Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Minggu, 09 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - BULAN SABIT DI BUKIT PATAH

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com



SATU


GOA itu terletak di lereng timur Bukit Siangok. Bagian dalamnya 

berlapis batu-batu pualam. Bebatuan ini selain memancarkan cahaya 

terang juga mengeluarkan hawa sejuk di waktu siang dan menebar 

udara hangat di malam hari. Siapa saja, bahkan lebih dari satu orang 

bisa tinggal di goa itu untuk jangka waktu lama karena tak berapa jauh 

dari goa terdapat sebuah perigi dangkal berair jernih. Di lereng di atas 

goa ada satu hutan kecil ditumbuhi berbagai pohon buah yang bisa 

dimakan. Selain itu Juga banyak berkeliaran ayam hutan yang tidak 

terlalu sulit ditangkap untuk dijadikan santapan»

Untuk mencapai goa yang terletak di bagian bukit terpencil ini 

jalan yang harus ditempuh cukup sulit. Penduduk beberapa dusun di 

sekitar kaki Bukit Siangok jangankan naik ke bukit, mendekat di sekitar 

kaki bukit saja tak ada yang berani. Konon di kawasan bukit banyak 

berkeliaran harimau besar. Terkadang binatang ini tidak muncul 

sendirian, ada kalanya berombongan atau anak beranak. Ada yang 

mempercayai kalau binatang-binatang buas itu merupakan peliharaan 

orang sakti. Namun siapa orangnya dan di mana tepat tempat 

kediamannya tidak diketahui. Penduduk hanya menduga-duga bahwa 

binatang buas itu adalah masih anak buah Inyiek Batino yang dikenal 

sebagai Ratu Sekalian Harimau Betina di tanah Minangkabau.

Menjelang pertengahan hari dari arah utara kelihatan empat orang 

berkelebat cepat. Salah seorang dari mereka berlari sambil memanggul 

sosok perempuan muda berbadan elok, berambut hitam terurai. 

Keempat orang ini ternyata menuju ke Bukit Siangok yang ditakuti 

penduduk beberapa dusun itu.

Dengan ketinggian ilmu kesaktian yang dimiliki, empat orang itu 

berlari secepat tiupan angin. Tidak selang beberapa lama mereka telah 

berada di lereng timur Bukit Siangok, di mana goa tadi berada.

“Ini tempat rahasia yang aku ceritakan.” Berkata orang yang 

pertama sekali mencapai mulut goa. Orang ini berusia lebih setengah 

abad. Mukanya aneh karena ditutupi bulu hitam di sebelah kanan dan 

bulu putih di bagian kiri. Baju serta celana galembong hitam yang

dikenakannya kotor oleh debu dan selepotan tanah. Di pinggang orang 

ini tergantung sebilah pedang tapi cuma sarungnya saja yang ada. Inilah 

Tuanku Laras Muko Balang, salah seorang tokoh utama yang terlibat 

dalam usaha mencari puteri Pangeran Tiongkok bernama Chia Swie Kim 

yang kemudian diberi nama Puti Bungo Sekuntum, digelari Kupu Kupu 

Giok Ngarai Sianok oleh Datuk Marajo Sati, Datuk Pucuk pimpinan Para 

Datuk Luhak Nan Tigo. Seperti dituturkan dalam “Mayat Kiriman Di 

Rumah Gadang”, pedang sakti Al Kausar miliknya yang terbuat dari perak murni dan konon berasal dari tanah Arab terjatuh di tanah tak 

sempat diambilnya ketika terjadi perkelahian antara dirinya dengan 

Wiro dan Si Kamba Mancuang. Masih untung dia bisa melarikan diri 

selamatkan nyawa sekaligus memboyong Puti Bungo Sekuntum.

Akan halnya gadis cantik Puti Bungo Sekuntum, saat itu 

tergeletak dalam keadaan tertotok di panggulan bahu kiri seorang lelaki 

berdestar dan berpakaian serba merah yang bukan lain adalah Pandeka 

Bumi Langit Dari Sumanik. Rambut panjang hitam tergerai awut-awutan, 

wajah pucat dan dua mata tertutup.

Sekali-sekali Pandeka Bumi Langit meniup-niup tangan kanannya 

yang merah melepuh. Sewaktu terjadi pertarungan dengan Pendekar 

212 Wiro Sableng, dengan mengandalkan ilmu silat Sitaralak dia 

berhasil menyarangkan pukulan bernama Tigo Alu Mangupak Lasuang.

Wiro semburkan darah akibat terluka di dalam walau tidak parah. 

Pandeka Bumi Langit sendiri mengelupas kulit tangan kanannya mulai 

dari ujung jari sampai ke pergelangan akibat hawa panas yang 

memancar keluar dari tubuh Wiro berasal dari kapak sakti yang berada 

dalam badan sang pendekar. (Baca: “Fitnah Berdarah Di Tanah Agam”)

Orang ketiga yang ikut bersama Tuanku Laras Muko Balang tentu 

saja adalah Ki Bonang Talang Ijo, orang tua sakti dari Kuto Gede di 

tanah Jawa. Kakek bersorban dan berjubah hijau ini, yang menjadi 

pimpinan rombongan pencari Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok 

keadaannya mengenaskan sekaligus menggidikkan. Ketika bertarung 

melawan Datuk Panglimo Kayo, walau dia berhasil membuat lawan 

akhirnya menemui ajal, namun Datuk Panglimo Kayo sempat menginjak 

hancur kening dan mata kanannya. Kini kening dan mata itu dibalut 

sehelai kain hitam tebal. Blangkon hijau berbunga hijau yang 

merupakan salah satu senjata andalan masih bertengger di atas kepala.

Tak jauh di sebelah kiri Ki Bonang berdiri seorang lelaki bermata 

sipit berkulit kuning. Tangan kanan dibalut di bagian siku. Inilah 

Perwira Muda TengSien yang daun telinga kanannya sumplung 

dihantam patahan goloknya sendiri sewaktu berkelahi melawan 

Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti diketahui dia adalah orang 

kepercayaan Pangeran Chia di daratan Tiongkok yang merupakan ayah 

dari Chia Swie Kim. Perwira berkepandaian tinggi ini bersama tiga orang 

anak buahnya yang telah lebih dulu menemui ajal ditugaskan untuk 

mengejar dan membawa kembali Chia Swie Kim yang didalam tubuhnya 

terdapat sebuah benda pusaka keramat milik Kerajaan yaitu Kupu Kupu 

Mata Dewa. Di dalam menjalankan tugas Perwira Muda itu diberi 

wewenang untuk menyerahkan hadiah berupa batangan-batangan emas 

sebanyak dua peti kepada siapa saja yang membantu mendapatkan 

puteri sang Pangeran. Satu peti telah diberikan kepada Ki Bonang dan 

semua orang yang memberikan pertolongan. Sisa satu peti disimpan di 

satu tempat rahasia dan baru akan diserahkan kalau Chia Swie Kim 

dalam bentuk seorang gadis ataupun dalam ujud kupu kupu batu giok berhasil ditemukan dan untuk selanjutnya dibawa kembali ke Tiongkok. 

(Baca episode pertama berjudul “Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok”)

Dari air muka Teng Sien yang tembam keringatan dan kotor 

terpancar perasaan jengkel kalau tidak mau dikatakan marah. Dia 

tengah menghadapi satu hal yang tidak disukainya. Dia telah mencium 

ada hal-hal yang tidak beres dengan orang-orang yang kini 

membantunya.

“Kalian semua cepat masuk ke dalam goa. Kita aman di sini. Kita 

butuh istirahat...” Berkata Tuanku Laras Muko Balang. Lalu dia 

mendekati Pandeka Bumi Langit untuk mengambil Puti Bungo 

Sekuntum dari atas bahu dan membawanya masuk ke dalam goa.

Sewaktu Ki Bonang Talang Ijo hendak melangkahkan kaki 

mengikuti Tuanku Laras, Perwira Muda Teng Sien cepat memegang 

bahu si kakek dan berkata.

“Aku tidak akan masuk ke dalam goa. Bukan ini yang aku 

inginkan! Bukan begini perjanjian kita! Aku punya tanggung jawab 

besar pada Pangeran Chia dan Kaisar Tiongkok. Aku harus segera 

membawa gadis itu ke Tionggoan. Dalam ujudnya seperti sekarang ini 

atau dalam bentuk kupu kupu Giok! Mengapa orang bermuka belang 

masih menahan gadis itu? Apa yang hendak dilakukannya? Aku punya 

kecurigaan.” (Tionggoan: Daratan Tiongkok)

“Perwira, sabar... tenang. Kita masuk dulu ke dalam goa. Istirahat 

barang sebentar apa salahnya. Kita bicara di dalam...” Ki Bonang Talang 

Ijo menjawab sambil membujuk dan memegang bahu Teng Sien.

Mendengar suara orang bicara di belakang dan kemudian melihat 

Teng Sien tidak mau beranjak dari tempatnya, Tuanku Laras bertanya 

pada Ki Bonang Talang Ijo. Orang tua dari Kuto Gede ini memang satu-

satunya yang mengerti bahasa Cina di dalam rombongan. Karena itu dia 

juga bertindak sebagai juru bahasa antara Teng Sien dengan Ki Bonang 

dan anggota rombongan lainnya.

“Ada apa Ki Bonang? Apa yang dibicarakan Perwira itu?”

Mendengar pertanyaan Tuanku Laras, Ki Bonang dengan polos 

memberi tahu apa yang dikatakan Teng Sien.

Tampang Tuanku Laras berubah meregang. Bulu hitam putih 

yang tumbuh menyelimuti wajahnya berjingkrak berdiri.

“Katakan pada Perwira Cina itu! Jika dia tidak mau masuk atau 

mau Undang hapus dari tempat ini lebih baik dia pergi saat ini juga!”

(Undang hapus: pergi/angkat kaki) “Tapi ingat!” Tuanku Laras 

cepat menyambung ucapannya. “Jangan harap aku akan menyerahkan 

gadis Cina ini padanya. Sebaliknya dia punya kewajiban menyerahkan 

sisa satu peti emas pada kita! Gara-gara urusan yang dibawanya banyak 

sahabat kita di negeri ini menemui ajal! Ki Bonang, beri tahu apa yang 

aku katakan padamu! Nanti aku ingin bicara dengan Ki Bonang 

melanjutkan pembicaraan yang terputus tempo hari.”

“Sahabatku Tuanku Laras, kita semua tidak pernah menduga 

kalau dalam membantu Perwira Cina itu akan jatuh begitu banyak korban dan terjadi silang sengketa di negeri ini. Semua rencana telah 

salah arah. Yang penting sekarang bagaimana urusan ini bisa selesai 

dengan baik...”

“Ki Bonang, seperti aku, kau terlibat dalam masalah besar ini. 

Jadi jangan sekarang kau berpura-pura menyesal!”

Ki Bonang Talang Ijo tidak menyahuti ucapan orang tapi dalam 

hati dia berkata “Manusia satu ini sudah salah kaprah! Apa yang ada di 

benaknya? Ingin mendapatkan emas tapi tidak mau menyerahkan gadis 

itu. Perwira Cina itu bicara dan punya jalan pikiran benar. Aku 

menduga ada satu rencana mencari keuntungan sendiri dalam benak 

Tuanku Laras. Dia bersikap seolah dialah yang kini jadi pimpinan dalam 

rombongan. Padahal aku yang mengajaknya serta...

Tentu saja ki Bonang tidak mau menyampaikan ucapan Tuanku 

Laras pada Perwira Muda Teng Sien. Karena kalau hal itu diberitahu 

pastilah Perwira Cina itu akan menjadi marah dan bisa-bisa mengamuk. 

Maka kembali Ki Bonang membujuk agar Teng Sien mau masuk dulu ke 

dalam goa. Akhirnya Teng Sien masuk juga diikuti Pandeka Bumi Langit 

di sebelah belakang.

Goa berlapis batu-batu pualam di lereng timur Bukit Siangok itu 

ternyata. cukup besar. Gundukan batu-batu pualam putih setinggi 

pinggul membentuk dan membagi bagian dalam gua menjadi empat 

ruangan. Tuanku Laras masuk ke dalam ruangan paling ujung. Ki 

Bonang di ruangan sebelah, lalu Pandeka Bumi Langit di ruangan kiri. 

Perwira Teng Sien sambil mulut komat-kamit mengeluarkan suara 

menggerendeng dudukkan diri dengan kesal di lantai batu pada ruangan 

sebelah kanan yaitu yang paling dekat ke mulut goa.

Tak selang beberapa lama terdengar suara Tuanku Laras 

memanggil Ki Bonang.

“Ki Bonang. Kita harus bicara dan mengambil keputusan sekarang 

juga!” Kata Tuanku Laras begitu Ki Bonang duduk di depannya. 

Sebenarnya tokoh silat dari tanah Jawa ini tidak suka menghadapi sikap 

Tuanku Laras yang seolah dialah yang jadi pimpinan dalam rombongan. 

Namun dia diam saja sambil memperhatikan keadaan sekeliling 

ruangan.

Di sebelah kiri Pandeka Langit Bumi pura-pura tidur tapi diam-

diam telinganya menguping apa yang dibicarakan ke dua orang itu. 

Sementara itu Puti Bungo Sekuntum telah dibaringkan di lantai goa 

masih dalam keadaan tertotok tak bisa bergerak tak mampu bersuara. 

Namun telinga dapat mendengar semua pembicaraan orang yang ada di 

dalam goa.

“Ki Bonang sahabatku,” berujar Tuanku Laras, “Kau belum 

memberi jawaban atas rencana yang pernah aku beri tahu. Hal itu tidak 

bisa ditunda-tunda lagi. Perwira Cina itu sudah saatnya harus dihabisi!”


DUA 


KI BONANG Talang Ijo terkejut mendengar kata-kata orang bermuka 

belang yang duduk dihadapannya itu. Sebelumnya memang Tuanku 

Laras pernah bicara bahwa dia ingin mengusir Perwira Muda Teng Sien 

bahkan membunuhnya bilamana perlu. Saat itu Ki Bonang tidak begitu 

menanggapi. Rupanya si muka belang ini tidak main-main dengan 

ucapan serta rencananya.

“Tuanku Laras, mengapa kita musti membunuh Perwira Cina itu. 

Dia datang minta tolong padaku laiu aku minta tolong pada Tuanku 

Laras dan teman-teman di sini. Kita sudah menerima pembayaran satu 

peti emas. Kita akan mendapatkan peti kedua setelah menyerahkan 

gadis itu pada Teng Sien. Bukankah begitu perjanjiannya?” Rahang 

Tuanku Laras menggembung. Lalu dia menyeringai dan enak saja 

meludah di lantai goa. Wajah cacat Ki Bonang Talang Ijo tampak 

berubah merah. Dia merasa tersinggung dan terhina oleh perilaku 

meludah yang barusan dilakukan Tuanku Laras. Bukan saja karena dia 

merasa jauh lebih tua tapi dimatanya Tuanku Laras adalah salah 

seorang dari bawahan, anak buahnya.

“Ki Bonang, orang minta tolong wajib dibantu.” Ucap Tuanku 

Laras tanpa memperhatikan raut wajah Ki Bonang yang berubah. “Tapi 

kalau permintaannya telah menjadi malapetaka bagi kita yang menolong 

apa kita masih mau melanjutkan pertolongan? Sudah berapa kerabatku 

menemui ajal. Aku kehilangan pedang sakti Al Kausar. Kau sehdiri... 

Coba lihat dirimu. Kening hancur mata terpuruk buta! Kau masih mau 

menolong Perwira Muda itu? Bagaimana kalau dia menggagahi gadis itu 

ditengah jalan lalu membunuhnya. Apa Ki Bonang mau bertanggung 

jawab?!”

“Mana dia berani melakukan hal itu. Ke manapun dia pergi pasti 

akan diburu orang-orang Kerajaan. Dia akan dipancung! Tapi itu biar 

menjadi urusannya. Urusan kita menyerahkan gadis itu padanya dan 

dia menyerahkan satu peti emas pada kita. Urusan selesai. Habis 

perkara. Perwira itu pulang ke Tiongkok, aku pula ke Jawa.”

“Ki Bonang, kita tidak tahu banyak tentang siapa adanya Perwira 

Muda Teng Sien. Mungkin saja dia sebenarnya adalah penjahat besar di 

daratan Tiongkok. Sekarang aku ingin bertanya. Apa kau sejalan dengan 

rencanaku atau tidak?” “Tuanku Laras, aku...”

“Kalau kita bunuh Perwira itu, emas yang satu peti tinggal kita 

bagi dua. Kau pulang ke Jawa akan menjadi orang kaya raya!”

Ki Bonang terdiam. Rupanya ucapan Tuanku Laras 

mendatangkan kebimbangan dalam hatinya. Sesaat kemudian Ki 

Bonang bertanya.

“Saat ini kita tinggal bertiga. Bagaimana dengan sahabat kita Pandeka Bumi Langit?” Bertanya Ki Bonang.

Tuanku Laras tinggikan kepala, memandang ke ruangan di 

sebelah kiri di mana Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik berada. Saat 

itu dilihatnya sang Pandeka duduk bersandar ke dinding goa, mata 

terpejam mulut terbuka dan mengeluarkan suara mengorok perlahan. 

Setengah berbisik Tuanku Laras kemudian menjawab pertanyaan Ki 

Bonang Talang Ijo.

“Dia cukup kita beri tambahan satu batang emas saja. Biar nanti 

aku yang mengatur.”

“Kalau dia menolak?” tanya Ki Bonang.

“Gilirannya kita habisi!” Jawab Tuanku Laras Muko Belang.

Ki Bonang Talang Ijo tidak menjawab.

“Sekarang katakan padaku di mana satu peti emas itu disimpan 

Teng Sien. Ki Bonang pernah mengatakan kalau Ki Bonang tahu tentang 

keberadaan emas itu. Kita bisa pergi sama-sama mengambilnya.”

“Aku memang tahu. Tapi bagaimana mungkin aku menyalahi 

perjanjian dengan Teng Sien?” kata Ki Bonang pula. Walau hatinya 

tergoda untuk mendapatkan tambahan batangan emas yang begitu 

banyak tapi dia tidak akan memberi tahu di mana satu peti batangan 

emas yang lain berada. Dalam hati orang tua itu membatin. “Kalau aku 

beri tahu sama saja aku menggadaikan nyawa. Setelah dia nekad 

membunuh Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit pasti aku pula yang 

akan dibantainya.”

Apa yang ada di benak Ki Bonang begitu pula yang diperkirakan 

Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik yang saat itu pura-pura tidur, 

dalam hati dia berkata. “Ki Bonang, sekali kau memberi tahu di mana 

emas itu berada maka nyawamu hanya tinggal bilangan hari saja.”

“Aku kecewa mendengar ucapan Ki Bonang...” Tuanku Laras 

berkata. “Rupanya aku harus bertindak sendiri.”

“Maafkan aku Tuanku Laras. Tapi kita harus berlaku hati-hati 

agar jangan salah bertindak.” Jawab Ki Bonang. Lalu kakek ini alihkan 

pembicaraan dengan bertanya. “Berapa lama kita akan berada di tempat 

ini? Lalu ke mana tujuan kita selanjutnya?” Ki Bonang bertanya 

mengalihkan pembicaraan.

“Kita melanjutkan perjalanan pada saat matahari tenggelam. Saat 

ini aku belum bisa memberi tahu ke mana tujuan kita.”

Tuanku Laras tersenyum. Senyuman yang terasa aneh di mata Ki 

Bonang karena belum pernah dia melihat Tuanku Laras tersenyum 

polos seperti itu. Biasanya orang ini kalau tersenyum selalu dibayangi 

air muka menunjukkan sikap sinis atau melecehkan orang.

Sambil mendekatkan kepalanya ke samping wajah Ki Bonang, 

Tuanku Laras berkata setengah berbisik.

“Kau betul. Gadis ini hanya akan menjadi beban saja. Tapi beban 

yang sangat membahagiakan...”

““Apa maksud Tuanku Laras?” Tanya Ki Bonang sementara hatinya 

menduga-duga.“Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Aku tidak akan 

melepas gadis satu ini. Aku akan mengambilnya menjadi istri.”

Ki Bonang Talang Ijo sampai ternganga saking tercengangnya 

mendengar ucapan Tuanku Laras. Lalu dia cepat tersenyum dan 

berkata.

“Maafkan diriku Tuanku Laras. Setahu saya bukankah Tuanku

Laras sudah punya tiga orang istri...?”

Meskipun matanya membeliak merah dan bulu hitam putih 

dimukanya berjingkrak tegak Tuanku Laras masih mampu menjawab 

dengan suara tenang.

“Aku bisa beristri sampai empat orang. Siapa yang melarang? Adat 

membenarkan. Agama mengizinkan!”

“Aku mengerti Tuanku Laras. Hanya saja, kalau Tuanku Laras 

melakukan hal itu, lantas apa bedanya dengan perbuatan yang telah 

dilakukan Datuk Marajo Sati?”

Mendidihlah amarah Tuanku Laras Muko Batang mendengar 

ucapan Ki Bonang Talang Ijo. Mata mendelik merah, rahang meng-

gembung dan semua bulu yang menutupi wajahnya berdiri kaku. 

Tangan kanannya tiba-tiba dipukulkan ke bawah.

“Braakk!”

Salah satu gundukan batu pualam putih di lantai gua hancur 

berkeping-keping. Lantai goa sendiri melesak amblas sampai satu 

jengkal.

“Ki Bonang! Kalau kau bukan seorang sahabat sudah ku 

pecahkan kepalamu seperti aku memecahkan batu ini!” Ucap Tuanku 

Laras setengah berteriak hingga suaranya menggelegar di dalam gua, 

membuat Pandeka Bumi Langit yang pura-pura tidur membuka kedua 

matanya sebentar lalu meneruskan tidur bohong-bohongannya. Di dekat 

mulut goa Perwira Muda Teng Sien berdiri dari duduknya, memandang 

ke arah Tuanku Laras dan Ki Bonang lalu duduk kembali di tempatnya 

sambil geleng-geleng kepala. Hatinya semakin tidak suka. Niatnya untuk

segera membawa Puti Bungo Sekuntum semakin besar.

Tuanku Laras Muko Balang yang masih belum reda amarahnya 

kembali berteriak.

“Ki Bonang! Jaga mulutmu kalau bicara! Jangan samakan aku 

dengan Datuk Marajo Sati keparat itu! Dia menyekap gadis ini sebagai 

gendakl Aku akan mengawininya! Melalui pernikahan yang syah! Apa 

kau kira aku ini lelaki mata keranjang yang tidak punya martabat?!”

Ki Bonang hanya bisa mengangguk-angguk kepala beberapa kali.

“Tuanku Laras, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyinggung 

perasaanmu.” Belangkon hijau yang sejak tadi dipegang cepat-cepat 

dikenakan lalu Ki Bonang berdiri.

“Kau mau ke mana Ki Bonang?” tanya Tuanku Laras.

“Aku mau ke luar goa. Ingin menghirup udara segar...”

“Di dalam goa ini aman dan udaranya sejuk. Apa Ki Bonang tidak 

merasakan?”“Aku tidak lama. Sebentar juga masuk kembali.”

“Agaknya Ki Bonang tidak suka aku mengambil Puti Bungo 

Sekuntum menjadi istri? Rupanya Ki Bonang juga punya hasrat 

terhadap gadis ini?” Tuanku Laras bertanya sambil mengusap punggung

Puti Bungo Sekuntum yang tergolek tak bergerak di lantai.

Ki Bonang tertawa.

“Aku sudah tua. Jika aku mau di tanah Jawa aku bisa 

mempunyai dua belas gundik! Tapi bagiku jaman untuk bercinta 

mengumbar nafsu sudah lewat...” Ki Bonang berdiri lalu melangkah 

keluar goa.

“Ki Bonang!” Tuanku Laras memanggil.

Ki Bonang Talang Ijo hentikan langkah, berbalik menoleh ke arah 

Tuanku Laras. Lelaki bermuka belang itu berkata.

“Ki Bonang, kalau kau punya niat hendak meninggalkan tempat 

ini sebaiknya bicara terus terang!”

Ki Bonang Talang Ijo menyeringai lalu menjawab.

“Seperti kata Tuanku Laras tadi, aku ingin menjadi orang kaya 

raya kalau pulang ke tanah Jawa.”

Tuanku Laras Muko Balang tertawa mengekeh.

“Kau sahabatku yang cerdik!” Memuji Tuanku Laras walau dalam 

hati ini dia punya pikiran, jangan-jangan orang tua dari tanah Jawa ini 

yang harus dibunuhnya lebih dulu. “Ki Bonang, kau tunggu saja, 

nyawamu hanya tinggal seujung kuku!”

Ki Bonang rapikan belangkon di atas kepala lalu teruskan langkah 

ke mulut goa.

Namun masih satu langkah kakinya akan mencapai mulut goa 

tiba-tiba di luar sana terdengar suara angin menderu disusul suara 

binatang menguik keras. Begitu hebatnya hantaman angin hingga 

dinding di mulut goa batu bergetar. Satu bayangan putih berkelebat.

Di lain kejap satu kaki menderu ke depan.

Duukk!

Ki Bonang keluarkan jeritan keras. Tubuhnya terlempar ke dalam 

goa. Terjengkang di lantai batu, mulut kucurkan darah. Walau 

menderita cidera luka di dalam yang cukup parah namun orang tua ini 

dengan cepat melompat bangun. Dalam menahan sakit serta amarah 

yang menggelegak Ki Bonang merasa sekujur tubuhnya bergeletar ketika 

melihat siapa yang berdiri menghadang di mulut goa!


TIGA


DI MULUT goa tegak berdiri seorang berjubah putih. Dagu tertutup 

janggut hitam yang sebagian telah memutih. Di bahu kiri orang ini 

bertengger seekor burung elang putih yang patah sayap kirinya. 

Sepasang mata menatap menyorot ke arah Ki Bonang Talang Ijo, melirik 

sebentar pada Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit yang saat itu telah 

melompat berdiri dari kepura-puraan tidurnya. Mata galak merah si 

jubah putih juga memperhatikan ke jurusan Tuanku Laras Muko Balang 

yang dengan gerakan cepat menyambar tubuh Puti Bungo Sekuntum 

lalu bangkit berdiri.

Luar biasanya, orang berjubah putih ini tidak menjejak lantai 

mulut goa tapi sepasang kaki berdiri di atas segulung sorban putih 

berumbai, mengambang di udara.

“Manusia-manusia durjana! Akhirnya aku temui juga kalian!” 

Orang berjubah di mulut goa keluarkan ucapan membentak. Sorban 

yang bergulung di bawah kaki tiba-tiba melayang ke udara lalu turun 

menutupi kepalanya. Saat itu juga tubuhnya bergerak turun dan dua 

kaki yang mengenakan kasut kaki kini menjejak lantai goa.

Tuanku Laras Muko Balang mendengus. Teng Sien 

menggerendeng panjang.

“Urusan lagi! Urusan lagi! Aku sudah bilang apa guna pergi ke 

tempat ini! Seharusnya aku sudah membawa gadis itu! Seharusnya aku 

sudah mendapatkan kupu-kupu batu Giok dan kembali ke Tionggoan!”

Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik membuka mulut membalas 

ucapan orang berjubah putih di mulut goa yang ternyata adalah Datuk 

Marajo Sati.

“Datuk Marajo Sati! Pucuk Para Datuk Luhan Nan Tigo! Menyebut 

kami manusia-manusia durjana! Padahal kau biang segala kedurjanaan 

di negeri ini!”

“Kau membunuh Datuk Panglima Kayo!” Tuanku Laras berteriak 

dari ujung goa. Mata memandang membara ke arah Datuk Marajo Sati.

Datuk Marajo Sati delikkan mata. Tubuh bergetar. Alang Putih 

Rajo Di Langit yang bertengger di bahu menguik keras. Sayap 

dikembangkan. Siap hendak melesat menyerang Tuanku Laras Muko 

Balang. Datuk Marajo Sati cepat usap punggung binatang ini.

Ki Bonang yang berdiri di hadapan Datuk Marajo Sati batuk-batuk 

beberapa kali. Setelah menyeka darah yang meleleh di dagu, orang tua 

ini berkata.

“Datuk Marajo Sati, tanpa sebab kau menyerangku. Aku 

memaafkan perbuatanmu. Sekarang apakah kita bisa bicara dengan 

tenang dan baik-baik?”

“Kita baru bicara kalau jahanam bermuka belang itu menyerahkan gadis yang diculik itu!”

Menjawab Datuk Marajo Sati sambil menunjuk ke arah Puti 

Bungo Sekuntum yang berada di atas panggulan bahu kanan Tuanku 

Laras.

“Ha... ha!” Tuanku Laras tertawa keras. “Jadi kau kemari rupanya 

mencari gendakmu ini! Tua bangka tak tahu diuntung! Sudah punya 

istri muda dan cantik masih saja mau menyekap daun muda yang satu 

ini! Belum puas kau rupanya setelah berhari-hari mengurungnya di 

dalam goa kediamanmu di Ngarai Sianok!”

“Baru beberapa hari kehilangan gendak sudah macam orang gila 

tidak karuan rupa!” Menimpali Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.

Ki Bonang angkat tangan kiri, berusaha menenangkan suasana. 

Namun Datuk Marajo Sati sudah kehilangan kesabaran.

“Alang Putih Rajo Di Langit,” sang Datuk bicara pada burung 

elang di atas bahu kirinya. “Beri jawaban pada manusia bermulut busuk 

berhati setan berpakaian dan berdestar merah itu! Aku akan menghajar 

biang bergundalnya!”

Mendengar ucapan sang Datuk Elang putih menguik keras lalu 

melesat ke arah Pandeka Bumi Langit. Di saat yang sama Datuk Marajo 

Sati melompat ke arah Tuanku Laras Muko Balang.

“Ki Bonang! Teng Sien! Bunuh manusia jahanam itu!” teriak 

Tuanku Laras.

Ki Bonang dan Perwira Muda Teng Sien coba menghalangi 

terjangan Datuk Marajo Sati. Namun keduanya terpelanting akibat lebih 

dulu terkena kibasan tubuh besar sang datuk.

“Manusia keparat bernama Tuanku Laras! Aku tahu kau dan kaki 

tanganmu yang ada di goa ini yang telah membunuh Datuk Panglimo 

Kayo! Jangan berani memfitnah kejahatan busuk kalian pada diriku!”

Pada saat melompat ke arah Tuanku Laras Muko Balang dari 

sorban putih di atas kepala Datuk Marajo Sati menderu dua belas angin 

memancarkan cahaya putih, menyambar ke arah Ki Bonang Talang Ijo 

dan Perwira Muda Teng Sien. Inilah jurus serangan dari ilmu kesaktian 

bernama Meniup Dua Belas Jalan Darah. Siapa saja yang sampai terkena 

sambarannya pasti akan berubah menjadi patung hidup, tak bisa

bergerak tak mampu bersuara! Jika tidak tertolong sampai matahari 

tenggelam nyawanya akan amblas. Di kepala dan tubuhnya akan 

muncul lubang luka mengerikan sebanyak dua belas buah!

Begitu mendengar suara deru angin disertai memancarnya larikan 

cahaya putih Ki Bonang Talang Ijo cepat kebutkan belangkon hijau. 

Serangkum angin disertai kerlapan cahaya hijau menyambar 

menghadang serangan ganas yang datang dari sorban putih di atas 

kepala Datuk Marajo Sati.

Dari samping kiri, Teng Sien yang kini membekal sebilah golok 

baru menyerbu ke arah Datuk Marajo Sati. Lancarkan serangan berupa 

dua bebatan kilat ke arah tubuh dan satu bacokan ganas ke jurusan 

leher.“Blaarr... blaarr... blaarr!”

Letusan keras menggelegar sampai enam kali di dalam goa begitu 

dua belas cahaya putih yang menyembur dari sorban Datuk Marajo Sati 

bentrokan saling hantam dengan taburan cahaya hijau yang keluar dari 

belangkon di tangan kanan Ki Bonang.

Pandeka Bumi Langit yang melihat kesempatan baik segera 

susupkan pukulan tangan kosong ke arah lawan namun gerakannya 

tertahan karena kaget oleh sambaran Alang Putih Rajo Di Langit berupa 

cakaran dua kaki dan patukan paruh.

Goa batu pualam dipenuhi kilatan cahaya putih dan hijau. 

Perwira Muda Teng Sien cepat merunduk ketika kaki kanan Datuk 

Marajo Sati melesat ke kepalanya. Ki Bonang berseru kaget sewaktu 

belangkon hijau di tangan kanan tiba-tiba breett! Robek besar disambar 

tangan kiri Datuk Marajo Sati lalu bukkk! Oleh lawan robekan 

belangkon dihantamkan ke kepala Ki Bonang. Walau dia masih mampu 

membuat gerakan mengelak namun tak urung potongan belangkon 

miliknya sendiri masih sempat menyambar menepis telinga kanannya 

hingga hancur! Lengkap sudah kerusakan di wajah sebelah kanan tokoh 

silat dari Kuto Gede ini. Sebelumnya kening dan mata kanan hancur, 

kini telinga kanan remuk tak karuan rupa!

Sebenarnya pukulan menyusup ke arah dada yang dilancarkan 

Pandeka Bumi Langit akan berhasil mendarat telak di dada Datuk 

Marajo Sati, kalau saja Elang putih bermata merah peliharaan sang 

datuk tidak datang menyambar.

“Breett!”

Leher baju merah Pandeka Bumi Langit robek besar. Sambaran 

kuku Elang putih menggores luka kulit dan daging lehernya sementara 

sayap kanan membeset pipi di bawah mata kiri hingga menimbulkan 

luka mengucurkan darah. Saat itu juga pipi dan leher Pandeka Bumi 

Langit menggembung merah kebiruan. Kepalanya terasa panas. 

Ternyata paruh dan kuku cakar Elang putih mengandung racun jahat!

“Binatang jahanam celaka! Teriak Pandeka Bumi Langit kesakitan 

sekaligus marah besar. Sambil melompat dua tangan berkelebat ke 

udara dalam gerakan ilmu silat Sitaralak. Elang putih menguik keras 

dan berusaha mematuk tangan kanan Pandeka Bumi Langit yang 

berhasil mencekal kaki kanannya. Sebelum binatang ini bisa 

membebaskan diri Pandeka Bumi Langit telah menghantamkan tubuh 

dan kepala binatang ini ke dinding goa! Alang Putih Rajo Di Langit 

menguik keras, menggelepar lalu tak bergerak lagi. Walau burung elang 

itu sudah meregang nyawa dengan kepala dan sebagian tubuh hancur 

namun seperti kesetanan Pandeka Bumi Langit masih terus 

menghantamkan tubuhnya berulang kali ke dinding goa hingga 

akhirnya hancur luluh tak berbentuk lagi!

Datuk Marajo Sati menggembor keras mengetahui apa yang terjadi 

dengan burung Elang peliharaannya. Namun dia tidak bisa melakukan 

sesuatu karena saat itu tubuhnya tengah melesat di sepanjang goa,menyambar ke arah sosok Puti Bungo Sekuntum yang ada di bahu 

kanan Tuanku Laras. Dua tangan sang datuk bergerak cepat. Dari 

sorban kembali menderu dua belas larikan cahaya putih ke arah 

musuh.

Gerakan kilat Datuk Marajo Sati agaknya tidak sempat membuat 

Tuanku Laras menyelamatkan gadis yang dipanggul. Sosok Puti Bungo 

Sekuntum berhasil disambar Datuk Marajo Sati sementara dua belas 

cahaya putih Meniup Dua Belas Jalan Darah menghantam kepala dan 

tubuh Tuanku Laras!

Ki Bonang dan Pandeka Bumi Langit serta Teng Sien sama 

berseru kaget melihat apa yang terjadi. Namun di lain kejap perasaan 

terkejut itu menjadi bagian semua orang di dalam goa ketika hantaman 

dua belas cahaya sorban sakti membuat tubuh Tuanku Laras Muko 

Balang hancur berkeping-keping lalu berubah menjadi asap.

“Ilmu Bayangan Menipu Matai Jahanam pengecut!” teriak Datuk 

Marajo Sati menyebut nama ilmu kesaktian yang dipergunakan Tuanku 

Laras untuk menyelamatkan diri. Dia berusaha hendak mengejar 

Tuanku Laras namun membatalkan niat Dia sudah mendapatkan Puti 

Bungo Sekuntum. Perlu apa lagi mengejar manusia bermuka belang itu. 

Lebih penting menyelamatkan dan membawa gadis itu ke tempat yang 

aman.

Namun kejut Datuk Marajo Sati bukan alang kepalang sewaktu 

tubuh gadis yang dipanggulnya tiba-tiba berubah ringan lalu berderak 

hancur berkeping-keping dan berubah pula menjadi asap! Lalu ke mana 

lenyapnya sosok Tuanku Laras dan gadis Cina yang asli?

“Manusia bangsat keparat! Kau bisa menipuku dengan ilmu 

jahanammu! Tapi kau tidak bisa lolos di tanganku!”

Secepat kilat Datuk Marajo Sati melesat ke ujung goa. Dia yakin di 

ujung sana ada satu pintu rahasia. Kalau tidak mana mungkin Tuanku 

Laras melenyapkan diri sekaligus memboyong si Kupu Kupu Giok Ngarai 

Sianok!

Dugaan Datuk Marajo Sati tidak keliru. Setelah melewati beberapa 

tikungan akhirnya dia sampai di ujung goa. Di situ ternyata memang 

terdapat sebuah pintu rahasia yang berhubungan dengan kawasan 

Bukit Siangok. Pintu rahasia ini terbuat dari batu. Orang yang tidak 

bermata tajam tidak dapat membedakannya dengan atap dan dinding 

goa. Sekali kaki kanan Datuk Marajo Sati menendang pintu batu hancur 

berantakan.

Keluar dari jebolan pintu rahasia Datuk Marajo Sati hanya 

disambut desir tiupan angin serta suara bergemerisik daun-daun 

pepohonan. Sang Datuk menyumpah habis-habisan. Beberapa kali 

kakinya dihujamkan ke tanah hingga membentuk lobang besar. 

Beberapa kali dia memukul batang pohon hingga bertumbangan.

Sadar kalau tidak bisa mengejar Tuanku Laras, Datuk Marajo Sati 

ingat pada tiga orang ada di dalam goa.“Mereka harus bertanggung jawab! Kalau tidak bisa memberi 

keterangan akan kubantai mereka semua!”

Dengan cepat Datuk Marajo Sati masuk kembali ke dalam goa 

batu pualam. Namun sampai di dalam dan sampai dia keluar lagi dari 

mulut goa, Ki Bonang, Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit tidak 

kelihatan lagi batang hidungnya! Kembali Datuk Marajo Sati 

menyumpah panjang pendek.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara mengaum. Di langit 

tampak jelas dua ekor harimau kuning belang hitam, ditunggang dua 

orang gagah, melesat di udara lalu dengan cepat melayang turun di 

Bukit Siangok, hanya beberapa langkah di hadapan Datuk Marajo Sati 

yang berdiri di depan mulut goa.




EMPAT


AIR MUKA Datuk Marajo Sati berubah. Yang pertama turun dari atas 

dua ekor harimau kuning belang hitam ternyata adalah Datuk Kuning 

Nan Sabatang, Datuk Penguasa dan Penghulu di Luhak Agam. Mukanya 

yang berwarna kuning tampak tegang membesi. Sepasang mata merah 

besar menatap tak berkedip. Ujung kumis tebal mencuat ke atas. 

Tangan kanan mengusap kain sarung yang melintang di bahu 

sementara tangan kiri bersitekan ke hulu keris yang terselip 4i pinggang 

sebelah depan.

Di sebelah Datuk Kuning Nan Sabatang berdiri Datuk Penghulu 

dari Luhak Lima Puluh Kota yaitu Datuk Bandaro Putih. Wajahnya yang 

jernih dan selalu tenang kali ini tampak kelam dan garang.

Merasa tidak sedap akan kehadiran dua Datuk bawahannya ini, 

maka Datuk Pucuk Marajo Sati segera menegur.

“Datuk berdua! Ada apa kalian datang ke tempat ini?!”

Datuk Marajo Sati masih marah dan mendendam atas perbuatan 

dua Datuk ini bersama Datuk Panglimo Kayo tempo hari. Menurut 

Datuk Marajo Sati, tiga Datuk itu bersama Pakih Jauhari pemuda bekas 

kekasih istrinya yang bernama Gadih Puti Seruni serta penduduk 

beberapa dusun telah berkomplot memfitnah dan hendak 

membunuhnya di Ngarai Sianok. (Baca “Fitnah Berdarah Di Tanah 

Agam”)

Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang saling 

pandang seketika. Lalu Datuk Bandaro Putih palingkan kepala ke arah 

Datuk Marajo Sati dan berkata.

“Justru kamilah yang ingin bertanya dan ingin tahu. Gerangan 

apa maka Datuk Pucuk sampai berada di tempat ini! Setahu kami ini 

adalah goa rahasia milik Tuanku Laras Muko Balang.”

“Aku mau berada di mana itu urusanku!” jawab Datuk Marajo 

Sati. “Kalau kalian sudah tahu ini tempat siapa, maka tidak ada 

pertanyaan kalian yang pantas aku jawab.”

Habis keluarkan ucapan Datuk Marajo Sati segera bergerak 

hendak tinggalkan tempat ini. Namun dua orang Datuk di hadapannya 

segera pula bergerak menghadang.

“Tunggu, jangan pergi dulu Datuk,” kata Datuk Kuning Nan 

Sabatang sementara Datuk Bandaro Putih tegak sambil rangkapkan dua 

tangan di atas dada.

Marahlah Datuk Marajo Sati. Dia membentak garang.

“Kalian berdua hendak berlaku kurang ajari Berani menghalangi 

jalanku?! Waktu di Ngarai Sianok, kalau tidak karena ingin 

menyelamatkan orang lain, kalian sepatutnya sudah kuhajar. Sekarang 

masih berani kalian menjual lagak di hadapanku!”“Datuk Pucuk Datuk Marajo Sati, harap tenang. Jangan marah 

dulu. Kami datang untuk bertanya dan ingin mendapatkan keterangan 

jujur. Kalau itu tidak kami dapatkan maka kami berdua memilih 

berkubang darah di tempat ini!”

Sepasang mata Datuk Marajo Sati membeliak mendengar ucapan 

Datuk Bandaro Putih yang selama ini dikenalnya sebagai Datuk yang 

paling tenang dan selalu bicara lembut di antara tiga Datuk Luhak Nan 

Tigo.

“Ucapan hebat! Sejuk di pangkal tapi mengandung api di ujung! 

Kalian benar-benar membuat aku marah! Apa maksud kalian?!” hardik 

Datuk Marajo Sati.

“Kami datang membawa kabar buruk!” berkata Datuk Kuning Nan 

Sabatang.

Datuk Bandaro Putih menyambung, “Saudara kita Datuk 

Panglimo Kayo mati dibunuh orang. Jenazahnya dikirim ke rumah 

gadang kediamannya di Batusangkar. Sungguh keji sekali!”

“Aku sudah mendengar kabar itu,” kata Datuk Marajo Sati dengan 

suara dingin.

“Syukur kalau Datuk sudah tahu. Lalu mengapa Datuk Pucuk 

tidak datang melayat? Tidak ikut menyampaikan rasa duka cita kepada 

istri dan kerabat yang ditinggalkan. Tidak pula ikut mengantar jenazah 

ke kubur.”

“Kelalaianku itu memang menjadi dosa yang akan aku tanggung. 

Tapi aku melakukan semua itu karena harus mengerjakan sesuatu yang 

sangat penting. Aku punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan 

dan mendapatkan kembali gadis Cina yang diculik oleh komplotan orang 

asing yang dipimpin orang bernama Ki Bonang Talang Ijo. Beberapa 

tokoh di negeri ini ikut terlibat. Dan kalian berdua bersama Datuk 

Panglimo Kayo yang seharusnya ikut bertanggung jawab atas 

keselamatan gadis asing di negeri ini malah bergabung membantu 

manusia-manusia laknat itu!”

“Sungguh luhur dan sangat tinggi budi Datuk Pucuk Datuk 

Marajo Sati,” kata Datuk Kuning Nan Sabatang. “Menyelamatkan 

seorang gadis asing sementara kerabat yang mati dibunuh orang tidak 

Datuk acuhkan. Maaf saja Datuk. Kami punya dugaan lain. Bahkan 

mungkin bukan dugaan. Tapi satu kenyataan! Datuk tidak melayat 

jenazah Datuk Panglimo Kayo karena Datuklah orang yang 

membunuhnya!”

Rahang Datuk Marajo Sati menggembung. Sepasang matanya 

seperti hendak melompat keluar dari rongga. Sorban di atas kepala naik 

satu jengkal lalu turun lagi. Walau singkat tapi cukup untuk 

memperlihatkan asap putih yang mengepul dari ubun-ubun sang Datuk!

“Selain itu!” Datuk Kuning Nan Sabatang meneruskan ucapan 

lantangnya. “Beberapa saat sebelum mayat Datuk Panglimo Kayo 

muncul, Inyiek harimau sakti tunggangannya terlebih dulu dikirim 

dalam keadaan mati di rumah gadang. Baik Inyiek maupun Datuk Panglimo Kayo tubuh mereka sama-sama dilibat potongan Rantai Pintu 

Akhirat! Hanya kita bertiga yang tahu kelemahan ilmu kesaktian Datuk 

Panglimo Kayo! Kami berdua bersumpah bumi dipijak langit dijunjung! 

Bukan kami yang mencelakai Datuk Panglimo Kayo! Berarti tinggal 

Datuk seorang yang menjadi ayam putih terbang siang! Datuk 

mencelakai dan membunuh Datuk Panglimo Kayo!”

“Datuk Kuning Nan Sabatang! Jaga bicara. Jangan sampai 

kurobek mulut busukmu! Berani sekali kau menuduh dan memfitnahku 

sebagai orang yang telah membunuh Datuk Panglimo Kayo!”

“Kami bicara bukan seperti orang barasian di tengah hari.” Yang 

menjawab Datuk Bandaro Putih. “Kami punya satu bukti kalau memang 

Datuk yang membunuh Datuk Panglimo Kayo. Robekan sorban Datuk 

tergenggam di tangan jenazah Datuk Panglimo Kayo. Semua orang di 

Batusangkar mengetahui hal ini. Berita keji ini bahkan telah tersebar 

hampir ke seluruh Luhak Tanah Datar!” (barasian: mimpi)

“Astagafirullah hal aziemm...” (Datuk Marajo Sati mengucap 

berulang kali. Amarah menggelegak. Darah seperti hendak menyembur 

dari ubun-ubun di atas kepala. Sorban putihnya berulang kali naik 

turun. “Mulut busuk fitnah keji! Menyingkirlah kalian berdua dari 

hadapanku! Atau kalian akan jadi bangkai tak terkubur di tempat ini!”

“Jangan meradang! Tahan sedikit amarahmu Datuk Marajo Sati! 

Pergunakan akal sehat dan hati jernih!” kata Datuk Kuning Nan 

Sabatang. “Ketika Datuk menghabisi Datuk Panglimo Kayo, apa tidak 

terlintas di benak, tidak tergugah di hati, siapa Datuk Panglimo Kayo itu 

sebenarnya. Dia bukan saja sahabat kerabat ke mudik dan ke hulu, 

bahkan dia adalah Mamak dari Gadih Putih Seruni. Yang berarti adalah 

masih mertua Datuk sendiri! Datuk terlahir sebagai orang beradat, 

hidup sebagai orang beragama dan dipercayakan menjadi Datuk Pucuk 

Luhak Nan Tigo. Setan apa yang masuk ke dalam tubuh Datuk hingga 

membunuh sahabat dan saudara kami itu!” (Mamak: Paman)

“Kalian berdua sama jahanamnya!” teriak Datuk Marajo Sati. “Aku 

bersumpah tidak membunuh Datuk Panglimo Kayo. Kalau aku berdusta 

neraka jahanam bagianku!”

Datuk Kuning Nan Sabatang dan Datuk Bandaro Putih saling 

berpandangan sambil sunggingkan senyum mengejek pertanda tidak 

mempercayai apa yang dikatakan orang di hadapan mereka.

Dalam amarah yang menggelegak Datuk Marajo Sati tidak dapat 

lagi menahan hati. Kesabarannya habis sudah!

“Bett... bett!”

Sorban putih di atas kepala Datuk Marajo Sati berkelebat dan 

ujungnya menghantam dua kali berturut-turut ke arah dada dua orang 

di hadapannya. Jangankan dada manusia, batu gunung pun bisa 

hancur berkeping-keping jika sampai dihantam ujung Sorban Seribu 

Sakti itu.

Di antara para Datuk yang ada di Luhak Nan Tigo, sebagai Datuk 

Pucuk atau Datuk Pimpinan Datuk Marajo Sati memiliki ilmu silat dan kesaktian paling tinggi. Begitu ujung sorbannya menghantam sosok

tubuhnya sendiri lenyap dari pemandangan sehingga siapapun yang jadi 

lawan tidak akan berkesempatan mengerahkan serangan balasan. Inilah 

jurus silat yang dinamakan Di Balik Kabut Naga Mematuk.

Hanya saja saat itu yang dihadapi Datuk Marajo Sati bukanlah 

dua lawan berkepandaian rendah. Begitu melihat ujung sorban mencuat 

ke atas, Datuk Kuning Nan Sabatang cepat kebutkan sarung yang 

melintang di dada lalu melesat tinggi ke udara dan di lain kejap telah 

berdiri di cabang sebuah pohon besar.

Datuk Bandaro Putih juga tidak kalah sebat. Secepat kilat dia 

kebutkan lengan kiri baju hitam, lalu melompat ke atas batu menonjol 

di atas mulut goa. Dengan demikian kini Datuk Marajo Sati terjepit di 

tengah-tengah. Sadar akan kedudukannya yang berbahaya. Datuk 

Marajo Sati segera melompat mundur hingga kini dia bisa melihat jelas 

dua orang yang menjadi lawannya. Sorban kembali bergulung di atas 

kepala.

“Pengecut! Mengapa menjauh melarikan diri! Dosa kalian 

memfitnahku lebih kejam dari pembunuhan! Apa kalian tiba-tiba takut 

menghadapi kematian?!” teriak Datuk Marajo Sati. “Cabut Karih kalian! 

Mari bertarung sampai darah berkubang nyawa melayang!” (Karih: Keris)

Habis keluarkan ucapan Datuk Marajo Sati cabut keris besar yang 

tersisip di pinggang sebelah depan. Konon keris ini diberi nama Rajo 

Kaluak Sambilan (Raja Keluk Sembilan) karena memiliki luk sembilan 

lengkungan. Senjata yang berlapis perak murni ini berkilauan tertimpa 

cahaya matahari.

Di tanah Minang, jika keris sakti atau keris pusaka sudah 

terhunus keluar dari sarang berarti pertarungan keris melawan keris 

sampai mati tidak dapat dihindarkan lagi!

Namun di atas cabang pohon Datuk Kuning Nan Sabatang 

bersikap belum mau melayani tantangan orang. Di dinding goa Datuk 

Bandaro Putih memperhatikan penuh waspada. Tangan kiri menekan 

hulu keris tangan kanan siap menghantam jika lawan kembali 

menyerang.

“Datuk Marajo Sati!” berseru Datuk Kuning Nan Sabatang. “Kalau 

Allah memang sudah menentukan kami berdua harus menghembuskan 

nafas di tempat ini, masakan kami mampu mencari selamat. Tapi 

sebelum kami menemui ajal, ada satu perkara lagi yang kami ingin 

kejelasan.”

“Jahanam! Aku tidak ingin bicara lagi dengan kalian berdua! 

Najis!” teriak Datuk Marajo Sati. Pergelangan tangan kanan yang 

memegang keris bergerak menyentak. Keris besar berluk sembilan itu 

serta merta pancarkan cahaya putih menyilaukan. Pertanda sang Datuk 

telah mengerahkan tenaga dalam penuh.

Walau jarak mereka cukup jauh namun keris sakti di tangan 

Datuk Marajo Sati mampu mencapai lawan karena sang Datuk memiliki. ilmu bernama Tangan Sakti Menggapai Puncak Gunung. Melihat sikap 

Datuk Marajo Sati yang jelas-jelas siap untuk kembali menyerang, 

Datuk Kuning Nan Sabatang cepat sambung ucapannya tadi.

“Perkara yang kami maksudkan itu, apa benar Datuk telah 

melakukan perbuatan maksiat, berbuat dosa besar! Melakukan zinah! 

Berhari-hari menyekap seorang gadis Cina di goa kediaman Datuk di 

Ngarai Sianok. Kami sempat melihat gadis itu sebelum diculik oleh 

orang-orang asing. Kami juga sempat memeriksa ke dalam goa Datuk 

dan menemukan beberapa potong pakaian perempuan serta bedak dan 

pemerah bibir untuk berhias. Kami tidak percaya Datuk yang 

mengenakan pakaian itu dan berhias diri seperti perempuan. Ha... ha... 

ha. Bukan begitu Datuk Bandaro Putih?!”

Datuk Bandaro Putih angguk-anggukkan kepala lalu tertawa 

gelak-gelak. Datuk Kuning Nan Sabatang berteriak.

“Kami sudah melihat dan sudah mengetahui. Tapi kami ingin 

pengakuan jujur dari Datuk!”

Air muka Datuk Marajo Sati berubah semerah saga.

“Jahanam kurang ajar! Benar-benar kurang ajar! Tidak ada yang 

harus aku akui! Karena aku tidak pernah melakukan perbuatan keji 

apapun! Aku malahan semata-mata Lillahi Ta Allah menolong gadis itu. 

Kalian tidak tahu ceritanya kini justru menuduhku berbuat maksiat! 

Kalian berdua pasti sudah terkena hasut orang-orang asing itu! Percaya 

pada pemuda kurang ajar bernama Pakih Jauhari! Percaya pada orang 

dusun yang tolol! Tebus fitnah busuk kalian dengan kematian!”

Datuk Kuning Nan Sabatang keluarkan tawa bergelak.

“Datuk Marajo Sati, kalau memang hasrat mau menolong, banyak 

orang yang patut ditolong di negeri ini. Mengapa Datuk hanya menolong 

gadis asing yang cantik? Dengan cara menyekapnya di dalam goa tempat 

kediaman Datuk? Sungguh naif sekali...! Ha... ha... ha!”

Keris Rajo Kaluak Sambilan di tangan Datuk Marajo Sati 

pancarkan cahaya benderang menyilaukan.

“Wutttt!”

Selarik cahaya putih melesat keluar dari ujung keris sakti. Di 

udara cahaya ini terbelah menjadi dua. Belahan pertama dengan 

kecepatan kilat menyambar ke arah Datuk Bandaro Putih di dinding 

goa, belahan kedua menyambar ke jurusan Datuk Kuning Nan Sabatang 

di atas cabang pohon. Hanya tinggal beberapa jengkal lagi akan 

menghantam sasaran tiba-tiba setiap belahan cahaya mencuat 

berserabut menjadi sembilan ujung tombak panas membara merah!

“Sembilan Tombak Hantu Gunung Berapil” teriak Datuk Bandaro 

Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang hampir berbarengan! Keduanya 

dengan cepat hantamkan dua tangan sekaligus untuk menahan 

serangan lalu menghindar dengan melompat terjun ke tanah!

“Wuss! Wusss!”

Dua ujung lengan kiri baju hitam dua Datuk sama-sama terbakar 

hangus mengepulkan asap. Walau sepuluh jari tangan sampai ketelapak tampak menjadi hitam hangus namun cidera yang dialami tidak 

sampai parah karena dua Datuk yang diserang telah lebih dulu 

memagari diri dengan semacam ilmu kebal.

“Datuk sesat Datuk Keparat! Kami mengadu nyawa denganmu!” 

teriak Datuk Kuning Nan Sabatang lalu melayang turun ke tanah. 

Tangan kanan kini sudah menggenggam keris pusaka bernama Datuk 

Angin Kataun. Begitu dibabatkan senjata ini mengeluarkan suara 

laksana badai melanda lautan!

Dari arah kiri Datuk Bandaro Putih melesat ke bawah sambil 

acungkan keris yang menyemburkan nyala api berwarna biru! Konon 

keris yang bernama Nago Gunung Singgalang ini terbuat dari batu sakti 

berusia tiga ratus tahun yang terpendam di dasar kawah Gunung 

Singgalang.

“Traang! Traang!” Bunga api berpijar. Meski tiga bilah keris belum 

sama sekali saling bersentuhan namun dalam keterpautan jarak 

senjata-senjata sakti itu sudah saling berlaga dan mengeluarkan suara 

berdentangan.

Walau memiliki kesaktian dan keris yang lebih besar namun 

diserang dua orang berkepandaian tinggi membuat Datuk Marajo Sati 

terjajar sampai tiga langkah ke belakang. Ilmu Sembilan Tombak Hantu 

Gunung Merapi meredup lenyap. Dada mendenyut sakit. Sang Datuk 

menggeram marah. Di saat yang sama dua Datuk sudah menjejakkan 

kaki ke tanah, sengaja menjaga jarak. Keris sudah disarungkan. Wajah 

mereka tampak pucat.

“Datuk Marajo Sati! Kita sudahi pertarungan sampai di sini. Tidak 

ada gunanya diteruskan. Siapa menang jadi arang, yang kalah jadi 

debu! Sebenarnya kami datang membawa surat perintah dari Penghulu 

Tertinggi tanah Minang, Sri Baginda Raja di Pagaruyung. Tadinya jika 

Datuk mau bersikap jujur dan berjiwa besar kami tidak merasa perlu 

mengeluarkan surat itu. Tapi nyatanya Datuk malah mau menang 

sendiri padahal kilat beliung sudah ke kaki, kilat cermin sudah ke muka. 

Datuk pucuk, terimalah surat perintah ini!” (kilat beliung sudah ke kaki, 

kilat cermin sudah ke muka: apa yang terjadi sudah nyata) Dari balik 

baju hitamnya Datuk Bandaro Putih dari Luhak Lima Puluh Kota 

keluarkan selembar kain yang tergulung pada sebatang bambu kuning 

sepanjang dua jengkal. Dengan mengerahkan tenaga dalam Datuk 

Bandaro Putih lemparkan bambu itu, tapi sengaja tidak diarahkan pada 

Datuk Marajo Sati melainkan dilempar ke arah dinding batu dekat 

mulut goa hingga bambu menancap sepertiganya sementara gulungan 

kain berputar keluar dari lilitan dan menjulai ke bawah.

Datuk Marajo Sati tidak perdulikan surat perintah yang menancap 

di dinding batu. Wajah beringas menatap garang ke arah dua Datuk. 

Mulut menggembor keras lalu menggelegar suara teriakan.

“Manusia-manusia durhaka! Mampuslah kalian berdua!”

Masih menggenggam keris sakti di tangan kanan, Datuk Marajo Sati guratkan kaki kanannya keras-keras ke tanah hingga mengeluar-

kan kepulan asap angker. Lalu!

“Rerrrrttttttttt!”

Debu mengepul ke udara.

Tanah di depan kaki Datuk Marajo Sati tiba-tiba mengeluarkan 

suara berderak lalu terbelah memanjang, menjalar ke arah Datuk 

Kuning Nan Sabatang dan Datuk Bandaro Putih berdiri.

Dua Datuk tersentak kaget

“Awas! Ilmu Tanah Tabalah Hukum Manimpol” teriak Datuk 

Bandaro Putih. Bersama Datuk Kuning Nan Sabatang dengan cepat dia 

membuat gerakan melompat selamatkan diri. Namun dalam tegang dan 

kalut keduanya saling melompat ke arah yang bersamaan hingga tubuh 

mereka saling bentur! Dalam keadaan seperti itu dari tanah yang 

terbelah menderu suara angin keras, mengeluarkan kekuatan menyedot 

kencang dan ganas luar biasa. Sebelum dua Datuk sempat mengimbangi 

diri, tubuh keduanya sudah tertarik ke bawah siap dijepit dan dikubur 

hidup-hidup oleh tanah yang terbelah.

“Celaka!” teriak Datuk Bandaro Putih.

“Allahu Akbar!” Datuk Kuning Nan Sabatang menyeru nama 

Tuhan!

Dalam keadaan tegang seperti itu tiba-tiba satu bayangan hitam 

berkelebat Hanya tinggal dua jengkal saja kaki dua Datuk akan amblas 

tersedot ke dalam belahan tanah si bayangan hitam dengan gerakan 

cepat berhasil merangkul pinggang mereka lalu melompat membawa 

keduanya ke tempat yang aman, menjauhi tanah yang terbelah dan 

menyedot!

“Hik... hik... hik!” Tiba-tiba ada suara perempuan tertawa.

“Sahabatku, kau memang hebat! Dua Datuk itu harus berterima 

kasih padamu! Hik... hik... hik!”


LIMA


TIDAK menyangka ada orang yang akan menolong, selain merasa 

bersyukur, dua Datuk tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut 

mereka. Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang cepat 

lepaskan diri dari rangkulan orang yang menolong lalu berbalik. Mereka 

jadi sama-sama kernyitkan kening ketika melihat di depan mereka 

berdiri seorang pemuda berbaju dan bercelana galembong hitam, 

berambut panjang sebahu, mengenakan kopiah hitam.

Datuk Bandaro Putih hendak berkata menyampaikan rasa terima 

kasih namun mulutnya tertahan karena saat itutiba-tibaberkelebat 

seorang berpakaian putih dan di lain kejap telah berdiri di samping kiri 

pemuda gondrong berpakaian hitam. Rambut putih digulung di atas 

kepala, bagian belakang dibiarkan tergerai. Ketika menyeringai kelihatan 

barisan gigi yang dilapis perak. Dua tangan memulai di sisi, panjang 

hampir menyentuh tanah. Di balik punggung pakaian putihnya 

menyembul gagang sebilah pedang terbuat dari perak.

Dua Datuk tentu saja tercengang melihat kemunculan si nenek 

yang sangat mereka kenal. Ditambah lagi perempuan tua ini tadi 

menyeru si pemuda sebagai sahabat.

“Kamba Mancuang Tangan Menjulai!” tegur Datuk Kuning Nan 

Sabatang. “Tidak salahkah mata kami melihat? Benar kau ini, murid 

InyiekSusu Tigo yang berdiri di hadapan kami?!”

Si nenek tersenyum. Pantulan sinar matahari membuat gigi 

peraknya berkilau. Setelah terlebih dulu kedipkan mata nenek ini baru 

menjawab.

“Pandangan Datuk berdua tidak keliru. Mata kalian tidak salah 

lihat. Aku ini memang si Kamba Mancuang Tangan Menjulai.”

Walau kini merasa lega namun dua Datuk masih was-was.

“Kamba Mancuang, dan terutama kau anak muda berambut 

panjang, kami berterima kasih kau telah menyelamatkan kami dari 

serangan keji Datuk sesat itu!” berucap Datuk Bandaro Putih.

Si nenek menyeringai. Pemuda berambut panjang tersenyum 

sambil anggukkan kepala dan sedikit membungkuk. Kopiah di atas 

kepala diangkat. Saat itu Wiro mengenakan baju lengan panjang dan 

celana galembong hitam serta kopiah yang tidak lagi kekecilan 

pemberian si Kamba Mancuang.

Datuk Kuning Nan Sabatang lantas bertanya pada si nenek.

“Pemuda ini, benar dia sahabatmu?”

Si Kamba Mancuang anggukkan kepala lalu berkata, “Namanya 

Wiro Sableng. Dia berasal dari tanah Jawa...”

Pemuda di samping si nenek yang memang adalah pendekar 212 

Wiro Sableng tersenyum dan kembali membungkuk ke arah dua orang Datuk sambil kopiah hitam di atas kepala sekali lagi diangkat ke atas.

Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang sama-

sama saling pandang lalu berpaling kembali pada si nenek.

“Kamba Mancuang, kami mendengar kabar yang tidak sedap 

tentang dirimu. Mudah-mudahan ini tidak benar. Konon kau dan 

saudara kembarmu terlibat dalam satu komplotan sesat dengan 

beberapa orang asing. Akibat perbuatan kalian beberapa tokoh di negeri 

ini menemui ajal. Lalu pemuda sahabatmu ini dikabarkan menjadi salah 

seorang penyebab semua kerusuhan di negeri ini.”

Si nenek pencongkan mulut Dia menatap sebentar pada pemuda 

di sampingnya.

“Jelaskan saja Nek, biar kau tidak menjadi korban salah duga.” 

Berkata Wiro, “Kalau kau sudah bicara nanti ganti aku yang 

menjelaskan...”

Si Kamba Mancuang anggukkan kepala.

“Datuk berdua, sebagian ucapanmu mungkin benar. Tapi 

sekarang aku sudah tidak ada urusan lagi dengan segala macam 

komplotan yang kau sebut sesat itu. Selain itu saudara kembarku telah 

menemui ajal dibunuh manusia-manusia jahanam itu! Ini sudah cukup 

menjadi hukuman batin bagiku! Aku...”

Belum sempat Si Kamba Mancuang meneruskan ucapan tiba-tiba 

Datuk Marajo Sati yang sejak tadi memperhatikan maju selangkah 

sambil membentak keras.

“Tua bangka busuk bergigi perak! Tidak ada yang perlu kau 

jelaskan! Aku sudah tahu siapa dirimu. Kau bertanggung jawab atas 

kematian beberapa tokoh. Termasuk sahabatku Sutan Paduko Alam di 

pesisir barat. Lekas datang ke hadapanku! Berlutut minta ampun!”

Mendengar dirinya dimaki sebagai tua bangka busuk lalu diminta 

datang berlutut, karuan saja hati Si Kamba Mancuang menjadi panas. 

Dia sudah bicara polos tapi orang malah mencaci maki. Dalam 

marahnya si nenek akhirnya tertawa tergelak-gefak. Aneh juga! Puas 

tertawa dia gerakkan kaki melangkah ke arah Datuk Marajo Sati. 

Namun Wiro cepat menahan bahunya dan berbisik, “Nek, biar aku yang 

bicara,” Lalu murid Sinto Gendeng mendahului maju ke hadapan Datuk 

Marajo Sati.

“Datuk yang saya hormati, biarkan saya mewakili nenek 

sahabatku itu. Saya sudah datang ke hadapanmu. Apa yang hendak 

kau katakan. Apakah saya harus berlutut juga?!”

Sepasang mata Datuk Marajo Sati membeliak besar berkilat 

berapi-api, Sorban di kepala naik ke atas pertanda amarahnya meluap 

besar. Namun dia tersurutdan terkesiap ketika Wiro tiba-tiba mengambil 

tangan kanannya lalu mendekatkan ke hidung dan mencium tangan itu. 

Datuk Marajo Sati cepat-cepat menarik tangannya. Dulu ketika pertama 

kali menemui sang Datuk di dalam goa di Ngarai Sianok hal yang sama 

yaitu mencium tangannya juga dilakukan Wiro pertanda hatinya 

memang polos dan bersih tiada niat jahat. Namun jabat dan ciuman tangan itu tidak menyurutkan amarah Datuk Marajo Sati.

“Laki-laki berambut seperti perempuan! Jangan kau berpura-pura 

beradat bersopan santun! Berlagak sebagai Pandeka Gadang Mantiko 

Langek Kau lebih busuk dari nenek satu itu! Ingat sewaktu secara 

kurang ajar kau menyusup ke dalam goa kediamanku di Nagari Sianok? 

Saat itu aku telah memaafkanmu tapi dengan peringatan. Jika aku 

masih melihatmu berkeliaran di tanah Minang ini maka aku akan 

menganggapmu sebagai musuh yang harus dihabisi!” (Pandeka Gadang: 

Pendekar Besar) (Mantiko langek: Konyol kurang ajar)

“Datuk, saya dan nenek ini sengaja mencari Datuk untuk...” 

Sebenarnya Wiro hendak, menceritakan pertemuan dan pertarungannya 

dengan Tuanku Laras dan kawan-kawan di mana akhirnya manusia 

bermuka belang itu melarikan diri sambil memboyong seorang gadis 

Cina cantik jelita. Namun Wiro keburu dihardik sang Datuk.

“Tutup mulutmu! Jangan berpura-pura menunjukkan sikap 

bersahabat padaku! Barusan saja kau membela dua Datuk di sana yang 

hendak membunuhku!”

Sudah Datuk, biarkan saya dan nenek itu memberi penjelasan 

lebih dulu...”

“Pemuda bernama Wiro Sableng!” tiba-tiba Datuk Bandaro Putih 

berteriak, “Kau ini berada di pihak mana sebenarnya? Menolong kami 

tapi sekaligus coba berbaik-baik dengan Datuk pembunuh itu! Ular 

kepala dua kau rupanya!”

“Bukan cuma ular kepala dua! Tapi ular kepala dua belas!” Tiba-

tiba ada dua suara berteriak berbarengan.


ENAM


SESAAT kemudian di tempat itu telah berdiri satu sosok besar aneh. 

Ujudnya adalah dua pemuda bertubuh dempet di bagian punggung. 

Satu berkumis biru, yang satu lagi berkumis merah. Tubuh dempet itu 

mengenakan satu jubah besar berwarna merah gelap. Dua pemuda 

dempet ini diketahui berjuluk Tengku Mudo Sagalo Duo. Di tanah 

Minang selain dikenal

sebagai dua mahluk aneh yang punya ilmu kepandaian tinggi juga 

diketahui senang mengajak perempuan tua apa lagi muda untuk 

berbuat mesum. Mereka merasa mampu memberi kesenangan lebih 

karena memiliki bagian-bagian tubuh yang serba dua. Konon banyak 

perempuan yang memang gatal mencari pemuda ini untuk mendapatkan

pengalaman dan kepuasan. Ternyata jika sudah satu kali sempat

berhubungan perempuan itu akan tergila-gila dan mencari mereka. 

Kelebihan yang mereka miliki dipergunakan oleh Tengku Mudo Sagalo 

Duo untuk memperalat perempuan itu melakukan apa saja yang mereka 

inginkan. Salah seorang di antaranya adalah Niniek Panjalo yang 

kemudian menemui ajal di tangan Wiro. (Baca Episode sebelumnya 

berjudul “Mayat Kiriman di Rumah Gadang. “)

Kemunculan Tengku Mudo Sagalo Duo sebenarnya adalah 

mengejar Si Kamba Mancuang. Sejak pertama kali melihat si nenek 

keduanya sudah sama menaksir. Apa lagi mereka pernah mendengar 

satu rahasia perihal siapa sebenarnya murid Inyiek Susu Tigo ini. 

Namun mereka tidak menyangka kalau di tempat itu juga ada Pendekar 

212 yang sebelumnya telah sempat membuat mereka merasa jerih.

Karena sudah kepalang tanggung dan keburu terlihat Tengku 

Mudo Sagalo Duo tidak mungkin bersurut pergi begitu saja.

“Mahluk najis pengacau!” bentak Datuk Marajo Sati. “Urusan apa 

kau muncul di sini! Lekas menyingkir pergi!”

“Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo yang kami hormati,” pemuda 

dempet berkumis merah di sisi kanan berkata sambil bungkukkan 

badan hingga saudara dempetnya tertarik ke atas. Ketika bicara

kelihatan barisan gigi yang ternyata juga berwarna merah. Pemuda ini 

dipanggil orang dengan nama Sunguik Merah. Saudaranya yang 

berkumis dan bergigi biru bernama Sunguik Biru. (Sunguik: kumis)

“Kami berdua datang bukan untuk mengacau urusan Datuk. 

Mana berani kami melakukan. Kami justru datang untuk memperingan 

pekerjaan Datuk. Perihal pemuda berambut seperti padusi itu, dia 

memang pengacau sesat dari tanah Jawa yang harus dihabisi. Lalu 

Datuk harus pula menghadapi dua Datuk angkuh pandai memfitnah 

itu. Padahal mereka harus tunduk dan patuh terhadap Datuk. 

Bukankah mereka bawahan Datuk? Lalu ditambah satu lagi nenek bergigi perak murid inyiek Susu Tigo. Empat orang yang harus Datuk 

Lawan sekaligus. Kami tahu dengan ilmu Datuk yang tinggi mereka 

semua bisa saja Datuk pesiangi. Tapi bagaimana kalau nenek ini kami 

saja yang menghadapi. Berarti berkurang satu lawan Datuk bertarung. 

Selain itu kami diberi tugas oleh Tuanku Laras untuk mengambil 

pedang Al Kausar yang dicuri nenek ini. Kami diminta meringkusnya 

dan membawa ke hadapan Tuanku Laras Muko Balang!”

Datuk Badaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang sama-sama 

unjukkan wajah kaget mendengar disebutnya pedang Al Kausar, 

Datuk Marajo Sati sendiri sesaat terdiam mendengar ucapan 

Sunguik Merah itu. Kepala didongakkan tapi sepasang mata melirik ke 

arah belakang punggung Si Kamba Mancuang di mana tersembul 

sebilah gagang pedang terbuat dari perak yang sebenarnya sejak tadi 

sudah jadi perhatiannya. Dari bentuk gagang serta cahaya yang 

memancar dia maklum kalau senjata itu bukan pedang sembarangan. 

Menghadapi empat lawan sekaligus, dengan kemampuan yang dimiliki 

sebenarnya Datuk Marajo Sati sama sekali tidak menaruh rasa takut. 

Kalaupun dia menemui ajal paling tidak tiga orang lawan akan 

bersimbah darah!

Namun jika pedang yang ada pada si nenek benar pedang Al 

Kausar milik Tuanku Laras Muko Balang maka dia harus 

memperhitungkan keberadaan senjata yang kehebatannya sudah 

diketahui. Datuk Marajo Sati bukan pula orang yang pendek akal apa 

lagi tolol dan mau saja mendengar ucapan orang. Dia juga maklum apa 

maksud sebenarnya dari dua pemuda dempet itu hendak meringkus si 

nenek. Tak lain hendak berbuat mesum! Setelah terdiam sejurus maka 

sang Datuk berkata.

“Sunguik Merah, Sunguik Biru! Kalian berdua boleh melakukan 

apa saja terhadap nenek itu! Aku tidak perduli! Tapi lebih dulu katakan 

ke mana Tuanku Laras Muko Balang dan kawan-kawannya membawa

gadis Cina yang mereka culik!”

Tampang Datuk Bandaro Putih berkerenyut. Setengah berbisik dia 

berkata pada Datuk Kuning Nan Sabatang. “Hati dan otak Datuk Pucuk 

benar-benar sudah terpasung pada gadis Cina gendaknya itu. Orang 

bicara lain dia berucap lain.”

Sementara itu Wiro merasa heran dua pemuda dempet berkumis 

merah biru masih punya nyali datang ke tempat itu dan bicara sombong 

hendak meringkus Si Kamba Mancuang. Wiro cepat dekati si nenek dan 

berbisik.

“Nek, kalau dua pemuda dempet saling kentut ini berani muncul 

di sini, aku mengira ada sesuatu yang diandalkannya. Aku tidak yakin 

dia bisa membujuk Datuk Marajo Sati. Dugaanku mereka tidak datang 

cuma berdua. Pasti ada...”

“Dugaanmu kurasa betul. Lain daripada itu aku rasa mereka 

mengincar diriku...”Wiro miringkan mulut lalu tertawa, “Nek, kau jangan membuat 

aku cemburu...”

Si Kamba Mancuang tertawa cekikikan.

“Nek, kalau tiba saatnya akan aku gebuk hancur kepala dua 

pemuda itu atas bawah...!”

“Kalian berdua!” Di seberang sana Datuk Marajo Sati tiba-tiba 

membentak sambil delikkan mata ke arah dua pemuda dempet “Kalau 

tidak mau memberi tahu ke mana Tuanku Laras jahanam melarikan 

gadis Cina itu, aku akan sangat-sangat berbaik hati membelah tubuh 

kalian hingga tidak malakok lagi!” (malakok: dempet)

Enak saja Sunguik Biru menjawab, “Datuk, jika kau ingin tahu di 

mana gadis Cina itu berada bersama Tuanku Laras, tolong kau rampas 

dulu pedang Al Kausar dari nenek itu dan serahkan pada kami.”

“Palasik jahanam! Manusia mesum! Berani kau memerintahku!” 

teriak Datuk Marajo Sati marah luar biasa. (Palasik: di sini merupakan 

makian kemarahan. Arti sebenarnya adalah semacam mahluk yang 

kepalanya bisa tanggal dari leher lalu gentayangan mencari korban 

untuk dihisap darahnya) “Sudah saatnya mahluk najis macam kalian 

disingkirkan ke dalam neraka ke tujuh!”

Sepasang mata Datuk Marajo Sati memandang berkilat ke arah 

dua pemuda dempet. Dia berusaha membuat kedua orang ini tidak 

leluasa bergerak dengan ilmu Mengunci Gerak Tangan Pandangan Mata. 

Sementara itu Sorban Seribu Sakti di atas kepala Datuk Marajo Sati 

terbuka dari gulungannya. Tangan kanan sang Datuk cepat menyambar 

salah satu ujung sorban. Ujung yang lain dikebutkan ke udara dua kali 

berturut-turut. Inilah jurus sorban maut bernama Duo Kilek Manyemba 

Gunung Singgalang Merapil (Dua Kilat menyambar Gunung Singgalang 

Merapi)

“Taarr!Taarrr!”

Dua kilatan menyilaukan berkiblat di udara. Menyambar ke arah 

kepala dua pemuda dempet yang saat itu akibat pandangan mata yang 

memancarkan hawa sakti dari Datuk Marajo Sati membuat walau hanya 

sebentar dua kaki mereka bergetar dan terasa agak berat.

Wiro cepat melompat ke tengah kalangan sambil berseru.

“Datuk! Jika dua manusia najis ini tahu di mana gadis Cina itu 

berada, mengapa hendak dibunuh! Biar saya dan Si Kamba Mancuang 

mewakili Datuk untuk meringkus mereka dan mengorek keterangan!”

Pendekar 212 dorongkan dua telapak tangan melepas pukulan 

Tameng Sakti Menerpa Hujan dalam gerak jurus bernama Membuka 

Jendela Memanah Rembulan. Begitu angin pukulan saling bentrok 

dengan dua cahaya putih yang keluar dari ujung sorban Datuk Marajo 

Sati maka dess... dess! Wiro terjajar ke belakang. Ujung lengan baju 

hitamnya kepulkan asap. Tangan mulai dari ujung jari sampai ke bahu 

terasa kesemutan. Jari-jari tangan sampai ke telapak tampak membiru.Khawatir dalam keadaan seperti itu ada orang yang menyerang maka 

Wiro cepat jatuhkan diri ke tanah.

Datuk Marajo Sati sendiri berteriak marah ketika melihat 

bagaimana ujung sorban saktinya yang terkena sambaran angin 

pukulan Wiro terpental lalu lepas dari pegangan sementara ada hawa 

panas menjalar masuk ke dalam tubuh membuat dadanya berdenyut 

sakit. Dalam keadaan seperti itu dia tersentak kaget dan keluarkan 

seruan tertahan ketika menyaksikan bagaimana sambil jatuhkan diri ke 

tanah Wiro tarik ujung sorban putih hingga meleset dan bergulung 

melingkari kopiah hitam yang ada di atas kepalanya!

Walau yakin Wiro tidak cidera dan malah mampu 

mempermainkan sorban lawan namun ketika melihat Wiro menjatuhkan 

diri di tanah, Si Kamba Mancuang yang merasa khawatir, cepat cabut 

pedang Al Kausar dari balik punggung pakaian. Ternyata senjata yang 

tidak bersarung ini dibungkus dengan libatan kain putih. Sekali si 

nenek menyentakkan tangan maka libatan kain putih dengan cepat

bergulung membuka. Karena memang tidak akan dipergunakan untuk 

menyerang orang tapi sekedar melindungi Wiro, maka si nenek hanya 

berdiri berjaga-jaga di samping Pendekar 212. Justru di saat itu terjadi 

satu hal yang tidak terduga.

Dua pemuda dempet menjerit keras ketika dua ekor harimau 

kuning besar entah dari mana datangnya tahu-tahu telah melompat ke 

arah mereka. Harimau di sisi kanan langsung menyambar menggigit 

tangan kanan Sunguik Merah dan Sunguik Biru.

“Binatang jahanam! Mampuslah!” teriak Sunguik Merah sambil 

menghantamkan tangan kiri ke kepala harimau besar. Hal yang sama 

dilakukan oleh Sunguik Biru.

Sesaat lagi sebelum dua pukulan yang bisa membuat kepala dua 

harimau besar rengkah mengenai sasarannya tiba-tiba dua bayangan 

hitam berkelebat dari arah belakang. Keduanya langsung duduk di 

punggung dua harimau besar sambil salah satu tangan ditusukkan ke 

ubun-ubun Sunguik Merah dan Sunguik Biru. Ludah membusa dari 

mulut dua pemuda dempet ini. Tubuh mereka langsung tersentak kaku 

tak mampu bergerak. Hanya mulut yang masih bisa keluarkan teriakan-

teriakan keras. Dua harimau melesat makin tinggi ke udara. Di atas 

punggung harimau-harimau sakti ini duduk dua orang berpakaian dan 

berdestar hitam. Mereka bukan lain adalah Datuk Bandaro Putih dan 

Datuk Kuning Nan Sabatang


TUJUH


MENGETAHUI kalau apa yang terjadi adalah perbuatan Datuk Bandaro 

Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang, Sunguik Merah segera 

berteriak.

“Datuk berdua! Mengapa Datuk melakukan ini? Menganiaya kami! 

Apa salah kami?!” Pemuda bernama Sunguik Merah berteriak.

“Siapa yang menganiaya?! Kami hanya ingin membawamu 

berjalan-jalan barang sebentar!” Menyahuti Datuk Bandaro Putih sambil 

menyeringai, “Bukankah selama hidup baru sekali ini kalian terbang di 

udara? Sambil berjalan-jalan melihat keindahan nagari kami ingin 

bertanya. Kecuali kalau kalian Ingin cepat-cepat turun dengan cara 

terjun ke bawahi”

“Datuk berdua sudah gila rupanya!” Yang berteriak kini Sunguik 

Biru. “Kalau ingin bertanya mengapa menyiksa kami seperti ini?! 

Mengapa membawa kami terbang ke udara! Mengapa tidak bertanya di 

daratan saja?!”

Dua Datuk cuma tertawa. Datuk Kuning Nan Sabatang lalu 

berkata, “Dari bicara kalian tadi dengan Datuk Pucuk Marajo Sati 

rupanya kalian tahu di mana beradanya Tuanku Laras Muko Balang. 

Katakan kepada kami di mana manusia muka belang berbulu itu dan 

gadis culikannya berada!”

“Datuk berdua! Apakah menginginkan Tuanku Laras atau gadis 

Cina itu. Jangan-jangan Datuk berdua telah jatuh hati pula pada wajah 

yang cantik, kulit putih mulus dan tubuh elok montok...”

“Plaakkk!”

Datuk Bandaro Putih tampar pipi Sunguik Biru hingga sudut bibir 

sebelah kiri robek mengucurkan darah.

“Jangan berani bicara kurang ajar pada kami Datuk pimpinan 

Luhak!” kata Datuk Bandaro Putih. Tangan kanannya yang tadi 

menampar masih menggantung di udara dalam keadaan bergetar, siap 

untuk menampar kembali atau bahkan menjotos batok kepala Sunguik 

Biru

Melihat saudara dempetnya ditampar hingga luka Sunguik Merah 

merasa tidak senang lalu keluarkan ucapan menantang.

“Kalau kami tidak mau memberi tahu Datuk berdua mau berbuat 

apa?!”

Datuk Bandaro Putih siap hendak menghajar Sunguik Merah. 

Tapi Datuk Kuning Nan Sabatang memegang lengannya, berpaling pada 

Sunguik Merah lalu tertawa gelak-gelak.

“Jawabnya mudah saja. Aku akan perintahkan dua harimau 

melepas gigitan di tangan kalian. Kalian boleh bergembira terjun jatuh 

ke bawah. Coba kalian lihat apa yang ada di bawah sana!” Mendengar kata-kata Datuk Bandaro Putih dua pemuda berjuluk Tengku Mudo 

Sagalo Duo itu tukikkan pandangan ke bawah. Saat itu mereka berada 

di atas sebuah bukit batu hitam yang di puncaknya terdapat beberapa 

telaga. Dua pemuda dempet ini serta merta mengenali bukit itu. Mereka 

tahu pula kalau di setiap telaga dihuni oleh lusinan buaya besar yang 

kelaparan dan jarang bertemu manusia!

“Bukit Batu Lubuk Buaya!” teriak Sunguik Merah. Wajahnya dan 

wajah saudaranya yang sejak tadi sudah pucat kini jadi tambah tidak 

berdarah karena ketakutan setengah mati.

“Datuk berdua orang baik orang beragama. Mengapa hendak 

berbuat sekejam itu menjatuhkan kami ke bukit batu yang banyak 

buaya laparnya?!” ucap Sunguik Biru dengan suara bergetar.

“Mahluk bejat seperti kalian sebenarnya sudah lama harus 

disingkirkan dari muka bumi ini! Tapi siapa tahu kalian masih bisa 

berbuat kebajikan mengurangi dosa-dosa bejat kalian selama ini!” Kata 

Datuk Kuning Nan Sabatang.

“Dengar, kami tidak tahu di mana Tuanku Laras berada. Tadi 

kami hanya bicara membual mengharapkan Datuk Marajo Sati mau 

merampas pedang Al Kausar dari tangan si nenek.” Memberi tahu 

Sunguik Merah.

“Betul, sebenarnya kami memang tidak tahu di mana beradanya 

Tuanku Laras,” Sunguik Biru sambung ucapan Sunguik Merah.

Datuk Kuning Nan Sabatang tepuk pinggul kanan harimau yang 

ditunggangi. Binatang ini segera lepaskan gigitannya di tangan kanan 

Sunguik Merah. Tak ampun lagi sosok dua pemuda dempet itu berayun 

melayang menggantung ke bawah namun masih tertahan karena 

harimau yang ditunggangi Datuk Bandaro Putih masih menggigit lengan 

kanan Sunguik Biru. Kedua pemuda dempet itu menjerit-jerit 

ketakutan. Yang paling keras jeritannya Sunguik Biru karena luka 

gigitan harimau di lengannya semakin besar menguak.

“Datuk! Ampun! Jangan jatuhkan kami! Kami akan memberi tahu! 

Kami akan bicara! Tapi turunkan dulu kami ke tanah!” Sunguik Merah 

berseru. Bagian bawah jubahnya telah basah oleh air kencing yang tidak 

tertahankan lagi dan terpancar tak karuan.

“Kau hanya menipu!” teriak Datuk Bandaro Putih. Lalu membawa 

harimau tunggangannya melayang lebih tinggi.

“Demi Tuhan! Kami bersumpah!” teriak Sunguik Biru ketakutan 

setengah mati.

“Aha! Masih punya Tuhan kalian rupanya!” ucap Datuk Kuning 

Nan Sabatang. Lalu dia memberi isyarat pada Datuk Bandaro Putih. 

Harimau besar yang masih menggigit tangan kanan Sunguik Biru 

perlahan-lahan melayang turun ke bawah hingga akhirnya sampai di 

salah satu puncak bukit batu hitam, hanya dua langkah dari pinggiran 

sebuah jurang batu terjal sedalam hampir tiga puluh tombak. Di dasar 

jurang terdapat sebuah telaga dihuni banyak buaya besar berkulit coklat kehitaman yang sudah cukup lama tidak mengenyam makanan 

lezat apa lagi yang namanya tubuh manusia.

Sambil perhatikan lengan masing-masing yang luka dan 

berlumuran darah dua pemuda dempet itu menggerung kesakitan. Saat 

itu keduanya masih dalam keadaan tak mampu bergerak. Tanpa turun 

dari punggung harimau Datuk Bandaro Putih membentak.

“Sekarang beri tahu di mana beradanya Tuanku Laras Muko 

Balang atau kami lempar kalian ke dalam jurang...”

“Datuk berdua, sebenarnya... sebenarnya ada keperluan apa 

menanyakan keberadaan Tuanku Laras. Bukankah...”

Datuk Kuning Nan Sabatang jadi kesal. Dia majukan harimau 

tunggangan mendekati dua pemuda dempet lalu kaki kiri diangkat, 

diletakkan di atas dada Sunguik Merah, siap untuk menendang.

“Sunguik Merah! Jawab saja apa yang kami tanya. Kalau kau 

berani berpanjang mulut, jurang di dekat kalian cukup dalam. Sekali 

aku tendang dadamu, kau bersama saudara mesummu akan terpental 

masuk ke dalam jurang. Sampai di dasar kalian sudah berubah lumat. 

Kalau masih hidup, belasan buaya di dalam telaga siap menyantap 

kalian hingga tidak ada lagi yang tersisa dari tubuh kalian!”

“Jangan Datuk, jangan! Kami berdua mohon ampun dan kasihan. 

Apakah... apakah Datuk berdua tidak akan lebih dulu melepaskan ilmu 

yang membuat kami tak bisa bergerak ini?” Sunguik Biru berkata 

berhiba-hiba.

Dua Datuk mana mau percaya.

“Sekali lagi kau berpanjang bicara, kudongak kalian berdua 

masuk jurang!” hardik Datuk Kuning Nan Sabatang. Lalu kaki kirinya 

yang menempel di dada Sunguik Merah didorongkan sehingga dua sosok 

dempet itu terhuyung-huyung ke arah jurang, (dongak: tendang)

“OndeMakl Datuk! Tunggu! Jangan menendang!” teriak Sunguik 

Biru dengan muka pucat. Saat itu tubuhnya memang menghadap ke 

arah jurang hingga rasa takutnya bukan alang kepalang, nyawa serasa 

terbang. Lalu dia berkata pada saudara dempetnya. (OndeMak\: Aduh 

Ibu!)

“Sunguik Merah lekas kau beritahu pada Datuk. Aku belum mau 

mampus. Apa lagi mati bergulung jatuh ke dasar jurang batu, ditunggu 

buaya-buaya lapar!”

“Baik... baik... Aku akan bicara,” jawab Sunguik Merah. “Datuk 

berdua, sebenarnya kami tidak tahu pasti di mana saat ini beradanya 

Tuanku Laras. Ke mana dia membawa gadis Cina yang kabarnya pernah 

disekap Datuk Marajo Sati itu. Belum lama ini secara tak sengaja kami 

bertemu dengan Tuanku Laras. Dia menyuruh kami merampas pedang 

Al Kausar miliknya yang berada di tangan Si Kamba Mancuang...”

“Pedang Al Kausar bukan senjata sembarangan. Mengapa 

manusia muka belang itu mempercayai kalian untuk mendapatkannya 

kembali?” ucap Datuk Kuning Nan Sabatang.

“Dia sibuk mengurusi gadis Cina itu!” jawab Sunguik Biru.Dua Datuk saling pandang dan diam-diam sama bisa menerima 

penjelasan Sunguik Biru.

“Kalian berdua mau melakukan perintah Tuanku Laras. 

Mengapa?!” tanya Datuk Bandaro Putih. “Setahu kami selama ini kalian 

tidak punya hubungan dekat dengan dirinya.”

“Kami dijanji jika berhasil akan diberi satu batangan emas murni,” 

jawab Sunguik Merah.

“Kalian percaya?!” tanya Datuk Bandaro Putih.

“Tentu saja,” jawab Sunguik Merah. “Tuanku Laras 

memperlihatkan beberapa batang emas yang ada padanya!”

Dua Datuk kembali saling berpandangan. Ini satu hal yang baru 

bagi mereka. Dari mana Tuanku Laras mendapatkan batangan emas 

itu?

“Lalu bagaimana selanjutnya?” tanya Datuk Kuning Nan 

Sabatang.

“Jika pedang Al Kausar sudah didapat kami disuruh pergi ke 

Bukit Batu Patah, di bekas tempat berdirinya Istana lama Kerajaan 

Pagaruyung. Kami harus mengantarkan pada malam hari ketiga bulan 

baru. katanya dia akan menunggu di sana.”

“Mengapa di Bukit Batu Patah dan mengapa harus hari ketiga 

bulan baru?” tanya Datuk Bandaro Putih.

“Itu yang kami tidak tahu,” jawab Sunguik Merah pula.

Dua Datuk terdiam. Sejurus kemudian Datuk Kuning Nan 

Sabatang berkata, “Kami akan menyelidik. Jika ternyata kalian menipu 

umur kalian tidak akan lama. Sebelum bulan setengah lingkaran 

muncul di langit malam kalian sudah kami temui dan kami habisi!”

Selesai keluarkan ucapan dua Datuk siap menggebrak harimau 

masing-masing.

“Datuk! Tunggu! Bagaimana dengan kami?!” teriak Sunguik 

Merah. “Tubuh kami masih kaku tak bisa bergerak! Kami tidak mau 

mati tagang di tempat cilako ini!” (tagang: tegang/kaku) (cilako: celaka)

“Sebelum matahari tenggelam kalian berdua akan bebas dengan 

sendirinya!” jawab Datuk Bandaro Putih.

Belum sempat dua harimau besar melesat ke udara 

menerbangkan dua Datuk tiba-tiba dari dalam jurang terdengar suara 

menderu keras. Batu-batu di dinding jurang runtuh hancur berkeping-

keping, debu mengepul ke udara. Di lain kejap tiba-tiba satu sosok aneh 

yang tadinya melata melesat di dinding jurang kini berdiri di hadapan 

dua pemuda dempet!

Mahluk yang muncul ini sungguh dahsyat!



DELAPAN


SUNGUIK Merah dan Sunguik Biru walaupun berada dalam keadaan 

kaku tak mampu bergerak namun masih bisa merasakan bagaimana 

tubuh mereka menjadi bergetar dan tengkuk seperti diguyuraires!

Mahluk yang berdiri di hadapan mereka ujudnya setengah 

perempuan setengah buaya. Leher ke atas atau bagian kepala berbentuk 

kepala seekor buaya berkulit putih bermata biru. Di atas kening antara 

kedua mata melekat sebuah batu permata memancarkan cahaya hijau.

Dari leher ke bawah sosok mahluk ini tidak beda dengan sosok 

seorang perempuan muda bertubuh bagus dan elok menawari serta 

berkulit putih mulus. Keelokan dan keputihan ini terlihat jelas karena 

dari leher sampai ke pusar tubuh itu tidak tertutup apa-apa. Dari pusar 

ke bawah mahluk perempuan berkepala buaya putih ini mengenakan 

sehelai kain songket merah setinggi lutut hingga terlihat betisnya yang 

putih menawan.

Perempuan berkepala buaya ini memiliki dua tangan dan dua kaki 

tidak beda dengan manusia. Dalam ujud yang seperti itu tubuhnya 

menebar bau harum mewangi. Dua pemuda dempet sama menelan 

ludah. Mata menatap tak berkesip, tenggorokan turun naik. Ingatan 

mereka sekilas kembali pada masa beberapa waktu lalu.

Kemunculan sang mahluk membuat dua Datuk terkejut dan serta 

merta menahan gerakan harimau tunggangan yang hendak melesat 

terbang ke udara. Melirik ke arah kiri mereka melihat sepasang pemuda 

dempet pucat pasi tampang mereka, jelas menunjukkan ketakutan.

“Inyiek Ratu Buayo.” Sunguik Merah dan Sunguik Biru sama-

sama keluarkan suara bergetar. Kalau saja dua kaki mereka bisa 

digerakkan saat itu keduanya sebenarnya sudah memutuskan untuk 

menghambur lari lintang pukang! (Buayo: Buaya)

“Bagus!” tiba-tiba sosok perempuan muda berkepala buaya 

berucap. Suaranya menyerupai suara seorang gadis, sejuk dan lembut 

terdengar di telinga. Padahal kata-katanya cukup membuat bulu kuduk

orang yang mendengar jadi berdiri dingin!

“Dua Datuk Luhak sahabatku telah mengantarkan kalian berdua 

hingga aku tidak perlu susah-susah mencari. Tinggal mempesiangi saja! 

Hik... hik!”

Tengku Mudo Sagalo Duo terdiam. Lalu Singuik Merah walaupun 

nyali mulai leleh coba berkata menegur.

“Inyiek Ratu Buayo. Apakah kau baik-baik saja...?”

“Hmm... Jangan berpura-pura menegur berbasa-basi,” menjawab 

mahluk perempuan setengah telanjang berkepala buaya. “Banyak yang 

tidak baik dengan diri ini! Semua sebab ulah kalian berdua...”

“Inyiek,” Sunguik Biru berkata setengah berbisik. “Dua Datuk disebelah sana telah membuat kami tak bisa melangkah tak mampu 

menggerakkan tangan. Tolong Inyiek bebaskan kami...”

Inyiek Ratu Buayo dongakkan kepala lalu tertawa.

“Itu hanya satu hukuman kecil. Hukuman dariku jauh lebih 

besar!”

“Inyiek, kalau kami bisa bebas, kita bisa bersenang-senang 

kembali seperti dulu-dulu...”

“Bersenang-senang seperti dulu!” Inyeik Ratu Buayo mengulang 

ucapan Sunguik Merah. Batu permata hijau di keningnya bersinar 

terang. Sepasang mata yang biru pancarkan cahaya angker.

“Puan!” Tiba-tiba perempuan bertubuh perempuan bertubuh 

molek berkepala buaya itu meludah. Ludahnya bukan seperti manusia 

biasa meludah tapi seperti seorang manuang seember air! Ketika ludah 

itu mengenai satu gundukan batu, batu langsung membuih dan 

meleleh!

Datuk Bandaro Putih berpaling pada Datuk Kuning Nan Sabatang. 

“Ludah Hantu Buayo”, bisik Datuk Bandaro Putih menyebut ilmu Inyiek 

Ratu Buayo.

Menyaksikan sang Inyiek meludah seperti itu bertambah pucatlah 

wajah dua pemuda dempet. Kalau ludah tadi disemburkan ke kepala 

atau tubuh mereka dapat dibayangkan apa yang terjadi. Agaknya 

perempuan muda berkepala buaya itu tidak mungkin dibujuk apa lagi 

dirayu.

“Inyiek, kami berdua sebenarnya...”

“Tutup mulut! Jangan banyak bicara!” Mahluk kepala buaya 

membentak memotong ucapan Singuik Biru. “Culas penipu! Busuk bejat 

dan luar biasa mesum! Katamu hanya aku seorang yang jadi 

kekasihmu. Ternyata kalian berkeliaran ke mana-mana mengumbar 

nafsu! Bukan saja kalian sudah meniduri diriku tapi juga menipu 

mengambil harta perhiasan milikku! Kalaupun dua Datuk itu tidak 

membawa kalian kemari apa kalian mengira bisa lolos dari 

pembalasanku?”

Mendengar ucapan Inyiek Ratu Buayo dua Datuk jadi merasa 

jengah. Sebenarnya mereka ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu. 

Mereka tidak ingin mencampuri urusan orang sementara urusan sendiri 

belum selesai. Namun bagaimana pun juga mereka ingin pula 

mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Inyiek, kami bukan menipu. Bagaimanapun Inyiek tetap satu-

satunya kekasih kami sehidup semati di tanah Minang ini. Kami pergi 

hanya karena ada urusan...”

Mendengar kata-kata Sunguik Merah, perempuan muda berkepala 

buaya membuka mulut lebar-lebar hingga kelihatan bagian dalam 

mulutnya yang penuh dengan deretan gigi besar dan runcing 

mengerikan. Untuk beberapa saat gelak tawa angker menggema keluar 

dari mulut mahluk kepala buaya.

“Pergi selama enam bulan tidak kabar tidak berita! Sehidup

semati! Kalian yang hidup aku yang kalian buat mati jadi bangkai hidup! 

Satu-satunya kekasih di tanah Minang! Padahal puluhan perempuan 

sudah kalian gauli kalian tiduri! Hik... hik! Manusia-manusia mesum 

terkutuk, aku pula yang hendak kalian tipu! Kepalaku yang hendak 

kalian gadai!”

“Inyiek, kalau Inyiek mau mengambil kembali semua perhiasan 

yang pernah Inyiek berikan pada kami, kami akan segera lakukan. 

Malah akan kami tambah dengan apa yang kami miliki. Asal Inyiek mau 

melepas ilmu yang membuat kami tidak bisa bergerak.”

“Baik! Akan aku bebaskan kalian!” kata mahluk perempuan 

kepala harimau. Dua tangan disilang di atas dada. Lalu disentakkan 

dengan tiba-tiba.

“Wuutttt!”

Dari bagian tubuh sebelah belakang Inyiek Ratu Buayo mencuat 

keluar sebentuk ekor panjang besar, berwarna coklat kehitaman, 

bergerigi lentur namun lebih keras dari besi! Rupanya inilah ekor sang 

Inyiek!

Dua pemuda dempet yang dijuluki Tengku Mudo Sagalo Duo 

tersentak kaget.

“Inyiek Ratu! Mulai saat ini kita bisa bersama-sama lagi. Kami 

berjanji tidak akan pergi ke mana-mana. Kami tidak akan 

meninggalkanmu barang sepicingpun!” Sunguik Biru berseru ganti 

membujuk.

Inyiek Ratu Buayo tertawa panjang.

“Kalian berdua memang tidak akan pergi ke mana-mana!”

Habis keluarkan ucapan itu ekor di belakang tubuh Inyiek Ratu 

Buayo melesat menyambar ke bagian bawah tubuh dua pemuda dempet 

yang tertutup jubah. Ekor buaya yang walau kelihatan lentur tapi lebih 

keras dari besi itu menghantam dua pasang kaki. Terdengar suara 

berderak dibarengi jeritan dua pemuda dempet

Dua pasang kaki buntung bergeletakan di tanah. Kalau tadi dua 

pasang kaki itu tidak mampu bergerak kini dalam keadaan buntung 

tampak berkelojotan di atas bebatuan yang telah digenangi darah.

Bersamaan dengan itu tubuh Tengku Mudo Sagalo Duo roboh di 

atas batu lalu terguling masuk ke dalam jurang! Suara jeritan dua 

pemuda dempet itu menggelegar menggidikkan. Sunguik Merah masih 

mampu berteriak.

“Inyiek! Ampun kami! Tolong! Jangan sampai kami jatuh ke dasar 

jurang! Datuk! Tolong...!”

Lalu suara jeritan lenyap. Hening sesaat. Kemudian terdengar 

suara air telaga di dasar jurang membuncah. Belasan buaya lapar yang 

ada di tempat itu bersirebut cepat menyantap dua tubuh dempet.

Dua Datuk di atas punggung harimau sampai mengelus kuduk 

masing-masing saking tercekatnya.

“Dua Datuk penjaga negeri. Jika tidak ada sesuatu yang hendak kalian sampaikan aku merasa tak ada gunanya berada lebih lama di 

tempat ini.”

Datuk Bandaro Putih mengusap wajah beberapa kali. Lalu 

berkata. Mata tidak berani menatap ke arah tubuh yang setengah 

telanjang itu.

“Inyiek Ratu Buayo. Kami sudah lama mendengar riwayat dirimu. 

Beruntung sekali hari ini kami bisa bertemu. Kami ingin berterima kasih 

karena Inyiek telah mengerjakan apa yang sebelumnya menjadi niat 

kami.”

Kepala buaya Inyiek Ratu Buayo mengangguk. Matanya yang biru 

tampak redup. “Kematian mereka sudah nyata. Kematian diriku yang 

belum jelas. Padahal dosa ini sudah setinggi langit sedalam lautan...” 

Ucapan mahluk kepala buaya ini seolah menyesali nasib dirinya.

“Inyiek, Allah itu Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha 

Mengetahui dan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Jika Inyiek mau 

minta ampun dan bertobat pasti Allah akan mengampuni segala dosa 

Inyiek. Seberapapun besarnya...”

“Begitu...?” Kepala berbentuk kepala buaya itu mengangguk-

angguk. Lalu terdengar suaranya lirih. “Aku memang sudah lama 

melupakan Tuhan Seru Sekalian Alam...”

“Ada kalanya manusia memang bersifat seperti itu Inyiek, sering 

melupakan Tuhan,” kata Datuk Kuning Nan Sabatang. “Namun yang 

patut kita ketahui, Tuhan tidak pernah melupakan kita betapapun 

buruk ujud kita, betapapun besar dosa kita. Itulah kerohimannya 

Allah.”

Inyiek Ratu Buayo terdiam. Sepasang mata birunya semakin 

redup. Perlahan-lahan air mata jatuh bercucuran dari kedua mata itu.

Datuk Bandaro Putih menghela nafas dalam.

“Sahabatku Inyiek Ratu Buayo. Air mata adalah ungkapan hati 

nurani penuh kejujuran. Pertanda bahwa Inyiek sudah mendekatkan 

diri pada Allah Yang Maha Kuasa, pertanda bahwa Inyiek siap bahkan

saat ini mungkin sudah menyatakan bertobat...”

“Inyiek, mungkin Inyiek harus meninggalkan tempat ini. Mencoba 

hidup di tempat lain yang lebih baik...” berkata Datuk Kuning Nan 

Sabatang menyambung ucapan Datuk Bandaro Putih.

“Mungkin memang harus begitu. Tapi ke mana aku harus pergi. 

Bagaimana dengan anak-anakku? Lalu apakah orang mau menerima 

diriku dalam keadaan seperti ini...?”

Dua Datuk maklum apa yang dimaksud Inyiek Ratu Buayo 

dengan sebutan “anak-anak”. Tidak lain adalah puluhan ekor buaya 

yang ada di dasar jurang serta beberapa telaga yang terdapat di atas 

bukit batu.

“Inyiek, serahkan semua kepada Allah Yang Maha Kuasa dan 

Maha Mengetahui. Allah menciptakan dunia, Allah pula yang akan datanglah ke Luhak kami. Kami ada amalan baik. Inyiek akan langsung 

berhadapan dan memohon kepada Tuhan. Mudah-mudahan Inyiek bisa 

berubah ujud.”

“Datuk berdua, kalian baik sekali. Aku sangat berterimakasih. 

Sekarang mataku jadi lebih terbuka. Sesungguhnya begitu banyak orang 

buruk dan jahat di dunia ini, tapi rupanya masih lebih banyak mereka 

yang berhati putih dan bersifat baik seperti Datuk berdua. Bilakah 

Datuk berkenan menerima kedatanganku?”

“Secepat yang bisa Inyiek lakukan. Namun kalau bisa datanglah di 

penghujung bulan di muka...”

“Mengapa begitu lama sekali?” tanya mahluk perempuan muda 

kepala buaya.

“Karena saat ini kami tengah menghadapi satu urusan besar.” 

Datuk Bandaro Putih yang menjawab.

Inyiek Ratu Buayo terdiam lalu anggukkan kepala. Dia cukup 

tahu diri untuk tidak menanyakan apa urusan besar yang tengah 

dihadapi kedua Datuk tersebut.

“Aku benar-benar sangat berterima kasih pada Datuk berdua...”

“Kalau begitu mulai hari ini gantilah pakaian Inyiek. Tutupi aurat. 

Dan yang paling penting mulai melakukan sholat lima waktu...” kata 

Datuk Bandaro Putih pula.

Inyiek Ratu Buayo Putih rapatkan mulut, anggukkan kepala.

“Tapi ujudku yang seperti ini, lalu keningku yang tak mungkin 

sujud...”

Dua Datu k tersenyum mendengar kata-kata mahluk kepala 

buaya itu.

“Tuhan tidak pernah menolak sembah sujud umatnya. Sholat 

seseorang tidak ditentukan oleh baik atau buruk rupanya. Itulah 

Kebesaran Tuhan.”

Setelah membungkuk memberi penghormatan dan melambaikan 

tangan dua Datuk melesat ke udara di atas punggung harimau 

tunggangan masing masing.

Inyiek Ratu Buayo usapkan dua tangan di atas kepala. Sepasang 

mata biru yang berlinangan dipicingkan. Dalam hati dia berkata, “Tuhan 

rupanya memang masih sayang padaku. Dia telah mendatangkan dua 

Datuk itu, memberi jalan dan petunjuk. Terima kasih dua Datuk. 

Terima kasih Tuhan. Engkau memang Allah Yang Akbar...”


SEMBILAN


KITA kembali pada Datuk Marajo Sati. Sorban sakti yang bisa 

dipergunakan sebagai alat tumpangan pembawa terbang tak ada lagi. 

Harimau kuning belang hitam yang jadi binatang peliharaan dan bisa 

ditunggangi melayang di udara masih terbujur sakit di Ngarai Sianok 

akibat serangan racun Ilmu Santuang Panyasek yang dilancarkan 

Tuanku Laras Muko Balang (baca episode sebelumnya “Mayat Di Rumah 

gadang”)

Kerenanya Datuk Marajo Sati kini kerahkan ilmu lari yang selama 

ini jarang dipergunakan bernama Tabang Di Bumi Malayang DiLangiek 

(Terbang Di Bumi Melayang Dt Langit). Ketika langit di arah timur 

memancarkan cahaya merah kekuningan pertanda tak lama lagi sang 

surya akan tenggelam, di satu tempat sepi yang dirasakan aman yaitu di 

tepi satu anak sungai berair jernih dan dangkal, sang Datuk duduk di 

atas sebuah batu besar.

Sebuah benda yang sejak tadi diselipkan di pinggang dicabut 

dikeluarkan. Benda ini bukan lain adalah potongan bambu berlilit 

secarik kain putih yang merupakan Surat Perintah Sri Baginda Raja Di 

Pagaruyung. Sebagaimana diketahui Surat Perintah itu dibawa dan 

dilemparkan oleh Datuk Bandaro Putih hingga menancap di dinding 

batu dekat mulut goa. Walau sebelumnya tidak mau perduli dengan 

surat itu namun ketika berkelebat pergi Datuk Marajo Sati meng-

ambilnya dengan sambaran tangan kiri.

Di bawah terang cahaya merah kekuningan sinar matahari Datuk 

Marajo Sati buka gulungan kain putih yang melilit di batang bambu. Dia

berusaha menenangkan diri waktu membaca apa yang tertulis di atas 

kain itu walau dua tangan yang memegang Surat Perintah tampak 

sedikit bergetar.

Surat Perintah itu didahului dengan kata Basmallah ditulis dalam 

bahasa Melayu dan beraksara Arab Gundul.

Terhunjuk Datuk Pucuk, 

Datuk Marajo Sati

Datuk Pimpinan L uhak Nan Tigo

Berita buruk mengenai diri Datuk Pucuk telah tersiar dari mulut ke 

mulut dan telah pula dihembuskan angin sampai ke telinga kami di

singgasana Nagari Adat Bertuah, Kerajaan Pagaruyung.

Kebenaran harus di jejak diselidiki agar keadilan bisa ditegakkan. 

Jangan sampai karena seekor kerbau berkubang, sekandang kena 

lumpurnya. Jangan karena nilai setitik rusak susu sebelanga. Jangan 

pula karena perbuatan satu orang kutuk dan azab Allah jatuh menimpa seisi negeri.

Karena urusan ini sangat patut dirahasiakan sampai kebenaran terungkap maka kami memerintahkan agar Datuk Marajo Sati datang ke 

bekas Istana lama Kerajaan Pagaruyung di Bukit Batu Patah untuk 

memberi kesaksian pada utusan yang telah kami percaya. Waktunya 

malam hari bulan sabit malam ketiga.

Bilamana Datuk tidak bersalah maka Allah akan melindungi. Tetapi 

jika Datuk memang orang berdosa maka Datuk akan menjadi orang 

teraniaya. Hanya ampun dan tobat Datuk yang menyelamatkan Datuk. 

Tapi itu adalah Hukum Akhirat. Hukum Dunia tetap Datuk 

pertanggungjawabkan pada anak Nagari dan Kerajaan.

Semoga Allah melindungi dan memberi rakhmat pada kita semua. 

Amin.

Sri Baginda Raja Pagaruyung

Yang Dipertuan Raja Muning Alam Syah

Untuk beberapa saat lamanya Datuk Marajo Sati masih duduk di 

atas batu besar di pinggir batang air (sungai kecil) itu. Namun wajahnya 

tampak mengelam, tubuh meregang kaku dan bergetar.

“Kalau aku dijadikan orang yang teraniaya. Maka seluruh nagari 

akan aku buat sengsara! Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan 

Sabatang pasti manusia-manusianya yang berada di balik keluarnya 

Surat Perintah ini.” Dua tangan Datuk Marajo Sati yang masih 

memegang bambu dan kain putih Surat Perintah meremas gemas.

“Dess! Desss!”

Dari genggaman sang Datuk melesat keluar nyala api. Batangan 

bambu dan kain putih hancur dan musnah dilamun api. Bagian yang 

masih tersisa berupa arang dan debu dimasukkan ke dalam saku celana 

galembong hitam. Lalu kepala diangkat menatap ke langit.

“Malam ini bulan malam pertama munculnya bulan sabit. Berarti 

waktunya dua malam dari sekarang. Wahai Sri Baginda Raja di 

Pagaruyung. Aku insan tidak bersalah! Mengapa aku harus takut 

menghadapi perintahmu? Tuhan Seru Sekalian Alam. Kau Maha 

Mengetahui dan Maha Melihat!”

Perlahan-lahan Datuk Marajo Sati bangkit berdiri. Ternyata batu 

besar yang tadi didudukinya telah berubah ceguk dan hitam serta 

mengepulkan asap!

Itulah akibat hawa amarah yang keluar tanpa disadari sang 

Datuk!

KETIKA malam itu bulan sabit hari pertama muncul membayang 

putih di langit, seorang pemuda berpakaian biru gelap mengendap-

endap di balik sederetan pohon ambacang, tak jauh dari sebuah rumah 

besar bergonjong yang terletak di pinggiran timur Kota Gadang. Mata si 

pemuda menatap ke arah jendela di bagian depan rumah sebelah kanan 

yang disebut anjungan. Sewaktu bergerak hendak berpindah ke pohon 

ambacang di sebelah kanan, mendadak langkah pemuda tadi tertahan. 

Dada berdebar, wajah berubah pucat. Di hadapannya, hanya beberapa 

langkah saja ada sebuah kuburan terbuat dari batu pualam kelabu.Bulu kuduk si pemuda meregang dingin ketika telinganya tiba-tiba 

menangkap ada suara menyerupai orang menggembor ke luar dari 

kuburan.

Sambil membungkuk dan melangkah mundur pemuda itu susun 

sepuluh jari di atas kening seraya mulut berucap perlahan, suara 

bergetar.

“Datuk... Datuk Indomo... Saya Pakih Jauhari. Maafkan saya. 

Tiada maksud hendak mengganggu ketentraman Datuk di alam arwah. 

Saya datang dengan maksud baik. Kalau Datuk mengizinkan, kalau 

Tuhan meredhoi saya masih tetap ingin...”

Datuk Indromo adalah ayah kandung Gadih Putih Seruni yang 

telah meninggal dunia dan dikubur di halaman dekat rumah 

kediamannya. Konon lelaki ini menghembuskan nafas terakhir setelah 

terlebih dahulu mengalami sakit akibat rasa sakit hati yang tidak 

berkenan atas perkawinan anak perempuannya dengan Datuk Marajo 

Sati.

Ucapan terputus. Si pemuda ternyata adalah Pakih Jauhari bekas 

kekasih Gadih Putih Seruni yang kemudian diambil menjadi istri oleh 

Datuk Marajo Sati cepat merapat ke batang pohon besar di sebelahnya. 

Di halaman kiri rumah rumah besar berkelebat seorang bertubuh tinggi 

besar berpakaian serba hitam. Cepat sekali dia sudah berada di tangga 

samping rumah, naik ke atas dan tanpa kesulitan membuka pintu lalu 

menghilang masuk ke dalam rumah.

Di balik pohon Pakih Jauhari berulang kali berkata. “Aku yakin... 

Pasti dia... Tapi mengapa tidak memakai sorban. Kepala sulah 

tersingkap...”

Tidak menunggu lebih lama begitu sosok tinggi besar tadi masuk 

ke dalam rumah gadang, Pakih Jauhari segera berlari masuk ke dalam 

kolong. Tepat di bawah kamar ketiduran Gadih Putih Seruni, istri Datuk 

Marajo Sati yang dulu pernah menjadi kekasihnya dan sampai saat ini 

masih sangat dicintainya. Pemuda ini berusaha mencuri dengar 

pembicaraan di atas rumah, namun papan lantai terlalu tebal dan 

jaraknya terlalu jauh.

Sementara itu di dalam rumah gadang. Di atas pembaringan 

Gadih Putih Seruni yang sejak beberapa hari ini memang sulit tidur 

memicingkan mata palingkan kepala ke arah pintu ketika telinganya 

mendengar suara pintu dibuka orang. Pelita minyak di dalam kamar 

nyala apinya memang sengaja dikecilkan.

“Ibu...” Gadih Putih Seruni menyangka ibunya yang datang. 

Ternyata yang masuk ke dalam kamar adalah lelaki tinggi besar yang 

serta merta dikenalinya.

“Seruni, ini aku. Datuk Marajo Sati. Suamimu.”

Mendengar suara orang Gadih Putih Seruni segera turun dari 

tempat tidur. Dia hendak membesarkan nyala api pelita minyak tapi 

segera dicegah oleh Datuk Marajo Sati.

“Datuk...” Gadih Putih Seruni terduduk di tepi tempat tidur. Dua tangan memegang dada, wajah pucat merebak hendak menangis. Tapi 

dia masih bisa menahan dan keluarkan ucapan. “Datuk... Mengapa 

Datuk berkeadaan seperti ini. Datang tengah malam hari seperti 

sembunyi-sembunyi. Mana sorban Datuk...?”

Keadaan Datuk Marajo Sati saat itu memang tidak karuan rupa. 

Pakaian kotor berdebu, wajah kusut dan kepala yang hampir botak 

tidak tertutup sorban.

Datuk Marajo Sati cepat dekati istrinya, membelai rambut Gadih 

Putih Seruni lalu berkata.

“Aku mohon maaf, sekian lama tidak mengunjungimu. Sebagai 

suami dosaku terlalu besar...”

“Saya tidak memikirkan hal itu Datuk. Yang saya khawatirkan 

adalah diri dan keselamatan Datuk. Saya mendengar berita yang telah 

tersebar luas di seluruh nagari...”

“Aahh... Syukur kau sudah mengetahui hingga aku tidak perlu 

menceritakan apa yang telah terjadi. Tapi ada satu hal sangat perlu aku 

beritahukan. Semua cerita dan pergunjingan tentang diriku adalah 

fitnah belaka. Semua ini adalah perbuatan Pakih Jauhari, pemuda 

jahanam itu! Tidak bisa dia mendapatkan dirimu, aku yang dikerjainya! 

Bersaksi kepada Allah dan RasulNya, aku tidak pernah berbuat zinah 

dengan gadis Cina yang aku beri nama Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok 

itu! Demi Allah semua yang aku lakukan adalah untuk menolong 

semata. Dia dikejar dan hendak dibunuh orang yang datang 

memburunya dari daratan Cina, dibantu seorang tokoh silat dari Jawa 

serta beberapa tokoh silat di tanah Minang ini. Sekarang gadis itu entah 

di mana beradanya. Dibawa lari oleh Tuanku Laras dan kawan-

kawannya. Aku punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan jiwa 

dan kehormatannya. Istriku, apakah kau bisa mempercayai diriku...?”

“Datuk...” Gadih Putih Seruni tidak bisa meneruskan ucapannya. 

Dua tangan ditutupkan ke wajah lalu terdengar suara tangisnya 

sesenggukan.

“Istriku, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Raja di Pagaruyung 

telah mengeluarkan perintah akan mengadili diriku melalui seorang 

utusan. Hal itu akan dilakukan pada bulan sabit malam ketiga di Bukit 

Batu Patah, di bekas Istana Pagaruyung lama. Aku tidak gentar 

menghadapi semuanya...”

“Kalau Raja di Pagaruyung ingin menyidik mengapa tidak 

dikumpulkan orang cerdik pandai dan para ulama terkemuka se-nagari 

dan perkaranya digelar di Balairung secara terbuka?”

“Sri Baginda Maharaja agaknya masih bertenggang rasa. Tidak 

mau membuat perkara ini meruyak besar. Tapi sekali lagi aku katakan. 

Aku tidak gentar. Karena aku tidak membekal secuil dosa dan 

kesalahanpun. Bumi bisa berbalik. Ranah Minang ini bisa terjungkir 

dan keadilan bisa saja berbalik menjauhi diriku. Mungkin aku akan 

dipancung atau dibuang keluar rantau. Mungkin juga aku akan jadi 

korban pembunuhan gelap. Jika itu terjadi, tabahkan hatimu, dekatkan diri selalu pada Tuhan dan minta pertolongan serta perlindungan 

dariNya. Aku pergi sekarang...”

Sekali lagi Datuk Marajo Sati membelai rambut istrinya. Lalu dia 

membuka jendela dan memilih keluar dengan cara melompat lewat 

jendela itu daripada melalui pintu dari mana tadi dia masuk.

Gadih Putih Seruni tidak tahu berapa lama dia tegak tertegun di 

belakang jendela, memandang ke arah halaman samping yang gelap 

ketika tiba-tiba dia mendengar suara pintu kamar terbuka dan ada 

orang melangkah masuk. Kali ini pasti ibunya yang datang. Tapi ketika 

dia memutar tubuh dan melihat orang yang berdiri di hadapannya, berubahlah parasnya.


SEPULUH


“UDA...” Suara Gadih Putih Seruni bergetar begitu melihat pemuda yang 

tegak di hadapannya. Mata terbeliak memandang tak percaya. “Sungguh 

berani sekali Uda datang kemari...” (Uda: Kakak)

Pakih Jauhari tidak bergerak dari tempatnya tegak. Mulut 

kemudian berucap.

“Seruni, rupanya kau tidak senang aku datang mene-muimu?”

“Bukan begitu Uda. Saya senang melihat Uda datang, tidak 

kurang suatu apa. Datuk Marajo Sati baru saja datang ke sini. Baru saja 

pergi. Kalau sampai dia melihat Uda, Uda pasti akan dibunuhnya!”

“Aku sudah tahu. Aku melihat dia masuk ke rumah itu. Seruni, 

keadaan di I uar sana sudah sangat tegang. Raja di Pagaruyung 

kabarnya akan mengusut perkara memalukan yang dilakukan Datuk...”

“Datuk tadi memang bercerita begitu. Menurutnya semua ini 

gara-gara Uda. Uda katanya yang menebar fitnah...”

“Seruni, semua perbuatan Datuk Marajo Sati sudah diketahui 

orang senagari. Apa yang aku lakukan bukan fitnah tapi kenyataan. Di 

samping cintaku padamu yang tak mungkin hapus. Datuk Luhak Agam 

dan Datuk Luhak Lima Puluh Kota tengah mengejarnya. Raja di 

Pagaruyung telah pula turun tangan...”

“Sudahlah Uda, saya tidak mau mendengar cerita itu berpanjang 

lebar. Buruk atau baiknya Datuk adalah suami saya walaupun saya 

tidak pernah mencintainya. Sekarang katakan mengapa Uda datang 

malam-malam begini menyelinap menemui saya. Kalau selesai cerita 

Uda, lekas pergi. Saya takut Ibu terbangun dan masuk ke dalam kamar 

ini...”

“Seruni, aku gembira mendengar ucapanmu bahwa kau tidak 

mencintai Datuk Marajo Sati. Berarti diriku yang buruk ini masih ada 

tempat di dalam hatimu. Aku telah lama merencanakan sesuatu. Malam 

ini kurasa saat yang tepat untuk memberi tahu padamu. Empat hari di 

muka ada sebuah kapal barang akan berlayar ke tanah Jawa. Beberapa 

orang anak buah kapal adalah teman-temanku. Mereka bersedia 

membawa kita ke tanah Jawa. Sampai di tanah Jawa kita akan mencari 

usaha bagaimana caranya agar ada kadi atau orang tua yang bisa 

menikahkan kita.”

Sepasang bola mata Gadih Putih Seruni membesar. Menatap tak 

berkesip ke arah pemuda yang tegakdi hadapannya.

“Uda, saya memang tidak pernah mencintai Datuk Marajo Sati. 

Dan sampai saat ini kasih sayang saya pada Uda tidak pernah pudar. 

Tapi apa yang barusan Uda katakan sungguh tidak berani saya 

melakukan. Bagaimanapun juga saya adalah masih istri syah Datuk 

Marajo Sati. Dosa besar akan menghadang kita dan anak keturunan kita jika kita lakukan apa yang Uda rencanakan itu. Dosa kita akan jauh 

lebih besar dan lebih berat dari apa yang sekarang dituduhkan orang 

senagari ini terhadap Datuk... Seandainya saya ini belum menikah 

dengan Datuk, pergi kawin lari menurutkan kata hati tetap akan saya 

pikir dulu masak-masak. Saya tidak ingin memberi malu nama baik 

keluarga, mencoreng arang di kening. Menginjak adat melanggar ajaran 

agama. Saya tidak ingin arwah ayah saya menjadi tidak tenteram di 

alam baka...” Waktu bicara sepasang mata Seruni tampak berkaca-kaca 

dan dadanya turun naik.

“Seruni, aku tahu kau sedang bingung karena kedatangan Datuk 

tadi. Mungkin juga takut. Selama aku masih berada di dekatmu jangan 

pernah merasa takut Aku akan memberi waktu bagimu untuk berpikir. 

Jika kau menerima apa yang aku katakan, datanglah dua hari lagi ke 

bekas Istana Pagaruyung di Bukit Batu Patah. Datang malam hari, 

seorang diri. Aku akan menunggumu di sana. Di tempat itu ada seorang 

jalan Mamakku yang bertugas menjaga bekas Istana itu. Dia akan 

membantu kita sampai kita pergi ke pesisir barat untuk berlayar...” 

{jalan Mamak: masih Paman) “Maafkan saya Uda. Saya tidak berani 

melakukan hal itu...”

Pakih Jauhari melangkah mendekati Gadih Putih Seruni. 

Memeluk perempuan itu erat-erat lalu mencium keningnya.

“Kekasih buah hati, belahan jiwa pengarang jantung, kutunggu 

kau malam dua hari lagi. Di Bukit Batu Putih. Bekas Istana Kerajaan 

Pagaruyung di Gudam. Jangan kecewakan hati orang yang sangat 

mencintaimu ini. Besok pagi, aku akan menyuruh sahabatku si Leman 

menjemputmu dengan kereta. Perjalanan ke Bukit Batu Patah cukup 

Jauh...”

“Saya tidak mengerti...” bisik Gadih Putih Seruni.

“Apa yang tidak kau mengerti Seruni?”

“Mengapa harus dua malam lagi. Dan tempatnya musti di Bukit 

Batu Patah...?”

“Itu tempat yang paling aman. Memangnya ada apa Seruni...?”

Gadih Putih Seruni hanya menggelengkan kepala.

“Aku pergi sekarang Seruni. Jaga dirimu baik-baik...”

Ketika Pakih Jauhari telah keluar dari kamar itu baru Gadih Putih 

Seruni sadar.

“Seharusnya aku katakan padanya bahwa dua malam di muka 

Datuk Marajo Sati juga akan datang ke Bukit Batu Patah. Ah, mengapa 

mulut ini tak bisa bicara...” Apakah... apakah aku harus memenuhi 

permintaan pemuda itu. Apa yang akan terjadi jika nanti bertemu 

dengan Datuk Marajo Sati? Mungkin aku harus menyuruh seseorang 

menemui pemuda itu bahwa di malam yang sama Datuk Marajo juga 

akan ada di sana. Bisa-bisa Pakih Jauhari juga akan diadili dengan 

tuduhan penebar fitnah...” Gadih Putih Seruni telungkupkan badan di 

atas pembaringan. Malam itu dia tidak bisa memejamkan mata 

sepicingpun. Terhuyung-huyung dia baru turun dari suara Azan menggema untuk mengingatkan umat akan kewajiban bersembahyang 

Subuh. Dalam hati dia membatin.

“Tuhan, aku akan bersujud menghadapmu. Tolong ya Tuhan, 

lindungi kami semua. Beri saya ketabahan menghadapi segala cobaan 

ini...”

***

PEMBACA yang budiman. Saatnya kita kembali pada sang 

Pendekar 212 Wiro Sableng. Ketika Datuk Bandaro Putih dan Datuk 

Kuning Nan Sabatang menerbangkan Tengku Mudo Sagalo Duo, melesat 

ke udara dengan menunggang harimau sakti sementara Datuk Marajo 

Sati juga lenyap entah ke mana, maka murid Sinto Gendeng kini tinggal 

berdua dengan nenek Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.

Wiro memperhatikan dinding batu dekat mulut goa. Kain bersurat 

yang tergulung pada sebatang bambu dan menancap di dinding batu 

tidak kelihatan lagi. Wiro dan juga si nenek maklum kalau sebelum 

meninggalkan tempat itu Datuk Marajo Sati telah mengambil surat itu.

Sementara Wiro kemudian menatap ke langit memperhatikan dua 

harimau yang ditunggangi dua datuk melesat membawa terbang sosok 

dua pemuda dempet, si nenek sentakkan tangan kanan. Kain putih 

panjang melesat bergulung melibat pedang Al Kausar. Senjata itu 

disusupkan kembali ke balik punggung jubah putihnya.

Wiro masih terus menatap ke langit. Mulutnya berkata. “Tadinya 

kita datang ke sini untuk menjernihkan suasana. Bicara pada dua 

Datuk Luhak dan Datuk Pucuk. Siapa mengira kejadiannya bisa begini.”

Si nenek mengikuti arah pandangan Wiro lalu bertanya. 

“Menurutmu mengapa dua Datuk melarikan pemuda dempet itu? Lalu 

ke mana mereka hendak membawanya?”

Wiro angkat kopiah hitam yang dilingkari sorban, menggaruk 

kepala lalu menjawab.

“Aku punya dugaan begini Nek. Dua Datuk ingin mengorek 

keterangan dari dua pemuda dempet di mana beradanya Tuanku Laras. 

Jika tahu di mana manusia muka belang itu berada berarti di situ juga 

ada gadis Cina yang dijuluki Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok itu. 

Mungkin sekali dua Datuk ingin mengetahui langsung dari gadis itu apa 

benar Datuk Marajo Sati telah melakukan perbuatan mesum terhadap 

dirinya. Lalu dua Datuk sengaja menerbangkan dua pemuda dempet, 

menjauhkan dari Datuk Marajo agar Datuk Marajo tidak mendengar apa 

yang mereka bicarakan dan mengetahui di mana keberadaan gadis Cina 

itu...”

“Hemmm...” Si Kamba Mancuang tersenyum bergumam. “Otakmu 

encer juga...”

“Bukan cuma otaknya! Tempurung kepalanya juga akan aku buat 

encer seperti lilin disambar api!” Tiba-tiba satu suara garang menimpali ucapan si nenek.




SEBELAS


SI KAMBA Mancuang tersentak kaget. Pendekar 212 bersurut mundur 

sambil memegang sorban yang membungkus kopiah hitam dikepalanya.

“Oala! Pasti dia!” Ucap Wiro setengah berbisik pada Si Kamba 

Mancuang.

Sesaat kemudian di tempat itu muncul seorang bertubuh gemuk 

besar, tegak dengan kepala tertutup gulungan kain hitam menapak di 

tanah sementara dua kaki ke atas. Rambut, kumis dan janggut kasar 

menjulai. Dia hanya mengenakan celana hitam. Dada tertutup bulu 

lebat namun jelas kelihatan menonjol tiga buah puting susu. Sepuluh 

jari tangan yang mengenakan cincin batu aneka warna bergerak-gerak 

tiada henti. Dua telinga dicanteli anting-anting besar terbuat dari suasa. 

Sepasang mata yang besar memandang membehak ke arah Wiro dan si

nenek.

Tiba-tiba weettt! Tubuh besar gemuk itu bergerak. Kejap itu juga 

dia telah berdiri di atas dua kakinya.

“Inyiek! Guru!” seru Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai 

sementara murid Sinto Gendeng tertegun setengah melongo. Sambil 

dalam hati berkata. “Tewas aku! Guru nenek ini pasti akan melanjutkan 

niatnya membunuh diriku!”

Yang berdiri di hadapan Wiro dan Si Kamba Mancuang memang 

adalah tokoh silat paling ditakuti di ranah Minang yaitu Inyiek Susu 

Tigo yang sekaligus merupakan guru Si Kamba Mancuang.

“Kalian berdua! Mengingat apa yang telah kalian lakukan 

seharusnya aku bunuh kalian saat ini juga!” Inyiek Susu Tigo membuka 

mulut. “Tapi aku masih berbaik hati. Masih mau mengampuni.” Mata 

belok Inyiek Susu Tigo berputar menatap ke arah muridnya. “Kamba 

Mancuang! Serahkan padaku senjata curian yang terselip di 

punggungmu! Sesudah itu kalian berdua boleh pergi!”

“Inyiek, sebenarnya kami...”

“Pemuda gelandangan berambut seperti perempuan! Tutup 

mulutmu! Kau juga mencuri sorban milik Datuk Marajo Sati!” Inyiek 

Susu Tigo membentak Wiro ketika sang pendekar coba keluarkan 

ucapan.

Kamba Mancuang cepat menengahi. “Inyiek, jika Inyiek berjanji 

tidak akan mengapa-apa kami, denai siap menyerahkan senjata yang 

Inyiek minta. Senjata ini memang bukan milik denai...” Habis berkata 

begitu si nenek lalu cabut pedang Al Kausar yang terselip di balik 

pakaian punggung pakaian. Entah mengapa sebelum diserahkan, kain 

putih panjang yang membalut pedang terlebih dahulu dibuka oleh si 

nenek. Lalu pedang dalam keadaan telanjang itu baru diserahkan pada sang guru. Dengan cepat Inyiek Susu Tigo mengambil pedang lalu 

membentak.

“Kalian berdua lekas lindas hapus dari hadapanku! Jika di 

kemudian hari aku tahu kalian masih berbuat macam-macam akan aku 

jadikan kalian satu macam alias kucincang sampai lumat dengan 

pedang ini! Lekas pergi!” (lindas hapus: menyingkir pergi)

Si Kamba Mancuang memberi isyarat pada Wiro.

“Kami akan segera pergi Inyiek. Terima kasih Inyiek mengampuni 

kami berdua. Sebelum pergi apakah Inyiek juga inginkan sorban curian 

ini?” Wiro lalu buka gulungan sorban milik Datuk Marajo Sati yang 

melingkar di kopiah hitam di atas kepala.

Sang Inyiek menyambar sorban itu. Tapi bukan untuk diambil 

melainkan dibanting hingga amblas ke dalam tanah.

“Sorban bau seperti ini apa perlunya bagiku!” ucap Inyiek Susu 

Tigo. “Kalian berdua tunggu apa lagi?!”

Dibentak begitu rupa tidak banyak bicara lagi kedua orang itu 

segera berlalu dari hadapan Inyiek Susu Tigo. Namun tak berapa lama 

kemudian tiba-tiba Wiro hentikan lari.

“Nek, aku rasa ada sesuatu yang tidak beres!” kata Pendekar 212 

pula.

“Sudah, nanti saja kita bicara. Makin cepat dan makin jauh kita 

meninggalkan Inyiek makin baik...”

“Tunggu dulu Nek. Tidaklah kau melihat keganjilan pada diri 

gurumu?”

“Apa maksudmu Wiro?” tanya Si Kamba Mancuang.

“Pertama, seharusnya dia marah besar begitu melihat kita. Aku 

kabur dari dalam telaga. Kau ada bersamaku. Jelas kau berkhianat 

terhadapnya. Padahal niatnya semula jelas hendak membunuhku 

apapun yang terjadi...”

“Dia merasa pedang Al Kausar yang aku berikan padanya 

merupakan imbalan yang layak. Itu sebabnya dia tidak mengingat lagi 

hal itu...” berkata si nenek.

“Bisa jadi begitu,” sahut Wiro. “Tapi ada hal lain lagi. Mengapa 

gurumu tidak menanyakan pada kita di mana keberadaan si gendut 

Denok Tuba Biru. Padahal bukankah ia setengah mati jatuh hati pada 

gadis itu dan sudah menganggapnya sebagai istri? Kurasa gadis itu jauh 

lebih penting dari sebilah pedang. Gurumu bisa uring-uringan dan mati 

berdiri kalau tidak mendapatkan gadis berbulu ketiak panjang itu!” 

(Mengenai bagaimana Inyiek Susu Tigo tergila-gila pada Denok Tuba 

Biru baca serial sebelumnya berjudul “Fitnah Berdarah Di Tanah Agam”)

Si Kamba Mancuang termenung. Selagi dia berpikir-pikir sambil 

menggulung kain putih yang sebelumnya dibalutkan pada pedang Al 

Kausar Wiro tiba-tiba memegang lengannya.

“Nek, aku punya firasat buruk! Kita tidak tahu ke mana perginya 

gurumu. Tapi ada baiknya kita kembali ke tempat tadi dia mendatangi 

kita!”Si nenek tidak berkata apa-apa melainkan mengikuti saja ditarik 

dan dibawa lari oleh Pendekar 212. Sewaktu tak selang berapa lama 

mereka sampai ke tempat tadi mereka bertemu dengan Inyiek Susu Tigo, 

mereka masih melihat satu kenyataan yang mengejutkan walaupun 

kenyataan itu kemudian segera sirna.

Di tanah tampak kepingan-kepingan aneh tubuh manusia tanpa 

darah, seperti kepingan patung hancur. Lalu ada robekan kain-kain 

hitam dan hancuran sepuluh cincin berbatu. Hanya sekejapan 

kemudian semua benda dalam bentuk ratusan kepingan itu berubah 

menjadi asap lalu lenyap dari pemandangan!

“Ilmu Bayangan Menipu Matai” ucap Si Kamba Mancuang 

setengah berteriak dan wajah berubah.

“Tuanku Laras! Jahanam keparat!” Wiro menyumpah.

“Berarti tadi jejadiannya yang muncul menirukan ujud guruku! 

Kita tertipu Wiro!”

Wiro angkat kopiah hitam lalu garuk kepala habis-habisan. 

Kemudian dia berusaha membujuk si nenek.

“Sudahlah, tidak perlu terlalu dirisaukan. Pedang itu memang 

bukan milik kita.”

“Bukan soal milik siapa. Tapi jika Tuanku Laras bisa 

mendapatkan senjata itu kembali akan sulit bagi siapapun untuk 

menghadapinya!” kata si nenek pula.

“Nek aku percaya di atas langit masih ada langit lagi.”

Si nenek menatap ke langit.

“Heh, aku tidak mengerti apa maksud kata-katamu itu! Ayo coba 

kau terangkan!”

Wiro tersenyum lalu menjawab, “Artinya banyak perempuan 

cantik di negeri ini. Tapi yang paling cantik adalah dirimu!”

Si nenek terpekik. Tangan kiri dipukulkan ke dada Wiro. Wiro 

tertawa gelak-gelak. Mendadak si nenek terdiam. Parasnya yang tadi 

kemerahan kini berubah memutih. Dada berdebar dan dalam hati dia 

membatin. “Apakah... apakah dia mengetahui siapa diriku sebenarnya? 

Mungkin saudara kembarku Si Kamba Pesek pernah menerangkan atau 

keterlepasan bicara...?”

“Nek, apa yang harus kita lakukan sekarang...”

“Jangan bicara dulu. Aku tengah memikirkan sesuatu.”

“Kau tahu dirimu cantik. Apa lagi yang perlu dipikirkan?” Wiro 

kembali menggoda.

Si nenek angkat ke atas tangan kanannya yang memegang kain 

putih bekas pembungkus pedang Al Kausar. “Inyiek pernah memberikan 

ilmu untuk mengikuti sebuah benda yang ada di tempat jauh. Tapi aku 

tidak pernah mempergunakan. Aku juga tidak tahu apa bisa aku 

terapkan... Dengan kain putih ini aku bisa mengetahui di jurusan mana 

beradanya pedang Al Kausar karena sebelumnya kain ini telah 

bersentuhan dengan senjata itu!”

“Hebat!” Puji Wiro. Pinggang si nenek dipeluk lalu tubuhnya diangkat tinggi-tinggi ke atas.

Si nenek tidak berusaha menurunkan diri ke tanah. Dia berkata, 

“Tapi butuh waktu. Paling tidak lebih dari satu hari satu malam.”

“Kalau begitu lakukan sekarang! Kita cari tempat yang baik.”

Wiro turunkan Si Kamba Mancuang ke tanah. Begitu diturunkan 

dia langsung mencium pipi dan leher berulang-ulang hingga si nenek 

terpekik kegelian. Di saat itu, seperti yang pernah dialami sebelumnya 

walau sekilas Wiro kembali melihat perubahan pada wajah dan raut 

tubuh si nenek.

“Seperti dulu, paras dan tubuhnya berubah jika aku peluk dan 

aku cium. Berarti jika ada rangsangan... Kalau nenek ini sebangsa 

mahluk jejadian, bisa-bisa aku celaka di kemudian hari...”

“Wiro, kau keterlaluan. Kalau ada orang yang melihat...” Si nenek 

berkata sambil palingkan wajah ke arah lain, tak berani menatap sang 

pemuda.

“Bukan aku yang keterlaluan Nek.”

“Lalu siapa?”

“Langit!” jawab murid Sinto Gendeng lalu tertawa gelak-gelak.

Si nenek kernyitkan hidung dan selanjutnya hanya bisa mengulum senyum.



DUA BELAS


BUKIT Batu Patah di Gudam. Merupakan sebuah bukit yang dianggap 

keramat karena di sinilah dulu berdirinya satu bangunan besar yang 

disebut Rumah Gadang Nan Sambilan Ruang, yakni Istana pertama 

Kerajaan Pagaruyung. Konon sampai bukit ini diberi nama Bukit Batu 

Patah dikarenakan di salah satu lerengnya terdapat dua buah batu 

besar dalam keadaan terpisah seperti patah dan menurut cerita dulunya 

utuh bersambung menyatu. Meski telah lama ditinggalkan namun bekas

bangunan istana itu masih dipelihara dan dijaga oleh seorang lelaki tua 

bekas perajurit Kerajaan.

Matahari belum tenggelam langit masih benderang dan tentu saja 

bulan sabit hari ketiga masih jauh dari saat kemunculannya. Dari arah 

kaki bukit seorang berpakaian dan berikat kepala biru memacu kuda ke 

lereng bukit. Kuda yang sudah berlari kencang itu masih dicambuk 

dengan tali kecil agar berlari lebih kencang, agar sampai lebih cepat ke 

tujuan yakni bukan lain bangunan bekas Istana di lereng bukit sebelah 

timur.

Orang di atas kuda adalah Pakih Jauhari. Sesuai pintanya pada 

Gadih Putih Seruni yang merupakan istri Datuk Marajo Sati si pemuda 

akan menunggu kedatangan kekasihnya itu di bekas bangunan Istana. 

Dia khawatir terlambat datang. Namun ketika sampai di lereng bukit 

sebelah timur dia tidak melihat kereta atau pedati. Berarti dia tidak 

terlambat. Sang kekasih belum sampai. Mudah-mudahan masih dalam 

perjalanan dan akan segera datang.

Begitu melompat turun dari kuda, tanpa menambatkan binatang 

itu lebih dulu Pakih Jauhari langsung menaiki tangga di samping kanan 

bangunan. Sampai di atas rumah dia berteriak memanggil.

“Mamakl Mamak Jambek! Saya Pakih sudah datang. Di mana 

Mamak?” (Mamak: Paman)

Tak ada orang di dalam rumah besar yang lantai dan dinding 

papannya sudah mulai lapuk. Tak ada suara jawaban. Pakih Jauhari 

memeriksa di sembilan ruangan namun sang paman tidak ditemukan. 

Akhirnya pemuda ini keluar dari rumah, turun ke halaman. Dia mencari 

ke sumur besar dihalaman belakang, memeriksa sekitar bangunan 

tempat tabuh diletakkan (tabuh: beduk) sang Paman masih belum 

ditemukan. Pakih Jauhari pindah ke halaman depan rumah besar di 

mana terdapat tiga buah rangkiang. (rangkiang = tempat 

penyimpanan/lumbung padi) Sementara itu cahaya sang surya mulai 

meredup pertanda akan segera masuk ke ufuk tenggelamnya. Rangkiang 

pertama dilewati, begitu juga rangkiang kedua. Ketika Pakih Jauhari 

bergerak ke rangkiang ketiga di paling ujung kiri darahnya tersirap.

Di bawah kolong rangkiang Pakih Jauhari melihat satu sosok tergeletak. Pemuda ini segera berlari mendekati dan berteriak keras 

ketika mengenali sosok itu adalah sosok paman yang tengah dicarinya. 

Lelaki yang telah berusia hampir tujuh puluh tahun ini tergeletak 

dengan mata nyalang menatap ke langit. Baju putih lengan panjang 

tampak robek besar dan basah merah oleh darah! Di bawah robekan 

baju yaitu di bagian dada melintang satu luka memanjang.

“Paman Jambek! Apa yang terjadi! Siapa yang melakukan 

perbuatan kejam ini!” Pakih Jauhari jatuhkan diri ke tanah, cepat 

meletakkan kepala pamannya di atas paha dan kembali berteriak. Mulut 

orang tua yang sejak tadi terkancing membuka sedikit. Suaranya antara 

terdengar dan tiada ketika menyebut nama Allah.

“Allahu Akbar... La llla... haillallah. Mataku kabur, aku tidak bisa 

melihat. Tapi aku mengenali suaramu. Pakih Jauhari anakku, benar 

kau yang datang?”

“Benar mamak, ini saya Pakih Jauhari...” jawab si pemuda.

“Katakan apa yang terjadi. Siapa...”

“Pakih... si... siang tadi ada or... orang datang. Mukanya berbulu 

putih dan hitam. Dia... dia memaksaku menunjukkan di mana satu... 

satu pet... pti emas disembunyL. kan. Aku tidak tahu perihal emas yang 

dikatakannya. Dia berkata ada orang me... menyimpan satu peti emas di 

sini. Aku pasti tahu. Aku tidak tahu. Aku tidak bL. bisa menjawab. Di...

dia tidak percaya. Dia lalu meng... aniaya diriku. Aku melawan. Ilmu 

silatnya tinggi... tinggi sekali. Terakhir sekali dia menca... but sebilah 

pedang...”

“Mamak, beritahu pada saya siapa adanya orang itu...”

Sepasang mata Mamak Jambek yang menatap nyalang tampak 

memudar.

“Aku tidak tahu Pakih. Dia mengenakan destar dan pakaian hit... 

am. Dia membawa sebilah pe... pedang sakti terbuat dari perak. Dia... 

Pakih, saatnya sudah dekat...”

“Mamak... apakah Seruni sudah datang ke sini...?”

Mulut sang paman hanya terbuka menganga. Tak ada lagi suara 

yang keluar. Pakih Jauhari menggerung keras.

“Pembunuh durjana! Akan kucari kau sampai dapat! Akan aku 

bunuh! Akan aku cincang!”

“Anak muda bermulut besar. Aku pembunuh Mamakmu sudah 

ada di sini! Aku mau lihat bagaimana caramu mencincang diriku!”

Tiba-tiba ada yang bicara. Pakih Jauhari kaget luar biasa. Ketika 

berpaling dia melihat lelaki tinggi besar berdestardan berpakaian hitam. 

Wajahnya tertutup bulu. Bulu hitam di sebelah kanan, bulu putih di 

sebelah kiri.

“Kau! Kau pasti Tuanku Laras Muko Balang! Manusia durjana!” 

Pakih Jauhari berteriak marah.

Kepala paman yang dipangku diletakkan di tanah lalu Pakih 

Jauhari melompat. Secepat kilat tangannya menyambar ke arah 

pinggang orang di depannya. Maksudnya hendak merampas pedang AlKausar yang tergantung di pinggang orang. Namun sambaran si pemuda 

yang hanya berbekal silat kampung dengan mudah dapat dihindari dan 

sebaliknya dia harus menerima satu jotosan dari lawan yang memang 

Tuanku Laras Muko Balang adanya.

Pakih Jauhari mengeluh kesakitan. Darah mengucur dari hidung 

yang dihantam pukulan. Selagi dia terhuyung-huyung, Tuanku Laras 

Muko Balang sudah mencekik lehernya lalu tubuh pemuda ini diangkat 

tinggi-tinggi ke udara.

“Kalau Mamakmu tidak tahu di mana peti berisi emas itu 

disembunyikan, kau pasti tahu! Lekas bicara!”

Sepasang mata Pakih Jauhari membeliak besar. Mulut ternganga 

dan lidah terjulur. Nafas megap-megap sementara darah masih meleleh 

keluar dari hidung. Kepala berusaha digeleng-geleng pertanda dia juga 

tidak tahu mengenai peti berisi emas yang ditanyakan.

“Brukkk!”

Tuanku Laras Muko Balang bantingkan pemuda itu ke tanah.

Untuk beberapa lama Pakih Jauhari terkapar nanar. Sekujur 

tulang di bagian belakang tubuhnya seolah remuk. Ketika dia berusaha 

bangkit dan duduk di tanah tahu-tahu ujung pedang yang runcing 

sudah menempel di tenggorokan.

“Aku memberi kesempatan sekali lagi padamu! Ada orang 

menyembunyikan satu peti emas di bekas bangunan Istana. Mungkin 

juga dikubur di halaman sekitar bangunan. Kau pasti tahu dan mau 

mengatakan. Atau nasibmu akan sama celaka seperti Mamakmu!”

Muka pucat Pakih Jauhari, basah oleh keringat ketakutan. 

Tenggorokan dan dada turun naik. Mata mendelik.

“Ampun, ambo tidak tahu. Ambo...!” (Ambo: Saya)

“Pemuda keparat! Susul Mamakmu di narako!”

Tangan Tuanku Laras Muko Balang yang memegang gagang 

pedang Al Kausar bergerak.

Saat itulah tiba-tiba berkelebat tiga bayangan. Salah seorang 

diantaranya berseru.

“Tuanku Laras! Jangan bunuh pemuda itu! Seperti pamannya dia 

memang tidak tahu apa-apa tentang peti emas itu!”

Tuanku Laras Muko Balang terkesiap sebentar. Perlahan-lahan 

dia tarik pedang Al Kausar lalu berpaling. Mulutnya menyerukan 

seringai pencong.

“Bagus! Sekarang aku bicara dengan manusia-manusia yang tahu 

betul di mana beradanya peti berisi emas itu!” Mulut Tuanku Laras 

Muko Balang berucap. Kaki kiri bergerak menendang.

“Bukk!”

Pakih Jauhari terpental muntah darah. Terguling di tanah. Megap-

megap antara sadar dan pingsan.

Sementara itu udara mulai agak gelap. Di langit bulan sabit 

malam ketiga telah muncul memperlihatkan diri



TIGA BELAS


TIGA orang yang muncul di halaman bekas Istana lama Kerajaan 

Pagaruyung adalah Ki Bonang Talang Ijo yang kini tidak lagi 

mengenakan blangkon hijau, Perwira Muda Teng Sien dan Pandeka 

Bumi Langit Dari Sumanik.

Setelah Tuanku Laras kabur meninggalkan mereka begitu saja 

sambil membawa gadis Cina Chia Swie

Kim alias Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok, ke tiga orang itu 

berunding apa yang akan mereka lakukan.

Secara berbisik-bisik Ki Bonang mengusulkan pada Teng Sien 

agar mereka segera menuju ke bangunan Istana lama di Bukit Batu 

Patah di mana sebelumnya satu peti emas telah disembunyikan. 

Sebaliknya Teng Sien yang tidak pedulikan benda berharga itu merasa 

lebih penting mendahulukan mencari dan menemukan Chia Swie Kim. 

Setelah Pandeka Bumi Langit diajak ikut berunding akhirnya ke tiga 

orang itu sepakat akan melakukan perjalanan ke Bukit Batu Patah 

sembari di tengah jalan menyelidiki mencari jejak Tuanku Laras Muko 

Balang. Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik membawa kedua orang itu

ke beberapa tempat yang diduga kemungkinan berada dan 

bersembunyinya Tuanku Laras. Namun dua hari berlalu tanpa hasil. 

Karena sudah berada cukup dekat dengan Bukit Batu Patah akhirnya 

Teng Sien menyetujui usul Ki Bonang untuk segera saja lebih dulu 

memeriksa keberadaan satu peti emas yang disembunyikan sebelumnya 

di tempat itu, Mereka sampai di permulaan malam.

Ketika tiba di bekas bangunan Istana lama Kerajaan Pagaruyung, 

kejut Ki Bonang dan Perwira Muda Teng Sien bukan alang kepalang 

melihat Tuanku Laras Muko Balang berada di tempat itu.

“Dia membunuh Jambek Magang penjaga bangunan Istana. 

Sekarang hendak membunuh pula kemenakannya. Heran, dari mana 

dia mengetahui kalau emas yang satu peti itu disembunyikan di 

kawasan ini?” bisik Ki Bonang pada Teng Sien.

“Rahasia bisa saja bocor,” jawab Teng Sien. “Saat ini aku ingin 

sekali menabas batang lehernya,” jawab Teng Sien. “Tapi dia datang 

sendirian. Di mana dia meninggalkan Chia Swie Kim? Celaka besar 

kalau dia telah membunuh gadis itu.”

“Tuanku Laras tidak akan membunuh gadis itu. Karena dia ingin 

memperistrikannya. Dia pasti menyembunyikan di satu tempat,” jawab 

Ki Bonang.

Di samping kedua orang itu Pandeka Bumi Langit berkata, “Ki 

Bonang kita harus menyelamatkan pemuda itu. Dia hendak dibunuh 

padahal tidak punya kesalahan.”

Maka ketiga orang itu melompat ke hadapan Tuanku Laras sambil Ki Bonang mengeluarkan seruan agar Tuanku Laras tidak membunuh 

Pakih Jauhari.

Seruan Ki Bonang disambut Tuanku Laras dengan seringai 

pencong disusul ucapan.

“Bagus! Sekarang aku bicara dengan manusia-manusia yang tahu 

betul di mana beradanya peti berisi emas itu!”

“Tuanku Laras. Mengenai emas itu pasti akan menjadi bagian kita 

bersama jika gadis Cina itu sudah diserahkan pada Perwira Muda ini. 

Kami tidak punya maksud untuk menipu Tuanku Laras. Kecuali jika 

Tuanku Laras berniat serakah hendak memilikinya sendiri!” Menjawab 

Ki Bonang.

“Kepalamu yang hancur, matamu yang remuk pasti membuat 

telingamu telah menjadi tuli! Ki Bonang! Apa kau tidak mendengar?! 

Berapa kali sudah kukatakan. Emas itu lebih dulu baru gadis Cina aku 

serahkan!”

Teng Sien geleng-gelengkan kepala. Tangan kanannya diletakkan 

di gagang golok besar yang terselip di pinggang. Dalam bahasa Cina dia 

berkata pada Ki Bonang. “Aku tidak percaya monyet muka belang ini. 

Aku ingin membunuh manusia satu ini sekarang juga!”

“Sabar perwira. Kita harus mencari upaya yang terbaik agar Chia 

Swie Kim selamat, kau mendapatkan Kupu Kupu Giok dan emas itu 

tidak diserakahi jahanam itu seorang diri”. Habis membujuk sang 

perwira Muda Teng Sien Ki Bonang lalu berkata pada Tuanku Laras 

Muko Balang. “Tuanku Laras, apapun yang terjadi di antara kita 

sebaiknya dilupakan dulu. Dalam perjalanan ke sini kami melihat ada 

sebuah kereta dikawal oleh prajurit Kerajaan Pagaruyung dari Istana 

Baso. Pasti sekali mereka tengah menuju ke sini. Ada gerakan apa...”

“Setan atau iblis sekalipun yang datang berkereta ke tempat ini 

apa perduliku!” Bentak Tuanku Laras memotong ucapan Ki Bonang.

“Kalau begitu silang sengketa antara kita tidak bisa lagi dihindari! 

Kalau hidup, hidup bersama. Kalau mati, mati semua!”

Tuanku Laras tertawa gelak-gelak. Dia menunjuk ke arah Pandeka 

Bumi Langit Dari Sumanik lalu keluarkan ucapan.

“Pandeka! Kau berada di pihak mana?! Jika berada di pihakku 

lekas berdiri di sebelahku! Bunuh kedua jahanam ini!”

Pandeka Bumi Langit tertawa.

“Ketika di gua di Bukit Siangok kau menyangka aku tertidur 

pulas. Padahal aku mendengar semua pembicaraanmu dengan Ki 

Bonang. Saat itu kau berkata bahwa untukku cukup tambahan satu 

batang emas saja. Jika aku menolak maka kau juga akan menghabisi 

diriku sebagaimana kau hendak membunuh Perwira Cina itu! Apakah 

Tuanku Laras masih perlu bertanya di pihak mana aku berada?!”

Tuanku Laras pencongkan mulut.

“Orang bodoh memang lebih baik memilih mampus lebih dulu!” 

Sambil berucap Tuanku Laras Muko Balang berkelebat ke arah Pandeka 

Bumi Langit Dari Sumanik. Pedang Al Kausar di tangan kanan menderu ganas. Cahaya putih berkiblat di udara yang temaram.

Dengan gerakan cepat Pandeka Bumi Langit melompat mundur. 

Sambil melompat dia loloskan kain sarung yang menyilang di bahu. 

Ketika lawan lancarkan serangan jurus kedua Pandeka Bumi Langit 

kebutkan kain sarung ke udara. Selagi kain sarung membuntal berputar 

mengeluarkan suara bergemuruh disertai sapuan angin deras, Pandeka 

Bumi Langit membungkuk dan kaki kanan menyapu menyambar tulang 

kering kaki kiri Tuanku Laras. Inilah jurus yang disebut Kincir Berputar 

Alu Menumbuk. “Brett... breett!”

Kain sarung robek besar. Tuanku Laras berseru kaget ketika kaki 

kanan lawan masih sempat menepis kaki kirinya hingga tubuhnya 

sedikit terhuyung. Melihat Tuanku Laras agak hilang keseimbangan 

dengan nekat Pandeka Bumi Langit menyerbu dengan ilmu silat 

sitaralak dalam jurus bernama Bumi Dibawah Langit Diatas. Tangan kiri 

berkelebat ke arah dagu sedang tangan kanan menghantam ke bagian 

perut. Kalau dua serangan itu sempat mengenai sasaran maka dagu 

Tuanku Laras akan remuk, tulang leher bergeser dan di sebelah bawah 

perut bisa terbongkar!

Kenekatan Pandeka Bumi Langit membuat dia lupa bahwa lawan 

yang dihadapinya adalah seorang tokoh silat besar dengan ketinggian 

ilmu hampir dua tingkat di atasnya. Itu jika Tuanku Laras 

mengandalkan tangan kosong. Namun saat itu dia menggenggam 

pedang sakti Al Kausar yang membuat tingkat kehebatannya menjadi 

lebih dari dua kali dari kehebatan Pandeka Bumi Langit. Sebelum dua 

pukulan sitaralak sempat menyentuh dagu dan perut Tuanku Laras, 

seperti memiliki mata pedang Al Kausar bergerak aneh, menebas ke 

arah dua tangan lawan. Kalaupun Pandeka Bumi Langit sanggup 

mengelak maka tetap saja salah satu tangannya akan kena ditebas 

putus!

Ki Bonang berseru tegang, Perwira Teng Sien yang memang sudah 

sangat jengkel dan benci terhadap Tuanku Laras Muko Balang segera 

cabut golok besar di pinggang lalu secepat kilat dilempar ke arah orang 

yang mukanya ditumbuhi bulu hitam putih itu.

“Aha! Sekarang ada dua orang yang minta mati cepat! Teng Sien 

tunggu giliranmu!” Tuanku Laras berteriak. Pedang Al Kausar yang 

dipegangnya terus menderu ke arah tangan Pandeka Bumi Langit 

sementara tangan kiri yang memegang sarung pedang dipergunakan 

untuk menangkis mental serangan golok Teng Sien.

Seperti yang sudah diduga, Pendeka Bumi Langit memang hanya 

mampu selamatkan salah satu dari dua tangannya. Ketika Pedang Al 

Kausar siap menebas putus tangan kirinya tiba-tiba terdengar suara 

berdesir. Sebuah benda panjang yang ternyata adalah kain putih 

melesat di udara laksana seekor ular terbang. Dengan cepat kain putih 

itu melibat pedang Al Kausar.

“Bukkk!”

Pedang yang seharusnya membabat putus tangan kiri PandekaBumi Langit, karena sudah tergulung kain putih kini tak lebih dari 

sebuah pentungan. Apa lagi sebelum melesat di udara seseorang telah 

mengisi kain itu dengan tenaga dalam hingga sanggup menahan 

ketajaman mata pedang sakti. “Kraakk!”

Pandeka Bumi Langit menjerit keras. Lengan kirinya patah. Itu 

adalah lebih baik daripada putus! Menahan sakit hingga tubuhnya 

bergetar, Pandeka Bumi Langit jatuhkan diri lalu bergulingan di tanah 

menjauhi Tuanku Laras.

Dalam keterkejutan, semua orang berpaling ke arah datangnya 

kain putih panjang tadi. Mereka melihat dua orang berkelebat 

mendatangi. Keduanya ternyata adalah pemuda berambut seperti 

padusiyaitu Pendekar 212 Wiro Sableng ditemani Si Kamba Mancuang. 

Ternyata si nenek ini dengan ilmu yang dipelajarinya dari gurunya 

Inyiek Susu Tigo, walau menghabiskan waktu satu hari satu malam, 

dengan kain putih yang pernah bersentuhan dengan pedang Al Kausar 

berhasil menjajagi dan menunjukkan di mana beradanya Tuanku Laras 

Muko Balang. Secara kebetulan hal itu terjadi pada malam bulan sabit 

hari ke tiga, bersamaan dengan kedatangan Pakih Jauhari, Ki Bonang, 

Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik ke Bukit Batu Patah 

yang hendak memeriksa keberadaan satu peti yang disembunyikan jauh 

hari sebelumnya.

“Ki Bonang!” Tiba-tiba berteriak. “Tadi kau mengatakan ada 

rombongan Kerajaan yang tengah menuju ke sini! Ternyata yang datang 

adalah kapuyuak muda dan cigak gaek ini!” (kapuyuak: kecoak) (cigak 

gaek: beruk/monyet tua)

Tiba-tiba di kejauhan terdengar deru suara detak roda kereta dan 

hentakkan kaki-kaki kuda. Lalu ada suara orang berteriak menyahuti 

ucapan Tuanku Laras tadi.

“Siamang bermuka belang! Bersabarlah sedikit! Orang yang 

hendak diadili belum kelihatan di tempat ini. Perlu apa kami datang 

terburu-buru! Rupanya kau sudah siap-siap menjadi saksi!” (Siamang: 

monyet besar biasanya berbulu hitam).

Disebut Siamang bulu diwajah Tuanku Laras berjingkrak kaku 

saking marahnya. “Pedang sakti, coba berikan sambutan selamat datang 

pada orang bermulut kurang ajar itu!”

“Wuuut!”

Tuanku Laras Muko Balang lemparkan pedang Al Kausar ke 

udara. Senjata sakti ini serta merta menderu berputar-putar dan 

melesat laksana kilat ke arah datangnya suara orang yang berteriak tadi.



               TAMAT


penulis : Bastian Tito

created : matjenuh channel

blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive