Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Jumat, 14 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - HANTU BARA KALIATUS

https://matjenuh-channel.blogspot.com



BASTIAN TITO

HANTU BARA KALIATUS

 SOSOK YANG TEGAK DI ATAS BATU BESAR DI TENGAH 

SUNGAI BUKAN LAIN ADALAH LA TANDAI ALIAS HANTU 

BARA KALIATUS. SEPASANG MATANYA MASING-MASING 

MEMILKI DUA BOLA MATA BERWARNA MERAH SEPERTI 

BARA MENYALA MENATAP ANGKER KE ARAH 

LAKASIPO. SAAT ITU LAKASIPO MASIH DUDUK DI ATAS 

PUNGGUNG LAEKAKIENAM KUDA TUNGGANGANNYA 

YANG BERKAKI ENAM. SEMENTARA WIRO, NAGA 

KUNING DAN SETAN NGOMPOL MASIH BERADA DALAM 

GENGGAMAN TANGANNYA, BELUM SEMPAT DIMASUK-

KAN KE DALAM KOCEK JERAMI.

 "MAKHLUK APA ITU GERANGAN...." KATA NAGA

KUNING.

 "KEPALANYA SEPERTI PENDUPAAN! ADA BARA

MENYALA!"

 "LIHAT MATANYA!" NAGA KUNING BERUCAP.

 "SETIAP MATA ADA DUA BOLA MATA!"

 "YA, AKU JUGA SUDAH MELIHAT. JANGAN-JANGAN 

MAKHLUK INI PUNYA EMPAT BIJI DI KANTONG MENYAN-

NYA!" KATA WIRO PULA SAMBIL TERTAWA CEKIKIKAN.

 "KALIAN JANGAN BERGURAU SAJA!" MEMBENTAK 

SETAN NGOMPOL. "AKU PUNYA FIRASAT BAHAYA 

BESAR MENGANCAM LAKASIPO. BERARTI MENGANCAM 

KITA BERTIGA!"

212

SEMUA HAK KARYA CIPTA CERITA INI ADALAH MILIK

ALMARHUM BASTIAN TITO 

Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen 

Kehakiman Republik Indonesia 

Diektorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek di bawah 

nomor 004245

Diketik ulang oleh Dewi Tiraikasih

Hanya untuk para pendekar semua pecinta Wiro 

Sableng


SATU

SANG SURYA MASIH BELUM memperlihatkan 

diri. Udara di penghujung malam itu masih

diremangi kegelapan. Angin dingin masih men-

 cucuk menembus kulit sampai ke tulang. Hampir 

tak dapat dipercaya, dalam kegelapan seperti itu, di 

kawah Gunung Latinggimeru berkelebat satu bayangan. 

Gerakannya cepat, sulit ditangkap mata biasa. 

Bayangan ini melompat dari satu gundukan batu ke 

gundukan batu lainnya. Lalu sesekali kakinya 

menendang dan "byaaarr!" Gundukan batu hancur 

berarrtakan!

 Batu-batu yang ada dalam kawah Gunung Latinggi-

meru itu bukan batu biasa. Tapi adalah batu-batu yang 

sejak ratusan tahun telah berubah menjadi bara merah 

menyala dan tentunya panasnya bukan alang kepalang. 

Jangankan untuk dipijak, berada cukup dekat saja 

panasnya seolah mampu membakar seseorang. Apalagi 

di dalam kawah terdapat cairan lahar merah mengepul-

kan asap panas dan sesekali mencuatkan lidah api 

sampai setinggi satu tombak! Namun sosok yang ber-

kelebat dari satu batu ke batu lainnya itu sama sekali 

tidak mengalami cidera kedua kakinya. Kelebatan 

tubuhnya yang mengeluarkan angin deras membuat 

cairan lahar bergetar mengeluarkan riak se-olah men-

didih. Kalau sosok yang berkelebat di dalam kawah itu 

bukan sebangsa hantu atau setan tetapi manusia ada-

nya maka pastilah dia memiliki ilmu kenukilan yang 

luar biasa. .

 Tepat ketika cahaya pertama kemunculan sang surya 

mencuat di ufuk timur, satu bayangan hitam berkelebat 

dari lamping kawah sebelah barat. Sesaat kemudian 

bayangan ini tahu-tahu telah berdiri di atas satu gundu-

kan batu panas membara, rangkapkan tangan di atas 

dada. Wajahnya yang aneh mengerikan sesaat menatap 

pada orang yang masih berkelebat dari satu batu ke 

batu lainnya.

 Makhluk yang tegak di atas batu sambil rangkapkan 

tangan di depan dada itu memiliki wajah luar biasa

aneh dan angkernya. Muka itu seperti muka seekor

burung gagak hitam. Hidung dan mulut jadi satu me-

nyerupai paruh. Sepasang mata kecil tajam meman-

dang tak berkesip ke arah orang yang masih saja

melompat dan menendang seolah tidak menyadari

kalau saat itu di dalam kawah dia tidak lagi sendirian.

Ini memberi kejelasan, betapapun tingginya ilmu ke-

pandaian orang pertama namun masih jauh berada di

bawah makhluk yang barusan datang. Buktinya dia

tidak tahu kehadiran makhluk yang bermuka burung

yang semakin terang sinar sang surya semakin jelas

bentuknya. Dia ternyata adalah seorang nenek aneh

mengenakan pakaian dedaunan kering yang diberi

jelaga hitam.

 Kesunyian di dalam kawah Gunung Latinggimeru

itu tiba-tiba meledak oleh suara tawa si nenek bermuka

burung. Saat itulah bayangan yang sejak tadi berkelebat

kian kemari tiada henti menyadari kalau di dalam 

kawah ada orang lain. Cepat dia membalikkan tubuh 

dan siap menghantam dengan tangan kanannya.

 "Seratus hari telah berlalu! Wahai Latandai! Aku

datang memenuhi perjanjian!" Si nenek berseru keras

membuat seantero kawah bergeletar.

 "Nenek Hantu Santet Laknat!" orang di seberang sana 

keluarkan ucapan lalu cepat-cepat berlutut di atas batu 

panas. "Nenek, terima hormatku!"

 SI nenek kembali tertawa mengekeh.

 "Berdirilah wahai Latandai!"

 Orang di atas batu merah membara segera berdiri

tapi cara tegaknya agak membungkuk pertanda dia

masih meneruskan sikap hormatnya pada si nenek

angker.

 "Kulihat gerakan tubuh serta kekuatan kakimu telah 

maju pesat Latandai! Aku senang! Sekarang, hari

perjanjian telah datang! Kau akan kuberikan ilmu ke-

saktian yang selama ini kau inginkan! Apakah kau telah

siap menerimanya wahai Latandai?!"

 "Wahai Nenek Hantu Santet Laknat. Aku Latandai

siap menerima ilmu apapun yang akan kau berikan

padaku!"

 Si nenek tertawa melengking. "Ilmu Bara Setan

Penghancur Jagat akan segera kau dapatkan! Begitu

ilmu itu menjadi milikmu, maka otakmu ada dalam

otakku. Kau menjadi milikku. Artinya kau berada di

bawah kekuasaanku. Kau harus melakukan semua apa

yang aku kata dan perintahkan. Sekali kau berani

membangkang maka ilmu Bara Setan Penghancur

Jagat akan menghancurkan dirimu sendiri! Kau 

mengerti dan paham Latandai?!"

 "Aku mengerti. Aku paham wahai Nenek Hantu

Santet Laknat!"

 Si nenek tertawa panjang. Di timur langit semakin

terang. "Berdiri lurus-lurus Latandai! Kepalkan dua

tanganmu dan letakkan di samping!"

 Lelaki bernama Latandai lakukan apa yang di-

katakan si nenek. Tubuhnya tegak lurus-lurus di atas

batu merah panas. Dua tangan ditempelkan rapat-rapat

ke sisi kiri kanan.

 "Kau sudah siap Latandai?!"

 "Aku sudah siap Nek!"

 "Sungguh?!"

 "Sungguh Nek!""Ceburkan dirimu ke dalam laharl"

 Latandai tersentak kaget mendengar perintah yang

tidak disangkanya itu.

 "Nek...."

 "Sekali lagi kau dirasuk ragu dan bimbangi Sekali

lagi kau berucap dan menolak berbuat! Maka wahai!

Cukup sampai di sini aku melihatmu! Kalau aku masih

sempat melihatmu maka aku hanya akan melihat roh-

mu gentayangan antara langit dan bumi!"

 Dinginlah tengkuk Latandai. Dia tahu si nenek tidak 

bicara kosong. Dia sadar perempuan tua bermuka

burung gagak itu memiliki kemampuan untuk meng-

habisinya semudah dia membalikkan telapak tangan!

Maka tanpa menunggu lebih lama Latandai melompat,

ceburkan diri ke dalam cairan lahar yang mendidih

panas di puncak Gunung Latinggimeru itu!

 Sosok Latandai lenyap tenggelam di bawah per-

mukaan lahar. Di sebelah atas lahar mencuat me-

mercikkan lidah api. Sepasang mata Hantu Santet

Laknat memperhatikan dengan tajam. Mulutnya komat-

kamit seperti merapal sesuatu. Lalu dia berteriak. "Kau

boleh keluar sekarang Latandai!"

 Aneh! Walau berada di bawah permukaan lahar

panas dan tebal namun si nenek mampu mengiangkan

perintahnya ke telinga Latandai hingga lelaki itu men-

dengar lalu serta meria melesat keluar dari dalam lahar

dan tegak kembali di atas batu panas membara. 

Sekujur tubuhnya mengepulkan asap panas dan 

berwarna merah seolah udang direbus.

 Latandai merasakan sesuatu di atas kepalanya. Dia 

meraba ke atas. Dia juga merasa ada kelainan pada

sepasang matanya, dia mengedip-ngedipkan beberapa

kali. Lalu ketika dia memandang ke dada dan perutnya

terkejutlah lelaki ini.

 "Nekl Apa yang terjadi dengan diriku!"

 Hantu Santet Laknat mendongak lalu tertawa pan-

jang.

 "Wahai Latandai! Mengapa kau harus terkejut apalagi 

takut" ujar si nenek.

 Tubuh Latandai bergeletar. Untuk beberapa saat

lamanya dia tidak bisa membuka mulut. Dia melihat

ada tumpukan batu-batu merah membara sebesar

ujung ibu jari kaki di dada dan di perutnya. Namun dia

tidak dapat melihat bagaimana saat itu telah terjadi

kelainan pada sepasang matanya. Bola matanya yang

sebelumnya hanya ada satu pada masing-masing mata

kini berubah menjadi dua dan berwarna merah seolah

terbuat dari bara! Dia bisa meraba tapi tidak melihat

bagaimana kepalanya seolah telah dibabat sebatas

kening lalu di atas kepala yang sebelumnya ada otak,

batok kepala dan rambut itu kini dipenuhi oleh tum-

pukan batu-batu merah menyala!

 "Latandai!" seru Hantu Santet Laknat! "Sekarangkau telah memiliki ilmu kesaktian yang disebut Bara

Setan Penghancur Jagat!"

 "Nek!" kejut Latandai sampai keluarkan seruan

tertahan saking tidak percayanya.

 Hantu Santet Laknat kembali mengekeh. "Di tubuh-

mu, mulai dari kepala sampai ke pusar kini terdapat

dua ratus bara api! Itu sebabnya mulai saat ini kau

kuberi nama Hantu Bara Kaliatus! Batu-batu bara itu

akan menjadi senjata yang ikut kemana kau pergi! Kau

akan melihat wahai Latandai! Sekali kau mencabut

bara itu dan menghantam lawan, sulit bagi musuh

untuk selamatkan diri dari Kematian! Di masing-masing

matamu kini ada dua bola mata berbentuk bara api.

Jika kau pentang dua matamu lebar-lebar dan hentak-

kan rahangmu maka empat larik sinar merah sepanas

api neraka akan menebar maut! Kalau kau tidak 

percaya silahkan coba. Palingkan matamu ke arah batu 

besar di sebelah sana! Kau sanggup menghancurkan 

batu itu dengan sinar bara setan yang ada pada dua 

matamu!"

 Latandai putar tubuhnya. Palingkan muka dan

sepasang matanya ke arah batu besar menyembul di

permukaan kawah yang barusan ditunjuk si nenek.

Dalam keadaan tak berkedip Latandai katupkan ra-

hangnya. Gigi-giginya bergemeletukan. Saat itu juga

empat larik sinar semerah bara menyala berkiblat!

Melesat dan menyambar ke arah batu besar di per-

mukaan kawah.

 "Byaaarrl"

 Batu merah menyala itu hancur berantakan, lenyap

dari permukaan lahar. Yang kelihatan kini hanyalah

kepulan asap! Melihat hal itu Latandai segera berpaling

dan jatuhkan diri berlutut. "Nenek Hantu Santet Laknati

Aku menghatur ribuan terima kasih. Kau...."

 Si nenek potong ucapan Latandai dengan tawa

bergelak lalu berkata. "Kau sudah kuberikan ilmu Bara

Setan Penghancur Jagatt Sekarang mari kita mengatur

perjanjian dan perintah! Harap kau dengar baik-baik

wahai Hantu Bara Kaliatus! Setiap aku memberi pe-

rintah aku bisa langsung muncul di hadapanmu atau

hanya mengirimkan dari kejauhan melalui angin de-

ngan ilmu yang disebut Ilmu Menyadap Suara Batin.

Sekarang aku mulai dengan perintah-perintahku La-

tandai! Setiap perintah harus kau lakukan tanpa per-

nyataan karena otakmu ada dalam otakku! Kau berada

dalam kekuasaanku! Pertama kau harus mencari se-

orang manusia bernama Lakasipol Aku tak perlu me-

nerangkan siapa adanya manusia itu. Kau kenal dia

karena dia dulunya adalah Kepala Negeri Latanah-

silam."

 "Aku tahu dan aku kenal Lakasipo. Perintah akan

kujalankan Nenek Hantu Santet Laknat!" kata Latandai

yung kini telah diberi nama Hantu Bara Kaliatus!"Perintah ke dua! Kau harus membunuh Luhsantini

Istrimu sendiri...."

 "Nek!" Latandai terkejut dan sampai keluarkan

teman.

 "Jahanam! Aku sudah katakan tak ada pertanyaan" 

Bentakan si nenek menggetarkan Seantero kawah

Gunung Latinggimeru.

 "Maafkan aku Nek..." ujar Latandai yang jadi kecut

melihat tampang si nenek dan mendengar bentakannya

yang dahsyat.

 "Aku mempunyai alasan mengapa menyuruhmu

membunuh Luhsantini. Karena dia seorang istri tidak

berbudi dan tidak setia! Luhsantini pernah berhubungan 

badan dengan seorang pemuda bernama Lasingar,

kerabatmu di Latanahsilam. Selain itu dia juga bermain

cinta dengan Hantu Muka Dua! Apa perlunya kau

mempunyai seorang istri seperti itu!"

 Latandai merasakan tubuhnya bergetar dan mukanya 

mendadak jadi panassampai ke telinga. Dia hendak ber-

tanya dari mana atau bagaimana Nenek Hantu Santet 

Laknat mengetahui hal itu tapi tidak berani membuka 

mulut. Apa yang ada dalam pikiran Latandai sudah 

terbaca oleh si nenek. Maka dia pun berkata.

 "Waktu kau meninggalkan istrimu di kala dia hamil

muda kau sebenarnya telah mengambil satu keputusan

tepat! Berbulan-bulan kau mengelana mencari ilmu!

Kau telah menjadi budak hawa nafsu ingin menguasai

berbagai ilmu kesaktian! Kau hampir jadi orang gila

dan kerasukan roh-roh jahat! Syukur kau bertemu

denganku wahai Hantu Bara Kaliatus! Satu ilmu yang

kuberikan tidak bisa menandingi seratus ilmu kesaktian

yang bisa kau peroleh dari orang lain!"

 "Aku mengerti dan aku berterima kasih Nek," kata

Latandai pula.

 "Satu hal lagi harus kau ketahui wahai Hantu Bara

Kaliatus! Kalau istrimu dan Lasingar tidak dihabisi maka 

mereka kelak akan melanjutkan hubungan tidak

senonoh itu I Berarti akan lahir lagi anak ke dua, anak

ketiga yang bukan darah dagingmu!"

 Bergetar sekujur tubuh Latandai mendengar ucapan 

Hantu Santet Laknat itu. Walau di lubuk hatinya ada

rasa kebimbangan namun saat itu otaknya telah di-

kuasai oleh si nenek hingga dia tidak bisa berpikir

secara jernih, sekurang-kurangnya tekad untuk me-

nyelidik yang dikatakan si nenek apa benar adanya.

 "Kau sudah dengar penjelasan! Kau sudah tahu

kewajiban harus menyingkirkan istrimu! Membunuh

Lasingar! Kau juga patut menghabisi Hantu Muka Dua.

Tapi manusia satu itu adalah bagianku! Jangan kau

berani menyentuhnya! Aku sendiri yang akan mem-

bunuhnya!"

 "Aku mendengar dan perintahmu akan kujalankan

wahai Nenek Hantu Santet Laknat..." kata Latandai 

pula.

 "Wahai Hantu Bara Kaliatus! Tugasmu di hari pertama 

memiliki ilmu kesaktian Bara Setan Penghancur Jagat 

cukup sekian dulu! Laksanakan segera! Jika kau sampai 

gagal aku akan muncul untuk menjatuhkan hukuman!" 

 Hantu Bara Kaliatus alias Latandai membungkuk dan 

berkata. "Tugas perintah akan kujalankan! Aku tidak 

akan menemui kegagalan. Cuma mohon maafmu.

Apakah keadaan diriku yang seperti ini tidak bisa

dirubah kembali seperti sedia kala?"

 Nenek Hantu Santet Laknat tertawa panjang lalu

berkata. "Sudah kukatakan otakmu ada dalam otakku!

Dirimu berada dalam kekuasaanku. Berarti hanya aku

yang bisa mengembalikan dirimu pada keadaan se-

mula! Setiap ilmu ada syaratnya wahai Latandai. Dan

kini Mnh menerima syarat itu dalam bentuk keadaanmu 

seperti saat inil Bila kau memang menginginkan

perubahan bisa saja aku lakukan! Tapi kau harus

menjalankan semua perintahku lebih dulul Kau 

mengerti Hantu Bara Kaliatus?!"

 "Aku... aku mengerti Nek," jawab Latandai walau 

dengan suara setengah tertahan dan dada sesak.

 Hantu Santet Laknat menyeringai lalu tertawa pan-

jang. Ketika tawanya lenyap sosoknya tak ada lagi di

lompat Ku. Latandai palingkan kepala. Si nenek tahu-

tahu sudah berada di lamping kawah sebelah timur.

Berkelebat cepat sekali seolah menyongsong matahari

lalu pupus dari pemandangan.



DUA


BELALANG HIJAU RAKSASA ITU TERBANG 

menembus kabut pagi disaat udara masih dingin

menusuk sampai ke tulang sumsum. Di satu

tempat ketinggian binatang ini melayang turun 

lalu hinggap di atas sebuah batu besar. Dua 

matanya memandang liar kian kemari seolah 

meneliti keadaan. Sepasang misainya bergerak-

gerak tiada henti.

 "Wahai Laehijau, apakah sanggup kau membawa

kami ke puncak Latinggimeru? Seharian sudah kau

melompat dan melayang menerbangkan kami. Aku

khawatir kau keletihan di tengah jalan dan jatuh!" Satu

suara memecah kesunyian di tempat itu. Yang bicara

adalah seorang perempuan muda mengenakan pa-

kaian kulit kayu halus. Kepala dan wajahnya tertutup

selendang terbuat dari rumput hijau dikeringkan. Pe-

rempuan ini duduk di punggung belalang hijau, men-

jadikan binatang raksasa itu sebagai tunggangannya.

 Belalang raksasa tundukkan kepala ke bawah lalu

menggeleng pertanda dia mengerti dan menjawab

ucapan tuan penunggangnya.

 "Kau sahabatku yang setia wahai Laehijau. Mudah-

mudahan para Dewa dan Peri menolong kita hingga

kita bisa selamat sampai ke puncak Latinggimeru...."

Baru saja perempuan ini selesai berucap tiba-tiba

terdengar suara tangisan bayi. Astaga. Ternyata dalam

bungkusan yang didukungnya di tangan kiri, ada sosok

seorang orok yang masih merah karena baru berusia

40 hari. Perempuan ini cepat menimang-nimang bayi

daam bedungan.

 "Anakku Lamatahati, berhentilah menangis. Sebentar 

lagl kau akan bertemu dengan bapakmu. Sebentar lagi 

kau akan menjadi anak yang syah. Punya Ibu dan punya 

ayah!" Perempuan itu terus menimang-nimang si bayi 

hingga akhirnya berhenti menangis. Sesaat dia men-

dongak ke atas, berusaha menembus tebaran kabut 

yang menutupi pemandangan. Jauh di atas sana men-

julang tinggi puncak Gunung Latinggimeru yang dari 

kawahnya selalu mengepul asap panas berwarna 

kemerahan sedang dari perutnya ada suara tiada henti 

menggemuruh menggidikkan dan menggetarkan 

seantero tempat.

 "Laehijau kalau letihmu lenyap bisakah kita me-

lanjutkan perjalanan?"

 Belalang raksasa bernama Laehijau seperti tadi

rundukkan kepalanya dan goyang-goyangkan misai-

nya. Kaki-kakinya diregang pertanda dia siap melom-

pat. Perempuan di atas belalang peluk erat-erat bayi

dalam bedungan. Sesaat kemudian Laehijau telah me-

lesat ke udara, terbang ke arah ketinggian puncak

Gunung Latinggimeru.

 Untuk beberapa saat bayi dalam bedungan tertidur

pulas. Begitu mulai mendekati puncak gunung, udara

yang tadinya sangat dingin kini berubah menjadi panas.

Tubuh Laehijau bergetar menahan panas. Begitu juga

perempuan di atas punggungnya sementara bayi yang

tadi tertidur pulas tersentak bangun lalu menangis

kepanasan.

 "Tenang anakku, jangan menangis...." Sang ibu

pergunakan ujung bedungan untuk mengipasi bayinya.

Namun Lamatahati terus saja menangis. Semakin jauh

ke atas mendekati puncak Gunung Latinggimeru hawa

bertambah panas tapi kabut mulai menipis.

 Setelah terbang berputar-putar dan mulai sempoyong-

an, Laehijau turun di suatu pedataran sempit di tepi 

timur puncak Latinggimeru. Dua tombak di depan 

mereka terbentang kawah yang permukaannya berupa 

lahar mendidih dan mengepulkan asap. Selain itu ada 

kabut tebal menebar di sana-sini menutupi pemandang-

an.

 Perempuan di atas punggung belalang hijau me-

mandang berkeliling lalu menatap lekat-lekat ke arah

kawah gunung batu itu. Cukup lama dia menunggu

dan mencari-cari. Hatinya mulai risau. Orang yang

dicari tidak terlihat sama sekali. Bayi dalam bedungan

terus menangis, tak tahan oleh hawa panas yang keluar

dari kawah.

 "Mimpiku memberi petunjuk dia ada di sini. Dua

orang penduduk Latanahsilam memberi kesaksian me-

lihat dia dalam perjalanan menuju puncak Latinggimeru

ini empat purnama yang lalu. Namun di mana dia

gerangan?" Perempuan di atas belalang hijau mem-

batin.

 Pada saat tebaran kabut yang menutupi kawah itu

tertiup angin, berarak ke jurusan selatan maka barulah

dia dapat melihat seantero kawah dengan jelas. Sesaat

perempuan di atas punggung belalang hijau terkesiap

ngeri menyaksikan pemandangan di hadapannya. Na-

mun rasa ngeri ini berubah menjadi kegembiraan ketika

dia melihat sosok seorang lelaki tegak tak bergerak di

atas sebuah batu besar merah menyala. Dari dua

kakinya hanya yang sebelah kiri menginjak batu. Yang

kanan diangkat dan dilipat ke atas sedang kedua

matanya dipejamkan. Jelas orang ini tengah bersamadi

dengan cara yang aneh.

 "Dia mampu berdiri di atas batu api itu! Wahai,

berarti Latandai telah berhasil mendapatkan ilmu yang

dicarinya..." berucap dalam hati perempuan di atas

belalang raksasa. Tapi tiba-tiba hatinya mendadak

tercekat. "Aneh, mengapa ada kelainan kulit pada

dirinya. Kepalanya... tubuhnya.... Kalau saja aku bisamendekat ke sana...."

 Spasang mata perempuan di atas belalang raksasa

menatap tak berkedip pada lelaki di atas batu.

 “Wahai Lamatahati, apapun yang terjadi dengan 

ayahmu,, akhirnya dia kita temui juga...." Perempuan 

itu berucap setengah berbisik seraya membelai kepala

bayi dalam bedungan yang sampai saat itu masih terus

menangis. Suara tangisan orok ini tadi sempat mem-

buat lelaki yang bersamadi di atas batu dalam kawah

menjadi terganggu. Daun telinganya bergerak-gerak.

Pelipis dan rahangnya menggembung. Urat lehernya

tampak mengencang sedang dua kelopak matanya

yang tertutup mengeluarkan getaran-getaran halus.

Hanya dengan menabahkan hati, menutup jalan pen-

dengaran, lelaki yang di puncak batu tinggi akhirnya

mampu meneruskan samadinya. Namun itupun tidak

bertahan lama karena tiba-tiba dari puncak timur Gu-

nung Latinggimeru ada suara seman keras, meleng-

king ke langit, mencuat ke dasar kawah.

 "Wahai Latandai suamiku! Puluhan hari aku habisi!

Berbagai negeri aku datangi! Akhirnya kutemui juga

kau ditempat ini! Latandai, buka matamu! Lihat siapa

yang kubawa!"

 Hantu Bara Kaliatus yang tegak bersamadi di atas

batu menyala tidak bergerak, juga tidak membuka

sepasang matanya yang terpejam.

 "Wahai Latandai! Jangan berpura tidak mendengar

ucapanku! Berhentilah bersamadi barang seketika.

Melompat dan datanglah ke tempat ini! Aku datang

membawa anakmu! Anak kita yang kuberi nama La-

matahati. Seorang bayi laki-laki bertubuh gemuk sehat.

Pertanda di masa besarnya dia akan menjadi seorang

pemuda gagah kuat berotot seperti ayahnya!" Ber-

samaan dengan berhentinya ucapan sang ibu, bayi

dalam bedungan menangis keras.

 Di atas batu Latandai merasakan tubuhnya bergetar. 

Lehernya menjadi kaku dan telinganya mengiang. 

Bagaimanapun dia mencoba, getaran pada matanya tak 

dapat dikuasainya. Dia sadar bahwa samadinya tak 

mungkin diteruskan. Didahului teriakan menggeledek 

sosok Latandai melesat ke atas. Dilain kejap dia telah 

berdiri dua tombak di hadapan Laehijau si belalang 

raksasa di atas mana duduk perempuan yang 

membawa bayi.

 Belalang raksasa tersurut mundur. Misainya ber-

gerak-gerak sementara perempuan yang mendukung

bayi berubah pucat wajahnya dan ketakutan setengah

mati. Tadi sewaktu Latandai masih berada di dalam

kawah dia memang sudah melihat ada kelainan atas

diri suaminya itu. Namun setelah dekat dia tidak me-

ngira kelainan itu adalah satu kengerian yang dahsyat!

Sepasang mata yang memiliki empat bola mata 

laksanakobaran api memandang padanya.

 "Luhsantini! Perempuan celaka! Beraninya kau

datang kemari! Berani kau mengganggu samadiku!"

 Perempuan yang disebut dengan nama Luhsantini

itu sesaat jadi terkesiap. Keningnya berkerut. Dadanya

berdebar dan mulutnya bergetar. Walau takut tapi

dicobanya juga menjawab.

 "Wahai Latandai suamiku! Bukan diriku bermaksud

mengganggu samadimu! Aku tidak dapat menahan

diri. Ini adalah hari ke empat puluh sejak bayi ini lahir.

Ini adalah hari terakhir kau harus melihat puteramu

dan puteramu melihat dirimu! Ini adalah hari terakhir

kau harus mengusap ubun-ubun di kepalanya pertanda

kau mengakui bahwa Lamatahati adalah anak dari

darah yang keluar dari tulang sumsummu! Jika itu

tidak terjadi, sesuai aturan dan adat Negeri Latanah-

silam maka seumur hidupnya anak ini tidak akan

mempunyai ayah yang syah! Jika dia tidak punya ayah

ayah syah berarti aku bukan pula ibunya yang syahl

Ialu apa akan jadinya anak kita ini kelak? Jika hidup

dia akan menjadi anak setan! Tak layak tinggal di

Negeri Latanahsilam! Jika mati rohnya akan terkatung-

katung antara langit dan bumi! Wahai suamiku La-

tandai. Datanglah ke sini. Lihat anakmu! Usap kepala

dan tubuhnya. Cium kening dan pipinya!" Sehabis

berucap seperti itu Luhsantini jadi ngeri sendiri. Dalam

keadaan kepala dan sosok Latandai seperti itu jangan-

jnngan bayinya akan celaka jika bersentuhan dengan

ayahnya!

 Lelaki di atas batu merah menyala menatap dengan

tampang menggidikkan pada perempuan di atas be-

lalang raksasa itu. Sepasang matanya menyala-nyala.

Terlebih ketika dia melihat bagaimana Luhsantini mem-

buka kain pembedung bayi lalu mengangkat tinggi-

tinggi bayi lelaki itu dan bergerak hendak disodorkan

kepadanya.

 "Tidaaakk!" Tiba-tiba meledak teriakan dahsyat dari

mulut Latandai. Suara teriakan ini menggema meng-

gidikkan di dalam kawah Gunung Latinggimeru, meng-

geletar sampai ke permukaan puncak gunung, mem-

buat darah Luhsantini tersirap dan seolah berhenti

mengalir.

 "Tidak? Tidak apa maksudmu wahai suamiku La-

tandai?" bertanya Luhsantini.

 "Bayi itu bukan anakku! Tapi anak haram hasil

hubunganmu dengan Lasingar, jauh sebelum aku me-

ngawinimu!"

 Luhsantini merasa seolah berdiri di atas bara api

yang kemudian runtuh dan menghunjam memuruk-

kannya ke dasar sebuah lobang api!

 "Wahai Latandai.... Bagaimana bisa dan teganya

kau berkata seperti itu?! Kita kawin sepuluh bulan

purnama yang lalu. Malam pertama kita berhubungan

di Bukit Batu Kawin disaksikan orang tua, para sesepuh

Negeri, disaksikan oleh nenek Lamahila dan disaksikan

serta direstui oleh para Dewa dan Peri...."

 "Apa yang kau katakan semua benar! Tapi pada

saat aku mengawinimu kau telah berbadan dua akibat

hubunganmu dengan Lasingar! Aku tertipu!"

 Luhsantini sampai terpekik mendengar ucapan

Latandai itu. Wajahnya seputih kain kafan.

 "Wahai Latandai, demi anak ini aku ikhlas menerima 

keadaanmu seperti ini. Demi segala roh yang baik

penjaga langit dan bumi! Demi semua para Dewa dan

Peri penguasa jagat raya! Aku bersumpah tidak pernah

melakukan hubungan hina terkutuk yang tidak terpuji

dengan Lasingar! Pemuda itu hanyalah kerabat sahabat

biasa saja...."

 "Kerabat sahabat biasa saja?!" Latandai meludah.

Ludahnya berwarna merah dan mengepulkan asapl

Lalu manusia yang telah berubah menjadi makhluk

mengerikan ini tertawa bergelak.

 "Banyak saksi di Latanahsilam yang mengatakan

bahwa dia sering menyelinap ke rumahmu dikala dua

orang tuamu berburu ke hutan atau mencari ikan di

sungai!"

 "Latandai.... Sungguh tidak dapat kupercaya semua 

ucapanmu! Lasingar sering berada di rumahku karena 

dia berobat pada orang tuaku atas penyakit yang telah 

lama diidapnya! Jika kau tahu aku ini sudah bernoda 

mengapa kau mengawini diriku...?"

 "Itu karena aku tertipu! Karena kau menipuku!

Keluargamu menipuku!"

 "Wahai Latandai, agaknya Kau yang menipu diri

sendiri! Jika bayi ini sudah kukandung jauh sebelum

kawin denganmu, mengapa dia kulahirkan setelah

sembilan bulan? Jika aku memang punya hubungan

keji dengan Lasingar dan hamil sebelumnya seharus-

nya dia lahir lebih cepat dari itu!"

 "Luhsantini! Apapun cakapmu! Apapun dalih yang

Iwndak kau ucapkan aku tetap tidak akan mengakui

anak Itu adalah anakku! Dan dirimu yang kotor ini tidak

layak hidup lebih lama! Kau dan anakmu lebih baik

kulempar ke dalam kawah Gunung Latinggimeru!"

 Menggigil sekujur tubuh Luhsantini mendengar

kata-kata Latandai itu. Dengan tubuh bergeletar dan

dada menggemuruh dia turun dari punggung Laehijau

si belalang raksasa lalu melangkah ke tepi kawah. Bayi

dalam bedungan terus menangis tiada henti.

 "Latandai...!"

 "Diam! Namaku bukan Latandai lagi. Aku sekarang

adalah Hantu Bara Kaliatus!"

 "Tidak perduli siapapun kau punya nama! Tidak

kusangka sejahat ini hati dan pekertimu! Dengar ma-

nusia keji! Pembalasan dan karma akan jatuh atas

dirimu!" Luhsantini angkat bayi dalam bedungan tinggi

tinggi. Lalu berserulah perempuan malang ini. "Wahai

para Dewa dan para Peri! Wahai semua roh yang ada

di antara langit dan bumi! Bayi ini bayi suci! Tiada dosa

atas dirinya! Bayi ini keluar dari rahimku! Hasil hu-

bunganku dengan seorang suami bernama Latandai!

Namun hari ini Latandai tidak mengakui kalau Lama-

tahati adalah anak darah dagingnya! Para Dewa dan

para Peri serta semua roh! Jatuhkan hukuman atas

diri Latandai! Sengsarakan dia sebelum bayi ini sendiri

menderita karena perbuatannya! Biarkan tubuhnya 

seperti itu sepanjang usia! Biarkan dia menderita se-

umur-umur dalam keangkuhan dan kesesatannya! Wa-

hai anakku Lamatahati. Malang nasibmu! Kau tak akan

berayah seumur hidupmu! Aku tak akan diakui adat

sebagai ibumu! Aku memohon kepala ke atas kaki ke

bawah. Kaki ke atas kepala ke bawahi Kalau kelak kau

sudah dewasa para Dewa dan para Peri akan memberi

kekuatan padamul Balaskan sakit hati ibumu! Balaskan

sakit hati dirimu!"

 Bayi dalam bedungan menangis keras.

 Belum habis gaung suara Luhsantini di puncak

Gunung Latinggimeru, seolah alam mendengar jerit

hati sang ibu yang malang ini tiba-tiba lumpur merah

di dasar kepundan menggelegak keras lalu mencuat

tinggi ke udara. Lidah api membumbung mengerikan.

Lalu seolah jatuh dari langit didahului suara gelegar

dahsyat berkiblat satu cahaya biru, langsung meng-

hantam sosok Latandai alias Hantu Bara Kaliatus.

Sekujur tubuh lelaki ini seolah dialiri satu sinar biru,

menggeletar hebat dan mengepulkan asap. Hantu Bara

Kaliatus menjerit keras lalu tergelimpang roboh di tepi

kawah.

 Luhsantini memeluk bayinya erat-erat. Belalang

raksasa menghentak-hentakkan kakinya seolah mem-

beri isyarat agar perempuan itu lekas naik ke pung-

gungnya. Luhsantini cepat balikkan tubuh. Sambil

mendukung bayinya dia lari ke arah Laehijau. Namun

sebelum dia sempat mencapai belalang raksasa itu, di

belakang sana sosok Hantu Bara Kaliatus buka se-

pasang matanya lalu bergerak bangkit! Mulutnya sung-

gingkan seringai maut. Lalu dia menggembor keras.

 "Luhsantini! Jahat nian kutuk sumpahmu! Tak bisa

aku menerima!" teriak Latandai.

 "Bukan aku yang jahat! Hatimu yang bejat!" teriak

Luhsantini. "Kutuk Dewa dan Peri hanya jatuh pada

manusia durjanai"

 "Perempuan jahanam! Kau dan bayimu tak layak

Hidup." Latandai angkat tangan kanannya lalu dipukul-

kan ke depan. Dua belas sinar hitam halus berkelebat

ganas.

 Dalam keadaan marah luar biasa seperti itu Hantu

Bara Kaliatus bukan keluarkan ilmu yang baru di-

milikinya yakni Bara Setan Penghancur Jagat, melainkan

kan dia menghantam dengan ilmu kesaktian yang telah

didapatnya lebih dahulu.

 "Selusin Bianglala Hitam." jerit Luhsantini begitu dia

mengenali pukulan sakti yang dilancarkan Latandai.

Perempuan ini menjerit sekali lagi. Dia berusaha me-

nyelamatkan diri dengan melompat ke kiri. Tapi salah

lumpat. Arah yang ditujunya ternyata adalah kawah

Gunung Latinggimeru! Sementara itu dua belas sinar

hitam yang menyerangnya demikian cepat membeset

udara hingga tidak mungkin dielakkan! Sudah dapat

dibayangkan bagaimana dua belas cahaya ganas Itu

akan menembus sosok Luhsantini. Lalu tubuh itu

sendiri akan terjungkal masuk kedalam kawah gunung I

 Hanya dua jengkal lagi selusin sinar hitam akan

menghantam tubuh Luhsantini, tiba-tiba dari arah se-

latan pinggiran kawah berkiblat selarik cahaya ber-

warna Jingga. Laksana tameng cahaya Jingga ini me-

lindungi Luhsantini dari hantaman Selusin Bianglala

Hitam. Perempuan ini selamat karena begitu beradu

dengari cahaya Jingga, selusin sinar hitam terpental ke

kiri. Namun pentalan dua belas sinar ini melesat ke

arah bayi dalam bedungan pelukan sang ibu!

 Bayi dalam bedungan terpekik keras.

 "Anakku!" jerit Luhsantini. Tubuhnya terhuyung. Dia 

hampir jatuh pingsan ketika melihat wajah bayinya!

Sama sekali tidak menyadari bagaimana Latandai me-

lompat ke hadapannya dan tendangkan kaki kanan.

 "Plaaakkk!"

 Satu benda hijau menghantam bahu kiri Latandai

hingga orang ini terpental dan terguling di tanah be-

batuan. Benda yang barusan menghantamnya ternyata

adalah sayap belalang raksasa. Sehabis menghantam

Laehijau merangkul tubuh Luhsantini dengan kaki kiri

sebelah depan lalu dengan cepat binatang ini melompat

ke udara, terbang meninggalkan puncak Gunung

Latinggimeru.

 "Binatang jahanam!" teriak Latandai marah. Ge-

rahamnya bergemeletakan. Dengan mengerahkan se-

luruh tenaga dalam yang dimilikinya dia menghantam

ke atas. Lepaskan pukulan sakti Selusin Bianglala

Hitam Dua belas larik sinar hitam menderu.

 Di udara belalang raksasa Laehijau keluarkan suara 

menggerung keras ketika tubuhnya bagian belakang 

hancur dihantam pukulan sakti yang dilepaskan

Latandai. Dalam keadaan seperti itu belalang raksasa

ini masih sanggup terbang menyelamatkan diri serta

menyelamatkan ibu dan anak yang ada di punggung-

nya. Tapi berapa lama dia bisa bertahan dengan tubuh

yang setengah hancur seperti itu.

 Latandai menggembor marah melihat Luhsantini

dan anaknya berhasil menyelamatkan diri. Berkali-kali

kepalan tangan kanannya dihantamkan ke telapak

tangan kiri. Tiba-tiba ada suara mengiang masuk ke

dalam telinga orang ini. Itu adalah suara Hantu Santet

Laknat yang disampaikan lewat ilmu Menyadap Suara

Batin.

 "Hantu Bara Kaliatus. Kau telah membuat ke-

salahan besar! Sudah kukatakan seratus ilmu yang

sudah kau punya tidak bakal bisa menandingi ilmu

Bara Setan Penghancur Jagat! Mengapa kau tidak

menghantam perempuan itu dengan ilmu yang ku-

berikan?! Malah kau mempergunakan ilmu keropos

Selusin Bianglala Hitam! Kau manusia tidak berguna.

Sekali ini aku memberi pengampunan! Lain kali jika

kau masih berlaku teledor kau akan rasakan hukuman

dariku."

 Latandai sadar, segera jatuhkan diri berlutut "Nenek

Hantu Santet Laknat. Aku mohon maafmu! Aku

mengaku telah berlaku salah! Lain kali aku tidak akan

berbuat tolol lagi!"

 Jauh di kaki Gunung Latinggimeru, si nenek yang

di uluk Hantu Santet Laknat banting-banting kaki

saking marahnya. "Hantu Bara Kaliatus tolol keparat!

Dia memberi kesempatan pada Hantu Muka Dua untuk

mencari dan menemukan Luhsantini kembali. 

Ahl.Bagairnana caraku agar membuat Hantu Muka Dua 

berpaling padaku. Padahal dulu-dulu dia seolah bisa gila

jika sehari tidak bertemu denganku! Tapi sekarang....

banyak bermunculan perempuan cantik yang menjadi

sainganku. Luhsantini, Luhjelita.... Entah siapa lagi!

Kalau saja aku bisa mengguna-guna Hantu Muka Dua.

tapi dia terlalu sakti.... Mungkin saatnya aku kembali

mempergunakan Ilmu Bersalin Wajah. Tapi Hantu Muka

Dua sudah pernah tahu ilmuku itu Memang, tak ada

jalan lain. Dua perempuan itu harus cepat-cepat di-

bunuh. Selain itu aku harus cepat menyirap kabar

siapa-siapa saja mereka yang bercinta dengan Hantu

Muka Dua!"

*

* *


TIGA


HANTU BARA KALIATUS INGAT. Tadi ada selarik 

sinar Jingga berkelebat menamengi dan me-

nyelamatkan Luhsantini dari pukulan Selusin

Bianglala Hitam yang dilepaskannya. Serta meria 

dia memutar tubuh ke arah selatan. Empat buah 

bola mata merah menyala lelaki itu membesar 

berkilat-kilat ketika dia melihat satu pemandangan 

yang membuat darahnya menjadi panas dan tubuh 

menggeletar oleh rangsangan.

 Sejarak lima tombak di hadapannya, di tepi kawah

Gunung Latinggimeru tegak seorang gadis berwajah

cantik. Tubuhnya yang berkulit putih mulus terbungkus

oleh pakaian terbuat dari kulit kayu yang diberi jelaga

berwarna ungu. Belum pernah Latandai melihat gadis

mengenakan pakaian sebagus dan sangat mempesona

seperti yang satu ini. Bagian punggung, ketiak, dada

dan pinggul tersibak lebar hingga empat bola mata

Latandai menjadi silau.

 Di tempat itu tidak ada orang lain. Jangan-jangan

gadis berpakaian Jingga inilah yang telah melepaskan

pukulan sakti menangkis pukulan Selusin Bianglala Hi-

tam yang tadi dilepaskannya untuk membunuh Luh-

santini. Tadinya Latandai hendak mendamprat marah

bahkan siap menyerang. Namun melihat wajah begitu

cantik, tubuh putih mulus dan molek, hatinya langsung

menjadi dingin. Terlebih ketika si cantik itu menyapa-

nya.

 "Wahai orang gagah di tepi kawahl Gerangan apakah 

yang membuat dirimu begitu marah hingga unjukkan 

wajah membesi dan memukulkan satu tangan ke 

tangan lainnya!"

 Latandai segera mendekati gadis berpakaian kulit

 kayu warna Jingga itu. Tiga langkah di hadapan si gadis

 dia berhenti. Matanya semakin membesar. Perlahan-

lahan muncul senyum di wajahnya yang garang. "Sung-

 guh para Dewa memberikan berkah sangat indah

padaku. Di tempat seperti ini bagaimana mungkin aku

 bertemu dengan seorang gadis secantikmu?"

 "Kau bukan saja gagah, ternyata sopan dan lembut

 dalam bertutur sapa...."

 "Ah, suaramu semerdu bebunyian yang dimainkan

 para Peri di langit ke tujuhl Aku bernama Latandai.

 Berjuluk Hantu Bara Kaliatus. Wahai siapa kiranya

 engkau gerangan?"

 "Namamu menunjukkan kejantanan. Julukanmu

 menandakan kedahsyatan! Tidak menyangka kiranya

 aku akan berhadapan dengan seorang gagah dan pastisakti mandraguna...."

 Cuping hidung Latandai bergerak-gerak mende-ngar 

pujian yang diucapkan suara merdu dan keluar dari 

mulut berbibir merah mempesona.

 "Luar biasa, kau memiliki empat bola mata, men-

junjung bara api di atas kepala, melekatkan bara api ke 

dada dan perut! kalau saja tidak takut hangus, ingin 

rasanya aku berada lebih dekat denganmu...." Sambil 

berkata gadis itu lemparkan senyum serta kerlingan 

mata yang membuat Hantu Bara Kaliatus semakin 

merasa seperti d i kahyangan sehingga dia terlupa 

untuk menanyakan siapa adanya gadis itu.

 "Datanglah mendekat, aku tidak akan menciderai

wajah cantik dan tubuh sebagusmu...."

 Si gadis benar-benar melangkah mendekat. Tapi

dua langkah dari hadapan Hantu Bara Kaliatus dia

hentikan tindakannya dan tertawa berderai.

 "Orang sakti memang sering menampilkan diri

secara aneh dan berada di tempat aneh! Tapi wahai

Hantu Bara Kaliatus, jika aku boleh bertanya gerangan

apa yang membuat kau berada di pinggiran kawah

Gunung Latinggimeru ini?"

 "Kawah ini memang jadi tempat kediamanku sejak

beberapa bulan purnama. Tapi hari ini adalah hari

terakhir aku berada di sini...."

 "Hemmm.... Aku bisa menduga!" kata si gadis seraya 

kembali kerlingkan matanya. "Tempat ini adalah

tempatmu melakukan samadi atau tempat menggem-

bleng diri. Jika hari ini kau selesai melakukan semua

itu berarti kau akan kembali pulang menemui anak

istrimu...." Kata-kata terakhir diucapkan dengan nada

perlahan dan wajah membayangkan kesedihan.

 "Aku tidak punya istri, tidak punya anak!" jawab

Hantu Bara Kaliatus.

 "Wahai! Harap maafkan diriku yang lancang men-

duga!" kata si gadis seraya mengusap lengan Latandai

yang penuh ditumbuhi bulu. Membuat lelaki ini jadi

tambah tenggelam dalam rangsangan hasrat yang

berkobar-kobar. "Hai! Lenganmu terasa panas...." Si

gadis terpekik kecil.

 "Aku.... Darahku menjadi panas melihat kecantikan-

mu!" kata Latandai tanpa malu-malu. "Maukah kau ikut

bersamaku...?"

 "Ajakan seorang gagah siapa berani menampik.

Tapi kemanakah kau hendak membawaku...?"

 Latandai jadi bingung sendiri. Lalu dia tertawa gelak-

geiak. "Aku jadi bodoh! Tidak tahu mau mengajakmu 

kemana...."

 "Kemana saja asal kau yang mengajak tentu aku

suka..." kata si gadis pula dan tak lupa dengan kerlingan

mata genit yang membuat La tandai tambah 

terambung-ambung seperti di awan! Tangan kanannya 

meluncur memegang lengan si gadis lalu setengahberbisik dia berkata." Di lamping kawah sebelah sana 

ada sebuah goa Di dalamnya ada satu telaga kecil. 

Hawa di sana sangat sejuk dan bersih. Aku akan 

membawamu kesana...."

 "Ah, senang hatiku. Tapi aku ingin sedikit berlama-

lama di bawah sinar sang surya yang baru terbit ini.

Kuharap kau tidak marah. Sinar mentari sangat bagus

Ituat kulit perempuan sepertiku...."

 "Apapun yang kau katakan aku akan menurut. Tapi

ada satu hal yang ingin kutanyakan...."

 "Kata orang bertanyalah sebelum sesat dijalan. Hik...

hik... hik!" Si gadis tertawa hingga terlihat barisan gigi-

giginya yang putih berkilat serta lidahnya yang merah

dan basah, membuat Latandai tambah geregetan dan

saat itu ingin memeluk serta menciumnya.

 "Mengapa kau datang ke kawah ini...."

 "Wahai Hantu Bara Kaliatus, jangan kau bercuriga

pada diriku. Tadi aku berada di pinggiran kawah se-

belah sana. Tiba-tiba kulihat ada sinar hitam dan sinar

Jingga bertabur di udara. Cepat-cepat aku ke sini.

Sampai di sini sinar hitam dan cahaya Jingga itu tidak

kutemukan. Yang kulihat adalah seorang gagah ber-

nama Latandai berjuluk Hantu Bara Kaliatus!" Gadis

itu kembali tertawa merdu. Latandai ikutan tertawa

senang. Lalu lelaki ini berbisik. "Kita ke goa sekarang?"

 "Hari masih panjang, mengapa terburu-buru? Tapi

jika kau memaksa biar aku mengalah! Aku tak mau

kau menjadi marah!"

 Mendengar ucapan si gadis segera saja Hantu

Bara Kaliatus menarik tangannya.

 "Tunggu dulu!" si gadis berseru.

 "Ada apa...?" tanya Latandai.

 "Apapun yang akan kita perbuat di dalam goa itu

kau harus berjanji! Jangan sampai bara menyala di

kepala, dada dan perutmu menyentuh diriku...."

 "Aku berjanji!" jawab Hantu Bara Kaliatus dengan

suara keras. Hasratnya tambah menggila dan dia benar-

benar senang luar biasa karena tidak menduga akan

bertemu dengan seorang gadis jelita yang saat itu mau

saja diajaknya masuk ke dalam goa. Sambil memegang

lengan si gadis Latandai mengajaknya berlari sepan-

jang tepi kawah. Lelaki ini berlari kencang sekali dan

bukan merupakan lari biasa. Dia sama sekali tidak

menyadari walau dia lari secepat itu tetapi si gadis di

sebelahnya mampu mengikuti!

 "Wahai! Goa ini benar sejuk dan indah bersih seperti 

yang kau katakan!" ujar si gadis begitu mereka masuk 

ke dalam goa. Langsung saja dia dudukkan diri di lantai 

goa dekat sebuah telaga kecil berair jernih kebiruan. 

"Kalau kita bisa sering-sering berada di tempat ini, 

hemmm.... Senang sekali hatiku...."

 Latandai tertawa lebar lalu ikutan duduk di lantai.

Dia sengaja merapatkan tubuhnya ke pinggul si gadis."Sekarang apa yang akan kita lakukan?!" bertanya

gadis itu seolah-olah menantang.

 Latandai rangkulkan tangan kirinya di pinggang

sang dara.

 "Awas bara menyala di kepala, dada dan perutmu!

Hik... hik... hik!" memperingatkan si gadis sambil ter-

tawa genit.

 "Jangan khawatir, aku akan berhati-hati..." bisik

Latandai.

 "Astaga...!" si gadis terpekik kecil.

 "Ada apa?" tanya Latandai.

 Gadis itu masukkan tangan kanannya ke balik

dada pakaian kulit kayunya yang membuat Latandai

membeliak. Dari balik pakaiannya si gadis keluarkan

dua buah benda bulat sebesar kepalan berbulu halus.

"Aku membawa dua buah kecapi hutan. Aku pernah

memakannya! Rasanya manis sekali. Satu untukmu,

satu untukku! Ini kuberikan padamu yang besar karena

kau orangnya besar. Aku biar yang kecil. Ayo sama-

Mina makan!"

 Gadis itu bantingkan buah kecapinya kelantai hingga

terbelah dua. Lalu sambil senyum-senyum memandang

pada Latandai dia segera menyantap buah kecapi yang

lombut putih dan manis itu. Latandai segera pula mem-

buka buah yang dibelahnya dengan remasan tangan.

 "Kecapimu manis...?" tanya si gadis.

 "Hemmm..."gumam Latandai sambil mengangguk.

Dia cepat-cepat menghabiskan buah kecapi itu karena

hasratnya tidak tertahankan lagi. Begitu buah kecapi

dimakan habis kembali dia merangkul tubuh si gadis.

Tapi belum sempat tersentuh tiba-tiba Latandai me-

rasakan dadanya sesak, pemandangannya gelap meng-

hitam. Nafasnya tersendat. "Aku...." Dia hanya sanggup

mengeluarkan satu patah ucapan itu lalu tubuhnya

terguling tertelentang di lantai goa.

 Gadis berpakaian jingga tertawa panjang. Dengan

cepat dia memeriksa keadaan Latandai. Setelah me-

mastikan lelaki itu benar-benar pingsan maka tangan

dan matanya bekerja memeriksa bagian tubuh di se-

belah bawah pusar Latandai. Sesaat kemudian gadis

itu menarik nafas panjang. Wajahnya menunjukkan

kekecewaan. "Hanya ada satu tahi lalat di bawah pu-

sarnya..." katanya perlahan. Sesaat dia duduk ter-

menung. Dalam hati kembali dia berkata. "Mendapat-

kan satu saja begini sulitnya. Bagaimana mungkin aku

sanggup mencari sampai tujuh orang? Wahai diriku

yang bernama Luhjelita, sulit sekali tugas yang kau

pikul. Untuk mendapatkan satu ilmu kau harus me-

nempuh perjalanan berliku, menantang seribu baha-

ya...." Gadis yang menyebut dirinya Luhjelita ini menarik

nafas panjang. Sesaat dia perhatikan sosok Hantu Bara

Kaliatus lalu mencibir. Dia bangkit berdiri. Sebelum 

keluar dari goa dia tendang lebih dulu kaki kiri Latanda

Lalu berkelebat pergi sambil tertawa cekikikkan. Di 

satu tempat gadis itu menyelinap ke balik pohon-pohon 

besar tumbuh rapat berjejeran. Di balik pepohonan

mendekam seekor kura-kura raksasa berwarna cokl . 

Tidak seperti kura-kura biasa, binatang yang satu in 

memiliki dua buah sayap yang bisa dilipat dan diren-

tangkan. Si gadis melompat naik ke atas kura-kuf;a 

raksasa lalu mengetuk punggung binatang ini tiga kati. 

Kura-kura keluarkan kepalanya, sayap di kiri kanan 

direntang lebar. Sesaat kemudian binatang aneh ini 

melayang terbang di udara meninggalkan puncak 

Gunung Latinggimeru.

 Sementara itu di dalam goa, tak lama setelah gadis 

berpakaian jingga berlalu Hantu Bara Kaliatus mulai 

siuman. Dia keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya 

menggeliat. Sesaat kemudian dia bangun dan langsung 

melompat bangkit. Empat bola matanya menyorot me-

mandang berkeliling. Dia lari ke mulut goa. Memandang 

ke seantero kawah Gunung Latinggimeru.

 "Aku tertipul" ucap Hantu Bara Kaliatus sadar. "Gadis 

jahanam! Aku ingat sekarang! Gadis itu berpakaian 

warna jingga! Cahaya sakti yang tadi melesat di udara 

menyelamatkan Luhsantini juga berwarna jingga! 

Jangan-jangan dia yang punya perbuatan menolong 

Luhsantini! Kurang ajar! Aku tertipu oleh kecantikan dan 

keelokan tubuh serta tutur bicaranya yang pandai 

merayu! Waktu lari tadi.... Gila! Mengapa sekarang aku 

baru sadari Aku berlari sekencang angin! Dan dia 

mampu mengikuti aku!" Hantu Bara Kaliatus banting-

banting kakinya. "Kalau bertemu akan kukuliti sekujur 

tubuhnya!"

 Saking marahnya Hantu Bara Kaliatus tendang batu 

di mulut goa hingga hancur berantakan.

 

*

* *


EMPAT


GEMURUHNYA ARUS SUNGAI TERASA menyeram-

kan di telinga Wiro. Naga Kuning dan Setan

Ngompol yang berada di atas telapak tangan

kanan Lakasipo. Lakasipo sendiri saat itu duduk 

di atas sebuah batu besar sambil merendam 

sepasang kakinya yang terbungkus dua batu 

besar berbentuk bola yang di seantero Negeri 

Latanahsilam kini telah dikenal dengan sebutan Bola 

Bola Iblis. Bahkan banyak pula yang menjuluki Lakasipo 

sebagai Hantu Kaki Batu. Sejak dia membunuh 

Lahopeng, pemuda jahat yang hendak mencelakai 

dirinya, penyebab kematian istrinya Luhrinjani serta 

perampas kedudukannya sebagai Kepala Negeri 

Latanahsilam, hampir seluruh penduduk menginginkan-

nya kembali menjadi Kepala Negeri. Namun Lakasipo 

telah kepalang kecewa. Walau kini dia telah meninggal-

kan Latanahsilam dia belum tahu kemana dia hendak 

pergi. Sementara itu rasa suka dan persahabatannya 

terhadap Wiro dan dua kawannya semakin terasa erat. 

(Baca serial Wiro Sableng berjudul "Bola Bola Iblis")

 Lakasipo memetik selembar daun di tepi sungai.

Ketiga orang itu diletakkannya di atas daun, lalu daun

itu diturunkannya ke air. Dengan ukuran tubuh mereka

yang kecil maka bagi Wiro dan dua temannya daun itu

sama besarnya dengan sebuah rakit. Begitu berada di

atas air daun segera dihanyutkan arus.

 "Hai! Hendak kau apakan kami?!" teriak Wiro. Naga

Kuning mencengkeram daun sekuat-kuatnya semen-

tara Setan Ngompol Jatuhkan diri tertelentang sambil

menahan kencing.

 Lakasipo tertawa lalu mencebur masuk ke dalam

sungai hingga daun di mana Wiro dan kawan-kawan 

berada terlempar ke atas bersama muncratan air tak

ampun lagi ketiganya amblas masuk ke dalam air.

Sambil tertawa-tawa Lakasipo selidupkan tangan 

kirinya ke dalam air, menangkap ketiga orang yang 

sudah megap-megap itu.

 " "Dia hendak membunuh kital" teriak IMiagia Kuning 

dengan muka pucat." 

 "Bagaimana kau bisa berbuat sejahat ini Lakasipo?!" 

ujar Setan Ngoropol seraya mengusap wajah yang 

basah dengan* jangan kanan sementara tangan kiri 

menekan bagian bawah perutnya yang tak dapat

lagi menahan kencing.

 "Lakasipo apa maksudmu rnembenamkan kami

ke dalam air?" Wiro akhirnya ikut bertanya.

 Lakasipo dekatkan telapa tangan kiri ke mukanya.

"Selama beberapa hari ini kita berempat tak pernah

mandi-mandi. Kebetulan bertemu sungai airnya jernihbersih dan sejuk. Apa salahnya pergunakan kesempat-

an untuk mandi wahai tiga kawanku? Apalalagi ka-

wanmu kakek bermata jereng berkuping lebar ini. Bau

Pesingnya sudah tidak ketelengan!"

 "Kalau kau memang mau memandikan kami bukan

begini caranya! Kami bertiga bisa mati tenggelam!"

ujar Setan Ngornpol lalu mengomel panjang pendek.

 "Air sungai bagimu sejuk tapi bagi kami sama saja

tenggelam dalam es! Kami bertiga bisa mati 

kedinginan!" teriak. Naga Kuning'.

 "Kalian bertiga memang makhluk seperti kutu cebol.

Tapi aku tahu kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi! 

Anggap saja kalian sedang mendapat gemblengan!" 

kata Lakasipo lalu tertawa gelak-gelak hingga ketiga 

orang itu terbanting di atas telapak tangannya dan 

dekap, telinga masing-rnasing agar tidak kesakitan.

 "Saatnya, kita melanjutkan perjalanan kata Laka- sipo 

kernudian. Lalu dia bersuit keras.. Laekakienam, kuda 

hitam raksasa berkaki enam yang jadi tunggangan

Lakisipo dan saat itu! tengah mahdi di sebelah hilir.

segera melompat dan berenang rnendapatkan tuannya.

Suara binatang ini merancah air sungai membuat Wiro

dan kawan-kawannya menahan nafas karena ngeri

sementara air..sungai bermuncratan kian kemari lak-

sana sambaran- ombak.

 "Tunggu dulu Lakasipo!" berkata Wiro. "Kau mau

bawa,kami kemana?” 

 “ Wahai Wiro, bukankah aku sudah mengatakan

Padamu dan Naga Kuning serta Setan Ngornpol bahwa

akan membawamu ke Bukit Latinggihijau untuk melihat 

makam istriku?!"

 Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. "Kami memang 

senang kau bawa ke sana," katanya menyahuti walau 

dalam hati dia berkata, "kenal saja aku tidak pernah. 

Lagipula pada akhir hayatnya perempuan itu

mengkhianati Lakasipo. Perlu apa pergi ke sana?" Wiro 

lalu berkata lagi "Tapi Lakasipo! Sebelum pergi ke Bukit 

Latinggihijau bagaimana kalau kita mencari dulu Batu 

Sakti Pembalik Waktu yang hilang itu?"

 "Ah, kau tidak kerasan lama-lama di Latanahsilam

 "Bukan begitu. Kami suka tinggal di sini. Tapi alam

sini sangat berbeda dengan alam kami di tanah Jawa.

Marabahaya senantiasa membayangi kami dan muncul

tidak terduga. Bukan.karena orang-orang di sini ingin 

mencelakai karni, tapi karena keadaan tubuh kami kecil

begini yang menjadi sumber malapetaka! Bayangkan 

kalau kami sampai dipatuk burung atau ayam raksasa, 

atau dirubung semut atau disengat tawon. Bayangkan 

kalau kami sampai terinjak anjing atau kambing atau 

jadi permainan kucing, dicakar dan digigiti"

 "Kalian bertiga tak perlu khawatir wahai para kutu

Cebol sobat-sobatku! Bukankah aku akan melindungi

dan membawa kalian bertiga kemana aku pergi?""Aku percaya pada dirimu Lakasipo. Tapi kami

lebih suka jika bisa kembali ke alam kami..." kata Naga

Kuning pula. "Antarkan kami ke kawasan rerumputan

itu mencari. Batu Sakti Pembalik Waktu." -

 "Kita sudah pernah ke sana. Kalian sendiri dan

juga aku telah menyelidik. Tapi batu tujuh warna itu

tidak ditemukan...."

 "Batu itu pasti ada di sana. Kita mencarinya terburu-

buru saat itu. Karena, hampir malam!" kata Setan

Ngompol.

 Lakasipo gelengkan kepala. "Betapapun kecilnya

benda itu, walau hari hampir gelap tapi mataku tak

bisa ditipu. Aku pasti akan menemukannya jika batu

itu benar-benar ada di sana...."

 “Kalau kau memang bersahabat dengan kami, kau

harus mau mengantarkan kami ke sana. sekali lagi.

Kita habiskan satu hari penuh untuk mencari batu itu!"

kata Pendekar 212 Wiro Sableng.

 Lakasipo menyeringai. "Persahabatan bukan berarti 

harus melakukan sesuatu yang mustahil wahai sobatku 

Wiro Sableng. Kita pergi ke Bukit Latinggihijau dulu.

Soal batu itu kita urus kemudian...."

 Lakasipo mengusap kepala kuda hitam berkaki

enam yang kini tegakdi sampingnya. Ketika dia hendak,

naik ke punggung binatang ini Wiro berkata. "Lakasipo,

tunggu! Kalau kau tidak mau mengantarkan kami ke

kawasan rerumputan itu, apa kau juga tidak mau

menolong kami mencari Hantu Tangan Empat?"

 "Makhluk satu ini.... Dia sulit sekali dicarinya, wahai

Wiro."

 "Seluas-luasnya Negeri Latanahsilam ini Hantu

Tangan Empat pasti punya tempat kediaman. Kalau

kita pergi ke sana masakan tidak bertemu?!" berkata

Naga Kuning.

 "Kalian bertiga tidak tahu siapa adanya Hantu

Tangan Empat. Dia jarang berada di tempat kediaman-

nya. Selain itu dia berada di bawah pengaruh Hantu

Muka Dua yang selalu memberinya perintah ini itu.

Kalau dia pergi bisa satu dua tahun. Apa yang bisa

kalian harapkan?" I

 Wiro garuk-garuk kepalanya. Setan Ngornpol.ber-

bisik. "Aku yakin satu tahun di negeri celaka ini tidak

sama dengan satu tahun di negeri kita. Mungkin satu

atau dua tahun di sini hanya satu atau dua bulan saja

di alam kita. Buktinya orang di sini bisa berusia sampai

tiga ratus tahun!"

 Saat rtu Lakasipo telah melompat naik ke pung-

gung kuda hitam kaki enam. Sebelum dia memasukkan

ketiga orang itu ke dalam kocek jerami di pinggang

kanannya Naga Kuning berseru.

 "Lakasipo! Bagaimana kalau aku tidak ikut kau

tapi antarkan saja mencari seorang anak perempuan...."

 "Seorang anak perempuan?" Lakasipo mengulangheran. Sementara Wiro dan Setan Ngornpol meman-

dang lekat-lekat penuh tanda tanya pada si bocah.

"Memangnya kau ada kenalan anak perempuan di

Latanahsilam ini? Aku tidak tahu. Tidak aku mengerti!

Anak siapa, anak yang mana?"

 "Aku melihat anak itu di tepi tanah lapang luas.

Sewaktu terjadi perkelahian antara kau dengan Laho-

peng," menerangkan Naga Kuning.

 "Kau ini aneh Naga Kuning. Ada puluhan bahkan

ratusan anak perempuan di negeri yang luas ini. Kau

tahu nama anak itu? Kau ini ada-ada saja Naga Kuning.

Bocah sebesarmu sudah tahu perempuan!" Wiro hen-

dak mengatakan sesuatu tapi Naga Kuning cepat kedip-

kan mata sambil berbisik. "Jangan kau berani 

membuka rahasia sobat sendiri Wiro!" ucapan itu 

membuat murid Sinto Gendeng jadi garuk-garuk kepala.

 Naga Kuning pencongkan mulut lalu berkata men-

jawab pertanyaan Lakasipo tadi. "Aku hanya kenal

muka, tapi tidak kenai nama anak itu...."

 "Mungkin aku bisa membantui" tiba-tiba Setan

Ngompol berkata. "Aku juga memang tidak tahu nama

anak perempuan itu. Tapi aku ingat betul ciri-cirinya!"

 "Hemm.... Coba kau beri tahu aku ciri-ciri anak itu

wahai kakek mata jereng kuping lebar!" kata Lakasipo

pula.

 Setan Ngompol menyeringai. Dia mengerling dulu

pada Naga Kuning baru menjawab. "Anak perempuan

itu seingatku hanya mengenakan pakaian dari kulit

kayu di sebelah bawah. Di sebelah atas polos. Dadanya

lumayan montok. Sekujur tubuhnya penuh koreng.

Lalu di atas bibirnya ada dua jalur ingus yang meng-

ambang terus menerus. Naik kalau disedot, turun lagi

kalau dibiarkan...."

 “Tua bangka bermulut jahat!" teriak Naga Kuning

seraya menarik kolor si kakek ke bawah hingga aurat-

nya menongol! "Bukan gadis itu yang aku maksudkan!"

 "Bocah kurang ajari Kau boleh marah! Tapi jangan

main tarik kolorku! Lihat! Terong peot dan kantong

menyanku berojolan kemana-mana!" Setan Ngompol

marah sekali dan cepat-cepat tarik kolor bututnya ke

atas.

 Sambil menahan tawa Lakasipo berkata. "Naga

Kuning, kalau kau masih ingat ciri-ciri gadis itu, katakan

padaku."

 "Anaknya putih. Rambutnya dikuncir kepirang-

pirangan. Dia memiliki sepasang kaki yang bagus.

Pahanya putih sekali. Pakaiannya agak tersingkap di

bagian dada. Aku benar-benar tidak bisa melupakan-

nya! Aku ingin sekali bertemu lagi dengan dia. Ah...."

 "Bocah ini sudah ketiban sakit mala rindu tak tahu

juntrungan!" Setan Ngornpol mengejek. 'Tapi sebagai

sahabat yang nyasar ke negeri asing, aku tidak ke-

beratan menemaninya...."Apa maksudmu kakek cebol?' tanya Lakasipo.

 "Kalau bocah ini melihat anak perempuan itu, aku

juga melihat sorang nenek berbadan molek. Dia me-

ngenakan pakaian kulit kayu yang dililit sepanjang

badan. Di sebelah atas pakaiannya itu seperti kemben.

Kulihat ternyata dadanya putih dan masih kencang.

Hik... hik... hik!"

 "Di Latanahsilam hanya ada satu nenek seperti

yang kau sebutkan itu. Namanya Luhlampiri. Dia sudah

kawin sembilan kali. Setiap kawin suaminya menemui

ajal dalam waktu tiga puluh hari!"

 Setan Ngornpol terkejut dan langsung terkencing

mendengar keterangan Lakasipo itu sementara Wiro

senyum-senyum dan Naga Kuning tertawa haha-hihi

sambil cibirkan bibir.

 "Kau masih ingin mengincar nenek itu, wahai

sobatku Setan Ngompol?!" bertanya Lakasipo.

 "Aku terpaksa berpikir dulu sampai tujuh kali. Tapi

kalau cuma sekadar bertemu saja apa salahnya! Ber-

main cinta tapi tak perlu kawin! Apa ada aturan yang

melarang perbuatan seperti itu di Negeri Latanahsilam

ini, wahai sobatku Lakasipo?" bertanya Setan Ngornpol.

 "Tidak, memang tidak ada aturan yang melarang

wahai Setan Ngornpol. Juga tidak ada aturan yang

melarang kalau satu ketika, akibat kelakuanmu itu

terong peot dan kantong menyanmu tahu-tahu pindah

ke jidat!" Lakasipo tertawa gelak-gelak yang membuat

tangan kanannya berguncang-guncang hingga Wiro,

Naga Kuning dan Setan Ngornpol yang ada di atas

telapak tangan itu berjatuhan tumpang tindih.

 Naga Kuning yang masih penasaran pada Setan

Ngompol cepat bangkit dan berkata. "Setan Ngompoll

Kalaupun nenek bernama Luhlampiri itu mau dikawin

olehmu, apa yang bisa kau lakukan dengan terong

peotmu yang baginya cuma sebesar jarum karatan!

Sekali kau kena kentutnya, anumu bisa mental dan

remuk tak karuan rupal Hik... hik... hik!"

 Setari Ngompol jadi naik darah. Dia membentak

marah. Namun sebelum ucapannya keluar dia sudah

tcrkencing duluan!

 "Wahai kalian bertiga para sahabatku! Saatnya

untuk berangkat ke Bukit Latinggihijau. Kalian akan

kumasukkan dulu ke dalam kocek jerami." Baru saja

Lakasipo hendak membuka penuiupkocek di pinggang

kanannya tiba-tiba ada satu sosok besar melesat keluar

dari hutan di seberang sungai. Gerakan makhluk itu

membuat dua pohon besar yang terlanggar tubuhnya

berderak patah dan bertumbangan. Dilain kejap makh-.

luk ini telah berdiri tegak di atas sebuah batu besar di

tengah sungai.

 Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol Langsung

tercekat pucat menyaksikan sosok yang berada di 

tengah sungai itu. Bahkan Lakasipo ikut tersirap kaget."Berulang kali aku mendengar ceritanya. Baru sekali ini 

aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri! Benar-

benar mengerikan..." kata Lakasipo dengan hati 

bergetar.

*

* *


LIMA


SOSOK YANG TEGAK DI ATAS BATU BESAR DI 

tengah sungai bukan lain adalah Latandai alias 

Hantu Bara Kaliatus. Sepasang matanya masing-

masing memiliki dua bola mata berwarna merah 

seperti bara menyala menatap angker ke arah 

Lakasipo. Saat itu Lakasipo masih duduk di atas 

punggung Laekaki enam kuda tunggangannya yang 

berkaki enam. Sementara Wiro, Naga Kuning dan Setan 

Ngornpol masih berada dalam genggaman tangannya, 

belum sempat dimasukkan ke dalam kocek jerami.

 "Makhluk apa ini gerangan..." kata Naga Kuning.

 "Kepalanya seperti pendupaan! Ada bara menyala!" 

menjawab! Wiro. Sementara Setan Ngornpol berdiam 

diri sambil menekap bagian bawah perutnya karena 

ngeri melihat sosok Hantu Bara Kaliatus. Udara di 

sekitar sungai yang tadinya sejuk kini berubah menjadi 

panas oleh hawa yang keluar dari bara menyala di 

kepala dan tubuh Hantu Bara Kaliatus.

 "Lihat matanya!" Naga Kuning kembali berucap.

"Setiap mata ada dua bola mata!"

 "Ya, aku juga sudah melihat. Jangan-jangan makhluk 

ini punya empat biji di kantong menyairnya!" kata Wiro 

pula sambil tertawa cekikikan.

 "Kalian jangan bergurau saja!" membentak Setan

Ngornpol. "Aku punya firasat bahaya besar mengancam

Lakasipo, berarti mengancam kita bertiga!"

 "Wahai orang berkaki batu berkuda kaki enam!"

Hantu Bara Kaliatus berseru dari tengah sungai. "Walau

rambutmu gondrong riap-riapan, muka tertutup kumis,

Janggut dan cambang bawuk tebali Tapi aku masih

mengenali siapa dirimu! Dan aku memang sudah lama

mencarimu I Bukankah kau manusianya yang bernama

Lakasipo dan kini dijuluki Bola Iblis alias Hantu Kaki

Batu?."

 Lakasipo tidak segera menyahut. Dia perhatikan

sekali orang di tengah sungai itu. "Lama sudah ku-

dengar kedahsyatan keadaan dirimu! Jika aku tidak

salah menduga bukankah kau Latandai, kerabat dari

Latanahsilam yang kini terkenal dengan julukan Hantu

Bara Kaliatus?!"

 Hantu Bara Kaliatus tertawa bergelak. "Dulu kita

sama-sama tinggal di Latanahsilam, saling bersahabat

saling berkerabat! Tapi keadaan kini telah menentukan

lain! Aku memanggul tugas membunuh dirimu 

Lakasipo!"

 Terkejutlah Lakasipo mendengar ucapan Hantu Bara

Kaliatus itu. Dalam genggamannya Setan Ngompol langsung terkencing. Naga Kuning gemetaran sedang Wiro

walaupun tampak tenang tapi hatinya jadi berdebar. 

Jika terjadi perkelahian antara Lakasipo dengan orang 

yang kepala dan tubuhnya dipenuhi bara menyala itu, 

niscaya keselamatan mereka ikut terancam.

 "Latandai, hampir delapan puluh tahun kita tidak

pernah bertemu! Sekali bersua kau berniat hendak

membunuhkul Siapa yang memberi tugas gila itu

padamu! Mengapa dia menginginkan jiwaku?!" tanya

Lakasipo alias Hantu Kaki Batu dengan suara lantang.

 "Aku tidak ditugaskan untuk bertanya jawab. Tapi

mungkin aku bisa memperpanjang saat-saat kematian

mu. Asalkan kau bersedia menjawab pertanyaanku!"

 "Manusia gendeng! Hendak membunuh orang tapi

mau bertanya dulu!" memaki Naga Kuning.

 "Hantu Bara Kaliatus! Belum pagi berganti sore

ucapanmu sudah ngaco bertolak belakang! Tadi kau

bilang tidak ingin bertanya jawab. Tapi sekarang kau

mau mengajukan pertanyaan!"

 Tampang Hantu Bara Kaliatus jadi berubah. Bara

api di atas kepalanya mengepulkan asap merah. Tidak

mengacuhkan ejekan Lakasipo dia berkata. "Aku men-

cari seorang bernama Lasingar. Aku juga mencari

seorang perempuan bernama Luhsantini. Terakhir se-

kali aku bertemu orang-orang itu sekitar seratus tahun

lalu. Lalu ada seorang lelaki bernama Lamatahati yang

usianya sekitar delapan puluh tahunan. Di mana me-

reka sekarang, apakah kau bisa memberi tahu?"

 "Aku pernah mendengar sedikit riwayatmu di masa

lalu. Luhsantini bukankah dia istrimu dan Lamatahati

bukankah dia anakmu? Aku menaruh curiga kau punya

niat jahat terhadap kedua orang itu. Juga terhadap

Lasingar! Aku tak mungkin memberi tahu! Apalagi kau

punya maksud hendak membunuhku!"

 Hantu Bara Kaliatus perlihatkan wajah sedih. "Yang

lalu biarlah berlalu. Walau bagaimanapun Luhsantini

adalah istriku. Lamatahati adalah anakku dan Lasingar

adalah kerabatku! Aku rindu ingin bertemu dengan

mereka."

 Lakasipo terdiam beberapa ketika. Akhirnya dia

menjawab. "Istrimu kudengar kabar menyepi diri di 

satu tempat di sebuah pertapaan di sebelah selatan 

Gunung Labatuhitam. Lasingar kalau tak salah menetap 

di Bukit Latinggibiru. Mengenai anakmu Lamatahati 

tidak pernah kuketahui. Mungkin dia berada di alam 

lain sebelum kita atau alam seribu dua ratus tahun 

setelah kita."

 Hantu Bara Kaliatus tatap muka Lakasipo beberapa

saat seolah hendak meneliti apakah keterangannya

bisa dipercaya. Kemudian manusia ini sunggingkan

seringai. "Wahai Lakasipo! Ternyata kau tidak bakal

mati sia-sia! Kau mati dengan menanam budi padaku!

Semoga para Dewa dan para Peri memberikan tempapaling hnflua bnginni di nlom atas langitl Tiba saatnya

aku membunuhmu wahai Hantu Kaki Batu"

 Habis berkata begitu Hantu Bara Kaliatus sentakan 

lehernya. Kepalanya bergoyang keras. Sebuah bara 

menyala melesat dari atas kepala orang ini, menyambar 

ke arah kepala Lakasipo. Secepat kilat Lakasipo 

tundukkan kepala. Melompat ke kiri, mencebur ke 

dalam sungai. Bara menyala lewat setengah jengkal

disamping paha kirinya, menebar hawa panas yang

sempat menghanguskan cambang bawuknya. Bara

menyala sesaat kemudian menghantam sebuah batu

besar di tepi sungai sehingga meledak dan hancur

berkeping-keping!

 Hantu Bara Kaliatus tertawa bergelak. "Gerakanmu

lumayan cepat Hantu kaki Batu. Aku ingin melihat

kehebatan sepasang kaki batumu!"Hantu Bara Kaliatus

lalu sentakkan otot di perutnya. Dua buah bara menyala

melesat menyerang Lakasipo. Lebih cepat dan lebih

ganas!

 Lakasipo yang masih berada dalam sungai mem-

bentak keras lalu melesat ke udara. Pada saat dua bara

menyala menyambar dan hanya tinggal satu langkah 

dari perut dan dadanya, Lakasipo tendangkan kedua 

kakinya.

 "Byaaarrri"

 "Byaaarrr!"

 Percikan lidah api mencuat di atas sungai. Mem-

bakar daun-daun pepohonan. Lakasipo terdorong ke-

ras ke belakang tapi masih sanggup menjejakkan dua

kaki batunya di tepi sungai. Rasa sakit menjalar dari

kaki sampai ke pinggang. Kalau tidak cepat meng-

imbangi diri dan pasang kuda-kuda niscaya dia akan

jatuh terhenyak di tanah. Di atas batu di tengah sungai

Hantu Bara Kaliatus tegak dengan tubuh tergontai-

gontai. Sesaat mukanya seolah tak berdarah ketika

menyaksikan bagaimana dua bara yang dihantam-

kannya ke arah lawan hancur berantakan ditangkis

Bola Bola Iblis di kaki Lakasipo!

 Lakasipo sendiri tampak berkerut keningnya ketika

melihat bagaimana hantaman dua keping batu bara

merah yang hanya sebesar ibu jari kaki itu membuat

dua kakinya yang terbungkus batu laksana dirajam

dalam api. Ketika dia memperhatikan ternyata dua batu

di kakinya telah gompal! Padahal selama ini tidak satu

senjata atau kekuatan sakti puri sanggup merusak dua

batu bulat itu!

 Mendadak Lakasipo merasa ada tusukan halus di

tangan kanannya. Tusukan itu sebenarnya adalah gigit-

an yang dilakukan Wiro untuk menarik perhatian Laka-

sipo. Hal ini menyadarkan Lakasipo bahwa sampai

saat itu dia masih menggenggam ketiga orang Itu di

tangan kanannya. Wiro lambaikan tangan berulang

kali. Melihat tanda ini Lakasipo segera dekatkan tangankanannya ke telinga. Wiro cepat membuka mulut.

 "Lakasipo! Lekas masuk kedalam sungai. Manusia

bara menyala itu pasti tidak berani mengejar. Seluruh

bara menyala di kepala dan tubuhnya pasti akan mati

kena air. Di dalam air kau punya kesempatan bertahan

dan menyerang!"

 "Kau cerdik!" ujar Lakasipo. Lalu sambil terus

menggenggam Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol

dengan cepat dia mencebur masuk ke dalam sungai.

Air sungai muncrat sampai beberapa tombak. Wiro dan

dua temannya yang masih berada dalam genggaman

tangan kanan Lakasipo jadi gelagapan begitu mereka

ikut tenggelam masuk ke dalam air.

 Di atas batu di tengah sungai Hantu Bara Kaliatus

menyeringai lebar. "Aku tahu apa yang ada di benakmu

Hantu Kaki Batu! Kau kira aku takut turun ke air! Aku

masih belum puas kalau tidak menjajal seluruh ke-

saktianmu sebelum menamatkan riwayatmu!" Setelah

berucap Hantu Bara Kaliatus lantas melompat masuk

ke dalam sungai.

 "Byuuurrr!"

 Sosok Hantu Bara Kaliatus lenyap di dalam air. Di

permukaan sungai mengepul asap kelabu. Tiba-tiba

sosok Hantu Bara Kaliatus muncul kembali. Astaga!

Semua bara menyala yang ada di atas kepala dan

menempel di tubuhnya ternyata masih menyala! Tidak

mati walau terkena air!

 "Hantu Kaki Batu! Perlihatkan kehebatanmu!"

 Hantu Bara Kaliatus tanggalkan sebuah bara me-

nyala dari atas kepalanya. Sesaat bara itu ditimang-

timangnya. Di saat yang sama Lakasipo ingat akan

orang-orang yang ada di tangan kanannya. Dengan 

cepat dia keluarkan tangan kanan dari dalam sungai. 

Wiro dan Naga Kuning muntah-muntah semburkan air. 

Setan Ngornpol muntah atas bawah. Walau keadaannya 

saat itu megap-megap seperti orang mau sekarat tapi 

Wiro masih sempat mengintip dari sela jari Lakasipo 

dan dia menyaksikan sendiri bagaimana bara menyala 

di kepala dan tubuh lawan tidak menjadi mati walau 

terkena air!

 "Lakasipo.... Huekkk!" Wiro muntah lagi. "Sulit 

bagimu mengalahkan makhluk bara itu. Kau harus 

menyelinap ke belakangnya. Totok urat besar dipangkal 

leher sebelah kanan. Tubuhnya pasti kaku tak bisa 

bergerak!"

 "Kau memang pernah bilang mengenai ilmu totok itu!

Tapi mana aku paham melakukannya!" jawab Lakasipo

seraya mendekatkan tangan kanannya ke dekat, 

kepala.

 "Luruskan dua jari tangan kirimu! Kerahkan tenaga

dalam lalu tusukkan ke pangkal leher! Ingat, aku pernah

menunjukkan caranya beberapa hari lalu! Kau harus

melakukan sekarang sebelum dia menyerang!"pa yang dikatakan Wiro tidak mudah bagi Lakasipo 

melakukannya. Bukan saja karena dia tidak pernah 

mengenal ilmu totokan itu tetapi saat itu Hantu Bara

Kaliatus telah melemparkan bara api yang tadi di-

timang nya di tangan kanan.

 "Wuussss!"

 Batu bara menyala seolah berubah menjadi sinar

merah panjang, melesat di atas permukaan air sungai

menyambar ke arah dada Lakasipo.

 Lakasipo membuang dirinya ke samping sambil

melepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit Lima larik

sinar hitam berkiblat memapasi sambaran bara 

menyala.

 "Taar! Taarr! Taarr! Taarr! Taarr!"

 Lima letusan keras menggetarkan udara. Sinar

hitam dan kilatan nyala api bertaburan. Air sungai

bergejolak ke atas antara dua lawan yang tengah

bertempur itu hingga untuk beberapa saat lamanya

mereka tak dapat saling melihat. Lakasipo merasa sakit

dan panas pada pinggang sebelah kiri. Namun tidak

diacuhkannya karena dia ingin mempergunakan ke-

sempatan untuk melakukan apa yang diberitahu Wiro

tadi. Yakni menotok tubuh lawan. Tapi celakanya Laka-

sipo lupa bagian mana dari tubuh Hantu Bara Kaliatus

yang harus ditotoknya. Sebelum tubuhnya masuk ke

dalam air dia angkat tangan kanannya tinggi-tinggi dan

bertanya. "Wiro, bagian mana dari tubuh Hantu Bara

Kaliatus yang harus aku tutuk!"

 Saat itu dalam genggaman tangan kanan Lakasipo

Wiro terjepit di sebelah bawah. Walau dia bisa 

mendengarpertanyaan Lakasipo namun dia tak bisa 

menjawab.Sebaliknya Naga Kuning berada di sebelah 

atas antara dua celah jari tangan. Enak saja bocah ini 

berteriak.

 "Totok saja selangkangannya sebelah kanan! Kau

harus menyelami Lakukan cepat sebelum muncratan

air turun!"

*

* *


ENAM


TANPA PIKIR PANJANG LAKASIPO SEGERA 

menyelam lalu bergerak cepat mendekati lawan 

dengan dua jari tangan kiri terpentang lurus. Hantu

Bara merasa dan mendengar ada herrtakan-

hentakan keras di dasar sungai yakni hentakan 

Bola Bola Iblis atau dua kaki Lakasipo yang 

terbungkus batu. Ketika dia menyadari lawan 

menyusup dalam air dan mendekatinya dengan cepat 

keadaaan sudah kasip.

 Tubuh Hantu Bara menggeletar ketika satu tusukan

keras menghantam pangkal paha kanan sebelah atas!

Hantu Bara Kaliatus pukulkan tangan kanannya ke 

dalam air namun Lakasipo telah lebih dulu menyelinap. 

Sesaat kemudian dia melesat ke tebing sungai dan 

berlindung di balik sebuah batu besar. Dari balik batu itu 

dia memperhatikan apa yang terjadi atas diri Latandai 

alias Hantu Bara Kaliatus. Pada saat bersamaan 

Lakasipo ingat lagi akan tiga sahabatnya yang terbawa 

menyelam dan masih berada dalam genggaman tangan 

kanannya. Cepat-cepat Lakasipo buka tangannya lalu 

meletakkan ketiga orang itu di tanah.

 "Celaka.... Jangan-jangan mereka mati semua. Wahai 

sahabatku!" kata Lakasipo dalam hati sewaktu dilihat-

nya Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngornpol tak satupun 

yang bergerak! Lakasipo cepat tengkurapkan ketiga 

orang itu. Lalu hati-hati dan perlahan sekali, dengan 

mempergunakan ujung jarinya ditekannya punggung 

dan pantat ketiga orang itu. Air sungai yang memenuhi 

perut Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol 

menyembur keluar. Sesaat kemudian ketiganya tampak 

menggerakkan kaki dan tangan. Walau mereka masih 

tertelungkup begitu rupa dan nafas agak megap-megap 

namun masing-masing sudah bisa membuka mata 

hingga menyaksikan apa yang terjadi dengan diri

Hantu Bara Kaliatus seperti yang juga disaksikan oleh

Lakasipo.

 Saat itu di tengah sungai Hantu Bara Kaliatus

berhasil menguasai diri hingga getaran yang menjalari

tubuhnya segera lenyap. Namun begitu getaran hilang

tiba-tiba dia merasakan ada satu kelainan pada bagian

tubuh di bawah perut. Rasa berat yang amat sangat.

Saat itu dia tidak lagi ingat untuk mencari tahu di mana

adanya Lakasipo. Terbungkuk-bungkuk orang ini me-

rambah air. menuju tepian sungai lalunaik ke daratan.

Begitu sampai di dataran dan memandang ke .bawah.

Seruan tertahan keluar dari mulut Hantu Bara Kaliatus!

Matanya membeliak seperti mau melompat dari sarangnya sedang mukanya pucat memutih!

 Celana yang dikenakan Hantu Bara, yang terbuat

dari kulit kayu robek besar di bagian bawah perut. Dari

robekan itu mencuat keluar anggota rahasianya yang

telah berubah bentuk menjadi bengkak membesar!

 "Demi para roh!" jerit Hantu Bara Kaliatus. "Apa

yang terjadi dengan diriku! Wahai para Dewa dan Peri!

Tolong diriku!" Setengah meratap Hantu Bara sambar

serumpunan dedaunan lalu ditutupi auratnya dengan

daun-daun itu.

 Di balik batu Pendekar 212 Wiro Sableng,. Naga

Kuning dan Setan Ngompol berusaha bangkit dari

saling pandang.

 "Kau lihat barusan anunya Hantu Bara...?" tanya

Setan Ngompol pada Wiro.

 Wiro mengangguk.

 "Aku heran apa yang terjadi atas dirinya. Sampai

kantong menyannya bengkak besar begitu rupa. Dan

bukan cuma kantong menyannya saja! Tongkat Ganda-

ruwonya juga..." Setan Ngornpol tidak teruskan ucapan-

nya. Kakek bermata jereng ini melirik pada Naga Kuning

lalu mengerling ke arah Wiro. "Hemmmm..." Setan

Ngornpol bergumam. "Ini pasti pekerjaan salah satu

dari kalian! Memberi kisikan gila pada Lakasipo! Kalau

tidak ada yang menotok urat sembung di selang-

kangannya tidak nanti dia jadi begitu. Lihat, berdiri saja

dia seperti tidak mampu. Yang di bawah bengkak

membesar. Yang di atas menunjuk kurang ajar!"

 Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Aku memang

mengajari Lakasipo untuk menotok. Tapi menotok urat

besar di leher atas! Bukan di leher bawah!"

 "Hik... hik... hik!" Naga Kuning tekap mulutnya

menahan ketawa.

 "Bocah geblek! Pasti kau yang mengajari!" kata

Setan Ngornpol pula pada Naga Kuning.

 Saat itu Lakasipo rundukkan kepalanya ke tanah.

Perlahan sekali dia berkata. "Wahai Naga Kuning, kalau

kita tidak membebaskan tutukan...."

 "Totokan! bukan tutukan!" sergah Naga Kuning

tapi sambil senyum-senyum.

 'Terserah! Kau menyebot totokan, aku tutukan.

Karena totokan dalam bahasa di Negeri Latanahsilam

berarti payudara perempuan!"

 Setan Ngornpol tertawa cekikikan hingga kencing-

nya terpancar. Wiro garuk-garuk kepala sambil menye-

ngir sedang Naga Kuning tertawa terpingkal-pingkal.

 "Kalau kita tidak membebaskan tutukannya, se-

umur-umur dia akan menderita seperti itu...."

 "Dia perlu celana baru yang gombrang di sebelah

bawah! kata Wiro. "Atau sarung!"

 "Mana ada sarung di negeri gila ini!" tukas Setan

Ngornpol.

 "Siapa yang berani menolongnya?! Sekail mondekat pasti mati kita dihantamnya!" kata Naga Kuning.

"Lakasipo, bukankah kau yang menotok selangkangan-

nya? Jadi kalau kau mau berbaik hati kau saja yang

melepas totokannya. Tusuk sekali lagi selangkangan-

nya! Hik... hik... hik!"

 Saat itu Hantu Bara Kaliatus duduk tergeletak di

tanah. Dia tak habis pikir apa yang terjadi dengan

dirinya. Memandang berkeliling dia tidak melihat siapa-

siapa. Tapi hatinya mulai curiga. Tertatih-tatih orang

ini bangkit berdiri. Sambil melangkah pergi dia berkata.

"Lakasipo manusia jahanam! Akan kucari kau sampai

ke ujung dunia! Pasti kau yang punya pekerjaan!

Jahanam!" Saking marahnya Hantu Bara tinggalkan

dua bara menyala dari perutnya lalu di lemparkan ke

depan. Dua bara menyala ini menghantam, pohon

besar. Begitu tembus masuk ke batang pohon, pohon

ini meledak dan tumbang hancur berentakan. r

 "Siapa sebenarnya makhluk yang mata dan tu-

buhnya ditempeli bara menyala itu?!" Naga Kuning

bertanya.

 "Panjang ceritanya wahai tiga saudaraku! Tapi jika

kalian ingin tahu biar aku ceritakan sedikit." Lakasipo

lalu menuturkan siapa adanya Hantu Bara Kaliatus/

"Peristiwanya terjadi sekitar hampir delapan puluh ta-

hun silam. Dimulai ketika Latandai kabur dari Latanah-

silam sementara istrinya hamil besar. Setelah bayinya'

hampir berusia empat puluh hari Latandai tidak pernah;

pulang, maka Luhsantini meninggalkan rumah mencari

suaminya itu. Di Latanahsilam ada semacam adat jika

pada saat seorang bayi mencapai usia empat puluh

hari dan ayahnya tidak hadir untuk satu upacara peng-

usapan ubun-ubun, penyentuhan tubuh serta mencium-

anaknya, maka anak itu dianggap tidak memiliki ayah,

sekaligus tidak punya ibu dan jadilah dia semacam

anak haram yang dikucilkan...."

 "Adat aneh!" ujar Pendekar 212.

 "Negeri ini memang diselimuti seribu satu macam

keanehan. Latandai dan Luhsantini jelas-jelas dikawin-

kan secara syah. Masakan karena ayahnya tidak meng-

usap ubun-ubunnya saja dia lalu jadi anak haram.

Dikucilkan...."

 'Terus terang memang banyak keanehan terutama

menyangkut adat yang tidak aku sukai di Negeri La-

tanahsilam ini," kata Lakasipo pula. "Tapi bagaimana

mau mengikisnya? Siapa saja yang berani merubah

adat dan aturan akan dicap sebagai pengkhianat besar.

Hukumannya direbus dalam sebuah belanga besi se-

lama empat puluh hari sampai daging dan tulang

belulangnya hancur larut dalam air!"

 "Menurutmu putera Luhsantini dikucilkan lalu di-

usir dari Negeri Latanahsilam. Kemana minggatnya

anak itu, apa dia tidak bisa kembali ke sini? Tidak ingin

membalas dendam?'"Putera Luhsantini itu tidak bisa disebut sebagai

anak lagi. Saat ini usianya paling tidak sekitar delapan

puluh tahunan. Kemana perginya sulit diketahui. Tapi

aku menduga kemungkinan masuk ke dalam negeri

asal kalian. Kabar terakhir, sebelum dia lenyap dari

sini diketahui dia telah mendapat julukan Hantu Balak

Anaml"

 "Apa?!" Tiga mulut yakni Wiro, Naga Kuning dan

Setan Ngornpol berseru berbarengan.

 . "Wahai tiga saudaraku! Melihat raut muka dan

seruan kagetmu tadi aku menaruh sangka kau kenal

atau pernah tahu dengan Hantu Balak Anam?!" ujar

Lakasipo.

 "Orangnya tinggi besar, berambut lurus ke atas

seperti ijuk. Alisnya panjang bersambung jadi satu.

Lalu di keningnya ada enam buah lobang hitam. Di

pipi kiri dan kanan masing-masing ada tiga lobang

hitam serupa. Itukah orangnya?!" tanya Wiro.

 "Tepat! Memang dia wahai saudaraku Wirol Mung-

kin ukuran tubuhnya saja yang tidak sesuai dengan

ukuran tubuh kami di sini! Tapi lain dari itu sangat

cocoki"

 "Dia berada di tanah Jawa. Terakhir sekali dia

berada di Telaga Gajahmungkur...." (Mengenai "Hantu

Balak Anam" harap baca serial Wiro Sableng berjudul

"Pedang Naga Suci 212" yang merupakan Episode ke-4

dari 11 Episode)

 "Ah, dugaanku tidak meleset. Jadi memang ke

sanalah diamengucilkan dirL Apakah dia menjadi hantu

jahat atau hantu baik di negeri kalian?' tanya Lakasipo.

 "Walau dia banyak berpihak pada orang-orang

golongan putih, namun dia tidak bisa dikatakan ter-

masuk golongan putih. Yang jelas dia bukan golongan

hitam," jawab Wiro.

 "Aku tidak mengerti. Apa yang kau maksudkan

dengan golongan putih dan golongan hitam," ujar

Lakasipo pula.

 Wiro tersenyum lalu menceritakan apa arti golongan 

putih dan golongan hitam di rimba persilatan di tanah 

Jawa.

 Sambil garuk-garuk kepala Wiro kemudian berkata.

 "Kalau kau tidak setuju dengan adat negeri ini,

berarti kau menyadari bahwa Lasingar dan Luhsantini

serta Lamatahati sama sekali tidak bersalah. Lalu me-

ngapa kau memberi tahu di mana orang-orang itu

berada? Hantu Bara Kaliatus pasti akan mencari La-

singar dan Luhsantini. Lalu membunuh kedua orang

itu. Lamatahati mungkin selamat karena menurutmu.

dia berada di alam lain...."

 Lakasipo jadi terkejut mendengar ucapan Wiro.

 Sableng itu. "Astaga, kau benar..." katanya dengan

 suara bergetar. "Aku membuat kesalahan besar. Aku

 harus menolong mereka...."“Tapi apa kau bisa menduga siapa di antara Lasingar 

dan Luhsatini yang akan lebih dulu didatangi Hantu 

Bara Kaliatus?l"

 "Kukira dendam Latandai sangat besar terhadap 

Luhsantini. Gara-gara perempuan itulah maka dia me-

nerima bala kutukan. Pasti dia akan membunuh janda-

nya itu lebih dulu!"

 "Kalau kau yakin hal itu, berarti perempuan itu 

yang harus diselamatkan lebih dulu! Kau tahu tem-

patnya! Mengapa tidak segera berangkat ke sana!" ujar' 

Naga Kuning.

 "Aku.... Aku harus menyambangi makam istriku lebih 

dulu di Bukit Latinggihijau!" kata Lakasipo pula.

 "Istrimu sudah meninggal, Lakasipo!" kata Wiro.

 "Tidak ada satu bahaya pun mengancam dirinya di-

banding dengan perempuan bernama Luhsantini itu! 

Dia yang harus didatangi dan diselamatkan lebih dulu!"

 "Lalu bagaimana dengan Hantu Santet Laknat! Aku 

juga punya urusan yang belum selesai dengan dukun 

keparat itu! Gara-gara dia sepasang kakiku jadi begini!"

 "Bagaimanapun.keadaan kakimu, yang jelas kau kini 

malah memiliki ilmu kesaktian yang hebatl Lupakan 

makam istrimu! Lupakan dulu Hantu Santet Laknat 

Malah kami bertiga untuk sementara bersedia me-

lupakan mencari Batu Sakti Pembalik Waktu dan men-

cari Hantu Tangan Empat! Asalkan kau mau menye-

lamatkan perempuan bernama Luhsantini itu!"

 Mendengar ucapan Wiro itu Lakasipo alias Hantu 

Kaki Batu menjadi bimbang. Saking gemesnya Wiro 

memberi isyarat pada Naga Kuning dan Setan Ngornpol.

 Ketiga orang ini serentak menggigit telapak tangan 

Lakasipo. Walau gigitan itu tidak melukainya namun

rasa sakit seperti ditusuk membuat Lakasipo tersentak.

 "Kalian nakal semual" Mengomel Lakasipo. Lalu

ketiga orang itu dimasukkannya ke dalam kocek jerami.

Sekali lompat saja dia sudah berada di punggung kuda

hitam kaki enam.

* *


TUJUH


LAPANGAN KECIL DI BUKIT LATINGGISUBUR pagi itu 

dipenuhi oleh para penyabung ayam, mereka yang

bertaruh atau hanya sekedar menonton. Ketika 

ayam milik Lakabil dan Latondang sedang hebat-

hebatnya berlaga tiba-tiba sebuah benda melayang 

di udara dan jatuh di tengah lapangan. Dua ayam 

yang bertarung berkotek keras lalu kabur. Orang

yang ada di tempat itu serta merta dilanda kegemparan.

Betapa tidak. Benda yang bergelimpang ditanah lapang

itu adalah sesosok tubuh bergelimpang darah mulai

dari kepala sampai ke badan. Dalam keadaan seperti

itu dari balik semak belukar sekonyong-konyong keluar

sesosok tubuh tinggi besar. Saat itu juga tempat itu

diselimuti hawa panas serta bau aneh seperti daging

terpanggang.

 Kalau tadi semua orang dilanda kegegeran maka

kini mereka dicekam ketakutan setengah mati. Mereka

tidak tahu pasti makhluk apa yang sebenarnya tegak

di depan mereka saat itu. Sosok tinggi besar ini tegak

kaki terkembang tubuh agak terbungkuk seolah me-

nahan sesuatu yang berat di bawah perutnya. Di atas

kepalanya ada puluhan bara menyala. Bara yang sama

juga menempel di dada dan perut. Di bawah pinggang

makhluk ini mengenakan jerami kering dan daun-

daunan demikian rupa sengaja menutupi bagian tubuh-

nya yang besar gembung menonjol.

 "Roh jahat kesasar..." bisik seseorang.

 "Hantu lapar turun dari langit!" kata yang lain

dengan suara bergetar.

 "Lihat tubuhnya sebelah bawah. Besar nian. Sebesar 

kelapa!"

 "Aneh dan seram! Dia memiliki empat buah bola

mata!"

 "Wahai, agaknya dia yang barusan melempar orang 

bergelimang darah itu! Dia sengaja melempar ke 

hadapan Lakabil!" kata seorang lainnya.

 "Lasingar!" Tiba-tiba orang menyeramkan di tengah 

lapangan berteriak keras. Tanah lapang terasa bergetar. 

Daun-daun pepohonan bergemerisik. "Buka matamu 

lebar-lebar! Apa kau masih mengenali siapa adanya 

manusia yang menggeletak sekarat di depanmu itu?! 

Apa kau juga mengenali siapa diriku?!"

 Orang bernama Lakabil melangkah mundur dengan 

muka pucat ketakutan. Matanya memandang

berganti-ganti dari si makhluk seram yang bukan lain

adalah Latandai alias Hantu Bara Kaliatus lalu pada

sosok yang tergeletak di tanah.

 "Lasingar! Jawab pertanyaanku!" Terbungkubungkuk keberatan dia maju dua langkah mendekati

Lakabil.

 Seseorang di tepi lapangan beranikan diri berkata.

"Wahai makhluk yang kepalanya menjunjung bara me-

nyala! Orang yang kau ajak bicara itu bernama Lakabil.

Bukan Lasingar."

 "Benar! Dia Lakabil! Tak ada orang bernama La-

singar di sini."

 Hantu Bara Kaliatus melirik tajam pada dua orang

yang barusan bicara itu. "Kalian berdua berbanyak

mulut! Kalian tahu apa!" Tiba-tiba Hantu Bara Kaliatus

menyergap. Dua tangannya bergerak.

 "Bukkk!"

 "Bukkk!"

 Dua orang yang tadi bicara menjerit keras. Tubuh

mereka terpental. Jatuh bergedebukan di tanah dengan

mulut hancur.

 "Ada lagi yang mau bicara?l" sentak Hantu Bara

Kaliatus.

 Tak ada yang menjawab. Tak ada yang berani

bergerak.

 Hantu Bara Kaliatus melangkah ke hadapan orang

bernama Lakabil tapi yang dipanggilnya dengan La-

singar. "Kau pandai berpura-pura. Tak mau menjawab.

Seolah tidak mengenal siapa manusia satu ini! Dia

adalah kerabatmu Latorikl Penduduk Negeri Latanah-

silam. Sekitar delapan puluh tahun silam dia yang

menangkap basah dirimu sewaktu berada di atas ran-

jang bersama Luhsantini!"

 Pucatlah wajah Lakabil. Dalam hati dia membatin.

"Walau kini aku berhadap-hadapan, tapi apa benar

makhluk aneh ini Latandai adanya.... Celaka, bagai-

mana dia tahu aku tinggal di sini!"

 "Kerabat," kata Lakabil. "Aku tidak mengerti apa

yang kau bicarakan...."

 Hantu Bara Kaliatus menyeringai. "Kau masih me-

neruskan kepura-puraanmu! Aku adalah Hantu Bara

Kaliatus! Luhsantini adalah istriku yang telah kau cabuli

hingga hamil. Ingatanmu sudah terang sekarang La-

singar?! Atau perlu kubelah batok kepalamu, kukeluar-

kan otakmu dan kucuci di sungai Lapanjangbiru?"

 "Han.... Hantu Bara Kaliatus.... Kau... kau adalah

Latandai!" ujar Lakabil dengan suara tercekat

 Hantu Bara Kaliatus tertawa bergelak. "Sekarang

otakmu mulai jernih rupanya! Apa kau juga sudah ingat

bahwa namamu sebenarnya Lasingar? Bukan Lakabil

yang kau palsukan sejak puluhan tahun bersembunyi

di Bukit Latinggisubur ini?"

 Dalam takut yang amat sangat, semua orang yang

mendekam di tempat itu merasa heran apa sebenarnya

yang dibicarakan makhluk seram itu dengan kerabat

yang selama ini mereka kenal bernama Lakabil. Tapi

si makhluk seram menyebutnya sebagai Lasingar.

"Latandai.... Perihal kejadian delapan puluh tahun

silam itu, aku tidak melakukannya. Aku...."

 Hantu Bara Kaliatus menggembor keras. Dia me-

nunjuk pada orang yang terkapar di tanah. "Latorik

saksi mata. Saksi hidup yang sebentar lagi akan me-

regang nyawa! Dia yang melihat kau dalam keadaan

bugil di atas ranjang bersama Luhsantini! Di atas

anjungan rumah kediaman orang tua gadis itu!"

 "Latandai aku bersumpah.... Demi para Dewa dan

para Peri. Aku tidak menggauli calon istrimu Luhsantini.

Aku berada dirumahnya untuk berobat, aku tidak tahu...

tidak mengerti mengapa hari itu tahu-tahu aku berada

di atas ranjang bersama Luhsantini dalam keadaan

tidak berpakaian...."

 "Jahanam pendusta! Setelah merambas tanaman

muda kau tidak berani mengakui perbuatan kejimu!

Dengar baik-baik Lasingar! Ketika Luhsantini kukawini,

gadis itu sudah tidak perawan lagi! Kau melakukan

kebejatan itu bukan cuma sekali! Pasti berulang-ulang!

Alasan sakit hanya tipu muslihatmu semata agar bisa

mendekati Luhsantini! Jahanam terkutuk!"

 "Demi para Dewa dan para Peri. Demi para arwah

ke dua orang tuaku! Aku bersumpah, Latandai! Aku

tidak melakukan semua yang kau tuduhkan itu!"

 "Lasingar! Ternyata kau bukan saja seorang laknat

Tapi berani bersumpah palsu menyebut para Dewa

dan para Peri! Bahkan menyebut roh orang tuamu!

Kalau kau benar tidak melakukan perbuatan terkutuk

itu mengapa melarikan diri?! Bersembunyi tinggal di

Bukit Latinggisubur ini selama puluhan tahun?! Me-

nukar nama menjadi Lakabil!"

 "Latandai.... Aku saat itu berada dalam keadaan

tidak mungkin membela diri. Kalau benar orang itu

Latorik, apa yang disaksikannya mungkin karangan

belaka! Mungkin saja seseorang menyuruh atau me-

maksanya berbuat begitu. Memberi kesaksian palsu...."

 "Bukkkk!"

 Kaki kanan Hantu Bara Kaliatus mendarat telak di

dada Lasingar. Orang ini terpental dan ambruk di bawah

sebatang pohon. Darah segar mengucur dari mulutnya.

Nafasnya sesak, nyawanya seolah terbang. Dia meng-

erang dengan sekujur tubuh bergeletar.

 Hantu Bara Kaliatus menyeret sosok berdarah ke

hadapan Lasingar. Orang yang berada dalam keadaan

luka parah itu dijambaknya lalu membentak. "Latorik!

Sebelum kau keburu mampus katakan apa yang kau

lihat delapan puluh tahun silam di atas ranjang di

anjungan rumah kediaman Luhsantini! Kalau kau mati

para Dewa dan para Peri akan mengampuni segala

dosamu karena kau telah berbuat baik, memberi ke-

saksian yang benar!"

 Orang yang bergelimang darah itu tidak segera

menjawab. Mungkin dia tidak lagi mampu bersuara.Hantu Bara Kaliatus menggoncang kepala Latorik.

 "Bicara! Atau kugeprak pecah kepalamu saat ini

juga!" teriak Hantu Bara Kaliatus.

 "A... aku...." Latorik bersuara walau perlahan. "Del...

delapan puluh tahun silam.... Suatu pagi, seperti biasa

aku membawa satu bumbung berisi air ke rumah orang

tua Luhsantini. Tanpa sengaja aku.... Aku menjenguk

ke anjungan. Aku melihat dia...."

 "Dia siapa?! Sebutkan nama!" bentak Hantu Bara

Kaliatus.

 "Dia..., dia Lasingar... aku melihat Lasingar dan

Luhsantini saling berpelukan. Keduanya dalam pulas

tertidur. Keduanya tidak berpakaian...."

 "Latorik jahanam! Kau mengarang cerita memfitnah 

diriku! Bejat sekali pekertimu!" Teriak Lakabil alias 

Lasingar menggeledek. Dari pinggangnya dihunusnya 

sebilah parang batu lalu ditusukannya ke dada Latorik, 

tepat di arah jantung hingga orang ini tewas seketika!

 Kalau semua orang tersentak kaget melihat apa

yang dilakukan Lasingar itu, sebaliknya Hantu Bara

Kaliatus tertawa bergelak. Dia tadi sengaja tidak men-

cegah pembunuhan itu. Jambakannya di rambut La-.

torik dilepaskan hingga sosok tak bernyawa ini ter-

gelimpang di tanah.

 "Lasingar manusia terkutukl Kau terlambat mem-

bungkam mulut Latorik! Dia keburu memberi kesaksi-

an! Didengar oleh para Dewa dan Peri serta para roh!

Termasuk roh orang tuamu! Disaksikan pula oleh

kerabat sepenyabungahmu! Sekarang giliranmu me-

nyusul ke alam langit ke tujuh!"

 Hantu Bara Kaliatus tanggalkan, sebuah bara me-

nyala di dadanya lalu dilemparkan ke arah Lasingar.

Lasingar tak tinggal diam. Parang batu berdarah yang

masih dipegangnya dipergunakan untuk menangkis.

 "Traaanggg!"

 Parang batu hancur berantakan. Lasingar menjerit.

Suara jeritannya lenyap begitu bara menyala menem-

bus keningnya lalu meledak menghancurkan sebagian

tubuhnya mulai dari kepala sampai ke dada!

 Hantu Bara Kaliatus memandang berkeliling. Tak

seorang pun masih terlihat di tempat itu. Ternyata

semua orang telah kabur melarikan diri karena takut

akan menjadi korban keganasan makhluk bara me-

nyala itul

 Hantu Bara Kaliatus putar langkah hendak me-

ninggalkan tempat itu. Namun gerakannya tertahan

ketika di langit dilihatnya ada satu cahaya biru sebesar

ujung jari kelingking. Makin lama cahaya ini semakin

membesar, menukik ke bawah. Bertambah besar dan

terang. Sepuluh tombak di atas kepala Hantu Bara

Kaliatus cahaya tadi berubah membentuk satu sosok

tubuh seorang perempuan. Bersamaan dengan itu bau

harum mewangi menebar di tempat tersebut.


DELAPAN


MELIHAT SIAPA YANG MUNCUL DI ATASNYA itu 

Latandai alias hantu'Bara Kaliatus jadi tercekat. 

Buru-buru dia menjatuhkan diri ber-lutut seraya 

dalam hati membatin. "Gerangan pesan apa 

yang dibawanya padaku. Berkah atau hukuman.

Kalau dia sampai melihat keadaanku seperti 

ini...."

 Hantu Bara Kaliatus mendongak ke atas dan le-

takkan dua tangan yang dirapatkan di .atas kepala.

"Wahai Peri Bunda, Simpul Agung Dari Segala Peri,

Peri Junjungan Dari Segala Junjungan, Berkah apakah

yang hendak kau berikan padaku hingga tidak biasanya

kau menampakkan diri seperti ini...."

 Angin bertiup sejuk beberapa saat lamanya. Di atas 

sana bayangan biru berbentuk sosok seorang

perempuan memandang sayu pada hantu Bara Kali-

atus. Sosok yang disebut Peri Bunda ini berwajah

seorang perempuan separuh baya cantik, agung dan

anggun. Di kepalanya ada sebentuk mahkota bertabur

batu-batu permata berkilau-kilau. Tubuhnya terbung-

kus selendang tipis warna biru bergulung-gulung pan-

jang. Demikian panjangnya seolah ujung pakaian ini

tergantung sampai ke langit.

 "Wahai manusia bernama Latandai," Peri Bunda

berkata dari atas sana. Suaranya walau, lembut tapi

mengiang keras masuk ke telinga Hantu Bara Kaliatus.

"Aku datang bukan membawa berkah! Kami para Peri

di angkasa raya merasa sedih. Karena sejak kau keluar ,

dari kawah Gunung Latinggimeru, maka di Negeri 

Latanahsilam telah bertambah satu lagi Hantu yaitu 

Hantu Bara Kaliatus. Hantu yang perwujudannya ada-

lah bagaimana keadaan dirimu sendiri saat ini.... Kami 

ingin melenyapkan semua Hantu yang ada, malah kini 

ketambahah satu lagi. Kami tahu ada Hantu baik dan 

ada Hantu jahat di antara kalian. Selama puluhan tahun 

kami para Peri telah mengikuti perjalanan hidupmu. 

Ternyata kau bukan termasuk golongan Hantu baik. Di 

tubuhmu sebelumnya ada dua ratus bara merah

menyala. Kini bara itu telah banyak berkurang. Berarti 

belasan bara maut telah kau pergunakan untuk mem-

bunuh manusia lainnya!' Ketahuilah Latandai, mem-

bunuh adalah sesuatu yang tidak diizinkan kecuali 

dalam membela diri, keluarga.dan para kerabat. Tapi 

seperti yang aku saksikan sendiri hari ini kau telah 

menjadi penyebab kematian dua orang. Pertama La-

torik. Walau bukan tanganmu yang menghabisinya tapi 

kematiannya berpangkal sebab pada perbuatanmu.Kedua Lasingar. Kau membunuhnya atas dasar 

kesaksian yang diragukan. Tidak ada pembuktian yang 

sempurna. Semurah itukah nyawa manusia di mata-

mu...?"

 Untuk beberapa saat lamanya Latandai alias Hantu

Bara Kaliatus diam tertunduk masih berlutut dan dua 

tangan masih di atas kepala.

 "Latandai, dari tadi kulihat kau berlutut terus. Ber-

dirilah dan bicara secara wajar. Aku bukan sebangsa 

Peri gila hormat..."

 Latandai alias Hantu Bara Kaliatus jadi bingung dan 

kecut. Kalau dia berdiri, Peri Bunda pasti akan 

melihat kelainan keadaan auratnya sebelah bawah.

 "Wahai Latandai, apakah kau tidak mendengar. 

Berhentilah berlutut. Bicara dengan berdiri padaku." 

kata Peri Bunda.

 Perlahan-lahan, terbungkuk-bungkuk Hantu Bara

Kaliatus bangkit berdiri. Celakanya ketika berdiri, ce-

lananya yang sudah tidak karuan rupa merosot ke

bawah. Cepat-cepat Latandai memegangi, menariknya

ke atas dan membenahi dedaunan yang dipakainya

untuk melindungi anggota rahasianya.

 Meskipun semua itu dilakukan dengan cepat oleh

Latandai, namun Peri Bunda masih sempat melihat.

Sang Peri langsung tersentak dan palingkan mukanya

yang serta merta menjadi sangat merah. Latandai

kembali jatuhkan diri mengambil sikap berlutut agar

tubuh sebelah bawahnya yang menggembung tersing-

kap tidak kelihatan dari atas sana.

 "Wahai Peri Bunda, Simpul Agung Dari Segala Peri,

Peri Junjungan Dari Segala Junjungan. Tiada niat

membunuh orang tidak berdosa. Latorik terpaksa saya

aniaya. Karena semula dia tidak mau memberi ke-

terangan atas apa yang dilihatnya...."

 "Apa yang dilihat seseorang belum tentu apa nyata-

nya. Begitu juga dengan Latorik...."

 "Mengenai Lasingar.... Dia lelaki terkutuk yang mem-

pergunakan kesempatan untuk merayu dan meniduri

calon istriku! Mana mungkin aku mengakui Lamatahati

sebagai anakku padahal dia lahir dari benih yang

ditanamkan manusia mesum itu ke dalam rahim Luh-

santini!" kata-kata Latandai jadi keras dan kasar.

 Peri Bunda tersenyum rawan dan gelengkan ke-

palanya. "Latandai.... Hidup di alammu penuh teka teki.

Apa yang terlihat belum tentu itu yang terjadi. Apa yang

terjadi belum tentu itu nyatanya. Kami para Peri tahu

kalau otakmu sudah dicuci oleh Hantu Santet Laknat.

Kau telah dijadikan boneka penurut kemauannya. Kau

berada dalam kekuasaannya. Kami para Peri masih

menaruh kasihan serta harapan padamu. Kau belum

lama tersesat. Masih ada jalan kembali. Jangan terus-

kan menebar maut. Apa kau hendak menghabiskan

sisa bara menyala di kepala, dada dan perutmu untukmembunuh orang? kembali ke puncak Gunung La-

tinggimeru. Campakkan batu-batu bara menyala itu ke

dasar kepundan. Hiduplah sebagai Latandai kembali....

Bila tiba saatnya apa yang sebenarnya terjadi akan

tersingkap."

 "Peri Bunda, saya menghormatmu seribu hormat.

Namun apa yang kau katakan tidak dapat saya laku-

kan...."

 "Aku tidak mengatakan apa-apa wahai Latandai.

Aku memberi perintah padamu!" kata Peri Bunda pula.

 "Maafkan diri saya Peri Bunda. Ampuni dirikul

Sekali ini saya terpaksa tidak mampu mematuhi pe-

rintahmu. Jika Peri Bunda memang berniat baik, me-

ngapa diriku yang menjadi incaran. Bukankah banyak

Hantu lain di Negeri ini yang malang melintang berbuat

kejahatan. Misalnya Hantu Santet Laknat. Hantu Muka

Dua! Mengapa bukan mereka yang dihukum...?!"

 "Wahai Latandai, jangan menganggap kami para

Peri bodoh dan memilih-milih. Kau adalah manusia

yang tersesat terakhir kali. Jadi masih ada kesempatan

untuk memperbaiki dirimu. Hantu-Hantu lainnya akan

menerima giliran. Biar kami para Peri dan para Dewa

yang mengatur.... Satu hal lagi wahai Latandai. Aku

melihat ada yang tidak beres di antara kedua kakimu!

Binatang berbisa apa gerangan yang telah menggigit-

mu hingga auratmu menjadi bengkak seperti itu...?"

 "Wahai Peri Bunda, saya tidak tahu jelas apa yang

sebenarnya terjadi. Tapi ini saya alami setelah saya

berkelahi dengan Lakasipo alias Hantu Kaki Batu alias

Bola Bola Iblis."

 "Latandai, menurut penglihatanku seseorang telah

menutukmu. Tapi ilmu tutukan tidak dikenal di Negeri

Latanahsilam. Berarti ada orang luar yang menyusup

masuk ke Negeri ini I"

 "Saya tidak tahu Peri Bunda sejak kedua kakinya 

dibungkus Bola Bola Iblis, Lakasipo memiliki beberapa 

keanehan. Peri Bunda, saya gembira bertemu

denganmu. Semoga pertemuan ini ada hikmahnya.

Jika kau mau memberi izin saya akan meninggalkan

tempat ini...."

 "Jika itu katamu, terpaksa aku menghalangi wahai

Latandai! Karena aku tahu kau akan membunuh lagi

beberapa orang yang belum tentu berdosa!"

 Peri Bunda kembangkan dua tangannya. Pakaian

birunya bergulung-gulung di udara. Perlahan-lahan

sosok tubuhnya turun mendekati Latandai.

 "Peri Bunda, jangan terlalu memaksa. Aku bisa

bertindak nekad!" Latandai alias Hantu Bara Kaliatus

berteriak.

 Peri Bunda hanya tersenyum dan terus melayang

turun.

 Hantu Bara Kaliatus ambil sebuah bara menyala

di atas kepalanya lalu dilemparkan ke arah Peri Bunda."Wussss!"

 Bara menyala itu menembus sisi kiri pakaian Peri

Bunda hingga berlubang dan terbakar.

 "Luar biasa! Hebat sekalil" Seru Peri Bunda sambil

memperhatikan pakaiannya yang berlubang dan ter-

bakar. Dia meniup satu kali. Kobaran api serta merta

padam. Pakaian yang berlobang kembali utuh seperti

semula. Peri Bunda memandang sayu pada Hantu Bara

Kaliatus. "Petunjuk sudah kuberikan. Peringatan sudah

kusampaikan. Kau nekad menempuh jalan hidup me-

nurut gerak hati dan denyut jantung serta otakmu yang

terbungkus bara api. Padahal ketahuilah wahai La-

tandai. Otakmu sebenarnya sudah dicuci oleh Hantu

Santet Laknat. Kau telah dijadikannya boneka penurut

perintahnya. Kau telah dikuasai oleh nenek jahat itu.

Sekarang terserah padamu. Kau akan merasakan sen-

diri akibatnya kelak wahai Latandai. Namun aku masih

mau memberi petunjuk terakhir bagi keselamatan diri-

mu. Jika kau tidak mau kembali ke Gunung Lating-

gimeru untuk membersihkan semua bara menyala di

kepala, muka dan tubuhmu maka carilah Luhsantini.

Minta maaf dan minta ampun padanya. Minta dia

mencabut sumpah dan kutuk yang telah dijatuhkannya

atas dirimu. Karena akibat kutukannya, ilmu yang kau

dapat dari Hantu Santet Laknat telah berubah menjadi

malapetaka seumur hidupmu! Temui Luhsantini. Maka

kau akan selamat dan kembali ke keadaan serta ke-

hidupan semula...."

 Perlahan-lahan sosok Peri Bunda melayang naik

ke atas udara, makin tinggi, makin tinggi dan akhirnya

lenyap seolah menerobos ke balik langit.

 "Luhsantini...." Hantu Bara Kaliatus kepalkan tinju

kanannya. "Kekasih gelapmu sudah kubunuh! Seka-

rang giliranmu kuhabisi! Karena kutuk sumpahmu aku

jadi begini! Berpantang bagiku untuk minta maaf dan'

ampun pada perempuan! Akan kuhabisi kau Luh-santini!"


SEMBILAN


PERJALANAN MENUJU GUNUNG LABATUHITAM

 di kawasan selatan bukan perjalanan mudah.

Walau Lakasipo alias Hantu Kaki Batu menung-

gangi Laekakienam, kuda raksasa berkaki enam 

namun mereka harus melewati kawasan berbukit-

bukit, lembah tandus, menyeberangi sungai serta 

menembus rimba belantara yang nyaris jarang 

dilewati manusia. Selama perjalanan Wiro, Naga Kuning 

dan Setan Ngornpol lebih banyak berada di dalam 

kocek jerami sehingga keadaan mereka bertiga cukup 

menderita.

 Memasuki malam Lakasipo hentikan kudanya di

bibir sebuah lembah berbatu-batu. Wiro dan dua ka-

wannya dikeluarkan dari dalam kocek lalu diletakkan

di atas sebuah batu datar. Lakasipo meletakkan se-

potong kecil jambu hutan untuk santapan ketiga orang

itu. Walau sangat kecil tapi bagi Wiro dan kawan-

kawannya sepotong jambu hutan itu hampir seukuran

besar tubuh mereka hingga ketiganya tak sanggup

menghabiskan.

 Sementara Lakasipo membaringkan tubuhnya di

tanah, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngornpol ber-

cakap-cakap.

 "Berapa lama lagi kita berada dalam keadaan

seperti ini?" Setan Ngornpol berbaring di batu sambil

usap-usap perutnya.

 "Begitu Lakasipo berhasil menyelamatkan Luh-

santini, kita harus memaksa dia mencari Hantu Tangan

Empat atau mendapatkan kembali Batu Sakti Pembalik

Waktu itu! Aku ingin segera kembali ke tanah Jawa."

 "Lalu bagaimana dengan gadis di Latanahsilam

yang sekali melihat membuat kau tergila-gila itu?'tanya

Setan Ngompol sambil menyeringai.

 Naga Kuning terdiam. Dia berpaling pada Pendekar

212 yang duduk bertopang dagu. "Apa yang kau pikir-

kan Wiro?" Tanya Naga Kuning.

 "Aku ingat orang-orang di alam jauh di sana.

Guruku Eyang Sinto Gendeng, sobatku si Bujang Gila

Tapak Sakti, lalu Kakek Segala Tahu. Gadis berambut

panjang pirang bernama Bidadari Angin Timur itu...

Puteri Duyung. Banyak lagi yang lainnya. Mereka se-

mua pasti tidak mengetahui apa yang telah terjadi

dengan kita bertiga."

 "Pendekar 212, menurutmu mana yang lebih baik.

Mencari Hantu Tangan Empat lebih dulu atau Batu

Pembalik Waktu itu?"

 Wiro garuk-garuk kepalanya. "Dua-duanya samapenting. Tapi jika aku boleh memilih, lebih baik kita

mencari Hantu Tangan Empat lebih dulu."

 "Mengapa begitu?" bertanya Naga Kuning.

 "Waktu Hantu Tangan Empat muncul di tanah

Jawa, sosok tubuhnya sama besardengan sosok tubuh

kita. Di Negeri Latanahsilam tidak mungkin sosoknya

tetap sebesar kita. Pasti dia akan sebesar raksasa

seperti Lakasipo. Berarti dia memiliki semacam ilmu

kepandaian atau ilmu kesaktian untuk membesarkan

dan mengecilkan badannya! Kalau kita bisa men-

dapatkan ilmu itudari dia berarti sosok kita bisa 

berubah sebesar orang-orang di sini. Berarti kita bisa 

selamat dari segala macam bahaya, manusia, binatang 

ataupun cuaca."

 "Kau benar Pendekar 212. Tapi apakah Hantu

Tangan Empat mau memberikan ilmu itu pada kita

bertiga?' tanya Setan Ngompol.

 "Mungkin padamu akan diberikan Wiro ujar Naga

Kuning. "Tapi pada kami berdua belum tentu. Apalagi

kurasa dia masih menaruh dendam terhadapku I"

 "Mudah-mudahan kakek aneh itu tidak sejahat yang 

kau sangka. Bukankah dia katanya hanya suruhan

Hantu Muka Dua saja?" kata Wiro.

 "Jangan-jangan Hantu Muka Dua itu yang punya ilmu 

kepandaian membuat orang besar dan kecil. Berarti 

tipis harapan kita mendapatkan ilmu tersebut. Aku lebih 

suka kita berusaha mati-matian mencari batu tujuh 

warna itu!" ujar Naga Kuning pula.

 Lima jari raksasa bergerak di permukaan batu.

"Wahai para saudaraku. Kita harus melanjutkan per-

jalanan. Agar pagi besok kita bisa sampai di tempat

tujuan."

 Mendengar ucapan Lakasipo itu Wiro segera ber-

teriak. "Lakasipo, jika Luhsantini sudah kau selamat-

kan, kau harus berjanji membantu kami mencari Hantu

Tangan Empat atau mendapatkan Batu Sakti Pembalik

Waktui"

 "Hal itu bisa kita bicarakan nanti para saudaraku,"

jawab Lakasipo yang membuat Wiro dan kawan-kawan-

nya menjadi jengkel tapi tak bisa berbuat apa-apa.

 Ketika Lakasipo hendak memasukkan ketiga orang 

itu kembali ke dalam kocek jerami tiba-tiba ada satu 

suara merdu datang dari kejauhan.

 "Lakasipo wahai suamiku, belum berbilang minggu

berbilang bulan aku berada di alam roh. Tega nian

hatimu tak pernah menjengukku lagi...."

 Suara yang datang dari jauh itu menggeletarkan

batu di atas mana Wiro dan dua kawannya berada.

 "Ada suara perempuan di kejauhan..." bisik Naga

Kuning.

 "Suara itu menyebut Lakasipo suaminya. Pasti itu

suara Luhrinjani...."

 'Tapi menurut Lakasipo istrinya itu bukankah sudahmati dan dimakamkan di Bukit Latinggihijau. Ba-

gaimana sekarang bisa muncul...."

 "Itu mungkin hanya suara rohnya," berkata Setan

Ngompol dan bersiap-siap menekap bagian bawah

perutnya agar tidak terkencing.

 "Kalian berdua jangan bicara saja. Lihatdi kejauhan

sana. Ada satu sosok aneh mendatangi ke sini!" Berkata

Wiro.

 Pada saat suara itu terdengar wajah Lakasipo

berubah. Lelaki ini cepat bangkit berdiri dan meman-

dang ke kejauhan dari arah mana datangnya suara

tadi. Dadanya berdebar ketika di antara pepohonan dia

melihat ada seorang perempuan melangkah seperti

melayang-layang. Rambut tergerai lepas, pakaian se-

helai kain sutera putih tipis yang tak pernah dilihat

Lakasipo sebelumnya. Makin dekat perempuan itu,

makin jelas kelihatan wajahnya.

 "Luhrinjani..." desis Lakasipo. Dia langsung ingat

pada peristiwa yang lalu. Ketika dia juga disongsong

oleh sosok Luhrinjani yang kemudian menjebaknya

hingga dua kakinya terpendam ke dalam batu besar.

Apakah sekali ini roh istrinya datang lagi untuk men-

celakainya. Lakasipo melangkah mundur.

 "Celaka! Jangan-jangan Lakasipo kedatangan setan 

istrinya sendiri! Kita bisa ditinggalkan begitu saja di 

atas batu ini!" ujar Wiro.

 "Lakasipo wahai suamiku! Aku berada begini dekat

di hadapanmu. Kau seolah tertegun lupa. Apa kau tidak

lagi mengenali istrimu sendiri, Lakasipo?"

 Sosok perempuan itu kini hanya terpisah dua

langkah dari hadapan Lakasipo.

 "Perempuan raksasa itu..." bisik Naga Kuning.

"Wajahnya cantik, pakaiannya sangat tipis. Aku dapat

melihat sekujur auratnya! Lihat, tubuhnya putih bagus.

Dadanya sebesar batu raksasa di sungai, Tonilnya

begitu mulus.... Ah... aku bisa bersembunyi dalam

pusarnya! Hik... hik... hik...!"

 Setan Ngornpol usap-usap sepasang matanya ber-

ulang kali. Sementara Wiro memandang dengan ter-

nganga.

 "Lihat, ada tahi lalat di kiri pahanya sebelah dalam.

Kalau saja aku bisa memanjat kakinya yang bagus

mulus itu...."

 "Tua bangka berpikiran kotor!" tukas Wiro pada

Setan Ngornpol. "Coba kau perhatikan! Apa kau tidak

melihat dua kakinya yang tersembul dari balik pakaian

putih itu tidak menginjak tanah?l"

 Pucatlah wajah Setan Ngornpol dan juga Naga

Kuning ketika memandang ke bawah sana. Sepasang

kaki perempuan itu memang melayang di udara!

 "Luhrinjani.... Aku tidak tahu kau ini makhluk apa

adanya. Penjelmaan hantu atau roh yang gentayangan.

Dulu kau pernah muncul. Kemunculanmu membawacelaka bagi diriku! Lihat dua kakiku! Terpendam ke

dalam dua bola batu yang tak bisa aku hancurkan!

Apakah saat ini kau muncul lagi hendak mencelakai-

ku?!"

 "Kau tidak menginginkan pertemuan ini, wahai

Lakasipo?' tanya Luhrinjani.

 "Bukan aku tidak menginginkan wahai Luhrinjani.

Tapi jika ini semua hanyalah bayang-bayang hampa

atau mimpi buruk yang akhirnya membawa celaka

diriku...."

 "Kau tidak mimpi wahai Lakasipo. Kau juga tidak

berhadapan dengan bayang-bayang hampa. Dulu aku

muncul karena ada satu kekuatan gaib yang sangat

hebat menguasai diriku. Memaksa aku keluar dari liang

makam dan memerintahkan aku untuk mencelakaimul

Tapi sekarang yang datang ini adalah Luhrinjani yang

sebenarnya. Yang diberi kekuatan oleh para Peri dan

roh untuk keluar dari dalam makam guna menemuimu.

Aku inginkan pertemuan ini Lakasipo. Aku merindukan-

mu...."

 Sosok Luhrinjani maju mendekat. Sebaliknya La-

kasipo cepat melangkah mundur. Ketika melangkah

tadi ujung bawah pakaian yang dikenakan Luhrinjani

menimbulkan siuran angin. Tiga orang di atas batu

langsung berguling-guling.

 Walau rasa takut mencekam ketiga orang di atas

batu namun mereka tak habis pikir. Bagaimana se-

seorang yang sudah mati bisa hidupdan muncul seperti

ini. "Aneh, baru sekali ini aku dengar ada hantu merasa

rindu...." Bisik Naga Kuning.

 "Naga-naganya kita sebentar lagi akan menyaksi-

kan dua raksasa saling bercumbu..." kata Setan Ngom-

pol pula sambil satu tangan menekap mulut agar tidak

tertawa dan satu tangan lagi menekap bagian bawah

perutnya.

 "Luhrinjani.... Aku.... Aku masih tidak mengerti.

Mengapa kau bisa muncul seperti ini. Apakah dirimu,

tubuhmu nyata...."

 "Diri dan tubuhku nyata senyata aku melihat kau

wahai! Lakasipo..." jawab Luhrinjani. "Ulurkan tangan-

mu. Pegang jari-jariku! Pegang wajahkul Pegang se-

kujur tubuhku! Semuanya nyata. Aku bukan bayang-

bayang, bukan pula asap...."

 Lakasipo tidak berani ulurkan tangannya untuk

menyentuh perempuan di hadapannya.

 "Lalu... lalu apa maksud kedatanganmu Luhrin-

jani.... Ki... kita tak mungkin bersatu kembali. Atau

mungkin...."

 "Kita tak mungkin bersatu kembali memang wahai

Lakasipo. Tapi tali hubungan kita tak pernah putus

walau kita berada di dua alam berlainan...."

 "Maksudmu Luhrinjani...?"

 "Kita dua suami istri berpisah mati. Kita dua suamiistri yang belum sempat mengecap nikmatnya hidup

sebagai suami istri. Apakah kau tidak menginginkan-

nya Lakasipo?"

 Luhrinjani ulurkan tangan kanannya menyentuh

jari-jari tangan Lakasipo. Lelaki ini tersentak kaget.

Jari-jari tangan itu adalah jari-jari sungguhanl

 "Usap wajahku Lakasipo, sentuh tubuhku..." bisik

Luhrinjani.

 Sesaat Lakasipo masih ragu. Lalu dia memberanikan 

diri mengangkat tangan membelai wajah perempuan di 

hadapannya itu. Dia benar-benar memegang manusia 

hidup! Kenyataan yang tidak bisa dipercaya itu 

membuat Lakasipo jadi merinding dan dingin sekujur 

tubuhnya. Perlahan-lahan dia melangkah mundur.

 Tiba-tiba ada bau harum semerbak memenuhi

tempat itu. Lalu satu cahaya biru terang muncul di

kejauhan, bergerak di antara pepohonan. Makin lama

makin besar dan makin dekat.

 "Astaga! Lihat!" seru Naga Kuning sambil menunjuk 

ke atas. Sementara Wiro dan juga Setan Ngornpol 

pelototkan mata terheran-heran.

 Saat itu cahaya biru tadi telah berubah menjadi

sosok seorang perempuan separuh baya cantik sekali.

Tubuhnya terselubung lilitan pakaian biru bergulung-

gulung panjang seolah tergantung sampai ke langit.

Di kepalanya ada sebentuk mahkota yang ditebari

batu-batu permata berkilauan.

 "Peri Bunda, terima hormat saya!" kata Lakasipo

begitu melihat siapa yang berada di atasnya.

 "Lakasipo menyebut perempuan cantik itu Peri

Bunda..." bisik Wiro pada dua temannya.

 "Setahuku yang namanya Peri itu hanya ada dalam

dongeng..." menyahuti Setan Ngompol.

 "Di negeri serba aneh ini bisa saja terjadi. Bukankah

saat ini kita berada di alam seribu dua ratus tahun

silam?" ujar Wiro. "Yang aku herankan, kalau peri

separuh baya cantiknya seperti ini, yang lebih muda

tentu selangit tembus!"

 "Aku jadi kepingin tahu, apakah ada Peri anak-anak

sebayaku?!" ujar Naga Kuning tengil.

 Si Setan Ngompol ikut-ikutan latah. "Kalau ada

peri tua seusiaku, benar-benar nikmat rasanya tinggal

di negeri aneh ini!"

 "Kalian berdua sama tololnya! Selama keadaan

tubuh kita seperti ini jangan berharap yang bukan-

bukan!" kata murid Sirrto Gendeng pula.

 "Wahai Lakasipo...." Peri Bunda berkata dengan

suara lembut tapi jelas. "Jangan kau merasa takut pada

sosok Luhrinjani istrimu itu. Dia memang telah berada

di alam lain. Namun kami para Peri telah berusaha

melakukan sesuatu, memberi berkat padamu dengan

menghadirkan istrimu dalam keadaan seutuhnya. Te-

rima kehadirannya dengan segala rasa suka cita wahaiLakasipo. Dia istrimu yang syah. Karena itu tidak ada

halangan bagimu untuk memperlakukannya sebagai-

mana adanya...."

 "Peri Bunda, kalau itu berkah yang kau turunkan

pada saya, saya tidak tahu harus mengucapkan terima

kasih bagaimana," kata Lakasipo seraya membungkuk

dalam-dalam.

 "Saya juga menghaturkan terima kasih wahai Peri

Bunda," kata Luhrinjani seraya menjatuhkan diri, ber-

lutut di samping Lakasipo.

 "Mungkin Peri itu bisa berbuat sesuatu untuk kita,"

kata Wiro tiba-tiba. "Lekas k'rta memohonkan sesuatu!

Siapa tahu dia bisa menolong...."

 Naga Kuning dan Setan Ngompol cuma diam saja.

Sebaliknya Wiro yang berada di atas batu datar me-

lambai-lambaikan tangannya agar terlihat oleh sang

Peri. Tapi sampai tangannya seperti mau copot Peri

Bunda tidak melihat dirinya. Wiro berteriak keras-keras.

Peri Bunda menolehpun tidak.

 "Lakasipo, aku tidak akan hadir lebih lama di tempat

ini. Pergunakan waktumu sebaik-baiknya. Ada satu hal

yang sebenarnya ingin kubicarakan denganmu...."

 "Jika Peri Bunda sudi mengatakannya pada saya..."

ujar Lakasipo pula:

 "Mataku menangkap tiga sosok aneh di atas batu

sana"

 Lakasipo berpaling ke atas batu. Wiro kembali

lambaikan tangannya. "Mereka adalah saudara-sau-

dara angkat saya wahai Peri Bunda...."

 "Ini satu keanehan yang sebenarnya ingin kubicara-

kan denganmu Lakasipo. Tapi seperti kataku tadi

aku tidak ingin mengganggumu saat ini. Aku pergi

sekarang. Di lain waktu aku akan kembali untuk bicara

denganmu mengenai ketiga makhluk aneh itu...."

 "Peri Bunda! Jangan pergi dulu!" teriak Wiro. "Kami

butuh pertolonganmu! Bisakah kau membesarkan

kami bertiga...!"

 Teriakan yang dikeluarkan Wiro tidak terdengar ke

telinga Lakasipo ataupun Luhrinjani. Tapi Peri Bunda

dapat mendengarnya dengan jelas. Sepasang mata

sang Peri melirik ke bawah ke arah batu. Dia tersenyum

lalu berkata.

 "Apamu yang minta dibesarkan wahai makhluk

aneh?" Peri Bunda bertanya. Masih tersenyum dia

meneruskan. "Mungkin anumu itu minta dibesarkan

seperti apa yang kalian lakukan terhadap Hantu Bara

Kaliatus?”

 Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngornpol terkesiap

kaget mendengar ucapan Peri Bunda.

 "Dia mendengar teriakanku tadi!" kata Wiro gem-

bira. Dia memandang ke atas. "Yaaaa...." Murid Sinto

Gendeng kecewa. Peri Bunda itu telah lenyap. Yang

tinggal hanya baunya yang harum serta suara tawanyayang merdu di kejauhan.

 "Peri satu ini kurasa termasuk Peri tengil. Masakan

anunya Hantu Bara Kaliatus disebut-sebut!" Wiro ber-

ucap sambil garuk-garuk kepala.

 Sesaat setelah Peri Bunda menghilang di kegelapan 

malam, Lakasipo berpaling ke kiri. Tangannya diulurkan 

menyentuh tangan Luhrinjani.

 "Luhrinjani wahai istriku... kau benar-benar nyata!

Kau benar-benar hidup!" ujar Lakasipo.

 "Aku memang nyata wahai Lakasipo. Aku memang

hidup. Tapi nyata dan hidup terbatas. Aku hanya bisa

muncul jika ada saling pertalian rasa di antara kita.

Jika para roh mengizinkan dan para Dewa serta Peri

merestui. Peluk diriku, Lakasipo. Peluk yang kuat...."

 Lakasipo ulurkan dua tangannya memeluk tubuh

Luhrinjani. "Cium wajahku Lakasipo, belai tubuhku...."

Bisik Luhrinjani lalu pakaian sutera tipisnya lepas jatuh

ke tanah.

 Tiga orang di atas batu yang menyaksikan kejadian

itu dengan mata melotot, terpental kena sambaran

angin pakaian yang jatuh. Tapi ketiganya cepat bangkit

kembali dan pentang mata menyaksikan apa yang

terjadi di depan mereka.

 "Lihat dada perempuan itu! Walah Mak! Besar

amat!" kata Setan Ngompol dengan mata melotot.

 "Bisa mati enak aku kalau sampai ketiban!" ujar

Naga Kuning yang juga memandang dengan mata

mendelik. "AstagaI Lihat! Dia melepaskan pakaian La-

kasipo! Mereka berdekap-dekapan!"

 "Seumur hidup baru sekali ini aku menyaksikan dua 

makhluk raksasa bercumbul Padahal yang perempuan 

sebenarnya sudah matil" kata Setan Ngompol pula lalu 

terkencing-kencing.

 "Kedua-duanya sudah tidak berpakaian lagll Gilal"

seru Naga Kuning. "Lihat, mereka membaringkan diri

di tanah...."

 Saat itu tak sengaja kaki Lakasipo menyentuh

celananya yang terbuat dari kulit kayu dan ada di tanah

hingga tergeser ke atas batu dan menutupi Wiro, Naga

Kuning serta Setan Ngompoll

 "Aduh! Mengapa jadi gelap begini?!" teriak Naga

Kuning.

 "Sial! Kita tidak bisa melihat apa-apa lagi!" ujar

Wiro.

 Setan Ngornpol ikut menggerutu panjang pendek

sambil terkencing-kencing. Ketiga orang ini berusaha

meloloskan diri dari bawah himpitan pakaian Lakasipo.

Tapi dengan keadaan tubuh mereka sekecil itu, walau

dengan mengerahkan tenaga sekalipun sulit bagi me-

reka untuk bisa keluar.

 "Wiro! Pergunakan kapak saktimu! Lubangi celana

sialan ini! Biar kita bisa mengintip!" teriak Naga Kuning.

Masih penasaran bocah tengil ini rupanya.


SEPULUH


HUJAN LEBAT MEMBUAT LAKASIPO TIDAK dapat 

memacu kencang kuda tunggangannya. Di dalam 

kocek jerami yang basah, Wiro, Naga Kuning dan 

Si Setan Ngompol kedinginan setengah mati. 

Bukan saja karena kocek yang basah oleh air

hujan, tapi juga akibat terpaan angin deras yang 

menembus masuk melalui celah-celah anyaman 

jerami.

 Menjelang pagi dalam keadaan letih dan mata

mengantuk Lakasipo hentikan kudanya di tepi sebuah

rimba belantara. Saat itulah Japat-lapat telinganya me-

nangkap suara aneh. "Seperti suara orang meracau.

Tapi juga seperti seseorang mengerang. Eh, malah

berubah seperti suara tangis anak-anak," membatin

Lakasipo sambil terus memasang telinga.

 Di dalam kocek suara itu juga terdengar oleh Wiro

dan kawan-kawannya. Mereka berusaha mengangkat

penutup kocek untuk melihat. Namun baru sedikit

tersingkap ketiganya jatuh terduduk karena saat Hu

Lakasipo menyentakkan kudanya, bergerak masuk ke

dalam rimba. Ingin menyelidik suara apa adanya yang

barusan didengarnya.

 Masuk ke dalam rimba sejauh beberapa puluh

tombak, di bawah sebatang pohon besar Lakasipo

melihat satu pemandangan hampir sulit dipercaya. Di

bawah pohon itu terikat sosok tubuh seorang anak

perempuan. Pakaiannya yang terbuat dari kulit kayu

serta seluruh tubuh mulai dari kepala sampai kaki kotor

bercelemongan tanah dan basah oleh air hujan. Dari

mulutnya yang terus-terusan ternganga keluar imam

erangan serta lelehan darah. Dua matanya terpejam.

 Lakasipo segera hentikan kudanya dan cepat me-

lompat turun. Suara kaki batunya yang menghentak-

hentak menggetarkan Seantero tempat membuat anak

perempuan yang terikat di pohon buka kedua matanya

sedikit. Satu pekik halus keluar dari mulut anak itu.

Lalu ada suara panjang yang sulit dimengerti.

 Ketika Lakasipo melangkah lebih dekat, tengkuknya 

yang memang sudah basah oleh air hujan kini menjadi 

tambah dingin. Dari mulut anak perempuan yang 

ternganga itu menjulur panjang lidah merah diselimuti 

ludah campur darah. Lidah itu ternyata berada dalam 

keadaan terikat, dibuhul demikian rupa hingga selain 

kesakitan si anak jadi tak bisa bicara!

 "Kejahatan gila macam apa ini!" ujar Lakasipo penuh 

geram. "Wahai anak, siapa yang berlaku sekeji ini 

padamu?!"

 Anak perempuan yang ditanya hanya keluarkansuara mengerang sambil gelengkan kepala sedikit. Dua

matanya kembali dipejamkan.

 "Bagaimana cara aku menolong anak ini. Melepas

lidahnya yang dibuhul!" pikir Lakasipo.

 Mendengar suara Lakasipo yang keras lantang

tadi Wiro dan kawan-kawannya kembali berusaha

mengangkat penutup kocek lalu mengintai keluar.

Ketiganya sama keluarkan seruan kaget karena muka

anak perempuan yang lidahnya terjulur dalam keadaan

terikat itu tepat berada di depan mereka di muka 

kocek!

 Naga Kuning yang pertama sekali mengenal anak

perempuan itu. "Astaga! Ini anak perempuan yang

kulihat di tanah lapang waktu terjadi Bakucarok antara

Lakasipo dengan Lahopeng!"

 "Benar memang dia..." kata Setan Ngornpol. "Apa

yang terjadi dengan anak ini...?"

 "Bagaimana bisa berada sejauh ini. Pasti ada orang

jahat yang membawanya kemari. Mengikatnya dan....

Gila! Baru sekali ini aku melihat lidah dibuhul seperti

itu! Kejam sekalil Aku harus keluar dari tempat ini! Aku

harus menolong anak itu!" Naga Kuning segera hendak

loloskan dirinya dari bawah penutup kocek.

 Tapi Pendekar 212 Wiro Sableng segera pegang

lengannya dan berkata, "Maksud menolong boleh saja

sobatku! Tapi pakai otak! Pertolongan apa yang bisa

kau lakukan. Anak itu puluhan kali lebih besar tubuhnya

dari sosokmu!"

 "Aku...." Naga Kuning jadi bingung sendiri. "Aku

kasihan melihatnya. Aku tak bisa membiarkannya ter-

aniaya seperti itu!"

 "Aku juga kasihan. Kita semua merasa kasihan. Tapi 

kita tak bisa berbuat apa-apa. Kau tadi mendengar apa 

yang dikatakan Lakasipo. Dia pasti bisa menolong anak 

itu...."

 Naga Kuning tendangi dinding kocek dan berteriak

keras-keras untuk menarik perhatian Lakasipo. Tapi

Hantu Kaki Batu ini tidak merasakan tendangan itu dan

juga tidak mendengar teriakan Naga Kuning.

 Dengan cepat Lakasipo membuka lilitan tali yang

mengikat si anak perempuan ke batang pohon. Begitu

ikatan lepas kalau tidak segera ditahan, anak ini pasti

jatuh roboh ke tanah. Keadaan tubuhnya selain me-

nyedihkan juga sangat lemah sekali. Dengan hati-hati

Lakasipo baringkan tubuh anak perempuan itu ke

tanah. Sewaktu Lakasipo membungkuk dan jaraknya

dengan tanah lebih dekat, kesempatan ini diperguna-

kan Naga Kuning untuk menyelinap keluar kocek lalu

melompat ke tanah.

 "Anak nekat. Gila betul dia!" teriak Setan Ngompol

lalu terkencing.

 "Kurasa kita juga harus segera keluar dari sini!"

kata Wiro. Lalu terjun ke tanah menyusul Naga KuningTinggal Setan Ngornpol sendirian. Dia bingung mau

melompat gamang dan ngeri. Tinggal sendirian di

dalam kocek jerami dia merasa jerih. Sesaat matanya

yang jereng berputar-putar dan daun telinganya yang

lebar bergerak-gerak. Akhirnya sambil pejamkan mata

dan tekap bagian bawah perutnya dengan dua tangan

sekaligus, kakek ini jatuhkan diri ke tanah. Untuk

beberapa lamanya dia tergeletak melingkar di tanah

sambil beser terus-terusan.

 Naga Kuning lari menuju bagian kepala anak

perempuan yang terbaring di tanah. Dia berusaha

memanjat ke bahu. Tapi setiap dicoba tergelincir kem-

bali karena tubuh anak perempuan itu licin akibat

kebasahan air hujan. Saat itulah Lakasipo melihat

sosok Naga Kuning dan Wiro serta Setan Ngornpol.

Dia hendak marah dan menegur tapi karena lebih

mementingkan menolong anak perempuan itu maka

untuk sementara Lakasipo tidak mengacuhkan tiga

orang tersebut.

 Dengan sangat hati-hati dan sampai keluarkan

keringat dingin Lakasipo berhasil membuka lidah yang

terbuhul. Lidah itu masuk ke dalam mulut dengan

mengeluarkan suara keras. Bersamaan dengan itu

menyembur darah segar. Si anak perempuan meng-

erang pendek lalu terkulai tak bergerak.

 "Kau membunuhnya!" teriak Naga Kuning. Wiro

dan Setan Ngornpol juga merasa khawatir.

 "Kau tak usah takut Naga Kuning. Anak ini hanya

jatuh pingsan. Sebentar lagi dia pasti siuman. Kulihat

kau begitu cemas. Jangan-jangan anak ini yang pernah

kau tanyakan berulang kali itu...." Lakasipo berkata

sambi dekatkan mukanya ke tanah.

 'Tolong dia Lakasipo! Memang anak ini yang tempo 

hari kulihat di pinggir tanah lapang!" jawab Naga

Kuning.

 "Tak sengaja akhirnya kau temui juga dia. Hanya

sayang dalam keadaan begini rupa...."

 "Selamatkan dia Lakasipo! Lakukan apa saja agar

dia tidak mati!" kata Naga Kuning lalu dengan kedua

tangannya dipegangnya lengan si anak yang ukuran-

nya puluhan kali lebih besar dibanding dengan lengan

Naga Kuning. Bocah ini kerahkan tenaga dalamnya

untuk dialirkan ke dalam tubuh anak perempuan itu.

 "Sudah, kau tak perlu susah-susah. Biar aku yang

menolong!'' kata Lakasipo. Lalu tangan kirinya di-

tempelkan ke kening anak perempuan sedang tangan

kanan mencekal pergelangan kaki kirinya. Dari atas

dan dari bawah Lakasipo salurkan tenaga dalamnya.

Tak berapa lama kemudian si anak buka kedua mata-

nya. Sesaat dia menatap ke atas tak berkesip. Dia

melihat langit di antara celah-celah daun pepohonan.

Lalu pandangannya membentur wajah Lakasipo yang

berambut awut-awutan, wajah tertutup cambang bawuk, kumis dan jenggot meranggas liar. Anak ini

hendak menjerit karena ketakutan yang amat sangat.

*

* *


SEBELAS


LAKASIPO TERSENYUM. DIA COBA TENANGKAN

anak perempuan itu. Sambil mengusap keningnya 

dia berkata. "Anak, jangan takut! Aku bukan

orang jahat..."

 "Kau...." Hanya sepotong bicara si anak 

hentikan ucapannya. Leher dan lidahnya terasa 

sakit. Dari mulutnya masih meleleh darah.

 "Totok tenggorokannya di bawah dagu sebelah

kanan!'' Wiro berteriak. "Sakit pada mulut dan lidah

anak itu pasti berkurang "

 Lakasipo palingkan kepalanya pada Wiro. "Aku

pernah menutuk orang. Akibatnya luar biasa! Bagian

bawah perutnya jadi melembung bengkaki Apa saat

ini kau juga hendak menipuku, mencelakai anak pe-

rempuan ini?"

 "Aku tidak seberengsek itu! Yang dulu kau lakukan

adalah petunjuk gila bocah bernama Naga Kuning ini!"

sahut Wiro.

 "Lakasipo, sobatku ini memang benar. Totok di

tempat yang tadi dikatakannya. Leher di bawah dagu

sebelah kanan. Waktu dengan Hantu Bara Kaliatus aku

sengaja berbuat gila agar manusia itu tahu rasai"

 "Hemm.... Baik, tapi jika kalian menipuku lagi tahu

sendiri akibatnya..." lalu Lakasipo tusukkan dua jari

tangan kanannya ke lekukan antara dagu dan leher

kanan anak perempuan. Si anak mengeluh pendek.

Darah berhenti mengucur dari mulutnya.

 "Mulut dan lidahmu masih terasa sakit...?" Lakasipo

bertanya.

 Anak perempuan itu sesaat menatap muka Lakasipo 

seolah untuk meyakinkan bahwa dia memang tidak 

berhadapan dengan orang jahat. Lalu periahan-lahan 

kepalanya digelengkan.

 "Kau bisa bicara sekarang?"

 Anak perempuan itu mengangguk.

 "Lakasipo, tanyakan siapa namanya! Beri tahu aku

di sini! Beri tahu namaku Naga Kuning!" teriak Naga

Kuning pula.

 "Bocah geblek!" maki Setan Ngompol.

 Naga Kuning tidak perdulikan ucapan orang. Dia

memanjat ke lengan anak perempuan itu lalu lari

sepanjang lengan kiri naik ke bahu. Mengira ada semut

yang menjalar di tangannya si anak perempuan per-

gunakan jari tangan kanan hendak menindas. Untung

Lakasipo memperhatikan apa yang hendak dilakukan

anak itu. Dengan cepat dia memegang Naga Kuning

dan meletakkannya di tanah.

 "Anak konyol! Hampir mampus kau ditindas orang Hik... hik... hik...!" kata Setan Ngompol lalu tertawa

cekikikan dan tentunya sambil ngompol.

 "Anak, kalau aku tidak salah kau adalah penduduk

Latanahsilam. Benar?" tanya Lakasipo.

 Yang ditanya mengangguk.

 "Mengapa kau berada sejauh ini! Seorang diri! Dan

waktu kami temukan tadi kau dalam keadaan setengah

pingsan lidah terbuhul!"

 Naga Kuning banting-banting kaki lalu mengomel

sendirian. "Aku minta tanya siapa namanya malahtanya

hal-hal lain!"

 "Saya... saya mendengar suara-suara halus aneh...."

Anak perempuan itu tiba-tiba berucap. Terbata-bata

tapi cukup jelas.

 "Itu suara satu dari dua saudaraku makhluk cebol

sebesar kutu. Tapi tak usah perdulikan mereka dulu.

Kau bisa duduk bersandar ke pohon biar kutolong.. “

Lalu Lakasipo tolong mendudukkan anak perempuan

itu di tanah dan menyandarkannya ke pohon.

 "Nah, sekarang terangkan siapa namamu. Apa yang 

terjadi dengan dirimu," kata Lakasipo pula.

 Si anak tidak segera menjawab. Sudut matanya

melihat sesuatu. Ketika dia menukikkan pandangan

ke tanah dekat ujung kakinya, terkejutlah dia melihat

ada tiga sosok tubuh sangat kecil yang bukan lain

adalah Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngornpol.

 "Tiga makhluk yang kau bilang cebol sebesar kutu.... 

Mereka itu yang kau maksudkan saudara-saudaramu

wahai Bapak penolong?" Ketika Lakasipo tersenyum 

dan mengangguk si anak berkata. "Sungguh aneh. Baru 

sekali ini saya melihat ada manusia sekecil ini. Aneh, 

tapi lucu-lucu...."

 "Aku yang lucu! Si kakek bau pesing dan pendekar

gondrong ini apa lucunya!" kata Naga Kuning.

 "Wahai Bapak penolong, bagaimana kau bisa punya 

saudara seperti mereka?" Lalu si anak melihat

sepasang kaki Lakasipo yang terbungkus batu bulat

besar. "Wahai Bapak penolong. Ternyata kau juga

memiliki keanehan di kedua kakimu! Saya ingat se-

karang.... Wahai bukankah Bapak ini kepala Negeri

Latanahsilam, Bapak Lakasipo?"

 Lakasipo menyeringai. "Dulu aku memang Kepala

Negeri Latanahsilam. Sekarang tidak lagi...."

 "Bukankah Bapak yang telah membunuh Lahopeng 

dalam Bakucarok di tanah lapang?"

 Lakasipo menghela nafas panjang. "Kejadian itu

sudah berlalu. Sekarang kami berempat ingin tahu

siapa namamu. Apa yang terjadi dengan dirimu sampai

kau berada sejauh ini, diikat d ipohon, dibuhul 

lidahnya!"

 Si anak tidak segera menjawab. Pandangannya

kembali ditujukan pada tiga sosok kecil di ujung kaki-

nya. Melihat orang memandang ke arahnya Naga Kuning lambaikan tangannya berulang-ulang. "Wahai Ba-

pak Lakasipo, bolehkah saya memegang tiga makhluk

kecil yang katamu saudara-saudaramu itu...?"

 "Asyiki Tentu saja bolehl" berteriak Naga Kuning.

 Lakasipo alias Hantu Kaki Batu hendak mencegah

tapi si anak telah lebih dulu mengulurkan tangannya

memegang Naga Kuning, Wiro dan Setan Ngompol.

 "Makhluk aneh, lucu!" kata anak perempuan itu.

Wiro dan kawan-kawannya diletakkan di telapak tangan

kiri dan dipandanginya sambil tertawa-tawa. "Yang

satu sudah kakek-kakek, satunya kakak muda be-

rambut gondrong. Satunya lagi seperti anak kecil...."

 "Bukan sepertinya, dia memang anak kecil" kata

Setan Ngompol.

 "Kakek kuping lebar, aku lihat kau tidak pakai

celana! Apa kau tidak punya celana atau memang suka

tidak pakai celana?"

 Setan Ngompol tutupi auratnya sebelah bawah

lalu tertawa cekikikan.

 "Namaku Naga Kuning!" berseru Naga Kuning. "Jika 

tubuhku sebesarmu atau tubuhmu sebesarku kita pasti 

sama-sama sebaya. Siapa wahai namamu, sahabatku 

anak perempuan?' Bocah ini bicara meniru-niru gaya 

orang Latanahsilam.

 Anak perempuan yang ditanya tersenyum. "Namaku 

Luhkimkim. Kau anak lucu. Aku suka berteman

denganmu walau kau kecil sebesar kutu!"

 "Lihat! Kalian dengar semua!" teriak Naga Kuning

pada Setan Ngompol dan Wiro Sableng. "Dia suka

padaku! Yahui...!" Di atas telapak tangan anak pe-

rempuan itu Naga Kuning lalu bersalto tiga kali berturut-

turut membuat si anak perempuan tertawa senang.

 "Wahai Luhkimkim, aku ikut senang kalau kau

suka pada tiga saudaraku itu. Tapi awas si kakek

bermata jereng berkuping lebar itu. Dia tukang ngom

poli Namanya Setan Ngornpol. Lalu pemuda yang

gondrong itu bernama Wiro Sableng. Dia punya julukan

hebat yakni Pendekar Kapak Maut Naga Geni 2121

Kami sudah tahu namamu, kau sudah tahu siapa nama

kami. Sekarang harap kau suka menjawab pertanyaan-

ku tadi. Mengapa kau berada di tempat ini. Siapa yang

telah berlaku jahat terhadapmu."

 Luhkimkim seperti hendak menangis. Tapi anak ini 

berusaha tabahkan diri agar tidak mengeluarkan air

mata. Setelah mengusap lelehan darah yang masih

melekat di sudut bibirnya Luhkimkim lalu memberi

keterangan.

 "Makhluk jahat bernama Mantu Muka Dua yang

menjatuhkan tangan jahat mencelakai saya...."

 "Hantu Muka Dua?" mengulang Lakasipo. "Dia

memang terkenal jahat, menganggap diri Raja Di Raja

para Hantu di Latanahasilam. Tapi sungguh tak ku-

percaya wahai Luhkimkim kalau dia tega berlaku sekejiini terhadap seorang anak kecil sepertimu. Kesalahan

apa yang telah kau lakukan? Dendam apa yang ber-

sarang di hati makhluk biadab itu?"

 "Kesalahan saya tidak punya wahai Bapak pe-

nolong. Tapi ada satu rahasia kejahatan besar yang

dilakukan Hantu Muka Dua yang saya ketahui. Itu

sebabnya dia menculik saya, lalu membawa saya ke

sini...."

 "Luhkimkim, katakan kejahatan apa yang telah

diperbuat Hantu Muka Dua?" bertanya Wiro.

 "Saya tak sengaja melihat dia membawa pemuda

bernama Lasingar ke anjung rumah kediaman Luh-

santini. Lasingar dibaringkannya di atas ranjang, di

sebelah Luhsantini. Kedua mereka itu sama-sama da-

lam keadaan tidak berpakaian. Sama-sama pingsan.

Lalu saya lihat dia menanggalkan pakaiannya sendiri.

Lalu Hantu Muka Dua menindih! tubuh Luhsantini.

Sebelum pergi Hantu Muka Dua merangkulkan tangan

Lasingar ke tubuh Luhsantini...."

 "Makhluk jahanam! Benar-benar keji biadab!" kata

Lakasipo geram.

 Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. 

Lalu berkata. "Kami mendengar kabar ada seorang

pemuda bernama Latorik yang juga melihat kejadian

Luhsantini bersama Lasingar dalam keadaan bugil di

atas ranjang. Latorik kemudian dianiaya oleh Latandai,

akhirnya dibunuh oleh Lasingar yang bertahun-tahun

sembunyi di satu bukit, menyaru dengan nama Lakabil.

Jika kau benar mengetahui rahasia Hantu Muka Dua

sebagai pelaku keji, mengapa Hantu Muka Dua tidak

membunuhmu?"

 Luhkimkim tak bisa menjawab pertanyaan Wiro

itu. Semua orang terdiam. Suasana sunyi dan tidak

enak itu akhirnya dipecahkan oleh suara Lakasipo.

"Aku pernah mendengar kabar bahwa Hantu Muka Dua

punya satu pantangan besar. Yaitu pantangan mem-

bunuh perempuan. Agaknya pasti itu sebabnya dia

tidak membunuh Luhkimkim. Membawanya ke tempat

ini dengan dua maksud. Pertama, kalau anak ini tidak

mati disantap binatang buas maka kemungkinan ke

dua dia akan gagu seumur hidup karena lidahnya sudah

dibuhul...."

 "Makhluk bernama Hantu Muka Dua itu harus

dihajar habis-habisan! Mayatnya direbus dalam pen-

daringan besi sampai tulang belulangnya leleh jadi air.

Bukankah ada hukum seperti itu di Negeri Latanah-

silam?" ujar Naga Kuning.

 "Naga Kuning, kau tidak tahu siapa adanya Hantu

Muka Dua. Sebagai Raja Di Raja para Hantu di Negeri

Latanahsilam ilmu kesaktiannya setinggi langit se

dalam lautan!"

 "Tiap kehebatan pasti ada kelemahannya!” Kata

 Naga Kuning tak mau kalah."Betul," ujar Luhkimkim. "Tapi kelemahannya apa ?

 Naga Kuning memandang berkeliling. Wiro berkata

kata. "Saat ini yang lebih penting adalah menyelamat-

kan perempuan bernama Luhsantini itu. Hantu Bara 

Kaliatus pasti mencari dan membunuhnya. Lebih baik 

kita segera melanjutkan perjalanan."

 "Wahai Bapak Lakasipo, apakah saya boleh ikut 

bersamamu?" tanya Luhkimkim.

 "Tentu saja boleh! Siapa yang melarang!" Yang 

menjawab adalah Naga Kuning. Lakasipo dan Wiro 

menyeringai.

 Setan Ngornpol mengulurkan tangan lalu men-

dorong kepala berambut jabrik si bocah. "Enak saja kau 

bicaral Upil Luhkimkim saja lebih besar dari tubuhmu! 

Biar Lakasipo yang mengambil keputusan!"

 "Suka atau tidak suka apa kalian tega meninggalkan 

Luhkimkim sendirian di dalam rimba belantara ini?" 

sanggah Naga Kuning.

 Tak ada yang menukas ucapan Naga Kuning itu. 

Akhirnya Lakasipo memegang lengan Luhkimkim lalu 

menaikkan anak perempuan ini ke atas punggung kuda 

kaki enam. Begitu berada di atas punggung kuda 

raksasa itu Luhkimkim bertanya. "Wahai Bapak La-

kasipo, bagaimana dengan tiga sahabatku yang lucu-

lucu ini. Apakah saya boleh memegang mereka terus 

atau...."

 "Kami lebih suka berada dalam genggamanmu dari 

pada masuk kembali ke dalam kocek pesing itu!" kata 

Naga Kuning cepat, "Bukan begitu sobatku Wiro?' Naga 

Kuning kedipkan matanya.

 Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa lebar sambil 

garuk-garuk kepala. Setan Ngornpol berbisik ke telinga

Naga Kuning. "Kalau anak perempuan itu tahu kau

sebenarnya seorang kakek berusia seratus dua puluh

tahun, jangan harap dia masih akan suka padamul"

 "Setan Ngompol, awas kalau kau berani membuka

rahasiai Kuremas terong peot dan kantong menyan-

mul" kata Naga Kuning mengancam. Wiro tertawa

bergelak. Setan Ngompol merengut masam. Sambil

membalikkan tubuh diam-diam tangannya diusapkan

ke bawah perut. Lalu tangan yang basah kena air

kencing itu dipeperkannya ke muka Naga Kuning

hingga bocah ini menyumpah-nyumpah. Semua ke-

jadian ini dilihat oleh Luhkimkim dengan tertawa-tawa.

Derita yang dialaminya akibat penculikan dan siksaan

yang dilakukan Hantu Muka Dua jadi terlupakan.

***


DUA BELAS


GUNUNG LABATUHITAM SESUAI DENGAN NAMANYA 

merupakan satu gunung batu berwarna hitam. 

Tak satu tetumbuhanpun hidup di sana kecuali 

sejenis lumut. Di bawah panas teriknya mata-

hari, di kaki selatan gunung kelihatan melesat 

satu bayangan merah, berkelebat cepat dari satu 

gundukan batu ke gundukan lainnya. Mengingat batu-

batu di tempat itu diselimuti lumut licin dan orang 

tersebut dapat bergerak begitu cepat tanpa kakinya 

terpeleset, jelas dia memiliki ilmu meringankan tubuh 

yang tinggi. Di satu lamping batu orang ini tendangkan 

kaki kirinya.

 "Bukkl"

 Satu gerakan hebat melanda lamping batu. Batu

yang ditendang sama sekali tidak cacat atau rusak

sedikitpun, apa lagi hancur. Tapi justru sebuah batu

besar yang terletak di belakang batu yang ditendang

keluarkan suara berderak. Lalu seolah menjadi rapuh

secara tiba-tiba batu itu hancur menjadi bubuk dan

bertebaran hampir sama rata dengan batu rendah di

sekitarnya! Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut Di

Balik Labukit Menghancur Lagunung! Dan jelas orang

berpakaian merah itu tengah melatih diri, mulai dari

ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam termasuk

pukulan sakti tadi.

 Selagi berlatih diri seperti itu tiba-tiba orang ini

melihat ada bayang-bayang hitam berputar-putar di

atas kawasan berbatu-batu itu. Dia mendongak ke

langit. Wajahnya berubah. Dengan cepat dia lari ke

balik satu lamping batu lalu membuat beberapa kali

lesatan dan akhirnya menyelinap lenyap ke dalam

sebuah goa.

 Orang ini ternyata adalah seorang perempuan

berwajah cantik. Melihat raut mukanya dia seperti baru

berusia tiga puluhan. Padahal sebenarnya usianya

telah mencapai seratusan tahuni Perempuan ini tidak

terus masuk ke dalam melainkan mengintai di mulut

goa, memandang ke langit.

 "Kemarin, hari ini.." katanya perlahan. "Telah dua

kali dia muncul. Pasti melakukan pengintaian. Walet

terbang.... Siapa gerangan penunggangnya? Terlalu

jauh. Tak bisa kulihat wajahnya. Tapi...."

 Tiba-tiba benda yang menimbulkan bayang-bayang di 

bebatuan itu menukik ke bawah lalu lenyap di balik goa. 

Perempuan berpakaian merah terbuat dari kulit kayu 

yang dicelup dengan jelaga merah menunggu sesaat. 

Menatap ke udara. "Tak muncul lagi. Seperti kemarinpasti dia sudah pergi...."

 Perlahan-lahan, tetap hati-hati perempuan itu me-

langkahkan kakinya keluar dari goa. Baru bertindak

empat langkah tiba-tiba di samping kiri goa terdengar

suara menegur. Suara yang sudah sekian puluh tahun

tak pernah di dengarnya. Suara yang cukup dikenalnya

dan membuat dua kakinya seolah dipantek ke batu

yang dipijaknya.

 "Luhsantini, aku ada di sini...."

 Perempuan itu berbalik dengan cepat. Wajahnya

berubah pucat, keningnya mengerenyft dan sepasang

mata terbuka lebar.

 "Latandai..." desis perempuan di depan goa.

 "Benar, yang kau lihat memang Latandail"

 "Wahai para Dewa dan Peri.... Bagaimana dia tahu

aku berada di sini!" membatin perempuan berpakaian

merah. Lalu pandangannya membentur bagian bawah

lelaki itu. Yang bengkak menggelembung . “Ya Dewa, ya 

Peri, apa yang telah terjadi pada dirinya ? Dia seperti 

menahan beban yang begitu berat .Tegak 

terbungkuk...."

 "Tak ada yang perlu kau takutkan wahai Luhsantini. 

Aku datang membawa kesalahan masa lalu. Aku 

datang untuk meminta ampun dan maafmu. Apa yang 

kulakukan dimasa lalu adalah satu kesalahan besar.

Mengusirmu dan mengusir anak kita. Lamatahati anak-

ku.... Dimana kau sekarang. Ayahmu membekal dosa

besar terhadapmu, lebih besar dari dosaku terhadap

ibumu...."

 Luhsantini yang semula berada dalam ketakutan kini 

terheran-heran. "Apa yang telah membuat lelaki ini

berubah. Dulu dia begitu benci terhadapku, terhadap

Lamatahati. Sekarang seolah-olah dia menyadari semua 

kesalahan itu. Mencariku untuk minta maaf dan ampun. 

Merindukan Lamatahati. Ada apa di balik semua ini...."

 "Luhsantini, berkatalah. Berucaplah. Jangan diam

saja. Aku ingin kita melupakan masa lalu walau mung-

kin ada yang salah di antara kita. Biarlah aku mengakui

kesalahan ada di pihakku. Biar aku menanggung segala

dosa. Tapi perjalanan hidup ini tidak bisa kita hentikan

begitu saja...."

 "Latandai..." kata Luhsantini dengan suara bergetar. 

"Jika kerukunan yang hendak kau cari, jika hidup

bersama yang kau dambakan, menyesal sekali wahai

Latandai. Tak mungkin hal itu kulakukan...."

 "Wahai Luhsantini..." ujar Latandai alias Hantu Bara

Kaliatus dengan suara tercekat dan tersurut dua lang-

kah. "Kau tak ingin karena keadaaanku yang seperti ini? 

Kepala seolah bertopi bara. Mata seolah api menyala. 

Tubuh penuh bara api!"

 "Bukan.... Bukan itu wahai Latandai. Tapi di antara

kita ada satu jurang besari Jurang kesalahpahaman

yang sangat nyata adanya....""Wahai Luhsantini, aku datang tidak membawa

segala yang berbau masa lalu. Aku ingin kita bersatu

kembali. Jika kau ihklas, jika kau suka hal itu bisa

terjadi. Mengenai diriku yang celaka ini akan bisa

disembuhkan, akan bisa kembali ke asal keadaan

semula. Asalkan saja kau mau memohon kepada para

Dewa dan Peri, kepada para roh yang ada antara langit

dan bumi. Mintakan ampun untukku. Cabut kutuk dan

sumpahmu dulu! maka semua bara api yang ada di

kepala dan tubuhku akan sirna.... Aku mohon padamu

Luhsantini. Ini satu-satunya permintaan kalau hidup

ini masih bisa panjang. Kalau masa depanku masih

kau terima...."

 Hantu Bara Kaliatus jatuhkan dirinya di atas batu,

berlutut dengan kepala tertunduk dan dua tangan

disatukan membentuk sembah.

 Untuk beberapa lamanya Luhsantini tegak tak

bergerak, sepasang mata tak berkesip pandangi lelaki

yang pernah hidup sebagai suaminya. Di luar sadar

dua mata yang tidak berkesip itu tampak berkaca-kaca.

Getaran-getaran muncul di dadanya.

 "Wahai Latandai, jika niatmu sebersih itu, jika

pintamu sesuci yang aku dengar, aku yakin para Dewa

dan para Peri mendengar pintamu. Tetapi apakah diri

yang hina ini bisa memintakan apa yang kau mohonkan

itu dan sudikah para Dewa dan para Peri mengabulkan

permintaan kita?"

 "Wahai Luhsantini. Belum lama berselang aku

didatangi Peri Bunda. Simpul Agung Dari Segala Peri,

Peri Junjungan Dari Segala Junjungan. Dia memberi

petunjuk bahwa keadaan diriku bisa pulih kembali jika

kau bersedia memohonkan ampun kepada para Dewa,

para Peri dan para roh...."

 "Jika begitu wahai Latandai bilsa memang begitu janji 

Peri Bunda, aku ikhlas menerima kenyataan, aku rela 

memohon.... “. Luhsantini jatuhkan diri berlutut di atas 

batu, berhadap-hadapan dengan suaminya, saling 

terpisah lima langkah satu sama lain.

 Perlahan-lahan perempuan itu angkat kedua tangan-

nya ke atas. Lalu dari mulutnya meluncur ucapan :

"Wahai para Dewa dan para Peri, para roh yang ada di

antara langit dan bumi. Delapan puluh tahun lalu aku

Luhsantini pernah memohon menjatuhkan sumpah

dan kutuk atas diri Latandai. Ya para Dewa dan para

Dewi, wahai para roh, aku tidak menyangka akan

demikian besar akibat sumpah dan kutuk itu. Selama

delapan puluh tahun kami hidup tersiksa. Tanpa tahu

dimana beradanya kini putera kami Lamatahati. Rasa-

nya ya para Dewa dan para Peri serta para roh. Sudah

cukup semua siksaan hukuman itu. Ampuni kesalahan

kami wahai para Dewa, Peri dan roh. Ampuni terutama

dosa dan kesalahan suamiku Latandai. Aku memohon

kaki ke atas kepala ke bawah. Aku meminta kepala diatas kaki di bawah. Cabutlah kutuk dan sumpah itu.

Sembuhkan suamiku. Lenyapkan semua bara api yang

menempel di kepala, wajah serta sekujur tubuhnya!

Kasihani kami wahai para Dewa, Peri dan para roh.

Aku tahu kalian mendengar permintaan yang aku

sampaikan dengan hati tulus serta kudus ini...."

 Air mata bercucuran jatuh membasahi pipi Luh-

santini kiri kanan pertanda perempuan ini benar-benar

memohon sepenuh hati atas kesembuhan suaminya.

Sesaat kesunyian mencengkam lalu ada suara bergetar

seolah-olah gempa keluar dari pusat bumi di bawah

kaki Gunung Labatuhitam. Saat itu tak ada mendung

tak ada hujan. Namun mendadak guntur menggelegar.

Dari langit mencuat cahaya terang menyilaukan seolah,

petir menyambar lalu menghantam sosok tubuh Hantu

Bara Kaliatus yang berlutut di atas batu.

 Batu tempat Bara Kaliatus berlutut hancur berkeping-

keping, berubah menjadi bara. Sosok Latandai sendiri 

terpental belasan tombak. Lalu melayang jatuh,

tergelim-pang di celah antara dua batu besar. Dari

tubuhnya mengepul asap.

 "Latandai!" pekik Luhsantini. Perempuan ini me-

lompat dari berlututnya, menghambur ke tempat La-

tandai terkapar. Dia melihat kenyataan bagaimana kini

tidak sebuah bara apipun ada di kepala, dada dan perut

Latandai. Dengan keluarkan pekik gembira seraya

menyebut para Dewa, Peri dan roh berulang kali pe-

rempuan ini jatuhkan diri memeluk suaminya.

 "Latandai... Latandai..." panggil Luhsantini ber-

ulang kali mendekap wajah lelaki itu dengan dua 

tangan dan menciuminya.

 Sosok Latandai bergerak. Dua matanya yang tadi

terpejam perlahan-lahan terbuka. Dia menatap Luh-

santini sesaat lalu tersenyum. Bola matanya yang

tadinya ada empat kini kembali hanya dua. Tangan

kanannya diusapkannya ke kepala, muka, dada dan

perut. Tak ada lagi bara menyala! Latandai berseru

gembira lalu bangkit berdiri. "Aku sembuh Luhsantini!

Aku sembuh! Permohonanmu dikabulkan!" Latandai

mendukung, memeluk dan meciumi istrinya sambil

berputar-putar di atas batu. "Terima kasih Peri Bunda,

terima kasih semua Peri dan para Dewa, para roh!"

Perlahan-lahan Luhsantini diturunkannya. Dari mulut-

nya keluar suara tertawa aneh. Ketika Luhsantini hen-

dak menjauhkan kepalanya guna dapat memandang

wajah lelaki itu mendadak dua tangan Latandai me-

nyambar cepat ke lehernya. Demikian kencangnya

hingga perempuan ini merasakan nafasnya seolah

berhenti dan tulang lehernya seperti mau patah. Lidah-

nya mulai terjulur.

 "La...Latandai... Apa yang kau.. laku…lakukan…Kau 

mencekikku...."

 Tawa Latandai semakin keras. "Perempuan tolol.Apa kau kira menolongku berarti menghapus semua 

dosa terkutuk yang pernah kau lakukan dengan 

Lasingar?!"

 "Latandai. Ap... apa maksud ucapanmu. Bukan....

Bukankah kau berkata tidak ingin membicarakan hal

masa silam. Lag... lagi pula aku tidak pernah melaku-

kan perbuatan tidak senonoh dengan Lasingar...."

 Latandai mendengus. "Delapan puluh tahun lalu

kau berdusta. Sekarang masih saja berdusta! Siapa

percaya padamu! Aku sudah sembuh Luhsantini! 

Dengar. Aku sudah sembuh! Dan aku tidak memerlukan

dirimu lagi! Mampuslah perempuan jalang!"

 Sepuluh jari kokoh Latandai disertai tenaga luar dan 

dalam yang sangat hebat mencengkeram siap meng-

hancurkan leher Luhsantini. Pada saat itulah tangan 

kanan Luhsantini menghantam ke depan, mengarah 

ke perut Latandai. Melepas pukulan Di Balik Labukit 

Menghancur Lagunung!

 Tapi Latandai tidak buta. Tangan kirinya secepat

kilat di babatkan ke bawah.

 "Bukkk!"

 Dua lengan saling beradu keras. Kedua orang itu ter-

pental dan sama-sama kesakitan. Begitu lepas dari

cekikan Latandai, Luhsantini berteriak marah. "Manusia

laknat! Binatang saja kalau ditolong tidak akan pernah

berkhianat! Kau memang Hantu jahanam yang harus

dimusnahkan!" untuk kedua kalinya Luhsantini me-

nyerang dengan pukulan Di Balik Labukit Menghancur

Lagunung.

 Latandai cepat menyingkir. Gerakannya memang

tidak terlalu cepat akibat kendala di bagian bawah

perutnya. Sadar dan khawatir serangan lawan bisa

mencelakainya maka lelaki ini menangkis dengan me-

lepaskan pukulan sakti Selusin Bianglala Hitam. Dua

belas larikan sinar hitam halus menggebubu. Luh-

santini seperti gila melihat berkiblatnya dua belas sinar

hitam itu. Delapan puluh tahun silam, pukulan inilah

yang telah membuat cacat puteranya Lamatahati!

 Seperti hendak mengadu jiwa, dengan nekad Luh-

santini sambuti pukulan lawan dengan pukulan Di Balik

Labukit Menghancur Lagunung. Kali ini dengan tangan

kiri kanan sekaligus.

 Kesaktian Luhsantini boleh hebat, namun dia kalah

jauh pada tenaga dalam. Begitu dua pukulan sakti

bentrokan, terdengarlah pekik perempuan ini. Tubuh-

nya terlempar ke udara setinggi tiga tombak lalu jatuh

di atas batu. Darah mengucur di mulutnya. Dada

pakaian merahnya robek dan hangus besar hingga

auratnya tersingkap putih.

 Latandai sendiri terlempar satu tombak. Punggung-

nya menghantam gundukan batu. Sekujur tubuhnya 

bergetar hebat. Dadanya mendenyut sakit dan tubuh-

nya bagian bawah seolah hendak tanggal. Terbungkukbungkuk dia melangkah mendekati sosok Luhsantini. 

Saat itu dilihatnya saiah satu kaki perempuan itu 

bergerak hingga pakaiannya tersibak di bagian paha. 

Nafas Latandai sesaat tertahan. Darahnya menyentak-

nyentak. Apalagi ketika matanya membentur dada 

Luhsantini yang tidak tertutup. Nafsunya langsung 

menggelegak.

 "Mungkin ada baiknya dia tidak segera mati..." kata

Latandai menyeringai. Dia membungkuk di atas tubuh

Luhsantini. Agar yakin perempuan itu tidak membuat

gerakan tiba-tiba yang dapat mencelakainya, kedua

tangan Luhsantini dilipatnya ke belakang.

 "Kraaakk!"

 Salah satu lengan Luhsantini berderak patah. Tapi

tak ada suara jerit kesakitan keluar dari mulut 

perempuan ini, karena keadaannya saat itu nyaris 

pingsan.

 Latandai menyeringai, tangannya bergerak menying-

kapkan pakaian merah Luhsantini sesaat lagi maksud 

terkutuknya akan kesampaian tiba-tiba satu ringkikan 

keras menggelegar di kawasan bebatuan itu.

 "Wuuuutt!"

 Kalau tidak lekas menyingkir pecahlah keualn

Latandai kena tendangan dua kaki depan kuda raksasaberkaki enam!



TIGA BELAS


RAHANG LATANDAI MENGGEMBUNG KETIKA 

melihat apa yang barusan hendak menghantam 

kepalanya. "Hantu Kaki Batu Jahanaml" teriak

Latandai. "Kau mencari mati berani mencampuri

urusankul" Sebelum melompat turun dari 

kudanya Hantu Kaki Batu alias Lakasipo berkata 

pada Luhkimkim. "Bawa kuda ke balik batu tinggi 

di sebelah kiri. Tunggu di sana bersama tiga saudaraku 

sampai urusanku selesai...."

 "Untuk urusan keji seperti yang kau lakukan siapa

saja boleh ikut campur Latandai! Ho... ho! Bara di

kepala, mata dan tubuhmu sudah lenyap rupanya!

Bagaimana caranya kau menipu para Dewa dan para

Peri?! Ha... ha... hal"

 "Jahanam kau Lakasipo! Perempuan itu adalah

istriku sendiri! Mengapa kau sebut aku melakukan

kekejian! Dan beraninya kau menghina para Dewa dan

para Peri!"

 "Latandai! Raut wajah dan bentuk tubuhmu boleh

berubah seperti sediakala! Tapi hati bejat dan otak

jahat tetap mendekam di dalam dirimu!"

 "Sudah! Jangan bicara banyak! Kalau kau memang

mau mati, aku bisa memberi cara yang tercepat!" Lalu

Latandai pukulkan dua tangannya ke depan. Dua lusin

sinar hitam menggebubu. Latandai lepaskan dua pu-

kulan Selusin Bianglala Hitami

 Luhkimkim, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol 

yang menyaksikan perkelahian itu dari balik besar 

tersentak kaget melihat kehebatan serangan yang 

dilancarkan Latandai.

 Sederetan batu-batu besar di depan sana hancur

berkeping-keping dilanda pukulan sakti yang dilan-

carkan Latandai. Tapi Lakasipo sendiri sudah lenyap

Selagi Latandai berusaha mencari di mana lawannya

berada tiba-tiba dari samping terdengar suara rantai

bergemerincingan disertai sambaran sebuah bola batu

ke arah dadanya..

 Latandai cepat jatuhkan diri ke samping lalu ber-

guling menjauh. Dari jarak tiga tombak kembali dia

menggempur dengan pukulan dua belas jalur sinar

hitam. Walau bisa mengelak namun lambat laun La-

kasipo terdesak juga. Melihat hal ini Wiro segera 

berkata pada Luhkimkim. "Kalau Lakasipo berkelahi 

dalam jarak terlalu renggang, dirinya bisa celaka. Lekas 

kau berteriak padanya. Beri peringatan agar dia 

berkelahi dalam jarak dekat. Orang kondor seperti 

Latandai pasti tak bisa bergerak gesit dan cepat karena 

keberatan di selangkangannya!"

Bukannya mengikuti apa yang dikatakan Pendekar

212, anak perempuan bernama Luhkimkim itu malah

bertanya. "Apa artinya kondor?"

 "Kau ini ada saja yang ditanyakan. Kondor artinya

barang si Latandai itu sebesar gentong!"

 "Gentong? Apa pula artinya gentong?!"

 Wiro garuk-garuk kepala. Naga Kuning akhirnya

berkata. "Sobatku Kimkim! Sudah, jangan banyak ta-

nya. Lekas kau beri tahu saja Latandai. Kalau sampai

terlambat dia bisa celaka. Kita semua nanti juga ikut-

ikutan celaka!"

 Mendengar kata-kata Naga Kuning yang ada di

telapak tangannya itu Luhkimkim segera berteriak.

"Bapak Lakasipo, hadapi lawanmu dalam jarak pendek!

Dia ada kondornya! Kondornya ada gentongnya! Pasti

tak bisa bergerak cepat kalau diserang dari dekat!

Kalau dari jauh kondornya bisa leluasa!"

 Wiro tertawa bergelak sambil garuk-garuk kepala

mendengar teriakan Luhkimkim itu. Naga Kuning ter-

tawa gelak-gelak. Sedang Setan Ngornpol terpingkal-

pingkal dan terkencing-kencing!

 Walau tidak begitu jelas apa yang dimaksudkan

anak perempuan itu namun Lakasipo bisa juga me-

nangkap arti ucapan Luhkimkim. Memang jika dia

menggempur dari jarak jauh berarti lawan akan mampu

menghujaninya dengan pukulan-pukulan sakti yang

mengeluarkan dua belas jalur hitam maut itu. Maka

Lakasipo pusatkan tenaga dalamnya ke kaki. Bola Boia

Iblis mengeluarkan suara menghentak menggetarkan

tanah dan bebatuan di tempat itu begitu Lakasipo

melangkah cepat mendekati lawan. Tubuhnya melesat

ke udara. Bola batu di kaki kanannya menyambar ke

kepala lawan. Serangan ini bukan olah-olah hebatnya

karena seperti diketahui di dalam dua kaki Lakasipo

masih tersimpan ilmu kesaktian yang disebut Kaki Roh

Pengantar Maut. Di samping itu sesekali Lakasipo

barengi pula serangan dua kakinya dengan pukulan

sakti Lima Kutuk Dari Langit. Lima sinar hitam menderu

ganas. Latandai yang tahu keganasan pukulan lawan

tidak berani menyambuti dan semakin terdesak. Dalam

keadaan seperti itu terpikir olehnya kalau dirinya kem-

bali memiliki bara menyala akan lebih mudah baginya

menghadapi lawan. Maka dalam hati lalu dia berdoa

meminta. "Wahai para Dewa, Peri dan semua rohl Aku

mohon kembalikan diriku menjadi Hantu Bara Kali-

atus!" Tapi tak terjadi apa yang diharapkan. Latandai

kembali memohon malah dengan-mengeluarkan suara

keras. Sampai berulang kali. Tetap saja tidak terjadi

apa-apa. "Nenek Hantu Santet Laknat! Wahai di mana

kau! Tolong aku. Tolong Aku nek. Kembalikan bara di 

kepala, dada dan perutku!' Latandai ganti memohon 

pada si nenek sakti yang selama ini menguasai otak 

dan dirinya. Namun sia-sia belaka. Dalam keadaanterdesak salah satu ujung rantai di kaki Lakasipo

sempat merobek pipi kirinya hingga terluka besar dan

kucurkan darah! Latandai tambah was-was dan kecut

ketika dilihatnya Luhsantini siuman dari pingsannya,

lalu terhuyung-huyung melangkah ke arahnya.

 "Wahai kerabat yang aku kenal dengan nama

Lakasipo!" Luhsantini berseru. "Latandai adalah suami

khianat musuh besarku! Serahkan dirinya padaku!"

 "Kerabat Luhsantini! Siapapun kau adanya, kau

berada dalam keadaan terluka! Menyingkirlah! Biar aku

mewakilimu menyelesaikan urusan dengan manusia

keji ini!"

 "Sayang aku tidak mau diwakili wahai kerabat. Jika

kau tak mau mengalah berarti terpaksa kita menye-

rangnya bersama-sama!" ujar Luhsantini pula. Walau

tangan kanannya patah dan sakitnya bukan main na-

mun amarah dan dendam kesumat yang membakar

dirinya membuat Luhsantini tidak perdulikan semua

cidera yang dialaminya. Kalau Lakasipo menyerang

dari arah depan maka perempuan ini menyerbu dari

samping kirinya. Tanpa ampun berulang kali Luhsantini

lepaskan pukulan Di Balik Labukit Menghancur La-

gunung!

 Digempur dahsyat dari dua jurusan membuat La-

tandai terdesak hebat dan leleh nyalinya. Lebih-lebih

ketika satu jotosan Luhsantini mengancurkan sam-

bungan siku tangan kirinya hingga lengan kiri itu mulai

dari siku ke bawah menjadi buntung!

 Kini nyali Latandai benar-benar putus! Sambil

melepas pukulan Selusin Bianglala Hitam dua kali

berturut-turut untuk melindungi dirinya, dia melompat

ke atas sebuah batu besar lalu melayang turun ke

bawah dan tahu-tahu secara tak terduga telah me-

nyambar sosok Luhkimkim yang ada di balik batu.

Anak perempuan ini terpekik saking kaget, takut dan

kesakitan karena Latandai mencekal rambut lalu me-

nyeret Luhkimkim ke arah walet raksasa tunggangan-

nya. Wiro dan Naga Kuning yang masih ada dalam

genggaman anak perempuan itu tak kalah takutnya.

Setan Ngornpol jangan dibilang lagi. Begitu Latandai

melayang turun menjambak rambut Luhkimkim kakek

satu ini sudah terbeser-beser!

 Luhsantini dan Lakasipo melompat ke hadapan

Latandai. Orang ini ganda tertawa. "Kau ingin mem-

bunuhku? Silahkan! Jangan kira aku tidak tega mem-

bunuh anak perempuan ini?"

 Luhsantini menyumpah dalam hati. Lakasipo

menggeram keras.

 "Kemana kau pergi! Sekalipun ke ujung langit akan

kukejar!" teriak Lakasipo.

 "Ho... ho! Begitu! Silahkan kejar kaiau kau mampu!"

ejek Latandai. Lalu dia melompat ke atas punggung

walet terbang. Luhkimkim yang masih terus dicekalnya

diletakkanya di belakang kuduk walet. "Selamat tinggal

para kerabat! Selamat tinggal Lakasipo malang. Se-

lamat tinggal Luhsantini jalang! Ha... ha... ha!"

 Luhsantini saking marahnya hendak lepaskan satu

pukulan tangan kosong jarak jauh dengan tenaga

dalam penuh. Tapi Lakasipo cepat pegang tangan

perempuan itu. "Jangan. Kalau pukulanmu meleset

anak perempuan itu bisa celaka. Lagi pula dalam

genggamannya ada tiga orang saudaraku!"

 Walau tidak mengerti apa atau siapa yang di-

maksud Lakasipo dengan tiga orang saudaranya itu

namun Luhsantini urungkan niatnya untuk menghan-

tam. Sementara itu walet tunggangannya semakin

tinggi, naik keudara. Suara gelak tawa Latandai masih

terdengar di atas sana. Di dalam genggaman 

Luhkimkim yang gemetaran ketakutan, Wiro, Naga 

Kuning dan Setan Ngompol merasa sudah terbang 

nyawa masing-masing.

 "Celaka kita semua. Celaka sahabatku Luhkimkim" 

ujar Naga Kuning.

 Tiba-tiba dari langit sebelah timur ada satu sinar biru 

terang sekali. Makin lama makin besar dan bergerak ke 

bawah ke arah walet terbang. Sesaat kemudian cahaya 

biru itu berubah menjadi sosok seorang perempuan 

yang bergoyang-goyang seperti asap. Bersamaan 

dengan itu bau harum semerbak memenuhi udara.

 "Peri Bunda!" seru Lakasipo dan Luhsantini begitu

dia melihat lebih jelas dan mengenali siapa adanya

sosok biru, di atas sana. Kedua orang ini segera

jatuhkan diri berlutut. Sampai saat itu Lakasipo secara

tidak sadar masih memegangi tangan kiri Luhsantini

yang tadi hendak memukul. Luhsantini sendiri tidak

pula berusaha untuk melepaskan tangannya dari pe-

gangan orang.

 Latandai yang ada di atas walet terbang jadi berubah 

kecut tampangnya ketika dia melihat siapa yang

muncul dari langit di atasnya. Dia berusaha mem-

pertenang diri karena sampai saat itu masih menguasai

Luhkimkim yang tetap terus dijambaknya. "Kalau Peri

itu berbuat macam-macam kupecahkan kepala anak

ini!" kata Latandai dalam hati.

 "Wahai Latandai manusia culas!" Peri Bunda berseru. 

Mahkota di kepalanya mengeluarkan sinar berkilauan. 

Pakaiannya yang berupa gulungan selendang biru 

panjang melambai-lambai. "Istrimu memohon

pengampunan secara ikhlas. Ternyata petunjukku dan

kemauan baik istrimu kau salah gunakan. Kau pakai

untuk menipu. Hukuman tak bisa lepas darimu La-

tandai!"

 "Peri Agung! Jika kau berani mencelakai diriku, anak 

perempuan ini akan kulempar ke bawah sana! Biar 

kepalanya mendarat hancur di atas bebatuan!"

Latandai mengancam.

Peri Agung tersenyum. "Kau ingin membunuh anak

itu! Jatuhkanlah sekarang juga! Aku peri Bunda tidak

termakan ancamanmu!"

 "Peri jahanam!" rutuk Latandai. Nekad sudah orang

ini. Jambakannya di rambut Luhkimkim diperkencang.

Lalu dengan satu betotan keras anak itu dilemparkan-

nya ke bawah.

 Luhkimkim menjerit keras. Tangannya yang meng-

genggam Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol

terbuka. Tak ampun lagi ketiga orang ini melayang

jatuh sama-sama memekik. Di bawah sana Luhsantini

dan Lakasipo tak kalah kagetnya dan keluarkan seruan

tertahan.

 Hanya beberapa saat lagi tubuh Luhkimkim akan

jatuh di atas bebatuan disusul oleh tubuh Wiro dan

kawan-kawannya, tiba-tiba ujung pakaian biru Peri

Bunda melesat bergulung-gulung ke bawah, menyam-

bar tubuh Luhkimkim sehingga anak ini merasa seperti

di ayunan. Waktu pakaian menggulung tubuh anak

perempuan itu tiga sosok tubuh Wiro dan kawan-

kawannya ikut tergulung.

 "Hai apa yang terjadi?!" teriak Setan Ngompol yang

sudah basah kuyup aurat sebelah bawahnya.

 "Kita melayang dalam gulungan pakaian makhluk

aneh di atas sana!' ujar Wiro.

 Walah! Aku tahu kita berada di mana! Kita memang 

tergulung tapi aku berada di atas dada Luhkimkim! 

Maut mengintai tapi rejeki besar yang kudapati Hik... 

hik..: hik!" Itu suaranya Naga Kuning.

 Tubuh Luhkimkim mendarat lembut di Atas sebuah

batu besar. Begitu juga Wiro, Naga Kuning dan Solari

Ngornpol yang ada di atas dada perempuan Ini. Luh-

kimkim cepat memegang tiga sahabat kecilnya itu lalu

berlutut sambil dongakkan kepala ke atas dan berkata

"Peri Bunda, Peri Agung, saya Luhkimkim mengucap

kan terima kasih atas pertolonganmu."

 "Anak baik anak berbudi aku mengucapkan terima

kasih kembali Jaga baik-baik tiga temanmu..." rne-

nyahuti Peri Agung sambil tersenyum.

 "Makhluk bernama Peri Agung itu ternyata memang 

cantik," bisik Setan Ngornpol ke telinga Wiro lalu

senyum-senyum sendiri sambi! memandang ke atas.

 Sementara itu Luhsantini dan Lakasipo segera

mendatangi Luhkimkim.

 Di atas sana, di punggung walet Latandai jadi bingung 

sendiri dalam kecutnya. Tiba-tiba digebraknya tubuh 

binatang itu. Namun sebelum binatang ini melayang 

terbang menjauhi Peri Bunda, tahu-tahu sang Peri 

sudah berada di hadapannya. Telapak tangan kirinya 

diacungkan ke depan kepala walet hingga binatang ini 

seolah-olah kaku tak bisa bergerak barang sedikitpun.

 "Latandai! Aku terpaksa menjatuhkan hukuman atas 

dirimu sekali lagi. Kau akan menjadi makhluk bernamaHantu Bara Kaliatus kembali! Namun kau tidak 

memiliki kesaktian apa-apa. Dua ratus bara api akan 

kususupkan dalam perutmu! Seumur-umur kau akan 

hidup dengan sekujur tubuh seperti dipanggang!"

Peri Bunda angkat tangan kanannya lalu dua jari

menjentik. Dua ratus sinar merah sebesar ujung ibu

jari kaki, entah dari mana datangnya melesat masuk

ke dalam perut Latandai. Dari luar perut itu kelihatan

memancarkan sinar terang bara api. Latandai menjerit

keras tiada hentinya

 Peri Bunda tarik tangan kirinya. Walet yang tadi

mengapung kaku tak bergerak kini kepakkan sayapnya

lalu terbang menuju ke barat. Di atas punggungnya

Latandai terbaring menelungkup kelojotan dan terus

berteriak-teriak. Bersamaan dengan itu sosok Peri Bun-

da melesat ke atas lalu lenyap seolah menembus langit.

 "Luhkimkim, kau tak apa-apa?" tanya Lakasipo

sambil membantu anak perempuan itu berdiri. Si anak

yang masih dicekam ketakutan hanya menjawab de-

ngan gelengan kepala. Lalu tangan kirinya diulurkan.

 "Ha... ha...! Wahai tiga saudaraku! Syukur kalian juga 

selamat! Aku tadi sudah sangat khawatir! Agar tidak 

kena celaka lagi biar kalian kumasukkan kembali ke 

dalam kocek!"

 "Kami lebih suka dipegang oleh Luhkimkim saja!"

kata Naga Kuning cepat-cepat sambil senyum-senyum.

 "Makhluk-makhluk aneh. Manusia, atau apa mereka 

itu? Bagaimana kau mengatakan mereka adalah

saudara-saudaramu wahai Lakasipo?" tanya Luhsantini.

 "Panjang ceritanya. Kalau kau suka akan kuceritakan 

dalam perjalanan...."

 "Eh, memangnya kita mau mengadakan perjalanan

kemana? Tempat tinggalku adalah di daerah ini..." kata

Luhsantini pula.

 Air muka Lakasipo jadi kemerah-merahan. "Mak-

sudku.... Hemm, aku menduga apa gunanya kau me-

mencilkan diri terus menerus di tempat sunyi ini. Lebih

baik kembali ke Negeri Latanahsilam bersama kami—"

 "Berat bagiku untuk kembali ke sana wahai La-

kasipo. Hidup ini sudah terlanjur bergelimang derita....

Aku lebih suka pergi ke tempat yang lain. Mungkin aku

akan mencari puteraku yang hilang...."

 "Jika kau suka aku mau membantu mencari putera-

mu itu. Namun itu bukan pekerjaan mudah karena

kabarnya dia telah masuk ke dunia para saudara-

saudaraku ini.... Tapi tidak ada salahnya berusaha.

Asalkun sebelum melakukan pencarian kita ke La-

nahsilam dulu untuk sama-sama mengantarkan anak

perempuan ini. Lagi pula tanganmu yang patah perlu

rawat."

 Luhsantini terdiam sejenak. Sepertinya dia tengah

menimbang-nimbang. Sesekali dia melirik pada Laka-

sipo. Di atas tangan Luhkimkim Naga Kuning berbisik."Kurasa perempuan itu naksir sama Lakasipo. Tapi

mungkin merasa bingung, bagaimana ya rasanya kalau

punya kekasih yang dua kakinya dibungkus batu se-

perti bola...?'

 "Salah-salah lagi asyik bercumbu kaki sang kekasih 

bisa ketiban gandulan batu itu!" menyahuti Wiro.

Ketiga orang itu tertawa terpingkal-pingkal.

 Bersamaan dengan itu Lakasipo sendiri secara tak

sengaja memperhatikan dua kakinya. Dalam hati lelaki

ini membatin. "Mungkin keadaan dua kakiku ini yang

membuat Luhsantini tidak mau melakukan perjalanan

bersama-sama." Menyadari keadaan dirinya Lakasipo

lalu menaikkan Luhkimkim ke atas punggung kuda

kaki enam Laekakienam. Ketika Lakasipo sudah berada

di punggung binatang raksasa itu Luhsantini masih

tegak termangu.

 "Selamat tinggal wahai Luhsantini. Aku tidak me-

maksa kau ikut bersama kami. Kemana pun kau pergi

berlakulah hati-hati."

 Luhsantini anggukkan kepala mendengar ucapan

Lakasipo itu. Ketika kuda kaki enam 'itu mulai me-

langkah perempuan ini bertanya.

 "Apa masih cukup tempat bagiku di punggung

kuda itu?"

 Lakasipo tertawa lebar. Dia melompat turun. Me-

Nolong Luhsantini naik ke atas kuda lalu melompat

naik dan duduk di belakang Luhsantini.

 "Wah, kalau begini agar yang dua orang itu senang,

lebih baik kita mencari jalan jauh berputar. Biar lama

Hik... hik... hik!" Naga Kuning tertawa cekikikan.

 "Sebenarnya bukan cuma Lakasipo dan Luhsantini

yang ingin dan merasa senang. Kau juga kan?!" kata

Wiro pula.

 "Sssst... jangan bicara keras-keras! Nanti Lakasipo

mendengar! Kita bertiga nanti bisa masuk ke dalam

kocek bau pesing itu!" Naga Kuning tertawa geli.

 "Bagaimana rasanya tadi menempel di dada anak

itu waktu jatuh dari atas walet...?" Setan Ngompol

bertanya.

 "Kakek gendeng!" ujar Naga Kuning pura-pura

marah. Lalu menyambung ucapannya. "Kalau ada ke-

sempatan lagi aku mau-mau sajal Hik... hik... hik!"


TAMAT

Penulis : Bastian Tito

Created : matjenuh channel

blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive