Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Sabtu, 15 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - HANTU TANGAN EMPAT

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com

SATU


DI BALIK curahan air terjun Air Lajatuh tampak dua 

sosok mendekam tak bergerak. Mereka telah berada 

di tempat itu sebelum sang surya muncul menerangi 

bumi Latanahsilam. Dari sikap keduanya dapat diduga 

kalau mereka tengah menunggu sesuatu. Di langit awan 

pagi berarak biru. Dari arah timur serombongan burung 

melayang ke jurusan barat. 

Sosok di sebelah kanan mengusap wajahnya. Orang ini 

bertubuh besar kekar. Di pertengahan keningnya 

menempel sebuah benda menyerupai kaca sebesar kuku 

ibu jari kaki. 

“Lagandrung, sejak dini hari kita berada di sini. Saat ini 

matahari sudah mulai tinggi. Orang yang kita tunggu belum 

juga muncul. Apa kau yakin dia akan datang ke sini?” 

“Wahai adikku Lagandring! Jangan kau ragukan apa 

yang kuketahui dan kukerjakan. Sejak puluhan tahun, 

setiap pertengahan bulan ganjil Hantu Tangan Empat 

selalu datang ke tempat ini untuk membersihkan diri, 

berlangir bersiram air bunga. Sabarkan hatimu, kita tunggu 

saja. Dia pasti datang.” menjawab orang di samping kiri 

Lagandring. Muka dan sosok tubuhnya sangat menyerupai 

Lagandrung karena mereka berdua memang adalah 

saudara kembar. Satu-satunya tanda yang membedakan 

sang kakak dari adiknya ialah kalau di kening Lagandring 

menempel kaca berwarna merah maka di kening 

Lagandrung melekat kaca berwarna putih. 

“Yang membuat aku tidak sabar adalah hadiah yang 

menunggu kita di Istana Kebahagiaan. Si Luhsariam itu! 

Wahai! Wajahnya memang tidak seberapa cantik. Tapibelum pernah aku melihat gadis memiliki tubuh padat dan 

kencang seperti dia. Sewaktu penguasa Istana 

Kebahagiaan menyuruhku mengintai gadis itu ketika dia 

sedang mandi, rasanya mau kuterkam dia saat itu juga!” 

Lagandrung tertawa mengekeh mendengar kata-kata 

adiknya itu. “Kalau urusan kita selesai dan kita membawa 

kepala orang itu ke hadapan penguasa Istana 

Kebahagiaan, jangankan satu Luhsariam, sepuluh gadis 

seperti dia bakal bisa kau dapatkan! Belakangan ini sang 

penguasa banyak gembiranya dan murah hati. Sebelum 

kita pergi aku sempat melihat sekitar selusin perempuan 

cantik, kebanyakan masih gadis-gadis diturunkan dari 

sebuah kereta besar di pintu gerbang Istana...” 

Lagandring menyeringai dan basahi bibirnya dengan 

ujung lidah. “Nasib kita memang sedang baik. Diangkat 

penguasa Istana Kebahagiaan menjadi orang-orang 

kepercayaannya. Aku...” 

Ucapan Lagandring terputus ketika dia melihat 

kakaknya membuat isyarat dengan gerakan tangan kanan. 

“Aku mendengar suara sesuatu...” 

Lagandring pasang telinganya. Matanya menatap 

menembus curahan air terjun. “Aku belum melihat apa-

apa. Tapi telingaku memang menangkap sesuatu. Suara 

orang bersiul-siul. Agaknya orang itu bersiul sambil 

bergerak menuju ke arah air terjun ini. Wahai! Apakah 

orang yang kita tunggu punya kebiasaan bersiul-siul seperti 

itu?” 

Lagandrung pasang telinganya baik-baik lalu gelengkan 

kepala. “Siulan itu bukan siulan biasa...” 

“Membawakan nyanyian tidak karuan nada iramanya,” 

kata Lagandring. 

“Bukan itu yang aku maksudkan. Siulan itu 

mengandung tenaga dalam tinggi. Apa kau tidak 

merasakan gendang-gendang telingamu bergetar dan 

semilir angin seperti berubah arah?” 

“Kau benar kakakku. Telingaku mulai terasa bergetar. 

Malah ada rasa sakit...” kata Lagandring pula lalu kembalidia memandang ke depan menembus curahan air terjun Air 

Lajatuh. 

“Siapapun orangnya, dia bukan orang yang kita 

tunggu!” berucap Lagandrung. 

“Lihat! Ada orang berkelebat di atas batu sana!” 

Lagandring berseru sambil menunjuk ke arah deretan batu-

batu yang mengelilingi telaga besar di depan air terjun. 

Sang kakak juga sudah melihat sosok orang yang 

melayang dan tegak di atas batu. Orang itu berdiri sambil 

bertolak pinggang. Dia memandang berkeliling sembari 

bersiul-siul. Rambutnya yang gondrong melambai-lambai 

tertiup angin. 

“Apa kataku!” ujar Lagandrung. “Yang datang memang 

bukan orang yang kita tunggu. Orang itu bukan Hantu 

Tangan Empat!” 

“Mungkin dia sengaja muncul dengan merubah wajah?” 

ujar Lagandring. 

“Aku tahu wajah asli Hantu Tangan Empat. Menurut 

penguasa Istana Kebahagiaan, Hantu Tangan Empat 

memang bisa merubah wajah, tapi jelas bukan wajah 

seperti orang yang berdiri di atas batu itu. Orang itu 

bertubuh kekar. Masih muda dan berambut gondrong. Kau 

lihat sikapnya yang aneh. Sambil bersiul dia cengar-cengir 

dan sesekali menggaruk kepala...” 

“Cuma seorang pemuda tolol. Mengapa ambil peduli!” 

kata Lagandring. 

“Kehadiran pemuda itu bisa merusak urusan kita! 

Adikku Lagandring lekas kau usir pemuda itu dari tempat 

ini!” 

Walau agak malas-malasan tapi Lagandring lakukan 

juga perintah kakaknya itu. Sekali lompat saja dia 

menembus air terjun. Demikian cepat gerakannya hingga 

dia tidak sampai basah kuyup oleh jatuhan air. Sesaat 

kemudian dia sudah berada empat langkah di hadapan 

pemuda berambut gondrong. 

Belum sempat membentak, pemuda di hadapan 

Lagandring malah menegur lebih dulu.“Astaga! Kukira tidak ada orang di sekitar sini. Sahabat 

yang jidatnya ada kaca warna merah, apakah kau penghuni 

di kawasan air terjun ini?” 

“Pertama!” Lagandring membentak yang membuat 

pemuda berambut gondrong pencongkan mulut 

keheranan. 

Dalam hati Wiro memaki. “Sialan! Apa pertama yang 

dimaksudkan makhluk berkaca di jidatnya ini!” 

“Pertama! Kita tidak bersahabat...!” 

“Oh, begitu?! Tidak bersahabat boleh-boleh saja. Aku 

tidak rugi, kau juga mungkin tidak untung!” 

“Kedua!” 

“Kedua! Huh...! Apa yang kedua?!” si gondrong kembali 

pencongkan mulutnya dan garuk-garuk kepala. 

“Kedua! Lekas tinggalkan tempat ini!” 

“Walah! Aku baru saja sampai di sini! Sudah disuruh 

pergi! Apa-apaan ini! Memangnya tempat ini termasuk 

telaga dan air terjun itu milikmu?” 

“Aku menghitung sampai tiga! Jika pada hitungan ke 

tiga kau tidak angkat kaki berarti kau minta mati!” hardik 

Lagandring. 

Pemuda berambut gondrong tertawa gelak-gelak. “Kau 

jago berhitung rupanya! Coba ini berapa!” Si gondrong lalu 

acungkan satu jari tangan kanannya. 

“Satu!” teriak Lagandring. Tentu saja dia berteriak 

bukan menyahuti pertanyaan si pemuda tapi sebagai 

memberi tanda bahwa dia sudah mulai dengan hitungan 

pertama. 

“Pintar!” memuji pemuda di hadapan Lagandring sambil 

senyum-senyum. “Sekarang ini berapa!” Lalu pemuda itu 

acungkan dua jari tangan kanan. 

“Dua!” berseru Lagandring. Mukanya mulai kaku 

mengetam. Kaca merah di keningnya memancarkan sinar 

aneh. 

“Hebat!” seru pemuda gondrong. “Nah, kalau ini 

berapa?!” Dia kini acungkan tiga jari tangan kanan. 

“Tiga!” teriak Lagandring.Kembali si gondrong tertawa gelak-gelak sambil tepuk-

tepuk tangan. Tapi tawanya langsung lenyap ketika dengan 

didahului suara menggembor marah tiba-tiba Lagandring 

menerjangnya dengan satu serangan dahsyat. Tangan 

kanan memukul ke dada, kaki kanan ikut menyusul 

menendang ke bawah perut. Belum lagi dua serangan itu 

melesat setengah jalan, anginnya saja sudah menghantam 

laksana dorongan dua batu besar! 

Melihat datangnya dua serangan ganas itu tanpa ayal si 

pemuda cepat melompat ke udara. Lagandring sampai di 

atas batu tepat di bawah lawan yang diserang. Begitu dua 

serangannya gagal, dia segera menghantam ke atas. 

Wussss! 

Angin sedahsyat topan prahara melabrak. Pemuda 

gondrong berseru keras. Dia berjumpalitan di udara. Lalu 

turun dan berusaha jejakkan dua kaki di atas batu di 

tepian telaga. Dia tidak menduga batu yang satu itu 

demikian licinnya karena terselimut lumut. Walau dia 

berusaha imbangi diri namun tak urung tubuhnya limbung 

dan mencebur masuk ke dalam air telaga. Untungnya 

telaga itu hanya sedalam dada. Dengan cepat si pemuda 

bergerak menuju tepian. Lagandring tidak memberi 

kesempatan. Kepalanya digoyangkan. Selarik sinar merah 

menyembur keluar dari kaca merah yang melekat di 

keningnya. 

Melihat datangnya sambaran sinar merah yang pasti 

sangat berbahaya pemuda rambut gondrong hantamkan 

kaki kanannya ke dasar telaga. Tubuhnya melesat miring, 

jatuh tiga tombak dari tempatnya semula. Walau dia bisa 

menyelamatkan diri, namun saat itu terjadilah satu hal 

yang luar biasa. Sinar merah yang gagal menghantam si 

pemuda, mendarat di permukaan telaga. Air telaga serta 

merta berubah menjadi merah dan bergejolak 

mengeluarkan suara seperti mendidih. Si pemuda berteriak 

kaget ketika merasakan air telaga yang tadinya sejuk kini 

berubah panas luar biasa. Sebelum sekujur tubuhnya 

matang direbus, pemuda ini segera melompat ke bagiantepi telaga yang terdekat. 

Lagandring tidak tinggal diam. Dia bertindak cepat. 

Baru saja si gondrong menjejakkan kaki di tepi telaga 

dengan sekujur tubuh mengepulkan asap panas, 

Lagandring telah berada di hadapannya. Lelaki ini 

goyangkan kepalanya. Dan, wussss! Kembali sinar merah 

melesat ganas dari kaca merah yang menempel di 

keningnya! 

“Kurang ajar! Jahanam satu ini benar-benar tidak 

memberi kesempatan padaku!” memaki si gondrong. Dua 

lututnya ditekuk. Tenaga dalam dialirkan ke tangan kanan. 

Lagandring tidak sempat memperhatikan bagaimana 

tangan lawannya kini sebatas siku ke bawah berubah 

menjadi putih berkilauan laksana perak sampai ke ujung-

ujung kuku! Lagandring baru sadar dan berteriak keras 

ketika melihat satu cahaya putih disertai hawa panas luar 

biasa berkiblat menghantam ke arahnya! 

Satu letusan dahsyat menggema di tepi telaga air terjun 

Air Lajatuh. Tepian telaga sepanjang sepuluh tombak 

runtuh. Air telaga muncrat tinggi ke atas. Lagandring 

terpental empat tombak, jatuh terhenyak di dekat sebuah 

batu besar lalu muntahkan darah segar. Sebagian 

pakaiannya yang terbuat dari kulit kayu hangus 

mengepulkan asap. Tubuhnya di sisi kanan termasuk 

tangan kanan bergetar dan berubah kemerah-merahan 

seperti terpanggang. Di bagian lain pemuda berambut 

gondrong terguling-guling di tanah. Walau dia berhasil 

bangun namun nampak lututnya agak goyah dan mukanya 

pucat tak berdarah. Sepasang matanya memandang 

mendelik pada Lagandring. 

“Untung tubuhku sudah berubah besar begini. Kalau 

masih cebol seperti dulu, bentrokan pukulan sakti tadi 

pasti akan membuatku konyol!” Si pemuda membatin. Dari 

kata-kata yang diucapkan dalam hati ini serta melihat 

kepada ciri-cirinya sudah bisa diduga si pemuda bukan lain 

adalah pendekar kita, murid Eyang Sinto Gendeng Wiro 

Sableng yang jalan hidupnya telah membawa dirinyaterpesat ke Negeri Latanahsilam, satu negeri 1200 tahun 

silam. 

Tiba-tiba Lagandring berdiri. Matanya menyala laksana 

api. Tangan kanannya bergerak mencabut kaca merah 

yang ada di keningnya. Mulutnya berkomat-kamit seperti 

membaca mantera. Kaca merah yang ada dalam 

genggamannya mengepulkan asap. Di saat yang sama 

tubuhnya berubah menjadi besar dan tinggi. 

“Astaga! Dia berubah menjadi dua kali lebih besar!” 

Pendekar 212 tercekat. Kalau tadi dia masih mengerahkan 

setengah saja dari tenaga dalamnya, kini dia alirkan 

seluruh hawa sakti yang ada dalam tubuhnya ke tangan 

kanan. “Akan kuhantam selangkangannya! Masakan tidak 

amblas!” kata Wiro dalam hati. Tangan kanannya segera 

diangkat ke atas. Ditarik ke belakang. Pada saat dia siap 

menghantam tiba-tiba dari balik air terjun berkelebat 

sesosok tubuh. Menyusul suara orang berseru. 

“Lagandring! Tinggalkan pemuda itu! Orang yang kita 

tunggu sudah datang!” 

***

DUA


LAGANDRING menyeringai buruk. “Kau masih untung 

anak muda! Kalau tidak ada urusan lain yang lebih 

penting pasti sudah kupanggang kau dengan Sinar 

Darah Merah!”

Wiro Sableng menyeringai lalu menjawab. “Sebenarnya 

kau yang lebih beruntung! Tadinya aku sudah siap 

merubah perabotan di bawah perutmu menjadi lontong 

basi dan telor rebus busuk!” 

“Pemuda jahanam! Kali ini kau kulepas hidup-hidup! 

Tapi jika sekali lagi kau berani unjukkan diri dan bertingkah 

di hadapanku, wahai..., kupanggang habis tubuhmu mulai 

dari kepala sampai kaki!” 

Lagandring batuk-batuk lalu meludah ke tanah. 

Ludahnya bercampur darah tanda bentrokan pukulan sakti 

yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi tadi 

telah menyebabkan dirinya terluka di dalam. Kaca merah 

yang tadi ditanggalkannya kini dipasangnya kembali ke 

keningnya. Saat itu juga tubuhnya kembali menjadi sebesar 

dan setinggi semula. 

Diam-diam Wiro Sableng menarik nafas lega juga walau 

sebenarnya dia tidak merasa takut untuk meneruskan 

pertarungan. “Ilmunya aneh. Dia bisa merubah diri menjadi 

dua kali lebih besar. Seperti raksasa! Melihat gelagatnya 

dia bukan bangsa makhluk baik-baik. Dia bicara segala 

macam urusan penting. Lalu siapa tadi yang berseru 

padanya dan melesat dari balik air terjun sana?” 

Wiro ikuti kepergian Lagandring dengan pandangan 

mata. Ternyata orang itu berkelebat ke arah timur air 

terjun. Air terjun itu mengingatkan Wiro pada tempatkediaman Hantu Tangan Empat yang dulu pernah 

dikunjunginya bersama Peri Angsa Putih. Di situ telah 

menunggu seseorang yang bentuk sosok serta wajahnya 

sangat mirip dengan Lagandring. Kedua orang itu tampak 

bicara cepat lalu menyelinap ke balik sebuah batu besar di 

belakang batang kayu yang tumbuh miring di tepi telaga. 

“Agaknya akan terjadi sesuatu di tempat ini. Sementara 

aku menunggu teman-teman, tak ada salahnya mencari 

tahu apa yang hendak dikerjakan dua orang itu. Mereka 

seperti kembar!” Lalu Wiro menyelinap ke balik 

serumpunan semak belukar. Tanpa suara dia melesat naik 

ke atas pohon berdaun rindang. 

Tak lama menunggu, dari balik pepohonan di sebelah 

kiri air terjun Wiro melihat sosok seorang kakek berambut 

putih panjang riap-riapan. Kumis serta janggutnya juga 

putih panjang. Jidat, hidung dan pipi sama rata. Di bahu 

kirinya tergantung sebuah kantung jerami. Walau cukup 

jauh namun Wiro segera bisa mengenali kakek itu bukan 

lain adalah Hantu Tangan Empat. 

“Dicari-cari susah bertemu. Kini kakek itu tahu-tahu 

muncul dekat air terjun. Apa yang hendak dilakukannya di 

tempat ini...” 

Memandang ke kiri Wiro melihat sepasang manusia 

kembar yang jidatnya dipasangi kaca putih dan merah 

berkelebat dari balik pohon ke pohon lainnya, mendekati 

arah di mana Hantu Tangan Empat berdiri tengah 

menikmati pemandangan indah sekitar telaga dan air 

terjun. Wiro berpikir-pikir. “Jangan-jangan urusan penting 

yang tadi dikatakan orang itu ada sangkut pautnya dengan 

Hantu Tangan Empat...” Wiro terus memperhatikan. 

Di tempatnya berdiri Hantu Tangan Empat mengambil 

sesuatu dari dalam kantung jerami. Ternyata yang 

dikeluarkannya dari dalam kantung itu adalah segenggam 

bunga berbagai rupa dan warna. Bunga-bunga itu 

kemudian ditebarnya di permukaan air sambil melangkah 

sekeliling tepi telaga. Di satu tempat mendadak langkah si 

kakek tertahan. Sepasang matanya menatap ke bagianatas telaga. Segenggam bunga terakhir yang barusan 

dilempar ditebarkannya ke dalam telaga tidak luruh jatuh 

ke atas air, tetapi tergantung di udara, sepuluh jengkal dari 

permukaan air telaga! 

“Wahai... Bagaimana mungkin bunga-bunga itu 

melayang di udara, jatuh tidak bergerak pun tidak,” si 

kakek membatin. Dia memandang berkeliling. Lalu tampak 

dia tersenyum dan usap-usap janggut putihnya. “Ada orang 

yang sengaja hendak unjukkan kehebatan tenaga dalam. 

Sengaja menahan jatuhnya bunga ke atas air. Satu 

peragaan yang hebat. Apakah di balik kehebatan ini 

tersembunyi maksud baik atau maksud buruk...?” 

Di atas pohon Wiro juga telah melihat apa yang terjadi. 

Dia melirik ke kiri di mana dua orang kembar tadi terus 

berkelebat mendekati Hantu Tangan Empat. Tidak seperti 

tadi kali ini sambil bergerak mereka angkat tangan kiri ke 

samping, sama datar dengan tingginya bunga-bunga yang 

tergantung di permukaan telaga. Tak selang berapa lama 

ke duanya melintas di bawah pohon di atas mana Wiro 

berada. Di sini mereka mendekam sesaat. Tegak tak 

bergerak sambil dua tangan direntang ke samping sama 

tinggi dengan bunga-bunga yang menggantung di atas air 

telaga. 

Di tempatnya berdiri Hantu Tangan Empat kelihatan 

terus saja mengusap-usap janggutnya dengan tangan 

kanan. Tapi perlahan-lahan tangan kiri diangkat lalu 

ditempelkan menyilang di atas dada. Bunga-bunga di atas 

telaga yang tadinya diam menggantung di udara perlahan-

lahan bergerak turun ke bawah. Dari sini sudah bisa dinilai 

bagaimana tingkat tenaga dalam Lagandrung yang 

digabung dengan Lagandring masih kalah dengan yang 

dimiliki si kakek berjuluk Hantu Tangan Empat itu. 

“Lagandring! Lipat gandakan tenaga dalammu! Rentang 

dua kaki! Lawan mengajak adu kekuatan. Kita berdua dia 

sendiri masakan kalah!” 

Mendengar ucapan kakaknya itu Lagandring segera 

salurkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri kanan.Dua kaki bergeser merenggang. Saking hebatnya 

pengerahan tenaga dalam dua saudara kembar itu, 

sepasang kaki mereka sampai amblas setengah jengkal 

dan tanah yang mereka pijak kelihatan kepulkan asap! 

Di atas batu di tepi telaga kakek berjuluk Hantu Tangan 

Empat melihat bunga di atas air telaga bergoyang-goyang. 

Lalu perlahan-lahan dia merasakan pula dua kakinya mulai 

bergetar. Getaran itu turun ke batu yang dipijaknya! Hantu 

Tangan Empat adalah seorang tokoh disegani yang 

memiliki kesaktian tinggi serta tenaga dalam yang sudah 

mencapai puncaknya. Namun diserang gabungan dua 

kekuatan lawan begitu rupa tak urung dia mengalami 

kesulitan. 

Hantu Tangan Empat memandang ke arah bunga-bunga 

di atas permukaan telaga. “Sebentar lagi bunga-bunga itu 

akan hancur jadi bubuk. Kalau aku tidak sanggup 

bertahan, kekuatan tenaga dalam yang menyerang bisa 

mencelakai diriku...” Si kakek lalu kerahkan seluruh tenaga 

dalam yang dimilikinya. Namun dia tak bisa bertahan lama. 

Apa yang barusan diduganya menjadi kenyataan sesaat 

kemudian. 

Deessss! Dessss! Dessss! Terdengar suara 

berkepanjangan menyusul suara byaar... byaarr... byaaar! 

Belasan bunga yang menggantung di atas telaga hancur 

menjadi bubuk. Di atas batu, Hantu Tangan Empat 

merasakan tekanan sangat hebat melanda dadanya. 

Wajahnya pucat dan sekujur tubuhnya basah oleh keringat. 

Sementara itu di atas pohon Wiro yang menyaksikan 

apa yang terjadi mulai merasa khawatir. “Aku tidak suka 

pada dua cecunguk kembar ini. Apalagi dia hendak 

mencelakai Hantu Tangan Empat, orang yang pernah 

menolongku. Kakek Peri Angsa Putih...” Habis berkata 

begitu Wiro lalu turunkan ke bawah celana putihnya. Lalu, 

serrrr... Enak saja dia kencingi dua orang yang ada di 

bawah pohon. 

Lagandrung dan Lagandring yang tengah memusatkan 

kekuatan tenaga dalam dan hampir dapat menghantamHantu Tangan Empat sama-sama berseru kaget ketika dari 

atas ada kucuran air menyirami kepala dan sebagian tubuh 

mereka. 

“Hujan aneh! Mengapa hanya terjadi di sini!” seru 

Lagandring. 

“Ini bukan hujan!” teriak Lagandrung. “Air hujan tidak 

hangat begini!” Lagandrung lalu dekatkan lengan kirinya 

yang basah ke hidung. “Sial kurang ajar! Air bau! Ini air 

kencing!” 

Lagandring tiru perbuatan abangnya dan mengendus 

air yang membasahi bahunya. “Memang air kencing! 

Jahanam! Siapa yang berani melakukan pekerjaan gila ini!” 

Dua kakak adik itu mendongak ke atas pohon. Mereka 

tidak melihat siapa-siapa karena sebelumnya Wiro Sableng 

telah melompat ke pohon di sebelahnya lalu menyelinap 

turun dan lari ke arah tepi telaga di mana Hantu Tangan 

Empat tegak berdiri. 

“Anak muda! Siapa kau?!” Hantu Tangan Empat 

menegur penuh curiga. 

“Kek, masakan kau lupa pada saya? Saya Wiro 

Sableng, sahabat cucumu Peri Angsa Putih. Orang yang kau 

tolong tempo hari...” 

Si kakek kerenyitkan kening. “Wahai! Aku ingat 

sekarang! Kau muncul pada saat yang salah, anak muda 

dari jagat seribu dua ratus tahun mendatang. Tapi, jangan-

jangan kau yang barusan memamerkan kekuatan 

mengajak aku bertanding kehebatan tenaga dalam!” Si 

kakek pelototi Wiro dari kepala sampai ke kaki dengan 

perasaan curiga. 

“Kek, masakan saya berani berlaku kurang ajar 

padamu. Lagi pula dibanding dengan dirimu, saya ini punya 

kepandaian apa?!” ujar Wiro. 

“Heeee...” Hantu Tangan Empat masih saja 

memperhatikan Wiro dengan seksama dan curiga. 

“Kek, orang yang patut kau curigai adalah sepasang 

manusia kembar yang jidatnya ditempel kaca. Satu kaca 

merah satu kaca putih. Mereka sudah sejak lama ada disini menunggu kehadiranmu. Jika dugaan saya tidak salah 

pasti sebentar lagi mereka akan muncul di sini...” 

Baru saja Wiro berkata begitu tiba-tiba dua sosok 

berkelebat dan tegak di hadapan Hantu Tangan Empat. 

“Anak muda, jika dua orang ini yang kau maksudkan 

rasanya aku tidak perlu khawatir. Mereka adalah dua 

sahabat lama yang puluhan tahun tidak pernah berjumpa!” 

kata Hantu Tangan Empat pula begitu mengenali siapa 

yang datang. “Wahai sahabatku Lagandrung dan 

Lagandring sungguh hatiku senang melihat kau muncul di 

sini. Kabar gembira apakah yang bisa kita perbincangkan 

setelah sekian lama tidak bertemu? Tetapi, apakah kalian 

berdua bisa menunggu sampai aku selesai mandi di 

telaga?” Sementara dia berkata begitu di dalam hati Hantu 

Tangan Empat diam-diam kembali merasa curiga terhadap 

Wiro. Bagaimana pemuda itu tadi mengatakan bahwa dua 

orang inilah yang telah mengajaknya bertanding kekuatan 

tenaga dalam hingga bunga-bunga di atas telaga hancur 

menjadi bubuk. “Jangan-jangan pemuda ini memutar balik 

kenyataan. Jangan-jangan dia merasa sakit hati karena 

dulu aku tidak menolongnya sepenuh hati bahkan tidak 

mampu membuat dirinya dan dua temannya menjadi 

sebesar orang-orang di Negeri Latanahsilam.” Selagi Hantu 

Tangan Empat membatin seperti itu, Lagandring dan 

Lagandrung saling pandang lalu sama-sama menyeringai. 

“Wahai Hantu Tangan Empat,” Lagandrung angkat 

bicara. “Kedatangan kami tidak membawa berita 

menyenangkan. Kami muncul tidak pula dengan niat 

gembira berbincang-bincang...” 

“Wahai! Kalian masih seperti dulu saja. Serba kesusu, 

selalu sibuk hingga tidak bisa berbagi waktu dengan para 

teman.” 

Lagandrung gelengkan kepala. “Ketahuilah wahai 

Hantu Tangan Empat, kami datang membawa berita sedih. 

Jangan terkejut. Kami diperintahkan untuk mengambil 

kepalamu!” 

Wiro tersentak kaget. Sebaliknya Hantu Tangan Empattidak tampak terkejut. Malah dia tertawa bergelak. 

“Lagandrung! Sejak kapan kau pandai melawak!” 

“Kami tidak melawak!” membentak Lagandring. Sang 

adik memang punya sifat lekas naik darah. 

Tawa Hantu Tangan Empat langsung terputus. 

Wajahnya kini berubah. Tapi hatinya masih tidak percaya. 

Maka dia bertanya. “Kalau kalian tidak sedang membanyol, 

lalu siapakah yang memerintahkan kalian mengambil 

kepalaku?!” 

“Hantu Muka Dua!” jawab dua lelaki kembar itu 

berbarengan. 

***


TIGA


PENDEKAR 212 menyumpah dalam hati begitu 

mendengar nama yang disebutkan dua lelaki kembar 

itu. Hantu Tangan Empat sendiri selain kaget juga 

cepat menilai keadaan. Tadi dia hampir sempat dirobohkan 

oleh dua orang itu dalam adu kekuatan tenaga dalam. 

Walau dia jauh dari rasa takut tapi naga-naganya jika 

terjadi pertarungan antara dia dengan Lagandrung dan 

Lagandring, tidak akan mudah baginya menghadapi dua 

orang itu. 

“Lagandrung dan Lagandring, aku merasa kurang 

percaya kalau kalian berdua diberi perintah oleh Hantu 

Muka Dua untuk membunuhku! Mungkin kalian tidak tahu, 

tapi sampai saat ini aku sendiri berada di bawah 

kekuasaan orang yang merasa dirinya sebagai Raja Diraja 

Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini...” 

“Hantu Muka Dua punya alasan minta nyawa dan 

kepalamu, wahai Hantu Tangan Empat...” 

“Dia mengatakan pada kalian alasannya itu?” tanya 

Hantu Tangan Empat. 

“Hantu Muka Dua marah besar. Kau menghilang 

setelah gagal melakukan perintahnya!” jawab Lagandrung 

pula. 

“Perintahnya yang mana?” tanya Hantu Tangan Empat. 

“Jangan berpura-pura tidak tahu!” sentak Lagandring. 

Lagandrung menyambung. “Kau diperintahkan ke 

negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Untuk 

membunuh tiga orang dan mendapatkan Batu Sakti 

Pembalik Waktu. Kau gagal malah menghilang tidak berani 

menghadap Hantu Muka Dua. Lalu ada yang memberi tahupada penguasa Istana Kebahagiaan itu bahwa kau justru 

telah membantu tiga orang yang seharusnya dibunuh itu...” 

“Betul! Membuat mereka jadi lebih besar dari sosok 

aslinya!” kata Lagandring. 

“Kalau kini Hantu Muka Dua minta kami mengambil 

kepalamu, apa kau berani melawan? Seharusnya hal ini 

sudah dilakukannya begitu kau kembali menginjakkan kaki 

di Negeri Latanahsilam ini.” 

“Wahai apa kalian berdua tahu, aku terpaksa tunduk 

pada Hantu Muka Dua karena dia menguasai istriku 

Luhbarini. Sekarang terbukti jahatnya! Setelah menculik 

dan menguasai Luhbarini dia masih mau memerintah 

kalian untuk membunuhku!” 

“Kalau begitu, selain kau pasrahkan istrimu, kau juga 

pasrahkan diri sendiri untuk kami bunuh!” kata Lagandrung 

pula sambil menyeringai. 

“Wahai! Kalau sebagai sahabat kalian tega 

melakukannya, kalian tunggu apa lagi? Cepat saja turun 

tangan. Apa aku pasrah atau bagaimana lihat saja nanti! 

Namun sebelum kalian bertindak izinkan aku mandi di 

telaga ini untuk terakhir kali!” Habis berkata begitu Hantu 

Tangan Empat mengeruk kantung jerami yang tergantung 

di bahunya, mengeluarkan segenggam bunga. Bunga 

aneka warna ini kemudian ditebarkannya di permukaan air 

telaga sambil mulai melangkah seolah Lagandrung dan 

Lagandring tidak ada di tempat itu. 

Melihat diri mereka dipandang enteng marahlah dua 

lelaki kembar itu. Keduanya segera menyerbu. 

“Tahan!” tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng berseru 

dan melompat ke tengah kalangan. 

“Pemuda keparat! Berani-beraninya kau masih ada di 

tempat ini!” hardik Lagandring. 

“Jangan-jangan dia yang tadi mengencingi kita dari atas 

pohon!” ujar Lagandrung dengan muka beringas penuh 

berang. 

“Kalian pernah bersahabat, mengapa sekarang mau 

saja disuruh Hantu Muka Dua membunuh kakek ini,sahabat sendiri?!” 

“Itulah kehidupan, wahai anak muda. Hari ini teman, 

besok lawan. Hari ini saudara besok jadi seteru...” 

“Oh, begitu...?” ujar Wiro sambil angguk-angguk dan 

garuk-garuk kepala. “Kurasa kehidupan macam itu hanya 

bisa terjadi karena ada manusia-manusia culas munafik 

atau karena tergoda sesuatu. Melihat tampang-tampang 

kalian, jangankan teman, kalau Hantu Muka Dua menyuruh 

bunuh istri atau ibu kalian sendiri, pasti kalian lakukan! Iya, 

kan?!” 

“Jahanam! Lagandring lekas kau bunuh bangsat satu 

ini!” teriak Lagandrung pada adiknya. Lalu tanpa 

menunggu lebih lama Lagandrung melompat menyerang 

Hantu Tangan Empat. 

Lagandring sendiri sudah lebih dulu menyergap Wiro. 

“Aku sudah memberi ingat! Kalau kau berani lagi unjuk diri 

dan bertingkah di depanku akan kupanggang sekujur 

tubuhmu! Mulai dari kepala sampai kaki! Kau keras kepala. 

Aku mau tahu sampai di mana kerasnya kepalamu, 

pemuda tolol!” 

Lagandring goyangkan kepalanya. Dari kaca merah 

yang menempel di keningnya berserabutan keluar sinar 

merah angker. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Sinar 

Darah Merah.

Seperti tadi murid Sinto Gendeng hendak hadapi 

serangan lawan dengan pukulan Sinar Matahari. Namun di 

saat terakhir dia putuskan menghantam dengan pukulan 

Tangan Dewa Menghantam Matahari. Ini adalah jurus atau 

ilmu pukulan sakti inti pertama yang berasal dari Kitab 

Putih Wasiat Dewa yang berisi Delapan Sabda Dewa dan 

disebut Enam Inti Kekuatan Dewa (Baca serial Wiro 

Sableng “Wasiat Iblis” s/d “Kiamat Di Pangandaran” terdiri 

dari 8 episode). 

Lagandring tersentak dan berseru kaget ketika melihat 

bagaimana satu gelombang angin dahsyat membuat sinar 

merah yang keluar dari kaca sakti di keningnya mencelat 

ke atas. Dia kerahkan tenaga coba bertahan. Akibatnyatubuhnya ikut terangkat ke atas. Sambil membentak 

garang Lagandring kembali goyangkan kepalanya. Sinar 

merah dari dalam kaca di kening menyapu keluarkan suara 

seperti seratus ular mendesis. 

Wiro tak tinggal diam. Sambil tekuk dua lututnya, dua 

telapak tangan didorong ke atas. Laksana disambar 

halilintar Sinar Darah Merah musnah bertaburan dengan 

mengeluarkan beberapa kali suara letusan yang 

menggetarkan seantero telaga. Air terjun seolah berhenti 

mengalir untuk sepersekian kejapan mata! 

Di tepi telaga Lagandring terkapar dengan mata 

mendelik, mulut ternganga dan tubuh seperti lumpuh. 

Darah mengucur dari sela bibir dan hidungnya. 

Sebelumnya sewaktu bertarung melawan Wiro, orang ini 

sempat menderita luka di dalam. Bentrokan yang terjadi 

barusan membuka lukanya bertambah parah. Kalau saja 

bukan Lagandring mungkin saat itu sudah megap-megap 

meregang nyawa! 

Beberapa belas langkah di sebelah kanan telaga, 

Pendekar 212 Wiro Sableng terduduk di tanah dengan 

tubuh tergontai-gontai. Di pelupuk matanya dia seolah 

masih melihat sinar merah darah pukulan sakti yang 

dilepaskan lawan. Walau dia memejamkan mata sekalipun 

untuk beberapa saat lamanya sinar merah itu masih 

menyelubungi pemandangannya. Dadanya berdegup keras 

tanda jantung dan jalan darahnya berada dalam keadaan 

tidak wajar. Murid Sinto Gendeng cepat duduk bersila, atur 

jalan darah dan pernafasannya. Perlahan-lahan dia 

kerahkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang 

dirasakannya cidera. Selagi keadaannya belum pulih betul, 

di depan sana dilihatnya Lagandring dengan terhuyung-

huyung bangkit berdiri. Tangan kanannya bergerak 

mencabut kaca merah di keningnya. 

“Dia hendak merubah dirinya menjadi raksasa 

kembali!” Wiro sadar apa yang akan segera terjadi. 

Terhuyung-huyung dia bangkit pula berdiri. Sebelum kaca 

merah di tangan lawan mengepulkan asap, Wiro segeramelabrak Lagandring dengan jurus Kilat Menyambar 

Puncak Gunung! Ini adalah jurus silat yang dipelajarinya 

dari seorang tokoh beken di Pulau Andalas dikenal dengan 

panggilan Tua Gila (Siapa adanya Tua Gila harap baca 

serial Wiro Sableng berjudul “Tua Gila Dari Andalas”). 

Lagandring berseru kaget ketika laksana kilat, tangan 

kanan lawan menyambar ke arah batok kepalanya. Kalau 

tidak cepat dia rundukkan badan pasti kepalanya kena 

dihajar Wiro. Mukanya pucat dan tengkuknya menjadi 

dingin. 

Ternyata jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung yang 

dikeluarkan Wiro hanya tipuan belaka. Karena yang diincar 

murid Sinto Gendeng ini adalah kaca merah di tangan 

kanan lawan. Dia menyadari kesaktian benda aneh itulah 

yang menjadi andalan Lagandring dan sanggup merubah 

dirinya menjadi raksasa dengan bobot dua kali lebih besar 

aslinya. Karenanya begitu tangan kanan lancarkan 

serangan ganas, Wiro pergunakan tangan kiri untuk 

merampas kaca merah di tangan lawan. 

Tapi Lagandring rupanya cepat membaca maksud sang 

pendekar. Begitu tangan kiri Wiro berkelebat dia ayunkan 

kaki kanan kirimkan tendangan menyilang. Karena tidak 

mau tangannya cidera dihantam kaki lawan, murid Sinto 

Gendeng angkat tangan kirinya sebatas dada lalu dengan 

tangan itu dia menghantam sisi kanan tubuh Lagandring. 

Untungnya Lagandring telah bersurut mundur satu langkah, 

kalau tidak, hantaman Wiro akan mendarat telak di barisan 

tulang-tulang iganya sebelah kanan! Walau selamat dari 

cidera berat tak urung pukulan Wiro membuat Lagandring 

terpental tiga langkah dan sesak nafasnya. 

Sambil menahan sakit Lagandring usap-usap kaca 

merah dengan jari-jari tangan kanan. 

Wiro tak mau membuang waktu. Sebelumnya dia telah 

melihat Lagandring melakukan hal itu dan tubuhnya 

kemudian berubah menjadi besar serta tinggi. Sebelum 

kaca merah mengeluarkan kepulan asap dia kembali 

menghantam. Kali ini Wiro lepaskan pukulan SegulungOmbak Menerpa Karang. 

Kembali Lagandring keluarkan teriakan kaget. 

Tubuhnya terangkat ke udara sampai dua jengkal. Cepat 

dia kerahkan tenaga dalam. Sambil lepaskan pukulan 

dengan tangan kiri dia teruskan mengusap kaca merah di 

tangan kanan. 

“Celaka! Aku tak berhasil mencegah!” ujar Wiro sewaktu 

melihat bagaimana sosok lawannya berubah menjadi besar 

dan tambah tinggi hampir menyandak cabang pohon di 

atasnya! Wiro merasa dirinya seolah kembali ketika dirinya 

setinggi lutut. 

Sambil menyeringai Lagandring maju mendekati Wiro. 

Setiap langkah yang dibuatnya mengeluarkan suara keras 

dan menggetarkan tanah walau tidak sehebat langkah kaki 

batu Lakasipo (Baca “Bola Bola Iblis”). 

Wutttt! 

Tiba-tiba kaki kanan Lagandring menderu. Belum lagi 

tendangannya sampai, angin sudah menyambar laksana 

topan prahara. Semak belukar hancur rambas 

beterbangan, pohon-pohon di kiri kanan berderak patah. 

“Mati aku!” jerit Wiro ketika tubuhnya ikut tersapu. 

Begitu jatuh di antara semak belukar dia segera 

menyelinap. Tapi Lagandring bergerak cepat sekali. Belum 

sempat Wiro bangkit berdiri, kaki Lagandring sudah berada 

di depannya dan kembali menendang. Wiro jatuhkan diri 

sama rata dengan tanah. Dia masih bisa selamatkan diri 

walau angin tendangan membuat tubuhnya melesak 

tertelungkup satu jengkal ke dalam tanah. Sebelum Wiro 

sempat keluarkan dirinya dari dalam lobang, kaki kanan 

Lagandring telah menghunjam ke punggungnya. Selain itu 

dari kaca merah yang ada di tangan kanan lawan 

menyambar keluar pukulan Sinar Darah Merah. Sekali ini 

nyawa murid Sinto Gendeng tidak tertolong lagi. Kalaupun 

ada keajaiban menyelamatkan dirinya dan membuatnya 

masih bisa bernafas maka dia akan hidup dengan tubuh 

bungkuk cacat karena patah tulang punggung. Selain itu 

sinar merah yang keluar dari kaca sakti Lagandring akan

memanggang sebagian tubuhnya. 

Dalam kesulitan seperti itu apalagi keadaannya 

tertelungkup membelakangi lawan, Wiro ambil keputusan 

untuk lepaskan pukulan Di Balik Gunung Memukul 

Halilintar dengan tangan kiri sedang tangan kanan dengan 

tenaga dalam penuh dia hendak melepas Pukulan Sinar 

Matahari.

Di saat yang benar-benar menegangkan itu tiba-tiba 

terdengar suara orang tertawa mengekeh. Menyusul suara 

orang berucap. Dari suaranya jelas dia adalah seorang 

kakek-kakek. 

“Anak tolol! Percuma kau punya ilmu Belut Menyusup 

Tanah! Mengapa tidak pergunakan ilmu itu untuk 

selamatkan diri?!” 

***


EMPAT

PENDEKAR 212 Wiro Sableng terkejut setengah mati 

mendengar ucapan itu. Dia memang punya ilmu atau 

jurus yang barusan disebut orang yaitu warisan Eyang 

Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak Gunung 

Gede. Selama ini hampir tidak pernah dikeluarkan karena 

memang mungkin belum menemukan keadaan yang 

cocok. Kini dia tidak mau berpikir lebih lama. Dua kakinya 

serta merta lurus lalu bergelung. Tangannya di sebelah 

atas lurus lalu menekuk. Begitu dia membuat gerakan 

dengan pengerahan tenaga dalam di bagian perut maka 

secara aneh sosoknya laksana seekor belut licin melesat di 

atas tanah, menembus semak belukar. 

Braaakkk! 

Bummmm! 

Kaki kanan Lagandring menghantam tanah hingga 

menguak lubang sedalam dua jengkal. Pukulan Sinar 

Darah Merah melabrak akar pohon besar hingga 

berserabutan dan terpanggang hangus. Tapi Pendekar 212 

Wiro Sableng lenyap entah ke mana! 

“Jahanam! Ke mana perginya pemuda keparat itu!” 

Maki Lagandring. Dengan geram dia memandang 

berkeliling. Dia bukan saja mencari ke mana lenyapnya 

Wiro tapi sekaligus menyelidik siapa yang barusan bicara 

memberi bisikan pada si pemuda hingga lawannya itu bisa 

lolos! 

Tapi Lagandring tidak melihat siapa-siapa. Selagi dia 

tertegak geram seperti itu tiba-tiba dari atas pohon 

melayang sesosok tubuh. Lagandring cepat balikkan diri 

begitu dia merasa ada sambaran angin. Namun terlambat.Dua tangan yang meskipun kecil dibanding dengan 

tangannya menggelung lehernya. Sebuah tumit menekan 

urat besar di lehernya hingga tubuhnya seperti setengah 

kaku. Nafasnya megap-megap dan lidah terjulur sementara 

tulang lehernya seperti mau berderak patah. 

“Jahanam! Kukunyah tubuhmu!” teriak Lagandring. 

Dicekalnya sosok yang mencekik tubuhnya lalu, bukkk! 

Dibantingnya ke tanah. Namun akibat gerakannya itu, kaca 

merah yang ada dalam genggamannya terlepas jatuh ke 

tanah, menggelinding ke dekat orang yang barusan 

dibantingnya. Orang ini ternyata adalah Wiro Sableng. 

Sebelum tubuhnya jatuh ke tanah murid Sinto Gendeng 

berjumpalitan lalu siap menyelinap ke balik pohon 

selamatkan diri. Ketika hendak melompat dia sempat 

melihat kaca merah milik Lagandring menggelinding di 

tanah dan menyusup masuk ke dalam semak belukar. Wiro 

cepat sambar benda itu, lalu sembunyikan di balik 

pakaiannya. 

Karena tidak lagi memegang kaca merah sakti, sosok 

Lagandring perlahan-lahan mengecil seperti semula 

Mukanya pucat tubuhnya miring seperti layangan singit. 

Dia memandang kian kemari mencari-cari kaca merahnya. 

Melihat lawan tidak lagi sebesar tadi tanpa tunggu lebih 

lama Wiro berkelebat keluar dari balik pohon langsung 

menyerang. 

Diterjang secara tiba-tiba Lagandring berseru kaget. Dia 

balas menyerang hingga terjadilah perkelahian hebat. 

Setelah sepuluh jurus berlalu terlihatlah bahwa ilmu silat 

tangan kosong Lagandring berada jauh di bawah Wiro. 

Apalagi jurus-jurus yang dimainkan Wiro serba asing 

baginya. Maka tak urung Lagandring menjadi bulan-

bulanan. Untungnya Wiro tidak punya niat jahat. 

Serangannya lebih banyak mempermainkan lawan seperti 

menggelitik, menjewer, menendang bokong dan paling 

akhir, di puncak kejahilannya, Wiro tarik lepas celana 

Lagandring yang terbuat dari kulit kayu hingga orang ini 

kalang kabut.“Lagandring! Lekas tinggalkan tempat ini!” Tiba-tiba 

terdengar seruan Lagandrung. Dalam keadaan seperti itu 

tentu saja Lagandring tidak pikir panjang. Tanpa banyak 

bicara dia menghambur lari mengikuti kakaknya walau 

untuk itu dia masih ketiban nasib sial karena pantatnya 

sempat ditendang Wiro! 

Apa yang terjadi dengan Lagandrung? 

Setelah memerintahkan adiknya menyerang Wiro, 

Lagandrung langsung menyerbu Hantu Tangan Empat yang 

acuh tak acuh terus saja menebar kembang di atas 

permukaan air telaga. Pukulan-pukulan Lagandrung datang 

laksana air bah. Hantu Tangan Empat pergunakan bunga 

dalam genggamannya untuk menangkis serangan lawan. 

Walau cuma bunga lembut namun karena sudah diisi 

tenaga dalam, bunga-bunga itu berubah laksana menjadi 

batu dan melesat menyambar bersiuran ke arah 

Lagandrung. 

Orang lain mungkin akan sulit menghindari serangan 

belasan bunga itu. Tapi Lagandrung dengan mudah bisa 

mengelak. Ketika dia kembali hendak menyerbu, di 

hadapannya Hantu Tangan Empat angkat tangan seraya 

berkata. 

“Kita pernah bersahabat! Jangan kau termakan 

perintah jahat Hantu Muka Dua! Habisi semua kegilaan ini 

sampai di sini!” Hantu Tangan Empat memandang ke 

langit. “Wahai! Matahari sudah tinggi. Aku perlu cepat-

cepat mandi!” 

Lagandrung meludah dan menjawab dengan seringai 

mengejek. “Kau boleh mandi kalau air telaga sudah 

kucampur dengan darahmu!” 

Habis berkata begitu Lagandrung goyangkan kepalanya. 

Dari kaca putih yang menempel di keningnya menderu 

sinar putih sangat panas. 

Hantu Tangan Empat lemparkan kantung jerami yang 

ada di bahunya. Benda ini hancur lebur berantakan. Sinar 

putih panas terus menyambar ke arah curahan air terjun. 

Terdengar berkepanjangan suara seperti besi panasdicelup ke dalam besi sewaktu sinar putih menembus 

curahan air terjun. Lalu dinding batu di belakang air terjun 

kelihatan terkuak, sesaat kemudian hancur berantakan! 

“Hantu Tangan Empat! Kau lari ke mana?! Jangan 

harap bisa lolos dari tanganku!” Lagandrung berteriak 

ketika dia tidak lagi melihat si kakek. 

“Aku berada di sini, Lagandrung! Himbauan seorang 

teman tidak kau dengar. Apalagi harus kulakukan? Aku 

terpaksa mengajarkan adab bersopan santun padamu 

wahai Lagandrung!” 

Lagandrung kertakkan rahang. Dia balikkan tubuh. 

Hantu Tangan Empat dilihatnya duduk bersila di atas 

sebuah batu besar di tepi telaga, menatap menyeringai ke 

arahnya. Ketika dia memperhatikan ternyata si kakek 

sebenarnya tidak duduk bersila di atas batu itu karena 

sosoknya menggantung di udara satu jengkal di atas batu! 

Dari apa yang disaksikannya itu sebenarnya Lagandrung 

menyadari bahwa ilmu dan tenaga dalam Hantu Tangan 

Empat berada jauh di atasnya. Namun karena sudah 

kepalang tanggung, untuk mundur begitu saja tentu dia 

merasa malu. 

“Hantu Tangan Empat, bicaramu sombong amat. 

Hendak mengajarkan tata cara bersopan santun padaku! 

Padahal sebelum kita dilahirkan adab sopan santun itu 

sudah ada di Negeri Latanahsilam ini! Karenanya biar aku 

saja yang memberi pelajaran padamu. Kau tak lebih dari 

seorang kacung yang tidak becus melakukan perintah tuan 

besarnya! Jadi pantas kepalamu kucopot dari tubuhmu!” 

Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh. “Ingin aku 

melihat bagaimana caramu mencopot leherku!” katanya. 

Lalu dia ulurkan kepalanya. Lehernya mendadak berubah 

panjang. Selagi Lagandrung keheranan tahu-tahu muka 

Hantu Tangan Empat sudah berada hanya satu jengkal di 

depan wajahnya! 

“Jahanam! Kau kira aku takut dengan segala ilmu setan 

yang kau pamerkan! Putus lehermu!” 

Lagandrung goyangkan kepalanya. Dari cermin putihyang ada di keningnya tiba-tiba melesat sinar putih 

menyilaukan. Anehnya sinar ini berbentuk demikian rupa 

menyerupai sosok sebilah pedang. Cepat sekali pedang 

jejadian itu menabas leher Hantu Tangan Empat yang telah 

berubah menjadi panjang! Inilah ilmu pukulan Sinar Darah 

Putih!

“Ilmu sihir picisan! Siapa takut!” kata Hantu Tangan 

Empat lalu tertawa mengekeh. 

Sesaat lagi pedang cahaya itu akan menabas leher si 

kakek tiba-tiba dua tangan berkelebat. Satu mencekal hulu 

pedang, satu menangkap bagian badan. Dua tangan itu 

tampak mengepulkan asap. Hantu Tangan Empat 

mengerenyit menahan panas luar biasa sinar putih yang 

dicekalnya. Ketika tangan itu memuntir, sinar putih meliuk. 

Kepala Lagandrung ikut meliuk. Lagandrung menjerit 

kesakitan. Sambil melompat mundur dia terpaksa tarik 

kembali serangan sinar putih. Ketika dia memandang ke 

depan nyali Lagandrung nyaris leleh. 

Di hadapannya sosok Hantu Tangan Empat yang 

tadinya berupa seorang kakek berwajah rata kini telah 

berubah menjadi satu makhluk menyeramkan. Rambutnya 

berubah warna menjadi merah dan lurus naik ke atas. Dari 

kulit kepalanya mengepul asap merah. Sepasang matanya 

yang besar memberojol merah, bergoyang-goyang seperti 

mau jatuh. Menggidikkan. Bibirnya berwarna biru aneh. 

Hidung panjang membengkok sedang gigi mencuat 

panjang keluar dari mulut. Tangannya yang tadi dua kini 

kelihatan ada empat dan bergerak kian kemari tak bisa 

diam. Dua dari empat tangan inilah tadi yang berhasil 

menahan serangan pedang Sinar Darah Putih yang 

dilancarkan Lagandrung. Selama ini Lagandrung hanya 

mendengar tentang sosok Hantu Tangan Empat namun 

baru sekali ini dia melihat dengan mata kepala sendiri. Tak 

urung tengkuknya menjadi dingin! Untuk meneruskan 

niatnya nyalinya sudah putus. Dia maklum, kalau tidak 

mampu menghadapi Hantu Tangan Empat bagaimana 

mungkin dia bisa membawa kepala makhluk itu kepada

Hantu Muka Dua. Selain itu ketika dia melirik ke kalangan 

pertarungan antara adiknya dengan Pendekar 212 hatinya 

bertambah kecut karena sang adik tengah berada dalam 

keadaan terdesak hebat hingga menjadi bulan-bulanan 

dipermainkan lawan bahkan diselomoti celananya hingga 

kelihatan bugil! Melihat gelagat yang tidak baik ini 

Lagandrung lalu berteriak agar si adik mengikutinya 

melarikan diri. 

Hantu Tangan Empat tertawa terkekeh-kekeh ketika 

melihat dua saudara kembar itu lari lintang pukang. 

Lagandrung di sebelah depan. Adiknya di sebelah belakang 

sambil pegangi pantat celananya yang robek dibetot Wiro! 

Murid Eyang Sinto Gendeng sendiri memperhatikan kedua 

orang itu sambil tertawa-tawa, satu tangan menunjuk 

pantat Lagandring yang tersingkap tak karuan, satu tangan 

lagi menggaruk-garuk kepala! 

Begitu Lagandrung dan Lagandring lenyap, Pendekar 

212 segera mendatangi Hantu Tangan Empat yang saat itu 

telah kembali ke bentuknya semula yaitu seorang kakek 

bermuka rata. 

“Kek, kau tak apa-apa...?” tanya Wiro. 

Hantu Tangan Empat usap matanya yang basah oleh air 

mata karena tertawa terpingkal-pingkal tadi. “Kau sendiri 

bagaimana?” 

“Hampir celaka! Untung ada seseorang menolong...” 

jawab Wiro. 

“He...” Hantu Tangan Empat hanya manggut-manggut 

seolah tak mau bertanya siapa adanya orang yang 

menolong Wiro tadi. Dia memandang ke arah telaga. Lalu 

berkata pada Wiro. “Anak muda, kau jangan ke mana-

mana dulu.Tunggu sampai aku selesai mandi!” Laju enak 

saja kakek itu ceburkan diri ke dalam telaga. Anehnya 

setelah ditunggu sekian lama sosok Hantu Tangan Empat 

tak kunjung muncul. Mau tak mau Pendekar 212 jadi agak 

gelisah. 

“Kek! Hantu Tangan Empat!” Wiro memanggil. 

Tak ada jawaban. Air telaga kelihatan tenang.“Jangan-jangan dia jatuh pingsan di dalam air...” pikir 

Wiro. Dia segera hendak terjun ke dalam telaga tapi, 

byuuurrr! Hantu Tangan Empat muncul sambil tertawa 

terkekeh-kekeh. 

“Tua bangka brengsek...” maki Wiro dalam hati. Dia 

memutar tubuhnya. 

“Hai! Kau mau ke mana?!” Terdengar Hantu Tangan 

Empat berteriak. 

“Tidak ke mana-mana. Hanya mencari orang yang 

barusan menolongku!” jawab Wiro. Lalu dia berkelebat ke 

arah sebuah pohon besar dari arah mana tadi dia 

mendengar suara kakek-kakek yang memberi petunjuk 

agar dia mengeluarkan ilmu Belut Menyusup Tanah.

Wiro bolak-balik mengitari pohon besar sampai lima 

kali. Dia bahkan memanjat naik ke atas pohon itu. Tapi dia 

tidak menemukan siapa-siapa. 

“Ah, sayang sekali. Menyesal aku tidak bertindak cepat. 

Orang yang menolongku itu mungkin sudah pergi tanpa aku 

sempat menemui dan mengucapkan terima kasih!” 

Wiro melihat ke arah air terjun. Di dalam telaga Hantu 

Tangan Empat masih asyik berkecimpung mandi. Sambil 

garuk-garuk kepala Wiro akhirnya dudukkan diri di bawah 

pohon besar. Belum lama duduk mendadak dia mendengar 

suara gemerisik semak belukar. Lalu ada suara orang 

menyanyi. 

“Na... na... na... Ni... ni... ni. Na... na... na... Ni... ni... ni.” 

“Eh, orang gila dari mana kesasar dan menyanyi di 

tempat ini?!” pikir pendekar kita sambil bangkit berdiri dan 

celingak-celinguk mencari orang yang menyanyi. Tapi dia 

tidak melihat siapa-siapa. “Aneh, suaranya begitu dekat 

tapi orangnya tidak kelihatan.” Wiro melangkah ke kiri, 

berputar ke kanan, membelok lagi ke kiri. Tetap saja dia 

tidak melihat siapa-siapa. 

“Na... na... na... Ni... ni... ni. Na... na... na. Ni... ni... ni.” 

***


LIMA


WIRO memandang berkeliling. Hatinya mulai was-

was. “Jangan-jangan tempat ini ada hantu 

pelayangannya...” katanya dalam hati. Mendadak 

sudut matanya menangkap sesuatu. Dia berpaling ke kiri. 

Astaga! “Benar-benar aneh! Tadi aku mundar-mandir 

berulang kali di tempat itu. Tak ada siapa-siapa. Kini ada 

orang itu!” Wiro cepat melangkah ke balik satu pohon kayu. 

Dari sini dia memperhatikan. 

Sepuluh langkah di hadapannya ada seorang kakek-

kakek memegang payung dari daun-daun kering. Sambil 

bernyanyi na-na-na ni-ni-ni dia melangkah setengah 

menari-nari mengelilingi sepokok pohon keladi hutan. Di 

punggungnya si kakek membekal sebuah kantong panjang. 

Murid Sinto Gendeng tekap mulutnya menahan ketawa. 

Banyak hal yang membuat Wiro ingin tertawa terpingkal. 

Kakek itu bermuka jelek selangit tembus. Pipinya keriput 

kempot. Hidungnya pesek dan matanya belok. Lalu bibirnya 

mencuat karena deretan gigi-giginya yang tonggos. 

“Berarti seumur hidup dia tidak pernah bisa 

mengatupkan mulutnya!” kata Wiro, geli dalam hati. Lalu 

sambil bernyanyi si kakek goyang-goyangkan pinggulnya. 

Sesekali tubuhnya sebelah bawah didorong dilejang-

lejangkannya ke depan. Dan kini yang paling gila! Kakek ini 

mengenakan celana dari kulit kayu yang bagian 

belakangnya sengaja dirorotkan ke bawah hingga 

pantatnya yang hitam kasap tersingkap jelas! 

“Tidak meleset dugaanku! Kalau tidak sinting pasti gila 

alias kurang waras!” kata Wiro dalam hati. Lalu sambil 

batuk-batuk Wiro keluar dari balik pohon.Mendengar ada suara orang batuk, si kakek aneh 

tampak terkejut. Suara nyanyiannya lenyap. Langkah dan 

tariannya langsung berhenti. Lalu dengan gaya malu-malu 

lucu dia cepat-cepat angkat ke atas celananya yang 

tersingkap. Tapi ketika dia melihat Wiro, kakek ini tertawa 

lebar dan berkata. “Wahai! Kukira perempuan. Ternyata 

laki-laki juga. Sama tanduknya dengan tandukku! Sama-

sama di depan! Buat apa malu-malu! Hik... hik!” Lalu enak 

saja celananya yang tadi sudah dibetulkan kini 

didodorkannya kembali, malah lebih bawah dari 

sebelumnya. Wiro tertawa geli. Di sebelah sana si kakek 

kembali menyanyi-nyanyi, menari memutari pohon keladi 

hutan. Payung di tangan kirinya diputar-putar demikian 

rupa hingga mengeluarkan suara berdesing keras. Setiap 

ujung payung yang berputar itu mengenai daun atau 

rerantingan maka daun dan ranting-ranting itu putus, 

melayang tinggi ke atas. 

“Memutus ranting dengan daun kering bukan pekerjaan 

mudah! Hanya orang berkepandaian luar biasa mampu 

melakukannya! Kakek yang seperti sinting ini pasti bukan 

makhluk sembarangan!” Baru saja Wiro membatin seperti 

itu tiba-tiba si kakek sudah ada di depannya. Dia 

menyengir hingga seluruh giginya memberojol keluar. 

“He, Buyung! Kau tentu menduga aku ini sinting! Iya, 

kan?!” 

“Walah, jangan-jangan dia bisa mendengar suara 

hatiku!” kata Wiro. Lalu dia balas menyengir. “Tidak, Kek. 

Menurutku kau tidak sinting! Malah aku senang 

mendengar nyanyianmu!” kata Wiro pula. 

“He, begitu? Terima kasih! Yang betul saja Buyung!” 

“Betul, nyanyianmu sangat sedap didengar,” kata Wiro. 

Si kakek menyengir. “Terima kasih!” katanya lagi. Lalu, 

“Sekarang tolong kau pegangkan tangkai payung ini!” 

Karena payung langsung disodorkan kepadanya terpaksa 

Wiro pegang payung daun itu. Dari dalam kantong 

panjangnya si kakek keluarkan sebuah tambur terbuat dari 

batang pohon yang dilubangi lalu ditutup dengan kulitkering binatang. Dia juga mengeluarkan sebuah tongkat 

yang ujungnya ditancapi benda bulat. Sebelum berkata dia 

lebih dulu menyengir. “Kalau nyanyianku memang sedap 

didengar, berarti kau harus ikut menari bersamaku! Aku 

menyanyi sambil memukul tambur. Kau memayungi aku 

dan ikut melangkah menari memutari pohon keladi itu. 

Setuju...?!” 

“Anu Kek...” 

“He, anu artinya memang setuju. Terima kasih Buyung!” 

“Maksudku...” 

“Aku lupa!” Si kakek aneh tidak pedulikan ucapan Wiro. 

“Sebelum ikut menari aku perlu memberi tahu lebih dulu. 

Benda bulat yang ada di ujung pemukul tambur ini! Kau 

tahu benda apa ini sebenarnya?” 

Wiro garuk-garuk kepala. “Sulit aku menduga, Kek.” 

Si kakek menyengir. “Coba kau cium! Mungkin kau bisa 

menerka!” Lalu enak saja ujung pemukul tambur 

disodorkannya ke bawah lobang hidung Wiro. Bau sangit 

yang tidak enak menyambar pernafasannya hingga murid 

Sinto Gendeng ini bersin sampai tiga kali. 

Si kakek tertawa terkekeh-kekeh. Lalu tangan kanannya 

dikembangkan, diletakkan di pinggir mulut. 

“Benda bulat ini adalah potongan biji sapi yang 

dikeringkan! Hik... hik... hik!” Waktu berucap si kakek 

seperti berbisik. Tapi ketika menyebutkan kata ‘biji’ 

suaranya sengaja dikeraskan, hampir berteriak. Lalu dia 

tertawa cekikikan. 

“Untung biji sapi. Bukan biji manusia! Ha... ha... ha!” Si 

kakek menyambung ucapannya tadi lalu tertawa gelak-

gelak. “Sudah... sudah! Dari tadi kita tertawa saja! Ayo 

mulai menari! Payungi aku!” 

Si kakek tonggos melangkah lucu. Sesekali berjingkat-

jingkat. Sambil tiada henti memukul tambur. Dari mulutnya 

terus menerus keluar nyanyian na-na-na ni-ni-ni. Pinggul 

dan pantatnya diogel-ogel, mulutnya senyum-senyum 

tonggos. Matanya sesekali dikedip-kedip genit. Lalu 

lidahnya dijulur-julur untuk membasahi bibir. Wiro yangmemegang payung mau tak mau jadi melangkah mengikuti 

si kakek mengelilingi pohon keladi hutan. Sambil 

melangkah berputar-putar diam-diam Wiro menghitung. 

“Gila! Sudah dua ratus kali aku berputar mengikutinya 

mengelilingi pohon keladi!” kata Wiro dalam hati. Kakinya 

mulai pegal. Tangannya yang memegang payung terasa 

capai. Tapi di depannya si kakek terus saja menari. 

Semakin cepat dia menabuh tambur kecilnya semakin 

cepat pula langkah dan tarinya. Tubuhnya meliuk-liuk. 

Memandang ke depan Wiro melihat sosok kakek aneh itu 

seolah berputar siam mengelilingi pohon keladi seperti 

sebuah gasing! Akhirnya Wiro memilih tegak saja berdiam 

diri. 

“Hai! Baru segitu saja kau sudah capai keletihan! Tapi 

kalau menari dengan gadis cantik semalam suntuk pasti 

kau lakoni! Begitu, kan?! Hik... hik... hik! Terima kasih kau 

sudah memayungiku!” 

Kakek itu jatuhkan dirinya di tanah. Tambur dan 

pemukulnya dimasukkannya ke dalam kantong panjang. 

Lalu dia ulurkan tangan mengambil payungnya. Payung ini 

tidak diletakkannya di tanah atau dilipatnya tetapi 

diletakkannya di atas kepala. Lalu acuh tak acuh seperti 

tidak ada apa-apa di kepalanya dia berpaling pada Wiro. 

Matanya jelalatan memandangi pemuda itu dari kepala 

sampai ke kaki. Hidungnya yang pesek kembang kempis. 

“Wahai! Baru aku sadar! Kau orang asing. Bukan orang 

sini! Kau pasti datang dari jauh!” Si kakek tiba-tiba berkata. 

“Bagaimana kau bisa tahu Kek?” tanya Wiro sambil 

garuk-garuk kepala. 

“Dari baumu!” jawab si kakek tonggos. 

“Walah! Memangnya bauku bagaimana?!” tanya 

pendekar kita. 

“Orang-orang asing di Negeri Latanahsilam ini baunya 

bau rayap. Tapi kau kucium bau amis! Hik... hik... hik!” 

“Ah, jangan-jangan hidungmu yang pesek salah cium 

Kek!” kata Wiro agak sewot. 

Kakek tonggos tertawa bergelak. “Terima kasih, ataspujianmu terhadap hidungku yang mancung!” kata si kakek 

sambil usap-usap hidungnya yang memang pesek. “Aku 

memperhatikan, sejak tadi sudah berapa kali kau 

menggaruk kepala. Yang aku ingin tahu, sudah berapa 

minggu kau tidak pernah mandi anak muda?” 

Murid Sinto Gendeng jadi cemberut. “Saya mandi setiap 

hari. Setiap ketemu kali atau telaga...” 

“Kurasa kau dusta anak muda! Kurasa kau mandi 

hanya setiap hujan turun! Hik... hik... hik! Tapi jangan 

marah anak muda. Aku senang. Terima kasih kau mau 

bersenda gurau denganku! Sekarang aku mau tanya...” 

“Tidak, saya duluan yang tanya padamu Kek!” 

“Wahai! Pasti kau menanya mengapa aku pakai celana 

didodorkan di bagian pantatnya!” 

“Tidak, bukan itu pertanyaanku...” 

“Terima kasih kau tidak menanyakan pantatku! Hik... 

hik... hik. Apa yang mau kau tanyakan anak muda?” Si 

kakek tertawa gelak-gelak. Payung di atas kepalanya 

mumbul turun naik. 

“Sebelum kau muncul di sini, mungkin waktu kau 

tengah menuju ke sini, apakah kau berpapasan atau 

melihat seorang lain?” Wiro bertanya begitu karena dia 

ingin menyelidiki siapa sebenarnya yang menolongnya 

waktu berkelahi melawan Lagandring tadi. Yaitu yang 

memberi tahu agar dia mengeluarkan ilmu Belut Menyusup 

Tanah yang selama bertahun-tahun tak pernah 

dipergunakannya. 

“Memang, aku ada melihat orang lain selain dirimu!” 

Kakek tonggos menjawab sambil pentang wajah 

bersungguh-sungguh. 

“Siapa? Di mana?” tanya Wiro. 

“Dia! Di sana!” jawab si kakek seraya goyangkan kepala 

ke arah Hantu Tangan Empat yang asyik mandi air 

kembang di dalam telaga di bawah air terjun. 

Wiro memaki dalam hati. “Bukan dia yang 

kumaksudkan. Tapi orang lain...” 

“Heee... Ya... ya. Memang ada. Ada dua orang. Tapisudah pada kabur. Itu, dua kembar yang tadi berkelahi 

denganmu dan kakek yang mandi dua bulan sekali itu! 

Lagandring dan Lagandrung!” 

Wiro garuk-garuk kepala menahan jengkel. 

Si kakek tertawa lebar lalu berkata. “Terima kasih kau 

hanya menggaruk kepala yang di atas, tidak kepala yang di 

bawah! Hik... hik... hik! Awas bisa berterbangan segala kutu 

dan tuma yang ada di tubuhmu! Hik... hik... hik!” 

Wiro yang biasanya suka menggoda orang kini merasa 

mati kutu. Walau jengkel mendengar ucapan si kakek 

namun sambil tertawa dia berkata. “Kakek tukang banyol, 

kalau kau hanya melihat kakek yang sedang mandi itu, lalu 

melihat Lagandrung dan Lagandring berarti tidak ada orang 

lain. Berarti kaulah tadi yang telah menolongku...” 

“Aku datang membawa payung dan tambur. Aku datang 

menyanyi dan menari. Bagaimana mungkin aku 

menolongmu. Lagi pula pertolongan apa yang kuberikan 

padamu wahai anak muda? Tapi aku tak lupa 

mengucapkan terima kasih kau telah menganggap aku 

melakukan sesuatu yang baik. Menolong orang lain 

bukankah itu sesuatu yang baik?” 

Wiro mengangguk. “Kau yang memberi bisikan agar 

saya mengeluarkan ilmu Belut Menyusup Tanah. Hingga 

saya selamat dari serangan maut yang dilancarkan 

Lagandring...” 

“Ilmu Belut Menyusup Tanah. Aneh nama ilmu itu. Baru 

sekali ini aku mendengar. Memangnya kau punya ilmu 

itu?” Si kakek bertanya dengan unjukkan tampang tolol. 

Wiro garuk-garuk kepala lagi. Untuk sesaat lamanya dia 

pandangi orang tua di hadapannya itu. Lalu sambil nyengir 

dia berkata. “Kau tak mau mengaku tak jadi apa. Tapi saya 

yakin kau yang tadi menolong saya. Suaramu sama dengan 

suara orang yang memberikan bisikan itu.” 

“Terima kasih kau berkata begitu. Tapi wahai anak 

muda. Belutku saja aku tidak bisa mengurus, bagaimana 

aku mengurusi belutmu!” Sambil berkata begitu si kakek 

monyongkan mulutnya yang tonggos ke arah bawah perutWiro lalu tertawa gelak-gelak. 

“Menolong orang tanpa ingin diketahui orang yang 

ditolong, itu artinya tulus tanpa pamrih. Tapi membuat 

bingung orang bisa mengurangi pahala!” 

Tiba-tiba terdengar orang berucap. Anehnya suaranya 

terdengar bergema di empat penjuru! Kakek tonggos 

dongakkan muka ke langit, mulutnya bergerak-gerak 

seperti mau ditutup tapi tak pernah bisa karena deretan 

gigi-giginya yang menjorok tonggos. 

“Sekali bicara mengumandang empat kali di empat 

penjuru! Siapa lagi yang punya ilmu seperti itu kalau bukan 

sobatku Hantu Tangan Empat! Wahai! Apakah kau sudah 

selesai mandi wahai kerabatku?! Terima kasih atas pujimu. 

Terima kasih juga atas cemoohmu!” 

Wiro palingkan kepala. Di dekat air terjun Hantu Tangan 

Empat baru saja keluar dari dalam telaga. Jarak antara 

kakek itu dengan tempatnya berada terpisah belasan 

tombak. Tapi suara ucapannya terdengar seolah-olah dia 

berada di situ, dan di empat tempat sekaligus! Inilah ilmu 

kepandaian yang hanya dimiliki Hantu Tangan Empat, 

disebut Empat Penjuru Angin Menebar Suara. Lima tingkat 

lebih tinggi dari ilmu memindahkan suara yang selama ini 

dikenal oleh Wiro. Hal ini mengingatkan murid Sinto 

Gendeng pada peristiwa ketika pertama kali dia dan 

kawan-kawan bertemu dengan Hantu Tangan Empat di 

tanah Jawa (Baca riwayat pertemuan Wiro dengan Hantu 

Tangan Empat dalam serial Wiro Sableng berjudul “Bola-

Bola Iblis”). 

***


ENAM


SESAAT kemudian Hantu Tangan Empat sudah berada 

di hadapan ke dua orang itu. Wajahnya yang rata 

kelihatan segar. Dia menatap ke arah kakek mulut 

tonggos. Si kakek yang dipandang tertawa lebar lalu 

menjura memberi hormat. Tapi caranya memberi hormat 

membuat orang bisa jengkel. Kepalanya memang 

ditundukkan, tangan dibuai di depan dada tapi pantatnya 

sekaligus disonggengkan. Padahal saat itu celananya 

masih didodorkan ke bawah! 

“Pelawak Sinting, wahai! Puluhan tahun kau 

menghilang. Hari ini kau muncul apa gerangan maksud niat 

dan tujuanmu?!” Hantu Tangan Empat menegur sambil 

rangkapkan tangan di atas dada. Seringainya pencong dan 

kaku. 

Sesaat si kakek tonggos yang dipanggil dengan nama 

Pelawak Sinting tersenyum lebar dan pantatnya masih saja 

disonggengkan. Perlahan-lahan dia luruskan badannya lalu 

berkata sambil tangannya diangkat ke atas, dilambaikan 

ke langit. Ketika dia bicara menjawab ucapan Hantu 

Tangan Empat maka suaranya seperti orang membaca 

puisi. 

“Wahai Hantu Tangan Empat, terima kasih atas tegur 

sapamu yang menawan hati. Lihat ke atas. Pandanglah 

langit. Tiada berawan tiada mendung. Di sebelah sana 

serombongan burung terbang melintas udara. Angin 

bertiup lembut menyejuk jangat. Layangkan mata ke kiri. 

Air terjun jatuh menderu, bagus bentuk dan sedap 

suaranya sampai di telinga. Lihat dalam telaga, bunga-

bunga aneka warna sesajian bekas mandimumengambang elok menebar bau harum. Pagi seindah ini 

jarang terjadi. Salahkah diriku jika aku muncul untuk 

melihat dan merasakan keindahan alam ini? Kalau nanti 

mataku sudah mulai lamur, apa gunanya lagi. Bukankah 

begitu cara kita menikmati berkah yang melimpah wahai 

sahabatku Hantu Tangan Empat?” 

Wiro garuk-garuk kepala menunggu apa jawaban Hantu 

Tangan Empat. Dalam hati dia berkata. “Jadi kakek geblek 

satu ini bernama Pelawak Sinting. Cocok dengan 

kelakuannya yang serba konyol... Tapi ucapannya tadi 

sungguh bagus!” 

Hantu Tangan Empat sesaat masih tegak berdiam diri. 

Setelah melirik Wiro, selang berapa lama kemudian baru 

dia berkata. “Tak ada yang menyalahkan kehadiranmu 

wahai sahabatku Pelawak Sinting. Namun terbetik berita 

bahwa kau kabarnya telah bergabung dengan Hantu Muka 

Dua, membangun satu tempat bernama Istana 

Kebahagiaan, lalu ikut menjadi salah satu pembantu 

tangan kanannya... Mungkin kau bisa memberi 

keterangan?” 

Si Pelawak Sinting mendongak ke langit lalu tertawa 

mengekeh. “Terima kasih namaku tersebar dalam berita 

begitu rupa! Terima kasih kau memberi tahu padaku! 

Sebenarnya siapa aku ini maka dikabarkan bergabung 

dengan Hantu Muka Dua membangun Istana Kebahagiaan! 

Gubuk reot saja aku tak mampu membangun, buktinya aku 

tidak punya rumah. Apalagi membangun Istana 

Kebahagiaan! Amboi! memangnya aku ini tukang 

bangunan apa? Ha... ha! Lagi pula aku tidak suka jadi 

pembantu. Diriku sendiri tak bisa kubantu, bagaimana bisa 

membantu orang lain. Ha... ha... ha! Kalaupun aku jadi 

pembantu, Hantu Muka Dua mau memberi aku upah 

berapa? Ha... ha... ha! Aku ini cuma seorang kakek sinting. 

Mana mungkin Hantu Muka Dua mau dekat-dekat dengan 

diriku? Sahabatku Hantu Tangan Empat, hidup di alam ini 

paling enak seorang diri! Tidak ada yang mengikat. Ke 

mana mau pergi tidak ada yang melarang! Dada lapangpikiran lepas. Ha... ha... ha! Kau sendiri apakah selama ini 

baik-baik saja wahai sahabatku?” Ketika bicara si kakek 

yang bernama Pelawak Sinting itu gerak-gerakkan tangan, 

bahu dan pinggulnya secara lucu. 

Yang ditanya tersenyum. Si Pelawak Sinting kembali 

berucap. 

“Wahai, wajahmu yang datar tersenyum. Tapi aku tahu 

di hatimu ada ganjalan! Malah sebetulnya akulah yang 

layak bertanya, siapa tahu aku bisa menolong...” 

“Apapun yang terjadi dengan diriku, adalah tanggung 

jawabku sendiri,” kata Hantu Tangan Empat pula. 

“Belakangan ini semua orang di Negeri Latanahsilam hidup 

seolah nafsi-nafsian. Memikir dan mengurus diri sendiri, 

tidak mau peduli pada diri dan keadaan orang lain...” 

“Wahai, jangan begitu Hantu Tangan Empat. Karena 

kita bersahabat jadi wajib saling tolong jika salah satu 

mempunyai kesulitan...” 

“Kau tidak akan bisa menolong. Jangankan kau, Dewa 

dan para Peri-pun sepertinya tidak mempedulikan diriku...” 

“Wahai! Hantu Tangan Empat, jangan bersikap hidup 

seperti itu. Aku tahu hal ihwalmu dengan Hantu Muka Dua. 

Jika kau...” 

Hantu Tangan Empat gelengkan kepalanya. Dia melirik 

pada Wiro lalu berkata. “Pelawak Sinting, aku tidak suka 

membicarakan hal ihwal yang satu itu!” Wajah datar Hantu 

Tangan Empat tampak keras membesi. 

“Kalau begitu halnya, wahai apa gunanya aku berlama-

lama di tempat ini. Aku ingin menolong tapi yang punya diri 

malah menolak. Jadi aku ini jelas bukan termasuk orang 

yang nafsi-nafsian seperti katamu tadi. Aku mau pergi dulu. 

Tapi wahai Hantu Tangan Empat, ada sesuatu aku mau 

bilang padamu...” kata Pelawak Sinting. 

“Apa?” tanya Hantu Tangan Empat pula. 

“Habis mandi wajah dan tubuhmu kelihatan segar. Tapi 

apa gunanya kesegaran itu kalau habis mandi kau tidak 

berganti pakaian. Masih saja mengenakan pakaian bau 

apek! Ha... ha... ha!”Wajah Hantu Tangan Empat tampak merah. 

Pelawak Sinting lambaikan tangannya lalu sambil putar 

tubuh dan melangkah dia mulai menyanyi. “Na... na... na... 

Ni... ni... ni...” 

Melihat orang hendak pergi Wiro cepat menyusul dan 

menghadang di depan si kakek. 

“Kek, sebelum kau pergi, kau harus mengakui dulu. 

Benar kau yang tadi menolong saya? Lalu bagaimana kau 

bisa tahu saya memiliki Ilmu Belut Menyusup Tanah itu?” 

“Anak muda, lagi-lagi urusan belut yang kau bicarakan! 

Sudah kubilang belut di bawah perutku ini susah aku urusi, 

apalagi belutmu!” Entah jengkel atau marah payung di atas 

kepala si kakek kelihatan turun naik beberapa kali. 

“Jangan terlalu bawel. Jangan salahkan aku kalau nanti 

aku pencet belutmu!” 

Wiro garuk-garuk kepala. Si Pelawak Sinting hendak 

melangkah. Pendekar 212 kembali menghadang. 

“Tapi Kek, saya merasa berhutang budi dan nyawa. 

Selain itu mungkinkah ada hubungan antara kau dengan...” 

“Hutang budi dan nyawa itu tidak ada di alam ini wahai 

anak muda. Yang ada hanya hutang uang atau harta! 

Hutang budi dan hutang nyawa hanya basa basi orang 

geblek agar dianggap beradab! Ha... ha... ha!” Si kakek lalu 

melangkah hendak lanjutkan perjalanan sambil mulutnya 

kembali bernyanyi “Na... na... na... Ni... ni... ni.” Tapi Wiro 

cepat mencegat hingga Pelawak Sinting terpaksa hentikan 

langkahnya. Matanya yang belok memandang lebar-lebar 

namun dia tidak marah malah tersenyum. “Wahai anak 

muda, kau keliwat memaksa. Seolah kau mau mati besok 

dan aku mau meninggal lusa. Mari kuperlihatkan sesuatu 

padamu...” 

Wuttt! 

Payung daun yang sejak tadi bertengger di atas 

kepalanya melesat ke atas, lalu melayang melewati kepala 

Wiro. Selagi Wiro mengangkat kepala, mengikuti payung 

yang melesat dengan pandangan matanya tiba-tiba dia 

merasa ada sambaran angin lewat di bawah

selangkangannya. Begitu dia memandang ke bawah dia 

hanya melihat satu bayangan melesat cepat sekali lalu 

lenyap. Di depan sana waktu dia memperhatikan kembali 

ternyata payung daun milik Pelawak Sinting tak ada lagi. Si 

kakek sendiri juga seolah gaib entah ke mana! 

“Kakek konyol itu...” kata Wiro setengah termangu. “Dia 

menyelinap di celah sempit antara dua kakiku! Satu hal 

yang tak mungkin dilakukan. Kecuali kalau dia mempunyai 

dan mempergunakan Ilmu Belut Menyusup Tanah. 

Sungguh aneh!” 

Tiba-tiba terdengar suara nyanyian. 

“Na... na... na. Ni... ni... ni...” 

Wiro berkelebat ke arah sederetan pohon-pohon besar 

dari arah mana terdengarnya suara nyanyian itu. Tapi dia 

tidak melihat siapa-siapa di tempat itu. 

“Kakek bernama Pelawak Sinting!” teriak Wiro. “Kalau 

saya ketemu kau lagi akan saya dodorkan celanamu 

sampai ke lutut!” 

“Terima kasih kau mau berbuat begitu!” terdengar 

jawaban si kakek di kejauhan. “Jangan marah wahai anak 

muda! Kalau aku sudah melakukan hal itu lebih dulu pada 

dirimu!” 

Wiro terkejut. Dia memandang ke bawah. Astaga! 

Ternyata celananya di bagian belakang telah merosot 

sampai mendekati lutut! 

“Kapan dia melakukannya?! Bagaimana caranya?! 

Gila!” Wiro mencak-mencak sendiri dan cepat-cepat tarik 

celananya ke atas. “Pasti dilakukannya waktu tadi dia 

menyelinap di celah dua kakiku! Huh! Benar-benar sinting 

dan konyol!” Wiro memandang ke arah suara si kakek. 

Ingin sekali dia mengejar. 

Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh lalu berkata. 

“Tak perlu kau kejar kakek itu. Apakah kau tidak mengerti 

arti ucapannya tadi yang mengatakan kelak dia bakal 

menemuimu lagi?” 

Pendekar kita garuk kepala. “Ucapannya yang mana 

Kek?” tanya Wiro.“Wahai! Tadi dia bilang, Wahai anak muda, kau keliwat 

memaksa. Seolah kau mau mati besok dan aku mau 

meninggal lusa...”

Wiro menarik nafas dalam. “Terima kasih atas 

petunjukmu. Mudah-mudahan saya bisa bertemu lagi 

dengan kakek itu. Walau otaknya mungkin kurang beres 

tapi kelihatannya dia baik dan hatinya polos. Bagaimana 

kau tadi bisa mengatakan bahwa dia adalah kaki tangan 

pembantu Hantu Muka Dua?” 

“Anak muda, aku tahu kau punya permusuhan besar 

dengan Hantu Muka Dua. Tapi hal menyangkut urusan Si 

Pelawak Sinting itu tak perlu kita bicarakan. Aku ingin 

tanya. Apa betul kau pemuda yang dulu dibawa oleh 

cucuku Peri Angsa Putih untuk dibuat besar tubuhnya?” 

“Memang betul Kek...” 

“Tapi saat itu aku hanya mampu merubah tubuhmu dan 

dua kawanmu sampai setinggi lutut. Bagaimana kau 

sekarang bisa jadi sebesar ini?” 

Wiro tersenyum. “Sebenarnya saat itu kau juga mampu 

merobah kami jadi sebesar seperti saya sekarang ini Kek. 

Hanya saja kalau tidak salah kau... Kau terganggu gara-

gara melihat Peri Sesepuh yang gembrot itu duduk 

ngongkong. Pahanya yang putih gembul tersingkap ke 

mana-mana. Mungkin juga kau sempat melihat...” 

“Jangan bicara kurang ajar anak muda!” bentak Hantu 

Tangan Empat dengan muka merah padam sedang Wiro 

berusaha agar tawanya tidak menyembur (Mengenai 

riwayat bagaimana Hantu Tangan Empat berusaha 

menolong membesarkan Wiro baca serial Wiro Sableng 

berjudul “Peri Angsa Putih”). 

“Wiro, bagaimana sekarang tubuhmu bisa jadi sebesar 

ini. Siapa yang menolongmu? Apakah kau telah bertemu 

dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?” 

“Belum Kek. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab susah 

dicarinya. Yang menolong saya adalah seorang sakti yang 

disebut dengan nama Hantu Raja Obat. Orangnya gemuk. 

Di kepalanya ada sorban dan belanga tanah...”“Aku tahu dan kenal makhluk satu itu. Dia angin-

anginan. Beruntung besar kau mendapat pertolongan dari 

dia. Biasanya dia suka membunuh siapa saja yang tidak 

disukainya. Lalu isi perut orang itu dibedolnya dan 

dimasukkan ke dalam belanga di atas kepalanya...” 

“Hueekkk!” Wiro tercekik dan seperti mau muntah 

mendengar ucapan Hantu Tangan Empat itu hingga si 

kakek mengerenyit heran. Sebelum ditanya Wiro sudah 

menerangkan. “Anu Kek... Saya... Justru saya bisa jadi 

besar begini setelah minum air godokan yang ada dalam 

belanga itu... Huek!” 

Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh. 

“Untuk mendapatkan sesuatu seseorang memang 

harus berkorban. Itulah hidup. Kau masih untung cuma 

disuruh minum air godokan, bukannya digodok masuk ke 

dalam belanganya oleh Hantu Raja Obat. Bagaimana 

dengan dua temanmu yang lain. Di mana mereka 

sekarang?” 

“Mereka kurang beruntung...” Lalu Wiro menceritakan 

apa yang dialami Naga Kuning dan Si Setan Ngompol 

(sebagaimana yang dituturkan dalam serial Wiro Sableng 

berjudul “Rahasia Bayi Tergantung”). 

“Sekarang dua sahabat saya itu masih dalam saat-saat 

penantian sampai mereka berdua diperbolehkan meneguk 

obat dalam cangkir tanah itu...” 

“Rahasia hidup memang pelik. Tapi jika kita bisa 

menyelami dengan hati bersih dan kepala sehat pasti lebih 

banyak manfaat yang bisa kita dapati...” 

Wiro hanya manggut-manggut mengiyakan. Lalu dia 

ingat akan ucapan Si Pelawak Sinting tadi. “Kek, 

bagaimanapun kau pernah menolong saya dan kawan-

kawan. Sebagai tanda terima kasih...” 

“Aku tidak pernah memberikan pertolongan disertai 

pamrih. Lagi pula aku menolongmu mengingat cucuku 

sendiri, Peri Angsa Putih yang meminta. Sebenarnya aku 

telah menghadang satu bahaya sangat besar dengan 

melakukan hal itu...”“Itu sebabnya, maksud saya Kek, kalau ada sesuatu 

yang bisa saya lakukan untukmu...” 

“Tak ada yang bisa kau lakukan wahai anak muda. Juga 

tidak ada yang aku minta padamu... Kecuali, ada satu 

pertanyaanku...” 

“Silakan saja kau bertanya. Siapa tahu aku memang 

bisa menjawab.” kata Wiro pula. 

“Di mana beradanya batu tujuh warna yang disebut 

Batu Sakti Pembalik Waktu itu...” 

Wiro pandangi wajah datar Hantu Tangan Empat 

beberapa lamanya. Dalam hati dia berkata, “Kakek ini 

agaknya masih menginginkan batu itu. Berarti dia masih 

berada di bawah perintah Hantu Muka Dua...” 

“Maafkan saya Kek. Saya tak dapat memberikan 

jawaban. Terakhir sekali batu itu berada di tangan kakek 

sahabat saya bernama Si Setan Ngompol. Batu kemudian 

hilang lenyap. Tidak diketahui di mana beradanya...” 

“Apakah batu sakti itu hilang ketika kalian masih 

berada di negeri seribu dua ratus tahun mendatang atau di 

Negeri Latanahsilam ini...” tanya Hantu Tangan Empat. 

“Batu itu hilang di sini Kek. Belum lama setelah kami 

berada di negeri ini...” 

Hantu Tangan Empat termenung. Wiro tak dapat 

menduga apa yang ada dalam benak orang ini. Maka 

diapun berkata. “Kek, harap kau tidak marah. Dari ucapan 

Si Pelawak Sinting tadi kau agaknya mempunyai satu 

masalah besar yang kau tak sudi saya mendengarnya. Lalu 

kalau setelah kau menolong saya masalahmu menjadi 

tambah besar, rasanya pantas-pantas saja kalau saya kini 

ingin membalas budi...” 

Hantu Tangan Empat tertawa tawar. “Di negerimu 

memang ada ujar-ujar Ada ubi ada talas. Ada budi ada 

balas. Tapi Negeri Latanahsilam lain. Di sini memang ada 

ubi tapi tak ada talas. Yang ada hanya tuba. Berarti 

seseorang yang berbuat budi, bisa saja mendapatkan tuba 

sebagai balasannya!” 

“Tapi Kek, saya dan juga kawan-kawan tidak akanberlaku sejahat itu. Malah...” Wiro hentikan kata-katanya. 

Dia bertanya-tanya dalam hati apa ada perlunya 

meneruskan bicara dengan kakek satu ini? 

Melihat Wiro memutus ucapannya, Hantu Tangan 

Empat malah bertanya. “Wahai! Mengapa kau tidak 

meneruskan kata-katamu?” 

“Kek, saya tidak mengungkit cerita lama. Tapi jika kita 

bisa bicara dengan hati bersih dan kepala sehat seperti 

katamu tadi, segala ganjalan yang ada pasti bisa 

dihadapi...” 

“Anak muda, usiamu baru seumur tempurung...” 

“Di negeriku orang biasa menyebut seumur jagung!” 

memotong Wiro sambil menyeringai. 

“Di sana jagung berarti tiga sampai empat tahun. Di sini 

tempurung berarti tujuh belas sampai dua puluh lima 

tahun. Bukankah usiamu sekitar usia tempurung itu wahai 

anak muda?” 

Murid Sinto Gendeng jadi terdiam sesaat. “Kakek Hantu 

Tangan Empat, kalau kau tak mau dibantu, rasanya tidak 

ada yang ingin memaksa. Namun jika saya ingat sewaktu 

muncul di tanah Jawa kau punya niat hendak membunuh 

saya dan dua kawan saya, lalu sesampainya di sini kau 

ternyata malah berbuat baik menolong kami, rasanya ada 

sesuatu yang tak bisa saya mengerti...” 

“Hari ini berbuat jahat, besok berbuat baik. Atau 

sebaliknya. Hari ini melakukan kebaikan, lusa melakukan 

kejahatan. Bukankah memang begitu hidupnya manusia?” 

ujar Hantu Tangan Empat. 

“Benar Kek, tapi rasanya tidak begitu dengan keadaan 

dirimu. Kau melakukan niat buruk dan perbuatan baik 

karena ada sesuatu yang memaksamu berbuat begitu...” 

“Anak muda, kau tahu apa soal hidup. Apa lagi soal 

hidupku. Yang penting aku tidak jadi membunuhmu, malah 

menolongmu. Kau harus bersyukur...” 

“Saya dan kawan-kawan memang bersyukur dan 

berterima kasih padamu... Kek, apakah semua ini gara-

gara Hantu Muka Dua?”“Jangan hubungkan diriku dengan makhluk satu itu!” 

hardik Hantu Tangan Empat tapi sambil membuang muka, 

memandang ke jurusan lain. 

“Kek, kau membuat aku tambah tidak mengerti. Dulu 

jelas-jelas sekali kau bilang kau diperintah Hantu Muka 

Dua untuk membunuh kami bertiga dan mencari batu sakti 

tujuh warna itu. Sikap dan ucapanmu membuat saya tidak 

tahu apa sebenarnya hubunganmu dengan Hantu Muka 

Dua...” 

Karena Hantu Tangan Empat tak memberikan jawaban 

maka Wiro melanjutkan ucapannya tadi. “Kek, ketahuilah 

jika ada kesempatan menemui Hantu Muka Dua saya akan 

membuat perhitungan dengan makhluk satu itu! Kalau 

tidak dia akan mendahului membunuh saya dan kawan-

kawan. Di negeri saya ada seorang tokoh silat bernama 

Pangeran Matahari. Dia manusia sejuta jahat yang dijuluki 

Pendekar Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala 

Licik, Segala Congkak. Tapi ternyata Hantu Muka Dua jauh 

lebih jahat dari Pangeran Matahari. Sesuai dengan 

julukannya Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu. 

Dia bukan saja menyuruhmu membunuh saya dan kawan-

kawan, tapi juga pernah menugaskan seorang penghuni 

pulau bernama Tringgiling Liang Batu dan anak angkatnya 

bernama Hantu Jatilandak untuk mempesiangi kami 

bertiga. Begitu nyawa kami dihabisi, darah kami akan 

dipakai untuk merendam sebilah senjata. Untung kami bisa 

selamat. Lalu terakhir kali dia menugaskan Lagandrung 

dan Lagandring untuk membunuhmu, sekaligus 

menghabisi saya...” 

“Jangan kau berani menyentuh Hantu Muka Dua wahai 

anak muda bernama Wiro...” 

“Aneh, mengapa kau berkata begitu Hantu Tangan 

Empat?” tanya Wiro keheranan. 

“Makhluk itu menguasai...” 

Di tanah tiba-tiba ada satu bayang-bayang besar 

bergerak berputar-putar. Hantu Tangan Empat mendongak 

ke atas Wiro ikut-ikutan memandang ke langit. Tinggi diudara tampak sebuah benda putih melayang berputar-

putar. Makin lama makin rendah. 

“Angsa raksasa. Siapa lagi penunggangnya kalau bukan 

Peri Angsa Putih. Kelihatannya dia hendak menuju ke 

sini...” kata Wiro dalam hati begitu dia mengenali angsa 

putih bernama Laeputih yang jadi tunggangan Peri Angsa 

Putih itu. 

“Kakek Hantu Tangan Empat, kebetulan sekali cucumu 

Peri Angsa Putih muncul di sini...” Wiro berucap sambil 

berpaling ke samping. Tapi kakek muka datar yang hati 

dan jalan pikirannya susah diraba itu ternyata tidak ada 

lagi di sebelahnya. 

***


TUJUH


PERI BUNDA sejak tadi diam-diam memperhatikan 

tingkah laku Peri Angsa Putih. Sambil tersenyum 

akhirnya dia menegur. “Wahai Peri Angsa Putih, Peri 

tercantik dari segala Peri. Lain sekali kulihat tingkah 

lakumu hari ini...” 

“Wahai Peri Bunda, lain bagaimana maksudmu?” tanya 

Peri Angsa Putih sementara matanya terus saja menatap 

ke dalam cermin di dinding batu, memperhatikan wajahnya 

sambil sesekali mengusap pipi kiri dan kanan. 

“Sejak pagi kau bangun, kau telah pergi ke telaga. 

Mandi sambil menyongsong terbitnya sang surya. Dalam 

telaga kau bernyanyi ceria sambil menggosok tubuhmu 

dengan bunga Sri Melati. Bunga langka yang hanya 

dipergunakan para gadis yang hendak melangsungkan 

perkawinan...” 

Peri Angsa Putih tertawa panjang. “Lucu kedengarannya 

ucapanmu wahai Peri Bunda. Apa kau menduga aku ini 

hendak pergi kawin? Hik... hik... hik. Kawin dengan siapa, 

wahai Peri Bunda?” 

“Aku tidak mengatakan kau akan kawin wahai Peri 

Angsa Putih. Kelainan sikapmu hari ini sungguh membuat 

aku heran. Sehabis mandi kau berganti pakaian. Kau 

mengenakan pakaian panjang sutera putih 

kesenanganmu. Tapi sekali ini kau tambah dengan sehelai 

selendang sutera biru sebiru bola matamu. Lalu kau berdiri 

di cermin berlama-lama, berhias bersenyum-senyum...” 

“Wahai! Tidak kusangka kau memperhatikan aku 

sampai begitu teliti wahai Peri Bunda. Tak ada yang lain 

pada diriku. Kalau aku mandi di telaga berlama-lama,berlangir bunga Sri Melati, lalu berpakaian dengan hiasan 

selendang sutera biru, lalu berhias di depan cermin 

mematut diri, itu karena hari ini aku ingin turun ke Negeri 

Latanahsilam...” 

“Wahai! Justru itulah yang menjadi tanda tanya besar 

bagiku, Peri Angsa Putih. Biasanya setiap pergi ke Negeri 

Latanahsilam, kau berdandan apa adanya. Aku khawatir 

ada seseorang yang menunggumu di Latanahsilam. Dewa 

muda dan gagah yang manakah dia wahai Peri Angsa 

Putih?” 

Peri Angsa Putih tertawa kembali. “Kau ini ada-ada saja 

wahai Peri Bunda. Jika ada Peri yang ditunggu Dewa maka 

kaulah Perinya...” Peri Angsa Putih melangkah mendekati 

Peri Bunda. Sambil memegang lengan Peri Bunda, Peri 

Angsa Putih berkata. “Bukankah dulu kita pernah 

berbincang betapa jenuhnya hidup di alam kita ini. Betapa 

kita merindukan sesuatu yang lain. Betapa kita ingin 

berada dalam satu alam bebas tanpa ikatan, tanpa aturan 

yang terasa menekan kepala menjepit kaki...” 

“Wahai Peri Angsa Putih, teruskan bicaramu. Tapi lebih 

perlahan. Jangan sampai ada Peri lain yang mendengar. 

Terutama Peri Sesepuh. Bisa celaka kita berdua...” 

Peri Angsa Putih memandang berkeliling. Bila 

dirasakannya aman maka diapun berkata. “Aku berani 

bicara karena bukankah dulu kita telah pernah berbincang 

tentang makin menipisnya batas antara kita para Peri 

dengan manusia di bawah langit?” 

“Ya, aku ingat hal itu. Tapi apa hubungannya dengan 

sikapmu yang aneh hari ini? Apakah secara diam-diam kau 

telah membina hubungan tertentu dengan seseorang di 

bawah sana?” 

Peri Angsa Putih mengulum senyum yang membuat Peri 

Bunda menjadi berdebar. “Wahai kerabatku Peri Angsa 

Putih. Jangan kau berani berbuat menyalahi aturan. Kau 

pasti tahu betul apa yang terjadi dengan Luhmintari, peri 

yang melanggar larangan dan melakukan perkawinan 

dengan Lahambalang hingga melahirkan seorang anakdijuluki Hantu Jatilandak. Apa kau ingin menerima nasib 

seperti Luhmintari itu wahai kerabatku?” (Mengenai Hantu 

Jatilandak baca serial Wiro Sableng sebelum ini berjudul 

“Hantu Jatilandak”). 

“Luhmintari...” ujar Peri Angsa Putih dengan suara 

perlahan dan bergetar. “Kerabat kita yang malang itu 

menemui ajal dengan perut pecah ketika melahirkan 

bayinya si Jatilandak. Dan kini dia mendekam menjadi 

patung batu akibat kutukan para Dewa serta Peri. Tidak, 

wahai Peri Bunda, aku tidak ingin mengalami nasib seperti 

Luhmintari...” 

“Lalu siapakah yang hendak kau jelang di negeri 

Latanahsilam?” tanya Peri Bunda pula. 

“Terus terang, aku terbuai dan tergoda oleh mimpi...” 

kata Peri Angsa Putih. 

“Wahai!” kata Peri Bunda setengah berseru. “Maukah 

kau menceritakan apa mimpimu itu wahai Peri Angsa 

Putih?” 

Peri Angsa Putih kembali pegang dua lengan Peri 

Bunda. Dengan tersenyum dia berkata. “Mimpi adalah 

kembangnya tidur yang terkadang tidak pernah menjadi 

kenyataan. Terus terang, sebenarnya, ngggg... Aku pergi ke 

Negeri Latanahsilam untuk menemui...” 

“Kalau kau bukan menemui seorang pemuda, wahai 

apakah kau berhajat hendak bersua dengan seorang 

duda?” Peri Bunda memotong. 

“Duda? Siapa maksudmu Peri Bunda?” tanya Peri 

Angsa Putih. Wajahnya merona kemerahan. 

“Maaf kalau aku salah menduga. Tapi bukankah kau 

sejak lama jatuh hati terhadap Lakasipo, lelaki gagah 

kematian istri dan memiliki ilmu sangat tinggi itu?” Peri 

Bunda perhatikan wajah kerabatnya itu. “Wahai! Parasmu 

kulihat menjadi merah. Pertanda dugaanku tidak meleset!” 

Peri Angsa Putih berusaha tersenyum. Peri Bunda 

lantas peluk sosok kerabatnya itu seraya berkata perlahan. 

“Wahai Peri Angsa Putih. Walau sosok kita adalah sosok 

Peri, tapi memang tak bisa dipungkiri hati nurani dan jiwarasa kita tak banyak bedanya dengan manusia para 

penghuni Negeri Latanahsilam. Namun berhati-hatilah 

dalam bertindak. Jangan hati dan perasaanmu menipu 

jalan sehat akal pikiranmu. Pikirkan pula tantangan serta 

akibat yang akan terjadi jika sampai kau jatuh cinta pada 

orang yang tidak satu darah dengan turunan kita. 

Renungkan contoh akibat yang telah terjadi. Akupun 

kadang-kadang sulit keluar dari perasaan seperti ini walau 

sampai saat ini aku masih bisa bertahan. Tapi sampai 

kapan...?” 

Peri Angsa Putih sangat terharu mendengar kata-kata 

Peri Bunda itu. Dipeluknya erat-erat kerabatnya itu seraya 

berkata. “Wahai Peri Bunda, Simpul Agung Dari Segala 

Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan. Terima kasih 

atas semua ucapan dan nasihatmu. Tapi ketahuilah, aku 

turun ke Negeri Latanahsilam bukan untuk menemui 

Lakasipo. Aku berhasrat mencari kakekku, Hantu Tangan 

Empat. Seperti kau ketahui sampai saat ini dia masih 

berada dalam kesulitan. Dan setiap kutanya dia tidak 

pernah menjelaskan apa kesulitannya itu. Hanya dari sikap 

dan tindakannya yang aneh-aneh aku menduga dia seolah 

berada di bawah satu tekanan yang sulit dilepaskan.” 

“Oh... Begitu? Jadi kau sebenarnya berniat mencari 

kakekmu sendiri. Kalau demikian pergilah selagi hari masih 

pagi.” kata Peri Bunda pula walau diam-diam hatinya 

berdetak bahwa Peri Angsa Putih yang cantik dan bermata 

biru itu berdusta padanya. 

“Aku pergi wahai Peri Bunda.” 

“Selamat jalan Peri Angsa Putih. Jangan terlalu lama di 

Latanahsilam. Aku khawatir Peri Sesepuh memerlukan 

sesuatu dan mencarimu...” 

“Aku tidak akan berlama-lama. Sebelum senja 

menjelang aku pasti sudah kembali ke sini.” Peri Angsa 

Putih putar tubuhnya dan tinggalkan Peri Bunda. 

Sesaat setelah Peri Angsa Putih berlalu, Peri Bunda 

tegak merenung. Tapi tidak lama. Seolah tidak sadar Peri 

Bunda bicara sendirian. “Dari sikap dan caranya

berdandan, sekali ini aku tidak yakin kalau dia turun ke 

Latanahsilam untuk menemui kakeknya Hantu Tangan 

Empat. Lalu jika kuhubung-hubungkan ucapannya 

menyangkut hubungan antara manusia dengan para Peri, 

aku menaruh curiga. Jangan-jangan dia menemui 

seseorang. Dia tidak mengaku menemui Lakasipo. Padahal 

sewaktu Luhjelita muncul dan merayu Lakasipo dia kecewa 

setengah mati. Lalu siapa sebenarnya yang hendak ditemui 

gadis itu? Aku harus menyelidik...” 

Tanpa menunggu lebih lama Peri Bunda segera pula 

tinggalkan tempat itu tanpa mengetahui bahwa di balik 

sehelai tirai tebal dalam ruangan tersebut sejak tadi Peri 

Sesepuh yang gemuk putih bermuka gembrot dan selalu 

keringatan memperhatikan kelakuannya dan mendengar 

apa yang diucapkan. 

*** 

Laeputih, si angsa raksasa putih tunggangan Peri cantik 

bermata biru melayang berputar dua kali di udara. Sambil 

melayang dan perlahan-lahan merendah Peri Angsa Putih 

perhatikan sosok tegap di tepi telaga. 

“Dewa Agung!” kata sang Peri. “Mimpiku benar adanya. 

Wahai! Orang itu adalah pemuda dari negeri seribu dua 

ratus tahun mendatang. Ke mana lenyapnya kakekku 

Hantu Tangan Empat tidak aku pikirkan. Yang aneh 

bagaimana tahu-tahu sosoknya telah berubah sebesar 

sosok orang-orang di Negeri Latanahsilam. Apakah dia 

telah menemui Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan 

berhasil mendapat pertolongan? Wahai, banyak cerita yang 

akan kutanyakan padanya... Laeputih angsa tungganganku, 

terbanglah lebih rendah. Turun di tepi air terjun sebelah 

timur.” 

Angsa putih raksasa tunggangan Peri Angsa Putih 

keluarkan suara menguik panjang tanda mengerti ucapan 

sang Peri lalu perlahan-lahan binatang ini melayang turun 

ke arah timur Air Lajatuh.Sesaat lagi binatang ini akan hinggap di lamping batu 

dekat air terjun tiba-tiba sepasang mata biru Peri Angsa 

Putih membesar. Wajahnya berubah. 

“Laeputih, jangan turun ke tanah. Melayang ke balik 

batu sebelah sana. Aku melihat seseorang berusaha 

mendahului kita menemui pemuda di tepi telaga itu...” 

Di tepi telaga Pendekar 212 Wiro Sableng tampak 

heran ketika tiba-tiba angsa putih raksasa lenyap dari 

pemandangan. Lalu tahu-tahu sebuah makhluk berwarna 

coklat melesat di udara. Di lain kejap makhluk ini telah 

mendarat tujuh langkah di hadapannya. 

Sang makhluk ternyata adalah seekor kura-kura 

raksasa berwarna coklat yang memiliki dua sayap lebar 

hingga mampu melayang terbang di udara. Di atas 

punggung kura-kura raksasa ini duduk seorang gadis jelita 

berkulit putih yang rambutnya digulung di atas kepala. 

Pakaiannya terbuat dari kulit kayu berwarna jingga. Di dada 

dan pinggang dihias dengan kalungan bunga. Untuk 

beberapa lamanya gadis di atas kura-kura itu menatap 

tajam ke arah Wiro. Lalu lontarkan senyum yang sangat 

memikat. Barisan gigi-giginya putih, rata berkilat. Sesaat 

dia rapikan gulungan rambutnya. Senyumnya masih belum 

pupus ketika tiba-tiba dia melompat dari punggung kura-

kura raksasa dan sesaat kemudian telah berdiri di 

hadapan Wiro dengan gaya yang benar-benar mempesona. 

“Luhjelita...” desis Peri Angsa Putih dengan suara 

bergetar, “Aku keduluan...” Hawa cemburu serta merta 

menjalari diri Peri ini hingga wajahnya yang cantik kelihatan 

menjadi merah. “Bagaimana dia tahu-tahu bisa muncul di 

sini. Dulu ketika aku berusaha mendekati Lakasipo, dia 

juga yang mendahului. Malah memikat lelaki itu hingga 

bisa dibawa ke tempat kediamannya di Goa Pualam 

Lamerah. Sekarang dia lagi yang menghambat jalanku. 

Apakah dia? Kalau tahu kejadiannya akan seperti ini...” 

Peri Angsa Putih gigit bibirnya. Matanya tak berkesip 

memperhatikan gadis cantik penunggang kura-kura 

terbang bernama Luhjelita itu. Dalam kecemburuan,hatinya juga merasa sangat risau. “Aku khawatir dia 

sengaja menemui pemuda itu untuk melakukan sesuatu. 

Bukankah dia tengah mencari satu ilmu? Bukan mustahil 

pemuda itu berada dalam bahaya. Wahai, apa yang harus 

aku lakukan?” Peri Angsa Putih kepal-kepalkan sepuluh jari 

tangannya. 

“Pemuda gagah berambut panjang berwajah tampan! 

Kau pasti lupa padaku! Tapi aku tidak lupa padamu!” 

Luhjelita berkata sambil terus mengulum senyum dan 

melangkah melenggak-lenggok mendekati Wiro. Ketika dia 

berhenti, jarak mereka hanya terpisah kurang dari dua 

langkah. 

Di balik lamping batu Peri Angsa Putih kelihatan asam 

parasnya. Dalam hati dia berkata. “Huh! Gadis bernama 

Luhjelita! Siapa yang tidak tahu sifatmu! Semua lelaki 

hendak kaujadikan korban kegenitanmu! Bermain senyum 

di bibir, menyembunyikan keculasan di lubuk hati!” 

Di hadapan gadis cantik berpakaian jingga itu murid 

Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Coba mengingat-

ingat. Di tempat perlindungannya Peri Angsa Putih diam-

diam berkata setengah berdoa. “Kau harus ingat! Kau 

harus tahu siapa adanya gadis itu! Wahai! Jangan sampai 

kau tertipu!” 

Wiro berhenti menggaruk-garuk kepala. Kini jari-jari 

tangan kanannya dipakai untuk memijit-mijit keningnya. 

Lalu mulutnya tersenyum lebar. “Aku ingat siapa adanya 

kau, gadis cantik bertubuh elok...” 

“Wahai jangan keliwat memuji. Wajahku tidak cantik 

dan tubuhku buruk!” kata gadis di hadapan Wiro tapi 

sambil tersenyum dan lemparkan kerlingan mata. Dia maju 

sedikit dan berjingkat hingga dia bisa dekatkan wajahnya 

ke muka Wiro. “Kalau kau benar ingat siapa diriku, coba 

kau katakan.” 

“Kau bernama Luhjelita. Kita bertemu pertama kali di 

tepi telaga Lasituhitam. Waktu itu aku bersama dua 

temanku dan seorang saudara angkat bernama Lakasipo. 

Kami terpaksa berpisah dengan Lakasipo karena dia harusmenolong seorang gadis bernama Luhtinti dan juga karena 

kau memintanya untuk datang ke sebuah goa. Kalau tidak 

salah goa itu bernama Goa Pualam Lamerah!” 

“Wahai! Ingatanmu ternyata sangat cerah! Secerah fajar 

menyingsing di pagi hari!” memuji Luhjelita. Namun diam-

diam dia merasa khawatir apakah pemuda gagah 

berambut gondrong itu tahu apa yang kemudian terjadi di 

dalam goa? 

Murid Sinto Gendeng memang tidak suka dengan 

pujian itu. Dia mendengar dari Lakasipo gara-gara 

mendatangi Luhjelita di goa tersebut Lakasipo hampir 

menemui ajal di tangan Hantu Muka Dua. Luhtinti sendiri 

mendapat celaka (Baca serial Wiro Sableng di Negeri 

Latanahsilam berjudul “Peri Angsa Putih”). 

“Luhjelita, apa kemunculanmu ini hendak bertanyakan 

hal ihwal menyangkut Lakasipo?” Wiro ajukan pertanyaan. 

“Wahai, memang banyak yang hendak kubicarakan 

dengan lelaki gagah berkaki batu itu. Tapi aku tak tahu dia 

entah berada di mana...” 

“Aku menduga Lakasipo adalah kekasihmu. Kalau 

benar masakan tidak tahu sang kekasih berada di mana?” 

Paras Luhjelita menjadi bersemu merah. 

“Kena batunya kau wahai Luhjelita!” kata Peri Angsa 

Putih yang masih terus mengintai di balik lamping batu. 

Walau dia merasa jengah dengan ucapan Wiro tadi 

namun Luhjelita keluarkan suara tawa merdu. “Orang 

sehebat dan segagah Lakasipo, masakan sudi 

menjatuhkan hati terhadapaku gadis jelek begini rupa? Dia 

hanya pantas untuk pasangan para Peri di atas langit 

sana!” Habis berucap begitu kembali Luhjelita tertawa 

panjang dan merdu. 

Di balik lamping batu, kini Peri Angsa Putih yang 

menjadi tidak enak. “Jangan-jangan gadis liar itu tahu 

kalau aku bersembunyi di tempat ini. Apa yang harus 

kulakukan? Pergi saja dari tempat ini?” Sang Peri sesaat 

merasa bingung dan juga jengkel. Kalau belum bertemu 

dan bertegur sapa dengan Wiro rasanya belum puashatinya. Maka dia mengambil keputusan untuk tetap saja 

mendekam di balik batu ini. 

“Itu tidak mungkin, Luhjelita. Peri tidak mungkin kawin 

dengan manusia biasa. Aku tahu benar hal itu... Kalau itu 

sampai terjadi akibatnya sungguh luar biasa...” 

“Wahai sahabat muda berambut panjang! Belum 

berbilang tahun kau berada di Negeri Latanahsilam ini, 

banyak hal yang sudah kau ketahui. Namun jangan kau 

menduga bahwa makhluk bernama Peri itu selalu berada 

dalam kehidupan yang serba suci. Banyak di antara 

mereka yang tersesat dan melanggar pantangan. Salah 

satu di antaranya adalah peri yang kawin dengan seorang 

manusia biasa bernama Lahambalang hingga melahirkan 

seorang anak kutukan. Berbentuk manusia tapi tubuhnya 

penuh dengan duri seperti landak! Dan kurasa saat ini atau 

di masa mendatang semakin banyak para Peri yang 

menjadi liar dan memilih jalan sesat karena tidak bisa 

bertahan terhadap tantangan gelora nafsu. Bukan mustahil 

kau sendiri bisa-bisa sudah menjadi incaran mereka. Hati-

hatilah kau wahai Wiro...” 

Baru saja Luhjelita selesai berucap tiba-tiba berkelebat 

satu bayangan putih disertai bentakan menggeledek. 

“Gadis bernama Luhjelita! Jahat sekali mulutmu! Bisa 

apa yang ada di hatimu hingga berani menghina kami 

bangsa Peri dari atas langit?!” 

Wiro terkejut dan cepat melompat mundur karena 

mendadak ada angin yang menyapu hebat. Luhjelita sama 

sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kaget. Pertanda dia 

memang sudah tahu kehadiran orang yang barusan 

berkelebat dari balik lamping batu sana. Itu sebabnya 

malah dia sengaja mengeluarkan ucapan melecehkan tadi. 

***



DELAPAN


WALAU tidak kaget tapi Luhjelita tetap berlaku 

waspada. Begitu angin dahsyat menerpa, gadis ini 

segera melompat mundur. Sosoknya melayang 

setengah jengkal di udara. Begitu turun injakkan kaki di 

tanah dia keluarkan suara tawa. 

“Wahai! Tidak disangka! Ada Peri yang sengaja 

menyelinap sembunyikan diri untuk mencuri dengar 

pembicaraan orang! Itu satu bukti bahwa bangsa Peri 

memang tidak berhati polos dan berjiwa berani!” 

Peri Angsa Putih tegak rangkapkan dua tangan di depan 

dada. Walau mukanya merah dan hati serta telinganya 

panas mendengar ucapan Luhjelita bahkan sebelumnya 

sengaja menghantam dengan dorongan angin 

mengandung tenaga dalam tinggi, namun saat itu dia 

masih mampu menekan hawa amarah yang menguasai 

dirinya. Dengan suara tenang sambil permainkan ujung 

selendang biru yang melingkar di lehernya dia berkata. 

“Kepolosan hati dan keberanian juga tidak menjadi milik 

satu golongan. Tapi tergantung pada diri orang masing-

masing. Belakangan ini banyak sekali orang yang pandai 

bermanis mulut padahal menyimpan hati culas 

menyembunyikan maksud jahat. Luhjelita siapa dirimu 

banyak orang yang sudah tahu. Kalau boleh aku bertanya, 

siapa lagi yang telah menjadi korban bujuk rayumu setelah 

terakhir kau mendapatkan sesuatu dari Lakasipo lalu 

meninggalkan lelaki itu begitu saja?” 

Berubahlah paras Luhjelita mendengar kata-kata Peri 

Angsa Putih itu. Gadis berpakaian warna jingga ini melirik 

sekilas pada Wiro yang berdiri memandang saling berganti

pada dua gadis cantik itu sambil garuk-garuk kepala. 

“Wajahmu berubah pucat! Wahai! Satu pertanda bahwa 

ucapanku tadi tepat menghunjam di lubuk hatimu!” Peri 

Angsa Putih sambung ucapannya. 

“Peri Angsa Putih, sungguh kau tidak bermalu. Kau 

tergila-gila pada Lakasipo! Namun lelaki itu tidak 

mempedulikanmu. Buktinya dia meninggalkanmu begitu 

saja dan ikut aku ke Goa Pualam Lamerah! Apakah di atas 

langit sana tidak ada pemuda yang cocok menjadi 

pasanganmu hingga kau mengejar-ngejar Lakasipo. Kali ini 

kau turun ke Latanahsilam pasti tengah mengintai mangsa 

baru!” Lalu Luhjelita berpaling pada Pendekar 212 Wiro 

Sableng. “Sahabatku pemuda gagah, berhati-hatilah. 

Bukan mustahil kau yang ada dalam incarannya!” 

“Bermanis mulut, berminyak kata. Menyebar fitnah 

menyembunyikan keculasan. Itulah salah satu sifat buruk 

di Negeri Latanahsilam. Semula kusangka hanya kaum 

lelakinya saja yang berbuat seperti itu. Ternyata kau 

perempuan dan para gadis sudah ikut ketularan. Sungguh 

malang dirimu wahai Luhjelita! Kau yang dikenal dengan 

gadis puluhan kekasih, apakah perlu aku sebutkan satu 

persatu siapa saja mereka itu? Apakah masih belum puas 

hingga kini memutar balik kenyataan. Padahal sebenarnya 

kau tengah berusaha agar pemuda asing itu jatuh di 

tanganmu? Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan 

pemuda bernama Wiro Sableng itu. Jika kau merasa 

mampu merayu dan ingin memilikinya silakan saja. Akan 

kulihat apakah dia mau ikut bersamamu!” 

Ditantang seperti itu panaslah hati Luhjelita. Dalam hati 

timbul tekadnya, apapun yang terjadi Wiro harus bisa 

diajaknya pergi. 

“Peri dari atas langit! Jangan keliwat takabur karena 

merasa diri paling sakti dan paling cantik! Aku akan 

buktikan padamu sebentar lagi bahwa pemuda ini akan 

sudi ikut bersamaku. Tapi sebelum itu kulakukan, aku ingin 

memberi pelajaran bersopan santun padamu!” 

Habis berkata begitu Luhjelita dorongkan tangankanannya ke arah Peri Angsa Putih. Selarik sinar berwarna 

jingga menggebubu. Peri Angsa Putih berseru kaget dan 

cepat menghindar sembari kibaskan lengan pakaiannya 

yang berupa gulungan sutera putih. 

Dessss! 

Sinar jingga serangan Luhjelita laksana menghantam 

bantalan kapas lalu buyar. Tahu bahwa dalam kekuatan 

hawa sakti dia tak bakal dapat mengungguli sang Peri, 

Luhjelita menyergap ke depan, lancarkan serangan tangan 

kosong. Cepat dan beruntun tak berkeputusan. Mendapat 

serangan sangat gencar begitu rupa Peri Angsa Putih tetap 

berlaku tenang. Gerakan-gerakannya sebat dan enteng. 

Namun karena kalah cepat dengan serangan berantai yang 

dilancarkan lawan, jurus demi jurus sang Peri akhirnya 

tertekan dan terdesak hebat. Melihat hal ini Pendekar 212 

Wiro Sableng segera berteriak. 

“Hentikan perkelahian!” 

Tapi tak satupun dari dua gadis cantik itu yang mau 

mendengar. Mau tak mau murid Sinto Gendeng terpaksa 

melompat ke tengah kalangan perkelahian. Tapi dia 

ketiban nasib sial. Dia melintang di antara dua gadis itu 

pada saat Peri Angsa Putih lancarkan satu pukulan kilat ke 

arah Luhjelita. Namun karena sosok Wiro melintang di 

depan maka hantaman Peri Angsa Putih mendarat telak di 

dada kanan sang Pendekar. 

Bukkkk! 

Wiro terjajar ke belakang sampai tiga langkah. Salah 

satu lututnya tertekuk dan tubuhnya hampir roboh kalau 

dia tidak cepat pergunakan tangan kanan untuk bertopang 

ke tanah. Peri Angsa Putih terpekik pucat ketika melihat 

apa yang terjadi. Saat itu justru tamparan tangan kanan 

Luhjelita berkelebat ke depan. 

Plaaakkk! 

Tamparan keras mendarat di pipi kiri Peri Angsa Putih. 

Peri bermata biru ini terpekik kesakitan. Darah mengucur 

di sudut kiri mulutnya. Meski menahan sakit akibat 

pukulan yang kesalahan menghantam dadanya, namunmelihat darah yang mengucur di sudut pipi Peri Angsa 

Putih, Wiro jadi memelas. Selain itu dia merasa ikut 

bersalah. Peri Angsa Putih berlaku lengah karena tadi telah 

kesalahan tangan memukul dirinya. Dengan cepat dia 

robek lengan kiri baju putihnya lalu menyeka darah di pipi 

sang Peri. Belum sempat darah itu disapunya tiba-tiba 

Luhjelita menarik tangan kiri Wiro seraya berkata. 

“Wiro! Tak ada gunanya berbaik hati pada Peri bermata 

biru itu. Apa kau tidak tahu kalau Hantu Tangan Empat 

kakeknya adalah kaki tangan Hantu Muka Dua! 

Kematianmu dan kawan-kawan sudah masuk dalam 

rencana mereka!” 

“Aku sudah tahu siapa Hantu Tangan Empat, siapa pula 

Hantu Muka Dua!” jawab Wiro seraya berusaha menarik 

tangannya yang dibetot. 

Namun entah apa yang dilakukan Luhjelita saat itu 

mendadak Wiro merasakan tubuhnya sebelah kiri menjadi 

lemas. Di lain saat dia sudah ditarik naik ke atas punggung 

kura-kura raksasa. Binatang ini segera mengepakkan dua 

sayapnya. 

Melihat apa yang terjadi Peri Angsa Putih cepat 

berteriak. “Wiro! Jangan dengar kata-katanya! Jangan ikut 

bersama dia! Dia justru adalah kekasih Hantu Muka Dua!” 

Di atas kura-kura raksasa bernama Laecoklat itu 

Pendekar 212 jadi bingung. Dia berusaha hendak 

melompat turun. Namun gerakan kura-kura raksasa sebat 

sekali. Begitu mengepakkan sayap binatang ini sudah 

berada hampir dua puluh tombak di udara. Murid Sinto 

Gendeng tak bisa berbuat apa-apa selain mendekam 

duduk di atas punggung kura-kura sambil pinggangnya 

dipegangi oleh Luhjelita. 

“Hendak kau bawa ke mana aku?” tanya Wiro. 

“Tenangkan hatimu. Tak usah takut! Aku tidak punya 

niat buruk padamu. Aku hanya ingin membicarakan 

beberapa hal. Untuk itu kau akan kubawa ke tempat 

kediamanku di Goa Pualam Lamerah.” 

Mendengar disebutnya nama goa itu, otak sangPendekar bekerja cepat. Menurut cerita Lakasipo ketika 

dia dibawa Luhjelita ke goa itu, justru di tempat itulah dia 

hampir terbunuh di tangan Hantu Muka Dua. 

“Luhjelita, jika kau memang hanya punya maksud 

membicarakan sesuatu, mengapa harus ke Goa Pualam 

Lamerah? Turun saja di lereng bukit sana!” Wiro menunjuk 

ke arah lereng sebuah bukit sambil diam-diam kerahkan 

tenaga dalamnya ke bagian tubuh sebelah kiri yang tadi 

mendadak terasa lemas. 

“Aku ingin memperlihatkan padamu betapa indahnya 

tempat kediamanku. Lagi pula jika sewaktu-waktu kau 

butuh tempat berteduh, apa salahnya kau menetap di 

sana...” 

“Aku berterima kasih pada tawaranmu. Tapi aku lebih 

suka kita turun di lereng bukit itu. Kita bicara di sana!” 

“He... Kalau aku tidak mau memenuhi permintaanmu, 

apa yang hendak kau lakukan wahai pemuda gagah?” 

bertanya Luhjelita sambil tangan kanannya menggelung 

pinggang Wiro lebih erat dan hembusan nafasnya 

menghangati tengkuk murid Eyang Sinto Gendeng itu. 

“Kalau kau tidak mau mendengar permintaanku, berarti 

kau memilih mati berdua!” 

“Wahai! Apa maksudmu Wiro?” tanya Luhjelita seraya 

kerenyitkan kening. 

“Akan kuhancurkan kepala kura-kura coklat ini!” 

“Kau tak akan tega melakukan hal itu,” kata Luhjelita 

pula menganggap enteng. 

“Kau benar-benar ingin menyaksikan sendiri?!” kata 

Wiro seraya kepalkan tinju kanannya dan kerahkan ilmu 

pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung. Ini adalah ilmu 

kesaktian yang didapat Wiro dari Tua Gila di Pulau Andalas. 

Jangankan kepala kura-kura raksasa itu, batu karangpun 

bisa hancur jika kena dihantam. 

Luhjelita tertawa merdu. Sambil mengusap punggung 

Wiro dia berkata. 

“Mati berdua dengan seorang pemuda gagah! Wahai 

betapa indahnya!” ujar Luhjelita. “Tapi siapa yang inginkanmati? Hik... hik... hik...! Baiklah Wiro. Kuturuti maumu. Kita 

turun di lereng bukit yang kau tunjuk tadi!” Luhjelita 

mengetuk punggung kura-kura raksasa. Binatang ini 

berputar lalu melayang ke arah lereng bukit di sebelah 

barat. 

*** 

DI TEPI telaga Peri Angsa Putih memandang ke langit, 

memperhatikan kura-kura raksasa melayang tinggi. Jika 

dituruti amarah hatinya ingin dia melesat mengejar lalu 

menyerang dengan serangan mematikan yakni sepasang 

sinar biru sakti yang bisa menyembur dari dua matanya. 

Namun kalau hanya akan ikut mencelakai Wiro, tak ada 

gunanya. Penuh kesal gadis ini akhirnya hanya bisa 

menundukkan kepala, tutup wajahnya dengan kedua 

tangan. Sesaat kemudian baru dia menyadari kalau dia 

masih memegang robekan lengan baju si pemuda yang 

tadi diberikan untuk menyeka darah dari luka di sudut bibir 

akibat tamparan Luhjelita. 

“Aku memukul tubuhnya. Pasti dia kesakitan sekali. 

Tapi dalam keadaan seperti itu dia masih ingat pada cidera 

yang kualami akibat tamparan gadis liar itu. Wahai! Dia 

sengaja merobek lengan bajunya dan berusaha mengusap 

darah di sudut bibirku. Wahai... Kalau saja aku bisa 

membaca isi hatinya...” Peri Angsa Putih tekapkan robekan 

baju Wiro itu ke wajahnya. Sepasang matanya berkaca-

kaca. “Aku khawatir akan keselamatannya. Aku harus bisa 

mengejar kura-kura terbang itu dan membuat perhitungan 

dengan Luhjelita...” 

Peri Angsa Putih cepat memutar tubuhnya untuk segera 

menemui Laeputih si angsa raksasa. Tapi begitu dia 

membalik, begitu dia terkejut. Karena tepat di hadapannya 

tegak berdiri Peri Bunda. Menatap ke arahnya dengan 

pandangan sayu seraya berkata. 

“Kau benar, kau turun ke Negeri Latanahsilam bukan 

untuk menemui Lakasipo...”“Peri Bunda, tentunya kau sudah sejak tadi berada di 

sini. Mungkin juga berkesempatan melihat apa yang 

terjadi. Wahai, saat ini tak dapat aku bicara berpanjang 

lebar. Aku harus pergi. Aku harus melakukan sesuatu...” 

Lalu Peri Angsa Putih melangkah melewati Peri Bunda, 

melompat naik ke atas angsa raksasa. 

Sesaat setelah Laeputih lenyap di batas pemandangan, 

Peri Bunda masih tegak di tempatnya. Beberapa kali dia 

menarik nafas dalam dan menatap ke arah air terjun. Air 

terjun yang menggemuruh jatuh seolah terasa seperti 

gemuruh hatinya. 

“Tidak bisa kusalahkan kalau gadis itu bersikap aneh 

akhir-akhir ini. Rupanya telah terjadi sesuatu dengan 

pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. 

Ternyata dia memang gagah, jauh lebih gagah dari semua 

pemuda yang ada di negeri ini. Bahkan Lakasipo bukan 

apa-apa dibanding dengan dirinya. Apakah Peri Angsa Putih 

telah jatuh hati pada pemuda itu? Apakah akan terjadi lagi 

pelanggaran yang bisa membawa akibat besar? Kegegeran 

lahirnya Hantu Jatilandak masih belum pupus. Kutuk masih 

belum berakhir. Sekarang agaknya akan terjadi lagi satu 

masalah yang jauh lebih hebat. Kalau semua akan berakhir 

seperti itu lalu bagaimana dengan diriku sendiri...? 

Luhjelita bukan gadis sembarangan. Ilmunya tinggi. 

Mampukah Peri Angsa Putih menghadapinya dan 

menyelamatkan pemuda itu? Wahai, mungkin dia 

membutuhkan bantuanku...” 

Peri Bunda melangkah ke tepi telaga lalu menatap 

wajahnya dalam ke permukaan air yang mengalun lembut. 

“Usiaku memang tidak semuda Peri Angsa Putih. Tapi 

kecantikan wajahku tidak kalah walau dia memiliki 

sepasang mata biru. Kedudukanku yang lebih tinggi 

darinya mungkin bisa membendung hasrat yang 

tersembunyi di hati sanubarinya...” 

“Peri Bunda, apa maksud ucapanmu barusan?” 

Tiba-tiba ada suara menegur. Peri Bunda tersentak 

kaget dan cepat berpaling. Lalu buru-buru dengan wajahmendadak pucat dia menjura dan letakkan dua tangan 

yang dirapatkan di atas kepala. 

“Peri Sesepuh...” kata Peri Bunda pula. Hanya itu yang 

keluar dari mulutnya. Dia tidak berani menatap wajah Peri 

gemuk yang mengenakan pakaian merah itu. Dalam hati 

dia bertanya-tanya, bagaimana pimpinan tertinggi dari 

segala Peri yang ada di atas langit ini tahu-tahu bisa 

berada di tempat itu. “Jangan-jangan dia telah mengetahui 

dan mendengar pembicaraanku dengan Peri Angsa 

Putih...” 

“Peri Bunda, saat ini aku terpaksa menegurmu dengan 

keras. Masalah yang ditimbulkan Luhmintari dan 

Lahambalang hingga melahirkan Jatilandak masih belum 

terselesaikan. Apakah kau hendak menambah masalah 

baru wahai Peri Bunda?” 

Peri Bunda hanya bisa tundukkan kepala, tak bisa 

menjawab. 

“Jangan berdiam diri saja Peri Bunda. Aku ingin 

mendengar penjelasanmu!” 

“Maafkan saya Peri Sesepuh. Sebenarnya saya turun ke 

Negeri Latanahsilam ini hendak mengikuti Peri Angsa 

Putih. Sejak beberapa hari ini saya lihat sikap dan 

bicaranya aneh...” 

“He... Lalu sikap dan bicaramu sendiri bagaimana?” 

tanya Peri Sesepuh pula yang kembali membuat Peri 

Bunda menjadi tak bisa menjawab. “Peri Bunda, aku minta 

kau segera kembali ke Negeri Atas Langit...” 

“Tapi bagaimana dengan Peri Angsa Putih? Saya 

khawatir dia berada dalam keadaan bahaya...” 

“Diri Peri Angsa Putih tak perlu kau khawatirkan. Biar 

aku yang mengurusi. Hanya harap katakan padaku ke 

mana kira-kira perginya orang-orang itu. Termasuk Peri 

Angsa Putih...” 

“Kemungkinan besar mereka menuju ke Goa Pualam 

Lamerah,” menjelaskan Peri Bunda. 

“Kalau begitu biar aku yang mengejar ke sana. Kau 

kembali sekarang juga!”“Baik wahai Peri Sesepuh...” Peri Bunda memberi 

hormat lalu tinggalkan tempat itu. 

Peri Sesepuh usap wajahnya yang selalu keringatan. 

Lalu sambil gelengkan kepala dia berkata sendiri. “Pemuda 

asing bernama Wiro Sableng, tidak ditolong salah, ditolong 

juga salah. Apa yang harus kulakukan terhadapmu?” 

***



SEMBILAN

DiLERENG bukit yang sejuk dan sunyi, Pendekar 212 

Wiro Sableng tegak berdiri sementara Luhjelita enak 

saja membaringkan diri di tanah di atas rerumputan. 

Matanya tak lepas-lepasnya menatap wajah si pemuda 

sedang senyum terus bermain di bibirnya yang merah. 

Sikapnya benar-benar menantang dan mengundang. 

“Kita sudah berada di lereng bukit Sekarang katakan 

apa yang hendak kau bicarakan?” bertanya Wiro. 

Luhjelita balikkan tubuhnya. Menelungkup di tanah 

sambil dua tangannya ditopangkan ke dagu. Dari 

tempatnya berdiri Wiro bisa melihat sosok tubuh bagian 

atas si gadis, putih dan kencang. Dalam hati murid Sinto 

Gendeng berkata. “Aku banyak mendengar sifat aneh gadis 

ini dari Lakasipo. Aku harus berhati-hati...” 

“Wahai Wiro,” Luhjelita berkata. “Kita hanya berdua di 

tempat ini. Ke manapun mata dilayangkan terbentang 

pemandangan indah. Mengapa harus buru-buru 

membicarakan segala urusan?” 

Wiro tersenyum. “Kau membawaku karena katamu ada 

yang hendak kau bicarakan. Jika kau tidak mau segera 

bicara biar aku yang bicara duluan.” 

“He... Bicaralah, aku ingin mendengarkan,” kata 

Luhjelita pula sambil melontarkan senyum dan kedipkan 

matanya. 

“Apa betul kau kekasih Hantu Muka Dua?” 

Sepasang alis mata Luhjelita menjungkat ke atas. Dua 

matanya dibesarkan. Lalu suara tawanya yang panjang dan 

merdu mengumandang di lereng bukit itu. “Kau rupanya 

keliwat mempercayai kata-kata Peri Angsa Putih...”“Lakasipo pernah menceritakan padaku tentang 

kejadian di Goa Pualam Lamerah, tempat kediamanmu...” 

“Wahai! Coba jelaskan apa yang diceritakannya...” 

“Di goa itu kau melakukan sesuatu terhadapnya...” 

“Sesuatu apa?” 

“Lakasipo sendiri tidak tahu pasti. Yang jelas kau 

meninggalkannya begitu saja di goa itu dan tahu-tahu 

muncul Hantu Muka Dua. Apa tujuanmu? Kau mengundang 

Lakasipo ke goamu. Di saat yang bersamaan Hantu Muka 

Dua muncul di situ! Kalau tak ada hubungan apa-apa 

bagaimana Hantu Muka Dua bisa datang ke Goa Pualam 

Lamerah? Lalu pada Lakasipo, Hantu Muka Dua sendiri 

mengatakan bahwa kau adalah kekasihnya!” 

Luhjelita keluarkan suara berdecik berulang kali dari 

mulutnya. Kepalanya digeleng-gelengkan dan matanya 

dibesarkan memandang ke langit. “Hantu Muka Dua 

makhluk gila basa! Aku hanya memberi senyum dan bicara 

ramah. Dia telah menganggap aku kekasihnya! Wahai! 

Sungguh gila! Aku memang bukan manusia apa-apa. 

Kecantikanku tidak ada artinya dibanding Peri Angsa Putih 

yang kau kagumi itu! Tetapi aku tidak terlalu tolol untuk 

mau jadi kekasih Hantu Muka Dua...” 

“Kau mengharapkan sesuatu dari makhluk itu. Sebagai 

imbalannya...:” 

“Kujual diriku padanya?! Begitu bukan terusan 

ucapanmu? Hik... hik... hik! Aku belum buta, aku belum 

pikun dan tidak picik. Jika di usia semuda ini aku harus 

jatuh cinta, masakan aku jatuh cinta pada Hantu Muka 

Dua, sementara masih banyak pemuda gagah di Negeri 

Latanahsilam ini? Aku tidak malu-malu mengatakan bahwa 

aku kagum terhadapmu. Tapi aku juga maklum dan tahu 

diri siapa diriku!” 

“Luhjelita, dengar dulu. Aku...” 

“Sudahlah Wiro, tadinya memang ada beberapa hal 

yang hendak aku tanyakan padamu. Tetapi sebaiknya 

kubatalkan saja. Aku mendengar suara aliran air di 

kejauhan. Aku ingin mandi. Pertemuan kita cukup sampaidi sini saja...” 

“Tunggu dulu!” seru Wiro. 

Tapi Luhjelita seperti merajuk dan melompat ke balik 

pohon. Sebelum itu dia memberi tanda pada Laecoklat 

agar kura-kura raksasa itu terbang mengikutinya dari 

udara. 

Ternyata Luhjelita memiliki ilmu lari bukan 

sembarangan. Walau Wiro kerahkan kepandaian tetap saja 

dia tertinggal belasan tombak di belakang. 

Di kejauhan kelihatan sebuah telaga kecil di tempat 

ketinggian. Dari sebuah celah bebatuan air telaga mengalir 

ke tempat rendah membentuk sungai kecil. Luhjelita lari 

menuju telaga di tempat ketinggian itu. Wiro yang hendak 

mengejar mendadak hentikan larinya ketika dilihatnya di 

tepi telaga Luhjelita menanggalkan pakaian lalu mencebur 

masuk ke dalam air. 

Mau tak mau sang pendekar terpaksa hentikan 

pengejarannya. Malah dia melangkah berbalik surut dan 

akhirnya duduk di balik serumpun semak belukar, 

mencelupkan ke dua kakinya ke dalam sungai kecil yang 

airnya berasal dari telaga, tak berani memandang ke 

jurusan telaga. 

Setelah menimbang-nimbang sesaat akhirnya Wiro 

memutuskan untuk tinggalkan tempat itu. “Daripada cari 

perkara dengan gadis itu, lebih baik aku pergi saja. Aku 

harus segera menemui Naga Kuning dan Si Setan 

Ngompol. Bagaimana keadaan mereka. Apa mereka telah 

mendapat tanda untuk meneguk obat yang bisa 

membesarkan tubuh mereka?” Baru saja Wiro mengangkat 

kakinya dari dalam sungai kecil tiba-tiba pandangannya 

membentur sekuntum bunga mawar berwarna kuning 

dihias dua helai daun hijau, meluncur di permukaan air 

sungai menuju ke arahnya. 

“Bunga mawar kuning. Bagus sekali. Belum pernah aku 

melihat bunga mawar seperti ini...” kata Wiro. Lalu dia 

membungkuk mengambil bunga itu. Seperti kebiasaan 

orang begitu bunga dipegang murid Eyang Sinto Gendengini langsung dekatkan ke hidungnya lalu mengendus bunga 

itu. “Heiii... harum sekali,” kata Wiro pula. “Bunga sebagus 

ini dari mana datangnya?” Pendekar 212 memandang ke 

arah telaga. “Eh...!” Kening Wiro mengerenyit. Dikedip-

kedipkannya matanya. Lalu diusapnya. “Aneh, apa yang 

teriadi dengan mataku. Pemandanganku mendadak kabur. 

Lebih aneh lagi, dadaku sesak. Kepalaku seperti pusing!” 

Wiro pandangi bunga yang dipegangnya. Sedekat itu sang 

bunga berada di depan matanya namun dia tak bisa 

melihat dengan jelas. “Ada yang tidak beres! Bunga mawar 

kuning yang barusan kucium. Jangan-jangan mengandung 

racun jahat! Celaka!” 

Wiro mulai huyung. “Menurut Eyang Sinto Gendeng aku 

kebal segala macam racun. Tapi racun bunga itu pasti 

jahat sekali...” 

Dalam keadaan seperti itu, sebelum tubuhnya roboh 

Wiro segera susupkan tangannya ke balik pakaian. Dengan 

cepat dia memegang gagang Kapak Maut Naga Geni 212 

lalu mengatur jalan nafas dan kerahkan tenaga dalam 

menolak racun jahat yang memasuki jalan pernafasan dan 

peredaran darahnya. Tubuhnya terasa hangat sesaat. 

Hawa sakti yang ada dalam senjata mustika itu berusaha 

mendorong keluar racun jahat yang tersedot Wiro. Namun 

racun dalam bunga jauh lebih hebat. Setelah megap-

megap berusaha menarik nafas dalam Wiro akhirnya roboh 

tertelentang di tepi sungai kecil. Walau dia tidak pingsan 

dan ingatannya tidak hilang sama sekali, namun 

pemandangannya sangat kabur dan sekujur tubuhnya 

terasa lemas. 

Dalam keadaan tidak berdaya seperti itu tiba-tiba ada 

satu bayangan guram tegak di hadapannya. Bayangan ini 

diam sesaat lalu membungkuk dan berlutut di sampingnya. 

Wiro merasa ada seseorang meraba tubuhnya. Tengkuknya 

merinding namun dia tak bisa bergerak tak mampu 

bersuara. Lalu rabaan itu turun ke bawah. Terasa ada 

tangan-tangan yang dengan cepat membuka ikatan celana 

yang dikenakannya.“Heeee... Ada senjata aneh. Berbentuk kapak bermata 

dua. Ini apa lagi... Sebuah batu hitam... Aku tidak butuh 

dua benda ini...” 

Wiro sempat mendengar suara orang berucap. Tapi 

tidak pasti apa itu suara lelaki atau suara perempuan. 

Datangnya seolah dari jauh sekali. 

“Gila... Apa yang dilakukan makhluk berbentuk 

bayangan ini!” Wiro masih bisa membatin. Lalu lapat-lapat 

seolah berada di kejauhan Wiro mendengar suara 

seseorang keluarkan pekik kejut perlahan dan tertahan. 

Kemudian celananya ditarik orang ke bawah. Pada saat 

itulah mendadak kesunyian di tepi sungai kecil di lereng 

bukit itu dirobek oleh suara tambur. 

Orang yang tengah menggerayangi Pendekar 212 

tersentak kaget. Dia berusaha bertindak cepat namun si 

pemukul tambur sudah muncul di balik pohon sana. Di 

atas kepalanya dia menjunjung sebuah payung terbuat dari 

daun kering. Dari mulutnya meluncur suara nyanyian. 

“Na... na... na... Ni... ni... ni! Ada apa di sana, ada apa di 

sini! Meraba ke balik celana. Pasti tersentuh si pundi-

pundi! Na... na... na! Ni... ni... ni!” 

“Celaka! Aku tak punya kesempatan! Bagaimana tua 

bangka sinting itu bisa muncul di sini!” 

Baru saja orang itu berkata begitu tiba-tiba sebuah 

benda yang bukan lain adalah payung daun kering 

menyambar ke arahnya. Tahu gelagat tidak baik, orang 

yang tengah menggerayangi Wiro tak berani menghantam 

payung aneh itu. Dengan cepat dia jatuhkan diri ke tanah, 

bergulingan lalu lenyap di balik semak belukar di bagian 

bawah sungai kecil. Sesaat kemudian sebuah benda tiba-

tiba memukul bagian tengah perut Pendekar 212 Wiro 

Sableng. Tepat di bagian pusar! Benda itu bukan lain 

adalah ujung tangkai payung daun kering yang tadi 

menyambar di udara seolah hendak menyerang sosok yang 

berada di dekat Pendekar 212. 

***


SEPULUH

PENDEKAR 212 Wiro Sableng pulih keadaannya 

seperti semula. Terheran-heran dia duduk 

menjelepok di tanah di tepi sungai kecil itu. “Apa yang 

terjadi dengan diriku?” Dia bertanya dalam hati. 

Memandang ke kiri dilihatnya Kapak Maut Naga Geni 212 

serta pasangan batu hitam tergeletak di tanah. Cepat dua 

senjata mustika ini disimpannya ke balik bajunya. Saat 

itulah dia menyadari bahwa ikatan tali celana putihnya 

terbuka dan celana itu sendiri merosot sampai ke pangkal 

paha. “Gila! Apa yang telah aku lakukan? Bagaimana 

mungkin celana ini bisa lepas begini rupa? Aku ingat 

betul... walau tadi seperti mau pingsan, lemas dan tidak 

bisa melihat, tapi aku tidak membuka celana ini!” Murid 

Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Matanya 

membentur mawar kuning yang tercampak di tebing 

sungai. Otaknya berpikir lagi. Pada saat itulah telinganya 

menangkap suara gendang dibarengi suara orang 

menyanyi na-na-na ni-ni-ni! 

“Kakek Si Pelawak Sinting!” ujar Wiro setengah berseru. 

Sesaat kemudian seorang kakek bermuka kempot, 

memiliki dua mata belok dan hidung pesek serta mulut 

monyong tonggos telah berdiri di hadapan Wiro sambil 

memukul sebuah tambur dan bernyanyi-nyanyi. Di atas 

ubun-ubun kepalanya menclok sebuah payung terbuat dari 

daun-daun kering. 

“Pelawak Sinting! Pasti kau yang melakukan! Pasti kau 

yang punya pekerjaan!” Wiro membentak. 

Kakek pesek itu monyongkan mulutnya, simpan 

gendang dan penabuhnya di dalam kantong panjang,rangkapkan tangan di depan dada lalu bertanya. “Apa 

katamu?! Aku melakukan apa? Memangnya aku 

mengerjakan apa?!” 

“Kau melepas ikatan tali celanaku lalu merorotkan 

celanaku sampai ke paha!” kata Wiro pula. “Siapa lagi 

kalau bukan kau yang melakukan! Sebelumnya kau telah 

mengerjai aku seperti itu!” 

Payung di atas kepala si kakek mumbul sampai 

beberapa jengkal. Lalu dia tertawa gelak-gelak. 

Wiro jadi tambah jengkel dia melompat berdiri. “Kek! 

Jangan kau tertawa! Mengaku saja! Saya...” Wiro 

mendadak jadi kelabakan karena baru sadar saat itu dia 

berdiri dengan tubuh bugil sebelah bawah karena lupa 

mengikat kembali tali celana putihnya. Si Pelawak Sinting 

tertawa terpingkal-pingkal sambil menunjuk-nunjuk ke 

bawah perut murid Sinto Gendeng. Wiro cepat-cepat 

menarik celananya ke atas dan mengikatnya kuat-kuat, 

merapikan letak kapak dan batu hitam. 

“Anak muda! Terima kasih atas tuduhanmu! Tapi apa 

perlu aku membukai celanamu! Celana perempuan saja 

tak ingin aku bukai! Ha... ha... ha...!” 

“Di tempat ini tidak ada orang lain kecuali kau. Selain 

itu kau punya kesukaan jelek, tukang merorotkan celana 

orang!” 

“Waw... waw! Merorotkan celana orang apakah itu satu 

kejelekan? Aku sendiri pakai celana melorot seperti itu! 

Lihat saja!” Lalu si kakek putar tubuhnya memperlihatkan 

pantatnya yang memang tersingkap karena celananya 

sengaja dilorotkan di bagian belakang! “Anak muda, 

sebenarnya tadi aku tidak mau mengganggu kau lagi asyik 

bersama kekasihmu. Bercumbu rayu boleh-boleh saja. Tapi 

kalau sampai main gerayang-gerayangan ke dalam celana, 

walau ini tempat sunyi, kurasa sudah melewati batas! Pasti 

tadi kau keenakan ya diraba-raba seperti itu? Ha... ha... 

ha!” 

“Kek, jangan kau berkata yang bukan-bukan! Apa 

maksud ucapanmu. Siapa yang bercumbu rayu! Siapa yangmeraba-raba! Siapa yang punya kekasih?!” 

Si Pelawak Sinting tertawa panjang lalu menjawab. 

“Terima kasih kau tidak mau mengaku. Tapi aku melihat 

dengan mata kepala sendiri...” 

“Gila!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Saya 

sendirian di tempat ini! Tapi coba katakan apa yang kau 

lihat Kek?!” 

“Terima kasih kau memintaku memberi penjelasan!” 

jawab Si Pelawak Sinting. Lalu dia bercerita. “Waktu aku 

sampai di tempat ini kulihat kau berbaring menelentang, 

matamu terbuka meram melek tanda kau sedang 

keenakan. Kan begitu tandanya orang keenakan? Betul 

tidak? Hik... hik... hik!” 

“Teruskan saja ceritamu Kek...” kata Wiro menahan 

jengkel. 

“Di sampingmu duduk seorang gadis. Dia tengah 

meraba-raba ke balik celanamu...” 

“Gila! Kau mengarang cerita atau bagaimana?!” 

“Terima kasih kau menganggap begitu! Tapi aku tidak 

mengarang cerita. Aku melihat dengan dua mataku ini!” 

Lalu si kakek buka lebar-lebar matanya yang belok dan 

monyongkan mulutnya yang tonggos. 

“Seorang gadis merabai diriku...!” Wiro menatap tajam 

wajah tua di depannya. “Apa warna pakaian gadis itu?! 

Jingga?!” 

“Tidak ada warna apa-apa...” 

“Tidak ada warna bagaimana! Orang berpakaian walau 

terbuat dari apa pasti ada warna. Hitam, putih, biru atau 

merah atau jingga...” 

“Gadis itu tidak mengenakan pakaian. Dia jongkok di 

sampingmu dalam keadaan bugil! Jadi apa salah kalau 

kukatakan aku tidak tahu warna pakaiannya? Ha... ha... 

ha... ha!” 

“Edan! Benar-benar edan...!” kata Wiro sambil 

menggaruk kepalanya habis-habisan. 

“Sekarang setelah ketahuan kau pura-pura marah. Tadi 

waktu diraba-raba kau diam saja keenakan...”

“Kek, jangan kau menduga yang bukan-bukan. Sesuatu 

yang aneh telah terjadi dengan diriku...” 

“Kau betul anak muda. Sekarang sebaiknya kau periksa 

bagian bawah perutmu. Apa perabotanmu masih lengkap? 

Jangan-jangan sudah dicopot dan dilarikan gadis bugil 

itu...” 

“Enak saja kau bicara...” 

“Eh, jangan berkata seperti itu. Tadi kau bilang sesuatu 

yang aneh telah terjadi dengan dirimu. Lekas kau periksa 

di balik celanamu! Kalau kau sampai hidup tanpa 

perabotan seumur-umur...” 

Murid Sinto Gendeng jadi bimbang. Tapi dia merasa 

malu untuk memeriksa bagian bawah tubuhnya itu. 

“Wahai! Bukankah di negeri kelahiranmu ada orang 

yang punya ilmu aneh dan jahat. Yaitu bisa mencopot dan 

memasang kembali perabotan orang. Tunggu... kalau tidak 

salah orangnya berjuluk Datuk Lembah Akhirat...” 

Air muka Pendekar 212 jadi pucat. “Bagaimana kau 

bisa tahu hal itu?” tanyanya dengan suara gemetar 

(Mengenai Datuk Lembah Akhirat harap baca serial “Tua 

Gila Dari Andalas”, terdiri dari 11 Episode). 

“Aku cuma dengar-dengar saja. Tapi benar, kan? Nah, 

sekarang apakah kau masih belum mau memeriksa 

keadaan dirimu?” 

Dada sang pendekar jadi berdebar. Tanpa tunggu lebih 

lama dan tanpa merasa malu lagi segera Wiro longgarkan 

ikatan tali celananya lalu memperhatikan ke bawah. Masih 

belum puas dia susupkan tangan kirinya. 

“Untung Kek...” kata Wiro dengan wajah lega. 

“Untung bagaimana maksudmu?” 

“Masih ada Kek. Masih lengkap...” jawab Wiro. 

“Kantong menyannya masih ada?” 

Wiro mengangguk. 

“Lontong tak berdaunnya masih ada?” 

Wiro mengangguk lagi. 

“Ijuknya juga masih ada?” 

“Brengsek kau Kek!”

“Eh, aku tanya ijuknya masih ada atau tidak?!” 

“Adaaaa!!!” jawab Wiro keras-keras. 

Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak. 

Wiro memandang ke puncak bukit, ke arah telaga. Sepi, 

tak ada siapa-siapa. Gadis cantik bernama Luhjelita itu tak 

kelihatan lagi di sana. Lalu dia memungut bunga mawar 

kuning yang tergeletak di tanah dan mengacungkannya 

pada si kakek. 

“Kek, seumur hidup baru sekali ini aku melihat bunga 

mawar berwarna kuning. Ketika tadi aku mengendus 

keharumannya tiba-tiba saja pemandanganku menjadi 

kabur...” 

“Lekas kau buang bunga celaka itu! Mawar kuning itu 

bunga beracun yang bisa membunuh. Jangankan manusia, 

gajah besarpun bisa kelojotan dan menemui ajal jika 

menciumnya. Kau beruntung tidak sampai mati. Berarti 

kau menyimpan satu ilmu kesaktian yang bukan 

sembarangan...” 

“Aku tidak punya ilmu apa-apa. Tapi aku ingin bilang 

terima kasih padamu. Kalau kau tidak muncul mendadak 

di tempat ini mungkin sesuatu yang lebih buruk telah 

terjadi atas diriku...” 

“Terima kasih kau menganggap aku menolongmu. 

Padahal tidak...” jawab Si Pelawak Sinting sambil 

menyeringai. 

“Kek, kau mungkin tahu asal-usul bunga mawar kuning 

itu? Dari mana asalnya... Siapa pemiliknya...” 

“Wahai, siapa pemiliknya aku tidak tahu anak muda. 

Tapi dari mana berasalnya memang aku tahu...” 

“Dari mana?” tanya Wiro. 

“Mawar kuning berbisa itu hanya tumbuh di lapisan 

langit ke tujuh. Di alam kehidupan para Peri...” 

Wiro terkejut. Dadanya bergetar dan mukanya berubah. 

“Kalau begitu ini adalah pekerjaan Peri Angsa Putih!” 

“Terima kasih kau pandai menuduh. Tapi jangan sekali-

kali berprasangka buruk tanpa bukti!” mengingatkan Si 

Pelawak Sinting.Wiro garuk-garuk kepalanya. “Saya berkata begitu 

karena Peri Angsa Putihlah satu-satunya Peri yang saya 

temui sebelumnya... Saya harus menyelidiki hal ini! Saya 

harus mencari Peri Angsa Putih dan menanyainya!” Wiro 

kepalkan tangan kanannya penuh perasaan geram. 

“Sudahlah, aku tidak mau ikut campur urusanmu. Aku 

mau pergi. Apa kau mau ikut?” 

“Kau mau menyuruh saya memayungimu lagi, kau 

bernyanyi dan menari. Dan saya mengikuti ke mana kau 

pergi?” 

Si Pelawak Sinting tertawa bergelak. “Terima kasih kau 

menyatakan ketidaksenanganmu. Tapi sekali ini aku 

mengajakmu untuk berbuat pahala!” 

“Apa maksudmu Kek? Jangan-jangan kau hendak 

mengerjai saya lagi,...” 

“Sekali ini tidak. Maksudku belum. Aku mau menolong 

sahabatku si Hantu Tangan Empat dari tekanan Hantu 

Muka Dua. Jika orang-orang seperti Hantu Tangan Empat 

tidak ditolong, Hantu Muka Dua semakin merajalela. Hantu 

Muka Dua telah menculik Luhbarini, istri Hantu Tangan 

Empat. Perempuan itu disekapnya di satu liang batu tak 

jauh dari istana yang tengah dibangunnya yakni Istana 

Kebahagiaan. Dengan menguasai Luhbarini, Hantu Muka 

Dua bisa memaksa Hantu Tangan Empat melakukan apa 

saja. Termasuk memerintahnya untuk membunuhmu!” 

“Tapi... Saya lihat Hantu Tangan Empat seperti pasrah 

saja. Tidak berusaha membebaskan istrinya.” 

“Dia tidak berdaya. Tidak mampu melakukan apa-apa 

sekalipun ilmunya tinggi...” 

“Kalau saya tidak salah Hantu Tangan Empat masih 

kakek Peri Angsa Putih. Mengapa para peri tidak turun 

tangan membantu?” 

“Hantu Muka Dua ilmunya sangat tinggi, terkadang 

sangat aneh. Selain itu dia punya belasan kaki tangan yang 

juga berkepandaian tinggi. Di antara mereka banyak yang 

terpaksa atau terjebak masuk perangkap Hantu Muka Dua. 

Seperti yang terjadi dengan Hantu Tangan Empat. Kalau

nekad mungkin dia bisa menyerbu ke tempat kediaman 

Hantu Muka Dua. Tapi kalau kelak istrinya sendiri menjadi 

korban apa gunanya? Sekarang aku punya maksud hendak 

menolong membebaskan istri Hantu Tangan Empat. Kau 

mau ikut bersamaku?” 

“Tentu mau Kek. Aku perlu membayar hutang budi 

Hantu Tangan Empat yang pernah saya terima...” jawab 

murid Eyang Sinto Gendeng pula. 

“Terima kasih kau punya pikiran begitu. Ayo ikuti aku!” 

Si kakek keluarkan tambur dan penabuhnya. Ketika dia 

siap menyanyi tiba-tiba dia melompat mundur sambil tarik 

tangan Wiro, menyelinap ke balik serumpunan semak 

belukar. 

“Ada apa Kek?” tanya Wiro. 

“Sssstt... jangan keras-keras bicara. Lihat ke depan 

sana...” Si Pelawak Sinting monyongkan mulut tonggosnya 

ke arah lereng menurun di bawah sana. Wiro cepat 

memperhatikan. Dia melihat kobaran api aneh bergerak 

cepat ke arah timur. 

“Celaka! Kita kedahuluan!” ujar Si Pelawak Sinting. 

“Lekas ikuti aku!” Sekali bergerak kakek itu sudah berada 

tiga tombak di sebelah depan. 

***


SEBELAS


SESAAT Wiro merasa bimbang. Tapi ketika dia ingat 

hutang budi pada Hantu Tangan Empat segera saja 

dia berkelebat menyusul Si Pelawak Sinting. Wiro tak 

perlu bertanya apa yang terjadi atau siapa yang tengah 

mereka ikuti. Di sebelah depan sana dia melihat satu 

sosok aneh, berlari cepat ke arah timur di mana terdapat 

kawasan berbatu-batu berwarna kelabu. Sosok itu tidak 

beda adanya dengan sosok tubuh manusia. Tapi anehnya 

sekujur badan mulai dari kepala sampai ke kaki dikobari 

api! Anehnya lagi api itu tidak berwarna merah tapi kebiru-

biruan pertanda panas dan daya bakarnya lebih hebat dari 

api biasa! 

Sambil lari orang ini memanggul sesosok tubuh. Ketika 

Wiro memperhatikan, astaga! Kagetlah sang pendekar. 

Orang yang dipanggul makhluk api itu ternyata adalah si 

kakek Hantu Tangan Empat! Luar biasanya, walau 

dipanggul di atas bahu yang dikobari api namun sosok 

Hantu Tangan Empat tidak ikut terbakar! 

“Kek, siapa adanya manusia berapi itu?!” tanya Wiro 

pada Si Pelawak Sinting. 

“Hantu Api Biru! Itu nama panggilannya! Wahai! Dia 

adalah salah satu dari tokoh hebat di Latanahsilam yang 

telah kena dibujuk Hantu Muka Dua, dijadikan kaki tangan 

pembantunya!” 

“Celaka kalau begitu! Bagaimana Hantu Tangan Empat 

bisa jatuh ke tangannya? Kita harus segera membebaskan 

kakek itu!” 

“Jangan gegabah anak muda! Hantu Api Biru tinggi 

sekali ilmu kepandaiannya. Kita ikuti saja dulu makhluk itu.Kurasa dia pasti akan membawa Hantu Tangan Empat ke 

sarangnya Hantu Muka Dua. Kalau aku tidak salah 

menduga di balik kawasan batu kelabu itu terletak liang 

batu di mana istri Hantu Tangan Empat disekap. Lalu di 

seberangnya tengah dibangun apa yang dinamakan Istana 

Kebahagiaan!” 

“Saya menurut saja. Makin cepat kita menolong Hantu 

Tangan Empat dan istrinya makin baik!” ujar Pendekar 

212. 

Makhluk yang tubuhnya dikobari api biru sampai ke 

kawasan yang dipenuhi batu-batu besar dan tinggi 

berwarna kelabu. Dia memandang berkeliling seperti 

mencari-cari sesuatu. Ketika matanya membentur sebuah 

batu yang di sebelah atasnya ditumbuhi cendawan hitam, 

makhluk ini segera berkelebat ke batu itu lalu pergunakan 

tumitnya untuk menendang batu tiga kali berturut-turut. 

Wiro bersama Si Pelawak Sinting yang mendekam di 

balik sebuah batu memperhatikan bagaimana dua buah 

batu kelabu di depan batu yang ditumbuhi cendawan hitam 

tiba-tiba bergeser ke samping disertai suara berdesing 

halus. Di antara dua batu besar yang membuka itu kini 

kelihatan sebuah liang yang merupakan tangga turun 

setinggi tiga tombak. Hantu Api Biru segera melompat ke 

dalam liang batu. Dua buah batu besar kembali keluarkan 

suara berdesing lalu merapat. Liang batu lenyap dari 

pemandangan. Si Pelawak Sinting melirik pada Wiro. Dia 

menunggu sesaat lalu tarik lengan pemuda itu dan 

melompat ke arah batu pembuka liang. Seperti yang 

dilakukan Hantu Api Biru, Si Pelawak Sinting hunjamkan 

tumitnya tiga kali berturut-turut. Dua batu besar serta 

merta terkuak ke samping. 

“Cepat!” ujar Si Pelawak Sinting lalu menerobos masuk 

ke dalam liang batu. 

Wiro mengikuti dengan perasaan tegang. Ketika liang 

menutup kembali ternyata ruang di bawahnya tidak 

menjadi gelap. Si Pelawak Sinting sampai di bagian 

terbawah tangga batu. Kakek ini lalu menyusup ke sebuahlorong. Di depan sana kelihatan cahaya terang dari nyala 

api di tubuh Hantu Api Biru. Di sebelah ujung, lorong 

bercabang dua. Si Pelawak Sinting membelok ke kiri. Saat 

itu timbul tanda tanya di benak murid Sinto Gendeng. 

Mengapa si kakek langsung saja memilih lorong yang 

sebelah kiri. Namun dia tidak punya waktu untuk berpikir 

panjang. 

Tak selang berapa lama sosok Hantu Api Biru kelihatan 

di depan sana. Tegak di sebuah lobang batu yang sangat 

besar. Menurut perhitungan Wiro lobang itu berukuran 

tinggi sekitar lima tombak sedang panjang dan lebarnya 

kira-kira delapan kali delapan tombak. Dari tempatnya 

berdiri yang berada di ketinggian, Pendekar 212 melihat 

beberapa sosok tubuh bergeletakan di lantai lobang batu 

itu. Lalu ada satu sosok tubuh seolah dicetak, terpendam 

ke dalam salah satu dinding. Lapat-lapat terdengar suara 

seperti orang merintih. 

“Ruangan apa itu Kek,” tanya Pendekar 212 dengan 

tengkuk agak dingin. 

Belum sempat dia mendapatkan jawaban di bawah 

sana Hantu Api Biru kelihatan turunkan sosok Hantu 

Tangan Empat lalu tiba-tiba sekali Hantu Tangan Empat 

dilemparkannya ke dalam lobang besar itu. 

Bukkkkk! 

Sosok Hantu Tangan Empat bergedebuk di lantai batu. 

Tidak keluarkan suara tidak juga bergerak. 

“Jahanam! Kita harus segera menghajar makhluk api 

itu Kek!” Wiro mulai tidak sabaran. “Ini pasti ruang 

penyekapan! Mungkin istri Hantu Tangan Empat juga ada 

di sini!” 

Si Pelawak Sinting melintangkan jari telunjuknya di atas 

mulutnya yang monyong lalu berkata. “Ikuti aku...” 

Sambil memegang tangan kiri Wiro dia bergerak cepat 

ke bawah. Begitu kakinya menginjak tepi lobang batu, si 

kakek berseru, “Hantu Api Biru! Aku datang!” 

Sosok yang dikobari nyala api putar tubuhnya. Lalu 

tertawa mengekeh. “Aku sudah menjalankan tugasku!Bagaimana dengan kau wahai kerabatku?!” 

“Jika kau mampu mengapa aku tidak! Lihat siapa di 

sampingku!” Si Pelawak Sinting menjawab. 

Hantu Api Biru memandang pada Wiro yang tegak mulai 

merasa heran bahkan curiga. Bicara kedua orang itu 

membuat dia tersentak tidak enak. Hantu Api Biru tertawa 

mengekeh. Si Pelawak Sinting menimpali. Tiba-tiba, sama 

sekali tidak terduga oleh murid Eyang Sinto Gendeng, Si 

Pelawak Sinting dorong tubuhnya. Demikian hebatnya 

kekuatan dorongan itu membuat Wiro tidak mampu 

mempertahankan diri dan tak ampun lagi tubuhnya 

melayang jatuh, masuk ke dalam lobang batu besar! Dalam 

jatuhnya masih untung Pendekar 212 tidak panik dan 

kehilangan akal. Dengan cepat dia kerahkan ilmu 

meringankan tubuh lalu berjungkir balik dua kali hingga 

begitu jatuh dia tetap berdiri di atas dua kakinya. 

Di atas sana, di tepi lobang batu, Hantu Api Biru dan Si 

Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak. 

“Jahanam! Aku tertipu! Kakek sinting itu ternyata kaki 

tangan Hantu Muka Dua! Mengapa aku jadi sebodoh ini?!” 

Wiro memaki habis-habisan. Dia kerahkan hawa sakti ke 

kaki, siap mengenjot ke atas untuk melesat keluar dari 

dalam lobang batu. Lobang setinggi lima tombak itu tidak 

terlalu tinggi untuk bisa dilompatinya. Tapi ketika sosoknya 

baru mencapai ketinggian tiga tombak tiba-tiba ada hawa 

aneh datang dari atas, menekan tubuhnya demikian rupa 

hingga dia terbanting ke bawah. Wiro semakin marah. Dia 

kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sampai tiga kali 

dicobanya tetap saja dia terbanting jatuh kembali! Hantu 

Api Biru dan Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak sambil 

menunjuk-nunjuk ke bawah. 

“Pelawak Sinting! Kakek sialan penipu! Kalau kau tidak 

segera keluarkan aku dari tempat ini akan kuhabisi kau 

saat ini juga!” Wiro mengancam lalu kerahkan hawa sakti 

ke tangan kanan. Tangan itu mulai dari siku ke bawah 

serta merta berubah menjadi putih perak pertanda dia siap 

melepaskan pukulan Sinar Matahari.“Anak muda, percuma saja. Tak ada satu kekuatanpun 

yang sanggup menembus Tabir Roh yang mengapung di 

atas permukaan lobang ini. Lagi pula makhluk yang kau 

panggil dengan nama Pelawak Sinting itu bukan Pelawak 

Sinting karena akulah Si Pelawak Sinting sebenarnya!” 

Tentu saja murid Sinto Gendeng tersentak kaget 

mendengar suara itu. Dia berpaling ke dinding sebelah kiri. 

Astaga! Yang barusan bicara adalah sosok yang mendekam 

amblas di dalam dinding batu itu! Dan yang paling 

membuat Wiro melengak besar adalah ketika menyaksikan 

bagaimana raut muka, bentuk sosok tubuh orang ini 

sangat sama dan menyerupai Si Pelawak Sinting! 

“Bagaimana mungkin!” pikir Wiro. 

Di atas sana tiba-tiba terdengar Si Pelawak Sinting 

berseru. “Pendekar 212 Wiro Sableng, kau dan semua 

yang ada dalam lobang celaka itu akan menemui kematian 

secara perlahan-lahan. Mungkin satu tahun, mungkin tiga 

atau lima tahun. Kalian akan lepas dari kematian jika 

bersedia tunduk patuh menjadi anak buah pembantu 

Hantu Muka Dua! Untuk itu orang-orang kami akan datang 

menanyaimu sekali dalam tujuh hari!” 

“Manusia tonggos keparat! Kau rasakan dulu ini!” teriak 

Wiro marah. Tanpa pikir panjang dia langsung lepaskan 

pukulan Sinar Matahari! Sinar putih panas menyilaukan 

berkiblat ke atas. 

Bummmm! Bummmm! 

Dua letusan keras menggelegar. Lobang batu bergetar 

hebat. Pukulan Sinar Matahari musnah tanpa bekas pada 

ketinggian empat tombak! Wiro jatuh terbanting di lantai! 

Si Pelawak Sinting tertawa mengekeh. Dia balikkan 

tubuhnya dan songgengkan pantatnya ke arah Wiro. Ketika 

bersama Hantu Api Biru dia hendak tinggalkan tempat itu, 

orang yang melesak di dalam dinding batu berteriak. 

“Labodong! Kau makhluk jahanam! Kembalikan 

payung, tambur dan penabuh milikku! Kalau aku benar-

benar menemui ajal di tempat ini rohku akan datang 

mencarimu dan mencekikmu sampai mampus!”Si Pelawak Sinting tertawa mengekeh. “Aku memang 

tidak lagi memerlukan barang-barang busuk ini! Ambil saja 

kembali!” Dari atas sana Si Pelawak Sinting lalu lemparkan 

ke dalam lobang payung daun, tambur serta penabuhnya. 

Lalu sambil tertawa-tawa bersama Hantu Api Biru dia 

tinggalkan tempat itu. 

“Sialan! Benar-benar sialan!” maki Wiro tidak habis-

habisnya menyesali diri dalam kemarahan yang hampir 

tidak terbendung. 

“Tidak ada kesialan dalam hidup ini wahai anak muda. 

Yang ada ialah bahwa segala sesuatu yang terjadi atas diri 

kita sudah diatur oleh para Dewa penguasa alam...” 

Wiro hendak memaki tapi ketika sadar yang berucap itu 

adalah sosok yang melesak ke dinding batu dia segera 

palingkan kepala. 

“Kek, siapa kau adanya?! Bagaimana wajah dan bentuk 

tubuhmu sangat sama dengan manusia di atas sana yang 

tadi menyonggengkan pantatnya?” Wiro ajukan 

pertanyaan. 

“Terima kasih! Pertanyaanmu segera akan kujawab. 

Tapi harap kau lebih dulu turun tangan menolong Hantu 

Tangan Empat...” Orang yang melesak di dalam dinding 

batu menjawab. 

Mendengar ucapan itu Wiro segera mendekati sosok 

Hantu Tangan Empat yang tergeletak di lantai ruangan. 

“Aneh, dia dilemparkan dari ketinggian sana. Tapi tak ada 

bekas cidera sedikitpun...” Wiro membatin begitu dia 

memeriksa keadaan Hantu Tangan Empat. Segera saja dia 

kerahkan tenaga dalam. Sambil tempelkan dua tangannya 

ke dada dan pusar si kakek perlahan-lahan Wiro alirkan 

tenaga dalam. 

Sesaat kemudian kakek itu mulai siuman dan buka 

sepasang matanya. Selagi pemandangannya masih 

mengabur kakek bermuka datar ini lapat-lapat mendengar 

suara erangan. Dia kenali betul suara itu. Hantu Tangan 

Empat cepat bangkit dan duduk. Lalu memandang seputar 

ruangan. Dia kembali memandang ke arah Wiro.Ingatannya masih belum jernih. 

“Anak muda, aku rasa-rasa pernah melihat wajahmu. Di 

mana aku berada saat ini?” 

“Wahai kerabatku Hantu Tangan Empat,” sosok yang 

melesak di dinding berkata. “Istrimu Luhbarini ada di sudut 

kiri sana. Keadaannya mengenaskan. Tapi kau pasti bisa 

menolongnya.” 

Mendengar ucapan itu Hantu Tangan Empat segera 

berdiri. Memandang ke sudut kiri ruangan nafasnya serasa 

berhenti. Satu sosok tubuh perempuan dilihatnya terhantar 

di lantai ruangan, kurus mengenaskan, tak bergerak tapi 

keluarkan suara erangan. 

“Istriku Luhbarini! Wahai!” Hantu Tangan Empat berseru 

setengah menggerung. Lalu dia lari dan jatuhkan diri, 

memeluk sosok tubuh istrinya kemudian merangkulnya. 

Suara erangan terputus. Dua mata yang selama ini 

terkatup, membuka sedikit. Lalu terdengar suara berucap 

halus dan lirih. “Hantu Tangan Empat, suamiku! Kaukah 

yang memeluk diriku saat ini...” 

“Luhbarini. Ini memang aku suamimu. Hantu Tangan 

Empat...” 

“Ah... Kau kutunggu begitu lama. Mengapa baru datang 

sekarang?” 

Sepasang mata Hantu Tangan Empat berkaca-kaca. 

“Maafkan diriku wahai Luhbarini. Keadaan membuatku 

tidak berdaya. Tapi saat ini aku tidak peduli lagi. Kita harus 

keluar dari tempat ini sekalipun putus nyawa di badan, 

mati jazad berkalang tanah.” 

Hantu Tangan Empat peluk tubuh istrinya erat-erat. 

Kedua orang ini saling rangkul dan sama-sama terisak. 

Wiro hanya bisa memperhatikan dengan perasaan haru. 

Dia memandang berkeliling. Dalam liang batu itu beberapa 

sosok manusia dilihatnya bergeletakan di sana sini. 

Mereka pasti musuh-musuh Hantu Muka Dua yang menjadi 

korban disekap di tempat ini, pikir Wiro. Dia bermaksud 

mendekati orang-orang itu kalau-kalau bisa menolong. 

Namun orang tua yang terpendam di dinding batu tiba-tibakeluarkan ucapan. 

“Anak muda, terima kasih. Tapi tak ada gunanya 

menolong mereka. Mereka semua telah jadi mayat...” 

Wiro terkesima dan hentikan langkah. “Kakek di 

dinding, kau belum menerangkan siapa dirimu. Bagaimana 

kau sampai disekap di sini dan bagaimana aku bisa 

menolongmu. Lalu bagaimana kita bisa selamatkan diri 

keluar dari tempat ini...” 

“Aku adalah Labudung, adik kembar dari Labodong, 

manusia yang padamu mengaku sebagai Si Pelawak 

Sinting. Sebenarnya akulah Si Pelawak Sinting. Kakakku 

jatuh dalam bujuk rayu Hantu Muka Dua dan berusaha 

mengajakku bergabung di Istana Kebahagiaan yang kini 

tengah dibangun. Aku menolak. Seperti terhadapmu dia 

menipuku lalu menjebloskan aku ke dalam tempat ini. 

Anak muda, aku sudah lama menunggumu. Firasat 

mengatakan bahwa kau yang bisa membawa kami keluar 

dari tempat ini...” 

“Bagaimana caranya?” tanya Wiro bingung sambil garuk 

kepala. Dia berpaling ke arah Hantu Tangan Empat. “Kek, 

kau mungkin tahu?” Wiro ajukan pertanyaan. 

Hantu Tangan Empat gelengkan kepala. 

Wiro melangkah mendekati dinding di mana Labudung 

terpendam. 

Si kakek tersenyum lalu berkata. “Aku tahu maksudmu. 

Kau tak mungkin mengeluarkan aku dari dalam pendaman 

batu ini. Kau dan Hantu Tangan Empat serta istrinya segera 

saja berusaha mencari jalan keluar dari tempat ini. Kau 

datang dari tanah seribu dua ratus tahun mendatang yang 

lebih maju. Kau pasti bisa mendapatkan petunjuk. Satu hal 

harus kau ketahui, Labodong berdusta bahwa kita bisa 

bertahan hidup sampai satu tahun atau lebih. Juga dia 

dusta bahwa kita akan bebas dan dijadikan pembantu 

kepercayaan Hantu Muka Dua jika mau tunduk dan patuh 

pada Hantu Muka Dua. Aku mendapat firasat Hantu Muka 

Dua akan menghancurkan liang batu“Gusti Allah! Tolong kami!” kata Wiro dengan suara 

keras. Dia memandang berkeliling. Dua tangannya bergetar 

tanda dia kembali mengerahkan tenaga dalam menyiapkan 

pukulan. Maksudnya hendak menghantam salah satu 

sudut ruangan batu itu yang mungkin bisa dihancurkan 

agar dapat jalan keluar. 

“Anak muda, bagaimanapun hebatnya tenaga 

dalammu, apapun senjata yang kau miliki, jangan harap 

bisa menjebolkan dinding liang batu itu...” kata Labudung 

alias Si Pelawak Sinting yang sebenarnya. 

Kesal dan geram Wiro garuk-garuk kepala dan 

melangkah mundar-mandir. 

“Anak muda...” tiba-tiba Hantu Tangan Empat berkata. 

Saat itu dia tengah memapah istrinya dan berusaha 

melangkah ke arah Wiro. “Setahuku kau mempunyai ilmu 

mengerahkan hawa sakti yang bisa melihat ke arah 

kejauhan. Lekas kau pergunakan kepandaianmu itu untuk 

melihat siapa tahu ada jalan keluar. Aku yakin, pasti ada 

jalan rahasia jalan keluar dari tempat celaka ini...” 

Wiro gigit-gigit bibirnya. Dia berpaling pada Labudung. 

Orang tua ini tertawa lebar dan anggukkan kepala lalu 

berucap. “Kalau saja aku bisa menggerakkan tanganku 

untuk menabuh tambur itu, pasti aku bisa membantumu 

mencari jalan sambil menyanyi. Sayang diriku kena 

dipendam manusia celaka Hantu Muka Dua itu...” 

Sejak tadi Wiro tidak begitu memperhatikan. Tapi ketika 

dia melihat sekali lagi ke arah kakek yang terpendam itu 

dia jadi tertawa geli dan garuk-garuk kepala. Ternyata 

kakek satu ini juga mengenakan celana yang didodorkan 

sampai ke bawah pusar. Perlahan-lahan Wiro rangkapkan 

dua tangannya di depan dada. Aliran darah dan tenaga 

dalam diatur sedemikian rupa hingga bergerak ke arah 

kepala. Wiro kemudian kedipkan kedua matanya, menatap 

ke depan. Kegelapan. Dia hanya melihat kegelapan di 

depan sana. Dia coba alihkan pandangan mata ke dinding 

kiri. Tetap saja dia tak bisa melihat apa-apa. Berputar ke 

dinding sebelah kanan Wiro jadi berdebar. Tak ada


petunjuk, hanya kegelapan yang dilihatnya. Perlahan-lahan 

dia putar lagi tubuhnya. Kini menghadapi dinding batu yang 

tadi dipunggunginya. Dadanya kembali berdebar. Samar-

samar dia melihat sesuatu. 

“Aneh, dua benda apa itu...?” Murid Sinto Gendeng 

membatin. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Kini di 

belakang dua benda aneh itu dia melihat tegak dua sosok 

menyerupai sosok manusia. 

“Aku mendengar suara sesuatu!” Labudung berucap. 

Daun telinganya bergerak-gerak. 

“Aku juga,” kata Hantu Tangan Empat. 

Wiro sendiri belum mendengar suara apapun. Pertanda 

dalam ilmu mendengar ini dua kakek aneh itu memiliki 

kepandaian jauh lebih tinggi darinya. 

“Suara apa Kek?” tanya Wiro pada Hantu Tangan 

Empat. 

“Seperti suara tanah digangsir orang...” jawab Hantu 

Tangan Empat sambil usap janggut putihnya. 

Wiro buka matanya lebar-lebar. Kerahkan seluruh hawa 

sakti yang dimilikinya hingga tubuhnya bergetar dan 

kucurkan keringat. Dia kedipkan lagi matanya dua kali 

berturut-turut. Sesaat kemudian apa yang tadi dilihatnya 

kini tampak lebih jelas. Dari mulutnya keluar seruan. 

“Tuhan Maha Besar! Pertolongan Gusti Allah sudah 

datang!” Wiro berseru gembira dan memandang pada Si 

Pelawak Sinting dan Hantu Tangan Empat. 

“Tuhan... Siapa Tuhan yang kau maksudkan itu anak 

muda? Siapa pula Gusti Allah yang kau sebutkan itu?” Si 

Pelawak Sinting bertanya. 

“Masakan kau...” Wiro cepat sadar. Orang-orang di 

Negeri Latanahsilam termasuk Si Pelawak Sinting ini mana 

tahu Tuhan atau Allah. Dia berusaha memberi penjelasan. 

“Tuhan adalah Dia yang menjadikan langit dan bumi ini. 

Termasuk kita semua! Tak ada kekuasaan yang lebih tinggi 

dari yang dimilikiNya. Tak ada ilmu kepandaian yang 

dimiliki siapapun melebihi yang dimilikiNya! Dia Maha 

Pengasih, Maha Penolong dan Maha Pelindung...”“Apakah dia sama dengan Dewa wahai anak muda?” 

“Sulit bagi saya menjelaskannya Kek. Yang jelas saat ini 

pertolonganNya segera menjadi kenyataan!” 

Baik Hantu Tangan Empat maupun Si Pelawak Sinting 

sama-sama memandang seputar ruangan batu. 

“Aku hanya mendengar, tidak melihat apa-apa. Apakah 

yang kau sebut Tuhan atau Allah itu hanya bersuara, tidak 

berbentuk, tidak memperlihatkan diri?” 

Wiro tersenyum sambil garuk-garuk kepala. “Kalau 

tanpa memperlihatkan diri Gusti Allah sanggup menolong 

kita, apa perlunya Dia memperlihatkan diri!” 

“Ah, kalau begitu ingin sekali aku mengenal Tuhan atau 

Allahmu itu...” ujar Si Pelawak Sinting sambil hendak 

manggut-manggut tapi mengerenyit sakit karena kepalanya 

sebelah belakang melekat ke batu! 

Sesaat kemudian suara seperti gerinda menderu 

memenuhi liang penyekapan itu. Lantai dan dinding 

bergetar hebat. Telinga seperti ditusuk. Tiba-tiba salah satu 

dinding ruangan jebol besar. Batu-batu berpelantingan. 

Debu beterbangan. Begitu debu surut ke bawah, muncullah 

dua sosok makhluk yang membuat Hantu Tangan Empat 

tersurut sampai dua langkah sementara Si Pelawak Sinting 

buka matanya yang belok lebar-lebar. Belum lagi habis 

kaget mereka, ke dalam liang menyusul melesat dua sosok 

tubuh, satu bersisik, satunya ditumbuhi duri-duri panjang 

mengerikan! 

***


DUA 

DUA SOSOK makhluk yang menerobos masuk 

pertama sekali adalah sepasang landak raksasa 

yang dikenal Wiro sebagai Laeruncing dan Laelancip. 

Lalu di belakang mereka menyusul makhluk bersisik yang 

bukan lain adalah Hantu Jatilandak. Makhluk ke tiga 

berbentuk dahsyat. Sekujur kepala, muka dan tubuhnya 

tertutup sisik hitam sekeras baja. Matanya angker sekali 

karena hanya berbentuk dua buah tonjolan putih seperti 

combong kelapa. Dia bukan lain adalah makhluk aneh 

berkepandaian tinggi yang dikenal dengan nama Tringgiling 

Liang Batu. Dialah tadi yang bersama-sama dua landak 

raksasa menggasir tanah, menjebol dinding batu dan 

menerobos masuk ke dalam liang penyekapan itu! (Untuk 

lebih mengetahui siapa adanya mereka harap baca serial 

Wiro Sableng berjudul “Hantu Jatilandak”). 

“Tuhan Maha Besar!” seru Pendekar 212 Wiro Sableng 

setengah berjingkrak. “Kalian semua benar-benar hebat! 

Kami semua berterima kasih atas pertolongan kalian!” 

Wiro mengusap-usap Laelancip si landak betina dan 

Laeruncing si landak jantan lalu memeluk Hantu Jatilandak 

yang telah menganggapnya sebagai saudara dan tak lupa 

menjura hormat kepada Tringgiling Liang Batu. 

“Aku banyak mendengar, tapi baru kali ini melihat 

sendiri kalian semua wahai makhluk-makhluk gagah! Aku 

dan istri mengucapkan terima kasih atas usaha kalian 

menolong kami!” berkata Hantu Tangan Empat. 

“Kita harus bergerak cepat!” Tringgiling Liang Batu 

berkata. “Sebelum menerobos masuk ke sini dari arah 

barat, kami melihat ada beberapa kelompok orangmelakukan sesuatu. Kelihatannya mereka hendak 

meroboh atau menimbun tempat ini!” 

“Apa kataku!” Si Pelawak Sinting berkata. “Hantu Muka 

Dua jahanam itu benar-benar makhluk Segala Keji! Lekas 

kalian tinggalkan tempat ini!” 

“Kau bagaimana wahai sobatku?” tanya Hantu Tangan 

Empat. 

“Jangan pedulikan diriku! Kalau kalian bisa selamat 

semua aku sudah senang. Lekas pergi...!” 

“Kami tidak akan pergi jika tidak bersamamu!” Selarik 

sinar putih berkiblat disertai suara menggaung seperti 

seribu tawon mengamuk. 

Traang! 

Tangan kanan Wiro bergetar hebat. Kapak Maut Naga 

Geni 212 memercikkan bunga api terang benderang. Murid 

Eyang Sinto Gendeng melompat mundur dan membelalak. 

Senjata mustika yang sangat diandalkannya itu tidak 

mampu menghancurkan dinding batu di mana Si Pelawak 

Sinting melesak terpendam. Wiro melirik pada sepasang 

landak. Dalam hatinya dia membatin. “Dua landak raksasa 

itu mampu menjebol dinding ini dengan taring-taringnya. 

Mengapa kapak ini...” 

Laeruncing dan Laelancip seolah tahu apa yang ada di 

pikiran sang pendekar kedip-kedipkan mata mereka lalu 

keluarkan suara menggereng perlahan. Di dinding sana Si 

Pelawak Sinting mengekeh. 

“Kek, kau ini aneh. Semua orang merasa bingung dan 

sedih tak bisa menolong mengeluarkan kau dari pendaman 

batu. Tapi kau sendiri malah tertawa begitu!” 

“Na... na... na...! Ni... ni... ni! Aku bukan saja tertawa tapi 

masih bisa menyanyi. Terima kasih! Kenapa kalian susah-

susah pakai bingung dan sedih segala? Sudah lekas pergi. 

Tinggalkan tempat ini cepat. Tak usah pedulikan diriku lagi. 

Siapa tahu wahai anak muda, Tuhan atau Allahmu itu 

masih ingat diriku dan menolong! Hik... hik... hik...!” 

Wiro garuk-garuk kepala mendengar kata-kata Si 

Pelawak Sinting itu. Hantu Jatilandak berpaling padaTringgiling Liang Batu yang sudah menganggapnya sebagai 

cucu sendiri. Maklum arti pandangannya sang cucu ini 

Tringgiling Liang Batu lalu melompat ke dinding tempat Si 

Pelawak Sinting terpendam. Sepuluh jari-jari tangannya 

yang memiliki sisik dan kuku hitam setajam baja langsung 

ditancapkan ke dinding batu sepanjang sosok si kakek 

terpendam. 

“Hai! Hendak kau apakan diriku! Hendak kau gelitik...?!” 

seru Si Pelawak Sinting lalu tertawa cekikikan seperti orang 

kegelian. 

Laksana pahat sakti jari-jari tangan Tringgiling Liang 

Batu menancap dan kepulkan cahaya hitam di dinding batu 

dan sekaligus membongkarnya. Pecahan batu dan debu 

beterbangan. Satu lobang besar terbentuk sekeliling sosok 

si kakek. Sesaat kemudian sambil pegang celananya yang 

kedodoran Si Pelawak Sinting melompat dari dinding. 

Begitu injakkan kaki di lantai dia segera menyambar 

payung daun, tambur dan penabuh miliknya. Kemudian 

sambil menabuh tambur itu dia tegak membungkuk, tanpa 

pedulikan celananya yang kembali merosot kedodoran, 

memberi hormat satu persatu pada semua orang yang ada 

di situ termasuk Laeruncing dan Laelancip sepasang 

landak raksasa sambil berulang kali mengucapkan terima 

kasih. 

“Anak muda,” kata Si Pelawak Sinting pada Wiro. 

“Tuhan Gusti Allahmu benar-benar hebat! Bagaimana 

caranya aku berterima kasih padaNya?!” 

“Dia Maha Tahu, Maha Mendengar apa isi hatimu. Tak 

usah mengatakanpun Gusti Allah sudah tahu kalau kau 

menyukuri pertolonganNya...” 

“Ah, begitu...? Aneh juga ya? Hik... hik... hik!” 

“Para kerabat! Kita harus segera tinggalkan tempat ini!” 

Tringgiling Liang Batu berkata. 

“Laelancip dan Laeruncing, kau di sebelah depan...” 

kata Hantu Jatilandak pada dua ekor landak raksasa yang 

selama sekian tahun memeliharanya di sebuah pulau. Dua 

landak raksasa itu segera balikkan tubuh dan melesat

masuk ke dalam lobang besar di dinding. Hantu Jatilandak 

menyusul, lalu Hantu Tangan Empat yang saat itu telah 

memanggul istrinya. Di sebelah belakang Pendekar 212 

dan Si Pelawak Sinting lalu di belakang sekali Tringgiling 

Liang Batu. 

Setelah melewati terowongan cukup panjang yang 

sebelumnya dibuat oleh rombongan Tringgiling Liang Batu, 

orang-orang itu sampai di satu tempat terbuka di sebelah 

timur kawasan berbatu-batu. Pada saat itu 

mendadakterdengar suara gemuruh hebat di belakang 

mereka. Ketika berpaling terkejutlah orang-orang itu. 

Kawasan liang batu di mana mereka berada sebelumnya 

tampak ambruk longsor. Batu-batu besar bergelindingan 

dahsyat menimbun tempat itu. Di udara debu dan pasir 

beterbangan sampai beberapa tombak. 

“Pasti pekerjaan orang-orang Hantu Muka Dua!” kata Si 

Pelawak Sinting. 

Tringgiling Liang Batu melompat ke depan lalu berkata. 

“Ambil jalan ke kiri! Ikuti aku!” 

Orang-orang itu segera melakukan apa yang dikatakan 

Tringgiling Liang Batu. Namun begitu debu dan pasir turun 

luruh dan pemandangan menjadi jelas kembali, mereka 

dapati berada dalam keadaan terkurung. Beberapa orang 

dengan sikap garang berdiri di atas batu-batu besar. Yang 

pertama adalah Si Pelawak Sinting palsu alias Labodong. 

Lalu di sebelahnya, di atas sebuah batu datar tegak Hantu 

Api Biru. Tak jauh di sebelah kiri di atas dua buah batu 

berdiri sepasang saudara kembar Lagandrung dan 

Lagandring yang sebelumnya pernah berkelahi adu 

kekuatan melawan Hantu Tangan Empat dan Pendekar 

212 Wiro Sableng! Melihat Lagandring Wiro segera ingat 

kaca merah bulat milik orang itu yang sampai saat itu 

masih berada dalam saku pakaiannya. 

“Asyik sekali!” tiba-tiba Si Pelawak Sinting berseru. 

“Terima kasih kalian berempat memberi kesempatan lolos 

pada kami dari timbunan batu itu. Juga terima kasih kalian 

mau susah-susah mengadakan penyambutan ataskedatangan kami! Hanya sayang mana majikan besar 

kalian penguasa Istana Kebahagiaan yang katanya adalah 

Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam?! Apa 

masih enak ngorok atau belum cebok dan belum mandi?! 

Ha... ha... ha!” 

“Tua bangka tolol! Nyawa hanya tinggal sekejapan mata 

malah bicara ngelantur!” Yang membalas ucapan Si 

Pelawak Sinting adalah makhluk aneh yang sekujur 

tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki dikobari api 

warna biru. 

“Wahai para sobatku, hari ini mari kita berbagi pahala!” 

kata Si Pelawak Sinting. “Manusia-manusia kaki tangan 

Hantu Muka Dua pantas dibasmi. Aku biarlah menghadapi 

kakakku sendiri Si Pelawak Sinting palsu bernama 

Labodong itu. Kecuali jika dia mau menyadari dosa-

dosanya, pergi dari sini bertobat seumur-umur! Kalian mau 

cari pasangan lawan silakan pilih sendiri. Hik... hik... hik!” 

Hantu Tangan Empat maju selangkah lalu berkata 

“Sebelumnya si kembar Lagandrung senang bermain-main 

dengan aku! Bagusnya permainan di tepi telaga dulu kita 

lanjutkan kembali! Ha... ha... ha...!” Saat itu juga Hantu 

Tangan Empat robah sosok tubuhnya. Rambutnya menjadi 

merah tegak berjingkrak. Dari kulit kepalanya mengepul 

asap merah. Empat tangan mencuat dari tubuhnya, 

bergerak-gerak kian kemari mengeluarkan desau angin 

dingin menggidikkan. 

Di atas batu besar Lagandring diam-diam merasa kecut 

kalau-kalau Pendekar 212 Wiro Sableng akan buka mulut 

memilih dirinya sebagai lawan. Ternyata Wiro punya jalan 

pikiran lain. 

“Pelawak Sinting sobatku,” katanya pada Labudung. 

“Sebenarnya aku ingin sekali memberi pelajaran pada 

kakakmu si Labodong itu. Tapi karena kau sudah 

memilihnya jadi lawan, biar aku menghadapi manusia 

puntung neraka itu yang kabarnya punya nama hebat 

Hantu Api Biru!” 

“Terima kasih kau mau mengerti!” kata Si PelawakSinting yang asli lalu tertawa gelak-gelak. 

Mendadak Wiro mendengar suara mengiang di 

telinganya sebelah kiri. “Anak muda, kalau kau memilih 

Hantu Api Biru sebagai lawanmu, hanya ada satu dari 

sekian ilmumu yang sanggup menghadapinya. Keluarkan 

Ilmu Angin Es!” 

Murid Sinto Gendeng terperangah dan menoleh ke 

samping ke arah Hantu Tangan Empat karena dia tahu 

kakek inilah yang barusan bicara padanya. “Heran, 

bagaimana dia tahu aku memiliki ilmu itu?” Namun diam-

diam Wiro merasa berterima kasih. Jika dipikir memang 

kekuatan paling ampuh dalam menghadapi ilmu api adalah 

ilmu angin es yang selama ini hampir tak pernah 

dikeluarkannya seperti juga Ilmu Belut Menyusup Tanah. 

“Kalian semua sudah memilih lawan, biar aku yang 

jelek ini menghadapi si kembar muda itu!” kata Hantu 

Jatilandak. Si kembar muda yang dimaksudkannya adalah 

Lagandring. 

“Nasibku jelek! Agaknya aku hanya akan jadi 

penonton!” kata Tringgiling Liang Batu. 

Menganggap enteng Hantu Jatilandak, Lagandring 

menyeringai buruk lalu berkata. “Sebelum kami mencabut 

nyawa kalian satu persatu aku harap pemuda asing 

bernama Wiro lebih dulu mengembalikan kaca merah 

milikku yang dicurinya di tepi telaga tempo hari!” 

Mendengar ucapan itu Wiro segera keluarkan kaca 

merah yang ada dalam saku pakaiannya. “Orang jelek! Kau 

inginkan kacamu silakan ambil sendiri! Kalau kau mampu 

membunuhku kau tentu sanggup mengambilnya!” Wiro 

acungkan kaca itu ke atas. Tak sengaja sambil mengacung 

dia usap-usap kaca merah itu. Wiro tidak menyadari apa 

akibat usapan yang dilakukannya ini. Tiba-tiba tubuhnya 

berubah besar dan menjadi lebih tinggi. Terus... terus 

sampai sosoknya mencapai dua kali lebih besar dan lebih 

tinggi dari semula! Wiro berseru kaget. Semua orang yang 

berada di pihaknya juga terheran-heran kecuali Si Pelawak 

Sinting yang tertawa-tawa cekikikan. Hantu Api Biru yangmenjadi lawannya diam-diam merasa kecut juga. Karena 

itu dia memutuskan untuk menyerbu lebih dulu. Sambil 

melompat ke depan dia hantamkan dua tangannya kiri 

kanan. 

Wusss! Wussss! 

Dua larik kobaran api warna biru menggebubu 

menyambar dahsyat ke arah Pendekar 212. Tubuh Wiro 

yang besar merupakan sasaran empuk bagi serangan 

lawan. Murid Eyang Sinto Gendeng berseru keras lalu 

mencelat ke atas sampai dua tombak. Di bawahnya 

sebuah batu besar yang kena hantaman dua larik kobaran 

api langsung terbelah empat dan tenggelam dalam 

kobaran api biru! Mau tak mau Wiro jadi tercekat juga 

menyaksikan hal itu. 

Dengan keluarkan jurus Tangan Dewa Menghantam 

Tanah yakni jurus ke enam dari ilmu silat langka yang 

bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa dia lindungi 

dirinya ketika berjungkir balik turun ke tanah. Besar 

tubuhnya yang dua kali wajar membuat setiap gerakan 

yang dilakukan Wiro mengeluarkan deru angin keras. 

Hantu Api Biru cepat mengelak cari selamat. Di saat yang 

sama Wiro sudah tegak di belakangnya. 

Hantu Api Biru menggertak marah walau sebenarnya 

hatinya mendadak kecut melihat lobang besar yang 

menganga di tanah akibat pukulan yang dilepaskan Wiro 

tadi. Cepat dia balikkan badan. Memandang ke depan dia 

melihat musuh tegak sambil angkat dua tangan tinggi-

tinggi ke atas. Sepasang telapak membuka lebar, 

diarahkan ke depan sambil digoyang-goyangkan. Tampang 

Hantu Api Biru menjadi gelisah. Di atas batu dia kerahkan 

tenaga dalam ke kaki untuk membentengi kuda-kuda yang 

dibuatnya. Tiba-tiba dia merasakan ada hawa dingin 

menerpa ke arahnya. 

“Jahanam! Ilmu apa yang dimiliki pemuda asing ini!” 

maki Hantu Api Biru dalam hati sementara sekujur 

tubuhnya terasa dingin. Dia lipat gandakan tenaga 

dalamnya. Lalu seperti tadi memukul dengan dua tangan

sekaligus. Dua larik api biru laksana amukan gelombang 

menerpa ke depan. Kalau dalam serangan pertama 

sebelumnya Pendekar 212 selamatkan diri dengan 

melompat ke udara, kali ini dia tetap tegak di tempatnya, 

tak bergerak. Rahangnya menggembung. Hanya tinggal 

satu tombak dua gelombang api biru siap menghantamnya 

tiba-tiba Wiro pukulkan dua tangannya ke depan. 

Suara angin seperti tiupan seribu seruling membuncah 

udara. Bersamaan dengan itu dua gelombang hawa yang 

bukan olah-olah dinginnya menyambar. Semua orang yang 

ada di tempat itu menggigil kedinginan. Hantu Api Biru 

kerahkan seluruh kekuatan. Dua gelombang apinya 

bergetar hebat. Dua kakinya goyah. Tiba-tiba dia keluarkan 

bentakan garang. Kaki kanannya dihantamkan ke batu 

hingga mengepulkan asap. Bersamaan dengan itu dia 

dorongkan dua tangannya hingga dua gelombang api biru 

melesat lebih deras. 

Pendekar 212 merasa sekujur tubuhnya bergetar keras 

dan panas. Dia terjajar lima langkah. Dia berusaha 

bertahan namun dua gelombang api biru terus merangsak. 

Wussss! Wussss! 

Wiro berteriak keras, sakit dan kaget. Pakaian putih 

yang dikenakannya berubah hitam. Hangus! Untung 

tubuhnya sendiri tidak cidera hanya mengalami rasa panas 

yang amat sangat. 

“Anak muda, jangan menganggap enteng musuh! Kalau 

kau hanya mengerahkan setengah kekuatan tenaga 

dalammu, kau tak akan mampu menghadapi Hantu Api 

Biru. Sebelum kau dipanggangnya hidup-hidup lekas lipat 

gandakan tenaga dalammu!” 

Wiro mendengar suara mengiang di telinga kirinya. Lagi-

lagi Hantu Tangan Empat memberi kisikan menolong sang 

pendekar. Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera 

kerahkan seluruh tenaga dalamnya sampai-sampai dua 

kakinya melesak sepertiga jengkal ke dalam batu yang 

dipijaknya. 

Hantu Api Biru melengak kaget ketika melihat

serangannya tadi hanya mampu menghanguskan pakaian 

lawan. Dia lebih kaget lagi sewaktu menyaksikan dua 

gelombang api birunya perlahan-lahan terdorong berbalik 

ke arahnya. Makin lama makin menciut. Dia berusaha 

bertahan. Mendadak ada hawa aneh yang sangat dingin 

menjalar ke dalam tubuhnya lewat sepasang lengan. 

“Jahanam! Ilmu apa yang dimiliki pemuda asing keparat 

ini?!” rutuk Hantu Api Biru dalam hati. Dia berusaha 

bertahan. Tubuhnya bergoncang keras. Hawa dingin luar 

biasa membungkus dirinya mulai dari ubun-ubun sampai 

ke telapak kaki. Semakin dia bertahan semakin parah 

keadaannya. Asap putih tampak mengepul dari batok 

kepala, lobang hidung dan mulut. Jantungnya mendenyut 

sakit seolah berhenti berdetak. Dari mulut, hidung, telinga 

dan pinggiran matanya keluar lelehan darah. Wiro 

dorongkan dua tangannya ke arah lawan. Tak ampun lagi 

musnahlah dua gelombang api biru. Bersamaan dengan itu 

tubuh Hantu Api Biru mencelat mental, jatuh tersandar di 

sebuah batu besar. Sekujur tubuhnya tak berkutik lagi 

diselimuti lapisan aneh berwarna putih keras dan 

mengepulkan hawa dingin membeku. Sepasang matanya 

mendelik tak berkesip. 

Kraak... kraaakkk... kraaakkk! 

Lapisan putih beku dan dingin berupa kepingan-

kepingan es yang membungkus tubuh Hantu Api Biru 

pecah-pecah lalu berjatuhan ke tanah. Sosok Hantu Api 

Biru tetap tak bergerak. Mata terus membelalak tak 

berkesip tapi dia tidak bisa melihat apa-apa lagi karena 

saat itu nyawanya telah putus meninggalkan jazadnya! 

Wiro yang sempat jatuh terduduk di tanah akibat 

bentrokan adu kekuatan tadi dengan muka pucat perlahan-

lahan bangkit berdiri sambil mengatur jalan nafas dan 

peredaran darahnya. 

Kini kita saksikan apa yang terjadi antara Hantu 

Jatilandak dan Lagandring. Seperti Hantu Api Biru, 

Lagandring melancarkan serangan tangan kosong 

mengandung tenaga dalam tinggi. Sebaliknya HantuJatilandak begitu menggebrak menyongsong serangan 

lawan langsung saja lepaskan selusin duri-duri landaknya 

ke arah lawan. Sama sekali tidak menduga kalau duri-duri 

itu bisa lepas dari tubuh lawan dan merupakan senjata 

dahsyat, Lagandring kaget besar dan berseru keras. Dia 

cepat berkelebat selamatkan diri. Namun hanya sembilan 

saja duri beracun itu yang bisa dielakkannya. Dalam 

keadaan berbahaya itu dari samping Lagandrung segera 

membantu adiknya. Dari kaca bulat putih yang melekat di 

keningnya dia semburkan sinar maut yang disebut Sinar 

Darah Putih. Sinar ini laksana kilat menyambar ke arah 

kepala Hantu Jatilandak. 

“Curang pengecut! Aku lawanmu!” Hantu Tangan Empat 

membentak marah. Sekali berkelebat tinju kanannya tahu-

tahu sudah ada di atas kepala lawan. 

Lagandrung membentak garang. Tangan kanannya 

dipukulkan ke atas menangkis hantaman lawan. Tapi 

tangan ke dua Hantu Tangan Empat bergerak lebih cepat 

mencekal lengan kanannya. Terpaksa Lagandrung 

pergunakan tangan kiri untuk menyodok perut lawannya. 

Bukkk! 

Praaakk! 

Jotosan Lagandrung memang menyusup telak di perut 

Hantu Tangan Empat hingga tubuh si kakek terangkat satu 

jengkal ke atas. Walau kena hantaman begitu rupa namun 

Hantu Tangan Empat sama sekali tidak mengalami cidera. 

Sebaliknya Lagandrung harus membayar mahal karena 

kemplangan tangan pertama Hantu Tangan Empat tidak 

sanggup dikelit ataupun ditangkisnya. Begitu tinju Hantu 

Tangan Empat mendarat di batok kepalanya tak ampun 

lagi Lagandrung meraung keras lalu menggelepar di tanah. 

Orang tertua dari dua saudara kembar ini menemui ajal 

dengan kepala rengkah mata mencelet! 

Suara raungan Lagandrung bukan saja membuat sang 

adik merinding ngeri, sekaligus tambah kewalahan 

menghadapi tiga duri landak serangan Hantu Jatilandak 

yang masih terus mengejarnya. Sambil jatuhkan diriLagandring lepaskan pukulan tangan kosong mengandung 

tenaga dalam cukup tinggi. Namun hanya satu dari tiga 

duri landak beracun yang sanggup dibuat mental. Dua 

lainnya menancap di dada kiri dan bahu kanan. Lagandring 

menjerit keras. Mukanya pucat. Dia berusaha mencabut 

dua duri itu. Walau berhasil namun racun duri landak telah 

menjalar ke dalam darahnya. Dia merasakan nafasnya 

sesak. Lehernya terjulur seolah ada yang mencekik. Sesaat 

kemudian tubuhnya limbung lalu terkapar di tanah. 

Kakinya melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak 

berkutik lagi tanda nyawanya lepas sudah! 

Sementara itu perkelahian antara dua kakak beradik 

kembar lainnya yakni Labudung alias Si Pelawak Sinting 

asli dengan Labodong atau Si Pelawak Sinting palsu 

berlangsung seru. Sebagai adik, Labudung memang 

setingkat lebih rendah kepandaiannya. Namun dia 

mempunyai kepandaian mengejek dan mempermainkan si 

kakak hingga Labodong menjadi sakit hati dan termakan 

kejengkelannya sendiri. Akibatnya serangan-serangan 

Labodong banyak yang ngawur! 

Dari cara dua saudara kembar ini berkelahi baik Wiro 

maupun yang lain-lainnya mengetahui bahwa walau dua 

kakak adik itu mengerahkan tenaga dalam yang hebat 

namun mereka sama sekali seperti sengaja tidak 

mengeluarkan ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi langka 

dan mematikan yang mereka miliki. Dalam waktu singkat 

tiga puluh jurus berlalu cepat dan kelihatan Labodong 

mulai terdesak. Demi mencari selamat Labodong akhirnya 

mulai keluarkan pukulan-pukulan sakti sementara sang 

adik andalkan payung daun, tambur dan penabuhnya. 

Sambil menari-nari seperti orang sinting payung di atas 

kepala Labudung bergerak mumbul kian kemari. Setiap 

putaran yang dibuat payung ini pinggiran payung yang 

laksana gerinda besar siap membabat kepala, leher atau 

tubuh lawan. Sementara suara tambur yang ditabuh 

dengan mengerahkan tenaga dalam membuat tempat itu 

seperti didera guruh tiada henti. Di satu gebrakan yangtampaknya seperti main-main Labudung secara tak 

terduga berhasil susupkan sikut kanannya ke rusuk 

kakaknya. 

Kraaaakkk! 

Dua tulang iga Labodong patah. Orang ini terjajar ke 

belakang sambil pegangi rusuknya. Mukanya merah 

mengelam dan keningnya mengerenyit menahan sakit. 

Ketika Labudung kembali hendak menggebrak dengan 

serangan, sang kakak angkat tangan seraya berseru. 

“Tahan!” Sambil berteriak Labodong melompat mundur 

tiga langkah. “Cukup Labudung! Hentikan perkelahian gila 

ini! Kau mau membunuh kakak sendiri! Wahai!” 

“Kau yang minta mampus sendiri! Sekarang apa 

perlunya menyesali diri!” bentak Labudung. 

“Dengar...” kata Labodong pula. “Aku berjanji 

meninggalkan Hantu Muka Dua. Aku bertobat...” 

“Manusia tolol! Coba tadi-tadi kau bilang begitu, tak 

perlu aku menjatuhkan tangan keras!” kata Labudung. 

“Aku minta maaf... Padamu... pada semuanya!” 

Labodong menjura berulang kali lalu putar tubuhnya 

tinggalkan tempat itu. 

“Ingat Labodong!” berkata Labudung. “Jangan kau 

berani lagi mengaku-aku memalsu diri sebagai Si Pelawak 

Sinting! Jika aku tahu kau mengulangi perbuatan itu, aku 

akan kocok kepalamu sampai kau benar-benar sinting!” 

“Wahai... aku! Aku...” Labodong putar tubuhnya lalu 

melangkah pergi. 

“Tunggu dulu!” tiba-tiba Wiro yang saat itu masih 

berada dalam keadaan tubuh tinggi dan besar seperti 

raksasa berseru. 

“Anak muda, apa yang kau inginkan dariku?” tanya 

Labodong. 

“Pelawak Sinting palsu, bagaimana aku harus 

membalas semua budi baikmu selama ini sampai akhirnya 

kau menjebloskan aku ke liang batu itu!” 

“Ah... wahai! Aku tak mengerti maksudmu! Jangan 

menyebut segala macam budi. Aku...”“Kalau begitu kau boleh pergi dengan aman. Tapi aku 

minta sesuatu darimu!” Habis berkata begitu Wiro ulurkan 

tangan kirinya mencekal pinggang Labodong. Lalu tangan 

kanannya bergerak menanggalkan celana yang dikenakan 

si kakek hingga orang ini berada dalam keadaan bugil di 

sebelah bawah. 

“Nah, sekarang kau boleh pergi, Kek. Selamat jalan!” 

kata Wiro lalu tertawa gelak-gelak. Semua orang yang ada 

di tempat itu termasuk Labudung ikut-ikutan tertawa. 

“Wahai! Bagaimana ini!” Labodong alias Si Pelawak 

Sinting palsu jadi kalang kabut, berusaha menutupi 

auratnya dengan kedua tangan. Akhirnya dia menyambar 

serumpun pohon berdaun lebat. Dengan daun-daun itu 

ditutupnya tubuhnya sebelah depan lalu lari terbirit-birit 

tinggalkan tempat itu diikuti gelak tawa semua orang yang 

ada di situ. 

Wiro tiba-tiba hentikan tawanya. Dia memandang pada 

dirinya sendiri lalu berpaling pada Hantu Tangan Empat. 

“Celaka Kek! Tubuhku masih sebesar raksasa begini! 

Bagaimana aku mengembalikannya ke bentuk semula?” 

Hantu Tangan Empat yang saat itu telah merubah diri 

kembali menjadi kakek bermuka datar tertawa lebar. 

“Bukankah lebih enak jadi orang besar seperti 

keadaanmu sekarang ini, wahai anak muda? Ke mana-

mana kau pasti menjadi perhatian orang... Akan banyak 

para gadis tergila-gila padamu. Akan banyak orang 

perempuan ingin mengetahui keadaan auratmu. Nah, apa 

tidak senang hidup seperti itu? Hik... hik... hik...!” 

“Kakek Pelawak Sinting, jangan kau menggodaku! 

Walah! Bisa repot Kek! Tolong Kek!” 

“Anak muda, dulu kau kalang kabut minta tolong agar 

tubuhmu dibesarkan. Kini kau mendapat berkah dua kali 

lebih besar! Apa tidak enak?” ujar Hantu Tangan Empat 

pula sambil menyeringai. 

“Jangan kalian mempermainkan diriku. Jika tahu 

caranya harap segera saja mengatakan!” kata Wiro pula. 

“Wahai, yang tahu bagaimana caranya mengembalikan

dirimu seperti semula hanya Lagandrung dan Lagandring! 

Kau lihat sendiri, dua orang itu sudah menemui ajal!” Yang 

bicara adalah Si Pelawak Sinting. Kakek ini lalu tertawa 

mengekeh. Membuat Wiro jadi tambah bingung. 

“Salah satu dari kalian pasti tahu. Tapi kalian sengaja 

membuat aku bingung kalang kabut!” 

“Aku mau pergi...” Si Pelawak Sinting enak saja bicara. 

“Aku juga!” kata Hantu Tangan Empat sambil 

menggandeng istrinya. 

“Kami juga!” kata Tringgiling Liang Batu. 

“Sebelum diriku berubah seperti semula jangan ada 

yang berani pergi dari sini!” kata Wiro setengah 

mengancam. 

Tapi Si Pelawak Sinting malah tambah keras 

ketawanya. Dia lalu melangkah mendekati murid Sinto 

Gendeng itu lalu berkata. “Punya otak untuk diolah. Punya 

akal untuk diasah. Punya pikiran untuk mengingat! Wahai 

anak muda, sebelumnya bukankah kau sudah pernah 

melihat Lagandrung dan Lagandring? Sebelumnya 

bukankah kau sudah menyaksikan di mana mereka 

meletakkan kaca aneh itu?” Habis berkata begitu si kakek 

lalu melangkah pergi. 

Wiro garuk-garuk kepala. Diperhatikannya kaca merah 

yang sejak tadi dipegangnya. 

“Memang aku yang tolol!” kata Wiro sambil pukul 

jidatnya sendiri. Dia melirik sebentar pada mayat Lagan–

drung. Lalu dengan cepat kaca merah itu ditempelkannya 

ke pertengahan keningnya. Wiro mendengar seperti ada 

suara berdesing di telinganya kiri kanan. Secara ajaib 

tubuhnya yang tadi besar kini berubah, kembali ke ukuran 

semula. Wiro geleng-gelengkan kepala. Menarik nafas lega 

lalu garuk-garuk kepalanya sambil senyum-senyum sendiri. 

TAMAT 

Episode Berikutnya: HANTU MUKA DUA






Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive