Satria Gunung Kidul
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Raja wanita atau Ratu di Majapahit yang bernama Sri Gitarja atau Tribuwana Tungga Dewi, yang disebut juga Bhre Kahuripan (1328 - 1359), lebih dikenal dalam dongeng "Minakjinggo Damarwulan" sebagai Prabu Kenya (Raja Wanita) Diah Kencana Wungu.
Di dalam dongeng sejarah itu diceritakan bahwa Prabu Kenya Diah Kencana Wungu ini menikah dengan Raden Damarwulan yang menurut catatan sejarah sebenarnya bernama Cakradara dengangelar Kertawardana.
Sepasang suami-isteri kerajaan yang terkenal ini mempunyai seorang putera yang diberi nama Hayam Wuruk (Ayam Muda). Hayam Wuruk inilah yang akhirnya menduduki tahta kerajaan sebagai Raja Majapahit dengan bergelar Prabu Rajasanegara (1350 - 1389).
Selama tiga puluh sembilan tahun. Sang Prabu Hayam Wuruk amat bijak dan pandai mengendalikan pemerintahan dan pada jaman itu, kerajaan Majapahit mencapai puncak kebesaran dankemakmurannya, menjadi Kerajaan yang terbesar danterkuat dalam kepulauan Nusantara. Bahkan dalam jaman ini pula nama Majapahit dikenal, disegani, dan dikagumi oleh negara-negara seberang lautan, termashur sampai ke tiongkok, India, Campa, Kamboja, anam. Hubungannya dengan negara-negara asing ini baik sekali dan saling menghormat, karena Majapahit dianggap sebagai kerajaan dan negara besar diantara negara-negara lain di dunia.
Semua hasil gilang-gemilang ini bukan semata-mata berkat kebijaksanaan Prabu Hayam Wuruk seorang, melainkan juga berkat jasa-jasa para panglima senapati Majapahit. Terutama sekali berkat jasa warangka-dalem atau Patih Gajah Mada, seorang perwira yang terkenal karena saktimandraguna, dan setia lahir-batin kepada kerajaan di mana ia mengabdikan dirinya. Dalam sejarah, belum pernah terdapat seorang patih seperti Sang Perkasa Patih Gajah Mada ini yang membela kerajaan Majapahit semenjak ibunda Prabu Hayam Wuruk, yakni Ratu Tribuwanatungga Dewi memegang kendali kerajaan. Patih Gajah Mada menjalankan tugasnya sebagai seorang patih yang setia selama tiga puluhtigatahun (1331- 1364).
Dan pada jaman keemasan Majapahit itulah kisah dibawah initerjadi.
Raja yang memerintah dikerajaan Pajajaran (Pasundan) yang beribukota di Pakuan, adalah Sri Baduga Maharaja yang disebut juga Ratu Dewata.
Ratu Dewata mempunyai seorang puteri yang terkenal sekali karena kecantikannya. Puteri ini bernama Diah Pitaloka Citraresmi. Kecantikan Diah Pitaloka Citraresmi memang luar biasa dan agaknya sukar dicari keduanya di dunia ini! Bahkan Dewi Komaratih sendiri, Dewi Asmara yang terkenal sebagai bidadari tercantik di surga, agaknya akan kagum melihat wajah dan bentuk tubuh Diah Pitaloka! Tiada cacat celanya, dari ujung rambut di kepalanya sampai ke tumit kakinya. Kalau emas, dia adalah emas murni yang belum tercampur sedikitpun dengan logam lain. Seumpama batu permata, dia adalah mutiara asli yang telah digosok oleh tangan seorang ahli. Orang yang melihatnya, baik ia laki-lakimaupun perempuan, akanterbelalak matanya dan ternganga mulutnya karenatakjub dankagum menyaksikan puteri nan cantik jelita, ayu dan manis ini!
Pada suatu hari, datanglah utusan dari kerajaan Majapahit. Ternyata bahwa berita tentang kecantikan Diah Pitaloka tidak saja menggoncangkan alam Pasundan, bahkan juga menjadi kemang-tutur orang-orang di Majapahit dan akhirnya menggerakkan rasaasmara di dalam dada Sang Prabu Hayam Wuruk. Maka diutuslah oleh Prabu Hayam Wuruk seorang tumenggung untuk menyampaikan pinangannya ke kerajaan Pajajaran.
Pada jaman itu, tidak adaraja yang lebih besar dan termashur daripada Prabu Hayam Wuruk. Maka, sudah selayaknya kalau pinangan Raja Majapahit ini diterima dengan hati gembira dan puas oleh Raja Dewata. Prabu Hayam Wuruk terkenal cakap, gagah-perwira, masih muda dan belum mempunyai permaisuri pula. Maka selain Raja Majapahit siapa pulakah orangnya yang lebih pantas mendapat kehormatan untuk mengulurkan tangan memetik bungapuspita dari Pajajaran itu?
Betapapun juga, Ratu Dewata sangat menyinta puterinya dan takkan puas hatinya kalau belum mendengar keputusan tentang pinangan Raja Majapahit itu dari mulut Diah Pitaloka sendiri. Ia ingin mendengar pendapat puterinya, maka dipanggilnyalah Diah Pitaloka serta diceritakan tentang datangnya utusan yang membawa pinangan dari Raja Majapahit, Sang Prabu Hayam Wuruk.
Kulit muka yang putih kekuning-kuningan dan halus bersih dari Diah Pitaloka segera menjadi merah bagaikan sekuntum mawar merah yang indah. Puteri itu menundukkan kepalanya dan dadanya turun-naik menahan desakan napasnya. Setelah agak reda gelora yang ditimbulkan oleh berita yang disampaikan oleh ramandanya itu, dengan suaranya yang merdu dan halus dia menjawab sambil menyembah.
"Ramanda prabu, junjungan tunggal di mayapada ini bagi
hamba. Pendapat dan pikiran apakah yang ramanda kehendaki daripada hamba? Segala pendapat dan pikiran yang selalu menguasai hati dan ingatan hamba hanya satu, yakni, taat, patuh, dan setia kepada segala titah ramanda, sebagaimana layaknya seorang anak terhadap orang tuanya!"
Alangkah senangnya Ratu Dewata mendengar sembah puterinya ini. Ayah manakah takkan menaruh hati sayang dan kasih yang besar terhadap seorang anak yang tidak hanya kecantikannya membanggakan hati orang tua, akan tetapi terutama yang demikian berbakti?
"Sukurlah, anakku yang manis, Ramanda akan menerima pinangan ini oleh karena menurut pendapat dan pandanganku, Sang Prabu Hayam Wuruk adalah seorang raja yang berbudi bawa laksana, pandai mengatur pemerintahan, dan bijaksana pula. Kalau engkau menjadi permaisurinya, ayahmu akan merasa puas dan tenteram, oleh karena engkau pasti akan menemui kebahagiaan di Majapahit. Semoga dewata yang agung melindungimu, Pitaloka."
Maka dengan girang hati Ratu Dewata lalu menjamu utusan dari Majapahit itu. Kemudian ia memberi jawabannya dan mengabarkan kepada Prabu Hayam Wuruk bahwa selain pinangan itu diterima dan dianggap sebagai penghormatan besar sekali, Ratu Dewata sendiri berkenan mengantar puterinya ke Majapahit dengan membawa berita gembira itu, dan tak lupa membawa serta pula hadiah-hadiahuntuk sang Prabu.
Ketika berita ini disampaikan kepada rakyat Pajajaran, maka bergembiralah semua orang Siapa orangnya yang takkan merasa gembira? Puterikedaton Pajajaran menjadi permaisuri Majapahit! Tentu saja rakyat pun ikut merasa bahagia dan bangga. Berita ini disambut oleh rakyat dengan meriah, bahkan mereka yang terdiri dari golongan berada, lalu menyelenggarakan pesta untuk
merayakandan meriahkan pertunangan itu!
Seluruh Pajajaran berpesta-pora dan bergembira-ria. Hanya ada dua orang yang tidak ikut bergembira. Pertama adalah Diah Pitaloka sendiri Dara jelita ini sungguhpun di lahir tunduk dan patuh kepada ramandanya dan ikut pula memperlihatkan wajah gembira untuk menyenangkan hati ayahnya, namun di sudut hatinya timbul keraguan dan kebimbangan yang membuatnya tidak berbahagia Ia telah mendengar akan kegagahan dan kecakapan Prabu Hayam Wuruk dan ia percaya bahwa kedudukannya akan terangkat tinggi dan akan mendapat kemuliaan besar di Majapahit. Akan tetapi, selama hidupnya ia belum pernah bertemu dan melihat dengan mata sendiri keadaan Sang Prabu Hayam Wuruk. Kalau boleh dan kalau mungkin, ia akan merasa lebih senang jika dijodohkan dengan seorang pemuda di Pajajaran sendiri, seorang pemuda yang pernah dilihatnya dan yang kegagahan atau kecakapannya telah diketahuinya daripandangan mata sendiri, bukan hanya diketahui karena mendengar berita angin seperti halnya Prabu Hayam Wuruk! Akan tetapi, dia adalah seorang wanita sejati yang memegang teguh kesusilaan, apalagi sebagai seorang puteri raja, ia harus memberi teladan bagi kaum putri umumnya, yakni kepatuhan terhadap orang tua dengan jalan berkorban. Ia menganggap pertunangan ini sebagai penguranan dirinya demi kebahagiaan orang tua dan demi kepentingan negara! Bukankah kalau dia menerima pinangan dan mentaati kehendak ayahnya, maka orang tuanya akan berbahagia? Dan bukankah kalau dia menjadi permaisuri Raja Majapahit yang besar dan kuat, maka kedudukan Pajajaran pun akan kuat pula?
Orang kedua yang pada saat itu merasa berduka adalah seorang pemuda rupawan yang tinggal seorang diri di dalam pondoknya. Pemuda ini adalah seorang panglima perang atau senapati muda dari kerajaan Pajajaran. Namanya sederhana
sekali, yakni Sakri.
Telahtigatahun Sakri menjadi senapati di Pajajaran. Pemuda ini berasal dari Gunung Kidul, di sebuah dusunkecil dekat pantai Laut selatan. Ia adalah putera seorang panembahan atau wiku ahli tapa yang sakti dan suci. Tidak mengherankan bahwa Sakri mendapat gemblengan lahir dan batin oleh ayahnya dan mewarisi kesaktian yang hebat mengagumkan. Setelah menjadi dewasa, ayahnya menyuruh ia merantau dan mencari pengalaman hidup, dan kalau bertemu dengan orang besar yang berjodoh, supaya bersuita (menghambakandiri).
Dalam perantauannya, akhirnya Sakritiba di Pajajaran dan ia memasuki gelanggang ujian yang diadakan oleh Ratu Dewata. Kesaktian dan kegagahannya mengagumkan dan menyenangkan hati Raja Pajajaran hingga ia diterima menjadi seorang senapati muda.
Mengapa Sakri berduka mendengar bahwa Diah Pitaloka terikat jodoh dengan Raja Majapahit? Mudah diduga, Dada pemuda ini telah ditembus panahasmara yang mengandung bisa maha ampuh dan luka di dada kirinya makin lama makin menghebat. Cintanya terhadap puteri itu makin mendalam dan berakar. Akan tetapi, ia hanya seorang senapati muda yang baru menghambakan diri. Dia hanyalah seorang hamba dan kedudukannya hanya setinggi rumput di ladang. Sedangkan Diah Pitaloka adalah seorang puteri raja yang menjadi junjungannya dan kedudukan puteri itu setinggi bintang di langit! Kini, mendengar tentang diterimanya pinangan Prabu Hayam Wuruk atas diri Diah Pitaloka, Sakrihanya dapat menyesalinasib.
Malam itu Sakri tak dapat tidur. Ia duduk di atas sebuah batu di belakang pondoknya sambil berpangku tangan dan memandang ke arah bintang-bintang yang bertaburan di angkasa bebas. Berkali-kali ia menghela napas, tanda dari kehancuran
kalbunya.
"Habislah harapanku, rusak-binasalah cita-citaku. Duhai bintang selaksa, tolonglah aku. Hidupku kosong, tiada pegangan lagi. Apa artinya hidupkutanpa dia??"
Berulangkali ia menghela napas dan wajahnya yang tampan menjadi sepucat bintang yang teraling mega. Kemudian ia teringat akan kampung halaman. Sudah menjadi kelaziman orang bahwa dalam saat duka selalu ia akan teringat akan kampung halamannya. Ia teringat akan ayahnya, dan teringat pula akan adiknya yang bernama Saritama. Kedua orang ini adalah orang- orang yang terkasih dalam hidupnya, yakni sebelum ia bertemu dengan Diah Pitaloka. Setelah seluruh hati dan nyawanya tercengkeram oleh kecantikan puteri itu, jarang sekali ia teringat kepada ayah dan adiknya. Tapikini, tiba-tiba terbayanglah wajah kedua orang itu di ruang matanya dan ia menjadi rindu sekali kepada mereka.
Kenangan ini mengingatkan ia kembalikepada segala petuah dan pelajaran ayahnya yang bijaksana. Dan timbulah sesal dan kecewa dalam hatiya, Menyesal dan kecewa kepada diri sendiri. Bukankah dulu ayahnya pernah menyatakan bahwa cinta suci itu tak dikotori oleh segala kehendak dan pamrih untuk kesenangan diri sendiri? Bukankah segala perbuatan kebajikan itu baru dapat disebut sempurna apabila tidak dinodai oleh nafsu ingin menyenangkan diri sendiri? Diah Pitaloka telah dijodohkan dengan seorang Raja Besar dan akan menjadi seorang permaisuri yang tinggi dan mulia kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia daripada kedudukannya sekarang sebagai puteri Pajajaran. Bukankah hal ini berartibahagia bagi Diah Pitaloka? Mengapa ia harus menyesal dan berduka? Kalau ia memang benar-benar menyintai puteri itu, sudah seharusnya apabila ia ikut bersukur melihat orang yang dikasihinya itu menjumpai kemulaiaan dan
mengecap kebahagiaan. Ah, alangkah sesatnya jalan pikiran dan gelora perasaannya tadi. Hampir saja ia dibutakan oleh nafsu mudanya.
Sakri menghela napas lagi, akantetapi kini penuh kesadaran. Ia harus menerima nasib, Ia harus berani menerima sakit hati dan berani berkurban demi cintanya kepada Diah Pitaloka. Pikiran ini melapangkan dadanya dan ia lalu bangun dari duduknya, dan masuk ke dalam pondoknya. Terdengar ayam jantan berkeruyuk tanda bahwa fajartelah mendatang. Tanpaterasa olehnya, iatelah duduk melamun semalam suntuk di belakangrumahnya!
Oleh karena perjalanan dari kerajaan Pajajaran ke kerajaan Majapahit bukanlah perjalanan yang dekat dan mudah, maka Ratu Dewata memberi perintah agar semua senapati dan panglima ikut mengiringkan kepergiannya mengantar Diah Pitaloka ke Majapahit. Hanya beberapa orang panglima tua saja yang ditinggal di kerajaan untuk menjaga kerajaan. Sakri juga tidakketinggalandandiharuskan mengiringkan rombongan itu.
Rombongan keluarga agung ini berangkat dengan diantar oleh seluruh rakyat sampai di luarkota raja. Di sepanjang jalan, rakyat di dusun-dusun yang sudah mendengar akan rombongan ini, sudah menanti di pinggir jalan untuk menyambut dan menghormat junjungan mereka dan mengagumi kecantiakn Diah Pitalokayangnaik dalam sebuahtandu.
Sakri menunggang kudanya yang hitam dan besar. Kuda ini adalah hadiah dari Ratu Dewata dana karena berbulu hitam mulus, maka ia memberi nama Gagak Tantra. Pemuda ini nampak gagah sekali hingga beberapa kali sang puteri yang tanpa disengaja menjenguk dari jendela tandu yang tertutup tirai sutera biru, melihat dia dengan pandangan mata kagum. Puteri ini merasa bangga sekali akan pahlawan-pahlawan dan ksatria- ksatria Pajajaran. Sambil duduk kembali dan menyandarkan
tubuhnya di dalam tandu, ia menghela napas dan tersenyum. Di dunia ini tidak ada ksatria-ksatria yang hebat dan gagah seperti ksatria-ksatria Pajajaran, pikirnya.
Rombongan bergerak maju dengan cepat pada siang hari sedangkan pada malam hari rombongan itu bermalam di sebuah dusun yang dilalui. Kadang-kadang mereka harus bermalam di sebuah hutan, akan tetapi oleh karena rombongan itu telah membawa perbekalan lengkap, maka biarpun bermalan di dalam hutan, mereka dapat membangun sebuah tempat darurat untuk tempat bermalam Sang Prabu dan puterinya.
Pada hari ketujuh, mereka tiba di perbatasan Majapahit yang mempunyai daerah luas sekali. Oleh karena kemalamandi sebuah hutan yang liar dan luas, terpaksa rombongan itu membangun seuah pondok darurat untuk Ratu Dewata dan Diah Pitalokatanpa ada prasangka akan adanya malapetaka yang mengancam keselamatan mereka.
Didalam hutanyang liar itu tinggal serombongan begal yang ganas. Kepala begal itu bernama Jatimurka, seorang berusia tiga puluhtahun lebih yang bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis menakutkan. Ia sangat digdaya dan memiliki ilmu weduk hingga tubuhnya tidak mempan tapak paluning pande (tak dapat dilukai oleh senjata tajam)! Disamping kehebatan dan kekebalan ini, dia jugatelah mempelajari pelbagai ilmu hitam, yakni ilmu sihir yang dipelajarinya dari seorang dukun pemuja setan di hutan roban. Jatimurka memimpin empat puluh orang lebih anggauta perampok rata-rata memiliki ketangkasan dan kepandaian berkelahi. Oleh karena ini, mereka ini ditakuti sekali dan jarang ada orang disekitar hutan ituberanimemasuki hutan.
Jatimurka telah mendengar akan kedatangan rombongan Ratu Dewata dan puterinya yang terkenal cantik-jelita. Maka diam-diam ia sendiri bersembunyi di balik rumpun alang-alang
dan mengintai. Ketika ia melihat wajahDiah Pitaloka,ia menjadi tergila-gila dan biarpun hatinya gentar juga melihat para bayangkari (pengawal raja) dan panglima, namun ia telah mengambilkeputusan tetapuntuk menculik sang puteri!
Malam itu gelap-gulita. Suasana di luar lingkungan yang dibuat oleh barisan penjaga, sangat menyeramkan. Pohon-pohon hutan berubah bagaikan raksasa-raksasa siluman yang tinggi besar dan bergerak-gerak. Suara burung-burung malam terdengar seakan-akan sekalian isi neraka pada keluar dan datang di hutan itu menambahkan seramnya kedadaan.
Berkat ketinggian ilmu batinnya, Sakri menjadi tidak enak hati dan merasa seakan-akan ada bahaya mendatang. Tentu saja ia tidak dapat memberitahukan kepada orang lain maka diam-diam ia mengadakan pemeriksaan dan berkeliling memeriksa para penjaga yang ditugaskan menjaga di setiap penjuru. Telah tiga kali ia berkeliling, akan tetapi keadaan aman hingga dadanya menjadi agak lapang. Pondok tempat Raja dan Puteri beristirahat telah sunyi, tanda bahwa penghuninya sudahtidur pulas.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba Sakri merasa betapa kantuk menyerangnya dengan hebat sekali. Hampir saja ia tak dapat bertahan lagi dan ia lalu duduk menyandarkan tubuhnya yang letih ke batang pohon jati. Pelupuk matanya bagaikan melekat dan sukar sekali dibuka. Tiba-tiba ia ingat akan perasaan tadi dan dengan sekuat tenaga batinnya ia melawan rasa kantuknya. Ia lalu berjalan ke arah penjaga dan alangkah marahnya melihat betapa tiga orang penjaga itu telah tidur saling tindih di atas tanah, mendengkur dengan enaknya! Ia pegang pundak mereka dan diguncang-guncangkanya. Akantetapi, tubuh penjaga yang tertidur itu bagaikan mayat yang tak mungkin terbangun pula! Sakri merasa gemas dan menghampiri penjaga- penjaga di sudut lain. Sama saja! Penjaga-penjaga disinipuntelah
tidur mengorok! Dan tak mungkin dibangunkan lagi, biarpun ia telah mengguncang dan menamparnya! Sakri berlari ke dalam dan memeriksa para panglima dan bayangkari. Juga mereka semuatelahtidur pulas!
Sakri terkejut dan maklum. Ini adalah ilmu sirep (ilmu sihir untuk menidurkan orang) yang jahat dan mukjijat! Hidungnya mencium bau kemenyan dibakar dan kembang cempaka. Celaka! Tentu ada orang jahat menjalankan sihirnya hingga semua orang kena hikmat sihir itu dan pulas. Kembali rasa kantuk menyerangnya. Akan tetapi, Sakri tidak percuma menjadi putera Panembahan Sidik Panunggal yang sakti mandraguna di Gunung Kidul! Ia lalu duduk menyandarakan diri di batang pohon jati, dan berpura-pura tidur pula, akan tetapi ia kerahkan tenaganya dan menbaca manterauntuk menolak pengaruh jahat itu. Matanya dibuka lebar-lebar memandang dengan penuh perhatian.
Dugaannya memang benar. Jatimurka telah memperlihatkan kepandaiannya, ia mempergunakan ilmu sihir Cempaka-nendra yang berhasil mempengaruhi seluruh anggauta rombongan, kecuali Sakri. Tak lama kemudian, Sakri melihat bayangan hitam tinggi besar berkelebat melompati tubuh para penjaga. Bayangan hitam itu berhenti sejenak, memandang ke kanan kiri seperti lakunya seorang maling, lalu bergerak maju perlahan ke arah pondok dimana Ratu Dewata dan Diah Pitalokabermalam.
Hati Sakri bergetar. Apakah kehendak maling digdaya ini? Ia merasa heran dan ingin melihat selanjutnya. Ia tidak segera menyerbu, akan tetapi diam-diam mengintai dan berjaga-jaga dengan pisau belatinya yang siap di tangan bilamana keadaan memerlukan. Bayangan hitam itu membuka pintu pondok dan Sakri mengintai dari balik daun pintu dengan perhatian. Oleh karena ia melihat bahwa bayangan itu tidak memegang senjata tajam, maka ia menduga bahwa bayangan itu tentu hanya
bermaksud mencuri barang berharga. Akan tetapi, alangkah herannya ketika melihat bayangan hitam itu tidak menghampiri petitempat perhiasan Diah Pitaloka, akantetapi langsung menuju ke pembaringan sang puteri yang tertutuptirai sutera putih.
Tangan Sakri menggigil. Ia tidak berani bertindak di dalam kamar Sang puteri, khawatir kalau-kalau mengagetkan dara itu. Akan tetapi, keraguannya ini memberi kesempatan kepada Jatimurka untuk cepat membuka tirai pembaringan dan secepat kilat ia menubruk, Puteri juwita itu telah berada dalam pondongannya dan Jatimurka melompat keluar!
Bukan main marahnya Sakri ketika melihat bahwa kedatangan penjahat itu tidak lain ialah hendak menculik Diah Pitaloka. Ia melompat keluar dari tempat mengintainya dan membentak,
"Keparat jahanam, lepaskan tanganmu yang kotor dari Sang Puteri!"
Jatimurka terkejut sekali oleh karena ia tidak pernah menyangka bahwa ada orang yang tidak terpengaruh oleh aji sirepnya. Karena kagetnya, ia melepaskan tubuh Diah Pitaloka hingga tubuh dara itu terbanting ke atas tanah. Akantetapi, puteri itu tidak terjaga dari tidur seakan-akan tak merasa sama sekali, bahkan iaterustidur pula dengan enaknya!
"Heh, pemuda keparat. Siapa kau yang berani-berani menghalangitindakan Jatimurka?"
Sakri tersenyum, biarpun hatinya panas sekali. "Bangsat rendah! Kau berani-berani menjatuhkan sihir dan mencoba menculik Sekar Kedaton Pajajaran! Tak tahukah kau bahwa di Pajajaran masih ada seorang panglima yang bernama Sakri dan yang sama sekali tidak takut segala ilmu iblis yang kau keluarkan? Menyerahlah, karena kalau tidak, malam ini tentu
akantewas dalam tangan Sakri!"
"Ha, ha, ha, ha!" Suara ketawa Jatimurka terdengar menyeramkan sekali dan menggema di seluruh penjuru hutan. Jangkerik-jangkerik dan segala bunyi-bunyian binatang hutan serentak diam karena ketakutan mendengar suara ketawa seperti ketawa iblis ini.
"Sakri! Kau anak muda yang masih berbau pupuk di embun- embunkepalamu! Beranimenentang Jatimurka?"
"Jatimurka, manusia iblis! Ingatlah betapapun saktinya kau, akantetapikalautindakanmu sesat, pasti kau akan binasa!"
"Bangsat jahanam!" Jatimurka menepuk kedua tangannya dan dari segenap penjuru berlompatan keluar semua anak buahnya yang berjumlah empat puluh orang lebih! Mereka ini dengan sikap menakutkan menghampiri dan mengurung Sakri!
Tempat itu diterangioleh sinar obor yang banyak dipasang di sekitar tempat itu hingga Sakri dapat melihat wajah mereka yang bengis dan kejam. Maklumlah ia bahwa ia terkurung oleh segerombolan perampok kejam dan ganas. Ia berpikir cepat, dan mengambil keputusan untuk mendahului. Sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menyerang maju dan tiga orang begal kena hantam oleh kedua tangandan sebelahkakinya hingga mereka itu jatuh terguling-guling dan berteriak kesakitan. Pukulan Sakri bukan main kerasnya hingga untuk beberapa lama, begal-begal yang telah kenapukulinitakkandapat bangun lagi.
Sambil berseru marah para begal lalu maju mengeroyoknya dengan parang dan tombak di tangan. Sakri marah sekali, lalu menghunus keluar keris dan sekali tangan kirinya bergerak, ia telah dapat menangkap seorang anggauta begal. Ia lalu mengangkat tubuh lawan ini dan dijadikan perisai! Dengan perisai istimewa ini di tangan kiri dan keris pusakanya di tangan
kanan, Sakri lalu mengamuk. Sepak terjangnya laksana seekor banteng terluka hingga ke mana saja tubuhnya bergerak, tentu terdengar teriakan keras seorang lawan yang roboh mandi darah. Tubuh perisai hidup di tangan kiri Sakri telah lama mampus karena senjata-senjata kawan sendiri yang datang bagaikan hujan dalam penyerangan mereka kepada Sakri, akan tetapi senjata itu semua diterima dengan perisai istimewa itu! Ketika merasa, betapa perisai hidup itu membasahi tangan dan lengannya, Sakri lalu melemparkan mayat ituke arahpengeroyoknya.
Tiba-tiba ia melihat betapa diam-diam Jatimurka mempergunakan kesempatan itu untuk menyaut tubuh Diah Pitaloka lagi dan hendak melarikan gadis itu. Sakri berseru keras dan tubuhnya melayang ke arah kepala begal itu. Karena tidak ingin melukai Diah Pitaloka, Sakri masukkan kerisnya di sarung keris, dan menggunakan kedua tangannya. Tangan kiri ia gunakan untuk memegang dan memeluk pinggang Sang Puteri, sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk mengirim pukulan geledek yang mampir dengan hebatnya dikepala Jatimurka!
"Aduh!!!" Jatimurka memekik kesakitan dan tubuh Sang Puteri dapatterampas. Sakrilalu melompat ke pinggir dandengan hati-hati meletakkan tubuh Diah Pitaloka ke atas rumput. Pada saat itu, Jatimurka yang bertubuh kebaltelah bangunkembali dan melompati Sakri dengan keris terhunus dari belakang! Juga para begal lainnya lalu maju mengeroyok!
Sakri memutar otaknya. Kalau ia melayani semua orang ini tentu Jatimurka akan mendapat kesempatan menculik Sang Puteri, maka ia menggeram bagaikan suara seekor harimau hingga para anak buah begal itu tergetar dan menahan serbuan mereka. Saat ini digunakan oleh Sakri untuk menubruk maju kepada Jatimurka dan ketika kepala begal itu menusuk dengan keris, Sakri memiringkan tubuh, menggunkan tangan kiri
menolak pergelangan tangan lawan dan secepat kilat tangan kanannya mengirim pukulannya yang disertai Aji Kelabang Kencana! Bukan main hebatnya pukulan yang mempunyai kemujijatan bagaikan mengandung racun ribuan kelabang menyengat ini! Seketika itujuga, tubuh Jatimurka bergulingan di atas tanah, mangaduh-aduh, menjerit-jerit, memekik-mekik kesakitan kemudian diam tak bergerak. Tubuhnya telah bengkak- bengkak dan matangbiru dannyawanyatelah melayang!
Melihat kehebatan pemuda ini, sisa kawanan begal itu lainnya melempar senjata mereka lari tunggang langgang di dalam gelap!
Sakri mengatur napas untuk memulihkan kekuatannya. Kemudian ia menghampiri tubuh Sang Puteri yang masih rebah tak sadarkan diri di atas tanah. Dengan penerangan obor, wajah puteri itu nampak cantik-jelita mendebarkan jantung Sakri. Pada saat itu, Sang Puteri tersenyum dalam tidurnya, seakan-akan sedang bermimpi bertemu dengan calon suaminya, Raja Majapahit!
Sakri mengurungkanniatnya hendak memondong tubuh Diah Pitaloka dan membawanya kembali ke peraduan. Ia lalu mengerahkan tenaga batinnya, membaca mantera dan menggunakan tangankanannya menguap muka gadis itu tiga kali sambilberkata perlahan.
"Sang Puteri, sadar dan bangunlah!"
Diah Pitaloka bagaikan disiram air dingin. Serentak ia bengun duduk dan terbelalak memandang kepada pemuda yang duduk bersila di depannya. Ketika melihat bahwa iapun sedang duduk di atas rumput, kedua matanya bernyala seakan-akan mengeluarkan api dan kedua mata itu ditujukan ke arah wajah Sakribagaikan hendak menembus wajah itu.
Sakri cepat menyembah. "Duhai gusti pujaan hamba, janganlahpaduka melepas pandang seganas itukepadahamba."
"Kau...... Senapati Sakri..... apakah yang telah kau perbuat? Bagaimana aku bisaberada ditempat ini bersama....... kau.......?"
"Ampunkan hamba, gusti. Hamba persilakan paduka melihat ke sebelahsana ." Sambil berkata demikian, Sakri menggunakan ibu jari tangannya menunjuk ke belakangnya. Sang Puteri mengikuti arah ini dengan pandang matanya dan tiba-tiba ia menjadi pucat dan otomatis tangan kanannya diangkat naik menutupi mulutnya! Ia melihat beberapa tubuh yang tinggi besar dan mengerikan bergelimpangan di situ dan ketika melihat muka dan tubuh Jatimurka yang bengkak-bengkak mengerikan, hampir saja ia menjerit dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya!
"Sakri....... apa....... apakah yang telah terjadi dan mengapa orang-orang kitatidak ada yang muncul?"
Dengan sabar dan tenang, tetapi dengan suara agak gemetar oleh karena selamanya tak pernah ia bermimpi akan dapat bercengkerama berdua di atas rumput dan berhadapan dengan Diah Pitaloka, Sakri lalu menuturkan segala peristiwa yang telah terjadi.
"Aduh Dewata yang agung!" Diah Pitaloka menyebut nama dewata. "Keparat, laknat betul si Jatimurka! Berani bedebah itu mengotoritubuhku dengan tangannya! Binasakan dia, Sakri!"
Sakri menahan senyumnya melihat perubahan pada diri dara jelita ini. Tadinya ia merasa demikian takut dan ngeri, tapi sekarang begitu bersemangat dan berani! "Dia sudah hamba binasakan, gusti."
Kini Diah Pitaloka berdiri dan ia pandang wajah pemuda tampan dan gagah yang dengan berani memandangnya dari
bawah. "Sakri kau memang gagah perkasa. Entah bagaimana jadinya kalau tidak ada kau!" Suaranya terdengar mengandung keharuan besar dan bahkandisertaiisak.
Sakri lupa diri dan serentak ia bangun berdiri pula. Ditentangnya pandang mata dara itu dengan sinar mata yang mengandung apiasmara sepenuh hatinya, hingga Diah Pitaloka menjaditakut dan malu lalu menundukkan muka. "Mengapa pula kau memandangku seperti itu, Sakri?" tanyanya lembut.
Sakri sadar kembali dan menghela napas. "Ampun beribu ampun, gusti pujaan hamba. Hamba hampir lupa bahwa paduka adalah junjungan hamba, bahwa hamba hanyalah seorang senapati rendah, dan bahwa paduka adalah calon permaisuri Majapahit yang mulia!" Kembali Sakri menghela napas.
Untuk beberapa lama Diah Pitaloka tak dapat menjawab atau mengeluarkan kata-kata. Ia hanya memandang kepada Sakri yang bertunduk dengan mata basah oleh air mata yang di tahan- tahannya. "Sakri,...... Sakri, jangan kau berkata demikian kepadaku, pahlawan yang gagah perkasa! "Hanya sampai sekiankah baktimuterhadap Pajajaran?"
Walau kata-kata ini diucapkan dengan suara bisikan tercampur sedu-sedan, namun pengaruhnya menikam jantung pemuda itu, membuatnya merasa rendah dan hina dan ia merasa malu sekali. Akantetapi berbareng semangatnya bangkit kembali. Ia lalu menyembah dan berlutut, mengangkat dadanya dan berkata dengan suara gagah,
"Gusti yang hamba muliakan, hamba adalah senapati dan panglima Pajajaran sejati. Untuk paduka, hamba rela mengurbankan nyawa dan tubuh yang tak berharga ini! Mulai saat ini, hasrat hamba hanya tunggal, yakin mengharap kebahagiaan paduka dan membela paduka sampai hayat meninggalkan badan!"
Diah Pitaloka sangat terharu. Ia mengulurkan tangan kepada Sakri. Pemuda itu menerima jari-jari yang halus dan mungil itu sambil memandang ke atas dengan mata penuh pertanyaan. Melihat bahwa puteri itu memandangnya dengan mata basah dan bibir tersenyum, ia maklum bahwa ia dapat perkenaan, maka ditariknyalah jari-jari itu ke hidung dan mulutnya dan diciumnya dengan penuhkhidmat, hormat dan sepenuh perasaankasihnya.
Diah Pitaloka mengulurkan tangan karena hatinya tergerak oleh rasa haru dan kagum, akan tetapi kasih sayang yang memancar keluar dari hati sanubari Sakri dan yang menjalar ke bibirnya, oleh Sang Puteri dirasakan bagaikan api membakar ujung jarinya. Dengan gerakan perlahan dan lemah lembut Diah Pitalokamenarik kembali tangan itu dan berkata,
"Sakri, kuharap kau suka melindungi namaku dari cemar dan malu. Janganlah kau ceritakan kepada siapa juga akan usaha buruk Jatimurka yanghendak menculikku."
"Hamba junjung tinggi perintah paduka dan hamba bersumpah takkan membocorkan peristiwa yang menimpa paduka malam hari ini. Ancaman maut sekalipun takkan kuasa membuka mulut hamba!"
Setelah melempar senyum manis yang mengandung penuh rasa terima kasihke arah Sakri, Diah Pitaloka lalu kembali dalam biliknya.
Serasa dalam mimpi segala peristiwa malam itu bagi Sakri. Dadanya masih bergelombang dan pikirannya nanar karena pertemuan dengan dewi pujaan hatinya yang tak tersangka- sangka itu. Ia merasa berbahagia sekali karena sudah mendapat anugerah dewata dan diberi kesempatan membela Diah Pitaloka. Kini hidupnya tidak kosong seperti yang dideritanya dalam beberapa hari semenjak puteri itu ditunangkan dengan Raja Majapahit. Kini ia memiliki pegangan hidup kembali, yakni
bahwa seluruh jiwa-raganya akan ia persembahkan demi kebahagiaan dan keselamatan dewi yang dicintainya itu. Untuk beberapa lama Sakri tidak bergerak dari tempat duduknya semula. Ia tetap duduk bersila di atas rumput dan tak bergerak bagaikan patung.
Akhirnya, setelah gelombang di dalam dadanya mereda, ia bangun berdiri lalu mengeluarkan aji kesaktiannya untuk mengusir pengaruh sirep Cempaka-nendra yang masih meracuni udara di sekitar tempat itu. Maka sadarlah semua penjaga yang tadinya tertidur. Mereka menggosok-gosok mata dengan terkejut dan heran. Alangkah kaget mereka ketika melihat banyak mayat bergelimpangan di situ. Juga para panglima segera berlarikeluar. Keadaan menjadi ribut. Sebenarnya, diantara semua senapati dan panglima, banyak yang pandai dan sakti, seperti misalnya Patih Anepaken, Demang Cabo, Penghulu Borang, Patih Pitar dan lain- lain. Akan tetapi mereka ini tadinya sama sekali tak pernah menduga akan datangnya bahaya hingga tidak sampai berjaga diri. Kalau saja mereka tahu akan datangnya bahaya yang mengancam, tentu mereka kuasa menolak sirep yang dilepas oleh Jatimurka.
Sakri lalu dihujani pertanyaan dan dengan terus terang Sakri menceritakan bahwa gerombolan begal itu melepas sirep yang ampuh dan datang bermaksud merampok. Untung ia dapat membunuh kepala begal dan beberapa orang kaki tangannya, hingga yang lain-lain lalu melarikandiri.
Ratu Dewata yang juga terjaga dari tidurnya mendengar ribut-ribut, ketika mendengar akan kegagahan Sakri, merasa berterima kasih sekali dan memuji-muji ketangkasan pemuda itu. Tak lupa raja ini menegur sekalian senapati dan bayangkari oleh karena kelalaian mereka, hingga kalau tidak ada Sakri yang waspada dan hati-hati, tentu begal-begal itu telah berhasil
mencuribarang-barangberharga!
Pada keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan dengan cepat. Berkat penjagaan para pengawal yang semenjak terjadinya peristiwa itu kini berlaku sangat tertib dan hati-hati, perjalanan rombongan itu selamat tidak terhalang sesuatu.
Beberapahari kemudian, romebongan Ratu Dewatatelahtiba di Bubat, sebuah lapangan yang luas di sebelah utara ibu kota Majapahit. Di tempat ini Sang Prabu memerintahkan supaya romebongan memasang kemah dan mereka berhenti di situ. Pak Lurah Bubat menerima kedatangan tamu-tamu agung ini dengan gugup dan gembira dan menyediakan apa yang ada sekuasanya untuk menjamu Raja calon mertua junjungannya yang terhormat itu. Kemudian, tergopoh-gopoh Lurah Bubat pergi menghadap ke Majapahit untuk mengabarkan perihal kedatangan rombongan Raja Pajajaran yang mengantarkan puterinya ke Majapahit. Ratu Dewata dan sekalian pengiringnya menunggu di Bubat dengan sabar sambil beristirahat setelah melakukan perjalanan yang jauh dan penuh bahaya itu.
Keputusan Sang Prabu Hayam Wuruk untuk mengangkat puteri sekar-kedaton Pajajaran sebagai permaisuri disambut dengan gembira oleh rakyat Majapahit, oleh karena rakyat Majapahit sendiri sudah lama mendengar akan kecantikan puteri dan kepandaian puteri itu. Akan tetapi, ada dua orang pembesar di Majapahit yang tidak puas dan tidak setuju akan keputusan Sang Prabu ini. Mereka adalah Wijayarajasa, Raja di Wengker dan Sang Patih Gajah Mada sendiri! Wijayarajasa adalah suami Diah Wiat yang menjadi adinda Tribuwanatungga Dewi atau bibi dari Prabu Hayam Wuruk sendiri. Wijayarajasa tidak senang mendengar keputusan Sang Prabu untuk mengangkat seorang puteri Pajajaran sebagai permaisuri, oleh karena sudah lama ia
ingin melihat puterinya yang juga cantik-juita bernama Susumnadewi, yakni puteri dari seorang selirnya yang terkasih, untuk menjadi permaisuri di Majapahit!
Adapun Patih Gajah Mada tidak puas akan putusan Prabu Hayam Wuruk bukan karena mempunyai sesuatu niat demi kepentingan sendiri sebagaimana halnya Wijayarajasa, namun semata-mata karena terdorong oleh rasa baktinya terhadap Sang Prabu dan Kerajaan Majapahit. Menurut pendapat Patih Gajah Mada seyogianya Sang Prabu mengangkat seorang puteri Jawa pula sebagai permaisuri, oleh karena selain terdapat perbedaan adat-istiadat dengan puteri Pajajaran, juga hal ini akan menimbulkan rasa iri hati di kalangan raja-raja kecil. Kalau Sang Prabu mengambil puteri Pajajaran sebagai permaisuri muda atau selir, kiranya Patih Gajah Mada akan dapat menyetujuinya, namun sesungguhnya, sikap menentang keputusan Sang Prabu, yang terkandung dalam hati Patih Gajah Mada, tidak sehebat rasa penasaran Wijayarajasa.
Diam-diam Wijayarajasa mencari akal untuk menghalangi pernikahan agung ini. Ketika mendapat kabar bahwa Lurah Bubat berangkat ke kota raja, ia mencegatnya di jalan.
Ketika bertemu dengan raja Wengker yang menjadi paman dari Sang Prabu Hayam Wuruk Lurah Bubat segera berlutut menyembah.
"Pak Lurah Bubat kiranya yang berjalan tergesa-gesa ini! Ada keperluan apa maka kau nampak demikian gugup?" tanya Wijayarajasa.
"Hamba hendak pergi menghadap Sang Prabu di kota raja untuk mewartakan tentang kedatangan rombongan Gusti Prabu dari Pajajaran," jawabnya.
"O, jadi Raja Pajajaran yang hendak mempersembahkan
puterinya itu telah tiba?" kata Wijayarajasa dengan tersenyum mengejek, kemudian sambungnya. "Eh, ki lurah, dengan maksud apa engkau hendak menyampaikan berita kedatangan mereka kehadapan Gusti Prabu Hayam Wuruk?"
Pak Lurah Bubat memandang heran. "Bukankah itu sudah seharusnya dan menjadi kewajiban hamba, gusti? Hamba mewartakan kekota raja, agar rombongan dari Pajajaran itu disambut, karena merekakini sedang menanti di Bubat."
"Dengar, ki lurah, kau harus menurut perintahku. Dan awas, kalau kau tidak mentaati perintahku ini, kau dan seluruh keluargamu akan kutumpas!"
Menggigillah seluruh tubuh Ki Lurah Bubat mendengar ancaman yang diucapkan secara tiba-tiba ini. "Apa..... apakah maksudpaduka gusti?"
"Kau perlambat perjalananmu, hingga besok baru boleh menghadap Sang Prabu, dan apabila kau telah menghadap, beritahukanlah bahwa kau diutus oleh Raja Pajajaran yang menuntut supaya Sang Prabu Hayam Wuruk sendiri datang menyambut kedatangannya di Bubat!"
Lapanglah dada ki lurah Bubat. Tadinya ia menyangka bahwa apa yang akan diperintahkan itu adalah sesuatu yang hebat. Tetapi kiranya hanya demikian saja kehendak Raja Wengker ini. Dan bukankah sudah seharusnya kalau calon mantu menyambut calon mertuanya?
"Baiklah, gusti. Hamba akan mentaati perintah paduka," jawabnya.
"Nah, aku berangkat lebih dulu, Ki Lurah. Ingat besok pagi kau boleh datang menghadap ke keraton."
Setelah memberi pesan itu, Wijayarajasa lalu memacu
kudanya menuju kekota raja dan langsung menemui Patih Gajah Mada.
Setelah saling memberi salam, Wijayarajasa lalu memberitahukan bahwa rombongan Raja Pajajaran telah tiba di Bubat dan bahwa menurut berita angin yang ia dengar, Ratu Dewata dari Pajajaran itu tidak mau melanjutkan perjalanan dan akan menanti sampai datang rombongan penyambut dari Majapahit. Patih Gajah Mada menjawab bahwa hal itu sudah semestinya dan bahwa ia sendiri bersedia mengadakan sambutan di Bubat apabila diperintah oleh Sang Prabu Hayam Wuruk. Dengan cerdik dan tidak kentara, malam hari itu Wijayarajasa membayangkan kepada Patih Gajah Mada bahwa Ratu Dewata adalah seorang raja yang sombong, angkuh dan merasa lebih tinggi kedudukannya daripada Prabu Hayam Wuruk sendiri.
Gajah Mada adalah seorang perwira gagah perkasa yang beradat jujur dan keras hati. Menghadapi siasat kelemasan lidah Wijayarajasa yang pandai bertukar-kata, akhirnya ada juga sedikit pengaruh obrolannya yang membuat hati Gajah Mada merasa kurang senang kepada Raja Pajajaran itu. Wijayarajasa girang sekali bahwa ia telah berhasil menanam bibit kebencian dalam dada patihyang berpengaruh ini.
Pada keesokan harinya, barulah Ki Lurah Bubat berani menghadap Sang Prabu Hayam Wuruk yang sedang bersiniwaka dihadap oleh semuapembesar dan panglimanya.
Setelah menyembah dengan khidmad, Ki Lurah Bubat berkata,
"Ampunkan hamba yang telah berlaku lancang dan berani menghadap tanpa dipanggil, Gusti. Hamba menyampaikan berita bahwa rombongan dari Pajajaran telah tiba di Bubat dan kini memasang pesanggrahan disana . Sang Nata Ratu Dewata dari Pajajaran berkenan mengutus hamba untuk menyampaikan berita
ini kepada paduka gusti, dan....... dan...... Sang Nata dari Pajajaran minta agar supaya paduka sudi menyambut dan menjemput rombongan mereka di Bubat!" Ki Lurah Bubat teringat akan ancaman Wijayarajasa yang pada saat itujuga hadir di situ.
Berserilah wajah Sang Prabu Hayam Wuruk mendengar berita baik ini. Sang Prabu merasa gembira sekali karena hendak bertemu dengan puteri juita yang telah lama dirindukannya.
"Baiklah, baiklah....." ujarnya. "Paman Patih Gajah Mada, segera siapkanlah semua pengiring. Aku hendak berangkat memapak mereka sekarang juga di Bubat!"
Akan tetapi, pada saat itu bibit racun yang semalam ditanam oleh Wijayarajasa di dalam hati Gajah Mada, telah mulai bersemi. Mendengar bahwa Raja Pajajaran itu minta agar supaya Sang Prabu Hayam Wuruk sendiri menyambut dan menjemput di Bubat, Patih Gajah Mada merasa marah sekali. Alangkah sombongnya Raja Pajajaran, pikirnya! Maka ia menyembah dan berkata,
"Ampunkanlah hamba beranimenyampaikankatahatihamba kepada paduka, gusti. Bukan semata-mata hamba hendak membantah perintah dan kehendak paduka, akan tetapi yang hendak hamba haturkan ini adalah sekadar usul untuk menjadi bahan pertimbangan paduka dan sukurlah apabila paduka dapat menyetujui usul hamba ini. Menurut pendapat hamba, kurang sempurna dan bukan selayaknyalah apabila paduka sendiri pergi melakukan penyambutan ke Bubat. Demikianlah sebabnya. Kedudukan Raja di Pajajaran tidak lebih tinggi daripada kedudukan para ratu lain yang telah takluk dan mengakui kedudukan paduka sebagai Maharaja, hingga kedudukan paduka lebih tinggi daripada kedudukan raja di Pajajaran. Apabila kini paduka sendiri sampai menyambut dan memapak mereka di
Bubat, hal ini sangat merendahkan kedudukan paduka sebagai Maharaja. Terutama sekali hal ini akan mendatangkan iri hati dan tidak senang di kalangan para raja lain dan akhirnya hanya akan mendatngkan keruwetan dan kekacauan belaka. Apabila mereka itu menyatakan ketidaksukaan dan iri hati mereka. Kalau Sang Prabu Pajajaran minta dijemput, biarlah hamba dan para panglima yang menjemputnya sebagai wakil paduka, dan paduka cukup menanti di keraton untuk menyambut kedatangan mereka. Nah, demikianlahusul dan pendapat hamba yang hamba dasarkan semata-mata demi keluhuran nama Paduka dan kebesaran kerajaan Majapahit gusti."
Termenunglah Sang Prabu Hayam Wuruk mendengarucapan Patih Gajah Mada ini. Kalau orang lain yang mengeluarkan ucapan ini, mungkin Sang Prabu akan marah. Akan tetapi, Sang Prabu Hayam Wuruk telah yakin dan percaya penuh akan kebijaksanaan dan kesetiaan Patih Gajah Mada dan maklum pula bahwa usul ini benar-benar berdasar kesetiannya demi kebaikan Raja dan Negara.
Setelah diam sejenak, Sang Prabu Hayam Wuruk lalu bersabda,
"Benar dan tepat pendapatmu, Pamanda Patih. Bukan karena kecongkakan, bukan karena kurang hormat, dan jugabukanuntuk merendahkan kedudukan Rama Prabu di Pajajaran, akan tetapi aku tidak mengadakan penjemputan sendiri hanya untuk mencegah iri hati dan ketidak-senangan fihak ketiga. Kau benar, dan demikianlah seyogjanya. Jemputlah mereka dan aku menanti disini."
"Ki lurah, cepatlah kau kembali ke Bubat dan beritahukan kepada Ratu dari Pajajaran bahwa Sang Prabu tak dapat menjemput sendiri, akan tetapi Patih Gajah Mada yang akan mewakilinya."
Ki Lurah Bubat segera memacu kudanya kembali ke Bubat, akan tetapi di tengah jalan ia ditahan lagi oleh Wijayarajasa. Kembali Raja Wengker ini mengancam dan minta supayaki lurah menyampaikan kepada Sang Prabu dari Pajajaran bahwa Sang Prabu Hayam Wuruk tidak suka menjemput dan memerintahkan agar supaya para tamu itu segera menghadap dan ditunggu di Majapahit.
Ki Lurah Bubat tak berani membantah dan mempercepat perjalanannya.
Sesungguhnya, tidak ada sesuatu tuntutan timbul dari fihak Pajajaran . Sang Prabu beserta rombongannya berhenti dan berkemah di Bubat tak lain hanya untuk beristirahat dan untuk bersiap-siap memasukikota raja. Tentu saja rombongan itu mengharapkan datangnya rombongan penyambut dari keraton Majapahit sebagaimana lazimnya.
Karena belum juga ada rombongan penyambut yang datang, Ratu Dewata lalu mengutus beberapa orang senapati dan pahlawan membawa perajurit pergi kekota raja untuk memberitahukan bahwa rombongan dari Pajajaran telah siap- sedia menerima rombongan penyambut dari Majapahit.
Di tengah jalan, rombongan dan barisan utusan ini bertemu dengan Ki Lurah Bubat. Ki Lurah Bubat lalu memberitahu kepada mereka bahwa Sang Prabu Hayam Wuruk tidak suka menyambut sendiri dan memerinthakan supaya Raja Pajajaran segera masuk ke kota raja dan menghadap kepada Sang Prabu yang sudah menanti dikeraton.
Jawaban ini amat menyakiti hati pemimpin rombongan yang terdiri dari Patih Anipaken, Demang Cabo dan Patih Pitar. Mereka mencela kesombongan Raja Majapahit yang sama sekali tidak menaruh hormat kepada calon mertua. Dengan hati panas mereka melanjutkan perjalanan untuk menunaikan tugas mereka
sebagaiutusan ratu.
Ketika mereka tiba dikota raja, Patih Gajah Mada sedang bersiap sedia untuk berangkat melakukan penjemputan dengan para pengiring dan hulubalang lain. Kedatangan barisan utusan ini segera disambutnya dengan baik.
Akan tetapi Patih Anepaken yang sudah merasa sakit hati dan marah, tak dapat berlaku ramah terhadap Patih Gajah Mada, katanya,
"Sang Nata Pajajaran telah mengutus kami untuk memberi tahu bahwa rombongan Pajajaran telah siap-sedia menerima kedatangan penyambut dan penjemput di Bubat."
Ketika Patih Gajah Mada melihat sikap keras dan mendengar ucapan singkat ini, timbullah marahnya pula. Memang di dalam hati Patih Gajah Mada sudah terdapat racun yang ditanam oleh Wijayarajasa hingga ia telah mempunyai pandangan bahwa orang-orang Pajajaran ini sombong-sombong, sama sekali tidak menyangka bahwa Patih Anepaken juga mempunyai pandangan yang demikian pula terhadap orang-orang Majapahit akibat laporan palsu Ki Lurah Bubat! Syak wasangka dan salah paham telahmengeruhkan pikirandan hatikedua fihak.
"Tidak selayaknya apabila Gusti Prabu Hayam Wuruk yang harus menjemput sendiri," jawab Patih Gajah Mada, "Menurut tingkat dan kedudukan, seharusnya Sang Prabu di Pajajaranlah yang datang menghadap dan langsung menujuke Majapahit tanpa menanti dijemput."
Kedua patih ini mengukuhi pendirian masing-masing yang berdasar membela kehormatan kerajaan sendiri di mana mereka menghambakan diri dan sedikitpun tidak mau mengalah. Maka terjadilah pembantahan. Dalam kemarahanya Patih Anepaken bahkan laluberkatakeras,
"He, Ki Patih Majapahit, alangkah rendahnya kamu orang- orang Majapahit, memandang kami orang-orang Pajajaran! Memang kami akui bahwa Gusti Prabu Hayam Wuruk adalah seorang Maharaja yang besar. Akan tetapi janganlah kamu kira bahwa Gusti Prabu Ratu Dewata kalah dalam keagungan dan kebesarandengan Rajamu!
Kami tidak merasa junjungan kami itu lebih rendah tingkatnya dari junjungan kamu. Ingatlah bahwa Pajajaran bukanlah daerah yang telah takluk kepada Majapahit!" Patih Anepaken mengeluarkan kata-kata ini dengan wajah kemerah- merahankarena marahnya.
Pada saat perang tutur itu terjadi, datanglah Wijayarajasa dan ketika Raja Wengker ini melihat terjadinya pertikaian, hatinya girang sekali dan ia lalu menjawab kata-kata keras Patih Anepaken dengantantangan.
"He, Patih Anepaken! Janganlahkamu mengumbarnafsu dan kesombongan di Majapahit! Ketahuilah bahwa pahlawan- pahlawan Majapahit tak dapat menelan hinaan demikian saja! Gusti Prabu telah berkenan menerima puteri Pajajaran, hal ini sudah merupakan penghormatan yang sangat besar bagi Pajajaran. Pendeknya, Raja Pajajaran harus mengiringkan puterinya kehadapan Gusti Prabu Hayam Wuruk, kalau tidak hal ini akan diselesaikan dengan ketajaman tombak dan kekebalan kulit!"
Patih Anepaken memang berdarah panas. Mendengar ini, ia telah berdiri dari tempat duduknya dan sekali tendang saja hancurlah kursi yang tadi didudukinya. Matanya bernyala-nyala dan hidungnya berkembang-kempis!
"Hai, orang-orang Majapahit! Kau kira Pajajarantidak punya satria-satria? Ketahuilah, bagi kami orang-orang Pajajaran, kehormatan lebih utama daripada jiwa, mengerti?"
Hampir saja terjadi keributan di ruang kepatihan itu dan hampirterjadi adu tenaga diantara para pembesar itu. Akantetapi, biarpun Sakri yang juga hadir di situ telah merasa panas seluruh tubuhnya karena marah, ia tetap dapat mempergunakan kekuatan batinnya untuk menekan kemarahannya itu. Ia lalu melompat ke dekat Patih Anepakendan membujuk.
"Sudah, gusti patih. Untuk apa menurutkan nafsu hati dan marah-marah di sini? Ingat bahwa kita bukan sedang berada di dalammedan peperangan dan sebagai utusan raja kita harus bersikap bijaksana."
Kepala dari Patih Anepaken serasa diguyur air dingin ketika mendengar ucapan Sakri ini dan ia lalu memandang kepada Sakri dengan pernyataan terima kasih. Memang betul, hampir saja ia lupa akan keadaan dan karenanya bahkan merendahkan martabat Rajanya dengan memperlihatkan sikap yang tidak semestinya.
Sementara itu, biarpun Patih Gajah Mada merasa menyesal mendengar tantangan yang diucapkan oleh Wijayarajasa, akan tetapi karena yang mengucapkan adalah orang dari fihaknya, maka ia tidak mungkin dapat menarik kembali kata-kata itu yang berarti akan merendahkan diri sendiri. Maka hanya berkata kepada Wijayarajasa.
"Mereka ini adalah utusan nata dan tidak seharusnya kita menghinautusan nata!"
Wijayarajasa melihat betapa dari sepasang mata Patih Gajah Mada menyinarkan rasa penuh sesal, iatidakberani banyak cakap lagi.
Demikianlah, dalam keadaan sama-sama panas dan
meradang rombonganutusan itukembalike Bubat.
Alangkah murkanya Sang Prabu Dewata mendengar laporan patihnya karena merasa betapakedudukannya direndahkan orang.
Sabdanya dengan marah.
"Ya Jagat Dewa Batara! Mengapa dijatuhkan percobaan sehebat ini kepada hamba?Para pahlawanku sekalian. Memang semenjak kalian berangkat ke Majapahit, telah ada perasaantidak enak dalam hatiku tanda akan adanya bahya mendatang. Kita harus bersiap sedia menjaga datangnya segala kemungkinan. Betapapunhati seorang ayah menyinta puterinya, akantetapi bagi seorang satria, kehormatan lebih besar artinya. Lebih baik hancur-lebur tubuh ini daripada menyerah dalam kehinaan! Persiapkanlah seluruh balatentara, kita menanti datangnya serbuan dari Majapahit! Demi keluhuran Pajajaran kita lawan mereka mati-matian!"
"Hamba rela dan bersedia membela Pajajaran sampai hancur tubuhhamba!" seru Patih Anepaken.
"Hamba bersedia membela Pajajaran sampai titik darah yang penghabisan!!" Sakriikut berseru dengan penuh semangat.
Ratu Dewata menjadi terharu sekali, terutama mendengar seruan Sakri yang hendak membela Pajajaran sampai titik darah penghabisan! Bagi Patih Anepaken dan yang lain-lain, hal ini tidak mengherankan dan bahkan sudah selayaknya, karena mereka adalah orang-orang Pajajaran. Akan tetapi, bukankah Sakriseorang Jawa? Maka sabdanya perlahan,
"Sakri, sudah yakin benarkah hatimu bahwa kau hendak mengurbankanjiwaragamu untuk
Semua orang memandang ke arah pemuda yang gagah perkasa ini, dan Sakri juga maklum ke mana maksud pertanyaan Sang Prabu Dewata itu. Sembahnya,
"Gusti, hamba adalah seorang laki-laki yang menjunjung tinggi sifat satria utama. Semenjak kecil, ayah hamba telah menggembleng hamba dengan ajaran yang luhur dari Sri Kresna
yang bijak dan waspada. Sekali hamba bersuwita, maka hamba akan setia sampai mati!"
Semua orang terharu mendengar ini, dan mereka lalu bersiap sedia menjaga datangnya serbuandari Majapahit.
Patih Gajah Mada mendengar pula dari para penyelidik akan sikap Ratu Dewata dari Pajajaran. Ia maklum bahwa demi membela kehormatan masing-masing, maka pertempuran takkan dapat dielakkan lagi. Maka ia lalu menghadap kepada Prabu Hayam Wuruk untuk minta keputusan dan perkenan akan maksudnya menggempur barisan Pajajaran di Bubat. Sang Prabu Hayam Wuruk menghela napas panjang karena merasa berduka dan kecewa bahwa persoalan menjadi demikian panas dan meruncing. Akan tetapi, sebagai seorang raja, iapun harus mempertahankan kehormatankerajaannya. Dimintanya agar Patih Gajah Mada mencoba membereskan persoalan ini dengan jalan damai dan membujuk Sang Prabu Dewata untuk berdamai dan sudi mengalah, Patih Gajah Mada setelah menyatakan kesanggupannya, lalu mengerahkan sejumlah perajurit yang besar untuk pergike Bubat.
Sebetulnya Patih Gajah Mada juga ingin membereskan kesalah-pahaman ini dengan cara damai. Akantetapi, hal initelah diketahui pula oleh Wijayarajasa, maka Raja Wengker ini lalu mengutus beberapa puluh orang suruhan, yang ini terdiri dari orang-orang jahat yang sanggup menjalankan perintah apa saja asal mendapat upah besar. Begitu tiba di Bubat, mereka menyerang orang-orang Pajajaran dan setelah membunuh beberapa orang yang tak berjaga-jaga, mereka lalu melarikandiri.
Ributlah keadaan di Bubat dan semua orang Pajajaran mendengar bahwa beberapa kawan dari Pajajaran telah terbunuh oleh orang-orang Majapahit! Maka memuncaklah kemarahan mereka hingga ketika barisan Gajah Mada tiba, tanpa banyak
cakap lagi barisan Pajajaran lalu menyerang!
Dan segeralah terjadi perang tanding yang hebat dan dahsyat di Bubat! Peperangan ini terkenal dengan sebutan Perang Bubat dan sampai lama menjadi kenangan orang. Darah membanjir di lapangan Buabat yang luas. Rumput yang tadinya tumbuh segar, menjadi kering dan mati kena injak kaki orang dan kuda. Warna lapangan yang tadinya hijau segar menyedapkan mata, kini berubah merah oleh darah, darah perajurit-perajurit Majapahit dan Pajajaran! Keris dan tombak berkilauan mengamuk menenbus perut dan dada. Pekik dan teriak menggegap-gempita dan debu mengepul ke angkasa membuat sinar matahari menjadi pucat. Kehebatan peperangan di lapangan Bubat ini tiada kalah hebatnya dengan peperangan mahabesar yang disebut Bharata- yuda di lapangan Kurusetra! Ribuan perajurit gagah-perkasa tewas di ujung senjata. Panglima-panglima kedua fihak yang muda, tampan, dan perkasa, gugur bagaikan ratna dalam perang itu!
Sakri mengamuk dengan hebatnya bagaikan seekor banteng sakti mencium darah kawannya! Tubuhnya penuh dengan darah lawan. Berpuluh-puluh orang tewas dalam tangannya. Setiap kali tangan kanannya yang memegang keris bergerak, robohlah seorang perajurit Majapahit, dan tiap kali kepalan tangan kirinya diayun, pecahlah kepala seorang manusia yang menghalang di depannya!
Perajurit-perajurit Majapahit menjadi agak kocar-kacir menjauhi sepak-terjang pemuda yang luar biasa ini, bagaikan serombongan semut didekatiapi.
Paraperajurit dan panglima Pajajaran karena merasa telah jauh dari negaranya, berperang mati-matian dan nekat hingga tak terhitung banyaknya perajurit Majapahit yang tewas.
Melihat kehebatan sepak-terjangnya perajurit-perajurit dan
panglima-panglima Pajajaran, Patih Gajah Mada menjadi marah. Ia mendatangkan balabantuanyang besar jumlahnya, dandiantara balabantuan yang tiba, nampak seorang pemuda yang berpakaian sebagai seorang pemuda petani sederhana. Menurut laporan pemimpin barisanyang baru tiba, pemuda ini menyatakan hendak ikut membela Majapahit dan ikut menghalau musuh. Gajah Mada lalu memanggilnya menghadap.
"Hai, anak muda yang muda rupawan. Siapakah kau dan mengapa kau yang semuda inihendak ikut pula beryuda?"
Dengan suaranya yang halus dan tutur katanya yang sederhana, pemuda itu menyembah dan berkata,
"Hamba bernama Saritama dari Gunung Kidul, Gusti Patih. Dalam perantauan hamba, hamba mendengar bahwa seorang panglima Pajajaran yang bernama Sakri amat digdaya dan sukar dilawan. Maka apablia Gusti Patih memberi perkenan, hamba hendak mencoba melawan panglima Pajajaranyang sakti itu."
Patih Gajah Mada terkejut. Memang iapun telah menyaksikan sendiri kesaktian Sakri pahlawan Pajajaran itu dan telah mengambil keputusan untuk menghadapinya sendiri oleh karena anak buahnya tidak kuat menghadapi amukan Sakri. Akan tetapi, tiba-tiba seorang pemuda dusun telah mengajukan diri hendak menandingi Sakri!
"Cukup kuatkah pundakmu memikul beban ini?" tanyanya dan Patih Gajah Mada melangkah maju mendekati pemuda yang masih duduk bersila di depannya itu. Ia gunakan kedua tangan untuk menekan kedua bahu Saritama dan pemuda itu maklum bahwa Sang Patih sedang mencoba kesaktiannya, karena terasa olehnya betapa sepasang tangan sang Patih itu bagaikan dua buah batu besar yang beratnya luar biasa menekan dan menindih pundaknya! Saritama tersenyum dan berkata,"Hamba rasa beban ini tak cukup berat, gusti!" Dan diam-diam ia mengerahkan
tenaganya ke arah dua pundak yang tertekan.
Patih Gajah Mada merasa terkejut dan berbareng kagum ketika merasa, betapa kedua pundak pemuda itu tiba-tiba menjadi kaku keras bagaikan baja dan dapat menahan tekanan kedua tangannya dengan mudah!
Tertawalah Sang Patih. "Bagus, Saritama. Kau benar-benar pantas disebut Pendekar Gunung Kidul. Maju dan lawanlah Sakri, aku membekali doa restupadamu."
Saritama bertubuh sedang dan berkulit putih kuning. Wajahnya tampan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar gemilang. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan dadanya terbuka telanjang. Telinga kirinya digantungi sebuah anting-anting perak yang mengeluarkan sinar aneh. Senjatanya hanya sebilah keris kecil luk tiga yang diselipkan dalam sarung keris di pinggangnya. Gerak gayanya perlahan dan lemah lembut, akan tetapi tindakan kakinya cepat sekaliketika ia majukemedan perang.
Paraperajurit yang melihat majunya seorang pemuda bertelanjang dada tanpa memegang senjatapun di tangan, merasa sangat heran dan untuk sejenak perajurit-perajurit Pajajaran menjadiragu-ragu. Mereka merasa tidak tega menyerang seorang pemuda yang demikian tampan dan yang maju kemedan pertempurandengan senyum manis di bibir.
Tiba-tiba seorang perajurit Pajajaran maju dengan tombak di tangan. Ia tidak perduli dengan sikap pemuda itu. Siapapun juga orangnya yang sudah maju kemedan perang dan berada di fihak Majapahit, berarti musuh mereka yang harus dibasmi! Akan tetapi Saritama menghadapi perajurit itu dengan tenang. Ketika tombak itu meluncur hendak ditusukkan ke arah dadanya, pemuda ini perlahan sekali memiringkan tubuh dan sekali tangannya bergerak miring, tombak itupatah!
"Sabarlah, aku tak hendak bertempur dengan kalian!" katanya. "Tunjukkanlahdi mana adanya Sakripahlawan besarmu, karena hanya dengandia saja aku maubertemu!"
Masih ada dua tiga orang perajurit yang merasa gemas dan menyerang, akantetapi dengan cara sederhana dan mudah, semua senjata yang menyerangnya dapat dibikin patah! Anehnya, sedikitpun pemuda itu tidak mau membalas serangan atau menyakiti lawannya!
Demikianlah, Saritama terus maju mencari-cari Sakri. Akhirnya, ia bertemu juga dengan Sakri yang sedang mengamuk dan yang kini berdiri dengan tangan kanan memegang keris dan tangan kiri bertolak pinggang karena sudah tidak ada lawan yang berani melawannya lagi! Gagah dan hebat bagaikan Raden Abimanyu mengamuk dilapangan Kurusetra.
Ketika melihat seorang pemuda keluar dari fihak Majapahit, Sakri segera lari menghampiri dengan keris di tangan. Akan tetapi, setelah melihat orangnya yang datang, tiba-tiba tubuh Sakriterasa lemas, dadanya berdebar dan tangan yang memegang keris menggigil.
"Dimas Saritama.......!"
"Kakang Sakri!"
Mereka berdua hanya dapat mengeluarkan kata-kata ini dan berdiri berhadapan saling pandang. Terharu, kecewa, girang, dan duka bercampur-aduk di dalam hati masing-masing, membuat mereka berdua tak kuasa berkata-kata. Tanpa disadari Sakri memasukkankerisnya kembalike dalamsarung keris.
Akhirnya Saritama yang lebih dulu memecah kesunyianyang menyelubungi mereka berdua, "Kangmas, kangmas Sakri, kau..... kau telah menjadi seorang pengkhianat?"
Sakri terkejut mendengar ini. Tadinya ia telah ingin menubruk, memeluk dan menciumi adiknya yang terkasih ini, akan tetapi oleh karena mereka bertemu dalam keadaan bertentangan, ia tidak dapat melakukan hal ini. Pada saat itu, Saritama adalah seorang musuh, musuh Pajajaran yang berarti musuhnya pula!
"Tidak, Saritama!" jawabnya, "aku bukan seorang
pengkhianat!"
"Kau tidak merasa menjadi seorang pengkhianat, akan tetapi kau telah melawan Majapahit. Kalau begitu, apakah selain menjadi seorang pengkhianat, kangmas Sakri juga telah berubah menjadi seorang pengecut yang tidak berani mengakui dosa sendiri?"
"Saritama! Kau adikku yang kucinta, janganlah mulutmu begitu kejam menjatuhkan fitnah keji terhadap kakakmu sendiri! Kalau bukan kau yang mengucapkan kata-kata ini pasti telah kubinasakankau!"
"Sakri! Pada saat ini janganlah kau anggap aku sebagai seorang adik. Kalau kau hendak membinasakan aku pula, lakukanlah, wahai manusia sesat dan gelap mata! Hendak kulihat sampaidimana kekejamanmu."
"Saritama," kata Sakri dengan hati perih, "aku bukan seorang pengkhianat, juga bukan seorang pengecut seperti yang kau duga. Aku sadar dan yakin bahwa perjuanganku ini suci dan benar. Ketahuilah, aku seorang panglima Pajajaran, seorang hamba Pajajaran yang telah lama bersuita di depan Sang Ratu Dewata dan yang telah banyak menerima budi kerajaan Pajajaran. Aku telah bersumpah untuk setia dan membela Pajajaran sampai titik darahku yang penghabisan, yang memang sudah selayaknya menjadi cita-cita seorang satria utama! Dengarlah, wahai anak muda, kalau aku melanggar sumpah dan kesetiaanku terhadap
kerajaan di mana aku menghambakan diri dan aku tidak menghancurkan fihak Majapahit yang telah menjadi musuh Pajajaran yang hendak menjaga kehormatan, bukankah aku menjadi seorang pengkhianat dan pengecut sebesar-besarnya di dunia ini?"
"Tapi lawanmu adalah bangsa dan darah dagingmu sendiri!" bantah Saritama.
"Di dalam yuda, tidak ada hubungan apa-apa, yang ada hanyalah lawan dan kawan. Siapa saja adanya dia yang berdiri di fihak musuh, dialah lawan yang harus dimusnahkan. Cita-cita seorang perajurit utama hanya tunggal, yaitu membasmi musuh dan membela negara serta taat kepada perintah yang menjadi junjungan. Aku melakukan semua ini dengan penuh kesadaran. Saritama, perjuanganku suci dan tanpa pamrih, karena aku hanyalah menunaikan tugasku sebagai seorang perajurit. Kalau kau bukan perajurit Majapahit, menyingkirlah Saritama, dan jangan kau menghalangi perjuanganku yang suci. Kelak, kalau aku tidak terbinasa di ujung senjata lawan, akan kuceritakan kepadamu tentang semua ini."
Saritama tersenyum. "Sakri, kau tenggelam dalam kesombonganmu sendiri! Kaukira bahwa seluruh perajurit yang bertempur mengadu tenaga ini hanya boneka-boneka belaka? Bahwa hanya kau seorang yang memiliki jiwa satria utama? Ketahuilah, wahai panglima Pajajaran yang gagah perkasa, bahwa aku Saritama juga seorang perajurit Majapahit. Majulah, karena akulah lawanmu!"
"Duh Jagat Dewa Batara!" Sakri mengeluh, "mengapa aku harus menjatuhkan tangankukepada adikku sendiri?"
"Sakri, ingatlah akan kata-katamu tadi, kita perajurit sama perajurit. Terima kasih atas pelajaranmu tadi yang membuat hatiku merasa lebih lapang untuk mengadu kerasnya tulang
tebalnya kulit denganmu. Mengaparagu-ragu?"
"Aduh, adikku Saritama..... Kau yang telah lama kurindukan! Tak ada jalan lainkah yang dapat kita ambil? Aku tidak tega menjatuhkan tanganku di atas kepalamu yang kukasihi, Saritama....... kasihanilahkakakmu dan mundurlah."
"Manusia lemah, mana sifat satria yang kau sombongkan tadi?"
Sambil berkata demikian, Saritama melangkah maju dan menyerang dengan pukulan tangannya. Sakri mengelak lemah, akan tetapi Saritama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan gerakan cepat itu sudah menyusul dengan pukulan kedua hingga dada Sakrikenapukul dan panglima itujatuhtersungkur!
"Sakri bangunlah! Mari kita bertempur seperti perajurit- perajurit sejati! Saritama membentak marah karena gemas melihat betapa lawannya itutidak membalas.
Mendengar ucapan ini dan merasa betapa pukulan Saritama kuat dan berat, bangkitlah semangat Sakri. Serentak ia melompat berdiri dan menggeram keras, "Baiklah, Saritama. Mari kau pertahankan serbuan seorang satria Pajajaran!" Maka ia lalu menyerang dengan hebatnya. Kedua teruna remaja yang sama tampan sama gagah itu, kakakberadik yang setelah lama berpisah kini bertemu dimedan yuda menjadi lawan, berkelahi mati- matian!
Keduanya sama kuat, sama cepat, dan sama digdaya. Pukul- memukul, tendang-menendang, hempas-menghempas hingga debu mengebul dari tanah yang mereka pijak. Perkelahian ini demikian hebat dan seru, sehingga para perajurit Majapahit dan Pajajaran yang sedang bertempur di dekat tempat kedua kakak- beradik ini beryuda, menghentikan pertempuran mereka dan menonton perkelahian ini dengankagum!
Sakri dan Saritama bertempur bagaikan dua ekor harimau berebut kelinci. Sepak-terjang Sakri bagaikan Gatutkaca yang menyambar-nyambar dengan hebatnya, kuat dan cepat gerakannya. Sedangkan Saritama yang lebih halus gerak-geriknya itu bagaikan Raden Angkawijaya yang biarpun bergerak lemah- lembut, akan tetapi selalu tepat cekatan. Tak banyak bergerak dalam mengelak sebuah serangan, dan setiap pukulan yang dilancarkan, biarpun kelihatannya dilakukan dengan perlahan, namun mengandung tenaga yang cukup besar untuk menghancurkan kepala seekor banteng!
Pertempuran itu berjalan seru dan lama hingga para perajurit kedua fihak bersorak-sorak membela jago masing-masing. Baik Sakri, maupun Saritama keduanya merasa betapa berat dan kuat orang yang menjadi lawannya. Sakri diam-diam merasa kagum dan girang melihat kehebatan adiknya, akan tetapi oleh karena pada saat itu adiknya menjadi seorang Majapahit, terpaksa harus dibinasakan! Sakri menggertak gigi untuk menguatkan hatinya, kemudian ia mencari kesempatan. Ketika kesempatan yang dinanti-nanti itu tiba, cepat bagaikan petir menyambar ia mengirim pukulan tangan kanan yang disertai Aji Kelabang Kencana yang bukan main dahsyatnya! Pukulan sakti ini tepat mengenai pangkal telinga Saritama dan tubuh Saritama terpental jauh lalujatuhdi atas tanah tanpa daya!
Kalau saja yang terkena pukulan itu bukan Saritama, Satria Gunung Kidul yang telah digembleng secara hebat oleh ayahnya, pasti akan tewas di saat itu juga. Akan tetapi, Aji Kelabang Kencana mempunyai kesaktian luar biasa hingga biarpun tidak tewas, namun tubuh Saritama telah menjadi bengkak-bengkak dan matang biru! Pemuda ini merangkak bangun dan mukanya yang tampan kini telah menjadi tidak karuan macamnya, bengkak-bengkak hinggakedua matanya hampir tak nampak lagi. Bukan main rasa sakit yang diderita oleh Saritama, akan tetapi
satria ini menguatkan tubuh dan hatinya dan hanya sedikit keluhanterdengar darimulutnya yang bengkak-bengkak itu.
"Aduh, Rama panembahan, tak kusangka Saritama akan tewas dalam kakangmas Sakri sendiri....." Kemudian ia merangkakbangundan berserukeras kepada Sakri.
"Panglima Pajajaran, janganlah berlaku kepalang-tanggung, majulah dan padamkanlah apiku kalau kau memang seorang satria!"
Semenjak ia memukul Saritama dengan Aji Kelabang Kencana dan melihat betapa adinda yang dikasihinya jatuh berguling dengan tubuh dan muka bengkak-bengkak mengerikan, lenyaplah seketika itu juga semangat bertempur dalam dada Sakri. Ia merasa ngeri dan kasihan sekali. Apalagi setelah mendengar Saritama mengeluh dan menyebut ramanya, hancur luluh perasaan Sakri. Ramanya dulu pernah berkata bahwa kelak ia harus mewakili rama-ibu dan mendidik serta menjaga Saritama, akan tetapi sekarang, dia sendiri telah berusaha sekuasanyauntuk membinasakan adindanya itu!
Tak tertahan lagi rasa terharu yang melemahkan hatinya. Ia lalu menubruk maju sambil memekik, "Adimas Saritama......"
Saritama hendak mengelak, akantetapi oleh karenatubuhnya telah menjadi lemah dan sakit-sakit, ia tak kuasa melepaskan rangkulan kakaknya. Sakri lalu menggunakan tangan kanannya untuk memijit-mijit dan mengusap-ngusap muka dan tubuh adiknya, menggunakan kesaktiannya untuk menghilangkan Aji Kelabang Kencana yang menyerang tubuh Saritama. Memang selain memiliki Aji Kelabang Kencana dahsyat, Sakri juga mempelajari aji untuk mengobati dan memusnahkan daya serang Kelabang Kencana.
Seketika itu juga, pulihlah keadaan Saritama. Segala
bengkak-bengkak pada muka dan tubuhnya lenyap dan ia merasa segarkembali.
Saritama mencela kakaknya. Dengan cepat ia merenggutkan tubuh dari pelukan Sakri dan berkata, "Kangmas Sakri, mengapa kau memperlihatkan kelemahanmu lagi? Jangan kau memalukan aku, kangmas!"
"Saritama, adikku yang tersayang. Bagaimana aku dapat sampai hatimencelakakankau yang kukasihi? Adinda, sekali lagi kupinta kepadamu, menyingkirlah dan jangan melawan aku. Kelak aku akan minta maafkepadamu, dinda."
Sakri! Kau hendak merendahkan adikmu sendiri? Kalau kau seorang satria utama, apakah akupun bukan seorang satria Majapahit yang pantang mundur dan tidak kenal takut pula? Hayo, majulah dan pergunakanlah aji kesaktianmu pula. Saritama bukan anak kecil yang takut akanmaut!"
Kembali kakak-beradik ini bertempur. Akan tetapi oleh karena Sakri merasa bimbang, ia hanya berkelahi dengan setengah hati, sehingga pada saat yang tepat Saritama berhasil memasukkan pukulannya yang dengan jitu sekali menghantam kepala Sakri. Bukan main hebatnya pukulan ini, oleh karena kali ini Saritama mempergunakan aji kesaktiannya yang bernama Bromo ati. Pukulan ini mempunyai daya bagaikan petir menyambar dan seketika itu jugatubuh Sakrimenjadi hangus dan kulitnya rusak bagaikan terbakar api! Sakri bergulingan di bawah dan mengeluh kesakitan, tak berdayauntuk bangun lagi.
"Kangmas.......... kangmas.......... ampunkan aku......"
Saritama mengeluh.
"Tidak ada yang harus mengampunkan dan tidak ada yang harus minta ampun, dimas. Kita sama-sama perajurit utama, bukan? Kematian bukan apa-apa, teruskanlah perjuanganmu
dengan hati suci. Tak usah kita hiraukan sebab-sebab pertempuran. Tugas kita hanya berjuang, berjuang dengan suci.
Aku..... aku puas, dinda........" Kemudian ia mengeluh dan tiba-
tiba dari mulut keluar keluhan panjang, "Aduh........ adinda Diah
Pitaloka......"
Terkejutlah Saritama mendengar ini. "Kangmas Sakri...... kau..... kau menyinta Diah Pitaloka Puteri Pajajaran?"
Sakri mencoba untuk tersenyum. "Dia. ......... Dia pujaan
kalbu dan sumber kebahagiaanku, dinda..... sampaikanlah salamku kepadanya dan sampaikan pula bahwa aku telah membelakehormatannya sampaititik darah terakhir......."
Dengan sedih Saritama menyanggupi. Pada saat itu, seorang perwira Majapahit yang berdiri di belakang Saritama, ketika mendengar bahwa Saritama, sebenarnya adalah adik dari Sakri panglima Pajajaran itu, menjadi tercengang. Timbul pikiran jahat dalam otaknya. Ia hendak merebut pahala dan jasa karena membinasakan Sakri, pahlawan musuh yang digdaya itu. Maka, diam-diam ia angkat tombaknya tinggi-tinggi dan cepat sekali ia menusuk punggung Saritama dengan tomak itu!
Saritama sama sekali tidak menyangka akan datangnya bahaya oleh karena kedukaannya membuat ia lupa akan segala. Dan oleh karena segala perhatiannya dicurahkan kepada kakaknya, maka agaknya tombak yang ditusukkan ini tentu akan menembusi tubuhnya! Akan tetapi pada saat itu Sakri yang telah hampir mati itu tiba-tiba meloncat bangun dan menubruk ke belakang Saritama hingga tombak itu tidak jadi menancap di punggung Saritama, akantetapitepat memasuki perut Sakri!
Sakri benar-benar digdaya. Biarpun tubuhnya telah hangus dan tombak itu telah menembus perutnya, namun ia masih kuasa menyambar maju dankedua tangannya yang hangus itu mencekik leher perwira itu sampai kedua mata perwira itu melotot dan
lidahnya terjulur keluar. Perwira itu binasa dan setelah melepas tubuh perwira yang telah menjadi mayat. Sakri lalu terhuyung- huyung danjatuhke dalampelukan Saritama,
"Kangmas...... sungguh mulia hatimu. Di saat terakhir kau masih sudimenolongjiwaku."
Akan tetapi Sakri tak kuasa berkata banyak. Ia membuat gerakan agar Saritama mendekatkan telinganya. Pemuda ini mengerti akan isarat kakaknya, maka ia lalu mendekatkan telinganya di mulut kakaknya. Dan dalam saat terakhir itu, Sakri membisikkan semua aji kesaktiannya kepada adiknya yang terkasih ini. Kemudian, satria utama ini menjadi lemas dan menghembuskannapasterakhir. Sakritelah gugur bagaikan ratna, yang takkan lenyap dan pudar kegemilangan namanya selama dunia berkembang!
Saritama mencabut keluar tombak yang masih menancap di perut Sakri dan dengan penuh khidmat ia pondong jenazah itu keluar darimedan pertempuran, diikuti oleh pandangan mata perajurit-perajurit dari kedua fihak. Setelah pemuda itu pergi, maka para perajurit itu mulai bertempur pula dengan hebatnya!
Dengan hati duka, Saritama membakar jenazah kakaknya sambil berdoa. Setelah pembakaran jenazah ini selesai, ia lalu maju pula kemedan pertempuran, bukan untuk ikut bertempur, akan tetapi untuk mencari Puteri Pajajaran dan menyampaikan pesan Sakrikepada Diah Pitaloka.
Setelah Sakri gugur, maka kekuatan fihak Pajajaran makin lemah. Sungguhpun demikian, para satria Pajajaran yang gagah berani dan pantang mundur itu melanjutkan pertempuran sampai orang terakhir! Patih Gajah Mada mengerahkan semua pahlawannya dan akhirnya semua pahlawan Pajajaran dapat dibinasakan dalam pertempuran yang maha hebat itu! Darah mengalir bagaikan anak sungai dan mayat bergelimpangan
bertumpang-tindih memenuhilapangan Bubat.
Diah pitaloka yang mendengar akan kekalahan fihaknya duduk di dalam kemah dengan pikiran kusut dan hatirisau. Tiba- tiba ia teringat kepada Sakri. Ia tidak percaya bahwa fihaknya akan menderita kekalahan. Bukankah di fihaknya ada Sakri, pahlawanyang gagah perkasa itu?
Tiba-tiba sesosok bayangan yang gesit sekali meloncat masuk ke dalam kemahnya dan tahu-tahu seorang pemuda tampanyang sederhana berdiridi situ dengan sikaphormat.
"Hai, siapa kau yang kurang ajar dan lancang memasuki tempat ini?" Diah Pitalokamenegur marah.
"Maafkan hamba, Sang Puteri. Ketahuilah, hamba adalah adik dariseorang panglimamu yang ternama, yaitu Sakri."
"Kau adik Sakri? Dan..... bagaimana dengandia.....?"
Wajah yang tampan dan agak pucat itu nampak berduka ketika menjawab. "Kangmas Sakri telah..... gugur dan kedatanganku ini hanya hendak menyampaikan pesannya, yakni bahwa kangmas Sakri meninggalkan salam dan hormat kepada Sang Puteri dan bahwa kangmas Sakri telah menunaikan tugasnya membelapaduka sampaipada saat terakhir!"
Diah Pitaloka terharu sekali dan ia tidak dapat menahan air matanya yang mengucur turun. Dengan kedua tangannya, ia menutupi mukanya dan tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan sedu-sedan yang keluar dadanya.
"Sakri...... Sakri...... kau pahlawan sejati, satria utama...... terimakasih atas pengurbananmu yang besar, Sakri......"
Ketika Diah Pitaloka menurunkan tangan dan memandang, ternyata pemuda yang mengaku sebagai adik Sakri itu telah pergi! Pada saat itu terdengar berita yang lebih menyayat jantung
Diah Pitaloka. Yang membawa berita adalah ibunya sendiri, permaisuri raja Pajajaran. Permaisuri masuk ke dalam kamar puterinya sambil menangis dan dengan suara terputus-putus ia menceritakan bahwa Sang Ratu Dewata telah gugur di dalam yuda!
Mendengar ini, kedukaan yang sudah melemahkan jantung Diah Pitaloka, memuncak hebat dan ia lalu roboh pingsan! Ibunya hanya dapat menangis dan setelah Sang Puteri siuman kembali, kedua orang wanita, ibu dan anak ini, bertangis- tangisan.
"Duhai anakku sayang, belahan nyawa bunda. Alangkah buruknya nasib yang menimpa kita! Bunda tak menyesali untung bunda, karena bunda sudah tua, sudah cukup mengecap nikmat hidup. Akan tetapi kau....... anakku sayang, ibarat bunga sedang mulai mekar....... bunda tak patut mengurbankan puterinya, sekarang terserah kepadamu, anakku. Kau masih muda, pantas menjadi permaisuri yang mulia. Kau menurutlah saja anakku, taatilah kehendak Sang Prabu di Majapahit yang hendak memboyongmu, kau akan menjadi permaisuri yang dimuliakan orang, nak......."
"Duh bunda......." Diah Pitaloka menangis dalam pelukan ibunya dan untuk beberapa lama tak dapat berkata-kata. Akhirnya, sambil mengeluarkan sebuah keris yang runcing dan tajam, Diah Pitaloka berkata,
"Ibunda yang mulia, mohon diampunkan segala dosa dan kesalahan ananda. Alangkah akan hinanya nama ananda, alangkah akan rendahnya kehormatan ananda apabila ananda menyerah kepada musuh! Budi ramanda dan ibunda yang demikian besar bdilimpahkan kepada ananda, belum cukup terbalas hanya oleh pengurbanan jiwa ananda, apakah mungkin ananda menyerahkan diri kepada musuh yang berarti menghina
dan menodai nama orang tua? Tidak, ibunda, ananda seribu kali lebih suka mati daripada menyerah kepada musuh! Ibunda, relakanlah, hamba hendak lebih dahulu menyusul ayahanda!"
Berseri wajah permaisuri mendengar ucapan puterinya itu. Saking terharunya, iatak dapat berkata-kata, dan setelah beberapa kali menelan ludah, baru ia dapat berkata singkat, "Diah Pitaloka kau patut menjadi puteri sesembahan di keraton Pajajaran, patut menjadi saritauladanparawanita!"
Di depan ibunya, Diah Pitaloka lalu menyuduk-salira (menusuk diri). Dengan air mata berlinang-linang, permaisuri dan para emban yang menangis sedih lalu menyelimuti jenazah Sang Puteri dengan sutera hijau. Kemudian permaisuri lalu mengajak para emban untuk mencari jenazah Ratu Dewata, suaminya. Diantara ribuan mayat yangmalang melintang, akhirnya Sang Permaisuri dapat pula menemukan jenazah suaminya terhantar di atas tanah dengan sebatang tombak masih menancap di dadanya. Tomba itu merupakan tanda bahwa suaminya telah gugur dengan gagah-berani.
Setelah menubruk dan menangisi jenazah suaminya, Sang Permaisuri lalu mencabut kerisnya dan membunuh diri di dekat suaminya!Para selir dan emban yang mengiringkan Permaisuri melihat hal ini lalu meniru tindakan Sang Permaisuri. Mereka menggunakan senjata masing-masing untuk membunuh diri hingga bertambah pula tubuh manusia memenuhi lapangan Bubat! Sebelum senjakala, matahari telah menyembunyikan diri siang-siang di belakang awan tebal, seakan-akan Sang Batara Surya sendiri tidak tahan lebih lama menyaksikan akibat mengerikan dari perbuatan manusia yang bodoh dan dungu, manusia yang tak segan-segan untuk saling bunuh hanya karena memperebutkan sesuatu yang kosong!
Ketika Sang Prabu Hayam Wuruk mendengar akan peristiwa
yang amat menyedihkan itu, bukan main duka dan menyesalnya. Padahal Sang Prabu Hayam Wuruk yang telah amat rindu dan ingin sekali bertemu dengan calon permaisurinya, telah menyusul ke Bubat. Tidak tahunya, ketika tiba di Bubat, Sang Prabu hanya bertemu dengan layon Sang Puteri.
Perih dan sakit hati Sang Prabu Hayam Wuruk melihat jenazah yang telah diselimuti sutera hijau seluruhnya itu. Tanpa dapat dicegah lagi, Sang Prabu lalu melangkah maju dan menggunakan kedua tangannya untuk menyingkap sutera itu dari muka jenazah Diah Pitaloka.
Naik sedu sedan dari dalam dada yang menyumbat kerongkongannya ketika Sang Prabu menatap wajah yang tetap ayu, tetap gilang-gemilang, dengan dihias senyum manis itu. Dalam pandangan Sang Prabu, wajah Diah Pitaloka seakan-akan masih hidup dan senyumitu sepertisengaja ditujukan padanya.
Tak tertahan pula rasa duka dan terharu yang menggelora dalam kalbunya dan beerjatuhanlah air mata Sang Prabu membasahiwajah Sang Ayu yangtelah tak bernyawa pula itu.
"Aduhai adinda juita! Adinda pujaan kalbu, mustikaningrat yang cantik jelita, alangkah kejamnya nasib menimpa kita! Telah menjadi kembang-mimpi kanda saat pertemuan kita yang telah kurindu-rindukan. Akan tetapi, setelah kita bertemu, kau telah
pergi.......... aduhai adinda, adinda......"
Parapengiring Sang Prabu yang menyaksikan kedukaan Prabu Hayam Wuruk, merasa terharu sekali dan menumpahkan air mata dalam belasungkawa. Juga Patih Gajah Mada diam-diam merasa menyesal telah terjadi perang yang mengakibatkan tewasnya Sang Puteri yang sedianya akan mendatangkan bahagia maha besar bagi junjungannya itu. Ia lalu melangkah maju dan sambil menyembah berkata,
"Duh gusti pujaan hamba! Ingatlah bahwa segala peristiwa yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi, adalah kehendak Hyang Agung dan kita manusia hanyalah sekedar menjalankankodrat belaka."
Maka sadarlah Prabu Hayam Wuruk dari pengaruh duka- nestapanya yang maha hebat. Dengankedua tangangemetar Sang Prabu menyelimutkan kembali sutera hijau itu di atas muka Diah Pitaloka, lalu memerintahkan agar jenazah Ratu Dewata seanak- isteri mendapat penghormatan selayaknya bagaikan keluarga raja yang terhormat serta jenazah mereka dibakar menurut upacara yang telah lazim.
Kemudian Sang Prabu memerintahkan kepada para ahlinya untuk merawat mereka yang terluka dalam perang itu, baik perajurit-perajurit Majapahit sendiri maupun Pajajaran. Semua diperlakukan sama dan tak boleh dibeda-bedakan.
Sesungguhnya, sebelum Sang Prabu Hayam Wuruk meminang Diah Pitaloka, Sang Prabu telah tertarik akan kecantikan Puteri Susumnadewi, puteri Raja Wengker. Oleh karena itu, setelah perjodohan dengan Diah Pitaloka gagal, Sang Prabu teringat kembali kepada Puteri Susumnadewi dan akhirnya Sang Prabu melamarnya sebagai permaisuri. Tak perlu diceritakan lagi betapa girang hati Wijayarajasa oleh karena dengan sendirinya derajat serta kedudukannya meningkat tinggi sebagaimertua raja.
Di sebelah selatan Pulau Jawa, yakni di sepanjang pesisir Laut Selatan, terdapat pegunungan yang memanjang dari barat ke timur yang terkenal disebut Gunung Kidul. Diantara bukit-bukit kecil yang tak terbilang banyaknya itu, bertapalah seorang Panembahan yang sakti dan suci, yakni Panembahan Sidik Panunggal. Sang Panembahan belum tua benar, paling banyak berusialima puluh tahun, akan tetapi rambutnya yang panjang
serta jenggotnya yang melambai sampai ke dada, telah putih semua. Panembahan Sidik Panunggal tinggal dalam sebuah pondok kecilterbuat daripada bambu sederhana. Hidupnya hanya bertani dan bermuja-samadhi, serta mengulurkan tangan menolong para penduduk desa apabila mereka itu membutuhkan pertolongan. Juga banyak sekali cantrik-cantrik yang mengejar ilmu dan bersuwitakepada Sang Panembahanyang sakti.
Pada suatu hari, tak seperti biasanya, Sang Panembahan Sidik Panunggal semenjak pagi tidak meninggalkan pondoknya. Biasanya, pagi-pagi sekali pada waktu ayam-ayam jantan berkokok Sang Panembahan sudah keluar dari pondok dan berjalan-jalan menghirup hawa udara sejuk di pegunungan, kemudian Sang Panembahan lalu ikut pula mengerjakan sawah- ladang dengan para petani lainnya. Berbeda dengan pertapa- pertapa lainnya yang tidak mau bekerja, Sang Panembahan ini tiap hari selalu membantu pekerjaan bapak tani dengan gembira, bahkan memberi petunjuk-petunjuk penting oleh karena beliau juga ahli dalam soal pertanian dan cara-cara menggarap sawah- ladang. Biarpun sudah tua dan tubuhnya kelihatan kurus, akan tetapi ternyata bahwa Sang Panembahan masih kuat mengayun cangkul.
Melihat betapa Sang Panembahantidak sepertibiasanya, dan tidak nampak keluar dari sanggar pemujaan para cantrik merasa bingung dan kuatir, akan tetapi mereka tidak berani mengganggu dan bertanya kepada Sang Panembahan, hanya duduk di luar pondok dengan bersila dantidakberani membuat berisik.
Ketika akhirnya setelah lewat tengah hari Sang Panembahan keluar daripondok, wajah orang tua yang biasanya nampak riang itu, kini kelihatan pucat dan walaupun kedua matanya tidak menampakkan kedukaan, namun keriangan yang biasa membayang pada matanya itu telah lenyap.Para cantrik maklum
bahwa tentu ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sang Panembahan Sidik Panunggal. Akan tetap, Sang Panembahan tidak berkata apa-apa, kecuali menanyakan tentang pekerjaan para cantrik.
Pada senja hari datanglah Saritama. Wajah pemuda ini nampak kurus dan pucat, sedangkan tubuhnya lemah-lunglai. Bahkan di atas kedua pipinya masih nampak bekas-bekas air mata.Para cantrik yang tadinya merasa gembira dan girang melihat kedatangan pemuda ini, menjadi heran dan diam-diam saling berbisik menduga-duga apakah gerangan yang disedihkan oleh Saritama.
"Angger, Saritama, kau sudah kembali, nak," kata Sang Panembahan Sidik Panunggal ketika melihat pemuda itu.
Tiba-tiba Saritama mengeluarkan suara isak tertahan dan sertamerta ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Panembahan itu dan memeluk kaki sambil menangis tersedu- sedu.
Sang Panembahan menggunkan tangan kanan mengelus- ngelus kepalapemuda itu sambilberkata,
"Saritama, tidak ada kedukaan dan kekecewaan yang cukup besaruntuk dapat menggoncangkan iman seorang satria. Sadarlah kembali dan gunakan sifat jantanmu untuk mengusir perasaan duka yangtakbaik dan melemahkan itu."
"Aduh rama Panembahan, hamba telah berdosa besar rama....... Hamba..... telah membunuh kakangmas Sakri......" Pemuda itu menangis lagi.
"Wahai puteraku yang bagus, puteraku yang setia dan taat kepada pelaksanaan tugas, mengapa kau begini lemah? Kau bilang bahwa kau telah membunuh kakakmu Sakri? Ya Jagat Dewa Batara yang berkuasa di jagatraya! Bagaimanakah asal-
mulanya maka kau dapat berkata demikian?"
Setelah dapat menekan perasaan terharu dan dukanya dan menetapkan hatinya, Saritama lalu berkata, "Hamba mentaati perintah Rama Panembahan dan menuju ke Majapahit untuk menunaikan tugas sebagai seorang satria dan pembela negara. Kebetulan sekali ketika hamba tiba disana , Majapahit sedang mengadakan perang melawan barisan dari kerajaan Pajajaran. Hamba lalu menuju ke tempat peperangan dan disana hamba mendengar tentang mengamuknya seorang panglima Pajajaran yang gagah perkasa dan bernama Sakri. Tadinya hamba merasa ragu-ragu dantidak percaya bahwa panglima yang bernama Sakri itu adalah kakangmas Sakri sendiri. Maka hamba lalu mengajukan diri membela perajurit-perajurit Majapahit. Ketika hamba bertemu dengan panglima itu, benar saja, panglima Pajajaran itu adalah kangmas Sakri sendiri! Aduh, Rama Panembahan, sebelum hamba melanjutkan cerita hamba, mohon penyesalan, Rama, dalam keadaan seperti itu, apakah yang hamba harus perbuat? Hamba ingin mendengar pendapat Rama, apakah perbuatan hamba itu sesuai dengan pendapat Rama atau tidak, agar hati hamba menjadi tenang dan puas."
Sang Panembahan Sidik Panunggal mengangguk-angguk perlahan sedangkan para cantrik saling pandang dengan heran mendengar cerita ini. Kemudian terdengar suara Panembahan itu yang halus, sabar, dan penuh ketenangan,
"Saritama, ketika kau maju kemedan perang, kau adalah seorang perajurit Majapahit, maka siapa juga orangnya yang berdiri di fihak musuh negara, harus disingkirkan."
"Aduh, Rama Panembahan! Lega rasa hati hamba mendengar pendapat Rama ini! Ternyata biarpun perbuatan hamba telah membuat hati sanubari hamba terasa perih dan hancur, namun agaknya tidak menyeleweng daripada pelajaran Rama! Ketika
hamba berhadapan dengankakangmas Sakri, hamba dankangmas Sakri berselisih pendapat dan mempertahankan tugas masing- masing hingga akhirnya kami berdua beryuda. Tadinya hamba kalah dan terkena pukulan Kelabang Kencana yang ampuh dan luar biasa. Akan tetapi, kakangmas Sakri menaruh kasihan kepada hamba dan hamba disembuhkannya kembali! Kemudian karena dorongan tugas kami masing-masing sebagai seorang perajurit dan satria utama, kami beretempur pula. Bukan main hebatnya sepak-terjang kakangmas Sakri yang benar-benar sakti mandaraguna! Dia terlampau gagah perkasa, terlampau sakti, hingga terpaksa hamba mengeluarkan Aji Bromojati. Dan dia..... kangmas Sakri yang tercinta..... dia kena hamba pukul Aduhai, Rama Panembahan, kalau tidak takut akan dosa dan murka dewata, maurasanya hamba memenggal tangan hamba yangtelah memukul kepala kakangmas Sakri. Rama ...... rama..... hukumlah hamba, karena hamba telah berdosa besar dan patut mendapat hukumanberat!"
"Tenanglah, Saritama. Lalu bagaimana lanjutan ceritamu? Apakah Sakri terustewas karenapukulanmu Bromojati?"
"Tidak, rama. Dia terlalu sakti dan kebal untuk dapat sekali tewas dengan sekali pukul. Hamba sudah tidak kuat meihat keadaannya setelah dia terpukul oleh hamba. Hamba tubruk tubuhnya dan hamba tak kuat lagi menahan keluarnya air mata. Hamba tangisi dia, dan pada saat itu, seorang perwira Majapahit tanpa sebab lalu menyerang hamba dari belakang dengan tombaknya. Hamba tidak melihat serangan ini, akan tetapi tiba- tibakakangmas Sakri melompat berdiridan menubruk perwira itu hinggatombak yang sedianya menancap di punggung hamba, lalu menancap di dada kakangmas Sakri! Kakangmas Sakri membinasakan perwira yang curang itu dan tak lama kemudian dia menghembuskan napas terakhir dalam pelukan hamba! Ah, Rama Panembahan, perbuatan kakangmas Sakri yang biarpun
telah hampir tewas karena pukulan hamba itu, akhirnya masih menolong hamba dari ancaman maut, sungguh memberatkan rasa duka di dalam hati hamba! Dia yang telah hamba pukul hingga hampir tewas, bahkan menolong dan menyelamatkan nyawa hamba!"
"Saritama, kaukira kau ini siapa maka mudah saja mengatakan dapat membunuh? Lupakah kau akan ilmu penerangan yang telah diturunkan oleh Sri Kresna? Bukankah Sri Kresna dulupernah bersabda kepada Sang Arjuna bahwa
"Kalau ada orang berkata
bahwa Atman dapatterbunuh
atau berkata bahwadia telah membunuh
maka orangyang berkata demikian itu
tidak mengetahui akan kebenaran!
BagaimanakahDia dapat membunuh
dan siapakahitu yang dapat membunuh Dia?"
Ucapan di atas yang dipetik oleh Panembahan Sidik Panunggal ini adalah ucapan Sri Kresna yang ditujukan kepada Sang Arjuna dalam wejangan-wejangannya, yang terkenal sebagai kitab Rhagawad Gita. Memang semenjak kecil Saritama telah menerima bermacam pelajaran dari Panembahan Sidik Panunggal, maka tentu saja ia masih ingat akan ilmu pelajaran batin di atas. Ia lalu menyembah di hadapan Sang Prabu Panembahandan berkata,
"Terima kasih, Rama. Sungguh besar sekali pengaruh wejangan Rama, karena kini hamba merasa tidak sangat
tertekan."
"Kau hanya menjalankan tugasmu sebagai seorang ksatria dan perajurit utama, demikianpun Sakri. Biarpun dia telah tewas di dalam peperangan, namun ia gugur sebagai seorang ksatria utama. Tewas di dalam menunaikan tugas dimedan perang, bagi seorang perajurit danksatriautama, adalah cara mengakhiri hidup yang paling nikmat dan sempurna!"
"Akan tetapi, Rama Panembahan yang menjadi pujaan hamba di jagat raya! Betapa hati hamba takkan berduka oleh karena di dalam dunia ini, hamba hanya mempunyai rama dan kakangmas Sakri. Kini kakangmas Sakri telah pergi, ah, betapa hambatakkanmerasa sunyi dan sengsara."
Sang Panembahan tersenyum. "Saritama, Saritama! Ucapanmu ini seperti seorang anak-anak saja. Mengapa kau hanya mempunyai aku dan kangmasmu? Tengoklah di sekelilingmu.Para cantrik ini, para kawan pamong desa, para petani, semua itu juga bukankah manusia-manusia yang tiada bedanya dengan aku atau kangmasmu? Kalau kau dapat menganggap aku sebagairamamu dan Sakri sebagaikangmasmu, mengapa kau takkan dapat menganggap mereka semua itu sebagai ramamu dan juga sebagai kangmasmu? Dan sekarang, Saritama, bersiaplah untuk menerima kenyataan yang sebetulnya bukan apa-apa, akan tetapi kalau imanmu lemah, kau dapat menganggap bahwa hal ini merupakan hal yang pahit bagimu. Kenyataan yang tadinya menjadi rahasia dan yang kini hendak kubuka ini, juga akan membongkar pula kenyataan bahwa nafsu perseorangan atau nafsu kekeluargaan yang menebal di dalam hati manusia itu sebenarnya tidak selayaknya dan hanya timbul karena diadakan oleh manusia sendiri, bukan timbul dari kodrat. Kasih sayang harus dicurahkan kepada seluruh manusia, tak perduli orang itu keluarga maupun tidak, berdasar rasa
perikemanusiaan dan sesama hidup, bahkan seyogianya tidak hanya terhadap sesama manusia, akan tetapi juga terhadap sesama mahluk di dunia. Saritama, sekarang dengarlah, aku hendak menceritakan sebuah riwayat yang hendak kupersingkat saja."
Sang Panembahan Sidik Panunggal lalu bercerita sebagai berikut. Kurang lebih empat belas tahun yang lalu, terdapat seorang adipati yang mengepalai Kadipaten Tritis. Adipati ini mempunyai seorang musuh, yakni seorang tumenggung. Oleh karena keduanya adalah hamba kerajaan Majapahit dankeduanya memiliki kesaktian dan telah berjasa besar terhadap kerajaan hingga pengaruh mereka cukup besar, maka rasa permusuhan ini tidak dinyatakan berterang, hanya terpendam dalam dasar hati masing-masing. Walaupun pada lahirnya adipati dantumenggung itu tidak memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi di dalam hati mereka menaruh dendam besar. Permusuhan ini timbul oleh karena seorang Puteri keturunan Prabu Jayanegara yang lahir dari selir. Puteri ini sebenarnya telah mempunyai hubungan kasih- sayang dengan adipati itu, akantetapi oleh karena pada waktu itu sang adipati masih belum menduduki pangkat dan keadaannya miskin, maka akhirnya sang puteri tak dapat menjadi jodohnya dan menjadi isteri sang tumenggung yang kaya raya dan berpengaruh. Hal inilah yang menjadikan ganjalan di dalam hati kedua orang itu dan menimbulkan sakit hati yang tak kunjung padam. Akan tetapi, sang adipati itu dapat mengobati luka di hatinya dan biarpun ia masih membenci sang tumenggung, namun dia tidak melakukan sesuatu, bahkan lalu kawin dengan puteri lain dan hidup cukup berbahagia oleh karena ia mendapat anugerah raja dandijadikan adipatidi Tritis.
Akantetapi, tidak demikian halnya dengan sang tumenggung itu. Biarpun puteri juita yang diperebutkan itu akhirnya terjatuh ke dalam tangannya dan menjadi isterinya, namun rasa cemburu
masih melekat di dalam hatinya dan bencinya terhadap adiapti itu makin lama makin menghebat. Hingga pada suatu hari, dengan cara curang sang tumenggung itu berhasil menfitnah sang adipati yang dituduh hendak memberontak terhadap kerajaan Majapahit. Pada masa itu, yang memerintah di Majapahit adalah Sang Ratu Tribuwana Tungga Dewi dan sebagai seorang wanita, Ratu ini dapat dihasut hingga Sang Ratu menggerakkan panglima- panglimanya untuk memukul hancur adipati itu hingga terbinasa seluruh keluarganya, kecuali dua orang puteranya yang dapat diselamatkannya.
"Demikianlah riwayat itu, Saritama," kata Sang Panembahan Sidik Panunggal kepada Saritama yang mendengarkan dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. "Dan sekarang ketahuilah, wahai anakku, bahwa tumenggung itu adalah Tumenggung Wiradigda yang sekarang masih menjadi Tumenggung di Majapahit dan berkedudukan di wilayah Tangen, sedangkan adipati itu adalah Adipati Cakrabuwana atau..... adikku sendiri!
sebagaimana yang selama ini kau ketahui, akan tetapi adalah bapak tuamu ataupamanmu!"
Kalau bumi yang terpijak kaki Saritamapada saat itu ambles, belum tentu pemuda itu akan sedemikian kagetnya mendengar penuturan ini. Sepasang matanya tajam menatap Sang Panembahan, wajahnya memucat dan bibirnya gemetar. Tiba-tiba ia maju menyembah dan berkata dengan suarakeras,
"Paman Panembahan, mohon doa restumu!" Ia lalu melompat bangun dan sambil mengacungkan tinjunya ke atas, ia berseru dengan bengis. "Tumenggung Wiradigda, tunggulah pembalasanku!"
Kemudian, tanpa menoleh lagi, pemuda itu lalu melompat ke
depandan larikeluar daritempat itu secepat kidang melompat!
Sang Panembahan memandang ke arah perginya Saritama sambil menggeleng-geleng kepala, "Ah, hati muda....... semoga Hyang Agung akan menjauhkannya daripada kesesatan." Kemudian, tanpa mengeluarkan kata-kata lain kepada sekalian cantrik yang masih duduk bersila di situ, Sang Panembahan lalu memasuki pondoknya kembali dan duduk bersila bermuja samadhi dengantekunnya.
Paracantrik hanya dapat saling pandang dan menggeleng- gelengkan kepala sambil menghela napas.
Dengan hati dan pikiran tak karuan rasa, duka, kecewa, marah menjadi satu, Saritama meninggalkan pondok Panembahan Sidik Panunggal. Hatinya dipenuhi rasa dendam dan sakit-hati, dan pada saat itu ingin sekali ia segera bertemu dengan musuh besarnya yang telah menghancurkan penghidupan ayah-ibu dan keluarganya. Ingin ia segera mendapat kesempatan menjatuhkan tangankepada Tumenggung Wiradigda.
Hm, Wiradigda keparat! Kau mengandalkan pengaruh dan kedudukanmu, dengan kejam dan buas menfitnah orang tuaku. Setelah kau merampaskekasih ayah, kau masih sampai hati untuk menghancurkan penghidupan ayah! Alangkah kejam, apa kaukira hanya aku saja laki-laki jantan di atas dunia ini. Tunggulah, awaslah kau, tumenggung keparat!" Tiada hentinya bibir Saritama bergerak-gerak membisikkan ancaman-ancaman ini di sepanjang jalan. Ia berlari bagaikan gila menuju ke Tangen, sebuah pedusunan yang berada di sebelah selatan Majapahit. Bukan dekat perjalanan yang ditempuhnya, akan tetapi berkat kesaktian dan kepandaiannya yang hebat, yakin dengan ilmu lariKidang Kencana,ia mengharapkan akan dapat sampai di tempat itu dalam tiga hari.
Pada malam hari ketiga, ia telah tiba di luar daerah Tangen.
Oleh karena malam itu gelap sekali, terpaksa ia harus bermalam di sebuah dusun kecil dan tak dapat melanjutkan perjalanannya. Dusun di mana ia berhenti itu kecil, akan tetapi cukup ramai. Ketika melihat sebuah pondok di dalam dusun itu, pondok yang dilengkapi dengan sebuah tempat pemujaan di sampingnya seperti yang biasa dipunyai oleh seorang pertapa atau seorang Panembahan, ia menjadi tertarik. Ketika ia bertanya kepada seorang petani yang kebetulan bertemu denganya di tengah jalan dekat pondokitu, ia bertanya.
"Paman, maafkankalau aku menganggumu. Pondok siapakah yang nampak didepan ini. Agaknya pondok seorang pertapa."
Petani itu memandangnya sejenak, karena ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah seorang pendatang dari jauh hingga tak mengenal pondok pertapaterkenal itu.
"Raden," katanya penuh hormat karena biarpun pakaian Saritama sederhana dan bagaikan seorang petani, namun sikap halus dan wajah tampan pemuda itu menimbulkan dugaan kepadanya bahwa pemuda ini tentu bukanlah seorang petani biasa. "Pondok ini adalah tempat kediaman seorang dukun yang sakti dan ditakuti orang, namanya Bagawan Kalamaya yang kemashurannyatelah terkenal sampaikekota raja."
"Ah, kebetulan sekali, paman. Kalau seorang bagawan, tentu sudimenerima aku untuk bermalam disini."
"Raden, kalau kau hendak bermalam di dusun kami, dan kalaukiranya gubukku yang bobrok tidak menjadikan celaan, aku persilakankau mampir dan bermalam saja di rumahku. Janganlah kau mencobauntukmintabermalam di sini."
Saritama merasa heran. "Eh, mengapa begitu, paman? Aku berterima kasih sekali kepadamu, paman. Kau memang baik hati dan ramah tamah, akan tetapi, hatiku menjadi ingin tahu
takkan mau menerimaku? Buk nkahseorang pendetaitu biasanya
murah hati dan berbudi?"
Petani itu menghela napas dan matanya memandang ke arah pondok itu dengan hati-hati dantakut-takut, kemudian ia berbisik. "Raden, ketahuilah, Bagawan Kalamaya adalah dukun tenung yang ditakuti orang dan iapun galak sekali. Yang paling hebat ialah bahwa di rumahnya terdapat banyak iblis yang dipeliharanya!"
Saritama tersenyum. Ia tidak merasa heran mendengar ucapan petani ini, oleh karena memang para petani yang bodoh seringkali mudah dipengaruhi dan ditakut-takuti tentang iblis- iblis dan segala setan oleh orang-orang yang mereka anggap dukun tenung.
"Biarlah, paman. Betapapun juga aku ingin sekali berkelanan dengandukun yang sakti itu."
Petani itu memandang kepada saritama dengan penuh kekuatiran dan juga kagum, akan tetapi ia telah demikian ketakutan berada terlalu lama di dekat pondok Bagawan Kalamaya, maka ia segera meninggalkan Saritama cepat-cepat sambil menoleh beberapa kali.
Saritama lalu memasuki pekarangan pondok yang gelap itu. Langsung ia menuju ke pintunya dan mengetok sambil mengucapkan salam. Setelah beberapa kali ia mengetuk pintu, barulah terdengar jawabandaridalam.
"Anak muda yang cakap dan gagah, pintu pondokku tidak terpalang, dorong saja danmasuklah!"
Dengan sikap hormat Saritama lalu mendorong daun pintu itu. Daun pintu mengeluarkan bunyi bergerit menyeramkan dan Saritama melihat seorang kakek bongkok bersila menghadapi
sebuah meja rendah dan di atas meja itu terdapat sebuah dian minyak kecil. Cahaya dian itu remang-remang dan membuat bayang-bayang surampada dinding bilik. Terciumbau kemenyan dankembang layuketika Saritama memasukiruang kecil ini.
Dengan sikap menghormat, pemuda itu lalu duduk bersila pula menghadapituan rumah yang tua itu, lalu berkata,
"Mohon maaf sebesarnya dari Bapak Bagawan apabila saya menggangguketentraman Bapak."
"Ha, ha, ha!" Kakek itu tertawa dan sepasang matanya berputaran. "Anak muda yang tabah dan cakap lagi sopan seperti engkau memang tak usah takut takkan mendapat tempat bermalam! Bukankah kedatanganmu ini hendak bermalam di tempatku yang buruk ini, anak muda?"
"Memang benar demikianlah maksud kedatangan saya, yakni kalau bapak tidak menaruh keberatandan rela menerimanya."
"Tentu, tentu! Kau boleh bermalam di sini. Akan tetapi, siapakah kau, anak muda yang tampandan sopan, kau datang dari mana dan hendakke mana?"
Ketika tadi untuk pertama kalinya melngkahkan kakinya ke dalam ruang ini, Saritama yang bermata tajam sudah dapat melihat bahwa kakek ini memang seorang sakti yang memiliki ilmu hitam atau ilmu sihir yang tidak pantang mendatangkan celaka kepada orang lain, maka ia telah merasa kecewa masuk ke situ. Akan tetapi, oleh karena ia telah berada di dalam, pula sebagai seorang tamu, terpaksa ia harus berlaku sopan santun sesuai dengan kepribadiannya. Kini ia hendak mencoba sifat dukun itu dan menjawab pertanyaandengan suaratenang,
"Bapak Bagawan, saya telah mendengar akan kesaktian dan kewaspadaanmu, mengapakah bapak masih hendak bertanya lagi? Bukankah bapak sudah tahu akan segala rahasia alam,
termasuk namaku dan segala hal yang mengenai diriku yang bodoh?"
Bagawan Kalamaya tertawa sehingga tubuhnya bergoyang- goyang. "Ha, ha, ha, anak muda. Kau benar-benar pintar dan menyenangkan hati! Sudah tentu aku tahu akan segala apa di mayapada ini, dan tidak ada rahasia bagi Bagawan Kalamaya. Akan tetapi, sebagai seorang manusia, aku tak boleh meninggalkan kebiasaan manusia terhadap manusia lain, yakni apabila bertemu harus saling bertanya."
Mendengar jawaban ini. Saritama dapat meraba bahwa pendeta ini memiliki kesombongan besar dan hendak berpura- pura suci dan mengerti akan hukum alam. Maka ia tersenyum ketika menjawab,
"Baiklah, bapak bagawan. Saya bernama Saritama dari Gunung Kidul, dan saya hendak pergike Tangen."
"Ah, ah..... bukankah kau hendak mencari Tumenggung Wradigda?" tanya kakekpendeta itu.
Saritama agak tercengang karena tak disangkanya bahwa pendeta ini dapat pula membaca maksud hatinya! Ia tak tahu bahwa Bagawan Kalamaya hanya menggunakan kecerdikan dan bahwa dugaannya itu hanya kebetulan tepat. Orang terpenting di Tangen hanya Tumenggung Wiradigda seorang, maka kalau ada seorang pemuda gagah datang dari tempat jauh menuju ke Tangen, siapa lagi yang hendak ditemuinya disana selain Tumenggung Wiradigda? Oleh karena inilah maka dukun hitam itu dapat menduga dengantepat.
"Benar, bapak bagawan yang waspada, memang rasa hendak pergi mencari Tumenggung Wiradigda." Ketika mengucapkan nama ini, suara Saritama menjadi tajam dan mengandung kebencian. Hal ini tak terlepas daripada pendengaran dukun
hitam yang cerdik itu.
"Hm, hm, kulihat kau mempunyai permusuhan dengan sang tumenggung! Kalau kau tidak merasa keberatan, Saritama, cobalah kauceritakan urusanmu dengan tumenggung itu kepadaku. Mungkin sekali aku dapat menolongmu!"
Kembali Saritama kagum mendengar dugaan yang tepat ini. Ia tidak memiliki rahasia hati dan apa yang hendak ia lakukan terhadap Tumenggung Wiradigda, yakni pembalasan dendam, tak hendak ia rahasiakan kepada siapapun juga. Maka, apa salahnya menceritakan kepada dukun ini?
"Memang tepat dugaan bapak bagawan. Saya hendak mencari Tumenggung Wiradigda untuk membuat perhitungan lama yang hingga kini belum diselesaikan! Tumenggung keparat itu telah membinasakan seluruh keluarga ayahku dan sekarang tiba masanya bagi sayauntuk membalaskejahatannya itu!"
Bagawan Kalamaya memandang tajam. "Siapakah orang tuamu, Saritama yang gagah berani?"
"Mendiang ramandaku adalah Adipati Cakrabuwana di
Tritis."
Kedua mata pendeta itu melebar lebar. "Eh, eh...... jadi kau adalah putera adipati yang telah lama dicari-cari oleh Tumenggung Wiradigda dan tak pernah ditemukan itu? Dan saudaramu yang seorang lagi, di manakahdia?"
"Hm, agaknya bapak juga tahu benar akan riwayat itu, bukan?"
Dukun hitam itu mengangguk-angguk."Siapa yang tak kenal Adipati Cakrabuwana, pemberontak itu?"
"Jangan bapak berkata demikian!" bentak Saritama marah. "Tumenggung Wiradigda memfitnahnya!"
"Ya, ya...... memang kedua orang itu bermusuhan dan saling membenci! Mereka saling membenci hanya karena seorang wanita. Ah, wanita, kau mahluk lemah akan tetapi pengaruhmu lebih kuasa dan kuat daripada sekalian pria yang terkuat! Tahukah kau Saritama? Wanita macam apa yang dulu dicinta ayahmu dan yang telah direbut oleh Tumenggung Wiradigda? Ha, ha! Sayang seribu sayang, seorang gagah seperti Cakrabuwana hanya menjadi kurban karena seorang wanita macam itu! Memang dulu wanita itu mencinta ayahmu, akan tetapi setelah ia menjadi isteri Tumenggung, bahkan dia sendiri yang membujuk-bujuk suaminya untuk menfitnah Cakrabuwana! Ah, wanita...... memang kau mahluk termulia, tapi juga mahluk paling jahat di dunia ini! Puteri itu sekarang telah mempunyai seorang anak perempuan yang telah dewasa dan dalam hal kecantikan, iatak kalah oleh ibunya! Ha, ha, ha!"
Makin panas hati Saritama mendengar penuturan yang memanaskan hati ini, maka dengan menggertak gigi pemuda itu berkata,
"Biarlah, paling lama sampai besok pagi, Wiradigda seanak- isterinyatentu akan binasa didalam tanganku!"
Tiba-tiba Bagawan Kalamaya tertawa gelak-gelak hingga terpingkal-pingkal memegangi perut.
"Bapak Bagawan, apakah yang kau tertawakan?"
Saritama kau anak kecil yang masih hijau, bagaikan seekor burung barubelajar terbang! Apakah yang kauandalkan maka kau berani mengucapkan kata-kata ancaman itu? Seekor semutpun kalau dapat mengerti omonganmu akan tertawa geli, jangankah seorang manusia! Kau tahu apa? Wiradigda bukanlah sembarang orang yang mudah dibinasakan begitu saja. Bahkan aku dengan segala ilmu sihirku tak dapat membinasakannya, apalagi kau. Tumenggung Wiradigda adalah seorang yang sakti mandraguna
dan banyak perwira sakti menjadi pembantunya. Barisan yang berada didalam kekuasaannya saja sebanyakribuan orang!"
Namun Saritama tidak gentar mendengar ini. "Aku tidak takut, Bagawan Kalamaya!" katanya dengan suara tetap keras. "Biar andaikata Wiradigda mempunyai tiga kepala dan enam tangan, kesemuanya akan kuhancurkan dengan kedua kepalan tanganku!"
Sekali lagi dukun itu tertawa geli hingga darikedua matanya keluar air mata.
"Saritama, jangan kau sombong! Selain para perwira dan para perajurit Tangen yang sedemikian banyaknya itu, masih banyak pula pembantu-pembantunya, yakni pertapa-pertapa sakti mandraguna yang memiliki banyak ilmu dan aji kesaktian. Diantara mereka ini, akupun menjadi penasehat dan pembantunya!"
Saritama bangkit berdiridan bersiap-sedia!
"Ha, ha, anak muda, kau mempunyai kepandaian apa?" Sambil berkata demikian, dukun hitam itu lalu mengangkat tangan kirinya ke atas dan tiba-tiba dari arah jendela biliknya itu menyambar angin dingin! Api dian berkelap-kelip dan hampir padam. Kini Bagawan Kalamaya juga berdiri dan tubuhnya yang bongkok menambahkan keseraman ruang gelap itu. Tangan kanan dukun itu memegang sebatang tongkat dan sambil melempar tongkat itu ke arah Saritama, terdengar suaranya yang paraumembentak, "Lihat nagaku menelanmu bulat-bulat!"
Aneh sekali, dalam cahaya yang remang-remang itu, tongkat yang dilempar tadi tiba-tiba mengeluarkan asap dan berubah menjadi seekor naga atau ular besar bertanduk dua yang hanya dapatterlihat dalam alam mimpi seorang penakut!
"Bagawan Kalamaya, apakahharganya permainan macam ini
diperlihatkan?" kata Saritama tiada gentar sedikitpun. Ketika ular naga itu menyambar ke arah lehernya, ia angkat tangan kirinya dan dengan telapak tangan dimiringkan ia memukul ke arah tubuhular naga itu sambilberserukeras,
"Asaltongkat kembali menjadi tongkat!"
Terdengar suara keras dan tubuh ular naga itu kena pukul tangan Saritama lalu terlempar ke dinding dan berubah menjadi dua batang kayu, karena tongkat itu telah patah di tengah-tengah dankini berserakandi atas lantai!
Angin yang bertiup dari arah jendela berhenti dan api dian bernyala baik kembali hingga keadaan menjadi terang. Bagawan Kalamaya tertawaterkekeh-kekeh, lalu ia duduk bersilakembali.
"Kau sakti, Saritama, cukup sakti! Tak kunyana putera Cakrabuwana memiliki kesaktian melebihi ayahnya. Bagus, bagus, anak muda, tadi aku hanya mengujimu saja! Kau hendak menumpas keluarga Wiradigda di Tangen? Bagus, memang mereka itu harus dibinasakan!"
Saritama tertegun melihat perubahan ini. Iapun lalu duduk kembali. "Bagawan Kalamaya, agaknya kaupun membenci tumenggung keparat itu?" tanyanya.
"Heh, heh, hem!" suara ketawa dukun itu makin menjemukan. "Siapa yang tidak kubenci? Ketahuilah, Saritama, sudah lama akupun hendak menyerbu ke Tangen, akan tetapi aku tidak cukup kuat menghadapi mereka, terutama menghadapi Dewi Saraswati!"
"Sang Bagawan, siapakah Dewi Saraswati itu?" tanya
Saritama.
"Ha, ha, ha, siapa lagi? Dewi Saraswati adalah permaisuri Sang Hyang Brahma, Dewatertinggi!"
pemeluk agama Brahma meng nggap Dewa yang tertinggi
kekuasaannya adalah Sang Hyang Brahma dan permaisuri atau
yang disebut shakti dari dewa ini adalah Dewi Saraswati.
"Akan tetapi, apakah maksudmu mengatakan kau takut menghadapi Dewi Saraswati di Tangen?"
"Saritama, ketahuilah bahwa kekasih ayahmu yang telah mengecewakan hatinya dan menjadi isteri Tumenggung Wiradigda, mempunyai seorang puteri. Puteri inilah yang bernama Dewi Saraswati, dan dia ini benar-benar penjelmaan Dewi Saraswati permaisuri Brahma dan kini puteri ini sedang menanti kedatangan jodohnya yang harus titisan (penjelmaan) Sang Hyang Brahma sendiri! Ha, ha, ha!"
Saritama makin heran dan ia mulai menduga bahwa dukun tua initentu agak miring otaknya.
"Dan siapakah titisan Sang Hyang Brahma sekarang?" tanyanya karena ingin mendengar sampaidimana kegilaandukun hitamitu.
"Heh, heh, heh! Titisan Brahma telah berada di hadapanmu, masih juga kau belum tahu? Akulah penjelmaan Sang Hyang Brahma!"
Ah, dia benar-benar gila! Demikian pikir Saritama, maka ia lalu bersila dan diam saja, tidak mau melayani dukun itu lebih lanjut lagi. Juga Bagawan Kalamaya agaknya telah lelah, karena ia lalu merebahkan tubuhnya dan tak lama kemudian terdengar dengkurnya!
Saritama sudah terbiasa beristirahat sambil duduk bersila. Maka ia lalu bersamadhi dan beristirahat sambil bersila dengan tenang.
Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi benar Bagawan Kalamaya terdengar menguap dan bangun daritidurnya, Saritama juga mengakhiri samadhinya. Setelah dukun tua itu duduk, pemuda itu laluberkata.
"Sang Bagawan, saya mengucap diperbanyak terima kasih atas kebaikan dan keramahanmu yang telah menerima saya bermalam di sini. Moga-moga lain waktu saya akan mendapat kesempatan membalas kebaikanmu. Sekarang, perkenankanlah saya melanjutkan perjalanan saya."
"Eh, eh, nanti dulu, Saritama. Aku akan menyertaimu ke Tangen karena menurut pendapatku, sekarang telah tiba saatnya aku bergerak bersama kau yang muda dan gagah. Aku lebih mengenal keadaan di Tangen, maka akan lebih mudahlah kau bertindak apabilakau bersama dengan aku."
"Tapi bukankah kau ini menjadi hamba dari Tumenggung Wiradigda?"
"Heh, heh, heh!Adakalanya aku menjadi hamba, adakalanya aku menjadi pujaan! Kali ini aku menjadi musuh Tumenggug Wiradigda!"
Saritama merasa tak enak untuk menolak, dan pula dia tidak mau dianggap takut atau kuatir jika pergi bersama dengan dukun hitam ini. Maka ia lalu menyatakan persetujuannya. Lama sekali Saritama harus menanti bagawan itu berkemas, mengenakan pakaian indah-indah dan akhirnya setelah mereka berangkat, diam-diam Saritama merasa mendongkol sekali oleh karena bagawan itu berjalan perlahan sekali! Dengan bantuan tongkatnya, Bagawan Kalamaya berjalan membungkuk-bungkuk.
"Sang Bagawan, kalau kita berjalan seperti ini, kapankah akan sampaidi Tangen? Marilah kita pergunakan ilmu!"
Bagawan Kalamaya menggeleng-geleng kepala sambil
tersenyum.
"Orang yang memperlihatkan kepandaian di tempat umum adalah seorang bodoh dan sombong. Nanti saja kalau kita sudah tiba di hutan itu, baru kita menggunakan ilmu kesaktian akan tetapiakukuatirkalau-kalaukauketinggalanjauh!"
Saritamatersenyum dan di dalam hatiia merasa geli dan juga mendongkol. Dukun lepus ini melarang orang memperlihatkan kepandaian dengan alasan tak baik berlaku sombong akan tetapi ucapannya yang terakhir itu jelas sekali menyatakan betapa sombongnya kakek ini! Akantetapi, Saritama diam saja dantidak mendesak lebih jauh. Hendak ia lihat, sampai di mana kehebatan ilmu lari cepat dukun ini maka berani mengatakan bahwa dia akantertinggal jauh!
Setelah mereka tiba di dalam hutan, Saritama tak sabar lagi dan berkata, "Marilah kita percepat langkah kita, Sang Bagawan."
Bagawan Kalamayatersenyum. "Baiklah, baiklah!"
Kemudian Bagawan Kalamaya mempergunakan aji kesaktiannya dan benar saja, langkahnya lebar dan gerakannya cepat hingga tak lama kemudian tubuh yang bongkok itu telah berlari cepat sekali. Saritama memandang dan tahulah ia bahwa dukun itu mempunyai kepandaian yang disebut Aji Pancal Panggung, semacam ilmu lari cepat yang hebat juga. Akantetapi, ketika Saritama mengeluarkan ajinya Kidang Kencana, tak lama kemudian ia dapat menyusul bagawan itu yang menengok dengan herandankagum melihat kepandaian Saritama.
Saritama cukup bijaksana dan ia tidak mau melampaui orang tua itu. Ia sengaja memperlambat gerakankakinya hingga mereka dapat berlari dengan sama cepatnya.
Ketika hutan telah mereka lalui, Bagawan Kalamaya dengan napas tersengal-sengalminta berhenti. Sebelum bicara ia menarik
napaspanjang yang seninkemis itu!
"Aduh, tenagaku masih cukup, akan tetapi napasku....." setelah menarik napas panjang berulang-ulang, ia berkata lagi. "Saritama, kau benar sakti. Kau dapat mengimbangikecepatanku. Kalau aku masih muda seperti engkau, tentu kau akan tertinggal jauh! Sekarang kita telah melampaui hutan, maka biarlah kita berjalan biasakembali."
Saritamahanya tersenyumdandiam-diam ia merasa geli oleh karena dukun lepus ini masih saja menyombongkan diri. Maka mereka laluberjalan lagi dengancara biasa.
Oleh karena perjalanan ini dilakukan dengan perlahan dan hanya sekali dua kali Bagawan Kalamaya mau mempergunakan aji kesaktian yang sangat melelahkan itu, maka setelah hari menjadigelap barulah merekaberduatiba di Tangen.
Sebelum menuju ke gedung Tumenggung Wiradigda yang besar dan megah bagaikan istana Raja Majapahit sendiri, Bagawan Kalamaya memberinasehat,
Saritama, penjagaan di bagian depan gedung tumenggung amat kuat. Masuklah engkau diam-diam dari bagian kiri gedung oleh karena di bagian kiri itu tak terjaga kuat dan di bagian kiri terdapat taman tumenggung yang bersambung dengan taman belakang. Di situ banyak terdapat tetumbuhan di mana kau dapat bersembunyi apabila ada penjaga-penjaga keluar dan meronda. Kemudian kau dapat menyusup masuk ke dalam gedung mencari Tumenggung Wiradigda."
"Baiklah, Sang Bagawan," kata Saritama.
Malam hari itu udara bersih dan ribuan bintang menyinarkan cahaya gemilang dari angkasa raya. Oleh karena hawa malam itu sejuk dan bersih, biarpun tidak terangbulan, namun anak-anak di Tangen banyak yang bermain-main di pelataran depan,
sedangkan orang-orang tua sambil mengisap rokok daun jagung dan menikmati air the kental, duduk di atas tikar yang digelar di pelatarandan bercakap-cakap.
Keadaan demikian tenteram bagaikan tidak akan terjadi sesuatu yang hebat. Memang, telah bertahun-tahun di Tangen selalu tata-tenteram reja-raharja, tak pernah terjadi kejahatan, tak pernah terjadi pencurian hingga para petani dapat bekerja dengan senang dan penghidupan peduduk di sekeliling Tangen rata-rata makmur dan berbahagia.
Akan tetapi, pada malam hari itu, tanpa mereka ketahui dua sosok bayangan bergerak menuju ke gedung Tumenggung Wiradigda. Setelah keduanya tiba di dekat gedung, mereka berbisik-bisik, kemudian bayangan dua orang itu berpisah, seorang menujuke kiri gedung, yang kedua menujuke belakang.
Bayangan pertama yang memilikigerakan cepat dan tangkas, yakni Saritama sendiri, cepat menyelinap di dalam bayangan pohon di sebelah kiri gedung. Ia memandang ke sekeliling dan kemudian dengan sekali lompat saja ia sudah dapat meloncati pagar taman.
Memang benar kata-kata Bagawan Kalamaya bahwa gedung tumenggung itu terjaga kuat, dan bahwa Tumenggung Wiradigda mempunyai banyak punggawa yang tangguh dan sakti. Buktinya, ketika Saritama melompat masuk ke dalam taman, baru saja kedua kakinya menginjak rumput, tiba-tiba dua orang penjaga yang muda dangagah membentaknya dari tempat jauh,
"Hai! Siapakah kamu yang lancang memasuki taman?" Mereka ini dengancepat lari menghampiri.
Saritama tidak mau membuang waktu lagi. Sebelum kedua orang penjaga itu sempat bertindak, ia telah bergerak lebih dulu. Dengan sekali lompatan, Saritama telah menerkam kedua penjaga
itu, dengandua kalikepalantangannya menyambar, robohlah dua orang penjaga itu! Orang pertama roboh tanpa dapat bangun lagi dan pingsan, sedang orang kedua memang sengaja dipukul perlahan hingga masih dapat bicara walaupun kepalanya terasa pusing berputaran akibat pukulan Sambernyawa!
"Lekaskatakan, dimana Wiradigda?"
Penjaga itu tak dapat melihat muka penyerangnya dengan jelas, hanya dapat menduga bahwa penyerang yang hebat dan cepat gerakannya ini adalah seorang pemuda.
"Gusti tumenggung tidak berada di sini," jawabnya sambil memegang kepalanya yang berdenyut-denyut.
"Jangan kau membohong!" bentak Saritama sambil memegang leher orang itu. "Kalau kau membohong, sekali pukul saja aku dapat menghancurkan kepalamu!"
"Ampun, Raden, saya tidak membohong! Gusti tumenggung kemarin berangkat ke Kadipaten Pacet untuk membicarakan tentang perkawinangustiputeri."
"Bila iakembali?" tanya pemuda itu dengan hatikecewa.
"Kalautidak salah, besok siang barukembali."
Pada saat itu, terlihat bayangan beberapa orang berkelebat dan mereka ini tidak lain ialah para ponggawa Tumenggung Tangen. Dengan diam-diam mereka menghampiri tempat itu oleh karena mereka mendengar suara-suara mencurigakan. Ketika melihat betapa seorang penjaga masih rebah di atas tanah, sedangkan seorang penjaga lain sedang dipegang dan ditanyai oleh seorang pemuda yang tak jelas rupa wajahnya oleh karena keadaan memang agak gelap di dalam taman itu yang penuh dengan bayang-bayang pohon dan tetumbuhan, para ponggawa yang tujuhorang jumlahnya ini menjadi marah sekali.
"Bangsat maling, kau berani mengacau di taman tumenggungan!" teriak seorang diantara mereka yang segera melompat maju diikuti oleh yang lain.
Saritama diam-diam memuji ketelitian dan kecepatan para ponggawa itu, maka secepat kilat ia angkat tubuh penjaga tadi dan melontarkan tubuh itu ke arah ketujuh orang ponggawa yang datang menyerbu! Akan tetapi dengan sigapnya ketujuh orang ponggawa itu dapat mengelak dan dari gerakan mereka Saritama maklum bahwa mereka rata-rata memiliki ilmu pencak silat yang pandai.
Ketujuh orang ponggawa itu menyangka bahwa Saritama hanyalah seorang yang datang hendak mencuri saja, maka mereka bermaksud hendak menangkapnya. Seorang diantara mereka yang termuda dan bernama Waskita hendak memperlihatkan ketangkasannya. Dengan seruan keras dia maju menubruk Saritama, hendak menangkapnya dengan ilmu silat pencak Palwaga Pancakara (Kera Berkelahi). Gerakannya gesit laksana seekor kera jantan, kedua tanganya berkembang, yang kiri menangkap leher, yang kanan menujuke lambung Saritama!
Akan tetapi dengan sedikit gerakan saja Saritama berhasil mengelak terkaman pada lehernya dan sekali tangan kirinya dikibaskan menangkis tangan lawan yang mengarah lambung, terdengar Waskita menjerit kesakitan oleh karena tulang lengannya terasa sakit bagaikanterpukul sebatang tongkat besi. Ia membungkuk-bungkuk sambil mengaduh-aduh dan mengelus- elus lengannya yang tertangkis itu!
Keenam kawannya terkejut melihat ketangkasan maling muda itu. Mereka merasa gemas sekali melihat Waskita telah dikalahkan dalam sekali pukul saja. Dua orang ponggawa lain lalu menyerang dari kiri kanan. Akan tetapi Saritama cepat melangkah mundur dan ketika ia ulur kedua tangannya, ia
berhasil menjambak rambut kepala keduanya ponggawa itu dan sebelum keduanya dapat melawan, Saritama telah membuat gentakan hebat hingga dua kepala mereka saling bentur mengeluarkan suarakeras.
Aduh .......!!!" Terdengar teriak mereka berbareng dan keduanya terhuyung-huyung setelah dilepas oleh Saritama, kemudian roboh takingat diri!
Bukan main marahnya empat orang ponggawa lain. Ponggawa tertua yang juga menjadi kepala ponggawa di situ, memberi aba-aba dan keempat orang itu mencabut keris masing- masing.
"He, maling muda yang kurang ajar! Menyerahlah!"
Saritama tersenyum. "Bukan watak ksatria Gunung Kidul untuk menyerah!" jawabnya.
"Apa? Kau seorang ksatria? Eh, anak muda, kau siapa dan berdirilah di tempat terang agar kami dapat melihat mukamu. Siapa kau dan apa maksudmu datang membuat kacau?" berkata ponggawa tua itu yang bernama Jaladara.
"Orang-orang Tangen, dengarlah! Aku bernama Saritama dan kedatanganku ini bermaksud hendak membasmi keluarga Wiradigda sikeparat yang kejam!"
Bukan main terkejutnya para ponggawa ituketika mendengar pemuda ini datang hendak mencelakai Tumenggung Wiradigda. Waskita yang mendengar ucapan ini lalu berlari cepat untuk memanggil bala bantuan di luar gedung. Sedangkan keempat orang ponggawa lainnya lalu maju menerkam dengan senjata mereka! Akan tetapi tiba-tiba mereka terkejut oleh karena sekali berkelebat saja tubuh pemuda itu telah lenyap dan tahu-tahu seorang ponggawa telah tertangkap oleh Saritama yang telah melompat dan berada di belakangnya. Sebelum ia dapat berteriak,
tubuhnya telah diangkat tinggi-tinggi dan dilempar ke arah kawan-kawannya yang cepat melompat ke pinggir agar jangan sampai tertumbuk oleh tubuh kawan sendiri.
Pada saat itu, dari arah belakang gedung terdengar pekik seorang wanita. Pekik ini terdengar mengerikan dan menggerakkan hati Saritama. Hati nuraninya tersinggung dan jiwa ksatrianya bangkit dan menggerakkan hatinya untuk segera menolong wanita yang memekik dan yang membutuhkan pertolongan itu. Ia lalu bertindak cepat. Dengan ilmu Nandaka Amapang (Banteng Menyambut) sambil mengeluarkan aji kekebalannya ia menyerbu ke depan tanpa memperdulikan serbuan keris lawan! Alangkah terkejutnya para ponggawa ketika merasa betapa keris-keris mereka itu mengenai tubuh Saritama bagaikan bertemu dengan batu atau baja saja! Tangan mereka terasa sakit dan keris mereka mental kembali, sedangkan Saritama telah menerjang dengan gerakan siku, tangan, dan kaki. Para ponggawa itu terbanting danterpukul ke kanan kiri!
Saritama tidak memperdulikan mereka, tapi langsung berlari cepat sekali ke arah taman di belakang gedung. Dan apa yang dilihatnya di dalam taman itu membuat dadanya terasa panas dan sesak, dan tak terasa lagiia membentak.
"Dukun lepus tak tahu malu!"
Ternyata bahwa yang dilihatnya itu adalah Bagawan Kalamaya yang sedang menyeret-nyeret dan memeluk-meluk seorang dara muda yang cantik-jelita dan yang meronta-ronta sambil menangis. Dara itu memekik-mekik, akantetapi kini suara jeritannya tak dapat terdengar keras oleh karena sebelah tangan Bagawan Kalamaya telah digunakan untuk menutupi mulut gadis itu!
Siapakah dara muda yang ayu itu dan mengapa pula ia dapat terjatuhke dalam tangan Bagawan Kalamaya?
Pada malam hari itu, di dalam taman di belakang gedung tumenggungan, terdapat dua orang wanita yang masih belum masuk ke dalam gedung. Mereka ini adalah Dewi Saraswati, puteri tunggal Tumenggung Wiradigda, seorang puteri berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita bagaikan Dewi Komaratih sendiri turun dari angkasa! Akan tetapi, pada malam hari itu, Dewi Saraswati nampak berduka, bahkan ia menangis sedu- sedan, dihibur oleh seorang wanita setengah tua yang bersusur besar di mulutnya hingga wajahnya yang memang sudah buruk itu menjadi tambah tak enak dilihat. Dia ini adalah biung emban, yakni pelayan pengasuh Dewi Saraswati semenjak sang dewi masihkecil. Pengasuh ini bernama Tomblok.
"Aduhai, gusti ayu, sudahlah jangan paduka terus-menerus bersedih saja. Sayanglah air matamu, dan jangan kau buang- buang," kata Tomblok yang mencoba menghibur sang dewi yang dikasihinya bagaikan anak sendiri itu.
Biarpun sedang berduka, akan tetapi mendengar kata-kata Tomblok ini Dewi Saraswati tertegun, "Apa maksudmu, biung?"
Melihat bahwa sang dewi sudah mau melayani kata-katanya, Tomblok merasa girang sekali. Ia pindahkan susurnya yang besar dari ujung mulut kiri ke kanan, laluberkata,
"Maksudnya, janganlah air mata gusti yang berharga itu dibuang-buang. Kalau air mataku, jangankan dijual mahal, dihadiahkan dengan cuma-Cuma juga takkan ada yang sudi! Tapi air mata seorang puteri sejati bagaikan butir-butir mutiara berharga yang tak boleh diboroskan dengan sia-sia! Demikianlah kata para punjangga jaman dahulu. Lagipula, air mata seorang puteri cantik merupakan senjata yang paling ampuh dan keramat di atas dunia ini. Maka peliharalah mutiara dan senjata keramat itu baik-baik, gusti ayu, oleh karena kalau dipergunakan untuk hal-hal yang kecil tak berarti saja, maka mutiara itu akan hilang
keampuhannya! Karena itulah maka mahal harganya gusti!"
Memang Tomblok ini pandai sekali bicara. Selain pandai berkelakar oleh karena seringkali harus menghibur hati kekasih dan junjungannya, juga ia pandai menari dan bernyanyi serta pandai pula memberinasihat-nasihat dan petuah-petuah berharga.
"Biung emban, kau tidak mengerti. Aku bukan menyusahkan hal-hal remeh sebagaimana yang kau duga, akan tetapi aku menyusahkan sisa hidupku. Aku menyedihi nasibku yang akan datang, biung."
"Ah, ah, sekali lagi kau keliru, gustiku yang ayu dan manis! Kata para cerdik pandai, daripada menyusahkan perkara yang belum datang dan menguatirkan nasib yang belum tentu, lebih baik mengenang hal-hal yang lalu untuk dijadikan contoh dan cermin! Dari pengalaman-pengalaman lalu kita dapat memetik pelajaran-pelajaran berharga untuk mengatur langkah hidup selanjutnya, sedangkan hal-hal yang belum terjadi serahkanlah kepada Hyang Agung untuk mengaturnya, gusti. Ah, junjunganku yang manis, kalau paduka bermuram durja, seakan-akan bintang- bintang di langit kehilangan cahayanya dan hambapunkehilangan cahaya hamba!" Nasihat-nasihat Tomblok selalu diseling sendau- gurau.
"Tomblok, Tomblok.....! Alangkah senangnya hatiku kalau pada saat ini kita bertukar tempat!" kata Dewi Saraswati sambil termenung.
"Lho, mau bertukar tempat? Hamba duduk di bangku itu dan paduka di atas rumput ini? Kalau paduka kehendaki, mengapa tidak bisa?" tanya Tomblok sambil melebarkan kedua matanya yang sudah lebar dan bundar sebesar telur ayam itu.
"Bukan begitu maksudnya, biung emban. Maksudku bertukar pakaian yaitu kau menjadi aku dan aku menjadi kau! Kalau aku
menjadi kau, takkan mengalaminasibcelaka ini!"
"Eh, eh, gustiku yang manis. Kalau bertukar pakaian saja, saya tidak..... menolak! Kalau berganti orang...... ah, berat juga, gusti!"
"Biung emban, jangan kau bergurau saja, aku benar-benar sedang dalam prihatin dan susah," kata sang puteri dengan wajah muram.
"Ampun, gusti ayu, hamba hanya bermaksud menghibur. Hambajuga maklum bahwa gustisedang menderita dukanestapa, akantetapi, sebenarnya ada apakah, gusti?"
"Ketahuilah, biung. Kemarin ayah pergike Kadipaten Pacet."
"Hamba sudah tahu, gusti."
"Dan tahukah kau mengaparamanda pergike sana?"
Tomblok menggeleng-gelengkan kepalanya hingga gelung rambutnya yang besar itu ikut bergerak-gerakke kanan kiri.
"Dengarlah hal yang menyusahkan hatiku, biung. Rama pergi ke Kadipaten Pacet perlu untuk merundingkan halpernikahanku."
Tomblok menepuk-nepuk pahanya dengan girang. "Ah, ndoro ayubukankah hal itu sangat menggembirakandan tak perlu disusahkan?"
"Biung emban, jangan kau berkata demikian. Adipati Pacet adalah seorang duda yang sudah berusia hampir setengah abad dan bagaimana aku dapat menjadi isterinya? Ah, biung..... aku lebih suka mati daripada menjadi sisihan kakekbandot itu!" Dewi Saraswati lalu menutupi mukanya dengan ujung kemben (sabuk kain) dan menangis terisak-isak.
Tomblok ikut menangis dan suara tangisnya seperti suara bebek bertelur. "Aduh, gusti ayu..... kekasih hatiku...... janganlah
menangis, manis..... hamba tak kuat menahan air mata...... Gusti Ayu Dewi Saraswati yang cantik jelita, hamba menjadi teringat akan masa dahulu ketika hamba hendak dikawinkan oleh ayah hamba..... orangnya juga tua, bahkan bukan setengah abad lagi, tapisudah seabad penuh!"
Mendengar ucapan biung emban Tomblok, Dewi Saraswati menurunkan keduatangannyakarena ia menjadi tertarik.
"Kau kan juga merasa susah, bukan, biung?"
"Tidak, gusti, hamba tidak susah karena calon suami itu sudah tua, malah kebetulan, oleh karena biarpun tua dia itu tua kelapa, yakni harta-bendanya banyak. Hamba pikir, kalau hamba sudah kawin dengannya, dalam beberapa bulan atau beberapa hari saja tentu dia akan mampus dan semua harta bendanya diwariskan kepada hamba! Akan tetapi, gusti, dia mati......! Aduh....... dia mati!" Dan Tomblok menangis lagi!
Dewi Saraswati heran. "Mengapakau susahkan kematiannya, biung? Bukankah itu yang kau harapkan?"
"Benar, gusti, akantetapi dia matisebelum kami kawin! Baru saja kami ditemukan, tiba-tiba dia menggigil dan roboh terus mampus! Hamba menjadi janda sebelum kawin dan harta bendanya tidak terjatuh kepada hamba." Tomblok menangis lagi dandiam-diam Dewi Saraswati menjadisangat geli.
Pada saat itu, dari belakang sebatang pohon keluarlah bayangan seorang bongkok, Dewi Saraswati dan Tomblok menjadi kaget sekali oleh karena mereka tidak segera mengenal muka pendatang ini. Dewi Saraswati lalu berdiri dengan takut, sedangkan Tomblok sudah memeluk kaki Dewi Saraswati dengan tubuh menggigil.
"Ssss..... ssseee..... setan!" teriaknya ketakutan melihat tubuh bongkok itu melangkah maju.
"Sst, biung emban, jangan ribut. Yang datang adalah Paman Bagawan Kalamaya!"
"Benar, anakku yang ayu, anak manis danjelita, akulah yang datang!"
"Paman Bagawa, sungguh aku merasa terkejut dan heran. Mengapa paman bagawan datang ke taman sari dan pada waktu malam gelap begini? Apakah kehendakmu, paman?" tanya Dewi Saraswati dengan suarapenuh teguran.
"Saraswati, bocah ayu, bocah denok! Aku datang untuk memboyongmu, kekasihku!" Sambil berkata demikian, Bagawan Kalamaya melangkah maju.
Bukan main terkejutnya Dewi Saraswati mendengar ucapan ini serta melihat sikap sang pendeta itu. Ia menduga bahwa pendeta initentutelah menjadi gila!
"Paman Bagawan, apakah artinya semua ini? Paman, janganlahkau berkelakar yangtidak pantas seperti itu!"
"Saraswati, jantung hatiku, jimat pujaan kalbu! Tidak tahukah kau bahwa aku adalah titisan Hyang Brahma? Kau adalah permaisuriku, Saraswati, marilah kau ikut kakanda untuk bersamapulang ke Sorga. Marilah, Saraswati permaisuriku!"
Bukan main takutnya Dewi Saraswati mendengar ini. Ia lalu lari di belakang tubuh Tomblok hingga Bagawan itu kini menghadapi Tomblok.
Pada saat itu Bagawan Kalamaya hendak maju memeluk, akan tetapi ketika melihat kepada Tomblok yang menghadang di depannya dan yang kini tidak ketakutan lagi , Bagawan itu mundur menyebut.
"Ya dewata yang maha agung! Kukira Saraswati tadi, tidak tahunya kau! Eh, kau ini mahluk apa? Manusia ataukadal?"
Bukan main marahnya Tomblok disebut kadal. Ia melangkah maju dan memutar-mutar susurnya di dalam mulutnya. "Kira-kira kalau menyebut orang! Biarpun kau menyebutku kadal, akan tetapi aku bukan kadal sembarang kadal! Aku adalah kelangenan (kekasih) sang puteri! Kau ini bagawan berotak miring barangkali. Mengapa malam-malam datang mengacau dan berlaku kurang ajar terhadap sang puteri? Apakah kau tidak takut kepada gusti Tumenggung?"
"Kau minggirlah!" bentak Bagawan Kalamaya dan sekali saja ia mendorong, Tomblok jatuh terguling-guling sambil berteriak-teriak. Akan tetapi, mendengar teriakan wanita ini, Bagawan Kalamaya lalu maju dan menendang hingga Tomblok menjadi pingsan! Kemudian, sambil membujuk dan merayu, menyebut-nyebut Dewi Saraswati sebagai permaisurinya, ia maju hendak menangkap Dewi Saraswati! Puteri itu merasa bingung dan jijik, hingga ia menjerit keras sekali. Agaknya jeritan inilah yang terdengar oleh Saritama dan yang menarik perhatiannya. Bagawan Kalamaya lalu melompat dan menerkam, dan ketika Dewi Saraswati hendak menjerit lagi, bagawan yang sudah kesetanan itu lalu menutup mulut Saraswati dengan tangannya.
Ketika mereka sedang bersitegang, datanglah Saritama yang hampir tak dapat mempercayai matanya sendiri. Tak pernah disangkanya bahwa Bagawan Kalamaya akan serendah itu batinnya!
"Pendeta bangsat tak tahu malu! Lepaskan gadis itu dan ingatlah, sadarlah kau, pendetakeparat dan sesat."
"Saritama, jangan kau mencampuri urusanku! Kau pergilah melakukan tugasmu sendiri. Aku, titisan Rahma, sedang berurusandengan Dewi Saraswati, permaisuriku sendiri!"
Saritama marah sekali dan membentak sambil melangkah maju.
"Pendeta gila, kau dimabok kerendahan hatimu sendiri!" Kemudian, sekali merenggutkan lengan pendeta itu, ia berhasil melepaskan Dewi Saraswati yang dipeluk oleh bagawangila itu.
"Saritama, kau ingin mampus!" Bagawan Kalamaya berseru marah dan tiba-tiba bagawan itu mencabut sebilah keris yang panjang dan beriuk lima. Keris ini nampak dahsyat mengerikan oleh karena selain mempunyai hawa yang berpengaruh danjahat, keris ini juga selalu direndam dalam racun yang sangat jahat dan yang didapat dari air liurularbelang!
Biarpun tubuhnya bongkok dan sudah tua, Bagawan Kalamaya masih memiliki gerakan sigap dan tangkas oleh karena dia memang mempunyai kepandaian pencak silat yang tinggi di waktu mudanya. Sambil mengeluarkan suara tertawa yang aneh dan mengerikan, ia menyerang dengan kerisnya yang dinamai Paripusta yang berarti puas dan senang. Dari nama kerisnya ini saja dapat diukur bahwa pada hakekatnya, pendeta ini masih menjadi hamba daripada nafsu-nafsu jahat yang mengutamakan kepuasandan kesenangandunia.
Saritama yang bermata tajam dapat maklum akan kehebatan dan berbahayanya keris ini, maka cepat ia mengelak lalu mengirim pukulan dari samping kiri. Bagawan Kalamaya memiringkan tubuhnya untuk mengelak bahaya pukulan ini dan segera mengirim serangan bertubi-tubi dengan keris mautnya. Akan tetapi, Saritama dengan mudah sekali melompat ke sana ke mari, gesit dan cepat bagaikan seekor burung Srikatan. Pada saat yang tepat, sebuah pukulan tangan kirinya bersarang di dada pendeta cabul itu hingga Bagawan Kalamaya roboh terjungkir dan mengaduh-aduh tanpa dapat bangun lagi. Kerisnya terlempar jatuh dan menancap di atas tanah!
Dewi Saraswati masih belum hilang kagetnya. Diam-diam ia memperhatikan perkelahian tadi dan ia kagum sekali melihat
ketangkasan dan kecakapan pemuda penolongnya itu. Ketika Saritama melangkah maju menghampirinya, Dewi Saraswati memandang dengan sepasang matanya yang tajam dan bening sambil menduga-duga oleh karena belum pernah ia melihat pemuda yang namanya disebut Saritama oleh bagawantadi.
Kebetulan sekali pada saat itu keadaan tidak sangat gelap sehingga suram-suram Saritama dapat melihat bahwa dara yang diserang oleh Bagawan Kalamaya itu luar biasa cantiknya dan memiliki tubuh yang menggiurkan pula. Akan tetapi, pada saat itu Saritama tidak memandang dengan mata kagum, bahkan memandang dengan mata benci oleh karena ia teringat bahwa gadis ini adalah puteri musuh besarnya yangharus dibasmi.
Apakah kau bernama Dewi Saraswati dan anak dari Tumenggung Wiradigda?" tanyanya dengan suara kasar hingga gadis itu menjadi terkejut, apalagi ketika ia melihat betapa pandangan matapemuda itu ditujukan kepadanya dengan bengis.
Sebelum ia menjawab, dari luar terdengar suara riuh-rendah oleh karena barisan ponggawa dan perajurit telah menyerbu ke dalam taman! Saritama bersiap hendak melawan mereka, akan tetapitiba-tiba ia mendapat sebuahpikiranbaik.
Ketika barisan terdepan telah tiba di situ dan beberapa orang serentak maju menubruknya, dengan tangkas Saritama bergerak merobohkan beberapa orang itu, kemudian secepat kilat tangan kanannya memeluk pinggang Dewi Saraswati yang segera dipondongnya dengan ringan dan mudah. Dewi Saraswati menjerit-jerit akan tetapi ia tidak berdaya dalam pondongan lengan tanganyang kuat itu.
Beberapa orang perajurit maju lagi menyerbu, akan tetapi mereka tidak berani menggunakan senjata tajam, kuatir kalau- kalau akan melukai sang puteri. Hal ini menguntungkan Saritama yang segera beraksi dengan menggunakan tangan kiri dan kedua
kakinya. Beberapa orang roboh pula, akan tetapi barisan penyerbu makin banyak hingga Saritama merasakewalahan.
Pemuda ini lalu membentak dengan suarakeras,
"Hai, para perajurit Tangen! Bukan cara laki-laki sejati untuk maju secara keroyokan! Beritahukanlah kepada si keparat Wiradigda bahwa aku, Saritama dari Gunung Kidul, putera almarhum Adipati Cakrabuwana, datang hendak membalas dendam! Aku tidak mau mencelakakan orang lain dan musuhku hanyalah Wiradigda sekeluarga! Oleh karena keparat itutidak ada di sini, maka sebagai gantinya aku menawan puterinya. Jika ia memang gagah berani dan menghendaki kembalinya sang puteri, silakan pergi menyusulku di tempat kediaman mendiang ayahku untuk membuat perhitungan secara laki-laki!"
Setelah berkata demikian Saritama lalu melompat ke dalam gelap sambil memondong Dewi Saraswati yang masih meronta- ronta dan menjerit-jerit! Semua ponggawa mencoba untuk mengejar, akan tetapi mereka tak dapat mengejar ilmu lari Kidang Kencana yang hebat dari pemuda itu hingga tak lama kemudian suara jeritan Dewi Saraswati makin melemah hingga tak terdengar lagidari situ,
Geger dan ributlah seluruh Tangen pada malam hari itu ketika berita tentang penculikan diri Dewi Saraswati itu tersebar di seluruh tumenggungan. Obor dinyalakan dan orang-orang mencarike sana ke mari dengan sia-sia.
Beberapa orang ponggawa segera menunggang kuda dan cepat menuju ke Pacet untuk menyusul sang tumenggung dan untuk menyampaikan berita buruk itu.
Setelah merasa bahwa larinya sudah cukup jauh dan tak mungkin terkejar oleh musuh-musuhnya lagi, Saritama menghentikan larinya. Dia telah sampai dalam sebuah hutan dan
padawaktu itu, fajartelah mulai menyingsing.
"Lepaskan aku, lepaskan! Kau, orang kurang ajar!"
Saritama tersenyum masam dan tiba-tiba ia melepaskan pondongannya hingga tubuh Dewi Saraswati terbanting ke atas rumput sampai bergulingan! Sang puteri menggigit bibir dan segera merayap berdiri. Dengan sepasang mata bernyala-nyala dan bibir gemetar karena marahnya, ia maju dan bertolak pinggang dengan tangan kiri. Tangan kanannya diangkat dengan jari telunjuk menuding ke arahmuka Saritama,
"Pengecut kau! Ah, kalau saja aku menjadi laki-laki tentu akan kupatahkan lehermu! Akan kubeset kulitmu dan akan kuhancurkan kepalamu!"
"Alangkah sombongmu, gadis! Apakah yang hendak kau sombongkan? Dan mengapa kau mencaci-maki?"
"Kau manusia rendah! Kaukira aku tertarik akan kedigdayaan dan kecakapanmu? Cis! Tak tahu malu! Kaukira mudah sajakau hendak memaksa dan mendapatkandiriku? Lebih baik aku mati daripada kau jamah dengan tanganmu yang kotor dankeji!" Dewi Saraswati lalu menangis.
"Diam dan jangan kau berani mengeluarkan kata-kata keji lagi! Kalau tidak, kutampar mukamu! Kau anggap aku ini orang apa maka timbul persangkaan kotor dalam kepalamu yang kecil itu? Siapa yang menghendaki dirimu? Kaukira aku tertarik dan tergila-gila akan kecantikanmu? Hah! Kau belum kenal aku. Inilah Saritama, Ksatria Gunung Kidul yang tak mungkin tergiur oleh kecantikan seorangwanita!"
Dewi Saraswati tercengang dan ia lupa bahwa ia sedang menangis. Ia turunkan tangan yang menutupi mukanya lalu memandang dengan pipi masih basah oleh air mata. Akan tetapi oleh karena kabut amat tebal di hutan itu, maka air muka pemuda
itu masih belumkelihatannyata.
"Habis...... untuk apakau menculikku?"
Aneh sekali, tiba-tiba ia merasa kecewa dan mendongkol mendengar bahwa pemuda penculiknya ini sedikitpun tidak menghiraukan atautergiur oleh kecantikannya!
"Dengarkan, gadis! Dulu, ketika kau dan aku masih kecil, ayahmu, Tumenggung Wiradigda yang keparat itu telah memfitnah orang tuaku sehingga ayah ibu dan keluarganya binasa semua! Kebetulan sekali aku dapat menyelamatkan diri dan kini aku datanghendak membalas dendam!"
Saraswati tertegun. Ia pernah mendengar tentang Adipati Cakrabuwana yang dianggap pemberontak dan ditumpas oleh barisan Majapahit.
"Siapakah ayahmu itu?" tanyanya mintakepastian.
"Ayahku adalah Adipati Cakrabuwana yang gagah perkasa, ksatria sejati, tidak sepertiayahmu!"
Panas juga hati Saraswati mendengar ayahnya dimaki-maki.
"Oo, jadi ayahmu adalah pemberontak itu?" katanya dengan suara mengejek. "Kalau begitu, kau seorang pengecut!"
Tangan Saritama sudah diangkat dan hendak menampar pipi gadis itu, akan tetapi Saraswati sama sekali tidak takut, bahkan mengangkat dada dan memandang tanpa berkedip hingga Saritama yang teringat bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita, menurunkan lagitangannya.
"Kalau kau seorang laki-laki," katanya dengan napas sesak menahan marah," tentu akan kupatahkan lehermu! Akan kubeset kulitmu dan akan kuhancurkan kepalamu!" Tanpa disadarinya, ia mengulang ancaman Saraswati tadi dengan otomatis oleh karena
kata-kata inimasih mengiang didalam telinganya!
Saraswati tersenyum mengejek. "Mengancam saja meniru- niru orang! Aku menyebutmu pengecut oleh karena kau membalas dendam dengan curang. Mengapa kau menculikku? Apakah dosaku? Mengapa kau tidak berani menghadapi ayahku untuk bertanding secara laki-laki? Dan hendak kau apakankah aku ini?" kata-kata terakhir ini tidak dikeluarkan dengan hati kuatir, bahkandengan suara menantang!
"Dengarlah, orang-orang Tangen yang pengecut! Bukan aku! Mereka maju dengan keroyokan. Oleh karena itu maka aku menawanmu dan kau hendak kubawa ke tempat tinggal ayahku dulu! Ayahmu harus datang ke sana sendiri apabila ingin menjemputmu dan ia harus menghadapiku untuk mengadu kesaktian!"
"Hah!" Saraswati mencibirkan bibir mengejek. "Dalam lima jurus saja dadamu akan pecaholehpukulan ayah!"
"Sombong kau!" Saritama membentak. "Sudah tutup
mulutmu yang cerewet itu danhayo kitaberjalan terus!"
"Tidak! Aku tidak sudi," gadis itu menantang, dan
mengangkat-angkat dadanya yang penuh ke muka.
"Jalan! Kalau tidak, kau akan kuseret!" bentak Saritama gemas.
"Tidak! Boleh kau berbuat sesuka hatimu, aku tidak sudi menurut perintahmu!"
"Gadis kepala batu!" Sambil bersungut-sungut Saritama lalu memegang lengan tangan gadis itu dan menariknya ke depan. Saraswati meronta-ronta dan memberontak sekuat tenaga, memukul-mukul lengan tangan Saritama dengan tangan kanannya, menggunakan kakinya menendang-nendang lutut
pemuda itu. Ketika Saritama tidak memperdulikan semua serangan ini dan tetap berjalan sambil menyeret Saraswati, gadis itu lalu menundukkan kepala dan menggigit tangan Saritama dengan giginya yang putih dantajam!
Saritama berseru kesakitan dan terpaksa melepaskan pegangannya. Saraswati berdiri terengah-engah karena menahan marahnya, kedua matanya mengeluarkan air mata, akan tetapi ia tidak menangis, bahkan memandang dengan mata bernyala dan hidungnya yang indah mancung itu berkembang-kempis, seakan- akan mengeluarkan uap panas! Akan tetapi semua ini tidak kelihatan oleh Saritama oleh karenakabut di hutan itu masih tebal sekalihingga keadaan masihreamang-remang.
"Kau benar-benar kuda betina liar yang berkepala batu!" Saritama memaki.
"Dan kau kuda jantan liar yang tak tahu malu dan tidak sopan!" Saraswati balas memaki!
Keparat" Saritama membentak gemas dan tiba-tiba ia tangkap gadis itu, lalu dengan mudah dipondongnya! Saraswati mencoba untuk memberontak, memukul-mukulkan kedua tangannya ke arah dada dan kepala pemuda itu, akan tetapi dengan tangan kiri Saritama berhasil memegang kedua pergelangan tangannya hingga ia tidak berdaya lagi, hanya kedua kakinya saja meronta-ronta dan bergerak-gerak. Akan tetapi, Saraswati tidak mau menangis dan tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Ia sengaja meronta-ronta agar pemuda itu tak mudahdapat melanjutkan perjalanannya.
Akan tetapi, Saritama adalah seorang pemuda yang bertubuh kuat dan bertenaga besar, maka sedikit perlawanan itu tak berarti apa-apa baginya. Bahkan ia lalu mempergunkan ilmu larinya Kidang Kencana hingga Saraswati yang tiba-tiba merasa betapa pohon-pohon berlari-lari cepat dan angin menyambar muka dan
seluruh tubuhnya hingga rambutnya berkibar tertiup angin, menjadi takut sekali. Gadis ini heran mengapa pemuda itu dapat berlari demikian cepatnya, maka iapun lalu berhenti meronta- ronta, bahkan memejamkan mata karenatakut!
Berkat ilmu lari cepatnya yang luar biasa tak lama kemudian mereka telah dapat keluar dari hutan itu. Sementara itu, matahari telah mengusir pergi kabut yang tebal. Setelah keluar dari hutan Saritama kuatir kalau-kalau bertemu dengan petani dan dapat melihat betapa ia berlari sambil memondong seorang wanita, makatiba-tiba iaberhenti.
Pada saat yang sama, ketika ia memandang ke arah muka gadis yang masih berada di dalam pelukannya, gadis itupun membuka mata dan memandangnya. Dua pasang mata bertemu dan keduanya diam tak berkata-kata! Lama sekali dua pasang mata itu saling pandang dengan penuh keheranan dan kekaguman. Saritama melihat betapa muka yang berkulit kuning- putih kemerah-merahan dan berbentuk sangat indah dihiasi mata, hidung, bibir dan rambut disinom yang tak kalah oleh kecantikannya bidadari dalam alam khayalannya. Sedangkan Saraswati melihat wajah pemuda yang tampan dan gagah sekali, dengan sepasang mata jernih tajam, perkasa dan bagus bagaikan Sang Arjuna sendiri!
Pada saat itu entah darimana datangnya, warna merah menjalar dikedua wajah teruna dan dara itu hinggawajah mereka memerah sampai ke telinga! Ketika melihat betapa tubuh yang berkulit halus dan hangat itu menempel di dadanya dan kedua lengannya memeluk tubuh gadis itu, tiba-tiba Saritama menjadi malu sekali hingga cepat-cepat ia menurunkan tubuh itu ke atas tanah!
"Kau....... kau harus berjalan sendiri," kata Saritama dan ia
berusaha sekuatnya untuk memberi tekanan keras kepada suaranya supaya terdengar marah, akan tetapi hasilnya tidak sebaik yang ia harapkan oleh karena suara itu keluar dengan gagap dan lemah!
"Tidak, aku tidak sudi," gadis itu menjawab dengan bibirnya yang indah dan merah itu cemberut, sambil menunduk dan tak berani mengangkat muka memandangwajah Saritama!
"Apakah kau lebih senang kalau kupondong?" tanya Saritama agak berani dan dengandada berdebar oleh karena gadis itu tidak memandangnya. Mendengar ini, Saraswati cepat mengangkat kepala memandang dengan mata bernyala lagi.
"Siapa sudikaupondong?" bentaknya marah.
Saritama tersenyum danwajahnya berseri oleh karena kini ia dapat melihat betapa gadis itu menjadi makin cantik di waktu marah! Kedua matanya seakan tertawa hingga gadis itu menjadi makingemas.
"Kalaubegitu, kau harus berjalan kaki."
"Tidak sudi!"
"Baik, aku akan memondngmu lagi kalau kau lebih suka dipondong!"
Mendengar ini, Saraswati menjauhkan diri dan segera berjalan kakitanpa menoleh lagi, bahkan ia mendahului Saritama.
Pemuda itu tersenyum dan tiba-tiba ia merasa aneh sekali mengapa kebenciannya terhadap gadis itu lenyap sama sekali bagaikan kabut terusir matahari pagi! Untuk beberapa lamanya ia memandang lenggang gadis yang marah itu dengan hati berdebar dan semangat melayang. Alangkah manis dan lemah-gemulai lenggang gadis itu. Alangkah bersih dan halusnya kulit leher yang nampak dari belakang itu, dan alangkah indahnya bentuk kaki
yang kadang-kadang nampak keluar dari kainnya ketika ia berjalan. Sebaik dan seindah itukah potongan dan bentuk kaki bidadari? Tak mungkin! Demikianlah, pemuda itu memandang bagaikan sebuah patung batu, dan setelah dara itu berjalan agak jauh, ia segera mengejarnya.
Saritama berjalan di sebelah Saraswati dan beberapa kali ia menengok, akan tetapi gadis itu berjalan dengan pandangan mata ditujukan ke depan, berbuat seolah-olah tidak ada orang di dekatnya!
"Nah, begini lebih baik," kata Saritama. "Aku tadi kuatir kalau-kalau ada orang melihat aku memondongmu. Alangkah ganjilnya."
Saraswati berdiam saja dan bahkan mempercepat langkahnya. Saritama juga berjalan tanpa berkata-kata, hanya beberapa kali memandang wajah yang marah itu. Lambatlaun, makin menipislah sinar kemarahan yang membayang pada wajah ayu itu, bahkan kini sinar kemarahan itu telah terganti oleh peluh yang memenuhi jidatnya. Dadanya agak terengah-engah, tanda bahwa gadis yang tidak biasa berjalan kaki jauh-jauh ini telah merasa lelah. Akan tetapi, Saraswati tidak sudi memperlihatkan kelemahannya dan memaksa diri berjalancepat.
"Kau lelah? Marilah beristirahat dulu. Kita tak perlu tergesa- gesa!" kata Saritama dan biarpun ia mencoba untuk membuat suaranya terdengar biasa dan sewajarnya, namun ia tidak dapat melenyapkan suara yang mengandung iba hati hingga ia menjadi benci kepada suaranya sendiri yang telah membongkar rahasia perasaannya itu.
Akan tetapi, sedikitpun Saraswati tidak mau menengok atau menjawab, bahkan gadis itu lalu merapatkan bibirnya untuk menahan lidahnya yang hendak menjawab dan menundukkan kepalanya untuk mencegah matanya yang hendak mengerling ke
kanan dimanapemuda ituberjalan!
Saritama menghela napas. Beberapa lama mereka berdua berjalan lagidalam keadaan sunyi.
"Kau masih marah?" Saritama berkata lagi. Tidak ada jawaban.
"Dengarlah, Saraswati. Kau bernama Saraswati bukan? Nama yang indah! Dengarlah, aku sebetulnya merasa menyesal juga bahwa aku terpaksa menawan kau yang tidak berdosa. Akan tetapi, kalau aku melayani semua ponggawa Tangen dan melakukan amukan di sana, tentu aku akan membinasakan dan melukai banyak ponggawa yang sebetulnya tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan aku. Aku tidak tega melukai orang- orang yang tidak berdosa itu. Maka setelah melihat kau sebagai anak tunggal musuh besarku timbul akalku untuk membawamu pergi dan menanti kedatangan musuh besarku itu di sana agar kami berdua berhadapan muka tanpa ada orang lain yang mengganggu. Aku menyesal telah menyusahkan dan membuat kau marahdi luarkehendakku!"
Terdengar suara perlahankeluar darikerongkongangadis itu, seperti sedu-sedan, akan tetapi Saraswati masih saja merapatkan bibirnya dan berjalan terus. Akantetapikakinya telah terasa lelah sekali dan matahari yang telah naik agak tinggi itu mulai terasa panasnya. Ia terhuyung-huyung dan tiba-tiba kaki kanannya tersandung batu. Hampir saja iajatuh kalau Saritama tidak cepat- cepat memegang kedua tangannya dari samping.
Saraswati merasa kepalanya pening dan ia memejamkan kedua matanya sambil tanpa disadarinya ia menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu. Saritama mencium keharuman luar biasa yang keluar semerbak dari rambut gadis yang terurai itu dan pemuda ini cepat-cepat mengatur napas menutup mata untuk menahangelorahatinya.
Akhirnya kepusingan yang membuat Saraswati merasa kepalanya berputar itu mereda dan ketika gadis ini sadar bahwa ia menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu, ia cepat-cepat merenggutkan tubuhnya, lalu menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis tersedu-sedu!
Saritama juga ikut duduk sambil mulai menyesali pebuatannya. Ia merasa kasihan sekali melihat gadis ini yang menjadikurban daripada pembalasandendamnya.
"Saraswati.......," katanya halus, "Jangan kau menangis....... kau....... Janganlah kau marah, dan maafkan aku, Saraswati."
Dengan mata mengalirkan air mata yang membasahi kedua pipinya yang kemerah-merahan, Saraswati memandang pemuda itu.
"Saritama, mengapa kau mengubah sikapmu yang kasar? Mengapa kau berubah sebaik ini? Berlakulah kasar karena aku adalah anak musuhmu. Hentikanlah godaanmu ini, Saritama."
"Saraswati, jangan kau anggap aku serendah itu. Aku tidak menggodamu, aku memang....... entah mengapa, tiba-tiba aku merasa kasihan kepadamu. Maafkanlah perbuatanku yang terpaksa oleh karena tugasku dan baktiku kepada mendiang ayahku."
"Tidak, tidak! Tidak ada yang harus dimaafkan, agaknya begini lebih baik lagi! Biarlah ayah mengalami sedikit kekuatiran oleh karena dia telah memaksaku menikah dengan tua bangka bandotan itu!"
"Apa? Kau dipaksa menikah dengan seorang tua bangka?" tanya Saritama. "Apakah dengandukun lepus itu?"
Maka teringatlah Saraswati akan peristiwa di taman dan ia teringat pula bahwa pemuda inilah yang telah menolongnya dari
bahaya cengkeraman Bagawan Kalamaya yang lebih hebat daripada bahaya maut. Untuk sesaat ia memandang kepada wajah Saritama dengan pandangan mesra, akan tetapi hanya untuk sebentar saja oleh karena ia segera dapat menguasai perasaannya kembali. Dia sendiri merasa bahwa pemuda di depannya ini adalah seorang ksatria yang baik budi dan gagah perwira maka tak sedikitpun terkandung rasa benci dalam hatinya. Pemuda ini bersikap demikian sopan-santun hingga menimbulkan kepercayaan besar di lubuk hatinya. Maka tanpa disadarinya ia lalu menceritakan betapa ia telah dilamar Adipati Tirtaganda dari Pacet yang sudah kakek-kakek dan lamaran itu diterima baik oleh ayahnya!
Saritama marah sekali mendengar penuturan gadis itu. "Sungguh memalukan! Biar kuputar batang leher bandot tua itu!" Ucapan ini dikeluarkan tanpa disadarinya dan ketika gadis itu gadis itumemandang kepadanya dengan mata terbelalak dan bibir tersenyum, barulah ia sadar dan tiba-tiba ia menundukkan mukanya dengan malu.
"Saritama, mengapa kau demikian memperhatikan nasibku? Bukankah aku inianak musuhmu yang hendakkaubasmi?"
"Aku..... eh..... kau benar anak musuhku...... dan...... dan tentang Tirtaganda si celeng tua...... ah, aku memang benci sekali melihat bandot tua!" jawabnya gagap dan tidak karuan hingga tiba-tiba gadis yang tadinya menangis itukinitertawa geli dengan air mata masih membasahi pipinya. Tertawanya nyaring dan merdu hingga Saritama mengangkat muka lalu memandang kagum.
"Saritama, kau ini....... aneh sekali."
"Mengapa aneh?"
"Betapa tidak? Kau memusuhi ayahku, membenci ayah dan
hendak membinasakannya, akan tetapi kau demikian baik kepadaku. Bukankah inianeh sekali?"
"Kau juga aneh, Saraswati."
"Eh, mengapa pula akukau sebut aneh?"
"Kau sebentarmarah, sebentarbersedih, lalu berbalik tertawa dan tersenyum riang! Kalau kau bersedih dan menangis hatiku menjadi tidak karuan karena ikut terharu dan bersedih, kalau kau marah, kau..... bertambah...... ayu, dan kalau kau tersenyum dan tertawa....."
"Mengapa?" gadis itu mengerling dengan tajam dan manis sekali.
"Entah mengapa, tapi hatikujaditidak karuan!"
Tiba-tiba dara itu tertawa geli sambil memegangi perut karena menahan gelak tawanya. "Kalau begitu, memang benar- benar kau ini pemuda aneh, aneh sekali! Dan bilang bahwa kau hendak bertempur melawan ayah? Sudahlah, tuan penculik, aku berada dalam kekuasaanmu, sekarang kita harus ke mana?" Saraswati bangkit berdiri.
Saritama mendongkol sekali karena merasa bahwa ia ditertawakan.
"Mari kita berangkat ke Tritis. Kalaukita berjalan cepat, sore nanti kitabisa sampaidi sana!" katanya singkat.
Demikianlah, kedua anak muda itu berjalan melanjutkan perjalanan mereka ke Tritis, bekas tempat kediaman Adipati Cakrabuwana yang sekarang telah menjadi sebuah dusun kosong tak ditinggali seorang pendudukpun semenjak keluarga adipati itu dibasmi berikut seluruh isi kampung.
Ketika Bagawan Kalamaya melihat betapa Saritama
menculik pergi Dewi Saraswati, ia menjadi marah sekali. Akan tetapi apa daya, pemuda itu terlampau tangguh baginya. Diam- diam ia lalu menghampiri Tomblok yang masih rebah sambil menangis. Para ponggawa yang sibuk mengejar Saritama tidak memperdulikan pendeta itu hingga taman itu kembali menjadi sunyi.
"Emban, kau sudah tahu siapa aku, bukan? Nah, kau harus menutup mulutmu dan jangan sampai orang lain mendengar tentang peristiwa antara aku dan sang puteri tadi. Kalau kau sampai bocor mulut, awas! Kerisku ini akan menamatkan hidupmu!"
Dengan ketakutan dan tubuh menggigil, Tomblok menyatakan kesanggupannya, dan akhirnya berkata, "Jangan kuatir, Sang Bagawan, oleh karena pada akhirnya bukankau yang membawa pergi gusti puteri, akan tetapi pemuda itu!" Tomblok lalu menangis ketika teringat akan Saraswati yang tertawan musuh. Kemudian, setelah mengancam dengan keras sekali lagi, Bagawan Kalamaya lalu meninggalkan tempat itu, sedangkan Tomblok lalu lari masuk untuk memberi laporan kepada ibu Saraswati.
Maka geger dan ributlah di dalam gedung ketika kaum wanitanya mendengar cerita Tomblok. Terdengar tangis dan keluh-kesah seakan-akan ada kematiandalam rumah itu.
Pada keesokan harinya, di Pacet juga terjadi keributan ketika para ponggawa yang menyusul Tumenggung Wiradigda telah menyampaikan berita itu. Adipati Pacet yang bernama Tirtaganda juga marah sekali mendengar betapa calon isterinya dilarikan orang.
"Sikeparat Saritama!" teriaknya dengan kumis berdirikarena marahnya. "Berani kau megganggu calon isteriku?" Sambil berkata begitu Tirtaganda mencabut kerisnya, seakan-akan
Saritamatelah berada dan berdiri didepannya!
"Ananda Adipati, maafkan aku karena tak dapat lebih lama berada di sini," kata Tumenggung Wiradigda yang wajahnya menjadipucat.
"Paman Tumenggung, bagaimana tentang perjodohan itu? Hari pernikahan belum ditetapkan dan perundingan kita belum selesai, mengapakinipamanda hendak pulang?"
Bukan main mendongkolnya hati Wiradigda mendengar ini. Sudah jelas bahwa Saraswati diculik orang, akan tetapi calon mantu inimasih hendakbicara tentang hari pernikahan segala.
"Ah, tentang itu bagaimana nanti saja, ananda," katanya dengan suara kurang senang. Tumenggung Wiradigda dan ponggawanya lalu keluar dari kadipaten dan menunggang kuda dengan secepatnya kembali ke Tangen. Di sepanjang jalan ia menyuruh para ponggawa itu menceritakan segala peristiwa yang terjadi di Tangen. Ketika mendengar yang menculik puterinya adalah putera dari almarhum Adipati Cakrabuwana, wajah Tumenggung Wiradigda makin pucat. Ia lalu mempercepat lari kudanya hingga sianghari itujuga merekatelahtiba di Tangen.
Dari semua ponggawa yang malam hari kemarin mengeroyok Saritama, ia mendapat keterangan betapa sakti dan perkasa pemuda musuhnya itu. Maka diam-diam Tumenggung Wiradigda merasa kuatir dan cemas. Ia sudah mulai menjadi tua dan tenaganya telah banyak berkurang hingga ia merasa bahwa iapun takkan dapat menghadapipemuda yang menjadi musuhnya itu. Selain itu, Tumenggung Wiradigda juga merasa menyesal sekali mendengar bahwa keturunan Adipati Cakrabuwana kini datang menuntut balas. Iatidak dapat membawa barisannyauntuk mengejar dan mengepung Saritama, oleh karena selain hal ini memalukan dan menjatuhkannamanya, juga ia kuatirkalau-kalau pemuda itu akan membinasakan puterinya. Maka ia lalu
mengumumkan kepada semua ponggawanya untuk mengadakan sayembara untuk memilih seorang yang benar-benar gagah perkasa untuk mengawaninya mengejar Saritama di Tritis! Dan oleh karena kebingungannya, Tumenggung yang sudah tua ini bahkan lalu menyatakan bahwa siapa yang terpilih dan akhirnya berhasil merebut kembali puterinya dari tangan Saritama, ksatria iniakandipungut mantu dandijodohkandengan Dewi Saraswati!
Setelah mengadakan pengumuman ini, Tumenggung Wiradigda memasuki kamarnya, disambut oleh isterinya yang cantik dan yang sedang menangis sedih memikirkan nasib anaknya.
"Rakanda tumenggung, bagaimanakah baiknya.......? Aduh, Saraswati anakku......"
Tumenggung Wiradigda menghela napas. "Akhirnya Cakrabuwana dapat juga membalas dendam, sungguhpun pembalasan dendam ini kurang tepat. Memang, sampai matipun Cakrabuwana akan selalu menyangka bahwa aku yang memfitnahnya! Cakrabuwana...... sungguh besar rasa sakit hatimu padaku....... dan semua ini hanyakarena engkau, Mirah."
Isterinya menangis makin sedih. Terbayanglah segala peristiwa dan pengalamandiwaktu muda. Memang dulu diatelah mempunyai hubungan yang mesra dengan Cakrabuwana, akan tetapi akhirnya ia harus mengalah kepada pilihan ayahnya hingga ia dikawinkandengan Wiradigda. Akantetapi, dia tidak menyesal oleh karena ternyata kemudian bahwa Wiradigda adalah seorang yang baik dan suami yang bijak hingga hidupnya cukup bahagia. Sungguh menyesal bahwa diantara Wiradigda dan Cakrabuwana terdapat dendam hati yang besar, sungguhpun mereka berdua tak pernah menyatakannya. Pada bulan-bulan pertama, Wiradigda yang telah menjadi suaminya itu seringkali menyatakan ketidaksenangan hatinya dan rasa cemburunya, akan tetapi
lambat-laun, sikap inipun lenyap, apalagi setelah anak mereka Saraswati itu lahir.
Pada waktu itu, memang banyak terjadi pemberontakan dari para adipati dan tumenggung yang tidak merasa puas dengan pemerintah yang dipegang oleh Ratu Wanita, akan tetapi semua pemberontak itu dapat ditumpas oleh Patih Gajah Mada. Akhirnya dengan mempergunakan lidahnya yang tajam dan hubungan yang baik dan erat dengan fihak keraton, seorang pejabat tinggi dapat memfitnah Cakrabuwana dan menuduhnya hendak memberontak pula. Kerajaan lalu mengirim bala-tentara dan Adipati Cakrabuwana beserta seluruh keluarganya di Pacet dihancurkan. Dan celakanya, tentara penumpas pemberontakan ini sebelum menuju ke Pacet, terlebih dahulu berhenti dan bermalam di Tangen hingga tentu saja mudah menimbulkan persangkaan bahwa Wiradigdalah yang menjadi biang keladi penumpasan itu!
Padahal pejabat tinggi yang telah memfitnah itu bukan lain orangnya adalah Adipati Tirtaganda sendiri! Ketika itu, Adipati Tirtaganda masih sangat muda oleh karena sebagai putera seorang pangeran ia merasa dikalahkan dalam kemajuan oleh Cakrabuwana, seorang pemuda keturunan rendah saja, timbul iri hatinya dan ia lalu menggunakan kedudukannya sebagai putera pangeran untuk memfitnah adipati itu!
Akantetapi, hal inihanya diketahui oleh Wiradigda seorang , yang dapat menduga dengan tepat, walaupun tidak berani menyatakan dengan mulut. Dan menurut anggapan Wiradigda, oleh karena hal itu telah terjadi dan tak dapat dicegah lagi maka ia lalu menutup mulut. Tak disangkanya sama sekali bahwa keturunan Adipati Cakrabuwana masih hidup dan kini tiba-tiba saja datang membalas dendamayahnyakepada...... dia!
Demikianlah, dengan hati penuh penyesalan Tumenggung
Wiradigda berdiam diri di dalam kamarnya dan ia telah mengambil keputusan tetap untuk membatalkan perjodohan puterinya dengan Adipati Tirtaganda yang menjadi biang keladi tersembunyi daripada segala peristiwa ini!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi, benar di halaman tumenggung telah berkumpul banyak sekali ponggawa dan pemuda-pemuda yang hendak memasuki sayembara. Akantetapi, kepala ponggawa yang telah mendapat perintah dan petunjuk Tumenggung Wiradigda, lalu mengadakan pemilihan lagi dan diantara berpuluh ponggawa dan satria yang hendak mengikuti sayembara ini, hanya ada dua belas orang yang ia pilih. Tiba-tiba diantara para penonton yang banyak jumlahnya, keluarlah seorang yang cakap dan gagah. Pemuda ini menghadap kepala ponggawa dan berkata,
"Perkenankanlah sayauntuk mengikuti sayembara ini."
Kepala ponggawa memandangnya dengan tajam. Ia melihat bahwa pemuda ini biarpun halus dan sopan-santun, namun memiliki tubuh yang padat dan sepasang mata yang bersinar ganjil dan tajam, maka ia dapat menduga bahwa satria ini tentulahbukan orang sembarangan.
"Siapa namamu, raden?" tanyanya.
"Saya adalah Jakalelana dari pesisir selatan," jawab yang ditanya.
Kepala ponggawa maklum bahwa nama ini bukanlah nama aseli dan tentu pemuda ini ingin menyembunyikan keadaan dirinya, maka ia makin tertarik.
"Baiklah, mari kau ke sini, berkumpul dengan dua belas orang pengikut sayembara yang lain."
Dengan demikian, maka jumlah pengikut yang terpilih ada
tiga belas orang.
Ketika Tumenggung Wiradigda keluar dari gedungnya, dengan girang ia melihat bahwa ketiga belas calon yang tepilih oleh kepala ponggawa adalah orang-orang muda yang gagah perkasa. Ia menyatakan kecocokan hatinya dan memberi tanda agar supaya pertandingan adu kesaktian segera dimulai untuk memilih seorang jago yang sakti dan yang akan menyertainya menghadapi Saritama!
Gong ditabuh keras dan semua penonton dipersilakan mundur untuk memberi tempat bagi para peserta. Cara adu kepandaian dan kesaktian yang dilakukan pada waktu itu ialah mengadu semua peserta supaya mereka berkelahi tanpa membekal senjata. Yang menang terakhir, dialah yang menjadi juara!
Atas isarat kepala ponggawa, dua peserta maju ke dalam kalangan dan mereka segera bertempur. Keduanya memperlihatkan kepandaian masing-masing, pukul-memukul, tendang-menendang, banting-membanting, diikuti sorak-sorai para penonton. Demikianlah, dari dua belas orang peserta, yang menang ada enam orang, sedangkan Jakalelana oleh karena datangnya paling akhir dan merupakan angka ganjil, tidak mendapat lawan!
Kemudian enam orang pemenang itu lalu diadu kembali atas pilihan ponggawa dan dalam babak kedua inipun, Jakalelana tidak mendapat lawan oleh karena keenam pemenang itu telah menjadi tiga rombongan.
Setelah petandingan selesai dan para pemenang kini tinggal tiga orang saja, maka pemuda itu nampaknya kurang puas dan tidak senang. Tiba-tiba ia berdiri dan berkata kepada Tumenggung Wiradigda.
"Maafkan saya, Gusti Tumenggung. Oleh karena ketiga saudara ini telah berkelahi dua kali dan tentu mereka ini telah lelah, maka tidak adillah apabila saya harus menghadapi mereka seorang demi seorang. Saya semenjak tadi tak kebagian lawan dan saya belum bertempur satu kalipun, maka apabila paduka mengizinkan biarlah sekarang mereka bertiga ini maju berbareng menghadapi hamba! Apabila hamba kalah biarlah ini dianggap bahwa saya tak berharga untuk menjadi pengikut paduka menemui Saritama."
Tumenggung Wiradigda tertarik sekali kepada pemuda yang tampandanyang halustuturkatanya itu.
"Hai, satria yang gagahdan tampan, siapakahnamamu?"
"Hambabernama Jakalelana, Gusti Tumenggung."
Tumenggung Wiradigda tertawa. "Baiklah, untuk kali inikau boleh menggunakan nama itu, akan tetapi apabila kau telah terpilih dan menang dalam sayembara ini, kau harus memberitahukannamamu yang sebetulnya."
Pemuda itupun tersenyum. "Baik, Gusti Tumenggung. Apabila dewata memberkahi hamba hingga hamba menang dalam sayembara ini, pasti hamba akan memperkenalkan diri hamba sebenarnya."
Tumenggung Wiradigda memberi isarat dan pertandingan babak ketiga dipersiapkan. Semua penonton memandang gembira oleh karena kali ini tentu akan ada pertunjukan yang hebat menarik. Siapakah pemuda tampan yang begitu berani mati menantang ketigapemenang itu untuk maju berbareng?
Para ponggawa lalu minta supaya penonton mundur hingga kalangan menjadi lebih lebar oleh karena yang hendak bertanding kini adalah empat orang. Ketiga pemenang itu menanti sambil duduk dan dada mereka yang bidang itu berkilat karena peluh.
Ketiganya masih muda dan kesemuanya bertubuh tinggi besar. Akan tetapi, ketika mereka ini mendengar usul permintaan pemuda yang bertubuh tak berapa besar dan nampaknya tak berapa kuat itu, mereka saling pandang dantersenyum mengejek.
Setelah mendapat isarat dari kepala ponggawa maka ketiga orang pemenang itu berdiri dan bersiap di hadapan Jakalelana. Pemuda ini dengan tenang lalu menghampiri mereka. Para penonton tak ada yang mengeluarkan suara hingga keadaan menjadi sunyi seakan-akan di situ tidak terdapat seorangpun! Semua mata kini memandang kepada Jakalelana dengan penuh kekhawatiran. Memang kalau dipandang amat ganjil, karena Jakalelana yang bertubuh tak besar dan yang nampaknya lemah- lembut itu berdiri menghadapi tiga orang lawan yang demikian kuat dangagahnya!
Tiba-tiba saja datangnya, bagaikan mendapat aba-aba, ketiga orang pemenang itu lalu maju menubruk dan menyerang. Agaknya mereka hendak merobohkan Jakalelana dalam satu gerakan saja. Serangan mereka ini sangat dahsyat, bagaikan serangan ombak samudra! Para penonton manahan napas dan memandang ke arah Jakalelana dengan kuatir akantetapitiba-tiba mereka menjadi heran tercengang oleh karena bagaikan seekor burung srikatan yang gesit sekali, tubuh Jakalelana telah melayang di atas melewati kepala ketiga lawannya dan kini berada di belakang mereka sambil bertolak pinggang! Kini marahlahketiga orang itu.
Sambil menggeram mereka maju menyerbu lagi sekuat tenaga. Akan tetapi lagi-lagi Jakalelana memperlihatkan kegesitannya. Sambil melompat ke kanan kiri ia berhasil mengelakkan semua serangan dan kadang-kadang menangkis dengan lengan tangannya. Tiap kali melompat, tak pernah lupa ia memberitepukan atau colekan dengan tangandankakinya hingga
semua penonton yang melihat betapa ketiga orang itu dipermainkan oleh Jakalelana, tertawa geli dan bersorak-sorak makin hebat.
Juga Tumenggung Wiradigda yang menonton pertandingan ini, diam-diam terkejut sekali. Hebat sekali pemuda ini, pikirnya. Bahkan ia akui bahwa ia sendiri tak sanggup mengalahkan pemuda itu dalam ilmu perkelahian. Alangkah gagah, cepat, tangkas, dan cekatan. Tiada ubahnya sebagai seekor burung garuda menyambar-nyambar lawannya. Ah, pantas benar pemuda ini menjadi suami Saraswati, pikir Tumenggung Wiradigda. Sama-sama tampan sama-sama muda. Diam-diam hatinya menjadi girang dan timbul harapannya. Dengan pemuda seperti ini sebagai kawan, mustahil ia takkan dapat merebut kembali anaknya dari tangan Saritama.
Jakalelana merasa sudah cukup mempermainkan ketiga lawannya. Tiba-tiba ia mempercepat gerakannya dan begitu kaki tangannya bergerak, maka bergelimpanganlah tubuh ketiga orang lawannya tanpa sanggup bangun kembali. Kemenangan yang mutlak ini disambut dengangegap-gempita oleh para penonton.
"Hai, Jakalelana. Dengan disaksikan oleh semua penonton dan semua ponggawa, kau kunytakan sebagai pemenang dalam sayembara ini!" Tumenggung Wiradigda berseru keras dan kata- katanya inidisambut dengan sorak-sorai oleh para penonton.
"Sekarang, sebelum kau menyertai aku untuk menghadapi musuh, kau harus memenuhi janjimu tadi dan perkenalkan dirimu sebenarnya. Siapakah namamu dandarimana asalmu?"
Pertanyaan ini disambut oleh para penonton dengan penuh perhatian hingga keadaan menjadi sunyi sepi, karena semua penonton dan bahkan para ponggawa dan para pengikut sayembara ingin sekali mendengar siapa adanya pemuda gagah perkasa ini.
Jakalelana tersenyum dan bangkit berdiri dengan perlahan. Ia memandang ke sekeliling, kemudian menatap wajah Tumenggung Wiradigda. Ketika berkata-kata suaranya terdengar nyaring sekali dan bagi telinga semua pendengarnya, ucapan dan jawabannya merupakan suara guntur disianghari!
"Tumenggung Wiradigda dan semua orang Tangen, dengarlah baik-baik! Kalian semua hendak mengenal aku? Nah, pasanglah telingamu lebar-lebar karena aku adalah putera dari Adipati Cakrabuwana dan namaku ialah Saritama!"
Pucatlah wajah Tumenggung Wiradigda mendengar ini. Tumenggung sudah tua ini bangkit berdiri dengan muka sebentar pucat sebentarmerah.
"Kalian mendengar sendiri betapa Tumenggung Wiradigda telah memilih Saritama sebagai mantu, maka apa perlunya mengejar-ngejar Saritama? Ha, ha, ha!" Saritama tertawa mengejek.
"Keparat, jangan kau mempermainkan orang!" Tumenggung Wiradigda bangkit berdiri dengan marah sekali. Mereka siap dengan senjata di tangandan hendak menyerbupemuda itu.
Akan tetapi Saritama mempergunakan kesaktiannya. Siapa saja berani datang dekat tentu roboh karena pukulan atau tendangannya. Ketika Tumenggung Wiradigda sendiri datang menyerang, Saritama melompat pergi jauh dan pemuda itu lalu melarikandiri sambilberkata,
"Wiradigda! Tantanganku masih berlaku, tapi tidak di sini! Kalau kau memang jantan, datanglah ke Tritis untuk membuat perhitungan!"
"Baik, Saritama, pemuda sombong! Kau kira aku takut padamu?"
Tumenggung Wiradigda lalu lari memasuki rumahnya dan sebentar kemudian ia berlari keluar sambil membawa tombak pusakanya yang ampuh. Ketika para ponggawa beramai-ramai hendak ikut mengejar, tumenggung yang tua itu berhenti dan membentak,
"Kalian hendak membuat malu aku? Hayo mundur dan kembali! Aku sendiri masih sanggup menghadapi Saritama!" Semua ponggawa mundur ketakutan, sedangkan Tumenggung Wiradigda dengan muka merah lalu melanjutkan perjalanannya ke Tritis!
Ketika ia tiba di sebuah hutan di mana kemarin dulu Saritama dan Saraswati bercakap-cakap, tiba-tiba muncul beberapa belas orang dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa yang muncul ini tidak lain adalah Adipati Tirtaganda dan beberapa orang ponggawanya!
"Tirtaganda, mengapakau menghalangi perjalananku?" tanya Tumenggung Wiradigda yang tiba-tiba menjadi marah melihat orang ini oleh karena teringat bahwa orang inilah yang menjadi biang keladi permusuhannya dengan Saritama.
Adipati Tirtaganda tersenyum mengejek. "Tumennggung Wiradigda! Kau tak patut menjadi seorang tumenggung oleh karena kau telah melanggar janjimu sendiri. Aku mendngar bahwa kau mengadakan sayembara dan memilih mantu, betulkah ini?"
"Betul!"
"Bukankah kau sudah berjanji hendak menjodohkan
puterimu dengan aku?"
"Tirtaganda, jangan kau menambah-nambahi sendiri. Siapa yang berjanji? Kita baru mengadakan perundingan akan tetapi perkara itu belum jadi dan belum masak. Kau maklum bahwa
puteriku telah diculik oleh putera Adipati Cakrabuwana yang dulu kau khianati! Kaulah biang keladi segala malapetaka ini. Kau yang memfitnah Cakrabuwana, akan tetapi sekarang puteranya membalasnya kepadaku! Seharusnya kau sebagai laki- laki harus berani bertanggung jawab dan pergi menghadapi Saritama, oleh karena kaulah musuh besarnya, bukan aku! Aku hanyalah menjadi kurban kesalahfahaman yang agaknya timbul semenjak Cakrabuwana masih hidup! Aku hanya akan menjodohkan puteriku apabila dia suka menerimanya. Kalau kau dapat merebut kembali Saraswati dari tangan Saritama, dankalau anakku sudi menjadi isterimu, aku orang tua takkan melarangnya!"
"Ha,ha,ha! Wiradigda, kau memutar-mutar lidah bagaikan wanita! Baik kau, maupun Saritama hari ini tentu mampus dalam tanganku, sedangkan Saraswati, mau tidak mau harus menjadi isteriku!"
"Bangsat besar, majulah kalau kau hendak mengenal tombak pusaka Tumenggung Wiradigda!" katatumenggung tua itu sambil mengacung-acungkantombaknya.
"Maju, serbu!" Tirtaganda memberi perintah, dan belasan orang itu lalu maju mengurung. Tumenggung Wiradigda hendak mengamuk, akan tetapi jumlah lawannya cukup banyak dan cukup tangguh, maka tak lama kemudian ia terdesak hebat dan keselamatannyaterancam!
Pada saat itu, dari balik sebatang pohon besar keluarlah seorang pemuda yang tidak lain ialah Saritama sendiri! Pemuda ini telah mendengar semua percakapan tadi dan timbul keraguan dalam hatinya. Benarkah bahwa Tumenggung Wiradigda bukan orang yang memfitnah ayahnya? Akan tetapi, oleh karena mendengar bahwa orang yang mengeroyok Wiradigda adalah Tirtaganda, bandot tua yang dibencinya, Saritama lalu melompat
maju dan tanpa berkata apa-apa ia lalu menyerbu membela Tumenggung Wiradigda!
Sepak-terjang pemuda ini hebat sekali hingga dalam sekejap sajabeberapa orang ponggawakena dirobohkan.
"He, pemuda, siapakah kau?" bentak Tirtaganda.
"Bangsat dan bandot tua tak tahu malu! Dengarlah, aku adalah Saritama putera Cakrabuwana! Jadi kaupun memfitnah mendiang ayahku? Kalau begitu, kematianlah bagianmu!" Sambil berkata demikian, Saritama menyerang hebat dan sebuahpukulan yang disertai Aji Bromojati tepat mampir di pangkal telinga Tirtaganda! Adipati itu memekik ngeri dan roboh dengan tubuh hangus dan tewas seketika itu juga! Melihat hal ini para kaki tangannya lalu lariketakutan!
Saritama lalu menghadapi Wiradigda dengan mata mengancam, akantetapi Tumenggung itu sama sekalitidaktakut.
"Kau juga hendak membunuhku?" Boleh, cobalah kalau kau dapat!" Tumenggung itu menantang dengan suara keras.
Akan tetapi, oleh karena telah mendengar percakapan tadi, hati pemuda itumenjadiragu-ragu.
"Aku akan menangkapmu!" Ia lalu menyerbu secepat kilat. Wiradigda mengangkat tombaknya dan menusuk ke arah dada Saritama. Akan tetapi pemuda itu mengelak ke samping dan dari samping bergerak hendak merampas tombak. Tumenggung Wiradigda bukan orang lemah, maka tak mudah saja bagi Saritama untuk merampas tombak itu. Demikianlah, pemuda dan orang tua ini bertempur lama oleh karena Saritama tak hendak membunuhnya, hanya hendak menawannya saja. Kalau pemuda itu mau menjatuhkan tangan jahat, pasti Wiradigda takkan kuat menahan.
Akhirnya, karena tenaga Wiradigda yang sudah tua itu telah banyak berkurang dan ia telah merasa lelah sekali sebuah tendangan Saritama tepat mengenai pergelangan tangannya hingga tombak yang dipegangnya terlempar jauh. Sebelum Tumenggung Wiradigda sempat mengelak, Saritama telah menyergapnya dengan kedua lengan tangannya yang kuat! Pemuda itu lalu mempergunakan sarung tumenggung itu sendiri untuk mengikat kedua tangan Tumenggung Wiradigda ke belakang. Kemudian ia pungut tombak tumenggung itu dan membentak,
"Hayo jalan!"
Saritama, kenapa aku tidak kau bunuh saja? Tak perlu aku dikasihani, tak perlu aku menyangkal dan membela diri menyatakan kebersihanku. Kalau kau anggap aku sebagai pengkhianat ayahmu, bunuh saja. Wiradigdataktakut mati!"
"Bunuh kau.......? Mudah, itu perkarananti. Hayo jalan!"
Dengan ujung tombaknya Saritama memaksa orang tua itu berjalan maju menujuke Tritis.
Ketika mereka tiba di dusun Tritis yang kosong sepi, dari dalam sebuah pondokbobrok keluarlah seorang gadis cantikjelita yang segeraberlari menyambut mereka.
"Ayah........!"
"Saraswati.....! Kau selamat, nak? Terimakasih, Dewa!"
Saraswati ketika melihat ayahnya dibelenggu, menjadimarah sekali dan sambil mengangkat dadanya ia menghadapi Saritama.
Saritama hanya menundukkan kepala dengan bingung. Ia hampir tak dengar ucapan Saraswati oleh karena pada saat itu pikirannya bekerja keras dan diputar-putar memikirkan tentang percakapan antara Wiradigda dan Tirtaganda tadi. Ia menyesal
mengapa ia telah menewaskannya, kalau tidak, ia dapat memaksa adipati itu untuk memberiketerangandan penjelasan.
Melihat betapa Saritama tunduk saja dan agaknya takut kepada anaknya, Wiradigda memandang dengan heran sekali, sedangkan Saraswati lalu membuka belenggu ayahnya.
"Saritama, kau telah melakukan kekacauan di Tangen, telah menculik aku, dan kini berani pula menangkap ayahku. Tahukah kau bahwa kau telah melakukan pelanggaran besar sekali? Kalau Kerajaan Majapahit mengetahui hal ini, kau bisa dianggap sebagai seorangpemberontak!"
"Dia bahkan telah membunuh Adipati Tirtaganda!" kata Tumenggung Wiradigda.
Mata Saraswati yang lebar dan indah itu terbelalak memandang kepada Saritama. Kegirangan besar memancar keluar darisepasang mata itu.
"Apa? Bandot tua itu telah kau tewaskan? Ah, Saritama....." tapi gadis itu segera mengubah suaranya ketika berkata. "Kalau begitu dosamu lebih besar lagi!"
Saritama berkata, "Saraswati, terserah, kepadamulah! Aku ..... aku bingung sekali. Sebetulnya saja paman Tumenggung Wiradigda, apakah yang telah terjadi dengan mendiang ayahku? Tadi aku mendengar percakapanmu dengan Tirtaganda. Bagaimanakah terjadinya pemfitnahan terhadap keluargaku itu sesungguhnya?"
Maka Tumenggung Wiradigda lalu menceritakan semua peristiwa dahulu itu dengan jelas. Saraswati yang baru kali ini mendengar bahwa ibunya adalah bekas kekasih ayah Saritama, mendengarkan dengan hati tertarik pula. Saritama sendiri ketika mendengar betapa ia telah salah sangka dan menjatuhkan pembalasan kepada orang yang tidak berdosa, segera
menundukkan muka dengan menyesal dan malu. Akan tetapi, ia masihmerasaragu-ragu, maka ia berkata,
"Paman Tumenggung, kalau memang Tirtaganda yang berkhianat dan kau tidak berbuat apa-apa terhadap mendiang ayahku maka aku telah berlaku sangat keji dengan menculik dinda Saraswati dan paman sendiri. Akan tetapi, keterangan itu kudapat dari Paman Panembahan Sidik Panunggal, mungkinkah beliau salah sangkapula?"
"Apa? Sidik Panunggal masih hidup? Di manakah dia sekarang?" Wajah Tumenggung Wiradigda berseri oleh karena Panembahan ini dulu adalahkawan baiknya.
"Aku berada di sini, Wiradigda! Dan kau Saritama, aku tak pernah salah sangka!" Tiba-tiba saja, entah darimana datanganya, Panembahan yang sakti itu telah muncul di situ sambil tersenyum.
"Saritama, memang semua yang diceritakan oleh Tumwnggung Wiradigda tadi benar belaka. Aku pun telah dapat menduga hal ini, akan tetapi ketahuilah bahwa semua orang, kecuali Tumenggung Wiradigda dan Adipati Tirtaganda, semua menganggap bahwa biang keladi pembasmian Tritis adalah Tumenggung Wiradigda. Aku tidak bisa meyalahi hukum karma, dan aku tidak mau membantah pendapat umum. Aku sengaja menceritakan kepadamu menurut pandangan umum dan adalah menjadi kewajibanmu sendiri untuk menyelidiki dan membongkar rahasia ini. Akan tetapi, sebelum aku menuturkan denganjelas, kau telah tak tahandan segera pergiterdorong hawa nafsumu. Untung sekali, Dewata berlaku murah dan aku tidak salah tangan Saritama. Sekarang kau harus minta maaf kepada Tumenggung Wiradigda."
Saritama segera maju berlutut dan menyembah kepada Tumenggung itu yang menerimanya dengan senyum lega.
"Wiradigda, selanjutnya terserah kepadamu. Aku hendak segera kembali ke Gunung Kidul. Saritama kelak bila kau mempunyaikesempatan, ajaklah isterimu mengunjungi pondokku di Gunung Kidul!"
Saritama heran, akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Panembahan Sidik Panunggal sudah berkelebat pergi!
Tumenggung Wiradigda dapat menangkap maksud perkataan pendeta itu, maka ia hanya tersenyum saja. Hatinya girang sekali dan diam-diam ia mengucap sukur kepada Dewata Yang Maha Agung.
Ayah, bagaimana dengan soal ini? Kita harus membelenggunya untuk membalas perlakuannya terhadapmu tadi!" kata Saraswati kepada ayahnya. "Kita tidak berdosa akan tetapitelah mendapat banyak hinaan dan gangguan dari Saritama, maka apakahkitatakkanmembalas?"
Tumenggung Wiradigda tersenyum. "Kau mau
membelenggunya? Belenggulah, Saraswati!"
Saritama juga tersenyum. Hati pemuda ini sekarang merasa girang luarbiasa mendapatkan keterangandari Panembahan Sidik Panunggal bahwa Wiradigda benar-benar tidak berdosa! Ia memandang kepada Saraswati denganwajah berseri.
"Betul kata Rama Tumenggung Wati. Belenggulah aku!"
Kedua mata dara itu terbelalak heran dan kemarahan menjalar di mukanya. "Kau...... kau kurang ajar......!" katanya gemas sekali. "Mengapa kau berani mati menyebut rama (ayah) kepada ayahku?’
"Ayahmu telah menerimaku sebagaimantunya, mengapa aku tidak boleh menyebutnya rama?" jawab Saritama yang tetap tersenyum.
"Ayah........ ?" hanya demikian Saraswati dapat bertanya
sambil memandangwajah ayahnya.
Tumenggung Wiradigda mengangguk-anggukkan kepala. "Memang benar! Aku telah menggunakan kau sebagai hadiah sayembara ketika kau terculik dan yang memenangkan sayembara itu adalah Saritama!"
"Kau...... kau......!" Saraswati menoleh kepada Saritama dan hendak memaki lagi, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Saritama, maka menjalarlah warna merahpadawajahnya sampaiketelinga.
"Saraswati, mari sini, ikatlah tanganku! Belenggulah aku, aku menyerah menjadi tawananmu," Saritama menggoda.
"Kau...... kau kurang ajar!" Saraswati lalu cemberut dan berjalan cepat menyusul ayahnya yang telah mendahului mereka pergi menujuke Tangen.
Saritama mengejar dan di sepanjang jalan tidak hentinya Saritama menggoda Saraswati hingga gadis ini menjadi malu dan....... girang.
Setelah berjalan jauh dan merasa lelah dan sakit telapak kakinya menginjak-injak batu dan kerikil tajam, kembali Saritama menggunakan kekuatan lengannya memondong tubuh gadis kekasihnya itu. Dan kini Saraswati tidak meronta-ronta seperti dulu lagi!
-----GS-----
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar