Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Selasa, 18 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - RAHASIA KINCIR HANTU

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com

BENDERA KUNING SAMPAI DI DEPAN KAKI SI HATI BAJA. DIA 

SIAP UNTUK MELOMPAT. TAPI TIBA-TIBA DI ATAS ATAP KAKEK 

KEPALA TELENG KELUARKAN SUITAN KERAS. BERSAMAAN 

DENGAN ITU KINCIR HANTU MENGELUARKAN SUARA 

DAHSYAT. DI ANTARA SUARA GEMURUH YANG MENEGAKKAN 

BULU ROMA ITU TERDENGAR SUARA ANEH 

BERKEPANJANGAN.

 CLAK.... CLAK.... CLAK...!

 PANTULAN SINAR PUTIH MEMBERSIT DARI PINGGIRAN RODA 

KINCIR, MEMBUAT DUA MATA HATI BAJA SAKIT SILAU. DIA 

BERMAKSUD MENGUSAP MATANYA DENGAN TANGAN KIRI. 

NAMUN BELUM KESAMPAIAN TIBA-TIBA JERITAN SETINGGI

LANGIT MENGUMANDANG KELUAR DARI MULUTNYA. DARI 

BAWAH KAKINYA KELIHATAN DARAH MENYEMBUR.


SATU


GEMURUH suara kincir raksasa itu terdengar tidak 

berkeputusan. Pada siang hari saja suaranya begitu ngeri 

menggetarkan. Apa lagi pada malam hari. Di atas atap 

rumah kincir seorang kakek berkepala teleng, 

mengenakan caping bambu duduk uncang-uncang kaki 

sambil menghisap pipa yang menebar bau serta asap 

aneh berwarna merah.

Sambil hembuskan asap merah dari mulut dan hidungnya 

kakek ini memandang berkeliling. Dalam hati dia berkata. 

"Sudah tiga minggu berlalu sepi-sepi saja. Apakah orang 

sakti dan pandai di negeri ini sudah habis semua? Atau 

masih ada tapi tidak punya nyali untuk menjajal kincirku, 

takut menghadapi tantanganku? Kalau begini naga-

naganya urusanku tidak bakal rampung!"

 Di puncak bangunan terpancang sebuah bendera

dari jerami kering berwarna kuning, melambai-lambai

kaku ditiup angin. Kakek teleng hisap dalam-dalam

pipanya. "Sial! Lama-lama aku bisa mengantuk!" katanya

setengah memaki. Kakek ini lalu menatap kehalaman luas 

di depan rumah kincir. Seperti menghitung-hitung dia 

berucap.

 "Satu... dua... sembilan... empat belas... ah! Sudah

ampat belas orang sakti menemui kematian. Sudah

tujuh purnama berlalu. Tapi tidak satupun dari mereka

membekal benda yang kucari. Kalau sampai dua purnama 

lagi benda itu tidak kudapatkan, celaka diriku!

Siapa diantara dua makhluk itu yang akan membunuhku 

lebih dulu?!" Caping di atas kepala kakek telengbergerak-gerak tanda si kakek menggeleng-geleng

gelisah berulang kali.

 Sementara itu di atas satu pohon besar di seberang 

halaman rumah kincir, tiga sosok tubuh mendekam di balik 

kerimbunan dedaunan tanpa setahu kakek teleng 

bercaping. Mereka bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro 

Sableng, bocah konyol bernama Naga Kuning dan si 

kakek berjuluk Setan Ngompol.

 " Keterangan saudara kita Lakasipo ternyata betul.

Kita akhirnya menemukan benda aneh yang disebut

Kincir Hantu itu," berkata Naga Kuning dengan suara

sangat perlahan.

 "Tengkukku mengkirik, aku setengah mati berusaha 

menahan ngompol. Apa kalian tidak melihat semua 

keanehan mengerikan yang ada di bawah sana?! Siapa 

adanya kakek teleng bercaping itu? Tukang jaga atau 

pemilik Kincir Hantu itu...?" Yang bicara adalah Si Setan 

Ngompol.

 Wiro garuk kepalanya. "Kincir itu berputar karena arus 

air yang datang dari sebelah kanan. Air dicurahkan ke 

saluran di sebelah kiri. Kincir biasanya untuk mengairi 

pesawahan. Tapi aku tidak melihat sawah atau ladang di 

sekitar sini. Lalu ke mana air itu perginya, untuk apa...? 

Dan ini yang gila! Empat belas mayat yang sudah jadi 

jerangkong bergeletakan di halaman rumah kincir. Semua 

jerangkong tidak memiliki kaki. Putus seperti ditebas 

sesuatu...."

 "Kurasa kakek di atas atap itu yang membunuhi semua 

orang itu! Lihat saja dia sengaja menancapkan bendera 

kuning di atas rumah kincir. Bukankah bendera kuning 

tanda perkabungan, tanda kematian?!"

 "Lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Aku sudah

tidak bisa menahan kencing!" kata Setan Ngompol

sambil menepuk bahu Wiro.

 "Tunggu dulu!" kata Naga Kuning. "Dari sikapnya

kakek itu seperti menunggu seseorang....""Mungkin menunggu korban berikutnya," menyahuti 

Wiro. "Semua korban berkaki putus. Jika memang

hendak membunuh orang mengapa tidak menusuk

dada atau perut atau menabas lehernya? Sungguh

aneh.... Kek, sebaiknya kita tunggu agar bisa melihat

sendiri apa yang sebenarnya terjadi di tempat angker

Inil"

 "Kalau begitu biar aku turun. Kalian mau menunggu 

sampai tujuh hari tujuh malam silahkan saja! Aku tidak 

mau ikut-ikutan!" kata si kakek. Lalu dia menggeser 

kakinya, siap hendak melompat turun. Namun niatnya ini 

jadi urung ketika mendadak satu bayangan berkelebat 

disertai seruan keras.

 "Lateleng! Aku datang untuk menjajal kehebatan

Kincir Hantumu!"

 Sesaat kemudian seorang lelaki gagah, berjanggut dan 

berkumis lebat tapi rapi serta mengenakan topi tinggi 

merah seperti tarbus tahu-tahu sudah tegak di halaman di 

depan rumah kincir. Matanya menatap ke arah kakek 

bercaping lalu berpaling memperhatikan kincir besar yang 

berputar dengan suara gemuruh.

 Di atas atap rumah kincir kakek teleng berdiri lalu buka 

capingnya dan menjura memberi hormat pada orang yang 

tegak di halaman.

 "Wahai kerabat yang datang! Aku rasa-rasa mengenal 

dirimu! Tapi dari pada kesalahan menduga sebaiknya 

kau suka memberi tahu siapa nama atau gelarmu!"

 Orang di depan rumah kincir usap janggutnya,

permainkan sebentar ujung kiri kumis lebatnya lalu

menjawab.

 "Aku Lakerashati. Orang di Latanahsilam menyebutku Si 

Hati Baja! Apakah keteranganku cukup bagimu wahai 

Lateleleng?"

 "Lakerashati! Bergelar Si Hati Baja! Sungguh satu

kehormatan kau mau mendatangi tempat burukku ini!

Mendengar seruanmu tadi, apa benar kau berniathendak menjajal kehebatan Kincir Hantu milikku ini?"

 Si Hati Baja angkat tangan kanannya dan menjawab. 

"Itu yang aku inginkan! Tetapi apakah imbalan seperti yang 

dikabarkan orang itu memang benar adanya? Aku tidak 

mau tertipu! Aku tidak mau menjadi korban karena 

ketololan seperti orang-orang ini!" Si Hati Baja 

memandang seputar halaman dimana berkaparan empat 

belas jerangkong. Dalam hati dia berkata. "Jerangkong-

jerangkong ini sepertinya tidak membusuk lebih dulu. Ada 

sesuatu yang membuat mereka bisa langsung jadi tulang 

belulang seperti ini!"

 Di atas atap rumah kincir kakek bernama Lateleng

tertawa mengekeh. "Aku Lateleng seumur hidup tak

pernah berdusta! Siapa saja yang sanggup berdiri

selama tiga kali putaran di atas Kincir Hantu akan

menerima hadiah sebuah kitab berisi ilmu kesaktian

yang sanggup membuat seseorang memanggil dan

memelihara tujuh macam Jin. Inilah kitabnya!"

 Dari balik capingnya kakek teleng itu lalu keluarkan 

sebuah kitab terbuat dari daun yang sangat liat.

Bagian depan kitab itu ada tulisan berbunyi "Kesaktian

Menguasai Tujuh Jin." Kitab itu diacungkannya ke

arah Si Hati Baja lalu dimasukkannya kembali ke balik

caping. "Tetapi sesuai dengan syarat yang sudah

kutentukan! Segala akibat menjajal Kincir Hantu adalah 

menjadi tanggung jawab sendiri! Wahai Si Hati Baja, 

apakah kau menerima syarat itu?"

 "Aku menerima!" jawab Si Hati Baja.

 "Kuharapkan kakimu benar-benar sekuat baja!

Kudoakan agar kau bisa berdiri di atas Kincir Hantu

selama tiga kali putaran! Namun ada satu syarat lagi!

Ketahuilah siapa saja yang ingin menjajal kehebatannya di 

atas Kincir Hantu sedikitnya harus berusia enam puluh 

tahun'. Berapakah usiamu wahai Hati Baja?"

 "Hampir delapan puluh tahun!"Lateleng tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Kejadian 

itu empat puluh tahun silam. Berarti ada kemungkinan dia 

memiliki benda itu!"

 "Aneh! Mengapa kakek itu pakai menanya usia

segala? Seperti sayembara saja!" kata Naga Kuning

yang mendekam di atas pohon bersama Wiro dan Si

Setan Ngompol.

 "Hati Baja, apakah kau sudah siap?!" Dari atas

atap terdengar suara Lateleng bertanya.

 "Aku sudah siap dari tadi!" jawab Lakerashati

alias Si Hati Baja.

 "Bagus!" Lateleng tertawa mengekeh. Dia sedot

pipanya dalam-dalam lalu kepulkan asap merah. Tanpa

menoleh ke belakang dia cabut bendera kuning yang

menancap di atas atap. Capingnya kembali diletakkan

di atas kepala. Bendera kuning itu diacungkannya ke

atas. "Hati Baja! Bendera ini akan kutancapkan di ruas

kincir! Pada saat kincir berputar dan bendera kuning

berada di bagian paling atas, kau harus melompat ke

atas kincir. Kau harus bertahan sampai bendera kuning

mencapai bagian atas kincir sebanyak tiga kali! Jika

kau mampu melakukan itu maka kau akan mendapatkan 

kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin!"

 Si Hati Baja tertawa jumawa. "Baru tiga kali putaran. 

Tiga puluh putaran pun aku sanggup!"

 Lateleng tertawa lebar. "Ucapanmu membuat aku

kagum wahai Hati Baja! Bisakah kita mulai sekarang?!"

 "Dengan segala hormat!" jawab Si Hati Baja seraya 

sunggingkan senyum dan sedikit tundukkan kepala.

 "Lihat bendera!" seru Lateleng dari atas atap.

 Tangannya yang memegang bendera bergerak.

Bendera kuning melesat ke bawah lalu menancap di

pinggiran kayu yang merupakan roda kincir. Karena

kincir berputar ke kiri maka bendera ikut berputar ke

jurusan yang sama. Sesaat kemudian bendera kuningitu lenyap di sebelah kiri. Tak lama berselang muncul lagi 

di sebelah kanan dan ikut naik ke atas sesuai putaran 

kincir. Sesaat sebelum putaran kincir mengantar bendera 

kuning ke bagian paling tinggi, Lateleng berseru.

 "Hati Baja! Sekarang!"


DUA


LAKERASHATI alias Si Hati Baja gentakkan kaki

kanannya ke tanah. Saat itu juga tubuhnya melesat enteng 

ke udara dan jatuh tegak tepat di belakang bendera kuning 

yang menancap di roda kincir yang berputar. Karena roda 

berputar, agar dia tetap bisa bertahan di atas kincir maka 

Si Hati Baja mulai berlari-lari kecil di atas kepingan-

kepingan kayu besi hitam yang membentuk cegukan dan 

mengantar air dan sengaja menghadap ke jurusan 

berlawanan dari arah putaran kincir. Sambil tertawa-tawa 

Si Hati Baja melakukan hal itu. "Pekerjaan begini mudah!

Anak kecil yang baru belajar ilmu silat kampunganpun 

sanggup melakukannya!" katanya dalam hati.

 Tak selang berapa lama bendera kuning kelihatan

muncul di hadapan lelaki bertopi merah tinggi itu,

borgerak di atas roda kincir, mendekati sepasang kaki

Si Hati Baja yang berlari-lari kecil.

 "Satu!" teriak Lateleng dari atas atap.

 Si Hati Baja mendongak ke atas dan menyeringai.

 Lateleng cabut pipanya dari sela bibir. Lalu dengan

ujung pipa diketuknya pinggiran kincir. Putaran kincir

yang tadi bergerak tidak terlalu cepat kini berubah

kencang dan mengeluarkan suara bergemuruh. Untuk

mengimbangi Hati Baja mempercepat larinya, hingga

walau kincir bergerak lebih cepat dia masih tetap berada 

di atas kincir tanpa kesulitan apa-apa.

Di atas pohon berdaun rimbun di seberang halaman rumah 

kincir Wiro, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol 

memperhatikan semua kejadian itu tanpa bergerak tanpa

bersuara. Mereka masih terheran-heran apa sebenarnya 

yang tengah berlangsung. Hanya untuk mendapatkan 

sebuah buku aneh, seseorang diuji kepandaiannya begitu 

mudah. Lalu kalau cuma itu yang dilakukan mengapa ada 

empat belas mayat berkaki buntung berkaparan di 

halaman sana?! Keanehan apa sebenarnya yang 

tersembunyi di balik kaki-kaki buntung itu?! Lalu mengapa 

kincir itu dinamakan Kincir Hantu?

 Bendera kuning muncul untuk ke dua kalinya disisi 

kanan kincir raksasa. Begitu sampai di hadapannya, 

seperti tadi Lateleng sedot pipanya, kepulkan asap merah 

lalu cabut pipa itu dan ketukkan ke pinggiran kincir begitu 

bendera kuning sampai di putaran tertinggi.

 "Dua!" berseru kakek kepala teleng itu.

 Kincir raksasa bergemuruh lebih keras dan putarannya 

juga semakin cepat. Tanah halaman bahkan sampai 

pohon besar di mana Wiro dan kawan-kawannya berada 

bergetar keras.

 "Gila! Apa yang terjadi!" Kakek berjuluk Si Setan

Ngompol pegangi bagian bawah perutnya yang mendadak 

basah karena tak dapat menahan kencing.

 Di atas kincir yang berputar Si Hati Baja tetap tenang. 

Masih tersenyum-senyum dia percepat gerakan kakinya 

untuk mengimbangi dan menjaga agar dia tetap berada di 

sebelah atas kincir.

 "Kek, kalau cuma begitu-begitu saja kukira kau

bisa menjajal Kincir Hantu itu...." kata Naga Kuning

pada Si Setan Ngompol. "Cuma sayang, kau sudah

keduluan orang memakai tarbus merah itu!"

 Setan Ngompol diam saja karena masih tegang

memegangi bagian bawah perutnya. Wiro memperhatikan 

semua yang terjadi di depannya tanpa berkesip. Sudut 

matanya melihat bendera kuning untuk ke tiga kalinya 

muncul di sisi kincir sebelah kanan.

 "Putaran ke tiga.... Orang bertopi merah agaknya

segera akan mendapatkan kitab sakti itu!" Naga Kuning 

kembali berkata dengan suara perlahan.Si Hati Baja menyeruakkan senyum ketika dia

melihat bendera kuning untuk kali ke tiga berputar ke

arah tempatnya berlari di tempat di atas roda kincir.

Dia mempercepat larinya dan menjaga keseimbangan

kaki serta tubuh.

 "Lateleng! Sebentar lagi kau harus menyerahkan

kitab sakti itu padaku! Ternyata Kincir Hantumu yang

digembar-gemborkan ini tidak ada apa-apanya! Ha...

hn... ha!" Si Hati Baja tertawa bergelak.

 Kakek bercaping di atas atap rumah ikut-ikutan tertawa 

lalu sedot pipanya dalam-dalam.

 "Aku siap menyerahkan kitab sakti ini padamu wahai 

Hati Baja!" kata si kakek seraya tepuk capingnya, di bawah 

mana dia menyimpan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh 

Jin. "Tapi harap kau sedikit bersabar, menunggu sampai 

bendera kuning mencapai putaran sebelah atas!"

 SI Hati Baja menyeringai. Hatinya girang sekali karena

bendera kuning hanya tinggal satu langkah didepannya. 

Begitu dia melompat sedikit dan membiarkan bendera itu 

lewat di bawahnya maka rampunglah putaran ke tiga. 

Diam-diam tangan kanannya dialiri tenaga dalam sambil 

membatin. "Kalau kakek ini menipuku, akan kuhantam 

dengan pukulan Baja Panas Meleleh Langit."

 Bendera kuning sampai di depan kaki Si Hati Baja.

Dia siap untuk melompat. Tapi tiba-tiba di atas atap

kakek kepala teleng keluarkan suitan keras. Bersamaan 

dengan itu Kincir Hantu mengeluarkan suara dahsyat. Di 

antara gemuruh yang menegakkan bulu roma itu terdengar 

suara aneh berkepanjangan.

 "Clak... clak... clak...!"

 Pantulan sinar putih membersit dari pinggiran

roda kincir, membuat dua mata Hati Baja sakti silau.

Dia bermaksud mengusap matanya dengan tangan

kiri. Namun belum kesampaian tiba-tiba jeritan setinggi

langit mengumandang keluar dari mulutnya. Dari bawah 

kakinya kelihatan darah menyembur! Saat itu jugasosok Si Hati Baja seperti terlempar setinggi dua

tombak ke udara lalu jatuh bergedebukan di tanah

halaman di depan rumah kincir. Dua potong benda

menyusul jatuh ke tanah! Air yang mengalir di sisi kiri

kincir raksasa tampak berubah merah!

 "Astaga! Apa yang terjadi!" ujar Naga Kuning, lalu

cepat-cepat tekap mulutnya karena sadar kalau-kalau

suaranya terdengar sampai ke atap sana.

 Si Setan Ngompol picingkan dua matanya yang

belok jereng. Dua tangan langsung pegangi bawah

perutnya yang kembali mengucur tak karuan!

 Pendekar 212 Wiro Sableng garuk kepalanya.

"Gusti Allah!" Dia mengucap. "Sepasang kaki orang itu!"

 Di atas atap kakek bernama Lateleng tegak berdiri,

membuka capingnya dan menjura ke bawah, ke arah

Si Hati Baja yang terkapar di tanah, mengerang sambil

menggeliat-geliat.

 "Wahai Hati Baja, ternyata kakimu tidak terbuat dari 

baja! Kau tidak mampu mencapai tiga kali putaran.

Sayang... sayang sekali!"

 "Manusia jahanam! Kau menipuku!" teriak Si Hati Baja.

 "Aku menipumu katamu?Tipuan apa yang kulakukan 

padamu?!" tanya si kakek sambil tenggerkan kembali 

capingnya di atas kepala.

 "Apa yang kau sembunyikan di permukaan kincir

jahanam itu!"

 Si kakek geleng-gelengkan kepala lalu berkata.

"Jangan berpikir, apa lagi menuduh yang bukan-bukan

wahai Hati Baja! Seharusnya kau berhati polos. Mengakui 

kau tidak mampu berdiri selama tiga kali putaran di atas 

kincirku!"

 "Bangsat tua?! Aku...."

 Tubuh Si Hati Baja mendadak menggigil lalu kelojotan. 

Dia coba kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. 

Maksudnya hendak menghantam si kakek yang ada di 

atas atap dengan satu pukulan sakti. Namun dia takpunya kemampuan mengangkat tangan. Sementara dua 

kakinya yang kini buntung sebatas pergelangan tersentak-

sentak.

 Di atas atap Lateleng tertawa mengekeh. Sekali

dia mengenjot dua kaki maka seperti seekor burung

besar tubuhnya melayang turun ke tanah. Jatuh tegak

tepat di samping sosok Si Hati Baja.

 "Hati Baja... Hati Baja, wahai! Nasibmu malang amatl 

Akan kulihat apakah kaju memang membekal benda yang 

aku cari?!"

 Habis berkata begitu si kakek sedot pipanya dalam-

dalam. Begitu mulutnya penuh dengan asap merah, asap 

itu lalu disemburkannya ke sekujur tubuh si Hati Baja mulai 

dari kepala sampai ke kaki yang buntung. Juga pada dua 

potong kaki Si Hati Baja yang tergeletak tak jauh dari situ. 

Hal itu dilakukannya sampai tiga kali.

 Di atas pohon Wiro dan dua kawannya kembali

tersentak kaget ketika menyaksikan apa yang terjadi.

 "Lihat!" kata Wiro dengan muka pucat seraya

menunjuk ke halaman sana. "Sosok lelaki berjanggut

itu berubah menjadi jerangkong putih!"

 Naga Kuning melongo seperti tak percaya. Kakek

Si Setan Ngompol cepat-cepat palingkan muka tak

berani memandang. Namun tak urung kencingnya

sudah mengucur!

 Wiro dan Naga Kuning terus memperhatikan. Kakek 

kepala teleng melangkah lebih dekat ke sosok Si

Hati Baja yang telah berubah menjadi tulang belulang.

Lalu dia membungkuk. Mengangkat kaki kiri orang itu.

Si kakek tampak gelengkan kepala. Kaki yang barusan

dipegangnya dilepas begitu saja. Kini dia mengangkat

kaki kanan yang buntung. Seperti tadi dia kelihatan

seperti memeriksa ke dalam rongga tulang kaki itu

lalu kembali mencampakkannya. Kini dia memungut

dua kutungan kaki Si Hati Baja. Memeriksa dan membalik-

balikkannya"Kurang ajar! Aku tidak menemukan benda yang

kucari! Lagi-lagi sialan!" Dua kaki buntung yang kin!

hanya merupakan tulang putih itu dibantingkannya

ke tanah hingga menancap amblas sampai setengahnya!

 Dengan penuh perasaan jengkel Lateleng tegak

berkacak pinggang. Di bawah caping sepasang matanya 

memandang tajam ke arah pohon besar. Dia tidak

melihat apa-apa, kecuali tetesan-tetesan air yang jatuh

dari sela-sela daun.

 "Hemmmmm.... Tak ada hujan tak mungkin ada

embun. Mengapa ada air menetes dari atas pohon?"

Si kakek bergumam. Dia putar badannya lalu melesat

ke atas atap rumah kincir. Dia menunggu sampai roda

kincir yang berputar mengantar bendera kuning ke

atas. Begitu sampai di atas, bendera ini dicabutnya

lalu ditancapkannya di tempat semula yakni di atas

atap. Sekali lagi matanya memandang tajam ke arah

pohon besar di seberang halaman.

 Pendekar 212 Wiro Sableng, Naga Kuning dan si

kakek Setan Ngompol terkesiap kaget dan serasa

terbang nyawa masing-masing ketika mendadak dari

atas atap si kakek teleng berseru.

 "Tiga makhluk yang sembunyi di atas pohon!

Sllahkan turun ke tanah perlihatkan diri! Siang bolong

begini sembunyikan diri sungguh tidak pantas!"

 "Celaka! Kakek itu sudah tahu kita sembunyi disini!" kata 

Naga Kuning.

 "Bagaimana dia bisa tahu...." kata Setan Ngompol

masih tetap berpaling dan dengan suara serta tubuh

gemetaran.

 Wiro memandang berkeliling. Daun-daun pohon

besar dimana mereka bersembunyi sangat lebat. 

Sekalipun kakek itu tadi berada di halaman bawah sana

sulit baginya untuk melihat Namun! Pandangan Wiromembentur pada sehelai daun yang bergoyang-goyang 

karena kejatuhan tetesan-tetesan air dari atas.

Wiro mengurut pandangannya ke atas. Matanya sampai 

pada sosok Si Setan Ngompol yang basah di bagian

bawah.

 "Sial! Kek, kau yang membuat apes!" kata Wiro.

 "Eh, mengapa aku yang kau salahkan?!" jawab Si Setan 

Ngompol seraya pelototkan matanya yang jereng.

 Wiro tak sempat berdebat karena saat itu Naga

Kuning berteriak. "Awas! Kakek itu menyerang kita!"


TIGA


PENDEKAR 212 dan Si Setan Ngompol palingkan kepala 

ke arah rumah kincir. Benar apa yang diteriakkan Naga 

Kuning. Dari jurusan bangunan tersebut, sementara kincir 

hantu masih terus berputar menggemuruh, kelihatan 

menyambar tiga buah benda sebesar kepalan, berbentuk 

bulat merah. Selagi melayang di udara, tepat di atas 

halaman di depan rumah kincir, tiga benda itu berpijar 

terang lalu meletus keras dan berubah bentuk.

 Kalau tadi merupakan tiga buah bola-bola merah

muka kini menjadi larikan asap berwarna merah dan

membeset ke arah tiga jurusan yang semuanya mengarah 

ke pohon besar di mana Wiro dan kawan-kawannya 

bersembunyi. Jelas tiga larikan asap merah itu satu 

persatu di arahkan pada Pendekar 212, Naga Kuning dan 

Si Setan Ngompol.

 "Lompat!" teriak Wiro.

 Tiga sosok berkelebat jungkir balik dari atas pohon, 

melompat ke tanah. Begitu injakkan kaki di tanah Wiro 

berguling sampai beberapa tombak, menjauh dari pohon 

besar. Hal yang sama dilakukan pula oleh si Setan 

Ngompol dan Naga Kuning.

 "Wusss!"

 "Wusss!"

 "Wusss!"

Tiga larik asap merah melabrak pohon besar.

 Semula Wiro dan kawan-kawannya mengira pohon 

besar itu akan segera hancur berantakan atau dilalap 

kobaran api. Ternyata tidak. Apa yang mereka saksikan 

membuat mereka jadi merinding. Pohon besar itu kini 

berubah menjadi pohon mati yang walau masih tegak tapiberada dalam keadaan memutih mulai dari ujung ranting 

sampai ke akar yang tersembul di atas tanah! Dapat 

dibayangkan apa yang terjadi dengan Wiro, Naga Kuning 

dan Si Setan Ngompol kalau sampai kena dihantam oleh 

tiga larik asap merah itu! Mereka bisa berubah menjadi 

jerangkong seperti yang tadi mereka saksikan apa yang 

terjadi dengan diri Si Hati Baja!

 Setan Ngompol megap-megap seperti orang mau

tenggelam. Di atas matanya melotot besar sedang di

bawah kencingnya mancur tidak ketolongan!

 "Tua bangka kepala teleng itu! Dia hendak menjadikan 

kita tulang belulang alias jerangkong! Aku nekad untuk 

menghajarnya!" Lalu kakek ini kerahkan seluruh tenaga 

dalamnya ke tangan kanan, siap menghantam dengan 

pukulan bernama Setan Ngompol Mengencingi Bumi. 

Padahal saat itu celananya sudah basah kuyup di sebelah 

bawah!

 "Aku juga!" berseru Naga Kuning. Bocah yang

sebenarnya adalah kakek berusia seratus tahun lebih

ini angkat tangan kanannya. Lima jari ditekuk seperti

mau mencengkeram. Tangannya perlahan-lahan ber-

ubah menjadi kebiruan. Naga Kuning hendak melepas

satu pukulan sakti bernama Naga Murka Merobek

Langifl. Selama ini jarang sekali bocah ini keluarkan

pukulan sakti tersebut. Ini satu pertanda bahwa dia

benar-benar marah.

 "Tahan!" Pendekar 212 cepat berseru lalu cepat

melompat ke hadapan dua orang itu, menghalangi

gerakan mereka.

 "Apa-apaan ini?!" teriak Naga Kuning.

 "Kau sudah gila? Mau mampus dimakan seranganku?!" 

membentak Si Setan Ngompol.

 "Sahabatku, harap kalian bersabar. Jangan berlaku 

nekad! Kalau diturutkan hawa amarah, sudah tadi-tadi aku 

mendahului kalian menghajar kakek di atas atap itu! Kita 

bertiga dia sendirian masakan kita bisa kalah! Tapi kalau

sampai kakek itu bisa lolos dari hantaman kita dan balas 

menyerang, kita bisa celaka. Kepandaiannya sulit diukur! 

Biar aku bicara dulu! Kalian berdua berjaga-jaga! Naga 

Kuning, kuharap kau mau mengeluarkan kesaktianmu 

yang bernama Naga Hantu Dari Langit Ke Tujuh. Ingat 

dulu bagaimana Hantu Tangan Empat setengah mati 

ketakutan melihat Ilmumu itu?"

 Naga Kuning mengangguk perlahan.

 "Akan aku lakukan Wiro," katanya. "Tapi jika kau

keburu mati duluan dihantam kakek teleng itu jangan

salahkan diriku!"

 Wiro berbalik lalu melangkah ke tengah lapangan.

Naga Kuning dan Setan Ngompol mengikuti di kiri

kanannya. Sampai di tengah lapangan murid Sinto

Gendeng hentikan langkah lalu lambaikan tangan kirinya 

ke arah kakek teleng di atas atap. Tangan kanan yang 

sudah dialiri tenaga dalam setiap saat siap melepaskan 

Pukulan Sinar Matahari.

, "Orang tua di atas atap!" Wiro berseru. "Kami bukan 

seterumu! Kami datang bukan mencari permusuhan! 

Kami datang bersahabat! Kami tiga perantau jauh yang 

tertarik dan ingin melihat sendiri kehebatan Kincir 

Hantumu! Mohon maaf jika kehadiran kami terasa 

mengganggumu!"

 Lateleng tidak segera menjawab. Dari bawah capingnya 

dia pandangi tiga orang itu. Dia hisap pipanya

dalam-dalam. Setelah menghembuskan asap merah ke 

udara kakek ini lalu tertawa mengekeh.

 "Tiga perantau asing! Datang dari jauh! Wahai!

Sungguh hebat! Yang satu berambut gondrong pandai 

bicara! Satunya lagi bocah ingusan berlagak orang

gagah! Yang terakhir kakek-kakek yang mengencingi

pohon rindangku! Apa itu namanya kedatangan yang

bersahabat?"

 "Mohon maatmu orang tua! Kakek sahabatku ini

punya penyakit suka ngompol!" menjelaskan Wiro."Apa itu ngompol?!" tanya Lateleng tidak mengerti.

 "Suka kencing tak karuan karena per di selang-

kangannya sudah dol!" menjawab Naga Kuning.

 Lateleng geleng-gelengkan kepala. Dia menuding

ke arah Pendekar 212. "Kau tadi bilang ingin melihat

sendiri Kincir Hantuku! Hemmm.... Berarti kalian hendak 

mencoba menjajal kincirku. Rupanya masih ada makhluk 

yang lebih tolol dari pada manusia berjuluk Hati Baja yang 

sudah mampus dan kini tinggal jerangkong itu!"

 Setan Ngompol terus saja mengucur air kencingnya 

mendengar ucapan Lateleng itu.

 "Maaf Kek! Maksud kami bukan itu...!"

 "Kau gondrong, masih muda! Juga kawanmu yang 

belia itu. Belum cukup umur untuk menjajal Kincir Hantu. 

Tinggal tua bangka yang satu itu. Harap kenalkan diri! Apa 

kau sudah siap untuk menjajal Kincir Hantuku dan 

mengharap imbalan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh 

Jin?!"

 Setan Ngompol cepat gelengkan kepala dan goyang-

goyangkan ke dua tangannya. Di sebelah bawah semakin 

keras kucuran air kencingnya!

 Sementara itu Kincir Hantu mulai bergerak perlahan dan 

akhirnya berhenti.

 "Orang tua di atas atap," Wiro cepat menjawab.

"Kami bertiga, apa lagi kakek sahabatku ini mana

berani bertindak congkak menjajal kehebatan kincirmu!

Terus terang kami sangat kagum. Itu saja! Kami tidak ada 

maksud untuk menjajalnya!"

 Kakek teleng cuma menyeringai sinis mendengar

ucapan Wiro.

 "Kalau kau tidak bermaksud, wahai! Bagaimana

sekarang kalau aku yang mengundang?!" ujar Lateleng 

pula lalu membuka capingnya dan menjura kearah Si 

Setan Ngompol.

 "Tidak.... Jangan! Maafkan aku! Maafkan kami bertiga!" 

kata Setan Ngompol dengan muka pucat."Aku tidak punya kepandaian apa-apa. Aku dan kawan-

kawan akan segera meninggalkan tempat ini. Kami

mohon maafmu. Kami segera pergi...." Si Setan Ngompol 

cepat balikkan diri.

 "Tunggu!" Lateleng membentak. "Dua kawanmu yang 

belum cukup umur itu boleh pergi. Tapi kau yang bau 

kencing kuda harus tinggal di tempat! Jangan berani 

bergerak apa lagi melangkah!"

 "Celaka! Mati aku!" keluh Si Setan Ngompol dan

serrr.... Air kencingnya semakin banyak tumpah 

membasahi celananya yang memang sudah kuyup!

 "Orang tua!" seru Wiro. "Kami tidak punya niat

melayanimu. Kau bisa menunggu lain orang saja. Mohon 

maaf. Biarkan kami pergi dengan aman!"

 "Pemuda gondrong banyak cakap! Kalau begitu biar kau 

yang kuundang naik ke atas kincir ini! Hari ini aku 

mencabut aturan bahwa hanya orang berusia paling 

rendah enam puluh tahun saja yang boleh menjajal 

kehebatan Kincir Hantu!" 

 Wajah murid SintoGendeng jadi berubah. Tangan kirinya 

pulang balik menggaruk kepala. "Maaf Kek! Lain kali saja 

aku penuhi undanganmu! Aku dan kawan-kawan masih 

ada keperluan lain. Kami sudah cukup puas sudah melihat 

kincirmu yang hebat!" 

 "Mana bisa begitu!"Kakek diatas atap meradang "Berani 

kau bergerak satu langkah, nyawamu tertolong! Kecuali 

jika kau mau mengaku kau adalah manusia paling 

pengecut dan tidak berani menerima tantangan orang!"

 Terbakarlah darah Pendekar 212 mendengar ucapan si 

kakek. Namun masih bersabar dan sambil menyeringai dia 

menjawab. "Terserah kau mau bilang apa! Aku tidak 

berminat melayani undanganmu!"

 "Wiro," kata Naga Kuning. "Biar aku saja yang melayani 

kakek sombong kepala teleng itu! Kalau dia masih banyak

mulut akan kuhantam dengan pukulan Naga Hantu dari 

Langit Ke Tujuh!"

 "Ha... ha! Bocah ingusan itu ternyata lebih punya nyali 

dari padamu pemuda perantau berambut gondrong! 

Sungguh memalukan!" Dari atas atap kakek bercaping 

berteriak mengejek lalu tertawa mengekeh.

 "Kakek kepala teleng! Aku terima tantanganmu!" 

teriak Wiro. Kesabarannya buyar. Dia terpancing. Naga 

Kuning dan Setan Ngompol cepat memberi ingat tapi sang 

pendekar sudah melesat ke atas dan di lain kejap sudah 

berdiri di atas roda kincir.

 Begitu berada di atas kincir Wiro cepat perhatikan roda 

yang berputar. Memeriksa. Dia tidak melihat hal-hal yang 

mencurigakan. Semua bagian roda itu seperti kincir biasa 

adanya, terbuat dari kayu besi berwarna kehitaman. Tak 

ada sesuatu yang berbentuk benda tajam terbuat dari 

logam. Lalu benda apa yang telah menabas putus 

sepasang kaki Si Hati Baja?! Serta juga kaki-kaki empat 

belas orang lainnya itu tentunya?!

"Celaka! Aku punya firasat dia bakal mendapat celaka 

besar!" kata Si Setan Ngompol sambil pegangi bagian 

bawah perutnya. Naga Kuning walau tidak

menjawab tapi diam-diam bocah ini merasa sangat

khawatir. Dia memberi isyarat pada kakek bermata jereng 

itu. Ke dua orang ini segera menyiapkan pukulan

mengandung tenaga dalam tinggi di tangan kanan 

masing-masing. Jika terjadi sesuatu dengan Wiro mereka 

langsung akan menghantam kakek bercaping di atas atap.

Diatas atap Lateleng tegak berdiri, buka capingnya 

membungkuk menjura."Orangmuda! Apakah kau sudah 

siap?!"

“Kau boleh mulai!" jawab Wiro. Tapi matanya masih 

memperhatikan roda kincir. "Gila! Tidak ada apa-apanya “

kata Wiro dalam hati. "Aku yakin keparat kepala teleng ini 

menyembunyikan sesuatu!"Lateleng tersenyum. Dia melirik ke tangan kanan wiro lalu 

sambil berkata.

“Tangan kananmu bergetar halus. Bukankah itu satu 

pertanda bahwa kau tengah mengerahkan tenaga dalam?”

“Matamu tajam! jawab Pendekar 212 sambil menahan 

rasa kaget karena tidak menyangka kakek kepala teleng 

itu tahu apa yang tengah dilakukannya. “Terus terang aku 

tidak percaya padamu! Aku harus menjaga segala 

kemungkinan. Apa kau takut?!"

 Lateleng tertawa lebar. "Aku penguasa tunggal di

tempat ini! Kincir Hantu adalah milikku! Sebenarnya

kau yang takut! Kalau tidak mengapa menyiapkan

pukulan sakti untuk menyerang?!"

 "Orang tua! Dari tadi kau bicara saja! Kapan akan

mulai!" Menantang Pendekar 212 Wiro Sableng.

 Si kakek kembali menjura. "Dengan segala senang

hati! Kita akan mulai sekarang! Jika kau bisa bertahan

di atas kincir sebanyak tiga kali putaran, kitab Kesaktian 

Menguasai Tujuh Jin jadi milikmu!"

 "Aku tidak butuh segala kitab begituan!" jawab Wiro. 

"Aku ingin membuat perjanjian denganmu!"

 "Oohooo! Apa yang ada dalam benakmu wahai

pemuda dari rantau jauh?!" tanya si kakek teleng.

Untuk pertama kalinya sepasang matanya kelihatan

membeliak.

 "Jika aku sanggup bertahan sampai tiga kali putaran, 

Kincir Hantu ini menjadi milikku! Kau boleh angkat kaki 

dari sini!"

 Orang tua di atas atap tertawa bergelak. "Kau cerdik 

tapi licik!"

 "Jadi kau takut menerima permintaanku?!"

 "Wahai! Siapa bilang! Kau terlalu takabur anak muda! 

Itu berarti separuh dari nyawamu sudah kau berikan 

padaku! Ha... ha... ha!" Lateleng cabut bendera kuning di 

atas atap lalu ditancapkannya di kayu roda kincir. 

Bersamaan dengan itu kincir raksasa itu keluarkan suara

menderu dan mulai bergerak ke kiri! Di halaman di bawah 

sana Naga Kuning dan Setan Ngompol memperhatikan 

dengan penuh tegang.


EMPAT


KETIKA kincir mulai bergerak dan berputar ke kiri 

Pendekar 212 segera berlari-lari kecil ke arah berlawanan. 

Setiap ke dua kakinya menjejak kayu roda, dia kerahkan 

tenaga dalam. Maksudnya hendak mencoba menjebol 

kayu kincir untuk melihat apa yang tersembunyi di sebelah 

bawah. Luar biasanya ternyata kayu itu atos sekali!

 Selagi Wiro mencari akal apa yang harus dilakukannya 

tiba-tiba kakek teleng ketukkan pipanya kepinggiran kincir 

seraya berseru.

 "Satu!"

 Kincir bergetar lalu menggemuruh berputar lebih cepat.

 Di sebelah depannya Wiro melihat bendera kuning

bergerak menuju ke arahnya lalu lewat di bawah ke dua 

kakinya. Wiro melirik tajam pada si kakek, memandang ke 

bawah ke arah dua temannya lalu kembali memperhatikan 

kincir yang berputar semakin cepat, membuat dia harus 

berlari lebih cepat pula. Tak lama kemudian bendera 

kuning muncul kembali untuk ke dua kalinya. Kincir 

berputar semakin kencang. Dengan Ilmu meringankan 

tubuh yang dimilikinya Pendekar 212 tidak perlu merasa 

khawatir akan kehilangan keseimbangan bagaimanapun 

cepatnya kincir itu berputar. Malah seenaknya pemuda 

konyol ini berlari melompat-lompat di atas kincir sambil 

bersiul-siul kecil. Namun karena dia masih belum dapat 

memecahkan teka teki atau rahasia yang tersembunyi di

balik keangkeran kincir itu tetap saja hatinya merasa tidak 

enak.

 "Pemuda konyol sombong!" Kakek bercaping mendumal 

dalam hati. "Sekarang kau masih bisa bersiul-siul. 

Sebentar lagi baru kau tahu rasa!""Dua!" berteriak Lateleng. Seperti tadi kembali dia

ketukkan pipanya ke pinggiran roda kincir. Kincir itu

sekali lagi bergetar keras diantara suara gemuruhnya.

Si kakek balikkan capingnya dan perlihatkan pada

Wiro kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin. "Kurang

dari satu putaran lagi anak muda! Kitab ini akan jadi

milikmu!"

 Wiro tidak perdulikan ucapan si kakek. Sambil

berlari sepasang matanya terus memperhatikan kincir

yang berputar. Di langit sang surya bersinar terik. Di

sebelah depan bendera kuning muncul untuk kali ke

tiga! Wiro mendadak merasa tambah tegang. Di halaman 

rumah kincir Naga Kuning dan Setan Ngompol

memperhatikan tidak berkesip. Bergerak dari sisi kanan 

menuju ke kiri, mendekati dua kaki Pendekar 212!

 Lateleng sedot pipanya dalam-dalam. Lalu pipa dicabut 

dan diketukkan ke pinggiran kincir.

 "Tiga!" berseru kakek kepala teleng itu.

 Kincir Hantu menggemuruh dahsyat seolah di situ

memang ada puluhan hantu yang tengah menggereng

marah. Naga Kuning dan Setan Ngompol tampak tegang. 

Mereka memandang penuh tegang ke arah Pendekar 212 

Wiro Sableng.

 Si kakek sudah tidak memegangi bagian bawah

perutnya lagi. Percuma saja. Dalam keadaan sangat

tegang seperti itu dipegangpun kencingnya tetap 

mengucur tak berkeputusan. Wiro sendiri berusaha 

menguasai diri. Matanya memperhatikan keadaan penuh

waspada. Dadanya bergetar ketika kemudian dari bagian 

bawah roda kincir sebelah kanan bendera kuning

menyembul muncul dan bergerak cepat ke arahnya!

 Lateleng kembali acungkan kitab Kesaktian Menguasai 

Tujuh Jin sambil berseru. "Wahai anak muda!

Kau hebat sekali! Kitab ini agaknya memang berjodoh

denganmu!"Wiro tidak perdulikan seruan orang. "Kakek itu

sepertinya sengaja hendak mengalihkan perhatianku!" 

Membatin Pendekar 212.

 Hanya satu langkah lagi bendera kuning akan lewat di 

bawah dua kaki Wiro tiba-tiba terdengar suara aneh 

berkepanjangan.

 "Clak... clak... clak!"

 "Suara aneh itu!" seru Naga Kuning tercekat. Dia Ingat 

betul. Suara seperti itu terdengar sebelum dua kaki Si Hati 

Baja terpapas buntung! Berarti Wiro berada dalam bahaya.

 "Wiro! Awas! Kakimu!" teriak Naga Kuning.

 Murid Eyang Sinto Gendeng memang sudah memasang 

telinga dan berlaku waspada sejak tadi-tadi. Namun dia 

tidak tahu apa yang bakal terjadi.

 Tiba-tiba dari arah pinggiran roda kincir membersit sinar 

putih menyebabkan Pendekar 212 kesilauan dan untuk 

sesaat tidak dapat melihat apa-apa lagi. Sambaran sinar 

putih menyilaukan ini juga melesat secara aneh ke arah 

Naga Kuning dan Setan Ngompol. Ke dua orang ini 

berseru kaget dan terpaksa lindungi mata dengan tangan 

masing-masing.

 "Aku tidak dapat melihat apa-apa!" seru Naga Kuning.

 "Aku juga! Aneh, sinar menyilaukan itu membuat

kencingku terasa lebih panas! Anuku sampai bergeletar!" 

menyahuti Setan Ngompol dengan mata terjereng-jereng.

 Di atas roda kincir Pendekar 212 berseru kaget ketika 

mendadak dua kakinya terasa sangat berat.

Bagaimanapun dia kerahkan tenaga berusaha melompat, 

dia hanya mampu mengangkat kakinya ke atas sejarak 

seujung kuku!

 "Celaka! Apa yang terjadi!" Wiro kerahkan tenaga

dalam. Terbayang olehnya apa yang terjadi dengan Si

Hati Baja.

 "Clakk!"

 Tanpa terlihat oleh Pendekar 212 yang masih

kesilauan, sebuah benda putih menyilaukan menderumemapas ke arah kaki kanannya.

 Saat itulah tiba-tiba terjadi satu keanehan yang

berlangsung sangat cepat. Satu tangan menyambar

ke bawah, merangkul dada dan ketiak Wiro. Ber-

samaan dengan itu tubuhnya terangkat ke atas. Wiro

merasa seolah dibetot ke atas menembus langit. Ketika

dua matanya bisa melihat wajar kembali, dia dapatkan

dirinya tergolek dan berada di satu tempat di balik

serumpunan semak belukar. Sepasang mata sang

pendekar terpentang lebar ketika melihat siapa yang

tegak di hadapannya.

 Murid Sinto Gendeng segera melompat bangkit.

 "Luhrinjani..." desis Pendekar 212. Belum lagi

habis rasa tegangnya atas apa yang barusan dialaminya di 

atas sana, kini tengkuknya jadi merinding. Karena dia tahu 

sosok yang ada di hadapannya saat itu sebenarnya telah 

mati beberapa waktu yang silam!

 "Kau...!"

 " Kita tidak banyak waktu. Lekas tinggalkan tempat Ini 

sebelum kakek di atas rumah kincir turun ke tanah

lancarkan serangan. Kawan-kawanmu juga harus cepat 

angkat kaki dari sini!"

 "Tapi bagaimana...."

 Sosok perempuan berwajah ayu, mengenakan

pakaian panjang terbuat dari sebentuk sutera putih,

rambut tergerai lepas dan melambai-lambai ditiup

angin perlihatkan wajah tidak sabaran. Dengan tangan

kirinya makhluk ini mencekal leher baju Pendekar212.

Sekali dia bergerak Wiro seolah diajak melayang terbang. 

Di dekat pohon besar perempuan itu menukik menyambar 

Naga Kuning dan Setan Ngompol. Luar biasa sekali. 

Seperti menenteng tiga anak kucing, perempuan 

berpakaian putih bergerak cepat seolah melayang.

 Di atas atap kincir kakek kepala teleng tidak tinggal

diam. Dia cepat kenakan capingnya di atas kepala lalumenggembor marah menyaksikan apa yang terjadi.

Tangan kanannya digoyangkan tiga kali berturut-turut.

 Tiga larik asap merah menyambar ke bawah.

 "Kita serang!" teriak Naga Kuning yang pertama kali 

melihat datangnya tiga larik asap merah itu. Si setan 

Ngompol mancur air kencingnya. Wiro yang sudah 

menyaksikan keganasan asap merah serangan Kakek

teleng itu segera menghantam lepaskan pukulan

Sinar Matahari.

 "Bummm! Bummm! Bummm!"

 Tiga dentuman dahsyat menggetarkan seantero

tempat. Sosok perempuan berpakaian putih bergoyang 

keras lalu melayang jatuh ke tanah, tapi tetap dalam 

keadaan tegak. Wiro merasakan sekujur tangan

kanannya berdenyut sakit dan kaku.

 DI atas atap rumah kincir Lateleng delikkan mata.

 "Wahai! Aku hanya melihat selarik sinar putih

menyilaukan. Lalu ada hawa panas menyambar. Tiga

larik asap merahku buyar walau cahaya putih itu

berhasil dihancurkan. Wahai! Siapa yang menghantam! 

Perempuan jejadian itu atau pemuda berambut

gondrong?! Jahanam betul! Aku harus menyelidik ke

bawah. Mengejar dan membantai mereka semua!" Lalu

seperti seekor alap-alap kakek itu terjunkan diri dan

melayang ke bawah.

 "Kita dikejar!" kata Naga Kuning setengah berteriak.

 Wiro kembali siapkan pukulan Sinar Matahari.

 Perempuan berpakaian putih cepat berucap." Kalian 

bertiga lekas tegak lurus-lurus. Jangan bergerak,

jangan bersuara. Jika kalian mengikuti apa yang 

kukatakan, niscaya kakek itu tidak akan melihat kita!"

 "Kakek itu tidak buta! Siang bolong begini masakan dia 

tidak bisa melihat kita!" ujar Naga Kuning. Seperti Wiro dia 

juga siapkan satu pukulan sakti di tangan kanan.

 "Wahai! Jangan berlaku bodoh! Jika mau selamatikuti ucapanku!" kata Luhrinjani pula, perempuan 

berpakaian putih itu.

 "Ikuti saja apa yang dikatakannya..." bisik Wiro

karena dia tahu perempuan berpakaian putih itu bukan

makhluk sembarangan tapi mayat hidup yang memiliki

kepandaian tinggi berkat pertolongan Para Peri Dari

Langit Ke Tujuh. Hal ini diketahuinya dari Lakasipo

beberapa waktu lalu.

 Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol lalu tegak

lurus-lurus, tidak bergerak dan tidak bersuara. Hanya

mata mereka saja yang jeialatan memperhatikan Lateleng. 

Kakek pemilik Kincir Hantu ini begitu menjejakkan kaki di 

halaman luas segera berkelebat kian ke mari, mencari-cari 

sambil mulutnya terus menerus mengeluarkan suara 

mengomel.

 "Barusan mereka ada di sekitar sini! Bagaimana

mungkin bisa lenyap seperti ditelan bumi!" Si kakek

buka capingnya. Untuk beberapa lamanya dia berdiri

diam. Hanya kepalanya yang dipalingkan kian ke mari

disertai mata membeliak. "Kurang ajar betul! Mereka

benar-benar lenyap!" Lateleng menggeram marah.

 Apa yang terjadi? Berkat ilmu kesaktian yang

dimiliki Luhrinjani si kakek tidak melihat ke empat

orang itu. Padahal saat itu Wiro dan dua kawannya

norta perempuan berpakaian putih hanya satu langkah

saja di samping kirinya. Seandainya si kakek 

menggerakkan tangannya ke samping pasti dia akan 

menyentuh sosok Si Setan Ngompol yang saat itu tegak

tak bergerak di bawah pohon tapi air kencingnya

mengucur jatuh.

 Ilmu kesaktian yang dimiliki Luhrinjani itu bernama 

Menutup Mata Memutus Pandang. Konon itu

Adalah salah satu dari beberapa ilmu kesaktian yang

diturunkan Para Peri Dari Negeri Atas Langit kepadaperempuan bernasib malang itu. Namun bagaimanapun 

hebatnya kesaktian tersebut celakanya kesaktian

ini tidak membuat Luhrinjani mampu melenyapkan

kencing Si Setan Ngompol dari pandangan mata Lateleng. 

Sambil dekapkan capingnya di depan dada sepasang 

mata' kakek teleng itu perhatikan tanah yang basah tepat 

di antara ke dua kaki Si Setan Ngompol.

 Lateleng mendekat lalu berjongkok di depan tanah

yang basah. Si Setan Ngompol pejamkan mata. Untung

dia masih ingat ucapan Luhrinjani agar tidak bergerak.

Padahal tadi ketika melihat Lateleng mendekatinya,

malah jongkok di depannya nyawanya serasa terbang

dan dia hampir saja gerakkan tangan hendak memegangi 

bagian bawah perutnya! Naga Kuning berdiri laksana 

patung sambil menggigit bagian bawah bibirnya. Berusaha 

menahan ketegangan.

 Pendekar 212 berdiri menahan nafas. Kepalanya

terasa gatal dan dia hampir tak dapat menahan diri

hendak menggaruk. Luhrinjani satu-satunya yang berdiri 

dengan sikap tenang sambil memperhatikan gerak-gerik 

Lateleng.

 Setelah jongkok di depan Setan Ngompol, Lateleng 

ulurkan tangan, menepuk-nepuk tanah yang basah oleh air 

kencing Si Setan Ngompol. Lalu jari-jarinya yang basah 

didekatkannya ke hidungnya.

 "Hue!" Si kakek keluarkan suara seperti orang mau 

muntah. Dia meludah habis-habisan. "Bau pesing

jahanam!" Makinya. Dia mendongak ke atas. Saat itu

kebetulan di salah satu cabang pohon kelihatan seekor

tupai besar sedang kencing. Selesai kencing binatang

ini melompat ke cabang pohon lainnya dan lenyap

dari pemandangan.

 "Tupai celaka! Kau rupanya!" Lateleng kembali

memaki. Lalu dia berdiri dan melesat kembali ke atas

atap. Dari atas atap rumah kincir ini dia memeriksaKincir Hantunya dan merasa lega karena tidak ada

bagian yang rusak akibat bentrokan asap merah saktinya 

dengan pukulan Sinar Matahari tadi.

 Setan Ngompol menarik nafas lega. "Tupai kencing di 

atas pohon itu telah menyelamatkanku dan kawan-kawan! 

Bagaimana aku membalas budi binatang itu," kata si 

kakek jereng dalam hati.

 "Kita aman sekarang," Luhrinjani berkata dengan

suara perlahan. "Ikuti langkahku. Kita bergerak tiga

tangkah lurus ke depan, lalu berbelok tiga langkah ke

kanan, berbelok lagi tiga langkah ke kiri. Lalu lurus lagi

sampai kita melewati pohon cempedak hutan di

depan sana...."

 Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol mengikuti

apa yang dikatakan Luhrinjani. Setelah melewati pohon 

cempedak hutan Luhrinjani hentikan langkah dan

berpaling pada ke tiga orang itu. "Saat ini kita berada

cukup jauh dari kawasan Kincir Hantu. Wahai, aku

gembira bertemu dengan kalian bertiga. Gembira tapi

juga heran. Terakhir sekali aku melihat kalian, sosok

kalian hanya sebesar jari. Bagaimana sekarang bisa

berubah sebesar ini?"

 Wiro lalu menceritakan pertemuannya dengan

luhclnta serta Hantu Raja Obat.

 "Kalian beruntung!" kata Luhrinjani. Dia menatap

Pendekar 212 sesaat lalu meneruskan ucapannya.

"Dan kau tiga kali beruntung...."

 "Apa maksudmu Luhrinjani?" tanya Wiro pula.

 "Keuntungan pertama, kau selamat dan diobati

oleh Hantu Raja Obat. Keuntungan ke dua, kaki kananmu 

tak sampai putus dibabat Kincir Hantu. Coba kau lihat apa 

yang telah terjadi dengan kasutmu sebelah kanan...."

 Wiro angkat kaki kanannya sedikit lalu perhatikan

kasut yang dikenakannya. Berubahlah paras sang

pendekar. Bagian tapak kasut yang terbuat dari kulitItu ternyata telah terbabat putus sampai setengahnya.

Wiro memandang pada Luhrinjani. "Kalau kau terlambat 

menolongku, berarti kakiku yang putus.... Aku dan Juga 

kawan-kawan sangat berterima kasih padamu

Luhrinjani. Sekarang apakah kau mau mengatakan

keuntungan ketiga itu?"

 Yang ditanya tersenyum. "Tak mungkin kukatakan

di depan dua sahabatmu ini. Nanti saja aku ceritakan

kalau ada kesempatan...."

 "Antara kami bertiga tidak ada rahasia. Mengapa

tidak diceritakan sekarang saja?" kata Wiro. Semen-

tara Naga Kuning mendekati Si Setan Ngompol lalu

membisiki kakek ini. "Aku khawatir, jangan-jangan

perempuan ini telah jatuh cinta pada sang pangeran

sableng sahabat kita ini!"

 Setan Ngompol menyeringai dan menyahuti. "Buruk nian 

nasib kita kalau begitu. Semua perempuan cantik naksir 

padanya. Kita lalu kebagian apa?! Hik...hik... hik...!"

 Luhrinjani menatap Pendekar 212 sesaat lalu

menggeleng. "Ketahuilah, Hantu Raja Obat adalah

makhluk aneh yang hati dan jalan pikirannya bisa

berubah dalam sekejapan mata! Apa kalian pernah

mendengar berapa banyak manusia yang tidak di-

senanginya dijadikan Godokan obat lalu dijarang dalam 

periuk tanah di atas kepalanya yang bersorban?"

 Wiro mengangguk. Naga Kuning jadi merinding.

Setan Ngompol langsung mulas perutnya. Apa yang

dikatakan Luhrinjani memang benar adanya dan pernah 

ada orang yang memberi tahu sebelumnya.

 "Luhrinjani, Lakasipo telah menganggap kami

sebagai saudara angkat. Berarti kaupun adalah saudara 

kami. Kami bertiga menghaturkan terima kasih. Kau telah 

menyelamatkan kami dari tangan kakek teleng pemilik 

Kincir Hantu itu...."Luhrinjani anggukkan kepalanya dengan perlahan. 

Parasnya yang cantik kemudian tampak berubah sayu. Dia 

menatap jauh ke depan dengan pandangan kosong.

 "Luhrinjani, kulihat perubahan pada wajahmu. Seolah 

ada satu ganjalan kesedihan di hatimu. Apakah...."

 Luhrinjani menghela nafas panjang. "Langkahku jauh 

sampai ke sini karena menyirap kabar bahwa suamiku 

Lakasipo ada bersama kalian. Namun wahai, aku

tidak menemukannya. Mungkin kau dan kawan-kawan

mengetahui gerangan dimana Lakasipo berada?"

 Yang menjawab Naga Kuning. "Terakhir kami

bersamanya ketika bertemu dengan Hantu Raja Obat.

Saat Itu dia mengatakan hendak pergi menemui 

seseorang. Tapi dia tidak menyebut siapa orangnya,

hanya menyebut tempat di mana orang itu berada...."

 Luhrinjani mendongak ke langit lalu pejamkan mata-

nya sesaat. Dia berpaling pada Naga Kuning. "Mungkin

suamiku menyebut nama sebuah gunung...?"

 "Betul sekali!" sahut Naga Kuning.

 Wiro menyambung. "Aku ingat, kalau tidak salah

Lakasipo menyebut nama gunung itu. Gunung La-

batuhitam...."

 "Wahai!" Wajah Luhrinjani tampak berubah. Suaranya 

bergetar ketika berkata. "Demi Para Dewa dan Mara Peri. 

Demi segala Roh yang tergantung antara langit dan bumi. 

Jangan-jangan memang benar firasatku. Dia menemui 

perempuan itu...."

 "Perempuan siapa maksudmu Luhrinjani?" tanya

SI Betan Ngompol yang bersuara setelah sejak tadi

diam saja.

 "Tak bisa kukatakan. Wahai, aku harus pergi 

sekarang.... Tapi ada satu lagi pertanyaanku. Apakah

kalian pernah mendengar nama Hantu Santet Laknat?"

 "Kami pernah mendengar dari Lakasipo," jawabWiro. "Menurut Lakasipo dukun jahat itulah yang 

mencelakai dirinya atas permintaan Lahopeng..." (Baca:

"Bola Bola Iblis")

 "Tahu dimana dukun itu berada?"

 Wiro dan dua kawannya sama-sama gelengkan kepala.

 "Karena tak ada yang ingin kutanyakan lagi, aku

harus pergi sekarang," kata Luhrinjani pula.

 "Kakak sahabatku! Tunggu dulu!" berkata Naga

Kuning. "Bolehkah aku menanyakan ilmu apa yang

kau pergunakan tadi hingga kakek teleng pemilik

Kincir Hantu itu tidak mampu melihat kita semua?"

 "Aku tidak dapat memberi tahu padamu. Tidak

sekarang, entah nanti..." jawab Luhrinjani. Perempuan

ini segera balikkan badan dan tinggalkan tempat itu.

Wiro menunggu sampai Luhrinjani terpisah agak jauh

dari Naga Kuning dan Si Setan Ngompol, lalu dengan

cepat dia menyusul,

 "Luhrinjani, aku terpaksa bersikap keras kepala.

Aku ingin kau mengatakan apa keberuntunganku yang

ke tiga. Dua sahabatku itu tidak akan mendengar jika

kau mengatakannya sekarang...."

 Luhrinjani menatap dalam-dalam ke mata Pendekar 

212. Membuat murid Eyang Sinto Gendeng ini menjadi 

agak tercekat, apa lagi kalau dia ingat yang di hadapannya 

itu sebenarnya adalah roh halus dari orang yang sudah 

lama mati!

 "Wahai! Kau memaksa rupanya. Tapi baiklah.

Akan kukatakan padamu. Keberuntunganmu yang ke

tiga ialah ada seorang gadis cantik berhati baik jatuh

cinta padamu...."

 "Siapa?!" tanya Wiro kaget karena tidak menyang-

ka hal itu yang akan diucapkan Luhrinjani.

 "Kau terkalah sendiri..." jawab Luhrinjani sambil

tersenyum.

 "Peri Angsa Putih...?" tanya Wiro. Luhrinjani tidak

menjawab dan masih tetap mengulum senyum. "Luhjellta?" tanya Wiro lagi. Luhrinjani masih tersenyum

Bopertl tadi.

 "Kami kaum perempuan tidak ingin membuka

rahasia pribadi isi hati sesama kami. Cobalah kau

Ingat-ingat! Ada seorang lain yang sebelumnya telah

mengatakan padamu," jawab Luhrinjani. Lalu perem-

puan berpakaian serba putih ini melangkah pergi.

 Wiro kembali mengejar. Tapi aneh! Sekali ini wa laupun 

dia berjalan setengah berlari tetap saja dia tak mampu 

mendekati perempuan itu. Ketika dia perhatikan bagian 

bawah kaki Luhrinjani, serta merta Pendekar 212 

hentikan langkahnya. Sepasang kaki luhrlnjani ternyata 

tidak menginjaktanah! Ketika Wiro memandang lagi ke 

depan, perempuan itu telah lenyap sepertl ditelan bumi! 

(Mengenai Luhrinjani harap baca serial Wiro Sableng 

berjudul "Bola Bola Iblis")

 Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. "Ada seorang 

lain yang sebelumnya telah mengatakan padamu..." kata-

kata Luhrinjani itu terngiang kembali di telinga Wiro. 

"Siapa..,?" Wiro coba mengingat-ingat. Namun sebelum 

dia mampu mendapatkan jawaban tiba-tiba satu makhluk 

raksasa putih muncul di udara lalu menukik ke bawah dan 

sesaat kemudian telah bersimpuh di tanah, beberapa 

langkah di hadapan Pendekar 212. Tapi karena saat itu 

pikiran sang pendekar masih dicekat oleh rasa 

menduga-duga maka dia seolah tidak melihat makhluk 

putih itu.


LIMA


“WAHAI sahabat bernama Wiro yang konon berjuluk 

Pendekar 212, gerangan apakah yang meresapi pikiranmu 

hingga mata seolah tertutup kabut dan telinga seperti 

terhalang angin?"

 Wiro tersentak kaget. "Peri Angsa Putih..." katanya

begitu dia menyadari siapa yang duduk di atas punggung 

angsa putih raksasa. "Maafkan, aku sampai tidak...."

 "Teka teki hidup yang tidak terjawab memang

membuat seseorang bisa bingung, jadi lupa diri dan

lupa keadaan sekelilingnya...."

 Wiro coba tersenyum dan garuk-garuk kepala.

Dalam hati dia membatin. "Apakah Peri cantik ini

sempat mendengar percakapanku dengan Luhrinjani

tadi?"

 Saat itu Naga Kuning dan Si Setan Ngompol telah

berada pula di tempat itu. Keduanya menjura memberi

penghormatan. "Sahabatku Peri cantik bermata biru,

kami senang bisa bertemu lagi denganmu," kata Naga

Kuning.

 "Aku juga merasa gembira bisa melihat kalian

semua," jawab Peri Angsa Putih sambil tersenyum

lalu melirik pada Wiro. "Kuharap kalian semua baik

baik saja...."

 "Peri Angsa Putih, apakah pertemuan ini suatu

kebetulan saja atau memang kau sudah kangen lalu

punya niat menemui kami? Eh, maksudku kangen

pada sahabatku Wiro?" tanya Naga Kuning sambilsenyum-senyum. Di lain pihak Wiro menduga 

kemunculan sang Peri adalah untuk membicarakan 

masalah bunga mawar beracun tempo hari.

 Pertanyaan Naga Kuning itu membuat wajah Peri

Angsa Putih bersemu merah sedang Wiro ulurkan

tangan mencubit punggung Naga Kuning hingga bocah Ini 

melintir kesakitan.

 Sebenarnya sejak beberapa waktu lalu Peri Angsa

Mutlh memang berusaha mencari Wiro. Dia ingin menemui 

sang pendekar untuk menjernihkan persoalan bunga 

mawar beracun yang hampir merenggut nyawa

Wiro dan yang menurut Luhjelita berasal dari dirinya.

(Mengenai perselisihan segi tiga antara Wiro, Peri

Angsa Putih dan Luhjelita harap baca serial Wiro

Sableng berjudul "Hantu Tangan Empat" dan "Hantu

Muka Dua") Namun niatnya untuk membicarakan hal

Mu menjadi sirna ketika tadi secara tidak sengaja dia

sempat mendengar ucapan-ucapan Luhrinjani yang

menyebut tentang seorang gadis cantik berhati baik

yang jatuh cinta pada Wiro. Untuk menutupi rasa malu

dan sekaligus kekecewaannya untung Peri Angsa

Putlh dapat mencari akal mengeluarkan jawaban.

 "Wahai, sebagai sahabat tentu saja aku selalu

Ingin bertemu dengan kalian. Namun selain itu memang 

aku ingin menemui Wiro...."

 "Nah! Apa kataku!" ujar Naga Kuning pula sambil

menepuk bahu Si Setan Ngompol hingga kakek ini

tersentak kaget dan langsung terkencing.

 Wiro menatap wajah sang Peri. "Kau ingin 

membicarakan perihal bunga mawar kuning itu..." tanya

Pendekar212.

 Peri Angsa Putih goyangkan tangannya dan ge-

lengkan kepala.

 "Kalau bukan itu mungkin perihal kesalahanmu

memukul diriku waktu bertengkar dengan Luhjelita,"kata Wiro pula.

 "Bukan, bukan itu," jawab Peri Angsa Putih. "Aku

mencarimu untuk meminta kembali selendang sutera

biruku yang terjatuh sewaktu terjadi perkelahian dengan 

anak buah Hantu Muka Dua beberapa waktu lalu." (Baca 

"Hantu Muka Dua")

 Sesaat Wiro jadi terpana dan tatap Peri Angsa

Putih dengan pandangan penuh tanda tanya. "Aku

punya firasat sebenarnya dia bukan mencari selendang 

itu," kata murid Sinto Gendeng dalam hati. Lalu dia 

berucap. "Selendang itu memang ada padaku. Kau

tentu ingat selendang itu terjatuh di tanah. Sementara

kau pergi begitu saja. Aku...." Wiro tidak melanjutkan

ucapannya. Sebenarnya dia ingin selendang milik Peri

Angsa Putih itu tetap ada padanya. Namun yang

empunya datang meminta. Apapun alasannya dia harus 

mengembalikan. "Sebenarnya aku...." Lagi-lagi

Pendekar 212 tidak bisa lanjutkan kata-katanya. Ketika

dia berusaha menatap mata biru Peri Angsa Putih, dia

merasa seolah yang berada di hadapannya saat itu

adalah Ratu Duyung, penguasa kawasan samudera di

tanah Jawa yang juga memiliki sepasang mata berwarna 

biru.

 Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan selendang biru 

milik Peri Angsa Putih dalam keadaan terlipat rapi serta 

menebar bau harum semerbak. "Selama selendang ini 

ada padaku, aku merasakan satu kesejukan dalam diriku," 

kata Wiro seraya meluruskan lipatan selendang biru.

 "Dengan selendang ini dulu kau menyelamatkan jiwaku. 

Sebenarnya... aku ingin selendang ini tetap berada di 

tanganku...."

 Peri Angsa Putih terkejut karena tidak menyangka

Wiro akan berkata seperti itu. Sesaat dia jadi bingung

sendirl karena sebenarnya dia memang bukan muncul

untuk mencari selendang itu."Wahai, tidak kusangka dia akan mengatakan

perasaan hatinya begitu polos. Menyesal aku meminta

selendang itu kembali..." kata Peri Angsa Putih dalam

hati.

 "Tapi aku sadar selendang ini bukan milikku. Selama ini 

aku menyimpannya baik-baik. Jika ada

Iwylnnnya yang- rusak atau kotor aku mohon maaf.

Kuaerahkan kembali selendang ini padamu, Peri Ang-

an Putih. Terimalah...."

 "Ya... ya! Selendang itu memang harus dikembalikan!" 

kata Naga Kuning menggoda Wiro.

 SI Setan Ngompol sambil senyum-senyum dan

terjereng-Jereng menyambungi. "Selendang pakaiannya 

orang perempuan. Masak laki-laki ke mana-mana

membawa selendang. Milik orang lain pula! Hik... hik!

sungguh tidak pantas!"

 Wiro delikkan mata pada ke dua kawannya itu. Lalu dia

ulurkan tangan kanannya yang memegang selendang. 

Sesaat Peri Angsa Putih hanya berdiam diri, Diam-diam 

dia menyesali segala perbuatan dan ucapanya tadi. "Aku 

telah berlaku tolol!" kata Peri Angsa Putih dalam hati. 

"Seharusnya tidak perlu kuminta kembali selendang itu. 

Jika selendang itu tetap ada padanya bukankah berarti 

setiap saat dia akan selalu Ingat padaku!"

 Setelah berdiam diri cukup lama akhirnya dengan

berat hati Peri Angsa Putih ulurkan tangan menerima

selendang biru tersebut. Kemudian untuk beberapa

lamanya gadis ini masih tegak berdiri menatap dengan

pandangan sayu pada Pendekar 212 sementara Wiro

sendiri menatap sang peri dengan pandangan kecewa.

 Naga Kuning dan Si Setan Ngompol kini diam-diam ikut 

merasakan ada sesuatu yang saling mengganjal di antara 

ke dua orang itu.

 "Wiro," Peri Angsa Putih berucap perlahan. "Mungkin 

kau masih mengira akulah yang hendak meracuni dirimu 

dengan bunga mawar kuning itu. Saat ini aku bersumpahdemi Para Dewa dan Para Peri serta semua roh antara

langit dan bumi. Aku tidak melakukan hal itu. Aku ingin 

mendengar tanggapan langsung dari dirimu sendiri saat 

Ini juga. Katakanlah sesuatu...."

 Wiro garuk-garuk kepalanya. "Aku tidak tahu apa

yang harus kukatakan. Namun...."

 "Namun apa Wiro?" Peri Angsa Putih bertanya

dengan nada tidak sabaran.

 "Seandainya Luhjelita juga mengucapkan sumpah 

seperti sumpahmu tadi, lalu siapa di atara kalian yang bisa 

ku percaya?"

 Mendengar ucapan Wiro itu sepasang mata Peri

Angsa Putih tampak berkaca-kaca. "Wahai, kalau hal

itu kau tanyakan padaku maka jawabku adalah ini.

Percayailah sumpahnya. Jangan percaya pada sumpah 

seorang Peri sepertiku!"

 Habis berkata begitu Peri Angsa Putih balikkan diri lalu 

tinggalkan tempat itu. Wiro seperti tersadar dan hendak 

memanggil tapi yang dilakukannya hanya diam tak 

bergerak.

 "Anak tolol! Mengapa kau berucap seperti itu pada

Perl Angsa Putih!" Tiba-tiba kakek Setan Ngompol

berkata.

 "Kok, apa maksudmu?" tanya Wiro.

 "Kau tahu! Tidak ada satu gadispun di dunia ini

yang mau dibanding-bandingkan dengan gadis lain

oleh seorang pemuda yang diam-diam disukainya...."

 "Maksudmu Peri Angsa Putih menyukaiku?" tanya Wiro.

 Naga Kuning pencongkan mulutnya. "Aku yang

bocah saja bisa melihat. Kau yang punya diri tidak tahu 

diri! Jika kau tidak suka pada gadis itu dan

kebetulan dia suka padaku, jangan nanti kau jadi

menyesal!"

 "Anak muda," kata Setan Ngompol menyambung bicara. 

"Apa kau tidak melihat bagaimana dua mata Putri Angsa

Putih jadi berkaca-kaca ketika kau membandingkannya 

dengan Luhjelita, perawan genit yang gentayangan ke 

mana-mana memikat lelaki itu?"

 Wiro garuk-garuk kepalanya. "Aku.... Ah, sebenarnya aku 

juga menyukai Peri Angsa Putih," kata Wiro pula, Dia diam 

sejenak. "Tapi...."

 "Nah, tapinya ini yang bikin brengsek! Suka tapi

masih ada tapi!" kata Naga Kuning lalu pasang muka

merengut.

 Sementara itu tanpa setahu ke tiga orang itu, disatu 

tempat yang terlindung, seorang perempuan berwajah 

putih jelita kerenyitkan kening. Sepasang alisnya naik ke 

atas ketika mendengar ucapan Wiro yang mengatakan 

sebenarnya dia juga menyukai Peri Angsa Putih, Dalam 

hati dia berkata lirih. "Kalau hati pemuda asing Itu benar 

sudah tertambat pada Peri Angsa Putih, agaknya buruk 

nian nasib diriku. Padahal aku sudah mengambil 

keputusan untuk meninggalkan duniaku kalau saja aku 

mendapatkan dirinya. Aku telah berusaha. Namun 

agaknya aku tidak mendapat restu.

Mungkin cara yang kutempuh salah. Ah...." Leher

jenjang perempuan cantik itu tampak bergerak turun

naik. Dia menggigit bibirnya kencang-kencang untuk

menahan linangan air mata. Setelah mengusap bagian

bawah cuping hidungnya perempuan ini lalu berkelebat 

pergi ke arah sang surya yang memancarkan

sinar terik menyilaukan. Kalaupun Wiro dan Naga

Kuning serta Setan Ngompol melihat bayangannya

maka mereka hanya akan melihat seberkas cahaya

biru yang serta merta lenyap tanpa mereka bisa melihat

dengan jelas apa adanya.

 "Aku tidak bermaksud menyakiti hati Peri Angsa

Putih. Kalian tahu, banyak hutang budi kita padanya...."

 "Dia sudah pergi. Apa gunanya bicara begitu?"ujar Naga 

Kuning."Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Setan

Ngompol.

 "Aku akan menunggu sampai malam datang...'

kata Wiro.

 "Eh, apa yang ada di benakmu wahai Kakak Wiro?"

tanya Naga Kuning sambil miringkan kepalanya. Kata-

kata dan gerakannya jelas meledek sang pendekar.

 "Begitu malam datang aku akan kembali ke tempat

Kincir Hantu itu!"

 "Gila! Apa yang hendak kau lakukan?!" tanya

Naga Kuning.

 "Aku mau menyelidik. Rahasia apa sebenarnya

yang ada di balik kincir itu...."

 "Serrr!" Kencing Si Setan Ngompol mengucur

begitu mendengar kata-kata Wiro.

 "Kakimu hampir amblas! Kita semua hampir jadi

jerangkong! Dan kau bilang mau pergi kesana kembali!

sungguh edan!"

 "Terserah kalian mau bilang apa! Niatku sudah tetap. 

Aku harus menyelidik. Belasan orang mati mengerikan. 

Jika kalian tidak mau ikut jangan banyak omong!"

 "Kami memang tidak mau ikut! Akhir-akhir ini

ucapan dan tindakanmu kami lihat banyak anehnya!"

kata Naga Kuning pula, bocah yang sesungguhnya

adalah kakek berusia lebih dari seratus tahun. (Mengenal 

Naga Kuning harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Tua 

Gila Dari Andalas" terdiri dari 11 Episode)

 Naga Kuning berpaling pada Setan Ngompol. Sesaat 

kedua orang ini saling pandang. Si kakek hanya diam 

saja.

 *

 * *


TIGA orang itu tegak di bawah pohon besar,

memandang tak berkesip ke arah lapangan. Sekeliling

mereka dicekam kegelapan malam.

 "Wiro, apa kita tidak kesasar ke tempat yang

salah?" Naga Kuning keluarkan suara. Dari suaranya

jelas bocah ini berada dalam keadaan tercekat.

 "Ini pohon besar yang dihantam kakek bercaping itu. Di

depan kita terbentang halaman luas. Tempatnya jelas

sama! Tapi memang adalah aneh kalau rumah kincir dan 

kincirnya tak kelihatan lagi di depan sana!" kata Wiro.

 "Rumah dan Kincir Hantu bisa lenyap! Ada yang tak 

beres. Aku khawatir ada bahaya mengancam kita! 

Menyesal aku ikut bersama kalian!" kata Setan

Ngompol dan seperti biasa dua tangannya cepat pegangi 

bagian bawah perutnya.

 "Aku tidak mengerti. Rumah dan kincir sebesar itu tahu-

tahu bisa lenyap! Mungkin sengaja dipindah?" berucap 

Naga Kuning.

 "Orang sakti manapun tidak mungkin memindahkan 

bangunan sebesar itu!" kata Si Setan Ngompol.

 "Mungkin ini salah satu rahasia Kincir Hantu yang

harus kita pecahkan. Siang hari masih nongkrong di

depan sana. Malam hari tahu-tahu lenyap. Mungkin

kakek itu punya ilmu seperti yang dimiliki Luhrinjani?

Aku perlu menyelidik lebih dekat ke sana...."

 Naga Kuning pegang pinggang celana Wiro. "Jangan 

gegabah. Keanehan di dalam kegelapan. Bagaimana 

kalau ini semua hanya merupakan satu jebakan.

Sebelum kau sampai ke ujung lapangan sana mungkin

berbagai senjata rahasia akan bertabur menembus

tubuhmu. Bukan mustahil kakek kepala teleng itu

mendekam di tempat gelap sana. Lalu kalau ada yang

datang, dalam jarak dekat dia akan semburkan asap

pipanya! Apa kita semua mau jadi jerangkong?"

 "Kau betul juga!" kata Pendekar 212 sambil garukgaruk kepala. "Lalu apa yang harus kita lakukan?"

 "Segera pergi saja dari tempat celaka ini!" kata Si

Setan Ngompol yang sejak tadi sudah dilamun rasa

takut dan berusaha menahan kencingnya. Naga Kuning 

mengatakan hal yang sama. Tapi Pendekar 212

masih penasaran. Dia dekati satu pohon kecil setinggi

kepalanya. Dengan sekali hantam saja pertengahan

batang pohon itu patah dua. Lalu Wiro lemparkan

bagian atas pohon ke arah di mana sebelumnya rumah

dan kincir berada.

 "Braaakk!"

 Pohon jatuh di ujung lapangan.Tidak ada gerakan.

tak ada suara. Tidak terjadi apa-apa. Wiro berpaling pada

dua kawannya. Naga Kuning dan Setan Ngompol

unikkan apa arti pandangan itu.

 "Kalau kau tetap keras kepala, silakan saja menyelidik 

ke sana..." kata Naga Kuning pula. "Aku dan kakak Ini 

menunggu di sini."

 Wiro anggukkan kepala. Dia mulai melangkah. Dia

berjalan tidak langsung menempuh lapangan terbuka dari 

arah depan, tapi bergerak dulu ke kanan, menyisi

sepanjang tepi lapangan lalu membelok ke kiri. Di

ujung sana dia membelok lagi ke kiri. Kini bergerak

ke arah di mana sebelumnya rumah kincir dan Kincir

Hantu berada. Sebegitu jauh tak terjadi apa-apa. Namun 

ketika murid Sinto Gendeng hanya tinggal satu tombak 

saja lagi dari perkiraan letak bangunan, mendadak dalam 

kegelapan malam berkiblat dua buah sinar kebiru-biruan, 

menderu ke arah Pendekar 212.

 "Senjata rahasia! Wiro awas!" teriak Naga Kuning

memperingatkan.

 Wiro memang sudah mendengar kemudian mellhat 

gerakan dua benda bersinar biru itu. Sambil jatuhkan diri 

Wiro hantamkan tangan kanannya melepas pukulan 

Benteng Topan Melanda Samudera. Dua benda biru 

terpental. Namun

"Blaaarr!"

 "Blnaarr!"

 Dua ledakan dahsyat menggema di udara malam.

Dua buah benda biru hancur bertaburan membentuk

keping-keping aneh. Keping-keping ini kemudian berubah 

menjadi larikan-larikan panjang. Lalu laksana tangan-

tangan gurita, larikan-larikan sinar biru itu menyambar 

mencengkeram ke arah Pendekar 212.

 Wiro gulingkan dirinya di tanah. Menyingkir kesisi 

lapangan sebelah kanan dari arah mana tadi dia

datang lalu kembali lepaskan satu pukulan sakti ber-

nama Dewa Topan Menggusur Gunung.

 Sepuluh larik sinar biru yang seperti tangan-tangan 

gurita yang tadi hendak mencengkeramnya mencelat 

buyar ke udara. Namun luar biasanya, buyaran yang 

berjumlah dua puluh empat ini berubah menjadi

seperti dua benda biru yang pertama kali menyerang

Wiro, menderu dengan kecepatan setan dalam gelapnya 

malam, menyambar ke arah sosok Pendekar 212!

 "Celaka!" ujar Setan Ngompol melihat apa yang

terjadi. Kakek ini serta merta gerakkan tangan kanannya. 

Serangkum angin menebar bau pesing menderu

ke ujung lapangan. Inilah pukulan Setan Ngompol

Mengencingi Langit.

 Naga Kuning tidak tinggal diam. Begitu melihat Wiro 

berada dalam keadaan bahaya dia segera menghantam 

tangan kanannya. Sinar biru panjang menderu dalam 

kegelapan malam, memapaki gerakan dua puluh empat 

benda biru yang menyerbu Pendekar 212.

 Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya yang sudah 

disiapkan untuk melepas pukulan Sinar Matahari

berkelebat ke depan.

 Selarik sinar putih menyilaukan disertai hamparan

hawa panas laksana sambaran kilat menyambar ke

depan. Tiga pukulan sakti menggempur dua puluh empat benda biru.


Letusan-letusan seperti hendak mengoyak gendang-

gendang telinga berdentuman di tempat itu. Tanah 

bergetar. Pepohonan berderak. Semak-semak 

berserabutan dan debu serta pasir beterbangan ke udara.

Ketika keadaan tenang kembali Wiro dan kawan-

kawannya sudah menjauhkan diri dari tanah lapang.

Setan Ngompol terbatuk-batuk sambil pegangi bawah

perutnya. Naga Kuning tegak dengan tubuh gemetar

karena tangannya yang tadi dipakai untuk menghantam 

benda-benda biru itu kini terasa seperti kaku dan panas. 

Wiro sendiri yang melepas pukulan Sinar Matahari dengan 

mengerahkan hampir sepertiga tenaga dalamnya 

merasakan dadanya berdebar dan aliran darahnya tak 

karuan.

 "Sebaiknya kita tinggalkan tempat celaka ini! Kendali jika 

ada diantara kalian yang mau mampus percumal" kata Si 

Setan Ngompol pula yang kembali kuyup celananya.

 Wiro dan Naga Kuning sepakat untuk pergi dari tempat 

Itu. Namun baru sama bergerak satu langkah tiba-tiba 

satu bayangan hitam berkelebat dari balik gundukan tanah 

tinggi disertai suara membentak.

 "Kalian bertiga memang sudah ditakdirkan mampus

percuma!"

 Belum habis kejut Wiro dan kawan-kawannya

melihat kelebatan bayangan hitam yang disusul bentakan 

garang itu, mendadak tiga buah benda bercahaya merah 

menyerupai bara api melesat ke arah mereka!

 "Sialan! Siapa lagi yang punya pekerjaan ini!"

teriak Wiro. Dia cepat melompat selamatkan diri sambil

mendorong dua kawannya.

 Tiga benda merah melesat di samping mereka

lalu amblas ke dalam sebuah batu besar di dekat

rerumpunan semak belukar. Batu itu serta merta dikobari

api lalu bergemeretak pecah menjadi empat bagian, 

hangus menghitam dan kepulkan asap.

 Setan Ngompol jatuh terduduk di tanah. NagaKuning tertelungkup dengan muka pucat Wiro memandang 

ke arah kegelapan, kejurusan datangnya serangan tadi. 

Dia melihat sesosok tubuh tinggi besar. Salah satu 

tangannya buntung. Di bagian perut orang ini sebelah 

dalam seolah ada sesuatu yang mengeluarkan cahaya 

kemerahan


ENAM


UNTUK sementara waktu kita tinggalkan dulu Wiro dan

dua sahabatnya yang tengah mendapat serangan di 

malam gelap oleh seseorang yang belum diketahui siapa 

adanya.

 Dalam Episode sebelumnya (Hantu Muka Dua) telah 

diceritakan bagaimana kakek utusan Para Dewa bernama 

Lamanyala menemui putera bungsu Laselayu yang 

tengah bertapa di sebuah pulau karang. Iamanyala 

memberi tahu, jika pemuda itu mengikuti apa yang 

dikatakannya maka kelak dia akan menjadi seorang sakti 

mandraguna, dijuluki Hantu Muka Dua karena nantinya dia 

akan menjalani hidup dengan memiliki dua muka kembar. 

Selanjutnya dia akan menjadi pelambang Segala Keji, 

Segala Tipu, Segala Nafsu. Untuk mendapatkan semua itu 

maka pertapa muda Itu harus pergi ke Negeri 

Latanahsilam. Dia harus menemui beberapa tokoh sakti di 

negeri itu dan merampas ilmu kesaktian yang mereka 

miliki. Kemudian si pemuda yang oleh Lamanyala diberi

nama Labahala harus pergi ke Lembah Seribu Kabut.

Disitu bertapa seorang sakti yang bukan lain adalah

Lasedayu dan sebenarnya adalah ayah kandung Labahala 

sendiri. Konon pada masa itu Lasedayu adalah yang 

paling sakti di seluruh negeri, melebihi kehebatan Hantu 

Tangan Empat yang merupakan dedengkot para Hantu 

sakti yang ada. Untuk menundukkan Lasedayu, Labahala 

harus mencungkil dan merampas pusar orang sakti itu. 

Lamanyala kemudian membekali Labahala dengan sebuah 

benda yakni sendok aneh bergagang pendek dan terbuat

dari emas murni. Sendok ini merupakan satu benda

sakti dan diberi nama Sendok Pemasung Nasib.Dengan sendok inilah Labahala harus mencungkil

pusar Lasedayu.

 Labahala tidak pernah tahu bahwa pertapa sakti

di Lembah Seribu Kabut yang akan didatanginya itu

adalah ayah kandungnya sendiri. Lamanyala sengaja

mengatur semua itu karena dendam kesumatnya ter-

hadap Lasedayu. Bukan saja Lasedayu telah meng-

ambil Jimat Hati Dewa titipan Para Dewa, tetapi juga

karena Lasedayu telah membuat kakek itu menjadi

mengerikan seumur hidup. Sosok tubuhnya sebelah

kanan hancur dan tinggal merupakan satu gerakan

besar begitu rupa sehingga tulang iga, sebagian isi

dada dan isi perutnya terlihat dengan jelas, luar biasa

seram mengerikan! Selain itu antara Lamanyala dengan 

Para Dewa di Atas Langit telah terjadi perselisihan hebat 

Para Dewa tidak menyukai cara yang ditempuh Lamanyala 

dalam menjatuhkan hukuman atas diri Lasedayu yang 

dianggap semata-mata hanya merupakan pelampiasan 

dendam pribadi. Dalam amarahnya Lamanyala akhirnya 

menyatakan tidak bersedia lagi menjadi Utusan Para 

Dewa di Negeri Latanahsilam. Dengan demikian dia 

bebas melakukan apa saja menurut kehendak hatinya.

 LEMBAH Seribu Kabut....

 Saat itu malam baru saja sampai ke ujungnya.

Udara terasa dingin mencucuk dan kegelapan masih

mencekam di semua penjuru. Di kawasan selatan

Negeri Latanahsilam satu bayangan berkelebat cepat

ke arah timur dimana terletak satu kawasan yang

disebut Lembah Seribu Kabut. Lembah ini diberi nama

demikian karena jangankan malam atau pagi hari, pada

siang hari saja selagi matahari bersinar terik, kabut

menyungkup seantero lembah menutup pemandangan.

 Bayangan tadi berlari cepat menembus kegelapandan udara dingin, langsung ke pusat lembah. Di satu

tempat dia hentikan langkah. Di kejauhan terdengar

suara lolongan binatang buas penghuni lembah.

Orang ini memandang berkeliling. Dia tidak melihat

apa-apa, kecuali pepohonan, semak belukar, bebatu-

an. Semua menghitam dalam kegelapan. Kabut dan

kegelapan malam membuat pandangannya sangat

terbatas.

 "Sunyi... gelap dan dingin. Di mana aku harus

mencari orang sakti bernama Lasedayu itu...." Orang

Ini berkata dan bertanya-tanya dalam hati. Sekali lagi

dia memandang berkeliling. Pandangannya memben-

tur sebuah batu besar. Rasa letih membuat dia me-

langkah mendekati batu lalu duduk di sana. "Mungkin

aku harus menunggu sampai matahari terbit. Jika hari

sudah terang aku akan memeriksa seluruh lembah ini.

Bukan mustahil dia tinggal di dalam sebuah goa...."

 Karena batu yang didudukinya itu agak datar maka

orang ini baringkan dirinya. Perjalanan jauh membuat

sekujur tubuhnya letih. Sesaat antara tertidur dan jaga

tiba-tiba dia bangkit dan duduk di atas batu. Ada suara

seperti langkah kaki di sebelah kanan. Namun 

memandang ke jurusan itu dia tidak melihat siapa-siapa.

Rasa tegang perlahan-lahan merayapi hati orang ini.

 "Mungkin berbahaya kalau aku sampai ketiduran..." pikir 

orang itu. Lalu dia duduk bersila di atas batu. Sesaat 

terbayang di pelupuk matanya wajah kakek sakti bernama 

Lamanyala itu. Dia coba membayangkan bagaimana kira-

kira sosok dan tampang manusia bernama Lasedayu. 

Dalam keadaan seperti itu orang ini tidak mengetahui 

kalau dari sebelah atas, sebuah benda besar perlahan-

lahan melayang turun ke arah kepalanya. Dia baru 

menyadari ketika serangkum angin sangat halus menyapu 

tengkuknya.Saat itu bibir lembah di sebelah timur kelihatan mulai 

terang pertanda sang surya siap memperlihatkan dirinya 

kembali di muka bumi. Orang yang duduk di atas batu 

dongakkan kepalanya ke atas. Tapi! Astaga! Sebuah 

benda tiba-tiba menekan dari atas, membuat dia tidak bisa 

mendongak atau memutar kepala.

Dia kerahkan tenaga bahkan tenaga dalam, tetap saja

dia tak sanggup melepaskan diri dari tindihan benda

di atas kepalanya itu.

 "Makhluk kurang ajar! Siapapun kau adanya pantas 

kubantai saat ini juga!" Orang di atas batu membentak lalu 

secepat kilat tangan kanannya dipukulkan ke atas!

 Selarik sinar hijau berkiblat dalam keremangan di

akhir malam yang segera berganti siang itu.

 Tindihan di atas kepala orang ini mendadak lenyap. 

Satu bayangan berkelebat dua tombak ke atas.

 Serangan yang dilancarkan orang di atas bahu

cepat luar biasa. Tapi sasaran yang diserang bergerak

lebih cepat untuk selamatkan diri. Sinar hijau setelah

menembus kabut dan udara kosong menghantam satu

pohon hcsar. Pohon ini langsung berubah menjadi

Hijau Ialu meleleh tumbang seolah berubah menjadi

lumpur hijaui Benar-benar luar biasa mengerikan.

 " Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Rohl" Satu suara

berseru di sebelah atas.

 Orang yang lepaskan pukulan melompat turun dari batu. 

Ketika dia memandang ke atas, kakinya langsung 

tersurut. Sejarak tiga tombak di atas batu dia melihat 

seorang tua dalam sikap duduk bersila, mengapung di 

udara sambil rangkapkan dua tangan di muka dada. 

Sepasang matanya memandang tajam pada orang di 

bawahnya. Satu tangan kemudian bergerak mengusap 

dagunya yang ditumbuhi janggut panjang warna kelabu.

 "Bukan main! Orang tua itu memiliki tenaga dalam

tinggi luar biasa! Juga ilmu meringankan tubuh yang

sangat langka! Dia mampu mengapung di udara seperti 

duduk enak-enakan di lantai yang lembut!"

 "Anak muda yang muncul di penghujung malam,

Malam kabut dan udara dingin. Wahai, siapa kau adanya. 

Apakah kau berpunya nama?"

 Orang di depan batu sesaat tegak diam tak menjawab. 

Apa perlu dia menjawab pertanyaan orang itu. Tapi dia 

harus mengetahui jelas siapa adanya orang tersebut. Jadi 

dia memang perlu membuka mulut untuk bicara.

 "Guruku yang pertama memberi aku nama Lajundai. 

Guruku yang ke dua menamakan aku Labahala!.

Terserah kau mau memanggil aku siapa! Tapi pantas

kau ketahui aku muncul menyandang satu gelar besar!

(sebelum kukatakan gelar itu harap beri tahu apakah

kau makhluknya yang bernama.Lasedayu, penghuni

dan penguasa Lembah Seribu Kabut ini?!"

 Orang tua di atas sana kerenyitkan kening. Alis

matanya yang lebat tebal mencuat ke atas. Lalu tampak

dia menyeringai. Kembali dua tangannya disilangkan

di atas dada.

 "Kau punya dua orang guru. Tentu kau adalah

seorang pemuda sakti. Wahai anak muda, coba kau

beri tahu siapa nama gurumu yang pertama dan ke

dua itu!"

 "Kau tak layak bertanya dan aku tak layak menjawab!"

 Orang yang mengapung di udara tertawa datar.

 "Jangan tertawa! Tak ada yang lucu, katakan saja

apa kau orangnya yang bernama Lasedayu?!" menghardik 

Lajundai alias Labahala.

 "Kau seperti orang yang kesusu. Ada sesuatu

yang membuat kau tidak sabaran! Jangan kau keliwat

memaksa anak muda! Pukulan yang tadi kau lepaskan

adalah Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh. Setahuku

pukulan itu hanya dimiliki oleh seorang tokoh bernama

Hantu Lumpur Hijau yang diam di Kubangan Lumpur.

Bagaimana kau bisa memilikinya. Apa kau murid ataupunya hubungan tertentu dengan dirinya?!"

 Labahala tertawa lebar. Sambil angkat tangan

acungkan tinju dia berkata. "Aku bukan murid bukan

kerabat Hantu Lumpur Hijau. Ilmu Pukulan Hantu Hijau

Penjungkir Roh itu aku rampas dari Hantu Lumpur

Hijau!"

 "Kau rampas dari Hantu Lumpur Hijau? Wahai!

Kau tentu bergurau...."

 "Siapa bilang aku bergurau! Lihat! Aku juga telah

merampas beberapa kesaktian yang dimiliki Hantu

Tangan Empat. Saksikan ini! Apa kau mengenali ilmu

kesaktian yang akan kuperlihatkan ini?!"

 Begltu berucap maka tubuh Labahala berubah menjadi

asap berwarna merah lalu tanpa mengeluarkan suara, 

bergulung berputar seperti gasing, membentuk kerucut 

terbalik. Orang tua di atas sana buka dua tangannya yang 

disilangkan di depan dada. Dia terkejut besar ketika 

merasakan tubuhnya mulai tersedot ke arah kerucut asap 

itu! Buru-buru dia mengapung naik sampai setinggi tiga 

tombak!

 'Ilmu Tangan Hantu Tanpa Suaral" seru orang diatas

sana dengan air muka berubah.

 Di bawahnya Labahala hentikan putaran tubuhnya lalu

dia kembali ke ujudnya semula. "Sekarang kau percaya 

aku tidak berdusta wahai makhluk berjanggut kelabu?! 

Dan apakah kau masih belum mau memberi tahu apakah 

kau ini Lasedayu atau bukan?!"

 "Aku akan memberi tahu siapa diriku. Tapi aku perlu 

tahu dulu bagaimana kau bisa mendapatkan semua Ilmu 

milik para Hantu di Tanahsilam itu?!"

 "Sudah kukatakan! Aku merampas semua ilmu itu" 

jawab Labahala.


TUJUH


PERLAHAN-LAHAN orang yang duduk mengapung di 

udara bergerak turun hingga kini dia hanya lima jengkal 

saja dari atas batu datar di hadapan Labahala.

 "Aku memang orang yang bernama Lasedayu.

Penguasa Tujuh Penjuru Angin Negeri Latanahsilam.

Aku tidak membenarkan perbuatanmu merampas ilmu

kesaktian para Hantu yang berada di bawah kekuasaanku. 

Kau harus kembalikan semua ilmu rampasan itu dengan 

cara menyerahkan dua tanganmu kiri kanan padaku! 

Lekas ulurkan dua tanganmu!"

 Labahala tertawa bergelak mendengar kata-kata

orang bernama Lasedayu yang bukan lain adalah ayah

kandungnya sendiri.

 "Lasedayu, aku memang sudah mendengar nama

besarmu! Tapi bukan berarti aku harus tunduk dan

dapat kau perlakukan seperti Para Hantu lainnya! Aku

justru datang untuk memaklumkan bahwa mulai hari

ini kau berada dalam kekuasaanku! Aku adalah Raja

Diraja Para Hantu di Negeri Latanahsilam! Aku pelambang 

Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu!"

 "Siapapun kau adanya aku tidak peduli! Lekas ulurkan 

dua tanganmu!" membentak Lasedayu. Tubuhnya yang 

mengapung bergerak satu langkah mendekati Labahala.

 "Lasedayu, kau punya mata tapi tidak melihat

tingginya Gunung Latinggimeru. Kau bisa melihat tapi

tidak menampak dan tidak tahu dalamnya lautan 

Lasamuderahijau! Lihat wajahku baik-baik!"

 Labahala lalu usap wajahnya. Saat itu juga kepalanya 

berubah jadi memiliki dua muka berbentuk mukaraksasa berwarna merah! Hidung besar, bibir tebal

dilengkapi taring yang mencuat. Rambut panjang awut-

awutan dan sepasang mata melotot besar berwarna 

merah seperti api!

 Lasedayu tersentak kaget, sampai-sampai melambung 

satu tombak ke atas.

 "Makhluk jejadian! Siapa kau sebenarnya?!" bentak 

Lasedayu.

 "Aku bukan makhluk jejadian! Aku adalah Hantu Muka 

Dua! Raja Diraja Para Hantu Tujuh Penjuru Angin

Negeri Latanahsilam! Jangan kau berani bertingkah

di hadapanku!"

 Dalam kagetnya Lasedayu menyadari bahwa dia

(tidak boleh berlaku ayal. Dia maklum kalau makhluk

di hadapannya itu punya maksud jahat. Maka sebelum

terjadi hal yang tidak diingini dia memutuskan untuk

menghantam Labahala lebih dulu! Tanpa tunggu lebih

lama dia segera lepaskan satu pukulan, mengantar

Ilmu kesaktian yang disebut Pukulan Mengelupas Puncak 

Langit Mengeruk Perut Bumfl.

 Serangkum angin sedahsyat puting beliung dan

memancarkan sinar merah menderu ke bawah. Labahala 

yang tidak menyangka bakal diserang secara mendadak 

begitu rupa berteriak marah dalam kagetnya dan buru-buru 

selamatkan diri. Dia melesat ke kiri lalu membuat gerakan 

berputar dan tahu-tahu sudah berada di belakang batu 

besar! Di depan sana dia menyaksikan bagaimana 

pukulan Lasedayu yang tidak mengenai sasarannya 

menghantam sebuah pohon besar. Pohon ini serta merta 

terkelupas seluruh permukaan kulitnya hingga dalam 

waktu sekejapan mata hanya tinggal bagiannya yang 

berwarna putih, lalu roboh tumbang dengan suara 

bergemuruh!

 Sesaat bulu kuduk Labahala mau tak mau jadi

merinding juga. Dalam hati dia membatin. "Mungkin

ini ilmu yang menurut Lamanyala bernama Mengelupas 

Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumil Luar biasa! Jika 

manusia sampai kena sasarannya pasti akan menemui 

ajal dengan tubuh hanya tinggal tulang belulang saja! Aku 

harus dapatkan ilmu kesaktian itu! Semua petunjuk 

Lamanyala ternyata benar adanya!"

 Kejut Lasedayu bukan kepalang. Bukan saja ketika 

melihat lawan sanggup selamatkan diri dari ilmu

kesaktian yang sangat diandalkannya itu, tetapi juga

ketika menyaksikan bagaimana Labahala tahu-tahu

sudah berada di sebelah belakangnya, di balik batu

besar. Cepat Lasedayu berbalik.

 Saat itu sinar sang surya yang baru terbit telah

mencapai bibir sebelah timur Lembah Seribu Kabut.

Sinarterangnya jatuh ke pusat lembah, memantul pada

sebuah benda kuning yang berada dalam genggaman

Labahala.

 Lasedayu lindungi dua matanya ketika sinar kuning itu 

menyapu mukanya dan membuat pemandangannya 

sesaat menjadi gelap. Dalam keadaan masih mengapung 

di udara dia melesat ke kiri. Ketika dia bisa melihat dengan 

jelas kembali kagetnya bukan alang kepalang. Pemuda 

bernama Labahala dengan muka raksasa kembar 

mengerikan itu sudah berada di depannya. Dalam jarak 

sedekat itu baru Lasedayu melihat benda apa yang ada di 

tangan Labahala.

 "Sendok Emas Pemasung Nasib!" teriak Lasedayu. 

Kaki kanannya langsung dihantamkan ke arah

kepala Labahala. Namun gerakannya kalah cepat. Sendok 

emas di tangan lawan menderu laksana kilat ke arah 

perutnya.

 "Settttt.... Craaasss!"

 Lasedayu menjerit setinggi langit. Darah menyembur 

dari pertengahan perutnya. Dia segera pergunakan

dua telapak tangan untuk menutup luka besar di perut,membendung muncratan darah. Dengan tubuh 

sempoyongan dia melayang turun dan jejakkan kaki di

tanah. Memandang ke depan Lasedayu melihat pemuda 

bermuka raksasa kembar itu tegak sambil menyeringai. Di 

tangan kanannya, di atas sendok emas {bergagang 

pendek melekat sebuah benda sebesar {ujung ibu jari kaki, 

berbentuk daging merah hidup 'bergerak-gerak! Itulah 

pusar Lasedayu yang berhasil [dicungkil oleh Labahala 

dengan Sendok Pemasung Nasib yang didapatnya dari 

kakek bernama Lamanyala!

 Dengan kesaktian yang dimilikinya Lasedayu

mampu menutup luka besar di bagian pertengahan

perutnya. Namun sesaat kemudian tubuhnya mulai

bergeletar. Dua kakinya goyah. Perlahan-lahan tubuh-

nya jatuh berlutut di tanah. Kesaktian yang dimilikinya

berangsur-angsur sirna. Pandangan matanya yang

membeliak besar dan galak kepada Labahala berubah

kuyu dan sayu. Sekujur tubuhnya lemas seolah tidak

memiliki tulang, urat dan otot lagi. Mukanya berubah

pucat dan menjadi tiga kali lebih tua, seolah telah

menjadi kakek-kakek!

 Labahala tertawa mengekeh sambil acungkan

sendok yang ditempeli pusar Lasedayu. Daging pusar

yang tadi hidup berdenyut-denyut kini diam dan seolah

berubah menjadi batu, menyatu dengan sendok emas

itu!

 Labahala tertawa bergefak. "Lasedayu! Pusarmu

sudah berada di tanganku! Kesaktianmu seluruhnya

berpindah ke dalam tubuhku! Ha... ha... ha!"

 Labahala gerakkan tangan kanannya, siap untuk

menyimpan sendok emas dan pusar Lasedayu ke balik

pakaian kulit kayu yang dikenakannya.

 "Selamat tinggal Lasedayu! Ha... ha... ha...!"

 Sambil memutar badan untuk berkelebat pergi

Labahala masukkan sendok emas ke balik pakaiannya.

Namun mendadak terjadi hal yang tidak terduga.Didahului satu siuran angin serta satu gelombang

kabut yang menutupi pemandangan, di udara ber-

kelebat satu bayangan serba putih. Lasedayu mencelat

dan terbanting ke tanah oleh sambaran angin itu

sementara Labahala sempat terjajar sempoyongan

sampai beberapa langkah. Selagi dia berusaha meng-

imbangi diri tiba-tiba satu tangan laksana kilat me-

nyambar ke arah lehernya, seperti pedang yang hen-

dak membabat putus. Ketika dia berusaha mengelak

sambil palangkan tangan kiri tahu-tahu ada lagi satu

tangan menyambar. Labahala tersentak kaget ketika

menyadari sendok emas yang masih ditempeli pusar

Lasedayu tak ada lagi dalam genggaman tangan ka-

nannya!

 "Jahanam berani mati!" teriak Labahala marah

sekali. Dia hantamkan tangan kiri kanan. Yang kiri

lepaskan pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh sedang

tangan kanan menghantam pukulan Mengelupas Puncak 

Langit Mengeruk Kerak Bumi. Pukulan ke dua ini

baru saja dirampasnya dari Lasedayu. Walau belum

mantap namun kekuatannya sanggup membuat lawan

berubah menjadi tulang belulang!

Bayangan putih yang diserang membuat gerakan

aneh. Tubuhnya melesat ke atas namun di sebelah

bawah, ujung pakaiannya yang berbentuk seperti ju-

bah memapas dahsyat, mengeluarkan angin deras,

membuat tanah laksana dilanda gempa.

 "Plaakk... plakkkk... plaakk!"

 Dua larik angin pukulan sakti yang dilepaskan

Labahala terpental. Labahala sendiri terbanting ke

tanah. Begitu dia melompat bangkit bayangan putih

tadi telah berkelebat ke arah matahari terbit dan akhirnya 

lenyap dalam sinar menyilaukan yang membutakan 

pemandangan!

 Dua muka raksasa Labahala menggeram. Dua

pasang matanya seperti mau melompat keluar dan

taring-taring dalam mulutnya mencuat bergemeletakan!"Jahanam! Dia merampas sendok emas itu! Kurang ajar! 

Aku bersumpah mencari tahu siapa adanya

bangsat pencuri itu!" Labahala marah besar. Seperti

orang kalap dia menghantam kian ke mari, 

menghancurkan apa saja yang ada di dekatnya! Lalu 

tanpa pedulikan lagi Lasedayu yang tergeletak tak 

bergerak di tanah, Lajundai alias Labahala segera 

tinggalkan tempat itu.

 Matahari pagi bergerak naik. Kabut melayang tu-

run ke bagian paling bawah Lembah Seribu Kabut.

Lasedayu mengerang panjang. Sambil pegangi perutnya 

yang luka dia berusaha bangkit dan duduk menjelepok di 

tanah. Selagi dia berusaha mengatur jalan nafas dan 

peredaran darahnya lalu mencoba bangun berdiri tiba-

tiba dari arah barat bibir lembah kelihatan nyala api aneh 

bergerak cepat menuruni lembah. Demikian cepatnya 

hingga dalam waktu dua kejapan mata benda ini sudah 

berada di hadapan Lasedayu.

 Lasedayu terkesiap kaget ketika mengenali siapa

adanya makhluk yang tubuhnya dikobari api itu. Dia

bukan lain adalah Lamanyala, kakek sakti yang dulu

pernah menjadi Utusan Para Dewa. Sisi kanan tubuhnya 

berlubang besar mengerikan. Kakek ini tegak berkacak 

pinggang di hadapan Lasedayu yang megap-megap 

mencoba berdiri.

 "Wahai Lasedayu, apakah kau sadar bagaimana

kutukanku beberapa puluh tahun silam kini telah menjadi 

kenyataan?!"

 "Tua bangka jahanam. Kau rupanya! Apa maksud

ucapanmu barusan?!" suara Lasedayu masih keras

dan garang.

 "Hidup keluargamu morat marit! Kau tak tahu

dimana istrimu berada. Kau juga tidak tahu dimana ke

empat anakmu! Si bungsu anakmu yang ke empat

telah menjadi musuh besarmu! Kau telah kehilangan

seluruh kesaktianmu! Kau sekarang tidak beda dengan

bangkai hidup tak ada gunanya! Ha... ha... ha... ha...

ha! Dan sekarang kutukan paling menyiksa akan kau

alami!"

 Kakek bernama Lamanyala itu angkat tangan kirinya. 

Telapak tangan dibuka dikembangkan dan diarahkan 

pada Lasedayu.

 "Bangkit.... Tegak! Berdirilah Lasedayu. Tapi jangan 

berdiri dengan dua kakimu! Mulai hari ini kau akan hidup 

menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah. Kau akan 

berjalan dengan dua tanganmu! Kau akan jadi makhluk 

tersiksa seumur-umur! Ha... ha...ha!"

 Lamanyala gerakkan tangan kirinya. Secara aneh

sosok Lasedayu yang tadi susah payah berdiri kini

bangkit tegak. Lalu perlahan-lahan tubuh itu naik ke

atas, berputar dengan kepala menghadap ke tanah.

Mau tak mau Lasedayu harus ulurkan tangan menjaga

agar bukan kepalanya yang menempel di tanah.

 " Bagus Lasedayu! Wahai bagus sekali! Kau sudah

mengerti rupanya! Ha... ha... ha! Kaki ke atas kepala

ke bawah. Dua tangan dijadikan pengganti kaki untuk

berjalan! Itulah kehidupan barumu Lasedayu! 

Ha...ha...ha!"

 Lasedayu keluarkan suara menggembor. Tiba- tiba dia 

mengejar ke arah si kakek. Seperti yang dikatakan 

Lamanyala tadi, Lasedayu benar-benar pergunakan dua 

tangannya sebagai kaki.

 Lamanyala tertawa terkekeh-kekeh. "Selamat tinggal 

Lasedayu! Ha... ha... ha!" Sekali berkelebat si kakek 

lenyap ke balik kabut 'yang menggantung di dasar lembah.


DELAPAN


ORANG TUA berjubah putih itu melompat ke dalam 

perahu yang rupanya memang sudah menunggunya di 

tikungan sungai. Walau tubuhnya tinggi besar dan jarak 

pinggiran sungai ke perahu cukup jauh namun sedikit pun 

perahu itu tidak bergerak. Jelas dia seorang yang memiliki 

ilmu meringankan tubuh serta tenaga dalam sangat tinggi.

Selain itu ada satu hal sangat aneh dan sangat 

mengerikan pada orang ini yakni bagian kepalanya. 

Otaknya tidak berada di dalam batok kepala melainkan

berada dan terlihat menyembul di luar kepala mulai

dari atas kening sampai ubun-ubun. Otak ini terbungkus 

oleh sejenis selubung bening seperti lapisan kaca dan 

terlihat selalu bergerak hidup!

 Pemilik perahu, seorang lelaki muda bermuka hitam 

penuh ketakutan segera saja mengayuh perahunya 

menuju ke hilir. Di satu tempat sebelum mencapai sebuah 

tikungan perahu membelok menyeberang lalu merapat di 

tepian sungai di mana terdapat sebuah gubuk kecil tak 

berdinding. Tanpa berkata apa-apa, orang tua berjubah 

melompat ke daratan. Tubuhnya melayang laksana 

terbang melewati atap gubuk lalu lenyap diantara 

kerapatan pepohonan. Waktu membuat gerakan melompat 

meninggalkan perahu tadi lagi-lagi perahu itu tidak 

bergeming sedikitpun.

 Pemilik perahu yang kini merasa lega gelengkan

kepala. "Manusia aneh mengerikan! Seumur-umur baru 

kali ini aku melihat manusia otaknya berbungkah di luar 

kepala! Manusia aneh! Tapi apa betul dia manusia 

sungguhan? Ihhh! Datang dan pergi bicara.hanya denganisyarat tangan dan gerakan mata! Wahai.... Bahkan dia 

tidak memberi upah sama sekali!"

Orang ini menghela nafas panjang. Mendadak 

pandangannya membentur sebuah benda berkilauan yang

menancap di pinggiran perahu. Diraba-rabanya benda

Itu sesaat lalu dicabutnya. Begitu memperhatikan satu

seruan kecil keluar dari mulutnya.

 "Orang tua aneh. Benar-benar aneh! Aku telah berburuk 

sangka. Ternyata dia meninggalkan lempengan perak ini 

sebagai sewa dan upah perahu! Siapa kah gerangan. Aku 

pernah menyirap kabar dulu ada seorang tua tinggal di 

pedalaman sana. Memiliki ilmu kesaktian yang hampir 

setingkat kesaktian Para Dewa. apa dia orangnya?" 

Pemilik perahu itu timang-timang lempengan perak lalu 

menciumnya berulang kali.

Orang tua berjubah putih yang otaknya terletak diluar 

batok kepala itu berlari laksana angin. Rambutnya yang 

panjang putih bukan saja menutupi kepala bagian 

belakang sampai ke punggung, tapi juga menjulai di 

sebelah depan menutupi wajahnya. Walau matanya 

terhalang namun dia mampu berlari dengan kecepatan 

luar biasa. Sesekali dia sengaja menerjang pepohonan 

yang menghadang di depannya seperti tidak sabar untuk 

menghindar. Saat itu dia memang tengah berpacu dengan 

waktu. Dia sedang menghadapi urusan genting. 

Kemampuannya untuk sampai di tujuan dalam waktu 

secepat mungkin akan menyelamatkan nyawa seseorang. 

Sambil lari sesekali dia mendongak ke atas 

memperhatikan matahari. Kalau dia sampai di tujuan pada 

saat matahari mencapai titik tertingginya berarti dia akan 

gagal menyelamatkan nyawa sahabatnya itu.

 Sambil berlari dalam hati tiada putusnya dia mengucap. 

"Lawungu! Jangan kau mati dulu! Wahai Para Dewa, Para 

Peri dan semua roh yang ada antara bumi dan langit! 

Tolong sahabatku itu!" Otak di atas kepalanya berdenyut 

keras.

 Berlari sejauh lima ratus tombak orang tua inisampai di satu kawasan hutan yang banyak ditebari

batu-batu besar. Di satu tempat dia membelok ke kiri

dan sampai di hadapan sebuah lobang besar yang

merupakan mulut sebuah goa. Tanpa ragu orang tua

ini masuk ke dalam goa itu.

 Di dalam goa yang hanya diterangi oleh sebuah

obor kecil, tergolek sesosok tubuh. Kaki kanannya

mulai dari telapak sampai ke lutut diselimuti luka besar

yang telah memborok dan menebar bau sangat busuk.

 "Sahabatku Lawungu, aku merasa bahagia! Hari

ini aku dapat melunasi hutang nyawa itu!" Si orang

tua berucap lalu membungkuk. Sosok di lantai goa

tidak bergerak. Orang tua ini sesaat menjadi kecut.

Jangan-jangan dia terlambat! Orang yang hendak di-

tolongnya telah keburu menemui ajal. Celaka!

 "Lawungu!" Orang tua itu pegang dada Lawungu,

orang yang tergolek di lantai. Dia menjadi lega begitu

merasakan masih ada denyutan jantung walau sangat

perlahan dan lemah. Lalu dia kerahkan tenaga dalam

dan alirkan ke dalam tubuh orang itu. Sesaat kemudian

orang tua bernama Lawungu keluarkan suara meng-

erang.

 "Lawungu! Buka matamu! Aku datang!"

 Lawungu buka dua matanya yang sejak tadi terpejam. 

Mengerikan sekali. Sepasang mata itu tertutup genangan 

nanah! Orang tua berjubah putih tercekat kaget!

 Walau tidak melihat namun Lawungu masih bisa

 mengenali siapa yang ada di dekatnya dari suaranya.

 Mulutnya terbuka. Suaranya bergetar.

 "Wahai sahabatku Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, 

apakah kau berhasil mendapatkan satu-satunya

benda yang mampu menyembuhkan borok, membunuh 

racun ular dalam darahku dan menyelamatkan jiwaku?!"

 "AkU berhasil sahabatku! Aku membawanya Lawungu!" 

Lalu orang tua berjubah putih yang ternyata adalah Hantu 

Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang sangat terkenal di NegeriLatanahsilam sebagai makhluk berkepandaian sangat 

tinggi keluarkan sendok emas dari balik jubahnya. Karena 

sahabatnya tidak bisa melihat maka Hantu Sejuta Tanya 

Sejuta Jawab menggenggamkan sendok emas itu ke 

tangan kanan Lawungu.

 Begitu sendok emas sakti itu berada dalam genggaman 

Lawungu, satu hawa aneh menjalar masuk kedalam 

tubuhnya lalu mengalir ke dua jurusan yakni kaki kanan 

dan sepasang matanya. Seperti bara api kejatuhan tetesan 

air dua mata serta kaki kanan busuk Berborok dari 

Lawungu keluarkan suara "cess...cess...cess!" Lalu ada 

kepulan asap. Genangan nanah di dua mata orang tua itu 

seperti mendidih! Tubuh Lawungu menggeliat dan 

gerahamnya bergemeletakan menahan sakit yang amat 

sangat. Namun penuh harapan Lawungu genggam erat-erat 

sendok emas itu.

 "Sendok Pemasung Nasib..." desis orang tua ini yang 

usianya hampir seumur Hantu Sejuta Tanya Sejuta 

Jawab. "Sahabatku! Kau tahu apa yang harus kau 

kerjakan. Cepat lakukan. Aku telah lama menunggu saat 

ini. Aku sudah siap! Semoga Para Dewa memberkahimu 

wahai sahabatku!"

 Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab luruskan kaki

kanan Lawungu yang telah membusuk. Dia menekan

urat besar di beberapa bagian kaki sebelah atas.

 "Tabahkan hatimu wahai sahabatku!" kata Hantu

Sejuta Tanya Sejuta Jawab.

 "Aku tahu sakitnya seperti ditusuk besi panas!

Tapi wahai sahabatku, bertalianlah! Kesembuhan akan

menjadi bagianmu! Para Dewa akan menolongmu!"

 " Lakukan cepat! Aku sudah siap sahabatku!" kata

Lawungu pula.

 Dengan menggigit bibir Hantu Sejuta Tanya Sejuta

Jawab tusukkan Sendok Pemasung Nasib ke telapak

kaki kanan Lawungu.

 "Crosss!"

Darah bercampur nanah dan daging yang telah

membusuk muncrat mengerikan dan menjijikkan. Sendok 

emas yang ditusukkan Hantu Sejuta Tanya Sejuta

Jawab dengan mengerahkan tenaga dalam amblas ke

dalam kaki kanan Lawungu, masuk menembus tulang

sampai sebatas pergelangan kaki! Lawungu menjerit

setinggi langit. Dinding dan langit-langit goa laksana

mau runtuh. Lalu dia jatuh pingsan. Hantu Sejuta Tanya

Sejuta Jawab sendiri terduduk terkulai di lantai, tersandar 

ke dinding goa. Keringat membasahi sekujur tubuhnya.

 "Hantu Sejuta Tanya.... Sahabatku...." Lawungu

berucap sambil putar kepalanya ke kiri dan ke kanan.

 "Mataku! Aku bisa melihat kembali!"

 Kakek berjubah putih sibakkan rambut yang menjulai di 

depan mukanya lalu memperhatikan dua mata Lawungu. 

Sepasang mata yang tadinya tertutup nanah. itu kini 

kelihatan putih bening dengan dua bola mata hitam, 

menatap berseri ke arahnya.

 "Terima kasih Dewa!" seru Hantu Sejuta Tanya Sejuta 

Jawab.

 "Hantu Sejuta Tanya! Lihat! Kaki kananku juga

sembuh!" berseru Lawungu sambil angkat kaki kanannya 

lalu melompat berdiri! Memang sungguh luar biasa. Berkat 

Sendok Pemasung Nasib yang kini berada dalam kaki 

Lawungu, kaki kanan orang tua itu yang tadinya hanya 

merupakan borok membusuk kini kembali utuh seperti 

semula.

 Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ikut berseru gembira 

lalu melompat dan memeluk sahabatnya itu. Untuk 

beberapa lamanya dua orang tua ini saling berangkulan.

 "Kau telah menolongku. Kau menyelamatkanku dari 

kematian yang mengerikan!" Apa yang diucapkan Lawungu 

memang benar. Kalau sampai Hantu Sejuta Tanya Sejuta 

Jawab terlambat menolongnya maka dia akan menemui 

ajal secara tersiksa karena sebelum menemui kematian 

tubuhnya akan membusuk dulu secara perlahan-lahan."Jangan kau berkata begitu wahai sahabatku Lawungu! 

Kau pun pernah menyelamatkan nyawaku. Kau sembuh 

berkat pertolongan Para Dewa. Sekarang, seumur 

hidupmu kau akan ke mana-mana membawa sendok sakti 

itu di dalam kaki kananmu. Kecuali Para Dewa 

menginginkan sendok itu keluar dari tubuhmu tanpa 

mengurangi kekuatan dan melenyapkan kesembuhanmu! 

Aku yakin sendok itu akan melipatgandakan tenaga dalam 

serta kesaktianmu!"

 "Setelah sengsara sekian lama kini aku jadi makhluk 

paling beruntung!" kata Lawungu pula. Dia menggosok 

matanya dan goyang-goyangkan kaki kanannya berulang 

kali.

 "Setelah mendapat kesembuhan, apa yang akan kau 

lakukan wahai Lawungu?" tanya Hantu Sejuta Tanya 

Sejuta Jawab.

 "Apakah aku perlu mengatakan? Lalu apa artinya kau 

dijuluki Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!"

 Kakek berjubah putih tertawa datar. "Aku tahu kau akan 

mencari nenek berjuluk Hantu Santet Laknat itu!"

 "Perempuan celaka itu akan kuhajar habis-habisan 

sebelum nyawanya kubuat minggat dari tubuh!"

kata Lawungu dengan rahang menggembung dan

mata membeliak besar. "Aku tahu, dia yang mengirimkan 

ular hitam berbisa itu untuk mencelakaiku! Dendam di 

masa muda dibalaskannya di usia tua! Perempuan gila!

Tunggu bagianmu!" Saking marahnya Lawungu 

tendangkan kaki kanannya.

 "Braakkk!"

 Dinding goa yang terkena tendangan serta merta

hancur, membentuk satu lobang besar. Lawungu ter-

belalak dan terkejut sendiri melihat hal itu. Karena

sebelumnya walau ilmu kesaktiannya tinggi namun

untuk menjebol dinding goa batu yang sangat tebal

itu dengan tendangan tak bakal mampu dilakukannya.

Kini dia sanggup membuat dinding goa itu berlobang

besar hanya dengan satu tendangan yang dilakukan

secara tidak sengaja!


SEMBILAN


DI DALAM bangunan batu di puncak bukit yang kelak di 

kemudian hari akan dibangun apa yang dikenal sebagai 

Istana Kebahagiaan, Lajundai alias Labahala alias Hantu 

Muka Dua tengah bermesra-mesraan dengan empat orang 

gadis jelita. Seorang pembantu memberitahu bahwa tamu 

yang sejak lama ditunggu sudah berada di halaman, 

menunggu izin untuk masuk.

 Biasanya dalam keadaan seperti itu Hantu Muka

Dua akan marah besar jika diganggu. Namun tamu

yang datang memang seorang penting yang sudah

ditunggunya sejak lama. Dia telah menebar selusin

orang suruhan untuk mencari dan menemukan orang

Itu. Satu tahun berlalu baru mereka berhasil. Dengan

cepat Hantu Muka Dua mengenakan pakaiannya, lalu

bergegas keluar.

 Saat itu matahari yang baru tenggelam masih

meninggalkan sinar kuning keemasan di langit dan

menyapu puncak bukit. Di bawah sinar kekuningan yang 

mulai pupus berubah menjadi kegelapan, di bawah 

bayang-bayang satu batu besar berbentuk pilar tegak 

berdiri seorang kakek berwajah tirus, berpakaian compang 

camping. Di tangan kirinya ada sebuah tongkat terbuat 

dari batu yang memancarkan sinar biru redup.

"Hantu Muka Dua," sang tamu menegur. "Sebelum

pembicaraan dimulai, aku harap jangan sekali-kali

menyebut nama atau gelarku! Batu dan pohon bisa

punya telinga. Bumi dan langit bisa mendengar. Angin

yang bertiup menebar kabar ke delapan penjuru. Aku

tak ingin ada orang di luar tahu kedatanganku ke tempat 

ini!Hantu Muka Dua yang saat itu berpenampilan

dalam wajah lelaki separuh baya berkulit kuning di

sebelah depan dan hitam pekat di sebelah belakang

diam sejenak mendengar kata-kata tamunya itu. Lalu

perlahan-lahan dia mulai tertawa. Lama-lama tawanya

itu berubah menjadi kekehan panjang.

 "Wahai! Tertawa terkadang bisa menyehatkan tubuh. 

Tapi bukan mustahil suatu ketika tertawa bisa membuat 

seseorang berumur pendek!" kata kakek berwajah tirus 

yang rupanya tidak suka mendengar tawa Hantu Muka 

Dua.

 Kalau saja orang lain yang berkata seperti itu,

mungkin Hantu Muka Dua sudah melompatinya dan

menghajarnya habis-habisan. Dia adalah Raja Diraja

Segala Hantu di Negeri Latanahsilam. Tidak bisa orang

lain bicara seenaknya terhadapnya. Tapi karena dia

memerlukan orang itu maka Hantu Muka Dua menahan

luapan amarahnya. Wajahnya depan belakang tidak

sempat berubah menjadi sepasang wajah raksasa

yang biasanya terjadi kalau dia sedang marah.

 Hantu Muka Dua hentikan tawanya. "Kau tak mau

disebut namamu! Apa susahnya! Biar aku memanggilmu 

dengan nama Kera Sakti Tak Bernama. Kau setuju?!"

 Wajah tirus si kakek yang memegang tongkat batu

biru sesaat tampak berubah. "Kalau kau menyebut aku 

Kera Sakti Tak Bernama maka mulai sekarang aku akan 

memanggilmu Orang Hutan Tak Berekor. Kau setuju...?"

 Amarah Hantu Muka Dua hampir meledak. Dalam

menahan didihan kemarahannya, dua kakinya sampai

melesak satu jengkal ke dalam tanah. Dalam hati dia

berkata. "Kalau urusan ini sudah selesai, akan kusuruh

orang mencincang tubuh jahanam satu ini sampai lumat!"

 "Aku setuju saja. Karena semua orang tahu Orang

Hutan jauh lebih pandai dan cerdik dari pada kera biasa!" 

Hantu Muka Dua akhirnya lontarkan ucapan Itu lalu 

sunggingkan seringai mengejek

Orang tua yang diberi nama Kera Sakti Tak Bernama 

balas menyeringai lalu berkata. "Sekarang katakan padaku 

apa keperluanmu meminta aku datang ke tempat ini. Tapi! 

Sebelum kau memberitahu aku ingin agar kau lebih dulu 

membunuh dua belas orang anak buahmu yang telah kau 

tugaskan untuk mencariku. Kau harus melakukannya saat 

ini juga, di tempat ini di hadapanku!"

 Kejut Hantu Muka Dua bukan alang kepalang.

Kemarahannya tidak tertahankan lagi. Mukanya yang dua 

langsung berubah menjadi muka raksasa berwarna merah 

dan garang!

 "Hemmmm!" Kakek yang disebut Kera Sakti Tak

 Bernama bergumam." Kau kulihat marah. Tak ada satu

 orang pun boleh marah padaku! Itu aturanku sejak

 puluhan tahun lalu. Aku tidak merasa perlu membuat

urusan denganmu! Selamat tinggal Orang Hutan Tak

Berekor!"

 "Wahai! Tunggu! Jangan salah sangka! Jangan 

bercepat marah!" Hantu Muka Dua berseru. Dua mukanya 

yang tadi berbentuk raksasa kini berubah kembali menjadi 

wajah lelaki separuh baya.

 Kakek bermuka tirus hentikan gerakannya yang sempat 

hendak berbalik pergi itu. Dua alisnya naik ke atas. 

Tatapannya seperti hendak menembus batok kepala 

Hantu Muka Dua.

 "Sahabatku," kata Hantu Muka Dua pula dengan suara 

bergetar karena terpaksa harus menindih amarah. Sebagai 

orang yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu dan 

Segala Nafsu dia benar-benar merasa dikurang ajari dan 

direndahkan oleh si kakek di hadapannya itu. "Kuharap 

kau mau bersabar untuk mendengar satu cerita mengapa 

aku sampai memintamu datang ke mari."

 "Saat ini aku tidak butuh ceritamu! Aku ingin kau

segera memenuhi permintaanku tadi. Dua belas orang

anak buahmu itu harus dilenyapkan! Kalau kau tidak

melakukan, pembicaraan kita cukup sampai di sini!""Mudah saja memenuhi permintaanmu itu! Tapi

apa perlunya?" Hantu Muka Dua jadi penasaran.

 "Tadi sudah kukatakan! Batu dan pohon bisa

punya telinga. Bumi dan langit bisa mendengar! Angin

bisa menebar kabar! Apalagi manusia! Punya telinga,

mata dan mulut! Dan jumlah mereka dua belas orang

pula! Kau terima permintaanku atau kau boleh masuk

kembali ke sarangmu di bangunan batu itu!"

 "Aku bisa menerima permintaanmu!" jawab Hantu

Muka Dua walau dalam hati dia memaki habis-habisan.

Setelah berucap begitu Hantu Muka Dua bertepuk

tangan tiga kali. Seorang gadis berambut panjang

muncul. Dia menjura lalu tegak menunduk menunggu

perintah.

 "Dua belas orang yang berada di dalam kebun di

belakang bangunan batu, lekas kau suruh mereka

segera ke sini!"

 Si gadis rundukkan tubuhnya sedikit, menjura lalu

tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dua belas orang 

lelaki muncul di tempat itu. Hantu Muka Dua meminta 

mereka tegak berjejer di depan satu dinding batu.

 "Kalian telah berjasa besar berhasil menemui dan

meminta kakek ini datang ke sini. Hari ini aku akan

memberi hadiah besar pada kalian!"

 Mendengar ucapan Hantu Muka Dua tentu saja dua 

belas orang itu menjadi sangat gembira. Sebelumnya 

mereka memang telah menerima hadiah dari Hantu Muka 

Dua karena bisa menyelesaikan tugas dengan baik. Kini 

diberitahu bahwa mereka akan mendapat hadiah besar, 

tentu saja semuanya merasa senang.

 Maka ke dua belas orang itu tegak berjejer dengan sikap 

gagah dan wajah berseri-seri.

 Hantu Muka Dua gerakkan ke dua tangannya seperti 

hendak mengambil sesuatu di balik pakaian kulit kayu 

yang dikenakannya. Tapi sekonyong-konyong dua tanganitu dipukulkannya ke depan. Dua larik sinar merah 

berkiblat disusul menderunya dua gelombang angin 

dahsyat. Dua belas orang yang berjejer di depan dinding 

batu keluarkan seruan kaget. Beberapa di antara mereka 

yang mengenali pukulan maut itu segera melompat cari 

selamat. Namun tidak satu orang pun yang bisa 

meloloskan diri. Dua belas anak buah Hantu Muka Dua itu 

terpental menghantam dinding batu di belakang mereka 

lalu jatuh berkaparan. Tubuh mereka mengepulkan asap 

merah. Begitu asap sirna kelihatanlah satu pemandangan 

mengerikan. Sosok dua belas orang itu kini hanya tinggal 

tulang belulang berserakan!

 Hantu Muka Dua berpaling pada kakek di depannya. 

"Kera Sakti Tak Bernama, kau saksikan sendiri kehebatan 

pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak 

Bumi. Aku sudah melakukan apa yang,kau minta! Apa kau 

puas?!"

 Orang tua itu silangkan tongkat birunya di depan dada, 

menyeringai sesaat lalu berkata. "Kau sudah

melaksanakan pinta. Sekarang silakan bicara. Apa yang 

hendak kau ceritakan padaku. Apa yang kau tanyakan 

dan apa yang hendak kau suruh aku melakukan!"

 "Kau pernah mendengar sebuah benda yang disebut 

Sendok Pemasung Nasib?" bertanya Hantu Muka Dua.

 Kakek yang dipanggil dengan sebutan Kera Sakti

Tak Bernama mendongak ke langit hitam kelam. Sesaat 

kemudian terdengar dia berucap.

 "Puluhan tahun silam benda milik Para Dewa itu

dibawa seseorang ke Negeri Latanahsilam. Ada kabar

yang mengatakan sendok tersebut sebelum lenyap

dipergunakan untuk mencelakai seorang sakti bernama 

Lasedayu hingga orang itu kini menjadi seorang kakek 

pikun, berjalan dengan mempergunakan dua kakinya dan 

dijuluki Hantu Langit Terjungkir..."

 "Wahai, pengetahuanmu ternyata cukup luas!" memuji 

Hantu Muka Dua.Si kakek menatap lekat-lekat ke wajah Hantu Muka

Dua. "Di antara kabar yang kusirap menyatakan kau

adalah murid Lasedayu. Apa benar wahai Orang Hutan

Tak Berekor?!"

 Hantu Muka Dua meludah ke tanah. "Aku tidak

berguru pada orang setolol Lasedayu! Justru aku telah

merampas semua ilmu yang dimilikinya karena makhluk 

tolol seperti dia tidak layak memiliki berbagai ilmu

kesaktian!" Hantu Muka Dua berkata sambil busungkan 

dada. "Kau tadi mengatakan sendok sakti itu lenyap. Kau 

tahu ke mana lenyapnya sendok itu? Siapa yang 

mencurinya atau di mana beradanya sekarang?"

 Kakek di hadapan Hantu Muka Dua gelengkan kepala.

 "Ketahuilah wahai Kera Sakti Tak Bernama! Aku

memintamu ke sini guna menugaskanmu mencari Sendok 

Pemasung Nasib itu sampai dapat lalu menyerahkannya 

padaku! Aku mendapat kabar bahwa Hantu Langit 

Terjungkir juga tengah berupaya mendapatkannya! Jadi 

kau punya dua tugas. Mencari Sendok Emas Pemasung 

Nasib dan membunuh orang bernama Lasedayu alias 

Hantu Langit Terjungkir itu! Terserah mana yang hendak 

kau lakukan lebih dulu!"

 "Apakah Lasedayu masih diam di Lembah Seribu

Kabut?" tanya si kakek.

 "Setahuku dia lenyap dari lembah itu sejak empat

puluh tahun silam! Tugasmu untuk mencari tahu di

mana dia berada...."

 Kera Sakti Tak Bernama menyeringai lalu berkata.

"Diriku adalah diriku! Aku bukan bangsa manusia yang

suka diperintah oleh orang lain. Aku tidak akan 

mengerjakan apa-apa sebelum tahu apa imbalan balas

yang kau berikan padaku...."

 Hantu Muka Dua tersenyum walau dalam hati dia

keluarkan rutukan. "Ketahuilah, sejak aku 

mempermaklumkan diri sebagai Raja Diraja di Negeri 

Latanahsilam ini segala sesuatunya berada dalam genggaman kekuasaanku, termasuk dirimu! Jika ada orang

merasa dan menganggap diri paling sakti di negeri

ini, aku akan menjungkir balikkannya dan melempar

rohnya hingga tergantung antara langit dan bumi

semudah aku membalikkan telapak tangan! Tapi terhadap 

mereka yang mau membantuku, tersedia imbalan yang 

luar biasa besarnya. Untukmu aku telah menyiapkan satu 

jabatan tinggi dalam Istana Kebahagiaan. Selain itu kau 

akan kuberikan kekuasaan penuh di wilayah Negeri 

Latanahsilam sebelah timur. Harta kekayaan berlimpah 

ruah akan mengelilingimu. Lalu aku tidak lupa 

menyediakan kesenangan hidup yang selalu didambakan 

setiap lelaki. Wahai Kera Sakti Tak Bernama, harap kau 

suka mengikuti aku masuk ke dalam bangunan batu...."

 Hantu Muka Dua putar tubuhnya lalu berjalan ke

arah bangunan batu. Si kakek mengikuti dari belakang

namun diam-diam dia siapkan satu pukulan sakti di

tangan kiri sedang ke tongkat batu biru yang ada di

tangan kanannya dia alirkan tenaga dalam. Bagai-

manapun dia masih belum mempercayai manusia

bermuka dua yang dijuluki sebagai Hantu Segala Keji,

Segala Tipu dan Segala Nafsu ini.

 Masuk ke dalam bangunan mereka sampai ke

sebuah ruangan di mana sebelumnya Hantu Muka Dua

bersenang-senang dengan empat orang gadis cantik.

Saat itu ke empat gadis tersebut masih ada di ruangan

tersebut dalam keadaan nyaris tidak berpakaian. Melihat 

kemunculan Hantu Muka Dua mereka menyangka lelaki itu 

hendak melanjutkan bermesraan dengan mereka. Namun 

betapa terkejutnya ke empat gadis ini ketika Hantu Muka 

Dua berkata.

 " Harap kalian suka melayani kakek sahabatku ini!"

 Kakek yang diberi nama Kera Sakti Tak Bernama

itu sesaat diam tegak tak bergerak seolah dia tidak

tertarik pada ke empat gadis jelita itu. Tapi 


SEPUHantu Muka Dua lenyap di balik sehelai tirai kayu si

kakek segera melompati gadis paling dekat, langsung

memeluk dan menciuminya.

. Dari balik tirai Hantu Muka Dua mengintai menyeringai. 

"Bandot tua, puaskan nafsumu! Lain hari begitu kau 

dapatkan Sendok Pemasung Nasib, dirimu akan kujadikan 

bangkai tak berguna!


SEPULUH


KITA kembali kepada apa yang terjadi dengan tiga

sekawan Pendekar 212 Wiro Sableng, Naga Kuning serta 

kakek berjuluk Si Setan Ngompol (baca bagian akhir Bab 

Lima).

 Ketika orang itu memandang tak berkedip pada sosok 

tubuh dalam kegelapan yang barusan menyerang mereka 

dengan tiga benda menyala seperti bara api.

 "Astaga!" kata Naga Kuning sambil menggamit Wiro. 

"Makhluk bertangan buntung itu, bukankah dia yang 

bernama Latandai alias Hanfu Bara Kaliatus?l"

 "Memang dia," jawab Wiro.

 Setan Ngompol pegang erat-erat bagian bawah

perutnya. "Bagaimana dia bisa muncul di sini. Bukankah 

waktu itu dia sudah dikutuk Peri Bunda dan melarikan diri 

bersama walet terbang...."

 "Lihat perutnya," balas berbisik Wiro. "Ada cahaya

kemerahan. Berarti bara api yang jadi senjata andalannya 

masih mendekam di situ. Luar biasa kalau dia masih bisa 

hidup!"

 Sosok yang tegak dalam kegelapan itu memang

Latandai yang berjuluk Hantu Bara Kaliatus adanya.

Seperti dituturkan sebelumnya (baca Serial Wiro Sableng 

berjudul "Hantu Bara Kaliatus") karena melakukan siasat 

keji terhadap istrinya yang bernama Luhsantini, Hantu 

Bara Kaliatus oleh Peri Bunda dikutuk. Bara api yang ada 

di kepala dan tubuhnya dimasukkan sang Peri ke dalam 

perutnya. Dalam keadaan menderita luar biasa Hantu Bara 

Kaliatus melarikan diri, terbang bersama walet raksasa 

tunggangannya. Ternyata Hantu Bara Kaliatus pergimemencilkan diri ke satu tempat. Di sini dia bersamadi

siang malam di bawah terik sinar matahari serta dinginnya 

udara malam. Tak kenal panas tak peduli hujan. 

Samadinya yang luar biasa membuat Para Peri menjadi 

khawatir karena bukan mustahil Hantu Bara Kaliatus akan 

mendapat satu kekuatan baru hingga mampu memiliki 

kesaktian dan menjadikan bara menyala yang ada dalam 

perutnya sebagai senjata dahsyat seperti sebelumnya.

 Dugaan Para Peri tidak meleset malah secara tidak

terduga muncul Hantu Santet Laknat Nenek sakti berhati 

jahat yang merupakan guru Latandai ini membantu 

muridnya hingga Latandai berhasil mendapatkan 

kesaktian baru. Puluhan bara api yang mendekam dalam 

perutnya mampu dilontarkannya keluar lewat mulutnya, 

dijadikan senjata dahsyat! Berarti apa yang selama ini 

disebut ilmu "Bara Setan Penghancur Jagat" akan muncul 

kembali di rimba persilatan Negeri Latanahsilam. Bedanya 

kalau dulu bara itu berada dikepala dan bagian luar tubuh 

Hantu Bara Kaliatus maka sekarang berada dalam 

perutnya!

 Pada pertemuan dengan muridnya Itu si nenek Hantu 

Santet Laknat tidak lupa menegaskan kembali perintah 

yang pernah diberikannya pada Hantu Bara Kaliatus.

 "Dari beberapa tugas yang aku berikan padamu, baru 

satu yang kau laksanakan. Kau hanya bisa membunuh 

Lasingar! Wahai! Bagaimana dengan tugas-tugas lainnya, 

Latandai?!" tanya si nenek dengan pandangan mata tajam 

seperti memantek batok kepala Latandai.

 "Mohon maafmu Nek. Aku memang belum 

melaksanakan dua tugas lainnya yaitu membunuh 

Luhsantini istriku sendiri dan manusia bernama Lakasipo

alias Hantu Kaki Batu itu.... Aku mendapat halangan

besar ketika hendak melakukannya...."

 "Peduli setan segala macam halangan! Bagaimana pun 

juga kau harus membunuh mereka atau kau yang akan 

kubuat meregang nyawa!""Aku akan membunuh mereka sesuai perintah...."

 "Harus kau lakukan! Apalagi istrimu Luhsantini

telah bercinta dengan Lakasipo!"

 Berubahlah paras Hantu Bara Kaliatus mendengar

ucapan si nenek. Rahangnya menggembung, gerahamnya 

bergemeletakan dan darahnya seperti mendidih.

 "Mereka berdua pasti kubunuh Nek. Pasti!" Hantu

Bara Kaliatus menggeram dan kepalkan dua tinjunya.

Nyala bara api yang memancar di perutnya kelihatan

lebih terang.

 "Jangan lupa seorang pemuda asing dari negeri

seribu dua ratus mendatang bernama Wiro Sableng!

Kau juga harus membunuhnya dan dua kawannya!"

 "Akan aku lakukan Nek," kata Hantu Bara Kaliatus.

 "Bagus, lebih cepat kau melakukan lebih baik. Tapi 

awas dan ingat! Jika kau sampai tidak melaksanakan, 

hukuman dariku lebih hebat dari kutukan Peri Bunda!"

 "Aku mengerti Nek, semua perintahmu akan aku

laksanakan!" kata Hantu Bara Kaliatus pula seraya

membungkuk. Sambil meninggalkan tawa cekikikan

Hantu Santet Laknat tinggalkan Latandai....

 Hantu Bara Kaliatus pandangi tiga orang di hadapannya 

dengan mata berkilat-kilat dan pelipis bergerak-gerak. Lalu 

dia membentak.

 "Kalian tiga makhluk yang dulu kerdil'. Sebelum kubunuh 

kalian bertiga lekas beritahu di mana beradanya kawan 

kalian bernama Lakasipo alias Hantu Kaki Batu!"

 "Kami tidak tahu!" Naga Kuning yang menjawab.

 "Bagus! Kalau begitu kau yang mati duluan!" Hantu 

Bara Kaliatus buka mulutnya lebar-lebar. Otot perutnya 

menyentak.

 Cahaya merah bergerak dari perutnya, meluncur ke 

dada terus ke tenggorokan. Di lain kejap "wussss!"

 Sebuah bara api melesat ke arah kepala Naga

Kuning. Bocah ini berseru keras, jatuhkan diri ke tanahseraya hantamkan tangan kirinya, membalas serangan

orang. Selarik sinar biru menyambar ke arah perut

Hantu Bara Kaliatus. Serangan Naga Kuning mendarat

telak di perut Hantu Bara Kaliatus.

 "Deessss!"

 Naga Kuning, juga Wiro serta Setan Ngompol

melengak kaget ketika melihat bukan saja perut Hantu

Bara Kaliatus tidak mempan dihantam pukulan sakti

yang memancarkan sinar biru itu, tetapi sinar biru itu

sendiri malah berbalik menghantam ke arah Setan

Ngompol. Kakek ini berteriak kaget, selamatkan diri

jungkir balik. Air kencingnya muncrat ke mana-mana!

 Melihat ilmu kesaktian Hantu Bara Kaliatus seperti

berlipat ganda dari sebelumnya, Pendekar 212 tak mau

berlaku ayal. Dia segera menyergap dan lancarkan

serangan tangan kosong. Hantu Bara Kaliatus menggeram 

berang. Dia balas menghantam. Perkelahian seru 

berlangsung hebat Masing-masing pihak merasa asing 

dengan jurus-jurus silat yang dimainkan lawan hingga ke 

duanya saling berhati-hati.

 Lewat tujuh jurus Hantu Bara Kaliatus yang hanya

memiliki satu tangan itu karena tangan kirinya buntung

sebatas siku (akibat jotosan Luhsantini, istrinya sendiri) 

mulai terdesak. Lebih-lebih sewaktu Wiro mulai

keluarkan ilmu silat "Orang Gila" yang dipelajarinya

dari Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya melesat

aneh kian ke mari. Gerakannya seperti orang mabok.

Seolah mudah dipukul oleh lawan tapi ternyata setiap

serangan Hantu Bara Kaliatus selalu meleset Dada

Hantu Bara Kaliatus mulai jadi bulan-bulanan pukulan

Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun lawan memiliki

kekuatan luar biasa. Walau tubuhnya sampai beberapa

kali terpental oleh jotosan Wiro, namun dia sanggup

berdiri lagi, memasang kuda-kuda baru dan lancarkan

serangan balasan

Satu kali Wiro sengaja menghantam bagian perut

lawan yang memancarkan sinar merah. Pendekar 212

berseru kaget karena begitu tangannya menyentuh

kulit perut lawan, hawa panas luar biasa menyengat.

Ketika diperhatikan jari-jari dan sebagian punggung

telapak tangannya ternyata telah menjadi lecet merah

seperti terpanggang!

 Hantu Bara Kaliatus tertawa mengejek. Lalu dia buka 

lebar-lebar mulutnya.

 "Wiro! Awas!" teriak Naga Kuning.

 Tanpa diberitahu pun Wiro sudah maklum apa

yang hendak dilakukan lawan. Dengan cepat pemuda

ini melompat ke kiri. Dari samping dia kemudian siap

lepaskan satu pukulan sakti. Namun saat itu Si Setan

Ngompol sudah mendahului. Apa yang dilakukan kakek ini 

sungguh gila! Pada saat air kencingnya mancur akibat 

ketegangan luar biasa dia sengaja menampungnya 

dengan dua tangan. Lalu dengan jurus yang disebut Setan 

Ngompol Mengencingi Pusara air kencing itu 

dicipratkannya ke arah Hantu Bara Kaliatus. Walau cuma 

air tapi karena diberi kekuatan tenaga dalam maka 

tetesan-tetesan yang terkecil sekalipun akan sanggup 

menembus batu!

 Hantu Bara Kaliatus tidak mau berlaku sembrono. Dia 

tahu ke tiga orang itu adalah orang-orang yang datang dari 

negeri seribu dua ratus tahun lebih maju. Maka begitu air 

kencing menyiprat dia segera berkelebat menjauhkan diri. 

Namun masih ada air kencing yang sempat mengenai 

perutnya.

 "Cesss... cesss... cessss!"

 Suara seperti benda berapi terpercik air terdengar

berkepanjangan. Asap mengepul dari perut Hantu Bara

Kaliatus. Ternyata air kencing Si Setan Ngompol tidak

mampu menciderai perut lawan, apalagi sampai 

menembusnya! Sebaliknya Hantu Bara Kaliatus malah

tertawa bergelak. Sekali dia membuka mulutnya, tiga bara

api sekaligus melesat keluar, melesat ke arah tiga bagian 

tubuh Si Setan Ngompol yaitu kepala, dada dan bagian 

bawah perut! Mendapat serangan tak terduga dan 

mengarah tiga bagian tubuhnya itu si kakek jadi kalang 

kabut. Walau dia bergerak luar biasa cepat, dia hanya 

mampu menghindari serangan bara api yang menyambar 

ke kepala dan dadanya. Bara api ke tiga, yang menyambar 

ke arah bagian bawah perutnya tidak sanggup 

dielakannya.

 "Celaka perabotanku!" seru Si Setan Ngompol dengan 

muka pucat. Dia telah berusaha melompat sambil 

kangkangkan ke dua kakinya mengharap bara api itu akan 

lewat di bawah selangkangannya, tapi percuma saja!

 Naga Kuning dalam kagetnya tak sempat berbuat

apa-apa. Pendekar 212 Wiro Sableng sendiri berusaha

mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya, 

namun terlambat. Dia akhirnya memutuskan untuk 

menghantam lawan dengan Pukulan Sinar Matahari. 

Masih tetap terlambat tak ada gunanya!

 Dalam keadaan luar biasa gentingnya itu tiba-tiba

dari balik pohon besar berkelebat mengapung satu

bayangan besar disertai bentakan garang.

 "Siapa berani mencelakai tiga saudaraku!"

 Satu ringkikan keras menggelegar.

 Lalu "tranggg!"

 Bara api yang menyambar selangkangan Si Setan

Ngompol terpental. Sebuah benda berbentuk bola

hitam somplak. Sosok yang mengapung di udara

terdorong sampai setengah tombak tapi masih bisa

jatuhkan diri di tanah dan pasang kuda-kuda pertahanan 

yang secepat kilat bisa berubah menjadi kuda-kuda 

menyerang!

 Setan Ngompol jatuh terduduk di tanah. Sambil

usap-usap bagian bawah perutnya dia berulang kali

mengucap.

 "Nasibmu masih untung buyungl Ada orang yangmenolongmu!"

 "Serrrrrr."

 Karena diusap-usap dan masih dalam keadaan

cemas tegang, sibuyung akhirnya kembali memancur!


SEBELAS


HANTU Bara Kaliatus menggeram marah ketika melihat 

siapa yang berdiri di depannya. Sebaliknya Wiro dan dua 

temannya sama-sama menunjukkan kegembiraan karena 

yang muncul dan yang barusan menolong Si Setan 

Ngompol adalah Hantu Kaki Batu Lakasipo. Dengan 

hantaman bola batu di kaki kanannya Lakasipo berhasil 

membuat mental bara api yang hendak merenggut nyawa 

Si Setan Ngompol. Bola batu yang disebut sebagai Bola

Iblis itu kelihatan gompal besar di salah satu sisinya.

 Sejak bentrokan di Gunung Labatuhitam dulu Latandai 

alias Hantu Bara Kaliatus telah menaruh dendam 

kesumat terhadap Lakasipo. Apalagi dari gurunya Hantu 

Santet Laknat dia mendapat kabar kalau Luhsantini, 

bekas istrinya telah bermain cinta dengan musuh besarnya 

itu! Kemarahan Hantu Bara Kaliatus jadi berlipat ganda 

ketika dia melihat siapa perempuan berpakaian merah 

yang tegak di samping Lakasipo saat itu. Bukan lain 

adalah Luhsantini, bekas istrinya sendiri!

 Bara api dalam perut Hantu Bara Kaliatus pancarkan 

cahaya terang. Dari tenggorokan orang ini keluar suara 

menggembor. Dia memandang membeliak pada 

Lakasipo." Makhluk keparat! Aku memang sedang 

mencarimu! Sekarang kau datang sendiri antarkan nyawa!"

 Lakasipo menyeringai lalu menjawab. "Kau salah

menduga wahai makhluk bermuka manusia tapi berhati 

iblis! Aku datang justru hendak menjemput nyawamu!"

 "Jahanam terkutuk!" maki Hantu Bara Kaliatus. Dia 

alihkan pandangannya pada Luhsantini dan tumpahkan 

kemarahannya pada perempuan ini.

 "Wahai! Benar rupanya kabar yang kusirap! Kautelah menjadi gendak lelaki berkaki batu ini! Istri yang

dulu sangat kupuja ternyata tidak lebih dari seorang

pelacur!"

 Wajah cantik Luhsantini menjadi merah padam.

Perempuan ini segera membuka mulut menukas.

 "Latandai! Jangan bermimpi menganggap aku masih 

istrimu! Perbuatan kejimu telah menyebabkan kita mencari 

jalan sendiri-sendiri! Ternyata bukan hanya hatimu yang 

berbisa! Mulutmu juga penuh racun! Sungguh menjijikkan 

kau masih menyebutku sebagai istri! Wahai! Apa kau lupa 

kau pernah hendak membunuhku sampai dua kali? Apa 

kau lupa juga telah mencelakai anak kandung darah 

dagingmu sendiri? Hingga Lamatahati menjadi cacat 

seumur hidupnya? Apa kau lupa bagaimana para Peri 

mengutukmu?! Wahai! Dosamu selangit tembus sedalam 

dasar samudera!"

 "Masih untung anak itu cuma cacat! Mauku dia

harus mati! Karena dia adalah anak haram jadah hasil

hubunganmu dengan pemuda bernama Lasingar yang

sudah kuhabisi itu! Kau juga memberikan tubuhmu

pada Hantu Muka Dua! Dan wahai! Kini kau menjadi

gendak peliharaan laki-laki berkaki batu itu!"

 "Mulutmu beracun! Hatimu berbisa! Otakmu kotor

penuh pikiran keji! Dulu aku berharap agar Lamatahati,

anakmu sendiri yang kelak akan membunuhmu! Tapi saat 

ini aku memutuskan biar tanganku sendiri menamatkan 

riwayatmu! Kekejianmu terhadap kami ibu dan anak sudah 

melewati takaran! Semua roh yang tergantung antara 

langit dan bumi sudah lama menunggu rohmu!"

 Habis berkata begitu Luhsantini lalu melompat 

kehadapan Hantu Bara Kaliatus seraya lepaskan pukulan

sakti bernama Di BalikLabukit Menghancur Lagunung.

Kehebatan pukulan ini, bagian depan sasaran yang kena 

dipukul tidak akan mengalami cidera atau cacat sedikit 

pun. Namun bagian belakang sebaliknya akan mengalami 

kehancuran mengerikan!Perempuan jalang tak berguna! Mampuslah kau!”

teriak Hantu Bara Kaliatus. Dia menganggap enteng

serangan bekas istrinya itu. Namun jadi tersentak kaget 

ketika merasakan sambaran angin yang sangat dahsyat 

menghantam ke arahnya. Hantu Bara Kaliatus segera 

maklum kalau ilmu kepandaian Luhsantini kini jauh lebih 

tinggi dari sebelumnya! Maka tanpa berlak ayal dia segera 

balas menghantam dengan pukulan Selusin Bianglala 

Hitam. Dua belas larik sinar hitam menggebubu ke arah 

Luhsantini. Pukulan sakti inilah yang dulu mencelakai 

anaknya sendiri yang masih bayi.

 Lakasipo cepat dorong Luhsantini ke samping hingga 

perempuan itu terjajar sampai satu tombak.

 Bersamaan dengan itu Lakasipo hantamkan kaki 

kanannya. Bola batu membabat ke perut Hantu Bara

Kaliatus. Walau kesaktiannya berpusat pada bagian perut 

dan perut itu seolah kebal atos namun Hantu Bara 

Kaliatus tidak mau cari penyakit. Bola batu yang

membungkus dua kaki Lakasipo bukan bola batu biasa. Itu 

adalah hasil pekerjaan santet si dukun keji jahat bernama 

Hantu Santet Laknat yang juga adalah gurunya sendiri.

 Dua belas larik sinar hitam menyambar udara

kosong. Sementara itu tendangan Lakasipo berhasil

dielakkan oleh Hantu Bara Kaliatus. Begitu selamat

dari hantaman bola batu, Hantu Bara Kaliatus segera

semburkan dua bara api. Dia membuat gerakan seperti

hendak menyerang Lakasipo. Tapi tiba-tiba dia mem-

balik dan arahkan semburan bara apinya pada Luhsantini.

 "Luhsantini awas!" teriak Lakasipo. Dia cepat

melompat lalu hantamkan kaki batunya. Namun dua

bara api itu luput. Untung Wiro yang telah bersiap

siaga cepat bertindak. Murid Sinto Gendeng melompat

sambil lepaskan pukulan Segulung Ombak Menerpa

Karang. Pukulan sakti yang mengerahkan dua pertiga

tenaga dalam ini berhasil membuat mental salah satu

dari dua bara api. Celakanya, bara api yang satu lagimasih terus melesat ke jurusan Luhsantini walau kini

arahnya agak meleset.

 Didahului teriakan keras Luhsantini melompat

selamatkan diri. Namun seperti hidup dan punya mata

bara api yang satu ini mengejarnya. Si Setan Ngompol

yang berada di dekat situ segera ulurkan tangan

membetot Luhsantini hingga perempuan ini terpelanting 

jungkir balik.

 "Wusssss!"

 Bara Setan penghancur Jagat itu masih sempat

menyerempet bahu kiri pakaian merah yang dikenakan

Luhsantini hingga kejap itu juga bahu kiri pakaiannya

dikobari api. Luhsantini menjerit keras. Naga Kuning

cepat menolong. Sambil melompat dia kerahkan tenaga 

dalam ke mulutnya lalu meniup. Kobaran api yang 

membakar pakaian Luhsantini serta meria padam.

 "Luhsantini! Kau tak apa-apa?!" teriak Lakasipo.

 Perempuan itu tidak menjawab, melainkan terus

menerjang ke arah Hantu Bara Kaliatus, lancarkan

serangan bertubi-tubi. Lakasipo segera pula bergabung. 

Dikeroyok dua Hantu Bara Kaliatus jadi kelabakan.

 Lakasipo bukan saja menggempur dengan serangan 

Kaki Roh Pengantar Mauf tapi juga pergunakan

tangan kosong, bertubi-tubi menghantamkan pukulan

Lima Kutuk Dari Langit. Luhsantini yang selama 

memencilkan diri di Gunung Labatuhitam ternyata telah

mendapat gemblengan dari seorang tokoh rahasia

hingga kalau dulu dia hanya seorang perempuan yang

tidak tahu apa-apa kini berubah menjadi pendekar

berkepandaian tinggi dan menghujani Lakasipo dengan 

serangan-serangan gencar. Membuat lawan tidak sempat 

melancarkan serangan dengan bara api yang ada dalam 

perut.

 Lama kelamaan Hantu Bara Kaliatus tidak dapat

lagi mengimbangi serbuan ke dua orang itu. Dia hanyabisa melakukan gerakan mengelak atau mundur terus-

terusan. Kalau sampai Wiro atau salah satu dari dua

temannya ikut masuk ke dalam kalangan pertempuran

celakalah dirinya. Apalagi beberapa kali pukulan 

Luhsantini menyerempet tubuhnya. Walau tidak 

mengalami cidera berarti namun tubuhnya terasa sakit-

sakit terserempet pukulan Di Balik Labukit Menghancur

Lagunung itu. Sadar kalau bahaya besar bakal 

mengancamnya maka Hantu Bara Kaliatus keluarkan satu

suitan keras. Dalam gelapnya malam, di udara tiba-tiba

melayang satu makhluk besar menebar bau busuk.

Ternyata makhluk ini adalah walet raksasa tunggangan

Hantu Bara Kaliatus.

 Kepakan sayap binatang ini menimbulkan angin

luar biasa kerasnya. Selagi orang-orang yang ada di

bawah sana tergontai-gontai bertahan agar tidak jatuh

terpelanting, Hantu Bara Kaliatus melesat ke punggung 

walet raksasa. Luhsantini cepat mengenjot tanah. Sebelum 

Hantu Bara Kaliatus melesat kabur dia masih sempat 

daratkan satu pukulan Di Balik Labukit Menghancur 

Lagunung di paha kiri bekas suaminya Itu. Karena dalam 

keadaan bergerak pukulan tersebut tidak berapa telak 

namun masih sempat terdengar keluhan kesakitan keluar 

dari mulut Hantu Bara Kaliatus. Walet hitam juga keluarkan 

pekik kesakitan pertanda pukulan yang dilepaskan 

Luhsantini ikut mengenai tubuh binatang itu!

 Luhsantini melompat turun di tanah, tegak mendongak 

ke langit penuh gemas. Satu tangan memegang bahu 

perempuan ini.

 "Tak usah kecewa. Satu saat pembalasan akan

menjadi bagian makhluk durjana itu. Kau tidak apa-apa

wahai Luhsantini?" Yang bertanya adalah Lakasipo.

Lelaki ini cepat memeriksa bahu di balik pakaian yang

terbakar. Dia merasa lega karena kulit bahu itu hanya

lecet saja.Luhsantini palingkan wajahnya. Dia tersenyum pada 

Lakasipo yang barusan bicara dan mengkhawatirkan, 

keselamatan dirinya. Sejak lelaki itu menolongnya di 

Gunung Labatuhitam tempo hari (baca serial Wiro Sableng 

berjudul "Hantu Bara Kaliatus") walau mereka lama tidak 

bertemu namun antara ke dua orang ini telah terjalin satu 

sambung rasa yang hari demi hari semakin mendalam.

 Melihat keadaan ke dua kaki Lakasipo serta me-

ngetahui riwayat lelaki itu di masa lalu timbullah rasa

hiba Luhsantini terhadap lelaki berkaki batu ini. Rasa

hiba berubah menjadi suka dan selanjutnya rasa suka

itu berganti dengan perasaan cinta kasih sayang.

 Lakasipo bukan tidak tahu kalau Luhsantini jatuh

hati terhadapnya. Selain itu dia juga mengetahui riwayat 

perkawinan Luhsantini dengan Latandai alias Hantu Bara 

Kaliatus. Nasib seolah mempersatukan mereka. Dia tidak 

bisa menipu diri bahwa dia pun mengasihani dan 

menyukai Luhsantini. Namun dalam diri Lakasipo 

terkadang muncul rasa kebimbangan. Luhsantini memiliki 

paras jelita. Namun hati Lakasipo seolah bercabang-

cabang. Setiap rasa kasihnya menggelora terhadap 

perempuan ini dan dia ingin menemuinya di Gunung 

Labatuhitam, ingatan dan perasaan Lakasipo terbagi pada 

Peri Angsa Putih dan Luhjelita. Malah belakangan ini entah 

mengapa dia selalu terkenang pada dara cantik bernama 

Luhcinta. Selain itu ada rasa khawatir kalau-kalau 

mendiang roh istrinya yakni Luhrinjani muncul secara 

mendadak. Di balik semua itu ada pula perasaan rendah 

diri menyamak di hati Lakasipo mengingat keadaan 

kakinya yang terbungkus bola batu. Walau bola-bola batu 

itu membuat dia menjadi seorang sakti mandraguna 

namun dia merasa seolah-olah itu juga merupakan satu

cacat pada dirinya. Dia telah berusaha dengan berbagai 

cara untuk menghancurkan bola-bola batu itu. Tapi tidak 

ada satu benda atau senjata pun yang sanggup membelah 

batu tersebut. Satu-satunya jalan adalah mencari HantuSantet Laknat dan meminta nenek jahat itu untuk 

mengobati memusnahkan santetnya.

 Wiro walau gembira melihat kedatangan Lakasipo

namun karena lelaki itu datang bersama Luhsantini

maka dia merasa khawatir kalau Luhrinjani yang belum

lama pergi akan muncul kembali di tempat itu secara

tidak terduga. Ingin memberi tahu pada saudara ang-

katnya itu Luhsantini berada terlalu dekat. Selagi dia

mencari akal bagaimana cara memberi tahu pada

Lakasipo, Lakasipo bertanya padanya bagaimana dia

dan kawan-kawan bisa berada di tempat itu. Wiro lalu

menceritakan. Mulai dari kabar yang mereka dengar

yang membuat mereka berkeinginan untuk melihat

dengan mata kepala sendiri Kincir Hantu itu, sampai

pengalaman pahit yang mereka alami sepanjang siang

dan awal malam tadi.

 "Katamu kincir itu lenyap begitu malam datang.

Wahai aku yakin kincir itu masih tetap di tempatnya

semula. Tak mungkin ada yang memindahkan..." kata

Lakasipo.

 Luhsantini ikut bicara. "Mungkin sekali ada satu

kekuatan sakti menyungkupi rumah dan kincir itu,

membuat mata kita tidak mampu melihatnya. Bukankah 

orang bernama Lateleng itu memiliki semacam ilmu asap?"

 Lakasipo anggukkan kepala menyetujui pendapat

Luhsantini. "Sejak beberapa waktu lalu aku memang

sudah mendengar cerita mengenai kincir itu. Kita

tunggu sampai pagi hari. Aku juga ingin menyelidik

rahasia apa yang ada di balik kincir itu. Aku punya

firasat, jika terjadi satu peristiwa besar di negeri ini

yang berkaitan dengan keanehan dan keanehan itu

berakhir pada kematian maka biasanya di belakangnya

Hantu Muka Dualah yang punya pekerjaan. Sekitar

empat puluh tahun silam pernah tersiar berita tentang

lenyapnya seorang sakti bernama Lasedayu yang diamdi Lembah Seribu Kabut. Lalu muncul seorang kakek

yang digelari Hantu Langit Terjungkir. Ada yang me-

ngatakan orang tua ini sebenarnya adalah Lasedayu

itu. Tapi bukti-bukti tak cukup menunjang. Kemudian

setahun lalu tersiar pula berita menghilangnya se-

orang kakek sakti yang biasa dipanggil dengan se-

butan Si Tongkat Biru Pengukur Bumi. Kakek ini konon

punya kebiasaan mengelana ke berbagai pelosok negeri 

untuk melakukan pekerjaan aneh-aneh. Mulai dari

orang baik sampai yang jahat. Berita menarik paling

akhir yang kudengar ialah rencana seorang tokoh

bernama Lawungu hendak membuat perhitungan dengan 

Hantu Santet Laknat yang juga adalah musuh besarku! Di 

balik semua itu tersiar pula kabar bahwa tentu Muka Dua 

mengaku-aku kalau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab 

adalah gurunya. Sementara Hantu Sejuta Tanya Sejuta

Jawab sendiri tidak pernah muncul seolah 

menyembunyikan diri. Lalu di balik semua keanehan itu 

muncul Kincir Hantu dan pemiliknya seorang mengaku 

bernama Lateleng. Siapa Lateleng ini adalah satu hal 

sangat menarik untuk diketahui. bisa jadi dia sebenarnya 

adalah Lasedayu. Tapi bukan mustahil pula Lateleng ini 

sebenarnya adalah Si Tongkat Biru Pengukir Bumi. 

Bagaimana memecahkan semua rahasia ini sungguh soal 

yang pelik...."

 "Kelihatannya memang begitu, Lakasipo," kata Wiro. 

"Karenanya sebaiknya kita lebih dulu mulai dengan 

menyingkap rahasia yang ada di balik Kincir Hantu itu. Dari 

gerak gerik Lateleng yang kulihat siang tadi, dia seperti 

mencari sesuatu pada diri orang-orang yang jadi 

korbannya. Aku curiga, kitab Kesaktian Menguasai Tujuh 

Jin adalah cerita kosong belaka! Hanya dipakai untuk 

menarik perhatian agar orang-orang berdatangan ke sini 

untuk menjajal Kincir Hantu itu. Mereka dijebak dan 

menemui ajal dalam jebakan itu!"

 "Tapi setahuku kitab itu memang pernah ada.Hanya saja dikabarkan lenyap lima puluh tahun lalu.

Bukan mustahil Lateleng memang memilikinya..." kata

Lakasipo pula.

 "Lalu apa sebenarnya yang dicari kakek teleng

itu? Hingga tega membunuh orang-orang yang datang

ke tempatnya?!"

 "Dia sulit dituduh melakukan pembunuhan. Bukankah 

orang-orang itu datang sengaja untuk menjajal kehebatan 

Kincir Hantu. Apalagi dengan janji akan diberikan kitab 

sakti kepada siapa yang berhasil bertahan sampai tiga kali 

putaran di atas roda kincir..." jawab Lakasipo pula. Sejenak 

dia berpikir lalu baru melanjutkan ucapannya. "Menurutmu, 

seperti yang kau saksikan dan malah kau alami sendiri, 

ada keanehan di atas roda kincir itu. Pertama kakimu 

mendadak terasa berat, tak bisa melompat "

 "Keanehan itu bisa saja hasil perbuatan Lateleng

dengan mengerahkan tenaga dalam membuat siapa

saja yang ada di atas roda kincir menjadi merasa berat

ke dua kakinya. Tak sanggup melompat, tak sanggup

menghindari benda yang kemudian menabas dua 

kakinya..." ujar Wiro.

 "Benda yang menabas kaki itu!" kata Lakasipo

pula. "Kau coba menyelidiki apa adanya. Tapi tidak

berhasil. Waktu hal itu akan terjadi, lebih dulu sepasang 

matamu silau oleh pantulan sinar matahari yang jatuh di 

atas roda kincir...."

 "Aku curiga roda itu dipasangi sesuatu benda

yang berkilauan saat kejatuhan sinar sang surya.

Sayang aku tak bisa mencari tahu benda apa itu

adanya. Aku coba menghancurkan kayu roda kincir

dengan kakiku. Ternyata kayu itu seatos baja! Tapi...."

Wiro garuk-garuk kepalanya. "Pada saat korban terakhir, 

lelaki berjuluk Si Hati Baja menemui ajal, sebelumnya 

kami menyaksikan ada sinar melesat dari roda kincir yang 

membuat dia kesilauan. Hal yang sama juga terjadidengan diriku. Jika sinar menyilaukan itu merupakan satu 

hal yang diandalkan maka aku bisa menduga Lateleng 

hanya melayani orang-orang yang datang pada siang 

hari. Karena pada malam hari tidak ada sang surya!" Wiro 

pandangi sepasang kakinya. Sambil gelengkan kepala dia 

berkata. "Kalau saja Luhrinjani tidak muncul secara tiba-

tiba menolongku, mungkin saat ini aku sudah menjadi

jerangkong seperti yang lain-lainnya itu."

 Lakasipo melirik ke arah Luhsantini dan diam-diam 

menahan rasa kejut mendengar ucapan Pendekar 212 

tadi. Dia ingin menanyakan sesuatu tapi merasa segan 

karena Luhsantini berada di dekat situ. Sebaliknya 

Luhsantini jadi merasa kurang enak. Kalau sampai roh 

mendiang istri lelaki yang dikasihinya itu muncul lagi di 

tempat itu secara tidak terduga, dia tidak dapat 

membayangkan apa yang akan terjadi.

 Wiro memandang pada dua kakinya yang hampir

amblas di atas putaran roda Kincir Hantu. Kemudian

dia perhatikan sepasang kaki Lakasipo. Otaknya bekerja. 

Lalu dia berkata. "Aku sepakat denganmu. Besok pagi kita 

lakukan penyelidikan. Tapi hati-hati. Lateleng dan Kincir 

Hantunya bisa menebar maut secara tak terduga...."

 "Aku mencari tempat untuk istirahat dulu. Kalian

jangan ke mana-mana," berkata Luhsantini lalu dia

tinggalkan orang-orang itu.

 Baru saja perempuan itu lenyap di balik rerumpunan 

semak belukartiba-tiba di udara terdengar suara menguik. 

Lalu satu makhluk besar melayang turun dalam kegelapan 

malam.

 Ketika Wiro mengenali siapa yang datang, dia

segera membisiki Lakasipo. "Hantu Kaki Batu, kau

punya tamu yang tidak terduga. Sungguh bahagia

malam ini kau bakal ditemani dua orang perempuan

cantik...."

 "Jangan kau berkata begitu. Bisa saja dia muncul

bukan mencariku, tapi mencarimu," sahut Lakasipo."Kita lihat saja," kata Setan Ngompol pula. "Jika

kalian tidak mau menerimanya, aku tidak keberatan

untuk menemaninya ngobrol sampai pagi hari! Malah

kalau perlu mengobrol sampai mengompol!" Setan

Ngompol lalu tertawa cekikikan.

 "Tua bangka gendeng tak tahu diri!" maki NagaKuning


DUA BELAS

MAKHLUK besar yang melayang turun itu ternyata 

adalah seekor kura-kura terbang berwarna coklat. 

Penunggangnya sudah bisa diterka. Yaitu bukan lain gadis 

cantik genit Luhjelita.

 Sambil tertawa lebar gadis ini melompat turun

dari atas punggung kura-kura coklat. Sebelumnya

secara diam-diam dia telah menguntit perjalanan Wiro.

Gadis ini merasa perlu menemui pemuda itu untuk

menjernihkan perselisihan yang terjadi antara dia dengan 

Peri Angsa Putih yang juga menyangkut diri Wiro. Dia 

berhasil mengetahui kalau Wiro dan dua kawannya 

tengah dalam perjalanan menuju suatu tempat di mana 

Kincir Hantu terletak. Maka dia segera mengejar ke sana. 

Namun dia tidak menyangka kalau di tempat itu juga ada 

Lakasipo. Seperti telah dituturkan sebelumnya (baca serial 

Wiro Sableng berjudul "Peri Angsa Putih") sebenarnya 

Luhjelita pernah jatuh hati pada Lakasipo. Namun setelah 

Pendekar 212 berubah sosok menjadi sebesar orang-

orang di Negeri Latanahsilam, kegagahan sang pendekar 

membuat hati si gadis kini jadi terpaut pada pemuda itu.

 Karena tadi Luhsantini telah beranjak pergi, Luhjelita 

tidak tahu kalau perempuan itu juga ada di tempat itu.

 Selagi Luhjelita tegak kikuk di bawah pandangan Wiro 

dan Lakasipo, Si Setan Ngompol mendatangi

gadis itu. "Sahabatku dara jelita berpakaian Jingga

bernama Luhjelita. Ini satu pertemuan tidak disangka.

Banyak orang gagah di tempat ini. Siapakah yang kau

cari?"Jelas bukan mencarimu! Karena kau tidak termasuk 

orang gagah!" menyahuti Naga Kuning sambil

monyongkan mulutnya pada si kakek lalu tekap hidung

menahan tawa. Setan Ngompol delikkan mata dan

cubit pinggang si bocah hingga Naga Kuning meringis

kesakitan.

 Luhjelita tersenyum. "Aku gembira melihat banyak 

sahabat di sini. Aku...." Gadis itu memandang pada Wiro. 

"Aku ingin bicara denganmu. Wahai...."

 "Sebelum kalian berdua bicara, aku perlu bicara

denganmu lebih dulu, Luhjelita," kata Lakasipo.

 Sementara itu Luhsantini yang semula hendak

beristirahat membaringkan badan telah berada di tempat 

itu, terbangun oleh suara menguik dan deru sosok

Laecoklat, kura-kura raksasa tunggangan Luhjelita.

Dia segera bangkit berdiri mendatangi. Begitu melihat

Luhjelita, Luhsantini ingin sekali menemui dan merangkul 

gadis itu. Sewaktu dulu Latandai alias Hantu Bara Kaliatus 

hendak membunuhnya di kawah Gunung Latinggimeru, 

Luhjelitalah yang menyelamatkannya walau bayi yang ada 

dalam dukungannya akhirnya yang kena celaka. Dia 

berhutang budi dan nyawa pada gadis berpakaian Jingga 

itu. Namun ketika mendengar percakapan Lakasipo 

dengan Luhjelita, Luhsantini batalkan niatnya menemui 

gadis itu. Dadanya berdebar dan rasa cemburu membuat 

parasnya serta merta menjadi merah. Berat dugaannya 

antara Lakasipo dan Luhjelita ada hubungan yang 

agaknya bukan Cuma hubungan biasa.

 "Wahai Lakasipo, orang gagah dan sakti di Negeri

Latanahsilam, gerangan apakah yang hendak kau 

bicarakan dengan diriku!" Luhjelita bertanya.

 "Peristiwa ketika aku ikut bersamamu ke Goa

Pualam Lamerah..." jawab Lakasipo.

 "Ah, celaka! Dia masih ingat peristiwa itu. Bagaimana

aku harus bicara...." Luhjelita jadi merasa tidak enak. 

Namun sambil lontarkan senyum genit dia berkata."Kukira hanya aku saja yang mengingat-ingat

peristiwa itu. Ternyata kau tidak pernah melupakan.

Aku sudah lama tidak ke goa itu. Mungkin sudah

saatnya aku harus ke sana. Mungkin bersamamu...?"

 Lakasipo gembungkan rahangnya pertanda lelaki

ini tidak senang dengan ucapan Luhjelita barusan.

"Aku ingin kau berterus terang wahai Luhjelita. Apa

yang telah kau lakukan terhadap diriku di Goa Pualam

Lamerah itu?"

 Wajah Luhjelita kelihatan berubah. Sepasang

matanya terbuka lebar dan dua alisnya yang hitam

naik ke atas. "Wahai, Lakasipo. Nada pernyataanmu

seperti menuduh! Memangnya apa yang telah aku

lakukan terhadapmu? Kau datang dan pergi tanpa

cidera barang sedikit pun!"

 "Bukan mustahil kau sengaja memancing menjebakku 

ke goa itu. Karena sebelumnya kau telah berserikat 

dengan Hantu Muka Dua. Buktinya Hantu Muka Dua tahu-

tahu muncul di tempat itu. Berniat jahat hendak 

membunuhku. Sementara kau sendiri lenyap entah ke 

mana!"

 "Terus terang aku memang melarikan diri. Tapi

aku tidak memancing atau menjebakmu. Kau tertidur

di dalam goa. Mungkin karena keletihan perjalanan

jauh. Aku meninggalkanmu di satu ruangan yang aman

lalu melarikan diri karena Hantu Muka Dua hendak

membunuhku!"

 "Hantu Muka Dua hendak membunuhmu? Wahai!

Tak percaya aku! Bukankah dia kekasihmu?!"

 Wajah Luhjelita menjadi sangat merah. Dia menggigit 

bibir menahan gelora hatinya. Di batinnya dia berkata. 

"Kalau kau tahu wahai Lakasipo, walau sekarang aku tidak 

lagi tertarik padamu, tapi waktu itu aku benar-benar jatuh 

cinta padamu....""Mungkin aku bukan gadis baik-baik Lakasipo. Tapi 

untuk menjadikan Hantu Muka Dua sebagai kekasihku, 

walau kiamat Negeri Latanahsilam ini sampai tujuh kali 

rasanya hal itu tidak mungkin terjadi...."

 "Lalu apakah kau tidak mau menceritakan apa

yang sebenarnya terjadi di goa itu?!" tukas Lakasipo.

 Luhjelita melirik pada Pendekar212 Wiro Sableng.

Gadis ini gelengkan kepala. "Tidak ada.... Tidak ada

terjadi apa-apa di dalam goa itu. Jangan kau berburuk

sangka terhadapku. Apa kau kira aku telah melakukan

sesuatu yang tidak senonoh terhadap dirimu?! Aku

tahu di luaran orang menyebut aku sebagai gadis binal

tukang rayu dan tukang bujuk, menebar cinta palsu

murahan. Aku tidak sehina itu. Apalagi terhadap dirimu

yang aku...." Luhjelita seolah tersadar. Cepat dia putuskan 

ucapannya lalu tutupkan dua tangannya kemukanya.

 Lakasipo terdiam. Tak ada yang bergerak, tak ada

yang bersuara. Lalu terdengar suara Luhjelita menahan 

sesenggukan.

 Di balik semak belukar gelap, Luhsantini tegak tak 

bergerak walau ada gemuruh di dadanya. Dari

pembicaraan antara Lakasipo dan Luhjelita semakin

keras dugaan perempuan itu bahwa antara ke dua

orang tersebut sebelumnya pernah terjalin satu hubungan. 

"Goa Pualam Lamerah..." kata Luhsantini dalam hati. 

"Aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Sikap dan 

cara bicara Lakasipo tadi seolah menunjukkan 

ketidaksenangan terhadap gadis itu. Apakah ini 

merupakan satu perubahan yang mendadak sejak dia 

berada di dekatku? Kasihan gadis itu.... Aku merasa 

berdosa kalau mungkin aku merebut kekasihnya...." 

Memikir sampai ke situ Luhsantini akhirnya balikkan diri, 

tinggalkan tempat itu.

 Wiro garuk-garuk kepala. Naga Kuning saling

bertukar pandang dengan Setan Ngompol. Naga Ku-

ning berbisik pada kakek ini. "Aku jadi kepingin tahu

apa kelanjutan ucapan gadis itu. Jangan-jangan dia

telah jatuh cinta pada saudara kita itu...."

 "Hussss! Jangan kau berlancang mulut! Melihat

gerak-geriknya aku yakin bukan Lakasipo yang di-

sukainya tapi kawan kita si sableng satu ini!" ujar Si

Setan Ngompol.

 "Masih lega aku kalau dia mencintai Wiro, bukannya 

kau!" kata Naga Kuning kembali menggoda lalu tundukkan 

kepala menahan tawa.

 Merasa tidak ada gunanya dia berada lebih lama

lagi di tempat itu sementara dia tidak mampu menahan

gejolak hatinya, Luhjelita segera putar tubuh hendak

berlalu. Namun suara Wiro membuat langkahnya tertahan.

 "Sahabatku Luhjelita, tunggu dulu...."

 Si gadis turunkan dua tangannya, menatap ke arah 

Wiro. Dia diam menunggu apa yang hendak dikatakan 

Wiro selanjutnya. Hatinya berdebar. Dia tahu sejak 

beberapa waktu lalu pendekar itu menaruh syak wasangka 

besar terhadapnya. Apakah seperti Lakasipo Wiro juga 

hendak membicarakan hal itu di depan orang banyak? 

Menambah kekecewaan dan sakit hatinya?

 "Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu. 

Tapi tidak tepat waktunya kalau dibicarakan sekarang...."

 Luhjelita jadi lega. "Pemuda ini jauh lebih punya

perasaan dibanding dengan lelaki berkaki batu bernama 

Lakasipo itu," kata si gadis dalam hati.

 "Tongkat biru itu," Pendekar 212 berkata seraya

menunjuk ke sebuah tongkat batu yang memancarkan

warna biru redup dan terselip di pinggang Luhjelita.

"Setahuku kau tidak pernah membawa tongkat atau

memiliki senjata seperti itu. Kalau aku boleh bertanya,

sejak kapan kau memiliki benda itu. Apa memang itu

milikmu?"

 Pertanyaan Pendekar 212 Wiro Sableng membuat

terkejut dua orang. Yang pertama tentu saja Luhjelitasendiri dan yang ke dua adalah Lakasipo. Hantu Kaki

Batu segera berbisik pada Wiro.

 "Wahai, kalau kau tidak menyebut aku sampai

tidak memperhatikan tongkat itu. Ingat ceritaku se-

belumnya tentang seorang tokoh sakti berjuluk Si

Tongkat Biru Pengukur Bumi? Yang lenyap tanpa

diketahui ke mana perginya?"

 Wiro anggukkan kepala. Sepasang matanya tetap

menatap Luhjelita. Dia menatap dengan pandangan

biasa-biasa saja, tidak menyorot apalagi menunjukkan

hawa amarah atau kebencian. Hal itu membuat Luhjelita 

agak lega sedikit Maka gadis cantik dengan rambut 

tergulung di atas kepala itu menjawab polos.

 "Tongkat ini memang bukan milikku. Aku 

menemukannya di satu tempat "

 "Apakah kau tahu siapa pemiliknya?"

 "Kalau aku tak salah menduga tongkat batu biru

ini adalah milik seorang bergelar Tongkat Biru Pe-

ngukur Bumi...."

 Wiro melirik pada Lakasipo membuat Luhjelita

menduga-duga apa arti lirikan itu.

 "Kalau aku boleh bertanya lagi, di manakah pemilik 

tongkat itu sekarang berada?" ujar Wiro pula.

 "Orang tua itu kutemukan sudah jadi mayat. Tubuhnya" 

Luhjelita tidak meneruskan ucapannya, dia cepat beralih 

kata. "Tongkat ini kutemukan tak jauh dari jenazahnya."

 "Terima kasih atas keteranganmu," kata Wiro lalu

tersenyum.

 Senyuman itu membuat hati Luhjelita seperti diguyur air 

yang sangat sejuk. Dia tidak menyangka akan menerima 

senyuman itu dari pemuda yang dianggapnya telah 

membenci dirinya.

 "Aku...." Luhjelita tidak tahu mau bicara apa. Lalu

dicabutnya tongkat batu biru dari pinggangnya. "Tongkat 

ini bukan milikku. Aku tidak membutuhkannya. Mungkinlebih tepat jika berada di tangan kalian!" Walau Luhjelita 

menyebut "kalian" namun tongkat biru itu dilemparkannya 

ke arah Wiro. Pendekar 212 cepat menangkapnya. Pada 

saat tongkat itu berada dalam genggaman Wiro, saat itu 

pula Luhjelita lenyap dalam kegelapan. Yang terdengar 

kemudian adalah gemuruh kepakan sayap kura-kura 

terbang tunggangannya.


TIGA BELAS


LIMA orang yang berlindung di balik semak belukar itu 

memandang tegang tak berkedip ke arah Kincir Hantu 

yang mulai berputar menggemuruh begitu sang surya 

muncul terang di ufuk timur.

 "Kincir sudah berputar, aku masih belum melihat

kakek bernama Lateleng itu..." kata Lakasipo. Sambil

bicara dia melirik ke arah Luhsantini yang sejak pagi

tadi tak banyak bicara.

 "Itu muncul orangnya!" kata Naga Kuning tiba-tiba

seraya menunjuk ke depan. "Dia ada di atas atap rumah

kincir!"

 Semua mata serta meria memandang ke atas

rumah kincir. Menang benar. Di atas atap kelihatan

seorang yang wajah tuanya hanya sebagian kelihatan

karena tertutup caping. Di mulutnya terselip sebuah

pipa mengepulkan asap merah. Di atas atap di sebelah

belakangnya menancap sebuah bendera berwarna

kuning.

 Wiro memandang pada semua orang yang ada di

situ. "Kalian sudah siap semua?" Semua yang ditanya

termasuk Luhsantini anggukan kepala.

 Lima orang itu lalu keluar dari balik semak belukar,

menyeberangi lapangan. Bergerak menuju Kincir Hantu. 

Sambil melangkah Lakasipo berkata pada Wiro.

"Melihat pipa dan warna asap yang mengepul, aku ingat 

pada seorang tokoh langka berjuluk Si PenghembuRoh. 

Setahuku dia satu-satunya yang memiliki ilmu kesaktian 

sangat ganas. Dengan cara meniup asap dia bisamerubah sosok manusia menjadi jerangkong seperti yang 

berserakan di ujung lapangan sana...."

 "Kalau begitu bangsat tua di atas atap itu pastilah

Si Penghembus Roh itu!" kata Wiro pula.

 "Aku ragu. Ciri-cirinya tidak seperti tokoh langka

itu..." jawab Lakasipo pula. Lalu dia hentikan aliran

tenaga dalamnya yang menuju ke kaki. Akibatnya

"duk... duukk... duukk!" Bola-bola batu yang membungkus 

kaki Lakasipo mengeluarkan suara keras.

Tanah bergetar dan membentuk lobang-lobang.

 Tiba-tiba kakek bercaping di atas atap rumah kincir

bangkit berdiri. Lima orang itu yang berjalan di tanah

lapang serta merta hentikan langkah. Si Setan Ngompol 

belum apa-apa sudah mulai basah bagian bawah

celananya karena tegang.

 Di atas atap rumah kincir, kakek bernama Lateleng

sedot pipanya lalu hembuskan asap merah tinggi-

tinggi ke udara. Setelah itu dia buka capingnya dan

menjura ke arah orang-orang yang berdiri di tanah

lapang di depan Kincir Hantu.

 "Ada serombongan tamu datang berkunjung! Aku

Lateleng sungguh mendapat kehormatan besar! Tapi

mataku belum lamur apalagi buta. Kalian ke sini bukan

mencari kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin! Kau

yang berambut gondrong dan kau kakek berkuping

lebar serta kau budak konyol berpakaian serba hitam

berambut seperti ijuk! Bukankah kalian bertiga perantau 

asing yang kemarin muncul di sini dan sempat membuatku 

jengkel? Ada gerangan apa kalian masih berani kembali 

unjukkan muka di tempat ini?! Kalau hari ini aku marah 

besar jangan harap kalian bertiga bisa melihat matahari 

tenggelam sore nanti!"

 Pendekar 212 angkat tangan kirinya lalu menjawab. 

"Aku datang membawa dua teman. Mereka ingin mencobakepandaian menjajal kehebatan Kincir Hantumu! Apa kau 

berani menerima tantangan?!"

 Kakek di atas rumah kincir menatap tajam pada

Lakasipo yang berkaki batu dan Luhsantini. Dalam

hati dia menggeram. "Jahanam berambut gondrong

itu! Dia benar-benar membuat kesulitan besar padaku!

Si kaki batu itu mungkin saja dia menyembunyikan

benda yang aku cari di salah satu kakinya. Tapi aku

tahu betul kehebatan batu yang dijuluki Bola Bola Iblis

itu. Apa aku sanggup menghancurkannya? Lalu 

perempuan berpakaian serba merah itu. Dia pantas jadi

temanku bersenang-senang. Tapi kini malah bisa 

menimbulkan bahaya bagiku!"

 Walau hatinya merasa tidak enak namun kakek.

kepala teleng umbar tawa bergelak. "Wahai kalian

berlima dengar ucapanku baik-baik! Pagi ini aku masih

merasa segar dan berhati senang. Tapi dalam sekejap

pikiranku bisa berubah. Sebelum pikiranku berubah

aku perintahkan pada kalian semua agar segera angkat

kaki tinggalkan tempat ini. Kecuali perempuan berpakaian 

merah! Dia boleh tetap berada di sini menemaniku!"

 Lakasipo mendengus keras. Luhsantini perlihatkan 

muka geram sementara Naga Kuning mencibir dan Si 

Setan Ngompol bersungut-sungut Wiro diam sesaat. Lalu 

sambil menggaruk kepala dia membatin.

"Aku ingat sekarang. Suara kakek teleng itu seperti

pernah kudengar sebelumnya...."

 "Lakasipo, kakek teleng itu agaknya jerih melihat

bola-bola iblis di ke dua kakimu," bisik Naga Kuning.

 Wiro menggaruk kepalanya kembali seraya berkata. "Dia 

mengincar Luhsantini. Tapi bukan mustahil dia 

menyembunyikan sesuatu.... Kalau dugaanku betul...."

 Sementara itu Kincir Hantu berputar terus dengan suara 

menggemuruh menggetarkan tanah lapangan."Kakek di atas rumah kincir!" Pendekar 212 berteriak. 

"Perempuan cantik baju merah ini menjadi milikmu jika 

kau mengizinkan kawanku yang berkaki batu ini menjajal 

kehebatan kincirmu!"

 "Wiro, lancang sekali mulutmu!" teriak Luhsantini

marah. Naga Kuning dan Setan Ngompol melongo.

 Lakasipo pelototkan mata. Tangan kirinya langsung 

mencekal tengkuk baju Pendekar 212. Suaranya

menggeram marah ketika berkata setengah berteriak.

"Jangan kau berani menjual sahabat! Perlu apa memaksa 

kalau si kepala teleng itu takut menerima tantangan kita?!"

 Wiro menyeringai. "Kalau dia memang takut lebih

baik kita tinggalkan tempat ini! Tapi apa tidak sebaiknya 

sebelum pergi kita hancurkan dulu Kincir Hantu itu! Rumah 

kincirnya sekaligus! Kalau perlu si teleng pengecut di atas 

atap itu sekalian!"

 "Weehh! Kemarin garang amat! Sekarang kecut seperti 

banci!" mengejek Naga Kuning lalu tertawa gelak-gelak.

 "Mungkin dia perlu diberi semangat! Diberi minum

air kencingku!" menyambung Si Setan Ngompol yang

akhiri kata-katanya dengan tawa cekikikan.

 Menggelegak amarah Lateleng mendengar ucapan-

ucapan Wiro dan kawan-kawannya. Tapi dia pandai

menutupi sikap. Dia sengaja mengumbar tawa bergelak.

 Di bawah sana Wiro ikut-ikutan tertawa. Tapi tawa

penuh ejek. Lakasipo juga keluarkan suara mengekeh.

Naga Kuning, Setan Ngompol dan Luhsantini susul

menyusul keluarkan tawa.

 "Sudah teleng ternyata pengecut!" berteriak Naga

Kuning.

 "Kepala atas teleng tapi kepala bawah tahu perempuan 

cantik! Hik... hik... hik!" berseru Si Setan Ngompol.

 "Rupanya di sini tidak ada kaca! Membuat tua bangka 

itu tidak tahu dia buruk rupa!" menyusul teriakan 

Luhsantini.Ditertawai, diejek dan dicaci maki seperti itu 

menggeletarlah sekujur tubuh Lateleng. Amarahnya 

meluap. Darahnya seperti mendidih dan dadanya seolah 

terbakar. Berulang kali dia mengusap mukanya depan

belakang seolah ada sesuatu yang berusaha ditahannya.

 "Manusia-manusia jahanam! Siapa pengecut! Siapa 

penakut! Aku bukan makhluk banci! Manusia kaki

batu! Aku terima kesombonganmu! Silakan melompat

ke atas kincir! Aku mau lihat sampai di mana 

kehebatanmu!"

 Orang tua di atas atap rumah kincir akhirnya

terpancing marah dan menerima tantangan. Padahal

semua ucapan dan ulah Wiro serta kawan-kawannya

tadi hanya sandiwara belaka yang sudah diatur demikian 

rupa memang untuk menjebak si kakek teleng itu. Begitu 

pancingan mereka mengena tanpa tunggu lebih lama 

Lakasipo segera melesat ke atas kincir! Dua kaki batunya 

hinggap di atas permukaan roda kincir tanpa 

mengeluarkan suara sedikit pun, membuat Lateleng 

merasa jerih lalu diam-diam alirkan tenaga dalam ke 

tangan kirinya.

 Di saat yang sama Wiro, Naga Kuning dan Setan

Ngompol serta Luhsantini telah melesat pula ke atas

atap rumah kincir.

 "Kalian mau apa?! Lekas turun!" teriak Lateleng marah.

 "Kami hanya mau menyaksikan permainan gila ini 

dilakukan tanpa kecurangan!" jawab Wiro seenaknya tapi 

tangan kanannya meraba pinggang kiri di mana terselip 

Kapak Maut Naga Geni 212. Sepasang matanya meneliti

seputar atap rumah kincir. Pandangannya membentur 

sebuah tonjolan kayu yang menyembul keluar dari 

permukaan atap dan berada tak jauh dari kaki Lateleng. 

Murid Sinto Gendeng yang cukup punya pengalaman 

tentang berbagai peralatan rahasia segera saja mencurigai 

tonjolan kayu itu adalah satu peralatan yang ada 

hubungannya dengan Kincir Hantu. Mulai saat itu gerakgerik kaki Lateleng serta tonjolan kayu itu tidak lepas dari 

perhatian Pendekar 212.

 Si Setan Ngompol tegak di atas atap sambil pegangi 

bawah perutnya yang mengucur habis-habisan. Dia 

menyeringai kecut, ketika Lateleng melotot padanya. "Aku 

tidak mau berbuat apa-apa. Bukankah aku sahabatmu 

yang akan memberimu minuman penyegar jika kau 

kehausan? Lihat saja! Bukankah matahari pagi mulai 

bersinar terik?" Sambil berucap kakek bermata jereng ini 

siapkan pukulan sakti Sct.m Ngompol Mengencingi 

Pusara.

 Kakek teleng bantingkan capingnya di atas kepala

dan memaki panjang pendek dalam hati. Dia berpaling

pada Naga Kuning. Anak ini tegak tak acuh sambil

mengorek hidungnya, begitu asyik hingga matanya

meram melek. "Aku naik ke atap cuma pingin tahu

permainan sulap apa yang ada di tempat ini!" Naga

Kuning berucap sambil melirik pada Lateleng yang

memelototinya. Padahal saat itu di tangan kirinya dia

sudah menyiapkan pukulan Naga Kuning Merobek

Langit

 Ketika Lateleng berpaling ke arah Luhsantini, 

perempuan cantik ini lemparkan senyum manis lalu

berkata dengan suara merdu. "Wahai kakek gagah

pemilik Kincir Hantu. Bukankah kau minta aku 

menemanimu? Bukankah temanku si gondrong itu 

menjanjikan diriku untukmu jika kau menerima tantangan

si kaki batu itu? Sekarang aku adalah milikmu."

 Selagi si kakek teleng kelihatan seperti terkesiap,

Luhsantini cabut bendera kuning di atas atap lalu

serahkan pada si kakek. Mau tak mau Lateleng terima

bendera itu namun dalam hati dia membatin. "Orang-orang 

ini. Agaknya mereka merencanakan sesuatu. Gila! 

Mungkin aku sudah terperangkap dalam jebakan mereka! 

Jahanam betul! Untung sampai saat ini mereka masihbelum tahu siapa diriku sebenarnya. Awas kalian! Yang 

empat orang itu akan kuhabisi sebentar lagi!"

 "Kakek gagah, apakah kita bisa mulai?" bertanya

Luhsantini dengan suara merdu serta layangkan

senyum.

 "Ya... ya! Kita segera mulai!" jawab Lateleng. Lalu

dia berpaling pada Lakasipo. "Makhluk berkaki batu,

aku belum tahu namamu. Harap suka memberitahu

karena aku tidak ingin kau menemui kematian tanpa

aku tahu siapa dirimu sebenarnya!"

 " Aku Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu!" jawab

Lakasipo.

 "Hemmmm...." Lateleng bergumam. Dalam hati

dia merutuk. "Hantu keparat, aku sudah tahu siapa kau 

sebenarnya! Bersiaplah menerima Kematian!" Lateleng 

pindahkan pipanya ke tangan kiri. Wiro memperhatikan 

tangan kanan kakek itu mengeluarkan getaran, pertanda 

dia telah mengerahkan tenaga dalam. Dengan tangan 

kanan berada di hulu kapak, Pendekar 212 siapkan 

pukulan Sinar Matahari di tangan kiri.

 Lateleng tancapkan bendera kuning di roda kincir

yang berputar. Lalu kakek ini ketukkan pipanya ke

pinggiran roda kincir seraya berseru.

 "Satu!"

 Kincir Hantu menggemuruh dan berputar kencang. 

Lakasipo mulai berlari-lari di atas roda kincir. Semua orang 

yang ada di tempat itu menjadi tegang tapi diam-diam 

sama menyiapkan pukulan-pukulan sakti. Atap rumah 

kincir itu agaknya dalam waktu tidak berapa lama lagi 

akan menjadi ajang perkelahian dahsyat!


EMPAT BELAS


GEMURUH suara Kincir Hantu seolah masuk

menggelegar didalam tubuh orang-orang yang ada di 

tempat itu, terutama Lakasipo yang berlari melawan 

putaran roda. Tak lama kemudian bendera kuning muncul 

di sisi kanan kincir, bergerak mendekati kaki Lakasipo. 

Dengan gerakan enteng Lakasipo melompat. Bendera 

kuning lewat di bawahnya bersama kucuran air menuju ke 

sisi kiri.

 Mulut Lateleng tampak menyeringai namun dibawah 

caping yang melindungi sebagian mukanya, sepasang 

mata kakek ini melirik tajam kian ke mari, memperhatikan 

Pendekar 212 Wiro Sableng dan kawan-kawannya.

 "Dua!" seru Lateleng sambil ketukkan pipa ke

pinggiran roda kincir begitu bendera kuning lewat di

bawah kaki Lakasipo. Putaran kincir berubah tambah

kencang. Suara gemuruhnya menggetarkan rumah

kincir serta lapangan di bawah sana. Lakasipo 

mempercepat larinya. Setiap saat lelaki ini saling memberi

isyarat mata dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tapi

semua gerak-gerik ke dua orang ini tidak lepas dari

perhatian si kakek teleng.

 Tak selang berapa lama bendera kuning muncul lagi di 

sisi kanan. Lateleng cabut pipanya lalu kepulkan asap 

merah ke udara.

 “Tiga!"

Kincir Hantu berderak keras lalu berputar lebih kencang. 

Gemuruh suaranya kali ini seolah hendak meruntuhkan 

langit dan menjungkir balikkan rumah kincir, membuat 

orang-orang yang ada di atas atap bangunan tergontai-

gontai dan sesekali terlonjak ke atas."Lakasipo! Kau harus bertahan! Putaran kincir hanya 

tinggal sedikit lagi! Kitab sakti itu akan segera menjadi 

milikmu! Kau benar-benar luar biasa! Aku tidak kecewa 

menyerahkan kitab langka itu kepadamu!"

 Lakasipo tidak acuhkan ucapan orang. Dia sudah

mendapat peringatan dari Wiro bahwa kakek itu berusaha 

mengalihkan perhatian dengan ucapan-ucapan serta gelak 

tawanya. Lakasipo malah kerahkan tenaga dalam ke arah 

kaki. Terjadilah hal yang hebat. Kaki-kaki batu itu 

menghantam kayu hitam roda kincir, mengeluarkan suara 

dak-duk-dak-duk berkepanjangan diseling suara berderak 

seolah kincir itu siap untuk runtuh hancur berantakan. 

Walau demikian, luar biasanya tidak ada bagian kincir 

yang pecah atau rusak.

 Lateleng sesaat menjadi cemas. Namun seringai

segera tersungging di mulutnya ketika bendera kuning

muncul kembali di sisi kanan sebagai penutup putaran

yang akan berakhir begitu mencapai sepasang kaki

batu Lakasipo.

 "Saatmu akan segera sampai Lakasipo! Nyawamu

tak akan tertolong!" kata Lateleng dalam hati. Dia sedot

pipanya dalam-dalam seraya melirik pada empat orang

yang ada di atas atap.

 Walaupun dua kaki batu itu tampak berat sekali

menghunjam roda kincir namun dengan kesaktiannya

yang ditunjang tenaga dalam tinggi Lakasipo mampu

berlari ringan. Dia kelihatan tenang-tenang saja padahal 

dadanya menggemuruh dilanda kecemasan. Wiro dan 

yang lain-lainnya saat itu telah berada di puncak

ketegangan.

 Bendera kuning bergerak cepat. Hanya tinggal

dua langkah dari sepasang kaki Lakasipo.

 "Lakasipo! Kau memang hebat! Aku tidak menyesal 

menyerahkan kitab Kesaktian Menguasai Jin padamu!" 

berseru Lateleng. Lalu kakek ini keluarkan suitan keras 

dan panjang. Bersamaan dengan itu secepat kilat kakkirinya bergerak menginjak tonjolan kayu yang menyembul 

di atas rumah. Kincir Hantu keluarkan suara gemuruh 

dahsyat menyeramkan. Di antara suara gemuruh itu 

terdengar suara aneh.

 "Clak... elak... elak!"

 Dari pinggiran roda kereta mendadak mencuat sinar

putih menyilaukan, menyambar wajah Lakasipo, 

membutakan pemandangannya. Luar biasanya cuatan 

sinar menyilaukan itu juga menyambar ke arah mata 

semua orang yang ada di atas atap. Sebelum sinar 

menyilaukan itu sempat membutakan pemandangan 

mereka keempat orang di atas atap telah lebih dulu 

bergerak.

 "Celaka! Aku tidak bisa mengangkat dua kakiku!"

teriak Lakasipo.

 Lalu "traannggg!" Kaki batunya sebelah kiri dihantam 

benda keras tajam berkilat hingga terbelah dua. Lateleng 

buka mulutnya lebar-lebar lalu semburkan asap merah ke 

arah Wiro dan kawan-kawannya. Tangan kanannya ikut 

bergerak menghantam. Selarik sinar hijau menderu ke 

arah tiga sasaran yakni, Wiro, Naga Kuning dan Setan 

Ngompol. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Hantu Hijau 

Penjungkir Roh. Siapa saja yang terkena akan menemui 

ajal dengan tubuh hijau meleleh seperti lumpur!

 Walau semua itu terjadi dengan cepat namun Wiro

sempat menyadari bahwa Lateleng sama sekali tidak

menyerang Luhsantini! Apakah ini karena dia memang

tidak ingin menciderai perempuan yang dijadikannya

teman bersenang-senang itu atau ada alasan lain.

 Wiro dan tiga orang lainnya yang sejak tadi sudah

mengambil sikap penuh waspada, begitu melihat Lateleng 

berkelebat gerakkan kaki kiri menginjak tonjolan kayu, ke 

empat orang ini segera menghantam ke arah Lateleng 

yang saat itu telah pula melancarkan pukulan sakti Hantu 

Hijau Penjungkir Langit.Wiro lepaskan pukulan Sinar Matahari lalu jatuhkan diri 

dan bergulingan di atas atap. Kapak Naga Geni 212 yang 

sudah ada di tangan kanannya dibacokkan ke arah 

tonjolan kayu yang dipijak Lateleng. Bukan saja dia 

hendak menghancurkan alat rahasia di atas atap itu tapi 

sekaligus dia juga ingin membabat putus kaki kiri Lateleng. 

Namun si kakek bertindak cepat selamatkan kakinya. 

Ketika kakinya hendak dipergunakan untuk menendang 

kepala Wiro, Si Setan Ngompol dan Naga Kuning telah 

lebih dulu menyeruduk tubuhnya hingga tak ampun lagi 

kakek ini terdorong jatuh ke bawah. Bahunya menghantam 

pinggiran roda kincir. Satu jeritan dahsyat menggelegar

dari mulut Lateleng. Darah tampak mengucurdari bahu

kirinya akibat benturan dengan lempengan benda tajam 

putih yang mencuat di pinggiran roda kincir. Ketika jatuh ke 

tanah sialnya mukanya jatuh terhimpit selangkangan Si 

Setan Ngompol hingga wajahnya dan kepalanya basah 

kuyup oleh kucuran air kencing!

 Di atas atap rumah kincir letusan-letusan dahsyat

menggelegar seperti mau meruntuhkan langit. Pukulan 

sakti yang dilepaskan Lateleng serta semburan asap 

merahnya yang bisa merontokkan daging tubuh Itu 

bentrokan dengan pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan 

Wiro, pukulan Setan Ngompol Mengencingi Pusara yang 

dilepaskan Setan Ngompol serta pukulan Naga Kuning 

Merobek Langit yang dihantamkan Naga Kuning. 

Ditambah pula dengan pukulan Di Balik Labukit

Menghancur Lagunung yang dilepaskan Luhsantini.

 Atap rumah kincir hancur berantakan dan beterbangan 

di udara. Rumah kincir roboh bergemuruh. Kincir Hantu 

bergetar hebat lalu ambruk jadi tiga bagian, 

menggelinding di tanah lapang.

 Pada saat letusan menggelegar Lakasipo cepat

mencekal lengan Luhsantini. Lalu ke duanya membuat

gerakan jungkir balik di udara, melayang turun ke tanah

dengan kaki lebih dulu.Tubuh dan pakaian mereka kotoroleh hancuran atap dan bangunan rumah kincir.

 Di bagian lapangan yang lain Pendekar 212 Wiro

Sableng yang telah lebih dulu melompat ke tanah

simpan Kapak Naga Geni 212-nya lalu lari ke arah

Setan Ngompol dan Naga Kuning yang sedang bergumul 

dengan Lateleng. Saat itu kakek ini tidak lagi mengenakan 

capingnya yang telah mental hancur akibat tersambar 

letusan di atas atap. Kitab yang ada di bawah caping itu 

ikut musnah dan tidak diketahui apakah benar-benar kitab 

asli atau hanya tiruan belaka.

 Digumul berdua Lateleng menghantam kian kemari, 

membuat Setan Ngompol dan Naga Kuning

berpelantingan ke tanah. Ke dua orang ini cepat bangkit 

menyerang. Mereka tidak mau kehilangan si kakek

teleng yang jelas hendak coba melarikan diri. Naga

Kuning hanya sempat menarik celana panjang si kakek

hingga Lateleng melarikan diri cuma mengenakan baju

dan celana dalam. Namun kakek ini tidak peduli. Dia

kelabakan dengan luka di bahu kirinya.

 "Bahuku... darah.... Aku terlukai Wahai!" Sambil lari 

Lateleng mengeluh tak berkeputusan. Tangan kanannya 

memegangi bahu kiri sementara tangan kiri yang terluka 

itu dicobanya untuk mengusapi kepalanya depan 

belakang.

 Lakasipo dan Wiro berusaha mengejar. Namun

gerakan mereka mendadak tertahan ketika memperhatikan 

ke depan, kepala Lateleng telah berubah. Kakek itu kini 

memiliki satu kepala dengan dua muka.

Berupa muka kakek-kakek berwajah pucat pasi!

 "Astaga! Hantu Muka Dua! Dia Hantu Muka Dua!"

teriak Pendekar 212 Wiro Sableng.

 "Jahanam! Kau mau lari ke mana!" teriak Lakasipo

lalu lepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Lima

larik sinar hitam menderu ganas. Tapi di depan sana

Lateleng yang memang sebenarnya adalah Hantu

Muka Dua yang menyamar telah lenyap. Hanya nodanoda kucuran darahnya yang masih tertinggal di tanah.

Wiro dan Lakasipo sama-sama terduduk di tanah.

Selagi Lakasipo pandangi batu di kaki kanannya yang

kini hanya tinggal sebelah Pendekar 212 bangkit berdiri. 

Dia melangkah menghampiri salah satu hancuran

roda kincir. Ketika Wiro memeriksa ternyata di sepanjang 

pinggiran roda sebelah atas penuh dipasangi lempengan 

baja putih berbentuk empat persegi yang ujungnya sangat 

tajam. Dengan menekan alat rahasia berupa tonjolan kayu 

di atas atap, baja-baja putih itu mencuat keluar dari balik 

lapisan kayu, memantulkan sinar menyilaukan begitu 

kejatuhan sinar matahari dan menabas kaki orang yang 

ada di atasnya!

 "Cerdik dan keji!" ujar Wiro sambil geleng-geleng

kepala. "Yang aku belum mengerti mengapa Hantu

Muka Dua melakukan kegilaan itu! Apa sebenarnya

yang dicari bangsat kepala dua itu? Senjata sakti

mandraguna...?" Sambil garuk-garuk kepala Pendekar

212 ambil satu kepingan baja putih dari reruntuhan

roda kincir lalu melangkah mendapatkan Lakasipo

untuk memperlihatkan lempengan benda maut itu.

Namun langkah sang pendekar terhenti ketika tiba-tiba

seorang kakek berpakaian ungu gelap penuh debu.

Entah dari mana munculnya tahu-tahu sudah berada

di tengah lapangan. Melangkah perlahan mendekati

Lakasipo yang masih terduduk di tanah, didampingi

Naga Kuning, Luhsantini dan Si Setan Ngompol.

 Kakek tak dikenal itu berhenti di hadapan Lakasipo,

sesaat menatap wajah Hantu Kaki Batu itu lalu setelah

melirik pada sepasang kaki batu Lakasipo dia berkata.

 "Puluhan hari aku habisi untuk melakukan perjalanan ini. 

Ternyata tidak sia-sia. Wahai, apakah kau orang yang 

bernama Lakasipo, bergelar Hantu Kaki Batu?"

 Lakasipo tidak segera menjawab. Dia menaruh curiga 

pada kakek tak dikenalnya itu. Khawatir kalau-kalausi kakek adalah kaki tangan atau anak buah Hantu Muka

Dua. Wiro membuka mulut memberi jawaban.

 "Dia memang Lakasipo. Kau sendiri siapa adanya

Kek?"

 Yang ditanya palingkan kepalanya ke arah Wiro,

pandangi Pendekar 212 mulai dari kepala sampai ke

kaki lalu berkata. "Orang muda kau adalah manusia

hebat dalam kesederhanaan. Hidupmu penuh suka

karena begitu banyak gadis yang jatuh hati padamu.

Penuh suka walau ujian dan bahaya mengancam di

mana-mana. Aku senang bertemu denganmu "

 Wiro garuk-garuk kepalanya. "Kek, apa mungkin

kau seorang juru ramal?!" tanya Wiro pula.

 Kakek berpakaian ungu itu tersenyum. "Aku datang dari 

jauh mencari Lakasipo untuk menyerahkan satu benda 

sangat berharga yang telah kubawa ke mana-mana 

selama beberapa tahun." Habis berkata begitu si kakek 

lalu duduk di hadapan Lakasipo. Dia singsingkan bagian 

bawah pakaiannya yang berbentuk jubah dan ulurkan kaki 

kanannya. Tidak terduga oleh semua orang yang ada di 

situ, si kakek hantamkan tangan kanannya ke pergelangan 

kaki kanan.

 "Praaakk!"

 Kaki hancur dan tulangnya patah. Anehnya tak

ada darah yang mengucur! Enak saja kakek ini tarik

kakinya yang patah itu lalu dari dalam rongga tulang

kakinya dia mengeluarkan sebuah benda berupa sendok 

bergagang pendek terbuat dari emas. Pada bagian

sendok yang ceguk ada sebuah benda kemerah-merahan 

yang sudah membatu dan menempel erat kedasar sendok. 

Semua orang jadi merinding menyaksikan apa yang 

dilakukan si kakek.

 "Sendok ini bukan benda sembarangan. Bernama

Sendok Pemasung Nasib. Kau ambillah dan serahkan

pada seorang bernama Lasedayu yang dikenal denganjulukan Hantu Langit Terjungkir. Dia pernah tinggal di

Lembah Seribu Kabut. Di mana dia berada sekarang

tidak kuketahui...."

 Tidak peduli orang yang jadi kaget mendengar

kata-katanya, dan tidak peduli apakah orang mau

memenuhi permintaannya si kakek masukkan sendok

emas itu ke dalam genggaman tangan kanan Lakasipo.

Lakasipo sendiri dalam terkesiapnya tidak berusaha

menolak. Malah dia memperhatikan apa yang kemudian 

dilakukan kakek yang duduk di depannya itu.

Enak saja si kakek sambung kembali kakinya yang

hancur patah. Lalu dia mengusap satu kali, meniup

satu kali. Kaki yang hancur patah itu utuh kembali!

 Wiro garuk-garuk kepala. Naga Kuning melongo

monyong. Si Setan Ngompol mendelik menahan kencing 

sedang Luhsantini tekap mulutnya dan menatap ke arah 

tangan kanan Lakasipo.

 " Kek, siapa kau ini adanya?" tanya Lakasipo ketika

dilihatnya kakek itu bangkit berdiri. Dia segera pula

bangun dari duduknya.

 Si kakek tersenyum. "Wahai! Namaku bukan satu

hal yang penting. Selamat tinggal orang-orang gagah...." 

Sekali dia membalikkan tubuh tahu-tahu kakek itu sudah 

berada di ujung lapangan lalu lenyap.

 "Gila!" Pendekar 212 berkata setengah berseru.

 "Eh, siapa yang gila?!" tanya Naga Kuning.

 "Hantu Muka Dua! Untuk mendapatkan sendok butut itu 

saja dia sampai membunuh lima belas orang. Aku dan 

Lakasipo hampir jadi korbannya!" Wiro garuk-garuk kepala.

 "Walau Hantu Muka Dua gila atau edan tapi masih

sempat meninggalkan satu kenang-kenangan untuk 

sahabatnya Si Setan Ngompol ini!" berucap Naga Kuning.

 "Apa maksudmu bocah geblek?!" kata Setan

Ngompol sambil delikkan mata.Dari balik punggungnya Naga Kuning keluarkan celana 

milik Hantu Muka Dua yang berhasil dibetotnya hingga 

lepas tertinggal.

 "Kek," kata Naga Kuning pula sambil tersenyum

pada Setan Ngompol. "Hantu Muka Dua sengaja 

meninggalkan celana ini karena dia tahu kau tidak punya

celana. Yang sekarang kau pakai selain tak pantas

disebut celana juga sudah leleh bau pesing! Nah

ambillah celana pemberiannya ini, segera pakai. Tak

usah malu-malu!" Habis berkata begitu Naga Kuning

tertawa cekikikan dan lemparkan celana Hantu Muka

Dua hingga menyangkut di bahu kiri Si Setan Ngompol.

 "Anak kurang ajar! Berani kau mempermainkan

aku! Siapa sudi memakai celana makhluk jahat itu!"

kata Setan Ngompol dengan mata mendelik besar.

 "Yang jahat Hantu Muka Dua. Celananya 'kan tidak

Kek!" jawab Naga Kuning pula.

 "Bocah sialan!" mengomel si kakek tapi tangannya 

kemudian mengambil celana itu dari bahunya. Lalu masih 

pelototkan mata pada Naga Kuning dia melangkah ke balik 

semak-semak. Semua orang yang ada di tempat itu 

tertawa bergelak. Tak lama kemudian sebuah benda 

melayang di udara dan jatuh menyungkup kepala Naga 

Kuning. Bocah ini kelagapan kalang kabut dan memaki 

panjang pendek. Ternyata yang menyungkup kepalanya 

itu adalah celana basah kuyup bau pesing milik Si Setan 

Ngompol!

TAMAT

Penulis : bastian tito

create : matjenuh channel

blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Segera terbit

RAHASIA PATUNG MENANGIS


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive