SATU
SUARA siulan Pendekar 212 berhenti, berganti dengan decak penuh kagum. Saat itu dia berada di kaki
Gunung Fuji, memandang gunung berketinggian lebih dari 11.000 kaki yang sebagaian besar dikelilingi
salju abadi.
Wiro rapatkan kerah baju tebalnya. Musim dingin segera berakhir namun di kaki gunung, udara seperti
tidak mengalami perubahan walau matahari tampak terang benderang. Di sekelilingnya pohon-pohon
Sakura bertebaran. Kebanyakan tertutup salju tipis.
Dari dalam saku baju Wiro keluarkan sebuah botol terbuat dari kaleng putih, lalu membuka tutupnya
dan meneguk isinya. Wajahnya yang tadi pucat, kini tampak kemerahan. “ Kalau saja aku bisa
dapatkan tuak, rasanya pasti lebih segar dari sake ini. Tapi masih untung masih ada sake dari
pada tidak sama sekali, bisa mati kedinginan, Uhh…!”
Wiro masukan botol minuman ke sakunya. Ketika hendak meninggalkan tempat, langkahnya terhenti
oleh suara kaki kuda. Wiro berpaling dan melihat seekor kuda coklat polos tak berapa jauh dari dirinya.
Seekor binatang liar yang kesasar. Tapi ketika mendekat, ada pelana. Berarti dugaannya salah. Wiro
dekati kuda coklat tadi. Langkahnya terhentak ketika melihat noda merah di pelana dan badan kuda.
Ketika memperhatikan tanah, juga terdapat bercak merah. Bercak darah!
Pendekar 212 melangkah menuju arah darah di tanah. Noda itu lenyap di dekat serumpunan belukar
basah. Dia kembali ke arah semula dan melacak darah dari arah kiri. Darah itu ternyata menuju ke arah
Gunung Fuji yang menjadi tujuannya. Kuda itu masih menggesek-gesekkan lehernya tapi tidak meringkik
lagi. Wiro melangkah mendekati, usap-usap leher dan memperhatikan bercak darah di pelana. Wiro
mengusap bercak di pelana lalu memperhatikan. Memang bercak darah.
Dengan dedaunan yang dipetik di sekitar situ, Wiro bersihkan noda darah, lalu dengan menepuk leher
kuda, ia berujar, “ Sobatku kau tentu sebelumnya membawa tuanmu yang terluka. Tapi entah di
mana dia sekarang. Saat ini biar aku yang menjadi tuanmu. Antarkan aku ke Gunung Fuji,”
setelah itu pendekar 212 langsung melompat ka atas pelana dan menuju ke arah timur.
Walaupun jalan mendaki dan licin, namun karena mengikuti jalan kecil yang sudah dibuat orang
sebelumnya, kuda coklat itu mampu berlari cepat. Ketika matahari tepat berada di atas Wiro, ia telah
berada ratusan kaki ke arah timur. Di sebuah ujung terlihat rumah kayu. Di serambinya yang luas tampak
empat sosok tengah mengelilingi tubuh yang terbaring di lantai, berbantalkan kain tebal. Ketika
mendengar suara kuda mendekati, keempat orang itu segera berpaling. Dua orang melompat, dan yang
seorang berseru. “ Pembunuh itu berani datang lagi!”
Dua orang menggerakkan tangannya ke punggung. Terdengar suara gemeresek hampir bersamaan. Dua orang tadi sudah berada di halaman rumah yang tertutup salju tipis. Tangan kedunya sudah memegang
sebilah katana (pedang panjang) yang berkemilau terkena sinar matahari.
Saat Wiro sampai di hadapan mereka, kedua orang itu sudah siap menyerang. Dua bilah pedang
berkelebat. Pendekar 212 berseru lalu meloncat dari atas pelana kuda. Dua katana menderu, dan kuda
coklat itu meringkik saat dua sabetan mengenani tubuh kuda. Darah mengucur dari leher dan tubuh kuda
sambil terus menjauh menuju ka arah barat.
“ Tunggu dulu!” seru Wiro ketika melihat dua pemuda sedang menghadang dan siap menyerangnya.
Kedua pemuda itu sesaat tampak ragu, tapi akhirnya mereka menghentikan langkah. Sesaat mereka
saling berpandangan lalu memperhatikan Wiro penuh curiga. Sementara itu dari dalam rumah terdengar
suara halus bergetar.
“ Apa yang terjadi murid-muridku...?”
“ Sensei! Kau tak boleh bicara. Kau terluka berat!” yang menjawab adalah seorang gadis berwajah
bulat yang rambutnya dikuncir sebahu. Yang bertanya tadi adalah seorang tua dengan kimono biru gelap
dan terbaring di lantai serambi. Bagian tubuhnya dibalut dengan kain tebal. Kain ini tampak basah oleh
darah! Ternyata si orang tua sedang menderita luka cukup parah. Kedua orang yang dari tadi berada di
sanasudah sadar jika yang dipanggil sensei itu sulit disembuhkan. Namun nyatanya masih bisa
mengeluarkan suara.
“ Aku bertanya apa yang terjadi Akiko...?”
Gadis bernama Akiko yang duduk sambil mengusapi kening gurunya yang terluka parah itu menahan
nafas sesaat lalu dekatkan kepala ke telinga orang tua itu. “ Salah seorang dari pembunuh itu datang
lagi, sensei...”
“ Pembunuh itu datang lagi katanya...? Tidak mungkin... Tidak mungkin Akiko!” Dengan mata
yang masih tertutup, orang tua yang dipanggil dengan sebutan sensei ini berkata pada muridnya yang satu.
“ Ichiro, apa betul yang dikatakan Akiko tadi?”
Pemuda di samping kanan seorang tua memandang ke arah halaman di mana dua saudara
seperguruannya dengan katana dalam genggaman dua tangan, tengah menghadapi seorang pemuda yang
barusan melompat dari kuda. “ Memang ada yang datang sensei. Pakaian dan kuda yang
ditungganginya sama dengan salah seorang pembunuhmu. Namun aku meragukan dugaan dua
saudara. Orang yang datang ini adalah Gaijin... (sebutan untuk orang asing).”
“ Gaijin... Orang asing maksudmu?” Orang tua yang terbaring berbantalkan gulungan kain
batuk-batuk beberapa kali. Dari sela bibirnya tampak ada darah yang keluar.
Akiko cepat menyeka darah itu dengan sehelai sapu tangan seraya berbisik. “ Sensei, jangan bicara
lagi...”
Tapi si orang tua tidak perdulikan. “ Aku ingin melihat siapa yang datang. Aku memang tengah
menunggu seseorang sejak tiga tahun lalu..”
Lalu, walaupun degan susah payah, orang tua itu berusaha mengangkat kepalanya. Namun lehernya
terkulai dan kepalanya jatuh kembali ke atas gulungan kain. “ Sensei...!” Akiko terpekik “ Anak-anak..., bawa aku ke dojo (ruangan tertutup tempat berlatih silat)... Kalau aku memang
ditakdirkan harus mati, aku ingin mati di ruang latihan itu...”
“ Baik sensei, kami akan lakukan apa yang kau minta...” jawab Ichiro.
Sementara itu di halaman rumah yang tertutup salju tipis, salah seorang pemuda yang memegang katana
tukikkan ujung pedangnya hampir mencium panah. Dalam ilmu pedang di Jepang, ini merupakan salah
satu kedudukan senjata yang sangat berbahaya. Karena ujung pedang yang kelihatannya jauh dari
sasaran itu tiba-tiba bisa melesat membabat kaki, pinggang atau perut, bisa juga menebas leher atau
menghantam kepala!
“ Pemuda asing! Katakan siapa dirimu?! Apa keperluanmu datang ke mari?!”
“ Namaku Wiro Sableng! Aku datang untuk menemui Horoto Yamazaki, seorang tua yang
bergelar Pendekar Pedang Matahari!” jawab Wiro. Lalu dia melirik ke arah serambi rumah di mana
dia melihat ada seorang tua terbaring didampingi seorang gadis dan seorang pemuda. Wiro menduga,
orang tua itu pastilah orang yang hendak ditemuinya. Apa yang tengah terjadi di serambisana?
Kemudian pemuda di samping si orang tua tambak berdiri dan berteriak. “ Kunio! Kenichi! Bantu kami
menggotong sensei ke ruang latihan!” Dua pemuda yang tengah menghadang Pendekar 212 Wiro
Sableng menatap tajam ke arah Wiro lalu keduanya saling memberi isyarat. Yang satu segera berbalik
dan lari ke arah serambi. Satunya lagi menyusul, namun sebelum pergi sempat berkata. “ Pemuda asing!
Tetap di tempatmu! Jangan kau berani bergerak, walaupun hanya satu langkah!”
Wiro tidak menjawab, tapi dalam hati dia berkata. “ Setan! Jauh-jauh aku datang ratusan ribu
langkah, sampai di sini malah diperintah tidak boleh melangkah!” Ketika pemuda itu berlari ke
serambi, tanpa perduli Wiro melangkah pula ke arah bangunan.
Empat orang murid menggotong sensei mereka ke dalam dojo Di sebelah dalam ternyata bangunan itu
luas sekali dan memiliki tempat latihan beralaskan tatami (alas lantai berbentuk kotak-kotak). Berbagai
macam senjata terdapat di sudut-sudut dan dinding ruangan.
Sang guru dibaringkan di tengah dojo , di atas sebuah kasur jerami. Ketika itulah keempat murid
menyadari bahwa ada orang lain di ruangan itu. Mereka berpaling ke arah pintu dojo dan keempatnya
menjadi marah. “ Gaijin kurang ajar!” membentak Kunio Ota lalu melompat ke ambang pintu di arah
mana Wiro tengah melangkah masuk. Sambil menghunus pedangnya, pemuda ini kembali menghardik. “
Kami tidak mengundangmu masuk! Aku malah sudah memperingatkan agar kau tidak boleh
bergerak satu langkah pun!”
Wiro menyeringai dan bungkukkan badan lalu berkata, “ Shitsurei shimasu, ga... (maafkan saya,
tapi) di luar sana dingin sekali. Lagi pula saya datang untuk menemui tuan rumah di sini...”
Telinga orang tua yang terbaring di atas kasur jerami mendengar suara Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sebelum murid-muridnya yang marah melakukan sesuatu, orang tua ini cepat membuka mulut. “ Kunio,
orang yang kau bentak itu... Apakah dia orang asing yang kau maksudkan...?”
“ Betul sensei!” sahut Kunio Ota. “ Dia telah berlaku lancang, masuk ke dalam ruangan ini!”
“ Maafkan kalau ini tindakan yang kurang sopan!” Wiro menyahuti. “ Namun saya datang dari
jauh. Dari negeri ribuan pulau di selatan untuk menemui tuan rumah! Bagaimana saya bisa menemuinya kalau bergerak satu langkah pun tidak diizinkan?!”
Tiga pemuda murid si orang tua bergumam marah. Hanya Akiko yang tampak tenang dan memandang
ke arah Wiro tanpa emosi sama sekali. “ Orang asing, mendekatlah ke mari...” orang tua itu tiba-tiba
berkata.
Ketika Wiro melangkah, Kunio Ota masih berusaha menghalangi. Namun tubuh pemuda ini merasa ada
hawa aneh keluar dari tubuh Wiro yang membuat tubuhnya terdorong dan kakinya terhuyung dua
langkah. Begitu Wiro lewat, dia cepat-cepat menyusul namun tidak berani menghalangi lagi. Wiro sampai
di hadapan orang tua yang terbaring di atas kasur jerami. Merasakan orang sudah ada di dekatnya, orang
tua itu membuka sepasang matanya yang sipit.
“ Ah, kau memang pemuda asing Gaijin, katakan namamu! Dari mana kau datang, apa
keperluanmu...?!”
“ Saya Wiro Sableng. Saya datang dari Tanah Jawa, negeri seribu pulau jauh di selatan. Saya
datang membawa pesan dan surat dari guru saya. Apakah saya...” Wiro untuk pertama kalinya melihat
darah yang membasahi kain merah yang menutupi perut orang tua itu. “ Astaga! Kau terluka parah
orang tua!” seru Pendekar 212.
“ Jangan perdulikan apa yang terjadi atas diriku. Teruskan ucapanmu... orang muda!” kata si tua.
“ Apakah saya berhadapan dengan Yamazaki san? Seorang samurai besar dan jago pedang
berjuluk Pendekar Pedang Matahari...?”
Orang tua itu tersenyum. Sepasang matanya membesar sedikit. “ Samurai...” desisnya. “ Pendekar
Pedang Matahari…” sambungnya. “ Semua itu nama besar yang tidak ada harganya lagi...”
“ Sensei!” seru sang murid bernama Ichiro Loki. “ Jangan berkata seperti itu!”
Hiroto Yamazaki alias Pendekar Pedang Matahari tersenyum kecut. “ Hari ini aku si tua yang dulu
begitu diagungkan kini sudah dikalahkan oleh dua orang lawan. Apa aku masih pantas
menyandang semua nama besar itu? Pemuda asing siapa nama gurumu..?”
“ Saya diutus oleh guru. Guru saya bernama Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede di
Tanah Jawa sebelah barat...”
Mendengar keterangan pendekar 212 itu, untuk pertama kalinya muka pucat si tua berkimono itu
tampak cerah. Dia tersenyum lebar. “ Sungguh satu kehormatan sebelum mati aku bertemu dengan
murid kawan lamaku. Anak muda, kalau kau benar murid Sinto Gendeng sahabatku itu,
perlihatkan dulu tanda pengenalmu!”
Wiro yang sebelumnya sudah dipesan oleh guru Sinto, mendengar ucapan Yamazaki segera
menyingkapkan baju tebal dan baju putih yang dikenakannya. “ Ah..., inezumi (rajah atau tatto) itu
212.... aku percaya kau memang murid kawan lamaku,” kata si orang tua begitu melihat angka 212
di dada Wiro. Namun kemudian ia menyambung. “ Tapi tatto seperti itu mudah dipalsukan dan ditiru
orang. Perlihatkan senjatamu...” Murid Sinto Gendeng meragu. Lalu ia selinapkan juga tangannya ke
balik pakaian.Begitu tangan kanan itu keluar dari balik pakaian maka berkelibatlah sinar putih perak menyilau di
ruangan latihan itu. Empat murid Hiroto Yamazaki terkesiap melihat Kapak Maut Naga Geni 212 yang
ada dalam genggaman Wiro. Belum pernah mereka melihat senjata mustika sedemikian mengesankan
dengan sinar yang angker seperti itu.
“ Kau memang murid sahabatku Sinto Gendeng...” kata Yamazaki . “ Waktuku tidak lama lagi.
Serahkan surat Sinto Gendeng yang kau bawa...!”
“ Yamazaki-san .. surat akan saya berikan. Tapi bagaimana jika terlebih dahulu kamu
mengizinkan aku memeriksa lukamu? Keselamatanmu lebih penting dari pada surat yang
kubawa...”
Hiroto Yamazaki kembali sunggingkan senyum. Lalu membuka mulut. “ Ada ujar-ujar yang
mengatakan:Seorang kesatria baru menguasai sepenuhnya kehidupan seorang Samurai bila
dia selalu siap menghadapi kematian. Karena itu kau tak usah memikirkan keselamatanku
Wiro-san. Aku justru beruntung diberi kesempatan dewa untuk bertemu denganmu. Mana surat
itu...?!”
“ Sensei,” tiba-tiba Kunio Ota membuka mulut. “ Siapapun adanya pemuda ini saya tetap menaruh
curiga. Dia muncul dengan kuda milik pembunuhmu. Saya melihat noda darah di punggung kuda.
Mustahil tidak ada kaitannya dengan kedua pembunuh itu...!”
“ Wiro-san... bisakah kau menjawab ucapan muridku itu?” Orang ini sebenarnya percaya penuh
dengan pemuda itu, namun dia juga ingin semua muridnya mendengar penjelasan langsung dari Wiro
sendiri.
“ Kuda coklat itu saya temui di kaki Gunung Fuji. Binatang itu bersikap jinak dan aku tunggangi
sampai kemari. Saya tidak tahu siapa pemiliknya...”
“ Bukan mustahil pemuda ini kawanan pembunuh dan disuruh menyamar untuk memastikan
kematian sensei atau bagaimana...” kata Ichiro Loki
“ Mungkin juga ia diminta menyelidiki sesuatu di sini!” untuk pertama kalinya murid perempuan
bernama Akiko Besso mengeluarkan suara.
Wiro garuk-garuk kepala. Dia menjawab. “ Segala kecurigaan bisa terjadi. Saya pikir tidak perlu
diperpanjang lagi. Guru kalian sedang sakit parah...” Dari balik bajunya Wiro keluarkan sebuah
lipatan kertas pada Hiroto Yamazaki. “ Terimalah, ini surat dari guru saya...” Yamazaki menerima
dan membuka dengan tangan gemetar lalu membacanya.
Sahabatku Hiroto
Aku mengharapkan kau dalam keadaan baik-baik dan sehat. Dunia ini kadang terasa sempit, kadang
terasa luas dan jauh. Seperti halnya kita. Ternyata aku hanya mampu mengutus muridku untuk
menemuimu di kaki Gunung Fuji yang sejuk dan indah ini. Sesuai janji kita empat puluh tahun silam,
muridku memberi petunjuk mengenai Pukulan Sinar Matahari. Itu jika kau bermaksud memilikinya.
Untuk keperluan itu kau tidak perlu ganti imbal apa-apa. Ini sesuai dengan kepribadian seorang samurai
yang tidak kenal pamrih.
Hiroto Yamazaki menurunkan tangannya dan meletakkan surat Sinto di atas dadanya. “ Aku bahagia...
aku bisa pergi dengan tenang,” lalu dia berpaling kepada Pendekar 212 dan berkata, “ Wiro-san aku
tidak mungkin lagi punya waktu mempelajari Pukulan Sinar matahari yang hebat itu..., jika
kamu tidak keberatan dan mereka mau, ajarkanlah pada murid-muridku. Mungkin dengan ilmu
itu mereka bisa membuat perhitungan dengan pembunuhku...” lalu satu demi satu Yamazaki
memperkenalkan nama muridnya itu.
Wiro membungkuk. “ Akan aku lakukan apa yang kau minta Yamazaki -san.”
“ Bagus... aku punya firasat hanya kau yang bisa membantu muridku menghadapi orang Lembah
Hozu yang jahat dan kejam. Lebih dari itu, aku mendapatkan petunjuk seorang pendekar akan
muncul di Gunung Fuji ini. Seorang yang pantas disebut dengan Pendekar Gunung Fuji. Kau lah
orangnya Wiro-san…”
Wiro tak berani menjawab. Diam-diam dia melirik kepada murid Yamazaki. Kelihatan sekali dari raut
muka mereka tidak senang dengan ucapan gurunya itu. Ketika Wiro menegakkan badan kembali,
terdengar jeritan Akiko Besso. Tiga murid lainnya ikut berseru. Wiro menatap sosok dan wajah
Yamazaki. Kedua matanya tertutup. Orang tua itu tidak bergerak dan tidak bernafas lagi.
Salju turun lagi perlahan-lahan. Pendekar 212 Wiro Sableng duduk di tangga depan rumah kediaman
mendiang Hiroto Yamazaki. Di salah satu ruangan di dalam sana, empat orang murid Yamazaki tengah
bersembahyang dihadapan abu sang guru yang diperabukan tiga hari lalu.
Wiro teguk sake dalam botol kaleng. Ketika baru saja dia menyimpan botol minuman itu ke dalam saku
baju tebalnya, dibelakangnya dia mendengar langkah langkah kaki mendatangi. Wiro berpaling. Ichiro
Loki, Kunio Ota dan Kenichi Asano melangkah dari ruangan dalam. Wiro berdiri menyambut ketiga
pemuda itu. Dia belum melihat Akiko. Gadis itu mungkin masih bersembahyang di dalam.
“ Gaijin!” menegur Kunio Ota, “ Kami tidak suka melihat kau masih ada di tempat ini! Apakah itu
belum jelas bagimu?”
“ Cukup jelas Ota-san. Saya hanya menunggu keputusan dari kalian mengenai ucapan mendiang
Yamazaki-san. Yaitu menyangkut ilmu Pukulan Sinar Matahari yang beliau minta untuk
diajarkan pada kalian. Jika kalian suka…?”
“ Kami cukup punya kepandaian. Kami sudah memutuskan bahwa kami tidak perlu segala
macam pelajaran ilmu pukulan dirimu!” menukas Kunio Ota.
“ Apakah Akiko Bessho berpendapat begitu juga?” Tanya Wiro. “ Cukup satu saja murid
Pendekar Pedang Matahari berkata. Itu berarti berlaku dan mewakili semuanya!” jawab Kunio
Ota pula.
“ Jika memang begitu keputusan kalian, saya tidak memaksa. Saya hanya menjalankan pesan
guru saya dan pesan sensei kalian. Sekarang saya minta diri…” Wiro membungkuk. Ichiro dan
Kenichi balas membungkuk. Hanya Kunio Ota yang tidak mau balas menghormat. Ketika Wiro berbalik
dan hendak melangkah pergi tiba-tiba pemuda ini berkata, “ Tunggu dulu!”
Wiro berpaling dan menunggu. “ Kau datang dengan maksud hendak mengajarkan sesuatu pada
sensei. Sebelum menghembuskan nafas, sensei meminta agar kau mengajarkan ilmu Pukulan
Matahari pada kami. Tampaknya kau ini seperti seorang yang luar biasa. Memiliki kepandaian
Ptinggi, bahkan merasa lebih tinggi dari guru kami sendiri!”
“ Saya tidak mengatakan maupun merasa begitu!” jawab Wiro. “ Seperti saya katakan, saya
hanya menjalankan pesan. Jika kalian merasa tidak perlu atau tidak suka tidak menjadi apa.”
Kunio Ota berbisik-bisik dengan dua pemuda lainnya. Yang dua mengangguk-angguk. Lalu Kunio
berkata. “ Sebelum kau pergi, kami ingin melihat dulu sampai di mana kepandaianmu dalam ilmu
bela diri, dan kami tidak suka sebagai orang asing kau merasa lebih hebat dari kami di negeri
kami sendiri!”
“ Saya tidak merasa lebih hebat. Karenanya tidak ada gunanya kalian menguji saya,” jawab
Wiro.
“ Kalau hanya untuk menunjukkan kebodohan, mengapa jauh-jauh datang kemari!” mengejek
Kunio Ota, lalu pemuda ini tertawa diikuti oleh dua kawannya.
“ Terima kasih atas tertawa kalian yang tidak sedap didengar dan dilihat!” Wiro bungkukkan diri
lalu memutar langkahnya. Tahu-tahu Kunio Ota sudah menghadang di depannya. Diam-diam Wiro
merasa kagum akan kecepatan gerakan orang ini dan hampir tanpa suara.
“ Kami menantangmu! Kami menunggu di dojo. Jangan kau berani menolak karena itu berarti
penghinaan bagi kami!”
Pendekar 212 menyeringai. “ Justru bagiku yang menantang adalah pihak yang menghina!” Jawab
Wiro kasar dan kini mulai jengkel. Dia melewati ketiga pemuda itu lalu sebelum mereka masuk ke dalam
ruang latihan yang besar, murid Sinto Gendeng sudah lebih dulu berada di situ!
“ Silakan siapa di antara kalian yang hendak menunjukkan kebolehannya lebih dulu. Aku orang
bodoh hanya siap menerima petunjuk!” Lalu Wiro melompat ke tengah dojo.
Kunio Ota maju ke hadapan Wiro. “ Dengan tangan kosong atau pakai senjata?” murid Hiroto
Yamazaki itu bertanya.
“ Aku lebih suka tangan kosong!” jawab Wiro sambil usap-usapkan telapak tangannya satu sama lain.
Baru saja Wiro menyahut demikian, Kunio Ota langsung berteriak keras dan menghantam dengan
tangan kanannya ke arah muka Pendekar 212. Dari suara angin pukulan lawan, murid Sinto Gendeng
segera memaklumi kalau Kunio Ota menggabungkan kekuatan tenaga dalam dan tenaga luarnya dalam
melancarkan serangan. Hal semacam ini jarang dilakukan orang karena memang tidak mudah untuk
menjalankannya.
Wiro angkat tangan kirinya untuk menangkis. “ Bukk!” Dua lengan saling beradu. Wiro Sableng
terpental hingga menghantam dinding sedang Kunio Ota jatuh duduk di atas tatami.
Murid Sinto Gendeng merasakan lengannya sakit bukan kepalang. Rasa sakit ini anehnya menjalar cepat
ke sekujur tubuh hingga dia menggigil seperti orang kedinginan. Ketika diperhatikannya lengan kanannya,
lengan itu tampak bengkak merah dan biru!
Wiro memaki panjang pendek dan merasa menyesal mengapa tadi dia hanya mengerahkan tenaga
dalamnya sedikit saja sehingga dia kini mendapat cedera. Sebenarnya Wiro sangat menghormati keempat
murid Hiroto Yamazaki itu, apalagi gurunya Eyang Sinto Gendeng telah berpesan agar mampu membawa
diri sebaik-baiknya di negeri orang. Wiro sesaat tegak diam sambil usap-usap lengan kanannya yang
mendenyut sakit.
Kunio Ota melompat berdiri di atas tatami. Dengan sikap dan air muka penuh mengejek dia berkata. “
Kalian lihat sendiri! Dengan kemampuan seperti itu dia menyombongkan diri hendak memberi
pelajaran pukulan sakti pada kita! Kepalanya malah tambah besar karena sensei menyebutnya
Pendekar Gunung Fuji! Cuah!” Kunio Ota meludah ke lantai. “ Gaijin! Siapapun kau adanya kami
harap kau segera meninggalkan tempat ini! Kami hendak meneruskan sembahyang menghormati
arwah guru…!”
Wiro mengangguk. Dia melangkah ke hadapan meja sembahyang di mana disimpan abu Hiroto
Yamazaki. Dia membungkuk dalam-dalam beberapa kali. Lalu memutar tubuh dan tinggalkan tempat itu.
Begitu Wiro lenyap, Kenichi Asano berkata. “ Mari kita teruskan sembahyang. Kunio Ota, kau yang
tua di antara kita. Kau yang memimpin upacara…” Lalu Kenichi, Akiko dan Ichiro memberi jalan
pada Kunio untuk maju ke hadapan meja sembahyang. Tetapi orang yang diminta untuk memimpin acara
sembahyang itu tetap diam saja di tempatnya.
“ Apa yang terjadi?” Tanya Akiko heran, begitu juga Kenichi. Ichiro Loki memeriksa sekujur tubuh
Kunio, mengangkat-angkat kedua tangannya. Setiap diangkat, kedua tangan itu kembali ke
kedudukannya semula secara kaku. Kenichi dekatkan telinga kirinya ke dada Kunio. “ Aku mendengar
detak jantungnya! Dia masih hidup! Tapi mengapa tidak bisa bergerak tidak bisa bersuara?” ujar
Kenichi sesaat kemudian, seraya memandang heran pada saudara-saudara seperguruannya.
“ Aku ingat sejenis ilmu aneh yang datang dari daratan Tiongkok dan mulai dikembangkan di
negeri ini…” berkata Kenichi.
“ Maksudmu ilmu menotok jalan darah?” tanya Ichiro.
Kenichi mengangguk, “ Kunio bukan hanya ditotok jalan darahnya sehingga kaku, tapi jalan
suaranya juga terbendung hingga dia tak sanggup bicara!”
“ Lalu siapa yang menotoknya?” tanya Akiko.
“ Ya! Siapa…?!” ikut bertanya Ichiro.
“ Siapa lagi kalau bukan si gaijin itu!” sahut Kenichi.
“ Ah mana mungkin!” tukas Ichiro. “ Aku tidak melihat pemuda asing itu menggerakkan
tangannya atau mendekati Kunio. Dia tadi hanya melangkah ke meja sembahyang lalu
meninggalkan ruangan ini… Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Atau barangkali ada hantu di
tempat ini?”
“ Tidak ada hantu di sini Ichiro. Aku yakin pemuda itu yang melakukannya. Dia memiliki
kecepatan yang hanya bisa dilakukan oleh seorang ninja!”
“ Kalau begitu dia bukan manusia sembarangan. Tapi mengapa ketika beradu pukulan dengan
Kunio tadi dia terpental jauh dan lengannya tampak bengkak wajahnya memperlihatkan rasa
sakit!” kata Akiko pula.
“ Hemmm…” Akiko Bessho menggumam. Dia melangkah memutari tubuh Kunio Ota. “ Bagaimana kita membebaskan Kunio dari totokan ini. Kenichi…?” Kenichi Asano mendekati
Kunio. Dia memeriksa beberapa tubuh pemuda itu. Ketika dia menyingkapkan kerah baju Kunio,
dilihatnya ada tanda merah pada pangkal leher sebelah kiri. Kenichi kerahkan tenaga dalamnya ke ujung
ibu jari tangan kanan lalu dia mulai mengurut pangkal leher Kunio. Selang beberapa ketika Kunio
terdengar keluarkan suara keluhan pendek. Tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh kalau tidak dipegang
oleh Ichiro.
“ Kau sadar apa yang kau alami Kunio?” bertanya Akiko.
“ Entahlah. Aku mendengar suara kalian. Tapi aku tak bisa bergerak, tak bisa membuka mulut…
” jawab Kunio Ota.
“ Gaijin itu telah menotok urat besar di pangkal lehermu!”
“ Hah?” Kunio raba pangkal lehernya. “ Bagaimana dia bisa melakukannya? Dia bukan orang
Cina! Hanya pendekar-pendekar Cina yang punya ilmu kepandaian menotok orang!”
Kenichi menarik nafas dalam. “ Ilmu menotok itu sudah ada ratusan tahun lalu. Mungkin lebih dulu
dipelajari di negeri si gaijin itu dari pada di sini. Dia telah memberi pelajaran padamu dan pada
kita. Paling tidak dia kini membuat mata kita lebih terbuka. Kurasa waktu kau menjajalnya tadi
dia tidak melayani sepenuh hati…”
Merahlah peras Kunio Ota. “ Adik Kenichi, kau seperti mengejek aku! Aku akan cari orang itu dan
mengajaknya untuk adu kekuatan sampai seratus jurus!”
Ichiro gelengkan kepala. “ Aku tidak setuju. Ada hal lain yang lebih penting harus kita lakukan.
Mencari dua orang pembunuh sensei!”
“ Kau betul kak Ichiro,” menyatakan Akiko. “ Hal itu harus kita bicarakan sekarang! Tetapi
bagaimana kalau kita terlebih dahulu mengamankan barang-barang pusaka milik sensei…?”
“ Ah…? Kau betul Akiko!” kata Kenichi. “ Mari kita sama-sama masuk ke dalam kamar tidur
sensei…” Lalu keempat orang itu tinggalkan ruangan sembahyang, menuju ke kamar tidur mendiang
Hiroto Yamazaki. Hanya sesaat kemudian saja, di dalam kamar itu mendadak terjadi kegegeran!
Keempat anak murid Hiroto Yamazaki itu telah menemukan senjata-senjata pusaka milik guru mereka,
yakni sebilah katana dan seperangkat busur serta anak panah. Tetapi setelah menggeledah seluruh sudut
kamar, membalik kasur, membongkar lemari dan memeriksa lapisan-lapisan loteng dan dinding kamar,
mereka sama sekali tidak menemui sebuah kitab kuno berisi pelajaran Kendo yang amat langka.
Keempat anak murid yang baru saja ditinggal mati guru mereka itu saling pandang. “ Kitab itu sangat
berharga sekali. Sensei malah menganggapnya sama berharganya dengan nyawanya sendiri.
Sensei belum sempat mengajarkan keseluruhannya pada kita. Dan kini kitab itu lenyap!” Kenichi
Asano berkata sambil melangkah mundar-mandir dalam kamar.
“ Aku punya dugaan keras Gaijin itulah yang telah mencurinya!” kata Kunio Ota pula seraya
mengepalkan tinjunya!
“ Kurang ajar! Kita harus cari dia sampai dapat!” kata Ichiro Loki. Kunio Ota cabut pedangnya dari
balik punggung lalu melangkah ke hadapan meja sembahyang di mana terletak abu Hiroto Yamazaki.Sambil melintangkan katana di depan dadanya pemuda ini berkata “ Sensei, aku muridmu Kunio Ota,
bersumpah di hadapan abumu akan memenggal batang leher pencuri itu!” lalu pemuda ini
mendahului yang lain-lainnya keluar dari ruangan sembahyang itu.
“ Aku heran…” Kata Akiko pada Ichiro dan Kenichi. “ Jika memang betul pemuda asing itu yang
mencuri kitab tersebut, bagaimana mungkin dia mengetahui tempat sensei menyimpannya. Sejak
beliau meninggal, kamar ini selalu diawasi paling tidak oleh dua orang di antara kita. Lalu jika
dia memang murid sahabat guru kita, masakan begitu culas melakukan pencurian…”
“ Jangan-jangan dia murid palsu yang menyamar datang kemari padahal maksud sebenarnya
adalah untuk mencuri kitab itu!” ujar Ichiro pula.
“ Tapi dia telah memperlihatkan bukti-bukti dirinya pada sensei. Dan guru kita mengakui
kebenaran tanda-tanda yang diperlihatkannya…”
“ Saat itu guru kita tengah dalam keadaan sekarat,” berkata Kenichi. “ Besar kemungkinan dia
tidak lagi dapat membedakan mana yang asli dan mana yang palsu…”
“ Jadi pemuda itu datang jauh-jauh hanya untuk mencuri kitab Kendo milik guru!” kata Akiko.
“ Mungkin itu hanya sebagian kecil saja dari maksud kedatangannya ke negeri kita ini. Pasti dia
membekal maksud lain yang lebih jahat!” berkata Ichiro.
“ Kalau begitu aku setuju dengan rencana Kunio. Manusia satu itu harus dipenggal batang
lehernya!” kata Kenichi pula.
“ Rencana harus diatur sekarang,” kata Ichiro. “ Aku dan Kenichi akan mengejar pembunuh guru.
Akiko, Kunio mencari pemuda asing itu.”
“ Hati-hatilah kalian berdua,” kata Akiko. “ Jika dugaan kita benar bahwa pembunuh guru
adalah kelompok sesat orang-orang Lembah Hozu, mereka sangat berbahaya. Mereka ahli
memainkan panah beracun!” Kenichi dan Ichiro mengangguk.
Ichiro berkata, “ Beritahu pada Kunio bahwa aku dan Kenichi akan berangkat besok malam agar
bisa sampai Lembah Hozu dua hari kemudian. Kita bertemu lagi di sini pada Gesuyobi (hari
Senin) minggu pertama bulan depan…”
“ Baik! Kita bertemu lagi di sini hari Senin pertama bulan depan…” mengulang Akiko Bessho.
Malam itu udara tidak seberapa dingin. Di langit, bulan setengah lingkaran muncul tanpa tersaput awan.
Dua bayangan bergerak cepat di antara kerapatan pepohonan di Lembah Hozu. Sesekali terdengar suara
burung malam di kejauhan.
Orang yang lari di depan sesaat berhenti lalu berbisik kepada kawannya. “ Kenichi, sebentar lagi kita
akan memasuki kawasan Lembah Hozu. Periksa lapisan besi yang menutupi dada dan
punggungmu...”
Kenichi lalu memeriksa baju besi tipis yang melindungi dada dan punggungnya. Ichiro melakukan hal
yang sama.
“ Bagaimana dengan senjata peledak?” Ichiro kembali berkata. Kenichi memeriksa lima buah benda bulat sebesar kepalan yang terbuat dari besi. Kelima benda ini tergantung di pinggangnya dan merupakan
senjata peledak yang bisa menghancurkan bangunan. Ichiro juga membekal lima senjata peledak yang
sama.
“ Orang-orang Lembah Hozu biasanya suka minum-minum sampai larut malam. Berarti kita
harus bersabar menunggu sampai menjelang pagi, pada saat mereka mulai keletihan dan
setengah mabuk...” Kenichi mengangguk mendengar ucapan Ichiro itu. Keduanya kemudian bergerak
kembali dalam kegelapan malam dan udara dingin.
Akhirnya kedua orang murid mendiang Hiroto Yamazaki itu sampai di bibir Lembah Hozu sebelah
selatan. Jauh di bawah sana mereka melihat nyala obor banyak sekali. Di hadapan sebuah meja pendek,
tampak sekitar sepuluh orang lelaki berpakaian dan berikat kepala serba putih duduk berkeliling. Setiap
orang ditemani oleh seorang Geisha (wanita pelayan pada tempat-tempat tertentu). Semuanya asyik
menyantap makanan dan meneguk minuman. Sesekali terdengar suara gelak tawa. Lalu ada seorang
perempuan separuh baya yang duduk agak terpisah memetik Shamusen (instrumen musik dengan tiga
senar).
“ Setahuku kelompok mereka ada tujuh belas orang, mana tujuh lainnya...?” berbisik Ichiro.
Kenichi tak menjawab, ia memandang ke arah lembah seperti tengah menghitung-hitung. “ Kau
membawa teropong...?” bertanya Ichiro. Kenichi lalu menyerahkan sebuah teropong kecil. Ichiro
menarik habis teropong satu lensa ini lalu mengintai ke arah lembah. Satu demi satu dia mengawasi
muka-muka yang ada di lembah. Dia mengenali wajah orang keempat dan kesembilan, lalu berbisik pada
Kenichi. “ Aku mengenali wajah dua pembunuh sensei. Mereka ada di bawah sana...”
Kenichi mengangguk. “ Mereka ada di sana, aku tidak sabar lagi Ichiro. Apakah baiknya kita
langsung menyerbu...?”
Baru saja Kenichi berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara suitan panjang dari arah timur lembah.
Bersamaan dengan itu, sepuluh orang yang berada di meja bawah sana serentak melompat berdiri sambil
mencabut katana dari punggung masing-masing. Para Geisha berlarian ke satu arah. Perempuan yang
memainkan shamusen berhenti memainkan peralatan musik itu dan ikut lari ke arah lenyapnya para
Geisha .
“ Celaka!” bisik Ichiro. “ Agaknya mereka telah mengetahui kedatangan kita.” Baru saja Ichiro Ioki
berkata begitu, di atas mereka terdengar suara berdesing. “ Awas, serangan panah!” teriak Ichiro. Dia
segera menunduk dan cabut katana -nya. Kenichi juga segera mencabut pedangnya dan melompat ke
balik sebuah pohon besar. Dua buah anak panah menancap di batang pohon itu. Ichiro putar pedangnya
ketika terdengar suara berdesing untuk kesekian kalinya. “ Trang...! Trang...!” Dua anak panah runtuh
ke bawah.
“ Para pembokong itu ada di atas pohon sebelah sana!” bisik Ichiro. Dia segera mencabut senjata
peledak yang ada di pinggangnya. Sebuah anak panah menghantam bahunya. Untung bagian bahu itu
masih terlindung baju besi yang dipakainya hingga dia tidak cedera sedikit pun. Ichiro bergerak dua
langkah ke samping kanan lalu lemparkan senjata peledak ke arah pohon besar di mana tadi dia melihat
bayangan tiga orang pembokong bersenjatakan panah.
Terdengar suara berdentum. Nyala terang bola api berkilat, sesaat keadaan terang benderang. Di atas
pohon besar yang hancur porak poranda, terdengar jeritan tiga orang. Ketiganya terlempar jatuh ke
tanah dan telah mati lebih dahulu dalam keadaan terkutung-kutung sebelum tubuh masing-masing
mencium tanah
Kenichi! Orang-orang di lembah berusaha mencapai tempat ini! Lekas kau cegat dengan
senjata peledak!” berteriak Ichiro ketika dilihatnya di bawah sana sepuluh lelaki yang tadi duduk
mengelilingi meja kini berlari sangat cepat menaiki lereng lembah menuju tempat di mana dia dan Kenichi
berada.
Kenichi menyelinap di balik kerapatan pepohonan lalu loloskan sebuah senjata peledak. Tak lama
kemudian terdengar suara berdentum di arah timur. Beberapa pohon dan semak belukar rambas. Namun
tidak terdengar suara jeritan. Di lain saat malah terdengar orang-orang lembah berteriak. “ Kurung yang
satu ini! Tangkap hidup-hidup!”
Lalu terdengar suara senjata saling beradu disertai bentakan-bentakan. Ichiro masih sempat mendegar
suara jeritan Kenichi ketika di hadapannya tiba-tiba muncul enam orang bersenjatakan pedang. Dia tidak
sempat mencabut senjata peledaknya. Dengan katana , Ichiro hadapi keenam lawan yang datang.
Namun saat itu sebatang anak panah beracun yang dilepaskan lawan dari tempat gelap berhasil
menancap di paha kanannya.
Dengan kertakkan rahang menahan sakit, Ichiro cabut anak panah itu. Namun sebagian racun panah
telah larut dalam aliran darahnya! “ Manusia-manusia Lembah Hozu keparat! Kalian telah
membunuh guru! Majulah untuk menerima hukuman!” teriak Ichiro. Terdengar suara tertawa
bergelak dalam gelap. Lalu enam sosok tubuh melompat. Enam katana menggebrak berbarengan.
Ichiro menangkis tiga tebasan pedang. Tiga lainnya dielakkan dengan jalan melompat ke belakang.
Ketika salah seorang lawan kembali menyerbu, Ichiro keluarkan suara mengerang dan katana yang
digenggam dengan kedua tangannya berkelebat ganas. Satu jeritan menggema dalam kegelapan malam.
Orang didepan Ichiro menggeletak dengan perut robek. Lima kawannya berteriak marah lalu serempak
menyerang.
“ Kita berhasil menangkap yang satu ini!” terdengar suara orang berteriak.
“ Ah! Mereka berhasil menangkap Kenichi!” keluh Ichiro, lalu putar pedangnya dengan sebat.
Terdengar suara berdentangan. Tiga sosok bayangan muncul lagi dari dalam gelap. Kini ada delapan
orang yang mengeroyok Ichiro. Tak ada kemungkinan bagi pemuda ini untuk menghadapi begitu banyak
lawan. Dia membuat gerakan seperti katak, melompat dan berhasil menjauhi para pengeroyok. Sebelum
lawan-lawannya mengejar, dia segera loloskan sebuah senjata peledak.
“ Awas bola peledak!” teriak seseorang. “ Bummmm!” Ledakan keras menggema. Lidah api muncrat
ke berbagai jurusan. Dua jeritan terdengar bersama rambasnya semak belukar dan tumbangnya sebatang
pohon. Ichiro lari sekencang yang bisa dilakukannya sementara luka di paha kanannya terasa semakin
sakit. Kaki kanannya seperti kaku. Dua anak panah melesat menghantam punggungnya, namun baju besi
yang dikenakannya berhasil melindungi.
Ichiro lari terus hingga ia sampai di mana dia dan Kenichi sebelumnya meninggalkan kuda
masing-masing. Ichiro cepat naik ke atas pelana dan menghambur tinggalkan tempat itu. Ketika
orang-orang Lembah Hozu sampai di tempat itu, Ichiro sudah terlalu jauh, tak mungkin dikejar lagi.
Ichiro sampai di tempat kediaman gurunya sesaat sebelum matahari terbit. Dia langsung masuk ke dalam
kamar dan mengambil secarik kertas serta alat penulis. Dengan tubuh panas dingin akibat racun panah
yang mulai bekerja menyerang jantung dan paru-parunya, Ichiro mulai menulis. Lalu dengan membawa
kertas itu dia masuk ke dalam ruangan sembahyang dan berlutut di depan abu gurunya. “ Sensei, harap
maafkan diriku. Sebagai murid, aku merasa tidak layak lagi hidup. Aku tidak dapat membela
nama guru. Aku tidak berhasil menumpas orang-orang Lembah Hozu. Malah mereka berhasil menangkap Kenichi. Aku malu untuk hidup lebih lama. Sensei aku mohon ampunmu... Aku harus
menebus kebodohanku dengan melakukanSeppuku ... (bunuh diri)”
Ichiro letakkan kertas yang tadi ditulisnya di kaki meja sembahyang, lalu mencabut katana -nya siap
ditikamkan ke perutnya. Tiba-tiba di saat yang tepat dua tangan kokoh menahan gerakan tangan Ichiro.
Sebelum pemuda ini jatuh pingsan, dia masih sempat melihat wajah orang yang barusan mencegahnya
melakukan bunuh diri itu!
Dua orang berkelebat masuk ke dalam ruangan sembahyang dan keduanya sama berseru keras ketika
melihat tubuh Ichiro tergeletak menelungkup di atas tatami . Paha kanannya dibalut. Tak berapa jauh
dari situ tergeletak katana milik pemuda ini. Lalu di dekat kaki meja sembahyang ada sehelai kertas
bertuliskan huruf-huruf kanji.
Ternyata dua orang yang barusan datang adalah Akiko Bessho dan Kunio Ota. “ Kau lekas periksa
keadaannya! Aku akan membaca apa yang tertulis di kertas ini!” kata Kunio. Setelah membantu
Akiko membalikkan tubuh Ichiro, Kunio mengambil kertas di kaki meja lalu membacanya.
Saudara-saudaraku seperguruan, terlalu memalukan bagiku untuk hidup. aku bukan saja gagal menuntut
balas terhadap orang-orang Lembah Hozu yang telah membunuh sensei, tetapi mereka bahkan berhasil
menangkap Kenichi! Maafkan diriku. Hanya ada satu jalan untuk menutup rasa malu menebus kegagalan
itu, yakni dengan melakukan seppuku
Ichiro Ioki
“ Orang tolol!” maki Kunio sambil membanting surat itu ke lantai. Lalu dia beringsut mendekati Akiko
yang bersimpuh di lantai, tengah berusaha menyadarkan Ichiro dari pingsannya. “ Ichiro... Ichiro!
Bangun... Ayo buka matamu!” kata Akiko berulang kali sambil menepuk-nepuk pipi saudara
seperguruannya itu.
“ Ada keanehan kulihat...” berkata Kunio sambil memandangi sosok Ichiro.
“ Apa maksudmu,” tanya Akiko.
“Ichiro jelas hendak melakukan harakiri (bunuh diri). Karena itu dia menulis surat untuk kita. Tetapi
entah mengapa dia tidak melakukannya. Paha kanannya dibalut dan ada rembesan darah. Mungkin sekali
pahanya ditusuk panah beracun orang-orang Lembah Hozu. Kalau betul, lalu mengapa saat ini dia masih
hidup? Siapa yang membalut luka beracun di pahanya?”
Terdengar keluhan pendek. “ Dia siuman!” pekik Akiko gembira. Lalu kembali gadis ini
menepuk-nepuk pipi Ichiro. “ Sadar Ichiro... Sadar! Katakan pada kami apa yang terjadi!” kata
Akiko pula.
Perlahan-lahan Ichiro membuka kedua matanya. “ Dia... di mana... di...dia...?” suara itu keluar
terbata-bata dari mulut Ichiro.
“ Dia siapa maksudmu Ichiro?” tanya Kunio.
“ Dia... dia... Gaijin itu...”
“ Gaijin...?” mengulang Akiko sambil saling pandang dengan Kunio. “ Maksudmu pemuda asing yang
muncul membawa surat untuk sensei tempo hari...?”
dengan kekuatan penuh! Wiro seperti terdesak pada permulaannya. Pemuda ini harus mengakui
kehebatan permainan pedang sang dara. Agar tidak sampai melukai gadis berwajah bulat ini, Wiro
sengaja mainkan jurus-jurus silat pertahanan.
Namun ketika dia didesak habis-habisan, murid Sinto Gendeng ini terpaksa keluarkan jurus-jurus silat
orang gila yang dipelajarinya dari Tua Gila. Gerakannya seolah-olah kacau. Namun di balik kekacauan
itu tersembunyi suatu kekuatan yang hebat.
Selagi Akiko kerahkan seluruh tenaga untuk menggempur Wiro, murid Sinto Gendeng malah
mempermainkannya. Dalam satu gebrakan keras, Wiro berhasil memukul lepas pedang di tangan si
gadis! Akiko menjerit bukan karena cedera, tapi malu dan penasaran. Dia lari ke sudut ruangan. Di sini
dia duduk bersila sambil memejamkan mata. Dia berusaha mengatur jalan darahnya yang bergejolak.
Begitu merasa sudah menguasai dirinya sepenuhnya kembali, gadis ini bergulingan di lantai untuk
mencapai pedangnya yang tadi terlepas mental. Lalu begitu hulu pedang tergenggam dalam kedua
tangannya, gadis ini langsung menyerbu Wiro kembali.
“ Tunggu dulu...!” seru Pendekar 212.
Akiko Bessho tidak peduli seruan orang. Pedang di tangannya menderu dan berkelebat laksana kilat. Di
antara empat orang muridnya, mendiang Hiroto Yamazaki memang telah memberikan ilmu pedang secara
khusus pada gadis ini sehingga sekali sebilah katana berada dalam genggaman dua tangannya, maka
dirinya bisa berubah laksana malaikat penyebar maut! “ Breettt… bretttt… bret…!”
Pendekar 212 Wiro Sableng berseru kaget dan cepat melompat mundur dengan wajah pucat. Baju putih
tebal yang dikenakannya robek besar di kedua bagian. Robekan ketiga adalah pada bagian pinggang
celananya. Tali celana ini putus, ketika melompat, tak ampun lagi merosot ke bawah.
Selagi Wiro menarik celananya ke atas, sambil meletakkan pedang di tangan kanannya, Akiko kembali
menyerbu.
“ Akiko... hentikan seranganmu,” teriak Ichiro. “ Bagaimanapun aku berhutang nyawa pada gaijin
itu!” Namun terikan itu tidak ada gunanya. Ujung pedang Akiko sudah merebas dan menyambar. “
Breettt!” Lengan kiri pakaian Wiro robek memanjang dan kali ini tidak hanya pakaiannya yang robek
tapi juga bagian tubuhnya kena toreh. Darah langsung mengucur membasahi lengan dan lantai ruangan.
Rasa sakit dan keadaan terdesak membuat Pendekar 212 kalap. Dengan tangan kiri yang masih
memegang kolor, Wiro mengangkat tangan kanan. Dia sudah siap mengerahkan semua tenaganya dengan
penuh. Tapi mendadak dia terbayang wajah Hiroto Yamazaki, lalu wajah gurunya Sinto Gendeng. Wiro
kendurkan tenaga dalamnya lalu menghantam.
Satu gelombang angin menghantam ke depan. Akiko merasakan tubuhnya terdorong. Semakin dicoba
melawan, semakin keras tubuhnya terdorong. Gadis ini nekad melabrak. Akibatnya dia seperti berkelahi
seorang diri sementara lawannya berada beberapa langkah di depannya.
Akiko Bessho berteriak marah. Dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Pedang di tangan
kanannya bergetar keras dan mengeluarkan suara siur. Gadis ini sempat maju mendekati Wiro namun
kemudian justru jatuh terpelanting di lantai dengan sekujur tubuh mandi keringat.
Akiko menjerit lagi dan seperti sedang putus asa, ia membanting pedangnya ke lantai. “ Curang, kamu
curang, menggunakan ilmu sihir. Tidak berani menghadapi ilmu pedang dengan pedang,” teriak
Akiko. Wiro hanya bisa menyeringai mendengar teriakan gadis itu. Sambil pegang lengan kirinya yang terluka, dia menuju pintu. Ichiro memegang bahu Akiko dan membantu gadis itu berdiri. Lalu kepada
Wiro dia berujar, “ Maafkan adik seperguruanku. Aku akan meminta dia merawat lukamu...”
“ Terima kasih,” jawab Wiro yang kini lenyap sudah amarahnya dan mulai kasihan melihat Akiko.
“ Aku bisa merawat lukaku sendiri. Ada dua hal yang perlu aku katakan pada kalian. Pertama, aku
tidak memiliki ilmu sihir. Kedua, dan ini yang penting, lekas tinggalkan tempat ini. Orang-orang Lembah
Hozu pasti akan menyerbu ke mari menuntut balas kematian teman-teman mereka.”
“ Jika mereka datang kami akan membunuh mereka semua!”
“ Kami akan mencincang dua pimpinan mereka yang telah membunuh guru...” kata Ichiro.
“ Jangan bodoh. Jumlah mereka lebih banyak dan mereka sedang menyandera Kenichi, kalian
tidak akan bisa berbuat apa-apa. Lebih baik mengalah sementara sambil menyusun langkah
baru.”
Sehabis bicara, Wiro mengambil kotak berisi abu Hiroto.
“ Hai hendak kau bawa ke mana benda itu,” teriak Akiko.
Wiro melangkah ke hadapan si gadis lalu mengulurkan kotak besi pada Akiko seraya berkata, “ Ini
benda berharga yang paling berharga yang harus kalian selamatkan sebelum orang Hozu
menyerbu.” Lalu berpaling kepada Ichiro. “ Tolong tinggalkan tempat ini, jika Kunio masih pingsan
dan mereka datang ke tempat ini, maka dia akan menjadi sasaran.”
Selesai berkata, Wiro langsung meninggalkan tempat itu dan Ichiro serta Akiko seketika saling
berpandangan. Akhirnya Ichiro membuka mulut, “ Apa yang dikatakan pemuda asing itu benar.
Selama Kenichi berada di tangan orang Lembah Hozu, kita tidak bisa berbuat banyak! Kita musti
meningalkan tempat ini Akiko. Itu tidak bisa ditawar-tawar lagi!”
Di luar, langit tampak semakin terang dan sebentar lagi sang surya akan terbit. Dari kejauhan, dari arah
tenggara terdengar suara-suara bersahut-sahutan. Sepasang mata Akiko dan Ichiro tampak sama-sama
membesar. “ Mereka benar-benar datang,” desis Ichiro. Tanpa bicara lagi ia langsung memanggul
Kunio Ota yang masih dalam keadaan pingsan. Ichiro memberi tanda kepada Akiko, namun ragu. Tapi
tidak lama kemudian ia meloncat mengikuti kakak seperguruannya itu meninggalkan tempat.
“ Kita tidak mungkin lari jauh. Sekali mereka melihat, kita akan dikejar. Sebaiknya menyelinap
dan bersembunyi di Goa Wanigawa.” Akiko setuju lalu mendahului lari. Mereka menuju kerapatan
pepohonan di arah timur menuju sebuah goa yang tersembunyi di balik semak belukar. Dari dalam goa
bisa melihat ke arah bekas rumah Hiroto Yamazaki yang luas.Goaini disebut Wanigawa yang berarti “
Kulit Buaya” karena bagian dalamnya bergerujul seperti kulit buaya.
Baru saja mereka memasuki goa, segerombolan orang-orang Lembah Hozu yang berjumlah sekitar dua
puluh orang muncul menunggang kuda. “ Periksa bangunan itu!” teriak seorang pemimpin gerombolan.
Limaorang turun dari kuda dan langsung memeriksa dengan pedang terhunus, sementara sepuluh orang
lainnya mengelilingi bangunan dengan membawa panah beracun yang siap membidik siapa saja yang
keluar dari bangunan.
Dua orang Lembah Hozu tampak kuluar dari bangunan sambil memberi isyarat bahwa rumah telah
kosong, tidak orang dan benda yang bisa dijarah. “ Kurang ajar, mereka pasti melarikan diri,” ujar lelaki bertubuh kurus yang menunggang kuda putih.
Kawan yang berada di sebelahnya ikut berteriak, “ Bakar bangunan itu!” Maka enam orang segera
melaksanakan perintah. Dalam waktu sekejap, bekas rumah Hiroto yang didiami bersama empat
muridnya itu hilang dilalap api.
Di dalam goa Wanigawa, Akiko kepalkan kedua tangannya. “ Aku ingin sekali membunuh
keparat-keparat dari Lembah Hozu itu. Ichiro perhatikan kuda putih dan lelaki di sampingnya.
Aku ingat betul dia yang mengeroyok sensei dan membunuhnya...”
“ Kau betul Akiko. Yang kurus jangkung itu adalah Massashigi Sakaji. Kawannya, kalau tidak
salah adalah Minoru Shirota. Mereka adalah dua dari empat pemimpin Lembah Hozu. Keduanya
sudah terkenal sejak dua puluh tahun lalu.”
“ Tanganku sudah gatal ingin membunuh kedua bangsat itu. Bagaimana jika aku membokong
mereka dengan sumpit beracun?” Dari balik pakaiannya, Akiko keluarkan sebuah sumpitan yang
terbuat dari kuningan lengkap dengan pelurunya sebesar ujung jari berbentuk bulat dan berduri-duri di
beberapa bagian.
“ Jangan!” cegah Ichiro. “ Jarak mereka terlalu jauh. Peluru sumpit tidak bisa sampai ke sana . Di
samping itu, tindakanmu sama saja dengan memberi tahu tempat persembunyian kita ini.” Akiko
bantingkan kaki karena kesal. Tiba-tiba didengaranya Ichiro berseru. “ Akiko! Lihat! Ada seseorang di
atas atap bangunan rumah!”
Bagaimana terkejutnya Ichiro, begitu pula kagetnya Akiko. Di atas atap bangunan di bawahsana , pada
bagian yang belum sempat disentuh kobaran api, di balik kepulan asap, kedua orang ini melihat sosok
seorang laki-laki berpakaian dan berikat kepala putih tegak bertolak pinggang di atas wuwungan rumah.
Orang-orang Lembah Hozu yang masih ada di sekitar bangunan itu juga tampak terheran-heran melihat
ada orang di atas atap bangunan yang mereka bakar. “ Ichiro...” kata Akiko sambil memegang lengan
pemuda itu. “ Apakah kau tidak mengenali orang di atas atap itu? Bukankah dia gaijin bernama
Wiro Sableng itu...?”
Ichiro Ioki usap kedua matanya berulang kali. “ Astaga! Kau betul! Apa yang dilakukan pemuda
asing itu di sana ?! Sudah gila dia agaknya!” ujar Ichiro.
“ Dia sengaja mencari mati!” kata Akiko pula. “ Ninja sekalipun tidak berani melakukan hal
seperti itu siang-siang begini!”
“ Aku jadi tak habis pikir,” kata Ichiro pula. “ Siapa sebetulnya pemuda itu. Sikapnya selalu
merendah dan terkadang tampak seperti orang tolol!”
Di atas atap bangunan, orang yang berdiri disanamemang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu
dengan mengerahkan tenaga dalamnya hingga suaranya menjadi keras sekali, Wiro berteriak. “
Orang-orang Lembah Hozu! Kalian semua dengar! Jika kalian tidak segera membebaskan
Kenichi dan menyerahkan dua pembunuh Yamazaki-san, maka Lembah Hozu akan menjadi
lembah bangkai bagi kalian!”
Semua orang Lembah Hozu mendongak dan sama memandang ke atas atap. “ Eh, manusia atau setan
gunung yang ada di atas atap itu?!” berkata salah seorang pimpinan Lembah Hozu. Lalu dia berpaling
pada dua kawan di sebelahnya. “ Masashigi! Minoru! Orang itu menghendaki diri kalian!”
Tiba-tiba Wiro mendengar suara berucap, “ Wiro-san, gurumu jelas-jelas dalam suratnya
mengatakan tidak ada pamrih. Mengapa sekarang kau justru meminta imbalan...?”
“ Astaga! Itu suara Hiroto Yamazaki!” ujar Wiro dalam hati. Terkesima tapi juga tampak merah
mukanya, pemuda ini berpaling ke kiri dari arah mana tadi dia mendengar suara itu datang.
“ Kau mencari siapa?” tanya Akiko dengan senyum di bibir.
“ Aku barusan mendengar...” Wiro tak meneruskan ucapannya. Di hadapannya, Akiko tampak
berusaha menahan tawa. Kini Wiro sadar apa yang telah terjadi. Akiko tadi pasti telah mempergunakan
kepandaian berbicara dengan perutnya, meniru suara mendiang gurunya! Mau tak mau Wiro hanya bisa
menyengir.
Sambil garuk kepala, pemuda ini serahkan topi jerami kembali pada Akiko. Belum sempat topi itu
disentuh si gadis, tiba-tiba terdengar suara berdesing. Wiro berteriak memberi peringatan. Akiko
melompat ke samping kanan, Wiro ke arah kiri. Dua bilah golok pendek menderu dan menancap ditopi
jerami yang masih berada dalam genggaman Pendekar 212.
Pada saat itu pulalimaorang berpakaian merah melayang turun dari atas dua buah pohon besar yang ada
di taman Puri Nanzen. Akiko keluarkan seruan kaget. “ Komplotan pembunuh bayaran Teruko!”
Limaorang berpakaian serba merah menyebar mengurung Akiko dan Wiro. Mereka terdiri dari empat
orang laki-laki yang wajahnya dilumuri pupur berwarna merah sedang rambut dicukur pendek berdiri dan
juga berwarna merah. Orang kelima ternyata seorang nenek berpipi cekung tetapi masih memiliki rambut
hitam lebat disanggul rapi. Mukanya celemongan tidak karuan.
Meski jelas kelima orang itu tidak bermaksud baik, namun murid Sinto Gendeng masih bisa bergurau. “
Kalian ini para pemain sandiwara kabuki (semacam sandiwara tradisional Jepang) mengapa bisa
kesasar ke mari...?!”
“ Pemuda asing gila! Apa dia tidak tahu gelagat tengah menghadapi siapa!” Akiko Bessho
memaki dalam hati. Gadis ini gerakkan kedua kakinya membuat kuda-kuda. Tangan kanannya
tergantung sedemikian rupa, siap untuk mencabut katana yang tersembunyi di punggung pakaiannya.
Empat lelaki berambut merah keluarkan suara mendengus marah mendengar ucapan Wiro tadi.
Sebaliknya si nenek malah keluarkan suara tertawa cekikikan! Dia mengerling genit ke arah Wiro lalu
berpaling pada Akiko. “ Mendiang Hiroto Yamazaki pasti tidak tenteram di akhirat melihat murid
perempuannya bersuka-sukaan dengan seorang pemuda asing!”
“ Tua bangka kurang ajar! Tampangmu jelek, mulutmu kotor!” teriak Akiko marah. Tangan
kanannya mulai bergerak ke arah punggung.
Perempuan berwajah celemongan ganda tertawa. “ Mukaku memang jelek, mulutku suka usil!
Hikk... hik...hik..!” jawab si nenek. Lalu sambungnya, “ Tapi banyak lelaki suka padaku, Hikk...
hik...hik...!”
“ Aku tidak heran!” menyahuti Akiko. “ Siapa yang tidak kenal dengan nenek Teruko! Perempuan
binal yang sudah jadi pelacur sejak usia empatbelas tahun!”
“ Anak perawan! Mulutmu sudah kelewatan! Anak-anak, bunuh dia!” perintah Teruko pada keempat anak buahnya. “ Sreet...!” empat bilah katana pendek dicabut berbarengan. Empat lelaki
bermuka dan berambut merah itu langsung mengurung Akiko. Si nenek sendiri sambil tertawa-tawa
melangkah mendekati Wiro, kedipkan matanya dan berkata, “ Pemuda asing, tampangmu cukup
menawan. Jika malam ini kau mau menginap di rumahku, aku akan ampunkan kau punya nyawa.
Siapa namamu sayang...?”
Sambil berkata begitu enak saja dan cepat sekali si nenek mencuil dagu Wiro. Murid Sinto Gendeng
merasakan tengkuknya merinding. “ Kau ini siapa? Kenal pun baru kali ini, mengapa enak saja
bicara soal pengampunan nyawaku?” tanya Wiro.
Si nenek tertawa dan kedipkan lagi matanya. “ Namaku Teruko. Aku ketua komplotan Teruko yang
bisa disewa untuk melakukan apa saja! Saat ini aku mendapat pekerjaan untuk membunuhmu
dan gadis itu! Apa kau tidak berterima kasih kalau aku kini mengampunimu?”
“ Perlu apa mengampuni diriku? Apa aku punya kesalahan padamu?”
“ Oooo...” Wiro ikut-ikutan runcingkan mulut. “ Siapa yang menyewa kalian?”
“ Itu rahasiaku! Tapi di atas ranjang malam ini mungkin aku akan mengatakannya!” jawab si
nenek lalu tertawa tersipu-sipu.
“Tidak kau katakan pun aku sudah tahu. Pasti orang-orang Lembah Hozu!”
“ Ah, ternyata otakmu cerdas. Aku suka pemuda-pemuda cerdas sepertimu...” kata nenek Teruko
pula.
Sata itu terjadi perkelahian antara Akiko dengan empat anak buah Teruko. Seperti diketahui, Akiko
adalah satu-satunya murid pewaris ilmu pedang paling pintar dari Hiroto Yamazaki. Katana yang
tergenggam di kedua tangannya menderu ganas menghadapi empat pedang pendek keempat
pengeroyoknya.Parapengeroyok yang tidak menyangka bakal mendapatkan perlawanan keras, sambil
berteriak-teriak memperapat kurungan dan lancarkan serangan-serangan berantai.
Untuk beberapa lamanya Akiko sanggup membendung serangan empat lawannya, tetapi setelah
berkelahi lebih dari sepuluh jurus, walaupun sempat melukai lengan salah seorang pengeroyok, pada
akhirnya gadis ini mulai terdesak. Keselamatannya terancam.
“ Hentikan serangan kalian! Jangan main keroyok!” teriak Wiro. Masih dengan memegang topi
jerami yang ditancapi dua bilah golok, Wiro segera melompat ke tengah pertarungan. Namun ada
seorang menarik pinggang celananya. Ketika dia berpaling, ternyata nenek Teruko yang melakukan!
Nenek itu tersenyum dan lagi-lagi kedipkan mata!
“ Tua bangka sialan!” maki Wiro dalam hati. Lalu dia membentak, “ Perintahkan empat anak
buahmu menghentikan pengeroyokan! Lalu cepat pergi dari sini!” Dalam keadaan marah Wiro
hampir tidak sadar kalau tangan si nenek masih memegangi pinggang celananya. Tiba-tiba tangan itu
cepat sekali menyusup ke dalam celana Wiro.
Pendekar 212 tergagap kaget. Hampir saja anggota terlarangnya disentuh jari-jari tangan kurang ajar
nenek Teruko. Saking marahnya, Wiro langsung gebukkan topi jerami di tangan kanannya ke muka
Teruko! Perempuan tua itu tertawa cekikikan. Dia terpaksa menarik tangan kanannya yang jahil. Sambil
mundur dua langkah, dia silangkan lengan kiri untuk menangkis gebukan topi jerami. Braakkk!” Topi jerami milik Akiko itu hancur berantakan. Dua bilah golok yang tadi menancap di topi
mencelat ke udara. Begitu senjata itu jatuh ke bawah, nenek Teruko melompat keatas. Di lain kejap,
kedua golok itu sudah berada dalam genggaman si nenek! Dan hebatnya, sesaat kemudian senjata itu
telah dilemparkannya ke arah Akiko Bessho, padahal saat itu si gadis berada dalam keadaan terdesak
hebat!
Akiko bukannya tidak melihat kedatangan dua golok yang menyebar ke arahnya. Dia tidak bisa berbuat
apa-apa karena saat itu empat lawan menyerbu dengan dahsyat! Kalau pedangnya dipakai untuk
menangkis dua golok, tubuhnya tidak terlindung lagi dari gempuran pedang para pengeroyok!
Dalam keadaan genting seperti itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan Pendekar 212. “ Akiko! Tangkis
dua golok terbang!” Bersamaan dengan itu, murid Eyang Sinto Gendeng dorongkan kedua tangannya
ke arah empat pengeroyok yang berpakaian dan berwajah serta berambut merah. Dua gelombang
pukulan sakti bernama“Dewa Topan Menggusur Gunung” yang didapatnya dari Tua Gila, seorang
sakti dari pulau Andalas, menghantam dahsyat. Empat orang murid nenek Teruko berteriak kaget saat
menyadari tubuhnya laksana terseret badai. Mereka berusaha bertahan sambil mengejar Akiko dengan
ujung senjata masing-masing.
Tapi, “ Wusssss!” Keempat lelaki itu mencelat mental, bergulingan di tanah dan untuk beberapa saat
tergeletak dengan muka merah mereka tampak babak belur! Salah seorang mencoba berdiri, tapi
terhuyung-huyung dan batuk beberapa kali. Dari mulutnya meleleh darah, lalu lelaki itu roboh kembali.
“ Trang... trang...!” Seperti yang diteriakkan Wiro, Akiko kini mampu mempergunakan pedangnya
untuk menghantam mental dua golok pendek yang tadi dilemparkan nenek Teruko. Selamatkan gadis ini
dari serangan maut. Akan halnya nenek Teruko si kepala komplotan kegetnya bukan kepalang. Dia
memang gusar melihat Akiko lolos dari kematian. Namun yang membuatnya tersirap adalah pukulan sakti
yang dilepaskan Pendekar 212, yang sempat membuat empat anak buahnya terpental dan babak belur
terkapar di halaman puri.
“ Pemuda asing ini luar biasa! Ilmu pukulannya tidak kalah dengan nenek Arashi. Ada hubungan
apa pemuda ini dengan nenek sihir itu! Ah, aku benar-benar bisa jadi hitome bore (cinta pada pandangan
pertama) padanya! Jika aku bisa memanfaatkan dirinya, tidak sulit menjadi orang nomor satu di negeri
ini!”
Nenek Teruko maju dua langkah mendekati Pendekar 212. Tanpa pedulikan lagi empat anak buahnya
yang cedera, si nenek berkata, “ Anak muda, ternyata kau memiliki pukulan sakti sehebat badai.
Apa sangkut pautmu dengan nenek Arashi?”
Wiro yang pernah mendengar nama nenek tukung sihir itu menjawab, “ Aku tidak ada sangkut paut
dengan segala macam nenek-nenek, termasuk denganmu!”
“ Ah, jangan begitu anak muda. Dengar... aku bersedia menjadikan kau sebagai wakilku. Kita
bekerja sama, gajimu enam tail perak sebulan! Pasti kau mau menerima!”
“ Wiro-san! Jangan terpancing!” teriak Akiko.
“ Pasti aku menolak!” sahut Wiro, membuat si nenek terperangah.
“ Anak bodoh, setahun bekerja denganku, kau bisa membangun puri sebagus puri Nanzen ini!
Apa itu tidak hebat?”Aku tidak suka jadi orang hebat. Nenek, aku minta kau meninggalkan tempat ini dan jangan
ganggu kami lagi!” kata Wiro.
“ Enak saja kau berucap begitu…!”
“ Lalu maumu apa?”
“ Kuberi susu kau minta jelaga. Kuberi madu kau minta racun! Sekarang bersiaplah untuk mati!”
kata nenek Teruko. Lalu dari balik pakaiannya dia mengeluarkan senjata tombak aneh. Ujung satunya
berupa sebilah pedang pedek, sedang ujung lainnya berbentuk bulat penuh dengan lobang kecil.
Melihat ini, Akiko segera mendekati Wiro dan berbisik. “ Hati-hati dengan ujung tombak berbentuk
bulat. Di dalamya tersimpan racun yang bisa membuat mata buta serta menutup jalan nafas!”
“ Terima kasih, kalau begitu lekas kita tutup jalan nafas dan kau berdiri dekat pohon sana !” kata
Wiro. Sebagai pendekar yang sudah kebal terhadap segala jenis racun, sebenarnya Wiro tidak khawatir.
Namun murid Sinto Gendeng tidak mau menganggap rendah orang.
“ Wutttt!” Nenek Teruko kiblatkan senjatanya. Dari lobang kecil pada ujung berbentuk bola serta merta
menebar benda berbentuk butir pasir halus. Begitu menyentuh udara meletus dan berubah menjadi asap
hitam yang baunya busuk luar biasa, membuat jalan pernafasan sesak dan mata perih. Selagi asap
menutup pemandangan, si nenek pergunakan kesempatan tusukkan ujung pedang ke arah perut lawan!
Pendekar 212 berseru keras. Tubuhnya melesat ke udara setinggi satu setengah tombak. Dari atas dia
langsung melepas pukulan kosong. Tapi cepat sekali nenek menyambar ke arah pergelangan tangannya.
Selagi Wiro menarik kembali serangannya, senjata lawan sudah menyemburkan asap lagi.
Wiro merasakan jalan pernafasannya sesak. Kaki kirinya melesat mencari sasaran nenek Teruko. Si
nenek cepat sekali menundukkan kepala dan tiba-tiba tombak dengan cepat menusuk ke atas
selangkangan Wiro. “ Nenek gila, gerakannya cepat sekali,” maki Wiro. Mau tidak mau dia
membuang diri ke samping. Untuk menghindari serangan, dia langsung melepas serangan“Kunyuk
Melempar Buah” .
Nenek Teruko gusar besar melihat serangannya yang susul menyusul mampu dielakkan lawan. Asap
beracunnya tidak berhasil mencelakakan pemuda itu. Dan kini dari atas kini dia merasakan ada gundukan
batu raksasa yang siap menimbunnya. Sambil memutar tombaknya, nenek melompat mundur. Tangan
kirinya dipukulkan ke atas. Dia memang memiliki pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi. Tapi
begitu pukulannya bertemu dengan pukulan lawan, menjeritlah wanita tua bermuka celemongan ini.
Tangan kirinya terkulai lemas, lalu terbanting di tanah. Dia tidak lagi bisa menggerakkannya!
“ Celaka! Apa yang terjadi dengan tanganku ini!” si nenek mengeluh dalam hati. Selagi kebingungan
seperti itu, tendangan Wiro sampai di badan tombak yang ada di tangan kanannya. Tak pelak lagi,
pedang itu terpental jatuh di atas rumput taman puri Nanzen dalam keadaan bengkok!
Nenek Teruko berseru tegang. Empat anak buahnya terkesiap kaget. Saat itu Pendekar 212 telah
menjejakkan kedua kakinya di atas tanah kembali sambil bertolak pinggang dan berkata. “ Kalau
pelajaranku tadi belum membuatmu kapok, bersiaplah menerima pelajaran susulan!”
Wajah nenek Teruko membesi. Pandangan matanya garang sekali. Dia berteriak keras. Tangan
kanannya sesaat kemudian bergerak ke punggung dan memegang sebilah katana . “ Kalau kau mampu
mengalahkanku dalam ilmu kendo, baru aku mengaku kalah! Keluarkan senjatamu! Wiro memberi isyarat kepada Akiko yang tegak dekat pohon. “ Biar aku yang melayani nenek buruk
itu” ujar sang dara sambil cabut pedangnya. “ Pinjami aku katana-mu,” ujar Wiro. Meski tidak senang
karena ingin sekali mencoba kehebatan nenek Teruko, akhirnya Akiko lemparkan juga pedangnya pada
Wiro.
“ Kau akan menerima pelajaran berikutnya dariku nenek Teruko...” kata Wiro sambil menyeringai,
begitu katana ada dalam genggaman tangannya. Tidak seperti orang-orang Jepang, Wiro memegang
pedang hanya dengan sebelah tangan. Si nenek balas menyeringai. Melihat Wiro hanya memegang
pedang dengan sebelah tangan, perempuan tua ini merasa dihinakan sekali. Padahal Wiro memang tidak
bisa memegang pedang dengan dua tangan!
Didahului jeritan keras, nenek Teruko memulai serangan. Pedangnya membabat setengah lingkaran.
Wiro menyeruduk maju. Gerakannya jelas sangat berbahaya karena senjata lawan dapat memenggal
leher dan pinggang saat itu juga. Tapi saat pedang lawan hendak menyentuh tubuhnya, tiba-tiba Wiro
terhuyung ke kiri dan menyeruduk ke kanan. Gerakan-gerakan itu seperti orang mabuk. Tapi anehnya,
dua kali serangan nenek Teruko dapat dielakkannya! Inilah kehebatan silat yang dipelajari dari Tua Gila.
“ Iblis! Aku lebih baik melakukan harakiri (bunuh diri) jika tidak bisa mencincang tubuhmu!”
teriak nenek Teruko marah. Dari mulutnya keluar jeritan tinggi. Senjata di tangannya kembali membabat.
Pendekar 212 membuat gerakan aneh. Lalu tangan kanannya yang memegang pedang tampak
menggebrak ke depan, memotong arah sambaran senjata lawan. Sesaat pedang akan beradu, si nenek
tiba-tiba meluncurkan pedangnya ke bawah!
Wiro kaget melihat gerakan tidak terduga ini. Cepat dia melompat ke belakang. Tapi ujung pedang
nenek masih sempat menyambar lengan baju sebelah kanan! “ Breet!” Lengan baju itu robek besar.
Si nenek keluarkan suara tertawa nyaring. “ Sekarang baru bajumu! Sebentar lagi perutmu yang
robek,” kata si nenek sesumbar.
Wiro mencibir. “ Lihat pedang!” teriaknya, lalu memainkan jurus-jurus langka dari ilmu silat orang gila.
Sambil berkelahi dari mulutnya muncul suara siulan!
“ Bagus, Menyanyilah terus! Nyanyianmu itu adalah nyanyian kematian yang mengantarkanmu
ke pintu kematian,” kata nenek Teruko pula.
Tapi nenek malah keluarkan seruan keras ketika ujung pedang lawan menyambar tepat di depan
hidungnya! Tengkuknya terasa dingin. Dia tahu betul, kalau mau, pemuda itu bisa membuat hidungnya
sumplung! Hati nenek Teruko mulai mendua.
Dia putar katana -nya dengan sebat. Suara pedang menderu-deru laksana titiran menggempur ke arah
lawan. Tiba tiba nenek sadar bahwa gempurannya tidak akan menghasilkan apa-apa, karena lawannya
sudah tidak ada lagi di depannya!
“ Jangan lari!” teriak nenek Teruko.
“ Siapa yang lari nek! aku di sini!”
Nenek Teruko berpaling. “ Keparat!” pemuda lawannya sedang duduk enak-enakan di atas batu di
taman yang berumput sambil meneguk sebotol sake! Dengan pedang di tangan nenek Teruko melompat ke arah Wiro, sementara Wiro dengan tenang
menutup kembali botol minumannya. Saat itulah pedang di tangan nenek Teruko menyambar. Wiro
lemparkan botol sake ke udara. Dia jatuhkan diri ke atas batu. Begitu senjata lawan lewat, dia cepat
melompat menyambut botol dan membabatkan pedangnya ke bawah.
Dari tempatnya berdiri, Akiko berdecak kagum dan geleng-geleng kepala melihat akrobat maut Wiro.
Kekagumannya ternyata tidak hanya sampai di situ. Tiba-tiba, untuk pertama kalinya, Wiro benar-benar
melakukan serangan. Pedang di tangan pemuda itu lenyap berubah menjadi sinar putih dan mengeluarkan
suara bersiuran. Nenek Teruko mundur morat-marit.
“ Wuuuut!” Pedang Wiro menyambar gulungan konde di kepala. Konde itu terlepas mental! Kini
kelihatanlah rambut asli yang tadi tertutup di bawah konde itu. Ternyata rambut si nenek sudah putih
semua! Wiro tertawa tergelak-gelak melihat rambut palsu nenek terpental, sementara rambut aslinya yang
putih tergerai awut-awutan.
Sebaliknya wajah nenek Teruko tampak kelam membesi. Kuduknya basah oleh keringat dingin.
Sepasang matanya membara. Mimiknya seperti seekor ular yang hendak menerkam mangsanya. Nenek
Teruko maju dua langkah. Tiba-tiba nenek tua itu menjatuhkan dirinya, berlutut lalu membungkuk
dalam-dalam seraya berkata, ” Aku mengaku kalah!” lalu laksana kilat kedua tanganya yang memegang
pedang menghujamkan senjata itu ke perutnya!
“ Trangg!” Hanya seujung kuku pedang itu akan menembus perut si nenek, Pendekar 212 lemparkan
pedang di tangannya. Senjata itu berhasil menghantam lepas pedang yang hendak dipakai harakiri oleh
nenek.
Nenek Teruko angkat kepalanya. Sepasang matanya memandang tidak berkedip ke arah Wiro. Jelas
perempuan tua ini berusaha sekuat-kuatnya tidak mengeluarkan air mata. Perlahan-lahan dia kemudian
berdiri. “ Terima kasih! Aku benar-benar tidak akan melupakan pelajaran darimu!” lalu dia
membungkuk dalam-dalam.
“ Tunggu dulu!” seru pendekar 212 ketika si nenek meninggalkan tempat sambil mengajak anak
buahnya. Nenek Teruko menghentikan langkahnya dan berpaling pada Wiro. “ Aku dan Akiko tahu
sesungguhnya kau bukan wanita jahat. Aku perlu bantuanmu....!”
Si nenek menjura. “ Aku berhutang budi dan nyawa padamu. Bantuan apa yang kau inginkan,
silakan katakan!” Wiro lalu mengajak nenek mendekat pohon tempat Akiko berdiri. Ketiga orang itu
tampak membicarakan sesuatu dengan serius.
Lembah Hozu berada dalam keadaan gelap, sunyi dan dingin. Nenek Teruko mendorong tubuh Akiko
yang terikat kedua tanganya dan ditekuk di belakang punggung. Di sampingnya, berjalan seorang anak
buahnya yang berpakaian serba merah, muka dilumuri pupur merah sedangkan rambutnya juga berwarna
merah. Di tengah lembah si nenek berhenti melangkah. Dia memandang berkeliling. Di balik kerapatan
pepohonan tampak bangunan tanpa dinding. Namun dia tidak melihat seorang pun.
“ Aneh…,” kata si nenek perlahan tapi cukup terdengar oleh Akiko. “ Tidak ada obor, bangunan itu
kosong melompong, tak satu pun kelihatan. Apa yang terjadi?!”
Akiko berpaling pada perempuan tua itu. Lalu sunggingkan senyum dan berkata, “ Tidak ada yang
aneh! Hari ini adalah hari kedelapan. Hari terakhir jatuhnya ancaman pemuda asing yang oleh
guruku dijuluki Pendekar Gunung Fuji ! Orang-orang Lembah Hozu yang membayarmu pasti sudah
pagi-pagi kabur ketakutan! Ternyata mereka manusia pengecut!”
0 comments:
Posting Komentar