Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Jumat, 14 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - HANTU JATILANDAK

https://matjenuh-channel.blogspot.com


DI ATAS RUNTUHAN BATU KARANG SAAT ITU BERDIRi 

SATU SOSOK TINGGI KURUS BERWUJUD

MANUSIA YANG HANYA MENGENAKAN SEHELAI CAWAT 

KECIL TERBUAT DARI KULIT KAYU. SEKUJUR TUBUHNYA, 

MULAI DARI UBUN- UBUN SAMPAI KE

KAKI MENYERUPAI WARNA POHON JATI. NAMUN

DITUMBUHI BULU-BULU TEBAL KERAS DAN PANJANG 

SERTA RUNCING SEPERTI BULU LANDAK. SEPASANG 

MATANYA DITEDUHI DUA ALIS HITAM TEBAL DIBAWAH 

HIDUNGNYA YANG SELALU KEMBANG KEMPIS MENEKUK 

KUMIS LEBAT. DAUN TELINGANYA PANJANG DAN LEBAR, 

JUGA DITUMBUHI DURI-DURI SEPERTI BULU LANDAK. 

SESEKALI DIA MELUDAH KE TANAH. LUDAHNYA 

BERWARNA KUNING PEKAT!

 "MAKHLUK BERBULU LANDAK! WAHAI! TIDAK DAPAT

TIDAK KAU PASTILAH MAKHLUK YANG TUJUH PULUH

TAHUN SILAM KUBERI NAMA HANTU JATILANDAK!"

 MAKHLUK DI ATAS BATU TIDAK BERGERAK DAN

TIDAK BERKESIP. HANYA DARI TENGGOROKANNYA

TERDENGAR SUARA MENGGEMBOR. LALU SEPERTI

TADI DIA MELUDAH KE TANAH.

 "HANTU MUKA DUA! AKU SUDAH TAHU SIAPA DIRIMU 

DARI KAKEKKU TRINGGILING LIANG BATU!

AKU TIDAK SUKA KEHADIRANMU DI PULAU INI! LEKAS 

KEMBALI KE PERAHUMU! TINGGALKAN PULAU! ATAU 

SEKUJUR TUBUHMU AKAN KUTABURI DENGAN DURI 

BERACUN!"


SATU

LAUT tenang. Tiupan angin pada layar membuat

perahu kecil itu meluncur laju di permukaan air laut. 

Lelaki bertubuh kekar berambut gondrong yang 

mukanya ditumbuhi janggut, kumis dan cambang

bawuk lebat duduk di bagian haluan. Dua kakinya

terbungkus batu berbentuk bola yang beratnya puluhan

kati. Namun anehnya perahu kecil itu tidak terjungkat

ke belakang oleh beratnya dua bola batu itu. Lelaki ini

duduk tak bergerak, memandang tak berkesip ke depan. 

Dia adalah Lakasipo, bekas Kepala Negeri Latanahsilam 

bergelar Bola-Bola Iblis namun lebih dikenal dengan 

berjuluk Hantu Kaki Batu.

 Di bagian depan perahu sosok manusia aneh yang

tingginya hanya sebatas lutut Lakasipo duduk saling

berpegangan. Di wajah masing-masing jelas terlihat

rasa gamang dan khawatir yang amat sangat. Dengan

keadaan tubuh mereka sebesar itu, meluncur cepat di

atas perahu dan memandang berkeliling hanya 

hamparan laut yang kelihatan tentu saja ketiganya 

menjadi ngerl. Malah kakek yang di ujung kanan sejak 

tadi terduduk dengan mulut terkancing mata mendelik 

dan tengkuk dingin sementara dari bawah perutnya 

mengucur air kencing tak berkeputusan.

 Tiga manusia cebol yang ada di bagian depan

perahu itu bukan lain adalah si kakek julukan Setan

Ngompol, bocah bernama Naga Kuning dan Pendekar

Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.

 "Sebenarnya aku tidak suka dengan perjalanan

ini!" berkata Naga Kuning.

 "Aku juga!" kata Setan Ngompol.

 "Tapi kau yang memaksa aku agar ikut kek! Padahalaku sudah ada rencana menemui Luhkimkim, gadis

di Latanahsilam itu!"

 "Kita sudah ada di atas perahu dan dalam per-

jalanan. Mengapa baru sekarang kalian berkata tidak

suka!" menjawab Wiro. "Tapi masih ada kesempatan

untuk kembali! Apa kalian berdua bisa berenang?"

 "Eh, apa maksudmu Pendekar 212?" tanya Setan

Ngompol.

 "Mencebur ke dalam laut dan berenang kembali

ke daratan Latanahsilam!"

 "Kau bicara tidak pakai pikiran!" kata Setan Ngompol 

dengan muka cemberut.

 Naga Kuning berkomat-kamit lalu berpaling ke

bagian belakang perahu. "Lakasipo! Kau yang pertama

sekali merencanakan perjalanan ini!"

 Lakasipo yang sejak tadi memandang ke depan,

alihkan pandangannya pada tiga manusia cebol di

bagian depan perahu. "Betul sekali wahai saudaraku

Naga Kuning! Tapi jangan lupa. Semua ini atas petunjuk

berdasarkan cerita Peri Angsa Putih. Kita semua 

menyetujui sama-sama berangkat! Lalu sekarang apa

lagi?!"

 "Menurutmu, apakah kita benar-benar bisa men-

cari dan menemui makhluk bernama Hantu Sejuta

Tanya Sejuta Jawab Ku?" tanya Wiro.

 "Betul," ucap Setan Ngompol. "Laut seluas ini, kita

harus mencari satu pulau yang kita tidak tahu dimana

letaknya, tak tahu apa namanya. Hanya ada petunjuk

samar!"

 "Turut cerita Hantu Muka Dua adalah makhluk

Jahat luar biasa. Kalau dia seperti itu, gurunya tentu

lebih jahat lagi. Dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab

ini adalah guru Hantu Muka Dua! Kita semua pasti

celaka!"

 "Coba kalian timbang-timbang," kata Setan Ngonv

pol menyambung ucapan Naga Kuning tadi. "Peri

Angsa Putih tahu cerita itu dari kakeknya si Hantu

Tangan Empat. Menurutku Hantu Tangan Empat tidakbegitu suka pada kita bertiga. Jangan-jangan dia se-

ngaja mengarang cerita untuk mencelakai kita semua!"

 Wiro garuk-garuk kepala. Apa yang dikatakan teman-

temannya itu mungkin betul adanya. Dia berpaling

memandang ke arah Lakasipo. Lalu kembali terdengar si

Setan Ngompol berkata. "Lakasipo, selagi belum

terlambat ada baiknya kau memutar haluan. Kita 

kembali ke Latanahsilam!"

 "Kalian semua seolah takut melihat bayangan sen-

diri. Bukankah perjalanan ini kita lakukan demi untuk

mencari jalan agar kalian bertiga bisa kembali ke negeri

kailan? Bukankah hanya Hantu Sejuta Tanya Sejuta

Jawab itu satu-satunya tempat bertanya? Hantu Tangan

Empat sudah kita coba. Dia tak bisa menolong. Kita

sudah berusaha mencari Batu Sakti Pembalik Waktu.

Tidak berhasil. Ini adalah petunjuk terakhir yang harus

kita tempuh. Kalau kalian memaksa mau kembali apa

sulitnya bagiku memutar haluan!" Lakasipo celupkan

tangan kanannya ke dalam air laut, siap untuk merubah

haluan.

 "Tunggu!" ujar Pendekar 212 Wiro Sableng. "Peri

Angsa Putih tidak akan menipu kita. Hantu Tangan

Empat walau kita tidak tahu pasti hatinya tapi kurasa

juga tidak punya maksud mencelakai kita. Yang jadi

pertanyaan sekarang, seandainya kita berhasil me-

nemui guru Hantu Muka Oua, apakah dia benar-benar

mau menolong kita? Jangan perjalanan gila ini hanya

menghasilkan satu kesia-siaan!"

 "Turut riwayat yang pernah kudengar puluhan

tahun silam," kata Lakasipo pula, "Sebenarnya Hantu

Sejuta Tanya Sejuta Jawab itu adalah seorang sakti

berhati polos! Otaknya dipenuhi berbagai ilmu penge-

tahuan. Hantu Muka Dua kemudian mempergunakan

kesempatan. Secara licik dia mencari tahu apa-apa

yang harus dilakukannya agar bisa menjadi Raja di

Raja Segala Hantu di Latanahsilam. Begitu dia men-

dapatkan apa yang dimaunya, sang guru lalu dibuatnya

menjadi tidak berdaya. Dibawa dan dikucilkan di sebuah pulau yang menurut Peri Angsa Putih adalah

pulau pertama sehari perjalanan ke arah tenggara.

Kalaupun kita tidak berhasil, menurut hematku berbuat

sesuatu adalah lebih baik dari pada tidak melakukan

apa-apa sama sekali. Kecuali jika kalian memang tidak

benar-benar ingin kembali ke negeri kalian. Kau 

misalnya Naga Kuning. Mungkin kau memilih tetap

tinggal di Latanahsilam karena sudah terpikat dengan 

Luhkimkim. Dan kau kakek Setan Ngompol juga sama

karena sudah kecantol pada nenek yang dandanannya

menor acak-acakan bernama Luhlampiri itu. Bagai-

mana dengan kau Wiro?!"

 Ditanya begitu Pendekar 212 jadi menyeringai

sambil garuk-garuk kepala.

 "Mungkin dia terpikat pada Peri Sesepuh yang

bertubuh besar gembrot membal dan suka ngongkong

itu!" Yang menjawab Naga Kuning lalu bocah ini tertawa

cekikikan. "Hik... hik... hik!" Setan Ngompol ikut-ikutan

geli sambil pegangi bawah perutnya.

 "Aku menuruti jalan pikiranmu Lakasipo," Murid Sinto

Gendeng berkata, membuat Naga Kuning dan Setan

Ngompol jagi cemberut. "Buruk dan baik nasib kita di

kemudian hari belum dapat dipastikan. Berharap tanpa

berusaha adalah bodoh! Kita teruskan perjalanan!"

 "Naga Kuning dan Setan Ngompol! Kalian sama

mendengar keputusan saudara kita Wiro Sableng, Mu-

lai sekarang jangan ada diantara kita yang terus-terusan

merasa bimbang mengadakan perjalanan ini!"

 Baru saja Lakasipo berkata begitu tiba-tiba langit di

atas laut tampak berubah mendung. Dari selatan angin

kencang bertiup mengeluarkan suara mengerikan. 

Ombak besar mulai bergulung-gulung di kejauhan. 

Perahu kecil yang ditumpangi keempat orang itu 

terbanting kian kamari. Wiro dan Naga Kuning dicekam 

rasa takut. Setan Ngompol mulai terkencing-kencing 

lagi.

 "Topan badai menyerang laut!" seru Lakasipo.

 Kalian bertiga lekas ke sini!"Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol cepat lari

mendatangi Lakasipo. Oleh Lakasipo ketiga orang ini

segera diselipkannya di balik sabuk kulit yang melilit

di pinggangnya. Lalu dengan cepat dia menurunkan

layar perahu untuk menghindari terpaan angin. Dengan

kedua tangannya yang dipergunakan sebagai dayung dia

mengayuh. Perahu meluncur pesat. Namun hantaman

angin dan ombak raksasa membuat perahu itu mencelat

lima tombak ke udara. Ketika jatuh ke permukaan laut, 

kembali ombak besar menghantam. Perahu hancur 

berkeping-keping. Sosok Lakasipo yang diberati dua 

bola batu langsung tenggelam ke dalam amukan air taut. 

Dia kerahkan tenaga dalam untuk melenyapkan gaya 

berat pada dua kakinya. Secara luar biasa Lakasipo 

berhasil membuat dua kakinya yang terbungkus bola-

bola batu mengambang di atas permukaan laut yang 

dilanda badai itu. Namun setiap kali dia coba menaikkan 

tubuhnya ke atas, hantaman ombak atau terpaan angin 

selalu membuat dia kembali tenggelam. Berulang kali 

dicoba tetap saja sia-sia. Dalam keadaan habis tenaga 

Lakasipo akhirnya jatuh pingsan dan roboh tenggelam 

ke dalam air.

 *

 * *

 Ketika Lakasipo sadar didapati dirinya terkapar

tertelentang di atas pasir pantai. Dia mencoba bangkit

namun tak berhasil. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan

tulang-tulangnya seolah bertanggalan dari persendian.

Memandang ke atas dilihatnya langit biru disaputi

cahaya kekuningan. Dia tak dapat menduga apakah

saat itu pagi atau menjelang sore. Tiba-tiba Lakasipo

ingat pada tiga saudara angkatnya. Dia meraba ke

pinggang. Hatinya lega begitu menyentuh tiga sosok

tubuh cebol. Setelah mengumpulkan seluruh tenaga


akhirnya Lakasipo berhasil bangkit dan duduk di atas

pasir. Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol memang

masih terikat dibalik sabuk kulitnya. Namun ketiga

orang ini terkulai tak bergerak.

 "Jangan-jangan mereka mati semual" pikir Lakasipo. 

Dengan cepat dia tanggalkan ikat pinggangnya. Begitu 

ikatan lepas tiga sosok tubuh itu jatuh bergulingan ke 

atas pangkuannya. Masih tetap tidak ada satupun yang 

bergerak. Pucatlah wajah Lakasipo.

 *

 * *


DUA


“CELAKA!" membatin Lakasipo. Satu persatu 

dimbilnya ketiga sosok cebol itu. Diperiksa dan

didekatkannya ke telinganya. Dia masih bisa

mendengar detak-degup jantung walaupun perlahan.

 "Wahai...." Lakasipo pegang Setan Ngompol dan

Naga Kuning di tangan kiri. Tangan kanan mencekal

sosok Wiro Sableng. Ketiga orang itu dipegangnya

kaki ke atas kepala ke bawah. Perlahan-lahan air laut

mengucur keluar dari mulut mereka. Masih belum puas

Lakasipo tempelkan perut ketiga orang itu ke dadanya.

Begitu dia menekan, Wiro, Naga Kuning dan Setan

Ngompol sama keluarkan suara seperti orang muntah.

Air kambali mengucur keluar. Lalu ketiganya terdengar

batuk-batuk. Penuh perasaan lega Lakasipo baringkan

ketiga orang itu di atas pasir.

 Wiro yang pertama sekali sadar, membuka mata

lalu bangkit dan duduk. Dia merasa ngeri melihat

ombak yang bergulung lalu memecah di pasir pantai.

Mengingat-ingat apa yang terjadi dia lalu berpaling

pada Lakasipo dan bertanya, sementara Naga Kuning

dan Setan Ngompol telah mulai siuman dan memandang 

kian kemari dengan muka pucat. Ketika mendengar 

deburan ombak di pasir pantai keduanya jadi ketakutan 

dan berdiri terhuyung-huyung.

 "Lakasipo! Kita berada di mana?!" bertanya murid

Sinto Gendeng.

 Lakasipo memandang berkeliling. Ketika dia mem

buka mulut hendak menjawab, yang keluar dari 

mulutnya bukan suara tapi semburan air laut! Celakanya

muntahan air itu jatuh mengguyur ketiga orang yang

ada di depannya. Setan Ngompol memaki panjangpendek. Naga Kuning menyumpah-nyumpah. Wiro 

sendiri menggerutu habis-habisan dan cepat seka 

mukanya yang terguyur muntahan.

 "Untung cuma air, tidak bercampur dengan yang

lain-lain! Sialan betul!" Wiro mengomel.

 "Saudara-saudaraku, maafkan aku! Aku tak se-

ngaja...."

 "Kalau bicara jangan menghadap kami! Kulihat

perutmu buncit tanda masih banyak air di dalamnya!"

teriak Naga Kuning.

 Lakasipo batuk-batuk. Benar saja. Dari mulutnya

kembali menyembur air. Untung dia mendengar per-

ingatan Naga Kuning tadi. Waktu muntahnya menyem-

bur dia palingkan mukanya ke samping hingga air yang

dimuntahkannya tidak menyirami ketiga orang Ku.

 Wiro memandang ke arah barat. Dia melihat sosok

mentari tengah menggelincir menuju titik tenggelamnya.

 "Lakasipo, kulihat sebentar lagi matahari segera

tenggelam. Malam akan tiba. Lekas kau mencari tahu

di mana kita berada saat ini...."

 Lakasipo memandang berkeliling. "Tak bisa aku

menduga wahai Wiro. Melihat pada bentuk pantai yang

membelok di ujung kiri dan kanan agaknya kita berada

di satu pulau...."

 "Pulau tempat kediaman guru Hantu Muka Dua?"

tanya Naga Kuning.

 "Lagi-lagi aku tak bisa menduga wahai sahabatku...."

 "Kalau begitu kita harus segera bergerak mencari

tahu. Paling tidak sebelum malam tiba kita ada tempat

untuk berlindung!" kata Wiro pula lalu berdiri dan

mendahului melangkah dan meninggalkan tempat itu.

Lakasipo cepat mengangkat Wiro, Naga Kuning dan

Setan Ngompol. Sambil melangkah dia berkata.

 "Di sebelah sana ada deretan panjang pohon-

pohon besar. Kita akan menyelidik ke sana...."

 Begitu sampai di deretan pohon-pohon yang tadi

dilihatnya di kejauhan, Lakasipo hentikan langkah,

memandang dengan muka mengernyit."Pohon-pohon aneh! Tumbuhnya rapat sekali! Dan

dipenuhi duri mulai dari ranting sampai ke batang!"

Berseru Wiro yang ada dalam dukungan Lakasipo.

 Lakasipo maju mendekat. "Kau betul Wiro. Seumur

hidup baru sekali ini aku melihat pohon-pohon seperti

Ini. Bentuknya seperti pohon jati. Tapi mengapa ditum-

buhi duri-duri panjang. Tumbuhnya juga rapat. Jika

tidak hati-hati sulit bagi seseorang bisa lolos di antara

dua pohon...."

 "Di belakang deretan pohon-pohon itu hanya ada

kegelapan menghitam," berkata Setan Ngompol. "Saat

Ini masih siang. Kalau malam tiba pasti sangat gelap

Di sebelah sana. Tangan di depan mata mungkin tak

bisa kelihatan...."

 Lakasipo tampak diam seolah tengah berpikir.

 "Lakasipo, mengapa kau diam saja?!" bertanya

Naga Kuning.

 "Wahai! Aku tengah menghubungkan ucapan-

ucapan kalian dengan satu riwayat yang pernah ku-

dengar..." jawab Lakasipo. "Pohon-pohon jati berduri

seperti duri bulu landak. Rimba belantara hitam gelap.

Kelam.... Ini semua mengingatkan aku pada dua hal.

pertama Jatilandak. Kedua hutan Lahitamkelam."

 "Jatilandak itu, nama orang atau apa?" bertanya Wiro.

 "Nama Hantu. Hantu Jatilandak. Salah satu dedengkot

Hantu. Tapi kabarnya dia berada di bawah kekuasaan 

dan taklukan Hantu Muka Dua!" Menerangkan Lakasipo.

 "Jangan-jangan pulau ini adalah pulau kediamannya 

Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, gurunya Hantu Muka 

Dua! Berarti kita sudah berada di pulau tujuan!" kata 

Naga Kuning setengah berseru.

 "Ssst.... Jangan bicara terlalu keras," kata Lakasipo.

"Kita belum bisa memastikan berada di pulau apa. Tapi

dugaanku ini bukan pulau kediaman guru Hantu Muka

Dua. Aku lebih yakin ini adalah pulau sarangnya Hantu

Jatilandak...."

 "Lakasipo," kata Wiro sambil pukulkan tangannya

ke dada lelaki yang dikenal dengan julukan Hantu Kaki

Batu itu. "Di sebelah sana kulihat ada dua pohon yang

tumbuh lebih renggang. Mungkin ada jalan atau mung-

kin kita bisa menemukan petunjuk di tempat itu."

 Lakasipo memandang ke arah yang ditunjuk Wiro.

Memang benar. Tidak seperti di tempat lain dimana

semua pohon jati berduri tumbuh sangat rapat, di

sebelah sana ada dua pohon, diikuti pohon-pohon lain

di deretan sebelah belakang, tumbuh lebih jarang satu

sama lain. Segera saja Lakasipo melangkah cepat

menuju tempat itu.

 "Duukk... duukkk... duuukkkk!"

 Langkah-langkah kaki batu Lakasipo menghunjam

di pasir pantai. Mengeluarkan suara keras dan meng-

getarkan seantero tempat.

 "Wahai! Kita memang bisa lewat di sini! Kelihatannya 

ini jalan setapak yang sengaja dibuat orang." Berkata 

Lakasipo begitu sampai di antara dua pohon jati besar 

yang tumbuh renggang. Demikian juga deretan pohon-

pohon di sebelah belakang,

 "Berarti pulau ini ada penghuninya!" kata Wiro pula.

 "Betul, yaitu Hantu Jatilandak..." jawab Lakasipo.

 "Apakah makhluk bernama Hantu Jatilandak ini

Jahat atau baik?" tanya Naga Kuning.

 "Tak dapat kupastikan. Yang jelas dia adalah se-

tengah manusia setengah binatang. Manusia seperti

kita bisa saja dijadikan mangsa, dikunyah dan ditelan

bulat-bulat. Kita harus berhati-hati!"

 Si kakek Setan Ngompol langsung terkencing

mendengar kata-kata Lakasipo itu.

 Lakasipo melangkah melewati dua pohon jati ber-

duri di sebelah depan. Walau pohon-pohon itu tumbuh

renggang namun dia harus berhati-hati. Dia berusaha

agar tubuhnya jangan sampai tergurat oleh ujung-ujung

duri yang tumbuh berserabutan di sekujur batang

pohon. Apa lagi kalau duri-duri itu mengandung racun

jahat yang bisa mencelakai dirinya bahkan mungkin

bisa membunuh!

 Hati-hati Lakasipo terus bergerak. Dia melewatideretan pohon jati kedua, ketiga dan keempat. Pada

deretan kelima di mana keadaan mulai agak suram

Lokasipo hentikan langkahnya. Matanya memandang

tak berkesip ke depan. Dia melihat satu keanehan.

Keanehan mana juga dilihat oleh tiga sosok cebol yang

ada dalam dukungannya.

 Pohon-pohon jati di kiri kanan pada deretan kelima

dan seterusnya tidak lagi berbentuk pohon jati berduri 

tapi lebih menyerupai patung kayu bertampang seram 

setinggi satu setengah kali tinggi Lakasipo. Patung-

patung ini berdiri berjajar demikian rupa, membentuk 

barisan seolah memagari jalan kecil yang ada di sebelah 

tengah.

 "Aneh," bisik Wiro pada Naga Kuning dan Setan

Ngompol. "Bagaimana ada patung di tempat seperti

ini. Siapa yang membuat dan menyusunnya begitu

rupa. Aku yakin jumlahnya puluhan, mungkin ratusan!"

 "Aku ada firasat kita mulai menghadapi bahaya

besar Wiro," balas berbisik Setan Ngompol dengan

suara bergetar dan menekan bagian bawah perutnya

kencang-kencang agar tidak ngompol.

 "Lakasipo, apa yang hendak kau lakukan? Tetap

di sini, atau kembali ke pantai. Atau kau akan terus

melangkah melewati patung-patung itu!" Bertanya Mu-

rid Sinto Gendeng. Diam-diam dia .kerahkan tenaga

dalam ke tangan kanan, menghimpun kesaktian ilmu

pukulan Sinar Matahari. Dibanding dengan keadaan-

nya dulu yang sosoknya hanya sebesar jari, kini ber-

ubah menjadi sebesar betis, dia merasa lebih leluasa

mengerahkan kesaktiannya. Paling tidak jika diserang

atau dilepaskannya akan lebih hebat dari pada waktu

dia hanya sebesar jari.

 "Menurutku jalan antara deretan patung ini menuju

ke satu tempat. Aku memilih bergerak maju melewati-

nya. Bagaimana pendapatmu?" Bertanya Lakasipo.

 "Aku setuju kita jalan terus. Tapi hati-hati. Coba

kau perhatikan. Patung-patung kayu jati itu bukan

patung biasa. Setiap persendiannya dibuat demikianrupa seperti persendian manusia hidup. Berarti patung-

patung kayu itu bisa berputar atau bergerak pada

bagian leher, tangan, pinggang dan kaki!"

 "Astaga! Wahai! Kau memang betul Wiro. Jika kau

tidak memberi tahu hal itu tidak sempat menjadi per-

hatianku. Jadi memang aku, kita semua harus berhati-

hati. Awas, kalian semua pasang mata pasang telinga.

Aku mulai bergerak melangkah!"

 "Dukk... duukkk!"

 Gerakan langkah kaki Lakasipo menggetarkan

tanah. Patung-patung kayu tampak bergoyang.

 Lakasipo maju dua langkah. Dia melewati patung

kayu deretan pertama di kiri kanan. Ketika dia hampir

sampai pada deretan patung kayu kedua tiba-tiba

terdengar suara berkereketan. Tangan-tangan patung

pada deretan kedua itu bergerak ke atas lalu dengan

cepat turun ke bawah mengemplang ke arah batok

kepala Lakasipo!

 Lakasipo berseru kaget, cepat dia membungkuk

rundukkan kepala. Baru saja dia berhasil selamatkan

diri tiba-tiba terdengar teriakan Wiro.

 "Lakasipo! Awas di belakangmu!"

 Lakasipo cepat berpaling. Astaga! Ternyata dua

patung pada deretan pertama yang barusan dilewatinya

tengah melancarkan tendangan. Satu mengarah 

pinggang, satu menerabas ke arah kaki!

 Lakasipo cepat menghindar selamatkan diri. Dia

berhasil berkelit dari tendangan yang menghantam ke

arah pinggang. Namun kasip menghindari tendangan

yang menghajar kakinya.

 "Bukkk!"

 Tendangan kaki kayu mendarat di kaki kanan

lakasipo. Walau kaki itu diselubungi batu yang beratnya 

puluhan kati tapi tetap saja kaki itu terpental dan tak 

ampun lagi Lakasipo jatuh terbanting di tanah. Di saat 

yang sama tiga patung lainnya sama-sama mengangkat 

kaki lalu serentak dihunjamkan ke perut, dada dan 

kepala Lakasipo."Celaka!" seru Wiro. Dia berteriak. "Lakasipo! Lekas

kau buat gerakan berputar. Pergunakan kaki kirimu

untuk menghantam!"

 Walau saat itu kaki kanannya sakit bukan main

namun Lakasipo turuti apa yang dikatakan Wiro. De

ngan mengerahkan tenaga dalam, dalam keadaan

masih terduduk di tanah Lakasipo membuat gerakan

berputar dan menghantam dengan kaki kirinya.

 "Wuuuuttttt!"

 "Praakkk... praakkk... praaakkk!"

 Tiga kaki patung kayu yang barusan siap mem-

bunuhnya hancur berantakan. Tiga patung terpental dan

jatuh berantakan di sela-sela pohon-pohon jati berduri!

 Perlahan-lahan sambil memandang berkeliling,

penuh waspada Lakasipo bangkit berdiri.

 "Wiro, bagaimana...? Kita terus memasuki deretan

patung-patung kayu ini atau kembali ke pantai?' ber-

tanya Lakasipo.

 "Kita kembali saja ke pantai!" menjawab Setan

Ngompol.

 "Sudah kepalang tanggung! Kita terus saja!" jawab

Wiro.

 'Ya, aku setuju. Kita jalan terus! Lakasipo, kalau

cuma patung kayu kau pasti sanggup menghancurkan

jika mereka kembali menyerang!" kata Naga Kuning 

pula.

 Lakasipo tetapkan hati. Dia kembali melangkah.

 "Duuukkkk... duukkkk!"

 * *

 Sebelum melanjutkan apa yang terjadi dengan

Lakasipo, Wiro dan Naga Kuning serta si Setan Ngom-

pol di pulau itu, kita kembali dulu pada satu peristiwa

besar di masa beberapa puluh tahun silam dan terjadi

di Negeri Latanahsilam. Negeri 1200 tahun silam....


TIGA


PERI BUNDA menatap rawan dengan sepasang

matanya yang bening tapi suram ke arah timur. Lalu dia 

berpaling pada Peri Sesepuh yang bertubuh gemuk luar 

biasa dan duduk di kursi batu pualam merah dengan 

mata terpejam.

 "Peri Sesepuh, aku tahu kau tidak tidur. Wahai apa

yang ada di dalam benakmu?" Menegur Peri Bunda.

 Yang ditanya tidak segera menjawab. Tak selang

berapa lama baru terdengar suara Peri Sesepuh. Per-

lahan dan halus.

 "Apa yang ada di benakku sama dengan apa yang

ada di benakmu wahai Peri Bunda. Mengapa kau masih

bertanya? Bukankah sejak malam tadi kita berada di

puncak bukit sepi dan dingin ini, meninjau dan men-

duga-duga apa yang kiranya telah dan akan terjadi...."

 Perl Bunda mengusap wajahnya yang cantik. Be-

berapa kali dia menghela nafas dalam lalu berkata.

"Malam tadi rembulan muncul dengan warna merah

sepertl darah. Di barat angin bertiup mengeluarkan

suara aneh halus seolah suara seruling yang ditiup

mengantar kepergian roh ke alam atas langit. Di selatan

sayup-sayup terdengar deru gelombang di tengah laut

tapi seolah tidak pernah memecah mencapai pantai

berpasirr. Di utara Gunung Latinggimeru mengeluarkan

suara menggemuruh halus. Mungkin ada dinding gu-

nung yeng retak dan lahar panas mengalir ke luar.

Mungkin gunung itu siap untuk meletus. Lalu di sebelah

timur... sampai saat ini tak ada cahaya kuning ben-

derang. Apakah sang surya tidak akan muncul hari

ini...?"

 Perlahan-lahan Peri Sesepuh membuka sepasang

matanya yang sejak tadi dipejamkan. Di tempat terbuka

dan dingin seperti di puncak bukit itu wajahnya yang

gembrot masih saja dibasahi oleh keringat. Dia me-

natap ke ufuk timur. Arah yang dibelakangi Peri Bunda.

 "Sang surya tidak pernah mengingkari janji wahai

Peri Bunda. Di ufuk timur dia akan selalu terbit setiap

pagi. Putar tubuhmu. Lihatlah ke timur. Fajar telah

menyingsing. Sang surya telah terbit. Tapi demi segala

Peri dan Dewa, demi semua Roh yang ada di antara

langit dan bumi. Lihatlah wahai Peri Bunda! Mengapa

sinar sang surya terhalang oleh tabir aneh kehitam-

an...?!"

 Peri Bunda putar tubuh palingkan kepala. Begitu

matanya memandang ke jurusan timur sana, berubahlah 

parasnya. "Kau benar wahai Peri Sesepuh. Sang surya 

tak pernah ingkar janji. Dia muncul pagi ini seperti

jutaan pagi sebelumnya. Tetapi ada tabir hitam seolah

menutupi cahayanya yang putih benderang. Pertanda

apakah ini wahai Peri Sesepuh? Apakah benar dugaan

kita berdua. Bayi pencemar segala tuah yang ditunggu

telah lahir malam menjelang pagi tadi?"

 "Perasaan dan dugaanku mengatakan begitu...."

 "Kalau itu benar telah terjadi, berarti kita harus siap

menghadapi segala nista dan petaka."

 Peri Sesepuh anggukkan kepala. "Wahai Peri Bunda, 

aku terpaksa harus segera kembali. Para Peri yang lain 

harus diberitahu agar mereka juga siap. Kau tetap

di sini. Tunggu kedatangan Peri Angsa Putih membawa

berita."

 "Peri Sesepuh, tunggu! Jangan pergi dulu. Nista

dan petaka apakah yang akan menimpa Negeri Atas

Langit sehubungan dengan kejadian lahirnya bayi 

pencemar segala tuah itu?"

 "Banyak wahai Peri Bunda. Namun tidak semua

bisa ku beritahu padamu. Hanya beberapa saja. 

Misalnya, angin tak akan berhembus lagi selama setahun

penuh. Kalaupun masih berhembus angin itu akan

disertai hawa pengap dan bau yang tidak sedap. Air

akan berhenti mengucur dari tempat ketinggian ketempat rendah. Berarti ada kawasan yang bakal men-

derita kekeringan sepanjang tahun. Lalu bunga-bunga

akan menjadi layu. Pucuk tak akan menjadi buah. Buah

yang ada akan jatuh ke tanah dalam keadaan busuk...."

 Peri Bunda jadi terdiam mendengar keterangan Peri 

Sesepuh itu.

 "Aku pergi sekarang.wahai Peri Bunda. Susul aku

jika kau sudah bertemu dan menerima kabar dari Peri

Angsa Putih."

 Peri Sesepuh gulungkan kain sutera merah tipis

diseputar dadanya yang tersingkap. Lalu perlahan-

lahan tubuhnya bersama kursi batu pualam, melayang

ke alas, makin tinggi, makin jauh dan akhirnya lenyap

riah pemandangan.

 "Heran..." kata Peri Bunda perlahan. "Telah beberapa 

kali hal seperti ini terjadi. Mengapa masih ada saja Peri 

yang melanggar larangan?"

 Perl Bunda tatapkan matanya ke arah timur kembali. 

Di lurusan itu keadaan semakin terang namun tabir

hitam masih menutupi pemandangan. Tiba-tiba melesat 

sebuah benda aneh yang tidak jelas perwujudannya. 

Bersamaan dengan itu menggelegar suara keras 

menggaung panjang dan lama.

 "Seperti suara tangisan bayi. Tapi juga menyerupai

lolongan srigala...." Peri Bunda usap tengkuknya yang

jadi dingin sementara matanya mengikuti benda yang

melayang di udara. Demikian cepatnya benda ini mele-

sat hingga sebelum sang Peri sempat berkedip benda

itu telah lenyap dari pandangan matanya. "Benda apa

itu wahai gerangan. Aku mencium bau amisnya darah.

Jangan-jangan...."

 Belum sempat Peri Bunda menyelesaikan ucapan

hatinya tiba-tiba di atasnya melayang satu benda putih

disertai suara menguik keras. Benda ini dengan cepat

bergerak turun dan ternyata adalah seekor angsa rak-

sasa berwarna putih. Dari atas punggung binatang ini

melompat turun seorang gadis cantik mengenakan

pakaian terbuat dari sejenis kain sutera halus berwarnaputih. Tubuh dan pakaiannya menebar bau harum

semerbak, nyaris menutup keharuman bau tubuh dan

pakaian biru Peri Bunda.

 "Wahai Peri Angsa Putih, kau muncul tepat pada

saatnya. Apakah kau datang membawa berita yang

ditunggu-tunggu?"

 Peri Angsa Putih, peri cantik bermata biru ang-

gukkan kepala. "Wahai Peri Bunda. Di mana gerangan

Peri Sesepuh?'

 "Peri Sesepuh telah lebih dulu kembali. Kau akan

memberi keterangan padaku di sini atau kita sama-

sama menemui Peri Sesepuh?'

 "Aku.... Waktuku singkat. Biar kuceritakan saja

padamu apa yang terjadi. Nanti kau saja yang menyam-

paikan pada Peri Sesepuh...."

 "Kalau begitu lekas terangkan padaku apa yang

telah terjadi. Benarkah semua dugaan dan kira-kira

sesuai dengan kenyataan yang ada?"

 "Memang benar adanya wahai Peri Bunda. Duga

dan sangka tidak jauh meleset dari kenyataan. Pertanda

alam kita dan segala tuah akan tercemar sepanjang

tahun. Mungkin akan ditambah lagi dengan menebar-

nya sejenis penyakit menular."

 Berubahlah paras Peri Bunda mendengar kata-

kata terakhir Peri Angsa Putih itu.

 "Penyakit menular katamu wahai Peri Angsa Putih?'

 Yang ditanya mengangguk.

 "Wahai! Peri Sesepuh tidak menyebutkan ihwal

penyakit itu. Bagaimana kau bisa tahu?"

 "Kakekku yang memberitahu," jawab Peri Angsa

Putih.

 "Maksudmu Hantu Tangan Empat?" tanya Peri

tunda.

 Kembali Peri Angsa Putih mengangguk.

 "Celakai Apa jadinya kita semua. Apa jadinya

negeri kita."

 "Kita harus siap menghadapi apapun yang terjadi

wahai Peri Bunda. Bukankah hal semacam ini sudahbeberapa kali terjadi? Bahkan mungkin....?" Peri Angsa

Pulih tidak teruskan ucapannya.

 Perl Bunda yang juga disebut sebagai Simpul Agung 

Segala Peri atau Peri Junjungan Dari Segala Junjungan 

menatap lekat-lekat ke wajah Peri Angsa Putih. 

Pandangan matanya seolah menyelidik jauh ke

balik mata dan jalan pikiran Peri cantik itu.

 "Kau tidak meneruskan ucapanmu tadi wahai Peri

Angsa Putih. Apa maksudmu dengan kata-kata Bahkan

mungkin….”

 Sesaat Perl Angsa Putih jadi agak terkesiap. Namun 

dia segera tersenyum untuk menutupi keterkejutannya 

atas pertanyaan yang tidak terduga itu.

 "Sudahlah, waktuku tidak banyak. Lagi pula Peri

Sesepuh tentu sangat menantikan kedatanganmu. 

Sebaiknya aku segera saja menuturkan apa yang telah

terjadi...."

 Tapi Peri Bunda gelengkan kepala.

 "Penuturanmu memang penting. Tapi bagiku pen-

jelasanmu atas kata-katamu tadi tak kalah pentingnya.

Wahai, harap kau sudi memberi jawaban atas per-

tanyaanku tadi, Peri Angsa Putih." Setelah berucap

diam-diam dalam hatinya Peri Bunda membatin. "Apa

maksud ucapan kerabatku ini. Jangan-jangan dia me-

ngetahui apa yang ada dalam hatiku.”

 Sebaliknya Peri Angsa Putih diam-diam juga men-

jadi gelisah dan berkata dalam hati. "Peri Bunda pasti

telah tahu apa yang akan terjadi di masa puluhan tahun

mendatang. Jangan-jangan dia mencurigai diriku...."

 "Peri Angsa Putih, kau belum menjawab. Kau

belum memberi penjelasan."

 "Dari pada dia mendesak, lebih baik aku mendesak

duluan!" kata Peri Angsa Putih dalam hati. Maka diapun

berkata. "Hatimu dan hatiku, pikiranmu dan pikiranku,

penglihatanmu ke masa depan dan penglihatanku

rasanya tidak banyak berbeda wahai Peri Bunda. Namun 

jika aku salah mohon maafmu. Apa kau sependapat 

denganku bahwa dunia kita semakin lama semakinmengalami banyak perubahan? Batas antara kita bangsa 

Peri dan manusia di bawah langit semakin tipis laksana 

kabut pagi yang mudah pupus ditelan sinar mentari?"

 "Peri Angsa Putih! Wahai! Bagaimana kau berani

berkata begitu?!" ucap Peri Bunda setengah berseru.

Dalam hati dia berkata. 'Dugaanku tidak meleset. Dia

bisa membaca jauh ke lubuk hatiku! Daripada menjadi

urusan lebih baik aku mengalah sementara."

 "Wahai Peri Angsa Putih, katamu waktumu singkat.

Baiklah. Aku tidak akan mengganggu dengan 

pertanyaan-pertanyaan lagi. Segera saja kau ceritakan 

apa yang tolah terjadi...."

 *

 * *

EMPAT


GEROBAK yang ditarik kuda berbulu putih belang 

hitam itu berhenti di depan bangunan besar terbuat dari 

kayu besi. Saat itu di penghujung malam menjelang 

pagi. Perempuan tua yang duduk di samping pemuda 

sais gerobak melompat turun. Gerakannya gesit dan 

enteng. Di pinggangnya tergantung satu bungkusan 

besar. Di depan pintu bangunan dia hentikan langkah, 

memandang pada lelaki yang keluar menyambutnya. 

Perempuan tua itu ludahkan gumpalan sirih dan 

tembakau di dalam mulutnya lalu bertanya.

 "Apa aku datang terlambat wahai Lahambalang?"

 "Nenek Luhumuntu. Keadaannya gawat sekali. Aku

khawatir...."

 Perempuan tua itu tidak menunggu sampai lelaki

bernama Lahambalang menyelesaikan ucapannya. De-

ngan cepat dia masuk ke dalam bangunan, langsung

menuju ke sebuah kamar dari dalam mana terdengar

suara erangan berkepanjangan.

 Di ambang pintu kamar si nenek mendadak hentikan 

langkah. "Lahambalang! Kegilaan apa yang aku lihat ini! 

Siapa yang mengikat tangan dan kakinya!"

 "Tidak ada jalan lain Nek! Dia selalu berontak.

Memukul dan menendang. Melihat aku sepertinya dia

hendak membunuhku!"

 "Gila dan aneh! Perempuan yang hendak melahirkan 

bisa bersikap seperti itu!" Luhumuntu masuk ke dalam 

kamar yang diterangi dua buah obor besar. Tiga langkah 

dari ranjang kayu kembali gerakannya tertahan.

 Di atas tempat tidur kayu itu tergeletak menelentang 

seorang perempuan. Wajahnya yang cantik tertutup oleh 

keringat serta kerenyit menahan sakit.Dari mulutnya yang terbuka keluar erangan ditingkahi 

desau nafas yang membersit dari hidung. Perempuan ini 

memiliki perut besar dan tertutup sehelai rajutan rumput 

kering. Ketika pandangannya membentur sosok si 

nenek, dua matanya membeliak besar dan dari mulutnya 

keluar suara menggereng seperti suara babi hutan.

 "Tua bangka buruk! Siapa kau?!"

Lahambalang cepat mendekat dan berkata. "Wahai

istriku Luhmintari, nenek ini Luhumuntu, dukun beranak 

di Latanahsilam yang akan menolongmu melahirkan

 "Menolong aku melahirkan?!" Sepasang mata 

perempuan di atas ranjang kayu semakin membesar dan

Wajahnya tambah beringas. "Siapa yang akan 

melahirkan?! Aku tidak akan melahirkan!"

 "Tenanglah Luhmintari. Orang akan menolongmu...."

 "Aku tidak akan melahirkan! Aku tidak butuh 

pertolongan! Tidak akan ada apapun yang keluar dari 

perutku! Tidak akan ada bayi keluar dari rahimku! Kau 

dengar wahai Lahambalang?! Kau dengar nenek buruk 

dukun beranak celaka?!" Habis membentak seperti itu 

Luhmintari tertawa panjang.

 Si nenek dukun beranak jadi merinding. Dia dekati 

Lahambalang dan berbisik. "Suara istrimu kudengar lain. 

Tawanya kudengar aneh...."

 Baru saja Luhumuntu berkata begitu tiba-tiba dari

perut besar Luhmintari terdengar suara gerengan dan

bersamaan dengan itu di kejauhan terdengar suara

lolongan anjing hutan. Dukun beranak Luhumuntu tarik

rumput kering yang menutupi tubuh Luhmintari. Begitu

perut yang hamil besar Ku tersingkap, si nenek lang-

sung tersurut. Lahambalang sendiri keluarkan seruan

tertahan lalu mundur dua langkah.

 Lazimnya perut perempuan hamil, biasanya meng-

gembung besar dan licin. Namun yang dilihat oleh

Luhumuntu dan Lahambalang adalah satu perut yang

di dalamnya seperti ada puluhan duri. Permukaan perut

Luhmintari kelihatan penuh tonjolan-tonjolan runcing

dan tiada hentinya bergerak-gerak mengerikan."Demi Dewa dan Peri.'" ujar Lahambalang dengan

suara bergetar. "Apa yang terjadi dengan istriku!"

 Dukun beranak Luhumuntu angkat tangan kirinya.

"Lahambalang, istrimu akan segera kutangani. Harap

kau cepat keluar dari kamar ini."

 "Nenek Luhumuntu, kalau boleh aku ingin me-

nungguinya sampai dia melahirkan..." kata Lahamba-

lang pula.

 "Keluar!" teriak Luhumuntu.

 Mau tak mau Lahambalang keluar juga dari kamar

itu. Si nenek segera membanting pintu. Ketika dia

melangkah mendekati tempat tidur kembali Luhmintari

perlihatkan tampang beringas.

 "Nenek celaka! Kau juga harus keluar dari kamar ini!"

 "Luhmintari, aku akan menolongmu melahirkan! Aku 

akan melepaskan ikatan pada dua kakimu! Jangan kau 

berbuat yang bukan-bukan!"

 "Kau yang berkata dan akan berbuat yang bukan

bukan!" sentak Luhmintari. "Aku tidak hamil! Aku tidak

akan melahirkan! Tak ada bayi dalam perutku! Tak ada

bayi yang akan keluar dari rahimku! Hik... hik... hik!"

 "Tenang Luhmintari. Kau jelas hamil besar dan siap 

melahirkan. Kau akan melahirkan seorang bayi hasil 

hubungan sebagai suami istri dengan Lahambalang...." 

Si nenek mendekati kaki tempat tidur. Dengan hati-hati 

dia lepaskan ikatan pada dua kaki Luhmintari. Begitu dua 

kaki lepas, kaki yang kanan bergerak menendang.

 "Bukkk!"

 Si nenek Luhumuntu terpekik dan terpental ke

dinding.

 Di luar Lahambalang berteriak. "Nenek Luhumuntu! 

Ada apa?!"

 Luhumuntu usap-usap perutnya yang tadi kena

tendang. "Tidak apa-apa Lahambalang! Kau tak usah

khawatir!" Lalu si nenek memandang pada Luhmintari

dan berkata. "Sebagai dukun aku berkewajiban me-

nolongmu melahirkan. Apapun yang akan keluar dari

rahimmu aku tidak perduli!" Lalu dengan cepat si nenek

kembangkan dua kaki Luhmintari. Dengan dua tangan-

nya dia menekan perut perempuan itu.

 Luhmintari meraung keras. Dari dalam perutnya

keluar suara menggereng. Di kejauhan kembali ter-

dengar suara lolongan anjing hutan.

 "Jangan sentuh perutku! Pergi!"

 Si nenek dukun beranak tidak perdulikan teriakan

Luhmintari. Dua tangannya menekan semakin kuat.

Luhmintari menjerit keras. Lalu terdengar suara robek

besar. Bersamaan dengan itu ada suara tangisan kecil.

Seperti suara tangisan bayi tapi disertai gerengan!

 Luhumuntu terpekik ketika ada suatu benda me

lesat dan menyambar perutnya. Nenek ini mundur

terhuyung-huyung. Ketika dia memperhatikan keadaan

dirinya ternyata di bagian perut ada tiga guratan luka

cukup dalam dan mengucurkan darah! Dari sudut

kamar terdengar suara tangisan bayi aneh! Di atas

ranjang kayu sosok Luhmintari tidak bergerak sedikit-

pun. Tubuhnya yang penuh keringat perlahan-lahan

menjadi dingin.

 "Braaakkk!"

 Pintu kamar terpentang hancur. Lahambalang me-

lompat masuk. Dia tidak perdulikan si nenek dukun

beranak yang tegak terbungkuk-bungkuk sambil pe-

gangi perutnya yang luka bergelimang darah. Dia

melangkah ke arah ranjang. Namun gerakannya serta

merta tertahan. Dua kakinya seperti dipantek ke lantai.

Matanya membeliak besar. Sosok istrinya tergeletak

tidak bergerak. Mata mendelik mulut menganga. 

Perutnya robek besar dan darah masih mengucur 

mengerikan!

 "Luhmintari!" teriak Lahambalang. Dia memandang 

seputar kamar. Begitu melihat si nenek dia kembali 

berteriak. "Nenek Luhumuntu! Apa yang terjadi dengan 

istriku! Aku mendengar tangisan bayi! Mana anakku?!"

 Sambil sandarkan punggungnya ke dinding kamar

si nenek menjawab. "Istrimu tewas wahai Lahambalang!

Tewas ketika melahirkan bayinya! Bayinya ternyata


bukan bayi biasa! Bayi itu tidak keluar secara wajar

tapi melalui perut istrimu yang tiba-tiba pecah robek

besar!"

 "Aku tidak percaya! Kau... kau pasti memakai cara

gila! Kau pasti merobek perut istriku dengan pisau!"

 "Aku tidak pernah membawa pisau wahai Laham

belang," Jawab si nenek. Tubuhnya melosoh ke lantai.

Dua tangannya masih mendekapi perutnya yang luka.

 "Mana bayiku! Mana anakku!" teriak Lahambalang.

 SI nenek Luhumuntu angkat tangan kirinya. De-

ngan gemetar dia menunjuk ke sudut kamar. 

"Itu....bennda yang di sudut sana. Itulah bayimu. 

Kuharap kau bisa menabahkan diri menghadapi 

kenyataan ini wahai Lahambalang...."

 Lahambalang berpaling ke arah yang ditunjuk.

Karena tidak tersentuh cahaya api obor, sudut kamar

yang ditunjuk si nenek agak gelap. Namun Lahambalang 

masih bisa melihat satu benda bergelimang darah 

tergeletak di sana.

 "Anakku..." desis Lahambalang. Dia mendatangi dan 

membungkuk. Tiba-tiba jeritan keras menggeledek dari

mulutnya. "Tidaaaakkkk!"

 "Lahambalang, kataku kau harus tabah mengha-

dapi kenyataan..." berucap si nenek dukun beranak.

 "Tidaaaakkkk!" teriak Lahambalang sekali lagi. "Itu

bukan bayiku! Itu bukan anakku!"

 "Lahambalang, betapapun kau tidak mengakui itu

bukan anak bukan bayimu! Tapi itulah yang keluar dari

perut Istrimu!"

 Lahambalang tutupkan dua tangannya ke mukanya 

lalu menggerung keras. Di sebelah sana, di sudut yang 

kegelapan terdengar suara tangisan bayi aneh karena 

disertai suara menggereng halus. Sosok yang

menggeletak masih berlumuran darah di sudut kamar

itu memang satu sosok menyerupai bayi kecil. Tapi

sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki

penuh ditumbuhi duri-duri aneh berwarna kecoklatan!

 "Lahambalang, Itu anakmu. Itu bayimu! Janganbiarkan dia kedinginan di sudut kamar...." Terdengar

nenek Luhumuntu berucap.

 Sekujur tubuh Lahambalang bergeletar. Mulutnya

mengucapkan sesuatu tapi tidak jelas kedengaran apa

yang dikatakannya.

 "Lahambalang, ambil anakmu. Dukung bayi itu...."

 Lahambalang pejamkan dua matanya. Tenggorokan-

nya turun naik, sesenggukan menahan tangis. 

 "Apa yang terjadi dengan diri kami! Wahai istriku

Luhmintari. Nasibmu... nasibku... nasib anak kita. Apa

semua ini karena kau melanggar larangan? Karena

sebenarnya sebagai seorang Peri kau tidak boleh kawin

denganku manusia biasa? Kalau ini memang satu

kutukan, sungguh kejam dan jahat!"

 Tiba-tiba Lahambalang bangkit berdiri. Mukanya

kelihatan menjadi sangat mengerikan. Dadanya ber-

gemuruh turun naik. Dua tangannya mengepal. Satu

teriakan dahsyat keluar dari mulutnya.

 "Wahai para Peri di atas langit! Kalau ini benar

kutukan dari kalian! Mengapa istriku yang kalian bunuh! 

Mengapa bayi tak berdosa ini yang kalian bikin cacat! 

Mengapa tidak diriku yang kalian bikin mati! Kejam! 

Jahat! Peri terkutuk keparat! Aku akan mencari seribu 

jalan melakukan pembalasan!"

 Habis berteriak begitu Lahambalang membungkuk

mengambil sosok bayi aneh yang tergeletak di sudut

kamar. Lalu dia lari keluar bangunan. Seperti gila sambil

lari tidak henti-hentinya dia berteriak.

 "Ini bukan anakku! Ini bukan bayiku! Kalian me-

nukar bayiku dengan makhluk celaka ini! Peri jahat

Peri jahanam! Tunggu pembalasanku!"

 Dalam gelap dan dinginnya malam menjelang fajar

itu Lahambalang lari terus membawa bayi aneh yang

tiada hentinya menangis. Lelaki ini baru hentikan lari

nya ketika dapatkan dirinya tahu-tahu telah berada di

ujung sebuah tebing. Di depannya menghadang satu

jurang lebar. Di kejauhan terbentang lautan luas. Di

sebelah timur langit mulai terang tanda sang suryasiap memunculkan diri.

 "Ini bukan bayiku! Ini bukan anakku! Para Peri di

asas langit tunggu pembalasanku!" Dengan tubuh ber-

geletar lahambalang angkat bayi bergelimang darah

dan penuh duri aneh itu. Sang bayi menangis keras.

Di kejauhan seolah datang dari tengah laut terdengar

suara lolongan srigala. Di dahului teriakan keras dan

panjang Lahambalang lemparkan bayi di tangan kanan-

nya Bayl malang itu melesat jauh ke udara, lenyap

dari pemandangan seolah menembus langit. 

Lahambalang pandangi tangannya berlumuran darah 

lalu menatap ke langit. Sekali lagi lelaki ini menjerit 

dahsyat!

 * .

 * *



LIMA


LAMA Peri Bunda termenung mendengar penuturan 

Peri Angsa Putih itu. Berkali-kali pula dia menghela nafas 

dalam. Akhirnya sang Peri berkata. "Wahai Peri Angsa 

Putih, aku akan segera menemui Peri Sesepuh. Sebelum 

pergi bisakah aku mempercayai dua buah tugas 

padamu?"

 "Aku siap melakukan apa yang menjadi perintahmu

wahai Peri Bunda," jawab Peri Angsa Putih walau

sebenarnya dia merasa kurang senang.

 "Mulai saat ini kau harus memata-matai, apa yang

dilakukan Lahambalang. Kemudian harap kau 

menyelidiki dimana jatuhnya bayi aneh itu. Kau harus 

mendapatkan dan mengambilnya baik dalam keadaan 

hidup ataupun mati. Bayi itu harus cepat dibawa ke alam

atas langit dan diserahkan pada Peri Sesepuh."

 Peri Angsa Putih mengangguk. Dia membungkuk

memberi hormat lalu melompat ke atas Laeputih, angsa

raksasa yang jadi tunggangannya. Namun sebelum

dia bergerak pergi dilihatnya Peri Bunda mengangkat

tangan kanan, menatap padanya dengan mulut terbuka

tanpa suara.

 "Wahai Peri Bunda, masih adakah sesuatu yang

hendak kau katakan?" tanya Peri Angsa Putih.

 Peri Bunda masih belum membuka mulut seolah

ada kebimbangan di hatinya untuk berucap. Setelah

menarik nafas lebih dulu baru dia berkata.

 "Kau mungkin tidak suka membicarakan walau barang 

sebentar. Namun jika tidak ada kejelasan rasanya aku 

seperti diikuti bayang-bayang sendiri...."

 "Apakah yang merisaukan hatimu, Wahai Peri Bunda?" 

Mulutnya bertanya namun dalam hati Peri Angsa Putih 

mulai menduga-duga.

 "Tadi aku sempat membicarakan: Hatiku dan hatimu, pikiranku dan pikiranmu, penglihatanku dan 

penglihatanmu ke masa depan rasanya tidak banyak 

berbeda. Lalu kau bilang bahwa dunia kita semakin lama

semakin mengalami banyak perubahan. Batas antara

kita bangsa Peri dan manusia di bawah langit semakin

tipis. Laksana kabut pagi yang mudah pupus ditelan

cahaya mentari. Kejadian bangsa Peri kawin dengan

manusia biasa telah berulang kali terjadi walau mereka

harus menerima hukuman dan kutuk. Kau katakan:

Malah mungkin.... Tapi tidak kau teruskan ucapanmu.

Wahai Peri Angsa Putih, kita sama melihat kenyataan

dan aku tidak mau berlaku munafik. Kehidupan kita

bangsa Peri dalam segala kelebihannya namun masih

memiliki serba kekurangan. Jika aku mau menyebut

salah satu diantaranya adalah kita tidak memiliki dan

hampir jarang merasakan bahagia jalinan kasih sayang.

Kasih sayang antara kita dengan kaum lelaki...."

 "Wahai Peri Bunda, aku khawatir ada yang mendengar 

pembicaraan kita ini...." Peri Angsa Putih cepat

memotong.

 Peri Bunda gelengkan kepala. "Kenyataan tidak bisa 

dirubah. Akan tetap ada sampai akhir zaman. Peri Angsa 

Putih, apakah yang aku lihat sama dengan apa yang kau 

lihat. Apakah firasatku sama dengan firasatmu..,. 

Apakah kau mau berterus terang?"

 Peri Angsa Putih terdiam sejenak. Perlahan-lahan air 

mukanya bersemu merah.

 "Wahai! Kulihat rona wajahmu menjadi merah.

Berarti dugaanku tidak salah. Jika kau tidak mau

mengungkap, aku tidak akan malu-malu mengatakannya 

wahai Peri Angsa Putih."

 "Kalau begitu sebaiknya biar kau saja yang berterus 

terang wahai Peri Bunda," jawab Peri Angsa Putih pula.

 Peri Bunda menarik nafas dalam dua kali lalu

berucap. "Firasat dan penglihatanku melihat. Di masa

puluhan tahun mendatang. Entah kapan tepatnya tetapi

pasti akan muncul di alam kita lelaki-lelaki gagah

kepada siapa kita akan jatuh cinta. Namun bagaimanaberbagi rasa dan cinta kalau orang yang kita kasihi itu

adalah orang yang sama? Lalu kita akan mengenal

hidup berurai air mata. Kita akan mengenal yang

disebut rasa cemburu. Rasa rindu dan tidak mungkin

terjadi apa yang disebut api dalam sekam. Kalau tiba

saatnya meledak alam atas langit tempat kediaman

kita akan menjadi geger...."

 Dua Peri Ku untuk beberapa lamanya tak satupun

yang bicara. Suara silir tiupan angin terdengar jelas

saking sunyinya tempat Ku.

 "Peri Bunda, masa puluhan tahun itu cukup lama

bagi kita untuk mempersiapkan diri. Mudah-mudahan

kita semua akan lebih dewasa menghadapi perubahan.

Memang kita bukan manusia biasa. Namun rasa dan

hati kita tak bisa dipendam. Kita tidak mungkin menipu

diri sendiri. Bahagia, cinta dan kasih sayang adalah

dambaan semua makhluk hidup, termasuk kita bangsa

Peri."

 Peri Bunda anggukkan kepala. "Kau benar Wahai

Peri Angsa Putih. Benar sekali! Aku akan segera kembali.

Harap kau melaksanakan tugas yang kuberikan tadi."

 Perl Angsa Putih menjura hormat. Lalu dia mengusap 

leher angsa putih tunggangannya. Binatang raksasa Ini 

mengepakkan sayap dan melesat ke arah timur,

 *

* *


ENAM


BAYI laki-laki aneh yang sekujur tubuhnya ditumbuhi 

semacam duri berwarna coklat dan masih berselubung 

darah itu melesat di udara lalu lenyap ditelan 

kegelapan malam di sebelah barat. Namun tak selang 

berapa lama, setelah mencapai titik tertingginya bayi ini 

melayang ke bawah.

 Di saat yang hampir bersamaan, di sebuah pulau

di kawasan laut sebelah barat. Fajar yang menyingsing

di ufuk timur masih belum mampu menerangi pulau

itu. Masih terbungkus kegelapan, di satu bukit yang

tertutup rapat oleh pohon-pohon jati berbentuk aneh,

dalam sebuah lobang batu tampak melingkar sebuah

benda yang tak dapat dipastikan apa adanya. Benda

ini bergulung aneh, tertutup oleh sejenis sisik tebal

berwarna hitam pekat. Benda ini bukan benda mati

karena ada denyutan tiada henti dan setiap berdenyut

sisik yang menutupinya tegak berjingkrak!

 Ketika bayi Lahambalang melayang jatuh ke atas

pulau, sosok aneh di liang batu itu tiba-tiba bersuit

keras dan panjang lalu melesat ke atas. Dan astaga!

Ternyata dia adalah satu sosok makhluk hidup yang

punya kepala, tangan dan kaki seperti manusia. Namun

masih sulit dipastikan apakah makhluk itu benar-benar

manusia. Sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-ubun

sampai ke kaki tertutup sisik tajam yang senantiasa

bergerak-gerak, rebah lalu berdiri lalu rebah lagi

terus menerus. Wajahnya tidak ketahuan mana

mulut mana hidung. Matanya hanya merupakan dua

buah tonjolan bulat yang lancip di sebelah tengah,

seperti combong putih buah kelapa!

 Makhluk bersisik hitam ini mendongak ke langit

ketika melihat sosok bayi yang jatuh ke bawah. Lalu

dari mulutnya yang tidak ketahuan entah berada disebelah mana kembali melengking satu jeritan keras

seolah merobek langit malam, menembus suara deru

angin dan deburan ombak di pantai pulau.

 Belum lenyap lengking jeritan itu tiba-tiba ter-

dengar suara bergemuruh mendatangi. Bukit jati di

atas pulau itu bergetar aneh. Di lain saat muncullah

sepasang makhluk aneh mengerikan. Berupa dua ekor

landak raksasa yang berjalan cepat dengan empat

kakinya. Namun begitu sampai di hadapan makhluk

bersisik, dua ekor landak ini pergunakan dua kaki

bolakangnya seperti kaki manusia dan dua kaki depan

sebagai tangan. Lalu dua binatang ini membungkuk

seolah memberi hormat pada makhluk bersisik.

 Makhluk bersisik di tepi liang batu angkat tangan

kanannya. Sambil menjerit keras dia menunjuk ke

langit. Ke arah sosok bayi Lahambalang yang tengah

melayang jatuh ke atas pulau.

 Dua ekor landak yang ternyata satu jantan satu

betina palingkan kepala ke arah yang ditunjuk lalu

sama-sama keluarkan jeritan keras.

 "Laeruncing dan Laelancip! Apa yang aku lihat

puluhan tahun silam dan pernah kukatakan pada kalian

kini menjadi kenyataan! Selamatkan bayi itu!"

 Satu suara menyerupai suara manusia menggema

di tempat itu. Siapakah yang bicara? Ternyata makhluk

bersisik di tepi liang batu!

 Mendengar ucapan itu dua ekor landak raksasa,

Laeruncing yang jantan dan Laelancip yang betina

keluarkan pekik keras. Lalu sekali mereka cakarkan

dua kaki ke tanah, saat itu juga tubuh mereka laksana

sambaran kilat melesat ke udara! Lalu terjadilah satu

hal yang luar biasa. Dua landak raksasa itu melesat

demikian rupa menyongsong ke arah melayang jatuhnya 

bayi Lahambalang. Di satu titik di udara, ketiganya

bertemu.

 "Seettt... settt!"

 Dua landak raksasa melesat dan bergerak demikian 

rupa, tahu-tahu telah mengapit dan menjepit sosok bayidi tengah-tengah. Di udara dua ekor landak ini membuat 

gerakan berputar tujuh kali lalu melesat turun ke arah 

pulau. Dalam waktu singkat dua ekor landak itu telah 

mendarat di tanah dekat liang batu, di hadapan makhluk 

yang tubuhnya tertutup sisik. Bayi Lahambalang yang 

beberapa saat sempat diam kini mulai menangis.

 "Wahai Laeruncing dan Laelancip! Kau telah men-

jalankan tugasmu dengan baik!"

 Dua ekor landak raksasa keluarkan suara gerengan 

halus. Makhluk bersisik kembali berkata.

 "Apa yang aku lihat puluhan tahun silam kini

menjadi kenyataan. Wahai Laeruncing dan Laelancip!

Bayi laki-laki yang bentuk tubuhnya penuh ditumbuhi

tanduk-tanduk kecil seperti tubuh kalian itu sesung-

guhnya itulah bayi yang kalian tunggu-tunggu selama

tiga ratus tahun! Bayi itu adalah anak kalian berdua!"

 Dua ekor landak kembali menggereng. Mereka

bergerak mendekati si bayi lalu ulurkan kepala dan

mulai menjilati sosok bayi itu. Anehnya begitu dijilati

sang bayi segera saja berhenti menangis!

 "Laeruncing dan Laelancip! Kalian sudah mendapatkan 

anak yang kalian dambakan selama ratusan tahuni 

Sekarang menjadi kewajiban kalian untuk memelihara 

dan membesarkannya. Ajarkan semua ilmu kepandaian 

yang kalian punya. Kecuali satu ilmu yang kalian tidak 

miliki. Yaitu bagaimana caranya bicara. Aku yang akan 

mengajarkan ilmu berbicara itu pada anak kalian! Dan 

kepadanya wahai Laeruncing dan Laelanclp aku akan 

memberikan nama. Sesuai dengan keadaan pulau ini 

yang penuh ditumbuhi pohon-pohon jati berduri seperi 

bulu landak, sesuai pula dengan keadaan dan bentuk 

kalian aku akan menamakan anak Hantu Jatilandak!"

 Laeruncing dan Laelancip ulurkan dua tangan ke

depan dan angguk-anggukkan kepala tanda mengerti.

 "Kailan berdua boleh pergi. Jaga anak itu baik-baik.

Jika ada apa-apa yang kalian tidak mengerti, temui

aku di Liang Batu Hitam ini! Aku Tringgiling Liang Batu

adalah kakek dari bayi itu!"Dua ekor landak menggereng halus, kembali angguk-

anggukkan kepala. Laeruncing, landak yang jantan 

pergunakan mulutnya untuk mengangkat bayi yang

diberi nama Lajatilandak itu ke atas punggung betinanya 

yaitu Laelancip. Baru saja dua landak raksasa ini

hendak bertindak pergi tiba-tiba di langit ada benda

pulih menyambar turun disertai teriakan memerintah.

 “Semua makhluk di atas pulau! Jangan ada yang

berani bergerak! Aku datang membawa perintah!"

 "Wuuuttt... wuttt!" Ada dua sayap raksasa mengepak 

deras membuat pohon-pohon jati berduri bergoyang 

goyang. Sesaat kemudian seekor angsa putih telah 

mendarat di atas sebuah batu besar, tak jauh dari

makhluk bersisik berdiri dan hanya beberapa tombak

dari dua ekor landak raksasa. Bau sangat harum

memenuhi tempat itu.

 Laeruncing dan Laelancip keluarkan suara meng-

gereng. Bayi di atas landak betina tiba-tiba keluarkan

tangisan. Makhluk bersisik putar kepalanya. Dua mata

combongnya bergerak-gerak. Dari balik sisik di muka-

nya keluar ucapannya.

 "Berabad-abad telah berlalu. Tak pernah selama

ini seorang Peripun muncul datang ke pulau dan

singgah di hutan Lahitamkelam. Gerangan angin apakah 

wahai Peri cantik yang aku lupa namanya datang ke 

tempat ini? Perintah apa yang kau bawa bersama

kemunculanmu?"

 Gadis cantik berpakaian sutera putih di atas pung-

gung angsa raksasa menatap makhluk bersisik itu

beberapa saat lamanya. Lalu dia melirik pada dua ekor

landak raksasa. Dalam hati dia berkata. "Aku tidak

melihat bayi yang kucari. Tapi di atas salah seekor

landak raksasa Ku ada satu makhluk kecil yang tubuhnya 

ditumbuhi duri-duri seperti bulu landak. Dan sosok

kecil ini menangis antara suara bayi dan suara binatang.

Mungkin itu bayinya Lahambalang dan Luhmintari?"

 Peri Angsa Putih kembali memandang ke arah

makhluk bersisik lebat, kaku dan keras."Aku Peri Angsa Putih dari Negeri Atas Langit.

Kedatanganku membawa tugas. Tugas yang menjadi

perintah bagi kalian yang ada di sini. Patuh akan

perintah wahai! Itulah segala rahasia hidup tanpa ben-

cana. Aku datang untuk mengambil sosok kecil yang

ada di atas punggung landak raksasa itu!"

 Mendengar kata-kata Peri Angsa Putih, sepasang

mata makhluk bersisik yang bernama Tringgiling Liang

Batu seperti hendak melompat. Sisik di sekujur tubuhnya 

berjingkrak kaku. Dari tenggorokannya keluar suara 

menggembor.

 Di tempat lain, dua ekor landak raksasa meng-

garang keras. Yang jantan langsung tegak berdiri mem-

belakangi betinanya. Sepasang matanya yang hitam

kecoklatan membersitkan sinar menggidikkan. Dua

tangannya dipentang ke depan. Kakinya bergerak me-

langkah mendekati angsa putih.

* *

TUJUH


LAERUNCING! Tegur Tringgiling Liang Batu."Tetap di 

tempatmu!" Lalu makhluk ini berpaling pada Peri Angsa 

Putih. "Peri Angsa Putih, bagiku adalah aneh seorang 

Peri dari Negeri Atas Langit menginginkan satu bayi yang 

tidak ada sangkut paut dengan dirinya! Siapa gerangan 

yang memberimu tugas tak masuk akal itu wahai Peri 

Angsa Putih?!"

 "Justru karena bayi berduri itu ada sangkut pautnya

dengan kami para Peri dari Negeri Atas Langit maka

kami ingin mengambilnya!"

 "Wahai! Mungkin kau bisa memberi keterangan

lebih rinci hingga aku tidak menduga keliru!"

 "Baik, jika itu maumu. Bayi yang tubuhnya berduri

itu dilahirkan dari rahim seorang Peri yang tersesat

kawin dengan manusia bernama Lahambalang! Ibunya

meninggal ketika melahirkan. Sang ayah telah menjadi

gila. Berarti tidak ada yang memelihara bayi itu. Kami

para Peri mengambil alih tanggung jawab merawat

anak tersebut!"

 Tringgiling Liang Batu angguk-anggukkan kepala.

"Sungguh baik budi para Peri Negeri Atas Angin. Tapi

apa kau lupa, atau tidak tahu, atau mungkin pura-pura

tidak tahu. Semua kejadian menyangkut Peri sesat dan

suaminya yang bernama Lahambalang itu, sampai

lahirnya bayi yang malang itu! Adalah pekerjaan jahat

para Peri Negeri Atas Langit! Termasuk kau! Kalian

telah menjatuhkan hukum dan kutuk keji! Sekarang apa 

perlunya kalian ingin mengambil orok itu!"

 Berubahlah paras Peri Angsa Putih mendengar

kata kata Tringgiling Liang Batu itu. Setelah dadanya

yang tergoncang tenang kembali, maka berkatalah

Peri cantik ini.

 "Setiap kesalahan ada hukumannya. Setiap masalahada jalan keluarnya! Kami punya aturan sendiri

yang harus ditaati dan dipatuhi. Siapa saja yang me-

langgar akan terkena hukuman. Di dalam tubuh bayi

itu mengalir darah Peri. Kami tidak akan membiarkannya 

hidup di dunia ini...."

 "Peri Angsa Putih, kau dan teman-temanmu di atas

sana bukan saja telah berbuat terlalu jauh, tapi kini

malah bertindak teramat jauh. Bayi itu adalah cucuku.

Orok itu adalah anak dari Laeruncing dan Laelancip,

dua landak raksasa yang ada di hadapanmu. Kalau

kau berani menyentuhnya sekalipun sisikku akan ter-

kelupas dan rohku akan terpendam di dasar laut men-

jadi ganjalan pulau ini, aku tidak akan menyerahkannya

kepada siapapun!"

 "Kalau begitu terpaksa aku mempergunakan 

kekerasan. Aku tidak suka. Tapi wahai! Apa boleh buat!"

Habis berkata begitu Peri Angsa Putih melesat ke arah

Laelancip si landak betina. Tangan kanannya menyambar 

ke punggung landak. Namun di saat itu pula laeruncing 

si landak jantan melompat ke depan dan hantamkan 

tangannya yang berduri ke arah lengan Perl Angsa 

Putih.

 Melihat datangnya serangan berbahaya ini Peri Angsa 

Putih cepat tarik tangan kanannya. Tapi terlambati

 "Breett!"

 Lengan bajunya yang terbuat dari sutera putih robek 

besar disambar duri-duri lancip tangan Laeruncing. 

Marahlah Peri Angsa Putih. Sambil menghantamkan kaki 

kirinya ke kepala Laeruncing, tangan kanannya lepaskan 

satu pukulan tangan kosong. Sinar putih berkelebat.

 Tahu kalau serangan tangan kosong itu lebih

berbahaya dari pada tendangan kaki, Laeruncing cepat

bergerak hindari serangan sambaran sinar putih.

 "Bukkk!"

 Tendangan Peri Angsa Putih mendarat telak di

bahu kanan Laeruncing. Landak raksasa menggereng

keras sementara tubuhnya terpental sampai dua tombak 

tapi tidak mengalami cidera. Sebaliknya Peri AngsaPutih keluarkan keluhan tertahan dan cepat melangkah

mundur. Ketika dia meneliti kaki kirinya ternyata ada

dua duri landak menancap. Satu pada kaki pakaiannya,

satu lagi dekat tumitnya. Sang Peri cepat cabut dua

duri yang panjangnya hampir dua jengkal itu. Baru saja

dia mencabut tiba-tiba di belakangnya Laelancip, si

landak betina menyerangnya dengan ganas. Belum

lagi serangan itu sampai, di dahului gerengan keras

Laeruncing telah menyerbu pula. Kalau yang jantan

menyerang dengan tubuh berduri seperti manusia

maka Laelancip si betina menyerang melompat-lompat,

lebih banyak mempergunakan mulutnya yang bertaring

dari pada dua kaki depannya. Bayi yang ada di pung-

gungnya menangis makin keras.

 Walau berilmu tinggi ternyata tidak mudah bagi

Peri Angsa Putih menghadapi dua lawan itu. Namun

begitu kesabarannya hilang dan berpikir buat apa

membuang-buang waktu, maka dia segera saja ke-

luarkan ilmu kesaktian yang berpusat pada sepasang

matanya.

 Dua mata sang Peri yang berwarna biru tiba-tiba

melesatkan dua larik sinar biru. Satu menghantam ke

arah laeruncing, satunya lagi ke arah Laelancip.

 Melihat serangan yang sangat berbahaya itu Tring-

giling Uang Batu berseru keras. Tubuhnya melesat ke

udara. Sambil melesat tubuh itu bergulung melingkar

lalu menggelinding ke arah Peri Angsa Putih. Seluruh

Sisik yang ada di kepala dan tubuhnya berdiri tegak

seolah ratusan pisau yang siap membantai.

 Sadar ganasnya serangan Tringgiling Liang Batu,

Peri Angsa Putih terpaksa melompat sebelum serangan

dua larik sinar birunya sempat menghantam lawan.

tak urung sisik-sisik di punggung Tringgiling Liang

Batu masih sempat merobek ujung pakaiannya. Ketika

dia menjejakkan kaki di tanah kembali dilihatnya 

makhluk bersisik itu telah tegak sambil mendukung bayi

berduri di tangan kirinya!

 "Kau inginkan orok ini wahai Peri Angsa Putih!Silakan ambil dari tanganku kalau kau mampu! Tapi

jika kau berpikir tidak mampu melakukannya sebaiknya

lekas tinggalkan pulau ini!"

 Merasa ditantang dan dianggap enteng Peri Angsa

Pulih kerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Dari

dua matanya kembali melesat cahaya. Kali ini sangat

biru dan menyilaukan.

 "Rrrtttttt!"

 "Rrrrttttr!”

 Dua larik cahaya biru itu mendarat bertubi-tubi,

menghantam kepala dan tubuh Tringgiling Liang Batu.

Asap hitam yang berasal dari tubuhnya serta asap biru

dari dua larik sinar sakti yang keluar dari mata Peri

Angsa Putih mengepul keluarkan letupan-letupan

Keras.

 Tringgiling Liang Batu mendongak lalu tertawa

panjang. "Satu hari satu malam kau boleh menyerangku

dengan seluruh ilmu yang kau punya! Sampai matamu

melompat copot kau tidak akan mampu membunuhku

wahai Peri Angsa Putih. Jadi jangan harap kau bisa

dapatkan orok cucuku ini!'

 "Sisik Baja Dewa!" kata Peri Angsa Putih dalam

hati menyebut ilmu yang dimiliki Tringgiling Liang Batu.

"Ini satu lagi kelemahan para Dewi di Negeri Atas Langit!

Kalau bukan para Peri yang membujuk, tidak nanti

para Dewa akan memberikan ilmu kesaktian itu pada

makhluk satu ini. Sekarang lihat akibatnya! Sisik yang

melindungi kepala dan sekujur tubuhnya benar-benar

atos laksana baja! Aku tidak mampu menghadapinya!"

 Peri Angsa Putih terus kerahkan seluruh kesaktiannya 

hingga dua sinar yang keluar dari matanya membesar 

dan tambah menyilaukan. Namun di depan sana

Tringgiling Liang Batu tetap saja tegak tak bergeming

sambil mendukung sang cucu bernama Lajatilandak!

 Tiba-tiba makhluk bersisik itu angkat tangan 

kanannya lalu diputar secara aneh. Dua larik sinar 

serangan yang keluar dari sepasang mata sang Peri ikut

berputar menuruti gerakan tangannya. Ketika si makhlukpukulkan tangan ke arah Laeputih, angsa raksasa

tunggangan Peri Angsa Putih ini menguik keras dan

tahu-tahu sekujur tubuhnya telah terikat oleh gulungan

sinar biru! Membuat angsa raksasa ini tak mampu lagi

menggerakkan tubuhnya barang sedikitpun. Hanya

kepalanya yang berleher panjang masih bisa digerak-

gerakkan sambil keluarkan suara seperti merintih lirih.

 "Peri Angsa Putih, jika kau masih keras kepala

menjalankan tugas dan perintah gila itu! Seumur-umur

kau tidak akan dapat meninggalkan pulau ini! Terserah

padamu!' lalu Tringgiling Liang Batu membuat gerakan 

dengan lima jari tangan kanannya. Lima jari itu

membengkok ke dalam seperti meremas. Laeputih

menguik keras. Sinar biru yang mengikat tubuhnya

seolah-olah merangsak mengencang.

 Peri Angsa Putih maklum, dengan segala 

kenekatannya Tringgiling Liang Batu mampu membunuh

angsa tunggangannya. Sang Peri segera angkat tangan

kirinya

 “Dalam kepicikan dan juga kesombonganmu kau

telah merasa menang makhluk bersisik! Aku akan

tinggalkan pulau ini dengan berhampa tangan. Tapi

wahai satu hari kelak pembalasan kami para Peri

Negeri Atas Langit akan jatuh atas dirimu! Saat itu kau

tak akan mampu menghindari kematian! Rohmu akan

tergantung antara langit dan bumi! Kau akan menderita

selama sang surya dan rembulan muncul di jagat raya

inil"

 Trenggiling Liang Batu gerakkan tangan kanannya.

gulungan sinar biru yang mengikat sekujur tubuh

angsa putih terlepas lalu melesat masuk kembali ke

dalam sepasang mata Peri Angsa Putih.

 "Kau boleh pergi dengan aman wahai Peri Angsa

Pulih! Jangan mengeluarkan suara barang sepatahpun”.

 Peri Anqsa Putih mendengus lalu melompat naik

ke atas punggung Laeputih. Sesaat kemudian angsa

raksasa itu telah terbang dan melesat tinggi ke udara.

di atas punggungnya Peri Angsa Putih duduk sambilkepalkan dua tinjunya. Dia merasa sangat malu, terhina

dan juga marah. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba di

bawahnya, kelihatan sebuah biduk meluncur sangat

cepat menuju pantai barat pulau.

 Sambil bertanya-tanya dalam hati siapa adanya

penumpang biduk itu, Peri Angsa Putih turunkan sedikit

angsa tunggangannya lalu terbang berputar-putar di

atas biduk. Namun dia tidak bisa melihat wajah pe-

numpang tunggal di atas perahu itu karena orang itu

mengenakan caping bambu sangat lebar. Hanya ada

satu hal yang masih bisa disaksikan oleh sang Peri.

Orang di atas perahu sama sekali tidak mempergunakan 

dayung ataupun layar untuk meluncurkan perahunya. 

Dia mempergunakan kaki kiri atau kaki kanan.

Setiap kaki kiri atau kaki kanan dihentakkan ke lantai

perahu maka secara luar biasa perahu itu meluncur

deras membelah air laut. Hingga tidak selang beberapa

lama perahu itu telah sampai di pantai barat pulau.

 "Meluncurkan perahu di tengah laut dengan hen-

takan kaki! Wahai! Baru sekali ini aku melihat ilmu

demikian hebat! Ingin aku mengetahui siapa adanya

orang yang berkepandaian tinggi itu. Sayang aku harus

segera menemui Peri Bunda dan Peri Sesepuh...."


DELAPAN


DI ATAS pulau, di dalam rimba Lahitamkelam,

makhluk bersisik seatos baja Tringgiling Liang Batu, baru 

saja meletakkan bayi berduri di atas punggung Laelancip 

si landak betina. Tiba-tiba dia berdiri tegak lalu arahkan 

mukanya ke sebelah barat.

 "Wahai! Ada lagi tamu tak diundang tengah menuju

ke sini. Laeruncing dan Laelancip, lekas kalian bawa

cucuku meninggalkan tempat ini!"

 Baru saja makhluk bersisik itu selesai bicara, belum 

sempat dua ekor landak raksasa bergerak pergi tiba-tiba 

berkelebat satu bayangan disertai mengumandangnya 

teriakan keras. Dari ucapannya jelas dia sempat 

mendengar kata-kata Tringgiling Liang Batu tadi. 

Padahal Tringgiling bicara tidak terlalu keras. Satu

pertanda bahwa orang yang datang, siapapun dia

adanya pastilah memiliki kepandaian tinggi.

 "Diundang atau tidak, aku sudah menentukan bahwa 

hari ini aku harus menjejakkan kaki di tempat ini! Dan 

itu sudah kurencanakan sejak tiga puluh tahun silaml"

 "Wuuuuttt!"

 Suara lenyap dan tahu-tahu delapan langkah di

sebelah kanan Tringgiling Liang Batu telah berdiri

seorang yang mengenakan pakaian terbuat dari kulit

kayu berwarna kecoklat-coklatan. Kepala dan wajahnya 

tidak kelihatan karena tertutup oleh sebuah caping 

bambu sangat lebar.

******

 Tringgiling Liang Batu menatap tajam dengan mata

combongnya. Laeruncing dan Laelancip memandang

tak berkedip.

 "Aku tidak kenal dengan sosok manusia satu ini.

Entah kalau dia membuka capingnya dan aku bisamelihat wajahnya. Apa maksud kedatangannya juga

sama dengan Peri tadi? Hendak mengambil orok itu...?"

Demikian Tringgiling Liang Batu membatin. Lalu dia

menegur.

 "Orang bercaping, aku mengucapkan selamat datang 

di pulau ini. Selamat datang di rimba Lahitamkelam. 

Harap kau sudi membuka capingmu hingga aku bisa 

mengenali siapa adanya dirimu. Setelah itu baru kita 

bicara perihal kedatanganmu. Apakah membawa maksud 

jahat atau baik!"

 "Makhluk bersisik bernama Tringgiling Liang Batu!

Kau bertanya aku menjawab. Kedatanganku membawa

kedua hal yang kau sebutkan tadi. Maksud jahat dan

maksud baik!"

 Tringgiling Liang Batu diam-diam merasa terkejut.

 "Hee! Dia tahu namaku! Dari ucapannya jelas 

sebenarnya dia datang membawa maksud tidak baik 

walau dia berkata ada maksud jahat ada maksud baik!"

 "Tamu bercaping, wahai! Aku hanya akan meneruskan 

pembicaraan jika kau membuka caping unjukkan wajah!"

 "Wahai! Apa sulitnya membuka caping!" jawab

sang tamu. Lalu sekali dia menggoyangkan kepala

caping lebar yang sejak tadi bertengger di kepalanya

melesat ke udara dan diam mengapung satu tombak

di atas kepala itu!

 Tringgiling Liang Batu terkesiap melihat kehebatan

tenaga dalam yang dimiliki orang. Namun sekaligus

dia mencium adanya bahaya besar yang segera bakal

muncul. Terlebih lagi ketika dilihatnya sepasang landak

raksasa keluarkan suara menggeram dan bersikap siap

untuk melompati orang di hadapannya.

 Akan tetapi yang paling membuat makhluk bersisik

Itu terkejut besar ialah ketika melihat orang di depannya

memiliki kepala bermuka dua. Satu di depan satu di

belakang! Dua wajah itu merupakan wajah lelaki berusia 

sekitar 40 tahun. Wajah sebelah depan putih bersih. 

Sebaliknya yang sebelah belakang hitam pekat dan 

keling berkilat! Keanehan lain dari makhluk iniIalah bola matanya tidak bulat tetapi berbentuk segi

tiga berwarna hijau!

 "Pasti ini makhluknya yang selama ini dikenal

dengan nama Hantu Muka Dua!" kata Tringgiling Liang

Batu dalam hati. Perasaannya semakin tidak enak.

"Pasti dia datang membawa maksud jahat. Bukankah

dia yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala

Nafsu!"

 "Tringgiling Liang Batu," tiba-tiba Hantu Muka Dua

berucap. Yang bicara adalah mulutnya sebelah depan.

"Aku Hantu Muka Dua datang membawa kabar buruk

bagimu dan tiga makhluk hidup yang ada di sebelah

sana." .

 "Buruk baik adalah bagian setiap manusia karena

Ku sudah merupakan ketentuan hidup. Tapi wahai!

Kabar buruk apa yang kau maksudkan Hantu Muka

Dua!"

 "Pertama, aku memaklumkan diri bahwa cepat

atau lambat aku akan menjadi Raja Di Raja Segala

Hantu di Negeri Latanahsilam, termasuk pulau dan

seluruh kawasan sekitar sini! Kau dan semua yang

hidup di pulau ini harus tunduk dan berada di bawah

kekuasaanku"

 "Hantu Muka Dua...."

 "Diam! Ucapanku belum selesai!" Menghardik mulut 

Hantu Muka Dua sebelah depan sementara mulut

sebelah belakang tertawa gelak-gelak. Walau menjadi

marah namun Tringgiling Liang Batu mengalah dan

berdiam diri. Hantu Muka Dua lanjutkan ucapannya.

"Hal kedua! Orok yang ada di punggung landak betina

itu akan kuberi nama Hantu Jatilandak! Dia berada di

bawah kekuasaanku dan tunduk pada segala perintahku! 

Pada masa tujuh puluh tahun mendatang aku akan

kembali ke pulau ini. Saat itu dia bukan saja sudah

dewasa tapi juga memiliki satu rahasia besar yang

harus dikatakannya padaku! Kau sudah mendengar

kata-kataku! Sekarang kau boleh bicara!"

 "Hantu Muka Dua, kalau kau ingin menjadi RajaDi Raja Segala Hantu Ku adalah urusanmu! Tapi perlu

kau ketahui. Aku Tringgiling Liang Batu adalah satu-

satunya penguasa di pulau ini! Tidak ada siapapun

baik di bumi, di lautan maupun di atas langK yang

boleh menguasai dan memerintah diriku! Sebelum kau

muncul di sini, telah terlebih dulu datang Peri Angsa

Putih dari Negeri Atas LangK! Dia ingin mengatur dan

menguasai diriku! Dia ingin mengambil bayi yang

sudah kuanggap sebagai cucuku sendiri! Peri Angsa

Putih pergi dengan tangan hampa setelah aku memberi

pelajaran pahit dan keras padanya! Apakah kau ber-

harap aku akan memberikan pelajaran yang sama

padamu?!"

 Dua mulut Hantu Muka Dua tertawa bergelak

mendengar kata-kata Tringgiling Liang Batu Ku. "Kau

boleh mengatur seribu Peri seribu Dewa. Tapi jangan

berani bicara sombong terhadap Hantu Muka Dua!"

 "Kau boleh menganggap diri lebih hebat dari pada

Pari dan Dewa wahai Hantu Muka Dua! Tapi karena

kau membawa maksud jahat datang kemari, aku 

sarankan agar kau cepat-cepat angkat kaki dari 

pulauku. Terhadap Peri Angsa Putih aku masih berbaik 

hati. Tapi terhadap makhluk sepertimu mungkin sikapku

bisa sebaliknya! Lekas menyingkir dari hadapanku!"

 Hantu Muka Dua menjadi marah sekali. Dari teng-

gorokannya keluar suara menggembor. Bersamaan

dengan itu mukanya depan belakang berubah menjadi

muka-muka raksasa mengerikan berwarna merah. 

Empat matanya memandang menyorot pada Tringgiling

Liang Batu.

 Walau gentar melihat perubahan dua muka makhluk di 

hadapannya namun Tringgiling Liang Batu tidak bergerak 

dari tempatnya berdiri. Dia sudah siap menghadapi 

segala kemungkinan. Dua ekor landak raksasa juga telah 

mulai bergerak mendekati Hantu Muka Dua.

 "Tringgiling Liang Batu! Kau dan dua binatang

peliharaanmu tentu punya ilmu yang diandalkan! Tapi

Adalah terlalu bodoh jika berani menentang Hantu Muka

Dua Aku tahu kelemahan kalian!"

 Makhluk bersisik menggereng keras. Seluruh sisik

yang ada di muka dan tubuhnya bergerak bangkit,

mencuat laksana pisau-pisau baja! Lalu dari sela-sela

sisik Itu melesat serpihan-serpihan berbentuk paku

hitam, menyambar ke arah Hantu Muka Dua! Puluhan

banyaknya! Di saat yang sama dua ekor landak tidak

tinggal diam. Keduanya melompat menyerbu Hantu

Muka Dua. Yang betina masih mendukung orok aneh

di punggungnya. Duri-duri panjang di tubuhnya 

mencekal demikian rupa hingga bayi itu tidak jatuh.

 "Paku Iblis Liang Batu!" teriak Hantu Muka Dua

menyebut nama paku-paku maut yang menyambar ke

arahnya. "Siapa takut!" Lalu Hantu Muka Dua melesat

dua tombak ke udara. Ketika melewati caping bam-

bunya, dia segera menyambar benda itu dengan tangan

kiri. Lalu sekali dia memukulkan caping lebar itu ke

bawah, puluhan paku-paku hitamyang melewati bawah

kakinya melesat masuk, amblas ke dalam tanah!

 Sambil melayang turun Hantu Muka Dua tertawa

bergelak. Memang sungguh hebat. Bukan saja dia

berhasil selamatkan diri dari serangan Paku Iblis Liang

Batu dan sekaligus membuat amblas senjata aneh itu

ke tanah, tetapi dia juga bisa menghindar dari serangan

dua ekor landak yang menyerbu dari belakang. Hal ini

bisa dilakukannya karena dia mempunyai muka di

sebelah belakang dan dapat mengawasi setiap apa

yang terjadi di belakangnya. Melihat serangannya gagal, 

dua ekor landak menggereng keras. Ternyata mereka 

berotak cerdik. Karena punya dua muka depan

belakang memang sulit untuk menyerang Hantu Muka

Dua dari dua arah itu. Maka Laeruncing dan Laelancip

kini menyerbu dari samping kiri dan kanan!

 Hantu Muka Dua yang masih tertawa-tawa meng-

ejek Tringgiling Liang Batu menjadi kaget ketika tiba-

tiba dua ekor landak itu melesat ke arahnya dari dua

jurusan. Sambil membentak marah makhluk bermuka

dua itu mundur satu langkah lalu pukulkan tangannyakiri kanan ke samping!

 Laeruncing si landak jantan menggerung keras

ketika tubuhnya kena di gebuk, terpental dan terguling-

guling di tanah. Binatang ini cepat berdiri tapi roboh

kembali karena tulang pinggulnya sebelah kiri remuk

terkena pukulan Hantu Muka Dua.

 Sebaliknya Hantu Muka Dua sendiri tertegak sambil 

mengerenyit kesakitan. Ketika dia memperhatikan

ternyata di tangan kirinya telah menancap dua lembar

bulu tebal landak jantan itu. Hantu Muka Dua meng-

geram marah. Dua duri landak dicabutnya, dibantingkan 

ke tanah hingga melesak amblas. Lalu didahului

ledakan menggelegar dia menerjang ke arah Laeruncing 

yang berada dalam keadaan sempoyongan. Tangan 

kanannya bergerak menghantam.

 "Wuutttt!"

 Dari samping melesat sosok Laelancip si landak

betina. Puluhan duri yang ada di tubuhnya mencuat

lagak dan keras laksana paku-paku baja. Hantu Muka

Dua menggembor keras dan terpaksa tarik pulang

terangannya. Ketika dia hendak mengejar landak betina 

itu, Tringgiling Liang Batu telah menghadang

gerakannya.

 "Kau benar-benar minta mampus!" teriak mulut

Hantu Muka Dua sebelah depan. Taringnya mencuat.

Dua matanya mendelik besar. Lalu dari ke dua mata

itu melesat dua larik sinar hijau berbentuk segi tiga

yang ujung terdepan menyerupai ujung tombak run-

cing. Inilah ilmu kesaktian yang disebut "Hantu Hijau

Penjungkir Roh". Benda apa saja yang terkena han-

taman dua larik sinar hijau itu akan menjadi leleh lunak

seperti lumpur. Dulunya ilmu kesaktian ini adalah milik

seorang tokoh berjuluk Hantu Lumpur Hijau. Dengan

segala tipu dan kelicikannya Hantu Muka Dua berhasil

merampas ilmu kesaktian itu.

 Tringgiling Liang Batu terkejut besar, tidak 

menyangka kalau Hantu Muka Dua memiliki ilmu"Benar Hantu Hijau Penjungkir Roh!" ujar makhluk

bersisik dengan suara bergetar. "Dia pasti mencuri ilmu

kesaktian itu dari Hantu Lumpur Hijau!"

 Tringgiling Liang Batu cepat kerahkan hawa sakti

ke sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki.

Sisik-sisik hitamnya serta merta bergerak menutup.

Begitu dua larik sinar hijau menghantam tubuhnya,

makhluk bersisik ini keluarkan suara menggembor

keras. Tubuhnya terhuyung-huyung laksana disambar

topan. Namun dua kakinya seperti terpancang ke tanah,

tetap tak bergeser dari tempatnya! Asap hijau dan hitam

mengepul dari sekujur tubuh Tringgiling Liang Batu.

 Kaget Hantu Muka Dua bukan kepalang. Dia sampai 

mundur dua langkah ketika menyaksikan bagaimana 

ilmu kesaktian yang sangat diandalkan dan selama ini 

tidak satu lawanpun sanggup menghadapinya, 

ternyata tidak mampu merobohkan apalagi

melumat makhluk bersisik itu menjadi lumpur!

 "Hantu Muka Dua!" Tringgiling Liang Batu menegur

sambil bertolak pinggang. "Apa kau masih belum mau

angkat kaki dari tempat ini?! Apa kau mau pergi setelah

dua ekor landak peliharaanku mengupas kulit dan

daging sekujur tubuhmu?!"

 Wajah Hantu Muka Dua sebelah depan pentang

wajah beringas sementara muka sebelah belakang

nampak berkomat-kamit mengeluarkan suara meng-

gereng panjang.

 "Tringgiling Liang Batu! Jangan bicara pongah dan

sudah merasa menang! Kalau kau dan dua binatang

keparat peliharaanmu itu tidak mau tunduk dan takluk

padaku. Lihat! Apa yang ada di dalam kantong ini!

Kalian bisa kubikin sengsara seumur-umur!"

 Habis berkata begitu Hantu Muka Dua keluarkan

satu kantong kain yang ada bercak-bercak kuningnya,

Kantong kain itu digoyang-goyangnya sambil bergelak,

 Tringgiling Liang Batu menggereng tercekat ketika

dia membaui sesuatu yang sangat ditakutinya. Dia

cepat melangkah mundur.Dua ekor landak raksasaIkut-ikutan menggeram dan bersurut menjauhi Hantu

Muka Dua.

 Sambil terus mengumbar tawa Hantu Muka Dua

buka sedikit kantong kain yang dipegangnya. Begitu

dia kembali menggoyang maka bertaburlah bubuk-

bubuk kuning!

 "Bubuk belerang pelumpuh raga!" teriak Tringgiling 

Liang Batu. Dua matanya yang putih berbentuk combong 

kelapa itu mencuat seperti mau melompat dari 

rongganya. Kalau saja wajahnya tidak diselimuti sisik 

tebal dan berwajah seperti manusia biasa, pasti

saat itu akan terlihat bagaimana air mukanya seputih

kain kafan saking takutnya!

 "Kau dan dua ekor landak peliharaanmu memilih

lumpuh sengsara seumur-umur atau menyatakan patuh 

pada perintahku dan takluk serta tunduk di bawah

kekuasaanku wahai Tringgiling Liang Batu!"

 "Aku...." Makhluk bersisik hitam itu tak bisa bicara.

Dalam hati dia berkata. "Bagaimana bangsat itu tahu

kelemahanku! Pasti ada yang berkhianat memberi

tahu! Percuma melawan. Aku rela mati di tangannya

tapi Laeruncing dan Laelancip, terutama yang ku-

khawatirkan cucuku si Lajatilandak itu belum tentu

bisa kuselamatkan! Tak ada jalan lain. Jahanam betul!

Wahail Aku terpaksa mengalah!"

 "Tringgiling Liang Batu! Kau masih belum men-

jawab! Apa yang ada di benakmu?!"

 "Hantu Muka Dua, aku tidak suka hal ini! Saat ini

aku terpaksa mengalah. Aku tunduk dan patuh pada-

mu "

 Tawa Hantu Muka Dua meledak. Dua matanya

depan dan belakang sampai keluarkan air mata.

 "Bagus! Ternyata kau tidak setolol yang aku duga!

Ha... ha... ha! Tapi sebelum mempercayaimu aku harus

melakukan sesuatu terlebih dulu! Aku tidak ingin kau

menipuku! Ha... ha... ha...."

 Habis berkata begitu Hantu Muka Dua lalu tebarkan

bubuk kuning bubuk belerang ke dalam liang batuyang selama puluhan tahun menjadi sarang kediaman

dan tempat ketiduran Tringgiling Liang Batu. Walau

tubuhnya jadi menggigil saking marah namun makhluk

bersisik Ku tidak mampu berbuat apa-apa.

 Hantu Muka Dua berpaling pada Tringgiling Liang

Batu. "Selama tujuh puluh tahun mendatang 

kepergianku, selama Ku pula kau tidak akan bisa diam di 

sarangmu, tidak bisa tidur. Kelak jika tujuh puluh tahun

kemudian aku datang, kita bisa membuat perhitungan

baru!"

 "Hantu Muka Dua! Kau benar-benar Hantu Segala

Keji! Segala Tipu! Segala Nafsu! Apa maksud tujuanmu

dibalik semua kekejian yang kau lakukan terhadapku?!"

 "Wahai makhluk bersisik. Jawab pertanyaanmu

akan kau dapat tujuh puluh tahun mendatang!" jawab

Hantu Muka Dua. Setelah lebih dulu melirik pada bayi

di atas punggung Laelancip, Hantu Muka Dua putar

tubuhnya. Sekali berkelebat diapun lenyap dari tempat

itu.

 *

* *


SEMBILAN


TUJUH puluh tahun kemudian, di kawasan Negeri

Latanahsilam.... Dua ekor makhluk yang sekujur 

tubuhnya ditumbuhi duri-duri panjang runcing berwarna 

coklat merayap di sela-sela bebatuan. Begitu orang yang 

mendarat di pulau mencapai pinggiran Rimba 

Lahitamkelam, dua landak raksasa itu keluarkan

gerengan keras dan melesat lancarkan serangan.

 Lelaki bercaping yang bukan lain Hantu Muka Dua

adanya sesaat hentikan langkah, tegak terkesiap. 

Wajahnya yang semula berupa dua wajah lelaki berusia 

40 tahun serta merta berubah menjadi dua wajah

raksasa menakutkan. Lalu begitu melihat dua ekor

landak menyerang dirinya serta merta dia menyambar

caping lebar di kepala dan lemparkan benda ini ke arah 

landak raksasa yang menerjang dari arah kanan.

Terhadap landak satunya, Hantu Muka Dua kirimkan satu 

jotosan. Yang di arah adalah bagian bawah perut yang 

tidak ditumbuhi duri-duri tebal.

 "Braaakkk!"

 Caping bambu yang melesat di udara itu hancur

berantakan begitu menghantam sosok Laelancip si

landak betina. Laelancip sendiri terlempar, terguling-

guling di atas pasir lalu terbanting di dinding batu

karang berlumut. Beberapa helai durinya kelihatan

patah bertanggalan. Dari sela mulutnya keluar suara

mengerang kesakitan dan juga pertanda marah.

 Landak jantan Laeruncing, meski sempat menan-

capkan tiga durinya dan melukai lengan kanan Hantu

Muka Dua, namun hantaman lawan yang tak sempat

dihindarkan membuat dia terpental jauh, terguling di

pasir dan muntahkan darah kehitaman!


Hantu Muka Dua menggereng beringas. Tiba-tiba

mulut sebelah belakang berseru. "Kurang ajar! Duri

landak itu ternyata kini mengandung racun!"

 Mulut sebelah depan ikut berseru kaget. Hantu

Muka Dua cepat cabut bulu-bulu landak yang me-

nancap di lengannya. Lengan itu tampak membengkak

kebiruan pertanda memang ada racun yang kini me-

masuki aliran darah! Tanpa membuang waktu Hantu

Muka Dua cepat pijat urat besar di lengan kirinya. Darah

menyembur merah kehitaman. Lalu dengan cepat dia

keluarkan sebuah benda hampir menyerupai daun dari

balik pinggangnya. Benda ini d i kunyahnya lalu nan

curannya disemburkan ke cidera luka di lengan kiri.

 "Tringgiling Liang Batu!" teriak Hantu Muka Dua.

"Wahai! Jadi begini caramu menyambut kedatanganku

setelah kau masih kubiarkan hidup selama tujuh puluh

tahun! Jangan menyesal kalau hari ini aku datang dan

mengirim rohmu minggat ke langit terkembang!"

 Habis berkata begitu Hantu Muka Dua segera

berkelebat ke arah deretan pohon-pohon jati yang

tumbuh rapat di sebelah barat pulau. Namun belum

sempat dia bergerak, tiba-tiba dari kerapatan pepohonan 

menggelinding satu benda berwarna coklat kekuning-

kuningan. Sulit untuk menduga benda apa adanya. 

Hantu Muka Dua tidak sempat berpikir lebih

panjang. Yang dilakukannya adalah segera melompat

menghindar dari hantaman gelundungan benda aneh,

 Tak berhasil menabrak sosok Hantu Muka Dua,

benda yang bergulung menyambar batu karang di tepi

pasir. "Braaakk! Byaaarrr!" Separuh dari batu karang

besar dan tajam itu hancur berantakan, membuat Hantu

Muka Dua kerenyitkan kening dan membayangkan

bagaimana kalau tadi tubuhnya sempat terkena 

sambaran.

 Di sebelah sana makhluk yang menggelinding Ku

berputar, membelok lalu kembali melesat ke arah Hantu

Muka Dua. Yang diserang segera bersiap untuk meng-

hantam dengan ilmu "Hantu Hijau Penjungkir Langit".Sepasang matanya di sebelah depan kiblatkan sinar

hijau menggidikkan. Tapi ternyata makhluk yang meng-

gelundung tidak melancarkan serangan. Dua langkah

dari hadapan Hantu Muka Dua makhluk ini melesat ke

udara lalu turun kembali, jejakkan kaki di atas 

reruntuhan batu karang!

 Memandang ke depan tersiraplah Hantu Muka Dua. 

Sesaat dua mukanya berubah menjadi dua wajah pucat 

pasi. Lalu kembali ke bentuk semula yakni wajah raksasa 

berkulit merah.

 "Makhluk aneh, berbentuk manusia tapi berkulit

seperti binatang! Jangan-jangan dialah...." Hantu Muka

Dua usap-usap dagu sebelah depan yang ditumbuhi

brewok meranggas.

 Di atas runtuhan batu karang saat itu berdiri satu

sosok tinggi kurus berwujud manusia yang hanya

mengenakan sehelai cawat kecil terbuat dari kulit kayu.

sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki, 

menyerupai warna pohon jati. Namun ditumbuhi bulu-

bulu tebal keras dan panjang serta runcing seperti bulu 

landak. Sepasang matanya diteduhi oleh dua alis hitam 

tebal. Di bawah hidungnya yang selalu kembang kempis

menekuk kumis lebat. Daun telinganya panjang dan 

lebar, juga ditumbuhi duri-duri seperti bulu landak.

Sesekali dia meludah ke tanah. Ludahnya berwarna

kuning pekat!

 "Makhluk berbulu landak! Wahai! Tidak dapat tidak

 kau pastilah makhluk yang tujuh puluh tahun silam

 kuberi nama Hantu Jatilandak!"

 Makhluk di atas batu karang tidak bergerak dan

 tidak berkesip. Hanya dari tenggorokannya terdengar

 suara menggembor. Lalu seperti tadi dia meludah ke

 tanah.

 "Hantu Jatilandak!" Hantu Muka Dua tiba-tiba

 menghardik. "Kakekmu si Tringgiling Liang Batu tunduk 

dan patuh padaku! Berada di bawah kekuasaanku!

Berarti kau juga adalah taklukanku yang jauh lebih 

rendah daripada kakekmu! Lekas jatuhkan diri dan

haturkan sembah padaku! Aku adalah Raja Di Raja

 Segala Hantu di kawasan Negeri Latanahsilam!"

 Sosok di atas batu karang tetap tidak bergerak,

 tidak mengedip apalagi menjawab dan jatuhkan diri

 sesuai perintah. Malah kembali makhluk itu meludah

 ke tanah. Merasa ditantang dan dihina marahlah Hantu

 Muka Dua.

 "Saat ini aku belum punya niat membunuhmu!

 Tapi jika tiba waktunya kau akan kubikin mampus

 dengan sejuta kesengsaraan!"

 "Hantu Muka Dua!" Mendadak makhluk berduri di

 atas batu karang berucap.

 "Wahai! Ternyata kau tidak bisu! Bisa bicara seperti

 manusia! Ha... ha! Kuharap kau juga tidak tuli!"

 "Hantu Muka Dua! Aku sudah tahu siapa dirimu dari 

kakekku Tringgiling Liang Batu! Aku tidak suka 

kehadiranmu di pulau ini! Lekas kembali ke perahumu!

Tinggalkan pulau! Atau sekujur tubuhmu akan kutaburi

dengan duri beracun!" Sementara itu dua ekor landak

raksasa yang dalam keadaan cidera telah berkumpul

satu sama lain dengan cepat mendekam di samping

batu karang dekat makhluk berduri tegak berdiri.

 Hantu Muka Dua tertawa bergelak mendengar

ucapan makhluk di hadapannya itu. "Aku ingin tahu!

Ilmu kesaktian apa saja yang telah diajarkan kakekmu

dan dua orang tuamu dua ekor landak raksasa itu!

Perlihatkan padaku! Aku ingin menjajalnya satu 

persatu!"

 Mendengar ucapan Hantu Muka Dua, makhluk

berduri keluarkan suara menggereng lalu kembali me-

ludah. Tiba-tiba dia goyangkan kepala.

 "Wuuut... wuutttt... wuuuttt!"

 Terjadilah satu hal luar biasa.

 Puluhan duri coklat yang sebelumnya menancap

di mukanya, laksana paku-paku panjang terbuat dari

besi melesat ke arah Hantu Muka Dua. Kaget Hantu

Muka Dua bukan olah-olah! Secepat kilat dia hantam-

kan dua tangannya ke depan lalu melompat ke kiri cariselamat. Puluhan duri landak yang tadinya siap me-

nyambar dan menancap di tubuh Hantu Muka Dua

mental ke udara. Namun secara aneh duri-duri ini

berbalik ke arah pemiliknya dan kembali menancap di

tempatnya semula yaitu kepala dan wajahnya!

 Apa yang barusan disaksikan Hantu Muka Dua

membuat makhluk bermuka dua ini diam-diam menjadi

terkesiap namun jauh dari rasa jerih.

 "Wahai! Tujuh puluh tahun ternyata telah cukup

waktu bagimu untuk menguasai ilmu gila itu! Ha... ha...

ha! Hantu Jatilandak aku punya satu ilmu yang disebut

"Mengelupas puncak langit mengeruk kerak bumi*.

Sebelum kuarahkan padamu biar kuperlihatkan dulu

kehebatan ilmu itu!" Sambil tertawa mengekeh Hantu

Muka Dua putar tubuhnya. Dia menghadap pada se-

batang pohon jati berduri yang terletak sekitar sepuluh

langkah di depan sana. Perlahan-lahan Hantu Muka

Dua angkat tangan kanannya. Mulutnya sebelah depan

menyeringai berkomat-kamit. Pergelangan tangannya

diputar setengah lingkaran ke kanan hingga telapaknya

menghadap ke arah pohon. Didahului oleh suara se-

perti angin punting beliung dari telapak tangan Hantu

Muka Dua tiba-tiba melesat selarik sinar merah. Sinar

ini dengan kecepatan kilat bertabur di pohon jati berduri

yang tingginya tiga tombak itu, dari pucuk tertinggi

sampai ke bagian batang di bawah tanah yakni akar

pohon.

 Ketika sinar merah lenyap terlihatlah bagaimana

pohon yang tadi tegak besar kokoh ini telah berubah

menjadi hanya sebesar lengan karena kulit dan bagian

dalamnya telah terkelupas mulai dari atas sampai ke

akar! Dapat dibayangkan jika hal itu terjadi pada sosok

tubuh manusia!

 Hantu Muka Dua meniup ke arah pohon. Pohon

jati yang malang itu langsung berderak patah dan

roboh! Hantu Muka Dua tertawa bergelak dan palingkan

kepalanya ke arah makhluk berduri di atas batu karang.

 "Hantu Jatilandak! Aku harap kau sanggup mene

rima pukulan "Mengelupas puncak langit mengeruk

kerak bumi" yang kini akan aku arahkan padamu! Tapi

jika kau mau jatuhkan diri, menyembah tanda takluk

aku akan batalkan pukulan itu! Wahai! Apa jawabmu!"

 Seperti tadi makhluk di atas batu tidak bergeming

tidak berkesip. Malah kembali dia meludah ke tanah

dua kali berturut-turut!

 "Jahanam!" teriak Hantu Muka Dua marah sekali.

"Ingin sekali aku membunuhmu saat ini! Tapi cukup

aku mengelupas tubuhnya sebelah kanan saja!"

 Hantu Muka Dua angkat tangan kanannya ke atas.

Mulutnya komat-kamit. Ketika dia hendak memutar

pergelangan tangannya membuat gerakan setengah

lingkaran, tiba-tiba dari dalam Rimba Lahitamkelam

terdengar seruan lantang.

 "Cucuku Hantu Jatilandak! Lekas kau kemari!

Jangan berani menantang makhluk berjuluk Segala

Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu itu!"

 Mendengar seruan tersebut, makhluk berduri landak 

di atas batu karang melesat satu tombak ke udara.

Ketika turun tubuhnya telah bergulung dan di lain kejap

menggelundung lenyap di antara kerapatan pohon-

pohon jati berduri Rimba Lahitamkelam! Di belakang-

nya menyusul Laeruncing dan Laelancip, sepasang

landak raksasa itu.

 *

 * *

SEPULUH


HANTU MUKA DUA palingkan kepalanya ke arah 

rimba belantara pohon jati berduri aneh. "Wahai, itu 

adalah suaranya si Tringgiling Liang Batu! Untung dia 

cepat-cepat memanggil cucunya. Kalau tidak si Hantu 

Jatilandak itu akan terkelupas seluruh sosoknya sebelah 

kanan!" Habis berkata begitu Hantu Muka Dua 

berkelebat ke arah kerapatan pepohonan.

 Di dalam Rimba Lahitamkelam, di atas sebuah

gundukan batu besar diapit oleh pohon-pohon jati

berduri, tidak jauh dari sebuah liang batu yang di-

genangi air serta serbuk aneh berwarna kuning. Sosok

bersisik itu duduk bersila, tak bergerak. Dia adalah

Tringgiling Liang Batu yang selama tujuh puluh tahun

belakangan ini hidup tersiksa akibat bubuk belerang

yang ditabur Hantu Muka Dua di liang batu sarang

kediamannya. Sepasang matanya yang putih berben-

tuk combong kelapa kini tampak berwarna kelabu. Di

depannya, di bagian batu yang lebih rendah bersila

makhluk yang tubuhnya ditumbuhi duri-duri coklat.

Dia adalah sang cucu yang semula diberi nama 

Lajatilandak, oleh Hantu Muka Dua dirubah menjadi 

Hantu Jatilandak. Di samping Hantu Jatilandak duduk 

mendekam sepasang landak raksasa.

 "Wahai Kakekku Tringgiling Liang Batu," Hantu

Jatilandak membuka mulut. "Barusan aku menemui

makhluk yang punya dua muka di pantai pulau. Barusan 

pula kami berlaga mengadu kesaktian. Apakah dia

makhluk bernama Hantu Muka Dua yang selama ini

kau ceritakan padaku?1

 "Cucuku Hantu Jatilandak, benar. Memang makhluk 

itu adalah Hantu Muka Dua yang kutunggu-tunggu

sejak tujuh puluh tahun silam. Dia datang menepati

janjinya. Entah berita dan kejadian buruk apa yang

akan disampaikannya pada kita!"

 "Aku tidak suka padanya wahai Kakek!" kata Hantu

Jatilandak pula.

 "Aku juga tidak! Tidak ada makhluk di permukaan

bumi dan di atas langit yang suka padanya! Tapi kita

harus menerima kenyataan. Kita tidak bisa melawannya! 

Ilmunya tinggi sekali. Lain dari itu dia memiliki bubuk 

belerang. Benda yang merupakan pangkal kelemahan 

dan bisa membunuh kita semua! Selama tujuh puluh 

tahun aku berusaha mencari jalan menyingkirkan bubuk 

itu dari tempat ini, tapi setiap mendekati taburan bubuk, 

sisik di tubuhku terkelupas jatuh. Badanku seolah 

ditusuk puluhan pisau dan ada hawa aneh yang

membuat darahku seolah mengalir menyungsang!"

 "Menurut Kakek antara kau dan Hantu Muka Dua

tidak ada permusuhan! Mengapa dia berlaku jahat

seperti itu! Ada apa sebenarnya dibalik semua kekejian

yang dilakukannya Ku Kek?!"

 "Aku tidak tahu wahai cucuku! Namun begitu dia

muncul di sini, semua akan segera terjawab!" kata

Tringgiling Liang Batu pula.

 Baru saja kata-kata itu diucapkan si kakek, tiba-tiba

mengumandang tawa bergelak. Disusul seruan. Dan

berkelebatnya satu bayangan. Hantu Jatilandak seolah

mencium bahaya segera gulung tubuhnya lalu melesat

ke atas pohon jati terdekat. Di pohon ini dia buka

gulungan tubuhnya dan berjuntai di salah satu cabang,

kaki ke atas kepala ke bawah seperti seekor kelelawar.

 "Tringgiling Liang Batu! Kau benar! Rahasia selama 

tujuh puluh tahun hari ini akan segera tersingkap!"

 Belum habis gema teriakan lantang itu sosok Hantu

Muka Dua dengan segala keangkerannya - karena

saat itu dia masih menampakkan diri dengan dua muka

seperti raksasa - tahu-tahu telah berdiri tiga langkah

di hadapan Tringgiling Liang Batu. Sesaat dia melirik

pada Hantu Jatilandak yang bergelantungan di cabang

pohon jati duri. Lalu menoleh pada Laeruncing danLaelancip, serta tak lupa memandang sekilas ke arah

liang batu yang tujuh puluh tahun silam ditaburinya

dengan bubuk belerang. Sekian puluh tahun berlalu,

bubuk belerang berwarna kuning itu masih menempel

di liang batu penuh air itu seolah telah membatu

menjadi satu.

 Di atas cabang pohon tempatnya berjuntai Hantu

Jatilandak meludah ke tanah. Laeruncing dan Lae-

lancip keluarkan suara menggereng. Tringgiling Liang

Batu memberi tanda dengan gerakan tangan agar

ketiga makhluk itu menahan diri. Lalu dia berpaling

pada Hantu Muka Dua dan berkata.

 "Tujuh puluh tahun aku menunggu dalam sengsara. 

Kau muncul, apakah kau akan memperpanjang

kesengsaraan ini?!"

 Hantu Muka Dua jawab dengan umbaran tawa.

Lalu dia usap wajahnya yang serta merta berubah

menjadi wajah lelaki separuh baya.

 "Wahai Tringgiling Liang Batu! Bagaimanapun kejinya 

derita sengsara, tapi masih jauh lebih baik dari yang 

namanya kematian! Aku telah berbaik hati tidak

membunuhmu tujuh puluh tahun silam. Mengapa kau

dan semua yang ada di sini tidak bersyukur diri dan

mengucapkan terima kasih? Ha... ha... ha!"

 Setelah tawa Hantu Muka Dua sirap, Tringgiling

Liang Batu segera berucap. "Dulu sebelum kau pergi

aku sempat bertanya wahai Hantu Muka Dua. Apa

sebenarnya yang membuatmu melakukan kekejian ini

terhadap kami yang tidak punya dosa dan kesalahan

apa-apa padamu? Waktu itu kau berkata jawabannya

akan kau berikan tujuh puluh tahun mendatang jika

kau kembali lagi ke tempat ini. Sekarang kau sudah

muncul dan berada di sini. Harap kau mau memberi

tahu latar belakang perbuatan jahatmu ini!"

 Hantu Muka Dua menyeringai. "Tujuh puluh tahun

lalu aku mendapat petunjuk dari alam roh! Petunjuk

itu mengatakan bahwa lewat sebuah mimpi aku akan

mampu menciptakan sebuah senjata sakti mandraguna. Dengan senjata ini aku bisa mempercepat men-

jadikan diriku Raja Di Raja Segala Hantu di kawasan

Latanahsilam. Dengan senjata ini tidak ada satu orang

pun bakal sanggup melawanku! Wahai! Hari ini petunjuk 

dalam mimpi itu akan kudapatkan! Karena orang yang 

bermimpi itu berada di sini!"

 Sisik hitam di wajah Tringgiling Liang Batu mencuat 

kaku. "Karena perbuatanmu menabur bubuk belerang di 

liang kediamanku, sejak tujuh puluh tahun silam aku 

tak pernah dan tak bisa tidur. Bagaimana bisa 

mengharapkan aku akan bisa bermimpi...!"

 "Kau memang tidak! Dua ekor landak raksasa itu

juga tidak!" sahut Hantu Muka Dua. Lalu dia memandang 

ke atas pohon. "Hantu Jatilandak! Aku ingin bicara 

denganmu! Kalau bicara jangan bersikap gila dan 

kurang ajar! Turun dari pohon dan duduk bersila

di hadapanku!"

 Hantu Jatilandak menjawab dengan meludah ke

tanah. Membuat Hantu Muka Dua menjadi marah dan

dua mukanya langsung berubah menjadi muka-muka

raksasa.

 “Tringgiling Liang Batu! Kesabaranku habis sudah.

Cucu kurang ajarmu ini terpaksa kuberi pelajaran!"

Hantu Muka Dua angkat tangan kanannya. Pergelangan 

diputar dan mulutnya komat kamit. Kemarahan

membuat dia hendak menghantam Hantu Jatilandak

dengan pukulan "Mengelupas puncak langit mengeruk

kerak bumi". Yang di arah adalah dua kaki Hantu

Jatilandak mulai dari lutut ke bawah. Maklum pukulan

apa yang hendak dilepaskan Hantu Muka Dua Tringgiling 

Liang Batu cepat berteriak.

 "Wahai cucuku Hantu Jatilandak! Lekas turun dari

atas pohon..Duduk di hadapan Hantu Muka Dua dan

perhatikan setiap apa yang dikatakannya!"

 Meski dia tidak suka namun mendengar ucapan

sang kakek Hantu Jatilandak gulung tubuhnya ke atas

lalu melompat ke bawah. Sesaat kemudian dia telah

duduk bersila di hadapan Hantu Muka Dua. Sepasangmatanya yang berwarna kuning memandang menyorot

pada makhluk bermuka dua di depannya.

 Hantu Muka Dua menyeringai. "Nyalimu boleh juga

Hantu Jatilandak! Jika saja kau tidak kurang ajar

mungkin kelak kau bisa kupergunakan sebagai salah

satu orang kepercayaanku!" Hantu Muka Dua ulurkan

tangan kirinya dan tepuk-tepuk bahu Hantu Jatilandak

seolah memuji mengagumi. Tapi sebenarnya dia tengah 

menjajal kekuatan tenaga dalam makhluk berduri ini. 

Hantu Jatilandak merasa bahunya seolah kejatuhan

batu besar. Kalau dia tidak kerahkan tenaga dan ke-

pandaiannya pasti saat itu dia sudah roboh terhenyak

di atas batu. Sebaliknya Hantu Muka Dua diam-diam

merasa terkejut menyaksikan bagaimana tepukan ta-

ngannya yang sama dengan jatuhan batu seberat

seratus kati hanya membuat tubuh Hantu Jatilandak

bergoyang-goyang saja, tidak sampai roboh! Dalam

hati Hantu Muka Dua berkata. "Selama puluhan tahun

pasti Tringgiling Liang Batu dan dua ekor landak sakti

Ku telah menggembleng makhluk ini. Tergantung per-

kembangan keadaan. Jika dia kelak membahayakan

diriku, makin cepat kubunuh makin baik." Begitulah

kekejian Hantu Muka Dua. Meski dia butuh bantuan

orang namun niatnya untuk berbuat jahat bisa saja

dilaksanakannya tanpa menimbang budi!

 "Hantu Jatilandak, aku tahu dua malam lalu kau

telah kedatangan satu mimpi. Wahai! Coba kau ingat

baik-baik. Katakan padaku apa yang kau lihat dalam

mimpi. Jangan ada bagian yang terlupa dan tidak akan

kau ceritakan padaku. Mulailah!"

 Hantu Jatilandak menatap orang bermuka dua di

depannya sesaat. Lalu dia melirik pada kakeknya.

Tringgiling Liang Batu anggukkan kepala lalu berkata.

 "Cucuku, jika benar kau bermimpi dua malam lalu

segera ceritakan pada Hantu Muka Dua apa mimpimu

Ku...."

 "Wahai Kakek, aku memang bermimpi. Tapi mimpi

itu kurasa tidak ada sangkut pautnya dengan dirimakhluk bermuka dua ini!"

 Meledaklah amarah Hantu Muka Dua mendengar

kata-kata Hantu Jatilandak Ku. Tangan kanannya ber-

gerak menjotos gundukan batu yang diduduki Tring-

giling Uang Batu. "Byaaarrr." Batu besar Ku hancur

berantakan. Sang kakek cepat melesat ke atas, gulung

diri di udara. Waktu jatuh ke tanah dia menggelinding

lalu duduk di atas sebuah batu lain tak jauh dari

tempatnya duduk semula. Sisik di kepala dan mukanya

tampak berjingkrak.

 "Hantu Jatilandak!" bentak Hantu Muka Dua sangat

gusar. "Aku meminta kau menceritakan apa mimpimu!

Bukan mengatakan apa yang kau rasakan! Jahanam

keparat! Apa kau ingin aku membuat kau celaka 

seumur-umur saat ini juga?!" Dari balik pakaiannya 

Hantu Muka Dua keluarkan kantong kain berbercak 

kuning. Tringgiling Liang Batu keluarkan seruan 

tertahan. Dua ekor landak menggereng sedang Hantu 

Jatilandak beringsut mundur. "Sekali bubuk belerang 

ini aku taburkan di atas kepala dan tubuhmu, seumur 

dunia kau akan lumpuh tiada daya!"

 "Wahai cucuku, lekas ceritakan saja mimpimu

padanya!" kata Tringgiling Liang Batu penuh khawatir.

 Hantu Jatilandak akhirnya anggukkan kepala. Tan-

pa menatap pada Hantu Muka Dua dia mulai menutur.

 "Dua malam lalu, aku gelisah melihat sudah sekian

lama kau tidak bisa tidur Kek. Aku coba memicingkan

mata. Tapi sulit. Baru menjelang dinihari aku akhirnya

bisa memicingkan mata. Tidurku singkat sekali. Tapi

justru dalam tidur pendek itu aku bermimpi. Aku melihat

tiga sosok aneh muncul di pantai pulau. Tiga manusia

katai yang tubuhnya hanya setinggi lutut seolah-olah

tersembul keluar dari gulungan ombak...."

 "Tiga orang katai yang kau lihat dalam mimpi itu,"

memotong Hantu Muka Dua. "Apakah mereka lelaki

atau perempuan?"

 "Ketiganya laki-laki. Satu seorang kakek, satunya

lagi seorang pemuda berambut gondrong. Yang ketigakalau aku tidak salah mengingat seorang anak lelaki...."

 "Hemmm.... Teruskan ceritamu Hantu Jatilandak!"

 "Pada saat tiga orang katai itu berada di pantai

tiba-tiba melayang satu sosok tubuh aneh dari atas

langit. Wajahnya tak jelas kelihatan tapi sosoknya

mengenakan pakaian panjang berwarna putih. Orang

yang muncul dari langit ini berkata: Tiga makhluk cebol

alam luar dunia seribu dua ratus tahun mendatang!

Darah kalian bertiga adalah darah sakti. Jika diper-

gunakan untuk merendam sebilah keris yang jumlah

luknya kurang dari lima selama tiga bulan purnama,

maka keris itu akan menjadi senjata sakti bertuah.

Jangankan manusia, bangsa Peri dan Dewa sekalipun

tak bakal sanggup menghadapinya. Siapa yang me-

miliki keris itu jadilah dia seorang penguasa di bumi

dan di langit! Mendengar ucapan orang berpakaian

putih panjang itu, tiga manusia cebol menjerit ke-

takutan. Saat itulah aku terbangun dari tidur. Meman-

dang ke timur kulihat fajar telah menyingsing...."

 "Mimpi hebat! Mimpi bagus! Wahai Hantu Jatilandak, 

itukah semua mimpi yang kau alami? Tak ada sesuatu 

yang kau lupakan?!" bertanya mulut Hantu Muka Dua 

sebelah belakang.

 Hantu Jatilandak gelengkan kepala. "Aku sudah

menuturkan semua yang aku ingat dalam mimpi...."

 Dari balik pakaian kulit kayunya Hantu Muka Dua

keluarkan sebuah benda. Ketika diperlihatkannya pada

Hantu Jatilandak, benda itu ternyata adalah sebilah

keris berluk tiga yang belum memiliki gagang.

 "Hantu Jatilandak, keris yang disebut orang dari atas 

langit dalam mimpimu itu, inilah dia perwujudannya!"

 Hantu Jatilandak memperhatikan tak berkedip.

Juga Tringgiling Liang Batu dan dua ekor landak

raksasa sama-sama menatap benda yang ada di tangan

Hantu Muka Dua.

 "Sekarang dengar baik-baik wahai Hantu Jatilandak 

dan Tringgiling Liang Batui Seperti yang kau lihat dalam 

mimpimu! Keris ini akan menjadi senjata sakti bertuah

jika direndam selama tiga purnama dalam darah tiga 

manusia katai itu! Dengar Hantu Jatilandak! Tiga 

manusia katai yang ada dalam mimpimu itu akan

benar-benar muncul di tempat ini! Aku pernah 

melihatnya di daratan sana! Mereka berasal dari negeri 

yang seribu dua ratus tahun lebih tua dari negeri kita! 

Aku punya firasat dalam waktu beberapa hari ini mereka

akan datang ke pulau ini! Mungkin ada seseorang yang

mengantar mereka. Orang ini tidak lain bekas Kepala

Negeri Latanahsilam yang kini dikenal dengan julukan

Hantu Kaki Batu. Begitu mereka muncul kalian berdua

harus menangkap dan menjagal leher mereka! Lalu

tuangkan darah mereka ke dalam satu tempat! Aku

akan membantu membuat jebakan agar mereka tidak

berdaya. Pada purnama pertama yang akan muncul

tujuh hari dari sekarang aku akan datang ke sini untuk

merendam keris ini! Jika Hantu Kaki Batu berbuat ulah

menghalangi pekerjaan kalian, jangan ragu-ragu mem-

bunuh juga orang itu! Kalian dengar apa perintahku?!

Tringgiling Liang Batu?!"

 Makhluk bersisik anggukkan kepala.

 "Hantu Jatilandak?!"

 "Aku mendengar perintahmu!" menyahuti Hantu

Jatilandak.

 Hantu Muka Dua melompat ke satu gundukan batu

yang agak rata dan lebar permukaannya. Tiba-tiba dia

hunjamkan tumit kanannya ke batu itu. Seantero tempat

bergetar keras. Batu yang dihantam tumit Hantu Muka

Dua melesak membentuk lobang ceguk sedalam dua

jengkal.

 "Dengar kalian semual Di dala mbatu ini ada lobang

cukup dalam. Kucurkan darah tiga manusia katai itu

ke dalam lobang ini! Tunggu sampai aku datang! Aku

pergi sekarang! Awas! Aku tidak ingin kalian gagal

melakukan perintah!"

 Hantu Muka Dua balikkan tubuh hendak melangkah 

pergi.

 "Tunggu dulu!" Tiba-tiba Tringgiling Liang Batuberseru.

 "Apa maumu wahai makhluk bersisik?" tanya Hantu

Muka Dua.

 "Kau berjanji akan membebaskan tempat ini dari

bubuk belerang yang bisa meracuni kami! Kuharap

kau segera membersihkan bubuk yang kau tebar dalam

liang batu itu...."

 Hantu Muka Dua palingkan kepala ke arah liang

batu berair yang tujuh puluh tahun lalu pernah di-

tebarinya dengan bubuk belerang. Bubuk kuning ini

seolah telah bersatu dengan liang batu dan mempunyai

kekuatan sanggup melumpuhkan bahkan membunuh

Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak serta dua

landak raksasa.

 "Aku ingat! Wahai! Tujuh puluh tahun silam memang 

aku pernah menebar bubuk belerang di tempat ini!" 

berkata Hantu Muka Dua. Lalu dia keluarkan kantong 

kain berisi bubuk belerang yang selalu dibawanya ke 

mana-mana. Penutup kantong dibukanya. Dia 

melangkah ke tepi liang.

 Tringgiling Liang Batu yang jadi curiga segera

membentak. "Apa yang hendak kau lakukan?!"

 "Betul, apa yang hendak kau lakukan wahai Hantu

Muka Dua?' Yang bertanya adalah mulut Hantu Muka

Dua sebelah belakang yang berwajah hitam keling

berkilat.

 Mulut Hantu Muka Dua sebelah depan tertawa

mengekeh lalu menjawab. "Siapa yang percaya pada

kalian semua! Bukan mustahil kalian tidak melakukan

apa yang aku perintahkan! Aku perlu jaminan! Bubuk

yang kutebar dulu mungkin kurang banyak! Biar 

kutambahi! Ha... ha... ha...!"

 Lalu Hantu Muka Dua tebarkan bubuk belerang

dalam kantong kain ke dalam liang batu bahkan kini

sampai ke pinggir-pinggir lobang. Tringgiling Liang

Batu, Hantu Jatilandak, Laeruncing dan Laelancip 

terpaksa mundur menjauh.

 "Tunggu kedatanganku pada malam bulan purnamamendatang! Jika kalian gagal membunuh tiga

manusia cebol itu! Jangan paksa aku menambah isi

liang batu itu dengan air laut lalu kucampur dengan

bubuk belerang. Lalu kalian akan kucelupkan ke dalam

liang! Biar mampus semua!"

 "Hantu Muka Dua! Sungguh busuk dan keji 

perbuatanmu!" teriak Tringgiling Liang Batu.

 "Kau penipu jahat!" teriak Hantu Jatilandak 

sementara dua landak raksasa keluarkan suara 

menggereng keras.

 "Wahai! Aku tidak menyalahkan kalian memakiku

seperti itu!" jawab Hantu Muka Dua. "Bukankah aku

yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Hantu

Segala Nafsu?! Ha... ha... ha!"

 *

 * *


SEBELAS


KITA kembali pada Pendekar 212 Wiro Sableng,

Lakasipo, Naga Kuning dan Setan Ngompol yang 

terpesat ke pulau dan masuk ke dalam Rimba 

Lahitamkelam. Seperti diceritakan, begitu memasuki 

rimba belantara mereka menemukan deretan patung-

patung kayu aneh di sisi kiri dan kanan sebuah jalan 

setapak. Begitu mereka berusaha melewati deretan 

patung sebelah depan, tiba-tiba patung pada deretan 

pertama dan kedua bergerak melakukan serangan 

mematikan. Untung Wiro memperingatkan hingga 

Lakasipo bergerak cepat. Dengan salah satu kaki 

batunya lelaki berjuluk Hantu Kaki Batu ini berhasil

menghancurkan tiga patung kayu.

 Walau mengalami hal berbahaya itu namun Lakasipo 

dan tiga saudara angkatnya itu memutuskan untuk

meneruskan perjalanan, memasuki rimba belantara

melalui jalan setapak yang di kiri kanannya dipenuhi

deretan patung-patung aneh. Patung-patung ini adalah

hasil ciptaan Hantu Muka Dua yang sengaja dibuat

untuk menjebak ke empat orang itu.

 "Dukkk... dukkkk!"

 Kaki-kaki batu Lakasipo bergerak melangkah, me-

nimbulkan getaran keras di tanah rimba. Wiro, Naga

Kuning dan Setan Ngompol berada dalam dukungan

tangan kirinya. Melewati deretan patung ketiga, tidak

terjadi apa-apa.

 "Awas," bisik Wiro. "Barisan patung ketiga bisa

aman-aman saja. Jangan percaya pada deretan ke-

empat dan kelima!"

 Lakasipo pentang mata lebar-lebar dan pasang

telinga tajam-tajam. Dia siap melewati barisan patung

keempat. Hampir melewati tiba-tiba patung di barisan

kelima jatuh seperti roboh, malang melintang satu

sama lain di tanah di hadapan Lakasipo.

 "Jangan tertipu! Lihat!" Naga Kuning tiba-tiba ber-

teriak.

 Patung di barisan keempat mendadak memukul

ke arah kepala dan ulu hati Lakasipo. Ketika Lakasipo

menghindar dengan mundur satu langkah, patung di

barisan ketiga bergerak. Dua patung ini tidak memukul

atau menendang tapi putarkan kepala. Tahu-tahu dari

celah yang membuka di dasar leher menyembur ke

luar asap hijau!

 "Awas! Mungkin asap beracun!" teriak Setan

Ngompol.

 'Tutup jalan pernafasan!" teriak Lakasipo. Lalu dia

jatuhkan diri, berlutut di tanah. Tangan kanannya di-

pukulkan ke depan. Patung kayu di sebelah kanan

hancur berantakan. Lakasipo pergunakan kesempatan

untuk menerobos masuk sekaligus menghindarkan

asap hijau yang membuat pernafasannya jadi sesak.

Dengan melangkah cepat Lakasipo berhasil melewati

deretan patung-patung kayu kelima sampai kesepuluh

tanpa terjadi apa-apa. Tapi tiba-tiba dari atas melayang

turun dua buah patung kayu. Satu membawa tameng

kayu satunya membawa tongkat berbentuk tombak.

 "Nafasku sesak!" teriak Wiro. Dia coba mengatur

jalan pernafasan dan aliran darah.

 "Aku juga!" kata Naga Kuning.

 "Aku tak tahan kencing!" teriak Setan Ngompol.

 Lakasipo tidak perhatikan teriakan tiga saudara

angkatnya itu karena saat itu dari depan patung yang

memegang tombak kayu menyergap dengan satu 

tusukan! Yang di arah adalah kepala.

 "Wuuuuttt!"

 Lakasipo melompat mundur. Begitu serangan lewat 

dia cepat kirimkan jotosan ke arah patung kayu yang 

memegang tombak. Namun patung satunya, yang

membawa tameng besar, seolah hidup maju menyong


song dan melintangkan tameng menangkis pukulan

Lakasipo.

 "Braaakkk!"

 Tameng kayu hancur berantakan tapi Lakasipo

sendiri jatuh punggung di tanah. Wiro dan kawan-

kawannya ikut berpelantingan. Saat itulah belasan

patung kayu yang ada di deretan sebelah dalam dengan

langkah-langkah kaku bergerak mendekati Lakasipo,

siap menginjak-injaknya.

 Dalam keadaan seperti itu Lakasipo cepat menolong 

tiga kawannya namun Wiro berseru. "Biarkan kami 

bertiga! Hadapi patung-patung itu. Aku dan kawan-

kawan akan berusaha menyelinap. Patung-patung

sialan itu pasti digerakkan dengan semacam alat rahasia! 

Kami bertiga berusaha mencarinya!"

 "Jangan kemana-mana! Terlalu berbahaya!" teriak

Lakasipo;

 "Bukkk... bukkk!"

 Dua patung kayu berhasil menendang paha dan

pinggul Lakasipo. Sakit dan marah Lakasipo meng-

geram lalu melompat bangkit. Dua kakinya meng-

hantam kian kemari. Beberapa patung kayu hancur.

Namun dari dalam rimba belantara muncul lagi selusin

patung sementara asap hijau kini kelihatan di beberapa

tempat. Lakasipo tidak takut pada patung-patung kayu

itu walau jumlah mereka bertambah banyak. Namun

asap hijau yang menyesakkan membuat dia khawatir

atas diri Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol.

 "Lakasipo!" tiba-tiba terdengar teriakan Wiro. "Kami

menemukan alat rahasia pusat kendali patung-patung

kayu itu! Lekas ke sini! Kami tak sanggup 

menghancurkannya!"

 Lakasipo cepat melompat ke arah datangnya suara

teriakan Wiro. Namun empat patung kayu 

menghadangnya.

 "Jahanam!" rutuk Lakasipo. Dia melompat ke atas.

Sambil bergelantungan pada cabang pohon jati berduri

tanpa perdulikan tangannya tertusuk luka Lakasipoayunkan tubuh. Dua kakinya yang terbungkus batu

menderu. Empat patung mental hancur berantakan.

"Wiro! Kau dimana?!" teriak Lakasipo.

 "Di sini!"

 Lakasipo melompat turun, bergerak cepat di antara

pohon-pohon jati. Pakaiannya yang terbuat dari kulit

kayu robek-robek terkait duri. Tubuhnya sendiri ikut

tergores luka di bahu, dada dan pinggul. Tapi Lakasipo

tidak perduli. Dia terus bergerak, menyeruak di antara

pohon-pohon jati berduri. Sesekali bila celah antara

dua pohon terlalu sempit dan tak bisa dilewati tubuhnya

yang kekar besar, Lakasipo pergunakan kaki batunya

untuk menghantam roboh pohon Ku.

 "Lakasipo! Jangan mengamuk macam orang 

kesetanan! Pohon tumbang bisa menimpa kami!" 

Terdengar teriakan Setan Ngompol. Tentu saja disertai

pancaran air kencing karena tegang ketakutan.

 Di satu tempat di balik semak belukar di antara

pohon-pohon jati berduri akhirnya Lakasipo temui ke

tiga orang itu.

 "Wahai! Mana alat rahasia itu?"

 Wiro dan dua kawannya menunjuk ke atas 

pepohonan. Hampir sulit terlihat pandangan mata, di 

atas beberapa pohon jati berduri kelihatan benang-

benang halus malang melintang dari satu pohon ke 

pohon lainnya. Lalu benang-benang ini menjulur ke 

bawah, menempel di batang-batang pohon.

 "Aku tidak menemukan kemana lenyapnya ujung-

ujung benang aneh ini!" kata Lakasipo sambil besarkan

mata memeriksa.

 Murid Sinto Gendeng yang pernah tahu seluk beluk

segala macam senjata rahasia memperhatikan ber-

keliling lalu berkata. "Jika yang digerakkan adalah

patung-patung kayu, berarti benang-benang itu ber-

hubungan dengan sosok patung itu!"

 "Akan kita selidiki. Tapi benang-benang celaka itu

harus kumusnahkan lebih dulu!" kata Lakasipo pula.

Lalu tidak kepalang tanggung manusia bergelar Hantu

Kaki Batu ini lepaskan empat kali berturut-turut pukulan

sakti bernama "Lima Kutuk Dari Langit'. Setiap dia

menghantam lima larik sinar hitam menderu keluar

dari lima ujung jari tangannya.

 Jangankan benang-benang halus, pohon-pohon

jati raksasa pun hancur berantakan. Yang masih berdiri

telah berubah hitam dan menciut! Di saat yang sama

terdengar suara menggemuruh di bagian dalam rimba

belantara. Dua lusin patung kayu yang disiapkan Hantu

Muka Dua untuk menjebak keempat orang itu roboh

tumpang tindih karena tidak lagi terkendali oleh alat

rahasia berupa benang-benang aneh yang telah ber-

putusan.

 "Benar-benar edan!" maki Setan Ngompol seraya

tetap bagian bawah perutnya tapi tetap saja sudah

terlanjur kencing duluan.

 "Kita tetap harus berhati-hati. Bukan mustahil ada

jebakan lain yang lebih berbahaya!" kata murid Sirrto

Gendeng.

 "Menurut kalian siapa yang coba mencelakai kita?'

tanya Naga Kuning. "Hantu Jatilandak atau Hantu Sejuta

Tanya Sejuta Jawab, gurunya si Hantu Muka Dua itu?'

 "Besar kemungkinan Hantu Jatilandak. Karena aku

yakin ini adalah pulau kediamannya." Menjawab 

Lakasipo.

 "Kita tidak ada permusuhan dengan dia. Malah

bertemu pun belum! Mengapa sejahat itu tindakannya?!" 

ujar Wiro Sableng.

 "Sebentar lagi sore akan segera berubah malam.

Baiknya kita segera tinggalkan tempat ini. Kembali ke

pantai. Besok pagi-pagi kita teruskan menyelidik 

keadaan pulau ini." Yang bicara adalah si Setan 

Ngompol.

 Lakasipo berpaling pada Wiro dan Naga Kuning.

Akhirnya semua setuju untuk kembali ke pantai. 

Lakasipo segera memasukkan tiga saudara angkatnya itu

ke balik sabuk lalu melangkah ke jurusan dari arah

mana dia sebelumnya datang. Tak selang berapa lama,setelah berjalan cukup jauh dan rasa-rasa sudah akan

sampai ke pantai tiba-tiba Lakasipo hentikan 

langkahnya. Dia memandang berkeliling.

 "Aneh," kata Lakasipo. "Sepertinya kita berada di

tempat ini-ini juga. Wahai! Padahal aku sudah berjalan

jauh,,.."

 "Aku mendengar suara debur ombak. Pasti kita

berada dekat pantai," ujar Wiro. "Lakasipo, coba kau

berjalan ke arah sana. Arah datangnya suara ombak

itu!"

 Lakasipo lakukan apa yang dikatakan Wiro. Namun

setelah beberapa lama berlalu kembali dia hentikan

langkah. "Wahai saudara-saudaraku, kita ternyata tidak

kemana-mana. Ini tempat yang tadi-tadi juga. Kita

berputar-putartak karuan. Suara ombak jelas terdengar

di sebelah sana tapi begitu berjalan ke arah situ, kita

malah menjauh. Lalu tahu-tahu ada di sini lagi!"

 Wiro garuk-garuk kepala. "Kita coba sekali lagi,"

katanya. 'Tempuh jalan setapak yang sebelumnya

dipagari patung-patung kayu itu."

 "Hemmm...." Lakasipo bergumam ragu. Tapi akhirnya 

kembali dia menuruti apa yang dikatakan murid Sinto 

Gendeng itu. Dia melewati jalan setapak yang penuh 

dengan rubuhan patung-patung kayu.

 "Ah! Sekali ini kita menempuh jalan yang betul.

Kita masuk ke dalam hutan, bukan ke arah datangnya

suara debur ombak!" Berucap Naga Kuning.

 Tetapi tak selang berapa lama Lakasipo keluarkan

seruan. "Gila! Lihat! Kita kembali ke tempat tadi lagi!"

 Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol memandang 

berkeliling terheran-heran.

 "Jangan-jangan ini hutan siluman!" kata Naga Kuning.

 "Kau jangan bicara menakuti membuat aku jadi

terkencing!" kata Setan Ngompol seraya tekap auratnya

sebelah bawah.

 "Ada yang tidak beres di tempat ini. Tak ada jalan

lain. Sampai malam tiba dan pagi datang kita terpaksa

tetap berada di sini..." kata Lakasipo lalu duduk di atas

runtuhan patung kayu.

 "Aku justru merasa was-was kalau kita terus berada

di sini. Jika ini semua adalah jebakan, berarti mungkin

ini yang dimaui oleh si penjebak. Berarti di tempat ini

masih ada bahaya mengintai.... Jangan-jangan si pen-

jebak sengaja menunggu sampai malam tiba...."

 "Lalu apa yang harus kita lakukan?" ujar Lakasipo.

"Diam di sini berbahaya. Berjalan tak ada gunanya...."

 Untuk beberapa lamanya tak ada yang bicara.

Setan Ngompol tiba-tiba ulurkan tangan kirinya yang

sejak tadi ditekapkan ke bawah perut, memegang

lengan Wiro. "Kakek sial! Jangan sentuh lenganku!

Tanganmu basah oleh air kencing!"

 "Hik... gik!" Si kakek menyeringai menahan tawa.

"Setahuku kau punya ilmu Menembus Pandang yang

kau dapat dari Ratu Duyung. Coba kau kerahkan

kesaktian untuk menyelidiki seantero tempat ini. Mung-

kin kau bisa dapatkan satu petunjuk kemana kita harus

bergerak...."

 "Beberapa waktu lalu aku sudah pernah melakukan. 

Tapi tidak berhasil," jawab Wiro bersungut-sungut

seraya geserkan lengannya yang basah barusan di-

pegang si kakek. Disebutnya nama Ratu Duyung oleh

Setan Ngompol membuat Wiro jadi terkenang pada

gadis cantik sakti yang merupakan salah satu penguasa

di kawasan laut selatan itu. (Baca serial Wiro Sableng

berjudul Wasiat Iblis terdiri dari 8 Episode dan Tua Gila

Dari Andalas terdiri dari 11 Episode) Perlahan meluncur

ucapannya. "Kalau saja Ratu Duyung ada di sini, mung-

kin dia bisa menolong kita.... Ah!" Wiro garuk-garuk

kepalanya.

 "Tak bisakah kau memanggilnya. Maksudku 

mengadakan sambung rasa hingga dia bisa memberi

petunjuk?" tanya Naga Kuning sementara Lakasipo

diam tidak mengerti apa yang dibicarakan sobat-

sobatnya itu.

 "Kita berada di alam yang berbeda. Terpisah seribu

dua ratus tahun. Mana mungkin....""Tapi Wiro," kata Naga Kuning pula. "Waktu tempo

hari kau mencoba ilmu Menembus Pandang dan gagal,

saat itu keadaan tubuh kita masih sebesar jari. Mana

mungkin menghimpun tenaga dalam dan alirkan hawa

sakti. Kalaupun bisa tak ada arti dan kekuatan apa-apa.

Tapi sekarang keadaan tubuh kita sudah lebih besar.

Walau belum sebesar Lakasipo, kalau kau coba 

mengerahkan kesaktian apa salahnya...."

 "Naga Kuning betul. Saudaraku Wiro, jika kau

memang punya ilmu, wahai mengapa tidak 

mencobanya!" kata Lakasipo pula.

 Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. 

"Akan kucoba!" katanya akhirnya. Lalu dia bayangkan 

wajah Ratu Duyung, perlahan-lahan alirkan tenaga

dalam ke arah dua matanya. Dalam keadaan biasa

sebenarnya Wiro tidak perlu mengerahkan tenaga dalam. 

Wiro memandang tak berkesip dan lurus ke depan.

 "Aku tidak melihat apa-apa..." kata Wiro.

 Naga Kuning dan Setan Ngompol tampak kecewa.

 "Kerahkan lagi tenaga dalammu Wiro. Coba 

memandang ke jurusan lain. Kita harus beranjak dari

tempat ini sebelum malam tiba!" kata Setan Ngompol

cemas.

 "Aku akan membantu jika kekuatan tenaga dalammu 

tidak bisa kau keluarkan," kata Lakasipo pula.

 "Tunggu!" seru Wiro tiba-tiba. "Aku seperti melihat

pedataran di kejauhan. Pedataran itu bergerak. Berarti

bukan pedataran tapi laut...." Wiro menggeser 

pandangannya ke kiri. Samar-samar dia hanya melihat

deretan pepohonan dan kegelapan. Dia memutar lagi

kepalanya. Tampangnya berubah. "Eh, sepertinya ada

bukit-bukit batu di arah timur sana. Ada benda-benda

bergerak di kejauhan. Seperti sosok manusia...."

 "Berarti kita harus menuju lurus ke timur!" kata

Lakasipo. "Wiro, harap kau kerahkan terus ilmu 

kesaktianmu. Beri tahu kalau langkahku melenceng!"

 "Duuukkk... duuukkkk... duukkk!"

 "Terus saja Lakasipo! Beberapa puluh tombak lagikita akan sampai ke bebukitan batu itu. Aku melihat

ada dua orang di tempat itu. Tapi... aku juga melihat

ada dua benda besar aneh melata di tanah...."

 Lakasipo melangkah ke timur. Setelah berjalan

sejauh empat puluh tombak tiba-tiba "kraaakkk!" Ada

bunyi seperti kayu patah di bawah injakan kaki Laka-

sipo. Lalu tanah yang dipijaknya amblas. Sesaat 

kemudian sosok Lakasipo terjerumus masuk ke dalam

sebuah lobang sedalam satu setengah kali tinggi 

tubuhnya!

 "Celaka! Kita terjebak!" teriak Lakasipo. Dia me-

mandang ke bawah. Ternyata dasar lobang berupa

lumpur aneh. Bagaimana pun dia kerahkan tenaga

untuk melompat ke atas agar bisa keluar dari lobang,

ke dua kakinya selalu amblas! Sementara itu dari empat

sudut lobang mengucur keluar air berwarna hitam dan

panas. Kulitnya seperti disengat!

 "Saudara-saudaraku!" kata Lakasipo. "Aku tak bisa

keluar dari dalam lobang ini! Biar kalian kuselamatkan

lebih dulu!"

 "Lakasipo! Kita bersaudara! Kalau mati biar kita

mati bersama dalam lobang ini!" teriak Pendekar 212.

Sementara Naga Kuning pucat pasi wajahnya dan

mulutnya terkancing. Setan Ngompol tak perlu 

diceritakan. Sejak Lakasipo jeblos ke dalam lobang 

besernya tak tertahankan lagi!

 "Wiro! Kalian semua jangan bodoh! Kalau ada

yang hidup di antara kita usahakan mencari 

pertolongan!" Lalu dengan cepat Lakasipo lepaskan 

sosok Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol dari balik

sabuknya. Ketiga orang ini kemudian dilemparkan ke

atas lobang. "Menjauh dari lobang! Lekas pergi dari

tempat ini!"

 "Kau sendiri bagaimana?!" balas berteriak Pen-

dekar 212 Wiro Sableng.

 "Jangan perdulikan diriku! Kalian cepat pergi!"

jawab Lakasipo. Sementara itu air hitam panas yang

menyembur keluar dari empat sudut lobang telah naiksetinggi betis! Tapi tidak satupun dari ke tiga orang

Ku beranjak dari tepi lobang.

 "Hai! Lekas pergi!" teriak Lakasipo.

 Naga Kuning dan Setan Ngompol saling pandang.

"Kita harus cari akal menolong Lakasipo!" kata Naga

Kuning.

 Setan Ngompol memandang berkeliling. "Kalau

saja kita bisa menemukan akar gantung...."

 Wiro memandang berkeliling sambil garuk-garuk

kepala. Otaknya buncah. Tiba-tiba matanya menyipit.

Keningnya mengerenyit dan dadanya berdebar. "Aku

melihat ada sosok tubuh aneh menggelinding dari

kawasan bebatuan. Menuju ke sini!"

 "Pasti siluman penguasa rimba belantara ini!" kata

Setan Ngompol dengan suara bergetar lalu semburkan

kencing!

 *

 * *


DUA BELAS


AIR hitam di dalam lobang semakin tinggi. Kini mulai 

mendekati lutut Lakasipo dan panasnya bukan main. 

Lakasipo coba angkat kaki kanannya untuk menghantam 

dinding lobang. Namun kaki sebelah kiri amblas ke 

dalam dasar lobang hingga tubuhnya hampir terbanting 

jatuh.

 "Wiro!" Lakasipo berteriak. "Air hitam celaka ini

panas sekali. Aku tidak tahan! Rasanya seperti direbus!"

 "Lakasipo! Bertahanlah! Kami mencari akal 

menolongmu!" teriak Naga Kuning. Tapi sebenarnya dia

sendiri tidak tahu akal apa yang bisa diperbuat 

sementara si Setan Ngompol tergeletak di tanah 

terkencing-kencing habis-habisan. Wiro terduduk di 

tanah. Tangannya kiri kanan menggaruk pulang balik. 

"Tak ada tali, tak ada akar gantung. Kalaupun ada tak

mungkin aku dan kawan-kawan menarik sosok Lakasipo 

keluar dari lobang. Kalau air hitam panas itu naik

mencapai bagian bawah perutnya celaka besar! Bisa-

bisa barangnya berubah jadi dua telor rebus!"

 "Hik... hik... hik!" Naga Kuning tertawa cekikikan

mendengar ucapan Wiro itu. Sebaliknya Setan Ngompol 

membentak marah ialu terkencing.

 "Dalam keadaan begini rupa kalian masih bisa

bergurau! Kalian yang bakal celaka!"

 Duduk di tanah Wiro masih tampak bingung dan

garuk-garuk kepala. "Gusti Allah!" Tiba-tiba murid Sinto

Gendeng ini berseru memanggil Tuhan. "Bagaimana

ini! Tuhanku! Apa akan kau biarkan Lakasipo menemui

ajal dalam lobang itu?! Kami mohon pertolonganMu

wahai Tuhan Yang Maha Kuasa!"

 Dari dalam lobang Lakasipo yang sempat mendengarucapan Wiro lantas bertanya. "Kau menyebut nama 

seseorang! Gusti Allah. Lalu Tuhan! Kau minta tolong 

padaNya! Memangnya Gusti Allah itu siapa? Temanmu? 

Gurumu? Atau ayahmu?!"

 Kalau bukan dalam keadaan seperti itu mungkin

Naga Kuning dan Setan Ngompol sudah memaki.

 "Lakasipo makhluk geblek!" murid Sinto Gendeng

yang memaki. Tapi cuma dalam hati. Dengan suara

keras bergetar dia kemudian berkata.

 "Gusti Allah sama dengan Tuhan! Dia adalah yang

menciptakan langit dan bumi! Menciptakan manusia

termasuk aku dan dirimu! Dia Maha Kuasa, Maha

Pengasih, Maha Penolong! Dia adalah Satu. Dia adalah

Tunggal. Dia yang menciptakan siang dan malam.

Menciptakan susah dan senang. Itu sebabnya guruku

Eyang Sinto Gendeng memberi jarahan angka 212 di

tubuhku. Agar aku selalu ingat pada Tuhan Maha Kuasa

dan percaya bahwa Dia yang menjadikan segala-

galanya!"

 "Saudaraku Wiro, wahai! Sulit bagiku mencerna

semua ucapanmu. Setahuku yang menciptakan diriku

adalah ayah dan ibuku. Tapi sudahlah! Jika kau terus

menceloteh kapan kau akan menolongku?!" teriak

Lakasipo dari dalam lobang. Air hitam panas mulai

melewati lututnya. "Kalau Gusti Allah dan Tuhanmu itu

Maha Kuasa Maha Penolong, mengapa kau tidak lekas-

lekas minta Dia menolongku?!"

 Wiro garuk-garuk kepalanya. "Gusti Allah pasti

mendengari Tuhanku pasti melihat! Dia pasti akan

menolongmu, Lakasipo! Bertahanlah! Tabahkan hatimu?' 

teriak Wiro. Dia tekapkan dua tangannya ke mukanya. 

Terus terang dia tidak tahu dan belum menemukan cara 

bagaimana harus menolong Lakasipo. Dalam hati tidak 

putus-putusnya dia menyebut nama Tuhan dan 

memohon pertolongan. Tiba-tiba Wiro melompat bangkit 

sambil berteriak keras.

 "Astaga! Ada apa dengan dirimu Wiro?!" tanya

Naga Kuning.

"Jangan-jangan dia sudah kemasukan roh jahat

penghuni rimba belantara ini!" kata si Setan Ngompol.

 'Tuhan! Beri saya kekuatan!" teriak Wiro. Lalu

tangannya bergerak ke pinggang. Di lain kejap sebuah

benda berkilauan berada dalam genggamannya.

 "Kapak Maut Naga Geni 212!" seru Naga Kuning

dan Setan Ngompol berbarengan.

 "Bagaimana dia bisa menolong Lakasipo dengan

kapak itu?!" ujar Setan Ngompol. "Keadaan tubuhnya

hanya sebesar betis. Tenaga dalamnya tak mungkin

diharapkan!"

 "Kalau mengandalkan kekuatan dirinya sendiri aku

juga tidak yakin dia mampu berbuat sesuatu Kek!"

menyahuti Naga Kuning. "Tapi kalau Yang Maha Kuasa

turun tangan menolong! Semua pasti bisa menjadi

kenyataan!"

 Wiro memandang berkeliling. Tiba-tiba dia lari ke

arah satu pohon jati di sebelah kiri, dua tombak dari

tepi lobang maut. 'Terlalu dekat...." Wiro berucap. Dia

bergerak ke pohon jati lainnya. Memandang mengukur-

ukur. "Masih terlalu pendek. Ujungnya cuma bisa me-

lintang di atas lobang. Tak bisa digapai Lakasipo...."

Wiro berpaling ke kiri. Dia menghampiri pohon jati

ketiga sambil menghitung langkah lalu memandang

ke lobang. "Ini pasti bisa tepat..." kata Wiro dalam hati.

Lalu tanpa tunggu lebih lama dia kerahkan tenaga

dalam. Dua mata Kapak Maut Naga Geni 212 walau

ukurannya masih kecil dibanding dengan segala se-

suatu yang ada di alam Negeri Latanahsilam namun

tidak terduga aliran tenaga dalam murid Sinto Gendeng

itu ternyata sanggup membuat pancaran sinar 

menyilaukan. Kalau biasanya Wiro selalu memegang 

senjata sakti itu dengan satu tangan maka kini dia 

memegang dengan dua tangan sekaligus.

 Wiro ayunkan Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar

putih berkiblat. Suara menggaung seperti ratusan tawon 

mengamuk memenuhi tempat itu. Naga Kuning

berseru gembira. Setan Ngompol bangkit tertegun."Craaakkk!"

 Bagian batang pohon jati berduri somplak besar

pada bagian tiga jengkal di atas tanah dihantam mata

kapak sakti. Semangat Pendekar 212 jadi tambah

berkobar. Dia menghantam lagi, lagi dan lagi! Tiada

henti seolah orang kemasukan setan! Sebelas kali

membacok, pohon itu tampak bergetar. Wiro kembali

membacok. Kali ini dari jurusan yang berlawanan dari

bacokan semula. Terdengar suara berkereketan.

 "Kraaaaaakkkk!"

 Pohon jati besar berduri itu tumbang, jatuh melintang 

tepat di atas lobang dengan ujung menghunjam ke 

bawah, menusuk ke dinding lobang. Lakasipo berteriak 

keras. Kalau tidak cepat dia merunduk dan jatuhkan diri 

ke samping niscaya kepalanya kena hantaman pucuk 

pohon jati!

 Naga Kuning dan Setan Ngompol bersorak gembira. 

Dia kini maklum apa sebenarnya yang telah dilakukan 

Pendekar 212 Wiro Sableng.

 Di dafam lobang Lakasipo ulurkan tangannya ke atas. 

Dia berhasil menjangkau batang pohon yang masuk ke 

dalam lobang!

 "Wiro! Kau yang punya usaha! Tapi ini pasti wahai

Tuhan Gusti Aliahmu yang menolong!" teriak Lakasipo.

"Tuhanmu hebat! Bisakah aku bertemu denganNya

untuk mengucapkan terima kasih?!"

 "Lakasipo! Jangan bicara ngawur! Lekas keluar

dari lobang itu!" teriak Naga Kuning.

 Lakasipo seolah sadar segera ayunkan tubuh me-

lesat ke atas. Namun sebelum dia mendarat di tepi

lobang tiba-tiba dari arah timur muncul suara meng-

gemuruh. Sebuah benda kuning kecoklatan meng-

gelinding di sela-sela pohon jati. Sebelum Wiro dan

dua kawannya tahu benda apa itu adanya tiba-tiba

tubuh mereka masuk dalam cekalan sebuah tangan

aneh, kuning coklat dan ditumbuhi duri-duri panjang!

Di lain kejap ketiga orang itu dibawa melesat meng-

gelinding ke arah timur rimba belantara Lahitamkelam!Setan Ngompol menjerit terkencing-kencing. Naga

Kuning walau takut setengah mati tapi masih bisa

memaki panjang pendek. Wiro sendiri yang telah men-

cium adanya bahaya besar dan saat itu masih me-

megang Kapak Maut Naga Geni 212, tanpa perdulikan

arah atau apa yang dihantamnya segera saja bacokkan

senjata mustikanya.

 "Wuuuttt!"

 "Craassss!"

 Ada suara benda putus disusul jeritan aneh, se-

tengah jeritan manusia setengah gerengan binatang.

Dia membabat sekali lagi. Namun kali ini cekalan di

tubuhnya seperti menghancur luluhkan tulang 

belulangnya. Wiro terkulai mengerang kesakitan. Kapak

Maut Naga Geni 212 hampir saja terlepas dari 

pegangannya.

 Tiba-tiba gerak menggelinding berhenti. Wiro dan

kawan-kawannya yang masih berada dalam cekalan

mengeluh tinggi, terhuyung nanar. Penglihatan mereka

bukan saja samar tapi juga nanar.

 "Wiro.... Apa sebenarnya yang terjadi dengan diri

kita?!" Naga Kuning buka suara.

 "Di mana kita berada.... Mana Lakasipo?!" tanya

Setan Ngompol.

 Sekonyong-konyong cekalan di tubuh ketiga

orang itu terlepas. Tapi mereka bukan dilepas baik-

baik melainkan dilemparkan ke tanah di antara 

gundukan-gundukan batu.

 "Mati aku!" jerit Naga Kuning yang terbanting 

tertelentang. Lalu mengerang tapi juga memaki di sela-

sela erangannya.

 "Pecah kantong menyanku!" jerit Setan Ngompol

terus beser. Waktu jatuh dia tertelungkup dan bagian

bawah perutnya tepat menghantam jendolan batu!

 Wiro sendiri merasa pinggulnya sebelah kanan

seolah remuk. Terhuyung-huyung dia bangkit berdiri.

Tapi belum sempat tegak, pemuda ini jatuh terduduk

dengan muka pucat dan mata mendelik. Seumurhidupnya dia belum pernah melihat makhluk sedahsyat 

ini. Entah setan alas atau jin dedemit yang tegak di de-

pannya. Sosok makhluk ini kurus jangkung. Hanya

mengenakan sehelai cawat kulit kayu. Badannya ber-

warna kuning termasuk sepasang matanya. Sekujur

tubuhnya mulai dari kepala, muka, tubuh sampai ke

kaki penuh ditumbuhi duri-duri panjang tajam seperti

bulu landak! Saat itu Naga Kuning dan Setan Ngompol

telah pula melihat kehadiran makhluk ini. Keduanya

langsung melompat bergabung dengan Wiro, gemetar

ketakutan setengah mati!

 "Kawan-kawan..." bisik Wiro. "Jangan-jangan ini

makhluk yang oleh Lakasipo disebut Hantu Jatilandak.

Penguasa rimba Lahitamkelam. Kaki tangan Hantu

Muka Dua!"

 "Celaka! Mati kita semua! Pasti kita akan dikunyah-

nya mentah-mentah!" kata Setan Ngompol sambil ter-

kencing-kencing.

 "Tiga manusia cebol setinggi lutut!" Tiba-tiba

makhluk yang tubuhnya ditumbuhi duri dan bukan lain

adalah Hantu Jatilandak berucap. Suaranya membuat

seantero tempat bergetar dan sosok Wiro serta kawan-

kawannya jadi bergoyang-goyang. "Apakah kalian yang

datang dan berasal dari negeri seribu dua ratus tahun

mendatang?!"

 "Eh, bagaimana dia bisa tahu asal usul kita!" bisik

Naga Kuning. "Hati-hati menjawab. Kalau salah jawab

kita bertiga bisa langsung dikeletusnya seperti cabe

rawit!"

 Wiro menjura sehormat mungkin. "Makhluk gagah

bertubuh dahsyat, kami bertiga memang berasal dari

negeri seribu dua ratus tahun lebih tua dari negeri ini.

Namun kami bertiga merasa sangat rendah berhadapan

denganmu. Aku bernama Wiro, kakek ini biasa di-

panggil dengan julukan si Setan Ngompol. Dan anak

satu ini bernama Naga Kuning. Apakah benar saat ini

kami berhadapan dengan makhluk hebat bernama

Hantu Jatilandak?

Dua puluh duri di kepala Hantu Jatilandak berjingkrak

tegang. Kumis dan sepasang alisnya mencuat.

"Siapa yang memberi tahu siapa diriku?!" Hantu Jati-

landak bertanya garang lalu meludah ke tanah.

 "Claaapp!"

 Ludahnya yang berwarna kuning mendarat tepat

di puncak hidung si Setan Ngompol! Si kakek memaki

panjang pendek. "Hantu sialan! Mengapa mukaku yang

kau ludahi! Mana kuning! Mana bau! Huh!" Seperti

mau muntah kakek ini cepat seka ludah di hidungnya

itu. Sambil menahan geli melihat apa yang terjadi Wiro

menjawab pertanyaan Hantu Jatilandak tadi.

 "Kami hanya menduga. Lagi pula makhluk 

sehebatmu siapa yang tidak pernah mendengar?" jawab

Wiro pula.

 Hantu Jatilandak mendengus lalu kembali meludah. 

"Aku mendengar orang-orang negeri kalian pandai

bicara bermanis-manis. Padahal dalam hati punya

maksud busuk! Mengapa kalian datang ke pulau ini?

Siapa makhluk yang amblas ke dalam lobang 

jebakan?!"

 "Kami datang mencari seseorang untuk minta

pertolongan. Pertolongan agar kami bisa kembali ke

negeri kami. Mengenai orang-orang yang masuk ke

dalam lobang jebakan, dia adalah saudara angkat kami.

Namanya Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu...."

 Seringai mencuat di mulut Hantu Jatilandak. Lalu

mengumandang gelak tawanya membahana, meng-

getarkan seantero kawasan berbatu-batu. "Ternyata

semua cocok dengan takdir! Ha... ha... ha!"

 "Takdir, takdir apa maksudmu Hantu Jatilandak?"

tanya Wiro.

 "Takdir bahwa saat ini juga kalian akan meregang

nyawa. Kepala kalian akan kupotes satu demi satu!

Darah kalian akan kuperas dan kumasukkan ke dalam

lobang batu di atas sana! Itulah takdir atas diri kalian!"

 Wiro dan kawan-kawannya langsung menggigil.

"Kami tidak berbuat kejahatan di atas pulau ini! Kamitidak punya permusuhan denganmu. Mengapa kau

inginkan jiwa kami. Malah hendak melakukan kekejian

gila terhadap mayat-mayat kami! Memotes kepala

kami! Lalu memasukkan darah kami ke dalam lobang

batu! Mengapa sekejam itu? Untuk apa?!" Suara murid

Sinto Gendeng keras tapi gemetar.

 "Sudah kubilang! Kematian kalian adalah takdir!

Darah kalian juga takdir!"

 Sambil tekap bagian bawah perutnya yang sudah

basah kuyup si Setan Ngompol memandang berke-

liling. "Kita harus segera cari kesempatan melarikan

diri. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Dalam

gelap kita punya kesempatan. Wiro, pergunakan ilmu

Menembus Pandang yang kau miliki...."

 Baru saja si kakek berkata begitu tiba-tiba terdengar 

suara bergerubukan seolah ada makhluk berat

melangkah di tanah. Menoleh ke kiri Setan Ngompol

hampir terpekik. Di sampingnya tahu-tahu telah men-

dekam seekor landak raksasa. Mulutnya terbuka lebar.

Taring-taringnya mencuat siap untuk menerkam. Lang-

sung kakek ini melosoh ke tanah, basah kuyup lagi di

bawah perutnya!

 "Landak raksasa..." desis Naga Kuning dengan

tenggorokan seolah tercekik. "Wiro, lihat... ada satu

lagi di sebelah sana! Kita tak mungkin melarikan diri!"

 Wiro melirik ke kiri. Apa yang dikatakan Naga

Kuning benar adanya. Seekor landak raksasa lagi

mendekam hanya tiga langkah di sampingnya. 

Binatang yang satu ini pergunakan dua kaki belakangnya

untuk tegak berdiri sedang dua kaki atasnya terpentang

ke depan laksana sepasang tangan yang siap mencabik-

cabik Wiro dan kawan-kawannya!

 "Jangan berharap kalian bisa melarikan diri!" kata

Hantu Jatilandak lalu meludah ke tanah. Bersamaan

dengan itu dia turun dari gundukan batu, bergerak

mendekati ketiga orang itu Wiro ingat, waktu tadi

tubuhnya digulung dan digelinding dia sempat per-

gunakan Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menghantam putus duri di tubuh Hantu Jatilandak. Kini

dalam keadaan terdesak seperti itu mau tak mau dia

berjibaku mengeluarkan semua ilmu dan kesaktian

yang dimilikinya. Maka sambil melintangkan Kapak

Maut Naga Geni 212 di depan dada dia segera berbisik

pada Naga Kuning.

 "Kita harus melawan mati-matian. Aku akan meng-

hantam dengan kapak sakti serta pukulan Sinar 

Matahari. Kau keluarkan sosok naga yang gambarnya 

ada di dadamu! Katakan pada Setan Ngompol agar dia

menghantam dengan pukulan Setan Ngompol 

Mengencingi Bumi!"

 Naga Kuning mengangguk lalu teruskan bisikan

Wiro pada si kakek. Ketiga orang itu segera kerahkan

tenaga dalam. Namun Hantu Jatilandak tidak terduga

bertindak lebih cepat. Sekali tangannya menyapu maka

ke tiga orang itu kembali amblas masuk dalam 

genggaman tangan kirinya, tak bisa berkutik bahkan 

bernafas pun sulit!

 "Pemuda cebol berambut gondrong! Wahai rupanya 

kau yang jadi otak dari kelompokmu! Kau juga yang tadi 

melukai dan membabat putus duri-duri di tanganku!

Kepalamu akan kupotes lebih dulu!" kata Hantu 

Jatilandak. Lalu ibu jari dan jari telunjuk tangan

kanannya menghunjam ke batok kepala Pendekar 212.

Sekali dua jari itu dipuntir, maka tanggallah leher murid

Sinto Gendeng!

 Di saat sangat genting itu tiba-tiba melesat satu

bayangan disertai bentakan keras. Dua buah benda

bulat menderu di udara.

 "Braaaakkk!"

 Pohon jati besar berduri di samping kanan patah

ialu tumbang bergemuruh.

 "Byaaarrr!"

 Gundukan batu dua langkah di belakang Hantu

Jatilandak hancur berantakan membuat Hantu Jati-

landak berseru kaget, melesat ke atas. Di udara dia

putar tubuhnya lalu hantamkan tangan kanan. Tapikembali dia berteriak terkejut ketika ada satu benda

bulat menyambar membabat ke arah tangannya!

 *

 * *


TIGA BELAS


SEPASANG mata Hantu Jatilandak menyorotkan sinar 

kuning angker. Sekujur duri coklat di kepala dan 

tubuhnya berjingkrak tanda dia berada dalam keadaan 

marah besar. Di hadapannya tegak seorang berambut 

gondrong awut-awutan. Wajah angker dilebati kumis, 

berewok dan janggut. Dua kakinya terbungkus batu 

besar berbentuk bulat. Kaki-kaki inilah tadi yang secara 

ganas mematahkan pohon, menghancurkan batu besar 

dan melabrak ke arah Hantu Jatilandak.

 "Makhluk kesasar berkaki batu! Siapa kau! Berani

mati menyerangku! Injakkan kaki di pulau dan 

memasuki rimba belantara Lahitamkelam!" Hantu 

Jatilandak membentak.

 "Kau tidak tahu siapa diriku! Wahai sebaliknya aku

tahu banyak tentang dirimu! Kudengar kau adalah

makhluk aneh tapi berhati polos. Mengapa kini aku

melihat kenyataan sebaliknya?! Tiga makhluk kecil

yang ada dalam genggamanmu itu adalah saudara-

saudaraku! Jika kau tidak segera melepaskan mereka,

saat ini juga akan kuhancur luluhkan tubuhmu!"

 "Manusia kaki batu! Jangan bicara sombong! Jika

dugaanku betul maka kau adalah manusianya bernama

Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu! Yang ditakdirkan

ikut mampus bersama tiga makhluk katai ini! Ha... ha...

ha...!" Hantu Jatilandak tertawa bergelak lalu meludah

ke tanah. Tiba-tiba Hantu Jatilandak goyangkan 

dadanya. Dua puluh duri landak yang menancap di 

dadanya,laksana paku panjang melesat menyerang dua 

puluh sasaran di kepala dan tubuh Lakasipo.

 "Lakasipo! Awas! Duri-duri itu beracun!" teriak

Pendekar 212 memperingatkan.Mendapatkan dirinya diserang orang serta men-

dengar peringatan murid Sinto Gendeng, Lakasipo

segera jatuhkan diri sama rata ke tanah. Bersamaan

dengan itu dia gerakkan kaki batunya sebelah kanan

dalam gerakan seputar lingkaran. Inilah jurus yang

disebut "Kaki Roh Pengantar Maut'!

 "Traakkk... traakkk... traaakk...!"

 Belasan duri landak mental patah dan hancur.

Enam buah melesat di udara kosong. Namun dua duri

masih sempat menancap di bahu kiri Lakasipo. Serta

merta Lakasipo merasakan tubuhnya panas. Cepat dua

duri landak itu dicabutnya. Darah menyembur. Lukanya

tampak menggembung!

 Enam duri landak yang tidak mengenai sasaran

secara aneh berbalik dan menancap kembali di dada

Hantu Jatilandak. Makhluk ini menggeram marah karena 

sebagian dadanya kini menjadi gundul akibat hancurnya 

duri-duri yang terkena hantaman kaki batu Lakasipo.

 "Celaka! Duri-duri jahanam itu benar-benar beracun! 

Apa yang harus kulakukan!" keluh Lakasipo sambil

menggigit bibir menahan sakit.

 Wiro yang maklum bahaya besar mengancam

Lakasipo segera berteriak. "Lakasipo! Lekas luruskan

dua jari tangan kananmu! Totok urat besar di 

permukaan ketiak kiri! Cepat!"

 Lakasipo segera lakukan apa yangdikatakan murid

Sinto Gendeng. Sementara itu dengan susah payah Wiro 

serta dua kawannya berusaha keluar dari jepitan tangan 

Hantu Jatilandak. Begitu ada kesempatan dia segera 

hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke pergelangan 

tangan kiri Hantu Jatilandak.

 "Craaasss!"

 Hantu Jatilandak seperti disengat kalajengking. 

Sekujur lengannya terasa panas. Darah mengucur dari 

luka di lengan sementara tiga duri landaknya ikut

terbabat putus. Naga Kuning tak tinggal diam. Tangan 

kanannya dicengkeramkan ke telapak tangan Hantu 

Jatilandak. Lalu dia alirkan tenaga dalam dan lepaskanilmu kesaktian yang memancarkan lima larik sinar biru.

Hantu Jatilandak terpekik kesakitan. Di saat yang sama

Naga Kuning kerahkan ilmu pelicin tubuh yang disebut 

ilmu "Ikan Paus Putih". Tubuhnya serta merta menjadi

licin. Laksana seekor belut bocah ini meliuk ke bawah

dan lolos dari genggaman Hantu Jatilandak. Jatuh ke

tanah. Celakanya waktu jatuh dia kecemplung masuk ke 

dalam liang batu berisi air bercampur bubuk bele rang! 

Untung saja dia mampu berenang hingga dengan cepat 

berhasil menggapai pinggiran liang batu. Sekujur

tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki basah 

kuyup dan berwarna kuning!

 Meski sakit kena bacokan Kapak Maut Naga Geni 

212 serta dihantam pukulan sakti Naga Kuning namun 

Hantu Jatilandak masih sanggup mencengkeram dan 

tidak mau lepaskan sosok Wiro dan Setan Ngompol. 

Rahangnya menggembung. Gerahamnya bergemele-

takan. Tangan kanannya siap meremas untuk meng-

hancur luluhkan dua orang itu.

 Pada saat itulah Lakasipo hantamkan dua 

tangannya sekaligus!

 Sepuluh larik sinar hitam menggebubu! Hantu

Jatilandak tersentak kaget. Tapi karena terlalu takabur

menganggap enteng serangan lawan dia tetap berdiri

pentang dada malah siap melesatkan lusinan duri

landak dari muka dan perutnya! Dia tidak sadar kalau

serangan yang dilepaskan Lakasipo alias Hantu Kaki

Batu saat itu adalah "Lima Kutuk Dari Langit' yang

akan membuat tubuhnya menjadi gosong dan meng-

kerut ciut!

 Sesaat lagi sepuluh larik sinar hitam itu akan

menghantam sosok Hantu Jatilandak, satu bayangan

hitam berkelebat laksana kilat mendorong tubuh Hantu

Jatilandak hingga terjungkal roboh dan terguling sampai 

tiga tombak. Sosok Wiro dan Setan Ngompol yang sejak 

tadi berada dalam genggamannya terlepas. Lalu seperti 

yang dialami Naga Kuning, kedua orang ini

menggelinding tercebur masuk ke dalam liang batuberisi air campur bubuk belerang. Ke duanya berubah

menjadi sosok-sosok basah kuyup berwarna kuning!

 "Sialan! Liang apa ini!" memaki Setan Ngompol.

 "Airnya asin kuning! Berbau belerang!" teria k Naga

Kuning. "Lihat! Muka, tubuh dan pakaian kita jadi

kuning semua!"

 "Naga Kuning! Lekas kita keluar dari tempat se-

belum kakek satu ini mencampur air di sini dengan

kencingnya!" teriak Wiro. Setan Ngompol memaki ber-

sungut-sungut. Dia mengikuti dua orang itu memanjat

ke atas liang, naik ke darat.

 Hantu Jatilandak lolos dari hantaman pukulan

"Lima Kutuk Dari Langit1. Sepuluh larik sinar maut itu

kini menghantam sosok yang barusan menolong 

menyelamatkan Hantu Jatilandak.

 "Wuuutttt... wuuutttt! Dessss... desssss! Desssss!"

 Sosok yang kena hantam terjungkal roboh tetapi

sesaat kemudian bergerak bangkit kembali, meman-

dang ke arah Lakasipo dengan dua mata putih aneh

menyorot! Lakasipo, Wiro, Naga Kuning dan Setan

Ngompol sendiri tak kalah kaget dan melototnya. 

Makhluk yang tegak di depan mereka dan tak mempan

dihantam pukulan "Lima Kutuk Dari Langit" itu tertutup

sisik hitam keras laksana baja sekujur kepala, wajah

dan tubuhnya sampai ke kaki. Di mukanya tak kelihatan

hidung ataupun mulut. Yang ada hanya dua buah mata

berbentuk combong kelapa berwarna putih keabu-

abuan.

 "Naga Kuning, Setan Ngompol..." berkata Wiro.

"Jangan-jangan makhluk bersisik ini adalah si Hantu

Sejuta Tanya Sejuta Jawab, guru Hantu Muka Dua yang

kita cari...." Naga Kuning dan Setan Ngompol tak berani

menjawab. Kaget dan kecut mereka masih belum surut.

 Kalau orang bersisik ini bersikap menunggu tak

mau mendahului bergerak ataupun bersuara, maka

lain halnya dengan Hantu Jatilandak. Penuh dendam

dan amarah dia berteriak.

 "Laeruncing! Laelancip! Bunuh makhluk berkakibatu itu!"

 Mendengar perintah Hantu Jatilandak dua ekor

landak raksasa yang sejak tadi berada di tempat itu

keluarkan suara menggembor. Kaki belakang meng-

hunjam ke tanah, kaki depan diluruskan ke depan

pertanda dua binatang ini siap menerkam Lakasipo.

Namun makhluk bersisik angkat tangan kiri memberi

tanda agar dua landak raksasa tidak melakukan se-

rangan.

 "Kek!" teriak Hantu Jatilandak. "Orang hendak

membunuh aku! Kau melarang! Wahai! Apa yang ada

di benakmu!"

 Makhluk bersisik tidak perdulikan teriakan Hantu

Jatilandak. Kembali dia angkat tangannya, menatap

ke arah Lakasipo lalu berkata.

 "Di kawasan Negeri Latanahsilam ini hanya ada

satu orang memiliki ilmu kesaktian bernama Lima Kutuk

Dari Langitl Bukankah kau orangnya yang bernama

Lakasipo berjuluk Bola-Bola Iblis alias Hantu Kaki

Batu?!"

 Lakasipo terdiam sejenak. Matanya menatap penuh 

rasa tak percaya pada makhluk yang tegak di

hadapannya. Sesaat kemudian dia berkata. "Di delapan

penjuru angin negeri Latanahsilam, hanya ada satu

tokoh yang sanggup menahan kekuatan ilmu Lima

Kutuk Dari Langit. Bukankah saat ini aku berhadapan

dengan orang pandai yang disebut dengan nama

Tringgiling Liang Batu?!"

 Makhluk bersisik mengangguk lalu menjura. Lakasipo 

segera berucap.

 "Dunia kita telah banyak berubah rupanya. Puluhan

tahun kau memencilkan diri di pulau ini. Ketika bertemu

ternyata kau menjadi penguasa pulau, memiliki makhluk 

aneh berduri ini serta dua ekor landak raksasa yang

siap membunuhku dan kawan-kawan tanpa salah tanpa

dosa! Apa yang terjadi dengan dirimu wahai Tringgiling

Liang Batu!"

 "Takdir buruk telah terjadi atas diri kami! Kutukkeji dari Peri Negeri Atas Langit telah menimpa cucuku

hingga keadaannya seperti yang kau lihat saat ini..."

jawab Tringgiling Liang Batu.

 "Takdir memang tak bisa ditolak. Mengenai kutuk

Peri Negeri Atas Langit tak ada kuasaku untuk men-

campuri! Tetapi yang menjadi tanda tanya besar, kami

telah mengalami hal-hal aneh sejak menjejakkan kaki

di pulau ini. Bahkan kami hampir menemui kematian

di tangan makhluk aneh yang kau sebut sebagai

cucumu itu!"

 "Kalian bukan hampir mati! Tapi benar-benar segera 

akan mati!" teriak Hantu Jatilandak. Lalu kembali dia 

berseru pada dua ekor landak raksasa untuk segera

membunuh Lakasipo dan tiga manusia katai di tepi

liang batu. Lakasipo cepat menyambar ketiga saudara

angkatnya itu. Ketika melihat sosok Wiro, Naga Kuning

dan Setan Ngompol yang basah kuyup serta penuh

dengan belerang kuning, makhluk bersisik, Hantu 

Jatilandak dan dua ekor landak raksasa keluarkan 

gerengan tertahan dan beranjak menjauh.

 "Aneh, kini mereka seperti ketakutan melihat kita.

Mereka bergerak menjauh! Ada apa? Apa yang 

menyebabkan?" bisik Wiro. Baik Lakasipo maupun Naga

Kuning dan Setan Ngompol walau memang jelas melihat 

keanehan itu tapi tentu saja tidak bisa menjawab.

Wiro usap wajahnya yang basah. Tak sengaja dia

kepretkan tangannya yang basah oleh air bercampur

belerang. Kembali Tringgiling Liang Batu dan Hantu

Jatilandak serta dua landak raksasa bersurut menjauh.

 "Mereka takut pada cipratan air di tubuhku..." kata

Wiro.

 "Kalau cuma air mengapa musti takut! Pasti ada

hal lain yang membuat mereka kecut dan menjauh..."

ujar Setan Ngompol pula.

 "Lakasipo, coba kau melangkah. Dekati mereka..."

kata Wiro.

 Lakasipo menurut. Dia maju dua langkah men-

dekati Hantu Jatilandak. Makhluk berduri ini serta mertamundur tiga langkah. Tringgiling Liang Batu cepat

mengangkat tangannya seraya berseru. "Tahan! Hantu

Kaki Batu, hentikan gerakanmu! Jangan melangkah

lebih dekat!''

 "Sejak semula kami tidak punya niat jahat! Mengapa 

kalian semua seperti melihat setan kepala dua belas?!"

 "Makhluk-makhluk katai yang katamu saudara

angkatmu itu..." kata Tringgiling Liang Batu. "Tubuh

mereka basah oleh air bercampur belerang. Kami...

tubuh kami tidak boleh bersentuhan dengan belerang.

Kami bisa celaka. Mengalami kelumpuhan seumur

hidup bahkan bisa menemui ajal...."

 “Kakek!" Hantu Jatilandak berkata dengan suara

keras. "Kau menceritakan kelemahan sendiri pada

musuh! Manusia berkaki batu ini pasti akan mudah

membunuh kita semua!"

 "Eh, kau dengar makhluk berduri itu memanggil

makhluk bersisik kakeknya," bisik Wiro pada dua 

kawannya. "Yang aku ingin tahu bagaimana tampang ibu

bapak makhluk itu. Apa berduri juga. Kalau betul

berduri lalu bagaimana lahirnya? Apa tidak nyangkut

di pojokan bawah dekat hik... hik... hik!"

 "Wiro!" sentak Setan Ngompol. "Kita berada dalam

bahaya. Mengapa kau masih bisa bicara tidak karuan!

Jangan-jangan kau yang bakal matiduluan. Orang mau

mati biasanya memang suka ngomong aneh-aneh!"

 "Kalau mereka mau membunuh kita, kurasa kau

yang duluan mereka pesiangi Kek!" sahut murid Sinto

Gendeng. "Habis kau paling jelek dan bau pesing! Hik...

hii... hik!" Wiro tertawa cekikikan. Naga Kuning pencet

hidung sendiri agar tidak tersembur tawanya.

 Sepasang mata combong Tringgiling Liang Batu

menatap ke arah Lakasipo seolah sadar kekeliruannya.

Namun melihat tak ada perubahan di wajah manusia

berkaki batu ini, dan juga setelah melirik pada Wiro

dan dua kawannya, dalam hati Tringgiling Liang Batu

berkata. "Sampai saat ini aku belum menganggap

makhluk berkaki batu ini sebagai musuh. Hanya sajaaku masih belum tahu apa maksud kedatangannya

bersama tiga makhluk katai itu ke sini." Setelah menatap

Lakasipo sejurus, makhluk bersisik lantas berkata.

 "Tadi kudengar tiga manusia cebol saudaramu itu

menyebut nama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.

Makhluk itu adalah guru Hantu Muka Dua! Apa hubungan 

kalian dengan Hantu Muka Dua dan Hantu Sejuta Tanya 

Sejuta Jawab!"

 "Hantu Muka Dua adalah musuh besarku wahai

Tringgiling Liang Batu. Dia punya rencana jahat 

terhadapku dan sejak lama ingin membunuhku! Kami

mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab adalah untuk

meminta tolong. Agar tiga saudara angkatku ini bisa

dibesarkan tubuhnya seperti sosok kita. Atau kalau

tidak agar mereka bisa dikembalikan ke negeri mereka

alam seribu dua ratus tahun dari sekarang. Menurut

petunjuk, Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab bisa mem-

beri tahu di mana beradanya sebuah batu sakti pembalik 

waktu. Hanya dengan batu itu mereka bisa kembali

ke negeri mereka...."

 "Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tidak ada di pulau 

ini! Kalian kesasar ke tempat yang salah!"

 "Kalau begitu kami minta petunjukmu!" kata Wiro

setengah berteriak agar suaranya bisa didengar. 

Sebelum Tringgiling Liang Batu menjawab Hantu Jati-

landak mendahului berkata.

 "Kek, sesuai perintah Hantu Muka Dua, kita harus

menguras darah tiga manusia katai ini dan memasuk-

kannya ke dalam lobang di atas batu sana. Kalau kita

gagal memenuhi perintah, celaka kita semua! Hantu

Muka Dua pasti akan memendam kita dalam liang batu

berisi air bercampur belerang itu!"

 Terkejutlah Lakasipo, Wiro, Naga Kuning dan Setan 

Ngompol mendengar kata-kata Hantu Jatilandak itu. Si 

kakek terus saja basah celananya.

 "Makhluk berduri, mengapa Hantu Muka Dua inginkan 

darah kami bertiga?" tanya Pendekar 212.

 Hantu Jatilandak tak segera menjawab melainkanmemandang dulu pada Tringgiling Liang Batu. Si kakek

anggukkan kepala lalu berkata. "Ceritakan pada mereka

semua. Agar tidak ada rahasia dan curiga tersembunyi

antara kita wahai cucuku Jatilandak."

 Mendengar kata-kata si kakek maka Hantu 

Jatilandak lalu menuturkan.

 "Di bawah ancaman belerang jahanam itu, kami

semua tidak berdaya. Tidak mungkin menolak perintah

kecuali kami mau mati percuma! Hantu Muka Dua

memiliki sebilah keris berluk tiga yang belum diberi

gagang.... Menurutnya jika senjata itu dicelup dalam

darah kalian bertiga selama tiga bulan purnama maka

keris itu akan menjadi satu senjata bertuah sakti man-

draguna. Tak satu kekuatan pun sanggup melawannya.

Bahkan para Peri dan para Dewa akan tunduk padanya!

Dia akan menjadi Raja Di Raja Segala Hantu di Negeri

Latanahsilam!"

 "Jahanam keji! Wahai! Rencana jahatnya itu harus

dibikin gagal!" kata Lakasipo pula. "Ada di antara kalian

yang punya akal rencana?!"

 Tak satu pun yang bisa segera menjawab. Setan

Ngompol termonyong-monyong. Naga Kuning gem-

bungkan rahang. Hantu Jatilandak keretakkan jari-jari

tangannya tanda geram. Sepasang landak raksasa

mendekam keluarkan suara menggeram sementara

Tringgiling Liang Batu mendongak ke langit yang mulai

gelap. Wiro garuk-garuk kepala lalu bertanya. "Apa di

pulau ini ada kelinci atau ayam hutan?"

 "Anak geblek! Apa hubungannya maksud jahat

Hantu Muka Dua dengan ayam hutan dan kelinci?!

Kau mau mengundangnya makan ayam dan kelinci

panggang?!" berujar si Setan Ngompol.

 "Tenang Kek! Otakmu memang tidak begitu encer

lagi! Kalau dibarengi sikap mengomel pasti tambah

butek!" kata murid Sinto Gendeng pula. Lalu dia ber-

tanya pada makhluk bersisik. "Tringgiling Liang Jam-

ban...."

 "Bangsat! Mulutmu keliwat menghina kurang ajar!Kakekku bernama Tringgiling Liang Batu! Bukan 

Tringgiling Liang Jamban!" Hantu Jatilandak menghardik

lalu meludah ke tanah, membuat Lakasipo, Naga Kuning 

dan Setan Ngompol membuang muka menahan geli. Si 

Tringgiling Liang Batu sendiri yang mukanya tertutup 

sisik tebal tak kelihatan wajahnya apakah marah atau 

bagaimana. Tapi dari tenggorokannya keluar suara 

menggereng.

 Wiro garuk-garuk kepala. "Maafkan aku!" katanya

pada Hantu Jatilandak. Lalu dia ajukan pertanyaan

pada makhluk bersisik. "Menurutmu Hantu Muka Dua

akan datang tepat bulan purnama mendatang. Kira-kira

kapan bulan purnama muncul di pulau ini?!"

 "Jika aku tak salah hitung masih tiga hari dimuka,"

jawab Tringgiling Liang Batu.

 "Berarti kita masih punya waktu banyak untuk

melakukan penyambutan!" kata murid Sinto Gendeng

pula.

 "Penyambutan bagaimana maksudmu?! Kita tak

mungkin melawannya! Apalagi kalau dia sampai mene-

barkan bubuk belerang!" berucap Hantu Jatilandak.

 "Sobatku Hantu Jatilandak! Kau tenang saja. Biar

kami yang mengatur," jawab Wiro. Lalu dia berpaling

pada Lakasipo. "Harap kau segera mencukur kumis,

janggut dan berewokmu!''

 "Buat apa?!" tanya Lakasipo. "Aku tidak mau!"

 "Kalau kau tidak mau melakukan sendiri, biar dua

ekor landak itu yang akan mengunyah habis janggut

kumis serta cambang bawukmu!"

 "Wahai! Sialan kau Wiro!" rutuk Lakasipo. "Kalau

kau mau gila, gila sendiri saja. Jangan mengajak

orang!"

 Wiro menyengir. Tanpa perdulikan gerutuan Lakasipo 

dia berkata pada dua sobatnya.

 "Sobatku Naga Kuning dan Setan Ngompol! Kita

bertiga bersihkan liang batu itu dari bubuk belerang.

Lalu mandi membersihkan diri ke laut! Apa kalian tidak

sadar kalau tampang kaitan kuning semua sepertidisedu dengan kunyit?! Ha... ha... ha!"

 *

 * *


EMPAT BELAS


SUASANA di timur pulau terasa tidak seperti

biasanya. Deburan ombak dikejauhan seolah tertahan 

oleh gaung suara angin yang terdengar aneh. Kegelapan 

malam menutupi kawasan bebukitan yang dikelilingi 

pohon-pohon jati rapat berduri. Saputan awan hitam di 

langit perlahan-lahan bergeser tertiup angin, membuat 

rembulan empat belas hari menyeruak muncul. Suasana 

perlahan-lahan menjadi terang.

 Beberapa saat berlalu tanpa terjadi suatu apa. Di

bagian yang berbukit batu, Tringgiling Liang Batu tegak

rangkapkan tangan di depan dada. Sisik di muka dan

tubuhnya tampak mencuat pertanda dia berada dalam

keadaan tegang. Tiga langkah di sampingnya men-

dekam Laeruncing dan Laelancip. Lalu agak jauh dari

tempat itu, dalam kegelapan di antara gundukan batu

dan pohon-pohon jati tergeletak tiga sosok tubuh kecil.

 Di bagian yang lain, di balik bayangan sebuah batu

besar duduk bersila satu sosok seorang perempuan. Dia

duduk menghadap ke arah liang batu. Tangan di atas

paha, mata terpejam seolah tengah bersemadi.

 Dari sela-sela pohon jati berduri tiba-tiba menyeruak 

muncul satu sosok tinggi yang hanya mengenakan cawat 

dan tubuhnya dipenuhi duri-duri panjang lancip 

berwarna coklat. Dia bukan lain adalah Hantu 

Jatilandak. Orang ini melangkah tanpa suara mendekati 

makhluk bersisik. "Kek, menurutmu apakah Hantu Muka 

Dua benar-benar datang malam bulan purnama ini? 

Jangan-jangan dia menipu kita!"

 "Dia punya kepentingan. Dia pasti datang. Kita

tunggu saja dan kuharap kau tetap berwaspada wahai

cucuku...."Baru saja Tringgiling Liang Batu berkata begitu

tiba-tiba berkelebat satu bayangan hitam dan tahu-tahu

laksana seekor elang malam dia hinggap di gundukan

batu tinggi, tepat di depan lobang batu yang digenangi

cairan merah.

 Orang ini bukan lain adalah si makhluk bermuka

dua yakni Hantu Muka Dua. Sepasang matanya sebelah

depan memandang tajam ke dalam lobang yang di-

genangi cairan merah.

 "Hemmm.... Memang kulihat ada darah di dalam

lobang!" Wajah Hantu Muka Dua depan belakang yang

berupa lelaki separuh baya menyeringai. Dia melirik

tajam pada Tringgiling Liang Batu lalu sesaat perhati-

kan Hantu Jatilandak.

 "Kalian berdua harap mendekat!" Hantu Muka Dua

memerintah.

 Makhluk bersisik dan makhluk berbulu duri landak

segera mendekati Hantu Muka Dua.

 "Wahai Hantu Muka Dua, aku dan cucuku sudah

melakukan apa yang kau perintahkan. Lobang yang

kau buat di dalam batu itu telah kupenuhi dengan darah

tiga manusia cebol bernama Wiro Sableng, Naga Kuning 

dan Setan Ngompol!"

 Hantu Muka Dua kembali menyeringai. Dari dua

bola matanya yang berwarna hijau dan berbentuk segi

tiga membersit sinar aneh. "Ada darah di dalam lobang

batu! Pertanda niat besar akan menjadi kenyataan.

Keris tak bergagang akan menjadi senjata bertuah!

Tak ada tandingan di delapan penjuru angin. Negeri

Latanahsilam akan berada dalam genggam kekuasaan-

ku! Wahai! Hantu Muka Dua akan menjadi Raja Di Raja

Negeri Latanahsilam! Ada darah ada nyawa yang 

terbang! Ada yang mati berarti ada mayat! Wahai 

Tringgiling Liang Batu! Wahai Hantu Jatilandak! Aku ingin 

melihat dimana mayat tiga manusia cebol yang telah 

kalian pesiangi dan kucurkan darahnya ke dalam lobang 

batu itu!"

 Hantu Jatilandak melirik sekilas pada kakeknyalalu menunjuk ke arah deretan pohon di kegelapan.

"Mayat mereka aku tumpuk di sebelah sana. Silahkan

kau memeriksa sendiri wahai Hantu Muka Dua!"

 Hantu Muka Dua tatap sesaat tampang Hantu

Jatilandak. Lalu dia melesat ke arah yang ditunjuk. Di

tanah, di antara semak belukar dan pepohonan me-

mang dia melihat tiga sosok katai tergeletak tak ber-

gerak. Pada bagian lehernya terdapat garis hitam se-

perti darah mengering.

 "Aku sendiri menggorok leher mereka dengan

duri-duri di tanganku!" kata Hantu Jatilandak.

 "Bagus! Tidak sia-sia aku memberi perintah pada

kalian kakek dan cucu!" Hantu Muka Dua memandang

berkeliling. Tangannya siap mengeluarkan keris luk

tiga untuk dimasukkan ke dalam lobang berisi darah.

Namun tiba-tiba dia ingat sesuatu. "Kalian berhasil

membunuh tiga manusia katai dari alam seribu dua

ratus tahun mendatang itu! Lalu bagaimana dengan

orang bernama Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu?!

Aku tidak melihat dirinya sejak tadi!"

 "Maafkan kami wahai Hantu Muka Dua. Hantu Kaki

Batu berhasil melarikan diri ketika kami sergap. Dia

menghancurkan patung-patung kayu serta pohon-pohon 

jati. Dia melarikan diri dalam keadaan terluka parah.

Sekali lagi kami mohon maafmu." Menjawab Tringgiling

Liang Batu.

 "Hemmm, begitu?" ujar Hantu Muka Dua. Sepasang 

pandangan matanya sebelah depan membentur liang 

batu yang sebelumnya menjadi sarang makhluk bersisik 

itu. 'Mataku belum lamur, apa lagi buta! Tapi aku sama 

sekali tidak melihat bubuk kuning belerang di dalam 

liang ini! Apa yang terjadi?!"

 "Dua hari lalu turun hujan lebat. Mungkin bubuk

belerang itu ikut hanyut terbawa aliran air hujan..." yang

menjawab sang kakek makhluk bersisik.

 "Aneh! Tujuh puluh tahun silam aku pernah menebar 

bubuk belerang. Tak pernah dihanyutkan hujan. Atau 

mungkin selama tujuh puluh tahun hujan tidakpernah turun di pulau ini?! Ha... ha... ha! Lalu hanya

dua hari lalu ada hujan turun katamu! Dan bubuk

belerang sirna tiada berbekas seperti tiupan angin!

Wahai! Sungguh aneh!"

 Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak saling

melempar pandang. Mereka mulai gelisah karena 

khawatir jangan-jangan Hantu Muka Dua sudah 

mencium ada yang tidak beres.

 "Wahai Hantu Muka Dua, cucuku tidak berkata

dusta!" berkata Tringgiling Liang Batu. "Kalaupun bubuk 

belerang itu lenyap, kurasa tidak ada sangkut pautnya 

lagi dengan diri kami. Bukankah kami telah

menjalankan perintahmu? Kau tinggal memasukkan

keris bertuah milikmu ke dalam genangan darah di

dalam lobang batu. Kami akan menjaganya sampai

tiga kali purnama. Setelah itu kami berharap kau tidak

akan mengganggu kami lagi!"

 Hantu Muka Dua manggut-manggut. "Jadi selama

ini rupanya kalian merasa terganggu! Wahai! Mulai

saat ini akan kupertimbangkan apakah aku masih

merasa perlu mengganggu kalian atau tidak!" Lalu

Hantu Muka Dua cemplungkan keris berluk tiga tanpa

gagang yang sejak tadi dipegangnya ke dalam lobang

batu berisi genangan darah.

 "Ha... ha... ha! Makhluk bersisik dan makhluk

berduri! Keris bertuah sudah kumasukkan ke dalam

cairan darah. Tapi wahai! Ketahuilah! Percuma aku

memiliki dua muka, dua otak dan empat mata kalau

tidak bisa berpikir dan melihat jauh ke muka! Walau

kalian sudah melaksanakan tugas dan keris luk tiga

sudah kumasukkan ke dalam genangan darah tapi

sampai tiga purnama yang akan datang aku tidak akan

melepaskan kalian begitu saja!"

 "Apa maksudmu Hantu Muka Dua? Apa kau akan

mengingkari janji seperti dulu lagi?!" tanya Hantu Jati-

landak.

 "Bagi Hantu Muka Dua tidak berlaku apa yang

dinamakan janji. Yang berlaku adalah tipu, keji dannafsu! Dan kalian berada di bawah kekuasaanku! Harus

tunduk padaku! Aku mau lihat apa kalian berani me-

nantang jika aku sebarkan lagi bubuk belerang di

tempat ini!"

 "Hantu Muka Dua! Memang tidak percuma kau

dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu!

Aku tidak suka pada makhluk sepertimu! Selagi 

rembulan masih bersinar, selagi jalan menuju ke pantai

masih terang, mengapa kau tidak lekas angkat kaki

dari pulau ini?!"

 Terkejutlah Hantu Muka Dua mendengar ucapan itu. 

Karena orang yang bicara adalah sosok yang duduk

di samping batu besar. Di hadapannya, mulai dari

pangkuan sampai tanah selebar satu kali dua tombak

tertutup oleh daun-daun dan rerumputan kering. 

Suaranya walau agak parau tapi menyerupai suara 

perempuan. Hantu Muka Dua melirik pada Tringgiling

Liang Batu dan Hantu Jatilandak. Dua orang ini tampak

tenang-tenang saja. Hantu Muka Dua segera maklum

ada yang tidak beres. Dua mukanya depan belakang

langsung berubah menjadi muka-muka raksasa berkulit 

merah! Dia membentak.

 "Wahai! Ada seorang perempuan gendeng rupanya

di tempat ini! Tringgiling Liang Batu! Siapa perempuan

yang duduk di samping batu besar itu!"

 "Dia adalah istriku wahai Hantu Muka Dua! Terlahir

tak bernama tapi dijuluki Hantu Monyong Penggali

Liang kubur...."

 Hantu Muka Dua kerenyitkan kening lalu tertawa

gelak-gelak mendengar nama perempuan yang duduk

bersila itu hingga perempuan itu perlahan-lahan buka

dua matanya yang sejak tadi terpejam.

 "Nama hebat! Aneh dan lucu! Orangnya kukira

juga rada-rada sedeng! Ha... ha... ha! Wahai Tringgiling,

apa istrimu memang punya pekerjaan sebagai tukang

gali kubur? Ha... ha... ha! "Baru kali ini aku tahu kalau

kau punya istri! Hebatnya lagi dia punya nyali 

menyuruhku pergi dari pulau ini!" kata Hantu Muka Duaseraya melangkah ke dekat batu besar guna melihat

lebih dekat perempuan bernama Hantu Monyong Peng-

gali Liang Kubur itu. Ternyata perempuan ini bertubuh

besar, dadanya dan bahunya lebar. Kulitnya agak

kehitaman. Di telinganya kiri kanan mencantel dua

buah giwang terbuat dari tulang. Wajahnya tertutup

bedak kasar setebal dempul. Alisnya tebal tak karuan

sedang mulutnya selalu menjorok ke depan alias mo-

nyong dengan bibir dipoles sejenis cairan kental ber-

warna merah.

 "Hantu Muka Dua," tiba-tiba perempuan bernama

Hantu Monyong Penggali Liang Kubur berucap. "Pe-

kerjaanku memang tukang gali liang kuburi Terus

terang, wahai akupun sudah menyiapkan satu liang

kubur untukmu! Jika kau berkenan cepat-cepat ingin

masuk ke dalamnya. Hik... hik... hik! Silahkan...!"

 Habis berkata begitu Hantu Monyong Penggali

Liang Kubur lalu singkapkan rumput dan daun kering

di depannya. Maka kelihatanlah satu lobang besar

seukuran kubur manusia!

 Empat mata Hantu Muka Dua depan belakang

mendelik besar, merah laksana saga!

 "Perempuan bedebah keparat! Kau kira siapa dirimu! 

Suami dan Hantu Jatilandak saja tunduk padaku!

Apa kau lebih hebat dari mereka?! Kau yang akan

kupendam lebih dulu dalam liang itu!"

 "Aku memang lebih hebat dari dua orang yang

kau sebutkan itu Hantu Muka Dua! Kau boleh mem-

bunuh mereka semudah membalik telapak tangan!

Tapi apa kau punya nyali membunuhku seorang 

perempuan?! Hik... hik... hik!"

 Tersentaklah Hantu Muka Dua mendengar ucapan

Hantu Monyong Penggali Liang Kubur itu. Dia baru

ingat kalau dirinya punya satu pantangan besar yakni

tidak boleh membunuh perempuan! Hantu Muka Dua

menggeram marah. Dia segera merapal aji pukulan

"Hantu Hijau Penjungkir Roh" lalu menghantam ke arah

Hantu Jatilandak karena dia tahu pukulan sakti itu tidaksanggup menciderai apa lagi membunuh Tringgiling

Liang Batu. Maka dia memilih membunuh Hantu Jati-

landak lebih dulu. Namun Hantu Jatilandak yang telah

siap waspada sejak tadi-tadi, begitu melihat Hantu

Muka Dua gerakkan tangan secepat kilat melompat ke

balik batu besar.

 "Braaakkk... byaaarrr!"

 Gundukan batu besar hancur lebur dan berubah

menjadi hijau lembek seperti lumpur! Walau tengkuknya

menjadi dingin namun Hantu Jatilandak tidak tinggal

diam. Dari atas dia dorongkan dua tangannya ke bawah.

Puluhan duri runcing di sekujur kedua tangannya 

melesat menyambar ke arah Hantu Muka Dua! Yang 

diserang menggerung keras lalu pukulkan tangan 

kanannya ke atas. Sambil memukul pergelangan tangan 

diputar demikian rupa hingga telapak menghadap ke 

atas ke arah Hantu Jatilandak. Deru angin laksana 

punting beliung menerpa keluar dari telapak tangan 

Hantu Muka Dua disertai berkiblatnya sinar merah.

 "Pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk

Kerak Bumi!" teriak Tringgiling Liang Batu. "Jatilandak

lekas menghindar!" Lalu makhluk bersisik ini gerakkan

tubuhnya. Sisik-sisik yang ada di tubuhnya mencuat

ke atas. Bersamaan dengan itu puluhan paku hitam

melesat ke arah Hantu Muka Dua!

 Mendapat serangan puluhan duri dan paku bernama 

"Paku Iblis Liang Batu" Hantu Muka Dua terpaksa

batalkan serangannya. Telapak tangan kirinya dikem-

bangkan lalu dipukulkan ke tanah. Satu gelombang

angin mengeluarkan cahaya hitam berputar laksana

gasing, membuat tubuh Hantu Muka Dua melesat

setinggi tiga tombak ke udara tapi terbungkus dalam

gulungan cahaya hitam itu! Inilah ilmu kesaktian yang

disebut "Neraka Berputar Roh Menjerit!" Suara putaran

cahaya terdengar menggidikkan laksana jeritan puluhan 

makhluk yang tidak kelihatan.

 "Tring... tringgg... tringgg!" Paku-paku hitam 

serangan Tringgiling Liang Batu bermentalan. Beberapadi antaranya menghantam sosok Laeruncing dan Lae-

lancip sepasang landak raksasa. Binatang ini menguik

keras, kelojotan beberapa kali lalu bergulingan keras

jauhkan diri dalam keadaan terluka cukup parah.

 "Traakkk... traakkk... traakkk!"

 Belasan duri sepanjang dua jengkal yang melesat

dari tubuh Hantu Jatilandak berpolantingan hancur

dihantam putaran "Neraka Berputar Roh Menjerit" dan

dengan sendirinya tidak bisa kembali menancap ke

tubuh Hantu Jatilandak.

 "Wuuutttt!"

 Putaran sinar hitam lenyap. Sosok Hantu Muka

Dua tegak sambil tangan kiri berkacak pinggang. Mulut

mengumbar tawa mengekeh sedang di tangan kanan

dia mengangkat tinggi-tinggi sebuah kantong kain

berwarna kuning yang isinya sudah dapat ditebak yakni

bubuk belerang kuning!

 "Hantu Monyong Penggali Liang Kubur! Pantangan

membunuh perempuan memang membuat aku tidak

bisa membunuhmu! Tapi apa artinya hidupmu kalau

dengan bubuk ini aku akan membuat suamimu Tring-

giling Liang Batu dan Hantu Jatilandak menjadi cacat

lumpuh seumur hidup. Sekarat dan menemui ajal

secara perlahan-lahan!"

 Melihat apa yang ada di tangan kanan Hantu Muka

Dua, Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak segera 

melompat, menyelinap ke belakang Hantu Monyong 

Penggali Liang Kubur.

 "Hantu Muka Dua, apa kau bisa melewati mayatku

sebelum mencelakai suami dan cucuku?! Hik... hik...

hik!" ujar Hantu Monyong Penggali Liang Kubur. "Lagi

pula aku khawatir matamu sudah buta, penciumanmu

sudah rusak dan otakmu tidak waras lagi! Apa betul

di dalam kantong kain berbercak kuning itu isinya

adalah bubuk belerang kuning?! Hik... hik... hik...! Coba

kau periksa dulu isi kantongmu!"

 Selagi Hantu Muka Dua terheran tidak mengerti atas

apa yang diucapkan perempuan yang duduk bersila didepan lobang itu tiba-tiba tiga sosok kecil berkelebat dari

balik semak belukar gelap di celah pepohonan.

 Satu cahaya putih menyilaukan disertai suara

menggaung menghantam kaki kiri Hantu Muka Dua

membuat orang ini terlonjak dan berteriak kesakitan.

Kantong kain di tangan kanannya terlepas jatuh. Hampir 

tak kelihatan, dalam gelapnya malam sesosok tubuh

kecil melompat ke udara menyambar kantong kain

berisi bubuk belerang itu lalu menggantikannya dengan

sebuah kantong kain yang juga berwarna kuning tapi

isinya lembek-lembek basah dan menebar bau! 

Sementara itu darah mengucur dari luka di pergelangan

kakinya. Hawa panas menjalar sampai ke mata kaki.

Hantu Muka Dua tidak tahu apa yang barusan 

menyerangnya. Memandang ke bawah dia melihat ada

satu sosok kecil menyelinap ke balik semak belukar.

Selain itu tadi dia juga masih sempat melihat satu

bayangan kecil menyambar dan tahu-tahu kantong

kainnya yang jatuh lenyap entah kemana. Ketika Hantu

Muka Dua hendak memandang sosok kecil yang 

menyelinap di balik semak belukar tiba-tiba dari samping

kiri menyemburangin deras yang menebar bau pesing!

 "Tiga makhluk katai jahanam! Pasti mereka!" teriak

Hantu Muka Dua marah. "Tringgiling Liang Batu! Kau

dan cucumu berani mati menipuku!" Seperti tidak

perduli lagi akan pantangannya membunuh perem-

puan Hantu Muka Dua angkat tangan kiri, siap hendak

menghantam dengan pukulan "Mengelupas Puncak

Langit Mengeruk Kerak Bumi." Yang ditujunya adalah

Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu yang saat

itu mendekam berlindung di balik sosok Hantu Monyong

Penggali Liang Kubur. Jika Hantu Muka Dua hendak

membunuh kedua orang itu mau tak mau dia juga akan

menewaskan si Hantu Monyong! Dan ternyata saat itu

Wiro, Naga Kuning serta si Setan Ngompol telah 

menyelinap pula cari selamat di balik sosok perempuan 

itu.

 "Hantu Muka Dua! Rupanya kau telah memilih matibersamaku! Hik... hik... hik! Apa kelak rohmu merasa

betah tergantung antara langit dan bumi? Hik... hik...

hik! Apa kau melupakan begitu saja rencana besarmu

hendak menjadi raja di raja segala Hantu di Negeri

Latanahsilam ini? Hik... hik... hik! Apa kau akan 

melupakan begitu saja segala kesenangan dunia? 

Meninggalkan gadis-gadis cantik peliharaanmu. 

Membiarkan Luhjelita kekasihmu jatuh ke tangan lelaki 

lain?Kalau aku laki-laki wahai! Pasti Luhjelita akan 

kujadikan gendakku seumur hidup! Hik... hik... hikk!"

 Empat mata Hantu Muka Dua yang merah seperti

saga laksana mau melompat keluar dari rongganya.

Bibirnya yang tebal membuka menggeletar mencuatkan 

taring-taringnya.

 "Kalian jahanam semua! Tringgiling Liang Batu!

Hantu Jatilandak! Ingat baik-baik! Negeri Latanahsilam

memang luas. Tapi bisa juga sesempit genggaman

tanganku! Tidak akan sulit bagiku untuk mencari dan

membunuh kalian! Dan kalian tiga makhluk katai 

keparat! Jangan harap kalian bisa kembali ke negeri

kalian! Daging dan tulang kalian akan kucincang untuk

santapan guruku Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!"

 Habis berkata begitu Hantu Muka Dua berteriak

dahsyat sambil menggebuk dada lalu putar tubuhnya.

Tapi mendadak dia ingat pada kantong kain di tangan

kanannya. Ketika dia perhatikan dia segera sadar kan-

tong itu bukan kantong yang berisi bubuk belerang

miliknya semula. Tapi sebuah kantong berisi cairan

yang dari baunya jelas isinya adalah kotoran manusia!

 "Jahanam sial dangkalan! Wahai! Siapa yang punya 

pekerjaan!" teriak Hantu Muka Dua menggeledek.

Kantong kain dibantingkannya ke tanah.

 Hantu Monyong, Tringgiling Liang Batu, Hantu

Jatilandak, Wiro serta Naga Kuning dan Setan Ngompol

tertawa terkekeh-kekeh.

 "Jahanam! Aku bersumpah akan menguliti kalian

semua! Dan kau Hantu Monyong! Kelak kau akan

menjadi penghuni Ruang Obor Tunggal di Istanakuyang baru! Kau akan kusiksa, seumur hidup kau akan

menderita! Mati tidak hiduppun tidak!" Hantu Muka

Dua lantas putar tubuhnya.

 "Wahai! Mengapa pergi terburu-buru Hantu Muka

Dua!" Hantu Monyong Penggali Liang Kubur berkata.

"Apa kau tidak mengambil dulu keris luk tiga milikmu

yang tadi kau cemplungkan dalam lobang batu berisi

darah?!"

 "Mungkin dia takut! Bukankah darah dalam lobang

itu adalah darah ayam hutan betina semua?!" kata Wiro

pula.

 "Jahanam keparat! Kalian semua tunggulah 

pembalasanku!" ucap Hantu Muka Dua dengan rahang

menggembung.

 Saat itu sepasang kodok hijau besar melompat-

lompat dariarah kegelapan. Dari atas tumpjkan rumput

kering dua binatang yang tengah bermesraan ini tiba-

tiba melompat ke pangkuan Lakasipo. Karuan saja lelaki

ini jadi tersentak kaget dan gemetaran menahan geli.

 "Wahai! Sialan!" maki Lakasipo.

 "Ada apa?" tanya Pendekar 212.

 "Ada sepasang kodok besar masuk ke dalam

selangkanganku! Aku tak kuasa menahan geli!"

 "Biar kuambil. Kulempar keluar!" kata Naga Kuning.

 "Jangan! Kalau lagi bermesraan kodok-kodok itu

sangat buas! Gigitannya beracun sekali!" kata Lakasipo

dan tubuhnya tergoncang-goncang menahan geli.

 "Celaka! Dia kawin di bawah perutku! Aku benar-

benar tidak tahan! Aduh... anuku!" Akhirnya karena tak

tahan lagi Lakasipo berterik keras lalu melompat tegak.

Keadaannya ini membuat Hantu Muka Dua melihat

jelas sosok bagian bawah Lakasipo, termasuk dua

buah batu besar yang membungkus sepasang kakinya!

 "Bangsat penipu! Wahai! Hantu Banci! Jadi kau

Hantu Kaki Batu Lakasipo adanya!" teriak Hantu Muka

Dua. Sekali berkelebat kaki kanannya menghantam dada

Lakasipo hingga orang ini jatuh terjengkang 

tertelentang.Sebelum Lakasipo sempat bergerak bangkit, Hantu Muka

Dua sudah injak tubuh lelaki itu dengan dua kakinya.

Tangan kanannya diangkat ke atas siap melepas pukulan

maut "Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi"

sedang tangan kiri didorongkan untuk hantamkan 

pukulan "Hantu Hijau Penjungkir Roh"!

 Dalam keadaan dan kejadian yang sangat cepat itu

baik Tringgiling Liang Batu, Hantu Jatilandak, serta Wiro

dan kawan-kawannya tak mampu memberi pertolongan.

 Hantu Muka Dua menyeringai. "Selamat jalan ke

alam roh wahai Lakasipo!" katanya. Dua tangannya ber-

gerak. Tapi tiba-tiba gerakannya tertahan. Mata Hantu

Muka Dua menatap membeliak ke arah lengan atas

sebelah dalam tangan kanan dekat ketiak Lakasipo.

 "Wahai! Apa tidak salah apa yang aku lihat ini?!"

ujar Hantu Muka Dua dalam hati. Bibirnya bergetar,

dadanya seolah mau meledak akibat debaran keras

yang tiba-tiba muncul. "Tanda bunga dalam lingkaran..." 

desis Hantu Muka Dua. Muka raksasanya yang

sebelumnya merah mendadak sontak berubah menjadi

dua wajah kakek yang pucat pasi. "Tidak mungkin!

Tidak mungkin!" kata Hantu Muka Dua setengah 

berteriak. Lalu tanpa menunggu lebih lama makhluk ini

putar tubuh, melesat ke arah kegelapan dan lenyap

ditelan kelamnya malam!

 "Apa yang terjadi...?!" bertanya Tringgiling Liang 

Batu.

 Lakasipo bangkit berdiri sambil pegang perutnya

yang sakit bekas injakan Hantu Muka Dua. "Jelas dia

hendak membunuhku. Tapi tidak jadi...."

 "Dia berkali-kali menyebut kata-kata tidak mungkin. 

Apa gerangan yang tidak mungkin?" kata Naga

Kuning pula.

 "Mungkin tadinya dia naksir padamu Lakasipo.

Tapi setelah tahu kau ternyata laki-laki dia jadi kecewa

besar. Itu sebabnya dia berucap tidak mungkin ber-

ulang kali!" kata pendekar 212 Wiro Sableng pula.

 Sosok Hantu Monyong Penggali Liang Kubur aliasLakasipo tiba-tiba keluarkan suara tawa bergelak. 

"Wahai! Nama yang kau berikan padaku wahai Pendekar

212 membuat aku terpaksa terus-terusan 

memonyongkan mulut! Lalu getah pohon yang kau 

poleskan sebagai bedak di mukaku ini! Wahai, mau 

regang seperti besi rasanya kulit wajahku! Dan sepasang 

kodok celaka yang kawin di selangkanganku itu!"

 Semua orang yang ada di situ tertawa gelak-gelak.

Naga Kuning menyikut Wiro dan Setan Ngompol. "Lihat

si Hantu Jatilandak itu! Tidak sangka pohon hidup itu

bisa juga tertawa!"

 "Yang aku ingin tahu apa anunya juga ditumbuhi

duri landak! Hik... hik... hik!" kata Wiro pula. "Seram

sekali. Kurasa dedemitpun ngeri kawin dengannya!

Ha... ha... ha!" Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol

tertawa gelak-gelak.

 "Wahai! Apa yang kalian ketawakan?' tanya Lakasipo.

 "Anu.... Ngggg.... Sepasang kodok yang tadi kawin

di selangkanganmu itu. Kalau si kodok betina bunting

dan punya anak, anaknya tampangnya pasti miripmu!

Ha... ha... ha...!" Kembali tempat itu dipenuhi gelak

tawa berkepanjangan. Hanya Lakasipo seorang yang

tampak cemberut termonyong-monyong.

 "Sudah! Jangan monyong lagi!" teriak Wiro. "Peranmu 

sebagai perempuan monyong sudah selesai! Ha... ha... 

ha... ha!"

 "Sialan! Satu hari akan kubalas perlakuanmu ini

Wiro!" kata Lakasipo seraya mengikis sisa-sisa getah

pohon yang masih tebal menutupi mukanya.

 Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ingat sesuatu. "Hai!

Bagaimana dengan keris sakti tanpa gagang yang tadi

dicemplungkan Hantu Muka Dua ke dalam cairan darah

di lobang batu?!"

 "Betul?! Senjata sakti itu ditinggalkannya begitu

saja!" ujar Naga Kuning.

 "Biaraku ambil! Lumayan!" kata si Setan Ngompol

pula.

 Tringgiling Liang Batu si makhluk bersisik geleng

kan kepala. "Hantu Muka Dua makhluk Segala Tipu,

Segala Keji, Segala Nafsu! Dia tahu gelagat. Aku tidak

yakin dia benar-benar memasukkan keris asli sakti

bertuah itu ke dalam lobang darah. Kalau tidak percaya

silahkan periksa sendiri!"

 Setan Ngompol yang ingin sekali dapatkan keris

sakti itu segera melompat lebih dulu. Dia membungkuk

di tepi lobang batu yang dipenuhi dengan darah ayam

hutan betina lalu tangannya dimasukkan ke dalam.

 "Aku dapat!" seru si kakek sesaat kemudian seraya

tarik keluar tangannya dari lobang. Dia kini memang

kelihatan memegang sebilah keris luk tiga tanpa gagang.

"Benar-benar senjata sakti. Enteng sekali 

dipegangnya...."

 "Wahai! Karena benda itu bukan asli dan tidak

terbuat dari besi. Tapi cuma tiruannya yang terbuat

dari kayu!" kata Tringgiling Liang Batu.

 Penuh rasa tidak percaya si Setan Ngompol remas

keris yang dipegangnya. "Kraaaakkk!" Benda itu remuk

dalam genggamannya. "Sialan! Aku tertipu!" maki si 

kakek, langsung jatuh terduduk dan pancarkan air 

kencing!


TAMAT

PENULIS : BASTIAN TITO

CREATED : MATJENUH CHANNEL

blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com



Segera terbit

RAHASIA BAYI TERGANTUNG







Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive