DI ATAS RUNTUHAN BATU KARANG SAAT ITU BERDIRi
SATU SOSOK TINGGI KURUS BERWUJUD
MANUSIA YANG HANYA MENGENAKAN SEHELAI CAWAT
KECIL TERBUAT DARI KULIT KAYU. SEKUJUR TUBUHNYA,
MULAI DARI UBUN- UBUN SAMPAI KE
KAKI MENYERUPAI WARNA POHON JATI. NAMUN
DITUMBUHI BULU-BULU TEBAL KERAS DAN PANJANG
SERTA RUNCING SEPERTI BULU LANDAK. SEPASANG
MATANYA DITEDUHI DUA ALIS HITAM TEBAL DIBAWAH
HIDUNGNYA YANG SELALU KEMBANG KEMPIS MENEKUK
KUMIS LEBAT. DAUN TELINGANYA PANJANG DAN LEBAR,
JUGA DITUMBUHI DURI-DURI SEPERTI BULU LANDAK.
SESEKALI DIA MELUDAH KE TANAH. LUDAHNYA
BERWARNA KUNING PEKAT!
"MAKHLUK BERBULU LANDAK! WAHAI! TIDAK DAPAT
TIDAK KAU PASTILAH MAKHLUK YANG TUJUH PULUH
TAHUN SILAM KUBERI NAMA HANTU JATILANDAK!"
MAKHLUK DI ATAS BATU TIDAK BERGERAK DAN
TIDAK BERKESIP. HANYA DARI TENGGOROKANNYA
TERDENGAR SUARA MENGGEMBOR. LALU SEPERTI
TADI DIA MELUDAH KE TANAH.
"HANTU MUKA DUA! AKU SUDAH TAHU SIAPA DIRIMU
DARI KAKEKKU TRINGGILING LIANG BATU!
AKU TIDAK SUKA KEHADIRANMU DI PULAU INI! LEKAS
KEMBALI KE PERAHUMU! TINGGALKAN PULAU! ATAU
SEKUJUR TUBUHMU AKAN KUTABURI DENGAN DURI
BERACUN!"
SATU
LAUT tenang. Tiupan angin pada layar membuat
perahu kecil itu meluncur laju di permukaan air laut.
Lelaki bertubuh kekar berambut gondrong yang
mukanya ditumbuhi janggut, kumis dan cambang
bawuk lebat duduk di bagian haluan. Dua kakinya
terbungkus batu berbentuk bola yang beratnya puluhan
kati. Namun anehnya perahu kecil itu tidak terjungkat
ke belakang oleh beratnya dua bola batu itu. Lelaki ini
duduk tak bergerak, memandang tak berkesip ke depan.
Dia adalah Lakasipo, bekas Kepala Negeri Latanahsilam
bergelar Bola-Bola Iblis namun lebih dikenal dengan
berjuluk Hantu Kaki Batu.
Di bagian depan perahu sosok manusia aneh yang
tingginya hanya sebatas lutut Lakasipo duduk saling
berpegangan. Di wajah masing-masing jelas terlihat
rasa gamang dan khawatir yang amat sangat. Dengan
keadaan tubuh mereka sebesar itu, meluncur cepat di
atas perahu dan memandang berkeliling hanya
hamparan laut yang kelihatan tentu saja ketiganya
menjadi ngerl. Malah kakek yang di ujung kanan sejak
tadi terduduk dengan mulut terkancing mata mendelik
dan tengkuk dingin sementara dari bawah perutnya
mengucur air kencing tak berkeputusan.
Tiga manusia cebol yang ada di bagian depan
perahu itu bukan lain adalah si kakek julukan Setan
Ngompol, bocah bernama Naga Kuning dan Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
"Sebenarnya aku tidak suka dengan perjalanan
ini!" berkata Naga Kuning.
"Aku juga!" kata Setan Ngompol.
"Tapi kau yang memaksa aku agar ikut kek! Padahalaku sudah ada rencana menemui Luhkimkim, gadis
di Latanahsilam itu!"
"Kita sudah ada di atas perahu dan dalam per-
jalanan. Mengapa baru sekarang kalian berkata tidak
suka!" menjawab Wiro. "Tapi masih ada kesempatan
untuk kembali! Apa kalian berdua bisa berenang?"
"Eh, apa maksudmu Pendekar 212?" tanya Setan
Ngompol.
"Mencebur ke dalam laut dan berenang kembali
ke daratan Latanahsilam!"
"Kau bicara tidak pakai pikiran!" kata Setan Ngompol
dengan muka cemberut.
Naga Kuning berkomat-kamit lalu berpaling ke
bagian belakang perahu. "Lakasipo! Kau yang pertama
sekali merencanakan perjalanan ini!"
Lakasipo yang sejak tadi memandang ke depan,
alihkan pandangannya pada tiga manusia cebol di
bagian depan perahu. "Betul sekali wahai saudaraku
Naga Kuning! Tapi jangan lupa. Semua ini atas petunjuk
berdasarkan cerita Peri Angsa Putih. Kita semua
menyetujui sama-sama berangkat! Lalu sekarang apa
lagi?!"
"Menurutmu, apakah kita benar-benar bisa men-
cari dan menemui makhluk bernama Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab Ku?" tanya Wiro.
"Betul," ucap Setan Ngompol. "Laut seluas ini, kita
harus mencari satu pulau yang kita tidak tahu dimana
letaknya, tak tahu apa namanya. Hanya ada petunjuk
samar!"
"Turut cerita Hantu Muka Dua adalah makhluk
Jahat luar biasa. Kalau dia seperti itu, gurunya tentu
lebih jahat lagi. Dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
ini adalah guru Hantu Muka Dua! Kita semua pasti
celaka!"
"Coba kalian timbang-timbang," kata Setan Ngonv
pol menyambung ucapan Naga Kuning tadi. "Peri
Angsa Putih tahu cerita itu dari kakeknya si Hantu
Tangan Empat. Menurutku Hantu Tangan Empat tidakbegitu suka pada kita bertiga. Jangan-jangan dia se-
ngaja mengarang cerita untuk mencelakai kita semua!"
Wiro garuk-garuk kepala. Apa yang dikatakan teman-
temannya itu mungkin betul adanya. Dia berpaling
memandang ke arah Lakasipo. Lalu kembali terdengar si
Setan Ngompol berkata. "Lakasipo, selagi belum
terlambat ada baiknya kau memutar haluan. Kita
kembali ke Latanahsilam!"
"Kalian semua seolah takut melihat bayangan sen-
diri. Bukankah perjalanan ini kita lakukan demi untuk
mencari jalan agar kalian bertiga bisa kembali ke negeri
kailan? Bukankah hanya Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab itu satu-satunya tempat bertanya? Hantu Tangan
Empat sudah kita coba. Dia tak bisa menolong. Kita
sudah berusaha mencari Batu Sakti Pembalik Waktu.
Tidak berhasil. Ini adalah petunjuk terakhir yang harus
kita tempuh. Kalau kalian memaksa mau kembali apa
sulitnya bagiku memutar haluan!" Lakasipo celupkan
tangan kanannya ke dalam air laut, siap untuk merubah
haluan.
"Tunggu!" ujar Pendekar 212 Wiro Sableng. "Peri
Angsa Putih tidak akan menipu kita. Hantu Tangan
Empat walau kita tidak tahu pasti hatinya tapi kurasa
juga tidak punya maksud mencelakai kita. Yang jadi
pertanyaan sekarang, seandainya kita berhasil me-
nemui guru Hantu Muka Oua, apakah dia benar-benar
mau menolong kita? Jangan perjalanan gila ini hanya
menghasilkan satu kesia-siaan!"
"Turut riwayat yang pernah kudengar puluhan
tahun silam," kata Lakasipo pula, "Sebenarnya Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab itu adalah seorang sakti
berhati polos! Otaknya dipenuhi berbagai ilmu penge-
tahuan. Hantu Muka Dua kemudian mempergunakan
kesempatan. Secara licik dia mencari tahu apa-apa
yang harus dilakukannya agar bisa menjadi Raja di
Raja Segala Hantu di Latanahsilam. Begitu dia men-
dapatkan apa yang dimaunya, sang guru lalu dibuatnya
menjadi tidak berdaya. Dibawa dan dikucilkan di sebuah pulau yang menurut Peri Angsa Putih adalah
pulau pertama sehari perjalanan ke arah tenggara.
Kalaupun kita tidak berhasil, menurut hematku berbuat
sesuatu adalah lebih baik dari pada tidak melakukan
apa-apa sama sekali. Kecuali jika kalian memang tidak
benar-benar ingin kembali ke negeri kalian. Kau
misalnya Naga Kuning. Mungkin kau memilih tetap
tinggal di Latanahsilam karena sudah terpikat dengan
Luhkimkim. Dan kau kakek Setan Ngompol juga sama
karena sudah kecantol pada nenek yang dandanannya
menor acak-acakan bernama Luhlampiri itu. Bagai-
mana dengan kau Wiro?!"
Ditanya begitu Pendekar 212 jadi menyeringai
sambil garuk-garuk kepala.
"Mungkin dia terpikat pada Peri Sesepuh yang
bertubuh besar gembrot membal dan suka ngongkong
itu!" Yang menjawab Naga Kuning lalu bocah ini tertawa
cekikikan. "Hik... hik... hik!" Setan Ngompol ikut-ikutan
geli sambil pegangi bawah perutnya.
"Aku menuruti jalan pikiranmu Lakasipo," Murid Sinto
Gendeng berkata, membuat Naga Kuning dan Setan
Ngompol jagi cemberut. "Buruk dan baik nasib kita di
kemudian hari belum dapat dipastikan. Berharap tanpa
berusaha adalah bodoh! Kita teruskan perjalanan!"
"Naga Kuning dan Setan Ngompol! Kalian sama
mendengar keputusan saudara kita Wiro Sableng, Mu-
lai sekarang jangan ada diantara kita yang terus-terusan
merasa bimbang mengadakan perjalanan ini!"
Baru saja Lakasipo berkata begitu tiba-tiba langit di
atas laut tampak berubah mendung. Dari selatan angin
kencang bertiup mengeluarkan suara mengerikan.
Ombak besar mulai bergulung-gulung di kejauhan.
Perahu kecil yang ditumpangi keempat orang itu
terbanting kian kamari. Wiro dan Naga Kuning dicekam
rasa takut. Setan Ngompol mulai terkencing-kencing
lagi.
"Topan badai menyerang laut!" seru Lakasipo.
Kalian bertiga lekas ke sini!"Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol cepat lari
mendatangi Lakasipo. Oleh Lakasipo ketiga orang ini
segera diselipkannya di balik sabuk kulit yang melilit
di pinggangnya. Lalu dengan cepat dia menurunkan
layar perahu untuk menghindari terpaan angin. Dengan
kedua tangannya yang dipergunakan sebagai dayung dia
mengayuh. Perahu meluncur pesat. Namun hantaman
angin dan ombak raksasa membuat perahu itu mencelat
lima tombak ke udara. Ketika jatuh ke permukaan laut,
kembali ombak besar menghantam. Perahu hancur
berkeping-keping. Sosok Lakasipo yang diberati dua
bola batu langsung tenggelam ke dalam amukan air taut.
Dia kerahkan tenaga dalam untuk melenyapkan gaya
berat pada dua kakinya. Secara luar biasa Lakasipo
berhasil membuat dua kakinya yang terbungkus bola-
bola batu mengambang di atas permukaan laut yang
dilanda badai itu. Namun setiap kali dia coba menaikkan
tubuhnya ke atas, hantaman ombak atau terpaan angin
selalu membuat dia kembali tenggelam. Berulang kali
dicoba tetap saja sia-sia. Dalam keadaan habis tenaga
Lakasipo akhirnya jatuh pingsan dan roboh tenggelam
ke dalam air.
*
* *
Ketika Lakasipo sadar didapati dirinya terkapar
tertelentang di atas pasir pantai. Dia mencoba bangkit
namun tak berhasil. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan
tulang-tulangnya seolah bertanggalan dari persendian.
Memandang ke atas dilihatnya langit biru disaputi
cahaya kekuningan. Dia tak dapat menduga apakah
saat itu pagi atau menjelang sore. Tiba-tiba Lakasipo
ingat pada tiga saudara angkatnya. Dia meraba ke
pinggang. Hatinya lega begitu menyentuh tiga sosok
tubuh cebol. Setelah mengumpulkan seluruh tenaga
akhirnya Lakasipo berhasil bangkit dan duduk di atas
pasir. Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol memang
masih terikat dibalik sabuk kulitnya. Namun ketiga
orang ini terkulai tak bergerak.
"Jangan-jangan mereka mati semual" pikir Lakasipo.
Dengan cepat dia tanggalkan ikat pinggangnya. Begitu
ikatan lepas tiga sosok tubuh itu jatuh bergulingan ke
atas pangkuannya. Masih tetap tidak ada satupun yang
bergerak. Pucatlah wajah Lakasipo.
*
* *
DUA
“CELAKA!" membatin Lakasipo. Satu persatu
dimbilnya ketiga sosok cebol itu. Diperiksa dan
didekatkannya ke telinganya. Dia masih bisa
mendengar detak-degup jantung walaupun perlahan.
"Wahai...." Lakasipo pegang Setan Ngompol dan
Naga Kuning di tangan kiri. Tangan kanan mencekal
sosok Wiro Sableng. Ketiga orang itu dipegangnya
kaki ke atas kepala ke bawah. Perlahan-lahan air laut
mengucur keluar dari mulut mereka. Masih belum puas
Lakasipo tempelkan perut ketiga orang itu ke dadanya.
Begitu dia menekan, Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol sama keluarkan suara seperti orang muntah.
Air kambali mengucur keluar. Lalu ketiganya terdengar
batuk-batuk. Penuh perasaan lega Lakasipo baringkan
ketiga orang itu di atas pasir.
Wiro yang pertama sekali sadar, membuka mata
lalu bangkit dan duduk. Dia merasa ngeri melihat
ombak yang bergulung lalu memecah di pasir pantai.
Mengingat-ingat apa yang terjadi dia lalu berpaling
pada Lakasipo dan bertanya, sementara Naga Kuning
dan Setan Ngompol telah mulai siuman dan memandang
kian kemari dengan muka pucat. Ketika mendengar
deburan ombak di pasir pantai keduanya jadi ketakutan
dan berdiri terhuyung-huyung.
"Lakasipo! Kita berada di mana?!" bertanya murid
Sinto Gendeng.
Lakasipo memandang berkeliling. Ketika dia mem
buka mulut hendak menjawab, yang keluar dari
mulutnya bukan suara tapi semburan air laut! Celakanya
muntahan air itu jatuh mengguyur ketiga orang yang
ada di depannya. Setan Ngompol memaki panjangpendek. Naga Kuning menyumpah-nyumpah. Wiro
sendiri menggerutu habis-habisan dan cepat seka
mukanya yang terguyur muntahan.
"Untung cuma air, tidak bercampur dengan yang
lain-lain! Sialan betul!" Wiro mengomel.
"Saudara-saudaraku, maafkan aku! Aku tak se-
ngaja...."
"Kalau bicara jangan menghadap kami! Kulihat
perutmu buncit tanda masih banyak air di dalamnya!"
teriak Naga Kuning.
Lakasipo batuk-batuk. Benar saja. Dari mulutnya
kembali menyembur air. Untung dia mendengar per-
ingatan Naga Kuning tadi. Waktu muntahnya menyem-
bur dia palingkan mukanya ke samping hingga air yang
dimuntahkannya tidak menyirami ketiga orang Ku.
Wiro memandang ke arah barat. Dia melihat sosok
mentari tengah menggelincir menuju titik tenggelamnya.
"Lakasipo, kulihat sebentar lagi matahari segera
tenggelam. Malam akan tiba. Lekas kau mencari tahu
di mana kita berada saat ini...."
Lakasipo memandang berkeliling. "Tak bisa aku
menduga wahai Wiro. Melihat pada bentuk pantai yang
membelok di ujung kiri dan kanan agaknya kita berada
di satu pulau...."
"Pulau tempat kediaman guru Hantu Muka Dua?"
tanya Naga Kuning.
"Lagi-lagi aku tak bisa menduga wahai sahabatku...."
"Kalau begitu kita harus segera bergerak mencari
tahu. Paling tidak sebelum malam tiba kita ada tempat
untuk berlindung!" kata Wiro pula lalu berdiri dan
mendahului melangkah dan meninggalkan tempat itu.
Lakasipo cepat mengangkat Wiro, Naga Kuning dan
Setan Ngompol. Sambil melangkah dia berkata.
"Di sebelah sana ada deretan panjang pohon-
pohon besar. Kita akan menyelidik ke sana...."
Begitu sampai di deretan pohon-pohon yang tadi
dilihatnya di kejauhan, Lakasipo hentikan langkah,
memandang dengan muka mengernyit."Pohon-pohon aneh! Tumbuhnya rapat sekali! Dan
dipenuhi duri mulai dari ranting sampai ke batang!"
Berseru Wiro yang ada dalam dukungan Lakasipo.
Lakasipo maju mendekat. "Kau betul Wiro. Seumur
hidup baru sekali ini aku melihat pohon-pohon seperti
Ini. Bentuknya seperti pohon jati. Tapi mengapa ditum-
buhi duri-duri panjang. Tumbuhnya juga rapat. Jika
tidak hati-hati sulit bagi seseorang bisa lolos di antara
dua pohon...."
"Di belakang deretan pohon-pohon itu hanya ada
kegelapan menghitam," berkata Setan Ngompol. "Saat
Ini masih siang. Kalau malam tiba pasti sangat gelap
Di sebelah sana. Tangan di depan mata mungkin tak
bisa kelihatan...."
Lakasipo tampak diam seolah tengah berpikir.
"Lakasipo, mengapa kau diam saja?!" bertanya
Naga Kuning.
"Wahai! Aku tengah menghubungkan ucapan-
ucapan kalian dengan satu riwayat yang pernah ku-
dengar..." jawab Lakasipo. "Pohon-pohon jati berduri
seperti duri bulu landak. Rimba belantara hitam gelap.
Kelam.... Ini semua mengingatkan aku pada dua hal.
pertama Jatilandak. Kedua hutan Lahitamkelam."
"Jatilandak itu, nama orang atau apa?" bertanya Wiro.
"Nama Hantu. Hantu Jatilandak. Salah satu dedengkot
Hantu. Tapi kabarnya dia berada di bawah kekuasaan
dan taklukan Hantu Muka Dua!" Menerangkan Lakasipo.
"Jangan-jangan pulau ini adalah pulau kediamannya
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, gurunya Hantu Muka
Dua! Berarti kita sudah berada di pulau tujuan!" kata
Naga Kuning setengah berseru.
"Ssst.... Jangan bicara terlalu keras," kata Lakasipo.
"Kita belum bisa memastikan berada di pulau apa. Tapi
dugaanku ini bukan pulau kediaman guru Hantu Muka
Dua. Aku lebih yakin ini adalah pulau sarangnya Hantu
Jatilandak...."
"Lakasipo," kata Wiro sambil pukulkan tangannya
ke dada lelaki yang dikenal dengan julukan Hantu Kaki
Batu itu. "Di sebelah sana kulihat ada dua pohon yang
tumbuh lebih renggang. Mungkin ada jalan atau mung-
kin kita bisa menemukan petunjuk di tempat itu."
Lakasipo memandang ke arah yang ditunjuk Wiro.
Memang benar. Tidak seperti di tempat lain dimana
semua pohon jati berduri tumbuh sangat rapat, di
sebelah sana ada dua pohon, diikuti pohon-pohon lain
di deretan sebelah belakang, tumbuh lebih jarang satu
sama lain. Segera saja Lakasipo melangkah cepat
menuju tempat itu.
"Duukk... duukkk... duuukkkk!"
Langkah-langkah kaki batu Lakasipo menghunjam
di pasir pantai. Mengeluarkan suara keras dan meng-
getarkan seantero tempat.
"Wahai! Kita memang bisa lewat di sini! Kelihatannya
ini jalan setapak yang sengaja dibuat orang." Berkata
Lakasipo begitu sampai di antara dua pohon jati besar
yang tumbuh renggang. Demikian juga deretan pohon-
pohon di sebelah belakang,
"Berarti pulau ini ada penghuninya!" kata Wiro pula.
"Betul, yaitu Hantu Jatilandak..." jawab Lakasipo.
"Apakah makhluk bernama Hantu Jatilandak ini
Jahat atau baik?" tanya Naga Kuning.
"Tak dapat kupastikan. Yang jelas dia adalah se-
tengah manusia setengah binatang. Manusia seperti
kita bisa saja dijadikan mangsa, dikunyah dan ditelan
bulat-bulat. Kita harus berhati-hati!"
Si kakek Setan Ngompol langsung terkencing
mendengar kata-kata Lakasipo itu.
Lakasipo melangkah melewati dua pohon jati ber-
duri di sebelah depan. Walau pohon-pohon itu tumbuh
renggang namun dia harus berhati-hati. Dia berusaha
agar tubuhnya jangan sampai tergurat oleh ujung-ujung
duri yang tumbuh berserabutan di sekujur batang
pohon. Apa lagi kalau duri-duri itu mengandung racun
jahat yang bisa mencelakai dirinya bahkan mungkin
bisa membunuh!
Hati-hati Lakasipo terus bergerak. Dia melewatideretan pohon jati kedua, ketiga dan keempat. Pada
deretan kelima di mana keadaan mulai agak suram
Lokasipo hentikan langkahnya. Matanya memandang
tak berkesip ke depan. Dia melihat satu keanehan.
Keanehan mana juga dilihat oleh tiga sosok cebol yang
ada dalam dukungannya.
Pohon-pohon jati di kiri kanan pada deretan kelima
dan seterusnya tidak lagi berbentuk pohon jati berduri
tapi lebih menyerupai patung kayu bertampang seram
setinggi satu setengah kali tinggi Lakasipo. Patung-
patung ini berdiri berjajar demikian rupa, membentuk
barisan seolah memagari jalan kecil yang ada di sebelah
tengah.
"Aneh," bisik Wiro pada Naga Kuning dan Setan
Ngompol. "Bagaimana ada patung di tempat seperti
ini. Siapa yang membuat dan menyusunnya begitu
rupa. Aku yakin jumlahnya puluhan, mungkin ratusan!"
"Aku ada firasat kita mulai menghadapi bahaya
besar Wiro," balas berbisik Setan Ngompol dengan
suara bergetar dan menekan bagian bawah perutnya
kencang-kencang agar tidak ngompol.
"Lakasipo, apa yang hendak kau lakukan? Tetap
di sini, atau kembali ke pantai. Atau kau akan terus
melangkah melewati patung-patung itu!" Bertanya Mu-
rid Sinto Gendeng. Diam-diam dia .kerahkan tenaga
dalam ke tangan kanan, menghimpun kesaktian ilmu
pukulan Sinar Matahari. Dibanding dengan keadaan-
nya dulu yang sosoknya hanya sebesar jari, kini ber-
ubah menjadi sebesar betis, dia merasa lebih leluasa
mengerahkan kesaktiannya. Paling tidak jika diserang
atau dilepaskannya akan lebih hebat dari pada waktu
dia hanya sebesar jari.
"Menurutku jalan antara deretan patung ini menuju
ke satu tempat. Aku memilih bergerak maju melewati-
nya. Bagaimana pendapatmu?" Bertanya Lakasipo.
"Aku setuju kita jalan terus. Tapi hati-hati. Coba
kau perhatikan. Patung-patung kayu jati itu bukan
patung biasa. Setiap persendiannya dibuat demikianrupa seperti persendian manusia hidup. Berarti patung-
patung kayu itu bisa berputar atau bergerak pada
bagian leher, tangan, pinggang dan kaki!"
"Astaga! Wahai! Kau memang betul Wiro. Jika kau
tidak memberi tahu hal itu tidak sempat menjadi per-
hatianku. Jadi memang aku, kita semua harus berhati-
hati. Awas, kalian semua pasang mata pasang telinga.
Aku mulai bergerak melangkah!"
"Dukk... duukkk!"
Gerakan langkah kaki Lakasipo menggetarkan
tanah. Patung-patung kayu tampak bergoyang.
Lakasipo maju dua langkah. Dia melewati patung
kayu deretan pertama di kiri kanan. Ketika dia hampir
sampai pada deretan patung kayu kedua tiba-tiba
terdengar suara berkereketan. Tangan-tangan patung
pada deretan kedua itu bergerak ke atas lalu dengan
cepat turun ke bawah mengemplang ke arah batok
kepala Lakasipo!
Lakasipo berseru kaget, cepat dia membungkuk
rundukkan kepala. Baru saja dia berhasil selamatkan
diri tiba-tiba terdengar teriakan Wiro.
"Lakasipo! Awas di belakangmu!"
Lakasipo cepat berpaling. Astaga! Ternyata dua
patung pada deretan pertama yang barusan dilewatinya
tengah melancarkan tendangan. Satu mengarah
pinggang, satu menerabas ke arah kaki!
Lakasipo cepat menghindar selamatkan diri. Dia
berhasil berkelit dari tendangan yang menghantam ke
arah pinggang. Namun kasip menghindari tendangan
yang menghajar kakinya.
"Bukkk!"
Tendangan kaki kayu mendarat di kaki kanan
lakasipo. Walau kaki itu diselubungi batu yang beratnya
puluhan kati tapi tetap saja kaki itu terpental dan tak
ampun lagi Lakasipo jatuh terbanting di tanah. Di saat
yang sama tiga patung lainnya sama-sama mengangkat
kaki lalu serentak dihunjamkan ke perut, dada dan
kepala Lakasipo."Celaka!" seru Wiro. Dia berteriak. "Lakasipo! Lekas
kau buat gerakan berputar. Pergunakan kaki kirimu
untuk menghantam!"
Walau saat itu kaki kanannya sakit bukan main
namun Lakasipo turuti apa yang dikatakan Wiro. De
ngan mengerahkan tenaga dalam, dalam keadaan
masih terduduk di tanah Lakasipo membuat gerakan
berputar dan menghantam dengan kaki kirinya.
"Wuuuuttttt!"
"Praakkk... praakkk... praaakkk!"
Tiga kaki patung kayu yang barusan siap mem-
bunuhnya hancur berantakan. Tiga patung terpental dan
jatuh berantakan di sela-sela pohon-pohon jati berduri!
Perlahan-lahan sambil memandang berkeliling,
penuh waspada Lakasipo bangkit berdiri.
"Wiro, bagaimana...? Kita terus memasuki deretan
patung-patung kayu ini atau kembali ke pantai?' ber-
tanya Lakasipo.
"Kita kembali saja ke pantai!" menjawab Setan
Ngompol.
"Sudah kepalang tanggung! Kita terus saja!" jawab
Wiro.
'Ya, aku setuju. Kita jalan terus! Lakasipo, kalau
cuma patung kayu kau pasti sanggup menghancurkan
jika mereka kembali menyerang!" kata Naga Kuning
pula.
Lakasipo tetapkan hati. Dia kembali melangkah.
"Duuukkkk... duukkkk!"
* *
Sebelum melanjutkan apa yang terjadi dengan
Lakasipo, Wiro dan Naga Kuning serta si Setan Ngom-
pol di pulau itu, kita kembali dulu pada satu peristiwa
besar di masa beberapa puluh tahun silam dan terjadi
di Negeri Latanahsilam. Negeri 1200 tahun silam....
TIGA
PERI BUNDA menatap rawan dengan sepasang
matanya yang bening tapi suram ke arah timur. Lalu dia
berpaling pada Peri Sesepuh yang bertubuh gemuk luar
biasa dan duduk di kursi batu pualam merah dengan
mata terpejam.
"Peri Sesepuh, aku tahu kau tidak tidur. Wahai apa
yang ada di dalam benakmu?" Menegur Peri Bunda.
Yang ditanya tidak segera menjawab. Tak selang
berapa lama baru terdengar suara Peri Sesepuh. Per-
lahan dan halus.
"Apa yang ada di benakku sama dengan apa yang
ada di benakmu wahai Peri Bunda. Mengapa kau masih
bertanya? Bukankah sejak malam tadi kita berada di
puncak bukit sepi dan dingin ini, meninjau dan men-
duga-duga apa yang kiranya telah dan akan terjadi...."
Perl Bunda mengusap wajahnya yang cantik. Be-
berapa kali dia menghela nafas dalam lalu berkata.
"Malam tadi rembulan muncul dengan warna merah
sepertl darah. Di barat angin bertiup mengeluarkan
suara aneh halus seolah suara seruling yang ditiup
mengantar kepergian roh ke alam atas langit. Di selatan
sayup-sayup terdengar deru gelombang di tengah laut
tapi seolah tidak pernah memecah mencapai pantai
berpasirr. Di utara Gunung Latinggimeru mengeluarkan
suara menggemuruh halus. Mungkin ada dinding gu-
nung yeng retak dan lahar panas mengalir ke luar.
Mungkin gunung itu siap untuk meletus. Lalu di sebelah
timur... sampai saat ini tak ada cahaya kuning ben-
derang. Apakah sang surya tidak akan muncul hari
ini...?"
Perlahan-lahan Peri Sesepuh membuka sepasang
matanya yang sejak tadi dipejamkan. Di tempat terbuka
dan dingin seperti di puncak bukit itu wajahnya yang
gembrot masih saja dibasahi oleh keringat. Dia me-
natap ke ufuk timur. Arah yang dibelakangi Peri Bunda.
"Sang surya tidak pernah mengingkari janji wahai
Peri Bunda. Di ufuk timur dia akan selalu terbit setiap
pagi. Putar tubuhmu. Lihatlah ke timur. Fajar telah
menyingsing. Sang surya telah terbit. Tapi demi segala
Peri dan Dewa, demi semua Roh yang ada di antara
langit dan bumi. Lihatlah wahai Peri Bunda! Mengapa
sinar sang surya terhalang oleh tabir aneh kehitam-
an...?!"
Peri Bunda putar tubuh palingkan kepala. Begitu
matanya memandang ke jurusan timur sana, berubahlah
parasnya. "Kau benar wahai Peri Sesepuh. Sang surya
tak pernah ingkar janji. Dia muncul pagi ini seperti
jutaan pagi sebelumnya. Tetapi ada tabir hitam seolah
menutupi cahayanya yang putih benderang. Pertanda
apakah ini wahai Peri Sesepuh? Apakah benar dugaan
kita berdua. Bayi pencemar segala tuah yang ditunggu
telah lahir malam menjelang pagi tadi?"
"Perasaan dan dugaanku mengatakan begitu...."
"Kalau itu benar telah terjadi, berarti kita harus siap
menghadapi segala nista dan petaka."
Peri Sesepuh anggukkan kepala. "Wahai Peri Bunda,
aku terpaksa harus segera kembali. Para Peri yang lain
harus diberitahu agar mereka juga siap. Kau tetap
di sini. Tunggu kedatangan Peri Angsa Putih membawa
berita."
"Peri Sesepuh, tunggu! Jangan pergi dulu. Nista
dan petaka apakah yang akan menimpa Negeri Atas
Langit sehubungan dengan kejadian lahirnya bayi
pencemar segala tuah itu?"
"Banyak wahai Peri Bunda. Namun tidak semua
bisa ku beritahu padamu. Hanya beberapa saja.
Misalnya, angin tak akan berhembus lagi selama setahun
penuh. Kalaupun masih berhembus angin itu akan
disertai hawa pengap dan bau yang tidak sedap. Air
akan berhenti mengucur dari tempat ketinggian ketempat rendah. Berarti ada kawasan yang bakal men-
derita kekeringan sepanjang tahun. Lalu bunga-bunga
akan menjadi layu. Pucuk tak akan menjadi buah. Buah
yang ada akan jatuh ke tanah dalam keadaan busuk...."
Peri Bunda jadi terdiam mendengar keterangan Peri
Sesepuh itu.
"Aku pergi sekarang.wahai Peri Bunda. Susul aku
jika kau sudah bertemu dan menerima kabar dari Peri
Angsa Putih."
Peri Sesepuh gulungkan kain sutera merah tipis
diseputar dadanya yang tersingkap. Lalu perlahan-
lahan tubuhnya bersama kursi batu pualam, melayang
ke alas, makin tinggi, makin jauh dan akhirnya lenyap
riah pemandangan.
"Heran..." kata Peri Bunda perlahan. "Telah beberapa
kali hal seperti ini terjadi. Mengapa masih ada saja Peri
yang melanggar larangan?"
Perl Bunda tatapkan matanya ke arah timur kembali.
Di lurusan itu keadaan semakin terang namun tabir
hitam masih menutupi pemandangan. Tiba-tiba melesat
sebuah benda aneh yang tidak jelas perwujudannya.
Bersamaan dengan itu menggelegar suara keras
menggaung panjang dan lama.
"Seperti suara tangisan bayi. Tapi juga menyerupai
lolongan srigala...." Peri Bunda usap tengkuknya yang
jadi dingin sementara matanya mengikuti benda yang
melayang di udara. Demikian cepatnya benda ini mele-
sat hingga sebelum sang Peri sempat berkedip benda
itu telah lenyap dari pandangan matanya. "Benda apa
itu wahai gerangan. Aku mencium bau amisnya darah.
Jangan-jangan...."
Belum sempat Peri Bunda menyelesaikan ucapan
hatinya tiba-tiba di atasnya melayang satu benda putih
disertai suara menguik keras. Benda ini dengan cepat
bergerak turun dan ternyata adalah seekor angsa rak-
sasa berwarna putih. Dari atas punggung binatang ini
melompat turun seorang gadis cantik mengenakan
pakaian terbuat dari sejenis kain sutera halus berwarnaputih. Tubuh dan pakaiannya menebar bau harum
semerbak, nyaris menutup keharuman bau tubuh dan
pakaian biru Peri Bunda.
"Wahai Peri Angsa Putih, kau muncul tepat pada
saatnya. Apakah kau datang membawa berita yang
ditunggu-tunggu?"
Peri Angsa Putih, peri cantik bermata biru ang-
gukkan kepala. "Wahai Peri Bunda. Di mana gerangan
Peri Sesepuh?'
"Peri Sesepuh telah lebih dulu kembali. Kau akan
memberi keterangan padaku di sini atau kita sama-
sama menemui Peri Sesepuh?'
"Aku.... Waktuku singkat. Biar kuceritakan saja
padamu apa yang terjadi. Nanti kau saja yang menyam-
paikan pada Peri Sesepuh...."
"Kalau begitu lekas terangkan padaku apa yang
telah terjadi. Benarkah semua dugaan dan kira-kira
sesuai dengan kenyataan yang ada?"
"Memang benar adanya wahai Peri Bunda. Duga
dan sangka tidak jauh meleset dari kenyataan. Pertanda
alam kita dan segala tuah akan tercemar sepanjang
tahun. Mungkin akan ditambah lagi dengan menebar-
nya sejenis penyakit menular."
Berubahlah paras Peri Bunda mendengar kata-
kata terakhir Peri Angsa Putih itu.
"Penyakit menular katamu wahai Peri Angsa Putih?'
Yang ditanya mengangguk.
"Wahai! Peri Sesepuh tidak menyebutkan ihwal
penyakit itu. Bagaimana kau bisa tahu?"
"Kakekku yang memberitahu," jawab Peri Angsa
Putih.
"Maksudmu Hantu Tangan Empat?" tanya Peri
tunda.
Kembali Peri Angsa Putih mengangguk.
"Celakai Apa jadinya kita semua. Apa jadinya
negeri kita."
"Kita harus siap menghadapi apapun yang terjadi
wahai Peri Bunda. Bukankah hal semacam ini sudahbeberapa kali terjadi? Bahkan mungkin....?" Peri Angsa
Pulih tidak teruskan ucapannya.
Perl Bunda yang juga disebut sebagai Simpul Agung
Segala Peri atau Peri Junjungan Dari Segala Junjungan
menatap lekat-lekat ke wajah Peri Angsa Putih.
Pandangan matanya seolah menyelidik jauh ke
balik mata dan jalan pikiran Peri cantik itu.
"Kau tidak meneruskan ucapanmu tadi wahai Peri
Angsa Putih. Apa maksudmu dengan kata-kata Bahkan
mungkin….”
Sesaat Perl Angsa Putih jadi agak terkesiap. Namun
dia segera tersenyum untuk menutupi keterkejutannya
atas pertanyaan yang tidak terduga itu.
"Sudahlah, waktuku tidak banyak. Lagi pula Peri
Sesepuh tentu sangat menantikan kedatanganmu.
Sebaiknya aku segera saja menuturkan apa yang telah
terjadi...."
Tapi Peri Bunda gelengkan kepala.
"Penuturanmu memang penting. Tapi bagiku pen-
jelasanmu atas kata-katamu tadi tak kalah pentingnya.
Wahai, harap kau sudi memberi jawaban atas per-
tanyaanku tadi, Peri Angsa Putih." Setelah berucap
diam-diam dalam hatinya Peri Bunda membatin. "Apa
maksud ucapan kerabatku ini. Jangan-jangan dia me-
ngetahui apa yang ada dalam hatiku.”
Sebaliknya Peri Angsa Putih diam-diam juga men-
jadi gelisah dan berkata dalam hati. "Peri Bunda pasti
telah tahu apa yang akan terjadi di masa puluhan tahun
mendatang. Jangan-jangan dia mencurigai diriku...."
"Peri Angsa Putih, kau belum menjawab. Kau
belum memberi penjelasan."
"Dari pada dia mendesak, lebih baik aku mendesak
duluan!" kata Peri Angsa Putih dalam hati. Maka diapun
berkata. "Hatimu dan hatiku, pikiranmu dan pikiranku,
penglihatanmu ke masa depan dan penglihatanku
rasanya tidak banyak berbeda wahai Peri Bunda. Namun
jika aku salah mohon maafmu. Apa kau sependapat
denganku bahwa dunia kita semakin lama semakinmengalami banyak perubahan? Batas antara kita bangsa
Peri dan manusia di bawah langit semakin tipis laksana
kabut pagi yang mudah pupus ditelan sinar mentari?"
"Peri Angsa Putih! Wahai! Bagaimana kau berani
berkata begitu?!" ucap Peri Bunda setengah berseru.
Dalam hati dia berkata. 'Dugaanku tidak meleset. Dia
bisa membaca jauh ke lubuk hatiku! Daripada menjadi
urusan lebih baik aku mengalah sementara."
"Wahai Peri Angsa Putih, katamu waktumu singkat.
Baiklah. Aku tidak akan mengganggu dengan
pertanyaan-pertanyaan lagi. Segera saja kau ceritakan
apa yang tolah terjadi...."
*
* *
EMPAT
GEROBAK yang ditarik kuda berbulu putih belang
hitam itu berhenti di depan bangunan besar terbuat dari
kayu besi. Saat itu di penghujung malam menjelang
pagi. Perempuan tua yang duduk di samping pemuda
sais gerobak melompat turun. Gerakannya gesit dan
enteng. Di pinggangnya tergantung satu bungkusan
besar. Di depan pintu bangunan dia hentikan langkah,
memandang pada lelaki yang keluar menyambutnya.
Perempuan tua itu ludahkan gumpalan sirih dan
tembakau di dalam mulutnya lalu bertanya.
"Apa aku datang terlambat wahai Lahambalang?"
"Nenek Luhumuntu. Keadaannya gawat sekali. Aku
khawatir...."
Perempuan tua itu tidak menunggu sampai lelaki
bernama Lahambalang menyelesaikan ucapannya. De-
ngan cepat dia masuk ke dalam bangunan, langsung
menuju ke sebuah kamar dari dalam mana terdengar
suara erangan berkepanjangan.
Di ambang pintu kamar si nenek mendadak hentikan
langkah. "Lahambalang! Kegilaan apa yang aku lihat ini!
Siapa yang mengikat tangan dan kakinya!"
"Tidak ada jalan lain Nek! Dia selalu berontak.
Memukul dan menendang. Melihat aku sepertinya dia
hendak membunuhku!"
"Gila dan aneh! Perempuan yang hendak melahirkan
bisa bersikap seperti itu!" Luhumuntu masuk ke dalam
kamar yang diterangi dua buah obor besar. Tiga langkah
dari ranjang kayu kembali gerakannya tertahan.
Di atas tempat tidur kayu itu tergeletak menelentang
seorang perempuan. Wajahnya yang cantik tertutup oleh
keringat serta kerenyit menahan sakit.Dari mulutnya yang terbuka keluar erangan ditingkahi
desau nafas yang membersit dari hidung. Perempuan ini
memiliki perut besar dan tertutup sehelai rajutan rumput
kering. Ketika pandangannya membentur sosok si
nenek, dua matanya membeliak besar dan dari mulutnya
keluar suara menggereng seperti suara babi hutan.
"Tua bangka buruk! Siapa kau?!"
Lahambalang cepat mendekat dan berkata. "Wahai
istriku Luhmintari, nenek ini Luhumuntu, dukun beranak
di Latanahsilam yang akan menolongmu melahirkan
"Menolong aku melahirkan?!" Sepasang mata
perempuan di atas ranjang kayu semakin membesar dan
Wajahnya tambah beringas. "Siapa yang akan
melahirkan?! Aku tidak akan melahirkan!"
"Tenanglah Luhmintari. Orang akan menolongmu...."
"Aku tidak akan melahirkan! Aku tidak butuh
pertolongan! Tidak akan ada apapun yang keluar dari
perutku! Tidak akan ada bayi keluar dari rahimku! Kau
dengar wahai Lahambalang?! Kau dengar nenek buruk
dukun beranak celaka?!" Habis membentak seperti itu
Luhmintari tertawa panjang.
Si nenek dukun beranak jadi merinding. Dia dekati
Lahambalang dan berbisik. "Suara istrimu kudengar lain.
Tawanya kudengar aneh...."
Baru saja Luhumuntu berkata begitu tiba-tiba dari
perut besar Luhmintari terdengar suara gerengan dan
bersamaan dengan itu di kejauhan terdengar suara
lolongan anjing hutan. Dukun beranak Luhumuntu tarik
rumput kering yang menutupi tubuh Luhmintari. Begitu
perut yang hamil besar Ku tersingkap, si nenek lang-
sung tersurut. Lahambalang sendiri keluarkan seruan
tertahan lalu mundur dua langkah.
Lazimnya perut perempuan hamil, biasanya meng-
gembung besar dan licin. Namun yang dilihat oleh
Luhumuntu dan Lahambalang adalah satu perut yang
di dalamnya seperti ada puluhan duri. Permukaan perut
Luhmintari kelihatan penuh tonjolan-tonjolan runcing
dan tiada hentinya bergerak-gerak mengerikan."Demi Dewa dan Peri.'" ujar Lahambalang dengan
suara bergetar. "Apa yang terjadi dengan istriku!"
Dukun beranak Luhumuntu angkat tangan kirinya.
"Lahambalang, istrimu akan segera kutangani. Harap
kau cepat keluar dari kamar ini."
"Nenek Luhumuntu, kalau boleh aku ingin me-
nungguinya sampai dia melahirkan..." kata Lahamba-
lang pula.
"Keluar!" teriak Luhumuntu.
Mau tak mau Lahambalang keluar juga dari kamar
itu. Si nenek segera membanting pintu. Ketika dia
melangkah mendekati tempat tidur kembali Luhmintari
perlihatkan tampang beringas.
"Nenek celaka! Kau juga harus keluar dari kamar ini!"
"Luhmintari, aku akan menolongmu melahirkan! Aku
akan melepaskan ikatan pada dua kakimu! Jangan kau
berbuat yang bukan-bukan!"
"Kau yang berkata dan akan berbuat yang bukan
bukan!" sentak Luhmintari. "Aku tidak hamil! Aku tidak
akan melahirkan! Tak ada bayi dalam perutku! Tak ada
bayi yang akan keluar dari rahimku! Hik... hik... hik!"
"Tenang Luhmintari. Kau jelas hamil besar dan siap
melahirkan. Kau akan melahirkan seorang bayi hasil
hubungan sebagai suami istri dengan Lahambalang...."
Si nenek mendekati kaki tempat tidur. Dengan hati-hati
dia lepaskan ikatan pada dua kaki Luhmintari. Begitu dua
kaki lepas, kaki yang kanan bergerak menendang.
"Bukkk!"
Si nenek Luhumuntu terpekik dan terpental ke
dinding.
Di luar Lahambalang berteriak. "Nenek Luhumuntu!
Ada apa?!"
Luhumuntu usap-usap perutnya yang tadi kena
tendang. "Tidak apa-apa Lahambalang! Kau tak usah
khawatir!" Lalu si nenek memandang pada Luhmintari
dan berkata. "Sebagai dukun aku berkewajiban me-
nolongmu melahirkan. Apapun yang akan keluar dari
rahimmu aku tidak perduli!" Lalu dengan cepat si nenek
kembangkan dua kaki Luhmintari. Dengan dua tangan-
nya dia menekan perut perempuan itu.
Luhmintari meraung keras. Dari dalam perutnya
keluar suara menggereng. Di kejauhan kembali ter-
dengar suara lolongan anjing hutan.
"Jangan sentuh perutku! Pergi!"
Si nenek dukun beranak tidak perdulikan teriakan
Luhmintari. Dua tangannya menekan semakin kuat.
Luhmintari menjerit keras. Lalu terdengar suara robek
besar. Bersamaan dengan itu ada suara tangisan kecil.
Seperti suara tangisan bayi tapi disertai gerengan!
Luhumuntu terpekik ketika ada suatu benda me
lesat dan menyambar perutnya. Nenek ini mundur
terhuyung-huyung. Ketika dia memperhatikan keadaan
dirinya ternyata di bagian perut ada tiga guratan luka
cukup dalam dan mengucurkan darah! Dari sudut
kamar terdengar suara tangisan bayi aneh! Di atas
ranjang kayu sosok Luhmintari tidak bergerak sedikit-
pun. Tubuhnya yang penuh keringat perlahan-lahan
menjadi dingin.
"Braaakkk!"
Pintu kamar terpentang hancur. Lahambalang me-
lompat masuk. Dia tidak perdulikan si nenek dukun
beranak yang tegak terbungkuk-bungkuk sambil pe-
gangi perutnya yang luka bergelimang darah. Dia
melangkah ke arah ranjang. Namun gerakannya serta
merta tertahan. Dua kakinya seperti dipantek ke lantai.
Matanya membeliak besar. Sosok istrinya tergeletak
tidak bergerak. Mata mendelik mulut menganga.
Perutnya robek besar dan darah masih mengucur
mengerikan!
"Luhmintari!" teriak Lahambalang. Dia memandang
seputar kamar. Begitu melihat si nenek dia kembali
berteriak. "Nenek Luhumuntu! Apa yang terjadi dengan
istriku! Aku mendengar tangisan bayi! Mana anakku?!"
Sambil sandarkan punggungnya ke dinding kamar
si nenek menjawab. "Istrimu tewas wahai Lahambalang!
Tewas ketika melahirkan bayinya! Bayinya ternyata
bukan bayi biasa! Bayi itu tidak keluar secara wajar
tapi melalui perut istrimu yang tiba-tiba pecah robek
besar!"
"Aku tidak percaya! Kau... kau pasti memakai cara
gila! Kau pasti merobek perut istriku dengan pisau!"
"Aku tidak pernah membawa pisau wahai Laham
belang," Jawab si nenek. Tubuhnya melosoh ke lantai.
Dua tangannya masih mendekapi perutnya yang luka.
"Mana bayiku! Mana anakku!" teriak Lahambalang.
SI nenek Luhumuntu angkat tangan kirinya. De-
ngan gemetar dia menunjuk ke sudut kamar.
"Itu....bennda yang di sudut sana. Itulah bayimu.
Kuharap kau bisa menabahkan diri menghadapi
kenyataan ini wahai Lahambalang...."
Lahambalang berpaling ke arah yang ditunjuk.
Karena tidak tersentuh cahaya api obor, sudut kamar
yang ditunjuk si nenek agak gelap. Namun Lahambalang
masih bisa melihat satu benda bergelimang darah
tergeletak di sana.
"Anakku..." desis Lahambalang. Dia mendatangi dan
membungkuk. Tiba-tiba jeritan keras menggeledek dari
mulutnya. "Tidaaaakkkk!"
"Lahambalang, kataku kau harus tabah mengha-
dapi kenyataan..." berucap si nenek dukun beranak.
"Tidaaaakkkk!" teriak Lahambalang sekali lagi. "Itu
bukan bayiku! Itu bukan anakku!"
"Lahambalang, betapapun kau tidak mengakui itu
bukan anak bukan bayimu! Tapi itulah yang keluar dari
perut Istrimu!"
Lahambalang tutupkan dua tangannya ke mukanya
lalu menggerung keras. Di sebelah sana, di sudut yang
kegelapan terdengar suara tangisan bayi aneh karena
disertai suara menggereng halus. Sosok yang
menggeletak masih berlumuran darah di sudut kamar
itu memang satu sosok menyerupai bayi kecil. Tapi
sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki
penuh ditumbuhi duri-duri aneh berwarna kecoklatan!
"Lahambalang, Itu anakmu. Itu bayimu! Janganbiarkan dia kedinginan di sudut kamar...." Terdengar
nenek Luhumuntu berucap.
Sekujur tubuh Lahambalang bergeletar. Mulutnya
mengucapkan sesuatu tapi tidak jelas kedengaran apa
yang dikatakannya.
"Lahambalang, ambil anakmu. Dukung bayi itu...."
Lahambalang pejamkan dua matanya. Tenggorokan-
nya turun naik, sesenggukan menahan tangis.
"Apa yang terjadi dengan diri kami! Wahai istriku
Luhmintari. Nasibmu... nasibku... nasib anak kita. Apa
semua ini karena kau melanggar larangan? Karena
sebenarnya sebagai seorang Peri kau tidak boleh kawin
denganku manusia biasa? Kalau ini memang satu
kutukan, sungguh kejam dan jahat!"
Tiba-tiba Lahambalang bangkit berdiri. Mukanya
kelihatan menjadi sangat mengerikan. Dadanya ber-
gemuruh turun naik. Dua tangannya mengepal. Satu
teriakan dahsyat keluar dari mulutnya.
"Wahai para Peri di atas langit! Kalau ini benar
kutukan dari kalian! Mengapa istriku yang kalian bunuh!
Mengapa bayi tak berdosa ini yang kalian bikin cacat!
Mengapa tidak diriku yang kalian bikin mati! Kejam!
Jahat! Peri terkutuk keparat! Aku akan mencari seribu
jalan melakukan pembalasan!"
Habis berteriak begitu Lahambalang membungkuk
mengambil sosok bayi aneh yang tergeletak di sudut
kamar. Lalu dia lari keluar bangunan. Seperti gila sambil
lari tidak henti-hentinya dia berteriak.
"Ini bukan anakku! Ini bukan bayiku! Kalian me-
nukar bayiku dengan makhluk celaka ini! Peri jahat
Peri jahanam! Tunggu pembalasanku!"
Dalam gelap dan dinginnya malam menjelang fajar
itu Lahambalang lari terus membawa bayi aneh yang
tiada hentinya menangis. Lelaki ini baru hentikan lari
nya ketika dapatkan dirinya tahu-tahu telah berada di
ujung sebuah tebing. Di depannya menghadang satu
jurang lebar. Di kejauhan terbentang lautan luas. Di
sebelah timur langit mulai terang tanda sang suryasiap memunculkan diri.
"Ini bukan bayiku! Ini bukan anakku! Para Peri di
asas langit tunggu pembalasanku!" Dengan tubuh ber-
geletar lahambalang angkat bayi bergelimang darah
dan penuh duri aneh itu. Sang bayi menangis keras.
Di kejauhan seolah datang dari tengah laut terdengar
suara lolongan srigala. Di dahului teriakan keras dan
panjang Lahambalang lemparkan bayi di tangan kanan-
nya Bayl malang itu melesat jauh ke udara, lenyap
dari pemandangan seolah menembus langit.
Lahambalang pandangi tangannya berlumuran darah
lalu menatap ke langit. Sekali lagi lelaki ini menjerit
dahsyat!
* .
* *
LIMA
LAMA Peri Bunda termenung mendengar penuturan
Peri Angsa Putih itu. Berkali-kali pula dia menghela nafas
dalam. Akhirnya sang Peri berkata. "Wahai Peri Angsa
Putih, aku akan segera menemui Peri Sesepuh. Sebelum
pergi bisakah aku mempercayai dua buah tugas
padamu?"
"Aku siap melakukan apa yang menjadi perintahmu
wahai Peri Bunda," jawab Peri Angsa Putih walau
sebenarnya dia merasa kurang senang.
"Mulai saat ini kau harus memata-matai, apa yang
dilakukan Lahambalang. Kemudian harap kau
menyelidiki dimana jatuhnya bayi aneh itu. Kau harus
mendapatkan dan mengambilnya baik dalam keadaan
hidup ataupun mati. Bayi itu harus cepat dibawa ke alam
atas langit dan diserahkan pada Peri Sesepuh."
Peri Angsa Putih mengangguk. Dia membungkuk
memberi hormat lalu melompat ke atas Laeputih, angsa
raksasa yang jadi tunggangannya. Namun sebelum
dia bergerak pergi dilihatnya Peri Bunda mengangkat
tangan kanan, menatap padanya dengan mulut terbuka
tanpa suara.
"Wahai Peri Bunda, masih adakah sesuatu yang
hendak kau katakan?" tanya Peri Angsa Putih.
Peri Bunda masih belum membuka mulut seolah
ada kebimbangan di hatinya untuk berucap. Setelah
menarik nafas lebih dulu baru dia berkata.
"Kau mungkin tidak suka membicarakan walau barang
sebentar. Namun jika tidak ada kejelasan rasanya aku
seperti diikuti bayang-bayang sendiri...."
"Apakah yang merisaukan hatimu, Wahai Peri Bunda?"
Mulutnya bertanya namun dalam hati Peri Angsa Putih
mulai menduga-duga.
"Tadi aku sempat membicarakan: Hatiku dan hatimu, pikiranku dan pikiranmu, penglihatanku dan
penglihatanmu ke masa depan rasanya tidak banyak
berbeda. Lalu kau bilang bahwa dunia kita semakin lama
semakin mengalami banyak perubahan. Batas antara
kita bangsa Peri dan manusia di bawah langit semakin
tipis. Laksana kabut pagi yang mudah pupus ditelan
cahaya mentari. Kejadian bangsa Peri kawin dengan
manusia biasa telah berulang kali terjadi walau mereka
harus menerima hukuman dan kutuk. Kau katakan:
Malah mungkin.... Tapi tidak kau teruskan ucapanmu.
Wahai Peri Angsa Putih, kita sama melihat kenyataan
dan aku tidak mau berlaku munafik. Kehidupan kita
bangsa Peri dalam segala kelebihannya namun masih
memiliki serba kekurangan. Jika aku mau menyebut
salah satu diantaranya adalah kita tidak memiliki dan
hampir jarang merasakan bahagia jalinan kasih sayang.
Kasih sayang antara kita dengan kaum lelaki...."
"Wahai Peri Bunda, aku khawatir ada yang mendengar
pembicaraan kita ini...." Peri Angsa Putih cepat
memotong.
Peri Bunda gelengkan kepala. "Kenyataan tidak bisa
dirubah. Akan tetap ada sampai akhir zaman. Peri Angsa
Putih, apakah yang aku lihat sama dengan apa yang kau
lihat. Apakah firasatku sama dengan firasatmu..,.
Apakah kau mau berterus terang?"
Peri Angsa Putih terdiam sejenak. Perlahan-lahan air
mukanya bersemu merah.
"Wahai! Kulihat rona wajahmu menjadi merah.
Berarti dugaanku tidak salah. Jika kau tidak mau
mengungkap, aku tidak akan malu-malu mengatakannya
wahai Peri Angsa Putih."
"Kalau begitu sebaiknya biar kau saja yang berterus
terang wahai Peri Bunda," jawab Peri Angsa Putih pula.
Peri Bunda menarik nafas dalam dua kali lalu
berucap. "Firasat dan penglihatanku melihat. Di masa
puluhan tahun mendatang. Entah kapan tepatnya tetapi
pasti akan muncul di alam kita lelaki-lelaki gagah
kepada siapa kita akan jatuh cinta. Namun bagaimanaberbagi rasa dan cinta kalau orang yang kita kasihi itu
adalah orang yang sama? Lalu kita akan mengenal
hidup berurai air mata. Kita akan mengenal yang
disebut rasa cemburu. Rasa rindu dan tidak mungkin
terjadi apa yang disebut api dalam sekam. Kalau tiba
saatnya meledak alam atas langit tempat kediaman
kita akan menjadi geger...."
Dua Peri Ku untuk beberapa lamanya tak satupun
yang bicara. Suara silir tiupan angin terdengar jelas
saking sunyinya tempat Ku.
"Peri Bunda, masa puluhan tahun itu cukup lama
bagi kita untuk mempersiapkan diri. Mudah-mudahan
kita semua akan lebih dewasa menghadapi perubahan.
Memang kita bukan manusia biasa. Namun rasa dan
hati kita tak bisa dipendam. Kita tidak mungkin menipu
diri sendiri. Bahagia, cinta dan kasih sayang adalah
dambaan semua makhluk hidup, termasuk kita bangsa
Peri."
Peri Bunda anggukkan kepala. "Kau benar Wahai
Peri Angsa Putih. Benar sekali! Aku akan segera kembali.
Harap kau melaksanakan tugas yang kuberikan tadi."
Perl Angsa Putih menjura hormat. Lalu dia mengusap
leher angsa putih tunggangannya. Binatang raksasa Ini
mengepakkan sayap dan melesat ke arah timur,
*
* *
ENAM
BAYI laki-laki aneh yang sekujur tubuhnya ditumbuhi
semacam duri berwarna coklat dan masih berselubung
darah itu melesat di udara lalu lenyap ditelan
kegelapan malam di sebelah barat. Namun tak selang
berapa lama, setelah mencapai titik tertingginya bayi ini
melayang ke bawah.
Di saat yang hampir bersamaan, di sebuah pulau
di kawasan laut sebelah barat. Fajar yang menyingsing
di ufuk timur masih belum mampu menerangi pulau
itu. Masih terbungkus kegelapan, di satu bukit yang
tertutup rapat oleh pohon-pohon jati berbentuk aneh,
dalam sebuah lobang batu tampak melingkar sebuah
benda yang tak dapat dipastikan apa adanya. Benda
ini bergulung aneh, tertutup oleh sejenis sisik tebal
berwarna hitam pekat. Benda ini bukan benda mati
karena ada denyutan tiada henti dan setiap berdenyut
sisik yang menutupinya tegak berjingkrak!
Ketika bayi Lahambalang melayang jatuh ke atas
pulau, sosok aneh di liang batu itu tiba-tiba bersuit
keras dan panjang lalu melesat ke atas. Dan astaga!
Ternyata dia adalah satu sosok makhluk hidup yang
punya kepala, tangan dan kaki seperti manusia. Namun
masih sulit dipastikan apakah makhluk itu benar-benar
manusia. Sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-ubun
sampai ke kaki tertutup sisik tajam yang senantiasa
bergerak-gerak, rebah lalu berdiri lalu rebah lagi
terus menerus. Wajahnya tidak ketahuan mana
mulut mana hidung. Matanya hanya merupakan dua
buah tonjolan bulat yang lancip di sebelah tengah,
seperti combong putih buah kelapa!
Makhluk bersisik hitam ini mendongak ke langit
ketika melihat sosok bayi yang jatuh ke bawah. Lalu
dari mulutnya yang tidak ketahuan entah berada disebelah mana kembali melengking satu jeritan keras
seolah merobek langit malam, menembus suara deru
angin dan deburan ombak di pantai pulau.
Belum lenyap lengking jeritan itu tiba-tiba ter-
dengar suara bergemuruh mendatangi. Bukit jati di
atas pulau itu bergetar aneh. Di lain saat muncullah
sepasang makhluk aneh mengerikan. Berupa dua ekor
landak raksasa yang berjalan cepat dengan empat
kakinya. Namun begitu sampai di hadapan makhluk
bersisik, dua ekor landak ini pergunakan dua kaki
bolakangnya seperti kaki manusia dan dua kaki depan
sebagai tangan. Lalu dua binatang ini membungkuk
seolah memberi hormat pada makhluk bersisik.
Makhluk bersisik di tepi liang batu angkat tangan
kanannya. Sambil menjerit keras dia menunjuk ke
langit. Ke arah sosok bayi Lahambalang yang tengah
melayang jatuh ke atas pulau.
Dua ekor landak yang ternyata satu jantan satu
betina palingkan kepala ke arah yang ditunjuk lalu
sama-sama keluarkan jeritan keras.
"Laeruncing dan Laelancip! Apa yang aku lihat
puluhan tahun silam dan pernah kukatakan pada kalian
kini menjadi kenyataan! Selamatkan bayi itu!"
Satu suara menyerupai suara manusia menggema
di tempat itu. Siapakah yang bicara? Ternyata makhluk
bersisik di tepi liang batu!
Mendengar ucapan itu dua ekor landak raksasa,
Laeruncing yang jantan dan Laelancip yang betina
keluarkan pekik keras. Lalu sekali mereka cakarkan
dua kaki ke tanah, saat itu juga tubuh mereka laksana
sambaran kilat melesat ke udara! Lalu terjadilah satu
hal yang luar biasa. Dua landak raksasa itu melesat
demikian rupa menyongsong ke arah melayang jatuhnya
bayi Lahambalang. Di satu titik di udara, ketiganya
bertemu.
"Seettt... settt!"
Dua landak raksasa melesat dan bergerak demikian
rupa, tahu-tahu telah mengapit dan menjepit sosok bayidi tengah-tengah. Di udara dua ekor landak ini membuat
gerakan berputar tujuh kali lalu melesat turun ke arah
pulau. Dalam waktu singkat dua ekor landak itu telah
mendarat di tanah dekat liang batu, di hadapan makhluk
yang tubuhnya tertutup sisik. Bayi Lahambalang yang
beberapa saat sempat diam kini mulai menangis.
"Wahai Laeruncing dan Laelancip! Kau telah men-
jalankan tugasmu dengan baik!"
Dua ekor landak raksasa keluarkan suara gerengan
halus. Makhluk bersisik kembali berkata.
"Apa yang aku lihat puluhan tahun silam kini
menjadi kenyataan. Wahai Laeruncing dan Laelancip!
Bayi laki-laki yang bentuk tubuhnya penuh ditumbuhi
tanduk-tanduk kecil seperti tubuh kalian itu sesung-
guhnya itulah bayi yang kalian tunggu-tunggu selama
tiga ratus tahun! Bayi itu adalah anak kalian berdua!"
Dua ekor landak kembali menggereng. Mereka
bergerak mendekati si bayi lalu ulurkan kepala dan
mulai menjilati sosok bayi itu. Anehnya begitu dijilati
sang bayi segera saja berhenti menangis!
"Laeruncing dan Laelancip! Kalian sudah mendapatkan
anak yang kalian dambakan selama ratusan tahuni
Sekarang menjadi kewajiban kalian untuk memelihara
dan membesarkannya. Ajarkan semua ilmu kepandaian
yang kalian punya. Kecuali satu ilmu yang kalian tidak
miliki. Yaitu bagaimana caranya bicara. Aku yang akan
mengajarkan ilmu berbicara itu pada anak kalian! Dan
kepadanya wahai Laeruncing dan Laelanclp aku akan
memberikan nama. Sesuai dengan keadaan pulau ini
yang penuh ditumbuhi pohon-pohon jati berduri seperi
bulu landak, sesuai pula dengan keadaan dan bentuk
kalian aku akan menamakan anak Hantu Jatilandak!"
Laeruncing dan Laelancip ulurkan dua tangan ke
depan dan angguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Kailan berdua boleh pergi. Jaga anak itu baik-baik.
Jika ada apa-apa yang kalian tidak mengerti, temui
aku di Liang Batu Hitam ini! Aku Tringgiling Liang Batu
adalah kakek dari bayi itu!"Dua ekor landak menggereng halus, kembali angguk-
anggukkan kepala. Laeruncing, landak yang jantan
pergunakan mulutnya untuk mengangkat bayi yang
diberi nama Lajatilandak itu ke atas punggung betinanya
yaitu Laelancip. Baru saja dua landak raksasa ini
hendak bertindak pergi tiba-tiba di langit ada benda
pulih menyambar turun disertai teriakan memerintah.
“Semua makhluk di atas pulau! Jangan ada yang
berani bergerak! Aku datang membawa perintah!"
"Wuuuttt... wuttt!" Ada dua sayap raksasa mengepak
deras membuat pohon-pohon jati berduri bergoyang
goyang. Sesaat kemudian seekor angsa putih telah
mendarat di atas sebuah batu besar, tak jauh dari
makhluk bersisik berdiri dan hanya beberapa tombak
dari dua ekor landak raksasa. Bau sangat harum
memenuhi tempat itu.
Laeruncing dan Laelancip keluarkan suara meng-
gereng. Bayi di atas landak betina tiba-tiba keluarkan
tangisan. Makhluk bersisik putar kepalanya. Dua mata
combongnya bergerak-gerak. Dari balik sisik di muka-
nya keluar ucapannya.
"Berabad-abad telah berlalu. Tak pernah selama
ini seorang Peripun muncul datang ke pulau dan
singgah di hutan Lahitamkelam. Gerangan angin apakah
wahai Peri cantik yang aku lupa namanya datang ke
tempat ini? Perintah apa yang kau bawa bersama
kemunculanmu?"
Gadis cantik berpakaian sutera putih di atas pung-
gung angsa raksasa menatap makhluk bersisik itu
beberapa saat lamanya. Lalu dia melirik pada dua ekor
landak raksasa. Dalam hati dia berkata. "Aku tidak
melihat bayi yang kucari. Tapi di atas salah seekor
landak raksasa Ku ada satu makhluk kecil yang tubuhnya
ditumbuhi duri-duri seperti bulu landak. Dan sosok
kecil ini menangis antara suara bayi dan suara binatang.
Mungkin itu bayinya Lahambalang dan Luhmintari?"
Peri Angsa Putih kembali memandang ke arah
makhluk bersisik lebat, kaku dan keras."Aku Peri Angsa Putih dari Negeri Atas Langit.
Kedatanganku membawa tugas. Tugas yang menjadi
perintah bagi kalian yang ada di sini. Patuh akan
perintah wahai! Itulah segala rahasia hidup tanpa ben-
cana. Aku datang untuk mengambil sosok kecil yang
ada di atas punggung landak raksasa itu!"
Mendengar kata-kata Peri Angsa Putih, sepasang
mata makhluk bersisik yang bernama Tringgiling Liang
Batu seperti hendak melompat. Sisik di sekujur tubuhnya
berjingkrak kaku. Dari tenggorokannya keluar suara
menggembor.
Di tempat lain, dua ekor landak raksasa meng-
garang keras. Yang jantan langsung tegak berdiri mem-
belakangi betinanya. Sepasang matanya yang hitam
kecoklatan membersitkan sinar menggidikkan. Dua
tangannya dipentang ke depan. Kakinya bergerak me-
langkah mendekati angsa putih.
* *
TUJUH
LAERUNCING! Tegur Tringgiling Liang Batu."Tetap di
tempatmu!" Lalu makhluk ini berpaling pada Peri Angsa
Putih. "Peri Angsa Putih, bagiku adalah aneh seorang
Peri dari Negeri Atas Langit menginginkan satu bayi yang
tidak ada sangkut paut dengan dirinya! Siapa gerangan
yang memberimu tugas tak masuk akal itu wahai Peri
Angsa Putih?!"
"Justru karena bayi berduri itu ada sangkut pautnya
dengan kami para Peri dari Negeri Atas Langit maka
kami ingin mengambilnya!"
"Wahai! Mungkin kau bisa memberi keterangan
lebih rinci hingga aku tidak menduga keliru!"
"Baik, jika itu maumu. Bayi yang tubuhnya berduri
itu dilahirkan dari rahim seorang Peri yang tersesat
kawin dengan manusia bernama Lahambalang! Ibunya
meninggal ketika melahirkan. Sang ayah telah menjadi
gila. Berarti tidak ada yang memelihara bayi itu. Kami
para Peri mengambil alih tanggung jawab merawat
anak tersebut!"
Tringgiling Liang Batu angguk-anggukkan kepala.
"Sungguh baik budi para Peri Negeri Atas Angin. Tapi
apa kau lupa, atau tidak tahu, atau mungkin pura-pura
tidak tahu. Semua kejadian menyangkut Peri sesat dan
suaminya yang bernama Lahambalang itu, sampai
lahirnya bayi yang malang itu! Adalah pekerjaan jahat
para Peri Negeri Atas Langit! Termasuk kau! Kalian
telah menjatuhkan hukum dan kutuk keji! Sekarang apa
perlunya kalian ingin mengambil orok itu!"
Berubahlah paras Peri Angsa Putih mendengar
kata kata Tringgiling Liang Batu itu. Setelah dadanya
yang tergoncang tenang kembali, maka berkatalah
Peri cantik ini.
"Setiap kesalahan ada hukumannya. Setiap masalahada jalan keluarnya! Kami punya aturan sendiri
yang harus ditaati dan dipatuhi. Siapa saja yang me-
langgar akan terkena hukuman. Di dalam tubuh bayi
itu mengalir darah Peri. Kami tidak akan membiarkannya
hidup di dunia ini...."
"Peri Angsa Putih, kau dan teman-temanmu di atas
sana bukan saja telah berbuat terlalu jauh, tapi kini
malah bertindak teramat jauh. Bayi itu adalah cucuku.
Orok itu adalah anak dari Laeruncing dan Laelancip,
dua landak raksasa yang ada di hadapanmu. Kalau
kau berani menyentuhnya sekalipun sisikku akan ter-
kelupas dan rohku akan terpendam di dasar laut men-
jadi ganjalan pulau ini, aku tidak akan menyerahkannya
kepada siapapun!"
"Kalau begitu terpaksa aku mempergunakan
kekerasan. Aku tidak suka. Tapi wahai! Apa boleh buat!"
Habis berkata begitu Peri Angsa Putih melesat ke arah
Laelancip si landak betina. Tangan kanannya menyambar
ke punggung landak. Namun di saat itu pula laeruncing
si landak jantan melompat ke depan dan hantamkan
tangannya yang berduri ke arah lengan Perl Angsa
Putih.
Melihat datangnya serangan berbahaya ini Peri Angsa
Putih cepat tarik tangan kanannya. Tapi terlambati
"Breett!"
Lengan bajunya yang terbuat dari sutera putih robek
besar disambar duri-duri lancip tangan Laeruncing.
Marahlah Peri Angsa Putih. Sambil menghantamkan kaki
kirinya ke kepala Laeruncing, tangan kanannya lepaskan
satu pukulan tangan kosong. Sinar putih berkelebat.
Tahu kalau serangan tangan kosong itu lebih
berbahaya dari pada tendangan kaki, Laeruncing cepat
bergerak hindari serangan sambaran sinar putih.
"Bukkk!"
Tendangan Peri Angsa Putih mendarat telak di
bahu kanan Laeruncing. Landak raksasa menggereng
keras sementara tubuhnya terpental sampai dua tombak
tapi tidak mengalami cidera. Sebaliknya Peri AngsaPutih keluarkan keluhan tertahan dan cepat melangkah
mundur. Ketika dia meneliti kaki kirinya ternyata ada
dua duri landak menancap. Satu pada kaki pakaiannya,
satu lagi dekat tumitnya. Sang Peri cepat cabut dua
duri yang panjangnya hampir dua jengkal itu. Baru saja
dia mencabut tiba-tiba di belakangnya Laelancip, si
landak betina menyerangnya dengan ganas. Belum
lagi serangan itu sampai, di dahului gerengan keras
Laeruncing telah menyerbu pula. Kalau yang jantan
menyerang dengan tubuh berduri seperti manusia
maka Laelancip si betina menyerang melompat-lompat,
lebih banyak mempergunakan mulutnya yang bertaring
dari pada dua kaki depannya. Bayi yang ada di pung-
gungnya menangis makin keras.
Walau berilmu tinggi ternyata tidak mudah bagi
Peri Angsa Putih menghadapi dua lawan itu. Namun
begitu kesabarannya hilang dan berpikir buat apa
membuang-buang waktu, maka dia segera saja ke-
luarkan ilmu kesaktian yang berpusat pada sepasang
matanya.
Dua mata sang Peri yang berwarna biru tiba-tiba
melesatkan dua larik sinar biru. Satu menghantam ke
arah laeruncing, satunya lagi ke arah Laelancip.
Melihat serangan yang sangat berbahaya itu Tring-
giling Uang Batu berseru keras. Tubuhnya melesat ke
udara. Sambil melesat tubuh itu bergulung melingkar
lalu menggelinding ke arah Peri Angsa Putih. Seluruh
Sisik yang ada di kepala dan tubuhnya berdiri tegak
seolah ratusan pisau yang siap membantai.
Sadar ganasnya serangan Tringgiling Liang Batu,
Peri Angsa Putih terpaksa melompat sebelum serangan
dua larik sinar birunya sempat menghantam lawan.
tak urung sisik-sisik di punggung Tringgiling Liang
Batu masih sempat merobek ujung pakaiannya. Ketika
dia menjejakkan kaki di tanah kembali dilihatnya
makhluk bersisik itu telah tegak sambil mendukung bayi
berduri di tangan kirinya!
"Kau inginkan orok ini wahai Peri Angsa Putih!Silakan ambil dari tanganku kalau kau mampu! Tapi
jika kau berpikir tidak mampu melakukannya sebaiknya
lekas tinggalkan pulau ini!"
Merasa ditantang dan dianggap enteng Peri Angsa
Pulih kerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Dari
dua matanya kembali melesat cahaya. Kali ini sangat
biru dan menyilaukan.
"Rrrtttttt!"
"Rrrrttttr!”
Dua larik cahaya biru itu mendarat bertubi-tubi,
menghantam kepala dan tubuh Tringgiling Liang Batu.
Asap hitam yang berasal dari tubuhnya serta asap biru
dari dua larik sinar sakti yang keluar dari mata Peri
Angsa Putih mengepul keluarkan letupan-letupan
Keras.
Tringgiling Liang Batu mendongak lalu tertawa
panjang. "Satu hari satu malam kau boleh menyerangku
dengan seluruh ilmu yang kau punya! Sampai matamu
melompat copot kau tidak akan mampu membunuhku
wahai Peri Angsa Putih. Jadi jangan harap kau bisa
dapatkan orok cucuku ini!'
"Sisik Baja Dewa!" kata Peri Angsa Putih dalam
hati menyebut ilmu yang dimiliki Tringgiling Liang Batu.
"Ini satu lagi kelemahan para Dewi di Negeri Atas Langit!
Kalau bukan para Peri yang membujuk, tidak nanti
para Dewa akan memberikan ilmu kesaktian itu pada
makhluk satu ini. Sekarang lihat akibatnya! Sisik yang
melindungi kepala dan sekujur tubuhnya benar-benar
atos laksana baja! Aku tidak mampu menghadapinya!"
Peri Angsa Putih terus kerahkan seluruh kesaktiannya
hingga dua sinar yang keluar dari matanya membesar
dan tambah menyilaukan. Namun di depan sana
Tringgiling Liang Batu tetap saja tegak tak bergeming
sambil mendukung sang cucu bernama Lajatilandak!
Tiba-tiba makhluk bersisik itu angkat tangan
kanannya lalu diputar secara aneh. Dua larik sinar
serangan yang keluar dari sepasang mata sang Peri ikut
berputar menuruti gerakan tangannya. Ketika si makhlukpukulkan tangan ke arah Laeputih, angsa raksasa
tunggangan Peri Angsa Putih ini menguik keras dan
tahu-tahu sekujur tubuhnya telah terikat oleh gulungan
sinar biru! Membuat angsa raksasa ini tak mampu lagi
menggerakkan tubuhnya barang sedikitpun. Hanya
kepalanya yang berleher panjang masih bisa digerak-
gerakkan sambil keluarkan suara seperti merintih lirih.
"Peri Angsa Putih, jika kau masih keras kepala
menjalankan tugas dan perintah gila itu! Seumur-umur
kau tidak akan dapat meninggalkan pulau ini! Terserah
padamu!' lalu Tringgiling Liang Batu membuat gerakan
dengan lima jari tangan kanannya. Lima jari itu
membengkok ke dalam seperti meremas. Laeputih
menguik keras. Sinar biru yang mengikat tubuhnya
seolah-olah merangsak mengencang.
Peri Angsa Putih maklum, dengan segala
kenekatannya Tringgiling Liang Batu mampu membunuh
angsa tunggangannya. Sang Peri segera angkat tangan
kirinya
“Dalam kepicikan dan juga kesombonganmu kau
telah merasa menang makhluk bersisik! Aku akan
tinggalkan pulau ini dengan berhampa tangan. Tapi
wahai satu hari kelak pembalasan kami para Peri
Negeri Atas Langit akan jatuh atas dirimu! Saat itu kau
tak akan mampu menghindari kematian! Rohmu akan
tergantung antara langit dan bumi! Kau akan menderita
selama sang surya dan rembulan muncul di jagat raya
inil"
Trenggiling Liang Batu gerakkan tangan kanannya.
gulungan sinar biru yang mengikat sekujur tubuh
angsa putih terlepas lalu melesat masuk kembali ke
dalam sepasang mata Peri Angsa Putih.
"Kau boleh pergi dengan aman wahai Peri Angsa
Pulih! Jangan mengeluarkan suara barang sepatahpun”.
Peri Anqsa Putih mendengus lalu melompat naik
ke atas punggung Laeputih. Sesaat kemudian angsa
raksasa itu telah terbang dan melesat tinggi ke udara.
di atas punggungnya Peri Angsa Putih duduk sambilkepalkan dua tinjunya. Dia merasa sangat malu, terhina
dan juga marah. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba di
bawahnya, kelihatan sebuah biduk meluncur sangat
cepat menuju pantai barat pulau.
Sambil bertanya-tanya dalam hati siapa adanya
penumpang biduk itu, Peri Angsa Putih turunkan sedikit
angsa tunggangannya lalu terbang berputar-putar di
atas biduk. Namun dia tidak bisa melihat wajah pe-
numpang tunggal di atas perahu itu karena orang itu
mengenakan caping bambu sangat lebar. Hanya ada
satu hal yang masih bisa disaksikan oleh sang Peri.
Orang di atas perahu sama sekali tidak mempergunakan
dayung ataupun layar untuk meluncurkan perahunya.
Dia mempergunakan kaki kiri atau kaki kanan.
Setiap kaki kiri atau kaki kanan dihentakkan ke lantai
perahu maka secara luar biasa perahu itu meluncur
deras membelah air laut. Hingga tidak selang beberapa
lama perahu itu telah sampai di pantai barat pulau.
"Meluncurkan perahu di tengah laut dengan hen-
takan kaki! Wahai! Baru sekali ini aku melihat ilmu
demikian hebat! Ingin aku mengetahui siapa adanya
orang yang berkepandaian tinggi itu. Sayang aku harus
segera menemui Peri Bunda dan Peri Sesepuh...."
DELAPAN
DI ATAS pulau, di dalam rimba Lahitamkelam,
makhluk bersisik seatos baja Tringgiling Liang Batu, baru
saja meletakkan bayi berduri di atas punggung Laelancip
si landak betina. Tiba-tiba dia berdiri tegak lalu arahkan
mukanya ke sebelah barat.
"Wahai! Ada lagi tamu tak diundang tengah menuju
ke sini. Laeruncing dan Laelancip, lekas kalian bawa
cucuku meninggalkan tempat ini!"
Baru saja makhluk bersisik itu selesai bicara, belum
sempat dua ekor landak raksasa bergerak pergi tiba-tiba
berkelebat satu bayangan disertai mengumandangnya
teriakan keras. Dari ucapannya jelas dia sempat
mendengar kata-kata Tringgiling Liang Batu tadi.
Padahal Tringgiling bicara tidak terlalu keras. Satu
pertanda bahwa orang yang datang, siapapun dia
adanya pastilah memiliki kepandaian tinggi.
"Diundang atau tidak, aku sudah menentukan bahwa
hari ini aku harus menjejakkan kaki di tempat ini! Dan
itu sudah kurencanakan sejak tiga puluh tahun silaml"
"Wuuuuttt!"
Suara lenyap dan tahu-tahu delapan langkah di
sebelah kanan Tringgiling Liang Batu telah berdiri
seorang yang mengenakan pakaian terbuat dari kulit
kayu berwarna kecoklat-coklatan. Kepala dan wajahnya
tidak kelihatan karena tertutup oleh sebuah caping
bambu sangat lebar.
******
Tringgiling Liang Batu menatap tajam dengan mata
combongnya. Laeruncing dan Laelancip memandang
tak berkedip.
"Aku tidak kenal dengan sosok manusia satu ini.
Entah kalau dia membuka capingnya dan aku bisamelihat wajahnya. Apa maksud kedatangannya juga
sama dengan Peri tadi? Hendak mengambil orok itu...?"
Demikian Tringgiling Liang Batu membatin. Lalu dia
menegur.
"Orang bercaping, aku mengucapkan selamat datang
di pulau ini. Selamat datang di rimba Lahitamkelam.
Harap kau sudi membuka capingmu hingga aku bisa
mengenali siapa adanya dirimu. Setelah itu baru kita
bicara perihal kedatanganmu. Apakah membawa maksud
jahat atau baik!"
"Makhluk bersisik bernama Tringgiling Liang Batu!
Kau bertanya aku menjawab. Kedatanganku membawa
kedua hal yang kau sebutkan tadi. Maksud jahat dan
maksud baik!"
Tringgiling Liang Batu diam-diam merasa terkejut.
"Hee! Dia tahu namaku! Dari ucapannya jelas
sebenarnya dia datang membawa maksud tidak baik
walau dia berkata ada maksud jahat ada maksud baik!"
"Tamu bercaping, wahai! Aku hanya akan meneruskan
pembicaraan jika kau membuka caping unjukkan wajah!"
"Wahai! Apa sulitnya membuka caping!" jawab
sang tamu. Lalu sekali dia menggoyangkan kepala
caping lebar yang sejak tadi bertengger di kepalanya
melesat ke udara dan diam mengapung satu tombak
di atas kepala itu!
Tringgiling Liang Batu terkesiap melihat kehebatan
tenaga dalam yang dimiliki orang. Namun sekaligus
dia mencium adanya bahaya besar yang segera bakal
muncul. Terlebih lagi ketika dilihatnya sepasang landak
raksasa keluarkan suara menggeram dan bersikap siap
untuk melompati orang di hadapannya.
Akan tetapi yang paling membuat makhluk bersisik
Itu terkejut besar ialah ketika melihat orang di depannya
memiliki kepala bermuka dua. Satu di depan satu di
belakang! Dua wajah itu merupakan wajah lelaki berusia
sekitar 40 tahun. Wajah sebelah depan putih bersih.
Sebaliknya yang sebelah belakang hitam pekat dan
keling berkilat! Keanehan lain dari makhluk iniIalah bola matanya tidak bulat tetapi berbentuk segi
tiga berwarna hijau!
"Pasti ini makhluknya yang selama ini dikenal
dengan nama Hantu Muka Dua!" kata Tringgiling Liang
Batu dalam hati. Perasaannya semakin tidak enak.
"Pasti dia datang membawa maksud jahat. Bukankah
dia yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala
Nafsu!"
"Tringgiling Liang Batu," tiba-tiba Hantu Muka Dua
berucap. Yang bicara adalah mulutnya sebelah depan.
"Aku Hantu Muka Dua datang membawa kabar buruk
bagimu dan tiga makhluk hidup yang ada di sebelah
sana." .
"Buruk baik adalah bagian setiap manusia karena
Ku sudah merupakan ketentuan hidup. Tapi wahai!
Kabar buruk apa yang kau maksudkan Hantu Muka
Dua!"
"Pertama, aku memaklumkan diri bahwa cepat
atau lambat aku akan menjadi Raja Di Raja Segala
Hantu di Negeri Latanahsilam, termasuk pulau dan
seluruh kawasan sekitar sini! Kau dan semua yang
hidup di pulau ini harus tunduk dan berada di bawah
kekuasaanku"
"Hantu Muka Dua...."
"Diam! Ucapanku belum selesai!" Menghardik mulut
Hantu Muka Dua sebelah depan sementara mulut
sebelah belakang tertawa gelak-gelak. Walau menjadi
marah namun Tringgiling Liang Batu mengalah dan
berdiam diri. Hantu Muka Dua lanjutkan ucapannya.
"Hal kedua! Orok yang ada di punggung landak betina
itu akan kuberi nama Hantu Jatilandak! Dia berada di
bawah kekuasaanku dan tunduk pada segala perintahku!
Pada masa tujuh puluh tahun mendatang aku akan
kembali ke pulau ini. Saat itu dia bukan saja sudah
dewasa tapi juga memiliki satu rahasia besar yang
harus dikatakannya padaku! Kau sudah mendengar
kata-kataku! Sekarang kau boleh bicara!"
"Hantu Muka Dua, kalau kau ingin menjadi RajaDi Raja Segala Hantu Ku adalah urusanmu! Tapi perlu
kau ketahui. Aku Tringgiling Liang Batu adalah satu-
satunya penguasa di pulau ini! Tidak ada siapapun
baik di bumi, di lautan maupun di atas langK yang
boleh menguasai dan memerintah diriku! Sebelum kau
muncul di sini, telah terlebih dulu datang Peri Angsa
Putih dari Negeri Atas LangK! Dia ingin mengatur dan
menguasai diriku! Dia ingin mengambil bayi yang
sudah kuanggap sebagai cucuku sendiri! Peri Angsa
Putih pergi dengan tangan hampa setelah aku memberi
pelajaran pahit dan keras padanya! Apakah kau ber-
harap aku akan memberikan pelajaran yang sama
padamu?!"
Dua mulut Hantu Muka Dua tertawa bergelak
mendengar kata-kata Tringgiling Liang Batu Ku. "Kau
boleh mengatur seribu Peri seribu Dewa. Tapi jangan
berani bicara sombong terhadap Hantu Muka Dua!"
"Kau boleh menganggap diri lebih hebat dari pada
Pari dan Dewa wahai Hantu Muka Dua! Tapi karena
kau membawa maksud jahat datang kemari, aku
sarankan agar kau cepat-cepat angkat kaki dari
pulauku. Terhadap Peri Angsa Putih aku masih berbaik
hati. Tapi terhadap makhluk sepertimu mungkin sikapku
bisa sebaliknya! Lekas menyingkir dari hadapanku!"
Hantu Muka Dua menjadi marah sekali. Dari teng-
gorokannya keluar suara menggembor. Bersamaan
dengan itu mukanya depan belakang berubah menjadi
muka-muka raksasa mengerikan berwarna merah.
Empat matanya memandang menyorot pada Tringgiling
Liang Batu.
Walau gentar melihat perubahan dua muka makhluk di
hadapannya namun Tringgiling Liang Batu tidak bergerak
dari tempatnya berdiri. Dia sudah siap menghadapi
segala kemungkinan. Dua ekor landak raksasa juga telah
mulai bergerak mendekati Hantu Muka Dua.
"Tringgiling Liang Batu! Kau dan dua binatang
peliharaanmu tentu punya ilmu yang diandalkan! Tapi
Adalah terlalu bodoh jika berani menentang Hantu Muka
Dua Aku tahu kelemahan kalian!"
Makhluk bersisik menggereng keras. Seluruh sisik
yang ada di muka dan tubuhnya bergerak bangkit,
mencuat laksana pisau-pisau baja! Lalu dari sela-sela
sisik Itu melesat serpihan-serpihan berbentuk paku
hitam, menyambar ke arah Hantu Muka Dua! Puluhan
banyaknya! Di saat yang sama dua ekor landak tidak
tinggal diam. Keduanya melompat menyerbu Hantu
Muka Dua. Yang betina masih mendukung orok aneh
di punggungnya. Duri-duri panjang di tubuhnya
mencekal demikian rupa hingga bayi itu tidak jatuh.
"Paku Iblis Liang Batu!" teriak Hantu Muka Dua
menyebut nama paku-paku maut yang menyambar ke
arahnya. "Siapa takut!" Lalu Hantu Muka Dua melesat
dua tombak ke udara. Ketika melewati caping bam-
bunya, dia segera menyambar benda itu dengan tangan
kiri. Lalu sekali dia memukulkan caping lebar itu ke
bawah, puluhan paku-paku hitamyang melewati bawah
kakinya melesat masuk, amblas ke dalam tanah!
Sambil melayang turun Hantu Muka Dua tertawa
bergelak. Memang sungguh hebat. Bukan saja dia
berhasil selamatkan diri dari serangan Paku Iblis Liang
Batu dan sekaligus membuat amblas senjata aneh itu
ke tanah, tetapi dia juga bisa menghindar dari serangan
dua ekor landak yang menyerbu dari belakang. Hal ini
bisa dilakukannya karena dia mempunyai muka di
sebelah belakang dan dapat mengawasi setiap apa
yang terjadi di belakangnya. Melihat serangannya gagal,
dua ekor landak menggereng keras. Ternyata mereka
berotak cerdik. Karena punya dua muka depan
belakang memang sulit untuk menyerang Hantu Muka
Dua dari dua arah itu. Maka Laeruncing dan Laelancip
kini menyerbu dari samping kiri dan kanan!
Hantu Muka Dua yang masih tertawa-tawa meng-
ejek Tringgiling Liang Batu menjadi kaget ketika tiba-
tiba dua ekor landak itu melesat ke arahnya dari dua
jurusan. Sambil membentak marah makhluk bermuka
dua itu mundur satu langkah lalu pukulkan tangannyakiri kanan ke samping!
Laeruncing si landak jantan menggerung keras
ketika tubuhnya kena di gebuk, terpental dan terguling-
guling di tanah. Binatang ini cepat berdiri tapi roboh
kembali karena tulang pinggulnya sebelah kiri remuk
terkena pukulan Hantu Muka Dua.
Sebaliknya Hantu Muka Dua sendiri tertegak sambil
mengerenyit kesakitan. Ketika dia memperhatikan
ternyata di tangan kirinya telah menancap dua lembar
bulu tebal landak jantan itu. Hantu Muka Dua meng-
geram marah. Dua duri landak dicabutnya, dibantingkan
ke tanah hingga melesak amblas. Lalu didahului
ledakan menggelegar dia menerjang ke arah Laeruncing
yang berada dalam keadaan sempoyongan. Tangan
kanannya bergerak menghantam.
"Wuutttt!"
Dari samping melesat sosok Laelancip si landak
betina. Puluhan duri yang ada di tubuhnya mencuat
lagak dan keras laksana paku-paku baja. Hantu Muka
Dua menggembor keras dan terpaksa tarik pulang
terangannya. Ketika dia hendak mengejar landak betina
itu, Tringgiling Liang Batu telah menghadang
gerakannya.
"Kau benar-benar minta mampus!" teriak mulut
Hantu Muka Dua sebelah depan. Taringnya mencuat.
Dua matanya mendelik besar. Lalu dari ke dua mata
itu melesat dua larik sinar hijau berbentuk segi tiga
yang ujung terdepan menyerupai ujung tombak run-
cing. Inilah ilmu kesaktian yang disebut "Hantu Hijau
Penjungkir Roh". Benda apa saja yang terkena han-
taman dua larik sinar hijau itu akan menjadi leleh lunak
seperti lumpur. Dulunya ilmu kesaktian ini adalah milik
seorang tokoh berjuluk Hantu Lumpur Hijau. Dengan
segala tipu dan kelicikannya Hantu Muka Dua berhasil
merampas ilmu kesaktian itu.
Tringgiling Liang Batu terkejut besar, tidak
menyangka kalau Hantu Muka Dua memiliki ilmu"Benar Hantu Hijau Penjungkir Roh!" ujar makhluk
bersisik dengan suara bergetar. "Dia pasti mencuri ilmu
kesaktian itu dari Hantu Lumpur Hijau!"
Tringgiling Liang Batu cepat kerahkan hawa sakti
ke sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki.
Sisik-sisik hitamnya serta merta bergerak menutup.
Begitu dua larik sinar hijau menghantam tubuhnya,
makhluk bersisik ini keluarkan suara menggembor
keras. Tubuhnya terhuyung-huyung laksana disambar
topan. Namun dua kakinya seperti terpancang ke tanah,
tetap tak bergeser dari tempatnya! Asap hijau dan hitam
mengepul dari sekujur tubuh Tringgiling Liang Batu.
Kaget Hantu Muka Dua bukan kepalang. Dia sampai
mundur dua langkah ketika menyaksikan bagaimana
ilmu kesaktian yang sangat diandalkan dan selama ini
tidak satu lawanpun sanggup menghadapinya,
ternyata tidak mampu merobohkan apalagi
melumat makhluk bersisik itu menjadi lumpur!
"Hantu Muka Dua!" Tringgiling Liang Batu menegur
sambil bertolak pinggang. "Apa kau masih belum mau
angkat kaki dari tempat ini?! Apa kau mau pergi setelah
dua ekor landak peliharaanku mengupas kulit dan
daging sekujur tubuhmu?!"
Wajah Hantu Muka Dua sebelah depan pentang
wajah beringas sementara muka sebelah belakang
nampak berkomat-kamit mengeluarkan suara meng-
gereng panjang.
"Tringgiling Liang Batu! Jangan bicara pongah dan
sudah merasa menang! Kalau kau dan dua binatang
keparat peliharaanmu itu tidak mau tunduk dan takluk
padaku. Lihat! Apa yang ada di dalam kantong ini!
Kalian bisa kubikin sengsara seumur-umur!"
Habis berkata begitu Hantu Muka Dua keluarkan
satu kantong kain yang ada bercak-bercak kuningnya,
Kantong kain itu digoyang-goyangnya sambil bergelak,
Tringgiling Liang Batu menggereng tercekat ketika
dia membaui sesuatu yang sangat ditakutinya. Dia
cepat melangkah mundur.Dua ekor landak raksasaIkut-ikutan menggeram dan bersurut menjauhi Hantu
Muka Dua.
Sambil terus mengumbar tawa Hantu Muka Dua
buka sedikit kantong kain yang dipegangnya. Begitu
dia kembali menggoyang maka bertaburlah bubuk-
bubuk kuning!
"Bubuk belerang pelumpuh raga!" teriak Tringgiling
Liang Batu. Dua matanya yang putih berbentuk combong
kelapa itu mencuat seperti mau melompat dari
rongganya. Kalau saja wajahnya tidak diselimuti sisik
tebal dan berwajah seperti manusia biasa, pasti
saat itu akan terlihat bagaimana air mukanya seputih
kain kafan saking takutnya!
"Kau dan dua ekor landak peliharaanmu memilih
lumpuh sengsara seumur-umur atau menyatakan patuh
pada perintahku dan takluk serta tunduk di bawah
kekuasaanku wahai Tringgiling Liang Batu!"
"Aku...." Makhluk bersisik hitam itu tak bisa bicara.
Dalam hati dia berkata. "Bagaimana bangsat itu tahu
kelemahanku! Pasti ada yang berkhianat memberi
tahu! Percuma melawan. Aku rela mati di tangannya
tapi Laeruncing dan Laelancip, terutama yang ku-
khawatirkan cucuku si Lajatilandak itu belum tentu
bisa kuselamatkan! Tak ada jalan lain. Jahanam betul!
Wahail Aku terpaksa mengalah!"
"Tringgiling Liang Batu! Kau masih belum men-
jawab! Apa yang ada di benakmu?!"
"Hantu Muka Dua, aku tidak suka hal ini! Saat ini
aku terpaksa mengalah. Aku tunduk dan patuh pada-
mu "
Tawa Hantu Muka Dua meledak. Dua matanya
depan dan belakang sampai keluarkan air mata.
"Bagus! Ternyata kau tidak setolol yang aku duga!
Ha... ha... ha! Tapi sebelum mempercayaimu aku harus
melakukan sesuatu terlebih dulu! Aku tidak ingin kau
menipuku! Ha... ha... ha...."
Habis berkata begitu Hantu Muka Dua lalu tebarkan
bubuk kuning bubuk belerang ke dalam liang batuyang selama puluhan tahun menjadi sarang kediaman
dan tempat ketiduran Tringgiling Liang Batu. Walau
tubuhnya jadi menggigil saking marah namun makhluk
bersisik Ku tidak mampu berbuat apa-apa.
Hantu Muka Dua berpaling pada Tringgiling Liang
Batu. "Selama tujuh puluh tahun mendatang
kepergianku, selama Ku pula kau tidak akan bisa diam di
sarangmu, tidak bisa tidur. Kelak jika tujuh puluh tahun
kemudian aku datang, kita bisa membuat perhitungan
baru!"
"Hantu Muka Dua! Kau benar-benar Hantu Segala
Keji! Segala Tipu! Segala Nafsu! Apa maksud tujuanmu
dibalik semua kekejian yang kau lakukan terhadapku?!"
"Wahai makhluk bersisik. Jawab pertanyaanmu
akan kau dapat tujuh puluh tahun mendatang!" jawab
Hantu Muka Dua. Setelah lebih dulu melirik pada bayi
di atas punggung Laelancip, Hantu Muka Dua putar
tubuhnya. Sekali berkelebat diapun lenyap dari tempat
itu.
*
* *
SEMBILAN
TUJUH puluh tahun kemudian, di kawasan Negeri
Latanahsilam.... Dua ekor makhluk yang sekujur
tubuhnya ditumbuhi duri-duri panjang runcing berwarna
coklat merayap di sela-sela bebatuan. Begitu orang yang
mendarat di pulau mencapai pinggiran Rimba
Lahitamkelam, dua landak raksasa itu keluarkan
gerengan keras dan melesat lancarkan serangan.
Lelaki bercaping yang bukan lain Hantu Muka Dua
adanya sesaat hentikan langkah, tegak terkesiap.
Wajahnya yang semula berupa dua wajah lelaki berusia
40 tahun serta merta berubah menjadi dua wajah
raksasa menakutkan. Lalu begitu melihat dua ekor
landak menyerang dirinya serta merta dia menyambar
caping lebar di kepala dan lemparkan benda ini ke arah
landak raksasa yang menerjang dari arah kanan.
Terhadap landak satunya, Hantu Muka Dua kirimkan satu
jotosan. Yang di arah adalah bagian bawah perut yang
tidak ditumbuhi duri-duri tebal.
"Braaakkk!"
Caping bambu yang melesat di udara itu hancur
berantakan begitu menghantam sosok Laelancip si
landak betina. Laelancip sendiri terlempar, terguling-
guling di atas pasir lalu terbanting di dinding batu
karang berlumut. Beberapa helai durinya kelihatan
patah bertanggalan. Dari sela mulutnya keluar suara
mengerang kesakitan dan juga pertanda marah.
Landak jantan Laeruncing, meski sempat menan-
capkan tiga durinya dan melukai lengan kanan Hantu
Muka Dua, namun hantaman lawan yang tak sempat
dihindarkan membuat dia terpental jauh, terguling di
pasir dan muntahkan darah kehitaman!
Hantu Muka Dua menggereng beringas. Tiba-tiba
mulut sebelah belakang berseru. "Kurang ajar! Duri
landak itu ternyata kini mengandung racun!"
Mulut sebelah depan ikut berseru kaget. Hantu
Muka Dua cepat cabut bulu-bulu landak yang me-
nancap di lengannya. Lengan itu tampak membengkak
kebiruan pertanda memang ada racun yang kini me-
masuki aliran darah! Tanpa membuang waktu Hantu
Muka Dua cepat pijat urat besar di lengan kirinya. Darah
menyembur merah kehitaman. Lalu dengan cepat dia
keluarkan sebuah benda hampir menyerupai daun dari
balik pinggangnya. Benda ini d i kunyahnya lalu nan
curannya disemburkan ke cidera luka di lengan kiri.
"Tringgiling Liang Batu!" teriak Hantu Muka Dua.
"Wahai! Jadi begini caramu menyambut kedatanganku
setelah kau masih kubiarkan hidup selama tujuh puluh
tahun! Jangan menyesal kalau hari ini aku datang dan
mengirim rohmu minggat ke langit terkembang!"
Habis berkata begitu Hantu Muka Dua segera
berkelebat ke arah deretan pohon-pohon jati yang
tumbuh rapat di sebelah barat pulau. Namun belum
sempat dia bergerak, tiba-tiba dari kerapatan pepohonan
menggelinding satu benda berwarna coklat kekuning-
kuningan. Sulit untuk menduga benda apa adanya.
Hantu Muka Dua tidak sempat berpikir lebih
panjang. Yang dilakukannya adalah segera melompat
menghindar dari hantaman gelundungan benda aneh,
Tak berhasil menabrak sosok Hantu Muka Dua,
benda yang bergulung menyambar batu karang di tepi
pasir. "Braaakk! Byaaarrr!" Separuh dari batu karang
besar dan tajam itu hancur berantakan, membuat Hantu
Muka Dua kerenyitkan kening dan membayangkan
bagaimana kalau tadi tubuhnya sempat terkena
sambaran.
Di sebelah sana makhluk yang menggelinding Ku
berputar, membelok lalu kembali melesat ke arah Hantu
Muka Dua. Yang diserang segera bersiap untuk meng-
hantam dengan ilmu "Hantu Hijau Penjungkir Langit".Sepasang matanya di sebelah depan kiblatkan sinar
hijau menggidikkan. Tapi ternyata makhluk yang meng-
gelundung tidak melancarkan serangan. Dua langkah
dari hadapan Hantu Muka Dua makhluk ini melesat ke
udara lalu turun kembali, jejakkan kaki di atas
reruntuhan batu karang!
Memandang ke depan tersiraplah Hantu Muka Dua.
Sesaat dua mukanya berubah menjadi dua wajah pucat
pasi. Lalu kembali ke bentuk semula yakni wajah raksasa
berkulit merah.
"Makhluk aneh, berbentuk manusia tapi berkulit
seperti binatang! Jangan-jangan dialah...." Hantu Muka
Dua usap-usap dagu sebelah depan yang ditumbuhi
brewok meranggas.
Di atas runtuhan batu karang saat itu berdiri satu
sosok tinggi kurus berwujud manusia yang hanya
mengenakan sehelai cawat kecil terbuat dari kulit kayu.
sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki,
menyerupai warna pohon jati. Namun ditumbuhi bulu-
bulu tebal keras dan panjang serta runcing seperti bulu
landak. Sepasang matanya diteduhi oleh dua alis hitam
tebal. Di bawah hidungnya yang selalu kembang kempis
menekuk kumis lebat. Daun telinganya panjang dan
lebar, juga ditumbuhi duri-duri seperti bulu landak.
Sesekali dia meludah ke tanah. Ludahnya berwarna
kuning pekat!
"Makhluk berbulu landak! Wahai! Tidak dapat tidak
kau pastilah makhluk yang tujuh puluh tahun silam
kuberi nama Hantu Jatilandak!"
Makhluk di atas batu karang tidak bergerak dan
tidak berkesip. Hanya dari tenggorokannya terdengar
suara menggembor. Lalu seperti tadi dia meludah ke
tanah.
"Hantu Jatilandak!" Hantu Muka Dua tiba-tiba
menghardik. "Kakekmu si Tringgiling Liang Batu tunduk
dan patuh padaku! Berada di bawah kekuasaanku!
Berarti kau juga adalah taklukanku yang jauh lebih
rendah daripada kakekmu! Lekas jatuhkan diri dan
haturkan sembah padaku! Aku adalah Raja Di Raja
Segala Hantu di kawasan Negeri Latanahsilam!"
Sosok di atas batu karang tetap tidak bergerak,
tidak mengedip apalagi menjawab dan jatuhkan diri
sesuai perintah. Malah kembali makhluk itu meludah
ke tanah. Merasa ditantang dan dihina marahlah Hantu
Muka Dua.
"Saat ini aku belum punya niat membunuhmu!
Tapi jika tiba waktunya kau akan kubikin mampus
dengan sejuta kesengsaraan!"
"Hantu Muka Dua!" Mendadak makhluk berduri di
atas batu karang berucap.
"Wahai! Ternyata kau tidak bisu! Bisa bicara seperti
manusia! Ha... ha! Kuharap kau juga tidak tuli!"
"Hantu Muka Dua! Aku sudah tahu siapa dirimu dari
kakekku Tringgiling Liang Batu! Aku tidak suka
kehadiranmu di pulau ini! Lekas kembali ke perahumu!
Tinggalkan pulau! Atau sekujur tubuhmu akan kutaburi
dengan duri beracun!" Sementara itu dua ekor landak
raksasa yang dalam keadaan cidera telah berkumpul
satu sama lain dengan cepat mendekam di samping
batu karang dekat makhluk berduri tegak berdiri.
Hantu Muka Dua tertawa bergelak mendengar
ucapan makhluk di hadapannya itu. "Aku ingin tahu!
Ilmu kesaktian apa saja yang telah diajarkan kakekmu
dan dua orang tuamu dua ekor landak raksasa itu!
Perlihatkan padaku! Aku ingin menjajalnya satu
persatu!"
Mendengar ucapan Hantu Muka Dua, makhluk
berduri keluarkan suara menggereng lalu kembali me-
ludah. Tiba-tiba dia goyangkan kepala.
"Wuuut... wuutttt... wuuuttt!"
Terjadilah satu hal luar biasa.
Puluhan duri coklat yang sebelumnya menancap
di mukanya, laksana paku-paku panjang terbuat dari
besi melesat ke arah Hantu Muka Dua. Kaget Hantu
Muka Dua bukan olah-olah! Secepat kilat dia hantam-
kan dua tangannya ke depan lalu melompat ke kiri cariselamat. Puluhan duri landak yang tadinya siap me-
nyambar dan menancap di tubuh Hantu Muka Dua
mental ke udara. Namun secara aneh duri-duri ini
berbalik ke arah pemiliknya dan kembali menancap di
tempatnya semula yaitu kepala dan wajahnya!
Apa yang barusan disaksikan Hantu Muka Dua
membuat makhluk bermuka dua ini diam-diam menjadi
terkesiap namun jauh dari rasa jerih.
"Wahai! Tujuh puluh tahun ternyata telah cukup
waktu bagimu untuk menguasai ilmu gila itu! Ha... ha...
ha! Hantu Jatilandak aku punya satu ilmu yang disebut
"Mengelupas puncak langit mengeruk kerak bumi*.
Sebelum kuarahkan padamu biar kuperlihatkan dulu
kehebatan ilmu itu!" Sambil tertawa mengekeh Hantu
Muka Dua putar tubuhnya. Dia menghadap pada se-
batang pohon jati berduri yang terletak sekitar sepuluh
langkah di depan sana. Perlahan-lahan Hantu Muka
Dua angkat tangan kanannya. Mulutnya sebelah depan
menyeringai berkomat-kamit. Pergelangan tangannya
diputar setengah lingkaran ke kanan hingga telapaknya
menghadap ke arah pohon. Didahului oleh suara se-
perti angin punting beliung dari telapak tangan Hantu
Muka Dua tiba-tiba melesat selarik sinar merah. Sinar
ini dengan kecepatan kilat bertabur di pohon jati berduri
yang tingginya tiga tombak itu, dari pucuk tertinggi
sampai ke bagian batang di bawah tanah yakni akar
pohon.
Ketika sinar merah lenyap terlihatlah bagaimana
pohon yang tadi tegak besar kokoh ini telah berubah
menjadi hanya sebesar lengan karena kulit dan bagian
dalamnya telah terkelupas mulai dari atas sampai ke
akar! Dapat dibayangkan jika hal itu terjadi pada sosok
tubuh manusia!
Hantu Muka Dua meniup ke arah pohon. Pohon
jati yang malang itu langsung berderak patah dan
roboh! Hantu Muka Dua tertawa bergelak dan palingkan
kepalanya ke arah makhluk berduri di atas batu karang.
"Hantu Jatilandak! Aku harap kau sanggup mene
rima pukulan "Mengelupas puncak langit mengeruk
kerak bumi" yang kini akan aku arahkan padamu! Tapi
jika kau mau jatuhkan diri, menyembah tanda takluk
aku akan batalkan pukulan itu! Wahai! Apa jawabmu!"
Seperti tadi makhluk di atas batu tidak bergeming
tidak berkesip. Malah kembali dia meludah ke tanah
dua kali berturut-turut!
"Jahanam!" teriak Hantu Muka Dua marah sekali.
"Ingin sekali aku membunuhmu saat ini! Tapi cukup
aku mengelupas tubuhnya sebelah kanan saja!"
Hantu Muka Dua angkat tangan kanannya ke atas.
Mulutnya komat-kamit. Ketika dia hendak memutar
pergelangan tangannya membuat gerakan setengah
lingkaran, tiba-tiba dari dalam Rimba Lahitamkelam
terdengar seruan lantang.
"Cucuku Hantu Jatilandak! Lekas kau kemari!
Jangan berani menantang makhluk berjuluk Segala
Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu itu!"
Mendengar seruan tersebut, makhluk berduri landak
di atas batu karang melesat satu tombak ke udara.
Ketika turun tubuhnya telah bergulung dan di lain kejap
menggelundung lenyap di antara kerapatan pohon-
pohon jati berduri Rimba Lahitamkelam! Di belakang-
nya menyusul Laeruncing dan Laelancip, sepasang
landak raksasa itu.
*
* *
SEPULUH
HANTU MUKA DUA palingkan kepalanya ke arah
rimba belantara pohon jati berduri aneh. "Wahai, itu
adalah suaranya si Tringgiling Liang Batu! Untung dia
cepat-cepat memanggil cucunya. Kalau tidak si Hantu
Jatilandak itu akan terkelupas seluruh sosoknya sebelah
kanan!" Habis berkata begitu Hantu Muka Dua
berkelebat ke arah kerapatan pepohonan.
Di dalam Rimba Lahitamkelam, di atas sebuah
gundukan batu besar diapit oleh pohon-pohon jati
berduri, tidak jauh dari sebuah liang batu yang di-
genangi air serta serbuk aneh berwarna kuning. Sosok
bersisik itu duduk bersila, tak bergerak. Dia adalah
Tringgiling Liang Batu yang selama tujuh puluh tahun
belakangan ini hidup tersiksa akibat bubuk belerang
yang ditabur Hantu Muka Dua di liang batu sarang
kediamannya. Sepasang matanya yang putih berben-
tuk combong kelapa kini tampak berwarna kelabu. Di
depannya, di bagian batu yang lebih rendah bersila
makhluk yang tubuhnya ditumbuhi duri-duri coklat.
Dia adalah sang cucu yang semula diberi nama
Lajatilandak, oleh Hantu Muka Dua dirubah menjadi
Hantu Jatilandak. Di samping Hantu Jatilandak duduk
mendekam sepasang landak raksasa.
"Wahai Kakekku Tringgiling Liang Batu," Hantu
Jatilandak membuka mulut. "Barusan aku menemui
makhluk yang punya dua muka di pantai pulau. Barusan
pula kami berlaga mengadu kesaktian. Apakah dia
makhluk bernama Hantu Muka Dua yang selama ini
kau ceritakan padaku?1
"Cucuku Hantu Jatilandak, benar. Memang makhluk
itu adalah Hantu Muka Dua yang kutunggu-tunggu
sejak tujuh puluh tahun silam. Dia datang menepati
janjinya. Entah berita dan kejadian buruk apa yang
akan disampaikannya pada kita!"
"Aku tidak suka padanya wahai Kakek!" kata Hantu
Jatilandak pula.
"Aku juga tidak! Tidak ada makhluk di permukaan
bumi dan di atas langit yang suka padanya! Tapi kita
harus menerima kenyataan. Kita tidak bisa melawannya!
Ilmunya tinggi sekali. Lain dari itu dia memiliki bubuk
belerang. Benda yang merupakan pangkal kelemahan
dan bisa membunuh kita semua! Selama tujuh puluh
tahun aku berusaha mencari jalan menyingkirkan bubuk
itu dari tempat ini, tapi setiap mendekati taburan bubuk,
sisik di tubuhku terkelupas jatuh. Badanku seolah
ditusuk puluhan pisau dan ada hawa aneh yang
membuat darahku seolah mengalir menyungsang!"
"Menurut Kakek antara kau dan Hantu Muka Dua
tidak ada permusuhan! Mengapa dia berlaku jahat
seperti itu! Ada apa sebenarnya dibalik semua kekejian
yang dilakukannya Ku Kek?!"
"Aku tidak tahu wahai cucuku! Namun begitu dia
muncul di sini, semua akan segera terjawab!" kata
Tringgiling Liang Batu pula.
Baru saja kata-kata itu diucapkan si kakek, tiba-tiba
mengumandang tawa bergelak. Disusul seruan. Dan
berkelebatnya satu bayangan. Hantu Jatilandak seolah
mencium bahaya segera gulung tubuhnya lalu melesat
ke atas pohon jati terdekat. Di pohon ini dia buka
gulungan tubuhnya dan berjuntai di salah satu cabang,
kaki ke atas kepala ke bawah seperti seekor kelelawar.
"Tringgiling Liang Batu! Kau benar! Rahasia selama
tujuh puluh tahun hari ini akan segera tersingkap!"
Belum habis gema teriakan lantang itu sosok Hantu
Muka Dua dengan segala keangkerannya - karena
saat itu dia masih menampakkan diri dengan dua muka
seperti raksasa - tahu-tahu telah berdiri tiga langkah
di hadapan Tringgiling Liang Batu. Sesaat dia melirik
pada Hantu Jatilandak yang bergelantungan di cabang
pohon jati duri. Lalu menoleh pada Laeruncing danLaelancip, serta tak lupa memandang sekilas ke arah
liang batu yang tujuh puluh tahun silam ditaburinya
dengan bubuk belerang. Sekian puluh tahun berlalu,
bubuk belerang berwarna kuning itu masih menempel
di liang batu penuh air itu seolah telah membatu
menjadi satu.
Di atas cabang pohon tempatnya berjuntai Hantu
Jatilandak meludah ke tanah. Laeruncing dan Lae-
lancip keluarkan suara menggereng. Tringgiling Liang
Batu memberi tanda dengan gerakan tangan agar
ketiga makhluk itu menahan diri. Lalu dia berpaling
pada Hantu Muka Dua dan berkata.
"Tujuh puluh tahun aku menunggu dalam sengsara.
Kau muncul, apakah kau akan memperpanjang
kesengsaraan ini?!"
Hantu Muka Dua jawab dengan umbaran tawa.
Lalu dia usap wajahnya yang serta merta berubah
menjadi wajah lelaki separuh baya.
"Wahai Tringgiling Liang Batu! Bagaimanapun kejinya
derita sengsara, tapi masih jauh lebih baik dari yang
namanya kematian! Aku telah berbaik hati tidak
membunuhmu tujuh puluh tahun silam. Mengapa kau
dan semua yang ada di sini tidak bersyukur diri dan
mengucapkan terima kasih? Ha... ha... ha!"
Setelah tawa Hantu Muka Dua sirap, Tringgiling
Liang Batu segera berucap. "Dulu sebelum kau pergi
aku sempat bertanya wahai Hantu Muka Dua. Apa
sebenarnya yang membuatmu melakukan kekejian ini
terhadap kami yang tidak punya dosa dan kesalahan
apa-apa padamu? Waktu itu kau berkata jawabannya
akan kau berikan tujuh puluh tahun mendatang jika
kau kembali lagi ke tempat ini. Sekarang kau sudah
muncul dan berada di sini. Harap kau mau memberi
tahu latar belakang perbuatan jahatmu ini!"
Hantu Muka Dua menyeringai. "Tujuh puluh tahun
lalu aku mendapat petunjuk dari alam roh! Petunjuk
itu mengatakan bahwa lewat sebuah mimpi aku akan
mampu menciptakan sebuah senjata sakti mandraguna. Dengan senjata ini aku bisa mempercepat men-
jadikan diriku Raja Di Raja Segala Hantu di kawasan
Latanahsilam. Dengan senjata ini tidak ada satu orang
pun bakal sanggup melawanku! Wahai! Hari ini petunjuk
dalam mimpi itu akan kudapatkan! Karena orang yang
bermimpi itu berada di sini!"
Sisik hitam di wajah Tringgiling Liang Batu mencuat
kaku. "Karena perbuatanmu menabur bubuk belerang di
liang kediamanku, sejak tujuh puluh tahun silam aku
tak pernah dan tak bisa tidur. Bagaimana bisa
mengharapkan aku akan bisa bermimpi...!"
"Kau memang tidak! Dua ekor landak raksasa itu
juga tidak!" sahut Hantu Muka Dua. Lalu dia memandang
ke atas pohon. "Hantu Jatilandak! Aku ingin bicara
denganmu! Kalau bicara jangan bersikap gila dan
kurang ajar! Turun dari pohon dan duduk bersila
di hadapanku!"
Hantu Jatilandak menjawab dengan meludah ke
tanah. Membuat Hantu Muka Dua menjadi marah dan
dua mukanya langsung berubah menjadi muka-muka
raksasa.
“Tringgiling Liang Batu! Kesabaranku habis sudah.
Cucu kurang ajarmu ini terpaksa kuberi pelajaran!"
Hantu Muka Dua angkat tangan kanannya. Pergelangan
diputar dan mulutnya komat kamit. Kemarahan
membuat dia hendak menghantam Hantu Jatilandak
dengan pukulan "Mengelupas puncak langit mengeruk
kerak bumi". Yang di arah adalah dua kaki Hantu
Jatilandak mulai dari lutut ke bawah. Maklum pukulan
apa yang hendak dilepaskan Hantu Muka Dua Tringgiling
Liang Batu cepat berteriak.
"Wahai cucuku Hantu Jatilandak! Lekas turun dari
atas pohon..Duduk di hadapan Hantu Muka Dua dan
perhatikan setiap apa yang dikatakannya!"
Meski dia tidak suka namun mendengar ucapan
sang kakek Hantu Jatilandak gulung tubuhnya ke atas
lalu melompat ke bawah. Sesaat kemudian dia telah
duduk bersila di hadapan Hantu Muka Dua. Sepasangmatanya yang berwarna kuning memandang menyorot
pada makhluk bermuka dua di depannya.
Hantu Muka Dua menyeringai. "Nyalimu boleh juga
Hantu Jatilandak! Jika saja kau tidak kurang ajar
mungkin kelak kau bisa kupergunakan sebagai salah
satu orang kepercayaanku!" Hantu Muka Dua ulurkan
tangan kirinya dan tepuk-tepuk bahu Hantu Jatilandak
seolah memuji mengagumi. Tapi sebenarnya dia tengah
menjajal kekuatan tenaga dalam makhluk berduri ini.
Hantu Jatilandak merasa bahunya seolah kejatuhan
batu besar. Kalau dia tidak kerahkan tenaga dan ke-
pandaiannya pasti saat itu dia sudah roboh terhenyak
di atas batu. Sebaliknya Hantu Muka Dua diam-diam
merasa terkejut menyaksikan bagaimana tepukan ta-
ngannya yang sama dengan jatuhan batu seberat
seratus kati hanya membuat tubuh Hantu Jatilandak
bergoyang-goyang saja, tidak sampai roboh! Dalam
hati Hantu Muka Dua berkata. "Selama puluhan tahun
pasti Tringgiling Liang Batu dan dua ekor landak sakti
Ku telah menggembleng makhluk ini. Tergantung per-
kembangan keadaan. Jika dia kelak membahayakan
diriku, makin cepat kubunuh makin baik." Begitulah
kekejian Hantu Muka Dua. Meski dia butuh bantuan
orang namun niatnya untuk berbuat jahat bisa saja
dilaksanakannya tanpa menimbang budi!
"Hantu Jatilandak, aku tahu dua malam lalu kau
telah kedatangan satu mimpi. Wahai! Coba kau ingat
baik-baik. Katakan padaku apa yang kau lihat dalam
mimpi. Jangan ada bagian yang terlupa dan tidak akan
kau ceritakan padaku. Mulailah!"
Hantu Jatilandak menatap orang bermuka dua di
depannya sesaat. Lalu dia melirik pada kakeknya.
Tringgiling Liang Batu anggukkan kepala lalu berkata.
"Cucuku, jika benar kau bermimpi dua malam lalu
segera ceritakan pada Hantu Muka Dua apa mimpimu
Ku...."
"Wahai Kakek, aku memang bermimpi. Tapi mimpi
itu kurasa tidak ada sangkut pautnya dengan dirimakhluk bermuka dua ini!"
Meledaklah amarah Hantu Muka Dua mendengar
kata-kata Hantu Jatilandak Ku. Tangan kanannya ber-
gerak menjotos gundukan batu yang diduduki Tring-
giling Uang Batu. "Byaaarrr." Batu besar Ku hancur
berantakan. Sang kakek cepat melesat ke atas, gulung
diri di udara. Waktu jatuh ke tanah dia menggelinding
lalu duduk di atas sebuah batu lain tak jauh dari
tempatnya duduk semula. Sisik di kepala dan mukanya
tampak berjingkrak.
"Hantu Jatilandak!" bentak Hantu Muka Dua sangat
gusar. "Aku meminta kau menceritakan apa mimpimu!
Bukan mengatakan apa yang kau rasakan! Jahanam
keparat! Apa kau ingin aku membuat kau celaka
seumur-umur saat ini juga?!" Dari balik pakaiannya
Hantu Muka Dua keluarkan kantong kain berbercak
kuning. Tringgiling Liang Batu keluarkan seruan
tertahan. Dua ekor landak menggereng sedang Hantu
Jatilandak beringsut mundur. "Sekali bubuk belerang
ini aku taburkan di atas kepala dan tubuhmu, seumur
dunia kau akan lumpuh tiada daya!"
"Wahai cucuku, lekas ceritakan saja mimpimu
padanya!" kata Tringgiling Liang Batu penuh khawatir.
Hantu Jatilandak akhirnya anggukkan kepala. Tan-
pa menatap pada Hantu Muka Dua dia mulai menutur.
"Dua malam lalu, aku gelisah melihat sudah sekian
lama kau tidak bisa tidur Kek. Aku coba memicingkan
mata. Tapi sulit. Baru menjelang dinihari aku akhirnya
bisa memicingkan mata. Tidurku singkat sekali. Tapi
justru dalam tidur pendek itu aku bermimpi. Aku melihat
tiga sosok aneh muncul di pantai pulau. Tiga manusia
katai yang tubuhnya hanya setinggi lutut seolah-olah
tersembul keluar dari gulungan ombak...."
"Tiga orang katai yang kau lihat dalam mimpi itu,"
memotong Hantu Muka Dua. "Apakah mereka lelaki
atau perempuan?"
"Ketiganya laki-laki. Satu seorang kakek, satunya
lagi seorang pemuda berambut gondrong. Yang ketigakalau aku tidak salah mengingat seorang anak lelaki...."
"Hemmm.... Teruskan ceritamu Hantu Jatilandak!"
"Pada saat tiga orang katai itu berada di pantai
tiba-tiba melayang satu sosok tubuh aneh dari atas
langit. Wajahnya tak jelas kelihatan tapi sosoknya
mengenakan pakaian panjang berwarna putih. Orang
yang muncul dari langit ini berkata: Tiga makhluk cebol
alam luar dunia seribu dua ratus tahun mendatang!
Darah kalian bertiga adalah darah sakti. Jika diper-
gunakan untuk merendam sebilah keris yang jumlah
luknya kurang dari lima selama tiga bulan purnama,
maka keris itu akan menjadi senjata sakti bertuah.
Jangankan manusia, bangsa Peri dan Dewa sekalipun
tak bakal sanggup menghadapinya. Siapa yang me-
miliki keris itu jadilah dia seorang penguasa di bumi
dan di langit! Mendengar ucapan orang berpakaian
putih panjang itu, tiga manusia cebol menjerit ke-
takutan. Saat itulah aku terbangun dari tidur. Meman-
dang ke timur kulihat fajar telah menyingsing...."
"Mimpi hebat! Mimpi bagus! Wahai Hantu Jatilandak,
itukah semua mimpi yang kau alami? Tak ada sesuatu
yang kau lupakan?!" bertanya mulut Hantu Muka Dua
sebelah belakang.
Hantu Jatilandak gelengkan kepala. "Aku sudah
menuturkan semua yang aku ingat dalam mimpi...."
Dari balik pakaian kulit kayunya Hantu Muka Dua
keluarkan sebuah benda. Ketika diperlihatkannya pada
Hantu Jatilandak, benda itu ternyata adalah sebilah
keris berluk tiga yang belum memiliki gagang.
"Hantu Jatilandak, keris yang disebut orang dari atas
langit dalam mimpimu itu, inilah dia perwujudannya!"
Hantu Jatilandak memperhatikan tak berkedip.
Juga Tringgiling Liang Batu dan dua ekor landak
raksasa sama-sama menatap benda yang ada di tangan
Hantu Muka Dua.
"Sekarang dengar baik-baik wahai Hantu Jatilandak
dan Tringgiling Liang Batui Seperti yang kau lihat dalam
mimpimu! Keris ini akan menjadi senjata sakti bertuah
jika direndam selama tiga purnama dalam darah tiga
manusia katai itu! Dengar Hantu Jatilandak! Tiga
manusia katai yang ada dalam mimpimu itu akan
benar-benar muncul di tempat ini! Aku pernah
melihatnya di daratan sana! Mereka berasal dari negeri
yang seribu dua ratus tahun lebih tua dari negeri kita!
Aku punya firasat dalam waktu beberapa hari ini mereka
akan datang ke pulau ini! Mungkin ada seseorang yang
mengantar mereka. Orang ini tidak lain bekas Kepala
Negeri Latanahsilam yang kini dikenal dengan julukan
Hantu Kaki Batu. Begitu mereka muncul kalian berdua
harus menangkap dan menjagal leher mereka! Lalu
tuangkan darah mereka ke dalam satu tempat! Aku
akan membantu membuat jebakan agar mereka tidak
berdaya. Pada purnama pertama yang akan muncul
tujuh hari dari sekarang aku akan datang ke sini untuk
merendam keris ini! Jika Hantu Kaki Batu berbuat ulah
menghalangi pekerjaan kalian, jangan ragu-ragu mem-
bunuh juga orang itu! Kalian dengar apa perintahku?!
Tringgiling Liang Batu?!"
Makhluk bersisik anggukkan kepala.
"Hantu Jatilandak?!"
"Aku mendengar perintahmu!" menyahuti Hantu
Jatilandak.
Hantu Muka Dua melompat ke satu gundukan batu
yang agak rata dan lebar permukaannya. Tiba-tiba dia
hunjamkan tumit kanannya ke batu itu. Seantero tempat
bergetar keras. Batu yang dihantam tumit Hantu Muka
Dua melesak membentuk lobang ceguk sedalam dua
jengkal.
"Dengar kalian semual Di dala mbatu ini ada lobang
cukup dalam. Kucurkan darah tiga manusia katai itu
ke dalam lobang ini! Tunggu sampai aku datang! Aku
pergi sekarang! Awas! Aku tidak ingin kalian gagal
melakukan perintah!"
Hantu Muka Dua balikkan tubuh hendak melangkah
pergi.
"Tunggu dulu!" Tiba-tiba Tringgiling Liang Batuberseru.
"Apa maumu wahai makhluk bersisik?" tanya Hantu
Muka Dua.
"Kau berjanji akan membebaskan tempat ini dari
bubuk belerang yang bisa meracuni kami! Kuharap
kau segera membersihkan bubuk yang kau tebar dalam
liang batu itu...."
Hantu Muka Dua palingkan kepala ke arah liang
batu berair yang tujuh puluh tahun lalu pernah di-
tebarinya dengan bubuk belerang. Bubuk kuning ini
seolah telah bersatu dengan liang batu dan mempunyai
kekuatan sanggup melumpuhkan bahkan membunuh
Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak serta dua
landak raksasa.
"Aku ingat! Wahai! Tujuh puluh tahun silam memang
aku pernah menebar bubuk belerang di tempat ini!"
berkata Hantu Muka Dua. Lalu dia keluarkan kantong
kain berisi bubuk belerang yang selalu dibawanya ke
mana-mana. Penutup kantong dibukanya. Dia
melangkah ke tepi liang.
Tringgiling Liang Batu yang jadi curiga segera
membentak. "Apa yang hendak kau lakukan?!"
"Betul, apa yang hendak kau lakukan wahai Hantu
Muka Dua?' Yang bertanya adalah mulut Hantu Muka
Dua sebelah belakang yang berwajah hitam keling
berkilat.
Mulut Hantu Muka Dua sebelah depan tertawa
mengekeh lalu menjawab. "Siapa yang percaya pada
kalian semua! Bukan mustahil kalian tidak melakukan
apa yang aku perintahkan! Aku perlu jaminan! Bubuk
yang kutebar dulu mungkin kurang banyak! Biar
kutambahi! Ha... ha... ha...!"
Lalu Hantu Muka Dua tebarkan bubuk belerang
dalam kantong kain ke dalam liang batu bahkan kini
sampai ke pinggir-pinggir lobang. Tringgiling Liang
Batu, Hantu Jatilandak, Laeruncing dan Laelancip
terpaksa mundur menjauh.
"Tunggu kedatanganku pada malam bulan purnamamendatang! Jika kalian gagal membunuh tiga
manusia cebol itu! Jangan paksa aku menambah isi
liang batu itu dengan air laut lalu kucampur dengan
bubuk belerang. Lalu kalian akan kucelupkan ke dalam
liang! Biar mampus semua!"
"Hantu Muka Dua! Sungguh busuk dan keji
perbuatanmu!" teriak Tringgiling Liang Batu.
"Kau penipu jahat!" teriak Hantu Jatilandak
sementara dua landak raksasa keluarkan suara
menggereng keras.
"Wahai! Aku tidak menyalahkan kalian memakiku
seperti itu!" jawab Hantu Muka Dua. "Bukankah aku
yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Hantu
Segala Nafsu?! Ha... ha... ha!"
*
* *
SEBELAS
KITA kembali pada Pendekar 212 Wiro Sableng,
Lakasipo, Naga Kuning dan Setan Ngompol yang
terpesat ke pulau dan masuk ke dalam Rimba
Lahitamkelam. Seperti diceritakan, begitu memasuki
rimba belantara mereka menemukan deretan patung-
patung kayu aneh di sisi kiri dan kanan sebuah jalan
setapak. Begitu mereka berusaha melewati deretan
patung sebelah depan, tiba-tiba patung pada deretan
pertama dan kedua bergerak melakukan serangan
mematikan. Untung Wiro memperingatkan hingga
Lakasipo bergerak cepat. Dengan salah satu kaki
batunya lelaki berjuluk Hantu Kaki Batu ini berhasil
menghancurkan tiga patung kayu.
Walau mengalami hal berbahaya itu namun Lakasipo
dan tiga saudara angkatnya itu memutuskan untuk
meneruskan perjalanan, memasuki rimba belantara
melalui jalan setapak yang di kiri kanannya dipenuhi
deretan patung-patung aneh. Patung-patung ini adalah
hasil ciptaan Hantu Muka Dua yang sengaja dibuat
untuk menjebak ke empat orang itu.
"Dukkk... dukkkk!"
Kaki-kaki batu Lakasipo bergerak melangkah, me-
nimbulkan getaran keras di tanah rimba. Wiro, Naga
Kuning dan Setan Ngompol berada dalam dukungan
tangan kirinya. Melewati deretan patung ketiga, tidak
terjadi apa-apa.
"Awas," bisik Wiro. "Barisan patung ketiga bisa
aman-aman saja. Jangan percaya pada deretan ke-
empat dan kelima!"
Lakasipo pentang mata lebar-lebar dan pasang
telinga tajam-tajam. Dia siap melewati barisan patung
keempat. Hampir melewati tiba-tiba patung di barisan
kelima jatuh seperti roboh, malang melintang satu
sama lain di tanah di hadapan Lakasipo.
"Jangan tertipu! Lihat!" Naga Kuning tiba-tiba ber-
teriak.
Patung di barisan keempat mendadak memukul
ke arah kepala dan ulu hati Lakasipo. Ketika Lakasipo
menghindar dengan mundur satu langkah, patung di
barisan ketiga bergerak. Dua patung ini tidak memukul
atau menendang tapi putarkan kepala. Tahu-tahu dari
celah yang membuka di dasar leher menyembur ke
luar asap hijau!
"Awas! Mungkin asap beracun!" teriak Setan
Ngompol.
'Tutup jalan pernafasan!" teriak Lakasipo. Lalu dia
jatuhkan diri, berlutut di tanah. Tangan kanannya di-
pukulkan ke depan. Patung kayu di sebelah kanan
hancur berantakan. Lakasipo pergunakan kesempatan
untuk menerobos masuk sekaligus menghindarkan
asap hijau yang membuat pernafasannya jadi sesak.
Dengan melangkah cepat Lakasipo berhasil melewati
deretan patung-patung kayu kelima sampai kesepuluh
tanpa terjadi apa-apa. Tapi tiba-tiba dari atas melayang
turun dua buah patung kayu. Satu membawa tameng
kayu satunya membawa tongkat berbentuk tombak.
"Nafasku sesak!" teriak Wiro. Dia coba mengatur
jalan pernafasan dan aliran darah.
"Aku juga!" kata Naga Kuning.
"Aku tak tahan kencing!" teriak Setan Ngompol.
Lakasipo tidak perhatikan teriakan tiga saudara
angkatnya itu karena saat itu dari depan patung yang
memegang tombak kayu menyergap dengan satu
tusukan! Yang di arah adalah kepala.
"Wuuuuttt!"
Lakasipo melompat mundur. Begitu serangan lewat
dia cepat kirimkan jotosan ke arah patung kayu yang
memegang tombak. Namun patung satunya, yang
membawa tameng besar, seolah hidup maju menyong
song dan melintangkan tameng menangkis pukulan
Lakasipo.
"Braaakkk!"
Tameng kayu hancur berantakan tapi Lakasipo
sendiri jatuh punggung di tanah. Wiro dan kawan-
kawannya ikut berpelantingan. Saat itulah belasan
patung kayu yang ada di deretan sebelah dalam dengan
langkah-langkah kaku bergerak mendekati Lakasipo,
siap menginjak-injaknya.
Dalam keadaan seperti itu Lakasipo cepat menolong
tiga kawannya namun Wiro berseru. "Biarkan kami
bertiga! Hadapi patung-patung itu. Aku dan kawan-
kawan akan berusaha menyelinap. Patung-patung
sialan itu pasti digerakkan dengan semacam alat rahasia!
Kami bertiga berusaha mencarinya!"
"Jangan kemana-mana! Terlalu berbahaya!" teriak
Lakasipo;
"Bukkk... bukkk!"
Dua patung kayu berhasil menendang paha dan
pinggul Lakasipo. Sakit dan marah Lakasipo meng-
geram lalu melompat bangkit. Dua kakinya meng-
hantam kian kemari. Beberapa patung kayu hancur.
Namun dari dalam rimba belantara muncul lagi selusin
patung sementara asap hijau kini kelihatan di beberapa
tempat. Lakasipo tidak takut pada patung-patung kayu
itu walau jumlah mereka bertambah banyak. Namun
asap hijau yang menyesakkan membuat dia khawatir
atas diri Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol.
"Lakasipo!" tiba-tiba terdengar teriakan Wiro. "Kami
menemukan alat rahasia pusat kendali patung-patung
kayu itu! Lekas ke sini! Kami tak sanggup
menghancurkannya!"
Lakasipo cepat melompat ke arah datangnya suara
teriakan Wiro. Namun empat patung kayu
menghadangnya.
"Jahanam!" rutuk Lakasipo. Dia melompat ke atas.
Sambil bergelantungan pada cabang pohon jati berduri
tanpa perdulikan tangannya tertusuk luka Lakasipoayunkan tubuh. Dua kakinya yang terbungkus batu
menderu. Empat patung mental hancur berantakan.
"Wiro! Kau dimana?!" teriak Lakasipo.
"Di sini!"
Lakasipo melompat turun, bergerak cepat di antara
pohon-pohon jati. Pakaiannya yang terbuat dari kulit
kayu robek-robek terkait duri. Tubuhnya sendiri ikut
tergores luka di bahu, dada dan pinggul. Tapi Lakasipo
tidak perduli. Dia terus bergerak, menyeruak di antara
pohon-pohon jati berduri. Sesekali bila celah antara
dua pohon terlalu sempit dan tak bisa dilewati tubuhnya
yang kekar besar, Lakasipo pergunakan kaki batunya
untuk menghantam roboh pohon Ku.
"Lakasipo! Jangan mengamuk macam orang
kesetanan! Pohon tumbang bisa menimpa kami!"
Terdengar teriakan Setan Ngompol. Tentu saja disertai
pancaran air kencing karena tegang ketakutan.
Di satu tempat di balik semak belukar di antara
pohon-pohon jati berduri akhirnya Lakasipo temui ke
tiga orang itu.
"Wahai! Mana alat rahasia itu?"
Wiro dan dua kawannya menunjuk ke atas
pepohonan. Hampir sulit terlihat pandangan mata, di
atas beberapa pohon jati berduri kelihatan benang-
benang halus malang melintang dari satu pohon ke
pohon lainnya. Lalu benang-benang ini menjulur ke
bawah, menempel di batang-batang pohon.
"Aku tidak menemukan kemana lenyapnya ujung-
ujung benang aneh ini!" kata Lakasipo sambil besarkan
mata memeriksa.
Murid Sinto Gendeng yang pernah tahu seluk beluk
segala macam senjata rahasia memperhatikan ber-
keliling lalu berkata. "Jika yang digerakkan adalah
patung-patung kayu, berarti benang-benang itu ber-
hubungan dengan sosok patung itu!"
"Akan kita selidiki. Tapi benang-benang celaka itu
harus kumusnahkan lebih dulu!" kata Lakasipo pula.
Lalu tidak kepalang tanggung manusia bergelar Hantu
Kaki Batu ini lepaskan empat kali berturut-turut pukulan
sakti bernama "Lima Kutuk Dari Langit'. Setiap dia
menghantam lima larik sinar hitam menderu keluar
dari lima ujung jari tangannya.
Jangankan benang-benang halus, pohon-pohon
jati raksasa pun hancur berantakan. Yang masih berdiri
telah berubah hitam dan menciut! Di saat yang sama
terdengar suara menggemuruh di bagian dalam rimba
belantara. Dua lusin patung kayu yang disiapkan Hantu
Muka Dua untuk menjebak keempat orang itu roboh
tumpang tindih karena tidak lagi terkendali oleh alat
rahasia berupa benang-benang aneh yang telah ber-
putusan.
"Benar-benar edan!" maki Setan Ngompol seraya
tetap bagian bawah perutnya tapi tetap saja sudah
terlanjur kencing duluan.
"Kita tetap harus berhati-hati. Bukan mustahil ada
jebakan lain yang lebih berbahaya!" kata murid Sirrto
Gendeng.
"Menurut kalian siapa yang coba mencelakai kita?'
tanya Naga Kuning. "Hantu Jatilandak atau Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab, gurunya si Hantu Muka Dua itu?'
"Besar kemungkinan Hantu Jatilandak. Karena aku
yakin ini adalah pulau kediamannya." Menjawab
Lakasipo.
"Kita tidak ada permusuhan dengan dia. Malah
bertemu pun belum! Mengapa sejahat itu tindakannya?!"
ujar Wiro Sableng.
"Sebentar lagi sore akan segera berubah malam.
Baiknya kita segera tinggalkan tempat ini. Kembali ke
pantai. Besok pagi-pagi kita teruskan menyelidik
keadaan pulau ini." Yang bicara adalah si Setan
Ngompol.
Lakasipo berpaling pada Wiro dan Naga Kuning.
Akhirnya semua setuju untuk kembali ke pantai.
Lakasipo segera memasukkan tiga saudara angkatnya itu
ke balik sabuk lalu melangkah ke jurusan dari arah
mana dia sebelumnya datang. Tak selang berapa lama,setelah berjalan cukup jauh dan rasa-rasa sudah akan
sampai ke pantai tiba-tiba Lakasipo hentikan
langkahnya. Dia memandang berkeliling.
"Aneh," kata Lakasipo. "Sepertinya kita berada di
tempat ini-ini juga. Wahai! Padahal aku sudah berjalan
jauh,,.."
"Aku mendengar suara debur ombak. Pasti kita
berada dekat pantai," ujar Wiro. "Lakasipo, coba kau
berjalan ke arah sana. Arah datangnya suara ombak
itu!"
Lakasipo lakukan apa yang dikatakan Wiro. Namun
setelah beberapa lama berlalu kembali dia hentikan
langkah. "Wahai saudara-saudaraku, kita ternyata tidak
kemana-mana. Ini tempat yang tadi-tadi juga. Kita
berputar-putartak karuan. Suara ombak jelas terdengar
di sebelah sana tapi begitu berjalan ke arah situ, kita
malah menjauh. Lalu tahu-tahu ada di sini lagi!"
Wiro garuk-garuk kepala. "Kita coba sekali lagi,"
katanya. 'Tempuh jalan setapak yang sebelumnya
dipagari patung-patung kayu itu."
"Hemmm...." Lakasipo bergumam ragu. Tapi akhirnya
kembali dia menuruti apa yang dikatakan murid Sinto
Gendeng itu. Dia melewati jalan setapak yang penuh
dengan rubuhan patung-patung kayu.
"Ah! Sekali ini kita menempuh jalan yang betul.
Kita masuk ke dalam hutan, bukan ke arah datangnya
suara debur ombak!" Berucap Naga Kuning.
Tetapi tak selang berapa lama Lakasipo keluarkan
seruan. "Gila! Lihat! Kita kembali ke tempat tadi lagi!"
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol memandang
berkeliling terheran-heran.
"Jangan-jangan ini hutan siluman!" kata Naga Kuning.
"Kau jangan bicara menakuti membuat aku jadi
terkencing!" kata Setan Ngompol seraya tekap auratnya
sebelah bawah.
"Ada yang tidak beres di tempat ini. Tak ada jalan
lain. Sampai malam tiba dan pagi datang kita terpaksa
tetap berada di sini..." kata Lakasipo lalu duduk di atas
runtuhan patung kayu.
"Aku justru merasa was-was kalau kita terus berada
di sini. Jika ini semua adalah jebakan, berarti mungkin
ini yang dimaui oleh si penjebak. Berarti di tempat ini
masih ada bahaya mengintai.... Jangan-jangan si pen-
jebak sengaja menunggu sampai malam tiba...."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" ujar Lakasipo.
"Diam di sini berbahaya. Berjalan tak ada gunanya...."
Untuk beberapa lamanya tak ada yang bicara.
Setan Ngompol tiba-tiba ulurkan tangan kirinya yang
sejak tadi ditekapkan ke bawah perut, memegang
lengan Wiro. "Kakek sial! Jangan sentuh lenganku!
Tanganmu basah oleh air kencing!"
"Hik... gik!" Si kakek menyeringai menahan tawa.
"Setahuku kau punya ilmu Menembus Pandang yang
kau dapat dari Ratu Duyung. Coba kau kerahkan
kesaktian untuk menyelidiki seantero tempat ini. Mung-
kin kau bisa dapatkan satu petunjuk kemana kita harus
bergerak...."
"Beberapa waktu lalu aku sudah pernah melakukan.
Tapi tidak berhasil," jawab Wiro bersungut-sungut
seraya geserkan lengannya yang basah barusan di-
pegang si kakek. Disebutnya nama Ratu Duyung oleh
Setan Ngompol membuat Wiro jadi terkenang pada
gadis cantik sakti yang merupakan salah satu penguasa
di kawasan laut selatan itu. (Baca serial Wiro Sableng
berjudul Wasiat Iblis terdiri dari 8 Episode dan Tua Gila
Dari Andalas terdiri dari 11 Episode) Perlahan meluncur
ucapannya. "Kalau saja Ratu Duyung ada di sini, mung-
kin dia bisa menolong kita.... Ah!" Wiro garuk-garuk
kepalanya.
"Tak bisakah kau memanggilnya. Maksudku
mengadakan sambung rasa hingga dia bisa memberi
petunjuk?" tanya Naga Kuning sementara Lakasipo
diam tidak mengerti apa yang dibicarakan sobat-
sobatnya itu.
"Kita berada di alam yang berbeda. Terpisah seribu
dua ratus tahun. Mana mungkin....""Tapi Wiro," kata Naga Kuning pula. "Waktu tempo
hari kau mencoba ilmu Menembus Pandang dan gagal,
saat itu keadaan tubuh kita masih sebesar jari. Mana
mungkin menghimpun tenaga dalam dan alirkan hawa
sakti. Kalaupun bisa tak ada arti dan kekuatan apa-apa.
Tapi sekarang keadaan tubuh kita sudah lebih besar.
Walau belum sebesar Lakasipo, kalau kau coba
mengerahkan kesaktian apa salahnya...."
"Naga Kuning betul. Saudaraku Wiro, jika kau
memang punya ilmu, wahai mengapa tidak
mencobanya!" kata Lakasipo pula.
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
"Akan kucoba!" katanya akhirnya. Lalu dia bayangkan
wajah Ratu Duyung, perlahan-lahan alirkan tenaga
dalam ke arah dua matanya. Dalam keadaan biasa
sebenarnya Wiro tidak perlu mengerahkan tenaga dalam.
Wiro memandang tak berkesip dan lurus ke depan.
"Aku tidak melihat apa-apa..." kata Wiro.
Naga Kuning dan Setan Ngompol tampak kecewa.
"Kerahkan lagi tenaga dalammu Wiro. Coba
memandang ke jurusan lain. Kita harus beranjak dari
tempat ini sebelum malam tiba!" kata Setan Ngompol
cemas.
"Aku akan membantu jika kekuatan tenaga dalammu
tidak bisa kau keluarkan," kata Lakasipo pula.
"Tunggu!" seru Wiro tiba-tiba. "Aku seperti melihat
pedataran di kejauhan. Pedataran itu bergerak. Berarti
bukan pedataran tapi laut...." Wiro menggeser
pandangannya ke kiri. Samar-samar dia hanya melihat
deretan pepohonan dan kegelapan. Dia memutar lagi
kepalanya. Tampangnya berubah. "Eh, sepertinya ada
bukit-bukit batu di arah timur sana. Ada benda-benda
bergerak di kejauhan. Seperti sosok manusia...."
"Berarti kita harus menuju lurus ke timur!" kata
Lakasipo. "Wiro, harap kau kerahkan terus ilmu
kesaktianmu. Beri tahu kalau langkahku melenceng!"
"Duuukkk... duuukkkk... duukkk!"
"Terus saja Lakasipo! Beberapa puluh tombak lagikita akan sampai ke bebukitan batu itu. Aku melihat
ada dua orang di tempat itu. Tapi... aku juga melihat
ada dua benda besar aneh melata di tanah...."
Lakasipo melangkah ke timur. Setelah berjalan
sejauh empat puluh tombak tiba-tiba "kraaakkk!" Ada
bunyi seperti kayu patah di bawah injakan kaki Laka-
sipo. Lalu tanah yang dipijaknya amblas. Sesaat
kemudian sosok Lakasipo terjerumus masuk ke dalam
sebuah lobang sedalam satu setengah kali tinggi
tubuhnya!
"Celaka! Kita terjebak!" teriak Lakasipo. Dia me-
mandang ke bawah. Ternyata dasar lobang berupa
lumpur aneh. Bagaimana pun dia kerahkan tenaga
untuk melompat ke atas agar bisa keluar dari lobang,
ke dua kakinya selalu amblas! Sementara itu dari empat
sudut lobang mengucur keluar air berwarna hitam dan
panas. Kulitnya seperti disengat!
"Saudara-saudaraku!" kata Lakasipo. "Aku tak bisa
keluar dari dalam lobang ini! Biar kalian kuselamatkan
lebih dulu!"
"Lakasipo! Kita bersaudara! Kalau mati biar kita
mati bersama dalam lobang ini!" teriak Pendekar 212.
Sementara Naga Kuning pucat pasi wajahnya dan
mulutnya terkancing. Setan Ngompol tak perlu
diceritakan. Sejak Lakasipo jeblos ke dalam lobang
besernya tak tertahankan lagi!
"Wiro! Kalian semua jangan bodoh! Kalau ada
yang hidup di antara kita usahakan mencari
pertolongan!" Lalu dengan cepat Lakasipo lepaskan
sosok Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol dari balik
sabuknya. Ketiga orang ini kemudian dilemparkan ke
atas lobang. "Menjauh dari lobang! Lekas pergi dari
tempat ini!"
"Kau sendiri bagaimana?!" balas berteriak Pen-
dekar 212 Wiro Sableng.
"Jangan perdulikan diriku! Kalian cepat pergi!"
jawab Lakasipo. Sementara itu air hitam panas yang
menyembur keluar dari empat sudut lobang telah naiksetinggi betis! Tapi tidak satupun dari ke tiga orang
Ku beranjak dari tepi lobang.
"Hai! Lekas pergi!" teriak Lakasipo.
Naga Kuning dan Setan Ngompol saling pandang.
"Kita harus cari akal menolong Lakasipo!" kata Naga
Kuning.
Setan Ngompol memandang berkeliling. "Kalau
saja kita bisa menemukan akar gantung...."
Wiro memandang berkeliling sambil garuk-garuk
kepala. Otaknya buncah. Tiba-tiba matanya menyipit.
Keningnya mengerenyit dan dadanya berdebar. "Aku
melihat ada sosok tubuh aneh menggelinding dari
kawasan bebatuan. Menuju ke sini!"
"Pasti siluman penguasa rimba belantara ini!" kata
Setan Ngompol dengan suara bergetar lalu semburkan
kencing!
*
* *
DUA BELAS
AIR hitam di dalam lobang semakin tinggi. Kini mulai
mendekati lutut Lakasipo dan panasnya bukan main.
Lakasipo coba angkat kaki kanannya untuk menghantam
dinding lobang. Namun kaki sebelah kiri amblas ke
dalam dasar lobang hingga tubuhnya hampir terbanting
jatuh.
"Wiro!" Lakasipo berteriak. "Air hitam celaka ini
panas sekali. Aku tidak tahan! Rasanya seperti direbus!"
"Lakasipo! Bertahanlah! Kami mencari akal
menolongmu!" teriak Naga Kuning. Tapi sebenarnya dia
sendiri tidak tahu akal apa yang bisa diperbuat
sementara si Setan Ngompol tergeletak di tanah
terkencing-kencing habis-habisan. Wiro terduduk di
tanah. Tangannya kiri kanan menggaruk pulang balik.
"Tak ada tali, tak ada akar gantung. Kalaupun ada tak
mungkin aku dan kawan-kawan menarik sosok Lakasipo
keluar dari lobang. Kalau air hitam panas itu naik
mencapai bagian bawah perutnya celaka besar! Bisa-
bisa barangnya berubah jadi dua telor rebus!"
"Hik... hik... hik!" Naga Kuning tertawa cekikikan
mendengar ucapan Wiro itu. Sebaliknya Setan Ngompol
membentak marah ialu terkencing.
"Dalam keadaan begini rupa kalian masih bisa
bergurau! Kalian yang bakal celaka!"
Duduk di tanah Wiro masih tampak bingung dan
garuk-garuk kepala. "Gusti Allah!" Tiba-tiba murid Sinto
Gendeng ini berseru memanggil Tuhan. "Bagaimana
ini! Tuhanku! Apa akan kau biarkan Lakasipo menemui
ajal dalam lobang itu?! Kami mohon pertolonganMu
wahai Tuhan Yang Maha Kuasa!"
Dari dalam lobang Lakasipo yang sempat mendengarucapan Wiro lantas bertanya. "Kau menyebut nama
seseorang! Gusti Allah. Lalu Tuhan! Kau minta tolong
padaNya! Memangnya Gusti Allah itu siapa? Temanmu?
Gurumu? Atau ayahmu?!"
Kalau bukan dalam keadaan seperti itu mungkin
Naga Kuning dan Setan Ngompol sudah memaki.
"Lakasipo makhluk geblek!" murid Sinto Gendeng
yang memaki. Tapi cuma dalam hati. Dengan suara
keras bergetar dia kemudian berkata.
"Gusti Allah sama dengan Tuhan! Dia adalah yang
menciptakan langit dan bumi! Menciptakan manusia
termasuk aku dan dirimu! Dia Maha Kuasa, Maha
Pengasih, Maha Penolong! Dia adalah Satu. Dia adalah
Tunggal. Dia yang menciptakan siang dan malam.
Menciptakan susah dan senang. Itu sebabnya guruku
Eyang Sinto Gendeng memberi jarahan angka 212 di
tubuhku. Agar aku selalu ingat pada Tuhan Maha Kuasa
dan percaya bahwa Dia yang menjadikan segala-
galanya!"
"Saudaraku Wiro, wahai! Sulit bagiku mencerna
semua ucapanmu. Setahuku yang menciptakan diriku
adalah ayah dan ibuku. Tapi sudahlah! Jika kau terus
menceloteh kapan kau akan menolongku?!" teriak
Lakasipo dari dalam lobang. Air hitam panas mulai
melewati lututnya. "Kalau Gusti Allah dan Tuhanmu itu
Maha Kuasa Maha Penolong, mengapa kau tidak lekas-
lekas minta Dia menolongku?!"
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Gusti Allah pasti
mendengari Tuhanku pasti melihat! Dia pasti akan
menolongmu, Lakasipo! Bertahanlah! Tabahkan hatimu?'
teriak Wiro. Dia tekapkan dua tangannya ke mukanya.
Terus terang dia tidak tahu dan belum menemukan cara
bagaimana harus menolong Lakasipo. Dalam hati tidak
putus-putusnya dia menyebut nama Tuhan dan
memohon pertolongan. Tiba-tiba Wiro melompat bangkit
sambil berteriak keras.
"Astaga! Ada apa dengan dirimu Wiro?!" tanya
Naga Kuning.
"Jangan-jangan dia sudah kemasukan roh jahat
penghuni rimba belantara ini!" kata si Setan Ngompol.
'Tuhan! Beri saya kekuatan!" teriak Wiro. Lalu
tangannya bergerak ke pinggang. Di lain kejap sebuah
benda berkilauan berada dalam genggamannya.
"Kapak Maut Naga Geni 212!" seru Naga Kuning
dan Setan Ngompol berbarengan.
"Bagaimana dia bisa menolong Lakasipo dengan
kapak itu?!" ujar Setan Ngompol. "Keadaan tubuhnya
hanya sebesar betis. Tenaga dalamnya tak mungkin
diharapkan!"
"Kalau mengandalkan kekuatan dirinya sendiri aku
juga tidak yakin dia mampu berbuat sesuatu Kek!"
menyahuti Naga Kuning. "Tapi kalau Yang Maha Kuasa
turun tangan menolong! Semua pasti bisa menjadi
kenyataan!"
Wiro memandang berkeliling. Tiba-tiba dia lari ke
arah satu pohon jati di sebelah kiri, dua tombak dari
tepi lobang maut. 'Terlalu dekat...." Wiro berucap. Dia
bergerak ke pohon jati lainnya. Memandang mengukur-
ukur. "Masih terlalu pendek. Ujungnya cuma bisa me-
lintang di atas lobang. Tak bisa digapai Lakasipo...."
Wiro berpaling ke kiri. Dia menghampiri pohon jati
ketiga sambil menghitung langkah lalu memandang
ke lobang. "Ini pasti bisa tepat..." kata Wiro dalam hati.
Lalu tanpa tunggu lebih lama dia kerahkan tenaga
dalam. Dua mata Kapak Maut Naga Geni 212 walau
ukurannya masih kecil dibanding dengan segala se-
suatu yang ada di alam Negeri Latanahsilam namun
tidak terduga aliran tenaga dalam murid Sinto Gendeng
itu ternyata sanggup membuat pancaran sinar
menyilaukan. Kalau biasanya Wiro selalu memegang
senjata sakti itu dengan satu tangan maka kini dia
memegang dengan dua tangan sekaligus.
Wiro ayunkan Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar
putih berkiblat. Suara menggaung seperti ratusan tawon
mengamuk memenuhi tempat itu. Naga Kuning
berseru gembira. Setan Ngompol bangkit tertegun."Craaakkk!"
Bagian batang pohon jati berduri somplak besar
pada bagian tiga jengkal di atas tanah dihantam mata
kapak sakti. Semangat Pendekar 212 jadi tambah
berkobar. Dia menghantam lagi, lagi dan lagi! Tiada
henti seolah orang kemasukan setan! Sebelas kali
membacok, pohon itu tampak bergetar. Wiro kembali
membacok. Kali ini dari jurusan yang berlawanan dari
bacokan semula. Terdengar suara berkereketan.
"Kraaaaaakkkk!"
Pohon jati besar berduri itu tumbang, jatuh melintang
tepat di atas lobang dengan ujung menghunjam ke
bawah, menusuk ke dinding lobang. Lakasipo berteriak
keras. Kalau tidak cepat dia merunduk dan jatuhkan diri
ke samping niscaya kepalanya kena hantaman pucuk
pohon jati!
Naga Kuning dan Setan Ngompol bersorak gembira.
Dia kini maklum apa sebenarnya yang telah dilakukan
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di dafam lobang Lakasipo ulurkan tangannya ke atas.
Dia berhasil menjangkau batang pohon yang masuk ke
dalam lobang!
"Wiro! Kau yang punya usaha! Tapi ini pasti wahai
Tuhan Gusti Aliahmu yang menolong!" teriak Lakasipo.
"Tuhanmu hebat! Bisakah aku bertemu denganNya
untuk mengucapkan terima kasih?!"
"Lakasipo! Jangan bicara ngawur! Lekas keluar
dari lobang itu!" teriak Naga Kuning.
Lakasipo seolah sadar segera ayunkan tubuh me-
lesat ke atas. Namun sebelum dia mendarat di tepi
lobang tiba-tiba dari arah timur muncul suara meng-
gemuruh. Sebuah benda kuning kecoklatan meng-
gelinding di sela-sela pohon jati. Sebelum Wiro dan
dua kawannya tahu benda apa itu adanya tiba-tiba
tubuh mereka masuk dalam cekalan sebuah tangan
aneh, kuning coklat dan ditumbuhi duri-duri panjang!
Di lain kejap ketiga orang itu dibawa melesat meng-
gelinding ke arah timur rimba belantara Lahitamkelam!Setan Ngompol menjerit terkencing-kencing. Naga
Kuning walau takut setengah mati tapi masih bisa
memaki panjang pendek. Wiro sendiri yang telah men-
cium adanya bahaya besar dan saat itu masih me-
megang Kapak Maut Naga Geni 212, tanpa perdulikan
arah atau apa yang dihantamnya segera saja bacokkan
senjata mustikanya.
"Wuuuttt!"
"Craassss!"
Ada suara benda putus disusul jeritan aneh, se-
tengah jeritan manusia setengah gerengan binatang.
Dia membabat sekali lagi. Namun kali ini cekalan di
tubuhnya seperti menghancur luluhkan tulang
belulangnya. Wiro terkulai mengerang kesakitan. Kapak
Maut Naga Geni 212 hampir saja terlepas dari
pegangannya.
Tiba-tiba gerak menggelinding berhenti. Wiro dan
kawan-kawannya yang masih berada dalam cekalan
mengeluh tinggi, terhuyung nanar. Penglihatan mereka
bukan saja samar tapi juga nanar.
"Wiro.... Apa sebenarnya yang terjadi dengan diri
kita?!" Naga Kuning buka suara.
"Di mana kita berada.... Mana Lakasipo?!" tanya
Setan Ngompol.
Sekonyong-konyong cekalan di tubuh ketiga
orang itu terlepas. Tapi mereka bukan dilepas baik-
baik melainkan dilemparkan ke tanah di antara
gundukan-gundukan batu.
"Mati aku!" jerit Naga Kuning yang terbanting
tertelentang. Lalu mengerang tapi juga memaki di sela-
sela erangannya.
"Pecah kantong menyanku!" jerit Setan Ngompol
terus beser. Waktu jatuh dia tertelungkup dan bagian
bawah perutnya tepat menghantam jendolan batu!
Wiro sendiri merasa pinggulnya sebelah kanan
seolah remuk. Terhuyung-huyung dia bangkit berdiri.
Tapi belum sempat tegak, pemuda ini jatuh terduduk
dengan muka pucat dan mata mendelik. Seumurhidupnya dia belum pernah melihat makhluk sedahsyat
ini. Entah setan alas atau jin dedemit yang tegak di de-
pannya. Sosok makhluk ini kurus jangkung. Hanya
mengenakan sehelai cawat kulit kayu. Badannya ber-
warna kuning termasuk sepasang matanya. Sekujur
tubuhnya mulai dari kepala, muka, tubuh sampai ke
kaki penuh ditumbuhi duri-duri panjang tajam seperti
bulu landak! Saat itu Naga Kuning dan Setan Ngompol
telah pula melihat kehadiran makhluk ini. Keduanya
langsung melompat bergabung dengan Wiro, gemetar
ketakutan setengah mati!
"Kawan-kawan..." bisik Wiro. "Jangan-jangan ini
makhluk yang oleh Lakasipo disebut Hantu Jatilandak.
Penguasa rimba Lahitamkelam. Kaki tangan Hantu
Muka Dua!"
"Celaka! Mati kita semua! Pasti kita akan dikunyah-
nya mentah-mentah!" kata Setan Ngompol sambil ter-
kencing-kencing.
"Tiga manusia cebol setinggi lutut!" Tiba-tiba
makhluk yang tubuhnya ditumbuhi duri dan bukan lain
adalah Hantu Jatilandak berucap. Suaranya membuat
seantero tempat bergetar dan sosok Wiro serta kawan-
kawannya jadi bergoyang-goyang. "Apakah kalian yang
datang dan berasal dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang?!"
"Eh, bagaimana dia bisa tahu asal usul kita!" bisik
Naga Kuning. "Hati-hati menjawab. Kalau salah jawab
kita bertiga bisa langsung dikeletusnya seperti cabe
rawit!"
Wiro menjura sehormat mungkin. "Makhluk gagah
bertubuh dahsyat, kami bertiga memang berasal dari
negeri seribu dua ratus tahun lebih tua dari negeri ini.
Namun kami bertiga merasa sangat rendah berhadapan
denganmu. Aku bernama Wiro, kakek ini biasa di-
panggil dengan julukan si Setan Ngompol. Dan anak
satu ini bernama Naga Kuning. Apakah benar saat ini
kami berhadapan dengan makhluk hebat bernama
Hantu Jatilandak?
Dua puluh duri di kepala Hantu Jatilandak berjingkrak
tegang. Kumis dan sepasang alisnya mencuat.
"Siapa yang memberi tahu siapa diriku?!" Hantu Jati-
landak bertanya garang lalu meludah ke tanah.
"Claaapp!"
Ludahnya yang berwarna kuning mendarat tepat
di puncak hidung si Setan Ngompol! Si kakek memaki
panjang pendek. "Hantu sialan! Mengapa mukaku yang
kau ludahi! Mana kuning! Mana bau! Huh!" Seperti
mau muntah kakek ini cepat seka ludah di hidungnya
itu. Sambil menahan geli melihat apa yang terjadi Wiro
menjawab pertanyaan Hantu Jatilandak tadi.
"Kami hanya menduga. Lagi pula makhluk
sehebatmu siapa yang tidak pernah mendengar?" jawab
Wiro pula.
Hantu Jatilandak mendengus lalu kembali meludah.
"Aku mendengar orang-orang negeri kalian pandai
bicara bermanis-manis. Padahal dalam hati punya
maksud busuk! Mengapa kalian datang ke pulau ini?
Siapa makhluk yang amblas ke dalam lobang
jebakan?!"
"Kami datang mencari seseorang untuk minta
pertolongan. Pertolongan agar kami bisa kembali ke
negeri kami. Mengenai orang-orang yang masuk ke
dalam lobang jebakan, dia adalah saudara angkat kami.
Namanya Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu...."
Seringai mencuat di mulut Hantu Jatilandak. Lalu
mengumandang gelak tawanya membahana, meng-
getarkan seantero kawasan berbatu-batu. "Ternyata
semua cocok dengan takdir! Ha... ha... ha!"
"Takdir, takdir apa maksudmu Hantu Jatilandak?"
tanya Wiro.
"Takdir bahwa saat ini juga kalian akan meregang
nyawa. Kepala kalian akan kupotes satu demi satu!
Darah kalian akan kuperas dan kumasukkan ke dalam
lobang batu di atas sana! Itulah takdir atas diri kalian!"
Wiro dan kawan-kawannya langsung menggigil.
"Kami tidak berbuat kejahatan di atas pulau ini! Kamitidak punya permusuhan denganmu. Mengapa kau
inginkan jiwa kami. Malah hendak melakukan kekejian
gila terhadap mayat-mayat kami! Memotes kepala
kami! Lalu memasukkan darah kami ke dalam lobang
batu! Mengapa sekejam itu? Untuk apa?!" Suara murid
Sinto Gendeng keras tapi gemetar.
"Sudah kubilang! Kematian kalian adalah takdir!
Darah kalian juga takdir!"
Sambil tekap bagian bawah perutnya yang sudah
basah kuyup si Setan Ngompol memandang berke-
liling. "Kita harus segera cari kesempatan melarikan
diri. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Dalam
gelap kita punya kesempatan. Wiro, pergunakan ilmu
Menembus Pandang yang kau miliki...."
Baru saja si kakek berkata begitu tiba-tiba terdengar
suara bergerubukan seolah ada makhluk berat
melangkah di tanah. Menoleh ke kiri Setan Ngompol
hampir terpekik. Di sampingnya tahu-tahu telah men-
dekam seekor landak raksasa. Mulutnya terbuka lebar.
Taring-taringnya mencuat siap untuk menerkam. Lang-
sung kakek ini melosoh ke tanah, basah kuyup lagi di
bawah perutnya!
"Landak raksasa..." desis Naga Kuning dengan
tenggorokan seolah tercekik. "Wiro, lihat... ada satu
lagi di sebelah sana! Kita tak mungkin melarikan diri!"
Wiro melirik ke kiri. Apa yang dikatakan Naga
Kuning benar adanya. Seekor landak raksasa lagi
mendekam hanya tiga langkah di sampingnya.
Binatang yang satu ini pergunakan dua kaki belakangnya
untuk tegak berdiri sedang dua kaki atasnya terpentang
ke depan laksana sepasang tangan yang siap mencabik-
cabik Wiro dan kawan-kawannya!
"Jangan berharap kalian bisa melarikan diri!" kata
Hantu Jatilandak lalu meludah ke tanah. Bersamaan
dengan itu dia turun dari gundukan batu, bergerak
mendekati ketiga orang itu Wiro ingat, waktu tadi
tubuhnya digulung dan digelinding dia sempat per-
gunakan Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menghantam putus duri di tubuh Hantu Jatilandak. Kini
dalam keadaan terdesak seperti itu mau tak mau dia
berjibaku mengeluarkan semua ilmu dan kesaktian
yang dimilikinya. Maka sambil melintangkan Kapak
Maut Naga Geni 212 di depan dada dia segera berbisik
pada Naga Kuning.
"Kita harus melawan mati-matian. Aku akan meng-
hantam dengan kapak sakti serta pukulan Sinar
Matahari. Kau keluarkan sosok naga yang gambarnya
ada di dadamu! Katakan pada Setan Ngompol agar dia
menghantam dengan pukulan Setan Ngompol
Mengencingi Bumi!"
Naga Kuning mengangguk lalu teruskan bisikan
Wiro pada si kakek. Ketiga orang itu segera kerahkan
tenaga dalam. Namun Hantu Jatilandak tidak terduga
bertindak lebih cepat. Sekali tangannya menyapu maka
ke tiga orang itu kembali amblas masuk dalam
genggaman tangan kirinya, tak bisa berkutik bahkan
bernafas pun sulit!
"Pemuda cebol berambut gondrong! Wahai rupanya
kau yang jadi otak dari kelompokmu! Kau juga yang tadi
melukai dan membabat putus duri-duri di tanganku!
Kepalamu akan kupotes lebih dulu!" kata Hantu
Jatilandak. Lalu ibu jari dan jari telunjuk tangan
kanannya menghunjam ke batok kepala Pendekar 212.
Sekali dua jari itu dipuntir, maka tanggallah leher murid
Sinto Gendeng!
Di saat sangat genting itu tiba-tiba melesat satu
bayangan disertai bentakan keras. Dua buah benda
bulat menderu di udara.
"Braaaakkk!"
Pohon jati besar berduri di samping kanan patah
ialu tumbang bergemuruh.
"Byaaarrr!"
Gundukan batu dua langkah di belakang Hantu
Jatilandak hancur berantakan membuat Hantu Jati-
landak berseru kaget, melesat ke atas. Di udara dia
putar tubuhnya lalu hantamkan tangan kanan. Tapikembali dia berteriak terkejut ketika ada satu benda
bulat menyambar membabat ke arah tangannya!
*
* *
TIGA BELAS
SEPASANG mata Hantu Jatilandak menyorotkan sinar
kuning angker. Sekujur duri coklat di kepala dan
tubuhnya berjingkrak tanda dia berada dalam keadaan
marah besar. Di hadapannya tegak seorang berambut
gondrong awut-awutan. Wajah angker dilebati kumis,
berewok dan janggut. Dua kakinya terbungkus batu
besar berbentuk bulat. Kaki-kaki inilah tadi yang secara
ganas mematahkan pohon, menghancurkan batu besar
dan melabrak ke arah Hantu Jatilandak.
"Makhluk kesasar berkaki batu! Siapa kau! Berani
mati menyerangku! Injakkan kaki di pulau dan
memasuki rimba belantara Lahitamkelam!" Hantu
Jatilandak membentak.
"Kau tidak tahu siapa diriku! Wahai sebaliknya aku
tahu banyak tentang dirimu! Kudengar kau adalah
makhluk aneh tapi berhati polos. Mengapa kini aku
melihat kenyataan sebaliknya?! Tiga makhluk kecil
yang ada dalam genggamanmu itu adalah saudara-
saudaraku! Jika kau tidak segera melepaskan mereka,
saat ini juga akan kuhancur luluhkan tubuhmu!"
"Manusia kaki batu! Jangan bicara sombong! Jika
dugaanku betul maka kau adalah manusianya bernama
Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu! Yang ditakdirkan
ikut mampus bersama tiga makhluk katai ini! Ha... ha...
ha...!" Hantu Jatilandak tertawa bergelak lalu meludah
ke tanah. Tiba-tiba Hantu Jatilandak goyangkan
dadanya. Dua puluh duri landak yang menancap di
dadanya,laksana paku panjang melesat menyerang dua
puluh sasaran di kepala dan tubuh Lakasipo.
"Lakasipo! Awas! Duri-duri itu beracun!" teriak
Pendekar 212 memperingatkan.Mendapatkan dirinya diserang orang serta men-
dengar peringatan murid Sinto Gendeng, Lakasipo
segera jatuhkan diri sama rata ke tanah. Bersamaan
dengan itu dia gerakkan kaki batunya sebelah kanan
dalam gerakan seputar lingkaran. Inilah jurus yang
disebut "Kaki Roh Pengantar Maut'!
"Traakkk... traakkk... traaakk...!"
Belasan duri landak mental patah dan hancur.
Enam buah melesat di udara kosong. Namun dua duri
masih sempat menancap di bahu kiri Lakasipo. Serta
merta Lakasipo merasakan tubuhnya panas. Cepat dua
duri landak itu dicabutnya. Darah menyembur. Lukanya
tampak menggembung!
Enam duri landak yang tidak mengenai sasaran
secara aneh berbalik dan menancap kembali di dada
Hantu Jatilandak. Makhluk ini menggeram marah karena
sebagian dadanya kini menjadi gundul akibat hancurnya
duri-duri yang terkena hantaman kaki batu Lakasipo.
"Celaka! Duri-duri jahanam itu benar-benar beracun!
Apa yang harus kulakukan!" keluh Lakasipo sambil
menggigit bibir menahan sakit.
Wiro yang maklum bahaya besar mengancam
Lakasipo segera berteriak. "Lakasipo! Lekas luruskan
dua jari tangan kananmu! Totok urat besar di
permukaan ketiak kiri! Cepat!"
Lakasipo segera lakukan apa yangdikatakan murid
Sinto Gendeng. Sementara itu dengan susah payah Wiro
serta dua kawannya berusaha keluar dari jepitan tangan
Hantu Jatilandak. Begitu ada kesempatan dia segera
hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke pergelangan
tangan kiri Hantu Jatilandak.
"Craaasss!"
Hantu Jatilandak seperti disengat kalajengking.
Sekujur lengannya terasa panas. Darah mengucur dari
luka di lengan sementara tiga duri landaknya ikut
terbabat putus. Naga Kuning tak tinggal diam. Tangan
kanannya dicengkeramkan ke telapak tangan Hantu
Jatilandak. Lalu dia alirkan tenaga dalam dan lepaskanilmu kesaktian yang memancarkan lima larik sinar biru.
Hantu Jatilandak terpekik kesakitan. Di saat yang sama
Naga Kuning kerahkan ilmu pelicin tubuh yang disebut
ilmu "Ikan Paus Putih". Tubuhnya serta merta menjadi
licin. Laksana seekor belut bocah ini meliuk ke bawah
dan lolos dari genggaman Hantu Jatilandak. Jatuh ke
tanah. Celakanya waktu jatuh dia kecemplung masuk ke
dalam liang batu berisi air bercampur bubuk bele rang!
Untung saja dia mampu berenang hingga dengan cepat
berhasil menggapai pinggiran liang batu. Sekujur
tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki basah
kuyup dan berwarna kuning!
Meski sakit kena bacokan Kapak Maut Naga Geni
212 serta dihantam pukulan sakti Naga Kuning namun
Hantu Jatilandak masih sanggup mencengkeram dan
tidak mau lepaskan sosok Wiro dan Setan Ngompol.
Rahangnya menggembung. Gerahamnya bergemele-
takan. Tangan kanannya siap meremas untuk meng-
hancur luluhkan dua orang itu.
Pada saat itulah Lakasipo hantamkan dua
tangannya sekaligus!
Sepuluh larik sinar hitam menggebubu! Hantu
Jatilandak tersentak kaget. Tapi karena terlalu takabur
menganggap enteng serangan lawan dia tetap berdiri
pentang dada malah siap melesatkan lusinan duri
landak dari muka dan perutnya! Dia tidak sadar kalau
serangan yang dilepaskan Lakasipo alias Hantu Kaki
Batu saat itu adalah "Lima Kutuk Dari Langit' yang
akan membuat tubuhnya menjadi gosong dan meng-
kerut ciut!
Sesaat lagi sepuluh larik sinar hitam itu akan
menghantam sosok Hantu Jatilandak, satu bayangan
hitam berkelebat laksana kilat mendorong tubuh Hantu
Jatilandak hingga terjungkal roboh dan terguling sampai
tiga tombak. Sosok Wiro dan Setan Ngompol yang sejak
tadi berada dalam genggamannya terlepas. Lalu seperti
yang dialami Naga Kuning, kedua orang ini
menggelinding tercebur masuk ke dalam liang batuberisi air campur bubuk belerang. Ke duanya berubah
menjadi sosok-sosok basah kuyup berwarna kuning!
"Sialan! Liang apa ini!" memaki Setan Ngompol.
"Airnya asin kuning! Berbau belerang!" teria k Naga
Kuning. "Lihat! Muka, tubuh dan pakaian kita jadi
kuning semua!"
"Naga Kuning! Lekas kita keluar dari tempat se-
belum kakek satu ini mencampur air di sini dengan
kencingnya!" teriak Wiro. Setan Ngompol memaki ber-
sungut-sungut. Dia mengikuti dua orang itu memanjat
ke atas liang, naik ke darat.
Hantu Jatilandak lolos dari hantaman pukulan
"Lima Kutuk Dari Langit1. Sepuluh larik sinar maut itu
kini menghantam sosok yang barusan menolong
menyelamatkan Hantu Jatilandak.
"Wuuutttt... wuuutttt! Dessss... desssss! Desssss!"
Sosok yang kena hantam terjungkal roboh tetapi
sesaat kemudian bergerak bangkit kembali, meman-
dang ke arah Lakasipo dengan dua mata putih aneh
menyorot! Lakasipo, Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol sendiri tak kalah kaget dan melototnya.
Makhluk yang tegak di depan mereka dan tak mempan
dihantam pukulan "Lima Kutuk Dari Langit" itu tertutup
sisik hitam keras laksana baja sekujur kepala, wajah
dan tubuhnya sampai ke kaki. Di mukanya tak kelihatan
hidung ataupun mulut. Yang ada hanya dua buah mata
berbentuk combong kelapa berwarna putih keabu-
abuan.
"Naga Kuning, Setan Ngompol..." berkata Wiro.
"Jangan-jangan makhluk bersisik ini adalah si Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab, guru Hantu Muka Dua yang
kita cari...." Naga Kuning dan Setan Ngompol tak berani
menjawab. Kaget dan kecut mereka masih belum surut.
Kalau orang bersisik ini bersikap menunggu tak
mau mendahului bergerak ataupun bersuara, maka
lain halnya dengan Hantu Jatilandak. Penuh dendam
dan amarah dia berteriak.
"Laeruncing! Laelancip! Bunuh makhluk berkakibatu itu!"
Mendengar perintah Hantu Jatilandak dua ekor
landak raksasa yang sejak tadi berada di tempat itu
keluarkan suara menggembor. Kaki belakang meng-
hunjam ke tanah, kaki depan diluruskan ke depan
pertanda dua binatang ini siap menerkam Lakasipo.
Namun makhluk bersisik angkat tangan kiri memberi
tanda agar dua landak raksasa tidak melakukan se-
rangan.
"Kek!" teriak Hantu Jatilandak. "Orang hendak
membunuh aku! Kau melarang! Wahai! Apa yang ada
di benakmu!"
Makhluk bersisik tidak perdulikan teriakan Hantu
Jatilandak. Kembali dia angkat tangannya, menatap
ke arah Lakasipo lalu berkata.
"Di kawasan Negeri Latanahsilam ini hanya ada
satu orang memiliki ilmu kesaktian bernama Lima Kutuk
Dari Langitl Bukankah kau orangnya yang bernama
Lakasipo berjuluk Bola-Bola Iblis alias Hantu Kaki
Batu?!"
Lakasipo terdiam sejenak. Matanya menatap penuh
rasa tak percaya pada makhluk yang tegak di
hadapannya. Sesaat kemudian dia berkata. "Di delapan
penjuru angin negeri Latanahsilam, hanya ada satu
tokoh yang sanggup menahan kekuatan ilmu Lima
Kutuk Dari Langit. Bukankah saat ini aku berhadapan
dengan orang pandai yang disebut dengan nama
Tringgiling Liang Batu?!"
Makhluk bersisik mengangguk lalu menjura. Lakasipo
segera berucap.
"Dunia kita telah banyak berubah rupanya. Puluhan
tahun kau memencilkan diri di pulau ini. Ketika bertemu
ternyata kau menjadi penguasa pulau, memiliki makhluk
aneh berduri ini serta dua ekor landak raksasa yang
siap membunuhku dan kawan-kawan tanpa salah tanpa
dosa! Apa yang terjadi dengan dirimu wahai Tringgiling
Liang Batu!"
"Takdir buruk telah terjadi atas diri kami! Kutukkeji dari Peri Negeri Atas Langit telah menimpa cucuku
hingga keadaannya seperti yang kau lihat saat ini..."
jawab Tringgiling Liang Batu.
"Takdir memang tak bisa ditolak. Mengenai kutuk
Peri Negeri Atas Langit tak ada kuasaku untuk men-
campuri! Tetapi yang menjadi tanda tanya besar, kami
telah mengalami hal-hal aneh sejak menjejakkan kaki
di pulau ini. Bahkan kami hampir menemui kematian
di tangan makhluk aneh yang kau sebut sebagai
cucumu itu!"
"Kalian bukan hampir mati! Tapi benar-benar segera
akan mati!" teriak Hantu Jatilandak. Lalu kembali dia
berseru pada dua ekor landak raksasa untuk segera
membunuh Lakasipo dan tiga manusia katai di tepi
liang batu. Lakasipo cepat menyambar ketiga saudara
angkatnya itu. Ketika melihat sosok Wiro, Naga Kuning
dan Setan Ngompol yang basah kuyup serta penuh
dengan belerang kuning, makhluk bersisik, Hantu
Jatilandak dan dua ekor landak raksasa keluarkan
gerengan tertahan dan beranjak menjauh.
"Aneh, kini mereka seperti ketakutan melihat kita.
Mereka bergerak menjauh! Ada apa? Apa yang
menyebabkan?" bisik Wiro. Baik Lakasipo maupun Naga
Kuning dan Setan Ngompol walau memang jelas melihat
keanehan itu tapi tentu saja tidak bisa menjawab.
Wiro usap wajahnya yang basah. Tak sengaja dia
kepretkan tangannya yang basah oleh air bercampur
belerang. Kembali Tringgiling Liang Batu dan Hantu
Jatilandak serta dua landak raksasa bersurut menjauh.
"Mereka takut pada cipratan air di tubuhku..." kata
Wiro.
"Kalau cuma air mengapa musti takut! Pasti ada
hal lain yang membuat mereka kecut dan menjauh..."
ujar Setan Ngompol pula.
"Lakasipo, coba kau melangkah. Dekati mereka..."
kata Wiro.
Lakasipo menurut. Dia maju dua langkah men-
dekati Hantu Jatilandak. Makhluk berduri ini serta mertamundur tiga langkah. Tringgiling Liang Batu cepat
mengangkat tangannya seraya berseru. "Tahan! Hantu
Kaki Batu, hentikan gerakanmu! Jangan melangkah
lebih dekat!''
"Sejak semula kami tidak punya niat jahat! Mengapa
kalian semua seperti melihat setan kepala dua belas?!"
"Makhluk-makhluk katai yang katamu saudara
angkatmu itu..." kata Tringgiling Liang Batu. "Tubuh
mereka basah oleh air bercampur belerang. Kami...
tubuh kami tidak boleh bersentuhan dengan belerang.
Kami bisa celaka. Mengalami kelumpuhan seumur
hidup bahkan bisa menemui ajal...."
“Kakek!" Hantu Jatilandak berkata dengan suara
keras. "Kau menceritakan kelemahan sendiri pada
musuh! Manusia berkaki batu ini pasti akan mudah
membunuh kita semua!"
"Eh, kau dengar makhluk berduri itu memanggil
makhluk bersisik kakeknya," bisik Wiro pada dua
kawannya. "Yang aku ingin tahu bagaimana tampang ibu
bapak makhluk itu. Apa berduri juga. Kalau betul
berduri lalu bagaimana lahirnya? Apa tidak nyangkut
di pojokan bawah dekat hik... hik... hik!"
"Wiro!" sentak Setan Ngompol. "Kita berada dalam
bahaya. Mengapa kau masih bisa bicara tidak karuan!
Jangan-jangan kau yang bakal matiduluan. Orang mau
mati biasanya memang suka ngomong aneh-aneh!"
"Kalau mereka mau membunuh kita, kurasa kau
yang duluan mereka pesiangi Kek!" sahut murid Sinto
Gendeng. "Habis kau paling jelek dan bau pesing! Hik...
hii... hik!" Wiro tertawa cekikikan. Naga Kuning pencet
hidung sendiri agar tidak tersembur tawanya.
Sepasang mata combong Tringgiling Liang Batu
menatap ke arah Lakasipo seolah sadar kekeliruannya.
Namun melihat tak ada perubahan di wajah manusia
berkaki batu ini, dan juga setelah melirik pada Wiro
dan dua kawannya, dalam hati Tringgiling Liang Batu
berkata. "Sampai saat ini aku belum menganggap
makhluk berkaki batu ini sebagai musuh. Hanya sajaaku masih belum tahu apa maksud kedatangannya
bersama tiga makhluk katai itu ke sini." Setelah menatap
Lakasipo sejurus, makhluk bersisik lantas berkata.
"Tadi kudengar tiga manusia cebol saudaramu itu
menyebut nama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Makhluk itu adalah guru Hantu Muka Dua! Apa hubungan
kalian dengan Hantu Muka Dua dan Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab!"
"Hantu Muka Dua adalah musuh besarku wahai
Tringgiling Liang Batu. Dia punya rencana jahat
terhadapku dan sejak lama ingin membunuhku! Kami
mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab adalah untuk
meminta tolong. Agar tiga saudara angkatku ini bisa
dibesarkan tubuhnya seperti sosok kita. Atau kalau
tidak agar mereka bisa dikembalikan ke negeri mereka
alam seribu dua ratus tahun dari sekarang. Menurut
petunjuk, Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab bisa mem-
beri tahu di mana beradanya sebuah batu sakti pembalik
waktu. Hanya dengan batu itu mereka bisa kembali
ke negeri mereka...."
"Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tidak ada di pulau
ini! Kalian kesasar ke tempat yang salah!"
"Kalau begitu kami minta petunjukmu!" kata Wiro
setengah berteriak agar suaranya bisa didengar.
Sebelum Tringgiling Liang Batu menjawab Hantu Jati-
landak mendahului berkata.
"Kek, sesuai perintah Hantu Muka Dua, kita harus
menguras darah tiga manusia katai ini dan memasuk-
kannya ke dalam lobang di atas batu sana. Kalau kita
gagal memenuhi perintah, celaka kita semua! Hantu
Muka Dua pasti akan memendam kita dalam liang batu
berisi air bercampur belerang itu!"
Terkejutlah Lakasipo, Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol mendengar kata-kata Hantu Jatilandak itu. Si
kakek terus saja basah celananya.
"Makhluk berduri, mengapa Hantu Muka Dua inginkan
darah kami bertiga?" tanya Pendekar 212.
Hantu Jatilandak tak segera menjawab melainkanmemandang dulu pada Tringgiling Liang Batu. Si kakek
anggukkan kepala lalu berkata. "Ceritakan pada mereka
semua. Agar tidak ada rahasia dan curiga tersembunyi
antara kita wahai cucuku Jatilandak."
Mendengar kata-kata si kakek maka Hantu
Jatilandak lalu menuturkan.
"Di bawah ancaman belerang jahanam itu, kami
semua tidak berdaya. Tidak mungkin menolak perintah
kecuali kami mau mati percuma! Hantu Muka Dua
memiliki sebilah keris berluk tiga yang belum diberi
gagang.... Menurutnya jika senjata itu dicelup dalam
darah kalian bertiga selama tiga bulan purnama maka
keris itu akan menjadi satu senjata bertuah sakti man-
draguna. Tak satu kekuatan pun sanggup melawannya.
Bahkan para Peri dan para Dewa akan tunduk padanya!
Dia akan menjadi Raja Di Raja Segala Hantu di Negeri
Latanahsilam!"
"Jahanam keji! Wahai! Rencana jahatnya itu harus
dibikin gagal!" kata Lakasipo pula. "Ada di antara kalian
yang punya akal rencana?!"
Tak satu pun yang bisa segera menjawab. Setan
Ngompol termonyong-monyong. Naga Kuning gem-
bungkan rahang. Hantu Jatilandak keretakkan jari-jari
tangannya tanda geram. Sepasang landak raksasa
mendekam keluarkan suara menggeram sementara
Tringgiling Liang Batu mendongak ke langit yang mulai
gelap. Wiro garuk-garuk kepala lalu bertanya. "Apa di
pulau ini ada kelinci atau ayam hutan?"
"Anak geblek! Apa hubungannya maksud jahat
Hantu Muka Dua dengan ayam hutan dan kelinci?!
Kau mau mengundangnya makan ayam dan kelinci
panggang?!" berujar si Setan Ngompol.
"Tenang Kek! Otakmu memang tidak begitu encer
lagi! Kalau dibarengi sikap mengomel pasti tambah
butek!" kata murid Sinto Gendeng pula. Lalu dia ber-
tanya pada makhluk bersisik. "Tringgiling Liang Jam-
ban...."
"Bangsat! Mulutmu keliwat menghina kurang ajar!Kakekku bernama Tringgiling Liang Batu! Bukan
Tringgiling Liang Jamban!" Hantu Jatilandak menghardik
lalu meludah ke tanah, membuat Lakasipo, Naga Kuning
dan Setan Ngompol membuang muka menahan geli. Si
Tringgiling Liang Batu sendiri yang mukanya tertutup
sisik tebal tak kelihatan wajahnya apakah marah atau
bagaimana. Tapi dari tenggorokannya keluar suara
menggereng.
Wiro garuk-garuk kepala. "Maafkan aku!" katanya
pada Hantu Jatilandak. Lalu dia ajukan pertanyaan
pada makhluk bersisik. "Menurutmu Hantu Muka Dua
akan datang tepat bulan purnama mendatang. Kira-kira
kapan bulan purnama muncul di pulau ini?!"
"Jika aku tak salah hitung masih tiga hari dimuka,"
jawab Tringgiling Liang Batu.
"Berarti kita masih punya waktu banyak untuk
melakukan penyambutan!" kata murid Sinto Gendeng
pula.
"Penyambutan bagaimana maksudmu?! Kita tak
mungkin melawannya! Apalagi kalau dia sampai mene-
barkan bubuk belerang!" berucap Hantu Jatilandak.
"Sobatku Hantu Jatilandak! Kau tenang saja. Biar
kami yang mengatur," jawab Wiro. Lalu dia berpaling
pada Lakasipo. "Harap kau segera mencukur kumis,
janggut dan berewokmu!''
"Buat apa?!" tanya Lakasipo. "Aku tidak mau!"
"Kalau kau tidak mau melakukan sendiri, biar dua
ekor landak itu yang akan mengunyah habis janggut
kumis serta cambang bawukmu!"
"Wahai! Sialan kau Wiro!" rutuk Lakasipo. "Kalau
kau mau gila, gila sendiri saja. Jangan mengajak
orang!"
Wiro menyengir. Tanpa perdulikan gerutuan Lakasipo
dia berkata pada dua sobatnya.
"Sobatku Naga Kuning dan Setan Ngompol! Kita
bertiga bersihkan liang batu itu dari bubuk belerang.
Lalu mandi membersihkan diri ke laut! Apa kalian tidak
sadar kalau tampang kaitan kuning semua sepertidisedu dengan kunyit?! Ha... ha... ha!"
*
* *
EMPAT BELAS
SUASANA di timur pulau terasa tidak seperti
biasanya. Deburan ombak dikejauhan seolah tertahan
oleh gaung suara angin yang terdengar aneh. Kegelapan
malam menutupi kawasan bebukitan yang dikelilingi
pohon-pohon jati rapat berduri. Saputan awan hitam di
langit perlahan-lahan bergeser tertiup angin, membuat
rembulan empat belas hari menyeruak muncul. Suasana
perlahan-lahan menjadi terang.
Beberapa saat berlalu tanpa terjadi suatu apa. Di
bagian yang berbukit batu, Tringgiling Liang Batu tegak
rangkapkan tangan di depan dada. Sisik di muka dan
tubuhnya tampak mencuat pertanda dia berada dalam
keadaan tegang. Tiga langkah di sampingnya men-
dekam Laeruncing dan Laelancip. Lalu agak jauh dari
tempat itu, dalam kegelapan di antara gundukan batu
dan pohon-pohon jati tergeletak tiga sosok tubuh kecil.
Di bagian yang lain, di balik bayangan sebuah batu
besar duduk bersila satu sosok seorang perempuan. Dia
duduk menghadap ke arah liang batu. Tangan di atas
paha, mata terpejam seolah tengah bersemadi.
Dari sela-sela pohon jati berduri tiba-tiba menyeruak
muncul satu sosok tinggi yang hanya mengenakan cawat
dan tubuhnya dipenuhi duri-duri panjang lancip
berwarna coklat. Dia bukan lain adalah Hantu
Jatilandak. Orang ini melangkah tanpa suara mendekati
makhluk bersisik. "Kek, menurutmu apakah Hantu Muka
Dua benar-benar datang malam bulan purnama ini?
Jangan-jangan dia menipu kita!"
"Dia punya kepentingan. Dia pasti datang. Kita
tunggu saja dan kuharap kau tetap berwaspada wahai
cucuku...."Baru saja Tringgiling Liang Batu berkata begitu
tiba-tiba berkelebat satu bayangan hitam dan tahu-tahu
laksana seekor elang malam dia hinggap di gundukan
batu tinggi, tepat di depan lobang batu yang digenangi
cairan merah.
Orang ini bukan lain adalah si makhluk bermuka
dua yakni Hantu Muka Dua. Sepasang matanya sebelah
depan memandang tajam ke dalam lobang yang di-
genangi cairan merah.
"Hemmm.... Memang kulihat ada darah di dalam
lobang!" Wajah Hantu Muka Dua depan belakang yang
berupa lelaki separuh baya menyeringai. Dia melirik
tajam pada Tringgiling Liang Batu lalu sesaat perhati-
kan Hantu Jatilandak.
"Kalian berdua harap mendekat!" Hantu Muka Dua
memerintah.
Makhluk bersisik dan makhluk berbulu duri landak
segera mendekati Hantu Muka Dua.
"Wahai Hantu Muka Dua, aku dan cucuku sudah
melakukan apa yang kau perintahkan. Lobang yang
kau buat di dalam batu itu telah kupenuhi dengan darah
tiga manusia cebol bernama Wiro Sableng, Naga Kuning
dan Setan Ngompol!"
Hantu Muka Dua kembali menyeringai. Dari dua
bola matanya yang berwarna hijau dan berbentuk segi
tiga membersit sinar aneh. "Ada darah di dalam lobang
batu! Pertanda niat besar akan menjadi kenyataan.
Keris tak bergagang akan menjadi senjata bertuah!
Tak ada tandingan di delapan penjuru angin. Negeri
Latanahsilam akan berada dalam genggam kekuasaan-
ku! Wahai! Hantu Muka Dua akan menjadi Raja Di Raja
Negeri Latanahsilam! Ada darah ada nyawa yang
terbang! Ada yang mati berarti ada mayat! Wahai
Tringgiling Liang Batu! Wahai Hantu Jatilandak! Aku ingin
melihat dimana mayat tiga manusia cebol yang telah
kalian pesiangi dan kucurkan darahnya ke dalam lobang
batu itu!"
Hantu Jatilandak melirik sekilas pada kakeknyalalu menunjuk ke arah deretan pohon di kegelapan.
"Mayat mereka aku tumpuk di sebelah sana. Silahkan
kau memeriksa sendiri wahai Hantu Muka Dua!"
Hantu Muka Dua tatap sesaat tampang Hantu
Jatilandak. Lalu dia melesat ke arah yang ditunjuk. Di
tanah, di antara semak belukar dan pepohonan me-
mang dia melihat tiga sosok katai tergeletak tak ber-
gerak. Pada bagian lehernya terdapat garis hitam se-
perti darah mengering.
"Aku sendiri menggorok leher mereka dengan
duri-duri di tanganku!" kata Hantu Jatilandak.
"Bagus! Tidak sia-sia aku memberi perintah pada
kalian kakek dan cucu!" Hantu Muka Dua memandang
berkeliling. Tangannya siap mengeluarkan keris luk
tiga untuk dimasukkan ke dalam lobang berisi darah.
Namun tiba-tiba dia ingat sesuatu. "Kalian berhasil
membunuh tiga manusia katai dari alam seribu dua
ratus tahun mendatang itu! Lalu bagaimana dengan
orang bernama Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu?!
Aku tidak melihat dirinya sejak tadi!"
"Maafkan kami wahai Hantu Muka Dua. Hantu Kaki
Batu berhasil melarikan diri ketika kami sergap. Dia
menghancurkan patung-patung kayu serta pohon-pohon
jati. Dia melarikan diri dalam keadaan terluka parah.
Sekali lagi kami mohon maafmu." Menjawab Tringgiling
Liang Batu.
"Hemmm, begitu?" ujar Hantu Muka Dua. Sepasang
pandangan matanya sebelah depan membentur liang
batu yang sebelumnya menjadi sarang makhluk bersisik
itu. 'Mataku belum lamur, apa lagi buta! Tapi aku sama
sekali tidak melihat bubuk kuning belerang di dalam
liang ini! Apa yang terjadi?!"
"Dua hari lalu turun hujan lebat. Mungkin bubuk
belerang itu ikut hanyut terbawa aliran air hujan..." yang
menjawab sang kakek makhluk bersisik.
"Aneh! Tujuh puluh tahun silam aku pernah menebar
bubuk belerang. Tak pernah dihanyutkan hujan. Atau
mungkin selama tujuh puluh tahun hujan tidakpernah turun di pulau ini?! Ha... ha... ha! Lalu hanya
dua hari lalu ada hujan turun katamu! Dan bubuk
belerang sirna tiada berbekas seperti tiupan angin!
Wahai! Sungguh aneh!"
Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak saling
melempar pandang. Mereka mulai gelisah karena
khawatir jangan-jangan Hantu Muka Dua sudah
mencium ada yang tidak beres.
"Wahai Hantu Muka Dua, cucuku tidak berkata
dusta!" berkata Tringgiling Liang Batu. "Kalaupun bubuk
belerang itu lenyap, kurasa tidak ada sangkut pautnya
lagi dengan diri kami. Bukankah kami telah
menjalankan perintahmu? Kau tinggal memasukkan
keris bertuah milikmu ke dalam genangan darah di
dalam lobang batu. Kami akan menjaganya sampai
tiga kali purnama. Setelah itu kami berharap kau tidak
akan mengganggu kami lagi!"
Hantu Muka Dua manggut-manggut. "Jadi selama
ini rupanya kalian merasa terganggu! Wahai! Mulai
saat ini akan kupertimbangkan apakah aku masih
merasa perlu mengganggu kalian atau tidak!" Lalu
Hantu Muka Dua cemplungkan keris berluk tiga tanpa
gagang yang sejak tadi dipegangnya ke dalam lobang
batu berisi genangan darah.
"Ha... ha... ha! Makhluk bersisik dan makhluk
berduri! Keris bertuah sudah kumasukkan ke dalam
cairan darah. Tapi wahai! Ketahuilah! Percuma aku
memiliki dua muka, dua otak dan empat mata kalau
tidak bisa berpikir dan melihat jauh ke muka! Walau
kalian sudah melaksanakan tugas dan keris luk tiga
sudah kumasukkan ke dalam genangan darah tapi
sampai tiga purnama yang akan datang aku tidak akan
melepaskan kalian begitu saja!"
"Apa maksudmu Hantu Muka Dua? Apa kau akan
mengingkari janji seperti dulu lagi?!" tanya Hantu Jati-
landak.
"Bagi Hantu Muka Dua tidak berlaku apa yang
dinamakan janji. Yang berlaku adalah tipu, keji dannafsu! Dan kalian berada di bawah kekuasaanku! Harus
tunduk padaku! Aku mau lihat apa kalian berani me-
nantang jika aku sebarkan lagi bubuk belerang di
tempat ini!"
"Hantu Muka Dua! Memang tidak percuma kau
dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu!
Aku tidak suka pada makhluk sepertimu! Selagi
rembulan masih bersinar, selagi jalan menuju ke pantai
masih terang, mengapa kau tidak lekas angkat kaki
dari pulau ini?!"
Terkejutlah Hantu Muka Dua mendengar ucapan itu.
Karena orang yang bicara adalah sosok yang duduk
di samping batu besar. Di hadapannya, mulai dari
pangkuan sampai tanah selebar satu kali dua tombak
tertutup oleh daun-daun dan rerumputan kering.
Suaranya walau agak parau tapi menyerupai suara
perempuan. Hantu Muka Dua melirik pada Tringgiling
Liang Batu dan Hantu Jatilandak. Dua orang ini tampak
tenang-tenang saja. Hantu Muka Dua segera maklum
ada yang tidak beres. Dua mukanya depan belakang
langsung berubah menjadi muka-muka raksasa berkulit
merah! Dia membentak.
"Wahai! Ada seorang perempuan gendeng rupanya
di tempat ini! Tringgiling Liang Batu! Siapa perempuan
yang duduk di samping batu besar itu!"
"Dia adalah istriku wahai Hantu Muka Dua! Terlahir
tak bernama tapi dijuluki Hantu Monyong Penggali
Liang kubur...."
Hantu Muka Dua kerenyitkan kening lalu tertawa
gelak-gelak mendengar nama perempuan yang duduk
bersila itu hingga perempuan itu perlahan-lahan buka
dua matanya yang sejak tadi terpejam.
"Nama hebat! Aneh dan lucu! Orangnya kukira
juga rada-rada sedeng! Ha... ha... ha! Wahai Tringgiling,
apa istrimu memang punya pekerjaan sebagai tukang
gali kubur? Ha... ha... ha! "Baru kali ini aku tahu kalau
kau punya istri! Hebatnya lagi dia punya nyali
menyuruhku pergi dari pulau ini!" kata Hantu Muka Duaseraya melangkah ke dekat batu besar guna melihat
lebih dekat perempuan bernama Hantu Monyong Peng-
gali Liang Kubur itu. Ternyata perempuan ini bertubuh
besar, dadanya dan bahunya lebar. Kulitnya agak
kehitaman. Di telinganya kiri kanan mencantel dua
buah giwang terbuat dari tulang. Wajahnya tertutup
bedak kasar setebal dempul. Alisnya tebal tak karuan
sedang mulutnya selalu menjorok ke depan alias mo-
nyong dengan bibir dipoles sejenis cairan kental ber-
warna merah.
"Hantu Muka Dua," tiba-tiba perempuan bernama
Hantu Monyong Penggali Liang Kubur berucap. "Pe-
kerjaanku memang tukang gali liang kuburi Terus
terang, wahai akupun sudah menyiapkan satu liang
kubur untukmu! Jika kau berkenan cepat-cepat ingin
masuk ke dalamnya. Hik... hik... hik! Silahkan...!"
Habis berkata begitu Hantu Monyong Penggali
Liang Kubur lalu singkapkan rumput dan daun kering
di depannya. Maka kelihatanlah satu lobang besar
seukuran kubur manusia!
Empat mata Hantu Muka Dua depan belakang
mendelik besar, merah laksana saga!
"Perempuan bedebah keparat! Kau kira siapa dirimu!
Suami dan Hantu Jatilandak saja tunduk padaku!
Apa kau lebih hebat dari mereka?! Kau yang akan
kupendam lebih dulu dalam liang itu!"
"Aku memang lebih hebat dari dua orang yang
kau sebutkan itu Hantu Muka Dua! Kau boleh mem-
bunuh mereka semudah membalik telapak tangan!
Tapi apa kau punya nyali membunuhku seorang
perempuan?! Hik... hik... hik!"
Tersentaklah Hantu Muka Dua mendengar ucapan
Hantu Monyong Penggali Liang Kubur itu. Dia baru
ingat kalau dirinya punya satu pantangan besar yakni
tidak boleh membunuh perempuan! Hantu Muka Dua
menggeram marah. Dia segera merapal aji pukulan
"Hantu Hijau Penjungkir Roh" lalu menghantam ke arah
Hantu Jatilandak karena dia tahu pukulan sakti itu tidaksanggup menciderai apa lagi membunuh Tringgiling
Liang Batu. Maka dia memilih membunuh Hantu Jati-
landak lebih dulu. Namun Hantu Jatilandak yang telah
siap waspada sejak tadi-tadi, begitu melihat Hantu
Muka Dua gerakkan tangan secepat kilat melompat ke
balik batu besar.
"Braaakkk... byaaarrr!"
Gundukan batu besar hancur lebur dan berubah
menjadi hijau lembek seperti lumpur! Walau tengkuknya
menjadi dingin namun Hantu Jatilandak tidak tinggal
diam. Dari atas dia dorongkan dua tangannya ke bawah.
Puluhan duri runcing di sekujur kedua tangannya
melesat menyambar ke arah Hantu Muka Dua! Yang
diserang menggerung keras lalu pukulkan tangan
kanannya ke atas. Sambil memukul pergelangan tangan
diputar demikian rupa hingga telapak menghadap ke
atas ke arah Hantu Jatilandak. Deru angin laksana
punting beliung menerpa keluar dari telapak tangan
Hantu Muka Dua disertai berkiblatnya sinar merah.
"Pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk
Kerak Bumi!" teriak Tringgiling Liang Batu. "Jatilandak
lekas menghindar!" Lalu makhluk bersisik ini gerakkan
tubuhnya. Sisik-sisik yang ada di tubuhnya mencuat
ke atas. Bersamaan dengan itu puluhan paku hitam
melesat ke arah Hantu Muka Dua!
Mendapat serangan puluhan duri dan paku bernama
"Paku Iblis Liang Batu" Hantu Muka Dua terpaksa
batalkan serangannya. Telapak tangan kirinya dikem-
bangkan lalu dipukulkan ke tanah. Satu gelombang
angin mengeluarkan cahaya hitam berputar laksana
gasing, membuat tubuh Hantu Muka Dua melesat
setinggi tiga tombak ke udara tapi terbungkus dalam
gulungan cahaya hitam itu! Inilah ilmu kesaktian yang
disebut "Neraka Berputar Roh Menjerit!" Suara putaran
cahaya terdengar menggidikkan laksana jeritan puluhan
makhluk yang tidak kelihatan.
"Tring... tringgg... tringgg!" Paku-paku hitam
serangan Tringgiling Liang Batu bermentalan. Beberapadi antaranya menghantam sosok Laeruncing dan Lae-
lancip sepasang landak raksasa. Binatang ini menguik
keras, kelojotan beberapa kali lalu bergulingan keras
jauhkan diri dalam keadaan terluka cukup parah.
"Traakkk... traakkk... traakkk!"
Belasan duri sepanjang dua jengkal yang melesat
dari tubuh Hantu Jatilandak berpolantingan hancur
dihantam putaran "Neraka Berputar Roh Menjerit" dan
dengan sendirinya tidak bisa kembali menancap ke
tubuh Hantu Jatilandak.
"Wuuutttt!"
Putaran sinar hitam lenyap. Sosok Hantu Muka
Dua tegak sambil tangan kiri berkacak pinggang. Mulut
mengumbar tawa mengekeh sedang di tangan kanan
dia mengangkat tinggi-tinggi sebuah kantong kain
berwarna kuning yang isinya sudah dapat ditebak yakni
bubuk belerang kuning!
"Hantu Monyong Penggali Liang Kubur! Pantangan
membunuh perempuan memang membuat aku tidak
bisa membunuhmu! Tapi apa artinya hidupmu kalau
dengan bubuk ini aku akan membuat suamimu Tring-
giling Liang Batu dan Hantu Jatilandak menjadi cacat
lumpuh seumur hidup. Sekarat dan menemui ajal
secara perlahan-lahan!"
Melihat apa yang ada di tangan kanan Hantu Muka
Dua, Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak segera
melompat, menyelinap ke belakang Hantu Monyong
Penggali Liang Kubur.
"Hantu Muka Dua, apa kau bisa melewati mayatku
sebelum mencelakai suami dan cucuku?! Hik... hik...
hik!" ujar Hantu Monyong Penggali Liang Kubur. "Lagi
pula aku khawatir matamu sudah buta, penciumanmu
sudah rusak dan otakmu tidak waras lagi! Apa betul
di dalam kantong kain berbercak kuning itu isinya
adalah bubuk belerang kuning?! Hik... hik... hik...! Coba
kau periksa dulu isi kantongmu!"
Selagi Hantu Muka Dua terheran tidak mengerti atas
apa yang diucapkan perempuan yang duduk bersila didepan lobang itu tiba-tiba tiga sosok kecil berkelebat dari
balik semak belukar gelap di celah pepohonan.
Satu cahaya putih menyilaukan disertai suara
menggaung menghantam kaki kiri Hantu Muka Dua
membuat orang ini terlonjak dan berteriak kesakitan.
Kantong kain di tangan kanannya terlepas jatuh. Hampir
tak kelihatan, dalam gelapnya malam sesosok tubuh
kecil melompat ke udara menyambar kantong kain
berisi bubuk belerang itu lalu menggantikannya dengan
sebuah kantong kain yang juga berwarna kuning tapi
isinya lembek-lembek basah dan menebar bau!
Sementara itu darah mengucur dari luka di pergelangan
kakinya. Hawa panas menjalar sampai ke mata kaki.
Hantu Muka Dua tidak tahu apa yang barusan
menyerangnya. Memandang ke bawah dia melihat ada
satu sosok kecil menyelinap ke balik semak belukar.
Selain itu tadi dia juga masih sempat melihat satu
bayangan kecil menyambar dan tahu-tahu kantong
kainnya yang jatuh lenyap entah kemana. Ketika Hantu
Muka Dua hendak memandang sosok kecil yang
menyelinap di balik semak belukar tiba-tiba dari samping
kiri menyemburangin deras yang menebar bau pesing!
"Tiga makhluk katai jahanam! Pasti mereka!" teriak
Hantu Muka Dua marah. "Tringgiling Liang Batu! Kau
dan cucumu berani mati menipuku!" Seperti tidak
perduli lagi akan pantangannya membunuh perem-
puan Hantu Muka Dua angkat tangan kiri, siap hendak
menghantam dengan pukulan "Mengelupas Puncak
Langit Mengeruk Kerak Bumi." Yang ditujunya adalah
Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu yang saat
itu mendekam berlindung di balik sosok Hantu Monyong
Penggali Liang Kubur. Jika Hantu Muka Dua hendak
membunuh kedua orang itu mau tak mau dia juga akan
menewaskan si Hantu Monyong! Dan ternyata saat itu
Wiro, Naga Kuning serta si Setan Ngompol telah
menyelinap pula cari selamat di balik sosok perempuan
itu.
"Hantu Muka Dua! Rupanya kau telah memilih matibersamaku! Hik... hik... hik! Apa kelak rohmu merasa
betah tergantung antara langit dan bumi? Hik... hik...
hik! Apa kau melupakan begitu saja rencana besarmu
hendak menjadi raja di raja segala Hantu di Negeri
Latanahsilam ini? Hik... hik... hik! Apa kau akan
melupakan begitu saja segala kesenangan dunia?
Meninggalkan gadis-gadis cantik peliharaanmu.
Membiarkan Luhjelita kekasihmu jatuh ke tangan lelaki
lain?Kalau aku laki-laki wahai! Pasti Luhjelita akan
kujadikan gendakku seumur hidup! Hik... hik... hikk!"
Empat mata Hantu Muka Dua yang merah seperti
saga laksana mau melompat keluar dari rongganya.
Bibirnya yang tebal membuka menggeletar mencuatkan
taring-taringnya.
"Kalian jahanam semua! Tringgiling Liang Batu!
Hantu Jatilandak! Ingat baik-baik! Negeri Latanahsilam
memang luas. Tapi bisa juga sesempit genggaman
tanganku! Tidak akan sulit bagiku untuk mencari dan
membunuh kalian! Dan kalian tiga makhluk katai
keparat! Jangan harap kalian bisa kembali ke negeri
kalian! Daging dan tulang kalian akan kucincang untuk
santapan guruku Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!"
Habis berkata begitu Hantu Muka Dua berteriak
dahsyat sambil menggebuk dada lalu putar tubuhnya.
Tapi mendadak dia ingat pada kantong kain di tangan
kanannya. Ketika dia perhatikan dia segera sadar kan-
tong itu bukan kantong yang berisi bubuk belerang
miliknya semula. Tapi sebuah kantong berisi cairan
yang dari baunya jelas isinya adalah kotoran manusia!
"Jahanam sial dangkalan! Wahai! Siapa yang punya
pekerjaan!" teriak Hantu Muka Dua menggeledek.
Kantong kain dibantingkannya ke tanah.
Hantu Monyong, Tringgiling Liang Batu, Hantu
Jatilandak, Wiro serta Naga Kuning dan Setan Ngompol
tertawa terkekeh-kekeh.
"Jahanam! Aku bersumpah akan menguliti kalian
semua! Dan kau Hantu Monyong! Kelak kau akan
menjadi penghuni Ruang Obor Tunggal di Istanakuyang baru! Kau akan kusiksa, seumur hidup kau akan
menderita! Mati tidak hiduppun tidak!" Hantu Muka
Dua lantas putar tubuhnya.
"Wahai! Mengapa pergi terburu-buru Hantu Muka
Dua!" Hantu Monyong Penggali Liang Kubur berkata.
"Apa kau tidak mengambil dulu keris luk tiga milikmu
yang tadi kau cemplungkan dalam lobang batu berisi
darah?!"
"Mungkin dia takut! Bukankah darah dalam lobang
itu adalah darah ayam hutan betina semua?!" kata Wiro
pula.
"Jahanam keparat! Kalian semua tunggulah
pembalasanku!" ucap Hantu Muka Dua dengan rahang
menggembung.
Saat itu sepasang kodok hijau besar melompat-
lompat dariarah kegelapan. Dari atas tumpjkan rumput
kering dua binatang yang tengah bermesraan ini tiba-
tiba melompat ke pangkuan Lakasipo. Karuan saja lelaki
ini jadi tersentak kaget dan gemetaran menahan geli.
"Wahai! Sialan!" maki Lakasipo.
"Ada apa?" tanya Pendekar 212.
"Ada sepasang kodok besar masuk ke dalam
selangkanganku! Aku tak kuasa menahan geli!"
"Biar kuambil. Kulempar keluar!" kata Naga Kuning.
"Jangan! Kalau lagi bermesraan kodok-kodok itu
sangat buas! Gigitannya beracun sekali!" kata Lakasipo
dan tubuhnya tergoncang-goncang menahan geli.
"Celaka! Dia kawin di bawah perutku! Aku benar-
benar tidak tahan! Aduh... anuku!" Akhirnya karena tak
tahan lagi Lakasipo berterik keras lalu melompat tegak.
Keadaannya ini membuat Hantu Muka Dua melihat
jelas sosok bagian bawah Lakasipo, termasuk dua
buah batu besar yang membungkus sepasang kakinya!
"Bangsat penipu! Wahai! Hantu Banci! Jadi kau
Hantu Kaki Batu Lakasipo adanya!" teriak Hantu Muka
Dua. Sekali berkelebat kaki kanannya menghantam dada
Lakasipo hingga orang ini jatuh terjengkang
tertelentang.Sebelum Lakasipo sempat bergerak bangkit, Hantu Muka
Dua sudah injak tubuh lelaki itu dengan dua kakinya.
Tangan kanannya diangkat ke atas siap melepas pukulan
maut "Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi"
sedang tangan kiri didorongkan untuk hantamkan
pukulan "Hantu Hijau Penjungkir Roh"!
Dalam keadaan dan kejadian yang sangat cepat itu
baik Tringgiling Liang Batu, Hantu Jatilandak, serta Wiro
dan kawan-kawannya tak mampu memberi pertolongan.
Hantu Muka Dua menyeringai. "Selamat jalan ke
alam roh wahai Lakasipo!" katanya. Dua tangannya ber-
gerak. Tapi tiba-tiba gerakannya tertahan. Mata Hantu
Muka Dua menatap membeliak ke arah lengan atas
sebelah dalam tangan kanan dekat ketiak Lakasipo.
"Wahai! Apa tidak salah apa yang aku lihat ini?!"
ujar Hantu Muka Dua dalam hati. Bibirnya bergetar,
dadanya seolah mau meledak akibat debaran keras
yang tiba-tiba muncul. "Tanda bunga dalam lingkaran..."
desis Hantu Muka Dua. Muka raksasanya yang
sebelumnya merah mendadak sontak berubah menjadi
dua wajah kakek yang pucat pasi. "Tidak mungkin!
Tidak mungkin!" kata Hantu Muka Dua setengah
berteriak. Lalu tanpa menunggu lebih lama makhluk ini
putar tubuh, melesat ke arah kegelapan dan lenyap
ditelan kelamnya malam!
"Apa yang terjadi...?!" bertanya Tringgiling Liang
Batu.
Lakasipo bangkit berdiri sambil pegang perutnya
yang sakit bekas injakan Hantu Muka Dua. "Jelas dia
hendak membunuhku. Tapi tidak jadi...."
"Dia berkali-kali menyebut kata-kata tidak mungkin.
Apa gerangan yang tidak mungkin?" kata Naga
Kuning pula.
"Mungkin tadinya dia naksir padamu Lakasipo.
Tapi setelah tahu kau ternyata laki-laki dia jadi kecewa
besar. Itu sebabnya dia berucap tidak mungkin ber-
ulang kali!" kata pendekar 212 Wiro Sableng pula.
Sosok Hantu Monyong Penggali Liang Kubur aliasLakasipo tiba-tiba keluarkan suara tawa bergelak.
"Wahai! Nama yang kau berikan padaku wahai Pendekar
212 membuat aku terpaksa terus-terusan
memonyongkan mulut! Lalu getah pohon yang kau
poleskan sebagai bedak di mukaku ini! Wahai, mau
regang seperti besi rasanya kulit wajahku! Dan sepasang
kodok celaka yang kawin di selangkanganku itu!"
Semua orang yang ada di situ tertawa gelak-gelak.
Naga Kuning menyikut Wiro dan Setan Ngompol. "Lihat
si Hantu Jatilandak itu! Tidak sangka pohon hidup itu
bisa juga tertawa!"
"Yang aku ingin tahu apa anunya juga ditumbuhi
duri landak! Hik... hik... hik!" kata Wiro pula. "Seram
sekali. Kurasa dedemitpun ngeri kawin dengannya!
Ha... ha... ha!" Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol
tertawa gelak-gelak.
"Wahai! Apa yang kalian ketawakan?' tanya Lakasipo.
"Anu.... Ngggg.... Sepasang kodok yang tadi kawin
di selangkanganmu itu. Kalau si kodok betina bunting
dan punya anak, anaknya tampangnya pasti miripmu!
Ha... ha... ha...!" Kembali tempat itu dipenuhi gelak
tawa berkepanjangan. Hanya Lakasipo seorang yang
tampak cemberut termonyong-monyong.
"Sudah! Jangan monyong lagi!" teriak Wiro. "Peranmu
sebagai perempuan monyong sudah selesai! Ha... ha...
ha... ha!"
"Sialan! Satu hari akan kubalas perlakuanmu ini
Wiro!" kata Lakasipo seraya mengikis sisa-sisa getah
pohon yang masih tebal menutupi mukanya.
Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ingat sesuatu. "Hai!
Bagaimana dengan keris sakti tanpa gagang yang tadi
dicemplungkan Hantu Muka Dua ke dalam cairan darah
di lobang batu?!"
"Betul?! Senjata sakti itu ditinggalkannya begitu
saja!" ujar Naga Kuning.
"Biaraku ambil! Lumayan!" kata si Setan Ngompol
pula.
Tringgiling Liang Batu si makhluk bersisik geleng
kan kepala. "Hantu Muka Dua makhluk Segala Tipu,
Segala Keji, Segala Nafsu! Dia tahu gelagat. Aku tidak
yakin dia benar-benar memasukkan keris asli sakti
bertuah itu ke dalam lobang darah. Kalau tidak percaya
silahkan periksa sendiri!"
Setan Ngompol yang ingin sekali dapatkan keris
sakti itu segera melompat lebih dulu. Dia membungkuk
di tepi lobang batu yang dipenuhi dengan darah ayam
hutan betina lalu tangannya dimasukkan ke dalam.
"Aku dapat!" seru si kakek sesaat kemudian seraya
tarik keluar tangannya dari lobang. Dia kini memang
kelihatan memegang sebilah keris luk tiga tanpa gagang.
"Benar-benar senjata sakti. Enteng sekali
dipegangnya...."
"Wahai! Karena benda itu bukan asli dan tidak
terbuat dari besi. Tapi cuma tiruannya yang terbuat
dari kayu!" kata Tringgiling Liang Batu.
Penuh rasa tidak percaya si Setan Ngompol remas
keris yang dipegangnya. "Kraaaakkk!" Benda itu remuk
dalam genggamannya. "Sialan! Aku tertipu!" maki si
kakek, langsung jatuh terduduk dan pancarkan air
kencing!
TAMAT
PENULIS : BASTIAN TITO
CREATED : MATJENUH CHANNEL
blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
Segera terbit
RAHASIA BAYI TERGANTUNG
0 comments:
Posting Komentar