BENDERA KUNING SAMPAI DI DEPAN KAKI SI HATI BAJA. DIA
SIAP UNTUK MELOMPAT. TAPI TIBA-TIBA DI ATAS ATAP KAKEK
KEPALA TELENG KELUARKAN SUITAN KERAS. BERSAMAAN
DENGAN ITU KINCIR HANTU MENGELUARKAN SUARA
DAHSYAT. DI ANTARA SUARA GEMURUH YANG MENEGAKKAN
BULU ROMA ITU TERDENGAR SUARA ANEH
BERKEPANJANGAN.
CLAK.... CLAK.... CLAK...!
PANTULAN SINAR PUTIH MEMBERSIT DARI PINGGIRAN RODA
KINCIR, MEMBUAT DUA MATA HATI BAJA SAKIT SILAU. DIA
BERMAKSUD MENGUSAP MATANYA DENGAN TANGAN KIRI.
NAMUN BELUM KESAMPAIAN TIBA-TIBA JERITAN SETINGGI
LANGIT MENGUMANDANG KELUAR DARI MULUTNYA. DARI
BAWAH KAKINYA KELIHATAN DARAH MENYEMBUR.
SATU
GEMURUH suara kincir raksasa itu terdengar tidak
berkeputusan. Pada siang hari saja suaranya begitu ngeri
menggetarkan. Apa lagi pada malam hari. Di atas atap
rumah kincir seorang kakek berkepala teleng,
mengenakan caping bambu duduk uncang-uncang kaki
sambil menghisap pipa yang menebar bau serta asap
aneh berwarna merah.
Sambil hembuskan asap merah dari mulut dan hidungnya
kakek ini memandang berkeliling. Dalam hati dia berkata.
"Sudah tiga minggu berlalu sepi-sepi saja. Apakah orang
sakti dan pandai di negeri ini sudah habis semua? Atau
masih ada tapi tidak punya nyali untuk menjajal kincirku,
takut menghadapi tantanganku? Kalau begini naga-
naganya urusanku tidak bakal rampung!"
Di puncak bangunan terpancang sebuah bendera
dari jerami kering berwarna kuning, melambai-lambai
kaku ditiup angin. Kakek teleng hisap dalam-dalam
pipanya. "Sial! Lama-lama aku bisa mengantuk!" katanya
setengah memaki. Kakek ini lalu menatap kehalaman luas
di depan rumah kincir. Seperti menghitung-hitung dia
berucap.
"Satu... dua... sembilan... empat belas... ah! Sudah
ampat belas orang sakti menemui kematian. Sudah
tujuh purnama berlalu. Tapi tidak satupun dari mereka
membekal benda yang kucari. Kalau sampai dua purnama
lagi benda itu tidak kudapatkan, celaka diriku!
Siapa diantara dua makhluk itu yang akan membunuhku
lebih dulu?!" Caping di atas kepala kakek telengbergerak-gerak tanda si kakek menggeleng-geleng
gelisah berulang kali.
Sementara itu di atas satu pohon besar di seberang
halaman rumah kincir, tiga sosok tubuh mendekam di balik
kerimbunan dedaunan tanpa setahu kakek teleng
bercaping. Mereka bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng, bocah konyol bernama Naga Kuning dan si
kakek berjuluk Setan Ngompol.
" Keterangan saudara kita Lakasipo ternyata betul.
Kita akhirnya menemukan benda aneh yang disebut
Kincir Hantu itu," berkata Naga Kuning dengan suara
sangat perlahan.
"Tengkukku mengkirik, aku setengah mati berusaha
menahan ngompol. Apa kalian tidak melihat semua
keanehan mengerikan yang ada di bawah sana?! Siapa
adanya kakek teleng bercaping itu? Tukang jaga atau
pemilik Kincir Hantu itu...?" Yang bicara adalah Si Setan
Ngompol.
Wiro garuk kepalanya. "Kincir itu berputar karena arus
air yang datang dari sebelah kanan. Air dicurahkan ke
saluran di sebelah kiri. Kincir biasanya untuk mengairi
pesawahan. Tapi aku tidak melihat sawah atau ladang di
sekitar sini. Lalu ke mana air itu perginya, untuk apa...?
Dan ini yang gila! Empat belas mayat yang sudah jadi
jerangkong bergeletakan di halaman rumah kincir. Semua
jerangkong tidak memiliki kaki. Putus seperti ditebas
sesuatu...."
"Kurasa kakek di atas atap itu yang membunuhi semua
orang itu! Lihat saja dia sengaja menancapkan bendera
kuning di atas rumah kincir. Bukankah bendera kuning
tanda perkabungan, tanda kematian?!"
"Lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Aku sudah
tidak bisa menahan kencing!" kata Setan Ngompol
sambil menepuk bahu Wiro.
"Tunggu dulu!" kata Naga Kuning. "Dari sikapnya
kakek itu seperti menunggu seseorang....""Mungkin menunggu korban berikutnya," menyahuti
Wiro. "Semua korban berkaki putus. Jika memang
hendak membunuh orang mengapa tidak menusuk
dada atau perut atau menabas lehernya? Sungguh
aneh.... Kek, sebaiknya kita tunggu agar bisa melihat
sendiri apa yang sebenarnya terjadi di tempat angker
Inil"
"Kalau begitu biar aku turun. Kalian mau menunggu
sampai tujuh hari tujuh malam silahkan saja! Aku tidak
mau ikut-ikutan!" kata si kakek. Lalu dia menggeser
kakinya, siap hendak melompat turun. Namun niatnya ini
jadi urung ketika mendadak satu bayangan berkelebat
disertai seruan keras.
"Lateleng! Aku datang untuk menjajal kehebatan
Kincir Hantumu!"
Sesaat kemudian seorang lelaki gagah, berjanggut dan
berkumis lebat tapi rapi serta mengenakan topi tinggi
merah seperti tarbus tahu-tahu sudah tegak di halaman di
depan rumah kincir. Matanya menatap ke arah kakek
bercaping lalu berpaling memperhatikan kincir besar yang
berputar dengan suara gemuruh.
Di atas atap rumah kincir kakek teleng berdiri lalu buka
capingnya dan menjura memberi hormat pada orang yang
tegak di halaman.
"Wahai kerabat yang datang! Aku rasa-rasa mengenal
dirimu! Tapi dari pada kesalahan menduga sebaiknya
kau suka memberi tahu siapa nama atau gelarmu!"
Orang di depan rumah kincir usap janggutnya,
permainkan sebentar ujung kiri kumis lebatnya lalu
menjawab.
"Aku Lakerashati. Orang di Latanahsilam menyebutku Si
Hati Baja! Apakah keteranganku cukup bagimu wahai
Lateleleng?"
"Lakerashati! Bergelar Si Hati Baja! Sungguh satu
kehormatan kau mau mendatangi tempat burukku ini!
Mendengar seruanmu tadi, apa benar kau berniathendak menjajal kehebatan Kincir Hantu milikku ini?"
Si Hati Baja angkat tangan kanannya dan menjawab.
"Itu yang aku inginkan! Tetapi apakah imbalan seperti yang
dikabarkan orang itu memang benar adanya? Aku tidak
mau tertipu! Aku tidak mau menjadi korban karena
ketololan seperti orang-orang ini!" Si Hati Baja
memandang seputar halaman dimana berkaparan empat
belas jerangkong. Dalam hati dia berkata. "Jerangkong-
jerangkong ini sepertinya tidak membusuk lebih dulu. Ada
sesuatu yang membuat mereka bisa langsung jadi tulang
belulang seperti ini!"
Di atas atap rumah kincir kakek bernama Lateleng
tertawa mengekeh. "Aku Lateleng seumur hidup tak
pernah berdusta! Siapa saja yang sanggup berdiri
selama tiga kali putaran di atas Kincir Hantu akan
menerima hadiah sebuah kitab berisi ilmu kesaktian
yang sanggup membuat seseorang memanggil dan
memelihara tujuh macam Jin. Inilah kitabnya!"
Dari balik capingnya kakek teleng itu lalu keluarkan
sebuah kitab terbuat dari daun yang sangat liat.
Bagian depan kitab itu ada tulisan berbunyi "Kesaktian
Menguasai Tujuh Jin." Kitab itu diacungkannya ke
arah Si Hati Baja lalu dimasukkannya kembali ke balik
caping. "Tetapi sesuai dengan syarat yang sudah
kutentukan! Segala akibat menjajal Kincir Hantu adalah
menjadi tanggung jawab sendiri! Wahai Si Hati Baja,
apakah kau menerima syarat itu?"
"Aku menerima!" jawab Si Hati Baja.
"Kuharapkan kakimu benar-benar sekuat baja!
Kudoakan agar kau bisa berdiri di atas Kincir Hantu
selama tiga kali putaran! Namun ada satu syarat lagi!
Ketahuilah siapa saja yang ingin menjajal kehebatannya di
atas Kincir Hantu sedikitnya harus berusia enam puluh
tahun'. Berapakah usiamu wahai Hati Baja?"
"Hampir delapan puluh tahun!"Lateleng tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Kejadian
itu empat puluh tahun silam. Berarti ada kemungkinan dia
memiliki benda itu!"
"Aneh! Mengapa kakek itu pakai menanya usia
segala? Seperti sayembara saja!" kata Naga Kuning
yang mendekam di atas pohon bersama Wiro dan Si
Setan Ngompol.
"Hati Baja, apakah kau sudah siap?!" Dari atas
atap terdengar suara Lateleng bertanya.
"Aku sudah siap dari tadi!" jawab Lakerashati
alias Si Hati Baja.
"Bagus!" Lateleng tertawa mengekeh. Dia sedot
pipanya dalam-dalam lalu kepulkan asap merah. Tanpa
menoleh ke belakang dia cabut bendera kuning yang
menancap di atas atap. Capingnya kembali diletakkan
di atas kepala. Bendera kuning itu diacungkannya ke
atas. "Hati Baja! Bendera ini akan kutancapkan di ruas
kincir! Pada saat kincir berputar dan bendera kuning
berada di bagian paling atas, kau harus melompat ke
atas kincir. Kau harus bertahan sampai bendera kuning
mencapai bagian atas kincir sebanyak tiga kali! Jika
kau mampu melakukan itu maka kau akan mendapatkan
kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin!"
Si Hati Baja tertawa jumawa. "Baru tiga kali putaran.
Tiga puluh putaran pun aku sanggup!"
Lateleng tertawa lebar. "Ucapanmu membuat aku
kagum wahai Hati Baja! Bisakah kita mulai sekarang?!"
"Dengan segala hormat!" jawab Si Hati Baja seraya
sunggingkan senyum dan sedikit tundukkan kepala.
"Lihat bendera!" seru Lateleng dari atas atap.
Tangannya yang memegang bendera bergerak.
Bendera kuning melesat ke bawah lalu menancap di
pinggiran kayu yang merupakan roda kincir. Karena
kincir berputar ke kiri maka bendera ikut berputar ke
jurusan yang sama. Sesaat kemudian bendera kuningitu lenyap di sebelah kiri. Tak lama berselang muncul lagi
di sebelah kanan dan ikut naik ke atas sesuai putaran
kincir. Sesaat sebelum putaran kincir mengantar bendera
kuning ke bagian paling tinggi, Lateleng berseru.
"Hati Baja! Sekarang!"
DUA
LAKERASHATI alias Si Hati Baja gentakkan kaki
kanannya ke tanah. Saat itu juga tubuhnya melesat enteng
ke udara dan jatuh tegak tepat di belakang bendera kuning
yang menancap di roda kincir yang berputar. Karena roda
berputar, agar dia tetap bisa bertahan di atas kincir maka
Si Hati Baja mulai berlari-lari kecil di atas kepingan-
kepingan kayu besi hitam yang membentuk cegukan dan
mengantar air dan sengaja menghadap ke jurusan
berlawanan dari arah putaran kincir. Sambil tertawa-tawa
Si Hati Baja melakukan hal itu. "Pekerjaan begini mudah!
Anak kecil yang baru belajar ilmu silat kampunganpun
sanggup melakukannya!" katanya dalam hati.
Tak selang berapa lama bendera kuning kelihatan
muncul di hadapan lelaki bertopi merah tinggi itu,
borgerak di atas roda kincir, mendekati sepasang kaki
Si Hati Baja yang berlari-lari kecil.
"Satu!" teriak Lateleng dari atas atap.
Si Hati Baja mendongak ke atas dan menyeringai.
Lateleng cabut pipanya dari sela bibir. Lalu dengan
ujung pipa diketuknya pinggiran kincir. Putaran kincir
yang tadi bergerak tidak terlalu cepat kini berubah
kencang dan mengeluarkan suara bergemuruh. Untuk
mengimbangi Hati Baja mempercepat larinya, hingga
walau kincir bergerak lebih cepat dia masih tetap berada
di atas kincir tanpa kesulitan apa-apa.
Di atas pohon berdaun rimbun di seberang halaman rumah
kincir Wiro, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol
memperhatikan semua kejadian itu tanpa bergerak tanpa
bersuara. Mereka masih terheran-heran apa sebenarnya
yang tengah berlangsung. Hanya untuk mendapatkan
sebuah buku aneh, seseorang diuji kepandaiannya begitu
mudah. Lalu kalau cuma itu yang dilakukan mengapa ada
empat belas mayat berkaki buntung berkaparan di
halaman sana?! Keanehan apa sebenarnya yang
tersembunyi di balik kaki-kaki buntung itu?! Lalu mengapa
kincir itu dinamakan Kincir Hantu?
Bendera kuning muncul untuk ke dua kalinya disisi
kanan kincir raksasa. Begitu sampai di hadapannya,
seperti tadi Lateleng sedot pipanya, kepulkan asap merah
lalu cabut pipa itu dan ketukkan ke pinggiran kincir begitu
bendera kuning sampai di putaran tertinggi.
"Dua!" berseru kakek kepala teleng itu.
Kincir raksasa bergemuruh lebih keras dan putarannya
juga semakin cepat. Tanah halaman bahkan sampai
pohon besar di mana Wiro dan kawan-kawannya berada
bergetar keras.
"Gila! Apa yang terjadi!" Kakek berjuluk Si Setan
Ngompol pegangi bagian bawah perutnya yang mendadak
basah karena tak dapat menahan kencing.
Di atas kincir yang berputar Si Hati Baja tetap tenang.
Masih tersenyum-senyum dia percepat gerakan kakinya
untuk mengimbangi dan menjaga agar dia tetap berada di
sebelah atas kincir.
"Kek, kalau cuma begitu-begitu saja kukira kau
bisa menjajal Kincir Hantu itu...." kata Naga Kuning
pada Si Setan Ngompol. "Cuma sayang, kau sudah
keduluan orang memakai tarbus merah itu!"
Setan Ngompol diam saja karena masih tegang
memegangi bagian bawah perutnya. Wiro memperhatikan
semua yang terjadi di depannya tanpa berkesip. Sudut
matanya melihat bendera kuning untuk ke tiga kalinya
muncul di sisi kincir sebelah kanan.
"Putaran ke tiga.... Orang bertopi merah agaknya
segera akan mendapatkan kitab sakti itu!" Naga Kuning
kembali berkata dengan suara perlahan.Si Hati Baja menyeruakkan senyum ketika dia
melihat bendera kuning untuk kali ke tiga berputar ke
arah tempatnya berlari di tempat di atas roda kincir.
Dia mempercepat larinya dan menjaga keseimbangan
kaki serta tubuh.
"Lateleng! Sebentar lagi kau harus menyerahkan
kitab sakti itu padaku! Ternyata Kincir Hantumu yang
digembar-gemborkan ini tidak ada apa-apanya! Ha...
hn... ha!" Si Hati Baja tertawa bergelak.
Kakek bercaping di atas atap rumah ikut-ikutan tertawa
lalu sedot pipanya dalam-dalam.
"Aku siap menyerahkan kitab sakti ini padamu wahai
Hati Baja!" kata si kakek seraya tepuk capingnya, di bawah
mana dia menyimpan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh
Jin. "Tapi harap kau sedikit bersabar, menunggu sampai
bendera kuning mencapai putaran sebelah atas!"
SI Hati Baja menyeringai. Hatinya girang sekali karena
bendera kuning hanya tinggal satu langkah didepannya.
Begitu dia melompat sedikit dan membiarkan bendera itu
lewat di bawahnya maka rampunglah putaran ke tiga.
Diam-diam tangan kanannya dialiri tenaga dalam sambil
membatin. "Kalau kakek ini menipuku, akan kuhantam
dengan pukulan Baja Panas Meleleh Langit."
Bendera kuning sampai di depan kaki Si Hati Baja.
Dia siap untuk melompat. Tapi tiba-tiba di atas atap
kakek kepala teleng keluarkan suitan keras. Bersamaan
dengan itu Kincir Hantu mengeluarkan suara dahsyat. Di
antara gemuruh yang menegakkan bulu roma itu terdengar
suara aneh berkepanjangan.
"Clak... clak... clak...!"
Pantulan sinar putih membersit dari pinggiran
roda kincir, membuat dua mata Hati Baja sakti silau.
Dia bermaksud mengusap matanya dengan tangan
kiri. Namun belum kesampaian tiba-tiba jeritan setinggi
langit mengumandang keluar dari mulutnya. Dari bawah
kakinya kelihatan darah menyembur! Saat itu jugasosok Si Hati Baja seperti terlempar setinggi dua
tombak ke udara lalu jatuh bergedebukan di tanah
halaman di depan rumah kincir. Dua potong benda
menyusul jatuh ke tanah! Air yang mengalir di sisi kiri
kincir raksasa tampak berubah merah!
"Astaga! Apa yang terjadi!" ujar Naga Kuning, lalu
cepat-cepat tekap mulutnya karena sadar kalau-kalau
suaranya terdengar sampai ke atap sana.
Si Setan Ngompol picingkan dua matanya yang
belok jereng. Dua tangan langsung pegangi bawah
perutnya yang kembali mengucur tak karuan!
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk kepalanya.
"Gusti Allah!" Dia mengucap. "Sepasang kaki orang itu!"
Di atas atap kakek bernama Lateleng tegak berdiri,
membuka capingnya dan menjura ke bawah, ke arah
Si Hati Baja yang terkapar di tanah, mengerang sambil
menggeliat-geliat.
"Wahai Hati Baja, ternyata kakimu tidak terbuat dari
baja! Kau tidak mampu mencapai tiga kali putaran.
Sayang... sayang sekali!"
"Manusia jahanam! Kau menipuku!" teriak Si Hati Baja.
"Aku menipumu katamu?Tipuan apa yang kulakukan
padamu?!" tanya si kakek sambil tenggerkan kembali
capingnya di atas kepala.
"Apa yang kau sembunyikan di permukaan kincir
jahanam itu!"
Si kakek geleng-gelengkan kepala lalu berkata.
"Jangan berpikir, apa lagi menuduh yang bukan-bukan
wahai Hati Baja! Seharusnya kau berhati polos. Mengakui
kau tidak mampu berdiri selama tiga kali putaran di atas
kincirku!"
"Bangsat tua?! Aku...."
Tubuh Si Hati Baja mendadak menggigil lalu kelojotan.
Dia coba kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Maksudnya hendak menghantam si kakek yang ada di
atas atap dengan satu pukulan sakti. Namun dia takpunya kemampuan mengangkat tangan. Sementara dua
kakinya yang kini buntung sebatas pergelangan tersentak-
sentak.
Di atas atap Lateleng tertawa mengekeh. Sekali
dia mengenjot dua kaki maka seperti seekor burung
besar tubuhnya melayang turun ke tanah. Jatuh tegak
tepat di samping sosok Si Hati Baja.
"Hati Baja... Hati Baja, wahai! Nasibmu malang amatl
Akan kulihat apakah kaju memang membekal benda yang
aku cari?!"
Habis berkata begitu si kakek sedot pipanya dalam-
dalam. Begitu mulutnya penuh dengan asap merah, asap
itu lalu disemburkannya ke sekujur tubuh si Hati Baja mulai
dari kepala sampai ke kaki yang buntung. Juga pada dua
potong kaki Si Hati Baja yang tergeletak tak jauh dari situ.
Hal itu dilakukannya sampai tiga kali.
Di atas pohon Wiro dan dua kawannya kembali
tersentak kaget ketika menyaksikan apa yang terjadi.
"Lihat!" kata Wiro dengan muka pucat seraya
menunjuk ke halaman sana. "Sosok lelaki berjanggut
itu berubah menjadi jerangkong putih!"
Naga Kuning melongo seperti tak percaya. Kakek
Si Setan Ngompol cepat-cepat palingkan muka tak
berani memandang. Namun tak urung kencingnya
sudah mengucur!
Wiro dan Naga Kuning terus memperhatikan. Kakek
kepala teleng melangkah lebih dekat ke sosok Si
Hati Baja yang telah berubah menjadi tulang belulang.
Lalu dia membungkuk. Mengangkat kaki kiri orang itu.
Si kakek tampak gelengkan kepala. Kaki yang barusan
dipegangnya dilepas begitu saja. Kini dia mengangkat
kaki kanan yang buntung. Seperti tadi dia kelihatan
seperti memeriksa ke dalam rongga tulang kaki itu
lalu kembali mencampakkannya. Kini dia memungut
dua kutungan kaki Si Hati Baja. Memeriksa dan membalik-
balikkannya"Kurang ajar! Aku tidak menemukan benda yang
kucari! Lagi-lagi sialan!" Dua kaki buntung yang kin!
hanya merupakan tulang putih itu dibantingkannya
ke tanah hingga menancap amblas sampai setengahnya!
Dengan penuh perasaan jengkel Lateleng tegak
berkacak pinggang. Di bawah caping sepasang matanya
memandang tajam ke arah pohon besar. Dia tidak
melihat apa-apa, kecuali tetesan-tetesan air yang jatuh
dari sela-sela daun.
"Hemmmmm.... Tak ada hujan tak mungkin ada
embun. Mengapa ada air menetes dari atas pohon?"
Si kakek bergumam. Dia putar badannya lalu melesat
ke atas atap rumah kincir. Dia menunggu sampai roda
kincir yang berputar mengantar bendera kuning ke
atas. Begitu sampai di atas, bendera ini dicabutnya
lalu ditancapkannya di tempat semula yakni di atas
atap. Sekali lagi matanya memandang tajam ke arah
pohon besar di seberang halaman.
Pendekar 212 Wiro Sableng, Naga Kuning dan si
kakek Setan Ngompol terkesiap kaget dan serasa
terbang nyawa masing-masing ketika mendadak dari
atas atap si kakek teleng berseru.
"Tiga makhluk yang sembunyi di atas pohon!
Sllahkan turun ke tanah perlihatkan diri! Siang bolong
begini sembunyikan diri sungguh tidak pantas!"
"Celaka! Kakek itu sudah tahu kita sembunyi disini!" kata
Naga Kuning.
"Bagaimana dia bisa tahu...." kata Setan Ngompol
masih tetap berpaling dan dengan suara serta tubuh
gemetaran.
Wiro memandang berkeliling. Daun-daun pohon
besar dimana mereka bersembunyi sangat lebat.
Sekalipun kakek itu tadi berada di halaman bawah sana
sulit baginya untuk melihat Namun! Pandangan Wiromembentur pada sehelai daun yang bergoyang-goyang
karena kejatuhan tetesan-tetesan air dari atas.
Wiro mengurut pandangannya ke atas. Matanya sampai
pada sosok Si Setan Ngompol yang basah di bagian
bawah.
"Sial! Kek, kau yang membuat apes!" kata Wiro.
"Eh, mengapa aku yang kau salahkan?!" jawab Si Setan
Ngompol seraya pelototkan matanya yang jereng.
Wiro tak sempat berdebat karena saat itu Naga
Kuning berteriak. "Awas! Kakek itu menyerang kita!"
TIGA
PENDEKAR 212 dan Si Setan Ngompol palingkan kepala
ke arah rumah kincir. Benar apa yang diteriakkan Naga
Kuning. Dari jurusan bangunan tersebut, sementara kincir
hantu masih terus berputar menggemuruh, kelihatan
menyambar tiga buah benda sebesar kepalan, berbentuk
bulat merah. Selagi melayang di udara, tepat di atas
halaman di depan rumah kincir, tiga benda itu berpijar
terang lalu meletus keras dan berubah bentuk.
Kalau tadi merupakan tiga buah bola-bola merah
muka kini menjadi larikan asap berwarna merah dan
membeset ke arah tiga jurusan yang semuanya mengarah
ke pohon besar di mana Wiro dan kawan-kawannya
bersembunyi. Jelas tiga larikan asap merah itu satu
persatu di arahkan pada Pendekar 212, Naga Kuning dan
Si Setan Ngompol.
"Lompat!" teriak Wiro.
Tiga sosok berkelebat jungkir balik dari atas pohon,
melompat ke tanah. Begitu injakkan kaki di tanah Wiro
berguling sampai beberapa tombak, menjauh dari pohon
besar. Hal yang sama dilakukan pula oleh si Setan
Ngompol dan Naga Kuning.
"Wusss!"
"Wusss!"
"Wusss!"
Tiga larik asap merah melabrak pohon besar.
Semula Wiro dan kawan-kawannya mengira pohon
besar itu akan segera hancur berantakan atau dilalap
kobaran api. Ternyata tidak. Apa yang mereka saksikan
membuat mereka jadi merinding. Pohon besar itu kini
berubah menjadi pohon mati yang walau masih tegak tapiberada dalam keadaan memutih mulai dari ujung ranting
sampai ke akar yang tersembul di atas tanah! Dapat
dibayangkan apa yang terjadi dengan Wiro, Naga Kuning
dan Si Setan Ngompol kalau sampai kena dihantam oleh
tiga larik asap merah itu! Mereka bisa berubah menjadi
jerangkong seperti yang tadi mereka saksikan apa yang
terjadi dengan diri Si Hati Baja!
Setan Ngompol megap-megap seperti orang mau
tenggelam. Di atas matanya melotot besar sedang di
bawah kencingnya mancur tidak ketolongan!
"Tua bangka kepala teleng itu! Dia hendak menjadikan
kita tulang belulang alias jerangkong! Aku nekad untuk
menghajarnya!" Lalu kakek ini kerahkan seluruh tenaga
dalamnya ke tangan kanan, siap menghantam dengan
pukulan bernama Setan Ngompol Mengencingi Bumi.
Padahal saat itu celananya sudah basah kuyup di sebelah
bawah!
"Aku juga!" berseru Naga Kuning. Bocah yang
sebenarnya adalah kakek berusia seratus tahun lebih
ini angkat tangan kanannya. Lima jari ditekuk seperti
mau mencengkeram. Tangannya perlahan-lahan ber-
ubah menjadi kebiruan. Naga Kuning hendak melepas
satu pukulan sakti bernama Naga Murka Merobek
Langifl. Selama ini jarang sekali bocah ini keluarkan
pukulan sakti tersebut. Ini satu pertanda bahwa dia
benar-benar marah.
"Tahan!" Pendekar 212 cepat berseru lalu cepat
melompat ke hadapan dua orang itu, menghalangi
gerakan mereka.
"Apa-apaan ini?!" teriak Naga Kuning.
"Kau sudah gila? Mau mampus dimakan seranganku?!"
membentak Si Setan Ngompol.
"Sahabatku, harap kalian bersabar. Jangan berlaku
nekad! Kalau diturutkan hawa amarah, sudah tadi-tadi aku
mendahului kalian menghajar kakek di atas atap itu! Kita
bertiga dia sendirian masakan kita bisa kalah! Tapi kalau
sampai kakek itu bisa lolos dari hantaman kita dan balas
menyerang, kita bisa celaka. Kepandaiannya sulit diukur!
Biar aku bicara dulu! Kalian berdua berjaga-jaga! Naga
Kuning, kuharap kau mau mengeluarkan kesaktianmu
yang bernama Naga Hantu Dari Langit Ke Tujuh. Ingat
dulu bagaimana Hantu Tangan Empat setengah mati
ketakutan melihat Ilmumu itu?"
Naga Kuning mengangguk perlahan.
"Akan aku lakukan Wiro," katanya. "Tapi jika kau
keburu mati duluan dihantam kakek teleng itu jangan
salahkan diriku!"
Wiro berbalik lalu melangkah ke tengah lapangan.
Naga Kuning dan Setan Ngompol mengikuti di kiri
kanannya. Sampai di tengah lapangan murid Sinto
Gendeng hentikan langkah lalu lambaikan tangan kirinya
ke arah kakek teleng di atas atap. Tangan kanan yang
sudah dialiri tenaga dalam setiap saat siap melepaskan
Pukulan Sinar Matahari.
, "Orang tua di atas atap!" Wiro berseru. "Kami bukan
seterumu! Kami datang bukan mencari permusuhan!
Kami datang bersahabat! Kami tiga perantau jauh yang
tertarik dan ingin melihat sendiri kehebatan Kincir
Hantumu! Mohon maaf jika kehadiran kami terasa
mengganggumu!"
Lateleng tidak segera menjawab. Dari bawah capingnya
dia pandangi tiga orang itu. Dia hisap pipanya
dalam-dalam. Setelah menghembuskan asap merah ke
udara kakek ini lalu tertawa mengekeh.
"Tiga perantau asing! Datang dari jauh! Wahai!
Sungguh hebat! Yang satu berambut gondrong pandai
bicara! Satunya lagi bocah ingusan berlagak orang
gagah! Yang terakhir kakek-kakek yang mengencingi
pohon rindangku! Apa itu namanya kedatangan yang
bersahabat?"
"Mohon maatmu orang tua! Kakek sahabatku ini
punya penyakit suka ngompol!" menjelaskan Wiro."Apa itu ngompol?!" tanya Lateleng tidak mengerti.
"Suka kencing tak karuan karena per di selang-
kangannya sudah dol!" menjawab Naga Kuning.
Lateleng geleng-gelengkan kepala. Dia menuding
ke arah Pendekar 212. "Kau tadi bilang ingin melihat
sendiri Kincir Hantuku! Hemmm.... Berarti kalian hendak
mencoba menjajal kincirku. Rupanya masih ada makhluk
yang lebih tolol dari pada manusia berjuluk Hati Baja yang
sudah mampus dan kini tinggal jerangkong itu!"
Setan Ngompol terus saja mengucur air kencingnya
mendengar ucapan Lateleng itu.
"Maaf Kek! Maksud kami bukan itu...!"
"Kau gondrong, masih muda! Juga kawanmu yang
belia itu. Belum cukup umur untuk menjajal Kincir Hantu.
Tinggal tua bangka yang satu itu. Harap kenalkan diri! Apa
kau sudah siap untuk menjajal Kincir Hantuku dan
mengharap imbalan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh
Jin?!"
Setan Ngompol cepat gelengkan kepala dan goyang-
goyangkan ke dua tangannya. Di sebelah bawah semakin
keras kucuran air kencingnya!
Sementara itu Kincir Hantu mulai bergerak perlahan dan
akhirnya berhenti.
"Orang tua di atas atap," Wiro cepat menjawab.
"Kami bertiga, apa lagi kakek sahabatku ini mana
berani bertindak congkak menjajal kehebatan kincirmu!
Terus terang kami sangat kagum. Itu saja! Kami tidak ada
maksud untuk menjajalnya!"
Kakek teleng cuma menyeringai sinis mendengar
ucapan Wiro.
"Kalau kau tidak bermaksud, wahai! Bagaimana
sekarang kalau aku yang mengundang?!" ujar Lateleng
pula lalu membuka capingnya dan menjura kearah Si
Setan Ngompol.
"Tidak.... Jangan! Maafkan aku! Maafkan kami bertiga!"
kata Setan Ngompol dengan muka pucat."Aku tidak punya kepandaian apa-apa. Aku dan kawan-
kawan akan segera meninggalkan tempat ini. Kami
mohon maafmu. Kami segera pergi...." Si Setan Ngompol
cepat balikkan diri.
"Tunggu!" Lateleng membentak. "Dua kawanmu yang
belum cukup umur itu boleh pergi. Tapi kau yang bau
kencing kuda harus tinggal di tempat! Jangan berani
bergerak apa lagi melangkah!"
"Celaka! Mati aku!" keluh Si Setan Ngompol dan
serrr.... Air kencingnya semakin banyak tumpah
membasahi celananya yang memang sudah kuyup!
"Orang tua!" seru Wiro. "Kami tidak punya niat
melayanimu. Kau bisa menunggu lain orang saja. Mohon
maaf. Biarkan kami pergi dengan aman!"
"Pemuda gondrong banyak cakap! Kalau begitu biar kau
yang kuundang naik ke atas kincir ini! Hari ini aku
mencabut aturan bahwa hanya orang berusia paling
rendah enam puluh tahun saja yang boleh menjajal
kehebatan Kincir Hantu!"
Wajah murid SintoGendeng jadi berubah. Tangan kirinya
pulang balik menggaruk kepala. "Maaf Kek! Lain kali saja
aku penuhi undanganmu! Aku dan kawan-kawan masih
ada keperluan lain. Kami sudah cukup puas sudah melihat
kincirmu yang hebat!"
"Mana bisa begitu!"Kakek diatas atap meradang "Berani
kau bergerak satu langkah, nyawamu tertolong! Kecuali
jika kau mau mengaku kau adalah manusia paling
pengecut dan tidak berani menerima tantangan orang!"
Terbakarlah darah Pendekar 212 mendengar ucapan si
kakek. Namun masih bersabar dan sambil menyeringai dia
menjawab. "Terserah kau mau bilang apa! Aku tidak
berminat melayani undanganmu!"
"Wiro," kata Naga Kuning. "Biar aku saja yang melayani
kakek sombong kepala teleng itu! Kalau dia masih banyak
mulut akan kuhantam dengan pukulan Naga Hantu dari
Langit Ke Tujuh!"
"Ha... ha! Bocah ingusan itu ternyata lebih punya nyali
dari padamu pemuda perantau berambut gondrong!
Sungguh memalukan!" Dari atas atap kakek bercaping
berteriak mengejek lalu tertawa mengekeh.
"Kakek kepala teleng! Aku terima tantanganmu!"
teriak Wiro. Kesabarannya buyar. Dia terpancing. Naga
Kuning dan Setan Ngompol cepat memberi ingat tapi sang
pendekar sudah melesat ke atas dan di lain kejap sudah
berdiri di atas roda kincir.
Begitu berada di atas kincir Wiro cepat perhatikan roda
yang berputar. Memeriksa. Dia tidak melihat hal-hal yang
mencurigakan. Semua bagian roda itu seperti kincir biasa
adanya, terbuat dari kayu besi berwarna kehitaman. Tak
ada sesuatu yang berbentuk benda tajam terbuat dari
logam. Lalu benda apa yang telah menabas putus
sepasang kaki Si Hati Baja?! Serta juga kaki-kaki empat
belas orang lainnya itu tentunya?!
"Celaka! Aku punya firasat dia bakal mendapat celaka
besar!" kata Si Setan Ngompol sambil pegangi bagian
bawah perutnya. Naga Kuning walau tidak
menjawab tapi diam-diam bocah ini merasa sangat
khawatir. Dia memberi isyarat pada kakek bermata jereng
itu. Ke dua orang ini segera menyiapkan pukulan
mengandung tenaga dalam tinggi di tangan kanan
masing-masing. Jika terjadi sesuatu dengan Wiro mereka
langsung akan menghantam kakek bercaping di atas atap.
Diatas atap Lateleng tegak berdiri, buka capingnya
membungkuk menjura."Orangmuda! Apakah kau sudah
siap?!"
“Kau boleh mulai!" jawab Wiro. Tapi matanya masih
memperhatikan roda kincir. "Gila! Tidak ada apa-apanya “
kata Wiro dalam hati. "Aku yakin keparat kepala teleng ini
menyembunyikan sesuatu!"Lateleng tersenyum. Dia melirik ke tangan kanan wiro lalu
sambil berkata.
“Tangan kananmu bergetar halus. Bukankah itu satu
pertanda bahwa kau tengah mengerahkan tenaga dalam?”
“Matamu tajam! jawab Pendekar 212 sambil menahan
rasa kaget karena tidak menyangka kakek kepala teleng
itu tahu apa yang tengah dilakukannya. “Terus terang aku
tidak percaya padamu! Aku harus menjaga segala
kemungkinan. Apa kau takut?!"
Lateleng tertawa lebar. "Aku penguasa tunggal di
tempat ini! Kincir Hantu adalah milikku! Sebenarnya
kau yang takut! Kalau tidak mengapa menyiapkan
pukulan sakti untuk menyerang?!"
"Orang tua! Dari tadi kau bicara saja! Kapan akan
mulai!" Menantang Pendekar 212 Wiro Sableng.
Si kakek kembali menjura. "Dengan segala senang
hati! Kita akan mulai sekarang! Jika kau bisa bertahan
di atas kincir sebanyak tiga kali putaran, kitab Kesaktian
Menguasai Tujuh Jin jadi milikmu!"
"Aku tidak butuh segala kitab begituan!" jawab Wiro.
"Aku ingin membuat perjanjian denganmu!"
"Oohooo! Apa yang ada dalam benakmu wahai
pemuda dari rantau jauh?!" tanya si kakek teleng.
Untuk pertama kalinya sepasang matanya kelihatan
membeliak.
"Jika aku sanggup bertahan sampai tiga kali putaran,
Kincir Hantu ini menjadi milikku! Kau boleh angkat kaki
dari sini!"
Orang tua di atas atap tertawa bergelak. "Kau cerdik
tapi licik!"
"Jadi kau takut menerima permintaanku?!"
"Wahai! Siapa bilang! Kau terlalu takabur anak muda!
Itu berarti separuh dari nyawamu sudah kau berikan
padaku! Ha... ha... ha!" Lateleng cabut bendera kuning di
atas atap lalu ditancapkannya di kayu roda kincir.
Bersamaan dengan itu kincir raksasa itu keluarkan suara
menderu dan mulai bergerak ke kiri! Di halaman di bawah
sana Naga Kuning dan Setan Ngompol memperhatikan
dengan penuh tegang.
EMPAT
KETIKA kincir mulai bergerak dan berputar ke kiri
Pendekar 212 segera berlari-lari kecil ke arah berlawanan.
Setiap ke dua kakinya menjejak kayu roda, dia kerahkan
tenaga dalam. Maksudnya hendak mencoba menjebol
kayu kincir untuk melihat apa yang tersembunyi di sebelah
bawah. Luar biasanya ternyata kayu itu atos sekali!
Selagi Wiro mencari akal apa yang harus dilakukannya
tiba-tiba kakek teleng ketukkan pipanya kepinggiran kincir
seraya berseru.
"Satu!"
Kincir bergetar lalu menggemuruh berputar lebih cepat.
Di sebelah depannya Wiro melihat bendera kuning
bergerak menuju ke arahnya lalu lewat di bawah ke dua
kakinya. Wiro melirik tajam pada si kakek, memandang ke
bawah ke arah dua temannya lalu kembali memperhatikan
kincir yang berputar semakin cepat, membuat dia harus
berlari lebih cepat pula. Tak lama kemudian bendera
kuning muncul kembali untuk ke dua kalinya. Kincir
berputar semakin kencang. Dengan Ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya Pendekar 212 tidak perlu merasa
khawatir akan kehilangan keseimbangan bagaimanapun
cepatnya kincir itu berputar. Malah seenaknya pemuda
konyol ini berlari melompat-lompat di atas kincir sambil
bersiul-siul kecil. Namun karena dia masih belum dapat
memecahkan teka teki atau rahasia yang tersembunyi di
balik keangkeran kincir itu tetap saja hatinya merasa tidak
enak.
"Pemuda konyol sombong!" Kakek bercaping mendumal
dalam hati. "Sekarang kau masih bisa bersiul-siul.
Sebentar lagi baru kau tahu rasa!""Dua!" berteriak Lateleng. Seperti tadi kembali dia
ketukkan pipanya ke pinggiran roda kincir. Kincir itu
sekali lagi bergetar keras diantara suara gemuruhnya.
Si kakek balikkan capingnya dan perlihatkan pada
Wiro kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin. "Kurang
dari satu putaran lagi anak muda! Kitab ini akan jadi
milikmu!"
Wiro tidak perdulikan ucapan si kakek. Sambil
berlari sepasang matanya terus memperhatikan kincir
yang berputar. Di langit sang surya bersinar terik. Di
sebelah depan bendera kuning muncul untuk kali ke
tiga! Wiro mendadak merasa tambah tegang. Di halaman
rumah kincir Naga Kuning dan Setan Ngompol
memperhatikan tidak berkesip. Bergerak dari sisi kanan
menuju ke kiri, mendekati dua kaki Pendekar 212!
Lateleng sedot pipanya dalam-dalam. Lalu pipa dicabut
dan diketukkan ke pinggiran kincir.
"Tiga!" berseru kakek kepala teleng itu.
Kincir Hantu menggemuruh dahsyat seolah di situ
memang ada puluhan hantu yang tengah menggereng
marah. Naga Kuning dan Setan Ngompol tampak tegang.
Mereka memandang penuh tegang ke arah Pendekar 212
Wiro Sableng.
Si kakek sudah tidak memegangi bagian bawah
perutnya lagi. Percuma saja. Dalam keadaan sangat
tegang seperti itu dipegangpun kencingnya tetap
mengucur tak berkeputusan. Wiro sendiri berusaha
menguasai diri. Matanya memperhatikan keadaan penuh
waspada. Dadanya bergetar ketika kemudian dari bagian
bawah roda kincir sebelah kanan bendera kuning
menyembul muncul dan bergerak cepat ke arahnya!
Lateleng kembali acungkan kitab Kesaktian Menguasai
Tujuh Jin sambil berseru. "Wahai anak muda!
Kau hebat sekali! Kitab ini agaknya memang berjodoh
denganmu!"Wiro tidak perdulikan seruan orang. "Kakek itu
sepertinya sengaja hendak mengalihkan perhatianku!"
Membatin Pendekar 212.
Hanya satu langkah lagi bendera kuning akan lewat di
bawah dua kaki Wiro tiba-tiba terdengar suara aneh
berkepanjangan.
"Clak... clak... clak!"
"Suara aneh itu!" seru Naga Kuning tercekat. Dia Ingat
betul. Suara seperti itu terdengar sebelum dua kaki Si Hati
Baja terpapas buntung! Berarti Wiro berada dalam bahaya.
"Wiro! Awas! Kakimu!" teriak Naga Kuning.
Murid Eyang Sinto Gendeng memang sudah memasang
telinga dan berlaku waspada sejak tadi-tadi. Namun dia
tidak tahu apa yang bakal terjadi.
Tiba-tiba dari arah pinggiran roda kincir membersit sinar
putih menyebabkan Pendekar 212 kesilauan dan untuk
sesaat tidak dapat melihat apa-apa lagi. Sambaran sinar
putih menyilaukan ini juga melesat secara aneh ke arah
Naga Kuning dan Setan Ngompol. Ke dua orang ini
berseru kaget dan terpaksa lindungi mata dengan tangan
masing-masing.
"Aku tidak dapat melihat apa-apa!" seru Naga Kuning.
"Aku juga! Aneh, sinar menyilaukan itu membuat
kencingku terasa lebih panas! Anuku sampai bergeletar!"
menyahuti Setan Ngompol dengan mata terjereng-jereng.
Di atas roda kincir Pendekar 212 berseru kaget ketika
mendadak dua kakinya terasa sangat berat.
Bagaimanapun dia kerahkan tenaga berusaha melompat,
dia hanya mampu mengangkat kakinya ke atas sejarak
seujung kuku!
"Celaka! Apa yang terjadi!" Wiro kerahkan tenaga
dalam. Terbayang olehnya apa yang terjadi dengan Si
Hati Baja.
"Clakk!"
Tanpa terlihat oleh Pendekar 212 yang masih
kesilauan, sebuah benda putih menyilaukan menderumemapas ke arah kaki kanannya.
Saat itulah tiba-tiba terjadi satu keanehan yang
berlangsung sangat cepat. Satu tangan menyambar
ke bawah, merangkul dada dan ketiak Wiro. Ber-
samaan dengan itu tubuhnya terangkat ke atas. Wiro
merasa seolah dibetot ke atas menembus langit. Ketika
dua matanya bisa melihat wajar kembali, dia dapatkan
dirinya tergolek dan berada di satu tempat di balik
serumpunan semak belukar. Sepasang mata sang
pendekar terpentang lebar ketika melihat siapa yang
tegak di hadapannya.
Murid Sinto Gendeng segera melompat bangkit.
"Luhrinjani..." desis Pendekar 212. Belum lagi
habis rasa tegangnya atas apa yang barusan dialaminya di
atas sana, kini tengkuknya jadi merinding. Karena dia tahu
sosok yang ada di hadapannya saat itu sebenarnya telah
mati beberapa waktu yang silam!
"Kau...!"
" Kita tidak banyak waktu. Lekas tinggalkan tempat Ini
sebelum kakek di atas rumah kincir turun ke tanah
lancarkan serangan. Kawan-kawanmu juga harus cepat
angkat kaki dari sini!"
"Tapi bagaimana...."
Sosok perempuan berwajah ayu, mengenakan
pakaian panjang terbuat dari sebentuk sutera putih,
rambut tergerai lepas dan melambai-lambai ditiup
angin perlihatkan wajah tidak sabaran. Dengan tangan
kirinya makhluk ini mencekal leher baju Pendekar212.
Sekali dia bergerak Wiro seolah diajak melayang terbang.
Di dekat pohon besar perempuan itu menukik menyambar
Naga Kuning dan Setan Ngompol. Luar biasa sekali.
Seperti menenteng tiga anak kucing, perempuan
berpakaian putih bergerak cepat seolah melayang.
Di atas atap kincir kakek kepala teleng tidak tinggal
diam. Dia cepat kenakan capingnya di atas kepala lalumenggembor marah menyaksikan apa yang terjadi.
Tangan kanannya digoyangkan tiga kali berturut-turut.
Tiga larik asap merah menyambar ke bawah.
"Kita serang!" teriak Naga Kuning yang pertama kali
melihat datangnya tiga larik asap merah itu. Si setan
Ngompol mancur air kencingnya. Wiro yang sudah
menyaksikan keganasan asap merah serangan Kakek
teleng itu segera menghantam lepaskan pukulan
Sinar Matahari.
"Bummm! Bummm! Bummm!"
Tiga dentuman dahsyat menggetarkan seantero
tempat. Sosok perempuan berpakaian putih bergoyang
keras lalu melayang jatuh ke tanah, tapi tetap dalam
keadaan tegak. Wiro merasakan sekujur tangan
kanannya berdenyut sakit dan kaku.
DI atas atap rumah kincir Lateleng delikkan mata.
"Wahai! Aku hanya melihat selarik sinar putih
menyilaukan. Lalu ada hawa panas menyambar. Tiga
larik asap merahku buyar walau cahaya putih itu
berhasil dihancurkan. Wahai! Siapa yang menghantam!
Perempuan jejadian itu atau pemuda berambut
gondrong?! Jahanam betul! Aku harus menyelidik ke
bawah. Mengejar dan membantai mereka semua!" Lalu
seperti seekor alap-alap kakek itu terjunkan diri dan
melayang ke bawah.
"Kita dikejar!" kata Naga Kuning setengah berteriak.
Wiro kembali siapkan pukulan Sinar Matahari.
Perempuan berpakaian putih cepat berucap." Kalian
bertiga lekas tegak lurus-lurus. Jangan bergerak,
jangan bersuara. Jika kalian mengikuti apa yang
kukatakan, niscaya kakek itu tidak akan melihat kita!"
"Kakek itu tidak buta! Siang bolong begini masakan dia
tidak bisa melihat kita!" ujar Naga Kuning. Seperti Wiro dia
juga siapkan satu pukulan sakti di tangan kanan.
"Wahai! Jangan berlaku bodoh! Jika mau selamatikuti ucapanku!" kata Luhrinjani pula, perempuan
berpakaian putih itu.
"Ikuti saja apa yang dikatakannya..." bisik Wiro
karena dia tahu perempuan berpakaian putih itu bukan
makhluk sembarangan tapi mayat hidup yang memiliki
kepandaian tinggi berkat pertolongan Para Peri Dari
Langit Ke Tujuh. Hal ini diketahuinya dari Lakasipo
beberapa waktu lalu.
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol lalu tegak
lurus-lurus, tidak bergerak dan tidak bersuara. Hanya
mata mereka saja yang jeialatan memperhatikan Lateleng.
Kakek pemilik Kincir Hantu ini begitu menjejakkan kaki di
halaman luas segera berkelebat kian ke mari, mencari-cari
sambil mulutnya terus menerus mengeluarkan suara
mengomel.
"Barusan mereka ada di sekitar sini! Bagaimana
mungkin bisa lenyap seperti ditelan bumi!" Si kakek
buka capingnya. Untuk beberapa lamanya dia berdiri
diam. Hanya kepalanya yang dipalingkan kian ke mari
disertai mata membeliak. "Kurang ajar betul! Mereka
benar-benar lenyap!" Lateleng menggeram marah.
Apa yang terjadi? Berkat ilmu kesaktian yang
dimiliki Luhrinjani si kakek tidak melihat ke empat
orang itu. Padahal saat itu Wiro dan dua kawannya
norta perempuan berpakaian putih hanya satu langkah
saja di samping kirinya. Seandainya si kakek
menggerakkan tangannya ke samping pasti dia akan
menyentuh sosok Si Setan Ngompol yang saat itu tegak
tak bergerak di bawah pohon tapi air kencingnya
mengucur jatuh.
Ilmu kesaktian yang dimiliki Luhrinjani itu bernama
Menutup Mata Memutus Pandang. Konon itu
Adalah salah satu dari beberapa ilmu kesaktian yang
diturunkan Para Peri Dari Negeri Atas Langit kepadaperempuan bernasib malang itu. Namun bagaimanapun
hebatnya kesaktian tersebut celakanya kesaktian
ini tidak membuat Luhrinjani mampu melenyapkan
kencing Si Setan Ngompol dari pandangan mata Lateleng.
Sambil dekapkan capingnya di depan dada sepasang
mata' kakek teleng itu perhatikan tanah yang basah tepat
di antara ke dua kaki Si Setan Ngompol.
Lateleng mendekat lalu berjongkok di depan tanah
yang basah. Si Setan Ngompol pejamkan mata. Untung
dia masih ingat ucapan Luhrinjani agar tidak bergerak.
Padahal tadi ketika melihat Lateleng mendekatinya,
malah jongkok di depannya nyawanya serasa terbang
dan dia hampir saja gerakkan tangan hendak memegangi
bagian bawah perutnya! Naga Kuning berdiri laksana
patung sambil menggigit bagian bawah bibirnya. Berusaha
menahan ketegangan.
Pendekar 212 berdiri menahan nafas. Kepalanya
terasa gatal dan dia hampir tak dapat menahan diri
hendak menggaruk. Luhrinjani satu-satunya yang berdiri
dengan sikap tenang sambil memperhatikan gerak-gerik
Lateleng.
Setelah jongkok di depan Setan Ngompol, Lateleng
ulurkan tangan, menepuk-nepuk tanah yang basah oleh air
kencing Si Setan Ngompol. Lalu jari-jarinya yang basah
didekatkannya ke hidungnya.
"Hue!" Si kakek keluarkan suara seperti orang mau
muntah. Dia meludah habis-habisan. "Bau pesing
jahanam!" Makinya. Dia mendongak ke atas. Saat itu
kebetulan di salah satu cabang pohon kelihatan seekor
tupai besar sedang kencing. Selesai kencing binatang
ini melompat ke cabang pohon lainnya dan lenyap
dari pemandangan.
"Tupai celaka! Kau rupanya!" Lateleng kembali
memaki. Lalu dia berdiri dan melesat kembali ke atas
atap. Dari atas atap rumah kincir ini dia memeriksaKincir Hantunya dan merasa lega karena tidak ada
bagian yang rusak akibat bentrokan asap merah saktinya
dengan pukulan Sinar Matahari tadi.
Setan Ngompol menarik nafas lega. "Tupai kencing di
atas pohon itu telah menyelamatkanku dan kawan-kawan!
Bagaimana aku membalas budi binatang itu," kata si
kakek jereng dalam hati.
"Kita aman sekarang," Luhrinjani berkata dengan
suara perlahan. "Ikuti langkahku. Kita bergerak tiga
tangkah lurus ke depan, lalu berbelok tiga langkah ke
kanan, berbelok lagi tiga langkah ke kiri. Lalu lurus lagi
sampai kita melewati pohon cempedak hutan di
depan sana...."
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol mengikuti
apa yang dikatakan Luhrinjani. Setelah melewati pohon
cempedak hutan Luhrinjani hentikan langkah dan
berpaling pada ke tiga orang itu. "Saat ini kita berada
cukup jauh dari kawasan Kincir Hantu. Wahai, aku
gembira bertemu dengan kalian bertiga. Gembira tapi
juga heran. Terakhir sekali aku melihat kalian, sosok
kalian hanya sebesar jari. Bagaimana sekarang bisa
berubah sebesar ini?"
Wiro lalu menceritakan pertemuannya dengan
luhclnta serta Hantu Raja Obat.
"Kalian beruntung!" kata Luhrinjani. Dia menatap
Pendekar 212 sesaat lalu meneruskan ucapannya.
"Dan kau tiga kali beruntung...."
"Apa maksudmu Luhrinjani?" tanya Wiro pula.
"Keuntungan pertama, kau selamat dan diobati
oleh Hantu Raja Obat. Keuntungan ke dua, kaki kananmu
tak sampai putus dibabat Kincir Hantu. Coba kau lihat apa
yang telah terjadi dengan kasutmu sebelah kanan...."
Wiro angkat kaki kanannya sedikit lalu perhatikan
kasut yang dikenakannya. Berubahlah paras sang
pendekar. Bagian tapak kasut yang terbuat dari kulitItu ternyata telah terbabat putus sampai setengahnya.
Wiro memandang pada Luhrinjani. "Kalau kau terlambat
menolongku, berarti kakiku yang putus.... Aku dan Juga
kawan-kawan sangat berterima kasih padamu
Luhrinjani. Sekarang apakah kau mau mengatakan
keuntungan ketiga itu?"
Yang ditanya tersenyum. "Tak mungkin kukatakan
di depan dua sahabatmu ini. Nanti saja aku ceritakan
kalau ada kesempatan...."
"Antara kami bertiga tidak ada rahasia. Mengapa
tidak diceritakan sekarang saja?" kata Wiro. Semen-
tara Naga Kuning mendekati Si Setan Ngompol lalu
membisiki kakek ini. "Aku khawatir, jangan-jangan
perempuan ini telah jatuh cinta pada sang pangeran
sableng sahabat kita ini!"
Setan Ngompol menyeringai dan menyahuti. "Buruk nian
nasib kita kalau begitu. Semua perempuan cantik naksir
padanya. Kita lalu kebagian apa?! Hik...hik... hik...!"
Luhrinjani menatap Pendekar 212 sesaat lalu
menggeleng. "Ketahuilah, Hantu Raja Obat adalah
makhluk aneh yang hati dan jalan pikirannya bisa
berubah dalam sekejapan mata! Apa kalian pernah
mendengar berapa banyak manusia yang tidak di-
senanginya dijadikan Godokan obat lalu dijarang dalam
periuk tanah di atas kepalanya yang bersorban?"
Wiro mengangguk. Naga Kuning jadi merinding.
Setan Ngompol langsung mulas perutnya. Apa yang
dikatakan Luhrinjani memang benar adanya dan pernah
ada orang yang memberi tahu sebelumnya.
"Luhrinjani, Lakasipo telah menganggap kami
sebagai saudara angkat. Berarti kaupun adalah saudara
kami. Kami bertiga menghaturkan terima kasih. Kau telah
menyelamatkan kami dari tangan kakek teleng pemilik
Kincir Hantu itu...."Luhrinjani anggukkan kepalanya dengan perlahan.
Parasnya yang cantik kemudian tampak berubah sayu. Dia
menatap jauh ke depan dengan pandangan kosong.
"Luhrinjani, kulihat perubahan pada wajahmu. Seolah
ada satu ganjalan kesedihan di hatimu. Apakah...."
Luhrinjani menghela nafas panjang. "Langkahku jauh
sampai ke sini karena menyirap kabar bahwa suamiku
Lakasipo ada bersama kalian. Namun wahai, aku
tidak menemukannya. Mungkin kau dan kawan-kawan
mengetahui gerangan dimana Lakasipo berada?"
Yang menjawab Naga Kuning. "Terakhir kami
bersamanya ketika bertemu dengan Hantu Raja Obat.
Saat Itu dia mengatakan hendak pergi menemui
seseorang. Tapi dia tidak menyebut siapa orangnya,
hanya menyebut tempat di mana orang itu berada...."
Luhrinjani mendongak ke langit lalu pejamkan mata-
nya sesaat. Dia berpaling pada Naga Kuning. "Mungkin
suamiku menyebut nama sebuah gunung...?"
"Betul sekali!" sahut Naga Kuning.
Wiro menyambung. "Aku ingat, kalau tidak salah
Lakasipo menyebut nama gunung itu. Gunung La-
batuhitam...."
"Wahai!" Wajah Luhrinjani tampak berubah. Suaranya
bergetar ketika berkata. "Demi Para Dewa dan Mara Peri.
Demi segala Roh yang tergantung antara langit dan bumi.
Jangan-jangan memang benar firasatku. Dia menemui
perempuan itu...."
"Perempuan siapa maksudmu Luhrinjani?" tanya
SI Betan Ngompol yang bersuara setelah sejak tadi
diam saja.
"Tak bisa kukatakan. Wahai, aku harus pergi
sekarang.... Tapi ada satu lagi pertanyaanku. Apakah
kalian pernah mendengar nama Hantu Santet Laknat?"
"Kami pernah mendengar dari Lakasipo," jawabWiro. "Menurut Lakasipo dukun jahat itulah yang
mencelakai dirinya atas permintaan Lahopeng..." (Baca:
"Bola Bola Iblis")
"Tahu dimana dukun itu berada?"
Wiro dan dua kawannya sama-sama gelengkan kepala.
"Karena tak ada yang ingin kutanyakan lagi, aku
harus pergi sekarang," kata Luhrinjani pula.
"Kakak sahabatku! Tunggu dulu!" berkata Naga
Kuning. "Bolehkah aku menanyakan ilmu apa yang
kau pergunakan tadi hingga kakek teleng pemilik
Kincir Hantu itu tidak mampu melihat kita semua?"
"Aku tidak dapat memberi tahu padamu. Tidak
sekarang, entah nanti..." jawab Luhrinjani. Perempuan
ini segera balikkan badan dan tinggalkan tempat itu.
Wiro menunggu sampai Luhrinjani terpisah agak jauh
dari Naga Kuning dan Si Setan Ngompol, lalu dengan
cepat dia menyusul,
"Luhrinjani, aku terpaksa bersikap keras kepala.
Aku ingin kau mengatakan apa keberuntunganku yang
ke tiga. Dua sahabatku itu tidak akan mendengar jika
kau mengatakannya sekarang...."
Luhrinjani menatap dalam-dalam ke mata Pendekar
212. Membuat murid Eyang Sinto Gendeng ini menjadi
agak tercekat, apa lagi kalau dia ingat yang di hadapannya
itu sebenarnya adalah roh halus dari orang yang sudah
lama mati!
"Wahai! Kau memaksa rupanya. Tapi baiklah.
Akan kukatakan padamu. Keberuntunganmu yang ke
tiga ialah ada seorang gadis cantik berhati baik jatuh
cinta padamu...."
"Siapa?!" tanya Wiro kaget karena tidak menyang-
ka hal itu yang akan diucapkan Luhrinjani.
"Kau terkalah sendiri..." jawab Luhrinjani sambil
tersenyum.
"Peri Angsa Putih...?" tanya Wiro. Luhrinjani tidak
menjawab dan masih tetap mengulum senyum. "Luhjellta?" tanya Wiro lagi. Luhrinjani masih tersenyum
Bopertl tadi.
"Kami kaum perempuan tidak ingin membuka
rahasia pribadi isi hati sesama kami. Cobalah kau
Ingat-ingat! Ada seorang lain yang sebelumnya telah
mengatakan padamu," jawab Luhrinjani. Lalu perem-
puan berpakaian serba putih ini melangkah pergi.
Wiro kembali mengejar. Tapi aneh! Sekali ini wa laupun
dia berjalan setengah berlari tetap saja dia tak mampu
mendekati perempuan itu. Ketika dia perhatikan bagian
bawah kaki Luhrinjani, serta merta Pendekar 212
hentikan langkahnya. Sepasang kaki luhrlnjani ternyata
tidak menginjaktanah! Ketika Wiro memandang lagi ke
depan, perempuan itu telah lenyap sepertl ditelan bumi!
(Mengenai Luhrinjani harap baca serial Wiro Sableng
berjudul "Bola Bola Iblis")
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. "Ada seorang
lain yang sebelumnya telah mengatakan padamu..." kata-
kata Luhrinjani itu terngiang kembali di telinga Wiro.
"Siapa..,?" Wiro coba mengingat-ingat. Namun sebelum
dia mampu mendapatkan jawaban tiba-tiba satu makhluk
raksasa putih muncul di udara lalu menukik ke bawah dan
sesaat kemudian telah bersimpuh di tanah, beberapa
langkah di hadapan Pendekar 212. Tapi karena saat itu
pikiran sang pendekar masih dicekat oleh rasa
menduga-duga maka dia seolah tidak melihat makhluk
putih itu.
LIMA
“WAHAI sahabat bernama Wiro yang konon berjuluk
Pendekar 212, gerangan apakah yang meresapi pikiranmu
hingga mata seolah tertutup kabut dan telinga seperti
terhalang angin?"
Wiro tersentak kaget. "Peri Angsa Putih..." katanya
begitu dia menyadari siapa yang duduk di atas punggung
angsa putih raksasa. "Maafkan, aku sampai tidak...."
"Teka teki hidup yang tidak terjawab memang
membuat seseorang bisa bingung, jadi lupa diri dan
lupa keadaan sekelilingnya...."
Wiro coba tersenyum dan garuk-garuk kepala.
Dalam hati dia membatin. "Apakah Peri cantik ini
sempat mendengar percakapanku dengan Luhrinjani
tadi?"
Saat itu Naga Kuning dan Si Setan Ngompol telah
berada pula di tempat itu. Keduanya menjura memberi
penghormatan. "Sahabatku Peri cantik bermata biru,
kami senang bisa bertemu lagi denganmu," kata Naga
Kuning.
"Aku juga merasa gembira bisa melihat kalian
semua," jawab Peri Angsa Putih sambil tersenyum
lalu melirik pada Wiro. "Kuharap kalian semua baik
baik saja...."
"Peri Angsa Putih, apakah pertemuan ini suatu
kebetulan saja atau memang kau sudah kangen lalu
punya niat menemui kami? Eh, maksudku kangen
pada sahabatku Wiro?" tanya Naga Kuning sambilsenyum-senyum. Di lain pihak Wiro menduga
kemunculan sang Peri adalah untuk membicarakan
masalah bunga mawar beracun tempo hari.
Pertanyaan Naga Kuning itu membuat wajah Peri
Angsa Putih bersemu merah sedang Wiro ulurkan
tangan mencubit punggung Naga Kuning hingga bocah Ini
melintir kesakitan.
Sebenarnya sejak beberapa waktu lalu Peri Angsa
Mutlh memang berusaha mencari Wiro. Dia ingin menemui
sang pendekar untuk menjernihkan persoalan bunga
mawar beracun yang hampir merenggut nyawa
Wiro dan yang menurut Luhjelita berasal dari dirinya.
(Mengenai perselisihan segi tiga antara Wiro, Peri
Angsa Putih dan Luhjelita harap baca serial Wiro
Sableng berjudul "Hantu Tangan Empat" dan "Hantu
Muka Dua") Namun niatnya untuk membicarakan hal
Mu menjadi sirna ketika tadi secara tidak sengaja dia
sempat mendengar ucapan-ucapan Luhrinjani yang
menyebut tentang seorang gadis cantik berhati baik
yang jatuh cinta pada Wiro. Untuk menutupi rasa malu
dan sekaligus kekecewaannya untung Peri Angsa
Putlh dapat mencari akal mengeluarkan jawaban.
"Wahai, sebagai sahabat tentu saja aku selalu
Ingin bertemu dengan kalian. Namun selain itu memang
aku ingin menemui Wiro...."
"Nah! Apa kataku!" ujar Naga Kuning pula sambil
menepuk bahu Si Setan Ngompol hingga kakek ini
tersentak kaget dan langsung terkencing.
Wiro menatap wajah sang Peri. "Kau ingin
membicarakan perihal bunga mawar kuning itu..." tanya
Pendekar212.
Peri Angsa Putih goyangkan tangannya dan ge-
lengkan kepala.
"Kalau bukan itu mungkin perihal kesalahanmu
memukul diriku waktu bertengkar dengan Luhjelita,"kata Wiro pula.
"Bukan, bukan itu," jawab Peri Angsa Putih. "Aku
mencarimu untuk meminta kembali selendang sutera
biruku yang terjatuh sewaktu terjadi perkelahian dengan
anak buah Hantu Muka Dua beberapa waktu lalu." (Baca
"Hantu Muka Dua")
Sesaat Wiro jadi terpana dan tatap Peri Angsa
Putih dengan pandangan penuh tanda tanya. "Aku
punya firasat sebenarnya dia bukan mencari selendang
itu," kata murid Sinto Gendeng dalam hati. Lalu dia
berucap. "Selendang itu memang ada padaku. Kau
tentu ingat selendang itu terjatuh di tanah. Sementara
kau pergi begitu saja. Aku...." Wiro tidak melanjutkan
ucapannya. Sebenarnya dia ingin selendang milik Peri
Angsa Putih itu tetap ada padanya. Namun yang
empunya datang meminta. Apapun alasannya dia harus
mengembalikan. "Sebenarnya aku...." Lagi-lagi
Pendekar 212 tidak bisa lanjutkan kata-katanya. Ketika
dia berusaha menatap mata biru Peri Angsa Putih, dia
merasa seolah yang berada di hadapannya saat itu
adalah Ratu Duyung, penguasa kawasan samudera di
tanah Jawa yang juga memiliki sepasang mata berwarna
biru.
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan selendang biru
milik Peri Angsa Putih dalam keadaan terlipat rapi serta
menebar bau harum semerbak. "Selama selendang ini
ada padaku, aku merasakan satu kesejukan dalam diriku,"
kata Wiro seraya meluruskan lipatan selendang biru.
"Dengan selendang ini dulu kau menyelamatkan jiwaku.
Sebenarnya... aku ingin selendang ini tetap berada di
tanganku...."
Peri Angsa Putih terkejut karena tidak menyangka
Wiro akan berkata seperti itu. Sesaat dia jadi bingung
sendirl karena sebenarnya dia memang bukan muncul
untuk mencari selendang itu."Wahai, tidak kusangka dia akan mengatakan
perasaan hatinya begitu polos. Menyesal aku meminta
selendang itu kembali..." kata Peri Angsa Putih dalam
hati.
"Tapi aku sadar selendang ini bukan milikku. Selama ini
aku menyimpannya baik-baik. Jika ada
Iwylnnnya yang- rusak atau kotor aku mohon maaf.
Kuaerahkan kembali selendang ini padamu, Peri Ang-
an Putih. Terimalah...."
"Ya... ya! Selendang itu memang harus dikembalikan!"
kata Naga Kuning menggoda Wiro.
SI Setan Ngompol sambil senyum-senyum dan
terjereng-Jereng menyambungi. "Selendang pakaiannya
orang perempuan. Masak laki-laki ke mana-mana
membawa selendang. Milik orang lain pula! Hik... hik!
sungguh tidak pantas!"
Wiro delikkan mata pada ke dua kawannya itu. Lalu dia
ulurkan tangan kanannya yang memegang selendang.
Sesaat Peri Angsa Putih hanya berdiam diri, Diam-diam
dia menyesali segala perbuatan dan ucapanya tadi. "Aku
telah berlaku tolol!" kata Peri Angsa Putih dalam hati.
"Seharusnya tidak perlu kuminta kembali selendang itu.
Jika selendang itu tetap ada padanya bukankah berarti
setiap saat dia akan selalu Ingat padaku!"
Setelah berdiam diri cukup lama akhirnya dengan
berat hati Peri Angsa Putih ulurkan tangan menerima
selendang biru tersebut. Kemudian untuk beberapa
lamanya gadis ini masih tegak berdiri menatap dengan
pandangan sayu pada Pendekar 212 sementara Wiro
sendiri menatap sang peri dengan pandangan kecewa.
Naga Kuning dan Si Setan Ngompol kini diam-diam ikut
merasakan ada sesuatu yang saling mengganjal di antara
ke dua orang itu.
"Wiro," Peri Angsa Putih berucap perlahan. "Mungkin
kau masih mengira akulah yang hendak meracuni dirimu
dengan bunga mawar kuning itu. Saat ini aku bersumpahdemi Para Dewa dan Para Peri serta semua roh antara
langit dan bumi. Aku tidak melakukan hal itu. Aku ingin
mendengar tanggapan langsung dari dirimu sendiri saat
Ini juga. Katakanlah sesuatu...."
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Aku tidak tahu apa
yang harus kukatakan. Namun...."
"Namun apa Wiro?" Peri Angsa Putih bertanya
dengan nada tidak sabaran.
"Seandainya Luhjelita juga mengucapkan sumpah
seperti sumpahmu tadi, lalu siapa di atara kalian yang bisa
ku percaya?"
Mendengar ucapan Wiro itu sepasang mata Peri
Angsa Putih tampak berkaca-kaca. "Wahai, kalau hal
itu kau tanyakan padaku maka jawabku adalah ini.
Percayailah sumpahnya. Jangan percaya pada sumpah
seorang Peri sepertiku!"
Habis berkata begitu Peri Angsa Putih balikkan diri lalu
tinggalkan tempat itu. Wiro seperti tersadar dan hendak
memanggil tapi yang dilakukannya hanya diam tak
bergerak.
"Anak tolol! Mengapa kau berucap seperti itu pada
Perl Angsa Putih!" Tiba-tiba kakek Setan Ngompol
berkata.
"Kok, apa maksudmu?" tanya Wiro.
"Kau tahu! Tidak ada satu gadispun di dunia ini
yang mau dibanding-bandingkan dengan gadis lain
oleh seorang pemuda yang diam-diam disukainya...."
"Maksudmu Peri Angsa Putih menyukaiku?" tanya Wiro.
Naga Kuning pencongkan mulutnya. "Aku yang
bocah saja bisa melihat. Kau yang punya diri tidak tahu
diri! Jika kau tidak suka pada gadis itu dan
kebetulan dia suka padaku, jangan nanti kau jadi
menyesal!"
"Anak muda," kata Setan Ngompol menyambung bicara.
"Apa kau tidak melihat bagaimana dua mata Putri Angsa
Putih jadi berkaca-kaca ketika kau membandingkannya
dengan Luhjelita, perawan genit yang gentayangan ke
mana-mana memikat lelaki itu?"
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Aku.... Ah, sebenarnya aku
juga menyukai Peri Angsa Putih," kata Wiro pula, Dia diam
sejenak. "Tapi...."
"Nah, tapinya ini yang bikin brengsek! Suka tapi
masih ada tapi!" kata Naga Kuning lalu pasang muka
merengut.
Sementara itu tanpa setahu ke tiga orang itu, disatu
tempat yang terlindung, seorang perempuan berwajah
putih jelita kerenyitkan kening. Sepasang alisnya naik ke
atas ketika mendengar ucapan Wiro yang mengatakan
sebenarnya dia juga menyukai Peri Angsa Putih, Dalam
hati dia berkata lirih. "Kalau hati pemuda asing Itu benar
sudah tertambat pada Peri Angsa Putih, agaknya buruk
nian nasib diriku. Padahal aku sudah mengambil
keputusan untuk meninggalkan duniaku kalau saja aku
mendapatkan dirinya. Aku telah berusaha. Namun
agaknya aku tidak mendapat restu.
Mungkin cara yang kutempuh salah. Ah...." Leher
jenjang perempuan cantik itu tampak bergerak turun
naik. Dia menggigit bibirnya kencang-kencang untuk
menahan linangan air mata. Setelah mengusap bagian
bawah cuping hidungnya perempuan ini lalu berkelebat
pergi ke arah sang surya yang memancarkan
sinar terik menyilaukan. Kalaupun Wiro dan Naga
Kuning serta Setan Ngompol melihat bayangannya
maka mereka hanya akan melihat seberkas cahaya
biru yang serta merta lenyap tanpa mereka bisa melihat
dengan jelas apa adanya.
"Aku tidak bermaksud menyakiti hati Peri Angsa
Putih. Kalian tahu, banyak hutang budi kita padanya...."
"Dia sudah pergi. Apa gunanya bicara begitu?"ujar Naga
Kuning."Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Setan
Ngompol.
"Aku akan menunggu sampai malam datang...'
kata Wiro.
"Eh, apa yang ada di benakmu wahai Kakak Wiro?"
tanya Naga Kuning sambil miringkan kepalanya. Kata-
kata dan gerakannya jelas meledek sang pendekar.
"Begitu malam datang aku akan kembali ke tempat
Kincir Hantu itu!"
"Gila! Apa yang hendak kau lakukan?!" tanya
Naga Kuning.
"Aku mau menyelidik. Rahasia apa sebenarnya
yang ada di balik kincir itu...."
"Serrr!" Kencing Si Setan Ngompol mengucur
begitu mendengar kata-kata Wiro.
"Kakimu hampir amblas! Kita semua hampir jadi
jerangkong! Dan kau bilang mau pergi kesana kembali!
sungguh edan!"
"Terserah kalian mau bilang apa! Niatku sudah tetap.
Aku harus menyelidik. Belasan orang mati mengerikan.
Jika kalian tidak mau ikut jangan banyak omong!"
"Kami memang tidak mau ikut! Akhir-akhir ini
ucapan dan tindakanmu kami lihat banyak anehnya!"
kata Naga Kuning pula, bocah yang sesungguhnya
adalah kakek berusia lebih dari seratus tahun. (Mengenal
Naga Kuning harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Tua
Gila Dari Andalas" terdiri dari 11 Episode)
Naga Kuning berpaling pada Setan Ngompol. Sesaat
kedua orang ini saling pandang. Si kakek hanya diam
saja.
*
* *
TIGA orang itu tegak di bawah pohon besar,
memandang tak berkesip ke arah lapangan. Sekeliling
mereka dicekam kegelapan malam.
"Wiro, apa kita tidak kesasar ke tempat yang
salah?" Naga Kuning keluarkan suara. Dari suaranya
jelas bocah ini berada dalam keadaan tercekat.
"Ini pohon besar yang dihantam kakek bercaping itu. Di
depan kita terbentang halaman luas. Tempatnya jelas
sama! Tapi memang adalah aneh kalau rumah kincir dan
kincirnya tak kelihatan lagi di depan sana!" kata Wiro.
"Rumah dan Kincir Hantu bisa lenyap! Ada yang tak
beres. Aku khawatir ada bahaya mengancam kita!
Menyesal aku ikut bersama kalian!" kata Setan
Ngompol dan seperti biasa dua tangannya cepat pegangi
bagian bawah perutnya.
"Aku tidak mengerti. Rumah dan kincir sebesar itu tahu-
tahu bisa lenyap! Mungkin sengaja dipindah?" berucap
Naga Kuning.
"Orang sakti manapun tidak mungkin memindahkan
bangunan sebesar itu!" kata Si Setan Ngompol.
"Mungkin ini salah satu rahasia Kincir Hantu yang
harus kita pecahkan. Siang hari masih nongkrong di
depan sana. Malam hari tahu-tahu lenyap. Mungkin
kakek itu punya ilmu seperti yang dimiliki Luhrinjani?
Aku perlu menyelidik lebih dekat ke sana...."
Naga Kuning pegang pinggang celana Wiro. "Jangan
gegabah. Keanehan di dalam kegelapan. Bagaimana
kalau ini semua hanya merupakan satu jebakan.
Sebelum kau sampai ke ujung lapangan sana mungkin
berbagai senjata rahasia akan bertabur menembus
tubuhmu. Bukan mustahil kakek kepala teleng itu
mendekam di tempat gelap sana. Lalu kalau ada yang
datang, dalam jarak dekat dia akan semburkan asap
pipanya! Apa kita semua mau jadi jerangkong?"
"Kau betul juga!" kata Pendekar 212 sambil garukgaruk kepala. "Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Segera pergi saja dari tempat celaka ini!" kata Si
Setan Ngompol yang sejak tadi sudah dilamun rasa
takut dan berusaha menahan kencingnya. Naga Kuning
mengatakan hal yang sama. Tapi Pendekar 212
masih penasaran. Dia dekati satu pohon kecil setinggi
kepalanya. Dengan sekali hantam saja pertengahan
batang pohon itu patah dua. Lalu Wiro lemparkan
bagian atas pohon ke arah di mana sebelumnya rumah
dan kincir berada.
"Braaakk!"
Pohon jatuh di ujung lapangan.Tidak ada gerakan.
tak ada suara. Tidak terjadi apa-apa. Wiro berpaling pada
dua kawannya. Naga Kuning dan Setan Ngompol
unikkan apa arti pandangan itu.
"Kalau kau tetap keras kepala, silakan saja menyelidik
ke sana..." kata Naga Kuning pula. "Aku dan kakak Ini
menunggu di sini."
Wiro anggukkan kepala. Dia mulai melangkah. Dia
berjalan tidak langsung menempuh lapangan terbuka dari
arah depan, tapi bergerak dulu ke kanan, menyisi
sepanjang tepi lapangan lalu membelok ke kiri. Di
ujung sana dia membelok lagi ke kiri. Kini bergerak
ke arah di mana sebelumnya rumah kincir dan Kincir
Hantu berada. Sebegitu jauh tak terjadi apa-apa. Namun
ketika murid Sinto Gendeng hanya tinggal satu tombak
saja lagi dari perkiraan letak bangunan, mendadak dalam
kegelapan malam berkiblat dua buah sinar kebiru-biruan,
menderu ke arah Pendekar 212.
"Senjata rahasia! Wiro awas!" teriak Naga Kuning
memperingatkan.
Wiro memang sudah mendengar kemudian mellhat
gerakan dua benda bersinar biru itu. Sambil jatuhkan diri
Wiro hantamkan tangan kanannya melepas pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera. Dua benda biru
terpental. Namun
"Blaaarr!"
"Blnaarr!"
Dua ledakan dahsyat menggema di udara malam.
Dua buah benda biru hancur bertaburan membentuk
keping-keping aneh. Keping-keping ini kemudian berubah
menjadi larikan-larikan panjang. Lalu laksana tangan-
tangan gurita, larikan-larikan sinar biru itu menyambar
mencengkeram ke arah Pendekar 212.
Wiro gulingkan dirinya di tanah. Menyingkir kesisi
lapangan sebelah kanan dari arah mana tadi dia
datang lalu kembali lepaskan satu pukulan sakti ber-
nama Dewa Topan Menggusur Gunung.
Sepuluh larik sinar biru yang seperti tangan-tangan
gurita yang tadi hendak mencengkeramnya mencelat
buyar ke udara. Namun luar biasanya, buyaran yang
berjumlah dua puluh empat ini berubah menjadi
seperti dua benda biru yang pertama kali menyerang
Wiro, menderu dengan kecepatan setan dalam gelapnya
malam, menyambar ke arah sosok Pendekar 212!
"Celaka!" ujar Setan Ngompol melihat apa yang
terjadi. Kakek ini serta merta gerakkan tangan kanannya.
Serangkum angin menebar bau pesing menderu
ke ujung lapangan. Inilah pukulan Setan Ngompol
Mengencingi Langit.
Naga Kuning tidak tinggal diam. Begitu melihat Wiro
berada dalam keadaan bahaya dia segera menghantam
tangan kanannya. Sinar biru panjang menderu dalam
kegelapan malam, memapaki gerakan dua puluh empat
benda biru yang menyerbu Pendekar 212.
Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya yang sudah
disiapkan untuk melepas pukulan Sinar Matahari
berkelebat ke depan.
Selarik sinar putih menyilaukan disertai hamparan
hawa panas laksana sambaran kilat menyambar ke
depan. Tiga pukulan sakti menggempur dua puluh empat benda biru.
Letusan-letusan seperti hendak mengoyak gendang-
gendang telinga berdentuman di tempat itu. Tanah
bergetar. Pepohonan berderak. Semak-semak
berserabutan dan debu serta pasir beterbangan ke udara.
Ketika keadaan tenang kembali Wiro dan kawan-
kawannya sudah menjauhkan diri dari tanah lapang.
Setan Ngompol terbatuk-batuk sambil pegangi bawah
perutnya. Naga Kuning tegak dengan tubuh gemetar
karena tangannya yang tadi dipakai untuk menghantam
benda-benda biru itu kini terasa seperti kaku dan panas.
Wiro sendiri yang melepas pukulan Sinar Matahari dengan
mengerahkan hampir sepertiga tenaga dalamnya
merasakan dadanya berdebar dan aliran darahnya tak
karuan.
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat celaka ini! Kendali jika
ada diantara kalian yang mau mampus percumal" kata Si
Setan Ngompol pula yang kembali kuyup celananya.
Wiro dan Naga Kuning sepakat untuk pergi dari tempat
Itu. Namun baru sama bergerak satu langkah tiba-tiba
satu bayangan hitam berkelebat dari balik gundukan tanah
tinggi disertai suara membentak.
"Kalian bertiga memang sudah ditakdirkan mampus
percuma!"
Belum habis kejut Wiro dan kawan-kawannya
melihat kelebatan bayangan hitam yang disusul bentakan
garang itu, mendadak tiga buah benda bercahaya merah
menyerupai bara api melesat ke arah mereka!
"Sialan! Siapa lagi yang punya pekerjaan ini!"
teriak Wiro. Dia cepat melompat selamatkan diri sambil
mendorong dua kawannya.
Tiga benda merah melesat di samping mereka
lalu amblas ke dalam sebuah batu besar di dekat
rerumpunan semak belukar. Batu itu serta merta dikobari
api lalu bergemeretak pecah menjadi empat bagian,
hangus menghitam dan kepulkan asap.
Setan Ngompol jatuh terduduk di tanah. NagaKuning tertelungkup dengan muka pucat Wiro memandang
ke arah kegelapan, kejurusan datangnya serangan tadi.
Dia melihat sesosok tubuh tinggi besar. Salah satu
tangannya buntung. Di bagian perut orang ini sebelah
dalam seolah ada sesuatu yang mengeluarkan cahaya
kemerahan
ENAM
UNTUK sementara waktu kita tinggalkan dulu Wiro dan
dua sahabatnya yang tengah mendapat serangan di
malam gelap oleh seseorang yang belum diketahui siapa
adanya.
Dalam Episode sebelumnya (Hantu Muka Dua) telah
diceritakan bagaimana kakek utusan Para Dewa bernama
Lamanyala menemui putera bungsu Laselayu yang
tengah bertapa di sebuah pulau karang. Iamanyala
memberi tahu, jika pemuda itu mengikuti apa yang
dikatakannya maka kelak dia akan menjadi seorang sakti
mandraguna, dijuluki Hantu Muka Dua karena nantinya dia
akan menjalani hidup dengan memiliki dua muka kembar.
Selanjutnya dia akan menjadi pelambang Segala Keji,
Segala Tipu, Segala Nafsu. Untuk mendapatkan semua itu
maka pertapa muda Itu harus pergi ke Negeri
Latanahsilam. Dia harus menemui beberapa tokoh sakti di
negeri itu dan merampas ilmu kesaktian yang mereka
miliki. Kemudian si pemuda yang oleh Lamanyala diberi
nama Labahala harus pergi ke Lembah Seribu Kabut.
Disitu bertapa seorang sakti yang bukan lain adalah
Lasedayu dan sebenarnya adalah ayah kandung Labahala
sendiri. Konon pada masa itu Lasedayu adalah yang
paling sakti di seluruh negeri, melebihi kehebatan Hantu
Tangan Empat yang merupakan dedengkot para Hantu
sakti yang ada. Untuk menundukkan Lasedayu, Labahala
harus mencungkil dan merampas pusar orang sakti itu.
Lamanyala kemudian membekali Labahala dengan sebuah
benda yakni sendok aneh bergagang pendek dan terbuat
dari emas murni. Sendok ini merupakan satu benda
sakti dan diberi nama Sendok Pemasung Nasib.Dengan sendok inilah Labahala harus mencungkil
pusar Lasedayu.
Labahala tidak pernah tahu bahwa pertapa sakti
di Lembah Seribu Kabut yang akan didatanginya itu
adalah ayah kandungnya sendiri. Lamanyala sengaja
mengatur semua itu karena dendam kesumatnya ter-
hadap Lasedayu. Bukan saja Lasedayu telah meng-
ambil Jimat Hati Dewa titipan Para Dewa, tetapi juga
karena Lasedayu telah membuat kakek itu menjadi
mengerikan seumur hidup. Sosok tubuhnya sebelah
kanan hancur dan tinggal merupakan satu gerakan
besar begitu rupa sehingga tulang iga, sebagian isi
dada dan isi perutnya terlihat dengan jelas, luar biasa
seram mengerikan! Selain itu antara Lamanyala dengan
Para Dewa di Atas Langit telah terjadi perselisihan hebat
Para Dewa tidak menyukai cara yang ditempuh Lamanyala
dalam menjatuhkan hukuman atas diri Lasedayu yang
dianggap semata-mata hanya merupakan pelampiasan
dendam pribadi. Dalam amarahnya Lamanyala akhirnya
menyatakan tidak bersedia lagi menjadi Utusan Para
Dewa di Negeri Latanahsilam. Dengan demikian dia
bebas melakukan apa saja menurut kehendak hatinya.
LEMBAH Seribu Kabut....
Saat itu malam baru saja sampai ke ujungnya.
Udara terasa dingin mencucuk dan kegelapan masih
mencekam di semua penjuru. Di kawasan selatan
Negeri Latanahsilam satu bayangan berkelebat cepat
ke arah timur dimana terletak satu kawasan yang
disebut Lembah Seribu Kabut. Lembah ini diberi nama
demikian karena jangankan malam atau pagi hari, pada
siang hari saja selagi matahari bersinar terik, kabut
menyungkup seantero lembah menutup pemandangan.
Bayangan tadi berlari cepat menembus kegelapandan udara dingin, langsung ke pusat lembah. Di satu
tempat dia hentikan langkah. Di kejauhan terdengar
suara lolongan binatang buas penghuni lembah.
Orang ini memandang berkeliling. Dia tidak melihat
apa-apa, kecuali pepohonan, semak belukar, bebatu-
an. Semua menghitam dalam kegelapan. Kabut dan
kegelapan malam membuat pandangannya sangat
terbatas.
"Sunyi... gelap dan dingin. Di mana aku harus
mencari orang sakti bernama Lasedayu itu...." Orang
Ini berkata dan bertanya-tanya dalam hati. Sekali lagi
dia memandang berkeliling. Pandangannya memben-
tur sebuah batu besar. Rasa letih membuat dia me-
langkah mendekati batu lalu duduk di sana. "Mungkin
aku harus menunggu sampai matahari terbit. Jika hari
sudah terang aku akan memeriksa seluruh lembah ini.
Bukan mustahil dia tinggal di dalam sebuah goa...."
Karena batu yang didudukinya itu agak datar maka
orang ini baringkan dirinya. Perjalanan jauh membuat
sekujur tubuhnya letih. Sesaat antara tertidur dan jaga
tiba-tiba dia bangkit dan duduk di atas batu. Ada suara
seperti langkah kaki di sebelah kanan. Namun
memandang ke jurusan itu dia tidak melihat siapa-siapa.
Rasa tegang perlahan-lahan merayapi hati orang ini.
"Mungkin berbahaya kalau aku sampai ketiduran..." pikir
orang itu. Lalu dia duduk bersila di atas batu. Sesaat
terbayang di pelupuk matanya wajah kakek sakti bernama
Lamanyala itu. Dia coba membayangkan bagaimana kira-
kira sosok dan tampang manusia bernama Lasedayu.
Dalam keadaan seperti itu orang ini tidak mengetahui
kalau dari sebelah atas, sebuah benda besar perlahan-
lahan melayang turun ke arah kepalanya. Dia baru
menyadari ketika serangkum angin sangat halus menyapu
tengkuknya.Saat itu bibir lembah di sebelah timur kelihatan mulai
terang pertanda sang surya siap memperlihatkan dirinya
kembali di muka bumi. Orang yang duduk di atas batu
dongakkan kepalanya ke atas. Tapi! Astaga! Sebuah
benda tiba-tiba menekan dari atas, membuat dia tidak bisa
mendongak atau memutar kepala.
Dia kerahkan tenaga bahkan tenaga dalam, tetap saja
dia tak sanggup melepaskan diri dari tindihan benda
di atas kepalanya itu.
"Makhluk kurang ajar! Siapapun kau adanya pantas
kubantai saat ini juga!" Orang di atas batu membentak lalu
secepat kilat tangan kanannya dipukulkan ke atas!
Selarik sinar hijau berkiblat dalam keremangan di
akhir malam yang segera berganti siang itu.
Tindihan di atas kepala orang ini mendadak lenyap.
Satu bayangan berkelebat dua tombak ke atas.
Serangan yang dilancarkan orang di atas bahu
cepat luar biasa. Tapi sasaran yang diserang bergerak
lebih cepat untuk selamatkan diri. Sinar hijau setelah
menembus kabut dan udara kosong menghantam satu
pohon hcsar. Pohon ini langsung berubah menjadi
Hijau Ialu meleleh tumbang seolah berubah menjadi
lumpur hijaui Benar-benar luar biasa mengerikan.
" Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Rohl" Satu suara
berseru di sebelah atas.
Orang yang lepaskan pukulan melompat turun dari batu.
Ketika dia memandang ke atas, kakinya langsung
tersurut. Sejarak tiga tombak di atas batu dia melihat
seorang tua dalam sikap duduk bersila, mengapung di
udara sambil rangkapkan dua tangan di muka dada.
Sepasang matanya memandang tajam pada orang di
bawahnya. Satu tangan kemudian bergerak mengusap
dagunya yang ditumbuhi janggut panjang warna kelabu.
"Bukan main! Orang tua itu memiliki tenaga dalam
tinggi luar biasa! Juga ilmu meringankan tubuh yang
sangat langka! Dia mampu mengapung di udara seperti
duduk enak-enakan di lantai yang lembut!"
"Anak muda yang muncul di penghujung malam,
Malam kabut dan udara dingin. Wahai, siapa kau adanya.
Apakah kau berpunya nama?"
Orang di depan batu sesaat tegak diam tak menjawab.
Apa perlu dia menjawab pertanyaan orang itu. Tapi dia
harus mengetahui jelas siapa adanya orang tersebut. Jadi
dia memang perlu membuka mulut untuk bicara.
"Guruku yang pertama memberi aku nama Lajundai.
Guruku yang ke dua menamakan aku Labahala!.
Terserah kau mau memanggil aku siapa! Tapi pantas
kau ketahui aku muncul menyandang satu gelar besar!
(sebelum kukatakan gelar itu harap beri tahu apakah
kau makhluknya yang bernama.Lasedayu, penghuni
dan penguasa Lembah Seribu Kabut ini?!"
Orang tua di atas sana kerenyitkan kening. Alis
matanya yang lebat tebal mencuat ke atas. Lalu tampak
dia menyeringai. Kembali dua tangannya disilangkan
di atas dada.
"Kau punya dua orang guru. Tentu kau adalah
seorang pemuda sakti. Wahai anak muda, coba kau
beri tahu siapa nama gurumu yang pertama dan ke
dua itu!"
"Kau tak layak bertanya dan aku tak layak menjawab!"
Orang yang mengapung di udara tertawa datar.
"Jangan tertawa! Tak ada yang lucu, katakan saja
apa kau orangnya yang bernama Lasedayu?!" menghardik
Lajundai alias Labahala.
"Kau seperti orang yang kesusu. Ada sesuatu
yang membuat kau tidak sabaran! Jangan kau keliwat
memaksa anak muda! Pukulan yang tadi kau lepaskan
adalah Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh. Setahuku
pukulan itu hanya dimiliki oleh seorang tokoh bernama
Hantu Lumpur Hijau yang diam di Kubangan Lumpur.
Bagaimana kau bisa memilikinya. Apa kau murid ataupunya hubungan tertentu dengan dirinya?!"
Labahala tertawa lebar. Sambil angkat tangan
acungkan tinju dia berkata. "Aku bukan murid bukan
kerabat Hantu Lumpur Hijau. Ilmu Pukulan Hantu Hijau
Penjungkir Roh itu aku rampas dari Hantu Lumpur
Hijau!"
"Kau rampas dari Hantu Lumpur Hijau? Wahai!
Kau tentu bergurau...."
"Siapa bilang aku bergurau! Lihat! Aku juga telah
merampas beberapa kesaktian yang dimiliki Hantu
Tangan Empat. Saksikan ini! Apa kau mengenali ilmu
kesaktian yang akan kuperlihatkan ini?!"
Begltu berucap maka tubuh Labahala berubah menjadi
asap berwarna merah lalu tanpa mengeluarkan suara,
bergulung berputar seperti gasing, membentuk kerucut
terbalik. Orang tua di atas sana buka dua tangannya yang
disilangkan di depan dada. Dia terkejut besar ketika
merasakan tubuhnya mulai tersedot ke arah kerucut asap
itu! Buru-buru dia mengapung naik sampai setinggi tiga
tombak!
'Ilmu Tangan Hantu Tanpa Suaral" seru orang diatas
sana dengan air muka berubah.
Di bawahnya Labahala hentikan putaran tubuhnya lalu
dia kembali ke ujudnya semula. "Sekarang kau percaya
aku tidak berdusta wahai makhluk berjanggut kelabu?!
Dan apakah kau masih belum mau memberi tahu apakah
kau ini Lasedayu atau bukan?!"
"Aku akan memberi tahu siapa diriku. Tapi aku perlu
tahu dulu bagaimana kau bisa mendapatkan semua Ilmu
milik para Hantu di Tanahsilam itu?!"
"Sudah kukatakan! Aku merampas semua ilmu itu"
jawab Labahala.
TUJUH
PERLAHAN-LAHAN orang yang duduk mengapung di
udara bergerak turun hingga kini dia hanya lima jengkal
saja dari atas batu datar di hadapan Labahala.
"Aku memang orang yang bernama Lasedayu.
Penguasa Tujuh Penjuru Angin Negeri Latanahsilam.
Aku tidak membenarkan perbuatanmu merampas ilmu
kesaktian para Hantu yang berada di bawah kekuasaanku.
Kau harus kembalikan semua ilmu rampasan itu dengan
cara menyerahkan dua tanganmu kiri kanan padaku!
Lekas ulurkan dua tanganmu!"
Labahala tertawa bergelak mendengar kata-kata
orang bernama Lasedayu yang bukan lain adalah ayah
kandungnya sendiri.
"Lasedayu, aku memang sudah mendengar nama
besarmu! Tapi bukan berarti aku harus tunduk dan
dapat kau perlakukan seperti Para Hantu lainnya! Aku
justru datang untuk memaklumkan bahwa mulai hari
ini kau berada dalam kekuasaanku! Aku adalah Raja
Diraja Para Hantu di Negeri Latanahsilam! Aku pelambang
Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu!"
"Siapapun kau adanya aku tidak peduli! Lekas ulurkan
dua tanganmu!" membentak Lasedayu. Tubuhnya yang
mengapung bergerak satu langkah mendekati Labahala.
"Lasedayu, kau punya mata tapi tidak melihat
tingginya Gunung Latinggimeru. Kau bisa melihat tapi
tidak menampak dan tidak tahu dalamnya lautan
Lasamuderahijau! Lihat wajahku baik-baik!"
Labahala lalu usap wajahnya. Saat itu juga kepalanya
berubah jadi memiliki dua muka berbentuk mukaraksasa berwarna merah! Hidung besar, bibir tebal
dilengkapi taring yang mencuat. Rambut panjang awut-
awutan dan sepasang mata melotot besar berwarna
merah seperti api!
Lasedayu tersentak kaget, sampai-sampai melambung
satu tombak ke atas.
"Makhluk jejadian! Siapa kau sebenarnya?!" bentak
Lasedayu.
"Aku bukan makhluk jejadian! Aku adalah Hantu Muka
Dua! Raja Diraja Para Hantu Tujuh Penjuru Angin
Negeri Latanahsilam! Jangan kau berani bertingkah
di hadapanku!"
Dalam kagetnya Lasedayu menyadari bahwa dia
(tidak boleh berlaku ayal. Dia maklum kalau makhluk
di hadapannya itu punya maksud jahat. Maka sebelum
terjadi hal yang tidak diingini dia memutuskan untuk
menghantam Labahala lebih dulu! Tanpa tunggu lebih
lama dia segera lepaskan satu pukulan, mengantar
Ilmu kesaktian yang disebut Pukulan Mengelupas Puncak
Langit Mengeruk Perut Bumfl.
Serangkum angin sedahsyat puting beliung dan
memancarkan sinar merah menderu ke bawah. Labahala
yang tidak menyangka bakal diserang secara mendadak
begitu rupa berteriak marah dalam kagetnya dan buru-buru
selamatkan diri. Dia melesat ke kiri lalu membuat gerakan
berputar dan tahu-tahu sudah berada di belakang batu
besar! Di depan sana dia menyaksikan bagaimana
pukulan Lasedayu yang tidak mengenai sasarannya
menghantam sebuah pohon besar. Pohon ini serta merta
terkelupas seluruh permukaan kulitnya hingga dalam
waktu sekejapan mata hanya tinggal bagiannya yang
berwarna putih, lalu roboh tumbang dengan suara
bergemuruh!
Sesaat bulu kuduk Labahala mau tak mau jadi
merinding juga. Dalam hati dia membatin. "Mungkin
ini ilmu yang menurut Lamanyala bernama Mengelupas
Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumil Luar biasa! Jika
manusia sampai kena sasarannya pasti akan menemui
ajal dengan tubuh hanya tinggal tulang belulang saja! Aku
harus dapatkan ilmu kesaktian itu! Semua petunjuk
Lamanyala ternyata benar adanya!"
Kejut Lasedayu bukan kepalang. Bukan saja ketika
melihat lawan sanggup selamatkan diri dari ilmu
kesaktian yang sangat diandalkannya itu, tetapi juga
ketika menyaksikan bagaimana Labahala tahu-tahu
sudah berada di sebelah belakangnya, di balik batu
besar. Cepat Lasedayu berbalik.
Saat itu sinar sang surya yang baru terbit telah
mencapai bibir sebelah timur Lembah Seribu Kabut.
Sinarterangnya jatuh ke pusat lembah, memantul pada
sebuah benda kuning yang berada dalam genggaman
Labahala.
Lasedayu lindungi dua matanya ketika sinar kuning itu
menyapu mukanya dan membuat pemandangannya
sesaat menjadi gelap. Dalam keadaan masih mengapung
di udara dia melesat ke kiri. Ketika dia bisa melihat dengan
jelas kembali kagetnya bukan alang kepalang. Pemuda
bernama Labahala dengan muka raksasa kembar
mengerikan itu sudah berada di depannya. Dalam jarak
sedekat itu baru Lasedayu melihat benda apa yang ada di
tangan Labahala.
"Sendok Emas Pemasung Nasib!" teriak Lasedayu.
Kaki kanannya langsung dihantamkan ke arah
kepala Labahala. Namun gerakannya kalah cepat. Sendok
emas di tangan lawan menderu laksana kilat ke arah
perutnya.
"Settttt.... Craaasss!"
Lasedayu menjerit setinggi langit. Darah menyembur
dari pertengahan perutnya. Dia segera pergunakan
dua telapak tangan untuk menutup luka besar di perut,membendung muncratan darah. Dengan tubuh
sempoyongan dia melayang turun dan jejakkan kaki di
tanah. Memandang ke depan Lasedayu melihat pemuda
bermuka raksasa kembar itu tegak sambil menyeringai. Di
tangan kanannya, di atas sendok emas {bergagang
pendek melekat sebuah benda sebesar {ujung ibu jari kaki,
berbentuk daging merah hidup 'bergerak-gerak! Itulah
pusar Lasedayu yang berhasil [dicungkil oleh Labahala
dengan Sendok Pemasung Nasib yang didapatnya dari
kakek bernama Lamanyala!
Dengan kesaktian yang dimilikinya Lasedayu
mampu menutup luka besar di bagian pertengahan
perutnya. Namun sesaat kemudian tubuhnya mulai
bergeletar. Dua kakinya goyah. Perlahan-lahan tubuh-
nya jatuh berlutut di tanah. Kesaktian yang dimilikinya
berangsur-angsur sirna. Pandangan matanya yang
membeliak besar dan galak kepada Labahala berubah
kuyu dan sayu. Sekujur tubuhnya lemas seolah tidak
memiliki tulang, urat dan otot lagi. Mukanya berubah
pucat dan menjadi tiga kali lebih tua, seolah telah
menjadi kakek-kakek!
Labahala tertawa mengekeh sambil acungkan
sendok yang ditempeli pusar Lasedayu. Daging pusar
yang tadi hidup berdenyut-denyut kini diam dan seolah
berubah menjadi batu, menyatu dengan sendok emas
itu!
Labahala tertawa bergefak. "Lasedayu! Pusarmu
sudah berada di tanganku! Kesaktianmu seluruhnya
berpindah ke dalam tubuhku! Ha... ha... ha!"
Labahala gerakkan tangan kanannya, siap untuk
menyimpan sendok emas dan pusar Lasedayu ke balik
pakaian kulit kayu yang dikenakannya.
"Selamat tinggal Lasedayu! Ha... ha... ha...!"
Sambil memutar badan untuk berkelebat pergi
Labahala masukkan sendok emas ke balik pakaiannya.
Namun mendadak terjadi hal yang tidak terduga.Didahului satu siuran angin serta satu gelombang
kabut yang menutupi pemandangan, di udara ber-
kelebat satu bayangan serba putih. Lasedayu mencelat
dan terbanting ke tanah oleh sambaran angin itu
sementara Labahala sempat terjajar sempoyongan
sampai beberapa langkah. Selagi dia berusaha meng-
imbangi diri tiba-tiba satu tangan laksana kilat me-
nyambar ke arah lehernya, seperti pedang yang hen-
dak membabat putus. Ketika dia berusaha mengelak
sambil palangkan tangan kiri tahu-tahu ada lagi satu
tangan menyambar. Labahala tersentak kaget ketika
menyadari sendok emas yang masih ditempeli pusar
Lasedayu tak ada lagi dalam genggaman tangan ka-
nannya!
"Jahanam berani mati!" teriak Labahala marah
sekali. Dia hantamkan tangan kiri kanan. Yang kiri
lepaskan pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh sedang
tangan kanan menghantam pukulan Mengelupas Puncak
Langit Mengeruk Kerak Bumi. Pukulan ke dua ini
baru saja dirampasnya dari Lasedayu. Walau belum
mantap namun kekuatannya sanggup membuat lawan
berubah menjadi tulang belulang!
Bayangan putih yang diserang membuat gerakan
aneh. Tubuhnya melesat ke atas namun di sebelah
bawah, ujung pakaiannya yang berbentuk seperti ju-
bah memapas dahsyat, mengeluarkan angin deras,
membuat tanah laksana dilanda gempa.
"Plaakk... plakkkk... plaakk!"
Dua larik angin pukulan sakti yang dilepaskan
Labahala terpental. Labahala sendiri terbanting ke
tanah. Begitu dia melompat bangkit bayangan putih
tadi telah berkelebat ke arah matahari terbit dan akhirnya
lenyap dalam sinar menyilaukan yang membutakan
pemandangan!
Dua muka raksasa Labahala menggeram. Dua
pasang matanya seperti mau melompat keluar dan
taring-taring dalam mulutnya mencuat bergemeletakan!"Jahanam! Dia merampas sendok emas itu! Kurang ajar!
Aku bersumpah mencari tahu siapa adanya
bangsat pencuri itu!" Labahala marah besar. Seperti
orang kalap dia menghantam kian ke mari,
menghancurkan apa saja yang ada di dekatnya! Lalu
tanpa pedulikan lagi Lasedayu yang tergeletak tak
bergerak di tanah, Lajundai alias Labahala segera
tinggalkan tempat itu.
Matahari pagi bergerak naik. Kabut melayang tu-
run ke bagian paling bawah Lembah Seribu Kabut.
Lasedayu mengerang panjang. Sambil pegangi perutnya
yang luka dia berusaha bangkit dan duduk menjelepok di
tanah. Selagi dia berusaha mengatur jalan nafas dan
peredaran darahnya lalu mencoba bangun berdiri tiba-
tiba dari arah barat bibir lembah kelihatan nyala api aneh
bergerak cepat menuruni lembah. Demikian cepatnya
hingga dalam waktu dua kejapan mata benda ini sudah
berada di hadapan Lasedayu.
Lasedayu terkesiap kaget ketika mengenali siapa
adanya makhluk yang tubuhnya dikobari api itu. Dia
bukan lain adalah Lamanyala, kakek sakti yang dulu
pernah menjadi Utusan Para Dewa. Sisi kanan tubuhnya
berlubang besar mengerikan. Kakek ini tegak berkacak
pinggang di hadapan Lasedayu yang megap-megap
mencoba berdiri.
"Wahai Lasedayu, apakah kau sadar bagaimana
kutukanku beberapa puluh tahun silam kini telah menjadi
kenyataan?!"
"Tua bangka jahanam. Kau rupanya! Apa maksud
ucapanmu barusan?!" suara Lasedayu masih keras
dan garang.
"Hidup keluargamu morat marit! Kau tak tahu
dimana istrimu berada. Kau juga tidak tahu dimana ke
empat anakmu! Si bungsu anakmu yang ke empat
telah menjadi musuh besarmu! Kau telah kehilangan
seluruh kesaktianmu! Kau sekarang tidak beda dengan
bangkai hidup tak ada gunanya! Ha... ha... ha... ha...
ha! Dan sekarang kutukan paling menyiksa akan kau
alami!"
Kakek bernama Lamanyala itu angkat tangan kirinya.
Telapak tangan dibuka dikembangkan dan diarahkan
pada Lasedayu.
"Bangkit.... Tegak! Berdirilah Lasedayu. Tapi jangan
berdiri dengan dua kakimu! Mulai hari ini kau akan hidup
menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah. Kau akan
berjalan dengan dua tanganmu! Kau akan jadi makhluk
tersiksa seumur-umur! Ha... ha...ha!"
Lamanyala gerakkan tangan kirinya. Secara aneh
sosok Lasedayu yang tadi susah payah berdiri kini
bangkit tegak. Lalu perlahan-lahan tubuh itu naik ke
atas, berputar dengan kepala menghadap ke tanah.
Mau tak mau Lasedayu harus ulurkan tangan menjaga
agar bukan kepalanya yang menempel di tanah.
" Bagus Lasedayu! Wahai bagus sekali! Kau sudah
mengerti rupanya! Ha... ha... ha! Kaki ke atas kepala
ke bawah. Dua tangan dijadikan pengganti kaki untuk
berjalan! Itulah kehidupan barumu Lasedayu!
Ha...ha...ha!"
Lasedayu keluarkan suara menggembor. Tiba- tiba dia
mengejar ke arah si kakek. Seperti yang dikatakan
Lamanyala tadi, Lasedayu benar-benar pergunakan dua
tangannya sebagai kaki.
Lamanyala tertawa terkekeh-kekeh. "Selamat tinggal
Lasedayu! Ha... ha... ha!" Sekali berkelebat si kakek
lenyap ke balik kabut 'yang menggantung di dasar lembah.
DELAPAN
ORANG TUA berjubah putih itu melompat ke dalam
perahu yang rupanya memang sudah menunggunya di
tikungan sungai. Walau tubuhnya tinggi besar dan jarak
pinggiran sungai ke perahu cukup jauh namun sedikit pun
perahu itu tidak bergerak. Jelas dia seorang yang memiliki
ilmu meringankan tubuh serta tenaga dalam sangat tinggi.
Selain itu ada satu hal sangat aneh dan sangat
mengerikan pada orang ini yakni bagian kepalanya.
Otaknya tidak berada di dalam batok kepala melainkan
berada dan terlihat menyembul di luar kepala mulai
dari atas kening sampai ubun-ubun. Otak ini terbungkus
oleh sejenis selubung bening seperti lapisan kaca dan
terlihat selalu bergerak hidup!
Pemilik perahu, seorang lelaki muda bermuka hitam
penuh ketakutan segera saja mengayuh perahunya
menuju ke hilir. Di satu tempat sebelum mencapai sebuah
tikungan perahu membelok menyeberang lalu merapat di
tepian sungai di mana terdapat sebuah gubuk kecil tak
berdinding. Tanpa berkata apa-apa, orang tua berjubah
melompat ke daratan. Tubuhnya melayang laksana
terbang melewati atap gubuk lalu lenyap diantara
kerapatan pepohonan. Waktu membuat gerakan melompat
meninggalkan perahu tadi lagi-lagi perahu itu tidak
bergeming sedikitpun.
Pemilik perahu yang kini merasa lega gelengkan
kepala. "Manusia aneh mengerikan! Seumur-umur baru
kali ini aku melihat manusia otaknya berbungkah di luar
kepala! Manusia aneh! Tapi apa betul dia manusia
sungguhan? Ihhh! Datang dan pergi bicara.hanya denganisyarat tangan dan gerakan mata! Wahai.... Bahkan dia
tidak memberi upah sama sekali!"
Orang ini menghela nafas panjang. Mendadak
pandangannya membentur sebuah benda berkilauan yang
menancap di pinggiran perahu. Diraba-rabanya benda
Itu sesaat lalu dicabutnya. Begitu memperhatikan satu
seruan kecil keluar dari mulutnya.
"Orang tua aneh. Benar-benar aneh! Aku telah berburuk
sangka. Ternyata dia meninggalkan lempengan perak ini
sebagai sewa dan upah perahu! Siapa kah gerangan. Aku
pernah menyirap kabar dulu ada seorang tua tinggal di
pedalaman sana. Memiliki ilmu kesaktian yang hampir
setingkat kesaktian Para Dewa. apa dia orangnya?"
Pemilik perahu itu timang-timang lempengan perak lalu
menciumnya berulang kali.
Orang tua berjubah putih yang otaknya terletak diluar
batok kepala itu berlari laksana angin. Rambutnya yang
panjang putih bukan saja menutupi kepala bagian
belakang sampai ke punggung, tapi juga menjulai di
sebelah depan menutupi wajahnya. Walau matanya
terhalang namun dia mampu berlari dengan kecepatan
luar biasa. Sesekali dia sengaja menerjang pepohonan
yang menghadang di depannya seperti tidak sabar untuk
menghindar. Saat itu dia memang tengah berpacu dengan
waktu. Dia sedang menghadapi urusan genting.
Kemampuannya untuk sampai di tujuan dalam waktu
secepat mungkin akan menyelamatkan nyawa seseorang.
Sambil lari sesekali dia mendongak ke atas
memperhatikan matahari. Kalau dia sampai di tujuan pada
saat matahari mencapai titik tertingginya berarti dia akan
gagal menyelamatkan nyawa sahabatnya itu.
Sambil berlari dalam hati tiada putusnya dia mengucap.
"Lawungu! Jangan kau mati dulu! Wahai Para Dewa, Para
Peri dan semua roh yang ada antara bumi dan langit!
Tolong sahabatku itu!" Otak di atas kepalanya berdenyut
keras.
Berlari sejauh lima ratus tombak orang tua inisampai di satu kawasan hutan yang banyak ditebari
batu-batu besar. Di satu tempat dia membelok ke kiri
dan sampai di hadapan sebuah lobang besar yang
merupakan mulut sebuah goa. Tanpa ragu orang tua
ini masuk ke dalam goa itu.
Di dalam goa yang hanya diterangi oleh sebuah
obor kecil, tergolek sesosok tubuh. Kaki kanannya
mulai dari telapak sampai ke lutut diselimuti luka besar
yang telah memborok dan menebar bau sangat busuk.
"Sahabatku Lawungu, aku merasa bahagia! Hari
ini aku dapat melunasi hutang nyawa itu!" Si orang
tua berucap lalu membungkuk. Sosok di lantai goa
tidak bergerak. Orang tua ini sesaat menjadi kecut.
Jangan-jangan dia terlambat! Orang yang hendak di-
tolongnya telah keburu menemui ajal. Celaka!
"Lawungu!" Orang tua itu pegang dada Lawungu,
orang yang tergolek di lantai. Dia menjadi lega begitu
merasakan masih ada denyutan jantung walau sangat
perlahan dan lemah. Lalu dia kerahkan tenaga dalam
dan alirkan ke dalam tubuh orang itu. Sesaat kemudian
orang tua bernama Lawungu keluarkan suara meng-
erang.
"Lawungu! Buka matamu! Aku datang!"
Lawungu buka dua matanya yang sejak tadi terpejam.
Mengerikan sekali. Sepasang mata itu tertutup genangan
nanah! Orang tua berjubah putih tercekat kaget!
Walau tidak melihat namun Lawungu masih bisa
mengenali siapa yang ada di dekatnya dari suaranya.
Mulutnya terbuka. Suaranya bergetar.
"Wahai sahabatku Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab,
apakah kau berhasil mendapatkan satu-satunya
benda yang mampu menyembuhkan borok, membunuh
racun ular dalam darahku dan menyelamatkan jiwaku?!"
"AkU berhasil sahabatku! Aku membawanya Lawungu!"
Lalu orang tua berjubah putih yang ternyata adalah Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang sangat terkenal di NegeriLatanahsilam sebagai makhluk berkepandaian sangat
tinggi keluarkan sendok emas dari balik jubahnya. Karena
sahabatnya tidak bisa melihat maka Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab menggenggamkan sendok emas itu ke
tangan kanan Lawungu.
Begitu sendok emas sakti itu berada dalam genggaman
Lawungu, satu hawa aneh menjalar masuk kedalam
tubuhnya lalu mengalir ke dua jurusan yakni kaki kanan
dan sepasang matanya. Seperti bara api kejatuhan tetesan
air dua mata serta kaki kanan busuk Berborok dari
Lawungu keluarkan suara "cess...cess...cess!" Lalu ada
kepulan asap. Genangan nanah di dua mata orang tua itu
seperti mendidih! Tubuh Lawungu menggeliat dan
gerahamnya bergemeletakan menahan sakit yang amat
sangat. Namun penuh harapan Lawungu genggam erat-erat
sendok emas itu.
"Sendok Pemasung Nasib..." desis orang tua ini yang
usianya hampir seumur Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab. "Sahabatku! Kau tahu apa yang harus kau
kerjakan. Cepat lakukan. Aku telah lama menunggu saat
ini. Aku sudah siap! Semoga Para Dewa memberkahimu
wahai sahabatku!"
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab luruskan kaki
kanan Lawungu yang telah membusuk. Dia menekan
urat besar di beberapa bagian kaki sebelah atas.
"Tabahkan hatimu wahai sahabatku!" kata Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
"Aku tahu sakitnya seperti ditusuk besi panas!
Tapi wahai sahabatku, bertalianlah! Kesembuhan akan
menjadi bagianmu! Para Dewa akan menolongmu!"
" Lakukan cepat! Aku sudah siap sahabatku!" kata
Lawungu pula.
Dengan menggigit bibir Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab tusukkan Sendok Pemasung Nasib ke telapak
kaki kanan Lawungu.
"Crosss!"
Darah bercampur nanah dan daging yang telah
membusuk muncrat mengerikan dan menjijikkan. Sendok
emas yang ditusukkan Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab dengan mengerahkan tenaga dalam amblas ke
dalam kaki kanan Lawungu, masuk menembus tulang
sampai sebatas pergelangan kaki! Lawungu menjerit
setinggi langit. Dinding dan langit-langit goa laksana
mau runtuh. Lalu dia jatuh pingsan. Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab sendiri terduduk terkulai di lantai, tersandar
ke dinding goa. Keringat membasahi sekujur tubuhnya.
"Hantu Sejuta Tanya.... Sahabatku...." Lawungu
berucap sambil putar kepalanya ke kiri dan ke kanan.
"Mataku! Aku bisa melihat kembali!"
Kakek berjubah putih sibakkan rambut yang menjulai di
depan mukanya lalu memperhatikan dua mata Lawungu.
Sepasang mata yang tadinya tertutup nanah. itu kini
kelihatan putih bening dengan dua bola mata hitam,
menatap berseri ke arahnya.
"Terima kasih Dewa!" seru Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab.
"Hantu Sejuta Tanya! Lihat! Kaki kananku juga
sembuh!" berseru Lawungu sambil angkat kaki kanannya
lalu melompat berdiri! Memang sungguh luar biasa. Berkat
Sendok Pemasung Nasib yang kini berada dalam kaki
Lawungu, kaki kanan orang tua itu yang tadinya hanya
merupakan borok membusuk kini kembali utuh seperti
semula.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ikut berseru gembira
lalu melompat dan memeluk sahabatnya itu. Untuk
beberapa lamanya dua orang tua ini saling berangkulan.
"Kau telah menolongku. Kau menyelamatkanku dari
kematian yang mengerikan!" Apa yang diucapkan Lawungu
memang benar. Kalau sampai Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab terlambat menolongnya maka dia akan menemui
ajal secara tersiksa karena sebelum menemui kematian
tubuhnya akan membusuk dulu secara perlahan-lahan."Jangan kau berkata begitu wahai sahabatku Lawungu!
Kau pun pernah menyelamatkan nyawaku. Kau sembuh
berkat pertolongan Para Dewa. Sekarang, seumur
hidupmu kau akan ke mana-mana membawa sendok sakti
itu di dalam kaki kananmu. Kecuali Para Dewa
menginginkan sendok itu keluar dari tubuhmu tanpa
mengurangi kekuatan dan melenyapkan kesembuhanmu!
Aku yakin sendok itu akan melipatgandakan tenaga dalam
serta kesaktianmu!"
"Setelah sengsara sekian lama kini aku jadi makhluk
paling beruntung!" kata Lawungu pula. Dia menggosok
matanya dan goyang-goyangkan kaki kanannya berulang
kali.
"Setelah mendapat kesembuhan, apa yang akan kau
lakukan wahai Lawungu?" tanya Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab.
"Apakah aku perlu mengatakan? Lalu apa artinya kau
dijuluki Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!"
Kakek berjubah putih tertawa datar. "Aku tahu kau akan
mencari nenek berjuluk Hantu Santet Laknat itu!"
"Perempuan celaka itu akan kuhajar habis-habisan
sebelum nyawanya kubuat minggat dari tubuh!"
kata Lawungu dengan rahang menggembung dan
mata membeliak besar. "Aku tahu, dia yang mengirimkan
ular hitam berbisa itu untuk mencelakaiku! Dendam di
masa muda dibalaskannya di usia tua! Perempuan gila!
Tunggu bagianmu!" Saking marahnya Lawungu
tendangkan kaki kanannya.
"Braakkk!"
Dinding goa yang terkena tendangan serta merta
hancur, membentuk satu lobang besar. Lawungu ter-
belalak dan terkejut sendiri melihat hal itu. Karena
sebelumnya walau ilmu kesaktiannya tinggi namun
untuk menjebol dinding goa batu yang sangat tebal
itu dengan tendangan tak bakal mampu dilakukannya.
Kini dia sanggup membuat dinding goa itu berlobang
besar hanya dengan satu tendangan yang dilakukan
secara tidak sengaja!
SEMBILAN
DI DALAM bangunan batu di puncak bukit yang kelak di
kemudian hari akan dibangun apa yang dikenal sebagai
Istana Kebahagiaan, Lajundai alias Labahala alias Hantu
Muka Dua tengah bermesra-mesraan dengan empat orang
gadis jelita. Seorang pembantu memberitahu bahwa tamu
yang sejak lama ditunggu sudah berada di halaman,
menunggu izin untuk masuk.
Biasanya dalam keadaan seperti itu Hantu Muka
Dua akan marah besar jika diganggu. Namun tamu
yang datang memang seorang penting yang sudah
ditunggunya sejak lama. Dia telah menebar selusin
orang suruhan untuk mencari dan menemukan orang
Itu. Satu tahun berlalu baru mereka berhasil. Dengan
cepat Hantu Muka Dua mengenakan pakaiannya, lalu
bergegas keluar.
Saat itu matahari yang baru tenggelam masih
meninggalkan sinar kuning keemasan di langit dan
menyapu puncak bukit. Di bawah sinar kekuningan yang
mulai pupus berubah menjadi kegelapan, di bawah
bayang-bayang satu batu besar berbentuk pilar tegak
berdiri seorang kakek berwajah tirus, berpakaian compang
camping. Di tangan kirinya ada sebuah tongkat terbuat
dari batu yang memancarkan sinar biru redup.
"Hantu Muka Dua," sang tamu menegur. "Sebelum
pembicaraan dimulai, aku harap jangan sekali-kali
menyebut nama atau gelarku! Batu dan pohon bisa
punya telinga. Bumi dan langit bisa mendengar. Angin
yang bertiup menebar kabar ke delapan penjuru. Aku
tak ingin ada orang di luar tahu kedatanganku ke tempat
ini!Hantu Muka Dua yang saat itu berpenampilan
dalam wajah lelaki separuh baya berkulit kuning di
sebelah depan dan hitam pekat di sebelah belakang
diam sejenak mendengar kata-kata tamunya itu. Lalu
perlahan-lahan dia mulai tertawa. Lama-lama tawanya
itu berubah menjadi kekehan panjang.
"Wahai! Tertawa terkadang bisa menyehatkan tubuh.
Tapi bukan mustahil suatu ketika tertawa bisa membuat
seseorang berumur pendek!" kata kakek berwajah tirus
yang rupanya tidak suka mendengar tawa Hantu Muka
Dua.
Kalau saja orang lain yang berkata seperti itu,
mungkin Hantu Muka Dua sudah melompatinya dan
menghajarnya habis-habisan. Dia adalah Raja Diraja
Segala Hantu di Negeri Latanahsilam. Tidak bisa orang
lain bicara seenaknya terhadapnya. Tapi karena dia
memerlukan orang itu maka Hantu Muka Dua menahan
luapan amarahnya. Wajahnya depan belakang tidak
sempat berubah menjadi sepasang wajah raksasa
yang biasanya terjadi kalau dia sedang marah.
Hantu Muka Dua hentikan tawanya. "Kau tak mau
disebut namamu! Apa susahnya! Biar aku memanggilmu
dengan nama Kera Sakti Tak Bernama. Kau setuju?!"
Wajah tirus si kakek yang memegang tongkat batu
biru sesaat tampak berubah. "Kalau kau menyebut aku
Kera Sakti Tak Bernama maka mulai sekarang aku akan
memanggilmu Orang Hutan Tak Berekor. Kau setuju...?"
Amarah Hantu Muka Dua hampir meledak. Dalam
menahan didihan kemarahannya, dua kakinya sampai
melesak satu jengkal ke dalam tanah. Dalam hati dia
berkata. "Kalau urusan ini sudah selesai, akan kusuruh
orang mencincang tubuh jahanam satu ini sampai lumat!"
"Aku setuju saja. Karena semua orang tahu Orang
Hutan jauh lebih pandai dan cerdik dari pada kera biasa!"
Hantu Muka Dua akhirnya lontarkan ucapan Itu lalu
sunggingkan seringai mengejek
Orang tua yang diberi nama Kera Sakti Tak Bernama
balas menyeringai lalu berkata. "Sekarang katakan padaku
apa keperluanmu meminta aku datang ke tempat ini. Tapi!
Sebelum kau memberitahu aku ingin agar kau lebih dulu
membunuh dua belas orang anak buahmu yang telah kau
tugaskan untuk mencariku. Kau harus melakukannya saat
ini juga, di tempat ini di hadapanku!"
Kejut Hantu Muka Dua bukan alang kepalang.
Kemarahannya tidak tertahankan lagi. Mukanya yang dua
langsung berubah menjadi muka raksasa berwarna merah
dan garang!
"Hemmmm!" Kakek yang disebut Kera Sakti Tak
Bernama bergumam." Kau kulihat marah. Tak ada satu
orang pun boleh marah padaku! Itu aturanku sejak
puluhan tahun lalu. Aku tidak merasa perlu membuat
urusan denganmu! Selamat tinggal Orang Hutan Tak
Berekor!"
"Wahai! Tunggu! Jangan salah sangka! Jangan
bercepat marah!" Hantu Muka Dua berseru. Dua mukanya
yang tadi berbentuk raksasa kini berubah kembali menjadi
wajah lelaki separuh baya.
Kakek bermuka tirus hentikan gerakannya yang sempat
hendak berbalik pergi itu. Dua alisnya naik ke atas.
Tatapannya seperti hendak menembus batok kepala
Hantu Muka Dua.
"Sahabatku," kata Hantu Muka Dua pula dengan suara
bergetar karena terpaksa harus menindih amarah. Sebagai
orang yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu dan
Segala Nafsu dia benar-benar merasa dikurang ajari dan
direndahkan oleh si kakek di hadapannya itu. "Kuharap
kau mau bersabar untuk mendengar satu cerita mengapa
aku sampai memintamu datang ke mari."
"Saat ini aku tidak butuh ceritamu! Aku ingin kau
segera memenuhi permintaanku tadi. Dua belas orang
anak buahmu itu harus dilenyapkan! Kalau kau tidak
melakukan, pembicaraan kita cukup sampai di sini!""Mudah saja memenuhi permintaanmu itu! Tapi
apa perlunya?" Hantu Muka Dua jadi penasaran.
"Tadi sudah kukatakan! Batu dan pohon bisa
punya telinga. Bumi dan langit bisa mendengar! Angin
bisa menebar kabar! Apalagi manusia! Punya telinga,
mata dan mulut! Dan jumlah mereka dua belas orang
pula! Kau terima permintaanku atau kau boleh masuk
kembali ke sarangmu di bangunan batu itu!"
"Aku bisa menerima permintaanmu!" jawab Hantu
Muka Dua walau dalam hati dia memaki habis-habisan.
Setelah berucap begitu Hantu Muka Dua bertepuk
tangan tiga kali. Seorang gadis berambut panjang
muncul. Dia menjura lalu tegak menunduk menunggu
perintah.
"Dua belas orang yang berada di dalam kebun di
belakang bangunan batu, lekas kau suruh mereka
segera ke sini!"
Si gadis rundukkan tubuhnya sedikit, menjura lalu
tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dua belas orang
lelaki muncul di tempat itu. Hantu Muka Dua meminta
mereka tegak berjejer di depan satu dinding batu.
"Kalian telah berjasa besar berhasil menemui dan
meminta kakek ini datang ke sini. Hari ini aku akan
memberi hadiah besar pada kalian!"
Mendengar ucapan Hantu Muka Dua tentu saja dua
belas orang itu menjadi sangat gembira. Sebelumnya
mereka memang telah menerima hadiah dari Hantu Muka
Dua karena bisa menyelesaikan tugas dengan baik. Kini
diberitahu bahwa mereka akan mendapat hadiah besar,
tentu saja semuanya merasa senang.
Maka ke dua belas orang itu tegak berjejer dengan sikap
gagah dan wajah berseri-seri.
Hantu Muka Dua gerakkan ke dua tangannya seperti
hendak mengambil sesuatu di balik pakaian kulit kayu
yang dikenakannya. Tapi sekonyong-konyong dua tanganitu dipukulkannya ke depan. Dua larik sinar merah
berkiblat disusul menderunya dua gelombang angin
dahsyat. Dua belas orang yang berjejer di depan dinding
batu keluarkan seruan kaget. Beberapa di antara mereka
yang mengenali pukulan maut itu segera melompat cari
selamat. Namun tidak satu orang pun yang bisa
meloloskan diri. Dua belas anak buah Hantu Muka Dua itu
terpental menghantam dinding batu di belakang mereka
lalu jatuh berkaparan. Tubuh mereka mengepulkan asap
merah. Begitu asap sirna kelihatanlah satu pemandangan
mengerikan. Sosok dua belas orang itu kini hanya tinggal
tulang belulang berserakan!
Hantu Muka Dua berpaling pada kakek di depannya.
"Kera Sakti Tak Bernama, kau saksikan sendiri kehebatan
pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak
Bumi. Aku sudah melakukan apa yang,kau minta! Apa kau
puas?!"
Orang tua itu silangkan tongkat birunya di depan dada,
menyeringai sesaat lalu berkata. "Kau sudah
melaksanakan pinta. Sekarang silakan bicara. Apa yang
hendak kau ceritakan padaku. Apa yang kau tanyakan
dan apa yang hendak kau suruh aku melakukan!"
"Kau pernah mendengar sebuah benda yang disebut
Sendok Pemasung Nasib?" bertanya Hantu Muka Dua.
Kakek yang dipanggil dengan sebutan Kera Sakti
Tak Bernama mendongak ke langit hitam kelam. Sesaat
kemudian terdengar dia berucap.
"Puluhan tahun silam benda milik Para Dewa itu
dibawa seseorang ke Negeri Latanahsilam. Ada kabar
yang mengatakan sendok tersebut sebelum lenyap
dipergunakan untuk mencelakai seorang sakti bernama
Lasedayu hingga orang itu kini menjadi seorang kakek
pikun, berjalan dengan mempergunakan dua kakinya dan
dijuluki Hantu Langit Terjungkir..."
"Wahai, pengetahuanmu ternyata cukup luas!" memuji
Hantu Muka Dua.Si kakek menatap lekat-lekat ke wajah Hantu Muka
Dua. "Di antara kabar yang kusirap menyatakan kau
adalah murid Lasedayu. Apa benar wahai Orang Hutan
Tak Berekor?!"
Hantu Muka Dua meludah ke tanah. "Aku tidak
berguru pada orang setolol Lasedayu! Justru aku telah
merampas semua ilmu yang dimilikinya karena makhluk
tolol seperti dia tidak layak memiliki berbagai ilmu
kesaktian!" Hantu Muka Dua berkata sambil busungkan
dada. "Kau tadi mengatakan sendok sakti itu lenyap. Kau
tahu ke mana lenyapnya sendok itu? Siapa yang
mencurinya atau di mana beradanya sekarang?"
Kakek di hadapan Hantu Muka Dua gelengkan kepala.
"Ketahuilah wahai Kera Sakti Tak Bernama! Aku
memintamu ke sini guna menugaskanmu mencari Sendok
Pemasung Nasib itu sampai dapat lalu menyerahkannya
padaku! Aku mendapat kabar bahwa Hantu Langit
Terjungkir juga tengah berupaya mendapatkannya! Jadi
kau punya dua tugas. Mencari Sendok Emas Pemasung
Nasib dan membunuh orang bernama Lasedayu alias
Hantu Langit Terjungkir itu! Terserah mana yang hendak
kau lakukan lebih dulu!"
"Apakah Lasedayu masih diam di Lembah Seribu
Kabut?" tanya si kakek.
"Setahuku dia lenyap dari lembah itu sejak empat
puluh tahun silam! Tugasmu untuk mencari tahu di
mana dia berada...."
Kera Sakti Tak Bernama menyeringai lalu berkata.
"Diriku adalah diriku! Aku bukan bangsa manusia yang
suka diperintah oleh orang lain. Aku tidak akan
mengerjakan apa-apa sebelum tahu apa imbalan balas
yang kau berikan padaku...."
Hantu Muka Dua tersenyum walau dalam hati dia
keluarkan rutukan. "Ketahuilah, sejak aku
mempermaklumkan diri sebagai Raja Diraja di Negeri
Latanahsilam ini segala sesuatunya berada dalam genggaman kekuasaanku, termasuk dirimu! Jika ada orang
merasa dan menganggap diri paling sakti di negeri
ini, aku akan menjungkir balikkannya dan melempar
rohnya hingga tergantung antara langit dan bumi
semudah aku membalikkan telapak tangan! Tapi terhadap
mereka yang mau membantuku, tersedia imbalan yang
luar biasa besarnya. Untukmu aku telah menyiapkan satu
jabatan tinggi dalam Istana Kebahagiaan. Selain itu kau
akan kuberikan kekuasaan penuh di wilayah Negeri
Latanahsilam sebelah timur. Harta kekayaan berlimpah
ruah akan mengelilingimu. Lalu aku tidak lupa
menyediakan kesenangan hidup yang selalu didambakan
setiap lelaki. Wahai Kera Sakti Tak Bernama, harap kau
suka mengikuti aku masuk ke dalam bangunan batu...."
Hantu Muka Dua putar tubuhnya lalu berjalan ke
arah bangunan batu. Si kakek mengikuti dari belakang
namun diam-diam dia siapkan satu pukulan sakti di
tangan kiri sedang ke tongkat batu biru yang ada di
tangan kanannya dia alirkan tenaga dalam. Bagai-
manapun dia masih belum mempercayai manusia
bermuka dua yang dijuluki sebagai Hantu Segala Keji,
Segala Tipu dan Segala Nafsu ini.
Masuk ke dalam bangunan mereka sampai ke
sebuah ruangan di mana sebelumnya Hantu Muka Dua
bersenang-senang dengan empat orang gadis cantik.
Saat itu ke empat gadis tersebut masih ada di ruangan
tersebut dalam keadaan nyaris tidak berpakaian. Melihat
kemunculan Hantu Muka Dua mereka menyangka lelaki itu
hendak melanjutkan bermesraan dengan mereka. Namun
betapa terkejutnya ke empat gadis ini ketika Hantu Muka
Dua berkata.
" Harap kalian suka melayani kakek sahabatku ini!"
Kakek yang diberi nama Kera Sakti Tak Bernama
itu sesaat diam tegak tak bergerak seolah dia tidak
tertarik pada ke empat gadis jelita itu. Tapi
SEPUHantu Muka Dua lenyap di balik sehelai tirai kayu si
kakek segera melompati gadis paling dekat, langsung
memeluk dan menciuminya.
. Dari balik tirai Hantu Muka Dua mengintai menyeringai.
"Bandot tua, puaskan nafsumu! Lain hari begitu kau
dapatkan Sendok Pemasung Nasib, dirimu akan kujadikan
bangkai tak berguna!
SEPULUH
KITA kembali kepada apa yang terjadi dengan tiga
sekawan Pendekar 212 Wiro Sableng, Naga Kuning serta
kakek berjuluk Si Setan Ngompol (baca bagian akhir Bab
Lima).
Ketika orang itu memandang tak berkedip pada sosok
tubuh dalam kegelapan yang barusan menyerang mereka
dengan tiga benda menyala seperti bara api.
"Astaga!" kata Naga Kuning sambil menggamit Wiro.
"Makhluk bertangan buntung itu, bukankah dia yang
bernama Latandai alias Hanfu Bara Kaliatus?l"
"Memang dia," jawab Wiro.
Setan Ngompol pegang erat-erat bagian bawah
perutnya. "Bagaimana dia bisa muncul di sini. Bukankah
waktu itu dia sudah dikutuk Peri Bunda dan melarikan diri
bersama walet terbang...."
"Lihat perutnya," balas berbisik Wiro. "Ada cahaya
kemerahan. Berarti bara api yang jadi senjata andalannya
masih mendekam di situ. Luar biasa kalau dia masih bisa
hidup!"
Sosok yang tegak dalam kegelapan itu memang
Latandai yang berjuluk Hantu Bara Kaliatus adanya.
Seperti dituturkan sebelumnya (baca Serial Wiro Sableng
berjudul "Hantu Bara Kaliatus") karena melakukan siasat
keji terhadap istrinya yang bernama Luhsantini, Hantu
Bara Kaliatus oleh Peri Bunda dikutuk. Bara api yang ada
di kepala dan tubuhnya dimasukkan sang Peri ke dalam
perutnya. Dalam keadaan menderita luar biasa Hantu Bara
Kaliatus melarikan diri, terbang bersama walet raksasa
tunggangannya. Ternyata Hantu Bara Kaliatus pergimemencilkan diri ke satu tempat. Di sini dia bersamadi
siang malam di bawah terik sinar matahari serta dinginnya
udara malam. Tak kenal panas tak peduli hujan.
Samadinya yang luar biasa membuat Para Peri menjadi
khawatir karena bukan mustahil Hantu Bara Kaliatus akan
mendapat satu kekuatan baru hingga mampu memiliki
kesaktian dan menjadikan bara menyala yang ada dalam
perutnya sebagai senjata dahsyat seperti sebelumnya.
Dugaan Para Peri tidak meleset malah secara tidak
terduga muncul Hantu Santet Laknat Nenek sakti berhati
jahat yang merupakan guru Latandai ini membantu
muridnya hingga Latandai berhasil mendapatkan
kesaktian baru. Puluhan bara api yang mendekam dalam
perutnya mampu dilontarkannya keluar lewat mulutnya,
dijadikan senjata dahsyat! Berarti apa yang selama ini
disebut ilmu "Bara Setan Penghancur Jagat" akan muncul
kembali di rimba persilatan Negeri Latanahsilam. Bedanya
kalau dulu bara itu berada dikepala dan bagian luar tubuh
Hantu Bara Kaliatus maka sekarang berada dalam
perutnya!
Pada pertemuan dengan muridnya Itu si nenek Hantu
Santet Laknat tidak lupa menegaskan kembali perintah
yang pernah diberikannya pada Hantu Bara Kaliatus.
"Dari beberapa tugas yang aku berikan padamu, baru
satu yang kau laksanakan. Kau hanya bisa membunuh
Lasingar! Wahai! Bagaimana dengan tugas-tugas lainnya,
Latandai?!" tanya si nenek dengan pandangan mata tajam
seperti memantek batok kepala Latandai.
"Mohon maafmu Nek. Aku memang belum
melaksanakan dua tugas lainnya yaitu membunuh
Luhsantini istriku sendiri dan manusia bernama Lakasipo
alias Hantu Kaki Batu itu.... Aku mendapat halangan
besar ketika hendak melakukannya...."
"Peduli setan segala macam halangan! Bagaimana pun
juga kau harus membunuh mereka atau kau yang akan
kubuat meregang nyawa!""Aku akan membunuh mereka sesuai perintah...."
"Harus kau lakukan! Apalagi istrimu Luhsantini
telah bercinta dengan Lakasipo!"
Berubahlah paras Hantu Bara Kaliatus mendengar
ucapan si nenek. Rahangnya menggembung, gerahamnya
bergemeletakan dan darahnya seperti mendidih.
"Mereka berdua pasti kubunuh Nek. Pasti!" Hantu
Bara Kaliatus menggeram dan kepalkan dua tinjunya.
Nyala bara api yang memancar di perutnya kelihatan
lebih terang.
"Jangan lupa seorang pemuda asing dari negeri
seribu dua ratus mendatang bernama Wiro Sableng!
Kau juga harus membunuhnya dan dua kawannya!"
"Akan aku lakukan Nek," kata Hantu Bara Kaliatus.
"Bagus, lebih cepat kau melakukan lebih baik. Tapi
awas dan ingat! Jika kau sampai tidak melaksanakan,
hukuman dariku lebih hebat dari kutukan Peri Bunda!"
"Aku mengerti Nek, semua perintahmu akan aku
laksanakan!" kata Hantu Bara Kaliatus pula seraya
membungkuk. Sambil meninggalkan tawa cekikikan
Hantu Santet Laknat tinggalkan Latandai....
Hantu Bara Kaliatus pandangi tiga orang di hadapannya
dengan mata berkilat-kilat dan pelipis bergerak-gerak. Lalu
dia membentak.
"Kalian tiga makhluk yang dulu kerdil'. Sebelum kubunuh
kalian bertiga lekas beritahu di mana beradanya kawan
kalian bernama Lakasipo alias Hantu Kaki Batu!"
"Kami tidak tahu!" Naga Kuning yang menjawab.
"Bagus! Kalau begitu kau yang mati duluan!" Hantu
Bara Kaliatus buka mulutnya lebar-lebar. Otot perutnya
menyentak.
Cahaya merah bergerak dari perutnya, meluncur ke
dada terus ke tenggorokan. Di lain kejap "wussss!"
Sebuah bara api melesat ke arah kepala Naga
Kuning. Bocah ini berseru keras, jatuhkan diri ke tanahseraya hantamkan tangan kirinya, membalas serangan
orang. Selarik sinar biru menyambar ke arah perut
Hantu Bara Kaliatus. Serangan Naga Kuning mendarat
telak di perut Hantu Bara Kaliatus.
"Deessss!"
Naga Kuning, juga Wiro serta Setan Ngompol
melengak kaget ketika melihat bukan saja perut Hantu
Bara Kaliatus tidak mempan dihantam pukulan sakti
yang memancarkan sinar biru itu, tetapi sinar biru itu
sendiri malah berbalik menghantam ke arah Setan
Ngompol. Kakek ini berteriak kaget, selamatkan diri
jungkir balik. Air kencingnya muncrat ke mana-mana!
Melihat ilmu kesaktian Hantu Bara Kaliatus seperti
berlipat ganda dari sebelumnya, Pendekar 212 tak mau
berlaku ayal. Dia segera menyergap dan lancarkan
serangan tangan kosong. Hantu Bara Kaliatus menggeram
berang. Dia balas menghantam. Perkelahian seru
berlangsung hebat Masing-masing pihak merasa asing
dengan jurus-jurus silat yang dimainkan lawan hingga ke
duanya saling berhati-hati.
Lewat tujuh jurus Hantu Bara Kaliatus yang hanya
memiliki satu tangan itu karena tangan kirinya buntung
sebatas siku (akibat jotosan Luhsantini, istrinya sendiri)
mulai terdesak. Lebih-lebih sewaktu Wiro mulai
keluarkan ilmu silat "Orang Gila" yang dipelajarinya
dari Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya melesat
aneh kian ke mari. Gerakannya seperti orang mabok.
Seolah mudah dipukul oleh lawan tapi ternyata setiap
serangan Hantu Bara Kaliatus selalu meleset Dada
Hantu Bara Kaliatus mulai jadi bulan-bulanan pukulan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun lawan memiliki
kekuatan luar biasa. Walau tubuhnya sampai beberapa
kali terpental oleh jotosan Wiro, namun dia sanggup
berdiri lagi, memasang kuda-kuda baru dan lancarkan
serangan balasan
Satu kali Wiro sengaja menghantam bagian perut
lawan yang memancarkan sinar merah. Pendekar 212
berseru kaget karena begitu tangannya menyentuh
kulit perut lawan, hawa panas luar biasa menyengat.
Ketika diperhatikan jari-jari dan sebagian punggung
telapak tangannya ternyata telah menjadi lecet merah
seperti terpanggang!
Hantu Bara Kaliatus tertawa mengejek. Lalu dia buka
lebar-lebar mulutnya.
"Wiro! Awas!" teriak Naga Kuning.
Tanpa diberitahu pun Wiro sudah maklum apa
yang hendak dilakukan lawan. Dengan cepat pemuda
ini melompat ke kiri. Dari samping dia kemudian siap
lepaskan satu pukulan sakti. Namun saat itu Si Setan
Ngompol sudah mendahului. Apa yang dilakukan kakek ini
sungguh gila! Pada saat air kencingnya mancur akibat
ketegangan luar biasa dia sengaja menampungnya
dengan dua tangan. Lalu dengan jurus yang disebut Setan
Ngompol Mengencingi Pusara air kencing itu
dicipratkannya ke arah Hantu Bara Kaliatus. Walau cuma
air tapi karena diberi kekuatan tenaga dalam maka
tetesan-tetesan yang terkecil sekalipun akan sanggup
menembus batu!
Hantu Bara Kaliatus tidak mau berlaku sembrono. Dia
tahu ke tiga orang itu adalah orang-orang yang datang dari
negeri seribu dua ratus tahun lebih maju. Maka begitu air
kencing menyiprat dia segera berkelebat menjauhkan diri.
Namun masih ada air kencing yang sempat mengenai
perutnya.
"Cesss... cesss... cessss!"
Suara seperti benda berapi terpercik air terdengar
berkepanjangan. Asap mengepul dari perut Hantu Bara
Kaliatus. Ternyata air kencing Si Setan Ngompol tidak
mampu menciderai perut lawan, apalagi sampai
menembusnya! Sebaliknya Hantu Bara Kaliatus malah
tertawa bergelak. Sekali dia membuka mulutnya, tiga bara
api sekaligus melesat keluar, melesat ke arah tiga bagian
tubuh Si Setan Ngompol yaitu kepala, dada dan bagian
bawah perut! Mendapat serangan tak terduga dan
mengarah tiga bagian tubuhnya itu si kakek jadi kalang
kabut. Walau dia bergerak luar biasa cepat, dia hanya
mampu menghindari serangan bara api yang menyambar
ke kepala dan dadanya. Bara api ke tiga, yang menyambar
ke arah bagian bawah perutnya tidak sanggup
dielakannya.
"Celaka perabotanku!" seru Si Setan Ngompol dengan
muka pucat. Dia telah berusaha melompat sambil
kangkangkan ke dua kakinya mengharap bara api itu akan
lewat di bawah selangkangannya, tapi percuma saja!
Naga Kuning dalam kagetnya tak sempat berbuat
apa-apa. Pendekar 212 Wiro Sableng sendiri berusaha
mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya,
namun terlambat. Dia akhirnya memutuskan untuk
menghantam lawan dengan Pukulan Sinar Matahari.
Masih tetap terlambat tak ada gunanya!
Dalam keadaan luar biasa gentingnya itu tiba-tiba
dari balik pohon besar berkelebat mengapung satu
bayangan besar disertai bentakan garang.
"Siapa berani mencelakai tiga saudaraku!"
Satu ringkikan keras menggelegar.
Lalu "tranggg!"
Bara api yang menyambar selangkangan Si Setan
Ngompol terpental. Sebuah benda berbentuk bola
hitam somplak. Sosok yang mengapung di udara
terdorong sampai setengah tombak tapi masih bisa
jatuhkan diri di tanah dan pasang kuda-kuda pertahanan
yang secepat kilat bisa berubah menjadi kuda-kuda
menyerang!
Setan Ngompol jatuh terduduk di tanah. Sambil
usap-usap bagian bawah perutnya dia berulang kali
mengucap.
"Nasibmu masih untung buyungl Ada orang yangmenolongmu!"
"Serrrrrr."
Karena diusap-usap dan masih dalam keadaan
cemas tegang, sibuyung akhirnya kembali memancur!
SEBELAS
HANTU Bara Kaliatus menggeram marah ketika melihat
siapa yang berdiri di depannya. Sebaliknya Wiro dan dua
temannya sama-sama menunjukkan kegembiraan karena
yang muncul dan yang barusan menolong Si Setan
Ngompol adalah Hantu Kaki Batu Lakasipo. Dengan
hantaman bola batu di kaki kanannya Lakasipo berhasil
membuat mental bara api yang hendak merenggut nyawa
Si Setan Ngompol. Bola batu yang disebut sebagai Bola
Iblis itu kelihatan gompal besar di salah satu sisinya.
Sejak bentrokan di Gunung Labatuhitam dulu Latandai
alias Hantu Bara Kaliatus telah menaruh dendam
kesumat terhadap Lakasipo. Apalagi dari gurunya Hantu
Santet Laknat dia mendapat kabar kalau Luhsantini,
bekas istrinya telah bermain cinta dengan musuh besarnya
itu! Kemarahan Hantu Bara Kaliatus jadi berlipat ganda
ketika dia melihat siapa perempuan berpakaian merah
yang tegak di samping Lakasipo saat itu. Bukan lain
adalah Luhsantini, bekas istrinya sendiri!
Bara api dalam perut Hantu Bara Kaliatus pancarkan
cahaya terang. Dari tenggorokan orang ini keluar suara
menggembor. Dia memandang membeliak pada
Lakasipo." Makhluk keparat! Aku memang sedang
mencarimu! Sekarang kau datang sendiri antarkan nyawa!"
Lakasipo menyeringai lalu menjawab. "Kau salah
menduga wahai makhluk bermuka manusia tapi berhati
iblis! Aku datang justru hendak menjemput nyawamu!"
"Jahanam terkutuk!" maki Hantu Bara Kaliatus. Dia
alihkan pandangannya pada Luhsantini dan tumpahkan
kemarahannya pada perempuan ini.
"Wahai! Benar rupanya kabar yang kusirap! Kautelah menjadi gendak lelaki berkaki batu ini! Istri yang
dulu sangat kupuja ternyata tidak lebih dari seorang
pelacur!"
Wajah cantik Luhsantini menjadi merah padam.
Perempuan ini segera membuka mulut menukas.
"Latandai! Jangan bermimpi menganggap aku masih
istrimu! Perbuatan kejimu telah menyebabkan kita mencari
jalan sendiri-sendiri! Ternyata bukan hanya hatimu yang
berbisa! Mulutmu juga penuh racun! Sungguh menjijikkan
kau masih menyebutku sebagai istri! Wahai! Apa kau lupa
kau pernah hendak membunuhku sampai dua kali? Apa
kau lupa juga telah mencelakai anak kandung darah
dagingmu sendiri? Hingga Lamatahati menjadi cacat
seumur hidupnya? Apa kau lupa bagaimana para Peri
mengutukmu?! Wahai! Dosamu selangit tembus sedalam
dasar samudera!"
"Masih untung anak itu cuma cacat! Mauku dia
harus mati! Karena dia adalah anak haram jadah hasil
hubunganmu dengan pemuda bernama Lasingar yang
sudah kuhabisi itu! Kau juga memberikan tubuhmu
pada Hantu Muka Dua! Dan wahai! Kini kau menjadi
gendak peliharaan laki-laki berkaki batu itu!"
"Mulutmu beracun! Hatimu berbisa! Otakmu kotor
penuh pikiran keji! Dulu aku berharap agar Lamatahati,
anakmu sendiri yang kelak akan membunuhmu! Tapi saat
ini aku memutuskan biar tanganku sendiri menamatkan
riwayatmu! Kekejianmu terhadap kami ibu dan anak sudah
melewati takaran! Semua roh yang tergantung antara
langit dan bumi sudah lama menunggu rohmu!"
Habis berkata begitu Luhsantini lalu melompat
kehadapan Hantu Bara Kaliatus seraya lepaskan pukulan
sakti bernama Di BalikLabukit Menghancur Lagunung.
Kehebatan pukulan ini, bagian depan sasaran yang kena
dipukul tidak akan mengalami cidera atau cacat sedikit
pun. Namun bagian belakang sebaliknya akan mengalami
kehancuran mengerikan!Perempuan jalang tak berguna! Mampuslah kau!”
teriak Hantu Bara Kaliatus. Dia menganggap enteng
serangan bekas istrinya itu. Namun jadi tersentak kaget
ketika merasakan sambaran angin yang sangat dahsyat
menghantam ke arahnya. Hantu Bara Kaliatus segera
maklum kalau ilmu kepandaian Luhsantini kini jauh lebih
tinggi dari sebelumnya! Maka tanpa berlak ayal dia segera
balas menghantam dengan pukulan Selusin Bianglala
Hitam. Dua belas larik sinar hitam menggebubu ke arah
Luhsantini. Pukulan sakti inilah yang dulu mencelakai
anaknya sendiri yang masih bayi.
Lakasipo cepat dorong Luhsantini ke samping hingga
perempuan itu terjajar sampai satu tombak.
Bersamaan dengan itu Lakasipo hantamkan kaki
kanannya. Bola batu membabat ke perut Hantu Bara
Kaliatus. Walau kesaktiannya berpusat pada bagian perut
dan perut itu seolah kebal atos namun Hantu Bara
Kaliatus tidak mau cari penyakit. Bola batu yang
membungkus dua kaki Lakasipo bukan bola batu biasa. Itu
adalah hasil pekerjaan santet si dukun keji jahat bernama
Hantu Santet Laknat yang juga adalah gurunya sendiri.
Dua belas larik sinar hitam menyambar udara
kosong. Sementara itu tendangan Lakasipo berhasil
dielakkan oleh Hantu Bara Kaliatus. Begitu selamat
dari hantaman bola batu, Hantu Bara Kaliatus segera
semburkan dua bara api. Dia membuat gerakan seperti
hendak menyerang Lakasipo. Tapi tiba-tiba dia mem-
balik dan arahkan semburan bara apinya pada Luhsantini.
"Luhsantini awas!" teriak Lakasipo. Dia cepat
melompat lalu hantamkan kaki batunya. Namun dua
bara api itu luput. Untung Wiro yang telah bersiap
siaga cepat bertindak. Murid Sinto Gendeng melompat
sambil lepaskan pukulan Segulung Ombak Menerpa
Karang. Pukulan sakti yang mengerahkan dua pertiga
tenaga dalam ini berhasil membuat mental salah satu
dari dua bara api. Celakanya, bara api yang satu lagimasih terus melesat ke jurusan Luhsantini walau kini
arahnya agak meleset.
Didahului teriakan keras Luhsantini melompat
selamatkan diri. Namun seperti hidup dan punya mata
bara api yang satu ini mengejarnya. Si Setan Ngompol
yang berada di dekat situ segera ulurkan tangan
membetot Luhsantini hingga perempuan ini terpelanting
jungkir balik.
"Wusssss!"
Bara Setan penghancur Jagat itu masih sempat
menyerempet bahu kiri pakaian merah yang dikenakan
Luhsantini hingga kejap itu juga bahu kiri pakaiannya
dikobari api. Luhsantini menjerit keras. Naga Kuning
cepat menolong. Sambil melompat dia kerahkan tenaga
dalam ke mulutnya lalu meniup. Kobaran api yang
membakar pakaian Luhsantini serta meria padam.
"Luhsantini! Kau tak apa-apa?!" teriak Lakasipo.
Perempuan itu tidak menjawab, melainkan terus
menerjang ke arah Hantu Bara Kaliatus, lancarkan
serangan bertubi-tubi. Lakasipo segera pula bergabung.
Dikeroyok dua Hantu Bara Kaliatus jadi kelabakan.
Lakasipo bukan saja menggempur dengan serangan
Kaki Roh Pengantar Mauf tapi juga pergunakan
tangan kosong, bertubi-tubi menghantamkan pukulan
Lima Kutuk Dari Langit. Luhsantini yang selama
memencilkan diri di Gunung Labatuhitam ternyata telah
mendapat gemblengan dari seorang tokoh rahasia
hingga kalau dulu dia hanya seorang perempuan yang
tidak tahu apa-apa kini berubah menjadi pendekar
berkepandaian tinggi dan menghujani Lakasipo dengan
serangan-serangan gencar. Membuat lawan tidak sempat
melancarkan serangan dengan bara api yang ada dalam
perut.
Lama kelamaan Hantu Bara Kaliatus tidak dapat
lagi mengimbangi serbuan ke dua orang itu. Dia hanyabisa melakukan gerakan mengelak atau mundur terus-
terusan. Kalau sampai Wiro atau salah satu dari dua
temannya ikut masuk ke dalam kalangan pertempuran
celakalah dirinya. Apalagi beberapa kali pukulan
Luhsantini menyerempet tubuhnya. Walau tidak
mengalami cidera berarti namun tubuhnya terasa sakit-
sakit terserempet pukulan Di Balik Labukit Menghancur
Lagunung itu. Sadar kalau bahaya besar bakal
mengancamnya maka Hantu Bara Kaliatus keluarkan satu
suitan keras. Dalam gelapnya malam, di udara tiba-tiba
melayang satu makhluk besar menebar bau busuk.
Ternyata makhluk ini adalah walet raksasa tunggangan
Hantu Bara Kaliatus.
Kepakan sayap binatang ini menimbulkan angin
luar biasa kerasnya. Selagi orang-orang yang ada di
bawah sana tergontai-gontai bertahan agar tidak jatuh
terpelanting, Hantu Bara Kaliatus melesat ke punggung
walet raksasa. Luhsantini cepat mengenjot tanah. Sebelum
Hantu Bara Kaliatus melesat kabur dia masih sempat
daratkan satu pukulan Di Balik Labukit Menghancur
Lagunung di paha kiri bekas suaminya Itu. Karena dalam
keadaan bergerak pukulan tersebut tidak berapa telak
namun masih sempat terdengar keluhan kesakitan keluar
dari mulut Hantu Bara Kaliatus. Walet hitam juga keluarkan
pekik kesakitan pertanda pukulan yang dilepaskan
Luhsantini ikut mengenai tubuh binatang itu!
Luhsantini melompat turun di tanah, tegak mendongak
ke langit penuh gemas. Satu tangan memegang bahu
perempuan ini.
"Tak usah kecewa. Satu saat pembalasan akan
menjadi bagian makhluk durjana itu. Kau tidak apa-apa
wahai Luhsantini?" Yang bertanya adalah Lakasipo.
Lelaki ini cepat memeriksa bahu di balik pakaian yang
terbakar. Dia merasa lega karena kulit bahu itu hanya
lecet saja.Luhsantini palingkan wajahnya. Dia tersenyum pada
Lakasipo yang barusan bicara dan mengkhawatirkan,
keselamatan dirinya. Sejak lelaki itu menolongnya di
Gunung Labatuhitam tempo hari (baca serial Wiro Sableng
berjudul "Hantu Bara Kaliatus") walau mereka lama tidak
bertemu namun antara ke dua orang ini telah terjalin satu
sambung rasa yang hari demi hari semakin mendalam.
Melihat keadaan ke dua kaki Lakasipo serta me-
ngetahui riwayat lelaki itu di masa lalu timbullah rasa
hiba Luhsantini terhadap lelaki berkaki batu ini. Rasa
hiba berubah menjadi suka dan selanjutnya rasa suka
itu berganti dengan perasaan cinta kasih sayang.
Lakasipo bukan tidak tahu kalau Luhsantini jatuh
hati terhadapnya. Selain itu dia juga mengetahui riwayat
perkawinan Luhsantini dengan Latandai alias Hantu Bara
Kaliatus. Nasib seolah mempersatukan mereka. Dia tidak
bisa menipu diri bahwa dia pun mengasihani dan
menyukai Luhsantini. Namun dalam diri Lakasipo
terkadang muncul rasa kebimbangan. Luhsantini memiliki
paras jelita. Namun hati Lakasipo seolah bercabang-
cabang. Setiap rasa kasihnya menggelora terhadap
perempuan ini dan dia ingin menemuinya di Gunung
Labatuhitam, ingatan dan perasaan Lakasipo terbagi pada
Peri Angsa Putih dan Luhjelita. Malah belakangan ini entah
mengapa dia selalu terkenang pada dara cantik bernama
Luhcinta. Selain itu ada rasa khawatir kalau-kalau
mendiang roh istrinya yakni Luhrinjani muncul secara
mendadak. Di balik semua itu ada pula perasaan rendah
diri menyamak di hati Lakasipo mengingat keadaan
kakinya yang terbungkus bola batu. Walau bola-bola batu
itu membuat dia menjadi seorang sakti mandraguna
namun dia merasa seolah-olah itu juga merupakan satu
cacat pada dirinya. Dia telah berusaha dengan berbagai
cara untuk menghancurkan bola-bola batu itu. Tapi tidak
ada satu benda atau senjata pun yang sanggup membelah
batu tersebut. Satu-satunya jalan adalah mencari HantuSantet Laknat dan meminta nenek jahat itu untuk
mengobati memusnahkan santetnya.
Wiro walau gembira melihat kedatangan Lakasipo
namun karena lelaki itu datang bersama Luhsantini
maka dia merasa khawatir kalau Luhrinjani yang belum
lama pergi akan muncul kembali di tempat itu secara
tidak terduga. Ingin memberi tahu pada saudara ang-
katnya itu Luhsantini berada terlalu dekat. Selagi dia
mencari akal bagaimana cara memberi tahu pada
Lakasipo, Lakasipo bertanya padanya bagaimana dia
dan kawan-kawan bisa berada di tempat itu. Wiro lalu
menceritakan. Mulai dari kabar yang mereka dengar
yang membuat mereka berkeinginan untuk melihat
dengan mata kepala sendiri Kincir Hantu itu, sampai
pengalaman pahit yang mereka alami sepanjang siang
dan awal malam tadi.
"Katamu kincir itu lenyap begitu malam datang.
Wahai aku yakin kincir itu masih tetap di tempatnya
semula. Tak mungkin ada yang memindahkan..." kata
Lakasipo.
Luhsantini ikut bicara. "Mungkin sekali ada satu
kekuatan sakti menyungkupi rumah dan kincir itu,
membuat mata kita tidak mampu melihatnya. Bukankah
orang bernama Lateleng itu memiliki semacam ilmu asap?"
Lakasipo anggukkan kepala menyetujui pendapat
Luhsantini. "Sejak beberapa waktu lalu aku memang
sudah mendengar cerita mengenai kincir itu. Kita
tunggu sampai pagi hari. Aku juga ingin menyelidik
rahasia apa yang ada di balik kincir itu. Aku punya
firasat, jika terjadi satu peristiwa besar di negeri ini
yang berkaitan dengan keanehan dan keanehan itu
berakhir pada kematian maka biasanya di belakangnya
Hantu Muka Dualah yang punya pekerjaan. Sekitar
empat puluh tahun silam pernah tersiar berita tentang
lenyapnya seorang sakti bernama Lasedayu yang diamdi Lembah Seribu Kabut. Lalu muncul seorang kakek
yang digelari Hantu Langit Terjungkir. Ada yang me-
ngatakan orang tua ini sebenarnya adalah Lasedayu
itu. Tapi bukti-bukti tak cukup menunjang. Kemudian
setahun lalu tersiar pula berita menghilangnya se-
orang kakek sakti yang biasa dipanggil dengan se-
butan Si Tongkat Biru Pengukur Bumi. Kakek ini konon
punya kebiasaan mengelana ke berbagai pelosok negeri
untuk melakukan pekerjaan aneh-aneh. Mulai dari
orang baik sampai yang jahat. Berita menarik paling
akhir yang kudengar ialah rencana seorang tokoh
bernama Lawungu hendak membuat perhitungan dengan
Hantu Santet Laknat yang juga adalah musuh besarku! Di
balik semua itu tersiar pula kabar bahwa tentu Muka Dua
mengaku-aku kalau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
adalah gurunya. Sementara Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab sendiri tidak pernah muncul seolah
menyembunyikan diri. Lalu di balik semua keanehan itu
muncul Kincir Hantu dan pemiliknya seorang mengaku
bernama Lateleng. Siapa Lateleng ini adalah satu hal
sangat menarik untuk diketahui. bisa jadi dia sebenarnya
adalah Lasedayu. Tapi bukan mustahil pula Lateleng ini
sebenarnya adalah Si Tongkat Biru Pengukir Bumi.
Bagaimana memecahkan semua rahasia ini sungguh soal
yang pelik...."
"Kelihatannya memang begitu, Lakasipo," kata Wiro.
"Karenanya sebaiknya kita lebih dulu mulai dengan
menyingkap rahasia yang ada di balik Kincir Hantu itu. Dari
gerak gerik Lateleng yang kulihat siang tadi, dia seperti
mencari sesuatu pada diri orang-orang yang jadi
korbannya. Aku curiga, kitab Kesaktian Menguasai Tujuh
Jin adalah cerita kosong belaka! Hanya dipakai untuk
menarik perhatian agar orang-orang berdatangan ke sini
untuk menjajal Kincir Hantu itu. Mereka dijebak dan
menemui ajal dalam jebakan itu!"
"Tapi setahuku kitab itu memang pernah ada.Hanya saja dikabarkan lenyap lima puluh tahun lalu.
Bukan mustahil Lateleng memang memilikinya..." kata
Lakasipo pula.
"Lalu apa sebenarnya yang dicari kakek teleng
itu? Hingga tega membunuh orang-orang yang datang
ke tempatnya?!"
"Dia sulit dituduh melakukan pembunuhan. Bukankah
orang-orang itu datang sengaja untuk menjajal kehebatan
Kincir Hantu. Apalagi dengan janji akan diberikan kitab
sakti kepada siapa yang berhasil bertahan sampai tiga kali
putaran di atas roda kincir..." jawab Lakasipo pula. Sejenak
dia berpikir lalu baru melanjutkan ucapannya. "Menurutmu,
seperti yang kau saksikan dan malah kau alami sendiri,
ada keanehan di atas roda kincir itu. Pertama kakimu
mendadak terasa berat, tak bisa melompat "
"Keanehan itu bisa saja hasil perbuatan Lateleng
dengan mengerahkan tenaga dalam membuat siapa
saja yang ada di atas roda kincir menjadi merasa berat
ke dua kakinya. Tak sanggup melompat, tak sanggup
menghindari benda yang kemudian menabas dua
kakinya..." ujar Wiro.
"Benda yang menabas kaki itu!" kata Lakasipo
pula. "Kau coba menyelidiki apa adanya. Tapi tidak
berhasil. Waktu hal itu akan terjadi, lebih dulu sepasang
matamu silau oleh pantulan sinar matahari yang jatuh di
atas roda kincir...."
"Aku curiga roda itu dipasangi sesuatu benda
yang berkilauan saat kejatuhan sinar sang surya.
Sayang aku tak bisa mencari tahu benda apa itu
adanya. Aku coba menghancurkan kayu roda kincir
dengan kakiku. Ternyata kayu itu seatos baja! Tapi...."
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Pada saat korban terakhir,
lelaki berjuluk Si Hati Baja menemui ajal, sebelumnya
kami menyaksikan ada sinar melesat dari roda kincir yang
membuat dia kesilauan. Hal yang sama juga terjadidengan diriku. Jika sinar menyilaukan itu merupakan satu
hal yang diandalkan maka aku bisa menduga Lateleng
hanya melayani orang-orang yang datang pada siang
hari. Karena pada malam hari tidak ada sang surya!" Wiro
pandangi sepasang kakinya. Sambil gelengkan kepala dia
berkata. "Kalau saja Luhrinjani tidak muncul secara tiba-
tiba menolongku, mungkin saat ini aku sudah menjadi
jerangkong seperti yang lain-lainnya itu."
Lakasipo melirik ke arah Luhsantini dan diam-diam
menahan rasa kejut mendengar ucapan Pendekar 212
tadi. Dia ingin menanyakan sesuatu tapi merasa segan
karena Luhsantini berada di dekat situ. Sebaliknya
Luhsantini jadi merasa kurang enak. Kalau sampai roh
mendiang istri lelaki yang dikasihinya itu muncul lagi di
tempat itu secara tidak terduga, dia tidak dapat
membayangkan apa yang akan terjadi.
Wiro memandang pada dua kakinya yang hampir
amblas di atas putaran roda Kincir Hantu. Kemudian
dia perhatikan sepasang kaki Lakasipo. Otaknya bekerja.
Lalu dia berkata. "Aku sepakat denganmu. Besok pagi kita
lakukan penyelidikan. Tapi hati-hati. Lateleng dan Kincir
Hantunya bisa menebar maut secara tak terduga...."
"Aku mencari tempat untuk istirahat dulu. Kalian
jangan ke mana-mana," berkata Luhsantini lalu dia
tinggalkan orang-orang itu.
Baru saja perempuan itu lenyap di balik rerumpunan
semak belukartiba-tiba di udara terdengar suara menguik.
Lalu satu makhluk besar melayang turun dalam kegelapan
malam.
Ketika Wiro mengenali siapa yang datang, dia
segera membisiki Lakasipo. "Hantu Kaki Batu, kau
punya tamu yang tidak terduga. Sungguh bahagia
malam ini kau bakal ditemani dua orang perempuan
cantik...."
"Jangan kau berkata begitu. Bisa saja dia muncul
bukan mencariku, tapi mencarimu," sahut Lakasipo."Kita lihat saja," kata Setan Ngompol pula. "Jika
kalian tidak mau menerimanya, aku tidak keberatan
untuk menemaninya ngobrol sampai pagi hari! Malah
kalau perlu mengobrol sampai mengompol!" Setan
Ngompol lalu tertawa cekikikan.
"Tua bangka gendeng tak tahu diri!" maki NagaKuning
DUA BELAS
MAKHLUK besar yang melayang turun itu ternyata
adalah seekor kura-kura terbang berwarna coklat.
Penunggangnya sudah bisa diterka. Yaitu bukan lain gadis
cantik genit Luhjelita.
Sambil tertawa lebar gadis ini melompat turun
dari atas punggung kura-kura coklat. Sebelumnya
secara diam-diam dia telah menguntit perjalanan Wiro.
Gadis ini merasa perlu menemui pemuda itu untuk
menjernihkan perselisihan yang terjadi antara dia dengan
Peri Angsa Putih yang juga menyangkut diri Wiro. Dia
berhasil mengetahui kalau Wiro dan dua kawannya
tengah dalam perjalanan menuju suatu tempat di mana
Kincir Hantu terletak. Maka dia segera mengejar ke sana.
Namun dia tidak menyangka kalau di tempat itu juga ada
Lakasipo. Seperti telah dituturkan sebelumnya (baca serial
Wiro Sableng berjudul "Peri Angsa Putih") sebenarnya
Luhjelita pernah jatuh hati pada Lakasipo. Namun setelah
Pendekar 212 berubah sosok menjadi sebesar orang-
orang di Negeri Latanahsilam, kegagahan sang pendekar
membuat hati si gadis kini jadi terpaut pada pemuda itu.
Karena tadi Luhsantini telah beranjak pergi, Luhjelita
tidak tahu kalau perempuan itu juga ada di tempat itu.
Selagi Luhjelita tegak kikuk di bawah pandangan Wiro
dan Lakasipo, Si Setan Ngompol mendatangi
gadis itu. "Sahabatku dara jelita berpakaian Jingga
bernama Luhjelita. Ini satu pertemuan tidak disangka.
Banyak orang gagah di tempat ini. Siapakah yang kau
cari?"Jelas bukan mencarimu! Karena kau tidak termasuk
orang gagah!" menyahuti Naga Kuning sambil
monyongkan mulutnya pada si kakek lalu tekap hidung
menahan tawa. Setan Ngompol delikkan mata dan
cubit pinggang si bocah hingga Naga Kuning meringis
kesakitan.
Luhjelita tersenyum. "Aku gembira melihat banyak
sahabat di sini. Aku...." Gadis itu memandang pada Wiro.
"Aku ingin bicara denganmu. Wahai...."
"Sebelum kalian berdua bicara, aku perlu bicara
denganmu lebih dulu, Luhjelita," kata Lakasipo.
Sementara itu Luhsantini yang semula hendak
beristirahat membaringkan badan telah berada di tempat
itu, terbangun oleh suara menguik dan deru sosok
Laecoklat, kura-kura raksasa tunggangan Luhjelita.
Dia segera bangkit berdiri mendatangi. Begitu melihat
Luhjelita, Luhsantini ingin sekali menemui dan merangkul
gadis itu. Sewaktu dulu Latandai alias Hantu Bara Kaliatus
hendak membunuhnya di kawah Gunung Latinggimeru,
Luhjelitalah yang menyelamatkannya walau bayi yang ada
dalam dukungannya akhirnya yang kena celaka. Dia
berhutang budi dan nyawa pada gadis berpakaian Jingga
itu. Namun ketika mendengar percakapan Lakasipo
dengan Luhjelita, Luhsantini batalkan niatnya menemui
gadis itu. Dadanya berdebar dan rasa cemburu membuat
parasnya serta merta menjadi merah. Berat dugaannya
antara Lakasipo dan Luhjelita ada hubungan yang
agaknya bukan Cuma hubungan biasa.
"Wahai Lakasipo, orang gagah dan sakti di Negeri
Latanahsilam, gerangan apakah yang hendak kau
bicarakan dengan diriku!" Luhjelita bertanya.
"Peristiwa ketika aku ikut bersamamu ke Goa
Pualam Lamerah..." jawab Lakasipo.
"Ah, celaka! Dia masih ingat peristiwa itu. Bagaimana
aku harus bicara...." Luhjelita jadi merasa tidak enak.
Namun sambil lontarkan senyum genit dia berkata."Kukira hanya aku saja yang mengingat-ingat
peristiwa itu. Ternyata kau tidak pernah melupakan.
Aku sudah lama tidak ke goa itu. Mungkin sudah
saatnya aku harus ke sana. Mungkin bersamamu...?"
Lakasipo gembungkan rahangnya pertanda lelaki
ini tidak senang dengan ucapan Luhjelita barusan.
"Aku ingin kau berterus terang wahai Luhjelita. Apa
yang telah kau lakukan terhadap diriku di Goa Pualam
Lamerah itu?"
Wajah Luhjelita kelihatan berubah. Sepasang
matanya terbuka lebar dan dua alisnya yang hitam
naik ke atas. "Wahai, Lakasipo. Nada pernyataanmu
seperti menuduh! Memangnya apa yang telah aku
lakukan terhadapmu? Kau datang dan pergi tanpa
cidera barang sedikit pun!"
"Bukan mustahil kau sengaja memancing menjebakku
ke goa itu. Karena sebelumnya kau telah berserikat
dengan Hantu Muka Dua. Buktinya Hantu Muka Dua tahu-
tahu muncul di tempat itu. Berniat jahat hendak
membunuhku. Sementara kau sendiri lenyap entah ke
mana!"
"Terus terang aku memang melarikan diri. Tapi
aku tidak memancing atau menjebakmu. Kau tertidur
di dalam goa. Mungkin karena keletihan perjalanan
jauh. Aku meninggalkanmu di satu ruangan yang aman
lalu melarikan diri karena Hantu Muka Dua hendak
membunuhku!"
"Hantu Muka Dua hendak membunuhmu? Wahai!
Tak percaya aku! Bukankah dia kekasihmu?!"
Wajah Luhjelita menjadi sangat merah. Dia menggigit
bibir menahan gelora hatinya. Di batinnya dia berkata.
"Kalau kau tahu wahai Lakasipo, walau sekarang aku tidak
lagi tertarik padamu, tapi waktu itu aku benar-benar jatuh
cinta padamu....""Mungkin aku bukan gadis baik-baik Lakasipo. Tapi
untuk menjadikan Hantu Muka Dua sebagai kekasihku,
walau kiamat Negeri Latanahsilam ini sampai tujuh kali
rasanya hal itu tidak mungkin terjadi...."
"Lalu apakah kau tidak mau menceritakan apa
yang sebenarnya terjadi di goa itu?!" tukas Lakasipo.
Luhjelita melirik pada Pendekar212 Wiro Sableng.
Gadis ini gelengkan kepala. "Tidak ada.... Tidak ada
terjadi apa-apa di dalam goa itu. Jangan kau berburuk
sangka terhadapku. Apa kau kira aku telah melakukan
sesuatu yang tidak senonoh terhadap dirimu?! Aku
tahu di luaran orang menyebut aku sebagai gadis binal
tukang rayu dan tukang bujuk, menebar cinta palsu
murahan. Aku tidak sehina itu. Apalagi terhadap dirimu
yang aku...." Luhjelita seolah tersadar. Cepat dia putuskan
ucapannya lalu tutupkan dua tangannya kemukanya.
Lakasipo terdiam. Tak ada yang bergerak, tak ada
yang bersuara. Lalu terdengar suara Luhjelita menahan
sesenggukan.
Di balik semak belukar gelap, Luhsantini tegak tak
bergerak walau ada gemuruh di dadanya. Dari
pembicaraan antara Lakasipo dan Luhjelita semakin
keras dugaan perempuan itu bahwa antara ke dua
orang tersebut sebelumnya pernah terjalin satu hubungan.
"Goa Pualam Lamerah..." kata Luhsantini dalam hati.
"Aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Sikap dan
cara bicara Lakasipo tadi seolah menunjukkan
ketidaksenangan terhadap gadis itu. Apakah ini
merupakan satu perubahan yang mendadak sejak dia
berada di dekatku? Kasihan gadis itu.... Aku merasa
berdosa kalau mungkin aku merebut kekasihnya...."
Memikir sampai ke situ Luhsantini akhirnya balikkan diri,
tinggalkan tempat itu.
Wiro garuk-garuk kepala. Naga Kuning saling
bertukar pandang dengan Setan Ngompol. Naga Ku-
ning berbisik pada kakek ini. "Aku jadi kepingin tahu
apa kelanjutan ucapan gadis itu. Jangan-jangan dia
telah jatuh cinta pada saudara kita itu...."
"Hussss! Jangan kau berlancang mulut! Melihat
gerak-geriknya aku yakin bukan Lakasipo yang di-
sukainya tapi kawan kita si sableng satu ini!" ujar Si
Setan Ngompol.
"Masih lega aku kalau dia mencintai Wiro, bukannya
kau!" kata Naga Kuning kembali menggoda lalu tundukkan
kepala menahan tawa.
Merasa tidak ada gunanya dia berada lebih lama
lagi di tempat itu sementara dia tidak mampu menahan
gejolak hatinya, Luhjelita segera putar tubuh hendak
berlalu. Namun suara Wiro membuat langkahnya tertahan.
"Sahabatku Luhjelita, tunggu dulu...."
Si gadis turunkan dua tangannya, menatap ke arah
Wiro. Dia diam menunggu apa yang hendak dikatakan
Wiro selanjutnya. Hatinya berdebar. Dia tahu sejak
beberapa waktu lalu pendekar itu menaruh syak wasangka
besar terhadapnya. Apakah seperti Lakasipo Wiro juga
hendak membicarakan hal itu di depan orang banyak?
Menambah kekecewaan dan sakit hatinya?
"Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu.
Tapi tidak tepat waktunya kalau dibicarakan sekarang...."
Luhjelita jadi lega. "Pemuda ini jauh lebih punya
perasaan dibanding dengan lelaki berkaki batu bernama
Lakasipo itu," kata si gadis dalam hati.
"Tongkat biru itu," Pendekar 212 berkata seraya
menunjuk ke sebuah tongkat batu yang memancarkan
warna biru redup dan terselip di pinggang Luhjelita.
"Setahuku kau tidak pernah membawa tongkat atau
memiliki senjata seperti itu. Kalau aku boleh bertanya,
sejak kapan kau memiliki benda itu. Apa memang itu
milikmu?"
Pertanyaan Pendekar 212 Wiro Sableng membuat
terkejut dua orang. Yang pertama tentu saja Luhjelitasendiri dan yang ke dua adalah Lakasipo. Hantu Kaki
Batu segera berbisik pada Wiro.
"Wahai, kalau kau tidak menyebut aku sampai
tidak memperhatikan tongkat itu. Ingat ceritaku se-
belumnya tentang seorang tokoh sakti berjuluk Si
Tongkat Biru Pengukur Bumi? Yang lenyap tanpa
diketahui ke mana perginya?"
Wiro anggukkan kepala. Sepasang matanya tetap
menatap Luhjelita. Dia menatap dengan pandangan
biasa-biasa saja, tidak menyorot apalagi menunjukkan
hawa amarah atau kebencian. Hal itu membuat Luhjelita
agak lega sedikit Maka gadis cantik dengan rambut
tergulung di atas kepala itu menjawab polos.
"Tongkat ini memang bukan milikku. Aku
menemukannya di satu tempat "
"Apakah kau tahu siapa pemiliknya?"
"Kalau aku tak salah menduga tongkat batu biru
ini adalah milik seorang bergelar Tongkat Biru Pe-
ngukur Bumi...."
Wiro melirik pada Lakasipo membuat Luhjelita
menduga-duga apa arti lirikan itu.
"Kalau aku boleh bertanya lagi, di manakah pemilik
tongkat itu sekarang berada?" ujar Wiro pula.
"Orang tua itu kutemukan sudah jadi mayat. Tubuhnya"
Luhjelita tidak meneruskan ucapannya, dia cepat beralih
kata. "Tongkat ini kutemukan tak jauh dari jenazahnya."
"Terima kasih atas keteranganmu," kata Wiro lalu
tersenyum.
Senyuman itu membuat hati Luhjelita seperti diguyur air
yang sangat sejuk. Dia tidak menyangka akan menerima
senyuman itu dari pemuda yang dianggapnya telah
membenci dirinya.
"Aku...." Luhjelita tidak tahu mau bicara apa. Lalu
dicabutnya tongkat batu biru dari pinggangnya. "Tongkat
ini bukan milikku. Aku tidak membutuhkannya. Mungkinlebih tepat jika berada di tangan kalian!" Walau Luhjelita
menyebut "kalian" namun tongkat biru itu dilemparkannya
ke arah Wiro. Pendekar 212 cepat menangkapnya. Pada
saat tongkat itu berada dalam genggaman Wiro, saat itu
pula Luhjelita lenyap dalam kegelapan. Yang terdengar
kemudian adalah gemuruh kepakan sayap kura-kura
terbang tunggangannya.
TIGA BELAS
LIMA orang yang berlindung di balik semak belukar itu
memandang tegang tak berkedip ke arah Kincir Hantu
yang mulai berputar menggemuruh begitu sang surya
muncul terang di ufuk timur.
"Kincir sudah berputar, aku masih belum melihat
kakek bernama Lateleng itu..." kata Lakasipo. Sambil
bicara dia melirik ke arah Luhsantini yang sejak pagi
tadi tak banyak bicara.
"Itu muncul orangnya!" kata Naga Kuning tiba-tiba
seraya menunjuk ke depan. "Dia ada di atas atap rumah
kincir!"
Semua mata serta meria memandang ke atas
rumah kincir. Menang benar. Di atas atap kelihatan
seorang yang wajah tuanya hanya sebagian kelihatan
karena tertutup caping. Di mulutnya terselip sebuah
pipa mengepulkan asap merah. Di atas atap di sebelah
belakangnya menancap sebuah bendera berwarna
kuning.
Wiro memandang pada semua orang yang ada di
situ. "Kalian sudah siap semua?" Semua yang ditanya
termasuk Luhsantini anggukan kepala.
Lima orang itu lalu keluar dari balik semak belukar,
menyeberangi lapangan. Bergerak menuju Kincir Hantu.
Sambil melangkah Lakasipo berkata pada Wiro.
"Melihat pipa dan warna asap yang mengepul, aku ingat
pada seorang tokoh langka berjuluk Si PenghembuRoh.
Setahuku dia satu-satunya yang memiliki ilmu kesaktian
sangat ganas. Dengan cara meniup asap dia bisamerubah sosok manusia menjadi jerangkong seperti yang
berserakan di ujung lapangan sana...."
"Kalau begitu bangsat tua di atas atap itu pastilah
Si Penghembus Roh itu!" kata Wiro pula.
"Aku ragu. Ciri-cirinya tidak seperti tokoh langka
itu..." jawab Lakasipo pula. Lalu dia hentikan aliran
tenaga dalamnya yang menuju ke kaki. Akibatnya
"duk... duukk... duukk!" Bola-bola batu yang membungkus
kaki Lakasipo mengeluarkan suara keras.
Tanah bergetar dan membentuk lobang-lobang.
Tiba-tiba kakek bercaping di atas atap rumah kincir
bangkit berdiri. Lima orang itu yang berjalan di tanah
lapang serta merta hentikan langkah. Si Setan Ngompol
belum apa-apa sudah mulai basah bagian bawah
celananya karena tegang.
Di atas atap rumah kincir, kakek bernama Lateleng
sedot pipanya lalu hembuskan asap merah tinggi-
tinggi ke udara. Setelah itu dia buka capingnya dan
menjura ke arah orang-orang yang berdiri di tanah
lapang di depan Kincir Hantu.
"Ada serombongan tamu datang berkunjung! Aku
Lateleng sungguh mendapat kehormatan besar! Tapi
mataku belum lamur apalagi buta. Kalian ke sini bukan
mencari kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin! Kau
yang berambut gondrong dan kau kakek berkuping
lebar serta kau budak konyol berpakaian serba hitam
berambut seperti ijuk! Bukankah kalian bertiga perantau
asing yang kemarin muncul di sini dan sempat membuatku
jengkel? Ada gerangan apa kalian masih berani kembali
unjukkan muka di tempat ini?! Kalau hari ini aku marah
besar jangan harap kalian bertiga bisa melihat matahari
tenggelam sore nanti!"
Pendekar 212 angkat tangan kirinya lalu menjawab.
"Aku datang membawa dua teman. Mereka ingin mencobakepandaian menjajal kehebatan Kincir Hantumu! Apa kau
berani menerima tantangan?!"
Kakek di atas rumah kincir menatap tajam pada
Lakasipo yang berkaki batu dan Luhsantini. Dalam
hati dia menggeram. "Jahanam berambut gondrong
itu! Dia benar-benar membuat kesulitan besar padaku!
Si kaki batu itu mungkin saja dia menyembunyikan
benda yang aku cari di salah satu kakinya. Tapi aku
tahu betul kehebatan batu yang dijuluki Bola Bola Iblis
itu. Apa aku sanggup menghancurkannya? Lalu
perempuan berpakaian serba merah itu. Dia pantas jadi
temanku bersenang-senang. Tapi kini malah bisa
menimbulkan bahaya bagiku!"
Walau hatinya merasa tidak enak namun kakek.
kepala teleng umbar tawa bergelak. "Wahai kalian
berlima dengar ucapanku baik-baik! Pagi ini aku masih
merasa segar dan berhati senang. Tapi dalam sekejap
pikiranku bisa berubah. Sebelum pikiranku berubah
aku perintahkan pada kalian semua agar segera angkat
kaki tinggalkan tempat ini. Kecuali perempuan berpakaian
merah! Dia boleh tetap berada di sini menemaniku!"
Lakasipo mendengus keras. Luhsantini perlihatkan
muka geram sementara Naga Kuning mencibir dan Si
Setan Ngompol bersungut-sungut Wiro diam sesaat. Lalu
sambil menggaruk kepala dia membatin.
"Aku ingat sekarang. Suara kakek teleng itu seperti
pernah kudengar sebelumnya...."
"Lakasipo, kakek teleng itu agaknya jerih melihat
bola-bola iblis di ke dua kakimu," bisik Naga Kuning.
Wiro menggaruk kepalanya kembali seraya berkata. "Dia
mengincar Luhsantini. Tapi bukan mustahil dia
menyembunyikan sesuatu.... Kalau dugaanku betul...."
Sementara itu Kincir Hantu berputar terus dengan suara
menggemuruh menggetarkan tanah lapangan."Kakek di atas rumah kincir!" Pendekar 212 berteriak.
"Perempuan cantik baju merah ini menjadi milikmu jika
kau mengizinkan kawanku yang berkaki batu ini menjajal
kehebatan kincirmu!"
"Wiro, lancang sekali mulutmu!" teriak Luhsantini
marah. Naga Kuning dan Setan Ngompol melongo.
Lakasipo pelototkan mata. Tangan kirinya langsung
mencekal tengkuk baju Pendekar 212. Suaranya
menggeram marah ketika berkata setengah berteriak.
"Jangan kau berani menjual sahabat! Perlu apa memaksa
kalau si kepala teleng itu takut menerima tantangan kita?!"
Wiro menyeringai. "Kalau dia memang takut lebih
baik kita tinggalkan tempat ini! Tapi apa tidak sebaiknya
sebelum pergi kita hancurkan dulu Kincir Hantu itu! Rumah
kincirnya sekaligus! Kalau perlu si teleng pengecut di atas
atap itu sekalian!"
"Weehh! Kemarin garang amat! Sekarang kecut seperti
banci!" mengejek Naga Kuning lalu tertawa gelak-gelak.
"Mungkin dia perlu diberi semangat! Diberi minum
air kencingku!" menyambung Si Setan Ngompol yang
akhiri kata-katanya dengan tawa cekikikan.
Menggelegak amarah Lateleng mendengar ucapan-
ucapan Wiro dan kawan-kawannya. Tapi dia pandai
menutupi sikap. Dia sengaja mengumbar tawa bergelak.
Di bawah sana Wiro ikut-ikutan tertawa. Tapi tawa
penuh ejek. Lakasipo juga keluarkan suara mengekeh.
Naga Kuning, Setan Ngompol dan Luhsantini susul
menyusul keluarkan tawa.
"Sudah teleng ternyata pengecut!" berteriak Naga
Kuning.
"Kepala atas teleng tapi kepala bawah tahu perempuan
cantik! Hik... hik... hik!" berseru Si Setan Ngompol.
"Rupanya di sini tidak ada kaca! Membuat tua bangka
itu tidak tahu dia buruk rupa!" menyusul teriakan
Luhsantini.Ditertawai, diejek dan dicaci maki seperti itu
menggeletarlah sekujur tubuh Lateleng. Amarahnya
meluap. Darahnya seperti mendidih dan dadanya seolah
terbakar. Berulang kali dia mengusap mukanya depan
belakang seolah ada sesuatu yang berusaha ditahannya.
"Manusia-manusia jahanam! Siapa pengecut! Siapa
penakut! Aku bukan makhluk banci! Manusia kaki
batu! Aku terima kesombonganmu! Silakan melompat
ke atas kincir! Aku mau lihat sampai di mana
kehebatanmu!"
Orang tua di atas atap rumah kincir akhirnya
terpancing marah dan menerima tantangan. Padahal
semua ucapan dan ulah Wiro serta kawan-kawannya
tadi hanya sandiwara belaka yang sudah diatur demikian
rupa memang untuk menjebak si kakek teleng itu. Begitu
pancingan mereka mengena tanpa tunggu lebih lama
Lakasipo segera melesat ke atas kincir! Dua kaki batunya
hinggap di atas permukaan roda kincir tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun, membuat Lateleng
merasa jerih lalu diam-diam alirkan tenaga dalam ke
tangan kirinya.
Di saat yang sama Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol serta Luhsantini telah melesat pula ke atas
atap rumah kincir.
"Kalian mau apa?! Lekas turun!" teriak Lateleng marah.
"Kami hanya mau menyaksikan permainan gila ini
dilakukan tanpa kecurangan!" jawab Wiro seenaknya tapi
tangan kanannya meraba pinggang kiri di mana terselip
Kapak Maut Naga Geni 212. Sepasang matanya meneliti
seputar atap rumah kincir. Pandangannya membentur
sebuah tonjolan kayu yang menyembul keluar dari
permukaan atap dan berada tak jauh dari kaki Lateleng.
Murid Sinto Gendeng yang cukup punya pengalaman
tentang berbagai peralatan rahasia segera saja mencurigai
tonjolan kayu itu adalah satu peralatan yang ada
hubungannya dengan Kincir Hantu. Mulai saat itu gerakgerik kaki Lateleng serta tonjolan kayu itu tidak lepas dari
perhatian Pendekar 212.
Si Setan Ngompol tegak di atas atap sambil pegangi
bawah perutnya yang mengucur habis-habisan. Dia
menyeringai kecut, ketika Lateleng melotot padanya. "Aku
tidak mau berbuat apa-apa. Bukankah aku sahabatmu
yang akan memberimu minuman penyegar jika kau
kehausan? Lihat saja! Bukankah matahari pagi mulai
bersinar terik?" Sambil berucap kakek bermata jereng ini
siapkan pukulan sakti Sct.m Ngompol Mengencingi
Pusara.
Kakek teleng bantingkan capingnya di atas kepala
dan memaki panjang pendek dalam hati. Dia berpaling
pada Naga Kuning. Anak ini tegak tak acuh sambil
mengorek hidungnya, begitu asyik hingga matanya
meram melek. "Aku naik ke atap cuma pingin tahu
permainan sulap apa yang ada di tempat ini!" Naga
Kuning berucap sambil melirik pada Lateleng yang
memelototinya. Padahal saat itu di tangan kirinya dia
sudah menyiapkan pukulan Naga Kuning Merobek
Langit
Ketika Lateleng berpaling ke arah Luhsantini,
perempuan cantik ini lemparkan senyum manis lalu
berkata dengan suara merdu. "Wahai kakek gagah
pemilik Kincir Hantu. Bukankah kau minta aku
menemanimu? Bukankah temanku si gondrong itu
menjanjikan diriku untukmu jika kau menerima tantangan
si kaki batu itu? Sekarang aku adalah milikmu."
Selagi si kakek teleng kelihatan seperti terkesiap,
Luhsantini cabut bendera kuning di atas atap lalu
serahkan pada si kakek. Mau tak mau Lateleng terima
bendera itu namun dalam hati dia membatin. "Orang-orang
ini. Agaknya mereka merencanakan sesuatu. Gila!
Mungkin aku sudah terperangkap dalam jebakan mereka!
Jahanam betul! Untung sampai saat ini mereka masihbelum tahu siapa diriku sebenarnya. Awas kalian! Yang
empat orang itu akan kuhabisi sebentar lagi!"
"Kakek gagah, apakah kita bisa mulai?" bertanya
Luhsantini dengan suara merdu serta layangkan
senyum.
"Ya... ya! Kita segera mulai!" jawab Lateleng. Lalu
dia berpaling pada Lakasipo. "Makhluk berkaki batu,
aku belum tahu namamu. Harap suka memberitahu
karena aku tidak ingin kau menemui kematian tanpa
aku tahu siapa dirimu sebenarnya!"
" Aku Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu!" jawab
Lakasipo.
"Hemmmm...." Lateleng bergumam. Dalam hati
dia merutuk. "Hantu keparat, aku sudah tahu siapa kau
sebenarnya! Bersiaplah menerima Kematian!" Lateleng
pindahkan pipanya ke tangan kiri. Wiro memperhatikan
tangan kanan kakek itu mengeluarkan getaran, pertanda
dia telah mengerahkan tenaga dalam. Dengan tangan
kanan berada di hulu kapak, Pendekar 212 siapkan
pukulan Sinar Matahari di tangan kiri.
Lateleng tancapkan bendera kuning di roda kincir
yang berputar. Lalu kakek ini ketukkan pipanya ke
pinggiran roda kincir seraya berseru.
"Satu!"
Kincir Hantu menggemuruh dan berputar kencang.
Lakasipo mulai berlari-lari di atas roda kincir. Semua orang
yang ada di tempat itu menjadi tegang tapi diam-diam
sama menyiapkan pukulan-pukulan sakti. Atap rumah
kincir itu agaknya dalam waktu tidak berapa lama lagi
akan menjadi ajang perkelahian dahsyat!
EMPAT BELAS
GEMURUH suara Kincir Hantu seolah masuk
menggelegar didalam tubuh orang-orang yang ada di
tempat itu, terutama Lakasipo yang berlari melawan
putaran roda. Tak lama kemudian bendera kuning muncul
di sisi kanan kincir, bergerak mendekati kaki Lakasipo.
Dengan gerakan enteng Lakasipo melompat. Bendera
kuning lewat di bawahnya bersama kucuran air menuju ke
sisi kiri.
Mulut Lateleng tampak menyeringai namun dibawah
caping yang melindungi sebagian mukanya, sepasang
mata kakek ini melirik tajam kian ke mari, memperhatikan
Pendekar 212 Wiro Sableng dan kawan-kawannya.
"Dua!" seru Lateleng sambil ketukkan pipa ke
pinggiran roda kincir begitu bendera kuning lewat di
bawah kaki Lakasipo. Putaran kincir berubah tambah
kencang. Suara gemuruhnya menggetarkan rumah
kincir serta lapangan di bawah sana. Lakasipo
mempercepat larinya. Setiap saat lelaki ini saling memberi
isyarat mata dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tapi
semua gerak-gerik ke dua orang ini tidak lepas dari
perhatian si kakek teleng.
Tak selang berapa lama bendera kuning muncul lagi di
sisi kanan. Lateleng cabut pipanya lalu kepulkan asap
merah ke udara.
“Tiga!"
Kincir Hantu berderak keras lalu berputar lebih kencang.
Gemuruh suaranya kali ini seolah hendak meruntuhkan
langit dan menjungkir balikkan rumah kincir, membuat
orang-orang yang ada di atas atap bangunan tergontai-
gontai dan sesekali terlonjak ke atas."Lakasipo! Kau harus bertahan! Putaran kincir hanya
tinggal sedikit lagi! Kitab sakti itu akan segera menjadi
milikmu! Kau benar-benar luar biasa! Aku tidak kecewa
menyerahkan kitab langka itu kepadamu!"
Lakasipo tidak acuhkan ucapan orang. Dia sudah
mendapat peringatan dari Wiro bahwa kakek itu berusaha
mengalihkan perhatian dengan ucapan-ucapan serta gelak
tawanya. Lakasipo malah kerahkan tenaga dalam ke arah
kaki. Terjadilah hal yang hebat. Kaki-kaki batu itu
menghantam kayu hitam roda kincir, mengeluarkan suara
dak-duk-dak-duk berkepanjangan diseling suara berderak
seolah kincir itu siap untuk runtuh hancur berantakan.
Walau demikian, luar biasanya tidak ada bagian kincir
yang pecah atau rusak.
Lateleng sesaat menjadi cemas. Namun seringai
segera tersungging di mulutnya ketika bendera kuning
muncul kembali di sisi kanan sebagai penutup putaran
yang akan berakhir begitu mencapai sepasang kaki
batu Lakasipo.
"Saatmu akan segera sampai Lakasipo! Nyawamu
tak akan tertolong!" kata Lateleng dalam hati. Dia sedot
pipanya dalam-dalam seraya melirik pada empat orang
yang ada di atas atap.
Walaupun dua kaki batu itu tampak berat sekali
menghunjam roda kincir namun dengan kesaktiannya
yang ditunjang tenaga dalam tinggi Lakasipo mampu
berlari ringan. Dia kelihatan tenang-tenang saja padahal
dadanya menggemuruh dilanda kecemasan. Wiro dan
yang lain-lainnya saat itu telah berada di puncak
ketegangan.
Bendera kuning bergerak cepat. Hanya tinggal
dua langkah dari sepasang kaki Lakasipo.
"Lakasipo! Kau memang hebat! Aku tidak menyesal
menyerahkan kitab Kesaktian Menguasai Jin padamu!"
berseru Lateleng. Lalu kakek ini keluarkan suitan keras
dan panjang. Bersamaan dengan itu secepat kilat kakkirinya bergerak menginjak tonjolan kayu yang menyembul
di atas rumah. Kincir Hantu keluarkan suara gemuruh
dahsyat menyeramkan. Di antara suara gemuruh itu
terdengar suara aneh.
"Clak... elak... elak!"
Dari pinggiran roda kereta mendadak mencuat sinar
putih menyilaukan, menyambar wajah Lakasipo,
membutakan pemandangannya. Luar biasanya cuatan
sinar menyilaukan itu juga menyambar ke arah mata
semua orang yang ada di atas atap. Sebelum sinar
menyilaukan itu sempat membutakan pemandangan
mereka keempat orang di atas atap telah lebih dulu
bergerak.
"Celaka! Aku tidak bisa mengangkat dua kakiku!"
teriak Lakasipo.
Lalu "traannggg!" Kaki batunya sebelah kiri dihantam
benda keras tajam berkilat hingga terbelah dua. Lateleng
buka mulutnya lebar-lebar lalu semburkan asap merah ke
arah Wiro dan kawan-kawannya. Tangan kanannya ikut
bergerak menghantam. Selarik sinar hijau menderu ke
arah tiga sasaran yakni, Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Hantu Hijau
Penjungkir Roh. Siapa saja yang terkena akan menemui
ajal dengan tubuh hijau meleleh seperti lumpur!
Walau semua itu terjadi dengan cepat namun Wiro
sempat menyadari bahwa Lateleng sama sekali tidak
menyerang Luhsantini! Apakah ini karena dia memang
tidak ingin menciderai perempuan yang dijadikannya
teman bersenang-senang itu atau ada alasan lain.
Wiro dan tiga orang lainnya yang sejak tadi sudah
mengambil sikap penuh waspada, begitu melihat Lateleng
berkelebat gerakkan kaki kiri menginjak tonjolan kayu, ke
empat orang ini segera menghantam ke arah Lateleng
yang saat itu telah pula melancarkan pukulan sakti Hantu
Hijau Penjungkir Langit.Wiro lepaskan pukulan Sinar Matahari lalu jatuhkan diri
dan bergulingan di atas atap. Kapak Naga Geni 212 yang
sudah ada di tangan kanannya dibacokkan ke arah
tonjolan kayu yang dipijak Lateleng. Bukan saja dia
hendak menghancurkan alat rahasia di atas atap itu tapi
sekaligus dia juga ingin membabat putus kaki kiri Lateleng.
Namun si kakek bertindak cepat selamatkan kakinya.
Ketika kakinya hendak dipergunakan untuk menendang
kepala Wiro, Si Setan Ngompol dan Naga Kuning telah
lebih dulu menyeruduk tubuhnya hingga tak ampun lagi
kakek ini terdorong jatuh ke bawah. Bahunya menghantam
pinggiran roda kincir. Satu jeritan dahsyat menggelegar
dari mulut Lateleng. Darah tampak mengucurdari bahu
kirinya akibat benturan dengan lempengan benda tajam
putih yang mencuat di pinggiran roda kincir. Ketika jatuh ke
tanah sialnya mukanya jatuh terhimpit selangkangan Si
Setan Ngompol hingga wajahnya dan kepalanya basah
kuyup oleh kucuran air kencing!
Di atas atap rumah kincir letusan-letusan dahsyat
menggelegar seperti mau meruntuhkan langit. Pukulan
sakti yang dilepaskan Lateleng serta semburan asap
merahnya yang bisa merontokkan daging tubuh Itu
bentrokan dengan pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan
Wiro, pukulan Setan Ngompol Mengencingi Pusara yang
dilepaskan Setan Ngompol serta pukulan Naga Kuning
Merobek Langit yang dihantamkan Naga Kuning.
Ditambah pula dengan pukulan Di Balik Labukit
Menghancur Lagunung yang dilepaskan Luhsantini.
Atap rumah kincir hancur berantakan dan beterbangan
di udara. Rumah kincir roboh bergemuruh. Kincir Hantu
bergetar hebat lalu ambruk jadi tiga bagian,
menggelinding di tanah lapang.
Pada saat letusan menggelegar Lakasipo cepat
mencekal lengan Luhsantini. Lalu ke duanya membuat
gerakan jungkir balik di udara, melayang turun ke tanah
dengan kaki lebih dulu.Tubuh dan pakaian mereka kotoroleh hancuran atap dan bangunan rumah kincir.
Di bagian lapangan yang lain Pendekar 212 Wiro
Sableng yang telah lebih dulu melompat ke tanah
simpan Kapak Naga Geni 212-nya lalu lari ke arah
Setan Ngompol dan Naga Kuning yang sedang bergumul
dengan Lateleng. Saat itu kakek ini tidak lagi mengenakan
capingnya yang telah mental hancur akibat tersambar
letusan di atas atap. Kitab yang ada di bawah caping itu
ikut musnah dan tidak diketahui apakah benar-benar kitab
asli atau hanya tiruan belaka.
Digumul berdua Lateleng menghantam kian kemari,
membuat Setan Ngompol dan Naga Kuning
berpelantingan ke tanah. Ke dua orang ini cepat bangkit
menyerang. Mereka tidak mau kehilangan si kakek
teleng yang jelas hendak coba melarikan diri. Naga
Kuning hanya sempat menarik celana panjang si kakek
hingga Lateleng melarikan diri cuma mengenakan baju
dan celana dalam. Namun kakek ini tidak peduli. Dia
kelabakan dengan luka di bahu kirinya.
"Bahuku... darah.... Aku terlukai Wahai!" Sambil lari
Lateleng mengeluh tak berkeputusan. Tangan kanannya
memegangi bahu kiri sementara tangan kiri yang terluka
itu dicobanya untuk mengusapi kepalanya depan
belakang.
Lakasipo dan Wiro berusaha mengejar. Namun
gerakan mereka mendadak tertahan ketika memperhatikan
ke depan, kepala Lateleng telah berubah. Kakek itu kini
memiliki satu kepala dengan dua muka.
Berupa muka kakek-kakek berwajah pucat pasi!
"Astaga! Hantu Muka Dua! Dia Hantu Muka Dua!"
teriak Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Jahanam! Kau mau lari ke mana!" teriak Lakasipo
lalu lepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Lima
larik sinar hitam menderu ganas. Tapi di depan sana
Lateleng yang memang sebenarnya adalah Hantu
Muka Dua yang menyamar telah lenyap. Hanya nodanoda kucuran darahnya yang masih tertinggal di tanah.
Wiro dan Lakasipo sama-sama terduduk di tanah.
Selagi Lakasipo pandangi batu di kaki kanannya yang
kini hanya tinggal sebelah Pendekar 212 bangkit berdiri.
Dia melangkah menghampiri salah satu hancuran
roda kincir. Ketika Wiro memeriksa ternyata di sepanjang
pinggiran roda sebelah atas penuh dipasangi lempengan
baja putih berbentuk empat persegi yang ujungnya sangat
tajam. Dengan menekan alat rahasia berupa tonjolan kayu
di atas atap, baja-baja putih itu mencuat keluar dari balik
lapisan kayu, memantulkan sinar menyilaukan begitu
kejatuhan sinar matahari dan menabas kaki orang yang
ada di atasnya!
"Cerdik dan keji!" ujar Wiro sambil geleng-geleng
kepala. "Yang aku belum mengerti mengapa Hantu
Muka Dua melakukan kegilaan itu! Apa sebenarnya
yang dicari bangsat kepala dua itu? Senjata sakti
mandraguna...?" Sambil garuk-garuk kepala Pendekar
212 ambil satu kepingan baja putih dari reruntuhan
roda kincir lalu melangkah mendapatkan Lakasipo
untuk memperlihatkan lempengan benda maut itu.
Namun langkah sang pendekar terhenti ketika tiba-tiba
seorang kakek berpakaian ungu gelap penuh debu.
Entah dari mana munculnya tahu-tahu sudah berada
di tengah lapangan. Melangkah perlahan mendekati
Lakasipo yang masih terduduk di tanah, didampingi
Naga Kuning, Luhsantini dan Si Setan Ngompol.
Kakek tak dikenal itu berhenti di hadapan Lakasipo,
sesaat menatap wajah Hantu Kaki Batu itu lalu setelah
melirik pada sepasang kaki batu Lakasipo dia berkata.
"Puluhan hari aku habisi untuk melakukan perjalanan ini.
Ternyata tidak sia-sia. Wahai, apakah kau orang yang
bernama Lakasipo, bergelar Hantu Kaki Batu?"
Lakasipo tidak segera menjawab. Dia menaruh curiga
pada kakek tak dikenalnya itu. Khawatir kalau-kalausi kakek adalah kaki tangan atau anak buah Hantu Muka
Dua. Wiro membuka mulut memberi jawaban.
"Dia memang Lakasipo. Kau sendiri siapa adanya
Kek?"
Yang ditanya palingkan kepalanya ke arah Wiro,
pandangi Pendekar 212 mulai dari kepala sampai ke
kaki lalu berkata. "Orang muda kau adalah manusia
hebat dalam kesederhanaan. Hidupmu penuh suka
karena begitu banyak gadis yang jatuh hati padamu.
Penuh suka walau ujian dan bahaya mengancam di
mana-mana. Aku senang bertemu denganmu "
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Kek, apa mungkin
kau seorang juru ramal?!" tanya Wiro pula.
Kakek berpakaian ungu itu tersenyum. "Aku datang dari
jauh mencari Lakasipo untuk menyerahkan satu benda
sangat berharga yang telah kubawa ke mana-mana
selama beberapa tahun." Habis berkata begitu si kakek
lalu duduk di hadapan Lakasipo. Dia singsingkan bagian
bawah pakaiannya yang berbentuk jubah dan ulurkan kaki
kanannya. Tidak terduga oleh semua orang yang ada di
situ, si kakek hantamkan tangan kanannya ke pergelangan
kaki kanan.
"Praaakk!"
Kaki hancur dan tulangnya patah. Anehnya tak
ada darah yang mengucur! Enak saja kakek ini tarik
kakinya yang patah itu lalu dari dalam rongga tulang
kakinya dia mengeluarkan sebuah benda berupa sendok
bergagang pendek terbuat dari emas. Pada bagian
sendok yang ceguk ada sebuah benda kemerah-merahan
yang sudah membatu dan menempel erat kedasar sendok.
Semua orang jadi merinding menyaksikan apa yang
dilakukan si kakek.
"Sendok ini bukan benda sembarangan. Bernama
Sendok Pemasung Nasib. Kau ambillah dan serahkan
pada seorang bernama Lasedayu yang dikenal denganjulukan Hantu Langit Terjungkir. Dia pernah tinggal di
Lembah Seribu Kabut. Di mana dia berada sekarang
tidak kuketahui...."
Tidak peduli orang yang jadi kaget mendengar
kata-katanya, dan tidak peduli apakah orang mau
memenuhi permintaannya si kakek masukkan sendok
emas itu ke dalam genggaman tangan kanan Lakasipo.
Lakasipo sendiri dalam terkesiapnya tidak berusaha
menolak. Malah dia memperhatikan apa yang kemudian
dilakukan kakek yang duduk di depannya itu.
Enak saja si kakek sambung kembali kakinya yang
hancur patah. Lalu dia mengusap satu kali, meniup
satu kali. Kaki yang hancur patah itu utuh kembali!
Wiro garuk-garuk kepala. Naga Kuning melongo
monyong. Si Setan Ngompol mendelik menahan kencing
sedang Luhsantini tekap mulutnya dan menatap ke arah
tangan kanan Lakasipo.
" Kek, siapa kau ini adanya?" tanya Lakasipo ketika
dilihatnya kakek itu bangkit berdiri. Dia segera pula
bangun dari duduknya.
Si kakek tersenyum. "Wahai! Namaku bukan satu
hal yang penting. Selamat tinggal orang-orang gagah...."
Sekali dia membalikkan tubuh tahu-tahu kakek itu sudah
berada di ujung lapangan lalu lenyap.
"Gila!" Pendekar 212 berkata setengah berseru.
"Eh, siapa yang gila?!" tanya Naga Kuning.
"Hantu Muka Dua! Untuk mendapatkan sendok butut itu
saja dia sampai membunuh lima belas orang. Aku dan
Lakasipo hampir jadi korbannya!" Wiro garuk-garuk kepala.
"Walau Hantu Muka Dua gila atau edan tapi masih
sempat meninggalkan satu kenang-kenangan untuk
sahabatnya Si Setan Ngompol ini!" berucap Naga Kuning.
"Apa maksudmu bocah geblek?!" kata Setan
Ngompol sambil delikkan mata.Dari balik punggungnya Naga Kuning keluarkan celana
milik Hantu Muka Dua yang berhasil dibetotnya hingga
lepas tertinggal.
"Kek," kata Naga Kuning pula sambil tersenyum
pada Setan Ngompol. "Hantu Muka Dua sengaja
meninggalkan celana ini karena dia tahu kau tidak punya
celana. Yang sekarang kau pakai selain tak pantas
disebut celana juga sudah leleh bau pesing! Nah
ambillah celana pemberiannya ini, segera pakai. Tak
usah malu-malu!" Habis berkata begitu Naga Kuning
tertawa cekikikan dan lemparkan celana Hantu Muka
Dua hingga menyangkut di bahu kiri Si Setan Ngompol.
"Anak kurang ajar! Berani kau mempermainkan
aku! Siapa sudi memakai celana makhluk jahat itu!"
kata Setan Ngompol dengan mata mendelik besar.
"Yang jahat Hantu Muka Dua. Celananya 'kan tidak
Kek!" jawab Naga Kuning pula.
"Bocah sialan!" mengomel si kakek tapi tangannya
kemudian mengambil celana itu dari bahunya. Lalu masih
pelototkan mata pada Naga Kuning dia melangkah ke balik
semak-semak. Semua orang yang ada di tempat itu
tertawa bergelak. Tak lama kemudian sebuah benda
melayang di udara dan jatuh menyungkup kepala Naga
Kuning. Bocah ini kelagapan kalang kabut dan memaki
panjang pendek. Ternyata yang menyungkup kepalanya
itu adalah celana basah kuyup bau pesing milik Si Setan
Ngompol!
TAMAT
Penulis : bastian tito
create : matjenuh channel
blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
Segera terbit
RAHASIA PATUNG MENANGIS
0 comments:
Posting Komentar