SATU
Sepasang mata Sika Sure Jelantik bergerak liar menatap tajam ke arah kegelapan di
Sekeliling gubuk di mana dia berada. Pendekar 212 Wiro Sableng terbujur di tanah
Dalam keadaan kaku karena ditotok oleh si nenek.
Aneh, jelas barusan aku mendengar suara orang! Juga suara tawa keparatnya! Tapi
mana bangsatnya?!” Sika Sure Jelantik memaki dalam hati. Ke dua matanya terus meliar
coba menembus kegelapan. Tetap saja dia tidak melihat apa-apa. “Jangan-jangan suara
angin menipu pendengaranku!” Lalu perempuan tua ini kembali palingkan wajahnya ke
arah murid Sinto Gendeng. Dia memandang berkeliling sekali lagi lalu dengan cepat
ulurkan ke dua tangannya untuk menanggalkan jubah sakti Kencono Geni yang dikenakan
Wiro.
Saat itulah kembali dari dalam gelap terdengar suara tertawa cekikikan. “Hik... hik!
Nenek tak tahu diri! Kau masih mau meneruskan maksudmu membugili pemuda itu?! Hik...
hik!”
Sika Sure Jelantik pukulkan tangan kanannya ke tanah hingga tanah itu membentuk
lobang dan salah satu tiang gubuk bergoyang keras lalu jatuh ke tanah. Dengan marah si
nenek membentak.
“Manusia atau setan sekalipun! Kenapa sembunyikan diri di dalam gelap! Unjukkan
tampangmu!”
“Sika, tinggalkan pemuda itu. Kau tak bakal dapat apa-apa darinya!” Orang di dalam
gelap menjawab ucapan si nenek.
“Hemmm... Kau tahu namaku! Berarti kau seorang yang aku kenal! Jangan terlalu
pengecut memperlihatkan diri!”
“Jika itu maumu, apa susahnya! Tapi jangan kecewa karena kau tak bakalan bisa
melihat wajahku!” jawab suara dalam gelap. Lalu terlihat satu bayangan hitam berkelebat
disertai suara siuran angin. Tahu-tahu di depan gubuk yang kini atapnya miring karena
salah satu tiangnya roboh, duduk menjelepok di tanah seorang berpakaian serba hitam.
Seperti dikatakannya tadi si nenek tak bakal melihat wajahnya. Karena orang ini duduk
sambil menutup mukanya dengan ke dua tangan. Meski Sika Sure Jelantik memang tidak
dapat melihat wajah orang itu namun dia sudah mengetahui siapa dia adanya.
“Iblis Pemalu! Permainan konyol apa yang sedang kau lakukan saat ini?! Ucapan-
ucapanmu tadi benar-benar membuatku marah! Kalau bukan kau orangnya saat ini pasti
kau sudah kubunuh!”
“Nenek Sika, aku malu! Justru aku yang harus bertanya. Permainan konyol apa yang
hendak kau perbuat terhadap pemuda itu!”
“Apa urusanku tak perlu kau banyak cingcong! Kau menunjukkan sikap aneh.
Bukankah kita sebelumnya datang dalam satu rombongan bersama dua teman lainnya?
Mana Pengiring Mayat Muka Hijau dan Datuk Gadang Mentari?!”
Sambil terus menutupi wajahnya dibalik dua tangan, Iblis Pemalu menjawab. “Aku
malu tak dapat mengatakan dimana adanya Pengiring Mayat Muka Hijau. Tapi si Datuk
Gadang Mentari sudah mati menemui ajal! Memalukan sekali datang jauh-jauh dari tanah
seberang hanya mencari mati di tanah Jawa! Bukankah kau sendiri menyaksikan
kematiannya di lembah batu itu?”“Jadi gadis bernama Anggini, murid tua Gila itu benar-benar membunuh sahabat kita
Datuk Gadang Mentari....”
“Huss...! Jangan berkata yang memalukan! Tua bangka itu bukan sahabatku. Aku
berada bersama rombongannya hanya ikut-ikutan saja!”
“Rupanya kau bukan cuma seorang pemalu. Tapi juga pengkhianat. Teman dibunuh
orang kau biarkan saja!”
“Datuk Gadang Mentari bukan temanku! Kau juga bukan temanku! Aku malu
berteman dengan kalian!”
Wiro Sableng yang sejak tadi mendengar percakapan ke dua orang itu diam-diam
merasa aneh melihat perubahan sikap orang berjuluk Iblis Pemalu itu. Untuk menyelidik
tentu saja tidak mungkin. Tahu kalau kini Iblis Pemalu tidak lagi sehaluan dengan si nenek
maka murid Sinto Gendeng ini lantas tertawa bergelak.
“Nenek jelek! Kau dengar orang tak mau berteman denganmu! Aku saja yang orang
lain merasa malu! Apa kau tidak merasa malu?!”
“Tutup mulutmu! Jangan ikut campur urusanku!” bentak Sika Sure Jelantik marah
sekali hingga sekujur tubuhnya bergetar. Dia berpaling pada Iblis Pemalu yang saat itu
tertawa cekikikan mendengar ucapan Wiro.
“Mana dia merasa malu!” ujar Iblis Pemalu.
“Nenek tua ini tidak punya kemaluan! Astaga! Maksudku tidak punya rasa malu!
Hik... hik... hik!”
“Aku tidak merasa rugi tidak menjadi sahabatmu! Kalau kau tidak berteman
denganku, harap lekas angkat kaki dari sini! Jangan membuat aku muak!” Membentak Sika
Sure Jelantik pada Iblis Pemalu dengan mata dipelototkan.
“Ah, diriku bisa membuatmu jadi muak! Memalukan sekali! Kalau kau memang
muak melihatku, sebelum kau muntah apa salahnya kau saja yang minggat dari sini?! Atau
mungkin itu kau anggap sesuatu yang memalukan?!”
Semakin marah Sika Sure Jelantik mendengar kata-kata Iblis Pemalu itu. Namun dia
masih bisa menimbang. Kalau memperturutkan kemarahannya mau saat itu dia
menghantam dan membunuh Iblis Pemalu dengan pukulan Kuku Kilat Akhirat. Namun
dari pada mencari perkara lebih baik mengalah dan membawa Wiro Sableng dari tempat itu.
Maka tanpa banyak bicara dia segera membungkuk, siap memanggul tubuh Pendekar 212.
Tapi di sampingnya Iblis Pemalu terdengar berkata.
“Aku memintamu pergi seorang diri! Tidak membawa serta pemuda itu! Jangan
melakukan hal yang memalukan nenek Sika!”
“Iblis Pemalu, harap kau jangan keliwat menekan! Pemuda ini milikku! Aku boleh
membawanya kemana saja! Aku boleh melakukan apa saja terhadapnya!”
“Memalukan sekali! Mana ada aturan seperti itu?!” ujar Iblis Pemalu dengan dua
tangan masih terus dipergunakan menutupi, wajahnya.
Sika Sure Jelantik angkat kepalanya ke atas lalu keluarkan tawa panjang. “Sekalipun
kau raja di raja rimba persilatan, jangan mengira kau bisa mengatur diriku! Jangan kau
berani bergerak di tempatmu! Atau kau akan mampus percuma!”
Tanpa mengacuhkan Iblis Pemalu si nenek Sika Sure Jelantik dengan gerakan cepat
menarik salah satu tangan Wiro hingga sosok murid Sinto Gendeng ini melayang ke atas
dan “bluk!” Tahu-tahu sudah berada di atas bahu kirinya.Iblis Pemalu ternyata tak tinggal diam. Sebelum Sika Sure Jelantik berkelebat pergi
melarikan Wiro dia sudah berkelebat dan tegak menghadang jalan si nenek.
“Kau benar-benar mencari mampus!” hardik Sika Sure Jelantik. Tangan kirinya
dihantamkan ke arah. Iblis Pemalu. Lima larik sinar sangat hitam menggebubu dalam
gelapnya malam.
“Memalukan!” terdengar seman Iblis Pemalu.
“Memalukan!” ikut berteriak murid Sinto Gendeng. Dia sengaja memanasi si nenek.
Lima larik sinar maut terus mencuat dari lima kuku jari Sika Sure Jelantik.
“Mampus!” teriak si nenek sambil menyeringai ketika melihat bagaimana lima sinar
mautnya hanya tinggal sejengkal lagi dari tubuh yang jadi sasaran!
Tapi laksana gaib ditelan bumi sosok Iblis Pemalu mendadak sontak lenyap dari
pemandangan. Lima larik sinar hitam pukulan sakti Kilat Kuku Akhirat mendarat pada
sebuah batu besar di depan serumpunan semak belukar. Batu dan semak belukar sama-sama
mencelat berhamburan hancur beran
takan!
“Kurang ajar! Bagaimana mungkin dia bisa lolos dari pukulan saktiku!” ujar Sika Sure
Jelantik dan cepat memutar tubuh memandang berkeliling.
“Nenek Sika, kau letakkan saja pemuda itu di tanah lalu pergi dari sini. Bukankah itu
lebih baik bagimu dari pada berbuat lain yang bisa memberimu malu besar?!”
Si nenek cepat putar tubuhnya ke kiri. Dilihatnya Iblis Pemalu tegak di atas atap
gubuk yang hampir rubuh. Tangan kiri berkacak pinggang sedang tangan kanan menutupi
wajah.
“Kalau kau memang inginkan pemuda ini, mengapa kau tidak berani merampasnya
dari tanganku? Pengecut memalukan!” Sika Sure Jelantik mengejek seraya keluarkan suara
mendengus dari hidung dan mulutnya.
Iblis Pemalu, tertawa mengekeh seraya usap-usap wajahnya dengan tangan kanan.
“Aku sudah memberi kesempatan padamu. Tapi kau tidak mau mempergunakan!
Sungguh memalukan! Jika kau inginkan aku merampas pemuda itu dari tanganmu lihat saja
bagaimana jadinya!”
Habis berkata begitu tubuh Iblis Pemalu lenyap dari atas atap.
“Wutttt!”
Sika Sure Jelantik berseru kaget ketika tiba-tiba ada sambaran angin di samping
kanan. Lalu ada satu tangan hendak mencengkeram tengkuk pemuda yang ada di
panggulannya. Si nenek cepat membungkuk seraya hantamkan siku kanannya. Serangannya
meleset. Tiba-tiba si nenek membuat gerakan berputar. Dengan mengandalkan kaki kirinya
sebagai tumpuan Sika Sure Jelantik berputar dalam gerakan setengah lingkaran. Kaki
kanannya menendang dan “bukk!”
Sosok Iblis Pemalu yang tadi ada di belakangnya mencelat kena hantaman kaki
kirinya.
“Memalukan!” Iblis Pemalu berseru sambil menahan sakit. Tangan kiri memegang
perutnya yang kena tendang sedang tangan kanan tetap menutupi wajahnya. Selagi dia
berusaha mengimbangi diri Sika Sure Jelantik tak mau memberi kesempatan. Tangan
kanannya dipukulkan. Lima larik Kilat Kuku Akhirat menyambar ke arah Iblis Pemalu.
“Tamatlah riwayatmu sekarang manusia sinting geblek!” teriak Sika Sure Jelantik
dengan mata berkilat-kilat dan mulut sunggingkan senyum mau
Di depan sana Iblis Pemalu tiba-tiba memutar tubuhnya. Dalam keadaan
membelakangi lawan ke dua tangannya dipukulkan ke belakang.
“Wusss!”
“Wusss!”
Dalam gelap kelihatan dua larik cahaya putih bergulung-gulung membentuk dua
lingkaran aneh. Sika Sure Jelantik berseru kaget ketika melihat lima larik sinar sakti pukulan
Kilat Kuku Akhiratnya masuk ke dalam dua lingkaran cahaya putih, ikut tergulung lalu dua
lingkaran putih bersama lima larik sinar hitam berbalik menghantam ke arahnya!
Dalam keadaan seperti itu Sika Sure Jelantik masih mampu berpikir cepat. Bukan dia
saja yang harus menyelamatkan diri dari hantaman maut itu tapi Pendekar 212 Wiro Sableng
juga harus diselamatkan. Kalau sampai pemuda itu menemui ajal tambah sulit baginya
untuk mencari tahu di mana beradanya musuh besarnya si Tua Gila itu!
Maka si nenek pun melakukan satu hal yang hebat!
*
* *
DUA
Sika Sure Jelantik lemparkan tubuh Pendekar 212 ke atas. “Hekkk!” Suara seperti orang
muntah melesat keluar dari tenggorokan murid Sinto Gendeng ini begitu tubuhnya
yang dilemparkan ke atas jatuh membelintang di atas cabang pohon.
“Tua bangka sialan!” maki Wiro. “Untung tubuhku nyangsrang di sini! Kalau amblas
ke tanah pasti nyawaku tidak ketolongan!” Wiro memandang ke bawah. Cabang pohon
dimana tubuhnya terbelintang tanpa bisa bergerak berada sejarak lebih empat tombak dari
tanah! Rasa gamang dan ngeri karena khawatir akan jatuh sementara dirinya masih berada
dalam keadaan tertotok membuat murid Sinto Gendeng ini seperti mau membuang hajat
besar. “Nenek jelek! Turunkan aku dari atas pohon.”
Sika Sure Jelantik mana perdulikan teriakan Wiro. Begitu bahunya lepas dari beban
sosok tubuh Wiro si nenek lesatkan dirinya ke atas. Gulungan cahaya putih dan sinar
pukulan Kilat Kuku Akhirat lewat hanya setengah jengkal di bawah kakinya. Bagian bawah
jubahnya terasa panas. Ketika dia meneliti ternyata ujung jubahnya telah berubah menjadi
abu! Diam-diam tengkuk si nenek menjadi dingin, “iblis Pemalu. Aku mengenalnya baru
satu minggu! Siapa makhluk aneh tapi dahsyat ini sebenarnya? Aku tak pernah melihat
wajahnya. Tadi waktu melepaskan pukulan berbentuk dua gulungan sinar putih dia.
pergunakan ke dua tangannya. Tapi dia sengaja membelakang hingga tampangnya tetap
tidak kelihatan! Tanah Jawa benar-benar sarat dengan manusia berkepandaian tinggi!”
“Memalukan! Bagaimana mungkin seranganku tidak mengenai sasaran!” Iblis
Pemalu mengomel. Saat itu dari atas dilihatnya Sika Sure Jelantik melayang turun. Sepasang
kaki si nenek menghunjam ke arah kepalanya. Iblis Pemalu tak tinggal diam. Dua tangan
menutup wajah. Dua kaki dihentakkan ke tanah. “Settt!” Tubuhnya lenyap. Tahu-tahu
sudah berada di udara, membuat si nenek terkejut sekali karena lawan berada demikian
dekat dengannya dan “wutt... wutt!” Dua kaki Iblis Pemalu menerjang ke depan. Dalam
keadaan seperti itu tak ada jalan lain bagi Sika Sure Jelantik selain balas menghantam
dengan ke dua kakinya pula.
Maka terjadilah perkelahian saling tendang di udara. Suara beradunya kaki terdengar
tiada henti dan baru lenyap ketika Sika Sure Jelantik tampak limbung lalu jatuh terkapar di
tanah tak kuasa bangkit kembali. Dia berusaha mengatupkan mulut rapat-rapat namun tak
urung suara erangannya terdengar juga.
Iblis Pemalu melayang turun ke tanah. Untuk beberapa lamanya dia tampak tegak
terbungkuk-bungkuk. “Memalukan.... Memalukan....” Kata-kata itu keluar dari mulutnya
berulang kali. Kedua tangan menutupi wajah. Sepasang matanya memperhatikan Sika Sure
Jelantik lewat celah-celah jarinya.
“Aku meminta pemuda itu secara baik-baik. Kau bersikap keras kepala. Memalukan!
Sekarang lihat apa akibatnya! Berdiri pun kau tak sanggup! Dan aku sendiri! Huh! Rasanya
mau putus kaki ini!”
Di atas pohon Wiro berteriak. “Sobatku iblis Pemalu! Jangan mengoceh saja! Tolong
turunkan aku!”
Iblis Pemalu memandang ke atas pohon yang gelap. Lalu tertawa cekikikan. Dengan
muka ditutupi ke dua tangannya dia balas berteriak. “Aku malu melihatmu di atas pohon
sana! Memang tak ada tempat lain yang lebih baik bagimu! Hik... hik.. hik!”“Jangan bergurau! Turunkan aku dari atas pohon keparat ini!”
“Memalukan! Kau memerintah menurunkanmu! Apa aku yang meletakkanmu di atas
cabang pohon?!”
“Jangan ngaco! Memang bukan kaul Tapi apa salahnya kau segera menolong diriku!”
jawab Wiro yang jadi sangat jengkel.
“Nenek jelek itu yang melempar kau ke atas pohon. Dia memang tak punya malu!
Minta padanya agar menurunkan kau sekarang juga!”
Sika Sure Jelantik yang tergeletak di tanah menyeringai menahan sakit. “Iblis Pemalu
keparat! Kau meminta aku menurunkan pemuda gendeng itu! Baik! Kau saksikan sendiri
bagaimana caraku menurunkannya!” Habis berkata begitu si nenek hantamkan tangan
kanannya ke atas. Lima larik sinar pukulan Kilat Kuku Akhirat menderu ke arah Wiro.
“Tobat! Tamat riwayatku!” teriak Wiro dengan mata melotot. “Iblis Pemalu! Lakukan
sesuatu!”
Tapi Iblis Pemalu cuma tutup mukanya rapat-rapat dan gelengkan kepala.
“Setan alas! Nyawaku benar-benar tidak bisa tertolong!” keluh Pendekar 212.
“Wuttt!”
Sesaat lagi Wiro akan menemui ajal ditembus lima larik sinar maut tiba-tiba sebuah
benda putih halus melesat di kegelapan malam tanpa suara sedikitpun. Wiro merasakan ada
sesuatu yang mengikat ke dua pergelangan kakinya. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya terasa
laksana dibetot dan berputar di udara. Di sampingnya cabang pohon tempat dia tadi
terjuntai melintang hancur berantakan dihantam sinar Kilat Kuku Akhirat.
“Apa yang terjadi dengan diriku?!” ujar Wiro. Tubuhnya berputar di udara laksana
terbang. Perlahan-lahan tubuh itu melayang ke bawah, makin ke bawah dan akhirnya
“bukk!” Wiro terbanting keras menelungkup. Bukan di tanah. Tapi di atas sosok tubuh Sika
Sure Jelantik! Kakinya saling bertumpuk dengan kaki si nenek. Perut dan dadanya
berbenturan keras dengan perut dan dada Sika Sure Jelantik. Bahkan mulutnya pun saling
bertempelan dengan mulut si nenek hingga keduanya seolah sedang berciuman mesra!
Sika Sure Jelantik memaki panjang pendek. Wiro keluarkan suara seperti mau
muntah dan meludah berulang kali. “Sialan! Ludahnya masuk ke dalam mulutku!” rutuk
murid Sinto Gendeng.
Dalam kegelapan terdengar suara orang tertawa terkekeh-kekeh! Si nenek
menggereng marah. Wiro pasang telinga baik-baik. Saat itu tubuhnya yang tak mampu
bergerak akibat totokan masih tertelentang menelungkup di atas badan si nenek.
“Aku rasa-rasa mengenali suara tawa itu. Jangan-jangan... Ah, apa benar dia?”
“Jahanam! Berani kau mencium mulutku!” Sika Sure Jelantik berteriak marah.
Tangannya kiri kanan dipukulkan ke arah batok kepala Wiro. Ini merupakan satu serangan
mengepruk yang dapat memecahkan kepala murid Sinto Gendeng itu.
Wiro yang seolah tidak sadar bahaya maut mengancamnya balas berteriak. “Siapa
suka mencium nenek bau macammu!”
Sesaat lagi dua tangan si nenek akan menghancurkan kepalanya tiba-tiba Wiro
merasa benda aneh yang menjirat dua pergelangan kakinya disentakkan. Tubuhnya yang
masih tertelungkup di atas tubuh si nenek terbetot ke kiri lalu terguling di tanah. Hal ini
menyelamatkannya dari serangan maut Sika Sure Jelantik. Saat itu pula sebuah benda halus
panjang melayang di sampingnya. Ujung benda ini laksana seekor ular mematuk ke arah
jalan darah di pangkal leher Wiro. Serta meria saat itu juga totokan yang menguasai dirinya buyar! Mulutnya langsung membuka. Dia menguap lebar-lebar. Sepasang matanya meredup
seperti mengantuk. Ulahnya ini tidak lain akibat pengaruh ilmu tidur yang diberikan Si Raja
Penidur padanya tempo hari. Sesaat kemudian setelah menyadari dirinya bebas dari totokan
Wiro cepat gulingkan diri mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi diambil dan
diletakkan Sika Sure Jelantik di tanah. Baru saja senjata ini disimpannya di balik pakaian
tiba-tiba Sika Sure Jelantik berseru keras.
“Aku mencium bau badanmu!!” Nenek yang cidera ke dua kakinya ini mencoba
bangkit berdiri tapi tidak bisa. Seperti gila dia berteriak. “Sukat Tandika! Jangan
bersembunyi! Lekas unjukkan diri menerima kematian!” Si nenek gerak-gerakkan tangan
kanannya ke berbagai arah, Siap menghantam dengan pukulan sakti paling hebat yang
dimilikinya yakni Jalur Hitam Bara Dendam. Ini merupakan pendalaman dari ilmu Kilat
Kuku Akhirat yang memang direncanakannya untuk dipergunakan membunuh Tua Gila.
Tangan kiri si nenek bersitekan ke tanah untuk menopang tubuhnya. Sepasang matanya
jelalatan menembus kegelapan malam. Tiba-tiba ada sambaran angin di belakangnya. Si
nenek membalik, siap menghantam dengan pukulan sakti Kilat Kuku Akhirat. Tapi
terlambat. Satu totokan bersarang di punggungnya. Langsung saat itu sekujur tubuhnya
menjadi kaku tegang dalam keadaan seperti merangkak.
“Jahanam I Siapa berlaku pengecut menotok dari belakang!” teriak Sika Sure Jelantik.
“Aku malu melakukannya/Tapi apa boleh buat! Nenek liar sepertimu harus dibuat
jinak! Hik... hik... hik!”
“Iblis Pemalu keparat!” rutuk si nenek.
Iblis Pemalu melangkah mendekati Pendekar 212. “Tadi dia menotokmu dan hendak
menelanjangimu! Aku barusan telah menotoknya. Dia tak bisa bergerak lagi! Apa kau mau
membalas menelanjanginya?! Hik... hik... hik!”
“Apa enaknya melihat tubuh tua keriput seperti yang dimilikinya! Memalukan saja!”
jawab Wiro menimpali ejekan iblis Pemalu walau sebenarnya dia masih jengkel pada orang
ini karena tadi tidak menolongnya turun dari cabang pohon.
Iblis Pemalu tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Wiro.
“Dua manusia gila! Aku bersumpah akan membunuh kalian!” teriak Sika Sure
Jelantik.
“Aku mau pergi dari sini. Malu lama-lama berada di tempat ini. Kau mau kemana?
Mau pergi sama-sama denganku asal kau tidak malu saja?!” tanya Iblis Pemalu pada Wiro.
“Aku, hemm.... Biar aku di sini dulu menemani nenek-nenek ini. Kasihan kalau dia
sampai mati kedinginan di tempat ini....”
“Terserah padamu. Tapi awas, jangan kau gerayangi tubuh tua bangka itu. Jangan
melakukan sesuatu yang membuat malu aku malu sebagai temanmu! Aku pergi sekarang,”
kata Iblis Pemalu.
“Tunggul Jangan pergi dulu! Ada yang ingin kubicarakan denganmu!” kata Wiro
pula. Lalu tanpa menunggu jawaban orang dia memandang berkeliling. Dia tahu siapa yang
barusan menolongnya. Maka diapun berseru. “Kakek Tua Gila, mengapa masih
bersembunyi?!”
Sika Sure Jelantik yang diam-diam juga sudah memastikan bahwa Tua Gila bekas
kekasihnya yang kini menjadi manusia paling dibencinya di atas dunia ini berada di tempat
itu, serta merta salurkan tenaga dalam ke tangan kanan menyiapkan serangan maut Jalur
Hitam Bara Dendam. Lima kukunya yang panjang mengeluarkan sinar hitam angker dan sepertinya ada asap tipis keluar dari tangannya. Matanya memandang liar berkilat. Begitu
Tua Gila muncul dari dalam kegelapan langsung akan dihantamnya dengan pukulan sakti
itu. Tapi dia lupa bahwa saat itu sekujur tubuhnya berada dalam keadaan tertotok. Walau
secara luar biasa dia masih sanggup menyalurkan tenaga dalam dan menyiapkan pukulan
Jalur Hitam Bara Dendam namun dia tidak mampu menggerakkan apa lagi mengangkat
tangan kanannya itu untuk menyerang.
Di dalam gelap terdengar suara orang batuk-batuk beberapa kali. Lalu berkelebat
muncul satu bayangan. Tapi orang ini ternyata bukan Sukat Tandika alias Tua Gila!
*
* *
TIGA
Sika Sure Jelantik menyumpah habis-habisan ketika dia menyadari kalau tak mampu
menggerakkan tangan kanan untuk melepas pukulan Jalur Hitam Bara Dendam.
Dalam keadaan seperti itu dia merasa agak lega sedikit walau sepasang matanya
membeliak berkilat. Yang muncul di tempat itu bukanlah Sukat Tandika alias Tua Gila
kekasihnya di masa muda.
Iblis Pemalu yang belum sempat meninggalkan tempat itu memandangi orang yang
datang lewat sela-sela jari ke dua tangannya yang dipergunakan menutupi wajah.
Wiro garuk-garuk kepala, memandang tak berkesip dan bertanya-tanya siapa adanya
orang yang berdiri di bawah bayangan gelap pohon besar di sampingnya.
“Aku memang tidak kenal pada perempuan tua ini. Tak pernah melihatnya
sebelumnya. Tapi mengapa wajahnya mengingatkan aku pada seseorang...?” Murid Sinto
Gendeng membatin.
Orang yang muncul di tempat itu adalah perempuan tua berjubah hitam. Dia
mengenakan sebentuk topi menyerupai tanduk kerbau, terbuat dari kain berbenang perak.
Di bawah topi rambutnya yang putih panjang menjela punggung dan dada. Walau
wajahnya keriputan dimakan usia namun masih ada bayangan kecantikan yang dimilikinya
di masa muda. Nenek ini bukan lain adalah Sabai Nan Rancak, salah seorang tokoh silat
penguasa Gunung Singgalang yang seperti telah dituturkan dalam Episode sebelumnya
(Asmara Darah Tua Gila) menyeberang dari Andalas ke tanah Jawa dalam mencari musuh
besarnya yaitu Tua Gila.
“Kau siapa?!” membentak Sika Sure Jelantik.
“Ya, kau siapa?!” Wiro ikut-ikutan bertanya.
Iblis Pemalu tetap berdiri memandang dengan muka ditutup.
Nenek berjubah hitam menyeringai. Kepalanya digoyangkan hingga rambutnya yang
putih panjang tersingkap ke belakang. Walau wajahnya kini kelihatan menyeluruh namun
baik Sika Sure Jelantik maupun Wiro tetap saja tidak mengenali siapa adanya nenek satu ini.
“Nenek yang terkapar di tanah!” Sabai Nan Rancak berkata dengan nada sinis. Dia
menatap ke arah Sika Sure Jelantik, sama sekali tidak perdulikan Pendekar 212. “Kau tidak
kenal diriku. Tapi aku kenai kau siapa adanya. Bukankah kau yang bernama Sika Sure
Jelantik? Nenek culas yang pernah menyamar jadi dukun sakti di suatu pulau?! Yang datang
ke tanah Jawa ini untuk mencari seorang kakek bernama Sukat Tandika alias Tua Gila alias
Iblis Gila Pencabut Jiwa alias Pendekar Gila Patah Hati?!”
Berubahlah paras angker Sika Sure Jelantik. “Setan tua ini tahu banyak tentang diriku!
Aku sama sekali tidak mengenali siapa dia adanya! Sial keparat!”
“Nenek, kau mengenali tua bangka satu ini, kau sendiri siapa?!” Wiro beranikan diri
ajukan pertanyaan.
“Tutup mulutmu! Aku bicara dengan dia! Dan
9 JAGAL IBLIS MAKAM SETAN
aku belum mendapat jawaban! Pada gilirannya aku akan bicara denganmu!” sentak
Sabai Nan Rancak.
“Aduh galaknya si muka keriput ini!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala Walau dalam keadaan Cidera ke dua kaki dan tak berdaya karena tertotok Sika Sure
Jelantik tetap saja galak. Dia menjawab dengan lantang.
“Tua bangka rongsokan! Rupanya namaku demikian terkenalnya hingga kau tahu
siapa diriku! Dan tentang dirimu yang sudah lapuk dimakan rayap usia, apa perduliku
untuk mau tahu!”
Sabai Nan Rancak mendongak lalu tertawa panjang.
“Bicaramu memang hebat! Tapi aku tahu jiwamu tergoncang besar! Aku merasa tidak
ada gunanya bicara lebih panjang denganmu!” Sabai Nah Rancak berpaling pada Wiro
Sableng. “Aku juga kenal siapa dirimu anak muda! Jangan kau berani beranjak dari
tempatmu sebelum aku mendapat keterangan!”
“Malam begini gelap tak ada bulan tak ada bintang. Penerangan apa yang bisa aku
berikan padamu?!” ujar Wiro seenaknya sambil senyum-senyum.
“Orang yang mau mampus bicaranya memang sering tidak karuan!” balas Sabai Nan
Rancak.
Murid Sinto Gendeng jadi terkesiap mendengar ucapan orang tapi tetap saja tak mau
kalah. “Nek, kau rupanya manusia hebat luar biasa. Sampai-sampai tahu kalau ada yang
akan mati. Kalau dibanding usiamu dengan usiaku, bukankah kau yang lebih bau tanah
alias dekat liang kubur?!”
“Sobatku! Kau betul! Memalukan saja si tua bangka ini bicaranya!” Iblis Pemalu
berteriak lalu tertawa gelak-gelak.
“Hemmm... Ada satu lagi orang gila rupanya di tempat ini!” kata Sabai Nan Rancak
tak mau kalah mengejek. “Heran, kenapa orang-orang gila selalu memilih mati berkawan-
kawan daripada sendiri-sendiri! Hik... hik... hik!”
Di balik ke dua tangannya wajah Iblis Pemalu tampak mengerenyit menahan tawa
sedangkan Wiro kelihatan tegak melongo dan garuk-garuk kepala.
“Kau!” tiba-tiba Iblis Pemalu gerakkan tangan kirinya dan menuding tepat-tepat
kepada Sabai Nan Rancak. “Kau datang laksana munculnya hantu malam. Memalukan! Kau
tahu banyak tentang orang lain tapi tidak mau memberi tahu siapa diri sendiri! Memalukan!
Biaraku beritahu pada orang-orang di sini siapa kau adanya!”
Sabai Nan Rancak sesaat jadi tercekat tapi dia diam tak bergerak dan tak membuka
mulut walau dalam hati dia berusaha menduga-duga siapa adanya manusia aneh yang
terus-terusan menutupi wajahnya dengan tangan. “Kau tidak beda dengan nenek tua
bernama Sika Sure Jelantik itu! Kau datang jauh-jauh dari seberang bukankah punya
maksud sama dengan dia?!”
Berdebar dada Sabai Nan Rancak mendengar kata-kata Iblis Pemalu itu.
“Manusia aneh bermulut panjang! Apa maksudmu!” hardik Sabai Nan Rancak.
“Kau berkeliaran sampai di sini bukankah karena juga mencari Tua Gila? Orang yang
di masa mudamu menjadi kekasihmu!”
“Jahanam!” teriak Sabai Nan Rancak. Tubuhnya berkelebat. Tangan kirinya lancarkan
satu pukulan keras ke arah dada Iblis Pemalu. Tapi yang diserang bergerak cepat hindarkan
diri dan tahu-tahu sudah tegak empat langkah di samping kanan Sabai Nan Rancak.
“Kau malu rahasiamu aku bongkar? Ha... ha... ha!” Iblis Pemalu tertawa gelak-gelak.
“Sika Sure Jelantik, kalau kau dulu kawin dengan Sukat Tandika, maka nenek satu ini akan
menjadi madumu! Ha... ha... ha...! Benar-benar hidup yang memalukan!”Baik Sika Sure Jelantik maupun Sabai Nan Rancak sama bersemu merah wajah
masing-masing dalam gelap.
“Orang gila! Siapa kau adanya!”
cak menegur. Suaranya tetap keras.
“Siapa aku itulah satu hal memalukan untuk diberi tahu!” jawab Iblis Pemalu pula.
“Tapi aku tidak malu memberi nasihat! Sebaiknya kau yang bernama Sabai Nan Rancak
kembali saja ke pulau Andalas. Tanah Jawa terlalu keras bagimu! Kau tidak akan
mendapatkan keberuntungan!”
“Aku memang tidak mencari untung datang ke sini. Aku mencari nyawa orang!”
jawab Sabai Nan Rancak. Lalu dia berpaling pada Wiro dan berkata. “Aku tahu siapa kau
adanya anak muda! Lekas kau suruh keluar gurumu! Aku tahu dia ada di tempat ini! Tapi
takut memperlihatkan diri!”
“Bukan takut! Mungkin malu!” ujar Iblis Pemalu.
“Jika kau punya kepentingan dengan Tua Gila, harap kau mencari dan
mendapatkannya sendiri!” jawab Wiro.
“Baik! Kalau begitu biar kau kubuat mampus dulu baru si Tua Gila itu mau
menunjukkan diri!”
Habis berkata begitu Sabai Nan Rancak kembangkan telapak tangan kanannya lalu
diangkat dan diarahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Dalam gelap satu sosok yang sejak tadi mendekam tak bergerak diam-diam merasa
cemas. “Dia hendak menghantam anak itu dengan pukulan sakti Kipas Neraka! Celaka!
Jangankan dia, akupun tak sanggup menerima pukulan maut itu!” Lalu orang ini sibakkan
semak belukar di depannya. Dia melompat keluar seraya berteriak.
“Tahan serangan!”
Seorang kakek berpakaian putih kini tegak antara Wiro dan Sabai Nan Rancak.
“Manusia jahanam Sukat Tandika!” Teriak Sika Sure Jelantik. Dia serasa mau terbang
untuk melumat tubuh kakek itu.
“Kakek Tua Gila!” seru Wiro.
“Ha... ha! Jadi ini dia si tua bangka memalukan itu!” Ikut bicara Iblis Pemalu.
Sesaat Sabai Nan Rancak tampak tergoncang. Matanya mendelik memandangi Tua
Gila yang tegak menatap ke arahnya dengan pandangan kosong.
“Waktu di pantai Andalas kau bisa lolos! Waktu kau terluka oleh keris Datuk Angek
Garang kau masih bisa selamat karena ada orang bercadar menolongmu! Di malam yang
gelap ini agaknya tidak manusia tidak juga hantu yang akan menyelamatkan nyawamu!”
Tua Gila hanya berdiam diri mendengar Sabai Nan Rancak. Sepasang matanya masih
terus memandangi tak berkesip walau tampak sayu.
“Manusia dan hantu mungkin tidak akan menolongnya! Tapi Tuhan Yang Kuasa
pasti menolong!” Ujar Pendekar 212.
“Betul sekali! Tuhan memang tidak pernah malu menolong umatNya yang
kesusahan!” menimpali Iblis Pemalu lalu tertawa mengekeh.
“Akan kita lihat apa Tuhanmu memang akan menolong!” ujar Sabai Nan Rancak pula
dengan mata berapi-api. Lalu dua tangannya sekaligus diangkat ke atas.
Tua Gila merasakan tengkuknya dingin. Dia ingat keterangan Putri Andini dulu
bahwa bagaimana pun saktinya dirinya dia tak akan sanggup menghadapi pukulan sakti
Kipas Neraka yang dimiliki Sabai Nan Rancak.“Dia mengangkat dua tangan sekaligus. Berarti hendak menghantamku dengan dua
pukulan Kipas Neraka! Satu saja aku tak sanggup menghadapi, apa lagi sampai dua
hantaman. Aku pasrah menerima kematian!”
Tiba-tiba Iblis Pemalu berseru.
“Orang tua! Jangan tegak diam memalukan! Lakukan sesuatu agar kau tidak mati
penuh penyesalan!”
Tua Gila hanya menyeringai mendengar kata-kata itu. Dia tetap tak bergerak di
tempatnya. “Banyak urusanku yang masih terbengkalai. Tapi maut agaknya datang lebih
cepat! Kematian mungkin satu-satunya jalan yang dapat melepaskan diriku dari segala
beban bathin dan pikiran!”
Sabai Nan Rancak gerakkan ke dua tangannya. Mendadak sontak saat itu juga dua
larik sinar memerah melesat keluar dari telapak tangan Sabai Nan Rancak. Dua sinar lurus
mengerikan ini mengembang seperti kipas. Sekalipun saat itu Tua Gila berusaha
menyelamatkan diri maka keadaannya sudah terlambat sekali. Tak ada lagi ruang Untuk
menyingkir apa lagi menangkis.
“Pukulan Kipas Neraka!” teriak Iblis Pemalu yang mengenali pukulan sakti yang
dilepaskan Sabai Nan Rancak.
“Kek!” teriak Wiro melihat Tua Gila diam saja seolah sengaja memasang badan.
Dengan cepat Pendekar 212 melompat menghadang dua tebaran sinar merah yang panas
luar biasa. Dia yang masih mengenakan jubah Kencono Geni mengandalkan kesaktian jubah
itu untuk melindungi Tua Gila. Namun dia hanya mencari celaka karena bersama-sama
dengan si kakek dia mungkin akan menemui ajal dihantam pukulan Kipas Neraka itu!
“Sobat tolol memalukan! Mengapa mau-mauan mencari mati?!” teriak Iblis Pemalu.
Pada saat yang menegangkah itu tiba-tiba ada bayangan kuning berkelebat. Wiro
terpental ke kiri sedang Tua Gila jatuh terduduk di tanah lalu terguling sampai dua tombak!
*
* *
EMPAT
Orang berpakaian dan bercadar kuning berOrang berpakaian dan bercadar kuning
berlutut di kegelapan malam. Hanya kaki kirinya saja yang bersitekan ke tanah. Dua
tangan di angkat ke depan dengan telapak terkembang. Sepasang mata menatap tak
berkesip ke arah dua larik sinar merah yang
datang menerpa dengan sangat ganas.
Dua tangan bahkan sekujur tubuh orang bercadar kuning ini tampak bergoncang
keras. Pakaiannya serta meria basah oleh keringat. Di kening dan bagian sekitar matanya
muncul butiran-butiran keringat. Ini satu pertanda dia tengah mengerahkah tenaga luar dan
dalam untuk melawan satu kekuatan besar yang hendak menyapunya.
Apa yang terjadi sungguh luar biasa. Dua larik pukulan Kipas Neraka yang melesat
keluar dari dua tangan Sabai Nan Rancak tertahan satu jengkal di depan dua tangan orang
bercadar kuning. Perlahan-lahan tebaran sinar merah yang berbentuk kipas tampak menciut
dan akhirnya kembali ke asalnya yakni bentuk garis lurus. Ketika orang bercadar perlahan-
lahan mendorongkan ke dua tangannya maka dua larik sinar merah ikut terdorong seolah-
olah masuk kembali ke dalam tangan Sabai Nan Rancak.
“Jurus Menghormat Kipas Neraka!” teriak Sabai Nan Rancak dengan paras berubah
dan mundur beberapa langkah. Dia sama sekali tak bisa mempercayai serangan mautnya
tadi bisa dimentahkan begitu saja. “Orang bercadar! Siapa kau! Dari mana kau mempelajari
jurus Menghormat Kipas Neraka tadi?!”
Orang bercadar perlahan-lahan bangkit berdiri. Tua Gila, Wiro dan Iblis Pemalu
terkagum-kagum melihat apa yang barusan terjadi.
“Manusia aneh bercadar kuning! Untuk ke tiga kalinya dia menolongku! Ah....” Tua
Gila goleng-goleng kepala.
Setelah mengusap keningnya yang basah dan mengatur gejolak jalan darahnya, orang
bercadar berkata. Ucapannya seperti orang berpantun.
“Saling hormat pada sesama adalah kewajiban manusia. Di mata Tuhan manusia satu
tidak ada kelebihannya kecuali ketakwaannya/Menjatuhkan hukuman, bersikap pongah
dalam keadilan adalah kesesatan yang menyedihkan. Karena setiap manusia tidak lepas dari
pada kesalahan. Mana ada hidup yang paling enak dari pada mencari tenteram di masa tua.
Masa muda hanyalah kenangan buruk dan indah yang akan punah ditelan usia.”
“Jahanam! Aku bertanya kau menjawab dengan syair keparat!” teriak Sabai Nan
Rancak tak dapat lagi menahan amarahnya.
“Siapa bertanya tak akan sesat di tengah jalan. Siapa berpura bertanya akan sesat di
ujung jalan. Mengapa tidak kembali ke awal jalan?”
Sabai Nan Rancak berteriak keras. Tubuhnya melayang di udara. “Orang gila! Mari
kutunjukkan padamu jalan ke neraka!”
“Wuttt!”
Satu jotosan yang luar biasa cepatnya menderu ke arah kepala orang bercadar kuning.
“Kemarahan pangkal kesesatan. Kesesatan adalah temannya setan. Setan adalah
kehancuran!”
“Bukkk!”
Sabai Nan Rancak terpekik. Tubuhnya mencelat dua tombak dan jatuh terjengkang di
tanah. Ketika dia memeriksa tangan kanannya yang tadi dipergunakan untuk menyerang matanya jadi mendelik. Tangan itu kini berubah menjadi putih karena kulitnya telah
terkelupas hingga tulang-tulangnya kelihatan putih menonjol!
“Kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadapku!” teriak Sabai Nan Rancak. Seperti
kalap, penuh nekad dia kembali menerjang. Saat itulah Tua Gila cepat menghadangnya dan
dengan sikap tenang serta suara lembut kakek ini berkata.
“Sabai, jangan celakakan diri sendiri. Orang itu bukan tandinganmu. Kembalilah ke
Andalas. Janah Jawa bisa menjadi neraka bagimu! Kalau tiba saatnya aku akan menyusul.
Apa pun yang kau harapkan dariku, termasuk nyawaku kelak akan kuserahkan padamu!
Hanya ingat satu hal yang kukatakan tempo hari padamu. Ada seseorang entah kau sadari
atau tidak telah memanfaatkan dirimu melakukan perbuatan-perbuatan aneh....”
“Setan tua jahanam!” teriak Sabai Nan Rancak. “Aku tidak butuh nasihatmu!” Tangan
kiri si nenek berkelebat.
Bukkk!”
Tua Gila tidak menyangka ucapan baiknya akan dibalas dengan satu hantaman ke
arah dadanya. Orang tua ini terpental dua tombak dan tertelentang di tanah muntahkan
darah segar.
“Kek!” seru Wiro seraya memburu. Namun saat itu walau terluka di dalam Tua Gila
masih bisa berdiri. Dia tersenyum pahit. “Aku tak apa-apa...” katanya ketika Wiro
memegangi lengannya.
“Akan kubunuh jahanam itu!” teriak Wiro.
“Sudahlah! Dia sudah tak ada lagi di sini. Sudah pergi!” kata Tua Gila pula.
Wiro berpaling, memandang berkeliling. Ternyata memang benar Sabai Nan Rancak
tak ada lagi di tempat itu.
“Kek,” ujar Wiro setengah berbisik. “Orang bercadar kuning yang tadi menolongmu
juga tak ada lagi....”
“Astaga!” Tua Gila memandang berkeliling. “Temanmu yang selalu menutupi
mukanya itu juga lenyap!” ujar si kakek.
“Pada kemana mereka? Pergi begitu saja!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
Km! mau tak mau pandangan Wiro dan Tua Gila tertuju pada si nenek Sika Sure
Jelantik. Melihat dirinya dipandangi begitu rupa si nenek membentak.
“Sukat Tandika! Kalau kau memang laki-laki lepaskan totokanku dan terima
kematianmu di tanganku!”
“Nenek jelek!” bentak Wiro yang jadi naik darah. “Kalau mulutmu tak bisa diam
nanti kusumpal dengan ini!” Wiro lalu cabut umbi besar keladi hutan dan menyorongkan ke
mulut si nenek. Di depan mulut Sika Sure Jelantik keladi hutan itu digoyang-goyangkannya
kian kemari sengaja mempermainkan hingga si nenek memaki habis-habisan.
“Wiro, hentikan perbuatanmu!” Tua Gila mengambil keladi hutan dari tangan Wiro
dan mencampakkannya di tanah. Dia tegak dekat Sika Sure Jelantik. “Sika, kau terluka
parah. Menurut penglihatanku tulang kakimu kiri kanan patah!”
“Apa perdulimu?!” hardik Sika Sure Jelantik. Sebenarnya perempuan tua ini sudah
tahu keadaan kakinya. Memang benar ada bagian-bagian tulang kakinya yang patah akibat
beradu tendangan dengan Iblis Pemalu.
“Dengar, aku akan membawamu ke satu tempat yang baik dan mengobati kakimu
yang cidera sampai sembuh. Mungkin kesempatan ini bisa kita pergunakan untuk bicara
dari hati ke hati....”“Kek,” tiba-tiba Wiro menyeling. “Kurasa aku lebih baik pergi saja. Agar kau bisa
leluasa menyelesaikan urusanmu dengan bekas pacarmu ini!”
“Anak setan! Jangan kau berani bicara kurang ajar!” bentak Tua Gila. “Jangan kau
berani pergi tanpa izinku!”
Wiro hanya tertawa bergumam sementara Sika Sure Jelantik unjukkan wajah merah
cemberut.
“Aku tidak sudi ditolong! Jangan berani menyentuh tubuhku!”
“Sika, harap kau pergunakan akal sehat! Jangan keras kepala tidak karuan. Aku
menolongmu dengan ikhlas. Tidak ada pamrih atau maksud agar kau memaafkan segala
perbuatanku di masa lalu....”
“Kek, kalau dia tidak mau ditolong biar saja. Kabarnya di sini banyak binatang buas,
ular berbisa. Belum lagi segala hantu dedemit yang konon doyan meniduri nenek-nenek
peot seperti dia!” Wiro kembali mempermainkan si nenek saking kesalnya melihat tindak
tanduk Sika Sure Jelantik yang tidak mau ditolong oleh Tua Gila.
Sementara Sika Sure Jelantik memaki tiada henti Tua Gila angkat si nenek dan
memanggulnya di bahu kiri. Dia berpaling pada Wiro. “Aku akan membawanya ke satu
tempat. Harap kau mengikuti....”
“Kek, bukannya lebih bebas jika kalian hanya berdua saja?!”
“Jangan bergurau terus-terusan anak geblek! Ikuti aku! Banyak hal yang ingin aku
bicarakan denganmu!”
“Kek, apa kau sudah berpikir sepuluh kali? Nenek itu sudah bersumpah hendak
membunuhmu! Apa tidak salah kaprah kalau kau kini menolongnya?!”
“Aku tahu apa yang aku lakukan!” jawab Tua Gila pula dengan mata cekung melotot.
Wiro garuk-garuk kepala. Ketika Tua Gila berkelebat pergi mau tak mau dia terpaksa
mengikuti.
*
* *
LIMA
Tua Gila membawa Sika Sure Jelantik ke sebuah kaki bukit di mana terdapat sebuah
goa dan satu mata air kecil tak jauh dari sana. Keesokan paginya selagi Sika Sure
Jelantik masih tertidur lelap dan Pendekar 212 mandi di mata air Tua Gila mengambil
beberapa jenis dedaunan di dalam hutan. Daun-daun ini ditumbuknya hingga lumat lalu
diborehkannya pada kaki kiri kanan si nenek yang cidera. Lima ranting pohon yang lurus-
lurus kemudian diikatkannya sepanjang kedua kaki si nenek.
“Jika satu minggu kau bisa menjaga diri, tidak banyak bergerak apa lagi berjalan, tulang-
tulangmu yang patah bisa bertaut kembali. Minggu berikutnya kau pasti sembuh...” berkata
Tua Gila.
“Aku tidak suka kau tolong! Aku tidak akan berterima kasih!” jawab Sika Sure
Jelantik ketus.
Tua Gila menyeringai. “Kau tidak suka ditolong itu urusanmu. Kau tidak mau
berterima kasih aku tidak meminta. Aku hanya merasa punya kewajiban untuk
menolongmu!”
“Agar aku mau melupakan semua perbuatan terkutukmu di masa lalu?! Jangan
mimpi! Jangan mengharap!”
Tua Gila menyeringai. “Kau tahu sifatku Sika. Seumur hidup sampai sekarang aku
tak pernah bermimpi atau mengharap!”
“Manusia busuk! Mengapa tidak kau bunuh saja aku saat ini!” teriak Sika Sure
Jelantik. Mukanya kelihatan tegang membesi. Tenggorokannya turun naik lalu tampak ada
air mata mengambang di ke dua matanya dan perlahan-lahan menetes membasahi pipinya
yang keriput. Tua Gila kelihatan seperti tercekat. Jelas dia terpengaruh dengan kesedihan
hati yang diperlihatkan si nenek.
Menyaksikan hal ini Wiro yang baru datang segera menarik Tua Gila ke satu tempat
lalu berbisik. “Kek, kau sudah menjalankan kewajibanmu. Buat apa melayani tua bangka tak
tahu diri itu! Lepaskan saja totokannya lalu kita tinggalkan tempat ini. Habis perkara!”
tua Gila memegang bahu Wiro dan berkata. “Perkara tidak baka la n habis seperti
dugaanmu. Lagi pula aku tidak sejahat dugaan orang. Aku menolongnya karena aku merasa
itu kewajibanku. Aku menolongnya dengan ikhlas tanpa mengharapkan apa-apa. Apa lagi
memohon agar dia mau memaafkan segala dosa perbuatanku di masa muda. Aku ingin dia
tetap hidup agar dia bisa melakukan apa yang diinginkannya. Yaitu membunuhku....”
“Kek, jalan pikiranmu telah dipengaruhi suara hatimu!” ujar murid Sinto Gendeng.
“Itu ujar-ujar yang selalu diucapkan orang persilatan. Jangan jalan pikiran
dipengaruhi hati karena bisa membawa celaka, tapi orang lupa pikiran dan hati bersumber
pada satu sumber yang sama. Yakni kebenaran.”
“Kek, aku rasanya lucu mendengar kau berfilsafat....”
“Keren betul bicaramu anak muda! Sudah! Lebih baik kau ikut aku ke mata air. Ada
beberapa hal yang perlu kubicarakan denganmu!”
Wiro hanya bisa garuk kepala dan mengikuti si kakek menuju mata air.
Di dalam goa Sika Sure Jelantik semakin deras mengucurkan air mata. Walau Wiro
dan Tua Gila tadi bicara berbisik-bisik namun karena memiliki pendengaran yang tajam si
nenek sempat mendengar semua ucapan ke dua orang itu. Hatinya terasa perih seperti
disayat-sayat. “Kenapa jalan nasibku begini sengsara? Mengapa aku tidak segera saja mati
dalam kesengsaraan ini. Sukat Tandika, jika saja....” Si nenek tak dapat meneruskan suara
batinnya. Dadanya menggemuruh ditelan perasaan.
Begitu sampai di mata air yang dikelilingi pepohonan rindang Tua Gila segera bicara.
“Hal pertama yang ingin kutanyakan padamu, apa kau kenal dengan seorang dara
bernama Puti Andini?”
Wiro tersenyum. “Aku tak ingat apa pernah menceritakannya padamu. Tapi karena
kau bertanya aku akan menjawab Kek. Gadis itu bergelar Dewi Payung Tujuh. Berasal dari
pulau Andalas. Bukankah nenek bernama Sabai Nan Rancak itu adalah gurunya?”
“Hemmm, anak ini tahu banyak tentang Puti Andini. Apa dia juga tahu gadis itu
adalah cucuku?” membatin Tua Gila. “Lanjutkan keteranganmu. Apa lagi yang kau ketahui
tentang gadis itu, Wiro.”
“Dia pernah disuruh oleh gurunya untuk mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa.
Juga diperintah untuk membunuhku....” (Baca Episode berjudul Wasiat Dewa).
Tua Gila anggukkan kepala. “Kau sudah memiliki Kitab Putih Wasiat Dewa. Sampai
saat ini dia tidak membunuhmu. Apa kau mengira gadis itu masih punya niat jahat
terhadapmu?”
“Beberapa kali pertemuan memang dia tidak menunjukkan niat buruk itu. Tapi hati
orang siapa tahu?” ujar Wiro pula.
“Kalau begitu bisa kubilang antara kau dan Puti Andini tidak ada lagi masalah atau
perselisihan apa lagi silang sengketa?”
Wiro garuk-garuk kepala. “Yah, bisa saja dikatakan begitu. Bagiku dari dulu tak ada
masalah apa-apa. Malah aku berhutang budi dan nyawa padanya. Waktu aku luka parah
dan keracunan dihantam Tiga Bayangan Setan, kalau bukan dia yang menolong pasti aku
sudah menemui ajal. Kurasa walaupun dia masih bersikap tidak baik padaku, aku tetap
akan menghormatinya....” (Mengenai Tiga Bayangan Setan harap baca serial Wiro Sableng
berjudul Wasiat Dewa).
“Hemmm... Menghormati katamu, itu kata yang sulit ditafsirkan karena banyak
mengandung arti....”
“Maksudmu Kek?” tanya Wiro.
“Apa kau punya rasa suka terhadap Puti Andini?” Tua Gila langsung saja bertanya.
Lalu dia tertawa terkekeh-kekeh ketika dilihatnya murid Sinto Gendeng itu memandang
padanya dengan mata membeliak dan mulut ternganga.
“Harap kau tidak masukkan dalam hati, anak muda. Aku hanya bergurau!” kata Tua
Gila pula. Namun Wiro maklum dibalik gurauan itu Tua Gila memang punya maksud
sesuatu.
“Jangan-jangan sejak muridnya dibunuh komplotan Sabai Nan Rancak orang tua ini
sudah mengangkat si gadis jadi muridnya,” pikir Pendekar 212 pula.
“Pada bulan purnama empat belas hari mendatang aku akan bertemu dengan gadis
itu di pinggiran timur Telaga Gajah Mungkur. Kalau kau suka kau boleh ikut bersamaku ke
sana....”
Semakin keras dugaan Wiro bahwa si kakek memang punya maksud tertentu.
“Hemm... Terus terang aku suka ikut denganmu. Tapi aku ada urusan lain. Aku
harus mencari seorang sahabat yang terakhir sekali kutinggalkan dalam keadaan terluka....”“Siapa sahabatmu itu. Seorang pemuda atau seorang gadis hah?! Ah, dari sinar
matamu aku tahu dia pasti seorang gadis berwajah cantik. Kalau bukan seorang gadis kau
mana mau bersusah payah segala!”
“Namanya Anggini. Murid tunggal tokoh silat bergelar Dewa Tuak....”
“Ah!” Tua Gila jadi kaget. Lalu bertanya. “Anggini! Murid sahabatku si Dewa Tuak.
Sejak pertemuan terakhir di Pangandaran lama sudah aku tidak mendengar kabarnya. Apa
saat ini dia masih bersuka-suka dengan kekasihnya si Ratu Pesolek itu? Ha... ha... ha! Wiro,
apa yang terjadi dengan murid Dewa Tuak?”
Wiro lalu menuturkan penghadangan yang dilakukan oleh empat orang yaitu Iblis
Pemalu, Pengiring Mayat Muka Hijau, Sika Sure Jelantik dan Datuk Gadang Mentari.
“Sika Sure Jelantiklah yang mencelakai Anggini. Aku tak tahu bagaimana
keadaannya sekarang. Seorang sahabat menemaninya ketika kutinggal pergi....”
“Sika Sure Jelantik...” kata Tua Gila sambil menghela nafas panjang. “Sulit
membuatnya mau mengerti. Kalau Anggini sampai celaka jangan harap dia lolos dari maut!
Dewa Tuak pasti akan mengejarnya sampai ke liang neraka sekalipun!”
“Mengenai Iblis Pemalu,” kata Wiro pula. “Siapa dia sebenarnya? Apakah dia
berpihak pada orang-orang golongan putih atau kaki tangan golongan hitam?”
“Siapa dia adanya memang sulit diketahui. Dia muncul belum lama. Ketinggian
ilmunya serta tindak tanduknya yang aneh membuat namanya mencuat dengan jelas. Walau
kelihatannya dia bukan orang baik-baik tapi aku yakin dia bukan kaki tangan orang-orang
Lembah Akhirat. Namun sikapnya yang aneh dan sering berubah mendatangkan prasangka
bahwa manusia satu ini gampang ditarik ke kiri atau ke kanan. Dia hanya mengikut arah
angin atau mana sukanya saja walau cuma sesaat. Orang seperti dia harus dibaik-baiki,
harus pandai memuji dan menyanjung. Aku seolah yakin bahwa sifatnya yang seperti
pemalu itu hanya dibuat-buat saja. Biar kita lupakan dulu Iblis Pemalu. Sebaliknya aku
menyirap kabar bahwa Anggini telah membunuh Datuk Mangkuto Kamang....”
“Itu fitnah yang tak karuan juntrungannya Kek,” jawab Wiro.
“Justru karena fitnah itulah perlu diselidiki.
Akhir-akhir ini banyak kejadian hebat di dunia persilatan pulau Andalas dan Tanah
Jawa. Sesama golongan putih saling baku hantam. Lalu belum lagi lenyapnya tokoh-tokoh
rimba persilatan secara aneh. Satu di antaranya adalah kakek sakti berjuluk Dewa Sedih. Dia
lenyap dan kabarnya berada dalam kekuasaan orang-orang Lembah Akhirat.... Saudaranya
si Dewa ketawa pasti akari mengobrak-abrik Lembah Akhirat. Namun keanehan yang
berselubung maut menyungkup Lembah Akhirat. Aku khawatir Dewa Ketawa akan
mengalami nasib sial....”
“Kau tahu siapa sebenarnya yang menjadi penguasa Lembah Akhirat itu Kek?”
“Dia hanya dikenal dengan panggilan Datuk Lembah Akhirat. Beberapa tokoh
kabarnya berusaha menyelidik. Namun satu persatu mereka lenyap tak tahu rimbanya....”
“Mengenai kepergianmu ke Telaga Gajah Mungkur menemui Puti Andini, agaknya
ada satu urusan penting di sana?”
Tua Gila mengangguk. “Ini satu urusan yang sebetulnya perlu aku beri tahu padamu
beberapa tahun yang silam. Namun mungkin baru saat ini tepat untuk kukatakan. Kau
pernah mendengar riwayat sebilah pedang bernama Pedang Naga Suci 212!”Wiro kerenyitkan kening mendengar kata-kata Tua Gila itu. “Aku memiliki Kapak
Naga Geni 212. Kau menyebut Pedang Naga Suci 212. Apa ada hubungan satu dengan
lainnya?” tanya murid Sinto Gendeng pula.
“Kapak dan pedang itu merupakan dua senjata yang sebenarnya tidak terpisahkan.
Berasal dan merupakan warisan dari seorang kakek sakti bernama Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Waktu aku dan gurumu si Sinto Gendeng menjadi murid Kiai yang diam di
Gunung Gede itu, kami diwarisi dua senjata. Seharusnya aku mendapatkan Kapak Naga
Geni 212, tapi Sinto Gendeng mendahului, malah dia melarikan Pedang Naga Suci 212.”
Tua Gila lalu menuturkan riwayat dua senjata sakti itu yang didengar Wiro dengan
penuh perhatian. (Mengenai riwayat Kapak Maut Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212
harap baca Episode terdahulu berjudul Pedang Naga Suci 212).
Lama Wiro termenung mendengar penuturan -Tua Gila. Dia coba mengingat-ingat.
“Kek, kalau aku tidak salah mengingat, waktu kapak mustika sakti itu diberikan padaku,
Eyang Sinto pernah berkata Kapak Naga Geni 212 itu dia yang membuat. Dia menghabiskan
waktu sepuluh tahun untuk menciptakannya....”
Tua Gila tertawa mengekeh. “Gurumu itu namanya bukan Sinto Gendeng kalau tidak
melakukan atau bicara gendeng. Mungkin dia tidak bermaksud buruk berdusta padamu.
Mungkin dia berkata begitu agar kau tidak mensia-siakan jerih payahnya dan agar kau
merawat senjata itu sebaik-baiknya.”
“Mungkin juga begitu...” kata Wiro perlahan.
“Aku menaruh firasat bahwa Pedang Naga Suci 212 berjodoh dengan Puti Andini. Itu
sebabnya dia kusuruh pergi menyelidik dan mencari pedang mustika itu di Telaga Gajah
Mungkur.... Aku sendiri tidak berminat mendapatkan dan memilikinya.... Aku sudah terlalu
tua. Urusan rimba persilatan kini berada di tangan kalian orang-orang muda....”
“Mana bisa begitu Kek. Kami yang muda-muda hanya dianggap sebagai sapu lidi
pembersih. Sementara para tokoh yang sudah tua-tua berbuat macam-macam mengotori
dunia persilatan!”
Tua Gila tertawa gelak-gelak. Begitu tawanya mereda Wiro berkata.
“Kek, tentunya kau punya satu alasan mewarisi pedang sakti itu pada Puti Andini,
bukan hanya sekedar firasat. Atau mungkin gadis itu sudah kau angkat jadi muridmu
pengganti Sati?
ENAM
Yang ditanya tak segera menjawab. Kemudian sekulum senyum menyeruak di wajah
orang tua ini. Satu senyum pahit yang menandakan keperihan hati. Karena Sati, satu-
satunya murid Tua Gila yang namanya barusan diucapkan Wiro telah tewas dibunuh
Datuk Angek Garang di pulau Andalas beberapa waktu yang lalu.
“Hemm.... Kau betul. Alasan utamaku adalah dia kuanggap seorang gadis pendekar
sejati. Masih suci dan bersih. Masa depannya dalam dunia persilatan penuh dengan
tantangan. Berarti dia perlu satu senjata yang diandalkan.”
“Bukankah dari gurunya Sabai Nan Rancak gadis itu telati memiliki satu ilmu
kepandaian dan senjata berupa tujuh buah payung?” ujar Wiro.
Tua Gila tertawa lebar. “Itu juga betul. Walau dia kelak memiliki pedang sakti itu,
tentu saja dia tidak boleh melupakan ilmu payungnya yang hebat. Selain itu, aku berhutang
jiwa padanya. Waktu aku dalam keadaan tak berdaya dan hampir mati di tangan Sabai Nan
Rancak serta teman-temannya, Puti Andini menyelamatkan diriku....”
Dalam hatinya Tua Gila merasa bimbang. Apakah akan diceritakannya pada Wiro
bahwa Puti Andini sebenarnya adalah cucunya sendiri. Sebaliknya dalam hatinya Wiro juga
bertanya-tanya. “Kurasa ada satu hal lain yang sangat kuat membuat kakek ini memberi
tahu tentang pedang itu pada Andini. Dia tadi tidak menjawab ya atau tidak apakah dia
telah mengangkat Puti Andini menjadi muridnya,”
“Apa yang ada dalam benakmu Wiro?” tanya Tua Gila ketika dilihatnya Wiro seperti
termenung.
“Aku cuma khawatir Kek. Bagaimana kalau kelak pedang itu sampai jatuh ke tangan
Sabai Nan Rancak. Kau bisa lebih celaka lagi....”
Mulut Tua Gila tampak berkomat-kamit. “Aku cukup percaya pada gadis itu.
Buktinya dia berani menanggung akibat berhadapan dengan gurunya demi menyelamatkan
diriku.... Lagi pula ada semacam petunjuk bahwa Kapak Naga Geni 212 dan Pedang Naga
Suci 212 kelak akan bersatu kembali. Bukan itu saja. Aku menyirap kabar sekitar lima tahun
silam. Kapak dan Pedang itu mempunyai seorang anak yaitu sebilah keris yang tak kalah
saktinya dengan sepasang induknya....”
Mendengar ucapan Tua Gila itu Pendekar 212 terdiam namun otaknya cepat bekerja.
“Kalau Kapak dan Pedang kelak akan bersatu bahkan punya anak, jangan-jangan kakek ini
hendak menjodohkan aku dengan Puti Andini. Gila betul! Ada hubungan apa sebenarnya
antara Tua Gila dengan gadis dari seberang itu....”
“Eh, kau kembali kulihat memikirkan sesuatu!” Tua Gila menegur.
Wiro menyeringai. “Aku coba memasukkan ke dalam akalku bagaimana mungkin
sebilah kapak dan pedang bisa punya anak sebilah keris....”
Tua Gila tertawa lebar. Dengan jari telunjuk tangan kanannya ditekannya dada murid
Sinto Gendeng seraya berkata. “Itu kelak yang harus kau selidiki, Wiro. Omong-omong
bagaimana soal perjodohanmu...?”
“Perjodohanku?” balik bertanya Wiro karena tidak mengerti. “Apa maksudmu Kek?”
“Kau berkura-kura dalam perahu. Berpura-pura tidak tahu. Bukankah Dewa Tuak
pernah kasak-kusuk dengan Sinto Gendeng hendak menjodohkanmu dengan Anggini
murid tunggalnya itu?”Wiro hendak tertawa membahak tapi akhirnya sambil garuk-garuk kepala dia
menjawab. “Baik Eyang Sinto Gendeng maupun Dewa Tuak tak pernah mendesak kalau
mereka memang menginginkan perjodohan itu....”
“Lalu.... Hem... jadi terserah pada kalian yang muda-muda kalau begitu?”
“Bisa saja kau katakan seperti itu Kek. Namun kami pun tidak pernah membicarakan
hal itu. Anggini seorang gadis yang segala sesuatunya tak bisa harus ditentukan oleh orang
lain....”
“Bagus.... Bagus!”
“Bagus bagaimana maksudmu Kek?” Wiro mengejar dengan pertanyaan. Dalam hati
semakin berat dugaannya bahwa Tua Gila memang ingin menjodohkannya dengan Puti
Andini. “Kalau tidak apa perlunya dia menanyakan hubunganku dengan Anggini. Dia
tampak senang ketika kuberi tahu bahwa guru masing-masing tidak mendesak dan aku
ataupun Anggini tak pernah lagi membicarakan soal perjodohan itu.”
“Maksudku,” jawab Tua Gila pula. “Aku gembira kalian bisa berlaku benar-benar
sebagai orang dewasa dan serba matang menghadapi masa depan....” Tua Gila lalu angguk-
anggukkan kepalanya beberapa kali. Lalu dia menyambung ucapannya.
“Ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan padamu. Seseorang menitipkan sebuah
kalung sakti bernama Kalung Permata Kejora. Kalung itu seharusnya aku serahkan pada
Sabai Nan Rancak. Orang yang menitipkan tidak tahu kalau aku punya bentrokan besar
dengan si nenek dari Gunung Singgalang itu. Celakanya justru kalung itu yang katanya
sanggup membunuhku. Sekarang kalung itu tak ada padaku....”
“Hemmm, sudah kau serahkan pula pada seorang gadis cantik?” tanya Wiro.
“Anak setan! Jangan mengejek!” bentak Tua Gila dengan mata lebar melotot.
Wiro menahan tawa sambil garuk-garuk kepala.
“Kalung mustika itu lenyap. Aku yakin pasti jatuh masuk ke dalam laut sewaktu
diserang oleh Sika Sure Jelantik. Dia menginginkan Kalung Permata Kejora itu....”
“Kurasa benda itu belum ada di tangannya....”
“Benar, otakmu cerdik juga. Setiap kali hendak membunuhku dia selalu menanyakan
di mana beradanya kalung itu. Aku khawatir kalau-kalau benda itu jatuh ke tangan orang
lain....”
“Apa Sabai Nan Rancak tahu kalau kalung itu berada padamu?” tanya murid Sinto
Gendeng.
“Aku pernah mengatakan padanya tapi tidak memberi tahu di mana beradanya
karena memang aku sendiri tidak tahu benda itu hilang entah di mana....”
“Kalau begitu besar kemungkinan kalung itu masih berada di dasar laut tempat kau
diserang oleh Sika Sure Jelantik. Atau barangkali juga berada di tangan anak buah Ratu
Duyung....”
Tua Gila jambak-jambak rambut putihnya yang tipis. “Aku tidak yakin Ratu Duyung
mengambil benda itu sewaktu aku pingsan di tengah laut. Kalau dia menemukan pasti akan
dikembalikan padaku. Lagi pula waktu aku meninggalkan tempat kediamannya aku tidak
bertemu dengan dia. Menurut anak buahnya Ratu Duyung tengah berada di satu tempat
untuk satu urusan penting.... Kapan terakhir sekali kau bertemu dengan dia?”
Wiro coba mengingat. “Waktu itu aku sedang bersama Bidadari Angin Timur. Ratu
Duyung tiba-tiba muncul. Agaknya dia merasa tidak enak atau cemburu melihat aku
berdua-duaan dengan Bidadari Angin Timur lalu pergi begitu saja tanpa sempat membicarakan apa-apa. Bidadari Angin Timur sendiri kemudian pergi pula tanpa setahuku.
Agaknya dia juga menanam rasa cemburu besar terhadap Ratu Duyung.”
Tua Gila tertawa terkekeh dan goleng-golengkan kepalanya berulang kali.
“Kek, apa yang lucu? Ada apa kau ketawa?”
“Aku wajib mengingatkan dirimu, anak muda! Kau tahu akibat ulahku di masa
muda, terlalu banyak punya kekasih di hari tua begini semua mereka itu menjadi musuhku!
Ingin membunuhku! Aku tidak ingin hal seperti itu terjadi atas dirimu!”
“Aku memang banyak kenalan gadis-gadis cantik Kek. Tapi mereka semua adalah
teman-teman biasa, mungkin kuanggap sebagai saudara. Soal kekasih yang aku suka cuma
seorang. Yaitu Bidadari Angin Timur....”
Tua Gila kembali tertawa. “Sifat pemuda dan pemudi kalau sering berdekatan, walau
tadinya tidak ada hubungan apa-apa bisa saja terjadi sesuatu. Kau tahu, anak muda. Kalau
di satu tempat misalnya kau hanya berdua saja dengan seekor kambing. Lama-lama
kambing itu bisa saja kau lihat cantik juga, seperti cantiknya seorang gadis! Hik... hik... hik!
Apa lagi seorang gadis sungguhan walau tadinya kau tidak menyukainya. Jadi hati-hati
anak muda! Jangan sampai nanti ada yang bilang gurunya kencing berdiri muridnya
kencing menungging! Ha... ha... ha...!”
Tua Gila usap dua matanya yang lebar dan berair. Dia memandang ke langit.
“Matahari sudah tinggi. Cukup lama kita meninggalkan nenek itu....”
“Kalau begitu kita segera saja kembali ke goa,” kata Wiro.
“Ya, tapi masih ada satu hal yang ingin kusampaikan padamu....”
“Apa lagi Kek?” tanya Wiro kurang sabaran.
“Belakangan ini ada kabar yang meriwayatkan adanya satu makam disebut Makam
Setan di sebuah pulau di pantai barat Andalas.... Aku jadi ingat pada peristiwa yang kita
alami beberapa waktu lalu. Datuk Tinggi Raja Di Langit! Bangsat yang menjerumuskan kita
ke dalam makam batu! Mungkinkah dia masih hidup?”
“Apa yang membuatmu berpikiran seperti itu Kek?” tanya Wiro.
“Di pantai barat pulau Andalas ramai dibicarakan orang tentang sebuah kuburan
yang diberi nama Makam Setan. Kalau ternyata makam ini ada sangkut pautnya dengan
Datuk Tinggi Raja Di Langit....”
“Mengapa setan tua itu masih kau pikirkan Kek? Dia sudah lama jadi jerangkong di
liang batu itu!” kata Wiro pula. “Baiknya kita segera kembali ke goa Kek.”
Tua Gila mengangguk.
Ketika mereka sampai di goa di kaki bukit, Sika Sure Jelantik tak ada lagi di tempat
itu.
“Apa yang terjadi?” ujar Tua Gila sambil memandang berkeliling.
“Jangan-jangan nenek itu kabur melarikan diri,” ujar Wiro.
“Tidak mungkin. Kakinya masih cidera. Lagi pula dia masih dalam keadaan tertotok
ketika kita tinggalkan. Sesuatu telah terjadi. Ada orang yang menculiknya! Kau tunggu di
sini. Aku akan menyelidik keadaan sekitar sini.”
Tak lama kemudian Tua Gila muncul kembali. “Tak ada tanda-tanda ke mana
lenyapnya nenek itu.”
Wiro menunjuk ke tanah di depan mulut goa. “Ada bekas-bekas telapakan kaki.
Lebih dari dua orang.”“Kau betul, aku bisa membedakan jejak mereka dengan bekas kaki kita! Bagaimana
sekarang...?”
“Aku harus mencarinya,” jawab Tua Gila.
“Kau bermaksud mencari nenek itu? Buat apa mempersusah diri? Padahal dia benci
setengah mati padamu!”
“Soal kebencian itu tidak ada hubungannya dengan kelenyapannya! Aku harus
menyelidik, Wiro.”
“Nenek brengsek itu hendak membunuhmu! Mengapa kini kau mengkhawatirkan
dirinya? Ingat urusan di masa muda? Kalau kau berpikir sampai ke situ, dia benar-benar
akan membuatmu celaka! Heran.... Nenek jelek begitu saja masih ada yang mau menculik....”
“Jaga mulutmu anak muda!” hardik Tua Gila dengan berang. “Terserah kau mau
bilang apa. Bagaimana pun aku harus mencarinya....”
“Jangan harap sekali ini aku mau ikut denganmu Kek,” kata Wiro.
Tua Gila tampak cemberut/Dengan ketus dia menjawab. “Aku juga tidak
mengajakmu!” Tua Gila siap berkelebat pergi.
“Tunggui” seru Wiro.
“Anak setan! Apa lagi maumu?!” bentak Tua Gila. Bola matanya seperti mau keluar
dari rongganya yang cekung.
Wiro menunjuk ke batang pohon besar di belakang Tua Gila. “Lihat! Ada guratan
tulisan di batang pohon itu!”
,”Kau bergurau atau hendak menipuku anak muda?!”
“Siapa bergurau! Siapa menipu! Lihat dan baca sendiri!” ujar Wiro setengah kesal.
Lalu melangkah melewati si orang tua mendekati pohon besar.
Tua Gila putar tubuhnya. Apa yang dikatakan Pendekar 212 memang bukan senda
gurau. Pada batang pohon yang kulitnya terkelupas ada sebaris tulisan berbunyi: “Jika ingin
mencari Sika Sure Jelantik silahkan datang ke Lembah Akhirat!”
“Jahanam!” rutuk Tua Gila.
“Nenek itu agaknya diculik oleh orang-orang Lembah Akhirat Kek!” kata Wiro
dengan suara bergetar.
“Pasti! Aku memang akan menuju ke sana! Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sika
akan aku ratakan seluruh Lembah Akhirat!”
“Kek, jangan terlalu bersemangat menolong bekas kekasihmu itu....”
“Tutup mulutmu! Diam!” bentak Tua Gila.
Wiro garuk-garuk kepala. Bagaimana aku harus memberitahu monyet yang jauh lebih
tua dariku ini!” katanya dalam hati. “Kalau kau tidak memperbolehkan aku bicara terserah
saja! Mulutku jadi tidak pegal karena tak perlu banyak bicara! Tapi kalau semua ini hanya
tipuan belaka, kau akan celaka tiga belas Kek. Aku khawatir orang-orang Lembah Akhirat
menjebakmu dengan sengaja menculik nenek itu. Kalaupun kau sanggup membebaskan
Sika Sure Jelantik lalu apa untungmu? Apa sebenarnya maumu menyelamatkan orang yang
jelas-jelas telah mencoba membunuhmu sampai beberapa kali!”
“Sudah! Kau urus urusanmu. Aku urus urusanku!” Habis berkata begitu Tua Gila
lantas berkelebat tinggalkan tempat itu.
“Dasar orang tua gila!” gerutu Wiro sendirian.
TUJUH
Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Sika Sure Jelantik? Hanya sesaat setelah
Tua Gila dan Wiro sampai di tepi mata air tempat mereka berbincang-bincang tiba-
tiba muncul tiga orang bertampang dan berpakaian aneh di depan goa. Dua orang
mengenakan jubah merah, memiliki wajah dan rambut berwarna merah seperti dicat.
Masing-masing memegang sebatang tongkat yang bagian tengahnya ditancapi sebuah
tengkorak kepala manusia.
Orang ke tiga adalah yang paling angker di antara manusia-manusia aneh ini. Dia
mengenakan jubah gombrong warna merah. Wajahnya tanpa alis, berwarna merah dan
hidungnya ditancapi sepotong tulang manusia. Di atas kepalanya bertengger rambut merah
pekat, keriting kecil dan lebat berbentuk batok kelapa.
Dari ciri-ciri ke tiga orang itu jelas sudah bahwa mereka adalah orang-orang dari
Lembah Akhirat. Yang berpakaian gombrong dikenal dengan julukan Pengiring Mayat
Muka Merah, salah satu dari tiga tangan kanan pembantu Datuk Lembah Akhirat.
“Kita sudah terlalu lama meninggalkan Lembah Akhirat! Kalau hari ini tidak berhasil
mencari tahu di mana adanya Pengiring Mayat Muka Hijau, kita harus segera kembali!”
Berkata Pengiring Mayat Muka Merah sambil memandang ke arah goa. Setelah
memperhatikan tanah di depan goa dia melanjutkan. “Ada bekas-bekas kaki walaupun
tersamar. Cepat kalian menyelidik ke dalam goa!”
Dua lelaki bermuka merah yang memegang tombak berkepala tengkorak serta meria
menyelinap masuk ke dalam goa. Sesaat kemudian salah seorang di antara mereka keluar
lagi dan memberi tahu.
“Ada seorang nenek bertampang angker tergeletak di lantai goa. Dua kakinya dalam
keadaan cidera. Tubuhnya kaku tak bisa bergerak....”
“Sudah mampus atau masih hidup?!” sentak Pengiring Mayat Muka Merah.
“Masih hidup. Pasti masih hidup karena ada hembusan nafas keluar dari hidungnya
dan erangan halus dari mulutnya.”
Pengiring Mayat Muka Merah mendorong anak buahnya ke samping lalu melompat
masuk ke dalam goa. Seperti yang diterangkan tadi di lantai goa tampak terbujur seorang
nenek berjubah hitam. Sepasang kakinya dilumuri ampas berwarna hijau dan diikat dengan
beberapa ranting kayu. Dua mata si nenek yang tertutup perlahan-lahan membuka. Lalu
mulutnya menghardik.
“Siapa kalian? Setan atau masih bisa disebut manusia?!”
Dua anak buah Pengiring Mayat Muka Merah tersurut saking kagetnya disentak
demikian. Pengiring Mayat Muka Merah tampak tenang. Dia memperhatikan tampang si
nenek dengan seksama lalu menyeringai.
“Nenek sakti Sika Sure Jelantik! Sungguh peruntungan kami besar sekali hari ini.
Tidak menyangka akan bertemu dengan seorang tokoh besar sepertimu!”
“Kau kenal diriku! Huh! Kau sendiri siapa?!” Sika Sure Jelantik kerutkan kening dan
pelototkan mata.
“Kami orang-orang Lembah Akhirat. Aku Pengiring Mayat Muka Merah, pembantu
kepercayaan Datuk Lembah Akhirat!”Tampang si nenek sesaat berubah. “Mereka bukan orang baik-baik. Aku sudah
menyirap kabar orang-orang Lembah Akhirat jahat dan busuk. Penuh tipu daya dan kejam
luar biasa!”
“Aku tidak suka melihat tampang-tampang kalian! Lekas keluar dari dalam goa ini!”
“Kau tidak suka kami tidak jadi apa. Tapi kami justru suka dirimu!” jawab Pengiring
Mayat Muka Merah. “Kulihat dua kakimu cidera. Agaknya ada tulang yang patah, ijinkan
kami menolongmu.”
“Aku tidak butuh pertolonganmu! Keluar!”
“Kami akan keluar jika itu maumu. Tapi aku merasa kasihan. Kau agaknya merasa
tidak perlu ditolong karena telah ada yang menolong.. Bukan begitu?”
“Apa urusanmu!”
“Kami memang tidak ada urusan. Tapi ada satu hai yang perlu aku beri tahu
padamu,” kata Pengiring Mayat Muka Merah. “Siapapun yang kau anggap telah menolong
mengobati cidera pada kedua kakimu sebenarnya orangnya telah menipu dirimu. Dia
sebenarnya bermaksud jahat dan keji!”
“Jangan bicara ngacok!”
“Pertama, kalau orang hendak menolong, mengapa tubuhmu dalam keadaan
tertotok?! Kedua obat yang dipakai melumuri dua kakimu yang cidera adalah ramuan
tumbuk berasal dari dedaunan beracun!”
Sepasang mata Sika Sure Jelantik kembali mendelik. “Kau mau menipuku!”
“Apa untungnya aku menipumu? Dengar, dalam waktu dua hari ke dua kakimu akan
mulai membusuk akibat racun jahat. Racun kemudian akan menjalar ke sekujur tubuhmu.
Kalau jantungmu tak sampai berhenti berdetak dan kau masih bisa bertahan hidup maka
anggota badanmu akan lumpuh dan kedua matamu akan buta!”
Paras Sika Sure Jelantik semakin berubah.
“Jika kau tidak mau kami tolong, maka tidak ada gunanya kami berlama-lama di sini.
Selamat tinggal nenek yang malang....”
Sika Sure Jelantik memandang berkeliling.
“Kau mencari orang yang katamu telah menolongmu?” ujar Pengiring Mayat Muka
Merah. “Dia pasti sudah lama meninggalkan kau di sini. Membiarkan dirimu menderita
sengsara dan menemui kematian secara perlahan-lahan....” Habis berkata begitu Pengiring
Mayat Muka Merah memberi isyarat pada ke dua anak buahnya. Mereka lalu sama bergerak
menuju mulut goa.
“Tunggu!” seru Sika Sure Jelantik.
“Hemm.... Ada sesuatu yang hendak kau katakan Nek?” tanya Pengiring Mayat
Muka Merah.
“Kau tadi mengatakan hendak menolongku...”
“Benar!”
“Bagaimana caranya?”
“Kami memiliki sejenis obat yang ampuh. Kau bisa sembuh dalam waktu satu hari
satu malam....” “Kalau begitu lakukanlah. Mana obat itu!”
Pengiring Mayat Muka Merah melangkah mendekati sosok Sika Sure Jelantik. “Obat
itu tidak kami bawa saat ini. Obat itu tersimpan di Lembah Akhirat. Kami akan
membawamu ke sana jika kau memang suka ditolong!”“Jahanam! Bangsat bermuka merah ini jangan-jangan memang hendak menipuku!”
membatin Sika Sure Jelantik.
Pengiring Mayat Muka Merah letakkan telapak tangan kirinya di atas kening si nenek
lalu berkata. “Tubuhmu agak panas. Pertanda racun jahat dari tumbukan dedaunan itu
mulai bekerja. Waktumu sangat terbatas. Perjalanan ke Lembah Akhirat tidak dekat. Jika
kita berangkat sekarang, lusa pagi baru sampai. Kurasa nyawamu masih bisa tertolong....”
Sika Sure Jelantik memandang melotot ke langit-langit goa. Dari mulutnya terdengar
kutuk serapah walaupun perlahan. “Tua Gila keparat! Kau benar-benar jahanam!”
“Ah, jadi itukah orangnya yang telah mencelakaimu Nek?” ujar Pengiring Mayat
Muka Merah dengan seringai penuh arti. “Kau tak usah khawatir! Kalau kau sudah sembuh
Datuk Lembah Akhirat pasti akan menolongmu mencari jalan agar kau bisa membalas
dendam....”
“Dari dulu-dulu aku memang sudah punya niat untuk membunuhnya! Tapi belum
kesampaian...!” kata Sika Sure Jelantik pula yang jelas sudah terpengaruh oleh kata-kata
bujukan orang.
“Maksudmu akan kesampaian. Selain itu siapa tahu kau berjodoh dengan Kitab
Wasiat Malaikat....”
“Apa betul kitab sakti itu benar-benar ada?” tanya si nenek yang semakin terpikat
“Tentu saja ada. Datuk Lembah Akhirat yang memegangnya. Dia akan memberikan
pada seseorang yang dianggapnya cocok. Siapa tahu Datuk Lembah Akhirat suka dan
memberikan kitab itu padamu. Datuk sangat menghormat dan menyukai orang tua
secantikmu ini....”
Sika Sure Jelantik tersenyum mendengar ucapan terakhir Pengiring Mayat Muka
Merah itu. Maka dia pun berkata. “Baik, kalian boleh membawa aku ke Lembah Akhirat!”
“Kau melakukan keputusan yang tepat Nek!” ujar Pengiring Mayat Muka Merah.
Lalu pembantu Datuk Lembah Akhirat ini memberi isyarat pada dua anak buahnya. Ke dua
orang itu segera menggotong sosok Sure Jelantik dan membawanya ke luar goa.
Sebelum meninggalkan tempat itu dengan jari-jari tangannya Pengiring Mayat Muka
Merah mengupas permukaan kulit pada batang pohon besar. Lalu dengan sepotong patahan
ranting dia menggurat permukaan batang pohon, menuliskan sebaris kalimat.
*
* *
DELAPAN
Sutan Alam Rajo Di Bumi menatap wajah Sabai Nan Rancak beberapa saat lalu berkata.
“Aku gembira dengan kemunculanmu yang tiba-tiba ini Sabai. Selama kau pergi
banyak terjadi hal-hal yang menghebohkan dalam rimba persilatan pulau Andalas.
Beberapa tokoh golongan putih dibunuh. Para pembunuh walau sulit dijajagi siapa adanya
tapi aku berhasil mencari tahu. Kebanyakan setelah membunuh mereka menghilang ke
tanah Jawa. Seperti dara bernama Anggini, murid Dewa Tuak. Dia kabur setelah diketahui
membunuh Datuk Mangkuto Kamang. Agaknya ada orang-orang tertentu yang dikirim ke
sini untuk mengacau....”
“Aku kembali membawa kabar buruk,” berkata Sabai Nan Rancak dengan suara agak
tersendat. Waktu bicara dia memandang ke jurusan lain seolah tidak berani menatap wajah
orang di hadapannya.
Sutan Alam Rajo Di Bumi tersenyum. “Kabar apapun yang kau bawa bagiku tidak
menjadi persoalan Sabai. Aku gembira melihat kau kembali. Apakah selama ini kau ada
merasa rindu padaku Sabai?”
“Bagaimana dengan dirimu sendiri. Apakah kau merindui diriku?” balik bertanya
Sabai Nan Rancak. Kali ini dia bertanya dengan menundukkan kepala.
“Kau tahu bagaimana hatiku padamu. Rasanya ingin aku balikkan langit. Ingin
kutarik matahari agar siang berganti malam dan malam cepat berganti siang. Agar aku
segera dapat bertemu denganmu....”
“Sutan....”
“Ah, kau lagi-lagi memanggilku dengan sebutan itu. Sudah berapa kali aku
mengatakan, jika kita berdua-dua seperti ini kau harus memanggilku dengan nama asliku!”
Sabai Nan Rancak tersenyum. “Suto, Suto Abang....” kata si nenek akhirnya menyebut
nama asli Sutan Alam Rajo Di Bumi. “Aku khawatir, kerinduanmu akan berubah menjadi
kemarahan setelah tahu kegagalan apa yang kubawa pulang ke Singgalang ini.”
“Kau boleh membawa seribu kegagalan Sabai. Hatiku tidak akan berubah.... Kau tahu
Bagaimana aku mengasihimu. Aku membutuhkan dirimu. Kau membutuhkan diriku.... Kita
orang-orang yang patah hati diterjang cinta dan bertemu dalam satu perasaan...” Sutan
Alam alias Suto Abang diam sesaat. Diulurkannya tangannya memegang jari-jari si nenek.
“Aku sudah mengatakan isi hatiku. Apalagi yang kau khawatirkan Sabai?”
“Terus terang aku menaruh khawatir kalau lama-lama hubungan kita ini diketahui
orang luar....”
Lelaki tua bertubuh tinggi besar itu bangkit dari kursi batu yang didudukinya.
“Selama kita sama-sama memegang rahasia rasanya tak ada yang perlu ditakutkan. Manusia
hidup bercinta adalah hal yang lumrah saja. Mengapa kita harus dikecualikan?”
“Aku masih punya satu kekhawatiran lain Suto,” kata Sabai Nan Rancak pula.
“Hemm.... Katakan saja padaku....” ujar Sutan Alam sambil membelai wajah si nenek
dengan jari-jari tangannya.
“Aku khawatir kalau-kalau Sinto Weni....”
“Jangan kau sebut nama itu! Dalam sisa hidupku ini aku tidak ingin lagi mendengar
nama Sinto Weni atau Sinto Gendeng!”
“Tapi bagaimanapun dulu dia....”“Dia perempuan pengkhianat. Ketika Sukat Tandika meninggalkannya mentah-
mentah dia melarikan cintanya padaku. Namun kemudian dia tergila-gila dengan kakakku
sendiri! Hingga aku akhirnya disingkirkan secara halus, dilempar ke pulau Andalas ini!”
“Kau salah Suto. Tidak ada yang menyingkirkan atau melemparkanmu ke sini. Aku
sering mendengar tuduhanmu terhadap Sinto Gendeng....”
“Aku bilang jangan sebut nama itu!” teriak Sutan Alam dengan suara menggeledek
dan dua tangan terkepal kencang. Tampangnya membesi mengerikan. Saking tak dapatnya
dia menahan luapan amarah. Kakek ini tiba-tiba balikkan badan dan hantamkan tangan
kanannya ke dinding goa.
Tanpa suara, tanpa bunyi, tanpa siuran angin tangan kanannya sampai sebatas
pergelangan amblas masuk ke dalam batu goa yang keras. Ketika perlahan-lahan tangan itu
ditarik batu di sekitarnya ikut terbongkar dan di dinding goa kini kelihatan satu lobang
besar!
“Pukulan Malaikat Maui Mendera Bumi itu membuat aku ngeri Suto...” kata Sabai
Nan Rancak. “Maafkan kalau aku telah membuatmu marah. Aku tidak bermaksud....” Sabai
terdiam sesaat. “Namun kalau aku masih boleh bicara, aku tidak yakin dia bergila-gila
dengan kakakmu Suto. Aku dengar perempuan itu keras hati. Mungkin kau hanya korban
fitnah. Mungkin juga perempuan yang kau benci itu mengarang lalu menyebar cerita dusta.
Yang jelas ada sesuatu yang sampai saat ini belum dapat kau singkapkan. Lain dari itu kau
tidak pernah menceritakan siapa dan dimana adanya kakakmu itu. Kau seolah satu manusia
terdiri dari dua sisi saling berbeda. Sisi pertama kau begitu terus terang padaku. Namun
pada sisi kedua sepertinya kau menyembunyikan sesuatu padaku....”
Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang tertawa lebar. “Kau pandai bicara, itu
yang membuat salah satu alasanku mencintai dirimu. Namun dengar Sabai. Aku tidak ingin
membicarakan masa silam. Lebih baik kau yang menceritakan pengalamanmu di tanah
Jawa,” kata Sutan Alam mengalihkan pembicaraan.
Lama Sabai Nan Rancak terdiam. Lalu dengan suara perlahan sambil memegang jari-
jari tangan Sutan Alam Rajo Di Bumi nenek berjubah hitam itu berkata. “Kabar buruk
pertama yang bisa kuceritakan adalah tewasnya sahabat kita Datuk Angek Garang....”
“Kabar itu memang sempat kudengar dari seorang nelayan mata-mata kita belum
lama berselang. Hanya saja belum diketahui siapa si pembunuh adanya...” ujar Sutan Alam
Rajo Di Bumi.
“Aku menduga keras pelakunya adalah seorang kakek aneh yang dijuluki Kakek
Segala Tahu....”
“Hemmm....” Sutan Alam usap-usap muka tuanya yang masih klimis. “Manusia satu
itu memang bukan orang sembarangan. Kehebatannya bisa disejajarkan dengan para tokoh
langka seperti Dewa Tuak, si keparat Sinto Gendeng dan Tua Gila sendiri. Malah boleh
dikata kakek Segala Tahu memiliki kehebatan tertentu yang tidak dimiliki tokoh lainnya.
Jika memang dia yang membunuh Datuk Angek Garang, kita harus melakukan sesuatu agar
diantara sesama golongan putih tidak merebak silang sengketa berkepanjangan. Berita apa
lagi yang kau bawa dari tanah Jawa?”
“Sementara itu orang-orang Lembah Akhirat semakin sering meninggalkan markas
mereka untuk melakukan hal-hal yang mereka katakan sebagai menyelamatkan golongan
putih dari bencana bentrokan satu sama lain....”“Apakah kau juga menyirap kabar mengenai Kitab Wasiat Malaikat?” tanya Sutan
Alam Rajo Di Bumi.
“Kitab itu memang telah menjadi pembicaraan para tokoh rimba persilatan. Banyak
di antara mereka yang mendatangi Lembah Akhirat. Namun kabar lebih lanjut tidak
diketahui. Mereka yang masuk ke Lembah Akhirat tak pernah keluar lagi. Kalaupun
kembali muncul di luaran sepertinya mereka membekal satu tugas.”
“Orang-orang Lembah Akhirat memang aneh. Mereka bukan orang jahat, tapi juga
sukar dikatakan orang-orang baik. Kau harus berhati-hati terhadap mereka Sabai. Kabarnya
sudah ada satu dua kaki tangan Datuk Lembah Akhirat berkeliaran di pulau Andalas ini.
Aku ingin melakukan penyelidikan apa sebenarnya yang ada di Lembah Akhirat yang
kabarnya begitu menggegerkan. Namun kau tahu waktuku sangat terbatas. Usiaku sudah
begini lanjut. Lagi pula aku merasa sudah saatnya mulai menjauhi segala macam urusan
dunia.”
“Kalau kau mempercayai, aku sanggup mewakili. Namun tanpa tambahan ilmu
pengetahuan atau kesaktian agaknya sulit sekali bagiku untuk kembali ke Tanah Jawa.”
“Jangan terlalu berputus asa Sabai. Adakah satu kejadian yang membuatmu kini
merasa takut kembali ke Jawa?”
“Bukan rasa takut Suto. Tapi rasa was-was...” Jawab Sabai Nan Rancak.
Sutan Alam Rajo Di Bumi tersenyum. Kepalanya didekatkan ke muka si nenek untuk
mencium pipi, leher dan kuduknya hingga Sabai Nan Rancak menggeliat dan keluarkan
suara mendesah.
“Rasa was-was adalah permulaan dari rasa takut. Ceritakan terus terang apa yang
kau alami dan menyebabkan kau mempunyai perasaan seperti . itu...” kata Sutan Alam
setengah berbisik ke telinga Sabai Nan Rancak.
Si nenek yang terangsang oleh ciuman Sutan Alam lebih dulu berusaha menindih
gejolak darahnya baru berikan keterangan.
“Dua kali aku hampir dapat menghabisi Tua Gila. Namun dua kali dia diselamatkan
oleh seorang perempuan aneh berkepandaian tinggi mengenakan pakaian dan penutup
wajah warna kuning. Yang membuat aku benar-benar merasa terpukul, dia sanggup
menahan pukulan Kipas Neraka dan mendorong hawa sakti yang kumiliki masuk kembali
ke dalam ke dua tanganku. Aku tidak malu mengatakan bahwa jika orang itu mau dia bisa
membuatku celaka waktu menghantam balik seranganku!”
“Jadi kau tidak mengalami cidera ketika orang itu menghantam balik pukulan
saktimu?” tanya Sutan Alam dengan kening berkerut.
“Untungnya tidak,” jawab Sabai Nan Rancak.
“Lalu apa yang terjadi dengan tangan kananmu. Kulihat ada tanda-tanda kulit dan
daging tangan kananmu mengelupas!”
“Cidera ini terjadi dalam bentrokan ke dua. Aku berusaha menghantam kepalanya.
Agar bisa membunuhnya dengan cepat. Orang bercadar menangkis dan inilah akibatnya!”
“Hemmmm....” Sutan Alam bergumam. “Kita harus mencari tahu siapa adanya orang
itu. Kalau tidak pasti bahaya yang lebih besar akan menimpa dunia persilatan. Orang-orang
golongan putih agaknya sudah terpecah-pecah oleh hasut dan fitnah. Kau tak usah
khawatir. Aku akan mengobati lukamu itu.” Sekarang apakah masih ada hal lain yang
hendak kau sampaikan?”“Ada satu tokoh baru muncul yang memiliki kepandaian setara Tua Gila. Orang ini
memperkenalkan diri dengan julukan Iblis Pemalu! Walau dia kelihatan berpihak pada
kelompok Tua Gila namun sulit diduga apakah dia benar-benar seorang tokoh golongan
putih....”
“Tanah Jawa semakin dipenuhi tokoh-tokoh aneh berkepandaian tinggi. Kita harus
melakukan sesuatu Sabai. Kau memang perlu mendapat tambahan ilmu baru. Di samping
itu kita harus bertindak memakai siasat. Hanya sayang aku tidak dapat memberikan ilmu
kepandaian apa-apa padamu. Seperti kau ketahui aku disumpah untuk tidak menurunkan
ilmu kepandaian apapun pada siapapun....”
“Termasuk ilmu Pukulan Malaikat Mendera Bumi tadi?”
Si kakek maklum kalau sejak lama Sabai Nan Rancak sangat menginginkan memiliki
ilmu pukulan sakti itu. Perlahan-lahan dia anggukkan kepalanya lalu bertanya mengalihkan
pembicaraan.
, “Apakah kau pernah mendengar cerita tentang sebuah makam yang disebut Makam
Setan? Terletak di sebuah pulau sunyi dan angker serta rahasia di pesisir barat Andalas?”
“Dulu kau juga pernah menerangkan. Aku hanya tahu sedikit dan memang pernah
berencana untuk menyelidik. Namun karena hasrat ingin mengejar Tua Gila rencana
menyelidik Makam Setan itu jadi tertunda....”
“Aku akan mengobati cidera di tanganmu itu. Lalu memberi tahu apa yang aku tahu
mengenai Makam Setan. Mungkin itu satu harapan besar bagimu sebelum kembali ke tanah
Jawa. Aku sangat yakin makam itu menyimpan sesuatu yang hebat. Jika kita bisa menguasai
makam berarti kita akan menguasai rimba persilatan pulau Andalas. Dan lebih dari itu
tanah Jawa akan berada dalam genggaman kita. Semua urusan itu kupercayakan padamu
Sabai.”
“Aku berterima kasih atas petunjuk dan kepercayaanmu Suto. Apa benar kabar yang
aku sirap bahwa makam itu ada sangkut pautnya dengan Datuk Tinggi Raja Di Langit.
Seorang tokoh paling hebat di pulau Andalas ini yang lenyap begitu saja sejak beberapa
waktu lalu?”
“Justru itulah yang harus kau selidiki. Namun aku memang menduga keras makam
itu ada hubungannya dengan diri Datuk Tinggi Raja Di Langit. Aku beritahukan padamu
bahwa tokoh tersebut memiliki dua senjata sakti yang sulit dicari tandingannya. Pertama
sebuah Mantel Sakti. Mantel ini mengandung satu kekuatan dahsyat yang jika dihantamkan
bisa menumbangkan pohon besar, menghancurkan batu. Jika seseorang sampai kena angin
pukulan mantel tubuhnya akan mental dalam keadaan hancur. Kalaupun dia bisa bertahan
hidup maka jalan darahnya akan tertutup, urat-urat dalam tubuhnya akan hancur!”
“Luar biasa! Belum pernah aku mendengar senjata sehebat itu!” kata Sabai Nan
Rancak.”
“Senjatanya yang ke dua. Berupa butir-butir Mutiara Setan. Senjata ini sanggup
menembus tembok atau batu. Dapat kau bayangkan bagaimana kalau dipakai menghantam
manusia! Nah Sabai, jika kau bisa menyelidiki hal ihwal Datuk Tinggi dan mencari jalan
mendapatkan dua senjata itu apapun urusanmu di tanah Jawa, siapa pun musuhmu kau tak
usah was-was lagi. Semua akan beres! Namun ada satu hal perlu kukatakan padamu. Jika
kau mendapatkan dua senjata itu atau salah satu dari keduanya, kau harus menemuiku
terlebih dahulu. Kita perlu mengatur siasat.... Bagaimana menurutmu. Ada yang hendak kau
katakan Sabai?Sabai Nan Rancak gelengkan kepala. “Semua keteranganmu sudah jelas bagiku Suto.”
“Bagus! Sekarang lupakan semua urusan dunia. Kau butuh istirahat. Aku akan
menemanimu. Kau suka Sabai...?”
“Sebentar Suto. Tadi kau bilang selanjutnya kita harus bertindak memakai siasat. Apa
yang ada dalam otakmu yang penuh akal itu Suto?”
“Aku mendengar Pendekar 212 Wiro Sableng anak murid si keparat Sinto Gendeng
dan juga murid Tua Gila berada dalam malapetaka besar, kehilangan ilmu kepandaian dan
kesaktian. Kalau kau nanti kembali ke Jawa yang harus kau cari lebih dulu bukannya Tua
Gila tapi Pendekar 212. Bunuh pemuda itu, maka Tua Gila ataupun Sinto Gendeng pasti
akan keluar dari sarang mereka. Saat itulah kau bisa menghabisi mereka!”
“Tujuanku semula hanya membunuh Tua Gila. Mengapa kini kau tambahkan dengan
membunuh Sinto Gendeng?” bertanya Sabai Nan Rancak.
“Keadaan bisa berubah. Setiap perubahan bisa mendatangkan keuntungan bagi kita
jika kita mau memutar otak!”
Sabai Nan Rancak anggukkan kepala. “Kau memang pintar Suto.... Dan licik!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang tertawa bergelak. “Jika kita ingin
menghadapi kehidupan, pergunakan otak, pergunakan kelicikan. Kalau tidak orang lain
akan mengotaki dan melicikkan diri kita. Kita harus kokoh tegar seperti banteng ketaton tapi
juga harus licik seperti seekor ular!”
Sutan Alam melangkah ke arah dinding goa. Tiga langkah di depan dinding tiba-tiba
terdengar suara berkereketan. Dinding batu menggeser aneh. Sutan Alam tersenyum dan
anggukkan kepala memberi isyarat pada Sabai Nan Rancak lalu melangkah masuk ke dalam
ruangan batu.
Sabai Nan Rancak mengikuti dengan cepat. Sebelum batu kembali bergeser menutup
masih kelihatan sepasang, kakek dan nenek itu saling berpeluk berpagut-pagutan.
*
* *
SEMBILAN
Dalam gelapnya malam dan dinginnya udara menjelang pagi serta gencarnya deru
angin yang bergabung dengan deru ombak, lelaki muda pemilik pukat merapatkan
perahunya itu ke lamping gundukan batu karang.
“Nek, aku hanya bisa mengantarkanmu sampai di sini.” Si pemilik perahu berucap.
Sabai Nan Rancak pelototkan mata lalu memandang ke depan, ke arah gugusan batu
karang yang berbaris seolah membentengi pulau kecil di kejauhan sana.
“Tujuanku adalah pulau di balik batu karang itu. Kurang ajar sekali kau berani
menurunkan aku masih di tengah laut begini rupa!”
“Nek, pulau yang kau tuju hanya tinggal dekat. Air laut di kawasan ini tidak dalam,
hanya sebatas pinggul. Kau bisa turun dari perahu dan menuju ke pulau dengan mudah.
Jika kau tak mau pakaian mu basah, kau bisa melompat dari satu batu karang ke batu
karang rendah yang membujur sampai ke pulau sana....”
“Kau benar-benar kurang ajar! Berani mengajariku! Aku tidak akan membayar sewa
perahumu!”
“Jangan Nek! Jangan lakukan itu! Aku sudah menyabung nyawa mau mengantarmu
ke sini!” kata pemilik perahu setengah meratap.
“Katakan mengapa kau tidak mau membawa aku sampai ke pulau sana?”
“Sudah kubilang berulang kali. Itu pulau setan.
Ada seribu keangkeran di sana. Berani ke sana jangan mengharap bisa kembali
hidup-hidup....”
“Memangnya di pulau itu ada apa?!” tanya Sabai Nan Rancak lagi.
“Jawabnya hanya satu kata Nek. Maut!”
Sabai Nan Rancak tertawa mengekeh.
Mendadak di kejauhan dari arah pulau lapat-lapat terdengar suara aneh.
“Seperti suara lolongan anjing...” desis Sabai Nan Rancak.
“Kurasa itu baru satu saja dari keanehan yang menyeramkan. Aku minta bayaranku
sekarang juga Nek....”
“Hemmm....” Sabai Nan Rancak bergumam. Dari batik jubah hitamnya
dikeluarkannya sesuatu lalu diberikannya pada pemilik perahu.
Yang diberikan bukan uang tapi sepotong kecil perak. Semula lelaki itu hendak
mengembalikan perak ini pada Sabai. Tapi setelah menilai akhirnya dia berkata. “Masih
kurang Nek. Paling tidak kau harus memberikan tiga keping perak sebesar ini....”
“Kalau kau mau menunggu sampai aku kembali, aku akan berikan kau sepuluh
keping perak sebesar itu! Apa jawabmu?!”
“Menunggu di sini, tidak mendarat ke pulau sana?”
Sabai mengukur jarak antara perahu di mana dia berada, memperhatikan letak batu-
batu karang rendah yang bersusun ke arah pulau lalu anggukkan kepala.
“Berapa lama aku harus menunggu Nek? Aku khawatir....”
“Apa yang kau khawatirkan?!” sentak Sabai Nan Rancak.
“Aku menunggu ternyata kau tidak pernah kembali...”
“Maksudmu aku menemui kematian di pulau setan itu?!”
“Ki... kira... kira begitu Nek.”Sabai Nah Rancak tertawa bergelak. “Aku memang tidak punya nyawa rangkap. Tapi
aku pasti kembali! Tunggu di sini dan jangan berani menipu!” Dari balik jubahnya si nenek
keluarkan segulung tali. Dia membuat semacam buhul besar. Buhul ini dilemparkannya
hingga masuk dan menjirat di ujung lancip batu karang di samping perahu. Ujung satunya
lagi diikatkan ke tiang besar perahu. Lalu dia berpaling pada pemilik perahu dan sambil
menyeringai berkata. “Tali ini bukan tali biasa. Buhul dan ikatannya bukan ikatan biasa. Tak
ada yang bisa melepaskah. Jangan harap kau bisa memutus tali dengan senjata tajam atau
membakar dengan api! Berarti kau tetap di sini sampai aku kembali! Hik... hik... hik!”
Masih tertawa panjang Sabai Nah Rancak lesatkan tubuhnya ke batu karang datar
yang tersembul di depan perahu. Dari sini dia melompat lagi ke batu karang di depannya.
Demikian beberapa kali hingga akhirnya dia mencapai pasir pantai pulau di balik barisan
batu-batu karang meruncing tinggi.
“Hebat!” kata pemilik perahu dalam hati yang memperhatikan kepergian si nenek.
“Nenek itu pasti sebangsa setan juga. Kalau tidak mengapa dia berani pergi ke Pulau Setan
itu!”
Di pasir pantai pulau sesaat Sabai Nan Rancak tegak tak bergerak. Empat rongsokan
perahu yang hanya tinggal kepingan-kepingan papan lapuk bergeletakan di atas pasir
pantai pulau. Sabai pasang telinganya baik-baik. Sepasang matanya memandang menembus
kegelapan. Dia tidak melihat sesuatu yang bergerak namun dia dapat mendengar suara aneh
dari arah timur pulau. Suara itu adalah suara orang mendesah panjang yang sesekali
berubah menjadi teriakan-teriakan seperti orang mencaci-maki. Lalu terdengar pula suara
lolongan anjing. Semua suara itu ditimpali oleh deru angin dan debur ombak serta gemerisik
daun-daun pohon kelapa. Jika bukan Sabai Nan Rancak yang berada di tempat itu pasti
orang sudah merasa ngeri dan dingin kuduknya. Dan kalau bukan Sabai yang
berkepandaian tinggi tidak mungkin akan menangkap suara desah berkepanjangan yang
bersumber dari satu tempat cukup jauh di sebelah timur pulau.
Selain dari itu bagi si nenek menginjakkan kaki di pulau itu membawa kenangan
tersendiri walaupun merupakan satu kenangan pahit memerihkan yang sampai saat itu
membekas sangat dalam di lubuk hatinya. Pulau itu dulu adalah salah satu tempat
kediaman Tua Gila alias Sukat Tandika, pemuda yang pernah menjadi kekasihnya Di pulau
itu mereka memadu cinta berkasih sayang hingga akhirnya Sabai Nan Rancak berbadan dua.
Sebelum bayi yang dikandungnya lahir Tua Gila meninggalkannya begitu saja. Si nenek
menarik nafas panjang beberapa kali.
Setelah memperhatikan keadaan sekelilingnya sekali lagi baru Sabai Nan Rancak
berkelebat cepat ke arah timur. Karena pulau itu tidak seberapa besar maka cepat sekali dia
sampai di tempat itu yang ternyata gugusan batu karangnya lebih besar dan tinggi. Sabai
menyeruak di antara lamping-lamping batu karang dan hentikan langkahnya di satu tempat
gelap di bawah bayang-bayang batu karang tinggi.
Di antara kerapatan pohon-pohon besar dan batu-batu cadas membentuk setengah
lingkaran terlihat satu lapangan datar. Di salah satu ujung lapangan tampak dua buah batu
nisan hitam berlumut tersembul dari permukaan tanah. Bagian badan dari makam hanya
merupakan satu timbunan tanah datar yang ditumbuhi rerumputan dan alang-alang liar.
“Dua Makam Setan! Keanehan yang menggidikkan...” kata Sabai Nan Rancak dalam
hati. Pandangannya kemudian membentur pada dua onggok jerangkong tengkorak manusia
yang tulang-tulangnya tidak lagi memutih tetapi telah terselubung tanah dan lumut. Lalu dikiri kanan dua makam terpancang beberapa buah tiang kayu. Pada dua tiang tergantung
dua jerangkong manusia dalam keadaan terkulai. Keadaan di tempat itu benar-benar
menggidikkan. “Ada empat orang korban pembunuhan keji. Pasti terjadi beberapa lama
lalu. Siapa kira-kira pelakunya?”
Sabai Nan Rancak melangkah mendekati dua makam bernisan batu hitam itu.
Langkahnya tertahan ketika di kejauhan tiba-tiba terdengar suara raungan anjing. Lalu
keadaan kembali sunyi. Si nenek diam sesaat kemudian palingkan kepalanya ke arah
makam di sebelah kiri. Dari arah makam itu sekonyong-konyong terdengar suara-suara
aneh.
“Duk... duk... duk... duk!”
“Suara apa itu,” pikir Sabai Nan Rancak. Tanah yang dipijaknya terasa bergetar.
“Seperti suara sesuatu dipukul berulang-ulang. Inikah yang dimaksud Suto Abang dengan
Makam Setan itu?” Sabai meneruskan langkahnya. Gerakannya kembali tertahan begitu dari
liang makam sebelah kiri terdengar seperti suara orang meraung. “Dalam makam di sebelah
kiri jelas ada makhluk hidup! Aneh! Mana mungkin? Orang yang sudah dikubur masih
hidup...?”
Langit masih kelam, malam masih gelap dan tiupan angin serta deru ombak di laut
terdengar lebih keras.
Sabai tenangkan gejolak hatinya. Kalau tadi dia hanya melangkah maka kini dia
membuat satu kali lompatan dan gerakannya ini membawa dia serta merta berada di
samping kiri makam. Di sini dia tegak berdiam diri, tak berani membuat suara. Telinganya
dipasang dan matanya menatap makam tak berkesip. Lalu ada suara orang mendesah. Sunyi
sesaat. Menyusul suara teriakan memaki. Tak jelas apa yang diteriakkan atau dimaki. Tapi
suara yang seolah terpendam itu jelas berasal dari dalam liang makam di hadapannya.
Sabai perhatikan nisan makam yang terbuat dari batu hitam. Lalu kepalanya
didekatkan agar bisa melihat apa yang tertulis di batu itu. Selain gelap, batu nisan itu juga
kotor berselimut tanah. Dengan tangan kirinya Sabai mengusap permukaan batu nisan.
“Astaga!” si nenek keluarkan suara tercekat ketika yang tertulis di batu nisan hitam
itu adalah nama “Tua Gila”. “Bagaimana mungkin? Orangnya masih hidup tapi kubur
lengkap dengan namanya sudah ada di tempat ini...?!” Si nenek beranjak ke makam satunya.
Seperti tadi dia menggosok bagian datar batu nisan. Kembali dia tersentak. Di batu nisan
satunya ini tertera nama “Wiro Sableng”!
“Rahasia apa sebenarnya yang ada dibalik keanehan seram dua makam ini?” pikir
Sabai Nan Rancak.
Baru saja dia membatin begitu tiba-tiba dari makam di sebelah kiri kembali terdengar
suara “Duk... duk... duk... duk!” Menyusul suara orang berteriak-teriak tak karuan. Karena
tidak jelas Sabai Nan Rancak tempelkan telinga kirinya pada batu nisan hitam di makam
sebelah kiri.
“Duk... duk... duk,..!”
Sabai kerahkan tenaga dalam lalu ketuk-ketuk batu nisan hitam.
“Duk... duk... duk... duk!”
Suara pukulan dari dalam liang kubur terdengar makin keras dan terus-terusan.
“Hai! Siapa di dalam makam?!” Tidak sabaran Sabai Nan Rancak berteriak. Tentu saja
dengan pengerahan tenaga dalam hingga suaranya bergema keras di malam yang kelam
menjelang pagi itu.
SEPULUH
Sabai Nan Rancak melangkah ke bagian belakang batu nisan hitam makam sebelah kiri
itu. Kakinya digeser-geserkan ke tanah sampai akhirnya dia menyentuh sesuatu. Si
nenek membungkuk, pergunakan tangannya untuk menggali.
“
Aku sudah menemukan batu hitam di belakang nisan!” berteriak Sabai Nan Rancak.
“Bagus! Demi setan aku berharap peralatan rahasianya tidak macet!” Orang di dalam
makam berseru.
“Peralatan rahasia apa?!” tanya Sabai tidak mengerti.
. “Tak perlu bertanya! Tekan batu itu dengan tanganmu. Kalau tidak ada gerakan
pergunakan kakimu! Lakukan cepat! Ratusan hari mendekam di liang neraka ini nyawaku
rasanya sudah sampai di tenggorokan!”
Sabai Nan Rancak tidak melakukan apa-apa. Dia diam saja tapi otaknya bekerja.
“Hai! Apakah sudah kau lakukan?!” Makhluk di dalam liang makam berteriak. ...
“Sebelum aku menolongmu kita perlu membuat perjanjian lebih dulu!” jawab Sabai Nan
Rancak.
“Jahanam! Perjanjian apa?!”
“Pertama terangkan dulu siapa dirimu?!”
Orang di dalam liang makam tak segera menjawab. Lalu dia malah terdengar
bertanya. “Mengapa kau ingin tahu siapa diriku?!”
“Kalau ternyata aku hanya menolong seorang bangsa kecoak, apa untungnya?!
Mungkin juga kau benar-benar setan yang hendak mengganggu mempermainkan diriku!
Bukankah makammu ini yang disebut orang sebagai Makam Setan?!”
“Setan! Dari suaramu aku tahu kau seorang perempuan! Kau manusia licik!”
“Terserah kau mau bilang apa! Kau mau mengatakan siapa dirimu atau aku segera
pergi saja dari tempat celaka ini!”
“Tunggu! Aku akan terangkan siapa diriku! Sialan! Kau benar-benar menambah
siksaanku!” jawab orang di dalam makam. “Aku Datuk Tinggi Raja Di Langit! Nah kau
sudah tahu! Apa kau puas sekarang?! Ayo tepati janjimu! Tekan batu hitam itu!”
“Jangan kau berani mengaku-aku! Datuk Tinggi Raja Di Langit bukan manusia
sembarangan! Bagaimana mungkin dia bisa berada dalam makam ini dan masih hidup?!
“Kau benar-benar perempuan sialan! Kalau kau ingin bertanya jawab nanti saja
setelah aku keluar dari tempat celaka ini!”
“Mana bisa begitu. Aku yang akan menolongmu, aku yang harus mengatur: Aku
tidak percaya kau adalah Datuk Tinggi Raja Di Langit. Bagaimana kau bisa
membuktikannya?!” teriak Sabai Nan Rancak.
“Perempuan setan! Aku tidak perlu memberikan segala macam bukti! Jika kau tidak
percaya pergi saja ke neraka! Ratusan hari dikubur di sini aku sebenarnya sudah pasrah
mampus sejak dulu-dulu...!”
“Hemm.... Siapa yang menguburmu hidup-hidup di Makam Setan ini?!” Sabai ajukan
pertanyaan sekaligus memancing agar orang mau memberi keterangan.
“Dua jahanam! Satu tua bangka sedeng satunya pemuda edan keblinger! Mereka
bernama Tua Gila dan Wiro Sableng! Dua makam batu di pulau ini sebenarnya aku sediakan
untuk mereka!”Tentu saja Sabai Nan Rancak jadi terkejut karena tidak menyangka akan mendengar
penjelasan seperti itu. Dia lantas teruskan pancingannya. “Setahuku Datuk Tinggi Raja Di
Langit memiliki kepandaian dan kesaktian tidak lebih rendah dari dua orang itu! Bagaimana
mungkin kau bisa mereka pendam di tempat ini?!”
“Aku kena tipu licik mereka!”
“Begitu? Hemm.... Lalu mayat siapa yang ada di makam satunya?!”
“Makam itu kosong! Wiro Sableng berhasil meloloskan diri!”
“Katamu kau sudah terpendam selama ratusan hari di makam ini! Bagaimana
mungkin kau masih bisa hidup?” tanya Sabai selanjutnya.
“Setan menolongku! Makam batu ini lembab berlumut! Aku tidak kekeringan dan
tidak kelaparan! Hanya dua anggota tangannya menjadi lemah, sulit digerakkan!”
“Kalau kau benar Datuk Tinggi Raja Di Langit apakah kau masih membekal Mantel
Sakti dan Mutiara Setan, dua senjata andalanmu?!”
Orang di dalam liang kubur tak segera menjawab.
“Kau tidak menjawab berarti kau tidak tahu menahu perihal dua senjata itu. Jadi kau
sebenarnya bukan Datuk Tinggi Raja Di Langit!”
“Kurang ajar! Omonganmu banyak amat! Pergi saja sana! Aku memilih mampus dari
pada melayani dirimu! Setan betul!” Orang di dalam liang kubur memaki panjang pendek.
“Aku akan menolongmu keluar dari Makam Setan ini. Tapi kita harus membuat
perjanjian.”
“Perjanjian apa?!”
“Kalau kau berhasil kubebaskan, aku minta kau menyerahkan Mantel Sakti dan
Mutiara Setanmu padaku!”
“Kau benar-benar manusia licik!”
“Terserah padamu! Memilih mati atau masih ingin hidup untuk membalaskan sakit
hatimu pada Tua Gila dan Wiro Sableng?!”
“Setan betul! Aku mengalah! Dua benda yang kau sebutkan itu akan kuberikan
padamu kalau aku bebas!”
“Bagus!” seru Sabai Nan Rancak. Si nenek kerahkan tenaga dalam. Lalu dengan
tangan kanan ditekannya batu hitam di tanah. Batu itu tidak bergerak sedikitpun.
“Batu hitam tidak bergerak!” Sabai memberi tahu.
“Celaka! Mungkin peralatan rahasianya sudah karatan. Macet! Kerahkan tenaga
dalammu! Atau injak batu dengan kakimu kuat-kuat!” teriak orang di dalam makam.
Sabai Nan Rancak bangkit berdiri. Dia kerahkan tenaga dalam ke kaki kanan. Lalu
dengan kaki itu diinjaknya kuat-kuat batu hitam yang menonjol di tanah. ,
Terdengar suara berderak. Tanah makam bergetar. Rumput dan alang-alang liar yang
tumbuh di atasnya tampak bergoyang-goyang. Lalu perlahan-lahan tampak tanah dan
tetumbuhan liar itu terangkat ke atas. Hawa busuk menebar keluar dari dalam liang makam
membuat Sabai Nan Rancak tersurut beberapa langkah, mau muntah dan terpaksa menutup
hidungnya!
Pada saat batu penutup makam membuka setengah dari dalam liang dengan susah
payah tampak merayap keluar sesosok tubuh yang membuat Sabai Nan Rancak merinding
saking bergidiknya.
Sosok tubuh itu adalah sosok seorang kakek berambut panjang riap-riapan. Kumis,
janggut, dan cambang bawuknya jadi satu menjulai lebat. Sepasang matanya yang besar seolah terpuruk ke dalam rongga yang dalam. Ke dua pipinya kempot tak bertulang.
Tubuhnya kurus kering terbungkus pakaian yang hancur tak karuan rupa hingga nyaris
telanjang. Dia menyeringai mengeluarkan suara desau seperti gerengan harimau dari
mulutnya yang bergigi dan memiliki taring seolah binatang. Sekujur tubuhnya menebar bau
sangat busuk!
Yang membuat si nenek jadi merinding ialah menyaksikan keanehan pada sepasang
kaki orang ini. Mulai dari bawah lutut sampai ke ujung jari, dua kaki orang ini tidak
berdaging sama sekali. Hanya merupakan tulang putih pipih laksana badan pedang bermata
dua! Apa yang telah menyebabkan ke dua kakinya tidak berdaging lagi?
Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Makam Tanpa Nisan untuk
melumpuhkan tenaga dalam Tua Gila dan Wiro yang hendak disekapnya di dalam dua
makam batu itu, Datuk Tinggi Raja Di Langit telah menebar sejenis bubuk. Begitu dia
dilempar masuk ke dalam liang batu itu maka dia sendiri menjadi korban bubuk
beracunnya. Walaupun begitu karena ilmunya yang tinggi dia tidak sampai menderita
lemah atau lumpuh keseluruhan. Hanya ke dua tangannya saja yang tidak bisa digerakkan.
Ke dua kakinya yang masih bisa digerakkan dipergunakannya untuk menendangi batu
penutup makam. Suara tendangannya itu disamping suara teriakannya diharapkan akan
terdengar oleh siapa saja yang berada di pulau dan dapat memberi pertolongan. Selama
ratusan hari tersekap dalam liang batu Datuk Tinggi hidup dari lumut lembab yang
bertumbuhan di Seantero liang batu. Dia bernasib untung karena antara liang penyanggah
dan lapisan batu penutup makam terdapat celah yang walaupun sangat tipis masih bisa
memasukkan hawa segar dari luar.
Selama ratusan hari disekap selama itu pula dia menendangi batu penutup makam
dengan ke dua kakinya. Tidak terasa ke dua kakinya menjadi kebal. Dia tidak mengalami
rasa sakit sama sekali ketika dua kaki yang dipakai untuk menendang, lama-lama kulit dan
dagingnya terkelupas hingga terkikis habis hanya tinggal tulang-tulang yang memutih dan
kebal rasa. Ternyata kelak sepasang kaki yang tinggal tulang ini dapat diandalkan sebagai
senjata dahsyat yang akan menggegerkan rimba persilatan.
“Astaga, inikah Datuk Tinggi Raja Di Langit itu?!” pikir Sabai Nan Rancak dalam hati.
Tiga langkah dari hadapan si nenek sosok tubuh kurus dan bau itu tersungkur
menelentang di tanah. Berulang kali dia menarik nafas panjang berusaha menghirup udara
segar, Lalu matanya yang besar berputar memandang ke arah Sabai.
“Betul kau Datuk Tinggi Raja Di Langit?” tanya Sabai agak meragu.
Yang ditanya tidak menjawab.
“Setelah kutolong harap kau tidak lupa perjanjian kita! Mana Mantel Sakti dan
Mutiara Setan yang harus kau berikan padaku?!”
Orang yang diajak bicara masih diam hanya desau nafasnya terdengar seperti
gerengan harimau.
“Kau tidak tuli, jangan berpura-pura tidak mendengar!” Sabai Nan Rancak jadi
jengkel karena ucapan-ucapannya tidak dijawab.
“Perempuan tua! Beri kesempatan padaku untuk bernafas menghirup udara segar.
Beri kesempatan padaku untuk mengatur jalan darah dan hawa dalam tubuhku! Aku bukan
orang yang suka ingkar janji! Jadi jangan bicara macam-macam! Tunggu sampai aku siap....”
“Boleh saja, tapi jangan coba menipuku! Aku sama sekali tidak melihat Mantel Sakti
dan Mutiara Setan yang jadi senjata andalanmu itu.”
Tanpa menunggu lebih lama si nenek segera melompat ke belakang makam di
sebelah kanan yang batu nisannya bertuliskan nama Wiro Sableng.
Dengan cepat dia menemukan batu hitam menonjol di tanah. Sekali kerahkan tenaga
dalam dan injakkan kakinya di batu itu maka terdengar suara berderak. Lalu ada suara
siuran dan perlahan-lahan batu penutup makam yang tertutup tanah dan ditumbuhi
rerumputan serta alang-alang liar bergerak ke atas hingga akhirnya berhenti. Walau berdiri
dekat kepala makam namun Sabai tidak dapat melihat isi makam itu karena sangat gelap.
“Mantel dan Mutiara Setan itu ada di dalam liang batu. Tunggu apa lagi? Mengapa
kau tak segera mengambilnya?” berseru Datuk Tinggi Raja Di Langit.
Sabai Nan Rancak tidak bergerak dari tempatnya. Hatinya bimbang. Dia menaruh
curiga. Selain tidak dapat menduga berapa dalamnya lobang makam batu itu serta tidak bisa
melihat karena gelap, dia juga menaruh curiga kalau-kalau begitu masuk Datuk Tinggi
menurunkan batu penutup makam hingga dia tersekap di Makam Setan itu!
“Kau saja yang turun ke dalam makam mengambil dua benda sakti Itu lalu
menyerahkannya padaku!” Berkata Sabai Nan Rancak.
“Nenek, kau benar-benar rewel dan banyak pinta! Aku sudah memberi malah kau
memerintah seolah aku ini kacungmu!”
“Kau memang bukan kacungku!” tukas Sabai. “Tapi jangan lupa! Jika aku tidak
menolongmu kau akan jadi jerangkong busuk dalam Makam Setan itu!”
Sambil mengomel Datuk Tinggi melangkah ke tepi makam.
“Gelap! Aku tidak bisa melihat apa-apa. Sebaiknya kita menunggu sampai hari
terang. Sebentar
lagi pagi datang. Aku sudah melihat ada saputan sinar kekuningan di sebelah timur.”
“Jangan-jangan kau hendak memperdayaiku!” Kata Sabai Nan Rancak.
“Perempuan setan!” carut Datuk Tinggi.
Sabai Nan Rancak tersenyum dan melangkah mendekati si kakek. Ketika nenek itu
hanya tinggal satu langkah dari hadapannya tiba-tiba dalam keadaan masih duduk di tanah
Datuk Tinggi Raja Di Langit hantamkan kaki kirinya. Maksudnya hendak menjegal kaki
Sabai lalu mendorongnya ke dalam makam batu sebelah kiri.
Tapi Sabai Nan Rancak yang sejak tadi memang telah berlaku waspada dengan cepat
melompat. Serimpungan kaki Datuk Raja Di Langit mengenai tempat kosong lalu
menghantam pinggiran batu penutup makam.
“Traakkk!”
Sabai Nan Rancak mengira kaki yang hanya tinggal tulang itu hancur berpatahan.
Tapi alangkah kagetnya dia ketika menyaksikan bukan kaki si kakek yang patah sebaliknya
batu tebal penutup makam yang terbelah seolah papan dibabat sebilah pedang sakti! Sang
Datuk sendiri melengak kaget melihat apa yang terjadi. Dia sanggup memutus batu tebal
penutup makam sedang kaki atau tulang kakinya sama sekali tidak merasa sakit sedikitpun!
Dalam kagetnya Sang Datuk menjadi lengah. Sebaliknya Sabai Nan Rancak tidak mau
berlaku ayal. Dengan cepat dia menyergap si kakek dengan satu totokan dahsyat. Sang
Datuk sekilas masih sempat melihat gerakan orang. Dia angkat tangan kanannya untuk
menangkis. Namun saat itu baik tangan kanan maupun tangan kirinya masih berada dalam
keadaan lemas tidak berdaya hingga dia tidak mampu mengangkatnya. Totokan si nenek
bersarang telak di dada kanannya.“Perempuan jahanam! Aku memang curiga padamu sejak tadi-tadi!” Ternyata
totokan yang dilancarkan Sabai hanya membuat tubuh Datuk Tinggi kaku tetapi jalan
suaranya masih terbuka.
“Tua bangka tidak tahu diri. Aku telah menolongmu! Janjimu belum lagi kau tepati.
Barusan kau yang lebih dulu menyerangku! Masih untung aku tidak segera membunuhmu
Saat ini juga!”
“Perempuan jahanam! Kau akan menyesal kalau tidak membunuhku!”
Sabai tertawa panjang. Dia pergi duduk bersandar pada sebuah batu besar di pinggir
lapangan. Kedua matanya dipejamkan. Dia sengaja tidur-tidur ayam sambil menunggu
datangnya pagi.
*
* *
SEBELAS
Sebenarnya Datuk Tinggi Raja Di Langit memiliki kemampuan membuyarkan totokan.
Namun saat itu keadaannya masih sangat lemah. Bagaimanapun dia mengerahkan
seluruh kekuatan tenaga dalamnya dia hanya, mampu menggerakkan sedikit ke dua
tangan dan menggetarkan bagian-bagian tertentu dari tubuhnya.
“Perempuan jahanam!” maki Datuk Tinggi. “Aku harus bisa mengembalikan
kekuatanku! Aku harus mampu mengerahkan tenaga dalam sebelum matahari terbit. Aku
tidak akan memberikah Mantel Sakti dan senjata rahasia Mutiara Setan itu padanya!”
Mantel dan Mutiara Setan itu memang menjadi andaian Datuk Tinggi karena pada
dasarnya dia tidak memiliki kesaktian lain atau ilmu silat tinggi. Sepanjang hidupnya dia
mencurahkan perhatian pada dua hal. Pertama mempelajari pengembangan tenaga dalam
untuk dijadikan dasar penggunaan ilmu bertahan dan menyerang yang mengandalkan
Mantel Sakti. Hal kedua ialah ilmu melempar untuk penggunaan senjata rahasia Mutiara
Setan. Selama ini Datuk Tinggi telah banyak berhasil hingga namanya mencuat dalam rimba
persilatan sebagai salah satu momok yang ditakuti. Itulah sebabnya saat itu dia berusaha
mati-matian memulihkan tenaga dalam dan kekuatannya. Kalau Mantel Sakti dan Mutiara
Setan sampai jatuh ke tangan Sabai Nan Rancak berarti dia tidak punya apa-apa lagi untuk
diandalkan. Namun di saat itu ada satu hal yang membuatnya heran, gembira, tetapi juga
jadi bingung sendiri.
“Tadi sewaktu terabasan kakiku gagal menghantam kaki perempuan setan itu, batu
atos penutup makam yang jadi sasaran. Batu itu terbelah putus. Tulang kakiku sama sekali
tidak terasa sakit! Kakiku yang hanya tinggal tulang pipih memutih telah berubah menjadi
satu senjata hebat yang benar-benar tidak bisa kupercaya! Aku harus memanfaatkan
kehebatan ini! Gila, dipendam orang selama ratusan tahun aku kini memiliki satu kehebatan
yang tidak terduga! Hemmm... Aku yakin akan membuat nama: besar dalam rimba
persilatan. Tua Gila! Wiro Sableng! Tunggu pembalasanku! Hemmm.... Sekarang biar aku
mengurus perempuan tua bangka dajal ini lebih dulu!”
Di bawah pohon perlahan-lahan Sabai Nan Rancak buka ke dua matanya yang
meram-meram ayam. Di arah timur sinar terang tampak semakin jelas tanda sang surya
segera akan terbit. Di dekat makam dilihatnya Datuk Tinggi Raja Di Langit terbujur tak
bergerak, menghadap ke arah makam. Ke dua tangan terkulai di tanah. Sepasang mata
tertutup tapi si nenek tahu kalau mata: itu tidak terpejam dan terus-terusan mengawasi
gerak-geriknya.
“Setan itu tengah berusaha keras memulihkan dirinya. Aku melihat ada getaran-
getaran halus di beberapa bagian tubuhnya. Aku harus bertindak cepat!” Sabai Nan Rancak
bangkit berdiri lalu melangkah cepat mendekati makam yang batu nisan hitamnya
bertuliskan nama Wiro Sableng. Sinar terang di kejauhan yang jatuh di atas makam
membuat si nenek kini dapat melihat apa yang ada di dalam makam. Lumut menempel di
mana-mana. Lalu tetumbuhan liar, rumput dan alang-alang. Cacing-cacing besar
menggeliat-geliat di satu sudut makam. Juga ada beberapa ekor kalajengking hitam pekat.
Kemudian sepasang mata si nenek membentur sebuah benda lebar berwarna hitam yang
tampak kotor diselimuti tanah bercampur lumut. Tak jauh dari. benda hitam ini ada sebuah
kantong kain tebal yang juga terbungkus tanah dan lumut.“Mantel Sakti, Mutiara Setan!” desis Sabai Nan Rancak dengan dada berdebar keras.
Dia melirik ke kiri. Datuk Tinggi Raja Di Langit masih tetap duduk bersila seperti tadi di
tempatnya. Sabai mengukur kedalaman makam batu. Dia yakin dengan satu kali melompat
lalu menggenjot dia bakal mampu menyambar mantel dan kantong lalu melesat kembali
keluar dari dalam makam. Setelah memperhitungkan segala sesuatunya maka tanpa
menunggu lebih lama Sabai Nan Rancak melompat terjun ke dalam makam batu. Tangan
kirinya menyambar kantong kain berisi Mutiara Setan. Tangan kanan menarik Mantel Sakti.
Lalu ke dua kakinya dihentakkan ke lantai makam. Saat itu juga tubuhnya berkelebat
melesat ke atas.
“Wuuuttt!”
Sabai Nan Rancak terpekik kaget. Begitu sebagian tubuhnya keluar dari dalam
makam ada satu benda putih menyambar. Kalau dia tidak cepat membuang diri ke samping
lalu pergunakan sanding batu makam untuk menjejakkan kaki melontar diri ke samping
niscaya benda putih itu akan menghantam pinggangnya. Sabai tidak jelas benar benda apa
yang barusan menyerangnya. Dia cepat berpaling. Kagetlah si nenek.
Di hadapannya, di tepi makam dilihatnya Datuk Tinggi Raja Di Langit terduduk
setengah berlutut. Muka dan matanya yang seangker iblis menatap tajam ke arahnya.
“Tak bisa kupercaya! Dalam keadaan seperti ini dia ternyata mampu melepaskan diri
dari totokanku! Barusan dia menyerangku dengan kaki tulangnya! Tapi agaknya
kekuatannya masih belum pulih keseluruhan. Dari pada mencari perkara lebih baik aku
segera saja angkat kaki dari sini!”
Si nenek segera memutar tubuh siap tinggalkan tempat itu.
“Perempuan jahanam) Kembalikan Mantel Sakti dan Mutiara Setanku!” teriak Datuk
Tinggi dengan mata berapi-api. Setengah beringsut dia bergerak mendekati Sabai.
Si nenek menyeringai buruk. “Ini kesempatanku untuk mencoba kehebatan Mantel
Sakti ini!” pikir Sabai. Lalu dia berseru. “Kau inginkan mantel dan senjata rahasiamu! Culas
curang! Kau sudah berjanji menyerahkannya padaku! Tapi tak jadi apa! Kau
menginginkannya silahkan ambil sendiri!” Sabai acung-acungkan mantel dan kantong kain,
membuat sang Datuk meluap amarahnya. Dia jatuhkan diri ke tanah lalu berguling. Kaki
kirinya menyambar, membabat ke arah kaki Sabai. Si nenek tidak tinggal diam. Dia
melompat menjauh seraya kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dan mengebutkan
Mantel Sakti yang dipegangnya.
“Wussss!”
Satu gelombang angin laksana badai dan deburan air bah menyambar ke arah Datuk
Tinggi. Lumut dan tanah yang menempel di mantel itu ikut berlesatan.
Datuk Tinggi berteriak keras. Dia cepat jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Namun
tak urung tubuhnya masih kena tersapu hingga mental sampai tiga tombak. Di sebelah sana
dua buah batu penutup makam tanah kubur dan batu-batu nisan hitam amblas berantakan
dihantam sambaran Mantel Sakti!
Datuk Tinggi merasakan tubuhnya seperti hancur. Dia meneliti dengan cepat. Tak
ada bagian tubuhnya yang cidera. Hanya dadanya terasa berdebar dan jalan darahnya agak
kacau. Ini membuatnya jadi heran. “Ada kekuatan aneh melindungi diriku. Orang lain pasti
sudah remuk dihantam angin Mantel Sakti tadi!”Di depan sana Sabai Nan Rancak masih tegak sambil menyeringai. “Kau masih
inginkan mantel dan senjata rahasiamu ini Datuk? Ayo, aku memberi kesempatan padamu
untuk mengambilnya!”
“Perempuan jahanam! Kucincang tubuhmu!” teriak Datuk Tinggi lalu gulingkan diri
ke arah si nenek. Tapi saat itu Sabai tak mau melayani lagi. Dia berkelebat tinggalkan tempat
itu, cepat-cepat menuju ke pantai pulau tempat perahu sewaan menunggunya. Dengan
cekatan si nenek melompat dari batu karang datar ke batu karang lainnya hingga akhirnya
dia sampai di atas perahu besar.
Satu kejutan membuat si nenek melengak. Ada orang bersuara parau tiba-tiba
menegurnya.
“Rejekimu besar sekali hari ini Nek. Mantel Sakti di tangan kanan. Kantong Mutiara
Setan di tangan kiri! Apakah kau mau berbagi rejeki denganku?!”
Sabai Nan Rancak palingkan kepalanya ke arah kanan dari jurusan mana datangnya
suara orang menegur.
“Siapa kau!” sentak Sabai Nan Rancak.
Orang yang dibentak dongakkan kepala lalu tertawa keras.
“Lain yang dicari lain yang kutemui! Tapi apa salahnya berkenalan berbasa-basi!”
“Jahanam! Kalau tidak lekas menjawab kulempar kau ke dalam laut!” Sabai Nan
Rancak angkat tangan kanannya yang memegang mantel. Dia melirik ke kiri dan ke kanan.
Lalu berteriak. “Pemilik perahu! Di mana kau?!”
“Aku di sini Nek....” Ada jawaban dari sebelah kanan.
*
* *
DUA BELAS
Saat itu matahari telah terbit. Keadaan di laut cerah dan terang. Di sebelah kanan, di
lantai perahu Sabai Nan Rancak melihat lelaki pemilik perahu duduk tersandar.
Mulutnya pecah dan hidungnya hancur. Darah menutupi sebagian wajahnya.
Sabai berpaling ke arah lambung perahu. Orang bersuara parau yang tadi
menegurnya tegak sambil berkacak pinggang. Orang ini ternyata kakek berpakaian
kembang-kembang. Mukanya tertutup bedak tebal. Pipinya diberi merah-merah. Alisnya
melintang tebal dan rambutnya dikepang enam. Pada setiap kepangan digantungi kertas
dan kain-kain warna-warni. Dia memiliki bibir dower tebal dan dilapisi cat merah
mencorong.
“Pasti orang gila ini yang telah mencelakai pemilik perahu,” membatin Sabai Nan
Rancak. “Aku tidak kenal padamu! Mengapa berani berada di atas perahu sewaanku? Lekas
menyingkir!” Hardik si nenek.”
“Aha! Aku tidak tahu kalau ini perahu sewaanmu. Pantas waktu tadi aku naik ke sini,
monyet bau ini marah. Karena, mulutnya keiewat kurang ajar terpaksa aku menggebuknya
sedikit! Ha... ha... ha...!”
“Keparat! Dalam keadaan seperti ini bagaimana tahu-tahu ada orang gila datang
mengganggu!” Sabai bercarut sendiri dalam hatinya.
“Orang gila! Jika kau tidak lekas menyingkir aku benar-benar akan membunuhmu
dan melemparkan mayatmu ke laut!” Mengancam Sabai.
“Jangan terlalu galak sobat! Aku datang ke sini tidak bermaksud mencari lantaran
denganmu! Aku datang dari jauh mencari bangsat tua berjuluk Datuk Tinggi Raja Di Langit!
Satu tahun yang silam dia telah membunuh adikku Kiyai Surah Ungu, bergelar Pangeran
Tanpa Mahkota, berasal dari Banten.”
“Aku tidak percaya orang gila sepertimu punya adik seorang Pangeran!” tukas Sabai.
“Terserah mau percaya atau tidak bukan urusanku! Aku hanya ingin menuntut balas.
Tahu-tahu aku ketemu kau! Ha... ha... ha! Kalau dulu ketemu di waktu masih muda-muda
pasti sedap juga ya?! Tapi tak jadi apa! Aku tahu betul Mantel Sakti dan kantong berisi
senjata rahasia itu adalah milik Datuk Tinggi Raja Di Langit! Bagaimana bisa berada di
tanganmu? Apakah kau mencurinya?!”
“Enak saja menuduh aku pencuri! Aku mendapatkan dua senjata sakti ini setelah
membunuh Datuk Tinggi! Sebentar lagi kau akan jadi korbanku berikutnya!”
“Ah, kau pasti seorang nenek Sakti hebat luar biasa! Tapi mengapa aku harus takut
ancamanmu? Kalau belum melihat mayat sang Datuk bagaimana aku percaya kau
sungguhan telah membunuhnya? Itu sebabnya aku mengusulkan agar kita berbagi rejeki.
Berikan salah satu senjata sakti itu padaku. Aku akan menerima yang mana saja!”
“Baik! Aku akan berikan Mantel Sakti padamu! Harap kau suka menerima!”
Habis berkata begitu si nenek kebutkan Mantel Sakti di tangan kanannya.
“Wuttt!”
Perahu kayu itu bergetar keras ketika angin laksana badai menyambar. Tiang layar
berderak-derak. Semua benda yang ada di lantai perahu termasuk sosok lelaki pemilik
perahu hancur dan mental masuk ke dalam laut. Air laut bergelombang muncrat.Kakek aneh bermuka seperti dirias tersentak kaget. Dia keluarkan bentakan parau
lalu melompat tinggi dan tahu-tahu seperti seekor burung elang dia sudah hinggap di
puncak tiang perahu layar!
“Srettt! Sett... settt! Wuttt!”
Sabai Nan Rancak berseru kaget ketika tiba-tiba kain layar perahu bergerak kencang
dan dengan ganas menggulung ke arahnya. Mantel Sakti di tangan kanannya hampir-
hampir terlepas mental kalau dia tidak cepat jatuhkan diri dan bergulingan di lantai perahu.
Dalam keadaan seperti itu si nenek tak memperhatikan lagi keadaan jubah hitamnya yang
tersibak berantakan kian kemari. Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan.
Menyusul suara orang berucap.
“Nek, kau ini malu-maluin saja! Auratmu tersingkap ke mana-mana! Untung kau
pakai celana dalam! Kalau tidak! Walah! Pasti aku akan menyaksikan sepotong serabi
bulukan! Ha... ha... ha! Benar-benar memalukan!”
Saat itu jubah hitam Sabai Nan Rancak memang tersingkap lebar dari pinggang ke
bawah.
Sabai Nah Rancak terkesiap kaget. Cepat si nenek rapikan jubah hitamnya dan
melompat bangkit. Dia palingkan kepalanya ke kiri.
“Dari cara bicaranya, rasa-rasanya memang dia! ujar Sabai dalam hati ketika
pandangannya membentur sesosok tubuh berpakaian ringkas hitam yang duduk berjongkok
di pinggir perahu sambil menutupi wajahnya dengan ke dua tangan. “Anehi bagaimana dia
tahu-tahu bisa berada di tempat ini. Jangan-jangan sejak di tanah Jawa dulu dia telah
menguntit diriku!” Sabai Nan Rancak seperti mau mengeluh melihat kehadiran orang itu
yang akan menambah buruknya suasana. Tapi setelah memutar akal maka dia cepat berseru.
“Sobatku, bukankah kau Iblis Pemalu! Aku gembira bertemu dengan kau!”
“Sobatku? Aku sobatmu? Aha rasanya tidak pernah begitu! Sungguh memalukan!”
“Hai! Jangan malu-malu mengakui! Kau datang tepat pada waktunya. Sebagai sobat
lama aku akan memberikan salah satu dari benda sakti ini!”
“Ah, itu bagus juga! Tapi aku malu menerimanya!” jawab orang berpakaian hitam
yang mencangkung di pinggiran perahu.
“Tak usah malu! Aku memang sudah merencanakan untuk memberi sesuatu padamu
karena kau orang baik! Tapi di tempat ini....”
Ucapan Sabai Nan Rancak terputus. Sudut matanya melihat satu gerakan di arah
pantai. Ketika dia berpaling dan memperhatikan ternyata di tepi pasir tampak tegak berdiri
terbungkuk-bungkuk Datuk Tinggi Raja Di Langit. Orang ini tengah bersiap-siap terjun ke
laut. Sesaat dia seperti menggapai-gapai lalu meracau masuk ke dalam air laut sedalam
sepinggang. Perlahan-lahan tapi pasti dia akan segera sampai ke perahu di mana Sabai
berada.
“Celaka! Bangsat tua itu agaknya sudah pulih kekuatannya. Bagaimana ini...?” Sabai
memandang ke atas tiang layar. Saat itu kakek berbaju kembang-kembang tengah meluncur
turun sambil tertawa parau. Si nenek berpaling pada Iblis Pemalu. Lalu berteriak. “Sobatku!
Kau tolong hadapi dulu orang tua gila itu! Aku akan mengayuh perahu. Kau harus
menolong! Jangan membuat aku malu!”
“Ya... ya! Aku akan menolong! Tapi awas! Rapikan dulu pakaianmu! Jangan sampai
aku melihat dua kali! Bisa sialan aku! Memalukan sekali! Hik... hik... hik!”Sabai Nan Rancak cepat berkelebat ke kiri untuk menarik lepas tali pengikat perahu
yang dibuhulkan pada satu tonjolan runcing batu karang. Dia berhasil. Selagi kebingungan
mencari kayu pendayung kakek bermuka dirias sudah injakkan kaki di atas lantai perahu.
Tapi Iblis Pemalu dengan menutupi wajah cepat menghadangnya.
“Orang tua bermuka cemongan! Jangan berbuat hal yang memalukan! Kau bilang
datang ke sini mencari Datuk Tinggi! Mengapa membuat keonaran dengan orang lain!
Memalukan!”
“Orang gila! Kasihan mengapa kau bisa kesasar ke tempat ini?! Kalau mencari mati
apa tidak bisa mencari tempat yang lebih enakan?!” Kakek baju kembang-kembang tertawa
bergelak.
“Memalukan!” teriak Iblis Pemalu. “Mengatakan aku gila! Padahal kau sendiri yang
gila mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki! Hik... hik... hik! Sungguh memalukan
menemui kematian sebagai orang gila!”
“Jahanam! Berani kau menghina diriku!” Kakek bermuka dirias jadi marah
mendengar ejekan orang. Dua tangannya yang sejak tadi terlindung di balik lengan bajunya
yang panjang tiba-tiba diangkat ke atas dan menyambar ke muka Iblis Pemalu yang ditutupi
ke dua tangannya. Ternyata kakek itu hanya memiliki tiga jari dan tiga kuku panjang pada
masing-masing tangannya.
“Aha! Aku mengenali siapa dirimu! Momok Berdandan Jari Tiga! Memalukan!
Tangan jelek begitu saja diperlihatkan!”
Habis mengejek begitu Iblis Pemalu cepat melompat mundur. Tapi seolah bisa diulur,
tangan kanan si kakek memanjang dan “Wuttt!” Tiga kuku jarinya yang panjang mencakar
ke arah kepala Iblis Pemalu. Untuk melompat mundur lagi sudah tidak mungkin bagi Iblis
Pemalu karena saat itu punggungnya telah menyentuh pinggiran perahu. Mau tak mau dia
angkat tangan kirinya menangkis sementara tangan kanan masih tetap menutupi wajahnya.
“Bukkk!”
Beradunya dua tangan membuat dua orang itu sama-sama berseru kesakitan. Kakek
baju kembang-kembang berjuluk Momok Berdandan Jari Tiga terpental sampai dua tombak.
Ketika lengan tangannya disingkapkan dia terkejut melihat daging tangannya telah
menggembung merah. Dia cepat berdiri dan pandangi Iblis Pemalu dengan mata melotot.
Saat itu Iblis Pemalu sendiri terbungkuk-bungkuk menahan sakit namun dari mulutnya
keluar suara tawa cekikikan. Nyali si kakek baju kembang mau tak mau menjadi goncang.
Dia mendengar kabar Datuk Tinggi orang yang dicarinya memiliki kepandaian tinggi. Kini,
belum lagi berjumpa dengan pembunuh adiknya itu, dia berhadapan dengan seorang lelaki
muda tidak dikenal yang ternyata mempunyai ilmu kepandaian tidak sembarangan.
*
* *
TIGA BELAS
Manusia gila! Katakah siapa kau adanya! Mengapa mau saja disuruh nenek buruk
itu?! “Kakek gila! Siapa diriku tak usah kau tahu! Jangan membuat aku malu!
Nenek itu tak suka padamu! Mengapa masih nangkring di atas perahu ini! Ayo
lekas pergi! Kalau tidak aku akan membuatmu benar-benar menjadi malu besar!” Momok
Berdandan Jari Tiga tertawa parau. “Masih muda sudah gila! Sungguh aku kasihan dan
merasa malu padamu monyet berpakaian hitami Jika kau memang tahu malu mendekatlah
padaku! Akan kuajari kau bagaimana caranya agar tidak tahu malu! Ha... ha...ha...!”
Ditertawai orang Iblis Pemalu ikut-ikutan tertawa. “Banci gila! Lelaki berdandan
seperti perempuan! Apa tidak malu?!”
Mendidihlah amarah Momok Berdandan Jari Tiga mendengar ejekan itu. Didahului
bentakan parau dia menyergap ke depan. Dari jari tengah tangan kiri mencuat selarik sinar
hitam pekat sedang dari jari tengah tangan kanan melesat sinar biru kelam. Inilah ilmu yang
sangat diandalkan si kakek, yang disebut Dua Larik Sinar Kematian. Selama ini tidak pernah
ada lawan yang bisa menghindar dari maut jika dia sudah mengeluarkan ilmu kesaktian itu.
Iblis Pemalu sendiri tampak tersirap kaget. Walau masih tertawa namun dia cepat
menghindar dengan melompat dua tombak ke kiri. Si kakek memburu dengan ikut
melompat. Sinar hitam memang luput tapi sinar biru menghajar ke arah kepala Iblis Pemalu.
Sabai Nan Rancak tercekat menyaksikan hal itu. Dia gerakkan tangan kanannya yang
memegang Mantel Sakti. Maksudnya hendak menangkis serangan maut itu dan sekaligus
menghantam Momok Berdandan Jari Tiga. Tapi mendadak sinar hitam yang mencuat dari
tangan kirinya membalik dan menyambar ke arah Sabai. Nenek ini berteriak keras. Mau tak
mau dia terpaksa tarik tangan kanannya. Pada saat itu sinar biru yang menghantam ke dada
Iblis Pemalu hanya tinggal satu jengkal saja lagi dari sasarannya.
Iblis Pemalu masih juga tertawa. Namun mukanya di balik dua tangannya tampak
berubah. Pada saat yang menegangkan itu, tiba-tiba sesosok tubuh entah dari mana
datangnya melesat ke atas perahu. Kepalanya menumbuk pinggul Iblis Pemalu dengan
keras, membuat Iblis Pemalu terlempar jauh dan roboh di lantai perahu. Namun tumbukan
ini menyelamatkan nyawa Iblis Pemalu, Karena sinar biru mematikan yang akan
membunuhnya menjadi lewat setengah jengkal dari tubuhnya!
Orang, yang menumbuk Iblis Pemalu saat itu tampak mencoba bangkit terhuyung-
huyung. Keadaannya basah kuyup dan nyaris telanjang. Rambut, janggut, kumis maupun
berewoknya riap-riapan. Ketika rambutnya yang menutupi muka disibakkan, kelihatanlah
tampangnya yang angker menyeringai. Gigi-gigi besar berbentuk taring binatang mencuat
dari mulutnya.
“Hampir putus nyawaku! Memalukan!”
Sementara Iblis Pemalu berteriak begitu dua orang di atas perahu yakni Sabai Nan
Rancak dan Momok Berdandan Jari Tiga sama-sama terkesiap.
“Manusia satu ini benar-benar luar biasa! Dia sanggup menyeberangi pantai dan naik
ke atas perahu!” membatin Sabai Nan Rancak. Nenek ini segera memutar otak. Dia sudah
dapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan. Mengapa menghabiskan waktu dan merepotkan
diri berlama-lama di atas perahu itu. Tapi dia mau kemana kalau tidak kabur memakai perahu!
Momok Berdandan Jari Tiga yang tadinya begitu bernafsu hendak membunuh Iblis
Pemalu alihkan perhatiannya pada orang yang basah kuyup riap-riapan. Dari
tenggorokannya keluar suara menggembor ketika akhirnya dia bisa mengenali siapa adanya
kakek kurus kering bermuka setan ini.
“Datuk Tinggi Raja Di Langit! Setahun aku mencarimu! Kau muncul dengan sosok
begini rupa! Aku berpikir apakah malaikat maut masih mau dan tidak jijik membetot lepas
nyawamu dari tubuhmu?!” Yang berucap dengari suara keras itu adalah Momok Berdandan
Jari Tiga.
“Kakek aneh! Laki-laki tapi berdandan macam perempuan, berpakaian berbunga-
bunga seperti perempuan! Apa di bawah perutmu juga ada perkakas seperti perempuan?!”
Datuk Tinggi menjawab tak kalah lantang lalu tertawa bekakakan. Tiba-tiba dia palingkan
kepala pada Sabai Nah Rancak. Dia keluarkan suara menggeretak. “Urusan kita belut lesai!
Jangan berani beranjak dari tempat ini!”
Sabai Nan Rancak menjawab dengan suara mendengus.
“Datuk Tinggi pembunuh adik kandungku! Mungkin kau tidak bakal dapat
menyelesaikan urusan dengan nenek itu! Aku lebih dulu datang menagih nyawamu!”
“Anjing tua berdandan slebor! Siapa adikmu yang pernah aku bunuh!”
“Kiyai Surah Ungu, Pangeran Tanpa Mahkota berasal dari Banten!” jawab Momok
Berdandan Jari Tiga.
“Oh, dia rupanya!” ujar Datuk Tinggi lalu tertawa gelak-gelak. “Kiyai itu memang
pantas disingkirkan!”
“Apa kesalahannya hingga kau membunuhnya!”
“Kesalahannya sepele saja! Dia datang menyambangi makam Tua Gila sahabatnya!
Padahal aku sudah menyebar niat! Siapa saja sahabat Tua Gila yang datang ke makam harus
menemui ajal!”
“Aneh!” kata Momok Berdandan sambil cibirkan bibirnya yang dower.
“Apa yang aneh?!” sentak Datuk Tinggi.
“Aku dengar Tua Gila masih hidup! Kau mengatakan dia sudah mati dan dimakamkan!
Jangan-jangan otakmu sudah tidak karuan!”
Mendengar ucapan orang Datuk Tinggi tertawa mengekeh. “Apa Tua Gila masih
hidup atau sudah mati, aku tidak begitu perduli. Dan kau datang sangat terlambat!”
“Apa maksudmu?!”
“Mayat kakakmu sudah berubah jadi jerangkong! Di pulau sana ada beberapa
jerangkong! Kalau kau suka aku bersedia menunjukkan yang mana jerangkong < kakakmu.
Tapi syaratnya kau harus mampus dan jadi setan lebih dulu! Ha... ha... ha!”
“Orang gila calon mayat! Orang yang mau mampus bicaranya memang tidak karuan!
Mari kutunjukkan jalan agar kau bisa menghadap Penguasa Neraka lebih cepat!”
Habis berkata begitu Momok Berdandan Jari Tiga angkat ke dua tangannya.
Tangannya yang berjari dan berkuku tiga menyembul dari balik lengan jubah yang dalam.
Langsung selarik sinar hitam pekat dan biru kelam menderu menghantam ke arah Datuk
Tinggi Raja Langit.
“Pasti mampus!” kata Sabai Nan Rancak begitu melihat Momok Berdandan lancarkan
serangan ke arah Datuk Tinggi. Iblis Pemalu pelototkan mata di sela-sela jari-jari tangannya
yang menutupi wajah. Seperti Sabai dia juga yakin kalau kakek bermuka setan itu akan
menemui ajalnya dilanda dua larik sinar maut serangan kakek yang mukanya dirias.
Namun ke dua orang ini terkesiap dan jadi merinding ketika melihat apa yang
kemudian terjadi. Sebelum dua larik sinar menembus tubuhnya Datuk Tinggi yang masih
tegak terhuyung-huyung tiba-tiba membuat gerakan jungkir balik. Kepalanya yang
berambut basah riap-riapan kini menjejak lantai perahu. Dua tangannya yang masih agak
lemah menopang berusaha mengimbangi dan menunjang tubuhnya. Sinar hitam
menyambar di samping kaki kanan sedang sinar biru lewat di antara ke dua kakinya.
Dari mulut Datuk Tinggi tiba-tiba melesat keluar suara seperti lolongan anjing.
Bersamaan dengan itu tubuhnya mencelat ke atas setinggi satu tombak. Di udara tubuh ini
bergerak berputar aneh. Dua kaki terkembang. Lalu secepat kilat tubuh itu melesat ke
depan. Dua kaki yang kini hanya berupa tulang putih pipih setajam pedang membuat
gerakan seperti menggunting.
Momok Berdandan Jari Tiga keluarkah seruan tertahan. Suara seruannya lenyap
berganti dengan suara menggidikkan.
“Crassss!”
Kepala Momok Berdandan putus laksana ditabas pedang maha tajam lalu melesat
mental dan jatuh ke atas gundukan batu karang rata yang menyembul di permukaan air
untuk kemudian mental dan akhirnya masuk ke dalam lauti
Tubuhnya yang tanpa kepala terhuyung-huyung. Sepasang tangannya menggapai-
gapai kian kemari. Dua larik sinar biru dan hitam sesaat masih mencuat. Darah bergejolak
menyembur dari kutungan lehernya tanda masih ada tenaga dalam yang menguasai
tubuhnya. Sesaat kemudian tubuh itu terjengkang di lantai perahu, menggeliat dan
melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.
Pada saat putusnya leher si kakek, Iblis Pemalu melompat ke samping Sabai Nan
Rancak. Tangan kanan menutupi wajahnya dan tangan kiri memegang lengan si nenek.
Orang ini berbisik.
“Ini satu tindakan memalukan! Tapi kau sudah dapatkan Mantel Sakti dan Mutiara
Setan! Buat apa berlama-lama di sini! Ayo ikut aku kabur!”
“Kita mau kabur kemana. Sekeliling kita hanya laut!” jawab Sabai Nan Rancak.
Setelah tadi dia melepaskan ikatan tali yang mengikat perahu ke batu karang, gelombang
telah membawa perahu itu ke tengah laut.
“Aku menyembunyikan sebuah perahu di balik gugusan batu karang sebelah sana!
Sekali ini kita benar-benar membuat malu besar! Ayo lompat! Lekas!”
Belum sempat Sabai Nan Rancak menjawab Iblis Pemalu sudah menarik lengannya.
Ke dua orang itu melompati pagar perahu di sebelah buritan.
“Kalian mau lari kemana!” satu teriakan menggeledek di belakang. Lalu “Wuttt!”
Dua benda putih bergerak memotong!
“Craaasss!”
Sabai Nan Rancak terpekik. Salah satu ujung mantel yang dipegangnya di tangan
kanan terbabat putus oleh tulang kaki kiri Datuk Tinggi yang coba mengejar. Lalu sang
Datuk sendiri terpelanting ke belakang ketika Sabai masih sempat menggebrakkan Mantel
Sakti yang dipegangnya. Ketika Datuk Tinggi coba mengejar kembali Sabai dan Iblis Pemalu
telah lenyap di bawah permukaan laut!
Datuk Tinggi Raja Di Langit berteriak marah! Suara teriakannya seperti lolongan
anjing. Lalu seperti kerasukan setan dia berkelebat kian kemari. Sepasang kakinya
menghantam apa saja yang ada di depannya. Tiang perahu besar patah ditabasnya, dinding dan lantai perahu robek-robek. Sekali lagi suara lolongan melesat dari tenggorokannya lalu
sang Datuk terkulai lemah. Tubuhnya terkapar di lantai perahu. Matanya mendelik. Dari
mulutnya keluar kutuk serapah tiada henti!
*
* *
EMPAT BELAS
Dua perahu besar tiba-tiba muncul di balik gugusan batu karang tinggi, langsung,
mengapit pukat yang porak-poranda. Di perahu sebelah kiri seorang berpakaian
kebesaran perang menatap tajam ke arah perahu pukat di atas mana Datuk Tinggi
Raja Di Langit masih terkapar bercarut-marut.
“Panglima, saya yakin orang yang kita minta menyelidik telah mendarat di pulau
ini.” Seorang lelaki berpakaian perwira muda yang tegak di sebelah lelaki berpakaian
perang berkata.
“Tiga hari kita menunggu, dia tidak muncul. Di tempat ini ada sebuah pukat dalam
keadaan porak-poranda. Aku merasa was-was. Coba kau dan beberapa anak buahmu
menyeberang ke pukat itu. Lakukan pemeriksaan!”
Perwira muda itu memberi isyarat pada empat orang anak buahnya. Kelima orang ini
lalu melompat ke atas perahu yang diapit. Hanya sesaat berlalu, dari arah perahu itu
mendadak terdengar bentakan-bentakan. Lalu salah seorang prajurit berlari menemui sang
Panglima. Mukanya pucat dan mulutnya sulit mau bicara.
“Prajurit! Jaga sikapmu! Ada apa?!” Panglima membentak.
Si prajurit menunjuk ke arah perahu. “Kami menemui mayat kakek sakti itu di
geladak pukat! Hanya sosok tubuhnya! Kepalanya putus entah ke mana!”
“Apa?!” Sang Panglima tersentak kaget. Tanpa tunggu lebih lama dia segera turun
dari anjungan dan melompat ke atas perahu. Selusin prajurit mengikuti. Dari perahu besar
satunya seorang perwira muda juga ikut melompat ke atas perahu pukat bersama sepuluh
prajurit.
Di atas perahu pukat perwira muda tadi dan tiga prajurit tampak tengah mengelilingi
seorang kakek bermuka setari yang pakaiannya penuh robekan dan nyaris telanjang.
Sepasang kakinya sebatas lutut ke bawah hanya merupakan tulang pipih memutih. Ada
noda-noda darah pada kaki tulang itu. Ketika sang panglima mengalihkan pandangannya
ke samping kiri, berubahlah parasnya. Di situ, di lantai perahu tergeletak sosok tubuh tanpa
kepala. Dari pakaian nya yang berkembang-kembang Panglima dan semua orang yang ada
di sana sudah jelas tahu siapa adanya mayat tanpa kepala itu.
“Perwira! Siapa yang membunuh Momok Berdandan Jari Tiga utusan Penyelidik
itu?!” bertanya Panglima.
Dua orang Perwira Muda yang ada di tempat itu tak bisa menjawab karena memang
tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba kakek kurus tinggi berwajah setan keluarkan tawa
mengekeh.
“Aku Datuk Tinggi Raja Di Langit yang membunuh tua bangka tak berguna itu.
Rupanya dia adalah orang yang kalian suruh menyelidiki diriku? Ha... ha... ha! Mengirim
orang tolol lihat saja akibatnya!”
Mendengar manusia berwajah setan itu menyebut dirinya, semua orang yang ada di
situ menjadi gentar. Beberapa di antaranya sampai tersurut mundur.
“Jadi kau makhluknya yang bergelar Datuk Tinggi Raja Di Langit!” berkata sang
Panglima.
“Setan alas! Aku sudah sebutkan siapa diriku! Kalian sendiri siapa?!“Kami orang-orang Kerajaan! Setahun lalu kami punya bukti-bukti kau telah
membunuh Kiyai Surah Ungu, putera Sri Baginda yang bergelar Pangeran Tanpa Mahkota!”
“Orang sudah menjadi setan setahun silam! Kalian datang untuk mengambil
mayatnya atau apa?! Dia sudah jadi jerangkong di pulau sana!”
“Kau mengakui perbuatanmu! Kau juga mengakui sebagai pembunuh utusan kami!
Berarti tidak ada pengampunan bagi dirimu! Serahkan dirimu! Tiang gantungan sudah sejak
lama menunggumu!”
Datuk Tinggi Raja Di Langit tertawa bergelak.
“Kalian datang jauh-jauh bukan saja mencari perkara. Tapi juga mencari mati!”
Datuk Tinggi tiba-tiba melompat setinggi satu tombak. Di udara dia membuat
gerakan jungkir balik. Sesaat kemudian dia tegak di lantai perahu, kepala dan tangan di
sebelah bawah sedang dua kaki mengembang ke atas.
“Tua bangka gila! Akrobat apa yang hendak kau perlihatkan pada kami!” bentak sang
Panglima sementara dua Perwira Muda dan belasan prajurit yang ada di sana menyaksikan
perbuatan Datuk Tinggi Raja Di Langit terheran-heran.
“Makhluk-makhluk pengantar nyawa! Dulu aku bergelar Datuk Tinggi Raja Di
Langit! Mulai saat ini gelar itu akan aku kubur ke pusar bumi di dasar laut! Gelarku
sekarang adalah Jagal Iblis Dari Makam Setan! Siapa yang mau mati duluan silahkan
mendekat!”
Perwira Muda yang berada di sebelah kiri memberi isyarat pada lima anak buahnya.
“Tangkap orang gila ini!” perintahnya.
“Bunuh jika melawan! “kata sang panglima yang menyetujui tindakan bawahannya
itu.
Lima prajurit menghunus senjata lalu menyergap.
Tubuh Datuk Tinggi yang kini menyebut dirinya sebagai Jagal Iblis Dari Makam
Setan melesat ke udara, berputar tiga kali berturut-turut lalu dua kakinya yang
mengembang menghantam dalam gerakan setengah lingkaran. Tiga prajurit yang
mengurungnya menjerit. Dua tergelimpang di lantai perahu dengan leher hampir putus.
Yang ke tiga terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya yang bobol!
Dua prajurit lainnya terkesima. Muka mereka sepucat kain kafan menyaksikan apa
yang terjadi.
“Perwira! prajurit!” teriak Panglima. “Cincang makhluk iblis itu!”
Dua Perwira Muda dan hampir dua puluh prajurit segera menghambur dengan
senjata di tangan.
“Trang... trang... trang...!”
Suara berdentrangan terdengar tidak berkeputusan ketika Datuk Tinggi alias Jagal
Iblis Dari Makam Setan gerakkan dua kakinya menangkis dan balas menyerang. Sepasang
kaki yang hanya merupakan tulang putih itu seolah dua bilah pedang tajam yang
mengamuk di udara. Pekik jerit memenuhi perahu. Enam prajurit dan seorang Perwira
Muda terkapar berlumuran darah. Lima di antaranya tidak bernafas lagi. Satu-satunya yang
masih hidup adalah si Perwira Muda. Tangannya yang tadi memegang pedang kini telah
buntung sebatas pergelangan. Dia menjerit tiada henti.
Jagal Iblis Dari Makani Setan tertawa panjang lalu keluarkan suara seperti lolongan
anjing membuat semua orang jadi tercekat.
“Ambil Jaring Neraka!” teriak Panglima.Perwira Muda satunya yang masih hidup melompat tinggalkan kalangan
pertempuran. Tak lama kemudian dia muncul bersama dua orang prajurit bertubuh tinggi
besar. Dua prajurit ini membawa sebuah jaring besar terbuat dari kawat baja. Jaring ini
mengeluarkan suara bergemerisik menakutkah. Tapi Jagal Iblis Dari Makam Setan hanya
ganda tertawa melihat benda itu.
“Libas!” teriak Perwira Muda memberi perintah. Dua prajurit bertubuh besar
gerakkan sepasang tangan, mereka.
“Sreeettt!”
Jaring kawat baja itu menebar di udara, menyapu ke arah sosok Jagal Iblis yang masih
tegak dengan kepala ke bawah kaki ke atas. Tiba-tiba dua kaki tulang putih itu berkelebat
dan berputar laksana titiran. Terdengar suara putus robeknya jaring kawat baja. Disertai
jeritan susui menyusul. Dua prajurit bertubuh besar menemui ajal lebih dulu. Keduanya
mati dengan pinggang hampir putus. Menyusul si Perwira Muda. Semua orang hanya
melihat sosok tubuhnya terkapar di lantai perahu. Kepalanya tak ada lagi!
Semua orang yang masih hidup menjadi gempar. Serempak mereka melompat
menjauhi lantai perahu kalangan perkelahian yang kini basah tergenang darah!
Jagal Iblis Dari makam Setan tertawa panjang.
Panglima yang melihat kejadian itu dengan mata kepala sendiri merasa dingin
tengkuknya. Meski nyalinya tergetar hebat namun sebagai pimpinan dia tidak mau
memperlihatkan. Dia segera mencabut sebilah pedang yang tergantung di pinggangnya. -
Senjata ini bukan senjata sembarangan. Merupakan sebuah mustika hadiah Sri Baginda
karena jasa-jasanya. Karena dilapisi sejenis perak maka pedang ini memancarkan cahaya
putih menyilaukan.
“Panglima! Kau mau maju sendiri atau mengajak belasan anak buahmu?!” Jagal Iblis
Dari Makam Setan ajukan pertanyaan yang jelas-jelas sengaja mengejek.
Sang Panglima menjawab dengan mengirimkan satu tebasan. Yang di arahnya adalah
bagian leher lawan yang berada di sebelah bawah.
“Wuuuuuttt!”
Kaki kanan Jagal Iblis Dari Makam Setan menyambar ke arah leher lawan. Sang
Panglima cepat merunduk sambil teruskan membabat dengan pedangnya. Demikian
derasnya sambaran senjata ini hingga mengeluarkan suara bersiuran dan ada hawa dingin
menyambar keluar dari badan pedang.
“Wuuuuuttt!”
Tiba-tiba kaki kiri Jagal Iblis ganti berkiblat. Yang di arah adalah bagian perut. Mau
tak mau sang Perwira terpaksa tarik pulang serangannya dan pergunakan senjata untuk
menghantam kaki kiri lawan. “Trangg!”
Pedang dan kaki beradu mengeluarkan suara berdentrangan seolah kaki tulang putih
itu sebilah senjata tajam yang atos.
“Traaaak!”
Panglima Kerajaan berseru tegang ketika bentrokan senjata dengan kaki membuat
pedangnya patah dua! Dia melompat coba selamatkan diri. Tapi malang salah satu kakinya
terpeleset oleh licinnya darah yang menggenangi lantai perahu. Tak ampun lagi tubuhnya
terhuyung jatuh. Di saat yang bersamaan laksana sebuah gunting raksasa kaki kiri dan kaki
kanan Jagal Iblis Dari Makam Setan datang menyambar. Sang Panglima mengalami nasib sama dengan Momok Berdandan Jari Tiga serta Perwira Muda dan beberapa prajuritnya.
Mati dengan kepala teria bas putus!
Sisa-sisa prajurit yang masih hidup runtuh dan leleh nyali mereka. Semua
berserabutan menghambur lari ke perahu besar masing-masing.
Datuk Tinggi Raja Di Langit alis Jagal Iblis Dari Makam Setan tertawa panjang lalu
berjungkir balik. Kembali tegak dengan kaki ke bawah kepala di atas.
*
* *
Di atas perahu kecil Iblis Pemalu duduk melipat kaki. Wajahnya disembunyikan di
belakang sepasang telapak tangannya yang diletakkan di atas paha.
Sabai Nan Rancak yang duduk di ujung perahu menghadapi Iblis Pemalu pandangi
orang itu dengan berbagai perasaan. Ada rasa aneh, heran tetapi juga ada rasa penuh curiga.
Setelah pulau kecil itu lenyap di kejauhan Sabai Nan Rancak membuka mulut berusaha
mengorek keterangan.
“Waktu di tanah Jawa tempo hari kau menunjukkan sikap bermusuhan denganku.
Sekarang kau kelihatannya sengaja menolongku! Iblis Pemalu kau menyembunyikan
maksud busuk apa dalam hatimu terhadapku?!”
“Uhhhh....” Iblis Pemalu menggeliatkan tubuhnya seperti orang bangun tidur namun
wajahnya tetap saja disembunyikan di balik ke dua paha dan ke dua tangannya. “Pada
dasarnya aku tidak pernah merasa punya musuh! Buat apa! Memalukan saja! Sudah tua
bangka mencari musuh! Hanya anak-anak tolol yang suka bermusuhan hanya gara-gara
urusan sepele! Hidup paling enak adalah menjadi sahabat semua orang! Tidak memalukan!
Aku juga tidak merasa menolongmu!. Apa untungnya? Buktinya kau malah mencurigai
diriku mengandung dan menyembunyikan maksud busuki Sungguh aku merasa malu!
Ucapan polos itu membuat wajah si nenek menjadi merah karena jengah terasa diejek.
Maka dia coba bicara berbaik-baik. “Waktu di atas perahu aku berjanji memberikan salah
satu dari dua senjata sakti milik Datuk Tinggi. Aku tidak akan mengingkari janji!”
Kau boleh memilih salah satu dari dua senjata ini. Mantel Sakti atau Mutiara Setan di
dalam kantongi”
Iblis Pemalu geleng-gelengkan kepalanya. “Kau tahu siapa diriku! Aku sangat malu
menerima pemberian apa saja. Apalagi kalau disangkutpautkan dengan pertolongan. Seolah
aku ini orang yang suka mencari pamrih! Aku malu menerima tawaranmu. Tapi aku tidak
malu mengucapkan terima kasih atas kebaikanmu....”
Aku bukan orang baik!” kata Sabai Nan Rancak.
Iblis Pemalu tertawa panjang di balik paha dan telapak tangannya.
“Mengapa kau tertawa. Ada sesuatu yang kau anggap lucu?!” tanya Sabai Nan
Rancak heran.
“Manusia tidak bisa menilai dirinya sendiri. Orang lain yang menilai orang lain.
Jangan sebaliknya karena itu hanya akan memalukan saja! Aku bilang kau orang baik!
Karena begitu aku melihatnya. Aku tidak malu mengatakan begitu....”
Sabai Nan Rancak menarik nafas dalam.“Mengapa kau menarik nafas? Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?! Coba
katakan kalau kau tidak malu! Aku juga tidak malu mendengarkannya!”
“Terlalu banyak yang mengganjal di hatiku!” jawab Sabai Nan Rancak.
“Ya... ya! Aku tahu kau punya silang sengketa dengan Tua Gila. Lalu dengan
muridnya bernama Wiro Sableng itu. Entah dengan siapa lagi. Mungkin dengan Datuk
Tinggi Raja Di Langit itu.... Mungkin kau masih punya banyak persoalan lain yang aku tidak
tahu. Aku malu menanyakan. Kau juga pasti malu menceritakan. Itu namanya hidup. Semua
sudah tersurat sebelum kita dilahirkan! Apa kau anggap takdir itu memalukan?”
“Takdir.... Kau anggap jalan hidup seseorang itu adalah satu takdir?!”
“Aku tidak malu mengatakan iya! Karena manusia hanya bisa berbuat tapi takdir
yang menentukan! Mengapa harus malu mengakuinya? Mengapa harus malu menghadapi
hidup! Biar segala yang memalukan menjadi bagian diriku si buruk ini!”
Sabai Nan Rancak tertawa.
“Nah, nah! Tawamu sekali ini polos. Benar-benar keluar dari lubuk hati yang putih.
Aku suka, aku tidak malu mendengarnya. Nek, sebenarnya kalau manusia mau kembali
kepada hati nurani, kembali ke lubuk sanubarinya segala urusan di dunia ini mudah-mudah
saja. Tak bakal ada silang sengketa. Tak akan ada dendam kesumat. Tak akan ada
permusuhan, apa lagi pembunuhan! Tak sampai membuat kita jadi malu besar! Tapi apa
mau dikata. Begitu yang namanya hidup di dunia. Memalukan!”
Lama Sabai Nan Rancak pandangi orang yang duduk di hadapannya itu yang terus-
terusan selalu menutupi wajahnya. “Manusia satu ini tampaknya serba aneh. Sikap dan
bicaranya. Tapi aku merasa sebenarnya dia seorang pandai berhati polos.”
“Iblis Pemalu, kalau aku boleh bertanya siapakah kau ini sebenarnya?” tanya si nenek
sambil mendayung membelokkan perahu lalu mengatur arah layar.
Perlahan-lahan Iblis Pemalu angkat kepalanya dari atas paha. Namun dua tangannya
tetap menutupi hingga Sabai Nan Rancak tetap tak bisa melihat jelas raut wajah orang yang
duduk dekat di hadapannya itu.
Dari sela-sela jarinya sepasang mata Iblis Pemalu pandangi wajah Sabai Nan Rancak.
Dipandang seperti itu si nenek jadi gelisah dan diam-diam tergetar hatinya. Jantungnya
berdebar. Seolah pandangan mata orang di depannya itu menimbulkan satu kontak yang
terasa aneh dalam dirinya.
Tiba-tiba terdengar suara tawa Iblis Pemalu.
“Nenek, kau ini bagaimana. Kau sudah tahu siapa namaku. Bagaimana sifatku.
Bagaimana tindak tandukku. Mengapa kau masih bertanya siapa aku sebenarnya?! Ah! Aku
jadi malu! Malu sekali!”
Sabai Nan Rancak ulurkan tangannya memegang lengan kanan Iblis Pemalu. Si nenek
terkejut ketika jari-jarinya menyentuh lengan orang itu, kulit lengan itu terasa lembut dan
sangat halus. Debaran di dada Sabai kembali muncul. Dengan suara perlahan dia berkata.
“Siapapun kau adanya aku tahu ada sesuatu yang membuatmu sengaja menunjukkan sikap
aneh, seperti orang pemalu. Itu bukan sikapmu yang sesungguhnya. Kau mungkin marah
atau mungkin malu sekali mendengar kata-kataku ini. Namun....”
Sapai Nan Rancak tidak meneruskan ucapannya karena saat itu Iblis Pemalu telah
berdiri. Dua tangannya masih terus menutupi Wajahnya. “Siapapun adanya diriku, aku
tetap aku! Memalukan!” Terdengar suara Iblis Pemalu. Tapi suaranya kali ini terasa ada getaran anehnya.“Ada perahu mendatangi!” Tiba-tiba iblis Pemalu berkata seraya berpaling ke arah
kiri.
Sabai Nan Rancak memandang ke jurusan yang diperhatikan Iblis Pemalu. Apa yang
dikatakan memang benar. Sebuah perahu kecil meluncur pesat dari arah daratan pulau
Andalas. Setelah dekat penumpangnya hanya satu orang tua dan bertampang luar biasa
aneh yang membuat baik Sabai Nan Rancak maupun Iblis Pemalu jadi agak bergeming.
Orang itu tegak di atas perahu yang diapungkan sekitar dua tombak dari perahu
dimana Sabai dan iblis Pemalu berada. Di tangan kanannya dia memegang sebuah kayu
pendayung. Tubuhnya tinggi besar sehingga perahu yang ditumpanginya tampak kecil. Dia
mengenakan pakaian serba hitam. Sepasang alisnya bergabung menjadi satu membentuk
satu alis aneh yang tebal. Pada wajahnya yang hitam legam terdapat dua belas lubang hitam.
Rambutnya jabrik kasar seperti ijuk. Yang membuatnya lebih mengerikan, adalah sebuah
lubang luka yang belum kering dan masih bernanah menggeroak di bawah bahu kanannya!
Orang bermuka angker ini menyeringai lalu berseru. “Sabai Nan Rancak! Dicari di
daratan sulit sekali, di tengah laut baru bertemu!”
“Kalau aku tidak keliru, apakah kau yang di atas perahu adalah orang gagah yang
dijuluki Hantu Balak Anam?!” Sabai Nan Rancak balas berseru.
Si tinggi besar di atas perahu kecil tertawa bergelak.
“Kalau tidak ada urusan penting, tak bakal kau mencariku sampai ke tengah laut
begini!”
“Kau pandai menerka!” jawab Hantu Balak Anam. “Memang pertemuan ini kurang
mengenakkan.” Hantu Balak Anam melirik pada Iblis Pemalu lalu bertanya. “Siapa orang
aneh yang selalu menutupi wajahnya dengan dua tangan itu?!”
“Dia seorang sahabat baikku, tak perlu dirisaukan!” jawab Sabai Nan Rancak.
“Aku percaya saja padamu. Walau biasanya setahuku orang-orang aneh selalu
membawa urusan pelik!”
“Hantu Balak Anam. Ada apa kau mencariku?” tanya Sabai Nan Rancak.
“Aku datang membawa satu pertanyaan!”
Si nenek tersenyum. “Hanya untuk satu pertanyaan kau sampai-sampai bersusah
payah mencegatku di tengah laut! Apa pertanyaan yang hendak kau ajukan itu? Ingin sekali
aku mendengarnya!”
“Apakah kau punya hubungan tertentu dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi?”
Pertanyaan itu membuat si nenek terkejut tapi dia pandai menjaga agar air mukanya
tidak berubah.
“Sutan Alam Rajo Di Bumi yang di puncak Singgalang itu! Siapa tidak kenal dirinya!
Semua tokoh silat di pulau Andalas kurasa pernah berhubungan dengannya! Ada sesuatu
yang luar biasa agaknya?”
“Aku punya firasat dia adalah biang racun segala kerusuhan di pulau Andalas!”
Sabai Nan Rancak tertawa panjang. “Kau ini ada-ada saja Hantu Balak Anam....”
“Kau mau buktinya!” ujar Hantu Balak Anam. Baju hitamnya dirobeknya di bagian
pundak dan dada kanan hingga luka berlubang yang tembus dari dada sampai ke
punggung terpentang jelas mengerikan. “Ini buktinya Sabai Dia hendak membunuhku
dengan ilmu kesaktian Sepasang Api Neraka!”
“Ah, kalau ada silang sengketa di antara kalian hanya kalian berdua yang dapat
menyelesaikan “Silang sengketa sudah terjadi. Lantai sudah terjungkat! Urusan antara aku dengan
dia hanya selesai jika salah satu dari kami menemui ajali” Hantu Balak Anam kelihatan
bernafsu sekali. “Sabai, kau belum menjawab pertanyaanku. Apa kau punya hubungan
tertentu dengan Sutan Alam?”
“Hemm.... Bagaimana aku harus menjawab. Hubunganku dengan dia biasa-biasa
saja....”
“Biasa-biasa bagaimana?! Aku ingin tahu!”
“Seperti hubungan para tokoh golongan putih lainnya!”
“Kau perempuan. Sutan Alam laki-laki! Jangan berusaha menyembunyikan sesuatu
Sabai!”
“Hantu Balak Anam. Selama ini kita memang kurang dekat tapi ada pertalian
persahabatan antara kita. Jika kau bicara yang bukan-bukan apa lagi berani kurang ajar, aku
akan menambahkan sepuluh lubang di sekujur tubuhmu!”
Hantu Balak Anam tertawa bergelak.
Iblis Pemalu sejak tadi sudah gatal mulut hendak bicara. Tapi Sabai Nan Rancak
memberi isyarat agar dia diam saja hingga tidak membuat suasana bertambah keruh.
“Kalau kau tidak ada pertanyaan lain, kami akan meneruskan perjalanan!”
Hantu Balak Anam lambaikan tangannya. “Satu ha! harus kau ingat baik-baik Sabai.
Jika di kemudian hari ketahuan kau memang punya hubungan tertentu dengan Sutan Alam,
aku akan kembali menemuimu. Pada saat itulah aku terpaksa membunuhmu!”
“Ajal datangnya memang tidak terduga Hantu Balak Anam. Akan kita lihat siapa
yang duluan mati di antara kita!” jawab Sabai Nan Rancak seraya lontarkan seringai dingin.
Hantu Balak Anam celupkan dayungnya ke dalam air. Perahu kecilnya berputar lalu
melesat ke arah timur.
“Manusia memalukan! Siapa dia Nek?” bertanya Iblis Pemalu.
“Seorang tokoh di daratan Andalas. Dulu sikapnya baik-baik saja. Kini seperti ada
yang menyengatnya.”
“Lalu siapa pula Sutan Alam Rajo Di Bumi yang disebutnya tadi? Manusia
memalukan juga?”
Sabai tersenyum. “Sutan Alam seorang tokoh sahabat segala tokoh golongan putih
rimba persilatan pulau Andalas. Ada lagi yang hendak kau tanyakan Iblis Pemalu?”
iblis Pemalu menatap si nenek dari celah-celah jari tangannya. “Nek, kini kau sudah
memiliki dua senjata dahsyat. Kau akan jadi seorang tokoh besar. Kau tidak akan pernah
merasa malu lagi. Tidak sembarang orang sanggup menghadapimu. Tentunya kini kau
bersemangat mencari Tua Gila, musuh besarmu itu.”
“Aku memang telah memiliki dua senjata hebat. Tapi tugasku jadi tambah berat...”
jawab Sabai Nan Rancak.
“Eh, mengapa kau bicara memalukan seperti itu? Bukankah berarti kau akan lebih
mudah menghabisi kakek itu? Memalukan) Kau berkata tugasmu jadi berat. Memangnya
ada yang menugaskanmu melakukan semua itu?! Jangan mau jadi orang suruhan Nek.
Jangan sampai dirimu dibuat malu!”
Sabai Nan Rancak terdiam. Kemudian dia tampak tersenyum.
“Kalau tugasmu memang berat agar tidak memalukan apakah menurutmu aku bisa
menolong “Apa yang jadi tugasku adalah urusanku sendiri. Terima kasih kau mau membantu.
Tapi kurasa aku bisa melakukannya sendiri.”
“Ah, bagaimana ini Nek. Aku jadi malu mendengarnya. Tadi kau bilang tugasmu jadi
berat. Mau ditolong kau menolak malu. Apa sebenarnya tugas beratmu itu Nek?”
“Aku harus membunuh Tua Gila....”
“Itu aku sudah tahu. Kau tidak malu mengatakan aku tidak malu mendengarkan!
Apa tugas lainnya yang kau katakan sebagai tambah berat itu?”
Sabai Nan Rancak tak segera menjawab. Dia merasa bimbang memberi tahu. Namun
setelah berpikir tak ada salahnya memberi tahu maka dia pun berkata. “Selain Tua Gila aku
juga harus membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dan Sinto Gendeng.”
Sepasang mata Iblis Pemalu memancarkan kilatan aneh mendengar keterangan si
nenek. Tapi kemudian dia tertawa cekikikan. “Benar kataku tadi Nek. Hidup dan kehidupan
manusia tidak lebih dari sebuah, takdir! Kebanyakan merupakah takdir memalukan. Hik...
hik... hik. Aku sendiri merasa malu karena tidak tahu bagaimana cara matiku kelak! Mati
karena sakit atau mati dibunuh orang! Aku malu! Hik... hik... hik! Tapi Nek, bagaimana
kalau Datuk Tinggi mengejarmu?”
“Dia akan mati dengan senjata miliknya sendiri yang diberikan padaku!” jawab Sabai.
“Ah, memalukan! Senjata makan tuan!”
“Aku ingin bertanya, apakah Wiro Sableng dan Sinto Gendeng itu sahabatmu?” Sabai
ajukan pertanyaan sambi! menatap tajam pada Iblis Pemalu.
“Uhhhh! Memalukan! Aku sudah bilang aku tidak punya musuh di dunia ini. Malah
yang namanya Sinto gendeng aku belum pernah melihat ujudnya! Memalukan sekali!”
“Apa yang aku katakan padamu ini adalah rahasia kita berdua. Jika sampai bocor,
terpaksa aku membuat kepalamu menjadi bocor!”
“Kepala bocor! Aduh malunya!” kata Iblis Pemalu. Lalu dia kembali duduk
mencangkung di lantai perahu. Seperti tadi kepalanya yang ditutup tangan kini
ditempelkannya di atas ke dua pahanya.
“Kita harus segera melanjutkan perjalanan menuju daratan besar pulau Andalas,”
kata Sabai Nan Rancak.
“Ya... ya! Memalukan kalau kita sampai kemalaman di tengah laut!” jawab Iblis
Pemalu.
Sabai Nan Rancak ambil dua buah kayu pendayung. Begitu dia mengayuh perahu itu
seolah melesat, meluncur pesat di atas permukaan air laut.
*
* *
TAMAT
Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
Episode berikutnya :
UTUSAN DARI AKHIRAT
Hak cipta dan copyright milik Alm. Bastian Tito
Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek dibawah nomor 004245
“Mengenang Alm. Bastian Tito”
Pengarang Wiro Sableng
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
0 comments:
Posting Komentar