SATU
GOA itu terletak di lereng timur Bukit Siangok. Bagian dalamnya
berlapis batu-batu pualam. Bebatuan ini selain memancarkan cahaya
terang juga mengeluarkan hawa sejuk di waktu siang dan menebar
udara hangat di malam hari. Siapa saja, bahkan lebih dari satu orang
bisa tinggal di goa itu untuk jangka waktu lama karena tak berapa jauh
dari goa terdapat sebuah perigi dangkal berair jernih. Di lereng di atas
goa ada satu hutan kecil ditumbuhi berbagai pohon buah yang bisa
dimakan. Selain itu Juga banyak berkeliaran ayam hutan yang tidak
terlalu sulit ditangkap untuk dijadikan santapan»
Untuk mencapai goa yang terletak di bagian bukit terpencil ini
jalan yang harus ditempuh cukup sulit. Penduduk beberapa dusun di
sekitar kaki Bukit Siangok jangankan naik ke bukit, mendekat di sekitar
kaki bukit saja tak ada yang berani. Konon di kawasan bukit banyak
berkeliaran harimau besar. Terkadang binatang ini tidak muncul
sendirian, ada kalanya berombongan atau anak beranak. Ada yang
mempercayai kalau binatang-binatang buas itu merupakan peliharaan
orang sakti. Namun siapa orangnya dan di mana tepat tempat
kediamannya tidak diketahui. Penduduk hanya menduga-duga bahwa
binatang buas itu adalah masih anak buah Inyiek Batino yang dikenal
sebagai Ratu Sekalian Harimau Betina di tanah Minangkabau.
Menjelang pertengahan hari dari arah utara kelihatan empat orang
berkelebat cepat. Salah seorang dari mereka berlari sambil memanggul
sosok perempuan muda berbadan elok, berambut hitam terurai.
Keempat orang ini ternyata menuju ke Bukit Siangok yang ditakuti
penduduk beberapa dusun itu.
Dengan ketinggian ilmu kesaktian yang dimiliki, empat orang itu
berlari secepat tiupan angin. Tidak selang beberapa lama mereka telah
berada di lereng timur Bukit Siangok, di mana goa tadi berada.
“Ini tempat rahasia yang aku ceritakan.” Berkata orang yang
pertama sekali mencapai mulut goa. Orang ini berusia lebih setengah
abad. Mukanya aneh karena ditutupi bulu hitam di sebelah kanan dan
bulu putih di bagian kiri. Baju serta celana galembong hitam yang
dikenakannya kotor oleh debu dan selepotan tanah. Di pinggang orang
ini tergantung sebilah pedang tapi cuma sarungnya saja yang ada. Inilah
Tuanku Laras Muko Balang, salah seorang tokoh utama yang terlibat
dalam usaha mencari puteri Pangeran Tiongkok bernama Chia Swie Kim
yang kemudian diberi nama Puti Bungo Sekuntum, digelari Kupu Kupu
Giok Ngarai Sianok oleh Datuk Marajo Sati, Datuk Pucuk pimpinan Para
Datuk Luhak Nan Tigo. Seperti dituturkan dalam “Mayat Kiriman Di
Rumah Gadang”, pedang sakti Al Kausar miliknya yang terbuat dari perak murni dan konon berasal dari tanah Arab terjatuh di tanah tak
sempat diambilnya ketika terjadi perkelahian antara dirinya dengan
Wiro dan Si Kamba Mancuang. Masih untung dia bisa melarikan diri
selamatkan nyawa sekaligus memboyong Puti Bungo Sekuntum.
Akan halnya gadis cantik Puti Bungo Sekuntum, saat itu
tergeletak dalam keadaan tertotok di panggulan bahu kiri seorang lelaki
berdestar dan berpakaian serba merah yang bukan lain adalah Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik. Rambut panjang hitam tergerai awut-awutan,
wajah pucat dan dua mata tertutup.
Sekali-sekali Pandeka Bumi Langit meniup-niup tangan kanannya
yang merah melepuh. Sewaktu terjadi pertarungan dengan Pendekar
212 Wiro Sableng, dengan mengandalkan ilmu silat Sitaralak dia
berhasil menyarangkan pukulan bernama Tigo Alu Mangupak Lasuang.
Wiro semburkan darah akibat terluka di dalam walau tidak parah.
Pandeka Bumi Langit sendiri mengelupas kulit tangan kanannya mulai
dari ujung jari sampai ke pergelangan akibat hawa panas yang
memancar keluar dari tubuh Wiro berasal dari kapak sakti yang berada
dalam badan sang pendekar. (Baca: “Fitnah Berdarah Di Tanah Agam”)
Orang ketiga yang ikut bersama Tuanku Laras Muko Balang tentu
saja adalah Ki Bonang Talang Ijo, orang tua sakti dari Kuto Gede di
tanah Jawa. Kakek bersorban dan berjubah hijau ini, yang menjadi
pimpinan rombongan pencari Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok
keadaannya mengenaskan sekaligus menggidikkan. Ketika bertarung
melawan Datuk Panglimo Kayo, walau dia berhasil membuat lawan
akhirnya menemui ajal, namun Datuk Panglimo Kayo sempat menginjak
hancur kening dan mata kanannya. Kini kening dan mata itu dibalut
sehelai kain hitam tebal. Blangkon hijau berbunga hijau yang
merupakan salah satu senjata andalan masih bertengger di atas kepala.
Tak jauh di sebelah kiri Ki Bonang berdiri seorang lelaki bermata
sipit berkulit kuning. Tangan kanan dibalut di bagian siku. Inilah
Perwira Muda TengSien yang daun telinga kanannya sumplung
dihantam patahan goloknya sendiri sewaktu berkelahi melawan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti diketahui dia adalah orang
kepercayaan Pangeran Chia di daratan Tiongkok yang merupakan ayah
dari Chia Swie Kim. Perwira berkepandaian tinggi ini bersama tiga orang
anak buahnya yang telah lebih dulu menemui ajal ditugaskan untuk
mengejar dan membawa kembali Chia Swie Kim yang didalam tubuhnya
terdapat sebuah benda pusaka keramat milik Kerajaan yaitu Kupu Kupu
Mata Dewa. Di dalam menjalankan tugas Perwira Muda itu diberi
wewenang untuk menyerahkan hadiah berupa batangan-batangan emas
sebanyak dua peti kepada siapa saja yang membantu mendapatkan
puteri sang Pangeran. Satu peti telah diberikan kepada Ki Bonang dan
semua orang yang memberikan pertolongan. Sisa satu peti disimpan di
satu tempat rahasia dan baru akan diserahkan kalau Chia Swie Kim
dalam bentuk seorang gadis ataupun dalam ujud kupu kupu batu giok berhasil ditemukan dan untuk selanjutnya dibawa kembali ke Tiongkok.
(Baca episode pertama berjudul “Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok”)
Dari air muka Teng Sien yang tembam keringatan dan kotor
terpancar perasaan jengkel kalau tidak mau dikatakan marah. Dia
tengah menghadapi satu hal yang tidak disukainya. Dia telah mencium
ada hal-hal yang tidak beres dengan orang-orang yang kini
membantunya.
“Kalian semua cepat masuk ke dalam goa. Kita aman di sini. Kita
butuh istirahat...” Berkata Tuanku Laras Muko Balang. Lalu dia
mendekati Pandeka Bumi Langit untuk mengambil Puti Bungo
Sekuntum dari atas bahu dan membawanya masuk ke dalam goa.
Sewaktu Ki Bonang Talang Ijo hendak melangkahkan kaki
mengikuti Tuanku Laras, Perwira Muda Teng Sien cepat memegang
bahu si kakek dan berkata.
“Aku tidak akan masuk ke dalam goa. Bukan ini yang aku
inginkan! Bukan begini perjanjian kita! Aku punya tanggung jawab
besar pada Pangeran Chia dan Kaisar Tiongkok. Aku harus segera
membawa gadis itu ke Tionggoan. Dalam ujudnya seperti sekarang ini
atau dalam bentuk kupu kupu Giok! Mengapa orang bermuka belang
masih menahan gadis itu? Apa yang hendak dilakukannya? Aku punya
kecurigaan.” (Tionggoan: Daratan Tiongkok)
“Perwira, sabar... tenang. Kita masuk dulu ke dalam goa. Istirahat
barang sebentar apa salahnya. Kita bicara di dalam...” Ki Bonang Talang
Ijo menjawab sambil membujuk dan memegang bahu Teng Sien.
Mendengar suara orang bicara di belakang dan kemudian melihat
Teng Sien tidak mau beranjak dari tempatnya, Tuanku Laras bertanya
pada Ki Bonang Talang Ijo. Orang tua dari Kuto Gede ini memang satu-
satunya yang mengerti bahasa Cina di dalam rombongan. Karena itu dia
juga bertindak sebagai juru bahasa antara Teng Sien dengan Ki Bonang
dan anggota rombongan lainnya.
“Ada apa Ki Bonang? Apa yang dibicarakan Perwira itu?”
Mendengar pertanyaan Tuanku Laras, Ki Bonang dengan polos
memberi tahu apa yang dikatakan Teng Sien.
Tampang Tuanku Laras berubah meregang. Bulu hitam putih
yang tumbuh menyelimuti wajahnya berjingkrak berdiri.
“Katakan pada Perwira Cina itu! Jika dia tidak mau masuk atau
mau Undang hapus dari tempat ini lebih baik dia pergi saat ini juga!”
(Undang hapus: pergi/angkat kaki) “Tapi ingat!” Tuanku Laras
cepat menyambung ucapannya. “Jangan harap aku akan menyerahkan
gadis Cina ini padanya. Sebaliknya dia punya kewajiban menyerahkan
sisa satu peti emas pada kita! Gara-gara urusan yang dibawanya banyak
sahabat kita di negeri ini menemui ajal! Ki Bonang, beri tahu apa yang
aku katakan padamu! Nanti aku ingin bicara dengan Ki Bonang
melanjutkan pembicaraan yang terputus tempo hari.”
“Sahabatku Tuanku Laras, kita semua tidak pernah menduga
kalau dalam membantu Perwira Cina itu akan jatuh begitu banyak korban dan terjadi silang sengketa di negeri ini. Semua rencana telah
salah arah. Yang penting sekarang bagaimana urusan ini bisa selesai
dengan baik...”
“Ki Bonang, seperti aku, kau terlibat dalam masalah besar ini.
Jadi jangan sekarang kau berpura-pura menyesal!”
Ki Bonang Talang Ijo tidak menyahuti ucapan orang tapi dalam
hati dia berkata “Manusia satu ini sudah salah kaprah! Apa yang ada di
benaknya? Ingin mendapatkan emas tapi tidak mau menyerahkan gadis
itu. Perwira Cina itu bicara dan punya jalan pikiran benar. Aku
menduga ada satu rencana mencari keuntungan sendiri dalam benak
Tuanku Laras. Dia bersikap seolah dialah yang kini jadi pimpinan dalam
rombongan. Padahal aku yang mengajaknya serta...
Tentu saja ki Bonang tidak mau menyampaikan ucapan Tuanku
Laras pada Perwira Muda Teng Sien. Karena kalau hal itu diberitahu
pastilah Perwira Cina itu akan menjadi marah dan bisa-bisa mengamuk.
Maka kembali Ki Bonang membujuk agar Teng Sien mau masuk dulu ke
dalam goa. Akhirnya Teng Sien masuk juga diikuti Pandeka Bumi Langit
di sebelah belakang.
Goa berlapis batu-batu pualam di lereng timur Bukit Siangok itu
ternyata. cukup besar. Gundukan batu-batu pualam putih setinggi
pinggul membentuk dan membagi bagian dalam gua menjadi empat
ruangan. Tuanku Laras masuk ke dalam ruangan paling ujung. Ki
Bonang di ruangan sebelah, lalu Pandeka Bumi Langit di ruangan kiri.
Perwira Teng Sien sambil mulut komat-kamit mengeluarkan suara
menggerendeng dudukkan diri dengan kesal di lantai batu pada ruangan
sebelah kanan yaitu yang paling dekat ke mulut goa.
Tak selang beberapa lama terdengar suara Tuanku Laras
memanggil Ki Bonang.
“Ki Bonang. Kita harus bicara dan mengambil keputusan sekarang
juga!” Kata Tuanku Laras begitu Ki Bonang duduk di depannya.
Sebenarnya tokoh silat dari tanah Jawa ini tidak suka menghadapi sikap
Tuanku Laras yang seolah dialah yang jadi pimpinan dalam rombongan.
Namun dia diam saja sambil memperhatikan keadaan sekeliling
ruangan.
Di sebelah kiri Pandeka Langit Bumi pura-pura tidur tapi diam-
diam telinganya menguping apa yang dibicarakan ke dua orang itu.
Sementara itu Puti Bungo Sekuntum telah dibaringkan di lantai goa
masih dalam keadaan tertotok tak bisa bergerak tak mampu bersuara.
Namun telinga dapat mendengar semua pembicaraan orang yang ada di
dalam goa.
“Ki Bonang sahabatku,” berujar Tuanku Laras, “Kau belum
memberi jawaban atas rencana yang pernah aku beri tahu. Hal itu tidak
bisa ditunda-tunda lagi. Perwira Cina itu sudah saatnya harus dihabisi!”
DUA
KI BONANG Talang Ijo terkejut mendengar kata-kata orang bermuka
belang yang duduk dihadapannya itu. Sebelumnya memang Tuanku
Laras pernah bicara bahwa dia ingin mengusir Perwira Muda Teng Sien
bahkan membunuhnya bilamana perlu. Saat itu Ki Bonang tidak begitu
menanggapi. Rupanya si muka belang ini tidak main-main dengan
ucapan serta rencananya.
“Tuanku Laras, mengapa kita musti membunuh Perwira Cina itu.
Dia datang minta tolong padaku laiu aku minta tolong pada Tuanku
Laras dan teman-teman di sini. Kita sudah menerima pembayaran satu
peti emas. Kita akan mendapatkan peti kedua setelah menyerahkan
gadis itu pada Teng Sien. Bukankah begitu perjanjiannya?” Rahang
Tuanku Laras menggembung. Lalu dia menyeringai dan enak saja
meludah di lantai goa. Wajah cacat Ki Bonang Talang Ijo tampak
berubah merah. Dia merasa tersinggung dan terhina oleh perilaku
meludah yang barusan dilakukan Tuanku Laras. Bukan saja karena dia
merasa jauh lebih tua tapi dimatanya Tuanku Laras adalah salah
seorang dari bawahan, anak buahnya.
“Ki Bonang, orang minta tolong wajib dibantu.” Ucap Tuanku
Laras tanpa memperhatikan raut wajah Ki Bonang yang berubah. “Tapi
kalau permintaannya telah menjadi malapetaka bagi kita yang menolong
apa kita masih mau melanjutkan pertolongan? Sudah berapa kerabatku
menemui ajal. Aku kehilangan pedang sakti Al Kausar. Kau sehdiri...
Coba lihat dirimu. Kening hancur mata terpuruk buta! Kau masih mau
menolong Perwira Muda itu? Bagaimana kalau dia menggagahi gadis itu
ditengah jalan lalu membunuhnya. Apa Ki Bonang mau bertanggung
jawab?!”
“Mana dia berani melakukan hal itu. Ke manapun dia pergi pasti
akan diburu orang-orang Kerajaan. Dia akan dipancung! Tapi itu biar
menjadi urusannya. Urusan kita menyerahkan gadis itu padanya dan
dia menyerahkan satu peti emas pada kita. Urusan selesai. Habis
perkara. Perwira itu pulang ke Tiongkok, aku pula ke Jawa.”
“Ki Bonang, kita tidak tahu banyak tentang siapa adanya Perwira
Muda Teng Sien. Mungkin saja dia sebenarnya adalah penjahat besar di
daratan Tiongkok. Sekarang aku ingin bertanya. Apa kau sejalan dengan
rencanaku atau tidak?” “Tuanku Laras, aku...”
“Kalau kita bunuh Perwira itu, emas yang satu peti tinggal kita
bagi dua. Kau pulang ke Jawa akan menjadi orang kaya raya!”
Ki Bonang terdiam. Rupanya ucapan Tuanku Laras
mendatangkan kebimbangan dalam hatinya. Sesaat kemudian Ki
Bonang bertanya.
“Saat ini kita tinggal bertiga. Bagaimana dengan sahabat kita Pandeka Bumi Langit?” Bertanya Ki Bonang.
Tuanku Laras tinggikan kepala, memandang ke ruangan di
sebelah kiri di mana Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik berada. Saat
itu dilihatnya sang Pandeka duduk bersandar ke dinding goa, mata
terpejam mulut terbuka dan mengeluarkan suara mengorok perlahan.
Setengah berbisik Tuanku Laras kemudian menjawab pertanyaan Ki
Bonang Talang Ijo.
“Dia cukup kita beri tambahan satu batang emas saja. Biar nanti
aku yang mengatur.”
“Kalau dia menolak?” tanya Ki Bonang.
“Gilirannya kita habisi!” Jawab Tuanku Laras Muko Belang.
Ki Bonang Talang Ijo tidak menjawab.
“Sekarang katakan padaku di mana satu peti emas itu disimpan
Teng Sien. Ki Bonang pernah mengatakan kalau Ki Bonang tahu tentang
keberadaan emas itu. Kita bisa pergi sama-sama mengambilnya.”
“Aku memang tahu. Tapi bagaimana mungkin aku menyalahi
perjanjian dengan Teng Sien?” kata Ki Bonang pula. Walau hatinya
tergoda untuk mendapatkan tambahan batangan emas yang begitu
banyak tapi dia tidak akan memberi tahu di mana satu peti batangan
emas yang lain berada. Dalam hati orang tua itu membatin. “Kalau aku
beri tahu sama saja aku menggadaikan nyawa. Setelah dia nekad
membunuh Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit pasti aku pula yang
akan dibantainya.”
Apa yang ada di benak Ki Bonang begitu pula yang diperkirakan
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik yang saat itu pura-pura tidur,
dalam hati dia berkata. “Ki Bonang, sekali kau memberi tahu di mana
emas itu berada maka nyawamu hanya tinggal bilangan hari saja.”
“Aku kecewa mendengar ucapan Ki Bonang...” Tuanku Laras
berkata. “Rupanya aku harus bertindak sendiri.”
“Maafkan aku Tuanku Laras. Tapi kita harus berlaku hati-hati
agar jangan salah bertindak.” Jawab Ki Bonang. Lalu kakek ini alihkan
pembicaraan dengan bertanya. “Berapa lama kita akan berada di tempat
ini? Lalu ke mana tujuan kita selanjutnya?” Ki Bonang bertanya
mengalihkan pembicaraan.
“Kita melanjutkan perjalanan pada saat matahari tenggelam. Saat
ini aku belum bisa memberi tahu ke mana tujuan kita.”
Tuanku Laras tersenyum. Senyuman yang terasa aneh di mata Ki
Bonang karena belum pernah dia melihat Tuanku Laras tersenyum
polos seperti itu. Biasanya orang ini kalau tersenyum selalu dibayangi
air muka menunjukkan sikap sinis atau melecehkan orang.
Sambil mendekatkan kepalanya ke samping wajah Ki Bonang,
Tuanku Laras berkata setengah berbisik.
“Kau betul. Gadis ini hanya akan menjadi beban saja. Tapi beban
yang sangat membahagiakan...”
““Apa maksud Tuanku Laras?” Tanya Ki Bonang sementara hatinya
menduga-duga.“Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Aku tidak akan
melepas gadis satu ini. Aku akan mengambilnya menjadi istri.”
Ki Bonang Talang Ijo sampai ternganga saking tercengangnya
mendengar ucapan Tuanku Laras. Lalu dia cepat tersenyum dan
berkata.
“Maafkan diriku Tuanku Laras. Setahu saya bukankah Tuanku
Laras sudah punya tiga orang istri...?”
Meskipun matanya membeliak merah dan bulu hitam putih
dimukanya berjingkrak tegak Tuanku Laras masih mampu menjawab
dengan suara tenang.
“Aku bisa beristri sampai empat orang. Siapa yang melarang? Adat
membenarkan. Agama mengizinkan!”
“Aku mengerti Tuanku Laras. Hanya saja, kalau Tuanku Laras
melakukan hal itu, lantas apa bedanya dengan perbuatan yang telah
dilakukan Datuk Marajo Sati?”
Mendidihlah amarah Tuanku Laras Muko Batang mendengar
ucapan Ki Bonang Talang Ijo. Mata mendelik merah, rahang meng-
gembung dan semua bulu yang menutupi wajahnya berdiri kaku.
Tangan kanannya tiba-tiba dipukulkan ke bawah.
“Braakk!”
Salah satu gundukan batu pualam putih di lantai gua hancur
berkeping-keping. Lantai goa sendiri melesak amblas sampai satu
jengkal.
“Ki Bonang! Kalau kau bukan seorang sahabat sudah ku
pecahkan kepalamu seperti aku memecahkan batu ini!” Ucap Tuanku
Laras setengah berteriak hingga suaranya menggelegar di dalam gua,
membuat Pandeka Bumi Langit yang pura-pura tidur membuka kedua
matanya sebentar lalu meneruskan tidur bohong-bohongannya. Di dekat
mulut goa Perwira Muda Teng Sien berdiri dari duduknya, memandang
ke arah Tuanku Laras dan Ki Bonang lalu duduk kembali di tempatnya
sambil geleng-geleng kepala. Hatinya semakin tidak suka. Niatnya untuk
segera membawa Puti Bungo Sekuntum semakin besar.
Tuanku Laras Muko Balang yang masih belum reda amarahnya
kembali berteriak.
“Ki Bonang! Jaga mulutmu kalau bicara! Jangan samakan aku
dengan Datuk Marajo Sati keparat itu! Dia menyekap gadis ini sebagai
gendakl Aku akan mengawininya! Melalui pernikahan yang syah! Apa
kau kira aku ini lelaki mata keranjang yang tidak punya martabat?!”
Ki Bonang hanya bisa mengangguk-angguk kepala beberapa kali.
“Tuanku Laras, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyinggung
perasaanmu.” Belangkon hijau yang sejak tadi dipegang cepat-cepat
dikenakan lalu Ki Bonang berdiri.
“Kau mau ke mana Ki Bonang?” tanya Tuanku Laras.
“Aku mau ke luar goa. Ingin menghirup udara segar...”
“Di dalam goa ini aman dan udaranya sejuk. Apa Ki Bonang tidak
merasakan?”“Aku tidak lama. Sebentar juga masuk kembali.”
“Agaknya Ki Bonang tidak suka aku mengambil Puti Bungo
Sekuntum menjadi istri? Rupanya Ki Bonang juga punya hasrat
terhadap gadis ini?” Tuanku Laras bertanya sambil mengusap punggung
Puti Bungo Sekuntum yang tergolek tak bergerak di lantai.
Ki Bonang tertawa.
“Aku sudah tua. Jika aku mau di tanah Jawa aku bisa
mempunyai dua belas gundik! Tapi bagiku jaman untuk bercinta
mengumbar nafsu sudah lewat...” Ki Bonang berdiri lalu melangkah
keluar goa.
“Ki Bonang!” Tuanku Laras memanggil.
Ki Bonang Talang Ijo hentikan langkah, berbalik menoleh ke arah
Tuanku Laras. Lelaki bermuka belang itu berkata.
“Ki Bonang, kalau kau punya niat hendak meninggalkan tempat
ini sebaiknya bicara terus terang!”
Ki Bonang Talang Ijo menyeringai lalu menjawab.
“Seperti kata Tuanku Laras tadi, aku ingin menjadi orang kaya
raya kalau pulang ke tanah Jawa.”
Tuanku Laras Muko Balang tertawa mengekeh.
“Kau sahabatku yang cerdik!” Memuji Tuanku Laras walau dalam
hati ini dia punya pikiran, jangan-jangan orang tua dari tanah Jawa ini
yang harus dibunuhnya lebih dulu. “Ki Bonang, kau tunggu saja,
nyawamu hanya tinggal seujung kuku!”
Ki Bonang rapikan belangkon di atas kepala lalu teruskan langkah
ke mulut goa.
Namun masih satu langkah kakinya akan mencapai mulut goa
tiba-tiba di luar sana terdengar suara angin menderu disusul suara
binatang menguik keras. Begitu hebatnya hantaman angin hingga
dinding di mulut goa batu bergetar. Satu bayangan putih berkelebat.
Di lain kejap satu kaki menderu ke depan.
Duukk!
Ki Bonang keluarkan jeritan keras. Tubuhnya terlempar ke dalam
goa. Terjengkang di lantai batu, mulut kucurkan darah. Walau
menderita cidera luka di dalam yang cukup parah namun orang tua ini
dengan cepat melompat bangun. Dalam menahan sakit serta amarah
yang menggelegak Ki Bonang merasa sekujur tubuhnya bergeletar ketika
melihat siapa yang berdiri menghadang di mulut goa!
TIGA
DI MULUT goa tegak berdiri seorang berjubah putih. Dagu tertutup
janggut hitam yang sebagian telah memutih. Di bahu kiri orang ini
bertengger seekor burung elang putih yang patah sayap kirinya.
Sepasang mata menatap menyorot ke arah Ki Bonang Talang Ijo, melirik
sebentar pada Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit yang saat itu telah
melompat berdiri dari kepura-puraan tidurnya. Mata galak merah si
jubah putih juga memperhatikan ke jurusan Tuanku Laras Muko Balang
yang dengan gerakan cepat menyambar tubuh Puti Bungo Sekuntum
lalu bangkit berdiri.
Luar biasanya, orang berjubah putih ini tidak menjejak lantai
mulut goa tapi sepasang kaki berdiri di atas segulung sorban putih
berumbai, mengambang di udara.
“Manusia-manusia durjana! Akhirnya aku temui juga kalian!”
Orang berjubah di mulut goa keluarkan ucapan membentak. Sorban
yang bergulung di bawah kaki tiba-tiba melayang ke udara lalu turun
menutupi kepalanya. Saat itu juga tubuhnya bergerak turun dan dua
kaki yang mengenakan kasut kaki kini menjejak lantai goa.
Tuanku Laras Muko Balang mendengus. Teng Sien
menggerendeng panjang.
“Urusan lagi! Urusan lagi! Aku sudah bilang apa guna pergi ke
tempat ini! Seharusnya aku sudah membawa gadis itu! Seharusnya aku
sudah mendapatkan kupu-kupu batu Giok dan kembali ke Tionggoan!”
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik membuka mulut membalas
ucapan orang berjubah putih di mulut goa yang ternyata adalah Datuk
Marajo Sati.
“Datuk Marajo Sati! Pucuk Para Datuk Luhan Nan Tigo! Menyebut
kami manusia-manusia durjana! Padahal kau biang segala kedurjanaan
di negeri ini!”
“Kau membunuh Datuk Panglima Kayo!” Tuanku Laras berteriak
dari ujung goa. Mata memandang membara ke arah Datuk Marajo Sati.
Datuk Marajo Sati delikkan mata. Tubuh bergetar. Alang Putih
Rajo Di Langit yang bertengger di bahu menguik keras. Sayap
dikembangkan. Siap hendak melesat menyerang Tuanku Laras Muko
Balang. Datuk Marajo Sati cepat usap punggung binatang ini.
Ki Bonang yang berdiri di hadapan Datuk Marajo Sati batuk-batuk
beberapa kali. Setelah menyeka darah yang meleleh di dagu, orang tua
ini berkata.
“Datuk Marajo Sati, tanpa sebab kau menyerangku. Aku
memaafkan perbuatanmu. Sekarang apakah kita bisa bicara dengan
tenang dan baik-baik?”
“Kita baru bicara kalau jahanam bermuka belang itu menyerahkan gadis yang diculik itu!”
Menjawab Datuk Marajo Sati sambil menunjuk ke arah Puti
Bungo Sekuntum yang berada di atas panggulan bahu kanan Tuanku
Laras.
“Ha... ha!” Tuanku Laras tertawa keras. “Jadi kau kemari rupanya
mencari gendakmu ini! Tua bangka tak tahu diuntung! Sudah punya
istri muda dan cantik masih saja mau menyekap daun muda yang satu
ini! Belum puas kau rupanya setelah berhari-hari mengurungnya di
dalam goa kediamanmu di Ngarai Sianok!”
“Baru beberapa hari kehilangan gendak sudah macam orang gila
tidak karuan rupa!” Menimpali Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
Ki Bonang angkat tangan kiri, berusaha menenangkan suasana.
Namun Datuk Marajo Sati sudah kehilangan kesabaran.
“Alang Putih Rajo Di Langit,” sang Datuk bicara pada burung
elang di atas bahu kirinya. “Beri jawaban pada manusia bermulut busuk
berhati setan berpakaian dan berdestar merah itu! Aku akan menghajar
biang bergundalnya!”
Mendengar ucapan sang Datuk Elang putih menguik keras lalu
melesat ke arah Pandeka Bumi Langit. Di saat yang sama Datuk Marajo
Sati melompat ke arah Tuanku Laras Muko Balang.
“Ki Bonang! Teng Sien! Bunuh manusia jahanam itu!” teriak
Tuanku Laras.
Ki Bonang dan Perwira Muda Teng Sien coba menghalangi
terjangan Datuk Marajo Sati. Namun keduanya terpelanting akibat lebih
dulu terkena kibasan tubuh besar sang datuk.
“Manusia keparat bernama Tuanku Laras! Aku tahu kau dan kaki
tanganmu yang ada di goa ini yang telah membunuh Datuk Panglimo
Kayo! Jangan berani memfitnah kejahatan busuk kalian pada diriku!”
Pada saat melompat ke arah Tuanku Laras Muko Balang dari
sorban putih di atas kepala Datuk Marajo Sati menderu dua belas angin
memancarkan cahaya putih, menyambar ke arah Ki Bonang Talang Ijo
dan Perwira Muda Teng Sien. Inilah jurus serangan dari ilmu kesaktian
bernama Meniup Dua Belas Jalan Darah. Siapa saja yang sampai terkena
sambarannya pasti akan berubah menjadi patung hidup, tak bisa
bergerak tak mampu bersuara! Jika tidak tertolong sampai matahari
tenggelam nyawanya akan amblas. Di kepala dan tubuhnya akan
muncul lubang luka mengerikan sebanyak dua belas buah!
Begitu mendengar suara deru angin disertai memancarnya larikan
cahaya putih Ki Bonang Talang Ijo cepat kebutkan belangkon hijau.
Serangkum angin disertai kerlapan cahaya hijau menyambar
menghadang serangan ganas yang datang dari sorban putih di atas
kepala Datuk Marajo Sati.
Dari samping kiri, Teng Sien yang kini membekal sebilah golok
baru menyerbu ke arah Datuk Marajo Sati. Lancarkan serangan berupa
dua bebatan kilat ke arah tubuh dan satu bacokan ganas ke jurusan
leher.“Blaarr... blaarr... blaarr!”
Letusan keras menggelegar sampai enam kali di dalam goa begitu
dua belas cahaya putih yang menyembur dari sorban Datuk Marajo Sati
bentrokan saling hantam dengan taburan cahaya hijau yang keluar dari
belangkon di tangan kanan Ki Bonang.
Pandeka Bumi Langit yang melihat kesempatan baik segera
susupkan pukulan tangan kosong ke arah lawan namun gerakannya
tertahan karena kaget oleh sambaran Alang Putih Rajo Di Langit berupa
cakaran dua kaki dan patukan paruh.
Goa batu pualam dipenuhi kilatan cahaya putih dan hijau.
Perwira Muda Teng Sien cepat merunduk ketika kaki kanan Datuk
Marajo Sati melesat ke kepalanya. Ki Bonang berseru kaget sewaktu
belangkon hijau di tangan kanan tiba-tiba breett! Robek besar disambar
tangan kiri Datuk Marajo Sati lalu bukkk! Oleh lawan robekan
belangkon dihantamkan ke kepala Ki Bonang. Walau dia masih mampu
membuat gerakan mengelak namun tak urung potongan belangkon
miliknya sendiri masih sempat menyambar menepis telinga kanannya
hingga hancur! Lengkap sudah kerusakan di wajah sebelah kanan tokoh
silat dari Kuto Gede ini. Sebelumnya kening dan mata kanan hancur,
kini telinga kanan remuk tak karuan rupa!
Sebenarnya pukulan menyusup ke arah dada yang dilancarkan
Pandeka Bumi Langit akan berhasil mendarat telak di dada Datuk
Marajo Sati, kalau saja Elang putih bermata merah peliharaan sang
datuk tidak datang menyambar.
“Breett!”
Leher baju merah Pandeka Bumi Langit robek besar. Sambaran
kuku Elang putih menggores luka kulit dan daging lehernya sementara
sayap kanan membeset pipi di bawah mata kiri hingga menimbulkan
luka mengucurkan darah. Saat itu juga pipi dan leher Pandeka Bumi
Langit menggembung merah kebiruan. Kepalanya terasa panas.
Ternyata paruh dan kuku cakar Elang putih mengandung racun jahat!
“Binatang jahanam celaka! Teriak Pandeka Bumi Langit kesakitan
sekaligus marah besar. Sambil melompat dua tangan berkelebat ke
udara dalam gerakan ilmu silat Sitaralak. Elang putih menguik keras
dan berusaha mematuk tangan kanan Pandeka Bumi Langit yang
berhasil mencekal kaki kanannya. Sebelum binatang ini bisa
membebaskan diri Pandeka Bumi Langit telah menghantamkan tubuh
dan kepala binatang ini ke dinding goa! Alang Putih Rajo Di Langit
menguik keras, menggelepar lalu tak bergerak lagi. Walau burung elang
itu sudah meregang nyawa dengan kepala dan sebagian tubuh hancur
namun seperti kesetanan Pandeka Bumi Langit masih terus
menghantamkan tubuhnya berulang kali ke dinding goa hingga
akhirnya hancur luluh tak berbentuk lagi!
Datuk Marajo Sati menggembor keras mengetahui apa yang terjadi
dengan burung Elang peliharaannya. Namun dia tidak bisa melakukan
sesuatu karena saat itu tubuhnya tengah melesat di sepanjang goa,menyambar ke arah sosok Puti Bungo Sekuntum yang ada di bahu
kanan Tuanku Laras. Dua tangan sang datuk bergerak cepat. Dari
sorban kembali menderu dua belas larikan cahaya putih ke arah
musuh.
Gerakan kilat Datuk Marajo Sati agaknya tidak sempat membuat
Tuanku Laras menyelamatkan gadis yang dipanggul. Sosok Puti Bungo
Sekuntum berhasil disambar Datuk Marajo Sati sementara dua belas
cahaya putih Meniup Dua Belas Jalan Darah menghantam kepala dan
tubuh Tuanku Laras!
Ki Bonang dan Pandeka Bumi Langit serta Teng Sien sama
berseru kaget melihat apa yang terjadi. Namun di lain kejap perasaan
terkejut itu menjadi bagian semua orang di dalam goa ketika hantaman
dua belas cahaya sorban sakti membuat tubuh Tuanku Laras Muko
Balang hancur berkeping-keping lalu berubah menjadi asap.
“Ilmu Bayangan Menipu Matai Jahanam pengecut!” teriak Datuk
Marajo Sati menyebut nama ilmu kesaktian yang dipergunakan Tuanku
Laras untuk menyelamatkan diri. Dia berusaha hendak mengejar
Tuanku Laras namun membatalkan niat Dia sudah mendapatkan Puti
Bungo Sekuntum. Perlu apa lagi mengejar manusia bermuka belang itu.
Lebih penting menyelamatkan dan membawa gadis itu ke tempat yang
aman.
Namun kejut Datuk Marajo Sati bukan alang kepalang sewaktu
tubuh gadis yang dipanggulnya tiba-tiba berubah ringan lalu berderak
hancur berkeping-keping dan berubah pula menjadi asap! Lalu ke mana
lenyapnya sosok Tuanku Laras dan gadis Cina yang asli?
“Manusia bangsat keparat! Kau bisa menipuku dengan ilmu
jahanammu! Tapi kau tidak bisa lolos di tanganku!”
Secepat kilat Datuk Marajo Sati melesat ke ujung goa. Dia yakin di
ujung sana ada satu pintu rahasia. Kalau tidak mana mungkin Tuanku
Laras melenyapkan diri sekaligus memboyong si Kupu Kupu Giok Ngarai
Sianok!
Dugaan Datuk Marajo Sati tidak keliru. Setelah melewati beberapa
tikungan akhirnya dia sampai di ujung goa. Di situ ternyata memang
terdapat sebuah pintu rahasia yang berhubungan dengan kawasan
Bukit Siangok. Pintu rahasia ini terbuat dari batu. Orang yang tidak
bermata tajam tidak dapat membedakannya dengan atap dan dinding
goa. Sekali kaki kanan Datuk Marajo Sati menendang pintu batu hancur
berantakan.
Keluar dari jebolan pintu rahasia Datuk Marajo Sati hanya
disambut desir tiupan angin serta suara bergemerisik daun-daun
pepohonan. Sang Datuk menyumpah habis-habisan. Beberapa kali
kakinya dihujamkan ke tanah hingga membentuk lobang besar.
Beberapa kali dia memukul batang pohon hingga bertumbangan.
Sadar kalau tidak bisa mengejar Tuanku Laras, Datuk Marajo Sati
ingat pada tiga orang ada di dalam goa.“Mereka harus bertanggung jawab! Kalau tidak bisa memberi
keterangan akan kubantai mereka semua!”
Dengan cepat Datuk Marajo Sati masuk kembali ke dalam goa
batu pualam. Namun sampai di dalam dan sampai dia keluar lagi dari
mulut goa, Ki Bonang, Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit tidak
kelihatan lagi batang hidungnya! Kembali Datuk Marajo Sati
menyumpah panjang pendek.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara mengaum. Di langit
tampak jelas dua ekor harimau kuning belang hitam, ditunggang dua
orang gagah, melesat di udara lalu dengan cepat melayang turun di
Bukit Siangok, hanya beberapa langkah di hadapan Datuk Marajo Sati
yang berdiri di depan mulut goa.
EMPAT
AIR MUKA Datuk Marajo Sati berubah. Yang pertama turun dari atas
dua ekor harimau kuning belang hitam ternyata adalah Datuk Kuning
Nan Sabatang, Datuk Penguasa dan Penghulu di Luhak Agam. Mukanya
yang berwarna kuning tampak tegang membesi. Sepasang mata merah
besar menatap tak berkedip. Ujung kumis tebal mencuat ke atas.
Tangan kanan mengusap kain sarung yang melintang di bahu
sementara tangan kiri bersitekan ke hulu keris yang terselip 4i pinggang
sebelah depan.
Di sebelah Datuk Kuning Nan Sabatang berdiri Datuk Penghulu
dari Luhak Lima Puluh Kota yaitu Datuk Bandaro Putih. Wajahnya yang
jernih dan selalu tenang kali ini tampak kelam dan garang.
Merasa tidak sedap akan kehadiran dua Datuk bawahannya ini,
maka Datuk Pucuk Marajo Sati segera menegur.
“Datuk berdua! Ada apa kalian datang ke tempat ini?!”
Datuk Marajo Sati masih marah dan mendendam atas perbuatan
dua Datuk ini bersama Datuk Panglimo Kayo tempo hari. Menurut
Datuk Marajo Sati, tiga Datuk itu bersama Pakih Jauhari pemuda bekas
kekasih istrinya yang bernama Gadih Puti Seruni serta penduduk
beberapa dusun telah berkomplot memfitnah dan hendak
membunuhnya di Ngarai Sianok. (Baca “Fitnah Berdarah Di Tanah
Agam”)
Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang saling
pandang seketika. Lalu Datuk Bandaro Putih palingkan kepala ke arah
Datuk Marajo Sati dan berkata.
“Justru kamilah yang ingin bertanya dan ingin tahu. Gerangan
apa maka Datuk Pucuk sampai berada di tempat ini! Setahu kami ini
adalah goa rahasia milik Tuanku Laras Muko Balang.”
“Aku mau berada di mana itu urusanku!” jawab Datuk Marajo
Sati. “Kalau kalian sudah tahu ini tempat siapa, maka tidak ada
pertanyaan kalian yang pantas aku jawab.”
Habis keluarkan ucapan Datuk Marajo Sati segera bergerak
hendak tinggalkan tempat ini. Namun dua orang Datuk di hadapannya
segera pula bergerak menghadang.
“Tunggu, jangan pergi dulu Datuk,” kata Datuk Kuning Nan
Sabatang sementara Datuk Bandaro Putih tegak sambil rangkapkan dua
tangan di atas dada.
Marahlah Datuk Marajo Sati. Dia membentak garang.
“Kalian berdua hendak berlaku kurang ajari Berani menghalangi
jalanku?! Waktu di Ngarai Sianok, kalau tidak karena ingin
menyelamatkan orang lain, kalian sepatutnya sudah kuhajar. Sekarang
masih berani kalian menjual lagak di hadapanku!”“Datuk Pucuk Datuk Marajo Sati, harap tenang. Jangan marah
dulu. Kami datang untuk bertanya dan ingin mendapatkan keterangan
jujur. Kalau itu tidak kami dapatkan maka kami berdua memilih
berkubang darah di tempat ini!”
Sepasang mata Datuk Marajo Sati membeliak mendengar ucapan
Datuk Bandaro Putih yang selama ini dikenalnya sebagai Datuk yang
paling tenang dan selalu bicara lembut di antara tiga Datuk Luhak Nan
Tigo.
“Ucapan hebat! Sejuk di pangkal tapi mengandung api di ujung!
Kalian benar-benar membuat aku marah! Apa maksud kalian?!” hardik
Datuk Marajo Sati.
“Kami datang membawa kabar buruk!” berkata Datuk Kuning Nan
Sabatang.
Datuk Bandaro Putih menyambung, “Saudara kita Datuk
Panglimo Kayo mati dibunuh orang. Jenazahnya dikirim ke rumah
gadang kediamannya di Batusangkar. Sungguh keji sekali!”
“Aku sudah mendengar kabar itu,” kata Datuk Marajo Sati dengan
suara dingin.
“Syukur kalau Datuk sudah tahu. Lalu mengapa Datuk Pucuk
tidak datang melayat? Tidak ikut menyampaikan rasa duka cita kepada
istri dan kerabat yang ditinggalkan. Tidak pula ikut mengantar jenazah
ke kubur.”
“Kelalaianku itu memang menjadi dosa yang akan aku tanggung.
Tapi aku melakukan semua itu karena harus mengerjakan sesuatu yang
sangat penting. Aku punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan
dan mendapatkan kembali gadis Cina yang diculik oleh komplotan orang
asing yang dipimpin orang bernama Ki Bonang Talang Ijo. Beberapa
tokoh di negeri ini ikut terlibat. Dan kalian berdua bersama Datuk
Panglimo Kayo yang seharusnya ikut bertanggung jawab atas
keselamatan gadis asing di negeri ini malah bergabung membantu
manusia-manusia laknat itu!”
“Sungguh luhur dan sangat tinggi budi Datuk Pucuk Datuk
Marajo Sati,” kata Datuk Kuning Nan Sabatang. “Menyelamatkan
seorang gadis asing sementara kerabat yang mati dibunuh orang tidak
Datuk acuhkan. Maaf saja Datuk. Kami punya dugaan lain. Bahkan
mungkin bukan dugaan. Tapi satu kenyataan! Datuk tidak melayat
jenazah Datuk Panglimo Kayo karena Datuklah orang yang
membunuhnya!”
Rahang Datuk Marajo Sati menggembung. Sepasang matanya
seperti hendak melompat keluar dari rongga. Sorban di atas kepala naik
satu jengkal lalu turun lagi. Walau singkat tapi cukup untuk
memperlihatkan asap putih yang mengepul dari ubun-ubun sang Datuk!
“Selain itu!” Datuk Kuning Nan Sabatang meneruskan ucapan
lantangnya. “Beberapa saat sebelum mayat Datuk Panglimo Kayo
muncul, Inyiek harimau sakti tunggangannya terlebih dulu dikirim
dalam keadaan mati di rumah gadang. Baik Inyiek maupun Datuk Panglimo Kayo tubuh mereka sama-sama dilibat potongan Rantai Pintu
Akhirat! Hanya kita bertiga yang tahu kelemahan ilmu kesaktian Datuk
Panglimo Kayo! Kami berdua bersumpah bumi dipijak langit dijunjung!
Bukan kami yang mencelakai Datuk Panglimo Kayo! Berarti tinggal
Datuk seorang yang menjadi ayam putih terbang siang! Datuk
mencelakai dan membunuh Datuk Panglimo Kayo!”
“Datuk Kuning Nan Sabatang! Jaga bicara. Jangan sampai
kurobek mulut busukmu! Berani sekali kau menuduh dan memfitnahku
sebagai orang yang telah membunuh Datuk Panglimo Kayo!”
“Kami bicara bukan seperti orang barasian di tengah hari.” Yang
menjawab Datuk Bandaro Putih. “Kami punya satu bukti kalau memang
Datuk yang membunuh Datuk Panglimo Kayo. Robekan sorban Datuk
tergenggam di tangan jenazah Datuk Panglimo Kayo. Semua orang di
Batusangkar mengetahui hal ini. Berita keji ini bahkan telah tersebar
hampir ke seluruh Luhak Tanah Datar!” (barasian: mimpi)
“Astagafirullah hal aziemm...” (Datuk Marajo Sati mengucap
berulang kali. Amarah menggelegak. Darah seperti hendak menyembur
dari ubun-ubun di atas kepala. Sorban putihnya berulang kali naik
turun. “Mulut busuk fitnah keji! Menyingkirlah kalian berdua dari
hadapanku! Atau kalian akan jadi bangkai tak terkubur di tempat ini!”
“Jangan meradang! Tahan sedikit amarahmu Datuk Marajo Sati!
Pergunakan akal sehat dan hati jernih!” kata Datuk Kuning Nan
Sabatang. “Ketika Datuk menghabisi Datuk Panglimo Kayo, apa tidak
terlintas di benak, tidak tergugah di hati, siapa Datuk Panglimo Kayo itu
sebenarnya. Dia bukan saja sahabat kerabat ke mudik dan ke hulu,
bahkan dia adalah Mamak dari Gadih Putih Seruni. Yang berarti adalah
masih mertua Datuk sendiri! Datuk terlahir sebagai orang beradat,
hidup sebagai orang beragama dan dipercayakan menjadi Datuk Pucuk
Luhak Nan Tigo. Setan apa yang masuk ke dalam tubuh Datuk hingga
membunuh sahabat dan saudara kami itu!” (Mamak: Paman)
“Kalian berdua sama jahanamnya!” teriak Datuk Marajo Sati. “Aku
bersumpah tidak membunuh Datuk Panglimo Kayo. Kalau aku berdusta
neraka jahanam bagianku!”
Datuk Kuning Nan Sabatang dan Datuk Bandaro Putih saling
berpandangan sambil sunggingkan senyum mengejek pertanda tidak
mempercayai apa yang dikatakan orang di hadapan mereka.
Dalam amarah yang menggelegak Datuk Marajo Sati tidak dapat
lagi menahan hati. Kesabarannya habis sudah!
“Bett... bett!”
Sorban putih di atas kepala Datuk Marajo Sati berkelebat dan
ujungnya menghantam dua kali berturut-turut ke arah dada dua orang
di hadapannya. Jangankan dada manusia, batu gunung pun bisa
hancur berkeping-keping jika sampai dihantam ujung Sorban Seribu
Sakti itu.
Di antara para Datuk yang ada di Luhak Nan Tigo, sebagai Datuk
Pucuk atau Datuk Pimpinan Datuk Marajo Sati memiliki ilmu silat dan kesaktian paling tinggi. Begitu ujung sorbannya menghantam sosok
tubuhnya sendiri lenyap dari pemandangan sehingga siapapun yang jadi
lawan tidak akan berkesempatan mengerahkan serangan balasan. Inilah
jurus silat yang dinamakan Di Balik Kabut Naga Mematuk.
Hanya saja saat itu yang dihadapi Datuk Marajo Sati bukanlah
dua lawan berkepandaian rendah. Begitu melihat ujung sorban mencuat
ke atas, Datuk Kuning Nan Sabatang cepat kebutkan sarung yang
melintang di dada lalu melesat tinggi ke udara dan di lain kejap telah
berdiri di cabang sebuah pohon besar.
Datuk Bandaro Putih juga tidak kalah sebat. Secepat kilat dia
kebutkan lengan kiri baju hitam, lalu melompat ke atas batu menonjol
di atas mulut goa. Dengan demikian kini Datuk Marajo Sati terjepit di
tengah-tengah. Sadar akan kedudukannya yang berbahaya. Datuk
Marajo Sati segera melompat mundur hingga kini dia bisa melihat jelas
dua orang yang menjadi lawannya. Sorban kembali bergulung di atas
kepala.
“Pengecut! Mengapa menjauh melarikan diri! Dosa kalian
memfitnahku lebih kejam dari pembunuhan! Apa kalian tiba-tiba takut
menghadapi kematian?!” teriak Datuk Marajo Sati. “Cabut Karih kalian!
Mari bertarung sampai darah berkubang nyawa melayang!” (Karih: Keris)
Habis keluarkan ucapan Datuk Marajo Sati cabut keris besar yang
tersisip di pinggang sebelah depan. Konon keris ini diberi nama Rajo
Kaluak Sambilan (Raja Keluk Sembilan) karena memiliki luk sembilan
lengkungan. Senjata yang berlapis perak murni ini berkilauan tertimpa
cahaya matahari.
Di tanah Minang, jika keris sakti atau keris pusaka sudah
terhunus keluar dari sarang berarti pertarungan keris melawan keris
sampai mati tidak dapat dihindarkan lagi!
Namun di atas cabang pohon Datuk Kuning Nan Sabatang
bersikap belum mau melayani tantangan orang. Di dinding goa Datuk
Bandaro Putih memperhatikan penuh waspada. Tangan kiri menekan
hulu keris tangan kanan siap menghantam jika lawan kembali
menyerang.
“Datuk Marajo Sati!” berseru Datuk Kuning Nan Sabatang. “Kalau
Allah memang sudah menentukan kami berdua harus menghembuskan
nafas di tempat ini, masakan kami mampu mencari selamat. Tapi
sebelum kami menemui ajal, ada satu perkara lagi yang kami ingin
kejelasan.”
“Jahanam! Aku tidak ingin bicara lagi dengan kalian berdua!
Najis!” teriak Datuk Marajo Sati. Pergelangan tangan kanan yang
memegang keris bergerak menyentak. Keris besar berluk sembilan itu
serta merta pancarkan cahaya putih menyilaukan. Pertanda sang Datuk
telah mengerahkan tenaga dalam penuh.
Walau jarak mereka cukup jauh namun keris sakti di tangan
Datuk Marajo Sati mampu mencapai lawan karena sang Datuk memiliki. ilmu bernama Tangan Sakti Menggapai Puncak Gunung. Melihat sikap
Datuk Marajo Sati yang jelas-jelas siap untuk kembali menyerang,
Datuk Kuning Nan Sabatang cepat sambung ucapannya tadi.
“Perkara yang kami maksudkan itu, apa benar Datuk telah
melakukan perbuatan maksiat, berbuat dosa besar! Melakukan zinah!
Berhari-hari menyekap seorang gadis Cina di goa kediaman Datuk di
Ngarai Sianok. Kami sempat melihat gadis itu sebelum diculik oleh
orang-orang asing. Kami juga sempat memeriksa ke dalam goa Datuk
dan menemukan beberapa potong pakaian perempuan serta bedak dan
pemerah bibir untuk berhias. Kami tidak percaya Datuk yang
mengenakan pakaian itu dan berhias diri seperti perempuan. Ha... ha...
ha. Bukan begitu Datuk Bandaro Putih?!”
Datuk Bandaro Putih angguk-anggukkan kepala lalu tertawa
gelak-gelak. Datuk Kuning Nan Sabatang berteriak.
“Kami sudah melihat dan sudah mengetahui. Tapi kami ingin
pengakuan jujur dari Datuk!”
Air muka Datuk Marajo Sati berubah semerah saga.
“Jahanam kurang ajar! Benar-benar kurang ajar! Tidak ada yang
harus aku akui! Karena aku tidak pernah melakukan perbuatan keji
apapun! Aku malahan semata-mata Lillahi Ta Allah menolong gadis itu.
Kalian tidak tahu ceritanya kini justru menuduhku berbuat maksiat!
Kalian berdua pasti sudah terkena hasut orang-orang asing itu! Percaya
pada pemuda kurang ajar bernama Pakih Jauhari! Percaya pada orang
dusun yang tolol! Tebus fitnah busuk kalian dengan kematian!”
Datuk Kuning Nan Sabatang keluarkan tawa bergelak.
“Datuk Marajo Sati, kalau memang hasrat mau menolong, banyak
orang yang patut ditolong di negeri ini. Mengapa Datuk hanya menolong
gadis asing yang cantik? Dengan cara menyekapnya di dalam goa tempat
kediaman Datuk? Sungguh naif sekali...! Ha... ha... ha!”
Keris Rajo Kaluak Sambilan di tangan Datuk Marajo Sati
pancarkan cahaya benderang menyilaukan.
“Wutttt!”
Selarik cahaya putih melesat keluar dari ujung keris sakti. Di
udara cahaya ini terbelah menjadi dua. Belahan pertama dengan
kecepatan kilat menyambar ke arah Datuk Bandaro Putih di dinding
goa, belahan kedua menyambar ke jurusan Datuk Kuning Nan Sabatang
di atas cabang pohon. Hanya tinggal beberapa jengkal lagi akan
menghantam sasaran tiba-tiba setiap belahan cahaya mencuat
berserabut menjadi sembilan ujung tombak panas membara merah!
“Sembilan Tombak Hantu Gunung Berapil” teriak Datuk Bandaro
Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang hampir berbarengan! Keduanya
dengan cepat hantamkan dua tangan sekaligus untuk menahan
serangan lalu menghindar dengan melompat terjun ke tanah!
“Wuss! Wusss!”
Dua ujung lengan kiri baju hitam dua Datuk sama-sama terbakar
hangus mengepulkan asap. Walau sepuluh jari tangan sampai ketelapak tampak menjadi hitam hangus namun cidera yang dialami tidak
sampai parah karena dua Datuk yang diserang telah lebih dulu
memagari diri dengan semacam ilmu kebal.
“Datuk sesat Datuk Keparat! Kami mengadu nyawa denganmu!”
teriak Datuk Kuning Nan Sabatang lalu melayang turun ke tanah.
Tangan kanan kini sudah menggenggam keris pusaka bernama Datuk
Angin Kataun. Begitu dibabatkan senjata ini mengeluarkan suara
laksana badai melanda lautan!
Dari arah kiri Datuk Bandaro Putih melesat ke bawah sambil
acungkan keris yang menyemburkan nyala api berwarna biru! Konon
keris yang bernama Nago Gunung Singgalang ini terbuat dari batu sakti
berusia tiga ratus tahun yang terpendam di dasar kawah Gunung
Singgalang.
“Traang! Traang!” Bunga api berpijar. Meski tiga bilah keris belum
sama sekali saling bersentuhan namun dalam keterpautan jarak
senjata-senjata sakti itu sudah saling berlaga dan mengeluarkan suara
berdentangan.
Walau memiliki kesaktian dan keris yang lebih besar namun
diserang dua orang berkepandaian tinggi membuat Datuk Marajo Sati
terjajar sampai tiga langkah ke belakang. Ilmu Sembilan Tombak Hantu
Gunung Merapi meredup lenyap. Dada mendenyut sakit. Sang Datuk
menggeram marah. Di saat yang sama dua Datuk sudah menjejakkan
kaki ke tanah, sengaja menjaga jarak. Keris sudah disarungkan. Wajah
mereka tampak pucat.
“Datuk Marajo Sati! Kita sudahi pertarungan sampai di sini. Tidak
ada gunanya diteruskan. Siapa menang jadi arang, yang kalah jadi
debu! Sebenarnya kami datang membawa surat perintah dari Penghulu
Tertinggi tanah Minang, Sri Baginda Raja di Pagaruyung. Tadinya jika
Datuk mau bersikap jujur dan berjiwa besar kami tidak merasa perlu
mengeluarkan surat itu. Tapi nyatanya Datuk malah mau menang
sendiri padahal kilat beliung sudah ke kaki, kilat cermin sudah ke muka.
Datuk pucuk, terimalah surat perintah ini!” (kilat beliung sudah ke kaki,
kilat cermin sudah ke muka: apa yang terjadi sudah nyata) Dari balik
baju hitamnya Datuk Bandaro Putih dari Luhak Lima Puluh Kota
keluarkan selembar kain yang tergulung pada sebatang bambu kuning
sepanjang dua jengkal. Dengan mengerahkan tenaga dalam Datuk
Bandaro Putih lemparkan bambu itu, tapi sengaja tidak diarahkan pada
Datuk Marajo Sati melainkan dilempar ke arah dinding batu dekat
mulut goa hingga bambu menancap sepertiganya sementara gulungan
kain berputar keluar dari lilitan dan menjulai ke bawah.
Datuk Marajo Sati tidak perdulikan surat perintah yang menancap
di dinding batu. Wajah beringas menatap garang ke arah dua Datuk.
Mulut menggembor keras lalu menggelegar suara teriakan.
“Manusia-manusia durhaka! Mampuslah kalian berdua!”
Masih menggenggam keris sakti di tangan kanan, Datuk Marajo Sati guratkan kaki kanannya keras-keras ke tanah hingga mengeluar-
kan kepulan asap angker. Lalu!
“Rerrrrttttttttt!”
Debu mengepul ke udara.
Tanah di depan kaki Datuk Marajo Sati tiba-tiba mengeluarkan
suara berderak lalu terbelah memanjang, menjalar ke arah Datuk
Kuning Nan Sabatang dan Datuk Bandaro Putih berdiri.
Dua Datuk tersentak kaget
“Awas! Ilmu Tanah Tabalah Hukum Manimpol” teriak Datuk
Bandaro Putih. Bersama Datuk Kuning Nan Sabatang dengan cepat dia
membuat gerakan melompat selamatkan diri. Namun dalam tegang dan
kalut keduanya saling melompat ke arah yang bersamaan hingga tubuh
mereka saling bentur! Dalam keadaan seperti itu dari tanah yang
terbelah menderu suara angin keras, mengeluarkan kekuatan menyedot
kencang dan ganas luar biasa. Sebelum dua Datuk sempat mengimbangi
diri, tubuh keduanya sudah tertarik ke bawah siap dijepit dan dikubur
hidup-hidup oleh tanah yang terbelah.
“Celaka!” teriak Datuk Bandaro Putih.
“Allahu Akbar!” Datuk Kuning Nan Sabatang menyeru nama
Tuhan!
Dalam keadaan tegang seperti itu tiba-tiba satu bayangan hitam
berkelebat Hanya tinggal dua jengkal saja kaki dua Datuk akan amblas
tersedot ke dalam belahan tanah si bayangan hitam dengan gerakan
cepat berhasil merangkul pinggang mereka lalu melompat membawa
keduanya ke tempat yang aman, menjauhi tanah yang terbelah dan
menyedot!
“Hik... hik... hik!” Tiba-tiba ada suara perempuan tertawa.
“Sahabatku, kau memang hebat! Dua Datuk itu harus berterima
kasih padamu! Hik... hik... hik!”
LIMA
TIDAK menyangka ada orang yang akan menolong, selain merasa
bersyukur, dua Datuk tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut
mereka. Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang cepat
lepaskan diri dari rangkulan orang yang menolong lalu berbalik. Mereka
jadi sama-sama kernyitkan kening ketika melihat di depan mereka
berdiri seorang pemuda berbaju dan bercelana galembong hitam,
berambut panjang sebahu, mengenakan kopiah hitam.
Datuk Bandaro Putih hendak berkata menyampaikan rasa terima
kasih namun mulutnya tertahan karena saat itutiba-tibaberkelebat
seorang berpakaian putih dan di lain kejap telah berdiri di samping kiri
pemuda gondrong berpakaian hitam. Rambut putih digulung di atas
kepala, bagian belakang dibiarkan tergerai. Ketika menyeringai kelihatan
barisan gigi yang dilapis perak. Dua tangan memulai di sisi, panjang
hampir menyentuh tanah. Di balik punggung pakaian putihnya
menyembul gagang sebilah pedang terbuat dari perak.
Dua Datuk tentu saja tercengang melihat kemunculan si nenek
yang sangat mereka kenal. Ditambah lagi perempuan tua ini tadi
menyeru si pemuda sebagai sahabat.
“Kamba Mancuang Tangan Menjulai!” tegur Datuk Kuning Nan
Sabatang. “Tidak salahkah mata kami melihat? Benar kau ini, murid
InyiekSusu Tigo yang berdiri di hadapan kami?!”
Si nenek tersenyum. Pantulan sinar matahari membuat gigi
peraknya berkilau. Setelah terlebih dulu kedipkan mata nenek ini baru
menjawab.
“Pandangan Datuk berdua tidak keliru. Mata kalian tidak salah
lihat. Aku ini memang si Kamba Mancuang Tangan Menjulai.”
Walau kini merasa lega namun dua Datuk masih was-was.
“Kamba Mancuang, dan terutama kau anak muda berambut
panjang, kami berterima kasih kau telah menyelamatkan kami dari
serangan keji Datuk sesat itu!” berucap Datuk Bandaro Putih.
Si nenek menyeringai. Pemuda berambut panjang tersenyum
sambil anggukkan kepala dan sedikit membungkuk. Kopiah di atas
kepala diangkat. Saat itu Wiro mengenakan baju lengan panjang dan
celana galembong hitam serta kopiah yang tidak lagi kekecilan
pemberian si Kamba Mancuang.
Datuk Kuning Nan Sabatang lantas bertanya pada si nenek.
“Pemuda ini, benar dia sahabatmu?”
Si Kamba Mancuang anggukkan kepala lalu berkata, “Namanya
Wiro Sableng. Dia berasal dari tanah Jawa...”
Pemuda di samping si nenek yang memang adalah pendekar 212
Wiro Sableng tersenyum dan kembali membungkuk ke arah dua orang Datuk sambil kopiah hitam di atas kepala sekali lagi diangkat ke atas.
Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang sama-
sama saling pandang lalu berpaling kembali pada si nenek.
“Kamba Mancuang, kami mendengar kabar yang tidak sedap
tentang dirimu. Mudah-mudahan ini tidak benar. Konon kau dan
saudara kembarmu terlibat dalam satu komplotan sesat dengan
beberapa orang asing. Akibat perbuatan kalian beberapa tokoh di negeri
ini menemui ajal. Lalu pemuda sahabatmu ini dikabarkan menjadi salah
seorang penyebab semua kerusuhan di negeri ini.”
Si nenek pencongkan mulut Dia menatap sebentar pada pemuda
di sampingnya.
“Jelaskan saja Nek, biar kau tidak menjadi korban salah duga.”
Berkata Wiro, “Kalau kau sudah bicara nanti ganti aku yang
menjelaskan...”
Si Kamba Mancuang anggukkan kepala.
“Datuk berdua, sebagian ucapanmu mungkin benar. Tapi
sekarang aku sudah tidak ada urusan lagi dengan segala macam
komplotan yang kau sebut sesat itu. Selain itu saudara kembarku telah
menemui ajal dibunuh manusia-manusia jahanam itu! Ini sudah cukup
menjadi hukuman batin bagiku! Aku...”
Belum sempat Si Kamba Mancuang meneruskan ucapan tiba-tiba
Datuk Marajo Sati yang sejak tadi memperhatikan maju selangkah
sambil membentak keras.
“Tua bangka busuk bergigi perak! Tidak ada yang perlu kau
jelaskan! Aku sudah tahu siapa dirimu. Kau bertanggung jawab atas
kematian beberapa tokoh. Termasuk sahabatku Sutan Paduko Alam di
pesisir barat. Lekas datang ke hadapanku! Berlutut minta ampun!”
Mendengar dirinya dimaki sebagai tua bangka busuk lalu diminta
datang berlutut, karuan saja hati Si Kamba Mancuang menjadi panas.
Dia sudah bicara polos tapi orang malah mencaci maki. Dalam
marahnya si nenek akhirnya tertawa tergelak-gefak. Aneh juga! Puas
tertawa dia gerakkan kaki melangkah ke arah Datuk Marajo Sati.
Namun Wiro cepat menahan bahunya dan berbisik, “Nek, biar aku yang
bicara,” Lalu murid Sinto Gendeng mendahului maju ke hadapan Datuk
Marajo Sati.
“Datuk yang saya hormati, biarkan saya mewakili nenek
sahabatku itu. Saya sudah datang ke hadapanmu. Apa yang hendak
kau katakan. Apakah saya harus berlutut juga?!”
Sepasang mata Datuk Marajo Sati membeliak besar berkilat
berapi-api, Sorban di kepala naik ke atas pertanda amarahnya meluap
besar. Namun dia tersurutdan terkesiap ketika Wiro tiba-tiba mengambil
tangan kanannya lalu mendekatkan ke hidung dan mencium tangan itu.
Datuk Marajo Sati cepat-cepat menarik tangannya. Dulu ketika pertama
kali menemui sang Datuk di dalam goa di Ngarai Sianok hal yang sama
yaitu mencium tangannya juga dilakukan Wiro pertanda hatinya
memang polos dan bersih tiada niat jahat. Namun jabat dan ciuman tangan itu tidak menyurutkan amarah Datuk Marajo Sati.
“Laki-laki berambut seperti perempuan! Jangan kau berpura-pura
beradat bersopan santun! Berlagak sebagai Pandeka Gadang Mantiko
Langek Kau lebih busuk dari nenek satu itu! Ingat sewaktu secara
kurang ajar kau menyusup ke dalam goa kediamanku di Nagari Sianok?
Saat itu aku telah memaafkanmu tapi dengan peringatan. Jika aku
masih melihatmu berkeliaran di tanah Minang ini maka aku akan
menganggapmu sebagai musuh yang harus dihabisi!” (Pandeka Gadang:
Pendekar Besar) (Mantiko langek: Konyol kurang ajar)
“Datuk, saya dan nenek ini sengaja mencari Datuk untuk...”
Sebenarnya Wiro hendak, menceritakan pertemuan dan pertarungannya
dengan Tuanku Laras dan kawan-kawan di mana akhirnya manusia
bermuka belang itu melarikan diri sambil memboyong seorang gadis
Cina cantik jelita. Namun Wiro keburu dihardik sang Datuk.
“Tutup mulutmu! Jangan berpura-pura menunjukkan sikap
bersahabat padaku! Barusan saja kau membela dua Datuk di sana yang
hendak membunuhku!”
Sudah Datuk, biarkan saya dan nenek itu memberi penjelasan
lebih dulu...”
“Pemuda bernama Wiro Sableng!” tiba-tiba Datuk Bandaro Putih
berteriak, “Kau ini berada di pihak mana sebenarnya? Menolong kami
tapi sekaligus coba berbaik-baik dengan Datuk pembunuh itu! Ular
kepala dua kau rupanya!”
“Bukan cuma ular kepala dua! Tapi ular kepala dua belas!” Tiba-
tiba ada dua suara berteriak berbarengan.
ENAM
SESAAT kemudian di tempat itu telah berdiri satu sosok besar aneh.
Ujudnya adalah dua pemuda bertubuh dempet di bagian punggung.
Satu berkumis biru, yang satu lagi berkumis merah. Tubuh dempet itu
mengenakan satu jubah besar berwarna merah gelap. Dua pemuda
dempet ini diketahui berjuluk Tengku Mudo Sagalo Duo. Di tanah
Minang selain dikenal
sebagai dua mahluk aneh yang punya ilmu kepandaian tinggi juga
diketahui senang mengajak perempuan tua apa lagi muda untuk
berbuat mesum. Mereka merasa mampu memberi kesenangan lebih
karena memiliki bagian-bagian tubuh yang serba dua. Konon banyak
perempuan yang memang gatal mencari pemuda ini untuk mendapatkan
pengalaman dan kepuasan. Ternyata jika sudah satu kali sempat
berhubungan perempuan itu akan tergila-gila dan mencari mereka.
Kelebihan yang mereka miliki dipergunakan oleh Tengku Mudo Sagalo
Duo untuk memperalat perempuan itu melakukan apa saja yang mereka
inginkan. Salah seorang di antaranya adalah Niniek Panjalo yang
kemudian menemui ajal di tangan Wiro. (Baca Episode sebelumnya
berjudul “Mayat Kiriman di Rumah Gadang. “)
Kemunculan Tengku Mudo Sagalo Duo sebenarnya adalah
mengejar Si Kamba Mancuang. Sejak pertama kali melihat si nenek
keduanya sudah sama menaksir. Apa lagi mereka pernah mendengar
satu rahasia perihal siapa sebenarnya murid Inyiek Susu Tigo ini.
Namun mereka tidak menyangka kalau di tempat itu juga ada Pendekar
212 yang sebelumnya telah sempat membuat mereka merasa jerih.
Karena sudah kepalang tanggung dan keburu terlihat Tengku
Mudo Sagalo Duo tidak mungkin bersurut pergi begitu saja.
“Mahluk najis pengacau!” bentak Datuk Marajo Sati. “Urusan apa
kau muncul di sini! Lekas menyingkir pergi!”
“Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo yang kami hormati,” pemuda
dempet berkumis merah di sisi kanan berkata sambil bungkukkan
badan hingga saudara dempetnya tertarik ke atas. Ketika bicara
kelihatan barisan gigi yang ternyata juga berwarna merah. Pemuda ini
dipanggil orang dengan nama Sunguik Merah. Saudaranya yang
berkumis dan bergigi biru bernama Sunguik Biru. (Sunguik: kumis)
“Kami berdua datang bukan untuk mengacau urusan Datuk.
Mana berani kami melakukan. Kami justru datang untuk memperingan
pekerjaan Datuk. Perihal pemuda berambut seperti padusi itu, dia
memang pengacau sesat dari tanah Jawa yang harus dihabisi. Lalu
Datuk harus pula menghadapi dua Datuk angkuh pandai memfitnah
itu. Padahal mereka harus tunduk dan patuh terhadap Datuk.
Bukankah mereka bawahan Datuk? Lalu ditambah satu lagi nenek bergigi perak murid inyiek Susu Tigo. Empat orang yang harus Datuk
Lawan sekaligus. Kami tahu dengan ilmu Datuk yang tinggi mereka
semua bisa saja Datuk pesiangi. Tapi bagaimana kalau nenek ini kami
saja yang menghadapi. Berarti berkurang satu lawan Datuk bertarung.
Selain itu kami diberi tugas oleh Tuanku Laras untuk mengambil
pedang Al Kausar yang dicuri nenek ini. Kami diminta meringkusnya
dan membawa ke hadapan Tuanku Laras Muko Balang!”
Datuk Badaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang sama-sama
unjukkan wajah kaget mendengar disebutnya pedang Al Kausar,
Datuk Marajo Sati sendiri sesaat terdiam mendengar ucapan
Sunguik Merah itu. Kepala didongakkan tapi sepasang mata melirik ke
arah belakang punggung Si Kamba Mancuang di mana tersembul
sebilah gagang pedang terbuat dari perak yang sebenarnya sejak tadi
sudah jadi perhatiannya. Dari bentuk gagang serta cahaya yang
memancar dia maklum kalau senjata itu bukan pedang sembarangan.
Menghadapi empat lawan sekaligus, dengan kemampuan yang dimiliki
sebenarnya Datuk Marajo Sati sama sekali tidak menaruh rasa takut.
Kalaupun dia menemui ajal paling tidak tiga orang lawan akan
bersimbah darah!
Namun jika pedang yang ada pada si nenek benar pedang Al
Kausar milik Tuanku Laras Muko Balang maka dia harus
memperhitungkan keberadaan senjata yang kehebatannya sudah
diketahui. Datuk Marajo Sati bukan pula orang yang pendek akal apa
lagi tolol dan mau saja mendengar ucapan orang. Dia juga maklum apa
maksud sebenarnya dari dua pemuda dempet itu hendak meringkus si
nenek. Tak lain hendak berbuat mesum! Setelah terdiam sejurus maka
sang Datuk berkata.
“Sunguik Merah, Sunguik Biru! Kalian berdua boleh melakukan
apa saja terhadap nenek itu! Aku tidak perduli! Tapi lebih dulu katakan
ke mana Tuanku Laras Muko Balang dan kawan-kawannya membawa
gadis Cina yang mereka culik!”
Tampang Datuk Bandaro Putih berkerenyut. Setengah berbisik dia
berkata pada Datuk Kuning Nan Sabatang. “Hati dan otak Datuk Pucuk
benar-benar sudah terpasung pada gadis Cina gendaknya itu. Orang
bicara lain dia berucap lain.”
Sementara itu Wiro merasa heran dua pemuda dempet berkumis
merah biru masih punya nyali datang ke tempat itu dan bicara sombong
hendak meringkus Si Kamba Mancuang. Wiro cepat dekati si nenek dan
berbisik.
“Nek, kalau dua pemuda dempet saling kentut ini berani muncul
di sini, aku mengira ada sesuatu yang diandalkannya. Aku tidak yakin
dia bisa membujuk Datuk Marajo Sati. Dugaanku mereka tidak datang
cuma berdua. Pasti ada...”
“Dugaanmu kurasa betul. Lain daripada itu aku rasa mereka
mengincar diriku...”Wiro miringkan mulut lalu tertawa, “Nek, kau jangan membuat
aku cemburu...”
Si Kamba Mancuang tertawa cekikikan.
“Nek, kalau tiba saatnya akan aku gebuk hancur kepala dua
pemuda itu atas bawah...!”
“Kalian berdua!” Di seberang sana Datuk Marajo Sati tiba-tiba
membentak sambil delikkan mata ke arah dua pemuda dempet “Kalau
tidak mau memberi tahu ke mana Tuanku Laras jahanam melarikan
gadis Cina itu, aku akan sangat-sangat berbaik hati membelah tubuh
kalian hingga tidak malakok lagi!” (malakok: dempet)
Enak saja Sunguik Biru menjawab, “Datuk, jika kau ingin tahu di
mana gadis Cina itu berada bersama Tuanku Laras, tolong kau rampas
dulu pedang Al Kausar dari nenek itu dan serahkan pada kami.”
“Palasik jahanam! Manusia mesum! Berani kau memerintahku!”
teriak Datuk Marajo Sati marah luar biasa. (Palasik: di sini merupakan
makian kemarahan. Arti sebenarnya adalah semacam mahluk yang
kepalanya bisa tanggal dari leher lalu gentayangan mencari korban
untuk dihisap darahnya) “Sudah saatnya mahluk najis macam kalian
disingkirkan ke dalam neraka ke tujuh!”
Sepasang mata Datuk Marajo Sati memandang berkilat ke arah
dua pemuda dempet. Dia berusaha membuat kedua orang ini tidak
leluasa bergerak dengan ilmu Mengunci Gerak Tangan Pandangan Mata.
Sementara itu Sorban Seribu Sakti di atas kepala Datuk Marajo Sati
terbuka dari gulungannya. Tangan kanan sang Datuk cepat menyambar
salah satu ujung sorban. Ujung yang lain dikebutkan ke udara dua kali
berturut-turut. Inilah jurus sorban maut bernama Duo Kilek Manyemba
Gunung Singgalang Merapil (Dua Kilat menyambar Gunung Singgalang
Merapi)
“Taarr!Taarrr!”
Dua kilatan menyilaukan berkiblat di udara. Menyambar ke arah
kepala dua pemuda dempet yang saat itu akibat pandangan mata yang
memancarkan hawa sakti dari Datuk Marajo Sati membuat walau hanya
sebentar dua kaki mereka bergetar dan terasa agak berat.
Wiro cepat melompat ke tengah kalangan sambil berseru.
“Datuk! Jika dua manusia najis ini tahu di mana gadis Cina itu
berada, mengapa hendak dibunuh! Biar saya dan Si Kamba Mancuang
mewakili Datuk untuk meringkus mereka dan mengorek keterangan!”
Pendekar 212 dorongkan dua telapak tangan melepas pukulan
Tameng Sakti Menerpa Hujan dalam gerak jurus bernama Membuka
Jendela Memanah Rembulan. Begitu angin pukulan saling bentrok
dengan dua cahaya putih yang keluar dari ujung sorban Datuk Marajo
Sati maka dess... dess! Wiro terjajar ke belakang. Ujung lengan baju
hitamnya kepulkan asap. Tangan mulai dari ujung jari sampai ke bahu
terasa kesemutan. Jari-jari tangan sampai ke telapak tampak membiru.Khawatir dalam keadaan seperti itu ada orang yang menyerang maka
Wiro cepat jatuhkan diri ke tanah.
Datuk Marajo Sati sendiri berteriak marah ketika melihat
bagaimana ujung sorban saktinya yang terkena sambaran angin
pukulan Wiro terpental lalu lepas dari pegangan sementara ada hawa
panas menjalar masuk ke dalam tubuh membuat dadanya berdenyut
sakit. Dalam keadaan seperti itu dia tersentak kaget dan keluarkan
seruan tertahan ketika menyaksikan bagaimana sambil jatuhkan diri ke
tanah Wiro tarik ujung sorban putih hingga meleset dan bergulung
melingkari kopiah hitam yang ada di atas kepalanya!
Walau yakin Wiro tidak cidera dan malah mampu
mempermainkan sorban lawan namun ketika melihat Wiro menjatuhkan
diri di tanah, Si Kamba Mancuang yang merasa khawatir, cepat cabut
pedang Al Kausar dari balik punggung pakaian. Ternyata senjata yang
tidak bersarung ini dibungkus dengan libatan kain putih. Sekali si
nenek menyentakkan tangan maka libatan kain putih dengan cepat
bergulung membuka. Karena memang tidak akan dipergunakan untuk
menyerang orang tapi sekedar melindungi Wiro, maka si nenek hanya
berdiri berjaga-jaga di samping Pendekar 212. Justru di saat itu terjadi
satu hal yang tidak terduga.
Dua pemuda dempet menjerit keras ketika dua ekor harimau
kuning besar entah dari mana datangnya tahu-tahu telah melompat ke
arah mereka. Harimau di sisi kanan langsung menyambar menggigit
tangan kanan Sunguik Merah dan Sunguik Biru.
“Binatang jahanam! Mampuslah!” teriak Sunguik Merah sambil
menghantamkan tangan kiri ke kepala harimau besar. Hal yang sama
dilakukan oleh Sunguik Biru.
Sesaat lagi sebelum dua pukulan yang bisa membuat kepala dua
harimau besar rengkah mengenai sasarannya tiba-tiba dua bayangan
hitam berkelebat dari arah belakang. Keduanya langsung duduk di
punggung dua harimau besar sambil salah satu tangan ditusukkan ke
ubun-ubun Sunguik Merah dan Sunguik Biru. Ludah membusa dari
mulut dua pemuda dempet ini. Tubuh mereka langsung tersentak kaku
tak mampu bergerak. Hanya mulut yang masih bisa keluarkan teriakan-
teriakan keras. Dua harimau melesat makin tinggi ke udara. Di atas
punggung harimau-harimau sakti ini duduk dua orang berpakaian dan
berdestar hitam. Mereka bukan lain adalah Datuk Bandaro Putih dan
Datuk Kuning Nan Sabatang
TUJUH
MENGETAHUI kalau apa yang terjadi adalah perbuatan Datuk Bandaro
Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang, Sunguik Merah segera
berteriak.
“Datuk berdua! Mengapa Datuk melakukan ini? Menganiaya kami!
Apa salah kami?!” Pemuda bernama Sunguik Merah berteriak.
“Siapa yang menganiaya?! Kami hanya ingin membawamu
berjalan-jalan barang sebentar!” Menyahuti Datuk Bandaro Putih sambil
menyeringai, “Bukankah selama hidup baru sekali ini kalian terbang di
udara? Sambil berjalan-jalan melihat keindahan nagari kami ingin
bertanya. Kecuali kalau kalian Ingin cepat-cepat turun dengan cara
terjun ke bawahi”
“Datuk berdua sudah gila rupanya!” Yang berteriak kini Sunguik
Biru. “Kalau ingin bertanya mengapa menyiksa kami seperti ini?!
Mengapa membawa kami terbang ke udara! Mengapa tidak bertanya di
daratan saja?!”
Dua Datuk cuma tertawa. Datuk Kuning Nan Sabatang lalu
berkata, “Dari bicara kalian tadi dengan Datuk Pucuk Marajo Sati
rupanya kalian tahu di mana beradanya Tuanku Laras Muko Balang.
Katakan kepada kami di mana manusia muka belang berbulu itu dan
gadis culikannya berada!”
“Datuk berdua! Apakah menginginkan Tuanku Laras atau gadis
Cina itu. Jangan-jangan Datuk berdua telah jatuh hati pula pada wajah
yang cantik, kulit putih mulus dan tubuh elok montok...”
“Plaakkk!”
Datuk Bandaro Putih tampar pipi Sunguik Biru hingga sudut bibir
sebelah kiri robek mengucurkan darah.
“Jangan berani bicara kurang ajar pada kami Datuk pimpinan
Luhak!” kata Datuk Bandaro Putih. Tangan kanannya yang tadi
menampar masih menggantung di udara dalam keadaan bergetar, siap
untuk menampar kembali atau bahkan menjotos batok kepala Sunguik
Biru
Melihat saudara dempetnya ditampar hingga luka Sunguik Merah
merasa tidak senang lalu keluarkan ucapan menantang.
“Kalau kami tidak mau memberi tahu Datuk berdua mau berbuat
apa?!”
Datuk Bandaro Putih siap hendak menghajar Sunguik Merah.
Tapi Datuk Kuning Nan Sabatang memegang lengannya, berpaling pada
Sunguik Merah lalu tertawa gelak-gelak.
“Jawabnya mudah saja. Aku akan perintahkan dua harimau
melepas gigitan di tangan kalian. Kalian boleh bergembira terjun jatuh
ke bawah. Coba kalian lihat apa yang ada di bawah sana!” Mendengar kata-kata Datuk Bandaro Putih dua pemuda berjuluk Tengku Mudo
Sagalo Duo itu tukikkan pandangan ke bawah. Saat itu mereka berada
di atas sebuah bukit batu hitam yang di puncaknya terdapat beberapa
telaga. Dua pemuda dempet ini serta merta mengenali bukit itu. Mereka
tahu pula kalau di setiap telaga dihuni oleh lusinan buaya besar yang
kelaparan dan jarang bertemu manusia!
“Bukit Batu Lubuk Buaya!” teriak Sunguik Merah. Wajahnya dan
wajah saudaranya yang sejak tadi sudah pucat kini jadi tambah tidak
berdarah karena ketakutan setengah mati.
“Datuk berdua orang baik orang beragama. Mengapa hendak
berbuat sekejam itu menjatuhkan kami ke bukit batu yang banyak
buaya laparnya?!” ucap Sunguik Biru dengan suara bergetar.
“Mahluk bejat seperti kalian sebenarnya sudah lama harus
disingkirkan dari muka bumi ini! Tapi siapa tahu kalian masih bisa
berbuat kebajikan mengurangi dosa-dosa bejat kalian selama ini!” Kata
Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Dengar, kami tidak tahu di mana Tuanku Laras berada. Tadi
kami hanya bicara membual mengharapkan Datuk Marajo Sati mau
merampas pedang Al Kausar dari tangan si nenek.” Memberi tahu
Sunguik Merah.
“Betul, sebenarnya kami memang tidak tahu di mana beradanya
Tuanku Laras,” Sunguik Biru sambung ucapan Sunguik Merah.
Datuk Kuning Nan Sabatang tepuk pinggul kanan harimau yang
ditunggangi. Binatang ini segera lepaskan gigitannya di tangan kanan
Sunguik Merah. Tak ampun lagi sosok dua pemuda dempet itu berayun
melayang menggantung ke bawah namun masih tertahan karena
harimau yang ditunggangi Datuk Bandaro Putih masih menggigit lengan
kanan Sunguik Biru. Kedua pemuda dempet itu menjerit-jerit
ketakutan. Yang paling keras jeritannya Sunguik Biru karena luka
gigitan harimau di lengannya semakin besar menguak.
“Datuk! Ampun! Jangan jatuhkan kami! Kami akan memberi tahu!
Kami akan bicara! Tapi turunkan dulu kami ke tanah!” Sunguik Merah
berseru. Bagian bawah jubahnya telah basah oleh air kencing yang tidak
tertahankan lagi dan terpancar tak karuan.
“Kau hanya menipu!” teriak Datuk Bandaro Putih. Lalu membawa
harimau tunggangannya melayang lebih tinggi.
“Demi Tuhan! Kami bersumpah!” teriak Sunguik Biru ketakutan
setengah mati.
“Aha! Masih punya Tuhan kalian rupanya!” ucap Datuk Kuning
Nan Sabatang. Lalu dia memberi isyarat pada Datuk Bandaro Putih.
Harimau besar yang masih menggigit tangan kanan Sunguik Biru
perlahan-lahan melayang turun ke bawah hingga akhirnya sampai di
salah satu puncak bukit batu hitam, hanya dua langkah dari pinggiran
sebuah jurang batu terjal sedalam hampir tiga puluh tombak. Di dasar
jurang terdapat sebuah telaga dihuni banyak buaya besar berkulit coklat kehitaman yang sudah cukup lama tidak mengenyam makanan
lezat apa lagi yang namanya tubuh manusia.
Sambil perhatikan lengan masing-masing yang luka dan
berlumuran darah dua pemuda dempet itu menggerung kesakitan. Saat
itu keduanya masih dalam keadaan tak mampu bergerak. Tanpa turun
dari punggung harimau Datuk Bandaro Putih membentak.
“Sekarang beri tahu di mana beradanya Tuanku Laras Muko
Balang atau kami lempar kalian ke dalam jurang...”
“Datuk berdua, sebenarnya... sebenarnya ada keperluan apa
menanyakan keberadaan Tuanku Laras. Bukankah...”
Datuk Kuning Nan Sabatang jadi kesal. Dia majukan harimau
tunggangan mendekati dua pemuda dempet lalu kaki kiri diangkat,
diletakkan di atas dada Sunguik Merah, siap untuk menendang.
“Sunguik Merah! Jawab saja apa yang kami tanya. Kalau kau
berani berpanjang mulut, jurang di dekat kalian cukup dalam. Sekali
aku tendang dadamu, kau bersama saudara mesummu akan terpental
masuk ke dalam jurang. Sampai di dasar kalian sudah berubah lumat.
Kalau masih hidup, belasan buaya di dalam telaga siap menyantap
kalian hingga tidak ada lagi yang tersisa dari tubuh kalian!”
“Jangan Datuk, jangan! Kami berdua mohon ampun dan kasihan.
Apakah... apakah Datuk berdua tidak akan lebih dulu melepaskan ilmu
yang membuat kami tak bisa bergerak ini?” Sunguik Biru berkata
berhiba-hiba.
Dua Datuk mana mau percaya.
“Sekali lagi kau berpanjang bicara, kudongak kalian berdua
masuk jurang!” hardik Datuk Kuning Nan Sabatang. Lalu kaki kirinya
yang menempel di dada Sunguik Merah didorongkan sehingga dua sosok
dempet itu terhuyung-huyung ke arah jurang, (dongak: tendang)
“OndeMakl Datuk! Tunggu! Jangan menendang!” teriak Sunguik
Biru dengan muka pucat. Saat itu tubuhnya memang menghadap ke
arah jurang hingga rasa takutnya bukan alang kepalang, nyawa serasa
terbang. Lalu dia berkata pada saudara dempetnya. (OndeMak\: Aduh
Ibu!)
“Sunguik Merah lekas kau beritahu pada Datuk. Aku belum mau
mampus. Apa lagi mati bergulung jatuh ke dasar jurang batu, ditunggu
buaya-buaya lapar!”
“Baik... baik... Aku akan bicara,” jawab Sunguik Merah. “Datuk
berdua, sebenarnya kami tidak tahu pasti di mana saat ini beradanya
Tuanku Laras. Ke mana dia membawa gadis Cina yang kabarnya pernah
disekap Datuk Marajo Sati itu. Belum lama ini secara tak sengaja kami
bertemu dengan Tuanku Laras. Dia menyuruh kami merampas pedang
Al Kausar miliknya yang berada di tangan Si Kamba Mancuang...”
“Pedang Al Kausar bukan senjata sembarangan. Mengapa
manusia muka belang itu mempercayai kalian untuk mendapatkannya
kembali?” ucap Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Dia sibuk mengurusi gadis Cina itu!” jawab Sunguik Biru.Dua Datuk saling pandang dan diam-diam sama bisa menerima
penjelasan Sunguik Biru.
“Kalian berdua mau melakukan perintah Tuanku Laras.
Mengapa?!” tanya Datuk Bandaro Putih. “Setahu kami selama ini kalian
tidak punya hubungan dekat dengan dirinya.”
“Kami dijanji jika berhasil akan diberi satu batangan emas murni,”
jawab Sunguik Merah.
“Kalian percaya?!” tanya Datuk Bandaro Putih.
“Tentu saja,” jawab Sunguik Merah. “Tuanku Laras
memperlihatkan beberapa batang emas yang ada padanya!”
Dua Datuk kembali saling berpandangan. Ini satu hal yang baru
bagi mereka. Dari mana Tuanku Laras mendapatkan batangan emas
itu?
“Lalu bagaimana selanjutnya?” tanya Datuk Kuning Nan
Sabatang.
“Jika pedang Al Kausar sudah didapat kami disuruh pergi ke
Bukit Batu Patah, di bekas tempat berdirinya Istana lama Kerajaan
Pagaruyung. Kami harus mengantarkan pada malam hari ketiga bulan
baru. katanya dia akan menunggu di sana.”
“Mengapa di Bukit Batu Patah dan mengapa harus hari ketiga
bulan baru?” tanya Datuk Bandaro Putih.
“Itu yang kami tidak tahu,” jawab Sunguik Merah pula.
Dua Datuk terdiam. Sejurus kemudian Datuk Kuning Nan
Sabatang berkata, “Kami akan menyelidik. Jika ternyata kalian menipu
umur kalian tidak akan lama. Sebelum bulan setengah lingkaran
muncul di langit malam kalian sudah kami temui dan kami habisi!”
Selesai keluarkan ucapan dua Datuk siap menggebrak harimau
masing-masing.
“Datuk! Tunggu! Bagaimana dengan kami?!” teriak Sunguik
Merah. “Tubuh kami masih kaku tak bisa bergerak! Kami tidak mau
mati tagang di tempat cilako ini!” (tagang: tegang/kaku) (cilako: celaka)
“Sebelum matahari tenggelam kalian berdua akan bebas dengan
sendirinya!” jawab Datuk Bandaro Putih.
Belum sempat dua harimau besar melesat ke udara
menerbangkan dua Datuk tiba-tiba dari dalam jurang terdengar suara
menderu keras. Batu-batu di dinding jurang runtuh hancur berkeping-
keping, debu mengepul ke udara. Di lain kejap tiba-tiba satu sosok aneh
yang tadinya melata melesat di dinding jurang kini berdiri di hadapan
dua pemuda dempet!
Mahluk yang muncul ini sungguh dahsyat!
DELAPAN
SUNGUIK Merah dan Sunguik Biru walaupun berada dalam keadaan
kaku tak mampu bergerak namun masih bisa merasakan bagaimana
tubuh mereka menjadi bergetar dan tengkuk seperti diguyuraires!
Mahluk yang berdiri di hadapan mereka ujudnya setengah
perempuan setengah buaya. Leher ke atas atau bagian kepala berbentuk
kepala seekor buaya berkulit putih bermata biru. Di atas kening antara
kedua mata melekat sebuah batu permata memancarkan cahaya hijau.
Dari leher ke bawah sosok mahluk ini tidak beda dengan sosok
seorang perempuan muda bertubuh bagus dan elok menawari serta
berkulit putih mulus. Keelokan dan keputihan ini terlihat jelas karena
dari leher sampai ke pusar tubuh itu tidak tertutup apa-apa. Dari pusar
ke bawah mahluk perempuan berkepala buaya putih ini mengenakan
sehelai kain songket merah setinggi lutut hingga terlihat betisnya yang
putih menawan.
Perempuan berkepala buaya ini memiliki dua tangan dan dua kaki
tidak beda dengan manusia. Dalam ujud yang seperti itu tubuhnya
menebar bau harum mewangi. Dua pemuda dempet sama menelan
ludah. Mata menatap tak berkesip, tenggorokan turun naik. Ingatan
mereka sekilas kembali pada masa beberapa waktu lalu.
Kemunculan sang mahluk membuat dua Datuk terkejut dan serta
merta menahan gerakan harimau tunggangan yang hendak melesat
terbang ke udara. Melirik ke arah kiri mereka melihat sepasang pemuda
dempet pucat pasi tampang mereka, jelas menunjukkan ketakutan.
“Inyiek Ratu Buayo.” Sunguik Merah dan Sunguik Biru sama-
sama keluarkan suara bergetar. Kalau saja dua kaki mereka bisa
digerakkan saat itu keduanya sebenarnya sudah memutuskan untuk
menghambur lari lintang pukang! (Buayo: Buaya)
“Bagus!” tiba-tiba sosok perempuan muda berkepala buaya
berucap. Suaranya menyerupai suara seorang gadis, sejuk dan lembut
terdengar di telinga. Padahal kata-katanya cukup membuat bulu kuduk
orang yang mendengar jadi berdiri dingin!
“Dua Datuk Luhak sahabatku telah mengantarkan kalian berdua
hingga aku tidak perlu susah-susah mencari. Tinggal mempesiangi saja!
Hik... hik!”
Tengku Mudo Sagalo Duo terdiam. Lalu Singuik Merah walaupun
nyali mulai leleh coba berkata menegur.
“Inyiek Ratu Buayo. Apakah kau baik-baik saja...?”
“Hmm... Jangan berpura-pura menegur berbasa-basi,” menjawab
mahluk perempuan setengah telanjang berkepala buaya. “Banyak yang
tidak baik dengan diri ini! Semua sebab ulah kalian berdua...”
“Inyiek,” Sunguik Biru berkata setengah berbisik. “Dua Datuk disebelah sana telah membuat kami tak bisa melangkah tak mampu
menggerakkan tangan. Tolong Inyiek bebaskan kami...”
Inyiek Ratu Buayo dongakkan kepala lalu tertawa.
“Itu hanya satu hukuman kecil. Hukuman dariku jauh lebih
besar!”
“Inyiek, kalau kami bisa bebas, kita bisa bersenang-senang
kembali seperti dulu-dulu...”
“Bersenang-senang seperti dulu!” Inyeik Ratu Buayo mengulang
ucapan Sunguik Merah. Batu permata hijau di keningnya bersinar
terang. Sepasang mata yang biru pancarkan cahaya angker.
“Puan!” Tiba-tiba perempuan bertubuh perempuan bertubuh
molek berkepala buaya itu meludah. Ludahnya bukan seperti manusia
biasa meludah tapi seperti seorang manuang seember air! Ketika ludah
itu mengenai satu gundukan batu, batu langsung membuih dan
meleleh!
Datuk Bandaro Putih berpaling pada Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Ludah Hantu Buayo”, bisik Datuk Bandaro Putih menyebut ilmu Inyiek
Ratu Buayo.
Menyaksikan sang Inyiek meludah seperti itu bertambah pucatlah
wajah dua pemuda dempet. Kalau ludah tadi disemburkan ke kepala
atau tubuh mereka dapat dibayangkan apa yang terjadi. Agaknya
perempuan muda berkepala buaya itu tidak mungkin dibujuk apa lagi
dirayu.
“Inyiek, kami berdua sebenarnya...”
“Tutup mulut! Jangan banyak bicara!” Mahluk kepala buaya
membentak memotong ucapan Singuik Biru. “Culas penipu! Busuk bejat
dan luar biasa mesum! Katamu hanya aku seorang yang jadi
kekasihmu. Ternyata kalian berkeliaran ke mana-mana mengumbar
nafsu! Bukan saja kalian sudah meniduri diriku tapi juga menipu
mengambil harta perhiasan milikku! Kalaupun dua Datuk itu tidak
membawa kalian kemari apa kalian mengira bisa lolos dari
pembalasanku?”
Mendengar ucapan Inyiek Ratu Buayo dua Datuk jadi merasa
jengah. Sebenarnya mereka ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Mereka tidak ingin mencampuri urusan orang sementara urusan sendiri
belum selesai. Namun bagaimana pun juga mereka ingin pula
mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Inyiek, kami bukan menipu. Bagaimanapun Inyiek tetap satu-
satunya kekasih kami sehidup semati di tanah Minang ini. Kami pergi
hanya karena ada urusan...”
Mendengar kata-kata Sunguik Merah, perempuan muda berkepala
buaya membuka mulut lebar-lebar hingga kelihatan bagian dalam
mulutnya yang penuh dengan deretan gigi besar dan runcing
mengerikan. Untuk beberapa saat gelak tawa angker menggema keluar
dari mulut mahluk kepala buaya.
“Pergi selama enam bulan tidak kabar tidak berita! Sehidup
semati! Kalian yang hidup aku yang kalian buat mati jadi bangkai hidup!
Satu-satunya kekasih di tanah Minang! Padahal puluhan perempuan
sudah kalian gauli kalian tiduri! Hik... hik! Manusia-manusia mesum
terkutuk, aku pula yang hendak kalian tipu! Kepalaku yang hendak
kalian gadai!”
“Inyiek, kalau Inyiek mau mengambil kembali semua perhiasan
yang pernah Inyiek berikan pada kami, kami akan segera lakukan.
Malah akan kami tambah dengan apa yang kami miliki. Asal Inyiek mau
melepas ilmu yang membuat kami tidak bisa bergerak.”
“Baik! Akan aku bebaskan kalian!” kata mahluk perempuan
kepala harimau. Dua tangan disilang di atas dada. Lalu disentakkan
dengan tiba-tiba.
“Wuutttt!”
Dari bagian tubuh sebelah belakang Inyiek Ratu Buayo mencuat
keluar sebentuk ekor panjang besar, berwarna coklat kehitaman,
bergerigi lentur namun lebih keras dari besi! Rupanya inilah ekor sang
Inyiek!
Dua pemuda dempet yang dijuluki Tengku Mudo Sagalo Duo
tersentak kaget.
“Inyiek Ratu! Mulai saat ini kita bisa bersama-sama lagi. Kami
berjanji tidak akan pergi ke mana-mana. Kami tidak akan
meninggalkanmu barang sepicingpun!” Sunguik Biru berseru ganti
membujuk.
Inyiek Ratu Buayo tertawa panjang.
“Kalian berdua memang tidak akan pergi ke mana-mana!”
Habis keluarkan ucapan itu ekor di belakang tubuh Inyiek Ratu
Buayo melesat menyambar ke bagian bawah tubuh dua pemuda dempet
yang tertutup jubah. Ekor buaya yang walau kelihatan lentur tapi lebih
keras dari besi itu menghantam dua pasang kaki. Terdengar suara
berderak dibarengi jeritan dua pemuda dempet
Dua pasang kaki buntung bergeletakan di tanah. Kalau tadi dua
pasang kaki itu tidak mampu bergerak kini dalam keadaan buntung
tampak berkelojotan di atas bebatuan yang telah digenangi darah.
Bersamaan dengan itu tubuh Tengku Mudo Sagalo Duo roboh di
atas batu lalu terguling masuk ke dalam jurang! Suara jeritan dua
pemuda dempet itu menggelegar menggidikkan. Sunguik Merah masih
mampu berteriak.
“Inyiek! Ampun kami! Tolong! Jangan sampai kami jatuh ke dasar
jurang! Datuk! Tolong...!”
Lalu suara jeritan lenyap. Hening sesaat. Kemudian terdengar
suara air telaga di dasar jurang membuncah. Belasan buaya lapar yang
ada di tempat itu bersirebut cepat menyantap dua tubuh dempet.
Dua Datuk di atas punggung harimau sampai mengelus kuduk
masing-masing saking tercekatnya.
“Dua Datuk penjaga negeri. Jika tidak ada sesuatu yang hendak kalian sampaikan aku merasa tak ada gunanya berada lebih lama di
tempat ini.”
Datuk Bandaro Putih mengusap wajah beberapa kali. Lalu
berkata. Mata tidak berani menatap ke arah tubuh yang setengah
telanjang itu.
“Inyiek Ratu Buayo. Kami sudah lama mendengar riwayat dirimu.
Beruntung sekali hari ini kami bisa bertemu. Kami ingin berterima kasih
karena Inyiek telah mengerjakan apa yang sebelumnya menjadi niat
kami.”
Kepala buaya Inyiek Ratu Buayo mengangguk. Matanya yang biru
tampak redup. “Kematian mereka sudah nyata. Kematian diriku yang
belum jelas. Padahal dosa ini sudah setinggi langit sedalam lautan...”
Ucapan mahluk kepala buaya ini seolah menyesali nasib dirinya.
“Inyiek, Allah itu Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha
Mengetahui dan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Jika Inyiek mau
minta ampun dan bertobat pasti Allah akan mengampuni segala dosa
Inyiek. Seberapapun besarnya...”
“Begitu...?” Kepala berbentuk kepala buaya itu mengangguk-
angguk. Lalu terdengar suaranya lirih. “Aku memang sudah lama
melupakan Tuhan Seru Sekalian Alam...”
“Ada kalanya manusia memang bersifat seperti itu Inyiek, sering
melupakan Tuhan,” kata Datuk Kuning Nan Sabatang. “Namun yang
patut kita ketahui, Tuhan tidak pernah melupakan kita betapapun
buruk ujud kita, betapapun besar dosa kita. Itulah kerohimannya
Allah.”
Inyiek Ratu Buayo terdiam. Sepasang mata birunya semakin
redup. Perlahan-lahan air mata jatuh bercucuran dari kedua mata itu.
Datuk Bandaro Putih menghela nafas dalam.
“Sahabatku Inyiek Ratu Buayo. Air mata adalah ungkapan hati
nurani penuh kejujuran. Pertanda bahwa Inyiek sudah mendekatkan
diri pada Allah Yang Maha Kuasa, pertanda bahwa Inyiek siap bahkan
saat ini mungkin sudah menyatakan bertobat...”
“Inyiek, mungkin Inyiek harus meninggalkan tempat ini. Mencoba
hidup di tempat lain yang lebih baik...” berkata Datuk Kuning Nan
Sabatang menyambung ucapan Datuk Bandaro Putih.
“Mungkin memang harus begitu. Tapi ke mana aku harus pergi.
Bagaimana dengan anak-anakku? Lalu apakah orang mau menerima
diriku dalam keadaan seperti ini...?”
Dua Datuk maklum apa yang dimaksud Inyiek Ratu Buayo
dengan sebutan “anak-anak”. Tidak lain adalah puluhan ekor buaya
yang ada di dasar jurang serta beberapa telaga yang terdapat di atas
bukit batu.
“Inyiek, serahkan semua kepada Allah Yang Maha Kuasa dan
Maha Mengetahui. Allah menciptakan dunia, Allah pula yang akan datanglah ke Luhak kami. Kami ada amalan baik. Inyiek akan langsung
berhadapan dan memohon kepada Tuhan. Mudah-mudahan Inyiek bisa
berubah ujud.”
“Datuk berdua, kalian baik sekali. Aku sangat berterimakasih.
Sekarang mataku jadi lebih terbuka. Sesungguhnya begitu banyak orang
buruk dan jahat di dunia ini, tapi rupanya masih lebih banyak mereka
yang berhati putih dan bersifat baik seperti Datuk berdua. Bilakah
Datuk berkenan menerima kedatanganku?”
“Secepat yang bisa Inyiek lakukan. Namun kalau bisa datanglah di
penghujung bulan di muka...”
“Mengapa begitu lama sekali?” tanya mahluk perempuan muda
kepala buaya.
“Karena saat ini kami tengah menghadapi satu urusan besar.”
Datuk Bandaro Putih yang menjawab.
Inyiek Ratu Buayo terdiam lalu anggukkan kepala. Dia cukup
tahu diri untuk tidak menanyakan apa urusan besar yang tengah
dihadapi kedua Datuk tersebut.
“Aku benar-benar sangat berterima kasih pada Datuk berdua...”
“Kalau begitu mulai hari ini gantilah pakaian Inyiek. Tutupi aurat.
Dan yang paling penting mulai melakukan sholat lima waktu...” kata
Datuk Bandaro Putih pula.
Inyiek Ratu Buayo Putih rapatkan mulut, anggukkan kepala.
“Tapi ujudku yang seperti ini, lalu keningku yang tak mungkin
sujud...”
Dua Datu k tersenyum mendengar kata-kata mahluk kepala
buaya itu.
“Tuhan tidak pernah menolak sembah sujud umatnya. Sholat
seseorang tidak ditentukan oleh baik atau buruk rupanya. Itulah
Kebesaran Tuhan.”
Setelah membungkuk memberi penghormatan dan melambaikan
tangan dua Datuk melesat ke udara di atas punggung harimau
tunggangan masing masing.
Inyiek Ratu Buayo usapkan dua tangan di atas kepala. Sepasang
mata biru yang berlinangan dipicingkan. Dalam hati dia berkata, “Tuhan
rupanya memang masih sayang padaku. Dia telah mendatangkan dua
Datuk itu, memberi jalan dan petunjuk. Terima kasih dua Datuk.
Terima kasih Tuhan. Engkau memang Allah Yang Akbar...”
SEMBILAN
KITA kembali pada Datuk Marajo Sati. Sorban sakti yang bisa
dipergunakan sebagai alat tumpangan pembawa terbang tak ada lagi.
Harimau kuning belang hitam yang jadi binatang peliharaan dan bisa
ditunggangi melayang di udara masih terbujur sakit di Ngarai Sianok
akibat serangan racun Ilmu Santuang Panyasek yang dilancarkan
Tuanku Laras Muko Balang (baca episode sebelumnya “Mayat Di Rumah
gadang”)
Kerenanya Datuk Marajo Sati kini kerahkan ilmu lari yang selama
ini jarang dipergunakan bernama Tabang Di Bumi Malayang DiLangiek
(Terbang Di Bumi Melayang Dt Langit). Ketika langit di arah timur
memancarkan cahaya merah kekuningan pertanda tak lama lagi sang
surya akan tenggelam, di satu tempat sepi yang dirasakan aman yaitu di
tepi satu anak sungai berair jernih dan dangkal, sang Datuk duduk di
atas sebuah batu besar.
Sebuah benda yang sejak tadi diselipkan di pinggang dicabut
dikeluarkan. Benda ini bukan lain adalah potongan bambu berlilit
secarik kain putih yang merupakan Surat Perintah Sri Baginda Raja Di
Pagaruyung. Sebagaimana diketahui Surat Perintah itu dibawa dan
dilemparkan oleh Datuk Bandaro Putih hingga menancap di dinding
batu dekat mulut goa. Walau sebelumnya tidak mau perduli dengan
surat itu namun ketika berkelebat pergi Datuk Marajo Sati meng-
ambilnya dengan sambaran tangan kiri.
Di bawah terang cahaya merah kekuningan sinar matahari Datuk
Marajo Sati buka gulungan kain putih yang melilit di batang bambu. Dia
berusaha menenangkan diri waktu membaca apa yang tertulis di atas
kain itu walau dua tangan yang memegang Surat Perintah tampak
sedikit bergetar.
Surat Perintah itu didahului dengan kata Basmallah ditulis dalam
bahasa Melayu dan beraksara Arab Gundul.
Terhunjuk Datuk Pucuk,
Datuk Marajo Sati
Datuk Pimpinan L uhak Nan Tigo
Berita buruk mengenai diri Datuk Pucuk telah tersiar dari mulut ke
mulut dan telah pula dihembuskan angin sampai ke telinga kami di
singgasana Nagari Adat Bertuah, Kerajaan Pagaruyung.
Kebenaran harus di jejak diselidiki agar keadilan bisa ditegakkan.
Jangan sampai karena seekor kerbau berkubang, sekandang kena
lumpurnya. Jangan karena nilai setitik rusak susu sebelanga. Jangan
pula karena perbuatan satu orang kutuk dan azab Allah jatuh menimpa seisi negeri.
Karena urusan ini sangat patut dirahasiakan sampai kebenaran terungkap maka kami memerintahkan agar Datuk Marajo Sati datang ke
bekas Istana lama Kerajaan Pagaruyung di Bukit Batu Patah untuk
memberi kesaksian pada utusan yang telah kami percaya. Waktunya
malam hari bulan sabit malam ketiga.
Bilamana Datuk tidak bersalah maka Allah akan melindungi. Tetapi
jika Datuk memang orang berdosa maka Datuk akan menjadi orang
teraniaya. Hanya ampun dan tobat Datuk yang menyelamatkan Datuk.
Tapi itu adalah Hukum Akhirat. Hukum Dunia tetap Datuk
pertanggungjawabkan pada anak Nagari dan Kerajaan.
Semoga Allah melindungi dan memberi rakhmat pada kita semua.
Amin.
Sri Baginda Raja Pagaruyung
Yang Dipertuan Raja Muning Alam Syah
Untuk beberapa saat lamanya Datuk Marajo Sati masih duduk di
atas batu besar di pinggir batang air (sungai kecil) itu. Namun wajahnya
tampak mengelam, tubuh meregang kaku dan bergetar.
“Kalau aku dijadikan orang yang teraniaya. Maka seluruh nagari
akan aku buat sengsara! Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan
Sabatang pasti manusia-manusianya yang berada di balik keluarnya
Surat Perintah ini.” Dua tangan Datuk Marajo Sati yang masih
memegang bambu dan kain putih Surat Perintah meremas gemas.
“Dess! Desss!”
Dari genggaman sang Datuk melesat keluar nyala api. Batangan
bambu dan kain putih hancur dan musnah dilamun api. Bagian yang
masih tersisa berupa arang dan debu dimasukkan ke dalam saku celana
galembong hitam. Lalu kepala diangkat menatap ke langit.
“Malam ini bulan malam pertama munculnya bulan sabit. Berarti
waktunya dua malam dari sekarang. Wahai Sri Baginda Raja di
Pagaruyung. Aku insan tidak bersalah! Mengapa aku harus takut
menghadapi perintahmu? Tuhan Seru Sekalian Alam. Kau Maha
Mengetahui dan Maha Melihat!”
Perlahan-lahan Datuk Marajo Sati bangkit berdiri. Ternyata batu
besar yang tadi didudukinya telah berubah ceguk dan hitam serta
mengepulkan asap!
Itulah akibat hawa amarah yang keluar tanpa disadari sang
Datuk!
KETIKA malam itu bulan sabit hari pertama muncul membayang
putih di langit, seorang pemuda berpakaian biru gelap mengendap-
endap di balik sederetan pohon ambacang, tak jauh dari sebuah rumah
besar bergonjong yang terletak di pinggiran timur Kota Gadang. Mata si
pemuda menatap ke arah jendela di bagian depan rumah sebelah kanan
yang disebut anjungan. Sewaktu bergerak hendak berpindah ke pohon
ambacang di sebelah kanan, mendadak langkah pemuda tadi tertahan.
Dada berdebar, wajah berubah pucat. Di hadapannya, hanya beberapa
langkah saja ada sebuah kuburan terbuat dari batu pualam kelabu.Bulu kuduk si pemuda meregang dingin ketika telinganya tiba-tiba
menangkap ada suara menyerupai orang menggembor ke luar dari
kuburan.
Sambil membungkuk dan melangkah mundur pemuda itu susun
sepuluh jari di atas kening seraya mulut berucap perlahan, suara
bergetar.
“Datuk... Datuk Indomo... Saya Pakih Jauhari. Maafkan saya.
Tiada maksud hendak mengganggu ketentraman Datuk di alam arwah.
Saya datang dengan maksud baik. Kalau Datuk mengizinkan, kalau
Tuhan meredhoi saya masih tetap ingin...”
Datuk Indromo adalah ayah kandung Gadih Putih Seruni yang
telah meninggal dunia dan dikubur di halaman dekat rumah
kediamannya. Konon lelaki ini menghembuskan nafas terakhir setelah
terlebih dahulu mengalami sakit akibat rasa sakit hati yang tidak
berkenan atas perkawinan anak perempuannya dengan Datuk Marajo
Sati.
Ucapan terputus. Si pemuda ternyata adalah Pakih Jauhari bekas
kekasih Gadih Putih Seruni yang kemudian diambil menjadi istri oleh
Datuk Marajo Sati cepat merapat ke batang pohon besar di sebelahnya.
Di halaman kiri rumah rumah besar berkelebat seorang bertubuh tinggi
besar berpakaian serba hitam. Cepat sekali dia sudah berada di tangga
samping rumah, naik ke atas dan tanpa kesulitan membuka pintu lalu
menghilang masuk ke dalam rumah.
Di balik pohon Pakih Jauhari berulang kali berkata. “Aku yakin...
Pasti dia... Tapi mengapa tidak memakai sorban. Kepala sulah
tersingkap...”
Tidak menunggu lebih lama begitu sosok tinggi besar tadi masuk
ke dalam rumah gadang, Pakih Jauhari segera berlari masuk ke dalam
kolong. Tepat di bawah kamar ketiduran Gadih Putih Seruni, istri Datuk
Marajo Sati yang dulu pernah menjadi kekasihnya dan sampai saat ini
masih sangat dicintainya. Pemuda ini berusaha mencuri dengar
pembicaraan di atas rumah, namun papan lantai terlalu tebal dan
jaraknya terlalu jauh.
Sementara itu di dalam rumah gadang. Di atas pembaringan
Gadih Putih Seruni yang sejak beberapa hari ini memang sulit tidur
memicingkan mata palingkan kepala ke arah pintu ketika telinganya
mendengar suara pintu dibuka orang. Pelita minyak di dalam kamar
nyala apinya memang sengaja dikecilkan.
“Ibu...” Gadih Putih Seruni menyangka ibunya yang datang.
Ternyata yang masuk ke dalam kamar adalah lelaki tinggi besar yang
serta merta dikenalinya.
“Seruni, ini aku. Datuk Marajo Sati. Suamimu.”
Mendengar suara orang Gadih Putih Seruni segera turun dari
tempat tidur. Dia hendak membesarkan nyala api pelita minyak tapi
segera dicegah oleh Datuk Marajo Sati.
“Datuk...” Gadih Putih Seruni terduduk di tepi tempat tidur. Dua tangan memegang dada, wajah pucat merebak hendak menangis. Tapi
dia masih bisa menahan dan keluarkan ucapan. “Datuk... Mengapa
Datuk berkeadaan seperti ini. Datang tengah malam hari seperti
sembunyi-sembunyi. Mana sorban Datuk...?”
Keadaan Datuk Marajo Sati saat itu memang tidak karuan rupa.
Pakaian kotor berdebu, wajah kusut dan kepala yang hampir botak
tidak tertutup sorban.
Datuk Marajo Sati cepat dekati istrinya, membelai rambut Gadih
Putih Seruni lalu berkata.
“Aku mohon maaf, sekian lama tidak mengunjungimu. Sebagai
suami dosaku terlalu besar...”
“Saya tidak memikirkan hal itu Datuk. Yang saya khawatirkan
adalah diri dan keselamatan Datuk. Saya mendengar berita yang telah
tersebar luas di seluruh nagari...”
“Aahh... Syukur kau sudah mengetahui hingga aku tidak perlu
menceritakan apa yang telah terjadi. Tapi ada satu hal sangat perlu aku
beritahukan. Semua cerita dan pergunjingan tentang diriku adalah
fitnah belaka. Semua ini adalah perbuatan Pakih Jauhari, pemuda
jahanam itu! Tidak bisa dia mendapatkan dirimu, aku yang dikerjainya!
Bersaksi kepada Allah dan RasulNya, aku tidak pernah berbuat zinah
dengan gadis Cina yang aku beri nama Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok
itu! Demi Allah semua yang aku lakukan adalah untuk menolong
semata. Dia dikejar dan hendak dibunuh orang yang datang
memburunya dari daratan Cina, dibantu seorang tokoh silat dari Jawa
serta beberapa tokoh silat di tanah Minang ini. Sekarang gadis itu entah
di mana beradanya. Dibawa lari oleh Tuanku Laras dan kawan-
kawannya. Aku punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan jiwa
dan kehormatannya. Istriku, apakah kau bisa mempercayai diriku...?”
“Datuk...” Gadih Putih Seruni tidak bisa meneruskan ucapannya.
Dua tangan ditutupkan ke wajah lalu terdengar suara tangisnya
sesenggukan.
“Istriku, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Raja di Pagaruyung
telah mengeluarkan perintah akan mengadili diriku melalui seorang
utusan. Hal itu akan dilakukan pada bulan sabit malam ketiga di Bukit
Batu Patah, di bekas Istana Pagaruyung lama. Aku tidak gentar
menghadapi semuanya...”
“Kalau Raja di Pagaruyung ingin menyidik mengapa tidak
dikumpulkan orang cerdik pandai dan para ulama terkemuka se-nagari
dan perkaranya digelar di Balairung secara terbuka?”
“Sri Baginda Maharaja agaknya masih bertenggang rasa. Tidak
mau membuat perkara ini meruyak besar. Tapi sekali lagi aku katakan.
Aku tidak gentar. Karena aku tidak membekal secuil dosa dan
kesalahanpun. Bumi bisa berbalik. Ranah Minang ini bisa terjungkir
dan keadilan bisa saja berbalik menjauhi diriku. Mungkin aku akan
dipancung atau dibuang keluar rantau. Mungkin juga aku akan jadi
korban pembunuhan gelap. Jika itu terjadi, tabahkan hatimu, dekatkan diri selalu pada Tuhan dan minta pertolongan serta perlindungan
dariNya. Aku pergi sekarang...”
Sekali lagi Datuk Marajo Sati membelai rambut istrinya. Lalu dia
membuka jendela dan memilih keluar dengan cara melompat lewat
jendela itu daripada melalui pintu dari mana tadi dia masuk.
Gadih Putih Seruni tidak tahu berapa lama dia tegak tertegun di
belakang jendela, memandang ke arah halaman samping yang gelap
ketika tiba-tiba dia mendengar suara pintu kamar terbuka dan ada
orang melangkah masuk. Kali ini pasti ibunya yang datang. Tapi ketika
dia memutar tubuh dan melihat orang yang berdiri di hadapannya, berubahlah parasnya.
SEPULUH
“UDA...” Suara Gadih Putih Seruni bergetar begitu melihat pemuda yang
tegak di hadapannya. Mata terbeliak memandang tak percaya. “Sungguh
berani sekali Uda datang kemari...” (Uda: Kakak)
Pakih Jauhari tidak bergerak dari tempatnya tegak. Mulut
kemudian berucap.
“Seruni, rupanya kau tidak senang aku datang mene-muimu?”
“Bukan begitu Uda. Saya senang melihat Uda datang, tidak
kurang suatu apa. Datuk Marajo Sati baru saja datang ke sini. Baru saja
pergi. Kalau sampai dia melihat Uda, Uda pasti akan dibunuhnya!”
“Aku sudah tahu. Aku melihat dia masuk ke rumah itu. Seruni,
keadaan di I uar sana sudah sangat tegang. Raja di Pagaruyung
kabarnya akan mengusut perkara memalukan yang dilakukan Datuk...”
“Datuk tadi memang bercerita begitu. Menurutnya semua ini
gara-gara Uda. Uda katanya yang menebar fitnah...”
“Seruni, semua perbuatan Datuk Marajo Sati sudah diketahui
orang senagari. Apa yang aku lakukan bukan fitnah tapi kenyataan. Di
samping cintaku padamu yang tak mungkin hapus. Datuk Luhak Agam
dan Datuk Luhak Lima Puluh Kota tengah mengejarnya. Raja di
Pagaruyung telah pula turun tangan...”
“Sudahlah Uda, saya tidak mau mendengar cerita itu berpanjang
lebar. Buruk atau baiknya Datuk adalah suami saya walaupun saya
tidak pernah mencintainya. Sekarang katakan mengapa Uda datang
malam-malam begini menyelinap menemui saya. Kalau selesai cerita
Uda, lekas pergi. Saya takut Ibu terbangun dan masuk ke dalam kamar
ini...”
“Seruni, aku gembira mendengar ucapanmu bahwa kau tidak
mencintai Datuk Marajo Sati. Berarti diriku yang buruk ini masih ada
tempat di dalam hatimu. Aku telah lama merencanakan sesuatu. Malam
ini kurasa saat yang tepat untuk memberi tahu padamu. Empat hari di
muka ada sebuah kapal barang akan berlayar ke tanah Jawa. Beberapa
orang anak buah kapal adalah teman-temanku. Mereka bersedia
membawa kita ke tanah Jawa. Sampai di tanah Jawa kita akan mencari
usaha bagaimana caranya agar ada kadi atau orang tua yang bisa
menikahkan kita.”
Sepasang bola mata Gadih Putih Seruni membesar. Menatap tak
berkesip ke arah pemuda yang tegakdi hadapannya.
“Uda, saya memang tidak pernah mencintai Datuk Marajo Sati.
Dan sampai saat ini kasih sayang saya pada Uda tidak pernah pudar.
Tapi apa yang barusan Uda katakan sungguh tidak berani saya
melakukan. Bagaimanapun juga saya adalah masih istri syah Datuk
Marajo Sati. Dosa besar akan menghadang kita dan anak keturunan kita jika kita lakukan apa yang Uda rencanakan itu. Dosa kita akan jauh
lebih besar dan lebih berat dari apa yang sekarang dituduhkan orang
senagari ini terhadap Datuk... Seandainya saya ini belum menikah
dengan Datuk, pergi kawin lari menurutkan kata hati tetap akan saya
pikir dulu masak-masak. Saya tidak ingin memberi malu nama baik
keluarga, mencoreng arang di kening. Menginjak adat melanggar ajaran
agama. Saya tidak ingin arwah ayah saya menjadi tidak tenteram di
alam baka...” Waktu bicara sepasang mata Seruni tampak berkaca-kaca
dan dadanya turun naik.
“Seruni, aku tahu kau sedang bingung karena kedatangan Datuk
tadi. Mungkin juga takut. Selama aku masih berada di dekatmu jangan
pernah merasa takut Aku akan memberi waktu bagimu untuk berpikir.
Jika kau menerima apa yang aku katakan, datanglah dua hari lagi ke
bekas Istana Pagaruyung di Bukit Batu Patah. Datang malam hari,
seorang diri. Aku akan menunggumu di sana. Di tempat itu ada seorang
jalan Mamakku yang bertugas menjaga bekas Istana itu. Dia akan
membantu kita sampai kita pergi ke pesisir barat untuk berlayar...”
{jalan Mamak: masih Paman) “Maafkan saya Uda. Saya tidak berani
melakukan hal itu...”
Pakih Jauhari melangkah mendekati Gadih Putih Seruni.
Memeluk perempuan itu erat-erat lalu mencium keningnya.
“Kekasih buah hati, belahan jiwa pengarang jantung, kutunggu
kau malam dua hari lagi. Di Bukit Batu Putih. Bekas Istana Kerajaan
Pagaruyung di Gudam. Jangan kecewakan hati orang yang sangat
mencintaimu ini. Besok pagi, aku akan menyuruh sahabatku si Leman
menjemputmu dengan kereta. Perjalanan ke Bukit Batu Patah cukup
Jauh...”
“Saya tidak mengerti...” bisik Gadih Putih Seruni.
“Apa yang tidak kau mengerti Seruni?”
“Mengapa harus dua malam lagi. Dan tempatnya musti di Bukit
Batu Patah...?”
“Itu tempat yang paling aman. Memangnya ada apa Seruni...?”
Gadih Putih Seruni hanya menggelengkan kepala.
“Aku pergi sekarang Seruni. Jaga dirimu baik-baik...”
Ketika Pakih Jauhari telah keluar dari kamar itu baru Gadih Putih
Seruni sadar.
“Seharusnya aku katakan padanya bahwa dua malam di muka
Datuk Marajo Sati juga akan datang ke Bukit Batu Patah. Ah, mengapa
mulut ini tak bisa bicara...” Apakah... apakah aku harus memenuhi
permintaan pemuda itu. Apa yang akan terjadi jika nanti bertemu
dengan Datuk Marajo Sati? Mungkin aku harus menyuruh seseorang
menemui pemuda itu bahwa di malam yang sama Datuk Marajo juga
akan ada di sana. Bisa-bisa Pakih Jauhari juga akan diadili dengan
tuduhan penebar fitnah...” Gadih Putih Seruni telungkupkan badan di
atas pembaringan. Malam itu dia tidak bisa memejamkan mata
sepicingpun. Terhuyung-huyung dia baru turun dari suara Azan menggema untuk mengingatkan umat akan kewajiban bersembahyang
Subuh. Dalam hati dia membatin.
“Tuhan, aku akan bersujud menghadapmu. Tolong ya Tuhan,
lindungi kami semua. Beri saya ketabahan menghadapi segala cobaan
ini...”
***
PEMBACA yang budiman. Saatnya kita kembali pada sang
Pendekar 212 Wiro Sableng. Ketika Datuk Bandaro Putih dan Datuk
Kuning Nan Sabatang menerbangkan Tengku Mudo Sagalo Duo, melesat
ke udara dengan menunggang harimau sakti sementara Datuk Marajo
Sati juga lenyap entah ke mana, maka murid Sinto Gendeng kini tinggal
berdua dengan nenek Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
Wiro memperhatikan dinding batu dekat mulut goa. Kain bersurat
yang tergulung pada sebatang bambu dan menancap di dinding batu
tidak kelihatan lagi. Wiro dan juga si nenek maklum kalau sebelum
meninggalkan tempat itu Datuk Marajo Sati telah mengambil surat itu.
Sementara Wiro kemudian menatap ke langit memperhatikan dua
harimau yang ditunggangi dua datuk melesat membawa terbang sosok
dua pemuda dempet, si nenek sentakkan tangan kanan. Kain putih
panjang melesat bergulung melibat pedang Al Kausar. Senjata itu
disusupkan kembali ke balik punggung jubah putihnya.
Wiro masih terus menatap ke langit. Mulutnya berkata. “Tadinya
kita datang ke sini untuk menjernihkan suasana. Bicara pada dua
Datuk Luhak dan Datuk Pucuk. Siapa mengira kejadiannya bisa begini.”
Si nenek mengikuti arah pandangan Wiro lalu bertanya.
“Menurutmu mengapa dua Datuk melarikan pemuda dempet itu? Lalu
ke mana mereka hendak membawanya?”
Wiro angkat kopiah hitam yang dilingkari sorban, menggaruk
kepala lalu menjawab.
“Aku punya dugaan begini Nek. Dua Datuk ingin mengorek
keterangan dari dua pemuda dempet di mana beradanya Tuanku Laras.
Jika tahu di mana manusia muka belang itu berada berarti di situ juga
ada gadis Cina yang dijuluki Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok itu.
Mungkin sekali dua Datuk ingin mengetahui langsung dari gadis itu apa
benar Datuk Marajo Sati telah melakukan perbuatan mesum terhadap
dirinya. Lalu dua Datuk sengaja menerbangkan dua pemuda dempet,
menjauhkan dari Datuk Marajo agar Datuk Marajo tidak mendengar apa
yang mereka bicarakan dan mengetahui di mana keberadaan gadis Cina
itu...”
“Hemmm...” Si Kamba Mancuang tersenyum bergumam. “Otakmu
encer juga...”
“Bukan cuma otaknya! Tempurung kepalanya juga akan aku buat
encer seperti lilin disambar api!” Tiba-tiba satu suara garang menimpali ucapan si nenek.
SEBELAS
SI KAMBA Mancuang tersentak kaget. Pendekar 212 bersurut mundur
sambil memegang sorban yang membungkus kopiah hitam dikepalanya.
“Oala! Pasti dia!” Ucap Wiro setengah berbisik pada Si Kamba
Mancuang.
Sesaat kemudian di tempat itu muncul seorang bertubuh gemuk
besar, tegak dengan kepala tertutup gulungan kain hitam menapak di
tanah sementara dua kaki ke atas. Rambut, kumis dan janggut kasar
menjulai. Dia hanya mengenakan celana hitam. Dada tertutup bulu
lebat namun jelas kelihatan menonjol tiga buah puting susu. Sepuluh
jari tangan yang mengenakan cincin batu aneka warna bergerak-gerak
tiada henti. Dua telinga dicanteli anting-anting besar terbuat dari suasa.
Sepasang mata yang besar memandang membehak ke arah Wiro dan si
nenek.
Tiba-tiba weettt! Tubuh besar gemuk itu bergerak. Kejap itu juga
dia telah berdiri di atas dua kakinya.
“Inyiek! Guru!” seru Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai
sementara murid Sinto Gendeng tertegun setengah melongo. Sambil
dalam hati berkata. “Tewas aku! Guru nenek ini pasti akan melanjutkan
niatnya membunuh diriku!”
Yang berdiri di hadapan Wiro dan Si Kamba Mancuang memang
adalah tokoh silat paling ditakuti di ranah Minang yaitu Inyiek Susu
Tigo yang sekaligus merupakan guru Si Kamba Mancuang.
“Kalian berdua! Mengingat apa yang telah kalian lakukan
seharusnya aku bunuh kalian saat ini juga!” Inyiek Susu Tigo membuka
mulut. “Tapi aku masih berbaik hati. Masih mau mengampuni.” Mata
belok Inyiek Susu Tigo berputar menatap ke arah muridnya. “Kamba
Mancuang! Serahkan padaku senjata curian yang terselip di
punggungmu! Sesudah itu kalian berdua boleh pergi!”
“Inyiek, sebenarnya kami...”
“Pemuda gelandangan berambut seperti perempuan! Tutup
mulutmu! Kau juga mencuri sorban milik Datuk Marajo Sati!” Inyiek
Susu Tigo membentak Wiro ketika sang pendekar coba keluarkan
ucapan.
Kamba Mancuang cepat menengahi. “Inyiek, jika Inyiek berjanji
tidak akan mengapa-apa kami, denai siap menyerahkan senjata yang
Inyiek minta. Senjata ini memang bukan milik denai...” Habis berkata
begitu si nenek lalu cabut pedang Al Kausar yang terselip di balik
pakaian punggung pakaian. Entah mengapa sebelum diserahkan, kain
putih panjang yang membalut pedang terlebih dahulu dibuka oleh si
nenek. Lalu pedang dalam keadaan telanjang itu baru diserahkan pada sang guru. Dengan cepat Inyiek Susu Tigo mengambil pedang lalu
membentak.
“Kalian berdua lekas lindas hapus dari hadapanku! Jika di
kemudian hari aku tahu kalian masih berbuat macam-macam akan aku
jadikan kalian satu macam alias kucincang sampai lumat dengan
pedang ini! Lekas pergi!” (lindas hapus: menyingkir pergi)
Si Kamba Mancuang memberi isyarat pada Wiro.
“Kami akan segera pergi Inyiek. Terima kasih Inyiek mengampuni
kami berdua. Sebelum pergi apakah Inyiek juga inginkan sorban curian
ini?” Wiro lalu buka gulungan sorban milik Datuk Marajo Sati yang
melingkar di kopiah hitam di atas kepala.
Sang Inyiek menyambar sorban itu. Tapi bukan untuk diambil
melainkan dibanting hingga amblas ke dalam tanah.
“Sorban bau seperti ini apa perlunya bagiku!” ucap Inyiek Susu
Tigo. “Kalian berdua tunggu apa lagi?!”
Dibentak begitu rupa tidak banyak bicara lagi kedua orang itu
segera berlalu dari hadapan Inyiek Susu Tigo. Namun tak berapa lama
kemudian tiba-tiba Wiro hentikan lari.
“Nek, aku rasa ada sesuatu yang tidak beres!” kata Pendekar 212
pula.
“Sudah, nanti saja kita bicara. Makin cepat dan makin jauh kita
meninggalkan Inyiek makin baik...”
“Tunggu dulu Nek. Tidaklah kau melihat keganjilan pada diri
gurumu?”
“Apa maksudmu Wiro?” tanya Si Kamba Mancuang.
“Pertama, seharusnya dia marah besar begitu melihat kita. Aku
kabur dari dalam telaga. Kau ada bersamaku. Jelas kau berkhianat
terhadapnya. Padahal niatnya semula jelas hendak membunuhku
apapun yang terjadi...”
“Dia merasa pedang Al Kausar yang aku berikan padanya
merupakan imbalan yang layak. Itu sebabnya dia tidak mengingat lagi
hal itu...” berkata si nenek.
“Bisa jadi begitu,” sahut Wiro. “Tapi ada hal lain lagi. Mengapa
gurumu tidak menanyakan pada kita di mana keberadaan si gendut
Denok Tuba Biru. Padahal bukankah ia setengah mati jatuh hati pada
gadis itu dan sudah menganggapnya sebagai istri? Kurasa gadis itu jauh
lebih penting dari sebilah pedang. Gurumu bisa uring-uringan dan mati
berdiri kalau tidak mendapatkan gadis berbulu ketiak panjang itu!”
(Mengenai bagaimana Inyiek Susu Tigo tergila-gila pada Denok Tuba
Biru baca serial sebelumnya berjudul “Fitnah Berdarah Di Tanah Agam”)
Si Kamba Mancuang termenung. Selagi dia berpikir-pikir sambil
menggulung kain putih yang sebelumnya dibalutkan pada pedang Al
Kausar Wiro tiba-tiba memegang lengannya.
“Nek, aku punya firasat buruk! Kita tidak tahu ke mana perginya
gurumu. Tapi ada baiknya kita kembali ke tempat tadi dia mendatangi
kita!”Si nenek tidak berkata apa-apa melainkan mengikuti saja ditarik
dan dibawa lari oleh Pendekar 212. Sewaktu tak selang berapa lama
mereka sampai ke tempat tadi mereka bertemu dengan Inyiek Susu Tigo,
mereka masih melihat satu kenyataan yang mengejutkan walaupun
kenyataan itu kemudian segera sirna.
Di tanah tampak kepingan-kepingan aneh tubuh manusia tanpa
darah, seperti kepingan patung hancur. Lalu ada robekan kain-kain
hitam dan hancuran sepuluh cincin berbatu. Hanya sekejapan
kemudian semua benda dalam bentuk ratusan kepingan itu berubah
menjadi asap lalu lenyap dari pemandangan!
“Ilmu Bayangan Menipu Matai” ucap Si Kamba Mancuang
setengah berteriak dan wajah berubah.
“Tuanku Laras! Jahanam keparat!” Wiro menyumpah.
“Berarti tadi jejadiannya yang muncul menirukan ujud guruku!
Kita tertipu Wiro!”
Wiro angkat kopiah hitam lalu garuk kepala habis-habisan.
Kemudian dia berusaha membujuk si nenek.
“Sudahlah, tidak perlu terlalu dirisaukan. Pedang itu memang
bukan milik kita.”
“Bukan soal milik siapa. Tapi jika Tuanku Laras bisa
mendapatkan senjata itu kembali akan sulit bagi siapapun untuk
menghadapinya!” kata si nenek pula.
“Nek aku percaya di atas langit masih ada langit lagi.”
Si nenek menatap ke langit.
“Heh, aku tidak mengerti apa maksud kata-katamu itu! Ayo coba
kau terangkan!”
Wiro tersenyum lalu menjawab, “Artinya banyak perempuan
cantik di negeri ini. Tapi yang paling cantik adalah dirimu!”
Si nenek terpekik. Tangan kiri dipukulkan ke dada Wiro. Wiro
tertawa gelak-gelak. Mendadak si nenek terdiam. Parasnya yang tadi
kemerahan kini berubah memutih. Dada berdebar dan dalam hati dia
membatin. “Apakah... apakah dia mengetahui siapa diriku sebenarnya?
Mungkin saudara kembarku Si Kamba Pesek pernah menerangkan atau
keterlepasan bicara...?”
“Nek, apa yang harus kita lakukan sekarang...”
“Jangan bicara dulu. Aku tengah memikirkan sesuatu.”
“Kau tahu dirimu cantik. Apa lagi yang perlu dipikirkan?” Wiro
kembali menggoda.
Si nenek angkat ke atas tangan kanannya yang memegang kain
putih bekas pembungkus pedang Al Kausar. “Inyiek pernah memberikan
ilmu untuk mengikuti sebuah benda yang ada di tempat jauh. Tapi aku
tidak pernah mempergunakan. Aku juga tidak tahu apa bisa aku
terapkan... Dengan kain putih ini aku bisa mengetahui di jurusan mana
beradanya pedang Al Kausar karena sebelumnya kain ini telah
bersentuhan dengan senjata itu!”
“Hebat!” Puji Wiro. Pinggang si nenek dipeluk lalu tubuhnya diangkat tinggi-tinggi ke atas.
Si nenek tidak berusaha menurunkan diri ke tanah. Dia berkata,
“Tapi butuh waktu. Paling tidak lebih dari satu hari satu malam.”
“Kalau begitu lakukan sekarang! Kita cari tempat yang baik.”
Wiro turunkan Si Kamba Mancuang ke tanah. Begitu diturunkan
dia langsung mencium pipi dan leher berulang-ulang hingga si nenek
terpekik kegelian. Di saat itu, seperti yang pernah dialami sebelumnya
walau sekilas Wiro kembali melihat perubahan pada wajah dan raut
tubuh si nenek.
“Seperti dulu, paras dan tubuhnya berubah jika aku peluk dan
aku cium. Berarti jika ada rangsangan... Kalau nenek ini sebangsa
mahluk jejadian, bisa-bisa aku celaka di kemudian hari...”
“Wiro, kau keterlaluan. Kalau ada orang yang melihat...” Si nenek
berkata sambil palingkan wajah ke arah lain, tak berani menatap sang
pemuda.
“Bukan aku yang keterlaluan Nek.”
“Lalu siapa?”
“Langit!” jawab murid Sinto Gendeng lalu tertawa gelak-gelak.
Si nenek kernyitkan hidung dan selanjutnya hanya bisa mengulum senyum.
DUA BELAS
BUKIT Batu Patah di Gudam. Merupakan sebuah bukit yang dianggap
keramat karena di sinilah dulu berdirinya satu bangunan besar yang
disebut Rumah Gadang Nan Sambilan Ruang, yakni Istana pertama
Kerajaan Pagaruyung. Konon sampai bukit ini diberi nama Bukit Batu
Patah dikarenakan di salah satu lerengnya terdapat dua buah batu
besar dalam keadaan terpisah seperti patah dan menurut cerita dulunya
utuh bersambung menyatu. Meski telah lama ditinggalkan namun bekas
bangunan istana itu masih dipelihara dan dijaga oleh seorang lelaki tua
bekas perajurit Kerajaan.
Matahari belum tenggelam langit masih benderang dan tentu saja
bulan sabit hari ketiga masih jauh dari saat kemunculannya. Dari arah
kaki bukit seorang berpakaian dan berikat kepala biru memacu kuda ke
lereng bukit. Kuda yang sudah berlari kencang itu masih dicambuk
dengan tali kecil agar berlari lebih kencang, agar sampai lebih cepat ke
tujuan yakni bukan lain bangunan bekas Istana di lereng bukit sebelah
timur.
Orang di atas kuda adalah Pakih Jauhari. Sesuai pintanya pada
Gadih Putih Seruni yang merupakan istri Datuk Marajo Sati si pemuda
akan menunggu kedatangan kekasihnya itu di bekas bangunan Istana.
Dia khawatir terlambat datang. Namun ketika sampai di lereng bukit
sebelah timur dia tidak melihat kereta atau pedati. Berarti dia tidak
terlambat. Sang kekasih belum sampai. Mudah-mudahan masih dalam
perjalanan dan akan segera datang.
Begitu melompat turun dari kuda, tanpa menambatkan binatang
itu lebih dulu Pakih Jauhari langsung menaiki tangga di samping kanan
bangunan. Sampai di atas rumah dia berteriak memanggil.
“Mamakl Mamak Jambek! Saya Pakih sudah datang. Di mana
Mamak?” (Mamak: Paman)
Tak ada orang di dalam rumah besar yang lantai dan dinding
papannya sudah mulai lapuk. Tak ada suara jawaban. Pakih Jauhari
memeriksa di sembilan ruangan namun sang paman tidak ditemukan.
Akhirnya pemuda ini keluar dari rumah, turun ke halaman. Dia mencari
ke sumur besar dihalaman belakang, memeriksa sekitar bangunan
tempat tabuh diletakkan (tabuh: beduk) sang Paman masih belum
ditemukan. Pakih Jauhari pindah ke halaman depan rumah besar di
mana terdapat tiga buah rangkiang. (rangkiang = tempat
penyimpanan/lumbung padi) Sementara itu cahaya sang surya mulai
meredup pertanda akan segera masuk ke ufuk tenggelamnya. Rangkiang
pertama dilewati, begitu juga rangkiang kedua. Ketika Pakih Jauhari
bergerak ke rangkiang ketiga di paling ujung kiri darahnya tersirap.
Di bawah kolong rangkiang Pakih Jauhari melihat satu sosok tergeletak. Pemuda ini segera berlari mendekati dan berteriak keras
ketika mengenali sosok itu adalah sosok paman yang tengah dicarinya.
Lelaki yang telah berusia hampir tujuh puluh tahun ini tergeletak
dengan mata nyalang menatap ke langit. Baju putih lengan panjang
tampak robek besar dan basah merah oleh darah! Di bawah robekan
baju yaitu di bagian dada melintang satu luka memanjang.
“Paman Jambek! Apa yang terjadi! Siapa yang melakukan
perbuatan kejam ini!” Pakih Jauhari jatuhkan diri ke tanah, cepat
meletakkan kepala pamannya di atas paha dan kembali berteriak. Mulut
orang tua yang sejak tadi terkancing membuka sedikit. Suaranya antara
terdengar dan tiada ketika menyebut nama Allah.
“Allahu Akbar... La llla... haillallah. Mataku kabur, aku tidak bisa
melihat. Tapi aku mengenali suaramu. Pakih Jauhari anakku, benar
kau yang datang?”
“Benar mamak, ini saya Pakih Jauhari...” jawab si pemuda.
“Katakan apa yang terjadi. Siapa...”
“Pakih... si... siang tadi ada or... orang datang. Mukanya berbulu
putih dan hitam. Dia... dia memaksaku menunjukkan di mana satu...
satu pet... pti emas disembunyL. kan. Aku tidak tahu perihal emas yang
dikatakannya. Dia berkata ada orang me... menyimpan satu peti emas di
sini. Aku pasti tahu. Aku tidak tahu. Aku tidak bL. bisa menjawab. Di...
dia tidak percaya. Dia lalu meng... aniaya diriku. Aku melawan. Ilmu
silatnya tinggi... tinggi sekali. Terakhir sekali dia menca... but sebilah
pedang...”
“Mamak, beritahu pada saya siapa adanya orang itu...”
Sepasang mata Mamak Jambek yang menatap nyalang tampak
memudar.
“Aku tidak tahu Pakih. Dia mengenakan destar dan pakaian hit...
am. Dia membawa sebilah pe... pedang sakti terbuat dari perak. Dia...
Pakih, saatnya sudah dekat...”
“Mamak... apakah Seruni sudah datang ke sini...?”
Mulut sang paman hanya terbuka menganga. Tak ada lagi suara
yang keluar. Pakih Jauhari menggerung keras.
“Pembunuh durjana! Akan kucari kau sampai dapat! Akan aku
bunuh! Akan aku cincang!”
“Anak muda bermulut besar. Aku pembunuh Mamakmu sudah
ada di sini! Aku mau lihat bagaimana caramu mencincang diriku!”
Tiba-tiba ada yang bicara. Pakih Jauhari kaget luar biasa. Ketika
berpaling dia melihat lelaki tinggi besar berdestardan berpakaian hitam.
Wajahnya tertutup bulu. Bulu hitam di sebelah kanan, bulu putih di
sebelah kiri.
“Kau! Kau pasti Tuanku Laras Muko Balang! Manusia durjana!”
Pakih Jauhari berteriak marah.
Kepala paman yang dipangku diletakkan di tanah lalu Pakih
Jauhari melompat. Secepat kilat tangannya menyambar ke arah
pinggang orang di depannya. Maksudnya hendak merampas pedang AlKausar yang tergantung di pinggang orang. Namun sambaran si pemuda
yang hanya berbekal silat kampung dengan mudah dapat dihindari dan
sebaliknya dia harus menerima satu jotosan dari lawan yang memang
Tuanku Laras Muko Balang adanya.
Pakih Jauhari mengeluh kesakitan. Darah mengucur dari hidung
yang dihantam pukulan. Selagi dia terhuyung-huyung, Tuanku Laras
Muko Balang sudah mencekik lehernya lalu tubuh pemuda ini diangkat
tinggi-tinggi ke udara.
“Kalau Mamakmu tidak tahu di mana peti berisi emas itu
disembunyikan, kau pasti tahu! Lekas bicara!”
Sepasang mata Pakih Jauhari membeliak besar. Mulut ternganga
dan lidah terjulur. Nafas megap-megap sementara darah masih meleleh
keluar dari hidung. Kepala berusaha digeleng-geleng pertanda dia juga
tidak tahu mengenai peti berisi emas yang ditanyakan.
“Brukkk!”
Tuanku Laras Muko Balang bantingkan pemuda itu ke tanah.
Untuk beberapa lama Pakih Jauhari terkapar nanar. Sekujur
tulang di bagian belakang tubuhnya seolah remuk. Ketika dia berusaha
bangkit dan duduk di tanah tahu-tahu ujung pedang yang runcing
sudah menempel di tenggorokan.
“Aku memberi kesempatan sekali lagi padamu! Ada orang
menyembunyikan satu peti emas di bekas bangunan Istana. Mungkin
juga dikubur di halaman sekitar bangunan. Kau pasti tahu dan mau
mengatakan. Atau nasibmu akan sama celaka seperti Mamakmu!”
Muka pucat Pakih Jauhari, basah oleh keringat ketakutan.
Tenggorokan dan dada turun naik. Mata mendelik.
“Ampun, ambo tidak tahu. Ambo...!” (Ambo: Saya)
“Pemuda keparat! Susul Mamakmu di narako!”
Tangan Tuanku Laras Muko Balang yang memegang gagang
pedang Al Kausar bergerak.
Saat itulah tiba-tiba berkelebat tiga bayangan. Salah seorang
diantaranya berseru.
“Tuanku Laras! Jangan bunuh pemuda itu! Seperti pamannya dia
memang tidak tahu apa-apa tentang peti emas itu!”
Tuanku Laras Muko Balang terkesiap sebentar. Perlahan-lahan
dia tarik pedang Al Kausar lalu berpaling. Mulutnya menyerukan
seringai pencong.
“Bagus! Sekarang aku bicara dengan manusia-manusia yang tahu
betul di mana beradanya peti berisi emas itu!” Mulut Tuanku Laras
Muko Balang berucap. Kaki kiri bergerak menendang.
“Bukk!”
Pakih Jauhari terpental muntah darah. Terguling di tanah. Megap-
megap antara sadar dan pingsan.
Sementara itu udara mulai agak gelap. Di langit bulan sabit
malam ketiga telah muncul memperlihatkan diri
TIGA BELAS
TIGA orang yang muncul di halaman bekas Istana lama Kerajaan
Pagaruyung adalah Ki Bonang Talang Ijo yang kini tidak lagi
mengenakan blangkon hijau, Perwira Muda Teng Sien dan Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik.
Setelah Tuanku Laras kabur meninggalkan mereka begitu saja
sambil membawa gadis Cina Chia Swie
Kim alias Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok, ke tiga orang itu
berunding apa yang akan mereka lakukan.
Secara berbisik-bisik Ki Bonang mengusulkan pada Teng Sien
agar mereka segera menuju ke bangunan Istana lama di Bukit Batu
Patah di mana sebelumnya satu peti emas telah disembunyikan.
Sebaliknya Teng Sien yang tidak pedulikan benda berharga itu merasa
lebih penting mendahulukan mencari dan menemukan Chia Swie Kim.
Setelah Pandeka Bumi Langit diajak ikut berunding akhirnya ke tiga
orang itu sepakat akan melakukan perjalanan ke Bukit Batu Patah
sembari di tengah jalan menyelidiki mencari jejak Tuanku Laras Muko
Balang. Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik membawa kedua orang itu
ke beberapa tempat yang diduga kemungkinan berada dan
bersembunyinya Tuanku Laras. Namun dua hari berlalu tanpa hasil.
Karena sudah berada cukup dekat dengan Bukit Batu Patah akhirnya
Teng Sien menyetujui usul Ki Bonang untuk segera saja lebih dulu
memeriksa keberadaan satu peti emas yang disembunyikan sebelumnya
di tempat itu, Mereka sampai di permulaan malam.
Ketika tiba di bekas bangunan Istana lama Kerajaan Pagaruyung,
kejut Ki Bonang dan Perwira Muda Teng Sien bukan alang kepalang
melihat Tuanku Laras Muko Balang berada di tempat itu.
“Dia membunuh Jambek Magang penjaga bangunan Istana.
Sekarang hendak membunuh pula kemenakannya. Heran, dari mana
dia mengetahui kalau emas yang satu peti itu disembunyikan di
kawasan ini?” bisik Ki Bonang pada Teng Sien.
“Rahasia bisa saja bocor,” jawab Teng Sien. “Saat ini aku ingin
sekali menabas batang lehernya,” jawab Teng Sien. “Tapi dia datang
sendirian. Di mana dia meninggalkan Chia Swie Kim? Celaka besar
kalau dia telah membunuh gadis itu.”
“Tuanku Laras tidak akan membunuh gadis itu. Karena dia ingin
memperistrikannya. Dia pasti menyembunyikan di satu tempat,” jawab
Ki Bonang.
Di samping kedua orang itu Pandeka Bumi Langit berkata, “Ki
Bonang kita harus menyelamatkan pemuda itu. Dia hendak dibunuh
padahal tidak punya kesalahan.”
Maka ketiga orang itu melompat ke hadapan Tuanku Laras sambil Ki Bonang mengeluarkan seruan agar Tuanku Laras tidak membunuh
Pakih Jauhari.
Seruan Ki Bonang disambut Tuanku Laras dengan seringai
pencong disusul ucapan.
“Bagus! Sekarang aku bicara dengan manusia-manusia yang tahu
betul di mana beradanya peti berisi emas itu!”
“Tuanku Laras. Mengenai emas itu pasti akan menjadi bagian kita
bersama jika gadis Cina itu sudah diserahkan pada Perwira Muda ini.
Kami tidak punya maksud untuk menipu Tuanku Laras. Kecuali jika
Tuanku Laras berniat serakah hendak memilikinya sendiri!” Menjawab
Ki Bonang.
“Kepalamu yang hancur, matamu yang remuk pasti membuat
telingamu telah menjadi tuli! Ki Bonang! Apa kau tidak mendengar?!
Berapa kali sudah kukatakan. Emas itu lebih dulu baru gadis Cina aku
serahkan!”
Teng Sien geleng-gelengkan kepala. Tangan kanannya diletakkan
di gagang golok besar yang terselip di pinggang. Dalam bahasa Cina dia
berkata pada Ki Bonang. “Aku tidak percaya monyet muka belang ini.
Aku ingin membunuh manusia satu ini sekarang juga!”
“Sabar perwira. Kita harus mencari upaya yang terbaik agar Chia
Swie Kim selamat, kau mendapatkan Kupu Kupu Giok dan emas itu
tidak diserakahi jahanam itu seorang diri”. Habis membujuk sang
perwira Muda Teng Sien Ki Bonang lalu berkata pada Tuanku Laras
Muko Balang. “Tuanku Laras, apapun yang terjadi di antara kita
sebaiknya dilupakan dulu. Dalam perjalanan ke sini kami melihat ada
sebuah kereta dikawal oleh prajurit Kerajaan Pagaruyung dari Istana
Baso. Pasti sekali mereka tengah menuju ke sini. Ada gerakan apa...”
“Setan atau iblis sekalipun yang datang berkereta ke tempat ini
apa perduliku!” Bentak Tuanku Laras memotong ucapan Ki Bonang.
“Kalau begitu silang sengketa antara kita tidak bisa lagi dihindari!
Kalau hidup, hidup bersama. Kalau mati, mati semua!”
Tuanku Laras tertawa gelak-gelak. Dia menunjuk ke arah Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik lalu keluarkan ucapan.
“Pandeka! Kau berada di pihak mana?! Jika berada di pihakku
lekas berdiri di sebelahku! Bunuh kedua jahanam ini!”
Pandeka Bumi Langit tertawa.
“Ketika di gua di Bukit Siangok kau menyangka aku tertidur
pulas. Padahal aku mendengar semua pembicaraanmu dengan Ki
Bonang. Saat itu kau berkata bahwa untukku cukup tambahan satu
batang emas saja. Jika aku menolak maka kau juga akan menghabisi
diriku sebagaimana kau hendak membunuh Perwira Cina itu! Apakah
Tuanku Laras masih perlu bertanya di pihak mana aku berada?!”
Tuanku Laras pencongkan mulut.
“Orang bodoh memang lebih baik memilih mampus lebih dulu!”
Sambil berucap Tuanku Laras Muko Balang berkelebat ke arah Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik. Pedang Al Kausar di tangan kanan menderu ganas. Cahaya putih berkiblat di udara yang temaram.
Dengan gerakan cepat Pandeka Bumi Langit melompat mundur.
Sambil melompat dia loloskan kain sarung yang menyilang di bahu.
Ketika lawan lancarkan serangan jurus kedua Pandeka Bumi Langit
kebutkan kain sarung ke udara. Selagi kain sarung membuntal berputar
mengeluarkan suara bergemuruh disertai sapuan angin deras, Pandeka
Bumi Langit membungkuk dan kaki kanan menyapu menyambar tulang
kering kaki kiri Tuanku Laras. Inilah jurus yang disebut Kincir Berputar
Alu Menumbuk. “Brett... breett!”
Kain sarung robek besar. Tuanku Laras berseru kaget ketika kaki
kanan lawan masih sempat menepis kaki kirinya hingga tubuhnya
sedikit terhuyung. Melihat Tuanku Laras agak hilang keseimbangan
dengan nekat Pandeka Bumi Langit menyerbu dengan ilmu silat
sitaralak dalam jurus bernama Bumi Dibawah Langit Diatas. Tangan kiri
berkelebat ke arah dagu sedang tangan kanan menghantam ke bagian
perut. Kalau dua serangan itu sempat mengenai sasaran maka dagu
Tuanku Laras akan remuk, tulang leher bergeser dan di sebelah bawah
perut bisa terbongkar!
Kenekatan Pandeka Bumi Langit membuat dia lupa bahwa lawan
yang dihadapinya adalah seorang tokoh silat besar dengan ketinggian
ilmu hampir dua tingkat di atasnya. Itu jika Tuanku Laras
mengandalkan tangan kosong. Namun saat itu dia menggenggam
pedang sakti Al Kausar yang membuat tingkat kehebatannya menjadi
lebih dari dua kali dari kehebatan Pandeka Bumi Langit. Sebelum dua
pukulan sitaralak sempat menyentuh dagu dan perut Tuanku Laras,
seperti memiliki mata pedang Al Kausar bergerak aneh, menebas ke
arah dua tangan lawan. Kalaupun Pandeka Bumi Langit sanggup
mengelak maka tetap saja salah satu tangannya akan kena ditebas
putus!
Ki Bonang berseru tegang, Perwira Teng Sien yang memang sudah
sangat jengkel dan benci terhadap Tuanku Laras Muko Balang segera
cabut golok besar di pinggang lalu secepat kilat dilempar ke arah orang
yang mukanya ditumbuhi bulu hitam putih itu.
“Aha! Sekarang ada dua orang yang minta mati cepat! Teng Sien
tunggu giliranmu!” Tuanku Laras berteriak. Pedang Al Kausar yang
dipegangnya terus menderu ke arah tangan Pandeka Bumi Langit
sementara tangan kiri yang memegang sarung pedang dipergunakan
untuk menangkis mental serangan golok Teng Sien.
Seperti yang sudah diduga, Pendeka Bumi Langit memang hanya
mampu selamatkan salah satu dari dua tangannya. Ketika Pedang Al
Kausar siap menebas putus tangan kirinya tiba-tiba terdengar suara
berdesir. Sebuah benda panjang yang ternyata adalah kain putih
melesat di udara laksana seekor ular terbang. Dengan cepat kain putih
itu melibat pedang Al Kausar.
“Bukkk!”
Pedang yang seharusnya membabat putus tangan kiri PandekaBumi Langit, karena sudah tergulung kain putih kini tak lebih dari
sebuah pentungan. Apa lagi sebelum melesat di udara seseorang telah
mengisi kain itu dengan tenaga dalam hingga sanggup menahan
ketajaman mata pedang sakti. “Kraakk!”
Pandeka Bumi Langit menjerit keras. Lengan kirinya patah. Itu
adalah lebih baik daripada putus! Menahan sakit hingga tubuhnya
bergetar, Pandeka Bumi Langit jatuhkan diri lalu bergulingan di tanah
menjauhi Tuanku Laras.
Dalam keterkejutan, semua orang berpaling ke arah datangnya
kain putih panjang tadi. Mereka melihat dua orang berkelebat
mendatangi. Keduanya ternyata adalah pemuda berambut seperti
padusiyaitu Pendekar 212 Wiro Sableng ditemani Si Kamba Mancuang.
Ternyata si nenek ini dengan ilmu yang dipelajarinya dari gurunya
Inyiek Susu Tigo, walau menghabiskan waktu satu hari satu malam,
dengan kain putih yang pernah bersentuhan dengan pedang Al Kausar
berhasil menjajagi dan menunjukkan di mana beradanya Tuanku Laras
Muko Balang. Secara kebetulan hal itu terjadi pada malam bulan sabit
hari ke tiga, bersamaan dengan kedatangan Pakih Jauhari, Ki Bonang,
Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik ke Bukit Batu Patah
yang hendak memeriksa keberadaan satu peti yang disembunyikan jauh
hari sebelumnya.
“Ki Bonang!” Tiba-tiba berteriak. “Tadi kau mengatakan ada
rombongan Kerajaan yang tengah menuju ke sini! Ternyata yang datang
adalah kapuyuak muda dan cigak gaek ini!” (kapuyuak: kecoak) (cigak
gaek: beruk/monyet tua)
Tiba-tiba di kejauhan terdengar deru suara detak roda kereta dan
hentakkan kaki-kaki kuda. Lalu ada suara orang berteriak menyahuti
ucapan Tuanku Laras tadi.
“Siamang bermuka belang! Bersabarlah sedikit! Orang yang
hendak diadili belum kelihatan di tempat ini. Perlu apa kami datang
terburu-buru! Rupanya kau sudah siap-siap menjadi saksi!” (Siamang:
monyet besar biasanya berbulu hitam).
Disebut Siamang bulu diwajah Tuanku Laras berjingkrak kaku
saking marahnya. “Pedang sakti, coba berikan sambutan selamat datang
pada orang bermulut kurang ajar itu!”
“Wuuut!”
Tuanku Laras Muko Balang lemparkan pedang Al Kausar ke
udara. Senjata sakti ini serta merta menderu berputar-putar dan
melesat laksana kilat ke arah datangnya suara orang yang berteriak tadi.
TAMAT
penulis : Bastian Tito
created : matjenuh channel
blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar