NYAWA TITIPAN
Tiba-tiba satu benda putih melesat di udara. satu benda putih melesat di udara. satu benda putih melesat di udara. Cakra
Mentari yang tengah mengenakan pakaian dan bersiap- Mentari yang tengah mengenakan pakaian dan bersiap-siap
tinggalkan tempat itu berteriak kaget. Saat itu jug tinggalkan tempat itu berteriak kaget. Saat itu juga tubuh tubuh
pemuda yang masih bertelanjang bulat itu bergetar h pemuda yang masih bertelanjang bulat itu bergetar hebat oleh hawa panas yang seperti hendak melelehkan tubuh satu hawa panas yang seperti hendak melelehkan tubuhnya
mulai dari batok kepala sampai ke telapak kaki. mulai dari batok kepala sampai ke telapak kaki.
Luar biasanya Cakra Mentari mendengar satu suara
berucap dari dalam tubuh berucap dari dalam tubuhnya sendiri! nya sendiri! nya sendiri!
”Anak manusia bernama Cakra Mentari! Aku
menitipkan nyawaku di dalam tubuhmu!”
SATU
MALAM HARI. Gurun pasir Thar di barat laut daratan India di
selimuti kegelapan dan kesunyian. Tak ada rembulan tak tampak
bintang. Bahkan tiupan angin gurun yang biasanya disertai suara
menderu saat itu nyaris tak terdengar sama sekali.
Di dalam sebuah ruang batu hitam terletak di bawah gurun
pasir, yang jalan masuk berupa pintu rahasia dijaga sepuluh Resi
berpakaian putih, Resi Ketua Khandawa Abitar tengah duduk
khidmat bersamadi. Ini adalah malam kedua dia melakukan
samadi dan sebegitu jauh, walau ada getaran-getaran halus
menjalari sekujur tubuhnya namun dia belum mampu mendapat
hubungan bathin dengan alam gaib, belum juga mendapat
petunjuk dari Para Dewa.
Beberapa malam sebelumnya Resi Khandawa Abitar
bermimpi. Dalam mimpi dia melihat satu cahaya putih sangat
terang menyilaukan mata. Saat cahaya muncul terdengar suara
bergema penuh wibawa.
“Resi Khandawa Abitar. Bersamadilah. Bersamadilah. Kelak
kau akan mendapat petunjuk untuk satu cara menyelamatkan
banyak manusia tidak berdosa di satu negeri yang jauh dari sini.”
Suara lenyap, cahaya terang menyilaukan ikut sirna. Kejadian
mimpi itu dialami sang Resi sampai tiga malam berturut-turut.
“Mimpi adalah salah satu dari sekian banyak jalur petunjuk
Para Dewa ….” Sang Resi membathin dalam merenung arti
mimpinya.
Karenanya sejak malam kemarin dia mulai melakukan
samadi dan terus tetap khusuk sampai malam kedua walau
petunjuk belum muncul.
Malam ketiga. Selewatnya tengah malam, menjelang
dinihari, di langit gelap sebelah timur mendadak terlihat tujuh titik
putih bersinar terang, melayang berarak di atas gurun pasir Thar
menuju ke barat laut. Pada saat berada di sekitar lorong batu
tempat kediaman Resi Khandawa Abitar berada, tujuh titik putih
menukik ke bawah. Lenyap masuk ke dalam gurun pasir,menembus bebatuan tebal. Meninggalkan kabut tipis kelabu
memancarkan bau harum kemenyan sejauh ratusan tombak.
Suasana menjadi terasa angker sewaktu dikejauhan terdengar
suara raung puluhan serigala gurun.
Di dalam goa tempatnya bersamadi, kelopak mata Resi
Khandawa Abitar bergetar bergerak-gerak. Walau matanya masih
terpicing namun ada tujuh cahaya aneh membuat dia merasa
sangat silau. Selain itu hidungnya mencium semerbak bau
kemenyan yang terbakar. Sang Resi merasa tengkuknya dingin.
Seumur hidup baru kali ini dia mengalami hal seperti ini.
“Dewa Batara, apakah kau datang memberi petunjuk?” ucap
sang Resi dalam hati. Tujuh cahaya terang semakin menyilaukan.
Membuat sang Resi gerakkan kepala ke belakang sambil merapal
doa. Pada pertengahan doa cahaya silau menghilang. Di ujung
doa cahaya tersebut akhirnya lenyap. Resi Khandawa Abitar lepas
napas lega dan perlahan-lahan buka kedua matanya.
Pandangannya langsung membentur tujuh manusia katai yang
berdiri berjajar didepan tembok ruangan samadi. Tujuh manusia
katai ini mengenakan pakaian selempang kain putih. Semua
memakai sorban putih dengan wajah tertutup kumis, janggut dan
berewok hitam lebat berkilat. Pertanda walau mereka bertubuh
kecil tapi usia mereka rata-rata mungkin di atas delapan puluh
tahunan. Yang hebatnya, sorban di kepala tujuh manusia katai
memancarkan cahaya putih sejuk, indah dipandang.
“Dewa Batara Penuh Kuasa. Bagaimana tujuh manusia katai
tak dikenal bisa menyusup masuk ke dalam ruangan ini?”
membathin Resi Khandawa Abitar. Ketika lebih diperhatikan baru
sang Resi menyadari kalau tujuh manusia katai itu sama sekali
tidak menjejakkan kaki di lantai batu. Telapak kaki mereka
tergantung dan berada seujung kuku di atas batu goa!
Tujuh manusia katai berselempang kain putih menggerakkan
tangan membuka sorban masing-masing lalu membungkuk dalam
memberi penghormatan pada Resi Khandawa Abitar. Yang diberi dengan membungkuk pula. Tujuh manusia katai kenakan sorban
kembali. Setelah meluruskan tubuh, sambil mengulum senyum
Resi Khandawa Abitar menyapa dengan suara lembut.
“Sahabat bertujuh. Kalian pastilah orang-orang yang
diberkahi Para Dewa hingga bersedia dan mampu datang
ketempatku yang buruk ini. Mohon aku diberitahu kalian ini siapa,
datang dari mana dan ada keperluan apa menemui diriku?”
Manusia katai disebelah tengah maju dua langkah, malayang
satu kuku di atas lantai batu lalu menjawab. Suaranya halus tapi
menimbulkan gema di ruang batu itu. Lalu bahasa yang
diucapkannya adalah aneh, sama sekali tidak dimengerti oleh Resi
Khandawa Abitar.
“Sahabat yang bicara. Harap dimaafkan. Aku tidak mengerti
bahasa yang kau bicarakan.”
Si manusia katai tadi masih terus bicara nyerocos kalau tidak
diberi tanda oleh teman disamping kanannya dengan sikutan.
Teman yang mengingatkan ini lalu maju ke depan, yang tadi
bicara kembali ke tempat tegak semula.
“Resi Yang Mulia, mohon maafmu. Sahabat kita tadi bicara
dalam bahasa roh. Biar sekarang aku yang mewakili.”
Resi Khandawa Abitar menganggguk-angguk sambil
tersenyum. Dia mengulurkan tangan dengan telapak terkembang
sebagai tanda mempersilahkan manusia katai dihadapannya
meneruskan ucapan.
“Resi Yang Mulia, kami bertujuh tidak bernama. Datang dari
negeri alam gaib, jauh di atas atap langit ketujuh. Kami datang
sebagai utusan Sang Kebenaran ….”
“Dewa Batara Maha Agung…..” Ucap Resi Khandawa Abitar.
Manusia katai tadi lanjutkan ucapan. “Kami datang membawa
sebuah benda berupa sebilah pedang sakti mandraguna bernama
Pedang Bulan Sabit. Sang Kebenaran meminta kami untuk
menyerahkan pedang ini kepada Resi Yang Mulia.”
Habis berkata begitu manusia katai ini luruskan dua tangan
ke depan, telapak dikembangkan dan saling dirapatkan. Mulut yang berkumis berkomat-kamit beberapa kali. Tiba-tiba ada sinar
putih yang keluar membayang dari dadanya. Sinar ini kemudian
bergerak ke atas, memecah jadi dua dan meluncur pada lengan
kiri kanan. Begitu sinar mencapai dua telapak tangan yang
terbuka, sinar memancar lebih terang. Didahului suara
menyeruapai suara genta bertalu tahu-tahu di atas dua telapak
tangan itu telah tergeletak melintang sebilah pedang.
Senjata ini panjangnya hanya tiga jengkal. Satu jengkal
dalam bentuk gagang terbuat dari gading gajah dan dua jengkal
berupa sarung berkeluk yang juga terbuat dari gading dihias
tebaran batu permata berlian. Gagang dan sarung pedang
ditambah batu-batu berlian memancarkan cahaya putih
menakjubkan.
Dengan gerak perlahan dan penuh khidmat manusia katai
menarik gagang dan sarung pedang. Sesaat kemudian pedang
telah keluar dari sarungnya. Pedang dan sarung diacungkan ke
atas. Pedang Bulat Sabit ini bentuknya benar-benar menyerupai
bulan sabit, pendek berkeluk, memancarkan cahaya putih terang
indah sekali. Laksana bulat sabit dilangit lepas memancarkan
cahayanya ke bumi.
Setelah merasa Resi Khandawa Abitar melihat senjata itu
dengan seksama, manusia katai masukkan kembali Pedang Bulan
Sabit ke dalam sarung lalu dia melangkah kehadapan sang Resi.
“Resi Yang Mulia. Sang Kebenaran meminta agar kami
menyerahkan Pedang Bulat Sabit ini pada Yang Mulia.”
“Sahabat, bagaimana mungkin. Mana aku berani berlaku
lancang menerima senjata bertuah sakti mandraguna itu.”
“Resi Yang Mulia, jangan menolak karena ini semua adalah
atas kehendak Para Dewa.”
Untuk beberapa ketika Resi Khandawa Abitar terdiam
mendengar ucapan manusia katai itu. Lalu dia tundukkan kepala
dan berkata.
“Kalau memang ini kehendak Dewa, aku yang rendah mana
berani menampikan “Resi Yang Mulia, Sang Kebenaran berpesan. Pedang Bulan
Sabit adalah satu-satunya senjata yang mampu menghancurkan
mahluk jahat yang selama ini gentayangan di satu negeri jauh.
Mahluk ini telah mencuri sebuah kitab bernama Kitab Jagat
Pusaka Dewa. Menggantikannya dengan satu kitab jahat dan
palsu bernama Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Memperalat dan
memperbudak seorang budak yang tak berdosa. Hanya karena
ingin menguasai satu ilmu kesaktian sangat dahsyat yang kelak
akan disedotnya dari tubuh si pemuda ….”
“Aku Resi Khandawa Abitar menjunjung tinggi setiap sabda
perintah Para Dewa. Namun apakah keterkaitan diriku dengan
kejahatan yang terjadi di negeri orang jauh itu. Dan mengapa aku
yang harus menerima pedang. Apa yang harus aku lakukan?”
“Karena Yang Mulia, mahluk jahat itu berasal dari negeri ini.”
Jawaban manusia katai membuat Resi Khandawa Abitar jadi
berubah raut mukanya. Dia lantas bertanya.
“Siapakah mahluk jahat itu gerangan adanya?”
“Sang Kebenaran tidak memberitahu. Sang Kebenaran
hanya berpesan bahwa Resi Yang Mulia satu-satunya orang yang
bisa menumpas mahluk jahat tersebut dan menyelamatkan
manusia dari kejahatan keji. Karena kalau dia berhasil
mendapatkan ilmu kesaktian Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib maka
sebagian dunia ini akan tenggelam dalam kejahatan yang
dilakukannya. Selain itu Sang Kebenaran juga berpesan. Petunjuk
lebih jauh bisa di dapat jika Resi Yang Mulia melakukan samadi
mulai pertengahan malam besok dan meletakkan Pedang Bulan
Sabit di atas pangkuan Yang Mulia.”
Resi Khandawa Abitar menarik nafas panjang berulang kali.
“Aku tidak pernah membayangkan akan mengalami kejadian
seperti ini. Aku tunduk kepada Para Dewa. Aku wajib
melaksanakan apa yang menjadi pesan Para Dewa, termasuk
Sang Kebenaran, siapapun dia adanya.”
Resi Khandawa Abitar ulurkan dua tangan, menyambut
Pedang Bulan Sabit yang diangsurkan manusia katai kearahnya.Hawa luar biasa sejuk mengalir dari dalam pedang sakti ke
tangan Resi Khandawa Abitar. Hawa ini terus menjalar memasuki
sekujur tubuhnya, mulai dari kepala sampai ke kaki.
“Dewa Maha Agung … Dewa Maha Agung …” ucap sang Resi
berulang kali. Tengah dia mengucap begitu rupa tiba-tiba ada
selarik cahaya putih menebar seperti tirai. Ketika cahaya itu sirna,
tujuh manusia katai tak ada lagi dalam ruangan.
“Dewa Maha Agung ….” Kata Resi Khandawa Abitar sambil
membungkuk berulang kali.
***
DUA
TENGAH malam keesokan harinya Resi Khandawa Abitar
sesuai pesan yang diterima dari Sang Kebenaran melalui tujuh
manusia katai mulai melakukan samadi. Pedang Bulan Sabit
diletakkan di atas pangkuan di alas dengan sehelai permadani
kecil berbunga-bunga merah dan hijau. Kalau malam sebelumnya
tak ada bintang tak ada rembulan maka malam ini begitu banyak
bintang gumintang bertabur indah di langit dan rembulan
berbentuk sabit ikut menghias menambah keelokan malam.
Memasuki dini hari, udara dalam goa yang tadinya dingin
kini mulai terasa hangat. Pedang Bulan Sabit di atas pangkuan
memancarkan cahaya lebih benderang. Pakaian selempang kain
biru Resi Khandawa lembab oleh keringat. Wajah dipenuhi butir-
butir keringat sementara alis, kumis dan berewoknya yang putih
seperti kapas berubah menjadi kaku. Resi ini berusaha mengatur
jalan nafasnya yang tiba-tiba tidak terkendali. Dadanya mulai
berdebar. Ada satu kekuatan dari luar yang berusaha memutus
samadinya. Saat itulah dari Pedang Bulan Sabit tiba-tiba
memancar keluar satu hawa sejuk, melindungi tubuh sang Resi
dari kekuatan jahat yang hendak mencelakakan. Begitu gangguan
lenyap, dalam samadinya Resi Khandawa Abitar melihat satu tabir
asap keluar dari lantai goa, naik ke atas membentuk dinding
putih. Di dinding putih kemudian muncul pemandangan di sebuah
ruangan batu di Goa Binaker. Resi Khandawa Abitar mengenali,
itu adalah ruangan rahasia dimana sebuah patung kuna bernama
patung Kamasutra pernah disimpan kemudian lenyap dicuri orang.
Dalam samadinya saat itu sang Resi melihat di ruangan itu
berdiri sosok Resi Kepala Mirpur Patel mengenakan pakaian
selempang kain putih tampak kusut. Sosoknya begitu nyata dan
ketika dia bicara suaranya begitu jelas.
”Resi Ketua, kalau begitu ucapan Resi Ketua berikan
kesempatan pada saya untuk menebus dosa.”
Habis berucap Resi Mirpur Patel melompat ke arah tembok
ruangan sebelah kanan. Kepalanya dibenturkan dengan tembok batu, mengeluarkan suara menggidikkan. Kepala itu rengkah.
Sosok sang Resi terkapar jatuh.
Tak selang berapa lama di dinding putih muncul kembali
perujudan Mirpur Patel tergeletak di lantai goa. Tiba-tiba dari
tubuh Resi Kepala keluar sesosok samar laki-laki berpakaian
hitam. Di tangan kanan orang ini memegang sebuah patung kecil
di batu berwarna abu-abu kehitaman. Patung memancarkan
cahaya merah. Sosok samar hitam berkelebat ke arah lobang di
atas atap goa dan lenyap. (Kisah ini dapat diikuti lebih jelas dalam
serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul ”Petaka Patung
Kamasutra”).
Apa yang terlihat di dinding putih dalam samadi Resi
Khandawa ternyata masih berkelanjutan. Kini muncul sebuah titik
kuning. Makin lama makin besar dan tambah bercahaya,
menyerupai sebuah kepingan logam. Begitu kepingan logam
kuning ini berubah sebesar jari kelingking tiba-tiba Pedang Bulan
Sabit yang ada di pangkuan Resi Khandawa bergerak keluar dari
sarungnya. Senjata sakti mandraguna ini melayang ke atas,
bergerak ke arah dinding putih dan menusuk kepingan logam
kuning. Kepingan logam nampak berubah seperti bara api. Di
kejauhan saat itu juga terdengar raungan manusia. Kepingan
logam kembali ke warna aslinya, melesat ke udara lalu ada satu
tangan gadis jelita menjangkau kepingan logam kuning itu dan
memasukkannya ke balik pakaian biru yang dikenakannya.
Pedang Bulan Sabit melayang turun dari dinding putih lalu masuk
kembali ke dalam sarungnya.
Dinding putih berubah lagi menjadi tabir asap, turun ke
bawah dan masuk lenyap di lantai ruangan. Tubuh Resi Khandawa
Abitar bergoncang keras. Lalu diam tak bergerak, seolah tak
bernafas. Hawa sejuk seperti tadi kembali keluar dari Pedang
Bulan Sabit yang ada di pangkuan masuk ke dalam tubuh Resi
Khandawa Abitar. Sekujur tubuhnya yang tegang berangsur
kendur. Rambut, alis serta janggutnya yang tadi kaku kini kembali
menjulai lembut. Perlahan-lahan Resi ini buka kedua matanya.Lama dia memandang tak berkeslp ke dinding batu hitam di
hadapannya. Dia ingat kejadian lebih setahun silam. Suara hatinya
mulai membatin.
”Resi Mirpur Patel kau menipuku. Aku berlaku ayal hingga
bisa tertipu. Kau sesungguhnya tidak tewas bunuh diri
membenturkan kepala ke dinding batu Goa Binaker. Kau
pergunakan ilmu Sembunyi Dalam Lorong Roh untuk
menyesatkan pandangan mata. Kau mempergunakan ilmu
kesaktian Masuk Ke Dalam Alam Roh Melalui Jazad Kentara yang
aku tahu hanya ada di dalam kitab ajaran orang-orang sesat. Ilmu
itu kau pergunakan untuk mencuri Patung Kamasutra, memasuk
menyembunyikannya dalam tubuhmu. Lalu kau mengirim
seseorang secara gaib untuk mengambil patung itu dari dalam
tubuhmu. Setelah itu kau kabur melenyapkan diri dari dalam Goa
Binaker. Apa maksud tujuan perbuatanmu? Menebar kejahatan
keji seperti yang dikatakan manusia katai utusan Sang Kebenaran
demi untuk mendapatkan ilmu kesaktian dahsyat yang bakal kau
sedot dari tubuh pemuda yang kau perbudak? Aku tiba-tiba saja
ingat satu hal. Ketika kau tergeletak di lantai Goa Binaker, tongkat
emasmu tidak terlihat. Berarti kau telah memasukkan dan
menyembunyikan di dalam tubuhmu. Kepingan logam kuning
yang aku lihat di dalam samadi bukankah itu gompalan tongkat
saktimu yang terbuat dari emas?”
Resi Khandawa Abitar menarik nafas panjang lalu suara
batinnya kembali bicara. "Pedang Bulan Sabit menusuk kepingan
logam kuning. Agaknya ini merupakan satu pasan aku harus
melakukan hai itu. Gadis berbaju biru. Aku harus menemuimu
karena aku perlu bantuanmu. Kau memiliki logam kuning itu.
Walau ujudmu seperti manusia biasa namun aku punya firasat
kalau dirimu adalah mahluk dari alam gaib. Namun aku tidak mau
kesalahan tangan. Aku terpaksa melakukan sesuatu. Mudah-
mudahan aku tidak akan menyakiti dirimu.”
Dengan hati-hati Resi Khandawa Abitar lipat permadani kecil
untuk membungkus Pedang Bulan Sabit lalu menaruhnya dalam sebuah cegukan batu di dinding kamar tidur, sebuah ruangan
batu di sebelah ruangan samadi.
Menjelang fajar menyingsing dia kembali ke ruang semadi
membawa dua buah benda. Benda pertama adalah sebuah
pendupaan berisi puluhan batu kecil seujung ibu jari. Benda kedua
sebuah tongkat berlekuk terbuat dari batu biru. Pendupaan
diletakkan di lantai batu. Lalu ujung tongkat didekatkan ke mulut
dan ditiup satu kali. Ujung tongkat kemudian dimasukkan ke
dalam pendupaan. Satu cahaya biru bergemerlap.
”Wusss!”
Kejap itu juga puluhan batu di dalam pendupaan burubah
menjadi bara api menyala! Tongkat ditarik sedikit lalu diletakkan
di bibir pendupaan. Bau harum setanggi serta merta memenuhi
ruangan.
Setelah menaruh tongkat batu biru berkeluk dilantai batu di
samping kanannya Resi Khandawa Abitar mulai malakukan
samadi. Biasanya satiap bersamadi dua tangan sang Rasi
diletakkan di atas dua paha atau dua telapak tangan ditempelkan
di dada. Namun sekali ini dua tangan diulur ke depan setinggi
dada dengan telapak terbuka menghadap ke atas.
Tidak sampai sepenghisapan rokok dua tangan sang Resi
tampak bergetar. Tangan kanan perlahan-lahan naik sedikit ke
atas.
”Kraakk !”
Terdengar suara patahan benda keras. Tak selang berapa
lama sebuah benda kuning entah dari mana datangnya melayang
jatuh ke atas telapak tangan kanan Resi Khandawa Abitar. Untuk
beberapa lamanya tangan itu bergetar dan terbungkus cahaya
kuning. Sang Resi hentikan samadi. Langsung memperhatikan
telapak tangan kanan. Benda yang ada, di atas telapak tangan Itu
ternyata patahan dari satu keping gompalan emas.
Resi Khandawa lepas nafas lega.
”Aku melihat lebih nyata. Kepingan ini memang berasal dari
tongkat sakti milik Resi Mirpur Patel. Pertanda dia memang tidak tewas bunuh diri. Dia berkeliaran di dunia sana. Gadis alam gaib,
aku harus segera menemuimu.”
Resi Khandawa letakkan ujung tongkat biru di atas
pendupaan. Serta merta bara api menyala di dalam pendupaan
padam, kembali ke bentuk semula, batu-batu sebesar ujung kuku.
Dengan menenteng tongkat biru Resi Khandawa melangkah ke
dinding batu sebelah kiri. Ujung tongkat diketukkan ke salah satu
bagian dinding. Salah satu bagian batu membuka membentuk
pintu. Di luar pintu sepuluh Resi berpakaian putih membungkuk
hormat begitu Resi Ketua Khandawa Abitar lewat di depan
mereka. Sebelum pergi Resi Ketua ini berkata pada mereka.
”Jaga tempat ini baik-baik. Jangan boleh siapapun masuk ke
dalam goa. Jika terjadi apa-apa cepat beri tahu aku melalui Genta
Bumi Langit.”
Genta Bumi Langit adalah sebuah lonceng sakti besar tapi
sangat tipis terbuat dari emas murni yang disimpan di sebuah
lorong rahasia. Bila genta ini ditalu maka suaranya akan sampai
ke telinga orang yang dituju sekalipun dia berada sangat jauh.
Sepuluh Resi membungkuk sambil merapal doa. Pintu batu
kembali menutup.
DI luar goa fajar belum menyingsing. Gurun pasir Thar
masih diselimuti kegelapan. Resi Khandawa Abitar acungkan
tongkat biru ke udara. Saat itu juga tubuhnya terangkat ke atas
lalu melesat laksana terbang ke arah timur. Di tangan kiri dia
memegang patahan kepingan emas yang tadi didapatnya secara
gaib. Benda ini menjadi kemudi ke arah mana dia harus menuju.
***
DI Gurun Pasir Tengger, satu tempat yang sangat jauh dari
Gurun Pasir Thar, Purnama yang tengah berusaha
menyelamatkan diri agar tidak disapu topan. Gadis dari alam gaib
Latanahsilam ini sengaja mengeluarkan rohnya dan tubuh kasar.
Sementara dia berada di alam roh sosok kasarnya masih terbaring
di pedataran pasir. Selagi dia merasa aman tiba-tiba gadis ini menyaksikan dan mendengar gompalan tongkat mahluk tanpa
wajah yang disimpannya di balik pakaian berderak patah menjadi
dua potong. Potongan pertama tetap berada di balik pakaian biru
sementara potongan kedua dengan kecepatan luar biasa melesat
ke udara. Melayang bercahaya ke jurusan barat hingga akhirnya
lenyap dari pemandangan.
”Apa yang terjadi?” pikir Purnama. ”Siapa yang mematah
dan membawa lari potongan gompalan tongkat emas itu?! Aku
harus segera kembali masuk ke dalam jazadku.”
***
TAK SELANG berapa lama setelah kepergian Resi Khandawa
Abitar, bersamaan dengan menyembulnya mentari di ufuk timur,
satu bayangan putih berkelebat masuk ke dalam lorong batu di
perut Gurun Thar disertai barkiblatnya satu cahaya kuning.
Sepuluh Resi berselempang kain putih yang menjaga
ruangan batu kediaman Resi Khandawa Abitar melongak kaget
ketika melihat siapa yang berdiri di depan mereka.
”Resi Kepala Mirpur Patel...” Sepuluh Resi menyebut nama.
Menatap dengan pandangan mata setengah takut setengah tak
percaya.
Orang yang dipanggil Resi Kepala Mirpur Patel. Kakek
berjanggut, berkumis dan berambut putih balik memandang
mendelik. Sambil membolang baling tongkat emas di tangan
kanan hingga menimbulkan cahaya berkilauan dan menggetarkan
seantero lorong batu, dia membentak.
”Kalian melihat diriku seolah aku ini setan! Mangapa tidak
memberi salam dan hormat?!”
Sepuluh Resi segera membungkuk. Gerakan mereka
menghormat tampak kaku. Setelah meluruskan badan salah
seorang dari mereka memberanikan diri berkata.
”Resi Kepala mohon maafmu. Bukankah.... bukankah kau
sebenarnya telah meninggal dunia dalam peristiwa di Goa
Binaker lewat satu tahun silam?
TIGA
SEPASANG mata Resi Kepala berkilat-kilat, mendelik
bertambah besar. ”Kau yang bicara!” ucapnya manyentak sambil
menunjuk tepat-tepat dengan ujung tongkat kuning ke hidung
arah Resi yang barusan bicara. ”Apakah kau merasa lebih kuasa
dan lebih tahu dari Para Dewa?! Dewa belum memanggilku!
Bagaimana kau beraninya mengatakan diriku telah meninggal?”
Resi yang dituding dengan ujung tongkat tampak pucat.
Sembilan Resi lainnya tak satupun yang berani membuka mulut.
Mereka berdiam diri sambil tundukkan kepala.
”Kalau aku memang meninggal di Goa Binaker! Apa
jenazahku pernah ditemukan di goa itu?!” Resi Kepala bertanya
dengan suara membentak.
”Resi Kepala,” Resi yang tadi bicara cepat-cepat jatuhkan
diri. ”Jenazah Resi memang tidak pernah ditemukan di Goa
Binaker. Itu pertanda bahwa sebenarnya Resi Kepala memang
masih hidup seperti layaknya saat ini. Mohon maafmu kalau saya
tadi sudah ketelepasan bicara. Saya menyesal dan mohon
maafmu...”
Resi pengawal yang berdiri di samping temannya yang
barusan dibentak agak takut-takut memberi tahu.
”Kalau Resi Kepala ingin bertemu Resi Ketua, maka kami
memberi tahu Resi Ketua tak ada di dalam gua. Beliau pergi sejak
dini hari tadi.”
”Aku sudah tahu. ” jawab kakek berselempang kain putih
yang adalah Mirpur Patel sang Resi Kepala yang barusan saja
dilihat Resi Khandawa Abitar dalam samadinya. Resi Kepala
melangkah mundar-mandir dihadapan sepuluh Resi pengawal lalu
berhenti dan berkata. ”Justru kedatanganku adalah membawa
memberi kabar buruk. Ketahuilah, Resi Ketua Khandawa Abitar
telah mati terbunuh oleh satu kekuatan dashyat alam gaib. Aku
terlambat menolong. Bahkan jenazahnya tak berhasil aku
temukan. Kalau tidak menguap dalam alam gaib pasti masuk
lenyap ke dalam bumi atau ditelan gelombang samudera..."Sepuluh Resi keluarkan saruan tertahan sambil menyebut
nama Resi Khandawa Abitar berulang kail. Ada yang merapal doa,
ada yang keluarkan suara seperti mau menangis.
”Kalau Resi Ketua memang sudah menemui ajal, dimanapun
jenazahnya kami akan berusaha mencari.” Seorang Resi pengawal
berkata.
”Jangan berlaku tolol ! Aku saja tidak mampu mengetahui
dimana beradanya jenazah Resi Ketua!” Kata Resi Mirpur Patel
dengan mata didelikkan.
Resi lain Ikut bicara. ”Bagaimana mungkin bisa terjadi. Para
Dewa pasti melindungi Resi Ketua...”
"Ajal manusia hanya Para Dewa yang tahu dan punya
kuasa. Aku tengah melakukan penyelidikan. Sementara itu,
sampai ada keputusan sidang Resi Sepuluh Ketua akulah yang
menjadi pimpinan di tempat ini. Sampaikan itu pada semua Resi
yang ada di sini. Katakan bahwa mereka termasuk kalian harus
patuh pada apa yang aku katakan. Siapa berani membangkang
akan aku usir dari tempat ini. Biar jadi Resi gelandangan di Gurun
Pasir Thar sana! Kalian mendengar apa yang aku katakan?”
Sepuluh Resi membungkuk. Namun salah seorang diantara
mereka memberanikan diri berkata.
”Resi Kepala, Resi Ketua sebelum pergi berpesan pada kami.
Jika terjadi sesuatu maka kami harus menghubunginya melalui
Genta Bumi Langit.”
”Resi aku menegurmu dengan keras!” Resi Kepala
membentak dengan mata menyala. ”Apa kau tuli?! Tadi sudah
kukatakan bahwa Resi Ketua telah tewas. Kau ingin menghina
arwahnya dengan menghubungi dirinya melalui Genta Bumi
Langit? Bukankah lebih baik kau dan puluhan Resi lain yang ada di
tempat ini segera saja memanjatkan doa ke hadapan Para Dewa
demi ketenangan roh Resi Ketua di alam baka?!”
Sepuluh Resi membungkuk dalam-dalam tak ada satupun
yang bicara. Dari balik pakaiannya Resi Kepala Mirpur Patel
keluarkan satu kantong kain putih. Dia lalu melangkah pulang balik di depan pintu lorong sambil menaburkan sejenis bubuk
putih dari dalam kantong. Bubuk ini menebar bau harum kembang
melati. Begitu menyentuh lantai batu bubuk putih berubah jadi
asap dan menebar ke seluruh ruangan hingga akhirnya lenyap
dari pemandangan.
Setelah menyimpan kantong putih Resi Kepala Mirpur Patel
berkata. ”Aku akan segera meninggalkan tempat ini. Aku
melarang siapapun masuk ke dalam tempat kediaman mendiang
Resi Khandawa Abitar. ”Apa kalian mendengar perintahku?!"
”Kami mendengar Resi Kepala.” Jawab sepuluh Resi hampir
berbarengan.
Hanya sesaat setelah Resi Kepala Mirpur Patel tinggalkan
tempat itu salah seorang Resi mengajak teman-temannya bicara.
”Bubuk putih yang ditebar Resi Kepala tadi bukankah itu
Bubuk Penyesat Mata dan Rasa?”
”Aku tahu,” Jawab temannya. ”Tadipun aku sudah
menduga.”
”Berarti sebenarnya Resi Ketua Khandawa Abitar masih
hidup. Tidak tewas seperti yang dikatakan Resi Kepala Tadi.”
”Betul.” Beberapa orang Resi keluarkan ucapan yang sama
hampir berbarangan.
”Resi Kepala sengaja menebar bubuk Penyesat Mata Dan
Rasa untuk menangkal agar Resi Ketua tidak bisa kembali ke
tempat ini.”
”Ada sesuatu yang tidak beres. Para Resi sekalian, kalian
tunggu di sini…” Berkata Resi Kandila.
”Resi Kandila, kau mau kemana ? Mau berbuat apa ?”
bertanya salah seorang Resi pada Resi yang barusan bicara.
”Aku akan masuk ke ruangan Genta Bumi Langit. Aku akan
menghubungi Resi Ketua melalui genta itu, sesuai pesan beliau.”
”Kalau begitu aku Resi Mitkapul akan menemanimu.”
Dua orang Resi yakni Resi Kandila dan Resi Mitkapuil
membuka pintu rahasia lalu masuk ke dalam lorong. Bangunan
batu di bawah perut Gurun Pasir Thar memiliki dua belas lorong.Setiap lorong mempunyai beberapa ruangan tertentu. Tidak
semua lorong pintunya bisa dibuka oleh Resi pengawal. Antaranya
lorong menuju kediaman Resi Khandawa Abitar. Dua Resi masuk
ke dalam lorong Sebelas. Setelah menekan satu alat rahasia, dua
Resi tadi masuk ke dalam ruangan ke Dua. Begitu pintu terbuka
langsung berhadapan dengan tangga batu terdiri dari dua belas
undakan. Di sebelah atas tangga terdapat satu ruang batu empat
persegi. Di atap ruangan ini tergantung sebuah lonceng besar
terbuat dari emas. Anak lonceng tergantung pada ujung rantai
yang juga terbuat dari emas murni.
Resi Kandila yang menaiki tangga di sebelah depan sampai
lebih dulu ke ruang empat persegi. Resi Mitkapul mendampingi di
sebelah belakang. Keduanya membungkuk di hadapan lonceng
sakti. Setelah lebih dulu sama-sama merapal doa dan
membayangkan wajah Resi Khandawa Abitar, Resi Kandila ulurkan
tangan untuk memegang anak lonceng. Siap ditarik. Namun
sebelum hal Itu kesampaian tiba-tiba byaaarrr !
Satu larik sinar kuning berkiblat terang di ruangan itu.
”Bukk !”
Rasi Kandila tersungkur di lantai di bawah lonceng.
Kepalanya hancur. Tapi tak ada darah yang mengucur. Dia
langsung tewas tanpa keluarkan suara sedlkitpun !
Melihat apa yang terjadi Resi Mitkapul berteriak kaget.
Menyebut nama Dewa Agung dan berbalik. Namun belum sempat
melihat siapa adanya orang yang barusan membunuh temannya
Resi satu ini juga sama menerima nasib malang. Sebuah benda
memancarkan cahaya kuning menghantam keningnya. Resi ini
terguling sampai di undakan tangga kesepuluh dengan kepala
pecah ! Tak ada darah yang keluar !
DI SATU tempat di gurun pasir Tengger, sementara topan
dahsyat masih terus menderu. Pumama gadis alam gaib dari
negeri Latanahsilam yang sudah merasa aman siap-siap keluar
dari alam roh,masuk kembali ke ujud kasarnya yang masih tergeletak di tanah gurun. Seperti yang diceritakan dalam episode
sebelumnya (Topan Di Gurun Tengger) ketika terjebak dalam
badai yang menerbangkan jutaan butir pasir dan bisa membuat
tubuh berubah jadi saringan gadis ini mendapat serangan gelap
dari mahluk gaib yang diperkirakannya adalah mahluk jahat tanpa
wajah. Dengan memancing musuh tak terlihat itu dengan
gompalan tongkat emas Purnama berhasil selamatkan diri.
Selagi si gadis bersiap-siap untuk pindah dari alam roh dan
masuk kembali ke dalam jazadnya yang masih terbaring di atas
gurun pasir dekat lobang besar bekas hantaman mahluk tanpa
wajah, tiba-tiba dari arah timur tampak satu sinar biru yang
begitu luar biasa hingga mampu menembus ketebalan topan
pasir. Sinar ini bergerak luar biasa cepat dan dalam waktu singkat
telah berada sekitar dua ratus tombak di atas gurun pasir Tengger
dimana Purnama saat itu berada. Si gadis batalkan niat untuk
masuk ke dalam jazadnya.
Di langit memercik ratusan bunga api disertai suara gelegar
berkepanjangan ketika sinar biru menembus terpaan gelombang
topan. Daya tembus sinar biru agak tersendat sewaktu dari arah
barat tiba-tiba berkiblat cahaya kuning, coba membabat putus
sinar biru. Agaknya kekuatan dibalik sinar biru lebih hebat dari
sinar kuning yang coba memusnahkannya.
Didahului satu dentuman dahsyat laksana guntur
menggelegar, sinar kuning tercabik-cabik di udara. Tiupan topan
ikut terpental kian kemari. Sinar kuning akhirnya sirna namun
topan masih terus menderu walau kini tidak sedahsyat
sebelumnya. Dalam keadaan seperti itu, laksana terbang dan
turun dari langit di arah timur tampak melayang sosok seorang
kakek bertubuh tinggi besar mengenakan pakaian selempang kain
biru dengan kepala dan wajah dihias rambut putih dan Janggut
panjang serta kumis menjulai putih seperti kapas. Dua Jengkal di
depan tubuh orang tua ini yang bukan lain Rasi Khandawa Abitar
adanya berputar sebuah tongkat biru berkeluk yang bukan saja
memancarkan cahaya biru benderang tapi sekaligus melindungi dirinya serta membendung keganasan topan dahsyat yang
melanda Gurun Pasir Tengger.
Di satu tempat Resi Khandawa berhenti melayang.
Tubuhnya mengapung di udara. Sungguh luar biasa ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya.
”Topan buatan ! Sang pembuat sudah melarikan diri. Hawa
sakti kebenaran telah menguasai tempat ini. Mengapa masih
menunjukkan digjaya sia-sia ? Kombali ke tempat asalmu !”
Resi Khandawa Abitar berucap. Suaranya tidak mombentak
tapi perlahan saja. Mulutnya kemudian komat kamit merapal
mantera. Anehnya saat itu juga suara deru topan berubah
mengendur dan tebaran jutaan pasir gurun yang melayang di
udara sedikit demi sedikit luruh ke bawah dan bersatu kembali
dengan pedataran gurun tempat asal datangnya. Hanya selang
beberapa saat topan yang melanda Gurun Pasir Tengger lenyap
walau cuaca agak gelap masih belum surut.
”Tongkat sakti Kuntala Biru. Kau telah menjalankan tugasmu
dengan baik. Para Dewa di Swargaloka. Saya Resi Khandawa
Abitar berterima kasih atas Kuasa dan pertolonganMu. Mohon
perlindungan Para Dewa untuk tindak selanjutnya. »
Habis keluarkan ucapan Resi Khandawa Abitar ulurkan
tangan kanan menangkap ujung berkeluk tongkat biru yang
masih berputar deras. Tangan manusia biasa yang punya
kepandaian dan ilmu, kesaktian yang tidak tinggi, salah-salah
menyentuh bisa terbabat putus oleh putaran tongkat.
Resi Khandawa Abitar gerakkan dua kaki. Tubuhnya kembali
melayang turun. Matanya yang bening tajam memandang ke
seantero pedataran pasir Gurun Tengger. Jauh di bawah sana dia
melihat beberapa orang berkaparan di gurun pasir.
Resi dari Gurun Pasir Thar ini memiliki ilmu kesaktian
bernama Mengulur Mata Menjerat Pandang. Dengan ilmu ini dia
bisa melihat benda di kejauhan menjadi dekat seolah berada di
depannya. Di arah kiri gurun pasir saat itu dia melihat seseorang
tengah berusaha berdiri. Begitu dia menerapkan Ilmu Mengulur Mata Menjerat Pandang serta merta dia melihat orang itu adalah
pemuda berambut gondrong. Wajah bercelemong pasir. Rambut
dan pakaian Juga penuh ditempeli pasir. Si pemuda kibas-kibas
rambut gondrongnya dan tepuk-tepuk pakaian putih untuk
membersihkan pasir gurun yang menempel. Lalu dia mengusap
muka berulang kali.
Ketika sang Resi memperhatikan bagian tubuh antara dada
dan perut pemuda ini, empat kelopak matanya terasa bergetar.
Jantung berdetak lebih kencang dan darah mengalir lebih cepat.
Resi ini terkesima.
***
EMPAT
AKU melihat cahaya putih aneh di tubuh sebelah depan
pemuda berambut gondrong Itu. Hemmm… ” Sang Resi
bergumam. ”Dia menyimpan satu senjata sakti mandraguna di
dekat relung jantung dan hati di dalam tubuhnya. Luar biasa!
Kalau kekuatan tongkat Kuntala Biru masuk ke dalam tubuhnya,
bergabung dengan kekuatan senjata yang dimilikinya, langit bisa
diruntuhkan, samudera bisa dibendung. Tujuh Tonggak
Kekuasaan, Keadilan dan Kebenaran bisa dikuasainya. Pemuda itu
siapa dia gerangan. Sebelum kembali ke Gurun Thar aku perlu
menemui dirinya. Sekarang aku harus mencari gadis berbaju biru
yang aku lihat dalam samadiku...”
Sementara tubuhnya terus melayang turun Resi Khandawa
Abitar tukikkan pandangan ke bawah. Mendadak di arah depan
dia melihat satu pemandangan yang membuat wajah tuanya yang
klimis bersemu merah namun kemudian tertawa geli sendirian.
Gerangan apa yang telah dilihat dan membuat Resi sakti dari
India ini sampai tertawa demikian rupa?
Seperti diceritakan sebelumnya ketika topan prahara
membadai di Gurun Pasir Tengger, Naga Kuning telah merubah
diri ke dalam ujud aslinya yakni seorang kakek sakti bernama Kiai
Paus Samudera Biru. Sambil menindih tubuh Gondoruwo Patah
Hati kakek ini berusaha merayu kekasihnya itu. Dia berbisik ke
telinga si nenek.
”Intan, lama sekali aku menginginkan kita berdua-dua
seperti Ini. Sekarang baru ada kesempatan...”
”Ihhh!” Gondoruwo Patah Hati terpekik. ”Tua bangka
kurang ajar! Lekas turun! Kalau tidak....”
”Nek, tidakkah kau ingin merubah dirimu menjadi Intan Ning
Lestari agar kita bisa bermesraan lebih mantap? Apa kau tega
membiarkan diriku seperti ini?”
Si nenek agak tergagap. Tapi kemudian membentak
memaki.”Kiai edan! Jangan-jangan kau sudah kemasukan roh jahat
Cakra Mentari!” Si nenek susupkan tangan kirinya ke balik jubah si
kakek. Kiai Paus Samudera Biru mesem-mesem menikmati
sentuhan tangan yang menjalar itu. Ah, ini yang diharapkan. Dia
menunggu usapan terakhir di bagian bawah perutnya di tempat
yang tak bisa dibayangkan!
Namun mendadak sang Kiai menjerit keras. Bukan
mendapat usapan, bukan pula merasa kenikmatan tapi kantong
menyan perabotannya amblas dipencet si nenek. Sosok si kakek
langsung melintir dan terguling ke tanah. Dua kaki melejang-
lejang, mulut mengerang dan muka meringis menahan sakit.
”Rasakan! Makan pencarianmu!” Maki Gondoruwo Patah
Hati lalu tertawa cekikikan. Namun nenek ini kemudian hentikan
tawa dan unjukkan muka kawatir. Sebabnya sosok Kiai Paus
Samudera Biru kini tergeletak di pasir tidak bergerak tidak
bersuara! Ketika dia memperhatikan muka si kakek kelihatan
sepasang mata yang terbuka mendelik tak berkesip!
”Astaga! Jangan-jangan...” Si nenek ketakutan lalu jatuhkan
diri dan peluk tubuh si kakek. Dia usap kepala sambil ciumi wajah
Kiai Paus Samudera Biru berulang kali. ”Gunung, apakah tadi aku
terlalu keras memencet anumu?” Gunung adalah nama asli Naga
Kuning.
Si kakek tidak dapat menahan tawanya lagi. Sosoknya
berubah menjadi Naga Kuning kembali. Sambil merangkul
punggung dengan kedua tangan serta menggelungkan dua kaki di
pinggul si nenek bocah berambut jabrik ini tertawa terpingkal-
pingkal.
”Anak kurang ajar!” Gondoruwo Patah Hati mendamprat lalu
berguling menjauh sambil terus memaki panjang pendek.
Semua apa yang terjadi itulah yang telah disaksikan oleh
Resi Khandawa Abitar dari atas gurun pasir dan membuat dia
tertawa geli.
”Hidup di muka bumi di luar alamku ternyata banyak
keluguan dan kelucuan. Para Dewa sungguh adil. Membagi kebahagiaan pada ummat manusia. Dalam susah maupun
senang...”
Sang Resi kemudian memperhatikan ke beberapa jurusan
lain sambil tangan kiri yang memegang patahan gompalan
tongkat emas di acungkan di depan dada.
Agak jauh di sebetah selatan Rasi Khandawa Abitar melihat
satu bangunan. Dari bentuknya dia tahu kalau bangunan itu
adalah sebuah Kuil Hindu. Kembali dia mengerahkan Ilmu
Mengulur Mata Menjerat Pandang. Bangunan kuil yang tadinya
kecil berubah jadi besar. Begitu melihat Kuil yang masih berada
dalam keadaan utuh tanpa kerusakan sedikitpun sang Resi segera
rundukkan kepala memanjatkan doa dan puji-pujian.
”Dewa Pelindung Agung.Topan badai begitu besar namun
kerusakan tidak sampai menyentuh Kuil suci itu. BerkahMu sangat
besar wahai Para Dewa di Swargaloka. Terima kasih Dewa.
Terima kasih....”
Masih dalam menerapkan ilmu kesaktiannya, tidak jauh dari
bangunan Kuil tampak seorang tua berselempang kain putih,
melangkah terseok-seok menuju Kuil. Pakaian putih dan sekujur
tubuhnya kotor penuh debu dan pasir gurun. Beberapa bagian
lengan dan bahu dalam keadaan luka akibat ditembus pasir.
Orang tua yang dilihat Resi Khandawa Abitar ini adalah Resi
Jantika Lamantara yang dengan susah payah berusaha mencapai
Kuil. Walau dua kaki goyah, sekujur tubuh sakit bukan kepalang
namun melihat keadaan Kuil yang masih utuh memberi semangat
padanya untuk meneruskan langkah. Sambil berjalan mulutnya
tiada henti mengucap doa puji syukur. Pada saat Resi Khandawa
Abitar akhirnya menjejakkan dua kaki di Gurun PasirTengger
sudut mata sang Resi tiba-tiba menangkap kilatan cahaya di arah
kiri. Ketika berpaling ke kanan, di kejauhan dia melihat seorang
gadis cantik memegang sebuah cermin bulat lengah berusaha
bangkit berdiri.
”Bukan gadis yang kucari...” ucap Resi Khandawa Abitar.
”Gadis berjubah kelabu, seperti tiga orang tadi agaknya dia juga bukan orang sambarangan. Cermin bulat di tangannya pasti
sebuah senjata sakti. Aku melihat cahaya biru di balik dadanya.
Heran, bagaimana banyak orang berkepandaian tinggi bertebaran
di gurun pasir yang baru dilanda topan ini? Apakah mereka semua
punya sangkut paut dengan kejahatan Resi Mirpur Patel? Agaknya
aku bakal mendapat banyak sahabat di negeri ini.”
Sambil terus berpikir-pikir Resi Khandawa Abitar
memandang berkeliling sampai pandangannya membentur satu
sosok berpakaian biru, berambut panjang lepas riap-riapan tertiup
angin, terbaring menelungkup. Dada sang Resi berdebar.
”Ada cahaya kuning bersinar di bagian bawah tubuhnya
yang menelungkup. Aku harus melihat wajah perempuan ini...”
Resi Khandawa kembali kerahkan Ilmu Mengulur Mata Menjerat
Pandang. Begitu sosok orang menjadi besar dan sewaktu dia
melihat sebagian wajah yang tertelungkup darahnya berdesir.
”Walau wajahnya cuma terlihat sebagian tapi aku yakin ini
gadis yang kulihat dalam samadi. Benda bercahaya di bagian
bawah tubuhnya pasti potongan gompalan tongkat emas...”
Tidak menunggu lebih lama Resi Khandawa Abitar segera
melesat mendekati sosok tubuh yang tertelungkup di pasir.
”Aneh, topan sudah reda. Mengapa perempuan muda Ini masih
berbaring menelungkup? Apakah dia masih hidup. Jangan-jangan
telah tewas dilanda topan. Tapi tubuhnya terlihat utuh...”
Resi Khandawa maju lagi dua langkah, lebih mendekat.
Sambil pandangi sosok perempuan berpakaian biru di depannya
dia menarik nafas dan menghirup udara dalam-dalam. Tongkat
Kuntala Biru disapukan di punggung perempuan yang terbaring
menelungkup. Mendadak saja Resi ini tersurut satu langkah.
”Sosok perempuan ini dalam keadaan kosong. Berarti.....”
Sang Resi memandang berkeliling. Dia tidak dapat melihat
tapi dia mampu merasakan. Maka segera saja dia keluarkan
ucapan.
”Mahluk pandai dari alam roh, kau punya tubuh bagus dan
wajah cantik. Mengapa ditinggal disia-siakan?”Roh Purnama yang ada di dekat situ yang tadi sebenarnya
memang hendak kembali masuk ke dalam jazadnya namun
membatalkan niat karena kedatangan sang Resi, kini setelah
mendengar ucapan Resi itu langsung saja dia masuk kembali ke
dalam tubuh kasarnya. Kejap itu pula dia bergerak bangkit,
berdiri dua langkah di hadapan sang Resi.
”Ah, kini aku melihat wajahmu dengan jelas. Kau memang
orang yang ada dalam samadiku. Terima kasih Dewa telah
mempertemukan aku denganmu.” Resi Khandawa Abitar
melintangkan tongkat Kuntala Biru lalu membungkuk memberi
hormat pada gadis cantik hadapannya.
Purnama perhatikan orang tua di depannya sesaat lalu
berkata. ”Orang tua, dari dandananmu saya tahu kau adalah
orang asing. Kau pandai bahasa negeri ini.”
”Dewa memberi berkah padaku,” jawab Resi Khandawa
Abitar. ”Logat bicaramu seperti seorang yang pernah aku kenal.
Namanya Deewana Khan.”
”Dewa Maha Besar!” Resi Khandawa Abitar mengucap
menyebut nama Dewa. ”Kau kenal Deewana Khan. Aku akan
bertanya banyak tentang dirinya. Namun saat ini ada satu hal
penting yang harus didahulukan.”
”Tunggu dulu,” kata Purnama pula. ”Ada satu mahluk tanpa
wajah yang juga punya logat bicara sepertimu. Orang tua apa
hubunganmu dengan mahluk itu? Kalian agaknya datang dari
negeri yang sama.”
Resi Khandawa Abitar tersenyum. Setelah anggukkan kepala
beberapa kali dia berkata. ”Kedatanganku kesini justru ada
sangkut pautnya dengan semua apa yang kau ketahui. Gadis
berbaju biru, izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku
Khandawa Abitar. Aku Resi Ketua dari Gurun Thar di India. Kalau
aku boleh bertanya, siapakah namamu?"
”Purnama...””Dewa Maha Agung. Purnama. Bukankah itu juga berarti
rembulan? Nama yang sangat bagus. Sahabatku muda, apakah
kau mengenali benda ini?"
Resi Khandawa Abitar perlihatkan keping gompalan tongkat
emas yang sejak tadi digenggamnya.
”Kau mengenali benda ini?”
Purnama memperhatikan dan tampak terkejut. Dia meraba
ke balik baju biru yang dikenakannya. Resi Khandawa Abitar
berkata. ”Kau sudah maklum. Kepingan emas ini adalah
gompalan dari tongkat milik mahiuk tanpa wajah....”
”Saya tidak mengerti. Kepingan itu ada pada saya. Beberapa
saat lalu patah secara aneh...”
”Aku yang mematahkan. Keluarkanlah bagian patahan yang
ada padamu...”
Purnama keluarkan patahan gompalan tongkat emas yang
dimilikinya. Resi Khandawa melangkah mendekat. Dia mengambil
patahan kepingan tongkat yang dipegang Purnama. Ketika dua
patahan gompalan tongkat emas saling ditempelkan satu sama
lain ternyata dua patahan bersambung menyatu sangat tepat.
”Aku benar-benar telah menemui gadis yang aku lihat dalam
semadiku. Dewa sungguh Agung. Purnama, aku akan melakukan
sesuatu. Harap kau tetap berdiri tenang di tempatmu...”
Selesai berucap Resi Khandawa letakkan dua keping
patahan gompalan tongkat di telapak tangan kiri. Lalu dia angkat
tongkat Kuntala Biru. Sambil merapal doa Resi ini kemudian
tekankan ujung tongkat sakti pada dua patahan gompalan
tongkat emas. Satu sinar biru yang amat terang membersit keluar
dari tongkat sakti.
”Wusss!”
Saat itu juga dua patahan gompalan tongkat emas
tunggelam dalam kobaran api berwarna biru. Satu kekuatan yang
tak kelihatan muncul secara aneh, melabrak Khandawa Abitar
hingga Resi dari Gurun Thar ini jatuh terduduk. Wajahnya tampak merah. Purnama cepat mendatangi. Maksudnya hendak menolong
sang Resi berdiri. Namun Resi Khandawa Abitar cepat mencegah.
”Jangan sentuh!”
”Wusss”
***
LIMA
SATU kobaran api berwarna biru menggebubu ke udara
setinggi hampir dua tombak, membuat tubuh Resi Khandawa
Abitar lenyap tak kelihatan lagi. Purnama terpekik. Kalau dia tidak
cepat melompat mundur niscaya ikut tersulut api dahsyat Itu.
Di saat yang bersamaan di kejauhan di arah selatan
terdengar raungan manusia luar biasa keras hingga menggema
sampai di permukaan pedataran pasir.
Dari dalam kobaran api biru tiba-tiba terdengar suara Resi
Khandawa Abitar.
”Resi Mirpur Patel. Saatnya kau datang ke hadapanku untuk
meminta maaf dan meminta ampun pada Para Dewa atas semua
dosa kesalahan yang telah kau perbuat.”
Di selatan kembali terdengar suara raungan namun kali ini
disertai suara ucapan bergumam yang tidak jelas.
Di dalam kobaran api biru terdengar lagi suara Resi
Khandawa Abitar. ”Apa? Kau menolak datang. Sayang sekali.
Apakah kau sudah berpikir baik-baik Resi Mirpur Patel?”
Kembali menggelegar suara raungan dan ucapan bergumam
dari arah selatan. Lalu menyusul suara sang Resi yang masih
tenggelam dalam kobaran api biru setinggi dua tombak.
”Jika kau mau datang, aku berjanji meminta keringanan
hukuman pada Para Dewa Apa... ? Ah, sayang sekali. Kau tetap
tak mau datang malah menantang tak takut mati. Resi Mirpur
Patel, nyawamu bukan di tanganku. Aku tidak punya kewenangan
untuk membunuhmu. Namun jika Para Dewa memberi kuasa
bagiku untuk melakukan sesuatu, aku masih tetap ingin kau minta
ampun dan bertobat atas semua kesalahanmu. Kita para Resi,
apakah tidak ingin melihat dunia ini dan semua ummat di
dalamnya hidup dalam bahagia ketenteraman?”
DI selatan menggelegar raungan dahsyat dan gumam aneh.
”Ah, sayang sekali. Benar-benar sayang sekali! Apa yang
terjadi dengan dirimu? Mengapa kau begitu keras kepala? Hanya
karena ingin mendapatkan ilmu sesat dari kitab palsu yang aku mengira kau sendiri yang membuatnya? Sayang sekali! Kau tak
mau datang dengan ikhlas, aku terpaksa menyedotmu datang
kemari!” kata Resi Khandawa Abitar. Dia acungkan tongkat
Kuntala Biru ke depan setinggi dada. Lalu tongkat disentakkan
kebelakang.
”Wuutttt!”
Terdengar suara bergemuruh disertai hawa aneh menarik
kuat sekali ke arah sang Resi. Purnama cepat-cepat jatuhkan diri
ke gurun pasir lalu berguling menjauh. Selagi dia hendak
mencoba berdiri tiba-tiba blukk!
Satu sosok putih jatuh bergedebuk di atas pasir di depannya
lalu menggelundung dan berhenti tiga langkah di hadapan Resi
Khandawa Abitar. Sosok putih ini seorang tua berambut dan
berjanggut putih panjang dengan wajah licin rata tidak berupa.
Dalam kepitan tangan kiri ada sebuah tongkat emas besar
berbentuk bulat salah satu ujungnya.
”Mahluk tanpa wajah!” ucap Purnama setengah berseru.
”Wusss!”
Api biru setinggi dua tombak yang sejak tadi menyelubungi
Resi Khandawa Abitar tiba-tiba lenyap. Tak kurang suatu apa Resi
ini melangkah mendekati sosok orang tua tanpa wajah yang
masih tergeletak di pasir. Agaknya dia memang tak mampu
bergerak ataupun bicara. Dari mulutnya hanya keluar suara
desah meracau.
Resi Khandawa sapukan tongkat sakti Kuntala Biru di wajah
licin pada arah letak mulut yang tidak kelihatan dari mahluk
tanpa wajah.
”Resi Mirpur Patel, aku sudah membuka jalan suaramu.
Sekarang bicaralah.”
Wajah licin tanpa mulut itu secara aneh mengeluarkan suara
parau menjawab.
”Resi Khandawa, kau lebih baik membunuhku saat Ini juga.
Aku tidak akan pemah mau bicara!”
”Begitu.. .?” Resi Khandawa tersenyum. ”Memang tidak
sopan bicara kalau wajahmu tidak kelihatan.”
Resi Khandawa Abitar kembali sapukan tongkat saktinya.
Kini ke kepala dan seluruh wajah Resi Mirpur Patel. Tiba-tiba tiga
cahaya berwana merah, biru dan hijau memancar terang dari
kepala Resi Mirpur Patel, menyambar ke arah Resi Khandawa
Abitar. Dengan cepat Resi ini melompat mundur seraya sapukan
tongkat Kuntala Biru.Tiga letusan keras menggeledek di tempat
itu. Resi Mirpur Patel mengerang keras. Tubuhnya melesak
masuk ke dalam tanah, setengah terkubur di dalam pasir! Masih
tidak punya kemampuan begerak. Tongkat emasnya menancap ke
dalam pasir sampai setengahnya. Pada saat itu kepalanya yang
tadi polos licin tanpa wajah kini berubah menunjukkan wajah
seorang kakek berambut, kumis dan janggut putih. Tampangnya
tampak angker memandang penuh geram pada Resi Khandawa
Abitar.
Sepasang mata Resi Khandawa Abitar tatap sosok dan wajah
Resi Mirpur Patel tak berkesip. Dalam hati dia berkata. ”Resi ini
agaknya sudah memiliki ilmu kesaktian jahat dari buku sesat.
Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib. Jika dia berhasil menyedot ilmu
yang di dapat pemuda yang jadi budaknya itu, kekuatan ilmu
pukulan bisa berubah dahsyat sepuluh kali lipat! Jangankan bumi,
Swargalokapun bisa tergoncang!”
”Resi Mirpur Patel, apakah kau masih tidak mau bicara?”
Dua pipi Resi Mirpur Patel menggembung, pelipisnya begerak-
gerak. Tiba-tiba dia meludah.
”Puuhhh!”
Dihina seperti itu Resi Khandawa Abitar hanya tersenyum.
”Hatimu sekeras batu di Gurun Thar. Perasaanmu sebeku
salju di puncak Pegunungan Vindhya dan pikiranmu seperti
terselubung lumut setebal lumut di dasar sungai Chambal. Resi
Mirpur Patel, aku akan memohon pengampunan bagi dirimu pada
Para Dewa di Swargaloka. Asal kau mau mengembalikan padaku
Patung Kamasutra yang kau curi di Goa Binaker.””Patung itu tidak ada padaku.”
”Kalau begitu kau pasti tahu dimana beradanya dan siapa
yang memegangnya.”
”Tanyakan saja pada Para Dewa di Swargaloka,” jawab
Mirpur Patel alias mahluk tanpa wajah dengan nada mengejek.
Mendengar ucapan Mirpur Patei itu marahlah Resi Khandawa
Abitar. Orang boleh menghina dirinya.Tapi jika orang berani
menghina Dewa di hadapannya maka dia akan turun tangan lebih
dulu! Resi yang biasa bicara lembut ini sekarang berucap dengan
suara keras dan bergetar menahan marah.
”Resi Mirpur Patel! Kau tahu tidak ada dosa paling besar
selain menghina dan mempermalukan Para Dewa! Aku tidak akan
membunuhmu. Tapi aku juga tidak akan membiarkan dirimu
hidup gentayangan seenaknya di muka bumi ini. Hukum harus
diberlakukan atas dirimu! Dewa memutuskan! Aku
melaksanakan!”
”Resi pengecut! Jangan meminjam nama Dewa! Akui saja
kau tidak berani membunuhku!”
Sebagai jawab atas ucapan Resi Mirpur Patel, Resi
Khandawa Abitar tancapkan tongkat Kuntala Biru ke tanah. Dari
balik pakaian birunya dia keluarkan Pedang Bulan Sabit yang
didapatnya dari tujuh orang katai yang mengaku sebagai utusan
Sang Kebenaran. Perlahan-lahan dia pergunakan tangan kanan
untuk menarik gagang pedang. Meskipun saat itu matahari
bersinar cerah namun kilau cahaya putih terang dan indah dari
Pedang Bulan Sabit yang dicabut dari sarungnya tidak menjadi
redup.
Sementara Resi Khandawa Abitar merapal doa di dalam hati,
sosok Resi Mirpur Patel alias mahluk tanpa wajah yang tergeletak
di tanah berusaha memusnahkan kekuatan yang membuat
sekujur tubuhnya kaku. Dia sadar sesuatu akan terjadi atas
dirinya. Karena itu dia harus bisa melarikan diri. Namun
jangankan membebaskan diri, begerak sedikitpun dia tidak bisa.”Kurang ajar! Resi itu telah melumpuhkan sekujur auratku
dengan ilmu Seribu Titik Tanpa Daya? Resi Mirpur Patel
menyumpah geram.
”Khandawa Abitar! Aku bersumpah akan membunuhmu jika
kau melakukan sesuatu atas diriku!” Resi Mirpur Patel keluarkan
ancaman.
Sepasang matanya tidak lepas dari memperhatikan senjata
di tangan Resi Khandawa Abitar. Resi Khandawa sendiri tidak
perdulikan ancaman orang. Sambil memegang Pedang Bulan Sabit
di tangan kanan dia melangkah mendekati Resi Mirpur Patel.
”Kau mau melakukan apa?!” teriak Mirpur Patel.
”Kebenaran harus ditegakkan. Hukum harus dilaksanakan.
Dewa menyampaikan pesan melalui Pedang Bulan Sabit ini!"
Selesai berucap Resi Khandawa Abitar tekankan ujung runcing
Pedang Bulan Sabit ke kening Resi Mirpur Patel. Gerakannya
perlahan saja, tidak sampai membuat kening Mirpur Patel terluka.
Satu kilatan cahaya putih melesat masuk menembus batok kapala
Resi Mirpur Patel, menjalar ke seluruh tubuhnya yang kemudian
terjengkang di tanah gurun. Bersamaan dengan itu terjadilah hal
aneh.
Kegelapan mendadak menyungkup gurun pasir dimana
orang-orang itu berada. Ketika kegelapan lenyap dan udara
terang benderang kembali sekujur tubuh Resi Mirpur Patel yang
kurus jangkung tergelatak berubah menjadi sosok tanpa daging,
nyaris menyerupai jerangkong. Sosok itu mengepulkan asap luar
biasa panas hingga Purnama menjauh sampai lima langkah. Dari
mata, telinga, mulut dan hidung mengucur cairan hitam.
”Mirpur Patel. Darahmu hitam bukan merah. Pertanda Para
Dewa telah memperlihatkan kehitaman hatimu. Hari ini riwayatmu
telah tamat. Sekarang pergilah untuk selama-lamanya dari muka
bumi ini.”
Resi Mirpur Patel keluarkan suara menggembor keras.
Cairan hitam bermuncratan dari mulut, mata, hidung dan telinga.
Begitu suara menggembor putus, dari mulutnya keluar jeritan keras berkepanjangan. Resi Mirpur Patel yang dalam keadaan
hidup tidak matipun tidak merasa sekujur tubuhnya dilanda panas
luar biasa.
”Rasi jahanam Itu tidak membunuhku! Dia mau menyiksa
diriku dengan hawa panas memanggang seumur hidup! Dari
mana dia dapatkan ilmu itu? Dari pedang celaka berbentuk bulan
sabit Ku? Kurang ajar !. Dari mana dia dapatkan pedang keparat
itu?” Resi Mirpur Patel menyumpah habis-habisan. Lalu dia
merapal segala macam mantera untuk menolak dan
memusnahkan hawa panas dalam tubuhnya. Namun sia-sia saja.
Resi Khandawa Abitar masukkan Pedang Bulan Sabit ke
dalam sarung. Pedang sakti dipegang dengan tangan kanan. Lalu
dengan tangan kiri dia cabut tongkat Kuntala Biru dari tanah
gurun. Tongkat disapukan ke arah Resi Mirpur Patel.
”Dessl Dess! Desss!”
Tubuh Resi Mirpur Patel keluarkan letupan sampai tiga kali
Resi Khandawa Abitar berucap setengah membentak seraya kaki
kanan dihentakkan ke tanah gurun.
”Pergilah!”
Pedataran Pasir Gurun Tengger bergetar oleh hentakan kaki
Resi Khandawa Abitar. Resi Mirpur Patel maklum apa yang akan
terjadi. Dia berusaha meronta dan menerjang. Namun tak mampu
bergerak.
”Resi Khandawa Abitar! Aku tidak akan mati! Tidak pernah!
Aku akan tetap hidup sejuta tahun! Aku akan membalas semua
perbuatanmu ini !”
”Resi Mirpur Patel. Kau tidak punya daya, tidak punya
kekuatan. Saatnya kau pergi.” Resi Khandawa Abitar goyang dan
putar ujung tongkat biru lalu disentakkan ke atas. Saat itu juga
tubuh Resi Mirpur Patel yang setengah terpendam di tanah
berpasir melesat ke udara, lenyap seolah menembus langit.
Setelah sosoknya hilang dari pemandangan suara jeritannya
masih terdengar mengumandang. Resi Khandawa Abitar tarik
nafas panjang dan dalam lalu bekata.”Semua sahabat yang ada disini. Resi jahat itu akan
terkatung-katung antara langit dan bumi. Mati tidak hiduppun
tidak. Sekujur tubuhnya dijalari hawa panas. Hanya ada satu jalan
mencari selamat sementara, itupun kalau dia tahu caranya. Yaitu
masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari yang telah diperbudaknya
dengan ilmu setan.”
Resi Khandawa mendongak menatap ke langit. ”Tujuh
manusia katai utusan Sang Kebenaran. Tugasku sudah selesai.
Apakah para sahabat bermaksud mengambil kembali Pedang
Bulan Sabit?”
Baru saja ucapan berakhir di langit arah barat kelihatan
tujuh titik begemerlap, melayang ke arah Gurun Pasir Tengger
dimana Resi Khandawa Abitar berada. Tak selang berapa lama
tujuh titik berubah membesar dan sesaat kemudian tujuh manusia
katai bersorban yang mengeluarkan cahaya putih sejuk telah
berada di tempat itu. Mereka berdiri berjejer di hadapan Resi
Khandawa Abitar. Tujuh pasang kaki mereka sama sekali tidak
menginjak pasir gurun. Tergantung di udara seujung kuku jari dari
tanah. Ketujuh manusia katai membuka sorban masing-masing.
Sorban diletakkan di atas pasir gurun lalu mereka sama-sama
membungkuk memberi hormat. Resi Khandawa Abitar membalas
hormat kamudian melangkah mendekati manusia katai di sebetah
tengah.
”Bukankah sudah saatnya aku harus mengembalikan Pedang
Bulan Sabit? Dan kau serta kawan-kawan sudah datang
menjemput.”
”Resi Yang Mulia. Apa yang kau katakan tidak keliru.
Sebenarnya Sang Kebenaran juga mempunyai pesan. Pedang itu
kami ambil lantas kami serahkan pada seseorang yang ada di
tempat ini....”
Resi Khandawa Abitar berpaling ke arah Purnama yang
tegak di sampingnya. ”Maksud kalian pedang akan diserahkan
pada gadis cantik berpakaian biru yang berdiri di sampingku ini?””Resi Yang Mulia. Kami mahluk-mahluk yang punya
keterbatasan. Di alam lain selain alam kami, kami tidak bisa
melihat sosok seorang perempuan...”
Sepasang alis mata Purnama mengerenyit naik ke atas. Resi
Khandawa Abitar tersenyum. ”Sayang sekali,” katanya. ”Gadis
yang ada di sebelahku bertubuh elok dan berparas sangat cantik.
Kalian benaran tidak mau melihatnya?”
Tujuh manusia katai termesem-mesem dan saling sikut-
sikutan satu sama lain. Lalu adalah seorang dari mereka
menjawab. ”Kalau hal itu kami lakukan, Sang Kebenaran akan
murka dan kami tidak bisa kembali lagi ke alam kami.”
”Aku mengerti.” jawab Resi Khandawa Abitar pula.
”Jadi bagaimana dengan Pedang Bulan Sabit ini?”
”Kami akan mengambilnya. Jika Sang Kebenaran kemudian
memberikan perintah baru, ResiYang Mulia pasti akan
mengetahui. Paling tidak akan mendapat petunjuk di dalam
samadi” Jawab manusia katai di sebelah tengah lalu dia maju
mendekat dan ambil Pedang Bulan Sabit dari tangan kanan Resi
Khandawa Abitar. Setelah mengenakan sorban kembali dan
membungkuk memberi hormat pada Resi Khandawa Abitar di
hadapan tujuh manusia katai keluar tabir asap. Ketika tabir ini
lenyap tujuh manusia katai sudah melayang ke langit dan
akhirnya lenyap dari pemandangan.
Purnama datang mendekati Resi Khandawa Abitar.
”Gadis baju biru, aku masih ada satu pekerjaan yang harus
dilakukan. Menjauhlah dulu.” Purnama terpaksa bersurut kembali.
Sang Resi masukkan ujung tongkat Kuntala Biru ke bagian
tongkat emas yang berbentuk bulat milik Resi Mirpur Patel yang
saat itu masih menancap di tanah.
”Tombak emas Pusaka Langit Ketiga. Kembalilah ke tempat
asalmu di Lembah Godavari!"
Resi Khandawa Abitar sentakkan ke atas tongkat Kuntala
Biru di tangan kanan.
”Tring!”Terdengar suara berdering ketika dua tongkat sakti saling
beradu disertai memerciknya bunga api berwarna kuning dan
biru.
”Wuttt!”
Tongkat emas milik Resi Mirpur Patei tercabut dari tanah,
melesat Ke udara dengan kecepatan luar biasa hingga hanya
terlihat berupa satu cahaya kuning terang. Cahaya ini berputar
tiga kali di atas Gunung Bromo lalu menderu ke langit dan
akhirnya lenyap dari pemandangan.
Resi Khandawa Abitar usap wajahnya sampai tiga kali.
Ketika dia berpaling ke arah Purnama ternyata sigadis tidak hanya
sendirian di tempat itu. Ada empat orang lain bersamanya. Sang
Resi ingat ke empat orang ini adalah orang-orang yang tadi
dilihatnya sewaktu melayang turun ke Gurun Pasir Tengger.
***
ENAM
YANG pertama sekali diperhatikan Resi Khandawa Abitar
adalah si bocah berambut jabrik Naga Kuning dan nenek muka
setan Gondoruwo Patah Hati. Sang Resi senyum mesem-mesem
melihat kedua orang ini terutama Naga Kuning. Lalu dia berpaling
pada Ratu Duyung, melirik sekilas pada Purnama seolah ingin
membandingkan kecantikan dua gadis ini. Terakhir sekali matanya
dialihkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Berdiri cukup dekat
begitu rupa kini Resi sakti ini dapat melihat keadaan Wiro lebih
jelas. Seperti yang sudah dilihatnya sebelumnya lewat ilmu
Mengulur Matai Menjerat Pandang dia mampu mengetahui
keberadaan satu senjata sakti di dalam tubuh murid Sinto
Gendeng. Berhadapan begitu dekat Resi Khandawa dapat melihat
bentuk senjata yang ada dalam tubuh Wiro.
”Kapak bermata dua....” ucap sang Resi dalam hati.
Lebih dan itu dia juga melihat adanya benda-benda sakti
lainnya didalam kantung celana sang pendekar. Lalu dia juga
melihat keberadaan dua buah kitab dibalik pakaian Wiro. Bahkan
Resi sakti ini juga melihati tanda putih di bawah pusar sang
pendekar.
”Dua kitab sakti mandraguna. Satu salinan, satu lagi yang
sudah terbakar hangus. Ah kasihan pemuda ini, dia mengindap
satu penyakit sangat menakutkan. Siapa yang punya pekerjaan.
Resi Mirpur Patel? Apakah aku bisa menolong pemuda ini? Mudah-
mudahan Dewa memberi petunjuk.”
Sadar kalau dia terlalu lama memperhatikan orang-orang itu
Resi Khandawa Abitar buru-buru membungkuk menghatur
hormat.
”Semua sahabat yang ada di sini, maafkan aku sammpai
terkesima melihat orang-orang gagah seperti kalian. Terima salam
hormatku. Aku Resi Khandawa Abitar dari Gurun Thar di negeri
India.” Resi Khandawa perkenalkan diri dan lagi-lagi unjukkan
senyum ketika melihat ke arah Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning. Si bocah karena merasa, mulutnya yang jahil langsung
saja bertanya polos.
”Kek, dari tadi kau mesem-mesem saja melihat diriku.
Apakah ada yang lucu?”
Resi Khandawa Abitar batuk-batuk beberapa kali. Dia
menjawab. ”Sahabatku kecil. Kau tak pantas memanggil diriku
Kakek. Karena kalau tidak salah aku menduga, usiamu lebih tua
dari diriku.”
Naga Kuning jadi melongo. Gondoruwo Patah Hati cubit
pinggang si bocah lalu berbisik.
”Anak konyol! Kau tidak sadar berhadapan dengan siapa?
Kalau bukan Resi ini yang menolong, kita semua termasuk kau
sudah ditimbun pasir topan!”
”Aku tahu,” menyahuti Naga Kuning. ”Tapi aku juga tahu
satu hal lain! Dia pasti melihat waktu kita saling tindihan dan kau
mengusap ke bawah perutku. Itu sebabnya dia mesem-mesem
terus melihat kita! Hik...hik!”
Ucapan Naga Kuning membuat Gondruwo Patah Hati jadi
terdiam.
Wiro maju mendekati dan membungkuk di hadapan Resi
Khandawa Abitar.
”Resi Khandawa, terima salam hormatku. Namaku Wiro.
Gadis di sebelah kanan ini Purnama...”
”Aku sudah kenal,” menerangkan Resi Khandawa Abitar.
Wiro meneruskan sambil menunjuk pada Naga Kuning.
”Anak ini Naga Kuning, nenek di sebelahnya Gondoruwo Patah
Hati dan gadis bermata biru ini Ratu Duyung.”
”Aku maklum, kalian semua adalah orang-orang gagah
rimba persilatan negeri ini, berhati baja berkepandaian tinggi.”
”Resi Khandawa, kami semua di sini mengucapkan
terimakasih. Kau telah menolong kami hingga selamat dari
bencana topan gurun pasirTengger.”
”Semua itu atas kuasa dan kehendak Para Dewa. Harap....”Saat itu tiba-tiba ada seseorang mendatangi dan begitu
sampai di hadapan Resi Khandawa Abitar dia langsung jatuhkan
diri. Orang ini ternyata adalah Resi Jantika Lamantara.
”Resi Yang Mulia, apa yang barusan diucapkan pemuda ini
benar adanya. Saya Resi Jantika Lamantara dari Kuil Bromo
Agung menghaturkan puji syukur dan berterima kasih padamu.
Kau telah diutus untuk menyelamatkan kami. Kuil tidak sedikitpun
mengalami kerusakan. Semua barang sesajian yang disiapkan
penduduk untuk upacara Kasada besok juga berada dalam
keadaan utuh....”
Resi Khandawa Abitar pegang bahu Resi Jantika Lamantara
dan menolongnya berdiri.
”Semua adalah atas kehendak dan kuasa Para Dewa.
Perlindungan itu datang dari Yang Maha Kuasa. Aku sama dan
tiada beda dengan dirimu. Kita adaah orang-orang yang hidup
untuk mengabdi pada ummat manusia.”
”Resi Khandawa dan para sahabat semua. Kalau saja saya
boleh mengundang rasanya lebih baik kita meneruskan
pembicaraan di Kuil Bromo Agung tempat kediaman saya...”
”Dengan senang hati aku menerima undanganmu Resi
Jantika. Apa aku akan mendapat suguhan teh harum. Aku
mendengar kabar teh di sini ini lebih sedap dari teh di daerahku.
Apalagi jika dicampur pemanis gula merah.”
Resi Jantika berjalan paling depan mendampingi Resi
Khandawa. Wiro dan yang lain-lain mengikuti di belakang. Sang
surya yang bersinar cukup terik tidak terasa panas karena hawa
gunung yang sangat sejuk mampu membendung keterikan itu.
Sampai di Kuil Bromo Agung tempat kediaman Resi Jantika
Lamantara dan Resi Aji Sumabarang, para tamu disuguhi teh
manis bergula merah serta singkong dan ubi rebus hangat.
”Buah putih panjang dan merah bulat yang direbus ini.” kata
Resi Khandawa Abitar sambil menunjuk pada singkong dan ubi
rebus, ”Tak ada di negeriku. Sungguh sedap..." Sang Resi
menyeka bibirnya lalu meneruskan ucapan. ”Kailan semua disini tadi menyaksikan bagaimana aku telah mempecundangi Resi
Mirpur Patel, yang kalian kenal sebagal insan tanpa wajah Itu.
Namun karena dia tidak mati, aku yakin dia akan melakukan
pembalasan. Karena itu aku mengingatkan agar kalian semua
terus berhati-hati. Sekarang, kalau boleh aku ingin menanyakan
beberapa hal pada kalian. Aku mulai dengan sahabat berbaju biru.
Purnama, waktu di gurun tadi kau menyebut nama Deewana
Khan. Dia salah satu orang kepercayaanku. Tapi aku punya firasat
dia sudah lama meninggalkan dunia fana ini. Bagaimana
kejadiannya kau mengenal Deewana Khan?”
Purnama lalu menuturkan peristiwa sewaktu Deewana Khan
menemuinya dan menyerahkan dua kitab bernama Kitab Jagat
Pusaka Dewa. Satu kitab asli tapi dalam keadaan hangus, satunya
salinan yang tidak dapat dibaca karena semua halamannya
kosong melompong.
”Deewana Khan keadaannya sangat mengerikan. Mukanya
berlumuran darah. Mata kanan hanya merupakan rongga besar
menggidikkan...”
”Itu pasti pekerjaan Resi Mirpur Patel," kata Resi Khandawa
Abitar pula. ”Kau menerangkan Deewana Khan menyerahkan dua
buah kitab. Dimana kau simpan dua kitab itu sekarang?”
Sebenarnya dari penglihatannya Resi Khandawa Abitar sudah tahu
kalau dua kitab itu berada pada pemuda gondrong yaitu Pendekar
212 Wiro Sableng. Dia bertanya sekedar untuk menguji kejujuran
sahabat-sahabat barunya itu.
Purnama menjawab. ”Deewana Khan berpesan agar dua
buah kitab diserahkan pada sahabat Wiro. Karena katanya hanya
Wiro yang sanggup memecahkan rahasia yang ada dalam kitab.”
”Benar Resi, dua buah kitab itu ada padaku. Karena aku
yakin dua kitab adalah milikmu maka aku akan menyerahkan
padamu.”
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan dua buah kitab
dimaksud lalu menyerahkan pada Resi Khandawa Abitar. Sang
Resi meletakkan dua buah kitab di atas dadanya. Wiro menjelaskan. ”Berdasarkan petunjuk dalam kitab yang hangus
aku dan Purnama mendatangi Gunung Bromo dan bertemu
dengan seorang manusia dari alam gaib mengaku bernama Suma
Mahendra. Dia banyak membantu memberi penjelasan. Menurut
Suma Mahendra ratusan tahun silam dia menitis masuk ke dalam
tubuh seorang bayi bernama Cakra Mentari...”
Belum selesai Wiro menutur, Resi Khandawa Abitar
mengangkat tangan kanan. ”Cakra Mentari! Itulah pemuda yang
menjadi budak ilmu sesat Resi Mirpur Patel. Bukankah dia yang
telah mencelakai dirimu?”
Wiro mengangguk.
”Bukankah dia juga yang memperkosa dan membunuh
sekian banyak gadis tak berdosa?”
Wiro mengangguk lagi.
”Jika kelak kau berhadapan dengan dirinya kuraslah tiga
ratus lima bunga tanjung yang ada dalam tubuhnya. Niscaya dia
tidak akan berdaya.”
”Suma Mahendra juga mengatakan hal itu,” berucap
Purnama. ”Namun sayang dia tidak menerangkan bagaimana cara
menguras bunga tanjung yang ada dalam tubuh Cakra Mentari.
Apakah Resi Khandawa mengetahui sesuatu?”
Resi Khandawa Abitar yang duduk bersila di lantai kuil
letakkan dua kitab di pangkuan lalu mengambil Tongkat Kuntala
Biru. Dia minta Wiro mengembangkan telapak tangan kanan lalu
ujung tongkat ditempelkan ke telapak yang terkembang. Sesaat
kemudian tongkat biru tampak bergetar. Satu aliran cahaya biru
menjalar dari ujung yang berkeluk ke ujung yang menempel di
telapak tangan Wiro. Ketika cahaya biru menyentuh telapak
tangan itu ujung tongkat Kuntala Biru mengepul dan terpental ke
atas setinggi setengah jengkal. Wiro sendiri merasakan tubuhnya
seperti dihenyak dibenamkan ke lantai kuil, keringat membanjir,
pakaiannya sampai kuyup. Pada bagian bawah pusarnya dimana
terdapat tanda putih bekas tempelan bunga tanjung terasa mendenyut sakit seperti ditusuk puluhan jarum. Sampai-sampai
rahangnya menggembung menahan sakit.
Resi Khandawa Abitar kerenyitkan kening. Dia membungkuk
memperhatikan telapak tangan Wiro. Samar-samar dia melihat
ada tulisan tiga angka di telapak tangan itu. Angka 212. Seperti
yang diriwayatkan, ketika Eyang Sinto Gendeng mewariskan ilmu
kesaktian pada Pendekar 212 di puncak Gunung Gede, nenek
sakti itu telah membuat jarahan angka 212 dengan jarum di dada
sang murid. Angka ini kemudian dilenyapkan oleh Ki Gede Tapa
Pamungkas karena menurut guru Sinto Gendeng ini tanda jarahan
tiga angka itu hanya akan lebih banyak mendatangkan mudarat
ketidakbaikan dari pada manfaat kebaikan. Musuh secara mudah
mengenali Wiro.
Selain angka 212 di dada, Eyang Sinto juga memasukkan
angka 212 ke dalam telapak tangan Wiro. Telapak tangan yang
mengandung racun itu bisa membunuh lawan dengan sekali
hantam saja. Ketika pertama kali turun gunung Wiro memang
sering mempergunakan ilmu kesaktian ini. Semua orang jahat
yang dihajarnya tewas dengan tanda angka 212 hitam gosong di
keningnya. Kalaupun orang yang dipukul tidak sampai mati
namun seumur hidup angka 212 di keningnya tidak bisa
dilenyapkan. Rimba persilatan di tanah Jawa geger. Banyak yang
berpendapat bahwa mati dengan tanda angka 212 di keningnya
bagi para penjahat sudah cukup pantas. Namun banyak pula yang
menganggap hal itu sebagai tindakan kekejaman. Selanjutnya
Wiro jarang mempergunakan ilmu pukulan ini karena selain
tidak mau meninggalkan tanda pamer diri, dia juga tidak mau
dicap sebagai pendekar muda yang sombong.
Melihat apa yang terjadi Resi Khandawa Abitar berkata.
”Ah … maafkan aku yang tidak tahu. Pintu masuk rupanya
sudah ada yang menjaga. Anak muda, mohon ganti tangan
kananmu dengan tangan kiri.”
***
TUJUH
WIRO garukkan dulu tangan kirinya ka kepala baru
diulurkan. Telapak tangan dikembang. Seperti tadi kembali Resi
Khandawa Abitar letakkan ujung tongkat Kuntala Biru di atas
telapak tangan kiri Pendekar 212. Cahaya biru mengalir lagi dari
gagang tongkat yang berkeluk sampai ke ujung tongkat dan
masuk ke dalam tangan Wiro. Kali ini tidak terjadi apa-apa malah
Wiro merasa ada hawa sejuk masuk ke dalam tubuhnya. Untuk
beberapa saat tubuh murid Sinto Gendeng ini dikerlapi cahaya
biru. Ketika kerlap cahaya biru lenyap, Wiro memperhatikan ada
keanehan dengan lima kuku jari tangan kirinya. Lima kuku itu
tampak berwarna biru muda dan kuning keputihan, tergantung
dari arah mana seseorang melihatnya.
”Anak muda, ketahuilah saat ini aku telah meminjamkan
ilmu kesaktian bernama Menguras Bahala Menyedot Petaka. Ilmu
ini hanya bisa dipergunakan satu kali saja. Kalau kau kesalahan
memakai, misal bukan ketika berhadapan dengan lawan lain dan
bukan Cakra Mentari, maka sewaktu kau bertarung melawan
Cakra Mentari kau tidak lagi memiliki ilmu itu dan seumur
hidupnya Cakra Mentari akan merajalela menebar kejahatan. ”Resi
Khandawa Abitar tarik tongkat saktinya kembali, diletakkan di
lantai di samping kanan. Lalu melanjutkan bicara. ”Wiro, bilamana
kau berhadapan dengan pemuda bernama Cakra Mentari itu,
apapun yang dilakukannya kau hanya tinggal mengangkat tangan
kiri dengan mengembangkan telapak tangan. Arahkan telapak
tanganmu ke bagian kepala. Maka tiga ratus lima bunga tanjung
yang ada dalam tubuhnya dan merupakan sebagian dari
kekuatannya akan tersedot keluar lewat ubun-ubun di batok
kepalanya. Ingat hal ini. Bunga tanjung akan keluar lewat ubun-
ubun di atas kepalanya. Bilamana bunga tanjung tidak keluar dari
ubun-ubun di kepala, misal keluar melalui mulut atau telinga, atau
dada dan bagian tubuh lainnya, maka orang yang menjadi
lawanmu itu sebenarnya bukanlah Cakra Mentari. Tapi bisa saja
jejadiannya....””Wah repot juga ya Resi!” si bocah berambut jabrik Naga
Kuning nyeletuk.
Resi Khandawa Abitar tersenyum. ”Satu hal lagi yang perlu
kau ketahui. Dari semua bunga itu hanya tiga ratus empat yang
jatuh luruh dan mengering ke tanah. Satu sisanya akan melayang
di udara, sampai dia menemui seseorang yang ketitipan bunga
tanjung yang mencelakai dirimu...”
Sampai di situ tiba-tiba Naga Kuning tertawa geli.
Gondoruwo Patah Hati cepat mencekal kuduk bocah ini. ”Anak
konyol! Jangan kau berani macam-macam! Apa yang ada di
otakmu! Pasti yang kotor-kotor!”
”Tidak apa,” ucap Resi Khandawa Abitar. ”Sobat kecil Naga
Kuning, boleh tahu apa yang membuat kau barusan tertawa geli?”
”Maafkan saya Resi,” jawab Naga Kuning. ”Waktu bertemu
orang bernama Suma Mahendara di kawah Gunung Bromo, orang
itu mengatakan bahwa untuk mengalahkan pemuda bernama
Cakra Mentari lebih dulu harus mengalahkan mahluk pelindung
yaitu mahluk tanpa wajah yang ternyata adalah Resi bernama
Mirpur Patel itu. Caranya dengan menghancurkan atau merampas
tongkat emasnya. Resi tadi telah melakukan hal itu.
Mengembalikan tongkat emas ke tempat asalnya...”
”Tak ada yang lucu dengan tongkat itu. Lalu apa yang
sampai membuatmu tertawa geli?” tanya Resi Khandawa pula.
”Memang bukan tongkat itu yang membuat saya geli. Tapi
ada hal yang lain,” jawab Naga Kuning.
”Gunung! Kau pasti hendak bicara yang bukan-bukan!”
bentak Gondoruwo Patah Hati kembali marah melihat tingkah dan
ucapan si bocah berambut jabrik yang sebenarnya adalah
kekasihnya sendiri.
”Nek, aku bicara kenyataan. Bukan mau usil atau kurang
ajar. Kau sendiri mendengar keterangan Suma Mahendra waktu di
kawah Gunung Bromo. Menurut orang dari alam gaib itu, bunga
tanjung yang dipakai untuk mencelakai sahabat kita Wiro konon
berada dalam kemaluan perempuan dari alam gaib yang pernah berusaha menolongnya. Resi Khandawa, karena ingat hal itu
membuat saya jadi tertawa geli... !”
Resi Khandawa sendiri akhirnya tidak dapat menahan tawa.
Setelah mengusap wajahnya yang kemerahan beberapa kali, dia
bertanya pada Wiro.
”Apakah kau ingat siapa perempuan dari alam gaib yang
telah menolongmu?”
Wiro menggeleng. ”Saat itu aku berada dalam keadaan
pingsan.”
”Tak jadi apa.” Ucap sang Resi. ”Satu bunga tanjung yang
keluar dari tubuh pemuda bernama Cakra Mentari yaitu bunga ke
tiga ratus lima akan membimbingmu menemukan perempuan itu.”
”Resi Khandawa,” kembali Naga Kuning bersuara. ”Kalau
sudah bertemu, lalu bagaimana caranya mengambil bunga
tanjung itu dari dalam anunya perempuan itu? Hik...hik..hik! Apa
harus dikorek pakai jari tangan atau pakai lidi atau....”
Naga Kuning tidak dapat meneruskan ucapannya karena
rambutnya yang jabrik keburu dijambak oleh Gondoruwo Patah
Hati yang sudah sangat geregetan lalu bocah ini dibembengnya
keluar dari dalam Kuil Bromo Agung.
Resi Khandawa, Resi Jantika dan Resi Aji Sumabarang
tampak senyum-senyum sementara Wiro garuk-garuk kepala
sedang Ratu Duyung dan Purnama pura-pura memandang ke
jurusan lain. Resi Jantika Lamantara dan Resi Aji Sumabarang
tundukkan kepala sambil mempermainkan kalung berbentuk
tasbih besar terbuat dari kayu.
”Resi Khandawa,” berkata Wiro. ”Aku rasa, walau terdengar
agak kurang ajar apa yang tadi ditanyakan Naga Kuning ada
benarnya. Kalau bunga tanjung yang mencelakai diriku ada di
dalam anunya perempuan alam gaib itu, siapapun akan kesulitan
mengambilnya. Karena menurut petunjuk lebih lanjut dari Suma
Mahendra bunga tanjung satu itu harus di tanam di tanah, di
bawah pohon tanjung, di antara dua akar yang tumbuh sejajar.”Resi Khandawa Abitar merenung sejurus. Akhirnya dia
berkata.
”Suma Mahendra tidak memberi tahu karena memang sulit
memberi petunjuk. Aku sendiri tidak dapat memberi tahu
bagaimana caranya. Tapi sementara waku berjalan mudah-
mudahan Dewa Agung akan memberi petunjuk padamu atau pada
salah seorang sahabat yang ada di sini. Bisa saja petunjuk itu di
dapat sahabat kecil bernama Naga Kuning tadi.”
Resi Khandawa senyum-senyum lalu letakkan ujung tongkat
saktinya di atas paha kiri Wiro dan berkata.
”Jika kau berhadapan dengan Cakra Mentari, kebenaran
harus ditegakkan. Namun harus selalu kau ingat. Di atas
kebenaran itu ada akal sehat yang bernama kebijaksanaan. Cakra
Mentari sebenarnya bukan manusia jahat. Dia ditipu, dijebak dan
tersesat lalu dijadikan alat oleh Resi Mirpur Patel alias insan tanpa
wajah. Dijadikan alat untuk mendapatkan ilmu kesaktian luar
biasa.”
”Kira-kira ilmu kesaktian apakah itu, Resi Khandawa?” tanya
Ratu Duyung yang untuk pertama kalinya bicara.
Resi Khandawa Abitar tatap wajah cantik bermata biru itu
sesaat. ”Sahabat bermata biru yang membekali batu ampuh
pusaka sakti dari dasar samudera... ” ucap sang Resi yang
membuat Ratu Duyung terkesiap karena memang saat itu dia
masih membekai Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru pinjaman
Nyi Roro Kidul. ”Saat ini Cakra Mentari memiliki satu ilmu pukulan
sakti bernama Tiga Cahaya Alam Gaib. Jika ilmu dikeluarkan maka
tiga cahaya akan memancar. Merah, biru dan hijau. Kehebatannya
hanya beberapa tingkat dibawah tongkat emas milik Resi Mirpur
Patel...”
”Kami sudah beberapa kail diserangnya dengan pukulan itu.
Ganas sekali...” Menerangkan Purnama.
”Ilmu kesaktian itu didapatnya dari Resi Mirpur Patel melalui
kitab sesat yang dibuat sang Resi. Kadar kesaktian dan kekuatan
yang ada pada ilmu pukulan yang kini dimiliki Cakra Mentari belum apa-apa.Tidak beda dengan sebuah biji buah kecil yang
ditanam di tanah. Kalau sudah tumbuh menjadi pohon besar dan
berbuah, Resi Mirpur Patel tinggal memetiknya. Inilah permulaan
dari satu bencana besar. Saat itu kadar kesaktian dan kekuatan
ilmu bisa melebih seratus kali kekuatan yang ada saat ini.
Rasanya tidak akan ada lawan yang bisa menandingi.”
Untuk beberapa saat ruang pendapa Kuil Bromo Agung
diselimuti kesunyian karena tak ada yang bicara.
Resi Khandawa menatap dua buah kitab yang ada di
pangkuannya. Kitab yang hangus diambil dengan tangan kanan,
diacungkan di atas kepala sambil mulut berkomat kamit membaca
doa. Lalu dia meniup ke arah kitab.
”Wusss!”
Serta merta Kitab Jagat Pusaka Dewa asli yang telah hangus
itu berubah jadi asap putih. Asap melayang berputar ke atas dan
akhirnya lenyap dari pemandangan. Saat itu juga di dalam Kuil
menebar bau harum setanggi.
Kini di pangkuan Resi Khandawa Abitar hanya tinggal salinan
asli Kitab Jagat Pusaka Dewa. Untuk beberapa lama sang Resi
tatap kitab itu. Lalu kitab diambil. Halaman kosong dibolak balik.
Mata kemudian dipejam. Begitu mata dibuka kitab diletakkan
kembali di atas pangkuan lalu sang Resi mengambil tongkat
Kuntala Biru yang tergeletak di samping kanannya. Tongkat sakti
diletakkan melintang di atas kitab. Resi Khandawa berpaling pada
dua Resi di kiri kanannya yaitu Resi Jantika Lamantara dan Resi
Aji Sumabarang.
”Resi berdua, bantu saya memanjatkan doa Mencapai
Kesempurnaan Melalui Kuasa Sang Pencipta.”
”Kami akan melakukan,” jawab dua Resi Kuil Bromo Agung
berbarengan.
Ketiga Resi lalu berdoa penuh khidmat sementara Wiro dan
yang lain-lainnya memperhatikan sambil bertanya-tanya apa
yang akan dilakukan Resi Khandawa Abitar. Apakah dia juga akan memusnahkan salinan Kitab Jagat Pusaka Dewa yang ada di
pangkuannya itu?
Sampai saat itu Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati
masih berada di luar Kuil.
Tiba-tiba tongkat Kuntala Biru bergetar. Satu cahaya hitam
berkiblat di wuwungan Kuil Bromo Agung, menembus atap, masuk
ke dalam batang tongkat lalu lenyap di dalam kitab.
Resi Khandawa Abitar hentikan berdoa, melepas nafas lega.
Buka kedua mata. Hal yang sama dilakukan oleh dua Resi di kiri
kanannya. Dengan hati-hati Resi Khandawa pindahkan tongkat
saktinya, kembali diletakkan di lantai di samping kanan. Lalu dia
ambil salinan Kitab Jagat Pusaka Dewa yang ada dipangkuan.
Halaman di bolak balik. Ternyata halaman yang tadi kosong kini
telah ada tulisannya, berwarna hitam. Pada sampul kitab yang
agak tebal tertulis besar ”Kitab Jagat Pusaka Dewa".
”Bagaimana mungkin...?” ucap Purnama dalam hati.
Resi Khandawa Abitar membolak balik sekali lagi kitab yang
dipegangnya itu lalu mendekapkan ke dada. Sepasang mata
menatap ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng
”Sahabat muda, saya akan menyerahkan kitab ini padamu..”
”Apa Resi ?” Murid Sinto Gendeng terkejut.
”Kitab Jagat Pusaka Dewa ini akan saya berikan padamu.
Bersediakah kau menerimanya?”
Wiro menggaruk kepala. Tersenyum. Lalu menjawab.
”Anu Resi…… Aku, aku tidak berani menerima kitab itu...”
jawab Wiro yang membuat Ratu Duyung dan Purnama serta dua
orang Resi tidak percaya.
”Wiro, di dalam kitab ini terdapat tiga ilmu kesaktian langka
yang tidak sembarang orang bisa menguasai. Aku sendiri hanya
memiliki satu dari tiga ilmu itu. Mengapa kau menolak
menerimanya?”
Wiro menggaruk kepala kembali.
”Mohon maafmu Resi Khandawa. Aku merasa budi Resi
terhadap kami sudah demikian besar. Kalau bukan Resi yang menghentikan topan itu, mungkin kami semua sudah jadi mayat
dibawah timbunan pasir. Kalau bukan Resi yang menyelamatkan
mungkin bangunan Kuil ini sudah sama rata dengan gurun pasir
Tengger. Aku sangat berterimakasih dengan niat Resi. Sekali lagi
mohon maafmu...”
Lama Resi Khandawa Abitar memandangi wajah Pendekar
212. Dia sendiri seperti tidak percaya bahwa si pemuda akan
menolak pemberian kitab itu.
”Segala budi besar itu hanya alasannya belaka...” ucap sang
Resi dalam hati. ”Alasan sebenarnya adalah dia tidak mau serakah
dalam memiliki ilmu kepandaian. Padahal....Ah, dia memang
seorang pendekar sejati.”
Resi Khandawa Abitar akhirnya tersenyum.
”Saat ini kau tidak mau menerima. Satu hari kelak mungkin
hatimu tergerak dan berubah pikiran. Jika itu terjadi maka
datanglah ke sini untuk mengambil kitab. Letakkan telapak
tanganmu di lantai Kuil ini, kerahkan tenaga dalam dan Kitab
Jagat Pusaka Dewa akan menyembul keluar dari tempat
penyimpanannya.”
Selesai berucap Resi Khandawa Abitar letakkan salah satu
ujung sudut kitab ke lantai Kuil yang terbuat dari batu pualam.
Lalu dia mengerahkan tenaga dalam.
”Seetttt!”
Kitab Jagat Pusaka Dewa lenyap dari pandangan mata,
amblas masuk ke dalam lantai Kuil. Bersamaan dengan itu, seperti
tadi udara di dalam Kuil Bromo Agung dipenuhi harum bau
setanggi dibakar.
”Para sahabat, saatnya saya harus pergi.” Resi Khandawa
Abitar ambil tongkatnya lalu berdiri.
Saat itu Juga Resi Jantika Lamantara dan Resi Aji
Sumabarang cepat-cepat berdiri.
”Resi Khandawa, kami akan sangat berbahagia bila Resi mau
menginap barang satu malam di Kuil Bromo Agung ini. Besok adalah hari Kasada, hari besar dan suci ummat Hindu di negeri ini.
Kami ingin Resi Khandawa mau merayakan bersama kami.”
Resi Khandawa kempit tongkat Kuntala Biru lalu pegang
bahu dua Resi di hadapannya.
”Aku akan berdoa bagi Resi serta seluruh ummat Hindu di
negeri ini.” Kata Resi Khandawa Abitar pula.
Tiba-tiba Wiro yang saat itu juga hendak bangkit berdiri
terduduk kembali di lantai Kuil.
Ratu Duyung mendekati. ”Ada apa?” tanya gadis bermata
biru ini.
”Resi Khandawa, jangan pergi dulu. Ada seseorang memberi
pesan padamu dari jauh...” Ucap Wiro. Saat itu murid Sinto
Gendeng ini mendengar satu suara mengiang di telinga kirinya.
Wiro mengagguk-angguk sambil menggaruk kepala. Matanya
melirik pada Ratu Duyung, lalu memperhatikan Resi Khandawa.
Setelah suara mengiang lenyap baru Wiro mampu bangkit berdiri.
”Ada apa?” tanya Resi Khandawa pula.
”Seorang sahabat berkirim pesan dari dasar samudera
selatan untuk Resi.”
Sepasang alis Ratu Duyung naik ke atas. Nyi Roro Kidul?
Pikir gadis cantik yang berasal dari samudera selatan itu.
”Siapa? Pesan apa?” Bertanya Resi Khandawa.
”Yang berpesan namanya Nyi Roro Manggut. Pesannya
begini. Jika Resi kembali ke negeri Resi, sejarak seribu tombak
sebelum sampai ke tempat kediaman Resi, Resi harus membuka
pakaian, memakainya kembali secara terbalik dan selempangnya
kalau sekarang dari bahu kiri ke bawah harap diganti dari bahu
kanan ke bawah.”
Wajah Resi Khandawa Abitar yang bertubuh tinggi besar itu
tampak berubah. Dia mengusap selempang kain biru yang jadi
pakaiannya.
”Sahabat muda, aku yakin kau tidak sedang bergurau.
Benar?” Sang Resi bertanya dengan pandangan mata tidak
berkesip.”Tidak Resi, aku tidak bergurau.”
”Ada seseorang yang ingin membuatku tersesat,
menghalangiku kembali pulang untuk selama-lamanya. Ada
seseorang menebar Bubuk Penyesat Mata Dan Rasa. Mirpur Patel!
Pasti dia. Kapan dia melakukan? Sebelum kusedot untuk datang
kehadapanku tadi?”
Resi Khandawa Abitar pegang bahu Pendekar 212 dan
berkata. ”Saya berterima kasih. Sangat berterima kasih. Pesan
sahabatmu yang bernama Nyi Roro Manggut itu akan saya
lakukan. Saya baru tahu kalau begitu cara menangkal ilmu yang
menyesatkan itu. Sampaikan salam dan terima kasih saya pada
Nyi Roro Manggut. Suatu ketika saya ingin berkenalan dan
bertemu dengannya. Para sahabat, jaga diri kalian baik-baik. Saya
pergi sekarang...”
Gema suara sang Resi belum lenyap namun orangnya sudah
tidak kelihatan lagi. Di luar Kuil Naga Kuning merasa ada
seseorang menepuk bahunya. Bocah ini berpaling. Dia hanya
melihat bayangan biru berkelebat. Bocah ini melirik pada
Gondoruwo Patah Hati yang mengenakan pakaian jubah biru.
”Nek, kau barusan mencolekku ya?” Naga Kuning bertanya.
”lhh....Apa enaknya mencolokmu?” Jawab si nenek
menyemprot.
”Enak mungkin tidak. Tapi mungkin kau ingat-ingat peristiwa
tadi waktu kita saling tindih. Jangan-jangan, mungkin saja kau
jadi kepingin ditindih lagi.
”Hlk.hlk!”
”Bocah edan! Kau ini tidak kapok-kapoknya bicara jorok !”
Gondoruwo Patah Hati hendak menjewer telinga Naga Kuning.
Tapi anak ini cepat-cepat kabur masuk ke dalam Kuli. Saat itulah
dia baru tahu kalau Resi Khandawa Abitar yang berpakaian
selempang kain biru tak ada lagi di tempat itu. Dia berpaling pada
si nenek yang mengikuti di sebelah belakang.
”Nek, aku sudah tahu siapa tadi mencolekku,” kata Naga
Kuning pula.”Siapa?” tanya Gondoruwo Patah Hati.
”Ya sampean!” jawab si bocah lalu tertawa cekikikan sambil
lari menjauh.
***
DELAPAN
SETELAH dirinya dilempar ke udara oleh Resi Khandawa
Abitar, Resi Mirpur Patel untuk beberapa lama masih melayang
beputar-putar di utara Gurun Pasir Tengger. Ketika dia melihat
tongkat emas Pusaka Langit Ketiga miliknya melesat di udara,
Resi Mirpur Patel berusaha menyambar tongkat sakti itu. Namun
kekuatan ilmu Seribu Titik Tanpa Daya yang diterapkan Resi
Khandawa Abitar atas dirinya masih berpengaruh besar sehingga
sekujur tubuh belum mampu bergerak leluasa. Selain itu akibat
tusukan Pedang Bulan Sabit yang dilakukan Resi Khandawa Abitar
di keningnya membuat tubuhnya terasa panas tidak beda seperti
bara menyala! Suara jeritan menggidikkan tidak berhenti
menyembur keluar dari mulut sang Resi. Sekali sekali disertai
kutuk serapah.
”Jahanam Resi Khandawa! Aku tidak akan pernah mati! Kau
tidak akan pernah menamatkan riwayatku! Tunggu
pembalasanku!”
Menjelang tengah hari kekuatan yang membungkus
tubuhnya sehingga sulit bergerak mulai lenyap. Namun sebaliknya
hawa panas yang menyelubungi dirinya semakin menjadi-jadi.
Asap mengepul dari ubun-ubun, mata, telinga, hidung dan mulut.
Resi Mirpur Patel yang sosoknya kini tidak berdaging dan nyaris
menyerupai jerangkong melesat ke arah barat sambil terus
menjerit-jerit.
”Cakra Mentari! Dimana kau?! Cakra Mentari! Dimana kau?!”
teriak sang Resi berulang kali. Kehilangan ilmu kesaktian
ditambah hawa panas yang membara membuat Mirpur Patel kini
tidak punya kemampuan penuh secara cepat dan tepat untuk
menerapkan Ilmu penjajag yang selama ini dimilikinya. Baru
menjelang petang setelah mengendus udara berulang kali dia
berhasil memperkirakan dimana beradanya pemuda bernama
Cakra Mentari. Yaitu di satu tempat di selatan Gunung Merapi di
pertengahan pulau Jawa.”Aku harus keluar dari tubuhku sendiri. Aku harus lenyap
dari jazad celaka membara ini! Aku harus dapat mencapai pemuda
itu sebelum matahari terbit.”
Mirpur Patel yang juga dikenal sebagal insan atau mahluk
tanpa wajah melesat ke arah barat. Gerakannya lamban. Bukan
saja karena dia tidak mampu mengerahkan ilmu kesaktian, tapi
juga sebagal akibat dari kehilangan tongkat emas sakti. Hawa
panas yang memuncak membuat tubuhnya berpijar-pijar dan
mengeluarkan suara meletup-letup.
***
PEMBACA masih ingat gadis cantik bernama Banjaratih di
Kuto Gede? Yang selamat dari perbuatan jahat Cakra Mentari
setelah ditolong oleh Liris Biru,walau akhirnya Liris Biru sendiri
menemui ajal di tangan Cakra Mentari. (Baca serial Wiro Sableng
sebelumnya berjudul ”Sang Pemikat”).
Setelah kehilangan jejak gadis cantik berpakaian kuning
bertubuh luar bisa mempesona mengaku bernama Dewi,
sementara gairah nafsu bejatnya terus menyala berkobar, Cakra
Mentari kembali ingat pada Banjaratih.
”Rumah kediaman gadis itu pasti masih dikawal ketat. Aku
harus berlaku nekad. Aku harus dapatkan gadis itu secara mulus.
Malam ini juga!” Cakra Mentari membanding-bandingkan
kecantikan dan kebagusan tubuh Banjaratih dengan gadis
berpakaian kuning bernama Dewi.
”Edan! Aku tergila-gila pada dua gadis itu! Aku harus
mendapatkan keduanya! Tapi jika aku berhasil mengagahi mereka
berarti aku melebihi hitungan! Menurut petunjuk dalam kitab
Jagat Pusaka Alam Gaib aku harus meniduri empat puluh satu
gadis. Aku sudah mendapatkan empat puluh gadis. Masih bersisa
satu. Yang ada justru dua orang!” Cakra Mentari senyum-senyum
sendiri. ”Perduli setan! Agaknya sudah jadi rejekiku. Banjaratih
dan Dewi harus aku dapatkan! Banjaratih lebih dulu.”Keberadaannya sudah ketahuan. Dia pasti masih berada di sana.
Aku harus kembali ke Kuto Gede sebelum matahari terbit.”
Seperti diceritakan dalam serial sebelumnya (Sang Pemikat)
setelah selamat dari tangan Cakra Mentari dan setelah Setan
Ngompol meninggalkan Kuto Gede untuk menyemayamkan
Janazah Liris Biru di Cadas Biru, para tokoh di Kuto Gede yang
malam itu ikut mengawal dan bantu menyelamatkan Banjaratih
saling membagi tugas. Ki Lawang Bakar guru silat terkenal di Kuto
Gede bersama beberapa orang menyusul Setan Ngompol ke
Cadas Biru untuk bantu mengurus penguburan Jenazah Liris Biru.
Ki Bayu Sleman yang Kepala Desa Kuto Gede pergi ke Kotaraja
untuk minta tambahan pasukan. Sementara Ki Bening Surah,
pemilik rumah makan di Kuto Gede mengatur tempat
persembunyian rahasia yang baru bagi Banjaratih bersama
ibunya, Ni Suwita. Semua tugas dilakukan maiam itu juga.
Ki Bening Surah memilih rumah makannya untuk menjadi
tempat mengungsi menyelamatkan Banjaratih dan ibunya.
Karena rumah makan itu siang malam selalu ramai pengunjung
maka akan lebih mudah mengamankan si gadis bersama ibunya.
Dua perempuan ini dibawa dengan gerobak besar, ditutupi
dengan tikar. Di atas tikar diletakkan jerami kering. Ki Bening
Surah menunggang kuda di sebelah depan, di kiri kanan dan
belakang gerobak mengiring masing-masing dua orang bersenjata
golok. Malangnya, ketika gerobak meluncur ke arah tenggara Kuto
Gede dimana terletak rumah makan sekaligus kediaman Ki Bening
Surah, pemuda berpakaian serba hitam berikat kepala kain merah
Cakra Mentari memasuki Kuto Gede dari arah berlawanan. Ketika
telinganya menangkap suara deru roda gerobak yang dipacu
kencang pemuda ini segera melompat ke atas pohon di tepi jalan.
Tak lama menunggu dia melihat Ki Bening Surah menunggang
kuda di sebelah depan. Di belakangnya mengikuti gerobak
membawa tumpukan jerami kering.
Otak cerdik Cakra Mentari segera saja bekerja. ”Kalau cuma
membawa jerami kering mengapa dikawal begitu banyak orang?Hemm...” Cakra Mentari bergumam. Menyeringai sambil usap-
usap janggut tipisnya. Begitu rombongan lewat dia cepat
melayang turun. Langsung mendarat di punggung kuda sebelah
belakang salah seorang pengawal paling akhir. Sekali memelintir
tulang leher pengawal remuk patah. Si pengawal kemudian di
lempar ke tepi jalan setelah lebih dulu melucuti goloknya. Apa
yang terjadi rupanya terlihat oleh seorang pengawal di samping
kereta sebelah kiri. Dia hendak berteriak. Namun golok yang
dilemparkan Cakra Mentari menancap tepat di dada arah Jantung
membuatnya langsung roboh bergelimang darah. Kuda yang
ditunggangi meringkik keras. Kehebohan tidak dapat dihindari.
Cakra Mentari menggebrak kuda tunggangannya sejarak dua
tombak ke depan lalu melompat ke atas gerobak. Kusir gerobak,
seorang lelaki tinggi besar berkepala botak di hantam dengan
tendangan hingga terpental jatuh dari gerobak, tergelimpang
pingsan di tanah dengan lima tulang iga patah!
Ketika menyaksikan apa yang terjadi dan melihat pemuda
berpakaian serba hitam kejut Ki Bening Surah bukan alang
kepalang.
”Pemuda terkutuk Cakra Mentari! Dia berani kembali!”
Pemilik rumah makan yang punya kepandaian silat lumayan tinggi
ini cabut golok di pinggang sambil berteriak memerintahkan
semua orang yang ada di situ naik ke atas gerobak menyerbu
Cakra Mentari. Dia sendiri telah lebih dulu memepet gerobak dan
menyerang Cakra Mentari yang kini memegang kendali kuda
hitam penarik gerobak. Golok besar di tangan kanan Ki Bening
Surah berkesiuran menyambar ke pinggang kiri Cakra Mentari.
Bagaimanapun semua orang itu walau berjumlah lebih
banyak tidak ada artinya dengan kehebatan Cakra Mentari yang
hanya seorang diri. Ki Bening Surah roboh lebih dulu dengan
kepala pecah kena keprukan tangan kiri Cakra Mentari setelah
gagal membabat pinggang si pemuda. Lalu dua orang lagi
menjerit, terbanting roboh ke tanah jalanan. Salah seorang malah tergilas roda gerobak lehernya hingga putus nyawanya saat itu
juga!
Melihat apa yang terjadi nyali orang-orang yang masih hidup
leleh sudah. Tidak pikir panjang lagi, tidak perduli dengan tugas
yang harus mereka laksanakan, semuanya menggebrak kuda
masing-masing lalu kabur melarikan diri. Yang penting adalah
menyelamatkan nyawa lebih dulu!
Cakra Mentari memacu kuda hitam penarik gerobak menuju
luar desa desa Kuto Gede sebelah barat hingga akhirnya sampai
di satu daerah pemakaman tua yang tak terpelihara, sunyi dan
gelap. Dia melompat ke bagian belakang gerobak. Membongkar
tumpukan jerami kering. Menemukan sebuah tikar daun pandan.
Ketika tikar disingkap dua perempuan yang berbaring di lantai
gerobak sama-sama berpekikan. Ternyata memang Banjaratih
dan Ni Suwita disembunyikan di dalam gerobak itu. Ibu dan anak
ini ketakutan setengah mati. Terus menjerit-jerit sebelum
diancam.
”Kalau kalian berdua masih terus menjerit, aku bunuh saat
Ini juga!” Walau mengancam namun suara Cakra Mentari
terdengar lembut. Golok berdarah dlmelintangkan di depan wajah
ibu dan anak itu hingga Banjaratih dan Ni Suwita ini menggigil
pucat ketakutan setengah mati.
”Dengar....” ucap Ni Suwita dengan suara bergetar.
”Kau boleh bunuh aku, tapi jangan apa-apakan anakku.”
”Aku tidak akan membunuh anakmu, aku hanya ingin
menikmati tubuhnya!” Semua kata-kata itu diucapkan Cakra
Mentari dengan suara lembut dan sambil tersenyum.
Sepasang mata Ni Suwita terbeliak. Banjaratih sendiri
menjerit keras. Ni Suwita berkata. ”Demi Gusti Allah! Jangan
lakukan itu! Aku bersedia menyerahkan diriku padamu asal
lepaskan anakku! Ratih! Lekas turun dari gerobak! Lari!”
Banjaratih segera melompat bangkit. Kaki kirinya sempat
melewati dinding gerobak ketika dia berusaha melarikan diri Namun Cakra Mentari menarik gadis ini hingga tubuhnya terkapar
dan jatuh kembali di lantai gerobak.
Sepasang mata Cakra Mentari berkilat-kilat menatap wajah
dan tubuh Ni Suwita. Walau sudah separuh baya ternyata wajah
dan kemolekan tubuh sang Ibu tidak kalah jauh dari puterinya.
”Kau betulan mau menyerahkan diri padaku ?” tanya Cakra
Mentari sambil keluarkan patung Kamasutra dari dalam sebuah
kantong kain hitam dari balik pakaian.
”Asal kau bersumpah mau membebaskan anakku. Biarkan
Banjaratih meninggalkan tempat ini...”
Cakra Mentari tersenyum. ”Anakmu akan kubebaskan. Tapi
kalian berdua lihat dulu patung ini. Bukankah patung dua orang
ini sangat indah?”
”Patung terkutuk!” teriak Banjaratih yang telah mendengar
cerita tentang patung Kamasutra itu. Namun terlambat. Ni Suwita
telah keburu melihat ke arah patung batu yang memancarkan
cahaya merah redup. Banjaratih sendiri walau mengingatkan sang
ibu tapi tak urung sempat pula melihat ke arah patung. Dua orang
perempuan ini langsung saja masuk ke dalam perangkap bejat
Patung Kamasutra. Mereka melihat bagaimana dua patung
sepasang lelaki gagah dan perempuan muda cantik berubah
membesar, hidup seperti manusia sungguhan, bergerak menari-
nari sambil menanggalkan pakaian satu persatu. Dan ternyata
wajah patung perempuan itu adalah wajah mereka sendiri.
Sedang yang lelaki menyerupai wajah dan sosok pemuda
berpakaian serba hitam. Ni Suwita yang telah lama menjanda
merasa sekujur tubuhnya bergetar menggigil seperti diserang
demam panas dingin. Keadaan Banjaratih tidak berbeda. Ketika
Cakra Mentari menempelkan sekuntum bunga tanjung dikening
mereka, ibu dan anak ini tidak sadar diri lagi. Keduanya
menanggalkan pakaian masing-masing lalu sama-sama bergayut
memeluki tubuh Cakra Mentari penuh gairah. Bola mata
membesar, nafas mendesah, darah memanas, terbakar oleh nafsu
bejat yang mereka sendiri sebenarnya tidak menyadari.
Di atas pekuburan langit hitam semakin kelam ketika awan
gelap menutupi. Angin bersiur lebih kencang dan tak lama
kemudian hujan turun rintik-rintik. Suasana malam dan turunnya
hujan seolah meratapi malapetaka yang menimpa ibu dan anak
yang kini telah menjadi mayat. Bibir berwarna kebiruan, kembang
tanjung menempel di kening.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada satu benda putih
melesat di udara. Cakra Mentari yang tengah mengenakan
pakaian dan bersiap-siap tinggalkan tempat itu berteriak kaget.
Benda putih yang melayang di kegelapan malam menukik ke bumi
dan masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari. Saat itu juga tubuh
pemuda yang masih bertelanjang bulat ini bergetar hebat oleh
satu hawa panas yang seperti hendak melelehkan tubuhnya mulai
dari batok kepala sampai ke telapak kaki.
Lalu luar biasanya Cakra Mentari mendengar satu suara
berucap dari dalam tubuhnya sendiri!
”Anak manusia bernama Cakra Mentari! Aku menitipkan
nyawaku di dalam tubuhmu!”
***
SEMBILAN
CAKRA MENTARI kaget bukan main. Namun pemuda ini
tetap tenang. Setelah mengenakan pakaian dia segera tinggalkan
kawasan pekuburan. Mayat Banjaratih dan Ni Suwita sama sekali
tidak diperdulikannya.
”Cakra Mentari, aku belum selesai bicara! Kau mau
kemana?!” Suara di dalam tubuh si pemuda bertanya.
”Mahluk tumpangan! Kau menitipkan nyawa dalam tubuhku!
Berarti aku yang menguasai nyawamu! Kemana aku pergi kau
tidak layak bertanya apa lagi mengatur!”
Yang disebut mahluk tumpangan si penitip nyawa
perdengarkan suara tertawa.
”Cakra Mentari, jangan bicara sombong! Aku masih tetap
penguasa yang mengatur diri dan jalan hidupmu! Kau tetap harus
tunduk padaku!”
”Hebat! Memangnya kau siapa?!”
”Aku Resi Mirpur Patel. Mahluk yang kau kenal tidak memiliki
wajah! Aku yang memberikan Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib
padamu! Aku yang menyuruhmu bersamadi di pohon tanjung di
Gurun Tengger! Aku yang memberikan ilmu Tiga Cahaya Alam
Gaib padamu! Apakah kau masih hendak bicara sombong? Urat
pusarmu di sebelah dalam ada di ujung tanganku. Sekali aku
piintir nyawamu akan melayang ke langit ketujuh!”
Cakra Mentari hentikan lari saking kagetnya. Dia
membungkuk sedikit menyatakan hormat lalu bertanya.
”Apa yang terjadi? Mengapa kau sampai berkeadaan seperti
ini? Kehadiranmu dalam tubuhku membuat aku merasa
kepanasan.”
”Seorang Resi sakti dari India datang menghakimi diriku.Tapi
itu bukan urusanmu dan tidak perlu aku ceritakan lebih rinci.
Justru kau yang ada urusan denganku! Kau telah melanggar apa
yang telah ditetapkan dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib.”
”Hal apa yang telah aku langgar?” tanya Cakra Mentari
walau dia sudah bisa menduga-duga sendiri.
”Dalam kitab ditetapkan kau harus merusak kehormatan
dan membunuh empat puluh satu orang gadis. Malam ini kau
memperkosa dan membunuh dua orang. Walau yang satu bukan
gadis lagi namun jumlah yang diatur telah kau langgar. Kau
memperkosa dan membunuh empat puluh dua perempuan!”
”Resi, menurutku jika aku mampu melakukan apa yang
melebihi ketetapan, bukankah itu satu hal yang harus mendapat
pujian?!”
”Jangan berpikir tolol Cakra Mentari! Ketetapan adalah
ketetapan...” Dalam hati sang mahluk tumpangan berpikir.
”Manusia satu ini mulai bicara dan bersikap tidak menyenangkan
bahkan seperti membangkang. Aku harus hati-hati.”
”Resi Mirpur. aku malah masih menginginkan satu gadis
lagi,” ucap Cakra Mentari pula.
”Apa?! Pantangan telah dilanggar. Bersiaplah kau
menghadapi malapetaka....”
Cakra Mentari tersenyum.
”Kau atasan pelindung diriku. Kau menitipkan nyawa di
dalam tubuhku berarti kau membutuhkan aku! Mengapa kau
menginginkan aku celaka? Resi Mirpur Patel kalau aku celaka
karena ulahmu, kau akan menerima getahnya. Kau tidak akan
dapat mengambil alih ilmu kesaktian yang ada dalam diriku.”
”Pantangan telah kau langgar. Mana mungkin kau masih
mengharapkan ilmu kesaktian yang kau samadikan selama tiga
ratus lima hari akan berada dalam dirimu?”
”Resi Mirpur Patel, terus terang aku tidak pernah
menginginkan semua ilmu kesaktian itu. Kau telah memperalatku.
Kau menjadikan diriku sebagai mahluk perantara untuk
mendapatkan Ilmu Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib yang punya
bobot kekuatan seratus kali dari yang aku miliki sekarang!”
Suara di dalam tubuh Cakra Mentari untuk beberapa lama
tidak menjawab. Tak selang berapa lama baru terdengar kata-
katanya penuh dusta. ”Bagaimana kau bisa menduga seperti itu?
Ilmu yang kau dapat kelak akan menjadi milikmu untuk selama lamanya. Karena aku tidak mungkin kembali ke alamku seperti
semula.”
”Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib mengajarkan agar aku
melupakan masa lalu. Namun kitab itu tidak mengajarkan aku
untuk mempelajari hal yang akan datang. Masa depanku kabur
dan samar. Resi Mirpur, aku tidak tahu kebenaran ucapanmu.
Waktu kelak yang akan membuktikan.”
”Jahanam kurang ajar! Setan apa yang masuk ke dalam
benak dan tubuh pemuda ini?!” ucap Mirpur Patel, mahluk si
penitip nyawa dalam hati. Dia merasa sangat kawatir. Lalu dia
keluarkan suara.
”Cakra Mentari, kau manusia cerdik. Tapi jangan pergunakan
kecerdikan mencelakai diri sendiri. Apalagi mencelakai diriku.”
”Aku tidak punya maksud seperti itu. Namun………”
Tiba-tiba Cakra Mentari menjerit keras. Perutnya di arah
pusar laksana dipendam dengan bara menyala! Tubuhnya sampai
jatuh terduduk menahan sakit dan hawa panas luar biasa.
”Kau saksikan dan kau rasakan sendiri Cakra Mentari. Aku
masih menguasai dirimu. Jangan lagi berbuat yang aku tidak
suka...”
”Mahluk dalam tubuhku. Siapapun kau adanya selanjutnya
aku akan berlaku patuh. Kecuali satu hal.”
”Apa ?”
”Aku tetap menginginkan gadis cantik bernama Dewi yang
telah amat sangat memikatku.”
”Berarti kau memperkosa dan membunuh empat puluh tiga
orang perempuan.”
”Betul. Apa bedanya empat puluh satu dengan empat puluh
tiga? Aku justru yakin. Jumlah yang lebih banyak akan lebih
memperhebat bobot iimu kesaktian yang akan kudapat”
”Cakra Mentari. Dengar baik-baik. Aku punya firasat. Ada
beberapa orang tokoh silat yang akan mendatangimu. Mereka
serombongan datang dari Gurun Pasir Tengger. Mereka rata-rata
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka akan meminta pertanggungjawabanmu atas kejahatan yang telah kau lakukan
selama ini. Memperkosa dan membunuh puluhan gadis...”
”Siapapun mereka boleh saja datang menemuiku. Mereka
datang untuk minta mati....”
”Itu ucapan yang ingin aku dengar!” kata mahluk dalam diri
Cakra Mentari memuji. ”Namun saat ini kau harus segera ikut aku
ke puncak Gunung Mahameru. Disana aku akan membaitmu
untuk mendapatkan ilmu kesaktian Tiga Cahaya Alam Gaib yang
maha dahsyat”
”Resi, kalau kau mau membaitku, disinipun bisa. Mengapa
jauh-jauh ke Gunung Mahameru segala? Lagi pula tadi aku sudah
mengatakan bahwa aku harus mencari dan mendapatkan gadis
bernama Dewi itu lebih dulu. Kalau kau suka, kau juga boleh
mengambil bagian.”
”Cakra Mentari, apa aku harus menghajarmu dengan
memuntir urat pusarmu seperti tadi?!” mengancam mahluk
tumpangan si penitip nyawa walau ucapan Si pemuda membuat
dadanya bergetar.
”Resi, saat ini matipun aku tidak takut,” jawab Cakra Mentari
yang benar-benar kini memiliki kepribadian aneh. Mungkin karena
begitu tergila-gila pada Dewi?
Mahluk dalam tubuh Cakra Mentari terpaksa bersabar
mengurut dada. Namun dia sudah menaruh firasat akan terjadi
hal yang tidak diharapkan akibat perbuatan si pemuda yang
kelebihan memperkosa dan membunuh perempuan, apa lagi tidak
semua korban masih gadis. Kalau saja dia mampu keluar dari
tubuh yang menjadi tumpangan nyawanya itu sudah dari tadi-tadi
dilakukan. Namun begitu keadaannya. Sekali masuk menitipkan
nyawa tidak mungkin keluar lagi!
”Celaka, aku telah kesalahan memilih raga. Kalau begini
jadinya aku harus melakukan tindakan penangkal agar bisa tetap
mendapatkan ilmu dahsyat itu. Aku harus menghancurkan
kemaluannya pada saat dia hendak memperkosa gadis yang ke
empat puluh tiga itu!”Cakra, kau harus berlaku hati-hati. Orang-orang yang
hendak menghadangmu itu telah bertemu dengan Resi Khandawa
Abitar. Resi tertua dan Resi paling sakti di India. Aku kawatir Resi
keparat itu telah mengatakan banyak hal tentang dirimu. Dia juga
yang telah membuat diriku tak karuan seperti ini...”
”Resi Mirpur! Aku sekarang memiliki dua nyawa. Lalu apa
yang harus ditakutkan?”
”Aku percaya padamu. Aku ingin beristirahat barang
beberapa ketika. Sudah ratusan hari aku tak pernah tidur.”
Tak lama kemudian di dalam tubuh Cakra Mentari terdengar
suara orang mengorok. Bersamaan dengan itu hawa panas yang
terasa sejak tadi menyelubungi dirinya kini jauh berkurang.
Di timur langit mulai tampak terang tanda fajar telah
menyingsing.
”Dewi, dimana kau...?” ucap Cakra Mentari dalam hati.
Gairahnya kembali berkobar begitu dia ingat lagi gadis cantik
berpakaian kuning berdada montok putih bertubuh molek itu.
Sambil berjalan pemuda Ini memutar otak. Tiba-tiba dia hentikan
langkah. ”Dia menyukai Pangeran yang tinggal di pinggiran
Kotaraja. Bukan mustahil dia akan muncul di tempat kediaman
Pangeran itu.”
Cakra Mentari menyeringai. ”Pangeran, kau boleh bermimpi
seumur hidup mendapatkan Dewi. Karena aku yang akan
mendurinya lebih dulu. Kalau kau suka silahkan bermain-main
dengan mayatnya. Ha...ha...ha.”
***
SEPULUH
KETIKA malam keesokannya Cakra Mentari mendatangi
rumah kediaman Pangeran Aryo Dipasena di pinggiran Kotaraja,
ternyata sudah ada orang lain mendekam di satu tempat
tersembunyi, di balik kerapatan pohon bambu di tembok halaman
sebelah timur.
”Aku tidak dapat melihat jelas. Tapi rasa-rasanya aku pernah
melihat orang ini. Bukankah dia salah seorang Kepala Pengawal
dari Kotaraja. Yang waktu terjadi bentrokan antara aku dengan
Pangeran itu tempo hari juga berada di tempat ini? Apa yang
dilakukannya? Memata-matai sang putera Raja?”
Orang yang mendekam di balik kegelapan pohon bambu itu
memang adalah Ki Rorot Keminting, salah satu dari sekian banyak
Kepala Pasukan di Kotaraja. Sejak dia melapor kepada Sri Baginda
tentang peristiwa di tempat kediaman Pangeran Aryo Dipasena,
Raja telah memerintahkan Kepaia Pengawal itu untuk terus
menyelidik dan mematai-matai gerak-gerik puteranya. Jika
memang Pangeran Aryo telah mempunyai seorang kekasih,
seorang gadis cantik jelita, mengapa bersembunyi diri tidak mau
memberi tahu sang ayah? Lagi pula hal seperti itu bukanlah sifat
Pangeran Aryo. Selama ini memang banyak para gadis cantik dari
berbagai tingkat dan kalangan yang tertarik namun sebegitu jauh
Pangeran Aryo Dipasena belum menjatuhkan pilihan.
Setelah hampir semalaman suntuk berjaga-jaga akhirnya
orang yang ditunggu-tunggu Cakra Mentari dan Ki Rorot
Keminting muncul juga. Sewaktu di langit awan kelabu bergerak
menutupi bulan setengah lingkaran tiba-tiba berkolobat satu
bayangan kuning. Laksana seekor burung b«sar tapi jinak orang
ini jejakkan kaki di wuwungan rumah kediaman Pangeran Aryo
tanpa mengeluarkan suara, pertanda dia mengusai ilmu
meringankan tubuh yang tinggi.
”Dewi Pemikat....Ah. akhirnya kutemui juga dirimu.” Kata
Cakra Mentari penuh gembira. Darah di tubuhnya langsung mengalir cepat dan panas. D ddalam dirinya terdengar suara
mahluk tumpangan penitip nyawa Mirpur Patel berucap.
”Jadi ini gadis bernama Dewi yang telah membuatmu
tergila-gila? Ah sungguh cantik sekali. Bentuk auratnya begitu
mempesona. Harum tubuhnya tercium sampai kesini...”
Cakra Mentari tidak menjawab. Dia merasa ada tambahan
hawa panas di dalam tubuhnya. Hawa panas dari rasa gairah
yang memancar dari tubuh tumpangan Resi Mirpur Patel!
Cakra Mentari terus mengawasi gerak gerik si baju kuning di
atas atap sambil sesekali melirik ke arah rumpunan pohon bambu
dimana Ki Rorot Keminting berada.
Di atas atap, gadis cantik berpakaian kuning dengan
potongan dada sangat rendah hingga menyibakkan sepasang
payudara putih dan besar berucap sendirian.
”Heran, mengapa aku tidak bisa melupakan Pangeran ini.
Setiap aku mengingat dirinya, rasa gatal dan hawa panas semakin
menjadi-jadi di bagian bawah perutku. Ah, Pangeran malam ini
biar aku mengantar diri dan berserah tubuh padamu. Aku yakin
kaupun suka padaku....”
Sementara itu dari dalam tubuh si pemuda yang menjadi
tumpangan jazad dan nyawa Resi Mirpur Patel kembali bersuara.
”Kau tunggu apa lagi? Sergap gadis itu sekarang juga, bawa
ke tempat sunyi dan lakukan apa yang harus kau lakukan. Setelah
itu aku akan membaitmu dan kau akan memiliki ilmu kesaktian
tak ada tandingannnyadi dunia ini.”
”Resi Mirpur Patel, aku tahu apa yang harus aku kerjakan.
Harap kau tidak terlalu banyak bersuara” Cakra Mentari merasa
kesal. Dia melirik lagi ke arah pohon bambu. Ketika dia berpaling
kembali ke arah rumah, sosok gadis berbaju kuning di atas atap
telah lenyap.
”Dia pasti telah masuk ke dalam rumah lewat atap...”
membatin Cakra Mentari. Pemuda ini merasa kesal karena
mahluk tumpangan di dalam tubuh membuyarkan perhatiannya ”Kesempatan pertama telah lewat. Kini agaknya aku harus
membunuh Pangeran itu untuk mendapatkan Dewi...”
Cakra Mentari siap keluar dari tampat persembunyian.
Namun gerakannya tertahan. Ada seekor burung putih melayang
di udara dan hinggap di cabang pohon besar dekat kolam mandi.
Bersamaan dengan itu dari balik rerumpunan pohon bambu Ki
Rorot Keminting si kepala pengawal keluar dan melangkah cepat
ke arah pintu depan rumah kediaman Pangeran Aryo Dipasena.
Cakra Mentari mengerenyit melihat burung putih hitam yang
hinggap di cabang pohon. Seperti diketahui burung berjambul
hitam ini dulunya adalah peliharaan si pemuda dan diberi nama
Jambul Ireng. Namun ketersesatannya dalam mengikuti ilmu yang
diajarkan Mirpur Patel, dan sebagaimana tertera dalam Kitab
Jagat Pusaka Alam Gaib maka Cakra Mentari tidak pemah ingat
lagi segala sesuatu di masa silamnya. Jangankan burung. Bahkan
dia tidak mengenal dirinya sendiri termasuk tidak ingat lagi akan
kedua orang tuanya serta dari mana dia berasal.
Cakra Mentari tidak menunggu lebih lama. Dia berkelebat ke
arah depan rumah.Tapi lagi-lagi terpaksa menahan langkah. Di
pintu depan rumah dia melihat Kepala Pengawal Ki Rorot
Keminting berdiri siap hendak mengetuk pintu.
”Manusia satu ini membuang-buang waktuku saja !” kata
Cakra Mentari kesal. Lima jari tangan kanan dijentikkan ke depan.
Lima larik cahaya hijau melesat ini adalah bagian dari Ilmu Tiga
Cahaya Alam Gaib yang hanya mengeluarkan satu cahaya, disebut
Cahaya Hijau Alam Gaib.
Walau Ki Rorot Keminting melihat serangan berupa cahaya
benderang hijau yang datang kearahnya namun Kepala Pengawal
ini tidak cukup cepat untuk berkelit. Cahaya hijau menyambar
tengkuk Ki Rorot Keminting. Saat itu juga tubuhnya terbanting ke
pintu, tersungkur ke lantai, tenggelam dalam sinar hijau
mengepulkan asap, meletup dan tewas dengan tubuh hangus
berwarna hijau.DI DALAM rumah. Pangeran Aryo Dipasena tak percaya akan
apa yang terjadi. Ketika membuka mata dari ketetapan tidur dia
dapatkan gadis cantik yang diberinya nama Dewi Pemikat telah
berada di atasnya, menindih tubuhnya. Sang Pangeran seperti
tidak percaya.
”Dewi, Dewi Pemikat...? Benar ini dirimu?”
Yang disapa tersenyum, menggeser tubuh panasnya lebih ke
atas.
”Kalau bukan aku, apakah kau mempunyai seorang kekasih
lain?” bisik Dewi Pemikat.
”Dewi! Aku hampir tak bisa percaya. Wajahmu, suaramu!”
Pangeran Aryo pagut punggung gadis yang berbaring di atas
tubuhnya lalu membalikkan badan kini ganti menindih tubuh si
gadis.
”Kau.....” ucap Pangeran Aryo. ”Aku sudah putus harapan
bahwa kau tidak akan kembali lagi menemuiku...”
”Pangeran...”
”Jangan panggil aku Pangeran...”
”Kekasihku Aryo Dipasena. Aku tak pernah bisa
melupakanmu. Aku tak sanggup menahan rindu. Peluk aku erat-
erat. Jangan lepaskan. Cium wajahku, tubuhku, seluruh auratku.
Ah....”
Dua orang itu saling berpeluk erat dan bercium lumat dan
baru berhenti ketika nafas masing-masing mengengah.
”Aryo, rumahmu tidak aman. Ketika aku datang dan naik ke
atas atap aku memperkirakan paling tidak ada dua orang berada
di tempat gelap sekitar rumah. Kita harus pergi dari sini. Aku tak
mau terganggu. Kita bercinta di tempat lain saja. Di alam terbuka
biar lebih mesra...”
”Kekasihku, aku menurut saja apa pintamu.” Baru saja
Pangeran Aryo berucap tiba-tiba braakk! Itu adalah suara tubuh Ki
Rorot Keminting yang dihantam cahaya hijau dan jatuh menimpa
pintu depan sebelum tewas tergelimpang di langkan rumah ”Lewat pintu belakang...” Bisik Pangeran Aryo lalu dia
memegang lengan Dewi Pemikat. Keduanya keluar dari dalam
rumah lewat pintu belakang. Di sebuah kandang di halaman
belakang terdapat seekor kuda besar berbulu putih. Pangeran
Aryo keluarkan kuda dari dalam kandang. Lalu bersama Dewi
Pemikat naik ke atas punggung binatang ini. Kuda putih digebrak
mengambur lewat tembok halaman belakang yang lebih dulu
dijebol dengan satu pukulan sakti jarak jauh oleh Pangeran Aryo.
Sesaat kemudian kuda putih bersama dua penunggangnya lenyap
ditelan kegelapan malam.
Ketika Cakra Mentari masuk ke kamar tidur, dia hanya
menemukan ranjang kosong. Dia mengejar ke bagian belakang
bangunan dan dapatkan pintu belakang terpentang lebar. Di luar
pintu dia hanya melihat kegelapan disertai hembusan angin
dingin. Di sebelah sana tampak tembok halaman belakang yang
jebol.
”Kurang ajar! Gadis itu melarikan diri bersama Pangeran.
Kandang kuda kosong. Mereka pasti kabur menunggang kuda.”
Saking geramnya Cakra Mentari tendang sebuah tempayan
besar yang terletak di samping pintu hingga pecah berantakan
dan airnya menggenangi serambi belakang rumah.
”Cakra, kau tak usah kawatir. Kita bisa mengejarnya. Aku
bisa mencium bau tubuh gadis itu. Kejar ke arah timur! Mereka
kabur kesana!” Mahluk tumpangan di dalam tubuh Cakra Mentari
bersuara. Percaya apa yang dikatakan sang penitip nyawa Cakra
Mentari segera hendak berkelebat ke jurusan timur. Namun
sesaat dia berbalik. Menghadap ke arah rumah. Tangan kanan
membuat gerakan memukul.
”Wuttt!”
Tiga larik sinar merah, biru dan hijau berkiblat ke arah
bangunan.
”Wusss!”
Saat itu juga rumah kediaman Dipasena tenggelam dalam kobaran api
SEBELAS
DENGAN mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut
Kencana Biru pinjaman Nyi Roro Kidul, Ratu Duyung bersama
Pendekar 212 Wiro Sableng, Purnama, Naga Kuning dan
Gondoruwo Patah Hati sampai di Kotaraja. Waktunya hampir
bersamaan dengan saat Dewi Pemikat menemui Pangeran Aryo
Dipasena.
Semula ke empat orang ini hendak mencari Setan Ngompol
dan Liris Biru di Kuto Gede. Namun mereka mendapat cerita dari
dua orang peronda malam bahwa Liris Biru telah menemui ajal di
tangan Cakra Mentari. Setan Ngompol telah membawa jenazah
gadis malang itu ke satu tempat di kawasan Cadas Biru.
Wiro ingin menyusul ke Cadas Biru namun Ratu Duyung dan
Purnama menyarankan untuk segera saja mencari Cakra Mentari.
Ratu Duyung membawa orang-orang itu ke sebuah bukit kecil
yang ada goanya di pantai selatan. Dia sengaja ingin
mendekatkan diri dengan samudera besar kekuasaan dan
kediaman Nyi Roro Kidul agar mendapat bantuan petunjuk dimana
beradanya pemuda jahat bernama Cakra Mentari itu.
DI dalam goa yang menghadap ke laut Ratu Duyung
keluarkan cermin sakti. Pendekar 212 Wiro Sableng kerahkan Ilmu
Menembus Pandang. Purnama masuk ke dalam alam gaib. Naga
Kuning dan Gondoruwo Patah Hati yang tidak melakukan apa-apa,
hanya duduk memperhatikan ke tiga orang itu. Lewat tengah
malam Ratu Duyung melihat sesuatu dalam cermin. Purnama
keluar dari alam roh, masuk kembali ke dalam jazad kasarnya
Wiro terapkan Ilmu Meraga Sukma yang didapatnya dari Nyi Roro
Manggut. Tubuh kasarnya tetap duduk di dalam goa, sementara
tubuh halus atau sukmanya melayang ke udara.
Setelah cukup lama mengamati ke dalam cermin, perlahan-
lahan Ratu Duyung turunkan cermin bulat yang sejak tadi
dipegang, diletakkan di atas pangkuan. Naga Kuning dan
Gondoruwo Patah Hati mendekati.
”Ratu, kau melihat sesuatu?” tanya si nenek.
Ratu Duyung tak segera menjawab. Gadis cantik ini tampak
seperti berpikir-pikir. Naga Kuning berbisik pada Gondoruwo Patah
Hati.
”Nek, mungkin dia melihat anunya perempuan dari alam
gaib yang kesusupan tanjung itu. Tapi malu mau mengatakan
pada kita.”
Si nenek pelototkan mata. Lalu mendamprat. ”Orang sedang
kerja keras kau ngomongnya ngacok saja!”
”Nek,” Ratu Duyung akhirnya membuka suara.
”Aku memang melihat sosok lelaki sesuai ciri-ciri Cakra
Mentari. Tapi ada keanehan. Wajahnya terkadang menampilkan
muka orang lain yang samar dan tak jelas dalam penglihatanku.
Selain itu sepertinya dia memiliki dua sosok. Aku tak mengerti....”
”Hai!” tiba-tiba Naga Kuning nyeletuk.
”Apa?!” Gondoruwo Patah Hati langsung membentak. ”Kau
mau bicara apa? Mau omong jorok lagi?”
”Jangan marah dulu Nek.” jawab bocah berambut jabrik.
”Kalian apa tidak ingat ucapan Resi yang punya tongkat biru
berkeluk itu. Resi apa namanya. Aku agak lupa. Oh ya Resi
Kajanda...”
Gondoruwo Patah Hati dorong kepala Naga Kuning dengan
tangan kiri. ”Kajanda...Kajanda !” Ingatmu cuma janda saja!
Khandawa! Itu namanya! Dasar bocah konyol!”
Naga Kuning mesem-mesem. ”Ya, ya! Resi Khandawa.
Sebelum pergi aku ingat sekali apa yang dikatakannya. ”Semua
sahabat yang ada di sini. Resi jahat itu akan terkatung-katung
antara langit dan bumi. Mati tidak hidup juga tidak. Seluruh
tubuhnya dijalari hawa panas. Hanya ada satu jalan mencari
selamat baginya. Yaitu masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari. Itu
kalau dia tahu.”
Ratu Duyung menepuk bahu Naga Kuning.
”Sobat kecil! Kali ini kau tidak bicara ngelantur. Apa yang
barusan kau ucapkan aku yakin itulah yang terjadi.””Kalau memang terjadi seperti itu, berarti Cakra Mentari
punya dua tubuh, punya dua nyawa. Ilmu kesaktiannya juga pasti
berlipat ganda karena ketumpangan Resi berkepandaian tinggi itu.
Kita harus berhati-hati jika menghadapinya.” Berkata Gondoruwo
Patah Hati.
Saat itu Wiro dan Purnama muncul berbarangan.
”Apa yang kailan dapatkan?” bertanya si nenek.
Purnama menjawab duluan. ”Alam roh memberi petunjuk
padaku. Cakra Mentari saat ini berada di satu tempat, dekat
sebuah kali kecil. Lurus di sebelah utara, tak jauh dari Kotaraja...”
Ratu Duyung berpaling pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Tanpa ditanya murid Slnto Gendeng ini menerangkan. ”Ketika
aku meraga sukma, daya Ilmuku tertindih kesaktian Purnama
yang telah memantau lebih dulu. Ini berarti apa yang dilihat
Purnama tidak beda dengan apa yang seharusnya aku lihat.”
”Nek,” Naga Kuning kembali jahil. Sambil menggamit lengan
Gondoruwo Patah Hati bocah ini berbisik. ”Untung Ilmunya yang
di tindih si gadis. Kalau tubuhnya yang ditindih seperti kejadian di
goa Teluk Losari, wah! Pasti dua-duanya tidak muncul-muncul ke
tempat ini.”
”Sudah ! Diam kamu!" hardik Gondoruwo Patah Hati.
”Kita harus berangkat sekarang juga ke arah utara. DI utara
kita menyusuri Kali Opak. Itu satu-satunya kali dekat Kotaraja
sebelah selatan. Mudah-mudahan kita bisa menemukan Cakra
Mentari secepatnya. Kalau tidak, aku punya firasat dia akan
melakukan kejahatan lagi.” Berkata Wiro.
”Tunggu dulu,” kata Purnama. ”Aku ingat sesuatu. Ketika
mahluk tanpa wajah yang sekarang kita kenal sebagal Resi jahat
bernama Mirpur Patel itu hendak membunuhku. Waktu itu aku
sudah dikunci dipendam di dalam tanah. Ketika dia hendak
menggebukku dengan tongkat emas, mendadak dia batalkan niat.
Dia langsung melesat ke langit ketika melihat kemunculan dua
kakek yaitu Ki Tambakpati dan Setan Ngompol. Salah seorang dari
kakek itu pasti ada apa-apanya. Mungkin dia takut. Takut pada kakek yang mana? Kalau saja Ki Tambakpati atau Setan Ngompol
ada di sini, mungkin kita bisa menanyakan. Pasti ada sesuatu... ”
”Para sahabat, aku sudah ada di sini. Apa kalian semua
sudah kangen pada bau air kencing di kuyupku? Ha...ha...ha!”
Semua orang berpaling dan berseru berbarengan.
”Setan Ngompol!”
”Ha...ha...ha!” Si kakek berkepala setengah sulah, bermata
belok yang salah satu daun telinganya terbalik ini tertawa
mengekeh dan seerrr! Seperti biasa langsung pancarkan air
kencing!
”Najis !” teriak Naga Kuning.
”Najis tapi baunya mantap!” Jawab Setan Ngompol seraya
peras celananya yang kuyup oleh air kencing lalu kepretkan
tangannya yang basah air kencing ke arah si bocah! Naga Kuning
melompat, cepat-cepat menjauh.
Sementara semua orang senyum-senyum melihat kejadian
itu Ratu Duyung memutar otak. ”Najis.... ” Dia mengulang ucapan
Naga Kuning. Dia merasakan sesuatu dan berpikir-pikir. Namun
otaknya tak mau diajak bicara, buntu. Akhirnya Ratu Duyung
berkata.
”Para sahabat, sebaiknya kita berangkat sekarang juga.”
Karena tempat tujuan yang hendak didatangi tidak berapa jauh di
utara, Ratu Duyung tidak merasa perlu mengandalkan kesaktian
batu mustika yang ada padanya. Semua orang cukup pergunakan
Ilmu lari masing-masing. Dangan pengerahan tenaga dalam dan
Ilmu meringankan tubuh ke lima orang itu mampu berlari cepat.
Di malam buta begitu rupa, jika ada yang melihat pasti orang itu
akan menyangka telah melihat serombongan setan sedang
berkelebat gentayangan.
Setelah melewati satu desa kecil yang sunyi senyap Ratu
Duyung dan kawan-kawan menemui Kali Opak. Mereka mengikuti
kali ini ke arah utara. Sementara berlari sesekali Purnama
memperhatikan ke udara. Sejak beberapa saat lalu dia melihat
seekor burung putih terbang di atas rombongan. Kadang-kadang binatang ini melesat mendahului. Purnama memberi tahu pada
rombongan agar menghentikan lari.
”Ada apa?” tanya Ratu Duyung.
Purnama menunjuk ke sebuah pohon. Di atas salah satu
cabang tampak seekor burung putih bertengger.
”Burung itu...” kata Purnama pula. ”Sejak tadi terbang di
atas kita. Seperti mengikuti. Tapi kadang-kadang terbang
mendahului. Ketika kita berhenti, burung itu hinggap di dahan
sana. Seperti sengaja menunggu kita. Tidakkah kalian merasa
aneh?”
Semua orang memandang ke arah cabang pohon dimana
elang putih bertengger. Burung ini bukan lain adalah Jambul
Ireng, bekas peliharaan Cakra Mentari yang kini mengelana tak
karuan dan terus berusaha mencari tuannya walau pada
pertemuan terakhir Cakra Mentari tidak mengenal dan tidak
memperdulikannya.
”Memang aneh. Seekor burung terbang di malam hari....”
kata Rata Duyung.
Wiro menggaruk kepala. ”Tampaknya seekor elang putih.
Berjambul hitam. Rasanya tak pernah ada burung elang memiliki
jambul hitam. Selain itu jarang sekail burung yang suka terbang
sekitar laut ini berada jauh masuk ke daratan.”
Burung di atas pohon keluarkan suara menguik beberapa
kali. Kibaskan sayapnya lalu melayang ke udara. Berputar-putar
sebentar di atas rombongan orang-orang itu kemudian melesat ke
utara.
”Aku merasakan sesuatu. Kita ikuti burung itu...” kata
Gondoruwo Patah Hati. Lalu nenek ini berkelebat lebih dulu,
diikuti Naga Kuning. Ratu Duyung, Wiro dan Purnama. Setan
Ngompol kembangkan dua kaki lebih dulu, usap-usap perutnya
lalu serrr. Kucurkan air kencing. Setelah beser baru dia mengejar
orang-orang yang telah benda jauh di depannya.
”Hai tunggu!” teriak si kakek.”Beser saja terus Kek! Sampai anumu copot!” balas beteriak
Naga Kuning.
Sambil berlari orang-orang itu memperhatikan terus elang
putih yang melesat di udara. Seolah dituntun mereka mengikuti
ke arah mana sang burung terbang. Tiba-tiba Purnama yang
melihat lebih dulu berteriak. "
”Tiga cahaya menyerang burung!”
DI langit kelam saat itu mendadak berkiblat cahaya merah,
biru dan hijau. Menyambar ke arah elang putih. Melihat bahaya
mengancam burung, serentak Purnama, Ratu Duyung dan Wiro
melesat ke udara sambil lepaskan pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi, memapas tiga cahaya maut.
Tiga dentuman menggelegar di kegelapan malam. Sambaran
cahaya tiga warna bertabur mental. Elang putih menguik keras.
Tubuhnya tampak limbung akibat terpaan angin keras dan hawa
panas yang berasal dari tiga dentuman. Binatang ini jatuh
tercampak di tanah, tepat di hadapan Naga Kuning.
Wiro sendiri, juga Ratu Duyung dan Purnama begitu terjadi
bentrokan pukulan dengan cahaya tiga wama di udara sama-sama
jatuh terduduk di tanah dengan wajah tampak agak pucat.
”Ada orang hendak membunuh elang putih!” kata Purnama.
”Kalau yang melakukan adalah mahluk tanpa wajah, melihat
kekuatan cahaya tiga warna, besar kemungkinan bobot kekuatan
Ilmu kesaktian yang dimilikinya lebih dahsyat dari sebelumnya.”
Berucap Ratu Duyung.
”Aku menduga mahluk tanpa wajah telah mengetahui
kedatangan kita. Jika dia sengaja membunuh elang putih , berarti
burung itu tengah berusaha menunjukkan pada kita dimana
beradanya mahluk jahat itu dan si mahluk tanpa wajah berusaha
mencegahnya!”
Semua orang mengelilingi Naga Kuning yang tengah
memeluk dan mengusap-usap burung elang putih. Di depan Naga
Kuning mencangkung Gondoruwo Patah Hati. Nenek ini jongkok
agak seronok hingga sebagian jubah birunya melompong
tersingkap di sebelah depan bawah. Celakanya si nenek tidak pula
pakal celana dalam pelindung auratnya yang paling tersembunyi
dan sangat rahasia itu! Untungnya saat itu tidak ada yang
memperhatikan karena semua mata ditujukan pada burung elang
putih yang dipeluk Naga Kuning. Sebagian jambulnya yang hitam
tampak rontok.
”Burung, kalau aku alirkan hawa sakti ketubuhmu dan kau
dapat terbang lagi apakah kau mau menjadi penunjuk jalan kami
kembali?” Tanya naga Kuning sambil terus usap-usap kuduk elang
putih. Binatang ini hanya mengedipkan sepasang matanya yang
merah.
Tanda itu sudah cukup bagi Naga Kuning. SI bocah sambil
mengelus kini alirkan tenaga dalam dan hawa sakti ke tubuh
eiang putih yang tadi kena hantaman angin keras dan hawa panas
sewaktu terjadi bentrokan antara cahaya tiga warna dengan
pukulan sakti yang dilepaskan.
Begitu hawa sakti masuk ke dalam tubuhnya Jambul Ireng
tegakkan leher. Mata membesar. Setelah menguik panjang
burung ini lepaskan diri dari pelukan Naga Kuning, melesat ke
depan langsung masuk ke dalam bagian bawah jubah biru
Gondoruwo Patah Hati yang sejak tadi tersingkap melompong!
”Hai! Si nenek terpekik kalang kabut! Dia berusaha berdiri.
Tapi di dalam jubah Jambul Ireng menggelepar-gelepar lalu
mendekam diam seperti anteng keenakan. Gondoruwo Patah Hati
sampai jatuh terduduk. Berteriak-teriak kegelian sambil melejang-
lejangkan kaki!
***
DUA BELAS
KUDA putih yang ditunggangi Pangeran Aryo Dipasena dan
Dewi Pemikat berlari kencang memasuki hutan jati di selatan
Kotaraja. Duduk di sebelah belakang sambil memegang pinggang
sang Pangeran, Dewi Pemikat memberi tahu kemana harus
mengarahkan lari kuda. Tak lama kemudian di kejauhan tampak
sebuah bangunan terbuat dari kayu tanpa dinding.
”Itu pondoknya. Di belakang pondok ada kali kecil berair
bening,” kata Dewi Pemikat sambil menunjuk ke arah pondok
kayu di tengah hutan. Aryo Dipasena hentikan kuda di samping
pondok. Dewi Pemikat melompat turun lebih dulu, naik ke atas
pondok yang dibangun setengah panggung. Berdiri bertolak
pinggang menunggu kedatangan Pangeran Aryo. Begitu sang
Pangeran menginjakkan kaki di lantai pondok langsung Dewi
Pemikat memeluknya.
”Aryo, kita bercinta di tempat ini sampai pagi...” ucap Dewi
Pemikat dengan nafas hangat memburu. Jari-jari tangan
mencengkeram ke punggung si pemuda membuat putera Raja ini
jadi bergairah dan balas memeluk. Keduanya saling cium lama
sekali. Perlahan-lahan Dewi Pemikat menarik turun Pangeran
Aryo ke lantai seraya berbisik nakal.
”Aryo Dipasena kekasihku. Apakah aku harus membuka
pakaianku sendiri? Apakah kau tidak mau bantu
melakukannya...?” Si gadis bicara sambil meliuk-liukkan pinggul.
”Dewi, aku.....” Wajah Pangeran Aryo tampak merah dan
berkeringat. Walau dirinya sangat terangsang namun pemuda ini
tampak gugup. Seumur hidup baru sekali ini dia mengalami hal
seperti ini. Dewi Pemikat memegang ke dua tangannya dan
meletakkan di atas dadanya yang busung. Sesaat ketika jari-jari
tangan pemuda itu muiai membuka pakaian kuning yang
dikenakan Dewi Pemikat gadis cantik ini tidak sabaran lagi. Dia
ulurkan dua tangan merobek baju yang dikenakan Pangeran Aryo.
Dengan gemas Dewi Pemikat susupkan wajahnya di dada berbulu
Pangeran Aryo.Tiba-tiba kuda putih yang dilepas di samping pondok
meringkik keras. Lalu terdengar suara blukk!
Pangeran Aryo Dipasena tersentak kaget dan melompat
bangun. Matanya terbeliak kaget ketika melihat kuda putih
kesayangannya tergeletak tak bergerak di tanah dengan kepala
hancur !
”Kencono Putih!” teriak Pangeran Aryo menyebut nama
kudanya. ”Siapa yang membunuhmu!” Dia hendak melompat
turun dari atas pondok namun pinggangnya keburu dipagut Dewi
Pemikat.
”Kekasihku. Mengapa meributkan kuda mati? Nanti saja
diurus. Mari kita bersenang-senang dulu.” Dewi Pemikat menarik
tubuh pemuda Itu. Sang Pangeran coba bertahan. Dia terpaksa
mengalah ketika si gadis merobek dan menanggalkan celana
luarnya.
”Permainan cinta yang sungguh menakjubkan!” Tiba-tiba
mengumandang satu suara dari arah kegelapan. Disusul suara
tertawa bergolak.
Pangeran Aryo selain terkejut juga merasa heran. Yang
dilihatnya muncul hanya satu orang yaitu pemuda berpakaian
serba hitam berikat kepala merah. Tapi mengapa yang tertawa
ada dua suara? Dewi Pemikat tampak tenang-tenang saja. Dia
berdiri di belakang Pangeran Aryo dan berbisik.
”Pangeran, aku tidak membutuhkan dirimu lagi. Cepat
tinggalkan tempat ini. Aku tak ingin melihatmu menemui kematlan
di sini !” Pangeran Aryo berpaling heran.
”Apa? Apa maksud ucapanmu? Kau...kau mengenal pemuda
berkumis berpakaian hitam itu? Aku tahu sekarang! Jadi...jadi kau
memperalat diriku untuk memancingnya ke sini? Dewi Pemikat,
siapa kau sebenamya?!”
”Jangan banyak bertanya menghabiskan waktu! cepat
pergi!””Aku ingat. Rasa-rasanya bukankah pemuda berpakaian
hitam itu yang pernah muncul malam hari sewaktu kau mandi di
kolam di rumah kediamanku?”
”Pangeran, bukan saatnya kau harus cemburu. Nyawamu
lebih penting! Pergi dan jangan kembali ke sini !” Dewi Pemikat
cekal lengan Pangeran Aryo. sekali dia menyentak tubuh tinggi
besar pemuda itu melesat keluar pondok namun selagi melayang
di udara cahaya tiga warna melesat menyambar dari kegelapan.
Dewi Pemikat berteriak.
”Cakra Mentari! Jika kau inginkan diriku jangan bunuh orang
itu!” Cahaya tiga warna langsung redup dan akhirnya lenyap.
Bersamaan dengan itu seorang pemuda gagah berpakaian hitam
bersulam kembang perak dan emas telah berdiri di atas pondok di
hadapan Dewi Pemikat. Cakra Mentari! Sepasang mata pemuda
ini berkilat-kilat memperhatikan dada padat dan sebagian pinggul
putih yang tersingkap. Cuping hidung mengembang pertanda
nafsu sudah naik membakar darah di kepala. Di dalam tubuhnya
pemuda ini juga merasa sosok tumpangan si penitip nyawa
berubah panas. Ikut bergairah.
”Dewi, akhirnya kutemui juga dirimu. Kali ini kau tak akan
bisa lolos lagi....”
”Apakah kau mengira aku akan mempermalnkanmu lagi lalu
melarikan diri? Kali ini justru aku memang menunggu
kedatanganmu.” Jawab Dewi Pemikat lalu langsung saja dia
hendak jatuhkan diri ke dalam pelukan Cakra Mentari. Pemuda
berkumis, janggut dan bercambang bawuk tipis ini tahan dada
busung Dewi Pemikat dengan telapak tangan kiri. Dengan tangan
kanan dia mengeluarkan patung Kamasutra dari balik
pakaiannya.
Dewi Pemikat tertawa.
”Cakra, kau tidak membutuhkan patung mesum itu untuk
membangkit gairahku. Lihat.....”
Dewi Pemikat menggerakkan dua tangan, menggoyang bahu
dan pinggul. Saat itu juga seluruh pakaian kuning yang masih melekat di tubuhnya jatuh ke lantai pondok. Sosok penitip nyawa
dalam tubuh si pemuda menghela nafas berulang kali. Selama ini
Cakra Mentari telah melihat dan menikmati keindahan tubuh 42
orang perempuan. Namun dia harus mengakui keindahan tubuh
Dewi Pemikat tak dapat dibanding dengan semua perempuan itu.
Cakra Mentari simpan Patung Kamasutra. Di tangan kirinya kini
telah tergenggam sekuntum bunga tanjung. Sambil merebahkan
Dewi Pemikat lantai pondok, bunga tanjung ditempelkan ke
kening si gadis.
Dewi Pemikat mengeluarkan desah panjang menggeliat-
geliat sementara Cakra Mentari sibuk menanggalkan pakaian
hitamnya. Di dalam tubuhnya mahluk penitip nyawa Mirpur Patel
berulang kali berucap.
”Cepat lakukan Cakra! Cepat!” Cakra Mentari masukkan
Patung Kamasutra ke dalam gulungan baju dan celana hitam lalu
dlletakka- di lantai pondok. Ketika pemuda itu meneduhi dirinya.
Dewi Pemikat memeluknya rapat dan kuat. Dua tangan kemudian
menekap wajah gagah si pemuda, ditarik didekatkan ke wajahnya
sendiri lalu diciumi. Selama ini setelah sekian banyak perempuan
yang jadi korbannya belum pernah Cakra Mentari mendapatkan
yang bergairah seperti Dewi Pemikat ini. Karuan saja si pemuda
jadi lupa diri, ikut tenggelam dalam rangsangan yang luar biasa.
Dalam keadaan seperti itu, ketika wajah mereka saling
bersentuhan, tidak sengaja bunga tanjung yang menempel di
kening Dewi Pemikat menyentuh keningnya. Karena keningnya
bekeringat maka bunga tanjung itu kini berpindah, menempel di
kening Cakra Mentari. Mahluk penitip nyawa di dalam tubuh
Cakra Mentari keluarkan suara seperti melolong.
”Anak manusia bernama Cakra Mentari! Untuk kedua kalinya
kau melanggar apa yang telah ditetapkan. Dalam Kitab Jagat
Pusaka Alam Gaib jelas-jelas tertulis....ada pantangan yang harus
kau ingat. Jangan sekali-kali bunga tanjung sampai melekat atau
menempel di keningmu.... Cakra Mentari kali ini kau tak bisa bertahan lagi! Aku tak mau kehilangan ilmu yang telah aku
harapkan selama hampir dua tahun.”
”Hai, aku mendengar suara orang lain. Siapa yang bicara?”
Dewi Pemikat bertanya.
Cakra Mentari tidak perdulikan pertanyaan Dewi Pemikat.
Gerakannya hendak meneduhi si gadis jadi tertahan. Dengan
kesal dia membentak.
”Resi Mirpur Patel, kau mau berbuat apa...?”
”Aku terpaksa melakukan tindakan penangkal agar ilmu itu
tidak lenyap! Kau akan kembali ke asalmu semula! Semua ilmu
kesaktian yang kau dapat melalui Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib
akan berpindah ke tanganku!”
”Tindakan penangkal? Apa maksudmu? Mahluk terkutuk!
Sejak semula kau memang telah menipuku! Resi keparat! Keluar
kau dari tubuhku! Kalau tidak aku akan mengadu nyawa. Jika aku
mati kau juga akan mampus!”
Tak ada jawaban. Yang terdengar kemudian malah jeritan
Cakra Mentari. Pemuda ini melompat sambil pegang anggota
rahasia di bagian bawah perutnya yang hancur mengucurkan
darah. Sebenarnya tanpa Cakra Mentari terkena tempelan bunga
tanjung Resi Mirpur Patel memang sudah punya rencana untuk
melakukan apa yang disebutnya sebagai tindakan penangkal itu.
Karena memang hanya itu satu-satunya cara untuk mengamankan
ilmu pukulan sakti dahsyat yang kini telah berada dalam tubuh
Cakra Mentari.
Dewi Pemikat menjerit lalu melompat menyambar
pakaiannya. Melihat sosok bugil putih bagus si gadis cantik Naga
Kuning mendelik. Setan Ngompol melotot dan langsung pancarkan
air kencing. Murid Sinto Gendong walau agak malu-malu tapi
sambil menggaruk kepala melirik juga. Purnama dan Ratu Duyung
saling pandang, tak barani melihat. Dewi Pemikat melompat turun
dari atas pondok, menyelinap ke balik sebatang pohon. Selesai
berpakaian dia kembali ke dalam pondok. Anehnya walaupun
tadi dia siap untuk bersenang-senang melakukan hubungan badan dengan Cakra Mentari namun saat itu dia sama sekali tidak
berusaha menolong si pemuda.
Cakra Mentari Jatuh terduduk bersimpuh terbungkuk-
bungkuk di tanah sementara darah mengalir terus menggenangi
lantai pondok. Dalam keadaan seperti Itu Cakra Mentari masih
bisa berpikir untuk cepat-cepat menotok beberapa bagian
tubuhnya sebelah bawah hingga darah berhenti mengucur.
Terdengar suara tawa mengekeh disusul ucapan Mirpur Patel.
”Kau tak usah kawatlr Cakra Mentari. Kau tidak akan
menemui ajal hanya karena anggota rahasiamu kubuat hancur!”
Tiba-tiba seperti ada yang mengangkat tubuh Cakra Mentari
naik ke atas lalu dibanting ke lantai pondok. Saat itu juga dari
dalam tubuhnya membayang keluar sosok samar Resi Mirpur Patel
yang keadaannya nyaris tidak berdaging seperti jerangkong. Kaki
kiri menginjak lantai pondok kaki kanan tak berkasut menginjak
kepala Cakra Mentari. Melalui injakan kaki itulah dia akan
menyedot ilmu kesaktian yang ada dalam tubuh Cakra Mentari.
Ketika Resi Mirpur Patel merapal mantera sambil
mengerahkan sisa hawa sakti yang sangat sedikit masih
dimilikinya dan siap menyedot ilmu kesaktian yang ada di tubuh
Cakra Mentari tiba-tiba terdengar suara menguik. Seekor elang
putih berjambul hitam menukik dari kegelapan malam. Paruhnya
yang tajam menyambar ganas ke arah leher sang Resi.
”Mahluk jahanam ! Aku tahu siapa dirimu ! Mampuslah !”
Sosok samar Resi Mirpur Patel angkat tangan kanan,
menangkap leher elang putih lalu kreekk ! Sekali meremas
burung malang Itu menguik keras dan hancur luluh. Sebelum
tewas Jambul Hitam malah sempat mencakar lengan kanan
Mirpur Patel hingga sama-samar tampak darah hitam mengucur
dari robekan luka !
Mahluk tumpangan Mirpur Patel bantingkan elang putih
berjambul hitam yang sudah mati itu ke tanah. Namun seorang
anak kecil berambut jabrik entah dari mana datangnya dengan
cepat menangkap burung itu. Naga Kuning!
”Mahluk samar Resi sesat! Kau rupanya suka sekali meremas
burung. Burung orang dan burung benaran! Hik...hlk..hik !
Bagaimana kalau gantian aku meremas burungmu! Hik..hik...hik !”
***
TIGA BELAS
ANAK kurang ajar?! Kau siapa?!” bentak Mirpur Patel marah
besar karena maksudnya hendak menyedot ilmu kesaktian lewat
kepala Cakra Mentari jadi terhalang.
”Bocah itu adalah sahabat kami dan kekasihku!” Mirpur Patel
terkesiap. Seorang nenek berjubah biru berwajah setan berambut
kelabu tahu-tahu berdiri di hadapannya sambil menyeringai
kedap-kedipkan mata. Gondoruwo Patah Kati. Ternyata si nenek
tidak sendirian. Mirpur Patel segera mengenali Purnama yang
pernah dipendamnya dalam tanah. Dalam hati dia menggeram
penuh dendam. Gadis inilah yang telah membuat rompal tongkat
emasnya dan berdasarkan gompalan tongkat itu menyebabkan
Resi Khandawa Abitar berhasil menjajagi keberadaannya dan
menjatuhkan hukuman atas dirinya. Lalu ada pemuda berambut
gondrong dan seorang gadis cantik bermata biru. Dia kenal semua
orang ini karena beberapa kali pernah menyerang mereka secara
membokong dari jarak jauh. Ketika pandangannya membentur
Setan Ngompol berubahlah tampang sang Resi. Hal ini sempat
dilihat Ratu Duyung. Dia ingat keterangan Purnama bahwa ada
sesuatu yang ditakuti mahluk yang pernah muncul tanpa wajah
itu. Pasti ada satu rahasia dibalik kerenyit wajah mahluk
tumpangan itu. Mirpur Patel angkat kakinya yang menginjak
kepala Cakra Mentari. Wiro dan kawan-kawan tampak melengak
kaget ketika melihat bagaimana sosok samar Resi Mirpur Patel
masuk ke dalam tubuh pemuda yang terbujur di lantai pondok.
Sebagai penitip nyawa Resi Mirpur Patel memang tidak mungkin
dan tidak bisa lepas dari tubuh tumpangannya. Kesempatan ini
serta merta dipergunakan oleh Cakra Mentari yang saat itu masih
telanjang bulat untuk berdiri. Semua perempuan yang ada di
tempat itu segera palingkan muka. Kecuali si nenek Gondoruwo
Patah Hati yang enak-enakan saja memperhatikan dengan wajah
menyeringai dan lidah dijulur-julur membasahi bibir.”Cakra Mentari! Lekas kau kenakan pakaianmu! Keadaanmu
seperti ini hanya menambah sial saja!” Mahluk tumpangan
berucap.
Cakra Mentari segera mengenakan pakaian. Ketika dia
menyimpan patung Kamasutra ke balik pakaiannya semua orang
sempat melihat kantong kain hitam yang ditembusi cahaya merah
redup.
Wiro berkata dalam hati.
”Aku yakin, di dalam kantong kain warna hitam itu dia
menyimpan Patung Kamasutra yang dicari Resi Khandawa Abitar.
Selama ini patung itu telah dipakai untuk melaksanakan perbuatan
terkutuknya!”
”Cakra, kau harus segera meninggalkan tempat ini. Orang-
orang ini sangat berbahaya. Mereka bisa membuat gagal dirimu
mendapatkan ilmu kesaktian pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib.”
”Wiro. Aku mendengar suara lain dalam tubuh Cakra
Mentari. Mungkin suara Resi yang sudah menitipkan nyawanya
seperti keterangan Resi Khandawa Abitar. Cakra Mentari hendak
kabur dari sini.” Purnama yang berdiri di samping Wiro berbisik
pada sang pendekar.
”Lekas berpencar...” kata Wiro pula sambil memberi tanda.
Purnama berkelebat ke bagian kiri pondok. Ratu Duyung melesat
ke bagian belakang sambil memegang cermin bulat sakti. Naga
Kuning letakkan burung elang putih yang sudah mati di dekat
serumpun semak belukar lalu bersama Gondoruwo Patah Hati
bocah ini bergerak ke samping kanan bangunan. Sementara Wiro
dan Setan Ngompol mendatangi dari sebelah depan.
”Kakek celaka berkuping terbalik itu. Bagiku dia sangat
berbahaya Cakra, sebaiknya kita lekas minggat dari sini!” Berkata
Mirpur Patel.
””Cakra, tenang saja. Kau tak akan mati. Kau tetap akan
menguasai Ilmu pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib.”
Tiba-tiba sebagian tubuh samar Mirpur Patel keluar dari
sosok Cakra Mentari. Dua tangannya bergerak ke depan hendak
mencekik leher si pemuda. Entah bagaimana mahluk tumpangan
ini tiba-tiba saja punya keyakinan, cara cepat dan jalan pintas
untuk menguasai ilmu kesaktian yang ada dalam diri Cakra
Mentari adalah dengan membunuh si pemuda. Jika Cakra Mentari
mati, ilmu kesaktiannya akan mengalir masuk ke dalam tubuhnya.
Dia tidak mengetahui dengan keluarnya tiga ratus lima bunga
tanjung dari dalam tubuh Cakra Mentari maka ilmu Tiga Cahaya
Alam Gaib yang sudah di dapat si pemuda serta merta lenyap tak
berbekas. Yang masih tertinggal dalam diri Cakra Mentari
hanyalah semua ilmu kesaktian yang didapatnya dari guru-
gurunya sebelumnya, antara lain Suma Mahendra.
”Lihat!” teriak Naga Kuning. Anak ini langsung mengangkat
tangan hendak melepas satu pukulan tangan kosong bernama
Naga Murka Menjebol Bumi ke arah mahiuk samar. Tapi cepat
dicegah oleh Wiro ”Jangan! Seranganmu bisa meleset mengenai pemuda itu.
Kita menginginkannya tetap hidup. Ingat ucapan Resi Khandawa!
Dia pemuda yang terjebak oleh tipu daya Resi Mirpur Patel!”
Naga Kuning tarik serangannya. ”Kalau begitu biar aku yang
mengamankan kedua orang itu!” Berkata Purnama. Gadis ini
goyangkan bahunya. Sinar terang berwarna biru disertai percikan-
percikan seperti kembang api memenuhi tempat itu lalu
menyungkup sosok Cakra Mentari dan Mirpur Patel.
”Cakra, hantam dengan Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib!”
teriak mahluk tumpangan Mirpur Patel. Cakra Mentari lakukan apa
yang dikatakan orang. Tangan kanan dipukulkan. Tiga cahaya
merah, biru dan hijau menderu.
”Dess! Dess! Dess!”
Purnama berseru kaget ketika melihat sinar biru yang
menyungkup Cakra Mentari dan Mirpur Patel jebol di tiga tempat.
Mirpur Patel tertawa mengekeh. Namun diam-diam dia merasa
kawatir. Kekuatan pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib yang tadi
dilepaskan Cakra Mentari masih dalam bentuk kekuatan lama.
Celaka! Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib yang didapatnya dari
samadi di Gurun Tengger mungkin sudah lenyap! Ini akibat
pantangan yang dilanggar sampai dua kali!” Mirpur Patel
menggembor marah.
”Cakra Mentari! Kau tidak mendapatkan ilmu kesaktian Tiga
Cahaya Alam Gaib itu! Aku hanya membuang waktu percuma! Aku
bersumpah tidak ada gunanya kau hidup!"
”Kalau kau membunuhku, kau sendiri akan menerima
kematlan yang sama. Karena nyawamu bertumpangan dengan
nyawaku! Nyawamu hanya nyawa titipan!”
”Persetan dengan kematian! Aku sudah mempersiapkan diri
untuk hidup di alam gaib!”
Habis berkata begitu mahiuk tumpangan Mirpur Patel
susupkan dua tangannya ke dalam perut Cakra Mentari, mencekal
dan membetot urat di belakang pusar si pemuda.
”Breettt!”Cakra Mentari menjerit setinggi langit. Perutnya terbongkar
jebol.
Darah muncrat sampai setengah tombak. Isi perutnya
seperti menggelegak. Semua orang yang ada di tempat itu sama
keluarkan seruan tertahan dan merasa tengkuk masing-masing
menjadi dingin karena bergidik.
Setan Ngompol terkencing-kencing. Ketika dia berusaha
menjauh, tanah yang becek oleh darah dan air kencing membuat
kakinya terpeleset. Kakek ini coba menggapai tiang pondok.
Namun gerakannya malah membuat tubuhnya melintir dan
terhuyung ke arah mahluk tumpangan Mirpur Patel yang tengah
berusaha mengeluarkan tubuh samarnya dari mayat Cakra
Mentari. Ketika melihat si kakek yang celananya basah kuyup air
kencing ini hendak jatuh menimpa dirinya Mirpur Patel berteriak
keras, berusaha menghindar. Namun terlambat. Paha kiri Setan
Ngompol jatuh tepat di pipi kanannya.
”Air najis! Air celaka! Air kematian!” raung Mirpur Patel.
Ratu Duyung dan Purnama saling pandang. Dua gadis cantik
itu sekarang mengerti bahwa air kencing Setan Ngompol
merupakan hal yang ditakuti Mirpur Patel sejak dia muncul
sebagal mahluk tanpa wajah.
Muka mahluk tumpangan yang terkena basahan air kencing
Setan Ngompol langsung berubah hitam hangus. Darah hitam
meleleh dari telinga kanan, mata kanan, hidung dan mulut. Tubuh
menggeliat lalu meletup beberapa kali, berubah jadi asap dan
membubung ke udara. Namun baru naik setinggi atap pondok
tiba-tiba satu suara menggema di tempat itu. Suara Resi
Khandawa Abitar sementara orangnya sendiri tidak kelihatan.
”Mirpur Patel, Para Dewa tidak mengizinkan dirimu hidup di
alam gaib. Sudah diputuskan bahwa kau akan dibenam di dasar
bumi lapisan ketujuh untuk selama-lamanya!”
”Wuuttt!”
Satu cahaya biru menderu. Itulah pukulan tongkat sakti
Kuntala Biru milik Resi Khandawa Abitar. Saat itu juga sosok asap Mirpur Patel amblas masuk ke dalam tanah diiringi suara raungan
panjang menggidikkan!
***
EMPAT BELAS
Di DALAM pondok Ratu Duyung dekati Dewi Pemikat yang
berdiri tenang-tenang saja seolah tidak ada terjadi apa-apa di
tempat itu. Padahal mayat Cakra Mentari dengan perut terbusai
masih menggeletak di samping pondok.
”Sahabat berbaju kuning, aku dipanggil orang dengan
sebutan Ratu Duyung. Kalau aku boleh bertanya siapakah
namamu?”
”Orang-orang momanggilku Dewi Pemikat. Nama itu bukan
nama sembarangan karena diberikan oleh seorang Pangeran.”
”Ah, beruntung kau punya kenalan seorang Pangeran yang
baik hati,” ucap Purnama.
Wiro kini ganti bertanya. ”Bagaimana ceritanya sampai
pemuda berpakaian hitam itu hendak memperkosamu?”
Dewi Pemikat tatap wajah Pendekar 212 sejurus. Wiro balas
menatap. Sepasang pandangan saling beradu. Wiro merasakan
ada getaran aneh di kelopak matanya. Dia tidak memikirkan hal
itu lebih jauh karena tiba-tiba gadis cantik montok di hadapannya
tertawa panjang. Wiro hanya bisa memperhatikan sambil garuk-
garuk kepala
”Apa? Pemuda berpakaian hitam itu hendak memperkosaku?
Hik... hlk! Bukan dia yang hendak mamperkosaku. Tapi justru aku
yang hendak memperkosanya! Eh, apakah kau mau aku
perkosa?”
Wiro menyeringai, garuk-garuk kepala sementara Dewi
Pemikat senyum-senyum sambil kedap-kedipkan mata.
Murid Sinto Gendeng jadi melongo. Purnama dan Ratu
Duyung tampak merah wajah masing-masing. Gondoruwo Patah
Hati cemberut. Hanya Naga Kuning seorang yang tertawa gelak-
geiak.
”Nah, anak ini tertawa. Berarti dia tahu kalau apa yang
kuucapkan benar adanya!” Kata Dewi Pemikat pula.
Karena dipuji begitu rupa, timbul keberanian Naga Kuning.”Sahabatku cantik. Sobatku si gondrong ini mengidap satu
penyakit aneh. Ada yang memberi penjelasan penyakitnya bisa
disembuhkan kalau...”
”Tunggu dulu,” memotong Dewi Pemikat ”Penyakit apa yang
diderita sobatmu gondrong ini?”
”Itu, anunya....” Naga Kuning luruskan jari telunjuk tangan
kanan. Lalu perlahan-lahan jari itu ditekuk diturunkan kebawah.
”Loyo...” Ucap si bocah pula.
Wiro tak bisa marah, Cuma garuk-garuk kepala. Dewi
Pemikat tertawa cekikikan.
”Tadi kau bilang ada yang memberi penjelasan penyakitnya
bisa disembuhkan kalau....Kalau apa?”
Bertanya Dewi Pemikat.
”Menurut yang punya cerita...”
”Siapa yang cerita?” Dewi Pemikat memburu terus.
”Seorang yang diam di kawah Gunung Bromo. Namanya
Suma Mahendra...”
”Hemmm begitu? Orang itu cerita apa?”
”Katanya peyakit sobatku ini bisa sembuh setelah sebuah
bunga tanjung yang ada didalam anunya seorang perempuan dari
alam gaib dikeluarkan lalu ditanam di bawah pohon tanjung,
antara dua akar yang sejajar."
Dewi Pemikat ternganga lalu tertawa gelak-gelak.
”Sekecil ini kau sudah pandai mengarang cerita!”
”Sahabat, anak ini tidak mengarang cerita.” Menyahuti
Pumama. "Apa yang dikatakannya betul semua. Petunjuk tentang
perempuan dari alam gaib itu telah kami lihat. Yaitu sekuntum
bunga tanjung terakhir yang keluar dari tubuh pemuda bernama
Cakra Mentari. Bunga tanjung dimaksud adaiah bunga tanjung
yang saat ini masih terselip di rambutmu.”
Dewi Pemikat terkejut. Dia meraba rambutnya. Dia
menemukan bunga tanjung yang terselip. Setelah memperhatikan
bunga itu beberapa lama si gadis lalu berkata.”Kalau bunga yang ini ada di rambutku jelas tak bisa
kupungkiri. Tapi bagaimana mungkin ada bunga tanjung dalam
anuku! Ihhh. Kalian ini ngacok semua!”
”Kami tidak ngacok. Kami percaya akan keterangan Suma
Mahendra karena dia juga seorang yang berasal dari alam gaib.”
Kata Gondoruwo Patah Hati.
Naga Kuning lalu menimpali. ”Itu sebabnya, aku sudah
bersiap-siap.Jika kau mengizinkan bunga tanjung itu dikeluarkan,
aku bersedia membantu. Aku ini anak kecil. Masakan malu sama
anak kecil!”
Satu jeweran mampir di telinga Naga Kuning. Lalu suara
Gondoruwo Patah Hati mengomel. ”Anak geblek. Kau mulai
ngacok lagi!”
Dewi Pemikat tersenyum. Dia berpaling pada Wiro.
”Ah, rupanya kau ingin si sakit langsung yangmengambil
bunga tanjung di dalam anumu itu. Ya sudah, aku mengaku kalah
ganteng! Biar aku cari gawean yang lain saja! Hik.hik...hik!” Naga
Kuning tertawa cekikikan.
”Sahabat Dewi Pemikat,” Ratu Duyung berkata.
”Selama ini apa kau tidak menyadari ada kelainan dalam
tubuhmu di bagian yang rahasia itu?”
Dewi Pemikat terdiam. Lalu dengan suara agak perlahan dia
menjawab.
”Aku tidak begitu memperhatikan. Tapi terus terang
memang ada satu keanehan. Anuku itu selalu gatal-gatal...”
”Gatal-gatal bukan karena jarang cebok?” celetuk Naga
Kuning hingga kembali jeweran Gondoruwo Patah Hati
menyambar telinga kirinya.
Dewi Pemikat cuma senyum-senyum.
”Selain merasa gatal, aku memiliki rasa gairah berkelebihan
terhadap kaum laki-laki...”
”Kalau bunga tanjung itu memang bisa dikeluarkan, mungkin
semua keanehan yang kau alami akan berakhir. Kau bisa kembali
hidup wajar...”Dewi Pemikat tatap Purnama yang barusan bicara.
”Aku tak akan berkata apa-apa lagi. Semua yang terjadi
dengan diriku mungkin sudah takdir!”
”Jadi kau tidak mau ditolong agar terlepas dari keanehan
yang kau alami. Sekaligus menolong sahabat kami ini?” Tanya
Ratu Duyung pula.
Dewi Pemikat pandangi Pendekar 212 sejurus.
”Mungkin...mungkin saja aku mau diobati penyakit gatal-
gatal dan gairah aneh itu. Sekalian menolong si gondrong yang
suka garuk-garuk kepala seperti orang jarang mandi ini. Tapi
yang aku pikirkan, bagaimana caranya mengeluarkan...”
Dewi Pemikat tidak teruskan ucapan karena tak bisa
menahan tawa.
”Aku sudah siap kerja sukarela,” berkata Naga Kuning
sambil mesem-mesem. ”Atau aku ada akal lain. Sobatku baju
kuning harus berendam dalam telaga yang airnya sejuk bening.”
”Bocah tolol!” Berkata Setan Ngompol. ”Kalau direndam
malah makin sempit jalan keluarnya...”
”Kalau begitu diganggang saja sama bara menyala biar lebar
jalan keluarnya!” Ucap Naga Kuning yang membuat semua orang
jadi terkejut tapi tak bisa menahan tawa.
”Bocah, apa kau benar mau kerja sukarela mengeluarkan
bunga tanjung itu?”
Pertanyaan Dewi Pemikat itu membuat semua orang jadi
terkejut termasuk Naga Kuning sendiri.
”Kau punya alat apa yang mau dipakai...?” Dewi Pemikat
bertanya lagi.
Naga Kuning tak bisa menjawab.
”Ha !! Aku bertanya. Kau mau pakai alat apa mengeluarkan
bunga tanjung itu dari anuku?” Dewi Pemikat bertanya polos-
polosan.
”Anu...Aku,aku cuma punya jari ini.” Jawab Naga Kuning
sambil goyang-goyangkan jari tengah tangan kanannya.
”Baik kau boleh mempergunakan jarimu itu! Nah, ayo kau
kerjakan!”
Dewi Pemikat tarik lengan Naga Kuning. Kedua-nya naik ke
dalam pondok diikuti oleh Wiro, Purnama, Setan Ngompol dan
Ratu Duyung bersama Gondoruwo Patah Hati yang sudah siap-
siap hendak menyemprot si bocah.
Di dalam pondok Dewi Pemikat baringkan tubuh di lantai.
Dua kaki dilipat sedikit dan dikembangkan lebar-lebar. Melihat
orang bersungguh-sungguh seperti itu Naga Kuning malah jadi
takut dan bersurat dua langkah.
”Ayo, kau tunggu apa lagi?! Bocah, lekas tarik celanaku!”
”Aku, hemmm...”
”Anak konyol! Tenyata kau cuma besar mulut!” Ejek Dewi
Pemikat. Dikatai seperti itu Naga Kuning jadi jengkel. Dia
langsung jongkok di depan sosok Dewi Pemikat yang masih
berbaring di lantai.
”Anak gila! Kau mau melakukan apa?!” Bentak Gondoruwo
Patah Hati.
”Biar saja Nek. Anak ini mau berbuat baik. Tak usah
dilarang.” Berkata Dewi Pemikat.
Naga Kuning pegang ujung dua kaki celana panjang kuning
Dewi Pemikat. Ketika kaki celana itu hendak ditariknya tiba-tiba
meledaklah tawa Dewi Pemikat. Saat itu juga wajahnya yang
cantik jelita dan tubuhnya yang bagus molek berubah! Yang
terbaring di lantai pondok kini bukan lain adalah seorang nenek
keriput berambut kelabu, mengenakan jubah kuning. Daun telinga
diganduli anting terbuat dari tulang. Sepasang mata merah. Mulut
perot terkempot-kempot! Naga Kuning terlonjak dan cepat-cepat
bersurat mundur.
”Kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu!” berseru
Pendekar 212 lalu tertawa gelak-gelak. Saat itu juga pondok kayu
di tengah hutan Jati itu seperti mau roboh oleh hebohnya gelak
tawa semua orang yang ada di tempat itu Si nenek yang memang adalah kembaran ketiga Eyang
Sepuh Kembar Tilu bangkit berdiri sambil ikutan tertawa haha-
hihi. Mulutnya yang kempot tidak henti-hentinya berkata.
”Jangan salahkan diriku! Semua ini bukan aku punya mau!
Ketika aku menolong Wiro melepas bunga tanjung yang nempel di
bawah parutnya tiba-tiba ada hawa aneh menyambar ke arah
anuku. Lalu aku berubah jadi gadis montok. Hik..hik. .hik. Aku
bisa kembali ke bentuk asalku setelah pemuda bernama Cakra
Mentari itu menemui ajal.” Si nenek berpaling pada Naga Kuning.
”Bocah, sekarang apa kau masih mau kerja suka rela
mengeluarkan bunga tanjung itu?”
”Ampun Nek, tobat Nek!” jawab Naga Kuning sambil pijit
hidungnya dengan tangan kiri, melangkah mundur dan goyang-
goyangkan tangan kanan.
***
SETELAH jenazah Cakra Mentari dikuburkan di hutan jati,
Ratu Duyung membawa kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar
Tilu ke tempat kediamannya di laut selatan Sementara Wiro dan
yang lain-lainnya menunggu di sebuah goa di dekat Parangtritis.
DI Kerajaan bawah laut seorang tabib perempuan memberi si
nenek obat dan berhasil mengeluarkan bunga tanjung dari bagian
tubuh dibawah perut. Seorang suruhan kemudian menanam
bunga tanjung itu di bawah pohon tanjung, diantara dua akar
yang muncul sejajar di tanah. Hanya sehari sesudah itu Pendekar
212 Wiro Sableng sembuh dari penyakitnya.
Apa yang terjadi dengan Pangeran Aryo Dipasena? Ketika
dirinya dilempar oleh Dewi Pemikat, kepalanya membentur pohon
jati hingga putera Raja ini pingsan cukup lama. Dia baru siuman
pada siang keesokan harinya. Kembali ke pondok dia hanya
menemukan bangkai kuda putih miliknya. Sang Pangeran duduk
di lantai pondok. Dia benar-benar merasa kehilangan Dewi
Pemikat yang telah sangat mempesona dirinya. Hanya saja, kalau
dia tahu siapa sebenarnya asli gadis berwajah cantik bertubuh montok putih itu, mungkin dia bisa pingsan selama tiga hari tiga
malam !
Akan halnya Patung Kamasutra yang ditemukan di balik
pakaian Cakra Mentari diambil oleh Ratu Duyung, disimpan di
Kerajaan bawah laut sampai ada kesempatan untuk menghubungi
dan menyerahkannya pada Resi Khandawa Abitar.
Bagaimana pula dengan Bidadari Angin Timur? Apakah
semudah itu gadis cantik berambut pirang ini melupakan
Pendekar 212 Wiro Sableng dan mengalihkan cintanya pada
Jatilandak yang sekarang menjadi Kepala Pasukan Kesultanan
Cirebon dengan nama Tubagus Putrakesuma?
TAMAT
PENULIS : BASTIAN TITO
CREATED : MATJENUH CHANNEL
BLOG : https://matjenuh-channel.blogspot.com
Ikuti episode berikutnya berjudul
SI CANTIK GILA
DARI GUNUNG GEDE
0 comments:
Posting Komentar