Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Jumat, 07 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - NYAWA TITIPAN

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com


NYAWA TITIPAN 

Tiba-tiba satu benda putih melesat di udara.  satu benda putih melesat di udara.  satu benda putih melesat di udara. Cakra 

Mentari yang tengah mengenakan pakaian dan bersiap- Mentari yang tengah mengenakan pakaian dan bersiap-siap 

tinggalkan tempat itu berteriak kaget. Saat itu jug tinggalkan tempat itu berteriak kaget. Saat itu juga tubuh  tubuh 

pemuda yang masih bertelanjang bulat itu bergetar h pemuda yang masih bertelanjang bulat itu bergetar hebat oleh  hawa panas yang seperti hendak melelehkan tubuh satu hawa panas yang seperti hendak melelehkan tubuhnya 

mulai dari batok kepala sampai ke telapak kaki. mulai dari batok kepala sampai ke telapak kaki. 

Luar biasanya Cakra Mentari mendengar satu suara 

berucap dari dalam tubuh berucap dari dalam tubuhnya sendiri! nya sendiri! nya sendiri! 

”Anak manusia bernama Cakra Mentari! Aku 

menitipkan nyawaku di dalam tubuhmu!”


SATU


MALAM HARI. Gurun pasir Thar di barat laut daratan India di 

selimuti kegelapan dan kesunyian. Tak ada rembulan tak tampak 

bintang. Bahkan tiupan angin gurun yang biasanya disertai suara 

menderu saat itu nyaris tak terdengar sama sekali. 

Di dalam sebuah ruang batu hitam terletak di bawah gurun 

pasir, yang jalan masuk berupa pintu rahasia dijaga sepuluh Resi 

berpakaian putih, Resi Ketua Khandawa Abitar tengah duduk 

khidmat bersamadi. Ini adalah malam kedua dia melakukan 

samadi dan sebegitu jauh, walau ada getaran-getaran halus 

menjalari sekujur tubuhnya namun dia belum mampu mendapat 

hubungan bathin dengan alam gaib, belum juga mendapat 

petunjuk dari Para Dewa. 

Beberapa malam sebelumnya Resi Khandawa Abitar 

bermimpi. Dalam mimpi dia melihat satu cahaya putih sangat 

terang menyilaukan mata. Saat cahaya muncul terdengar suara 

bergema penuh wibawa. 

“Resi Khandawa Abitar. Bersamadilah. Bersamadilah. Kelak 

kau akan mendapat petunjuk untuk satu cara menyelamatkan 

banyak manusia tidak berdosa di satu negeri yang jauh dari sini.” 

Suara lenyap, cahaya terang menyilaukan ikut sirna. Kejadian 

mimpi itu dialami sang Resi sampai tiga malam berturut-turut. 

“Mimpi adalah salah satu dari sekian banyak jalur petunjuk 

Para Dewa ….” Sang Resi membathin dalam merenung arti 

mimpinya. 

Karenanya sejak malam kemarin dia mulai melakukan 

samadi dan terus tetap khusuk sampai malam kedua walau 

petunjuk belum muncul. 

Malam ketiga. Selewatnya tengah malam, menjelang 

dinihari, di langit gelap sebelah timur mendadak terlihat tujuh titik 

putih bersinar terang, melayang berarak di atas gurun pasir Thar 

menuju ke barat laut. Pada saat berada di sekitar lorong batu 

tempat kediaman Resi Khandawa Abitar berada, tujuh titik putih 

menukik ke bawah. Lenyap masuk ke dalam gurun pasir,menembus bebatuan tebal. Meninggalkan kabut tipis kelabu 

memancarkan bau harum kemenyan sejauh ratusan tombak. 

Suasana menjadi terasa angker sewaktu dikejauhan terdengar 

suara raung puluhan serigala gurun. 

Di dalam goa tempatnya bersamadi, kelopak mata Resi

Khandawa Abitar bergetar bergerak-gerak. Walau matanya masih 

terpicing namun ada tujuh cahaya aneh membuat dia merasa 

sangat silau. Selain itu hidungnya mencium semerbak bau 

kemenyan yang terbakar. Sang Resi merasa tengkuknya dingin. 

Seumur hidup baru kali ini dia mengalami hal seperti ini. 

“Dewa Batara, apakah kau datang memberi petunjuk?” ucap 

sang Resi dalam hati. Tujuh cahaya terang semakin menyilaukan. 

Membuat sang Resi gerakkan kepala ke belakang sambil merapal 

doa. Pada pertengahan doa cahaya silau menghilang. Di ujung 

doa cahaya tersebut akhirnya lenyap. Resi Khandawa Abitar lepas 

napas lega dan perlahan-lahan buka kedua matanya. 

Pandangannya langsung membentur tujuh manusia katai yang 

berdiri berjajar didepan tembok ruangan samadi. Tujuh manusia 

katai ini mengenakan pakaian selempang kain putih. Semua 

memakai sorban putih dengan wajah tertutup kumis, janggut dan 

berewok hitam lebat berkilat. Pertanda walau mereka bertubuh 

kecil tapi usia mereka rata-rata mungkin di atas delapan puluh 

tahunan. Yang hebatnya, sorban di kepala tujuh manusia katai 

memancarkan cahaya putih sejuk, indah dipandang. 

“Dewa Batara Penuh Kuasa. Bagaimana tujuh manusia katai 

tak dikenal bisa menyusup masuk ke dalam ruangan ini?” 

membathin Resi Khandawa Abitar. Ketika lebih diperhatikan baru 

sang Resi menyadari kalau tujuh manusia katai itu sama sekali 

tidak menjejakkan kaki di lantai batu. Telapak kaki mereka 

tergantung dan berada seujung kuku di atas batu goa! 

Tujuh manusia katai berselempang kain putih menggerakkan 

tangan membuka sorban masing-masing lalu membungkuk dalam 

memberi penghormatan pada Resi Khandawa Abitar. Yang diberi dengan membungkuk pula. Tujuh manusia katai kenakan sorban 

kembali. Setelah meluruskan tubuh, sambil mengulum senyum 

Resi Khandawa Abitar menyapa dengan suara lembut. 

“Sahabat bertujuh. Kalian pastilah orang-orang yang

diberkahi Para Dewa hingga bersedia dan mampu datang 

ketempatku yang buruk ini. Mohon aku diberitahu kalian ini siapa, 

datang dari mana dan ada keperluan apa menemui diriku?” 

Manusia katai disebelah tengah maju dua langkah, malayang 

satu kuku di atas lantai batu lalu menjawab. Suaranya halus tapi 

menimbulkan gema di ruang batu itu. Lalu bahasa yang 

diucapkannya adalah aneh, sama sekali tidak dimengerti oleh Resi 

Khandawa Abitar. 

“Sahabat yang bicara. Harap dimaafkan. Aku tidak mengerti 

bahasa yang kau bicarakan.” 

Si manusia katai tadi masih terus bicara nyerocos kalau tidak 

diberi tanda oleh teman disamping kanannya dengan sikutan. 

Teman yang mengingatkan ini lalu maju ke depan, yang tadi 

bicara kembali ke tempat tegak semula. 

“Resi Yang Mulia, mohon maafmu. Sahabat kita tadi bicara 

dalam bahasa roh. Biar sekarang aku yang mewakili.”

Resi Khandawa Abitar menganggguk-angguk sambil 

tersenyum. Dia mengulurkan tangan dengan telapak terkembang 

sebagai tanda mempersilahkan manusia katai dihadapannya 

meneruskan ucapan. 

“Resi Yang Mulia, kami bertujuh tidak bernama. Datang dari 

negeri alam gaib, jauh di atas atap langit ketujuh. Kami datang 

sebagai utusan Sang Kebenaran ….” 

“Dewa Batara Maha Agung…..” Ucap Resi Khandawa Abitar. 

Manusia katai tadi lanjutkan ucapan. “Kami datang membawa 

sebuah benda berupa sebilah pedang sakti mandraguna bernama 

Pedang Bulan Sabit. Sang Kebenaran meminta kami untuk 

menyerahkan pedang ini kepada Resi Yang Mulia.” 

Habis berkata begitu manusia katai ini luruskan dua tangan 

ke depan, telapak dikembangkan dan saling dirapatkan. Mulut yang berkumis berkomat-kamit beberapa kali. Tiba-tiba ada sinar 

putih yang keluar membayang dari dadanya. Sinar ini kemudian 

bergerak ke atas, memecah jadi dua dan meluncur pada lengan 

kiri kanan. Begitu sinar mencapai dua telapak tangan yang 

terbuka, sinar memancar lebih terang. Didahului suara 

menyeruapai suara genta bertalu tahu-tahu di atas dua telapak 

tangan itu telah tergeletak melintang sebilah pedang. 

Senjata ini panjangnya hanya tiga jengkal. Satu jengkal 

dalam bentuk gagang terbuat dari gading gajah dan dua jengkal 

berupa sarung berkeluk yang juga terbuat dari gading dihias 

tebaran batu permata berlian. Gagang dan sarung pedang 

ditambah batu-batu berlian memancarkan cahaya putih

menakjubkan. 

Dengan gerak perlahan dan penuh khidmat manusia katai 

menarik gagang dan sarung pedang. Sesaat kemudian pedang 

telah keluar dari sarungnya. Pedang dan sarung diacungkan ke 

atas. Pedang Bulat Sabit ini bentuknya benar-benar menyerupai 

bulan sabit, pendek berkeluk, memancarkan cahaya putih terang 

indah sekali. Laksana bulat sabit dilangit lepas memancarkan 

cahayanya ke bumi. 

Setelah merasa Resi Khandawa Abitar melihat senjata itu 

dengan seksama, manusia katai masukkan kembali Pedang Bulan 

Sabit ke dalam sarung lalu dia melangkah kehadapan sang Resi. 

“Resi Yang Mulia. Sang Kebenaran meminta agar kami 

menyerahkan Pedang Bulat Sabit ini pada Yang Mulia.” 

“Sahabat, bagaimana mungkin. Mana aku berani berlaku 

lancang menerima senjata bertuah sakti mandraguna itu.” 

“Resi Yang Mulia, jangan menolak karena ini semua adalah 

atas kehendak Para Dewa.” 

Untuk beberapa ketika Resi Khandawa Abitar terdiam 

mendengar ucapan manusia katai itu. Lalu dia tundukkan kepala 

dan berkata. 

“Kalau memang ini kehendak Dewa, aku yang rendah mana 

berani menampikan “Resi Yang Mulia, Sang Kebenaran berpesan. Pedang Bulan 

Sabit adalah satu-satunya senjata yang mampu menghancurkan 

mahluk jahat yang selama ini gentayangan di satu negeri jauh. 

Mahluk ini telah mencuri sebuah kitab bernama Kitab Jagat 

Pusaka Dewa. Menggantikannya dengan satu kitab jahat dan 

palsu bernama Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Memperalat dan 

memperbudak seorang budak yang tak berdosa. Hanya karena 

ingin menguasai satu ilmu kesaktian sangat dahsyat yang kelak 

akan disedotnya dari tubuh si pemuda ….” 

“Aku Resi Khandawa Abitar menjunjung tinggi setiap sabda 

perintah Para Dewa. Namun apakah keterkaitan diriku dengan 

kejahatan yang terjadi di negeri orang jauh itu. Dan mengapa aku 

yang harus menerima pedang. Apa yang harus aku lakukan?” 

“Karena Yang Mulia, mahluk jahat itu berasal dari negeri ini.” 

Jawaban manusia katai membuat Resi Khandawa Abitar jadi 

berubah raut mukanya. Dia lantas bertanya. 

“Siapakah mahluk jahat itu gerangan adanya?” 

“Sang Kebenaran tidak memberitahu. Sang Kebenaran 

hanya berpesan bahwa Resi Yang Mulia satu-satunya orang yang 

bisa menumpas mahluk jahat tersebut dan menyelamatkan 

manusia dari kejahatan keji. Karena kalau dia berhasil 

mendapatkan ilmu kesaktian Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib maka 

sebagian dunia ini akan tenggelam dalam kejahatan yang 

dilakukannya. Selain itu Sang Kebenaran juga berpesan. Petunjuk 

lebih jauh bisa di dapat jika Resi Yang Mulia melakukan samadi 

mulai pertengahan malam besok dan meletakkan Pedang Bulan 

Sabit di atas pangkuan Yang Mulia.” 

Resi Khandawa Abitar menarik nafas panjang berulang kali. 

“Aku tidak pernah membayangkan akan mengalami kejadian 

seperti ini. Aku tunduk kepada Para Dewa. Aku wajib

melaksanakan apa yang menjadi pesan Para Dewa, termasuk 

Sang Kebenaran, siapapun dia adanya.” 

Resi Khandawa Abitar ulurkan dua tangan, menyambut 

Pedang Bulan Sabit yang diangsurkan manusia katai kearahnya.Hawa luar biasa sejuk mengalir dari dalam pedang sakti ke 

tangan Resi Khandawa Abitar. Hawa ini terus menjalar memasuki 

sekujur tubuhnya, mulai dari kepala sampai ke kaki. 

“Dewa Maha Agung … Dewa Maha Agung …” ucap sang Resi 

berulang kali. Tengah dia mengucap begitu rupa tiba-tiba ada 

selarik cahaya putih menebar seperti tirai. Ketika cahaya itu sirna, 

tujuh manusia katai tak ada lagi dalam ruangan. 

“Dewa Maha Agung ….” Kata Resi Khandawa Abitar sambil 

membungkuk berulang kali. 

***


DUA


TENGAH malam keesokan harinya Resi Khandawa Abitar 

sesuai pesan yang diterima dari Sang Kebenaran melalui tujuh 

manusia katai mulai melakukan samadi. Pedang Bulan Sabit 

diletakkan di atas pangkuan di alas dengan sehelai permadani 

kecil berbunga-bunga merah dan hijau. Kalau malam sebelumnya 

tak ada bintang tak ada rembulan maka malam ini begitu banyak 

bintang gumintang bertabur indah di langit dan rembulan 

berbentuk sabit ikut menghias menambah keelokan malam. 

Memasuki dini hari, udara dalam goa yang tadinya dingin 

kini mulai terasa hangat. Pedang Bulan Sabit di atas pangkuan 

memancarkan cahaya lebih benderang. Pakaian selempang kain 

biru Resi Khandawa lembab oleh keringat. Wajah dipenuhi butir-

butir keringat sementara alis, kumis dan berewoknya yang putih 

seperti kapas berubah menjadi kaku. Resi ini berusaha mengatur 

jalan nafasnya yang tiba-tiba tidak terkendali. Dadanya mulai 

berdebar. Ada satu kekuatan dari luar yang berusaha memutus 

samadinya. Saat itulah dari Pedang Bulan Sabit tiba-tiba 

memancar keluar satu hawa sejuk, melindungi tubuh sang Resi 

dari kekuatan jahat yang hendak mencelakakan. Begitu gangguan 

lenyap, dalam samadinya Resi Khandawa Abitar melihat satu tabir 

asap keluar dari lantai goa, naik ke atas membentuk dinding 

putih. Di dinding putih kemudian muncul pemandangan di sebuah 

ruangan batu di Goa Binaker. Resi Khandawa Abitar mengenali, 

itu adalah ruangan rahasia dimana sebuah patung kuna bernama 

patung Kamasutra pernah disimpan kemudian lenyap dicuri orang. 

Dalam samadinya saat itu sang Resi melihat di ruangan itu 

berdiri sosok Resi Kepala Mirpur Patel mengenakan pakaian 

selempang kain putih tampak kusut. Sosoknya begitu nyata dan 

ketika dia bicara suaranya begitu jelas. 

”Resi Ketua, kalau begitu ucapan Resi Ketua berikan

kesempatan pada saya untuk menebus dosa.” 

Habis berucap Resi Mirpur Patel melompat ke arah tembok 

ruangan sebelah kanan. Kepalanya dibenturkan dengan tembok batu, mengeluarkan suara menggidikkan. Kepala itu rengkah. 

Sosok sang Resi terkapar jatuh. 

Tak selang berapa lama di dinding putih muncul kembali 

perujudan Mirpur Patel tergeletak di lantai goa. Tiba-tiba dari 

tubuh Resi Kepala keluar sesosok samar laki-laki berpakaian 

hitam. Di tangan kanan orang ini memegang sebuah patung kecil 

di batu berwarna abu-abu kehitaman. Patung memancarkan 

cahaya merah. Sosok samar hitam berkelebat ke arah lobang di 

atas atap goa dan lenyap. (Kisah ini dapat diikuti lebih jelas dalam 

serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul ”Petaka Patung 

Kamasutra”). 

Apa yang terlihat di dinding putih dalam samadi Resi 

Khandawa ternyata masih berkelanjutan. Kini muncul sebuah titik 

kuning. Makin lama makin besar dan tambah bercahaya, 

menyerupai sebuah kepingan logam. Begitu kepingan logam 

kuning ini berubah sebesar jari kelingking tiba-tiba Pedang Bulan 

Sabit yang ada di pangkuan Resi Khandawa bergerak keluar dari 

sarungnya. Senjata sakti mandraguna ini melayang ke atas, 

bergerak ke arah dinding putih dan menusuk kepingan logam 

kuning. Kepingan logam nampak berubah seperti bara api. Di 

kejauhan saat itu juga terdengar raungan manusia. Kepingan 

logam kembali ke warna aslinya, melesat ke udara lalu ada satu 

tangan gadis jelita menjangkau kepingan logam kuning itu dan 

memasukkannya ke balik pakaian biru yang dikenakannya. 

Pedang Bulan Sabit melayang turun dari dinding putih lalu masuk 

kembali ke dalam sarungnya. 

Dinding putih berubah lagi menjadi tabir asap, turun ke 

bawah dan masuk lenyap di lantai ruangan. Tubuh Resi Khandawa 

Abitar bergoncang keras. Lalu diam tak bergerak, seolah tak 

bernafas. Hawa sejuk seperti tadi kembali keluar dari Pedang 

Bulan Sabit yang ada di pangkuan masuk ke dalam tubuh Resi 

Khandawa Abitar. Sekujur tubuhnya yang tegang berangsur 

kendur. Rambut, alis serta janggutnya yang tadi kaku kini kembali 

menjulai lembut. Perlahan-lahan Resi ini buka kedua matanya.Lama dia memandang tak berkeslp ke dinding batu hitam di 

hadapannya. Dia ingat kejadian lebih setahun silam. Suara hatinya 

mulai membatin. 

”Resi Mirpur Patel kau menipuku. Aku berlaku ayal hingga 

bisa tertipu. Kau sesungguhnya tidak tewas bunuh diri 

membenturkan kepala ke dinding batu Goa Binaker. Kau 

pergunakan ilmu Sembunyi Dalam Lorong Roh untuk 

menyesatkan pandangan mata. Kau mempergunakan ilmu 

kesaktian Masuk Ke Dalam Alam Roh Melalui Jazad Kentara yang 

aku tahu hanya ada di dalam kitab ajaran orang-orang sesat. Ilmu 

itu kau pergunakan untuk mencuri Patung Kamasutra, memasuk 

menyembunyikannya dalam tubuhmu. Lalu kau mengirim 

seseorang secara gaib untuk mengambil patung itu dari dalam 

tubuhmu. Setelah itu kau kabur melenyapkan diri dari dalam Goa 

Binaker. Apa maksud tujuan perbuatanmu? Menebar kejahatan 

keji seperti yang dikatakan manusia katai utusan Sang Kebenaran 

demi untuk mendapatkan ilmu kesaktian dahsyat yang bakal kau 

sedot dari tubuh pemuda yang kau perbudak? Aku tiba-tiba saja 

ingat satu hal. Ketika kau tergeletak di lantai Goa Binaker, tongkat 

emasmu tidak terlihat. Berarti kau telah memasukkan dan 

menyembunyikan di dalam tubuhmu. Kepingan logam kuning 

yang aku lihat di dalam samadi bukankah itu gompalan tongkat 

saktimu yang terbuat dari emas?” 

Resi Khandawa Abitar menarik nafas panjang lalu suara 

batinnya kembali bicara. "Pedang Bulan Sabit menusuk kepingan 

logam kuning. Agaknya ini merupakan satu pasan aku harus 

melakukan hai itu. Gadis berbaju biru. Aku harus menemuimu 

karena aku perlu bantuanmu. Kau memiliki logam kuning itu. 

Walau ujudmu seperti manusia biasa namun aku punya firasat 

kalau dirimu adalah mahluk dari alam gaib. Namun aku tidak mau 

kesalahan tangan. Aku terpaksa melakukan sesuatu. Mudah-

mudahan aku tidak akan menyakiti dirimu.” 

Dengan hati-hati Resi Khandawa Abitar lipat permadani kecil 

untuk membungkus Pedang Bulan Sabit lalu menaruhnya dalam sebuah cegukan batu di dinding kamar tidur, sebuah ruangan 

batu di sebelah ruangan samadi. 

Menjelang fajar menyingsing dia kembali ke ruang semadi 

membawa dua buah benda. Benda pertama adalah sebuah

pendupaan berisi puluhan batu kecil seujung ibu jari. Benda kedua 

sebuah tongkat berlekuk terbuat dari batu biru. Pendupaan 

diletakkan di lantai batu. Lalu ujung tongkat didekatkan ke mulut 

dan ditiup satu kali. Ujung tongkat kemudian dimasukkan ke 

dalam pendupaan. Satu cahaya biru bergemerlap. 

”Wusss!” 

Kejap itu juga puluhan batu di dalam pendupaan burubah 

menjadi bara api menyala! Tongkat ditarik sedikit lalu diletakkan 

di bibir pendupaan. Bau harum setanggi serta merta memenuhi 

ruangan. 

Setelah menaruh tongkat batu biru berkeluk dilantai batu di 

samping kanannya Resi Khandawa Abitar mulai malakukan 

samadi. Biasanya satiap bersamadi dua tangan sang Rasi 

diletakkan di atas dua paha atau dua telapak tangan ditempelkan 

di dada. Namun sekali ini dua tangan diulur ke depan setinggi 

dada dengan telapak terbuka menghadap ke atas. 

Tidak sampai sepenghisapan rokok dua tangan sang Resi 

tampak bergetar. Tangan kanan perlahan-lahan naik sedikit ke 

atas. 

”Kraakk !” 

Terdengar suara patahan benda keras. Tak selang berapa 

lama sebuah benda kuning entah dari mana datangnya melayang 

jatuh ke atas telapak tangan kanan Resi Khandawa Abitar. Untuk 

beberapa lamanya tangan itu bergetar dan terbungkus cahaya 

kuning. Sang Resi hentikan samadi. Langsung memperhatikan 

telapak tangan kanan. Benda yang ada, di atas telapak tangan Itu 

ternyata patahan dari satu keping gompalan emas. 

Resi Khandawa lepas nafas lega. 

”Aku melihat lebih nyata. Kepingan ini memang berasal dari 

tongkat sakti milik Resi Mirpur Patel. Pertanda dia memang tidak tewas bunuh diri. Dia berkeliaran di dunia sana. Gadis alam gaib, 

aku harus segera menemuimu.” 

Resi Khandawa letakkan ujung tongkat biru di atas 

pendupaan. Serta merta bara api menyala di dalam pendupaan 

padam, kembali ke bentuk semula, batu-batu sebesar ujung kuku. 

Dengan menenteng tongkat biru Resi Khandawa melangkah ke 

dinding batu sebelah kiri. Ujung tongkat diketukkan ke salah satu 

bagian dinding. Salah satu bagian batu membuka membentuk 

pintu. Di luar pintu sepuluh Resi berpakaian putih membungkuk 

hormat begitu Resi Ketua Khandawa Abitar lewat di depan 

mereka. Sebelum pergi Resi Ketua ini berkata pada mereka. 

”Jaga tempat ini baik-baik. Jangan boleh siapapun masuk ke 

dalam goa. Jika terjadi apa-apa cepat beri tahu aku melalui Genta 

Bumi Langit.” 

Genta Bumi Langit adalah sebuah lonceng sakti besar tapi 

sangat tipis terbuat dari emas murni yang disimpan di sebuah 

lorong rahasia. Bila genta ini ditalu maka suaranya akan sampai 

ke telinga orang yang dituju sekalipun dia berada sangat jauh. 

Sepuluh Resi membungkuk sambil merapal doa. Pintu batu 

kembali menutup. 

DI luar goa fajar belum menyingsing. Gurun pasir Thar 

masih diselimuti kegelapan. Resi Khandawa Abitar acungkan 

tongkat biru ke udara. Saat itu juga tubuhnya terangkat ke atas 

lalu melesat laksana terbang ke arah timur. Di tangan kiri dia 

memegang patahan kepingan emas yang tadi didapatnya secara 

gaib. Benda ini menjadi kemudi ke arah mana dia harus menuju. 

*** 

DI Gurun Pasir Tengger, satu tempat yang sangat jauh dari 

Gurun Pasir Thar, Purnama yang tengah berusaha 

menyelamatkan diri agar tidak disapu topan. Gadis dari alam gaib 

Latanahsilam ini sengaja mengeluarkan rohnya dan tubuh kasar. 

Sementara dia berada di alam roh sosok kasarnya masih terbaring 

di pedataran pasir. Selagi dia merasa aman tiba-tiba gadis ini menyaksikan dan mendengar gompalan tongkat mahluk tanpa 

wajah yang disimpannya di balik pakaian berderak patah menjadi 

dua potong. Potongan pertama tetap berada di balik pakaian biru 

sementara potongan kedua dengan kecepatan luar biasa melesat 

ke udara. Melayang bercahaya ke jurusan barat hingga akhirnya 

lenyap dari pemandangan. 

”Apa yang terjadi?” pikir Purnama. ”Siapa yang mematah 

dan membawa lari potongan gompalan tongkat emas itu?! Aku 

harus segera kembali masuk ke dalam jazadku.” 

*** 

TAK SELANG berapa lama setelah kepergian Resi Khandawa 

Abitar, bersamaan dengan menyembulnya mentari di ufuk timur, 

satu bayangan putih berkelebat masuk ke dalam lorong batu di 

perut Gurun Thar disertai barkiblatnya satu cahaya kuning. 

Sepuluh Resi berselempang kain putih yang menjaga 

ruangan batu kediaman Resi Khandawa Abitar melongak kaget 

ketika melihat siapa yang berdiri di depan mereka. 

”Resi Kepala Mirpur Patel...” Sepuluh Resi menyebut nama. 

Menatap dengan pandangan mata setengah takut setengah tak 

percaya. 

Orang yang dipanggil Resi Kepala Mirpur Patel. Kakek 

berjanggut, berkumis dan berambut putih balik memandang 

mendelik. Sambil membolang baling tongkat emas di tangan 

kanan hingga menimbulkan cahaya berkilauan dan menggetarkan 

seantero lorong batu, dia membentak. 

”Kalian melihat diriku seolah aku ini setan! Mangapa tidak 

memberi salam dan hormat?!” 

Sepuluh Resi segera membungkuk. Gerakan mereka 

menghormat tampak kaku. Setelah meluruskan badan salah 

seorang dari mereka memberanikan diri berkata. 

”Resi Kepala mohon maafmu. Bukankah.... bukankah kau 

sebenarnya telah meninggal dunia dalam peristiwa di Goa 

Binaker lewat satu tahun silam?


TIGA

SEPASANG mata Resi Kepala berkilat-kilat, mendelik 

bertambah besar. ”Kau yang bicara!” ucapnya manyentak sambil 

menunjuk tepat-tepat dengan ujung tongkat kuning ke hidung 

arah Resi yang barusan bicara. ”Apakah kau merasa lebih kuasa 

dan lebih tahu dari Para Dewa?! Dewa belum memanggilku! 

Bagaimana kau beraninya mengatakan diriku telah meninggal?” 

Resi yang dituding dengan ujung tongkat tampak pucat. 

Sembilan Resi lainnya tak satupun yang berani membuka mulut. 

Mereka berdiam diri sambil tundukkan kepala. 

”Kalau aku memang meninggal di Goa Binaker! Apa 

jenazahku pernah ditemukan di goa itu?!” Resi Kepala bertanya 

dengan suara membentak. 

”Resi Kepala,” Resi yang tadi bicara cepat-cepat jatuhkan 

diri. ”Jenazah Resi memang tidak pernah ditemukan di Goa 

Binaker. Itu pertanda bahwa sebenarnya Resi Kepala memang 

masih hidup seperti layaknya saat ini. Mohon maafmu kalau saya 

tadi sudah ketelepasan bicara. Saya menyesal dan mohon 

maafmu...” 

Resi pengawal yang berdiri di samping temannya yang

barusan dibentak agak takut-takut memberi tahu. 

”Kalau Resi Kepala ingin bertemu Resi Ketua, maka kami 

memberi tahu Resi Ketua tak ada di dalam gua. Beliau pergi sejak 

dini hari tadi.” 

”Aku sudah tahu. ” jawab kakek berselempang kain putih 

yang adalah Mirpur Patel sang Resi Kepala yang barusan saja 

dilihat Resi Khandawa Abitar dalam samadinya. Resi Kepala 

melangkah mundar-mandir dihadapan sepuluh Resi pengawal lalu 

berhenti dan berkata. ”Justru kedatanganku adalah membawa 

memberi kabar buruk. Ketahuilah, Resi Ketua Khandawa Abitar 

telah mati terbunuh oleh satu kekuatan dashyat alam gaib. Aku 

terlambat menolong. Bahkan jenazahnya tak berhasil aku 

temukan. Kalau tidak menguap dalam alam gaib pasti masuk 

lenyap ke dalam bumi atau ditelan gelombang samudera..."Sepuluh Resi keluarkan saruan tertahan sambil menyebut 

nama Resi Khandawa Abitar berulang kail. Ada yang merapal doa, 

ada yang keluarkan suara seperti mau menangis. 

”Kalau Resi Ketua memang sudah menemui ajal, dimanapun 

jenazahnya kami akan berusaha mencari.” Seorang Resi pengawal 

berkata. 

”Jangan berlaku tolol ! Aku saja tidak mampu mengetahui 

dimana beradanya jenazah Resi Ketua!” Kata Resi Mirpur Patel 

dengan mata didelikkan. 

Resi lain Ikut bicara. ”Bagaimana mungkin bisa terjadi. Para 

Dewa pasti melindungi Resi Ketua...” 

"Ajal manusia hanya Para Dewa yang tahu dan punya 

kuasa. Aku tengah melakukan penyelidikan. Sementara itu, 

sampai ada keputusan sidang Resi Sepuluh Ketua akulah yang 

menjadi pimpinan di tempat ini. Sampaikan itu pada semua Resi 

yang ada di sini. Katakan bahwa mereka termasuk kalian harus 

patuh pada apa yang aku katakan. Siapa berani membangkang 

akan aku usir dari tempat ini. Biar jadi Resi gelandangan di Gurun 

Pasir Thar sana! Kalian mendengar apa yang aku katakan?” 

Sepuluh Resi membungkuk. Namun salah seorang diantara 

mereka memberanikan diri berkata. 

”Resi Kepala, Resi Ketua sebelum pergi berpesan pada kami. 

Jika terjadi sesuatu maka kami harus menghubunginya melalui 

Genta Bumi Langit.” 

”Resi aku menegurmu dengan keras!” Resi Kepala 

membentak dengan mata menyala. ”Apa kau tuli?! Tadi sudah 

kukatakan bahwa Resi Ketua telah tewas. Kau ingin menghina 

arwahnya dengan menghubungi dirinya melalui Genta Bumi 

Langit? Bukankah lebih baik kau dan puluhan Resi lain yang ada di 

tempat ini segera saja memanjatkan doa ke hadapan Para Dewa 

demi ketenangan roh Resi Ketua di alam baka?!” 

Sepuluh Resi membungkuk dalam-dalam tak ada satupun

yang bicara. Dari balik pakaiannya Resi Kepala Mirpur Patel 

keluarkan satu kantong kain putih. Dia lalu melangkah pulang balik di depan pintu lorong sambil menaburkan sejenis bubuk 

putih dari dalam kantong. Bubuk ini menebar bau harum kembang 

melati. Begitu menyentuh lantai batu bubuk putih berubah jadi 

asap dan menebar ke seluruh ruangan hingga akhirnya lenyap 

dari pemandangan. 

Setelah menyimpan kantong putih Resi Kepala Mirpur Patel 

berkata. ”Aku akan segera meninggalkan tempat ini. Aku 

melarang siapapun masuk ke dalam tempat kediaman mendiang 

Resi Khandawa Abitar. ”Apa kalian mendengar perintahku?!" 

”Kami mendengar Resi Kepala.” Jawab sepuluh Resi hampir 

berbarengan. 

Hanya sesaat setelah Resi Kepala Mirpur Patel tinggalkan 

tempat itu salah seorang Resi mengajak teman-temannya bicara. 

”Bubuk putih yang ditebar Resi Kepala tadi bukankah itu 

Bubuk Penyesat Mata dan Rasa?” 

”Aku tahu,” Jawab temannya. ”Tadipun aku sudah 

menduga.” 

”Berarti sebenarnya Resi Ketua Khandawa Abitar masih 

hidup. Tidak tewas seperti yang dikatakan Resi Kepala Tadi.” 

”Betul.” Beberapa orang Resi keluarkan ucapan yang sama 

hampir berbarangan. 

”Resi Kepala sengaja menebar bubuk Penyesat Mata Dan 

Rasa untuk menangkal agar Resi Ketua tidak bisa kembali ke 

tempat ini.” 

”Ada sesuatu yang tidak beres. Para Resi sekalian, kalian 

tunggu di sini…” Berkata Resi Kandila. 

”Resi Kandila, kau mau kemana ? Mau berbuat apa ?”

bertanya salah seorang Resi pada Resi yang barusan bicara. 

”Aku akan masuk ke ruangan Genta Bumi Langit. Aku akan 

menghubungi Resi Ketua melalui genta itu, sesuai pesan beliau.” 

”Kalau begitu aku Resi Mitkapul akan menemanimu.” 

Dua orang Resi yakni Resi Kandila dan Resi Mitkapuil 

membuka pintu rahasia lalu masuk ke dalam lorong. Bangunan 

batu di bawah perut Gurun Pasir Thar memiliki dua belas lorong.Setiap lorong mempunyai beberapa ruangan tertentu. Tidak 

semua lorong pintunya bisa dibuka oleh Resi pengawal. Antaranya 

lorong menuju kediaman Resi Khandawa Abitar. Dua Resi masuk 

ke dalam lorong Sebelas. Setelah menekan satu alat rahasia, dua 

Resi tadi masuk ke dalam ruangan ke Dua. Begitu pintu terbuka 

langsung berhadapan dengan tangga batu terdiri dari dua belas 

undakan. Di sebelah atas tangga terdapat satu ruang batu empat 

persegi. Di atap ruangan ini tergantung sebuah lonceng besar 

terbuat dari emas. Anak lonceng tergantung pada ujung rantai 

yang juga terbuat dari emas murni. 

Resi Kandila yang menaiki tangga di sebelah depan sampai 

lebih dulu ke ruang empat persegi. Resi Mitkapul mendampingi di 

sebelah belakang. Keduanya membungkuk di hadapan lonceng 

sakti. Setelah lebih dulu sama-sama merapal doa dan

membayangkan wajah Resi Khandawa Abitar, Resi Kandila ulurkan 

tangan untuk memegang anak lonceng. Siap ditarik. Namun 

sebelum hal Itu kesampaian tiba-tiba byaaarrr ! 

Satu larik sinar kuning berkiblat terang di ruangan itu. 

”Bukk !” 

Rasi Kandila tersungkur di lantai di bawah lonceng.

Kepalanya hancur. Tapi tak ada darah yang mengucur. Dia 

langsung tewas tanpa keluarkan suara sedlkitpun ! 

Melihat apa yang terjadi Resi Mitkapul berteriak kaget. 

Menyebut nama Dewa Agung dan berbalik. Namun belum sempat 

melihat siapa adanya orang yang barusan membunuh temannya 

Resi satu ini juga sama menerima nasib malang. Sebuah benda 

memancarkan cahaya kuning menghantam keningnya. Resi ini 

terguling sampai di undakan tangga kesepuluh dengan kepala 

pecah ! Tak ada darah yang keluar ! 

DI SATU tempat di gurun pasir Tengger, sementara topan 

dahsyat masih terus menderu. Pumama gadis alam gaib dari 

negeri Latanahsilam yang sudah merasa aman siap-siap keluar 

dari alam roh,masuk kembali ke ujud kasarnya yang masih tergeletak di tanah gurun. Seperti yang diceritakan dalam episode 

sebelumnya (Topan Di Gurun Tengger) ketika terjebak dalam 

badai yang menerbangkan jutaan butir pasir dan bisa membuat 

tubuh berubah jadi saringan gadis ini mendapat serangan gelap 

dari mahluk gaib yang diperkirakannya adalah mahluk jahat tanpa 

wajah. Dengan memancing musuh tak terlihat itu dengan 

gompalan tongkat emas Purnama berhasil selamatkan diri. 

Selagi si gadis bersiap-siap untuk pindah dari alam roh dan 

masuk kembali ke dalam jazadnya yang masih terbaring di atas 

gurun pasir dekat lobang besar bekas hantaman mahluk tanpa 

wajah, tiba-tiba dari arah timur tampak satu sinar biru yang 

begitu luar biasa hingga mampu menembus ketebalan topan 

pasir. Sinar ini bergerak luar biasa cepat dan dalam waktu singkat 

telah berada sekitar dua ratus tombak di atas gurun pasir Tengger 

dimana Purnama saat itu berada. Si gadis batalkan niat untuk 

masuk ke dalam jazadnya. 

Di langit memercik ratusan bunga api disertai suara gelegar 

berkepanjangan ketika sinar biru menembus terpaan gelombang 

topan. Daya tembus sinar biru agak tersendat sewaktu dari arah 

barat tiba-tiba berkiblat cahaya kuning, coba membabat putus 

sinar biru. Agaknya kekuatan dibalik sinar biru lebih hebat dari 

sinar kuning yang coba memusnahkannya. 

Didahului satu dentuman dahsyat laksana guntur 

menggelegar, sinar kuning tercabik-cabik di udara. Tiupan topan 

ikut terpental kian kemari. Sinar kuning akhirnya sirna namun 

topan masih terus menderu walau kini tidak sedahsyat 

sebelumnya. Dalam keadaan seperti itu, laksana terbang dan 

turun dari langit di arah timur tampak melayang sosok seorang 

kakek bertubuh tinggi besar mengenakan pakaian selempang kain 

biru dengan kepala dan wajah dihias rambut putih dan Janggut 

panjang serta kumis menjulai putih seperti kapas. Dua Jengkal di 

depan tubuh orang tua ini yang bukan lain Rasi Khandawa Abitar 

adanya berputar sebuah tongkat biru berkeluk yang bukan saja 

memancarkan cahaya biru benderang tapi sekaligus melindungi dirinya serta membendung keganasan topan dahsyat yang 

melanda Gurun Pasir Tengger. 

Di satu tempat Resi Khandawa berhenti melayang. 

Tubuhnya mengapung di udara. Sungguh luar biasa ilmu 

meringankan tubuh yang dimilikinya. 

”Topan buatan ! Sang pembuat sudah melarikan diri. Hawa 

sakti kebenaran telah menguasai tempat ini. Mengapa masih 

menunjukkan digjaya sia-sia ? Kombali ke tempat asalmu !” 

Resi Khandawa Abitar berucap. Suaranya tidak mombentak 

tapi perlahan saja. Mulutnya kemudian komat kamit merapal 

mantera. Anehnya saat itu juga suara deru topan berubah 

mengendur dan tebaran jutaan pasir gurun yang melayang di 

udara sedikit demi sedikit luruh ke bawah dan bersatu kembali 

dengan pedataran gurun tempat asal datangnya. Hanya selang 

beberapa saat topan yang melanda Gurun Pasir Tengger lenyap 

walau cuaca agak gelap masih belum surut. 

”Tongkat sakti Kuntala Biru. Kau telah menjalankan tugasmu 

dengan baik. Para Dewa di Swargaloka. Saya Resi Khandawa 

Abitar berterima kasih atas Kuasa dan pertolonganMu. Mohon 

perlindungan Para Dewa untuk tindak selanjutnya. » 

Habis keluarkan ucapan Resi Khandawa Abitar ulurkan

tangan kanan menangkap ujung berkeluk tongkat biru yang 

masih berputar deras. Tangan manusia biasa yang punya 

kepandaian dan ilmu, kesaktian yang tidak tinggi, salah-salah 

menyentuh bisa terbabat putus oleh putaran tongkat.

Resi Khandawa Abitar gerakkan dua kaki. Tubuhnya kembali 

melayang turun. Matanya yang bening tajam memandang ke 

seantero pedataran pasir Gurun Tengger. Jauh di bawah sana dia 

melihat beberapa orang berkaparan di gurun pasir. 

Resi dari Gurun Pasir Thar ini memiliki ilmu kesaktian 

bernama Mengulur Mata Menjerat Pandang. Dengan ilmu ini dia 

bisa melihat benda di kejauhan menjadi dekat seolah berada di 

depannya. Di arah kiri gurun pasir saat itu dia melihat seseorang 

tengah berusaha berdiri. Begitu dia menerapkan Ilmu Mengulur Mata Menjerat Pandang serta merta dia melihat orang itu adalah 

pemuda berambut gondrong. Wajah bercelemong pasir. Rambut 

dan pakaian Juga penuh ditempeli pasir. Si pemuda kibas-kibas 

rambut gondrongnya dan tepuk-tepuk pakaian putih untuk 

membersihkan pasir gurun yang menempel. Lalu dia mengusap 

muka berulang kali. 

Ketika sang Resi memperhatikan bagian tubuh antara dada 

dan perut pemuda ini, empat kelopak matanya terasa bergetar. 

Jantung berdetak lebih kencang dan darah mengalir lebih cepat. 

Resi ini terkesima. 

***


EMPAT


AKU melihat cahaya putih aneh di tubuh sebelah depan 

pemuda berambut gondrong Itu. Hemmm… ” Sang Resi 

bergumam. ”Dia menyimpan satu senjata sakti mandraguna di 

dekat relung jantung dan hati di dalam tubuhnya. Luar biasa! 

Kalau kekuatan tongkat Kuntala Biru masuk ke dalam tubuhnya, 

bergabung dengan kekuatan senjata yang dimilikinya, langit bisa 

diruntuhkan, samudera bisa dibendung. Tujuh Tonggak

Kekuasaan, Keadilan dan Kebenaran bisa dikuasainya. Pemuda itu 

siapa dia gerangan. Sebelum kembali ke Gurun Thar aku perlu 

menemui dirinya. Sekarang aku harus mencari gadis berbaju biru 

yang aku lihat dalam samadiku...” 

Sementara tubuhnya terus melayang turun Resi Khandawa 

Abitar tukikkan pandangan ke bawah. Mendadak di arah depan 

dia melihat satu pemandangan yang membuat wajah tuanya yang 

klimis bersemu merah namun kemudian tertawa geli sendirian. 

Gerangan apa yang telah dilihat dan membuat Resi sakti dari 

India ini sampai tertawa demikian rupa? 

Seperti diceritakan sebelumnya ketika topan prahara

membadai di Gurun Pasir Tengger, Naga Kuning telah merubah 

diri ke dalam ujud aslinya yakni seorang kakek sakti bernama Kiai 

Paus Samudera Biru. Sambil menindih tubuh Gondoruwo Patah 

Hati kakek ini berusaha merayu kekasihnya itu. Dia berbisik ke 

telinga si nenek. 

”Intan, lama sekali aku menginginkan kita berdua-dua 

seperti Ini. Sekarang baru ada kesempatan...” 

”Ihhh!” Gondoruwo Patah Hati terpekik. ”Tua bangka

kurang ajar! Lekas turun! Kalau tidak....” 

”Nek, tidakkah kau ingin merubah dirimu menjadi Intan Ning 

Lestari agar kita bisa bermesraan lebih mantap? Apa kau tega 

membiarkan diriku seperti ini?” 

Si nenek agak tergagap. Tapi kemudian membentak 

memaki.”Kiai edan! Jangan-jangan kau sudah kemasukan roh jahat 

Cakra Mentari!” Si nenek susupkan tangan kirinya ke balik jubah si 

kakek. Kiai Paus Samudera Biru mesem-mesem menikmati 

sentuhan tangan yang menjalar itu. Ah, ini yang diharapkan. Dia 

menunggu usapan terakhir di bagian bawah perutnya di tempat 

yang tak bisa dibayangkan! 

Namun mendadak sang Kiai menjerit keras. Bukan 

mendapat usapan, bukan pula merasa kenikmatan tapi kantong 

menyan perabotannya amblas dipencet si nenek. Sosok si kakek 

langsung melintir dan terguling ke tanah. Dua kaki melejang-

lejang, mulut mengerang dan muka meringis menahan sakit. 

”Rasakan! Makan pencarianmu!” Maki Gondoruwo Patah

Hati lalu tertawa cekikikan. Namun nenek ini kemudian hentikan 

tawa dan unjukkan muka kawatir. Sebabnya sosok Kiai Paus 

Samudera Biru kini tergeletak di pasir tidak bergerak tidak 

bersuara! Ketika dia memperhatikan muka si kakek kelihatan 

sepasang mata yang terbuka mendelik tak berkesip! 

”Astaga! Jangan-jangan...” Si nenek ketakutan lalu jatuhkan 

diri dan peluk tubuh si kakek. Dia usap kepala sambil ciumi wajah 

Kiai Paus Samudera Biru berulang kali. ”Gunung, apakah tadi aku 

terlalu keras memencet anumu?” Gunung adalah nama asli Naga 

Kuning. 

Si kakek tidak dapat menahan tawanya lagi. Sosoknya 

berubah menjadi Naga Kuning kembali. Sambil merangkul 

punggung dengan kedua tangan serta menggelungkan dua kaki di 

pinggul si nenek bocah berambut jabrik ini tertawa terpingkal-

pingkal. 

”Anak kurang ajar!” Gondoruwo Patah Hati mendamprat lalu 

berguling menjauh sambil terus memaki panjang pendek. 

Semua apa yang terjadi itulah yang telah disaksikan oleh 

Resi Khandawa Abitar dari atas gurun pasir dan membuat dia 

tertawa geli. 

”Hidup di muka bumi di luar alamku ternyata banyak 

keluguan dan kelucuan. Para Dewa sungguh adil. Membagi kebahagiaan pada ummat manusia. Dalam susah maupun 

senang...” 

Sang Resi kemudian memperhatikan ke beberapa jurusan 

lain sambil tangan kiri yang memegang patahan gompalan 

tongkat emas di acungkan di depan dada. 

Agak jauh di sebetah selatan Rasi Khandawa Abitar melihat 

satu bangunan. Dari bentuknya dia tahu kalau bangunan itu 

adalah sebuah Kuil Hindu. Kembali dia mengerahkan Ilmu 

Mengulur Mata Menjerat Pandang. Bangunan kuil yang tadinya 

kecil berubah jadi besar. Begitu melihat Kuil yang masih berada 

dalam keadaan utuh tanpa kerusakan sedikitpun sang Resi segera 

rundukkan kepala memanjatkan doa dan puji-pujian. 

”Dewa Pelindung Agung.Topan badai begitu besar namun 

kerusakan tidak sampai menyentuh Kuil suci itu. BerkahMu sangat 

besar wahai Para Dewa di Swargaloka. Terima kasih Dewa. 

Terima kasih....” 

Masih dalam menerapkan ilmu kesaktiannya, tidak jauh dari 

bangunan Kuil tampak seorang tua berselempang kain putih, 

melangkah terseok-seok menuju Kuil. Pakaian putih dan sekujur 

tubuhnya kotor penuh debu dan pasir gurun. Beberapa bagian 

lengan dan bahu dalam keadaan luka akibat ditembus pasir. 

Orang tua yang dilihat Resi Khandawa Abitar ini adalah Resi 

Jantika Lamantara yang dengan susah payah berusaha mencapai 

Kuil. Walau dua kaki goyah, sekujur tubuh sakit bukan kepalang 

namun melihat keadaan Kuil yang masih utuh memberi semangat 

padanya untuk meneruskan langkah. Sambil berjalan mulutnya 

tiada henti mengucap doa puji syukur. Pada saat Resi Khandawa 

Abitar akhirnya menjejakkan dua kaki di Gurun PasirTengger 

sudut mata sang Resi tiba-tiba menangkap kilatan cahaya di arah 

kiri. Ketika berpaling ke kanan, di kejauhan dia melihat seorang 

gadis cantik memegang sebuah cermin bulat lengah berusaha 

bangkit berdiri. 

”Bukan gadis yang kucari...” ucap Resi Khandawa Abitar. 

”Gadis berjubah kelabu, seperti tiga orang tadi agaknya dia juga bukan orang sambarangan. Cermin bulat di tangannya pasti 

sebuah senjata sakti. Aku melihat cahaya biru di balik dadanya. 

Heran, bagaimana banyak orang berkepandaian tinggi bertebaran 

di gurun pasir yang baru dilanda topan ini? Apakah mereka semua 

punya sangkut paut dengan kejahatan Resi Mirpur Patel? Agaknya 

aku bakal mendapat banyak sahabat di negeri ini.” 

Sambil terus berpikir-pikir Resi Khandawa Abitar 

memandang berkeliling sampai pandangannya membentur satu 

sosok berpakaian biru, berambut panjang lepas riap-riapan tertiup 

angin, terbaring menelungkup. Dada sang Resi berdebar. 

”Ada cahaya kuning bersinar di bagian bawah tubuhnya 

yang menelungkup. Aku harus melihat wajah perempuan ini...” 

Resi Khandawa kembali kerahkan Ilmu Mengulur Mata Menjerat 

Pandang. Begitu sosok orang menjadi besar dan sewaktu dia 

melihat sebagian wajah yang tertelungkup darahnya berdesir. 

”Walau wajahnya cuma terlihat sebagian tapi aku yakin ini 

gadis yang kulihat dalam samadi. Benda bercahaya di bagian 

bawah tubuhnya pasti potongan gompalan tongkat emas...” 

Tidak menunggu lebih lama Resi Khandawa Abitar segera 

melesat mendekati sosok tubuh yang tertelungkup di pasir. 

”Aneh, topan sudah reda. Mengapa perempuan muda Ini masih 

berbaring menelungkup? Apakah dia masih hidup. Jangan-jangan 

telah tewas dilanda topan. Tapi tubuhnya terlihat utuh...” 

Resi Khandawa maju lagi dua langkah, lebih mendekat. 

Sambil pandangi sosok perempuan berpakaian biru di depannya 

dia menarik nafas dan menghirup udara dalam-dalam. Tongkat 

Kuntala Biru disapukan di punggung perempuan yang terbaring 

menelungkup. Mendadak saja Resi ini tersurut satu langkah. 

”Sosok perempuan ini dalam keadaan kosong. Berarti.....” 

Sang Resi memandang berkeliling. Dia tidak dapat melihat 

tapi dia mampu merasakan. Maka segera saja dia keluarkan 

ucapan. 

”Mahluk pandai dari alam roh, kau punya tubuh bagus dan 

wajah cantik. Mengapa ditinggal disia-siakan?”Roh Purnama yang ada di dekat situ yang tadi sebenarnya 

memang hendak kembali masuk ke dalam jazadnya namun

membatalkan niat karena kedatangan sang Resi, kini setelah 

mendengar ucapan Resi itu langsung saja dia masuk kembali ke 

dalam tubuh kasarnya. Kejap itu pula dia bergerak bangkit, 

berdiri dua langkah di hadapan sang Resi. 

”Ah, kini aku melihat wajahmu dengan jelas. Kau memang 

orang yang ada dalam samadiku. Terima kasih Dewa telah 

mempertemukan aku denganmu.” Resi Khandawa Abitar 

melintangkan tongkat Kuntala Biru lalu membungkuk memberi 

hormat pada gadis cantik hadapannya. 

Purnama perhatikan orang tua di depannya sesaat lalu 

berkata. ”Orang tua, dari dandananmu saya tahu kau adalah 

orang asing. Kau pandai bahasa negeri ini.” 

”Dewa memberi berkah padaku,” jawab Resi Khandawa 

Abitar. ”Logat bicaramu seperti seorang yang pernah aku kenal. 

Namanya Deewana Khan.” 

”Dewa Maha Besar!” Resi Khandawa Abitar mengucap 

menyebut nama Dewa. ”Kau kenal Deewana Khan. Aku akan 

bertanya banyak tentang dirinya. Namun saat ini ada satu hal 

penting yang harus didahulukan.” 

”Tunggu dulu,” kata Purnama pula. ”Ada satu mahluk tanpa 

wajah yang juga punya logat bicara sepertimu. Orang tua apa 

hubunganmu dengan mahluk itu? Kalian agaknya datang dari 

negeri yang sama.” 

Resi Khandawa Abitar tersenyum. Setelah anggukkan kepala 

beberapa kali dia berkata. ”Kedatanganku kesini justru ada 

sangkut pautnya dengan semua apa yang kau ketahui. Gadis 

berbaju biru, izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku 

Khandawa Abitar. Aku Resi Ketua dari Gurun Thar di India. Kalau 

aku boleh bertanya, siapakah namamu?" 

”Purnama...””Dewa Maha Agung. Purnama. Bukankah itu juga berarti 

rembulan? Nama yang sangat bagus. Sahabatku muda, apakah 

kau mengenali benda ini?" 

Resi Khandawa Abitar perlihatkan keping gompalan tongkat 

emas yang sejak tadi digenggamnya. 

”Kau mengenali benda ini?” 

Purnama memperhatikan dan tampak terkejut. Dia meraba 

ke balik baju biru yang dikenakannya. Resi Khandawa Abitar 

berkata. ”Kau sudah maklum. Kepingan emas ini adalah 

gompalan dari tongkat milik mahiuk tanpa wajah....”

”Saya tidak mengerti. Kepingan itu ada pada saya. Beberapa 

saat lalu patah secara aneh...” 

”Aku yang mematahkan. Keluarkanlah bagian patahan yang 

ada padamu...” 

Purnama keluarkan patahan gompalan tongkat emas yang 

dimilikinya. Resi Khandawa melangkah mendekat. Dia mengambil 

patahan kepingan tongkat yang dipegang Purnama. Ketika dua 

patahan gompalan tongkat emas saling ditempelkan satu sama 

lain ternyata dua patahan bersambung menyatu sangat tepat. 

”Aku benar-benar telah menemui gadis yang aku lihat dalam 

semadiku. Dewa sungguh Agung. Purnama, aku akan melakukan 

sesuatu. Harap kau tetap berdiri tenang di tempatmu...” 

Selesai berucap Resi Khandawa letakkan dua keping 

patahan gompalan tongkat di telapak tangan kiri. Lalu dia angkat 

tongkat Kuntala Biru. Sambil merapal doa Resi ini kemudian 

tekankan ujung tongkat sakti pada dua patahan gompalan 

tongkat emas. Satu sinar biru yang amat terang membersit keluar 

dari tongkat sakti. 

”Wusss!” 

Saat itu juga dua patahan gompalan tongkat emas 

tunggelam dalam kobaran api berwarna biru. Satu kekuatan yang 

tak kelihatan muncul secara aneh, melabrak Khandawa Abitar 

hingga Resi dari Gurun Thar ini jatuh terduduk. Wajahnya tampak merah. Purnama cepat mendatangi. Maksudnya hendak menolong 

sang Resi berdiri. Namun Resi Khandawa Abitar cepat mencegah. 

”Jangan sentuh!” 

”Wusss” 

***


LIMA


SATU kobaran api berwarna biru menggebubu ke udara 

setinggi hampir dua tombak, membuat tubuh Resi Khandawa 

Abitar lenyap tak kelihatan lagi. Purnama terpekik. Kalau dia tidak 

cepat melompat mundur niscaya ikut tersulut api dahsyat Itu. 

Di saat yang bersamaan di kejauhan di arah selatan 

terdengar raungan manusia luar biasa keras hingga menggema 

sampai di permukaan pedataran pasir. 

Dari dalam kobaran api biru tiba-tiba terdengar suara Resi 

Khandawa Abitar. 

”Resi Mirpur Patel. Saatnya kau datang ke hadapanku untuk 

meminta maaf dan meminta ampun pada Para Dewa atas semua 

dosa kesalahan yang telah kau perbuat.” 

Di selatan kembali terdengar suara raungan namun kali ini 

disertai suara ucapan bergumam yang tidak jelas. 

Di dalam kobaran api biru terdengar lagi suara Resi 

Khandawa Abitar. ”Apa? Kau menolak datang. Sayang sekali. 

Apakah kau sudah berpikir baik-baik Resi Mirpur Patel?” 

Kembali menggelegar suara raungan dan ucapan bergumam 

dari arah selatan. Lalu menyusul suara sang Resi yang masih 

tenggelam dalam kobaran api biru setinggi dua tombak. 

”Jika kau mau datang, aku berjanji meminta keringanan 

hukuman pada Para Dewa Apa... ? Ah, sayang sekali. Kau tetap 

tak mau datang malah menantang tak takut mati. Resi Mirpur 

Patel, nyawamu bukan di tanganku. Aku tidak punya kewenangan 

untuk membunuhmu. Namun jika Para Dewa memberi kuasa 

bagiku untuk melakukan sesuatu, aku masih tetap ingin kau minta 

ampun dan bertobat atas semua kesalahanmu. Kita para Resi, 

apakah tidak ingin melihat dunia ini dan semua ummat di 

dalamnya hidup dalam bahagia ketenteraman?” 

DI selatan menggelegar raungan dahsyat dan gumam aneh. 

”Ah, sayang sekali. Benar-benar sayang sekali! Apa yang 

terjadi dengan dirimu? Mengapa kau begitu keras kepala? Hanya 

karena ingin mendapatkan ilmu sesat dari kitab palsu yang aku mengira kau sendiri yang membuatnya? Sayang sekali! Kau tak 

mau datang dengan ikhlas, aku terpaksa menyedotmu datang 

kemari!” kata Resi Khandawa Abitar. Dia acungkan tongkat 

Kuntala Biru ke depan setinggi dada. Lalu tongkat disentakkan 

kebelakang. 

”Wuutttt!” 

Terdengar suara bergemuruh disertai hawa aneh menarik 

kuat sekali ke arah sang Resi. Purnama cepat-cepat jatuhkan diri 

ke gurun pasir lalu berguling menjauh. Selagi dia hendak 

mencoba berdiri tiba-tiba blukk! 

Satu sosok putih jatuh bergedebuk di atas pasir di depannya 

lalu menggelundung dan berhenti tiga langkah di hadapan Resi 

Khandawa Abitar. Sosok putih ini seorang tua berambut dan 

berjanggut putih panjang dengan wajah licin rata tidak berupa. 

Dalam kepitan tangan kiri ada sebuah tongkat emas besar 

berbentuk bulat salah satu ujungnya. 

”Mahluk tanpa wajah!” ucap Purnama setengah berseru. 

”Wusss!” 

Api biru setinggi dua tombak yang sejak tadi menyelubungi 

Resi Khandawa Abitar tiba-tiba lenyap. Tak kurang suatu apa Resi 

ini melangkah mendekati sosok orang tua tanpa wajah yang 

masih tergeletak di pasir. Agaknya dia memang tak mampu 

bergerak ataupun bicara. Dari mulutnya hanya keluar suara 

desah meracau. 

Resi Khandawa sapukan tongkat sakti Kuntala Biru di wajah 

licin pada arah letak mulut yang tidak kelihatan dari mahluk 

tanpa wajah. 

”Resi Mirpur Patel, aku sudah membuka jalan suaramu. 

Sekarang bicaralah.” 

Wajah licin tanpa mulut itu secara aneh mengeluarkan suara 

parau menjawab. 

”Resi Khandawa, kau lebih baik membunuhku saat Ini juga. 

Aku tidak akan pemah mau bicara!”

”Begitu.. .?” Resi Khandawa tersenyum. ”Memang tidak 

sopan bicara kalau wajahmu tidak kelihatan.” 

Resi Khandawa Abitar kembali sapukan tongkat saktinya. 

Kini ke kepala dan seluruh wajah Resi Mirpur Patel. Tiba-tiba tiga 

cahaya berwana merah, biru dan hijau memancar terang dari 

kepala Resi Mirpur Patel, menyambar ke arah Resi Khandawa 

Abitar. Dengan cepat Resi ini melompat mundur seraya sapukan 

tongkat Kuntala Biru.Tiga letusan keras menggeledek di tempat 

itu. Resi Mirpur Patel mengerang keras. Tubuhnya melesak 

masuk ke dalam tanah, setengah terkubur di dalam pasir! Masih 

tidak punya kemampuan begerak. Tongkat emasnya menancap ke 

dalam pasir sampai setengahnya. Pada saat itu kepalanya yang 

tadi polos licin tanpa wajah kini berubah menunjukkan wajah 

seorang kakek berambut, kumis dan janggut putih. Tampangnya 

tampak angker memandang penuh geram pada Resi Khandawa 

Abitar. 

Sepasang mata Resi Khandawa Abitar tatap sosok dan wajah 

Resi Mirpur Patel tak berkesip. Dalam hati dia berkata. ”Resi ini 

agaknya sudah memiliki ilmu kesaktian jahat dari buku sesat. 

Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib. Jika dia berhasil menyedot ilmu 

yang di dapat pemuda yang jadi budaknya itu, kekuatan ilmu 

pukulan bisa berubah dahsyat sepuluh kali lipat! Jangankan bumi, 

Swargalokapun bisa tergoncang!” 

”Resi Mirpur Patel, apakah kau masih tidak mau bicara?” 

Dua pipi Resi Mirpur Patel menggembung, pelipisnya begerak-

gerak. Tiba-tiba dia meludah. 

”Puuhhh!” 

Dihina seperti itu Resi Khandawa Abitar hanya tersenyum. 

”Hatimu sekeras batu di Gurun Thar. Perasaanmu sebeku 

salju di puncak Pegunungan Vindhya dan pikiranmu seperti 

terselubung lumut setebal lumut di dasar sungai Chambal. Resi 

Mirpur Patel, aku akan memohon pengampunan bagi dirimu pada 

Para Dewa di Swargaloka. Asal kau mau mengembalikan padaku 

Patung Kamasutra yang kau curi di Goa Binaker.””Patung itu tidak ada padaku.” 

”Kalau begitu kau pasti tahu dimana beradanya dan siapa 

yang memegangnya.” 

”Tanyakan saja pada Para Dewa di Swargaloka,” jawab

Mirpur Patel alias mahluk tanpa wajah dengan nada mengejek. 

Mendengar ucapan Mirpur Patei itu marahlah Resi Khandawa 

Abitar. Orang boleh menghina dirinya.Tapi jika orang berani 

menghina Dewa di hadapannya maka dia akan turun tangan lebih 

dulu! Resi yang biasa bicara lembut ini sekarang berucap dengan 

suara keras dan bergetar menahan marah. 

”Resi Mirpur Patel! Kau tahu tidak ada dosa paling besar 

selain menghina dan mempermalukan Para Dewa! Aku tidak akan 

membunuhmu. Tapi aku juga tidak akan membiarkan dirimu 

hidup gentayangan seenaknya di muka bumi ini. Hukum harus 

diberlakukan atas dirimu! Dewa memutuskan! Aku 

melaksanakan!” 

”Resi pengecut! Jangan meminjam nama Dewa! Akui saja 

kau tidak berani membunuhku!” 

Sebagai jawab atas ucapan Resi Mirpur Patel, Resi 

Khandawa Abitar tancapkan tongkat Kuntala Biru ke tanah. Dari 

balik pakaian birunya dia keluarkan Pedang Bulan Sabit yang 

didapatnya dari tujuh orang katai yang mengaku sebagai utusan 

Sang Kebenaran. Perlahan-lahan dia pergunakan tangan kanan 

untuk menarik gagang pedang. Meskipun saat itu matahari 

bersinar cerah namun kilau cahaya putih terang dan indah dari 

Pedang Bulan Sabit yang dicabut dari sarungnya tidak menjadi 

redup. 

Sementara Resi Khandawa Abitar merapal doa di dalam hati, 

sosok Resi Mirpur Patel alias mahluk tanpa wajah yang tergeletak 

di tanah berusaha memusnahkan kekuatan yang membuat

sekujur tubuhnya kaku. Dia sadar sesuatu akan terjadi atas 

dirinya. Karena itu dia harus bisa melarikan diri. Namun 

jangankan membebaskan diri, begerak sedikitpun dia tidak bisa.”Kurang ajar! Resi itu telah melumpuhkan sekujur auratku 

dengan ilmu Seribu Titik Tanpa Daya? Resi Mirpur Patel 

menyumpah geram. 

”Khandawa Abitar! Aku bersumpah akan membunuhmu jika 

kau melakukan sesuatu atas diriku!” Resi Mirpur Patel keluarkan 

ancaman. 

Sepasang matanya tidak lepas dari memperhatikan senjata 

di tangan Resi Khandawa Abitar. Resi Khandawa sendiri tidak 

perdulikan ancaman orang. Sambil memegang Pedang Bulan Sabit 

di tangan kanan dia melangkah mendekati Resi Mirpur Patel. 

”Kau mau melakukan apa?!” teriak Mirpur Patel. 

”Kebenaran harus ditegakkan. Hukum harus dilaksanakan. 

Dewa menyampaikan pesan melalui Pedang Bulan Sabit ini!" 

Selesai berucap Resi Khandawa Abitar tekankan ujung runcing 

Pedang Bulan Sabit ke kening Resi Mirpur Patel. Gerakannya 

perlahan saja, tidak sampai membuat kening Mirpur Patel terluka. 

Satu kilatan cahaya putih melesat masuk menembus batok kapala 

Resi Mirpur Patel, menjalar ke seluruh tubuhnya yang kemudian 

terjengkang di tanah gurun. Bersamaan dengan itu terjadilah hal 

aneh. 

Kegelapan mendadak menyungkup gurun pasir dimana 

orang-orang itu berada. Ketika kegelapan lenyap dan udara 

terang benderang kembali sekujur tubuh Resi Mirpur Patel yang 

kurus jangkung tergelatak berubah menjadi sosok tanpa daging, 

nyaris menyerupai jerangkong. Sosok itu mengepulkan asap luar 

biasa panas hingga Purnama menjauh sampai lima langkah. Dari 

mata, telinga, mulut dan hidung mengucur cairan hitam. 

”Mirpur Patel. Darahmu hitam bukan merah. Pertanda Para 

Dewa telah memperlihatkan kehitaman hatimu. Hari ini riwayatmu 

telah tamat. Sekarang pergilah untuk selama-lamanya dari muka 

bumi ini.” 

Resi Mirpur Patel keluarkan suara menggembor keras.

Cairan hitam bermuncratan dari mulut, mata, hidung dan telinga. 

Begitu suara menggembor putus, dari mulutnya keluar jeritan keras berkepanjangan. Resi Mirpur Patel yang dalam keadaan 

hidup tidak matipun tidak merasa sekujur tubuhnya dilanda panas 

luar biasa. 

”Rasi jahanam Itu tidak membunuhku! Dia mau menyiksa 

diriku dengan hawa panas memanggang seumur hidup! Dari 

mana dia dapatkan ilmu itu? Dari pedang celaka berbentuk bulan 

sabit Ku? Kurang ajar !. Dari mana dia dapatkan pedang keparat 

itu?” Resi Mirpur Patel menyumpah habis-habisan. Lalu dia 

merapal segala macam mantera untuk menolak dan 

memusnahkan hawa panas dalam tubuhnya. Namun sia-sia saja. 

Resi Khandawa Abitar masukkan Pedang Bulan Sabit ke

dalam sarung. Pedang sakti dipegang dengan tangan kanan. Lalu 

dengan tangan kiri dia cabut tongkat Kuntala Biru dari tanah 

gurun. Tongkat disapukan ke arah Resi Mirpur Patel.

”Dessl Dess! Desss!” 

Tubuh Resi Mirpur Patel keluarkan letupan sampai tiga kali 

Resi Khandawa Abitar berucap setengah membentak seraya kaki 

kanan dihentakkan ke tanah gurun. 

”Pergilah!” 

Pedataran Pasir Gurun Tengger bergetar oleh hentakan kaki 

Resi Khandawa Abitar. Resi Mirpur Patel maklum apa yang akan 

terjadi. Dia berusaha meronta dan menerjang. Namun tak mampu 

bergerak. 

”Resi Khandawa Abitar! Aku tidak akan mati! Tidak pernah! 

Aku akan tetap hidup sejuta tahun! Aku akan membalas semua 

perbuatanmu ini !” 

”Resi Mirpur Patel. Kau tidak punya daya, tidak punya 

kekuatan. Saatnya kau pergi.” Resi Khandawa Abitar goyang dan 

putar ujung tongkat biru lalu disentakkan ke atas. Saat itu juga 

tubuh Resi Mirpur Patel yang setengah terpendam di tanah 

berpasir melesat ke udara, lenyap seolah menembus langit. 

Setelah sosoknya hilang dari pemandangan suara jeritannya 

masih terdengar mengumandang. Resi Khandawa Abitar tarik 

nafas panjang dan dalam lalu bekata.”Semua sahabat yang ada disini. Resi jahat itu akan

terkatung-katung antara langit dan bumi. Mati tidak hiduppun 

tidak. Sekujur tubuhnya dijalari hawa panas. Hanya ada satu jalan 

mencari selamat sementara, itupun kalau dia tahu caranya. Yaitu 

masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari yang telah diperbudaknya 

dengan ilmu setan.” 

Resi Khandawa mendongak menatap ke langit. ”Tujuh 

manusia katai utusan Sang Kebenaran. Tugasku sudah selesai. 

Apakah para sahabat bermaksud mengambil kembali Pedang 

Bulan Sabit?” 

Baru saja ucapan berakhir di langit arah barat kelihatan 

tujuh titik begemerlap, melayang ke arah Gurun Pasir Tengger 

dimana Resi Khandawa Abitar berada. Tak selang berapa lama 

tujuh titik berubah membesar dan sesaat kemudian tujuh manusia 

katai bersorban yang mengeluarkan cahaya putih sejuk telah 

berada di tempat itu. Mereka berdiri berjejer di hadapan Resi 

Khandawa Abitar. Tujuh pasang kaki mereka sama sekali tidak 

menginjak pasir gurun. Tergantung di udara seujung kuku jari dari 

tanah. Ketujuh manusia katai membuka sorban masing-masing. 

Sorban diletakkan di atas pasir gurun lalu mereka sama-sama 

membungkuk memberi hormat. Resi Khandawa Abitar membalas 

hormat kamudian melangkah mendekati manusia katai di sebetah 

tengah. 

”Bukankah sudah saatnya aku harus mengembalikan Pedang 

Bulan Sabit? Dan kau serta kawan-kawan sudah datang

menjemput.” 

”Resi Yang Mulia. Apa yang kau katakan tidak keliru. 

Sebenarnya Sang Kebenaran juga mempunyai pesan. Pedang itu 

kami ambil lantas kami serahkan pada seseorang yang ada di 

tempat ini....” 

Resi Khandawa Abitar berpaling ke arah Purnama yang

tegak di sampingnya. ”Maksud kalian pedang akan diserahkan 

pada gadis cantik berpakaian biru yang berdiri di sampingku ini?””Resi Yang Mulia. Kami mahluk-mahluk yang punya 

keterbatasan. Di alam lain selain alam kami, kami tidak bisa 

melihat sosok seorang perempuan...” 

Sepasang alis mata Purnama mengerenyit naik ke atas. Resi 

Khandawa Abitar tersenyum. ”Sayang sekali,” katanya. ”Gadis 

yang ada di sebelahku bertubuh elok dan berparas sangat cantik. 

Kalian benaran tidak mau melihatnya?” 

Tujuh manusia katai termesem-mesem dan saling sikut-

sikutan satu sama lain. Lalu adalah seorang dari mereka 

menjawab. ”Kalau hal itu kami lakukan, Sang Kebenaran akan 

murka dan kami tidak bisa kembali lagi ke alam kami.” 

”Aku mengerti.” jawab Resi Khandawa Abitar pula. 

”Jadi bagaimana dengan Pedang Bulan Sabit ini?” 

”Kami akan mengambilnya. Jika Sang Kebenaran kemudian 

memberikan perintah baru, ResiYang Mulia pasti akan

mengetahui. Paling tidak akan mendapat petunjuk di dalam 

samadi” Jawab manusia katai di sebelah tengah lalu dia maju 

mendekat dan ambil Pedang Bulan Sabit dari tangan kanan Resi 

Khandawa Abitar. Setelah mengenakan sorban kembali dan 

membungkuk memberi hormat pada Resi Khandawa Abitar di 

hadapan tujuh manusia katai keluar tabir asap. Ketika tabir ini 

lenyap tujuh manusia katai sudah melayang ke langit dan 

akhirnya lenyap dari pemandangan. 

Purnama datang mendekati Resi Khandawa Abitar. 

”Gadis baju biru, aku masih ada satu pekerjaan yang harus 

dilakukan. Menjauhlah dulu.” Purnama terpaksa bersurut kembali. 

Sang Resi masukkan ujung tongkat Kuntala Biru ke bagian 

tongkat emas yang berbentuk bulat milik Resi Mirpur Patel yang 

saat itu masih menancap di tanah. 

”Tombak emas Pusaka Langit Ketiga. Kembalilah ke tempat 

asalmu di Lembah Godavari!" 

Resi Khandawa Abitar sentakkan ke atas tongkat Kuntala 

Biru di tangan kanan. 

”Tring!”Terdengar suara berdering ketika dua tongkat sakti saling 

beradu disertai memerciknya bunga api berwarna kuning dan 

biru. 

”Wuttt!” 

Tongkat emas milik Resi Mirpur Patei tercabut dari tanah, 

melesat Ke udara dengan kecepatan luar biasa hingga hanya 

terlihat berupa satu cahaya kuning terang. Cahaya ini berputar 

tiga kali di atas Gunung Bromo lalu menderu ke langit dan 

akhirnya lenyap dari pemandangan. 

Resi Khandawa Abitar usap wajahnya sampai tiga kali. 

Ketika dia berpaling ke arah Purnama ternyata sigadis tidak hanya 

sendirian di tempat itu. Ada empat orang lain bersamanya. Sang 

Resi ingat ke empat orang ini adalah orang-orang yang tadi 

dilihatnya sewaktu melayang turun ke Gurun Pasir Tengger. 

***


ENAM


YANG pertama sekali diperhatikan Resi Khandawa Abitar 

adalah si bocah berambut jabrik Naga Kuning dan nenek muka 

setan Gondoruwo Patah Hati. Sang Resi senyum mesem-mesem 

melihat kedua orang ini terutama Naga Kuning. Lalu dia berpaling 

pada Ratu Duyung, melirik sekilas pada Purnama seolah ingin 

membandingkan kecantikan dua gadis ini. Terakhir sekali matanya 

dialihkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Berdiri cukup dekat 

begitu rupa kini Resi sakti ini dapat melihat keadaan Wiro lebih 

jelas. Seperti yang sudah dilihatnya sebelumnya lewat ilmu 

Mengulur Matai Menjerat Pandang dia mampu mengetahui 

keberadaan satu senjata sakti di dalam tubuh murid Sinto 

Gendeng. Berhadapan begitu dekat Resi Khandawa dapat melihat 

bentuk senjata yang ada dalam tubuh Wiro. 

”Kapak bermata dua....” ucap sang Resi dalam hati. 

Lebih dan itu dia juga melihat adanya benda-benda sakti 

lainnya didalam kantung celana sang pendekar. Lalu dia juga 

melihat keberadaan dua buah kitab dibalik pakaian Wiro. Bahkan 

Resi sakti ini juga melihati tanda putih di bawah pusar sang 

pendekar. 

”Dua kitab sakti mandraguna. Satu salinan, satu lagi yang 

sudah terbakar hangus. Ah kasihan pemuda ini, dia mengindap 

satu penyakit sangat menakutkan. Siapa yang punya pekerjaan. 

Resi Mirpur Patel? Apakah aku bisa menolong pemuda ini? Mudah-

mudahan Dewa memberi petunjuk.” 

Sadar kalau dia terlalu lama memperhatikan orang-orang itu 

Resi Khandawa Abitar buru-buru membungkuk menghatur

hormat. 

”Semua sahabat yang ada di sini, maafkan aku sammpai 

terkesima melihat orang-orang gagah seperti kalian. Terima salam 

hormatku. Aku Resi Khandawa Abitar dari Gurun Thar di negeri 

India.” Resi Khandawa perkenalkan diri dan lagi-lagi unjukkan 

senyum ketika melihat ke arah Gondoruwo Patah Hati dan Naga  Kuning. Si bocah karena merasa, mulutnya yang jahil langsung 

saja bertanya polos. 

”Kek, dari tadi kau mesem-mesem saja melihat diriku. 

Apakah ada yang lucu?” 

Resi Khandawa Abitar batuk-batuk beberapa kali. Dia

menjawab. ”Sahabatku kecil. Kau tak pantas memanggil diriku 

Kakek. Karena kalau tidak salah aku menduga, usiamu lebih tua 

dari diriku.” 

Naga Kuning jadi melongo. Gondoruwo Patah Hati cubit 

pinggang si bocah lalu berbisik. 

”Anak konyol! Kau tidak sadar berhadapan dengan siapa? 

Kalau bukan Resi ini yang menolong, kita semua termasuk kau 

sudah ditimbun pasir topan!” 

”Aku tahu,” menyahuti Naga Kuning. ”Tapi aku juga tahu 

satu hal lain! Dia pasti melihat waktu kita saling tindihan dan kau 

mengusap ke bawah perutku. Itu sebabnya dia mesem-mesem 

terus melihat kita! Hik...hik!” 

Ucapan Naga Kuning membuat Gondruwo Patah Hati jadi

terdiam. 

Wiro maju mendekati dan membungkuk di hadapan Resi 

Khandawa Abitar. 

”Resi Khandawa, terima salam hormatku. Namaku Wiro.

Gadis di sebelah kanan ini Purnama...” 

”Aku sudah kenal,” menerangkan Resi Khandawa Abitar. 

Wiro meneruskan sambil menunjuk pada Naga Kuning. 

”Anak ini Naga Kuning, nenek di sebelahnya Gondoruwo Patah 

Hati dan gadis bermata biru ini Ratu Duyung.” 

”Aku maklum, kalian semua adalah orang-orang gagah 

rimba persilatan negeri ini, berhati baja berkepandaian tinggi.” 

”Resi Khandawa, kami semua di sini mengucapkan 

terimakasih. Kau telah menolong kami hingga selamat dari 

bencana topan gurun pasirTengger.” 

”Semua itu atas kuasa dan kehendak Para Dewa. Harap....”Saat itu tiba-tiba ada seseorang mendatangi dan begitu 

sampai di hadapan Resi Khandawa Abitar dia langsung jatuhkan 

diri. Orang ini ternyata adalah Resi Jantika Lamantara. 

”Resi Yang Mulia, apa yang barusan diucapkan pemuda ini 

benar adanya. Saya Resi Jantika Lamantara dari Kuil Bromo 

Agung menghaturkan puji syukur dan berterima kasih padamu. 

Kau telah diutus untuk menyelamatkan kami. Kuil tidak sedikitpun 

mengalami kerusakan. Semua barang sesajian yang disiapkan 

penduduk untuk upacara Kasada besok juga berada dalam 

keadaan utuh....” 

Resi Khandawa Abitar pegang bahu Resi Jantika Lamantara 

dan menolongnya berdiri. 

”Semua adalah atas kehendak dan kuasa Para Dewa. 

Perlindungan itu datang dari Yang Maha Kuasa. Aku sama dan 

tiada beda dengan dirimu. Kita adaah orang-orang yang hidup 

untuk mengabdi pada ummat manusia.” 

”Resi Khandawa dan para sahabat semua. Kalau saja saya 

boleh mengundang rasanya lebih baik kita meneruskan

pembicaraan di Kuil Bromo Agung tempat kediaman saya...” 

”Dengan senang hati aku menerima undanganmu Resi 

Jantika. Apa aku akan mendapat suguhan teh harum. Aku 

mendengar kabar teh di sini ini lebih sedap dari teh di daerahku. 

Apalagi jika dicampur pemanis gula merah.” 

Resi Jantika berjalan paling depan mendampingi Resi

Khandawa. Wiro dan yang lain-lain mengikuti di belakang. Sang 

surya yang bersinar cukup terik tidak terasa panas karena hawa 

gunung yang sangat sejuk mampu membendung keterikan itu. 

Sampai di Kuil Bromo Agung tempat kediaman Resi Jantika 

Lamantara dan Resi Aji Sumabarang, para tamu disuguhi teh 

manis bergula merah serta singkong dan ubi rebus hangat. 

”Buah putih panjang dan merah bulat yang direbus ini.” kata 

Resi Khandawa Abitar sambil menunjuk pada singkong dan ubi 

rebus, ”Tak ada di negeriku. Sungguh sedap..." Sang Resi 

menyeka bibirnya lalu meneruskan ucapan. ”Kailan semua disini tadi menyaksikan bagaimana aku telah mempecundangi Resi 

Mirpur Patel, yang kalian kenal sebagal insan tanpa wajah Itu. 

Namun karena dia tidak mati, aku yakin dia akan melakukan 

pembalasan. Karena itu aku mengingatkan agar kalian semua 

terus berhati-hati. Sekarang, kalau boleh aku ingin menanyakan 

beberapa hal pada kalian. Aku mulai dengan sahabat berbaju biru. 

Purnama, waktu di gurun tadi kau menyebut nama Deewana 

Khan. Dia salah satu orang kepercayaanku. Tapi aku punya firasat 

dia sudah lama meninggalkan dunia fana ini. Bagaimana 

kejadiannya kau mengenal Deewana Khan?” 

Purnama lalu menuturkan peristiwa sewaktu Deewana Khan 

menemuinya dan menyerahkan dua kitab bernama Kitab Jagat 

Pusaka Dewa. Satu kitab asli tapi dalam keadaan hangus, satunya 

salinan yang tidak dapat dibaca karena semua halamannya 

kosong melompong. 

”Deewana Khan keadaannya sangat mengerikan. Mukanya

berlumuran darah. Mata kanan hanya merupakan rongga besar 

menggidikkan...” 

”Itu pasti pekerjaan Resi Mirpur Patel," kata Resi Khandawa 

Abitar pula. ”Kau menerangkan Deewana Khan menyerahkan dua 

buah kitab. Dimana kau simpan dua kitab itu sekarang?” 

Sebenarnya dari penglihatannya Resi Khandawa Abitar sudah tahu 

kalau dua kitab itu berada pada pemuda gondrong yaitu Pendekar 

212 Wiro Sableng. Dia bertanya sekedar untuk menguji kejujuran 

sahabat-sahabat barunya itu. 

Purnama menjawab. ”Deewana Khan berpesan agar dua 

buah kitab diserahkan pada sahabat Wiro. Karena katanya hanya 

Wiro yang sanggup memecahkan rahasia yang ada dalam kitab.” 

”Benar Resi, dua buah kitab itu ada padaku. Karena aku 

yakin dua kitab adalah milikmu maka aku akan menyerahkan 

padamu.” 

Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan dua buah kitab

dimaksud lalu menyerahkan pada Resi Khandawa Abitar. Sang 

Resi meletakkan dua buah kitab di atas dadanya. Wiro menjelaskan. ”Berdasarkan petunjuk dalam kitab yang hangus 

aku dan Purnama mendatangi Gunung Bromo dan bertemu

dengan seorang manusia dari alam gaib mengaku bernama Suma 

Mahendra. Dia banyak membantu memberi penjelasan. Menurut 

Suma Mahendra ratusan tahun silam dia menitis masuk ke dalam 

tubuh seorang bayi bernama Cakra Mentari...” 

Belum selesai Wiro menutur, Resi Khandawa Abitar 

mengangkat tangan kanan. ”Cakra Mentari! Itulah pemuda yang 

menjadi budak ilmu sesat Resi Mirpur Patel. Bukankah dia yang 

telah mencelakai dirimu?” 

Wiro mengangguk. 

”Bukankah dia juga yang memperkosa dan membunuh 

sekian banyak gadis tak berdosa?” 

Wiro mengangguk lagi. 

”Jika kelak kau berhadapan dengan dirinya kuraslah tiga 

ratus lima bunga tanjung yang ada dalam tubuhnya. Niscaya dia 

tidak akan berdaya.” 

”Suma Mahendra juga mengatakan hal itu,” berucap 

Purnama. ”Namun sayang dia tidak menerangkan bagaimana cara 

menguras bunga tanjung yang ada dalam tubuh Cakra Mentari. 

Apakah Resi Khandawa mengetahui sesuatu?” 

Resi Khandawa Abitar yang duduk bersila di lantai kuil 

letakkan dua kitab di pangkuan lalu mengambil Tongkat Kuntala 

Biru. Dia minta Wiro mengembangkan telapak tangan kanan lalu 

ujung tongkat ditempelkan ke telapak yang terkembang. Sesaat 

kemudian tongkat biru tampak bergetar. Satu aliran cahaya biru 

menjalar dari ujung yang berkeluk ke ujung yang menempel di 

telapak tangan Wiro. Ketika cahaya biru menyentuh telapak 

tangan itu ujung tongkat Kuntala Biru mengepul dan terpental ke 

atas setinggi setengah jengkal. Wiro sendiri merasakan tubuhnya 

seperti dihenyak dibenamkan ke lantai kuil, keringat membanjir, 

pakaiannya sampai kuyup. Pada bagian bawah pusarnya dimana 

terdapat tanda putih bekas tempelan bunga tanjung terasa mendenyut sakit seperti ditusuk puluhan jarum. Sampai-sampai 

rahangnya menggembung menahan sakit. 

Resi Khandawa Abitar kerenyitkan kening. Dia membungkuk 

memperhatikan telapak tangan Wiro. Samar-samar dia melihat 

ada tulisan tiga angka di telapak tangan itu. Angka 212. Seperti 

yang diriwayatkan, ketika Eyang Sinto Gendeng mewariskan ilmu 

kesaktian pada Pendekar 212 di puncak Gunung Gede, nenek 

sakti itu telah membuat jarahan angka 212 dengan jarum di dada 

sang murid. Angka ini kemudian dilenyapkan oleh Ki Gede Tapa 

Pamungkas karena menurut guru Sinto Gendeng ini tanda jarahan 

tiga angka itu hanya akan lebih banyak mendatangkan mudarat 

ketidakbaikan dari pada manfaat kebaikan. Musuh secara mudah 

mengenali Wiro. 

Selain angka 212 di dada, Eyang Sinto juga memasukkan 

angka 212 ke dalam telapak tangan Wiro. Telapak tangan yang 

mengandung racun itu bisa membunuh lawan dengan sekali 

hantam saja. Ketika pertama kali turun gunung Wiro memang 

sering mempergunakan ilmu kesaktian ini. Semua orang jahat 

yang dihajarnya tewas dengan tanda angka 212 hitam gosong di 

keningnya. Kalaupun orang yang dipukul tidak sampai mati 

namun seumur hidup angka 212 di keningnya tidak bisa 

dilenyapkan. Rimba persilatan di tanah Jawa geger. Banyak yang 

berpendapat bahwa mati dengan tanda angka 212 di keningnya 

bagi para penjahat sudah cukup pantas. Namun banyak pula yang 

menganggap hal itu sebagai tindakan kekejaman. Selanjutnya 

Wiro jarang mempergunakan ilmu pukulan ini karena selain 

tidak mau meninggalkan tanda pamer diri, dia juga tidak mau 

dicap sebagai pendekar muda yang sombong. 

Melihat apa yang terjadi Resi Khandawa Abitar berkata. 

”Ah … maafkan aku yang tidak tahu. Pintu masuk rupanya 

sudah ada yang menjaga. Anak muda, mohon ganti tangan 

kananmu dengan tangan kiri.” 

***


TUJUH


WIRO garukkan dulu tangan kirinya ka kepala baru 

diulurkan. Telapak tangan dikembang. Seperti tadi kembali Resi 

Khandawa Abitar letakkan ujung tongkat Kuntala Biru di atas 

telapak tangan kiri Pendekar 212. Cahaya biru mengalir lagi dari 

gagang tongkat yang berkeluk sampai ke ujung tongkat dan 

masuk ke dalam tangan Wiro. Kali ini tidak terjadi apa-apa malah 

Wiro merasa ada hawa sejuk masuk ke dalam tubuhnya. Untuk 

beberapa saat tubuh murid Sinto Gendeng ini dikerlapi cahaya 

biru. Ketika kerlap cahaya biru lenyap, Wiro memperhatikan ada 

keanehan dengan lima kuku jari tangan kirinya. Lima kuku itu 

tampak berwarna biru muda dan kuning keputihan, tergantung 

dari arah mana seseorang melihatnya. 

”Anak muda, ketahuilah saat ini aku telah meminjamkan 

ilmu kesaktian bernama Menguras Bahala Menyedot Petaka. Ilmu 

ini hanya bisa dipergunakan satu kali saja. Kalau kau kesalahan 

memakai, misal bukan ketika berhadapan dengan lawan lain dan 

bukan Cakra Mentari, maka sewaktu kau bertarung melawan 

Cakra Mentari kau tidak lagi memiliki ilmu itu dan seumur 

hidupnya Cakra Mentari akan merajalela menebar kejahatan. ”Resi 

Khandawa Abitar tarik tongkat saktinya kembali, diletakkan di 

lantai di samping kanan. Lalu melanjutkan bicara. ”Wiro, bilamana 

kau berhadapan dengan pemuda bernama Cakra Mentari itu, 

apapun yang dilakukannya kau hanya tinggal mengangkat tangan 

kiri dengan mengembangkan telapak tangan. Arahkan telapak 

tanganmu ke bagian kepala. Maka tiga ratus lima bunga tanjung 

yang ada dalam tubuhnya dan merupakan sebagian dari

kekuatannya akan tersedot keluar lewat ubun-ubun di batok 

kepalanya. Ingat hal ini. Bunga tanjung akan keluar lewat ubun-

ubun di atas kepalanya. Bilamana bunga tanjung tidak keluar dari 

ubun-ubun di kepala, misal keluar melalui mulut atau telinga, atau 

dada dan bagian tubuh lainnya, maka orang yang menjadi 

lawanmu itu sebenarnya bukanlah Cakra Mentari. Tapi bisa saja 

jejadiannya....””Wah repot juga ya Resi!” si bocah berambut jabrik Naga 

Kuning nyeletuk. 

Resi Khandawa Abitar tersenyum. ”Satu hal lagi yang perlu 

kau ketahui. Dari semua bunga itu hanya tiga ratus empat yang 

jatuh luruh dan mengering ke tanah. Satu sisanya akan melayang 

di udara, sampai dia menemui seseorang yang ketitipan bunga 

tanjung yang mencelakai dirimu...” 

Sampai di situ tiba-tiba Naga Kuning tertawa geli. 

Gondoruwo Patah Hati cepat mencekal kuduk bocah ini. ”Anak 

konyol! Jangan kau berani macam-macam! Apa yang ada di 

otakmu! Pasti yang kotor-kotor!” 

”Tidak apa,” ucap Resi Khandawa Abitar. ”Sobat kecil Naga 

Kuning, boleh tahu apa yang membuat kau barusan tertawa geli?” 

”Maafkan saya Resi,” jawab Naga Kuning. ”Waktu bertemu 

orang bernama Suma Mahendara di kawah Gunung Bromo, orang 

itu mengatakan bahwa untuk mengalahkan pemuda bernama 

Cakra Mentari lebih dulu harus mengalahkan mahluk pelindung 

yaitu mahluk tanpa wajah yang ternyata adalah Resi bernama 

Mirpur Patel itu. Caranya dengan menghancurkan atau merampas 

tongkat emasnya. Resi tadi telah melakukan hal itu.

Mengembalikan tongkat emas ke tempat asalnya...” 

”Tak ada yang lucu dengan tongkat itu. Lalu apa yang 

sampai membuatmu tertawa geli?” tanya Resi Khandawa pula. 

”Memang bukan tongkat itu yang membuat saya geli. Tapi 

ada hal yang lain,” jawab Naga Kuning. 

”Gunung! Kau pasti hendak bicara yang bukan-bukan!”

bentak Gondoruwo Patah Hati kembali marah melihat tingkah dan 

ucapan si bocah berambut jabrik yang sebenarnya adalah 

kekasihnya sendiri. 

”Nek, aku bicara kenyataan. Bukan mau usil atau kurang 

ajar. Kau sendiri mendengar keterangan Suma Mahendra waktu di 

kawah Gunung Bromo. Menurut orang dari alam gaib itu, bunga 

tanjung yang dipakai untuk mencelakai sahabat kita Wiro konon 

berada dalam kemaluan perempuan dari alam gaib yang pernah berusaha menolongnya. Resi Khandawa, karena ingat hal itu 

membuat saya jadi tertawa geli... !” 

Resi Khandawa sendiri akhirnya tidak dapat menahan tawa. 

Setelah mengusap wajahnya yang kemerahan beberapa kali, dia 

bertanya pada Wiro. 

”Apakah kau ingat siapa perempuan dari alam gaib yang 

telah menolongmu?” 

Wiro menggeleng. ”Saat itu aku berada dalam keadaan

pingsan.” 

”Tak jadi apa.” Ucap sang Resi. ”Satu bunga tanjung yang 

keluar dari tubuh pemuda bernama Cakra Mentari yaitu bunga ke 

tiga ratus lima akan membimbingmu menemukan perempuan itu.” 

”Resi Khandawa,” kembali Naga Kuning bersuara. ”Kalau 

sudah bertemu, lalu bagaimana caranya mengambil bunga 

tanjung itu dari dalam anunya perempuan itu? Hik...hik..hik! Apa 

harus dikorek pakai jari tangan atau pakai lidi atau....” 

Naga Kuning tidak dapat meneruskan ucapannya karena

rambutnya yang jabrik keburu dijambak oleh Gondoruwo Patah 

Hati yang sudah sangat geregetan lalu bocah ini dibembengnya 

keluar dari dalam Kuil Bromo Agung. 

Resi Khandawa, Resi Jantika dan Resi Aji Sumabarang

tampak senyum-senyum sementara Wiro garuk-garuk kepala 

sedang Ratu Duyung dan Purnama pura-pura memandang ke 

jurusan lain. Resi Jantika Lamantara dan Resi Aji Sumabarang 

tundukkan kepala sambil mempermainkan kalung berbentuk 

tasbih besar terbuat dari kayu. 

”Resi Khandawa,” berkata Wiro. ”Aku rasa, walau terdengar 

agak kurang ajar apa yang tadi ditanyakan Naga Kuning ada 

benarnya. Kalau bunga tanjung yang mencelakai diriku ada di 

dalam anunya perempuan alam gaib itu, siapapun akan kesulitan 

mengambilnya. Karena menurut petunjuk lebih lanjut dari Suma 

Mahendra bunga tanjung satu itu harus di tanam di tanah, di 

bawah pohon tanjung, di antara dua akar yang tumbuh sejajar.”Resi Khandawa Abitar merenung sejurus. Akhirnya dia

berkata. 

”Suma Mahendra tidak memberi tahu karena memang sulit 

memberi petunjuk. Aku sendiri tidak dapat memberi tahu 

bagaimana caranya. Tapi sementara waku berjalan mudah-

mudahan Dewa Agung akan memberi petunjuk padamu atau pada 

salah seorang sahabat yang ada di sini. Bisa saja petunjuk itu di 

dapat sahabat kecil bernama Naga Kuning tadi.” 

Resi Khandawa senyum-senyum lalu letakkan ujung tongkat 

saktinya di atas paha kiri Wiro dan berkata. 

”Jika kau berhadapan dengan Cakra Mentari, kebenaran 

harus ditegakkan. Namun harus selalu kau ingat. Di atas 

kebenaran itu ada akal sehat yang bernama kebijaksanaan. Cakra 

Mentari sebenarnya bukan manusia jahat. Dia ditipu, dijebak dan 

tersesat lalu dijadikan alat oleh Resi Mirpur Patel alias insan tanpa 

wajah. Dijadikan alat untuk mendapatkan ilmu kesaktian luar 

biasa.” 

”Kira-kira ilmu kesaktian apakah itu, Resi Khandawa?” tanya 

Ratu Duyung yang untuk pertama kalinya bicara. 

Resi Khandawa Abitar tatap wajah cantik bermata biru itu 

sesaat. ”Sahabat bermata biru yang membekali batu ampuh 

pusaka sakti dari dasar samudera... ” ucap sang Resi yang 

membuat Ratu Duyung terkesiap karena memang saat itu dia 

masih membekai Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru pinjaman 

Nyi Roro Kidul. ”Saat ini Cakra Mentari memiliki satu ilmu pukulan 

sakti bernama Tiga Cahaya Alam Gaib. Jika ilmu dikeluarkan maka 

tiga cahaya akan memancar. Merah, biru dan hijau. Kehebatannya 

hanya beberapa tingkat dibawah tongkat emas milik Resi Mirpur 

Patel...” 

”Kami sudah beberapa kail diserangnya dengan pukulan itu. 

Ganas sekali...” Menerangkan Purnama. 

”Ilmu kesaktian itu didapatnya dari Resi Mirpur Patel melalui 

kitab sesat yang dibuat sang Resi. Kadar kesaktian dan kekuatan 

yang ada pada ilmu pukulan yang kini dimiliki Cakra Mentari belum apa-apa.Tidak beda dengan sebuah biji buah kecil yang 

ditanam di tanah. Kalau sudah tumbuh menjadi pohon besar dan 

berbuah, Resi Mirpur Patel tinggal memetiknya. Inilah permulaan 

dari satu bencana besar. Saat itu kadar kesaktian dan kekuatan 

ilmu bisa melebih seratus kali kekuatan yang ada saat ini. 

Rasanya tidak akan ada lawan yang bisa menandingi.” 

Untuk beberapa saat ruang pendapa Kuil Bromo Agung 

diselimuti kesunyian karena tak ada yang bicara. 

Resi Khandawa menatap dua buah kitab yang ada di 

pangkuannya. Kitab yang hangus diambil dengan tangan kanan, 

diacungkan di atas kepala sambil mulut berkomat kamit membaca 

doa. Lalu dia meniup ke arah kitab. 

”Wusss!” 

Serta merta Kitab Jagat Pusaka Dewa asli yang telah hangus 

itu berubah jadi asap putih. Asap melayang berputar ke atas dan 

akhirnya lenyap dari pemandangan. Saat itu juga di dalam Kuil 

menebar bau harum setanggi. 

Kini di pangkuan Resi Khandawa Abitar hanya tinggal salinan 

asli Kitab Jagat Pusaka Dewa. Untuk beberapa lama sang Resi 

tatap kitab itu. Lalu kitab diambil. Halaman kosong dibolak balik. 

Mata kemudian dipejam. Begitu mata dibuka kitab diletakkan 

kembali di atas pangkuan lalu sang Resi mengambil tongkat 

Kuntala Biru yang tergeletak di samping kanannya. Tongkat sakti 

diletakkan melintang di atas kitab. Resi Khandawa berpaling pada 

dua Resi di kiri kanannya yaitu Resi Jantika Lamantara dan Resi 

Aji Sumabarang. 

”Resi berdua, bantu saya memanjatkan doa Mencapai 

Kesempurnaan Melalui Kuasa Sang Pencipta.” 

”Kami akan melakukan,” jawab dua Resi Kuil Bromo Agung 

berbarengan. 

Ketiga Resi lalu berdoa penuh khidmat sementara Wiro dan 

yang lain-lainnya memperhatikan sambil bertanya-tanya apa 

yang akan dilakukan Resi Khandawa Abitar. Apakah dia juga akan memusnahkan salinan Kitab Jagat Pusaka Dewa yang ada di 

pangkuannya itu? 

Sampai saat itu Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati 

masih berada di luar Kuil. 

Tiba-tiba tongkat Kuntala Biru bergetar. Satu cahaya hitam 

berkiblat di wuwungan Kuil Bromo Agung, menembus atap, masuk 

ke dalam batang tongkat lalu lenyap di dalam kitab.

Resi Khandawa Abitar hentikan berdoa, melepas nafas lega. 

Buka kedua mata. Hal yang sama dilakukan oleh dua Resi di kiri 

kanannya. Dengan hati-hati Resi Khandawa pindahkan tongkat 

saktinya, kembali diletakkan di lantai di samping kanan. Lalu dia 

ambil salinan Kitab Jagat Pusaka Dewa yang ada dipangkuan. 

Halaman di bolak balik. Ternyata halaman yang tadi kosong kini 

telah ada tulisannya, berwarna hitam. Pada sampul kitab yang 

agak tebal tertulis besar ”Kitab Jagat Pusaka Dewa". 

”Bagaimana mungkin...?” ucap Purnama dalam hati. 

Resi Khandawa Abitar membolak balik sekali lagi kitab yang 

dipegangnya itu lalu mendekapkan ke dada. Sepasang mata 

menatap ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng 

”Sahabat muda, saya akan menyerahkan kitab ini padamu..” 

”Apa Resi ?” Murid Sinto Gendeng terkejut. 

”Kitab Jagat Pusaka Dewa ini akan saya berikan padamu. 

Bersediakah kau menerimanya?” 

Wiro menggaruk kepala. Tersenyum. Lalu menjawab. 

”Anu Resi…… Aku, aku tidak berani menerima kitab itu...” 

jawab Wiro yang membuat Ratu Duyung dan Purnama serta dua 

orang Resi tidak percaya. 

”Wiro, di dalam kitab ini terdapat tiga ilmu kesaktian langka 

yang tidak sembarang orang bisa menguasai. Aku sendiri hanya 

memiliki satu dari tiga ilmu itu. Mengapa kau menolak 

menerimanya?” 

Wiro menggaruk kepala kembali. 

”Mohon maafmu Resi Khandawa. Aku merasa budi Resi 

terhadap kami sudah demikian besar. Kalau bukan Resi yang menghentikan topan itu, mungkin kami semua sudah jadi mayat 

dibawah timbunan pasir. Kalau bukan Resi yang menyelamatkan 

mungkin bangunan Kuil ini sudah sama rata dengan gurun pasir 

Tengger. Aku sangat berterimakasih dengan niat Resi. Sekali lagi 

mohon maafmu...” 

Lama Resi Khandawa Abitar memandangi wajah Pendekar

212. Dia sendiri seperti tidak percaya bahwa si pemuda akan 

menolak pemberian kitab itu. 

”Segala budi besar itu hanya alasannya belaka...” ucap sang 

Resi dalam hati. ”Alasan sebenarnya adalah dia tidak mau serakah 

dalam memiliki ilmu kepandaian. Padahal....Ah, dia memang 

seorang pendekar sejati.” 

Resi Khandawa Abitar akhirnya tersenyum. 

”Saat ini kau tidak mau menerima. Satu hari kelak mungkin 

hatimu tergerak dan berubah pikiran. Jika itu terjadi maka 

datanglah ke sini untuk mengambil kitab. Letakkan telapak 

tanganmu di lantai Kuil ini, kerahkan tenaga dalam dan Kitab 

Jagat Pusaka Dewa akan menyembul keluar dari tempat

penyimpanannya.” 

Selesai berucap Resi Khandawa Abitar letakkan salah satu 

ujung sudut kitab ke lantai Kuil yang terbuat dari batu pualam. 

Lalu dia mengerahkan tenaga dalam. 

”Seetttt!” 

Kitab Jagat Pusaka Dewa lenyap dari pandangan mata,

amblas masuk ke dalam lantai Kuil. Bersamaan dengan itu, seperti 

tadi udara di dalam Kuil Bromo Agung dipenuhi harum bau 

setanggi dibakar. 

”Para sahabat, saatnya saya harus pergi.” Resi Khandawa 

Abitar ambil tongkatnya lalu berdiri. 

Saat itu Juga Resi Jantika Lamantara dan Resi Aji 

Sumabarang cepat-cepat berdiri. 

”Resi Khandawa, kami akan sangat berbahagia bila Resi mau 

menginap barang satu malam di Kuil Bromo Agung ini. Besok adalah hari Kasada, hari besar dan suci ummat Hindu di negeri ini. 

Kami ingin Resi Khandawa mau merayakan bersama kami.” 

Resi Khandawa kempit tongkat Kuntala Biru lalu pegang 

bahu dua Resi di hadapannya. 

”Aku akan berdoa bagi Resi serta seluruh ummat Hindu di 

negeri ini.” Kata Resi Khandawa Abitar pula. 

Tiba-tiba Wiro yang saat itu juga hendak bangkit berdiri 

terduduk kembali di lantai Kuil. 

Ratu Duyung mendekati. ”Ada apa?” tanya gadis bermata 

biru ini. 

”Resi Khandawa, jangan pergi dulu. Ada seseorang memberi 

pesan padamu dari jauh...” Ucap Wiro. Saat itu murid Sinto 

Gendeng ini mendengar satu suara mengiang di telinga kirinya. 

Wiro mengagguk-angguk sambil menggaruk kepala. Matanya 

melirik pada Ratu Duyung, lalu memperhatikan Resi Khandawa. 

Setelah suara mengiang lenyap baru Wiro mampu bangkit berdiri. 

”Ada apa?” tanya Resi Khandawa pula. 

”Seorang sahabat berkirim pesan dari dasar samudera

selatan untuk Resi.” 

Sepasang alis Ratu Duyung naik ke atas. Nyi Roro Kidul? 

Pikir gadis cantik yang berasal dari samudera selatan itu. 

”Siapa? Pesan apa?” Bertanya Resi Khandawa. 

”Yang berpesan namanya Nyi Roro Manggut. Pesannya 

begini. Jika Resi kembali ke negeri Resi, sejarak seribu tombak 

sebelum sampai ke tempat kediaman Resi, Resi harus membuka 

pakaian, memakainya kembali secara terbalik dan selempangnya 

kalau sekarang dari bahu kiri ke bawah harap diganti dari bahu 

kanan ke bawah.” 

Wajah Resi Khandawa Abitar yang bertubuh tinggi besar itu 

tampak berubah. Dia mengusap selempang kain biru yang jadi 

pakaiannya. 

”Sahabat muda, aku yakin kau tidak sedang bergurau. 

Benar?” Sang Resi bertanya dengan pandangan mata tidak 

berkesip.”Tidak Resi, aku tidak bergurau.” 

”Ada seseorang yang ingin membuatku tersesat, 

menghalangiku kembali pulang untuk selama-lamanya. Ada 

seseorang menebar Bubuk Penyesat Mata Dan Rasa. Mirpur Patel! 

Pasti dia. Kapan dia melakukan? Sebelum kusedot untuk datang 

kehadapanku tadi?” 

Resi Khandawa Abitar pegang bahu Pendekar 212 dan 

berkata. ”Saya berterima kasih. Sangat berterima kasih. Pesan 

sahabatmu yang bernama Nyi Roro Manggut itu akan saya 

lakukan. Saya baru tahu kalau begitu cara menangkal ilmu yang 

menyesatkan itu. Sampaikan salam dan terima kasih saya pada 

Nyi Roro Manggut. Suatu ketika saya ingin berkenalan dan 

bertemu dengannya. Para sahabat, jaga diri kalian baik-baik. Saya 

pergi sekarang...” 

Gema suara sang Resi belum lenyap namun orangnya sudah 

tidak kelihatan lagi. Di luar Kuil Naga Kuning merasa ada 

seseorang menepuk bahunya. Bocah ini berpaling. Dia hanya 

melihat bayangan biru berkelebat. Bocah ini melirik pada 

Gondoruwo Patah Hati yang mengenakan pakaian jubah biru. 

”Nek, kau barusan mencolekku ya?” Naga Kuning bertanya. 

”lhh....Apa enaknya mencolokmu?” Jawab si nenek 

menyemprot. 

”Enak mungkin tidak. Tapi mungkin kau ingat-ingat peristiwa 

tadi waktu kita saling tindih. Jangan-jangan, mungkin saja kau 

jadi kepingin ditindih lagi. 

”Hlk.hlk!” 

”Bocah edan! Kau ini tidak kapok-kapoknya bicara jorok !” 

Gondoruwo Patah Hati hendak menjewer telinga Naga Kuning. 

Tapi anak ini cepat-cepat kabur masuk ke dalam Kuli. Saat itulah 

dia baru tahu kalau Resi Khandawa Abitar yang berpakaian 

selempang kain biru tak ada lagi di tempat itu. Dia berpaling pada 

si nenek yang mengikuti di sebelah belakang. 

”Nek, aku sudah tahu siapa tadi mencolekku,” kata Naga 

Kuning pula.”Siapa?” tanya Gondoruwo Patah Hati. 

”Ya sampean!” jawab si bocah lalu tertawa cekikikan sambil 

lari menjauh. 

***


DELAPAN


SETELAH dirinya dilempar ke udara oleh Resi Khandawa 

Abitar, Resi Mirpur Patel untuk beberapa lama masih melayang 

beputar-putar di utara Gurun Pasir Tengger. Ketika dia melihat 

tongkat emas Pusaka Langit Ketiga miliknya melesat di udara, 

Resi Mirpur Patel berusaha menyambar tongkat sakti itu. Namun 

kekuatan ilmu Seribu Titik Tanpa Daya yang diterapkan Resi 

Khandawa Abitar atas dirinya masih berpengaruh besar sehingga 

sekujur tubuh belum mampu bergerak leluasa. Selain itu akibat 

tusukan Pedang Bulan Sabit yang dilakukan Resi Khandawa Abitar 

di keningnya membuat tubuhnya terasa panas tidak beda seperti 

bara menyala! Suara jeritan menggidikkan tidak berhenti 

menyembur keluar dari mulut sang Resi. Sekali sekali disertai 

kutuk serapah. 

”Jahanam Resi Khandawa! Aku tidak akan pernah mati! Kau 

tidak akan pernah menamatkan riwayatku! Tunggu 

pembalasanku!” 

Menjelang tengah hari kekuatan yang membungkus 

tubuhnya sehingga sulit bergerak mulai lenyap. Namun sebaliknya 

hawa panas yang menyelubungi dirinya semakin menjadi-jadi. 

Asap mengepul dari ubun-ubun, mata, telinga, hidung dan mulut. 

Resi Mirpur Patel yang sosoknya kini tidak berdaging dan nyaris 

menyerupai jerangkong melesat ke arah barat sambil terus 

menjerit-jerit. 

”Cakra Mentari! Dimana kau?! Cakra Mentari! Dimana kau?!” 

teriak sang Resi berulang kali. Kehilangan ilmu kesaktian 

ditambah hawa panas yang membara membuat Mirpur Patel kini 

tidak punya kemampuan penuh secara cepat dan tepat untuk 

menerapkan Ilmu penjajag yang selama ini dimilikinya. Baru 

menjelang petang setelah mengendus udara berulang kali dia 

berhasil memperkirakan dimana beradanya pemuda bernama 

Cakra Mentari. Yaitu di satu tempat di selatan Gunung Merapi di 

pertengahan pulau Jawa.”Aku harus keluar dari tubuhku sendiri. Aku harus lenyap 

dari jazad celaka membara ini! Aku harus dapat mencapai pemuda 

itu sebelum matahari terbit.” 

Mirpur Patel yang juga dikenal sebagal insan atau mahluk 

tanpa wajah melesat ke arah barat. Gerakannya lamban. Bukan 

saja karena dia tidak mampu mengerahkan ilmu kesaktian, tapi 

juga sebagal akibat dari kehilangan tongkat emas sakti. Hawa 

panas yang memuncak membuat tubuhnya berpijar-pijar dan 

mengeluarkan suara meletup-letup. 

*** 

PEMBACA masih ingat gadis cantik bernama Banjaratih di 

Kuto Gede? Yang selamat dari perbuatan jahat Cakra Mentari 

setelah ditolong oleh Liris Biru,walau akhirnya Liris Biru sendiri 

menemui ajal di tangan Cakra Mentari. (Baca serial Wiro Sableng 

sebelumnya berjudul ”Sang Pemikat”). 

Setelah kehilangan jejak gadis cantik berpakaian kuning 

bertubuh luar bisa mempesona mengaku bernama Dewi, 

sementara gairah nafsu bejatnya terus menyala berkobar, Cakra 

Mentari kembali ingat pada Banjaratih. 

”Rumah kediaman gadis itu pasti masih dikawal ketat. Aku 

harus berlaku nekad. Aku harus dapatkan gadis itu secara mulus. 

Malam ini juga!” Cakra Mentari membanding-bandingkan 

kecantikan dan kebagusan tubuh Banjaratih dengan gadis 

berpakaian kuning bernama Dewi. 

”Edan! Aku tergila-gila pada dua gadis itu! Aku harus 

mendapatkan keduanya! Tapi jika aku berhasil mengagahi mereka 

berarti aku melebihi hitungan! Menurut petunjuk dalam kitab 

Jagat Pusaka Alam Gaib aku harus meniduri empat puluh satu 

gadis. Aku sudah mendapatkan empat puluh gadis. Masih bersisa 

satu. Yang ada justru dua orang!” Cakra Mentari senyum-senyum 

sendiri. ”Perduli setan! Agaknya sudah jadi rejekiku. Banjaratih 

dan Dewi harus aku dapatkan! Banjaratih lebih dulu.”Keberadaannya sudah ketahuan. Dia pasti masih berada di sana. 

Aku harus kembali ke Kuto Gede sebelum matahari terbit.” 

Seperti diceritakan dalam serial sebelumnya (Sang Pemikat) 

setelah selamat dari tangan Cakra Mentari dan setelah Setan 

Ngompol meninggalkan Kuto Gede untuk menyemayamkan 

Janazah Liris Biru di Cadas Biru, para tokoh di Kuto Gede yang 

malam itu ikut mengawal dan bantu menyelamatkan Banjaratih 

saling membagi tugas. Ki Lawang Bakar guru silat terkenal di Kuto 

Gede bersama beberapa orang menyusul Setan Ngompol ke 

Cadas Biru untuk bantu mengurus penguburan Jenazah Liris Biru. 

Ki Bayu Sleman yang Kepala Desa Kuto Gede pergi ke Kotaraja 

untuk minta tambahan pasukan. Sementara Ki Bening Surah, 

pemilik rumah makan di Kuto Gede mengatur tempat 

persembunyian rahasia yang baru bagi Banjaratih bersama 

ibunya, Ni Suwita. Semua tugas dilakukan maiam itu juga. 

Ki Bening Surah memilih rumah makannya untuk menjadi 

tempat mengungsi menyelamatkan Banjaratih dan ibunya. 

Karena rumah makan itu siang malam selalu ramai pengunjung 

maka akan lebih mudah mengamankan si gadis bersama ibunya. 

Dua perempuan ini dibawa dengan gerobak besar, ditutupi 

dengan tikar. Di atas tikar diletakkan jerami kering. Ki Bening 

Surah menunggang kuda di sebelah depan, di kiri kanan dan 

belakang gerobak mengiring masing-masing dua orang bersenjata 

golok. Malangnya, ketika gerobak meluncur ke arah tenggara Kuto 

Gede dimana terletak rumah makan sekaligus kediaman Ki Bening 

Surah, pemuda berpakaian serba hitam berikat kepala kain merah 

Cakra Mentari memasuki Kuto Gede dari arah berlawanan. Ketika 

telinganya menangkap suara deru roda gerobak yang dipacu 

kencang pemuda ini segera melompat ke atas pohon di tepi jalan. 

Tak lama menunggu dia melihat Ki Bening Surah menunggang 

kuda di sebelah depan. Di belakangnya mengikuti gerobak 

membawa tumpukan jerami kering. 

Otak cerdik Cakra Mentari segera saja bekerja. ”Kalau cuma 

membawa jerami kering mengapa dikawal begitu banyak orang?Hemm...” Cakra Mentari bergumam. Menyeringai sambil usap-

usap janggut tipisnya. Begitu rombongan lewat dia cepat 

melayang turun. Langsung mendarat di punggung kuda sebelah 

belakang salah seorang pengawal paling akhir. Sekali memelintir 

tulang leher pengawal remuk patah. Si pengawal kemudian di 

lempar ke tepi jalan setelah lebih dulu melucuti goloknya. Apa 

yang terjadi rupanya terlihat oleh seorang pengawal di samping 

kereta sebelah kiri. Dia hendak berteriak. Namun golok yang 

dilemparkan Cakra Mentari menancap tepat di dada arah Jantung 

membuatnya langsung roboh bergelimang darah. Kuda yang 

ditunggangi meringkik keras. Kehebohan tidak dapat dihindari. 

Cakra Mentari menggebrak kuda tunggangannya sejarak dua 

tombak ke depan lalu melompat ke atas gerobak. Kusir gerobak, 

seorang lelaki tinggi besar berkepala botak di hantam dengan 

tendangan hingga terpental jatuh dari gerobak, tergelimpang 

pingsan di tanah dengan lima tulang iga patah! 

Ketika menyaksikan apa yang terjadi dan melihat pemuda 

berpakaian serba hitam kejut Ki Bening Surah bukan alang 

kepalang. 

”Pemuda terkutuk Cakra Mentari! Dia berani kembali!” 

Pemilik rumah makan yang punya kepandaian silat lumayan tinggi 

ini cabut golok di pinggang sambil berteriak memerintahkan 

semua orang yang ada di situ naik ke atas gerobak menyerbu 

Cakra Mentari. Dia sendiri telah lebih dulu memepet gerobak dan 

menyerang Cakra Mentari yang kini memegang kendali kuda 

hitam penarik gerobak. Golok besar di tangan kanan Ki Bening 

Surah berkesiuran menyambar ke pinggang kiri Cakra Mentari. 

Bagaimanapun semua orang itu walau berjumlah lebih 

banyak tidak ada artinya dengan kehebatan Cakra Mentari yang 

hanya seorang diri. Ki Bening Surah roboh lebih dulu dengan 

kepala pecah kena keprukan tangan kiri Cakra Mentari setelah 

gagal membabat pinggang si pemuda. Lalu dua orang lagi 

menjerit, terbanting roboh ke tanah jalanan. Salah seorang malah tergilas roda gerobak lehernya hingga putus nyawanya saat itu 

juga! 

Melihat apa yang terjadi nyali orang-orang yang masih hidup 

leleh sudah. Tidak pikir panjang lagi, tidak perduli dengan tugas 

yang harus mereka laksanakan, semuanya menggebrak kuda 

masing-masing lalu kabur melarikan diri. Yang penting adalah 

menyelamatkan nyawa lebih dulu! 

Cakra Mentari memacu kuda hitam penarik gerobak menuju 

luar desa desa Kuto Gede sebelah barat hingga akhirnya sampai 

di satu daerah pemakaman tua yang tak terpelihara, sunyi dan 

gelap. Dia melompat ke bagian belakang gerobak. Membongkar 

tumpukan jerami kering. Menemukan sebuah tikar daun pandan. 

Ketika tikar disingkap dua perempuan yang berbaring di lantai 

gerobak sama-sama berpekikan. Ternyata memang Banjaratih 

dan Ni Suwita disembunyikan di dalam gerobak itu. Ibu dan anak 

ini ketakutan setengah mati. Terus menjerit-jerit sebelum 

diancam. 

”Kalau kalian berdua masih terus menjerit, aku bunuh saat 

Ini juga!” Walau mengancam namun suara Cakra Mentari 

terdengar lembut. Golok berdarah dlmelintangkan di depan wajah 

ibu dan anak itu hingga Banjaratih dan Ni Suwita ini menggigil 

pucat ketakutan setengah mati. 

”Dengar....” ucap Ni Suwita dengan suara bergetar. 

”Kau boleh bunuh aku, tapi jangan apa-apakan anakku.” 

”Aku tidak akan membunuh anakmu, aku hanya ingin 

menikmati tubuhnya!” Semua kata-kata itu diucapkan Cakra 

Mentari dengan suara lembut dan sambil tersenyum. 

Sepasang mata Ni Suwita terbeliak. Banjaratih sendiri 

menjerit keras. Ni Suwita berkata. ”Demi Gusti Allah! Jangan 

lakukan itu! Aku bersedia menyerahkan diriku padamu asal 

lepaskan anakku! Ratih! Lekas turun dari gerobak! Lari!” 

Banjaratih segera melompat bangkit. Kaki kirinya sempat 

melewati dinding gerobak ketika dia berusaha melarikan diri Namun Cakra Mentari menarik gadis ini hingga tubuhnya terkapar 

dan jatuh kembali di lantai gerobak. 

Sepasang mata Cakra Mentari berkilat-kilat menatap wajah 

dan tubuh Ni Suwita. Walau sudah separuh baya ternyata wajah 

dan kemolekan tubuh sang Ibu tidak kalah jauh dari puterinya. 

”Kau betulan mau menyerahkan diri padaku ?” tanya Cakra 

Mentari sambil keluarkan patung Kamasutra dari dalam sebuah 

kantong kain hitam dari balik pakaian. 

”Asal kau bersumpah mau membebaskan anakku. Biarkan

Banjaratih meninggalkan tempat ini...” 

Cakra Mentari tersenyum. ”Anakmu akan kubebaskan. Tapi 

kalian berdua lihat dulu patung ini. Bukankah patung dua orang 

ini sangat indah?” 

”Patung terkutuk!” teriak Banjaratih yang telah mendengar 

cerita tentang patung Kamasutra itu. Namun terlambat. Ni Suwita 

telah keburu melihat ke arah patung batu yang memancarkan 

cahaya merah redup. Banjaratih sendiri walau mengingatkan sang 

ibu tapi tak urung sempat pula melihat ke arah patung. Dua orang 

perempuan ini langsung saja masuk ke dalam perangkap bejat 

Patung Kamasutra. Mereka melihat bagaimana dua patung 

sepasang lelaki gagah dan perempuan muda cantik berubah 

membesar, hidup seperti manusia sungguhan, bergerak menari-

nari sambil menanggalkan pakaian satu persatu. Dan ternyata 

wajah patung perempuan itu adalah wajah mereka sendiri. 

Sedang yang lelaki menyerupai wajah dan sosok pemuda 

berpakaian serba hitam. Ni Suwita yang telah lama menjanda 

merasa sekujur tubuhnya bergetar menggigil seperti diserang 

demam panas dingin. Keadaan Banjaratih tidak berbeda. Ketika 

Cakra Mentari menempelkan sekuntum bunga tanjung dikening 

mereka, ibu dan anak ini tidak sadar diri lagi. Keduanya 

menanggalkan pakaian masing-masing lalu sama-sama bergayut 

memeluki tubuh Cakra Mentari penuh gairah. Bola mata 

membesar, nafas mendesah, darah memanas, terbakar oleh nafsu 

bejat yang mereka sendiri sebenarnya tidak menyadari.

Di atas pekuburan langit hitam semakin kelam ketika awan 

gelap menutupi. Angin bersiur lebih kencang dan tak lama 

kemudian hujan turun rintik-rintik. Suasana malam dan turunnya 

hujan seolah meratapi malapetaka yang menimpa ibu dan anak 

yang kini telah menjadi mayat. Bibir berwarna kebiruan, kembang 

tanjung menempel di kening. 

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada satu benda putih 

melesat di udara. Cakra Mentari yang tengah mengenakan 

pakaian dan bersiap-siap tinggalkan tempat itu berteriak kaget. 

Benda putih yang melayang di kegelapan malam menukik ke bumi 

dan masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari. Saat itu juga tubuh 

pemuda yang masih bertelanjang bulat ini bergetar hebat oleh 

satu hawa panas yang seperti hendak melelehkan tubuhnya mulai 

dari batok kepala sampai ke telapak kaki. 

Lalu luar biasanya Cakra Mentari mendengar satu suara 

berucap dari dalam tubuhnya sendiri! 

”Anak manusia bernama Cakra Mentari! Aku menitipkan

nyawaku di dalam tubuhmu!” 

***


SEMBILAN


CAKRA MENTARI kaget bukan main. Namun pemuda ini 

tetap tenang. Setelah mengenakan pakaian dia segera tinggalkan 

kawasan pekuburan. Mayat Banjaratih dan Ni Suwita sama sekali 

tidak diperdulikannya. 

”Cakra Mentari, aku belum selesai bicara! Kau mau 

kemana?!” Suara di dalam tubuh si pemuda bertanya. 

”Mahluk tumpangan! Kau menitipkan nyawa dalam tubuhku! 

Berarti aku yang menguasai nyawamu! Kemana aku pergi kau 

tidak layak bertanya apa lagi mengatur!” 

Yang disebut mahluk tumpangan si penitip nyawa 

perdengarkan suara tertawa. 

”Cakra Mentari, jangan bicara sombong! Aku masih tetap 

penguasa yang mengatur diri dan jalan hidupmu! Kau tetap harus 

tunduk padaku!” 

”Hebat! Memangnya kau siapa?!” 

”Aku Resi Mirpur Patel. Mahluk yang kau kenal tidak memiliki 

wajah! Aku yang memberikan Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib 

padamu! Aku yang menyuruhmu bersamadi di pohon tanjung di 

Gurun Tengger! Aku yang memberikan ilmu Tiga Cahaya Alam 

Gaib padamu! Apakah kau masih hendak bicara sombong? Urat 

pusarmu di sebelah dalam ada di ujung tanganku. Sekali aku 

piintir nyawamu akan melayang ke langit ketujuh!” 

Cakra Mentari hentikan lari saking kagetnya. Dia 

membungkuk sedikit menyatakan hormat lalu bertanya. 

”Apa yang terjadi? Mengapa kau sampai berkeadaan seperti 

ini? Kehadiranmu dalam tubuhku membuat aku merasa 

kepanasan.” 

”Seorang Resi sakti dari India datang menghakimi diriku.Tapi 

itu bukan urusanmu dan tidak perlu aku ceritakan lebih rinci. 

Justru kau yang ada urusan denganku! Kau telah melanggar apa 

yang telah ditetapkan dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib.” 

”Hal apa yang telah aku langgar?” tanya Cakra Mentari 

walau dia sudah bisa menduga-duga sendiri.

”Dalam kitab ditetapkan kau harus merusak kehormatan 

dan membunuh empat puluh satu orang gadis. Malam ini kau 

memperkosa dan membunuh dua orang. Walau yang satu bukan 

gadis lagi namun jumlah yang diatur telah kau langgar. Kau 

memperkosa dan membunuh empat puluh dua perempuan!”

”Resi, menurutku jika aku mampu melakukan apa yang 

melebihi ketetapan, bukankah itu satu hal yang harus mendapat 

pujian?!” 

”Jangan berpikir tolol Cakra Mentari! Ketetapan adalah 

ketetapan...” Dalam hati sang mahluk tumpangan berpikir. 

”Manusia satu ini mulai bicara dan bersikap tidak menyenangkan 

bahkan seperti membangkang. Aku harus hati-hati.” 

”Resi Mirpur. aku malah masih menginginkan satu gadis 

lagi,” ucap Cakra Mentari pula. 

”Apa?! Pantangan telah dilanggar. Bersiaplah kau 

menghadapi malapetaka....” 

Cakra Mentari tersenyum. 

”Kau atasan pelindung diriku. Kau menitipkan nyawa di 

dalam tubuhku berarti kau membutuhkan aku! Mengapa kau 

menginginkan aku celaka? Resi Mirpur Patel kalau aku celaka 

karena ulahmu, kau akan menerima getahnya. Kau tidak akan 

dapat mengambil alih ilmu kesaktian yang ada dalam diriku.” 

”Pantangan telah kau langgar. Mana mungkin kau masih 

mengharapkan ilmu kesaktian yang kau samadikan selama tiga 

ratus lima hari akan berada dalam dirimu?” 

”Resi Mirpur Patel, terus terang aku tidak pernah 

menginginkan semua ilmu kesaktian itu. Kau telah memperalatku. 

Kau menjadikan diriku sebagai mahluk perantara untuk 

mendapatkan Ilmu Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib yang punya 

bobot kekuatan seratus kali dari yang aku miliki sekarang!” 

Suara di dalam tubuh Cakra Mentari untuk beberapa lama 

tidak menjawab. Tak selang berapa lama baru terdengar kata-

katanya penuh dusta. ”Bagaimana kau bisa menduga seperti itu? 

Ilmu yang kau dapat kelak akan menjadi milikmu untuk selama lamanya. Karena aku tidak mungkin kembali ke alamku seperti 

semula.” 

”Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib mengajarkan agar aku 

melupakan masa lalu. Namun kitab itu tidak mengajarkan aku 

untuk mempelajari hal yang akan datang. Masa depanku kabur 

dan samar. Resi Mirpur, aku tidak tahu kebenaran ucapanmu. 

Waktu kelak yang akan membuktikan.” 

”Jahanam kurang ajar! Setan apa yang masuk ke dalam

benak dan tubuh pemuda ini?!” ucap Mirpur Patel, mahluk si 

penitip nyawa dalam hati. Dia merasa sangat kawatir. Lalu dia 

keluarkan suara. 

”Cakra Mentari, kau manusia cerdik. Tapi jangan pergunakan 

kecerdikan mencelakai diri sendiri. Apalagi mencelakai diriku.” 

”Aku tidak punya maksud seperti itu. Namun………” 

Tiba-tiba Cakra Mentari menjerit keras. Perutnya di arah 

pusar laksana dipendam dengan bara menyala! Tubuhnya sampai 

jatuh terduduk menahan sakit dan hawa panas luar biasa. 

”Kau saksikan dan kau rasakan sendiri Cakra Mentari. Aku 

masih menguasai dirimu. Jangan lagi berbuat yang aku tidak 

suka...” 

”Mahluk dalam tubuhku. Siapapun kau adanya selanjutnya 

aku akan berlaku patuh. Kecuali satu hal.” 

”Apa ?” 

”Aku tetap menginginkan gadis cantik bernama Dewi yang 

telah amat sangat memikatku.” 

”Berarti kau memperkosa dan membunuh empat puluh tiga 

orang perempuan.” 

”Betul. Apa bedanya empat puluh satu dengan empat puluh 

tiga? Aku justru yakin. Jumlah yang lebih banyak akan lebih 

memperhebat bobot iimu kesaktian yang akan kudapat”

”Cakra Mentari. Dengar baik-baik. Aku punya firasat. Ada 

beberapa orang tokoh silat yang akan mendatangimu. Mereka 

serombongan datang dari Gurun Pasir Tengger. Mereka rata-rata 

memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka akan meminta pertanggungjawabanmu atas kejahatan yang telah kau lakukan 

selama ini. Memperkosa dan membunuh puluhan gadis...” 

”Siapapun mereka boleh saja datang menemuiku. Mereka 

datang untuk minta mati....” 

”Itu ucapan yang ingin aku dengar!” kata mahluk dalam diri 

Cakra Mentari memuji. ”Namun saat ini kau harus segera ikut aku 

ke puncak Gunung Mahameru. Disana aku akan membaitmu 

untuk mendapatkan ilmu kesaktian Tiga Cahaya Alam Gaib yang 

maha dahsyat” 

”Resi, kalau kau mau membaitku, disinipun bisa. Mengapa 

jauh-jauh ke Gunung Mahameru segala? Lagi pula tadi aku sudah 

mengatakan bahwa aku harus mencari dan mendapatkan gadis 

bernama Dewi itu lebih dulu. Kalau kau suka, kau juga boleh 

mengambil bagian.” 

”Cakra Mentari, apa aku harus menghajarmu dengan 

memuntir urat pusarmu seperti tadi?!” mengancam mahluk 

tumpangan si penitip nyawa walau ucapan Si pemuda membuat 

dadanya bergetar. 

”Resi, saat ini matipun aku tidak takut,” jawab Cakra Mentari 

yang benar-benar kini memiliki kepribadian aneh. Mungkin karena 

begitu tergila-gila pada Dewi? 

Mahluk dalam tubuh Cakra Mentari terpaksa bersabar 

mengurut dada. Namun dia sudah menaruh firasat akan terjadi 

hal yang tidak diharapkan akibat perbuatan si pemuda yang 

kelebihan memperkosa dan membunuh perempuan, apa lagi tidak 

semua korban masih gadis. Kalau saja dia mampu keluar dari 

tubuh yang menjadi tumpangan nyawanya itu sudah dari tadi-tadi 

dilakukan. Namun begitu keadaannya. Sekali masuk menitipkan 

nyawa tidak mungkin keluar lagi! 

”Celaka, aku telah kesalahan memilih raga. Kalau begini 

jadinya aku harus melakukan tindakan penangkal agar bisa tetap 

mendapatkan ilmu dahsyat itu. Aku harus menghancurkan 

kemaluannya pada saat dia hendak memperkosa gadis yang ke 

empat puluh tiga itu!”Cakra, kau harus berlaku hati-hati. Orang-orang yang 

hendak menghadangmu itu telah bertemu dengan Resi Khandawa 

Abitar. Resi tertua dan Resi paling sakti di India. Aku kawatir Resi 

keparat itu telah mengatakan banyak hal tentang dirimu. Dia juga 

yang telah membuat diriku tak karuan seperti ini...” 

”Resi Mirpur! Aku sekarang memiliki dua nyawa. Lalu apa 

yang harus ditakutkan?” 

”Aku percaya padamu. Aku ingin beristirahat barang 

beberapa ketika. Sudah ratusan hari aku tak pernah tidur.” 

Tak lama kemudian di dalam tubuh Cakra Mentari terdengar 

suara orang mengorok. Bersamaan dengan itu hawa panas yang 

terasa sejak tadi menyelubungi dirinya kini jauh berkurang. 

Di timur langit mulai tampak terang tanda fajar telah 

menyingsing. 

”Dewi, dimana kau...?” ucap Cakra Mentari dalam hati. 

Gairahnya kembali berkobar begitu dia ingat lagi gadis cantik 

berpakaian kuning berdada montok putih bertubuh molek itu. 

Sambil berjalan pemuda Ini memutar otak. Tiba-tiba dia hentikan 

langkah. ”Dia menyukai Pangeran yang tinggal di pinggiran 

Kotaraja. Bukan mustahil dia akan muncul di tempat kediaman 

Pangeran itu.” 

Cakra Mentari menyeringai. ”Pangeran, kau boleh bermimpi 

seumur hidup mendapatkan Dewi. Karena aku yang akan

mendurinya lebih dulu. Kalau kau suka silahkan bermain-main 

dengan mayatnya. Ha...ha...ha.” 

***


SEPULUH


KETIKA malam keesokannya Cakra Mentari mendatangi 

rumah kediaman Pangeran Aryo Dipasena di pinggiran Kotaraja, 

ternyata sudah ada orang lain mendekam di satu tempat 

tersembunyi, di balik kerapatan pohon bambu di tembok halaman 

sebelah timur. 

”Aku tidak dapat melihat jelas. Tapi rasa-rasanya aku pernah 

melihat orang ini. Bukankah dia salah seorang Kepala Pengawal 

dari Kotaraja. Yang waktu terjadi bentrokan antara aku dengan 

Pangeran itu tempo hari juga berada di tempat ini? Apa yang 

dilakukannya? Memata-matai sang putera Raja?” 

Orang yang mendekam di balik kegelapan pohon bambu itu 

memang adalah Ki Rorot Keminting, salah satu dari sekian banyak 

Kepala Pasukan di Kotaraja. Sejak dia melapor kepada Sri Baginda 

tentang peristiwa di tempat kediaman Pangeran Aryo Dipasena, 

Raja telah memerintahkan Kepaia Pengawal itu untuk terus 

menyelidik dan mematai-matai gerak-gerik puteranya. Jika 

memang Pangeran Aryo telah mempunyai seorang kekasih, 

seorang gadis cantik jelita, mengapa bersembunyi diri tidak mau 

memberi tahu sang ayah? Lagi pula hal seperti itu bukanlah sifat 

Pangeran Aryo. Selama ini memang banyak para gadis cantik dari 

berbagai tingkat dan kalangan yang tertarik namun sebegitu jauh 

Pangeran Aryo Dipasena belum menjatuhkan pilihan. 

Setelah hampir semalaman suntuk berjaga-jaga akhirnya 

orang yang ditunggu-tunggu Cakra Mentari dan Ki Rorot 

Keminting muncul juga. Sewaktu di langit awan kelabu bergerak 

menutupi bulan setengah lingkaran tiba-tiba berkolobat satu 

bayangan kuning. Laksana seekor burung b«sar tapi jinak orang 

ini jejakkan kaki di wuwungan rumah kediaman Pangeran Aryo 

tanpa mengeluarkan suara, pertanda dia mengusai ilmu 

meringankan tubuh yang tinggi. 

”Dewi Pemikat....Ah. akhirnya kutemui juga dirimu.” Kata 

Cakra Mentari penuh gembira. Darah di tubuhnya langsung mengalir cepat dan panas. D ddalam dirinya terdengar suara 

mahluk tumpangan penitip nyawa Mirpur Patel berucap. 

”Jadi ini gadis bernama Dewi yang telah membuatmu 

tergila-gila? Ah sungguh cantik sekali. Bentuk auratnya begitu 

mempesona. Harum tubuhnya tercium sampai kesini...”

Cakra Mentari tidak menjawab. Dia merasa ada tambahan 

hawa panas di dalam tubuhnya. Hawa panas dari rasa gairah 

yang memancar dari tubuh tumpangan Resi Mirpur Patel! 

Cakra Mentari terus mengawasi gerak gerik si baju kuning di 

atas atap sambil sesekali melirik ke arah rumpunan pohon bambu 

dimana Ki Rorot Keminting berada. 

Di atas atap, gadis cantik berpakaian kuning dengan

potongan dada sangat rendah hingga menyibakkan sepasang 

payudara putih dan besar berucap sendirian. 

”Heran, mengapa aku tidak bisa melupakan Pangeran ini. 

Setiap aku mengingat dirinya, rasa gatal dan hawa panas semakin 

menjadi-jadi di bagian bawah perutku. Ah, Pangeran malam ini 

biar aku mengantar diri dan berserah tubuh padamu. Aku yakin 

kaupun suka padaku....” 

Sementara itu dari dalam tubuh si pemuda yang menjadi 

tumpangan jazad dan nyawa Resi Mirpur Patel kembali bersuara. 

”Kau tunggu apa lagi? Sergap gadis itu sekarang juga, bawa 

ke tempat sunyi dan lakukan apa yang harus kau lakukan. Setelah 

itu aku akan membaitmu dan kau akan memiliki ilmu kesaktian 

tak ada tandingannnyadi dunia ini.” 

”Resi Mirpur Patel, aku tahu apa yang harus aku kerjakan. 

Harap kau tidak terlalu banyak bersuara” Cakra Mentari merasa 

kesal. Dia melirik lagi ke arah pohon bambu. Ketika dia berpaling 

kembali ke arah rumah, sosok gadis berbaju kuning di atas atap 

telah lenyap. 

”Dia pasti telah masuk ke dalam rumah lewat atap...” 

membatin Cakra Mentari. Pemuda ini merasa kesal karena 

mahluk tumpangan di dalam tubuh membuyarkan perhatiannya  ”Kesempatan pertama telah lewat. Kini agaknya aku harus 

membunuh Pangeran itu untuk mendapatkan Dewi...” 

Cakra Mentari siap keluar dari tampat persembunyian. 

Namun gerakannya tertahan. Ada seekor burung putih melayang 

di udara dan hinggap di cabang pohon besar dekat kolam mandi. 

Bersamaan dengan itu dari balik rerumpunan pohon bambu Ki 

Rorot Keminting si kepala pengawal keluar dan melangkah cepat 

ke arah pintu depan rumah kediaman Pangeran Aryo Dipasena. 

Cakra Mentari mengerenyit melihat burung putih hitam yang 

hinggap di cabang pohon. Seperti diketahui burung berjambul 

hitam ini dulunya adalah peliharaan si pemuda dan diberi nama 

Jambul Ireng. Namun ketersesatannya dalam mengikuti ilmu yang 

diajarkan Mirpur Patel, dan sebagaimana tertera dalam Kitab 

Jagat Pusaka Alam Gaib maka Cakra Mentari tidak pemah ingat 

lagi segala sesuatu di masa silamnya. Jangankan burung. Bahkan 

dia tidak mengenal dirinya sendiri termasuk tidak ingat lagi akan 

kedua orang tuanya serta dari mana dia berasal. 

Cakra Mentari tidak menunggu lebih lama. Dia berkelebat ke 

arah depan rumah.Tapi lagi-lagi terpaksa menahan langkah. Di 

pintu depan rumah dia melihat Kepala Pengawal Ki Rorot 

Keminting berdiri siap hendak mengetuk pintu. 

”Manusia satu ini membuang-buang waktuku saja !” kata 

Cakra Mentari kesal. Lima jari tangan kanan dijentikkan ke depan. 

Lima larik cahaya hijau melesat ini adalah bagian dari Ilmu Tiga 

Cahaya Alam Gaib yang hanya mengeluarkan satu cahaya, disebut 

Cahaya Hijau Alam Gaib. 

Walau Ki Rorot Keminting melihat serangan berupa cahaya 

benderang hijau yang datang kearahnya namun Kepala Pengawal 

ini tidak cukup cepat untuk berkelit. Cahaya hijau menyambar 

tengkuk Ki Rorot Keminting. Saat itu juga tubuhnya terbanting ke 

pintu, tersungkur ke lantai, tenggelam dalam sinar hijau 

mengepulkan asap, meletup dan tewas dengan tubuh hangus 

berwarna hijau.DI DALAM rumah. Pangeran Aryo Dipasena tak percaya akan 

apa yang terjadi. Ketika membuka mata dari ketetapan tidur dia 

dapatkan gadis cantik yang diberinya nama Dewi Pemikat telah 

berada di atasnya, menindih tubuhnya. Sang Pangeran seperti 

tidak percaya. 

”Dewi, Dewi Pemikat...? Benar ini dirimu?” 

Yang disapa tersenyum, menggeser tubuh panasnya lebih ke 

atas. 

”Kalau bukan aku, apakah kau mempunyai seorang kekasih 

lain?” bisik Dewi Pemikat. 

”Dewi! Aku hampir tak bisa percaya. Wajahmu, suaramu!” 

Pangeran Aryo pagut punggung gadis yang berbaring di atas 

tubuhnya lalu membalikkan badan kini ganti menindih tubuh si 

gadis. 

”Kau.....” ucap Pangeran Aryo. ”Aku sudah putus harapan 

bahwa kau tidak akan kembali lagi menemuiku...” 

”Pangeran...” 

”Jangan panggil aku Pangeran...” 

”Kekasihku Aryo Dipasena. Aku tak pernah bisa 

melupakanmu. Aku tak sanggup menahan rindu. Peluk aku erat-

erat. Jangan lepaskan. Cium wajahku, tubuhku, seluruh auratku. 

Ah....” 

Dua orang itu saling berpeluk erat dan bercium lumat dan 

baru berhenti ketika nafas masing-masing mengengah.

”Aryo, rumahmu tidak aman. Ketika aku datang dan naik ke 

atas atap aku memperkirakan paling tidak ada dua orang berada 

di tempat gelap sekitar rumah. Kita harus pergi dari sini. Aku tak 

mau terganggu. Kita bercinta di tempat lain saja. Di alam terbuka 

biar lebih mesra...” 

”Kekasihku, aku menurut saja apa pintamu.” Baru saja 

Pangeran Aryo berucap tiba-tiba braakk! Itu adalah suara tubuh Ki 

Rorot Keminting yang dihantam cahaya hijau dan jatuh menimpa 

pintu depan sebelum tewas tergelimpang di langkan rumah ”Lewat pintu belakang...” Bisik Pangeran Aryo lalu dia 

memegang lengan Dewi Pemikat. Keduanya keluar dari dalam 

rumah lewat pintu belakang. Di sebuah kandang di halaman 

belakang terdapat seekor kuda besar berbulu putih. Pangeran 

Aryo keluarkan kuda dari dalam kandang. Lalu bersama Dewi 

Pemikat naik ke atas punggung binatang ini. Kuda putih digebrak 

mengambur lewat tembok halaman belakang yang lebih dulu 

dijebol dengan satu pukulan sakti jarak jauh oleh Pangeran Aryo. 

Sesaat kemudian kuda putih bersama dua penunggangnya lenyap 

ditelan kegelapan malam. 

Ketika Cakra Mentari masuk ke kamar tidur, dia hanya 

menemukan ranjang kosong. Dia mengejar ke bagian belakang 

bangunan dan dapatkan pintu belakang terpentang lebar. Di luar 

pintu dia hanya melihat kegelapan disertai hembusan angin 

dingin. Di sebelah sana tampak tembok halaman belakang yang 

jebol. 

”Kurang ajar! Gadis itu melarikan diri bersama Pangeran. 

Kandang kuda kosong. Mereka pasti kabur menunggang kuda.” 

Saking geramnya Cakra Mentari tendang sebuah tempayan 

besar yang terletak di samping pintu hingga pecah berantakan 

dan airnya menggenangi serambi belakang rumah. 

”Cakra, kau tak usah kawatir. Kita bisa mengejarnya. Aku 

bisa mencium bau tubuh gadis itu. Kejar ke arah timur! Mereka 

kabur kesana!” Mahluk tumpangan di dalam tubuh Cakra Mentari 

bersuara. Percaya apa yang dikatakan sang penitip nyawa Cakra 

Mentari segera hendak berkelebat ke jurusan timur. Namun 

sesaat dia berbalik. Menghadap ke arah rumah. Tangan kanan 

membuat gerakan memukul. 

”Wuttt!” 

Tiga larik sinar merah, biru dan hijau berkiblat ke arah 

bangunan. 

”Wusss!” 

Saat itu juga rumah kediaman Dipasena tenggelam dalam kobaran api



SEBELAS


DENGAN mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut 

Kencana Biru pinjaman Nyi Roro Kidul, Ratu Duyung bersama 

Pendekar 212 Wiro Sableng, Purnama, Naga Kuning dan

Gondoruwo Patah Hati sampai di Kotaraja. Waktunya hampir 

bersamaan dengan saat Dewi Pemikat menemui Pangeran Aryo 

Dipasena. 

Semula ke empat orang ini hendak mencari Setan Ngompol 

dan Liris Biru di Kuto Gede. Namun mereka mendapat cerita dari 

dua orang peronda malam bahwa Liris Biru telah menemui ajal di 

tangan Cakra Mentari. Setan Ngompol telah membawa jenazah 

gadis malang itu ke satu tempat di kawasan Cadas Biru. 

Wiro ingin menyusul ke Cadas Biru namun Ratu Duyung dan 

Purnama menyarankan untuk segera saja mencari Cakra Mentari. 

Ratu Duyung membawa orang-orang itu ke sebuah bukit kecil 

yang ada goanya di pantai selatan. Dia sengaja ingin 

mendekatkan diri dengan samudera besar kekuasaan dan 

kediaman Nyi Roro Kidul agar mendapat bantuan petunjuk dimana 

beradanya pemuda jahat bernama Cakra Mentari itu. 

DI dalam goa yang menghadap ke laut Ratu Duyung 

keluarkan cermin sakti. Pendekar 212 Wiro Sableng kerahkan Ilmu 

Menembus Pandang. Purnama masuk ke dalam alam gaib. Naga 

Kuning dan Gondoruwo Patah Hati yang tidak melakukan apa-apa, 

hanya duduk memperhatikan ke tiga orang itu. Lewat tengah 

malam Ratu Duyung melihat sesuatu dalam cermin. Purnama 

keluar dari alam roh, masuk kembali ke dalam jazad kasarnya 

Wiro terapkan Ilmu Meraga Sukma yang didapatnya dari Nyi Roro 

Manggut. Tubuh kasarnya tetap duduk di dalam goa, sementara 

tubuh halus atau sukmanya melayang ke udara. 

Setelah cukup lama mengamati ke dalam cermin, perlahan-

lahan Ratu Duyung turunkan cermin bulat yang sejak tadi 

dipegang, diletakkan di atas pangkuan. Naga Kuning dan 

Gondoruwo Patah Hati mendekati. 

”Ratu, kau melihat sesuatu?” tanya si nenek.

Ratu Duyung tak segera menjawab. Gadis cantik ini tampak 

seperti berpikir-pikir. Naga Kuning berbisik pada Gondoruwo Patah 

Hati. 

”Nek, mungkin dia melihat anunya perempuan dari alam 

gaib yang kesusupan tanjung itu. Tapi malu mau mengatakan 

pada kita.” 

Si nenek pelototkan mata. Lalu mendamprat. ”Orang sedang 

kerja keras kau ngomongnya ngacok saja!” 

”Nek,” Ratu Duyung akhirnya membuka suara. 

”Aku memang melihat sosok lelaki sesuai ciri-ciri Cakra 

Mentari. Tapi ada keanehan. Wajahnya terkadang menampilkan 

muka orang lain yang samar dan tak jelas dalam penglihatanku. 

Selain itu sepertinya dia memiliki dua sosok. Aku tak mengerti....” 

”Hai!” tiba-tiba Naga Kuning nyeletuk. 

”Apa?!” Gondoruwo Patah Hati langsung membentak. ”Kau 

mau bicara apa? Mau omong jorok lagi?” 

”Jangan marah dulu Nek.” jawab bocah berambut jabrik. 

”Kalian apa tidak ingat ucapan Resi yang punya tongkat biru 

berkeluk itu. Resi apa namanya. Aku agak lupa. Oh ya Resi 

Kajanda...” 

Gondoruwo Patah Hati dorong kepala Naga Kuning dengan 

tangan kiri. ”Kajanda...Kajanda !” Ingatmu cuma janda saja! 

Khandawa! Itu namanya! Dasar bocah konyol!” 

Naga Kuning mesem-mesem. ”Ya, ya! Resi Khandawa. 

Sebelum pergi aku ingat sekali apa yang dikatakannya. ”Semua 

sahabat yang ada di sini. Resi jahat itu akan terkatung-katung 

antara langit dan bumi. Mati tidak hidup juga tidak. Seluruh 

tubuhnya dijalari hawa panas. Hanya ada satu jalan mencari 

selamat baginya. Yaitu masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari. Itu 

kalau dia tahu.” 

Ratu Duyung menepuk bahu Naga Kuning. 

”Sobat kecil! Kali ini kau tidak bicara ngelantur. Apa yang 

barusan kau ucapkan aku yakin itulah yang terjadi.””Kalau memang terjadi seperti itu, berarti Cakra Mentari 

punya dua tubuh, punya dua nyawa. Ilmu kesaktiannya juga pasti 

berlipat ganda karena ketumpangan Resi berkepandaian tinggi itu. 

Kita harus berhati-hati jika menghadapinya.” Berkata Gondoruwo 

Patah Hati. 

Saat itu Wiro dan Purnama muncul berbarangan. 

”Apa yang kailan dapatkan?” bertanya si nenek. 

Purnama menjawab duluan. ”Alam roh memberi petunjuk

padaku. Cakra Mentari saat ini berada di satu tempat, dekat 

sebuah kali kecil. Lurus di sebelah utara, tak jauh dari Kotaraja...” 

Ratu Duyung berpaling pada Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Tanpa ditanya murid Slnto Gendeng ini menerangkan. ”Ketika 

aku meraga sukma, daya Ilmuku tertindih kesaktian Purnama 

yang telah memantau lebih dulu. Ini berarti apa yang dilihat 

Purnama tidak beda dengan apa yang seharusnya aku lihat.” 

”Nek,” Naga Kuning kembali jahil. Sambil menggamit lengan 

Gondoruwo Patah Hati bocah ini berbisik. ”Untung Ilmunya yang 

di tindih si gadis. Kalau tubuhnya yang ditindih seperti kejadian di 

goa Teluk Losari, wah! Pasti dua-duanya tidak muncul-muncul ke 

tempat ini.” 

”Sudah ! Diam kamu!" hardik Gondoruwo Patah Hati. 

”Kita harus berangkat sekarang juga ke arah utara. DI utara 

kita menyusuri Kali Opak. Itu satu-satunya kali dekat Kotaraja 

sebelah selatan. Mudah-mudahan kita bisa menemukan Cakra 

Mentari secepatnya. Kalau tidak, aku punya firasat dia akan 

melakukan kejahatan lagi.” Berkata Wiro. 

”Tunggu dulu,” kata Purnama. ”Aku ingat sesuatu. Ketika 

mahluk tanpa wajah yang sekarang kita kenal sebagal Resi jahat 

bernama Mirpur Patel itu hendak membunuhku. Waktu itu aku 

sudah dikunci dipendam di dalam tanah. Ketika dia hendak 

menggebukku dengan tongkat emas, mendadak dia batalkan niat. 

Dia langsung melesat ke langit ketika melihat kemunculan dua 

kakek yaitu Ki Tambakpati dan Setan Ngompol. Salah seorang dari 

kakek itu pasti ada apa-apanya. Mungkin dia takut. Takut pada kakek yang mana? Kalau saja Ki Tambakpati atau Setan Ngompol 

ada di sini, mungkin kita bisa menanyakan. Pasti ada sesuatu... ” 

”Para sahabat, aku sudah ada di sini. Apa kalian semua 

sudah kangen pada bau air kencing di kuyupku? Ha...ha...ha!” 

Semua orang berpaling dan berseru berbarengan. 

”Setan Ngompol!” 

”Ha...ha...ha!” Si kakek berkepala setengah sulah, bermata 

belok yang salah satu daun telinganya terbalik ini tertawa 

mengekeh dan seerrr! Seperti biasa langsung pancarkan air 

kencing! 

”Najis !” teriak Naga Kuning. 

”Najis tapi baunya mantap!” Jawab Setan Ngompol seraya 

peras celananya yang kuyup oleh air kencing lalu kepretkan 

tangannya yang basah air kencing ke arah si bocah! Naga Kuning 

melompat, cepat-cepat menjauh. 

Sementara semua orang senyum-senyum melihat kejadian 

itu Ratu Duyung memutar otak. ”Najis.... ” Dia mengulang ucapan 

Naga Kuning. Dia merasakan sesuatu dan berpikir-pikir. Namun 

otaknya tak mau diajak bicara, buntu. Akhirnya Ratu Duyung 

berkata. 

”Para sahabat, sebaiknya kita berangkat sekarang juga.” 

Karena tempat tujuan yang hendak didatangi tidak berapa jauh di 

utara, Ratu Duyung tidak merasa perlu mengandalkan kesaktian 

batu mustika yang ada padanya. Semua orang cukup pergunakan 

Ilmu lari masing-masing. Dangan pengerahan tenaga dalam dan 

Ilmu meringankan tubuh ke lima orang itu mampu berlari cepat. 

Di malam buta begitu rupa, jika ada yang melihat pasti orang itu 

akan menyangka telah melihat serombongan setan sedang 

berkelebat gentayangan. 

Setelah melewati satu desa kecil yang sunyi senyap Ratu 

Duyung dan kawan-kawan menemui Kali Opak. Mereka mengikuti 

kali ini ke arah utara. Sementara berlari sesekali Purnama 

memperhatikan ke udara. Sejak beberapa saat lalu dia melihat 

seekor burung putih terbang di atas rombongan. Kadang-kadang binatang ini melesat mendahului. Purnama memberi tahu pada 

rombongan agar menghentikan lari. 

”Ada apa?” tanya Ratu Duyung. 

Purnama menunjuk ke sebuah pohon. Di atas salah satu 

cabang tampak seekor burung putih bertengger. 

”Burung itu...” kata Purnama pula. ”Sejak tadi terbang di 

atas kita. Seperti mengikuti. Tapi kadang-kadang terbang 

mendahului. Ketika kita berhenti, burung itu hinggap di dahan 

sana. Seperti sengaja menunggu kita. Tidakkah kalian merasa 

aneh?” 

Semua orang memandang ke arah cabang pohon dimana

elang putih bertengger. Burung ini bukan lain adalah Jambul 

Ireng, bekas peliharaan Cakra Mentari yang kini mengelana tak 

karuan dan terus berusaha mencari tuannya walau pada 

pertemuan terakhir Cakra Mentari tidak mengenal dan tidak 

memperdulikannya. 

”Memang aneh. Seekor burung terbang di malam hari....” 

kata Rata Duyung. 

Wiro menggaruk kepala. ”Tampaknya seekor elang putih. 

Berjambul hitam. Rasanya tak pernah ada burung elang memiliki 

jambul hitam. Selain itu jarang sekail burung yang suka terbang 

sekitar laut ini berada jauh masuk ke daratan.” 

Burung di atas pohon keluarkan suara menguik beberapa 

kali. Kibaskan sayapnya lalu melayang ke udara. Berputar-putar 

sebentar di atas rombongan orang-orang itu kemudian melesat ke 

utara. 

”Aku merasakan sesuatu. Kita ikuti burung itu...” kata 

Gondoruwo Patah Hati. Lalu nenek ini berkelebat lebih dulu, 

diikuti Naga Kuning. Ratu Duyung, Wiro dan Purnama. Setan 

Ngompol kembangkan dua kaki lebih dulu, usap-usap perutnya 

lalu serrr. Kucurkan air kencing. Setelah beser baru dia mengejar 

orang-orang yang telah benda jauh di depannya. 

”Hai tunggu!” teriak si kakek.”Beser saja terus Kek! Sampai anumu copot!” balas beteriak 

Naga Kuning. 

Sambil berlari orang-orang itu memperhatikan terus elang 

putih yang melesat di udara. Seolah dituntun mereka mengikuti 

ke arah mana sang burung terbang. Tiba-tiba Purnama yang 

melihat lebih dulu berteriak. " 

”Tiga cahaya menyerang burung!” 

DI langit kelam saat itu mendadak berkiblat cahaya merah, 

biru dan hijau. Menyambar ke arah elang putih. Melihat bahaya 

mengancam burung, serentak Purnama, Ratu Duyung dan Wiro 

melesat ke udara sambil lepaskan pukulan tangan kosong 

mengandung tenaga dalam tinggi, memapas tiga cahaya maut. 

Tiga dentuman menggelegar di kegelapan malam. Sambaran 

cahaya tiga warna bertabur mental. Elang putih menguik keras. 

Tubuhnya tampak limbung akibat terpaan angin keras dan hawa 

panas yang berasal dari tiga dentuman. Binatang ini jatuh 

tercampak di tanah, tepat di hadapan Naga Kuning. 

Wiro sendiri, juga Ratu Duyung dan Purnama begitu terjadi 

bentrokan pukulan dengan cahaya tiga wama di udara sama-sama 

jatuh terduduk di tanah dengan wajah tampak agak pucat. 

”Ada orang hendak membunuh elang putih!” kata Purnama. 

”Kalau yang melakukan adalah mahluk tanpa wajah, melihat 

kekuatan cahaya tiga warna, besar kemungkinan bobot kekuatan 

Ilmu kesaktian yang dimilikinya lebih dahsyat dari sebelumnya.” 

Berucap Ratu Duyung. 

”Aku menduga mahluk tanpa wajah telah mengetahui 

kedatangan kita. Jika dia sengaja membunuh elang putih , berarti 

burung itu tengah berusaha menunjukkan pada kita dimana 

beradanya mahluk jahat itu dan si mahluk tanpa wajah berusaha 

mencegahnya!” 

Semua orang mengelilingi Naga Kuning yang tengah 

memeluk dan mengusap-usap burung elang putih. Di depan Naga 

Kuning mencangkung Gondoruwo Patah Hati. Nenek ini jongkok 

agak seronok hingga sebagian jubah birunya melompong

tersingkap di sebelah depan bawah. Celakanya si nenek tidak pula 

pakal celana dalam pelindung auratnya yang paling tersembunyi 

dan sangat rahasia itu! Untungnya saat itu tidak ada yang 

memperhatikan karena semua mata ditujukan pada burung elang 

putih yang dipeluk Naga Kuning. Sebagian jambulnya yang hitam 

tampak rontok. 

”Burung, kalau aku alirkan hawa sakti ketubuhmu dan kau 

dapat terbang lagi apakah kau mau menjadi penunjuk jalan kami 

kembali?” Tanya naga Kuning sambil terus usap-usap kuduk elang 

putih. Binatang ini hanya mengedipkan sepasang matanya yang 

merah. 

Tanda itu sudah cukup bagi Naga Kuning. SI bocah sambil 

mengelus kini alirkan tenaga dalam dan hawa sakti ke tubuh 

eiang putih yang tadi kena hantaman angin keras dan hawa panas 

sewaktu terjadi bentrokan antara cahaya tiga warna dengan 

pukulan sakti yang dilepaskan. 

Begitu hawa sakti masuk ke dalam tubuhnya Jambul Ireng 

tegakkan leher. Mata membesar. Setelah menguik panjang 

burung ini lepaskan diri dari pelukan Naga Kuning, melesat ke 

depan langsung masuk ke dalam bagian bawah jubah biru 

Gondoruwo Patah Hati yang sejak tadi tersingkap melompong! 

”Hai! Si nenek terpekik kalang kabut! Dia berusaha berdiri. 

Tapi di dalam jubah Jambul Ireng menggelepar-gelepar lalu 

mendekam diam seperti anteng keenakan. Gondoruwo Patah Hati 

sampai jatuh terduduk. Berteriak-teriak kegelian sambil melejang-

lejangkan kaki! 

***


DUA BELAS


KUDA putih yang ditunggangi Pangeran Aryo Dipasena dan 

Dewi Pemikat berlari kencang memasuki hutan jati di selatan 

Kotaraja. Duduk di sebelah belakang sambil memegang pinggang 

sang Pangeran, Dewi Pemikat memberi tahu kemana harus 

mengarahkan lari kuda. Tak lama kemudian di kejauhan tampak 

sebuah bangunan terbuat dari kayu tanpa dinding. 

”Itu pondoknya. Di belakang pondok ada kali kecil berair 

bening,” kata Dewi Pemikat sambil menunjuk ke arah pondok 

kayu di tengah hutan. Aryo Dipasena hentikan kuda di samping 

pondok. Dewi Pemikat melompat turun lebih dulu, naik ke atas 

pondok yang dibangun setengah panggung. Berdiri bertolak 

pinggang menunggu kedatangan Pangeran Aryo. Begitu sang 

Pangeran menginjakkan kaki di lantai pondok langsung Dewi 

Pemikat memeluknya. 

”Aryo, kita bercinta di tempat ini sampai pagi...” ucap Dewi 

Pemikat dengan nafas hangat memburu. Jari-jari tangan 

mencengkeram ke punggung si pemuda membuat putera Raja ini 

jadi bergairah dan balas memeluk. Keduanya saling cium lama 

sekali. Perlahan-lahan Dewi Pemikat menarik turun Pangeran 

Aryo ke lantai seraya berbisik nakal. 

”Aryo Dipasena kekasihku. Apakah aku harus membuka 

pakaianku sendiri? Apakah kau tidak mau bantu 

melakukannya...?” Si gadis bicara sambil meliuk-liukkan pinggul. 

”Dewi, aku.....” Wajah Pangeran Aryo tampak merah dan 

berkeringat. Walau dirinya sangat terangsang namun pemuda ini 

tampak gugup. Seumur hidup baru sekali ini dia mengalami hal 

seperti ini. Dewi Pemikat memegang ke dua tangannya dan 

meletakkan di atas dadanya yang busung. Sesaat ketika jari-jari 

tangan pemuda itu muiai membuka pakaian kuning yang

dikenakan Dewi Pemikat gadis cantik ini tidak sabaran lagi. Dia 

ulurkan dua tangan merobek baju yang dikenakan Pangeran Aryo. 

Dengan gemas Dewi Pemikat susupkan wajahnya di dada berbulu 

Pangeran Aryo.Tiba-tiba kuda putih yang dilepas di samping pondok

meringkik keras. Lalu terdengar suara blukk! 

Pangeran Aryo Dipasena tersentak kaget dan melompat 

bangun. Matanya terbeliak kaget ketika melihat kuda putih 

kesayangannya tergeletak tak bergerak di tanah dengan kepala 

hancur ! 

”Kencono Putih!” teriak Pangeran Aryo menyebut nama

kudanya. ”Siapa yang membunuhmu!” Dia hendak melompat 

turun dari atas pondok namun pinggangnya keburu dipagut Dewi 

Pemikat. 

”Kekasihku. Mengapa meributkan kuda mati? Nanti saja 

diurus. Mari kita bersenang-senang dulu.” Dewi Pemikat menarik 

tubuh pemuda Itu. Sang Pangeran coba bertahan. Dia terpaksa 

mengalah ketika si gadis merobek dan menanggalkan celana 

luarnya. 

”Permainan cinta yang sungguh menakjubkan!” Tiba-tiba 

mengumandang satu suara dari arah kegelapan. Disusul suara 

tertawa bergolak. 

Pangeran Aryo selain terkejut juga merasa heran. Yang 

dilihatnya muncul hanya satu orang yaitu pemuda berpakaian 

serba hitam berikat kepala merah. Tapi mengapa yang tertawa 

ada dua suara? Dewi Pemikat tampak tenang-tenang saja. Dia 

berdiri di belakang Pangeran Aryo dan berbisik. 

”Pangeran, aku tidak membutuhkan dirimu lagi. Cepat

tinggalkan tempat ini. Aku tak ingin melihatmu menemui kematlan 

di sini !” Pangeran Aryo berpaling heran. 

”Apa? Apa maksud ucapanmu? Kau...kau mengenal pemuda 

berkumis berpakaian hitam itu? Aku tahu sekarang! Jadi...jadi kau 

memperalat diriku untuk memancingnya ke sini? Dewi Pemikat, 

siapa kau sebenamya?!” 

”Jangan banyak bertanya menghabiskan waktu! cepat 

pergi!””Aku ingat. Rasa-rasanya bukankah pemuda berpakaian

hitam itu yang pernah muncul malam hari sewaktu kau mandi di 

kolam di rumah kediamanku?” 

”Pangeran, bukan saatnya kau harus cemburu. Nyawamu

lebih penting! Pergi dan jangan kembali ke sini !” Dewi Pemikat 

cekal lengan Pangeran Aryo. sekali dia menyentak tubuh tinggi 

besar pemuda itu melesat keluar pondok namun selagi melayang 

di udara cahaya tiga warna melesat menyambar dari kegelapan. 

Dewi Pemikat berteriak. 

”Cakra Mentari! Jika kau inginkan diriku jangan bunuh orang 

itu!” Cahaya tiga warna langsung redup dan akhirnya lenyap. 

Bersamaan dengan itu seorang pemuda gagah berpakaian hitam 

bersulam kembang perak dan emas telah berdiri di atas pondok di 

hadapan Dewi Pemikat. Cakra Mentari! Sepasang mata pemuda 

ini berkilat-kilat memperhatikan dada padat dan sebagian pinggul 

putih yang tersingkap. Cuping hidung mengembang pertanda 

nafsu sudah naik membakar darah di kepala. Di dalam tubuhnya 

pemuda ini juga merasa sosok tumpangan si penitip nyawa 

berubah panas. Ikut bergairah. 

”Dewi, akhirnya kutemui juga dirimu. Kali ini kau tak akan 

bisa lolos lagi....” 

”Apakah kau mengira aku akan mempermalnkanmu lagi lalu 

melarikan diri? Kali ini justru aku memang menunggu

kedatanganmu.” Jawab Dewi Pemikat lalu langsung saja dia 

hendak jatuhkan diri ke dalam pelukan Cakra Mentari. Pemuda 

berkumis, janggut dan bercambang bawuk tipis ini tahan dada 

busung Dewi Pemikat dengan telapak tangan kiri. Dengan tangan 

kanan dia mengeluarkan patung Kamasutra dari balik

pakaiannya. 

Dewi Pemikat tertawa. 

”Cakra, kau tidak membutuhkan patung mesum itu untuk 

membangkit gairahku. Lihat.....” 

Dewi Pemikat menggerakkan dua tangan, menggoyang bahu 

dan pinggul. Saat itu juga seluruh pakaian kuning yang masih melekat di tubuhnya jatuh ke lantai pondok. Sosok penitip nyawa 

dalam tubuh si pemuda menghela nafas berulang kali. Selama ini 

Cakra Mentari telah melihat dan menikmati keindahan tubuh 42 

orang perempuan. Namun dia harus mengakui keindahan tubuh 

Dewi Pemikat tak dapat dibanding dengan semua perempuan itu. 

Cakra Mentari simpan Patung Kamasutra. Di tangan kirinya kini 

telah tergenggam sekuntum bunga tanjung. Sambil merebahkan 

Dewi Pemikat lantai pondok, bunga tanjung ditempelkan ke 

kening si gadis. 

Dewi Pemikat mengeluarkan desah panjang menggeliat-

geliat sementara Cakra Mentari sibuk menanggalkan pakaian 

hitamnya. Di dalam tubuhnya mahluk penitip nyawa Mirpur Patel 

berulang kali berucap. 

”Cepat lakukan Cakra! Cepat!” Cakra Mentari masukkan 

Patung Kamasutra ke dalam gulungan baju dan celana hitam lalu 

dlletakka- di lantai pondok. Ketika pemuda itu meneduhi dirinya. 

Dewi Pemikat memeluknya rapat dan kuat. Dua tangan kemudian 

menekap wajah gagah si pemuda, ditarik didekatkan ke wajahnya 

sendiri lalu diciumi. Selama ini setelah sekian banyak perempuan 

yang jadi korbannya belum pernah Cakra Mentari mendapatkan 

yang bergairah seperti Dewi Pemikat ini. Karuan saja si pemuda 

jadi lupa diri, ikut tenggelam dalam rangsangan yang luar biasa. 

Dalam keadaan seperti itu, ketika wajah mereka saling 

bersentuhan, tidak sengaja bunga tanjung yang menempel di 

kening Dewi Pemikat menyentuh keningnya. Karena keningnya 

bekeringat maka bunga tanjung itu kini berpindah, menempel di 

kening Cakra Mentari. Mahluk penitip nyawa di dalam tubuh 

Cakra Mentari keluarkan suara seperti melolong. 

”Anak manusia bernama Cakra Mentari! Untuk kedua kalinya 

kau melanggar apa yang telah ditetapkan. Dalam Kitab Jagat 

Pusaka Alam Gaib jelas-jelas tertulis....ada pantangan yang harus 

kau ingat. Jangan sekali-kali bunga tanjung sampai melekat atau 

menempel di keningmu.... Cakra Mentari kali ini kau tak bisa bertahan lagi! Aku tak mau kehilangan ilmu yang telah aku 

harapkan selama hampir dua tahun.” 

”Hai, aku mendengar suara orang lain. Siapa yang bicara?” 

Dewi Pemikat bertanya. 

Cakra Mentari tidak perdulikan pertanyaan Dewi Pemikat. 

Gerakannya hendak meneduhi si gadis jadi tertahan. Dengan 

kesal dia membentak. 

”Resi Mirpur Patel, kau mau berbuat apa...?” 

”Aku terpaksa melakukan tindakan penangkal agar ilmu itu 

tidak lenyap! Kau akan kembali ke asalmu semula! Semua ilmu 

kesaktian yang kau dapat melalui Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib 

akan berpindah ke tanganku!” 

”Tindakan penangkal? Apa maksudmu? Mahluk terkutuk!

Sejak semula kau memang telah menipuku! Resi keparat! Keluar 

kau dari tubuhku! Kalau tidak aku akan mengadu nyawa. Jika aku 

mati kau juga akan mampus!” 

Tak ada jawaban. Yang terdengar kemudian malah jeritan 

Cakra Mentari. Pemuda ini melompat sambil pegang anggota 

rahasia di bagian bawah perutnya yang hancur mengucurkan 

darah. Sebenarnya tanpa Cakra Mentari terkena tempelan bunga 

tanjung Resi Mirpur Patel memang sudah punya rencana untuk 

melakukan apa yang disebutnya sebagai tindakan penangkal itu. 

Karena memang hanya itu satu-satunya cara untuk mengamankan 

ilmu pukulan sakti dahsyat yang kini telah berada dalam tubuh 

Cakra Mentari. 

Dewi Pemikat menjerit lalu melompat menyambar 

pakaiannya. Melihat sosok bugil putih bagus si gadis cantik Naga 

Kuning mendelik. Setan Ngompol melotot dan langsung pancarkan 

air kencing. Murid Sinto Gendong walau agak malu-malu tapi 

sambil menggaruk kepala melirik juga. Purnama dan Ratu Duyung 

saling pandang, tak barani melihat. Dewi Pemikat melompat turun 

dari atas pondok, menyelinap ke balik sebatang pohon. Selesai 

berpakaian dia kembali ke dalam pondok. Anehnya walaupun 

tadi dia siap untuk bersenang-senang melakukan hubungan badan dengan Cakra Mentari namun saat itu dia sama sekali tidak 

berusaha menolong si pemuda. 

Cakra Mentari Jatuh terduduk bersimpuh terbungkuk-

bungkuk di tanah sementara darah mengalir terus menggenangi 

lantai pondok. Dalam keadaan seperti Itu Cakra Mentari masih 

bisa berpikir untuk cepat-cepat menotok beberapa bagian 

tubuhnya sebelah bawah hingga darah berhenti mengucur. 

Terdengar suara tawa mengekeh disusul ucapan Mirpur Patel. 

”Kau tak usah kawatlr Cakra Mentari. Kau tidak akan

menemui ajal hanya karena anggota rahasiamu kubuat hancur!” 

Tiba-tiba seperti ada yang mengangkat tubuh Cakra Mentari 

naik ke atas lalu dibanting ke lantai pondok. Saat itu juga dari 

dalam tubuhnya membayang keluar sosok samar Resi Mirpur Patel 

yang keadaannya nyaris tidak berdaging seperti jerangkong. Kaki 

kiri menginjak lantai pondok kaki kanan tak berkasut menginjak 

kepala Cakra Mentari. Melalui injakan kaki itulah dia akan 

menyedot ilmu kesaktian yang ada dalam tubuh Cakra Mentari. 

Ketika Resi Mirpur Patel merapal mantera sambil 

mengerahkan sisa hawa sakti yang sangat sedikit masih 

dimilikinya dan siap menyedot ilmu kesaktian yang ada di tubuh 

Cakra Mentari tiba-tiba terdengar suara menguik. Seekor elang 

putih berjambul hitam menukik dari kegelapan malam. Paruhnya 

yang tajam menyambar ganas ke arah leher sang Resi.

”Mahluk jahanam ! Aku tahu siapa dirimu ! Mampuslah !” 

Sosok samar Resi Mirpur Patel angkat tangan kanan, 

menangkap leher elang putih lalu kreekk ! Sekali meremas 

burung malang Itu menguik keras dan hancur luluh. Sebelum 

tewas Jambul Hitam malah sempat mencakar lengan kanan 

Mirpur Patel hingga sama-samar tampak darah hitam mengucur 

dari robekan luka ! 

Mahluk tumpangan Mirpur Patel bantingkan elang putih 

berjambul hitam yang sudah mati itu ke tanah. Namun seorang 

anak kecil berambut jabrik entah dari mana datangnya dengan 

cepat menangkap burung itu. Naga Kuning!

”Mahluk samar Resi sesat! Kau rupanya suka sekali meremas 

burung. Burung orang dan burung benaran! Hik...hlk..hik ! 

Bagaimana kalau gantian aku meremas burungmu! Hik..hik...hik !” 

***


TIGA BELAS


ANAK kurang ajar?! Kau siapa?!” bentak Mirpur Patel marah 

besar karena maksudnya hendak menyedot ilmu kesaktian lewat 

kepala Cakra Mentari jadi terhalang. 

”Bocah itu adalah sahabat kami dan kekasihku!” Mirpur Patel 

terkesiap. Seorang nenek berjubah biru berwajah setan berambut 

kelabu tahu-tahu berdiri di hadapannya sambil menyeringai 

kedap-kedipkan mata. Gondoruwo Patah Kati. Ternyata si nenek 

tidak sendirian. Mirpur Patel segera mengenali Purnama yang 

pernah dipendamnya dalam tanah. Dalam hati dia menggeram 

penuh dendam. Gadis inilah yang telah membuat rompal tongkat 

emasnya dan berdasarkan gompalan tongkat itu menyebabkan 

Resi Khandawa Abitar berhasil menjajagi keberadaannya dan 

menjatuhkan hukuman atas dirinya. Lalu ada pemuda berambut 

gondrong dan seorang gadis cantik bermata biru. Dia kenal semua 

orang ini karena beberapa kali pernah menyerang mereka secara 

membokong dari jarak jauh. Ketika pandangannya membentur 

Setan Ngompol berubahlah tampang sang Resi. Hal ini sempat 

dilihat Ratu Duyung. Dia ingat keterangan Purnama bahwa ada 

sesuatu yang ditakuti mahluk yang pernah muncul tanpa wajah 

itu. Pasti ada satu rahasia dibalik kerenyit wajah mahluk 

tumpangan itu. Mirpur Patel angkat kakinya yang menginjak 

kepala Cakra Mentari. Wiro dan kawan-kawan tampak melengak 

kaget ketika melihat bagaimana sosok samar Resi Mirpur Patel 

masuk ke dalam tubuh pemuda yang terbujur di lantai pondok. 

Sebagai penitip nyawa Resi Mirpur Patel memang tidak mungkin 

dan tidak bisa lepas dari tubuh tumpangannya. Kesempatan ini 

serta merta dipergunakan oleh Cakra Mentari yang saat itu masih 

telanjang bulat untuk berdiri. Semua perempuan yang ada di 

tempat itu segera palingkan muka. Kecuali si nenek Gondoruwo 

Patah Hati yang enak-enakan saja memperhatikan dengan wajah 

menyeringai dan lidah dijulur-julur membasahi bibir.”Cakra Mentari! Lekas kau kenakan pakaianmu! Keadaanmu 

seperti ini hanya menambah sial saja!” Mahluk tumpangan 

berucap. 

Cakra Mentari segera mengenakan pakaian. Ketika dia

menyimpan patung Kamasutra ke balik pakaiannya semua orang 

sempat melihat kantong kain hitam yang ditembusi cahaya merah 

redup. 

Wiro berkata dalam hati. 

”Aku yakin, di dalam kantong kain warna hitam itu dia 

menyimpan Patung Kamasutra yang dicari Resi Khandawa Abitar. 

Selama ini patung itu telah dipakai untuk melaksanakan perbuatan 

terkutuknya!” 

”Cakra, kau harus segera meninggalkan tempat ini. Orang-

orang ini sangat berbahaya. Mereka bisa membuat gagal dirimu 

mendapatkan ilmu kesaktian pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib.” 

”Wiro. Aku mendengar suara lain dalam tubuh Cakra 

Mentari. Mungkin suara Resi yang sudah menitipkan nyawanya 

seperti keterangan Resi Khandawa Abitar. Cakra Mentari hendak 

kabur dari sini.” Purnama yang berdiri di samping Wiro berbisik 

pada sang pendekar. 

”Lekas berpencar...” kata Wiro pula sambil memberi tanda. 

Purnama berkelebat ke bagian kiri pondok. Ratu Duyung melesat 

ke bagian belakang sambil memegang cermin bulat sakti. Naga 

Kuning letakkan burung elang putih yang sudah mati di dekat 

serumpun semak belukar lalu bersama Gondoruwo Patah Hati 

bocah ini bergerak ke samping kanan bangunan. Sementara Wiro 

dan Setan Ngompol mendatangi dari sebelah depan. 

”Kakek celaka berkuping terbalik itu. Bagiku dia sangat 

berbahaya Cakra, sebaiknya kita lekas minggat dari sini!” Berkata 

Mirpur Patel. 

””Cakra, tenang saja. Kau tak akan mati. Kau tetap akan 

menguasai Ilmu pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib.” 

Tiba-tiba sebagian tubuh samar Mirpur Patel keluar dari 

sosok Cakra Mentari. Dua tangannya bergerak ke depan hendak 

mencekik leher si pemuda. Entah bagaimana mahluk tumpangan 

ini tiba-tiba saja punya keyakinan, cara cepat dan jalan pintas 

untuk menguasai ilmu kesaktian yang ada dalam diri Cakra 

Mentari adalah dengan membunuh si pemuda. Jika Cakra Mentari 

mati, ilmu kesaktiannya akan mengalir masuk ke dalam tubuhnya. 

Dia tidak mengetahui dengan keluarnya tiga ratus lima bunga 

tanjung dari dalam tubuh Cakra Mentari maka ilmu Tiga Cahaya 

Alam Gaib yang sudah di dapat si pemuda serta merta lenyap tak 

berbekas. Yang masih tertinggal dalam diri Cakra Mentari 

hanyalah semua ilmu kesaktian yang didapatnya dari guru-

gurunya sebelumnya, antara lain Suma Mahendra. 

”Lihat!” teriak Naga Kuning. Anak ini langsung mengangkat 

tangan hendak melepas satu pukulan tangan kosong bernama 

Naga Murka Menjebol Bumi ke arah mahiuk samar. Tapi cepat 

dicegah oleh Wiro ”Jangan! Seranganmu bisa meleset mengenai pemuda itu. 

Kita menginginkannya tetap hidup. Ingat ucapan Resi Khandawa! 

Dia pemuda yang terjebak oleh tipu daya Resi Mirpur Patel!” 

Naga Kuning tarik serangannya. ”Kalau begitu biar aku yang 

mengamankan kedua orang itu!” Berkata Purnama. Gadis ini 

goyangkan bahunya. Sinar terang berwarna biru disertai percikan-

percikan seperti kembang api memenuhi tempat itu lalu 

menyungkup sosok Cakra Mentari dan Mirpur Patel. 

”Cakra, hantam dengan Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib!” 

teriak mahluk tumpangan Mirpur Patel. Cakra Mentari lakukan apa 

yang dikatakan orang. Tangan kanan dipukulkan. Tiga cahaya 

merah, biru dan hijau menderu. 

”Dess! Dess! Dess!” 

Purnama berseru kaget ketika melihat sinar biru yang 

menyungkup Cakra Mentari dan Mirpur Patel jebol di tiga tempat. 

Mirpur Patel tertawa mengekeh. Namun diam-diam dia merasa 

kawatir. Kekuatan pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib yang tadi 

dilepaskan Cakra Mentari masih dalam bentuk kekuatan lama. 

Celaka! Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib yang didapatnya dari 

samadi di Gurun Tengger mungkin sudah lenyap! Ini akibat 

pantangan yang dilanggar sampai dua kali!” Mirpur Patel 

menggembor marah. 

”Cakra Mentari! Kau tidak mendapatkan ilmu kesaktian Tiga 

Cahaya Alam Gaib itu! Aku hanya membuang waktu percuma! Aku 

bersumpah tidak ada gunanya kau hidup!" 

”Kalau kau membunuhku, kau sendiri akan menerima 

kematlan yang sama. Karena nyawamu bertumpangan dengan 

nyawaku! Nyawamu hanya nyawa titipan!” 

”Persetan dengan kematian! Aku sudah mempersiapkan diri 

untuk hidup di alam gaib!” 

Habis berkata begitu mahiuk tumpangan Mirpur Patel 

susupkan dua tangannya ke dalam perut Cakra Mentari, mencekal 

dan membetot urat di belakang pusar si pemuda. 

”Breettt!”Cakra Mentari menjerit setinggi langit. Perutnya terbongkar 

jebol. 

Darah muncrat sampai setengah tombak. Isi perutnya

seperti menggelegak. Semua orang yang ada di tempat itu sama 

keluarkan seruan tertahan dan merasa tengkuk masing-masing 

menjadi dingin karena bergidik. 

Setan Ngompol terkencing-kencing. Ketika dia berusaha 

menjauh, tanah yang becek oleh darah dan air kencing membuat 

kakinya terpeleset. Kakek ini coba menggapai tiang pondok. 

Namun gerakannya malah membuat tubuhnya melintir dan 

terhuyung ke arah mahluk tumpangan Mirpur Patel yang tengah 

berusaha mengeluarkan tubuh samarnya dari mayat Cakra 

Mentari. Ketika melihat si kakek yang celananya basah kuyup air 

kencing ini hendak jatuh menimpa dirinya Mirpur Patel berteriak 

keras, berusaha menghindar. Namun terlambat. Paha kiri Setan 

Ngompol jatuh tepat di pipi kanannya. 

”Air najis! Air celaka! Air kematian!” raung Mirpur Patel. 

Ratu Duyung dan Purnama saling pandang. Dua gadis cantik 

itu sekarang mengerti bahwa air kencing Setan Ngompol 

merupakan hal yang ditakuti Mirpur Patel sejak dia muncul 

sebagal mahluk tanpa wajah. 

Muka mahluk tumpangan yang terkena basahan air kencing 

Setan Ngompol langsung berubah hitam hangus. Darah hitam 

meleleh dari telinga kanan, mata kanan, hidung dan mulut. Tubuh 

menggeliat lalu meletup beberapa kali, berubah jadi asap dan 

membubung ke udara. Namun baru naik setinggi atap pondok 

tiba-tiba satu suara menggema di tempat itu. Suara Resi 

Khandawa Abitar sementara orangnya sendiri tidak kelihatan. 

”Mirpur Patel, Para Dewa tidak mengizinkan dirimu hidup di 

alam gaib. Sudah diputuskan bahwa kau akan dibenam di dasar 

bumi lapisan ketujuh untuk selama-lamanya!” 

”Wuuttt!” 

Satu cahaya biru menderu. Itulah pukulan tongkat sakti 

Kuntala Biru milik Resi Khandawa Abitar. Saat itu juga sosok asap Mirpur Patel amblas masuk ke dalam tanah diiringi suara raungan 

panjang menggidikkan! 

***


EMPAT BELAS


Di DALAM pondok Ratu Duyung dekati Dewi Pemikat yang 

berdiri tenang-tenang saja seolah tidak ada terjadi apa-apa di 

tempat itu. Padahal mayat Cakra Mentari dengan perut terbusai 

masih menggeletak di samping pondok. 

”Sahabat berbaju kuning, aku dipanggil orang dengan

sebutan Ratu Duyung. Kalau aku boleh bertanya siapakah 

namamu?” 

”Orang-orang momanggilku Dewi Pemikat. Nama itu bukan 

nama sembarangan karena diberikan oleh seorang Pangeran.” 

”Ah, beruntung kau punya kenalan seorang Pangeran yang 

baik hati,” ucap Purnama. 

Wiro kini ganti bertanya. ”Bagaimana ceritanya sampai 

pemuda berpakaian hitam itu hendak memperkosamu?” 

Dewi Pemikat tatap wajah Pendekar 212 sejurus. Wiro balas 

menatap. Sepasang pandangan saling beradu. Wiro merasakan 

ada getaran aneh di kelopak matanya. Dia tidak memikirkan hal 

itu lebih jauh karena tiba-tiba gadis cantik montok di hadapannya 

tertawa panjang. Wiro hanya bisa memperhatikan sambil garuk-

garuk kepala 

”Apa? Pemuda berpakaian hitam itu hendak memperkosaku? 

Hik... hlk! Bukan dia yang hendak mamperkosaku. Tapi justru aku 

yang hendak memperkosanya! Eh, apakah kau mau aku 

perkosa?” 

Wiro menyeringai, garuk-garuk kepala sementara Dewi

Pemikat senyum-senyum sambil kedap-kedipkan mata. 

Murid Sinto Gendeng jadi melongo. Purnama dan Ratu 

Duyung tampak merah wajah masing-masing. Gondoruwo Patah 

Hati cemberut. Hanya Naga Kuning seorang yang tertawa gelak-

geiak. 

”Nah, anak ini tertawa. Berarti dia tahu kalau apa yang 

kuucapkan benar adanya!” Kata Dewi Pemikat pula. 

Karena dipuji begitu rupa, timbul keberanian Naga Kuning.”Sahabatku cantik. Sobatku si gondrong ini mengidap satu 

penyakit aneh. Ada yang memberi penjelasan penyakitnya bisa 

disembuhkan kalau...” 

”Tunggu dulu,” memotong Dewi Pemikat ”Penyakit apa yang 

diderita sobatmu gondrong ini?” 

”Itu, anunya....” Naga Kuning luruskan jari telunjuk tangan 

kanan. Lalu perlahan-lahan jari itu ditekuk diturunkan kebawah. 

”Loyo...” Ucap si bocah pula. 

Wiro tak bisa marah, Cuma garuk-garuk kepala. Dewi 

Pemikat tertawa cekikikan. 

”Tadi kau bilang ada yang memberi penjelasan penyakitnya 

bisa disembuhkan kalau....Kalau apa?” 

Bertanya Dewi Pemikat. 

”Menurut yang punya cerita...” 

”Siapa yang cerita?” Dewi Pemikat memburu terus. 

”Seorang yang diam di kawah Gunung Bromo. Namanya 

Suma Mahendra...” 

”Hemmm begitu? Orang itu cerita apa?” 

”Katanya peyakit sobatku ini bisa sembuh setelah sebuah 

bunga tanjung yang ada didalam anunya seorang perempuan dari 

alam gaib dikeluarkan lalu ditanam di bawah pohon tanjung, 

antara dua akar yang sejajar." 

Dewi Pemikat ternganga lalu tertawa gelak-gelak. 

”Sekecil ini kau sudah pandai mengarang cerita!” 

”Sahabat, anak ini tidak mengarang cerita.” Menyahuti 

Pumama. "Apa yang dikatakannya betul semua. Petunjuk tentang 

perempuan dari alam gaib itu telah kami lihat. Yaitu sekuntum 

bunga tanjung terakhir yang keluar dari tubuh pemuda bernama 

Cakra Mentari. Bunga tanjung dimaksud adaiah bunga tanjung 

yang saat ini masih terselip di rambutmu.” 

Dewi Pemikat terkejut. Dia meraba rambutnya. Dia 

menemukan bunga tanjung yang terselip. Setelah memperhatikan 

bunga itu beberapa lama si gadis lalu berkata.”Kalau bunga yang ini ada di rambutku jelas tak bisa 

kupungkiri. Tapi bagaimana mungkin ada bunga tanjung dalam 

anuku! Ihhh. Kalian ini ngacok semua!” 

”Kami tidak ngacok. Kami percaya akan keterangan Suma 

Mahendra karena dia juga seorang yang berasal dari alam gaib.” 

Kata Gondoruwo Patah Hati. 

Naga Kuning lalu menimpali. ”Itu sebabnya, aku sudah 

bersiap-siap.Jika kau mengizinkan bunga tanjung itu dikeluarkan, 

aku bersedia membantu. Aku ini anak kecil. Masakan malu sama 

anak kecil!” 

Satu jeweran mampir di telinga Naga Kuning. Lalu suara 

Gondoruwo Patah Hati mengomel. ”Anak geblek. Kau mulai 

ngacok lagi!” 

Dewi Pemikat tersenyum. Dia berpaling pada Wiro. 

”Ah, rupanya kau ingin si sakit langsung yangmengambil 

bunga tanjung di dalam anumu itu. Ya sudah, aku mengaku kalah 

ganteng! Biar aku cari gawean yang lain saja! Hik.hik...hik!” Naga 

Kuning tertawa cekikikan. 

”Sahabat Dewi Pemikat,” Ratu Duyung berkata. 

”Selama ini apa kau tidak menyadari ada kelainan dalam 

tubuhmu di bagian yang rahasia itu?” 

Dewi Pemikat terdiam. Lalu dengan suara agak perlahan dia 

menjawab. 

”Aku tidak begitu memperhatikan. Tapi terus terang 

memang ada satu keanehan. Anuku itu selalu gatal-gatal...” 

”Gatal-gatal bukan karena jarang cebok?” celetuk Naga 

Kuning hingga kembali jeweran Gondoruwo Patah Hati 

menyambar telinga kirinya. 

Dewi Pemikat cuma senyum-senyum. 

”Selain merasa gatal, aku memiliki rasa gairah berkelebihan 

terhadap kaum laki-laki...” 

”Kalau bunga tanjung itu memang bisa dikeluarkan, mungkin 

semua keanehan yang kau alami akan berakhir. Kau bisa kembali 

hidup wajar...”Dewi Pemikat tatap Purnama yang barusan bicara. 

”Aku tak akan berkata apa-apa lagi. Semua yang terjadi 

dengan diriku mungkin sudah takdir!” 

”Jadi kau tidak mau ditolong agar terlepas dari keanehan 

yang kau alami. Sekaligus menolong sahabat kami ini?” Tanya 

Ratu Duyung pula. 

Dewi Pemikat pandangi Pendekar 212 sejurus. 

”Mungkin...mungkin saja aku mau diobati penyakit gatal-

gatal dan gairah aneh itu. Sekalian menolong si gondrong yang 

suka garuk-garuk kepala seperti orang jarang mandi ini. Tapi 

yang aku pikirkan, bagaimana caranya mengeluarkan...” 

Dewi Pemikat tidak teruskan ucapan karena tak bisa 

menahan tawa. 

”Aku sudah siap kerja sukarela,” berkata Naga Kuning 

sambil mesem-mesem. ”Atau aku ada akal lain. Sobatku baju 

kuning harus berendam dalam telaga yang airnya sejuk bening.” 

”Bocah tolol!” Berkata Setan Ngompol. ”Kalau direndam 

malah makin sempit jalan keluarnya...” 

”Kalau begitu diganggang saja sama bara menyala biar lebar 

jalan keluarnya!” Ucap Naga Kuning yang membuat semua orang 

jadi terkejut tapi tak bisa menahan tawa. 

”Bocah, apa kau benar mau kerja sukarela mengeluarkan 

bunga tanjung itu?” 

Pertanyaan Dewi Pemikat itu membuat semua orang jadi 

terkejut termasuk Naga Kuning sendiri. 

”Kau punya alat apa yang mau dipakai...?” Dewi Pemikat 

bertanya lagi. 

Naga Kuning tak bisa menjawab. 

”Ha !! Aku bertanya. Kau mau pakai alat apa mengeluarkan 

bunga tanjung itu dari anuku?” Dewi Pemikat bertanya polos-

polosan. 

”Anu...Aku,aku cuma punya jari ini.” Jawab Naga Kuning 

sambil goyang-goyangkan jari tengah tangan kanannya.

”Baik kau boleh mempergunakan jarimu itu! Nah, ayo kau 

kerjakan!” 

Dewi Pemikat tarik lengan Naga Kuning. Kedua-nya naik ke 

dalam pondok diikuti oleh Wiro, Purnama, Setan Ngompol dan 

Ratu Duyung bersama Gondoruwo Patah Hati yang sudah siap-

siap hendak menyemprot si bocah. 

Di dalam pondok Dewi Pemikat baringkan tubuh di lantai. 

Dua kaki dilipat sedikit dan dikembangkan lebar-lebar. Melihat 

orang bersungguh-sungguh seperti itu Naga Kuning malah jadi 

takut dan bersurat dua langkah. 

”Ayo, kau tunggu apa lagi?! Bocah, lekas tarik celanaku!” 

”Aku, hemmm...” 

”Anak konyol! Tenyata kau cuma besar mulut!” Ejek Dewi 

Pemikat. Dikatai seperti itu Naga Kuning jadi jengkel. Dia 

langsung jongkok di depan sosok Dewi Pemikat yang masih 

berbaring di lantai. 

”Anak gila! Kau mau melakukan apa?!” Bentak Gondoruwo 

Patah Hati. 

”Biar saja Nek. Anak ini mau berbuat baik. Tak usah

dilarang.” Berkata Dewi Pemikat. 

Naga Kuning pegang ujung dua kaki celana panjang kuning 

Dewi Pemikat. Ketika kaki celana itu hendak ditariknya tiba-tiba 

meledaklah tawa Dewi Pemikat. Saat itu juga wajahnya yang 

cantik jelita dan tubuhnya yang bagus molek berubah! Yang 

terbaring di lantai pondok kini bukan lain adalah seorang nenek 

keriput berambut kelabu, mengenakan jubah kuning. Daun telinga 

diganduli anting terbuat dari tulang. Sepasang mata merah. Mulut 

perot terkempot-kempot! Naga Kuning terlonjak dan cepat-cepat 

bersurat mundur. 

”Kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu!” berseru

Pendekar 212 lalu tertawa gelak-gelak. Saat itu juga pondok kayu 

di tengah hutan Jati itu seperti mau roboh oleh hebohnya gelak 

tawa semua orang yang ada di tempat itu Si nenek yang memang adalah kembaran ketiga Eyang 

Sepuh Kembar Tilu bangkit berdiri sambil ikutan tertawa haha-

hihi. Mulutnya yang kempot tidak henti-hentinya berkata. 

”Jangan salahkan diriku! Semua ini bukan aku punya mau! 

Ketika aku menolong Wiro melepas bunga tanjung yang nempel di 

bawah parutnya tiba-tiba ada hawa aneh menyambar ke arah 

anuku. Lalu aku berubah jadi gadis montok. Hik..hik. .hik. Aku 

bisa kembali ke bentuk asalku setelah pemuda bernama Cakra 

Mentari itu menemui ajal.” Si nenek berpaling pada Naga Kuning. 

”Bocah, sekarang apa kau masih mau kerja suka rela 

mengeluarkan bunga tanjung itu?” 

”Ampun Nek, tobat Nek!” jawab Naga Kuning sambil pijit 

hidungnya dengan tangan kiri, melangkah mundur dan goyang-

goyangkan tangan kanan. 

*** 

SETELAH jenazah Cakra Mentari dikuburkan di hutan jati, 

Ratu Duyung membawa kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar 

Tilu ke tempat kediamannya di laut selatan Sementara Wiro dan 

yang lain-lainnya menunggu di sebuah goa di dekat Parangtritis. 

DI Kerajaan bawah laut seorang tabib perempuan memberi si 

nenek obat dan berhasil mengeluarkan bunga tanjung dari bagian 

tubuh dibawah perut. Seorang suruhan kemudian menanam 

bunga tanjung itu di bawah pohon tanjung, diantara dua akar 

yang muncul sejajar di tanah. Hanya sehari sesudah itu Pendekar 

212 Wiro Sableng sembuh dari penyakitnya. 

Apa yang terjadi dengan Pangeran Aryo Dipasena? Ketika 

dirinya dilempar oleh Dewi Pemikat, kepalanya membentur pohon 

jati hingga putera Raja ini pingsan cukup lama. Dia baru siuman 

pada siang keesokan harinya. Kembali ke pondok dia hanya 

menemukan bangkai kuda putih miliknya. Sang Pangeran duduk 

di lantai pondok. Dia benar-benar merasa kehilangan Dewi 

Pemikat yang telah sangat mempesona dirinya. Hanya saja, kalau 

dia tahu siapa sebenarnya asli gadis berwajah cantik bertubuh montok putih itu, mungkin dia bisa pingsan selama tiga hari tiga 

malam ! 

Akan halnya Patung Kamasutra yang ditemukan di balik 

pakaian Cakra Mentari diambil oleh Ratu Duyung, disimpan di 

Kerajaan bawah laut sampai ada kesempatan untuk menghubungi 

dan menyerahkannya pada Resi Khandawa Abitar. 

Bagaimana pula dengan Bidadari Angin Timur? Apakah 

semudah itu gadis cantik berambut pirang ini melupakan 

Pendekar 212 Wiro Sableng dan mengalihkan cintanya pada 

Jatilandak yang sekarang menjadi Kepala Pasukan Kesultanan 

Cirebon dengan nama Tubagus Putrakesuma?



                      TAMAT

PENULIS : BASTIAN TITO

CREATED : MATJENUH CHANNEL

BLOG : https://matjenuh-channel.blogspot.com


Ikuti episode berikutnya berjudul 

SI CANTIK GILA 

DARI GUNUNG GEDE



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive