggal. Selagi dia masih 

diselimuti rasa kaget dan kesakitan mendadak ada 

sesuatu menyusup di selangkangannya. Satu remasan 

keras pada anggota rahasia di bawah pusarnya membuat 

orang ini membuka mulut berteriak keras. Tapi karena dia 

berada di dalam air, bukan saja suara teriakannya tidak 

terdengar, malah air sungai yang masuk ke dalam 

mulutnya. Labuntalan megap-megap menahan sakit dan 

sulit bernafas. Dari bawah perutnya kelihatan darah 

bercampur air mengapung naik ke permukaan sungai.

 Naga Kuning lepaskan jambakannya di rambut 

Labuntalan. Selagi si gendut itu menggapai-gapai sia-sia

meregang nyawa di dalam air Naga Kuning cepat 

menolong Si Setan Ngompol dan menariknya ke 

permukaan air sungai. Namun sebelum sempat di bawa ke 

tepian tiba-tiba terjadilah satu hal yang tak terduga.

 Sebuah perahu muncul di balik tikungan meluncur

cepat laksana kilat di atas permukaan sungai. Dari atas

perahu melesat sebuah benda yang ternyata adalah

segulung jala aneh berwarna biru. Jala ini dalam 

kecepatan luar biasa melibat sekujur tubuh Si Setan 

Ngom-pol yang berada dalam keadaan setengah sadar 

setengah pingsan. Kurang dari sekejapan mata perahu itu

telah berada belasan tombak di depan sana dan akhirnya

lenyap dari pemandangan. Sosok Si Setan Ngompol

yang tergulung dalam jala biru ikut melesat lenyap.

 Demikian cepatnya semua itu terjadi hingga Wiro

yang ada di tepi sungai dan Naga Kuning yang masih di

dalam air tidak sempat berbuat apa-apa.

 "Wiro! Astaga! Apa yang terjadi?!" berseru Naga

Kuning seraya berenang cepat dan melompat ke daratan.

 "Ada orang berperahu menebar jala! Menculik Setan 

Ngompol!" jawab Wiro. "Aku tak sempat mengenali siapa 

orangnya. Gerak perahu dan caranya menebar jala cepat 

luar biasa!"

 "Setan Ngompol dalam bahaya! Kita harus mengejar!" 

teriak Naga Kuning.

 Ke dua orang itu segera melakukan pengejaran

dengan berlari di sepanjang tepi sungai. Cukup lama

berlari, jangankan menyusul. Melihat perahu dan orang

yang menculik si kakek itupun mereka masih belum

berhasil.

 "Percuma, keparat penculik itu sudah lenyap entah

kemana!" kata Wiro lalu hentikan larinya.

 Naga Kuning dalam keadaan basah kuyup geleng-

gelengkan kepala. "Setan Ngompol.... Ini semua dia

sendiri yang punya gara-gara! Kalau dia tidak mengikuti

nenek jahanam si Luhlampiri palsu itu, urusan tidak

sampai jadi kapiran begini rupa!" Bocah itu banting-

banting kakinya. Tiba-tiba dia hentikan menghentakkan

kaki dan tegak tak bergerak. Naga Kuning berpaling pada

Wiro. "Telingamu mendengar sesuatu...?"

 "Ya, ada suara orang menyanyi. Seperti suara anak-

anak," jawab Wiro. "Datangnya dari sana!" Wiro 

menunjuk ke arah kejauhan. Tidak menunggu lebih lama

bersama Naga Kuning dia segera lari ke jurusan 

datangnya suara orang bernyanyi itu.

 Di satu tempat Naga Kuning hentikan larinya. Sambil 

pegangi lengan Wiro bocah ini berkata. "Dengar baik-

baik. Perhatikan syair dalam nyanyian itu. Tidakkah aneh 

kedengarannya...?!"

 Ke dua sahabat itu lalu pasang telinga baik-baik.

 Kalau ingin bertemu sahabatmu terakhir kali

 Datanglah ke Perjamuan Pengantar Arwah

 Tempatnya sebelah timur lereng Labukit Tanpa

Mentari

 Saatnya malam hari esok lusa

 

 Wiro dan Naga Kuning saling pandang.

 "Bait-bait syair nyanyian itu selalu di ulang-ulang,

seperti sengaja ditujukan pada kita!" kata Wiro. "Kita

harus segera menemukan anak yang sedang menyanyi

itu!"

 Wiro dan Naga Kuning kembali lari ke jurusan suara

anak menyanyi. Baru bergerak beberapa langkah suara

nyanyian tiba-tiba lenyap dan berganti dengan suara

anak menangis serta ratap ketakutan.

 "Tolong...! Aku takuti Aku gamang! Turunkan diriku!

Tolong! Aku takut jatuh...!"

 Di cabang sebatang pohon tinggi Wiro dan Naga

Kuning kemudian menemukan seorang anak berusia

sekitar delapan tahun dalam keadaan terikat. 

Disampingnya terikat sebuah keranjang berisi mempelam. 

Wiro dan Naga Kuning segera naik ke atas pohon, 

melepas ikatannya lalu membawa turun ke tanah sekalian 

dengan keranjang berisi mangga itu.

 "Anak, katakan apa yang terjadi denganmu! 

Bagaimana kau bisa berada di atas pohon dalam keadaan

terikat?!" bertanya Wiro.

 "Orang jahat itu yang melakukannya!" jawab si anak

sambil memandang ke arah sungai penuh takut.

 "Orang jahat siapa? Kau mengenalinya?" tanya

Naga Kuning.

 Si anak menggeleng. "Tidak pernah kulihat orang

itu sebelumnya. Rambutnya panjang sepinggang. 

Tubuhnya bau! Matanya merah. Mukanya bopeng. Giginya

besar-besar. Mungkin dia bukan orang tapi roh jahat!

Aku takut...!"

 "Kau tak usah takut. Ada kami di sini menolongmu.

Coba ceritakan pelan-pelan apa yang terjadi...."

 Si anak lalu bercerita. "Aku dan kawan-kawan kesasar 

dalam hutan di tepi sungai. Kami tadinya mencari

kelinci hutan. Aku terpisah dengan kawan-kawan. Lalu

wahai! Muncul si muka bopeng itu. Dia memberiku 

sekeranjang mempelam. Padaku dia mengajarkan satu

nyanyian. Lalu aku dinaikkannya ke atas pohon. Diikat.

Di atas pohon aku harus melantunkan nyanyian yang

diajarkannya itu. Kalau tidak mau mempelam akan diambil 

dan aku akan dijejali ulat bulu...."

 "Orang muka bopeng itu tak ada di sini. Kau tahu

kemana perginya?" tanya Wiro sambil usap kepala si anak.

 Yang ditanya menggeleng.

 "Kau tahu dimana letak Labukit Tanpa Mentari yang

kau sebut dalam nyanyian?" tanya Wiro lagi. Si anakkembali menggeleng.

 "Kau masih ingat ke jurusan mana orang muka

bopeng itu perginya?" tanya Wiro selanjutnya.

 Si anak menunjuk ke arah timur sejajar hilir sungai.

 "Anak pandai. Kami akan antarkan kau ke tempat

aman!" kata Naga Kuning. Dia berpaling pada Wiro. "Kita

harus mencari Lakasipo. Dia yang paling tahu semua

kawasan di Negeri ini."

 Wiro mengangguk. "Mencari si Kaki Batu itu mungkin 

sama sulitnya dengan mencari Bukit Tanpa Mentari.

Terakhir sekali dia memberi tahu akan mencari Hantu

Santet Laknat yang telah mencelakainya...."

 Naga Kuning angkat anak lelaki disampingnya lalu

dia lemparkan ke arah Wiro. Si anak terpekik kaget dan

ketakutan. Tapi begitu Wiro mendukungnya di atas bahu

dan membawanmya lari ke arah timur si anak tertawa-

tawa kegirangan. Naga Kuning menyambar keranjang

berisi mempelam lalu segera lari mengikuti Wiro.


TUJUH


KITA kembali pada Hantu Jatilandak di bukit batu

berhawa dingin. Begitu mendengar bentakan dan gelak 

tawa di belakangnya, pemuda yang muka dan sekujur 

tubuhnya ditumbuhi duri-duri coklat ini jauhkan kepalanya 

dari wajah patung dan lepaskan rangkulannya. Dia cepat 

berpaling. Dalam gelapnya malam dia melihat dua orang 

tak dikenal tegak berkacak pinggang di atas dua batu 

besar terpisah kurang dari sepuluh langkah di 

hadapannya.

 Yang pertama adalah seorang nenek berambut

awut-awutan berwarna kelabu campur putih. Dia me-

ngenakan pakaian panjang warna hijau tua yang bagian

atasnya berbentuk kemben. Ketika menyeringai kelihatan 

tak satu gigi pun tumbuh di gusinya. Nenek ini

berhidung pesek hampir serata pipinya yang keriput. Dia

tegak dengan kaki terkembang. Di pinggangnya 

tergantung sebilah pedang tanpa sarung terbuat dari batu

pualam warna merah.

 Di batu besar sebelah kiri tegak orang ke dua.

Seperti si nenek dia juga memiliki rambut awut-awutan

putih kelabu, tidak punya gigi barang satu pun alias

ompong reong. Matanya yang kanan kecil sipit sebaliknya 

mata sebelah kiri melotot besar. Kakek ini berpakaian 

jubah kuning gelap. Dia juga membekal sebilah pedang 

batu merah tak bersarung.

 Hantu Jatilandak awasi ke dua orang itu tanpa

bergerak dan tak bersuara. Dia mengambil sikap diam

menunggu sambil berlaku waspada. Setiap saat dia bisa

melesatkan duri-duri coklat di muka atau di tubuhnya

yang mengandung racun ke arah ke dua orang itu.

 "Tak bersuara tak bergerak! Malu rupanya tertangkap 

tangan bercumbu dengan patung! Hik... hik... hik!"

si nenek buka suara lalu tertawa cekikikan.

 Di batu sebelah kiri si kakek memandang berkeliling.

"Landak bermuka manusia ini cuma sendirian. Mana

teman-temannya?!"

 "Dia masih diam seperti gagu! Kita harus segera

mendampratnya dengan pertanyaan, baru dengan tangan 

dan kaki!" kata si nenek pula.

 Si kakek anggukkan kepala lalu membentak.

 "Hantu Jatilandak! Mana sobat jahanammu orang

dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang bernamaWiro Sableng itu!"

 Hantu Jatilandak tetap bungkam tidak bersuara,

tidak berikan jawaban. Sebaliknya dia bersitkan ludah.

Ludah yang berwarna kuning ini jatuh di atas sebuah

batu, mengepulkan asap kuning!

 Meski merasa terhina namun sepasang kakek nenek 

sama-sama tertawa bergelak. "Mungkin lidahmu perlu 

kucabut! Setelah itu wahai! Mau kulihat apakah kau masih 

bisa meludah! Hik... hik... hik!" Si nenek tertawa

cekikikan.

 "Agaknya perlu diberi tahu siapa kita adanya! Agar

landak bermuka manusia kuning ini tahu diri! Tidak jual

lagak dan meludah segala!" Kakek di atas batu besar

sebelah kiri gerakkan tangan kanannya ke pinggang.

Tubuhnya melesat ke depan. Selarik cahaya merah

berkiblat.

 "Traanngg!"

 "Braaakkk!"

 Sebuah batu besar yang terletak tiga langkah di

hadapan Hantu Jatilandak terbelah dua. Sebelum dua

belahan jatuh ke tanah si kakek sudah melesat dan tegak

kembali di atas batu tempatnya semula!

 Orang lain mungkin akan tersentak kaget dan kecut

nyalinya melihat kemampuan si kakek dan kehebatan

pedang merahnya. Tapi Hantu Jatilandak yang sudah

kesal melihat tingkah laku dua kakek nenek itu tidak

pandang sebelah mata. Malah kembali dia semburkan

ludahnya. Meledaklah kemarahan sepasang kakek nenek 

itu. Si kakek acungkan pedang merahnya ke udara

seraya berteriak.

 "Muridku Lagandrung dan Lagandring! Kami guru

kalian! Lajahilio dan Luhjahilio! Kami telah menemukan

salah seorang pembunuh kalian! Kalian bisa sedikit

bertenang diri di alam roh! Sebentar lagi bangsat 

pembunuh akan segera kami habisi!"

 Hantu Jatilandak kerenyitkan kening begitu mendengar 

teriakan kakek di atas batu. Ingatannya melayang pada 

kejadian beberapa waktu lalu. Sewaktu dia dan kakeknya 

Tringgiling Liang Batu, Wiro dan Pelawak Sinting serta 

Hantu Tangan Empat bertempur melawan kaki tangan 

Hantu Muka Dua. Dua orang diantaranya adalah 

Lagandrung dan Lagandring. Dia berhasil membunuh 

Lagandring sementara Wiro menghabisi Lagandrung. 

(Baca Episode berjudul "Hantu Tangan Empat")

Ternyata sepasang kakek nenek ini adalah guru 

Lagandrung dan Lagandring. Apa lagi maksud kemunculan

mereka kalau bukan menuntut balas melampiaskan 

dendam kematian murid-murid mereka.

 "Dua kaki tangan Hantu Muka Dua yang sudahbinasa itu tinggi sekali tingkat kepandaiannya. Berarti

kakek nenek ini jauh lebih tinggi. Aku tidak takut!" 

membatin Hantu Jatilandak lalu kembali dia meludah.

 "Lajahilio! Tanganku sudah gatal mau mencincang

manusia landak ini!" berkata si nenek. "Tapi ada sesuatu

yang hendak kusampaikan padamu!" Lalu Luhjahilio

melompat ke batu di samping kiri dan membisikkan

sesuatu pada kakek bernama Lajahilio yang sebenarnya

adalah kekasihnya. Sejak muda belia mereka malang

melintang sehilir semudik. Hidup bersama tanpa kawin

hingga mendapat julukan Sepasang Hantu Bercinta.

 Lajahilio menyeringai mendengar bisikan si nenek.

Dia memberi isyarat. Lalu dua kakek nenek ini sama-

sama hunus pedang batu pualam merahnya.

 Hantu Jatilandak yang sejak tadi sudah berwaspada

begitu melihat dua lawan bergerak serta merta gerakkan

dadanya. Dua lusin duri coklat beracun melesat dari

tubuhnya. Enam menyambar ke arah Lajahilio, enam lagi

ke jurusan Luhjahilio. Dua orang yang diserang putar

goloknya. Demikian sebatnya hingga yang kelihatan

hanyalah gulungan sinar merah berbentuk lingkaran.

 "Craasss! Craaas! Craaas!"

 Selusin duri landak bertaburan ke udara. Luruh ke

tanah dalam keadaan terbelah hancur. Hantu Jatilandak

menggeram marah. Dia goyangkan kepalanya. Sepasang 

kakek nenek mengira lawan hendak menyerang lagi 

dengan duri-duri beracun yang ada di mukanya.

Ternyata Hantu Jatilandak menggempur dengan dua

larik sinar kuning yang keluar dari sepasang matanya!

 "Luhjahilio! Awas serangan sinar beracun!" teriak

Lajahilio.

 Dua kakek nenek ini segera berkelebat selamatkan

diri sambil kiblatkan pedang batu merah.

 "Blep! Blep!"

 Dua kakek nenek itu mencelat mental. Jungkir balik

mereka masih bisa mendarat di tanah dengan dua kaki

menjejak lebih dulu.

 Tangan Lajahilio dan Luhjahilio bergetar keras. Pedang 

merah di tangan mereka berubah oleh bungkusan

sinar kuning. Dada masing-masing mendenyut sakit dan

jalan nafas seolah tersumbar. Dengan tubuh keringatan

dua kakek nenek kerahkan tenaga dalam. Perlahan-

lahan selubung kuning yang membungkus senjata 

mereka sirna. Dua pedang itu kembali ke warna semula

yakni merah.

 "Luhjahilio, menurut penglihatanku manusia landak

itu baru mengerahkan setengah tenaga dalamnya waktu

melancarkan serangan sinar kuning tadi. Keadaan kita

berbahaya. Saatnya melakukan apa yang tadi kau

bisikkan. Aku akan menggempurnya habis-habisan!"

 Hantu Jatilandak menggeram panjang sewaktu 

menyaksikan bagaimana sepasang sinar kuning ilmu ke-

saktiannya yang bernama Mega Kuning Liang Batu,

yang selama ini tidak pernah dikeluarkannya ternyata

masih bisa ditangkis dengan pedang sakti di tangan

lawan. Maka dia segera kerahkan seluruh tenaga 

dalamnya. Namun saat itu Lajahilio telah melompat ke

arahnya. Pedang merah di tangan kanan kakek ini 

pancarkan sinar terang pertanda dia mengerahkan seluruh

tenaga dalamnya.

 Hantu Jatilandak hendak sambut serangan si kakek

dengan sinar Mega Kuning Liang Batu, tapi perhatiannya

terbagi pada Luhjahilio yang berkelebat ke kiri sambil

membabatkan pedang merahnya. Hantu Jatilandak

meraung keras ketika melihat apa yang dilakukan si 

nenek. Ternyata Luhjahilio babatkan pedang merahnya 

untuk memapas leher patung perempuan cantik di 

samping batu besar.

 "Craaaasss!"

 Aneh, begitu leher patung kena dibabat terdengar

suara seperti pedang memapas putus leher sungguhan.

Kepala patung jatuh menggelinding ke tanah. Dan lebih

aneh lagi! Dari kutungan leher baik yang di badan 

maupun yang di kepala keluar cairan merah seperti darah!

 Luhjahilio berseru Kaget melihat apa yang terjadi.

Sebaliknya Hantu Jatilandak meraung marah. Dia tidak

lagi memperhatikan sambaran pedang Lajahilio. Masih

untung senjata si kakek hanya membabat putus sembilan 

bulu landak yang ada di punggungnya. Walaupun

rasa sakit menggeletari sekujur tubuhnya bagian belakang 

namun Hantu Jatilandak tidak peduli.

 Didahului dengan menghantamkan selusin duri 

landaknya ke arah Luhjahilio, Hantu Jatilandak susul 

menyerang dengan sinar Mega Kuning Liang Batu.

 Luhjahilio terpekik ketika dua duri landak menyusup

di kembennya dan menusuk permukaan kulitnya. Nenek

ini berkelebat ke balik batu besar. Untung dia berlaku

cepat. Walau batu besar itu hancur berantakan dihantam

sinar Mega Kuning Liang Batu dan mengepulkan asap

kuning beracun namun si nenek masih sempat selamatkan 

diri dengan membuat dua lompatan cepat.

 Seperti tidak sadar kalau saat itu dia tengah 

menghadapi bahaya besar dari dua musuh berkepandaian

sangat tinggi, Hantu Jatilandak jatuhkan diri memungut

kutungan kepala patung perempuan cantik.

 "Patungku.... Patungku.... Kasihan lehermu...."

Hantu Jatilandak sesenggukan dan dekapkan kepala

patung ke dadanya lalu berusaha bangkit. Pada saatitulah Lajahilio dan Luhjahilio menyergap. Dua pedang

merah diarahkan satu ke leher Hantu Jatilandak, satunya

tepat di arah jantung. Namun Hantu Jatilandak seperti

tidak peduli. Baginya patung batu itu lebih berharga dari

nyawanya sendiri!

 "Kalian mau membunuhku aku tidak peduli. Tapi

wahai! Jangan ciderai patung ini...."

 Dua kakek nenek tertawa mengekeh. Hantu Jatilandak 

tetap tidak peduli. Dia terus berusaha berdiri.

"Izinkan aku meletakkan kepala patung ini di tempatnya

semula...." Hantu Jatilandak meminta setengah meratap. 

Dari dua matanya yang kuning kelihatan tetesan air mata.

 Gelak tawa Lajahilio dan Luhjahilio semakin keras.

 "Makhluk gila ini benar-benar sudah jatuh cinta

dengan patung itu!" kata Luhjahilio. Dia memberi isyarat

pada si kakek kekasihnya. Lajahilio anggukkan kepala.

Dua pedang merah lalu berkelebat ganas.

 Pedang di tangan si nenek membacok ke kepala

patung yang ada dalam dekapan Hantu Jatilandak. 

Sementara si kakek membabat ke pangkal leher Hantu

Jatilandak! Dalam keadaan seperti itu Hantu Jatilandak

sama sekali tidak lagi pedulikan keselamatan jiwanya.

Dia masih berusaha menyelamatkan kepala patung 

dengan merangkul dan mendekapnya erat-erat ke 

dadanya.

 Sesaat lagi kepala patung akan terbelah hancur

dihantam bacokan pedang batu pualam merah di tangan

Luhjahilio dan leher Hantu Jatilandak akan terbabat

putus oleh pedang Lajahilio, sekonyong-konyong dua

sinar aneh menyambar merobek kepekatan malam!


DELAPAN


SAMBARAN sinar pertama berwarna hitam berbentuk 

kipas terkembang. Di dalam sinar hitam yang menebar ini 

berkilauan ratusan serpihan-serpihan bunga-bunga api.

 Nenek bernama Luhjahilio berseru kaget ketika melihat 

sinar yang melesat ke arah Lajahilio. Dia berteriak

memberi peringatan.

 "Pukulan Menebar Budi! Lajahilio! Awas!"

 Sambil berteriak si nenek berbalik dan lepaskan

satu pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti

dengan tangan kirinya. Gerakannya menghantam ini

mau tak mau membuat urung bacokan pedangnya ke

kepala patung. Pukulan hawa sakti si nenek memang

mampu mendorong sinar hitam yang menyerang Lajahilio 

dan menyelamatkan kekasihnya. Tapi begitu dua

kekuatan sakti tersebut saling bentrokan, satu letusan

keras menggelegar. Bunga-bunga api berlesatan seperti

senjata rahasia, menderu ke arah si nenek.

 Luhjahilio menjerit keras. Tubuhnya terpental sampai 

setinggi dua tombak. Pedang batu pualam merahnya

terlepas mental entah kemana. Darah membersit dari

mulutnya. Puluhan percikan bunga api laksana ujung-

ujung jarum menancap di tubuhnya! Pada saat yang

sama, selagi tubuhnya melayang turun, sinar ke dua

yang menderu dalam kegelapan malam datang meng-

hantam, mendarat di punggungnya dengan telak.

 Tak ampun lagi tubuh si nenek terlempar ke arah

batu besar. Luar biasa dan mengerikan sosok si nenek

melesak datar masuk ke dalam batu sampai setengahnya! 

Lajahilio sendiri yang tadi hampir membabat putus

leher Hantu Jatilandak sangat terkejut dan berteriak

keras saksikan apa yang terjadi. Babatan pedangnya ke

leher Hantu Jatilandak serta merta terhenti dan senjata

itu kini dilemparkannya ke arah kegelapan di mana dia

melihat sosok serba hitam yang tadi melepaskan pukulan 

dahsyat hingga si nenek kekasihnya amblas kedalam batu 

besar!

 Dalam rimba persilatan di Negeri Latanahsilam saat

itu hanya ada satu ilmu pukulan yang mampu membuat

orang amblas masuk ke dalam tembok atau batu atau

pohon yakni yang disebut Pukulan Kasih Mendorong

Bumi. Pukulan ini dimiliki oleh gadis masih sangat belia

dan berwajah jelita bernama Luhcinta.

 Lajahilio pukulkan tangannya berulang kali ke batubesar di mana Luhjahilio terpentang amblas hingga 

remuk. Lalu dengan mengerahkan tenaga luar dan tenaga

dalam dia tarik sosok kekasihnya dari dalam batu.

 "Kreeekkk!"

 Tubuh yang tertarik dari dalam batu itu keluarkan

suara berkrekekan. Si kakek merinding bergidik. Dia

memang berhasil menarik mengeluarkan sosok Luhjahilio 

dari dalam batu tapi keadaannya mengerikan karena 

sebagian daging di sebelah wajah, dada dan perut si 

nenek ternyata tertinggal lengket di dalam batu.

Wajah perempuan tua yang berada dalam keadaan

lumpuh akibat pukulan sakti Kasih Mendorong Bumi

yang menghantamnya kini kelihatan tak lagi berdaging,

tanpa hidung, kening, alis serta bibir dan dagu!

 Lajahilio menggerung keras menyaksikan keadaan

kekasihnya itu. Amarahnya meluap. Darah di kepalanya

seolah mau muncrat menembus ubun-ubun. Cepat dia

menyambar dan mendukung sosok sang kekasih. 

Sepasang matanya memandang melotot dan menyorot

penuh geram ke arah dua orang di kegelapan namun tak

berani melakukan apa-apa. Dalam hati kakek ini mem-

batin. "Dua orang dalam gelap itu pasti dara bernama

Luhcinta dan Si Penolong Budiman. Dua pendekar 

berkepandaian yang sukar dijajagi. Hantu Muka Dua saja

belum tentu mampu menghadapi salah satu dari mereka.

Aku tak mau cari penyakit walau kelak Hantu Muka Dua

akan menjatuhkan hukuman berat padaku!"

 Tanpa banyak bicara, dengan "darah mendidih si

kakek akhirnya putar tubuh. Sebelum berkelebat pergi

dan menghilang di kegelapan malam dia masih sempat

keluarkan suara.

 "Kalian berdua! Aku tidak akan melupakan wajah

kalian! Suatu saat kami berdua akan melakukan 

pembalasan!"

 Orang dalam gelap mendengus. Satunya lagi berkata.

 "Sebelum pergi silahkan ambil dua senjata milik

kalian! Kami tidak perlu senjata-senjata laknat ini!"

 Terdengar suara berkeretekan lalu dua buah benda

melayang jatuh di hadapan Lajahilio. Ternyata adalah

dua pedang milik kakek nenek berjuluk Sepasang Hantu

Bercinta itu. Ketika si kakek memperhatikan dua pedang

batu pualam merah yang dilemparkan orang, dia 

menggeram keras. Dua senjata itu tak karuan rupa lagi. 

Gagangnya hancur, bagian tajamnya bergompalan dan

badannya ada yang patah tak karuan.

 "Jahanam! Dia menghancurkan pedang dengan

Ilmu Keppeng. Ilmu mematah tulang! Memang dia 

rupanya! Bangsat yang membikin geger Negeri 

Latanahsilam sejak beberapa waktu belakangan ini!Awas, nantikan pembalasanku!" Saking marahnya Lajahilio 

tendang dua pedang yang sudah hancur itu lalu 

berkelebat lenyap dalam kegelapan malam.

 Akan halnya Hantu Jatilandak, seperti tadi dia masih

tidak perdulikan apa yang terjadi di sekitarnya. Kepala

patung yang putus sesaat masih didekapnya. Darah

aneh yang keluar dari kutungan leher patung belepotan

di tubuhnya yang penuh duri. Dengan hati-hati dan

terbungkuk-bungkuk dia membawa kutungan kepala

patung itu lalu letakkan ke badan patung yang masih

terduduk utuh di samping batu besar yang telah hancur.

 "Patungku.... Kasihan kepalamu..." kata Hantu 

Jatilandak. Dibelainya rambut patung dan diusapnya 

wajahnya berulang kali. Lalu dengan hati-hati kepala 

patung diletakkannya di atas bekas kutungannya hingga 

bersambung kembali. Begitu leher patung yang putus 

bersatu kembali, terdengar suara halus dalam gelap.

 "Wahai Hantu Jatilandak, sungguh besar arti 

perbuatanmu menyatukan kembali patung yang buntung 

itu. Kelak para Dewa akan memberkatimu...."

 Hantu Jatilandak tegak tertegun. Lalu dengan suara

perlahan dia berkata. "Suara tanpa ujud, sesuai ucapanmu 

sebelumnya, aku harus pergi ke Negeri Latanahtembikar. 

Kalau urusanku selesai aku akan segera kesini. Aku akan 

mengambil patung ini, membawanya kesatu tempat dan 

merawatnya baik-baik...."

 Angin malam bertiup dingin. Hantu Jatilandak 

mendengar suara orang menarik nafas dalam dan 

panjang.Beberapa jenak lamanya ditatapnya wajah dan 

sosok patung itu. "Walau cuma batu mati tanpa nyawa 

tapi aku yakin patung inilah yang mengeluarkan semua 

ucapan yang sampai ke telingaku. Mungkin ada roh masuk 

ke dalam patung batu ini...."

 Dengan perasaan berat Hantu Jatilandak memutar

tubuh hendak beranjak pergi dari tempat itu. Namun

gerakannya tertahan. Di depannya dalam kegelapan

malam dua orang tegak berdiri memandang memper-

hatikannya. Seperti diketahui ketika tadi dia diserang

oleh sepasang kakek nenek bernama Lajahilio dan 

Luhjahilio pemuda yang tubuhnya penuh duri ini seperti 

tidak perduli. Tapi sebenarnya dia mengetahui apa yang 

terjadi. Maka begitu melihat dua orang itu, Hantu 

Jatilandak segera membungkuk memberi penghormatan.

 "Wahai, kalian berdua telah menyelamatkan jiwaku.

Aku sangat berterima kasih...." Hantu Jatilandak menatap 

ke sebelah kanan di mana berdiri seorang dara berpakaian 

biru. Dalam gelapnya malam wajahnya yang cantik 

tampak sangat anggun. Hantu Jatilandak kembali

menjura. "Wahai sahabatku Luhcinta, ternyata dalamnasib yang sama malang kau masih bisa menurunkan

tangan kasih, menolong menyelamatkan diriku. Aku ber-

terima kasih padamu. Aku masih ingat waktu kau 

menuturkan nasib untung dan perasaanmu tempo hari.

Apakah kau sudah berhasil menyingkapkan semua teka-

teki hidup dirimu? Apakah kau sudah menemui orang-

orang yang dulu pernah kau tanyakan itu?"

 Sebenarnya gadis berbaju biru dalam gelap yang

memang Luhcinta adanya hendak menjawab. Namun

dia sengaja berdiam diri karena di sampingnya, hanya

terpisah sekitar tujuh langkah tegak sosok serba hitam

orang yang selama ini mengikutinya secara diam-diam.

Walau orang ini tadi juga turun tangan membantu me-

nyelamatkan Hantu Jatilandak namun Luhcinta tetap

menaruh curiga terhadapnya. Karenanya dia diam saja

dan sengaja tidak mau bicara di hadapan orang itu.

 Karena pertanyaannya tidak mendapat jawaban

Hantu Jatilandak lalu berpaling pada sosok yang satu

lagi. "Mungkin kita pernah berjumpa. Maafkan aku kalau

salah menduga. Bukankah kau yang disebut orang Si

Penolong Budiman? Wahai, sungguh beruntung diriku.

Malam ini aku kejatuhan berkat menerima pertolongan

darimu. Aku berterima kasih padamu wahai sahabat...."

 Begitu Hantu Jatilandak menyebut nama orang di

hadapannya itu, terkejutlah gadis berpakaian biru yang

ada hiasan bunga tanjung di keningnya. Gadis ini cepat

palingkan kepala, menatap tajam pada sosok yang tegak

sekitar sepuluh langkah di sisi kanannya.

 "Benar dia rupanya. Makhluk muka hitam yang terus-

terusan mengikuti. Beberapa waktu lalu aku berhasil

menghilang dari kuntitannya. Bagaimana malam ini dia

tahu-tahu bisa berada di bukit dingin ini? Sebaiknya aku

segera pergi saja...."

 Orang bermuka hitam yang maklum akan gerak hati

Luhcinta segera maju mendekat sampai tiga langkah lalu

berucap. "Wahai gadis, pertemuan ini mungkin tidak

menyenangkan bagimu. Sedang bagiku adalah satu

harapan yang sangat besar...."

 "Harapan apa?" tanya Luhcinta heran. Gadis ini jadi

berdebar. Dia membatin. "Setiap harapan yang baik

selalu disertai rasa kasih. Apakah orang ini...."

 "Gadis bernama Luhcinta, kau tentu masih ingat

pertemuan kita terakhir di bukit tempat Peri Angsa Putih

disekap dalam sumur melintang...!" (Harap baca Episode 

berjudul "Hantu Muka Dua")

 "Aku ingat. Malah lebih dari itu. Bukankah kau yang

selama ini selalu menguntit diriku secara diam-diam?

Jika kau memang membawa satu harapan, apakah begitu 

caranya memperkenalkan diri? Harapan yang baikselalu berlandaskan kasih. Aku tidak melihat hal itu

tercermin dalam wajahmu wahai kerabat. Mungkin ka-

rena kau menempuh hidup dengan cara menyembunyikan 

wajah? Sang Pencipta memberikan wajah kepada

setiap orang, entah wajah itu bagus entah buruk. Itu

pelambang keadilan dalam kasih sayang. Kau justru

menyembunyikan rasa kasih itu...."

 Lama orang bermuka hitam tercenung mendengar

ucapan Luhcinta. Dalam hati dia berkata. "Wahai gadis

bernama Luhcinta. Jika kau tahu nasib perjalanan 

hidupku. Justru rasa kasih sayang sudah habis ditelan

derita. Tapi jauh di lubuk hati ini masih ada setetes kasih

sayang yang aku jaga baik-baik agar tidak hilang. Hanya

saja kasih sayang itu tidak bisa kuberikan sebelum aku'

mampu menyingkap teka-teki hidup ini. Bertahun-tahun

aku mengelana mencari dan mencari. Sampai saat ini

semua itu berakhir pada kesia-siaan...."

 "Wahai gadis bernama Luhcinta, cinta kasih yang

murni tidak tercermin dari bagus dan buruknya wajah

seseorang. Menyembunyikan sesuatu bukan selalu berarti 

melupakan kasih anugerah Sang Pencipta. Kasih memang 

harus berada di mana-mana. Dan tempatnya yang 

terkudus adalah dalam lubuk hati manusia. Tetapi garis 

nasib seseorang terkadang tidak memungkinkan dia 

mewujudkan kasih sayangnya seperti yang dikehendaki 

oleh orang lain. Itulah sebabnya aku berkata, pertemuan 

denganmu adalah membawa satu harapan besar. Harapan 

akan tinggal harapan jika kasih yang ada dalam harapan 

itu tidak mampu mewujudkan diri. Bukan karena mau 

yang empunya diri, tapi karena keadaan. Sekarang 

terserah padamu, apakah kau mau memberikan jalan. 

Pada pertemuan yang lalu aku tidak melihat kesempatan 

dalam keadaan. Malam ini mungkin saatnya. Namun 

sekali lagi harapanku hanya tinggal harapan. Semua 

sangat tergantung pada dirimu...."

 Sesaat Luhcinta tampak termangu mendengar

ucapan orang bermuka hitam. Lalu gadis ini berucap.

"Wahai, rasanya segala sesuatunya tidak semua 

tergantung pada diriku. Bolehkah aku mengetahui 

harapan apa yang ada dalam hatimu?"

 "Aku akan mulai dengan pertanyaan pertama. Di

luaran tersirap kabar bahwa selama ini kau mengelana

dan selalu bertanya tentang beberapa orang di balik

beberapa nama...."

 "Hemmm.... Kalau kau sudah tahu aku tidak akan

membantah. Tadi pun sahabatku bernama Hantu 

Jatilandak ini telah mengungkapkannya..." kata Luhcinta

sambil berpaling pada Hantu Jatilandak.

 Orang bermuka hitam yaitu Si Penolong Budimanberkata. "Sebelumnya aku telah menemui orang pandai

bernama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Dia yang

memberi petunjuk agar aku datang ke tempat ini. 

Ternyata tidak terduga aku menemuimu di tempat ini...."

 Hantu Jatilandak berdehem beberapa kali lalu .ber-

kata. "Antara kalian berdua ada pembicaraan yang

mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan diriku atau

tidak pantas kudengar. Lebih baik aku segera pergi saja

dari sini...."

 "Wahai Hantu Jatilandak, kuharap kau tetap berada

di sini," kata Luhcinta pula. Dia sengaja meminta karena

seandainya orang bermuka hitam itu ternyata adalah

manusia culas yang punya maksud jahat terhadapnya,

jika Hantu Jatilandak masih ada di tempat itu niscaya dia

akan menolong.

 "Tidak ada salahnya kau tetap berada di sini wahai

kerabatku Hantu Jatilandak. Siapa tahu kau bisa mem-

bantu disaat kami berdua tidak bisa memecahkan 

masalah..." berkata Si Penolong Budiman.

 Mendengar ucapan orang itu maka Hantu Jatilandak

akhirnya bersedia tetap berada di tempat itu. Sebelum

dia duduk di atas pecahan batu besar pemuda ini berkata. 

"Sahabatku Penolong Budiman, kau beruntung bisa 

bertemu dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.

Aku sudah bertahun-tahun mencarinya. Aku perlu 

menemuinya untuk mencari tahu riwayat gelap yang 

menyelubungi diriku."

 "Aku berhasil menemuinya hanya secara kebetulan,

di satu rimba belantara di pinggir sungai..." jawab Si

Penolong Budiman. "Aku turut bersedih mengetahui 

riwayatmu wahai Hantu Jatilandak. Jika aku bisa 

membantu pasti akan kulakukan sesuatu untukmu...."

 Hantu Jatilandak ucapkan terima kasih lalu duduk

di atas batu. Si Penolong Budiman berpaling pada 

Luhcinta lalu lanjutkan pembicaraannya.

 "Dari kabar yang kusirap, kau pernah bertanyakan

tentang seorang bernama Lajundai. Apakah benar?"

 Sepasang mata Luhcinta membesar dan menatap

lekat-lekat pada si muka hitam. Lalu dia anggukkan

kepala. "Apakah kau mengetahui orang itu dan di mana

beradanya?" bertanya Luhcinta. "Atau mungkin kau ada

sangkut paut dengan dirinya?!"

 "Wahai.... Orang itu berada di Istana Kebahagiaan!"

jawab Si Penolong Budiman.


SEMBILAN


KAGETLAH Luhcinta mendengar jawaban itu. "Wahai! 

Jika ucapanmu itu benar adanya, dapatkah kau 

memberikan bukti dan kesaksian?"

 "Seseorang bisa saja memberikan bukti dan kesaksian. 

Tetapi bukti dan kesaksian yang terbaik adalah jika orang 

yang menginginkannya sendiri yang melakukan 

penyelidikan. Aku hanya cukup memberitahu. Lajundai itu 

sebelumnya bernama Labahala. Dan dia bukan lain adalah 

makhluk yang bernama Hantu Muka Dua!"

 Luhcinta hampir terlonjak mendengar ucapan Si

Penolong Budiman itu. Sekujur tubuhnya bergetar. Dalam 

hati yang panas membara dia berkata. "Wahai! Jadi

jahanam itu bukan saja pernah hendak berbuat keji

terhadap ibuku, tapi juga terhadap diriku. Kalau hidup

manusia lebih dikuasai nafsu dari pada kasih, inilah

jadinya! Cukup sudah kejahatan yang dibuat Hantu Muka

Dua di Negeri Latanahsilam ini. Kalau kasih memang

tidak bisa menyadarkannya, aku memohon pada Para

Dewa dan Para Peri agar diberi kemampuan untuk

membasmi manusia itu...."

 "Wahai gadis bernama Luhcinta, kau sekarang sudah 

mengetahui siapa adanya Lajundai. Kalau aku boleh

tahu, gerangan apa yang ada di balik pertanyaanmu

terhadap orang itu?"

 Luhcinta tidak mau menerangkan hal yang sebenarnya. 

Gadis ini hanya menjawab: "Kau tentu sudah tahu 

manusia bagaimana adanya Hantu Muka Dua. JiKa

manusia jahat seperti dia tidak segera dibasmi apa

jadinya Negeri ini. Secara semena-mena dia telah 

memaklumkan diri sebagai Raja Diraja Segala Hantu. 

Menjadikan dirinya sebagai makhluk Segala Keji. Segala

Tipu dan Segala Nafsu...."

 "Aku setuju dengan pendapatmu wahai kerabat 

bernama Luhcinta. Aku masih ada beberapa pertanyaan 

jika kau sudi menjawab...."

 "Aku akan menjawab kalau memang bisa kujawab,"

kata Luhcinta pula.

 "Dalam kabar yang kusirap kau juga menanyakan

seorang bernama Hantu Penjunjung Roh."

 "Tentang nenek sakti itu, aku sudah mendapatjawaban, bahkan aku sudah menemuinya," kata Luhcinta

Lalu gadis ini bertanya. "Wahai, apa maksud tujuan

di balik semua pertanyaan ini?"

 Si Penolong Budiman tidak menjawab malah ajukan

lagi satu pertanyaan. "Setelah kau mendapat Jawab

dan bertemu sendiri dengan Hantu Penjunjung Roh

apakah kau sudah mengetahui siapa nenek itu ada

apa hubunganmu dengannya?"

 "Wahai, aku tidak akan menjawab pertanyaan

Aku mulai curiga. Kutanyakan apa maksud semua

tanyaanmu tapi kau tidak menjawab..."

 "Kau tidak menjawab, aku tidak memaksa Ku dengar 

kau juga menanyakan tentang seorang perempuan 

bernama Luhpiranti, mengapa ? Apa hubunganmu dengan 

perempuan itu ?” tambah Si Penolong Budiman ajukan 

pertanyaan.

 Luhcinta tersenyum tapi gelengkan kepala “ Saat ini 

aku tak bisa menjawab pertanyaanmu itu…”

 “Juga tentang lelaki bernama Latampi yang juga 

menjadi salah satu pertanyaanmu”

 “Hm mungkin aku mau menjawab pertanyaanmu jika 

kau mau mengatakan siapa dirimu lalu memperlihatkan 

wajah aslimu”.

 Si Muka Hitam tersenyum. “Rupanya dasar kasih 

sayang yang menjadi panutanmu memiliki keterbatasan 

yang membuat kita sama-sama tidak mau berlaku 

terbuka, padahal kasih sayang itu memerlukan 

keterbukaan hati serta kepercayaan semua pihak..”

 “Kalau begitu perlihatkan padaku mukamu yang asli. 

Jangan sembunyikan dibalik tanah liat dan jelaga hitam.. “

 “Aku akan penuhi permintaanmu wahai gadis bernama 

Luhcinta. Asalkan kau berjanji memberitahu apa 

hubunganmu dengan Luhpiranti dan Latampi…”

 ”Aku berjanji”

 “Aku percaya pada janjimu!”. Kata Si Penolong 

Budiman pula, lalu dia pergunakan jari-jari tangannya 

untuk melepaskan tanah liat yang di cat hitam yang 

selama ini melekat menutupi wajahnya. Orang ini 

melangkah mendekati Luhcinta hingga gadis itu dengan 

jelas dia melihat wajahnya.

 "Apakah kau mengenali siapa diriku wahai Luhcinta?"

 Luhcinta perhatikan wajah orang itu. Entah mengapa 

dada gadis ini langsung berdebar. "Wahai, ternyata dia 

lelaki separuh baya berwajah tampan sekali."

Perasaannya semakin aneh ketika sepasang mata mereka 

saling beradu pandang. Luhcinta tundukkan kepala.

 "Aku... wahai. Aku tidak mengenali siapa dirimu," kata 

si gadis akhirnya dengan suara bergetar.

 Si Penolong Budiman palingkan wajahnya padaHantu Jatilandak lalu berkata. "Mungkin kau mengenali

siapa aku wahai kerabatku Hantu Jatilandak?"

 "Tidak, aku tidak pernah melihatmu sebelumnya.

Aku tidak kenal wajahmu...."

 Orang itu lalu memandang pada Luhcinta. "Aku

sudah perlihatkan wajah asliku. Sekarang aku menagih

janji. Harap kau mau memberitahu apa hubunganmu

dengan Latampi dan Luhpiranti...."

 "Ke dua orang itu adalah...."

 Belum sempat Luhcinta menyelesaikan ucapannya

tiba-tiba di langit kelihatan belasan nyala api laksana

barisan obor bergerak turun ke bawah. Barisan obor itu

berbentuk lingkaran dan gerakannya turun sangat cepat.

Udara yang sudah sangat dingin di tempat itu mendadak

bertambah luar biasa dinginnya. Semua orang yang ada

di tempat itu jadi menggigil dan kaku seperti beku sekujur

tubuh mereka. Luhcinta, Hantu Jatilandak dan Si 

Penolong Budiman kerahkan tenaga dalam dan cepat atur

jalan darah masing-masing. Tapi tak ada gunanya. Ketiga 

orang ini tetap saja tak mampu bergerak dan membuka 

suara.

 Pada saat barisan obor berbentuk lingkaran mencapai 

ketinggian sepuluh tombak dari atas bukit batu, ketiga 

orang itu baru mampu melihat bahwa yang membawa 

nyala api itu adalah lima belas sosok perempuan muda 

berpakaian tipis berwarna abu-abu.

 "Peri dari atas langit...." Ke tiga orang itu sama

membatin.

 Tiba-tiba lima belas nyala api melebar dan menyatu

lalu bergerak ke arah patung batu seperti lingkaran tabir.

Tidak satu pun dari ke tiga orang yang ada di tempat itu

mengetahui apa yang terjadi. Sesaat kemudian dalam

gelapnya malam lingkaran tabir api dengan cepat tampak 

bergerak naik ke atas. Begitu tabir api berpisah dan

kembali membentuk lima belas nyala api berada jauh di

atas sana, udara dingin lenyap. Tubuh Hantu Jatilandak,

Luhcinta dan Si Penolong Budiman terlepas dari 

kebekuan. Darah mereka kembali mengalir wajar. Hantu

Jatilandak yang pertama sekali berteriak keluarkan suara 

penuh tegang.

 "Patungku! Patung itu lenyap!" Hantu Jatilandak

melompat ke dekat batu besar pecah di mana patung

perempuan cantik yang bisa mengeluarkan air mata

sebelumnya berada. Dia meraba-raba kian kemari seperti 

orang buta berusaha memegang sesuatu. Ketika

menyadari bahwa patung itu memang tak ada lagi di situ,

Hantu Jatilandak menggerung keras lalu jatuhkan diri.

"Patungku...."

 "Para Peri dari atas langit mengambil patung itu!"seru Luhcinta. Gadis ini lalu cepat dekati Hantu Jatilandak. 

Sambil memegang bahu Hantu Jatilandak dia berkata.

 "Wahai kerabatku, patung itu tentu sangat besar

artinya bagimu...."

 "Patung itu sama dengan nyawaku..." kata Hantu

Jatilandak. "Mengapa para Peri mengambilnya! Mereka

mencuri patungku!"

 "Aku yakin, para Peri tidak mencuri patung itu wahai

Hantu Jatilandak..." membujuk Luhcinta. "Jika mereka

melakukan sesuatu pasti ada sebabnya. Pasti ada hikmah 

kasih sayang dibalik kejadian ini...."

 Hantu Jatilandak tiba-tiba menggerung lagi lalu 

melompat tegak. "Aku tidak percaya! Para Peri itu selalu

menjatuhkan tangan jahat terhadapku! Karena perbuatan 

mereka ayahku lenyap tak tentu rimbanya! Ibuku tak

diketahui di mana beradanya. Kini satu-satunya benda

yang sangat kusayangi mereka ambil! Terkutuk! Jahat!"

Saking marahnya Hantu Jatilandak hantamkan tangan

kanannya ke pecahan batu besar yang ada di dekatnya.

Batu itu hancur berkeping-keping dan setiap kepingan

yang tadinya berwarna kelabu berubah menjadi 

kekuning-kuningan serta mengepulkan asap!

 "Bersabar dan tabahlah wahai kerabatku Hantu 

Jatilandak," kata Si Penolong Budiman.

 "Kesabaran dan ketabahan adalah dua dari sekian

banyak kekuatan kasih di atas muka bumi ini...." Luhcinta

menambahkan.

 Hantu Jatilandak mendengus dan berpaling pada si

gadis. "Kita manusia di muka bumi selalu bicara tentang

kasih sayang. Tapi para Peri di atas langit sana 

mengumbar malapetaka! Apa dosa kesalahanku sampai 

aku diperlakukan seperti ini?! Mengapa derita tidak pernah

putus menimpa diriku?!"

 Penuh haru Luhcinta gelengkan kepalanya. Hatinya

sangat pilu melihat keadaan Hantu Jatilandak hingga dia

tak mampu berkata lagi sementara Si Penolong Budiman

tegak termangu.

 Tiba-tiba dalam gelapnya malam terdengar suara

menguik. Lalu ada suara menggelepar dan sambaran

angin. Seekor burung gagak hitam entah dari mana

munculnya tahu-tahu sudah hinggap di ujung lancip

sebuah batu.

 "Gagak itu..." desis Hantu Jatilandak. "Makhluk

pemberi petunjuk.... Dia muncul lagi...."

 Gagak di atas batu menguik lagi. Angguk-anggukkan 

kepalanya ke arah Hantu Jatilandak lalu kepakkan

sayapnya. Sesaat binatang ini berputar-putar rendah lalu

terbang ke arah timur. Ingat peristiwa sebelumnya di

mana si gagak memberi petunjuk hingga dia sampai ketempat itu, Hantu Jatilandak segera lari mengikuti burung

itu. Luhcinta sesaat masih diam. Lalu gadis ini pun

berkelebat pula ke arah lenyapnya Hantu Jatilandak.

 "Gadis bernama Luhcinta! Tunggu dulu! Kau belum

memenuhi janjimu!" berseru Si Penolong Budiman. Na-

mun Luhcinta telah lenyap ditelan kegelapan malam.

 Si Penolong Budiman bermaksud hendak mengejar

pula. Namun dia sadar keadaan mukanya. "Aku harus

menutupi wajahku lebih dulu. Baru mencari gadis itu.

Wajahnya sama benar. Aku yakin dia...." Orang ini me-

narik nafas dalam lalu tinggalkan kawasan bukit batu itu

penuh kecewa.


SEPULUH


LUHCINTA hampir kehabisan tenaga karena 

sepanjang malam dia berlari terus menerus mengikuti 

Hantu Jatilandak. Di sebelah depan Hantu Jatilandak juga 

merasakan sekujur tubuhnya seperti mau bertanggalan. 

Nafasnya megap-megap. Dia lari mengikuti gagak hitam 

yang terbang rendah di depannya.

 Pada saat langit di sebelah timur tampak terang,

gagak hitam melesat ke arah selatan, memasuki satu

kawasan bebukitan rendah ditumbuhi aneka warna 

kembang yang sedang mekar. Baik Hantu Jatilandak 

maupun Luhcinta tidak sempat memperhatikan keindahan 

disekelilingnya. Mereka lari terus. Waktu menyeberangi

satu anak sungai kecil dan dangkal serta berair sejuk

jernih, Hantu Jatilandak pergunakan kesempatan untuk

meneguk minum sepuas hatinya lalu lari lagi mengikuti

gagak hitam yang berputar-putar seolah sengaja 

menunggu. Hal yang sama juga dilakukan Luhcinta. Gadis

ini cuci mukanya lalu teguk air sejuk itu. Ketika dilihatnya

Hantu Jatilandak melanjutkan larinya, dia pun ikut 

mengejar.

 Di salah satu puncak bebukitan yang penuh bunga-

bunga itu, gagak hitam melayang turun dan hinggap di

atas sebuah batu runcing berlumut. Di sini binatang ini

menguik beberapa kali. Hantu Jatilandak memandang

berkeliling.

 "Kau mendapat sesuatu petunjuk...?" tanya Luhcinta 

begitu sampai di sebelah Hantu Jatilandak.

 "Burung itu berhenti di sini. Berarti ada sesuatu di

tempat ini. Tapi aku belum melihat apa-apa. Semua

tempat ditumbuhi bunga-bunga...."

 Luhcinta ikut memperhatikan keadaan di tempat itu

sementara matahari sudah muncul penuh dan kini 

keadaan jadi terang benderang.

 "Di belakang batu tempat burung itu hinggap..." kata

Luhcinta. "Aku melihat bunga-bunga tumbuh agak 

terkuak. Mungkin ada seseorang sebelumnya melewati

tempat itu...."

 "Coba kita menyelidik," kata Hantu Jatilandak pula.

 Ke dua orang itu bergerak ke balik batu berlumut.

Gagak hitam menguik keras beberapa kali."Lihat!" Luhcinta berseru, menunjuk ke arah depan.

"Di balik rimbunan bunga-bunga setinggi kepala itu....

Ada lobang besar...."

 Hantu Jatilandak cepat menyelidik. Apa yang dikatakan 

Luhcinta ternyata benar. Di balik serumpun bunga-bunga 

yang batangnya hampir setinggi kepala manusia, ketika 

disibakkan kelihatan sebuah lobang besar.

 "Mulut sebuah goa..." kata Hantu Jatilandak.

 Luhcinta mengangguk. "Aku mencium ada bau harum 

keluar dari dalam sana...."

 "Kau tunggu di sini. Aku akan menyelidik masuk ke

dalam," kata Hantu Jatilandak.

 "Kita masuk sama-sama," kata Luhcinta pula.

 Maka ke dua orang itu pun masuk ke dalam. Semula

mereka menyangka keadaan dalam goa itu gelap gulita.

Ternyata ada cahaya terang di sebelah depan. Berjalan

sejauh hampir lima puluh langkah, Hantu Jatilandak

keluarkan seruan tertahan dan hentikan langkahnya.

 "Ada apa...?" tanya Luhcinta.

 Hantu Jatilandak memberi isyarat. "Bicara perlahan.

Lihat ke depan sana..." Hantu Jatilandak miringkan tubuh

sengaja merapat ke dinding kanan goa agar Luhcinta

dapat melihat jelas ke ujung goa.

 Sewaktu si gadis memandang ke depan, dia cepat

tekap mulut menahan seruan yang hampir keluar dari

tenggorokannya. Di depan sana, di ujung goa tampak

tegak patung perempuan cantik yang sebelumnya ada

di bukit dingin. Tak jauh dari patung ada sebuah obor

yang nyala apinya mulai mengecil. Keadaan di dalam

goa sejuk sekali dan ada bau harum memenuhi udara.

 "Aku seperti pernah mencium bau harum ini 

sebelumnya..." bisik Luhcinta.

 "Aku juga..." jawab Hantu Jatilandak. "Aku tidak

mengerti, bagaimana patung perempuan cantik itu berada 

di sini...."

 "Betul. Malam tadi kita lihat sendiri belasan Peri

turun dari langit memboyong mencurinya..." kata Luhcinta 

pula. "Peri-peri itu membawa patung ini ke dalam goa 

ini?"

 "Aku tak bisa menduga. Hati-hatilah Luhcinta. Aku

mau mendekat ke ujung sana. Aku punya firasat ada

orang lain dalam goa ini. Dia bersembunyi di balik sosok

patung...."

 "Kau juga hati-hati..." kata Luhcinta yang merasa

senasib dengan pemuda malang itu.

 Baru saja Hantu Jatilandak bergerak dua langkah

tiba-tiba dari balik patung di ujung goa ada suara 

membentak.

 "Siapa di sana?!""Suara perempuan..." bisik Luhcinta. "Aku seperti

mengenali tapi tak bisa memastikan karena suara itu

disertai gema pantulan dinding goa...."

 "Jika tidak menjawab jangan salahkan kalau aku

menjatuhkan tangan jahat!" Suara dari balik patung 

kembali menggema.

 "Aku Hantu Jatilandak!" memberi tahu Hantu 

Jatilandak.

 "Aku Luhcinta!"

 "Hantu Jatilandak, berikan satu bukti bahwa kau

memang Hantu Jatilandak adanya!"

 Si pemuda jadi bingung. Luhcinta berbisik. "Kirimkan 

satu duri landakmu ke balik patung...."

 Hantu Jatilandak gerakkan pipi kanannya. Sebuah

duri coklat yang ada di pipi itu melesat ke depan, 

menancap di dinding goa sebelah sana.

 Sunyi sejenak. Sesaat kemudian dari balik patung

perempuan menangis muncul sesosok tubuh berpakaian 

serba putih dan menebar bau wangi.

 "Peri Angsa Putih!" Hantu Jatilandak dan Luhcinta

berseru hampir berbarengan. Terkejut dan tidak 

menyangka sama sekali akan menemui sang Peri di 

tempat itu. Sesaat ke dua orang yang baru masuk ini 

tegak terpana menatapi wajah Peri Angsa Putih. Aneh, ke 

dua orang ini melihat ada bekas menangis pada sepasang

mata biru sang Peri.

 "Kalian datang hanya berdua?" tanya Peri Angsa

Putih karena diam-diam dia mengharap Pendekar 212

Wiro Sableng juga muncul bersama mereka. Sang Peri

menjadi kecewa karena memang hanya Hantu Jatilandak 

dan Luhcinta yang masuk ke dalam goa. Apalagi sejak 

beberapa waktu lagi dia merasa cemburu atas hubungan 

Wiro dengan Luhcinta.

 Dari hanya terkejut Hantu Jatilandak berubah menjadi 

marah. Kehidupannya yang penuh derita selama ini adalah 

gara-gara kutukan para Peri. Patung yang sangat

disayanginya lenyap dilarikan orang. Ternyata Peri Angsa 

Putih yang melakukannya!

 "Peri Angsa Putih, jadi kau rupanya yang punya

pekerjaan! Sungguh aku tidak menyangka! Dari dulu

tindakanmu selalu mendatangkan kesengsaraan padaku!" 

Hantu Jatilandak membentak.

 "Wahai, apa maksud ucapanmu Hantu Jatilandak?"

tanya Peri Angsa Putih. Suaranya terdengar agak serak.

 "Jangan berusaha mencari dalih. Kau seperti ayam

putih terbang siang yang tertangkap tangan dan tak

mungkin berdusta lagi!"

 Peri Angsa Putih memandang pada Luhcinta. 

"Kerabatku bernama Luhcinta, mungkin kau bisamenerangkan maksud semua ucapan Hantu Jatilandak...."

 Luhcinta menjadi kikuk. Gadis ini berkata. "Hantu

Jatilandak, harap kau bicara terus terang pada Peri itu.

Tak perlu memakai kata-kata berkias. Agar persoalan

yang kau hadapi bisa jelas dan tak ada salah menduga

satu dengan yang lain."

 "Peri Angsa Putih, kau tahu di mana patung perempuan 

cantik ini sebelumnya berada?" bertanya Hantu Jatilandak.

 "Aku tahu. Di bukit batu dingin," jawab Peri Angsa

Putih polos.

 "Lalu bagaimana patung ini tahu-tahu berada dalam

goa ini bersamamu? Apakah patung batu ini punya kaki,

bisa berjalan sendiri atau ada yang membawanya ke sini?"

 Berubahlah paras Peri Angsa Putih mendengar

kata-kata Hantu Jatilandak itu. Sesaat dia memandang

ke arah Luhcinta, menunggu kalau-kalau gadis itu akan

mengucapkan sesuatu menyambung kata-kata Hantu

Jatilandak. Ketika si gadis tidak berkata apa-apa maka

Peri Angsa Putih lalu membuka mulut. "Hidup memang

penuh keanehan. Apa yang dilihat dengan mata nyata

belum tentu sesuai dengan apa yang diduga. Apa yang

dijelaskan dengan kata-kata belum tentu didengar 

dipercaya. Wahai Hantu Jatilandak, ketahuilah, malam tadi

serombongan Peri, entah siapa yang memerintah, turun

ke Negeri Latanahsilam untuk mengambil patung ini dari

bukit batu dingin. Mereka bermaksud membawa patung

ini ke Negeri Atas Langit karena rasa khawatir yang

berkelebihan. Mereka takut patung ini bisa menimbulkan

sesuatu yang tidak diingini...."

 "Patung batu, hanya sebuah benda mati menjadi

bahan kekhawatiran ketakutan! Sungguh bodoh sekali

para Peri di Negeri Atas Langit itu!" kata Hantu Jatilandak

pula. "Aku menduga, salah satu dari para Peri yang

mengambil patung ini adalah kau sendiri!"

 "Patung itu bukan patung biasa wahai Hantu 

Jatilandak. Kau mengetahui sendiri. Mana ada patung 

biasa pandai berkata-kata. Mana ada patung batu bisa 

mengeluarkan air mata. Mana mungkin patung biasa

mengucurkan darah ketika lehernya ditebas. Noda darah

itu masih ada pada tubuhmu...."

 Hantu Jatilandak pandangi dada dan ke dua tangannya. 

Memang darah yang mengucur secara aneh dari kutungan 

leher patung perempuan itu masih melekat di tubuh Hantu 

Jatilandak.

 "Aneh, mengapa kau tahu semua kejadian itu?"

tanya Hantu Jatilandak.

 "Tidak aneh, karena sejak patung itu berada di bukit

batu dingin aku berada tidak jauh dari sana...."

 "Apa kepentinganmu wahai Peri Angsa Putih?""Sejak lama antara kami bangsa Peri terdapat 

perselisihan dalam cara berpikir dan bertindak. Tak 

mungkin dan tak boleh hal ini kujelaskan padamu. Aku 

salah seorang yang menentang cara berpikir serta 

tindakan para Peri yang kuanggap kuno dan tidak mau 

melihat perubahan-perubahan yang terjadi di atas bumi. 

Namun agaknya aku hanya berjalan sendiri. Para Peri 

lainnya tidak setuju bahkan marah. Itulah sebabnya setiap 

hal yang bertentangan dengan para Peri lainnya aku selalu

melakukan secara diam-diam...."

 "Aku sungguh gembira mendengar kata-katamu wahai 

Peri Angsa Putih. Tapi menurut kakekku Tringgiling

Liang Batu, justru kaulah Peri yang hendak menculik

diriku ketika aku dilahirkan dan dilemparkan oleh ayahku

sampai jatuh ke pulau kediaman kakekku itu.... Sekarang

kau bicara lain. Mungkin aku perlu mendengar ucapan

Peri lain untuk mengetahui siapa dan bagaimana dirimu

sebenarnya...."

 Walau hatinya merasa tersinggung atas ucapan

Hantu Jatilnndak itu namun Peri Angsa Putih berusaha

tersenyum dan menjawab. "Jika kau memang berniat,

siapa yang melarangmu untuk bertemu dan bicara dengan 

para Peri? Wahai, aku berada di sini. Di dalam goa

di mana patung perempuan cantik yang kau sayangi juga

berada di sini. Ayam putih terbang siang katamu. Aku

tertangkap tangan. Tertangkap basah! Tertangkap tangan 

dan basah bagaimana? Seperti kukatakan tadi dan kau 

ketahui sendiri. Para Peri sengaja hendak memboyong 

patung ini ke Negeri Atas Langit. Aku satu-satunya yang 

tidak menyukai hal itu. Tapi tak mungkin aku menentang 

Peri sebanyak itu. Satu-satunya jalan adalah bertindak 

secara diam-diam. Malam tadi dengan menyamar aku 

mencuri patung ini dan membawanya ke dalam goa ini...."

 "Mengapa kau melakukan hal itu wahai Peri Angsa

Putih? Menjadi pahlawan untuk sebuah patung benda

mati?"

 "Terus terang aku tidak suka dengan tindakan para

Peri. Mereka telah melangkah terlalu jauh dalam meng-

urus hal-hal yang tak patut mereka lakukan. Kemudian

satu hal yang amat penting, seperti aku katakan tadi

patung ini bukan patung biasa. Apakah kau tidak merasa

bahwa dalam aliran darahmu, dalam detak jantungmu

seperti ada pertalian batin antaramu dengan patung

ini...."

 "Aku tidak mengerti...."

 "Kau menyukai patung ini. Kau menyayangi 

mengasihinya. Wahai, itulah yang kumaksudkan pertalian

batin, sambung rasa. Kau bahkan tidak peduli akan

keselamatan tubuh serta jiwamu sendiri demimenyelamatkan patung ini. Itulah rasa kasih sayang 

sejati. Mengenai kasih sayang pengetahuanku hanya 

secupak dangkal. Mungkin kerabat Luhcinta bisa 

menjelaskan...."

 Luhcinta diam saja tapi dia tahu kalau Peri Angsa

Putih menyindirnya. "Apa pula maksud Peri satu ini

menyindirku..." membatin Luhcinta.

 "Aku akan membawa patung ini dari sini!" Hantu

Jatilandak tiba-tiba berkata.

 "Kau memang berhak atas patung ini..." kata Peri

Angsa Putih pula. "Tapi jika aku menyarankan, sampai

keadaan benar-benar aman biar saja patung ini tetap di

sini. Para Peri di Negeri Atas Langit tidak tahu kalau

patung ini kusembunyikan di sini...."

 "Apa yang dikatakan Peri Angsa Putih mungkin

benar. Sebaiknya kau mengikuti nasihatnya," Luhcinta

ikut bicara.

 "Kalau begitu aku menurut saja. Namun ada satu

hal yang perlu kutanyakan padamu wahai Peri Angsa

Putih. Menurutmu patung ini bukan patung biasa. Aku

juga tahu dan menyadari. Lalu, apakah kau mungkin tahu

asal usul patung ini? Tak mungkin tahu-tahu bisa berada

di bukit batu dingin. Untuk menemuinya aku mendapat

petunjuk aneh dari seekor gagak hitam. Burung itu juga

yang memberi petunjuk letak goa ini padaku.... Kalau

patung ini memang dipahat orang, siapakah pemahatnya? 

Mengapa setelah selesai patung ditinggalkan begitu saja 

di bukit sunyi?"

 "Wahai...." Peri Angsa Putih menatap sejurus wajah

Hantu Jatilandak. "Jika kuceritakan satu kebenaran

padamu, apakah kau akan cukup tabah mendengarnya?"

 "Penderitaan dan kesengsaraan telah menempa

diriku menjadi orang paling tabah di muka bumi ini, wahai

Peri Angsa Putih."

 Luhcinta lalu menyambung. "Kebenaran adalah salah 

satu kekuatan paling luar biasa dari kasih sayang. Aku 

yakin Hantu Jatilandak akan tabah mendengar ceritamu 

wahai Peri Angsa Putih."

 "Kalau begitu baiklah. Patung itu adalah tubuh kasar

ibu kandung yang melahirkanmu. Ayahmu yang bernama 

Lahambalang membawa jenazah ibumu ke bukit batu 

dingin dan meninggalkannya di sana. Para Peri khawatir 

satu musibah besar akan menimpa mereka jika jazad 

ibumu dibiarkan dalam keadaan seperti itu. Maka mereka 

menurunkan hawa dingin luar biasa hingga sosok ibumu 

membeku menjadi patung batu. Sosoknya memang 

berbentuk patung batu. Tapi ketahuilah sesungguhnya dia 

masih dalam keadaan hidup karena dia mendengar dan 

punya perasaan.... Walau mungkin secara akal sehatkalian tidak bisa menerima kenyataan ini...."

 Sekujur tubuh Hantu Jatilandak bergetar. "Tidak!"

katanya dengan suara serak. "Aku bisa menerima 

kenyataan ini. Suara batinku sebelumnya memang sudah

menduga begitu." Hantu Jatilandak memandang ke arah

patung. Air mata meluncur ke pipinya yang penuh 

dengan duri-duri panjang berwarna coklat. "Ibu...." Suara

Hantu Jatilandak tercekat. Pemuda malang ini lalu 

jatuhkan diri di lantai goa. Bersimpuh dan mencium kaki

patung.

 Luhcinta usap ke dua matanya. Peri Angsa Putih

tundukkan kepala menahan derai air mata.

 Hantu Jatilandak baru bergerak ketika bahunya terasa 

kejatuhan tetesan air hangat. Ketika dia memandang ke 

atas dilihatnya air mata keluar, jatuh menetes dari 

sepasang mata patung. "Ibu...!" Hantu Jatilandak

meratap panjang dan peluk serta ciumi patung batu itu.

 Tiba-tiba Peri Angsa Putih melangkah ke pintu goa.

"Ada orang datang..." bisiknya. "Kalian tetap di tempat.

Aku akan menyelidik...." Lalu dengan cepat dia menuju

ke mulut goa. Dari balik rerumpunan bunga dia 

mengintip. Terkejutlah Peri Angsa Putih. Enam orang 

Peri berpakaian merah muda dilihatnya melangkah 

menuju rerumpunan bunga-bunga.

 "Wahai, bagaimana mereka bisa mengetahui tempat 

ini. Pasti ada yang jahat membocorkan rahasia. Apa yang 

harus kulakukan?"

 Di depan sana enam orang Peri semakin dekat. Peri

paling depan malah telah menyibakkan kelompok bunga-

bunga sebelah depan.

 Peri Angsa Putih pejamkan mata. Telapak tangannya 

dikembangkan. Dalam hati dia membaca mantera.

Lalu dengan suara sangat perlahan dia mengucap. 

"Kebenaran datangnya dari Junjungan Segala Junjungan!

Tak ada satu kekuatan pun bisa meruntuhkannya! Tapi

bila saat ini kebenaran akan roboh juga, biarlah aku mati

terhimpit di cadas paling bawah. Wahai para Dewa,

wahai para Peri dan semua roh baik yang tergantung

antara langit dan bumi. Tolong diriku. Tolong orang-

orang di dalam goa ini!" Habis mengucap begitu Peri

Angsa Putih tiup telapak tangan kanannya. Lalu tangan

itu dilambaikannya pulang balik ke mulut goa. Saat itu

juga muncullah larikan-larikan benang halus seperti ter-

buat dari kapas Benang-benang itu bersusun demikian

rupa menutupi mulut goa yang besar, membentuk 

sarang laba-laba Peri Angsa Putih kembali meniup. Seekor

laba-laba besar kemudian muncul mendekam di atas

jaring.

 Ketika enam orang Peri menyibakkan bunga-bunga

di mulut goa, Peri Angsa Putih telah melompat masuk

ke dalam goa. Dia masih sempat mendengar salah

seorang dari mereka berkata. "Tidak mungkin patung

sebesar itu disembunyikan di dalam goa tanpa memutus

dan merusak jaring laba-laba ini. Aku rasa sudah sejak

lama goa ini tidak pernah dimasuki manusia atau 

binatang! Wahai kerabatku, mari kita menyelidik ke 

tempat lain!"

 Peri Angsa Putih merasa lega ketika mengetahui ke

enam Peri di luar sana telah pergi meninggalkan tempat

itu. Ketika dia berbalik dilihatnya Hantu Jatilandak dan

Luhcinta telah berdiri di hadapannya. Hantu Jatilandak

tundukkan tubuhnya dalam-dalam dan berkata. "Wahai,

Peri Angsa Putih Peri penolongku. Maafkan kalau 

sebelumnya ada salah menduga dalam diriku terhadapmu.

Aku tidak tahu harus berucap bagaimana untuk 

menyatakan rasa terima kasihku padamu...."

 Dalam harunya Peri Angsa Putih masih bisa 

tersenyum.

 Dia ulurkan tangan hendak mengusap rambut Hantu

Jatilandak. Tapi menarik tangannya kembali begitu sadar 

kalau di kepala si pemuda tidak ada rambut, melainkan 

duri-duri landak yang panjang dan runcing!


SEBELAS


KUDA HITAM berkaki enam itu melesat ke dalam

senja memasuki malam. Lakasipo yang berada di sebelah 

depan menunjuk ke arah timur. Sebuah bukit terjal 

kelihatan menghitam di kejauhan.

 "Itu bukit tujuan kita," kata Lakasipo lalu mem-

perlambat lari kudanya. "Yang di arah barat itulah yang

disebut Labukit Tanpa Mentari. Pada pagi hari sampai

siang bukit itu tidak pernah kena matahari. Waktu mata-

hari beralih ke barat sinarnya juga tidak bisa menyentuh

bukit karena ada bukit lain yang lebih tinggi meng-

halangi."

 "Aku heran," kata Naga Kuning yang duduk di paling

depan Laekakienam. "Kalau ada orang mau membunuh

kakek tukang ngompol itu, mengapa susah-susah meng-

undang dan mengadakan Perjamuan Pengantar Arwah

segala!"

 "Nenek berjuluk Hantu Pembedol Usus yang menyamar 

jadi Luhlampiri itu jelas-jelas adalah kaki tangan Hantu 

Muka Dua," menyahuti Wiro. "Aku yakin penculikan Si 

Setan Ngompol ini satu jebakan yang didalangi oleh Hantu 

Muka Dua!"

 "Aku juga menduga begitu," kata Lakasipo yang duduk 

di sebelah belakang. "Hantu keparat itu tidak akan

berhenti menyiasati kita sebelum kita semua menemui

ajal!"

 Udara mulai terasa dingin. Apalagi Laekakienam si

kuda raksasa berlari laksana angin. Tak selang berapa

lama mereka sampai di balik bukit besar yang meng-

halangi bukit kecil di sampingnya. Antara ke dua bukit

itu terdapat satu lembah kecil tertutup rimba belantara.

Inilah bagian dari daerah yang disebut Labukit Tanpa

Mentari.

 Suasana gelap dan sunyi mencekam. Saking sepi-

nya suara tiupan angin terdengar jelas. Naga Kuning

memandang berkeliling lalu hendak melompat turun.

Wiro cepat mencekal leher baju anak ini.

 "Jangan bertindak gegabah! Pakai turun segala!

Aku merasa bahaya berada di sekitar kita!"

 "Tapi aku tidak melihat apa pun kecuali hitam gelap.

Telingaku tidak mendengar suara apa pun! Lakasipo,

apa benar ini kawasan yang disebut Labukit Tanpa

Mentari? Jangan-jangan kita tersesat ke tempat yangkeliru!"

 "Kita tidak keliru. Aku sudah pernah datang ketempat 

ini sebelumnya...."

 "Jika ada undangan yang disebut makan-makan,

apa pun namanya pasti bau makanan sudah sampai ke

hidungku. Mungkin juga ada penyambutan yang meriah.

Bukankah kita tamu-tamu agung yang perlu dihormati?"

Naga Kuning kembali berucap.

 "Kita adalah tamu-tamu yang hendak dipesiangi

oleh kaki tangan Hantu Muka Dua!" kata Wiro.

 Lakasipo hentikan kudanya di satu tempat. Dari

balik pakaiannya dia mengeluarkan sebuah kantong

kecil terbuat dari jerami kering. Lalu dia mengeluarkan

tiga butir benda berwarna coklat dan diberikan satu

persatu pada Wiro dan Naga Kuning.

 "Apa ini? Tahi kambing atau tahi tuyul?!" tanya Naga

Kuning sementara Wiro memperhatikan benda yang ada

di telapak tangannya itu.

 "Obat penangkal racun! Lekas telan! Jika kita diundang 

makan oleh musuh, sudah pasti makanan atau minuman 

yang dihidangkan akan mengandung racun mematikan! 

Jadi kita harus berjaga-jaga...."

 "Tapi hidangan dan minuman masih belum 

kelihatan!" kata Naga Kuning pula.

 "Sudah, lekas saja kalian telan!"

 Naga Kuning dan Wiro saling pandang sejenak.

Tanpa banyak cerita ke dua orang itu lalu masukkan

butiran coklat itu ke dalam mulut. Begitu obat masuk ke

dalam mulut Wiro keluarkan suara tercekik dan mau

muntahkan obat itu yang ternyata pahit sekali. Hal yang

sama juga terjadi dengan Naga Kuning. Anak ini langsung 

mual perutnya dan mau muntah. Tapi Lakasipo cepat 

tepuk tengkuk ke dua orang ini hingga obat yang ada 

dalam perut mereka meluncur ke dalam tenggorokan, 

masuk ke dalam perut.

 "Obat dajal! Pahitnya bukan main!" kata Naga Kuning. 

Pendekar 212 hanya bisa menyengir lalu meludah

beberapa kali.

 Kesunyian di kawasan antara dua bukit itu dipecah

oleh suara bebunyian yang mendadak terdengar dari

arah lembah. Wiro memandang ke jurusan rimba 

belantara gelap di bawahnya.

 "Tetabuhan apa itu...?" ujar Naga Kuning.

 "Tuan rumah yang mengundang agaknya telah 

mengetahui kedatangan kita..." kata Lakasipo pula.

 "Suara tetabuhan itu seolah dekat sekali. Tapi aku

tidak melihat apa-apa...." Wiro bersuara.

 Naga Kuning menepuk paha Pendekar 212 lalu

berkata. "Coba kau pergunakan ilmu kesaktian MenembusPandang yang kau dapat dari Ratu Duyung...."

 "Kau benar. Akan kucoba," sahut Wiro. Sesaat sang

pendekar jadi ingat dan rindu pada Ratu Duyung. 

Kemudian dia arahkan pandangannya ke rimba belantara

gelap, kerahkan tenaga dalam ke mata lalu kedipkan 

kedua matanya dua kali.

 "Apa yang kau lihat?" tanya Naga Kuning tidak

sabaran.

 "Tunggu..." jawab Wiro. "Pandanganku masih kabur...." 

Lalu dia lipat gandakan hawa sakti ke kepala.

Sesaat kemudian sang pendekar keluarkan suara 

berdecak. "Luar biasa..." ujar murid Sinto Gendeng. Dua

matanya tidak berkesip. Naga Kuning dan Lakasipo tidak

sabaran. "Aku melihat lebih dua belas gadis, cantik-

cantik semua. Mereka duduk mengelilingi meja yang

diterangi puluhan kayu-kayu aneh menyala. Mereka me-

ngenakan pakaian kuning muda. Tapi, astaga!"

 "Tapi apa?!" Lajcasipo bertanya.

 "Astaga apa?!" Naga Kuning menyambung.

 "Pakaian mereka di sebelah punggung tersingkap

lebar. Di sebelah depan sangat rendah. Lalu pada bagian

pinggul terbelah tinggi...." Wiro basahi bibirnya dengan

ujung lidah. "Dari sini saja sudah terlihat kemulusan dan

keputihan tubuh mereka...."

 "Jebakan salah-salah bisa membuat kita lupa," kata

Lakasipo. "Apa lagi yang kau lihat. Hantu Muka Dua ada

di sana?"

 Wiro menggeleng. "Manusia Segala Tipu, Segala

Keji dan Segala Nafsu itu mana berani unjukkan muka

terang-terangan. Dia selalu bersembunyi di balik pung-

gung kaki tangannya. Aku juga tidak melihat kawan kita

Si Setan Ngompol. Di atas meja banyak hidangan dan

minuman. Namun belum ada satu pun yang menyentuh.

Ada dua buah kursi kosong di kiri kanan meja. Rupanya

sesuai undangan, untukku dan untuk Naga Kuning....

Tunggu dulu. Ada dua orang menggotong sebuah kursi

besar. Homm.... Kukira itu kursi untukmu Lakasipo.

Aneh, bagaimana mereka bisa mengetahui kehadiran-

mu?"

 "Hantu Muka Dua punya banyak pembantu dan

mata-mata. Kalian sudah siap?" tanya Lakasipo. Wiro

dan Naga Kuning anggukkan kepala. Lakasipo tepuk

pinggul kuda hitam berkaki enam. Binatang raksasa ini

segera melompat lari menuruni lembah kecil. Tak selang

berapa lama dalam kegelapan di depan sana kelihatan

cahaya terang. Lalu sesaat kemudian mereka sampai di

ujung satu pedataran terbuka. Lakasipo hentikan Lae-

kakienam di balik sebatang pohon besar. Suara te

tabuhan masih terus terdengar. Malah tambah keras.Baru saja kedua raksasa itu berhenti tiba-tiba empat

belas orang gadis berpakaian kuning bergerak bangkit

dari kursi masing-masing, memutar tubuh mereka ke

arah pohon besar dan secara bersamaan berucap. "Para

tetamu yang diundang telah datang! Selamat datang di

Perjamuan Pengantar Arwah. Mengapa tidak terus

menghampiri meja perjamuan dan duduk di antara

kami?"

 Setelah berkata begitu ke empat belas gadis itu

sama-sama bungkukkan tubuh memberi penghormatan.

Karena pakaian mereka di sebelah dada terbuka lebar

maka waktu membungkuk bagian dada gadis-gadis cantik 

ini seolah melompat keluar, putih menantang! Lakasipo, 

Naga Kuning dan Pendekar 212 Wiro Sableng mendelik 

besar melihat pemandangan itu.

 Naga Kuning berucap. "Kita di sini saja. Jangan

buru-buru ke sana. Biar mereka membungkuk sampai

berulang kali. Sampai kita puas melihat! Hik... hik!"

 "Bocah gendeng! Orang mengincar nyawa kita! Kau

masih bicara ngawur!" maki Pendekar 212. "Kalau tidak

untuk menyelamatkan kawan kita kakek tukang ngompol

itu, jangan harap aku mau-mauan ke sini!"

 "Lagakmu! Tadi kau sudah keluar iler melihat pung-

gung dan dada serta paha putih!" menyahuti Naga

Kuning.

 Jengkel Wiro sentil kuping kiri Naga Kuning hingga

bocah ini meringis kesakitan dan mau membalas.

 "Jangan bertengkar!" kata Lakasipo menengahi.

Lalu dia memberi isyarat. "Kita turun. Ingat semua yang

sudah diatur. Kalau selamat kita harus selamat semua.

Kalau ada yang celaka, yang lain harus menyabung

nyawa untuk menolong." Lalu Lakasipo melompat turun.

Karena dia telah mengerahkan tenaga dalam maka

sewaktu kakinya menyentuh tanah sama sekali tidak

terdengar suara atau pun getaran.

 "Aku tidak percaya kalau belasan gadis cantik itu

tega-teganya membunuh kita!" kata Naga Kuning masih

bercanda lalu melompat turun dari kuda mengikuti 

Lakasipo. Wiro turun paling belakang.

 Beberapa langkah sebelum mereka mencapai meja

besar, enam gadis berpakaian kuning muda segera

menyambut lalu mengantarkan mereka ke kursi masing-

masing. Naga Kuning duduk sendirian di sisi kanan meja.

Bocah ini duduk cengar-cengir dan tiada hentinya me-

mandang penuh kagum pada dua gadis cantik di kiri

kanannya.

 Di sisi kiri Wiro dan Lakasipo duduk terpisah dua

kursi. Suara tetabuhan perlahan-lahan sirna. Gadis yang

duduk di ujung meja sebelah kanan bangkit berdiri. Suaratetabuhan perlahan-lahan sirna. Gadis di ujung meja

membungkuk ke arah Naga Kuning di sisi kanan dan

Wiro serta Lakasipo di sisi kiri meja. Naga Kuning serasa

berhenti nafasnya melihat dada putih besar yang seperti

hendak membusai keluar itu.

 "Gila! Tanganku jadi gatal mau meraba..." kata si

bocah dalam hati.

 "Atas nama tuan rumah yang mengundang, kami

mengucapkan selamat datang pada tiga orang gagah

yang telah sudi hadir di tempat ini. Sebagai penghor-

matan pertama kami persilahkan para tamu agung mem-

basahi tenggorokan, meneguk anggur murni yang ada

dalam piala kayu...."

 Gadis cantik yang duduk di samping kiri Naga Kuning 

lalu ambil cangkir kayu berbentuk piala berisi minuman 

dan menyerahkannya pada anak itu sambil tersenyum 

kedipkan mata. Naga Kuning seperti melayang di sorga 

balas tersenyum serta kedipkan dua matanya berulang 

kali lalu ambil piala kayu. Gadis yang duduk di samping 

kanan Naga Kuning membantu anak ini mendekatkan 

piala kayu ke bibirnya.

 "Gluk... gluk...." Naga Kuning teguk minuman dalam

piala kayu dua kali. Rasa hangat menjalar sampai ke

perutnya. Mukanya berubah merah. Bocah ini tersenyum. 

Kedipkan matanya. Dengan dua tangannya dipegangnya 

lengan gadis cantik di sebelahnya lalu dekatkan piala kayu 

ke mulut dan teguk kembali anggur di dalamnya. Sesaat 

kemudian anak ini batuk-batuk lalu tersandar ke kursi. 

Dua matanya berputar-putar dan mulutnya pencong ke 

kiri. Air liurnya mulai meleleh.

 Di sisi meja yang lain Wiro dan Lakasipo juga 

mengalami hal yang sama. Dua orang ini tampak seperti

melayang-layang seperti meneguk minuman yang 

disuguhkan. Ke duanya senyum-senyum lalu terduduk

dengan mata mendelik tapi sayu hampir seperti orang

juling.

 "Dari tadi minum melulu!" kata Naga Kuning ketika

si cantik di sebelahnya kembali mendekatkan piala kayu

ke mulutnya. "Apa aku boleh menyantap makanan di

atas meja?"

 Dua gadis di sebelahnya tersenyum manis. "Tamu

yang mulia, harap sudi menunggu. Hidangan di atas

meja belum boleh disentuh sebelum hidangan utama

disiapkan dan disajikan."

 "Lalu mana hidangan utamanya?!" tanya si bocah

sambil julurkan lidahnya.

 "Harap bersabar wahai tamu agung! Sebentar lagi

makanan utama akan segera dihadirkan. Sambil me-

nunggu harap habiskan minuman dalam piala...."Ke tiga orang itu seperti setengah dicekoki, diberi

minuman dalam piala kayu. Tak selang berapa lama

keadaan mereka kelihatan semakin parah.

 Pendekar 212 Wiro Sableng duduk terkulai. Tangan

kanannya ada di atas kepala seperti mau menggaruk.

Tapi dia seolah tidak punya daya untuk menggerakkan

jari-jarinya! Matanya semakin juling. Mukanya tambah

kuyu. Mulutnya komat-kamit termonyong-monyong se-

perti hendak mengatakan sesuatu, tapi yang keluar justru 

adalah suara hembusan angin turun naik seperti orang 

bengek!

 Lakasipo sebentar-sebentar menyedot hidungnya

seperti orang ingusan. Matanya berputar jelalatan. Dari

mulutnya tiada henti keluar sendawa. Sesekali diseling

suara seperti mau muntah.

 Naga Kuning lain pula keadaannya. Dia tidak lagi

duduk di alas kursi tapi pindah ke lengan kursi. Matanya

kuyu jereng. Dari mulutnya keluar ludah dibarengi suara

cegukan. Setiap cegukan berhenti, dari bagian bawah

tubuhnya mengepos keluar suara angin alias kentut!

 "Aneh..." bisik seorang gadis berpakaian kuning

pada kawan di sebelahnya. Tiga orang itu 

memperlihatkan gejala aneh. Padahal tegukan ke dua tadi 

sudah bisa membuat mereka menemui ajal...."

 "Wahai, setahuku mereka berilmu tinggi. Mungkin

saja bisa bertahan beberapa waktu. Tapi lihat saja 

sebentar lagi. Selama ini tidak ada satu orang pun bisa

lolos dari kematian setelah meneguk Racun Pelibas

Usus. Mereka akan menemui ajal dengan usus hancur

lebih dulu. Lalu menjerit-jerit seperti orang kemasukan

roh jahat. Setelah itu tegang kaku tak bernyawa!"

 Naga Kuning dan Wiro Sableng delikkan mata. Tapi

ketika para gadis memandang padanya, ke dua orang

ini langsung kuyu kembali.

 Tiba-tiba terdengar suara seperti dua piring kaleng

diadu satu dengan lainnya. Lalu muncul sebuah gerobak

terbuat dari besi. Seorang lelaki tinggi besar berkulit

hitam yang mukanya bopeng, berambut panjang 

sepinggang dan bermata merah mendorong kereta itu.

Setiap dia menyeringai kelihatan barisan gigi-giginya

besar-besar. Pada lantai gerobak ada setumpuk kayu

bakar menyala. Lalu pada palang besi yang melintang

di atas gerobak, hampir tak dapat dipercaya dan sungguh

mengerikan terikat sesosok tubuh manusia dilumuri 

minyak dan hanya mengenakan sehelai cawat kecil. Orang

itu ternyata mau dijadikan kambing guling!

Jarak antara sosok orang itu dengan api kayu memang 

cukup jauh tapi hawanya tetap saja panas bukan

kepalang. Sosok tubuh yang malang itu kelihatan merah

hampir melepuh. Tidak bergerak dan juga tidak bersuara. 

Mungkin sekali sudah tidak bernyawa lagi! Dan orangnya 

bukan lain adalah si kakek berjuluk Si Setan Ngompol!

 Baik Wiro, maupun Naga Kuning dan Hantu Kaki

Batu alias Lakasipo sama sekali tidak memperlihatkan

gelagat apa-apa. Ke tiga orang ini tetap saja dalam

keadaan seperti tadi.

 "Makanan utama sudah datang!" Gadis di ujung meja 

berseru memberi tahu setelah bertepuk tangan tiga kali.

 Orang bermuka garang yang mendorong gerobak

besi hentikan gerobak itu di sisi kanan. Lalu dia ambil

sebuah sapu pendek terbuat dari jerami yang tergantung

dalam sebuah kaleng berisi minyak di salah satu tiang

gerobak besi. Minyak ini dipoleskannya ke muka dan

sekujur tubuh Si Setan Ngompol. Ketika ujung sapu

menyentuh bagian bawah perut si kakek, perut orang tua

ini berkedut-kedut lalu ces... ces... ces. Ada tetesan air

jatuh ke atas kayu bakar. Si kakek terkencing! Pertanda

dia masih hidup walau mungkin sudah sekarat!

 Orang bermuka bopeng dekati gadis di ujung meja.

Dia membisikkan sesuatu lalu kembali melangkah ke

gerobak besi. Si gadis bertepuk tiga kali.

 "Hidangan utama Perjamuan Pengantar Arwah yakni 

seekor kambing muda yang masih belum tumbuh

tanduk siap disajikan! Wahai para tamu agung! Juru

masak ingin bertanya. Para tamu agung mau mengecap

kambing guling ini dalam keadaan mentah, setengah

matang atau matang!"

 Si gadis memandang pada Wiro, Naga Kuning dan

Lakasipo yang duduk terkulai di kursi masing-masing.

 "Wahai! Tak ada jawaban! Berarti para tamu minta

makanan utama dihidangkan secara matang!" Gadis itu

memberi tanda pada juru masak dengan lambaian tangan. 

Si muka bopeng menyeringai. Dengan tangan kirinya dia 

putar palang besi di atas perapian. Sosok Si Setan 

Ngompol berputar-putar di atas gerobak. Lalu si

muka bopeng cabut dua buah benda yang tersisip di

pinggangnya yakni sebilah golok penjagal besar, 

berbentuk empat persegi panjang, putih berkilat dan se-

batang besi lancip. Golok digosok- gosokkdnnya berulang 

kali ke batangan besi hingga mengeluarkan suara

gesekan mengerikan. Di atas gerobak sosok Si Setan

Ngompol kembali kucurkan air kencing.

 Tiba-tiba tangan kiri juru masak bermuka bopeng itu

tusukkan besi lancip ke perut Si Setan Ngompol. Tangan

kanan yang memegang golok persegi panjang dibacokkanke pangkal paha si kakek!

 Serrrr! Air kencing Si Setan Ngompol mancur deras!


DUA BELAS


HANYA tinggal sejengkal ujung besi lancip akan 

menembus perut dan sekejapan lagi bagian tajam golok 

penjanggal akan memutus amblas pangkal paha Si Setan 

Ngompol, tiba-tiba tiga sosok melesat ke udara.

 "Braaakkk!"

 Sosok pertama mendarat di meja perjamuan. Membuat 

meja itu hancur berantakan. Semua apa yang ada di atas 

meja itu mencelat bermentalan. Delapan kaki meja 

melesak amblas ke dalam tanah!

 Itulah sosok Hantu Kaki Batu alias Lakasipo. Dia

menghancurkan meja perjamuan dengan gebrakan Kaki

Roh Pengantar Maut. Para gadis di sekeliling meja

berpekikan lalu saling berhamburan. Namun hanya empat 

orang saja yang bisa kabur. Karena begitu mereka

hendak melarikan diri sosok ke dua yang melesat ke

udara yakni Naga Kuning cepat mendorong sosok gadis

terdepan. Enam orang langsung jatuh saling tindih. Dua

orang coba bangkit berdiri hendak kabur lagi tapi 

pakaiannya dibetot si bocah. Dari pada robek dan jadi 

bugil dua gadis ini memilih diam. Empat gadis lagi, 

termasuk yang tadi menjadi juru bicara perjamuan 

tertegun diam tak bisa bergerak. Tubuh mereka kaku 

tegang dimakan totokan Naga Kuning! Anak ini kemudian 

melompat ke arah gerobak besi. Dengan cepat dia 

lepaskan ikatan di tangan dan kaki Si Setan Ngompol lalu 

seret kakek ini ke tempat aman.

 "Anak setan.... Aku hampir meregang nyawa! Mungkin 

jiwaku tidak ketolongan lagi! Mengapa kalian bersikap 

alon-alon asal kelakon menolongku?!"

 "Aku tak bisa menjawab saat ini Kek! Yang penting

kami bisa menolongmu walau keadaanmu seperti kambing 

guling benaran! Lalu yang juga tak kalah pentingnya, 

kapan lagi bisa berdekatan dan berpegang-pegang

tangan dengan gadis-gadis cantik itu! Hik... hik... hik!"

 "Bocah edan! Aku hampir matang dipanggang orang, 

kau masih saja bisa enak-enakan cari kesempatan!" 

Setan Ngompol memaki habis-habisan. Sekujur tubuhnya 

terasa sakit dan panas.

 Di atas meja, begitu membuat meja hancur berantakan 

Lakasipo langsung melompat ke arah juru masak muka 

bopeng. Kaki kanannya menderu ke kepala tukang jagal 

itu. Tapi dengan cepat si muka bopeng jatuhkan diri,berguling di tanah. Tubuhnya secara aneh berubah hijau 

pekat. Tangan kanannya memukul. Selarik sinar hijau 

pekat berkiblat. Bau amis menebar!

 "Pukulan Kelabang Racun Hantu*." teriak Lakasipo

mengenali pukulan itu. "Jadi kau adalah Hantu Kelabang

Dari Bukit Racun!" Lakasipo cepat menyingkir selamatkan 

diri.

 Si muka bopeng bergelak. Saat itu dia sudah tegak

berdiri dan berkata dengan suara keras. "Sayang kau

mengenali diriku di saat ajal sudah di depan mata!" Orang

ini kembali hantamkan tangan kanannya. Lakasipo 

gembungkan rahang. Tangan kanannya menggempur.

 Lima larik sinar hitam menderu dahsyat.

 "Lima Kutuk Dari Langit!" Kini si muka bopeng yang

berjuluk Hantu Kelabang Dari Bukit Racun itu yang

berteriak kaget begitu mengenali pukulan yang dilepaskan 

Lakasipo. Dia cepat melompat ke kiri. Namun saat itu 

sosok Pendekar 212 berkelebat. Selarik sinar putih

mengeluarkan suara seperti ribuan tawon mengamuk

dan menghampar sinar panas berkiblat di tempat itu.

 Hantu Kelabang Dari Bukit Racun pergunakan besi

runcing dan golok penjagal untuk menangkis.

 "Traangg!"

 "Traaang!"

 Si muka bopeng berteriak kesakitan. Dua tangannya

melepuh kepulkan asap. Besi runcing dan golok empat

persegi terbabat buntung lalu hancur berkeping-keping,

hangus mengepulkan asap! Putuslah nyali Hantu Kelabang 

Dari Bukit Racun ini. Walau dia masih menyimpan satu 

ilmu kesaktian namun dia memilih lebih baik selamatkan 

diri. Tanpa banyak cerita dia segera putar tubuh untuk 

larikan diri. Tapi di depannya tiba-tiba menghadang Naga 

Kuning. Melihat cuma seorang bocah yang

menghadangnya si muka bopeng langsung melabrak

sambil pukulkan tangan kanannya.

 Larikan sinar hijau melesat di atas kepala Naga

Kuning. Bocah ini seperti kambing bandot mengamuk

menyeruduk ke depan. Kelabang Hantu terhenyak ke

tanah. Naga Kuning cepat berkelebat hendak menetaknya. 

Tapi si bocah jadi berseru kaget ketika melihat

bagaimana sosok orang itu mulai dari kepala sampai ke

kaki berubah menyerupai seekor kelabang. Kelabang

raksasa jejadian ini berjingkrak ke udara. Buntutnya

melesat menghantam kepala Naga Kuning sedang 

kepalanya dengan dua tangan sebelah depan menyambar

ke leher Lakasipo!

 Lakasipo memang bisa mengelak selamatkan diri.

Tapi Naga Kuning yang tidak menduga kejadian itu

terlambat membuat gerakan selamatkan diri. Ekorberacun kelabang raksasa itu sampai di batok kepalanya!

 Pada saat itulah sebuah benda putih menerobos

laksana kilat, memayungi batok kepala Naga Kuning.

Lalu ketika benda putih ini bergerak berputar terdengar

suara craaasss!

 Ekor kelabang jejadian putus amblas. Cairan hijau

menyembur dibarengi suara raungan aneh. Naga Kuning

jatuhkan diri walau pakaian hitamnya sempat terkena

semburan cairan hijau. Ketika dia memandang ke depan

dilihatnya sosok Hantu Kelabang Dari Bukit Racun telah

berubah kembali menjadi sosok lelaki muka bopeng

garang. Namun satu kakinya tak ada lagi, buntung dibabat 

Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi dipergunakan Wiro 

untuk melindungi kepala Naga Kuning, sekaligus 

membabat putus ekor kelabang jejadian yang dalam 

bentuk aslinya adalah kaki kiri Hantu Kelabang Dari Bukit 

Racun!

 Terhuyung-huyung Hantu Kelabang bangkit berdiri.

Kakinya yang buntung diangkat tersentak-sentak. Belum

sempat dia berdiri dengan benar satu jotosan mendarat

di mukanya!

 "Kraaakkk!"

 Jotosan dalam jurus Kepala Naga Menyusup Awan

yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng membuat

hancur hidung Hantu Kelabang. Pipinya melesak ke

dalam tengkorak kepalanya! Raungan yang keluar dari

mulutnya yang ikut hancur terdengar aneh mengerikan!

Tangan Wiro sekali lagi berkelebat. Sosok Hantu 

Kelabang mendadak sontak menjadi kaku tegang tak bisa

bergerak begitu totokan ampuh dengan telak disarangkan 

Wiro ke pangkal leher si tukang jagal itu.

 "Kambing guling muka bopeng pasti lebih enak dari

pada kambing tua tukang ngompol!" kata Wiro. Lalu

tubuh kaku Hantu Kelabang Hijau Dari Bukit Racun

digotongnya, dibawa ke arah gerobak besi.

 "Jahanam! Kau mau bikin apa?!" teriak si muka

bopeng walau dalam keadaan kaku tapi masih bisa

bicara karena Wiro memang sengaja tidak menotok jalan

suaranya.

 "Ha... ha...! Tidak kira kambing ini bisa bicara! Lihat

saja apa yang akan kubikin padamu! Ada budi ada talas.

Ada keji ada libas! Ha... ha... ha!" Sambil tertawa-tawa

murid Sinto Gendeng ikat pergelangan tangan dan dua

kaki orang itu ke palang besi yang melintang di atas kayu

api pada gerobak besi. Wiro lalu putar palang besi itu

hingga sosok si muka bopeng ikut berputar. Lalu ke atas

tubuh yang berputar ini dia guyurkan minyak dari dalam

kaleng yang tergantung pada tiang gerobak.

 Hantu Kelabang Hijau Dari Bukit Racun berteriakseolah lidah dalam mulutnya yang hancur mau copot!

Semua gadis berpakaian kuning yang tidak sempat 

melarikan diri palingkan muka, tidak berani menyaksikan

apa yang terjadi. Apalagi begitu mereka mulai mencium

bau daging yang mulai meleleh terpanggang.

 "Tobat! Ampun! Lepaskan aku!" teriak Hantu Kelabang.

 Lakasipo datang mendekat. "Siapa biang keladi

yang menyuruh kalian melakukan kebiadaban terhadap

kakek temanku?! Lekas jawab!" Lakasipo membentak

sambil jambak rambut Hantu Kelabang yang mulai 

berbau sangit dijilat api.

 "Ampun! Aku akan bilang! Hantu Muka Dua! Dia

yang memerintahkan kami!" jawab Hantu Kelabang Hijau 

berteriak. "Aduh, tolong! Lepaskan aku! Panas sekali!

Tubuhku terbakar!"

 Lakasipo menyeringai. "Bagus, aku akan panggil

Hantu Muka Dua untuk menolongmu! Sebelum dia datang 

biar aku menolong membuat tubuhmu jadi sejuk

dingin...." Lakasipo ambil kaleng minyak dari tangan Wiro

lalu guyurkan sampai habis. Sosok Hantu Kelabang

Hijau kepulkan asap menebar bau menggidikkan. Di

bawahnya kayu api pemanggang berkobar lebih besar.

 Naga Kuning melompat ke hadapan gadis-gadis itu.

"Waktu kakek itu kalian perlakukan dengan keji, semua

kalian tersenyum tertawa! Sekarang mengapa kalian

palingkan muka memperlihatkan rasa ngeri! Satu-satu

kalian akan kami panggang seperti si muka bopeng itu!

Kau duluan!" Si bocah menuding ke arah gadis yang tadi

bertindak sebagai juru bicara. Gadis ini langsung pucat

wajahnya. Dia segera jatuhkan diri. Kawan-kawannya

mengikuti.

 "Tamu agung! Jangan salahkan kami! Kami hanya

orang suruhan!"

 "Peduli amat! Mengapa mau disuruh!" kata Naga

Kuning seraya dongakkan kepala dan rangkapkan tangan 

di depan dada sementara dua kaki tegak direnggangkan. 

Sikapnya seperti seorang pendekar jempolan. Wiro dan 

Lakasipo cuma menyeringai melihat kelakuan anak itu.

 "Kalau kami tidak mau, kami akan dimasukkan ke

dalam ruangan penyiksaan oleh Hantu Muka Dua!"

 "Betul! Sudah banyak teman kami dijebloskan ke

dalam Ruang Obor Tunggal di Istana Kebahagiaan!"

 "Dosa kalian sama besarnya dengan dosa Hantu

Muka Dua, jadi kami para tamu agung tidak mungkin

memberi ampun!"

 Si gadis jatuhkan diri hampir bersimpuh. "Aku dan

kawan-kawan akan lakukan apa saja asal tidak 

dipanggang di atas kereta besi itu!" Si gadis memohon.

 "Hemmm... begitu?" Naga Kuning turunkan kepalanyaMemandang sambil tersenyum dan kedipkan mata

pada si gadis. Lalu dia bertanya. "Coba katakan apa saja

yang bisa kau lakukan untukku dan kawan-kawan...."

 "Apa saja! Apa saja yang kalian minta!"

 "Misalnya?!" tanya Naga Kuning.

 Si gadis di sebelah depan berpaling dulu pada

teman-teman di belakangnya. Ketika para gadis itu 

anggukkan kepala baru dia menjawab. "Ada sebuah 

bangunan rahasia di sebelah timur rimba belantara. Di

dalamnya ada dua belas kamar. Kami bisa membawa

kalian ke sana sebelum sampai pertengahan malam.

Kalian boleh berada di sana sampai sang surya terbit...."

 "Tawaran menggiurkan," kata Naga Kuning sambil

senyum dan kedip-kedipkan matanya. "Kalau sampai di

sana, lalu apa yang mau kalian lakukan?" Si bocah

bertanya.

 "Terserah para tamu agung. Kami hanya mengikut!"

 "Wah, asyik juga! Tapi biar kutanya dulu teman-

temanku!" kata Naga Kuning.

 Saat itu Lakasipo dan Wiro Sableng sudah melangkah 

mendekati Naga Kuning. Mereka memandang pada

gadis-gadis cantik yang duduk bersimpuh di tanah itu.

 "Kalian gadis baik-baik yang bisa kembali ke jalan

baik. Jika kalian berjanji mau meninggalkan Istana 

Kebahagiaan, kami akan melepaskan kalian!"

 Gadis-gadis itu langsung jatuhkan diri dan 

berbarengan berucap. "Kami berjanji!"

 "Hai! Janji itu tidak berlaku untukku!" Naga Kuning

berteriak.

 "Buang pikiran kotor yang ada dalam benakmu

Naga Kuning!" kata Wiro.

 "Hai! Siapa yang punya pikiran kotor?!" teriak si bocah.

 "Aku dan Lakasipo tidak tuli. Kami dengar semua

pembicaraanmu. Kami lihat sendiri sikap genitmu! Bocah

edan tak tahu diri! Jangan mencari kesempatan dalam

kesempitan!" sentak Pendekar 212.

 "Kalian salah sangka! Aku tidak mencari kesempatan

dalam kesempitan! Terbalik! Justru aku mencari yang

sempit jika ada kesempatan! Hik... hik... hik!" Naga 

Kuning tertawa cekikikan lalu melesat ke atas pohon dan 

duduk di salah satu cabangnya ketika Wiro hendak 

melabraknya.

 "Kalian semua boleh pergi! Jauhkan diri kalian dari

Istana Kebahagiaan!" kata Wiro kemudian.

 Semua gadis itu tak ada yang bergerak. Mereka

dongakkan kepala menatap ke arah Wiro dengan 

perasaan tidak percaya.

 "Sungguhkah? Kami boleh pergi begitu saja...?"

 Wiro anggukkan kepala.i gadis bangkit berdiri. Kawan-kawannya mengikuti. 

Wiro kemudian melepaskan totokan pada beberapa

gadis yang tadi dilakukan Naga Kuning.

 Gadis cantik di sebelah depan berkata. "Namaku

Luhcempaka. Budi kalian tidak akan kami lupakan. Jika

ada kesempatan dikemudian hari tentu kami akan 

membalasnya...."

 "Tidak usah memikirkan hal itu. Kalian boleh pergi

dengan aman," kata Pendekar212. Matanya terasa silau

melihat sosok-sosok cantik yang pakaiannya tersingkap

di sana-sini itu.

 Gadis-gadis itu membungkuk. Melihat ini Naga Kuning 

langsung melompat turun dari cabang pohon. Matanya 

tidak berkedip memperhatikan belahan dada gadis

cantik. Sewaktu hendak bergerak pergi si gadis di sebelah 

depan memberi isyarat pada teman-temannya. Lalu dari 

balik pakaian kuningnya dia mengeluarkan satu tabung 

bambu. Tabung itu diserahkannya pada Wiro.

 "Apa ini?" tanya Pendekar 212.

 "Di dalam tabung itu ada cairan obat. Bisa kau

pergunakan untuk mengoles tubuh kakek yang tadi di-

garang itu. Dalam waktu tiga hari luka bakarnya pasti

akan sembuh!"

 "Terima kasih..." kata Wiro sambil tersenyum.

 "Hanya itu yang bisa kami lakukan untuk membalas

kebaikan kalian. Hanya itu dan ini...." Lalu si gadis

melompat ke depan. Bersama kawan-kawannya secara

tidak terduga dia berkelebat, satu persatu menciumi

Wiro, Lakasipo dan Naga Kuning.

 Naga Kuning usap-usap pipinya sambil menatap ke

arah kegelapan tempat lenyapnya gadis-gadis cantik ber-

pakaian kuning muda itu. "Lumayan," katanya. "Dari pada

tidak mendapat apa-apa sama sekali! Hik... hik... hik!"

 "Kalian beruntung, aku tetap saja ketiban nasib

jelek! Lekas bawa kemari obat dalam tabung itu ke sini!"

Dari arah kiri terdengar ucapan si kakek Setan Ngompol.

 Wiro memandang pada Naga Kuning lalu serahkan

tabung bambu ke tangan si bocah. "Serahkan padanya..." 

kata Wiro pula.

 Naga Kuning ambil tabung bambu itu lalu melangkah 

mendekati Si Setan Ngompol.

 "Ah, kau si bocah setan! Hari ini harap kau mau

sedikit berbakti pada kakekmu ini," kata Setan Ngompol

begitu melihat Naga Kuning berada di depannya me

megang tabung bambu berisi obat. "Tolong usapkan

obat itu dengan tanganmu ke tubuhku. Selangkanganku

sebelah belakang lebih dulu!"

 "Sialan! Siapa sudi!" kata Naga Kuning setengah

berteriak dan bantingkan kaki kanannya ke tanah.Si Setan Ngompol tertawa cekikikan! Lakasipo dan

Pendekar 212 Wiro Sableng ikut tertawa gelak-gelak.


TAMAT

Penulis : bastian tito

create : MATJENUH CHANNEL

BLOG : https://matjenuh-channel.blogspot.com


BASTIAN TITO

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Segera terbit:

HANTU LANGIT TERJUNGKIR



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive