Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Senin, 10 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - ROH JEMPUTAN


https://matjenuh-channel.blogspot.com



SATU


SESUAI petunjuk Para Dewa yang diterima 

melalui Satria Lonceng Dewa Mimba Purana, 

Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi 

Dyah Lokapala berhasil menemui Empat Mayat 

Aneh yang terbujur dalam sebuah peti mati hitam 

besar. Peti mati ini muncul dari dalam sebuah 

kuburan raksasa yang datang dari langit, turun ke 

tanah lalu secara aneh terbelah menguak. 


Ketika penutup peti mati terpentang membuka 

sendiri, dari dalam peti memancar empat cahaya 

coklat menyilaukan mata hingga Raja Mataram 

Rakai Kayuwangi tercekat mundur. Suasana tam–

bah mencekam sewaktu dari dalam peti terdengar

suara keras berucap. 

“Pelihara mata hanya melihat kebaikan.”

“Pelihara mulut hanya bicara kebaikan.”

“Pelihara telinga hanya mendengar kebaikan.”

“Pelihara kemaluan hanya untuk kebaikan.”

Untuk beberapa ketika Raja Mataram tidak 

dapat melihat apa yang terdapat di dalam peti mati 

karena ada kepulan asap kelabu menutupi pe–

mandangan. Tak selang berapa lama, begitu asap 

kelabu sirna, Rakai Kayuwangi menyaksikan satu

pemandangan yang sungguh luar biasa! Di dalam 

peti mati terbujur empat sosok mayat laki-laki 

dengan sekujur tubuh kecuali wajah dan kepala 

terbalut gulungan kain putih. Mayat pertama 

dalam keadaan dua tangan ditutupkan ke mata.Mayat kedua tangan menutupi mulut. Mayat ke–

tiga dua tangan ditutupkan ke telinga kiri kanan. 

Mayat terakhir yaitu mayat keempat dalam keada–

an menekapkan dua tangan di atas kemaluan. 

Rupanya inilah Empat Mayat Aneh yang dikatakan 

bocah sakti pilihan Para Dewa, Mimba Purana! 

Raja Mataram memberi salam. Salam dibalas 

oleh mayat kedua setelah lebih dulu menurunkan 

dua tangan yang menutupi mulut. Begitu Empat 

Mayat Aneh merasa pasti bahwa orang yang 

berdiri di samping peti mati adalah benar-benar 

Raja Mataram, mayat kedua berkata. 

“Saudaraku bertiga, orang yang di hadapan kita 

memang adalah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi 

Dyah Lokapala, putera dari mendiang Sri Mahara–

ja Rakai Pikatan Syah Saladu. Tiada keraguan 

untuk membantu dirinya, keluarganya, Kerajaan 

dan rakyat Mataram agar terlepas dari malapetaka 

yang menimpa...” 

Tiga kepala mayat di samping mayat kedua 

tampak bergerak mengangguk-angguk. 

“Sahabatku Empat Mayat Aneh,” berkata Raja 

Mataram. “Saya sangat berterima kasih. Saya mo–

hon malapetaka itu dimusnahkan dengan segera.” 

Mayat keempat yang menutupkan dua tangan 

di atas kemaluan tiba-tiba angkat dua tangan 

kanan ke atas. Mulut keluarkan ucapan lantang. 

“Salah satu peyebab kejahatan angkara murka 

di alam arwah dan di muka bumi berasal dari 

kemaluan yang tidak terpelihara secara baik! 

Hyang Jagat Bathara Dewa, kami Empat Mayat 

Bersaudara yang tiada daya ini, mohon perto–

longanMu. Kirimkan kuasaMu untuk menjemput 

pemuda pilihan, yang berada di negeri dan alam 

delapanratus tahun mendatang nun jauh di sana. 

Yang telah tertulis di dalam aksara takdir suciMu,satu-satunya yang kau berikan kekuatan dan 

kemampuan untuk menyelamatkan Raja, rakyat, 

dan Kerajaan Mataram dari malapetaka yang 

sedang menimpa!” 

Mendadak di kejauhan terdengar suara kuda 

meringkik, Lalu, Wusss! 

Kuda Lumping yang terbuat dari kajang bambu 

yang tadi disandarkan Raja Mataram di rerumpu–

nan semak belukar berpijar terang pertanda ada 

satu kekuatan gaib masuk ke dalam raga matinya. 

Di kejauhan terdengar suara kuda meringkik. Lalu 

sosok Kuda Lumping melesat ke udara! Selagi Raja 

Mataram tercekat melihat apa yang terjadi, tiba-

tiba mayat keempat ulurkan tangan kanan sambil 

berkata. 

“Yang Mulia, serahkan pada saya batu putih 

segitiga yang diberikan Satria Lonceng Dewa, 

Pendekar Bhumi Mataram Mimba Purana...” 

Raja Mataram tersentak kaget. Mata menatap 

tak berkesip pada mayat keempat, melirik ke arah 

tiga mayat lainnya. Otak berpikir dan hati mem–

batin. 

“Bagaimana salah satu dari Empat Mayat Aneh 

ini mengetahui kalau aku membekal batu pipih 

segitiga yang ada teraan angka dua satu dua pada 

tiga ujungnya. Mengapa mereka menginginkan 

benda itu. Padahal menurut Satria Lonceng Dewa, 

benda itu akan menjadi tanda pengenal bagi sese–

orang yang bakal datang dari alam delapanratus 

tahun mendatang. Kalau batu ini aku serahkan, 

berarti aku akan putus hubungan dengan orang 

yang dipastikan sebagai satu-satunya penolong 

rakyat dan Kerajaan Mataram dari malapetaka 

yang sedang menimpa. Hyang Jagat Bathara, 

bagaimana ini. Saya mohon petunjukMu. Apakah 

ini..., jangan-jangan ini satu ujian lagi tapi

mungkin juga satu tipuan. Sekarang aku jadi 

berpikir apakah Empat Mayat Aneh ini sebenarnya 

mahluk yang dikatakan Mimba Purana. Atau 

mahluk jejadian yang bermaksud menipu dan 

selanjutnya berbuat jahat... ?” 

“Sahabatku,” Raja akhirnya berkata. Ditujukan 

pada Mayat Aneh Keempat yang tadi meminta 

batu titipan. “Satria Lonceng Dewa memang mem–

berikan saya sebuah batu putih berbentuk segi–

tiga. Namun Satria Lonceng Dewa tidak mengata–

kan kalau benda itu harus diberikan pada salah 

seorang dari sahabat. Saya mohon maaf...” 

“Tapi setelah saya meminta, mengapa barusan 

Yang Mulia telah memberikan pada saya. Bukan–

kah begitu saudara-saudaraku?” 

Tiga Mayat Aneh lainnya anggukkan kepala lalu 

keempat mahluk itu tertawa gelak-gelak. Mayat 

Keempat acungkan tangan kanannya ke atas. 

“Yang Mulia, kami mengucapkan terima kasih. 

Bukankah ini batu yang tadi Yang Mulia 

berikan...?” 

Mendengar ucapan dan merasa tidak pernah 

memberikan batu putih segitiga, pandangan mata 

Rakai Kayuwangi segera diarahkan pada tangan 

kanan Mayat Keempat yang di angkat tinggi-tinggi. 

Astaga! Bagaimana mungkin! Raja Mataram 

melihat tangan kanan Mayat Keempat memegang 

batu putih segitiga bergurat angka 212. Rakai 

Kayuwangi memeriksa setiap sudut pakaiannya. 

Ternyata batu yang diberikan oleh Mimba Purana 

itu tak ada lagi padanya. Sudah berpindah ke 

dalam genggaman tangan Mayat Keempat! 

“Sahabat Mayat Keempat, saya mohon batu itu 

dikembalikan pada saya...” 

“Saya akan mengembalikan jika memang begitu 

kemauan Yang Mulia.” Jawab Mayat Aneh Ke–empat. “Tapi bukankah Yang Mulia datang dari 

jauh ke sini, berpacu dengan waktu untuk menye–

lamatkan rakyat dan Kerajaan Mataram? Batu 

putih ini adalah salah satu tanda bahwa siapa 

nanti yang datang ke hadapan Yang Mulia dan 

membawa batu ini maka dialah orang yang 

diharapkan bisa menolong Bhumi Mataram. Bila–

mana batu pertanda jati diri ini tidak sampai ke 

tangan orang yang dimaksud maka hubungan 

akan terputus. Kami tidak punya kemampuan lagi 

untuk menolong. Begitu cara yang dikehendaki 

Para Dewa di Kahyangan untuk menyelamatkan 

Mataram, begitu pula yang harus kami laksana–

kan. Kuda penjemput sudah dikirim ke alam 

delapanratus tahun mendatang. Batu segitiga 

putih sebagai pengenal harus segera pula sampai 

kepada orang yang dituju.” 

Rakai Kayuwangi terdiam, tidak memberikan 

jawaban walau dalam hati bertanya-tanya bagai–

mana Empat Mayat Aneh ini tahu semua apa yang 

telah kejadian dengan dirinya. 

Mayat Kedua yang selalu menutup mata, 

turunkan dua tangan lalu berkata. “Kami tahu ada 

keraguan dalam hati Yang Mulia. Hal itu karena 

dua kali pengalaman buruk. Pertama Yang Mulia 

diserang delapan mahluk serba merah. Kedua 

Yang Mulia diserbu Seratus Jin Perut Bumi. Yang 

Mulia pasti menaruh curiga bahwa kami empat 

bersaudara ini adalah mayat-mayat jejadian yang 

hendak menipu dan bermaksud jahat. Harap Yang 

Mulia lupakan semua prasangka ini...” 

“Ketika Yang Mulia pertama kali bertemu de–

ngan orang tua bernama Kambara Walanipa ber–

juluk Si Tringgiling, bukankah Yang Mulia juga 

merasa bimbang dan curiga? Nyatanya kemudian 

orang tua itu menolong Yang Mulia.” Yang berkata adalah Mayat Aneh Pertama. 

Karena Rakai Kayuwangi masih diam maka 

Mayat Ketiga yang selalu menutup telinga kini 

keluarkan suara. “Yang Mulia telah menghabiskan 

waktu lebih dari setengah hari sejak meninggalkan 

Bukit Batu Hangus. Berapa lama menurut Yang 

Mulia semua orang yang ada di sana dan juga 

rakyat Mataram yang masih hidup, mampu berta–

han dari ancaman maut yang boleh dikatakan 

sudah di depan mata? Penyakit lumpuh, demam 

panas, kelaparan dan kehausan, genangan air 

darah di mana-mana, bau busuk...” 

“Saudaraku Keempat,” berkata Mayat Kedua 

dengan suara agak tersendat. “Kalau Sri Maharaja 

Mataram tetap menginginkan kita mengembalikan 

batu, kita tidak bisa menunggu lebih lama. Harap 

kau segera menyerahkan kembali pada Yang Mulia 

batu segitiga putih itu. Kau tadi memang meng–

ambilnya tanpa kerelaan Yang Mulia. Yang Mulia, 

untuk kelancangan itu kami Empat Mayat Ber–

saudara memonon maafmu.” 

Mayat Keempat menghela nafas panjang. Se–

pasang matanya tampak berkaca-kaca. Tiga pa–

sang mata mayat lainnya juga tampak basah. 

“Kasihan Kerajaan... Kasihan rakyat Mataram... 

Kasihan karena dalam keadaan seperti ini kami 

tiada daya untuk menolong. Semoga Yang Maha 

Kuasa mengampuni kami berempat.” Empat mulut 

Mayat menyuarakan ucapan yang sama. 

Mayat Keempat ulurkan tangan kanan yang 

memegang batu ke arah Rakai Kayuwangi. Selagi 

sang Raja diselimuti kebimbangan untuk meng–

ambil atau tidak batu putih segitiga itu, dalam 

keadaan kelam karena kabut kelabu tebal masih 

menggantung di atas kawasan Candi Gedong Pitu, 

mendadak didahului cahaya putih terang disertai

tebaran bau harum, di udara melayang sosok 

seorang perempuan muda berpakaian merah. 

Perempuan ini berdiri mengambang di udara, di 

antara Rakai Kayuwangi dan peti mati di mana 

terbujur Empat Mayat Aneh. Bukan saja wajahnya 

cantik mempesona, pakaian merah yang dikena–

kannya demikian tipis hingga dalam cahaya putih 

benderang auratnya nyaris terlihat polos! Apa lagi 

dia berdiri dengan sikap gairah menantang! 

Peti mati hitam besar tampak bergeletar. Empat 

Mayat Aneh di dalamnya serentak bangun duduk, 

kepala dipalingkan, mata sama menatap melototi 

sosok perempuan muda. 

“Ihhhhh...!” 

Lalu, braakk! 

Keempatnya dengan cepat jatuhkan diri kem–

bali ke dasar peti mati. Satu persatu mereka ber–

seru keras. 

“Pelihara mata hanya melihat kebaikan!” 

“Pelihara mulut hanya bicara kebaikan!” 

“Pelihara telinga hanya mendengar kebaikan!” 

“Pelihara kemaluan hanya untuk kebaikan!” 

“Aduh celaka! Bagaimana ini!” Mayat Aneh Ke–

empat berteriak. “Bagian bawah perutku menda–

dak jadi keras!” 

“Hik... hiik... hik!” Tiga Mayat Aneh tertawa 

cekikikan


DUA


SUARA tawa cekikikan tiga Mayat Aneh serta 

merta lenyap tertindih suara tawa meleng–

king tinggi dan panjang. Yang menimpali 

tawa adalah perempuan muda cantik berpakaian 

merah tipis. Sementara itu di tempatnya berdiri 

Sri Maharaja Rakai Kayuwangi tegak tertegun. 

Pertama karena kagum melihat kecantikan orang, 

kedua dari sosoknya yang tegak mengambang,

Raja tahu kalau perempuan cantik berpakaian 

merah tipis itu memiliki ilmu kesaktian tinggi atau 

mungkin..., Sang Raja belum mau berprasangka

buruk.


“Empat sahabat berselubung gulungan kain 

putih, mengaku bernama Empat Mayat Bersauda–

ra. Sungguh aku merasa berbahagia bisa bertemu

dengan kalian. Lebih dari itu kita dapat pula 

sama-sama membagi tawa gembira. Betapa indah–

nya hidup antara alam arwah dan alam nyata. 

Sahabat berempat, ketahuilah aku datang sebagai 

utusan Para Dewa.” Ketika bicara, dua mata

perempuan muda itu melirik ke arah batu tipis 

putih berbentuk segitiga yang ada di tangan kanan 

Mayat Aneh Keempat.

Selesai bicara perempuan cantik berpakaian 

merah tipis putar tubuhnya ke arah Rakai Kayu–

wangi. Masih tegak mengambang di udara dia 

membungkuk seraya berkata. “Sri Maharaja Rakai 

Kayuwangi, terima salam hormat saya. Saya turut berduka atas bencana yang telah dialami Yang 

Mulia, keluarga serta rakyat dan Kerajaan Mata–

ram. Berhubungan dengan itulah saya diutus oleh 

Para Dewa untuk datang ke tempat ini. Guna 

membantu melenyapkan malapetaka.” 

Empat Mayat Aneh kembali bergerak duduk, 

menatap sebentar pada perempuan cantik, mulut 

sama-sama diruncingkan mengeluarkan suara 

seperti orang bersiul lalu kembali cepat-cepat 

membaringkan tubuh di lantai peti mati. 

Rakai Kayuwangi membalas penghormatan 

dengan membungkuk. Dugaannya bahwa perem–

puan muda cantik itu bukan orang sembarangan 

ternyata benar. Namun dia belum mengetahui 

apakah orang ini manusia biasa seperti dia, 

mahluk alam gaib, mahluk alam arwah atau roh. 

Tadi dia memperhatikan, ketika bicara sepasang 

mata perempuan yang masih mengambang di 

udara itu mengarah ke tangan kanannya. Adakah 

sesuatu yang aneh pada tangan kananku, pikir 

Raja Mataram. 

“Utusan Para Dewa yang turun dari langit. Saya 

bersyukur atas kedatanganmu. Kebajikan apakah 

yang bisa kau perbuat untuk menyelamatkan 

rakyat Mataram dan Kerajaan?” Bertanya Rakai 

Kayuwangi setelah membalas penghormatan. 

“Saya diperintahkan Para Dewa untuk memper–

cepat penyelamatan atas diri rakyat dan Kerajaan 

Mataram, tentunya termasuk diri Yang Mulia serta 

keluarga dan seluruh pejabat. Semua kejahatan 

yang bermula dan terjadi pada apa yang disebut 

Malam Jahanam siang ini juga, sebelum sang sur–

ya tenggelam harus dimusnahkan dari Bhumi 

Mataram. Malam ini juga Yang Mulia bisa kembali 

ke Bukit Batu Hangus, selanjutnya menuju Kota–

raja...” Menjawab perempuan muda berpakaian merah tipis. 

“Saya sangat berterima kasih.” Jawab Raja. 

“Boleh saya mengetahui bagaimana caranya atau 

apa yang hendak sahabat lakukan?” 

“Yang Mulia,” tiba-tiba salah seorang dari 

Empat Mayat Aneh yang ada di dalam peti mati 

besar berkata. “Tidakkah Yang Mulia ingin menge–

tahui dan menanyakan lebih dulu siapa nama 

sahabat cantik itu?! Kami berempat bersaudara 

dari tadi kepingin tahu, tapi tidak berani men–

dahului Yang Mulia.” 

Wajah si cantik berpakaian merah tipis unjuk–

kan rasa tidak senang ketika dia melirik ke arah 

peti mati. Lalu perempuan ini berpaling kembali 

pada Rakai Kayuwangi sambil mengulum senyum. 

“Yang Mulia, sebenarnya saya merasa malu 

menyebut nama memberi tahu diri. Saya khawatir 

dianggap berlaku sombong. Namun jika Yang 

Mulia menginginkan...” Sambil bicara lagi-lagi 

sepasang mata perempuan itu memperhatikan ke 

arah tangan kanan Raja Mataram. 

“Kalau tidak berkeberatan...” Jawab Rakai Ka–

yuwangi. Tiba-tiba ada suara mengiang di telinga 

kanan. Namun suara ini tidak jelas karena di saat 

yang bersamaan muncul pula suara mengiang lain 

yang juga tidak jelas namun lebih kuat dan 

menindih suara mengiang pertama. 

“Yang Mulia, saya ditakdirkan bernama buruk.” 

Si baju merah berkata. “Saya bernama Kunthi 

Pithaludra. Mengenai bagaimana cara...” 

Ucapan perempuan cantik mengaku bernama 

Kunthi Pithaludra terputus ketika dari dalam peti 

mati besar terdengar suara tawa riuh Empat 

Mayat Aneh. 

“Empat Mayat itu memang aneh dan lucu!” 

Ucap Kunthi Pithaludra. Walau mulutnya ter–senyum namun jelas ada perasaan kurang senang. 

Setelah diam sebentar, perempuan itu menerus–

kan ucapan. 

“Mengenai bagaimana cara saya untuk mem–

percepat penyelamatan bagi Yang Mulia dan 

keluarga serta rakyat dan Kerajaan, sesuai dengan 

petunjuk Para Dewa, saya mohon batu putih tipis 

yang akan dikembalikan oleh salah seorang saha–

bat Empat Mayat Bersaudara harap diterima saja. 

Untuk selanjutnya Yang Mulia menyerahkan batu 

tersebut pada saya. Pada kejap saya meninggalkan 

tempat ini dengan kuasa Yang Maha Pengasih 

maka sebagian malapetaka yang menimpa akan 

lenyap. Lalu besok pagi, begitu fajar menyingsing 

seluruh malapetaka akan sirna.” 

“Sungguh luar biasa!” kata Raja Mataram 

memuji. Namun dalam hati dia membatin. “Meng–

apa penjelasan perempuan ini berbeda dengan 

keterangan yang aku terima dari Satria Lonceng 

Dewa Mimba Purana...” 

“Sungguh indah kata-kata!” Dari dalam peti 

mati tiba-tiba terdengar suara Mayat Aneh Per–

tama. 

Menyusul suara Mayat Aneh Kedua. “Sungguh 

besar kuasa yang datang dari langit. Tapi apakah 

itu nyata?” 

Mayat Aneh Ketiga menimpali. “Saudaraku Ke–

empat, pegang erat-erat batu pipih putih segitiga 

seperti kau menekap erat-erat kemaluanmu! Hik.. 

hik... hik!” 

Mayat Aneh Keempat tak ketinggalan bicara. 

“Yang Mulia, selagi Yang Mulia merasa bingung 

menghadapi segala kejadian saat ini, mengapa 

Yang Mulia tidak meminta agar sahabat kita 

Kunthi Pithaludra agar turun ke tanah, meng–

injakkan dua kaki ke pedataran kawasan Candi Gedong Pitu. Hingga kita semua bisa melihat 

wajahnya yang cantik lebih jelas?” 

Perubahan pada wajah Kunthi Pithaludra 

tampak nyata. Perempuan ini cepat berkata. 

“Yang Mulia, kita semua tidak punya waktu 

banyak. Kalau Yang Mulia tidak mau menerima 

batu putih segitiga itu dan menyerahkan pada 

saya, daripada saya mendapat amarah dan kutuk 

Para Dewa, maka maafkan kalau saya berlaku 

lancang, mengambil sendiri batu itu dari tangan 

Mayat Aneh yang Keempat!” 

Raja Mataram sebenarnya hendak memenuhi 

permintaan yang diucapkan Mayat Aneh Keempat. 

Namun saat itu Kunthi Pithaludra dengan gerakan 

luar biasa cepat berkelebat ke jurusan peti mati. 

Tangan menyambar ke arah tangan kanan 

Mayat Aneh Keempat yang memegang batu pipih 

putih berbentuk segitiga. Seujung rambut lagi lima 

jari tangan si cantik akan berhasil merampas batu 

putih, dengan tindakan yang jauh lebih cepat 

Mayat Aneh Keempat masukkan batu putih ke 

dalam mulut. Mata mendelik dan glekk! Batu di–

telan seperti orang meneguk air! 

Rakai Kayuwangi tersentak kaget. Sebelum 

sempat bicara atau melakukan sesuatu, di depan 

sana Kunthi Pithaludra telah mendahului berte–

riak. “Mahluk kurang ajar! Para Dewa akan 

mengutukmu!” Lima jari tangan kanan dijentikkan 

ke arah Mayat Aneh Keempat. Saat itu lima jari 

tangan kanan perempuan cantik ini telah berubah 

menjadi lima paku besar berwana hitam meman–

carkan cahaya redup angker! 

Wuuutt! 

Lima paku besar menderu ke arah Mayat Aneh 

Keempat. Saat itu Mayat Aneh Keempat yang sejak 

tadi-tadi sudah mencium bahaya dengan cepat melesat ke udara. Begitu tubuhnya melesat keluar 

dari dalam peti mati hitam besar, braakk! Penutup 

peti mati tertutup. Lima paku menancap pada 

penutup peti, mengepulkan asap namun tidak 

mampu menembus! Lalu peti mati bergerak cepat 

naik ke udara dan dengan cepat pula melayang 

turun ke bawah, siap menghimpit Kunthi Pitha–

ludra, memaksanya bergerak ke bawah. 

Perempuan cantik itu dengan gerakan sebat 

menghambur melayang ke kiri. Lalu, bukk! 

Tubuhnya seolah membentur tembok yang tidak 

kelihatan. Dia berbalik cepat ke kanan. Hal yang 

sama terjadi. Dia tidak mampu menembus udara 

kosong! Dicoba menjebol ke depan dan ke bela–

kang, sama sia-sianya! 

“Empat Dinding Mayat!” Teriak Kunthi Pithalu–

dra yang rupanya mengenali ilmu kesaktian yang 

tengah membendung dirinya dari empat penjuru 

hingga dia tidak mampu loloskan diri. 

Sementara itu dari atas peti mati raksasa terus 

bergerak turun. Membuat mau tak mau pada 

akhirnya Kunthi Pithaludra harus menjejakkan ke 

dua kakinya ke tanah. Sebelum hal itu terjadi 

Kunthi Pithaludra menghantamkan jotosan tangan 

kiri kanan pada bagian bawah peti mati. Pukulan 

yang dilepaskan sanggup menghancurleburkan 

batu besar. Namun jangankan pecah atau hancur 

berantakan, bergemingpun peti mati hitam besar 

itu tidak! Kunthi Pithaludra kini berusaha mence–

gah turunnya peti mati itu. Dua tangan ditempel–

kan pada dasar peti lalu didorong ke atas. Namun 

dia laksana menahan jatuhnya Candi Prambanan! 

Begitu dua kaki perempuan ini menyentuh tanah 

pedataran, terjadilah hal yang luar biasa menge–

jutkan Raja Mataram Rakai Kayuwangi. Dimulai 

dengan menggelegarnya dua letusan keras.


TIGA


DUA kaki Kunthi Pithaludra hancur berke–

ping-keping sampai ke pangkal paha. Jeri–

tan kesakitan dan pekik kemarahan ber–

campur jadi satu. Walau keadaannya hancur 

mengerikan namun tubuh yang tinggal sepotong 

ini yaitu bagian pinggang sampai kepala masih 

berusaha menyelinap loloskan diri dari himpitan 

peti mati besar namun gagal. 


Braakk! 

Peti mati menghunjam tanah. Sosok Kunthi 

Pithaludra lenyap amblas tak kelihatan lagi. Tidak 

terdengar lagi suara raungan perempuan itu. Yang 

terdengar justru suara raungan anjing, panjang 

menggidikkan lalu lenyap. Kesunyian yang mene–

gangkan menggantung di udara, membungkus ka–

wasan Candi Gedong Pitu yang masih gelap akibat 

tertutup awan tebal kelabu.

Rakai Kayuwangi menatap ke langit. Sosok 

Mayat Aneh Keempat yang tadi menelan batu pu–

tih segitiga bergurat angka 212 lenyap tak berbe–

kas. Memandang kembali ke arah peti, merasa 

kawatir telah terjadi sesuatu dengan tiga Mayat 

Aneh lainnya, Raja segera mendekati peti namun 

langkahnya tersurut ketika tiba-tiba dari bawah 

peti mati muncul dua kaki hitam aneh, berkuku 

panjang seperti paku, berwarna kuning emas. Dua 

kaki ini menggapai-gapai sambil mengorek tanah 

hingga membentuk lobang besar. Tak selang

berapa lama dari lobang di bawah peti mati 

muncul keluar kepala seekor anjing hitam. Lidah 

yang terjulur berwana kuning. Nafas tersengal-

sengal. Sepasang mata juga kuning dengan garis 

putih memanjang di sebelah tengah. Kening dipe–

nuhi delapan benjolan berwarna merah mengepul-

kan asap! 

“Bathara Agung, saya mohon perlindunganMu. 

Apakah ini mahluk yang disebut Delapan Sukma 

Merah?” Membatin Rakai Kayuwangi sambil terus 

memperhatikan anjing aneh yang berusaha keluar 

dari lobang di bawah peti mati hitam. 

Ketika seluruh kepala anjing telah keluar dari 

lobang kelihatan sepasang kuping beranting-

anting bulat kuning. Binatang aneh ini menatap 

sebentar ke arah Rakai Kayuwangi, membuka 

mulut lebar-lebar lalu meraung panjang. Sehabis 

meraung anjing hunjamkan dua kaki depan ber-

kuku kuning panjang ke tanah. Begitu dua kaki 

terpancang ke tanah tubuhnya melesat keluar dari 

lobang. Astaga, ternyata anjing hitam ini berperut 

besar bergoyang-goyang. Barisan puting susunya 

tampak merah berair. Binatang ini rupanya dalam 

keadaan bunting besar! 

Tiba-tiba anjing hitam merunduk. Dua kaki 

depan menggurat-gurat tanah hingga mengepul-

kan debu dan menutup pandangan mata Rakai 

Kayuwangi. Didahului suara raungan keras, an–

jing hitam melompat ke arah Raja Mataram! Yang 

diarah adalah tangan kanan sang Raja. Dengan 

cepat Rakai Kayuwangi melompat mundur. Namun 

brett! Tak urung dada kanan pakaiannya masih 

sempat dicakar robek. 

Ketika melompat sambil menyerang, anjing 

hitam semburkan asap kuning dari mulutnya yang 

dengan telak mengenai wajah Rakai Kayuwang

Kejap itu juga pandangan Raja Mataram ini men–

jadi gelap, dada sesak dan dua lutut goyah. Tubuh 

terhuyung-huyung namun masih bisa bertahan 

tegak. Dari mulut keluar busa kuning sementara 

mata mendelik memandang ke depan tak berkesip. 

Untungnya sang Raja masih bisa bertahan untuk 

tidak sampai jatuh pingsan. 

Anjing hitam bunting meraung satu kali. Lalu 

dengan cepat binatang ini menyergap. Mulut yang 

menganga menyambar ke arah pangkal lengan 

kanan Rakai Kayuwangi yang sejak tads diincar, 

sementara tubuhnya yang bunting besar diteng–

kurapkan di atas tubuh Raja dan jelas binatang 

ini berusaha menyentuhkan anggota rahasianya 

dengan anggota rahasia Raja Mataram itu! 

Walau Mayat Aneh Keempat tidak ada lagi di 

tempat itu namun dari dalam peti mati terdengar 

tiga saudaranya berteriak keras. 

“Pelihara kemaluan hanya untuk kebaikan!” 

Anjing hitam yang menindih tubuh Rakai Kayu–

wangi menyalak dua kali. Saat itu terjadi satu 

keanehan. Dalam pandangan mata Raja Mataram 

sosok anjing yang menindihnya telah berubah 

menjadi sosok seorang perempuan yang berada 

dalam kedaaan bugil menebar bau harum merang–

sang. Lalu sementara kepala anjing bergerak ke 

arah kanan siap untuk mengoyak tangan, dari 

leher binatang itu mencuat keluar kepala seorang 

perempuan muda berwajah cantik. 

“Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapa–

la, saatnya kau ikut aku ke alam yang penuh 

keindahan. Tinggalkan alam duniawi yang penuh 

kenistaan ini. Kalau kita bisa menemukan keba–

hagiaan di alam lain mengapa mau menyengsa–

rakan diri di Bhumi Mataram...” 

Kepala berwajah cantik itu buka mulut dan

ulurkan lidahnya yang merah basah dan segar. 

Ujung lidah diarahkan ke mulut Rakai Kayuwangi. 

Hanya sesaat lagi ujung lidah akan masuk ke 

dalam mulut dan tangan kanan Raja Mataram 

akan putus dikoyak kepala bermulut anjing, tiba-

tiba di kejauhan terdengar suara genta lonceng. Di 

atas langit ada kilatan cahaya kuning. Tanah di 

pedataran kawasan Candi Gedong Pitu bergetar. 

Rakai Kayuwangi sadar dan ingat akan suara 

itu. “Genta Lonceng Dewa Mimba Purana. Anak itu 

pasti ada di sekitar sini...” 

Mendadak tubuh Sri Maharaja Mataram 

bergerak naik ke atas seolah ada yang meng–

angkat. Dari tangan kanannya yang menjulai ke 

tanah mencuat keluar sebuah benda yang bukan 

lain adalah batangan tongkat kayu milik Eyang 

Dhana Padmasutra yang dulu pernah disusupkan 

oleh Satria Lonceng Dewa Mimba Purana ke dalam 

tangan kanan Rakai Kayuwangi, tanpa sang Raja 

menyadari.1

Raja Mataram berusaha berdiri. Ujung tongkat 

kayu yang jadi pegangan mengarah ke tanah, 

sedang bagian ujung yang lebih kecil berada di 

sebelah atas. Begitu ujung tongkat menyentuh 

tanah, sosok perempuan cantik yang ada di atas 

Raja Mataram menggeliat dan menjerit keras lalu 

terguling ke samping kiri. Di sebelah kanan sosok 

anjing bunting terjengkang menggelepar, pung–

gung di tanah, empat kaki terpentang lebar. Tiba-

tiba sosok perempuan cantik terangkat ke udara 

lalu melayang masuk ke dalam sosok anjing! Di 

saat itu juga anjing hitam meraung keras. Dua 

kaki belakang terkembang semakin lebar. Raja 

Mataram merinding dan mundur dua langkah ketika melihat dari bagian bawah perut anjing 

hitam mencuat keluar kepala seekor bayi anjing! 

Anjing aneh rupanya siap melahirkan anaknya! 

Dari dalam peti mati terdengar teriakan. 

“Yang Mulia! Lekas bunuh induk dan bayi an–

jing! Pergunakan tongkat kayu pemberian Dhana 

Padmasutra!” 

Saat itu baru Rakai Kayuwangi menyadari ka–

lau di tangan kanannya telah tergenggam tongkat 

sakti pemberian kakek Dhana Padmasutra. Sang 

Raja tidak bisa berpikir bagaimana tongkat itu 

tahu-tahu berada dalam pegangannya, karena 

kembali terdengar teriakan. 

“Yang Mulia! Lakukan cepat! Bunuh anjing 

betina dan bayinya!” 

Rakai Kayuwangi angkat tongkat di tangan 

kanan. Siap untuk gebuk. Namun tiba-tiba saja 

hatinya tidak tega melakukan. Apalagi dalam saat-

saat hendak melahirkan, anjing betina hitam itu 

kelihatan sangat kesakitan dan keluarkan suara 

memelas serta sepasang mata menatap sayu 

seperti minta dikasihani. Di tanah darah telah 

menggenang. 

“Sang Hyang Agung Dewa Jagat Bathara! Saya 

mohon ampun! Saya tidak mampu membunuh 

mahluk itu dan anaknya betapapun jahatnya!” 

Rakai Kayuwangi jatuhkan diri berlutut. 

Braakkk! 

Tiba-tiba penutup peti mati terbuka. Salah 

seorang dari tiga Mayat Aneh yang ada di dalam–

nya berseru. 

“Yang Mulia! Dalam bahaya mengancam kau 

telah berbuat kebajikan! Kau menyelamatkan nya–

wa mahluk yang justru hendak merampas jiwamu! 

Sungguh luar biasa! Yang Maha Kuasa akan 

memberikan rahmat besar pada Yang Mulia! Lekas masuk ke dalam peti!” 

Selain kaget mendengar seruan dari dalam peti 

Rakai Kayuwangi juga bingung. Sementara itu di 

tanah anjing betina hitam keluarkan suara mera–

ung lemah mungkin menahan sakit dan sepasang 

mata terus menatap sayu berkaca-kaca, sesekali 

berkedip ke arah Rakai Kayuwangi. 

“Kasihan... Anjing betina itu tidak bisa melahir–

kan anaknya dengan kemampuan sendiri...” Kata 

Rakai Kayuwangi dalam hati. Lalu tiba-tiba saja 

Raja Mataram ini jatuhkan diri, berjongkok di 

bawah kaki anjing betina hitam. Mulut berkomat-

kamit membaca doa. Dua tangan diulurkan. 

Perlahan-lahan dia menarik kepala anak anjing 

yang telah menjulur keluar dari bawah perut 

induknya. Si induk melolong panjang ketika anak–

nya berhasil dikeluarkan. Sang anak yang belum 

mampu menggonggong hanya keluarkan suara 

menguik halus, lidah menjilati tangan Rakai Kayu–

wangi seolah sebagai ucapan terima kasih. 

Rakai Kayuwangi patahkan serumpun semak 

belukar lembut. Anak anjing yang baru lahir 

diletakkan di dalam semak belukar lalu ditaruh di 

samping induknya. 

Saat itulah sang induk anjing hitam tiba-tiba 

mengeluarkan ucapan seperti manusia. 

“Yang Mulia Raja Mataram Rakai Kayuwangi 

Dyah Lokapala. Ketika kejahatan kau balas 

dengan kebajikan maka runtuhlah sebagian atap 

pelindung angkara murka. Aku Sri Padmi 

Kameswari bertobat dan minta ampun pada Dewa 

Agung Penguasa Langit dan Bumi. Aku Sri Padmi 

Kameswari memohon maaf padamu dan bersum–

pah selanjutnya akan mengabdi hanya kepadamu. 

Namun roh jahat membuatku tidak berdaya. Raja 

Mataram, izinkan aku melepas sebagian dari

penderitaanmu dan semua rakyat serta semua 

mahluk yang masih hidup di Mataram.” 

Begitu selesai berucap, empat benjolan merah 

yang ada di kening anjing betina hitam itu pan–

carkan cahaya merah menyilaukan. Ujung cahaya 

jatuh tepat di atas empat benjolan merah di 

kening Rakai Kayuwangi. 

Dess! Dess! Dess! Dess! 

Empat benjolan merah di kening Raja Mataram 

pecah, menyemburkan nanah dan bau busuk luar 

biasa. Sesaat kemudian semburan nanah berhen–

ti. Bau busuk sirna dan empat dari delapan ben–

jolan yang ada di kening Rakai Kayuwangi lenyap 

tak berbekas. Hal yang sama ternyata terjadi pula 

pada semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus, 

pada semua rakyat Mataram termasuk mahluk 

hidup lainnya yaitu ternak dan hewan. 

Raja meraba keningnya. “Benjolan di kepalaku, 

kini tinggal empat...” Rakai Kayuwangi menatap ke 

arah anjing betina yang masih terus menatap ke 

arahnya sambil kedipkan mata beberapa kali. Saat 

itulah Raja Mataram ini sekilas melihat kepala 

anjing betina di hadapannya berubah bentuk 

menjadi kepala perempuan berwajah cantik. 

“Dia mengaku bernama Sri Padmi Kameswari. 

Dewa Agung, aku jadi ingat cerita Empu Semirang 

Biru...” Ucap Rakai Kayuwangi perlahan. 

“Yang Mulia! Cepat masuk ke dalam peti!” 

Dari dalam peti mati kembali terdengar suara 

salah seorang dari tiga Mayat Aneh berteriak. Saat 

itu juga Rakai Kayuwangi merasakan sepasang 

kakinya terangkat, tidak lagi menjejak tanah. 

Sebelum tubuhnya melayang ke arah peti, tiba-

tiba dari langit delapan cahaya merah menyilau–

kan menyambar ke bawah. Empat larik menderu 

ke arah dirinya dan empat larik lagi mengarah keanjing betina yang menyebut dirinya sebagai Sri 

Padmi Kameswari. Tidak pikir panjang lagi Rakai 

Kayuwangi babatkan tongkat kayu yang masih 

tergenggam di tangan kanannya. 

Selarik sinar putih membentuk kipas raksasa 

terkembang berkiblat. Delapan letusan keras 

menggelegar. Udara yang sejak tadi gelap untuk 

beberapa ketika menjadi terang diliputi cahaya 

merah dan putih. Di langit delapan cahaya merah 

bertabur berpencar-pencar lalu lenyap dari 

pemandangan. Sepertiga dari ujung tongkat yang 

dipegang Rakai Kayuwangi dikobari api. Ketika api 

padam, bagian tongkat yang tadi terbakar tampak 

hangus menghitam. 

Sebelum tubuhnya masuk ke dalam peti mati 

Rakai Kayuwangi masih sempat mendengar suara 

anjing betina berucap. 

“Yang Mulia, aku tidak meminta budi balasan. 

Namun hatimu begitu baik dan bersih. Kau masih 

mau melindungi diriku dari mahluk yang hendak 

merenggut nyawaku! Aku berterima kasih dan 

memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk kesela–

matan dirimu, keluargamu, semua pejabat Kera–

jaan dan rakyat Mataram...” 

Braakk! 

Peti mati hitam tertutup begitu Rakai Kayu–

wangi masuk ke dalamnya. Lalu peti ini melayang 

ke udara, lenyap di balik kabut kelabu tebal. 

Tiba-tiba di kawasan Candi Gedong Pitu terde–

ngar suara teriakan-teriakan riuh sekali. Membuat 

telinga mendenging sakit dan benak serasa di–

cucuk. Dari arah timur kelihatan puluhan sosok 

hitam bugil melayang laksana setan gentayangan 

tengah mencari mangsa. Seratus Jin Perut Bumi!

Anjing betina hitam meraung pendek lalu 

gulingkan diri. Dengan cepat dia menggigit kuduk

anaknya lalu menyelinap di antara tiga buah candi 

untuk kemudian menghilang ke arah selatan. 

Mengenai siapa adanya perempuan muda 

cantik mengaku bernama Sri Padmi Kameswari, 

seperti dituturkan sebelumnya perempuan ini 

adalah mahluk alam roh yang dikuasai oleh satu 

kekuatan gaib dan diperintahkan untuk meram–

pas Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang tengah 

dikerjakan pembuatannya oleh Empu Semirang 

Biru.2


EMPAT


DALAM kesunyian di rimba belantara yang 

jarang dimasuki manusia, sayup-sayup 

terdengar suara curahan air terjun. Saat 

itu matahari siang bersinar terang dan terik.

Namun kerapatan pepohonan dan dedaunan da–

lam rimba belantara seolah tidak dapat ditembus.

Dalam keremangan hutan yang berhawa lembab 

kesunyian dipecah oleh suara rentak kaki kuda.

Tidak lama kemudian tampak seorang berpakaian 

biru memacu seekor kuda coklat. Dari sikap 

duduk serta gerak-geriknya jelas orang ini sangat 

handal dalam menunggang kuda. Lalu dari kece–

patan kuda yang dipacu agaknya dia cukup 

mengetahui seluk beluk rimba belantara itu. 

Orang ini menunggangi kuda ke arah barat hutan,

ke jurusan terdengarnya suara air terjun. Karena 

kepala dan wajah ditutup dua carik kain biru dan 

hanya mata yang tersembul, tidak bisa diketahui 

siapa adanya orang ini. 


Di ujung hutan sebelah barat si penunggang 

kuda berhenti sewaktu jalan yang ditempuh mulai 

berbatu-batu, licin dan mendaki. Dengan gerakan 

enteng dia melompat turun dari kuda. Setelah 

lebih dulu menambatkan binatang itu pada se–

batang pohon dia lalu berlari ke arah ketinggian. 

Di satu batu besar yang agak datar, orang ini 

berhenti. Sepasang telinga jelas mendengar suara 

deru curahan air terjun. Namun aneh, sepasang matanya tidak mampu melihat air terjun itu, 

padahal pasti dekat sekali. Yang tampak hanya 

pohon-pohon raksasa yang mungkin telah berusia 

ratusan tahun. Orang yang tegak di atas batu do–

ngakkan kepala, hidung menghirup udara dalam-

dalam. 

“Aku mencium sesuatu...” Orang tadi berucap 

dalam hati. “Agaknya ada yang menerapkan ilmu 

Tabir Langit Turun Ke Bumi. Pandangan mataku 

terhalang. Pasti dia...” Orang berpakaian biru usap 

dua mata dengan tangan kanan. Sambil mengusap 

dia kerahkan tenaga dalam namun tetap saja dia 

masih belum bisa melihat air terjun. 

Tiba-tiba di langit tampak delapan larikan ca–

haya merah berkiblat lalu melesat turun ke bumi. 

“Ah, dia sudah datang...” Ucap orang bercadar 

biru di atas batu. Dia menunggu dengan dada 

berdebar. Mata dibuka lebar-lebar, hampir tidak 

berkedip untuk beberapa lama. Tiba-tiba satu le–

tusan dahsyat laksana gemuruh geluduk mengge–

legar di tempat itu. Begitu suara hanya tinggal 

ngiangan muncul kabut putih membumbung 

tinggi ke udara. Tak lama kemudian perlahan-

lahan kabut putih ini lenyap tak berbekas. 

Memandang ke depan tampak orang di atas 

batu melihat sebuah air terjun besar. Air yang 

mencurah ke bawah, memasuki sebuah jurang 

batu terjal. Di dasar jurang ada satu telaga besar 

tapi dangkal sepinggang karena dipenuhi bebatu–

an sebesar-besar tinju. Di satu tempat, air telaga 

yang berasal dari air terjun yang curahannya tidak 

pernah berhenti, meluncur ke bagian yang lebih 

rendah, selanjutnya mengalir membentuk sebuah 

sungai kecil ke arah timur. 

“Kawasan ini masih dalam wilayah Bhumi 

Mataram. Tapi aneh, mengapa banjir tidak sampai ke sini dan air terjun serta air di dalam telaga 

tidak berwarna merah. Tidak ada tebaran bau 

busuk. Mengapa tidak ada rakyat Mataram yang 

menyelamatkan diri ke tempat ini. Semua serba 

sunyi, kecuali suara deru air terjun itu...” 

Orang berpakaian, bertutup kepala dan berca–

dar biru menatap ke arah air terjun. Pandangan 

matanya yang tajam seolah mampu menembus 

curahan air. Dibalik air terjun terdapat satu din–

ding batu yang pada pertengahannya membentuk 

sebuah cekungan. Lebih tepat disebut sebuah goa 

besar. 

“Belum kelihatan. Tapi dia pasti sudah berada 

di sekitar sini. Mungkin dia tengah menyelidiki 

keadaaan kawasan. Semua harus dilakukan 

dengan sangat hati-hati. Aku sendiri, hemm... Aku 

yakin tidak ada yang curiga dan mengikuti diriku. 

Biar aku bersabar sedikit. Aku tahu. Dia tidak 

pernah mungkir janji...” Maka orang berpakaian 

biru tetap tak beranjak dari atas batu. Dua tangan 

disilang di atas dada. Saat itulah baru terlihat 

jelas kalau sepuluh jari tangannya digelungi 

sepuluh cincin perak bertahta permata. Sepasang 

matanya terus mengawasi. Tiba-tiba sepasang bola 

mata itu tampak membesar. Di balik curahan air 

terjun tampak samar keluar dari dalam goa 

seorang berpakaian merah, bertubuh agak bung–

kuk, mengenakan belangkon hitam dengan hiasan 

logam suasa berbentuk bintang sudut delapan di 

bagian depan. Orang ini menatap ke arah batu 

besar di atas jurang. Setelah memastikan orang 

berpakaian biru yang berdiri di atas batu adalah 

memang orang yang akan menemuinya maka 

orang di dalam goa angkat dua tangan ke atas. 

Dari telapak tangan kiri kanan mencuat keluar 

gabungan dua larik sinar putih membentuk

dinding gaib memancarkan cahaya putih berkilau 

seperti baja tertimpa cahaya matahari. Begitu 

dinding gaib ini menembus air terjun, serta merta 

air terjun yang mencurah dari atas berhenti ter–

tahan. Pemandangan ke arah goa di dasar jurang 

di depan telaga kini menjadi sangat jelas. 

Kini tampak sosok berpakaian dan berbelang–

kon merah yang berdiri di mulut goa ternyata 

adalah seorang kakek memelihara jangut, kumis 

dan cambang bawuk tipis berwarna merah. Di atas 

keningnya, mulai dari pelipis kiri sampai ke pelipis 

kanan berjejer benjolan merah mengepulkan asap. 

Di bawah sepasang alis yang juga berwarna merah 

dia memiliki dua mata besar yang bagian putihnya 

berwarna merah pekat. 

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Aku gembi–

ra akhirnya bisa menemui dirimu kembali...” 

Orang bercadar biru di atas jurang batu berseru. 

Astaga. Dari suaranya ternyata dia adalah seorang 

perempuan! 

“Sinuhun, apakah aku boleh turun ke bawah 

menemuimu?!” 

Kakek di mulut gua yang dipanggil dengan 

nama angker Gusti Merah Penghisap Arwah sung–

gingkan senyum dan julurkan lidahnya yang ter–

nyata basah dan sangat merah. 

“Tentu, tentu! Asal saja kau tidak lupa syarat 

yang harus kau lakukan mendahului setiap perte–

muan kita. Kebetulan di bawah ini ada telaga 

besar dangkal sepinggang, berair jernih dan sejuk 

pula...” 

“Sinuhun! Aku mengerti maksudmu! Aku akan 

membersihkan diri terlebih dulu. Apakah kau 

sudah menyiapkan bunga delapan rupa?” Jawab 

perempuan di atas jurang. Tidak menunggu lebih 

lama dia lalu melompat dari tepi jurang, melayang ke bawah dengan gerakan yang indah. Sambil 

melayang dia buka kain penutup kepala dan 

cadar. Lalu... ini yang tidak terduga! Perempuan 

ini juga menanggalkan pakaian ringkas biru yang 

dikenakannya. Sehingga ketika dia menjejakkan 

dua kaki di atas sebuah batu di depan goa besar 

di pinggiran telaga, keadaannya sudah polos tanpa 

selembar benangpun menutupi auratnya. 

Melompat dari ketinggian hampir dua puluh 

tombak, menjejakkan kaki di atas batu yang licin 

bukanlah satu pekerjaan mudah. Kalau dia tidak 

memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat 

tinggi pasti perempuan itu tidak mampu melaku–

kan. 

Perlahan-lahan perempuan tadi letakkan penu–

tup kepala, cadar dan pakaian birunya di atas 

batu. Lalu dia juga menanggalkan sepuluh cincin 

emas dan menaruh di atas lipatan pakaian. 

Setelah itu dia berdiri lurus-lurus menghadap ke 

arah goa dengan sikap luar biasa menggairahkan. 

Perempuan ini tinggi semampai, memiliki lekuk 

tubuh yang indah, dibalut kulit mulus sawo 

matang. Rambut dikuncir di atas kepala. Wajah 

cantik dihias sepasang alis hitam tebal dan bibir 

menawan. Dua matanya yang berkilat tampak 

juling. Kejulingan ini seolah menambah daya tarik 

kecantikan wajahnya. Dia membuka ikatan 

kuncir. Kini rambutnya yang hitam tergerai lepas 

di atas bahu, membuat dirinya tambah mempe–

sona. Ada satu keanehan! Pada payudara kiri 

kanan perempuan ini ada tanda telapak tangan 

berjari empat berwarna kemerahan. 

“Ah...” Kakek di depan goa berdecak kagum. 

“Usianya memang tidak muda lagi. Tapi setiap kali 

bertemu, aku melihat lekuk tubuhnya semakin 

kencang mempesona. Seorang gadis beliapun belum tentu bisa menandingi.” Kakek ini kemu–

dian berseru. “Aku melihat ada tanda delapan jari 

di dadamu. Hemm... Sang Junjungan rupanya 

telah memberi tanda persetujuan bahwa kepang–

katan dirimu akan disamakan dengan diriku. 

Sungguh aku sangat berbahagia...” 

“Sinuhun, aku juga merasa senang. Saatnya 

aku melantunkan nyanyian dan mulai mandi...” 

“Lakukanlah. Aku sudah menyiapkan bunga 

delapan rupa.” Si kakek duduk di atas batu goa. 

Tangan kanan dilambaikan ke tengah telaga di 

mana saat itu perempuan cantik telah turun 

masuk ke dalam telaga. Dari tangan kanan itu 

menebar keluar puluhan bunga aneka warna 

menebar bau wangi. Sebagian bunga masuk ke 

dalam air telaga, sebagian lagi jatuh di tubuh 

telanjang. Perempuan ini kemudian menyanyikan 

sebuah tembang merdu. Sambil menyanyi dia 

mulai mandi membersihkan diri dengan air telaga 

yang sejuk. Si kakek memandang dengan mata 

nyaris tidak berkedip. Sesekali nafasnya tersentak 

bilamana perempuan yang mandi di dalam telaga 

melesat ke udara setinggi satu tombak. Di udara 

tubuh itu mengambang sejenak, kepala digoyang 

hingga air yang membasahi rambut memercik. 

Tubuh disentakkan, dua tangan dan dua kaki 

dikembangkan begitu rupa lalu masuk lagi ke 

dalam air. Hal ini dilakukan oleh perempuan itu 

sampai empat kali! Siapakah adanya perempuan 

yang mandi berbugil diri di dalam telaga? Siapa 

pula kakek yang dipanggil dengan nama Sinuhun 

Merah Penghisap Arwah yang memiliki kesaktian 

sanggup membendung curahan air terjun?



LIMA


TK SELANG berapa lama perempuan yang 

bernyanyi sambil mandi di dalam telaga 

hentikan nyanyiannya lalu berseru memberi 

tahu. “Sinuhun, aku sudah selesai mandi. Apakah 

sekarang aku boleh mendekatkan diri padamu?” 


“Datanglah, selain rindu memang banyak pem–

bicaraan yang harus kita lakukan. Ada beberapa 

tugas yang harus dibicarakan dan satu perkara 

yang harus segera dilaksanakan!” 

“Berarti apakah kau sudah siap kembali ke

dalam ujud asli dan aku panggil dirimu dengan 

nama sebenarnya serta kau boleh pula menyebut

namaku tanpa kebimbangan?” 

Kakek berpakaian dan berbelangkon merah di

depan goa tertawa lebar. 

“Aku senang kau selalu ingat semua perjanjian. 

Aku sudah siap dari tadi. Tapi ada satu hal yang 

belum kau lakukan.” 

“Gerangan apakah itu wahai Sinuhun?” Tanya 

perempuan di telaga yang perlahan-lahan bergerak 

naik ke atas batu besar, siap untuk melompat

pindah ke depan goa di mana si orang tua bung–

kuk berdiri.

“Anting-anting emas murni di telinga kirimu. 

Kau lupa menanggalkan. Apakah kau ingin aku 

celaka kalau sampai bersentuhan dengan benda 

berhala itu?” 

Perempuan di dalam telaga terkejut. Wajahnya berubah. 

“Maafkan saya Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah. Saya lupa. Anting-anting emas ini sebe–

lumnya tidak pernah saya pakai. Ini diberikan 

beberapa hari lalu sebagai tanda terima kasih oleh 

seorang abdi dalem istana yang anaknya saya 

sembuhkan dari sakit yang sudah menahun. Saya 

tahu Sinuhun tidak boleh bersentuhan dengan 

emas murni. Maafkan saya...” 

Buru-buru perempuan itu tanggalkan anting-

anting emas yang mencantel di daun telinga 

kirinya. Perhiasan ini lalu dilemparkan ke atas 

lipatan pakaian yang terletak di atas batu besar. 

“Sinuhun, bagaimana sekarang? Sudah boleh–

kah?” 

Kakek di mulut goa kembangkan dua tangan. 

Kepala mendongak, bibir bergetar mengucapkan 

mantera. Saat itu juga tubuh bungkuk si kakek 

berubah menjadi sosok seorang muda berwajah 

gagah, memelihara kumis, janggut dan cambang 

bawuk tipis tapi tidak lagi berwarna merah, 

melainkan hitam rapi berilat. Pakaian yang tadi 

merah kini berubah hijau. Blangkon di atas kepala 

lenyap tak berbekas. Rambut menjulai hitam 

sampai ke bahu. Di kening terikat secarik kain 

hijau. Dari wajah dan perawakannya pemuda ini 

belum lagi memasuki usia duapuluh lima tahun. 

“Ratu Randang, datanglah ke dalam pelukan–

ku!” 

Perempuan di dalam telaga ternyata adalah 

Ratu Randang, penasehat Sri Maharaja Mataram. 

Perempuan berusia sekitar setengah abad tapi 

memiliki wajah masih cantik dan tubuh sangat 

molek ini melesat dari dalam telaga. Di udara dia 

membuat beberapa kali putaran hingga seluruh 

air yang menempel di rambut dan kulitnya men–jadi kering. Dalam keadaan aurat tiada terlindung 

sehelai benangpun dia kemudian melompat ke 

arah goa dan masuk ke dalam pelukan pemuda 

gagah. 

“Ghama Karadipa kekasihku. Apakah selama 

ini kau merindukan diriku?” tanya Ratu Randang 

sambil bergelangan di leher sang pemuda yang 

barusan dipanggil dengan nama aslinya. 

“Ratu Randang, tiada siang maupun malam 

tanpa aku bisa melupakan dirimu.” 

Ratu Randang tertawa manja. “Aku senang 

mendengar ucapanmu itu.” Lalu pemuda itu 

dipagut dan diciumnya berulang kali. “Sekarang 

katakan. Apakah kita akan membicarakan urusan 

atau bercinta lebih dulu?” 

“Ratu, biasanya perempuan lebih tabah dan 

tahan menghadapi berbagai masalah. Tapi dalam 

masalah bercinta terkadang perempuan hanyut 

lebih dulu dan menarik tangan kekasihnya hingga 

sama-sama hanyut...” 

“Astaga! Kau telah berubah menjadi seorang 

sastrawan. Seorang penyair! Hik... hik... hik! Tapi 

aku terpaksa membenarkan ucapanmu. Aku ingin 

hanyut dalam lautan cinta bersamamu saat ini 

juga!” 

“Ratu, Junjungan memberi kita waktu cukup 

banyak sebelum melakukan satu tugas besar. Kita 

berdua diperintahkan untuk mengatur penjem–

putan roh seorang yang berada di alam delapan–

ratus tahun di muka dan...” 

Ratu Randang tekap mulut si pemuda dengan 

tangan kanannya seraya berbisik. “Kita sudah 

sepakat untuk bercinta dulu baru bicara soal 

urusan lain...” 

Ghama Karadipa tertawa lalu mengangkat 

tubuh Ratu Randang dan membenamkan hidung–nya di dada perempuan itu. 

“Sebelum kita bercinta, ada satu hal aku minta 

kau lakukan,” ucap Ratu Randang sambil meng–

geliat kegelian. 

“Katakan...” 

“Aku minta kau melenyapkan dulu tanda dua 

telapak tangan berjari empat di dadaku. Walau 

aku tahu dengan cara itu Junjungan telah mem–

berikan ilmu kesaktian padaku, tapi aku merasa 

aku bukan seperti diriku sebenarnya. Aku yakin 

kau juga agak merasa terganggu dengan tanda 

itu...” 

“Permintaanmu akan aku turuti,” jawab si 

pemuda. Lalu dia gerakkan tangan kanannya ke 

arah air terjun yang menggantung. Saat itu juga 

air terjun mencurah kembali setelah tertahan 

secara gaib sekian lamanya.


ENAM


RIMBA belantara yang terletak tak jauh dari 

Candi Prambanan itu berada di kawasan 

berbukit-bukit. Seperti yang diceritakan 

dalam serial sebelumnya berjudul Empat Mayat

Aneh, mahluk gaib yang ada di dalam tubuh Ni 

Gatri memberi tahu bahwa dia perlu menyela–

matkan gadis bekas pemain kuda lumping itu 

karena anak itu akan menjadi penghubung 

dengan Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi 

Lokapala dalam usaha menyelamatkan Kerajaan 

dan rakyat Mataram.

R

Mahluk di dalam tubuh Ni Gatri kemudian 

meminta agar Sinto Gendeng, Pendekar 212 Wiro

Sableng serta Ni Gatri pergi ke hutan di dekat

Candi Prambanan dan menunggu sampai sesuatu 

terjadi. 

Di langit tak ada rembulan. Bintang hanya 

tampak satu-satu. Di dalam rimba tentu saja gelap 

bukan main. Mereka tidak mau menyalakan per–

apian karena kawatir menarik perhatian. Nyamuk 

berkeliaran mencari mangsa menghisap darah 

ketiga orang yang ada di tempat itu. Sinto Gen–

deng mulai menggerendeng. Dia berdiri. Kain 

panjang hitam yang basah dikibas hingga air 

kencing yang menempel muncrat bertebaran ke

mana-mana, menyiprati Wiro dan Ni Gatri. Kalau 

Ni Gatri cuma diam saja maka sang murid berani 

membuka mulut.“Nek, kira-kira kalau mengibas air kencing. 

Jangan seenaknya saja...” 

“Air kencing obat mujarab untuk menolak 

nyamuk!” Jawab Sinto Gendeng lalu kibaskan lagi 

kain panjangnya beberapa kali. 

“Oala Nek. Tobat! Sudah Nek! Jangan dikibas 

lagi! Kalau Nenek mau selamat dari gigitan 

nyamuk, usap saja air kencing ke tubuh dan 

wajahmu!” Wiro menjauh sambil memencet 

hidung. 

“Anak setan! Kenapa takut dengan air kencing. 

Padahal kau dulu lahir dan keluar dari lubang 

yang hanya serambut jaraknya dari lobang ken–

cing! Hik... hik... hik!” Si nenek mendamprat lalu 

tertawa cekikikan. Namun tawanya mendadak ter–

henti. Dia dan juga Wiro serta Ni Gatri menatap ke 

langit. Walau keadaan gelap tapi di udara jelas 

terlihat ada sebuah benda aneh melayang menge–

luarkan suara berdesing. Benda ini berputar tiga 

kali mengelilingi puncak bukit di mana ke tiga 

orang itu berada. Lalu terdengar suara ringkikan 

kuda. Ketika benda tersebut melayang turun di 

sela-sela pepohonan Ni Gatri berseru tertahan. Dia 

mengenali. 

“Ada apa?” Tanya Wiro sambil memegang bahu 

anak perempuan itu. 

“Benda yang melayang. Itu kuda lumping yang 

Gatri selalu mainkan dalam pertunjukan...” 

Baru saja anak perempuan itu menjawab, 

braakk! Benda yang dikatakannya kuda lumping 

itu melesat turun dan bagian bawahnya yang rata 

menancap tegak di tanah. Benar, benda itu 

ternyata adalah sebuah kuda lumping terbuat dari 

kajang bambu. 

“Kuda lumpingku!” Seru Ni Gatri. Anak ini 

berlari hendak memegang dan merangkul kuda lumping yang dulu selalu dimainkannya dalam 

setiap pertunjukan keliling bersama perkumpulan 

Kuda Lumping Cahaya Utara pimpinan Ki Sugeng 

Jambul. 

Wiro cepat memegang lengan anak perempuan 

ini sambil berbisik. “Ni Gatri, kau harus berlaku 

hati-hati. Kuda lumping itu muncul secara aneh. 

Bukan mustahil ada penghuni gaib di dalamnya. 

Iya kalau mahluk baik seperti kakek yang pernah 

dilihat guruku, kalau jahat, kau bisa celaka!” 

Sinto Gendeng sendiri menjaga jarak sambil 

memperhatikan penuh waspada. Dalam hati dia 

berkata. “Walau aku belum bisa melihat, aku ya–

kin ada mahluk gaib di dalam kuda main-mainan 

itu. Mudah-mudahan saja dia kakek gagah yang 

tadi siang masuk ke dalam tubuh Ni Gatri...” Dari 

tempatnya berdiri Sinto Gendeng terus mengawasi. 

Sementara itu meski sudah dipegang namun Ni 

Gatri rupanya tak bisa dicegah. Anak ini lepaskan 

cekalan Wiro lalu lari menghampiri kuda lumping. 

Berulang kali dia mengusap dan membelai kuda 

lumping seraya berkata. “Sahabatku, bagaimana 

kau bisa muncul di sini. Malam-malam begini. 

Aku kangen memainkanmu. Sayang tak ada yang 

meniup terompet dan menabuh tambur...” 

Tiba-tiba dari dalam sosok kuda lumping ter–

dengar suara tertawa. “Anak baik, saat ini bukan 

waktunya kita bermain-main. Ada urusan yang 

harus kau bantu melakukan. Aku minta izin 

masuk ke dalam tubuhmu, baru bisa melanjutkan 

bicara. Aku membekal tugas yang amat berat. 

Hanya melalui dirimu aku bisa menyampaikan 

kepada orang yang berkepentingan karena dirimu 

telah dipilih dan diberkahi oleh Para Dewa...” 

Ketika mendengar suara gaib yang keluar dari 

dalam kuda lumping, Sinto Gendeng merasa

kecewa. Suara yang dia dengar bukan suara kakek 

gagah yang pernah dilihatnya dan masuk ke 

dalam tubuh Ni Gatri. Saat itu Ni Gatri hendak 

mengatakan sesuatu namun Sinto Gendeng cepat 

mendahului. 

“Mahluk di dalam kuda lumping, aku tidak bisa 

melihat ujudmu. Tapi kau bukan kakek berwajah 

gagah berjubah kelabu yang pernah masuk dan 

bicara melalui tubuh anak perempuan itu...” 

“Nenek yang aku hormati, diriku memang 

bukan orang yang kau maksudkan...” 

“Jadi kau kenal dengan kakek itu. Wajahnya 

gagah, dia mengenakan jubah kelabu...” Kata Sin–

to Gendeng penuh harapan. 

“Benar Nek. Kami datang dari alam yang sama. 

Kerajaan Mataram Kuna, delapanratus tahun si–

lam dari sekarang. Kedudukannya setingkat lebih 

tinggi dari aku.” 

“Sayang sekali. Mengapa dia tidak datang sen–

diri? Hemm... mungkin dia kapok melihat diriku 

yang jelek ini...” Ucap Sinto Gendeng kecewa. 

“Kakek sahabatku itu memang ada mencerita–

kan tentang dirimu. Dia berkata, waktu bertemu 

denganmu dia dapat melihat ujudmu yang sebe–

narnya. Ketika dirimu masih seusia gadis remaja. 

Tidak seperti keadaan sekarang. Katanya kau se–

orang gadis cantik, berkulit hitam manis, berilmu 

tinggi, pandai bicara tapi kadang-kadang ketus...” 

“Apa?! Kakek itu bicara begitu padamu?!” Sinto 

Gendeng terkejut. Wajahnya tampak kemerahan 

pertanda jengah tapi senang. Lalu nenek ini ter–

tawa panjang. “Sahabat, katakan padaku mengapa 

kakek itu tidak datang sendiri. Beritahu padaku 

siapa namanya...” 

“Kakek itu tengah mengurus perkara besar di 

Kerajaan Mataram Kuna. Karena itu dia mengutus

diriku untuk datang ke sini menemui gadis kecil 

bernama Ni Gatri itu. Perihal namanya, menyesal 

aku tidak punya kewenangan untuk memberi 

tahu. Mohon dimaafkan...” 

Sinto Gendeng manggut-manggut beberapa 

kali. Dia bolang-balingkan tongkat kayu bututnya 

lalu bertanya. “Sahabat, boleh aku minta tolong?” 

“Kalau aku mampu pasti akan aku tolong. 

Katakan apa permintaanmu...” 

Sinto Gendeng cabut salah satu dari lima tusuk 

konde perak yang menancap di batok kepalanya. 

Lalu melangkah ke dekat kuda lumping. Tangan 

yang memegang tusuk konde diulurkan seraya 

berucap. “Berikan tusuk konde ini pada kakek 

berpakaian kelabu itu. Dia pasti ingat...” 

“Baik, akan aku serahkan tusuk konde itu pada 

kakek sahabatku itu. Namun aku tidak akan 

mengambilnya sekarang. Karena aku harus lebih 

dulu masuk ke dalam tubuh gadis bernama Ni 

Gatri itu lalu bicara dengan pemuda berpakaian 

putih berambut panjang yang kami orang-orang di 

Mataram mengetahui adalah murid tunggalmu. 

Benarkah dia memiliki sebuah senjata sakti man–

draguna di dalam tubuhnya?” 

Saat itu Wiro yang tengah garuk-garuk kepala 

melihat gurunya hendak menyerahkan tusuk 

konde karuan saja menjadi kaget ketika dirinya 

disebut-sebut. 

Sebelum Sinto Gendeng sempat menyahuti 

ucapan mahluk di dalam kuda lumping tiba-tiba 

dari dalam kuda lumping melesat keluar satu ca–

haya putih yang kemudian masuk ke dalam tubuh 

Ni Gatri hingga anak ini tersentak. Wajahnya 

pucat sesaat namun kemudian tampak tenang 

kembali. Ketika Ni Gatri kemudian menatap ke 

arah Wiro dan keluarkan ucapan, suaranya bukan lagi suara dirinya tapi berubah menjadi suara 

mahluk yang tadi ada di dalam kuda lumping. 

“Anak muda bernama Wiro Sableng, berjuluk 

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, izinkan aku 

memperkenalkan diri. Namaku Swara Pancala. 

Aku datang dari Bhumi Mataram, tepatnya Kera–

jaan Mataram Kuna yang keberadaannya delapan–

ratus tahun silam dan saat ini tengah dilanda 

angkara murka akibat perbuatan orang-orang 

jahat yang bergabung dengan mahluk alam gaib...” 

Lalu mahluk gaib yang ada dalam tubuh Ni 

Gatri dan mengaku bernama Swara Pancala itu 

menceritakan malapetaka hebat yang telah terjadi 

di Mataram. “Menurut petunjuk Para Dewa, hanya 

kaulah satu-satunya orang yang bisa menolong 

melepaskan Raja, rakyat dan Kerajaan Mataram 

dari malapetaka itu. Aku mewakili Sri Maharaja 

Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala dan 

seluruh rakyat Mataram, mudah-mudahan kau 

mau menolong...” 

Wiro jadi garuk garuk kepala dan memandang 

pada gurunya. Sinto Gendeng langsung berucap. 

“Ingat apa yang aku katakan tadi siang? Ini arti 

mimpiku dua malam lalu. Ada orang memberikan 

mahkota besar padamu. Kau bakal mendapat satu 

tugas sangat berat. Tapi sangat mulia. Sekarang 

mimpi itu menjadi kenyataan...” 

“Sahabat di dalam tubuh Ni Gatri... Apa tidak 

keliru kalau diriku yang tidak punya ilmu kepan–

daian apa-apa ini akan mampu melakukan peker–

jaan begitu besar? Kau meminta tanduk pada 

seekor kucing bodoh...” 

Mahluk di dalam tubuh Ni Gatri tertawa. 

“Begitulah memang rendah hatinya orang berbudi 

dan berilmu. Wahai anak muda, petunjuk Yang 

Maha Kuasa menyatakan demikian, tak mungkin keliru kalau kaulah orangnya. Kami di Bhumi Ma–

taram tidak berani membantah. Itulah sebabnya 

aku diutus datang ke sini. Disertai permohonan 

dan doa dari Raja dan rakyat Mataram. Sekarang 

waktuku sudah habis. Tugasku sudah selesai. Aku 

mohon diri. Namun sebelum pergi ada satu hal 

yang perlu aku beritahu. Setelah aku pergi akan 

ada satu mahluk datang ke tempat ini. Dia akan 

menyerahkan sebuah benda padamu. Apa bentuk 

dan kegunaan benda itu nanti kau lihat dan kau 

tanyakan sendiri pada mahluk itu...” 

“Lalu kuda lumping dari kajang itu mau dibuat 

apa?” Tanya Wiro. “Apa aku akan disuruh berke–

liling ngamen kemana-mana main kuda lumping?” 

“Ah, aku lupa memberi tahu. Kuda Lumping itu 

akan menjadi tungganganmu pergi ke Bhumi 

Mataram lalu menuntunmu menemui Sri Mahara–

ja Rakai Kayuwangi. Sekarang izinkan aku mohon 

diri...” 

Wiro melengak. Cahaya putih berkelebat keluar 

dari tubuh Ni Gatri, melesat ke udara. Sinto 

Gendeng tersentak. Buru-buru berseru. 

“Swara Pancala! Kau lupa membawa titipan 

tusuk kondeku!” Si nenek lalu lemparkan tusuk 

konde perak yang sejak tadi dipegang. Benda ini 

melesat ke langit, mengejar cahaya putih sosok si 

mahluk gaib. 

Tidak terduga saat itu mendadak muncul dela–

pan larik cahaya merah. Dari gerakan cahaya jelas 

hendak membokong cahaya putih si mahluk gaib 

dari Mataram. Di saat bersamaan tusuk konde 

Sinto Gendeng sampai pula di bagian langit yang 

sama. Bentrokan tidak terhindar lagi. Tusuk kon–

de sakti menghantam delapan larik cahaya merah! 

“Oala! Sialan! Hancur tusuk kondeku!” teriak 

Sinto Gendeng.


TUJUH


DILANGIT delapan cahaya merah tercabik-

cabik mengeluarkan suara menggelegar. 

Tusuk konde perak Sinto Gendeng sendiri 

hangus leleh lalu meledak berkeping-keping. 

“Pertanda buruk! Pertanda buruk!” si nenek 

berkata berulang kali sambil banting-banting kaki 

kanan ke tanah. 


Tiba-tiba Sinto Gendeng mendengar suara me–

ngiang di telinga kanannya. “Sahabat, aku Swara 

Pancala. Tidak ada yang buruk. Kau telah berbuat

kebajikan. Tusuk kondemu telah menyelamatkan 

diriku dari serangan gelap orang-orang Delapan 

Sukma Merah. Merekalah pangkal bahala yang 

menimbulkan malapetaka di Bhumi Mataram.

Budi baikmu tidak akan aku lupakan. Aku pasti 

akan minta sahabatku kakek gagah berjubah 

kelabu itu untuk mengganti tusuk konde perak–

mu.” 

Muka Sinto Gendeng yang tadi cemberut kini 

tampak tersenyum. Dia berkata. “Aku tidak minta 

ganti apa-apa. Memang sudah begitu kejadiannya 

mau dikata apa...” 

Wiro saling pandang dengan Ni Gatri. Lalu sang 

murid bertanya. “Nek, kau bicara sendirian. Me–

mangnya tadi kau bicara dengan siapa?” 

“Anak setan, kau tak perlu tahu urusan orang.

Kau tahu, saat ini aku cuma merasa kasihan pada 

dirimu. Aku sudah punya firasat kau akan berada

dalam satu perjalanan jauh. Menghadang bahaya 

di negeri antah berantah sana. Kau dengar sendiri 

tadi ucapan mahluk gaib bernama Swara Pancala 

itu. Dia datang dari Kerajaan Mataram Kuna yang 

berada delapanratus tahun sebelum kita berada 

saat ini. Oala dulu kau pergi ke negeri seribu dua 

ratus tahun silam. Untung masih bisa kembali. 

Kali ini aku tidak bisa memastikan...” 

“Sudah Nek, mengapa harus kawatir. Mimpimu 

cuma kembang tidur. Lalu anggap saja mahluk 

jejadian yang tadi muncul di sini hanya mahluk 

kesasar yang bicara ngacok...” 

“Ngacok! Kau yang ngacok! Apa matamu buta 

melihat kenyataan. Pertemuan kita dengan kakek 

berjubah kelabu yang masuk ke dalam tubuh Ni 

Gatri, meminta kita datang ke tempat ini. Lalu 

kuda lumping bambu itu. Mahluk bernama Swara 

Pancala. Sebentar lagi, tunggu saja. Masih ada 

mahluk yang akan datang! Dan kau enak saja 

bilang ngacok! Mahluk kesasar! Edan!” 

“Kalau nanti kenyataannya aku memang harus 

pergi Nek, aku titip Ni Gatri padamu...” Berkata 

Wiro dengan suara agak memelas. 

“Saya tidak mau ditinggal. Saya ikut sama 

Kakak.” Berkata Ni Gatri lalu tangan kanannya 

memegang lengan kiri Wiro erat-erat. 

“Anak perempuan! Kau mulai bengal ya! Aku 

saja tidak ikut! Kau yang masih hijau bau kencur 

begini mau ikutan muridku!” 

Sejurus Ni Gatri terdiam. Namun kemudian 

anak perempuan ini berkata. “Nenek, kalau Nenek 

mau pergi sama kakak tidak ada yang melarang. 

Ikut saja Nek. Nanti kan bisa ketemu kakek gagah 

berjubah kelabu itu...” 

“Anak setan!” Maki Sinto Gendeng. “Baru bebe–

rapa hari kau ikutan muridku sudah ketularan berani bicara konyol!” 

“Kakak, kalau aku tidak ikut dengan Kakak, 

tolong antarkan aku kembali ke rumah Kakek 

Nenek Pringkun di Kotaraja. Mereka pasti mau 

menerima Gatri. Nanti...” 

Belum selesai anak perempuan itu berkata tiba-

tiba terdengar suara berdesing. Memandang ke 

udara, ketiga orang itu melihat satu benda aneh 

berwarna putih dengan sangat cepat melayang 

turun ke bukit dan tahu-tahu telah berdiri di 

hadapan mereka! 

Sinto Gendeng berseru kaget sampai terken–

cing. Ni Gatri terpekik, setengah mau menangis. 

Pendekar 212 Wiro Sableng bersurut mundur 

sambil memegang kuduk yang terasa dingin. 

Hanya sesaat mahluk itu tegak tiba-tiba tubuh–

nya, braakk! Tubuh si mahluk rebah menelentang 

di tanah! 

Dari tadinya kaget dan takut Sinto Gendeng 

kini jadi jengkel penasaran. “Hantu bukan, demit 

juga bukan! Apalagi jin! Mahluk jahanam katakan 

siapa dirimu atau tongkatku akan meremukkan 

kepalamu!” 

Mahluk yang tertelentang di tanah, sekujur 

tubuhnya kecuali kepala dan wajah terbungkus 

gulungan kain putih. Sepasang mata terbuka nya–

lang, menatap tak berkesip ke arah langit kelam. 

Tiba-tiba mahluk ini yang bukan lain adalah 

Mayat Aneh Keempat membuka mulut. 

Pelihara mata hanya melihat kebaikan 

Pelihara mulut hanya bicara kebaikan 

Pelihara telinga hanya mendengar kebaikan 

Pelihara kemaluan hanya untuk kebaikan 

Sinto Gendeng delikkan mata. Mulut memaki 

keras. “Mahluk sialan! Ditanya malah berpantun! 

Pantun gila yang tidak pernah aku dengar sebe–lumnya! Menyebut-nyebut kemaluan segala! Ihhh! 

Lekas pergi dari sini! Jangan membuat kacau 

urusanku!” 

Sinto Gendeng lalu tusukkan ujung tongkat–

nya. Cukup keras hingga Mayat Aneh Keempat 

keluarkan suara tercekik. Mulut terbuka lidah ter–

julur. Bersamaan dengan juluran lidah di mulut–

nya kelihatan muncul sebuah benda bercahaya 

berwarna putih berbentuk segitiga. Mahluk ini 

keluarkan benda putih itu dari dalam mulut 

dengan tangan kanan lalu tangan diacungkan ke 

udara. 

“Aku Mayat Aneh Keempat. Datang dari negeri 

delapanratus tahun silam yang disebut Bhumi 

Mataram. Aku diutus oleh Para Penguasa Langit 

Dan Bumi, mewakili Raja Mataram Rakai Kayu–

wangi Dyah Lokapala. Untuk menyerahkan batu 

putih ini di tempat ini pada seorang yang punya 

sangkut paut dengan tiga angka yang tergurat 

pada batu putih segitiga ini!” 

Wiro terkejut. Sinto Gendeng kembali delikkan 

mata. Tongkat yang menekan leher Mayat Aneh 

Keempat ditarik sedikit. 

“Benda apa itu! Berikan padaku.” Teriak Sinto 

Gendeng. Laksana kilat tangan kirinya menyam–

bar. Namun begitu tangan si nenek hanya tinggal 

seujung kuku dari batu putih segitiga yang hen–

dak dirampasnya tiba-tiba, wusss! Satu cahaya 

putih yang luar biasa panasnya memancar keluar 

dari batu. Sinto Gendeng terpekik. Lima jari ta–

ngannya tampak hitam mengepulkan asap! 

“Jahanam kurang ajar! Tamat riwayatmu seka–

rang juga!” Sinto Gendeng hantamkan tongkat bu–

tutnya ke kepala Mayat Aneh Keempat. Sekali 

kena dipukul pasti kepala itu pecah berantakan 

mengerikan!Walau diancam bahaya, Mayat Aneh Keempat 

tenang saja. Malah dia berkata. “Mengambil benda 

yang bukan milik kita namanya mencuri. Jika me–

maksa maka namanya merampas! Batu putih 

segitiga hanya akan diserahkan pada orang yang 

telah ditunjuk Para Dewa demi untuk menye–

lamatkan Mataram...”


DELAPAN


SINTO GENDENG jadi tambah marah mende–

ngar ucapan Mayat Aneh Keempat. Tongkat 

di tangan kanan terus dihantamkan ke

kepala mahluk yang terbaring di tanah itu. Malah 

tenaga dalam dilipatgandakan hingga tongkat me–

mijar cahaya kecoklatan. Melihat perbuatan sang 

guru Wiro bertindak cepat. Dia segera memegang 

tangan kanan Sinto Gendeng seraya berkata. 

S

“Nek, kenapa kau jadi kalap tak karuan? Apa 

Eyang lupa penjelasan mahluk gaib bernama Swa–

ra Pancala yang tadi masuk ke dalam tubuh Ni 

Gatri? Eyang tidak ingat apa barusan yang dikata–

kan mahluk ini... Aku yakin, Nek. Mahluk inilah 

orang yang dimaksud Swara Pancala, yang akan 

datang menemui kita membawa sebuah benda dan 

menyerahkan benda itu padaku...” 

Seolah sadar Sinto Gendeng bersurut mundur. 

Nenek ini berulang kali golengkan kepala lalu 

tegak bersandar ke sebatang pohon.

“Anak muda, cepat kau ambil batu putih segi–

tiga yang ada di tangan kananku. Aku yakin kau–

lah orang yang dimaksud Para Dewa di Bhumi 

Mataram...” 

“Memangnya ada kejadian apa di Bhumi Mata–

ram?” Tanya Wiro. Dia belum mau mengambil 

batu segitiga putih. 

Mayat Keempat lalu menuturkan malapetaka

dahsyat yang telah menimpa Kerajaan Mataram,Raja dan rakyatnya. 

“Kalau kau tidak mau mengambil batu ini, 

berarti kau tidak berkehendak menolong. Jika kau 

tidak memiliki hati nurani untuk menolong maka 

besok pagi korban mulai berjatuhan. Sebelum 

matahari terbit lagi keesokan hari, semua yang 

hidup di Mataram mungkin sudah menemui 

kematian termasuk Sri Maharaja Rakai Kayu–

wangi...” 

Wiro menggaruk kepala. Berpaling pada sang 

guru yang tegak bersandar ke pohon. Sinto Gen–

deng diam saja. Dia menoleh pada Ni Gatri. Anak 

ini membuka mulut. Tapi yang terdengar adalah 

suara anak kecil laki-laki. 

“Raja Mataram adalah sepuh dari Raja yang 

ada di tanah Jawa sekarang. Rakyat Mataram 

adalah nenek moyang rakyat yang hidup di zaman 

ini. Tidakkah ikatan batin bisa mengetuk pintu 

hati untuk minta pertolongan?” 

“Anak lelaki yang bicara dalam tubuh Ni Gatri, 

kau siapa?” Wiro bertanya. 

“Jika tali budi kita memang akan saling bersen–

tuh dan berkaitan, jika Yang Maha Kuasa meng–

hendaki kelak kita akan bertemu di Kerajaan 

Mataram Kuna...” 

Perlahan-lahan Wiro ulurkan tangan kanan 

mengambil batu putih berbentuk segitiga. Tidak 

seperti ketika hendak dirampas oleh Sinto Gen–

deng, batu putih itu sama sekali tidak mengelu–

arkan cahaya putih panas. Sebaliknya di dalam 

tangan Wiro batu itu memancarkan cahaya lembut 

yang di dalam gelap cukup terang hingga Wiro 

dapat melihat guratan angka pada masing-masing 

ujung batu. 

“Aneh, batu putih berbentuk segitiga. Datang 

dari alam delapanratus silam. Bagaimana bisa ada

guratan tiga angka? Dua satu dua.” Murid Sinto 

Gendeng berpikir. 

“Anak muda. Angka Dua Satu Dua itu, benar–

kah ada kaitannya dengan dirimu?” Mayat Aneh 

Keempat bertanya. 

Wiro perhatikan batu segitiga putih. Sambil 

diperhatikan jari-jari tangannya mengusap batu. 

Makin diusap tubuhnya terasa sejuk dan bertam–

bah enteng. 

“Angka Dua Satu Dua memang ada sangkut 

pautnya dengan diriku,” Wiro memberi tahu. 

“Aku tidak mampu melihat. Tapi kata orang 

yang tahu, di dalam tubuhmu tersimpan sebuah 

senjata sakti mandraguna. Betulkah itu... ?” 

Murid Sinto Gendeng jadi terkesima. 

“Anak muda, kau berdusta sekalipun aku tidak 

akan tahu.” Kata Mayat Aneh Keempat lalu sung–

gingkan senyum. Kemudian dua tangannya dite–

kapkan ke bagian bawah perut. Dari jauh Sinto 

Gendeng memperhatikan hal ini. Dalam hati dia 

menggerendeng. 

“Mayat edan! Mengapa sekarang memegang 

itunya segala? Jangan-jangan dia mau membuka 

balutan kain putih. Mau memperlihatkan...” 

“Nek, auratku buruk. Tidak ada yang bagus 

dan pantas diperlihatkanl” Tiba-tiba Mayat Aneh 

Keempat berkata, ditujukan pada Sinto Gendeng. 

Habis berkata mahluk ini tertawa cekikikan. 

Serrr!Si nenek sampai terkencing mendengar 

ucapan itu lalu cepat-cepat membuang muka, me–

mandang ke jurusan lain sambil membatin. “Gelo! 

Bagaimana mahluk sialan itu tahu kalau aku 

bicara dalam hati merasani dirinya...” 

“Aku rasa tugasku sudah selesai.” Kata Mayat 

Aneh Keempat pada Pendekar 212. “Anak muda, 

aku bersyukur telah menemuimu.”“Aku ada pertanyaan. Apa yang akan aku laku–

kan dengan batu ini?” Bertanya Wiro. 

“Ah, untung kau mengingatkan. Aku sudah 

pelupa rupanya. Maklum otak dan pikiran mayat 

seperti diriku tidak seampuh manusia seperti diri–

mu. Hik... hik...” Setelah tertawa Mayat Aneh Kee–

mpat meneruskan ucapan. “Aku hanya sekedar 

menambahkan penjelasan yang telah kau terima 

dari seseorang yang datang menemuimu sebelum–

nya. Bila kau sudah sampai di Bhumi Mataram 

dan bertemu dengan Sri Maharaja Rakai Kayu–

wangi maka kau harus memperlihatkan batu ter–

sebut pada Raja. Sebagai pertanda bahwa memang 

kaulah adanya orang yang dipercayakan akan 

dapat menyelamatkan Kerajaan dari malapetaka 

yang sedang menimpa. Aku meminta, setelah aku 

meninggalkan tempat ini kau harus segera me–

nunggangi kuda lumping. Dia akan membawamu 

dalam kecepatan kilat menemui Sri Maharaja.” 

“Di alam delapanratus silam?” Tanya Wiro. 

“Betul,” jawab Mayat Aneh Keempat. “Ada sesu–

atu yang merisaukanmu? Mungkin kau kawatir di 

alam sana tidak ada anak gadis yang cantik? 

Maaf, aku tidak mengatakan kalau kau ini seorang 

pemuda mata keranjang. Hik... hik... hik!” 

Wiro pencongkan mulut lalu tersenyum tapi tak 

menjawab, hanya menggaruk kepala. 

“Delapanratus tahun silam tidak ada artinya. 

Bukankah kau pernah masuk dan berada cukup 

lama di alam yang lebih jauh, di alam seribu dua 

ratus tahun silam?” 

Wiro tercengang. “Bagaimana kau mengetahui 

riwayatku?” 

Mayat Aneh Keempat tertawa. “Aku sudah 

hampir seribu limaratus tahun jadi mayat. Apa 

yang terjadi selama kurun waktu itu pasti tidak luput dari pengetahuanku dan tiga saudaraku...” 

“Jadi kau ternyata punya tiga saudara?” tanya 

Wiro. “Di mana mereka?” 

“Di alam delapanratus tahun silam. Kelak kau 

akan bertemu dengan mereka...” Jawab Mayat 

Aneh Keempat. 

“Seribu lima ratus tahun jadi mayat! Bagaima–

na mungkin keadaanmu masih seperti ini? Tidak 

busuk dan tidak rusak! Malah muncul masih bisa 

bicara dan bergurau! Heh?!” 

“Kalau Yang Maha Kuasa melakukan sesuatu, 

apa anehnya? Apa kau mau aku doakan jika kau 

mati nanti bisa jadi mayat seribu lima ratus atau 

mungkin malah dua ribu tahun?” 

“Tobat!” Wiro mundur beberapa langkah. Kepa–

la digeleng tangan kiri kanan digoyang. 

“Mayat Aneh, kenapa kau hampir selalu menu–

tupi kemaluanmu dengan kedua tangan?” Tiba-

tiba Sinto Gendeng bertanya. 

Mahluk yang ditanya tertawa lebar. Lalu men–

jawab. “Kemaluan yang tidak dipelihara adalah 

salah satu pangkal sebab seorang insan menemui 

malapetaka dalam kehidupannya. Kau pasti tahu 

maksudku Nek.” 

Air muka keriput berkulit tipis Sinto Gendeng 

tampak berubah. Mulut komat kamit mengunyah 

susur. “Mahluk aneh, apakah aku boleh mene–

mani muridku dalam perjalanan ke Mataram?” 

Sinto Gendeng kembali ajukan pertanyaan. 

Wiro menoleh menatap sang guru. Dalam hati 

dia berkata. “Nek, jangan-jangan kau bukan cuma 

sekedar menemaniku. Tapi mau ketemu kakek 

gagah berjubah kelabu itu...” 

Mayat Aneh Keempat yang sampai saat itu 

masih terbujur menelentang di tanah palingkan 

kepala ke arah si nenek. Lalu menjawab.“Tidak ada yang menyuruh, tidak ada yang 

melarang. Tapi kau lihat sendiri, kuda lumping itu 

terlalu kecil untuk ditunggangi dua orang.” 

Sinto Gendeng terdiam. Dia maklum orang 

menolak keikutannya bersama Wiro secara halus. 

Mayat Aneh Keempat berpaling pada Ni Gatri. 

Mulut tersenyum dan mata dikedip-kedipkan. 

“Aku puya firasat anak perempuan itu mungkin 

diperlukan di Bhumi Mataram. Anak muda, tak 

ada salahnya kau membawa serta anak itu. Kau 

bisa memangku atau menggendongnya di pung–

gung.” 

“Curang!” Sinto Gendeng berteriak. “Kalau anak 

perempuan hijau bau kencur itu boleh pergi ber–

sama muridku mengapa aku yang sudah bangko–

tan dan bau pesing tidak?!” 

Habis berteriak Sinto Gendeng langsung me–

lompat ke arah kuda lumping lalu dengan cepat 

duduk di atas punggungnya. 

“Kuda lumping! Bawa aku ke Kerajaan Mataram 

Kuna. Kerajaan delapanratus tahun silam!” Si 

nenek berteriak. 

Begitu merasa ada orang mencemplak pung–

gungnya dan mendengar suara teriakan, kuda 

lumping terbuat dari kajang bambu itu mengepul–

kan asap. Debu beterbangan membuat udara 

bertambah kelam di dalam rimba. 

“Nek! Eyang!” teriak Wiro ketika melihat bagai–

mana kuda lumping yang ditunggangi gurunya 

perlahan-lahan bergerak ke atas. Tidak pikir 

panjang lagi Wiro segera memburu. 

“Kakak! Aku ikut!” Ni Gatri berteriak lalu cepat 

mengejar. 

Wiro terkesiap sejenak, berpikir. Dia ingat kata-

kata Mayat Aneh Keempat tadi. Buru-buru Wiro 

simpan batu segitiga putih di balik pakaian lalu 

berbalik ke arah Ni Gatri dan menarik tangan 

anak ini. Wiro melompat ke arah kuda lumping 

dan berhasil memagut pinggang Sinto Gendeng 

tepat pada saat kuda lumping melesat ke udara, 

menembus kegelapan malam rimba belantara dan 

lenyap di langit kelam. 

“Kakak, Gatri mau muntah. Bau pesing...” Bisik 

Ni Gatri yang tidak tahan mencium bau tubuh dan 

pakaian Sinto Gendeng yang bau pesing. Apalagi 

Wiro yang bergelantungan lebih dekat dengan Sin–

to Gendeng, mencium bau itu Iebih keras dan 

lebih parah lagi. Sang pendekar hanya bisa mang–

gut-manggut perlahan dan mesem-mesem sambil 

menahan nafas mendengar ucapan Ni Gatri. 

“Anak-anak setan! Kalian kira aku tidak tahu 

apa yang kalian bicarakan?!” Di sebelah depan 

Sinto Gendeng berteriak. Lalu tongkat kanannya 

digebukkan ke pinggul kuda lumping. Wusss! 

Asap tebal mengepul di bagian bawah kuda 

lumping. Sang tunggangan melesat laksana kilat. 

Di satu tempat tiba-tiba Kuda lumping menukik ke 

bawah sambil membuat gerakan berputar sebat. 

Begitu kencangnya tukik dan putaran kuda lum–

ping, pegangan Wiro terlepas dari pinggang Sinto 

Gendeng. Cekalannya pada tangan kanan Ni Gatri 

yang bergelung di lehernya juga lepas. Akibatnya 

sementara Sinto Gendeng melesat deras ke arah 

utara bersama kuda lumping yang ditunggangi, 

Wiro dan Ni Gatri berpelantingan di udara. Satu ke 

barat, satu ke selatan. Untungnya daratan hanya 

tinggal pada ketinggian dua langkah saja. 

*** 

Hanya beberapa saat setelah kuda lumping 

membawa ketiga orang itu melesat ke langit, tiba

tiba dari dalam tanah mencuat keluar satu sosok 

bugil hitam tinggi besar berperut buncit. Kepala 

botak bercula. Sepuluh kuku tangan panjang ber–

warna merah. 

Sepasang mata merah dan tampak menyala 

dalam kegelapan. Pada cuping hidung sebelah kiri 

mencantel sebuah anting-anting bulat terbuat dari 

batu hitam. Walaupun bugil namun bagian bawah 

perut mahluk ini licin hingga tidak bisa diduga 

apakah dia lelaki atau perempuan. Ketika dia me–

nyeringai, dari mulut yang terbuka menjulur lidah 

panjang menjulai sampai ke tanah. Dengan ujung 

lidahnya mahluk ini menyapu permukaan tanah, 

menjilat batang pepohonan. Dari tenggorokannya 

kemudian keluar suara menggereng seperti 

harimau. 

“Aku bisa merasakan. Aku bisa mencium. 

Manusia yang katanya mampu menangkal mala–

petaka itu tadi ada di sini. Ada dua orang lain 

bersamanya. Aku terlambat. Mengapa Raja Dukun 

Batu Berlumut Jambal Ungu baru memberi tahu 

setelah sang surya tenggelam. Lalu pergi begitu 

saja. Katanya menemui Sinuhun...” 

Tiba-tiba terdengar suara pekik riuh membun–

cah rimba belantara. Tak lama kemudian dari 

dalam tanah puluhan mahluk yang sama ujudnya 

dengan mahluk tadi yang pertama kali melesat 

keluar. Bedanya yang sembilan puluh sembilan ini 

tidak memakai anting-anting batu di hidung. Rim–

ba belantara jadi sesak oleh mahluk-mahluk me–

ngerikan itu. Yang baru datang berjumlah sem–

bilan puluh sembilan. Ditambah yang datang 

duluan berarti seratus mahluk! Mereka bukan lain 

adalah Seratus Jin Perut Bumi! 

“Kita terlambat! Mereka sudah keburu pergi!” 

Berkata mahluk bugil hitam pertama pada pulu–han mahluk yang berdiri di sekitarnya yang rupa–

nya adalah anak buahnya. 

“Ketua, kalau begitu kita cepat kembali ke 

Mataram!” Seorang Jin Perut Bumi berkata. 

“Betul. Kita hadang orang itu di atas Bhumi 

Mataram. Mulai dari langit ke satu sampai ke 

tujuh. Masakan bisa tembus!” Jin Perut Bumi 

yang lain ikut bicara. 

Yang bertindak sebagai pimpinan dan dipanggil 

Ketua berkata. “Tugas kita sudah ditentukan. Kita 

tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Aku 

harus tunduk dan menemui Sinuhun lebih dulu 

untuk mendapat petunjuk. Baru melakukan apa 

yang diperintahkannya. Lagi pula aku mendengar 

kabar ada serombongan orang kepercayaan Jun–

jungan...” 

Sang Ketua tidak meneruskan ucapan. Sekian 

banyak anak buahnya tidak ada yang memperha–

tikan. 

“Tapi bukankah Sinuhun sedang bersuka-suka 

dengan penasihat Raja Mataram yang bernama 

Ratu Randang itu? Junjungan mengetahui hal itu, 

pasti Junjungan sudah memberi izin.” Menyeletuk 

Jin Perut Bumi yang berdiri sambil berkacak ping–

gang. 

“Kurasa saat ini Sinuhun sudah berada di 

puncak Gunung Merapi. Kita harus segera menuju 

ke sana...” Jin Perut Bumi yang bertindak sebagai 

pimpinan mengambil keputusan. 

“Mengapa harus ke puncak Gunung Merapi, 

Ketua?” Dua orang Jin perut Bumi bertanya ham–

pir berbarengan. 

“Tidak perlu banyak tanya. Bersiap-siap saja 

menghadapi apa yang akan terjadi!” Jawab sang 

Ketua. 

Seratus Jin Perut Bumi di dalam rimba belan–tara kemudian satukan dua telapak tangan di atas 

kepala. Lalu wusss! Hanya dalam bilangan keja–

pan mata saja semua mahluk itu amblas lenyap 

masuk ke dalam tanah. Rimba belantara yang 

dipagut kegelapan kini kembali sunyi seolah tidak 

ada sesuatu terjadi di kawasan itu.



SEMBILAN


WALAU sang surya masih jauh dari waktu–

nya tenggelam namun langit di atas bukit 

Kopeng tampak redup. Awan kelabu 

menggantung sejak tengah hari. Di pelataran 

rusak dalam sebuah bangunan candi setengah 

jadi karena pembuatannya tidak pernah tersele–

saikan, seorang berpenampilan aneh dan mengeri–

kan duduk mencangkung di hadapan potongan-

potongan kayu sebanyak delapan buah yang di–

tancapkan ke lantai candi membentuk lingkaran. 

W

Di dalam lingkaran potongan kayu terletak 

delapan keping besar kemenyan. Dari mulut orang 

ini keluar suara meracau, agaknya tengah melafal 

mantera dan hanya berhenti sesaat jika dia mema–

sukkan kepingan-kepingan kemenyan ke dalam 

mulut. 

Orang yang duduk mencangkung di lantai 

candi ini sulit diduga usianya karena wajahnya 

tertutup lumut tebal berwarna ungu. Sepasang 

mata terletak bukan di bawah alis, tapi di atas 

alis. Telinga kiri kanan masing-masing memiliki 

dua daun telinga. Rambut tebal ungu. Di kening 

ada delapan benjolan merah mengepulkan asap. 

Sekujur tubuh seperti mengenakan pakaian berge–

runjulan tapi sebenarnya tubuh itu ditumbuhi 

batu berlumut sebesar tinju berwarna ungu. Inilah 

manusia bernama Jambal Ungu, bergelar Raja Dukun Batu Berlumut Menurut orang yang mengetahui riwayatnya, 

Jambal Ungu dulunya adalah seorang Resi terke–

nal dan sangat dekat hubungannya dengan Raja 

serta para penguasa di Bhumi Mataram. Namun 

kutukan Dewa jatuh atas dirinya sewaktu dia 

terpikat oleh kehidupan dunia, kemudian tersesat 

melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik 

dan menguasai ilmu hitam termasuk santet. 

Konon ilmu perdukunannya jauh lebih tinggi dari 

Eyang Dukun Umbut Watukura yang selama ini 

membaktikan diri pada Raja Mataram Rakai 

Kayuwangi Dyah Lokapala. Apa lagi dia dibantu 

oleh beberapa orang dukun yang juga rata-rata 

berkepandaian tinggi. Itu salah satu sebab 

mengapa Eyang Dukun Umbut Watukura tidak 

mampu menghadapi termasuk melenyapkan pe–

taka kelumpuhan, benjolan serta demam panas 

yang terjadi di Mataram. 

Para Dewa menjatuhkan hukuman atas Eyang 

Dukun. Wajah dan tubuh Jambal Ungu ditutup 

dengan batu berlumut berwarna ungu. Mata di–

pindah ke atas alis dan daun telinga ditambah 

menjadi empat. Berada dalam keadaan kutuk 

seperti itu Jambal Ungu bukannya sadar, minta 

ampun dan bertobat pada Yang Maha Kuasa, tapi 

malah kini berserikat dengan mahluk jahat yang 

telah merencanakan Malam Jahanam di Kerajaan 

Mataram. 

Saat itu sambil menunggu kedatangan sese–

orang, Jambal Ungu membaca mantera sementara 

sepasang mata memperhatikan lantai candi yang 

dilingkari dengan tancapan delapan potong kayu. 

Walau yang dihadapi lantai candi, namun yang 

terlihat oleh sepasang mata sang dukun adalah 

kawasan alam gaib. Sesekali kening mengerenyit, 

mata membesar dan empat daun telinga bergerak gerak. 

Kalau kemenyan di dalam mulut habis, dia 

mengambil kepingan kemenyan baru yang tak 

boleh terputus untuk dikunyah. 

Sekonyong-konyong, wusss! 

Ada sambaran angin disertai larikan cahaya 

merah. Di lain kejap ujung delapan potongan kayu 

yang menancap di lantai candi telah menyala 

hingga potongan-potongan kayu itu menyerupai 

pelita, menerangi pelataran candi. 

Jambal Ungu merasa lega. Perlahan-lahan 

bangkit berdiri. Astaga! Ternyata orang yang diju–

luki Raja Dukun ini bertubuh katai! 

Baru saja Jambal Ungu meluruskan tubuh, di 

hadapannya berkelebat satu bayangan. Di lain 

kejap di hadapan sang dukun telah berdiri seorang 

kakek mengenakan belangkon dan pakaian merah. 

Di bagian depan belangkon menempel sebuah 

bintang bersudut delapan terbuat dari suasa. Alis, 

cambang bawuk, jenggot serta kumis termasuk 

rambut, juga sepasang mata, semua berwarna 

merah. Di kening berderet delapan benjolan merah 

mengepulkan asap. Seperti yang telah dituturkan, 

mahluk ini adalah Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah alias Ghama Karadipa, yang sebelumnya 

telah bertemu dan bercinta dengan Ratu Randang. 

“Puji syukur Sinuhun Merah bisa datang tepat 

pada waktunya,” Jambal Ungu berucap menyam–

but kedatangan Sinuhun. Walau tertutup lumut 

tapi wajahnya jelas menunjukkan rasa cemas. 

“Raja Dukun Batu Berlumut, waktu kita sema–

kin sempit. Belakangan ini sangat cepat dan 

banyak terjadi perubahan yang bisa mengacaukan 

rencana kita. Aku sangat ingin melihat agar semua 

orang Mataram termasuk Rakai Kayuwangi yang 

telah membantai ayah dan saudaraku, menemui ajal setelah lebih dulu menderita sengsara. Agak–

nya kematian mereka harus dipercepat. Namun 

ada saja halangan jahanam yang muncul. Raja 

Dukun, apa saja yang telah kau lihat dalam ling–

karan delapan batang kayu di lantai candi?” 

“Ada beberapa hal yang mencemaskan saya 

walau terlihat agak samar,” jawab Jambal Ungu. 

“Pertama orang kepercayaan kita Sri Padmi Ka–

meswari alias Kunthi Pithaludra telah kembali ke 

ujud semula yaitu seekor anjing betina. Dia mela–

kukan perselingkuhan bahkan melahirkan bayi 

pada saat hendak dibunuh. Semua tugas yang 

diberikan padanya gagal. Saya tidak bisa menduga 

di mana dia sekarang berada...” 

“Kalaupun dia jadi debu, dia seharusnya 

datang menemuiku. Jika kelak aku menjumpainya 

aku akan menjatuhkan hukuman yang lebih ga–

nas. Aku akan membuatnya bunting terus-terusan 

hingga menderita seumur-umur. Raja Dukun, hal 

apa lagi yang kau lihat...?” 

“Satria Lonceng Dewa, si anak keramat Mimba 

Purana...” 

“Dia lagi!” tukas Sinuhun Merah dengan air 

muka berubah. “Teruskan bicaramu.” 

“Anak berusia dua belas tahun itu telah berte–

mu dengan Rakai Kayuwangi. Mereka menyusun 

beberapa rencana. Ada beberapa mahluk alam 

gaib menolong mereka. Yang paling berbahaya 

adalah mereka membuat satu rencana besar dan 

sangat rahasia untuk mendatangkan seorang ksa–

tria sakti mandraguna berasal dari alam delapan–

ratus tahun mendatang. Ada kabar yang saya 

terima bahwa ksatria itu menyimpan sebuah sen–

jata hebat di dalam tubuhnya. Senjata inilah yang 

harus kita rampas atau kalau tidak ksatria itu 

dibunuh lebih dulu...”“Kau sudah menjajagi siapa adanya ksatria 

itu?” 

“Siapa namanya tidak mungkin saya ketahui. 

Bahkan Raja Mataram dan Mimba Purana juga 

tidak tahu. Satu hal yang saya ketahui paling 

lambat orang itu akan muncul di Bhumi Mataram 

sekitar tengah malam nanti.” 

“Apa?!” Sinuhun Merah tersentak kaget. 

“Kurang ajar! Waktunya singkat sekali. Kita harus 

melakukan segala upaya untuk mencegah...” 

“Tentu saja Sinuhun. Saya telah merencanakan 

sesuatu. Ksatria itu harus dihalangi dan dibunuh 

secepatnya dia menjejakkan kaki di Bhumi Mata–

ram.” 

“Kau aku tugaskan untuk melakukan hal itu!” 

Kata Sinuhun Merah Penghisap Arwah. 

Jambal Ungu alias Raja Dukun Batu Berlumut 

terdiam sesaat lalu gelengkan kepala. “Sinuhun 

Merah, saya tahu batas kemampuan saya. Ksatria 

Panggilan itu bukan manusia sembarangan. Dari–

pada gagal dan mengecewakan Sinuhun kalau 

saya turun tangan sendiri maka saya mengusul–

kan...” 

“Raja Dukun Batu Berlumut! Kau dengan ke–

saktianmu mampu menjatuhkan Malam Jahanam 

hingga Bhumi Mataram dilanda banjir air darah 

busuk! Sri Maharaja Mataram dan para pengikut–

nya yang sakti-sakti serta hampir semua orang 

yang ada di Bhumi Mataram menjadi lumpuh, 

diserang demam panas serta terjangkit delapan 

benjolan di kepala. Masakan melawan seorang 

kurcaci musuh yang belum diketahui juntrungan–

nya kau merasa takut...” 

“Saya jauh dari takut Sinuhun. Namun perca–

yalah pada yang saya katakan. Selain itu Sinuhun 

harus tahu, ksatria yang akan datang itu benar benar bukan manusia sembarangan. Bukan bang–

sa kurcaci...” 

“Aku tidak perduli! kau tetap harus mengha–

dapinya. Kalau perlu minta bantuan orang-orang 

sakti yang selama ini berserikat dengan kita. Jika 

dikeroyok masakan dia tidak akan amblas!” 

“Sinuhun Merah, maafkan saya. Saya tetap 

mengatakan tidak sanggup.” 

“Kau belum mencoba tapi sudah menyerah. 

Kau tahu, aku bisa memecatmu sekarang juga dan 

jangan berani lagi memperlihatkan tampangmu di 

hadapanku!” 

Diancam seperti itu Raja Dukun Batu Berlumut 

balas mengancam sambil kepalkan tinju tangan 

kanan dan diangkat di atas kepala. 

“Kalau begitu keputusan Sinuhun Merah, saya 

memilih untuk bunuh diri sekarang juga!” Tangan 

kanan sang dukun bergerak. 

Sinuhun Merah tersentak kaget. 

“Tunggu!” teriaknya lalu dengan cepat mence–

kal lengan kanan Raja Dukun yang nekad hendak 

mengepruk kepala sendiri! “Aku percaya kita 

masih bisa bicara baik-baik. Mencari jalan. Apa 

yang ada dibenakmu?!” 

“Saya ingin Sinuhun tahu,” kata Raja Dukun 

sambil turunkan tangan kanan. “Delapan benjolan 

yang ada di kening semua orang yang ada di 

Mataram, termasuk Rakai Kayuwangi sekarang 

hanya tinggal empat. Ini disebabkan Raja Mataram 

telah berbuat satu kebajikan luar biasa besar. Dia 

tidak membunuh Sri Padmi Kameswari ketika 

melahirkan anak anjingnya! Dan Sri Padmi 

Kameswari bertobat minta ampun pada Para Dewa 

sambil mendoakan Raja dan rakyat Mataram...” 

“Luar biasa! Sungguh gila! Anjing betina peng–

khianat!”Sinuhun Merah memperhatikan delapan ben–

jolan di kening sang Raja Dukun lalu meraba 

keningnya sendiri sambil menghitung. 

“Aku lihat benjolan di keningmu masih tetap 

delapan. Yang di keningku juga tetap delapan...” 

“Sinuhun, kita bersama-sama menciptakan 

delapan benjolan itu. Yang ada pada diri kita dan 

kawan-kawan merupakan kunci ilmu yang tidak 

akan lenyap sebelum Raja dan rakyat Mataram 

menemui kematian! Kita tetap memantek mereka 

walau kini benjolan di kening mereka hanya ting–

gal empat.” 

Sinuhun terdiam sejurus lalu berkata. 

“Dalam waktu yang sangat singkat ini mungkin 

aku harus turun tangan lagi untuk menghisap roh 

arwah orang-orang sakti. Aku sudah lama meng–

incar arwah Ketua dari Candi Miring. Aku sudah 

mengirim Ratu Randang untuk menemui dan 

membujuknya. Raja Dukun, tadi kau mengatakan 

hendak mengusulkan sesuatu padaku.” 

“Sinuhun, kita harus mempergunakan mahluk 

dari alam yang sama untuk menghadang dan 

membunuh Ksatria Panggilan.” 

“Maksudmu?” 

“Dari penglihatan saya, Ksatria Panggilan itu 

pernah membunuh seorang musuh besarnya di 

alam kehidupannya. Namun sang musuh baru 

tewas setelah dihadang beberapa tokoh berilmu 

tinggi lainnya. Jika orang itu hanya mampu 

dihabisi oleh beberapa orang sakti, berarti dia 

memiliki kesaktian yang tidak berada di bawah 

Ksatria Panggilan yang hendak didatangkan Rakai 

Kayuwangi dan Mimba Purana. Kita pergunakan 

roh orang itu untuk menghadang dan membunuh 

Ksatria Panggilan...” 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah terkesiap lalu tertawa lebar. 

“Hebat! Aku memuji kecerdikanmu Raja 

Dukun. Soal menjemput roh musuh besar Ksatria 

Panggilan itu serahkan padaku. Aku akan masuk 

ke alam delapanratus tahun mendatang. Kau bisa 

menjajaki di mana pembunuhan atas musuh 

besar Ksatria Panggilan itu terjadi?” 

Raja Dukun memandang ke lantai candi dalam 

lingkaran delapan batang kayu menyala. Beberapa 

saat kemudian dia memberi tahu. 

“Saya melihat tanda-tanda. Ada rimba belan–

tara terbakar di puncak gunung. Dari bentuk 

gunungnya saya mengira itu adalah Gunung 

Merapi. Berarti tempat pembantaian itu terjadi di 

puncak Gunung Merapi. Mudah-mudahan apa 

yang saya lihat tidak keliru.” 

“Aku yakin ilmu kesaktianmu tidak memb–

erikan petunjuk yang keliru. Hanya saja untuk 

memudahkan apakah ada kemungkinan kau 

mengetahui nama orang itu atau tanda-tanda lain 

yang dimiliki dirinya?” 

“Sulit Sinuhun. Kita tidak mungkin mengetahui 

siapa namanya seperti kita juga tidak bisa menge–

tahui siapa nama Ksatria Panggilan. Namun saya 

akan mencoba lagi melihat ke alam gaib...” 

Raja Dukun Batu Berlumut mengusap wajah 

ungunya beberapa kali lalu kembali menatap ke 

arah lantai candi yang dilingkari delapan batang 

kayu menyala. Setelah cukup lama menatap, sang 

dukun usap lagi wajahnya lalu angkat kepala. 

“Kau mendapatkan petunjuk?” tanya Sinuhun 

Merah Penghisap Arwah tidak sabaran. 

“Benar Sinuhun. Saya melihat sebuah benda. 

Sepertinya sebuah lentera yang memancarkan 

cahaya tiga warna. Merah, hitam dan kuning. 

Agaknya lentera ini pernah menjadi milik orang yang dibunuh itu. Mungkin merupakan satu sen–

jata luar biasa...” 

“Bagus!” ucap Sinuhun Merah sambil mene–

puk-nepuk bahu kiri Raja Dukun. “Sekarang kita 

berbagi tugas. Aku akan masuk ke alam delapan–

ratus tahun mendatang. Aku akan menghisap dan 

menjemput roh musuh besar Ksatria Panggilan! 

Kau siapkan orang-orang kita di sekitar kaki 

selatan Gunung Merapi. Aku punya firasat Ksatria 

Panggilan akan muncul pertama kali di kawasan 

itu. Jangan sampai dia menghilang atau lolos 

sebelum aku membawa Ksatria Roh Jemputan!” 

“Akan saya lakukan Sinuhun. Hanya saja 

tidakkah kita harus terlebih dulu memberitahu 

semua ini pada Junjungan?” 

Sinuhun hanya menjawab dengan tertawa 

lebar. 

“Aku pergi sekarang. Awas, jangan sampai 

Ksatria Panggilan itu lolos. Kalau perlu kau terap–

kan ilmu Tabir Langit Turun Ke Bumi yang telah 

aku ajarkan padamu. Sekali dia menginjakkan 

kaki di satu tempat, dia tidak akan mampu 

berjalan lebih dari seratus langkah!” 

“Baik Sinuhun!” jawab Raja Dukun Batu Ber–

lumut Jambal Ungu. “Sebelum pergi izinkan saya 

melindungi diri Sinuhun dengan ilmu Insan 

Berjalan Tanpa Bayangan” 

Sebenarnya Sinuhun tidak memerlukan ilmu 

itu. Namun dia tidak mau mengecewakan anak 

buahnya. Maka begitu dia anggukkan kepala Raja 

Dukun Batu Berlumut angkat dua tangan ke 

udara. Dua larik cahaya ungu melesat keluar. 

Yang pertama memasuki tubuh Sinuhun dari 

bagian kepala, yang kedua memasuki dari telapak 

kaki. Saat itu juga, jika ada orang lain di tempat 

itu maka dia tidak akan dapat melihat sosok

Sinuhun Merah Penghisap Arwah. 

Setelah Sinuhun Merah Penghisap Arwah le–

nyap dari pemandangan untuk beberapa lamanya 

mahluk berwajah dan bertubuh ditumbuhi batu-

batu berlumut itu masih berdiri di tempat itu. 

“Aku merasa heran. Ketika aku menyebut nama 

sang Junjungan, Sinuhun hanya tertawa. Jangan-

jangan apa yang dikisikkan Ketua Jin Seribu Perut 

Bumi padaku tempo hari benar adanya. Bahwa 

Sinuhun itu sebenarnya...” 

Raja Dukun Batu Berlumut Jambal Ungu men–

dadak merasa tengkuknya menjadi dingin. Dia 

tidak berani meneruskan ucapan kata hatinya.


SEPULUH


HANYA dalam bilangan kilatan cahaya, 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah 

berada di sekitar puncak Gunung Merapi.

Saat itu mentari penerang jagat siap masuk ke

ufuk tenggelam, meninggalkan sapuan cahaya 

benderang merah kekuningan di langit sebelah 

barat.


“Waktu berlalu sangat cepat. Sebelum sang 

surya tenggelam aku harus sudah bisa berhubu–

ngan dengan Ksatria Roh Jemputan itu. Kalau 

tidak bisa terlambat. Bisa keduluan!” Sinuhun 

Merah berucap dalam hati. Lalu dia mengelilingi 

puncak gunung satu kali. Akhirnya dia menemu–

kan satu tempat yang baik untuk mulai memasuki 

alam gaib delapanratus tahun mendatang. Tempat 

itu adalah bagian rata sebatang pohon jati tua 

yang putus disambar petir.

Sinuhun Merah Penghisap Arwah duduk bersila 

di atas pohon. Dua tangan diletakkan di atas 

dada. Mata dipejam dan perlahan-lahan mulut

dibuka. Dari dalam mulut menjulur lidah merah 

pekat. Lidah bergerak keluar makin lama makin 

panjang, melibat sekujur tubuh Sinuhun mulai 

dari bahu sampai ke kaki. Untuk beberapa lama 

mulutnya tampak komat-kamit mengeluarkan 

suara bergumam yang tidak jelas. 

Tiba-tiba suasana di tempat itu menjadi sunyi 

senyap, lengang bahkan suara siuran anginpun tidak lagi terdengar. Saat itulah Sinuhun Merah 

berucap perlahan. 

“Mahluk alam roh, yang aku tidak tahu 

namanya, tapi yang akan aku kenal sebagai 

Ksatria Roh Jemputan, yang tewas dibunuh secara 

keji oleh para pengeroyok pengecut. Yang peristi–

wanya terjadi di masa delapanratus tahun menda–

tang di puncak Gunung Merapi ini. Sudilah datang 

menemui diriku. Aku Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah memanggilmu agar kau muncul di Bhumi 

Mataram untuk membalas dendam kesumat atas 

musuh besarmu yang aku sebut dengan nama 

Ksatria Panggilan. Sebentar lagi matahari akan 

tenggelam, malam akan datang. Sebelum sang 

surya menghilang aku mohon kau sudah berada di 

hadapanku...” Begitu ucapan Sinuhun Merah 

berakhir, delapan benjolan merah di kening pan–

carkan cahaya terang. Lidah panjang yang meng–

gulung sekujur tubuhnya bergulung membuka. 

Ketika ujung lidah terakhir masuk ke dalam 

mulut, Sinuhun Merah hirup udara dalam-dalam 

lalu mulutnya menghisap keras. 

Wusss! 

Pepohonan besar di sekitar tempat itu ber–

goyang keras berderak-derak. Pohon-pohon kecil 

dan semak belukar tercabut dari akarnya, melesat 

ke udara. Debu, pasir dan tanah menghambur ke 

atas hingga untuk beberapa lama keadaan menja–

di gelap. Dalam keadaan seperti itu terdengar 

suara hiruk pikuk jeritan dari mahluk yang tidak 

kelihatan yang jumlahnya mungkin puluhan. 

Suara pekik jerit itu ada yang datang dari atas 

langit, ada yang keluar dari dalam tanah! 

Tiba-tiba tanah di bawah pohon jati bergetar 

keras dan terbelah. Dari celah belahan, didahului 

suara tawa cekikikan panjang melesat keluar satu sosok perempuan menebar bau harum. 

Karuan saja Sinuhun Merah Penghisap Arwah 

jadi tersentak kaget luar biasa. Tengkuk terasa 

dingin. Dia menghisap dan menyedot sekali lagi. 

Namun sosok di depannya tetap tidak berubah, 

bahkan lemparkan senyuman ke arahnya! Saat itu 

Sinuhun tidak lagi mempergunakan ilmu Insan 

Berjalan Tanpa Bayangan yang diterapkan Raja 

Dukun Batu Berlumut hingga sosoknya terlihat 

seperti biasa. 

“Yang aku hisap arwah lelaki. Mengapa seka–

rang muncul roh perempuan?! Jangan-jangan ada 

kesalahan ketika mengucap mantera. Siapa mah–

luk ini?!” 

Kejut Sinuhun Merah perlahan-lahan 

mengendur bilamana dia memperhatikan sosok 

roh di hadapannya. 

Roh perempuan yang muncul berwajah cantik, 

tidak tertandingi oleh Ratu Randang, perempuan 

yang selama ini menjadi kekasih dan diperguna–

kan ilmu kepandaiannya untuk membantu diri–

nya. Pakaian panjang yang dikenakan terbuat dari 

sutera halus berwana hijau. Tubuh dan pakaian 

menebar bau harum semerbak yang bisa meng–

goncang darah lelaki. Rambut hitam berkilat di–

gerai lepas di belakang punggung. Di sebelah 

depan kepala bertengger sebuah mahkota kecil 

dari emas dengan ukiran berbentuk kepala ular 

dengan sepasang mata terbuat dari permata hijau 

bersinar. 

Sepasang mata Sinuhun Merah mengerenyit 

ketika dia melihat dari balik perut pakaian roh 

perempuan itu menyembul keluar seekor ular 

besar hitam berkepala putih, meliuk-liuk di 

permukaan pusar! Lalu lenyap kembali masuk ke dalam perut 

“Roh perempuan cantik, apakah kau datang 

dari alam delapanratus tahun mendatang?” Sinu–

hun Merah ajukan pertanyaan. 

“Betul sekali.” Yang ditanya menjawab pendek. 

Mulut masih merekah senyum. 

“Aku... aku tidak merasa memanggilmu.” Ber–

kata lagi Sinuhun Merah Penghisap Arwah. 

Sepasang alis kereng hitam perempuan cantik 

mencuat ke atas. Kepala diangkat sedikit lalu 

mulut keluarkan tawa renyah. 

“Kau membaca mantera memanggil roh. Ratu–

san roh berebut keluar dari alam gaib. Namun 

hanya aku sendiri yang mampu hadir di hadapan–

mu. Adalah aneh kalau kau kini berkata tidak 

memanggil diriku...” 

“Demi Dewa Bhatara Agung...” 

“Jangan menyebut nama Dewa untuk peker–

jaan keji yang sedang kau lakukan!” Perempuan 

berpakaian sutera hijau memotong ucapan Sinu–

hun yang membuat Sinuhun tersentak kaget. 

Kini ada rasa curiga juga waspada dalam 

dirinya. “Roh dari alam delapanratus tahun men–

datang. Jika aku kesalahan telah memanggilmu 

harap dimaafkan. Aku mohon kau segera kembali 

ke alammu.” Berkata Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah. 

Mendengar ucapan Sinuhun Merah si cantik 

berpakaian sutera hijau kembali tertawa. 

“Aku akan kembali ke alamku asal saja kau 

ikut mengantar!” 

“Apa?! Maaf hal itu tak mungkin aku lakukan.” 

Jawab Sinuhun Merah. 

“Kalau begitu apa perlunya menyesalkan keha–

diranku di sini? Suatu ketika kau akan memer–

lukan diriku. Mungkin untuk berbagi ilmu, Mung–

kin juga untuk berbagi cinta. Hik... hik.. hik...”Setelah mengumbar tawa panjang roh perem–

puan cantik yang dari perutnya tadi menyembul 

keluar ular hitam kepala putih lambaikan tangan 

lalu melesat ke udara. Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah berusaha mencegat dengan melompat pula 

ke udara. Mulut dan hidung menghisap berba–

rengan. Namun sia-sia saja. Si cantik bermahkota 

itu telah lenyap di atas langit Bhumi Mataram. 

Sinuhun Merah tertegun merenung. 

“Mahluk perempuan itu. Aku akan menemui–

nya lagi! Pasti! Siapapun dia mungkin aku bisa 

memanfaatkan diri dan ilmu kesaktiannya. Pen–

ampilannya garang. Tapi kecantikan wajahnya... 

Astaga, apakah aku telah tertarik pada dirinya?”



SEBELAS


SINUHUN Merah Penghisap Arwah melayang 

turun dan duduk kembali bersila di atas 

batangan pohon jati. “Bagaimana mungkin 

bisa terjadi kekeliruan. Mahluk perempuan tadi. 

Bisa jadi dia salah seorang yang juga pernah di–

bantai beramai-ramai di sekitar kawasan ini. Ka–

lau dia berada di pihakku mungkin ada baiknya.

Tapi kalau dia hendak mengacaukan semua ren–

canaku yang hampir rampung ini, benar-benar 

celaka! Gerak-geriknya, walau cantik agaknya dia 

bukan roh baik-baik. Apalagi membekal seekor

ular di dalam perut! Aneh! Apa yang terjadi? Baru

sekali ini kejadian seperti ini. Mungkin ada 

sesuatu yang terlupa aku ucapkan di dalam 

mantera?” 


Dari atas pohon tinggi Sinuhun Merah coba 

mengingat-ingat sambil memperhatikan keadaan 

di sekitarnya. Di timur cahaya benderang merah 

kekuningan sang surya mulai memudar pertanda 

siap memasuki ufuk tenggelamnya. Tiba-tiba 

Sinuhun Merah ingat. Tampangnya berubah. 

“Memang, ada sesuatu yang terlupa. Senjata 

sang Roh Jemputan. Aku tadi tidak menyebutkan. 

Aku tidak melafal dalam mantera. Aku harus 

mengulang mantera...” 

Lalu seperti tadi tangan segera didekapkan ke 

dada. Mata dipejam, mulut dibuka. Dari dalam 

mulut ini kembali keluar lidah merah, bergulung

panjang membelit sekujur tubuhnya. Mulut kemu–

dian mengeluarkan suara bergumam panjang. 

Kesunyi-senyapan serta merta menggantung di 

seantero kawasan. 

Sinuhun Merah berkata perlahan. Mengulang 

mantera. Kali ini dalam ucapan yang lebih 

lengkap. “Mahluk alam roh, yang aku tidak tahu 

nama, tapi yang aku kenal sebagai Ksatria Roh 

Jemputan, yang tewas dibunuh secara keji oleh 

para pengeroyok pengecut. Yang peristiwanya ter–

jadi di masa delapanratus tahun mendatang di 

puncak Gunung Merapi ini. Yang dikabarkan 

memiliki sebuah senjata sakti mandraguna berupa 

Lentera yang mampu memancarkan tiga cahaya 

berwarna merah, kuning dan hitam. Sudilah da–

tang menemui diriku. Aku Sinuhun Merah Peng–

hisap Arwah, ingin bersahabat denganmu, ingin 

kau muncul di Bhumi Mataram untuk membalas 

dendam kesumat atas musuh besarmu yang aku 

sebut dengan nama Ksatria Panggilan. Sebentar 

lagi matahari akan segera tenggelam. Siang ber–

ganti malam. Sebelum sang surya menghilang aku 

mohon kau sudah berada di hadapanku.” 

Delapan benjolan yang ada di kening Sinuhun 

Merah memancar terang. Lidah panjang yang 

menggulung tubuh membuka dan masuk kembali 

ke dalam mulut. Sinuhun Merah hirup udara 

dalam-dalam lalu mulut menghisap keras. 

Wuss! 

Untuk kedua kalinya pepohonan di tempat itu 

bergoyang dan berderak. Daun-daun berguguran. 

Rerantingan patah beterbangan. Semak belukar 

menghambur ke udara bersama pasir, tanah dan 

debu. Udara serta merta menjadi gelap. Apa lagi 

saat itu sang surya telah masuk ke ufuk teng–

gelamnya. Suara jerit pekik menggelegar dari langit dan dari dalam tanah. Bumi bergetar, lebih 

dahsyat dari yang terjadi sebelumnya. 

Kalau sebelumnya tanah di depan pohon jati 

tua mencuat terbelah, kini tanah di samping 

kanan yang menguak lebar. Didahului suara ben–

takan lantang serta sambaran tiga cahaya merah, 

kuning dan hitam, dari dalam tanah yang terbelah 

melesat keluar satu sosok tinggi besar seorang 

berpakaian dan bermantel hitam di punggung. 

Pada dada pakaian ada gambar biru puncak Gu–

nung Merapi dengan latar belakang matahari ber–

warna merah membersitkan garis cahaya merah. 

Di kening terikat secarik kain berwarna merah. 

Pemuda dari alam roh ini menatap ke arah 

Sinuhun Merah sebentar lalu dongakkan kepala 

dan umbar tawa bergelak yang membuat tanah 

bergetar dan pohon jati yang diduduki Sinuhun 

bergoyang keras. 

“Tenaga dalamnya luar biasa. Dasar dari ilmu 

kesaktian tinggi. Kali ini tidak keliru. Dialah Roh 

Jemputan dari alam delapanratus tahun menda–

tang. Tapi aku melihat ada bayangan keangkuhan 

dan kekerasan di wajahnya.” Membatin Sinuhun 

Merah. 

“Mahluk alam roh yang berasal dari masa dela–

panratus tahun mendatang. Aku Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah merasa bersyukur dan mengu–

capkan terima kasih kau sudah sudi datang 

menemuiku. Aku akan memanggilmu dengan 

sebutan Ksatria Roh Jemputan. Namun aku minta 

terlebih dulu kau mau menerangkan siapa dirimu 

sebenarnya. Setelah itu kau ikut bersamaku 

untuk menghadang dan membunuh seseorang 

yang datang dari alam yang sama dengan dirimu, 

yang aku sebut sebagai Ksatria Panggilan...” 

Pemuda di bawah pohon kembali menatap

Sinuhun Merah, setelah tertawa panjang dia baru 

membuka mulut. 

“Mahluk mengaku bernama Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah, kau memanggil aku dari alam 

gaib. Tapi kau tidak tahu siapa diriku. Sungguh 

edan!” 

Telinga Sinuhun Merah berdesing panas men–

dengar dirinya dimaki edan. Namun dia berusaha 

mempersabar diri. 

“Aku mohon maaf. Harap...” Ucapan Sinuhun 

Merah dipotong dengan bentakan. 

“Mahluk merah di atas pohon buntung! Kalau 

kau ingin meneruskan bicara denganku turunlah 

ke tanah. Tidak pantas mahluk buruk seperti 

dirimu bicara denganku dari atas pohon!” 

Sinuhun Merah Penghisap Darah langsung ber–

ubah tampangnya. Dalam hati dia menggeram. 

“Mahluk sombong, aku akan memberi pelajaran 

padamu! Kalau saja aku tidak membutuhkanmu 

sudah kulumat tubuhmu saat ini juga!” 

Dengan gerakan cepat dan ringan Sinuhun 

Merah melompat turun dari atas pohon. Begitu 

berdiri berhadap-hadapan ternyata tinggi Sinuhun 

Merah hanya sampai sepundak sang Roh Jem–

putan. 

“Mahluk merah, kau mendatangkan diriku dari 

alam gaib delapanratus mendatang, katakan apa 

keinginanmu?” 

“Aku akan memperlakukan dirimu dengan 

segala hormat dan menyebut dirimu dengan nama 

Ksatria Roh Jemputan. Membawamu ke Bhumi 

Mataram untuk membunuh satu Roh Panggilan 

yang juga berasal dari alam yang sama seperti 

dirimu...” 

“Mengapa aku harus membunuh Roh Panggilan 

itu?”“Karena dia adalah musuh besar yang telah 

membunuhmu bersama beberapa tokoh rimba 

persilatan lainnya. Kau membalas dendam sakit 

hatimu, sekaligus memberi bantuan pada diriku.” 

“Siapa musuh besar yang kaumaksudkan?” 

“Aku tidak tahu namanya. Ujudnya akan segera 

muncul malam ini juga di Bhumi Mataram.” 

“Menolongmu urusan kecil bagiku. Tapi imba–

lan apa yang akan kau berikan padaku?” 

Sinuhun Merah terdiam. Dia semakin merasa–

kan keangkuhan dan kecerdikan yang memuak–

kan dalam diri Roh Jemputan ini. Setelah berpikir 

sejenak akhirnya Sinuhun Menjawab. 

“Ksatria Roh Jemputan, kau saja yang menga–

takan apa imbalan yang kau inginkan.” 

“Begitu...?” Mahluk alam roh yang disebut 

Ksatria Roh Jemputan menyeringai lalu tertawa 

bergelak. “Baiklah, aku akan mengatakan imbalan 

apa yang aku minta. Sinuhun Merah, aku minta 

aku diberi hak dan kesempatan untuk mendirikan 

Partai Bendera Darah di Bhumi Mataram. Partai 

ini kelak akan menguasai dunia nyata dan alam 

gaib. Kau akan menjadi salah seorang pemban–

tuku. Berarti mulai saat ini kau harus tunduk 

padaku!” 

Kejut Sinuhun Merah Penghisap Darah bukan 

alang-kepalang. Darahnya serasa mendidih terba–

kar amarah. Delapan benjolan merah memancar 

terang. “Jahanam kurang ajar! Aku yang memang–

gilnya datang ke Bhumi Mataram. Sekarang aku 

pula yang harus tunduk padanya! Mahluk jaha–

nam tidak tahu diri ini harus aku hajar sekarang 

juga!” Kata Sinuhun Merah dalam hati. Amarah–

nya sudah meledak di kepala. Kaki kanan dihen–

takkan ke tanah. Tinju kanan dipukulkan ke 

langit. Kejap itu juga delapan larik sinar merah berkiblat di udara, dan delapan lagi menderu di 

tanah. Masing-masing delapan larik sinar merah 

ini laksana kilat masuk ke dalam tubuh Roh 

Jemputan lewat kepala dan kaki! 

Dalam kejutnya Roh Jemputan tidak sempat 

berbuat apa-apa. 

Dess! Dess! 

Sosok tinggi besar Roh Jemputan bergoncang 

dua kali. Asap mengepul. Di keningnya muncul 

delapan benjolan merah! Merasa ada hawa panas 

di kepala, Roh Jemputan meraba keningnya. Dia 

terkejut ketika merasa ada delapan benjolan. Se–

pasang mata mahluk ini membeliak besar. Rahang 

menggembung. Mulut siap melabrak. Namun 

Sinuhun yang diam-diam telah merapal mantera 

mendahului menghardik. 

“Roh Jemputan! Kesombonganmu tidak berlaku 

di hadapanku! Mulai saat ini kau harus tunduk 

padaku! Aku akan mengendalikan dirimu dan 

memberikan setiap perintah yang harus kau 

patuhi! Sekarang berlututlah di hadapanku! Jika 

kau menolak aku akan membuat kau tidak kem–

bali ke alammu untuk selama-lamanya. Rohmu 

akan berkeliaran tak karuan, tergantung antara 

bumi dan langit. Tunduk dan berlutut!” 

Aneh! Saat itu juga Roh Jemputan yang tadi 

bersikap garang perlahan-lahan menekuk sepa–

sang kaki lalu berlutut di hadapan Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah. 

“Nyatakan kepatuhanmu dengan sumpah!” 

Bentak Sinuhun Merah. 

“Mulai saat ini aku bersumpah tunduk dan 

patuh padamu Sinuhun Merah Penghisap Arwah.” 

Sinuhun Merah tertawa bergelak. 

“Sekarang berdiri dan katakan roh siapa dirimu 

sebenarnya!Perlahan-lahan Roh Jemputan bangkit berdiri, 

kepala ditundukkan. Mulut berucap. 

“Aku roh Pangeran Anom. Putera Raja 

Surokerto dari istri bernama Siti Hinggil. Aku 

dikenal dengan julukan Pangeran segala cerdik, 

segala akal, segala ilmu, segala licik, segala 

congkak. Tapi aku lebih sangat dikenal dengan 

nama panggilan Pangeran Matahari!” 

Mendengar kata-kata angkuh yang diucapkan 

itu Sinuhun Merah kembali tertawa bergelak.



DUA BELAS


SEKARANG kita ikuti apa yang terjadi dengan 

Sinto Gendeng, Pendekar 212 Wiro Sableng 

dan Ni Gatri yang terdampar di Bhumi Mataram Kita lihat Ni Gatri lebih dulu. 

Setelah tubuhnya terguling-guling di tanah, Ni 

Gatri terpental ke atas semak belukar. Jatuh tepat

ke atas pangkuan seorang yang sedang khusuk 

melakukan samadi yaitu seorang nenek berwajah 

bundar, berdandan tebal, tapi tidak memiliki alis! 

Di atas kening ada empat benjolan merah menge–

pulkan asap. Sepasang mata si nenek yang terpe–

jam membuka mendelik. Mulut hendak mendam–

prat marah karena ada yang berani mengganggu 

memutus samadinya di tengah malam itu. Tapi 

begitu melihat siapa adanya anak perempuan yang 

pingsan dan berada di atas pangkuannya, nenek 

berjubah biru ini berseru kaget. Buru-buru dia 

peluk tubuh Ni Gatri, wajah si anak dicium 

berulang kali. Sambil memeluk dan mencium si 

nenek berkata. 

“Terima kasih wahai Para Dewa di Swargaloka.

Anak ini akhirnya Kau kirimkan kepada saya.

Rupanya dia memang berjodoh dengan diri saya.

Saya bersyukur kehadirannya akan membuat saya 

mampu melakukan sedikit kebajikan bagi Raja 

dan rakyat Mataram. Terima kasih Dewa Agung!” 

Tiba-tiba terdengar suara tertawa seolah me–nyahuti ucapan si nenek tadi. Disusul ucapan lantang. 

“Rauh Kalidathi! Iblis perempuan tidak beralis! 

Tidak ada yang berjodoh dengan dirimu! Anak pe–

rempuan itu harus kau serahkan padaku! Kalau 

ada sedikit kebajikan yang dapat kaulakukan ma–

ka itu adalah untuk Sang Junjungan! Kau ikut 

bersamaku saat ini juga! Menghadang Roh Pang–

gilan yang datang dari negeri delapanratus tahun 

mendatang!” 

Kejut perempuan yang duduk di atas semak 

belukar bukan alang kepalang. Dia menjawab 

tawa dan ucapan orang dengan pekikan dahsyat. 

“Ludra Bhawana! Sekarang jadi jelas bagiku! 

Kau adalah salah seorang dari tujuh dukun sesat 

penimbul malapetaka Malam Jahanam di Bhumi 

Mataram! Kau anak buah Raja Dukun Batu Ber–

lumut! Pasti ilmu setanmu yang telah mengirim–

kan delapan benjolan merah di keningku! Aku 

mengadu nyawa denganmu!” 

Habis keluarkan ucapan nenek bernama Rauh 

Kalidathi angkat tubuh Ni Gatri lalu dimasukkan 

ke dalam semak belukar. Dua tangan kemudian 

membuat gerakan seperti mencengkeram. Saat itu 

juga semak belukar dikobari api. Di sebelah luar 

api itu panas luar biasa namun di dalam semak 

belukar hanya ada kesejukan. Nyatanya Ni Gatri 

yang masih pingsan tidak mengalami cidera 

sedikitpun. Malah kini anak itu tampak seperti 

tidur nyenyak! 

“Ilmu Kesejukan Di Dalam Api! Siapa takut?! 

Ilmu permainan anak-anak! Ha... ha... ha!” 

Orang bernama Ludra Bhawana mengejek. Ter–

nyata dia adalah seorang lelaki berusia sekitar 

empatpuluh tahunan, mengenakan pakaian dan 

destar kuning. Sambil bertindak mundur dua 

langkah orang ini dorongkan dua telapak tangan ke arah si nenek di atas semak belukar. 

Wusss! Wusss! 

Dua larik sinar kuning menghantam mengelu–

arkan suara menggelegar. Si nenek yang diserang 

cepat melesat ke udara lalu melayang turun sam–

bil kebutkan dua ujung lengan jubah biru. Dua 

gelombang cahaya biru berkiblat. 

Blaarr! Blaar! 

Empat cahaya sakti saling bentrokan di udara. 

Empat letusan dahsyat membahana di malam 

buta. Ranting dan daun-daun pepohonan patah 

rontok bertaburan. Debu beterbangan. Namun 

anehnya semak belukar di mana Ni Gatri berada 

hanya bergoyang-goyang. 

Akibat benturan ilmu kesaktian tingkat tinggi 

yang dilepas dengan aliran tenaga dalam dahsyat, 

Ludra Bhawana terpental dan bergulingan di 

tanah namun dengan cepat berdiri kembali setelah 

lebih dulu memungut destar kuning yang tercam–

pak di tanah. Mukanya pucat karena tak me–

nyangka si nenek bisa menghadapi serangannya. 

Akan halnya si nenek, benturan dua kekuatan 

tadi membuat tubuhnya mencelat delapan tombak 

seolah lenyap hendak menembus langit malam. 

Namun dengan gerakan jungkir balik sambil 

mengebutkan bagian bawah jubah birunya untuk 

melindungi diri dia berhasil melayang turun ke 

tanah tanpa cidera. Sampai di tanah, braakk! Dia 

terduduk menjelepok begitu rupa. Astaga! 

Ternyata nenek ini berada dalam kedaan lumpuh 

dua kakinya! Lumpuh akibat ikut terkena 

malapetaka Malam Jahanam! 

Ludra Bhawana tertawa mengekeh. “Nenek 

tolol! Kau ikut maka akan aku berikan obat pena–

war kelumpuhan! Jika menolak kau aku habisi 

kejap ini juga!”“Aku memilih mati!” Jawab Rauh Kalidathi. 

Tubuh si nenek membubung ke udara. Dua lengan 

jubah biru dikebut. Namun si nenek kalah cepat. 

Karena Ludra Bhawana telah lebih dulu menghan–

tamkan dua tangan melepas pukulan bernama 

Arwah Malam Menjemput Mangsa. 

Rauh Kalidathi berteriak lantang. Tubuh yang 

lumpuh melesat ke udara setinggi tiga tombak. 

Namun serangan lawan memotong dan mengejar 

dengan ganas. Dua larik sinar kuning menghan–

tamnya dari kiri dan kanan. Dalam keadaan tubuh 

menderita lumpuh seperti itu si nenek tentu saja 

tidak bisa bergerak cepat. 

“Celaka! Aku tidak takut menemui ajal! Tapi 

bagaimana dengan anak perempuan itu?” Sekeja–

pan lagi sekujur tubuh lumpuh Rauh Kalidathi 

akan hancur berantakan dihantam dua larik 

pukulan Arwah Malam Menjemput Mangsa si 

nenek menggeliat, mulut melafal mantera lalu 

berteriak. 

“Tiga Bayangan Pelindung Raga!” 

Serentak dengan itu muncul tiga sosok baya–

ngan menyerupai sosok si nenek, masing-masing 

berujud lima kali lebih besar! Tiga bayangan 

berkeliling membentuk benteng gaib melindungi 

Rauh Kalidathi. Saat itulah dua larik serangan 

Arwah Malam Menjemput Mangsa datang meng–

hantam. Semula Ludra Bhawana memang sempat 

terkesiap namun teruskan serangan, malah kini 

dengan mengerahkan tenaga dalam penuh hingga 

dari batok kepalanya mengepul asap kuning! 

Ledakan dahsyat seolah hendak meruntuhkan 

langit malam. Satu pohon besar berderak patah 

dan tumbang. Beberapa pohon kecil tercabut dari 

akar lalu roboh. Tiga Bayangan Pelindung Raga 

meraung keras, mental cerai berai! Dan lagi-lagi terjadi keanehan. Semak belukar terbakar di mana 

Ni Gatri berada seolah tidak tersentuh. Hanya 

kobaran api yang tampak bergoyang-goyang. 

Tubuh Rauh Kalidathi mencelat ke udara, 

menyangsrang melintang di atas cabang satu 

pohon besar lalu jatuh bergedebuk ke tanah. 

Sekujur tubuh dan pakaiannya kini tampak ber–

warna kekuningan dan mengepulkan asap. Si 

nenek menggeliat, berusaha duduk namun tak 

kuasa. Tubuhnya terbanting kembali ke tanah. 

Mengerang halus. Kalau saja dirinya tadi tidak 

terlindung oleh ilmu Tiga Bayangan Pelindung 

Raga, saat itu tubuhnya mungkin sudah lumat 

tak karuan rupa! 

Ludra Bhawana sendiri setelah terguling sam–

pai dua tombak, masih mampu bangkit berdiri 

walau mulut menyemburkan darah kental. De–

ngan terhuyung-huyung dia melangkah mendekati 

Rauh Kalidathi. Tangan kanan dipentang ke atas. 

Satu langkah di samping si nenek dia merutuk. 

“Tua bangka tolol! Diberi nirwana minta nera–

ka!” 

Wuttt! 

Tangan kanan Ludra Bhawana menghantam. 

Lancarkan pukulan bernama Batu Neraka Meng–

goncang Jagat. Diarahkan ke kepala Rauh Kali–

dathi. Pukulan ini bukan pukulan sembarangan. 

Jangankan kepala manusia, batu gunung sebesar 

rumahpun akan hancur berkeping-keping! 

Hanya satu kejapan lagi Rauh Kalidathi akan 

menemui ajal dihantam pukulan maut yang 

dilepas Ludra Bhawana, mendadak sosok Ni Gatri 

yang ada dalam semak belukar terbakar melesat 

ke arah Ludra Bhawana laksana anak panah lepas 

dari busur. Mata yang tadi tertutup seperti tidur 

kini terbuka nyalang. Telunjuk tangan kanan menunjuk tepat-tepat ke arah Ludra Bhawana. 

Mulut keluarkan teriakan lantang. Suara yang 

terdengar bukan suara anak perempuan itu, tapi 

suara seorang lelaki yang sudah lanjut usia! 

“Manusia culas Ludra Bhawana! Masih muda 

tapi dosa setinggi langit sedalam samudera! Kera–

jaan memberi pangkat tinggi dan anugerah besar 

padamu. Tapi kau berkhianat! Malam ini dosamu 

sudah lewat dari takaran! Malam ini kau harus 

menyerahkan nyawa busukmu pada penjaga Pintu 

Neraka!” 

Baru saja suara teriakan berakhir tiba-tiba 

reeetttt... reetttt! Dua buah tangan besar merah 

seperti bara menyala melesat keluar dari dalam 

tanah langsung mencekal pergelangan kaki kiri 

kanan Ludra Bhawana. 

Cess! Cesss! 

Dua pergelangan kaki Ludra Bhawana leleh 

sampai ke tulang. Bersamaan dengan itu tu–

buhnya tertarik amblas, lenyap masuk ke dalam 

tanah! 

Kobaran api yang membakar semak belukar 

padam. Bersamaan dengan itu Ni Gatri yang tadi 

melayang di udara dan kini terguling di tanah 

sadarkan diri. 

“Malam gelap, udara dingin. Aku berada di 

mana... Ihhh.” Ni Gatri bertanya-tanya dalam hati. 

Anak ini merasa takut. Memandang berkeliling dia 

melihat sosok seorang nenek berjubah biru ter–

geletak di tanah yang bukan lain adalah Rauh 

Kalidathi. 

Sebagian pakaian dan tubuhnya diselimuti 

warna kuning. Anak perempuan itu segera me–

langkah mendekat lalu membungkuk di samping 

si nenek. 

“Nek... Nek. Kau kenapa?” Ni Gatri usap-usap

punggung Rauh Kalidathi. 

Tiba-tiba satu bayangan samar seorang tua 

berjubah kelabu muncul. Ni Gatri merasa ping–

gangnya dirangkul. Lalu tubuhnya terangkat. Dia 

melihat sosok si nenek berjubah biru juga ter–

angkat ke udara. Lalu ada suara berucap. 

“Kalian berdua biar aku titipkan dulu di Bukit 

Batu Hangus. Keadaan di sekitar sini akan sangat 

berbahaya.” 

“Tunggu, siapa kau?! Saya tidak mau pergi 

sendirian. Kakak saya... di mana dia?” Ni Gatri 

berteriak. 

“Kakak? Kau punya seorang kakak?” Orang tua 

bayangan bertanya. 

“Saya datang bersamanya. Saya tidak mau per–

gi kalau tidak bersama dia. Nenek bau pesing itu 

biar saja. Saya tidak perduli. Tapi kakak saya...” 

“Anak perempuan? Siapa nama kakakmu?” 

Mahluk bayangan kembali bertanya. 

“Wiro, namanya Wiro Sableng. Dia bergelar 

Pendekar Kapak Maut 212...” 

“Ah... Ksatria Roh Panggilan! Sudah datang dia 

rupanya. Bagaimana aku sampai tidak mengeta–

hui? Ada arwah jahat yang berusaha menangkal. 

Tapi mengapa muncul bertiga...? Nenek bau 

pesing, siapa dia? Ah...! Mungkin nenek yang aku 

temui di alam delapanratus tahun mendatang 

itu?” 

Diam seketika. Agaknya orang tua bayangan 

tengah berpikir. Lalu kembali terdengar suaranya. 

“Anak perempuan bernama Ni Gatri. Aku akan 

menghadapi urusan besar. Lebih cepat kau dan 

nenek ini berada di Bukit Batu Hangus akan lebih 

baik..” 

Wutttt! 

Ni Gatri menjerit ketika dapatkan dirinya mela–yang ke udara. Lalu di sebelahnya dia juga melihat 

sosok nenek berjubah biru ikut melesat ke udara. 

“Oala... Ihh... Ini semua gara-gara nenek bau 

pesing itu! Kalau dia tidak menyerobot menung–

gangi kuda lumping itu! Kakak, kau di mana?! 

Kuda lumpingku, kau di mana? Dewa Agung, 

tolong diri saya!” 

*** 

Sekarang mari kita ikuti apa yang terjadi 

dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Setelah 

terhempas ke tanah, dalam keadaan terhuyung-

huyung dia mencoba bangun dan memandang 

berkeliling. Ke mana mata mengawasi hanya 

kegelapan yang tampak. Di kejauhan samar-samar 

dia melihat bayangan sebuah puncak gunung. 

“Aku berada di mana? Apakah ini Bhumi Mata–

ram, alam delapanratus tahun silam?” Wiro meng–

garuk kepala. Mata dipentang telinga dipasang. 

Selagi murid Sinto Gendeng berpikir-pikir tiba-

tiba tanah yang dipijak bergetar. Menyusul suara 

berkereketan. 

Krekk... kreekkk... kreekkk! 

Wiro memandang ke bawah. Astaga! Nyawanya 

terasa terbang. Delapan anak lelaki telanjang ber–

warna merah mencuat keluar dari dalam tanah. Di 

kening ada delapan benjolan kecil merah. Wajah 

mereka tampak sama semua! 

“Bocah kembar delapan! Banyak amat!” ucap 

Wiro dalam hati sambil menggaruk kepala semen–

tara mata dipentang waspada mengawasi delapan 

bocah bugil. Menghadapi mahluk aneh seperti ini 

bahaya maut bisa muncul secara mendadak. 

Delapan anak ini masing-masing membawa 

sebatang suling. Ketika suling ditiup bukan leng–kingan suara yang terdengar tapi dari enam 

lobang suling menyembur keluar larikan api ber–

warna merah. Empat puluh delapan larikan api ini 

langsung membentuk lingkaran tembok dan 

mengurung Pendekar 212! 

“Bocah sialan! Pakaian saja tidak punya, bera–

ni-beranian mau membunuhku! Mending barang–

mu pada bagus semua! Budukan! Apa salahku? 

Siapa yang menyuruh kalian?!” Wiro membentak. 

Sejak tadi dia maklum kalau yang dihadapinya 

bukan anak-anak biasa tapi mahluk gaib berasal 

dari alam arwah! 

Dibentak demikian rupa delapan anak kecil 

telanjang tertawa haha-hihi, malah ada yang ber–

teriak-teriak mengejek mencibir-cibir. Ketika Wiro 

balas mencibir anak-anak itu tertawa gelak-gelak 

sambil berjingkrak-jingkrak dan menunjuk-nun–

juk ke arah bawah perut Wiro. Beberapa di antara 

mereka berteriak. 

“Telanjang! Ayo telanjang seperti kami! Hik.. 

hik!” 

“Buka baju, buka celana! Ayo telanjang seperti 

kami! Hik.. hik... Nanti kita sama-sama menari 

Tarian Api Berhala...” 

“Pasti anunya besar! Hikkkk... hik... hik!” 

“Pasti rimbun! Hua... ha... ha!” 

“Anak-anak sialan!” Maki Pendekar 212. 

Sambil terus berteriak-teriak delapan bocah 

telanjang maju selangkah demi selangkah. Lingka–

ran tembok api yang mengurung Wiro jadi tambah 

menyempit. Murid Sinto Gendeng merasa hawa 

panas siap melelehkan sekujur tubuhnya. Pakaian 

putih yang dikenakan sudah mengepulkan asap. 

Sebentar lagi siap terbakar! 

Tidak tunggu lebih lama Wiro cepat merapal aji 

kesaktian Angin Es untuk melindungi tubuhnya dari gempuran kobaran api yang mengurung. 

Delapan bocah bugil terkesiap dan saling pandang 

heran ketika merasa ada hawa dingin menyambar 

dan membuat redup nyala api yang keluar dari 

tiupan seruling. Wiro jatuhkan diri sambil mene–

rapkan ilmu Belut Menyusup Tanah. 

“Tahan nafas! Tiup suling api lebih keras!” 

Salah seorang bocah bugil berteriak. Lalu delapan 

suling api secara serentak ditiup lebih keras. Hawa 

sejuk kembali berubah panas. Kobaran lingkaran 

api yang tadi redup kini membesar kembali, 

menyambar ke arah Wiro. 

Di tanah Wiro cepat gulingkan tubuh sambil 

kerahkan tenaga dalam penuh dan meniup ke 

arah lingkaran api! 

Wusss! 

Delapan bocah telanjang berteriak kaget ketika 

empatpuluh delapan larikan api yang keluar dari 

dalam empatpuluh delapan lobang suling kini 

berbalik. Delapan bocah melompat surut empat 

langkah, menjerit kesakitan. Lingkaran api lenyap! 

Delapan suling jatuh ke tanah. Mulut dan hidung 

mereka tampak hangus hitam! 

Selagi delapan bocah telanjang itu kalang kabut 

kesakitan Wiro melompat menyambar salah 

seorang di antara mereka. Lalu terdengar jeritan 

setinggi langit. 

“Tobat! Ampun! Jangan diremas! Wadauwww!” 

Apa yang terjadi? 

Murid Sinto Gendeng berhasil menangkap salah 

seorang dari delapan bocah bugil. Lalu kemaluan 

anak itu diremasnya hingga si anak menjerit-jerit 

kesakitan. Tujuh bocah lain yang merupakan 

kembarannya, karena memiliki hubungan batin 

alam arwah yang sangat dekat langsung ikut 

merasa sakit dan menjerit-jerit pula.

Wiro tertawa gelak-gelak. 

“Jangan! Ampun!” 

“Bocah-bocah geblek! Aku mau memberi am–

pun! Tidak meremas hancur barang budukmu! 

Tapi beri tahu siapa kalian dan siapa yang menyu–

ruh kalian membunuhku!” 

“Kami akan memberi tahu! Kami minta ampun!” 

Teriak tujuh bocah termasuk satu yang diremas 

kemaluannya oleh Wiro. 

Tujuh bocah bugil jatuhkan diri. Kening 

diletakkan di tanah. Seperti mau bersujud minta 

ampun. Tapi tahu-tahu tujuh bocah ini benturkan 

kepala masing-masing dengan keras ke tanah! 

Praakkk! 

Tujuh kepala hancur! Tubuh mereka serta mer–

ta lenyap meninggalkan kepulan asap merah! 

Bocah yang dicekal Wiro menjerit keras. Aneh! 

Walau tidak membenturkan kepala ke tanah tapi 

kepalanya juga ikut hancur lalu tubuhnya lenyap 

pula. Namun tidak keseluruhannya lenyap. Anggo–

ta kemaluannya yang tadi diremas hingga remuk 

ternyata masih ada dalam genggaman tangan 

kanan Wiro. 

“Hah!” 

Remasan tangan dibuka. Wiro melengak kaget 

dan jijik melihat hancuran daging bergelimang 

darah! Dia keluarkan suara seperti mau muntah! 

“Bocah kembar sialan! Anak jahanam! Huekkk!” 



TAMAT 


penulis : Bastian Tito

Created : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Ikuti serial berikutnya berjudul: 


DUA NYAWA KEMBAR



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive