Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Selasa, 04 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - DENDAM MANUSIA PAKU

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com


GEROBAK yang ditarik kuda cokelat tinggi besar itu meluncur kencang di jalan kecil 

menurun berbatu-batu. Lelaki berewok bertelanjang dada berbadan kokoh penuh otot dan

memiliki cuma satu mata, menarik tali kekang kuda kuat-kuat. Tapi kuda itu tidak bisa 

dikendalikan lagi. Semakin ditahan tali kekang, semakin kencang kuda menggerakkan

kakinya. Di sebuah tikungan, gerobak hampir terbalik, pengemudinya nyaris terlempar. 

“Kuda jahanam! Aku memang ingin cepat sampai! Tapi tidak mau celaka!” teriak lelaki 

bermata satu. Kembali dia tarik tali kekang. Kepala kuda penarik gerobak tersentak ke 

belakang. Dari hidungnya dan mulutnya keluar cairan berbusa. Binatang ini meringkik keras.

Tapi sama sekali tidak berhenti. 

Di balik tikungan, jalan semakin menurun, tambah sempit dan batu-batu besar 

bergelimpangan menyembul ke permukaan tanah. Beberapa puluh tombak di bawah tampak

Waduk Selorejo. Dalam musim kemarau panjang. Dalam musim kemarau panjang waduk itu

tak lebih dari sebuah lembah dalam berlumpur ditumbuhi semak belukar dan pepohonan liar 

serta tebing batu. 

“Binatang jahannam ini benar-benar tidak mau berhenti! Sebentar lagi gerobak pasti 

meluncur ke lembah. Aku tidak mau celaka, edan!”

Lelaki di atas gerobak pergunakan tangan kiri membuka tali yang mengikat sebuah peti besi 

ke tiang gerobak. Hanya sesaat lagi gerobak itu akan mencebur ke dalam waduk, dia 

menyambar peti besi lalu melompat dari atas gerobak. Peti besi yang dipegang dengan tangan

kirinya cukup berat. Tapi hebatnya, begitu melompat ke udara dia mampu membuat gerakan

jungkir balik dan ketika turun kedua kakinya tepat menjejak sebuah batu besar di bibir waduk. 

Dari atas batu itu dia melihat kuda dan gerobak menghambur masuk ke waduk. Salah satu

rodanya mental, meloncat ke udara di hantam batu besar. Kuda besar itu meringkik keras 

beberapa kali lalu amblas ke dalam lumpur di dasar lembah. Hanya sesaat kakinya tersembul 

melejang-lejang, sebelum akhirnya lenyap dari pandangan! 

Lelaki brewokan yang mata kirinya picak itu geleng-geleng kepala. Setelah menarik nafas 

panjang peti besi diletakannya di batu lalu dia duduk di atas peti itu. 

“Pemandangan hebat!” tiba-tiba ada orang berucap di belakang si brewok. Lalu terdengar 

tawa mengekeh. Dia cepat berpaling dan cepat melengak kaget. Dia memiliki kepandaian luar 

biasa tinggi, bagaimana mungkin dia tidak mengetahui kemunculan orang ini? Jawabnya 

hanya satu. Orang itu pasti memiliki kepandaian lebih tinggi! Lelaki bertelanjang dada ini 

segera berdiri. 

“Aku sudah menunggu lama! Kukira kau tidak muncul! Turunlah dari atas batu! Aku tidak 

suka berbicara mendongak terus-terusan. Lama-lama leherku bisa salah urat nanti!” orang

yang bicara kembali tertawa mengekeh. Dia adalah kakek bermata juling yang selalu berputar 

liar kian kemari. Tubuhnya pendek dan pada punggung dekat leher ada sebuah punuk. Kakek

ini mengenakan jubah merah menjela tanah. Rambut kumis dan janggutnya putih awutawutan. Pada keningnya terikat secarik kain merah. Di tangan kirinya dia memegang sebuah kantong kain tebal yang isinya cukup berat karena kantong itu tampak membuyut ke bawah. 

Lelaki di atas batu melompat turun, tapi dia tidak mau terlalu jauh dari peti besi yang 

diletakkan di atas batu itu. “Apakah aku berhadapan dengan kakek sakti penguasa tunggal 

kawasan timur yang biasa disebut dengan panggilan Yang Mulia Datuk Bululawang dari 

Gunung Welirang?”

Si kekek mata juling menyeringai. “Kalau sudah tahu kenapa tidak segera memberikan

penghormatan pada Yang Mulia?” ujarnya. 

“Ah!” lelaki bertelanjang dada menyeringai. Dia usap berewoknya lalu memberikan

penghormatan. 

Kakek yang dipanggil Yang Mulia Datuk Bululawang itu tertawa panjang. Mata julingnya 

berputar-putar. “Aku sendiri apakah sedang berhadapan dengan raja diraja rampok besar 

kawasan utara selatan bergelar Warok Patiraja Penguasa Rimba Belantara Utara

Selatan?!”

Lelaki mata picak menyerangai. “Nama yang barusan kau sebut itu memang aku orangnya

yang Mulia!”

“Ah! Akhirnya kita bertemu juga. Kabarnya matamu yang tinggal satu punya kesaktian yang

tiada tandingan. Mampu melelehkan besi dan menghancurkan batu! Apakah kau bisa 

mempertunjukkan kehebatanmu di hadapanku?!”

“Yang Mulia Datuk Bululawang, waktu kita sempit sekali, Mengapa membuang percuma

dengan segala pertunjukan yang tidak-tidak?!”

“Kau betul Warok Patiraja! Tapi bagaimana aku bisa tahu bahwa yang dihadapanku ini 

benar-benar adalah Warok Patiraja, orang yang membuat perjanjian denganku akan

menyerahkan sejumlah batang emas untuk sesuatu yang aku miliki dan tengah menjadi 

incaran puluhan tokoh dunia persilatan!?” Pada akhir ucapannya, si kakek gerakkan sedikit 

tangan kirinya yang memegang kantong tebal. 

Si mata picak menggerendeng dalam hati. Tapi memang si kakek itu betul. Maka diapun

berkata. “Kalau itu maumu, harap lihat batu di seberang sana...” katanya sambil menunjuk

ke arah sebuah batu besar di pinggiran waduk sebelah kiri. Batu itu terletak sekitar tiga 

tombak dari tempat mereka berdiri. 

Kakek bermata juling putar kepalanya ke arah batu besar. Perlahan-lahan lelaki bertelanjang

dada arahkan pandangan mata kanannya pada batu besar itu. Bibirnya tampak bergetar. Mata 

kanan itu keluarkan suatu kilauan aneh. Terdengar suara “Wusss” disertai membersitnya 

sebuah sinar berwarna hitam. “Kraaakk! Byaaarr!”

Batu besar di sebelah sana retak di sembilan tempat lalu hancur berkeping-keping. “Luar 

biasa! Benar-benar luar biasa! Tak percuma kau jadi raja diraja rampok utara selatan!” si 

kakek memuji sambil geleng-geleng kepala. 

“Sekarang giliranku. Buktikan bahwa kau memang Yang Mulia Datuk Bululawang. Manusia

sakti yang mampu menjebol tembok batu dengan tangan kosong!”

Si kakek tertawa panjang mendengar kata-kata Warok Patiraja itu. “Rupanya kau masih

kurang percaya kalau aku memang Yang Mulia Datuk Bululawang!” katanya. Lalu

terbungkuk-bungkuk tubuh pendek berpunuk itu melangkah mendekati sebuah batu besar 

yang tingginya hampir sama dengan tinggi kepalanya. 

“Perhatikan baik-baik apa yang akan aku lakukan!” kata si kakek. “aku tidak akan

mengulang kedua kali. Apapun yang akan aku lakukan ini jarang kuperbuat dan berlangsung

hanya sekejapan mata!” Habis berkata begitu sampai di depan batu tinggi, si kakek gerakkan

tangan kanannya. Terdengar suara “rrrrtttt.” Tangan kanan kanan si kakek amblas masuk ke 

dalam batu. Ketika tangan itu ditarik kembali pada batu tinggi kelihatan lobang besar yang

tembus dari satu sisi ke sisi lainnya! 

“Hebat sekali!” memuji Warok Patiraja. Dia lalu menunjuk pada peti besi di atas batu di 

sampingnya. “Sesuai perjanjian, aku sudah membawa barang untukmu. Apakah isi kantong

itu barang untukku?!”

Datuk Bululawang telan ludahnya lalu mengangguk. “Boleh aku melihat isi peti ini?” tanya si 

kakek. 

Warok Patiraja cepat membuka dua buah grendel besar pengunci peti. Begitu pintu besi 

dibuka, membersitlah sinar kekuningan dari batangan-batangan emas yang ada di dalam peti.

“Semua berjumlah duapuluh batang...” berkata Warok Patiraja. Datuk Bululawang

menyeringai. Mata julingnya memandang sekilas ke dalam peti. Lidahnya berulang kali 

dijulurkan membasahi bibir. 

Warok Patiraja tutup peti dan memasang grendelnya kembali. “Boleh aku melihat isi kantong

itu?” tanyanya. 

“Silahkan lihat sendiri!” ujar si kakek. Kantong kain tebal di tangan kirinya dilemparkannya 

pada Warok. Lelaki itu cepat menyambuti lalu membuka ikatan tali yang melilit kantong.

Begitu kantong dibuka, dia melihat setumpuk paku besar panjang lebih dari setengah

sejengkal. Paku-paku ini terbuat dari baja yang mengeluarkan sinar putih benderang. “ada

tiga puluh paku didalam kantong itu. Kau sudah melihat. Apakah kau kini percaya dan puas 

?!” tanya Datuk Bululawang seraya melangkah mendekati. 

Warok Patiraja mengangguk. “Aku ambil paku-paku ini, kau boleh ambil emas dalam peti!”

katanya. 

Si kakek mengangguk. “Sekarang kau baru jadi raja diraja rampok utara selatan. Kelak jika

kau sudah menjadi raja diraja rimba persilatan, kuharap saja kau tidak lupa padaku!”

katanya sambil menyeringai dan mata julingnya berputar-putar. “Sekarang bantu aku

menurunkan peti itu. Kau meletakkannya terlalu tinggi di atas batu!”

Warok Patiraja ikat tali penutup kantong berisi paku lalu mengikatkan benda itu ke sabuk

besar di pinggangnya. Dengan dua tangannya yang kukuh, ditariknya peti besi berisi duapuluh

batangan emas. Untuk menarik peti, Warok terpaksa membelakangi si kakek. Pada saat itulah

tiba-tiba tangan kanan Datuk Bululawang melesat ke pinggangnya. 

Warok Patiraja menjerit dahsyat ketika tangan kanan Datuk Bululawang menghancurkan

tulang pinggangnya terus menembus perut. Ketika tangan itu ditarik, sebagian usus besar 

Warok ikut terbetot dan menyembul di bagian belakang tubuhnya bersamaan dengan kucuran

darah! 

Si kakek tertawa tinggi. “Manusia tidak tahu diuntung! Manusia jelek sepertimu bercita-cita

gila hendak jadi raja diraja dunia persilatan! Huh!” Dia meludah ke tanah, lalu sekali 

renggut saja dia rampas kantong berisi paku yang tergantung di sabuk Warok. Benda ini cepat 

disimpannya di balik jubah merahnya. Kemudian sekali berkelebat dia sudah berada di atas 

batu. Peti besi yang berat itu, seperti menjinjing keranjang kosong dengan mudah

ditentengnya. Sebelum melompat turun, dia berpaling pada Warok dan mengumbar tawa 

mengekeh. 

“Dasar tolol! Mana ada rampok yang menjadi penguasa tunggal dunia persilatan! Ha... ha...

ha...! Selamat tinggal Patiraja! Selamat menghadap penguasa akhirat! Mungkin di situ kau

bisa jadi raja diraja akhirat! Ha... ha... ha...!”

Saat itu Warok berada dalam keadaan sekarat. Tubuhnya bersimbah darah dan isi perutnya 

semakin banyak membusai lewat lobang besar di pinggang dan di perutnya. Tersandar pada 

sebuah batu di belakangnya, dia masih bisa keluarkan ucapan. “Datuk keparat... Kau kira kau

bisa kabur begitu saja...”

Mata kanan Warok Patiraja keluarkan kilauan aneh. Mata itu memandang lurus-lurus ke arah

sosok Datuk Bululawang yang meninggalkan tempat itu dengan cepat. Sang datuk rupanya 

tidak bodoh. Dia sengaja mengambil jalan lari begitu rupa hingga satu garis lurus dengan

batu-batu besar yang ada di tempat itu. Dengan demikian tubuhnya terhalang dari pandangan

mata Warok yang berbahaya itu. Akan tetapi di satu tempat Warok masih sempat melihat 

sosok kiri si kakek keluar dari garis lurus yang menghalangi dirinya dari batu-batu besar.

Bibirnya bergetar. “Wusss!” sinar hitam melesat. 

Di depan sana terdengar jeritan Datuk Bululawang. Bahu kirinya hancur disambar sinar sakti 

yang keluar dari mata kanan Warok. Tangan kirinya putus dan hancur berantakan di udara.

Kakek ini jatuhkan diri ke tanah, mengerang kesakitan, sementara darah mulai membasahi 

jubah merahnya. Sekujur tubuhnya mengginggil dan mulai terasa panas. Dengan dua jari 

tangan kanannya, Datuk Bululawang cepat menotok dada kirinya. Lalu terseok-seok dia 

tinggalkan tempat itu. Peti besi dijinjingnya erat-erat di tangan kanan. Nafasnya tak karuan. 

Di tepi waduk, Warok Patiraja berusaha mencari sosok si kakek dengan pandangan mata 

kanannya. Dia maju beberapa langkah, namun tak bisa berbuat banyak. Di satu tempat 

lututnya menekuk. Tubuhnya ambruk ke bawah lalu tergelimpang di tebing waduk Selorejo. 

Gadis berpakaian ringkas warna ungu itu memacu kudanya sepanjang pesisir selatan lalu

membelok tajam memasuki kawasan luas ditumbuhi pohon kelapa. Pita ungu di atas kepala 

dan selendang ungu yang melingkar di lehernya melambai-lambai ditiup angin. Jauh

didepannya membujur deretan bukit-bukit. Tujuannya adalah salah satu dari puncak bukit itu.

Agaknya dia tidak akan sampai ke tujuan dalam waktu dekat. Kuda tunggangannya sudah

terkuras seluruh tenaganya karena dipacu sejak pagi buta tadi. 

Semakin jauh dia masuk ke pedalaman semakin tak terdengar deru ombak yang memecah di 

pantai. Udara pesisir yang tadinya panas menyengat kini mulai menyejuk karena hembusan

angin dari bebukitan. Semakin dekat ke arah bukit-bukit itu, udara terasa lebih sejuk. 

Menjelang rembang petang, kuda dan penunggangnya akhirnya sampai juga di kaki 

bebukitan. Namun justru di situlah kuda itu melepas sisa tenaganya yang terakhir. Dia tak

sanggup lagi berlari. Langkah keempat kakinya gemetaran. Sebelum binatang itu tersungkur,

gadis berbaju ungu melompat. Dia cepat pegang leher kuda agar tidak terjerembab keras. 

“Binatang hebat! Aku tak akan memaksamu naik ke atas puncak bukit sana. Aku terpaksa

meninggalkanmu di tempat ini. Aku dikejar waktu...” si gadis memandang berkeliling.

Hatinya merasa lega ketika dia melihat tak jauh dari sana ada sebuah telaga. Walau airnya 

tidak terlalu bening, namun cukup menolong kuda yang sudah setengah mati kepayahan itu.

Dipetiknya beberapa helai daun, dengan cepat dibentuknya seperti panci kecil. Lalu dengan

benda itu diciduknya air telaga dan disiramkannya ke mulut serta kepala kuda yang terbujur di 

tanah. Sampai delapan kali memberi minum baru si gadis berhenti. 

“Aku harus pergi sekarang... Kuharap kau mau menunggu di sini barang satu malaman...”

setelah mengusap leher dan kepala binatang itu beberapa kali, gadis berpakaian serba ungu ini 

segera berkelebat tinggalkan tempat itu. 

Tepat pada saat matahari tenggelam, gadis ini sampai di puncak bukit. Dalam keremangan,

dia berlari menuju bagian timur hingga akhirnya tiba di sebuah bangunan batu yang pintunya 

tertutup oleh sejenis pohon merambat. Si gadis tak berani menyibakkan daun-daun pepohonan

itu, apalagi masuk ke dalam. Setelah menarik nafas panjang, dia berseru. “Guru, saya

datang!”

Tak ada sahutan. “Guru, saya Anggini muridmu datang sesuai pesan!” ia berseru lebih keras.

Dari dalam bangunan batu terdengar suara batuk-batuk beberapa kali. “Jangan-jangan orang

tua itu sedang sakit,” pikir si gadis. Dia beranikan diri melangkah mendekati pintu bangunan.

Tiba-tiba ada suara seperti orang menyembur dari dalam bangunan. Bersamaan dengan itu

menebar bau tuak harum sekali. Gadis baju ungu hentikan langkahnya. 

“Ah, dia ada di dalam rupanya,” kata si gadis lega, dan kini tampak tersenyum. Kembali dia 

melangkah maju. Mendadak, “Wusss!” Ada kilatan api. Lalu daun-daun pohon jalar yang

bergelantungan menutupi pintu bangunan batu tenggelam dalam kobaran api. “Muridku,

masuklah! Aku memang sudah lama dan penat menunggumu!”

Anggini sang murid tentu saja jadi terkesiap. Bagaimana dia bisa masuk dalam bangunan

sementara satu-satunya jalan masuk tertutup oleh kobaran api? “Hai! Apakah kau sudah tuli 

anggini?! Tak kau dengar aku menyuruhmu masuk?!” terdengar suara orang di dalam 

bangunan agak gusar. 

“Guru...”

“Jangan bicara saja, masuklah!” orang di dalam bangunan batu akhirnya membentak hilang

kesabaran. Sesaat si gadis masih terkesima. Namun di lain kejap dia gerakkan tangan ke leher 

membuka gelungan selendang ungu lalu melompat ke arah pintu seraya mengibaskan

selendang tiga kali berturut-turut. 

Tiga gelombang angin menderu dahsyat, menerbangkan pasir dan batu-batu kecil. Melabrak

daun-daun pohon jalar yang dikobari api. Api yang membakar pohon serta merta padam 

sementara pohonnya sendiri tidak patah atau remuk dihantam tiga gelombang angin tadi.

Ketika sang dara melompat masuk ke dalam, selendang ungunya sudah melingkar kembali di 

lehernya. 

Di dalam bangunan kini terdengar suara tawa bergelak. Lalu, “gluk-gluk-gluk” menyusul 

suara seperti seseorang tengah meneguk minuman dengan lahap. Di dalam bangunan, Anggini 

sempat terkesiap. “Ah, belum berubah juga dia rupanya...” lalu gadis ini cepat-cepat menjura 

lalu duduk bersimpuh di lantai. 

“Hebat...! Jurus Selendang Dewa Memagut Naga Membungkam Matahari yang kau mainkan

tadi sungguh sempurna! Kalau tidak kubegitukan tadi, mana kau mau memperlihatkan

kepandaianmu! Ha...ha...ha...!”

“Guru, harap maafkan murid. Saya tak tahu kalau guru bermaksud menjajal kepandaian

saya yang rendah!”

Orang di hadapan si gadis tertawa mengekeh. Lalu, “gluk-gluk-gluk” enak saja dia meneguk

sejenis minuman keras yang harum dari bibir sebuah tabung bambu. Orang ini adalah seorang

tua berambut putih yang janggutnya menjulai sampai ke dada. Pakaiannya selempang kain

biru. Saat itu dia duduk di atas sebuah bumbung bambu yang ditegakkan di lantai sambil 

uncang-uncang kaki. Di pangkuannya melintang sebuah tabung bambu lagi. Bumbung ini 

berisi tuak murni luar biasa harumnya yang disebut dengan Tuak Kayangan. Dan si orang tua 

ini tak lain adalah Dewa Tuak, salah seorang dedengkot rimba persilatan di masa itu! 

“Guru, apakah kau selama ini sehat-sehat dan baik-baik saja?” Anggini bertanya. 

“Ya.. ya Aku selalu sehat dan baik-baik saja. Berkat ini!” jawab Dewa Tuak sambil menepuk

bumbung-bumbung bambu di pangkuannya. 

“Saya gembira mendengar hal itu....” kata sang murid. Dia diam sesaat lalu baru meneruskan

ucapannya. “Sesuai pesan yang saya terima, saya sudah datang dan berada di hadapan guru.

Gerangan apakah guru memanggil saya?”

“Ah, kau rupanya tak mau berbasa-basi. Ingin langsung pada tujuan.” Dewa Tuak

tersenyum lebar. Dia usap-usap janggut putihnya beberapa kali baru teruskan ucapan.

“Baiklah, aku memang perlu bicara padamu. Anggini muridku, ketahuilah dunia persilatan

dalam waktu dekat ini akan dilanda malapetaka besar kalau orang-orang tua buruk sepertiku

ini tidak lekas-lekas mengambil tindak pencegahan...”

“Rupanya ada tokoh-tokoh sesat golongan hitam hendak berbuat ulah?” tanya Anggini.

“Bisa dikatakan begitu. Tapi pangkal bahayanya adalah seperti yang akan aku tuturkan

padamu...” 

Puncak Gunung Kelud. Langit tampak mendung sejak pagi. Sang surya sama sekali tidak

kelihatan menyembul. Keadaan saat itu seolah menjelang malam hari. Sementara hujan turun

rintik-rintik dan udara terasa sangat dingin. 

Di tempat persemadiannya Eyang Gusti Kelud Agung duduk bersila di lantai, hanya 

beralaskan sehelai kulit kambing. Kedua tangannya diletakkan di atas paha. Mata terpejam,

tubuh tak bergerak barang sedikit pun. Kalau saja tidak ada hembusan nafas yang

menimbulkan asap tipis akibat dinginnya udara, orang tua berusia hampir seratus tahun ini tidak beda seperti sebuah patung. Walau usia sudah lanjut begitu rupa, tapi dia masih

memiliki tubuh tegap dan wajah segar. Semua ini akibat latihan jasmani dan kekuatan rohani 

serta hawa sakti yang sudah mencapai tingkat tinggi dan jarang orang menguasainya. 

Di hadapan Eyang Gusti Kelud saat itu duduk seorang lelaki berusia 30 tahun. Dia hanya 

mengenakan sehelai cawat sehingga kelihatan tubuhnya yang kukuh penuh otot. Pada leher 

dan dadanya terdapat banyak tanda-tanda kemerahan seolah bekas gigitan. Lelaki muda ini 

tidak hitam ataupun coklat tetapi berwarna kehijau hijauan membersitkan sinar aneh kalau tak

dikatakan menggidikkan. Lelaki ini menatap pada kakek yang ada di hadapannya. Dia sudah

berada di tempat itu sejak malam tadi. Dan Eyang Gusti Kelud masih saja bersemadi. Sampai 

kapan dia harus menunggu? Kalau dengan orang lain mungkin dia berani mengganggu semadi 

itu atau meninggalkan si kakek begitu saja. Tapi terhadap sang guru tentu saja dia tak berani 

berbuat begitu. 

Waktu berjalan terus. Siang pun datang. Udara terang sedikit tetapi sang surya masih belum 

kelihatan. Sepasang mata hijau lelaki muda itu melihat gerakan pada urat nadi di leher Eyang

Gusti Kelud Agung. Hatinya menjadi lega. Ini satu pertanda bahwa si kakek akan mengakhiri 

semadinya. Benar saja. Tak lama kemudian terlihat getaran-getaran teratur pada bagian dada 

orang tua itu. Setelah itu kepalanya bergerak sedikit. Menyusul dengan terbukanya kedua 

matanya sedikit demi sedikit. 

Begitu melihat mata sang guru membuka, pemuda tadi segera membungkuk dalam-dalam.

Kepalanya hampir menyentuh kaki si kakek. Dan dia tetap dalam keadaan seperti itu sampai 

dia mendengar suara Eyang Gusti Kelud Agung berkata. “Sandaka Arto Gampito, kau boleh

mengangkat tubuhmu.”

Lelaki muda itu cepat angkat tubuhnya, duduk dengan sikap tegak dan memandang pada 

orang tua di hadapannya. Dua mata bening Eyang Gusti Kelud Agung serta merta melihat 

perubahan besar telah terjadi dengan diri muridnya. Hatinya memelas sedih. 

“Dua puluh tahun lebih aku mendidiknya untuk menjadi manusia berbudi pendekar sejati.

Ternyata semua itu sia-sia belaka. Ya Tuhan, apa dosaku pada-Mu hingga kau turunkan

malapetaka ini pada muridku? Jika dia yang berdosa biar aku yang menampung semua

dosanya. Jangan dia. Diriku akan segera datang menghadap-Mu, tapi dia masih muda, jalan

hidupnya masih panjang. Ya Tuhan, aku mohon petunjuk-Mu…”

“Eyang, saya datang menghadap Eyang. Semoga kedatangan saya berkenan di hati 

Eyang…”

“Sandaka, aku senang melihat kau datang. Tapi hatiku juga sangat sedih melihat keadaanmu

seperti ini…” berucap Eyang Gusti Kelud Agung dengan suara tersendat. 

“Saya tahu bagaimana perasaan Eyang, namun mungkin semua ini sudah jalan nasib saya.

Semua yang terjadi adalah kelalaian dan kesalahan saya. Biarlah kelak saya yang

menanggung hukuman atas segala dosa...”

“Sandaka, apa yang sudah terjadi memang sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Mungkin suatu

ketika ada suatu kekuatan atau mukjizat yang bisa mengembalikan dirimu seperti dulu lagi.

Namun yang sangat aku sesalkan adalah karena kau tidak mendengarkan nasihatku. Ketika

kau kulepas tahun lalu aku sudah berpesan, jangan sekali-sekali kau dekati apalagi 

berhubungan dengan Kunti Ambiri perempuan jahat bergelar Dewi Ular itu. Sejak kau

berada di sini, aku tahu secara diam-diam dia datang mengintai dan memperhatikan dirimu.

Dia terpikat pada dirimu. Ternyata kau bukan saja masuk pada perangkapnya tapi juga jatuh

cinta padanya...!”

“Eyang, saya tahu dosa dan kesalahan saya. Ketika Eyang melepas saya setahun lalu walau

memiliki kepandaian tinggi tapi saya masih buta pengalaman. Dunia luar serba asing bagi 

saya. Sampai akhirnya saya masuk dalam perangkap Dewi Ular... Saya tidak mampu

mencegahnya. Saya berada di bawah kekuasaannya, tak mampu keluar dari 

genggamannya...Orang tua di hadapan Sandaka menarik nafas panjang. “Jangankan kau, orang yang

berkepandaian tinggi seratus kali darimu pun sekali melakukan hubungan badan dengan

Dewi Ular, seumur hidup tak akan sanggup membebaskan diri dari cengkeramannya. Seumur 

hidup akan jadi budak nafsunya. Cairan dalam tubuh Dewi Ular telah mengalir dalam 

darahmu. Tak mungkin dibersihkan lagi...!”

Lama Sandaka termenung mendengar kata-kata gurunya itu. Apa yang diucapkan orang tua 

itu memang benar adanya. Sejak dia terpikat dengan Dewi Ular dan melakukan hubungan

badan sampai beberapa kali, sejak itu pula dia tak mampu membebaskan diri dari kekuasaan

perempuan itu. Dia melakukan apa saja yang diperintahkan tanpa berpikir apakah hal itu baik

atau buruk. 

“Eyang, kalau memang begini keadaan saya, saya bersedia menerima hukuman apa pun.”

“Hukuman bisa saja dilakukan atas dirimu. Tidak olehku, mungkin oleh orang lain. Mungkin

juga oleh dirimu sendiri...”

“Maksud Eyang, saya sebaiknya bunuh diri saja?” tanya Sandaka. 

Orang tua itu tersenyum pahit. Dia melihat ada kilatan aneh pada sepasang mata muridnya.

“Aku tidak menganjurkan kau melakukan bunuh diri. Ketahuilah, tidak suatu kekuatan pun di 

dunia ini yang sanggup membunuhmu! Kecuali kekuatan Tuhan atau atas petunjuk dari-Nya.

Cuma, aku melihat masih ada satu jalan. Ada penyakit dalam tubuhmu. Untuk mengobatinya,

harus melenyapkan sumbernya...”

“Maksud Eyang?”

“Sanggupkah kau membunuh Dewi Ular?”

Paras Sandaka Arto Gampito tidak berubah. Tapi sang guru lagi-lagi melihat ada kilatan

cahaya menggidikkan di kedua mata muridnya. “Sandaka, coba kau perhatikan dirimu.

Pakaianmu hanya selembar cawat seolah kau hidup di zaman manusia tidak beradab.

Pengaruh cairan tubuh beracun Dewi Ular membuatmu hanya bisa tidur satu tahun sekali.

Itu pun tidak bisa lama dan tak diketahui kapan kau bisa tidur. Dua bola matamu hijau juga

akibat pengaruh cairan dari tubuh Dewi Ular. Di situ kekuatanmu terpusat. Kau dijadikan

hamba sahayanya bukan cuma sebagai pemuas nafsu tapi juga untuk melakukan apa saja

yang dimintanya. Coba kau ingat, sudah berapa banyak orang-orang persilatan yang

menjadi korbanmu atas perintah Dewi Ular...”

Eyang Gusti Kelud Agung hentikan ucapannya. Dia melihat tubuh muridnya bergetar lalu

kulit tubuh sampai ke leher terus ke muka perlahan-lahan berubah kehijau-hijauan. Di dalam 

diri Sandaka, tiba-tiba saja ada suara iblis menggelegar. “Orang tua ini harus kubunuh! 

Harus kubunuh! Tapi dia guruku! Dia guruku! Persetan siapapun dia adanya! Harus 

kubunuh sekarang juga!”

Sandaka berdiri. “Kau mau ke mana muridku?” Tanya Eyang Gusti Kelud Agung. 

“Saya terpaksa harus mem...” Sandaka tidak teruskan ucapannya, agaknya dia masih bisa 

menguasai diri. “Saya harus pergi sekarang juga Eyang” Dia putar tubuhnya cepat-cepat. 

“Tunggu dulu Sandaka. Masih ada satu hal yang mau aku bicarakan. Ini sangat penting

karena masih menyangkut kehidupan masa depanmu...”

“Saya sudah tidak punya masa depan Eyang....” Sandaka segera hendak beranjak pergi.

“Dengarkan dulu apa yang akan kukatakan, baru kau boleh pergi...”

“Jika Eyang memaksa, saya terpaksa...”

“Membunuhku?” ujar si orang tua dengan senyum kecut. “Kau boleh membunuhku setelah

mendengar penuturanku...”

Warna kulit dan bola mata Sandaka semakin menghijau. Badannya menggeletar tanda dia 

berusaha keras menahan gejolak keinginan untuk membunuh yang membakar dirinya. “Kalau

begitu katakan saja cepat Eyang apa yang mau kau bilang...!”

“Sembilan puluh tahun yang lalu ketika aku masih kecil, guruku pernah bercerita tentang

tigapuluh buah paku sakti terbuat dari baja murni. Paku ini dibuat oleh seorang syekh sakti yang bermukim di daratan Tiongkok selatan. Konon paku ini punya kekuatan daya

penyembuhan luar biasa. Aku mempunyai firasat paku sakti itulah yang sanggup

membersihkan darah dalam tubuhmu. Caranya, tigapuluh buah paku itu harus dipantekkan

ke tubuhmu. Mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki. Namun ada satu akibat yang tidak dapat 

dielakkan. Walau pengaruh Dewi Ular akan pupus dari dirimu, tetapi kau kelak akan berada

di bawah kekuasaan baru yang mungkin lebih dahsyat...”

Ucapan Eyang Gusti Kelud Agung terhenti ketika tiba-tiba ruangan semadi itu bergetar oleh

berkelebatnya suatu bayangan hijau yang mengeluarkan angin mengandung hawa aneh. Lalu

terdengar suara orang berkata. “Sandaka! Lama aku mencarimu! Tak tahunya kau berada di 

sini, bicara segala isapan jempol pepesan kosong!”

Seorang perempuan muda berwajah cantik luar biasa, mengenakan pakaian panjang terbuat 

dari sutera halus berwarna hijau, tiba-tiba tegak di samping Eyang Gusti Kelud Agung. Bau

tubuhnya yang harum, menebar di ruangan itu. Di atas kepala yang rambutnya di konde besar 

di sebelah belakang ada sebuah mahkota kecil berbentuk kepala ular terbuat dari emas,

memiliki sepasang mata terbuat dari permata berwarna hijau. 

“Dewi...!” seru Sandaka lalu cepat bangkit mendatangi perempuan itu. 

“Kekasihku...!” jawab Dewi Ular seraya mengembangkan kedua tangannya. Begitu Sandaka 

sampai di hadapannya, langsung dirangkulnya. Sandaka membalas penuh nafsu. Dewi Ular 

julurkan lidahnya. Sandaka hisap lidah itu sampai mengeluarkan suara keras. Tidak hanya 

sampai di situ. Seolah mereka hanya berdua saja yang ada di situ, keduanya baringkan diri di 

lantai, berguling-guling sambil terus berpelukan dan berciuman. 

Wajah Eyang Gusti Kelud Agung tampak merah mengelam. Dia membentak marah.

“Manusia-manusia kotor! Keluar kalian dari tempat ini! Jangan kalian berani lagi 

menginjak puncak Gunung Kelud ini!”

Dewi Ular tertawa tinggi. Digigitnya leher Sandaka penuh nafsu hingga meninggalkan tanda 

merah. Lalu dia melompat bangkit, Sandaka ikut berdiri. Sambil merangkul lengan lelaki itu,

Dewi Ular berkata. “Sandaka kekasihku, kau tadi mendengar segala macam ucapannya! 

Betul...?”

“Aku memang mendengar Dewi, tapi aku tidak peduli!”

Dewi Ular kembali tertawa panjang. “Kurasa tua bangka ini hanya satu rongsokan tak 

berguna. Apa pendapatmu Sandaka?”

“Memang aku juga merasa begitu...” jawab Sandaka. 

Wajah Eyang Gusti Kelud Agung kaku membesi. “Sandaka! Sebut nama Tuhanmu! 

Bebaskan dirimu dari pengaruh jahat perempuan iblis ini!”

Dewi Ular cuma ganda tertawa mendengar ucapan orang tua itu. “Apa tindakan kita terhadap

manusia-manusia tidak berguna di atas dunia ini Sandaka?” Dewi Ular kembali berucap.

“Harus dibasmi. Harus disingkirkan karena Bumi tidak layak dihuni oleh orang-orang 

semacam dia!”

“Sandaka!” seru Eyang Gusti Kelud Agung. 

“Kekasihku, aku senang mendengar ucapanmu! Sekarang lakukan apa yang harus kau

lakukan! Bunuh tua bangka tak berguna itu!”

Eyang Gusti Kelud Agung cepat berdiri ketika dilihatnya Sandaka Arto Gampito maju dua 

langkah mendekatinya. Dua bola matanya menjadi sangat hijau. Ketika lelaki ini 

mengedipkan kedua matanya itu, dua larik sinar hijau menderu menyambar ke arah kepala 

dan dada sang guru. 

Orang tua itu membentak keras. Sambil menyingkir ke samping, dia cepat membentengi diri 

dengan dua buah pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti. Angin yang keluar dari dua 

telapak tangan Eyang Gusti Kelud Agung itu laksana deru topan dan mengeluarkan sinar 

kelabu. “Bummmmmm!Bummmmm!”

Dua ledakan menggelegar. Asap kelabu dan hijau menutupi pemandangan. Atap dan dinding
ruangan runtuh. Lantai mencuat hancur berantakan. Sandaka dan Dewi Ular terlempar jauh,
lalu jatuh di tanah saling menindih. Ketika asap hijau dan kelabu pupus, kelihatanlah tubuh
Eyang Gusti Kelud Agung terkapar di antara reruntuhan bangunan. Kepalanya hancur dan
sekujur badannya remuk. Seluruh sosoknya kelihatan hijau gelap. 
Sandaka merasakan dadanya mendenyut sakit. Nafasnya memburu. “Kau tak apa-apa...?”
bisik Dewi Ular. 
“Hanya merasa sesak sedikit...” jawab Sandaka. Dia memandang ke arah mayat gurunya, lalu
berkata, “Guruku... dia tewas...”
“Orang tua itu bukan gurumu!” tukas Dewi Ular. “Dia tak lebih dari seorang tua bangka
tolol! Tak ada gunanya! Kau telah melakukan sesuatu yang betul. Membunuhnya! Aku
bangga punya kekasih sepertimu!” Dewi Ular lalu merangkul dan menciumi Sandaka.
Keduanya berguling-guling di tanah. “Tempat ini terlalu dingin...” bisik Dewi Ular. “Dalam 
perjalanan ke sini aku melihat ada sebuah pondok kayu...”
“Kalau begitu, kita segera menuju ke sana...” jawab Sandaka. 
“Ya... memang itu mauku. Tapi apakah kau tidak mau menggeluti dadaku terlebih dulu?”
Habis berkata begitu, Dewi Ular buka lebar-lebar baju suteranya hingga payudaranya yang
besar dan putih menyembul menantang, membuat Sandaka seperti mau gila dan langsung saja 
mendekapkan kepalanya ke dada perempuan itu. 
Selagi Anggini masih termangu mendengarkan penuturan gurunya, Dewa Tuak kembali teguk
dengan lahap tuak dalam bumbung bambu sampai mulut dan dagunya berselomotan. “Apa
yang ada dalam benakmu Anggini?”
“Penuturanmu mengerikan sekali guru,” jawab Anggini. “Kalau Sandaka bisa membunuh
gurunya sendiri semudah membalik telapak tangan, apa lagi membunuh orang lain!”
“Justru itulah yang ditakutkan orang rimba persilatan. Belasan tokoh tingkat tinggi dalam 
dunia persilatan telah dihabisinya. Pada saatnya mungkin aku juga akan menjadi 
korbannya... Aku dan kawan-kawan sudah siap menjaga segala kemungkinan. Di luar 
terdengar kabar bahwa paku baja putih dikuasai seorang kakek sakti yang terkenal dengan
nama Yang Mulia Datuk Bululawang. Orang ini kabarnya diam di Gunung Welirang.
Celakanya kakek Bululawang mencari kesempatan dalam kesulitan. Dia gunakan paku-paku
itu untuk kepentingannya sendiri. Kenyataannya dia telah berhasil mengumpulkan sebagian
besar harta kekayaan dan membunuh tokoh yang menginginkan paku itu. Di luaran tersiar 
kabar bahwa siapa pun yang berhasil menguasai Sandaka Arto Gampito maka ia akan
menguasai rimba persilatan...”
“Berarti kejahatan akan berlangsung terus...”
“Mungkin begitu muridku. Namun siapa pun yang menguasai Sandaka akan lebih baik dari 
pada saat ini dia dikuasai Dewi Ular. Lagi pula orang lain itu mungkin lebih bisa ditumpas 
dari pada Dewi Ular.”
“Saya teringat pada senjata rahasia yang dulu guru berikan,” kata Anggini sambil meraba
pinggang pakaiannya di mana tergantung sebuah kantong berisi senjata rahasia berbetuk 
paku terbuat dari perak. “Justru benda itu yang menjadi salah satu alasan aku memanggilmu
ke mari. Ada selentingan bahwa beberapa tokoh silat menganggap paku itu adalah paku sakti 
keramat yang bisa melumpuhkan Sandaka lalu menguasainya. Berarti kau harus hati-hati 
Anggini. Salah duga bisa menjadi malapetaka bagimu.”
Ucapan Dewa Tuak membuat Anggini merasa tidak enak. “Lalu apa yang harus diperbuat 
guru?” tanya gadis itu. 
“Aku minta kau segera mencari pendekar 212 Wiro Sableng...” Dewa Tuak menghentikan
katra-katanya ketika dilihatnya wajah sang murid tiba-tiba memerah. 
“Eh, ada sesuatu dalam benakmu?”
“Dewa Tuak, saya lebih suka kau menyuruh aku lakukan sesuatu yang lain dari pada mencari pemuda itu...”
“Hem... aku tahu mengapa kau bicara begitu,” kata Dewa Tuak sambil tertawa-tawa gelakgelak. “Kau kecewa padanya karena baik dia maupun gurunya belum selesai membahas soal 
perjodohan kalian.”


                    TAMAT

PENULIS : BASTIAN TITO
CREATED : MATJENUH CHANNEL
BLOG : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive