Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Sabtu, 15 Juni 2024

SATRIA GUNUNG KIDUL

  

https://matjenuh-channel.blogspot.com


Satria Gunung Kidul

Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo




Raja wanita atau Ratu di Majapahit yang bernama Sri Gitarja atau Tribuwana Tungga Dewi, yang disebut juga Bhre Kahuripan (1328  -   1359),  lebih  dikenal  dalam  dongeng   "Minakjinggo Damarwulan" sebagai Prabu Kenya (Raja Wanita) Diah Kencana Wungu.

Di  dalam  dongeng  sejarah  itu  diceritakan  bahwa  Prabu Kenya   Diah   Kencana   Wungu   ini   menikah   dengan   Raden Damarwulan yang menurut catatan sejarah sebenarnya bernama Cakradara dengangelar Kertawardana.

Sepasang suami-isteri kerajaan yang terkenal ini mempunyai seorang putera yang diberi nama Hayam Wuruk (Ayam Muda). Hayam Wuruk  inilah yang akhirnya menduduki tahta kerajaan sebagai  Raja  Majapahit  dengan  bergelar  Prabu  Rajasanegara (1350 - 1389).

Selama  tiga  puluh  sembilan  tahun.  Sang  Prabu  Hayam Wuruk amat bijak dan pandai mengendalikan pemerintahan dan pada jaman itu, kerajaan Majapahit mencapai puncak kebesaran dankemakmurannya, menjadi Kerajaan yang terbesar danterkuat dalam kepulauan Nusantara. Bahkan dalam jaman ini pula nama Majapahit  dikenal,  disegani,  dan  dikagumi  oleh  negara-negara seberang  lautan, termashur  sampai ke tiongkok,  India,  Campa, Kamboja,  anam. Hubungannya  dengan negara-negara asing  ini baik sekali dan saling menghormat, karena Majapahit dianggap sebagai kerajaan dan negara besar diantara negara-negara lain di dunia.



Semua hasil gilang-gemilang ini bukan semata-mata berkat kebijaksanaan  Prabu  Hayam  Wuruk  seorang,  melainkan  juga berkat  jasa-jasa  para  panglima  senapati  Majapahit.  Terutama sekali  berkat  jasa  warangka-dalem  atau  Patih  Gajah  Mada, seorang perwira yang terkenal karena saktimandraguna, dan setia lahir-batin  kepada  kerajaan  di  mana  ia  mengabdikan  dirinya. Dalam sejarah, belum pernah terdapat seorang patih seperti Sang Perkasa Patih Gajah Mada ini yang membela kerajaan Majapahit semenjak     ibunda     Prabu     Hayam     Wuruk,     yakni     Ratu Tribuwanatungga Dewi memegang kendali kerajaan. Patih Gajah Mada  menjalankan  tugasnya  sebagai  seorang  patih  yang  setia selama tiga puluhtigatahun (1331- 1364).

Dan pada jaman keemasan Majapahit itulah kisah dibawah initerjadi.

Raja yang memerintah dikerajaan Pajajaran (Pasundan) yang beribukota di Pakuan, adalah Sri Baduga Maharaja yang disebut juga Ratu Dewata.

Ratu Dewata mempunyai seorang puteri yang terkenal sekali karena   kecantikannya.   Puteri   ini   bernama   Diah   Pitaloka Citraresmi.  Kecantikan Diah Pitaloka  Citraresmi  memang  luar biasa dan agaknya sukar dicari keduanya di dunia ini! Bahkan Dewi  Komaratih  sendiri,  Dewi  Asmara  yang  terkenal  sebagai bidadari tercantik di surga, agaknya akan kagum melihat wajah dan bentuk tubuh Diah Pitaloka! Tiada cacat celanya, dari ujung rambut di kepalanya sampai ke tumit kakinya. Kalau emas, dia adalah  emas  murni  yang  belum  tercampur  sedikitpun  dengan logam lain. Seumpama batu permata, dia adalah mutiara asli yang telah digosok oleh tangan seorang ahli. Orang yang melihatnya, baik ia laki-lakimaupun perempuan, akanterbelalak matanya dan ternganga mulutnya karenatakjub dankagum menyaksikan puteri nan cantik jelita, ayu dan manis ini!




Pada suatu hari, datanglah utusan dari kerajaan Majapahit. Ternyata bahwa  berita  tentang  kecantikan  Diah  Pitaloka  tidak saja  menggoncangkan  alam  Pasundan,  bahkan  juga  menjadi kemang-tutur     orang-orang     di     Majapahit     dan     akhirnya menggerakkan  rasaasmara  di  dalam  dada  Sang  Prabu  Hayam Wuruk.  Maka  diutuslah  oleh  Prabu  Hayam  Wuruk  seorang tumenggung  untuk  menyampaikan  pinangannya  ke  kerajaan Pajajaran.

Pada jaman itu, tidak adaraja yang lebih besar dan termashur daripada Prabu Hayam Wuruk.  Maka,  sudah  selayaknya kalau pinangan Raja Majapahit ini diterima dengan hati gembira dan puas  oleh Raja  Dewata.  Prabu  Hayam Wuruk  terkenal  cakap, gagah-perwira,  masih  muda  dan belum mempunyai permaisuri pula. Maka selain Raja Majapahit siapa pulakah orangnya yang lebih  pantas  mendapat  kehormatan  untuk  mengulurkan  tangan memetik bungapuspita dari Pajajaran itu?

Betapapun juga, Ratu Dewata sangat menyinta puterinya dan takkan puas hatinya kalau belum mendengar keputusan tentang pinangan Raja Majapahit itu dari mulut Diah Pitaloka sendiri. Ia ingin mendengar pendapat puterinya, maka dipanggilnyalah Diah Pitaloka   serta   diceritakan   tentang   datangnya   utusan   yang membawa  pinangan  dari  Raja  Majapahit,  Sang  Prabu  Hayam Wuruk.

Kulit muka yang putih kekuning-kuningan dan halus bersih dari  Diah  Pitaloka  segera  menjadi  merah  bagaikan  sekuntum mawar merah yang indah. Puteri itu menundukkan kepalanya dan dadanya  turun-naik  menahan  desakan  napasnya.  Setelah  agak reda gelora yang ditimbulkan oleh berita yang disampaikan oleh ramandanya  itu,  dengan  suaranya  yang  merdu  dan  halus  dia menjawab sambil menyembah.

"Ramanda prabu, junjungan tunggal di mayapada  ini bagi





hamba. Pendapat  dan pikiran apakah yang ramanda kehendaki daripada  hamba?   Segala  pendapat   dan  pikiran  yang   selalu menguasai hati dan ingatan hamba hanya satu, yakni, taat, patuh, dan  setia  kepada  segala  titah  ramanda,  sebagaimana  layaknya seorang anak terhadap orang tuanya!"

Alangkah   senangnya   Ratu   Dewata   mendengar   sembah puterinya  ini.  Ayah manakah takkan menaruh hati sayang dan kasih  yang  besar  terhadap  seorang  anak  yang  tidak  hanya kecantikannya   membanggakan   hati   orang   tua,   akan   tetapi terutama yang demikian berbakti?

"Sukurlah,  anakku  yang  manis,  Ramanda  akan  menerima pinangan  ini oleh karena  menurut pendapat  dan pandanganku, Sang  Prabu  Hayam  Wuruk  adalah  seorang  raja  yang  berbudi bawa laksana, pandai mengatur pemerintahan, dan bijaksana pula. Kalau engkau menjadi permaisurinya, ayahmu akan merasa puas dan   tenteram,   oleh   karena   engkau   pasti   akan   menemui kebahagiaan   di   Majapahit.    Semoga    dewata    yang    agung melindungimu, Pitaloka."

Maka dengan girang hati Ratu Dewata lalu menjamu utusan dari  Majapahit   itu.  Kemudian  ia  memberi  jawabannya  dan mengabarkan   kepada   Prabu   Hayam   Wuruk   bahwa   selain pinangan itu diterima dan dianggap sebagai penghormatan besar sekali,  Ratu  Dewata  sendiri  berkenan  mengantar  puterinya  ke Majapahit  dengan  membawa  berita  gembira  itu,  dan  tak  lupa membawa serta pula hadiah-hadiahuntuk sang Prabu.

Ketika berita ini disampaikan kepada rakyat Pajajaran, maka bergembiralah semua orang Siapa orangnya yang takkan merasa gembira? Puterikedaton Pajajaran menjadi permaisuri Majapahit! Tentu saja rakyat pun ikut merasa bahagia dan bangga. Berita ini disambut oleh rakyat dengan meriah, bahkan mereka yang terdiri dari   golongan   berada,   lalu   menyelenggarakan   pesta   untuk




merayakandan meriahkan pertunangan itu!

Seluruh Pajajaran berpesta-pora dan bergembira-ria. Hanya ada dua orang yang tidak ikut bergembira. Pertama adalah Diah Pitaloka sendiri Dara jelita ini sungguhpun di lahir tunduk dan patuh kepada ramandanya dan ikut pula memperlihatkan wajah gembira  untuk  menyenangkan  hati  ayahnya,  namun  di  sudut hatinya  timbul  keraguan  dan  kebimbangan  yang  membuatnya tidak   berbahagia   Ia   telah   mendengar   akan   kegagahan   dan kecakapan   Prabu   Hayam   Wuruk   dan   ia   percaya   bahwa kedudukannya   akan   terangkat   tinggi   dan   akan   mendapat kemuliaan besar di Majapahit. Akan tetapi, selama hidupnya ia belum pernah bertemu dan melihat dengan mata sendiri keadaan Sang Prabu Hayam Wuruk. Kalau boleh dan kalau mungkin, ia akan  merasa   lebih   senang  jika  dijodohkan  dengan  seorang pemuda  di  Pajajaran  sendiri,   seorang  pemuda  yang  pernah dilihatnya   dan   yang   kegagahan   atau   kecakapannya   telah diketahuinya daripandangan mata sendiri, bukan hanya diketahui karena  mendengar  berita  angin  seperti  halnya  Prabu  Hayam Wuruk!  Akan  tetapi,  dia  adalah  seorang  wanita  sejati  yang memegang teguh kesusilaan, apalagi sebagai seorang puteri raja, ia  harus  memberi  teladan  bagi  kaum  putri  umumnya,  yakni kepatuhan   terhadap   orang   tua   dengan  jalan   berkorban.   Ia menganggap pertunangan  ini  sebagai penguranan dirinya  demi kebahagiaan orang tua dan demi kepentingan negara! Bukankah kalau dia menerima pinangan dan mentaati kehendak ayahnya, maka orang tuanya  akan berbahagia? Dan bukankah kalau dia menjadi permaisuri Raja Majapahit yang besar dan kuat, maka kedudukan Pajajaran pun akan kuat pula?

Orang  kedua  yang  pada  saat  itu  merasa  berduka  adalah seorang  pemuda  rupawan  yang  tinggal  seorang  diri  di  dalam pondoknya.  Pemuda  ini  adalah  seorang  panglima  perang  atau senapati  muda  dari  kerajaan  Pajajaran.  Namanya   sederhana




sekali, yakni Sakri.

Telahtigatahun Sakri menjadi senapati di Pajajaran. Pemuda ini berasal dari Gunung Kidul, di sebuah dusunkecil dekat pantai Laut selatan. Ia adalah putera seorang panembahan atau wiku ahli tapa  yang  sakti  dan  suci.  Tidak  mengherankan  bahwa  Sakri mendapat gemblengan lahir dan batin oleh ayahnya dan mewarisi kesaktian  yang  hebat  mengagumkan.  Setelah  menjadi  dewasa, ayahnya menyuruh ia merantau dan mencari pengalaman hidup, dan kalau bertemu  dengan orang besar  yang berjodoh,  supaya bersuita (menghambakandiri).

Dalam perantauannya, akhirnya Sakritiba di Pajajaran dan ia memasuki gelanggang ujian yang  diadakan oleh Ratu Dewata. Kesaktian dan kegagahannya mengagumkan dan menyenangkan hati Raja Pajajaran hingga ia diterima menjadi seorang senapati muda.

Mengapa  Sakri  berduka  mendengar  bahwa  Diah  Pitaloka terikat  jodoh  dengan  Raja  Majapahit?  Mudah  diduga,  Dada pemuda ini telah ditembus panahasmara yang mengandung bisa maha  ampuh  dan  luka  di  dada  kirinya  makin  lama  makin menghebat.  Cintanya terhadap puteri itu  makin mendalam dan berakar. Akan tetapi, ia hanya seorang senapati muda yang baru menghambakan    diri.    Dia    hanyalah    seorang    hamba    dan kedudukannya hanya setinggi rumput di ladang. Sedangkan Diah Pitaloka adalah seorang puteri raja yang menjadi junjungannya dan  kedudukan  puteri  itu   setinggi  bintang  di   langit!  Kini, mendengar tentang diterimanya pinangan Prabu Hayam Wuruk atas diri Diah Pitaloka, Sakrihanya dapat menyesalinasib.

Malam itu Sakri tak dapat tidur. Ia duduk di atas sebuah batu di    belakang    pondoknya    sambil    berpangku    tangan    dan memandang ke arah bintang-bintang yang bertaburan di angkasa bebas.  Berkali-kali  ia  menghela  napas,  tanda  dari kehancuran



kalbunya.

"Habislah   harapanku,   rusak-binasalah   cita-citaku.   Duhai bintang selaksa, tolonglah aku. Hidupku kosong, tiada pegangan lagi. Apa artinya hidupkutanpa dia??"

Berulangkali ia menghela napas dan wajahnya yang tampan menjadi  sepucat  bintang  yang  teraling  mega.  Kemudian  ia teringat akan kampung halaman. Sudah menjadi kelaziman orang bahwa  dalam  saat  duka  selalu  ia  akan teringat  akan kampung halamannya.  Ia  teringat  akan  ayahnya,  dan teringat  pula  akan adiknya yang bernama Saritama. Kedua orang ini adalah orang- orang yang terkasih dalam hidupnya, yakni sebelum ia bertemu dengan   Diah  Pitaloka.   Setelah   seluruh  hati   dan  nyawanya tercengkeram oleh kecantikan puteri itu, jarang sekali ia teringat kepada ayah dan adiknya. Tapikini, tiba-tiba terbayanglah wajah kedua orang itu di ruang matanya dan ia menjadi rindu  sekali kepada mereka.

Kenangan ini mengingatkan ia kembalikepada segala petuah dan pelajaran ayahnya yang bijaksana. Dan timbulah sesal dan kecewa dalam hatiya, Menyesal dan kecewa kepada diri sendiri. Bukankah dulu ayahnya pernah menyatakan bahwa cinta suci itu tak dikotori oleh segala kehendak dan pamrih untuk kesenangan diri sendiri? Bukankah segala perbuatan kebajikan itu baru dapat disebut   sempurna   apabila   tidak   dinodai   oleh   nafsu   ingin menyenangkan  diri  sendiri?  Diah  Pitaloka  telah  dijodohkan dengan seorang Raja Besar dan akan menjadi seorang permaisuri yang tinggi dan mulia kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia daripada   kedudukannya   sekarang   sebagai   puteri   Pajajaran. Bukankah hal ini berartibahagia bagi Diah Pitaloka? Mengapa ia harus  menyesal  dan  berduka?  Kalau  ia  memang  benar-benar menyintai puteri itu, sudah seharusnya apabila ia ikut bersukur melihat orang yang dikasihinya itu menjumpai kemulaiaan dan




mengecap kebahagiaan. Ah, alangkah sesatnya jalan pikiran dan gelora  perasaannya  tadi.  Hampir  saja  ia  dibutakan  oleh  nafsu mudanya.

Sakri menghela napas lagi, akantetapi kini penuh kesadaran. Ia harus menerima nasib, Ia harus berani menerima sakit hati dan berani berkurban demi cintanya kepada Diah Pitaloka. Pikiran ini melapangkan  dadanya  dan  ia  lalu  bangun  dari  duduknya,  dan masuk ke dalam pondoknya. Terdengar ayam jantan berkeruyuk tanda bahwa fajartelah mendatang. Tanpaterasa olehnya, iatelah duduk melamun semalam suntuk di belakangrumahnya!

Oleh karena perjalanan dari kerajaan Pajajaran ke kerajaan Majapahit  bukanlah  perjalanan  yang  dekat  dan  mudah,  maka Ratu   Dewata   memberi   perintah   agar   semua   senapati   dan panglima   ikut   mengiringkan   kepergiannya   mengantar   Diah Pitaloka ke Majapahit. Hanya beberapa orang panglima tua saja yang ditinggal di kerajaan untuk menjaga kerajaan.  Sakri juga tidakketinggalandandiharuskan mengiringkan rombongan itu.

Rombongan  keluarga  agung  ini  berangkat  dengan  diantar oleh seluruh rakyat sampai di luarkota raja. Di sepanjang jalan, rakyat di dusun-dusun yang sudah mendengar akan rombongan ini,   sudah  menanti  di  pinggir  jalan  untuk  menyambut   dan menghormat junjungan mereka dan mengagumi kecantiakn Diah Pitalokayangnaik dalam sebuahtandu.

Sakri menunggang kudanya yang hitam dan besar. Kuda ini adalah  hadiah  dari  Ratu  Dewata  dana  karena  berbulu  hitam mulus,  maka  ia  memberi  nama  Gagak  Tantra.  Pemuda  ini nampak gagah sekali hingga beberapa kali sang puteri yang tanpa disengaja menjenguk dari jendela tandu yang tertutup tirai sutera biru,  melihat  dia  dengan  pandangan  mata  kagum.  Puteri  ini merasa  bangga  sekali  akan  pahlawan-pahlawan  dan  ksatria- ksatria  Pajajaran.  Sambil  duduk  kembali  dan  menyandarkan





tubuhnya di dalam tandu, ia menghela napas dan tersenyum. Di dunia ini tidak ada ksatria-ksatria yang hebat dan gagah seperti ksatria-ksatria Pajajaran, pikirnya.

Rombongan  bergerak  maju  dengan  cepat  pada  siang  hari sedangkan pada malam hari rombongan itu bermalam di sebuah dusun yang dilalui. Kadang-kadang mereka harus bermalam di sebuah  hutan,  akan  tetapi  oleh  karena  rombongan  itu  telah membawa perbekalan lengkap, maka biarpun bermalan di dalam hutan,  mereka  dapat  membangun  sebuah tempat  darurat  untuk tempat bermalam Sang Prabu dan puterinya.

Pada hari ketujuh, mereka tiba di perbatasan Majapahit yang mempunyai daerah luas sekali. Oleh karena kemalamandi sebuah hutan yang  liar  dan  luas, terpaksa rombongan  itu membangun seuah pondok darurat untuk Ratu Dewata dan Diah Pitalokatanpa ada   prasangka   akan   adanya   malapetaka   yang   mengancam keselamatan mereka.

Didalam hutanyang liar itu tinggal serombongan begal yang ganas. Kepala begal itu bernama Jatimurka, seorang berusia tiga puluhtahun lebih yang bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis menakutkan. Ia sangat digdaya dan memiliki ilmu weduk hingga tubuhnya tidak mempan tapak paluning pande (tak dapat dilukai oleh senjata tajam)! Disamping kehebatan dan kekebalan ini, dia jugatelah mempelajari pelbagai ilmu hitam, yakni ilmu sihir yang dipelajarinya dari seorang dukun pemuja  setan di hutan roban. Jatimurka   memimpin   empat   puluh   orang   lebih   anggauta perampok   rata-rata   memiliki   ketangkasan   dan   kepandaian berkelahi. Oleh karena ini, mereka ini ditakuti sekali dan jarang ada orang disekitar hutan ituberanimemasuki hutan.

Jatimurka  telah  mendengar  akan  kedatangan  rombongan Ratu  Dewata  dan  puterinya  yang  terkenal  cantik-jelita.  Maka diam-diam ia sendiri bersembunyi di balik rumpun alang-alang


dan mengintai. Ketika ia melihat wajahDiah Pitaloka,ia menjadi tergila-gila   dan   biarpun   hatinya   gentar  juga   melihat   para bayangkari  (pengawal  raja)   dan  panglima,   namun   ia   telah mengambilkeputusan tetapuntuk menculik sang puteri!

Malam  itu  gelap-gulita.  Suasana  di  luar  lingkungan  yang dibuat oleh barisan penjaga, sangat menyeramkan. Pohon-pohon hutan  berubah  bagaikan  raksasa-raksasa  siluman  yang  tinggi besar dan bergerak-gerak. Suara burung-burung malam terdengar seakan-akan sekalian isi neraka pada keluar dan datang di hutan itu menambahkan seramnya kedadaan.

Berkat ketinggian ilmu batinnya,  Sakri menjadi tidak  enak hati dan merasa seakan-akan ada bahaya mendatang. Tentu saja ia tidak dapat memberitahukan kepada orang lain maka diam-diam ia  mengadakan  pemeriksaan  dan  berkeliling  memeriksa  para penjaga yang ditugaskan menjaga di setiap penjuru. Telah tiga kali  ia  berkeliling,  akan  tetapi keadaan  aman  hingga  dadanya menjadi agak lapang. Pondok tempat Raja dan Puteri beristirahat telah sunyi, tanda bahwa penghuninya sudahtidur pulas.

Menjelang  tengah  malam,  tiba-tiba  Sakri  merasa  betapa kantuk menyerangnya dengan hebat  sekali. Hampir  saja  ia tak dapat bertahan lagi dan ia lalu duduk menyandarkan tubuhnya yang  letih  ke  batang  pohon  jati.  Pelupuk  matanya  bagaikan melekat dan sukar sekali dibuka. Tiba-tiba ia ingat akan perasaan tadi   dan   dengan   sekuat   tenaga   batinnya   ia   melawan  rasa kantuknya.   Ia   lalu  berjalan  ke   arah  penjaga   dan  alangkah marahnya melihat betapa tiga orang penjaga itu telah tidur saling tindih  di  atas  tanah,  mendengkur  dengan  enaknya!  Ia  pegang pundak mereka dan diguncang-guncangkanya. Akantetapi, tubuh penjaga  yang  tertidur  itu  bagaikan  mayat  yang  tak  mungkin terbangun pula! Sakri merasa gemas dan menghampiri penjaga- penjaga di sudut lain. Sama saja! Penjaga-penjaga disinipuntelah




tidur mengorok! Dan tak mungkin dibangunkan lagi, biarpun ia telah mengguncang  dan menamparnya!  Sakri berlari ke  dalam dan  memeriksa  para  panglima  dan  bayangkari.  Juga  mereka semuatelahtidur pulas!

Sakri terkejut dan maklum. Ini adalah ilmu sirep (ilmu sihir untuk  menidurkan orang)  yang jahat  dan mukjijat! Hidungnya mencium bau kemenyan dibakar dan kembang cempaka. Celaka! Tentu ada orang jahat menjalankan sihirnya hingga semua orang kena   hikmat   sihir   itu   dan   pulas.   Kembali   rasa   kantuk menyerangnya. Akan tetapi, Sakri tidak percuma menjadi putera Panembahan Sidik Panunggal yang sakti mandraguna di Gunung Kidul! Ia lalu duduk menyandarakan diri di batang pohon jati, dan berpura-pura tidur pula, akan tetapi ia kerahkan tenaganya dan menbaca manterauntuk menolak pengaruh jahat itu. Matanya dibuka lebar-lebar memandang dengan penuh perhatian.

Dugaannya memang benar. Jatimurka telah memperlihatkan kepandaiannya,  ia  mempergunakan  ilmu  sihir  Cempaka-nendra yang   berhasil   mempengaruhi   seluruh   anggauta   rombongan, kecuali Sakri. Tak lama kemudian, Sakri melihat bayangan hitam tinggi besar berkelebat melompati tubuh para penjaga. Bayangan hitam  itu  berhenti  sejenak,  memandang  ke  kanan  kiri  seperti lakunya  seorang  maling,  lalu  bergerak  maju  perlahan ke  arah pondok dimana Ratu Dewata dan Diah Pitalokabermalam.

Hati Sakri bergetar. Apakah kehendak maling digdaya ini? Ia merasa  heran  dan  ingin  melihat  selanjutnya.  Ia  tidak  segera menyerbu,  akan  tetapi  diam-diam  mengintai  dan  berjaga-jaga dengan pisau belatinya  yang  siap  di tangan bilamana  keadaan memerlukan.  Bayangan hitam  itu  membuka pintu  pondok  dan Sakri mengintai dari balik  daun pintu  dengan perhatian.  Oleh karena ia melihat bahwa bayangan itu tidak memegang senjata tajam,  maka  ia  menduga  bahwa  bayangan  itu  tentu  hanya


bermaksud  mencuri  barang  berharga.  Akan  tetapi,  alangkah herannya ketika melihat bayangan hitam itu tidak menghampiri petitempat perhiasan Diah Pitaloka, akantetapi langsung menuju ke pembaringan sang puteri yang tertutuptirai sutera putih.

Tangan Sakri menggigil. Ia tidak berani bertindak di dalam kamar Sang puteri, khawatir kalau-kalau mengagetkan dara itu. Akan  tetapi,   keraguannya   ini   memberi  kesempatan  kepada Jatimurka untuk cepat membuka tirai pembaringan dan secepat kilat   ia   menubruk,   Puteri  juwita   itu   telah   berada   dalam pondongannya dan Jatimurka melompat keluar!

Bukan    main    marahnya    Sakri   ketika    melihat    bahwa kedatangan penjahat itu tidak lain ialah hendak menculik Diah Pitaloka.  Ia  melompat  keluar  dari  tempat  mengintainya  dan membentak,

"Keparat jahanam, lepaskan tanganmu yang kotor dari Sang Puteri!"

Jatimurka   terkejut   sekali   oleh   karena   ia   tidak   pernah menyangka  bahwa  ada  orang  yang  tidak  terpengaruh  oleh  aji sirepnya. Karena kagetnya, ia melepaskan tubuh Diah Pitaloka hingga tubuh dara itu terbanting ke atas tanah. Akantetapi, puteri itu tidak terjaga dari tidur seakan-akan tak merasa sama sekali, bahkan iaterustidur pula dengan enaknya!

"Heh,   pemuda   keparat.   Siapa   kau   yang   berani-berani menghalangitindakan Jatimurka?"

Sakri  tersenyum,  biarpun  hatinya  panas  sekali.  "Bangsat rendah!   Kau  berani-berani  menjatuhkan   sihir   dan  mencoba menculik Sekar Kedaton Pajajaran! Tak tahukah kau bahwa di Pajajaran masih ada seorang panglima yang bernama Sakri dan yang   sama   sekali  tidak  takut   segala   ilmu   iblis   yang  kau keluarkan?  Menyerahlah,  karena  kalau  tidak,  malam  ini  tentu


akantewas dalam tangan Sakri!"

"Ha,   ha,   ha,   ha!"   Suara   ketawa   Jatimurka   terdengar menyeramkan  sekali dan menggema  di  seluruh penjuru  hutan. Jangkerik-jangkerik  dan  segala  bunyi-bunyian  binatang  hutan serentak diam karena ketakutan mendengar suara ketawa seperti ketawa iblis ini.

"Sakri! Kau anak muda yang masih berbau pupuk di embun- embunkepalamu! Beranimenentang Jatimurka?"

"Jatimurka, manusia iblis! Ingatlah betapapun saktinya kau, akantetapikalautindakanmu sesat, pasti kau akan binasa!"

"Bangsat  jahanam!"  Jatimurka  menepuk  kedua  tangannya dan   dari   segenap  penjuru   berlompatan  keluar   semua   anak buahnya yang berjumlah empat puluh orang  lebih! Mereka  ini dengan sikap menakutkan menghampiri dan mengurung Sakri!

Tempat itu diterangioleh sinar obor yang banyak dipasang di sekitar tempat itu hingga Sakri dapat melihat wajah mereka yang bengis  dan  kejam.  Maklumlah  ia  bahwa  ia  terkurung  oleh segerombolan perampok kejam dan ganas. Ia berpikir cepat, dan mengambil   keputusan   untuk   mendahului.   Sekali   tubuhnya berkelebat, ia telah menyerang maju dan tiga orang begal kena hantam oleh kedua tangandan sebelahkakinya hingga mereka itu jatuh  terguling-guling  dan  berteriak  kesakitan.  Pukulan  Sakri bukan main kerasnya hingga untuk beberapa lama, begal-begal yang telah kenapukulinitakkandapat bangun lagi.

Sambil berseru marah para begal lalu maju mengeroyoknya dengan parang dan tombak di tangan.  Sakri marah sekali,  lalu menghunus keluar keris dan  sekali tangan kirinya bergerak,  ia telah   dapat   menangkap   seorang   anggauta   begal.   Ia   lalu mengangkat  tubuh  lawan  ini  dan  dijadikan  perisai!  Dengan perisai istimewa ini di tangan kiri dan keris pusakanya di tangan



kanan,  Sakri lalu mengamuk.  Sepak terjangnya  laksana  seekor banteng terluka hingga ke mana  saja tubuhnya bergerak, tentu terdengar teriakan keras seorang lawan yang roboh mandi darah. Tubuh perisai  hidup  di  tangan  kiri  Sakri  telah  lama  mampus karena senjata-senjata kawan sendiri yang datang bagaikan hujan dalam penyerangan mereka kepada Sakri, akan tetapi senjata itu semua  diterima  dengan  perisai  istimewa  itu!  Ketika  merasa, betapa perisai hidup itu membasahi tangan dan lengannya, Sakri lalu melemparkan mayat ituke arahpengeroyoknya.

Tiba-tiba     ia     melihat     betapa     diam-diam     Jatimurka mempergunakan  kesempatan  itu  untuk  menyaut  tubuh  Diah Pitaloka lagi dan hendak melarikan gadis itu. Sakri berseru keras dan tubuhnya melayang ke arah kepala begal itu. Karena tidak ingin melukai Diah Pitaloka, Sakri masukkan kerisnya di sarung keris,   dan   menggunakan  kedua   tangannya.   Tangan   kiri   ia gunakan untuk memegang dan memeluk pinggang Sang Puteri, sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk mengirim pukulan geledek yang mampir dengan hebatnya dikepala Jatimurka!

"Aduh!!!"  Jatimurka  memekik  kesakitan  dan  tubuh  Sang Puteri dapatterampas. Sakrilalu melompat ke pinggir dandengan hati-hati meletakkan tubuh Diah Pitaloka ke atas rumput. Pada saat itu, Jatimurka yang bertubuh kebaltelah bangunkembali dan melompati Sakri dengan keris terhunus dari belakang! Juga para begal lainnya lalu maju mengeroyok!

Sakri memutar otaknya. Kalau ia melayani semua orang ini tentu  Jatimurka   akan  mendapat  kesempatan  menculik   Sang Puteri,  maka  ia  menggeram  bagaikan  suara  seekor  harimau hingga para anak buah begal itu tergetar dan menahan serbuan mereka.  Saat  ini  digunakan  oleh  Sakri untuk  menubruk  maju kepada Jatimurka dan ketika kepala begal itu menusuk dengan keris,   Sakri   memiringkan   tubuh,   menggunkan   tangan   kiri



menolak  pergelangan  tangan  lawan  dan  secepat  kilat  tangan kanannya  mengirim  pukulannya  yang  disertai  Aji  Kelabang Kencana!   Bukan   main   hebatnya   pukulan   yang   mempunyai kemujijatan   bagaikan   mengandung   racun   ribuan   kelabang menyengat ini! Seketika itujuga, tubuh Jatimurka bergulingan di atas   tanah,   mangaduh-aduh,   menjerit-jerit,   memekik-mekik kesakitan kemudian diam tak bergerak. Tubuhnya telah bengkak- bengkak dan matangbiru dannyawanyatelah melayang!

Melihat  kehebatan  pemuda  ini,  sisa  kawanan  begal  itu lainnya  melempar  senjata  mereka  lari  tunggang  langgang  di dalam gelap!

Sakri   mengatur   napas   untuk   memulihkan   kekuatannya. Kemudian ia menghampiri tubuh Sang Puteri yang masih rebah tak sadarkan diri di atas tanah. Dengan penerangan obor, wajah puteri itu nampak cantik-jelita mendebarkan jantung Sakri. Pada saat  itu,  Sang  Puteri  tersenyum  dalam  tidurnya,  seakan-akan sedang   bermimpi   bertemu   dengan   calon   suaminya,   Raja Majapahit!

Sakri mengurungkanniatnya hendak memondong tubuh Diah Pitaloka   dan   membawanya   kembali   ke   peraduan.   Ia   lalu mengerahkan    tenaga     batinnya,     membaca     mantera     dan menggunakan tangankanannya menguap muka gadis itu tiga kali sambilberkata perlahan.

"Sang Puteri, sadar dan bangunlah!"

Diah  Pitaloka  bagaikan  disiram  air  dingin.   Serentak  ia bengun duduk dan terbelalak memandang kepada pemuda yang duduk bersila di depannya. Ketika melihat bahwa iapun sedang duduk  di  atas  rumput,  kedua  matanya  bernyala  seakan-akan mengeluarkan api dan kedua mata itu ditujukan ke arah wajah Sakribagaikan hendak menembus wajah itu.




Sakri   cepat   menyembah.   "Duhai   gusti   pujaan   hamba, janganlahpaduka melepas pandang seganas itukepadahamba."

"Kau...... Senapati Sakri..... apakah yang telah kau perbuat? Bagaimana aku bisaberada ditempat ini bersama....... kau.......?"

"Ampunkan hamba, gusti. Hamba persilakan paduka melihat ke sebelahsana ." Sambil berkata demikian, Sakri menggunakan ibu  jari  tangannya  menunjuk  ke  belakangnya.   Sang  Puteri mengikuti  arah  ini  dengan  pandang  matanya  dan  tiba-tiba  ia menjadi  pucat  dan  otomatis  tangan  kanannya  diangkat  naik menutupi mulutnya! Ia melihat beberapa tubuh yang tinggi besar dan mengerikan bergelimpangan di situ dan ketika melihat muka dan tubuh Jatimurka yang bengkak-bengkak mengerikan, hampir saja ia menjerit dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya!

"Sakri....... apa....... apakah yang telah terjadi dan mengapa orang-orang kitatidak ada yang muncul?"

Dengan sabar dan tenang, tetapi dengan suara agak gemetar oleh  karena  selamanya  tak  pernah  ia  bermimpi  akan  dapat bercengkerama  berdua  di  atas rumput  dan berhadapan  dengan Diah Pitaloka, Sakri lalu menuturkan segala peristiwa yang telah terjadi.

"Aduh Dewata yang agung!" Diah Pitaloka menyebut nama dewata. "Keparat, laknat betul si Jatimurka! Berani bedebah itu mengotoritubuhku dengan tangannya! Binasakan dia, Sakri!"

Sakri menahan senyumnya melihat perubahan pada diri dara jelita  ini.  Tadinya  ia  merasa  demikian  takut  dan  ngeri,  tapi sekarang  begitu  bersemangat  dan  berani!  "Dia  sudah  hamba binasakan, gusti."

Kini Diah Pitaloka berdiri dan  ia pandang  wajah pemuda tampan  dan  gagah  yang  dengan  berani  memandangnya  dari



bawah.  "Sakri  kau  memang  gagah  perkasa.  Entah  bagaimana jadinya kalau tidak ada kau!" Suaranya terdengar mengandung keharuan besar dan bahkandisertaiisak.

Sakri   lupa   diri   dan   serentak   ia   bangun   berdiri   pula. Ditentangnya  pandang  mata  dara  itu  dengan  sinar  mata  yang mengandung  apiasmara  sepenuh hatinya,  hingga  Diah Pitaloka menjaditakut dan malu lalu menundukkan muka. "Mengapa pula kau memandangku seperti itu, Sakri?" tanyanya lembut.

Sakri sadar kembali dan menghela  napas.  "Ampun beribu ampun, gusti pujaan hamba. Hamba hampir lupa bahwa paduka adalah   junjungan   hamba,   bahwa   hamba   hanyalah   seorang senapati  rendah,  dan  bahwa  paduka  adalah  calon  permaisuri Majapahit yang mulia!" Kembali Sakri menghela napas.

Untuk beberapa lama Diah Pitaloka tak dapat menjawab atau mengeluarkan kata-kata. Ia hanya memandang kepada Sakri yang bertunduk  dengan  mata  basah  oleh  air  mata  yang  di  tahan- tahannya.   "Sakri,......   Sakri,   jangan   kau   berkata   demikian kepadaku,   pahlawan   yang   gagah   perkasa!   "Hanya   sampai sekiankah baktimuterhadap Pajajaran?"

Walau   kata-kata   ini   diucapkan   dengan   suara   bisikan tercampur  sedu-sedan,  namun  pengaruhnya  menikam  jantung pemuda itu, membuatnya merasa rendah dan hina dan ia merasa malu sekali. Akantetapi berbareng semangatnya bangkit kembali. Ia  lalu  menyembah  dan  berlutut,  mengangkat  dadanya  dan berkata dengan suara gagah,

"Gusti yang  hamba  muliakan,  hamba  adalah  senapati dan panglima    Pajajaran    sejati.    Untuk    paduka,    hamba    rela mengurbankan nyawa dan tubuh yang tak berharga  ini! Mulai saat   ini,   hasrat   hamba   hanya   tunggal,   yakin   mengharap kebahagiaan   paduka   dan   membela   paduka   sampai   hayat meninggalkan badan!"




Diah Pitaloka sangat terharu. Ia mengulurkan tangan kepada Sakri. Pemuda itu menerima jari-jari yang halus dan mungil itu sambil  memandang  ke  atas  dengan  mata  penuh  pertanyaan. Melihat bahwa puteri itu memandangnya dengan mata basah dan bibir  tersenyum,  ia  maklum  bahwa  ia  dapat  perkenaan,  maka ditariknyalah jari-jari itu ke hidung dan mulutnya dan diciumnya dengan penuhkhidmat, hormat dan sepenuh perasaankasihnya.

Diah Pitaloka mengulurkan tangan karena hatinya tergerak oleh  rasa  haru  dan  kagum,  akan  tetapi  kasih  sayang  yang memancar keluar dari hati sanubari Sakri dan yang menjalar ke bibirnya,  oleh  Sang  Puteri  dirasakan  bagaikan  api  membakar ujung jarinya. Dengan gerakan perlahan dan lemah lembut Diah Pitalokamenarik kembali tangan itu dan berkata,

"Sakri, kuharap kau suka melindungi namaku dari cemar dan malu.  Janganlah  kau  ceritakan  kepada  siapa juga  akan  usaha buruk Jatimurka yanghendak menculikku."

"Hamba   junjung   tinggi   perintah   paduka   dan   hamba bersumpah   takkan   membocorkan   peristiwa   yang   menimpa paduka malam hari ini. Ancaman maut sekalipun takkan kuasa membuka mulut hamba!"

Setelah melempar senyum manis yang mengandung penuh rasa terima kasihke arah Sakri, Diah Pitaloka lalu kembali dalam biliknya.

Serasa dalam mimpi segala peristiwa malam itu bagi Sakri. Dadanya  masih  bergelombang  dan  pikirannya  nanar  karena pertemuan  dengan  dewi  pujaan  hatinya  yang  tak  tersangka- sangka itu. Ia merasa berbahagia sekali karena sudah mendapat anugerah dewata dan diberi kesempatan membela Diah Pitaloka. Kini  hidupnya  tidak  kosong  seperti  yang  dideritanya  dalam beberapa  hari  semenjak  puteri  itu  ditunangkan  dengan  Raja Majapahit.  Kini  ia  memiliki  pegangan  hidup  kembali,  yakni




bahwa   seluruh   jiwa-raganya   akan   ia   persembahkan   demi kebahagiaan dan keselamatan dewi yang dicintainya itu. Untuk beberapa   lama   Sakri  tidak  bergerak  dari  tempat   duduknya semula. Ia tetap duduk bersila di atas rumput dan tak bergerak bagaikan patung.

Akhirnya, setelah gelombang di dalam dadanya mereda, ia bangun   berdiri   lalu   mengeluarkan   aji   kesaktiannya   untuk mengusir pengaruh sirep Cempaka-nendra yang masih meracuni udara di sekitar tempat itu. Maka sadarlah semua penjaga yang tadinya tertidur. Mereka menggosok-gosok mata dengan terkejut dan heran. Alangkah kaget mereka ketika melihat banyak mayat bergelimpangan di situ. Juga para panglima segera berlarikeluar. Keadaan menjadi ribut. Sebenarnya, diantara semua senapati dan panglima, banyak yang pandai dan sakti, seperti misalnya Patih Anepaken, Demang Cabo, Penghulu Borang, Patih Pitar dan lain- lain.  Akan  tetapi  mereka  ini  tadinya  sama  sekali  tak  pernah menduga  akan  datangnya  bahaya  hingga  tidak  sampai berjaga diri.  Kalau  saja  mereka  tahu  akan  datangnya  bahaya  yang mengancam, tentu mereka kuasa menolak sirep yang dilepas oleh Jatimurka.

Sakri lalu dihujani pertanyaan dan dengan terus terang Sakri menceritakan bahwa  gerombolan begal itu  melepas  sirep  yang ampuh  dan  datang  bermaksud  merampok.  Untung  ia  dapat membunuh  kepala  begal  dan  beberapa  orang  kaki  tangannya, hingga yang lain-lain lalu melarikandiri.

Ratu  Dewata  yang  juga  terjaga  dari  tidurnya  mendengar ribut-ribut,  ketika  mendengar  akan  kegagahan  Sakri,  merasa berterima kasih sekali dan memuji-muji ketangkasan pemuda itu. Tak lupa raja ini menegur sekalian senapati dan bayangkari oleh karena  kelalaian  mereka,  hingga  kalau  tidak  ada  Sakri  yang waspada   dan  hati-hati,   tentu  begal-begal   itu   telah  berhasil




mencuribarang-barangberharga!

Pada keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan dengan cepat. Berkat   penjagaan  para  pengawal  yang   semenjak  terjadinya peristiwa itu kini berlaku sangat tertib dan hati-hati, perjalanan rombongan itu selamat tidak terhalang sesuatu.



Beberapahari kemudian, romebongan Ratu Dewatatelahtiba di Bubat, sebuah lapangan yang luas di sebelah utara ibu kota Majapahit.  Di  tempat  ini  Sang  Prabu  memerintahkan  supaya romebongan memasang kemah dan mereka berhenti di situ. Pak Lurah Bubat menerima kedatangan tamu-tamu agung ini dengan gugup dan gembira dan menyediakan apa yang ada sekuasanya untuk menjamu Raja calon mertua junjungannya yang terhormat itu. Kemudian, tergopoh-gopoh Lurah Bubat pergi menghadap ke Majapahit  untuk  mengabarkan  perihal  kedatangan  rombongan Raja Pajajaran yang mengantarkan puterinya ke Majapahit. Ratu Dewata dan sekalian pengiringnya menunggu di Bubat dengan sabar sambil beristirahat setelah melakukan perjalanan yang jauh dan penuh bahaya itu.

Keputusan  Sang  Prabu  Hayam  Wuruk  untuk  mengangkat puteri   sekar-kedaton   Pajajaran   sebagai  permaisuri   disambut dengan  gembira  oleh  rakyat  Majapahit,  oleh  karena  rakyat Majapahit sendiri sudah lama mendengar akan kecantikan puteri dan kepandaian puteri itu. Akan tetapi, ada dua orang pembesar di Majapahit  yang tidak puas dan tidak  setuju  akan keputusan Sang Prabu ini. Mereka adalah Wijayarajasa, Raja di Wengker dan Sang Patih Gajah Mada sendiri! Wijayarajasa adalah suami Diah Wiat yang menjadi adinda Tribuwanatungga Dewi atau bibi dari  Prabu  Hayam  Wuruk  sendiri.  Wijayarajasa  tidak  senang mendengar  keputusan  Sang  Prabu  untuk  mengangkat  seorang puteri Pajajaran sebagai permaisuri, oleh karena  sudah lama ia


ingin    melihat    puterinya    yang   juga    cantik-juita    bernama Susumnadewi, yakni puteri dari seorang selirnya yang terkasih, untuk menjadi permaisuri di Majapahit!

Adapun Patih Gajah Mada tidak puas akan putusan Prabu Hayam  Wuruk  bukan  karena  mempunyai  sesuatu  niat  demi kepentingan  sendiri  sebagaimana  halnya  Wijayarajasa,  namun semata-mata karena terdorong oleh rasa baktinya terhadap Sang Prabu dan Kerajaan Majapahit. Menurut pendapat Patih Gajah Mada seyogianya Sang Prabu mengangkat  seorang puteri Jawa pula  sebagai permaisuri,  oleh karena  selain terdapat perbedaan adat-istiadat   dengan   puteri   Pajajaran,   juga   hal   ini   akan menimbulkan rasa iri hati di kalangan raja-raja kecil. Kalau Sang Prabu mengambil puteri Pajajaran sebagai permaisuri muda atau selir,  kiranya  Patih  Gajah  Mada  akan  dapat  menyetujuinya, namun sesungguhnya, sikap menentang keputusan  Sang Prabu, yang terkandung dalam hati Patih Gajah Mada, tidak sehebat rasa penasaran Wijayarajasa.

Diam-diam  Wijayarajasa  mencari  akal  untuk  menghalangi pernikahan agung ini. Ketika mendapat kabar bahwa Lurah Bubat berangkat ke kota raja, ia mencegatnya di jalan.

Ketika bertemu dengan raja Wengker yang menjadi paman dari  Sang  Prabu  Hayam  Wuruk  Lurah  Bubat  segera  berlutut menyembah.

"Pak  Lurah Bubat  kiranya  yang  berjalan tergesa-gesa  ini! Ada keperluan apa maka kau nampak demikian gugup?" tanya Wijayarajasa.

"Hamba hendak pergi menghadap  Sang Prabu di kota raja untuk mewartakan tentang kedatangan rombongan Gusti Prabu dari Pajajaran," jawabnya.

"O,  jadi  Raja  Pajajaran  yang  hendak  mempersembahkan



puterinya  itu telah tiba?" kata  Wijayarajasa  dengan tersenyum mengejek, kemudian sambungnya. "Eh, ki lurah, dengan maksud apa  engkau  hendak  menyampaikan  berita  kedatangan  mereka kehadapan Gusti Prabu Hayam Wuruk?"

Pak Lurah Bubat memandang heran.  "Bukankah  itu  sudah seharusnya   dan   menjadi   kewajiban   hamba,   gusti?   Hamba mewartakan  kekota  raja,  agar  rombongan  dari  Pajajaran  itu disambut, karena merekakini sedang menanti di Bubat."

"Dengar, ki lurah, kau harus menurut perintahku. Dan awas, kalau   kau  tidak   mentaati  perintahku   ini,   kau   dan   seluruh keluargamu akan kutumpas!"

Menggigillah  seluruh  tubuh  Ki  Lurah  Bubat  mendengar ancaman  yang  diucapkan  secara  tiba-tiba  ini.  "Apa.....  apakah maksudpaduka gusti?"

"Kau  perlambat  perjalananmu,  hingga  besok  baru  boleh menghadap  Sang  Prabu,  dan  apabila  kau  telah  menghadap, beritahukanlah  bahwa  kau  diutus  oleh  Raja  Pajajaran  yang menuntut  supaya  Sang  Prabu  Hayam  Wuruk  sendiri  datang menyambut kedatangannya di Bubat!"

Lapanglah  dada  ki  lurah  Bubat.  Tadinya  ia  menyangka bahwa  apa  yang  akan  diperintahkan  itu  adalah  sesuatu  yang hebat.   Tetapi  kiranya   hanya   demikian   saja   kehendak   Raja Wengker ini. Dan bukankah sudah seharusnya kalau calon mantu menyambut calon mertuanya?

"Baiklah,  gusti.  Hamba  akan  mentaati  perintah  paduka," jawabnya.

"Nah, aku berangkat lebih dulu, Ki Lurah. Ingat besok pagi kau boleh datang menghadap ke keraton."

Setelah   memberi  pesan   itu,   Wijayarajasa   lalu   memacu




kudanya menuju kekota raja dan langsung menemui Patih Gajah Mada.

Setelah     saling     memberi     salam,     Wijayarajasa     lalu memberitahukan bahwa rombongan Raja Pajajaran telah tiba di Bubat  dan bahwa  menurut  berita  angin  yang  ia  dengar,  Ratu Dewata dari Pajajaran itu tidak mau melanjutkan perjalanan dan akan   menanti   sampai   datang   rombongan   penyambut   dari Majapahit.  Patih  Gajah  Mada  menjawab  bahwa  hal  itu  sudah semestinya dan bahwa ia sendiri bersedia mengadakan sambutan di  Bubat  apabila  diperintah  oleh  Sang  Prabu  Hayam  Wuruk. Dengan cerdik dan tidak kentara, malam hari itu Wijayarajasa membayangkan kepada Patih Gajah Mada bahwa Ratu Dewata adalah  seorang  raja  yang  sombong,  angkuh  dan  merasa  lebih tinggi kedudukannya daripada Prabu Hayam Wuruk sendiri.

Gajah  Mada  adalah  seorang  perwira  gagah  perkasa  yang beradat jujur dan keras hati. Menghadapi siasat kelemasan lidah Wijayarajasa yang pandai bertukar-kata, akhirnya ada juga sedikit pengaruh  obrolannya  yang  membuat  hati  Gajah  Mada  merasa kurang  senang  kepada  Raja  Pajajaran  itu.  Wijayarajasa  girang sekali bahwa ia telah berhasil menanam bibit kebencian dalam dada patihyang berpengaruh ini.

Pada  keesokan  harinya,  barulah  Ki  Lurah  Bubat  berani menghadap Sang Prabu Hayam Wuruk yang sedang bersiniwaka dihadap oleh semuapembesar dan panglimanya.

Setelah  menyembah   dengan  khidmad,   Ki   Lurah  Bubat berkata,

"Ampunkan hamba yang telah berlaku  lancang  dan berani menghadap tanpa dipanggil, Gusti. Hamba menyampaikan berita bahwa rombongan dari Pajajaran telah tiba  di Bubat  dan kini memasang pesanggrahan disana  .  Sang Nata Ratu Dewata dari Pajajaran berkenan mengutus hamba untuk menyampaikan berita




ini  kepada  paduka   gusti,   dan.......   dan......   Sang  Nata   dari Pajajaran  minta   agar   supaya  paduka   sudi  menyambut   dan menjemput  rombongan  mereka  di  Bubat!"  Ki  Lurah  Bubat teringat akan ancaman Wijayarajasa yang pada saat itujuga hadir di situ.

Berserilah  wajah  Sang  Prabu  Hayam  Wuruk  mendengar berita baik ini. Sang Prabu merasa gembira sekali karena hendak bertemu dengan puteri juita yang telah lama dirindukannya.

"Baiklah,  baiklah....." ujarnya.  "Paman Patih  Gajah Mada, segera   siapkanlah   semua  pengiring.   Aku   hendak  berangkat memapak mereka sekarang juga di Bubat!"

Akan tetapi, pada saat itu bibit racun yang semalam ditanam oleh  Wijayarajasa  di  dalam  hati  Gajah  Mada,  telah  mulai bersemi. Mendengar bahwa Raja Pajajaran itu minta agar supaya Sang Prabu Hayam Wuruk sendiri menyambut dan menjemput di Bubat,   Patih   Gajah   Mada   merasa   marah   sekali.   Alangkah sombongnya Raja Pajajaran, pikirnya! Maka ia menyembah dan berkata,

"Ampunkanlah hamba beranimenyampaikankatahatihamba kepada   paduka,   gusti.   Bukan   semata-mata   hamba   hendak membantah  perintah  dan  kehendak  paduka,  akan  tetapi  yang hendak hamba haturkan ini adalah sekadar usul untuk menjadi bahan pertimbangan paduka dan sukurlah apabila paduka dapat menyetujui usul  hamba  ini.  Menurut  pendapat  hamba,  kurang sempurna dan bukan selayaknyalah apabila paduka sendiri pergi melakukan   penyambutan   ke   Bubat.   Demikianlah   sebabnya. Kedudukan   Raja   di   Pajajaran   tidak   lebih   tinggi   daripada kedudukan  para  ratu  lain  yang  telah  takluk  dan  mengakui kedudukan paduka sebagai Maharaja, hingga kedudukan paduka lebih tinggi daripada kedudukan raja di Pajajaran. Apabila kini paduka  sendiri  sampai  menyambut  dan  memapak  mereka  di




Bubat, hal ini  sangat  merendahkan kedudukan paduka  sebagai Maharaja. Terutama sekali hal ini akan mendatangkan iri hati dan tidak senang di kalangan para raja lain dan akhirnya hanya akan mendatngkan keruwetan dan kekacauan belaka. Apabila mereka itu menyatakan ketidaksukaan dan iri hati mereka. Kalau Sang Prabu   Pajajaran   minta   dijemput,   biarlah   hamba   dan   para panglima yang menjemputnya sebagai wakil paduka, dan paduka cukup menanti di keraton untuk menyambut kedatangan mereka. Nah, demikianlahusul dan pendapat hamba yang hamba dasarkan semata-mata   demi   keluhuran   nama   Paduka   dan   kebesaran kerajaan Majapahit gusti."

Termenunglah Sang Prabu Hayam Wuruk mendengarucapan Patih  Gajah  Mada  ini.  Kalau  orang  lain  yang  mengeluarkan ucapan ini, mungkin Sang Prabu akan marah. Akan tetapi, Sang Prabu  Hayam  Wuruk  telah  yakin  dan  percaya  penuh  akan kebijaksanaan dan kesetiaan Patih Gajah Mada dan maklum pula bahwa usul ini benar-benar berdasar kesetiannya demi kebaikan Raja dan Negara.

Setelah  diam   sejenak,   Sang  Prabu  Hayam  Wuruk   lalu bersabda,

"Benar dan tepat pendapatmu, Pamanda Patih. Bukan karena kecongkakan, bukan karena kurang hormat, dan jugabukanuntuk merendahkan kedudukan Rama Prabu di Pajajaran,  akan tetapi aku   tidak   mengadakan   penjemputan   sendiri   hanya   untuk mencegah iri hati dan ketidak-senangan fihak ketiga. Kau benar, dan demikianlah seyogjanya. Jemputlah mereka dan aku menanti disini."

"Ki lurah, cepatlah kau kembali ke Bubat dan beritahukan kepada   Ratu   dari   Pajajaran   bahwa   Sang   Prabu   tak   dapat menjemput  sendiri,  akan  tetapi  Patih  Gajah  Mada  yang  akan mewakilinya."





Ki Lurah Bubat segera memacu kudanya kembali ke Bubat, akan  tetapi  di tengah jalan  ia  ditahan  lagi  oleh  Wijayarajasa. Kembali Raja Wengker ini mengancam dan minta supayaki lurah menyampaikan kepada  Sang Prabu  dari Pajajaran bahwa  Sang Prabu Hayam Wuruk tidak suka menjemput dan memerintahkan agar  supaya para tamu  itu  segera  menghadap  dan ditunggu  di Majapahit.

Ki  Lurah  Bubat  tak  berani  membantah  dan  mempercepat perjalanannya.

Sesungguhnya, tidak ada sesuatu tuntutan timbul dari fihak Pajajaran  .  Sang  Prabu  beserta  rombongannya  berhenti  dan berkemah di Bubat tak lain hanya untuk beristirahat dan untuk bersiap-siap   memasukikota   raja.   Tentu   saja   rombongan   itu mengharapkan  datangnya  rombongan  penyambut  dari  keraton Majapahit sebagaimana lazimnya.

Karena belum juga ada rombongan penyambut yang datang, Ratu   Dewata   lalu   mengutus   beberapa   orang   senapati   dan pahlawan    membawa    perajurit    pergi    kekota    raja    untuk memberitahukan  bahwa  rombongan  dari  Pajajaran  telah  siap- sedia menerima rombongan penyambut dari Majapahit.

Di tengah jalan, rombongan dan barisan utusan ini bertemu dengan  Ki  Lurah  Bubat.  Ki  Lurah  Bubat  lalu  memberitahu kepada  mereka  bahwa  Sang  Prabu  Hayam  Wuruk  tidak  suka menyambut  sendiri  dan  memerinthakan  supaya  Raja  Pajajaran segera masuk ke kota raja dan menghadap kepada Sang Prabu yang sudah menanti dikeraton.

Jawaban ini amat menyakiti hati pemimpin rombongan yang terdiri  dari  Patih  Anipaken,  Demang  Cabo  dan  Patih  Pitar. Mereka mencela kesombongan Raja Majapahit yang sama sekali tidak menaruh hormat kepada calon mertua. Dengan hati panas mereka melanjutkan perjalanan untuk menunaikan tugas mereka




sebagaiutusan ratu.

Ketika  mereka tiba  dikota raja,  Patih Gajah Mada  sedang bersiap  sedia untuk berangkat  melakukan penjemputan dengan para pengiring dan hulubalang lain. Kedatangan barisan utusan ini segera disambutnya dengan baik.

Akan tetapi Patih Anepaken yang  sudah merasa  sakit  hati dan marah, tak dapat berlaku ramah terhadap Patih Gajah Mada, katanya,

"Sang Nata Pajajaran telah mengutus kami untuk memberi tahu  bahwa  rombongan  Pajajaran  telah  siap-sedia  menerima kedatangan penyambut dan penjemput di Bubat."

Ketika Patih Gajah Mada melihat sikap keras dan mendengar ucapan singkat ini, timbullah marahnya pula. Memang di dalam hati Patih Gajah Mada sudah terdapat racun yang ditanam oleh Wijayarajasa  hingga  ia  telah  mempunyai  pandangan  bahwa orang-orang Pajajaran ini sombong-sombong, sama sekali tidak menyangka bahwa Patih Anepaken juga mempunyai pandangan yang   demikian  pula  terhadap   orang-orang  Majapahit   akibat laporan palsu Ki Lurah Bubat! Syak wasangka dan salah paham telahmengeruhkan pikirandan hatikedua fihak.

"Tidak selayaknya apabila Gusti Prabu Hayam Wuruk yang harus menjemput  sendiri," jawab Patih Gajah Mada,  "Menurut tingkat dan kedudukan, seharusnya  Sang Prabu  di Pajajaranlah yang datang menghadap dan langsung menujuke Majapahit tanpa menanti dijemput."

Kedua patih ini mengukuhi pendirian masing-masing yang berdasar membela kehormatan kerajaan sendiri di mana mereka menghambakan diri dan sedikitpun tidak mau mengalah. Maka terjadilah  pembantahan.  Dalam  kemarahanya  Patih  Anepaken bahkan laluberkatakeras,




"He, Ki Patih Majapahit, alangkah rendahnya kamu orang- orang   Majapahit,   memandang   kami   orang-orang   Pajajaran! Memang kami akui bahwa  Gusti Prabu Hayam Wuruk  adalah seorang Maharaja yang besar. Akan tetapi janganlah kamu kira bahwa  Gusti Prabu  Ratu  Dewata  kalah  dalam  keagungan  dan kebesarandengan Rajamu!

Kami   tidak   merasa   junjungan   kami   itu   lebih   rendah tingkatnya   dari  junjungan   kamu.   Ingatlah   bahwa   Pajajaran bukanlah  daerah  yang  telah  takluk  kepada  Majapahit!"  Patih Anepaken  mengeluarkan kata-kata  ini  dengan  wajah kemerah- merahankarena marahnya.

Pada saat perang tutur itu terjadi, datanglah Wijayarajasa dan ketika Raja  Wengker  ini melihat terjadinya pertikaian, hatinya girang   sekali   dan   ia   lalu   menjawab  kata-kata  keras  Patih Anepaken dengantantangan.

"He, Patih Anepaken! Janganlahkamu mengumbarnafsu dan kesombongan   di   Majapahit!   Ketahuilah   bahwa   pahlawan- pahlawan Majapahit  tak  dapat  menelan  hinaan  demikian  saja! Gusti Prabu telah berkenan menerima puteri Pajajaran, hal  ini sudah   merupakan   penghormatan   yang   sangat   besar   bagi Pajajaran.   Pendeknya,   Raja   Pajajaran   harus   mengiringkan puterinya kehadapan Gusti Prabu Hayam Wuruk, kalau tidak hal ini akan diselesaikan dengan ketajaman tombak dan kekebalan kulit!"

Patih Anepaken memang berdarah panas. Mendengar ini, ia telah  berdiri  dari  tempat  duduknya  dan  sekali  tendang  saja hancurlah kursi yang tadi didudukinya. Matanya bernyala-nyala dan hidungnya berkembang-kempis!

"Hai, orang-orang Majapahit! Kau kira Pajajarantidak punya satria-satria?   Ketahuilah,   bagi   kami   orang-orang   Pajajaran, kehormatan lebih utama daripada jiwa, mengerti?"



Hampir  saja  terjadi  keributan  di  ruang  kepatihan  itu  dan hampirterjadi adu tenaga diantara para pembesar itu. Akantetapi, biarpun Sakri yang juga hadir di situ telah merasa panas seluruh tubuhnya karena marah, ia tetap dapat mempergunakan kekuatan batinnya untuk menekan kemarahannya itu. Ia lalu melompat ke dekat Patih Anepakendan membujuk.

"Sudah, gusti patih. Untuk apa menurutkan nafsu hati dan marah-marah di sini? Ingat bahwa kita bukan sedang berada di dalammedan  peperangan  dan  sebagai  utusan  raja  kita  harus bersikap bijaksana."

Kepala dari Patih Anepaken serasa diguyur air dingin ketika mendengar ucapan Sakri ini dan ia lalu memandang kepada Sakri dengan pernyataan terima kasih. Memang betul, hampir saja ia lupa akan keadaan dan karenanya bahkan merendahkan martabat Rajanya dengan memperlihatkan sikap yang tidak semestinya.

Sementara itu, biarpun Patih Gajah Mada merasa menyesal mendengar  tantangan  yang  diucapkan  oleh  Wijayarajasa,  akan tetapi  karena  yang  mengucapkan  adalah  orang  dari  fihaknya, maka ia tidak mungkin dapat menarik kembali kata-kata itu yang berarti  akan  merendahkan  diri  sendiri.  Maka  hanya  berkata kepada Wijayarajasa.

"Mereka  ini  adalah utusan nata  dan tidak  seharusnya  kita menghinautusan nata!"

Wijayarajasa melihat betapa dari sepasang mata Patih Gajah Mada menyinarkan rasa penuh sesal, iatidakberani banyak cakap lagi.

Demikianlah,    dalam    keadaan    sama-sama    panas    dan

meradang rombonganutusan itukembalike Bubat.

Alangkah murkanya Sang Prabu Dewata mendengar laporan patihnya karena merasa betapakedudukannya direndahkan orang.




Sabdanya dengan marah.

"Ya  Jagat  Dewa  Batara!  Mengapa  dijatuhkan  percobaan sehebat  ini kepada  hamba?Para pahlawanku  sekalian. Memang semenjak kalian berangkat ke Majapahit, telah ada perasaantidak enak  dalam hatiku  tanda  akan  adanya  bahya  mendatang.  Kita harus  bersiap  sedia  menjaga  datangnya  segala  kemungkinan. Betapapunhati seorang ayah menyinta puterinya, akantetapi bagi seorang   satria,  kehormatan  lebih  besar   artinya.   Lebih  baik hancur-lebur  tubuh  ini  daripada  menyerah  dalam  kehinaan! Persiapkanlah   seluruh   balatentara,   kita   menanti   datangnya serbuan  dari  Majapahit!  Demi  keluhuran  Pajajaran  kita  lawan mereka mati-matian!"

"Hamba rela dan bersedia membela Pajajaran sampai hancur tubuhhamba!" seru Patih Anepaken.

"Hamba bersedia membela Pajajaran sampai titik darah yang penghabisan!!" Sakriikut berseru dengan penuh semangat.

Ratu  Dewata  menjadi  terharu  sekali,  terutama  mendengar seruan Sakri yang hendak membela Pajajaran sampai titik darah penghabisan! Bagi Patih Anepaken dan yang  lain-lain,  hal  ini tidak   mengherankan   dan   bahkan   sudah   selayaknya,   karena mereka  adalah  orang-orang  Pajajaran.  Akan  tetapi,  bukankah Sakriseorang Jawa? Maka sabdanya perlahan,

"Sakri,  sudah  yakin  benarkah  hatimu  bahwa  kau  hendak mengurbankanjiwaragamu untuk

Semua  orang  memandang  ke  arah  pemuda  yang  gagah perkasa ini, dan Sakri juga maklum ke mana maksud pertanyaan Sang Prabu Dewata itu. Sembahnya,

"Gusti,  hamba  adalah  seorang  laki-laki  yang  menjunjung tinggi  sifat  satria  utama.  Semenjak  kecil,  ayah  hamba  telah menggembleng hamba dengan ajaran yang luhur dari Sri Kresna




yang bijak dan waspada. Sekali hamba bersuwita, maka hamba akan setia sampai mati!"

Semua orang terharu mendengar ini, dan mereka lalu bersiap sedia menjaga datangnya serbuandari Majapahit.

Patih Gajah Mada mendengar pula dari para penyelidik akan sikap  Ratu  Dewata  dari  Pajajaran.  Ia  maklum  bahwa  demi membela kehormatan masing-masing, maka pertempuran takkan dapat  dielakkan  lagi.  Maka  ia  lalu  menghadap  kepada  Prabu Hayam   Wuruk  untuk   minta  keputusan   dan  perkenan   akan maksudnya menggempur barisan Pajajaran di Bubat. Sang Prabu Hayam Wuruk menghela napas panjang karena merasa berduka dan  kecewa  bahwa  persoalan  menjadi  demikian  panas   dan meruncing.  Akan  tetapi,   sebagai   seorang  raja,   iapun  harus mempertahankan kehormatankerajaannya. Dimintanya agar Patih Gajah Mada mencoba membereskan persoalan ini dengan jalan damai dan membujuk Sang Prabu Dewata untuk berdamai dan sudi    mengalah,    Patih    Gajah    Mada    setelah    menyatakan kesanggupannya, lalu mengerahkan sejumlah perajurit yang besar untuk pergike Bubat.

Sebetulnya  Patih  Gajah  Mada  juga  ingin  membereskan kesalah-pahaman ini dengan cara damai. Akantetapi, hal initelah diketahui pula oleh Wijayarajasa, maka Raja Wengker  ini lalu mengutus beberapa puluh  orang  suruhan,  yang  ini terdiri  dari orang-orang jahat yang sanggup menjalankan perintah apa saja asal   mendapat   upah   besar.   Begitu   tiba   di   Bubat,   mereka menyerang   orang-orang   Pajajaran   dan   setelah   membunuh beberapa orang yang tak berjaga-jaga, mereka lalu melarikandiri.

Ributlah  keadaan  di  Bubat  dan  semua  orang  Pajajaran mendengar bahwa beberapa kawan dari Pajajaran telah terbunuh oleh  orang-orang  Majapahit!  Maka  memuncaklah  kemarahan mereka  hingga  ketika  barisan  Gajah Mada  tiba,  tanpa banyak



cakap lagi barisan Pajajaran lalu menyerang!

Dan segeralah terjadi perang tanding yang hebat dan dahsyat di Bubat! Peperangan ini terkenal dengan sebutan Perang Bubat dan sampai lama menjadi kenangan orang. Darah membanjir di lapangan Buabat yang luas. Rumput yang tadinya tumbuh segar, menjadi kering dan mati kena injak kaki orang dan kuda. Warna lapangan  yang  tadinya  hijau  segar  menyedapkan  mata,  kini berubah  merah  oleh  darah,  darah perajurit-perajurit  Majapahit dan   Pajajaran!   Keris   dan   tombak   berkilauan   mengamuk menenbus perut dan dada. Pekik dan teriak menggegap-gempita dan debu mengepul ke angkasa membuat sinar matahari menjadi pucat. Kehebatan peperangan di lapangan Bubat ini tiada kalah hebatnya  dengan peperangan mahabesar yang disebut Bharata- yuda  di  lapangan  Kurusetra!  Ribuan  perajurit  gagah-perkasa tewas  di  ujung  senjata.  Panglima-panglima  kedua  fihak  yang muda, tampan, dan perkasa, gugur bagaikan ratna dalam perang itu!

Sakri mengamuk dengan hebatnya bagaikan seekor banteng sakti mencium darah kawannya! Tubuhnya penuh dengan darah lawan. Berpuluh-puluh orang tewas dalam tangannya. Setiap kali tangan  kanannya   yang   memegang  keris  bergerak,   robohlah seorang perajurit Majapahit, dan tiap kali kepalan tangan kirinya diayun, pecahlah kepala  seorang  manusia  yang menghalang  di depannya!

Perajurit-perajurit   Majapahit    menjadi   agak   kocar-kacir menjauhi  sepak-terjang  pemuda  yang  luar  biasa  ini,  bagaikan serombongan semut didekatiapi.

Paraperajurit  dan  panglima  Pajajaran  karena  merasa  telah jauh dari negaranya, berperang mati-matian dan nekat hingga tak terhitung banyaknya perajurit Majapahit yang tewas.

Melihat  kehebatan  sepak-terjangnya  perajurit-perajurit  dan



panglima-panglima Pajajaran, Patih Gajah Mada menjadi marah. Ia mendatangkan balabantuanyang besar jumlahnya, dandiantara balabantuan yang tiba, nampak seorang pemuda yang berpakaian sebagai  seorang  pemuda  petani  sederhana.  Menurut  laporan pemimpin barisanyang baru tiba, pemuda ini menyatakan hendak ikut membela Majapahit dan ikut menghalau musuh. Gajah Mada lalu memanggilnya menghadap.

"Hai,  anak  muda  yang  muda  rupawan.  Siapakah kau  dan mengapa kau yang semuda inihendak ikut pula beryuda?"

Dengan   suaranya   yang   halus   dan   tutur   katanya   yang sederhana, pemuda itu menyembah dan berkata,

"Hamba bernama Saritama dari Gunung Kidul, Gusti Patih. Dalam  perantauan  hamba,  hamba  mendengar  bahwa  seorang panglima Pajajaran yang bernama Sakri amat digdaya dan sukar dilawan.  Maka  apablia  Gusti Patih  memberi perkenan,  hamba hendak mencoba melawan panglima Pajajaranyang sakti itu."

Patih    Gajah    Mada    terkejut.    Memang    iapun    telah menyaksikan sendiri kesaktian Sakri pahlawan Pajajaran itu dan telah mengambil keputusan untuk  menghadapinya  sendiri oleh karena anak buahnya tidak kuat menghadapi amukan Sakri. Akan tetapi,  tiba-tiba  seorang  pemuda  dusun  telah  mengajukan  diri hendak menandingi Sakri!

"Cukup kuatkah pundakmu memikul beban ini?" tanyanya dan Patih Gajah Mada melangkah maju mendekati pemuda yang masih duduk bersila di depannya itu. Ia gunakan kedua tangan untuk menekan kedua bahu  Saritama dan pemuda  itu maklum bahwa Sang Patih sedang mencoba kesaktiannya, karena terasa olehnya betapa sepasang tangan sang Patih itu bagaikan dua buah batu  besar  yang  beratnya  luar  biasa  menekan  dan  menindih pundaknya! Saritama tersenyum dan berkata,"Hamba rasa beban ini  tak  cukup  berat,  gusti!"  Dan  diam-diam  ia  mengerahkan



tenaganya ke arah dua pundak yang tertekan.

Patih  Gajah  Mada  merasa  terkejut  dan  berbareng  kagum ketika merasa, betapa kedua pundak pemuda itu tiba-tiba menjadi kaku  keras  bagaikan  baja  dan  dapat  menahan  tekanan  kedua tangannya dengan mudah!

Tertawalah Sang Patih. "Bagus, Saritama. Kau benar-benar pantas disebut Pendekar Gunung Kidul. Maju dan lawanlah Sakri, aku membekali doa restupadamu."

Saritama   bertubuh   sedang   dan   berkulit   putih   kuning. Wajahnya  tampan  dan  sepasang  matanya  mengeluarkan  sinar gemilang. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan dadanya terbuka telanjang. Telinga kirinya digantungi sebuah anting-anting perak yang mengeluarkan  sinar aneh.  Senjatanya  hanya  sebilah keris kecil luk tiga yang diselipkan dalam sarung keris di pinggangnya. Gerak gayanya perlahan dan lemah lembut, akan tetapi tindakan kakinya cepat sekaliketika ia majukemedan perang.

Paraperajurit    yang    melihat    majunya    seorang   pemuda bertelanjang dada tanpa memegang senjatapun di tangan, merasa sangat  heran  dan  untuk  sejenak  perajurit-perajurit  Pajajaran menjadiragu-ragu. Mereka merasa tidak tega menyerang seorang pemuda   yang   demikian   tampan   dan   yang   maju   kemedan pertempurandengan senyum manis di bibir.

Tiba-tiba seorang perajurit Pajajaran maju dengan tombak di tangan. Ia tidak perduli dengan sikap pemuda itu. Siapapun juga orangnya yang sudah maju kemedan perang dan berada di fihak Majapahit,  berarti  musuh  mereka  yang  harus  dibasmi!  Akan tetapi Saritama menghadapi perajurit itu dengan tenang. Ketika tombak   itu   meluncur  hendak   ditusukkan  ke   arah  dadanya, pemuda   ini  perlahan  sekali  memiringkan  tubuh  dan   sekali tangannya bergerak miring, tombak itupatah!




"Sabarlah,   aku   tak   hendak   bertempur   dengan   kalian!" katanya. "Tunjukkanlahdi mana adanya Sakripahlawan besarmu, karena hanya dengandia saja aku maubertemu!"

Masih ada dua tiga orang perajurit yang merasa gemas dan menyerang, akantetapi dengan cara sederhana dan mudah, semua senjata   yang   menyerangnya   dapat   dibikin  patah!   Anehnya, sedikitpun  pemuda   itu  tidak  mau   membalas   serangan  atau menyakiti lawannya!

Demikianlah,   Saritama   terus   maju   mencari-cari   Sakri. Akhirnya, ia bertemu juga dengan Sakri yang sedang mengamuk dan yang kini berdiri dengan tangan kanan memegang keris dan tangan kiri bertolak pinggang karena sudah tidak ada lawan yang berani  melawannya  lagi!  Gagah  dan  hebat  bagaikan  Raden Abimanyu mengamuk dilapangan Kurusetra.

Ketika melihat seorang pemuda keluar dari fihak Majapahit, Sakri  segera  lari  menghampiri  dengan  keris  di  tangan.  Akan tetapi,  setelah  melihat  orangnya  yang  datang,  tiba-tiba  tubuh Sakriterasa lemas, dadanya berdebar dan tangan yang memegang keris menggigil.

"Dimas Saritama.......!"

"Kakang Sakri!"

Mereka berdua hanya dapat mengeluarkan kata-kata ini dan berdiri berhadapan saling pandang. Terharu, kecewa, girang, dan duka  bercampur-aduk  di  dalam  hati  masing-masing,  membuat mereka  berdua  tak  kuasa  berkata-kata.  Tanpa  disadari  Sakri memasukkankerisnya kembalike dalamsarung keris.

Akhirnya Saritama yang lebih dulu memecah kesunyianyang menyelubungi mereka berdua, "Kangmas, kangmas Sakri, kau..... kau telah menjadi seorang pengkhianat?"





Sakri   terkejut   mendengar   ini.   Tadinya   ia   telah   ingin menubruk,  memeluk  dan menciumi  adiknya  yang terkasih  ini, akan   tetapi   oleh   karena   mereka   bertemu   dalam   keadaan bertentangan,  ia  tidak  dapat  melakukan  hal  ini.  Pada  saat  itu, Saritama  adalah  seorang  musuh,  musuh Pajajaran yang berarti musuhnya pula!

"Tidak,     Saritama!"    jawabnya,     "aku    bukan    seorang

pengkhianat!"

"Kau tidak merasa menjadi seorang pengkhianat, akan tetapi kau  telah  melawan  Majapahit.  Kalau  begitu,  apakah  selain menjadi seorang pengkhianat, kangmas Sakri juga telah berubah menjadi  seorang  pengecut  yang  tidak  berani  mengakui  dosa sendiri?"

"Saritama!  Kau  adikku  yang  kucinta,  janganlah  mulutmu begitu kejam menjatuhkan fitnah keji terhadap kakakmu sendiri! Kalau  bukan  kau  yang  mengucapkan  kata-kata  ini pasti telah kubinasakankau!"

"Sakri!  Pada  saat  ini  janganlah  kau  anggap  aku  sebagai seorang   adik.   Kalau   kau   hendak   membinasakan   aku  pula, lakukanlah, wahai manusia sesat dan gelap mata! Hendak kulihat sampaidimana kekejamanmu."

"Saritama," kata Sakri dengan hati perih, "aku bukan seorang pengkhianat, juga bukan seorang pengecut seperti yang kau duga. Aku  sadar  dan yakin bahwa perjuanganku  ini  suci dan benar. Ketahuilah,  aku  seorang  panglima  Pajajaran,  seorang  hamba Pajajaran yang telah lama bersuita di depan Sang Ratu Dewata dan yang telah banyak menerima budi kerajaan Pajajaran. Aku telah bersumpah untuk setia dan membela Pajajaran sampai titik darahku  yang  penghabisan,  yang  memang  sudah  selayaknya menjadi cita-cita  seorang  satria utama! Dengarlah, wahai anak muda,  kalau  aku  melanggar  sumpah  dan kesetiaanku  terhadap


kerajaan   di   mana   aku   menghambakan   diri   dan   aku   tidak menghancurkan  fihak  Majapahit  yang  telah  menjadi  musuh Pajajaran  yang  hendak  menjaga  kehormatan,  bukankah  aku menjadi seorang pengkhianat dan pengecut sebesar-besarnya di dunia ini?"

"Tapi lawanmu adalah bangsa dan darah dagingmu sendiri!" bantah Saritama.

"Di  dalam  yuda,  tidak  ada  hubungan  apa-apa,  yang  ada hanyalah lawan dan kawan. Siapa saja adanya dia yang berdiri di fihak  musuh,  dialah  lawan  yang  harus  dimusnahkan.  Cita-cita seorang perajurit utama hanya tunggal, yaitu membasmi musuh dan  membela  negara  serta  taat  kepada  perintah  yang  menjadi junjungan. Aku melakukan semua ini dengan penuh kesadaran. Saritama,  perjuanganku  suci  dan  tanpa  pamrih,  karena  aku hanyalah menunaikan tugasku  sebagai seorang perajurit. Kalau kau  bukan  perajurit  Majapahit,  menyingkirlah  Saritama,  dan jangan kau menghalangi perjuanganku yang  suci.  Kelak, kalau aku  tidak  terbinasa  di  ujung  senjata  lawan,  akan  kuceritakan kepadamu tentang semua ini."

Saritama    tersenyum.     "Sakri,    kau    tenggelam    dalam kesombonganmu sendiri! Kaukira bahwa seluruh perajurit yang bertempur  mengadu  tenaga  ini  hanya  boneka-boneka  belaka? Bahwa  hanya  kau  seorang  yang  memiliki jiwa  satria  utama? Ketahuilah,  wahai  panglima  Pajajaran  yang   gagah  perkasa, bahwa aku Saritama juga seorang perajurit Majapahit. Majulah, karena akulah lawanmu!"

"Duh Jagat Dewa Batara!" Sakri mengeluh,  "mengapa aku harus menjatuhkan tangankukepada adikku sendiri?"

"Sakri,  ingatlah akan kata-katamu tadi, kita perajurit  sama perajurit.  Terima  kasih  atas  pelajaranmu  tadi  yang  membuat hatiku  merasa  lebih  lapang  untuk  mengadu  kerasnya  tulang


tebalnya kulit denganmu. Mengaparagu-ragu?"

"Aduh, adikku Saritama..... Kau yang telah lama kurindukan! Tak  ada jalan  lainkah  yang  dapat  kita  ambil?  Aku  tidak  tega menjatuhkan   tanganku    di   atas   kepalamu    yang   kukasihi, Saritama....... kasihanilahkakakmu dan mundurlah."

"Manusia  lemah,  mana  sifat  satria  yang  kau  sombongkan tadi?"

Sambil  berkata  demikian,  Saritama  melangkah  maju  dan menyerang  dengan pukulan tangannya.  Sakri mengelak  lemah, akan tetapi Saritama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan gerakan cepat itu sudah menyusul dengan pukulan kedua hingga dada Sakrikenapukul dan panglima itujatuhtersungkur!

"Sakri  bangunlah!  Mari  kita  bertempur  seperti  perajurit- perajurit   sejati!   Saritama   membentak   marah   karena   gemas melihat betapa lawannya itutidak membalas.

Mendengar ucapan ini dan merasa betapa pukulan Saritama kuat dan berat, bangkitlah semangat Sakri. Serentak ia melompat berdiri  dan  menggeram  keras,  "Baiklah,  Saritama.  Mari  kau pertahankan  serbuan  seorang  satria  Pajajaran!"  Maka  ia  lalu menyerang  dengan  hebatnya.  Kedua  teruna  remaja  yang  sama tampan sama gagah itu, kakakberadik yang setelah lama berpisah kini  bertemu  dimedan  yuda  menjadi  lawan,  berkelahi  mati- matian!

Keduanya sama kuat, sama cepat, dan sama digdaya. Pukul- memukul,   tendang-menendang,   hempas-menghempas   hingga debu  mengebul  dari tanah  yang  mereka pijak.  Perkelahian  ini demikian hebat dan seru, sehingga para perajurit Majapahit dan Pajajaran yang sedang bertempur di dekat tempat kedua kakak- beradik  ini  beryuda,  menghentikan  pertempuran  mereka  dan menonton perkelahian ini dengankagum!



Sakri dan  Saritama bertempur bagaikan dua  ekor harimau berebut  kelinci.  Sepak-terjang  Sakri  bagaikan  Gatutkaca  yang menyambar-nyambar    dengan    hebatnya,    kuat    dan    cepat gerakannya. Sedangkan Saritama yang lebih halus gerak-geriknya itu bagaikan Raden Angkawijaya yang biarpun bergerak lemah- lembut,  akan tetapi  selalu tepat  cekatan.  Tak banyak bergerak dalam  mengelak  sebuah  serangan,  dan  setiap  pukulan  yang dilancarkan,  biarpun  kelihatannya  dilakukan  dengan  perlahan, namun    mengandung    tenaga    yang    cukup    besar    untuk menghancurkan kepala seekor banteng!

Pertempuran itu berjalan seru dan lama hingga para perajurit kedua fihak bersorak-sorak membela jago masing-masing. Baik Sakri, maupun Saritama keduanya merasa betapa berat dan kuat orang yang menjadi lawannya. Sakri diam-diam merasa kagum dan girang melihat kehebatan adiknya, akan tetapi oleh karena pada saat itu adiknya menjadi seorang Majapahit, terpaksa harus dibinasakan! Sakri menggertak gigi untuk menguatkan hatinya, kemudian  ia  mencari  kesempatan.  Ketika  kesempatan  yang dinanti-nanti   itu   tiba,   cepat   bagaikan   petir   menyambar   ia mengirim  pukulan  tangan  kanan  yang  disertai  Aji  Kelabang Kencana yang bukan main dahsyatnya! Pukulan sakti ini tepat mengenai pangkal telinga Saritama dan tubuh Saritama terpental jauh lalujatuhdi atas tanah tanpa daya!

Kalau saja yang terkena pukulan itu bukan Saritama, Satria Gunung Kidul yang telah digembleng secara hebat oleh ayahnya, pasti  akan  tewas  di  saat  itu juga.  Akan  tetapi,  Aji  Kelabang Kencana mempunyai kesaktian luar biasa hingga biarpun tidak tewas,  namun  tubuh  Saritama  telah  menjadi  bengkak-bengkak dan matang biru! Pemuda ini merangkak bangun dan mukanya yang   tampan   kini   telah   menjadi   tidak   karuan   macamnya, bengkak-bengkak hinggakedua matanya hampir tak nampak lagi. Bukan main rasa sakit yang diderita oleh Saritama, akan tetapi


satria  ini  menguatkan  tubuh  dan  hatinya  dan  hanya  sedikit keluhanterdengar darimulutnya yang bengkak-bengkak itu.

"Aduh,  Rama  panembahan,  tak  kusangka  Saritama  akan tewas    dalam   kakangmas    Sakri   sendiri....."   Kemudian    ia merangkakbangundan berserukeras kepada Sakri.

"Panglima Pajajaran, janganlah berlaku kepalang-tanggung, majulah  dan  padamkanlah  apiku  kalau  kau  memang  seorang satria!"

Semenjak   ia   memukul   Saritama   dengan   Aji   Kelabang Kencana  dan  melihat  betapa  adinda  yang  dikasihinya  jatuh berguling dengan tubuh dan muka bengkak-bengkak mengerikan, lenyaplah  seketika  itu  juga  semangat  bertempur  dalam  dada Sakri.  Ia  merasa  ngeri  dan  kasihan  sekali.  Apalagi  setelah mendengar  Saritama mengeluh dan menyebut ramanya, hancur luluh perasaan Sakri. Ramanya dulu pernah berkata bahwa kelak ia   harus   mewakili   rama-ibu   dan   mendidik   serta   menjaga Saritama,   akan  tetapi   sekarang,   dia   sendiri   telah   berusaha sekuasanyauntuk membinasakan adindanya itu!

Tak tertahan lagi rasa terharu yang melemahkan hatinya. Ia lalu menubruk maju sambil memekik, "Adimas Saritama......"

Saritama hendak mengelak, akantetapi oleh karenatubuhnya telah  menjadi  lemah  dan  sakit-sakit,  ia  tak  kuasa  melepaskan rangkulan kakaknya.  Sakri lalu menggunakan tangan kanannya untuk  memijit-mijit   dan  mengusap-ngusap  muka  dan  tubuh adiknya,  menggunakan kesaktiannya untuk  menghilangkan  Aji Kelabang  Kencana  yang  menyerang  tubuh  Saritama.  Memang selain  memiliki  Aji  Kelabang  Kencana  dahsyat,  Sakri  juga mempelajari aji untuk mengobati dan memusnahkan daya serang Kelabang Kencana.

Seketika   itu   juga,   pulihlah   keadaan   Saritama.   Segala


bengkak-bengkak pada muka dan tubuhnya lenyap dan ia merasa segarkembali.

Saritama mencela kakaknya. Dengan cepat ia merenggutkan tubuh dari pelukan Sakri dan berkata, "Kangmas Sakri, mengapa kau memperlihatkan kelemahanmu lagi? Jangan kau memalukan aku, kangmas!"

"Saritama,  adikku  yang  tersayang.  Bagaimana  aku  dapat sampai hatimencelakakankau yang kukasihi? Adinda, sekali lagi kupinta  kepadamu,  menyingkirlah  dan  jangan  melawan  aku. Kelak aku akan minta maafkepadamu, dinda."

Sakri! Kau hendak merendahkan adikmu sendiri? Kalau kau seorang   satria  utama,   apakah  akupun  bukan  seorang   satria Majapahit  yang  pantang  mundur  dan  tidak  kenal  takut  pula? Hayo, majulah dan pergunakanlah aji kesaktianmu pula. Saritama bukan anak kecil yang takut akanmaut!"

Kembali  kakak-beradik  ini  bertempur.  Akan  tetapi  oleh karena   Sakri   merasa   bimbang,   ia   hanya   berkelahi   dengan setengah hati,  sehingga pada  saat  yang tepat  Saritama berhasil memasukkan pukulannya  yang  dengan jitu  sekali menghantam kepala Sakri. Bukan main hebatnya pukulan ini, oleh karena kali ini  Saritama  mempergunakan  aji  kesaktiannya  yang  bernama Bromo   ati.   Pukulan   ini   mempunyai   daya   bagaikan   petir menyambar dan seketika itu jugatubuh Sakrimenjadi hangus dan kulitnya rusak bagaikan terbakar api! Sakri bergulingan di bawah dan mengeluh kesakitan, tak berdayauntuk bangun lagi.

"Kangmas..........     kangmas..........      ampunkan      aku......"

Saritama mengeluh.

"Tidak ada yang harus mengampunkan dan tidak ada yang harus  minta  ampun,  dimas.  Kita  sama-sama  perajurit  utama, bukan?  Kematian  bukan  apa-apa,  teruskanlah  perjuanganmu




dengan    hati    suci.    Tak   usah   kita    hiraukan    sebab-sebab pertempuran. Tugas kita hanya berjuang, berjuang dengan suci.

Aku..... aku puas, dinda........" Kemudian ia mengeluh dan tiba-

tiba dari mulut keluar keluhan panjang, "Aduh........ adinda Diah

Pitaloka......"

Terkejutlah  Saritama  mendengar  ini.  "Kangmas  Sakri...... kau..... kau menyinta Diah Pitaloka Puteri Pajajaran?"

Sakri  mencoba  untuk  tersenyum.  "Dia. .........  Dia  pujaan

kalbu   dan   sumber   kebahagiaanku,   dinda.....   sampaikanlah salamku   kepadanya   dan   sampaikan   pula   bahwa   aku   telah membelakehormatannya sampaititik darah terakhir......."

Dengan sedih Saritama menyanggupi. Pada saat itu, seorang perwira  Majapahit  yang  berdiri  di  belakang  Saritama,  ketika mendengar bahwa Saritama, sebenarnya adalah adik dari Sakri panglima Pajajaran itu, menjadi tercengang. Timbul pikiran jahat dalam  otaknya.  Ia  hendak  merebut  pahala  dan  jasa  karena membinasakan Sakri, pahlawan musuh yang digdaya itu. Maka, diam-diam ia angkat tombaknya tinggi-tinggi dan cepat sekali ia menusuk punggung Saritama dengan tomak itu!

Saritama  sama  sekali  tidak  menyangka  akan  datangnya bahaya oleh karena kedukaannya membuat ia lupa akan segala. Dan   oleh   karena   segala   perhatiannya   dicurahkan   kepada kakaknya, maka agaknya tombak yang ditusukkan ini tentu akan menembusi tubuhnya! Akan tetapi pada saat itu Sakri yang telah hampir  mati  itu  tiba-tiba  meloncat  bangun  dan  menubruk  ke belakang  Saritama  hingga  tombak  itu  tidak jadi  menancap  di punggung Saritama, akantetapitepat memasuki perut Sakri!

Sakri benar-benar digdaya. Biarpun tubuhnya telah hangus dan tombak itu telah menembus perutnya, namun ia masih kuasa menyambar maju dankedua tangannya yang hangus itu mencekik leher perwira  itu  sampai  kedua  mata perwira  itu  melotot  dan



lidahnya terjulur keluar. Perwira itu binasa dan setelah melepas tubuh perwira yang telah menjadi mayat. Sakri lalu terhuyung- huyung danjatuhke dalampelukan Saritama,

"Kangmas......  sungguh mulia hatimu. Di saat terakhir kau masih sudimenolongjiwaku."

Akan  tetapi  Sakri tak  kuasa  berkata  banyak.  Ia  membuat gerakan  agar  Saritama  mendekatkan  telinganya.  Pemuda  ini mengerti  akan  isarat  kakaknya,   maka   ia   lalu   mendekatkan telinganya di mulut kakaknya. Dan dalam saat terakhir itu, Sakri membisikkan   semua   aji  kesaktiannya  kepada   adiknya   yang terkasih  ini.  Kemudian,  satria  utama  ini  menjadi  lemas  dan menghembuskannapasterakhir. Sakritelah gugur bagaikan ratna, yang  takkan  lenyap  dan pudar  kegemilangan  namanya  selama dunia berkembang!

Saritama mencabut keluar tombak yang masih menancap di perut  Sakri dan dengan penuh khidmat  ia pondong jenazah itu keluar  darimedan  pertempuran,  diikuti  oleh  pandangan  mata perajurit-perajurit  dari kedua  fihak.  Setelah pemuda  itu  pergi, maka para perajurit itu mulai bertempur pula dengan hebatnya!

Dengan  hati  duka,  Saritama  membakar jenazah  kakaknya sambil berdoa.  Setelah pembakaran jenazah ini  selesai,  ia  lalu maju pula kemedan pertempuran, bukan untuk ikut bertempur, akan tetapi untuk mencari Puteri Pajajaran dan menyampaikan pesan Sakrikepada Diah Pitaloka.

Setelah Sakri gugur, maka kekuatan fihak Pajajaran makin lemah. Sungguhpun demikian, para satria Pajajaran yang gagah berani dan pantang mundur itu melanjutkan pertempuran sampai orang    terakhir!    Patih    Gajah    Mada    mengerahkan    semua pahlawannya  dan  akhirnya  semua  pahlawan  Pajajaran  dapat dibinasakan  dalam  pertempuran  yang  maha  hebat  itu!  Darah mengalir   bagaikan   anak   sungai   dan  mayat   bergelimpangan


bertumpang-tindih memenuhilapangan Bubat.

Diah  pitaloka  yang  mendengar  akan  kekalahan  fihaknya duduk di dalam kemah dengan pikiran kusut dan hatirisau. Tiba- tiba ia teringat kepada Sakri. Ia tidak percaya bahwa  fihaknya akan  menderita  kekalahan.  Bukankah  di  fihaknya  ada  Sakri, pahlawanyang gagah perkasa itu?

Tiba-tiba   sesosok  bayangan  yang  gesit   sekali  meloncat masuk  ke  dalam  kemahnya  dan  tahu-tahu  seorang  pemuda tampanyang sederhana berdiridi situ dengan sikaphormat.

"Hai,  siapa  kau  yang  kurang  ajar  dan  lancang  memasuki tempat ini?" Diah Pitalokamenegur marah.

"Maafkan  hamba,  Sang  Puteri.  Ketahuilah,  hamba  adalah adik dariseorang panglimamu yang ternama, yaitu Sakri."

"Kau adik Sakri? Dan..... bagaimana dengandia.....?"

Wajah  yang  tampan  dan  agak  pucat  itu  nampak  berduka ketika    menjawab.    "Kangmas    Sakri    telah.....    gugur    dan kedatanganku ini hanya hendak menyampaikan pesannya, yakni bahwa kangmas Sakri meninggalkan salam dan hormat kepada Sang   Puteri   dan   bahwa   kangmas   Sakri   telah   menunaikan tugasnya membelapaduka sampaipada saat terakhir!"

Diah Pitaloka terharu sekali dan ia tidak dapat menahan air matanya  yang  mengucur  turun.  Dengan  kedua  tangannya,  ia menutupi  mukanya   dan  tubuhnya   bergoyang-goyang  karena menahan sedu-sedan yang keluar dadanya.

"Sakri......  Sakri......  kau  pahlawan  sejati,  satria  utama...... terimakasih atas pengurbananmu yang besar, Sakri......"

Ketika Diah Pitaloka menurunkan tangan dan memandang, ternyata  pemuda  yang  mengaku  sebagai  adik  Sakri  itu  telah pergi! Pada saat itu terdengar berita yang lebih menyayat jantung



Diah  Pitaloka.  Yang  membawa  berita  adalah  ibunya  sendiri, permaisuri  raja  Pajajaran.  Permaisuri  masuk  ke  dalam  kamar puterinya  sambil menangis  dan dengan  suara terputus-putus ia menceritakan bahwa  Sang  Ratu  Dewata telah  gugur  di dalam yuda!

Mendengar ini, kedukaan yang sudah melemahkan jantung Diah  Pitaloka,  memuncak  hebat  dan  ia  lalu  roboh  pingsan! Ibunya  hanya  dapat  menangis  dan  setelah  Sang  Puteri siuman kembali,  kedua  orang  wanita,  ibu  dan  anak  ini,  bertangis- tangisan.

"Duhai  anakku  sayang,  belahan  nyawa  bunda.  Alangkah buruknya nasib yang menimpa kita! Bunda tak menyesali untung bunda, karena bunda sudah tua, sudah cukup mengecap nikmat hidup. Akan tetapi kau....... anakku sayang, ibarat bunga sedang mulai  mekar.......  bunda  tak  patut  mengurbankan  puterinya, sekarang terserah kepadamu,  anakku. Kau masih muda, pantas menjadi permaisuri  yang  mulia.  Kau  menurutlah  saja  anakku, taatilah   kehendak   Sang   Prabu   di   Majapahit   yang   hendak memboyongmu, kau akan menjadi permaisuri yang dimuliakan orang, nak......."

"Duh  bunda......."  Diah  Pitaloka  menangis  dalam  pelukan ibunya   dan   untuk   beberapa   lama   tak   dapat   berkata-kata. Akhirnya, sambil mengeluarkan sebuah keris yang runcing dan tajam, Diah Pitaloka berkata,

"Ibunda  yang  mulia,  mohon  diampunkan  segala  dosa  dan kesalahan   ananda.   Alangkah   akan   hinanya   nama   ananda, alangkah  akan  rendahnya  kehormatan  ananda  apabila  ananda menyerah  kepada   musuh!  Budi  ramanda   dan   ibunda   yang demikian  besar  bdilimpahkan  kepada   ananda,  belum  cukup terbalas hanya oleh pengurbanan jiwa ananda, apakah mungkin ananda menyerahkan diri kepada musuh yang berarti menghina



dan menodai nama orang tua? Tidak, ibunda, ananda seribu kali lebih  suka  mati  daripada  menyerah  kepada  musuh!  Ibunda, relakanlah, hamba hendak lebih dahulu menyusul ayahanda!"

Berseri wajah permaisuri mendengar ucapan puterinya  itu. Saking terharunya, iatak dapat berkata-kata, dan setelah beberapa kali menelan ludah, baru ia dapat berkata singkat, "Diah Pitaloka kau patut menjadi puteri sesembahan di keraton Pajajaran, patut menjadi saritauladanparawanita!"

Di   depan   ibunya,   Diah   Pitaloka   lalu   menyuduk-salira (menusuk diri). Dengan air mata berlinang-linang, permaisuri dan para emban yang menangis sedih lalu menyelimuti jenazah Sang Puteri dengan sutera hijau. Kemudian permaisuri lalu mengajak para  emban  untuk  mencari  jenazah  Ratu  Dewata,  suaminya. Diantara  ribuan  mayat  yangmalang  melintang,  akhirnya  Sang Permaisuri dapat pula menemukan jenazah suaminya terhantar di atas tanah dengan sebatang tombak masih menancap di dadanya. Tomba itu merupakan tanda bahwa suaminya telah gugur dengan gagah-berani.

Setelah  menubruk  dan  menangisi jenazah  suaminya,  Sang Permaisuri lalu mencabut kerisnya dan membunuh diri di dekat suaminya!Para  selir  dan emban yang  mengiringkan Permaisuri melihat  hal ini lalu  meniru tindakan  Sang Permaisuri.  Mereka menggunakan   senjata   masing-masing   untuk  membunuh   diri hingga  bertambah  pula  tubuh  manusia  memenuhi   lapangan Bubat! Sebelum senjakala, matahari telah menyembunyikan diri siang-siang  di  belakang  awan  tebal,  seakan-akan  Sang  Batara Surya   sendiri   tidak   tahan   lebih   lama   menyaksikan   akibat mengerikan  dari  perbuatan  manusia  yang  bodoh  dan  dungu, manusia yang tak segan-segan untuk saling bunuh hanya karena memperebutkan sesuatu yang kosong!

Ketika Sang Prabu Hayam Wuruk mendengar akan peristiwa


yang amat menyedihkan itu, bukan main duka dan menyesalnya. Padahal Sang Prabu Hayam Wuruk yang telah amat rindu dan ingin sekali bertemu dengan calon permaisurinya, telah menyusul ke Bubat. Tidak tahunya, ketika tiba di Bubat, Sang Prabu hanya bertemu dengan layon Sang Puteri.

Perih  dan  sakit  hati  Sang  Prabu  Hayam  Wuruk  melihat jenazah yang telah diselimuti sutera hijau seluruhnya itu. Tanpa dapat   dicegah  lagi,   Sang  Prabu   lalu  melangkah  maju   dan menggunakan kedua tangannya untuk menyingkap sutera itu dari muka jenazah Diah Pitaloka.

Naik   sedu   sedan   dari   dalam   dada   yang   menyumbat kerongkongannya ketika Sang Prabu menatap wajah yang tetap ayu,  tetap  gilang-gemilang,  dengan  dihias  senyum  manis  itu. Dalam pandangan Sang Prabu, wajah Diah Pitaloka seakan-akan masih hidup dan senyumitu sepertisengaja ditujukan padanya.

Tak tertahan pula rasa duka dan terharu yang menggelora dalam   kalbunya   dan   beerjatuhanlah   air   mata   Sang   Prabu membasahiwajah Sang Ayu yangtelah tak bernyawa pula itu.

"Aduhai adinda juita! Adinda pujaan kalbu, mustikaningrat yang cantik jelita, alangkah kejamnya nasib menimpa kita! Telah menjadi kembang-mimpi kanda saat pertemuan kita yang telah kurindu-rindukan.  Akan tetapi,  setelah  kita bertemu, kau telah

pergi.......... aduhai adinda, adinda......"

Parapengiring   Sang   Prabu   yang   menyaksikan  kedukaan Prabu Hayam Wuruk, merasa terharu sekali dan menumpahkan air mata dalam belasungkawa. Juga Patih Gajah Mada diam-diam merasa   menyesal   telah  terjadi  perang   yang   mengakibatkan tewasnya Sang Puteri yang sedianya akan mendatangkan bahagia maha besar bagi junjungannya itu. Ia lalu melangkah maju dan sambil menyembah berkata,



"Duh gusti pujaan hamba! Ingatlah bahwa segala peristiwa yang  telah  terjadi,  sedang  terjadi,  maupun  yang  akan  terjadi, adalah  kehendak  Hyang  Agung  dan  kita  manusia  hanyalah sekedar menjalankankodrat belaka."

Maka  sadarlah Prabu  Hayam  Wuruk  dari pengaruh  duka- nestapanya yang maha hebat. Dengankedua tangangemetar Sang Prabu menyelimutkan kembali sutera hijau itu di atas muka Diah Pitaloka, lalu memerintahkan agar jenazah Ratu Dewata seanak- isteri mendapat penghormatan selayaknya bagaikan keluarga raja yang terhormat  serta jenazah mereka  dibakar  menurut  upacara yang telah lazim.

Kemudian Sang Prabu memerintahkan kepada para ahlinya untuk  merawat  mereka  yang  terluka  dalam  perang  itu,  baik perajurit-perajurit  Majapahit  sendiri  maupun  Pajajaran.  Semua diperlakukan sama dan tak boleh dibeda-bedakan.

Sesungguhnya,    sebelum    Sang    Prabu    Hayam    Wuruk meminang   Diah   Pitaloka,   Sang   Prabu   telah   tertarik   akan kecantikan  Puteri  Susumnadewi,  puteri  Raja  Wengker.  Oleh karena itu, setelah perjodohan dengan Diah Pitaloka gagal, Sang Prabu teringat kembali kepada Puteri Susumnadewi dan akhirnya Sang    Prabu    melamarnya    sebagai   permaisuri.    Tak   perlu diceritakan  lagi  betapa  girang  hati  Wijayarajasa  oleh  karena dengan sendirinya derajat serta kedudukannya meningkat tinggi sebagaimertua raja.

Di sebelah  selatan Pulau  Jawa,  yakni di sepanjang pesisir Laut Selatan, terdapat pegunungan yang memanjang dari barat ke timur yang terkenal disebut Gunung Kidul. Diantara bukit-bukit kecil  yang  tak  terbilang  banyaknya  itu,  bertapalah  seorang Panembahan  yang  sakti  dan  suci,  yakni  Panembahan  Sidik Panunggal.  Sang Panembahan belum tua benar, paling banyak berusialima  puluh  tahun,  akan tetapi rambutnya  yang panjang



serta jenggotnya  yang  melambai  sampai  ke  dada,  telah  putih semua.  Panembahan  Sidik  Panunggal  tinggal  dalam  sebuah pondok kecilterbuat daripada bambu sederhana. Hidupnya hanya bertani    dan    bermuja-samadhi,    serta    mengulurkan    tangan menolong para penduduk desa apabila mereka itu membutuhkan pertolongan.  Juga banyak  sekali cantrik-cantrik yang  mengejar ilmu dan bersuwitakepada Sang Panembahanyang sakti.

Pada  suatu  hari,  tak  seperti  biasanya,  Sang  Panembahan Sidik Panunggal semenjak pagi tidak meninggalkan pondoknya. Biasanya,   pagi-pagi   sekali   pada   waktu   ayam-ayam  jantan berkokok  Sang  Panembahan  sudah  keluar  dari  pondok  dan berjalan-jalan  menghirup  hawa  udara   sejuk  di  pegunungan, kemudian Sang Panembahan lalu ikut pula mengerjakan sawah- ladang  dengan  para  petani  lainnya.  Berbeda  dengan  pertapa- pertapa lainnya yang tidak mau bekerja,  Sang Panembahan ini tiap hari selalu membantu pekerjaan bapak tani dengan gembira, bahkan memberi petunjuk-petunjuk penting  oleh karena beliau juga ahli dalam soal pertanian dan cara-cara menggarap sawah- ladang. Biarpun sudah tua dan tubuhnya kelihatan kurus, akan tetapi ternyata bahwa Sang Panembahan masih kuat mengayun cangkul.

Melihat betapa Sang Panembahantidak sepertibiasanya, dan tidak nampak keluar dari sanggar pemujaan para cantrik merasa bingung dan kuatir, akan tetapi mereka tidak berani mengganggu dan  bertanya  kepada  Sang  Panembahan,  hanya  duduk  di  luar pondok dengan bersila dantidakberani membuat berisik.

Ketika akhirnya setelah lewat tengah hari Sang Panembahan keluar daripondok, wajah orang tua yang biasanya nampak riang itu,  kini  kelihatan  pucat  dan  walaupun  kedua  matanya  tidak menampakkan    kedukaan,    namun    keriangan    yang    biasa membayang pada matanya itu telah lenyap.Para cantrik maklum



bahwa   tentu   ada   sesuatu   yang   mengganggu   pikiran   Sang Panembahan  Sidik  Panunggal.  Akan  tetap,  Sang  Panembahan tidak  berkata  apa-apa,  kecuali  menanyakan  tentang  pekerjaan para cantrik.

Pada  senja  hari  datanglah  Saritama.  Wajah  pemuda  ini nampak  kurus  dan  pucat,  sedangkan  tubuhnya  lemah-lunglai. Bahkan  di  atas  kedua  pipinya  masih  nampak  bekas-bekas  air mata.Para  cantrik  yang  tadinya  merasa  gembira  dan  girang melihat kedatangan pemuda  ini, menjadi heran dan diam-diam saling berbisik menduga-duga apakah gerangan yang disedihkan oleh Saritama.

"Angger,  Saritama,  kau  sudah  kembali,  nak,"  kata  Sang Panembahan Sidik Panunggal ketika melihat pemuda itu.

Tiba-tiba  Saritama  mengeluarkan  suara  isak  tertahan  dan sertamerta    ia    menjatuhkan    diri    berlutut    di    depan   kaki Panembahan  itu  dan  memeluk  kaki  sambil  menangis  tersedu- sedu.

Sang  Panembahan  menggunkan  tangan  kanan  mengelus- ngelus kepalapemuda itu sambilberkata,

"Saritama, tidak ada kedukaan dan kekecewaan yang cukup besaruntuk dapat menggoncangkan iman seorang satria. Sadarlah kembali  dan  gunakan  sifat jantanmu  untuk  mengusir perasaan duka yangtakbaik dan melemahkan itu."

"Aduh   rama   Panembahan,   hamba   telah   berdosa   besar rama.......  Hamba.....  telah  membunuh  kakangmas   Sakri......" Pemuda itu menangis lagi.

"Wahai puteraku yang bagus, puteraku yang setia dan taat kepada  pelaksanaan  tugas,  mengapa  kau  begini  lemah?  Kau bilang  bahwa  kau  telah  membunuh kakakmu  Sakri? Ya  Jagat Dewa Batara  yang berkuasa  di jagatraya! Bagaimanakah  asal-


mulanya maka kau dapat berkata demikian?"

Setelah dapat  menekan perasaan terharu  dan dukanya  dan menetapkan  hatinya,  Saritama  lalu  berkata,  "Hamba  mentaati perintah  Rama  Panembahan  dan  menuju  ke  Majapahit  untuk menunaikan tugas  sebagai  seorang  satria  dan pembela  negara. Kebetulan  sekali ketika  hamba tiba  disana  ,  Majapahit  sedang mengadakan  perang  melawan  barisan  dari  kerajaan  Pajajaran. Hamba  lalu  menuju  ke  tempat  peperangan  dan  disana  hamba mendengar  tentang  mengamuknya  seorang  panglima  Pajajaran yang gagah perkasa dan bernama Sakri. Tadinya hamba merasa ragu-ragu dantidak percaya bahwa panglima yang bernama Sakri itu   adalah   kakangmas    Sakri    sendiri.   Maka   hamba    lalu mengajukan  diri membela perajurit-perajurit  Majapahit.  Ketika hamba  bertemu  dengan  panglima  itu,  benar   saja,  panglima Pajajaran   itu   adalah   kangmas   Sakri   sendiri!   Aduh,   Rama Panembahan, sebelum hamba melanjutkan cerita hamba, mohon penyesalan, Rama, dalam keadaan seperti itu, apakah yang hamba harus perbuat? Hamba ingin mendengar pendapat Rama, apakah perbuatan hamba  itu  sesuai dengan pendapat Rama atau tidak, agar hati hamba menjadi tenang dan puas."

Sang  Panembahan  Sidik  Panunggal  mengangguk-angguk perlahan  sedangkan para  cantrik  saling pandang  dengan heran mendengar cerita ini. Kemudian terdengar suara Panembahan itu yang halus, sabar, dan penuh ketenangan,

"Saritama,  ketika  kau  maju  kemedan  perang,  kau  adalah seorang  perajurit  Majapahit,  maka  siapa  juga  orangnya  yang berdiri di fihak musuh negara, harus disingkirkan."

"Aduh, Rama Panembahan! Lega rasa hati hamba mendengar pendapat  Rama  ini!  Ternyata  biarpun  perbuatan  hamba  telah membuat hati sanubari hamba terasa perih dan hancur, namun agaknya  tidak  menyeleweng  daripada  pelajaran  Rama!  Ketika


hamba berhadapan dengankakangmas Sakri, hamba dankangmas Sakri  berselisih  pendapat  dan  mempertahankan  tugas  masing- masing hingga  akhirnya kami berdua beryuda.  Tadinya hamba kalah dan terkena pukulan Kelabang Kencana yang ampuh dan luar  biasa.  Akan  tetapi,  kakangmas  Sakri  menaruh  kasihan kepada hamba dan hamba disembuhkannya kembali! Kemudian karena  dorongan  tugas  kami  masing-masing  sebagai  seorang perajurit  dan satria utama, kami beretempur pula. Bukan main hebatnya sepak-terjang kakangmas Sakri yang benar-benar sakti mandaraguna!  Dia  terlampau  gagah  perkasa,  terlampau  sakti, hingga terpaksa hamba mengeluarkan Aji Bromojati. Dan dia..... kangmas Sakri yang tercinta..... dia kena hamba pukul Aduhai, Rama  Panembahan,  kalau  tidak  takut  akan  dosa  dan  murka dewata, maurasanya hamba memenggal tangan hamba yangtelah memukul kepala kakangmas Sakri. Rama ...... rama..... hukumlah hamba, karena hamba telah berdosa besar dan patut mendapat hukumanberat!"

"Tenanglah,  Saritama.  Lalu  bagaimana  lanjutan  ceritamu? Apakah Sakri terustewas karenapukulanmu Bromojati?"

"Tidak, rama. Dia terlalu sakti dan kebal untuk dapat sekali tewas  dengan  sekali  pukul.  Hamba  sudah  tidak  kuat  meihat keadaannya  setelah  dia  terpukul  oleh  hamba.  Hamba  tubruk tubuhnya dan hamba tak kuat lagi menahan keluarnya air mata. Hamba tangisi dia, dan pada saat itu, seorang perwira Majapahit tanpa   sebab   lalu   menyerang   hamba   dari   belakang   dengan tombaknya. Hamba tidak melihat serangan ini, akan tetapi tiba- tibakakangmas Sakri melompat berdiridan menubruk perwira itu hinggatombak yang sedianya menancap di punggung hamba, lalu menancap    di   dada    kakangmas    Sakri!    Kakangmas    Sakri membinasakan perwira yang curang itu dan tak lama kemudian dia menghembuskan napas terakhir dalam pelukan hamba! Ah, Rama  Panembahan,  perbuatan  kakangmas  Sakri  yang  biarpun



telah hampir tewas karena pukulan hamba  itu,  akhirnya masih menolong hamba dari ancaman maut, sungguh memberatkan rasa duka di dalam hati hamba! Dia yang telah hamba pukul hingga hampir  tewas,  bahkan  menolong  dan  menyelamatkan  nyawa hamba!"

"Saritama,   kaukira   kau   ini   siapa   maka   mudah   saja mengatakan   dapat    membunuh?   Lupakah   kau    akan    ilmu penerangan yang telah diturunkan oleh Sri Kresna? Bukankah Sri Kresna dulupernah bersabda kepada Sang Arjuna bahwa


"Kalau ada orang berkata

bahwa Atman dapatterbunuh

atau berkata bahwadia telah membunuh

maka orangyang berkata demikian itu

tidak mengetahui akan kebenaran!

BagaimanakahDia dapat membunuh

dan siapakahitu yang dapat membunuh Dia?"


Ucapan   di   atas   yang   dipetik   oleh   Panembahan   Sidik Panunggal ini adalah ucapan Sri Kresna yang ditujukan kepada Sang   Arjuna   dalam   wejangan-wejangannya,   yang   terkenal sebagai kitab Rhagawad Gita. Memang semenjak kecil Saritama telah  menerima  bermacam  pelajaran  dari  Panembahan  Sidik Panunggal, maka tentu saja ia masih ingat akan ilmu pelajaran batin  di  atas.  Ia  lalu  menyembah  di  hadapan  Sang  Prabu Panembahandan berkata,

"Terima   kasih,   Rama.   Sungguh   besar   sekali   pengaruh wejangan   Rama,   karena   kini   hamba   merasa   tidak   sangat



tertekan."

"Kau  hanya  menjalankan tugasmu  sebagai  seorang  ksatria dan perajurit utama, demikianpun Sakri. Biarpun dia telah tewas di dalam peperangan,  namun  ia  gugur  sebagai  seorang ksatria utama. Tewas di dalam menunaikan tugas dimedan perang, bagi seorang perajurit danksatriautama, adalah cara mengakhiri hidup yang paling nikmat dan sempurna!"

"Akan  tetapi,  Rama  Panembahan  yang  menjadi  pujaan hamba  di jagat  raya!  Betapa  hati hamba  takkan berduka  oleh karena di dalam dunia ini, hamba hanya mempunyai rama dan kakangmas Sakri. Kini kakangmas Sakri telah pergi, ah, betapa hambatakkanmerasa sunyi dan sengsara."

Sang     Panembahan    tersenyum.     "Saritama,     Saritama! Ucapanmu  ini  seperti  seorang  anak-anak  saja.  Mengapa  kau hanya    mempunyai    aku    dan    kangmasmu?    Tengoklah    di sekelilingmu.Para  cantrik  ini,  para  kawan  pamong  desa,  para petani,  semua  itu juga  bukankah  manusia-manusia  yang  tiada bedanya   dengan   aku   atau   kangmasmu?   Kalau   kau   dapat menganggap aku sebagairamamu dan Sakri sebagaikangmasmu, mengapa  kau  takkan  dapat  menganggap  mereka  semua  itu sebagai ramamu  dan juga  sebagai kangmasmu? Dan sekarang, Saritama, bersiaplah untuk menerima kenyataan yang sebetulnya bukan  apa-apa,  akan  tetapi  kalau  imanmu  lemah,  kau  dapat menganggap bahwa hal ini merupakan hal yang pahit bagimu. Kenyataan yang tadinya menjadi rahasia dan yang kini hendak kubuka ini, juga akan membongkar pula kenyataan bahwa nafsu perseorangan  atau  nafsu kekeluargaan yang  menebal  di dalam hati manusia itu sebenarnya tidak selayaknya dan hanya timbul karena diadakan oleh manusia sendiri, bukan timbul dari kodrat. Kasih  sayang  harus  dicurahkan  kepada  seluruh  manusia,  tak perduli   orang   itu   keluarga   maupun   tidak,   berdasar   rasa



perikemanusiaan  dan  sesama  hidup,  bahkan  seyogianya  tidak hanya  terhadap   sesama  manusia,  akan  tetapi  juga  terhadap sesama  mahluk  di  dunia.  Saritama,  sekarang  dengarlah,  aku hendak menceritakan sebuah riwayat yang hendak kupersingkat saja."

Sang  Panembahan  Sidik  Panunggal  lalu  bercerita  sebagai berikut.  Kurang  lebih  empat  belas  tahun  yang  lalu,  terdapat seorang  adipati yang  mengepalai  Kadipaten  Tritis.  Adipati  ini mempunyai  seorang  musuh,  yakni  seorang  tumenggung.  Oleh karena keduanya adalah hamba kerajaan Majapahit dankeduanya memiliki  kesaktian  dan  telah  berjasa  besar  terhadap  kerajaan hingga pengaruh mereka cukup besar, maka rasa permusuhan ini tidak  dinyatakan berterang, hanya  terpendam dalam dasar  hati masing-masing. Walaupun pada lahirnya adipati dantumenggung itu tidak memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi di dalam hati mereka menaruh dendam besar. Permusuhan ini timbul oleh karena seorang Puteri keturunan Prabu Jayanegara yang lahir dari selir.  Puteri  ini  sebenarnya  telah  mempunyai  hubungan kasih- sayang dengan adipati itu, akantetapi oleh karena pada waktu itu sang adipati masih belum menduduki pangkat  dan keadaannya miskin, maka akhirnya sang puteri tak dapat menjadi jodohnya dan  menjadi   isteri  sang  tumenggung   yang   kaya   raya   dan berpengaruh. Hal inilah yang menjadikan ganjalan di dalam hati kedua orang itu dan menimbulkan sakit hati yang tak kunjung padam.  Akan tetapi,  sang  adipati  itu  dapat  mengobati luka  di hatinya  dan  biarpun  ia  masih  membenci  sang  tumenggung, namun dia tidak melakukan sesuatu, bahkan lalu kawin dengan puteri lain dan hidup cukup berbahagia oleh karena ia mendapat anugerah raja dandijadikan adipatidi Tritis.

Akantetapi, tidak demikian halnya dengan sang tumenggung itu. Biarpun puteri juita yang diperebutkan itu akhirnya terjatuh ke dalam tangannya dan menjadi isterinya, namun rasa cemburu





masih melekat di dalam hatinya dan bencinya terhadap adiapti itu makin lama makin menghebat. Hingga pada suatu hari, dengan cara curang sang tumenggung itu berhasil menfitnah sang adipati yang dituduh hendak memberontak terhadap kerajaan Majapahit. Pada masa itu, yang memerintah di Majapahit adalah Sang Ratu Tribuwana Tungga Dewi dan sebagai seorang wanita, Ratu ini dapat   dihasut   hingga   Sang   Ratu   menggerakkan   panglima- panglimanya untuk memukul hancur adipati itu hingga terbinasa seluruh  keluarganya,  kecuali  dua  orang  puteranya  yang  dapat diselamatkannya.

"Demikianlah riwayat itu, Saritama," kata Sang Panembahan Sidik  Panunggal kepada  Saritama  yang  mendengarkan  dengan penuh perhatian dan tertarik  sekali.  "Dan  sekarang ketahuilah, wahai   anakku,  bahwa  tumenggung   itu   adalah  Tumenggung Wiradigda   yang   sekarang   masih   menjadi   Tumenggung   di Majapahit  dan  berkedudukan  di  wilayah  Tangen,  sedangkan adipati itu adalah Adipati Cakrabuwana atau..... adikku sendiri!


sebagaimana  yang  selama  ini  kau  ketahui,  akan  tetapi  adalah bapak tuamu ataupamanmu!"

Kalau bumi yang terpijak kaki Saritamapada saat itu ambles, belum tentu pemuda  itu akan  sedemikian kagetnya mendengar penuturan    ini.    Sepasang    matanya    tajam    menatap    Sang Panembahan, wajahnya memucat dan bibirnya gemetar. Tiba-tiba ia maju menyembah dan berkata dengan suarakeras,

"Paman   Panembahan,   mohon   doa   restumu!"   Ia    lalu melompat bangun dan sambil mengacungkan tinjunya ke atas, ia berseru   dengan  bengis.   "Tumenggung   Wiradigda,  tunggulah pembalasanku!"

Kemudian, tanpa menoleh lagi, pemuda itu lalu melompat ke





depandan larikeluar daritempat itu secepat kidang melompat!

Sang  Panembahan  memandang  ke  arah perginya  Saritama sambil menggeleng-geleng kepala,  "Ah, hati muda....... semoga Hyang    Agung    akan   menjauhkannya    daripada   kesesatan." Kemudian,  tanpa  mengeluarkan kata-kata  lain  kepada  sekalian cantrik yang masih duduk bersila di situ, Sang Panembahan lalu memasuki   pondoknya   kembali   dan   duduk   bersila   bermuja samadhi dengantekunnya.

Paracantrik  hanya  dapat  saling  pandang  dan  menggeleng- gelengkan kepala sambil menghela napas.

Dengan  hati  dan  pikiran  tak  karuan  rasa,  duka,  kecewa, marah menjadi satu, Saritama meninggalkan pondok Panembahan Sidik Panunggal. Hatinya dipenuhi rasa dendam dan sakit-hati, dan pada saat itu ingin sekali ia segera bertemu dengan musuh besarnya yang telah menghancurkan penghidupan ayah-ibu dan keluarganya. Ingin ia segera mendapat kesempatan menjatuhkan tangankepada Tumenggung Wiradigda.

Hm,  Wiradigda keparat! Kau mengandalkan pengaruh dan kedudukanmu, dengan kejam dan buas menfitnah orang tuaku. Setelah kau merampaskekasih ayah, kau masih sampai hati untuk menghancurkan penghidupan ayah! Alangkah kejam, apa kaukira hanya  aku  saja  laki-laki jantan  di  atas  dunia  ini.  Tunggulah, awaslah   kau,   tumenggung   keparat!"   Tiada   hentinya   bibir Saritama bergerak-gerak membisikkan ancaman-ancaman ini di sepanjang  jalan.  Ia  berlari  bagaikan  gila  menuju  ke  Tangen, sebuah  pedusunan  yang  berada  di  sebelah  selatan  Majapahit. Bukan  dekat  perjalanan  yang  ditempuhnya,  akan tetapi berkat kesaktian  dan  kepandaiannya  yang  hebat,  yakin  dengan  ilmu lariKidang  Kencana,ia  mengharapkan  akan  dapat   sampai  di tempat itu dalam tiga hari.

Pada malam hari ketiga, ia telah tiba di luar daerah Tangen.


Oleh karena malam itu gelap sekali, terpaksa ia harus bermalam di sebuah dusun kecil dan tak dapat melanjutkan perjalanannya. Dusun di mana  ia berhenti itu kecil,  akan tetapi cukup ramai. Ketika melihat sebuah pondok di dalam dusun itu, pondok yang dilengkapi  dengan  sebuah  tempat  pemujaan   di   sampingnya seperti yang biasa dipunyai oleh  seorang pertapa atau  seorang Panembahan,  ia  menjadi  tertarik.  Ketika  ia  bertanya  kepada seorang petani yang kebetulan bertemu denganya di tengah jalan dekat pondokitu, ia bertanya.

"Paman, maafkankalau aku menganggumu. Pondok siapakah yang nampak didepan ini. Agaknya pondok seorang pertapa."

Petani itu memandangnya sejenak, karena ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah seorang pendatang dari jauh hingga tak mengenal pondok pertapaterkenal itu.

"Raden,"  katanya  penuh  hormat  karena  biarpun  pakaian Saritama  sederhana dan bagaikan  seorang petani, namun sikap halus  dan  wajah  tampan  pemuda   itu  menimbulkan  dugaan kepadanya  bahwa  pemuda  ini  tentu  bukanlah  seorang  petani biasa. "Pondok ini adalah tempat kediaman seorang dukun yang sakti  dan  ditakuti  orang,  namanya  Bagawan  Kalamaya  yang kemashurannyatelah terkenal sampaikekota raja."

"Ah, kebetulan sekali, paman. Kalau seorang bagawan, tentu sudimenerima aku untuk bermalam disini."

"Raden,  kalau  kau  hendak  bermalam  di  dusun  kami,  dan kalaukiranya gubukku yang bobrok tidak menjadikan celaan, aku persilakankau mampir dan bermalam saja di rumahku. Janganlah kau mencobauntukmintabermalam di sini."

Saritama merasa heran. "Eh, mengapa begitu, paman? Aku berterima kasih sekali kepadamu, paman. Kau memang baik hati dan  ramah  tamah,   akan  tetapi,   hatiku   menjadi   ingin  tahu




takkan mau menerimaku? Buk nkahseorang pendetaitu biasanya

murah hati dan berbudi?"

Petani itu menghela napas dan matanya memandang ke arah pondok itu dengan hati-hati dantakut-takut, kemudian ia berbisik. "Raden,  ketahuilah,  Bagawan  Kalamaya  adalah  dukun  tenung yang ditakuti orang dan iapun galak sekali. Yang paling hebat ialah    bahwa    di    rumahnya    terdapat    banyak    iblis    yang dipeliharanya!"

Saritama  tersenyum.   Ia  tidak   merasa   heran  mendengar ucapan petani ini, oleh karena memang para petani yang bodoh seringkali  mudah  dipengaruhi  dan  ditakut-takuti  tentang  iblis- iblis  dan  segala  setan  oleh  orang-orang  yang  mereka  anggap dukun tenung.

"Biarlah, paman. Betapapun juga aku ingin sekali berkelanan dengandukun yang sakti itu."

Petani   itu   memandang   kepada   saritama   dengan   penuh kekuatiran  dan  juga  kagum,   akan  tetapi  ia  telah  demikian ketakutan   berada   terlalu   lama   di   dekat   pondok   Bagawan Kalamaya,  maka  ia  segera  meninggalkan  Saritama  cepat-cepat sambil menoleh beberapa kali.

Saritama lalu memasuki pekarangan pondok yang gelap itu. Langsung   ia   menuju   ke   pintunya   dan   mengetok   sambil mengucapkan  salam.  Setelah beberapa kali ia  mengetuk pintu, barulah terdengar jawabandaridalam.

"Anak muda yang cakap dan gagah, pintu pondokku tidak terpalang, dorong saja danmasuklah!"

Dengan sikap hormat  Saritama lalu mendorong daun pintu itu. Daun pintu mengeluarkan bunyi bergerit menyeramkan dan Saritama  melihat  seorang  kakek  bongkok  bersila  menghadapi



sebuah meja rendah dan di atas meja  itu terdapat  sebuah dian minyak  kecil.  Cahaya  dian  itu  remang-remang  dan  membuat bayang-bayang surampada dinding bilik. Terciumbau kemenyan dankembang layuketika Saritama memasukiruang kecil ini.

Dengan  sikap  menghormat, pemuda  itu  lalu duduk bersila pula menghadapituan rumah yang tua itu, lalu berkata,

"Mohon maaf sebesarnya dari Bapak Bagawan apabila saya menggangguketentraman Bapak."

"Ha,  ha,  ha!"  Kakek  itu  tertawa  dan  sepasang  matanya berputaran. "Anak muda yang tabah dan cakap lagi sopan seperti engkau   memang   tak   usah   takut   takkan   mendapat   tempat bermalam!  Bukankah  kedatanganmu  ini  hendak  bermalam  di tempatku yang buruk ini, anak muda?"

"Memang benar demikianlah maksud kedatangan saya, yakni kalau bapak tidak menaruh keberatandan rela menerimanya."

"Tentu,  tentu!  Kau  boleh  bermalam  di  sini.  Akan  tetapi, siapakah kau, anak muda yang tampandan sopan, kau datang dari mana dan hendakke mana?"

Ketika tadi untuk pertama kalinya melngkahkan kakinya ke dalam  ruang  ini,  Saritama  yang  bermata  tajam  sudah  dapat melihat bahwa kakek ini memang seorang sakti yang memiliki ilmu  hitam  atau  ilmu  sihir  yang  tidak  pantang  mendatangkan celaka kepada orang lain, maka ia telah merasa kecewa masuk ke situ.  Akan  tetapi,  oleh  karena  ia  telah  berada  di  dalam,  pula sebagai  seorang  tamu,  terpaksa  ia  harus berlaku  sopan  santun sesuai  dengan  kepribadiannya.  Kini  ia  hendak  mencoba  sifat dukun itu dan menjawab pertanyaandengan suaratenang,

"Bapak Bagawan, saya telah mendengar akan kesaktian dan kewaspadaanmu,  mengapakah  bapak  masih  hendak  bertanya lagi?  Bukankah  bapak  sudah  tahu  akan  segala  rahasia  alam,



termasuk  namaku  dan  segala  hal  yang  mengenai  diriku  yang bodoh?"

Bagawan Kalamaya tertawa sehingga tubuhnya bergoyang- goyang.  "Ha,  ha,  ha,  anak  muda.  Kau  benar-benar pintar  dan menyenangkan hati!  Sudah tentu  aku tahu  akan  segala  apa  di mayapada  ini,  dan tidak ada rahasia bagi Bagawan Kalamaya. Akan    tetapi,    sebagai    seorang    manusia,    aku    tak    boleh meninggalkan kebiasaan manusia terhadap manusia  lain, yakni apabila bertemu harus saling bertanya."

Mendengar  jawaban  ini.   Saritama  dapat  meraba  bahwa pendeta  ini memiliki kesombongan besar  dan hendak berpura- pura suci dan mengerti akan hukum alam. Maka ia tersenyum ketika menjawab,

"Baiklah,  bapak  bagawan.   Saya  bernama   Saritama  dari Gunung Kidul, dan saya hendak pergike Tangen."

"Ah,  ah.....  bukankah  kau  hendak  mencari  Tumenggung Wradigda?" tanya kakekpendeta itu.

Saritama  agak  tercengang  karena  tak  disangkanya  bahwa pendeta  ini  dapat  pula  membaca  maksud  hatinya!  Ia  tak tahu bahwa Bagawan Kalamaya hanya menggunakan kecerdikan dan bahwa dugaannya itu hanya kebetulan tepat. Orang terpenting di Tangen hanya Tumenggung Wiradigda seorang, maka kalau ada seorang  pemuda  gagah  datang  dari  tempat  jauh  menuju  ke Tangen,   siapa   lagi   yang   hendak   ditemuinya   disana   selain Tumenggung Wiradigda? Oleh karena inilah maka dukun hitam itu dapat menduga dengantepat.

"Benar, bapak bagawan yang waspada, memang rasa hendak pergi  mencari  Tumenggung  Wiradigda."  Ketika  mengucapkan nama   ini,   suara   Saritama   menjadi   tajam   dan   mengandung kebencian.  Hal  ini  tak  terlepas  daripada  pendengaran  dukun



hitam yang cerdik itu.

"Hm, hm, kulihat kau mempunyai permusuhan dengan sang tumenggung!   Kalau   kau   tidak   merasa   keberatan,   Saritama, cobalah    kauceritakan    urusanmu    dengan    tumenggung    itu kepadaku. Mungkin sekali aku dapat menolongmu!"

Kembali Saritama kagum mendengar dugaan yang tepat ini. Ia tidak memiliki rahasia hati dan apa yang hendak ia lakukan terhadap Tumenggung Wiradigda, yakni pembalasan dendam, tak hendak ia rahasiakan kepada siapapun juga. Maka, apa salahnya menceritakan kepada dukun ini?

"Memang   tepat   dugaan   bapak   bagawan.   Saya   hendak mencari  Tumenggung  Wiradigda  untuk  membuat  perhitungan lama yang hingga kini belum diselesaikan! Tumenggung keparat itu telah membinasakan  seluruh keluarga ayahku dan sekarang tiba masanya bagi sayauntuk membalaskejahatannya itu!"

Bagawan  Kalamaya  memandang  tajam.  "Siapakah  orang tuamu, Saritama yang gagah berani?"

"Mendiang   ramandaku   adalah   Adipati   Cakrabuwana   di

Tritis."

Kedua mata pendeta itu melebar lebar. "Eh, eh...... jadi kau adalah   putera    adipati   yang    telah    lama    dicari-cari   oleh Tumenggung  Wiradigda  dan  tak  pernah  ditemukan  itu?  Dan saudaramu yang seorang lagi, di manakahdia?"

"Hm,  agaknya  bapak  juga  tahu  benar  akan  riwayat  itu, bukan?"

Dukun hitam itu mengangguk-angguk."Siapa yang tak kenal Adipati Cakrabuwana, pemberontak itu?"

"Jangan bapak berkata demikian!" bentak  Saritama marah. "Tumenggung Wiradigda memfitnahnya!"


"Ya, ya...... memang kedua orang itu bermusuhan dan saling membenci!  Mereka   saling  membenci  hanya  karena   seorang wanita. Ah, wanita, kau mahluk lemah akan tetapi pengaruhmu lebih  kuasa  dan  kuat   daripada   sekalian  pria   yang  terkuat! Tahukah kau  Saritama? Wanita  macam apa  yang  dulu  dicinta ayahmu  dan yang  telah direbut  oleh  Tumenggung  Wiradigda? Ha,    ha!    Sayang    seribu    sayang,    seorang    gagah    seperti Cakrabuwana  hanya  menjadi  kurban  karena  seorang  wanita macam  itu!  Memang  dulu  wanita  itu  mencinta  ayahmu,  akan tetapi setelah ia menjadi isteri Tumenggung, bahkan dia sendiri yang membujuk-bujuk suaminya untuk menfitnah Cakrabuwana! Ah, wanita...... memang kau mahluk termulia, tapi juga mahluk paling jahat di dunia ini! Puteri itu sekarang telah mempunyai seorang  anak  perempuan  yang  telah  dewasa  dan  dalam  hal kecantikan, iatak kalah oleh ibunya! Ha, ha, ha!"

Makin  panas  hati  Saritama  mendengar  penuturan  yang memanaskan hati ini, maka dengan menggertak gigi pemuda itu berkata,

"Biarlah, paling lama sampai besok pagi, Wiradigda seanak- isterinyatentu akan binasa didalam tanganku!"

Tiba-tiba  Bagawan  Kalamaya  tertawa  gelak-gelak  hingga terpingkal-pingkal memegangi perut.

"Bapak Bagawan, apakah yang kau tertawakan?"

Saritama kau anak kecil yang masih hijau, bagaikan seekor burung barubelajar terbang! Apakah yang kauandalkan maka kau berani  mengucapkan kata-kata  ancaman  itu?  Seekor  semutpun kalau dapat mengerti omonganmu akan tertawa geli, jangankah seorang manusia! Kau tahu apa? Wiradigda bukanlah sembarang orang yang mudah dibinasakan begitu saja. Bahkan aku dengan segala  ilmu  sihirku  tak  dapat  membinasakannya,  apalagi  kau. Tumenggung Wiradigda adalah seorang yang sakti mandraguna




dan banyak perwira  sakti menjadi pembantunya.  Barisan yang berada didalam kekuasaannya saja sebanyakribuan orang!"

Namun  Saritama  tidak  gentar  mendengar  ini.  "Aku  tidak takut, Bagawan Kalamaya!" katanya dengan  suara tetap keras. "Biar  andaikata  Wiradigda  mempunyai  tiga  kepala  dan  enam tangan,  kesemuanya  akan  kuhancurkan  dengan  kedua  kepalan tanganku!"

Sekali lagi dukun itu tertawa geli hingga darikedua matanya keluar air mata.

"Saritama, jangan  kau  sombong!  Selain  para  perwira  dan para  perajurit  Tangen  yang  sedemikian  banyaknya  itu,  masih banyak pula pembantu-pembantunya, yakni pertapa-pertapa sakti mandraguna  yang  memiliki  banyak  ilmu  dan  aji  kesaktian. Diantara    mereka    ini,    akupun    menjadi    penasehat     dan pembantunya!"

Saritama bangkit berdiridan bersiap-sedia!

"Ha,  ha,  anak  muda,  kau  mempunyai  kepandaian  apa?" Sambil  berkata  demikian,  dukun  hitam  itu  lalu  mengangkat tangan kirinya ke atas dan tiba-tiba dari arah jendela biliknya itu menyambar  angin  dingin! Api dian berkelap-kelip  dan hampir padam. Kini Bagawan Kalamaya juga berdiri dan tubuhnya yang bongkok  menambahkan  keseraman  ruang  gelap  itu.  Tangan kanan   dukun   itu   memegang   sebatang   tongkat   dan   sambil melempar tongkat itu ke arah Saritama, terdengar suaranya yang paraumembentak, "Lihat nagaku menelanmu bulat-bulat!"

Aneh sekali, dalam cahaya yang remang-remang itu, tongkat yang  dilempar  tadi  tiba-tiba  mengeluarkan  asap  dan  berubah menjadi seekor naga atau ular besar bertanduk dua yang hanya dapatterlihat dalam alam mimpi seorang penakut!

"Bagawan Kalamaya, apakahharganya permainan macam ini




diperlihatkan?" kata Saritama tiada gentar sedikitpun. Ketika ular naga itu menyambar ke arah lehernya, ia angkat tangan kirinya dan  dengan  telapak  tangan  dimiringkan  ia  memukul  ke  arah tubuhular naga itu sambilberserukeras,

"Asaltongkat kembali menjadi tongkat!"

Terdengar suara keras dan tubuh ular naga itu kena pukul tangan Saritama lalu terlempar ke dinding dan berubah menjadi dua batang kayu, karena tongkat itu telah patah di tengah-tengah dankini berserakandi atas lantai!

Angin yang bertiup dari arah jendela berhenti dan api dian bernyala baik kembali hingga keadaan menjadi terang. Bagawan Kalamaya tertawaterkekeh-kekeh, lalu ia duduk bersilakembali.

"Kau  sakti,  Saritama,  cukup  sakti!  Tak  kunyana  putera Cakrabuwana   memiliki  kesaktian  melebihi   ayahnya.   Bagus, bagus, anak muda, tadi aku hanya mengujimu saja! Kau hendak menumpas  keluarga  Wiradigda  di  Tangen?  Bagus,  memang mereka itu harus dibinasakan!"

Saritama tertegun melihat perubahan ini. Iapun lalu duduk kembali.   "Bagawan   Kalamaya,   agaknya   kaupun   membenci tumenggung keparat itu?" tanyanya.

"Heh,    heh,    hem!"    suara    ketawa    dukun    itu    makin menjemukan. "Siapa yang tidak kubenci? Ketahuilah, Saritama, sudah lama akupun hendak menyerbu ke Tangen, akan tetapi aku tidak  cukup  kuat  menghadapi  mereka,  terutama  menghadapi Dewi Saraswati!"

"Sang   Bagawan,   siapakah   Dewi   Saraswati   itu?"   tanya

Saritama.

"Ha, ha, ha, siapa lagi? Dewi Saraswati adalah permaisuri Sang Hyang Brahma, Dewatertinggi!"



pemeluk   agama   Brahma   meng nggap   Dewa   yang  tertinggi

kekuasaannya adalah Sang Hyang Brahma dan permaisuri atau

yang disebut shakti dari dewa ini adalah Dewi Saraswati.

"Akan  tetapi,  apakah  maksudmu  mengatakan  kau  takut menghadapi Dewi Saraswati di Tangen?"

"Saritama,  ketahuilah  bahwa  kekasih  ayahmu  yang  telah mengecewakan    hatinya    dan    menjadi    isteri    Tumenggung Wiradigda,   mempunyai   seorang   puteri.   Puteri   inilah   yang bernama  Dewi  Saraswati,  dan  dia  ini  benar-benar  penjelmaan Dewi  Saraswati permaisuri Brahma  dan kini puteri ini  sedang menanti kedatangan jodohnya  yang  harus  titisan  (penjelmaan) Sang Hyang Brahma sendiri! Ha, ha, ha!"

Saritama makin heran dan ia mulai menduga bahwa dukun tua initentu agak miring otaknya.

"Dan   siapakah  titisan   Sang   Hyang   Brahma   sekarang?" tanyanya karena ingin mendengar sampaidimana kegilaandukun hitamitu.

"Heh, heh, heh! Titisan Brahma telah berada di hadapanmu, masih juga  kau  belum tahu?  Akulah penjelmaan  Sang  Hyang Brahma!"

Ah, dia benar-benar gila! Demikian pikir Saritama, maka ia lalu bersila dan diam saja, tidak mau melayani dukun itu lebih lanjut lagi. Juga Bagawan Kalamaya agaknya telah lelah, karena ia lalu merebahkan tubuhnya dan tak lama kemudian terdengar dengkurnya!

Saritama  sudah  terbiasa  beristirahat  sambil  duduk  bersila. Maka ia lalu bersamadhi dan beristirahat sambil bersila dengan tenang.



Ketika  pada  keesokan  harinya,  pagi-pagi  benar  Bagawan Kalamaya terdengar menguap dan bangun daritidurnya, Saritama juga  mengakhiri  samadhinya.  Setelah  dukun  tua  itu  duduk, pemuda itu laluberkata.

"Sang Bagawan,  saya  mengucap  diperbanyak terima kasih atas  kebaikan  dan  keramahanmu  yang  telah  menerima  saya bermalam di sini. Moga-moga  lain waktu  saya akan mendapat kesempatan  membalas  kebaikanmu.  Sekarang,  perkenankanlah saya melanjutkan perjalanan saya."

"Eh,  eh,  nanti dulu,  Saritama.  Aku  akan  menyertaimu  ke Tangen karena menurut pendapatku, sekarang telah tiba saatnya aku  bergerak  bersama  kau  yang  muda  dan  gagah.  Aku  lebih mengenal keadaan di Tangen,  maka  akan  lebih  mudahlah kau bertindak apabilakau bersama dengan aku."

"Tapi bukankah kau  ini menjadi hamba dari Tumenggung Wiradigda?"

"Heh, heh, heh!Adakalanya aku menjadi hamba, adakalanya aku  menjadi pujaan!  Kali  ini  aku  menjadi musuh Tumenggug Wiradigda!"

Saritama merasa tak enak untuk menolak, dan pula dia tidak mau dianggap takut atau kuatir jika pergi bersama dengan dukun hitam ini. Maka ia lalu menyatakan persetujuannya. Lama sekali Saritama  harus  menanti  bagawan  itu  berkemas,  mengenakan pakaian  indah-indah  dan  akhirnya  setelah  mereka  berangkat, diam-diam  Saritama  merasa  mendongkol  sekali  oleh  karena bagawan    itu    berjalan    perlahan    sekali!    Dengan    bantuan tongkatnya, Bagawan Kalamaya berjalan membungkuk-bungkuk.

"Sang  Bagawan,  kalau  kita  berjalan  seperti  ini,  kapankah akan sampaidi Tangen? Marilah kita pergunakan ilmu!"

Bagawan   Kalamaya   menggeleng-geleng   kepala   sambil


tersenyum.

"Orang yang memperlihatkan kepandaian di tempat umum adalah seorang bodoh dan sombong. Nanti saja kalau kita sudah tiba  di hutan  itu, baru kita  menggunakan  ilmu  kesaktian akan tetapiakukuatirkalau-kalaukauketinggalanjauh!"

Saritamatersenyum dan di dalam hatiia merasa geli dan juga mendongkol.  Dukun  lepus  ini melarang  orang memperlihatkan kepandaian dengan alasan tak baik berlaku sombong akan tetapi ucapannya  yang  terakhir  itu  jelas  sekali  menyatakan  betapa sombongnya kakek ini! Akantetapi, Saritama diam saja dantidak mendesak lebih jauh. Hendak ia lihat, sampai di mana kehebatan ilmu  lari cepat  dukun  ini maka berani mengatakan bahwa  dia akantertinggal jauh!

Setelah mereka tiba di dalam hutan, Saritama tak sabar lagi dan berkata, "Marilah kita percepat langkah kita, Sang Bagawan."

Bagawan Kalamayatersenyum. "Baiklah, baiklah!"

Kemudian     Bagawan     Kalamaya     mempergunakan     aji kesaktiannya dan benar saja, langkahnya  lebar dan gerakannya cepat hingga tak lama kemudian tubuh yang bongkok itu telah berlari cepat sekali. Saritama memandang dan tahulah ia bahwa dukun  itu  mempunyai  kepandaian  yang  disebut  Aji  Pancal Panggung, semacam ilmu lari cepat yang hebat juga. Akantetapi, ketika Saritama mengeluarkan ajinya Kidang Kencana, tak lama kemudian ia dapat menyusul bagawan itu yang menengok dengan herandankagum melihat kepandaian Saritama.

Saritama cukup bijaksana dan ia tidak mau melampaui orang tua itu. Ia sengaja memperlambat gerakankakinya hingga mereka dapat berlari dengan sama cepatnya.

Ketika hutan telah mereka lalui, Bagawan Kalamaya dengan napas tersengal-sengalminta berhenti. Sebelum bicara ia menarik


napaspanjang yang seninkemis itu!

"Aduh,  tenagaku  masih  cukup,  akan  tetapi  napasku....." setelah menarik napas panjang berulang-ulang,  ia berkata  lagi. "Saritama, kau benar sakti. Kau dapat mengimbangikecepatanku. Kalau aku masih muda seperti engkau, tentu kau akan tertinggal jauh!  Sekarang kita  telah melampaui hutan,  maka biarlah kita berjalan biasakembali."

Saritamahanya tersenyumdandiam-diam ia merasa geli oleh karena dukun lepus ini masih saja menyombongkan diri. Maka mereka laluberjalan lagi dengancara biasa.

Oleh karena perjalanan ini dilakukan dengan perlahan dan hanya sekali dua kali Bagawan Kalamaya mau mempergunakan aji  kesaktian  yang  sangat  melelahkan  itu,  maka  setelah  hari menjadigelap barulah merekaberduatiba di Tangen.

Sebelum menuju ke gedung  Tumenggung Wiradigda yang besar   dan   megah   bagaikan   istana   Raja   Majapahit   sendiri, Bagawan Kalamaya memberinasehat,

Saritama,  penjagaan  di  bagian  depan  gedung  tumenggung amat kuat. Masuklah engkau diam-diam dari bagian kiri gedung oleh karena di bagian kiri itu tak terjaga kuat dan di bagian kiri terdapat  taman  tumenggung  yang  bersambung  dengan  taman belakang. Di situ banyak terdapat tetumbuhan di mana kau dapat bersembunyi apabila ada penjaga-penjaga keluar  dan meronda. Kemudian kau dapat menyusup masuk ke dalam gedung mencari Tumenggung Wiradigda."

"Baiklah, Sang Bagawan," kata Saritama.

Malam hari itu udara bersih dan ribuan bintang menyinarkan cahaya gemilang dari angkasa raya. Oleh karena hawa malam itu sejuk dan bersih, biarpun tidak terangbulan, namun anak-anak di Tangen   banyak   yang    bermain-main    di   pelataran   depan,



sedangkan orang-orang tua sambil mengisap rokok daun jagung dan menikmati air the kental, duduk di atas tikar yang digelar di pelatarandan bercakap-cakap.

Keadaan  demikian  tenteram  bagaikan  tidak  akan  terjadi sesuatu  yang  hebat.  Memang,  telah bertahun-tahun  di  Tangen selalu tata-tenteram reja-raharja, tak pernah terjadi kejahatan, tak pernah terjadi pencurian hingga para petani dapat bekerja dengan senang dan penghidupan peduduk di sekeliling Tangen rata-rata makmur dan berbahagia.

Akan tetapi, pada malam hari itu, tanpa mereka ketahui dua sosok   bayangan   bergerak   menuju   ke   gedung   Tumenggung Wiradigda.  Setelah  keduanya  tiba  di  dekat  gedung,  mereka berbisik-bisik,   kemudian   bayangan   dua   orang   itu   berpisah, seorang menujuke kiri gedung, yang kedua menujuke belakang.

Bayangan pertama yang memilikigerakan cepat dan tangkas, yakni  Saritama  sendiri,  cepat  menyelinap  di  dalam  bayangan pohon di sebelah kiri gedung. Ia memandang ke sekeliling dan kemudian dengan  sekali lompat  saja  ia  sudah dapat  meloncati pagar taman.

Memang benar kata-kata Bagawan Kalamaya bahwa gedung tumenggung itu terjaga kuat, dan bahwa Tumenggung Wiradigda mempunyai banyak punggawa yang tangguh dan sakti. Buktinya, ketika  Saritama  melompat  masuk  ke  dalam  taman,  baru  saja kedua kakinya  menginjak rumput, tiba-tiba  dua  orang penjaga yang muda dangagah membentaknya dari tempat jauh,

"Hai!  Siapakah  kamu  yang  lancang  memasuki  taman?" Mereka ini dengancepat lari menghampiri.

Saritama tidak mau membuang waktu lagi. Sebelum kedua orang penjaga itu sempat bertindak, ia telah bergerak lebih dulu. Dengan sekali lompatan, Saritama telah menerkam kedua penjaga



itu, dengandua kalikepalantangannya menyambar, robohlah dua orang penjaga itu! Orang pertama roboh tanpa dapat bangun lagi dan  pingsan,  sedang  orang  kedua  memang  sengaja  dipukul perlahan hingga masih dapat bicara walaupun kepalanya terasa pusing berputaran akibat pukulan Sambernyawa!

"Lekaskatakan, dimana Wiradigda?"

Penjaga  itu tak  dapat  melihat  muka penyerangnya  dengan jelas, hanya  dapat  menduga bahwa penyerang  yang  hebat  dan cepat gerakannya ini adalah seorang pemuda.

"Gusti tumenggung tidak berada di sini," jawabnya  sambil memegang kepalanya yang berdenyut-denyut.

"Jangan    kau    membohong!"    bentak    Saritama    sambil memegang leher orang itu. "Kalau kau membohong, sekali pukul saja aku dapat menghancurkan kepalamu!"

"Ampun, Raden, saya tidak membohong! Gusti tumenggung kemarin  berangkat  ke  Kadipaten  Pacet  untuk  membicarakan tentang perkawinangustiputeri."

"Bila iakembali?" tanya pemuda itu dengan hatikecewa.

"Kalautidak salah, besok siang barukembali."

Pada  saat  itu, terlihat bayangan beberapa orang berkelebat dan  mereka  ini  tidak  lain  ialah  para  ponggawa  Tumenggung Tangen. Dengan diam-diam mereka menghampiri tempat itu oleh karena  mereka  mendengar  suara-suara  mencurigakan.  Ketika melihat  betapa  seorang  penjaga  masih  rebah  di  atas  tanah, sedangkan  seorang penjaga  lain  sedang  dipegang  dan ditanyai oleh seorang pemuda yang tak jelas rupa wajahnya oleh karena keadaan  memang  agak  gelap  di  dalam taman  itu  yang  penuh dengan bayang-bayang pohon dan tetumbuhan, para ponggawa yang tujuhorang jumlahnya ini menjadi marah sekali.



"Bangsat    maling,    kau    berani    mengacau    di    taman tumenggungan!"  teriak  seorang  diantara  mereka  yang  segera melompat maju diikuti oleh yang lain.

Saritama  diam-diam memuji ketelitian dan kecepatan para ponggawa itu, maka secepat kilat  ia angkat tubuh penjaga tadi dan melontarkan tubuh itu ke arah ketujuh orang ponggawa yang datang  menyerbu! Akan tetapi dengan  sigapnya  ketujuh orang ponggawa itu dapat mengelak dan dari gerakan mereka Saritama maklum bahwa mereka rata-rata memiliki ilmu pencak silat yang pandai.

Ketujuh  orang  ponggawa  itu  menyangka  bahwa  Saritama hanyalah seorang yang datang hendak mencuri saja, maka mereka bermaksud  hendak  menangkapnya.   Seorang  diantara  mereka yang  termuda  dan  bernama  Waskita  hendak  memperlihatkan ketangkasannya.   Dengan   seruan   keras   dia   maju   menubruk Saritama,   hendak   menangkapnya   dengan   ilmu   silat   pencak Palwaga Pancakara (Kera Berkelahi). Gerakannya gesit laksana seekor  kera  jantan,  kedua  tanganya  berkembang,  yang  kiri menangkap leher, yang kanan menujuke lambung Saritama!

Akan tetapi dengan  sedikit  gerakan  saja  Saritama berhasil mengelak  terkaman  pada  lehernya  dan  sekali  tangan  kirinya dikibaskan  menangkis  tangan  lawan  yang  mengarah  lambung, terdengar   Waskita   menjerit   kesakitan   oleh   karena   tulang lengannya terasa sakit bagaikanterpukul sebatang tongkat besi. Ia membungkuk-bungkuk  sambil  mengaduh-aduh  dan  mengelus- elus lengannya yang tertangkis itu!

Keenam  kawannya  terkejut  melihat  ketangkasan  maling muda  itu.  Mereka  merasa  gemas  sekali  melihat  Waskita  telah dikalahkan dalam  sekali pukul saja. Dua orang ponggawa  lain lalu  menyerang  dari  kiri  kanan.  Akan  tetapi  Saritama  cepat melangkah  mundur  dan  ketika  ia  ulur  kedua  tangannya,  ia





berhasil menjambak rambut kepala keduanya ponggawa itu dan sebelum  keduanya  dapat  melawan,   Saritama  telah  membuat gentakan   hebat   hingga   dua   kepala   mereka   saling   bentur mengeluarkan suarakeras.

Aduh   .......!!!"   Terdengar   teriak   mereka   berbareng   dan keduanya   terhuyung-huyung   setelah   dilepas   oleh   Saritama, kemudian roboh takingat diri!

Bukan   main   marahnya   empat   orang   ponggawa   lain. Ponggawa  tertua  yang juga  menjadi kepala ponggawa  di  situ, memberi aba-aba dan keempat orang itu mencabut keris masing- masing.

"He, maling muda yang kurang ajar! Menyerahlah!"

Saritama  tersenyum.  "Bukan  watak  ksatria  Gunung  Kidul untuk menyerah!" jawabnya.

"Apa? Kau seorang ksatria? Eh, anak muda, kau siapa dan berdirilah  di tempat  terang  agar  kami  dapat  melihat  mukamu. Siapa kau dan apa maksudmu datang membuat kacau?" berkata ponggawa tua itu yang bernama Jaladara.

"Orang-orang  Tangen,  dengarlah!  Aku  bernama  Saritama dan  kedatanganku  ini  bermaksud  hendak  membasmi  keluarga Wiradigda sikeparat yang kejam!"

Bukan main terkejutnya para ponggawa ituketika mendengar pemuda ini datang hendak mencelakai Tumenggung Wiradigda. Waskita  yang  mendengar  ucapan  ini  lalu  berlari  cepat  untuk memanggil  bala  bantuan  di  luar  gedung.  Sedangkan  keempat orang  ponggawa  lainnya  lalu  maju  menerkam  dengan  senjata mereka! Akan tetapi tiba-tiba mereka terkejut oleh karena sekali berkelebat  saja  tubuh  pemuda  itu  telah  lenyap  dan  tahu-tahu seorang  ponggawa  telah  tertangkap  oleh  Saritama  yang  telah melompat dan berada di belakangnya. Sebelum ia dapat berteriak,



tubuhnya  telah  diangkat  tinggi-tinggi  dan  dilempar  ke  arah kawan-kawannya yang cepat  melompat ke pinggir agar jangan sampai tertumbuk oleh tubuh kawan sendiri.

Pada  saat  itu,  dari arah  belakang  gedung  terdengar pekik seorang    wanita.    Pekik    ini    terdengar    mengerikan    dan menggerakkan  hati  Saritama.  Hati  nuraninya  tersinggung  dan jiwa ksatrianya bangkit dan menggerakkan hatinya untuk segera menolong   wanita   yang   memekik   dan   yang   membutuhkan pertolongan itu. Ia lalu bertindak cepat. Dengan ilmu Nandaka Amapang   (Banteng   Menyambut)   sambil   mengeluarkan   aji kekebalannya   ia   menyerbu  ke   depan  tanpa   memperdulikan serbuan keris lawan! Alangkah terkejutnya para ponggawa ketika merasa betapa keris-keris mereka itu mengenai tubuh Saritama bagaikan bertemu  dengan batu  atau baja  saja!  Tangan mereka terasa   sakit   dan   keris   mereka   mental  kembali,   sedangkan Saritama telah menerjang dengan gerakan siku, tangan, dan kaki. Para ponggawa itu terbanting danterpukul ke kanan kiri!

Saritama tidak memperdulikan mereka, tapi langsung berlari cepat  sekali ke arah taman di belakang gedung. Dan apa yang dilihatnya di dalam taman itu membuat dadanya terasa panas dan sesak, dan tak terasa lagiia membentak.

"Dukun lepus tak tahu malu!"

Ternyata   bahwa   yang   dilihatnya   itu   adalah   Bagawan Kalamaya  yang  sedang  menyeret-nyeret  dan  memeluk-meluk seorang  dara  muda  yang  cantik-jelita  dan  yang  meronta-ronta sambil menangis. Dara itu memekik-mekik, akantetapi kini suara jeritannya tak dapat terdengar keras oleh karena sebelah tangan Bagawan Kalamaya telah digunakan untuk menutupi mulut gadis itu!

Siapakah dara muda yang ayu itu dan mengapa pula ia dapat terjatuhke dalam tangan Bagawan Kalamaya?



Pada malam hari itu,  di dalam taman di belakang gedung tumenggungan,  terdapat  dua  orang  wanita  yang  masih  belum masuk  ke  dalam  gedung.  Mereka  ini  adalah  Dewi  Saraswati, puteri tunggal Tumenggung  Wiradigda,  seorang  puteri berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita bagaikan Dewi Komaratih sendiri turun  dari angkasa!  Akan tetapi,  pada  malam  hari  itu, Dewi  Saraswati  nampak  berduka,  bahkan  ia  menangis  sedu- sedan, dihibur oleh seorang wanita setengah tua yang bersusur besar di mulutnya hingga wajahnya yang memang sudah buruk itu menjadi tambah tak enak dilihat. Dia ini adalah biung emban, yakni  pelayan  pengasuh  Dewi  Saraswati  semenjak  sang  dewi masihkecil. Pengasuh ini bernama Tomblok.

"Aduhai, gusti ayu, sudahlah jangan paduka terus-menerus bersedih  saja.  Sayanglah  air  matamu,  dan jangan  kau  buang- buang," kata Tomblok yang mencoba menghibur sang dewi yang dikasihinya bagaikan anak sendiri itu.

Biarpun  sedang  berduka,  akan tetapi mendengar  kata-kata Tomblok ini Dewi Saraswati tertegun, "Apa maksudmu, biung?"

Melihat bahwa sang dewi sudah mau melayani kata-katanya, Tomblok merasa girang sekali. Ia pindahkan susurnya yang besar dari ujung mulut kiri ke kanan, laluberkata,

"Maksudnya,  janganlah  air  mata  gusti  yang  berharga  itu dibuang-buang.   Kalau   air   mataku,  jangankan   dijual   mahal, dihadiahkan dengan cuma-Cuma juga takkan ada yang sudi! Tapi air   mata   seorang  puteri   sejati  bagaikan  butir-butir   mutiara berharga yang tak boleh diboroskan dengan sia-sia! Demikianlah kata para punjangga jaman dahulu. Lagipula, air mata seorang puteri cantik merupakan senjata yang paling ampuh dan keramat di atas dunia ini. Maka peliharalah mutiara dan senjata keramat itu baik-baik, gusti ayu, oleh karena kalau dipergunakan untuk hal-hal yang kecil tak berarti saja, maka mutiara itu akan hilang




keampuhannya! Karena itulah maka mahal harganya gusti!"

Memang  Tomblok  ini pandai  sekali  bicara.  Selain pandai berkelakar oleh karena seringkali harus menghibur hati kekasih dan junjungannya, juga  ia  pandai  menari  dan  bernyanyi  serta pandai pula memberinasihat-nasihat dan petuah-petuah berharga.

"Biung emban, kau tidak mengerti. Aku bukan menyusahkan hal-hal  remeh  sebagaimana  yang  kau  duga,  akan  tetapi  aku menyusahkan sisa hidupku. Aku menyedihi nasibku yang akan datang, biung."

"Ah, ah, sekali lagi kau keliru, gustiku yang ayu dan manis! Kata para  cerdik pandai,  daripada  menyusahkan perkara  yang belum datang dan menguatirkan nasib yang belum tentu, lebih baik mengenang hal-hal yang  lalu untuk dijadikan contoh dan cermin!  Dari pengalaman-pengalaman  lalu kita  dapat  memetik pelajaran-pelajaran   berharga   untuk   mengatur   langkah   hidup selanjutnya,  sedangkan hal-hal yang belum terjadi serahkanlah kepada Hyang Agung untuk mengaturnya, gusti. Ah, junjunganku yang manis, kalau paduka bermuram durja, seakan-akan bintang- bintang di langit kehilangan cahayanya dan hambapunkehilangan cahaya hamba!" Nasihat-nasihat Tomblok selalu diseling sendau- gurau.

"Tomblok, Tomblok.....! Alangkah  senangnya hatiku kalau pada saat ini kita bertukar tempat!" kata Dewi Saraswati sambil termenung.

"Lho, mau bertukar tempat? Hamba duduk di bangku itu dan paduka di atas rumput  ini? Kalau paduka kehendaki, mengapa tidak bisa?" tanya Tomblok sambil melebarkan kedua matanya yang sudah lebar dan bundar sebesar telur ayam itu.

"Bukan begitu maksudnya, biung emban. Maksudku bertukar pakaian yaitu kau menjadi aku dan aku menjadi kau! Kalau aku





menjadi kau, takkan mengalaminasibcelaka ini!"

"Eh, eh, gustiku yang manis.  Kalau bertukar pakaian saja, saya tidak..... menolak! Kalau berganti orang...... ah, berat juga, gusti!"

"Biung emban, jangan kau bergurau  saja,  aku benar-benar sedang dalam prihatin dan susah," kata sang puteri dengan wajah muram.

"Ampun,  gusti  ayu,  hamba  hanya  bermaksud  menghibur. Hambajuga maklum bahwa gustisedang menderita dukanestapa, akantetapi, sebenarnya ada apakah, gusti?"

"Ketahuilah, biung. Kemarin ayah pergike Kadipaten Pacet."

"Hamba sudah tahu, gusti."

"Dan tahukah kau mengaparamanda pergike sana?"

Tomblok  menggeleng-gelengkan  kepalanya  hingga  gelung rambutnya yang besar itu ikut bergerak-gerakke kanan kiri.

"Dengarlah hal yang menyusahkan hatiku, biung. Rama pergi ke Kadipaten Pacet perlu untuk merundingkan halpernikahanku."

Tomblok   menepuk-nepuk  pahanya   dengan  girang.   "Ah, ndoro ayubukankah hal itu sangat menggembirakandan tak perlu disusahkan?"

"Biung emban, jangan kau berkata demikian. Adipati Pacet adalah seorang duda yang sudah berusia hampir setengah abad dan bagaimana aku dapat menjadi isterinya? Ah, biung..... aku lebih suka mati daripada menjadi sisihan kakekbandot itu!" Dewi Saraswati lalu menutupi mukanya dengan ujung kemben (sabuk kain) dan menangis terisak-isak.

Tomblok  ikut  menangis  dan  suara  tangisnya  seperti  suara bebek bertelur. "Aduh, gusti ayu..... kekasih hatiku...... janganlah




menangis, manis..... hamba tak kuat menahan air mata...... Gusti Ayu Dewi Saraswati yang cantik jelita, hamba menjadi teringat akan masa dahulu ketika hamba hendak dikawinkan oleh ayah hamba..... orangnya juga tua, bahkan bukan setengah abad lagi, tapisudah seabad penuh!"

Mendengar ucapan biung emban Tomblok, Dewi Saraswati menurunkan keduatangannyakarena ia menjadi tertarik.

"Kau kan juga merasa susah, bukan, biung?"

"Tidak,  gusti,  hamba  tidak  susah  karena  calon  suami  itu sudah tua, malah kebetulan, oleh karena biarpun tua dia itu tua kelapa, yakni harta-bendanya banyak. Hamba pikir, kalau hamba sudah kawin  dengannya,  dalam beberapa  bulan  atau beberapa hari  saja  tentu  dia  akan  mampus  dan  semua  harta  bendanya diwariskan  kepada  hamba!  Akan  tetapi,  gusti,  dia  mati......! Aduh....... dia mati!" Dan Tomblok menangis lagi!

Dewi Saraswati heran. "Mengapakau susahkan kematiannya, biung? Bukankah itu yang kau harapkan?"

"Benar, gusti, akantetapi dia matisebelum kami kawin! Baru saja  kami  ditemukan,  tiba-tiba  dia  menggigil  dan  roboh  terus mampus!   Hamba   menjadi  janda   sebelum  kawin   dan  harta bendanya tidak terjatuh kepada hamba." Tomblok menangis lagi dandiam-diam Dewi Saraswati menjadisangat geli.

Pada   saat   itu,   dari  belakang   sebatang  pohon  keluarlah bayangan   seorang   bongkok,   Dewi   Saraswati   dan   Tomblok menjadi kaget sekali oleh karena mereka tidak segera mengenal muka pendatang ini. Dewi Saraswati lalu berdiri dengan takut, sedangkan Tomblok sudah memeluk kaki Dewi Saraswati dengan tubuh menggigil.

"Ssss..... ssseee..... setan!" teriaknya ketakutan melihat tubuh bongkok itu melangkah maju.



"Sst, biung emban, jangan ribut. Yang datang adalah Paman Bagawan Kalamaya!"

"Benar, anakku yang ayu, anak manis danjelita, akulah yang datang!"

"Paman Bagawa,  sungguh  aku  merasa  terkejut  dan  heran. Mengapa paman bagawan datang ke taman sari dan pada waktu malam gelap begini? Apakah kehendakmu, paman?" tanya Dewi Saraswati dengan suarapenuh teguran.

"Saraswati,  bocah  ayu,  bocah  denok!  Aku  datang  untuk memboyongmu, kekasihku!" Sambil berkata demikian, Bagawan Kalamaya melangkah maju.

Bukan main terkejutnya Dewi Saraswati mendengar ucapan ini  serta  melihat  sikap  sang  pendeta  itu.  Ia  menduga  bahwa pendeta initentutelah menjadi gila!

"Paman   Bagawan,   apakah   artinya   semua   ini?   Paman, janganlahkau berkelakar yangtidak pantas seperti itu!"

"Saraswati,   jantung   hatiku,   jimat   pujaan   kalbu!   Tidak tahukah  kau  bahwa  aku  adalah  titisan  Hyang  Brahma?  Kau adalah permaisuriku, Saraswati, marilah kau ikut kakanda untuk bersamapulang ke Sorga. Marilah, Saraswati permaisuriku!"

Bukan main takutnya Dewi Saraswati mendengar ini. Ia lalu lari  di  belakang  tubuh  Tomblok  hingga  Bagawan  itu  kini menghadapi Tomblok.

Pada  saat  itu  Bagawan  Kalamaya  hendak  maju  memeluk, akan tetapi ketika melihat kepada Tomblok yang menghadang di depannya  dan  yang  kini  tidak  ketakutan  lagi  ,  Bagawan  itu mundur menyebut.

"Ya dewata yang maha agung! Kukira Saraswati tadi, tidak tahunya kau! Eh, kau ini mahluk apa? Manusia ataukadal?"




Bukan main marahnya Tomblok disebut kadal. Ia melangkah maju dan memutar-mutar susurnya di dalam mulutnya. "Kira-kira kalau  menyebut  orang!  Biarpun  kau  menyebutku  kadal,  akan tetapi aku bukan kadal sembarang kadal! Aku adalah kelangenan (kekasih)   sang   puteri!   Kau   ini   bagawan   berotak   miring barangkali.   Mengapa   malam-malam   datang   mengacau   dan berlaku kurang ajar terhadap sang puteri? Apakah kau tidak takut kepada gusti Tumenggung?"

"Kau  minggirlah!"  bentak  Bagawan  Kalamaya  dan  sekali saja   ia   mendorong,   Tomblok  jatuh  terguling-guling   sambil berteriak-teriak.  Akan  tetapi,  mendengar  teriakan  wanita  ini, Bagawan Kalamaya lalu maju dan menendang hingga Tomblok menjadi  pingsan!  Kemudian,  sambil  membujuk  dan  merayu, menyebut-nyebut Dewi Saraswati sebagai permaisurinya, ia maju hendak menangkap Dewi Saraswati! Puteri itu merasa bingung dan jijik, hingga ia menjerit keras sekali. Agaknya jeritan inilah yang terdengar  oleh  Saritama  dan yang  menarik perhatiannya. Bagawan Kalamaya  lalu  melompat  dan  menerkam,  dan ketika Dewi  Saraswati  hendak  menjerit  lagi,  bagawan  yang  sudah kesetanan itu lalu menutup mulut Saraswati dengan tangannya.

Ketika mereka sedang bersitegang, datanglah Saritama yang hampir  tak  dapat  mempercayai  matanya  sendiri.  Tak  pernah disangkanya   bahwa   Bagawan   Kalamaya   akan   serendah   itu batinnya!

"Pendeta  bangsat  tak  tahu  malu!  Lepaskan  gadis  itu  dan ingatlah, sadarlah kau, pendetakeparat dan sesat."

"Saritama, jangan kau mencampuri urusanku! Kau pergilah melakukan   tugasmu   sendiri.   Aku,   titisan   Rahma,   sedang berurusandengan Dewi Saraswati, permaisuriku sendiri!"

Saritama  marah  sekali  dan  membentak  sambil  melangkah maju.



"Pendeta  gila,  kau  dimabok  kerendahan  hatimu  sendiri!" Kemudian, sekali merenggutkan lengan pendeta itu, ia berhasil melepaskan Dewi Saraswati yang dipeluk oleh bagawangila itu.

"Saritama, kau ingin mampus!" Bagawan Kalamaya berseru marah  dan tiba-tiba  bagawan  itu  mencabut  sebilah keris  yang panjang dan beriuk lima. Keris ini nampak dahsyat mengerikan oleh karena selain mempunyai hawa yang berpengaruh danjahat, keris ini juga selalu direndam dalam racun yang sangat jahat dan yang didapat dari air liurularbelang!

Biarpun   tubuhnya   bongkok   dan   sudah   tua,   Bagawan Kalamaya masih memiliki gerakan sigap dan tangkas oleh karena dia memang mempunyai kepandaian pencak silat yang tinggi di waktu mudanya. Sambil mengeluarkan suara tertawa yang aneh dan  mengerikan,  ia  menyerang  dengan kerisnya  yang  dinamai Paripusta yang berarti puas dan senang. Dari nama kerisnya ini saja  dapat  diukur  bahwa  pada  hakekatnya,  pendeta  ini  masih menjadi hamba daripada nafsu-nafsu jahat yang mengutamakan kepuasandan kesenangandunia.

Saritama yang bermata tajam dapat maklum akan kehebatan dan  berbahayanya  keris   ini,   maka   cepat   ia  mengelak   lalu mengirim   pukulan   dari   samping   kiri.   Bagawan   Kalamaya memiringkan tubuhnya untuk mengelak bahaya pukulan ini dan segera  mengirim  serangan  bertubi-tubi  dengan  keris  mautnya. Akan tetapi, Saritama dengan mudah sekali melompat ke sana ke mari, gesit dan cepat bagaikan seekor burung Srikatan. Pada saat yang  tepat,  sebuah  pukulan  tangan  kirinya  bersarang  di  dada pendeta  cabul  itu hingga  Bagawan Kalamaya roboh terjungkir dan mengaduh-aduh tanpa dapat bangun lagi. Kerisnya terlempar jatuh dan menancap di atas tanah!

Dewi Saraswati masih belum hilang kagetnya. Diam-diam ia memperhatikan  perkelahian  tadi  dan  ia  kagum  sekali  melihat




ketangkasan  dan  kecakapan  pemuda  penolongnya  itu.  Ketika Saritama  melangkah  maju  menghampirinya,  Dewi  Saraswati memandang  dengan  sepasang  matanya  yang tajam dan bening sambil  menduga-duga  oleh  karena  belum  pernah  ia  melihat pemuda yang namanya disebut Saritama oleh bagawantadi.

Kebetulan  sekali pada  saat  itu keadaan tidak  sangat  gelap sehingga suram-suram Saritama dapat melihat bahwa dara yang diserang oleh Bagawan Kalamaya  itu luar biasa cantiknya dan memiliki tubuh yang menggiurkan pula. Akan tetapi, pada saat itu  Saritama  tidak  memandang  dengan  mata  kagum,  bahkan memandang  dengan mata benci oleh karena  ia  teringat bahwa gadis ini adalah puteri musuh besarnya yangharus dibasmi.

Apakah   kau   bernama   Dewi   Saraswati   dan   anak   dari Tumenggung Wiradigda?" tanyanya dengan suara kasar hingga gadis  itu  menjadi  terkejut,  apalagi  ketika  ia  melihat  betapa pandangan matapemuda itu ditujukan kepadanya dengan bengis.

Sebelum ia menjawab, dari luar terdengar suara riuh-rendah oleh karena barisan ponggawa dan perajurit telah menyerbu ke dalam taman!  Saritama bersiap hendak melawan mereka,  akan tetapitiba-tiba ia mendapat sebuahpikiranbaik.

Ketika barisan terdepan telah tiba di situ dan beberapa orang serentak maju menubruknya, dengan tangkas Saritama bergerak merobohkan beberapa orang itu, kemudian secepat kilat tangan kanannya   memeluk   pinggang   Dewi   Saraswati   yang   segera dipondongnya   dengan   ringan   dan   mudah.   Dewi   Saraswati menjerit-jerit  akan  tetapi  ia  tidak  berdaya  dalam  pondongan lengan tanganyang kuat itu.

Beberapa  orang perajurit  maju  lagi menyerbu,  akan tetapi mereka tidak berani menggunakan  senjata tajam, kuatir kalau- kalau akan melukai sang puteri. Hal ini menguntungkan Saritama yang segera beraksi dengan menggunakan tangan kiri dan kedua




kakinya.   Beberapa   orang   roboh   pula,   akan   tetapi   barisan penyerbu makin banyak hingga Saritama merasakewalahan.

Pemuda ini lalu membentak dengan suarakeras,

"Hai, para perajurit Tangen! Bukan cara laki-laki sejati untuk maju   secara   keroyokan!   Beritahukanlah   kepada   si   keparat Wiradigda  bahwa  aku,  Saritama  dari  Gunung  Kidul,  putera almarhum   Adipati   Cakrabuwana,   datang   hendak   membalas dendam! Aku tidak mau mencelakakan orang lain dan musuhku hanyalah Wiradigda sekeluarga! Oleh karena keparat itutidak ada di sini, maka sebagai gantinya aku menawan puterinya. Jika ia memang gagah berani dan menghendaki kembalinya sang puteri, silakan pergi menyusulku di tempat kediaman mendiang ayahku untuk membuat perhitungan secara laki-laki!"

Setelah berkata demikian Saritama lalu melompat ke dalam gelap sambil memondong Dewi Saraswati yang masih meronta- ronta   dan   menjerit-jerit!   Semua   ponggawa   mencoba   untuk mengejar,  akan  tetapi  mereka  tak  dapat  mengejar  ilmu  lari Kidang  Kencana  yang  hebat  dari pemuda  itu hingga tak  lama kemudian suara jeritan Dewi Saraswati makin melemah hingga tak terdengar lagidari situ,

Geger  dan  ributlah  seluruh  Tangen  pada  malam  hari  itu ketika berita tentang penculikan diri Dewi Saraswati itu tersebar di  seluruh  tumenggungan.  Obor  dinyalakan  dan  orang-orang mencarike sana ke mari dengan sia-sia.

Beberapa  orang  ponggawa  segera  menunggang  kuda  dan cepat  menuju ke Pacet  untuk menyusul  sang tumenggung  dan untuk menyampaikan berita buruk itu.

Setelah  merasa  bahwa  larinya  sudah  cukup jauh  dan  tak mungkin    terkejar    oleh    musuh-musuhnya    lagi,    Saritama menghentikan larinya. Dia telah sampai dalam sebuah hutan dan




padawaktu itu, fajartelah mulai menyingsing.

"Lepaskan aku, lepaskan! Kau, orang kurang ajar!"

Saritama  tersenyum  masam  dan  tiba-tiba  ia  melepaskan pondongannya hingga tubuh Dewi Saraswati terbanting ke atas rumput  sampai  bergulingan!  Sang  puteri  menggigit  bibir  dan segera  merayap  berdiri.  Dengan  sepasang  mata bernyala-nyala dan  bibir  gemetar  karena  marahnya,   ia  maju   dan  bertolak pinggang dengan tangan kiri. Tangan kanannya diangkat dengan jari telunjuk menuding ke arahmuka Saritama,

"Pengecut kau! Ah, kalau  saja aku menjadi laki-laki tentu akan  kupatahkan  lehermu!  Akan  kubeset  kulitmu  dan  akan kuhancurkan kepalamu!"

"Alangkah  sombongmu,  gadis!  Apakah  yang  hendak  kau sombongkan? Dan mengapa kau mencaci-maki?"

"Kau    manusia    rendah!    Kaukira    aku    tertarik    akan kedigdayaan  dan kecakapanmu?  Cis!  Tak  tahu  malu!  Kaukira mudah sajakau hendak memaksa dan mendapatkandiriku? Lebih baik aku mati daripada kau jamah dengan tanganmu yang kotor dankeji!" Dewi Saraswati lalu menangis.

"Diam dan jangan kau berani mengeluarkan kata-kata keji lagi! Kalau tidak, kutampar mukamu! Kau anggap aku ini orang apa maka timbul persangkaan kotor dalam kepalamu yang kecil itu? Siapa yang menghendaki dirimu? Kaukira aku tertarik dan tergila-gila  akan  kecantikanmu?  Hah!  Kau  belum  kenal  aku. Inilah Saritama, Ksatria Gunung Kidul yang tak mungkin tergiur oleh kecantikan seorangwanita!"

Dewi  Saraswati  tercengang  dan  ia  lupa  bahwa  ia  sedang menangis.  Ia  turunkan  tangan  yang  menutupi  mukanya  lalu memandang dengan pipi masih basah oleh air mata. Akan tetapi oleh karena kabut amat tebal di hutan itu, maka air muka pemuda




itu masih belumkelihatannyata.

"Habis...... untuk apakau menculikku?"

Aneh  sekali,  tiba-tiba  ia  merasa  kecewa  dan  mendongkol mendengar  bahwa  pemuda  penculiknya  ini  sedikitpun  tidak menghiraukan atautergiur oleh kecantikannya!

"Dengarkan, gadis! Dulu, ketika kau dan aku masih kecil, ayahmu,   Tumenggung   Wiradigda   yang   keparat   itu   telah memfitnah orang tuaku sehingga ayah ibu dan keluarganya binasa semua! Kebetulan sekali aku dapat menyelamatkan diri dan kini aku datanghendak membalas dendam!"

Saraswati  tertegun.  Ia  pernah  mendengar  tentang  Adipati Cakrabuwana  yang  dianggap  pemberontak  dan  ditumpas  oleh barisan Majapahit.

"Siapakah ayahmu itu?" tanyanya mintakepastian.

"Ayahku adalah Adipati Cakrabuwana yang gagah perkasa, ksatria sejati, tidak sepertiayahmu!"

Panas juga hati Saraswati mendengar ayahnya dimaki-maki.

"Oo, jadi ayahmu adalah pemberontak itu?" katanya dengan suara mengejek. "Kalau begitu, kau seorang pengecut!"

Tangan Saritama sudah diangkat dan hendak menampar pipi gadis itu, akan tetapi Saraswati sama sekali tidak takut, bahkan mengangkat   dada   dan   memandang   tanpa   berkedip   hingga Saritama  yang  teringat  bahwa  ia  berhadapan  dengan  seorang wanita, menurunkan lagitangannya.

"Kalau kau seorang laki-laki," katanya dengan napas sesak menahan marah," tentu akan kupatahkan lehermu! Akan kubeset kulitmu dan akan kuhancurkan kepalamu!" Tanpa disadarinya, ia mengulang ancaman Saraswati tadi dengan otomatis oleh karena



kata-kata inimasih mengiang didalam telinganya!

Saraswati tersenyum mengejek.  "Mengancam  saja  meniru- niru   orang!   Aku   menyebutmu   pengecut   oleh   karena   kau membalas  dendam  dengan  curang.  Mengapa  kau  menculikku? Apakah dosaku? Mengapa kau tidak berani menghadapi ayahku untuk bertanding  secara  laki-laki? Dan hendak  kau  apakankah aku  ini?"  kata-kata  terakhir  ini  tidak  dikeluarkan  dengan  hati kuatir, bahkandengan suara menantang!

"Dengarlah, orang-orang Tangen yang pengecut! Bukan aku! Mereka  maju  dengan  keroyokan.  Oleh  karena  itu  maka  aku menawanmu dan kau hendak kubawa ke tempat tinggal ayahku dulu!  Ayahmu  harus  datang  ke   sana   sendiri   apabila   ingin menjemputmu   dan   ia   harus   menghadapiku   untuk   mengadu kesaktian!"

"Hah!" Saraswati mencibirkan bibir mengejek. "Dalam lima jurus saja dadamu akan pecaholehpukulan ayah!"

"Sombong   kau!"    Saritama    membentak.    "Sudah   tutup

mulutmu yang cerewet itu danhayo kitaberjalan terus!"

"Tidak!   Aku   tidak   sudi,"   gadis   itu   menantang,   dan

mengangkat-angkat dadanya yang penuh ke muka.

"Jalan!  Kalau  tidak,  kau  akan  kuseret!"  bentak  Saritama gemas.

"Tidak!  Boleh kau  berbuat  sesuka  hatimu,  aku  tidak  sudi menurut perintahmu!"

"Gadis kepala batu!" Sambil bersungut-sungut Saritama lalu memegang  lengan tangan gadis  itu  dan menariknya ke  depan. Saraswati   meronta-ronta   dan   memberontak   sekuat   tenaga, memukul-mukul    lengan    tangan    Saritama    dengan    tangan kanannya,   menggunakan   kakinya   menendang-nendang   lutut




pemuda   itu.   Ketika   Saritama   tidak   memperdulikan   semua serangan ini dan tetap berjalan sambil menyeret Saraswati, gadis itu  lalu  menundukkan  kepala  dan  menggigit  tangan  Saritama dengan giginya yang putih dantajam!

Saritama   berseru   kesakitan   dan   terpaksa    melepaskan pegangannya. Saraswati berdiri terengah-engah karena menahan marahnya, kedua matanya mengeluarkan air mata, akan tetapi ia tidak menangis, bahkan memandang dengan mata bernyala dan hidungnya yang indah mancung itu berkembang-kempis, seakan- akan  mengeluarkan  uap  panas!  Akan  tetapi  semua  ini  tidak kelihatan oleh Saritama oleh karenakabut di hutan itu masih tebal sekalihingga keadaan masihreamang-remang.

"Kau  benar-benar  kuda  betina  liar  yang  berkepala  batu!" Saritama memaki.

"Dan  kau  kuda jantan  liar  yang  tak  tahu  malu  dan  tidak sopan!" Saraswati balas memaki!

Keparat"   Saritama   membentak   gemas   dan   tiba-tiba   ia tangkap gadis itu, lalu dengan mudah dipondongnya! Saraswati mencoba    untuk    memberontak,    memukul-mukulkan    kedua tangannya  ke  arah  dada  dan  kepala  pemuda  itu,  akan  tetapi dengan    tangan   kiri    Saritama    berhasil    memegang    kedua pergelangan tangannya hingga ia tidak berdaya lagi, hanya kedua kakinya  saja  meronta-ronta  dan  bergerak-gerak.  Akan  tetapi, Saraswati tidak  mau  menangis  dan tidak  mau  memperlihatkan kelemahannya.  Ia  sengaja  meronta-ronta  agar  pemuda  itu  tak mudahdapat melanjutkan perjalanannya.

Akan tetapi, Saritama adalah seorang pemuda yang bertubuh kuat dan bertenaga besar, maka sedikit perlawanan itu tak berarti apa-apa  baginya.  Bahkan  ia  lalu  mempergunkan  ilmu  larinya Kidang Kencana hingga Saraswati yang tiba-tiba merasa betapa pohon-pohon berlari-lari cepat dan angin menyambar muka dan



seluruh  tubuhnya  hingga  rambutnya  berkibar  tertiup   angin, menjadi takut sekali. Gadis ini heran mengapa pemuda itu dapat berlari  demikian  cepatnya,  maka  iapun  lalu  berhenti meronta- ronta, bahkan memejamkan mata karenatakut!

Berkat ilmu lari cepatnya yang luar biasa tak lama kemudian mereka telah dapat keluar dari hutan itu. Sementara itu, matahari telah mengusir pergi kabut yang tebal. Setelah keluar dari hutan Saritama  kuatir  kalau-kalau  bertemu  dengan petani  dan  dapat melihat  betapa  ia  berlari  sambil  memondong  seorang  wanita, makatiba-tiba iaberhenti.


Pada saat yang  sama, ketika ia memandang ke  arah muka gadis  yang  masih  berada  di  dalam  pelukannya,  gadis  itupun membuka mata dan memandangnya. Dua pasang mata bertemu dan keduanya  diam tak berkata-kata! Lama  sekali dua pasang mata    itu    saling   pandang    dengan   penuh   keheranan   dan kekaguman. Saritama melihat betapa muka yang berkulit kuning- putih kemerah-merahan dan berbentuk sangat indah dihiasi mata, hidung,   bibir   dan   rambut   disinom   yang   tak   kalah   oleh kecantikannya  bidadari  dalam  alam  khayalannya.  Sedangkan Saraswati melihat wajah pemuda yang tampan dan gagah sekali, dengan sepasang mata jernih tajam, perkasa dan bagus bagaikan Sang Arjuna sendiri!

Pada  saat   itu  entah  darimana  datangnya,  warna  merah menjalar dikedua wajah teruna dan dara itu hinggawajah mereka memerah sampai ke telinga! Ketika melihat betapa tubuh yang berkulit halus dan hangat itu menempel di dadanya dan kedua lengannya memeluk tubuh gadis itu, tiba-tiba Saritama menjadi malu sekali hingga cepat-cepat ia menurunkan tubuh itu ke atas tanah!

"Kau....... kau harus berjalan sendiri," kata Saritama dan ia



berusaha   sekuatnya   untuk   memberi   tekanan   keras   kepada suaranya  supaya  terdengar  marah,  akan  tetapi  hasilnya  tidak sebaik  yang  ia  harapkan  oleh  karena  suara  itu  keluar  dengan gagap dan lemah!

"Tidak, aku tidak sudi," gadis itu menjawab dengan bibirnya yang indah dan merah itu cemberut, sambil menunduk dan tak berani mengangkat muka memandangwajah Saritama!

"Apakah   kau   lebih   senang   kalau   kupondong?"   tanya Saritama agak berani dan dengandada berdebar oleh karena gadis itu   tidak   memandangnya.   Mendengar   ini,   Saraswati   cepat mengangkat kepala memandang dengan mata bernyala lagi.

"Siapa sudikaupondong?" bentaknya marah.

Saritama tersenyum danwajahnya berseri oleh karena kini ia dapat melihat betapa gadis itu menjadi makin cantik di waktu marah! Kedua matanya seakan tertawa hingga gadis itu menjadi makingemas.

"Kalaubegitu, kau harus berjalan kaki."

"Tidak sudi!"

"Baik,  aku  akan  memondngmu  lagi kalau  kau  lebih  suka dipondong!"

Mendengar   ini,   Saraswati   menjauhkan   diri   dan   segera berjalan kakitanpa menoleh lagi, bahkan ia mendahului Saritama.

Pemuda  itu tersenyum dan tiba-tiba  ia merasa aneh  sekali mengapa  kebenciannya  terhadap  gadis  itu  lenyap  sama  sekali bagaikan kabut terusir matahari pagi! Untuk beberapa lamanya ia memandang lenggang gadis yang marah itu dengan hati berdebar dan  semangat  melayang.  Alangkah  manis  dan  lemah-gemulai lenggang gadis itu. Alangkah bersih dan halusnya kulit leher yang nampak dari belakang  itu,  dan alangkah indahnya bentuk kaki




yang  kadang-kadang  nampak  keluar  dari  kainnya  ketika  ia berjalan.  Sebaik dan  seindah itukah potongan dan bentuk kaki bidadari? Tak mungkin! Demikianlah, pemuda  itu memandang bagaikan sebuah patung batu, dan setelah dara itu berjalan agak jauh, ia segera mengejarnya.

Saritama berjalan di sebelah Saraswati dan beberapa kali ia menengok, akan tetapi gadis itu berjalan dengan pandangan mata ditujukan  ke  depan,  berbuat  seolah-olah  tidak  ada  orang  di dekatnya!

"Nah,  begini  lebih  baik," kata  Saritama.  "Aku  tadi kuatir kalau-kalau  ada  orang  melihat  aku  memondongmu.  Alangkah ganjilnya."

Saraswati    berdiam     saja     dan     bahkan     mempercepat langkahnya.  Saritama juga  berjalan  tanpa  berkata-kata,  hanya beberapa kali memandang wajah yang  marah  itu.  Lambatlaun, makin menipislah sinar kemarahan yang membayang pada wajah ayu itu, bahkan kini sinar kemarahan itu telah terganti oleh peluh yang  memenuhi jidatnya. Dadanya  agak terengah-engah, tanda bahwa gadis yang tidak biasa berjalan kaki jauh-jauh ini telah merasa lelah. Akan tetapi, Saraswati tidak sudi memperlihatkan kelemahannya dan memaksa diri berjalancepat.

"Kau lelah? Marilah beristirahat dulu. Kita tak perlu tergesa- gesa!" kata  Saritama  dan biarpun  ia  mencoba untuk  membuat suaranya terdengar biasa dan sewajarnya, namun ia tidak dapat melenyapkan suara yang mengandung iba hati hingga ia menjadi benci kepada  suaranya  sendiri yang telah membongkar rahasia perasaannya itu.

Akan tetapi, sedikitpun Saraswati tidak mau menengok atau menjawab,  bahkan  gadis  itu  lalu  merapatkan  bibirnya  untuk menahan  lidahnya  yang  hendak  menjawab  dan  menundukkan kepalanya untuk mencegah matanya yang hendak mengerling ke



kanan dimanapemuda ituberjalan!

Saritama  menghela  napas.  Beberapa  lama  mereka  berdua berjalan lagidalam keadaan sunyi.

"Kau  masih  marah?"   Saritama  berkata  lagi.   Tidak  ada jawaban.

"Dengarlah,   Saraswati.   Kau   bernama   Saraswati  bukan? Nama yang indah! Dengarlah, aku sebetulnya merasa menyesal juga bahwa aku terpaksa menawan kau yang tidak berdosa. Akan tetapi,   kalau   aku   melayani   semua   ponggawa   Tangen   dan melakukan amukan di sana, tentu aku akan membinasakan dan melukai  banyak  ponggawa  yang  sebetulnya  tidak  mempunyai permusuhan apa-apa dengan aku. Aku tidak tega melukai orang- orang yang tidak berdosa itu. Maka setelah melihat kau sebagai anak tunggal musuh besarku timbul akalku untuk membawamu pergi dan menanti kedatangan musuh besarku  itu di sana agar kami  berdua  berhadapan  muka  tanpa  ada  orang  lain  yang mengganggu.  Aku  menyesal telah  menyusahkan  dan membuat kau marahdi luarkehendakku!"

Terdengar suara perlahankeluar darikerongkongangadis itu, seperti sedu-sedan, akan tetapi Saraswati masih saja merapatkan bibirnya dan berjalan terus. Akantetapikakinya telah terasa lelah sekali dan matahari yang telah naik agak tinggi itu mulai terasa panasnya.  Ia  terhuyung-huyung  dan  tiba-tiba  kaki  kanannya tersandung batu. Hampir saja iajatuh kalau Saritama tidak cepat- cepat memegang kedua tangannya dari samping.

Saraswati  merasa  kepalanya  pening  dan  ia  memejamkan kedua   matanya   sambil   tanpa   disadarinya   ia   menyandarkan kepalanya  di  dada pemuda  itu.  Saritama  mencium keharuman luar biasa yang keluar semerbak dari rambut gadis yang terurai itu dan pemuda  ini cepat-cepat mengatur napas menutup mata untuk menahangelorahatinya.



Akhirnya   kepusingan   yang   membuat   Saraswati   merasa kepalanya berputar itu mereda dan ketika gadis ini sadar bahwa ia menyandarkan  kepalanya  di  dada  pemuda  itu,  ia  cepat-cepat merenggutkan tubuhnya,  lalu  menjatuhkan  diri  di atas rumput sambil menangis tersedu-sedu!

Saritama   juga    ikut    duduk    sambil    mulai    menyesali pebuatannya.  Ia  merasa  kasihan  sekali  melihat  gadis  ini  yang menjadikurban daripada pembalasandendamnya.

"Saraswati.......," katanya halus,  "Jangan kau menangis....... kau....... Janganlah kau marah, dan maafkan aku, Saraswati."

Dengan mata mengalirkan air mata yang membasahi kedua pipinya yang kemerah-merahan, Saraswati memandang pemuda itu.

"Saritama,  mengapa  kau  mengubah  sikapmu  yang  kasar? Mengapa kau berubah sebaik ini? Berlakulah kasar karena aku adalah anak musuhmu. Hentikanlah godaanmu ini, Saritama."

"Saraswati, jangan kau anggap aku serendah itu. Aku tidak menggodamu,  aku  memang.......  entah  mengapa,  tiba-tiba  aku merasa   kasihan   kepadamu.   Maafkanlah   perbuatanku   yang terpaksa  oleh  karena  tugasku  dan  baktiku  kepada  mendiang ayahku."

"Tidak,  tidak!  Tidak  ada  yang  harus  dimaafkan,  agaknya begini lebih baik lagi! Biarlah ayah mengalami sedikit kekuatiran oleh karena dia telah memaksaku menikah dengan tua bangka bandotan itu!"

"Apa? Kau dipaksa menikah dengan seorang tua bangka?" tanya Saritama. "Apakah dengandukun lepus itu?"

Maka teringatlah Saraswati akan peristiwa di taman dan ia teringat pula bahwa pemuda inilah yang telah menolongnya dari



bahaya   cengkeraman  Bagawan  Kalamaya   yang   lebih   hebat daripada bahaya maut. Untuk sesaat ia memandang kepada wajah Saritama  dengan  pandangan  mesra,  akan  tetapi  hanya  untuk sebentar saja oleh karena ia segera dapat menguasai perasaannya kembali.  Dia  sendiri  merasa  bahwa  pemuda  di  depannya  ini adalah seorang ksatria yang baik budi dan gagah perwira maka tak sedikitpun terkandung rasa benci dalam hatinya. Pemuda ini bersikap     demikian      sopan-santun     hingga      menimbulkan kepercayaan besar di lubuk hatinya. Maka tanpa disadarinya ia lalu menceritakan betapa ia telah dilamar Adipati Tirtaganda dari Pacet yang sudah kakek-kakek dan lamaran itu diterima baik oleh ayahnya!

Saritama   marah   sekali   mendengar  penuturan   gadis   itu. "Sungguh memalukan! Biar kuputar batang leher bandot tua itu!" Ucapan  ini dikeluarkan tanpa  disadarinya  dan ketika  gadis  itu gadis itumemandang kepadanya dengan mata terbelalak dan bibir tersenyum,  barulah  ia   sadar   dan  tiba-tiba   ia   menundukkan mukanya dengan malu.

"Saritama, mengapa kau demikian memperhatikan nasibku? Bukankah aku inianak musuhmu yang hendakkaubasmi?"

"Aku.....  eh.....  kau  benar  anak  musuhku......  dan......  dan tentang Tirtaganda si celeng tua...... ah, aku memang benci sekali melihat bandot tua!" jawabnya gagap dan tidak karuan hingga tiba-tiba gadis yang tadinya menangis itukinitertawa geli dengan air  mata  masih  membasahi  pipinya.  Tertawanya  nyaring  dan merdu  hingga   Saritama  mengangkat  muka  lalu  memandang kagum.

"Saritama, kau ini....... aneh sekali."

"Mengapa aneh?"

"Betapa tidak? Kau memusuhi ayahku, membenci ayah dan



hendak   membinasakannya,   akan   tetapi   kau   demikian   baik kepadaku. Bukankah inianeh sekali?"

"Kau juga aneh, Saraswati."

"Eh, mengapa pula akukau sebut aneh?"

"Kau sebentarmarah, sebentarbersedih, lalu berbalik tertawa dan tersenyum riang! Kalau kau bersedih dan menangis hatiku menjadi tidak karuan karena ikut terharu dan bersedih, kalau kau marah, kau..... bertambah...... ayu, dan kalau kau tersenyum dan tertawa....."

"Mengapa?" gadis itu mengerling dengan tajam dan manis sekali.

"Entah mengapa, tapi hatikujaditidak karuan!"

Tiba-tiba  dara  itu  tertawa  geli  sambil  memegangi  perut karena menahan gelak tawanya. "Kalau begitu, memang benar- benar kau ini pemuda aneh, aneh sekali! Dan bilang bahwa kau hendak bertempur melawan ayah? Sudahlah, tuan penculik, aku berada  dalam  kekuasaanmu,  sekarang  kita  harus  ke  mana?" Saraswati bangkit berdiri.

Saritama   mendongkol   sekali   karena   merasa   bahwa   ia ditertawakan.

"Mari kita berangkat ke Tritis. Kalaukita berjalan cepat, sore nanti kitabisa sampaidi sana!" katanya singkat.

Demikianlah,  kedua  anak  muda  itu  berjalan  melanjutkan perjalanan  mereka  ke  Tritis,  bekas  tempat  kediaman  Adipati Cakrabuwana yang sekarang telah menjadi sebuah dusun kosong tak ditinggali seorang pendudukpun semenjak keluarga adipati itu dibasmi berikut seluruh isi kampung.

Ketika    Bagawan    Kalamaya    melihat    betapa    Saritama




menculik pergi Dewi Saraswati, ia menjadi marah sekali. Akan tetapi apa daya, pemuda itu terlampau tangguh baginya. Diam- diam  ia  lalu  menghampiri  Tomblok  yang  masih rebah  sambil menangis. Para ponggawa yang  sibuk mengejar  Saritama tidak memperdulikan pendeta  itu hingga taman  itu kembali menjadi sunyi.

"Emban, kau sudah tahu siapa aku, bukan? Nah, kau harus menutup  mulutmu  dan  jangan  sampai  orang  lain  mendengar tentang  peristiwa  antara  aku  dan  sang  puteri  tadi.  Kalau  kau sampai  bocor  mulut,   awas!   Kerisku   ini   akan  menamatkan hidupmu!"

Dengan    ketakutan    dan    tubuh    menggigil,     Tomblok menyatakan  kesanggupannya,  dan  akhirnya  berkata,   "Jangan kuatir, Sang Bagawan, oleh karena pada akhirnya bukankau yang membawa pergi gusti puteri, akan tetapi pemuda itu!" Tomblok lalu  menangis  ketika  teringat  akan  Saraswati  yang  tertawan musuh. Kemudian, setelah mengancam dengan keras sekali lagi, Bagawan  Kalamaya  lalu  meninggalkan  tempat  itu,  sedangkan Tomblok  lalu  lari  masuk  untuk  memberi  laporan  kepada  ibu Saraswati.

Maka  geger  dan  ributlah  di  dalam  gedung  ketika  kaum wanitanya  mendengar  cerita  Tomblok.  Terdengar  tangis  dan keluh-kesah seakan-akan ada kematiandalam rumah itu.

Pada keesokan harinya, di Pacet juga terjadi keributan ketika para  ponggawa  yang  menyusul  Tumenggung  Wiradigda  telah menyampaikan berita itu. Adipati Pacet yang bernama Tirtaganda juga  marah  sekali  mendengar  betapa  calon  isterinya  dilarikan orang.

"Sikeparat Saritama!" teriaknya dengan kumis berdirikarena marahnya.   "Berani  kau  megganggu   calon  isteriku?"   Sambil berkata   begitu   Tirtaganda   mencabut   kerisnya,   seakan-akan



Saritamatelah berada dan berdiri didepannya!

"Ananda Adipati, maafkan aku karena tak dapat lebih lama berada  di  sini,"  kata  Tumenggung  Wiradigda  yang  wajahnya menjadipucat.

"Paman  Tumenggung,  bagaimana  tentang  perjodohan  itu? Hari pernikahan belum ditetapkan dan perundingan kita belum selesai, mengapakinipamanda hendak pulang?"

Bukan main mendongkolnya hati Wiradigda mendengar ini. Sudah jelas  bahwa  Saraswati  diculik  orang,  akan tetapi calon mantu inimasih hendakbicara tentang hari pernikahan segala.

"Ah,  tentang  itu  bagaimana  nanti  saja,  ananda,"  katanya dengan   suara   kurang   senang.   Tumenggung   Wiradigda   dan ponggawanya lalu keluar dari kadipaten dan menunggang kuda dengan  secepatnya  kembali  ke  Tangen.  Di  sepanjang jalan  ia menyuruh para ponggawa itu menceritakan segala peristiwa yang terjadi di Tangen.  Ketika  mendengar  yang  menculik puterinya adalah   putera   dari   almarhum   Adipati   Cakrabuwana,   wajah Tumenggung Wiradigda makin pucat. Ia lalu mempercepat lari kudanya hingga sianghari itujuga merekatelahtiba di Tangen.

Dari    semua    ponggawa    yang    malam    hari    kemarin mengeroyok Saritama, ia mendapat keterangan betapa sakti dan perkasa pemuda  musuhnya  itu.  Maka  diam-diam Tumenggung Wiradigda merasa kuatir dan cemas. Ia sudah mulai menjadi tua dan tenaganya telah banyak berkurang hingga ia merasa bahwa iapun takkan dapat menghadapipemuda yang menjadi musuhnya itu.  Selain  itu,  Tumenggung  Wiradigda juga  merasa  menyesal sekali  mendengar  bahwa  keturunan  Adipati Cakrabuwana  kini datang menuntut balas. Iatidak dapat membawa barisannyauntuk mengejar  dan mengepung  Saritama,  oleh karena  selain hal ini memalukan dan menjatuhkannamanya, juga ia kuatirkalau-kalau pemuda   itu   akan   membinasakan   puterinya.   Maka   ia   lalu


mengumumkan kepada semua ponggawanya untuk mengadakan sayembara  untuk  memilih   seorang  yang  benar-benar  gagah perkasa untuk mengawaninya mengejar Saritama di Tritis! Dan oleh karena kebingungannya,  Tumenggung  yang  sudah tua  ini bahkan lalu menyatakan bahwa siapa yang terpilih dan akhirnya berhasil merebut kembali puterinya dari tangan Saritama, ksatria iniakandipungut mantu dandijodohkandengan Dewi Saraswati!

Setelah    mengadakan    pengumuman    ini,    Tumenggung Wiradigda  memasuki  kamarnya,  disambut  oleh  isterinya  yang cantik  dan  yang   sedang  menangis   sedih  memikirkan  nasib anaknya.

"Rakanda tumenggung,  bagaimanakah baiknya.......? Aduh, Saraswati anakku......"

Tumenggung    Wiradigda    menghela    napas.    "Akhirnya Cakrabuwana   dapat   juga   membalas   dendam,   sungguhpun pembalasan dendam ini kurang tepat. Memang, sampai matipun Cakrabuwana    akan    selalu    menyangka    bahwa    aku    yang memfitnahnya! Cakrabuwana...... sungguh besar rasa sakit hatimu padaku....... dan semua ini hanyakarena engkau, Mirah."

Isterinya   menangis   makin   sedih.   Terbayanglah   segala peristiwa dan pengalamandiwaktu muda. Memang dulu diatelah mempunyai hubungan yang  mesra  dengan  Cakrabuwana,  akan tetapi akhirnya ia harus mengalah kepada pilihan ayahnya hingga ia dikawinkandengan Wiradigda. Akantetapi, dia tidak menyesal oleh karena ternyata kemudian bahwa Wiradigda adalah seorang yang baik dan suami yang bijak hingga hidupnya cukup bahagia. Sungguh menyesal bahwa diantara Wiradigda dan Cakrabuwana terdapat dendam hati yang besar, sungguhpun mereka berdua tak pernah  menyatakannya.  Pada  bulan-bulan  pertama,  Wiradigda yang   telah   menjadi   suaminya    itu   seringkali   menyatakan ketidaksenangan   hatinya   dan  rasa   cemburunya,   akan  tetapi


lambat-laun,  sikap  inipun  lenyap,  apalagi  setelah anak  mereka Saraswati itu lahir.

Pada waktu itu, memang banyak terjadi pemberontakan dari para  adipati dan  tumenggung  yang  tidak  merasa puas  dengan pemerintah yang dipegang oleh Ratu Wanita, akan tetapi semua pemberontak   itu   dapat   ditumpas   oleh   Patih   Gajah   Mada. Akhirnya  dengan  mempergunakan  lidahnya  yang  tajam  dan hubungan  yang  baik  dan  erat  dengan  fihak  keraton,  seorang pejabat tinggi dapat memfitnah Cakrabuwana dan menuduhnya hendak memberontak pula. Kerajaan lalu mengirim bala-tentara dan Adipati Cakrabuwana beserta seluruh keluarganya di Pacet dihancurkan.  Dan celakanya, tentara penumpas  pemberontakan ini  sebelum  menuju  ke  Pacet,  terlebih  dahulu  berhenti  dan bermalam  di  Tangen  hingga  tentu  saja  mudah  menimbulkan persangkaan  bahwa  Wiradigdalah  yang  menjadi  biang  keladi penumpasan itu!

Padahal pejabat tinggi yang telah memfitnah itu bukan lain orangnya adalah Adipati Tirtaganda sendiri! Ketika itu, Adipati Tirtaganda  masih   sangat   muda  oleh  karena   sebagai  putera seorang  pangeran  ia  merasa  dikalahkan  dalam  kemajuan  oleh Cakrabuwana, seorang pemuda keturunan rendah saja, timbul iri hatinya dan ia lalu menggunakan kedudukannya sebagai putera pangeran untuk memfitnah adipati itu!

Akantetapi, hal inihanya diketahui oleh Wiradigda seorang , yang   dapat   menduga   dengan  tepat,   walaupun  tidak   berani menyatakan dengan mulut.  Dan menurut  anggapan Wiradigda, oleh karena hal itu telah terjadi dan tak dapat dicegah lagi maka ia  lalu  menutup  mulut.  Tak  disangkanya  sama  sekali  bahwa keturunan Adipati Cakrabuwana masih hidup dan kini tiba-tiba saja datang membalas dendamayahnyakepada...... dia!

Demikianlah,  dengan  hati penuh  penyesalan  Tumenggung



Wiradigda   berdiam   diri   di   dalam   kamarnya   dan   ia   telah mengambil   keputusan  tetap   untuk   membatalkan  perjodohan puterinya dengan Adipati Tirtaganda yang menjadi biang keladi tersembunyi daripada segala peristiwa ini!

Pada   keesokan   harinya,   pagi-pagi,   benar   di   halaman tumenggung  telah  berkumpul  banyak   sekali  ponggawa   dan pemuda-pemuda yang hendak memasuki sayembara. Akantetapi, kepala  ponggawa  yang  telah  mendapat  perintah  dan  petunjuk Tumenggung  Wiradigda,  lalu  mengadakan pemilihan  lagi  dan diantara berpuluh ponggawa dan satria yang hendak mengikuti sayembara ini, hanya ada dua belas orang yang ia pilih. Tiba-tiba diantara   para   penonton   yang   banyak  jumlahnya,   keluarlah seorang yang cakap dan gagah. Pemuda ini menghadap kepala ponggawa dan berkata,

"Perkenankanlah sayauntuk mengikuti sayembara ini."

Kepala ponggawa memandangnya dengan tajam. Ia melihat bahwa  pemuda  ini  biarpun  halus  dan  sopan-santun,  namun memiliki  tubuh  yang  padat  dan  sepasang  mata  yang  bersinar ganjil  dan  tajam,  maka  ia  dapat  menduga  bahwa  satria  ini tentulahbukan orang sembarangan.

"Siapa namamu, raden?" tanyanya.

"Saya  adalah  Jakalelana  dari pesisir  selatan," jawab  yang ditanya.

Kepala ponggawa maklum bahwa nama ini bukanlah nama aseli  dan  tentu  pemuda  ini  ingin  menyembunyikan  keadaan dirinya, maka ia makin tertarik.

"Baiklah,  mari  kau  ke  sini,  berkumpul  dengan  dua  belas orang pengikut sayembara yang lain."

Dengan demikian, maka jumlah pengikut yang terpilih ada




tiga belas orang.

Ketika   Tumenggung   Wiradigda   keluar   dari   gedungnya, dengan girang ia melihat bahwa ketiga belas calon yang tepilih oleh  kepala  ponggawa  adalah  orang-orang  muda  yang  gagah perkasa. Ia menyatakan kecocokan hatinya dan memberi tanda agar  supaya  pertandingan  adu  kesaktian  segera  dimulai  untuk memilih  seorang jago  yang  sakti dan yang  akan menyertainya menghadapi Saritama!

Gong   ditabuh   keras   dan   semua   penonton   dipersilakan mundur  untuk  memberi  tempat  bagi  para  peserta.  Cara  adu kepandaian dan kesaktian yang dilakukan pada waktu itu ialah mengadu    semua   peserta    supaya    mereka   berkelahi   tanpa membekal senjata. Yang menang terakhir, dialah yang menjadi juara!

Atas  isarat  kepala ponggawa,  dua peserta  maju  ke  dalam kalangan      dan      mereka      segera      bertempur.      Keduanya memperlihatkan   kepandaian   masing-masing,   pukul-memukul, tendang-menendang,   banting-membanting,   diikuti   sorak-sorai para penonton. Demikianlah, dari dua belas orang peserta, yang menang  ada  enam  orang,  sedangkan  Jakalelana  oleh  karena datangnya  paling   akhir   dan  merupakan  angka  ganjil,  tidak mendapat lawan!

Kemudian enam orang pemenang itu lalu diadu kembali atas pilihan  ponggawa  dan  dalam  babak  kedua  inipun,  Jakalelana tidak mendapat  lawan oleh karena keenam pemenang  itu telah menjadi tiga rombongan.

Setelah petandingan selesai dan para pemenang kini tinggal tiga orang saja, maka pemuda itu nampaknya kurang puas dan tidak    senang.    Tiba-tiba    ia    berdiri    dan    berkata    kepada Tumenggung Wiradigda.



"Maafkan  saya,  Gusti  Tumenggung.  Oleh  karena  ketiga saudara ini telah berkelahi dua kali dan tentu mereka ini telah lelah, maka tidak adillah apabila saya harus menghadapi mereka seorang demi seorang.  Saya  semenjak tadi tak kebagian lawan dan  saya belum bertempur  satu kalipun,  maka  apabila paduka mengizinkan biarlah sekarang mereka bertiga ini maju berbareng menghadapi hamba! Apabila hamba kalah biarlah ini dianggap bahwa   saya   tak   berharga   untuk   menjadi   pengikut   paduka menemui Saritama."

Tumenggung Wiradigda tertarik sekali kepada pemuda yang tampandanyang halustuturkatanya itu.

"Hai, satria yang gagahdan tampan, siapakahnamamu?"

"Hambabernama Jakalelana, Gusti Tumenggung."

Tumenggung Wiradigda tertawa. "Baiklah, untuk kali inikau boleh  menggunakan  nama  itu,  akan  tetapi  apabila  kau  telah terpilih    dan    menang    dalam    sayembara    ini,    kau    harus memberitahukannamamu yang sebetulnya."

Pemuda   itupun   tersenyum.   "Baik,   Gusti   Tumenggung. Apabila dewata memberkahi hamba hingga hamba menang dalam sayembara  ini,  pasti hamba  akan  memperkenalkan  diri  hamba sebenarnya."

Tumenggung  Wiradigda  memberi  isarat  dan  pertandingan babak ketiga dipersiapkan. Semua penonton memandang gembira oleh  karena  kali  ini  tentu  akan  ada  pertunjukan  yang  hebat menarik.  Siapakah  pemuda  tampan  yang  begitu  berani  mati menantang ketigapemenang itu untuk maju berbareng?

Para ponggawa lalu minta supaya penonton mundur hingga kalangan menjadi lebih lebar oleh karena yang hendak bertanding kini adalah empat orang. Ketiga pemenang  itu menanti sambil duduk dan dada mereka yang bidang itu berkilat karena peluh.




Ketiganya masih muda dan kesemuanya bertubuh tinggi besar. Akan  tetapi,  ketika  mereka  ini  mendengar  usul  permintaan pemuda  yang  bertubuh  tak  berapa  besar  dan  nampaknya  tak berapa kuat itu, mereka saling pandang dantersenyum mengejek.

Setelah mendapat isarat dari kepala ponggawa maka ketiga orang pemenang itu berdiri dan bersiap di hadapan Jakalelana. Pemuda  ini  dengan  tenang  lalu  menghampiri  mereka.  Para penonton  tak  ada  yang  mengeluarkan  suara  hingga  keadaan menjadi  sunyi  seakan-akan  di  situ  tidak  terdapat  seorangpun! Semua mata kini memandang kepada Jakalelana dengan penuh kekhawatiran.  Memang  kalau  dipandang  amat  ganjil,  karena Jakalelana yang bertubuh tak besar dan yang nampaknya lemah- lembut itu berdiri menghadapi tiga orang lawan yang demikian kuat dangagahnya!

Tiba-tiba saja datangnya, bagaikan mendapat aba-aba, ketiga orang   pemenang   itu   lalu   maju   menubruk   dan   menyerang. Agaknya  mereka  hendak  merobohkan  Jakalelana  dalam  satu gerakan  saja.  Serangan  mereka  ini  sangat  dahsyat,  bagaikan serangan  ombak  samudra!  Para  penonton  manahan  napas  dan memandang ke arah Jakalelana dengan kuatir akantetapitiba-tiba mereka menjadi heran tercengang oleh karena bagaikan seekor burung   srikatan   yang   gesit   sekali,   tubuh   Jakalelana   telah melayang  di  atas  melewati  kepala  ketiga  lawannya  dan  kini berada  di  belakang  mereka  sambil  bertolak  pinggang!  Kini marahlahketiga orang itu.

Sambil  menggeram  mereka  maju  menyerbu  lagi  sekuat tenaga.    Akan    tetapi    lagi-lagi    Jakalelana    memperlihatkan kegesitannya.   Sambil   melompat   ke   kanan   kiri   ia   berhasil mengelakkan  semua  serangan  dan  kadang-kadang  menangkis dengan lengan tangannya. Tiap kali melompat, tak pernah lupa ia memberitepukan atau colekan dengan tangandankakinya hingga




semua   penonton   yang    melihat   betapa   ketiga    orang    itu dipermainkan  oleh  Jakalelana,  tertawa  geli  dan bersorak-sorak makin hebat.

Juga Tumenggung Wiradigda yang menonton pertandingan ini, diam-diam terkejut sekali. Hebat sekali pemuda ini, pikirnya. Bahkan  ia  akui  bahwa  ia  sendiri  tak  sanggup  mengalahkan pemuda  itu  dalam  ilmu  perkelahian.  Alangkah  gagah,  cepat, tangkas,  dan  cekatan.  Tiada  ubahnya  sebagai  seekor  burung garuda menyambar-nyambar lawannya. Ah, pantas benar pemuda ini  menjadi  suami  Saraswati,  pikir  Tumenggung  Wiradigda. Sama-sama   tampan   sama-sama   muda.   Diam-diam   hatinya menjadi girang dan timbul harapannya. Dengan pemuda seperti ini  sebagai kawan,  mustahil  ia  takkan  dapat  merebut  kembali anaknya dari tangan Saritama.

Jakalelana   merasa   sudah   cukup   mempermainkan  ketiga lawannya. Tiba-tiba ia mempercepat gerakannya dan begitu kaki tangannya bergerak, maka bergelimpanganlah tubuh ketiga orang lawannya  tanpa  sanggup  bangun  kembali.  Kemenangan  yang mutlak ini disambut dengangegap-gempita oleh para penonton.

"Hai,  Jakalelana.  Dengan disaksikan oleh  semua penonton dan semua ponggawa, kau kunytakan sebagai pemenang dalam sayembara ini!" Tumenggung Wiradigda berseru keras dan kata- katanya inidisambut dengan sorak-sorai oleh para penonton.

"Sekarang,  sebelum kau  menyertai aku untuk  menghadapi musuh, kau harus memenuhi janjimu tadi dan perkenalkan dirimu sebenarnya. Siapakah namamu dandarimana asalmu?"

Pertanyaan ini disambut oleh para penonton dengan penuh perhatian  hingga  keadaan  menjadi  sunyi  sepi,  karena  semua penonton   dan   bahkan   para   ponggawa   dan   para   pengikut sayembara ingin sekali mendengar siapa adanya pemuda gagah perkasa ini.



Jakalelana tersenyum dan bangkit berdiri dengan perlahan. Ia memandang     ke     sekeliling,     kemudian     menatap     wajah Tumenggung Wiradigda. Ketika berkata-kata suaranya terdengar nyaring sekali dan bagi telinga semua pendengarnya, ucapan dan jawabannya merupakan suara guntur disianghari!

"Tumenggung    Wiradigda    dan    semua    orang    Tangen, dengarlah baik-baik! Kalian semua hendak mengenal aku? Nah, pasanglah telingamu  lebar-lebar karena  aku  adalah putera  dari Adipati Cakrabuwana dan namaku ialah Saritama!"

Pucatlah  wajah  Tumenggung   Wiradigda  mendengar   ini. Tumenggung sudah tua ini bangkit berdiri dengan muka sebentar pucat sebentarmerah.

"Kalian mendengar  sendiri betapa Tumenggung Wiradigda telah  memilih   Saritama  sebagai  mantu,  maka  apa  perlunya mengejar-ngejar   Saritama?   Ha,   ha,   ha!"   Saritama   tertawa mengejek.

"Keparat, jangan kau mempermainkan orang!" Tumenggung Wiradigda  bangkit  berdiri  dengan  marah  sekali.  Mereka  siap dengan senjata di tangandan hendak menyerbupemuda itu.

Akan tetapi  Saritama  mempergunakan kesaktiannya.  Siapa saja  berani  datang   dekat  tentu  roboh  karena  pukulan  atau tendangannya.  Ketika  Tumenggung  Wiradigda  sendiri  datang menyerang, Saritama melompat pergi jauh dan pemuda itu lalu melarikandiri sambilberkata,

"Wiradigda! Tantanganku masih berlaku, tapi tidak di sini! Kalau kau memang jantan, datanglah ke Tritis untuk membuat perhitungan!"

"Baik,  Saritama,  pemuda  sombong!  Kau  kira  aku  takut padamu?"



Tumenggung Wiradigda  lalu  lari memasuki rumahnya dan sebentar  kemudian  ia  berlari keluar  sambil  membawa  tombak pusakanya  yang  ampuh.  Ketika para ponggawa  beramai-ramai hendak  ikut  mengejar,  tumenggung  yang  tua  itu  berhenti  dan membentak,

"Kalian  hendak  membuat  malu  aku?  Hayo  mundur  dan kembali!  Aku  sendiri  masih  sanggup  menghadapi  Saritama!" Semua  ponggawa  mundur  ketakutan,  sedangkan  Tumenggung Wiradigda dengan muka merah lalu melanjutkan perjalanannya ke Tritis!

Ketika  ia  tiba  di  sebuah  hutan  di  mana  kemarin  dulu Saritama   dan   Saraswati   bercakap-cakap,   tiba-tiba   muncul beberapa  belas  orang  dan  alangkah  kagetnya  ketika  melihat bahwa yang muncul ini tidak lain adalah Adipati Tirtaganda dan beberapa orang ponggawanya!

"Tirtaganda, mengapakau menghalangi perjalananku?" tanya Tumenggung  Wiradigda  yang  tiba-tiba  menjadi  marah melihat orang ini oleh karena teringat bahwa orang inilah yang menjadi biang keladi permusuhannya dengan Saritama.

Adipati  Tirtaganda  tersenyum  mengejek.   "Tumennggung Wiradigda!  Kau  tak  patut  menjadi  seorang  tumenggung  oleh karena  kau  telah  melanggar  janjimu  sendiri.  Aku  mendngar bahwa kau mengadakan sayembara dan memilih mantu, betulkah ini?"

"Betul!"

"Bukankah    kau    sudah    berjanji    hendak    menjodohkan

puterimu dengan aku?"

"Tirtaganda, jangan kau menambah-nambahi sendiri.  Siapa yang berjanji?  Kita baru  mengadakan perundingan akan tetapi perkara  itu belum jadi dan belum masak.  Kau maklum bahwa



puteriku  telah  diculik  oleh  putera  Adipati  Cakrabuwana  yang dulu kau khianati!  Kaulah biang keladi  segala malapetaka  ini. Kau   yang   memfitnah   Cakrabuwana,   akan   tetapi   sekarang puteranya membalasnya kepadaku! Seharusnya kau sebagai laki- laki  harus  berani  bertanggung  jawab  dan  pergi  menghadapi Saritama, oleh karena kaulah musuh besarnya, bukan aku! Aku hanyalah menjadi kurban kesalahfahaman yang agaknya timbul semenjak    Cakrabuwana    masih    hidup!    Aku    hanya    akan menjodohkan puteriku apabila dia suka menerimanya. Kalau kau dapat merebut kembali Saraswati dari tangan Saritama, dankalau anakku    sudi    menjadi    isterimu,    aku    orang    tua    takkan melarangnya!"

"Ha,ha,ha!  Wiradigda,  kau  memutar-mutar  lidah  bagaikan wanita! Baik kau, maupun Saritama hari ini tentu mampus dalam tanganku,  sedangkan  Saraswati,  mau tidak  mau  harus menjadi isteriku!"

"Bangsat besar, majulah kalau kau hendak mengenal tombak pusaka Tumenggung Wiradigda!" katatumenggung tua itu sambil mengacung-acungkantombaknya.

"Maju,  serbu!"  Tirtaganda  memberi perintah,  dan  belasan orang itu lalu maju mengurung. Tumenggung Wiradigda hendak mengamuk,  akan  tetapi  jumlah  lawannya  cukup  banyak  dan cukup tangguh, maka tak lama kemudian ia terdesak hebat dan keselamatannyaterancam!

Pada  saat  itu,  dari  balik  sebatang  pohon  besar  keluarlah seorang pemuda yang tidak lain ialah Saritama sendiri! Pemuda ini telah mendengar semua percakapan tadi dan timbul keraguan dalam hatinya. Benarkah bahwa Tumenggung Wiradigda bukan orang  yang   memfitnah  ayahnya?  Akan  tetapi,   oleh  karena mendengar  bahwa  orang  yang  mengeroyok  Wiradigda  adalah Tirtaganda, bandot tua yang dibencinya, Saritama lalu melompat



maju  dan  tanpa  berkata  apa-apa  ia  lalu  menyerbu  membela Tumenggung Wiradigda!

Sepak-terjang pemuda ini hebat sekali hingga dalam sekejap sajabeberapa orang ponggawakena dirobohkan.

"He, pemuda, siapakah kau?" bentak Tirtaganda.

"Bangsat  dan  bandot  tua  tak  tahu  malu!  Dengarlah,  aku adalah  Saritama  putera  Cakrabuwana!  Jadi kaupun  memfitnah mendiang ayahku? Kalau begitu, kematianlah bagianmu!" Sambil berkata demikian, Saritama menyerang hebat dan sebuahpukulan yang  disertai  Aji  Bromojati  tepat  mampir  di  pangkal  telinga Tirtaganda! Adipati itu memekik ngeri dan roboh dengan tubuh hangus dan tewas seketika  itu juga! Melihat hal ini para kaki tangannya lalu lariketakutan!

Saritama    lalu    menghadapi    Wiradigda    dengan    mata mengancam, akantetapi Tumenggung itu sama sekalitidaktakut.

"Kau juga hendak membunuhku?" Boleh, cobalah kalau kau dapat!" Tumenggung itu menantang dengan suara keras.

Akan tetapi, oleh karena telah mendengar percakapan tadi, hati pemuda itumenjadiragu-ragu.

"Aku akan menangkapmu!" Ia lalu menyerbu secepat kilat. Wiradigda  mengangkat tombaknya  dan menusuk ke  arah dada Saritama. Akan tetapi pemuda itu mengelak ke samping dan dari samping   bergerak   hendak   merampas   tombak.   Tumenggung Wiradigda  bukan  orang  lemah,  maka  tak  mudah  saja  bagi Saritama untuk merampas tombak itu. Demikianlah, pemuda dan orang tua ini bertempur lama oleh karena Saritama tak hendak membunuhnya, hanya hendak menawannya saja. Kalau pemuda itu mau menjatuhkan tangan jahat, pasti Wiradigda takkan kuat menahan.



Akhirnya, karena tenaga Wiradigda yang sudah tua itu telah banyak  berkurang  dan  ia  telah  merasa  lelah  sekali  sebuah tendangan   Saritama   tepat   mengenai   pergelangan   tangannya hingga  tombak   yang   dipegangnya  terlempar  jauh.   Sebelum Tumenggung   Wiradigda   sempat   mengelak,   Saritama   telah menyergapnya   dengan  kedua   lengan  tangannya   yang   kuat! Pemuda itu lalu mempergunakan sarung tumenggung itu sendiri untuk   mengikat   kedua   tangan   Tumenggung   Wiradigda   ke belakang.  Kemudian  ia  pungut  tombak  tumenggung  itu  dan membentak,

"Hayo jalan!"

Saritama, kenapa aku tidak kau bunuh saja? Tak perlu aku dikasihani,   tak   perlu   aku   menyangkal   dan   membela   diri menyatakan   kebersihanku.   Kalau   kau   anggap   aku   sebagai pengkhianat ayahmu, bunuh saja. Wiradigdataktakut mati!"

"Bunuh kau.......? Mudah, itu perkarananti. Hayo jalan!"

Dengan ujung tombaknya Saritama memaksa orang tua itu berjalan maju menujuke Tritis.

Ketika mereka tiba di dusun Tritis yang kosong  sepi, dari dalam sebuah pondokbobrok keluarlah seorang gadis cantikjelita yang segeraberlari menyambut mereka.

"Ayah........!"

"Saraswati.....! Kau selamat, nak? Terimakasih, Dewa!"

Saraswati ketika melihat ayahnya dibelenggu, menjadimarah sekali dan sambil mengangkat dadanya ia menghadapi Saritama.

Saritama  hanya  menundukkan  kepala  dengan  bingung.  Ia hampir tak dengar ucapan  Saraswati oleh karena pada  saat  itu pikirannya bekerja keras dan diputar-putar memikirkan tentang percakapan antara Wiradigda dan Tirtaganda tadi. Ia menyesal



mengapa ia telah menewaskannya, kalau tidak, ia dapat memaksa adipati itu untuk memberiketerangandan penjelasan.

Melihat  betapa  Saritama  tunduk  saja  dan  agaknya  takut kepada  anaknya,  Wiradigda  memandang  dengan  heran  sekali, sedangkan Saraswati lalu membuka belenggu ayahnya.

"Saritama, kau telah melakukan kekacauan di Tangen, telah menculik aku, dan kini berani pula menangkap ayahku. Tahukah kau bahwa kau telah melakukan pelanggaran besar sekali? Kalau Kerajaan  Majapahit  mengetahui  hal  ini,  kau  bisa  dianggap sebagai seorangpemberontak!"

"Dia  bahkan  telah  membunuh  Adipati  Tirtaganda!"  kata Tumenggung Wiradigda.

Mata   Saraswati   yang   lebar   dan   indah   itu   terbelalak memandang   kepada   Saritama.   Kegirangan   besar   memancar keluar darisepasang mata itu.

"Apa? Bandot tua itu telah kau tewaskan? Ah, Saritama....." tapi gadis itu segera mengubah suaranya ketika berkata. "Kalau begitu dosamu lebih besar lagi!"

Saritama  berkata,  "Saraswati,  terserah,  kepadamulah!  Aku .....  aku  bingung  sekali.  Sebetulnya  saja  paman  Tumenggung Wiradigda, apakah yang telah terjadi dengan mendiang ayahku? Tadi    aku    mendengar    percakapanmu    dengan    Tirtaganda. Bagaimanakah  terjadinya  pemfitnahan  terhadap  keluargaku  itu sesungguhnya?"

Maka  Tumenggung  Wiradigda  lalu  menceritakan  semua peristiwa dahulu itu dengan jelas.  Saraswati yang baru kali ini mendengar bahwa ibunya adalah bekas kekasih ayah Saritama, mendengarkan dengan hati tertarik pula. Saritama sendiri ketika mendengar   betapa   ia   telah   salah   sangka   dan   menjatuhkan pembalasan    kepada    orang    yang    tidak    berdosa,    segera




menundukkan muka dengan menyesal dan malu. Akan tetapi, ia masihmerasaragu-ragu, maka ia berkata,

"Paman   Tumenggung,   kalau   memang   Tirtaganda   yang berkhianat  dan  kau  tidak  berbuat  apa-apa  terhadap  mendiang ayahku  maka  aku  telah  berlaku  sangat  keji  dengan  menculik dinda Saraswati dan paman sendiri. Akan tetapi, keterangan itu kudapat dari Paman Panembahan Sidik Panunggal, mungkinkah beliau salah sangkapula?"

"Apa?  Sidik  Panunggal  masih  hidup?  Di  manakah  dia sekarang?" Wajah Tumenggung Wiradigda berseri oleh karena Panembahan ini dulu adalahkawan baiknya.

"Aku berada di sini, Wiradigda! Dan kau Saritama, aku tak pernah salah sangka!" Tiba-tiba saja, entah darimana datanganya, Panembahan   yang   sakti   itu   telah   muncul   di   situ   sambil tersenyum.

"Saritama,     memang     semua     yang     diceritakan     oleh Tumwnggung Wiradigda tadi benar belaka. Aku pun telah dapat menduga  hal  ini,  akan  tetapi  ketahuilah  bahwa  semua  orang, kecuali Tumenggung Wiradigda dan Adipati Tirtaganda, semua menganggap  bahwa  biang  keladi  pembasmian  Tritis  adalah Tumenggung Wiradigda. Aku tidak bisa meyalahi hukum karma, dan  aku  tidak  mau  membantah pendapat  umum.  Aku  sengaja menceritakan kepadamu menurut pandangan umum dan adalah menjadi     kewajibanmu     sendiri     untuk     menyelidiki     dan membongkar rahasia ini. Akan tetapi, sebelum aku menuturkan denganjelas, kau telah tak tahandan segera pergiterdorong hawa nafsumu. Untung  sekali, Dewata berlaku  murah dan aku tidak salah tangan Saritama.  Sekarang kau harus minta maaf kepada Tumenggung Wiradigda."

Saritama   segera  maju  berlutut   dan  menyembah  kepada Tumenggung itu yang menerimanya dengan senyum lega.




"Wiradigda,  selanjutnya  terserah  kepadamu.  Aku  hendak segera  kembali  ke  Gunung  Kidul.   Saritama  kelak  bila  kau mempunyaikesempatan, ajaklah isterimu mengunjungi pondokku di Gunung Kidul!"

Saritama  heran,  akan  tetapi  sebelum  ia  sempat  bertanya, Panembahan Sidik Panunggal sudah berkelebat pergi!

Tumenggung Wiradigda dapat menangkap maksud perkataan pendeta itu, maka ia hanya tersenyum saja. Hatinya girang sekali dan diam-diam ia mengucap sukur kepada Dewata Yang Maha Agung.

Ayah,     bagaimana     dengan     soal     ini?     Kita     harus membelenggunya  untuk  membalas  perlakuannya  terhadapmu tadi!" kata Saraswati kepada ayahnya. "Kita tidak berdosa akan tetapitelah mendapat banyak hinaan dan gangguan dari Saritama, maka apakahkitatakkanmembalas?"

Tumenggung       Wiradigda      tersenyum.       "Kau      mau

membelenggunya? Belenggulah, Saraswati!"

Saritama juga tersenyum. Hati pemuda ini sekarang merasa girang luarbiasa mendapatkan keterangandari Panembahan Sidik Panunggal  bahwa   Wiradigda   benar-benar  tidak  berdosa!   Ia memandang kepada Saraswati denganwajah berseri.

"Betul kata Rama Tumenggung Wati. Belenggulah aku!"

Kedua   mata   dara   itu   terbelalak   heran   dan   kemarahan menjalar  di  mukanya.  "Kau......  kau  kurang  ajar......!"  katanya gemas sekali. "Mengapa kau berani mati menyebut rama (ayah) kepada ayahku?’

"Ayahmu telah menerimaku sebagaimantunya, mengapa aku tidak  boleh  menyebutnya  rama?"  jawab  Saritama  yang  tetap tersenyum.





"Ayah........  ?"  hanya  demikian  Saraswati  dapat  bertanya

sambil memandangwajah ayahnya.

Tumenggung   Wiradigda   mengangguk-anggukkan   kepala. "Memang  benar!  Aku  telah  menggunakan  kau  sebagai  hadiah sayembara    ketika    kau    terculik    dan    yang    memenangkan sayembara itu adalah Saritama!"

"Kau...... kau......!" Saraswati menoleh kepada Saritama dan hendak   memaki   lagi,   akan  tetapi  ketika   pandang   matanya bertemu dengan pandang mata Saritama, maka menjalarlah warna merahpadawajahnya sampaiketelinga.

"Saraswati,  mari  sini,  ikatlah  tanganku!  Belenggulah  aku, aku menyerah menjadi tawananmu," Saritama menggoda.

"Kau......  kau  kurang  ajar!"  Saraswati  lalu  cemberut  dan berjalan cepat menyusul ayahnya yang telah mendahului mereka pergi menujuke Tangen.

Saritama  mengejar  dan  di  sepanjang jalan  tidak  hentinya Saritama  menggoda  Saraswati  hingga  gadis  ini  menjadi  malu dan....... girang.

Setelah  berjalan jauh  dan  merasa  lelah  dan  sakit  telapak kakinya   menginjak-injak   batu   dan   kerikil   tajam,   kembali Saritama menggunakan kekuatan lengannya memondong tubuh gadis  kekasihnya  itu.  Dan  kini  Saraswati  tidak  meronta-ronta seperti dulu lagi!

-----GS-----


TAMAT




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive