Satria Gunung Kidul
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Raja wanita atau Ratu di Majapahit yang bernama Sri Gitarja
atau Tribuwana Tungga Dewi, yang disebut juga Bhre Kahuripan
(1328 - 1359), lebih dikenal dalam dongeng "Minakjinggo
Damarwulan" sebagai Prabu Kenya (Raja Wanita) Diah Kencana
Wungu.
Di dalam dongeng sejarah itu diceritakan bahwa Prabu
Kenya Diah Kencana Wungu ini menikah dengan Raden
Damarwulan yang menurut catatan sejarah sebenarnya bernama
Cakradara dengan gelar Kertawardana.
Sepasang suami-isteri kerajaan yang terkenal ini mempunyai
seorang putera yang diberi nama Hayam Wuruk (Ayam Muda).
Hayam Wuruk inilah yang akhirnya menduduki tahta kerajaan
sebagai Raja Majapahit dengan bergelar Prabu Rajasanegara
(1350 - 1389).
Selama tiga puluh sembilan tahun. Sang Prabu Hayam
Wuruk amat bijak dan pandai mengendalikan pemerintahan dan
pada jaman itu, kerajaan Majapahit mencapai puncak kebesaran
dan kemakmurannya, menjadi Kerajaan yang terbesar dan terkuat
dalam kepulauan Nusantara. Bahkan dalam jaman ini pula nama
Majapahit dikenal, disegani, dan dikagumi oleh negara-negara
seberang lautan, termashur sampai ke tiongkok, India, Campa,
Kamboja, anam. Hubungannya dengan negara-negara asing ini
baik sekali dan saling menghormat, karena Majapahit dianggap
sebagai kerajaan dan negara besar diantara negara-negara lain di
dunia.Semua hasil gilang-gemilang ini bukan semata-mata berkat
kebijaksanaan Prabu Hayam Wuruk seorang, melainkan juga
berkat jasa-jasa para panglima senapati Majapahit. Terutama
sekali berkat jasa warangka-dalem atau Patih Gajah Mada,
seorang perwira yang terkenal karena sakti mandraguna, dan setia
lahir-batin kepada kerajaan di mana ia mengabdikan dirinya.
Dalam sejarah, belum pernah terdapat seorang patih seperti Sang
Perkasa Patih Gajah Mada ini yang membela kerajaan Majapahit
semenjak ibunda Prabu Hayam Wuruk, yakni Ratu
Tribuwanatungga Dewi memegang kendali kerajaan. Patih Gajah
Mada menjalankan tugasnya sebagai seorang patih yang setia
selama tiga puluh tiga tahun (1331-1364).
Dan pada jaman keemasan Majapahit itulah kisah dibawah
ini terjadi.
Raja yang memerintah di kerajaan Pajajaran (Pasundan) yang
beribukota di Pakuan, adalah Sri Baduga Maharaja yang disebut
juga Ratu Dewata.
Ratu Dewata mempunyai seorang puteri yang terkenal sekali
karena kecantikannya. Puteri ini bernama Diah Pitaloka
Citraresmi. Kecantikan Diah Pitaloka Citraresmi memang luar
biasa dan agaknya sukar dicari keduanya di dunia ini! Bahkan
Dewi Komaratih sendiri, Dewi Asmara yang terkenal sebagai
bidadari tercantik di surga, agaknya akan kagum melihat wajah
dan bentuk tubuh Diah Pitaloka! Tiada cacat celanya, dari ujung
rambut di kepalanya sampai ke tumit kakinya. Kalau emas, dia
adalah emas murni yang belum tercampur sedikitpun dengan
logam lain. Seumpama batu permata, dia adalah mutiara asli yang
telah digosok oleh tangan seorang ahli. Orang yang melihatnya,
baik ia laki-laki maupun perempuan, akan terbelalak matanya dan
ternganga mulutnya karena takjub dan kagum menyaksikan puteri
nan cantik jelita, ayu dan manis ini!Pada suatu hari, datanglah utusan dari kerajaan Majapahit.
Ternyata bahwa berita tentang kecantikan Diah Pitaloka tidak
saja menggoncangkan alam Pasundan, bahkan juga menjadi
kemang-tutur orang-orang di Majapahit dan akhirnya
menggerakkan rasaasmara di dalam dada Sang Prabu Hayam
Wuruk. Maka diutuslah oleh Prabu Hayam Wuruk seorang
tumenggung untuk menyampaikan pinangannya ke kerajaan
Pajajaran.
Pada jaman itu, tidak ada raja yang lebih besar dan termashur
daripada Prabu Hayam Wuruk. Maka, sudah selayaknya kalau
pinangan Raja Majapahit ini diterima dengan hati gembira dan
puas oleh Raja Dewata. Prabu Hayam Wuruk terkenal cakap,
gagah-perwira, masih muda dan belum mempunyai permaisuri
pula. Maka selain Raja Majapahit siapa pulakah orangnya yang
lebih pantas mendapat kehormatan untuk mengulurkan tangan
memetik bunga puspita dari Pajajaran itu?
Betapapun juga, Ratu Dewata sangat menyinta puterinya dan
takkan puas hatinya kalau belum mendengar keputusan tentang
pinangan Raja Majapahit itu dari mulut Diah Pitaloka sendiri. Ia
ingin mendengar pendapat puterinya, maka dipanggilnyalah Diah
Pitaloka serta diceritakan tentang datangnya utusan yang
membawa pinangan dari Raja Majapahit, Sang Prabu Hayam
Wuruk.
Kulit muka yang putih kekuning-kuningan dan halus bersih
dari Diah Pitaloka segera menjadi merah bagaikan sekuntum
mawar merah yang indah. Puteri itu menundukkan kepalanya dan
dadanya turun-naik menahan desakan napasnya. Setelah agak
reda gelora yang ditimbulkan oleh berita yang disampaikan oleh
ramandanya itu, dengan suaranya yang merdu dan halus dia
menjawab sambil menyembah.
"Ramanda prabu, junjungan tunggal di mayapada ini bagihamba. Pendapat dan pikiran apakah yang ramanda kehendaki
daripada hamba? Segala pendapat dan pikiran yang selalu
menguasai hati dan ingatan hamba hanya satu, yakni, taat, patuh,
dan setia kepada segala titah ramanda, sebagaimana layaknya
seorang anak terhadap orang tuanya!"
Alangkah senangnya Ratu Dewata mendengar sembah
puterinya ini. Ayah manakah takkan menaruh hati sayang dan
kasih yang besar terhadap seorang anak yang tidak hanya
kecantikannya membanggakan hati orang tua, akan tetapi
terutama yang demikian berbakti?
"Sukurlah, anakku yang manis, Ramanda akan menerima
pinangan ini oleh karena menurut pendapat dan pandanganku,
Sang Prabu Hayam Wuruk adalah seorang raja yang berbudi
bawa laksana, pandai mengatur pemerintahan, dan bijaksana pula.
Kalau engkau menjadi permaisurinya, ayahmu akan merasa puas
dan tenteram, oleh karena engkau pasti akan menemui
kebahagiaan di Majapahit. Semoga dewata yang agung
melindungimu, Pitaloka."
Maka dengan girang hati Ratu Dewata lalu menjamu utusan
dari Majapahit itu. Kemudian ia memberi jawabannya dan
mengabarkan kepada Prabu Hayam Wuruk bahwa selain
pinangan itu diterima dan dianggap sebagai penghormatan besar
sekali, Ratu Dewata sendiri berkenan mengantar puterinya ke
Majapahit dengan membawa berita gembira itu, dan tak lupa
membawa serta pula hadiah-hadiah untuk sang Prabu.
Ketika berita ini disampaikan kepada rakyat Pajajaran, maka
bergembiralah semua orang Siapa orangnya yang takkan merasa
gembira? Puteri kedaton Pajajaran menjadi permaisuri Majapahit!
Tentu saja rakyat pun ikut merasa bahagia dan bangga. Berita ini
disambut oleh rakyat dengan meriah, bahkan mereka yang terdiri
dari golongan berada, lalu menyelenggarakan pesta untukmerayakan dan meriahkan pertunangan itu!
Seluruh Pajajaran berpesta-pora dan bergembira-ria. Hanya
ada dua orang yang tidak ikut bergembira. Pertama adalah Diah
Pitaloka sendiri Dara jelita ini sungguhpun di lahir tunduk dan
patuh kepada ramandanya dan ikut pula memperlihatkan wajah
gembira untuk menyenangkan hati ayahnya, namun di sudut
hatinya timbul keraguan dan kebimbangan yang membuatnya
tidak berbahagia Ia telah mendengar akan kegagahan dan
kecakapan Prabu Hayam Wuruk dan ia percaya bahwa
kedudukannya akan terangkat tinggi dan akan mendapat
kemuliaan besar di Majapahit. Akan tetapi, selama hidupnya ia
belum pernah bertemu dan melihat dengan mata sendiri keadaan
Sang Prabu Hayam Wuruk. Kalau boleh dan kalau mungkin, ia
akan merasa lebih senang jika dijodohkan dengan seorang
pemuda di Pajajaran sendiri, seorang pemuda yang pernah
dilihatnya dan yang kegagahan atau kecakapannya telah
diketahuinya dari pandangan mata sendiri, bukan hanya diketahui
karena mendengar berita angin seperti halnya Prabu Hayam
Wuruk! Akan tetapi, dia adalah seorang wanita sejati yang
memegang teguh kesusilaan, apalagi sebagai seorang puteri raja,
ia harus memberi teladan bagi kaum putri umumnya, yakni
kepatuhan terhadap orang tua dengan jalan berkorban. Ia
menganggap pertunangan ini sebagai penguranan dirinya demi
kebahagiaan orang tua dan demi kepentingan negara! Bukankah
kalau dia menerima pinangan dan mentaati kehendak ayahnya,
maka orang tuanya akan berbahagia? Dan bukankah kalau dia
menjadi permaisuri Raja Majapahit yang besar dan kuat, maka
kedudukan Pajajaran pun akan kuat pula?
Orang kedua yang pada saat itu merasa berduka adalah
seorang pemuda rupawan yang tinggal seorang diri di dalam
pondoknya. Pemuda ini adalah seorang panglima perang atau
senapati muda dari kerajaan Pajajaran. Namanya sederhanasekali, yakni Sakri.
Telah tiga tahun Sakri menjadi senapati di Pajajaran. Pemuda
ini berasal dari Gunung Kidul, di sebuah dusun kecil dekat pantai
Laut selatan. Ia adalah putera seorang panembahan atau wiku ahli
tapa yang sakti dan suci. Tidak mengherankan bahwa Sakri
mendapat gemblengan lahir dan batin oleh ayahnya dan mewarisi
kesaktian yang hebat mengagumkan. Setelah menjadi dewasa,
ayahnya menyuruh ia merantau dan mencari pengalaman hidup,
dan kalau bertemu dengan orang besar yang berjodoh, supaya
bersuita (menghambakan diri).
Dalam perantauannya, akhirnya Sakri tiba di Pajajaran dan ia
memasuki gelanggang ujian yang diadakan oleh Ratu Dewata.
Kesaktian dan kegagahannya mengagumkan dan menyenangkan
hati Raja Pajajaran hingga ia diterima menjadi seorang senapati
muda.
Mengapa Sakri berduka mendengar bahwa Diah Pitaloka
terikat jodoh dengan Raja Majapahit? Mudah diduga, Dada
pemuda ini telah ditembus panahasmara yang mengandung bisa
maha ampuh dan luka di dada kirinya makin lama makin
menghebat. Cintanya terhadap puteri itu makin mendalam dan
berakar. Akan tetapi, ia hanya seorang senapati muda yang baru
menghambakan diri. Dia hanyalah seorang hamba dan
kedudukannya hanya setinggi rumput di ladang. Sedangkan Diah
Pitaloka adalah seorang puteri raja yang menjadi junjungannya
dan kedudukan puteri itu setinggi bintang di langit! Kini,
mendengar tentang diterimanya pinangan Prabu Hayam Wuruk
atas diri Diah Pitaloka, Sakri hanya dapat menyesali nasib.
Malam itu Sakri tak dapat tidur. Ia duduk di atas sebuah batu
di belakang pondoknya sambil berpangku tangan dan
memandang ke arah bintang-bintang yang bertaburan di angkasa
bebas. Berkali-kali ia menghela napas, tanda dari kehancurankalbunya.
"Habislah harapanku, rusak-binasalah cita-citaku. Duhai
bintang selaksa, tolonglah aku. Hidupku kosong, tiada pegangan
lagi. Apa artinya hidupku tanpa dia??"
Berulangkali ia menghela napas dan wajahnya yang tampan
menjadi sepucat bintang yang teraling mega. Kemudian ia
teringat akan kampung halaman. Sudah menjadi kelaziman orang
bahwa dalam saat duka selalu ia akan teringat akan kampung
halamannya. Ia teringat akan ayahnya, dan teringat pula akan
adiknya yang bernama Saritama. Kedua orang ini adalah orang-
orang yang terkasih dalam hidupnya, yakni sebelum ia bertemu
dengan Diah Pitaloka. Setelah seluruh hati dan nyawanya
tercengkeram oleh kecantikan puteri itu, jarang sekali ia teringat
kepada ayah dan adiknya. Tapi kini, tiba-tiba terbayanglah wajah
kedua orang itu di ruang matanya dan ia menjadi rindu sekali
kepada mereka.
Kenangan ini mengingatkan ia kembali kepada segala petuah
dan pelajaran ayahnya yang bijaksana. Dan timbulah sesal dan
kecewa dalam hatiya, Menyesal dan kecewa kepada diri sendiri.
Bukankah dulu ayahnya pernah menyatakan bahwa cinta suci itu
tak dikotori oleh segala kehendak dan pamrih untuk kesenangan
diri sendiri? Bukankah segala perbuatan kebajikan itu baru dapat
disebut sempurna apabila tidak dinodai oleh nafsu ingin
menyenangkan diri sendiri? Diah Pitaloka telah dijodohkan
dengan seorang Raja Besar dan akan menjadi seorang permaisuri
yang tinggi dan mulia kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia
daripada kedudukannya sekarang sebagai puteri Pajajaran.
Bukankah hal ini berarti bahagia bagi Diah Pitaloka? Mengapa ia
harus menyesal dan berduka? Kalau ia memang benar-benar
menyintai puteri itu, sudah seharusnya apabila ia ikut bersukur
melihat orang yang dikasihinya itu menjumpai kemulaiaan danmengecap kebahagiaan. Ah, alangkah sesatnya jalan pikiran dan
gelora perasaannya tadi. Hampir saja ia dibutakan oleh nafsu
mudanya.
Sakri menghela napas lagi, akan tetapi kini penuh kesadaran.
Ia harus menerima nasib, Ia harus berani menerima sakit hati dan
berani berkurban demi cintanya kepada Diah Pitaloka. Pikiran ini
melapangkan dadanya dan ia lalu bangun dari duduknya, dan
masuk ke dalam pondoknya. Terdengar ayam jantan berkeruyuk
tanda bahwa fajar telah mendatang. Tanpa terasa olehnya, ia telah
duduk melamun semalam suntuk di belakang rumahnya!
Oleh karena perjalanan dari kerajaan Pajajaran ke kerajaan
Majapahit bukanlah perjalanan yang dekat dan mudah, maka
Ratu Dewata memberi perintah agar semua senapati dan
panglima ikut mengiringkan kepergiannya mengantar Diah
Pitaloka ke Majapahit. Hanya beberapa orang panglima tua saja
yang ditinggal di kerajaan untuk menjaga kerajaan. Sakri juga
tidak ketinggalan dan diharuskan mengiringkan rombongan itu.
Rombongan keluarga agung ini berangkat dengan diantar
oleh seluruh rakyat sampai di luarkota raja. Di sepanjang jalan,
rakyat di dusun-dusun yang sudah mendengar akan rombongan
ini, sudah menanti di pinggir jalan untuk menyambut dan
menghormat junjungan mereka dan mengagumi kecantiakn Diah
Pitaloka yang naik dalam sebuah tandu.
Sakri menunggang kudanya yang hitam dan besar. Kuda ini
adalah hadiah dari Ratu Dewata dana karena berbulu hitam
mulus, maka ia memberi nama Gagak Tantra. Pemuda ini
nampak gagah sekali hingga beberapa kali sang puteri yang tanpa
disengaja menjenguk dari jendela tandu yang tertutup tirai sutera
biru, melihat dia dengan pandangan mata kagum. Puteri ini
merasa bangga sekali akan pahlawan-pahlawan dan ksatria-
ksatria Pajajaran. Sambil duduk kembali dan menyandarkantubuhnya di dalam tandu, ia menghela napas dan tersenyum. Di
dunia ini tidak ada ksatria-ksatria yang hebat dan gagah seperti
ksatria-ksatria Pajajaran, pikirnya.
Rombongan bergerak maju dengan cepat pada siang hari
sedangkan pada malam hari rombongan itu bermalam di sebuah
dusun yang dilalui. Kadang-kadang mereka harus bermalam di
sebuah hutan, akan tetapi oleh karena rombongan itu telah
membawa perbekalan lengkap, maka biarpun bermalan di dalam
hutan, mereka dapat membangun sebuah tempat darurat untuk
tempat bermalam Sang Prabu dan puterinya.
Pada hari ketujuh, mereka tiba di perbatasan Majapahit yang
mempunyai daerah luas sekali. Oleh karena kemalaman di sebuah
hutan yang liar dan luas, terpaksa rombongan itu membangun
seuah pondok darurat untuk Ratu Dewata dan Diah Pitaloka tanpa
ada prasangka akan adanya malapetaka yang mengancam
keselamatan mereka.
Di dalam hutan yang liar itu tinggal serombongan begal yang
ganas. Kepala begal itu bernama Jatimurka, seorang berusia tiga
puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis
menakutkan. Ia sangat digdaya dan memiliki ilmu weduk hingga
tubuhnya tidak mempan tapak paluning pande (tak dapat dilukai
oleh senjata tajam)! Disamping kehebatan dan kekebalan ini, dia
juga telah mempelajari pelbagai ilmu hitam, yakni ilmu sihir yang
dipelajarinya dari seorang dukun pemuja setan di hutan roban.
Jatimurka memimpin empat puluh orang lebih anggauta
perampok rata-rata memiliki ketangkasan dan kepandaian
berkelahi. Oleh karena ini, mereka ini ditakuti sekali dan jarang
ada orang di sekitar hutan itu berani memasuki hutan.
Jatimurka telah mendengar akan kedatangan rombongan
Ratu Dewata dan puterinya yang terkenal cantik-jelita. Maka
diam-diam ia sendiri bersembunyi di balik rumpun alang-alang dan mengintai. Ketika ia melihat wajahDiah Pitaloka,ia menjadi
tergila-gila dan biarpun hatinya gentar juga melihat para
bayangkari (pengawal raja) dan panglima, namun ia telah
mengambil keputusan tetap untuk menculik sang puteri!
Malam itu gelap-gulita. Suasana di luar lingkungan yang
dibuat oleh barisan penjaga, sangat menyeramkan. Pohon-pohon
hutan berubah bagaikan raksasa-raksasa siluman yang tinggi
besar dan bergerak-gerak. Suara burung-burung malam terdengar
seakan-akan sekalian isi neraka pada keluar dan datang di hutan
itu menambahkan seramnya kedadaan.
Berkat ketinggian ilmu batinnya, Sakri menjadi tidak enak
hati dan merasa seakan-akan ada bahaya mendatang. Tentu saja ia
tidak dapat memberitahukan kepada orang lain maka diam-diam
ia mengadakan pemeriksaan dan berkeliling memeriksa para
penjaga yang ditugaskan menjaga di setiap penjuru. Telah tiga
kali ia berkeliling, akan tetapi keadaan aman hingga dadanya
menjadi agak lapang. Pondok tempat Raja dan Puteri beristirahat
telah sunyi, tanda bahwa penghuninya sudah tidur pulas.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba Sakri merasa betapa
kantuk menyerangnya dengan hebat sekali. Hampir saja ia tak
dapat bertahan lagi dan ia lalu duduk menyandarkan tubuhnya
yang letih ke batang pohon jati. Pelupuk matanya bagaikan
melekat dan sukar sekali dibuka. Tiba-tiba ia ingat akan perasaan
tadi dan dengan sekuat tenaga batinnya ia melawan rasa
kantuknya. Ia lalu berjalan ke arah penjaga dan alangkah
marahnya melihat betapa tiga orang penjaga itu telah tidur saling
tindih di atas tanah, mendengkur dengan enaknya! Ia pegang
pundak mereka dan diguncang-guncangkanya. Akan tetapi, tubuh
penjaga yang tertidur itu bagaikan mayat yang tak mungkin
terbangun pula! Sakri merasa gemas dan menghampiri penjaga-
penjaga di sudut lain. Sama saja! Penjaga-penjaga di sinipun telah tidur mengorok! Dan tak mungkin dibangunkan lagi, biarpun ia
telah mengguncang dan menamparnya! Sakri berlari ke dalam
dan memeriksa para panglima dan bayangkari. Juga mereka
semua telah tidur pulas!
Sakri terkejut dan maklum. Ini adalah ilmu sirep (ilmu sihir
untuk menidurkan orang) yang jahat dan mukjijat! Hidungnya
mencium bau kemenyan dibakar dan kembang cempaka. Celaka!
Tentu ada orang jahat menjalankan sihirnya hingga semua orang
kena hikmat sihir itu dan pulas. Kembali rasa kantuk
menyerangnya. Akan tetapi, Sakri tidak percuma menjadi putera
Panembahan Sidik Panunggal yang sakti mandraguna di Gunung
Kidul! Ia lalu duduk menyandarakan diri di batang pohon jati,
dan berpura-pura tidur pula, akan tetapi ia kerahkan tenaganya
dan menbaca mantera untuk menolak pengaruh jahat itu. Matanya
dibuka lebar-lebar memandang dengan penuh perhatian.
Dugaannya memang benar. Jatimurka telah memperlihatkan
kepandaiannya, ia mempergunakan ilmu sihir Cempaka-nendra
yang berhasil mempengaruhi seluruh anggauta rombongan,
kecuali Sakri. Tak lama kemudian, Sakri melihat bayangan hitam
tinggi besar berkelebat melompati tubuh para penjaga. Bayangan
hitam itu berhenti sejenak, memandang ke kanan kiri seperti
lakunya seorang maling, lalu bergerak maju perlahan ke arah
pondok di mana Ratu Dewata dan Diah Pitaloka bermalam.
Hati Sakri bergetar. Apakah kehendak maling digdaya ini? Ia
merasa heran dan ingin melihat selanjutnya. Ia tidak segera
menyerbu, akan tetapi diam-diam mengintai dan berjaga-jaga
dengan pisau belatinya yang siap di tangan bilamana keadaan
memerlukan. Bayangan hitam itu membuka pintu pondok dan
Sakri mengintai dari balik daun pintu dengan perhatian. Oleh
karena ia melihat bahwa bayangan itu tidak memegang senjata
tajam, maka ia menduga bahwa bayangan itu tentu hanyabermaksud mencuri barang berharga. Akan tetapi, alangkah
herannya ketika melihat bayangan hitam itu tidak menghampiri
peti tempat perhiasan Diah Pitaloka, akan tetapi langsung menuju
ke pembaringan sang puteri yang tertutup tirai sutera putih.
Tangan Sakri menggigil. Ia tidak berani bertindak di dalam
kamar Sang puteri, khawatir kalau-kalau mengagetkan dara itu.
Akan tetapi, keraguannya ini memberi kesempatan kepada
Jatimurka untuk cepat membuka tirai pembaringan dan secepat
kilat ia menubruk, Puteri juwita itu telah berada dalam
pondongannya dan Jatimurka melompat keluar!
Bukan main marahnya Sakri ketika melihat bahwa
kedatangan penjahat itu tidak lain ialah hendak menculik Diah
Pitaloka. Ia melompat keluar dari tempat mengintainya dan
membentak,
"Keparat jahanam, lepaskan tanganmu yang kotor dari Sang
Puteri!"
Jatimurka terkejut sekali oleh karena ia tidak pernah
menyangka bahwa ada orang yang tidak terpengaruh oleh aji
sirepnya. Karena kagetnya, ia melepaskan tubuh Diah Pitaloka
hingga tubuh dara itu terbanting ke atas tanah. Akan tetapi, puteri
itu tidak terjaga dari tidur seakan-akan tak merasa sama sekali,
bahkan ia terus tidur pula dengan enaknya!
"Heh, pemuda keparat. Siapa kau yang berani-berani
menghalangi tindakan Jatimurka?"
Sakri tersenyum, biarpun hatinya panas sekali. "Bangsat
rendah! Kau berani-berani menjatuhkan sihir dan mencoba
menculik Sekar Kedaton Pajajaran! Tak tahukah kau bahwa di
Pajajaran masih ada seorang panglima yang bernama Sakri dan
yang sama sekali tidak takut segala ilmu iblis yang kau
keluarkan? Menyerahlah, karena kalau tidak, malam ini tentuakan tewas dalam tangan Sakri!"
"Ha, ha, ha, ha!" Suara ketawa Jatimurka terdengar
menyeramkan sekali dan menggema di seluruh penjuru hutan.
Jangkerik-jangkerik dan segala bunyi-bunyian binatang hutan
serentak diam karena ketakutan mendengar suara ketawa seperti
ketawa iblis ini.
"Sakri! Kau anak muda yang masih berbau pupuk di embun-
embun kepalamu! Berani menentang Jatimurka?"
"Jatimurka, manusia iblis! Ingatlah betapapun saktinya kau,
akan tetapi kalau tindakanmu sesat, pasti kau akan binasa!"
"Bangsat jahanam!" Jatimurka menepuk kedua tangannya
dan dari segenap penjuru berlompatan keluar semua anak
buahnya yang berjumlah empat puluh orang lebih! Mereka ini
dengan sikap menakutkan menghampiri dan mengurung Sakri!
Tempat itu diterangi oleh sinar obor yang banyak dipasang di
sekitar tempat itu hingga Sakri dapat melihat wajah mereka yang
bengis dan kejam. Maklumlah ia bahwa ia terkurung oleh
segerombolan perampok kejam dan ganas. Ia berpikir cepat, dan
mengambil keputusan untuk mendahului. Sekali tubuhnya
berkelebat, ia telah menyerang maju dan tiga orang begal kena
hantam oleh kedua tangan dan sebelah kakinya hingga mereka itu
jatuh terguling-guling dan berteriak kesakitan. Pukulan Sakri
bukan main kerasnya hingga untuk beberapa lama, begal-begal
yang telah kena pukul ini takkan dapat bangun lagi.
Sambil berseru marah para begal lalu maju mengeroyoknya
dengan parang dan tombak di tangan. Sakri marah sekali, lalu
menghunus keluar keris dan sekali tangan kirinya bergerak, ia
telah dapat menangkap seorang anggauta begal. Ia lalu
mengangkat tubuh lawan ini dan dijadikan perisai! Dengan
perisai istimewa ini di tangan kiri dan keris pusakanya di tangankanan, Sakri lalu mengamuk. Sepak terjangnya laksana seekor
banteng terluka hingga ke mana saja tubuhnya bergerak, tentu
terdengar teriakan keras seorang lawan yang roboh mandi darah.
Tubuh perisai hidup di tangan kiri Sakri telah lama mampus
karena senjata-senjata kawan sendiri yang datang bagaikan hujan
dalam penyerangan mereka kepada Sakri, akan tetapi senjata itu
semua diterima dengan perisai istimewa itu! Ketika merasa,
betapa perisai hidup itu membasahi tangan dan lengannya, Sakri
lalu melemparkan mayat itu ke arah pengeroyoknya.
Tiba-tiba ia melihat betapa diam-diam Jatimurka
mempergunakan kesempatan itu untuk menyaut tubuh Diah
Pitaloka lagi dan hendak melarikan gadis itu. Sakri berseru keras
dan tubuhnya melayang ke arah kepala begal itu. Karena tidak
ingin melukai Diah Pitaloka, Sakri masukkan kerisnya di sarung
keris, dan menggunakan kedua tangannya. Tangan kiri ia
gunakan untuk memegang dan memeluk pinggang Sang Puteri,
sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk mengirim pukulan
geledek yang mampir dengan hebatnya di kepala Jatimurka!
"Aduh!!!" Jatimurka memekik kesakitan dan tubuh Sang
Puteri dapat terampas. Sakri lalu melompat ke pinggir dan dengan
hati-hati meletakkan tubuh Diah Pitaloka ke atas rumput. Pada
saat itu, Jatimurka yang bertubuh kebal telah bangun kembali dan
melompati Sakri dengan keris terhunus dari belakang! Juga para
begal lainnya lalu maju mengeroyok!
Sakri memutar otaknya. Kalau ia melayani semua orang ini
tentu Jatimurka akan mendapat kesempatan menculik Sang
Puteri, maka ia menggeram bagaikan suara seekor harimau
hingga para anak buah begal itu tergetar dan menahan serbuan
mereka. Saat ini digunakan oleh Sakri untuk menubruk maju
kepada Jatimurka dan ketika kepala begal itu menusuk dengan
keris, Sakri memiringkan tubuh, menggunkan tangan kirimenolak pergelangan tangan lawan dan secepat kilat tangan
kanannya mengirim pukulannya yang disertai Aji Kelabang
Kencana! Bukan main hebatnya pukulan yang mempunyai
kemujijatan bagaikan mengandung racun ribuan kelabang
menyengat ini! Seketika itu juga, tubuh Jatimurka bergulingan di
atas tanah, mangaduh-aduh, menjerit-jerit, memekik-mekik
kesakitan kemudian diam tak bergerak. Tubuhnya telah bengkak-
bengkak dan matang biru dan nyawanya telah melayang!
Melihat kehebatan pemuda ini, sisa kawanan begal itu
lainnya melempar senjata mereka lari tunggang langgang di
dalam gelap!
Sakri mengatur napas untuk memulihkan kekuatannya.
Kemudian ia menghampiri tubuh Sang Puteri yang masih rebah
tak sadarkan diri di atas tanah. Dengan penerangan obor, wajah
puteri itu nampak cantik-jelita mendebarkan jantung Sakri. Pada
saat itu, Sang Puteri tersenyum dalam tidurnya, seakan-akan
sedang bermimpi bertemu dengan calon suaminya, Raja
Majapahit!
Sakri mengurungkan niatnya hendak memondong tubuh Diah
Pitaloka dan membawanya kembali ke peraduan. Ia lalu
mengerahkan tenaga batinnya, membaca mantera dan
menggunakan tangan kanannya menguap muka gadis itu tiga kali
sambil berkata perlahan.
"Sang Puteri, sadar dan bangunlah!"
Diah Pitaloka bagaikan disiram air dingin. Serentak ia
bengun duduk dan terbelalak memandang kepada pemuda yang
duduk bersila di depannya. Ketika melihat bahwa iapun sedang
duduk di atas rumput, kedua matanya bernyala seakan-akan
mengeluarkan api dan kedua mata itu ditujukan ke arah wajah
Sakri bagaikan hendak menembus wajah itu.Sakri cepat menyembah. "Duhai gusti pujaan hamba,
janganlah paduka melepas pandang seganas itu kepada hamba."
"Kau...... Senapati Sakri..... apakah yang telah kau perbuat?
Bagaimana aku bisa berada di tempat ini bersama....... kau.......?"
"Ampunkan hamba, gusti. Hamba persilakan paduka melihat
ke sebelahsana ." Sambil berkata demikian, Sakri menggunakan
ibu jari tangannya menunjuk ke belakangnya. Sang Puteri
mengikuti arah ini dengan pandang matanya dan tiba-tiba ia
menjadi pucat dan otomatis tangan kanannya diangkat naik
menutupi mulutnya! Ia melihat beberapa tubuh yang tinggi besar
dan mengerikan bergelimpangan di situ dan ketika melihat muka
dan tubuh Jatimurka yang bengkak-bengkak mengerikan, hampir
saja ia menjerit dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi
mukanya!
"Sakri....... apa....... apakah yang telah terjadi dan mengapa
orang-orang kita tidak ada yang muncul?"
Dengan sabar dan tenang, tetapi dengan suara agak gemetar
oleh karena selamanya tak pernah ia bermimpi akan dapat
bercengkerama berdua di atas rumput dan berhadapan dengan
Diah Pitaloka, Sakri lalu menuturkan segala peristiwa yang telah
terjadi.
"Aduh Dewata yang agung!" Diah Pitaloka menyebut nama
dewata. "Keparat, laknat betul si Jatimurka! Berani bedebah itu
mengotori tubuhku dengan tangannya! Binasakan dia, Sakri!"
Sakri menahan senyumnya melihat perubahan pada diri dara
jelita ini. Tadinya ia merasa demikian takut dan ngeri, tapi
sekarang begitu bersemangat dan berani! "Dia sudah hamba
binasakan, gusti."
Kini Diah Pitaloka berdiri dan ia pandang wajah pemuda
tampan dan gagah yang dengan berani memandangnya daribawah. "Sakri kau memang gagah perkasa. Entah bagaimana
jadinya kalau tidak ada kau!" Suaranya terdengar mengandung
keharuan besar dan bahkan disertai isak.
Sakri lupa diri dan serentak ia bangun berdiri pula.
Ditentangnya pandang mata dara itu dengan sinar mata yang
mengandung apiasmara sepenuh hatinya, hingga Diah Pitaloka
menjadi takut dan malu lalu menundukkan muka. "Mengapa pula
kau memandangku seperti itu, Sakri?" tanyanya lembut.
Sakri sadar kembali dan menghela napas. "Ampun beribu
ampun, gusti pujaan hamba. Hamba hampir lupa bahwa paduka
adalah junjungan hamba, bahwa hamba hanyalah seorang
senapati rendah, dan bahwa paduka adalah calon permaisuri
Majapahit yang mulia!" Kembali Sakri menghela napas.
Untuk beberapa lama Diah Pitaloka tak dapat menjawab atau
mengeluarkan kata-kata. Ia hanya memandang kepada Sakri yang
bertunduk dengan mata basah oleh air mata yang di tahan-
tahannya. "Sakri,...... Sakri, jangan kau berkata demikian
kepadaku, pahlawan yang gagah perkasa! "Hanya sampai
sekiankah baktimu terhadap Pajajaran?"
Walau kata-kata ini diucapkan dengan suara bisikan
tercampur sedu-sedan, namun pengaruhnya menikam jantung
pemuda itu, membuatnya merasa rendah dan hina dan ia merasa
malu sekali. Akan tetapi berbareng semangatnya bangkit kembali.
Ia lalu menyembah dan berlutut, mengangkat dadanya dan
berkata dengan suara gagah,
"Gusti yang hamba muliakan, hamba adalah senapati dan
panglima Pajajaran sejati. Untuk paduka, hamba rela
mengurbankan nyawa dan tubuh yang tak berharga ini! Mulai
saat ini, hasrat hamba hanya tunggal, yakin mengharap
kebahagiaan paduka dan membela paduka sampai hayat
meninggalkan badan!"Diah Pitaloka sangat terharu. Ia mengulurkan tangan kepada
Sakri. Pemuda itu menerima jari-jari yang halus dan mungil itu
sambil memandang ke atas dengan mata penuh pertanyaan.
Melihat bahwa puteri itu memandangnya dengan mata basah dan
bibir tersenyum, ia maklum bahwa ia dapat perkenaan, maka
ditariknyalah jari-jari itu ke hidung dan mulutnya dan diciumnya
dengan penuh khidmat, hormat dan sepenuh perasaan kasihnya.
Diah Pitaloka mengulurkan tangan karena hatinya tergerak
oleh rasa haru dan kagum, akan tetapi kasih sayang yang
memancar keluar dari hati sanubari Sakri dan yang menjalar ke
bibirnya, oleh Sang Puteri dirasakan bagaikan api membakar
ujung jarinya. Dengan gerakan perlahan dan lemah lembut Diah
Pitaloka menarik kembali tangan itu dan berkata,
"Sakri, kuharap kau suka melindungi namaku dari cemar dan
malu. Janganlah kau ceritakan kepada siapa juga akan usaha
buruk Jatimurka yang hendak menculikku."
"Hamba junjung tinggi perintah paduka dan hamba
bersumpah takkan membocorkan peristiwa yang menimpa
paduka malam hari ini. Ancaman maut sekalipun takkan kuasa
membuka mulut hamba!"
Setelah melempar senyum manis yang mengandung penuh
rasa terima kasih ke arah Sakri, Diah Pitaloka lalu kembali dalam
biliknya.
Serasa dalam mimpi segala peristiwa malam itu bagi Sakri.
Dadanya masih bergelombang dan pikirannya nanar karena
pertemuan dengan dewi pujaan hatinya yang tak tersangka-
sangka itu. Ia merasa berbahagia sekali karena sudah mendapat
anugerah dewata dan diberi kesempatan membela Diah Pitaloka.
Kini hidupnya tidak kosong seperti yang dideritanya dalam
beberapa hari semenjak puteri itu ditunangkan dengan Raja
Majapahit. Kini ia memiliki pegangan hidup kembali, yaknibahwa seluruh jiwa-raganya akan ia persembahkan demi
kebahagiaan dan keselamatan dewi yang dicintainya itu. Untuk
beberapa lama Sakri tidak bergerak dari tempat duduknya
semula. Ia tetap duduk bersila di atas rumput dan tak bergerak
bagaikan patung.
Akhirnya, setelah gelombang di dalam dadanya mereda, ia
bangun berdiri lalu mengeluarkan aji kesaktiannya untuk
mengusir pengaruh sirep Cempaka-nendra yang masih meracuni
udara di sekitar tempat itu. Maka sadarlah semua penjaga yang
tadinya tertidur. Mereka menggosok-gosok mata dengan terkejut
dan heran. Alangkah kaget mereka ketika melihat banyak mayat
bergelimpangan di situ. Juga para panglima segera berlari keluar.
Keadaan menjadi ribut. Sebenarnya, diantara semua senapati dan
panglima, banyak yang pandai dan sakti, seperti misalnya Patih
Anepaken, Demang Cabo, Penghulu Borang, Patih Pitar dan lain-
lain. Akan tetapi mereka ini tadinya sama sekali tak pernah
menduga akan datangnya bahaya hingga tidak sampai berjaga
diri. Kalau saja mereka tahu akan datangnya bahaya yang
mengancam, tentu mereka kuasa menolak sirep yang dilepas oleh
Jatimurka.
Sakri lalu dihujani pertanyaan dan dengan terus terang Sakri
menceritakan bahwa gerombolan begal itu melepas sirep yang
ampuh dan datang bermaksud merampok. Untung ia dapat
membunuh kepala begal dan beberapa orang kaki tangannya,
hingga yang lain-lain lalu melarikan diri.
Ratu Dewata yang juga terjaga dari tidurnya mendengar
ribut-ribut, ketika mendengar akan kegagahan Sakri, merasa
berterima kasih sekali dan memuji-muji ketangkasan pemuda itu.
Tak lupa raja ini menegur sekalian senapati dan bayangkari oleh
karena kelalaian mereka, hingga kalau tidak ada Sakri yang
waspada dan hati-hati, tentu begal-begal itu telah berhasilmencuri barang-barang berharga!
Pada keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan dengan cepat.
Berkat penjagaan para pengawal yang semenjak terjadinya
peristiwa itu kini berlaku sangat tertib dan hati-hati, perjalanan
rombongan itu selamat tidak terhalang sesuatu.
––––––––
Beberapa hari kemudian, romebongan Ratu Dewata telah tiba
di Bubat, sebuah lapangan yang luas di sebelah utara ibu kota
Majapahit. Di tempat ini Sang Prabu memerintahkan supaya
romebongan memasang kemah dan mereka berhenti di situ. Pak
Lurah Bubat menerima kedatangan tamu-tamu agung ini dengan
gugup dan gembira dan menyediakan apa yang ada sekuasanya
untuk menjamu Raja calon mertua junjungannya yang terhormat
itu. Kemudian, tergopoh-gopoh Lurah Bubat pergi menghadap ke
Majapahit untuk mengabarkan perihal kedatangan rombongan
Raja Pajajaran yang mengantarkan puterinya ke Majapahit. Ratu
Dewata dan sekalian pengiringnya menunggu di Bubat dengan
sabar sambil beristirahat setelah melakukan perjalanan yang jauh
dan penuh bahaya itu.
Keputusan Sang Prabu Hayam Wuruk untuk mengangkat
puteri sekar-kedaton Pajajaran sebagai permaisuri disambut
dengan gembira oleh rakyat Majapahit, oleh karena rakyat
Majapahit sendiri sudah lama mendengar akan kecantikan puteri
dan kepandaian puteri itu. Akan tetapi, ada dua orang pembesar
di Majapahit yang tidak puas dan tidak setuju akan keputusan
Sang Prabu ini. Mereka adalah Wijayarajasa, Raja di Wengker
dan Sang Patih Gajah Mada sendiri! Wijayarajasa adalah suami
Diah Wiat yang menjadi adinda Tribuwanatungga Dewi atau bibi
dari Prabu Hayam Wuruk sendiri. Wijayarajasa tidak senang
mendengar keputusan Sang Prabu untuk mengangkat seorang
puteri Pajajaran sebagai permaisuri, oleh karena sudah lama ingin melihat puterinya yang juga cantik-juita bernama
Susumnadewi, yakni puteri dari seorang selirnya yang terkasih,
untuk menjadi permaisuri di Majapahit!
Adapun Patih Gajah Mada tidak puas akan putusan Prabu
Hayam Wuruk bukan karena mempunyai sesuatu niat demi
kepentingan sendiri sebagaimana halnya Wijayarajasa, namun
semata-mata karena terdorong oleh rasa baktinya terhadap Sang
Prabu dan Kerajaan Majapahit. Menurut pendapat Patih Gajah
Mada seyogianya Sang Prabu mengangkat seorang puteri Jawa
pula sebagai permaisuri, oleh karena selain terdapat perbedaan
adat-istiadat dengan puteri Pajajaran, juga hal ini akan
menimbulkan rasa iri hati di kalangan raja-raja kecil. Kalau Sang
Prabu mengambil puteri Pajajaran sebagai permaisuri muda atau
selir, kiranya Patih Gajah Mada akan dapat menyetujuinya,
namun sesungguhnya, sikap menentang keputusan Sang Prabu,
yang terkandung dalam hati Patih Gajah Mada, tidak sehebat rasa
penasaran Wijayarajasa.
Diam-diam Wijayarajasa mencari akal untuk menghalangi
pernikahan agung ini. Ketika mendapat kabar bahwa Lurah Bubat
berangkat ke kota raja, ia mencegatnya di jalan.
Ketika bertemu dengan raja Wengker yang menjadi paman
dari Sang Prabu Hayam Wuruk Lurah Bubat segera berlutut
menyembah.
"Pak Lurah Bubat kiranya yang berjalan tergesa-gesa ini!
Ada keperluan apa maka kau nampak demikian gugup?" tanya
Wijayarajasa.
"Hamba hendak pergi menghadap Sang Prabu di kota raja
untuk mewartakan tentang kedatangan rombongan Gusti Prabu
dari Pajajaran," jawabnya.
"O, jadi Raja Pajajaran yang hendak mempersembahkanputerinya itu telah tiba?" kata Wijayarajasa dengan tersenyum
mengejek, kemudian sambungnya. "Eh, ki lurah, dengan maksud
apa engkau hendak menyampaikan berita kedatangan mereka
kehadapan Gusti Prabu Hayam Wuruk?"
Pak Lurah Bubat memandang heran. "Bukankah itu sudah
seharusnya dan menjadi kewajiban hamba, gusti? Hamba
mewartakan kekota raja, agar rombongan dari Pajajaran itu
disambut, karena mereka kini sedang menanti di Bubat."
"Dengar, ki lurah, kau harus menurut perintahku. Dan awas,
kalau kau tidak mentaati perintahku ini, kau dan seluruh
keluargamu akan kutumpas!"
Menggigillah seluruh tubuh Ki Lurah Bubat mendengar
ancaman yang diucapkan secara tiba-tiba ini. "Apa..... apakah
maksud paduka gusti?"
"Kau perlambat perjalananmu, hingga besok baru boleh
menghadap Sang Prabu, dan apabila kau telah menghadap,
beritahukanlah bahwa kau diutus oleh Raja Pajajaran yang
menuntut supaya Sang Prabu Hayam Wuruk sendiri datang
menyambut kedatangannya di Bubat!"
Lapanglah dada ki lurah Bubat. Tadinya ia menyangka
bahwa apa yang akan diperintahkan itu adalah sesuatu yang
hebat. Tetapi kiranya hanya demikian saja kehendak Raja
Wengker ini. Dan bukankah sudah seharusnya kalau calon mantu
menyambut calon mertuanya?
"Baiklah, gusti. Hamba akan mentaati perintah paduka,"
jawabnya.
"Nah, aku berangkat lebih dulu, Ki Lurah. Ingat besok pagi
kau boleh datang menghadap ke keraton."
Setelah memberi pesan itu, Wijayarajasa lalu memacukudanya menuju kekota raja dan langsung menemui Patih Gajah
Mada.
Setelah saling memberi salam, Wijayarajasa lalu
memberitahukan bahwa rombongan Raja Pajajaran telah tiba di
Bubat dan bahwa menurut berita angin yang ia dengar, Ratu
Dewata dari Pajajaran itu tidak mau melanjutkan perjalanan dan
akan menanti sampai datang rombongan penyambut dari
Majapahit. Patih Gajah Mada menjawab bahwa hal itu sudah
semestinya dan bahwa ia sendiri bersedia mengadakan sambutan
di Bubat apabila diperintah oleh Sang Prabu Hayam Wuruk.
Dengan cerdik dan tidak kentara, malam hari itu Wijayarajasa
membayangkan kepada Patih Gajah Mada bahwa Ratu Dewata
adalah seorang raja yang sombong, angkuh dan merasa lebih
tinggi kedudukannya daripada Prabu Hayam Wuruk sendiri.
Gajah Mada adalah seorang perwira gagah perkasa yang
beradat jujur dan keras hati. Menghadapi siasat kelemasan lidah
Wijayarajasa yang pandai bertukar-kata, akhirnya ada juga sedikit
pengaruh obrolannya yang membuat hati Gajah Mada merasa
kurang senang kepada Raja Pajajaran itu. Wijayarajasa girang
sekali bahwa ia telah berhasil menanam bibit kebencian dalam
dada patih yang berpengaruh ini.
Pada keesokan harinya, barulah Ki Lurah Bubat berani
menghadap Sang Prabu Hayam Wuruk yang sedang bersiniwaka
dihadap oleh semua pembesar dan panglimanya.
Setelah menyembah dengan khidmad, Ki Lurah Bubat
berkata,
"Ampunkan hamba yang telah berlaku lancang dan berani
menghadap tanpa dipanggil, Gusti. Hamba menyampaikan berita
bahwa rombongan dari Pajajaran telah tiba di Bubat dan kini
memasang pesanggrahan disana . Sang Nata Ratu Dewata dari
Pajajaran berkenan mengutus hamba untuk menyampaikan beritaini kepada paduka gusti, dan....... dan...... Sang Nata dari
Pajajaran minta agar supaya paduka sudi menyambut dan
menjemput rombongan mereka di Bubat!" Ki Lurah Bubat
teringat akan ancaman Wijayarajasa yang pada saat itu juga hadir
di situ.
Berserilah wajah Sang Prabu Hayam Wuruk mendengar
berita baik ini. Sang Prabu merasa gembira sekali karena hendak
bertemu dengan puteri juita yang telah lama dirindukannya.
"Baiklah, baiklah....." ujarnya. "Paman Patih Gajah Mada,
segera siapkanlah semua pengiring. Aku hendak berangkat
memapak mereka sekarang juga di Bubat!"
Akan tetapi, pada saat itu bibit racun yang semalam ditanam
oleh Wijayarajasa di dalam hati Gajah Mada, telah mulai
bersemi. Mendengar bahwa Raja Pajajaran itu minta agar supaya
Sang Prabu Hayam Wuruk sendiri menyambut dan menjemput di
Bubat, Patih Gajah Mada merasa marah sekali. Alangkah
sombongnya Raja Pajajaran, pikirnya! Maka ia menyembah dan
berkata,
"Ampunkanlah hamba berani menyampaikan kata hati hamba
kepada paduka, gusti. Bukan semata-mata hamba hendak
membantah perintah dan kehendak paduka, akan tetapi yang
hendak hamba haturkan ini adalah sekadar usul untuk menjadi
bahan pertimbangan paduka dan sukurlah apabila paduka dapat
menyetujui usul hamba ini. Menurut pendapat hamba, kurang
sempurna dan bukan selayaknyalah apabila paduka sendiri pergi
melakukan penyambutan ke Bubat. Demikianlah sebabnya.
Kedudukan Raja di Pajajaran tidak lebih tinggi daripada
kedudukan para ratu lain yang telah takluk dan mengakui
kedudukan paduka sebagai Maharaja, hingga kedudukan paduka
lebih tinggi daripada kedudukan raja di Pajajaran. Apabila kini
paduka sendiri sampai menyambut dan memapak mereka diBubat, hal ini sangat merendahkan kedudukan paduka sebagai
Maharaja. Terutama sekali hal ini akan mendatangkan iri hati dan
tidak senang di kalangan para raja lain dan akhirnya hanya akan
mendatngkan keruwetan dan kekacauan belaka. Apabila mereka
itu menyatakan ketidaksukaan dan iri hati mereka. Kalau Sang
Prabu Pajajaran minta dijemput, biarlah hamba dan para
panglima yang menjemputnya sebagai wakil paduka, dan paduka
cukup menanti di keraton untuk menyambut kedatangan mereka.
Nah, demikianlah usul dan pendapat hamba yang hamba dasarkan
semata-mata demi keluhuran nama Paduka dan kebesaran
kerajaan Majapahit gusti."
Termenunglah Sang Prabu Hayam Wuruk mendengar ucapan
Patih Gajah Mada ini. Kalau orang lain yang mengeluarkan
ucapan ini, mungkin Sang Prabu akan marah. Akan tetapi, Sang
Prabu Hayam Wuruk telah yakin dan percaya penuh akan
kebijaksanaan dan kesetiaan Patih Gajah Mada dan maklum pula
bahwa usul ini benar-benar berdasar kesetiannya demi kebaikan
Raja dan Negara.
Setelah diam sejenak, Sang Prabu Hayam Wuruk lalu
bersabda,
"Benar dan tepat pendapatmu, Pamanda Patih. Bukan karena
kecongkakan, bukan karena kurang hormat, dan juga bukan untuk
merendahkan kedudukan Rama Prabu di Pajajaran, akan tetapi
aku tidak mengadakan penjemputan sendiri hanya untuk
mencegah iri hati dan ketidak-senangan fihak ketiga. Kau benar,
dan demikianlah seyogjanya. Jemputlah mereka dan aku menanti
di sini."
"Ki lurah, cepatlah kau kembali ke Bubat dan beritahukan
kepada Ratu dari Pajajaran bahwa Sang Prabu tak dapat
menjemput sendiri, akan tetapi Patih Gajah Mada yang akan
mewakilinya."Ki Lurah Bubat segera memacu kudanya kembali ke Bubat,
akan tetapi di tengah jalan ia ditahan lagi oleh Wijayarajasa.
Kembali Raja Wengker ini mengancam dan minta supaya ki lurah
menyampaikan kepada Sang Prabu dari Pajajaran bahwa Sang
Prabu Hayam Wuruk tidak suka menjemput dan memerintahkan
agar supaya para tamu itu segera menghadap dan ditunggu di
Majapahit.
Ki Lurah Bubat tak berani membantah dan mempercepat
perjalanannya.
Sesungguhnya, tidak ada sesuatu tuntutan timbul dari fihak
Pajajaran . Sang Prabu beserta rombongannya berhenti dan
berkemah di Bubat tak lain hanya untuk beristirahat dan untuk
bersiap-siap memasukikota raja. Tentu saja rombongan itu
mengharapkan datangnya rombongan penyambut dari keraton
Majapahit sebagaimana lazimnya.
Karena belum juga ada rombongan penyambut yang datang,
Ratu Dewata lalu mengutus beberapa orang senapati dan
pahlawan membawa perajurit pergi kekota raja untuk
memberitahukan bahwa rombongan dari Pajajaran telah siap-
sedia menerima rombongan penyambut dari Majapahit.
Di tengah jalan, rombongan dan barisan utusan ini bertemu
dengan Ki Lurah Bubat. Ki Lurah Bubat lalu memberitahu
kepada mereka bahwa Sang Prabu Hayam Wuruk tidak suka
menyambut sendiri dan memerinthakan supaya Raja Pajajaran
segera masuk ke kota raja dan menghadap kepada Sang Prabu
yang sudah menanti di keraton.
Jawaban ini amat menyakiti hati pemimpin rombongan yang
terdiri dari Patih Anipaken, Demang Cabo dan Patih Pitar.
Mereka mencela kesombongan Raja Majapahit yang sama sekali
tidak menaruh hormat kepada calon mertua. Dengan hati panas
mereka melanjutkan perjalanan untuk menunaikan tugas merekasebagai utusan ratu.
Ketika mereka tiba dikota raja, Patih Gajah Mada sedang
bersiap sedia untuk berangkat melakukan penjemputan dengan
para pengiring dan hulubalang lain. Kedatangan barisan utusan
ini segera disambutnya dengan baik.
Akan tetapi Patih Anepaken yang sudah merasa sakit hati
dan marah, tak dapat berlaku ramah terhadap Patih Gajah Mada,
katanya,
"Sang Nata Pajajaran telah mengutus kami untuk memberi
tahu bahwa rombongan Pajajaran telah siap-sedia menerima
kedatangan penyambut dan penjemput di Bubat."
Ketika Patih Gajah Mada melihat sikap keras dan mendengar
ucapan singkat ini, timbullah marahnya pula. Memang di dalam
hati Patih Gajah Mada sudah terdapat racun yang ditanam oleh
Wijayarajasa hingga ia telah mempunyai pandangan bahwa
orang-orang Pajajaran ini sombong-sombong, sama sekali tidak
menyangka bahwa Patih Anepaken juga mempunyai pandangan
yang demikian pula terhadap orang-orang Majapahit akibat
laporan palsu Ki Lurah Bubat! Syak wasangka dan salah paham
telah mengeruhkan pikiran dan hati kedua fihak.
"Tidak selayaknya apabila Gusti Prabu Hayam Wuruk yang
harus menjemput sendiri," jawab Patih Gajah Mada, "Menurut
tingkat dan kedudukan, seharusnya Sang Prabu di Pajajaranlah
yang datang menghadap dan langsung menuju ke Majapahit tanpa
menanti dijemput."
Kedua patih ini mengukuhi pendirian masing-masing yang
berdasar membela kehormatan kerajaan sendiri di mana mereka
menghambakan diri dan sedikitpun tidak mau mengalah. Maka
terjadilah pembantahan. Dalam kemarahanya Patih Anepaken
bahkan lalu berkata keras,"He, Ki Patih Majapahit, alangkah rendahnya kamu orang-
orang Majapahit, memandang kami orang-orang Pajajaran!
Memang kami akui bahwa Gusti Prabu Hayam Wuruk adalah
seorang Maharaja yang besar. Akan tetapi janganlah kamu kira
bahwa Gusti Prabu Ratu Dewata kalah dalam keagungan dan
kebesaran dengan Rajamu!
Kami tidak merasa junjungan kami itu lebih rendah
tingkatnya dari junjungan kamu. Ingatlah bahwa Pajajaran
bukanlah daerah yang telah takluk kepada Majapahit!" Patih
Anepaken mengeluarkan kata-kata ini dengan wajah kemerah-
merahan karena marahnya.
Pada saat perang tutur itu terjadi, datanglah Wijayarajasa dan
ketika Raja Wengker ini melihat terjadinya pertikaian, hatinya
girang sekali dan ia lalu menjawab kata-kata keras Patih
Anepaken dengan tantangan.
"He, Patih Anepaken! Janganlah kamu mengumbar nafsu dan
kesombongan di Majapahit! Ketahuilah bahwa pahlawan-
pahlawan Majapahit tak dapat menelan hinaan demikian saja!
Gusti Prabu telah berkenan menerima puteri Pajajaran, hal ini
sudah merupakan penghormatan yang sangat besar bagi
Pajajaran. Pendeknya, Raja Pajajaran harus mengiringkan
puterinya kehadapan Gusti Prabu Hayam Wuruk, kalau tidak hal
ini akan diselesaikan dengan ketajaman tombak dan kekebalan
kulit!"
Patih Anepaken memang berdarah panas. Mendengar ini, ia
telah berdiri dari tempat duduknya dan sekali tendang saja
hancurlah kursi yang tadi didudukinya. Matanya bernyala-nyala
dan hidungnya berkembang-kempis!
"Hai, orang-orang Majapahit! Kau kira Pajajaran tidak punya
satria-satria? Ketahuilah, bagi kami orang-orang Pajajaran,
kehormatan lebih utama daripada jiwa, mengerti?"Hampir saja terjadi keributan di ruang kepatihan itu dan
hampir terjadi adu tenaga diantara para pembesar itu. Akan tetapi,
biarpun Sakri yang juga hadir di situ telah merasa panas seluruh
tubuhnya karena marah, ia tetap dapat mempergunakan kekuatan
batinnya untuk menekan kemarahannya itu. Ia lalu melompat ke
dekat Patih Anepaken dan membujuk.
"Sudah, gusti patih. Untuk apa menurutkan nafsu hati dan
marah-marah di sini? Ingat bahwa kita bukan sedang berada di
dalammedan peperangan dan sebagai utusan raja kita harus
bersikap bijaksana."
Kepala dari Patih Anepaken serasa diguyur air dingin ketika
mendengar ucapan Sakri ini dan ia lalu memandang kepada Sakri
dengan pernyataan terima kasih. Memang betul, hampir saja ia
lupa akan keadaan dan karenanya bahkan merendahkan martabat
Rajanya dengan memperlihatkan sikap yang tidak semestinya.
Sementara itu, biarpun Patih Gajah Mada merasa menyesal
mendengar tantangan yang diucapkan oleh Wijayarajasa, akan
tetapi karena yang mengucapkan adalah orang dari fihaknya,
maka ia tidak mungkin dapat menarik kembali kata-kata itu yang
berarti akan merendahkan diri sendiri. Maka hanya berkata
kepada Wijayarajasa.
"Mereka ini adalah utusan nata dan tidak seharusnya kita
menghina utusan nata!"
Wijayarajasa melihat betapa dari sepasang mata Patih Gajah
Mada menyinarkan rasa penuh sesal, ia tidak berani banyak cakap
lagi.
Demikianlah, dalam keadaan sama-sama panas dan
meradang rombongan utusan itu kembali ke Bubat.
Alangkah murkanya Sang Prabu Dewata mendengar laporan
patihnya karena merasa betapa kedudukannya direndahkan orang.Sabdanya dengan marah.
"Ya Jagat Dewa Batara! Mengapa dijatuhkan percobaan
sehebat ini kepada hamba?Para pahlawanku sekalian. Memang
semenjak kalian berangkat ke Majapahit, telah ada perasaan tidak
enak dalam hatiku tanda akan adanya bahya mendatang. Kita
harus bersiap sedia menjaga datangnya segala kemungkinan.
Betapapun hati seorang ayah menyinta puterinya, akan tetapi bagi
seorang satria, kehormatan lebih besar artinya. Lebih baik
hancur-lebur tubuh ini daripada menyerah dalam kehinaan!
Persiapkanlah seluruh balatentara, kita menanti datangnya
serbuan dari Majapahit! Demi keluhuran Pajajaran kita lawan
mereka mati-matian!"
"Hamba rela dan bersedia membela Pajajaran sampai hancur
tubuh hamba!" seru Patih Anepaken.
"Hamba bersedia membela Pajajaran sampai titik darah yang
penghabisan!!" Sakri ikut berseru dengan penuh semangat.
Ratu Dewata menjadi terharu sekali, terutama mendengar
seruan Sakri yang hendak membela Pajajaran sampai titik darah
penghabisan! Bagi Patih Anepaken dan yang lain-lain, hal ini
tidak mengherankan dan bahkan sudah selayaknya, karena
mereka adalah orang-orang Pajajaran. Akan tetapi, bukankah
Sakri seorang Jawa? Maka sabdanya perlahan,
"Sakri, sudah yakin benarkah hatimu bahwa kau hendak
mengurbankan jiwa ragamu untuk
Semua orang memandang ke arah pemuda yang gagah
perkasa ini, dan Sakri juga maklum ke mana maksud pertanyaan
Sang Prabu Dewata itu. Sembahnya,
"Gusti, hamba adalah seorang laki-laki yang menjunjung
tinggi sifat satria utama. Semenjak kecil, ayah hamba telah
menggembleng hamba dengan ajaran yang luhur dari Sri Kresnayang bijak dan waspada. Sekali hamba bersuwita, maka hamba
akan setia sampai mati!"
Semua orang terharu mendengar ini, dan mereka lalu bersiap
sedia menjaga datangnya serbuan dari Majapahit.
Patih Gajah Mada mendengar pula dari para penyelidik akan
sikap Ratu Dewata dari Pajajaran. Ia maklum bahwa demi
membela kehormatan masing-masing, maka pertempuran takkan
dapat dielakkan lagi. Maka ia lalu menghadap kepada Prabu
Hayam Wuruk untuk minta keputusan dan perkenan akan
maksudnya menggempur barisan Pajajaran di Bubat. Sang Prabu
Hayam Wuruk menghela napas panjang karena merasa berduka
dan kecewa bahwa persoalan menjadi demikian panas dan
meruncing. Akan tetapi, sebagai seorang raja, iapun harus
mempertahankan kehormatan kerajaannya. Dimintanya agar Patih
Gajah Mada mencoba membereskan persoalan ini dengan jalan
damai dan membujuk Sang Prabu Dewata untuk berdamai dan
sudi mengalah, Patih Gajah Mada setelah menyatakan
kesanggupannya, lalu mengerahkan sejumlah perajurit yang besar
untuk pergi ke Bubat.
Sebetulnya Patih Gajah Mada juga ingin membereskan
kesalah-pahaman ini dengan cara damai. Akan tetapi, hal ini telah
diketahui pula oleh Wijayarajasa, maka Raja Wengker ini lalu
mengutus beberapa puluh orang suruhan, yang ini terdiri dari
orang-orang jahat yang sanggup menjalankan perintah apa saja
asal mendapat upah besar. Begitu tiba di Bubat, mereka
menyerang orang-orang Pajajaran dan setelah membunuh
beberapa orang yang tak berjaga-jaga, mereka lalu melarikan diri.
Ributlah keadaan di Bubat dan semua orang Pajajaran
mendengar bahwa beberapa kawan dari Pajajaran telah terbunuh
oleh orang-orang Majapahit! Maka memuncaklah kemarahan
mereka hingga ketika barisan Gajah Mada tiba, tanpa banyakcakap lagi barisan Pajajaran lalu menyerang!
Dan segeralah terjadi perang tanding yang hebat dan dahsyat
di Bubat! Peperangan ini terkenal dengan sebutan Perang Bubat
dan sampai lama menjadi kenangan orang. Darah membanjir di
lapangan Buabat yang luas. Rumput yang tadinya tumbuh segar,
menjadi kering dan mati kena injak kaki orang dan kuda. Warna
lapangan yang tadinya hijau segar menyedapkan mata, kini
berubah merah oleh darah, darah perajurit-perajurit Majapahit
dan Pajajaran! Keris dan tombak berkilauan mengamuk
menenbus perut dan dada. Pekik dan teriak menggegap-gempita
dan debu mengepul ke angkasa membuat sinar matahari menjadi
pucat. Kehebatan peperangan di lapangan Bubat ini tiada kalah
hebatnya dengan peperangan mahabesar yang disebut Bharata-
yuda di lapangan Kurusetra! Ribuan perajurit gagah-perkasa
tewas di ujung senjata. Panglima-panglima kedua fihak yang
muda, tampan, dan perkasa, gugur bagaikan ratna dalam perang
itu!
Sakri mengamuk dengan hebatnya bagaikan seekor banteng
sakti mencium darah kawannya! Tubuhnya penuh dengan darah
lawan. Berpuluh-puluh orang tewas dalam tangannya. Setiap kali
tangan kanannya yang memegang keris bergerak, robohlah
seorang perajurit Majapahit, dan tiap kali kepalan tangan kirinya
diayun, pecahlah kepala seorang manusia yang menghalang di
depannya!
Perajurit-perajurit Majapahit menjadi agak kocar-kacir
menjauhi sepak-terjang pemuda yang luar biasa ini, bagaikan
serombongan semut didekati api.
Paraperajurit dan panglima Pajajaran karena merasa telah
jauh dari negaranya, berperang mati-matian dan nekat hingga tak
terhitung banyaknya perajurit Majapahit yang tewas.
Melihat kehebatan sepak-terjangnya perajurit-perajurit danpanglima-panglima Pajajaran, Patih Gajah Mada menjadi marah.
Ia mendatangkan balabantuan yang besar jumlahnya, dan diantara
balabantuan yang tiba, nampak seorang pemuda yang berpakaian
sebagai seorang pemuda petani sederhana. Menurut laporan
pemimpin barisan yang baru tiba, pemuda ini menyatakan hendak
ikut membela Majapahit dan ikut menghalau musuh. Gajah Mada
lalu memanggilnya menghadap.
"Hai, anak muda yang muda rupawan. Siapakah kau dan
mengapa kau yang semuda ini hendak ikut pula beryuda?"
Dengan suaranya yang halus dan tutur katanya yang
sederhana, pemuda itu menyembah dan berkata,
"Hamba bernama Saritama dari Gunung Kidul, Gusti Patih.
Dalam perantauan hamba, hamba mendengar bahwa seorang
panglima Pajajaran yang bernama Sakri amat digdaya dan sukar
dilawan. Maka apablia Gusti Patih memberi perkenan, hamba
hendak mencoba melawan panglima Pajajaran yang sakti itu."
Patih Gajah Mada terkejut. Memang iapun telah
menyaksikan sendiri kesaktian Sakri pahlawan Pajajaran itu dan
telah mengambil keputusan untuk menghadapinya sendiri oleh
karena anak buahnya tidak kuat menghadapi amukan Sakri. Akan
tetapi, tiba-tiba seorang pemuda dusun telah mengajukan diri
hendak menandingi Sakri!
"Cukup kuatkah pundakmu memikul beban ini?" tanyanya
dan Patih Gajah Mada melangkah maju mendekati pemuda yang
masih duduk bersila di depannya itu. Ia gunakan kedua tangan
untuk menekan kedua bahu Saritama dan pemuda itu maklum
bahwa Sang Patih sedang mencoba kesaktiannya, karena terasa
olehnya betapa sepasang tangan sang Patih itu bagaikan dua buah
batu besar yang beratnya luar biasa menekan dan menindih
pundaknya! Saritama tersenyum dan berkata,"Hamba rasa beban
ini tak cukup berat, gusti!" Dan diam-diam ia mengerahkantenaganya ke arah dua pundak yang tertekan.
Patih Gajah Mada merasa terkejut dan berbareng kagum
ketika merasa, betapa kedua pundak pemuda itu tiba-tiba menjadi
kaku keras bagaikan baja dan dapat menahan tekanan kedua
tangannya dengan mudah!
Tertawalah Sang Patih. "Bagus, Saritama. Kau benar-benar
pantas disebut Pendekar Gunung Kidul. Maju dan lawanlah Sakri,
aku membekali doa restu padamu."
Saritama bertubuh sedang dan berkulit putih kuning.
Wajahnya tampan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar
gemilang. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan dadanya terbuka
telanjang. Telinga kirinya digantungi sebuah anting-anting perak
yang mengeluarkan sinar aneh. Senjatanya hanya sebilah keris
kecil luk tiga yang diselipkan dalam sarung keris di pinggangnya.
Gerak gayanya perlahan dan lemah lembut, akan tetapi tindakan
kakinya cepat sekali ketika ia maju kemedan perang.
Paraperajurit yang melihat majunya seorang pemuda
bertelanjang dada tanpa memegang senjatapun di tangan, merasa
sangat heran dan untuk sejenak perajurit-perajurit Pajajaran
menjadi ragu-ragu. Mereka merasa tidak tega menyerang seorang
pemuda yang demikian tampan dan yang maju kemedan
pertempuran dengan senyum manis di bibir.
Tiba-tiba seorang perajurit Pajajaran maju dengan tombak di
tangan. Ia tidak perduli dengan sikap pemuda itu. Siapapun juga
orangnya yang sudah maju kemedan perang dan berada di fihak
Majapahit, berarti musuh mereka yang harus dibasmi! Akan
tetapi Saritama menghadapi perajurit itu dengan tenang. Ketika
tombak itu meluncur hendak ditusukkan ke arah dadanya,
pemuda ini perlahan sekali memiringkan tubuh dan sekali
tangannya bergerak miring, tombak itu patah!"Sabarlah, aku tak hendak bertempur dengan kalian!"
katanya. "Tunjukkanlah di mana adanya Sakri pahlawan besarmu,
karena hanya dengan dia saja aku mau bertemu!"
Masih ada dua tiga orang perajurit yang merasa gemas dan
menyerang, akan tetapi dengan cara sederhana dan mudah, semua
senjata yang menyerangnya dapat dibikin patah! Anehnya,
sedikitpun pemuda itu tidak mau membalas serangan atau
menyakiti lawannya!
Demikianlah, Saritama terus maju mencari-cari Sakri.
Akhirnya, ia bertemu juga dengan Sakri yang sedang mengamuk
dan yang kini berdiri dengan tangan kanan memegang keris dan
tangan kiri bertolak pinggang karena sudah tidak ada lawan yang
berani melawannya lagi! Gagah dan hebat bagaikan Raden
Abimanyu mengamuk di lapangan Kurusetra.
Ketika melihat seorang pemuda keluar dari fihak Majapahit,
Sakri segera lari menghampiri dengan keris di tangan. Akan
tetapi, setelah melihat orangnya yang datang, tiba-tiba tubuh
Sakri terasa lemas, dadanya berdebar dan tangan yang memegang
keris menggigil.
"Dimas Saritama.......!"
"Kakang Sakri!"
Mereka berdua hanya dapat mengeluarkan kata-kata ini dan
berdiri berhadapan saling pandang. Terharu, kecewa, girang, dan
duka bercampur-aduk di dalam hati masing-masing, membuat
mereka berdua tak kuasa berkata-kata. Tanpa disadari Sakri
memasukkan kerisnya kembali ke dalam sarung keris.
Akhirnya Saritama yang lebih dulu memecah kesunyian yang
menyelubungi mereka berdua, "Kangmas, kangmas Sakri, kau.....
kau telah menjadi seorang pengkhianat?"Sakri terkejut mendengar ini. Tadinya ia telah ingin
menubruk, memeluk dan menciumi adiknya yang terkasih ini,
akan tetapi oleh karena mereka bertemu dalam keadaan
bertentangan, ia tidak dapat melakukan hal ini. Pada saat itu,
Saritama adalah seorang musuh, musuh Pajajaran yang berarti
musuhnya pula!
"Tidak, Saritama!" jawabnya, "aku bukan seorang
pengkhianat!"
"Kau tidak merasa menjadi seorang pengkhianat, akan tetapi
kau telah melawan Majapahit. Kalau begitu, apakah selain
menjadi seorang pengkhianat, kangmas Sakri juga telah berubah
menjadi seorang pengecut yang tidak berani mengakui dosa
sendiri?"
"Saritama! Kau adikku yang kucinta, janganlah mulutmu
begitu kejam menjatuhkan fitnah keji terhadap kakakmu sendiri!
Kalau bukan kau yang mengucapkan kata-kata ini pasti telah
kubinasakan kau!"
"Sakri! Pada saat ini janganlah kau anggap aku sebagai
seorang adik. Kalau kau hendak membinasakan aku pula,
lakukanlah, wahai manusia sesat dan gelap mata! Hendak kulihat
sampai di mana kekejamanmu."
"Saritama," kata Sakri dengan hati perih, "aku bukan seorang
pengkhianat, juga bukan seorang pengecut seperti yang kau duga.
Aku sadar dan yakin bahwa perjuanganku ini suci dan benar.
Ketahuilah, aku seorang panglima Pajajaran, seorang hamba
Pajajaran yang telah lama bersuita di depan Sang Ratu Dewata
dan yang telah banyak menerima budi kerajaan Pajajaran. Aku
telah bersumpah untuk setia dan membela Pajajaran sampai titik
darahku yang penghabisan, yang memang sudah selayaknya
menjadi cita-cita seorang satria utama! Dengarlah, wahai anak
muda, kalau aku melanggar sumpah dan kesetiaanku terhadapkerajaan di mana aku menghambakan diri dan aku tidak
menghancurkan fihak Majapahit yang telah menjadi musuh
Pajajaran yang hendak menjaga kehormatan, bukankah aku
menjadi seorang pengkhianat dan pengecut sebesar-besarnya di
dunia ini?"
"Tapi lawanmu adalah bangsa dan darah dagingmu sendiri!"
bantah Saritama.
"Di dalam yuda, tidak ada hubungan apa-apa, yang ada
hanyalah lawan dan kawan. Siapa saja adanya dia yang berdiri di
fihak musuh, dialah lawan yang harus dimusnahkan. Cita-cita
seorang perajurit utama hanya tunggal, yaitu membasmi musuh
dan membela negara serta taat kepada perintah yang menjadi
junjungan. Aku melakukan semua ini dengan penuh kesadaran.
Saritama, perjuanganku suci dan tanpa pamrih, karena aku
hanyalah menunaikan tugasku sebagai seorang perajurit. Kalau
kau bukan perajurit Majapahit, menyingkirlah Saritama, dan
jangan kau menghalangi perjuanganku yang suci. Kelak, kalau
aku tidak terbinasa di ujung senjata lawan, akan kuceritakan
kepadamu tentang semua ini."
Saritama tersenyum. "Sakri, kau tenggelam dalam
kesombonganmu sendiri! Kaukira bahwa seluruh perajurit yang
bertempur mengadu tenaga ini hanya boneka-boneka belaka?
Bahwa hanya kau seorang yang memiliki jiwa satria utama?
Ketahuilah, wahai panglima Pajajaran yang gagah perkasa,
bahwa aku Saritama juga seorang perajurit Majapahit. Majulah,
karena akulah lawanmu!"
"Duh Jagat Dewa Batara!" Sakri mengeluh, "mengapa aku
harus menjatuhkan tanganku kepada adikku sendiri?"
"Sakri, ingatlah akan kata-katamu tadi, kita perajurit sama
perajurit. Terima kasih atas pelajaranmu tadi yang membuat
hatiku merasa lebih lapang untuk mengadu kerasnya tulangtebalnya kulit denganmu. Mengapa ragu-ragu?"
"Aduh, adikku Saritama..... Kau yang telah lama kurindukan!
Tak ada jalan lainkah yang dapat kita ambil? Aku tidak tega
menjatuhkan tanganku di atas kepalamu yang kukasihi,
Saritama....... kasihanilah kakakmu dan mundurlah."
"Manusia lemah, mana sifat satria yang kau sombongkan
tadi?"
Sambil berkata demikian, Saritama melangkah maju dan
menyerang dengan pukulan tangannya. Sakri mengelak lemah,
akan tetapi Saritama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan
gerakan cepat itu sudah menyusul dengan pukulan kedua hingga
dada Sakri kena pukul dan panglima itu jatuh tersungkur!
"Sakri bangunlah! Mari kita bertempur seperti perajurit-
perajurit sejati! Saritama membentak marah karena gemas
melihat betapa lawannya itu tidak membalas.
Mendengar ucapan ini dan merasa betapa pukulan Saritama
kuat dan berat, bangkitlah semangat Sakri. Serentak ia melompat
berdiri dan menggeram keras, "Baiklah, Saritama. Mari kau
pertahankan serbuan seorang satria Pajajaran!" Maka ia lalu
menyerang dengan hebatnya. Kedua teruna remaja yang sama
tampan sama gagah itu, kakak beradik yang setelah lama berpisah
kini bertemu dimedan yuda menjadi lawan, berkelahi mati-
matian!
Keduanya sama kuat, sama cepat, dan sama digdaya. Pukul-
memukul, tendang-menendang, hempas-menghempas hingga
debu mengebul dari tanah yang mereka pijak. Perkelahian ini
demikian hebat dan seru, sehingga para perajurit Majapahit dan
Pajajaran yang sedang bertempur di dekat tempat kedua kakak-
beradik ini beryuda, menghentikan pertempuran mereka dan
menonton perkelahian ini dengan kagum!Sakri dan Saritama bertempur bagaikan dua ekor harimau
berebut kelinci. Sepak-terjang Sakri bagaikan Gatutkaca yang
menyambar-nyambar dengan hebatnya, kuat dan cepat
gerakannya. Sedangkan Saritama yang lebih halus gerak-geriknya
itu bagaikan Raden Angkawijaya yang biarpun bergerak lemah-
lembut, akan tetapi selalu tepat cekatan. Tak banyak bergerak
dalam mengelak sebuah serangan, dan setiap pukulan yang
dilancarkan, biarpun kelihatannya dilakukan dengan perlahan,
namun mengandung tenaga yang cukup besar untuk
menghancurkan kepala seekor banteng!
Pertempuran itu berjalan seru dan lama hingga para perajurit
kedua fihak bersorak-sorak membela jago masing-masing. Baik
Sakri, maupun Saritama keduanya merasa betapa berat dan kuat
orang yang menjadi lawannya. Sakri diam-diam merasa kagum
dan girang melihat kehebatan adiknya, akan tetapi oleh karena
pada saat itu adiknya menjadi seorang Majapahit, terpaksa harus
dibinasakan! Sakri menggertak gigi untuk menguatkan hatinya,
kemudian ia mencari kesempatan. Ketika kesempatan yang
dinanti-nanti itu tiba, cepat bagaikan petir menyambar ia
mengirim pukulan tangan kanan yang disertai Aji Kelabang
Kencana yang bukan main dahsyatnya! Pukulan sakti ini tepat
mengenai pangkal telinga Saritama dan tubuh Saritama terpental
jauh lalu jatuh di atas tanah tanpa daya!
Kalau saja yang terkena pukulan itu bukan Saritama, Satria
Gunung Kidul yang telah digembleng secara hebat oleh ayahnya,
pasti akan tewas di saat itu juga. Akan tetapi, Aji Kelabang
Kencana mempunyai kesaktian luar biasa hingga biarpun tidak
tewas, namun tubuh Saritama telah menjadi bengkak-bengkak
dan matang biru! Pemuda ini merangkak bangun dan mukanya
yang tampan kini telah menjadi tidak karuan macamnya,
bengkak-bengkak hingga kedua matanya hampir tak nampak lagi.
Bukan main rasa sakit yang diderita oleh Saritama, akan tetapisatria ini menguatkan tubuh dan hatinya dan hanya sedikit
keluhan terdengar dari mulutnya yang bengkak-bengkak itu.
"Aduh, Rama panembahan, tak kusangka Saritama akan
tewas dalam kakangmas Sakri sendiri....." Kemudian ia
merangkak bangun dan berseru keras kepada Sakri.
"Panglima Pajajaran, janganlah berlaku kepalang-tanggung,
majulah dan padamkanlah apiku kalau kau memang seorang
satria!"
Semenjak ia memukul Saritama dengan Aji Kelabang
Kencana dan melihat betapa adinda yang dikasihinya jatuh
berguling dengan tubuh dan muka bengkak-bengkak mengerikan,
lenyaplah seketika itu juga semangat bertempur dalam dada
Sakri. Ia merasa ngeri dan kasihan sekali. Apalagi setelah
mendengar Saritama mengeluh dan menyebut ramanya, hancur
luluh perasaan Sakri. Ramanya dulu pernah berkata bahwa kelak
ia harus mewakili rama-ibu dan mendidik serta menjaga
Saritama, akan tetapi sekarang, dia sendiri telah berusaha
sekuasanya untuk membinasakan adindanya itu!
Tak tertahan lagi rasa terharu yang melemahkan hatinya. Ia
lalu menubruk maju sambil memekik, "Adimas Saritama......"
Saritama hendak mengelak, akan tetapi oleh karena tubuhnya
telah menjadi lemah dan sakit-sakit, ia tak kuasa melepaskan
rangkulan kakaknya. Sakri lalu menggunakan tangan kanannya
untuk memijit-mijit dan mengusap-ngusap muka dan tubuh
adiknya, menggunakan kesaktiannya untuk menghilangkan Aji
Kelabang Kencana yang menyerang tubuh Saritama. Memang
selain memiliki Aji Kelabang Kencana dahsyat, Sakri juga
mempelajari aji untuk mengobati dan memusnahkan daya serang
Kelabang Kencana.
Seketika itu juga, pulihlah keadaan Saritama. Segalabengkak-bengkak pada muka dan tubuhnya lenyap dan ia merasa
segar kembali.
Saritama mencela kakaknya. Dengan cepat ia merenggutkan
tubuh dari pelukan Sakri dan berkata, "Kangmas Sakri, mengapa
kau memperlihatkan kelemahanmu lagi? Jangan kau memalukan
aku, kangmas!"
"Saritama, adikku yang tersayang. Bagaimana aku dapat
sampai hati mencelakakan kau yang kukasihi? Adinda, sekali lagi
kupinta kepadamu, menyingkirlah dan jangan melawan aku.
Kelak aku akan minta maaf kepadamu, dinda."
Sakri! Kau hendak merendahkan adikmu sendiri? Kalau kau
seorang satria utama, apakah akupun bukan seorang satria
Majapahit yang pantang mundur dan tidak kenal takut pula?
Hayo, majulah dan pergunakanlah aji kesaktianmu pula. Saritama
bukan anak kecil yang takut akan maut!"
Kembali kakak-beradik ini bertempur. Akan tetapi oleh
karena Sakri merasa bimbang, ia hanya berkelahi dengan
setengah hati, sehingga pada saat yang tepat Saritama berhasil
memasukkan pukulannya yang dengan jitu sekali menghantam
kepala Sakri. Bukan main hebatnya pukulan ini, oleh karena kali
ini Saritama mempergunakan aji kesaktiannya yang bernama
Bromo ati. Pukulan ini mempunyai daya bagaikan petir
menyambar dan seketika itu juga tubuh Sakri menjadi hangus dan
kulitnya rusak bagaikan terbakar api! Sakri bergulingan di bawah
dan mengeluh kesakitan, tak berdaya untuk bangun lagi.
"Kangmas.......... kangmas.......... ampunkan aku......"
Saritama mengeluh.
"Tidak ada yang harus mengampunkan dan tidak ada yang
harus minta ampun, dimas. Kita sama-sama perajurit utama,
bukan? Kematian bukan apa-apa, teruskanlah perjuanganmudengan hati suci. Tak usah kita hiraukan sebab-sebab
pertempuran. Tugas kita hanya berjuang, berjuang dengan suci.
Aku..... aku puas, dinda........" Kemudian ia mengeluh dan tiba-
tiba dari mulut keluar keluhan panjang, "Aduh........ adinda Diah
Pitaloka......"
Terkejutlah Saritama mendengar ini. "Kangmas Sakri......
kau..... kau menyinta Diah Pitaloka Puteri Pajajaran?"
Sakri mencoba untuk tersenyum. "Dia.......... Dia pujaan
kalbu dan sumber kebahagiaanku, dinda..... sampaikanlah
salamku kepadanya dan sampaikan pula bahwa aku telah
membela kehormatannya sampai titik darah terakhir......."
Dengan sedih Saritama menyanggupi. Pada saat itu, seorang
perwira Majapahit yang berdiri di belakang Saritama, ketika
mendengar bahwa Saritama, sebenarnya adalah adik dari Sakri
panglima Pajajaran itu, menjadi tercengang. Timbul pikiran jahat
dalam otaknya. Ia hendak merebut pahala dan jasa karena
membinasakan Sakri, pahlawan musuh yang digdaya itu. Maka,
diam-diam ia angkat tombaknya tinggi-tinggi dan cepat sekali ia
menusuk punggung Saritama dengan tomak itu!
Saritama sama sekali tidak menyangka akan datangnya
bahaya oleh karena kedukaannya membuat ia lupa akan segala.
Dan oleh karena segala perhatiannya dicurahkan kepada
kakaknya, maka agaknya tombak yang ditusukkan ini tentu akan
menembusi tubuhnya! Akan tetapi pada saat itu Sakri yang telah
hampir mati itu tiba-tiba meloncat bangun dan menubruk ke
belakang Saritama hingga tombak itu tidak jadi menancap di
punggung Saritama, akan tetapi tepat memasuki perut Sakri!
Sakri benar-benar digdaya. Biarpun tubuhnya telah hangus
dan tombak itu telah menembus perutnya, namun ia masih kuasa
menyambar maju dan kedua tangannya yang hangus itu mencekik
leher perwira itu sampai kedua mata perwira itu melotot danlidahnya terjulur keluar. Perwira itu binasa dan setelah melepas
tubuh perwira yang telah menjadi mayat. Sakri lalu terhuyung-
huyung dan jatuh ke dalam pelukan Saritama,
"Kangmas...... sungguh mulia hatimu. Di saat terakhir kau
masih sudi menolong jiwaku."
Akan tetapi Sakri tak kuasa berkata banyak. Ia membuat
gerakan agar Saritama mendekatkan telinganya. Pemuda ini
mengerti akan isarat kakaknya, maka ia lalu mendekatkan
telinganya di mulut kakaknya. Dan dalam saat terakhir itu, Sakri
membisikkan semua aji kesaktiannya kepada adiknya yang
terkasih ini. Kemudian, satria utama ini menjadi lemas dan
menghembuskan napas terakhir. Sakri telah gugur bagaikan ratna,
yang takkan lenyap dan pudar kegemilangan namanya selama
dunia berkembang!
Saritama mencabut keluar tombak yang masih menancap di
perut Sakri dan dengan penuh khidmat ia pondong jenazah itu
keluar darimedan pertempuran, diikuti oleh pandangan mata
perajurit-perajurit dari kedua fihak. Setelah pemuda itu pergi,
maka para perajurit itu mulai bertempur pula dengan hebatnya!
Dengan hati duka, Saritama membakar jenazah kakaknya
sambil berdoa. Setelah pembakaran jenazah ini selesai, ia lalu
maju pula kemedan pertempuran, bukan untuk ikut bertempur,
akan tetapi untuk mencari Puteri Pajajaran dan menyampaikan
pesan Sakri kepada Diah Pitaloka.
Setelah Sakri gugur, maka kekuatan fihak Pajajaran makin
lemah. Sungguhpun demikian, para satria Pajajaran yang gagah
berani dan pantang mundur itu melanjutkan pertempuran sampai
orang terakhir! Patih Gajah Mada mengerahkan semua
pahlawannya dan akhirnya semua pahlawan Pajajaran dapat
dibinasakan dalam pertempuran yang maha hebat itu! Darah
mengalir bagaikan anak sungai dan mayat bergelimpanganbertumpang-tindih memenuhi lapangan Bubat.
Diah pitaloka yang mendengar akan kekalahan fihaknya
duduk di dalam kemah dengan pikiran kusut dan hati risau. Tiba-
tiba ia teringat kepada Sakri. Ia tidak percaya bahwa fihaknya
akan menderita kekalahan. Bukankah di fihaknya ada Sakri,
pahlawan yang gagah perkasa itu?
Tiba-tiba sesosok bayangan yang gesit sekali meloncat
masuk ke dalam kemahnya dan tahu-tahu seorang pemuda
tampan yang sederhana berdiri di situ dengan sikap hormat.
"Hai, siapa kau yang kurang ajar dan lancang memasuki
tempat ini?" Diah Pitaloka menegur marah.
"Maafkan hamba, Sang Puteri. Ketahuilah, hamba adalah
adik dari seorang panglimamu yang ternama, yaitu Sakri."
"Kau adik Sakri? Dan..... bagaimana dengan dia.....?"
Wajah yang tampan dan agak pucat itu nampak berduka
ketika menjawab. "Kangmas Sakri telah..... gugur dan
kedatanganku ini hanya hendak menyampaikan pesannya, yakni
bahwa kangmas Sakri meninggalkan salam dan hormat kepada
Sang Puteri dan bahwa kangmas Sakri telah menunaikan
tugasnya membela paduka sampai pada saat terakhir!"
Diah Pitaloka terharu sekali dan ia tidak dapat menahan air
matanya yang mengucur turun. Dengan kedua tangannya, ia
menutupi mukanya dan tubuhnya bergoyang-goyang karena
menahan sedu-sedan yang keluar dadanya.
"Sakri...... Sakri...... kau pahlawan sejati, satria utama......
terima kasih atas pengurbananmu yang besar, Sakri......"
Ketika Diah Pitaloka menurunkan tangan dan memandang,
ternyata pemuda yang mengaku sebagai adik Sakri itu telah
pergi! Pada saat itu terdengar berita yang lebih menyayat jantungDiah Pitaloka. Yang membawa berita adalah ibunya sendiri,
permaisuri raja Pajajaran. Permaisuri masuk ke dalam kamar
puterinya sambil menangis dan dengan suara terputus-putus ia
menceritakan bahwa Sang Ratu Dewata telah gugur di dalam
yuda!
Mendengar ini, kedukaan yang sudah melemahkan jantung
Diah Pitaloka, memuncak hebat dan ia lalu roboh pingsan!
Ibunya hanya dapat menangis dan setelah Sang Puteri siuman
kembali, kedua orang wanita, ibu dan anak ini, bertangis-
tangisan.
"Duhai anakku sayang, belahan nyawa bunda. Alangkah
buruknya nasib yang menimpa kita! Bunda tak menyesali untung
bunda, karena bunda sudah tua, sudah cukup mengecap nikmat
hidup. Akan tetapi kau....... anakku sayang, ibarat bunga sedang
mulai mekar....... bunda tak patut mengurbankan puterinya,
sekarang terserah kepadamu, anakku. Kau masih muda, pantas
menjadi permaisuri yang mulia. Kau menurutlah saja anakku,
taatilah kehendak Sang Prabu di Majapahit yang hendak
memboyongmu, kau akan menjadi permaisuri yang dimuliakan
orang, nak......."
"Duh bunda......." Diah Pitaloka menangis dalam pelukan
ibunya dan untuk beberapa lama tak dapat berkata-kata.
Akhirnya, sambil mengeluarkan sebuah keris yang runcing dan
tajam, Diah Pitaloka berkata,
"Ibunda yang mulia, mohon diampunkan segala dosa dan
kesalahan ananda. Alangkah akan hinanya nama ananda,
alangkah akan rendahnya kehormatan ananda apabila ananda
menyerah kepada musuh! Budi ramanda dan ibunda yang
demikian besar bdilimpahkan kepada ananda, belum cukup
terbalas hanya oleh pengurbanan jiwa ananda, apakah mungkin
ananda menyerahkan diri kepada musuh yang berarti menghinadan menodai nama orang tua? Tidak, ibunda, ananda seribu kali
lebih suka mati daripada menyerah kepada musuh! Ibunda,
relakanlah, hamba hendak lebih dahulu menyusul ayahanda!"
Berseri wajah permaisuri mendengar ucapan puterinya itu.
Saking terharunya, ia tak dapat berkata-kata, dan setelah beberapa
kali menelan ludah, baru ia dapat berkata singkat, "Diah Pitaloka
kau patut menjadi puteri sesembahan di keraton Pajajaran, patut
menjadi sari tauladan para wanita!"
Di depan ibunya, Diah Pitaloka lalu menyuduk-salira
(menusuk diri). Dengan air mata berlinang-linang, permaisuri dan
para emban yang menangis sedih lalu menyelimuti jenazah Sang
Puteri dengan sutera hijau. Kemudian permaisuri lalu mengajak
para emban untuk mencari jenazah Ratu Dewata, suaminya.
Diantara ribuan mayat yangmalang melintang, akhirnya Sang
Permaisuri dapat pula menemukan jenazah suaminya terhantar di
atas tanah dengan sebatang tombak masih menancap di dadanya.
Tomba itu merupakan tanda bahwa suaminya telah gugur dengan
gagah-berani.
Setelah menubruk dan menangisi jenazah suaminya, Sang
Permaisuri lalu mencabut kerisnya dan membunuh diri di dekat
suaminya!Para selir dan emban yang mengiringkan Permaisuri
melihat hal ini lalu meniru tindakan Sang Permaisuri. Mereka
menggunakan senjata masing-masing untuk membunuh diri
hingga bertambah pula tubuh manusia memenuhi lapangan
Bubat! Sebelum senjakala, matahari telah menyembunyikan diri
siang-siang di belakang awan tebal, seakan-akan Sang Batara
Surya sendiri tidak tahan lebih lama menyaksikan akibat
mengerikan dari perbuatan manusia yang bodoh dan dungu,
manusia yang tak segan-segan untuk saling bunuh hanya karena
memperebutkan sesuatu yang kosong!
Ketika Sang Prabu Hayam Wuruk mendengar akan peristiwayang amat menyedihkan itu, bukan main duka dan menyesalnya.
Padahal Sang Prabu Hayam Wuruk yang telah amat rindu dan
ingin sekali bertemu dengan calon permaisurinya, telah menyusul
ke Bubat. Tidak tahunya, ketika tiba di Bubat, Sang Prabu hanya
bertemu dengan layon Sang Puteri.
Perih dan sakit hati Sang Prabu Hayam Wuruk melihat
jenazah yang telah diselimuti sutera hijau seluruhnya itu. Tanpa
dapat dicegah lagi, Sang Prabu lalu melangkah maju dan
menggunakan kedua tangannya untuk menyingkap sutera itu dari
muka jenazah Diah Pitaloka.
Naik sedu sedan dari dalam dada yang menyumbat
kerongkongannya ketika Sang Prabu menatap wajah yang tetap
ayu, tetap gilang-gemilang, dengan dihias senyum manis itu.
Dalam pandangan Sang Prabu, wajah Diah Pitaloka seakan-akan
masih hidup dan senyum itu seperti sengaja ditujukan padanya.
Tak tertahan pula rasa duka dan terharu yang menggelora
dalam kalbunya dan beerjatuhanlah air mata Sang Prabu
membasahi wajah Sang Ayu yang telah tak bernyawa pula itu.
"Aduhai adinda juita! Adinda pujaan kalbu, mustikaningrat
yang cantik jelita, alangkah kejamnya nasib menimpa kita! Telah
menjadi kembang-mimpi kanda saat pertemuan kita yang telah
kurindu-rindukan. Akan tetapi, setelah kita bertemu, kau telah
pergi.......... aduhai adinda, adinda......"
Parapengiring Sang Prabu yang menyaksikan kedukaan
Prabu Hayam Wuruk, merasa terharu sekali dan menumpahkan
air mata dalam belasungkawa. Juga Patih Gajah Mada diam-diam
merasa menyesal telah terjadi perang yang mengakibatkan
tewasnya Sang Puteri yang sedianya akan mendatangkan bahagia
maha besar bagi junjungannya itu. Ia lalu melangkah maju dan
sambil menyembah berkata,"Duh gusti pujaan hamba! Ingatlah bahwa segala peristiwa
yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi,
adalah kehendak Hyang Agung dan kita manusia hanyalah
sekedar menjalankan kodrat belaka."
Maka sadarlah Prabu Hayam Wuruk dari pengaruh duka-
nestapanya yang maha hebat. Dengan kedua tangan gemetar Sang
Prabu menyelimutkan kembali sutera hijau itu di atas muka Diah
Pitaloka, lalu memerintahkan agar jenazah Ratu Dewata seanak-
isteri mendapat penghormatan selayaknya bagaikan keluarga raja
yang terhormat serta jenazah mereka dibakar menurut upacara
yang telah lazim.
Kemudian Sang Prabu memerintahkan kepada para ahlinya
untuk merawat mereka yang terluka dalam perang itu, baik
perajurit-perajurit Majapahit sendiri maupun Pajajaran. Semua
diperlakukan sama dan tak boleh dibeda-bedakan.
Sesungguhnya, sebelum Sang Prabu Hayam Wuruk
meminang Diah Pitaloka, Sang Prabu telah tertarik akan
kecantikan Puteri Susumnadewi, puteri Raja Wengker. Oleh
karena itu, setelah perjodohan dengan Diah Pitaloka gagal, Sang
Prabu teringat kembali kepada Puteri Susumnadewi dan akhirnya
Sang Prabu melamarnya sebagai permaisuri. Tak perlu
diceritakan lagi betapa girang hati Wijayarajasa oleh karena
dengan sendirinya derajat serta kedudukannya meningkat tinggi
sebagai mertua raja.
Di sebelah selatan Pulau Jawa, yakni di sepanjang pesisir
Laut Selatan, terdapat pegunungan yang memanjang dari barat ke
timur yang terkenal disebut Gunung Kidul. Diantara bukit-bukit
kecil yang tak terbilang banyaknya itu, bertapalah seorang
Panembahan yang sakti dan suci, yakni Panembahan Sidik
Panunggal. Sang Panembahan belum tua benar, paling banyak
berusialima puluh tahun, akan tetapi rambutnya yang panjangserta jenggotnya yang melambai sampai ke dada, telah putih
semua. Panembahan Sidik Panunggal tinggal dalam sebuah
pondok kecil terbuat daripada bambu sederhana. Hidupnya hanya
bertani dan bermuja-samadhi, serta mengulurkan tangan
menolong para penduduk desa apabila mereka itu membutuhkan
pertolongan. Juga banyak sekali cantrik-cantrik yang mengejar
ilmu dan bersuwita kepada Sang Panembahan yang sakti.
Pada suatu hari, tak seperti biasanya, Sang Panembahan
Sidik Panunggal semenjak pagi tidak meninggalkan pondoknya.
Biasanya, pagi-pagi sekali pada waktu ayam-ayam jantan
berkokok Sang Panembahan sudah keluar dari pondok dan
berjalan-jalan menghirup hawa udara sejuk di pegunungan,
kemudian Sang Panembahan lalu ikut pula mengerjakan sawah-
ladang dengan para petani lainnya. Berbeda dengan pertapa-
pertapa lainnya yang tidak mau bekerja, Sang Panembahan ini
tiap hari selalu membantu pekerjaan bapak tani dengan gembira,
bahkan memberi petunjuk-petunjuk penting oleh karena beliau
juga ahli dalam soal pertanian dan cara-cara menggarap sawah-
ladang. Biarpun sudah tua dan tubuhnya kelihatan kurus, akan
tetapi ternyata bahwa Sang Panembahan masih kuat mengayun
cangkul.
Melihat betapa Sang Panembahan tidak seperti biasanya, dan
tidak nampak keluar dari sanggar pemujaan para cantrik merasa
bingung dan kuatir, akan tetapi mereka tidak berani mengganggu
dan bertanya kepada Sang Panembahan, hanya duduk di luar
pondok dengan bersila dan tidak berani membuat berisik.
Ketika akhirnya setelah lewat tengah hari Sang Panembahan
keluar dari pondok, wajah orang tua yang biasanya nampak riang
itu, kini kelihatan pucat dan walaupun kedua matanya tidak
menampakkan kedukaan, namun keriangan yang biasa
membayang pada matanya itu telah lenyap.Para cantrik maklumbahwa tentu ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sang
Panembahan Sidik Panunggal. Akan tetap, Sang Panembahan
tidak berkata apa-apa, kecuali menanyakan tentang pekerjaan
para cantrik.
Pada senja hari datanglah Saritama. Wajah pemuda ini
nampak kurus dan pucat, sedangkan tubuhnya lemah-lunglai.
Bahkan di atas kedua pipinya masih nampak bekas-bekas air
mata.Para cantrik yang tadinya merasa gembira dan girang
melihat kedatangan pemuda ini, menjadi heran dan diam-diam
saling berbisik menduga-duga apakah gerangan yang disedihkan
oleh Saritama.
"Angger, Saritama, kau sudah kembali, nak," kata Sang
Panembahan Sidik Panunggal ketika melihat pemuda itu.
Tiba-tiba Saritama mengeluarkan suara isak tertahan dan
sertamerta ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
Panembahan itu dan memeluk kaki sambil menangis tersedu-
sedu.
Sang Panembahan menggunkan tangan kanan mengelus-
ngelus kepala pemuda itu sambil berkata,
"Saritama, tidak ada kedukaan dan kekecewaan yang cukup
besar untuk dapat menggoncangkan iman seorang satria. Sadarlah
kembali dan gunakan sifat jantanmu untuk mengusir perasaan
duka yang tak baik dan melemahkan itu."
"Aduh rama Panembahan, hamba telah berdosa besar
rama....... Hamba..... telah membunuh kakangmas Sakri......"
Pemuda itu menangis lagi.
"Wahai puteraku yang bagus, puteraku yang setia dan taat
kepada pelaksanaan tugas, mengapa kau begini lemah? Kau
bilang bahwa kau telah membunuh kakakmu Sakri? Ya Jagat
Dewa Batara yang berkuasa di jagatraya! Bagaimanakah asalmulanya maka kau dapat berkata demikian?"
Setelah dapat menekan perasaan terharu dan dukanya dan
menetapkan hatinya, Saritama lalu berkata, "Hamba mentaati
perintah Rama Panembahan dan menuju ke Majapahit untuk
menunaikan tugas sebagai seorang satria dan pembela negara.
Kebetulan sekali ketika hamba tiba disana , Majapahit sedang
mengadakan perang melawan barisan dari kerajaan Pajajaran.
Hamba lalu menuju ke tempat peperangan dan disana hamba
mendengar tentang mengamuknya seorang panglima Pajajaran
yang gagah perkasa dan bernama Sakri. Tadinya hamba merasa
ragu-ragu dan tidak percaya bahwa panglima yang bernama Sakri
itu adalah kakangmas Sakri sendiri. Maka hamba lalu
mengajukan diri membela perajurit-perajurit Majapahit. Ketika
hamba bertemu dengan panglima itu, benar saja, panglima
Pajajaran itu adalah kangmas Sakri sendiri! Aduh, Rama
Panembahan, sebelum hamba melanjutkan cerita hamba, mohon
penyesalan, Rama, dalam keadaan seperti itu, apakah yang hamba
harus perbuat? Hamba ingin mendengar pendapat Rama, apakah
perbuatan hamba itu sesuai dengan pendapat Rama atau tidak,
agar hati hamba menjadi tenang dan puas."
Sang Panembahan Sidik Panunggal mengangguk-angguk
perlahan sedangkan para cantrik saling pandang dengan heran
mendengar cerita ini. Kemudian terdengar suara Panembahan itu
yang halus, sabar, dan penuh ketenangan,
"Saritama, ketika kau maju kemedan perang, kau adalah
seorang perajurit Majapahit, maka siapa juga orangnya yang
berdiri di fihak musuh negara, harus disingkirkan."
"Aduh, Rama Panembahan! Lega rasa hati hamba mendengar
pendapat Rama ini! Ternyata biarpun perbuatan hamba telah
membuat hati sanubari hamba terasa perih dan hancur, namun
agaknya tidak menyeleweng daripada pelajaran Rama! Ketikahamba berhadapan dengan kakangmas Sakri, hamba dan kangmas
Sakri berselisih pendapat dan mempertahankan tugas masing-
masing hingga akhirnya kami berdua beryuda. Tadinya hamba
kalah dan terkena pukulan Kelabang Kencana yang ampuh dan
luar biasa. Akan tetapi, kakangmas Sakri menaruh kasihan
kepada hamba dan hamba disembuhkannya kembali! Kemudian
karena dorongan tugas kami masing-masing sebagai seorang
perajurit dan satria utama, kami beretempur pula. Bukan main
hebatnya sepak-terjang kakangmas Sakri yang benar-benar sakti
mandaraguna! Dia terlampau gagah perkasa, terlampau sakti,
hingga terpaksa hamba mengeluarkan Aji Bromojati. Dan dia.....
kangmas Sakri yang tercinta..... dia kena hamba pukul Aduhai,
Rama Panembahan, kalau tidak takut akan dosa dan murka
dewata, mau rasanya hamba memenggal tangan hamba yang telah
memukul kepala kakangmas Sakri. Rama ...... rama..... hukumlah
hamba, karena hamba telah berdosa besar dan patut mendapat
hukuman berat!"
"Tenanglah, Saritama. Lalu bagaimana lanjutan ceritamu?
Apakah Sakri terus tewas karena pukulanmu Bromojati?"
"Tidak, rama. Dia terlalu sakti dan kebal untuk dapat sekali
tewas dengan sekali pukul. Hamba sudah tidak kuat meihat
keadaannya setelah dia terpukul oleh hamba. Hamba tubruk
tubuhnya dan hamba tak kuat lagi menahan keluarnya air mata.
Hamba tangisi dia, dan pada saat itu, seorang perwira Majapahit
tanpa sebab lalu menyerang hamba dari belakang dengan
tombaknya. Hamba tidak melihat serangan ini, akan tetapi tiba-
tiba kakangmas Sakri melompat berdiri dan menubruk perwira itu
hingga tombak yang sedianya menancap di punggung hamba, lalu
menancap di dada kakangmas Sakri! Kakangmas Sakri
membinasakan perwira yang curang itu dan tak lama kemudian
dia menghembuskan napas terakhir dalam pelukan hamba! Ah,
Rama Panembahan, perbuatan kakangmas Sakri yang biarpuntelah hampir tewas karena pukulan hamba itu, akhirnya masih
menolong hamba dari ancaman maut, sungguh memberatkan rasa
duka di dalam hati hamba! Dia yang telah hamba pukul hingga
hampir tewas, bahkan menolong dan menyelamatkan nyawa
hamba!"
"Saritama, kaukira kau ini siapa maka mudah saja
mengatakan dapat membunuh? Lupakah kau akan ilmu
penerangan yang telah diturunkan oleh Sri Kresna? Bukankah Sri
Kresna dulu pernah bersabda kepada Sang Arjuna bahwa
"Kalau ada orang berkata
bahwa Atman dapat terbunuh
atau berkata bahwa dia telah membunuh
maka orang yang berkata demikian itu
tidak mengetahui akan kebenaran!
Bagaimanakah Dia dapat membunuh
dan siapakah itu yang dapat membunuh Dia?"
Ucapan di atas yang dipetik oleh Panembahan Sidik
Panunggal ini adalah ucapan Sri Kresna yang ditujukan kepada
Sang Arjuna dalam wejangan-wejangannya, yang terkenal
sebagai kitab Rhagawad Gita. Memang semenjak kecil Saritama
telah menerima bermacam pelajaran dari Panembahan Sidik
Panunggal, maka tentu saja ia masih ingat akan ilmu pelajaran
batin di atas. Ia lalu menyembah di hadapan Sang Prabu
Panembahan dan berkata,
"Terima kasih, Rama. Sungguh besar sekali pengaruh
wejangan Rama, karena kini hamba merasa tidak sangattertekan."
"Kau hanya menjalankan tugasmu sebagai seorang ksatria
dan perajurit utama, demikianpun Sakri. Biarpun dia telah tewas
di dalam peperangan, namun ia gugur sebagai seorang ksatria
utama. Tewas di dalam menunaikan tugas dimedan perang, bagi
seorang perajurit dan ksatria utama, adalah cara mengakhiri hidup
yang paling nikmat dan sempurna!"
"Akan tetapi, Rama Panembahan yang menjadi pujaan
hamba di jagat raya! Betapa hati hamba takkan berduka oleh
karena di dalam dunia ini, hamba hanya mempunyai rama dan
kakangmas Sakri. Kini kakangmas Sakri telah pergi, ah, betapa
hamba takkan merasa sunyi dan sengsara."
Sang Panembahan tersenyum. "Saritama, Saritama!
Ucapanmu ini seperti seorang anak-anak saja. Mengapa kau
hanya mempunyai aku dan kangmasmu? Tengoklah di
sekelilingmu.Para cantrik ini, para kawan pamong desa, para
petani, semua itu juga bukankah manusia-manusia yang tiada
bedanya dengan aku atau kangmasmu? Kalau kau dapat
menganggap aku sebagai ramamu dan Sakri sebagai kangmasmu,
mengapa kau takkan dapat menganggap mereka semua itu
sebagai ramamu dan juga sebagai kangmasmu? Dan sekarang,
Saritama, bersiaplah untuk menerima kenyataan yang sebetulnya
bukan apa-apa, akan tetapi kalau imanmu lemah, kau dapat
menganggap bahwa hal ini merupakan hal yang pahit bagimu.
Kenyataan yang tadinya menjadi rahasia dan yang kini hendak
kubuka ini, juga akan membongkar pula kenyataan bahwa nafsu
perseorangan atau nafsu kekeluargaan yang menebal di dalam
hati manusia itu sebenarnya tidak selayaknya dan hanya timbul
karena diadakan oleh manusia sendiri, bukan timbul dari kodrat.
Kasih sayang harus dicurahkan kepada seluruh manusia, tak
perduli orang itu keluarga maupun tidak, berdasar raperikemanusiaan dan sesama hidup, bahkan seyogianya tidak
hanya terhadap sesama manusia, akan tetapi juga terhadap
sesama mahluk di dunia. Saritama, sekarang dengarlah, aku
hendak menceritakan sebuah riwayat yang hendak kupersingkat
saja."
Sang Panembahan Sidik Panunggal lalu bercerita sebagai
berikut. Kurang lebih empat belas tahun yang lalu, terdapat
seorang adipati yang mengepalai Kadipaten Tritis. Adipati ini
mempunyai seorang musuh, yakni seorang tumenggung. Oleh
karena keduanya adalah hamba kerajaan Majapahit dan keduanya
memiliki kesaktian dan telah berjasa besar terhadap kerajaan
hingga pengaruh mereka cukup besar, maka rasa permusuhan ini
tidak dinyatakan berterang, hanya terpendam dalam dasar hati
masing-masing. Walaupun pada lahirnya adipati dan tumenggung
itu tidak memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi di dalam
hati mereka menaruh dendam besar. Permusuhan ini timbul oleh
karena seorang Puteri keturunan Prabu Jayanegara yang lahir dari
selir. Puteri ini sebenarnya telah mempunyai hubungan kasih-
sayang dengan adipati itu, akan tetapi oleh karena pada waktu itu
sang adipati masih belum menduduki pangkat dan keadaannya
miskin, maka akhirnya sang puteri tak dapat menjadi jodohnya
dan menjadi isteri sang tumenggung yang kaya raya dan
berpengaruh. Hal inilah yang menjadikan ganjalan di dalam hati
kedua orang itu dan menimbulkan sakit hati yang tak kunjung
padam. Akan tetapi, sang adipati itu dapat mengobati luka di
hatinya dan biarpun ia masih membenci sang tumenggung,
namun dia tidak melakukan sesuatu, bahkan lalu kawin dengan
puteri lain dan hidup cukup berbahagia oleh karena ia mendapat
anugerah raja dan dijadikan adipati di Tritis.
Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan sang tumenggung
itu. Biarpun puteri juita yang diperebutkan itu akhirnya terjatuh
ke dalam tangannya dan menjadi isterinya, namun rasa cemburumasih melekat di dalam hatinya dan bencinya terhadap adiapti itu
makin lama makin menghebat. Hingga pada suatu hari, dengan
cara curang sang tumenggung itu berhasil menfitnah sang adipati
yang dituduh hendak memberontak terhadap kerajaan Majapahit.
Pada masa itu, yang memerintah di Majapahit adalah Sang Ratu
Tribuwana Tungga Dewi dan sebagai seorang wanita, Ratu ini
dapat dihasut hingga Sang Ratu menggerakkan panglima-
panglimanya untuk memukul hancur adipati itu hingga terbinasa
seluruh keluarganya, kecuali dua orang puteranya yang dapat
diselamatkannya.
"Demikianlah riwayat itu, Saritama," kata Sang Panembahan
Sidik Panunggal kepada Saritama yang mendengarkan dengan
penuh perhatian dan tertarik sekali. "Dan sekarang ketahuilah,
wahai anakku, bahwa tumenggung itu adalah Tumenggung
Wiradigda yang sekarang masih menjadi Tumenggung di
Majapahit dan berkedudukan di wilayah Tangen, sedangkan
adipati itu adalah Adipati Cakrabuwana atau..... adikku sendiri!
Sedangkan kedua putera adipati yang diselamatkan itu tidak lain
adalah........ Sakri dan kau sendiri! Jadi, aku bukanlah ramamu
sebagaimana yang selama ini kau ketahui, akan tetapi adalah
bapak tuamu atau pamanmu!"
Kalau bumi yang terpijak kaki Saritama pada saat itu ambles,
belum tentu pemuda itu akan sedemikian kagetnya mendengar
penuturan ini. Sepasang matanya tajam menatap Sang
Panembahan, wajahnya memucat dan bibirnya gemetar. Tiba-tiba
ia maju menyembah dan berkata dengan suara keras,
"Paman Panembahan, mohon doa restumu!" Ia lalu
melompat bangun dan sambil mengacungkan tinjunya ke atas, ia
berseru dengan bengis. "Tumenggung Wiradigda, tunggulah
pembalasanku!"
Kemudian, tanpa menoleh lagi, pemuda itu lalu melompat kedepan dan lari keluar dari tempat itu secepat kidang melompat!
Sang Panembahan memandang ke arah perginya Saritama
sambil menggeleng-geleng kepala, "Ah, hati muda....... semoga
Hyang Agung akan menjauhkannya daripada kesesatan."
Kemudian, tanpa mengeluarkan kata-kata lain kepada sekalian
cantrik yang masih duduk bersila di situ, Sang Panembahan lalu
memasuki pondoknya kembali dan duduk bersila bermuja
samadhi dengan tekunnya.
Paracantrik hanya dapat saling pandang dan menggeleng-
gelengkan kepala sambil menghela napas.
Dengan hati dan pikiran tak karuan rasa, duka, kecewa,
marah menjadi satu, Saritama meninggalkan pondok Panembahan
Sidik Panunggal. Hatinya dipenuhi rasa dendam dan sakit-hati,
dan pada saat itu ingin sekali ia segera bertemu dengan musuh
besarnya yang telah menghancurkan penghidupan ayah-ibu dan
keluarganya. Ingin ia segera mendapat kesempatan menjatuhkan
tangan kepada Tumenggung Wiradigda.
Hm, Wiradigda keparat! Kau mengandalkan pengaruh dan
kedudukanmu, dengan kejam dan buas menfitnah orang tuaku.
Setelah kau merampas kekasih ayah, kau masih sampai hati untuk
menghancurkan penghidupan ayah! Alangkah kejam, apa kaukira
hanya aku saja laki-laki jantan di atas dunia ini. Tunggulah,
awaslah kau, tumenggung keparat!" Tiada hentinya bibir
Saritama bergerak-gerak membisikkan ancaman-ancaman ini di
sepanjang jalan. Ia berlari bagaikan gila menuju ke Tangen,
sebuah pedusunan yang berada di sebelah selatan Majapahit.
Bukan dekat perjalanan yang ditempuhnya, akan tetapi berkat
kesaktian dan kepandaiannya yang hebat, yakin dengan ilmu
lariKidang Kencana,ia mengharapkan akan dapat sampai di
tempat itu dalam tiga hari.
Pada malam hari ketiga, ia telah tiba di luar daerah Tangen.Oleh karena malam itu gelap sekali, terpaksa ia harus bermalam
di sebuah dusun kecil dan tak dapat melanjutkan perjalanannya.
Dusun di mana ia berhenti itu kecil, akan tetapi cukup ramai.
Ketika melihat sebuah pondok di dalam dusun itu, pondok yang
dilengkapi dengan sebuah tempat pemujaan di sampingnya
seperti yang biasa dipunyai oleh seorang pertapa atau seorang
Panembahan, ia menjadi tertarik. Ketika ia bertanya kepada
seorang petani yang kebetulan bertemu denganya di tengah jalan
dekat pondok itu, ia bertanya.
"Paman, maafkan kalau aku menganggumu. Pondok siapakah
yang nampak di depan ini. Agaknya pondok seorang pertapa."
Petani itu memandangnya sejenak, karena ia dapat menduga
bahwa pemuda ini tentulah seorang pendatang dari jauh hingga
tak mengenal pondok pertapa terkenal itu.
"Raden," katanya penuh hormat karena biarpun pakaian
Saritama sederhana dan bagaikan seorang petani, namun sikap
halus dan wajah tampan pemuda itu menimbulkan dugaan
kepadanya bahwa pemuda ini tentu bukanlah seorang petani
biasa. "Pondok ini adalah tempat kediaman seorang dukun yang
sakti dan ditakuti orang, namanya Bagawan Kalamaya yang
kemashurannya telah terkenal sampai kekota raja."
"Ah, kebetulan sekali, paman. Kalau seorang bagawan, tentu
sudi menerima aku untuk bermalam di sini."
"Raden, kalau kau hendak bermalam di dusun kami, dan
kalau kiranya gubukku yang bobrok tidak menjadikan celaan, aku
persilakan kau mampir dan bermalam saja di rumahku. Janganlah
kau mencoba untuk minta bermalam di sini."
Saritama merasa heran. "Eh, mengapa begitu, paman? Aku
berterima kasih sekali kepadamu, paman. Kau memang baik hati
dan ramah tamah, akan tetapi, hatiku menjadi ingin tahumendengar kata-katamu tadi. Mengapa Bagawan Kalamaya
takkan mau menerimaku? Bukankah seorang pendeta itu biasanya
murah hati dan berbudi?"
Petani itu menghela napas dan matanya memandang ke arah
pondok itu dengan hati-hati dan takut-takut, kemudian ia berbisik.
"Raden, ketahuilah, Bagawan Kalamaya adalah dukun tenung
yang ditakuti orang dan iapun galak sekali. Yang paling hebat
ialah bahwa di rumahnya terdapat banyak iblis yang
dipeliharanya!"
Saritama tersenyum. Ia tidak merasa heran mendengar
ucapan petani ini, oleh karena memang para petani yang bodoh
seringkali mudah dipengaruhi dan ditakut-takuti tentang iblis-
iblis dan segala setan oleh orang-orang yang mereka anggap
dukun tenung.
"Biarlah, paman. Betapapun juga aku ingin sekali berkelanan
dengan dukun yang sakti itu."
Petani itu memandang kepada saritama dengan penuh
kekuatiran dan juga kagum, akan tetapi ia telah demikian
ketakutan berada terlalu lama di dekat pondok Bagawan
Kalamaya, maka ia segera meninggalkan Saritama cepat-cepat
sambil menoleh beberapa kali.
Saritama lalu memasuki pekarangan pondok yang gelap itu.
Langsung ia menuju ke pintunya dan mengetok sambil
mengucapkan salam. Setelah beberapa kali ia mengetuk pintu,
barulah terdengar jawaban dari dalam.
"Anak muda yang cakap dan gagah, pintu pondokku tidak
terpalang, dorong saja dan masuklah!"
Dengan sikap hormat Saritama lalu mendorong daun pintu
itu. Daun pintu mengeluarkan bunyi bergerit menyeramkan dan
Saritama melihat seorang kakek bongkok bersila menghadapisebuah meja rendah dan di atas meja itu terdapat sebuah dian
minyak kecil. Cahaya dian itu remang-remang dan membuat
bayang-bayang suram pada dinding bilik. Tercium bau kemenyan
dan kembang layu ketika Saritama memasuki ruang kecil ini.
Dengan sikap menghormat, pemuda itu lalu duduk bersila
pula menghadapi tuan rumah yang tua itu, lalu berkata,
"Mohon maaf sebesarnya dari Bapak Bagawan apabila saya
mengganggu ketentraman Bapak."
"Ha, ha, ha!" Kakek itu tertawa dan sepasang matanya
berputaran. "Anak muda yang tabah dan cakap lagi sopan seperti
engkau memang tak usah takut takkan mendapat tempat
bermalam! Bukankah kedatanganmu ini hendak bermalam di
tempatku yang buruk ini, anak muda?"
"Memang benar demikianlah maksud kedatangan saya, yakni
kalau bapak tidak menaruh keberatan dan rela menerimanya."
"Tentu, tentu! Kau boleh bermalam di sini. Akan tetapi,
siapakah kau, anak muda yang tampan dan sopan, kau datang dari
mana dan hendak ke mana?"
Ketika tadi untuk pertama kalinya melngkahkan kakinya ke
dalam ruang ini, Saritama yang bermata tajam sudah dapat
melihat bahwa kakek ini memang seorang sakti yang memiliki
ilmu hitam atau ilmu sihir yang tidak pantang mendatangkan
celaka kepada orang lain, maka ia telah merasa kecewa masuk ke
situ. Akan tetapi, oleh karena ia telah berada di dalam, pula
sebagai seorang tamu, terpaksa ia harus berlaku sopan santun
sesuai dengan kepribadiannya. Kini ia hendak mencoba sifat
dukun itu dan menjawab pertanyaan dengan suara tenang,
"Bapak Bagawan, saya telah mendengar akan kesaktian dan
kewaspadaanmu, mengapakah bapak masih hendak bertanya
lagi? Bukankah bapak sudah tahu akan segala rahasia alam,termasuk namaku dan segala hal yang mengenai diriku yang
bodoh?"
Bagawan Kalamaya tertawa sehingga tubuhnya bergoyang-
goyang. "Ha, ha, ha, anak muda. Kau benar-benar pintar dan
menyenangkan hati! Sudah tentu aku tahu akan segala apa di
mayapada ini, dan tidak ada rahasia bagi Bagawan Kalamaya.
Akan tetapi, sebagai seorang manusia, aku tak boleh
meninggalkan kebiasaan manusia terhadap manusia lain, yakni
apabila bertemu harus saling bertanya."
Mendengar jawaban ini. Saritama dapat meraba bahwa
pendeta ini memiliki kesombongan besar dan hendak berpura-
pura suci dan mengerti akan hukum alam. Maka ia tersenyum
ketika menjawab,
"Baiklah, bapak bagawan. Saya bernama Saritama dari
Gunung Kidul, dan saya hendak pergi ke Tangen."
"Ah, ah..... bukankah kau hendak mencari Tumenggung
Wradigda?" tanya kakek pendeta itu.
Saritama agak tercengang karena tak disangkanya bahwa
pendeta ini dapat pula membaca maksud hatinya! Ia tak tahu
bahwa Bagawan Kalamaya hanya menggunakan kecerdikan dan
bahwa dugaannya itu hanya kebetulan tepat. Orang terpenting di
Tangen hanya Tumenggung Wiradigda seorang, maka kalau ada
seorang pemuda gagah datang dari tempat jauh menuju ke
Tangen, siapa lagi yang hendak ditemuinya disana selain
Tumenggung Wiradigda? Oleh karena inilah maka dukun hitam
itu dapat menduga dengan tepat.
"Benar, bapak bagawan yang waspada, memang rasa hendak
pergi mencari Tumenggung Wiradigda." Ketika mengucapkan
nama ini, suara Saritama menjadi tajam dan mengandung
kebencian. Hal ini tak terlepas daripada pendengaran dukunhitam yang cerdik itu.
"Hm, hm, kulihat kau mempunyai permusuhan dengan sang
tumenggung! Kalau kau tidak merasa keberatan, Saritama,
cobalah kauceritakan urusanmu dengan tumenggung itu
kepadaku. Mungkin sekali aku dapat menolongmu!"
Kembali Saritama kagum mendengar dugaan yang tepat ini.
Ia tidak memiliki rahasia hati dan apa yang hendak ia lakukan
terhadap Tumenggung Wiradigda, yakni pembalasan dendam, tak
hendak ia rahasiakan kepada siapapun juga. Maka, apa salahnya
menceritakan kepada dukun ini?
"Memang tepat dugaan bapak bagawan. Saya hendak
mencari Tumenggung Wiradigda untuk membuat perhitungan
lama yang hingga kini belum diselesaikan! Tumenggung keparat
itu telah membinasakan seluruh keluarga ayahku dan sekarang
tiba masanya bagi saya untuk membalas kejahatannya itu!"
Bagawan Kalamaya memandang tajam. "Siapakah orang
tuamu, Saritama yang gagah berani?"
"Mendiang ramandaku adalah Adipati Cakrabuwana di
Tritis."
Kedua mata pendeta itu melebar lebar. "Eh, eh...... jadi kau
adalah putera adipati yang telah lama dicari-cari oleh
Tumenggung Wiradigda dan tak pernah ditemukan itu? Dan
saudaramu yang seorang lagi, di manakah dia?"
"Hm, agaknya bapak juga tahu benar akan riwayat itu,
bukan?"
Dukun hitam itu mengangguk-angguk."Siapa yang tak kenal
Adipati Cakrabuwana, pemberontak itu?"
"Jangan bapak berkata demikian!" bentak Saritama marah.
"Tumenggung Wiradigda memfitnahnya!""Ya, ya...... memang kedua orang itu bermusuhan dan saling
membenci! Mereka saling membenci hanya karena seorang
wanita. Ah, wanita, kau mahluk lemah akan tetapi pengaruhmu
lebih kuasa dan kuat daripada sekalian pria yang terkuat!
Tahukah kau Saritama? Wanita macam apa yang dulu dicinta
ayahmu dan yang telah direbut oleh Tumenggung Wiradigda?
Ha, ha! Sayang seribu sayang, seorang gagah seperti
Cakrabuwana hanya menjadi kurban karena seorang wanita
macam itu! Memang dulu wanita itu mencinta ayahmu, akan
tetapi setelah ia menjadi isteri Tumenggung, bahkan dia sendiri
yang membujuk-bujuk suaminya untuk menfitnah Cakrabuwana!
Ah, wanita...... memang kau mahluk termulia, tapi juga mahluk
paling jahat di dunia ini! Puteri itu sekarang telah mempunyai
seorang anak perempuan yang telah dewasa dan dalam hal
kecantikan, ia tak kalah oleh ibunya! Ha, ha, ha!"
Makin panas hati Saritama mendengar penuturan yang
memanaskan hati ini, maka dengan menggertak gigi pemuda itu
berkata,
"Biarlah, paling lama sampai besok pagi, Wiradigda seanak-
isterinya tentu akan binasa di dalam tanganku!"
Tiba-tiba Bagawan Kalamaya tertawa gelak-gelak hingga
terpingkal-pingkal memegangi perut.
"Bapak Bagawan, apakah yang kau tertawakan?"
Saritama kau anak kecil yang masih hijau, bagaikan seekor
burung baru belajar terbang! Apakah yang kauandalkan maka kau
berani mengucapkan kata-kata ancaman itu? Seekor semutpun
kalau dapat mengerti omonganmu akan tertawa geli, jangankah
seorang manusia! Kau tahu apa? Wiradigda bukanlah sembarang
orang yang mudah dibinasakan begitu saja. Bahkan aku dengan
segala ilmu sihirku tak dapat membinasakannya, apalagi kau.
Tumenggung Wiradigda adalah seorang yang sakti mandragunadan banyak perwira sakti menjadi pembantunya. Barisan yang
berada di dalam kekuasaannya saja sebanyak ribuan orang!"
Namun Saritama tidak gentar mendengar ini. "Aku tidak
takut, Bagawan Kalamaya!" katanya dengan suara tetap keras.
"Biar andaikata Wiradigda mempunyai tiga kepala dan enam
tangan, kesemuanya akan kuhancurkan dengan kedua kepalan
tanganku!"
Sekali lagi dukun itu tertawa geli hingga dari kedua matanya
keluar air mata.
"Saritama, jangan kau sombong! Selain para perwira dan
para perajurit Tangen yang sedemikian banyaknya itu, masih
banyak pula pembantu-pembantunya, yakni pertapa-pertapa sakti
mandraguna yang memiliki banyak ilmu dan aji kesaktian.
Diantara mereka ini, akupun menjadi penasehat dan
pembantunya!"
Saritama bangkit berdiri dan bersiap-sedia!
"Ha, ha, anak muda, kau mempunyai kepandaian apa?"
Sambil berkata demikian, dukun hitam itu lalu mengangkat
tangan kirinya ke atas dan tiba-tiba dari arah jendela biliknya itu
menyambar angin dingin! Api dian berkelap-kelip dan hampir
padam. Kini Bagawan Kalamaya juga berdiri dan tubuhnya yang
bongkok menambahkan keseraman ruang gelap itu. Tangan
kanan dukun itu memegang sebatang tongkat dan sambil
melempar tongkat itu ke arah Saritama, terdengar suaranya yang
parau membentak, "Lihat nagaku menelanmu bulat-bulat!"
Aneh sekali, dalam cahaya yang remang-remang itu, tongkat
yang dilempar tadi tiba-tiba mengeluarkan asap dan berubah
menjadi seekor naga atau ular besar bertanduk dua yang hanya
dapat terlihat dalam alam mimpi seorang penakut!
"Bagawan Kalamaya, apakah harganya permainan macam inidiperlihatkan?" kata Saritama tiada gentar sedikitpun. Ketika ular
naga itu menyambar ke arah lehernya, ia angkat tangan kirinya
dan dengan telapak tangan dimiringkan ia memukul ke arah
tubuh ular naga itu sambil berseru keras,
"Asal tongkat kembali menjadi tongkat!"
Terdengar suara keras dan tubuh ular naga itu kena pukul
tangan Saritama lalu terlempar ke dinding dan berubah menjadi
dua batang kayu, karena tongkat itu telah patah di tengah-tengah
dan kini berserakan di atas lantai!
Angin yang bertiup dari arah jendela berhenti dan api dian
bernyala baik kembali hingga keadaan menjadi terang. Bagawan
Kalamaya tertawa terkekeh-kekeh, lalu ia duduk bersila kembali.
"Kau sakti, Saritama, cukup sakti! Tak kunyana putera
Cakrabuwana memiliki kesaktian melebihi ayahnya. Bagus,
bagus, anak muda, tadi aku hanya mengujimu saja! Kau hendak
menumpas keluarga Wiradigda di Tangen? Bagus, memang
mereka itu harus dibinasakan!"
Saritama tertegun melihat perubahan ini. Iapun lalu duduk
kembali. "Bagawan Kalamaya, agaknya kaupun membenci
tumenggung keparat itu?" tanyanya.
"Heh, heh, hem!" suara ketawa dukun itu makin
menjemukan. "Siapa yang tidak kubenci? Ketahuilah, Saritama,
sudah lama akupun hendak menyerbu ke Tangen, akan tetapi aku
tidak cukup kuat menghadapi mereka, terutama menghadapi
Dewi Saraswati!"
"Sang Bagawan, siapakah Dewi Saraswati itu?" tanya
Saritama.
"Ha, ha, ha, siapa lagi? Dewi Saraswati adalah permaisuri
Sang Hyang Brahma, Dewa tertinggi!"Saritama memandang heran. Iapun maklum bahwa para
pemeluk agama Brahma menganggap Dewa yang tertinggi
kekuasaannya adalah Sang Hyang Brahma dan permaisuri atau
yang disebut shakti dari dewa ini adalah Dewi Saraswati.
"Akan tetapi, apakah maksudmu mengatakan kau takut
menghadapi Dewi Saraswati di Tangen?"
"Saritama, ketahuilah bahwa kekasih ayahmu yang telah
mengecewakan hatinya dan menjadi isteri Tumenggung
Wiradigda, mempunyai seorang puteri. Puteri inilah yang
bernama Dewi Saraswati, dan dia ini benar-benar penjelmaan
Dewi Saraswati permaisuri Brahma dan kini puteri ini sedang
menanti kedatangan jodohnya yang harus titisan (penjelmaan)
Sang Hyang Brahma sendiri! Ha, ha, ha!"
Saritama makin heran dan ia mulai menduga bahwa dukun
tua ini tentu agak miring otaknya.
"Dan siapakah titisan Sang Hyang Brahma sekarang?"
tanyanya karena ingin mendengar sampai di mana kegilaan dukun
hitam itu.
"Heh, heh, heh! Titisan Brahma telah berada di hadapanmu,
masih juga kau belum tahu? Akulah penjelmaan Sang Hyang
Brahma!"
Ah, dia benar-benar gila! Demikian pikir Saritama, maka ia
lalu bersila dan diam saja, tidak mau melayani dukun itu lebih
lanjut lagi. Juga Bagawan Kalamaya agaknya telah lelah, karena
ia lalu merebahkan tubuhnya dan tak lama kemudian terdengar
dengkurnya!
Saritama sudah terbiasa beristirahat sambil duduk bersila.
Maka ia lalu bersamadhi dan beristirahat sambil bersila dengan
tenang.Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi benar Bagawan
Kalamaya terdengar menguap dan bangun dari tidurnya, Saritama
juga mengakhiri samadhinya. Setelah dukun tua itu duduk,
pemuda itu lalu berkata.
"Sang Bagawan, saya mengucap diperbanyak terima kasih
atas kebaikan dan keramahanmu yang telah menerima saya
bermalam di sini. Moga-moga lain waktu saya akan mendapat
kesempatan membalas kebaikanmu. Sekarang, perkenankanlah
saya melanjutkan perjalanan saya."
"Eh, eh, nanti dulu, Saritama. Aku akan menyertaimu ke
Tangen karena menurut pendapatku, sekarang telah tiba saatnya
aku bergerak bersama kau yang muda dan gagah. Aku lebih
mengenal keadaan di Tangen, maka akan lebih mudahlah kau
bertindak apabila kau bersama dengan aku."
"Tapi bukankah kau ini menjadi hamba dari Tumenggung
Wiradigda?"
"Heh, heh, heh!Ada kalanya aku menjadi hamba, ada kalanya
aku menjadi pujaan! Kali ini aku menjadi musuh Tumenggug
Wiradigda!"
Saritama merasa tak enak untuk menolak, dan pula dia tidak
mau dianggap takut atau kuatir jika pergi bersama dengan dukun
hitam ini. Maka ia lalu menyatakan persetujuannya. Lama sekali
Saritama harus menanti bagawan itu berkemas, mengenakan
pakaian indah-indah dan akhirnya setelah mereka berangkat,
diam-diam Saritama merasa mendongkol sekali oleh karena
bagawan itu berjalan perlahan sekali! Dengan bantuan
tongkatnya, Bagawan Kalamaya berjalan membungkuk-bungkuk.
"Sang Bagawan, kalau kita berjalan seperti ini, kapankah
akan sampai di Tangen? Marilah kita pergunakan ilmu!"
Bagawan Kalamaya menggeleng-geleng kepala sambiltersenyum.
"Orang yang memperlihatkan kepandaian di tempat umum
adalah seorang bodoh dan sombong. Nanti saja kalau kita sudah
tiba di hutan itu, baru kita menggunakan ilmu kesaktian akan
tetapi aku kuatir kalau-kalau kau ketinggalan jauh!"
Saritama tersenyum dan di dalam hati ia merasa geli dan juga
mendongkol. Dukun lepus ini melarang orang memperlihatkan
kepandaian dengan alasan tak baik berlaku sombong akan tetapi
ucapannya yang terakhir itu jelas sekali menyatakan betapa
sombongnya kakek ini! Akan tetapi, Saritama diam saja dan tidak
mendesak lebih jauh. Hendak ia lihat, sampai di mana kehebatan
ilmu lari cepat dukun ini maka berani mengatakan bahwa dia
akan tertinggal jauh!
Setelah mereka tiba di dalam hutan, Saritama tak sabar lagi
dan berkata, "Marilah kita percepat langkah kita, Sang Bagawan."
Bagawan Kalamaya tersenyum. "Baiklah, baiklah!"
Kemudian Bagawan Kalamaya mempergunakan aji
kesaktiannya dan benar saja, langkahnya lebar dan gerakannya
cepat hingga tak lama kemudian tubuh yang bongkok itu telah
berlari cepat sekali. Saritama memandang dan tahulah ia bahwa
dukun itu mempunyai kepandaian yang disebut Aji Pancal
Panggung, semacam ilmu lari cepat yang hebat juga. Akan tetapi,
ketika Saritama mengeluarkan ajinya Kidang Kencana, tak lama
kemudian ia dapat menyusul bagawan itu yang menengok dengan
heran dan kagum melihat kepandaian Saritama.
Saritama cukup bijaksana dan ia tidak mau melampaui orang
tua itu. Ia sengaja memperlambat gerakan kakinya hingga mereka
dapat berlari dengan sama cepatnya.
Ketika hutan telah mereka lalui, Bagawan Kalamaya dengan
napas tersengal-sengal minta berhenti. Sebelum bicara ia menariknapas panjang yang senin kemis itu!
"Aduh, tenagaku masih cukup, akan tetapi napasku....."
setelah menarik napas panjang berulang-ulang, ia berkata lagi.
"Saritama, kau benar sakti. Kau dapat mengimbangi kecepatanku.
Kalau aku masih muda seperti engkau, tentu kau akan tertinggal
jauh! Sekarang kita telah melampaui hutan, maka biarlah kita
berjalan biasa kembali."
Saritama hanya tersenyum dan diam-diam ia merasa geli oleh
karena dukun lepus ini masih saja menyombongkan diri. Maka
mereka lalu berjalan lagi dengan cara biasa.
Oleh karena perjalanan ini dilakukan dengan perlahan dan
hanya sekali dua kali Bagawan Kalamaya mau mempergunakan
aji kesaktian yang sangat melelahkan itu, maka setelah hari
menjadi gelap barulah mereka berdua tiba di Tangen.
Sebelum menuju ke gedung Tumenggung Wiradigda yang
besar dan megah bagaikan istana Raja Majapahit sendiri,
Bagawan Kalamaya memberi nasehat,
Saritama, penjagaan di bagian depan gedung tumenggung
amat kuat. Masuklah engkau diam-diam dari bagian kiri gedung
oleh karena di bagian kiri itu tak terjaga kuat dan di bagian kiri
terdapat taman tumenggung yang bersambung dengan taman
belakang. Di situ banyak terdapat tetumbuhan di mana kau dapat
bersembunyi apabila ada penjaga-penjaga keluar dan meronda.
Kemudian kau dapat menyusup masuk ke dalam gedung mencari
Tumenggung Wiradigda."
"Baiklah, Sang Bagawan," kata Saritama.
Malam hari itu udara bersih dan ribuan bintang menyinarkan
cahaya gemilang dari angkasa raya. Oleh karena hawa malam itu
sejuk dan bersih, biarpun tidak terangbulan, namun anak-anak di
Tangen banyak yang bermain-main di pelataran depan,sedangkan orang-orang tua sambil mengisap rokok daun jagung
dan menikmati air the kental, duduk di atas tikar yang digelar di
pelataran dan bercakap-cakap.
Keadaan demikian tenteram bagaikan tidak akan terjadi
sesuatu yang hebat. Memang, telah bertahun-tahun di Tangen
selalu tata-tenteram reja-raharja, tak pernah terjadi kejahatan, tak
pernah terjadi pencurian hingga para petani dapat bekerja dengan
senang dan penghidupan peduduk di sekeliling Tangen rata-rata
makmur dan berbahagia.
Akan tetapi, pada malam hari itu, tanpa mereka ketahui dua
sosok bayangan bergerak menuju ke gedung Tumenggung
Wiradigda. Setelah keduanya tiba di dekat gedung, mereka
berbisik-bisik, kemudian bayangan dua orang itu berpisah,
seorang menuju ke kiri gedung, yang kedua menuju ke belakang.
Bayangan pertama yang memiliki gerakan cepat dan tangkas,
yakni Saritama sendiri, cepat menyelinap di dalam bayangan
pohon di sebelah kiri gedung. Ia memandang ke sekeliling dan
kemudian dengan sekali lompat saja ia sudah dapat meloncati
pagar taman.
Memang benar kata-kata Bagawan Kalamaya bahwa gedung
tumenggung itu terjaga kuat, dan bahwa Tumenggung Wiradigda
mempunyai banyak punggawa yang tangguh dan sakti. Buktinya,
ketika Saritama melompat masuk ke dalam taman, baru saja
kedua kakinya menginjak rumput, tiba-tiba dua orang penjaga
yang muda dan gagah membentaknya dari tempat jauh,
"Hai! Siapakah kamu yang lancang memasuki taman?"
Mereka ini dengan cepat lari menghampiri.
Saritama tidak mau membuang waktu lagi. Sebelum kedua
orang penjaga itu sempat bertindak, ia telah bergerak lebih dulu.
Dengan sekali lompatan, Saritama telah menerkam kedua penjagatu, dengan dua kali kepalan tangannya menyambar, robohlah dua
orang penjaga itu! Orang pertama roboh tanpa dapat bangun lagi
dan pingsan, sedang orang kedua memang sengaja dipukul
perlahan hingga masih dapat bicara walaupun kepalanya terasa
pusing berputaran akibat pukulan Sambernyawa!
"Lekas katakan, di mana Wiradigda?"
Penjaga itu tak dapat melihat muka penyerangnya dengan
jelas, hanya dapat menduga bahwa penyerang yang hebat dan
cepat gerakannya ini adalah seorang pemuda.
"Gusti tumenggung tidak berada di sini," jawabnya sambil
memegang kepalanya yang berdenyut-denyut.
"Jangan kau membohong!" bentak Saritama sambil
memegang leher orang itu. "Kalau kau membohong, sekali pukul
saja aku dapat menghancurkan kepalamu!"
"Ampun, Raden, saya tidak membohong! Gusti tumenggung
kemarin berangkat ke Kadipaten Pacet untuk membicarakan
tentang perkawinan gusti puteri."
"Bila ia kembali?" tanya pemuda itu dengan hati kecewa.
"Kalau tidak salah, besok siang baru kembali."
Pada saat itu, terlihat bayangan beberapa orang berkelebat
dan mereka ini tidak lain ialah para ponggawa Tumenggung
Tangen. Dengan diam-diam mereka menghampiri tempat itu oleh
karena mereka mendengar suara-suara mencurigakan. Ketika
melihat betapa seorang penjaga masih rebah di atas tanah,
sedangkan seorang penjaga lain sedang dipegang dan ditanyai
oleh seorang pemuda yang tak jelas rupa wajahnya oleh karena
keadaan memang agak gelap di dalam taman itu yang penuh
dengan bayang-bayang pohon dan tetumbuhan, para ponggawa
yang tujuh orang jumlahnya ini menjadi marah sekali."Bangsat maling, kau berani mengacau di taman
tumenggungan!" teriak seorang diantara mereka yang segera
melompat maju diikuti oleh yang lain.
Saritama diam-diam memuji ketelitian dan kecepatan para
ponggawa itu, maka secepat kilat ia angkat tubuh penjaga tadi
dan melontarkan tubuh itu ke arah ketujuh orang ponggawa yang
datang menyerbu! Akan tetapi dengan sigapnya ketujuh orang
ponggawa itu dapat mengelak dan dari gerakan mereka Saritama
maklum bahwa mereka rata-rata memiliki ilmu pencak silat yang
pandai.
Ketujuh orang ponggawa itu menyangka bahwa Saritama
hanyalah seorang yang datang hendak mencuri saja, maka mereka
bermaksud hendak menangkapnya. Seorang diantara mereka
yang termuda dan bernama Waskita hendak memperlihatkan
ketangkasannya. Dengan seruan keras dia maju menubruk
Saritama, hendak menangkapnya dengan ilmu silat pencak
Palwaga Pancakara (Kera Berkelahi). Gerakannya gesit laksana
seekor kera jantan, kedua tanganya berkembang, yang kiri
menangkap leher, yang kanan menuju ke lambung Saritama!
Akan tetapi dengan sedikit gerakan saja Saritama berhasil
mengelak terkaman pada lehernya dan sekali tangan kirinya
dikibaskan menangkis tangan lawan yang mengarah lambung,
terdengar Waskita menjerit kesakitan oleh karena tulang
lengannya terasa sakit bagaikan terpukul sebatang tongkat besi. Ia
membungkuk-bungkuk sambil mengaduh-aduh dan mengelus-
elus lengannya yang tertangkis itu!
Keenam kawannya terkejut melihat ketangkasan maling
muda itu. Mereka merasa gemas sekali melihat Waskita telah
dikalahkan dalam sekali pukul saja. Dua orang ponggawa lain
lalu menyerang dari kiri kanan. Akan tetapi Saritama cepat
melangkah mundur dan ketika ia ulur kedua tangannya, tubuhnya telah diangkat tinggi-tinggi dan dilempar ke arah
kawan-kawannya yang cepat melompat ke pinggir agar jangan
sampai tertumbuk oleh tubuh kawan sendiri.
Pada saat itu, dari arah belakang gedung terdengar pekik
seorang wanita. Pekik ini terdengar mengerikan dan
menggerakkan hati Saritama. Hati nuraninya tersinggung dan
jiwa ksatrianya bangkit dan menggerakkan hatinya untuk segera
menolong wanita yang memekik dan yang membutuhkan
pertolongan itu. Ia lalu bertindak cepat. Dengan ilmu Nandaka
Amapang (Banteng Menyambut) sambil mengeluarkan aji
kekebalannya ia menyerbu ke depan tanpa memperdulikan
serbuan keris lawan! Alangkah terkejutnya para ponggawa ketika
merasa betapa keris-keris mereka itu mengenai tubuh Saritama
bagaikan bertemu dengan batu atau baja saja! Tangan mereka
terasa sakit dan keris mereka mental kembali, sedangkan
Saritama telah menerjang dengan gerakan siku, tangan, dan kaki.
Para ponggawa itu terbanting dan terpukul ke kanan kiri!
Saritama tidak memperdulikan mereka, tapi langsung berlari
cepat sekali ke arah taman di belakang gedung. Dan apa yang
dilihatnya di dalam taman itu membuat dadanya terasa panas dan
sesak, dan tak terasa lagi ia membentak.
"Dukun lepus tak tahu malu!"
Ternyata bahwa yang dilihatnya itu adalah Bagawan
Kalamaya yang sedang menyeret-nyeret dan memeluk-meluk
seorang dara muda yang cantik-jelita dan yang meronta-ronta
sambil menangis. Dara itu memekik-mekik, akan tetapi kini suara
jeritannya tak dapat terdengar keras oleh karena sebelah tangan
Bagawan Kalamaya telah digunakan untuk menutupi mulut gadis
itu!
Siapakah dara muda yang ayu itu dan mengapa pula ia dapat
terjatuh ke dalam tangan Bagawan Kalamaya?ada malam hari itu, di dalam taman di belakang gedung
tumenggungan, terdapat dua orang wanita yang masih belum
masuk ke dalam gedung. Mereka ini adalah Dewi Saraswati,
puteri tunggal Tumenggung Wiradigda, seorang puteri berusia
tujuh belas tahun yang cantik jelita bagaikan Dewi Komaratih
sendiri turun dari angkasa! Akan tetapi, pada malam hari itu,
Dewi Saraswati nampak berduka, bahkan ia menangis sedu-
sedan, dihibur oleh seorang wanita setengah tua yang bersusur
besar di mulutnya hingga wajahnya yang memang sudah buruk
itu menjadi tambah tak enak dilihat. Dia ini adalah biung emban,
yakni pelayan pengasuh Dewi Saraswati semenjak sang dewi
masih kecil. Pengasuh ini bernama Tomblok.
"Aduhai, gusti ayu, sudahlah jangan paduka terus-menerus
bersedih saja. Sayanglah air matamu, dan jangan kau buang-
buang," kata Tomblok yang mencoba menghibur sang dewi yang
dikasihinya bagaikan anak sendiri itu.
Biarpun sedang berduka, akan tetapi mendengar kata-kata
Tomblok ini Dewi Saraswati tertegun, "Apa maksudmu, biung?"
Melihat bahwa sang dewi sudah mau melayani kata-katanya,
Tomblok merasa girang sekali. Ia pindahkan susurnya yang besar
dari ujung mulut kiri ke kanan, lalu berkata,
"Maksudnya, janganlah air mata gusti yang berharga itu
dibuang-buang. Kalau air mataku, jangankan dijual mahal,
dihadiahkan dengan cuma-Cuma juga takkan ada yang sudi! Tapi
air mata seorang puteri sejati bagaikan butir-butir mutiara
berharga yang tak boleh diboroskan dengan sia-sia! Demikianlah
kata para punjangga jaman dahulu. Lagipula, air mata seorang
puteri cantik merupakan senjata yang paling ampuh dan keramat
di atas dunia ini. Maka peliharalah mutiara dan senjata keramat
itu baik-baik, gusti ayu, oleh karena kalau dipergunakan untuk
hal-hal yang kecil tak berarti saja, maka mutiara itu akan hilangkeampuhannya! Karena itulah maka mahal harganya gusti!"
Memang Tomblok ini pandai sekali bicara. Selain pandai
berkelakar oleh karena seringkali harus menghibur hati kekasih
dan junjungannya, juga ia pandai menari dan bernyanyi serta
pandai pula memberi nasihat-nasihat dan petuah-petuah berharga.
"Biung emban, kau tidak mengerti. Aku bukan menyusahkan
hal-hal remeh sebagaimana yang kau duga, akan tetapi aku
menyusahkan sisa hidupku. Aku menyedihi nasibku yang akan
datang, biung."
"Ah, ah, sekali lagi kau keliru, gustiku yang ayu dan manis!
Kata para cerdik pandai, daripada menyusahkan perkara yang
belum datang dan menguatirkan nasib yang belum tentu, lebih
baik mengenang hal-hal yang lalu untuk dijadikan contoh dan
cermin! Dari pengalaman-pengalaman lalu kita dapat memetik
pelajaran-pelajaran berharga untuk mengatur langkah hidup
selanjutnya, sedangkan hal-hal yang belum terjadi serahkanlah
kepada Hyang Agung untuk mengaturnya, gusti. Ah, junjunganku
yang manis, kalau paduka bermuram durja, seakan-akan bintang-
bintang di langit kehilangan cahayanya dan hambapun kehilangan
cahaya hamba!" Nasihat-nasihat Tomblok selalu diseling sendau-
gurau.
"Tomblok, Tomblok.....! Alangkah senangnya hatiku kalau
pada saat ini kita bertukar tempat!" kata Dewi Saraswati sambil
termenung.
"Lho, mau bertukar tempat? Hamba duduk di bangku itu dan
paduka di atas rumput ini? Kalau paduka kehendaki, mengapa
tidak bisa?" tanya Tomblok sambil melebarkan kedua matanya
yang sudah lebar dan bundar sebesar telur ayam itu.
"Bukan begitu maksudnya, biung emban. Maksudku bertukar
pakaian yaitu kau menjadi aku dan aku menjadi kau! Kalau akumenjadi kau, takkan mengalami nasib celaka ini!"
"Eh, eh, gustiku yang manis. Kalau bertukar pakaian saja,
saya tidak..... menolak! Kalau berganti orang...... ah, berat juga,
gusti!"
"Biung emban, jangan kau bergurau saja, aku benar-benar
sedang dalam prihatin dan susah," kata sang puteri dengan wajah
muram.
"Ampun, gusti ayu, hamba hanya bermaksud menghibur.
Hamba juga maklum bahwa gusti sedang menderita duka nestapa,
akan tetapi, sebenarnya ada apakah, gusti?"
"Ketahuilah, biung. Kemarin ayah pergi ke Kadipaten Pacet."
"Hamba sudah tahu, gusti."
"Dan tahukah kau mengapa ramanda pergi ke sana?"
Tomblok menggeleng-gelengkan kepalanya hingga gelung
rambutnya yang besar itu ikut bergerak-gerak ke kanan kiri.
"Dengarlah hal yang menyusahkan hatiku, biung. Rama pergi
ke Kadipaten Pacet perlu untuk merundingkan hal pernikahanku."
Tomblok menepuk-nepuk pahanya dengan girang. "Ah,
ndoro ayu bukankah hal itu sangat menggembirakan dan tak perlu
disusahkan?"
"Biung emban, jangan kau berkata demikian. Adipati Pacet
adalah seorang duda yang sudah berusia hampir setengah abad
dan bagaimana aku dapat menjadi isterinya? Ah, biung..... aku
lebih suka mati daripada menjadi sisihan kakek bandot itu!" Dewi
Saraswati lalu menutupi mukanya dengan ujung kemben (sabuk
kain) dan menangis terisak-isak.
Tomblok ikut menangis dan suara tangisnya seperti suara
bebek bertelur. "Aduh, gusti ayu..... kekasih hatiku...... janganlahmenangis, manis..... hamba tak kuat menahan air mata...... Gusti
Ayu Dewi Saraswati yang cantik jelita, hamba menjadi teringat
akan masa dahulu ketika hamba hendak dikawinkan oleh ayah
hamba..... orangnya juga tua, bahkan bukan setengah abad lagi,
tapi sudah seabad penuh!"
Mendengar ucapan biung emban Tomblok, Dewi Saraswati
menurunkan kedua tangannya karena ia menjadi tertarik.
"Kau kan juga merasa susah, bukan, biung?"
"Tidak, gusti, hamba tidak susah karena calon suami itu
sudah tua, malah kebetulan, oleh karena biarpun tua dia itu tua
kelapa, yakni harta-bendanya banyak. Hamba pikir, kalau hamba
sudah kawin dengannya, dalam beberapa bulan atau beberapa
hari saja tentu dia akan mampus dan semua harta bendanya
diwariskan kepada hamba! Akan tetapi, gusti, dia mati......!
Aduh....... dia mati!" Dan Tomblok menangis lagi!
Dewi Saraswati heran. "Mengapa kau susahkan kematiannya,
biung? Bukankah itu yang kau harapkan?"
"Benar, gusti, akan tetapi dia mati sebelum kami kawin! Baru
saja kami ditemukan, tiba-tiba dia menggigil dan roboh terus
mampus! Hamba menjadi janda sebelum kawin dan harta
bendanya tidak terjatuh kepada hamba." Tomblok menangis lagi
dan diam-diam Dewi Saraswati menjadi sangat geli.
Pada saat itu, dari belakang sebatang pohon keluarlah
bayangan seorang bongkok, Dewi Saraswati dan Tomblok
menjadi kaget sekali oleh karena mereka tidak segera mengenal
muka pendatang ini. Dewi Saraswati lalu berdiri dengan takut,
sedangkan Tomblok sudah memeluk kaki Dewi Saraswati dengan
tubuh menggigil.
"Ssss..... ssseee..... setan!" teriaknya ketakutan melihat tubuh
bongkok itu melangkah majuSst, biung emban, jangan ribut. Yang datang adalah Paman
Bagawan Kalamaya!"
"Benar, anakku yang ayu, anak manis dan jelita, akulah yang
datang!"
"Paman Bagawa, sungguh aku merasa terkejut dan heran.
Mengapa paman bagawan datang ke taman sari dan pada waktu
malam gelap begini? Apakah kehendakmu, paman?" tanya Dewi
Saraswati dengan suara penuh teguran.
"Saraswati, bocah ayu, bocah denok! Aku datang untuk
memboyongmu, kekasihku!" Sambil berkata demikian, Bagawan
Kalamaya melangkah maju.
Bukan main terkejutnya Dewi Saraswati mendengar ucapan
ini serta melihat sikap sang pendeta itu. Ia menduga bahwa
pendeta ini tentu telah menjadi gila!
"Paman Bagawan, apakah artinya semua ini? Paman,
janganlah kau berkelakar yang tidak pantas seperti itu!"
"Saraswati, jantung hatiku, jimat pujaan kalbu! Tidak
tahukah kau bahwa aku adalah titisan Hyang Brahma? Kau
adalah permaisuriku, Saraswati, marilah kau ikut kakanda untuk
bersama pulang ke Sorga. Marilah, Saraswati permaisuriku!"
Bukan main takutnya Dewi Saraswati mendengar ini. Ia lalu
lari di belakang tubuh Tomblok hingga Bagawan itu kini
menghadapi Tomblok.
Pada saat itu Bagawan Kalamaya hendak maju memeluk,
akan tetapi ketika melihat kepada Tomblok yang menghadang di
depannya dan yang kini tidak ketakutan lagi , Bagawan itu
mundur menyebut.
"Ya dewata yang maha agung! Kukira Saraswati tadi, tidak
tahunya kau! Eh, kau ini mahluk apa? Manusia atau kadal?"Bukan main marahnya Tomblok disebut kadal. Ia melangkah
maju dan memutar-mutar susurnya di dalam mulutnya. "Kira-kira
kalau menyebut orang! Biarpun kau menyebutku kadal, akan
tetapi aku bukan kadal sembarang kadal! Aku adalah kelangenan
(kekasih) sang puteri! Kau ini bagawan berotak miring
barangkali. Mengapa malam-malam datang mengacau dan
berlaku kurang ajar terhadap sang puteri? Apakah kau tidak takut
kepada gusti Tumenggung?"
"Kau minggirlah!" bentak Bagawan Kalamaya dan sekali
saja ia mendorong, Tomblok jatuh terguling-guling sambil
berteriak-teriak. Akan tetapi, mendengar teriakan wanita ini,
Bagawan Kalamaya lalu maju dan menendang hingga Tomblok
menjadi pingsan! Kemudian, sambil membujuk dan merayu,
menyebut-nyebut Dewi Saraswati sebagai permaisurinya, ia maju
hendak menangkap Dewi Saraswati! Puteri itu merasa bingung
dan jijik, hingga ia menjerit keras sekali. Agaknya jeritan inilah
yang terdengar oleh Saritama dan yang menarik perhatiannya.
Bagawan Kalamaya lalu melompat dan menerkam, dan ketika
Dewi Saraswati hendak menjerit lagi, bagawan yang sudah
kesetanan itu lalu menutup mulut Saraswati dengan tangannya.
Ketika mereka sedang bersitegang, datanglah Saritama yang
hampir tak dapat mempercayai matanya sendiri. Tak pernah
disangkanya bahwa Bagawan Kalamaya akan serendah itu
batinnya!
"Pendeta bangsat tak tahu malu! Lepaskan gadis itu dan
ingatlah, sadarlah kau, pendeta keparat dan sesat."
"Saritama, jangan kau mencampuri urusanku! Kau pergilah
melakukan tugasmu sendiri. Aku, titisan Rahma, sedang
berurusan dengan Dewi Saraswati, permaisuriku sendiri!"
Saritama marah sekali dan membentak sambil melangkah
maju."Pendeta gila, kau dimabok kerendahan hatimu sendiri!"
Kemudian, sekali merenggutkan lengan pendeta itu, ia berhasil
melepaskan Dewi Saraswati yang dipeluk oleh bagawan gila itu.
"Saritama, kau ingin mampus!" Bagawan Kalamaya berseru
marah dan tiba-tiba bagawan itu mencabut sebilah keris yang
panjang dan beriuk lima. Keris ini nampak dahsyat mengerikan
oleh karena selain mempunyai hawa yang berpengaruh dan jahat,
keris ini juga selalu direndam dalam racun yang sangat jahat dan
yang didapat dari air liur ular belang!
Biarpun tubuhnya bongkok dan sudah tua, Bagawan
Kalamaya masih memiliki gerakan sigap dan tangkas oleh karena
dia memang mempunyai kepandaian pencak silat yang tinggi di
waktu mudanya. Sambil mengeluarkan suara tertawa yang aneh
dan mengerikan, ia menyerang dengan kerisnya yang dinamai
Paripusta yang berarti puas dan senang. Dari nama kerisnya ini
saja dapat diukur bahwa pada hakekatnya, pendeta ini masih
menjadi hamba daripada nafsu-nafsu jahat yang mengutamakan
kepuasan dan kesenangan dunia.
Saritama yang bermata tajam dapat maklum akan kehebatan
dan berbahayanya keris ini, maka cepat ia mengelak lalu
mengirim pukulan dari samping kiri. Bagawan Kalamaya
memiringkan tubuhnya untuk mengelak bahaya pukulan ini dan
segera mengirim serangan bertubi-tubi dengan keris mautnya.
Akan tetapi, Saritama dengan mudah sekali melompat ke sana ke
mari, gesit dan cepat bagaikan seekor burung Srikatan. Pada saat
yang tepat, sebuah pukulan tangan kirinya bersarang di dada
pendeta cabul itu hingga Bagawan Kalamaya roboh terjungkir
dan mengaduh-aduh tanpa dapat bangun lagi. Kerisnya terlempar
jatuh dan menancap di atas tanah!
Dewi Saraswati masih belum hilang kagetnya. Diam-diam ia
memperhatikan perkelahian tadi dan ia kagum sekali melihat ketangkasan dan kecakapan pemuda penolongnya itu. Ketika
Saritama melangkah maju menghampirinya, Dewi Saraswati
memandang dengan sepasang matanya yang tajam dan bening
sambil menduga-duga oleh karena belum pernah ia melihat
pemuda yang namanya disebut Saritama oleh bagawan tadi.
Kebetulan sekali pada saat itu keadaan tidak sangat gelap
sehingga suram-suram Saritama dapat melihat bahwa dara yang
diserang oleh Bagawan Kalamaya itu luar biasa cantiknya dan
memiliki tubuh yang menggiurkan pula. Akan tetapi, pada saat
itu Saritama tidak memandang dengan mata kagum, bahkan
memandang dengan mata benci oleh karena ia teringat bahwa
gadis ini adalah puteri musuh besarnya yang harus dibasmi.
Apakah kau bernama Dewi Saraswati dan anak dari
Tumenggung Wiradigda?" tanyanya dengan suara kasar hingga
gadis itu menjadi terkejut, apalagi ketika ia melihat betapa
pandangan mata pemuda itu ditujukan kepadanya dengan bengis.
Sebelum ia menjawab, dari luar terdengar suara riuh-rendah
oleh karena barisan ponggawa dan perajurit telah menyerbu ke
dalam taman! Saritama bersiap hendak melawan mereka, akan
tetapi tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik.
Ketika barisan terdepan telah tiba di situ dan beberapa orang
serentak maju menubruknya, dengan tangkas Saritama bergerak
merobohkan beberapa orang itu, kemudian secepat kilat tangan
kanannya memeluk pinggang Dewi Saraswati yang segera
dipondongnya dengan ringan dan mudah. Dewi Saraswati
menjerit-jerit akan tetapi ia tidak berdaya dalam pondongan
lengan tangan yang kuat itu.
Beberapa orang perajurit maju lagi menyerbu, akan tetapi
mereka tidak berani menggunakan senjata tajam, kuatir kalau-
kalau akan melukai sang puteri. Hal ini menguntungkan Saritama
yang segera beraksi dengan menggunakan tangan kiri dan kedua kakinya. Beberapa orang roboh pula, akan tetapi barisan
penyerbu makin banyak hingga Saritama merasa kewalahan.
Pemuda ini lalu membentak dengan suara keras,
"Hai, para perajurit Tangen! Bukan cara laki-laki sejati untuk
maju secara keroyokan! Beritahukanlah kepada si keparat
Wiradigda bahwa aku, Saritama dari Gunung Kidul, putera
almarhum Adipati Cakrabuwana, datang hendak membalas
dendam! Aku tidak mau mencelakakan orang lain dan musuhku
hanyalah Wiradigda sekeluarga! Oleh karena keparat itu tidak ada
di sini, maka sebagai gantinya aku menawan puterinya. Jika ia
memang gagah berani dan menghendaki kembalinya sang puteri,
silakan pergi menyusulku di tempat kediaman mendiang ayahku
untuk membuat perhitungan secara laki-laki!"
Setelah berkata demikian Saritama lalu melompat ke dalam
gelap sambil memondong Dewi Saraswati yang masih meronta-
ronta dan menjerit-jerit! Semua ponggawa mencoba untuk
mengejar, akan tetapi mereka tak dapat mengejar ilmu lari
Kidang Kencana yang hebat dari pemuda itu hingga tak lama
kemudian suara jeritan Dewi Saraswati makin melemah hingga
tak terdengar lagi dari situ,
Geger dan ributlah seluruh Tangen pada malam hari itu
ketika berita tentang penculikan diri Dewi Saraswati itu tersebar
di seluruh tumenggungan. Obor dinyalakan dan orang-orang
mencari ke sana ke mari dengan sia-sia.
Beberapa orang ponggawa segera menunggang kuda dan
cepat menuju ke Pacet untuk menyusul sang tumenggung dan
untuk menyampaikan berita buruk itu.
Setelah merasa bahwa larinya sudah cukup jauh dan tak
mungkin terkejar oleh musuh-musuhnya lagi, Saritama
menghentikan larinya. Dia telah sampai dalam sebuah hutan danpada waktu itu, fajar telah mulai menyingsing.
"Lepaskan aku, lepaskan! Kau, orang kurang ajar!"
Saritama tersenyum masam dan tiba-tiba ia melepaskan
pondongannya hingga tubuh Dewi Saraswati terbanting ke atas
rumput sampai bergulingan! Sang puteri menggigit bibir dan
segera merayap berdiri. Dengan sepasang mata bernyala-nyala
dan bibir gemetar karena marahnya, ia maju dan bertolak
pinggang dengan tangan kiri. Tangan kanannya diangkat dengan
jari telunjuk menuding ke arah muka Saritama,
"Pengecut kau! Ah, kalau saja aku menjadi laki-laki tentu
akan kupatahkan lehermu! Akan kubeset kulitmu dan akan
kuhancurkan kepalamu!"
"Alangkah sombongmu, gadis! Apakah yang hendak kau
sombongkan? Dan mengapa kau mencaci-maki?"
"Kau manusia rendah! Kaukira aku tertarik akan
kedigdayaan dan kecakapanmu? Cis! Tak tahu malu! Kaukira
mudah saja kau hendak memaksa dan mendapatkan diriku? Lebih
baik aku mati daripada kau jamah dengan tanganmu yang kotor
dan keji!" Dewi Saraswati lalu menangis.
"Diam dan jangan kau berani mengeluarkan kata-kata keji
lagi! Kalau tidak, kutampar mukamu! Kau anggap aku ini orang
apa maka timbul persangkaan kotor dalam kepalamu yang kecil
itu? Siapa yang menghendaki dirimu? Kaukira aku tertarik dan
tergila-gila akan kecantikanmu? Hah! Kau belum kenal aku.
Inilah Saritama, Ksatria Gunung Kidul yang tak mungkin tergiur
oleh kecantikan seorang wanita!"
Dewi Saraswati tercengang dan ia lupa bahwa ia sedang
menangis. Ia turunkan tangan yang menutupi mukanya lalu
memandang dengan pipi masih basah oleh air mata. Akan tetapi
oleh karena kabut amat tebal di hutan itu, maka air muka pemuda itu masih belum kelihatan nyata.
"Habis...... untuk apa kau menculikku?"
Aneh sekali, tiba-tiba ia merasa kecewa dan mendongkol
mendengar bahwa pemuda penculiknya ini sedikitpun tidak
menghiraukan atau tergiur oleh kecantikannya!
"Dengarkan, gadis! Dulu, ketika kau dan aku masih kecil,
ayahmu, Tumenggung Wiradigda yang keparat itu telah
memfitnah orang tuaku sehingga ayah ibu dan keluarganya binasa
semua! Kebetulan sekali aku dapat menyelamatkan diri dan kini
aku datang hendak membalas dendam!"
Saraswati tertegun. Ia pernah mendengar tentang Adipati
Cakrabuwana yang dianggap pemberontak dan ditumpas oleh
barisan Majapahit.
"Siapakah ayahmu itu?" tanyanya minta kepastian.
"Ayahku adalah Adipati Cakrabuwana yang gagah perkasa,
ksatria sejati, tidak seperti ayahmu!"
Panas juga hati Saraswati mendengar ayahnya dimaki-maki.
"Oo, jadi ayahmu adalah pemberontak itu?" katanya dengan
suara mengejek. "Kalau begitu, kau seorang pengecut!"
Tangan Saritama sudah diangkat dan hendak menampar pipi
gadis itu, akan tetapi Saraswati sama sekali tidak takut, bahkan
mengangkat dada dan memandang tanpa berkedip hingga
Saritama yang teringat bahwa ia berhadapan dengan seorang
wanita, menurunkan lagi tangannya.
"Kalau kau seorang laki-laki," katanya dengan napas sesak
menahan marah," tentu akan kupatahkan lehermu! Akan kubeset
kulitmu dan akan kuhancurkan kepalamu!" Tanpa disadarinya, ia
mengulang ancaman Saraswati tadi dengan otomatis oleh karenakata-kata ini masih mengiang di dalam telinganya!
Saraswati tersenyum mengejek. "Mengancam saja meniru-
niru orang! Aku menyebutmu pengecut oleh karena kau
membalas dendam dengan curang. Mengapa kau menculikku?
Apakah dosaku? Mengapa kau tidak berani menghadapi ayahku
untuk bertanding secara laki-laki? Dan hendak kau apakankah
aku ini?" kata-kata terakhir ini tidak dikeluarkan dengan hati
kuatir, bahkan dengan suara menantang!
"Dengarlah, orang-orang Tangen yang pengecut! Bukan aku!
Mereka maju dengan keroyokan. Oleh karena itu maka aku
menawanmu dan kau hendak kubawa ke tempat tinggal ayahku
dulu! Ayahmu harus datang ke sana sendiri apabila ingin
menjemputmu dan ia harus menghadapiku untuk mengadu
kesaktian!"
"Hah!" Saraswati mencibirkan bibir mengejek. "Dalam lima
jurus saja dadamu akan pecah oleh pukulan ayah!"
"Sombong kau!" Saritama membentak. "Sudah tutup
mulutmu yang cerewet itu dan hayo kita berjalan terus!"
"Tidak! Aku tidak sudi," gadis itu menantang, dan
mengangkat-angkat dadanya yang penuh ke muka.
"Jalan! Kalau tidak, kau akan kuseret!" bentak Saritama
gemas.
"Tidak! Boleh kau berbuat sesuka hatimu, aku tidak sudi
menurut perintahmu!"
"Gadis kepala batu!" Sambil bersungut-sungut Saritama lalu
memegang lengan tangan gadis itu dan menariknya ke depan.
Saraswati meronta-ronta dan memberontak sekuat tenaga,
memukul-mukul lengan tangan Saritama dengan tangan
kanannya, menggunakan kakinya menendang-nendang lututpemuda itu. Ketika Saritama tidak memperdulikan semua
serangan ini dan tetap berjalan sambil menyeret Saraswati, gadis
itu lalu menundukkan kepala dan menggigit tangan Saritama
dengan giginya yang putih dan tajam!
Saritama berseru kesakitan dan terpaksa melepaskan
pegangannya. Saraswati berdiri terengah-engah karena menahan
marahnya, kedua matanya mengeluarkan air mata, akan tetapi ia
tidak menangis, bahkan memandang dengan mata bernyala dan
hidungnya yang indah mancung itu berkembang-kempis, seakan-
akan mengeluarkan uap panas! Akan tetapi semua ini tidak
kelihatan oleh Saritama oleh karena kabut di hutan itu masih tebal
sekali hingga keadaan masih reamang-remang.
"Kau benar-benar kuda betina liar yang berkepala batu!"
Saritama memaki.
"Dan kau kuda jantan liar yang tak tahu malu dan tidak
sopan!" Saraswati balas memaki!
Keparat" Saritama membentak gemas dan tiba-tiba ia
tangkap gadis itu, lalu dengan mudah dipondongnya! Saraswati
mencoba untuk memberontak, memukul-mukulkan kedua
tangannya ke arah dada dan kepala pemuda itu, akan tetapi
dengan tangan kiri Saritama berhasil memegang kedua
pergelangan tangannya hingga ia tidak berdaya lagi, hanya kedua
kakinya saja meronta-ronta dan bergerak-gerak. Akan tetapi,
Saraswati tidak mau menangis dan tidak mau memperlihatkan
kelemahannya. Ia sengaja meronta-ronta agar pemuda itu tak
mudah dapat melanjutkan perjalanannya.
Akan tetapi, Saritama adalah seorang pemuda yang bertubuh
kuat dan bertenaga besar, maka sedikit perlawanan itu tak berarti
apa-apa baginya. Bahkan ia lalu mempergunkan ilmu larinya
Kidang Kencana hingga Saraswati yang tiba-tiba merasa betapa
pohon-pohon berlari-lari cepat dan angin menyambar muka danseluruh tubuhnya hingga rambutnya berkibar tertiup angin,
menjadi takut sekali. Gadis ini heran mengapa pemuda itu dapat
berlari demikian cepatnya, maka iapun lalu berhenti meronta-
ronta, bahkan memejamkan mata karena takut!
Berkat ilmu lari cepatnya yang luar biasa tak lama kemudian
mereka telah dapat keluar dari hutan itu. Sementara itu, matahari
telah mengusir pergi kabut yang tebal. Setelah keluar dari hutan
Saritama kuatir kalau-kalau bertemu dengan petani dan dapat
melihat betapa ia berlari sambil memondong seorang wanita,
maka tiba-tiba ia berhenti.
––––––––
Pada saat yang sama, ketika ia memandang ke arah muka
gadis yang masih berada di dalam pelukannya, gadis itupun
membuka mata dan memandangnya. Dua pasang mata bertemu
dan keduanya diam tak berkata-kata! Lama sekali dua pasang
mata itu saling pandang dengan penuh keheranan dan
kekaguman. Saritama melihat betapa muka yang berkulit kuning-
putih kemerah-merahan dan berbentuk sangat indah dihiasi mata,
hidung, bibir dan rambut disinom yang tak kalah oleh
kecantikannya bidadari dalam alam khayalannya. Sedangkan
Saraswati melihat wajah pemuda yang tampan dan gagah sekali,
dengan sepasang mata jernih tajam, perkasa dan bagus bagaikan
Sang Arjuna sendiri!
Pada saat itu entah darimana datangnya, warna merah
menjalar di kedua wajah teruna dan dara itu hingga wajah mereka
memerah sampai ke telinga! Ketika melihat betapa tubuh yang
berkulit halus dan hangat itu menempel di dadanya dan kedua
lengannya memeluk tubuh gadis itu, tiba-tiba Saritama menjadi
malu sekali hingga cepat-cepat ia menurunkan tubuh itu ke atas
tanah!
"Kau....... kau harus berjalan sendiri," kata Saritama dan iaberusaha sekuatnya untuk memberi tekanan keras kepada
suaranya supaya terdengar marah, akan tetapi hasilnya tidak
sebaik yang ia harapkan oleh karena suara itu keluar dengan
gagap dan lemah!
"Tidak, aku tidak sudi," gadis itu menjawab dengan bibirnya
yang indah dan merah itu cemberut, sambil menunduk dan tak
berani mengangkat muka memandang wajah Saritama!
"Apakah kau lebih senang kalau kupondong?" tanya
Saritama agak berani dan dengan dada berdebar oleh karena gadis
itu tidak memandangnya. Mendengar ini, Saraswati cepat
mengangkat kepala memandang dengan mata bernyala lagi.
"Siapa sudi kau pondong?" bentaknya marah.
Saritama tersenyum dan wajahnya berseri oleh karena kini ia
dapat melihat betapa gadis itu menjadi makin cantik di waktu
marah! Kedua matanya seakan tertawa hingga gadis itu menjadi
makin gemas.
"Kalau begitu, kau harus berjalan kaki."
"Tidak sudi!"
"Baik, aku akan memondngmu lagi kalau kau lebih suka
dipondong!"
Mendengar ini, Saraswati menjauhkan diri dan segera
berjalan kaki tanpa menoleh lagi, bahkan ia mendahului Saritama.
Pemuda itu tersenyum dan tiba-tiba ia merasa aneh sekali
mengapa kebenciannya terhadap gadis itu lenyap sama sekali
bagaikan kabut terusir matahari pagi! Untuk beberapa lamanya ia
memandang lenggang gadis yang marah itu dengan hati berdebar
dan semangat melayang. Alangkah manis dan lemah-gemulai
lenggang gadis itu. Alangkah bersih dan halusnya kulit leher yang
nampak dari belakang itu, dan alangkah indahnya bentuk kakiyang kadang-kadang nampak keluar dari kainnya ketika ia
berjalan. Sebaik dan seindah itukah potongan dan bentuk kaki
bidadari? Tak mungkin! Demikianlah, pemuda itu memandang
bagaikan sebuah patung batu, dan setelah dara itu berjalan agak
jauh, ia segera mengejarnya.
Saritama berjalan di sebelah Saraswati dan beberapa kali ia
menengok, akan tetapi gadis itu berjalan dengan pandangan mata
ditujukan ke depan, berbuat seolah-olah tidak ada orang di
dekatnya!
"Nah, begini lebih baik," kata Saritama. "Aku tadi kuatir
kalau-kalau ada orang melihat aku memondongmu. Alangkah
ganjilnya."
Saraswati berdiam saja dan bahkan mempercepat
langkahnya. Saritama juga berjalan tanpa berkata-kata, hanya
beberapa kali memandang wajah yang marah itu. Lambatlaun,
makin menipislah sinar kemarahan yang membayang pada wajah
ayu itu, bahkan kini sinar kemarahan itu telah terganti oleh peluh
yang memenuhi jidatnya. Dadanya agak terengah-engah, tanda
bahwa gadis yang tidak biasa berjalan kaki jauh-jauh ini telah
merasa lelah. Akan tetapi, Saraswati tidak sudi memperlihatkan
kelemahannya dan memaksa diri berjalan cepat.
"Kau lelah? Marilah beristirahat dulu. Kita tak perlu tergesa-
gesa!" kata Saritama dan biarpun ia mencoba untuk membuat
suaranya terdengar biasa dan sewajarnya, namun ia tidak dapat
melenyapkan suara yang mengandung iba hati hingga ia menjadi
benci kepada suaranya sendiri yang telah membongkar rahasia
perasaannya itu.
Akan tetapi, sedikitpun Saraswati tidak mau menengok atau
menjawab, bahkan gadis itu lalu merapatkan bibirnya untuk
menahan lidahnya yang hendak menjawab dan menundukkan
kepalanya untuk mencegah matanya yang hendak mengerling kekanan di mana pemuda itu berjalan!
Saritama menghela napas. Beberapa lama mereka berdua
berjalan lagi dalam keadaan sunyi.
"Kau masih marah?" Saritama berkata lagi. Tidak ada
jawaban.
"Dengarlah, Saraswati. Kau bernama Saraswati bukan?
Nama yang indah! Dengarlah, aku sebetulnya merasa menyesal
juga bahwa aku terpaksa menawan kau yang tidak berdosa. Akan
tetapi, kalau aku melayani semua ponggawa Tangen dan
melakukan amukan di sana, tentu aku akan membinasakan dan
melukai banyak ponggawa yang sebetulnya tidak mempunyai
permusuhan apa-apa dengan aku. Aku tidak tega melukai orang-
orang yang tidak berdosa itu. Maka setelah melihat kau sebagai
anak tunggal musuh besarku timbul akalku untuk membawamu
pergi dan menanti kedatangan musuh besarku itu di sana agar
kami berdua berhadapan muka tanpa ada orang lain yang
mengganggu. Aku menyesal telah menyusahkan dan membuat
kau marah di luar kehendakku!"
Terdengar suara perlahan keluar dari kerongkongan gadis itu,
seperti sedu-sedan, akan tetapi Saraswati masih saja merapatkan
bibirnya dan berjalan terus. Akan tetapi kakinya telah terasa lelah
sekali dan matahari yang telah naik agak tinggi itu mulai terasa
panasnya. Ia terhuyung-huyung dan tiba-tiba kaki kanannya
tersandung batu. Hampir saja ia jatuh kalau Saritama tidak cepat-
cepat memegang kedua tangannya dari samping.
Saraswati merasa kepalanya pening dan ia memejamkan
kedua matanya sambil tanpa disadarinya ia menyandarkan
kepalanya di dada pemuda itu. Saritama mencium keharuman
luar biasa yang keluar semerbak dari rambut gadis yang terurai
itu dan pemuda ini cepat-cepat mengatur napas menutup mata
untuk menahan gelora hatinya.Akhirnya kepusingan yang membuat Saraswati merasa
kepalanya berputar itu mereda dan ketika gadis ini sadar bahwa ia
menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu, ia cepat-cepat
merenggutkan tubuhnya, lalu menjatuhkan diri di atas rumput
sambil menangis tersedu-sedu!
Saritama juga ikut duduk sambil mulai menyesali
pebuatannya. Ia merasa kasihan sekali melihat gadis ini yang
menjadi kurban daripada pembalasan dendamnya.
"Saraswati.......," katanya halus, "Jangan kau menangis.......
kau....... Janganlah kau marah, dan maafkan aku, Saraswati."
Dengan mata mengalirkan air mata yang membasahi kedua
pipinya yang kemerah-merahan, Saraswati memandang pemuda
itu.
"Saritama, mengapa kau mengubah sikapmu yang kasar?
Mengapa kau berubah sebaik ini? Berlakulah kasar karena aku
adalah anak musuhmu. Hentikanlah godaanmu ini, Saritama."
"Saraswati, jangan kau anggap aku serendah itu. Aku tidak
menggodamu, aku memang....... entah mengapa, tiba-tiba aku
merasa kasihan kepadamu. Maafkanlah perbuatanku yang
terpaksa oleh karena tugasku dan baktiku kepada mendiang
ayahku."
"Tidak, tidak! Tidak ada yang harus dimaafkan, agaknya
begini lebih baik lagi! Biarlah ayah mengalami sedikit kekuatiran
oleh karena dia telah memaksaku menikah dengan tua bangka
bandotan itu!"
"Apa? Kau dipaksa menikah dengan seorang tua bangka?"
tanya Saritama. "Apakah dengan dukun lepus itu?"
Maka teringatlah Saraswati akan peristiwa di taman dan ia
teringat pula bahwa pemuda inilah yang telah menolongnya daribahaya cengkeraman Bagawan Kalamaya yang lebih hebat
daripada bahaya maut. Untuk sesaat ia memandang kepada wajah
Saritama dengan pandangan mesra, akan tetapi hanya untuk
sebentar saja oleh karena ia segera dapat menguasai perasaannya
kembali. Dia sendiri merasa bahwa pemuda di depannya ini
adalah seorang ksatria yang baik budi dan gagah perwira maka
tak sedikitpun terkandung rasa benci dalam hatinya. Pemuda ini
bersikap demikian sopan-santun hingga menimbulkan
kepercayaan besar di lubuk hatinya. Maka tanpa disadarinya ia
lalu menceritakan betapa ia telah dilamar Adipati Tirtaganda dari
Pacet yang sudah kakek-kakek dan lamaran itu diterima baik oleh
ayahnya!
Saritama marah sekali mendengar penuturan gadis itu.
"Sungguh memalukan! Biar kuputar batang leher bandot tua itu!"
Ucapan ini dikeluarkan tanpa disadarinya dan ketika gadis itu
gadis itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan bibir
tersenyum, barulah ia sadar dan tiba-tiba ia menundukkan
mukanya dengan malu.
"Saritama, mengapa kau demikian memperhatikan nasibku?
Bukankah aku ini anak musuhmu yang hendak kau basmi?"
"Aku..... eh..... kau benar anak musuhku...... dan...... dan
tentang Tirtaganda si celeng tua...... ah, aku memang benci sekali
melihat bandot tua!" jawabnya gagap dan tidak karuan hingga
tiba-tiba gadis yang tadinya menangis itu kini tertawa geli dengan
air mata masih membasahi pipinya. Tertawanya nyaring dan
merdu hingga Saritama mengangkat muka lalu memandang
kagum.
"Saritama, kau ini....... aneh sekali."
"Mengapa aneh?"
"Betapa tidak? Kau memusuhi ayahku, membenci ayah danmenculik pergi Dewi Saraswati, ia menjadi marah sekali. Akan
tetapi apa daya, pemuda itu terlampau tangguh baginya. Diam-
diam ia lalu menghampiri Tomblok yang masih rebah sambil
menangis. Para ponggawa yang sibuk mengejar Saritama tidak
memperdulikan pendeta itu hingga taman itu kembali menjadi
sunyi.
"Emban, kau sudah tahu siapa aku, bukan? Nah, kau harus
menutup mulutmu dan jangan sampai orang lain mendengar
tentang peristiwa antara aku dan sang puteri tadi. Kalau kau
sampai bocor mulut, awas! Kerisku ini akan menamatkan
hidupmu!"
Dengan ketakutan dan tubuh menggigil, Tomblok
menyatakan kesanggupannya, dan akhirnya berkata, "Jangan
kuatir, Sang Bagawan, oleh karena pada akhirnya bukan kau yang
membawa pergi gusti puteri, akan tetapi pemuda itu!" Tomblok
lalu menangis ketika teringat akan Saraswati yang tertawan
musuh. Kemudian, setelah mengancam dengan keras sekali lagi,
Bagawan Kalamaya lalu meninggalkan tempat itu, sedangkan
Tomblok lalu lari masuk untuk memberi laporan kepada ibu
Saraswati.
Maka geger dan ributlah di dalam gedung ketika kaum
wanitanya mendengar cerita Tomblok. Terdengar tangis dan
keluh-kesah seakan-akan ada kematian dalam rumah itu.
Pada keesokan harinya, di Pacet juga terjadi keributan ketika
para ponggawa yang menyusul Tumenggung Wiradigda telah
menyampaikan berita itu. Adipati Pacet yang bernama Tirtaganda
juga marah sekali mendengar betapa calon isterinya dilarikan
orang.
"Si keparat Saritama!" teriaknya dengan kumis berdiri karena
marahnya. "Berani kau megganggu calon isteriku?" Sambil
berkata begitu Tirtaganda mencabut kerisnya, seakan-akanSaritama telah berada dan berdiri di depannya!
"Ananda Adipati, maafkan aku karena tak dapat lebih lama
berada di sini," kata Tumenggung Wiradigda yang wajahnya
menjadi pucat.
"Paman Tumenggung, bagaimana tentang perjodohan itu?
Hari pernikahan belum ditetapkan dan perundingan kita belum
selesai, mengapa kini pamanda hendak pulang?"
Bukan main mendongkolnya hati Wiradigda mendengar ini.
Sudah jelas bahwa Saraswati diculik orang, akan tetapi calon
mantu ini masih hendak bicara tentang hari pernikahan segala.
"Ah, tentang itu bagaimana nanti saja, ananda," katanya
dengan suara kurang senang. Tumenggung Wiradigda dan
ponggawanya lalu keluar dari kadipaten dan menunggang kuda
dengan secepatnya kembali ke Tangen. Di sepanjang jalan ia
menyuruh para ponggawa itu menceritakan segala peristiwa yang
terjadi di Tangen. Ketika mendengar yang menculik puterinya
adalah putera dari almarhum Adipati Cakrabuwana, wajah
Tumenggung Wiradigda makin pucat. Ia lalu mempercepat lari
kudanya hingga siang hari itu juga mereka telah tiba di Tangen.
Dari semua ponggawa yang malam hari kemarin
mengeroyok Saritama, ia mendapat keterangan betapa sakti dan
perkasa pemuda musuhnya itu. Maka diam-diam Tumenggung
Wiradigda merasa kuatir dan cemas. Ia sudah mulai menjadi tua
dan tenaganya telah banyak berkurang hingga ia merasa bahwa
iapun takkan dapat menghadapi pemuda yang menjadi musuhnya
itu. Selain itu, Tumenggung Wiradigda juga merasa menyesal
sekali mendengar bahwa keturunan Adipati Cakrabuwana kini
datang menuntut balas. Ia tidak dapat membawa barisannya untuk
mengejar dan mengepung Saritama, oleh karena selain hal ini
memalukan dan menjatuhkan namanya, juga ia kuatir kalau-kalau
pemuda itu akan membinasakan puterinya. Maka ia lalumengumumkan kepada semua ponggawanya untuk mengadakan
sayembara untuk memilih seorang yang benar-benar gagah
perkasa untuk mengawaninya mengejar Saritama di Tritis! Dan
oleh karena kebingungannya, Tumenggung yang sudah tua ini
bahkan lalu menyatakan bahwa siapa yang terpilih dan akhirnya
berhasil merebut kembali puterinya dari tangan Saritama, ksatria
ini akan dipungut mantu dan dijodohkan dengan Dewi Saraswati!
Setelah mengadakan pengumuman ini, Tumenggung
Wiradigda memasuki kamarnya, disambut oleh isterinya yang
cantik dan yang sedang menangis sedih memikirkan nasib
anaknya.
"Rakanda tumenggung, bagaimanakah baiknya.......? Aduh,
Saraswati anakku......"
Tumenggung Wiradigda menghela napas. "Akhirnya
Cakrabuwana dapat juga membalas dendam, sungguhpun
pembalasan dendam ini kurang tepat. Memang, sampai matipun
Cakrabuwana akan selalu menyangka bahwa aku yang
memfitnahnya! Cakrabuwana...... sungguh besar rasa sakit hatimu
padaku....... dan semua ini hanya karena engkau, Mirah."
Isterinya menangis makin sedih. Terbayanglah segala
peristiwa dan pengalaman di waktu muda. Memang dulu dia telah
mempunyai hubungan yang mesra dengan Cakrabuwana, akan
tetapi akhirnya ia harus mengalah kepada pilihan ayahnya hingga
ia dikawinkan dengan Wiradigda. Akan tetapi, dia tidak menyesal
oleh karena ternyata kemudian bahwa Wiradigda adalah seorang
yang baik dan suami yang bijak hingga hidupnya cukup bahagia.
Sungguh menyesal bahwa diantara Wiradigda dan Cakrabuwana
terdapat dendam hati yang besar, sungguhpun mereka berdua tak
pernah menyatakannya. Pada bulan-bulan pertama, Wiradigda
yang telah menjadi suaminya itu seringkali menyatakan
ketidaksenangan hatinya dan rasa cemburunya, akan tetapilambat-laun, sikap inipun lenyap, apalagi setelah anak mereka
Saraswati itu lahir.
Pada waktu itu, memang banyak terjadi pemberontakan dari
para adipati dan tumenggung yang tidak merasa puas dengan
pemerintah yang dipegang oleh Ratu Wanita, akan tetapi semua
pemberontak itu dapat ditumpas oleh Patih Gajah Mada.
Akhirnya dengan mempergunakan lidahnya yang tajam dan
hubungan yang baik dan erat dengan fihak keraton, seorang
pejabat tinggi dapat memfitnah Cakrabuwana dan menuduhnya
hendak memberontak pula. Kerajaan lalu mengirim bala-tentara
dan Adipati Cakrabuwana beserta seluruh keluarganya di Pacet
dihancurkan. Dan celakanya, tentara penumpas pemberontakan
ini sebelum menuju ke Pacet, terlebih dahulu berhenti dan
bermalam di Tangen hingga tentu saja mudah menimbulkan
persangkaan bahwa Wiradigdalah yang menjadi biang keladi
penumpasan itu!
Padahal pejabat tinggi yang telah memfitnah itu bukan lain
orangnya adalah Adipati Tirtaganda sendiri! Ketika itu, Adipati
Tirtaganda masih sangat muda oleh karena sebagai putera
seorang pangeran ia merasa dikalahkan dalam kemajuan oleh
Cakrabuwana, seorang pemuda keturunan rendah saja, timbul iri
hatinya dan ia lalu menggunakan kedudukannya sebagai putera
pangeran untuk memfitnah adipati itu!
Akan tetapi, hal ini hanya diketahui oleh Wiradigda seorang ,
yang dapat menduga dengan tepat, walaupun tidak berani
menyatakan dengan mulut. Dan menurut anggapan Wiradigda,
oleh karena hal itu telah terjadi dan tak dapat dicegah lagi maka
ia lalu menutup mulut. Tak disangkanya sama sekali bahwa
keturunan Adipati Cakrabuwana masih hidup dan kini tiba-tiba
saja datang membalas dendam ayahnya kepada...... dia!
Demikianlah, dengan hati penuh penyesalan TumenggungWiradigda berdiam diri di dalam kamarnya dan ia telah
mengambil keputusan tetap untuk membatalkan perjodohan
puterinya dengan Adipati Tirtaganda yang menjadi biang keladi
tersembunyi daripada segala peristiwa ini!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi, benar di halaman
tumenggung telah berkumpul banyak sekali ponggawa dan
pemuda-pemuda yang hendak memasuki sayembara. Akan tetapi,
kepala ponggawa yang telah mendapat perintah dan petunjuk
Tumenggung Wiradigda, lalu mengadakan pemilihan lagi dan
diantara berpuluh ponggawa dan satria yang hendak mengikuti
sayembara ini, hanya ada dua belas orang yang ia pilih. Tiba-tiba
diantara para penonton yang banyak jumlahnya, keluarlah
seorang yang cakap dan gagah. Pemuda ini menghadap kepala
ponggawa dan berkata,
"Perkenankanlah saya untuk mengikuti sayembara ini."
Kepala ponggawa memandangnya dengan tajam. Ia melihat
bahwa pemuda ini biarpun halus dan sopan-santun, namun
memiliki tubuh yang padat dan sepasang mata yang bersinar
ganjil dan tajam, maka ia dapat menduga bahwa satria ini
tentulah bukan orang sembarangan.
"Siapa namamu, raden?" tanyanya.
"Saya adalah Jakalelana dari pesisir selatan," jawab yang
ditanya.
Kepala ponggawa maklum bahwa nama ini bukanlah nama
aseli dan tentu pemuda ini ingin menyembunyikan keadaan
dirinya, maka ia makin tertarik.
"Baiklah, mari kau ke sini, berkumpul dengan dua belas
orang pengikut sayembara yang lain."
Dengan demikian, maka jumlah pengikut yang terpilih adatiga belas orang.
Ketika Tumenggung Wiradigda keluar dari gedungnya,
dengan girang ia melihat bahwa ketiga belas calon yang tepilih
oleh kepala ponggawa adalah orang-orang muda yang gagah
perkasa. Ia menyatakan kecocokan hatinya dan memberi tanda
agar supaya pertandingan adu kesaktian segera dimulai untuk
memilih seorang jago yang sakti dan yang akan menyertainya
menghadapi Saritama!
Gong ditabuh keras dan semua penonton dipersilakan
mundur untuk memberi tempat bagi para peserta. Cara adu
kepandaian dan kesaktian yang dilakukan pada waktu itu ialah
mengadu semua peserta supaya mereka berkelahi tanpa
membekal senjata. Yang menang terakhir, dialah yang menjadi
juara!
Atas isarat kepala ponggawa, dua peserta maju ke dalam
kalangan dan mereka segera bertempur. Keduanya
memperlihatkan kepandaian masing-masing, pukul-memukul,
tendang-menendang, banting-membanting, diikuti sorak-sorai
para penonton. Demikianlah, dari dua belas orang peserta, yang
menang ada enam orang, sedangkan Jakalelana oleh karena
datangnya paling akhir dan merupakan angka ganjil, tidak
mendapat lawan!
Kemudian enam orang pemenang itu lalu diadu kembali atas
pilihan ponggawa dan dalam babak kedua inipun, Jakalelana
tidak mendapat lawan oleh karena keenam pemenang itu telah
menjadi tiga rombongan.
Setelah petandingan selesai dan para pemenang kini tinggal
tiga orang saja, maka pemuda itu nampaknya kurang puas dan
tidak senang. Tiba-tiba ia berdiri dan berkata kepada
Tumenggung Wiradigda."Maafkan saya, Gusti Tumenggung. Oleh karena ketiga
saudara ini telah berkelahi dua kali dan tentu mereka ini telah
lelah, maka tidak adillah apabila saya harus menghadapi mereka
seorang demi seorang. Saya semenjak tadi tak kebagian lawan
dan saya belum bertempur satu kalipun, maka apabila paduka
mengizinkan biarlah sekarang mereka bertiga ini maju berbareng
menghadapi hamba! Apabila hamba kalah biarlah ini dianggap
bahwa saya tak berharga untuk menjadi pengikut paduka
menemui Saritama."
Tumenggung Wiradigda tertarik sekali kepada pemuda yang
tampan dan yang halus tutur katanya itu.
"Hai, satria yang gagah dan tampan, siapakah namamu?"
"Hamba bernama Jakalelana, Gusti Tumenggung."
Tumenggung Wiradigda tertawa. "Baiklah, untuk kali ini kau
boleh menggunakan nama itu, akan tetapi apabila kau telah
terpilih dan menang dalam sayembara ini, kau harus
memberitahukan namamu yang sebetulnya."
Pemuda itupun tersenyum. "Baik, Gusti Tumenggung.
Apabila dewata memberkahi hamba hingga hamba menang dalam
sayembara ini, pasti hamba akan memperkenalkan diri hamba
sebenarnya."
Tumenggung Wiradigda memberi isarat dan pertandingan
babak ketiga dipersiapkan. Semua penonton memandang gembira
oleh karena kali ini tentu akan ada pertunjukan yang hebat
menarik. Siapakah pemuda tampan yang begitu berani mati
menantang ketiga pemenang itu untuk maju berbareng?
Para ponggawa lalu minta supaya penonton mundur hingga
kalangan menjadi lebih lebar oleh karena yang hendak bertanding
kini adalah empat orang. Ketiga pemenang itu menanti sambil
duduk dan dada mereka yang bidang itu berkilat karena peluh.Ketiganya masih muda dan kesemuanya bertubuh tinggi besar.
Akan tetapi, ketika mereka ini mendengar usul permintaan
pemuda yang bertubuh tak berapa besar dan nampaknya tak
berapa kuat itu, mereka saling pandang dan tersenyum mengejek.
Setelah mendapat isarat dari kepala ponggawa maka ketiga
orang pemenang itu berdiri dan bersiap di hadapan Jakalelana.
Pemuda ini dengan tenang lalu menghampiri mereka. Para
penonton tak ada yang mengeluarkan suara hingga keadaan
menjadi sunyi seakan-akan di situ tidak terdapat seorangpun!
Semua mata kini memandang kepada Jakalelana dengan penuh
kekhawatiran. Memang kalau dipandang amat ganjil, karena
Jakalelana yang bertubuh tak besar dan yang nampaknya lemah-
lembut itu berdiri menghadapi tiga orang lawan yang demikian
kuat dan gagahnya!
Tiba-tiba saja datangnya, bagaikan mendapat aba-aba, ketiga
orang pemenang itu lalu maju menubruk dan menyerang.
Agaknya mereka hendak merobohkan Jakalelana dalam satu
gerakan saja. Serangan mereka ini sangat dahsyat, bagaikan
serangan ombak samudra! Para penonton manahan napas dan
memandang ke arah Jakalelana dengan kuatir akan tetapi tiba-tiba
mereka menjadi heran tercengang oleh karena bagaikan seekor
burung srikatan yang gesit sekali, tubuh Jakalelana telah
melayang di atas melewati kepala ketiga lawannya dan kini
berada di belakang mereka sambil bertolak pinggang! Kini
marahlah ketiga orang itu.
Sambil menggeram mereka maju menyerbu lagi sekuat
tenaga. Akan tetapi lagi-lagi Jakalelana memperlihatkan
kegesitannya. Sambil melompat ke kanan kiri ia berhasil
mengelakkan semua serangan dan kadang-kadang menangkis
dengan lengan tangannya. Tiap kali melompat, tak pernah lupa ia
memberi tepukan atau colekan dengan tangan dan kakinya hinggasemua penonton yang melihat betapa ketiga orang itu
dipermainkan oleh Jakalelana, tertawa geli dan bersorak-sorak
makin hebat.
Juga Tumenggung Wiradigda yang menonton pertandingan
ini, diam-diam terkejut sekali. Hebat sekali pemuda ini, pikirnya.
Bahkan ia akui bahwa ia sendiri tak sanggup mengalahkan
pemuda itu dalam ilmu perkelahian. Alangkah gagah, cepat,
tangkas, dan cekatan. Tiada ubahnya sebagai seekor burung
garuda menyambar-nyambar lawannya. Ah, pantas benar pemuda
ini menjadi suami Saraswati, pikir Tumenggung Wiradigda.
Sama-sama tampan sama-sama muda. Diam-diam hatinya
menjadi girang dan timbul harapannya. Dengan pemuda seperti
ini sebagai kawan, mustahil ia takkan dapat merebut kembali
anaknya dari tangan Saritama.
Jakalelana merasa sudah cukup mempermainkan ketiga
lawannya. Tiba-tiba ia mempercepat gerakannya dan begitu kaki
tangannya bergerak, maka bergelimpanganlah tubuh ketiga orang
lawannya tanpa sanggup bangun kembali. Kemenangan yang
mutlak ini disambut dengan gegap-gempita oleh para penonton.
"Hai, Jakalelana. Dengan disaksikan oleh semua penonton
dan semua ponggawa, kau kunytakan sebagai pemenang dalam
sayembara ini!" Tumenggung Wiradigda berseru keras dan kata-
katanya ini disambut dengan sorak-sorai oleh para penonton.
"Sekarang, sebelum kau menyertai aku untuk menghadapi
musuh, kau harus memenuhi janjimu tadi dan perkenalkan dirimu
sebenarnya. Siapakah namamu dan dari mana asalmu?"
Pertanyaan ini disambut oleh para penonton dengan penuh
perhatian hingga keadaan menjadi sunyi sepi, karena semua
penonton dan bahkan para ponggawa dan para pengikut
sayembara ingin sekali mendengar siapa adanya pemuda gagah
perkasa ini Jakalelana tersenyum dan bangkit berdiri dengan perlahan. Ia
memandang ke sekeliling, kemudian menatap wajah
Tumenggung Wiradigda. Ketika berkata-kata suaranya terdengar
nyaring sekali dan bagi telinga semua pendengarnya, ucapan dan
jawabannya merupakan suara guntur di siang hari!
"Tumenggung Wiradigda dan semua orang Tangen,
dengarlah baik-baik! Kalian semua hendak mengenal aku? Nah,
pasanglah telingamu lebar-lebar karena aku adalah putera dari
Adipati Cakrabuwana dan namaku ialah Saritama!"
Pucatlah wajah Tumenggung Wiradigda mendengar ini.
Tumenggung sudah tua ini bangkit berdiri dengan muka sebentar
pucat sebentar merah.
"Kalian mendengar sendiri betapa Tumenggung Wiradigda
telah memilih Saritama sebagai mantu, maka apa perlunya
mengejar-ngejar Saritama? Ha, ha, ha!" Saritama tertawa
mengejek.
"Keparat, jangan kau mempermainkan orang!" Tumenggung
Wiradigda bangkit berdiri dengan marah sekali. Mereka siap
dengan senjata di tangan dan hendak menyerbu pemuda itu.
Akan tetapi Saritama mempergunakan kesaktiannya. Siapa
saja berani datang dekat tentu roboh karena pukulan atau
tendangannya. Ketika Tumenggung Wiradigda sendiri datang
menyerang, Saritama melompat pergi jauh dan pemuda itu lalu
melarikan diri sambil berkata,
"Wiradigda! Tantanganku masih berlaku, tapi tidak di sini!
Kalau kau memang jantan, datanglah ke Tritis untuk membuat
perhitungan!"
"Baik, Saritama, pemuda sombong! Kau kira aku takut
padamuTumenggung Wiradigda lalu lari memasuki rumahnya dan
sebentar kemudian ia berlari keluar sambil membawa tombak
pusakanya yang ampuh. Ketika para ponggawa beramai-ramai
hendak ikut mengejar, tumenggung yang tua itu berhenti dan
membentak,
"Kalian hendak membuat malu aku? Hayo mundur dan
kembali! Aku sendiri masih sanggup menghadapi Saritama!"
Semua ponggawa mundur ketakutan, sedangkan Tumenggung
Wiradigda dengan muka merah lalu melanjutkan perjalanannya
ke Tritis!
Ketika ia tiba di sebuah hutan di mana kemarin dulu
Saritama dan Saraswati bercakap-cakap, tiba-tiba muncul
beberapa belas orang dan alangkah kagetnya ketika melihat
bahwa yang muncul ini tidak lain adalah Adipati Tirtaganda dan
beberapa orang ponggawanya!
"Tirtaganda, mengapa kau menghalangi perjalananku?" tanya
Tumenggung Wiradigda yang tiba-tiba menjadi marah melihat
orang ini oleh karena teringat bahwa orang inilah yang menjadi
biang keladi permusuhannya dengan Saritama.
Adipati Tirtaganda tersenyum mengejek. "Tumennggung
Wiradigda! Kau tak patut menjadi seorang tumenggung oleh
karena kau telah melanggar janjimu sendiri. Aku mendngar
bahwa kau mengadakan sayembara dan memilih mantu, betulkah
ini?"
"Betul!"
"Bukankah kau sudah berjanji hendak menjodohkan
puterimu dengan aku?"
"Tirtaganda, jangan kau menambah-nambahi sendiri. Siapa
yang berjanji? Kita baru mengadakan perundingan akan tetapi
perkara itu belum jadi dan belum masak. Kau maklum bahwaputeriku telah diculik oleh putera Adipati Cakrabuwana yang
dulu kau khianati! Kaulah biang keladi segala malapetaka ini.
Kau yang memfitnah Cakrabuwana, akan tetapi sekarang
puteranya membalasnya kepadaku! Seharusnya kau sebagai laki-
laki harus berani bertanggung jawab dan pergi menghadapi
Saritama, oleh karena kaulah musuh besarnya, bukan aku! Aku
hanyalah menjadi kurban kesalahfahaman yang agaknya timbul
semenjak Cakrabuwana masih hidup! Aku hanya akan
menjodohkan puteriku apabila dia suka menerimanya. Kalau kau
dapat merebut kembali Saraswati dari tangan Saritama, dan kalau
anakku sudi menjadi isterimu, aku orang tua takkan
melarangnya!"
"Ha,ha,ha! Wiradigda, kau memutar-mutar lidah bagaikan
wanita! Baik kau, maupun Saritama hari ini tentu mampus dalam
tanganku, sedangkan Saraswati, mau tidak mau harus menjadi
isteriku!"
"Bangsat besar, majulah kalau kau hendak mengenal tombak
pusaka Tumenggung Wiradigda!" kata tumenggung tua itu sambil
mengacung-acungkan tombaknya.
"Maju, serbu!" Tirtaganda memberi perintah, dan belasan
orang itu lalu maju mengurung. Tumenggung Wiradigda hendak
mengamuk, akan tetapi jumlah lawannya cukup banyak dan
cukup tangguh, maka tak lama kemudian ia terdesak hebat dan
keselamatannya terancam!
Pada saat itu, dari balik sebatang pohon besar keluarlah
seorang pemuda yang tidak lain ialah Saritama sendiri! Pemuda
ini telah mendengar semua percakapan tadi dan timbul keraguan
dalam hatinya. Benarkah bahwa Tumenggung Wiradigda bukan
orang yang memfitnah ayahnya? Akan tetapi, oleh karena
mendengar bahwa orang yang mengeroyok Wiradigda adalah
Tirtaganda, bandot tua yang dibencinya, Saritama lalu melompat maju dan tanpa berkata apa-apa ia lalu menyerbu membela
Tumenggung Wiradigda!
Sepak-terjang pemuda ini hebat sekali hingga dalam sekejap
saja beberapa orang ponggawa kena dirobohkan.
"He, pemuda, siapakah kau?" bentak Tirtaganda.
"Bangsat dan bandot tua tak tahu malu! Dengarlah, aku
adalah Saritama putera Cakrabuwana! Jadi kaupun memfitnah
mendiang ayahku? Kalau begitu, kematianlah bagianmu!" Sambil
berkata demikian, Saritama menyerang hebat dan sebuah pukulan
yang disertai Aji Bromojati tepat mampir di pangkal telinga
Tirtaganda! Adipati itu memekik ngeri dan roboh dengan tubuh
hangus dan tewas seketika itu juga! Melihat hal ini para kaki
tangannya lalu lari ketakutan!
Saritama lalu menghadapi Wiradigda dengan mata
mengancam, akan tetapi Tumenggung itu sama sekali tidak takut.
"Kau juga hendak membunuhku?" Boleh, cobalah kalau kau
dapat!" Tumenggung itu menantang dengan suara keras.
Akan tetapi, oleh karena telah mendengar percakapan tadi,
hati pemuda itu menjadi ragu-ragu.
"Aku akan menangkapmu!" Ia lalu menyerbu secepat kilat.
Wiradigda mengangkat tombaknya dan menusuk ke arah dada
Saritama. Akan tetapi pemuda itu mengelak ke samping dan dari
samping bergerak hendak merampas tombak. Tumenggung
Wiradigda bukan orang lemah, maka tak mudah saja bagi
Saritama untuk merampas tombak itu. Demikianlah, pemuda dan
orang tua ini bertempur lama oleh karena Saritama tak hendak
membunuhnya, hanya hendak menawannya saja. Kalau pemuda
itu mau menjatuhkan tangan jahat, pasti Wiradigda takkan kuat
menahan.Akhirnya, karena tenaga Wiradigda yang sudah tua itu telah
banyak berkurang dan ia telah merasa lelah sekali sebuah
tendangan Saritama tepat mengenai pergelangan tangannya
hingga tombak yang dipegangnya terlempar jauh. Sebelum
Tumenggung Wiradigda sempat mengelak, Saritama telah
menyergapnya dengan kedua lengan tangannya yang kuat!
Pemuda itu lalu mempergunakan sarung tumenggung itu sendiri
untuk mengikat kedua tangan Tumenggung Wiradigda ke
belakang. Kemudian ia pungut tombak tumenggung itu dan
membentak,
"Hayo jalan!"
Saritama, kenapa aku tidak kau bunuh saja? Tak perlu aku
dikasihani, tak perlu aku menyangkal dan membela diri
menyatakan kebersihanku. Kalau kau anggap aku sebagai
pengkhianat ayahmu, bunuh saja. Wiradigda tak takut mati!"
"Bunuh kau.......? Mudah, itu perkara nanti. Hayo jalan!"
Dengan ujung tombaknya Saritama memaksa orang tua itu
berjalan maju menuju ke Tritis.
Ketika mereka tiba di dusun Tritis yang kosong sepi, dari
dalam sebuah pondok bobrok keluarlah seorang gadis cantik jelita
yang segera berlari menyambut mereka.
"Ayah........!"
"Saraswati.....! Kau selamat, nak? Terima kasih, Dewa!"
Saraswati ketika melihat ayahnya dibelenggu, menjadi marah
sekali dan sambil mengangkat dadanya ia menghadapi Saritama.
Saritama hanya menundukkan kepala dengan bingung. Ia
hampir tak dengar ucapan Saraswati oleh karena pada saat itu
pikirannya bekerja keras dan diputar-putar memikirkan tentang
percakapan antara Wiradigda dan Tirtaganda tadi. Ia menyesalmengapa ia telah menewaskannya, kalau tidak, ia dapat memaksa
adipati itu untuk memberi keterangan dan penjelasan.
Melihat betapa Saritama tunduk saja dan agaknya takut
kepada anaknya, Wiradigda memandang dengan heran sekali,
sedangkan Saraswati lalu membuka belenggu ayahnya.
"Saritama, kau telah melakukan kekacauan di Tangen, telah
menculik aku, dan kini berani pula menangkap ayahku. Tahukah
kau bahwa kau telah melakukan pelanggaran besar sekali? Kalau
Kerajaan Majapahit mengetahui hal ini, kau bisa dianggap
sebagai seorang pemberontak!"
"Dia bahkan telah membunuh Adipati Tirtaganda!" kata
Tumenggung Wiradigda.
Mata Saraswati yang lebar dan indah itu terbelalak
memandang kepada Saritama. Kegirangan besar memancar
keluar dari sepasang mata itu.
"Apa? Bandot tua itu telah kau tewaskan? Ah, Saritama....."
tapi gadis itu segera mengubah suaranya ketika berkata. "Kalau
begitu dosamu lebih besar lagi!"
Saritama berkata, "Saraswati, terserah, kepadamulah! Aku
..... aku bingung sekali. Sebetulnya saja paman Tumenggung
Wiradigda, apakah yang telah terjadi dengan mendiang ayahku?
Tadi aku mendengar percakapanmu dengan Tirtaganda.
Bagaimanakah terjadinya pemfitnahan terhadap keluargaku itu
sesungguhnya?"
Maka Tumenggung Wiradigda lalu menceritakan semua
peristiwa dahulu itu dengan jelas. Saraswati yang baru kali ini
mendengar bahwa ibunya adalah bekas kekasih ayah Saritama,
mendengarkan dengan hati tertarik pula. Saritama sendiri ketika
mendengar betapa ia telah salah sangka dan menjatuhkan
pembalasan kepada orang yang tidak berdosa, segera menundukkan muka dengan menyesal dan malu. Akan tetapi, ia
masih merasa ragu-ragu, maka ia berkata,
"Paman Tumenggung, kalau memang Tirtaganda yang
berkhianat dan kau tidak berbuat apa-apa terhadap mendiang
ayahku maka aku telah berlaku sangat keji dengan menculik
dinda Saraswati dan paman sendiri. Akan tetapi, keterangan itu
kudapat dari Paman Panembahan Sidik Panunggal, mungkinkah
beliau salah sangka pula?"
"Apa? Sidik Panunggal masih hidup? Di manakah dia
sekarang?" Wajah Tumenggung Wiradigda berseri oleh karena
Panembahan ini dulu adalah kawan baiknya.
"Aku berada di sini, Wiradigda! Dan kau Saritama, aku tak
pernah salah sangka!" Tiba-tiba saja, entah darimana datanganya,
Panembahan yang sakti itu telah muncul di situ sambil
tersenyum.
"Saritama, memang semua yang diceritakan oleh
Tumwnggung Wiradigda tadi benar belaka. Aku pun telah dapat
menduga hal ini, akan tetapi ketahuilah bahwa semua orang,
kecuali Tumenggung Wiradigda dan Adipati Tirtaganda, semua
menganggap bahwa biang keladi pembasmian Tritis adalah
Tumenggung Wiradigda. Aku tidak bisa meyalahi hukum karma,
dan aku tidak mau membantah pendapat umum. Aku sengaja
menceritakan kepadamu menurut pandangan umum dan adalah
menjadi kewajibanmu sendiri untuk menyelidiki dan
membongkar rahasia ini. Akan tetapi, sebelum aku menuturkan
dengan jelas, kau telah tak tahan dan segera pergi terdorong hawa
nafsumu. Untung sekali, Dewata berlaku murah dan aku tidak
salah tangan Saritama. Sekarang kau harus minta maaf kepada
Tumenggung Wiradigda."
Saritama segera maju berlutut dan menyembah kepada
Tumenggung itu yang menerimanya dengan senyum legit "Wiradigda, selanjutnya terserah kepadamu. Aku hendak
segera kembali ke Gunung Kidul. Saritama kelak bila kau
mempunyai kesempatan, ajaklah isterimu mengunjungi pondokku
di Gunung Kidul!"
Saritama heran, akan tetapi sebelum ia sempat bertanya,
Panembahan Sidik Panunggal sudah berkelebat pergi!
Tumenggung Wiradigda dapat menangkap maksud perkataan
pendeta itu, maka ia hanya tersenyum saja. Hatinya girang sekali
dan diam-diam ia mengucap sukur kepada Dewata Yang Maha
Agung.
Ayah, bagaimana dengan soal ini? Kita harus
membelenggunya untuk membalas perlakuannya terhadapmu
tadi!" kata Saraswati kepada ayahnya. "Kita tidak berdosa akan
tetapi telah mendapat banyak hinaan dan gangguan dari Saritama,
maka apakah kita takkan membalas?"
Tumenggung Wiradigda tersenyum. "Kau mau
membelenggunya? Belenggulah, Saraswati!"
Saritama juga tersenyum. Hati pemuda ini sekarang merasa
girang luar biasa mendapatkan keterangan dari Panembahan Sidik
Panunggal bahwa Wiradigda benar-benar tidak berdosa! Ia
memandang kepada Saraswati dengan wajah berseri.
"Betul kata Rama Tumenggung Wati. Belenggulah aku!"
Kedua mata dara itu terbelalak heran dan kemarahan
menjalar di mukanya. "Kau...... kau kurang ajar......!" katanya
gemas sekali. "Mengapa kau berani mati menyebut rama (ayah)
kepada ayahku?’
"Ayahmu telah menerimaku sebagai mantunya, mengapa aku
tidak boleh menyebutnya rama?" jawab Saritama yang tetap
tersenyum."Ayah........ ?" hanya demikian Saraswati dapat bertanya
sambil memandang wajah ayahnya.
Tumenggung Wiradigda mengangguk-anggukkan kepala.
"Memang benar! Aku telah menggunakan kau sebagai hadiah
sayembara ketika kau terculik dan yang memenangkan
sayembara itu adalah Saritama!"
"Kau...... kau......!" Saraswati menoleh kepada Saritama dan
hendak memaki lagi, akan tetapi ketika pandang matanya
bertemu dengan pandang mata Saritama, maka menjalarlah warna
merah pada wajahnya sampai ke telinga.
"Saraswati, mari sini, ikatlah tanganku! Belenggulah aku,
aku menyerah menjadi tawananmu," Saritama menggoda.
"Kau...... kau kurang ajar!" Saraswati lalu cemberut dan
berjalan cepat menyusul ayahnya yang telah mendahului mereka
pergi menuju ke Tangen.
Saritama mengejar dan di sepanjang jalan tidak hentinya
Saritama menggoda Saraswati hingga gadis ini menjadi malu
dan....... girang.
Setelah berjalan jauh dan merasa lelah dan sakit telapak
kakinya menginjak-injak batu dan kerikil tajam, kembali
Saritama menggunakan kekuatan lengannya memondong tubuh
gadis kekasihnya itu. Dan kini Saraswati tidak meronta-ronta
seperti dulu lagi!
–––––GS–––––
TAMAT
Create : matjenuh channel
0 comments:
Posting Komentar