Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Rabu, 05 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - WASIAT SANG RATU

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com



SATU


PENDEKAR 212 Wiro Sableng garukgaruk kepala. Lalu pada Dewa Ketawa yang duduk di

hadapannya

dia berkata. “Aku tetap tidak bisa percaya kalau saat ini kita berada di

awangawang. Kau lihat sendiri Sobatku Gendut. Bangunan, taman, pedataran,

lalu di

sebelah sana malah ada bukit! Mana mungkin semua ini menggantung di udara. Mana

mungkin ada dunia di atas dunia?!”

Kakek gendut berbobot

200 kati itu eluselus dadanya yang gemberot. Lalu

penyakitnya kambuh. Dia mulai tertawa. Mulamula perlahan. Tambah lama makin

keras hingga Wiro terpaksa tekap kedua telinganya.

“Anak tolol! Aku sudah bilang mengapa meributi segala hal yang tidak bisa

sampai dalam akal kita manusia biasa? Tempat

ini, termasuk para penghuninya, jadi

termasuk Ratu Duyung bukanlah makhluk biasa. Mereka mampu hidup di dua alam.

Darat dan air….”

“Berarti mereka sebangsa kodok?” ujar Wiro sambil menyengir. Membuat tawa

si gendut semakin keras. “Ada satu hal lagi yang aku tidak mengerti. Kulihat Sang Ratu

maupun gadisgadis yang ada di sini tidak ada bedanya dengan manusia biasa. Mengapa

Sang Ratu disebut Ratu Duyung? Bukankah duyung sejenis makhluk bertubuh sebagian

manusia sebagian lagi ikan?”

“Memang begitulah keadaan asli tubuh mereka…” jawab Dewa Ketawa. “Kau

tidak percaya? Ha…ha…ha…?!

“Kau sendiri melihat. Mereka bicara seperti kita. Memiliki kecantikan seperti

bidadari. Berjalan dengan dua kaki yang mulusmulus. Bukan dengan ekor ikan….”

“Jika kau suka, kau bisa membuktikan sendiri!” kata Dewa Ketawa pula sambil

senyumsenyum. “Eh,membuktikan bagaimana maksudmu? Kau tahu caranya? Atau

punya ajian yang bisa dirapal hingga mampu melihat bentuk asli mereka?!”

“Tak perlu ajian. Tak perlu segala macam rapalan. Cukup dengan mata telanjang.

Asal tahu rahasianya….”

“Kalau begitu tunjukkan padaku rahasia itu!” ujar Wiro.

Dewa Ketawa tak segera memberitahu tapi seperti biasanya dia tertawa dulu,

membuat murid Sinto Gendeng jadi tidak sabaran.

“Kau lihat pohon besar itu, Sobatku Muda?!” tanya si kakek gendut sambil

menunjuk pada sebatang pohon besar yang tumbuh miring di kejauhan. Wiro

mengangguk. “Di balik pohon itu ada satu jalan kecil menurun. Di ujung penurunan ada sebuah telaga berair biru. Nah telaga ini tempat mandi gadisgadis anak buah Ratu

Duyung. Terkadang mereka pergi ke sana untuk istirahat sambil bercengkrama….”

“Jadi kau menyuruh aku mengintip anak gadis mandi?”

“Terserah padamu. Kau bilang mau melihat bentuk asli gadisgadis itu….”

Wiro garukgaruk kepala. “Kalau ketahuan aku mengintip bagaimana??”

“Wah, akibatnya memang berat. Tapi itu urusanmulah!” jawab Dewa Ketawa dan

orang tua bertubuh gemuk luar biasa ini kembali tertawa. Setelah tawanya reda dia

berkata.

“Kau tahu, cuma itu satusatunya cara kalau mau mengetahui

keadaan

sebenarnya para gadis di sini. Ujud asli mereka akan kelihatan bila tubuh mereka basah

atau mereka masuk ke dalam air. Baik air tawar maupun air laut….”

“Bagaimana kalau mereka misalnya terguyur air hujan?” tanya Wiro pula.

“Anak setan! Macammacam saja pertanyaanmu!

Mengapa tidak kau tanya

bagaimana kalau terguyur air kencing?! Ha… ha… ha…! sambil usapusap dua matanya

yang sipit kakek gemuk ini kemudian

berkata

dengan suara sengaja diperlahan

lahankan. “Ada satu hal yang mau kubilang padamu….”

“Hemmm…. Apa? Kelihatannya seperti kau mau menceritakan satu rahasia besar

saja!”

“Betul! Kau rupanya punya firasat!” jawab si kakek. Wiro cepat menekap mulut

orang tua ini ketika dia mulai menunjukkan hendak tertawa kembali.

“Ayo cepat, kau mau bilang apa?” tanya Wiro.

“Ratu Duyung itu sebenarnya suka padamu…” bisik Dewa Ketawa.

“Jangan ngaco! Kau mengadaada saja!”

“Sobatku Muda, aku tidak bicara bohong…!”

“Bagaimana kau bisa tahu? Memangnya dia bilang padamu?!”

“Aku segera tahu pada pertama kali bertemu dengannya. Beberapa hari lalu.

Memang dia tidak mengatakan

terus terang. Tapi dari sikap dan ucapannya cukup

tersirat dia menyukai dirimu….”

Wiro memandang dengan mata membesar pada si gendut tua itu.

“Agaknya dia sudah lama mendengar tentang kau. Dia menjadi salah seorang

dari banyak gadis yang mengagumi dirimu. Namun….”

“Namun apa?”

“Rasa sukanya kurasa serta merta lenyap ketika melihat keadaan

dirimu.

Ternyata kau seorang pemuda hitam gosong bermuka macam pantat

kuali! Ha… ha…

ha…”

“Orang tua sialan…! Maki Wiro dalam hati.

Si kakek gendut gelenggelengkan kepala. “Memang aku suka bergurau Sobatku

Muda. Tapi percayalah, aku yakin betul Ratu Duyung diamdiam jatuh hati padamu!”

Wiro memandang ke

arah pohon

besar. Di sampingnya Dewa Ketawa berkata.

“Tadi kulihat ada serombongan

gadis menuju ke sana. Pasti mereka pergi mandi.

Sebaiknya kau lekas menyelidik….”

“Kau tak mau ikut mengintip?!” tanya Wiro.

Aku sudah terlalu tua untuk pekerjaan macam begini. Itu bagian yang muda

muda sepertimu….”

Wiro menyeringai. “Aku tidak percaya pada tua bangka berminyak sepertimu ini.

Janganjangan kau sudah duluan mengintip. Kalau tidak dari mana kau bisa tahu.”

“Ha… ha… ha…! tawa si kakek gendut membahak lepas.

Wiro tinggalkan orang tua itu. Dengan cepat dia melangkah menuju pohon

besar. Seperti yang dikatakan Dewa

Ketawa, di balik pohon itu memang ada sebuah

jalan kecil. Jalan ini terbuat dari batubatu hitam, berupa tanggatangga kecil menurun.

Keadaan di tempat itu sunyi. Angin bertiup sepoisepoi.Wiro menuruni jalan kecil

dengan hatihati. Setengah panjangnya jalan yang menurun Wiro menangkap suara

gelak tawa di bawah sana.

“Si gendut tidak dusta. Memang ada serombongan gadis di bawah sana…” kata

Wiro dalam hati. Dia belum dapat melihat apa yang ada di bawahnya karena tertutup

oleh rerumpunan pohonpohon setinggi kepala. Dengan dada berdebar murid Sinto

Gendeng melangkah terus menuruni jalan batu. Debaran dadanya mencapai puncak

sewaktu dia sampai di ujung jalan. “Pemandangan luar biasa…” kata sang pendekar

dalam hati. Dia cepat menyelinap ke balik sebuah batu besar

dan mengintai di balik

kerapatan semak belukar berbunga aneh.

Di bawah sana kelihatan sebuah telaga berair biru. Di salah satu tepiannya,

terdapat gundukan batubatu hitam tersusun rapi seolah ditata oleh tangan manusia.

Dari celah susunan batubatu hitam itu mengucur air jernih yang kemudian jatuh masuk

ke dalam telaga.

Mata Pendekar 212 Wiro Sableng tidak berkesip memperhatikan empat orang

gadis yang ada di dalam telaga, berenang sambil bercanda satu sama lain. Dari

tempatnya mengintai jelas empat gadis itu mandi bertelanjang dada. Di tepi telaga tiga

orang gadis lainnya duduk bermalasmalas. Yang satu menyisirnyisir rambutnya dengan

sebuah sisir berbentuk tulang ikan. Dua lainnya asyik mengobrol.

Salah seorang dari gadis yang mandi keluar dari telaga lalu bergabung dengan

tiga temannya.

“Astaga!” murid Sinto Gendeng keluarkan seruan kaget ketika melihat keadaan

tubuh gadis yang barusan

keluar dari dalam telaga itu. Bagian atas auratnya berada

dalam keadaan polos tanpa penutup sama sekali. Lalu tubuh sebelah bawah, inilah yang

membuat Wiro jadi tercengang, mata melotot mulut ternganga. Tubuh bagian bawah

gadis itu berbentuk ekor ikan besar berwarna perak berkilat. Ujungnya

bergerakgerak

kian kemari. Masih tak percaya Wiro gosokgosok kedua matanya. “Tak bisa kupercaya

kalau tidak kulihat sendiri. Berarti keadaan Ratu Duyung tidak beda dengan keadaan

anak buahnya itu…” kata Wiro dalam hati.

Selagi gadis yang barusan keluar dari telaga bercakapcakap dengan teman

temannya, salah seorang gadis di tepi telaga tampak bangkit. Sesaat dia berdiri di atas

sebuah batu lalu “byurrr”! Gadis itu terjun ke dalam telaga.Aneh, dia masuk ke dalam telaga. Kenapa tidak membuka pakaian hitamnya

dulu…? pikir Wiro. Dia terus memperhatikan.

Lalu pemuda

ini kembali melengak

keheranan. Ternyata begitu tubuhnya masuk ke dalam air, pakaian hitam yang melekat

di tubuhnya lenyap secara aneh. Di saat yang sama sepasang kakinya berubah menjadi

ekor ikan besar, bergerakgerak kian kemari.

“Baru sekali ini aku melihat keanehan gila macam begini!” ujar Wiro seraya

gelenggeleng kepala.

Baru saja dia berkata seperti itu tibatiba terdengar suara suitansuitan keras dari

beberapa penjuru. Tujuh gadis di telaga kelihatan kaget. Wiro sendiri tak kalah kejutnya

karena tahutahu tempat dimana dia berada telah dikurung oleh enam orang gadis lain

anak buah Ratu Duyung. Keenam gadis ini menunjukkan wajah galak. Masingmasing

mengangkat

tangan kanan seraya tudingkan jari telunjuk mereka luruslurus kearah

Wiro. Ujungujung jari mereka memancarkan

sinar biru pertanda mengandung

satu

kekuatan dahsyat.

Sadar kalau dirinya tertangkap basah Wiro jadi salah tingkah. Dia melangkah

mundur namun cepat kembali

ke tempat semula ketika

dari ujung jari salah seorang

gadis melesat keluar sinar biru yang menghancurkan batu di belakang kaki Wiro.

“Tetap di tempatmu!

Jangan berani bergerak

sampai Ratu datang!”

salah

seorang dari enam gadis membentak.

Rerumputan pohon bunga di sebelah kiri tibatiba tersibak. Ratu Duyung muncul

diiringi dua orang anak buahnya. Sesaat dia menatap pada Wiro dengan pandangan

dingin. Lalu dia memberi isyarat. Empat orang anak buahnya segera mendekati Wiro.

Dua orang menarik tangan Wiro ke depan.

“Ratu, tunggu dulu!” seru Wiro. “Jangan salah mengerti.

Aku tidak bermaksud

jahat….”

“Kau sudah tertangkap basah melakukan perbuatan kurang

ajar. Masih hendak

mengelak?!” bentak Ratu Duyung. “Ikat tangannya!”

Dua gadis anak buah Ratu Duyung kembali menarik tangan Wiro ke depan.

Lengannya disilang satu sama lain lalu gadis ketiga maju mendekat. Ujung jarinya yang

memancarkan sinar biru digerakkan.

“Rrrttttttt!”

Terjadilah satu hal luar biasa. Larikan sinar biru yang keluar dari ujung jari si gadis

berputar menjerat kedua pergelangan tangan Wiro, tidak beda seperti ikatan seutas tali.

Hanya saja tali yang mengikat erat Wiro saat itu berbentuk aneh yaitu berupa lingkaran

mengeluarkan sinar biru. Ketika Wiro berusaha melepaskan ikatan itu ternyata dia tak

mampu menggerakkan tangannya sedikit pun.

“Bawa dia ke bukit Batu Putih!” Ratu Duyung berikan perintah.

Dua orang anak buahnya segera mendorong tubuh Pendekar 212.

“Ratu,” kata Wiro begitu dia sampai di hadapan Ratu Duyung. “Aku tidak

bermaksud berbuat

yang bukanbukan. Apa lagi

berani berlaku

kurang ajar. Apa yang kulakukan terdorong dari rasa ingin tahu. Apa yang ada di sini di luar kemampuan akalku

untuk mencerna. Aku…”

Ratu Duyung goyangkan kepalanya. Empat orang gadis dengan cepat membawa

Wiro meninggalkan tempat itu. Setelah melalui jalan cukup jauh dan berlikuliku mereka

sampai di satu pedataran batu. Semua batu yang menumpuk di sini berwarna putih. Di

langit sang surya bersinar sangat terik seolah hanya beberapa jengkal saja di atas kepala.

Wiro merasa tubunya seperti dipanggang. Dia ditarik kebalik sebuah batu besar. Ketika

sampai di balik batu itu terkejutlah Wiro. tersandar pada batu besar itu terpentang

sosok tubuh gendut Dewa Ketawa. Dua larik sinar biru membentuk

tali mengikat

tubuhnya ke batu besar itu hingga dia tidak mampu bergerak sedikit pun. Keringat

membasahi sekujur tubuhnya. Kulitnya kelihatan merah oleh teriknya sinar matahari.

“Walah…! Sobatku gendut! Kau sudah duluan rupanya!” ujar Wiro.

“Hemmmm….” Dewa Ketawa menyahut dengan gumaman. Sesaat kemudian dia

mulai tertawatawa.

“Dasar manusia kurang waras. Dalam keadaan seperti ini masih bisa ketawa dia!”

kata Wiro dalam hati setengah merutuk.

Wiro sandarkan

pada sebuah batu besar di samping Dewa Ketawa diikat.

Seorang gadis tudingkan ujung jarinya ke tubuh Pendekar 212. Ketika jari itu digerakkan

maka larikan sinar biru berubah menjadi tali berkilauan, mengikat Wiro ke batu di

belakangnya. Keadaan ini tidak beda

dengan si Dewa Ketawa. Bedanya dua tangannya

masih tetap terikat tali bersinar biru.

“Ratu, kami menunggu perintahmu selanjutnya!” Seorang gadis anak buah Ratu

Duyung berkata.



DUA


BARUsaja salah sorang gadis berkata begitu sosok Ratu Duyung muncul dan tegak

sepuluh langkah di hadapan Wiro dan Dewa Ketawa. Dia memandang pada kedua orang

itu begantiganti lalu berkata.

“Menyesal

aku telah

menganggap

kalian sebagai

tamutamu terhormat.

Ternyata kalian sama tak dapat dipercaya!”

Wiro menatap wajah cantik Ratu Duyung sesaat lalu berpaling pada Dewa

Ketawa dan berbisik. “Sobatku Kerbau Bunting! Kau bilang dia menaruh

hati padaku.

Kau lihat sendiri! Buktinya aku diikatnya seperti ini!”

Dewa Ketawa balas memandang Wiro lalu mukanya berubah. Sesaat kemudian

dia tertawa gelakgelak.

“Gendut gila! Bagaimana dalam keadaan seperti ini kau masih bisa tertawa?!”

damprat Wiro.

“Sssst…. Jangan memaki bicara tak karuan. Umur mungkin tak bakal lama. Kita

tidak tahu hukuman apa yang bakal dijatuhkan orangorang

itu. Yang jelas kalau aku

mati pasti masuk sorga, kau jelas minggat ke neraka! Ha… ha… ha!”

“Enak saja kau bicara!” tukas Wiro lalu dia berpaling pada Ratu Duyung. “Ratu

kalau aku memang bersalah, aku minta maaf. Tapi sobatku si gendut ini mengapa harus

ikut menerima hukuman? Yang salah cuma aku sendirian. Harap kau suka

membebaskannya….”

Para gadis anak buah Ratu Duyung menatap pimpinan mereka

menunggu apa

yang harus mereka lakukan selanjutnya. Sebaliknya Sang Ratu memandang pada

Pendekar 212. Dalam hati dia berkata. “Aku melihat jiwa kesatria dalam dirinya. Tapi jika

aku tidak menjatuhkan hukuman bagaimana wibawaku di mata para gadis ini….”

“Ratu, kami menunggu perintahmu!” seorang gadis berkata ketika dilihatnya

Ratu Duyung hanya tegak tak bergerak, menatap ke

arah Wiro. “Hukuman apa yang

harus kami jatuhkan terhadap dua orang ini?!”

Ratu Duyung mendehem beberapa

kali. Lalu berucap. “Orang bernama Dewa

Ketawa telah berbuat dosa, melakukan kesalahan. Kalau bukan karena mulutnya maka

kawannya ini tidak akan berbuat dosa kesalahan! Hukuman baginya adalah hukuman

cabut lidah selama tiga hari!”

Dewa Ketawa…!” Wiro keluarkan seruan saking terkejutnya mendengar apa yang

dikatakan Ratu Duyung. Dia berkata dengan suara keras pada Sang Ratu. “Ratu Duyung!

Sudah kubilang kawanku ini tidak bersalah. Aku yang jadi biang kerok! Bebaskan dirinya

biar aku yang menerima semua hukuman. Kau boleh membunuhku agar puas! Seumur

hidup belum pernah aku melihat perempuan sepertimu. Cantik selangit tapi kejam

selangit tembus!”Ucapan Pendekar 212 itu membuat wajah Ratu Duyung menjadi merah. Namun

sikapnya tetap tenang. Sebaliknya

di samping terdengar suara

Dewa Ketawa tertawa

gelakgelak.

“Kerbau Bunting!” teriak Wiro. “Orang hendak mencabut lidahmu, kau malah

tertawa gelakgelak!” Kau benarbenar sudah gila!”

“Ah, hukuman cabut lidah itu Cuma tiga hari mengapa harus ditakutkan?!” jawab

Dewa Ketawa lalu kembali tertawa terbahakbahak.

“Lakukan hukuman!” Ratu Duyung memberi perintah.

Seorang gadis maju mendekati Dewa Ketawa yang seolah tidak peduli dan masih

saja terus tertawa.

“Dewa Ketawa! Selamatkan dirimu! Lekas lari dari tempat ini!” Wiro kembali

berteriak.

Kakek gendut itu berpaling padanya. “Kau sendiri apa sudah mencoba untuk

bebaskan diri?!” balik bertanya Dewa Ketawa.

Wiro jadi penasaran.

Dia kerahkan

tenaga untuk melepaskan

diri. Sampai

tubuhnya basah oleh keringat ternyata dia tidak mampu melepaskan diri dari ikatan tali

aneh yang mengeluarkan cahaya biru itu. Malah makin dipaksa tubuhnya terasa menjadi

lemah.

“He… he…! Bagaimana? Apa kau mampu?” Tanya Dewa Ketawa sambil tertawa

dan pencongkan hidungnya mengejek Wiro. “Sebelumnya aku sudah mencoba, tapi tak

ada gunanya. Mereka memiliki ilmu aneh. Aku yang tua tidak mampu apalagi kau yang

masih bau pesing! Ha…ha…ha!”

“Gendut sialan!” maki Wiro.

“Lakukan hukuman!” Tibatiba Ratu Duyung berseru, memberi perintah untuk

kedua kalinya.

Dua orang gadis maju ke hadapan Dewa Ketawa.

“Dewa Ketawa, sebelum hukuman dijatuhkan, kau kami beri kesempatan untuk

tertawa sepuasmu!” kata Ratu Duyung pula.

Kakek gendut itu pandangi sang

Ratu sesaat. “Kau mau berbaik hati memberi

kesempatan. Aku berterima kasih untuk itu,” kata Dewa Ketawa pula. Lalu dia mulai

tertawa. Mulutnya makin lebar dan suara tawanya semakin keras. Gadis di samping

kanan tibatiba jentikkan jarinya. Saat itu juga tubuh Dewa Ketawa menjadi kaku. Suara

tawanya lenyap dan mulutnya dalam keadaan terbuka lebar.

“Cabut lidahnya!” perintah Ratu Duyung.

Gadis di sebelah kiri kini yang maju. Tangannya bergerak

cepat ke arah mulut

Dewa Ketawa yang terbuka

lebar. Wiro merasa

ngeri untuk menyaksikan.

Dia

membuang muka.

“Kreeeeekk!”

Tenguk Pendekar 212 merinding dingin mendengar

suara itu. “Pasti lidahnya

sudah dicabut….! Manusiamanusia ganas!” Perlahanlahan

Wiro palingkan kepalanya.

Dilihatnya Dewa Ketawa masih dalam keadaan kaku ternganga. Mulutnya penuh darah.Wiro memperhatikan. Ternyata dalam mulut kakek gendut itu tak ada lagi lidah!

Sewaktu Wiro berpaling ke kanan dia melihat seorang

gadis anak buah Ratu Duyung

tengah meletakkan

sebuah benda merah panjang bergerakgerak di atas baki kecil

terbuat dari kerang. Lidah Dewa Ketawa! Wiro merasa kepalanya pening dan seperti

mau muntah.

“Sekarang giliran pemuda

berkulit hitam!” Tibatiba terdengar

suara Ratu

Duyung.

Murid Sinto Gendeng tersentak.

“Ratu…!” serunya.

“Kesalahan ada pada kedua matanya yang berani mengintip

orang mandi.

Butakan dua mata itu selama tiga hari!”

“Ratu! Apa yang hendak kau lakukan?! Aku mohon!”

Teriakan Wiro itu tak ada gunanya. Saat itu seorang gadis anak buah Ratu

Duyung yang bertubuh jangkung mendatanginya

lalu menjentikkan tangannya. Serta

merta sekujur tubuh Wiro menjadi kaku. Mulutnya pun tak mampu bersuara lagi! Gadis

yang barusan menotok Wiro secara aneh maju

lebih dekat. Dua tangannya bergerak

cepat sekali ke arah matanya kiri kanan. Wiro merasa sepasang matanya dingin sekali.

Tapi hanya sesaat.

Di lain kejap rasa dingin itu berubah

dengan sengatan panas yang

sakitnya bukan main. Wiro hendak berteriak namun mulutnya terkancing gagu! Pada

saat itu juga dia tidak melihat apaapa lagi selain gelap mengelam dan menggidikkan.

“Ya Tuhan! Apa yang dilakukan mereka padaku?! Aku tak bisa melihat! Mereka

mencungkil kedua mataku! Aku benarbenar buta!”

Darah mengucur dari kedua mata Pendekar 212 yang kini hanya merupakan

rongga dalam dan besar mengerikan. Darah mengucur membasahi pipi. Dewa Ketawa

yang menyaksikan kejadian itu cuma mampu kerenyitkan mata, tak bisa bergerak tak

bisa keluarkan suara. Kalau saja dia tidak dalam keadaan tertotok, setelah menyaksikan

kengerian itu sudah pasti dia akan tertawa gelakgelak. Ketika berpaling ke samping

dilihatnya gadis jangkung tadi tengah meletakkan dua buah benda bulat putih hitam di

atas sebuah baki kecil dari kerang laut.

“Gila! Apa betul dua benda itu sepasang mata anak setan itu…?” pikir Dewa

Ketawa. Perutnya terasa mual. Tenggorokkannya seperti mau muntah. Tengkuk orang

tua gendut ini jadi merinding. “Benarbenar gila! Seumur hidup rasarasanya baru sekali

ini aku merinding ngeri!” Lebihlebih ketika dia coba melirik memperhatikan ke

samping, melihat bagaimana keadaan muka Pendekar 212 sekarang! Muka pemuda ini

kini terpentang tanpa sepasang mata!

“Dunia aneh…Bagaimana mereka bisa melakukan keganasan ini?! Tapi…eh,

apakah aku merasa sakit sewaktu lidahku dicabut? Memang aku melihat ada darah

mengucur dari mulut. Tapi mengapa aku taidak merasa sakit sama sekali? Kuharap

Sobatku Muda itu juga tidak merasa sakit

walau kedua matanya dicungkil begitu rupa!

Hukuman gila macam apa ini! Aku kepingin tertawa, tapi mengapa tidak bisa? Celaka!

Kalau aku nanti tak mampu tertawa lagi selamalamanya akan kuobrakabrik tempat ini!Akan kuhajar mereka semua! Tapi apakah aku tega melakukan itu terhadap para gadis

yang cantikcantik itu? Ratu Duyung kau membuat aku betulbetul sengsara. Hidup

tanpa tawa…. Rasanya lebih baik mati saja!”

***


TIGA


Malam terasa lebih dingin dari malammalam sebelumnya. Ini adalah malam ketiga atau

malam terakhir Pendekar

212 Wiro Sableng dan kakek gendut

berjuluk Dewa Ketawa

menjalani hukuman, diikat secara aneh ke batu putih besar. Wiro dalam keadaan tanpa

mata dan dilanda sakit terus menerus. Dewa Ketawa masih untung. Walau lidahnya

dicabut namun tidak mengalami rasa sakit sedikitpun. Malah saat itu dia tengah tertidur

nyenyak. Dari tenggorokkannya

terdengar

suara mengorok aneh padahal dia dalam

keadaan

tertotok

hingga tak mampu bergerak

dan seharusnya

juga tak mampu

bersuara.

Sepasang telinga murid

Sinto Gendeng dari Gunung Gede tibatiba

mendengar

sesuatu. Bersamaan dengan itu dia merasakan adanya tekanantekanan halus yang

menggetarkan batu yang dipijaknya.

“Dewa Ketawa, bangunlah!”

ujar Wiro. Tapi suaranya tidak keluar. Pemuda ini

lupa kalau dirinya berada dalam keadaan tertotok

hingga tak mampu bersuara.

Ketika

dia tidak mampu mendengar suaranya sendiri

baru dia sadar. Dalam hati

dia berkata.

“Ada seseorang mendekati tempat ini. Pasti Ratu Duyung…Hemmm… Mau apa dia

kemari? Menambah

siksaan lagi?! Sialan! Kalau saja mereka

tidak mencungkil mataku

pasti aku dapat melihat tampang makhluk cantik tapi kejam itu! Kalau saja mulutku bisa

berucap pasti sudah kusemprot dia saat ini!”

Langkahlangkah orang yang mendatangi lenyap.

Namun Wiro dapat

menduga

kalau orang itu berhenti dan tegak sekitar beberapa langkah di hadapannya. Dia dapat

mendengar hembusan napas orang ini dan hidungnya mencium bau tubuhnya yang

harum.

“Saudara…” satu suara perempuan menegur.

“Hemmm… bukan Ratu Duyung,” membatin Pendekar 212.

Lalu ada jarijari tangan mengelus pangkal lehernya. Serta merta jalan suara Wiro

terbuka dan dia

mampu berbicara namun

yang keluar saat itu adalah suara mengeluh

setengah mengerang.

“Kau pasti tersiksa dalam hukumanmu…” perempuan di hadapan Wiro kembali

berkata.

“Namanya saja dihukum. Siang dipanggang sinar matahari, malam diguyur

embun dan udara

dingin! Dan kedua mataku

yang dicungkil sakitnya

bukan kepalang.

Uh…! Katakan siapa kau adanya?! Kau bukan Ratu Duyung. Apa kau disuruh perempuan

itu datang tanpa setahunya…”

“Uh…” Wiro mengeluh

lagi. “Lalu apa maksud kedatanganmu

diamdiam

kemari?”

“Kami…Maksudku anak buah sang Ratu yang melakukan

hukuman

telah

kesalahan tangan. Sebelum dia menjatuhkan

hukuman, dia lupa mematikan indera

perasaan luarmu hingga selama ini kau pasti sangat tersiksa….”“Kau ini bicara gila atau bagaimana? Setelah dua hari dua malam dipentang di

sini kau datang dan bicara segala hal yang membuat aku jengkel! Dengar baikbaik…

Kalau aku nanti dilepas aku akan membalas semua ini! Bilang sama Ratumu dan pergi

dari sini!”

“Jangan salah sangka. Aku datang untuk menolongmu…”

Wiro menyeringai. “Kau mampu membebaskanku?!”

“Tidak….”

“Kalau begitu lekas minggat dari hadapanku!” bentak Pendekar 212.

“Dengar dulu. Sebenarnya aku memang bisa membebaskanmu. Tapi aku tak

akan melakukan ketololan itu!”

“Mengapa tidak mau? Ketololan apa maksudmu?!”

“Kami di sini hidup di bawah perintah Ratu Duyung dan kami semua harus patuh.

Jika sampai salah dan dijatuhi hukuman, nasib kami akan celaka seumur hidup. Tak ada

jalan kembali….”

“Tak ada jalan kembali? Apa maksudmu?” bertanya murid Sinto Gendeng.

“Aku tak bisa memberi penjelasan. Kuharap saja kelak kau bisa tahu sendiri.

Sekalipun aku mendorong membebaskan dirimu…”

“Dan mengembalikan dua mataku!” ujar Wiro pula.

“Ya…. Ya… membebaskan dan mengembalikan dua matamu….”

“Tunggu dulu… Jika dua mataku dikembalikan apa penglihatanku

bisa wajar

seperti semula? Kau tahu bola mata itu punya ribuan urat kecilkecil. Apa bisa bertaut

lagi ke asalnya?”

“Jika dua matamu dipasang kembali penglihatanmu akan wajar seperti semula.

Malah…” Anak buah Ratu Duyung hentikan ucaapannya.

“Malah apa….?”

“Maafkan aku. Aku tak bisa memberi keterangan lebih jauh…. Seperti kataku tadi

sekalipun kau bebaskan dan dua matamu kupasang lagi kau tak mungkin lolos dari

tempat ini. Jangankan manusia biasa, setan atau jin pun tidak bisa keluar dari tempat ini

jika tidak dikehendaki oleh Ratu Duyung….”

“Tobat, tempat celaka macam apa ini!” kata Wiro mengumpat dan memaki.

“Dengar, aku hanya bisa menolong melenyapkan rasa sakit yang kau rasakan

saat ini…”

“Percuma….! Setelah dua hari dua malam aku dipentang tersiksa seperti ini kau

baru datang! Aku yakin kau hanya hendak menyiasati diriku….”

“Kau salah sangka….” Kata anak buah Ratu Duyung lalu ujung jari tangan kirinya

ditusukkan ke dada Wiro. Saat itu juga segala rasa sakit yang diderita Pendekar

212

serta merta lenyap.

“Hmmm….”Murid Sinto Gendeng bergumam.”Ternyata kau tidak dusta….Aku

menghaturkan terima kasih.”

“Sekarang aklu harus pergi. Sebelum pergi aku terpaksa menutup jalan suaramu

kembali…“Tunggu!” ujar Wiro. “Dua mataku itu, kau tahu dimana disimpannya?”

“Sang Ratu sendiri yang menyimpan. Kurasa di kamar tidurnya….”

“Sudah….Aku pergi sekarang…..”

“Sebentar, katakan siapa namamu….”

“Di tempat ini tidak satu pun dari kami mempunyai nama….”

“Benarbenar edan! Masakan orang tidak punya nama….?!”

”Aku tidak bisa menerangkan . Aku harus pergi….”

“Wiro berpikir, mengingatingat. “Aku tahu…. Kau pasti gadis jangkung yang

menotok dan mencungkil kedua mataku….”

Si gadis tercekat.

“Gadis jangkung, aku ingin tahu mengapa kau mau menolongku?” bertanya

Wiro.

“Mengapa kau mau bersusahsusah menolongku?”

“Sebenarnya aku akan menolong sejak

hari pertama

kau dibawa dan diikat di

tempat ini. Tapi penjagaan ketat sekali. Temanmu si gemuk itu lebih beruntung karena

perasaannya dihilangkan lebih dulu hingga walau lidahnya dicopot dia tidak merasa apa

apa…”

“Kau belum menjawab mengapa kau menolongku!” kata Wiro kembali.

“Tak bosa kuterangkan. Aku mendengar ada yang datang….”

Lalu cepat sekali

gadis di hadapan Wiro pergunakan telunjuk tangan kanannya menggurat leher pemuda

itu. Saat itu juga Pendekar 212 tak bisa bicara lagi SIANG

hari

ketiga.

Matahari bersinar

terik. Panasnya bukan

kepalang

seolah

berada tepat di atas kepala. Baik Dewa Ketawa maupun

Wiro saat itu tibatiba

mendengar

langkahlangkah kaki mendatangi. Lebih dari satu orang. Lalu terdengar

suara seseorang yang dikenalinya bukan lain suara Ratu Duyung.

“Hukuman telah berakhir. Kembalikan lidah tamu bernama Dewa Ketawa itu ke

dalam mulutnya!”

Sepi sesaat. Lalu Wiro mendengar langkahlangkah kaki mendekati sosok Dewa

Ketawa yang terpentang dalam keadaan terikat di batu putih. Sepasang mata kakek sakti

ini perhatikan gadis jangkung melangkah ke

hadapannya. Di sebelahnya ada gadis lain

yang melangkah sambil membawa baki dari kerang. Di atas baki kelihatan sebuah benda

merah berdarah bergerakgerak.

“Gila! Itu lidahku sendiri!” Dia merasa ngeri melihat lidahnya sendiri yang lenyap

selama tiga hari.

Gadis jangkung ambil benda di atas baki kerang. Tangannya bergerak cepat.

“Cleeppp!”

Wiro sempat mendengar

suara itu. Sunyi sesaat . Dewa Ketawa berusaha

menggerakkan mulutnya tapi tak mampu karena masih dalam keadaan tertotok.

“Lidah sudah dipasang kembali Ratu. Kami menunggu perintah lebih lanjut!”

anak buah sang Ratu yang bertubuh jangkung memberi tahu.

“Lepaskan ikatan tali sakti biru!” Ratu Duyung menjawab.

Gadis jangkung

acungkan

jari

telunjuk

tangan

kanannya.

Ujung jari

membersitkan sinar biru. Ketika

ujung jari itu diarahkan pada tali yang melibat tubuh

Dewa Ketawa, terdengar suara letupan berkepanjangan.

Tali itu serta merta lenyap

tanpa bekas. Dewa Ketawa merasa lega namun dia masih tak mampu bersuara dan

bergerak.

“Lepaskan totokannya.

Buka jalan darah dan pengunci uratnya!” Terdengar

kembali suara Ratu Duyung.

Anak buah Sang Ratu yang bertubuh jangkung usapkan tangan kanannya di atas

leher Dewa Ketawa lalu menekan bagian dada orang tua itu dengan ujung jarinya.

“Eh…eh…eh!” terdengar suara Dewa Ketawa. Dia gerakkan kedua tangannya.

Mulutnya dubuka lebarlebar. Lalu terdengar suara tawanya menggelegar. “Tiga hari

tiga malam tak bisa

ketawa! Sekarang aku mau tertawa sepuaspuasnya!” katanya

sambil pukulpukulkan tangan kanannya ke dada!

Semua orang yang ada di tempat itu, termasuk Ratu Duyung yang berkepandaian

paling tinggi diantara mereka getaran hebat pada gendang telinga masingmasing.

Mereka terpaksa tutup jalan pendengaran dengan telapak tangan. Malang bagi Penekar

212 karena dia masih dalam keadaan terikat dan tertotok tak bisa pergunakan dua

tangan untuk menekap telinga. Dua lobang telinganya seperti ditusuk paku! Kepalanya

seperti meledakledak.

“Kalau setan alas Kerbau Bunting ini tidak hentikan tawanya, telingaku bisa

pecah!” ujar Wiro dalam hati.Mendadak Dewa Ketawa memang hentikan tawanya. Sambil menatap kearah

Ratu Duyung dalam hati dia berkata. “Aneh, mengapa suara tertawaku jadi begitu

dahsyat? Seolaholahada satu kekuatan hebat dalam tubuhku. Bukan… bukan di

tubuhku, tapi di mulutku! Tepatnya di lidahku! Hemmm…. Apa sebenarnya yang telah

dilakukan perempuan cantik ini padaku? Ada satu keanehan, satu rahasia dibalik

hukuman

yang

dijatuhkannya

padaku.

Janganjangan…

Setelah menatap sejurus lagi pada Ratu Duyung Dewa Ketawa lalu berkata. “Ratu… Aku

yang tua ingin bertanya….”

Ratu Duyung angkat tangan kanannya dan memotong ucapan Dewa Ketawa.

“Hukumanmu sudah diakhiri. Kau kini bebas pergi. Sebenarnya sesuai undangan

masih ada dua hari

waktu tersisa bagimu di tempat kami. Namun dengan berat hati aku

terpaksa memintamu

untuk pergi sekarang juga… Di lain waktu mungkin kami akan

melayangkan undangan lagi untukmu berkunjung ke sini….”

Ratu Duyung berpaling pada empat orang anak buah yang ada di dekatnya lalu

berkata. “Antarkan tamu kita ke Pintu Gerbang Perbatasan….”

Dewa Ketawa hendak

mengatakan

sesuatu

namun

sadar kalau tak ada

kemungkinan lagi baginya untuk membuka mulut, apalagi membantah

putusan sang

Ratu maka diapun menjura lalu berkata. “Ratu Duyung, aku mengucapkan terima kasih

atas segala kebaikanmu…” habis berkata begitu Dewa Ketawa berpaling pada Wiro.

“anak ini… kalau aku pergi nasib apa yang bakal menimpanya. Mudahmudahan saja dia

mendapatkan sesuatu yang tidak lebih buruk dari aku…” Sekali lagi Dewa Ketawa

menjura pada Ratu Duyung lalu dia melangkah mengikuti empat orang anak buah Ratu

Duyung yang mengapitnya meninggalkan tempat itu.

“Heran tua Bangka gendut itu!” Pendekar 212 berkata dalam hati. “Sudah

dijatuhi hukuman malah masih mau bilang terima kasih. Dasar gendut geblek!”

“Ratu, kami siap menjalankan perintah selanjutnya!” Gadis jangkung anak buah

Ratu Duyung memberi tahu sesaat kemudian.

Sang Ratu mengangguk. Seorang anak buahnya yang lain muncul sambil

membawa sebuah baki kerang. Di atas baki itu terletak dua buah benda yang bukan lain

adalah sepasang mata Pendekar 212.

“Kembalikan kedua matanya!” ujar sang Ratu.

Gadis bertubuh jangkung melangkah ke hadapan Wiro. Gadis yang membawa

baki kerang juga ikut mendekat. Saat itu Wiro mencium

bau harum memasuki jalan

pernapasannya. “Hemmm….pasti dia ini gadis yang kemarin mendatangiku….” Selagi

Wiro berpikir seperti itu tibatiba dia mendengar suara “Cleppp! Clepp!” Bersamaan

dengan itu dia merasa ada dua benda berhawa sejuk masuk ke dalam rongga matanya

kiri kanan. Di saat yang sama kegelapan selama tiga hari tiga malam menyungkup

pemandangannya kini lenyap.

“Astaga! Aku bisa melihat lagi!” Wiro berteriak dalam hati. Yang pertama sekali

dilihatnya adalah satu wajah cantik berada dekat di depannya. Wajah gadis jangkung

anak buah Ratu Duyung. “Ah, si penolongku ternyata berwajah paling cantik diantara semua gadis di tempat ini…” ujar Wiro. Walau tidak mengerti bagaimana semua ini bisa

terjadi, namun disamping bersyukur sifat usilnya kembali muncul. Wiro kedipkan mata

kirinya pada gadis jangkung di hadapannya, membuat gadis ini menjadi merah wajahnya

dan cepatcepat melangkah

mundur.

Tapi langkahnya tertahan

ketika sang Ratu

memberi perintah.

“Lepaskan ikatan. Bebaskan dirinya dari totokan!”

Gadis jangkung kembali maju mendekati

Wiro. Tangan kanannya diangkat.

Telunjuk diacungkan. Begitu ujung jarinya mengeluarkan sinar

biru segera dia arahkan

ujung jari itu pada tali biru sakti yang mengikat sekujur tubuh Wiro ke batu putih.

Seperti waktu tadi membebaskan Dewa Ketawa

tali sakti itu keluarkan

suara letupan

berkepanjangan dan baru berhenti setelah seluruh tali gaib secara aneh.

Dengan ujung jari yang sama gadis jangkung itu kemudian mengusap leher Wiro

dan menotok dadanya. Serta merta jalan suara yang membuat sang pendekar menjadi

gagu musnah. Begitu dia bisa kedipkan mata kirinya pada si gadis jangkung seraya

berkata. “Terima kasih…”

Wiro usap kedua matanya dan memandang berkeliling. Pemandanganku benar

benar pulih seperti semula. Malah… eh… Apa benar ini? Dua mataku malah lebih tajam

dari sebelumnya. Aku seperti mampu melihat…. Pendekar 212 berpaling pada Ratu

Duyung dan menatap perempuan cantik jelita ini lekatlekat.

“Ratu, kami menunggu perintahmu selanjutnya. Apakah tamu yang satu ini akan

kami antar juga ke Pintu Gerbang Perbatasan?”

“Dia tidak akan meninggalkan tempat ini!” jawab sang Ratu yang membuat

Pendekar 212 jadi terkejut.

“Ratu, menurutmu hukumanku telah berakhir. Kau telah membebaskan kawanku

si gendut Dewa Ketawa itu. Mengapa kau masih menahan diriku di sini…?” Tanya Murid

Sinto Gendeng.

Ratu Duyung tidak menjawab. Menolehpun tidak pada Wiro. Sebaliknya sambil

memutar tubuh meniggalkan tempat itu dia berkata pada anak buahnya. “Antarkan

tamu ini ke Ruang Penantian!”



EMPAT

Yang disebut Ruang Penantian ternyata sebuah ruangan kecil berbentuk segitiga.
Dua dinding terbuat
dari batu berwarna
merah
sedang bagian depan
terbuka
merupakan jalan masuk. Empat orang anak buah Ratu Duyung memberi isyarat agar
Wiro duduk di sebuah batu rata pada sudut segi tiga sebelah dalam. Setelah Wiro duduk
di atas batu itu salah seorang anak buah Ratu Duyung berkata.
“Tetap di tempatmu sampai Ratu kami datang. Jangan cobacoba meninggalkan ruangan
ini walau satu langkahpun!”
Pendekar 212 garukgaruk kepala. “Rupanya aku masih sebagai tawanan
di
tempat ini…” katanya.
Gadis yang tadi berkata menjawab. “Hanya Ratu yang layak memberi tahu peri
keadaan dirimu di tempat ini1”
Wiro melirik pada belahan baju hitam di bagian dada si gadis yang begitu lebar
hingga buah dadanya tersembul
menantang.
“Kalau kau bersedia menemaniku
di
ruangan ini sampai seribu haripun aku bisa betah berada di sini…”
“Plakkk!”
Satu tamparan
mendarat di pipi Wiro. Tidak terasa tapi cukup membuat Murid
Sinto Gendeng ini jadi tersentak. Ketika dia bangkit berdiri hendak memegang tangan si
gadis yang menampar,
sambil mundur dua langkah gadis itu acungkan jari telunjuk
tangan kanannya kearah
Wiro. Melihat ujung jari yang memancarkan cahaya
biru itu
Pendekar 212 menjadi bimbang dan perlahanlahan dia duduk kembali ke atas batu rata
di sudut ruangan.
Gadis yang barusan menampar putar tubuhnya. Tiga temannya mengikuti. Wiro
hanya bisa usapusap pipi. Namun mendadak dia terlonjak karena dari atas bagian yang
terbuka dari mana dia digiring masuk tibatiba tujuh buah tiang besi sebesar betis
menderu turun. Tujuh tiang ini berwarna merah membara dan memancarkan hawa
panas! Sadarlah kini Wiro kalau dia memang masih tetap menjadi tawanan!
“Kurang ajar!” maki murid Sinto Gendeng. Dia melangkah ke arah tujuh besi tapi
terpaksa mundur oleh hawa panas tang membersit. “Aku punya dugaan diriku akan
diperlakukan
semenamena. Sebaiknya aku mencari jalan lolos!” Maka murid Sinto
Gendeng segera siapkan satu pukulan sakti. Setelah mengerahkan
tenaga dalam dia
hantamkan tangan kanannya ke arah deretan besibesi panas membara.
“Wutttt!”
Pukulan “segulung ombak menerpa karang” menghantam
empat jeruji besi
dengan telak. Empat tiang besi itu memancarkan sinar merah menyilaukan dan panas
luar biasa hingga Wiro melompat mundur ke sudut ruangan. Ketika dia memandang ke
depan ternyata empat tiang besi itu jangankan ambrol, cacat sedikit pun tidak!
Penasaran
Pendekar
212 segera siapkan pukulan “sinar matahari”
Tangan
kanannya serta merta
berubah menjadi
putih laksana perak
berkilauan. Pada saat
dia hendak menghantam ke depan tibatiba sesosok tubuh muncul diseberang tiangtiang
besi itu. Satu suara menggema di Ruang Penantian.
“Mengapa menghabiskan tenaga? Tidak ada satu pukulan saktipun yang sanggup
menembus pagar besi panas itu!”
Wiro turunkan tangannya. Memandang ke depan dilihatnya Ratu Duyung tegak
seorang diri di seberang ruangan.
“Ratu, apa maksudmu menahan diriku di sini?!” tanya Wiro.
Sang Ratu tidak segera menjawab tapi melangkah mendekati tiangtiang besi.
Lalu enak saja kedua tangannya memegang dua tiang yang panas dan merah membara
itu. Padahal jangankan tangan manusia, sepotong besipun jika ditempelkan ke tiang
yang membara itu pasti akan leleh! Sebaliknya sang Ratu tenangtenang saja seolah
memegang tiang besi yang dingin!
“Aku tidak menahanmu. Aku hanya ingin kepastian!” Rati Duyung menjawab.
Wiro megerenyit tak mengerti. “Kepastian apa?”
“Bahwa kau dan kawanmu Dewa Ketawa itu tidak menipuku!”
“Eh, memangnya aku sudah berbuat apa? Aku memang mengaku salah telah
mengintip anakanak gadismu mandi di telaga. Tapi aku sudah menerima hukuman!
Sekarang sepertinya kau sengaja mencaricari kesalahan lain…Apa sebenarnya yang ada
dalam
pikiranmu
Ratu? Mengapa
kau tidak membebaskan
diriku seperti
kau
membebaskan Dewa Ketawa?”
Ratu Duyung menjawab. “Pada saatnya kaupun akan kubebaskan. Tapi aku perlu
membuktikan satu hal bahwa kau benarbenar Pendekar 212 dan bahwa kulitmu yang
hitam itu benarbenar akibat sejenis obat…”
“Astaga! Bukankah Dewa Ketawa sudah
meyakinimu
bahwa
aku adalah
Pendekar 212 dan kau telah mempercayainya….”
“Betul, tapi dalam hidup keyakinan itu bisa berubah. Karenanya aku perlu
membuktikan. Kau berkata bahwa kulitmu yang hitam akibat obat yang kau telan.
Diberikan oleh seseorang
untuk menyelamatkan
nyawamu. Kau juga menerangkan
warna kulitmu yang hitam itu bisa hilang
bila tersentuh sinar bulan purnama. Nah itu
yang harus kita buktikan. Jika ternyata kelak sentuhan sinar rembulan tidak
merubah
kulitmu, berarti kau telah menipuku. Kau bukan Pendekar 212 Wiro Sableng!”
Sesaat Wiro jadi terdiam. “Apa yang aku lakukan padamu adalah sesuai dengan
yang diucapkan penolongku. Kalau dia berdusta apakah aku bisa disalahkan?”
“Mungkin si penolong yang berdusta, mungkin juga kau!” Kita akan buktikan.
Dua malam lagi bulan purnama empat belas akan muncul. Itu saatnya kau akan
membuktikan siapa dirimu…”
“Dua malam lagi….?” Mengulang Wiro. “Menurut perhitunganku bulan purnama
baru muncul di langit sekitar dua belas hari lagi!”
Ratu Duyung tertawa. “Di tempat ini waktu berputar sepuluh
hari lebih cepat
dari duniamu sana. Kau tenangtenang saja menunggu di ruangan ini. Jika memang kau

Pendekar 212 sejati dan apa yang dikatakan penolongmu benar, mengapa harus
takut…?”
“Siapa bilang aku takut?!” tukas Wiro yang tidak dapat lagi menahan jengkelnya.
Ratu Duyung membalikkan tubuhnya.
Waktu membalik belahan bajunya di
bagian pinggul tersingkap lebar. Jantung Wiro jadi berdegup keras malihat paha, pinggul
dan bahkan bagian pinggul sebelah atas sang Ratu. Sesaat kemarahannya
menjadi
kendur. Tanpa banyak bicara dia duduk di atas batu datar.
“Kau tentu lapar. Aku akan suruh anak buahku mengantarkan
buahbuahan,”
kata Ratu Duyung pula sebelum berlalu dari tempat itu. Murid Sinto Gendeng tak
menjawab. Matanya masih memandangi sosok tubuh bagian bawah sang Ratu sampai
akhirnya perempuan cantik itu lenyap di balik kelokan lorong batu.
Berada sendirian karena tak tahu apa yang harus dilakukannya Wiro duduk
bersandar ke dinding batu merah. Dia ingat pada gurunya Eyang Sinto
Gendeng. Lalu
pada si Raja Penidur dan Kakek Segala Tahu. Dia seperti menyesali karena menganggap
garagara tiga orang sakti itulah dia sampai tersesat dan kini mendekam di ruangan ini.
Dia ingat pula pada
kitab Putih Wasiat Dewa yang
sampai saat ini masih belum jelas
dimana beradanya. Lalu muncul tampang buruk orang bercaping dan berpenyakit cacar
dengan perahu putihnya itu. Wiro menarik napas panjang. Tibatiba dia ingat pada
Bidadari Angin Timur. Sejak peristiwa mereka mencebur
masuk ke dalam telaga
beberapa waktu lalu dia merasa ingin selalu dekat dengan gadis itu. “Di mana dia
sekarang…? Ah, waktu di atas perahu putih…Kalau saja dia melihatku…Lalu bila aku bisa
selamat keluar dari sini kurasa lebih baik mencari gadis itu lebih dulu dari pada mencari
Kitab Putih Wasiat Dewa. Aku merindukannya!
Gila! Apa ini yang dinamakan jatuh
cinta?!” Murid Sinto Gendeng garukgaruk kepala. Ketika ingatannya
sampai pada
senjata mustikanya, Wiro jadi menarik
napas dalam
lagi. “Tiga Bayangan Setan, Elang
Setan…. Dua bangsat itu akan kupecahkan kepala mereka!”
Wiro bangkit berdiri lalu melangkah
mundarmandir di ruangan yang tak
seberapa besar itu. Tibatiba dia mendengar langkahlangkah kaki di ujung lorong. Tak
Lama kemudian muncul
seorang gadis berpakaian hitam.
Di tangannya dia
membawa
sebuah baki berisi beberapa
macam buahbuahan. Pada pinggangnya tergantung
sebuah kendi kecil. Sesaat kemudian gadis ini sampai di depan tujuh tiang besi merah
panas. Dia menatap Wiro sebentar lalu baki dimiringkannya. Aneh!” Walau baki
dimiringkan, buahbuahan yang ada di atasnya sama sekali tidak berjatuhan!
Lewat
celah kecil antara dua buah tiang besi si gadis meloloskan baki berikut buahbuahan itu.
Baik baju hitam maupun tangannya sama sekali tidak cedera ketika bersentuhan dengan
dua tiang besi.
“Lekas ambil…” kata si gadis pada Wiro.
“Aku tidak lapar.!” Jawab Pendekar 212.
“Jangan tolol!” si gadis membentak
halus. Karena Wiro tak mau mengulurkan
tangan untuk mengambil baki berisi buahbuahan itu si gadis lalu melemparkan baki kedalam ruangan. Baki jatuh tepat di atas batu datar, tidak bersuara dan tak satupun
buahbuahan di atasnya menggelinding jatuh!
“Ini…!” si gadis ulurkan kendi kecil.
“Apa isi kendi itu?” tanya Wiro.
“Air!” jawab si gadis. “Itu diberikan atas perintah Ratu. Dan aku menambahkan
sejenis bubuk ke dalamnya agar kau mampu bertahan selama dua hari…”
“Hemmm…. Kau bermaksud baik padaku. Aku mengucapkan terima kasih,” kata
Wiro seraya ulurkan tangan kirinya untuk menerima
kendi kecil itu. Begitu Wiro
memegang kendi, si gadis cepat ulurkan
jarijarinya memegang lengan Pendekar 212
dan berbisik.
“Dengar, aku bisa menolongmu keluar dari tempat ini. Kau bisa bebas kembali ke
duniamu. Tapi dengan satu perjanjian…”
Wiro pandangi wajah si gadis. Dia memang cantik namun dibandingkan dengan
gadis jangkung serta sang Ratu kecantikannya belum bisa menyamai.
“Perjanjian apa?” tanya Pendekar 212.
“Kau harus ganti menolongku.”
Wiro garukgaruk kepalanya.”
Setahuku tak seorangpun
di tempat
ini bisa
membebaskan diriku. Ratumu sangat sakti dan para pengawaknya, temantemanmu itu
menjaga setiap sudut dengan ketat.”
Gadis itu tersenyum. “Mereka semua memang tidak bisa berbuat apaapa karena
mereka tidak tahu apa yang aku tahu.”
Eh, apa yang kau ketahui!”
“Aku tahu rahasia membuka
tujuh tiang besi panas itu. Aku juga tahu rahasia
yang mereka tidak tahu…”
Wiro tersenyum.
“Kau gadis baik. Tapi pertolonganmu
mungkin akan siasia
belaka. Kau bisa celaka kalau sang Ratu mengetahui pengkhianatanmu…”
“Aku tidak berkhianat pada siapapun, juga terhadap sang Ratu. Aku hanya ingin
membebaskan diri keluar dari tempat ini. Dan cuma kau yang bisa menolongku!”
“Aku tak mampu menolong diriku
sendiri. Bagaimana
aku bisa menolongmu?”
tanya Wiro.
“Kau pasti bisa. Dengar, aku akan segera membuka tujuh tiang besi panas ini.
Setelah itu kau akan menyebadaniku di situ…”
“A…Apa?!” tanya Wiro dengan bola mata membesar lalu melirik ke belahan
dada si gadis dengan jantung berdebar. “Mengapa aku harus menyebadanimu?!”
“Itu satusatunya jalan. Dengar, kita tidak punya waktu banyak. Nanti akan
kuterangkan…”
Wiro gelenggelengkan kepala. Dalam hati dia berkata. “Waktu aku ketahuan
mengintip mereka mandi, mataku dicopot tiga hari. Kalau aku tertangkap
basah
menyebadani gadis satu ini pasti anuku akan ditanggalkan. Bukan cuma tiga hari! Bisa
bisa selamalamanya! Celaka diriku!”Selagi Wiro berpikir begitu tibatiba dia mendengar suara berdesir. Astaga! Wiro
melihat tujuh jalur tiang besi panas membara perlahanlahan naik ke atas! Makin lama
makin tinggi. Pada saat ketinggian mencapai
sepinggul tibatiba satu bayangan
berkelebat menyusul bentakan keras.
“Tidak kusangka! Ada pengkhianat di tempat ini!”
Gadis di depan Wiro menjadi pucat pasi. Keluarkan suara tertahan lalu jatuhkan
diri ketakutan setengah mati!


LIMA

Ratu Duyung tegak dengan tangan kiri diletakkan di pinggang. Dia lambaikan
tangan kanannya. Tujuh tiang besi yang tida naik ke atas perlahanlahan kembali turun
menutup ruangan segi tiga itu.
“Berdiri!” bentak sang Ratu.
Gadis baju hitam yang mendekam di lantai perlahanlahan berdiri. Tubuhnya
bergetar hebat dan wajahnya seputih kain kafan.
“Kau tahu kesalahanmu?!” bentak sang Ratu.
“Sa…Saya tahu Ratu….”
“Katakan!”
“Saya …. Saya berkhianat. Saya hendak membebaskan
pemuda ini. Saya tahu
saya salah…”
“Itu kesalahan pertama dan bisa kuanggap kecil. Tapi lekas katakan kesalahanmu
yang kedua yang sangat besar dan tak ada ampunannya!”
“Saya….. saya hendak
membuka
satu
rahasia
pada
pemuda
ini. Saya
mengajaknya……”
“Cukup!” bentak sang Ratu. “Kau tahu apa hukuman yang bakal kau terima?!”
Si gadis mengangguk dan jatuhkan diri ke lantai. Kelihatannya dia pasrah
menerima hukuman karena tak mungkin mengelak tak mungkin minta ampun.
Ratu Duyung angkat tangan kanannya. Jari telunjuk tibatiba mengeluarkan
cahaya biru angker. Perlahanlahan jari itu ditudingkan, turun ke arah sosok tubuh anak
buahnya yang berlutut di lantai.
Ujung jari bergerak tiga kali berturutturut. “Wuttt! Wuttt! Wuttt!”
Cahaya biru berkiblat. Gadis di lantai keluarkan pekikan panjang. Lalu terputus!
Ketika Wiro menatap ke depan, dinginlah tengkuk murid Sinto Gendeng ini!
Diantara kepulan asap yang menebar bau sangit seperti daging dipanggang Wiro
melihat sisa tubuh si gadis kini hanya tinggal jerangkong alias tulang belulang berwarna
biru!
“Ilmu kesaktian apa yang barusan dilancarkan perempuan ini hingga dalam
sekejapan bukan saja membunuh anak buahnya tapi juga merubahnya menjadi
jerangkong!” Murid Sinto Gendeng membatin. Lalu pandangannya dialihkan pada wajah
Ratu Duyung yang tampak dingin, tenang seolah tak ada terjadi apaapa di tempat itu.
Dia membunuh gadis cantik anak buahnya seperti membalikan telapak tangan saja! Saat
dia memandangi Ratu Duyung seperti itu, sang Ratu tibatiba palingkan mukanya ke
arahnya. Pandangan mereka saling beradu. Untuk beberapa lamanya tak ada yang mau
menghindar ataupun berkesip. Pendekar 212 tak mau menghindar ataupun berkesip.
Pendekar 212 tak mau mengalah. Dia memandang terus hingga diamdiam Ratu Duyung
merasa getaran aneh menjalari tubuhnya. Perempuan ini masih berusaha terus
menantang pandangan Wiro namun akhirnya sambil menjentikan dua jari tangan
kanannya dia memandang ke langitlangit di atasnya. Tak lama setelah suara jentikannya menggema di sepanjang lorong batu, empat orang gadis berpakaian hitam
muncul.
“Singkirkan sampah tak berguna ini!” kata sang Ratu sambil menggoyangkan
kepalanya ke arah tulang belulang yang bergeletakan di lantai.
Empat anak buah Ratu Duyung segera melakukan apa yang diperintahkan. Tak
lama setelah jerangkong biru diangkat dari tempat itu Ratu Duyung balikkan tubuhnya.
Sebelum mengerling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
*
*
*
Berselang dua hari empat orang anak buah Ratu Duyung muncul di depan Ruang
Penantian. Keempatnya langsung menekap hidung karena penciuman mereka disengat
oleh bau pesing.
Wiro Sableng tertawa lebar. “Masih untung aku hanya kencing di tempat ini. Kalau aku
buang air besar baru kalian rasa! Dua hari disekap tanpa diperkenankan keluar apa tidak
gila?!”
“Tak usah banyak bicara.
Lekas keluar dan ikuti
kami!”kata salah seorang
dari
empat gadis.
Kawannya menambahkan.
“Jangan cobacoba melarikan diri. Selain tak bakal
bisa lolos dari tempat ini, salahsalah kau bisa menemui ajal
seperti gadis yang coba
berkhianat dua hari lalu!”
Wiro keluar dari Ruang Penantian. Sambil melangkah dia menjawab. “Empat
orang gadis cantik minta aku mengikuti. Tolol kalau aku melarikan diri. Mau kalian bawa
kemana aku ini?!”
“Pertama kau harus membersihkan diri di Pancuran Putih. Setelah itu kau akan
kami bawa ke Bukit Awan Putih…” menerangkan salah seorang gadis.
Sesuai keterangan yang dikatakan
tadi Wiro di bawa ke sebuah tempat dimana
terdapat sebuah pancuran yang airnya berwarna aneh yaitu bening putih. Di tempat itu
telah tersedia seperangkat pakaian hitam bersih lengkap dengan destar hitam.
Wiro memandang
pada empat gadis pengawalnya lalu bertanya. “Kalian mau
ikut mandi samasama?”
“Jangan berani bicara kurang ajar!” sentak gadis di sebelah kanan. Dia memberi
isyarat pada tiga kawannya lalu Wiro selesai mandi dan berpakaian ke empat gadis tadi
tahutahu sudah muncul lagi di tempat itu.
“Kalian pengawalpengawalku
yang setia!” memuji Wiro sambil tersenyum.
“Cuma aku sangsi janganjangan ketika aku mandi ada di antara kalian yang mengintip!”


Pemuda bermulut lancang! Kalau tidak ingat perintah Ratu membawamu segera
ke Bukit Awan Putih mau rasanya kami menghajarmu lebih dulu di tempat in!”
Wiro tertawa gelakgelak. “Sobatku cantik, aku hanya bergurau.
Jangan diambil
hati. Setiap hari kalian selalu menghadapi
suasana yang mencengkam. Apa salahnya
sekalisekali bergurau?!”
Empat orang gadis itu tidak menjawab. Mereka membawa
Wiro memasuki
sebuah lorong. Ketika keluar dari lorong itu Murid Sinto Gendeng jadi terheranheran. Di
depannya dia melihat sebuah dataran tinggi.
Ada empat jalur tangga batu
menuju ke
puncak pedataran
di atas mana terdapat
sebuah batu besar bulat berwarna hitam
legam. Sekitar sepuluh tombak di atas batu kelihatan seperti ada awan putih
menggantung. Memandang berkeliling yang membuat Wiro merasa heran ialah tempat
itu berada dalam keadaan malam hari. Padahal sebelumnya,
ketika dia mandi di
pancuran hari masih siang!
Agak jauh di sebelah kanan batu hitam budar dan rata tampak di sebelah kanan
batu hitam. Meskipun agak jauh namun
Wiro segera bisa
mengenali. Orang itu bukan
lain adalah Ratu Duyung.
“Naiki tangga sebelah kanan, langsung
tegak di atas batu batu bundar hitam.”
Seorang gadis berpakaian hitam bicara pada Wiro.
Wiro memandang sekali lagi ke puncak pedataran tinggi.”Malam hari… Apa
benar ucapan Ratu Duyung bahwa malam ini bulan purnama empat belas hari akan
muncul? Aku sama sekali tidak melihat langit malam. Tak ada bintangbintang. Tempat
apa sebenarnya ini…?!”
Satu tangan mendorong punggung Wiro seolah memaksanya agar segera
menaiki anak tangga batu yang berundakundak sebanyak 77 buah itu. Kakinya terasa
pegal dan napasnya agak memburu ketika dia akhirnya sampai di puncak pedataran
tinggi dan naik ke atas batu rata hitam. Dari tempatnya berdiri dia memandang
berkeliling. Di bawah sana semuanya kelihatan serba hitam. Di sebelah atas
pemandangan tertutup oleh awan putih aneh. Wiro palingkan kepalanya ke kiri, ke
tempat dimana Ratu Duyung berdiri sambil rangkapkan dua tangan di depan dada.
Angin malam bertiup kencang dan dingin menyibakkan belahan bajunya di bagian
pinggul hingga auratnya tampak lebih putih dalam gelapnya udara.
“Ratu Duyung, aku tak tahu apa rencanamu! Apakah bulan purnama benarbenar
akan muncul di tempat ini?!” Wiro berseru pada Ratu Duyung.
Perempuan cantik itu diam tak bergerak seperti patung, juga tidak menjawab
pertanyaan Wiro tadi.
“Ratu Duyung! Sebelum sampai di tempat ini hari masih siang! Bagaimana bisa
tahutahu kini hari berubah malam?!”
Ratu Duyung tetap tidak mau memberi dan tidak mau menjawab. Wiro lalu
mengancam.
“Kalau sang Ratu masih tidak bergerak maupun menjawab Wiro segera gerakkan
kakinya untuk melompat turun dari atas batu hitam. Namun gerakkannya tertahan

ketika mendadak ada hembusan angin luar biasa kencangnya sehingga tubuhnya seperti
mau terseret mental dari atas batu hitam. Di sebelah sana dilihatnya pakaian dan
rambut Ratu Duyung berkibarkibar tapi tubuhnya tidak bergeming sedikitpun padahal
Wiro setengah mati mempertahankan
diri agar tidak diseret hembusan angin. Sadar
tenaga luar tak mungkin membuatnya bertahan terhadap hembusan angin maka murid
Eyang Sinto Gendeng ini segera kerahkan tenaga dalam, salurkan pada ke dua kakinya
hingga sepasang telapak kaki Wiro laksana di pantek ke atas batu hitam itu!
Perlahanlahan angin keras surut. Bersamaan dengan itu keadaan di tempat itu
berubah dari gelap menjadi terang temaram.
Ketika dia mengangkat kepalanya Wiro
jadi tertegun. Awan putih setinggi sepuluh tombak di atasnya perlahanlahan bergerak
ke arah timur. Dari bagian yang tidak terhalang lagi merambas cahaya putih redup.
Makin jauh awan bergerak ke timur makin terang cahaya putih itu. Sepasang mata
pendekar 212 mulai melihat langit jauh tinggi di atasnya. Bintangbintang bertaburan.
“Astaga! Itu langit betulan…” kata Wiro hampir tak percaya.
Lalu Pendekar 212 berdegup keras. Sedikit
demi sedikit, dari balik sekelompok
awan kelabu menyeruak mnuncul bulan purnama empat belas hari. Wiro melirik ke arah
Ratu Duyung. “Perempuan
itu tidak berdusta…” katanya. Langit dan pedataran tinggi
bertambah terang begitu
bulan purnama muncul
semakin besar
dan bulat. Cahayanya
yang putih jernih jatuh di
setiap benda di pedataran tinggi itu termasuk
sosok tubuh
Pendekar 212 yang tegak di atas batu hitam. Tibatiba Wiro merasa sekujur permukaan
kulit tubuhnya menjadi panas. Demikian panasnya hingga bukan
saja mandi keringat
tapi badannya
bergetar keras. Kedua
kakinya menjadi goyah. Dia kumpulkan
seluruh
tenaga agar tidak roboh.
Lalu entah apa yang terjadi tibatiba ada letupanletupan kecil disertai kilatan
kilatan cahaya putih di sekujur muka dan tubuhnya. Begitu letupan sirna hawa panas
lenyap berganti dengan hawa dingin. Demikian dinginya hingga gerahamnya
bergemeletukan. Tak sengaja Wiro memperhatikan ke dua tangannya. Dia hampir tak
percaya. Kulit tangannya yang selama ini berwarna hitam pekat perlahanlahan berubah
menjadi putih.
“Kulitku berubah… kembali ke warna semula…!” ujar Wiro gembira. Meskipun
tubuhnya saat itu di selimuti rasa dingin luar biasa tapi kegembiraan membuat dia
membuka baju hitamnya agar auratnya lebih sempurna terkena siraman cahaya bulan
purnama!
“Aku sembuh! Aku sembuh! Terima kasih Tuhan…!”kata Wiro angkat kedua
tangannya tinggitinggi.Saat itu terbayang wajah Puti Andini, gadis baju merah
berkepandaian tinggi yang muncul dengan payung tujuhnya. “Puti, dimanapun kau
berada aku juga menghaturkan terima kasih padamu. Kau tidak berdusta. Kalau tidak
berkat obat yang kau berikan aku sudah lama menjadi kerak tanah!”
Udara dingin berangsurangsur lenyap. Pada saat itulah empat sosok tubuh
berkelebat di sampingnya. Mereka ternyata empat orang anak buah Ratu Duyung



Ratu meminta kami membawamu ke Ruang Pertemuan… Beliau siap
memberikan wasiatnya padamu…” memberi tahu salah seorang dari empat gadis.
“Wasiat…Wasiat apa….?” Tanya Wiro. “Maksudmu Kitab Wasiat…?”
“Kau akan bertemu langsung dengan Ratu. Tanyakan saja secara langsung….”
Gadis di sebelah kanan mengambil baju hitam yang tercampak di atas batu lalu
menyerahkannya
pada Wiro sambil memberi isyarat agar dia segera mengenakan
pakaian itu.
Sambil mengenakan pakaiannya Wiro perhatikan dadanya. Rajah tiga angka 212
yang selama ini lenyap tertindih warna hitam kulitnya kini muncul jelas
kembali. Wiro
tersenyum
sambil usapusap dadanya. Dia melirik ke arah kiri tempat Ratu Duyung
sebelumnya berdiri. Ternyata perempuan itu tak ada lagi di situ.
“Hai! Kenapa belum berjalan?! Tunggu apa lagi?!” Gadis di belakang Wiro
bertanya sementara tiga kawannya di sebelah depan tampak tak sabaran ketika mereka
melihat Wiro tegak di atas batu hitam datar.
“Tunggu dulu… Mengapa terburuburu? Aku tak akan kabur…!” jawab Pendekar
212. Lalu seperti dia hanya seorang diri saja saat itu murid Sinto Gendeng ini bukan ikat
pinggang celana hitamnya. Empat gadis anak buah Ratu Duyung jadi berubah wajah
mereka dan ada yang melangkah mundur.
“Apa yang hendak kau lakukan?!” salah seorang membentak.
“Jangan berani buat kurang ajar di hadapan kami!” satunya lagi menghardik.
“Siapa mau berbuat kurang
ajar!” jawab Wiro
tidak acuh. Begitu ikat pinggang
terbuka dan celananya menjadi longgar, dia meneliti ke bagian aurat di balik celana. Lalu
sambil mengangkat
kepala dan merapikan
ikat pinggangnya kembali pemuda
ini
senyumsenyum sendiri.
“Pemuda aneh, dia seperti orang kurang waras tertawa sendiri!” bisik gadis
sebelah kanan pada kawannya.
“Apa sebenarnya yang dilakukan orang ini?” balik bertanya kawannya.
Pertanyaan
itu sempat terdengar oleh murid Sinto Gendeng. Tenang saja dia
menjawab. “Kalian lihat sendiri keajaiban kulitku tadi. Cahaya bulan purnama membuat
kulitku yang hitam kembali ke warna aslinya. Tapi aku masih meragu apakah aurat yang
terlindung di balik celana ikut berubah warna. Makanya aku perlu menyelidik. Aku tidak
mau jadi manusia belang. Putih di atas hitam di bawah. Ternyata….”
Wiro tidak teruskan ucapannya malah memandang pada empat gadis itu sambil
tertawa lebar. Tentu saja mereka sama ingin tahu apa yang terjadi. Apakah perubahan
warna kulit Wiro memang menyeluruh
atau hanya setengahsetengah.
Tapi untuk
bertanya
tentu
saja mereka
tidak berani. Sebaliknya Wiro malah menggantung
keterangan hingga empat orang
anak buah Ratu Duyung itu menunggu
sambil saling
pandang.
“Ternyata…” kata Wiro pula. “Ternyata memang seluruh kulit tubuhku
kembali
ke warna asal. Termasuk…” Wiro tidak teruskan ucapannya
tapi keluarkan suara tawa
bergelak 

Empat gadis berpakaian hitam ketat tampak bersemu merah wajah masing
masing.



ENAM


Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 Wiro Sableng yang tengah diantar menuju Ruang
Pertemuan guna menemui Ratu Duyung. Kita ikuti perjalanan Tiga Bayangan Setan dan
kawannya yang bernama Elang Setan. Seperti dituturkan dalam Episode II ( Wasiat
Dewa) dua orang manusia berhati setan itu setelah merasa berhasil membunuh
Pendekar 212 di bukit dekat sumur batu di luar Kartosuro lalu berangkat menuju puncak
Gunung Merapi tempat salah satu kediaman Pangeran Matahari. Kapak Maut Naga Geni
212 serta batu sakti hitam pasangan senjata sakti itu mereka rampas. Di puncak Gunung
Merapi dua senjata mustika itu mereka serahkan pada Pangeran Matahari.
Tentu saja sang Pangeran gembira bukan main. Selain sudah memiliki Kitab Iblis
kini dia juga menguasai dua senjata sakti milik musuh bebuyutannya itu. Dengan Kitab
Iblis berada di tangannya dia merasa yakin walau dua senjata mustika itu masih berada
di tangan Wiro dia akan sanggup menamatkan riwayat Pendekar 212. Apalagi kini Wiro
tanpa dua senjata yang diandalkan itu!
Pertemuan dengan Pangeran Matahari, apalagi dapat menyerahkan Kapak Maut
Naga Geni 212 serta batu sakti
hitam di pihak lain juga menggembirakan Tiga Bayangan
Setan dan Elang Setan. Mereka bukan saja menyenangkan hati Pangeran Matahari, tapi
sekaligus juga bermaksud menagih janji mendapatkan obat penawar racun seratus hari
yang dulu dicekokan sang Pangeran pada mereka.
Celakanya Pangeran Matahari tidak percaya begitu saja bahwa dua orang itu
benarbenar telah
membunuh Pendekar
212. Karena itu dia menyuruh Tiga Bayangan
Setan dan Elang Setan untuk membawa potongan kepala murid Sinto Gendeng itu. Tiga
Bayangan Setan
dan Elang Setan tidak bisa berbuat
apaapa karena kembali Pangeran
Matahari menipunya dengan berpurapura memberikan obat
penawar racun padahal
yang mereka telan adalah racun tiga ratus hari!
Melewati perjalanan yang jauh dan sulit akhirnya Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setang sampai di bukit di mana terletak sumur batu itu. Namun mereka sama sekali
tidak menemukan mayat Pendekar 212. Tulang belulang atau jerangkongnya pun tidak!
“Celaka! Mayat pemuda itu tidak ada lagi di sini! Bekasnya pun tidak kelihatan!”
kata Elang Setan.
Tiga Bayangan Setan memandang berkeliling. “Bangkaibangkai lainnya masih
berserakan di sekitar sini…” katanya memperhatikan tulang belulang beberapa tokoh
silat yang menemui ajalnya di tempat itu beberapa waktu lalu.
“Janganjanganwaktu kita tinggalkan manusia itu belum benarbenar mati…”
kata Elang Setan.
Tiga Bayangan Setan jadi tak enak mendengar katakata sahabatnya itu.
“Pukulan Raksasa Tiga Bayangan yang keluar dari batok kepalaku bukan pukulan
sembarangan! Sekalipun dia punya tiga nyawa, kematian
tak bakal lolos dari dirinya!
Aku menduga mayatnya dilarikan binatang buas yang menemukannya masih dalam
keadaan segar…”Mudahmudahan saja begitu,”kata Elang Setan, lalu menambahkan, “Tapi jika
dilihat mayatmayat lain yang ada di sini, tak satu pun ada yang disentuh binatang
buas…” Elang Setan menepuknepuk baju tebal dekilnya
hingga debu yang menempel
beterbangan ke udara.
“Kita harus mencari akal. Kalau kepala Pendekar 212 tidak bisa kita serahkan
pada Pangeran
Matahari, berarti nyawa kita berdua tidak ketolongan!” kata Tiga
Bayangan Setan pula.
Untuk beberapa lamanya dua orang itu duduk di lereng bukit saling berdiam diri.
“Kau ingat kejadian
waktu kita baru saja membunuh
Pendekar 212…..?” Elang
Setan tibatiba membuka mulut.
“Kejadian yang mana?” tanya Tiga Bayangan Setan seraya coba mengingatingat.
“Waktu itu di langit ada tujuh buah payung melayang. Seorang perempuan
bergantung pada salah satu payung itu…”
“Aku ingat sekarang!”
kata Tiga Bayangan
Setan seraya bangkit berdiri.
“Siapapun
makhluk
yang terbang
memakai
payung
itu pastilah
dia seorang
berkepandaian sangat tinggi. Pasti dia yang telah mengambil mayat Pendekar 212.
“Kita harus menyelidik! Mencari tahu siapa adanya perempuan berpayung itu!”
kata Elang Setan pula. “Setahuku
tak pernah
mendengar
tentang
seorang
sakti
berpayung. Kita harus menyebar orang untuk menyirap berita. Bagaimanapun mahalnya
urusan ini nyawa kita jauh lebih mahal!”
“Apa rencanamu…? Mendatangi Kotaraja mencari berita?” tanya Tiga Bayangan
Setan.
Elang Setan menggeleng. “Orang berkepandaian tinggi jarang mau berada di
tempat ramai seperti Kotaraja. Aku yakin orang berpayung itu bukan tokoh silat berasal
dari tanah Jawa ini. Besar kemungkinan dia datang dari seberang. Jika dia orang
seberang kemunculannya di sini pastilah membawa satu maksud atau keperluan besar.
Mungkin dia juga mencari Kitab Iblis itu!”
Tiga Bayangan Setan anggukanggukkan kepala tanda setuju dengan jalan pikiran
sahabat atau saudara angkatnya itu. “Kalau dia mencari Kitab Iblis berarti dia akan
berhadapan dengan Pangeran Matahari! Tapi mungkin dugaan kita salah. Mungkin dia
bukan mencari Kitab Iblis….”
“Sebaiknya kita membicarakan persoalan ini sambil meneruskan perjalanan…”
“Aku setuju. Tapi kemana tujuan kita dari sini?” tanya Tiga Bayangan Setan pula.
“Di Sleman ada dua orang yang perlu kita temui. Pertama seorang bekas juru
ramal Kraton berasal dari Blambangan. Orang ini bisa diminta bantuan untuk melihat
lihat secara gaib. Orang kedua seorang bekas gembong penjahat bernama Warok Timbul
Ireng. Ratusan anak buahnya bertebaran di manamana. Jika kita bayar cukup tinggi dia
bisa mengerahkan orang untuk mencari tahu perempuan berpayung tujuh itu…”
Tiga Bayangan Setan tepuk bahu saudara Elang Setan seraya berkata. “Tidak
percuma aku punya saudara sepertimu! Otakmu ternyata
encer juga! Ha…ha….! Kita
akan mengadakan perjalanan jauh. Kita harus mencari kuda tunggangan!



Kedua orang bermuka seram itu segera tinggalkan lereng bukit, berlari cepat
menuju ke arah timur.
*
*
*
ORANG
mengenakan blangkon kuning
itu mendera
kudanya bertubitubi
agar
tunggangannya
berlari lebih kencang. Saat itu tempat tengah hari dan sang surya
bersinar sangat terik. Disatu persimpangan
dia membelok ke kiri memasuki jalan
menuju Wates. Dia merasa lega ketika akhirnya sampai di tempat tujuannya, yaitu
sebuah rumah minum yang merangkap tempat perjudian gelap. Kabarnya banyak orang
orang penting dari Kotaraja yang datang ke tempat ini untuk berjudi. Setelah
menambatkan kudanya lelaki berblangkon kuning ini cepat masuk ke dalam rumah
minum, langsung menuju ke belakang, terus menaiki tangga ke tingkat atas di mana
terletak dua buah ruangan besar perjudian.
Bau minuman keras bercampur asap rokok menyambut hidung orang ini begitu
dia menyelinap masuk ke dalam ruangan judi di sebelah kiri. Seorang lelaki berbadan
tinggi besar, berewokan serta membekal sebilah golok cepat mendatanginya dan
mendorong dadanya. Dia adalah salah satu dari empat orang
yang bertugas sebagai
penjaga di rumah judi itu.
“Blangkon kuning, aku tak pernah melihat kowe sebelumnya. Dari tampangmu
aku tahu kowe kemari bukan untuk berjudi! Apa mau kowe datang ke sini….?!”
“Aku mencari seseorang….”
“Ini bukan tempat mencari orang. Tapi tempat judi. Lekas minggat dari sini atau
kupuntir rupanya tidak mau tinggalkan tempat itu. Dia segera bertindak masuk kembali.
“Manusia sompret! Memang kau minta digebuk!” Pengawal rumah judi itu lalu
hantamkan tinju kanannya ke muka si blangkon kuning. Sesaat lagi tinju itu akan
meremukkan rahangnya tibatiba satu tangan berbulu menahan tinjunya. Pengawal ini
hendak berteriak marah. Tapi begitu dia berpaling dan melihat siapa adanya orang yang
menahan tinjunya cepatcepat melangkah mundur lalu membungkuk.
“Dia memang mencariku, kau boleh pergi…”
Pengawal tinggi besar itu menyeringai, membungkuk sekali lagi ketika orang
yang barusan bicara menyelipkan sekeping uang ke dalam genggamannya. Orang yang
memberikan uang ini kepalanya sulah alias botak di sebelah kiri sedang bagian kanan
ditumbuhi rambut sangat lebat dan awutawutan. Tampangnya tampak angker karena
selain ditutupi kumis dan brewok lebat, mata kanannya mendelik besar sedang mata kiri
senantiasa seperti terpejam. Di keningnya ada tiga buah guratan aneh. Orang ini bukan
lain adalah Tiga Bayangan Setan 

Kau membawa kabar bagus…?” tanya Tiga Bayangan Setan sambil memegang
bahu si blangkon kuning. Orang yang ditanya mengangguk.
“Kau berhasil mengetahui
dimana perempuan itu berada….?”
Yang ditanya kembali
mengangguk. Tiga Bayangan
Setan berpaling lalu mengangkat tangannya pada Elang Setan yang sedang asyik berjudi.
Melihat tanda yang diberikan Tiga Bayangan Setan, Elang Setan segera teguk habis
minuman keras dalam kendi kecil lalu tinggalkan meja judi. Ketiga orang itu turun
ke
bawah. Di satu tempat si blangkon kuning berikan keterangan.
“Perempuan itu ada di pesisir selatan. Di sekitar muara Kali Opak… Beberapa kali
dia terlihat di pantai. Sepertinya
dia tengah mencari atau menunggu
kedatangan
seseorang…”
“Berpakaian merah….?” Tanya Elang Setan.
Si Blangkon Kuning mengangguk.
“Membawa tujuh payung?” ujar Elang Setan.
“Saya melihat dia membawa bungkusan besar pada punggungnya. Ada gagang
gagang menyembul. Bukan gagang senjata. Mungkin sekali memang gagang payung….”
“Bagus! Ini bagian yang kujanjikan!” kata Tiga Bayangan Setan seraya mengeruk
saku jubah hitamnya. Ketika si Blangkon kuning hendak menerima, Tiga Bayangan Setan
tidak segera melepaskan uang dalam genggamannya tapi mencekal tangan orang.”
Kalau kau memberi keterangan dusta, ingat baikbaik!Kami berdua akan datang
mencarimu. Kau akan mampus dengan kepala terbelah! Mengerti?!”
Orang itu mengangguk. Begitu tangannya dilepaskan dia cepatcepat tinggalkan
tempat itu. Tiga Bayangan Setan berpaling pada Elang Setan. “Baiknya
kita berangkat
sekarang juga!” katanya.


TUJUH

MENJELANG matahari terbenam, di balik sebuah bukit terkembang melayang di
udara. Pada gagang payung berwarna
merah kelihatan bergantung
seorang gadis
berpakaian merah.
Dia bukan lain adalah Puti Andini, gadis dari tanah
seberang yang
telah menolong Wiro
dari bahaya maut akibat pukulan makhluk
raksasa jejadian yang
keluar kepala Tiga Bayangan Setan.
Begitu mendarat di lereng bukit gadis itu tancapkan payung merahnya di tanah
sementara payungpayung lain melayang turun lalu
menancap sendirisendiri
di tanah
bukit itu. Wajahnya tampak napas panjang seolah ada yang disesalinya.
Sejak beberapa waktu
lalu sebenarnya dia
telah menguntit Pendekar
212 Wiro
Sableng terus menerus secara diamdiam. Sesuai tugas yang diberikan gurugurunya dia
harus mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Menurut sang guru hanya Wiro yang akan
mengetahui dimana beradanya kitab
sakti itu. Begitu kitab berada di tangan Wito dia
harus merampasnya, bahkan sesuai perintah
sang guru dia harus membunuh
pemuda
itu jika Wiro tidak mau menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Ketika Wiro mendapat
celaka dihantam Tiga Bayangan Setan di bukit di luar Kartosuro itu sebabnya dia tolong
menyelamatkan sang pendekar
agar kelak Wiro bisa membawanya ke
tempat dimana
beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu. Namun pertemuan dengan Wiro Sableng telah
membawa kesan mendalam pada diri si gadis ini. Dia memang harus mendapatkan Kitab
Putih Wasiat Dewa itu, tapi apakah dia harus membunuh
Wiro? Hati kecilnya secara
jujur mengatakan bahwa dia tidak akan memiliki rasa tega untuk melaksanakan hal itu.
Penguntitan
yang dilakukan Puti Andini membawanya
ke muara Kali Opak.
Namun dia tidak segera dapat mengikuti Wiro ketika pemuda ini memasuki perahu
putih bersama nelayan aneh bercaping dan mengenakan
cadar penutup wajah. Dia
mengalami kesulitan mendapatkan
perahu. Untuk terbang di laut terbuka seperti itu
tidak bisa dilakukannya karena pasti Wiro akan melihatnya. Dia menunggu sampai
perahu putih tumpangan
Wiro berada agak jauh di tengah laut. Ketika akhirnya dia
meninggalkan
pantai bersama payungpayungnya di tengah laut hanya ditemuinya
pecahan papan perahu putih, terombang
ambing kian kemari dipermainkan
ombak.
Wiro dan juga pemilik perahu putih itu tidak kelihatan sama sekali.
“Apa yang terjadi
dengan
dirinya?” membatin
Puti Andini. “Perahunya
tenggelam? Tapi tak ada badai di laut. Atau hancur dihantam ikan buas….? Mungkin
ditelan pusaran ombak seperti yang pernah dijelaskan seorang nelayan itu?” Puti Andini
menarik napas
panjang. “Aku harus berkemah di sini.
Aku akan menunggunya
sampai
dia muncul lagi. Aku tidak yakin dia telah menemui ajal. Pendekar cerdik seperti dia
punya seribu satu akal untuk menyelamatkan diri….”
Lebih dari seminggu menunggu Wiro tak kunjung muncul. Puti Andini kini benar
benar gelisah. “Kalau aku sampai kehilangan jejaknya berarti aku tak bakal
mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa itu untuk selamalamanya…..Lebih baik aku
bersiap menyelidik. Aku harus mencari perahu sewaan. Kalau tak ada yang mau menyewakan terpaksa aku mencuri. Di tengah laut aku bisa menyelidik lebih seksama
dengan menggunakan payung terbang….”
Berpikir sampai disitu si gadis segera melipat tujuh payungnya. Ketika dia hendak
memasukkan
payungpayung itu ke dalam kantong perbekalan
besar tibatiba dia
mendengar suara derap kaki kuda mendatangi.
“Ada dua penunggang kuda…” kata Puti Andini dalam hati yang bertelinga tajam
dan segera tahu berapa orang yang mendatanginya.
Dia tak menunggu lama. Dua
penunggang kuda itu segera muncul
dari balik lereng bukit di depannya. Kejut si gadis
bukan alang kepalang. Dia memang belum pernah bertemu muka dengan kedua orang
itu. Tapi dari tampang dan dandanan keduanya dia segera tahu tengah berhadapan
dengan siapa. Puti Andini bersikap tenang namun penuh waspada.
“Amboi! Dara cantik yang kita cari rupanya tengah bersiap pergi. Sobatku,
untung kita tidak terlambat!” kata
penunggang kuda di sebelah kanan. Dia bukan
lain
adalah Tiga Bayangan Setan tang begitu selesai bicara terus malompat
turun dari
punggung kudanya. Saudara angkatnya yaitu Elang Setan menyusul turun dari kuda.
Begitu menjejak tanah Elang Setan cepat mendekati Tiga Bayangan Setan dan berbisik.
“Aku tidak menyangka orang yang kita cari ini ternyata seorang gadis cantik
rupawan! Dengar Tiga Bayangan Setan kalau urusan dengan dia selesai aku tidak akan
melepaskannya begitu saja. Dia perlu menghibur diriku barang dua tiga hari!”
“Pikiran kotormu sama dengan otak iblisku!” jawab Tiga Bayangan Setan dengan
berbisik pula. “Malah aku ada rencana. Kalau kita tidak dapatkan kepala Pendekar 212,
gadis ini kita bawa dan serahkan pada Pangeran Matahari. Dia pasti senang dan syukur
syukur mau menganggap gadis ini sebagai pengganti kepala Pendekar 212!”
“Rencana bagus…!” kata Elang Setan lalu mendahului melangkah mendekati Puti
Andini.
“Kalian siapa dan ada keperluan apa?” menegur Puti Andini dengan sikap tenang
walau hatinya berdebar. Sebagai gadis persilatan yang belum lama dilepas turun gunung
oleh gurunya tampangtampang angker dua manusia di depannya mau tak mau
membuat hatinya berdebar juga. Apalagi dia sudah tahu sebelumnya tentang tindak
tanduk dan segala keganasan mereka.
“Dengan senang hati kami memperkenalkan diri,” kata Elang Setan pula. “ Aku
yang buruk rupa tapi berhati
emas ini biasa disebut dengan panggilan Elang Setan!”
Habis berkata begitu Elang Setan membungkuk seraya melambaikan tangan kanannya
dari kiri ke kanan. Sinar hitam kemerahan membersit keluar dari kukukuku jarinya yang
panjangpanjang. Lalu dia menuding dengan ibu jarinya ke arah Tiga Bayangan Setan.
Tiga Bayangan Setan tertawa lebar. Setelah kedipkedipkan mata kanannya yang
besar dia pun membungkuk sambil berkata. “Aku yang jelek ini dikenal dengan julukan
Tiga Bayangan Setan! Kami berdua adalah saudara angkat. Kalau kami boleh
bersombong diri seantero daratan sekitar sini dari utara sampai selatan adalah dibawah
kekuasaan dan pengawasan kami. Itu sebabnya
begitu tahu ada seorang dara cantik berkepandaian tinggi berada di tempat ini, sebagai tuan rumah yang baik kami layak
menyambut mengucapkan selamat datang….”
“Hemmmm… pasti mereka melihat aku waktu turun di bukit di luar Kartosuro
tempo hari. Kalau dulu mereka sengaja melarikan diri dan kini sengaja mendatangi
berarti mereka mengandung maksud tertentu…” kata Puti Andini dalam hati.
“Terima kasih atas budi baik kalian yang mau mencariku. Terima kasih untuk
ucapan selamat datang…” kata
si gadis seraya
tersenyum manis yang membuat
Elang
Setan dan Tiga Bayangan Setan jadi blingsatan mabuk kepayang.
“Kami lihat kau tengah bersiap untuk
pergi. Kami harap tak usah terburuburu.
Kami ingin menanyakan
sesuatu padamu. Jika
urusan bisa selesai dengan cepat kami
akan mengundangmu ke puncak Gunung
Merapi,” ujar Elang Setan
pula dan dia maju
lagi dua langkah hingga jaraknya dengan Puti Andini hanya terpisah lima langkah kini.
“Ah, kalian benarbenar tuan rumah yang baik. Pertanyaan apa yang hendak
kalian ajukan?” bertanya Puti Andini seraya menyusun tujuh buah payung yang ada
dalam kantong perbekalan sebelum dipikulnya di punggung.
“Beberapa waktu lalu terjadi satu peristiwa besar
di satu lereng bukit di luar
Kartosuro. Pendekar kawakan dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Wiro Sableng menemui kematian di tempat itu…”
Puti Andini menunjukkan wajah purapura terkejut. “Pasti matinya bukan karena
sakit. Seseorang telah membunuhnya!”
Elang Setan anggukan kepala.
“Jika seseorang sehebat Pendekar 212 dibunuh orang, pasti yang membunuhnya
seorang berkepandaian
sangat tinggi. Kalian tahu siapa yang membunuh
tokoh silat
muda itu?”
“Itulah yang kami ingin tahu!” jawab Elang Setan.
“Selain itu,” menyambung
Tiga Bayangan Setan, “Kami mendapat
tugas dari
seorang yang sangant dekat dengan Pendekar 212 untuk mencari jenazahnya guna
diurus lalu disemayamkan sebaikbaiknya.”
Puti Andini anggukanggukkan kepalanya beberapa kali lalu bertanya.”Lantas hal
apa yang kalian harapkan dariku?”
“Kalau kami tidak salah, pada waktu kejadian itu kau terlihat berada
di sekitar
bukit. Mungkin bisa memberi keterangan
apa yang terjadi dengan mayat Pendekar
212…”
“Hemm… Aku memang turun ke bukit itu. Memang kulihat banyak mayat
bertebaran
di sekitar sumur batu. Kebanyakan sudah pada busuk. Namun aku tidak
melihat mayat Pendekar 212 atau yang punya ciriciri seperti dia. Mungkin…Hemmm…”
Puti Andini purapura berpikirpikir.
“Mungkin apa?” tanya Tiga Bayangan Setan.
“Waktu masih melayang di udara, aku melihat ada dua orang terburuburu
meninggalkan lereng bukit. Salah satu diantara mereka memanggul sesosok tubuh
Mungkin sekali dua orang itu yang membawa mayat Pendekar 212. Sayang aku tidak
menyelidik lebih jauh…”
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi saling pandang mendengar katakata
Puti Andini itu. Tentu saja mereka tidak mau menceritakan
bahwa dua orang yang
terlihat lari itu adalah mereka sendiri yang tengah membawa
sosok Bidadari Angin
Timur.
“Baiklah, kalau kau memang tidak tahu apaapa menyangkut mayat Pendekar
212,” kata Tiga Bayangan Setan pula. “Sekarang bagaimana dengan undangan kami
untuk membawamu ke puncak Gunung Merapi?”
“Gunung Merapi cukup jauh dari sini. Memangnya ada pesta apa di sana hingga
mengundang segala?”
Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan tertawa gelakgelak. “Sama sekali tidak ada
pesta atau hajat apa pun di sana!” jawab Elang Setan. “Kami membawamu
ke sana
karena
ingin memperkenalkan
dirimu dengan
seorang
tokoh
luar biasa dunia
persilatan!” Sambil bicara Elang Setan maju dua langkah.
“Hemmm… siapakah gerangan tokoh luar biasa yang kau maksudkan itu?” tanya
Puti Andini.
“Pernah mendengar nama Pangeran Matahari?” ujar Tiga Bayangan Setan.
“Pangeran Matahari!” seru Puti Andini. “Siapa tidak kenal dengan raja diraja
dunia persilatan itu! Namanya tembus sampai ke pulau kediamanku di tanah seberang!”
“Nah kepadanyalah kami akan mempertemukan dirimu….”
“Sungguh
menyenangkan
dapat
bertemu
denga
tokoh
seperti
Pangeran
Matahari. Tapi apakah rencana itu tidak bisa ditunda dulu? Untuk bertemu dengan
orang sehebat
dia aku yang tolol ini tentu perlu persiapan
agar tidak kikuk jika
berhadapan!”
Tiga Bayangan Setan mengulum senyum.
“Pangeran Matahari orangnya sangat
baik. Dia tidak pernah memandang rendah siapa pun. Sekali kau bertemu dia pasti akan
tertarik. Dia mudah bersahabat
dengan siapa saja. Disamping itu wajahnya sangat
gagah. Dia gagah kau cantik. Sungguh cocok!”
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tertawa gelakgelak. Puti Andini tersipu
sipu lalu berkata, “Harap dimaafkan, saat ini aku punya tugas yang harus dijalankan.
Bagaimana kalau kita bertemu lagi di sini selang tiga puluh hari di muka. Aku pasti akan
mengikuti kalian. Jangankan ke puncak Gunung Merapi, ke Puncak Mahameru pun aku
mau pergi. Apalagi bersama orangorang gagah seperti kalian berdua….”
“Ah, sayang sekali….” Kata Tiga Bayangan Setan.
“Ya… sayang sekali kalau
kami terpaksa memaksa!” ujar Elang Setan pula seraya
maju lagi dua langkah. Pada jarak hanya tinggal satu langkah dari hadapan Puti Andini
orang ini melompat sambil susupkan satu totokan ke dada si gadis!


DELAPAN

Puti Andini yang sejak taditadi memang telah berwaspada begitu melihat gerakan
orang cepat segera berkelit ke samping sambil angkat kantong perbekalannya
dan
meletakkannya di punggung. Melihat gerakan si gadis mau tak mau Tiga Bayangan Setan
jadi terkesiap. Mengelakkan serangan saudara angkatnya saja merupakan satu hal yang
tidak mudah. Tapi si gadis melakukannya sambil mengangkat barang yang kelihatannya
cukup berat.
Dan dia jadi lebih terkejut
sewaktu
Puti Andini membuat
gerakan
berputar dan tahutahu kaki kanannya menyambar ke muka Elang Setan. Kalau lelaki ini
tidak lekas mengelak pasti rahangnya sudah dimakan tendangan Putiu Andini!
Tiga Bayangan Setan
cepat melompat pegangi pundak saudara
angkatnya yang
saat itu hendak
kembali menyerang.
Bukan hanya sekedar
menotok
tapi akan
pergunakan jarijari tangannya yang berkuku panjang.
“Sabar sedikit Elang Setan.
Sobat cantik ini masih bisa kita atur…” Lalu sambil
berdehem dan cengarcengir Tiga Bayangan Setan berkata. “Harap maafkan saudaraku
yang memang punya sifat tidak sabaran dan lekas naik pitam….”
Puti Andini tertawa. “Aku sudah tahu sandiwara kalian. Mengapa musti berpura
pura...?!”
“Gadis cantik, kami tidak berpurapura. Kami memang ingin mempertemukanmu
dengan Pangeran Matahari untuk maksud baik! Kalau kalian berjodoh dengan dia, kami
tentu dapat pahala juga. Ha…ha….ha…!”
“Kalian tidak lebih daripada iblis bermuka setan! Pangeranmu itu tidak lebih baik
dari kalian! Dengar…. Aku melihat warna aneh pada bibir kalian! Di dalam tubuh kalian
pasti ada sejenis racun jahat yang perlahanlahan tetapi pasti akan membunuh kalian
berdua. Mungkin ada hubungannya dengan maksud kalian mencari mayat Pendekar 212
dan mengajakku ke puncak Gunung Merapi?!”
Dua orang di hadapan Puti Andini samasama terkesiap mendengar ucapan si
gadis. Keduanya tak habis pikir bagaimana gadis itu bisa mengetahui keadaan diri dan
maksud mereka.
“Selagi hari masih siang sebaiknya kalian lekas angkat kaki dari hadapanku!”
“Ah, gadis cantik ini rupanya tak bisa diatur!” kata Tiga Bayangan Setan.
“Kalau begitu biar kita gebuk dan pegangi di tempat ini juga!” ujar Elang Setan
sambil menyeringai lebar.
“Kau betul, tapi jangan terlalu keras memberi pelajaran padanya.
Bagaimana
kalau kau pergunakan kukukuku
jarimu untuk
merobek pakaian
dan
menelanjangi
tubuhnya terlebih dulu! Aku ingin menyaksikan satu pemandangan bagus agar mataku
tidak keburu lamur! Ha…ha…ha…!”
Puti Andini sudah lama mendengar riwayat
dua manusia jahat ini. Karenanya
selain berhatihati dia tak mau memberi kesempatan. Sebelum Elang Setan menyerbu
gadis ini berkelebat hantamkan tangan kanannya ke arah dada lawan. Selarik angin
dingin menyambar. Elang Setan terkejut besar sewaktu tubuhnya menjadi huyung.
Cepat dia dorongkan tangan kanannya ke depan. Lima larik sinar hitam kemerahan

bertabur dari kukukukujarinya membuat angin serangan Puti Andini bersibak ke
samping. Selagi gadis ini memasang kudakuda menyiapkan serangan baru, Elang Setan
mendahului.
Puti Andini melihat sepuluh sinar hitam kemerahan berkiblat di depan matanya.
Si Gadis tak berani menangkis ataupun membalas. Kedua kakinya dijejakkan ke tanah.
Seperti anak panah tubuhnya melesat ke udara. Elang Setan yang tak mau melepaskan
lawan begitu saja cepat memburu. Kembali sepuluh sinar hitam merah melesat ke arah
Puti Andini.
Sambil melompat tadi Puti Andini gerakkan tangan kanannya ke punggung
mencabut satu dari tujuh payung yang ada dalam buntalan perbekalannya. Lalu
terdengar suara “blepp!”
Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan terkejut ketika melihat di udara, di depan
tubuh gadis berbaju merah itu berputar sebuah benda bulat berwarna hijau. Ternyata
Puti Andini telah mengambil payung hijau dan sekaligus mengembangkannya. Begitu
payung terkembang jarijaritangannya disentakkan. Payung hijau berputar deras
mengeluarkan deru dahsyat.
Elang Setan berseru kaget ketika melihat bagaimana putaran payung hijau
menggulung serangan sepuluh kukunya dan ketika si gadis mendorongkan payungnya ke
depan sepuluh cahaya hitam yang keluar dari kukunya itu membalik menghantam
arahnya!
Sambil berteriak keras Elang Setan jatuhkan diri ke tanah, berguling selamatkan
diri. Begitu dia berguling di bawah sosok Puti Andini secepat kilat dia melompat seraya
lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Pada saat Elang Setan jatuhkan diri Puti Andini lepaskan payung hijaunya.
Payung itu kini melayang berputarputar du udara. Payung itu kini melayang berputar
putar di udara. Ketika lawan lewat di bawahnya si
gadis cabut payung kedua yakni
payung putih. Begitu Elang Setan menyerang, payung putih menukik laksana kilat.
Payung mengembang dengan bagian runcing menusuk ke arah bahu Elang Setan. Dalam
keadaan marah karena kedua kalinya serangannya gagal Elang Setan menjadi nekad. Dia
kerahkan tenaga dalam lebih banyak lalu menggebuk ke arah payung putih. Jotosannya
yang laksana palu godam masakan tidak sanggup menjebol payung putih yang hanya
terbuat dari kertas pikirnya. Tapi alangkah kagetnya Elang Setan ketika satu gelombang
angin yang keluar dari putaran payung putih membuat tangan kanannya seperti
dipuntir. Sebelum dia sempat melakukan sesuatu, pinggiran payung putih yang berputar
laksana gerinda raksasa itu menyambar ke arah pergelangan tangannya.
“Craaasss!”
“Breett!”
Elang Setan berteriak kesakitan. Lengan pakaiannya yanga terbuat dari kain tebal
robek besar. Pada ujung robekan kelihatan cairan merah tanda daging lengannya ikut
tersambar. Sakitnya bukan main. Dengan muka sepucat mayat Elang Setan melompat
mundur. Melihat lawan terluka Puti Andini tidak mau memberi kesempatan. Gadis ini


putar payung putihnya dengan sebat. Bagian runcing di pertengahan payung laksana
ujung tombak yang berputar menusuk ke arah kening Elang Setan. Yang diserang cepat
menghindar. Tapi dia kecele. Serangan berupa tusukan itu ternyata hanya tipuan belaka
karena begitu Puti Andini menyentakkan gagang payung, laksana kilat pinggiran payung
putih menderu ke arah bahu tepat di pangkal leher Elang Setan!
“Celaka!” jerit Elang Setan. Seumur hidup manusia satu ini membunuh lawan
lawannya yang berkepandaian tinggi dengan cepat dan mudah. Tapi hari ini dia
berhadapan dengan seorang gadis cantik jelita, bersenjatakan payung dan dia tak
mampu menghadapinya! Dalam keadaan seperti itu tibatiba datang lagi serangan Puti
Andini. Si gadis pergunakan payung hijaunya seolah tali gantungan. Tubuhnya diayun ke
bawah. Kakinya menyambar. “Bukkk!”
Elang Setan terhempas ke tanah. Darah menyembur dari mulutnya akibat
tendangan telak yang mendarat di dadanya.
“Saatnya aku menghabisi manusia setan satu ini!” ujar Puti Andini. Dengan
kertakan rahang si gadis sentakkan tangannya yang memegang payung hijau. Tubuhnya
berputar membal. Lalu dia membuat gerakan menukik. Ujung payung hijau dihujamkan
ke batok kepala Elang Setan.
“Tiga Bayangan! Tolong!” teriak Elang Setan karena saat diserang dia tak mampu
berbuat apaapa!
Tiga Bayangan Setan yang memang sejak tadi memperhatikan jalannya
mperkelahian dan tahu saudara
angkatnya berada dalam bahaya besar secepat kilat
melompat. Dua tangannya diulurkan untuk mencekal
sepasang kaki Puti Andini yang
masih mengapung di udara. Serangan Tiga Bayangan Setan bukan serangan biasa. Sekali
dia sempat mencekal salah satu kaki si gadis, dia mampu menanggalkan kaki itu dari
persendiannya! Puti Andini bukan tidak maklum bahayanya serangan lawan kedua itu.
Dia terpaksa mencari
selamat lebih dahulu. Serangan maut yang ditujukan pada
Elang
Setan hanya merobek leher baju tebal lawan dan menggurat sedikit daging bahunya.
Masih berada di udara Puti Andini lipat
ke dua kakinya lalu mencekal gagang
payung hijau. Bersamaan dengan
itu payung putih dihantamkan
ke arah kepala Tiga
Bayangan Setan. Lawan yang diserang keluarkan suara mendengus lalu
menyusup ke
balik putaran payung putih.
Puti Andini tersentak kaget ketika melihat tahutahu Tiga Bayangan Setan berada
di balik putaran payung putihnya dan menggempurnya dengan dua jotosan sekaligus!
Puti Andini tersentak tangan kanannya.
“Cleeppp!”
Payung putih menguncup kencang. Karena kepala Tiga Bayangan Setan berada di
belakang payung tak ampun lagi kepalanya amblas dalam kuncupan payung. Seperti
diketahui manusia ini memiliki kesaktian kebal segala macam pukulan sakti dan senjata
tajam. Tapi saat itu dia sama sekali tidak menerima pukulan ataupun tusukan senjata.
Yang mendapat serangan adalah jalan pernapasannya karena kepalanya tersangkup
payung. Dalam waktu singkat kakinya melejanglejang kian kemari. Tangannya

menggapaigapai coba memukul. Namun saat itu Puti Andini telah melepaskan
pegangannya pada payung hingga sosok Tiga Bayangan Setan melayang berputarputar
di udara.
“Jahanam! Kurang ajar! “ teriak Tiga Bayangan Setan terpengappengap. Saat itu
dia telah merapal aji kesaktian ilmu paling diandalkannya
yakni mengeluarkan
tiga
raksasa jejadian dari batok kepalanya. Bersamaan
dengan itu dia adukan tinjunya kiri
kanan satu sama lain seraya berteriak. “Hancurkan payung!”
Tiga guratan di kening Tiga Bayangan Setan mengeluarkan
sinar berkilauan.
Bersamaan dengan itu dari kepalanya keluar kepulan asap!
Sebelumnya Puti Andini tidak pernah berhadapan dengan Tiga Bayangan Setan.
Namun dia banyak tahu mengenai ilmu iblis yang dimiliki manusia ini berdasarkan
keterangan
guru dan beberapa tokoh silat di pulau Andalas. Dia sendiri tidak dapat
memastikan
apakah payung yang menjadi senjata andalannya
mampu menghadapi
kesaktian lawan. Karenanya begitu melihat ada kepulan asap keluar dari bawah payung
serta merta dia gerakkan tangan menarik gagang payung. Bersamaan dengan itu payung
hijau tempatnya bergantung digerakkan
demikian rupa. “Clepp!” begitu payung hijau
menguncup si gadis tusukkan benda itu ke arah perut lawan. Sementara tangan kirinya
bergerak mengembangkan
payung putih! Semua dilakukan dengan gerakan secepat
kilat.
Ketika tiga kepulan asap di kepala Tiga Bayangan Setan mulai membentuk sosok
tiga raksasa bermuka seram, rambut riapriapan, taring mencuat sedang dada yang
telanjang penuh bulu, Puti Andini lipat gandakan tenaga dalam di tangan kanan dalam
menusukkan payung.
“Wuttt!”
“Bukkk!”
“Kraaak!”
Ujung runcing payung
hijau mendarat
di ulu hati Tiga Bayangan Setan dengan
telak. Jubah hitamnya robek besar. Tubuhnya terbanting ke tanah. Tapi tusukan payung
itu tak mampu menembus perutnya. Sebaliknya ujung runcing payung hijau patah,
membuat Puti Andini terbeliak kaget!
“Setan alas ini benarbenar memiliki ilmu kebal luar biasa! Terpaksa aku
menghindari perkelahian lebih jauh. Aku harus cepatcepat memperbaiki ujung payung
yang patah. Urusan besar menghadang
di depanku!” Puti Andini cepat tarik tangan
kanannya yang memegang payung hijau. Lalu tangan kirinya disentakkan. Payung hijau
berputar deras. Tubuhnya melesat ke atas.
Di bawah sana Tiga Bayangan Setan berteriak marah.
“Kejar! Bunuh!”
Tiga sosok raksasa jejadian melesat
ke atas. Tiga pasang tangan mereka
menghantam. Namun Puti Andini yang bergantungan pada payung putih sudah terlalu
tinggi untuk dikejar. Apalagi saat itu dia telah sempat membuka tiga payung lagi untuk
melindungi dirinya. Ilmu kesaktian tiga raksasa angker yang keluar dari batok kepala Tiga

Bayangan Setan walaupun hebat luar biasa tapi mempunyai keterbatasan untuk
menjangkau sasaran yang terlalu jauh.
Tiga Bayangan Setan usapusap perutnya yang tadi kena tusukan ujung payung
hijau. Memandang ke udara dia menggeram
dan memaki pajang pendek. Saat itu
dilihatnya Puti Andini tengah mengembangkan payung merah lalu berpindah ke payung
itu melayang makin jauh.
“Kita gagal besar!” kata Elang Setan yang tegak di samping saudara angkatnya itu
sambil mengepalkan tinju. “Kita tak dapat mencari tahu apa yang terjadi atas mayat
Pendekar 212. Kita juga tak berhasil mendapatkan gadis itu! Apa akal sekarang?!”
Tiga Bayangan Setan usap bagian kepalanya yang sulah. Mata kanannya yang
besar dipejamkan. Dari lereng
bukit itu dia memandang ke tengah lautan. “Hanya ada
satu cara untuk cari selamat. Kau ingat Ki Ageng Unggulmulyo bekas juru rias Istana
yang ahli membuat topeng di Bantul itu…?”
Elang Setan tidak mengerti. “Apa hubungan orang tua itu dengan urusan kita…?”
tanyanya.
“Justru erat sekali!” jawab Tiga Bayangan Setan. “Ayo kita ke sana sekarang
juga!”
Ke dua orang itu segera melangkah ke tempat mereka meninggalkan
kuda
masingmasing

SEMBILAN


Dalam ruangan pertemuan yang besar itu hanya terdapat dua buah kursi dari batu,
terletak berhadapahadapan mengapit sebuah
meja batu pualam yang di atasnya ada
jambangan bunga. Baik jambangan maupun bunganya terbuat dari sejenis kerang. Yang
membuat bunga dari kerang kelihatan menyerupai bunga hidup sungguhan.
Kursi batu sebelah kanan selain lebih besar dan tinggi juga sebelah kanan selain
besar dan tinggi juga memiliki ukiran bagus berupa ikan lumbalumba besar yang tegak
agak melengkung. Bila seseorang duduk di atas kursi batu ini maka kepalanya
seolah
ditudungi oleh kepala ikan. Wiro telah melihat kursi seperti itu di ruangan besar
pada
pertama kali dia memasuki tempat itu. Kursi satunya yang di sebelah kiri memiliki
bentuk sama dengan sebelah kanan hanya saja kecil dan lebih rendah.
Seluruh ruangan tertutup
tirai tebal berwarna biru. Di langitlangit ruangan
sebelah tengah ada sebuah batu putih aneh yang memancarkan cahaya berkilau. Cahaya
dari batu inilah yang menerangi seantero ruangan besar itu. Wiro menghirup napas
dalamdalam. Ruangan itu berbau wangi semerbak. Udaranya pun sejuk nyaman.
“Silahkan mengambil tempat duduk di kursi
sebelah kiri,” memberi tahu
salah
seorang dari empat gadis berpakaian hitam ketat yang membawa Wiro ke ruangan itu.
“Ratu akan segera datang ke tempat ini.”
Pendekar 212 anggukan kepala. Emapt gadis kemudian menyelinap ke balik tirai
biru dan lenyap. Wiro memandang berkeliling lalu melangkah seputar ruangan. Setiap
sudut diperiksanya. “Aneh, dari mana jalan aku masuk tadi? Di mana pula bagian tempat
empat gadis tadi menyelinap pergi?” Setiap bagian tirai dibaliknya tapi dia hanya
menemukan dinding batu hitam. “Janganjanganaku telah kena jebak! Dijebloskan
dalam penjara yang keadaannya lebih lumayan dari Ruang Penantian terkutuk itu!
Hemmm…. Kalau benar aku dipenjarakan lagi di tempat ini aku tak segansegan
mengencinginya. Kalau perlu aku akan buang hajat besar di sini! Biar tahu rasa!” Begitu
murid Sinto Gendeng berkata dalam hati sambil senyumsenyum sendiri. Lalu dia
berusaha mengingatingat telah berapa lama dia berada di tempat itu. Namun otaknya
tak mampu menduga. “Tempat celaka ini punya hitungan hari aneh dengan dunia luar
sana….” Lalu tibatiba saja murid Sinto Gendeng menjadi kecut. “Bagaimana kalau aku
tidak pernah keluar selamalamanya dari tempat ini?” Wiro garukgarukkepalanya
berulang kali. Teringat dia pada tugas penting mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa
yang sampai saat ini masih gelap dimana beradanya. “Nelayan berpenyakit cacar sialan
itu…” maki Wiro. “Hampir putus tanganku disambar ikan hiu!” Wiro perhatikan lengan
kanannya yang pernah luka. Tibatiba terbayang wajah cantik Bidadari Angin Timur di
pelupuk matanya. “Gadis itu…Akutak dapat melupakannya. Waktu berduaduaan di
dalam telaga…. Bidadari, dimana kau saat ini? Aku kangen sekali padamu….”
Tibatiba tirai biru di dinding sebelah kanan tersingkap.
“Bidadari Angin Timur, kaukah itu….?” Karena tengah mengenang gadis yang
dirindukannya itu, ucapan itu lepas begitu saja tanpa disadari Pendekar 212. Ketika dia
berpaling ke kanan yang tegak di tempat itu memang seorang perempuan secantik


bidadari. Mengenakan pakaian sangat ketat terbuat dari manikmanik berwarna merah
berkilauan yang pada bagian dada serta
pinggulnya terbelah.
Di tangan kanannya dia
mendadak bertambah harum oleh bau Ratu Duyung yang baru masuk.
“Kau menyebut nama seseorang….” Ujar Ratu Duyung.
“Ah, maafkan aku…” kata Wiro garukgaruk kepala.
“Kau tengah melamuni seseorang….”
Wiro tertawa lebar. Kembali dia garukgaruk kepala.
Ratu Duyung melangkah mundar mandir
di hadapan Wiro
beberapa lamanya.
Sesekali dia melirik ke arah pemuda itu dan diamdiam mengakui walau sepintas
pemuda ini seperti orang tolol suka cengengesan
tapi wajahnya ternyata tampan.
Apalagi kini kulitnya telah
kembali
ke bentuk
asli. Wiro sendiri
diamdiam
memperhatikan kebagusan tubuh sang Ratu dengan mata tak berkesip.
Walau mengagumi Pendekar 212, Ratu Duyung tidak menyembunyikan
rasa
sukanya melihat sikap seenaknya murid Sinto Gendeng. Dalam hati dia menggerendeng.
“Pemuda satu ini benarbenar kurang ajar. Dia duduk di kursi batu dimana
seharusnya aku duduk. Aku harus menegurnya.
Mengingat dia sekarang merupakan
sebagai tamu yang kuhormati, bagaimana
caranya menyuruhnya berdiri dari kursi itu
tanpa merasa tersinggung. Hemmm….”
Sambil terus melangkah Ratu Duyung bertanya. “Mungkin anak buahku yang
mengantar kau ke sini lupa memberi tahu dimana kau harus duduk….”
“Astaga!” Wiro purapura terkejut. “Maafkan aku! Anak buahmu
memang
memberi tahu. Tapi aku sedang kacau pikiran hingga lupa….”
Wiro berdiri dari kursi batu besar. Sandaran dan bagian kursi yang barusan
didudukinya dibersihkannya
dengan tangan. Lalu dia membungkuk mempersilahkan
sang Ratu duduk. Ratu Duyung jengkel ada geli juga ada melihat kelakuan pemuda itu.
Wiro menunggu sampai sang Ratu duduk di kursi batu besar dia kemudian ddudk
di
kursai batu yang kecil.
“Kau mengatakan sedang kacau pikiran….” Ratu Duyung membuka pembicaraan.
“Betul sekali….” Jawab Wiro polos.
“Pikiran kacau adalah
salah satu sumber
kelemahan
manusia yang bisa
membawa kelengahan, mengundang datangnya malapetaka….”
“Aku memang telah berlaku lengah dan menghadapi malapetaka…. Aku tidak
tahu apa artinya aku berada di ruangan ini. Mungkin ini salah satu bentuk lain dari
penjaramu….?”
Ratu Duyung tersenyum. “Kau pernah berbuat salah, ditawan dan dihukum. Tapi
sekarang kau kembali sebagai tamu yang kami hormati…..”
“Kalau begitu aku mengucapkan terima kasih. Terima kasihku banyak sekali
untukmu Ratu. Kau telah menyelamatkan aku waktu tenggelam di laut. Mengobati luka
sambaran ikan hiu di lenganku. Mengembalikan sepasang mataku. Entah kebaikan apa
lagi yang akan kuterima darimu. Jangan terlalu banyak membagi kebaikan padaku Ratu
Duyung. Aku khawatir tak dapat membalas semua budi baikmu itu…


Ratu Duyung berpurapura mengusap hidung dan mulutnya. Padahal dia tengah
berusaha menyembunyikan tawa mendengar semua ucapan Wiro tadi.
“Ratu, aku mendapat
penjelasan
dari anak buahmu
bahwa kau hendak
memberikan wasiat padaku. Jika ini benar tentu saja aku ingin tahu wasiat apa. Namun
jika itu tidak betul, aku mohon bisa meninggalkan tempat ini secepatnya. Selama berada
di sini banyak pelajaran baik yang telah kudapat.
Aku sekali lagi mengucapkan terima
kasih….”
Ratu Duyung letakkan cermin bulatnya di pangkuan lalu berkata. “Sewaktu
sobatmu Dewa Ketawa berada di sini, kami sudah mengetahui kalau kau membekal satu
tugas besar dan berat. Mencari sebuah kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa….”
Wiro mengangguk. “Bagaimana Ratu bisa mengetahui. Padahal Ratu jarang sekali
meninggalkan tempat ini….”
Ratu Duyung mengambil cermin bundar di pangkuannya. “Hampir semua
yang
terjadi di luaran, dalam kejauhan tertentu bisa kupantau lewat cermin sakti ini. Waktu
kau masih di pantai, sibuk mencari perahu tumpangan, aku dan Dewa Ketawa sudah
melihat gerak gerikmu lewat cermin ini….”
Pendekar
212 Wiro Sableng jadi ternganga
saking herannya
mendengar
keterangan itu. Matanya memandang tak berkesip pada cermin yang ada di tangan sang
Ratu.
“Kalau begitu….” Wiro garukgaruk kepalanya.
“Aku tahu apa lanjutan ucapanmu
Pendekar 212. Kau pasti menduga aku
mengetahui dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu…..”
“Betul sekali! Dapatkah kau melihat ke dalam cermin dan memberi tahu
padaku?”
“Banyak hal bisa dilihat lewat cermin ini. Tapi betapapun hebatnya sebagai
benda fana cermin ini tetap memiliki keterbatasan. Cermin ini tidak mampu mengetahui
dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa….”
Wiro Sableng menarik napas dalam. Wajahnya tampak kecewa.
“Jangan lekas putus asa Pendekar 212. Cerminku memang tidak bisa mengetahui
langsung. Ini disebabkan karena Kitab Putih Wasiat Dewa itu bukan sembarangan.
Kekuatannya yang dahsyat membuat cermin saktiku tidak mampu melakukan sambung
getar secara sempurna. Namun secara tersamar dimana kemungkinan beradanya kitab
itu. Selain itu jauh sebelum kau dan kawanmu Dewa Ketawa datang kemari aku sudah
mengetahui sedikit cerita tentang asal muasal kitab itu….”
Wiro ingat pada penjelasan Ratu Duyung pada hari pertama dia berada di
tempat itu. “Aku ingat, pada hari pertama aku di sini Dewa Ketawa mengatakan kalau
Kitab Putih Wasiat Dewa itu berasal dari daratan Tiongkok. Apa betul….?”
Ratu Duyung mengangguk.
“Berarti apapun yang tertulis dalam kitab itu dalm huruf cina? Wah… Bagaimana
mungkin aku bisa membacanya!” ujar Wiro seraya garukgaruk kepala.
Pendekar 212, melihat kitab itu saja kau belum. Tahupun beradanya dimana
kau belum! Mengapa sudah memikir segala macam isinya?” ujar Ratu Duyung pula.
“Kalau tidak dipikirkan dari sekarang,
seandainya aku
nanti dapatkan kitab itu
percuma saja. Atau kau mungkin bisa membaca menjadi juru bahasaku?”
Ratu Duyung tersenyum.
“Hemmm…senyum
itu membuat
wajahnya tambah
cantik. Tapi menurutku
Bidadari Angin Timur jauh lebih cantik….”
“Pendekar 212, agar jelas bagimu biar aku ceritakan asal usul yang kuketahui
mengenai buku itu,” kata Ratu Duyung. Lalu sang Ratu menuturkan.
Sekitar satu abad yang silam seorang sakti di tanah Jawa diundang oleh Raja
Tiongkok untuk berkunjung
ke daratan
Cina. Selain menjalin persahabatan
juga
direncanakan untuk saling tukar ilmu kepandaian. Orang sakti itu konon dipanggil
dengan
sebutan
Kanjeng Sri Ageng Musalamat.
Entah apa sebabnya
Sri Ageng
Musalamat dan rombongan
tak pernah ke tanah Jawa. Kabarnya dia bermukim di
Tiongkok, kawin dengan penduduk setempat
dan menjadi salah seorang tokoh silat
sangat disegani.
Karena ilmunya yang tinggi maka Kaisar sering meminta bantuan
Sri Ageng
Musalamat
termasuk
para anak buah perguruannya,
terutama
dalam menumpas
gerombolan penjahat yang bertebaran hampir di setiap pelosok pada masa itu.
Hubungannya yang dekat dengan Kaisar membuat banyak pejabat tinggi merasa
iri dengki terhadap Sri Ageng Musalamat. Maka disusunlah satu rencana busuk. Dengan
menggunakan suratsurat
palsu Sri Ageng Musalamat difitnah berkomplot
membantu
kaum pemberontak
bangsa Mongol untuk menumbangkan
Kaisar Tiongkok yang
berkuasa. Kaisar marah besar. Sri Ageng Musalamat
ditangkap dan dijatuhi hukuman
pancung. Anak buah dan muridmuridnya ditumpas habis.
“Namun
ada
seorang
yang
selamat,”
kata
Ratu
Duyung
melanjutkan
penuturannya. “Orang ini bernama Ki Hok Kui. Pada waktu itu meski baru berusia sekitar
tiga puluh tapi boleh dikatakan dia sudah mewarisi hampir seluruh kepandaian Kanjeng
Sri Ageng Musalamat. Rimba persilatan Tiongkok memberinya gelar hebat yaitu Tiat
Thow Houw yang berarti
Harimau Kepala Besi. Pada waktu
Sri Ageng Musalamat dan
para murid serta anak buahnya yang ratusan jumlahnya dibantai, Ki Kok Kui sedang
mengadakan perjalanan di daratan timur Tiongkok. Ketika orangorang yang dengki itu
mengetahui Ki Kok Kui masih hidup,
mereka merasa sangat khawatir kalaukalau satu
satunya anak murid Sri Ageng Musalamat ini akan melakukan balas dendam. Selain itu
orangorang tersebut juga kasak kusuk mencari sebuah kitab sakti milik Sri Ageng
Musalamat yang tidak berhasil ditemukan. Kitab itu adalah Kitab Putih Wasiat Dewa,
sebuah
kitab berisi ilmu langka hampir tanpa tandingan.
Orangorang itu sama
memastikan bahwa kitab itu berada di tangan Ki Hok Kui. Maka satu rombongan besar
dikirim ke timur untuk mencarinya.
Ki Hok Kui alias Harimau Kepala Besi dihadang di
dekat Nanchang. Namun berkat pertolongan seorang
sahabat dia
berhasil meloloskan


diri lewat anak sungai Yang Tse Kiang dan menghilang di pantai timur Tiongkok sekitar
Seochow….”
“Berarti kitab ilmu sakti masih berada di daratan Tiongkok,” ujar Wiro sambil
manatap tajam pada Ratu Duyung.
Sang Ratu menggeleng.
“Seperti aku ceritakan tadi Harimau Kepala Besi Ki Hok Kui adalah murid
kesayangan Sri Ageng Musalamat, merupakan murid paling pandai dan mewarisi hampir
semua ilmunya. Disamping itu dari sang guru di juga belajar bahasa Jawa kuno. Karena
itu dia mampu membaca isi Kitab Putih Wasiat Dewa….”
“Jadi, kitab sakti itu ditulis dalam bahasa Jawa kuno?” tanya Wiro ingin
menegaskan.
“Betul sekali,” jawab Ratu Duyung.
“Lalu apa betul kitab itu ada di tangan si Harimau Kepala besi?” tanya Wiro lagi.
“Rupanya Kanjeng Sri Ageng Musalamat
seolah punya firasat bahwa satu
malapetaka besar
akan terjadi atas
dirinya, keluarga serta
anak buah dan anak murid
perguruannya.
Maka tanpa ada orang lain yang tahu Kitab Putih Wasiat Dewa
diserahkannya pada Tiat Thow Houw alias Harimau Kepala Besi….”
“Berarti orang ini sudah membaca isinya dan mempelajarinya!” ujar Wiro.
“Hal itu tidak bisa dipastikan. Yang jelas selama dia memegang kitab sakti itu dia
selalu diburu
oleh orangorang Kaisar yang jahat….” jawab Ratu Duyung, lalu
meneruskan
. “Suatu hari sahabat yang pernah menolong Ki Hok Kui melarikan diri
tertangkap. Setelah disiksa
akhirnya dia memberi
tahu dimana bersembunyinya murid
Sri Ageng Musalamat
itu. Si sahabat
kemudian
dibunuh
secara
keji. Tempat
persembunyian
Ki Hok Kui digerebek. Terjadi pertempuran
hebat. Kabarnya sebelum
berhasil meloloskan
diri Harimau Kepala Besi berhasil membunuh
perwira tinggi
pemimpin pasukan pengejar itu. Ikut tewas dua orang tokoh silat serta beberapa orang
prajurit. Orangorang Kaisar marah besar. Bala bantuan didatangkan. Sementara Ki Hok
Kui melarikan diri menuju muara sungai. Dari sini dengan sebuah jukung dia mengarungi
lautan luas. Tujuannya hanya satu menuju tanah Jawa. Sulit dipercaya hanya dengan
sebuah perahu kecil Ki
Hok Kui mampu mengarungi samudera luas dengan
membawa
satu benda sangat berharga. Rupanya orangorang Kaisar berhati culas masih belum
puas. Mereka terus
menyelidik. Beberapa
hari kemudian mereka
berhasil mengetahui
bahwa Ki Hok Kui telah kabur dengan sebuah jukung. Satu kapal kayu
besar disiapkan
untuk mengejar. Karena dia bukan seorang pelaut maka Ki Hok Kui tidak pernah
mencapai pantai utara pulau Jawa tempat kelahiran gurunya tapi justru tersesat ke
pantai selatan. Dekat sebuah pulau orangorang Kaisar berhasil mengejarnya. Setelah
terjadi perkelahian
hebat dan perahu kecilnya tenggelam
Ki Hok Kui berenang ke
daratan pulau terdekat. Orangorang Kaisar terus memburu. Entah apa yang terjadi Ki
Hok Kui kemudian lenyap di pulau itu….”
Mungkin dia terbunuh dan Kitab Wasiat itu dirampas oleh orangorang Kaisar?”
ujar Wiro.

Tidak ada petunjuk yang menunjang dugaan itu. Kabarnya orangorang Kaisar
kembali dengan kecewa besar.
Mereka tidak menemukan
Ki Hok Kui, juga kitab sakti
yang diburuburu. Ki Hok Kui sendiri tidak pernah terdengar kabar beritanya lagi….”
Wiro termenung sesaat. Dia ingat pada buku lilin yang ada di ruangan besar.
“Lalu apa hubungan buku lilin yang ada di tempatmu
ini dengan kitab yang asli?”
bertanya Wiro.
“Aku pernah mendapat mimpi, melihat kitab itu. Walaupun samarsamar aku
berusaha membuatnya. Siapa tahu aku berjodoh dengan kitab itu walau aku tidak
menginginkannya….”
“Susah juga mencari kitab wasiat itu…” kata Wiro sambil garukgaruk kepala.
“Ratu, apa kau tidak punya petunjuk lain yang bisa menolong? Aku ditugaskan oleh tiga
tokoh silat tanah Jawa untuk mendapatkan buku itu karena kabarnya ada satu
kitab
tandingan bernama Kitab Wasiat iblis yang jika jatuh ke tangan orang
jahat pasti dia
akan menguasai dunia persilatan dengan semenamena. Hanya Kitab Putih Wasiat Dewa
yang agaknya mampu menghadapi Kitab Wasiat Iblis itu….”
“Aku akan coba melihat mundur pada hariharisebelum kau muncul dan
menjelang kedatanganmu ke
sini,” jawab Ratu Duyung. Lalu diambilnya cermin sakti
yang ada di pangkuannya.



SEPULUH


Ratu Duyung menatap paras Pnedekar 212 sesaat lalu berkata. “Aku akan
melihat ke dalam kaca sakti dan mengatakan apa yang aku lihat. Selama aku melakukan
itu jangan sekalikali mengeluarkan suara atau bertanya. Kau mengerti Pendekar 212?”
Wiro anggukkan kepala.
Sang Ratu memandang
ke dalam cermin bulat. Perlahanlahan sepasang
matanya yang biru bagus dipejamkan.
“Ini aneh lagi…” membatin
Wiro yang memperhatikan. “Yang namanya melihat
itu dua mata mustinya dibuka lebarlebar, dia justru pejamkan ke dua matanya!”
“Aku melihat sebuah bukit di luar Kartosuro…” mulut sang Ratu terbuka dan
ucapan itu meluncur dari mulutnya. “Ada dua orang bermuka iblis di dekat sumur.
Tampaknya mereka sengaja berjagajaga….”
“Itu pasti Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan!” kata Wiro dalam hati.
“Orang ke tiga muncul. Tinggi tegap, berwajah
gagah tapi congkak. Dia
mengenakan
mantel hitam. Mereka bercakapcakap…. Ah, terjadi perkelahian. Dua
lawan satu….”
“Orang tinggi tegap… berwajah congkak. Mengenakan mantel hitam…. Siapa lagi
kalau bukan….”
“Orang yang barusan
datang
menyibakkan
bagian depan
mantelnya.
Aku
melihat… aku melihat ada gambar gunung dan matahari pada bagian dada bajunya….”
Dugaanku tidak meleset! Manusia itu ternyata
memang benar anjing jahanam
berjuluk Pangeran Matahari!” Wiro kepalkan ke dua tinjunya lalu pasang telinga
mendengarkan kelanjutan keterangan Ratu Duyung.
“Ada kepulan asap. Ada tiga sosok raksasa keluar dari kepala salah seorang
pengeroyok. Orang bermantel terdesak hebat. Hampir celaka…. Tapi tidak. Dia berhasil
menotok tubuh lawan. Lalu…. Orang bermantel masuk ke dalam sumur….” Sampai di sini
Ratu Duyung berhenti berucap.
Lama Wiro menunggu hampirhampir
dia tak sabaran
membuka mulut
hendak bertanya.
Namun sesaat
kemudian tampak bibir
merah sang
Ratu membuka.
“Muncul seorang nenek berjubah
kuning yang mukanya dirias tak karuan.
Perempuan ini melepaskan totokan dua orang di tepi sumur. Sekarang muncul kembali
orang bermantel. Dia keluar dari dalam sumur. Terjadi keributan. Si nenek menyerang
orang bermantel. Dari dada orang bermantel melesat satu cahaya angker berwarna
hitam. Tubuh si nenek mencelat. Tergelimpang di tanah. Tewas mengerikan dengan
tubuh jadi tulang belulang hangus gosong!”
“Tidak salah dugaan para tokoh!” kata Pendekar 212 dalam hati. “Kitab Wasiat
Iblis telah dikuasai oleh Pangeran Matahari!” Wiro
menarik napas
dalam dan melihat
sepasang mata biru Ratu Duyung terbuka. Wajahnya yang cantik keringatan. Dia
mengeluarkan
sehelai sapu tangan lalu menyeka keringat pada bagian kening bawah
mata serta dagu.

“Ratu, turut keteranganmu Kitab Wasiat Iblis sudah dikuasai oleh Pangeran
Matahari dari Gunung Merapi….”
Ratu Duyung mengangguk. “Apa yang bisa kulihat dalam cermin sakti masih
berlanjut. Kau masih ingin mendengarkan?”
“Tentu saja Ratu. Tapi jika kau merasa capai silahkan istirahat. Aku akan
menunggu….”
Ratu Dutung tersenyum.
Dia pejamkan ke dua matanya kembali. “Tampak
sebuah telaga. Ada seorang dara berpakaian biru. Aku juga melihat kau berada di
tempat itu Pendekar 212….”
Murid Sinto Gendeng sampai bangkit dari kursinya saking terkejutnya. “Celaka….
Jika dia melihat semuanya dan membeberkan….”
Wajah murid Sinto Gendeng ini
berubah dan tangannya menggaruk kepala berkalikali!
“Ada yang tidak beres…. Cermin sakti mengalami kesulitan. Keadaan sekitar
telaga terlihat sangat samar….”
Wiro merasa lega dan duduk kembali ke kursi batu. Ratu Duyung membuka ke
dua matanya, menatap ke arah Wiro.
Sepertinya ada seberkas cahaya keluar dari dua
bola mata biru perempuan muda yang cantik jelita itu. “Gadis berbaju biru di telaga….’
ujar sang Ratu. “Apakah dia yang kau panggil dengan sebutan Bidadari Angin Timur
waktu kau melamun tadi…?”
Wiro tak menjawab. Kalau sang Ratu sudah tahu apa gunanya menjawab, begitu
murid Sinto Gendeng berfikir.
“Apa hubunganmu dengan gadis itu Pendekar 212?” bertanya Ratu Duyung.
“Eh nada suaranya seperti cemburu…” membatin Pendekar 212.
“Kalau kau tak mau menjawab tak jadi apa.
Aku akan meneruskan melihat
ke
dalam
cermin
sakti.” Ratu Duyung arahkan
pandangannya
pada
cermin
yang
dipegangnya. Begitu dia memejamkan mata maka kembali mulutnya menutur.
“Pendekar 212, kau terlihat di dekat sumur di lereng bukit bersama gadis cantik
berpakaian biru itu.. Seseuatu terjadi. Dalam keadaan tertotok….”
Apa yang dikatakan Ratu Duyung selanjutnya tidak begitu diperhatikan Wiro
karena dia yang mengalami dan tahu sendiri apa yang terjadi selanjutnya. Dia baru
tersentak ketike mendengar ucapan sang Ratu selanjutnya. “Aku melihat puncak sebuah
gunung. Ada bayangan seseorang di pintu sebuah bangunan. Ternyata lelaki bermantel
itu. Dua orang mendatanginya.
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Dua orang ini
menyerahkan
sesuatu pada orang bermantel. Yang satu berbentuk hitam pekat, tak
jelas apa adanya. Namun yang satu lagi sebuah senjata bermata dua yang memancarkan
sinar berkilauan. Ah…. Sebuah kapak…….”
Pendekar 212 setengah terlompat dari duduknya. Kalau tidak lekas menguasai
dirinya hampir saja dia memukul lengan kursi batu yang didudukinya. Sambil
mengepalkan tinju murid Sinto Gendeng menyumpah dengan suara ditekan. “Jahanam!
Dua senjata mustika milikku diserahkannya pada manusia keparat itu! Kapak Maut Naga
Geni 212 dan pasangannya batu hitam ternyata berada di tangan Pangeran Matahari

musuh besarku! Benarbenar kurang ajar!” Wiro melangkah mundar mandir di ruangan
itu sampai dia mendengar suara Ratu Duyung menegur.
“Pendekar 212, apakah kau masih ingin mengetahui kelanjutan penglihatanku
lewat cermin atau kita sudahi saja semua ini?”
“Maafkan aku Ratu Duyung! Aku sangat terkejut dan tidak mnenyangka
kalau
dua senjata mustika milikku kini jatuh ke tangan Pangeran Matahari musuh besarku
sejak bertahuntahun silam… Dua manusia setan alas itu ternyata
adalah kaki tangan
Pangeran Matahari!” Wiro mengusap wajahnya. Setelah dia duduk ke
kursi batu baru
Ratu Duyung pejamkan mata dan melihat kembali ke dalam cermin saktinya.
“Gadis berbaju biru tawanan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan berhasil
meloloskan diri setelah
menghajar Elang Setan sampai babak belur….Hemmmm…..
cerminku kehilangan sambungan getar. Aku tak dapat melihat apaapa. Tunggu dulu….
Aku melihat laut. Ada sebuah perahu putih. Kau berada di atasnya bersama
seorang
lelaki korengan, pakai caping dan mukanya ditutup dengan cadar. Kurasa tak perlu
kulanjutkan karena kau tahu sendiri apa yang kemudian terjadi. Tapi tunggu….Aku
melihat ada sebuah perahu lagi. Melesat mendampingi perahu putihmu. Kau dalam
keadaan tak berdaya, terjepit tangan kanan pada lantai perahu. Hemmm….. Penumpang
perahu yang satu itu ternyata adalah gadismu si baju biru itu. Dia seperti mencari
carimu. Tapi wajahnya menunjukkan kegelisahan. Sayang dia tidak sempat mengetahui
kalau kau berada di perahu putih itu. Perahunya membelok dan menghilang di
kejauhan…”
Ratu Duyung membuka kedua matanya. Menatap Pendekar 212 sesaat lalu
berkata. “Hanya itu yang bisa kulihat melalui cermin saktiku……”
“Ratu… Apa yang kau lihat sama sekali tidak memberi petunjuk dimana
beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu.” Kata Wiro pula.
“Pendekar 212, perlu kau ketahui apa yang terlihat di dalam cermin bisa saja
keliru karena betapapun saktinya benda ini selalu ada keterbatasan. Karenanya kita
perlu mengkaji ulang apaapa yang terlihat. Apakah kau mengenal oarang bercaping
yang berpenyakit kulit itu?”
“Orang itu berkepandaian sangat tinggi. Sikapnya aneh penuh rahasia tapi jahat
sekali. Nelayan di pantai menyebutnya dengan panggilan Makhluk Pembawa Bala. Sulit
kuduga siapa dia adanya. Janganjangan salah seorang kaki tangan Pangeran Matahari
pula. Tadinya aku mengharapkan dia akan membawa aku ke pulau tujuan dimana aku
bisa bertemu dengan seorang sakti bergelar Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Ternyata
dia mencelakai diriku di tengah laut. Aku berterima kasih padamu yang telah
menolong…”
“Selama ini sering terlihat di cermin manusia itu malang melintang di
lautan.
Anak buahku berulang kali melakukan penyelidikan namun masih belum bisa
mengetahui siapa adanya makhluk satu itu. Katamu kau mencari Raja Obat Delapan
Penjuru Angin. Mengapa…?“Menurut para tokoh yang memberi tugas padaku, dia mengetahui dimana
beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu…. Dia diam di salah satu pulau sekitar sini.”
“Dugaan itu mungkin betul.
Aku pernah bertemu satu kali dengannya. Singkat
sekali. Dia berusaha mengobatiku tapi tidak mampu….”
“Hemmm…. Memangnya kau punya penyakit apa?” tanya Wiro.
Lama Ratu Duyung berdiam diri, tidak menjawab.
“Kalau kau tak mau menjawab tak apa. Tapi apa kau bisa memberi petunjuk
dimana kirakira letak pulau kediaman Raja Obat itu…?”
Ratu Duyung memandang
ke langitlangit ruangan. Lalu dia berpaling pada
cermin yang dipegangnya.
“Akan kucoba…” katanya seraya memejamkan
mata. Lama
sekali baru perempuan bermata biru ini berkata.
“Aku melihat
samudera
luas. Kosong… Ada satu titik hitam
di sebelah
tenggara…” Ratu Duyung membayangkan wajah Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Titik
hitam dalam cermin berkedapkedip. Matanya dipejamkan lebih rapat. “Ada warna
merah. Buki… gunung… batu… batu….” Dada sang Ratu kelihatan berguncang. Dia
seperti berusaha menahan satu kekuatan yang menghadang pandangannya.
Tapi tak
sanggup. Perlahanlahan perempuan ini buka sepasang matanya dan menatap Wiro.
“Tak bisa kulihat lebih rinci…. Ada satu daya tolak yang hebat. Bukan berasal dari
si Raja Obat, tapi dari beberapa kekuatan yang datang dari luar. Ada kekuatan yang tak
ingin aku mengetahui letak pasti pulau itu. Namun dari penglihatan yang terbatas aku
bisa mendugaduga. Pulau itu terletak jauh di sebelah tenggara muara Kali Opak. Berarti
di sebelah timur dari tempat kita berada saat ini. Pulau itu tidak berpenghuni karena tak
ada yang tumbuh di sana kecuali bukit dan gunung batu berwarna merah…..Hanya itu
yang bisa kuberi tahu…..”
“Terima kasih Ratu Duyung. Terima kasih banyak. Apa yang kau jelaskan bisa
kujadikan pegangan untuk mengarungi laut selatan mencari pulau tempat kediaman
Raja Obat itu….” Wiro diam sebentar.
“Apa yang ada dalam pikiranmu Pendekar 212?” tanya sang Ratu.
“Sebenarnya ada beberapa pertanyaan ingin aku
sampaikan. Entah
apakah kau
mau menjawab atau tidak…”
“Katakanlah…” ujar Ratu Duyung pula.
“Walau kau memberi penuturan
tadi, sebagian tidak begitu kuperhatikan,
mohon dimaafkan. Kau pasti menuturkan tentang seorang gadis berpayung merah….”
“Ya, apa yang ingin kau ketahui...”
“Gadis itu berasal dari tanah seberang. Punya tugas yang sama dengan tugasku
yakni mencari Kitab Putih Wasiat Dewa…”
“Kau merasa bersahabat dengan dia?” tanya Ratu Duyung.
“Aku berhutang budi dan berhutang nyawa padanya. Tapi cepat atau lambat dia
akan membunuhku…”
“Bagaimana kau tahu?” tanya Ratu Duyung

Wiro lalu ceritakan tentang surat aneh yang dibawa Puti Andini. Mendengar itu
Ratu Duyung termenung. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. “Dia bisa jadi sahabat
sejati tapi juga bisa jadi musuhmu paling berbahaya kelak. Yang
jelas saat ini aku punya
firasat dia salah satu yang menimbulkan kekuatan penolak hingga tadi aku tidak mampu
melihat lebih jelas dalam cermin sakti…. Tapi sekali lagi kukatakan apa yang kuberitahu
bisa saja salah….Karena….” Ratu Duyung tidak meneruskan ucapannya.
“Karena apa Ratu?” tanya Wiro.
“Karena aku juga punya firasat dia telah jatuh cinta padamu pada
pandangan
pertama…. Tapi kau kurang perhatian karena hatimu telah direbut oleh gadis bernama
Bidadari Angin Timur itu….”

SEBELAS

Wajah murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede menjadi merah seperti saga.
Dalam duduk diam di atas kursi batu dan memandang dengan mata besar pada wajah
cantik Ratu Duyung di hadapannya.
“Apakah ada pertanyaan
lain yang ingin kau ajukan?” Ratu Duyung tibatiba
bertanya..
Wiro merasa lega sedikit. Sang Ratu rupanya tidak ingin memperpanjang
pembicaraan tadi. “Memang ada Ratu,” jawab Wiro. “Seperti kau ketahui Tiga Bayangan
Setan memiliki ilmu kebal yang tak memungkinkan dia dibunuh dengan cara apa pun…”
“Dia memang tidak mempan pukulan sakti dan senjata tajam. Semua itu datang
dari luar. Tapi kematian yang datang
dari dalam tetap tak bisa diledakkannya. Dia tidak
kebal terhadap racun. Turut penglihatanku lewat cermin tadi, baik Tiga Bayangan Setan
maupun temannya Elang Setan mengidap sejenis racun mematikan secara perlahan
dalam tubuh masingmasing. Mereka akan menemui ajal sekitar dua ratus hari dimuka
jika tak berhasil mendapatkan obat penawar…”
“Ratu, aku benarbenar kagum dengan kemampuanmu
melihat sejauh itu,”
memuji Wiro. “Tapi rasanya aku tak bisa menunggu sampai sekian
lama, membiarkan
mereka mati sendiri. Mereka merampas dua senjata mustikaku. Mereka diketahui pula
kai tangan Pengeran Matahari. Mereka akan membunuhku begitu bertemu! Elang Setan
tidak aku khawatirkan,. Tapi Tiga Bayangan Setan jadi momok nomor satu saat ini. Aku
harus mengetahui kelemahan ilmunya. Gadis berpayung tujuh itu pernah memberi tahu
bahwa seorang pemabuk bernama Iblis Pemabuk mengetahui
pasti kelemahan Tiga
Bayangan Setan….. Apakah kau bisa melihat ke dalam cermin untuk mengetahui dimana
aku bisa menemui orang ini?”
“Kau percaya begitu saja pada keterangan gadis itu?” tanya Ratu Duyung.
Pendekar 212 tidak bisa menjawab.
Ratu Duyung tersenyum
lalu jentikkan jari telunjuk tangan kanannya ke ibu jari.
Suara jentikan menggema
keras dalam ruangan itu. Tirai biru di sebelah
kanan
tersingkap. Seorang anak buah Ratu Duyung muncul.
“Aneh, tadi aku setangh mati mencari jalan atau pintu keluar ruangan ini.
Ternyata ada di sebelah sana….”
“Saya menunggu perintah…” kata gadis yang baru muncul seraya membungkuk.
“Bawa kemari tamu kita yang datang malam tadi…” berkata Ratu Duyung.
Gadis berpakaian hitam mengangguk lalu menyelinap ke balik tirai biru kembali.
Saking percayanya Wiro berdiri dari kursi batu lalu membuka tirai di bagian tadi si gadis
menghilang. Tembok batu! Dia sama sekali tidak melihat pintu atau apa kecuali tembok
batu! Wiro kembali ke kursinya sambil garukgaruk kepala.
Ratu Duyung tertawa perlahan. “Apa yang kau lihat, Wiro?” tanya sang Ratu.
“Dinding batu!” jawab murid Sinto Gendeng


“Kau pernah mendengar ujarujaratau petuah yang mengatakan bahwa apa
yang terlihat mata telanjang belum tentu seperti itu kenyataannya?”
“Ya, aku pernah mendengar orang pandai berkata seperti itu…”
“Kau melihat batu tapi apakah kau pernah membuktikan
kalau itu pernah
membuktikan kalau itu benarbenar batu? Coba kau singkapkan lagi tirai biru di bagian
mana saja kau suka. Jika kau melihat batu
coba kau sorongkan tubuhmu ke depan. Lihat
nanti apa yang terjadi….”
Wiro pandangi wajah sang Ratu dengan mimik tak percaya. Lalu dia berdiri,
melangkah
ke dinding
ruangan
sebelah
kiri. Dengan
tangan
kanannya
dia
menyingkapkan tirai biru tebal. Dinding
batu kelihatan di depannya. Seperti dikatakan
Ratu Duyung Wiro selalu maju menabrak dinding batu itu.
Astaga! Ternyata tubuhnya lewat begitu
saja seperti menerobos
udara kosong.
Sesaat kemudian tahutahu dia sudah berada di depan satu pedataran berumput.
“Aneh! Benarbenar aneh!” kata Wiro sambil memutar
tubuh. Kembali dia
melangkah menabrakkan
diri ke dinding batu. Tubuhnya lewat dan kini dia sampai
kembali ke dalam rauang semula!
“Bagaimana…?” tanya Ratu Duyung.
“Aku banyak mendapat
pelajaran bagus darimu Ratu Duyung…” jawab Wiro
seraya duduk kembali ke kurai batu. Tibatiba dia mendongakkan
kepala. Hidungnya
bergerakgerak.
“Ada apa?” tanya Ratu Duyung.
“Aku mencium bau minuman keras. Keras Sekali. Mungkin tuak atau air ketan….”
Ratu Duyung cuma tersenyum mendengar
katakata itu. Sesaat kemudian
tirai
biru di samping kanan terbuka. Empat orang gadis berpakaian ketat hitam muncul
mendampingi seorang
lakilakigemuk pendek berwajah seperti dedemit.
Pada cuping
hidungnya sebelah kiri melingkar sebuah anting bulat terbuat dari akar bahar. Orang ini
hanya mengenakan
celana komprang hitam. Muka dan tubuhnya berwarna merah.
Sekujur badannya mulai dari kepala sampai ke kaki yang tak berkasut menghamparkan
bau minuman keras. Pada ikat pinggang
besarnya tergantung selusin
kendi. Di tangan
kanan dia memegang sebuah kendi yang setiap saat disorongkannya
ke mulutnya.
“Gluk…gluk… gluk!” Dia meneguk lahap minuman keras yang ada dalam kendi itu. Lalu
dari mulutnya keluar suara antara orang menyanyi dan orang meracau. Tubuhnya
bergoyanggoyang seperti mau
rubuh! Wiro memperhatikan empat gadis yang datang
bersama si gemuk muka setan ini membawa masingmasing enam buah kendi berisi
tuak.
“Sobatku tamuku agung, coba terangkan siapa dirimu pada tamu muda
ini…”
berkata Ratu Duyung.
Seolah sadar si gemuk itu turunkan kendi dari mulutnya.”Astaga,
kukira aku
masih berada di sorga! Rupanya sudah turun ke bumi! Ha..ha..ha…!” Sepasang mata si
gemuk berputarputar. Tubuhnya oleng ke kiri, menghuyung ke kanan.
“Tuan rumah Ratu Duyung, siapa yang kepingin tahu diriku yang jelek ini?”

Ratu Duyung anggukan kepala pada Wiro.
Murid Sinto Gendeng segera membuka mulut.”Namaku Wiro Sableng. Aku yang
ingin tahu siapa adanya dirimu kalau kau tidak keberatan…”
“Ha… ha… ha….! Wiro Sableng! Tak pernah ku dengar nama itu sebelumnya.
Kalau Cuma pada seorang kurcaci jalek mengapa aku harus menyembunyikan
siapa
diriku. Tapi tunggu dulu! Aku mau mabok dulu!” Si gemuk lalu tenggak lagi minuman
keras dalam kendi yang dipegangnya
sampai habis. Begitu habis dia memaki. “Sialan!
Bagaimana aku bisa mabok kalau Cuma minum sedikit?!” Lalu! Wiro ternganga. Seperti
menyantap kerupuk
enak saja si gendut itu melahap kendi tanah
itu, mengunyah dan
menelannya sampai habis! Wiro jadi leletkan lidah dibuatnya.
Selesai menghabiskan kendi tanah itu si gemuk bermuka setan ambil sebuah
kendi yang tergantung
di pinggangnya lalu meneguk isinya
sampai setengah.”Nah,
ini
baru sedap. Aku sudah mabok! Ha… ha… ha….!” Tubuhnya kembali
menghuyung tak
karuan.
“Ratu Duyung, apakah kurcaci jelek yang tadi menanyakan siapa diriku masih ada
di tempat ini?” Sepasang mata si gemuk pendek berputarputar liar. Tangan kirinya
mengusapusap perutnya yang buncit.
“Benar tamuku agung! Kurcaci jelek itu masih ada di sini!” menjawab Ratu
Duyung.
Wiro pencongkan mulutnya karena dari tadi dia disebut sebagai kurcaci jelek.
“Kalau dia masih ada di sini tanyakan padanya apakah dia membawa nyawa
cadangan karena aku ingin meminta
satu dari dua nyawanya itu. Aku tidak ingin
meminta satu
dari dua nyawanya
itu. Aku tidak serakah! Aku hanya minta satu saja…
Biar enak mabokku! Ha… ha… ha!”
Berubah
paras Pendekar
212. Dia memandang
pada
Ratu Duyung tapi
perempuan cantik itu diam saja.
“Ratu Duyung, tuan rumahku
mengapa
kau tidak menjawab?!”
Si gemuk
bertanya lalu teguk minuman keras dalam kendi.
Ratu Duyung memandang
pada Wiro dan berkata. “Jawab pertanyaannya.
Nyawamu tergantung
pada bagaimana jawabanmu!
Salah menjawab berarti mati!
Jangan berharap bisa lolos!”
Wiro merasa tengkuknya sedingin es. Keringat memercik di keningnya. Dalam
hati dia berkata. “Orang gila harus dilayani gila. Orang mabok harus dilayani secara
mabok!”
Wiro melompat, menyambar sebuah kendi minuman keras yang dipegang salah
seorang anak buah Ratu Duyung lalu meneguknya hingga mengeluarkan
suara keras.
Minuman keras itu menyengat mulut membakar tenggorokkannya.
“Tuanku besar raja kurcaci! Aku kurcaci jelek menemanimu
mabok bersama!
Mabok barengan lebih asyik dari sendirian! Ha… ha… ha…!” teriak Wiro seraya acungkan
kendi minuman keras lalu huyungkan dirinya ke kiri dan ke kanan

Ah…. Apa aku yak salah dengar? Ada kurcaci jelek yang memanggilku tuan besar
raja kurcaci! Asyikk! Ayo teguk! Tenggak sampai ludas! Mabok bersama memang bagus!
Tapi mana nyawa cadanganmu yang aku minta!” teriak si gendut pendek bermuka
seram!
Wiro jadi tercekat. Tapi dasar gendeng dia tak kurang akal. Sambil tertawa haha
hihi kendi di tangan kanan dikocok hingga minuman keras muncrat ke udara. Begitu
minuman itu melayang jatuh Wiro buka mulutnya lebarlebar. “Gluk…gluk…gluk!”
Minuman keras amblas masuk ke dalam tenggorokannya. Melihat apa yang dilakukan
Wiro itu si gemuk pendek tertawa bergelak. Tapi sesaat kemudian tetap saja dia
berkata. “Ayo, jangan berani menipuku! Mana nyawa cadanganmu!”
“Tuanku besar raja kurcaci! Kau mabok asyik. Pasti lupa. Bukankah nyawa
cadanganku sudah kuberikan padamu malam tadi di pintu gerbang. Kau menyimpannya
di dalam kantong kulit ikat pinggang besar.”Mungkin benar aku lupa. Mungkin benar
sudah kusimpan….Eh, kurcaci jelek. Coba kau ambil dan perlihatkan nyawa cadanganmu
itu padaku!”
“Mampus aku!” ujar Wiro. “Apa yang harus aku lakukan?” Dia melirik pada Ratu
Duyung. Sang Ratu angkat bahu tak bisa menolong. Wiro garukgaruk kepalanya. Sambil
berpurapura terhuyunghuyung Wiromelangkah mendekati si gemuk pendek. Dengan
tangan kirinya dibukakannya kantong kulit
besar di ikat pinggang lalu tangan kiri itu
dikepalkan dan dimasukkan ke dalam kantong. Ketika tangan dikeluarkan masih dalam
keadaan terkepal.
“Tuanku besar raja diraja kurcaci! Nyawa cadangan sudah kuambil, ada dalam
genggamanku! Silahkan kau melihat sendiri!” Wiro lalu acungkan tangannya yang
mengepal seperti menggenggam sesuatu.
Dengan kepala bergoyanggoyang tak karuan si gemuk ini perhatikan kepalan
tangan Wiro yang menggenggam. Lalu dia tertawa gelakgelak.
“Kurcaci jelek! Kau Betul! Aku sudah lihat nyawa itu. Hai! Lekas kau masukkan
kembali ke dalam kantong kulit! Aku khawatir nyawa itu nanti terbang!”
“Perintah tuanku besar raja diraja kurcaci aku ikuti!” kata Wiro lalu kepalannya
dimasukkan ke dalam kantong kulit.
“Bagus… bagus! Sekarang mari kita mabok lagi samasama!” kata si gemuk
sambil teguk sisa minuman keras yang ada dalam kendi. Lalu seperti tadi kendi kosong
dari tanah itu dilahapnya seperti melahap krupuk garing!
Wiro menunggu sampai si pendek gemuk ini meneguk kendi ke tiga. Lalu diapun
bertanya. “Tuanku besar raja diraja kurcaci, aku kurcaci jelek minta budi baikmu untuk
memberi tahu siapa kau adanya!”
“Tentu… tentu, bukankah kita sekarang sudah jadi teman satu pemabokan?!
Ha…. Ha…. Ha…! Dengar baikbaik, dekatkan ditelingamu padaku! Aku akan memberi
tahu siapa aku adanya!”
Wiro cepatcepat angsurkan kepalanya dan dekatkan telinga kanannya ke mulut
si gemuk pendek. Dia mendengar suara mendesis halus.

Sudah kau dengar kurcaci jelek?!” tanya si gemuk lalu meneguk minuman
dalam kendi sampai berlelehan di dagu dan jatuh ke perutnya yang telanjang.
“Aku tidak mendengar apaapa!” kata Wiro.
“Kurcaci tolol! Aku memang belum mengatakan
apaapa!” kata si gemuk lalu
tertawa mengekeh.
“Sial dangkalan!” maki Wiro dalam hati tapi terus pula tertawa gelakgelak.
“Kurcaci jelek, mari dekatkan lagi telingamu. Yang sebelah kiri saja. Yang kanan
baunya membuat aku mau muntah! Ha… ha… ha!” kata si gemuk pendek.
“Setan! Maki Wiro. Tapi dia angsurkan juga telinga kirinya.
“Namaku Iblis Pemabuk!” teriak si gemuk pendek.
Teriakan itu bukanj teriakan biasa. Demikian kerasnya hingga Wiro terpental dua
tombak. Kepalanya seperti meledak dan dari liang telinganya kelihatan darah mengucur.
Untuk beberapa lamanya Wiro terkapar di lantai ruangan, tak mampu bergerak.
Pendengarannya seolah tuli, bukan saja pada telinga kiri tapi juga pada telinga kanan!
“Eh, kurcaci jelek! Kau dimana…?!” teriak si gemuk pendek yang ternyata adalah
Iblis Pemabuk.
Walau pendegarannya terganggu tapi dari gerak mulut si gemuk Wiro dapat
menduga apa yang diucapkannya. Maka diapun menyahut. “Tuanku besar
raja diraja
kurcaci! Aku kurcaci jelek ada di sini, mengeletak di lantai!”
“Walah! Lagi apa kau di sana?!” teriak Iblis Pemabuk.
“Lagi mabok!” teriak Wiro.
Iblis Pemabuk tertawa gelakgelak mendengar jawaban itu. Lalu dia melompat ke
hadapan Wiro. Minuman keras di dalam kendi diguyurkannya ke telinga kiri murid Sinto
Dendeng. “Minumlah yang banyak biar tambah asyik mabokmu!” katanya.
Wiro merasa telinganya sperti disengat kalajengking. Dia cepat berdiri. Karena
berdiri minuman keras yang masuk ke dalam telinga kiri kini mengalir keuar. Dan
terjadilah hal yang aneh. Telinga yang sakit tuli itu sembuh kembali! Darahnyapun
lenyap tidak berbekas. Pendegaran Wiro pulih kiri kanan.
“Manusia gila aneh tapi punya kepandaian yang sulit kujajagi!” kata Wiro
memaki dalam hati tapi juga kagum.
“Ratu Duyung tuan rumahku, panas sekali udara di sini. Apa aku bisa minta
tolong agar anak buahmu mengantarkan aku keluar?” tibatiba Iblis Pemabuk berkata
setelah meneguk sampai sepertiga isi kendi yang dipegangnya.
“Tuanku besar raja diraja kurcaci, tunggu dulu! Aku kurcaci jelek masih ada satu
pertanyaan. Kalau kau tak menjawab besokbesok aku tak akan menemanimu mabok
mabokan lagi!”
“Dasar kurcaci geblek! Lekas bilang apa kau mau tanya!” bentak Iblis Pemabuk
lalu bantingkan kendi yang masih banyak isinya itu ke lantai hingga pecah dan minuman
keras di dalamnya membasahi lantai.” Astaga! Apa yang aku lakukan?!” seru Iblis
Pemabuk seolah sadar dan menyesal. Lalu dia membuka mulutnya lebarlebar.Minuman keras yang tergenang di lantai laksana disedot melesat ke dalam mulutnya
hingga lantai menjadi kering!
Wiro leletkan lidah melihat kejadian itu.
“Tuanku besar raja diraja kurcaci! Aku mau tanya begini! Ada manusia jahat
berjuluk Tiga Bayangan Setan. Kebal pukulan sakti kebal senjata tajam! Dia memiliki ilmu
hitam yang dapat mengeluarkan tiga raksasa jejadian! Kalau dia dibiarkan hidup dunia
persilatan bisa kacau balau! Aku minta petunjukmu. Tolong beri tahu aku dimana letak
kelemahannya!”
“Tiga Bayangan Setan….?” Sepasang mata Iblis Pemabuk
berputar liar. Lalu dia
tertawa gelakgelak. “Gelas angker tapi tak masuk akal. Yang ada bayangannya itu cuma
manusia! Setan mana ada bayangannya! Tiga sekaligus! Buset sompret! Tidak masuk
akal!” Iblis Pemabuk tertawa mengekeh sampai kedua matanya basah. “Tapi dengar,
aku akan menjawab pertanyaanmu.
Dengar baikbaik apa yang aku ucapkan. Tepat
tengah hari bolong! Pilih yang di tengah!”
Habis berkata begitu Iblis Pemabuk membungkuk di hadapan Ratu Duyung yang
dibalas dengan menjura dalam
oleh Ratu Duyung. Anak buah sang Ratu menyibakkan
tirai biru. Iblis Pemabuk melangkah terhuyunghuyung. Tibatiba dia berbalik pada Wiro
dan tudingkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah murid Sinto Gendeng itu.
Astaga! Wiro sampai tergagau. Jarak antara dia dan si gemuk Iblis Pemabuk
terpisah sekitar tiga tombak. Tapi saat itu Wiro merasa ujung jari telunjuk itu telah
menyentuh dan menekan hidungnya!
“Kurcaci jelek! Dengar baikbaik!
Aku
tunggu
kau
pada matahari
terbit
hari
sepuluh bulan sepuluh di Pangandaran!
Wiro terkejut dan tak mengerti maksud ucapan Iblis Pemabuk itu. Namun waktu
dia hendak bertanya si gemuk pendek ini telah lenyap di balik tirai biru.
“Pangandaran…” desis Wiro. “Teka teki apa pula ini? Ada apa di sana? Mau
mengajak aku mabokan?!” Murid Eyang Sinto Gendeng berpaling pada Ratu Duyung. Dia
tidak menemukan jawaban di wajah yang cantik jelita itu. Akhirnya sambil menggaruk
kepala Wiro bertanya. “Ratu Duyung lewat cermin saktimu apakah kau bisa mengetahui
apa yang akan terjadi pada hari sepuluh bulan sepuluh di Pangandaran pada saat
matahari terbit seperti dikatakan Iblis Pemabuk tadi?”
Perlahanlahan Ratu Duyung ambil cermin sakti di pangkuannya lalu memandang
ke dalam kaca dengan sepasang mata terpejam.
Wiro melihat paras cantik itu berubah. Ketika kedua matanya dibuka Ratu
Duyung berucap dengan suara bergetar. “Aku melihat darah di seluruh pantai
Pangandaran….”



DUA BELAS

Pendekar 212, apakah masih ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?” ujar Ratu
Duyung. “Kurasa semua sudah kutanyakan. Banyak yang belum sempat kutanyakan kau
sudah memberi penjelasan…. Hanya ada satu hal, kalau aku memang bukan lagi sebagai
tawanan apakah aku bisa meninggalkan tempat ini?
Ratu Duyung mengangguk. “Pada saatnya kau bisa pergi dari sini dan pada saat
yang kau suka kau bisa kembali ke sini…”
Wiro hendak berdiri tapi Ratu Duyung memberi tanda dengan mengangkat
tangan.
“Sebelum kau pergi, jika memang tak ada pertanyaan lain, kini giliranku untuk
mengajukan satu pertanyaan. Hanya satu, tak lebih dan tak kurang….”
“Silahkan saja Ratu,” jawab Wiro Sableng seraya kembali duduk di kursi batu di
hadapan sang Ratu.
“Apakah kau masih perjaka?”
Pertanyaaan
itu
diucapkan Ratu Duyung dengan tenang, wajah lembut dan
perlahan. Tapi sampainya ke telinga Wiro seperti satu ledakan keras. Dipandanginya
wajah sang Ratu. Lalu dia tertawa gelakgelak. Namun ketika dilihatnya paras sang Ratu
tidak berubah menandakan
bahwa dia memang tidak ada maksud bersenda gurau
dengan ucapannya itu maka Wiro serta merta hentikan tawanya.
“Ratu Duyung, kau barusan menanyakan apa….?”
“Kau mendengar dengan jelas, aku tak akan mengulang pertanyaanku…” jawab
Ratu Duyung.
“Ah, mungkin dia merasa tersinggung,” pikir Wiro. Dia mendehem beberapa kali.
Lalu dengan polos dia berkata. “Ratu
Duyung, mengingat
apa yang telah
kau perbuat
padaku aku menghormatimu…”
“Betul?”
Wiro mengangguk.
“Tak ada dendam mengingat hukuman yang telah aku jatuhkan padamu?”
Wiro menggeleng. “Kuharap kau jangan tersinggung dengan sikapku barusan.
Pertanyaanmu sangat mengejutkan. Kau mau menerangkan apa maksudmu…?”
“Aku akan terangkan setelah kau menjawab pertanyaanku…” jawab Ratu Duyung
pula.
Wiro garuk kepalanya. Lalu dia berucap.”Sampai
saat ini aku memang belum
pernah kawin. Maksudku menikah….”
“Bukan itu yang aku tanyakan. Kau masih perjaka artinya apakah kau pernah
melakukan hubungan badan dengan perempuan?”
Wiro merasa kulit mukanya menjadi panas. “Aku tak pernah berzina…” katanya
perlahan.
“Berzina ada beberapa macam. Zina mata, zina telinga, zina tangan dan zina
badaniah…“Hemmm…Anu…Zina mata atau tangan atau telinga mungkin sudah pernah aku
lakukan. Aku bukan manusia tanpa rasa.
Aku pernah melihat wajahwajah cantik, aku
pernah melihat halhal yang dianggap terlarang,
aku juga pernah mendengar sesuatu
yang kotor, aku pernah memeluk dan mencium gadisgadis. Tapi jika zina yang kau
maksudkan, itu belum pernah melakukan. Tuhan masih memeliharakanku dari yang satu
itu….”
“Aku melihat di cermin sakti. Kau dan Bidadari Angin Timur bersatu badan
berpelukpelukan di dalam telaga. Hanya sayang yang terlihat di cermin tidak begitu
jelas. Apakah kau tidak mau mengakui bahwa kau telah melakukan…”
Wiro bangkit dari kursi batu. Dia gelenggelengkan kepalanya. “Waktu itu
keadaan memang benarbenar penuh kesempatan. Kalau aku
mau mungkin gadis itu
pasrah saja mengikuti nafsuku. Tapi aku tidak melakukan hal yang satu itu. Bukan karena
aku pemuda baikbaik, tapi karena aku sadar aku mencintainya dan tak akan merusak
dirinya….”
“Apakah hal itu akan kau lakukan pada gadis yang tidak kau cintai…?”
“Ratu Duyung, kau lebih baik memberikan
seribu tekateki padaku.
Pertanyaanmu sulit kujawab…” kata Wiro pula.
Ratu Duyung terdiam sesaat. “Kalau ada seseorang menderita sakit. Tak ada obat
penyembuhannya kecuali melakukan hubungan badan.
Jika diminta apakah kau akan
melakukannya?”
“Ratu, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu…” kata Wiro pula lalu dia
memandang lekatlekat pada perempuan cantik bermata biru itu. “Ratu”…
kata Wiro
setengah berbisik. “Apakah kau menderita sakit? Apakah pertanyaanmu ada sangkut
pautnya dengan dirimu?”
“Aku tidak menderita sakit. Tapi hidupku dalam kutukan. Kutukan itu hanya bisa
dimusnahkan jika ada seseorang melakukan hubungan badan denganku
dan dengan
cinta kasih yang murni, sematamata tulus untuk menolong…”
“Kutukan…. Kutukan bagaimana Ratu…?” tanya Wiro.
“Aku akan coba menerangkan walau kau mungkin tidak mengerti… Aku dan juga
semua anak buahku yang ada di sini dulunya adalah para gadis kepercayaan seorang
sakti penguasa laut selatan. Hidup kami penuh bahagia walau dalam alam yang tidak
sama dengan alam manusia. Namun dalam kehidupan iut terdapat laranganlarangan
yang tak boleh dilanggar. Satu ketika kami tertipu oleh serombongan pemuda gagah
yang tengah mengadakan pesta di pantai. Kami tergoda turun mengikuti pesta itu. Tidak
sampai di sana saja. Kami sampai melakukan hubungan badan walau sebenarnya tidak
ada bagian tubuh kami yang cacat. Namun kami telah melanggar larangan. Penguasa
mengusir kami, mengutuk kami menjadi setengah manusia setengah
ikan. Jika badan
kami tersentuh air tawar atau air laut bagian sebelah bawah tubuh kami akan menjadi
ikan. Kami tidak akan bisa kembali ke dalam keadaan semula kecuali ada seorang
pemuda yang mengasihiku, melakukan hubungan badan dengan tulus sematamata mau
menolong…

Wiro ternganga mendengar keterangan Ratu Duyung itu. “Jumlah kalian belasan
mungkin puluhan. Apakah aku harus melakukan
hubungan itu dengan semua
kalian?”
tanya Wiro lalu dia menggerendeng
sendiri karena merasa pertanyaannya
itu adalah
pertanyaan tolol.
Tapi Ratu
Duyung
mau
menjawab.
“Waktu
hukuman
dijatuhkan
dan
disumpahkan,
aku mengatakan
pada penguasa
laut selatan
bahwa
aku yang
bertanggung jawab atas semua
kejadian itu. Karenanya jika ada yang menolong diriku
dari beban kutukan maka semua gadis di sini akan terbebas dari kutukan yang sama….”
“Aku ingat anak buah yang kau bunuh di Ruang Penantian.
Agaknya dia
bermaksud hendak mengatakan hal yang sama padaku. Tapi kau membunuhnya…”
“Aku menyesal melakukan
hal itu. Tapi tak bisa kuhindari karena bahaya yang
menghadang kepada Wiro selama ini Ratu Duyung selalu memandang
kepada Wiro
dengan mata tak berkesip dan sikap gagah maka kini dia duduk dengan menundukkan
kepala. Diamdiam Wiro merasa iba terhadap perempuan cantik bermata biru ini. Tapi
bagaimana mungkin dia bisa menolong?” Aku bukan orang alim. Melakukan hal itu pasti
hemm…” Wiro garukgaruk kepala.
“Ratu, aku yakin ada cara lain untuk menghilangkan kutukan itu…”
“Kalau kau tahu katakanlah…”
Murid Sinto Gendeng kembali garukgaruk kepala.
“Ratu, maafkan pertanyaanku ini. Apakah pernah meminta hal yang sama pada
pemuda lain…?”
Paras sang Ratu berubah merah. Bola matanya yang biru menyorotkan
sinar
aneh walau tak
kehilangan pesonanya. Dia seperti hendak meledak marah namun
perlahan akhirnya dia tundukkan kepala. Kepala itu kemudian digelengkan.
“Betapapun dosa dan kesalahan telah kubuat, tapi aku dan semua anak buahku
bukanlah gadisgadis rendah, bukan perempuanpperempuan
nakal. Aku tak pernah
meminta pada siapapun. Aku tak akan pernah melakukannya kecuali jika aku menyadari
bahwa aku menyukai dan merasa cinta terhadap orang itu….”
Wiro mengusap wajahnya. Dalam hati dia berkata. “Jadi… dia mencintaiku… Ah,
bagaimana ini! Aku ingin menolongnya tapi…” Dipandanginya
wajah sang ratu
dengan
perasaan semakin iba. Perlahanlahan dia berdiri menghampiri. “Ratu… Kalau ada
cara
lain yang bisa kulakukan, aku pasti akan menolongmu. Maafkan diriku….”
Sambil menundukkan kepala menyembunyikan sepasang matanya yang berkaca
kaca Ratu Duyung mengangguk. “Aku kecewa besar. Bukan terhadap dirimu, tapi
terhadap nasib diriku dan kawankawan. Namun walaupun
kecewa ada rasa bahagia.
Bahagia bahwa aku pernah bertemu dengan seorang pemuda berhati jujur, berjiwa
besar. Hanya satu kupinta, jika kelak kau berubah pikiran hendak menolongku,
datanglah kemari. Kayuhlah perahu dari muara Kali Opak. Kayuh ke tengah lautan. Di
satu tempat orangorangku akan menjemputmu…”
“Mudahmudahan kita akan mendapat satu petunjuk memecahkan persoalan
ini…” kata Wiro


“Kalau tidak aku akan terjerat di tempat ini. Untuk masa yang tidak satu
makhlukpun dapat menghitungnya!”
sahut Ratu Duyung. Lalu ditanggalkannya
cincin
kerang warna biru di jari manis tangan kirinya. “Ambillah benda tak berharga ini.
Mudahmudahan ada gunanya….”
Wiro tak berani menolak. Khawatir Ratu Duyung akan tambah berduka. “Terima
kasih,” katanya seraya menerima cincin itu. “Aku akan menyimpannya baikbaik….”
“Terima kasihku untuk itu,” ujar Ratu Duyung pula. Lalu dia menatap dalam
dalam ke arah sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro merasa satu getaran
aneh masuk ke dalam dua rongga matanya, terus menjalar ke rongga dada. “Pendekar
212, aku minta maaf atas hukuman yang aku jatuhkan terhadapmu tempo hari. Tapi
percayalah semua itu dengan maksud baik….”
“Terus terang aku sudah melupakan hal itu. Lagi pula aku memang pantas
menerima hukuman. Lalu kaupun telah mengembalikan kedua mataku.”
“Apakah kau merasakan suatu kelainan setelah matamu dimasukkan kembali ke
rongganya?”
Wiro usapusap dagunya. Dia ingat lalu menjawab.”Aku merasa penglihatanku
lebih terang, lebih bersih….”
“Coba atur jalan darahmu menuju kepala. Lalu salurkan tenaga dalammu pada
kedua mata. Setelah itu kedipkan matamu dua kali. Dan lihat apa yang terjadi….”
Wiro pandangi paras Ratu Duyung sesaat. Lalu diikutinya apa yang dikatakan.
Begitu dia selesai mengedipkan kedua matanya murid Sinto Gendeng tersurut beberapa
langkah. Matanya diusap berulang kali. Lalu memandang ke kiri, ke kanan, berkeliling.
“Ratu Duyung…” kata Wiro tersendat. “Walau samarsamar aku mampu melihat benda
benda di luar ruangan ini….”
“Katakan apa saja yang kau lihat…” kata Ratu Duyung.
“Aku melihat beberapa orang anak buahmu di sebuah taman. Lalu di sebelah
sana ada pedataran rumput. Di kejauhan aku lihat Bukit Batu Putih…. Bagaimana ini bisa
terjadi…?!”
“Kedipkan lagi kedua matamu dua kali,” kata Ratu Duyung.
Wiro mengikut. Penglihatannya kembali seperti semula. Penuh rasa tak percaya
dia kerahkan lagi tenaga dalam dan kedipkan dua matanya dua kali. Seperti tadi
dia
mampu melihat bendabenda di luar ruangan.
“Ratu…”
“Pendekar 212, kini kau mempunyai ilmu baru. Kau mampu melihat satu benda
yang terhalang oleh benda lain. Ilmu itu bernama Menembus Pandang…Mudah
mudahan saja ada manfaat bagi dirimu.”
Terkejutlah Wiro mendengar katakata Ratu Duyung. Dia melangkah mendekat.
“Ratu….. Jadi hukuman mencabut mata tempo hari itu sebenarnya….. Aku telah
kesalahan menilai…. Sekarang aku sadar betapa tololnya diriku1”
Ratu Duyung tersenyum. “Aku punya sedikit ilmu yang bisa kubagi. Siapa tahu
ada gunanya…Wiro Sableng gelenggeleng kepala. Kedua tangannya diulurkan memegang bahu
Ratu Duyung. Lalu dengan setulus hati diciumnya kening perempuan itu seraya berbisik.
“Aku banyak menerima budimu. Aku tak akan melupakan….” Lalu Wiro memeluk sang
ratu eraterat.
Ratu Duyung hanyut dalam kebahagaiaan
yang belum pernah dirasakannya.
Namun dia cepat sadar diri. Pelahanlahan dia melangkah mundur. Jarijari tangan
kirinya dijentikkannya. Tirai biru di sebelah kanan bergerak.
Empat orang gadis berpakaian hitam ketat memasuki ruangan. Salah seorang di
antaranya adalah gadis bertubuh jangkung yang tempo hari menemui Wiro sewaktu
diikat ke batu putih dalam menjalani hukuman.
“Antarkan tamu kita ke Pintu Gerbang Perbatasan.”
Empat gadis menjura lalu memberi isyarat pada Pendekar 212 untuk mengikuti.
Namun sebelum berlalu Wiro berkata. “Ratu waktu pertama datang kemari aku
mengenakan pakaian lain. Walau jelek dan dekil aku
mohon pakaian itu dikembalikan
padaku.”
“Kau akan mendapatkannya.
Seorang anak buahku akan
memberikan padamu
sebelum meninggalkan tempat ini. Aku tahu pakaian itu kotor namun yang sangat
berarti bagimu adalah sekuntum bunga kenanga sakti yang tak pernah layu di salah satu
kantongnya, bukan begitu?”
Selagi Wiro terkejut mendengar ucapan Ratu Duyung, perempuan
ini berkata
lagi. “Jika kau bertemu dengan gadis dari alam gaib bernama Suci berjuluk Dewi Bunga
Mayat itu, sampaikan salam hormatku padanya…”
Wiro hanya bis mengangguk.
Dalam hati dia mengagumi betapa luasnya ilmu
pengetahuan Ratu Duyung sampaisampai dia juga mengenal Dewi Bunga Mayat. (Untuk
jelasnya siapa adanya
Suci atau Dewi Bunga Mayat silahkan baca
serial Wiro Sableng
berjudul “Dewi Bunga Mayat”)
“Satu lagi Ratu, pakaian hitam yang melekat di tubuhku saat ini apakah aku
boleh memakainya terus. Atau harus kutanggalkan di hadapan anak buahmu seperti
kejadian dulu…?”
Empat orang anak buah Ratu Duyung tampak terkesiap mendengar
katakata
Wiro itu. Mereka khawatir mendengar katakata
Wiro itu. Mereka khawatir
sang Ratu
marah. Tapi ternyata Ratu Duyung tersenyum. “Kau boleh memakainya selama kau
suka…”
“Terima kasih, aku minta diri sekarang.” Wiro membungkuk dalamdalam lalu
melangkah mengikuti empat gadis anak buah sang Ratu

HANYAsesaat setelah Pendekar 212 meninggalkan ruangan itu, Ratu Duyung
duduk terhenyak di atas kursi batu. Dia tak sanggup lagi menahan runtuhnya air mata.
Dia menangis hampir tanpa suara. Sambil bersandar
tangannya bergerak menekan
sebuah tombol di lengan kanan kursi batu. Terdengar suara berdesing. Tirai biru di
hadapannya menggulung ke atas. Lalu tampak sebuah celah yang merupakan pintu
sebuah lorong pendek. Ratu Duyung bangkit dari kursi batunya. Setengah berlari dia
memasuki lorong itu hingga sebuah ruangan berbentuk
bundar. Di bagian tengah
ruangan ini ada sebuah benda setinggi manusia tertutup kain beluderu merah muda.
Ratu Duyung menarik lepas kain beluderu
itu. Begitu kain tersingkap kelihatan
sebuah patung seukuran tinggi manusia yang sangat halus buatannya.
Patung itu
memiliki wajah dan sosok tubuh menyerupai Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di hadapan patung
Ratu Duyung jatuhkan diri. Bahunya kelihatan
berguncang. Kedua
tangannya
memegangi
bagian kaki patung. Tangis yang sejak tadi ditahan
dan
disembunyikannya
kali ini tak
dapat
dibendung
lagi. Ratapannya
terdengar
mengharukan.
“Wiro… Lima tahun aku menunggumu. Setelah kau hadir di sini ternyata aku tak mampu
berharap dan meminta…. Kalau saja hidup di tempat ini mengenal mati, aku lebih rela
menghembuskan napas penghabisan saat ini juga….”
Tekanan batin dan keputusasaan
membuat
Ratu Duyung tak sadar lagi apa yang
diperbuatnya.
Patung batu Pendekar 212 Wiro Sableng dipeluk diciumnya dengan
berurai air mata

TIGA BELAS


Yang disebut Pintu Gerbang Perbatasan adalah tumpukan batubatu besar
berbagai bentuk
yang disusun demikian rupa membentuk
sebuah pintu
gerbang. Saat
itu udara terasa dingin dan malam sangat gelap karena bulan purnama dan bintang
bintang tak satupun menghiasi langit.
Tiga orang gadis berpakaian hitam ketat berjalan di depan Wiro. Mereka
melangkah cepat menuju pintu gerbang batu. Wiro mengikuti dengan buntalan kecil
berisi pakaiannya tergantung di punggung. Di samping kanannya berjalan anak buah
Ratu Duyung, gadis cantik bertubuh jangkung.
Sejarak sepuluh tombak sebelum mencapai pintu gerbang gadis ini berbisik pada
Wiro.
“Pada saat mencapai pintu gerbang batu, aku akan melompat melewatinya. Jika
aku selamat maukah kau mengantarkan aku ke satu tempat….?”
Tentu saja Wiro terkejut mendengar
katakata gadis itu. Dia ingat pada gadis
yang menemui ajalnya di tangan Ratu Duyung di Ruang Penantian.
“Aku tidak bisa memastikan. Tapi apakah rencanamu itu tidak akan mencelakai
dirimu sendiri?”
“Hidupku dan kawankawansudah lama dirundung celaka. Kalaupun muncul
celaka besar yang bisa membunuh diriku, aku malah akan merasa lebih tenteram…”
jawab si gadis.
“Kau masih muda, mengapa sengaja mencari bencana?” mengingatkan Wiro.
“Aku tahu masalah yang kalian hadapi.
Suatu ketika semua akan mencapai
akhirnya.
Kalian bisa kembali ke alam sebelum kalian berada di tempat ini…”
“Hemmmm…Kau pasti tahu itu dari Ratu kami. Tapi akhir yang kau katakan itu
datangnya mungkin lama sekali. Bahkan bisa saja tak pernah terjadi.” Jawab si gadis. Air
mukanya agak berubah. Lalu dia berkata setengah menyesali.
“Tadinya aku mengira bisa menggantungkan secuil
harapan padamu. Ternyata
aku keliru. Jika kau tidak bersedia menolong tak jadi apa. Tapi ketahuilah apapun yang
terjadi aku tetap akan berusaha menembus keluar dari kungkungan kehidupan penuh
tekanan batin ini. Sejak lama aku sudah tak tahan. Kurasa kawankawan yang lain begitu
juga. Termasuk Ratu kami sendiri….”
Pintu Gerbang Perbatasan semakin dekat juga. Satu tombak dari hadapan pintu
batu ini tiga gadis di depan Wiro hentikan pintu batu ini tiga gadis di depan Wiro
hentikan langkahnya. Mereka berpaling pada Pendekar 212. Wiro sendiri coba meneliti
apa sebenarnya yang ada di seberang pintu gerbang batu itu. Dia hanya melihat tebaran
awan putih bercampur kelabu.
“Kami hanya mengantar sampai di sini,” kata gadis yang di tengah. Dia kawan
kawannya tidak memperhatikan kawan mereka yang satu si jangkung.
Wiro yang sudah tahu gelagat cepat melangkah ke bagian tengah pintu gerbang
batu, maksudnya hendak menghadang
perbuatan nekat yang hendak dilakukan gadis

jangkung itu. Tapi dia lupa kalau saat itu dia masih berada di alam aneh kekuasaan Ratu
Duyung. Lebih cepat
dari langkah yang dibuat Pendekar
212 si gadis jangkung
berkelebat.
Murid Sinto Gendeng hanya merasa ada sambaran angin. Ketika dia berpaling ke
kiri gadis jangkung itu telah melesat di atas kepalanya!
Tiga anak buah Ratu Duyung berseru
kaget melihat kejadian itu. Mereka
memburu tapi sadar lalu cepat bersurut.
Di depan sana mereka semua melihat gadis jangkung yang tadi melesat di udara
kini melayang turun. Lalu terjadilah hal yang membuat tiga gadis terpekik sedang Wiro
keluarkan seruan tertahan.
Begitu tubuh gadis jangkung menyentuh tebaran awan, terdengar letupan keras
lalu wusss! Satu kobaran api yang besar dan garang tahutahu menyelimuti tubuh gadis
jangkung itu. Si gadis menggeliat kian kemari. Tanpa jeritan sama sekali tubuhnya
musnah tanpa bekas. Bersamaan dengan itu kobaran apipun padam.
“Kalau aku melewati
pintu gerbang batu ini,
lalu tubuhku bersentuhan
dengan
awan putih kelabu, apakah nasibku bakalan sama dengan gadis nekat tadi….”
Apa yang ada dalam pikiran
Pendekar 212 rupanya
diketahui oleh tiga
gadis di
dekatnya. Salah seorang dari mereka lalu berkata.
“Keadaan dirimu tidak sama dengan kami. Tak usah ragu. Lewati Pintu Gerbang
Perbatasan tanpa rasa takut tanpa ragu. Kau akan kembali ke duniamu dengan aman….”
Wiro pandangi
tiga gadis di hadapannya
sambil garukgaruk kepala. Hatinya
meragu dan kebimbangan
terlihat di wajahnya. Tiga gadis di hadapannya
anggukkan
kepala satu persatu untuk pertama kalinya mereka tersenyum pada pemuda itu.
“Selamat jalan….” Kata ketiga gadis hampir bersamaan.
Wiro lambaikan tangan kanannya. Dia melangkah menaiki tangga Pintu Gerbang
Perbatasan
sebelah dalam. Pada pertengahan
tangga batu, tepat di bawah pintu
gerbang dia berpaling pada tiga gadis itu. Yang dipandangi kembali mengucapkan
selamat jalan.
Wiro gelenggeleng kepala. Kakinya kini
menuruni tangga batu sebelah
luar pintu gerbang. Dia melangkah lagi. Sesaat dia merasa
seperti melayang di udara.
Lalu kaki dan tubuhnya menyentuh awan putih kelabu. Pada saat itu juga terjadi satu hal
yang tidak bisa dipercayainya. Memandang ke bawah dia melihat kedua kakinya kini
menginjak pasir pantai. Memandang
ke depan dia dapatkan
laut luas terbentang
ditebari pulaupulau di kejauhan. Ombak berdebur tiada henti di tepi pantai. Dua buah
perahu lengkap dengan pendayung terapungapung dipermainkan ombak.
“Aneh, bagaimana
ini bisa terjadi…?” pikir Pendekar 212. Dia menoleh ke
belakang.
Astaga! Pintu Gerbang Perbatasan lenyap. Tiga gadis anak buah Ratu Duyung tak
kelihatan lagi.
Selagi Wiro tercengangcengan seperti itu tibatiba satu tangan besar memegang
pundaknya. Murid Sinto
Gendeng tergagau keras saking kagetnya. Dia cepat membalik
sambil bersiap menghantam. Saat itu juga meledak suara tawa keras sekali.

Kerbau Bunting sialan!” maki Wiro lalu tarik pulang tangan kanannya yang siap
menjotos.
“Selamat datang di dunia kita Sobatku Muda!”
kata Dewa Ketawa. “Betapapun
bagusnya dunia
orang lain, jauh masih lebih bagus dunia kita yang serba
gila ini! Ha…
ha… ha…..”
Mau tak mau Wiro jadi ikutikutan tertawa.
Mendadak Dewa Ketawa hentikan gelaknya. “Eh, apakah kau sempat diajak tidur
oleh Ratu Duyung bermata biru itu…?” Dewa Ketawa bertanya.
“Bagaimana kau tahu….?” Balik bertanya Wiro dengan mata mendelik.
“Ha…ha…Sebelumnya dia pernah minta
pendapatku. Kukatakan padanya
agar
menanyakan sendiri. Jadi sudah ya…?”Wiro gelengkan kepala.
Dewa Ketawa pukul jidatnya sendiri. “Sayang aku sudah tua! Kalau saja masih
muda dan segagahmu pasti aku yang duluan diminta sang Ratu untuk masuk ke
kamarnya! Ha…ha…ha!”
Dewa Ketawa menunjuk pada dua buah perahu yang ada di pasir pantai. “Pasti
Ratu Duyung yang mengatur. Aku ambil satu kau ambil satu. Kita tinggalkan tempat ini
dan berpisah di sini. Kalau umur sama panjang pasti bisa bertemu lagi….”
Tubuh Dewa Ketawa melesat di udara lalu mendarat masuk ke dalam salah satu
perahu. Walau nyatanyata tubuhnya yang gendut itu berbobot lebih dari dua ratus kati
perahu sama sekali tidak bergoyang!
Wiro juga tak mau menunggu lebih lama. Sekali berkelebat tubuhnya melayang
di udara, berputarputar seperti bola. Di lain kejap kedua kakinya menyentuh lantai
perahu. Salah satu kakinya sengaja dipakai menginjak ujung kayu pendayung.
Pendayung melesat ke udara, sebelum jatuh murid Sinto Gendeng cepat melompat dan
menyambar gagang pendayung selagi masih berada di udara. Ketika turun lagi ke dalam
perahu, perahu itu tetap tidak bergoyang!
“Ha…ha….ha! Pertunjukan hebat!” memuji Dewa Ketawa.
“Sobatku Gendut!” teriak Wiro. “Kalau ada undangan besar apakah kau mau
datang ke satu tempat?”
“Tergantung siapa yang mengundang, kapan dan dimana!” jawab Dewa Ketawa
seraya mulai mengayuh perahunya.
“Yang mengundang Iblis Pemabuk! Waktunya hari sepuluh bulan sepuluh! Saat
matahari terbit. Tempatnya Pengandaran” jawab Wiro.
“Waktunya cocok! Tempatnya sesuai! Si Pengundang tepat! Kita bisa mabuk
samasama di sana nanti!” Dewa Ketawa tertawa panjang. Sekali dia menggerakkan tang
an mengayuh, perahu yang ditumpanginya melesat menembus ombak.


                        TAMAT

PENULIS : BASTIAN TITO
CREATED : MATJENUH CHANNEL
BLOG : https://matjenuh-channel.blogspot.com




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive