Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Selasa, 11 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - JAGAL IBLIS MAKAM SETAN

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com


SATU


Sepasang mata Sika Sure Jelantik bergerak liar menatap tajam ke arah kegelapan di 

Sekeliling gubuk di mana dia berada. Pendekar 212 Wiro Sableng terbujur di tanah 

Dalam keadaan kaku karena ditotok oleh si nenek. 

Aneh, jelas barusan aku mendengar suara orang! Juga suara tawa keparatnya! Tapi 

mana bangsatnya?!” Sika Sure Jelantik memaki dalam hati. Ke dua matanya terus meliar 

coba menembus kegelapan. Tetap saja dia tidak melihat apa-apa. “Jangan-jangan suara 

angin menipu pendengaranku!” Lalu perempuan tua ini kembali palingkan wajahnya ke 

arah murid Sinto Gendeng. Dia memandang berkeliling sekali lagi lalu dengan cepat 

ulurkan ke dua tangannya untuk menanggalkan jubah sakti Kencono Geni yang dikenakan 

Wiro. 

Saat itulah kembali dari dalam gelap terdengar suara tertawa cekikikan. “Hik... hik! 

Nenek tak tahu diri! Kau masih mau meneruskan maksudmu membugili pemuda itu?! Hik... 

hik!” 

Sika Sure Jelantik pukulkan tangan kanannya ke tanah hingga tanah itu membentuk 

lobang dan salah satu tiang gubuk bergoyang keras lalu jatuh ke tanah. Dengan marah si 

nenek membentak. 

“Manusia atau setan sekalipun! Kenapa sembunyikan diri di dalam gelap! Unjukkan 

tampangmu!” 

“Sika, tinggalkan pemuda itu. Kau tak bakal dapat apa-apa darinya!” Orang di dalam 

gelap menjawab ucapan si nenek. 

“Hemmm... Kau tahu namaku! Berarti kau seorang yang aku kenal! Jangan terlalu 

pengecut memperlihatkan diri!” 

“Jika itu maumu, apa susahnya! Tapi jangan kecewa karena kau tak bakalan bisa 

melihat wajahku!” jawab suara dalam gelap. Lalu terlihat satu bayangan hitam berkelebat 

disertai suara siuran angin. Tahu-tahu di depan gubuk yang kini atapnya miring karena 

salah satu tiangnya roboh, duduk menjelepok di tanah seorang berpakaian serba hitam. 

Seperti dikatakannya tadi si nenek tak bakal melihat wajahnya. Karena orang ini duduk 

sambil menutup mukanya dengan ke dua tangan. Meski Sika Sure Jelantik memang tidak 

dapat melihat wajah orang itu namun dia sudah mengetahui siapa dia adanya. 

“Iblis Pemalu! Permainan konyol apa yang sedang kau lakukan saat ini?! Ucapan-

ucapanmu tadi benar-benar membuatku marah! Kalau bukan kau orangnya saat ini pasti 

kau sudah kubunuh!” 

“Nenek Sika, aku malu! Justru aku yang harus bertanya. Permainan konyol apa yang 

hendak kau perbuat terhadap pemuda itu!” 

“Apa urusanku tak perlu kau banyak cingcong! Kau menunjukkan sikap aneh. 

Bukankah kita sebelumnya datang dalam satu rombongan bersama dua teman lainnya? 

Mana Pengiring Mayat Muka Hijau dan Datuk Gadang Mentari?!” 

Sambil terus menutupi wajahnya dibalik dua tangan, Iblis Pemalu menjawab. “Aku 

malu tak dapat mengatakan dimana adanya Pengiring Mayat Muka Hijau. Tapi si Datuk 

Gadang Mentari sudah mati menemui ajal! Memalukan sekali datang jauh-jauh dari tanah 

seberang hanya mencari mati di tanah Jawa! Bukankah kau sendiri menyaksikan 

kematiannya di lembah batu itu?”“Jadi gadis bernama Anggini, murid tua Gila itu benar-benar membunuh sahabat kita 

Datuk Gadang Mentari....” 

“Huss...! Jangan berkata yang memalukan! Tua bangka itu bukan sahabatku. Aku 

berada bersama rombongannya hanya ikut-ikutan saja!” 

“Rupanya kau bukan cuma seorang pemalu. Tapi juga pengkhianat. Teman dibunuh 

orang kau biarkan saja!” 

“Datuk Gadang Mentari bukan temanku! Kau juga bukan temanku! Aku malu 

berteman dengan kalian!” 

Wiro Sableng yang sejak tadi mendengar percakapan ke dua orang itu diam-diam 

merasa aneh melihat perubahan sikap orang berjuluk Iblis Pemalu itu. Untuk menyelidik 

tentu saja tidak mungkin. Tahu kalau kini Iblis Pemalu tidak lagi sehaluan dengan si nenek 

maka murid Sinto Gendeng ini lantas tertawa bergelak. 

“Nenek jelek! Kau dengar orang tak mau berteman denganmu! Aku saja yang orang 

lain merasa malu! Apa kau tidak merasa malu?!” 

“Tutup mulutmu! Jangan ikut campur urusanku!” bentak Sika Sure Jelantik marah 

sekali hingga sekujur tubuhnya bergetar. Dia berpaling pada Iblis Pemalu yang saat itu 

tertawa cekikikan mendengar ucapan Wiro. 

“Mana dia merasa malu!” ujar Iblis Pemalu. 

“Nenek tua ini tidak punya kemaluan! Astaga! Maksudku tidak punya rasa malu! 

Hik... hik... hik!” 

“Aku tidak merasa rugi tidak menjadi sahabatmu! Kalau kau tidak berteman 

denganku, harap lekas angkat kaki dari sini! Jangan membuat aku muak!” Membentak Sika 

Sure Jelantik pada Iblis Pemalu dengan mata dipelototkan. 

“Ah, diriku bisa membuatmu jadi muak! Memalukan sekali! Kalau kau memang 

muak melihatku, sebelum kau muntah apa salahnya kau saja yang minggat dari sini?! Atau 

mungkin itu kau anggap sesuatu yang memalukan?!” 

Semakin marah Sika Sure Jelantik mendengar kata-kata Iblis Pemalu itu. Namun dia 

masih bisa menimbang. Kalau memperturutkan kemarahannya mau saat itu dia 

menghantam dan membunuh Iblis Pemalu dengan pukulan Kuku Kilat Akhirat. Namun 

dari pada mencari perkara lebih baik mengalah dan membawa Wiro Sableng dari tempat itu. 

Maka tanpa banyak bicara dia segera membungkuk, siap memanggul tubuh Pendekar 212.

Tapi di sampingnya Iblis Pemalu terdengar berkata. 

“Aku memintamu pergi seorang diri! Tidak membawa serta pemuda itu! Jangan 

melakukan hal yang memalukan nenek Sika!” 

“Iblis Pemalu, harap kau jangan keliwat menekan! Pemuda ini milikku! Aku boleh 

membawanya kemana saja! Aku boleh melakukan apa saja terhadapnya!” 

“Memalukan sekali! Mana ada aturan seperti itu?!” ujar Iblis Pemalu dengan dua 

tangan masih terus dipergunakan menutupi, wajahnya. 

Sika Sure Jelantik angkat kepalanya ke atas lalu keluarkan tawa panjang. “Sekalipun 

kau raja di raja rimba persilatan, jangan mengira kau bisa mengatur diriku! Jangan kau 

berani bergerak di tempatmu! Atau kau akan mampus percuma!” 

Tanpa mengacuhkan Iblis Pemalu si nenek Sika Sure Jelantik dengan gerakan cepat 

menarik salah satu tangan Wiro hingga sosok murid Sinto Gendeng ini melayang ke atas 

dan “bluk!” Tahu-tahu sudah berada di atas bahu kirinya.Iblis Pemalu ternyata tak tinggal diam. Sebelum Sika Sure Jelantik berkelebat pergi 

melarikan Wiro dia sudah berkelebat dan tegak menghadang jalan si nenek. 

“Kau benar-benar mencari mampus!” hardik Sika Sure Jelantik. Tangan kirinya 

dihantamkan ke arah. Iblis Pemalu. Lima larik sinar sangat hitam menggebubu dalam 

gelapnya malam. 

“Memalukan!” terdengar seman Iblis Pemalu. 

“Memalukan!” ikut berteriak murid Sinto Gendeng. Dia sengaja memanasi si nenek. 

Lima larik sinar maut terus mencuat dari lima kuku jari Sika Sure Jelantik. 

“Mampus!” teriak si nenek sambil menyeringai ketika melihat bagaimana lima sinar 

mautnya hanya tinggal sejengkal lagi dari tubuh yang jadi sasaran! 

Tapi laksana gaib ditelan bumi sosok Iblis Pemalu mendadak sontak lenyap dari 

pemandangan. Lima larik sinar hitam pukulan sakti Kilat Kuku Akhirat mendarat pada 

sebuah batu besar di depan serumpunan semak belukar. Batu dan semak belukar sama-sama 

mencelat berhamburan hancur beran 

takan! 

“Kurang ajar! Bagaimana mungkin dia bisa lolos dari pukulan saktiku!” ujar Sika Sure 

Jelantik dan cepat memutar tubuh memandang berkeliling. 

“Nenek Sika, kau letakkan saja pemuda itu di tanah lalu pergi dari sini. Bukankah itu 

lebih baik bagimu dari pada berbuat lain yang bisa memberimu malu besar?!” 

Si nenek cepat putar tubuhnya ke kiri. Dilihatnya Iblis Pemalu tegak di atas atap 

gubuk yang hampir rubuh. Tangan kiri berkacak pinggang sedang tangan kanan menutupi 

wajah. 

“Kalau kau memang inginkan pemuda ini, mengapa kau tidak berani merampasnya 

dari tanganku? Pengecut memalukan!” Sika Sure Jelantik mengejek seraya keluarkan suara 

mendengus dari hidung dan mulutnya. 

Iblis Pemalu, tertawa mengekeh seraya usap-usap wajahnya dengan tangan kanan. 

“Aku sudah memberi kesempatan padamu. Tapi kau tidak mau mempergunakan! 

Sungguh memalukan! Jika kau inginkan aku merampas pemuda itu dari tanganmu lihat saja 

bagaimana jadinya!” 

Habis berkata begitu tubuh Iblis Pemalu lenyap dari atas atap. 

“Wutttt!” 

Sika Sure Jelantik berseru kaget ketika tiba-tiba ada sambaran angin di samping 

kanan. Lalu ada satu tangan hendak mencengkeram tengkuk pemuda yang ada di 

panggulannya. Si nenek cepat membungkuk seraya hantamkan siku kanannya. Serangannya 

meleset. Tiba-tiba si nenek membuat gerakan berputar. Dengan mengandalkan kaki kirinya 

sebagai tumpuan Sika Sure Jelantik berputar dalam gerakan setengah lingkaran. Kaki 

kanannya menendang dan “bukk!” 

Sosok Iblis Pemalu yang tadi ada di belakangnya mencelat kena hantaman kaki 

kirinya. 

“Memalukan!” Iblis Pemalu berseru sambil menahan sakit. Tangan kiri memegang 

perutnya yang kena tendang sedang tangan kanan tetap menutupi wajahnya. Selagi dia 

berusaha mengimbangi diri Sika Sure Jelantik tak mau memberi kesempatan. Tangan 

kanannya dipukulkan. Lima larik Kilat Kuku Akhirat menyambar ke arah Iblis Pemalu. 

“Tamatlah riwayatmu sekarang manusia sinting geblek!” teriak Sika Sure Jelantik 

dengan mata berkilat-kilat dan mulut sunggingkan senyum mau

Di depan sana Iblis Pemalu tiba-tiba memutar tubuhnya. Dalam keadaan 

membelakangi lawan ke dua tangannya dipukulkan ke belakang. 

“Wusss!” 

“Wusss!” 

Dalam gelap kelihatan dua larik cahaya putih bergulung-gulung membentuk dua 

lingkaran aneh. Sika Sure Jelantik berseru kaget ketika melihat lima larik sinar sakti pukulan 

Kilat Kuku Akhiratnya masuk ke dalam dua lingkaran cahaya putih, ikut tergulung lalu dua 

lingkaran putih bersama lima larik sinar hitam berbalik menghantam ke arahnya! 

Dalam keadaan seperti itu Sika Sure Jelantik masih mampu berpikir cepat. Bukan dia 

saja yang harus menyelamatkan diri dari hantaman maut itu tapi Pendekar 212 Wiro Sableng 

juga harus diselamatkan. Kalau sampai pemuda itu menemui ajal tambah sulit baginya 

untuk mencari tahu di mana beradanya musuh besarnya si Tua Gila itu! 

Maka si nenek pun melakukan satu hal yang hebat! 

* *


DUA


Sika Sure Jelantik lemparkan tubuh Pendekar 212 ke atas. “Hekkk!” Suara seperti orang 

muntah melesat keluar dari tenggorokan murid Sinto Gendeng ini begitu tubuhnya 

yang dilemparkan ke atas jatuh membelintang di atas cabang pohon. 

“Tua bangka sialan!” maki Wiro. “Untung tubuhku nyangsrang di sini! Kalau amblas 

ke tanah pasti nyawaku tidak ketolongan!” Wiro memandang ke bawah. Cabang pohon 

dimana tubuhnya terbelintang tanpa bisa bergerak berada sejarak lebih empat tombak dari 

tanah! Rasa gamang dan ngeri karena khawatir akan jatuh sementara dirinya masih berada 

dalam keadaan tertotok membuat murid Sinto Gendeng ini seperti mau membuang hajat 

besar. “Nenek jelek! Turunkan aku dari atas pohon.” 


Sika Sure Jelantik mana perdulikan teriakan Wiro. Begitu bahunya lepas dari beban 

sosok tubuh Wiro si nenek lesatkan dirinya ke atas. Gulungan cahaya putih dan sinar 

pukulan Kilat Kuku Akhirat lewat hanya setengah jengkal di bawah kakinya. Bagian bawah 

jubahnya terasa panas. Ketika dia meneliti ternyata ujung jubahnya telah berubah menjadi 

abu! Diam-diam tengkuk si nenek menjadi dingin, “iblis Pemalu. Aku mengenalnya baru 

satu minggu! Siapa makhluk aneh tapi dahsyat ini sebenarnya? Aku tak pernah melihat 

wajahnya. Tadi waktu melepaskan pukulan berbentuk dua gulungan sinar putih dia. 

pergunakan ke dua tangannya. Tapi dia sengaja membelakang hingga tampangnya tetap 

tidak kelihatan! Tanah Jawa benar-benar sarat dengan manusia berkepandaian tinggi!” 

“Memalukan! Bagaimana mungkin seranganku tidak mengenai sasaran!” Iblis 

Pemalu mengomel. Saat itu dari atas dilihatnya Sika Sure Jelantik melayang turun. Sepasang 

kaki si nenek menghunjam ke arah kepalanya. Iblis Pemalu tak tinggal diam. Dua tangan 

menutup wajah. Dua kaki dihentakkan ke tanah. “Settt!” Tubuhnya lenyap. Tahu-tahu 

sudah berada di udara, membuat si nenek terkejut sekali karena lawan berada demikian 

dekat dengannya dan “wutt... wutt!” Dua kaki Iblis Pemalu menerjang ke depan. Dalam 

keadaan seperti itu tak ada jalan lain bagi Sika Sure Jelantik selain balas menghantam 

dengan ke dua kakinya pula. 

Maka terjadilah perkelahian saling tendang di udara. Suara beradunya kaki terdengar 

tiada henti dan baru lenyap ketika Sika Sure Jelantik tampak limbung lalu jatuh terkapar di 

tanah tak kuasa bangkit kembali. Dia berusaha mengatupkan mulut rapat-rapat namun tak 

urung suara erangannya terdengar juga. 

Iblis Pemalu melayang turun ke tanah. Untuk beberapa lamanya dia tampak tegak 

terbungkuk-bungkuk. “Memalukan.... Memalukan....” Kata-kata itu keluar dari mulutnya 

berulang kali. Kedua tangan menutupi wajah. Sepasang matanya memperhatikan Sika Sure 

Jelantik lewat celah-celah jarinya. 

“Aku meminta pemuda itu secara baik-baik. Kau bersikap keras kepala. Memalukan! 

Sekarang lihat apa akibatnya! Berdiri pun kau tak sanggup! Dan aku sendiri! Huh! Rasanya 

mau putus kaki ini!” 

Di atas pohon Wiro berteriak. “Sobatku iblis Pemalu! Jangan mengoceh saja! Tolong 

turunkan aku!” 

Iblis Pemalu memandang ke atas pohon yang gelap. Lalu tertawa cekikikan. Dengan 

muka ditutupi ke dua tangannya dia balas berteriak. “Aku malu melihatmu di atas pohon 

sana! Memang tak ada tempat lain yang lebih baik bagimu! Hik... hik.. hik!”“Jangan bergurau! Turunkan aku dari atas pohon keparat ini!” 

“Memalukan! Kau memerintah menurunkanmu! Apa aku yang meletakkanmu di atas 

cabang pohon?!” 

“Jangan ngaco! Memang bukan kaul Tapi apa salahnya kau segera menolong diriku!” 

jawab Wiro yang jadi sangat jengkel. 

“Nenek jelek itu yang melempar kau ke atas pohon. Dia memang tak punya malu! 

Minta padanya agar menurunkan kau sekarang juga!” 

Sika Sure Jelantik yang tergeletak di tanah menyeringai menahan sakit. “Iblis Pemalu 

keparat! Kau meminta aku menurunkan pemuda gendeng itu! Baik! Kau saksikan sendiri 

bagaimana caraku menurunkannya!” Habis berkata begitu si nenek hantamkan tangan 

kanannya ke atas. Lima larik sinar pukulan Kilat Kuku Akhirat menderu ke arah Wiro. 

“Tobat! Tamat riwayatku!” teriak Wiro dengan mata melotot. “Iblis Pemalu! Lakukan 

sesuatu!” 

Tapi Iblis Pemalu cuma tutup mukanya rapat-rapat dan gelengkan kepala. 

“Setan alas! Nyawaku benar-benar tidak bisa tertolong!” keluh Pendekar 212.

“Wuttt!” 

Sesaat lagi Wiro akan menemui ajal ditembus lima larik sinar maut tiba-tiba sebuah 

benda putih halus melesat di kegelapan malam tanpa suara sedikitpun. Wiro merasakan ada 

sesuatu yang mengikat ke dua pergelangan kakinya. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya terasa 

laksana dibetot dan berputar di udara. Di sampingnya cabang pohon tempat dia tadi 

terjuntai melintang hancur berantakan dihantam sinar Kilat Kuku Akhirat. 

“Apa yang terjadi dengan diriku?!” ujar Wiro. Tubuhnya berputar di udara laksana 

terbang. Perlahan-lahan tubuh itu melayang ke bawah, makin ke bawah dan akhirnya 

“bukk!” Wiro terbanting keras menelungkup. Bukan di tanah. Tapi di atas sosok tubuh Sika 

Sure Jelantik! Kakinya saling bertumpuk dengan kaki si nenek. Perut dan dadanya 

berbenturan keras dengan perut dan dada Sika Sure Jelantik. Bahkan mulutnya pun saling 

bertempelan dengan mulut si nenek hingga keduanya seolah sedang berciuman mesra! 

Sika Sure Jelantik memaki panjang pendek. Wiro keluarkan suara seperti mau 

muntah dan meludah berulang kali. “Sialan! Ludahnya masuk ke dalam mulutku!” rutuk 

murid Sinto Gendeng. 

Dalam kegelapan terdengar suara orang tertawa terkekeh-kekeh! Si nenek 

menggereng marah. Wiro pasang telinga baik-baik. Saat itu tubuhnya yang tak mampu 

bergerak akibat totokan masih tertelentang menelungkup di atas badan si nenek. 

“Aku rasa-rasa mengenali suara tawa itu. Jangan-jangan... Ah, apa benar dia?” 

“Jahanam! Berani kau mencium mulutku!” Sika Sure Jelantik berteriak marah. 

Tangannya kiri kanan dipukulkan ke arah batok kepala Wiro. Ini merupakan satu serangan 

mengepruk yang dapat memecahkan kepala murid Sinto Gendeng itu. 

Wiro yang seolah tidak sadar bahaya maut mengancamnya balas berteriak. “Siapa 

suka mencium nenek bau macammu!” 

Sesaat lagi dua tangan si nenek akan menghancurkan kepalanya tiba-tiba Wiro 

merasa benda aneh yang menjirat dua pergelangan kakinya disentakkan. Tubuhnya yang 

masih tertelungkup di atas tubuh si nenek terbetot ke kiri lalu terguling di tanah. Hal ini 

menyelamatkannya dari serangan maut Sika Sure Jelantik. Saat itu pula sebuah benda halus 

panjang melayang di sampingnya. Ujung benda ini laksana seekor ular mematuk ke arah 

jalan darah di pangkal leher Wiro. Serta meria saat itu juga totokan yang menguasai dirinya buyar! Mulutnya langsung membuka. Dia menguap lebar-lebar. Sepasang matanya meredup 

seperti mengantuk. Ulahnya ini tidak lain akibat pengaruh ilmu tidur yang diberikan Si Raja 

Penidur padanya tempo hari. Sesaat kemudian setelah menyadari dirinya bebas dari totokan 

Wiro cepat gulingkan diri mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi diambil dan 

diletakkan Sika Sure Jelantik di tanah. Baru saja senjata ini disimpannya di balik pakaian 

tiba-tiba Sika Sure Jelantik berseru keras. 

“Aku mencium bau badanmu!!” Nenek yang cidera ke dua kakinya ini mencoba 

bangkit berdiri tapi tidak bisa. Seperti gila dia berteriak. “Sukat Tandika! Jangan 

bersembunyi! Lekas unjukkan diri menerima kematian!” Si nenek gerak-gerakkan tangan 

kanannya ke berbagai arah, Siap menghantam dengan pukulan sakti paling hebat yang 

dimilikinya yakni Jalur Hitam Bara Dendam. Ini merupakan pendalaman dari ilmu Kilat 

Kuku Akhirat yang memang direncanakannya untuk dipergunakan membunuh Tua Gila. 

Tangan kiri si nenek bersitekan ke tanah untuk menopang tubuhnya. Sepasang matanya 

jelalatan menembus kegelapan malam. Tiba-tiba ada sambaran angin di belakangnya. Si 

nenek membalik, siap menghantam dengan pukulan sakti Kilat Kuku Akhirat. Tapi 

terlambat. Satu totokan bersarang di punggungnya. Langsung saat itu sekujur tubuhnya 

menjadi kaku tegang dalam keadaan seperti merangkak. 

“Jahanam I Siapa berlaku pengecut menotok dari belakang!” teriak Sika Sure Jelantik. 

“Aku malu melakukannya/Tapi apa boleh buat! Nenek liar sepertimu harus dibuat 

jinak! Hik... hik... hik!” 

“Iblis Pemalu keparat!” rutuk si nenek. 

Iblis Pemalu melangkah mendekati Pendekar 212. “Tadi dia menotokmu dan hendak 

menelanjangimu! Aku barusan telah menotoknya. Dia tak bisa bergerak lagi! Apa kau mau 

membalas menelanjanginya?! Hik... hik... hik!” 

“Apa enaknya melihat tubuh tua keriput seperti yang dimilikinya! Memalukan saja!” 

jawab Wiro menimpali ejekan iblis Pemalu walau sebenarnya dia masih jengkel pada orang 

ini karena tadi tidak menolongnya turun dari cabang pohon. 

Iblis Pemalu tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Wiro. 

“Dua manusia gila! Aku bersumpah akan membunuh kalian!” teriak Sika Sure 

Jelantik. 

“Aku mau pergi dari sini. Malu lama-lama berada di tempat ini. Kau mau kemana? 

Mau pergi sama-sama denganku asal kau tidak malu saja?!” tanya Iblis Pemalu pada Wiro. 

“Aku, hemm.... Biar aku di sini dulu menemani nenek-nenek ini. Kasihan kalau dia 

sampai mati kedinginan di tempat ini....” 

“Terserah padamu. Tapi awas, jangan kau gerayangi tubuh tua bangka itu. Jangan 

melakukan sesuatu yang membuat malu aku malu sebagai temanmu! Aku pergi sekarang,” 

kata Iblis Pemalu. 

“Tunggul Jangan pergi dulu! Ada yang ingin kubicarakan denganmu!” kata Wiro 

pula. Lalu tanpa menunggu jawaban orang dia memandang berkeliling. Dia tahu siapa yang 

barusan menolongnya. Maka diapun berseru. “Kakek Tua Gila, mengapa masih 

bersembunyi?!” 

Sika Sure Jelantik yang diam-diam juga sudah memastikan bahwa Tua Gila bekas 

kekasihnya yang kini menjadi manusia paling dibencinya di atas dunia ini berada di tempat 

itu, serta merta salurkan tenaga dalam ke tangan kanan menyiapkan serangan maut Jalur 

Hitam Bara Dendam. Lima kukunya yang panjang mengeluarkan sinar hitam angker dan sepertinya ada asap tipis keluar dari tangannya. Matanya memandang liar berkilat. Begitu 

Tua Gila muncul dari dalam kegelapan langsung akan dihantamnya dengan pukulan sakti 

itu. Tapi dia lupa bahwa saat itu sekujur tubuhnya berada dalam keadaan tertotok. Walau 

secara luar biasa dia masih sanggup menyalurkan tenaga dalam dan menyiapkan pukulan 

Jalur Hitam Bara Dendam namun dia tidak mampu menggerakkan apa lagi mengangkat 

tangan kanannya itu untuk menyerang. 

Di dalam gelap terdengar suara orang batuk-batuk beberapa kali. Lalu berkelebat 

muncul satu bayangan. Tapi orang ini ternyata bukan Sukat Tandika alias Tua Gila! 

* *


TIGA


Sika Sure Jelantik menyumpah habis-habisan ketika dia menyadari kalau tak mampu 

menggerakkan tangan kanan untuk melepas pukulan Jalur Hitam Bara Dendam. 

Dalam keadaan seperti itu dia merasa agak lega sedikit walau sepasang matanya 

membeliak berkilat. Yang muncul di tempat itu bukanlah Sukat Tandika alias Tua Gila 

kekasihnya di masa muda. 


Iblis Pemalu yang belum sempat meninggalkan tempat itu memandangi orang yang 

datang lewat sela-sela jari ke dua tangannya yang dipergunakan menutupi wajah. 

Wiro garuk-garuk kepala, memandang tak berkesip dan bertanya-tanya siapa adanya 

orang yang berdiri di bawah bayangan gelap pohon besar di sampingnya. 

“Aku memang tidak kenal pada perempuan tua ini. Tak pernah melihatnya 

sebelumnya. Tapi mengapa wajahnya mengingatkan aku pada seseorang...?” Murid Sinto 

Gendeng membatin. 

Orang yang muncul di tempat itu adalah perempuan tua berjubah hitam. Dia 

mengenakan sebentuk topi menyerupai tanduk kerbau, terbuat dari kain berbenang perak. 

Di bawah topi rambutnya yang putih panjang menjela punggung dan dada. Walau 

wajahnya keriputan dimakan usia namun masih ada bayangan kecantikan yang dimilikinya 

di masa muda. Nenek ini bukan lain adalah Sabai Nan Rancak, salah seorang tokoh silat 

penguasa Gunung Singgalang yang seperti telah dituturkan dalam Episode sebelumnya 

(Asmara Darah Tua Gila) menyeberang dari Andalas ke tanah Jawa dalam mencari musuh 

besarnya yaitu Tua Gila. 

“Kau siapa?!” membentak Sika Sure Jelantik. 

“Ya, kau siapa?!” Wiro ikut-ikutan bertanya. 

Iblis Pemalu tetap berdiri memandang dengan muka ditutup. 

Nenek berjubah hitam menyeringai. Kepalanya digoyangkan hingga rambutnya yang 

putih panjang tersingkap ke belakang. Walau wajahnya kini kelihatan menyeluruh namun 

baik Sika Sure Jelantik maupun Wiro tetap saja tidak mengenali siapa adanya nenek satu ini. 

“Nenek yang terkapar di tanah!” Sabai Nan Rancak berkata dengan nada sinis. Dia 

menatap ke arah Sika Sure Jelantik, sama sekali tidak perdulikan Pendekar 212. “Kau tidak 

kenal diriku. Tapi aku kenai kau siapa adanya. Bukankah kau yang bernama Sika Sure 

Jelantik? Nenek culas yang pernah menyamar jadi dukun sakti di suatu pulau?! Yang datang 

ke tanah Jawa ini untuk mencari seorang kakek bernama Sukat Tandika alias Tua Gila alias 

Iblis Gila Pencabut Jiwa alias Pendekar Gila Patah Hati?!” 

Berubahlah paras angker Sika Sure Jelantik. “Setan tua ini tahu banyak tentang diriku! 

Aku sama sekali tidak mengenali siapa dia adanya! Sial keparat!” 

“Nenek, kau mengenali tua bangka satu ini, kau sendiri siapa?!” Wiro beranikan diri 

ajukan pertanyaan. 

“Tutup mulutmu! Aku bicara dengan dia! Dan 

9 JAGAL IBLIS MAKAM SETAN

aku belum mendapat jawaban! Pada gilirannya aku akan bicara denganmu!” sentak 

Sabai Nan Rancak. 

“Aduh galaknya si muka keriput ini!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala Walau dalam keadaan Cidera ke dua kaki dan tak berdaya karena tertotok Sika Sure 

Jelantik tetap saja galak. Dia menjawab dengan lantang. 

“Tua bangka rongsokan! Rupanya namaku demikian terkenalnya hingga kau tahu 

siapa diriku! Dan tentang dirimu yang sudah lapuk dimakan rayap usia, apa perduliku 

untuk mau tahu!” 

Sabai Nan Rancak mendongak lalu tertawa panjang. 

“Bicaramu memang hebat! Tapi aku tahu jiwamu tergoncang besar! Aku merasa tidak 

ada gunanya bicara lebih panjang denganmu!” Sabai Nah Rancak berpaling pada Wiro 

Sableng. “Aku juga kenal siapa dirimu anak muda! Jangan kau berani beranjak dari 

tempatmu sebelum aku mendapat keterangan!” 

“Malam begini gelap tak ada bulan tak ada bintang. Penerangan apa yang bisa aku 

berikan padamu?!” ujar Wiro seenaknya sambil senyum-senyum. 

“Orang yang mau mampus bicaranya memang sering tidak karuan!” balas Sabai Nan 

Rancak. 

Murid Sinto Gendeng jadi terkesiap mendengar ucapan orang tapi tetap saja tak mau 

kalah. “Nek, kau rupanya manusia hebat luar biasa. Sampai-sampai tahu kalau ada yang 

akan mati. Kalau dibanding usiamu dengan usiaku, bukankah kau yang lebih bau tanah 

alias dekat liang kubur?!” 

“Sobatku! Kau betul! Memalukan saja si tua bangka ini bicaranya!” Iblis Pemalu 

berteriak lalu tertawa gelak-gelak. 

“Hemmm... Ada satu lagi orang gila rupanya di tempat ini!” kata Sabai Nan Rancak 

tak mau kalah mengejek. “Heran, kenapa orang-orang gila selalu memilih mati berkawan-

kawan daripada sendiri-sendiri! Hik... hik... hik!” 

Di balik ke dua tangannya wajah Iblis Pemalu tampak mengerenyit menahan tawa 

sedangkan Wiro kelihatan tegak melongo dan garuk-garuk kepala. 

“Kau!” tiba-tiba Iblis Pemalu gerakkan tangan kirinya dan menuding tepat-tepat 

kepada Sabai Nan Rancak. “Kau datang laksana munculnya hantu malam. Memalukan! Kau 

tahu banyak tentang orang lain tapi tidak mau memberi tahu siapa diri sendiri! Memalukan! 

Biaraku beritahu pada orang-orang di sini siapa kau adanya!” 

Sabai Nan Rancak sesaat jadi tercekat tapi dia diam tak bergerak dan tak membuka 

mulut walau dalam hati dia berusaha menduga-duga siapa adanya manusia aneh yang 

terus-terusan menutupi wajahnya dengan tangan. “Kau tidak beda dengan nenek tua 

bernama Sika Sure Jelantik itu! Kau datang jauh-jauh dari seberang bukankah punya 

maksud sama dengan dia?!” 

Berdebar dada Sabai Nan Rancak mendengar kata-kata Iblis Pemalu itu. 

“Manusia aneh bermulut panjang! Apa maksudmu!” hardik Sabai Nan Rancak. 

“Kau berkeliaran sampai di sini bukankah karena juga mencari Tua Gila? Orang yang 

di masa mudamu menjadi kekasihmu!” 

“Jahanam!” teriak Sabai Nan Rancak. Tubuhnya berkelebat. Tangan kirinya lancarkan 

satu pukulan keras ke arah dada Iblis Pemalu. Tapi yang diserang bergerak cepat hindarkan 

diri dan tahu-tahu sudah tegak empat langkah di samping kanan Sabai Nan Rancak. 

“Kau malu rahasiamu aku bongkar? Ha... ha... ha!” Iblis Pemalu tertawa gelak-gelak. 

“Sika Sure Jelantik, kalau kau dulu kawin dengan Sukat Tandika, maka nenek satu ini akan 

menjadi madumu! Ha... ha... ha...! Benar-benar hidup yang memalukan!”Baik Sika Sure Jelantik maupun Sabai Nan Rancak sama bersemu merah wajah 

masing-masing dalam gelap. 

“Orang gila! Siapa kau adanya!” 

cak menegur. Suaranya tetap keras. 

“Siapa aku itulah satu hal memalukan untuk diberi tahu!” jawab Iblis Pemalu pula. 

“Tapi aku tidak malu memberi nasihat! Sebaiknya kau yang bernama Sabai Nan Rancak 

kembali saja ke pulau Andalas. Tanah Jawa terlalu keras bagimu! Kau tidak akan 

mendapatkan keberuntungan!” 

“Aku memang tidak mencari untung datang ke sini. Aku mencari nyawa orang!” 

jawab Sabai Nan Rancak. Lalu dia berpaling pada Wiro dan berkata. “Aku tahu siapa kau 

adanya anak muda! Lekas kau suruh keluar gurumu! Aku tahu dia ada di tempat ini! Tapi 

takut memperlihatkan diri!” 

“Bukan takut! Mungkin malu!” ujar Iblis Pemalu. 

“Jika kau punya kepentingan dengan Tua Gila, harap kau mencari dan 

mendapatkannya sendiri!” jawab Wiro. 

“Baik! Kalau begitu biar kau kubuat mampus dulu baru si Tua Gila itu mau 

menunjukkan diri!” 

Habis berkata begitu Sabai Nan Rancak kembangkan telapak tangan kanannya lalu 

diangkat dan diarahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Dalam gelap satu sosok yang sejak tadi mendekam tak bergerak diam-diam merasa 

cemas. “Dia hendak menghantam anak itu dengan pukulan sakti Kipas Neraka! Celaka! 

Jangankan dia, akupun tak sanggup menerima pukulan maut itu!” Lalu orang ini sibakkan 

semak belukar di depannya. Dia melompat keluar seraya berteriak. 

“Tahan serangan!” 

Seorang kakek berpakaian putih kini tegak antara Wiro dan Sabai Nan Rancak. 

“Manusia jahanam Sukat Tandika!” Teriak Sika Sure Jelantik. Dia serasa mau terbang 

untuk melumat tubuh kakek itu. 

“Kakek Tua Gila!” seru Wiro. 

“Ha... ha! Jadi ini dia si tua bangka memalukan itu!” Ikut bicara Iblis Pemalu. 

Sesaat Sabai Nan Rancak tampak tergoncang. Matanya mendelik memandangi Tua 

Gila yang tegak menatap ke arahnya dengan pandangan kosong. 

“Waktu di pantai Andalas kau bisa lolos! Waktu kau terluka oleh keris Datuk Angek 

Garang kau masih bisa selamat karena ada orang bercadar menolongmu! Di malam yang 

gelap ini agaknya tidak manusia tidak juga hantu yang akan menyelamatkan nyawamu!” 

Tua Gila hanya berdiam diri mendengar Sabai Nan Rancak. Sepasang matanya masih 

terus memandangi tak berkesip walau tampak sayu. 

“Manusia dan hantu mungkin tidak akan menolongnya! Tapi Tuhan Yang Kuasa 

pasti menolong!” Ujar Pendekar 212. 

“Betul sekali! Tuhan memang tidak pernah malu menolong umatNya yang 

kesusahan!” menimpali Iblis Pemalu lalu tertawa mengekeh. 

“Akan kita lihat apa Tuhanmu memang akan menolong!” ujar Sabai Nan Rancak pula 

dengan mata berapi-api. Lalu dua tangannya sekaligus diangkat ke atas. 

Tua Gila merasakan tengkuknya dingin. Dia ingat keterangan Putri Andini dulu 

bahwa bagaimana pun saktinya dirinya dia tak akan sanggup menghadapi pukulan sakti 

Kipas Neraka yang dimiliki Sabai Nan Rancak.“Dia mengangkat dua tangan sekaligus. Berarti hendak menghantamku dengan dua 

pukulan Kipas Neraka! Satu saja aku tak sanggup menghadapi, apa lagi sampai dua 

hantaman. Aku pasrah menerima kematian!” 

Tiba-tiba Iblis Pemalu berseru. 

“Orang tua! Jangan tegak diam memalukan! Lakukan sesuatu agar kau tidak mati 

penuh penyesalan!” 

Tua Gila hanya menyeringai mendengar kata-kata itu. Dia tetap tak bergerak di 

tempatnya. “Banyak urusanku yang masih terbengkalai. Tapi maut agaknya datang lebih 

cepat! Kematian mungkin satu-satunya jalan yang dapat melepaskan diriku dari segala 

beban bathin dan pikiran!” 

Sabai Nan Rancak gerakkan ke dua tangannya. Mendadak sontak saat itu juga dua 

larik sinar memerah melesat keluar dari telapak tangan Sabai Nan Rancak. Dua sinar lurus 

mengerikan ini mengembang seperti kipas. Sekalipun saat itu Tua Gila berusaha 

menyelamatkan diri maka keadaannya sudah terlambat sekali. Tak ada lagi ruang Untuk 

menyingkir apa lagi menangkis. 

“Pukulan Kipas Neraka!” teriak Iblis Pemalu yang mengenali pukulan sakti yang 

dilepaskan Sabai Nan Rancak. 

“Kek!” teriak Wiro melihat Tua Gila diam saja seolah sengaja memasang badan. 

Dengan cepat Pendekar 212 melompat menghadang dua tebaran sinar merah yang panas 

luar biasa. Dia yang masih mengenakan jubah Kencono Geni mengandalkan kesaktian jubah 

itu untuk melindungi Tua Gila. Namun dia hanya mencari celaka karena bersama-sama 

dengan si kakek dia mungkin akan menemui ajal dihantam pukulan Kipas Neraka itu! 

“Sobat tolol memalukan! Mengapa mau-mauan mencari mati?!” teriak Iblis Pemalu. 

Pada saat yang menegangkah itu tiba-tiba ada bayangan kuning berkelebat. Wiro 

terpental ke kiri sedang Tua Gila jatuh terduduk di tanah lalu terguling sampai dua tombak! 

* *


EMPAT


Orang berpakaian dan bercadar kuning berOrang berpakaian dan bercadar kuning 

berlutut di kegelapan malam. Hanya kaki kirinya saja yang bersitekan ke tanah. Dua 

tangan di angkat ke depan dengan telapak terkembang. Sepasang mata menatap tak 

berkesip ke arah dua larik sinar merah yang


 datang menerpa dengan sangat ganas. 

Dua tangan bahkan sekujur tubuh orang bercadar kuning ini tampak bergoncang 

keras. Pakaiannya serta meria basah oleh keringat. Di kening dan bagian sekitar matanya 

muncul butiran-butiran keringat. Ini satu pertanda dia tengah mengerahkah tenaga luar dan 

dalam untuk melawan satu kekuatan besar yang hendak menyapunya. 

Apa yang terjadi sungguh luar biasa. Dua larik pukulan Kipas Neraka yang melesat 

keluar dari dua tangan Sabai Nan Rancak tertahan satu jengkal di depan dua tangan orang 

bercadar kuning. Perlahan-lahan tebaran sinar merah yang berbentuk kipas tampak menciut 

dan akhirnya kembali ke asalnya yakni bentuk garis lurus. Ketika orang bercadar perlahan-

lahan mendorongkan ke dua tangannya maka dua larik sinar merah ikut terdorong seolah-

olah masuk kembali ke dalam tangan Sabai Nan Rancak. 

“Jurus Menghormat Kipas Neraka!” teriak Sabai Nan Rancak dengan paras berubah 

dan mundur beberapa langkah. Dia sama sekali tak bisa mempercayai serangan mautnya 

tadi bisa dimentahkan begitu saja. “Orang bercadar! Siapa kau! Dari mana kau mempelajari 

jurus Menghormat Kipas Neraka tadi?!” 

Orang bercadar perlahan-lahan bangkit berdiri. Tua Gila, Wiro dan Iblis Pemalu 

terkagum-kagum melihat apa yang barusan terjadi. 

“Manusia aneh bercadar kuning! Untuk ke tiga kalinya dia menolongku! Ah....” Tua 

Gila goleng-goleng kepala. 

Setelah mengusap keningnya yang basah dan mengatur gejolak jalan darahnya, orang 

bercadar berkata. Ucapannya seperti orang berpantun. 

“Saling hormat pada sesama adalah kewajiban manusia. Di mata Tuhan manusia satu 

tidak ada kelebihannya kecuali ketakwaannya/Menjatuhkan hukuman, bersikap pongah 

dalam keadilan adalah kesesatan yang menyedihkan. Karena setiap manusia tidak lepas dari 

pada kesalahan. Mana ada hidup yang paling enak dari pada mencari tenteram di masa tua. 

Masa muda hanyalah kenangan buruk dan indah yang akan punah ditelan usia.” 

“Jahanam! Aku bertanya kau menjawab dengan syair keparat!” teriak Sabai Nan 

Rancak tak dapat lagi menahan amarahnya. 

“Siapa bertanya tak akan sesat di tengah jalan. Siapa berpura bertanya akan sesat di 

ujung jalan. Mengapa tidak kembali ke awal jalan?” 

Sabai Nan Rancak berteriak keras. Tubuhnya melayang di udara. “Orang gila! Mari 

kutunjukkan padamu jalan ke neraka!” 

“Wuttt!” 

Satu jotosan yang luar biasa cepatnya menderu ke arah kepala orang bercadar kuning. 

“Kemarahan pangkal kesesatan. Kesesatan adalah temannya setan. Setan adalah 

kehancuran!” 

“Bukkk!” 

Sabai Nan Rancak terpekik. Tubuhnya mencelat dua tombak dan jatuh terjengkang di 

tanah. Ketika dia memeriksa tangan kanannya yang tadi dipergunakan untuk menyerang matanya jadi mendelik. Tangan itu kini berubah menjadi putih karena kulitnya telah 

terkelupas hingga tulang-tulangnya kelihatan putih menonjol! 

“Kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadapku!” teriak Sabai Nan Rancak. Seperti 

kalap, penuh nekad dia kembali menerjang. Saat itulah Tua Gila cepat menghadangnya dan 

dengan sikap tenang serta suara lembut kakek ini berkata. 

“Sabai, jangan celakakan diri sendiri. Orang itu bukan tandinganmu. Kembalilah ke 

Andalas. Janah Jawa bisa menjadi neraka bagimu! Kalau tiba saatnya aku akan menyusul. 

Apa pun yang kau harapkan dariku, termasuk nyawaku kelak akan kuserahkan padamu! 

Hanya ingat satu hal yang kukatakan tempo hari padamu. Ada seseorang entah kau sadari 

atau tidak telah memanfaatkan dirimu melakukan perbuatan-perbuatan aneh....” 

“Setan tua jahanam!” teriak Sabai Nan Rancak. “Aku tidak butuh nasihatmu!” Tangan 

kiri si nenek berkelebat. 

Bukkk!” 

Tua Gila tidak menyangka ucapan baiknya akan dibalas dengan satu hantaman ke 

arah dadanya. Orang tua ini terpental dua tombak dan tertelentang di tanah muntahkan 

darah segar. 

“Kek!” seru Wiro seraya memburu. Namun saat itu walau terluka di dalam Tua Gila 

masih bisa berdiri. Dia tersenyum pahit. “Aku tak apa-apa...” katanya ketika Wiro 

memegangi lengannya. 

“Akan kubunuh jahanam itu!” teriak Wiro. 

“Sudahlah! Dia sudah tak ada lagi di sini. Sudah pergi!” kata Tua Gila pula. 

Wiro berpaling, memandang berkeliling. Ternyata memang benar Sabai Nan Rancak 

tak ada lagi di tempat itu. 

“Kek,” ujar Wiro setengah berbisik. “Orang bercadar kuning yang tadi menolongmu 

juga tak ada lagi....” 

“Astaga!” Tua Gila memandang berkeliling. “Temanmu yang selalu menutupi 

mukanya itu juga lenyap!” ujar si kakek. 

“Pada kemana mereka? Pergi begitu saja!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. 

Km! mau tak mau pandangan Wiro dan Tua Gila tertuju pada si nenek Sika Sure 

Jelantik. Melihat dirinya dipandangi begitu rupa si nenek membentak. 

“Sukat Tandika! Kalau kau memang laki-laki lepaskan totokanku dan terima 

kematianmu di tanganku!” 

“Nenek jelek!” bentak Wiro yang jadi naik darah. “Kalau mulutmu tak bisa diam 

nanti kusumpal dengan ini!” Wiro lalu cabut umbi besar keladi hutan dan menyorongkan ke 

mulut si nenek. Di depan mulut Sika Sure Jelantik keladi hutan itu digoyang-goyangkannya 

kian kemari sengaja mempermainkan hingga si nenek memaki habis-habisan. 

“Wiro, hentikan perbuatanmu!” Tua Gila mengambil keladi hutan dari tangan Wiro 

dan mencampakkannya di tanah. Dia tegak dekat Sika Sure Jelantik. “Sika, kau terluka 

parah. Menurut penglihatanku tulang kakimu kiri kanan patah!” 

“Apa perdulimu?!” hardik Sika Sure Jelantik. Sebenarnya perempuan tua ini sudah 

tahu keadaan kakinya. Memang benar ada bagian-bagian tulang kakinya yang patah akibat 

beradu tendangan dengan Iblis Pemalu. 

“Dengar, aku akan membawamu ke satu tempat yang baik dan mengobati kakimu 

yang cidera sampai sembuh. Mungkin kesempatan ini bisa kita pergunakan untuk bicara 

dari hati ke hati....”“Kek,” tiba-tiba Wiro menyeling. “Kurasa aku lebih baik pergi saja. Agar kau bisa 

leluasa menyelesaikan urusanmu dengan bekas pacarmu ini!” 

“Anak setan! Jangan kau berani bicara kurang ajar!” bentak Tua Gila. “Jangan kau 

berani pergi tanpa izinku!” 

Wiro hanya tertawa bergumam sementara Sika Sure Jelantik unjukkan wajah merah 

cemberut. 

“Aku tidak sudi ditolong! Jangan berani menyentuh tubuhku!” 

“Sika, harap kau pergunakan akal sehat! Jangan keras kepala tidak karuan. Aku 

menolongmu dengan ikhlas. Tidak ada pamrih atau maksud agar kau memaafkan segala 

perbuatanku di masa lalu....” 

“Kek, kalau dia tidak mau ditolong biar saja. Kabarnya di sini banyak binatang buas, 

ular berbisa. Belum lagi segala hantu dedemit yang konon doyan meniduri nenek-nenek 

peot seperti dia!” Wiro kembali mempermainkan si nenek saking kesalnya melihat tindak 

tanduk Sika Sure Jelantik yang tidak mau ditolong oleh Tua Gila. 

Sementara Sika Sure Jelantik memaki tiada henti Tua Gila angkat si nenek dan 

memanggulnya di bahu kiri. Dia berpaling pada Wiro. “Aku akan membawanya ke satu 

tempat. Harap kau mengikuti....” 

“Kek, bukannya lebih bebas jika kalian hanya berdua saja?!” 

“Jangan bergurau terus-terusan anak geblek! Ikuti aku! Banyak hal yang ingin aku 

bicarakan denganmu!” 

“Kek, apa kau sudah berpikir sepuluh kali? Nenek itu sudah bersumpah hendak 

membunuhmu! Apa tidak salah kaprah kalau kau kini menolongnya?!” 

“Aku tahu apa yang aku lakukan!” jawab Tua Gila pula dengan mata cekung melotot. 

Wiro garuk-garuk kepala. Ketika Tua Gila berkelebat pergi mau tak mau dia terpaksa 

mengikuti. 

* *


LIMA


Tua Gila membawa Sika Sure Jelantik ke sebuah kaki bukit di mana terdapat sebuah 

goa dan satu mata air kecil tak jauh dari sana. Keesokan paginya selagi Sika Sure 

Jelantik masih tertidur lelap dan Pendekar 212 mandi di mata air Tua Gila mengambil 

beberapa jenis dedaunan di dalam hutan. Daun-daun ini ditumbuknya hingga lumat lalu 

diborehkannya pada kaki kiri kanan si nenek yang cidera. Lima ranting pohon yang lurus-

lurus kemudian diikatkannya sepanjang kedua kaki si nenek. 


“Jika satu minggu kau bisa menjaga diri, tidak banyak bergerak apa lagi berjalan, tulang-

tulangmu yang patah bisa bertaut kembali. Minggu berikutnya kau pasti sembuh...” berkata 

Tua Gila. 

“Aku tidak suka kau tolong! Aku tidak akan berterima kasih!” jawab Sika Sure 

Jelantik ketus. 

Tua Gila menyeringai. “Kau tidak suka ditolong itu urusanmu. Kau tidak mau 

berterima kasih aku tidak meminta. Aku hanya merasa punya kewajiban untuk 

menolongmu!” 

“Agar aku mau melupakan semua perbuatan terkutukmu di masa lalu?! Jangan 

mimpi! Jangan mengharap!” 

Tua Gila menyeringai. “Kau tahu sifatku Sika. Seumur hidup sampai sekarang aku 

tak pernah bermimpi atau mengharap!” 

“Manusia busuk! Mengapa tidak kau bunuh saja aku saat ini!” teriak Sika Sure 

Jelantik. Mukanya kelihatan tegang membesi. Tenggorokannya turun naik lalu tampak ada 

air mata mengambang di ke dua matanya dan perlahan-lahan menetes membasahi pipinya 

yang keriput. Tua Gila kelihatan seperti tercekat. Jelas dia terpengaruh dengan kesedihan 

hati yang diperlihatkan si nenek. 

Menyaksikan hal ini Wiro yang baru datang segera menarik Tua Gila ke satu tempat 

lalu berbisik. “Kek, kau sudah menjalankan kewajibanmu. Buat apa melayani tua bangka tak 

tahu diri itu! Lepaskan saja totokannya lalu kita tinggalkan tempat ini. Habis perkara!” 

tua Gila memegang bahu Wiro dan berkata. “Perkara tidak baka la n habis seperti 

dugaanmu. Lagi pula aku tidak sejahat dugaan orang. Aku menolongnya karena aku merasa 

itu kewajibanku. Aku menolongnya dengan ikhlas tanpa mengharapkan apa-apa. Apa lagi 

memohon agar dia mau memaafkan segala dosa perbuatanku di masa muda. Aku ingin dia 

tetap hidup agar dia bisa melakukan apa yang diinginkannya. Yaitu membunuhku....” 

“Kek, jalan pikiranmu telah dipengaruhi suara hatimu!” ujar murid Sinto Gendeng. 

“Itu ujar-ujar yang selalu diucapkan orang persilatan. Jangan jalan pikiran 

dipengaruhi hati karena bisa membawa celaka, tapi orang lupa pikiran dan hati bersumber 

pada satu sumber yang sama. Yakni kebenaran.” 

“Kek, aku rasanya lucu mendengar kau berfilsafat....” 

“Keren betul bicaramu anak muda! Sudah! Lebih baik kau ikut aku ke mata air. Ada 

beberapa hal yang perlu kubicarakan denganmu!” 

Wiro hanya bisa garuk kepala dan mengikuti si kakek menuju mata air. 

Di dalam goa Sika Sure Jelantik semakin deras mengucurkan air mata. Walau Wiro 

dan Tua Gila tadi bicara berbisik-bisik namun karena memiliki pendengaran yang tajam si 

nenek sempat mendengar semua ucapan ke dua orang itu. Hatinya terasa perih seperti

disayat-sayat. “Kenapa jalan nasibku begini sengsara? Mengapa aku tidak segera saja mati 

dalam kesengsaraan ini. Sukat Tandika, jika saja....” Si nenek tak dapat meneruskan suara 

batinnya. Dadanya menggemuruh ditelan perasaan. 

Begitu sampai di mata air yang dikelilingi pepohonan rindang Tua Gila segera bicara. 

“Hal pertama yang ingin kutanyakan padamu, apa kau kenal dengan seorang dara 

bernama Puti Andini?” 

Wiro tersenyum. “Aku tak ingat apa pernah menceritakannya padamu. Tapi karena 

kau bertanya aku akan menjawab Kek. Gadis itu bergelar Dewi Payung Tujuh. Berasal dari 

pulau Andalas. Bukankah nenek bernama Sabai Nan Rancak itu adalah gurunya?” 

“Hemmm, anak ini tahu banyak tentang Puti Andini. Apa dia juga tahu gadis itu 

adalah cucuku?” membatin Tua Gila. “Lanjutkan keteranganmu. Apa lagi yang kau ketahui 

tentang gadis itu, Wiro.” 

“Dia pernah disuruh oleh gurunya untuk mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. 

Juga diperintah untuk membunuhku....” (Baca Episode berjudul Wasiat Dewa). 

Tua Gila anggukkan kepala. “Kau sudah memiliki Kitab Putih Wasiat Dewa. Sampai 

saat ini dia tidak membunuhmu. Apa kau mengira gadis itu masih punya niat jahat 

terhadapmu?” 

“Beberapa kali pertemuan memang dia tidak menunjukkan niat buruk itu. Tapi hati 

orang siapa tahu?” ujar Wiro pula. 

“Kalau begitu bisa kubilang antara kau dan Puti Andini tidak ada lagi masalah atau 

perselisihan apa lagi silang sengketa?” 

Wiro garuk-garuk kepala. “Yah, bisa saja dikatakan begitu. Bagiku dari dulu tak ada 

masalah apa-apa. Malah aku berhutang budi dan nyawa padanya. Waktu aku luka parah 

dan keracunan dihantam Tiga Bayangan Setan, kalau bukan dia yang menolong pasti aku 

sudah menemui ajal. Kurasa walaupun dia masih bersikap tidak baik padaku, aku tetap 

akan menghormatinya....” (Mengenai Tiga Bayangan Setan harap baca serial Wiro Sableng 

berjudul Wasiat Dewa). 

“Hemmm... Menghormati katamu, itu kata yang sulit ditafsirkan karena banyak 

mengandung arti....” 

“Maksudmu Kek?” tanya Wiro. 

“Apa kau punya rasa suka terhadap Puti Andini?” Tua Gila langsung saja bertanya. 

Lalu dia tertawa terkekeh-kekeh ketika dilihatnya murid Sinto Gendeng itu memandang 

padanya dengan mata membeliak dan mulut ternganga. 

“Harap kau tidak masukkan dalam hati, anak muda. Aku hanya bergurau!” kata Tua 

Gila pula. Namun Wiro maklum dibalik gurauan itu Tua Gila memang punya maksud 

sesuatu. 

“Jangan-jangan sejak muridnya dibunuh komplotan Sabai Nan Rancak orang tua ini 

sudah mengangkat si gadis jadi muridnya,” pikir Pendekar 212 pula. 

“Pada bulan purnama empat belas hari mendatang aku akan bertemu dengan gadis 

itu di pinggiran timur Telaga Gajah Mungkur. Kalau kau suka kau boleh ikut bersamaku ke 

sana....” 

Semakin keras dugaan Wiro bahwa si kakek memang punya maksud tertentu. 

“Hemm... Terus terang aku suka ikut denganmu. Tapi aku ada urusan lain. Aku 

harus mencari seorang sahabat yang terakhir sekali kutinggalkan dalam keadaan terluka....”“Siapa sahabatmu itu. Seorang pemuda atau seorang gadis hah?! Ah, dari sinar 

matamu aku tahu dia pasti seorang gadis berwajah cantik. Kalau bukan seorang gadis kau 

mana mau bersusah payah segala!” 

“Namanya Anggini. Murid tunggal tokoh silat bergelar Dewa Tuak....” 

“Ah!” Tua Gila jadi kaget. Lalu bertanya. “Anggini! Murid sahabatku si Dewa Tuak. 

Sejak pertemuan terakhir di Pangandaran lama sudah aku tidak mendengar kabarnya. Apa 

saat ini dia masih bersuka-suka dengan kekasihnya si Ratu Pesolek itu? Ha... ha... ha! Wiro, 

apa yang terjadi dengan murid Dewa Tuak?” 

Wiro lalu menuturkan penghadangan yang dilakukan oleh empat orang yaitu Iblis 

Pemalu, Pengiring Mayat Muka Hijau, Sika Sure Jelantik dan Datuk Gadang Mentari. 

“Sika Sure Jelantiklah yang mencelakai Anggini. Aku tak tahu bagaimana 

keadaannya sekarang. Seorang sahabat menemaninya ketika kutinggal pergi....” 

“Sika Sure Jelantik...” kata Tua Gila sambil menghela nafas panjang. “Sulit 

membuatnya mau mengerti. Kalau Anggini sampai celaka jangan harap dia lolos dari maut! 

Dewa Tuak pasti akan mengejarnya sampai ke liang neraka sekalipun!” 

“Mengenai Iblis Pemalu,” kata Wiro pula. “Siapa dia sebenarnya? Apakah dia 

berpihak pada orang-orang golongan putih atau kaki tangan golongan hitam?” 

“Siapa dia adanya memang sulit diketahui. Dia muncul belum lama. Ketinggian 

ilmunya serta tindak tanduknya yang aneh membuat namanya mencuat dengan jelas. Walau 

kelihatannya dia bukan orang baik-baik tapi aku yakin dia bukan kaki tangan orang-orang 

Lembah Akhirat. Namun sikapnya yang aneh dan sering berubah mendatangkan prasangka 

bahwa manusia satu ini gampang ditarik ke kiri atau ke kanan. Dia hanya mengikut arah 

angin atau mana sukanya saja walau cuma sesaat. Orang seperti dia harus dibaik-baiki, 

harus pandai memuji dan menyanjung. Aku seolah yakin bahwa sifatnya yang seperti 

pemalu itu hanya dibuat-buat saja. Biar kita lupakan dulu Iblis Pemalu. Sebaliknya aku 

menyirap kabar bahwa Anggini telah membunuh Datuk Mangkuto Kamang....” 

“Itu fitnah yang tak karuan juntrungannya Kek,” jawab Wiro. 

“Justru karena fitnah itulah perlu diselidiki. 

Akhir-akhir ini banyak kejadian hebat di dunia persilatan pulau Andalas dan Tanah 

Jawa. Sesama golongan putih saling baku hantam. Lalu belum lagi lenyapnya tokoh-tokoh 

rimba persilatan secara aneh. Satu di antaranya adalah kakek sakti berjuluk Dewa Sedih. Dia 

lenyap dan kabarnya berada dalam kekuasaan orang-orang Lembah Akhirat.... Saudaranya 

si Dewa ketawa pasti akari mengobrak-abrik Lembah Akhirat. Namun keanehan yang 

berselubung maut menyungkup Lembah Akhirat. Aku khawatir Dewa Ketawa akan 

mengalami nasib sial....” 

“Kau tahu siapa sebenarnya yang menjadi penguasa Lembah Akhirat itu Kek?” 

“Dia hanya dikenal dengan panggilan Datuk Lembah Akhirat. Beberapa tokoh 

kabarnya berusaha menyelidik. Namun satu persatu mereka lenyap tak tahu rimbanya....” 

“Mengenai kepergianmu ke Telaga Gajah Mungkur menemui Puti Andini, agaknya 

ada satu urusan penting di sana?” 

Tua Gila mengangguk. “Ini satu urusan yang sebetulnya perlu aku beri tahu padamu 

beberapa tahun yang silam. Namun mungkin baru saat ini tepat untuk kukatakan. Kau 

pernah mendengar riwayat sebilah pedang bernama Pedang Naga Suci 212!”Wiro kerenyitkan kening mendengar kata-kata Tua Gila itu. “Aku memiliki Kapak 

Naga Geni 212. Kau menyebut Pedang Naga Suci 212. Apa ada hubungan satu dengan 

lainnya?” tanya murid Sinto Gendeng pula. 

“Kapak dan pedang itu merupakan dua senjata yang sebenarnya tidak terpisahkan. 

Berasal dan merupakan warisan dari seorang kakek sakti bernama Kiai Gede Tapa 

Pamungkas. Waktu aku dan gurumu si Sinto Gendeng menjadi murid Kiai yang diam di 

Gunung Gede itu, kami diwarisi dua senjata. Seharusnya aku mendapatkan Kapak Naga 

Geni 212, tapi Sinto Gendeng mendahului, malah dia melarikan Pedang Naga Suci 212.” 

Tua Gila lalu menuturkan riwayat dua senjata sakti itu yang didengar Wiro dengan 

penuh perhatian. (Mengenai riwayat Kapak Maut Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212

harap baca Episode terdahulu berjudul Pedang Naga Suci 212). 

Lama Wiro termenung mendengar penuturan -Tua Gila. Dia coba mengingat-ingat. 

“Kek, kalau aku tidak salah mengingat, waktu kapak mustika sakti itu diberikan padaku, 

Eyang Sinto pernah berkata Kapak Naga Geni 212 itu dia yang membuat. Dia menghabiskan 

waktu sepuluh tahun untuk menciptakannya....” 

Tua Gila tertawa mengekeh. “Gurumu itu namanya bukan Sinto Gendeng kalau tidak 

melakukan atau bicara gendeng. Mungkin dia tidak bermaksud buruk berdusta padamu. 

Mungkin dia berkata begitu agar kau tidak mensia-siakan jerih payahnya dan agar kau 

merawat senjata itu sebaik-baiknya.” 

“Mungkin juga begitu...” kata Wiro perlahan. 

“Aku menaruh firasat bahwa Pedang Naga Suci 212 berjodoh dengan Puti Andini. Itu 

sebabnya dia kusuruh pergi menyelidik dan mencari pedang mustika itu di Telaga Gajah 

Mungkur.... Aku sendiri tidak berminat mendapatkan dan memilikinya.... Aku sudah terlalu 

tua. Urusan rimba persilatan kini berada di tangan kalian orang-orang muda....” 

“Mana bisa begitu Kek. Kami yang muda-muda hanya dianggap sebagai sapu lidi 

pembersih. Sementara para tokoh yang sudah tua-tua berbuat macam-macam mengotori 

dunia persilatan!” 

Tua Gila tertawa gelak-gelak. Begitu tawanya mereda Wiro berkata. 

“Kek, tentunya kau punya satu alasan mewarisi pedang sakti itu pada Puti Andini, 

bukan hanya sekedar firasat. Atau mungkin gadis itu sudah kau angkat jadi muridmu 

pengganti Sati?


ENAM


Yang ditanya tak segera menjawab. Kemudian sekulum senyum menyeruak di wajah 

orang tua ini. Satu senyum pahit yang menandakan keperihan hati. Karena Sati, satu-

satunya murid Tua Gila yang namanya barusan diucapkan Wiro telah tewas dibunuh 

Datuk Angek Garang di pulau Andalas beberapa waktu yang lalu. 


“Hemm.... Kau betul. Alasan utamaku adalah dia kuanggap seorang gadis pendekar 

sejati. Masih suci dan bersih. Masa depannya dalam dunia persilatan penuh dengan 

tantangan. Berarti dia perlu satu senjata yang diandalkan.” 

“Bukankah dari gurunya Sabai Nan Rancak gadis itu telati memiliki satu ilmu 

kepandaian dan senjata berupa tujuh buah payung?” ujar Wiro. 

Tua Gila tertawa lebar. “Itu juga betul. Walau dia kelak memiliki pedang sakti itu, 

tentu saja dia tidak boleh melupakan ilmu payungnya yang hebat. Selain itu, aku berhutang 

jiwa padanya. Waktu aku dalam keadaan tak berdaya dan hampir mati di tangan Sabai Nan 

Rancak serta teman-temannya, Puti Andini menyelamatkan diriku....” 

Dalam hatinya Tua Gila merasa bimbang. Apakah akan diceritakannya pada Wiro 

bahwa Puti Andini sebenarnya adalah cucunya sendiri. Sebaliknya dalam hatinya Wiro juga 

bertanya-tanya. “Kurasa ada satu hal lain yang sangat kuat membuat kakek ini memberi 

tahu tentang pedang itu pada Andini. Dia tadi tidak menjawab ya atau tidak apakah dia 

telah mengangkat Puti Andini menjadi muridnya,” 

“Apa yang ada dalam benakmu Wiro?” tanya Tua Gila ketika dilihatnya Wiro seperti 

termenung. 

“Aku cuma khawatir Kek. Bagaimana kalau kelak pedang itu sampai jatuh ke tangan 

Sabai Nan Rancak. Kau bisa lebih celaka lagi....” 

Mulut Tua Gila tampak berkomat-kamit. “Aku cukup percaya pada gadis itu. 

Buktinya dia berani menanggung akibat berhadapan dengan gurunya demi menyelamatkan 

diriku.... Lagi pula ada semacam petunjuk bahwa Kapak Naga Geni 212 dan Pedang Naga 

Suci 212 kelak akan bersatu kembali. Bukan itu saja. Aku menyirap kabar sekitar lima tahun 

silam. Kapak dan Pedang itu mempunyai seorang anak yaitu sebilah keris yang tak kalah 

saktinya dengan sepasang induknya....” 

Mendengar ucapan Tua Gila itu Pendekar 212 terdiam namun otaknya cepat bekerja. 

“Kalau Kapak dan Pedang kelak akan bersatu bahkan punya anak, jangan-jangan kakek ini 

hendak menjodohkan aku dengan Puti Andini. Gila betul! Ada hubungan apa sebenarnya 

antara Tua Gila dengan gadis dari seberang itu....” 

“Eh, kau kembali kulihat memikirkan sesuatu!” Tua Gila menegur. 

Wiro menyeringai. “Aku coba memasukkan ke dalam akalku bagaimana mungkin 

sebilah kapak dan pedang bisa punya anak sebilah keris....” 

Tua Gila tertawa lebar. Dengan jari telunjuk tangan kanannya ditekannya dada murid 

Sinto Gendeng seraya berkata. “Itu kelak yang harus kau selidiki, Wiro. Omong-omong 

bagaimana soal perjodohanmu...?” 

“Perjodohanku?” balik bertanya Wiro karena tidak mengerti. “Apa maksudmu Kek?” 

“Kau berkura-kura dalam perahu. Berpura-pura tidak tahu. Bukankah Dewa Tuak 

pernah kasak-kusuk dengan Sinto Gendeng hendak menjodohkanmu dengan Anggini 

murid tunggalnya itu?”Wiro hendak tertawa membahak tapi akhirnya sambil garuk-garuk kepala dia 

menjawab. “Baik Eyang Sinto Gendeng maupun Dewa Tuak tak pernah mendesak kalau 

mereka memang menginginkan perjodohan itu....” 

“Lalu.... Hem... jadi terserah pada kalian yang muda-muda kalau begitu?” 

“Bisa saja kau katakan seperti itu Kek. Namun kami pun tidak pernah membicarakan 

hal itu. Anggini seorang gadis yang segala sesuatunya tak bisa harus ditentukan oleh orang 

lain....” 

“Bagus.... Bagus!” 

“Bagus bagaimana maksudmu Kek?” Wiro mengejar dengan pertanyaan. Dalam hati 

semakin berat dugaannya bahwa Tua Gila memang ingin menjodohkannya dengan Puti 

Andini. “Kalau tidak apa perlunya dia menanyakan hubunganku dengan Anggini. Dia 

tampak senang ketika kuberi tahu bahwa guru masing-masing tidak mendesak dan aku 

ataupun Anggini tak pernah lagi membicarakan soal perjodohan itu.” 

“Maksudku,” jawab Tua Gila pula. “Aku gembira kalian bisa berlaku benar-benar 

sebagai orang dewasa dan serba matang menghadapi masa depan....” Tua Gila lalu angguk-

anggukkan kepalanya beberapa kali. Lalu dia menyambung ucapannya. 

“Ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan padamu. Seseorang menitipkan sebuah 

kalung sakti bernama Kalung Permata Kejora. Kalung itu seharusnya aku serahkan pada 

Sabai Nan Rancak. Orang yang menitipkan tidak tahu kalau aku punya bentrokan besar 

dengan si nenek dari Gunung Singgalang itu. Celakanya justru kalung itu yang katanya 

sanggup membunuhku. Sekarang kalung itu tak ada padaku....” 

“Hemmm, sudah kau serahkan pula pada seorang gadis cantik?” tanya Wiro. 

“Anak setan! Jangan mengejek!” bentak Tua Gila dengan mata lebar melotot. 

Wiro menahan tawa sambil garuk-garuk kepala. 

“Kalung mustika itu lenyap. Aku yakin pasti jatuh masuk ke dalam laut sewaktu 

diserang oleh Sika Sure Jelantik. Dia menginginkan Kalung Permata Kejora itu....” 

“Kurasa benda itu belum ada di tangannya....” 

“Benar, otakmu cerdik juga. Setiap kali hendak membunuhku dia selalu menanyakan 

di mana beradanya kalung itu. Aku khawatir kalau-kalau benda itu jatuh ke tangan orang 

lain....” 

“Apa Sabai Nan Rancak tahu kalau kalung itu berada padamu?” tanya murid Sinto 

Gendeng. 

“Aku pernah mengatakan padanya tapi tidak memberi tahu di mana beradanya 

karena memang aku sendiri tidak tahu benda itu hilang entah di mana....” 

“Kalau begitu besar kemungkinan kalung itu masih berada di dasar laut tempat kau 

diserang oleh Sika Sure Jelantik. Atau barangkali juga berada di tangan anak buah Ratu 

Duyung....” 

Tua Gila jambak-jambak rambut putihnya yang tipis. “Aku tidak yakin Ratu Duyung 

mengambil benda itu sewaktu aku pingsan di tengah laut. Kalau dia menemukan pasti akan 

dikembalikan padaku. Lagi pula waktu aku meninggalkan tempat kediamannya aku tidak 

bertemu dengan dia. Menurut anak buahnya Ratu Duyung tengah berada di satu tempat 

untuk satu urusan penting.... Kapan terakhir sekali kau bertemu dengan dia?” 

Wiro coba mengingat. “Waktu itu aku sedang bersama Bidadari Angin Timur. Ratu 

Duyung tiba-tiba muncul. Agaknya dia merasa tidak enak atau cemburu melihat aku 

berdua-duaan dengan Bidadari Angin Timur lalu pergi begitu saja tanpa sempat membicarakan apa-apa. Bidadari Angin Timur sendiri kemudian pergi pula tanpa setahuku. 

Agaknya dia juga menanam rasa cemburu besar terhadap Ratu Duyung.” 

Tua Gila tertawa terkekeh dan goleng-golengkan kepalanya berulang kali. 

“Kek, apa yang lucu? Ada apa kau ketawa?” 

“Aku wajib mengingatkan dirimu, anak muda! Kau tahu akibat ulahku di masa 

muda, terlalu banyak punya kekasih di hari tua begini semua mereka itu menjadi musuhku! 

Ingin membunuhku! Aku tidak ingin hal seperti itu terjadi atas dirimu!” 

“Aku memang banyak kenalan gadis-gadis cantik Kek. Tapi mereka semua adalah 

teman-teman biasa, mungkin kuanggap sebagai saudara. Soal kekasih yang aku suka cuma 

seorang. Yaitu Bidadari Angin Timur....” 

Tua Gila kembali tertawa. “Sifat pemuda dan pemudi kalau sering berdekatan, walau 

tadinya tidak ada hubungan apa-apa bisa saja terjadi sesuatu. Kau tahu, anak muda. Kalau 

di satu tempat misalnya kau hanya berdua saja dengan seekor kambing. Lama-lama 

kambing itu bisa saja kau lihat cantik juga, seperti cantiknya seorang gadis! Hik... hik... hik! 

Apa lagi seorang gadis sungguhan walau tadinya kau tidak menyukainya. Jadi hati-hati 

anak muda! Jangan sampai nanti ada yang bilang gurunya kencing berdiri muridnya 

kencing menungging! Ha... ha... ha...!” 

Tua Gila usap dua matanya yang lebar dan berair. Dia memandang ke langit. 

“Matahari sudah tinggi. Cukup lama kita meninggalkan nenek itu....” 

“Kalau begitu kita segera saja kembali ke goa,” kata Wiro. 

“Ya, tapi masih ada satu hal yang ingin kusampaikan padamu....” 

“Apa lagi Kek?” tanya Wiro kurang sabaran. 

“Belakangan ini ada kabar yang meriwayatkan adanya satu makam disebut Makam 

Setan di sebuah pulau di pantai barat Andalas.... Aku jadi ingat pada peristiwa yang kita 

alami beberapa waktu lalu. Datuk Tinggi Raja Di Langit! Bangsat yang menjerumuskan kita 

ke dalam makam batu! Mungkinkah dia masih hidup?” 

“Apa yang membuatmu berpikiran seperti itu Kek?” tanya Wiro. 

“Di pantai barat pulau Andalas ramai dibicarakan orang tentang sebuah kuburan 

yang diberi nama Makam Setan. Kalau ternyata makam ini ada sangkut pautnya dengan 

Datuk Tinggi Raja Di Langit....” 

“Mengapa setan tua itu masih kau pikirkan Kek? Dia sudah lama jadi jerangkong di 

liang batu itu!” kata Wiro pula. “Baiknya kita segera kembali ke goa Kek.” 

Tua Gila mengangguk. 

Ketika mereka sampai di goa di kaki bukit, Sika Sure Jelantik tak ada lagi di tempat 

itu. 

“Apa yang terjadi?” ujar Tua Gila sambil memandang berkeliling. 

“Jangan-jangan nenek itu kabur melarikan diri,” ujar Wiro. 

“Tidak mungkin. Kakinya masih cidera. Lagi pula dia masih dalam keadaan tertotok 

ketika kita tinggalkan. Sesuatu telah terjadi. Ada orang yang menculiknya! Kau tunggu di 

sini. Aku akan menyelidik keadaan sekitar sini.” 

Tak lama kemudian Tua Gila muncul kembali. “Tak ada tanda-tanda ke mana 

lenyapnya nenek itu.” 

Wiro menunjuk ke tanah di depan mulut goa. “Ada bekas-bekas telapakan kaki. 

Lebih dari dua orang.”“Kau betul, aku bisa membedakan jejak mereka dengan bekas kaki kita! Bagaimana 

sekarang...?” 

“Aku harus mencarinya,” jawab Tua Gila. 

“Kau bermaksud mencari nenek itu? Buat apa mempersusah diri? Padahal dia benci 

setengah mati padamu!” 

“Soal kebencian itu tidak ada hubungannya dengan kelenyapannya! Aku harus 

menyelidik, Wiro.” 

“Nenek brengsek itu hendak membunuhmu! Mengapa kini kau mengkhawatirkan 

dirinya? Ingat urusan di masa muda? Kalau kau berpikir sampai ke situ, dia benar-benar 

akan membuatmu celaka! Heran.... Nenek jelek begitu saja masih ada yang mau menculik....” 

“Jaga mulutmu anak muda!” hardik Tua Gila dengan berang. “Terserah kau mau 

bilang apa. Bagaimana pun aku harus mencarinya....” 

“Jangan harap sekali ini aku mau ikut denganmu Kek,” kata Wiro. 

Tua Gila tampak cemberut/Dengan ketus dia menjawab. “Aku juga tidak 

mengajakmu!” Tua Gila siap berkelebat pergi. 

“Tunggui” seru Wiro. 

“Anak setan! Apa lagi maumu?!” bentak Tua Gila. Bola matanya seperti mau keluar 

dari rongganya yang cekung. 

Wiro menunjuk ke batang pohon besar di belakang Tua Gila. “Lihat! Ada guratan 

tulisan di batang pohon itu!” 

,”Kau bergurau atau hendak menipuku anak muda?!” 

“Siapa bergurau! Siapa menipu! Lihat dan baca sendiri!” ujar Wiro setengah kesal. 

Lalu melangkah melewati si orang tua mendekati pohon besar. 

Tua Gila putar tubuhnya. Apa yang dikatakan Pendekar 212 memang bukan senda 

gurau. Pada batang pohon yang kulitnya terkelupas ada sebaris tulisan berbunyi: “Jika ingin 

mencari Sika Sure Jelantik silahkan datang ke Lembah Akhirat!” 

“Jahanam!” rutuk Tua Gila. 

“Nenek itu agaknya diculik oleh orang-orang Lembah Akhirat Kek!” kata Wiro 

dengan suara bergetar. 

“Pasti! Aku memang akan menuju ke sana! Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sika 

akan aku ratakan seluruh Lembah Akhirat!” 

“Kek, jangan terlalu bersemangat menolong bekas kekasihmu itu....” 

“Tutup mulutmu! Diam!” bentak Tua Gila. 

Wiro garuk-garuk kepala. Bagaimana aku harus memberitahu monyet yang jauh lebih 

tua dariku ini!” katanya dalam hati. “Kalau kau tidak memperbolehkan aku bicara terserah 

saja! Mulutku jadi tidak pegal karena tak perlu banyak bicara! Tapi kalau semua ini hanya 

tipuan belaka, kau akan celaka tiga belas Kek. Aku khawatir orang-orang Lembah Akhirat 

menjebakmu dengan sengaja menculik nenek itu. Kalaupun kau sanggup membebaskan 

Sika Sure Jelantik lalu apa untungmu? Apa sebenarnya maumu menyelamatkan orang yang 

jelas-jelas telah mencoba membunuhmu sampai beberapa kali!” 

“Sudah! Kau urus urusanmu. Aku urus urusanku!” Habis berkata begitu Tua Gila 

lantas berkelebat tinggalkan tempat itu. 

“Dasar orang tua gila!” gerutu Wiro sendirian.



TUJUH 


Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Sika Sure Jelantik? Hanya sesaat setelah 

Tua Gila dan Wiro sampai di tepi mata air tempat mereka berbincang-bincang tiba-

tiba muncul tiga orang bertampang dan berpakaian aneh di depan goa. Dua orang 

mengenakan jubah merah, memiliki wajah dan rambut berwarna merah seperti dicat. 

Masing-masing memegang sebatang tongkat yang bagian tengahnya ditancapi sebuah 

tengkorak kepala manusia. 


Orang ke tiga adalah yang paling angker di antara manusia-manusia aneh ini. Dia 

mengenakan jubah gombrong warna merah. Wajahnya tanpa alis, berwarna merah dan 

hidungnya ditancapi sepotong tulang manusia. Di atas kepalanya bertengger rambut merah 

pekat, keriting kecil dan lebat berbentuk batok kelapa. 

Dari ciri-ciri ke tiga orang itu jelas sudah bahwa mereka adalah orang-orang dari 

Lembah Akhirat. Yang berpakaian gombrong dikenal dengan julukan Pengiring Mayat 

Muka Merah, salah satu dari tiga tangan kanan pembantu Datuk Lembah Akhirat. 

“Kita sudah terlalu lama meninggalkan Lembah Akhirat! Kalau hari ini tidak berhasil 

mencari tahu di mana adanya Pengiring Mayat Muka Hijau, kita harus segera kembali!” 

Berkata Pengiring Mayat Muka Merah sambil memandang ke arah goa. Setelah 

memperhatikan tanah di depan goa dia melanjutkan. “Ada bekas-bekas kaki walaupun 

tersamar. Cepat kalian menyelidik ke dalam goa!” 

Dua lelaki bermuka merah yang memegang tombak berkepala tengkorak serta meria 

menyelinap masuk ke dalam goa. Sesaat kemudian salah seorang di antara mereka keluar 

lagi dan memberi tahu. 

“Ada seorang nenek bertampang angker tergeletak di lantai goa. Dua kakinya dalam 

keadaan cidera. Tubuhnya kaku tak bisa bergerak....” 

“Sudah mampus atau masih hidup?!” sentak Pengiring Mayat Muka Merah. 

“Masih hidup. Pasti masih hidup karena ada hembusan nafas keluar dari hidungnya 

dan erangan halus dari mulutnya.” 

Pengiring Mayat Muka Merah mendorong anak buahnya ke samping lalu melompat 

masuk ke dalam goa. Seperti yang diterangkan tadi di lantai goa tampak terbujur seorang 

nenek berjubah hitam. Sepasang kakinya dilumuri ampas berwarna hijau dan diikat dengan 

beberapa ranting kayu. Dua mata si nenek yang tertutup perlahan-lahan membuka. Lalu 

mulutnya menghardik. 

“Siapa kalian? Setan atau masih bisa disebut manusia?!” 

Dua anak buah Pengiring Mayat Muka Merah tersurut saking kagetnya disentak 

demikian. Pengiring Mayat Muka Merah tampak tenang. Dia memperhatikan tampang si 

nenek dengan seksama lalu menyeringai. 

“Nenek sakti Sika Sure Jelantik! Sungguh peruntungan kami besar sekali hari ini. 

Tidak menyangka akan bertemu dengan seorang tokoh besar sepertimu!” 

“Kau kenal diriku! Huh! Kau sendiri siapa?!” Sika Sure Jelantik kerutkan kening dan 

pelototkan mata. 

“Kami orang-orang Lembah Akhirat. Aku Pengiring Mayat Muka Merah, pembantu 

kepercayaan Datuk Lembah Akhirat!”Tampang si nenek sesaat berubah. “Mereka bukan orang baik-baik. Aku sudah 

menyirap kabar orang-orang Lembah Akhirat jahat dan busuk. Penuh tipu daya dan kejam 

luar biasa!” 

“Aku tidak suka melihat tampang-tampang kalian! Lekas keluar dari dalam goa ini!” 

“Kau tidak suka kami tidak jadi apa. Tapi kami justru suka dirimu!” jawab Pengiring 

Mayat Muka Merah. “Kulihat dua kakimu cidera. Agaknya ada tulang yang patah, ijinkan 

kami menolongmu.” 

“Aku tidak butuh pertolonganmu! Keluar!” 

“Kami akan keluar jika itu maumu. Tapi aku merasa kasihan. Kau agaknya merasa 

tidak perlu ditolong karena telah ada yang menolong.. Bukan begitu?” 

“Apa urusanmu!” 

“Kami memang tidak ada urusan. Tapi ada satu hai yang perlu aku beri tahu 

padamu,” kata Pengiring Mayat Muka Merah. “Siapapun yang kau anggap telah menolong 

mengobati cidera pada kedua kakimu sebenarnya orangnya telah menipu dirimu. Dia 

sebenarnya bermaksud jahat dan keji!” 

“Jangan bicara ngacok!” 

“Pertama, kalau orang hendak menolong, mengapa tubuhmu dalam keadaan 

tertotok?! Kedua obat yang dipakai melumuri dua kakimu yang cidera adalah ramuan 

tumbuk berasal dari dedaunan beracun!” 

Sepasang mata Sika Sure Jelantik kembali mendelik. “Kau mau menipuku!” 

“Apa untungnya aku menipumu? Dengar, dalam waktu dua hari ke dua kakimu akan 

mulai membusuk akibat racun jahat. Racun kemudian akan menjalar ke sekujur tubuhmu. 

Kalau jantungmu tak sampai berhenti berdetak dan kau masih bisa bertahan hidup maka 

anggota badanmu akan lumpuh dan kedua matamu akan buta!” 

Paras Sika Sure Jelantik semakin berubah. 

“Jika kau tidak mau kami tolong, maka tidak ada gunanya kami berlama-lama di sini. 

Selamat tinggal nenek yang malang....” 

Sika Sure Jelantik memandang berkeliling. 

“Kau mencari orang yang katamu telah menolongmu?” ujar Pengiring Mayat Muka 

Merah. “Dia pasti sudah lama meninggalkan kau di sini. Membiarkan dirimu menderita 

sengsara dan menemui kematian secara perlahan-lahan....” Habis berkata begitu Pengiring 

Mayat Muka Merah memberi isyarat pada ke dua anak buahnya. Mereka lalu sama bergerak 

menuju mulut goa. 

“Tunggu!” seru Sika Sure Jelantik. 

“Hemm.... Ada sesuatu yang hendak kau katakan Nek?” tanya Pengiring Mayat 

Muka Merah. 

“Kau tadi mengatakan hendak menolongku...” 

“Benar!” 

“Bagaimana caranya?” 

“Kami memiliki sejenis obat yang ampuh. Kau bisa sembuh dalam waktu satu hari 

satu malam....” “Kalau begitu lakukanlah. Mana obat itu!” 

Pengiring Mayat Muka Merah melangkah mendekati sosok Sika Sure Jelantik. “Obat 

itu tidak kami bawa saat ini. Obat itu tersimpan di Lembah Akhirat. Kami akan 

membawamu ke sana jika kau memang suka ditolong!”“Jahanam! Bangsat bermuka merah ini jangan-jangan memang hendak menipuku!” 

membatin Sika Sure Jelantik. 

Pengiring Mayat Muka Merah letakkan telapak tangan kirinya di atas kening si nenek 

lalu berkata. “Tubuhmu agak panas. Pertanda racun jahat dari tumbukan dedaunan itu 

mulai bekerja. Waktumu sangat terbatas. Perjalanan ke Lembah Akhirat tidak dekat. Jika 

kita berangkat sekarang, lusa pagi baru sampai. Kurasa nyawamu masih bisa tertolong....” 

Sika Sure Jelantik memandang melotot ke langit-langit goa. Dari mulutnya terdengar 

kutuk serapah walaupun perlahan. “Tua Gila keparat! Kau benar-benar jahanam!” 

“Ah, jadi itukah orangnya yang telah mencelakaimu Nek?” ujar Pengiring Mayat 

Muka Merah dengan seringai penuh arti. “Kau tak usah khawatir! Kalau kau sudah sembuh 

Datuk Lembah Akhirat pasti akan menolongmu mencari jalan agar kau bisa membalas 

dendam....” 

“Dari dulu-dulu aku memang sudah punya niat untuk membunuhnya! Tapi belum 

kesampaian...!” kata Sika Sure Jelantik pula yang jelas sudah terpengaruh oleh kata-kata 

bujukan orang. 

“Maksudmu akan kesampaian. Selain itu siapa tahu kau berjodoh dengan Kitab 

Wasiat Malaikat....” 

“Apa betul kitab sakti itu benar-benar ada?” tanya si nenek yang semakin terpikat 

“Tentu saja ada. Datuk Lembah Akhirat yang memegangnya. Dia akan memberikan 

pada seseorang yang dianggapnya cocok. Siapa tahu Datuk Lembah Akhirat suka dan 

memberikan kitab itu padamu. Datuk sangat menghormat dan menyukai orang tua 

secantikmu ini....” 

Sika Sure Jelantik tersenyum mendengar ucapan terakhir Pengiring Mayat Muka 

Merah itu. Maka dia pun berkata. “Baik, kalian boleh membawa aku ke Lembah Akhirat!” 

“Kau melakukan keputusan yang tepat Nek!” ujar Pengiring Mayat Muka Merah. 

Lalu pembantu Datuk Lembah Akhirat ini memberi isyarat pada dua anak buahnya. Ke dua 

orang itu segera menggotong sosok Sure Jelantik dan membawanya ke luar goa. 

Sebelum meninggalkan tempat itu dengan jari-jari tangannya Pengiring Mayat Muka 

Merah mengupas permukaan kulit pada batang pohon besar. Lalu dengan sepotong patahan 

ranting dia menggurat permukaan batang pohon, menuliskan sebaris kalimat. 

* *



DELAPAN 


Sutan Alam Rajo Di Bumi menatap wajah Sabai Nan Rancak beberapa saat lalu berkata. 

“Aku gembira dengan kemunculanmu yang tiba-tiba ini Sabai. Selama kau pergi 

banyak terjadi hal-hal yang menghebohkan dalam rimba persilatan pulau Andalas. 

Beberapa tokoh golongan putih dibunuh. Para pembunuh walau sulit dijajagi siapa adanya 

tapi aku berhasil mencari tahu. Kebanyakan setelah membunuh mereka menghilang ke 

tanah Jawa. Seperti dara bernama Anggini, murid Dewa Tuak. Dia kabur setelah diketahui 

membunuh Datuk Mangkuto Kamang. Agaknya ada orang-orang tertentu yang dikirim ke 

sini untuk mengacau....” 


“Aku kembali membawa kabar buruk,” berkata Sabai Nan Rancak dengan suara agak 

tersendat. Waktu bicara dia memandang ke jurusan lain seolah tidak berani menatap wajah 

orang di hadapannya. 

Sutan Alam Rajo Di Bumi tersenyum. “Kabar apapun yang kau bawa bagiku tidak 

menjadi persoalan Sabai. Aku gembira melihat kau kembali. Apakah selama ini kau ada 

merasa rindu padaku Sabai?” 

“Bagaimana dengan dirimu sendiri. Apakah kau merindui diriku?” balik bertanya 

Sabai Nan Rancak. Kali ini dia bertanya dengan menundukkan kepala. 

“Kau tahu bagaimana hatiku padamu. Rasanya ingin aku balikkan langit. Ingin 

kutarik matahari agar siang berganti malam dan malam cepat berganti siang. Agar aku 

segera dapat bertemu denganmu....” 

 “Sutan....” 

“Ah, kau lagi-lagi memanggilku dengan sebutan itu. Sudah berapa kali aku 

mengatakan, jika kita berdua-dua seperti ini kau harus memanggilku dengan nama asliku!” 

Sabai Nan Rancak tersenyum. “Suto, Suto Abang....” kata si nenek akhirnya menyebut 

nama asli Sutan Alam Rajo Di Bumi. “Aku khawatir, kerinduanmu akan berubah menjadi 

kemarahan setelah tahu kegagalan apa yang kubawa pulang ke Singgalang ini.” 

“Kau boleh membawa seribu kegagalan Sabai. Hatiku tidak akan berubah.... Kau tahu 

Bagaimana aku mengasihimu. Aku membutuhkan dirimu. Kau membutuhkan diriku.... Kita 

orang-orang yang patah hati diterjang cinta dan bertemu dalam satu perasaan...” Sutan 

Alam alias Suto Abang diam sesaat. Diulurkannya tangannya memegang jari-jari si nenek. 

“Aku sudah mengatakan isi hatiku. Apalagi yang kau khawatirkan Sabai?” 

“Terus terang aku menaruh khawatir kalau lama-lama hubungan kita ini diketahui 

orang luar....” 

Lelaki tua bertubuh tinggi besar itu bangkit dari kursi batu yang didudukinya. 

“Selama kita sama-sama memegang rahasia rasanya tak ada yang perlu ditakutkan. Manusia 

hidup bercinta adalah hal yang lumrah saja. Mengapa kita harus dikecualikan?” 

“Aku masih punya satu kekhawatiran lain Suto,” kata Sabai Nan Rancak pula. 

“Hemm.... Katakan saja padaku....” ujar Sutan Alam sambil membelai wajah si nenek 

dengan jari-jari tangannya. 

 “Aku khawatir kalau-kalau Sinto Weni....” 

“Jangan kau sebut nama itu! Dalam sisa hidupku ini aku tidak ingin lagi mendengar 

nama Sinto Weni atau Sinto Gendeng!” 

“Tapi bagaimanapun dulu dia....”“Dia perempuan pengkhianat. Ketika Sukat Tandika meninggalkannya mentah-

mentah dia melarikan cintanya padaku. Namun kemudian dia tergila-gila dengan kakakku 

sendiri! Hingga aku akhirnya disingkirkan secara halus, dilempar ke pulau Andalas ini!” 

“Kau salah Suto. Tidak ada yang menyingkirkan atau melemparkanmu ke sini. Aku 

sering mendengar tuduhanmu terhadap Sinto Gendeng....” 

“Aku bilang jangan sebut nama itu!” teriak Sutan Alam dengan suara menggeledek 

dan dua tangan terkepal kencang. Tampangnya membesi mengerikan. Saking tak dapatnya 

dia menahan luapan amarah. Kakek ini tiba-tiba balikkan badan dan hantamkan tangan 

kanannya ke dinding goa. 

Tanpa suara, tanpa bunyi, tanpa siuran angin tangan kanannya sampai sebatas 

pergelangan amblas masuk ke dalam batu goa yang keras. Ketika perlahan-lahan tangan itu 

ditarik batu di sekitarnya ikut terbongkar dan di dinding goa kini kelihatan satu lobang 

besar! 

“Pukulan Malaikat Maui Mendera Bumi itu membuat aku ngeri Suto...” kata Sabai 

Nan Rancak. “Maafkan kalau aku telah membuatmu marah. Aku tidak bermaksud....” Sabai 

terdiam sesaat. “Namun kalau aku masih boleh bicara, aku tidak yakin dia bergila-gila 

dengan kakakmu Suto. Aku dengar perempuan itu keras hati. Mungkin kau hanya korban 

fitnah. Mungkin juga perempuan yang kau benci itu mengarang lalu menyebar cerita dusta. 

Yang jelas ada sesuatu yang sampai saat ini belum dapat kau singkapkan. Lain dari itu kau 

tidak pernah menceritakan siapa dan dimana adanya kakakmu itu. Kau seolah satu manusia 

terdiri dari dua sisi saling berbeda. Sisi pertama kau begitu terus terang padaku. Namun 

pada sisi kedua sepertinya kau menyembunyikan sesuatu padaku....” 

Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang tertawa lebar. “Kau pandai bicara, itu 

yang membuat salah satu alasanku mencintai dirimu. Namun dengar Sabai. Aku tidak ingin 

membicarakan masa silam. Lebih baik kau yang menceritakan pengalamanmu di tanah 

Jawa,” kata Sutan Alam mengalihkan pembicaraan. 

Lama Sabai Nan Rancak terdiam. Lalu dengan suara perlahan sambil memegang jari-

jari tangan Sutan Alam Rajo Di Bumi nenek berjubah hitam itu berkata. “Kabar buruk 

pertama yang bisa kuceritakan adalah tewasnya sahabat kita Datuk Angek Garang....” 

“Kabar itu memang sempat kudengar dari seorang nelayan mata-mata kita belum 

lama berselang. Hanya saja belum diketahui siapa si pembunuh adanya...” ujar Sutan Alam 

Rajo Di Bumi. 

“Aku menduga keras pelakunya adalah seorang kakek aneh yang dijuluki Kakek 

Segala Tahu....” 

“Hemmm....” Sutan Alam usap-usap muka tuanya yang masih klimis. “Manusia satu 

itu memang bukan orang sembarangan. Kehebatannya bisa disejajarkan dengan para tokoh 

langka seperti Dewa Tuak, si keparat Sinto Gendeng dan Tua Gila sendiri. Malah boleh 

dikata kakek Segala Tahu memiliki kehebatan tertentu yang tidak dimiliki tokoh lainnya. 

Jika memang dia yang membunuh Datuk Angek Garang, kita harus melakukan sesuatu agar 

diantara sesama golongan putih tidak merebak silang sengketa berkepanjangan. Berita apa 

lagi yang kau bawa dari tanah Jawa?” 

“Sementara itu orang-orang Lembah Akhirat semakin sering meninggalkan markas 

mereka untuk melakukan hal-hal yang mereka katakan sebagai menyelamatkan golongan 

putih dari bencana bentrokan satu sama lain....”“Apakah kau juga menyirap kabar mengenai Kitab Wasiat Malaikat?” tanya Sutan 

Alam Rajo Di Bumi. 

“Kitab itu memang telah menjadi pembicaraan para tokoh rimba persilatan. Banyak 

di antara mereka yang mendatangi Lembah Akhirat. Namun kabar lebih lanjut tidak 

diketahui. Mereka yang masuk ke Lembah Akhirat tak pernah keluar lagi. Kalaupun 

kembali muncul di luaran sepertinya mereka membekal satu tugas.” 

“Orang-orang Lembah Akhirat memang aneh. Mereka bukan orang jahat, tapi juga 

sukar dikatakan orang-orang baik. Kau harus berhati-hati terhadap mereka Sabai. Kabarnya 

sudah ada satu dua kaki tangan Datuk Lembah Akhirat berkeliaran di pulau Andalas ini. 

Aku ingin melakukan penyelidikan apa sebenarnya yang ada di Lembah Akhirat yang 

kabarnya begitu menggegerkan. Namun kau tahu waktuku sangat terbatas. Usiaku sudah 

begini lanjut. Lagi pula aku merasa sudah saatnya mulai menjauhi segala macam urusan 

dunia.” 

“Kalau kau mempercayai, aku sanggup mewakili. Namun tanpa tambahan ilmu 

pengetahuan atau kesaktian agaknya sulit sekali bagiku untuk kembali ke Tanah Jawa.” 

“Jangan terlalu berputus asa Sabai. Adakah satu kejadian yang membuatmu kini 

merasa takut kembali ke Jawa?” 

“Bukan rasa takut Suto. Tapi rasa was-was...” Jawab Sabai Nan Rancak. 

Sutan Alam Rajo Di Bumi tersenyum. Kepalanya didekatkan ke muka si nenek untuk 

mencium pipi, leher dan kuduknya hingga Sabai Nan Rancak menggeliat dan keluarkan 

suara mendesah. 

“Rasa was-was adalah permulaan dari rasa takut. Ceritakan terus terang apa yang 

kau alami dan menyebabkan kau mempunyai perasaan seperti . itu...” kata Sutan Alam 

setengah berbisik ke telinga Sabai Nan Rancak. 

Si nenek yang terangsang oleh ciuman Sutan Alam lebih dulu berusaha menindih 

gejolak darahnya baru berikan keterangan. 

“Dua kali aku hampir dapat menghabisi Tua Gila. Namun dua kali dia diselamatkan 

oleh seorang perempuan aneh berkepandaian tinggi mengenakan pakaian dan penutup 

wajah warna kuning. Yang membuat aku benar-benar merasa terpukul, dia sanggup 

menahan pukulan Kipas Neraka dan mendorong hawa sakti yang kumiliki masuk kembali 

ke dalam ke dua tanganku. Aku tidak malu mengatakan bahwa jika orang itu mau dia bisa 

membuatku celaka waktu menghantam balik seranganku!” 

“Jadi kau tidak mengalami cidera ketika orang itu menghantam balik pukulan 

saktimu?” tanya Sutan Alam dengan kening berkerut. 

“Untungnya tidak,” jawab Sabai Nan Rancak. 

“Lalu apa yang terjadi dengan tangan kananmu. Kulihat ada tanda-tanda kulit dan 

daging tangan kananmu mengelupas!” 

“Cidera ini terjadi dalam bentrokan ke dua. Aku berusaha menghantam kepalanya. 

Agar bisa membunuhnya dengan cepat. Orang bercadar menangkis dan inilah akibatnya!” 

“Hemmmm....” Sutan Alam bergumam. “Kita harus mencari tahu siapa adanya orang 

itu. Kalau tidak pasti bahaya yang lebih besar akan menimpa dunia persilatan. Orang-orang 

golongan putih agaknya sudah terpecah-pecah oleh hasut dan fitnah. Kau tak usah 

khawatir. Aku akan mengobati lukamu itu.” Sekarang apakah masih ada hal lain yang 

hendak kau sampaikan?”“Ada satu tokoh baru muncul yang memiliki kepandaian setara Tua Gila. Orang ini 

memperkenalkan diri dengan julukan Iblis Pemalu! Walau dia kelihatan berpihak pada 

kelompok Tua Gila namun sulit diduga apakah dia benar-benar seorang tokoh golongan 

putih....” 

“Tanah Jawa semakin dipenuhi tokoh-tokoh aneh berkepandaian tinggi. Kita harus 

melakukan sesuatu Sabai. Kau memang perlu mendapat tambahan ilmu baru. Di samping 

itu kita harus bertindak memakai siasat. Hanya sayang aku tidak dapat memberikan ilmu 

kepandaian apa-apa padamu. Seperti kau ketahui aku disumpah untuk tidak menurunkan 

ilmu kepandaian apapun pada siapapun....” 

“Termasuk ilmu Pukulan Malaikat Mendera Bumi tadi?” 

Si kakek maklum kalau sejak lama Sabai Nan Rancak sangat menginginkan memiliki 

ilmu pukulan sakti itu. Perlahan-lahan dia anggukkan kepalanya lalu bertanya mengalihkan 

pembicaraan. 

, “Apakah kau pernah mendengar cerita tentang sebuah makam yang disebut Makam 

Setan? Terletak di sebuah pulau sunyi dan angker serta rahasia di pesisir barat Andalas?” 

“Dulu kau juga pernah menerangkan. Aku hanya tahu sedikit dan memang pernah 

berencana untuk menyelidik. Namun karena hasrat ingin mengejar Tua Gila rencana 

menyelidik Makam Setan itu jadi tertunda....” 

“Aku akan mengobati cidera di tanganmu itu. Lalu memberi tahu apa yang aku tahu 

mengenai Makam Setan. Mungkin itu satu harapan besar bagimu sebelum kembali ke tanah 

Jawa. Aku sangat yakin makam itu menyimpan sesuatu yang hebat. Jika kita bisa menguasai 

makam berarti kita akan menguasai rimba persilatan pulau Andalas. Dan lebih dari itu 

tanah Jawa akan berada dalam genggaman kita. Semua urusan itu kupercayakan padamu 

Sabai.” 

“Aku berterima kasih atas petunjuk dan kepercayaanmu Suto. Apa benar kabar yang 

aku sirap bahwa makam itu ada sangkut pautnya dengan Datuk Tinggi Raja Di Langit. 

Seorang tokoh paling hebat di pulau Andalas ini yang lenyap begitu saja sejak beberapa 

waktu lalu?” 

“Justru itulah yang harus kau selidiki. Namun aku memang menduga keras makam 

itu ada hubungannya dengan diri Datuk Tinggi Raja Di Langit. Aku beritahukan padamu 

bahwa tokoh tersebut memiliki dua senjata sakti yang sulit dicari tandingannya. Pertama 

sebuah Mantel Sakti. Mantel ini mengandung satu kekuatan dahsyat yang jika dihantamkan 

bisa menumbangkan pohon besar, menghancurkan batu. Jika seseorang sampai kena angin 

pukulan mantel tubuhnya akan mental dalam keadaan hancur. Kalaupun dia bisa bertahan 

hidup maka jalan darahnya akan tertutup, urat-urat dalam tubuhnya akan hancur!” 

“Luar biasa! Belum pernah aku mendengar senjata sehebat itu!” kata Sabai Nan 

Rancak.” 

“Senjatanya yang ke dua. Berupa butir-butir Mutiara Setan. Senjata ini sanggup 

menembus tembok atau batu. Dapat kau bayangkan bagaimana kalau dipakai menghantam 

manusia! Nah Sabai, jika kau bisa menyelidiki hal ihwal Datuk Tinggi dan mencari jalan 

mendapatkan dua senjata itu apapun urusanmu di tanah Jawa, siapa pun musuhmu kau tak 

usah was-was lagi. Semua akan beres! Namun ada satu hal perlu kukatakan padamu. Jika 

kau mendapatkan dua senjata itu atau salah satu dari keduanya, kau harus menemuiku 

terlebih dahulu. Kita perlu mengatur siasat.... Bagaimana menurutmu. Ada yang hendak kau 

katakan Sabai?Sabai Nan Rancak gelengkan kepala. “Semua keteranganmu sudah jelas bagiku Suto.” 

“Bagus! Sekarang lupakan semua urusan dunia. Kau butuh istirahat. Aku akan 

menemanimu. Kau suka Sabai...?” 

“Sebentar Suto. Tadi kau bilang selanjutnya kita harus bertindak memakai siasat. Apa 

yang ada dalam otakmu yang penuh akal itu Suto?” 

“Aku mendengar Pendekar 212 Wiro Sableng anak murid si keparat Sinto Gendeng 

dan juga murid Tua Gila berada dalam malapetaka besar, kehilangan ilmu kepandaian dan 

kesaktian. Kalau kau nanti kembali ke Jawa yang harus kau cari lebih dulu bukannya Tua 

Gila tapi Pendekar 212. Bunuh pemuda itu, maka Tua Gila ataupun Sinto Gendeng pasti 

akan keluar dari sarang mereka. Saat itulah kau bisa menghabisi mereka!” 

“Tujuanku semula hanya membunuh Tua Gila. Mengapa kini kau tambahkan dengan 

membunuh Sinto Gendeng?” bertanya Sabai Nan Rancak. 

“Keadaan bisa berubah. Setiap perubahan bisa mendatangkan keuntungan bagi kita 

jika kita mau memutar otak!” 

Sabai Nan Rancak anggukkan kepala. “Kau memang pintar Suto.... Dan licik!” 

Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang tertawa bergelak. “Jika kita ingin 

menghadapi kehidupan, pergunakan otak, pergunakan kelicikan. Kalau tidak orang lain 

akan mengotaki dan melicikkan diri kita. Kita harus kokoh tegar seperti banteng ketaton tapi 

juga harus licik seperti seekor ular!” 

Sutan Alam melangkah ke arah dinding goa. Tiga langkah di depan dinding tiba-tiba 

terdengar suara berkereketan. Dinding batu menggeser aneh. Sutan Alam tersenyum dan 

anggukkan kepala memberi isyarat pada Sabai Nan Rancak lalu melangkah masuk ke dalam 

ruangan batu. 

Sabai Nan Rancak mengikuti dengan cepat. Sebelum batu kembali bergeser menutup 

masih kelihatan sepasang, kakek dan nenek itu saling berpeluk berpagut-pagutan. 

* *


SEMBILAN 


Dalam gelapnya malam dan dinginnya udara menjelang pagi serta gencarnya deru 

angin yang bergabung dengan deru ombak, lelaki muda pemilik pukat merapatkan 

perahunya itu ke lamping gundukan batu karang. 

“Nek, aku hanya bisa mengantarkanmu sampai di sini.” Si pemilik perahu berucap. 

Sabai Nan Rancak pelototkan mata lalu memandang ke depan, ke arah gugusan batu 

karang yang berbaris seolah membentengi pulau kecil di kejauhan sana. 

“Tujuanku adalah pulau di balik batu karang itu. Kurang ajar sekali kau berani 

menurunkan aku masih di tengah laut begini rupa!” 

“Nek, pulau yang kau tuju hanya tinggal dekat. Air laut di kawasan ini tidak dalam, 

hanya sebatas pinggul. Kau bisa turun dari perahu dan menuju ke pulau dengan mudah. 

Jika kau tak mau pakaian mu basah, kau bisa melompat dari satu batu karang ke batu 

karang rendah yang membujur sampai ke pulau sana....” 

“Kau benar-benar kurang ajar! Berani mengajariku! Aku tidak akan membayar sewa 

perahumu!” 

“Jangan Nek! Jangan lakukan itu! Aku sudah menyabung nyawa mau mengantarmu 

ke sini!” kata pemilik perahu setengah meratap. 

“Katakan mengapa kau tidak mau membawa aku sampai ke pulau sana?” 

“Sudah kubilang berulang kali. Itu pulau setan. 

Ada seribu keangkeran di sana. Berani ke sana jangan mengharap bisa kembali 

hidup-hidup....” 

“Memangnya di pulau itu ada apa?!” tanya Sabai Nan Rancak lagi. 

“Jawabnya hanya satu kata Nek. Maut!” 

Sabai Nan Rancak tertawa mengekeh. 

Mendadak di kejauhan dari arah pulau lapat-lapat terdengar suara aneh. 

“Seperti suara lolongan anjing...” desis Sabai Nan Rancak. 

“Kurasa itu baru satu saja dari keanehan yang menyeramkan. Aku minta bayaranku 

sekarang juga Nek....” 

“Hemmm....” Sabai Nan Rancak bergumam. Dari batik jubah hitamnya 

dikeluarkannya sesuatu lalu diberikannya pada pemilik perahu. 

Yang diberikan bukan uang tapi sepotong kecil perak. Semula lelaki itu hendak 

mengembalikan perak ini pada Sabai. Tapi setelah menilai akhirnya dia berkata. “Masih 

kurang Nek. Paling tidak kau harus memberikan tiga keping perak sebesar ini....” 

“Kalau kau mau menunggu sampai aku kembali, aku akan berikan kau sepuluh 

keping perak sebesar itu! Apa jawabmu?!” 

“Menunggu di sini, tidak mendarat ke pulau sana?” 

Sabai mengukur jarak antara perahu di mana dia berada, memperhatikan letak batu-

batu karang rendah yang bersusun ke arah pulau lalu anggukkan kepala. 

“Berapa lama aku harus menunggu Nek? Aku khawatir....” 

“Apa yang kau khawatirkan?!” sentak Sabai Nan Rancak. 

“Aku menunggu ternyata kau tidak pernah kembali...” 

“Maksudmu aku menemui kematian di pulau setan itu?!” 

“Ki... kira... kira begitu Nek.”Sabai Nah Rancak tertawa bergelak. “Aku memang tidak punya nyawa rangkap. Tapi 

aku pasti kembali! Tunggu di sini dan jangan berani menipu!” Dari balik jubahnya si nenek 

keluarkan segulung tali. Dia membuat semacam buhul besar. Buhul ini dilemparkannya 

hingga masuk dan menjirat di ujung lancip batu karang di samping perahu. Ujung satunya 

lagi diikatkan ke tiang besar perahu. Lalu dia berpaling pada pemilik perahu dan sambil 

menyeringai berkata. “Tali ini bukan tali biasa. Buhul dan ikatannya bukan ikatan biasa. Tak 

ada yang bisa melepaskah. Jangan harap kau bisa memutus tali dengan senjata tajam atau 

membakar dengan api! Berarti kau tetap di sini sampai aku kembali! Hik... hik... hik!” 

Masih tertawa panjang Sabai Nah Rancak lesatkan tubuhnya ke batu karang datar 

yang tersembul di depan perahu. Dari sini dia melompat lagi ke batu karang di depannya. 

Demikian beberapa kali hingga akhirnya dia mencapai pasir pantai pulau di balik barisan 

batu-batu karang meruncing tinggi. 

“Hebat!” kata pemilik perahu dalam hati yang memperhatikan kepergian si nenek. 

“Nenek itu pasti sebangsa setan juga. Kalau tidak mengapa dia berani pergi ke Pulau Setan 

itu!” 

Di pasir pantai pulau sesaat Sabai Nan Rancak tegak tak bergerak. Empat rongsokan 

perahu yang hanya tinggal kepingan-kepingan papan lapuk bergeletakan di atas pasir 

pantai pulau. Sabai pasang telinganya baik-baik. Sepasang matanya memandang menembus 

kegelapan. Dia tidak melihat sesuatu yang bergerak namun dia dapat mendengar suara aneh 

dari arah timur pulau. Suara itu adalah suara orang mendesah panjang yang sesekali 

berubah menjadi teriakan-teriakan seperti orang mencaci-maki. Lalu terdengar pula suara 

lolongan anjing. Semua suara itu ditimpali oleh deru angin dan debur ombak serta gemerisik 

daun-daun pohon kelapa. Jika bukan Sabai Nan Rancak yang berada di tempat itu pasti 

orang sudah merasa ngeri dan dingin kuduknya. Dan kalau bukan Sabai yang 

berkepandaian tinggi tidak mungkin akan menangkap suara desah berkepanjangan yang 

bersumber dari satu tempat cukup jauh di sebelah timur pulau. 

Selain dari itu bagi si nenek menginjakkan kaki di pulau itu membawa kenangan 

tersendiri walaupun merupakan satu kenangan pahit memerihkan yang sampai saat itu 

membekas sangat dalam di lubuk hatinya. Pulau itu dulu adalah salah satu tempat 

kediaman Tua Gila alias Sukat Tandika, pemuda yang pernah menjadi kekasihnya Di pulau 

itu mereka memadu cinta berkasih sayang hingga akhirnya Sabai Nan Rancak berbadan dua. 

Sebelum bayi yang dikandungnya lahir Tua Gila meninggalkannya begitu saja. Si nenek 

menarik nafas panjang beberapa kali. 

Setelah memperhatikan keadaan sekelilingnya sekali lagi baru Sabai Nan Rancak 

berkelebat cepat ke arah timur. Karena pulau itu tidak seberapa besar maka cepat sekali dia 

sampai di tempat itu yang ternyata gugusan batu karangnya lebih besar dan tinggi. Sabai 

menyeruak di antara lamping-lamping batu karang dan hentikan langkahnya di satu tempat 

gelap di bawah bayang-bayang batu karang tinggi. 

Di antara kerapatan pohon-pohon besar dan batu-batu cadas membentuk setengah 

lingkaran terlihat satu lapangan datar. Di salah satu ujung lapangan tampak dua buah batu 

nisan hitam berlumut tersembul dari permukaan tanah. Bagian badan dari makam hanya 

merupakan satu timbunan tanah datar yang ditumbuhi rerumputan dan alang-alang liar. 

“Dua Makam Setan! Keanehan yang menggidikkan...” kata Sabai Nan Rancak dalam 

hati. Pandangannya kemudian membentur pada dua onggok jerangkong tengkorak manusia 

yang tulang-tulangnya tidak lagi memutih tetapi telah terselubung tanah dan lumut. Lalu dikiri kanan dua makam terpancang beberapa buah tiang kayu. Pada dua tiang tergantung 

dua jerangkong manusia dalam keadaan terkulai. Keadaan di tempat itu benar-benar 

menggidikkan. “Ada empat orang korban pembunuhan keji. Pasti terjadi beberapa lama 

lalu. Siapa kira-kira pelakunya?” 

Sabai Nan Rancak melangkah mendekati dua makam bernisan batu hitam itu. 

Langkahnya tertahan ketika di kejauhan tiba-tiba terdengar suara raungan anjing. Lalu 

keadaan kembali sunyi. Si nenek diam sesaat kemudian palingkan kepalanya ke arah 

makam di sebelah kiri. Dari arah makam itu sekonyong-konyong terdengar suara-suara 

aneh. 

“Duk... duk... duk... duk!” 

“Suara apa itu,” pikir Sabai Nan Rancak. Tanah yang dipijaknya terasa bergetar. 

“Seperti suara sesuatu dipukul berulang-ulang. Inikah yang dimaksud Suto Abang dengan 

Makam Setan itu?” Sabai meneruskan langkahnya. Gerakannya kembali tertahan begitu dari 

liang makam sebelah kiri terdengar seperti suara orang meraung. “Dalam makam di sebelah 

kiri jelas ada makhluk hidup! Aneh! Mana mungkin? Orang yang sudah dikubur masih 

hidup...?” 

Langit masih kelam, malam masih gelap dan tiupan angin serta deru ombak di laut 

terdengar lebih keras. 

Sabai tenangkan gejolak hatinya. Kalau tadi dia hanya melangkah maka kini dia 

membuat satu kali lompatan dan gerakannya ini membawa dia serta merta berada di 

samping kiri makam. Di sini dia tegak berdiam diri, tak berani membuat suara. Telinganya 

dipasang dan matanya menatap makam tak berkesip. Lalu ada suara orang mendesah. Sunyi 

sesaat. Menyusul suara teriakan memaki. Tak jelas apa yang diteriakkan atau dimaki. Tapi 

suara yang seolah terpendam itu jelas berasal dari dalam liang makam di hadapannya. 

Sabai perhatikan nisan makam yang terbuat dari batu hitam. Lalu kepalanya 

didekatkan agar bisa melihat apa yang tertulis di batu itu. Selain gelap, batu nisan itu juga 

kotor berselimut tanah. Dengan tangan kirinya Sabai mengusap permukaan batu nisan. 

“Astaga!” si nenek keluarkan suara tercekat ketika yang tertulis di batu nisan hitam 

itu adalah nama “Tua Gila”. “Bagaimana mungkin? Orangnya masih hidup tapi kubur 

lengkap dengan namanya sudah ada di tempat ini...?!” Si nenek beranjak ke makam satunya. 

Seperti tadi dia menggosok bagian datar batu nisan. Kembali dia tersentak. Di batu nisan 

satunya ini tertera nama “Wiro Sableng”! 

“Rahasia apa sebenarnya yang ada dibalik keanehan seram dua makam ini?” pikir 

Sabai Nan Rancak. 

Baru saja dia membatin begitu tiba-tiba dari makam di sebelah kiri kembali terdengar 

suara “Duk... duk... duk... duk!” Menyusul suara orang berteriak-teriak tak karuan. Karena 

tidak jelas Sabai Nan Rancak tempelkan telinga kirinya pada batu nisan hitam di makam 

sebelah kiri. 

“Duk... duk... duk,..!” 

Sabai kerahkan tenaga dalam lalu ketuk-ketuk batu nisan hitam. 

“Duk... duk... duk... duk!” 

Suara pukulan dari dalam liang kubur terdengar makin keras dan terus-terusan. 

“Hai! Siapa di dalam makam?!” Tidak sabaran Sabai Nan Rancak berteriak. Tentu saja 

dengan pengerahan tenaga dalam hingga suaranya bergema keras di malam yang kelam 

menjelang pagi itu.


SEPULUH 


Sabai Nan Rancak melangkah ke bagian belakang batu nisan hitam makam sebelah kiri 

itu. Kakinya digeser-geserkan ke tanah sampai akhirnya dia menyentuh sesuatu. Si 

nenek membungkuk, pergunakan tangannya untuk menggali. 


Aku sudah menemukan batu hitam di belakang nisan!” berteriak Sabai Nan Rancak. 

“Bagus! Demi setan aku berharap peralatan rahasianya tidak macet!” Orang di dalam 

makam berseru. 

“Peralatan rahasia apa?!” tanya Sabai tidak mengerti. 

. “Tak perlu bertanya! Tekan batu itu dengan tanganmu. Kalau tidak ada gerakan 

pergunakan kakimu! Lakukan cepat! Ratusan hari mendekam di liang neraka ini nyawaku 

rasanya sudah sampai di tenggorokan!” 

Sabai Nan Rancak tidak melakukan apa-apa. Dia diam saja tapi otaknya bekerja. 

“Hai! Apakah sudah kau lakukan?!” Makhluk di dalam liang makam berteriak. ... 

“Sebelum aku menolongmu kita perlu membuat perjanjian lebih dulu!” jawab Sabai Nan 

Rancak. 

“Jahanam! Perjanjian apa?!” 

“Pertama terangkan dulu siapa dirimu?!” 

Orang di dalam liang makam tak segera menjawab. Lalu dia malah terdengar 

bertanya. “Mengapa kau ingin tahu siapa diriku?!” 

“Kalau ternyata aku hanya menolong seorang bangsa kecoak, apa untungnya?! 

Mungkin juga kau benar-benar setan yang hendak mengganggu mempermainkan diriku! 

Bukankah makammu ini yang disebut orang sebagai Makam Setan?!” 

“Setan! Dari suaramu aku tahu kau seorang perempuan! Kau manusia licik!” 

“Terserah kau mau bilang apa! Kau mau mengatakan siapa dirimu atau aku segera 

pergi saja dari tempat celaka ini!” 

“Tunggu! Aku akan terangkan siapa diriku! Sialan! Kau benar-benar menambah 

siksaanku!” jawab orang di dalam makam. “Aku Datuk Tinggi Raja Di Langit! Nah kau 

sudah tahu! Apa kau puas sekarang?! Ayo tepati janjimu! Tekan batu hitam itu!” 

“Jangan kau berani mengaku-aku! Datuk Tinggi Raja Di Langit bukan manusia 

sembarangan! Bagaimana mungkin dia bisa berada dalam makam ini dan masih hidup?! 

“Kau benar-benar perempuan sialan! Kalau kau ingin bertanya jawab nanti saja 

setelah aku keluar dari tempat celaka ini!” 

“Mana bisa begitu. Aku yang akan menolongmu, aku yang harus mengatur: Aku 

tidak percaya kau adalah Datuk Tinggi Raja Di Langit. Bagaimana kau bisa 

membuktikannya?!” teriak Sabai Nan Rancak. 

“Perempuan setan! Aku tidak perlu memberikan segala macam bukti! Jika kau tidak 

percaya pergi saja ke neraka! Ratusan hari dikubur di sini aku sebenarnya sudah pasrah 

mampus sejak dulu-dulu...!” 

“Hemm.... Siapa yang menguburmu hidup-hidup di Makam Setan ini?!” Sabai ajukan 

pertanyaan sekaligus memancing agar orang mau memberi keterangan. 

“Dua jahanam! Satu tua bangka sedeng satunya pemuda edan keblinger! Mereka 

bernama Tua Gila dan Wiro Sableng! Dua makam batu di pulau ini sebenarnya aku sediakan 

untuk mereka!”Tentu saja Sabai Nan Rancak jadi terkejut karena tidak menyangka akan mendengar 

penjelasan seperti itu. Dia lantas teruskan pancingannya. “Setahuku Datuk Tinggi Raja Di 

Langit memiliki kepandaian dan kesaktian tidak lebih rendah dari dua orang itu! Bagaimana 

mungkin kau bisa mereka pendam di tempat ini?!” 

“Aku kena tipu licik mereka!” 

“Begitu? Hemm.... Lalu mayat siapa yang ada di makam satunya?!” 

“Makam itu kosong! Wiro Sableng berhasil meloloskan diri!” 

“Katamu kau sudah terpendam selama ratusan hari di makam ini! Bagaimana 

mungkin kau masih bisa hidup?” tanya Sabai selanjutnya. 

“Setan menolongku! Makam batu ini lembab berlumut! Aku tidak kekeringan dan 

tidak kelaparan! Hanya dua anggota tangannya menjadi lemah, sulit digerakkan!” 

“Kalau kau benar Datuk Tinggi Raja Di Langit apakah kau masih membekal Mantel 

Sakti dan Mutiara Setan, dua senjata andalanmu?!” 

Orang di dalam liang kubur tak segera menjawab. 

“Kau tidak menjawab berarti kau tidak tahu menahu perihal dua senjata itu. Jadi kau 

sebenarnya bukan Datuk Tinggi Raja Di Langit!” 

“Kurang ajar! Omonganmu banyak amat! Pergi saja sana! Aku memilih mampus dari 

pada melayani dirimu! Setan betul!” Orang di dalam liang kubur memaki panjang pendek. 

“Aku akan menolongmu keluar dari Makam Setan ini. Tapi kita harus membuat 

perjanjian.” 

“Perjanjian apa?!” 

“Kalau kau berhasil kubebaskan, aku minta kau menyerahkan Mantel Sakti dan 

Mutiara Setanmu padaku!” 

“Kau benar-benar manusia licik!” 

“Terserah padamu! Memilih mati atau masih ingin hidup untuk membalaskan sakit 

hatimu pada Tua Gila dan Wiro Sableng?!” 

“Setan betul! Aku mengalah! Dua benda yang kau sebutkan itu akan kuberikan 

padamu kalau aku bebas!” 

“Bagus!” seru Sabai Nan Rancak. Si nenek kerahkan tenaga dalam. Lalu dengan 

tangan kanan ditekannya batu hitam di tanah. Batu itu tidak bergerak sedikitpun. 

“Batu hitam tidak bergerak!” Sabai memberi tahu. 

“Celaka! Mungkin peralatan rahasianya sudah karatan. Macet! Kerahkan tenaga 

dalammu! Atau injak batu dengan kakimu kuat-kuat!” teriak orang di dalam makam. 

Sabai Nan Rancak bangkit berdiri. Dia kerahkan tenaga dalam ke kaki kanan. Lalu 

dengan kaki itu diinjaknya kuat-kuat batu hitam yang menonjol di tanah. , 

Terdengar suara berderak. Tanah makam bergetar. Rumput dan alang-alang liar yang 

tumbuh di atasnya tampak bergoyang-goyang. Lalu perlahan-lahan tampak tanah dan 

tetumbuhan liar itu terangkat ke atas. Hawa busuk menebar keluar dari dalam liang makam 

membuat Sabai Nan Rancak tersurut beberapa langkah, mau muntah dan terpaksa menutup 

hidungnya! 

Pada saat batu penutup makam membuka setengah dari dalam liang dengan susah 

payah tampak merayap keluar sesosok tubuh yang membuat Sabai Nan Rancak merinding 

saking bergidiknya. 

Sosok tubuh itu adalah sosok seorang kakek berambut panjang riap-riapan. Kumis, 

janggut, dan cambang bawuknya jadi satu menjulai lebat. Sepasang matanya yang besar seolah terpuruk ke dalam rongga yang dalam. Ke dua pipinya kempot tak bertulang. 

Tubuhnya kurus kering terbungkus pakaian yang hancur tak karuan rupa hingga nyaris 

telanjang. Dia menyeringai mengeluarkan suara desau seperti gerengan harimau dari 

mulutnya yang bergigi dan memiliki taring seolah binatang. Sekujur tubuhnya menebar bau 

sangat busuk! 

Yang membuat si nenek jadi merinding ialah menyaksikan keanehan pada sepasang 

kaki orang ini. Mulai dari bawah lutut sampai ke ujung jari, dua kaki orang ini tidak 

berdaging sama sekali. Hanya merupakan tulang putih pipih laksana badan pedang bermata 

dua! Apa yang telah menyebabkan ke dua kakinya tidak berdaging lagi? 

Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Makam Tanpa Nisan untuk 

melumpuhkan tenaga dalam Tua Gila dan Wiro yang hendak disekapnya di dalam dua 

makam batu itu, Datuk Tinggi Raja Di Langit telah menebar sejenis bubuk. Begitu dia 

dilempar masuk ke dalam liang batu itu maka dia sendiri menjadi korban bubuk 

beracunnya. Walaupun begitu karena ilmunya yang tinggi dia tidak sampai menderita 

lemah atau lumpuh keseluruhan. Hanya ke dua tangannya saja yang tidak bisa digerakkan. 

Ke dua kakinya yang masih bisa digerakkan dipergunakannya untuk menendangi batu 

penutup makam. Suara tendangannya itu disamping suara teriakannya diharapkan akan 

terdengar oleh siapa saja yang berada di pulau dan dapat memberi pertolongan. Selama 

ratusan hari tersekap dalam liang batu Datuk Tinggi hidup dari lumut lembab yang 

bertumbuhan di Seantero liang batu. Dia bernasib untung karena antara liang penyanggah 

dan lapisan batu penutup makam terdapat celah yang walaupun sangat tipis masih bisa 

memasukkan hawa segar dari luar. 

Selama ratusan hari disekap selama itu pula dia menendangi batu penutup makam 

dengan ke dua kakinya. Tidak terasa ke dua kakinya menjadi kebal. Dia tidak mengalami 

rasa sakit sama sekali ketika dua kaki yang dipakai untuk menendang, lama-lama kulit dan 

dagingnya terkelupas hingga terkikis habis hanya tinggal tulang-tulang yang memutih dan 

kebal rasa. Ternyata kelak sepasang kaki yang tinggal tulang ini dapat diandalkan sebagai 

senjata dahsyat yang akan menggegerkan rimba persilatan. 

“Astaga, inikah Datuk Tinggi Raja Di Langit itu?!” pikir Sabai Nan Rancak dalam hati. 

Tiga langkah dari hadapan si nenek sosok tubuh kurus dan bau itu tersungkur 

menelentang di tanah. Berulang kali dia menarik nafas panjang berusaha menghirup udara 

segar, Lalu matanya yang besar berputar memandang ke arah Sabai. 

“Betul kau Datuk Tinggi Raja Di Langit?” tanya Sabai agak meragu. 

Yang ditanya tidak menjawab. 

“Setelah kutolong harap kau tidak lupa perjanjian kita! Mana Mantel Sakti dan 

Mutiara Setan yang harus kau berikan padaku?!” 

Orang yang diajak bicara masih diam hanya desau nafasnya terdengar seperti 

gerengan harimau. 

“Kau tidak tuli, jangan berpura-pura tidak mendengar!” Sabai Nan Rancak jadi 

jengkel karena ucapan-ucapannya tidak dijawab. 

“Perempuan tua! Beri kesempatan padaku untuk bernafas menghirup udara segar. 

Beri kesempatan padaku untuk mengatur jalan darah dan hawa dalam tubuhku! Aku bukan 

orang yang suka ingkar janji! Jadi jangan bicara macam-macam! Tunggu sampai aku siap....” 

“Boleh saja, tapi jangan coba menipuku! Aku sama sekali tidak melihat Mantel Sakti 

dan Mutiara Setan yang jadi senjata andalanmu itu.” 

“Aku akan beri tahu di mana dua benda itu beradanya. Sebentar lagi! Harap kau suka 
bersabar. Dua tanganku terasa lumpuh! Aku harus mengatur jalan darah dan mengerahkan 
tenaga dalam untuk memberi kekuatan!” 
“Kau tak bakal bisa melakukannya dengan cepat! Ratusan hari kau tersekap di liang 
setan itu, mana mungkin kau mengharap kesembuhan dalam sekejapan mata!” kata Sabai 
Nan Rancak. 
“Kalau kau tidak sabaran silahkan pergi! Aku tidak mau berurusan dengan nenek-
nenek cerewet, bicara melulu dan tidak sabaran!” 
Sabai Nan Rancak menjadi sangat jengkel. Kalau tidak mengharapkan Mantel Sakti 
dan Mutiara Setan itu, mungkin sejak tadi dia sudah tinggalkan manusia itu, tentu saja 
setelah memberikan satu gebukan padanya. 
Beberapa saat berlalu. Perlahan-lahan Datuk Tinggi Raja Di Langit bergerak duduk. 
Ke dua bahunya digoyang-goyangkan. Walau dua tangannya belum bisa digerakkan, 
namun jari-jarinya tampak bergeletar. 
“Aku tidak akan memberikan Mantel dan Mutiara Setan itu pada orang yang aku 
tidak tahu nama atau gelarannya.... Katakan siapa dirimu adanya!” Tiba-tiba Datuk Tinggi 
Raja Di Langit membuka mulut. 
“Namaku Sabai Nan Rancak. Aku berasal dari puncak Gunung Singgalang!” 
Kening sang datuk nampak mengerenyit. Mata besarnya tak berkesip memandangi 
Sabai Nan Rancak. 
“Aku pernah mendengar namamu. Bukankah kau seorang yang punya hubungan 
dengan bangsat laknat bernama Tua Gila yang berhasil lolos dari pendaman Makam 
Setan?!” 
“Dulu, puluhan tahun silam memang aku punya hubungan dengan dirinya. Saat ini 
dia adalah musuh besar yang harus kuhabisi nyawanya!” jawab Sabai Nan Rancak. 
Datuk Tinggi menyeringai. “Kalau kau membuat perjanjian, aku juga ingin membuat 
perjanjian!” 
“Apa maksudmu?” tanya si nenek. 
“Aku berikan Mantel dan Mutiara Setan padamu. Tapi kau harus berjanji tidak akan 
membunuh Tua Gila. Bangsat tua itu harus aku yang membunuhnya!” 
Sabai Nan Rancak tertawa pendek. “Perjanjian seperti itu tidak ada gunanya. Yang 
ingin membunuh Tua Gila bukan cuma kita berdua. Siapa cepat dia yang dapat!” 
“Kenapa kau inginkan nyawa bangsat tua itu?!” tanya Datuk Tinggi Raja Di Langit. 
“Itu bukan urusanmu! Kau sendiri mengapa mau membunuhnya?!” 
“Dia membunuh adikku Datuk Sipatoka....” 
Sabai Nan Rancak terkesiap mendengar jawaban itu. Dia tahu betul riwayat Datuk 
Sipatoka yang pernah ingin menguasai dunia persilatan pulau Andalas. Dalam hati dia 
berkata. “Manusia jahat dan biadab seperti Datuk Sipatoka memang pantas dilenyapkan 
dari muka bumi. Datuk yang satu ini pun aku tidak percaya padanya!” Lalu dia berkata: 
“Aku sudah memberi tahu siapa namaku. Sekarang mana Mantel dan Mutiara Setan itu? 
Lekas berikan padaku!” . 
Datuk Tinggi tertawa lebar. “Rupanya kau tidak percaya padaku! Dua benda sakti itu 
ada dalam makam batu di sebelah kanan. Kau tahu bagaimana membuka batu penutup 
makam- Ada tombol di belakang nisan batu hitam!”

Tanpa menunggu lebih lama si nenek segera melompat ke belakang makam di 

sebelah kanan yang batu nisannya bertuliskan nama Wiro Sableng. 

Dengan cepat dia menemukan batu hitam menonjol di tanah. Sekali kerahkan tenaga 

dalam dan injakkan kakinya di batu itu maka terdengar suara berderak. Lalu ada suara 

siuran dan perlahan-lahan batu penutup makam yang tertutup tanah dan ditumbuhi 

rerumputan serta alang-alang liar bergerak ke atas hingga akhirnya berhenti. Walau berdiri 

dekat kepala makam namun Sabai tidak dapat melihat isi makam itu karena sangat gelap. 

“Mantel dan Mutiara Setan itu ada di dalam liang batu. Tunggu apa lagi? Mengapa 

kau tak segera mengambilnya?” berseru Datuk Tinggi Raja Di Langit. 

Sabai Nan Rancak tidak bergerak dari tempatnya. Hatinya bimbang. Dia menaruh 

curiga. Selain tidak dapat menduga berapa dalamnya lobang makam batu itu serta tidak bisa 

melihat karena gelap, dia juga menaruh curiga kalau-kalau begitu masuk Datuk Tinggi 

menurunkan batu penutup makam hingga dia tersekap di Makam Setan itu! 

“Kau saja yang turun ke dalam makam mengambil dua benda sakti Itu lalu 

menyerahkannya padaku!” Berkata Sabai Nan Rancak. 

“Nenek, kau benar-benar rewel dan banyak pinta! Aku sudah memberi malah kau 

memerintah seolah aku ini kacungmu!” 

“Kau memang bukan kacungku!” tukas Sabai. “Tapi jangan lupa! Jika aku tidak 

menolongmu kau akan jadi jerangkong busuk dalam Makam Setan itu!” 

Sambil mengomel Datuk Tinggi melangkah ke tepi makam. 

“Gelap! Aku tidak bisa melihat apa-apa. Sebaiknya kita menunggu sampai hari 

terang. Sebentar 

lagi pagi datang. Aku sudah melihat ada saputan sinar kekuningan di sebelah timur.” 

“Jangan-jangan kau hendak memperdayaiku!” Kata Sabai Nan Rancak. 

“Perempuan setan!” carut Datuk Tinggi. 

Sabai Nan Rancak tersenyum dan melangkah mendekati si kakek. Ketika nenek itu 

hanya tinggal satu langkah dari hadapannya tiba-tiba dalam keadaan masih duduk di tanah 

Datuk Tinggi Raja Di Langit hantamkan kaki kirinya. Maksudnya hendak menjegal kaki 

Sabai lalu mendorongnya ke dalam makam batu sebelah kiri. 

Tapi Sabai Nan Rancak yang sejak tadi memang telah berlaku waspada dengan cepat 

melompat. Serimpungan kaki Datuk Raja Di Langit mengenai tempat kosong lalu 

menghantam pinggiran batu penutup makam. 

“Traakkk!” 

Sabai Nan Rancak mengira kaki yang hanya tinggal tulang itu hancur berpatahan. 

Tapi alangkah kagetnya dia ketika menyaksikan bukan kaki si kakek yang patah sebaliknya 

batu tebal penutup makam yang terbelah seolah papan dibabat sebilah pedang sakti! Sang 

Datuk sendiri melengak kaget melihat apa yang terjadi. Dia sanggup memutus batu tebal 

penutup makam sedang kaki atau tulang kakinya sama sekali tidak merasa sakit sedikitpun! 

Dalam kagetnya Sang Datuk menjadi lengah. Sebaliknya Sabai Nan Rancak tidak mau 

berlaku ayal. Dengan cepat dia menyergap si kakek dengan satu totokan dahsyat. Sang 

Datuk sekilas masih sempat melihat gerakan orang. Dia angkat tangan kanannya untuk 

menangkis. Namun saat itu baik tangan kanan maupun tangan kirinya masih berada dalam 

keadaan lemas tidak berdaya hingga dia tidak mampu mengangkatnya. Totokan si nenek 

bersarang telak di dada kanannya.“Perempuan jahanam! Aku memang curiga padamu sejak tadi-tadi!” Ternyata 

totokan yang dilancarkan Sabai hanya membuat tubuh Datuk Tinggi kaku tetapi jalan 

suaranya masih terbuka. 

“Tua bangka tidak tahu diri. Aku telah menolongmu! Janjimu belum lagi kau tepati. 

Barusan kau yang lebih dulu menyerangku! Masih untung aku tidak segera membunuhmu 

Saat ini juga!” 

“Perempuan jahanam! Kau akan menyesal kalau tidak membunuhku!” 

Sabai tertawa panjang. Dia pergi duduk bersandar pada sebuah batu besar di pinggir 

lapangan. Kedua matanya dipejamkan. Dia sengaja tidur-tidur ayam sambil menunggu 

datangnya pagi. 

* *

SEBELAS 


Sebenarnya Datuk Tinggi Raja Di Langit memiliki kemampuan membuyarkan totokan. 

Namun saat itu keadaannya masih sangat lemah. Bagaimanapun dia mengerahkan 

seluruh kekuatan tenaga dalamnya dia hanya, mampu menggerakkan sedikit ke dua 

tangan dan menggetarkan bagian-bagian tertentu dari tubuhnya. 


“Perempuan jahanam!” maki Datuk Tinggi. “Aku harus bisa mengembalikan 

kekuatanku! Aku harus mampu mengerahkan tenaga dalam sebelum matahari terbit. Aku 

tidak akan memberikah Mantel Sakti dan senjata rahasia Mutiara Setan itu padanya!” 

Mantel dan Mutiara Setan itu memang menjadi andaian Datuk Tinggi karena pada 

dasarnya dia tidak memiliki kesaktian lain atau ilmu silat tinggi. Sepanjang hidupnya dia 

mencurahkan perhatian pada dua hal. Pertama mempelajari pengembangan tenaga dalam 

untuk dijadikan dasar penggunaan ilmu bertahan dan menyerang yang mengandalkan 

Mantel Sakti. Hal kedua ialah ilmu melempar untuk penggunaan senjata rahasia Mutiara 

Setan. Selama ini Datuk Tinggi telah banyak berhasil hingga namanya mencuat dalam rimba 

persilatan sebagai salah satu momok yang ditakuti. Itulah sebabnya saat itu dia berusaha 

mati-matian memulihkan tenaga dalam dan kekuatannya. Kalau Mantel Sakti dan Mutiara 

Setan sampai jatuh ke tangan Sabai Nan Rancak berarti dia tidak punya apa-apa lagi untuk 

diandalkan. Namun di saat itu ada satu hal yang membuatnya heran, gembira, tetapi juga 

jadi bingung sendiri. 

“Tadi sewaktu terabasan kakiku gagal menghantam kaki perempuan setan itu, batu 

atos penutup makam yang jadi sasaran. Batu itu terbelah putus. Tulang kakiku sama sekali 

tidak terasa sakit! Kakiku yang hanya tinggal tulang pipih memutih telah berubah menjadi 

satu senjata hebat yang benar-benar tidak bisa kupercaya! Aku harus memanfaatkan 

kehebatan ini! Gila, dipendam orang selama ratusan tahun aku kini memiliki satu kehebatan 

yang tidak terduga! Hemmm... Aku yakin akan membuat nama: besar dalam rimba 

persilatan. Tua Gila! Wiro Sableng! Tunggu pembalasanku! Hemmm.... Sekarang biar aku 

mengurus perempuan tua bangka dajal ini lebih dulu!” 

Di bawah pohon perlahan-lahan Sabai Nan Rancak buka ke dua matanya yang 

meram-meram ayam. Di arah timur sinar terang tampak semakin jelas tanda sang surya 

segera akan terbit. Di dekat makam dilihatnya Datuk Tinggi Raja Di Langit terbujur tak 

bergerak, menghadap ke arah makam. Ke dua tangan terkulai di tanah. Sepasang mata 

tertutup tapi si nenek tahu kalau mata: itu tidak terpejam dan terus-terusan mengawasi 

gerak-geriknya. 

“Setan itu tengah berusaha keras memulihkan dirinya. Aku melihat ada getaran-

getaran halus di beberapa bagian tubuhnya. Aku harus bertindak cepat!” Sabai Nan Rancak 

bangkit berdiri lalu melangkah cepat mendekati makam yang batu nisan hitamnya 

bertuliskan nama Wiro Sableng. Sinar terang di kejauhan yang jatuh di atas makam 

membuat si nenek kini dapat melihat apa yang ada di dalam makam. Lumut menempel di 

mana-mana. Lalu tetumbuhan liar, rumput dan alang-alang. Cacing-cacing besar 

menggeliat-geliat di satu sudut makam. Juga ada beberapa ekor kalajengking hitam pekat. 

Kemudian sepasang mata si nenek membentur sebuah benda lebar berwarna hitam yang 

tampak kotor diselimuti tanah bercampur lumut. Tak jauh dari. benda hitam ini ada sebuah 

kantong kain tebal yang juga terbungkus tanah dan lumut.“Mantel Sakti, Mutiara Setan!” desis Sabai Nan Rancak dengan dada berdebar keras. 

Dia melirik ke kiri. Datuk Tinggi Raja Di Langit masih tetap duduk bersila seperti tadi di 

tempatnya. Sabai mengukur kedalaman makam batu. Dia yakin dengan satu kali melompat 

lalu menggenjot dia bakal mampu menyambar mantel dan kantong lalu melesat kembali 

keluar dari dalam makam. Setelah memperhitungkan segala sesuatunya maka tanpa 

menunggu lebih lama Sabai Nan Rancak melompat terjun ke dalam makam batu. Tangan 

kirinya menyambar kantong kain berisi Mutiara Setan. Tangan kanan menarik Mantel Sakti. 

Lalu ke dua kakinya dihentakkan ke lantai makam. Saat itu juga tubuhnya berkelebat 

melesat ke atas. 

“Wuuuttt!” 

Sabai Nan Rancak terpekik kaget. Begitu sebagian tubuhnya keluar dari dalam 

makam ada satu benda putih menyambar. Kalau dia tidak cepat membuang diri ke samping 

lalu pergunakan sanding batu makam untuk menjejakkan kaki melontar diri ke samping 

niscaya benda putih itu akan menghantam pinggangnya. Sabai tidak jelas benar benda apa 

yang barusan menyerangnya. Dia cepat berpaling. Kagetlah si nenek. 

Di hadapannya, di tepi makam dilihatnya Datuk Tinggi Raja Di Langit terduduk 

setengah berlutut. Muka dan matanya yang seangker iblis menatap tajam ke arahnya. 

“Tak bisa kupercaya! Dalam keadaan seperti ini dia ternyata mampu melepaskan diri 

dari totokanku! Barusan dia menyerangku dengan kaki tulangnya! Tapi agaknya 

kekuatannya masih belum pulih keseluruhan. Dari pada mencari perkara lebih baik aku 

segera saja angkat kaki dari sini!” 

Si nenek segera memutar tubuh siap tinggalkan tempat itu. 

“Perempuan jahanam) Kembalikan Mantel Sakti dan Mutiara Setanku!” teriak Datuk 

Tinggi dengan mata berapi-api. Setengah beringsut dia bergerak mendekati Sabai. 

Si nenek menyeringai buruk. “Ini kesempatanku untuk mencoba kehebatan Mantel 

Sakti ini!” pikir Sabai. Lalu dia berseru. “Kau inginkan mantel dan senjata rahasiamu! Culas 

curang! Kau sudah berjanji menyerahkannya padaku! Tapi tak jadi apa! Kau 

menginginkannya silahkan ambil sendiri!” Sabai acung-acungkan mantel dan kantong kain, 

membuat sang Datuk meluap amarahnya. Dia jatuhkan diri ke tanah lalu berguling. Kaki 

kirinya menyambar, membabat ke arah kaki Sabai. Si nenek tidak tinggal diam. Dia 

melompat menjauh seraya kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dan mengebutkan 

Mantel Sakti yang dipegangnya. 

“Wussss!” 

Satu gelombang angin laksana badai dan deburan air bah menyambar ke arah Datuk 

Tinggi. Lumut dan tanah yang menempel di mantel itu ikut berlesatan. 

Datuk Tinggi berteriak keras. Dia cepat jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Namun 

tak urung tubuhnya masih kena tersapu hingga mental sampai tiga tombak. Di sebelah sana 

dua buah batu penutup makam tanah kubur dan batu-batu nisan hitam amblas berantakan 

dihantam sambaran Mantel Sakti! 

Datuk Tinggi merasakan tubuhnya seperti hancur. Dia meneliti dengan cepat. Tak 

ada bagian tubuhnya yang cidera. Hanya dadanya terasa berdebar dan jalan darahnya agak 

kacau. Ini membuatnya jadi heran. “Ada kekuatan aneh melindungi diriku. Orang lain pasti 

sudah remuk dihantam angin Mantel Sakti tadi!”Di depan sana Sabai Nan Rancak masih tegak sambil menyeringai. “Kau masih 

inginkan mantel dan senjata rahasiamu ini Datuk? Ayo, aku memberi kesempatan padamu 

untuk mengambilnya!” 

“Perempuan jahanam! Kucincang tubuhmu!” teriak Datuk Tinggi lalu gulingkan diri 

ke arah si nenek. Tapi saat itu Sabai tak mau melayani lagi. Dia berkelebat tinggalkan tempat 

itu, cepat-cepat menuju ke pantai pulau tempat perahu sewaan menunggunya. Dengan 

cekatan si nenek melompat dari batu karang datar ke batu karang lainnya hingga akhirnya 

dia sampai di atas perahu besar. 

Satu kejutan membuat si nenek melengak. Ada orang bersuara parau tiba-tiba 

menegurnya. 

“Rejekimu besar sekali hari ini Nek. Mantel Sakti di tangan kanan. Kantong Mutiara 

Setan di tangan kiri! Apakah kau mau berbagi rejeki denganku?!” 

Sabai Nan Rancak palingkan kepalanya ke arah kanan dari jurusan mana datangnya 

suara orang menegur. 

“Siapa kau!” sentak Sabai Nan Rancak. 

Orang yang dibentak dongakkan kepala lalu tertawa keras. 

“Lain yang dicari lain yang kutemui! Tapi apa salahnya berkenalan berbasa-basi!” 

“Jahanam! Kalau tidak lekas menjawab kulempar kau ke dalam laut!” Sabai Nan 

Rancak angkat tangan kanannya yang memegang mantel. Dia melirik ke kiri dan ke kanan. 

Lalu berteriak. “Pemilik perahu! Di mana kau?!” 

“Aku di sini Nek....” Ada jawaban dari sebelah kanan. 

* *



DUA BELAS 


Saat itu matahari telah terbit. Keadaan di laut cerah dan terang. Di sebelah kanan, di 

lantai perahu Sabai Nan Rancak melihat lelaki pemilik perahu duduk tersandar. 

Mulutnya pecah dan hidungnya hancur. Darah menutupi sebagian wajahnya. 

Sabai berpaling ke arah lambung perahu. Orang bersuara parau yang tadi 

menegurnya tegak sambil berkacak pinggang. Orang ini ternyata kakek berpakaian 

kembang-kembang. Mukanya tertutup bedak tebal. Pipinya diberi merah-merah. Alisnya 

melintang tebal dan rambutnya dikepang enam. Pada setiap kepangan digantungi kertas 

dan kain-kain warna-warni. Dia memiliki bibir dower tebal dan dilapisi cat merah 

mencorong. 


“Pasti orang gila ini yang telah mencelakai pemilik perahu,” membatin Sabai Nan 

Rancak. “Aku tidak kenal padamu! Mengapa berani berada di atas perahu sewaanku? Lekas 

menyingkir!” Hardik si nenek.” 

“Aha! Aku tidak tahu kalau ini perahu sewaanmu. Pantas waktu tadi aku naik ke sini, 

monyet bau ini marah. Karena, mulutnya keiewat kurang ajar terpaksa aku menggebuknya 

sedikit! Ha... ha... ha...!” 

“Keparat! Dalam keadaan seperti ini bagaimana tahu-tahu ada orang gila datang 

mengganggu!” Sabai bercarut sendiri dalam hatinya. 

“Orang gila! Jika kau tidak lekas menyingkir aku benar-benar akan membunuhmu 

dan melemparkan mayatmu ke laut!” Mengancam Sabai. 

“Jangan terlalu galak sobat! Aku datang ke sini tidak bermaksud mencari lantaran 

denganmu! Aku datang dari jauh mencari bangsat tua berjuluk Datuk Tinggi Raja Di Langit! 

Satu tahun yang silam dia telah membunuh adikku Kiyai Surah Ungu, bergelar Pangeran 

Tanpa Mahkota, berasal dari Banten.” 

“Aku tidak percaya orang gila sepertimu punya adik seorang Pangeran!” tukas Sabai. 

“Terserah mau percaya atau tidak bukan urusanku! Aku hanya ingin menuntut balas. 

Tahu-tahu aku ketemu kau! Ha... ha... ha! Kalau dulu ketemu di waktu masih muda-muda 

pasti sedap juga ya?! Tapi tak jadi apa! Aku tahu betul Mantel Sakti dan kantong berisi 

senjata rahasia itu adalah milik Datuk Tinggi Raja Di Langit! Bagaimana bisa berada di 

tanganmu? Apakah kau mencurinya?!” 

“Enak saja menuduh aku pencuri! Aku mendapatkan dua senjata sakti ini setelah 

membunuh Datuk Tinggi! Sebentar lagi kau akan jadi korbanku berikutnya!” 

“Ah, kau pasti seorang nenek Sakti hebat luar biasa! Tapi mengapa aku harus takut 

ancamanmu? Kalau belum melihat mayat sang Datuk bagaimana aku percaya kau 

sungguhan telah membunuhnya? Itu sebabnya aku mengusulkan agar kita berbagi rejeki. 

Berikan salah satu senjata sakti itu padaku. Aku akan menerima yang mana saja!” 

“Baik! Aku akan berikan Mantel Sakti padamu! Harap kau suka menerima!” 

Habis berkata begitu si nenek kebutkan Mantel Sakti di tangan kanannya. 

“Wuttt!” 

Perahu kayu itu bergetar keras ketika angin laksana badai menyambar. Tiang layar 

berderak-derak. Semua benda yang ada di lantai perahu termasuk sosok lelaki pemilik 

perahu hancur dan mental masuk ke dalam laut. Air laut bergelombang muncrat.Kakek aneh bermuka seperti dirias tersentak kaget. Dia keluarkan bentakan parau 

lalu melompat tinggi dan tahu-tahu seperti seekor burung elang dia sudah hinggap di 

puncak tiang perahu layar! 

“Srettt! Sett... settt! Wuttt!” 

Sabai Nan Rancak berseru kaget ketika tiba-tiba kain layar perahu bergerak kencang 

dan dengan ganas menggulung ke arahnya. Mantel Sakti di tangan kanannya hampir-

hampir terlepas mental kalau dia tidak cepat jatuhkan diri dan bergulingan di lantai perahu. 

Dalam keadaan seperti itu si nenek tak memperhatikan lagi keadaan jubah hitamnya yang 

tersibak berantakan kian kemari. Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. 

Menyusul suara orang berucap. 

“Nek, kau ini malu-maluin saja! Auratmu tersingkap ke mana-mana! Untung kau 

pakai celana dalam! Kalau tidak! Walah! Pasti aku akan menyaksikan sepotong serabi 

bulukan! Ha... ha... ha! Benar-benar memalukan!” 

Saat itu jubah hitam Sabai Nan Rancak memang tersingkap lebar dari pinggang ke 

bawah. 

Sabai Nah Rancak terkesiap kaget. Cepat si nenek rapikan jubah hitamnya dan 

melompat bangkit. Dia palingkan kepalanya ke kiri. 

“Dari cara bicaranya, rasa-rasanya memang dia! ujar Sabai dalam hati ketika 

pandangannya membentur sesosok tubuh berpakaian ringkas hitam yang duduk berjongkok 

di pinggir perahu sambil menutupi wajahnya dengan ke dua tangan. “Anehi bagaimana dia 

tahu-tahu bisa berada di tempat ini. Jangan-jangan sejak di tanah Jawa dulu dia telah 

menguntit diriku!” Sabai Nan Rancak seperti mau mengeluh melihat kehadiran orang itu 

yang akan menambah buruknya suasana. Tapi setelah memutar akal maka dia cepat berseru. 

“Sobatku, bukankah kau Iblis Pemalu! Aku gembira bertemu dengan kau!” 

“Sobatku? Aku sobatmu? Aha rasanya tidak pernah begitu! Sungguh memalukan!” 

“Hai! Jangan malu-malu mengakui! Kau datang tepat pada waktunya. Sebagai sobat 

lama aku akan memberikan salah satu dari benda sakti ini!” 

“Ah, itu bagus juga! Tapi aku malu menerimanya!” jawab orang berpakaian hitam 

yang mencangkung di pinggiran perahu. 

“Tak usah malu! Aku memang sudah merencanakan untuk memberi sesuatu padamu 

karena kau orang baik! Tapi di tempat ini....” 

Ucapan Sabai Nan Rancak terputus. Sudut matanya melihat satu gerakan di arah 

pantai. Ketika dia berpaling dan memperhatikan ternyata di tepi pasir tampak tegak berdiri 

terbungkuk-bungkuk Datuk Tinggi Raja Di Langit. Orang ini tengah bersiap-siap terjun ke 

laut. Sesaat dia seperti menggapai-gapai lalu meracau masuk ke dalam air laut sedalam 

sepinggang. Perlahan-lahan tapi pasti dia akan segera sampai ke perahu di mana Sabai 

berada. 

“Celaka! Bangsat tua itu agaknya sudah pulih kekuatannya. Bagaimana ini...?” Sabai 

memandang ke atas tiang layar. Saat itu kakek berbaju kembang-kembang tengah meluncur 

turun sambil tertawa parau. Si nenek berpaling pada Iblis Pemalu. Lalu berteriak. “Sobatku! 

Kau tolong hadapi dulu orang tua gila itu! Aku akan mengayuh perahu. Kau harus 

menolong! Jangan membuat aku malu!” 

“Ya... ya! Aku akan menolong! Tapi awas! Rapikan dulu pakaianmu! Jangan sampai 

aku melihat dua kali! Bisa sialan aku! Memalukan sekali! Hik... hik... hik!”Sabai Nan Rancak cepat berkelebat ke kiri untuk menarik lepas tali pengikat perahu 

yang dibuhulkan pada satu tonjolan runcing batu karang. Dia berhasil. Selagi kebingungan 

mencari kayu pendayung kakek bermuka dirias sudah injakkan kaki di atas lantai perahu. 

Tapi Iblis Pemalu dengan menutupi wajah cepat menghadangnya. 

“Orang tua bermuka cemongan! Jangan berbuat hal yang memalukan! Kau bilang 

datang ke sini mencari Datuk Tinggi! Mengapa membuat keonaran dengan orang lain! 

Memalukan!” 

“Orang gila! Kasihan mengapa kau bisa kesasar ke tempat ini?! Kalau mencari mati 

apa tidak bisa mencari tempat yang lebih enakan?!” Kakek baju kembang-kembang tertawa 

bergelak. 

“Memalukan!” teriak Iblis Pemalu. “Mengatakan aku gila! Padahal kau sendiri yang 

gila mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki! Hik... hik... hik! Sungguh memalukan 

menemui kematian sebagai orang gila!” 

“Jahanam! Berani kau menghina diriku!” Kakek bermuka dirias jadi marah 

mendengar ejekan orang. Dua tangannya yang sejak tadi terlindung di balik lengan bajunya 

yang panjang tiba-tiba diangkat ke atas dan menyambar ke muka Iblis Pemalu yang ditutupi 

ke dua tangannya. Ternyata kakek itu hanya memiliki tiga jari dan tiga kuku panjang pada 

masing-masing tangannya. 

“Aha! Aku mengenali siapa dirimu! Momok Berdandan Jari Tiga! Memalukan! 

Tangan jelek begitu saja diperlihatkan!” 

Habis mengejek begitu Iblis Pemalu cepat melompat mundur. Tapi seolah bisa diulur, 

tangan kanan si kakek memanjang dan “Wuttt!” Tiga kuku jarinya yang panjang mencakar 

ke arah kepala Iblis Pemalu. Untuk melompat mundur lagi sudah tidak mungkin bagi Iblis 

Pemalu karena saat itu punggungnya telah menyentuh pinggiran perahu. Mau tak mau dia 

angkat tangan kirinya menangkis sementara tangan kanan masih tetap menutupi wajahnya. 

“Bukkk!” 

Beradunya dua tangan membuat dua orang itu sama-sama berseru kesakitan. Kakek 

baju kembang-kembang berjuluk Momok Berdandan Jari Tiga terpental sampai dua tombak. 

Ketika lengan tangannya disingkapkan dia terkejut melihat daging tangannya telah 

menggembung merah. Dia cepat berdiri dan pandangi Iblis Pemalu dengan mata melotot. 

Saat itu Iblis Pemalu sendiri terbungkuk-bungkuk menahan sakit namun dari mulutnya 

keluar suara tawa cekikikan. Nyali si kakek baju kembang mau tak mau menjadi goncang. 

Dia mendengar kabar Datuk Tinggi orang yang dicarinya memiliki kepandaian tinggi. Kini, 

belum lagi berjumpa dengan pembunuh adiknya itu, dia berhadapan dengan seorang lelaki 

muda tidak dikenal yang ternyata mempunyai ilmu kepandaian tidak sembarangan. 

* *


TIGA BELAS 


Manusia gila! Katakah siapa kau adanya! Mengapa mau saja disuruh nenek buruk 

itu?! “Kakek gila! Siapa diriku tak usah kau tahu! Jangan membuat aku malu! 

Nenek itu tak suka padamu! Mengapa masih nangkring di atas perahu ini! Ayo 

lekas pergi! Kalau tidak aku akan membuatmu benar-benar menjadi malu besar!” Momok 

Berdandan Jari Tiga tertawa parau. “Masih muda sudah gila! Sungguh aku kasihan dan 

merasa malu padamu monyet berpakaian hitami Jika kau memang tahu malu mendekatlah 

padaku! Akan kuajari kau bagaimana caranya agar tidak tahu malu! Ha... ha...ha...!” 


Ditertawai orang Iblis Pemalu ikut-ikutan tertawa. “Banci gila! Lelaki berdandan 

seperti perempuan! Apa tidak malu?!” 

Mendidihlah amarah Momok Berdandan Jari Tiga mendengar ejekan itu. Didahului 

bentakan parau dia menyergap ke depan. Dari jari tengah tangan kiri mencuat selarik sinar 

hitam pekat sedang dari jari tengah tangan kanan melesat sinar biru kelam. Inilah ilmu yang 

sangat diandalkan si kakek, yang disebut Dua Larik Sinar Kematian. Selama ini tidak pernah 

ada lawan yang bisa menghindar dari maut jika dia sudah mengeluarkan ilmu kesaktian itu. 

Iblis Pemalu sendiri tampak tersirap kaget. Walau masih tertawa namun dia cepat 

menghindar dengan melompat dua tombak ke kiri. Si kakek memburu dengan ikut 

melompat. Sinar hitam memang luput tapi sinar biru menghajar ke arah kepala Iblis Pemalu. 

Sabai Nan Rancak tercekat menyaksikan hal itu. Dia gerakkan tangan kanannya yang 

memegang Mantel Sakti. Maksudnya hendak menangkis serangan maut itu dan sekaligus 

menghantam Momok Berdandan Jari Tiga. Tapi mendadak sinar hitam yang mencuat dari 

tangan kirinya membalik dan menyambar ke arah Sabai. Nenek ini berteriak keras. Mau tak 

mau dia terpaksa tarik tangan kanannya. Pada saat itu sinar biru yang menghantam ke dada 

Iblis Pemalu hanya tinggal satu jengkal saja lagi dari sasarannya. 

Iblis Pemalu masih juga tertawa. Namun mukanya di balik dua tangannya tampak 

berubah. Pada saat yang menegangkan itu, tiba-tiba sesosok tubuh entah dari mana 

datangnya melesat ke atas perahu. Kepalanya menumbuk pinggul Iblis Pemalu dengan 

keras, membuat Iblis Pemalu terlempar jauh dan roboh di lantai perahu. Namun tumbukan 

ini menyelamatkan nyawa Iblis Pemalu, Karena sinar biru mematikan yang akan 

membunuhnya menjadi lewat setengah jengkal dari tubuhnya! 

Orang, yang menumbuk Iblis Pemalu saat itu tampak mencoba bangkit terhuyung-

huyung. Keadaannya basah kuyup dan nyaris telanjang. Rambut, janggut, kumis maupun 

berewoknya riap-riapan. Ketika rambutnya yang menutupi muka disibakkan, kelihatanlah 

tampangnya yang angker menyeringai. Gigi-gigi besar berbentuk taring binatang mencuat 

dari mulutnya. 

“Hampir putus nyawaku! Memalukan!” 

Sementara Iblis Pemalu berteriak begitu dua orang di atas perahu yakni Sabai Nan 

Rancak dan Momok Berdandan Jari Tiga sama-sama terkesiap. 

“Manusia satu ini benar-benar luar biasa! Dia sanggup menyeberangi pantai dan naik 

ke atas perahu!” membatin Sabai Nan Rancak. Nenek ini segera memutar otak. Dia sudah 

dapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan. Mengapa menghabiskan waktu dan merepotkan 

diri berlama-lama di atas perahu itu. Tapi dia mau kemana kalau tidak kabur memakai perahu!

Momok Berdandan Jari Tiga yang tadinya begitu bernafsu hendak membunuh Iblis 

Pemalu alihkan perhatiannya pada orang yang basah kuyup riap-riapan. Dari 

tenggorokannya keluar suara menggembor ketika akhirnya dia bisa mengenali siapa adanya 

kakek kurus kering bermuka setan ini. 

“Datuk Tinggi Raja Di Langit! Setahun aku mencarimu! Kau muncul dengan sosok 

begini rupa! Aku berpikir apakah malaikat maut masih mau dan tidak jijik membetot lepas 

nyawamu dari tubuhmu?!” Yang berucap dengari suara keras itu adalah Momok Berdandan 

Jari Tiga. 

“Kakek aneh! Laki-laki tapi berdandan macam perempuan, berpakaian berbunga-

bunga seperti perempuan! Apa di bawah perutmu juga ada perkakas seperti perempuan?!” 

Datuk Tinggi menjawab tak kalah lantang lalu tertawa bekakakan. Tiba-tiba dia palingkan 

kepala pada Sabai Nah Rancak. Dia keluarkan suara menggeretak. “Urusan kita belut lesai! 

Jangan berani beranjak dari tempat ini!” 

Sabai Nan Rancak menjawab dengan suara mendengus. 

“Datuk Tinggi pembunuh adik kandungku! Mungkin kau tidak bakal dapat 

menyelesaikan urusan dengan nenek itu! Aku lebih dulu datang menagih nyawamu!” 

“Anjing tua berdandan slebor! Siapa adikmu yang pernah aku bunuh!” 

“Kiyai Surah Ungu, Pangeran Tanpa Mahkota berasal dari Banten!” jawab Momok 

Berdandan Jari Tiga. 

“Oh, dia rupanya!” ujar Datuk Tinggi lalu tertawa gelak-gelak. “Kiyai itu memang 

pantas disingkirkan!” 

“Apa kesalahannya hingga kau membunuhnya!” 

“Kesalahannya sepele saja! Dia datang menyambangi makam Tua Gila sahabatnya! 

Padahal aku sudah menyebar niat! Siapa saja sahabat Tua Gila yang datang ke makam harus 

menemui ajal!” 

“Aneh!” kata Momok Berdandan sambil cibirkan bibirnya yang dower. 

“Apa yang aneh?!” sentak Datuk Tinggi. 

“Aku dengar Tua Gila masih hidup! Kau mengatakan dia sudah mati dan dimakamkan! 

Jangan-jangan otakmu sudah tidak karuan!” 

Mendengar ucapan orang Datuk Tinggi tertawa mengekeh. “Apa Tua Gila masih 

hidup atau sudah mati, aku tidak begitu perduli. Dan kau datang sangat terlambat!” 

“Apa maksudmu?!” 

“Mayat kakakmu sudah berubah jadi jerangkong! Di pulau sana ada beberapa 

jerangkong! Kalau kau suka aku bersedia menunjukkan yang mana jerangkong < kakakmu. 

Tapi syaratnya kau harus mampus dan jadi setan lebih dulu! Ha... ha... ha!” 

“Orang gila calon mayat! Orang yang mau mampus bicaranya memang tidak karuan! 

Mari kutunjukkan jalan agar kau bisa menghadap Penguasa Neraka lebih cepat!” 

Habis berkata begitu Momok Berdandan Jari Tiga angkat ke dua tangannya. 

Tangannya yang berjari dan berkuku tiga menyembul dari balik lengan jubah yang dalam. 

Langsung selarik sinar hitam pekat dan biru kelam menderu menghantam ke arah Datuk 

Tinggi Raja Langit. 

“Pasti mampus!” kata Sabai Nan Rancak begitu melihat Momok Berdandan lancarkan 

serangan ke arah Datuk Tinggi. Iblis Pemalu pelototkan mata di sela-sela jari-jari tangannya 

yang menutupi wajah. Seperti Sabai dia juga yakin kalau kakek bermuka setan itu akan 

menemui ajalnya dilanda dua larik sinar maut serangan kakek yang mukanya dirias.


Namun ke dua orang ini terkesiap dan jadi merinding ketika melihat apa yang 

kemudian terjadi. Sebelum dua larik sinar menembus tubuhnya Datuk Tinggi yang masih 

tegak terhuyung-huyung tiba-tiba membuat gerakan jungkir balik. Kepalanya yang 

berambut basah riap-riapan kini menjejak lantai perahu. Dua tangannya yang masih agak 

lemah menopang berusaha mengimbangi dan menunjang tubuhnya. Sinar hitam 

menyambar di samping kaki kanan sedang sinar biru lewat di antara ke dua kakinya. 

Dari mulut Datuk Tinggi tiba-tiba melesat keluar suara seperti lolongan anjing. 

Bersamaan dengan itu tubuhnya mencelat ke atas setinggi satu tombak. Di udara tubuh ini 

bergerak berputar aneh. Dua kaki terkembang. Lalu secepat kilat tubuh itu melesat ke 

depan. Dua kaki yang kini hanya berupa tulang putih pipih setajam pedang membuat 

gerakan seperti menggunting. 

Momok Berdandan Jari Tiga keluarkah seruan tertahan. Suara seruannya lenyap 

berganti dengan suara menggidikkan. 

“Crassss!” 

Kepala Momok Berdandan putus laksana ditabas pedang maha tajam lalu melesat 

mental dan jatuh ke atas gundukan batu karang rata yang menyembul di permukaan air 

untuk kemudian mental dan akhirnya masuk ke dalam lauti 

Tubuhnya yang tanpa kepala terhuyung-huyung. Sepasang tangannya menggapai-

gapai kian kemari. Dua larik sinar biru dan hitam sesaat masih mencuat. Darah bergejolak 

menyembur dari kutungan lehernya tanda masih ada tenaga dalam yang menguasai 

tubuhnya. Sesaat kemudian tubuh itu terjengkang di lantai perahu, menggeliat dan 

melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. 

Pada saat putusnya leher si kakek, Iblis Pemalu melompat ke samping Sabai Nan 

Rancak. Tangan kanan menutupi wajahnya dan tangan kiri memegang lengan si nenek. 

Orang ini berbisik. 

“Ini satu tindakan memalukan! Tapi kau sudah dapatkan Mantel Sakti dan Mutiara 

Setan! Buat apa berlama-lama di sini! Ayo ikut aku kabur!” 

“Kita mau kabur kemana. Sekeliling kita hanya laut!” jawab Sabai Nan Rancak. 

Setelah tadi dia melepaskan ikatan tali yang mengikat perahu ke batu karang, gelombang 

telah membawa perahu itu ke tengah laut. 

“Aku menyembunyikan sebuah perahu di balik gugusan batu karang sebelah sana! 

Sekali ini kita benar-benar membuat malu besar! Ayo lompat! Lekas!” 

Belum sempat Sabai Nan Rancak menjawab Iblis Pemalu sudah menarik lengannya. 

Ke dua orang itu melompati pagar perahu di sebelah buritan. 

“Kalian mau lari kemana!” satu teriakan menggeledek di belakang. Lalu “Wuttt!” 

Dua benda putih bergerak memotong! 

“Craaasss!” 

Sabai Nan Rancak terpekik. Salah satu ujung mantel yang dipegangnya di tangan 

kanan terbabat putus oleh tulang kaki kiri Datuk Tinggi yang coba mengejar. Lalu sang 

Datuk sendiri terpelanting ke belakang ketika Sabai masih sempat menggebrakkan Mantel 

Sakti yang dipegangnya. Ketika Datuk Tinggi coba mengejar kembali Sabai dan Iblis Pemalu 

telah lenyap di bawah permukaan laut! 

Datuk Tinggi Raja Di Langit berteriak marah! Suara teriakannya seperti lolongan 

anjing. Lalu seperti kerasukan setan dia berkelebat kian kemari. Sepasang kakinya 

menghantam apa saja yang ada di depannya. Tiang perahu besar patah ditabasnya, dinding dan lantai perahu robek-robek. Sekali lagi suara lolongan melesat dari tenggorokannya lalu 

sang Datuk terkulai lemah. Tubuhnya terkapar di lantai perahu. Matanya mendelik. Dari 

mulutnya keluar kutuk serapah tiada henti! 

* *


EMPAT BELAS 


Dua perahu besar tiba-tiba muncul di balik gugusan batu karang tinggi, langsung, 

mengapit pukat yang porak-poranda. Di perahu sebelah kiri seorang berpakaian 

kebesaran perang menatap tajam ke arah perahu pukat di atas mana Datuk Tinggi 

Raja Di Langit masih terkapar bercarut-marut. 


“Panglima, saya yakin orang yang kita minta menyelidik telah mendarat di pulau 

ini.” Seorang lelaki berpakaian perwira muda yang tegak di sebelah lelaki berpakaian 

perang berkata. 

“Tiga hari kita menunggu, dia tidak muncul. Di tempat ini ada sebuah pukat dalam 

keadaan porak-poranda. Aku merasa was-was. Coba kau dan beberapa anak buahmu 

menyeberang ke pukat itu. Lakukan pemeriksaan!” 

Perwira muda itu memberi isyarat pada empat orang anak buahnya. Kelima orang ini 

lalu melompat ke atas perahu yang diapit. Hanya sesaat berlalu, dari arah perahu itu 

mendadak terdengar bentakan-bentakan. Lalu salah seorang prajurit berlari menemui sang 

Panglima. Mukanya pucat dan mulutnya sulit mau bicara. 

“Prajurit! Jaga sikapmu! Ada apa?!” Panglima membentak. 

Si prajurit menunjuk ke arah perahu. “Kami menemui mayat kakek sakti itu di 

geladak pukat! Hanya sosok tubuhnya! Kepalanya putus entah ke mana!” 

“Apa?!” Sang Panglima tersentak kaget. Tanpa tunggu lebih lama dia segera turun 

dari anjungan dan melompat ke atas perahu. Selusin prajurit mengikuti. Dari perahu besar 

satunya seorang perwira muda juga ikut melompat ke atas perahu pukat bersama sepuluh 

prajurit. 

Di atas perahu pukat perwira muda tadi dan tiga prajurit tampak tengah mengelilingi 

seorang kakek bermuka setari yang pakaiannya penuh robekan dan nyaris telanjang. 

Sepasang kakinya sebatas lutut ke bawah hanya merupakan tulang pipih memutih. Ada 

noda-noda darah pada kaki tulang itu. Ketika sang panglima mengalihkan pandangannya 

ke samping kiri, berubahlah parasnya. Di situ, di lantai perahu tergeletak sosok tubuh tanpa 

kepala. Dari pakaian nya yang berkembang-kembang Panglima dan semua orang yang ada 

di sana sudah jelas tahu siapa adanya mayat tanpa kepala itu. 

“Perwira! Siapa yang membunuh Momok Berdandan Jari Tiga utusan Penyelidik 

itu?!” bertanya Panglima. 

Dua orang Perwira Muda yang ada di tempat itu tak bisa menjawab karena memang 

tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba kakek kurus tinggi berwajah setan keluarkan tawa 

mengekeh. 

“Aku Datuk Tinggi Raja Di Langit yang membunuh tua bangka tak berguna itu. 

Rupanya dia adalah orang yang kalian suruh menyelidiki diriku? Ha... ha... ha! Mengirim 

orang tolol lihat saja akibatnya!” 

Mendengar manusia berwajah setan itu menyebut dirinya, semua orang yang ada di 

situ menjadi gentar. Beberapa di antaranya sampai tersurut mundur. 

“Jadi kau makhluknya yang bergelar Datuk Tinggi Raja Di Langit!” berkata sang 

Panglima. 

“Setan alas! Aku sudah sebutkan siapa diriku! Kalian sendiri siapa?!“Kami orang-orang Kerajaan! Setahun lalu kami punya bukti-bukti kau telah 

membunuh Kiyai Surah Ungu, putera Sri Baginda yang bergelar Pangeran Tanpa Mahkota!” 

“Orang sudah menjadi setan setahun silam! Kalian datang untuk mengambil 

mayatnya atau apa?! Dia sudah jadi jerangkong di pulau sana!” 

“Kau mengakui perbuatanmu! Kau juga mengakui sebagai pembunuh utusan kami! 

Berarti tidak ada pengampunan bagi dirimu! Serahkan dirimu! Tiang gantungan sudah sejak 

lama menunggumu!” 

Datuk Tinggi Raja Di Langit tertawa bergelak. 

“Kalian datang jauh-jauh bukan saja mencari perkara. Tapi juga mencari mati!” 

Datuk Tinggi tiba-tiba melompat setinggi satu tombak. Di udara dia membuat 

gerakan jungkir balik. Sesaat kemudian dia tegak di lantai perahu, kepala dan tangan di 

sebelah bawah sedang dua kaki mengembang ke atas. 

“Tua bangka gila! Akrobat apa yang hendak kau perlihatkan pada kami!” bentak sang 

Panglima sementara dua Perwira Muda dan belasan prajurit yang ada di sana menyaksikan 

perbuatan Datuk Tinggi Raja Di Langit terheran-heran. 

“Makhluk-makhluk pengantar nyawa! Dulu aku bergelar Datuk Tinggi Raja Di 

Langit! Mulai saat ini gelar itu akan aku kubur ke pusar bumi di dasar laut! Gelarku 

sekarang adalah Jagal Iblis Dari Makam Setan! Siapa yang mau mati duluan silahkan 

mendekat!” 

Perwira Muda yang berada di sebelah kiri memberi isyarat pada lima anak buahnya. 

“Tangkap orang gila ini!” perintahnya. 

“Bunuh jika melawan! “kata sang panglima yang menyetujui tindakan bawahannya 

itu. 

Lima prajurit menghunus senjata lalu menyergap. 

Tubuh Datuk Tinggi yang kini menyebut dirinya sebagai Jagal Iblis Dari Makam 

Setan melesat ke udara, berputar tiga kali berturut-turut lalu dua kakinya yang 

mengembang menghantam dalam gerakan setengah lingkaran. Tiga prajurit yang 

mengurungnya menjerit. Dua tergelimpang di lantai perahu dengan leher hampir putus. 

Yang ke tiga terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya yang bobol! 

Dua prajurit lainnya terkesima. Muka mereka sepucat kain kafan menyaksikan apa 

yang terjadi. 

“Perwira! prajurit!” teriak Panglima. “Cincang makhluk iblis itu!” 

Dua Perwira Muda dan hampir dua puluh prajurit segera menghambur dengan 

senjata di tangan. 

“Trang... trang... trang...!” 

Suara berdentrangan terdengar tidak berkeputusan ketika Datuk Tinggi alias Jagal 

Iblis Dari Makam Setan gerakkan dua kakinya menangkis dan balas menyerang. Sepasang 

kaki yang hanya merupakan tulang putih itu seolah dua bilah pedang tajam yang 

mengamuk di udara. Pekik jerit memenuhi perahu. Enam prajurit dan seorang Perwira 

Muda terkapar berlumuran darah. Lima di antaranya tidak bernafas lagi. Satu-satunya yang 

masih hidup adalah si Perwira Muda. Tangannya yang tadi memegang pedang kini telah 

buntung sebatas pergelangan. Dia menjerit tiada henti. 

Jagal Iblis Dari Makani Setan tertawa panjang lalu keluarkan suara seperti lolongan 

anjing membuat semua orang jadi tercekat. 

“Ambil Jaring Neraka!” teriak Panglima.Perwira Muda satunya yang masih hidup melompat tinggalkan kalangan 

pertempuran. Tak lama kemudian dia muncul bersama dua orang prajurit bertubuh tinggi 

besar. Dua prajurit ini membawa sebuah jaring besar terbuat dari kawat baja. Jaring ini 

mengeluarkan suara bergemerisik menakutkah. Tapi Jagal Iblis Dari Makam Setan hanya 

ganda tertawa melihat benda itu. 

“Libas!” teriak Perwira Muda memberi perintah. Dua prajurit bertubuh besar 

gerakkan sepasang tangan, mereka. 

“Sreeettt!” 

Jaring kawat baja itu menebar di udara, menyapu ke arah sosok Jagal Iblis yang masih 

tegak dengan kepala ke bawah kaki ke atas. Tiba-tiba dua kaki tulang putih itu berkelebat 

dan berputar laksana titiran. Terdengar suara putus robeknya jaring kawat baja. Disertai 

jeritan susui menyusul. Dua prajurit bertubuh besar menemui ajal lebih dulu. Keduanya 

mati dengan pinggang hampir putus. Menyusul si Perwira Muda. Semua orang hanya 

melihat sosok tubuhnya terkapar di lantai perahu. Kepalanya tak ada lagi! 

Semua orang yang masih hidup menjadi gempar. Serempak mereka melompat 

menjauhi lantai perahu kalangan perkelahian yang kini basah tergenang darah! 

Jagal Iblis Dari makam Setan tertawa panjang. 

Panglima yang melihat kejadian itu dengan mata kepala sendiri merasa dingin 

tengkuknya. Meski nyalinya tergetar hebat namun sebagai pimpinan dia tidak mau 

memperlihatkan. Dia segera mencabut sebilah pedang yang tergantung di pinggangnya. - 

Senjata ini bukan senjata sembarangan. Merupakan sebuah mustika hadiah Sri Baginda 

karena jasa-jasanya. Karena dilapisi sejenis perak maka pedang ini memancarkan cahaya 

putih menyilaukan. 

“Panglima! Kau mau maju sendiri atau mengajak belasan anak buahmu?!” Jagal Iblis 

Dari Makam Setan ajukan pertanyaan yang jelas-jelas sengaja mengejek. 

Sang Panglima menjawab dengan mengirimkan satu tebasan. Yang di arahnya adalah 

bagian leher lawan yang berada di sebelah bawah. 

“Wuuuuuttt!” 

Kaki kanan Jagal Iblis Dari Makam Setan menyambar ke arah leher lawan. Sang 

Panglima cepat merunduk sambil teruskan membabat dengan pedangnya. Demikian 

derasnya sambaran senjata ini hingga mengeluarkan suara bersiuran dan ada hawa dingin 

menyambar keluar dari badan pedang. 

“Wuuuuuttt!” 

Tiba-tiba kaki kiri Jagal Iblis ganti berkiblat. Yang di arah adalah bagian perut. Mau 

tak mau sang Perwira terpaksa tarik pulang serangannya dan pergunakan senjata untuk 

menghantam kaki kiri lawan. “Trangg!” 

Pedang dan kaki beradu mengeluarkan suara berdentrangan seolah kaki tulang putih 

itu sebilah senjata tajam yang atos. 

“Traaaak!” 

Panglima Kerajaan berseru tegang ketika bentrokan senjata dengan kaki membuat 

pedangnya patah dua! Dia melompat coba selamatkan diri. Tapi malang salah satu kakinya 

terpeleset oleh licinnya darah yang menggenangi lantai perahu. Tak ampun lagi tubuhnya 

terhuyung jatuh. Di saat yang bersamaan laksana sebuah gunting raksasa kaki kiri dan kaki 

kanan Jagal Iblis Dari Makam Setan datang menyambar. Sang Panglima mengalami nasib sama dengan Momok Berdandan Jari Tiga serta Perwira Muda dan beberapa prajuritnya. 

Mati dengan kepala teria bas putus! 

Sisa-sisa prajurit yang masih hidup runtuh dan leleh nyali mereka. Semua 

berserabutan menghambur lari ke perahu besar masing-masing. 

Datuk Tinggi Raja Di Langit alis Jagal Iblis Dari Makam Setan tertawa panjang lalu 

berjungkir balik. Kembali tegak dengan kaki ke bawah kepala di atas. 

* * 

Di atas perahu kecil Iblis Pemalu duduk melipat kaki. Wajahnya disembunyikan di 

belakang sepasang telapak tangannya yang diletakkan di atas paha. 

Sabai Nan Rancak yang duduk di ujung perahu menghadapi Iblis Pemalu pandangi 

orang itu dengan berbagai perasaan. Ada rasa aneh, heran tetapi juga ada rasa penuh curiga. 

Setelah pulau kecil itu lenyap di kejauhan Sabai Nan Rancak membuka mulut berusaha 

mengorek keterangan. 

“Waktu di tanah Jawa tempo hari kau menunjukkan sikap bermusuhan denganku. 

Sekarang kau kelihatannya sengaja menolongku! Iblis Pemalu kau menyembunyikan 

maksud busuk apa dalam hatimu terhadapku?!” 

“Uhhhh....” Iblis Pemalu menggeliatkan tubuhnya seperti orang bangun tidur namun 

wajahnya tetap saja disembunyikan di balik ke dua paha dan ke dua tangannya. “Pada 

dasarnya aku tidak pernah merasa punya musuh! Buat apa! Memalukan saja! Sudah tua 

bangka mencari musuh! Hanya anak-anak tolol yang suka bermusuhan hanya gara-gara 

urusan sepele! Hidup paling enak adalah menjadi sahabat semua orang! Tidak memalukan! 

Aku juga tidak merasa menolongmu!. Apa untungnya? Buktinya kau malah mencurigai 

diriku mengandung dan menyembunyikan maksud busuki Sungguh aku merasa malu! 

Ucapan polos itu membuat wajah si nenek menjadi merah karena jengah terasa diejek. 

Maka dia coba bicara berbaik-baik. “Waktu di atas perahu aku berjanji memberikan salah 

satu dari dua senjata sakti milik Datuk Tinggi. Aku tidak akan mengingkari janji!” 

Kau boleh memilih salah satu dari dua senjata ini. Mantel Sakti atau Mutiara Setan di 

dalam kantongi” 

Iblis Pemalu geleng-gelengkan kepalanya. “Kau tahu siapa diriku! Aku sangat malu 

menerima pemberian apa saja. Apalagi kalau disangkutpautkan dengan pertolongan. Seolah 

aku ini orang yang suka mencari pamrih! Aku malu menerima tawaranmu. Tapi aku tidak 

malu mengucapkan terima kasih atas kebaikanmu....” 

Aku bukan orang baik!” kata Sabai Nan Rancak. 

Iblis Pemalu tertawa panjang di balik paha dan telapak tangannya. 

“Mengapa kau tertawa. Ada sesuatu yang kau anggap lucu?!” tanya Sabai Nan 

Rancak heran. 

“Manusia tidak bisa menilai dirinya sendiri. Orang lain yang menilai orang lain. 

Jangan sebaliknya karena itu hanya akan memalukan saja! Aku bilang kau orang baik! 

Karena begitu aku melihatnya. Aku tidak malu mengatakan begitu....” 

Sabai Nan Rancak menarik nafas dalam.“Mengapa kau menarik nafas? Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?! Coba 

katakan kalau kau tidak malu! Aku juga tidak malu mendengarkannya!” 

“Terlalu banyak yang mengganjal di hatiku!” jawab Sabai Nan Rancak. 

“Ya... ya! Aku tahu kau punya silang sengketa dengan Tua Gila. Lalu dengan 

muridnya bernama Wiro Sableng itu. Entah dengan siapa lagi. Mungkin dengan Datuk 

Tinggi Raja Di Langit itu.... Mungkin kau masih punya banyak persoalan lain yang aku tidak 

tahu. Aku malu menanyakan. Kau juga pasti malu menceritakan. Itu namanya hidup. Semua 

sudah tersurat sebelum kita dilahirkan! Apa kau anggap takdir itu memalukan?” 

“Takdir.... Kau anggap jalan hidup seseorang itu adalah satu takdir?!” 

“Aku tidak malu mengatakan iya! Karena manusia hanya bisa berbuat tapi takdir 

yang menentukan! Mengapa harus malu mengakuinya? Mengapa harus malu menghadapi 

hidup! Biar segala yang memalukan menjadi bagian diriku si buruk ini!” 

Sabai Nan Rancak tertawa. 

“Nah, nah! Tawamu sekali ini polos. Benar-benar keluar dari lubuk hati yang putih. 

Aku suka, aku tidak malu mendengarnya. Nek, sebenarnya kalau manusia mau kembali 

kepada hati nurani, kembali ke lubuk sanubarinya segala urusan di dunia ini mudah-mudah 

saja. Tak bakal ada silang sengketa. Tak akan ada dendam kesumat. Tak akan ada 

permusuhan, apa lagi pembunuhan! Tak sampai membuat kita jadi malu besar! Tapi apa 

mau dikata. Begitu yang namanya hidup di dunia. Memalukan!” 

Lama Sabai Nan Rancak pandangi orang yang duduk di hadapannya itu yang terus-

terusan selalu menutupi wajahnya. “Manusia satu ini tampaknya serba aneh. Sikap dan 

bicaranya. Tapi aku merasa sebenarnya dia seorang pandai berhati polos.” 

“Iblis Pemalu, kalau aku boleh bertanya siapakah kau ini sebenarnya?” tanya si nenek 

sambil mendayung membelokkan perahu lalu mengatur arah layar. 

Perlahan-lahan Iblis Pemalu angkat kepalanya dari atas paha. Namun dua tangannya 

tetap menutupi hingga Sabai Nan Rancak tetap tak bisa melihat jelas raut wajah orang yang 

duduk dekat di hadapannya itu. 

Dari sela-sela jarinya sepasang mata Iblis Pemalu pandangi wajah Sabai Nan Rancak. 

Dipandang seperti itu si nenek jadi gelisah dan diam-diam tergetar hatinya. Jantungnya 

berdebar. Seolah pandangan mata orang di depannya itu menimbulkan satu kontak yang 

terasa aneh dalam dirinya. 

Tiba-tiba terdengar suara tawa Iblis Pemalu. 

“Nenek, kau ini bagaimana. Kau sudah tahu siapa namaku. Bagaimana sifatku. 

Bagaimana tindak tandukku. Mengapa kau masih bertanya siapa aku sebenarnya?! Ah! Aku 

jadi malu! Malu sekali!” 

Sabai Nan Rancak ulurkan tangannya memegang lengan kanan Iblis Pemalu. Si nenek 

terkejut ketika jari-jarinya menyentuh lengan orang itu, kulit lengan itu terasa lembut dan 

sangat halus. Debaran di dada Sabai kembali muncul. Dengan suara perlahan dia berkata. 

“Siapapun kau adanya aku tahu ada sesuatu yang membuatmu sengaja menunjukkan sikap 

aneh, seperti orang pemalu. Itu bukan sikapmu yang sesungguhnya. Kau mungkin marah 

atau mungkin malu sekali mendengar kata-kataku ini. Namun....” 

Sapai Nan Rancak tidak meneruskan ucapannya karena saat itu Iblis Pemalu telah 

berdiri. Dua tangannya masih terus menutupi Wajahnya. “Siapapun adanya diriku, aku 

tetap aku! Memalukan!” Terdengar suara Iblis Pemalu. Tapi suaranya kali ini terasa ada getaran anehnya.“Ada perahu mendatangi!” Tiba-tiba iblis Pemalu berkata seraya berpaling ke arah 

kiri. 

Sabai Nan Rancak memandang ke jurusan yang diperhatikan Iblis Pemalu. Apa yang 

dikatakan memang benar. Sebuah perahu kecil meluncur pesat dari arah daratan pulau 

Andalas. Setelah dekat penumpangnya hanya satu orang tua dan bertampang luar biasa 

aneh yang membuat baik Sabai Nan Rancak maupun Iblis Pemalu jadi agak bergeming. 

Orang itu tegak di atas perahu yang diapungkan sekitar dua tombak dari perahu 

dimana Sabai dan iblis Pemalu berada. Di tangan kanannya dia memegang sebuah kayu 

pendayung. Tubuhnya tinggi besar sehingga perahu yang ditumpanginya tampak kecil. Dia 

mengenakan pakaian serba hitam. Sepasang alisnya bergabung menjadi satu membentuk 

satu alis aneh yang tebal. Pada wajahnya yang hitam legam terdapat dua belas lubang hitam. 

Rambutnya jabrik kasar seperti ijuk. Yang membuatnya lebih mengerikan, adalah sebuah 

lubang luka yang belum kering dan masih bernanah menggeroak di bawah bahu kanannya! 

Orang bermuka angker ini menyeringai lalu berseru. “Sabai Nan Rancak! Dicari di 

daratan sulit sekali, di tengah laut baru bertemu!” 

“Kalau aku tidak keliru, apakah kau yang di atas perahu adalah orang gagah yang 

dijuluki Hantu Balak Anam?!” Sabai Nan Rancak balas berseru. 

Si tinggi besar di atas perahu kecil tertawa bergelak. 

“Kalau tidak ada urusan penting, tak bakal kau mencariku sampai ke tengah laut 

begini!” 

“Kau pandai menerka!” jawab Hantu Balak Anam. “Memang pertemuan ini kurang 

mengenakkan.” Hantu Balak Anam melirik pada Iblis Pemalu lalu bertanya. “Siapa orang 

aneh yang selalu menutupi wajahnya dengan dua tangan itu?!” 

“Dia seorang sahabat baikku, tak perlu dirisaukan!” jawab Sabai Nan Rancak. 

“Aku percaya saja padamu. Walau biasanya setahuku orang-orang aneh selalu 

membawa urusan pelik!” 

“Hantu Balak Anam. Ada apa kau mencariku?” tanya Sabai Nan Rancak. 

“Aku datang membawa satu pertanyaan!” 

Si nenek tersenyum. “Hanya untuk satu pertanyaan kau sampai-sampai bersusah 

payah mencegatku di tengah laut! Apa pertanyaan yang hendak kau ajukan itu? Ingin sekali 

aku mendengarnya!” 

“Apakah kau punya hubungan tertentu dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi?” 

Pertanyaan itu membuat si nenek terkejut tapi dia pandai menjaga agar air mukanya 

tidak berubah. 

“Sutan Alam Rajo Di Bumi yang di puncak Singgalang itu! Siapa tidak kenal dirinya! 

Semua tokoh silat di pulau Andalas kurasa pernah berhubungan dengannya! Ada sesuatu 

yang luar biasa agaknya?” 

“Aku punya firasat dia adalah biang racun segala kerusuhan di pulau Andalas!” 

Sabai Nan Rancak tertawa panjang. “Kau ini ada-ada saja Hantu Balak Anam....” 

“Kau mau buktinya!” ujar Hantu Balak Anam. Baju hitamnya dirobeknya di bagian 

pundak dan dada kanan hingga luka berlubang yang tembus dari dada sampai ke 

punggung terpentang jelas mengerikan. “Ini buktinya Sabai Dia hendak membunuhku 

dengan ilmu kesaktian Sepasang Api Neraka!” 

“Ah, kalau ada silang sengketa di antara kalian hanya kalian berdua yang dapat 

menyelesaikan “Silang sengketa sudah terjadi. Lantai sudah terjungkat! Urusan antara aku dengan 

dia hanya selesai jika salah satu dari kami menemui ajali” Hantu Balak Anam kelihatan 

bernafsu sekali. “Sabai, kau belum menjawab pertanyaanku. Apa kau punya hubungan 

tertentu dengan Sutan Alam?” 

“Hemm.... Bagaimana aku harus menjawab. Hubunganku dengan dia biasa-biasa 

saja....” 

“Biasa-biasa bagaimana?! Aku ingin tahu!” 

“Seperti hubungan para tokoh golongan putih lainnya!” 

“Kau perempuan. Sutan Alam laki-laki! Jangan berusaha menyembunyikan sesuatu 

Sabai!” 

“Hantu Balak Anam. Selama ini kita memang kurang dekat tapi ada pertalian 

persahabatan antara kita. Jika kau bicara yang bukan-bukan apa lagi berani kurang ajar, aku 

akan menambahkan sepuluh lubang di sekujur tubuhmu!” 

Hantu Balak Anam tertawa bergelak. 

Iblis Pemalu sejak tadi sudah gatal mulut hendak bicara. Tapi Sabai Nan Rancak 

memberi isyarat agar dia diam saja hingga tidak membuat suasana bertambah keruh. 

“Kalau kau tidak ada pertanyaan lain, kami akan meneruskan perjalanan!” 

Hantu Balak Anam lambaikan tangannya. “Satu ha! harus kau ingat baik-baik Sabai. 

Jika di kemudian hari ketahuan kau memang punya hubungan tertentu dengan Sutan Alam, 

aku akan kembali menemuimu. Pada saat itulah aku terpaksa membunuhmu!” 

“Ajal datangnya memang tidak terduga Hantu Balak Anam. Akan kita lihat siapa 

yang duluan mati di antara kita!” jawab Sabai Nan Rancak seraya lontarkan seringai dingin. 

Hantu Balak Anam celupkan dayungnya ke dalam air. Perahu kecilnya berputar lalu 

melesat ke arah timur. 

“Manusia memalukan! Siapa dia Nek?” bertanya Iblis Pemalu. 

“Seorang tokoh di daratan Andalas. Dulu sikapnya baik-baik saja. Kini seperti ada 

yang menyengatnya.” 

“Lalu siapa pula Sutan Alam Rajo Di Bumi yang disebutnya tadi? Manusia 

memalukan juga?” 

Sabai tersenyum. “Sutan Alam seorang tokoh sahabat segala tokoh golongan putih 

rimba persilatan pulau Andalas. Ada lagi yang hendak kau tanyakan Iblis Pemalu?” 

iblis Pemalu menatap si nenek dari celah-celah jari tangannya. “Nek, kini kau sudah 

memiliki dua senjata dahsyat. Kau akan jadi seorang tokoh besar. Kau tidak akan pernah 

merasa malu lagi. Tidak sembarang orang sanggup menghadapimu. Tentunya kini kau 

bersemangat mencari Tua Gila, musuh besarmu itu.” 

“Aku memang telah memiliki dua senjata hebat. Tapi tugasku jadi tambah berat...” 

jawab Sabai Nan Rancak. 

“Eh, mengapa kau bicara memalukan seperti itu? Bukankah berarti kau akan lebih 

mudah menghabisi kakek itu? Memalukan) Kau berkata tugasmu jadi berat. Memangnya 

ada yang menugaskanmu melakukan semua itu?! Jangan mau jadi orang suruhan Nek. 

Jangan sampai dirimu dibuat malu!” 

Sabai Nan Rancak terdiam. Kemudian dia tampak tersenyum. 

“Kalau tugasmu memang berat agar tidak memalukan apakah menurutmu aku bisa 

menolong “Apa yang jadi tugasku adalah urusanku sendiri. Terima kasih kau mau membantu. 

Tapi kurasa aku bisa melakukannya sendiri.” 

“Ah, bagaimana ini Nek. Aku jadi malu mendengarnya. Tadi kau bilang tugasmu jadi 

berat. Mau ditolong kau menolak malu. Apa sebenarnya tugas beratmu itu Nek?” 

“Aku harus membunuh Tua Gila....” 

“Itu aku sudah tahu. Kau tidak malu mengatakan aku tidak malu mendengarkan! 

Apa tugas lainnya yang kau katakan sebagai tambah berat itu?” 

Sabai Nan Rancak tak segera menjawab. Dia merasa bimbang memberi tahu. Namun 

setelah berpikir tak ada salahnya memberi tahu maka dia pun berkata. “Selain Tua Gila aku 

juga harus membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dan Sinto Gendeng.” 

Sepasang mata Iblis Pemalu memancarkan kilatan aneh mendengar keterangan si 

nenek. Tapi kemudian dia tertawa cekikikan. “Benar kataku tadi Nek. Hidup dan kehidupan 

manusia tidak lebih dari sebuah, takdir! Kebanyakan merupakah takdir memalukan. Hik... 

hik... hik. Aku sendiri merasa malu karena tidak tahu bagaimana cara matiku kelak! Mati 

karena sakit atau mati dibunuh orang! Aku malu! Hik... hik... hik! Tapi Nek, bagaimana 

kalau Datuk Tinggi mengejarmu?” 

“Dia akan mati dengan senjata miliknya sendiri yang diberikan padaku!” jawab Sabai. 

“Ah, memalukan! Senjata makan tuan!” 

“Aku ingin bertanya, apakah Wiro Sableng dan Sinto Gendeng itu sahabatmu?” Sabai 

ajukan pertanyaan sambi! menatap tajam pada Iblis Pemalu. 

“Uhhhh! Memalukan! Aku sudah bilang aku tidak punya musuh di dunia ini. Malah 

yang namanya Sinto gendeng aku belum pernah melihat ujudnya! Memalukan sekali!” 

“Apa yang aku katakan padamu ini adalah rahasia kita berdua. Jika sampai bocor, 

terpaksa aku membuat kepalamu menjadi bocor!” 

“Kepala bocor! Aduh malunya!” kata Iblis Pemalu. Lalu dia kembali duduk 

mencangkung di lantai perahu. Seperti tadi kepalanya yang ditutup tangan kini 

ditempelkannya di atas ke dua pahanya. 

“Kita harus segera melanjutkan perjalanan menuju daratan besar pulau Andalas,” 

kata Sabai Nan Rancak. 

“Ya... ya! Memalukan kalau kita sampai kemalaman di tengah laut!” jawab Iblis 

Pemalu. 

Sabai Nan Rancak ambil dua buah kayu pendayung. Begitu dia mengayuh perahu itu 

seolah melesat, meluncur pesat di atas permukaan air laut. 

* *


TAMAT 


Penulis : Bastian Tito

Created : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Episode berikutnya : 


UTUSAN DARI AKHIRAT 


Hak cipta dan copyright milik Alm. Bastian Tito 

Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia 

Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek dibawah nomor 004245 

“Mengenang Alm. Bastian Tito” 

Pengarang Wiro Sableng 

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive