GEROBAK yang ditarik kuda cokelat tinggi besar itu meluncur kencang di jalan kecil
menurun berbatu-batu. Lelaki berewok bertelanjang dada berbadan kokoh penuh otot dan
memiliki cuma satu mata, menarik tali kekang kuda kuat-kuat. Tapi kuda itu tidak bisa
dikendalikan lagi. Semakin ditahan tali kekang, semakin kencang kuda menggerakkan
kakinya. Di sebuah tikungan, gerobak hampir terbalik, pengemudinya nyaris terlempar.
“Kuda jahanam! Aku memang ingin cepat sampai! Tapi tidak mau celaka!” teriak lelaki
bermata satu. Kembali dia tarik tali kekang. Kepala kuda penarik gerobak tersentak ke
belakang. Dari hidungnya dan mulutnya keluar cairan berbusa. Binatang ini meringkik keras.
Tapi sama sekali tidak berhenti.
Di balik tikungan, jalan semakin menurun, tambah sempit dan batu-batu besar
bergelimpangan menyembul ke permukaan tanah. Beberapa puluh tombak di bawah tampak
Waduk Selorejo. Dalam musim kemarau panjang. Dalam musim kemarau panjang waduk itu
tak lebih dari sebuah lembah dalam berlumpur ditumbuhi semak belukar dan pepohonan liar
serta tebing batu.
“Binatang jahannam ini benar-benar tidak mau berhenti! Sebentar lagi gerobak pasti
meluncur ke lembah. Aku tidak mau celaka, edan!”
Lelaki di atas gerobak pergunakan tangan kiri membuka tali yang mengikat sebuah peti besi
ke tiang gerobak. Hanya sesaat lagi gerobak itu akan mencebur ke dalam waduk, dia
menyambar peti besi lalu melompat dari atas gerobak. Peti besi yang dipegang dengan tangan
kirinya cukup berat. Tapi hebatnya, begitu melompat ke udara dia mampu membuat gerakan
jungkir balik dan ketika turun kedua kakinya tepat menjejak sebuah batu besar di bibir waduk.
Dari atas batu itu dia melihat kuda dan gerobak menghambur masuk ke waduk. Salah satu
rodanya mental, meloncat ke udara di hantam batu besar. Kuda besar itu meringkik keras
beberapa kali lalu amblas ke dalam lumpur di dasar lembah. Hanya sesaat kakinya tersembul
melejang-lejang, sebelum akhirnya lenyap dari pandangan!
Lelaki brewokan yang mata kirinya picak itu geleng-geleng kepala. Setelah menarik nafas
panjang peti besi diletakannya di batu lalu dia duduk di atas peti itu.
“Pemandangan hebat!” tiba-tiba ada orang berucap di belakang si brewok. Lalu terdengar
tawa mengekeh. Dia cepat berpaling dan cepat melengak kaget. Dia memiliki kepandaian luar
biasa tinggi, bagaimana mungkin dia tidak mengetahui kemunculan orang ini? Jawabnya
hanya satu. Orang itu pasti memiliki kepandaian lebih tinggi! Lelaki bertelanjang dada ini
segera berdiri.
“Aku sudah menunggu lama! Kukira kau tidak muncul! Turunlah dari atas batu! Aku tidak
suka berbicara mendongak terus-terusan. Lama-lama leherku bisa salah urat nanti!” orang
yang bicara kembali tertawa mengekeh. Dia adalah kakek bermata juling yang selalu berputar
liar kian kemari. Tubuhnya pendek dan pada punggung dekat leher ada sebuah punuk. Kakek
ini mengenakan jubah merah menjela tanah. Rambut kumis dan janggutnya putih awutawutan. Pada keningnya terikat secarik kain merah. Di tangan kirinya dia memegang sebuah kantong kain tebal yang isinya cukup berat karena kantong itu tampak membuyut ke bawah.
Lelaki di atas batu melompat turun, tapi dia tidak mau terlalu jauh dari peti besi yang
diletakkan di atas batu itu. “Apakah aku berhadapan dengan kakek sakti penguasa tunggal
kawasan timur yang biasa disebut dengan panggilan Yang Mulia Datuk Bululawang dari
Gunung Welirang?”
Si kekek mata juling menyeringai. “Kalau sudah tahu kenapa tidak segera memberikan
penghormatan pada Yang Mulia?” ujarnya.
“Ah!” lelaki bertelanjang dada menyeringai. Dia usap berewoknya lalu memberikan
penghormatan.
Kakek yang dipanggil Yang Mulia Datuk Bululawang itu tertawa panjang. Mata julingnya
berputar-putar. “Aku sendiri apakah sedang berhadapan dengan raja diraja rampok besar
kawasan utara selatan bergelar Warok Patiraja Penguasa Rimba Belantara Utara
Selatan?!”
Lelaki mata picak menyerangai. “Nama yang barusan kau sebut itu memang aku orangnya
yang Mulia!”
“Ah! Akhirnya kita bertemu juga. Kabarnya matamu yang tinggal satu punya kesaktian yang
tiada tandingan. Mampu melelehkan besi dan menghancurkan batu! Apakah kau bisa
mempertunjukkan kehebatanmu di hadapanku?!”
“Yang Mulia Datuk Bululawang, waktu kita sempit sekali, Mengapa membuang percuma
dengan segala pertunjukan yang tidak-tidak?!”
“Kau betul Warok Patiraja! Tapi bagaimana aku bisa tahu bahwa yang dihadapanku ini
benar-benar adalah Warok Patiraja, orang yang membuat perjanjian denganku akan
menyerahkan sejumlah batang emas untuk sesuatu yang aku miliki dan tengah menjadi
incaran puluhan tokoh dunia persilatan!?” Pada akhir ucapannya, si kakek gerakkan sedikit
tangan kirinya yang memegang kantong tebal.
Si mata picak menggerendeng dalam hati. Tapi memang si kakek itu betul. Maka diapun
berkata. “Kalau itu maumu, harap lihat batu di seberang sana...” katanya sambil menunjuk
ke arah sebuah batu besar di pinggiran waduk sebelah kiri. Batu itu terletak sekitar tiga
tombak dari tempat mereka berdiri.
Kakek bermata juling putar kepalanya ke arah batu besar. Perlahan-lahan lelaki bertelanjang
dada arahkan pandangan mata kanannya pada batu besar itu. Bibirnya tampak bergetar. Mata
kanan itu keluarkan suatu kilauan aneh. Terdengar suara “Wusss” disertai membersitnya
sebuah sinar berwarna hitam. “Kraaakk! Byaaarr!”
Batu besar di sebelah sana retak di sembilan tempat lalu hancur berkeping-keping. “Luar
biasa! Benar-benar luar biasa! Tak percuma kau jadi raja diraja rampok utara selatan!” si
kakek memuji sambil geleng-geleng kepala.
“Sekarang giliranku. Buktikan bahwa kau memang Yang Mulia Datuk Bululawang. Manusia
sakti yang mampu menjebol tembok batu dengan tangan kosong!”
Si kakek tertawa panjang mendengar kata-kata Warok Patiraja itu. “Rupanya kau masih
kurang percaya kalau aku memang Yang Mulia Datuk Bululawang!” katanya. Lalu
terbungkuk-bungkuk tubuh pendek berpunuk itu melangkah mendekati sebuah batu besar
yang tingginya hampir sama dengan tinggi kepalanya.
“Perhatikan baik-baik apa yang akan aku lakukan!” kata si kakek. “aku tidak akan
mengulang kedua kali. Apapun yang akan aku lakukan ini jarang kuperbuat dan berlangsung
hanya sekejapan mata!” Habis berkata begitu sampai di depan batu tinggi, si kakek gerakkan
tangan kanannya. Terdengar suara “rrrrtttt.” Tangan kanan kanan si kakek amblas masuk ke
dalam batu. Ketika tangan itu ditarik kembali pada batu tinggi kelihatan lobang besar yang
tembus dari satu sisi ke sisi lainnya!
“Hebat sekali!” memuji Warok Patiraja. Dia lalu menunjuk pada peti besi di atas batu di
sampingnya. “Sesuai perjanjian, aku sudah membawa barang untukmu. Apakah isi kantong
itu barang untukku?!”
Datuk Bululawang telan ludahnya lalu mengangguk. “Boleh aku melihat isi peti ini?” tanya si
kakek.
Warok Patiraja cepat membuka dua buah grendel besar pengunci peti. Begitu pintu besi
dibuka, membersitlah sinar kekuningan dari batangan-batangan emas yang ada di dalam peti.
“Semua berjumlah duapuluh batang...” berkata Warok Patiraja. Datuk Bululawang
menyeringai. Mata julingnya memandang sekilas ke dalam peti. Lidahnya berulang kali
dijulurkan membasahi bibir.
Warok Patiraja tutup peti dan memasang grendelnya kembali. “Boleh aku melihat isi kantong
itu?” tanyanya.
“Silahkan lihat sendiri!” ujar si kakek. Kantong kain tebal di tangan kirinya dilemparkannya
pada Warok. Lelaki itu cepat menyambuti lalu membuka ikatan tali yang melilit kantong.
Begitu kantong dibuka, dia melihat setumpuk paku besar panjang lebih dari setengah
sejengkal. Paku-paku ini terbuat dari baja yang mengeluarkan sinar putih benderang. “ada
tiga puluh paku didalam kantong itu. Kau sudah melihat. Apakah kau kini percaya dan puas
?!” tanya Datuk Bululawang seraya melangkah mendekati.
Warok Patiraja mengangguk. “Aku ambil paku-paku ini, kau boleh ambil emas dalam peti!”
katanya.
Si kakek mengangguk. “Sekarang kau baru jadi raja diraja rampok utara selatan. Kelak jika
kau sudah menjadi raja diraja rimba persilatan, kuharap saja kau tidak lupa padaku!”
katanya sambil menyeringai dan mata julingnya berputar-putar. “Sekarang bantu aku
menurunkan peti itu. Kau meletakkannya terlalu tinggi di atas batu!”
Warok Patiraja ikat tali penutup kantong berisi paku lalu mengikatkan benda itu ke sabuk
besar di pinggangnya. Dengan dua tangannya yang kukuh, ditariknya peti besi berisi duapuluh
batangan emas. Untuk menarik peti, Warok terpaksa membelakangi si kakek. Pada saat itulah
tiba-tiba tangan kanan Datuk Bululawang melesat ke pinggangnya.
Warok Patiraja menjerit dahsyat ketika tangan kanan Datuk Bululawang menghancurkan
tulang pinggangnya terus menembus perut. Ketika tangan itu ditarik, sebagian usus besar
Warok ikut terbetot dan menyembul di bagian belakang tubuhnya bersamaan dengan kucuran
darah!
Si kakek tertawa tinggi. “Manusia tidak tahu diuntung! Manusia jelek sepertimu bercita-cita
gila hendak jadi raja diraja dunia persilatan! Huh!” Dia meludah ke tanah, lalu sekali
renggut saja dia rampas kantong berisi paku yang tergantung di sabuk Warok. Benda ini cepat
disimpannya di balik jubah merahnya. Kemudian sekali berkelebat dia sudah berada di atas
batu. Peti besi yang berat itu, seperti menjinjing keranjang kosong dengan mudah
ditentengnya. Sebelum melompat turun, dia berpaling pada Warok dan mengumbar tawa
mengekeh.
“Dasar tolol! Mana ada rampok yang menjadi penguasa tunggal dunia persilatan! Ha... ha...
ha...! Selamat tinggal Patiraja! Selamat menghadap penguasa akhirat! Mungkin di situ kau
bisa jadi raja diraja akhirat! Ha... ha... ha...!”
Saat itu Warok berada dalam keadaan sekarat. Tubuhnya bersimbah darah dan isi perutnya
semakin banyak membusai lewat lobang besar di pinggang dan di perutnya. Tersandar pada
sebuah batu di belakangnya, dia masih bisa keluarkan ucapan. “Datuk keparat... Kau kira kau
bisa kabur begitu saja...”
Mata kanan Warok Patiraja keluarkan kilauan aneh. Mata itu memandang lurus-lurus ke arah
sosok Datuk Bululawang yang meninggalkan tempat itu dengan cepat. Sang datuk rupanya
tidak bodoh. Dia sengaja mengambil jalan lari begitu rupa hingga satu garis lurus dengan
batu-batu besar yang ada di tempat itu. Dengan demikian tubuhnya terhalang dari pandangan
mata Warok yang berbahaya itu. Akan tetapi di satu tempat Warok masih sempat melihat
sosok kiri si kakek keluar dari garis lurus yang menghalangi dirinya dari batu-batu besar.
Bibirnya bergetar. “Wusss!” sinar hitam melesat.
Di depan sana terdengar jeritan Datuk Bululawang. Bahu kirinya hancur disambar sinar sakti
yang keluar dari mata kanan Warok. Tangan kirinya putus dan hancur berantakan di udara.
Kakek ini jatuhkan diri ke tanah, mengerang kesakitan, sementara darah mulai membasahi
jubah merahnya. Sekujur tubuhnya mengginggil dan mulai terasa panas. Dengan dua jari
tangan kanannya, Datuk Bululawang cepat menotok dada kirinya. Lalu terseok-seok dia
tinggalkan tempat itu. Peti besi dijinjingnya erat-erat di tangan kanan. Nafasnya tak karuan.
Di tepi waduk, Warok Patiraja berusaha mencari sosok si kakek dengan pandangan mata
kanannya. Dia maju beberapa langkah, namun tak bisa berbuat banyak. Di satu tempat
lututnya menekuk. Tubuhnya ambruk ke bawah lalu tergelimpang di tebing waduk Selorejo.
Gadis berpakaian ringkas warna ungu itu memacu kudanya sepanjang pesisir selatan lalu
membelok tajam memasuki kawasan luas ditumbuhi pohon kelapa. Pita ungu di atas kepala
dan selendang ungu yang melingkar di lehernya melambai-lambai ditiup angin. Jauh
didepannya membujur deretan bukit-bukit. Tujuannya adalah salah satu dari puncak bukit itu.
Agaknya dia tidak akan sampai ke tujuan dalam waktu dekat. Kuda tunggangannya sudah
terkuras seluruh tenaganya karena dipacu sejak pagi buta tadi.
Semakin jauh dia masuk ke pedalaman semakin tak terdengar deru ombak yang memecah di
pantai. Udara pesisir yang tadinya panas menyengat kini mulai menyejuk karena hembusan
angin dari bebukitan. Semakin dekat ke arah bukit-bukit itu, udara terasa lebih sejuk.
Menjelang rembang petang, kuda dan penunggangnya akhirnya sampai juga di kaki
bebukitan. Namun justru di situlah kuda itu melepas sisa tenaganya yang terakhir. Dia tak
sanggup lagi berlari. Langkah keempat kakinya gemetaran. Sebelum binatang itu tersungkur,
gadis berbaju ungu melompat. Dia cepat pegang leher kuda agar tidak terjerembab keras.
“Binatang hebat! Aku tak akan memaksamu naik ke atas puncak bukit sana. Aku terpaksa
meninggalkanmu di tempat ini. Aku dikejar waktu...” si gadis memandang berkeliling.
Hatinya merasa lega ketika dia melihat tak jauh dari sana ada sebuah telaga. Walau airnya
tidak terlalu bening, namun cukup menolong kuda yang sudah setengah mati kepayahan itu.
Dipetiknya beberapa helai daun, dengan cepat dibentuknya seperti panci kecil. Lalu dengan
benda itu diciduknya air telaga dan disiramkannya ke mulut serta kepala kuda yang terbujur di
tanah. Sampai delapan kali memberi minum baru si gadis berhenti.
“Aku harus pergi sekarang... Kuharap kau mau menunggu di sini barang satu malaman...”
setelah mengusap leher dan kepala binatang itu beberapa kali, gadis berpakaian serba ungu ini
segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
Tepat pada saat matahari tenggelam, gadis ini sampai di puncak bukit. Dalam keremangan,
dia berlari menuju bagian timur hingga akhirnya tiba di sebuah bangunan batu yang pintunya
tertutup oleh sejenis pohon merambat. Si gadis tak berani menyibakkan daun-daun pepohonan
itu, apalagi masuk ke dalam. Setelah menarik nafas panjang, dia berseru. “Guru, saya
datang!”
Tak ada sahutan. “Guru, saya Anggini muridmu datang sesuai pesan!” ia berseru lebih keras.
Dari dalam bangunan batu terdengar suara batuk-batuk beberapa kali. “Jangan-jangan orang
tua itu sedang sakit,” pikir si gadis. Dia beranikan diri melangkah mendekati pintu bangunan.
Tiba-tiba ada suara seperti orang menyembur dari dalam bangunan. Bersamaan dengan itu
menebar bau tuak harum sekali. Gadis baju ungu hentikan langkahnya.
“Ah, dia ada di dalam rupanya,” kata si gadis lega, dan kini tampak tersenyum. Kembali dia
melangkah maju. Mendadak, “Wusss!” Ada kilatan api. Lalu daun-daun pohon jalar yang
bergelantungan menutupi pintu bangunan batu tenggelam dalam kobaran api. “Muridku,
masuklah! Aku memang sudah lama dan penat menunggumu!”
Anggini sang murid tentu saja jadi terkesiap. Bagaimana dia bisa masuk dalam bangunan
sementara satu-satunya jalan masuk tertutup oleh kobaran api? “Hai! Apakah kau sudah tuli
anggini?! Tak kau dengar aku menyuruhmu masuk?!” terdengar suara orang di dalam
bangunan agak gusar.
“Guru...”
“Jangan bicara saja, masuklah!” orang di dalam bangunan batu akhirnya membentak hilang
kesabaran. Sesaat si gadis masih terkesima. Namun di lain kejap dia gerakkan tangan ke leher
membuka gelungan selendang ungu lalu melompat ke arah pintu seraya mengibaskan
selendang tiga kali berturut-turut.
Tiga gelombang angin menderu dahsyat, menerbangkan pasir dan batu-batu kecil. Melabrak
daun-daun pohon jalar yang dikobari api. Api yang membakar pohon serta merta padam
sementara pohonnya sendiri tidak patah atau remuk dihantam tiga gelombang angin tadi.
Ketika sang dara melompat masuk ke dalam, selendang ungunya sudah melingkar kembali di
lehernya.
Di dalam bangunan kini terdengar suara tawa bergelak. Lalu, “gluk-gluk-gluk” menyusul
suara seperti seseorang tengah meneguk minuman dengan lahap. Di dalam bangunan, Anggini
sempat terkesiap. “Ah, belum berubah juga dia rupanya...” lalu gadis ini cepat-cepat menjura
lalu duduk bersimpuh di lantai.
“Hebat...! Jurus Selendang Dewa Memagut Naga Membungkam Matahari yang kau mainkan
tadi sungguh sempurna! Kalau tidak kubegitukan tadi, mana kau mau memperlihatkan
kepandaianmu! Ha...ha...ha...!”
“Guru, harap maafkan murid. Saya tak tahu kalau guru bermaksud menjajal kepandaian
saya yang rendah!”
Orang di hadapan si gadis tertawa mengekeh. Lalu, “gluk-gluk-gluk” enak saja dia meneguk
sejenis minuman keras yang harum dari bibir sebuah tabung bambu. Orang ini adalah seorang
tua berambut putih yang janggutnya menjulai sampai ke dada. Pakaiannya selempang kain
biru. Saat itu dia duduk di atas sebuah bumbung bambu yang ditegakkan di lantai sambil
uncang-uncang kaki. Di pangkuannya melintang sebuah tabung bambu lagi. Bumbung ini
berisi tuak murni luar biasa harumnya yang disebut dengan Tuak Kayangan. Dan si orang tua
ini tak lain adalah Dewa Tuak, salah seorang dedengkot rimba persilatan di masa itu!
“Guru, apakah kau selama ini sehat-sehat dan baik-baik saja?” Anggini bertanya.
“Ya.. ya Aku selalu sehat dan baik-baik saja. Berkat ini!” jawab Dewa Tuak sambil menepuk
bumbung-bumbung bambu di pangkuannya.
“Saya gembira mendengar hal itu....” kata sang murid. Dia diam sesaat lalu baru meneruskan
ucapannya. “Sesuai pesan yang saya terima, saya sudah datang dan berada di hadapan guru.
Gerangan apakah guru memanggil saya?”
“Ah, kau rupanya tak mau berbasa-basi. Ingin langsung pada tujuan.” Dewa Tuak
tersenyum lebar. Dia usap-usap janggut putihnya beberapa kali baru teruskan ucapan.
“Baiklah, aku memang perlu bicara padamu. Anggini muridku, ketahuilah dunia persilatan
dalam waktu dekat ini akan dilanda malapetaka besar kalau orang-orang tua buruk sepertiku
ini tidak lekas-lekas mengambil tindak pencegahan...”
“Rupanya ada tokoh-tokoh sesat golongan hitam hendak berbuat ulah?” tanya Anggini.
“Bisa dikatakan begitu. Tapi pangkal bahayanya adalah seperti yang akan aku tuturkan
padamu...”
Puncak Gunung Kelud. Langit tampak mendung sejak pagi. Sang surya sama sekali tidak
kelihatan menyembul. Keadaan saat itu seolah menjelang malam hari. Sementara hujan turun
rintik-rintik dan udara terasa sangat dingin.
Di tempat persemadiannya Eyang Gusti Kelud Agung duduk bersila di lantai, hanya
beralaskan sehelai kulit kambing. Kedua tangannya diletakkan di atas paha. Mata terpejam,
tubuh tak bergerak barang sedikit pun. Kalau saja tidak ada hembusan nafas yang
menimbulkan asap tipis akibat dinginnya udara, orang tua berusia hampir seratus tahun ini tidak beda seperti sebuah patung. Walau usia sudah lanjut begitu rupa, tapi dia masih
memiliki tubuh tegap dan wajah segar. Semua ini akibat latihan jasmani dan kekuatan rohani
serta hawa sakti yang sudah mencapai tingkat tinggi dan jarang orang menguasainya.
Di hadapan Eyang Gusti Kelud saat itu duduk seorang lelaki berusia 30 tahun. Dia hanya
mengenakan sehelai cawat sehingga kelihatan tubuhnya yang kukuh penuh otot. Pada leher
dan dadanya terdapat banyak tanda-tanda kemerahan seolah bekas gigitan. Lelaki muda ini
tidak hitam ataupun coklat tetapi berwarna kehijau hijauan membersitkan sinar aneh kalau tak
dikatakan menggidikkan. Lelaki ini menatap pada kakek yang ada di hadapannya. Dia sudah
berada di tempat itu sejak malam tadi. Dan Eyang Gusti Kelud masih saja bersemadi. Sampai
kapan dia harus menunggu? Kalau dengan orang lain mungkin dia berani mengganggu semadi
itu atau meninggalkan si kakek begitu saja. Tapi terhadap sang guru tentu saja dia tak berani
berbuat begitu.
Waktu berjalan terus. Siang pun datang. Udara terang sedikit tetapi sang surya masih belum
kelihatan. Sepasang mata hijau lelaki muda itu melihat gerakan pada urat nadi di leher Eyang
Gusti Kelud Agung. Hatinya menjadi lega. Ini satu pertanda bahwa si kakek akan mengakhiri
semadinya. Benar saja. Tak lama kemudian terlihat getaran-getaran teratur pada bagian dada
orang tua itu. Setelah itu kepalanya bergerak sedikit. Menyusul dengan terbukanya kedua
matanya sedikit demi sedikit.
Begitu melihat mata sang guru membuka, pemuda tadi segera membungkuk dalam-dalam.
Kepalanya hampir menyentuh kaki si kakek. Dan dia tetap dalam keadaan seperti itu sampai
dia mendengar suara Eyang Gusti Kelud Agung berkata. “Sandaka Arto Gampito, kau boleh
mengangkat tubuhmu.”
Lelaki muda itu cepat angkat tubuhnya, duduk dengan sikap tegak dan memandang pada
orang tua di hadapannya. Dua mata bening Eyang Gusti Kelud Agung serta merta melihat
perubahan besar telah terjadi dengan diri muridnya. Hatinya memelas sedih.
“Dua puluh tahun lebih aku mendidiknya untuk menjadi manusia berbudi pendekar sejati.
Ternyata semua itu sia-sia belaka. Ya Tuhan, apa dosaku pada-Mu hingga kau turunkan
malapetaka ini pada muridku? Jika dia yang berdosa biar aku yang menampung semua
dosanya. Jangan dia. Diriku akan segera datang menghadap-Mu, tapi dia masih muda, jalan
hidupnya masih panjang. Ya Tuhan, aku mohon petunjuk-Mu…”
“Eyang, saya datang menghadap Eyang. Semoga kedatangan saya berkenan di hati
Eyang…”
“Sandaka, aku senang melihat kau datang. Tapi hatiku juga sangat sedih melihat keadaanmu
seperti ini…” berucap Eyang Gusti Kelud Agung dengan suara tersendat.
“Saya tahu bagaimana perasaan Eyang, namun mungkin semua ini sudah jalan nasib saya.
Semua yang terjadi adalah kelalaian dan kesalahan saya. Biarlah kelak saya yang
menanggung hukuman atas segala dosa...”
“Sandaka, apa yang sudah terjadi memang sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Mungkin suatu
ketika ada suatu kekuatan atau mukjizat yang bisa mengembalikan dirimu seperti dulu lagi.
Namun yang sangat aku sesalkan adalah karena kau tidak mendengarkan nasihatku. Ketika
kau kulepas tahun lalu aku sudah berpesan, jangan sekali-sekali kau dekati apalagi
berhubungan dengan Kunti Ambiri perempuan jahat bergelar Dewi Ular itu. Sejak kau
berada di sini, aku tahu secara diam-diam dia datang mengintai dan memperhatikan dirimu.
Dia terpikat pada dirimu. Ternyata kau bukan saja masuk pada perangkapnya tapi juga jatuh
cinta padanya...!”
“Eyang, saya tahu dosa dan kesalahan saya. Ketika Eyang melepas saya setahun lalu walau
memiliki kepandaian tinggi tapi saya masih buta pengalaman. Dunia luar serba asing bagi
saya. Sampai akhirnya saya masuk dalam perangkap Dewi Ular... Saya tidak mampu
mencegahnya. Saya berada di bawah kekuasaannya, tak mampu keluar dari
genggamannya...Orang tua di hadapan Sandaka menarik nafas panjang. “Jangankan kau, orang yang
berkepandaian tinggi seratus kali darimu pun sekali melakukan hubungan badan dengan
Dewi Ular, seumur hidup tak akan sanggup membebaskan diri dari cengkeramannya. Seumur
hidup akan jadi budak nafsunya. Cairan dalam tubuh Dewi Ular telah mengalir dalam
darahmu. Tak mungkin dibersihkan lagi...!”
Lama Sandaka termenung mendengar kata-kata gurunya itu. Apa yang diucapkan orang tua
itu memang benar adanya. Sejak dia terpikat dengan Dewi Ular dan melakukan hubungan
badan sampai beberapa kali, sejak itu pula dia tak mampu membebaskan diri dari kekuasaan
perempuan itu. Dia melakukan apa saja yang diperintahkan tanpa berpikir apakah hal itu baik
atau buruk.
“Eyang, kalau memang begini keadaan saya, saya bersedia menerima hukuman apa pun.”
“Hukuman bisa saja dilakukan atas dirimu. Tidak olehku, mungkin oleh orang lain. Mungkin
juga oleh dirimu sendiri...”
“Maksud Eyang, saya sebaiknya bunuh diri saja?” tanya Sandaka.
Orang tua itu tersenyum pahit. Dia melihat ada kilatan aneh pada sepasang mata muridnya.
“Aku tidak menganjurkan kau melakukan bunuh diri. Ketahuilah, tidak suatu kekuatan pun di
dunia ini yang sanggup membunuhmu! Kecuali kekuatan Tuhan atau atas petunjuk dari-Nya.
Cuma, aku melihat masih ada satu jalan. Ada penyakit dalam tubuhmu. Untuk mengobatinya,
harus melenyapkan sumbernya...”
“Maksud Eyang?”
“Sanggupkah kau membunuh Dewi Ular?”
Paras Sandaka Arto Gampito tidak berubah. Tapi sang guru lagi-lagi melihat ada kilatan
cahaya menggidikkan di kedua mata muridnya. “Sandaka, coba kau perhatikan dirimu.
Pakaianmu hanya selembar cawat seolah kau hidup di zaman manusia tidak beradab.
Pengaruh cairan tubuh beracun Dewi Ular membuatmu hanya bisa tidur satu tahun sekali.
Itu pun tidak bisa lama dan tak diketahui kapan kau bisa tidur. Dua bola matamu hijau juga
akibat pengaruh cairan dari tubuh Dewi Ular. Di situ kekuatanmu terpusat. Kau dijadikan
hamba sahayanya bukan cuma sebagai pemuas nafsu tapi juga untuk melakukan apa saja
yang dimintanya. Coba kau ingat, sudah berapa banyak orang-orang persilatan yang
menjadi korbanmu atas perintah Dewi Ular...”
Eyang Gusti Kelud Agung hentikan ucapannya. Dia melihat tubuh muridnya bergetar lalu
kulit tubuh sampai ke leher terus ke muka perlahan-lahan berubah kehijau-hijauan. Di dalam
diri Sandaka, tiba-tiba saja ada suara iblis menggelegar. “Orang tua ini harus kubunuh!
Harus kubunuh! Tapi dia guruku! Dia guruku! Persetan siapapun dia adanya! Harus
kubunuh sekarang juga!”
Sandaka berdiri. “Kau mau ke mana muridku?” Tanya Eyang Gusti Kelud Agung.
“Saya terpaksa harus mem...” Sandaka tidak teruskan ucapannya, agaknya dia masih bisa
menguasai diri. “Saya harus pergi sekarang juga Eyang” Dia putar tubuhnya cepat-cepat.
“Tunggu dulu Sandaka. Masih ada satu hal yang mau aku bicarakan. Ini sangat penting
karena masih menyangkut kehidupan masa depanmu...”
“Saya sudah tidak punya masa depan Eyang....” Sandaka segera hendak beranjak pergi.
“Dengarkan dulu apa yang akan kukatakan, baru kau boleh pergi...”
“Jika Eyang memaksa, saya terpaksa...”
“Membunuhku?” ujar si orang tua dengan senyum kecut. “Kau boleh membunuhku setelah
mendengar penuturanku...”
Warna kulit dan bola mata Sandaka semakin menghijau. Badannya menggeletar tanda dia
berusaha keras menahan gejolak keinginan untuk membunuh yang membakar dirinya. “Kalau
begitu katakan saja cepat Eyang apa yang mau kau bilang...!”
“Sembilan puluh tahun yang lalu ketika aku masih kecil, guruku pernah bercerita tentang
tigapuluh buah paku sakti terbuat dari baja murni. Paku ini dibuat oleh seorang syekh sakti yang bermukim di daratan Tiongkok selatan. Konon paku ini punya kekuatan daya
penyembuhan luar biasa. Aku mempunyai firasat paku sakti itulah yang sanggup
membersihkan darah dalam tubuhmu. Caranya, tigapuluh buah paku itu harus dipantekkan
ke tubuhmu. Mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki. Namun ada satu akibat yang tidak dapat
dielakkan. Walau pengaruh Dewi Ular akan pupus dari dirimu, tetapi kau kelak akan berada
di bawah kekuasaan baru yang mungkin lebih dahsyat...”
Ucapan Eyang Gusti Kelud Agung terhenti ketika tiba-tiba ruangan semadi itu bergetar oleh
berkelebatnya suatu bayangan hijau yang mengeluarkan angin mengandung hawa aneh. Lalu
terdengar suara orang berkata. “Sandaka! Lama aku mencarimu! Tak tahunya kau berada di
sini, bicara segala isapan jempol pepesan kosong!”
Seorang perempuan muda berwajah cantik luar biasa, mengenakan pakaian panjang terbuat
dari sutera halus berwarna hijau, tiba-tiba tegak di samping Eyang Gusti Kelud Agung. Bau
tubuhnya yang harum, menebar di ruangan itu. Di atas kepala yang rambutnya di konde besar
di sebelah belakang ada sebuah mahkota kecil berbentuk kepala ular terbuat dari emas,
memiliki sepasang mata terbuat dari permata berwarna hijau.
“Dewi...!” seru Sandaka lalu cepat bangkit mendatangi perempuan itu.
“Kekasihku...!” jawab Dewi Ular seraya mengembangkan kedua tangannya. Begitu Sandaka
sampai di hadapannya, langsung dirangkulnya. Sandaka membalas penuh nafsu. Dewi Ular
julurkan lidahnya. Sandaka hisap lidah itu sampai mengeluarkan suara keras. Tidak hanya
sampai di situ. Seolah mereka hanya berdua saja yang ada di situ, keduanya baringkan diri di
lantai, berguling-guling sambil terus berpelukan dan berciuman.
Wajah Eyang Gusti Kelud Agung tampak merah mengelam. Dia membentak marah.
“Manusia-manusia kotor! Keluar kalian dari tempat ini! Jangan kalian berani lagi
menginjak puncak Gunung Kelud ini!”
Dewi Ular tertawa tinggi. Digigitnya leher Sandaka penuh nafsu hingga meninggalkan tanda
merah. Lalu dia melompat bangkit, Sandaka ikut berdiri. Sambil merangkul lengan lelaki itu,
Dewi Ular berkata. “Sandaka kekasihku, kau tadi mendengar segala macam ucapannya!
Betul...?”
“Aku memang mendengar Dewi, tapi aku tidak peduli!”
Dewi Ular kembali tertawa panjang. “Kurasa tua bangka ini hanya satu rongsokan tak
berguna. Apa pendapatmu Sandaka?”
“Memang aku juga merasa begitu...” jawab Sandaka.
Wajah Eyang Gusti Kelud Agung kaku membesi. “Sandaka! Sebut nama Tuhanmu!
Bebaskan dirimu dari pengaruh jahat perempuan iblis ini!”
Dewi Ular cuma ganda tertawa mendengar ucapan orang tua itu. “Apa tindakan kita terhadap
manusia-manusia tidak berguna di atas dunia ini Sandaka?” Dewi Ular kembali berucap.
“Harus dibasmi. Harus disingkirkan karena Bumi tidak layak dihuni oleh orang-orang
semacam dia!”
“Sandaka!” seru Eyang Gusti Kelud Agung.
“Kekasihku, aku senang mendengar ucapanmu! Sekarang lakukan apa yang harus kau
lakukan! Bunuh tua bangka tak berguna itu!”
Eyang Gusti Kelud Agung cepat berdiri ketika dilihatnya Sandaka Arto Gampito maju dua
langkah mendekatinya. Dua bola matanya menjadi sangat hijau. Ketika lelaki ini
mengedipkan kedua matanya itu, dua larik sinar hijau menderu menyambar ke arah kepala
dan dada sang guru.
Orang tua itu membentak keras. Sambil menyingkir ke samping, dia cepat membentengi diri
dengan dua buah pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti. Angin yang keluar dari dua
telapak tangan Eyang Gusti Kelud Agung itu laksana deru topan dan mengeluarkan sinar
kelabu. “Bummmmmm!Bummmmm!”
0 comments:
Posting Komentar