Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Jumat, 21 Juni 2024

SATRIA GUNUNG KIDUL

 

https'//matjenuh-channel.blogspot.com

Satria Gunung Kidul

Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Raja wanita atau Ratu di Majapahit yang bernama Sri Gitarja 

atau Tribuwana Tungga Dewi, yang disebut juga Bhre Kahuripan 

(1328 - 1359), lebih dikenal dalam dongeng "Minakjinggo 

Damarwulan" sebagai Prabu Kenya (Raja Wanita) Diah Kencana 

Wungu.

Di dalam dongeng sejarah itu diceritakan bahwa Prabu 

Kenya Diah Kencana Wungu ini menikah dengan Raden 

Damarwulan yang menurut catatan sejarah sebenarnya bernama 

Cakradara dengan gelar Kertawardana.

Sepasang suami-isteri kerajaan yang terkenal ini mempunyai 

seorang putera yang diberi nama Hayam Wuruk (Ayam Muda). 

Hayam Wuruk inilah yang akhirnya menduduki tahta kerajaan 

sebagai Raja Majapahit dengan bergelar Prabu Rajasanegara 

(1350 - 1389).

Selama tiga puluh sembilan tahun. Sang Prabu Hayam 

Wuruk amat bijak dan pandai mengendalikan pemerintahan dan 

pada jaman itu, kerajaan Majapahit mencapai puncak kebesaran 

dan kemakmurannya, menjadi Kerajaan yang terbesar dan terkuat 

dalam kepulauan Nusantara. Bahkan dalam jaman ini pula nama 

Majapahit dikenal, disegani, dan dikagumi oleh negara-negara 

seberang lautan, termashur sampai ke tiongkok, India, Campa, 

Kamboja, anam. Hubungannya dengan negara-negara asing ini 

baik sekali dan saling menghormat, karena Majapahit dianggap 

sebagai kerajaan dan negara besar diantara negara-negara lain di 

dunia.Semua hasil gilang-gemilang ini bukan semata-mata berkat 

kebijaksanaan Prabu Hayam Wuruk seorang, melainkan juga 

berkat jasa-jasa para panglima senapati Majapahit. Terutama 

sekali berkat jasa warangka-dalem atau Patih Gajah Mada, 

seorang perwira yang terkenal karena sakti mandraguna, dan setia 

lahir-batin kepada kerajaan di mana ia mengabdikan dirinya. 

Dalam sejarah, belum pernah terdapat seorang patih seperti Sang 

Perkasa Patih Gajah Mada ini yang membela kerajaan Majapahit 

semenjak ibunda Prabu Hayam Wuruk, yakni Ratu 

Tribuwanatungga Dewi memegang kendali kerajaan. Patih Gajah 

Mada menjalankan tugasnya sebagai seorang patih yang setia 

selama tiga puluh tiga tahun (1331-1364).

Dan pada jaman keemasan Majapahit itulah kisah dibawah 

ini terjadi.

Raja yang memerintah di kerajaan Pajajaran (Pasundan) yang 

beribukota di Pakuan, adalah Sri Baduga Maharaja yang disebut 

juga Ratu Dewata.

Ratu Dewata mempunyai seorang puteri yang terkenal sekali 

karena kecantikannya. Puteri ini bernama Diah Pitaloka 

Citraresmi. Kecantikan Diah Pitaloka Citraresmi memang luar 

biasa dan agaknya sukar dicari keduanya di dunia ini! Bahkan 

Dewi Komaratih sendiri, Dewi Asmara yang terkenal sebagai 

bidadari tercantik di surga, agaknya akan kagum melihat wajah 

dan bentuk tubuh Diah Pitaloka! Tiada cacat celanya, dari ujung 

rambut di kepalanya sampai ke tumit kakinya. Kalau emas, dia 

adalah emas murni yang belum tercampur sedikitpun dengan 

logam lain. Seumpama batu permata, dia adalah mutiara asli yang 

telah digosok oleh tangan seorang ahli. Orang yang melihatnya, 

baik ia laki-laki maupun perempuan, akan terbelalak matanya dan 

ternganga mulutnya karena takjub dan kagum menyaksikan puteri 

nan cantik jelita, ayu dan manis ini!Pada suatu hari, datanglah utusan dari kerajaan Majapahit. 

Ternyata bahwa berita tentang kecantikan Diah Pitaloka tidak 

saja menggoncangkan alam Pasundan, bahkan juga menjadi 

kemang-tutur orang-orang di Majapahit dan akhirnya 

menggerakkan rasaasmara di dalam dada Sang Prabu Hayam 

Wuruk. Maka diutuslah oleh Prabu Hayam Wuruk seorang 

tumenggung untuk menyampaikan pinangannya ke kerajaan 

Pajajaran.

Pada jaman itu, tidak ada raja yang lebih besar dan termashur 

daripada Prabu Hayam Wuruk. Maka, sudah selayaknya kalau 

pinangan Raja Majapahit ini diterima dengan hati gembira dan 

puas oleh Raja Dewata. Prabu Hayam Wuruk terkenal cakap, 

gagah-perwira, masih muda dan belum mempunyai permaisuri 

pula. Maka selain Raja Majapahit siapa pulakah orangnya yang 

lebih pantas mendapat kehormatan untuk mengulurkan tangan 

memetik bunga puspita dari Pajajaran itu?

Betapapun juga, Ratu Dewata sangat menyinta puterinya dan 

takkan puas hatinya kalau belum mendengar keputusan tentang 

pinangan Raja Majapahit itu dari mulut Diah Pitaloka sendiri. Ia 

ingin mendengar pendapat puterinya, maka dipanggilnyalah Diah 

Pitaloka serta diceritakan tentang datangnya utusan yang 

membawa pinangan dari Raja Majapahit, Sang Prabu Hayam 

Wuruk.

Kulit muka yang putih kekuning-kuningan dan halus bersih 

dari Diah Pitaloka segera menjadi merah bagaikan sekuntum 

mawar merah yang indah. Puteri itu menundukkan kepalanya dan 

dadanya turun-naik menahan desakan napasnya. Setelah agak 

reda gelora yang ditimbulkan oleh berita yang disampaikan oleh 

ramandanya itu, dengan suaranya yang merdu dan halus dia 

menjawab sambil menyembah.

"Ramanda prabu, junjungan tunggal di mayapada ini bagihamba. Pendapat dan pikiran apakah yang ramanda kehendaki 

daripada hamba? Segala pendapat dan pikiran yang selalu 

menguasai hati dan ingatan hamba hanya satu, yakni, taat, patuh, 

dan setia kepada segala titah ramanda, sebagaimana layaknya 

seorang anak terhadap orang tuanya!"

Alangkah senangnya Ratu Dewata mendengar sembah 

puterinya ini. Ayah manakah takkan menaruh hati sayang dan 

kasih yang besar terhadap seorang anak yang tidak hanya 

kecantikannya membanggakan hati orang tua, akan tetapi 

terutama yang demikian berbakti?

"Sukurlah, anakku yang manis, Ramanda akan menerima 

pinangan ini oleh karena menurut pendapat dan pandanganku, 

Sang Prabu Hayam Wuruk adalah seorang raja yang berbudi 

bawa laksana, pandai mengatur pemerintahan, dan bijaksana pula. 

Kalau engkau menjadi permaisurinya, ayahmu akan merasa puas 

dan tenteram, oleh karena engkau pasti akan menemui 

kebahagiaan di Majapahit. Semoga dewata yang agung 

melindungimu, Pitaloka."

Maka dengan girang hati Ratu Dewata lalu menjamu utusan 

dari Majapahit itu. Kemudian ia memberi jawabannya dan 

mengabarkan kepada Prabu Hayam Wuruk bahwa selain 

pinangan itu diterima dan dianggap sebagai penghormatan besar 

sekali, Ratu Dewata sendiri berkenan mengantar puterinya ke 

Majapahit dengan membawa berita gembira itu, dan tak lupa 

membawa serta pula hadiah-hadiah untuk sang Prabu.

Ketika berita ini disampaikan kepada rakyat Pajajaran, maka 

bergembiralah semua orang Siapa orangnya yang takkan merasa 

gembira? Puteri kedaton Pajajaran menjadi permaisuri Majapahit! 

Tentu saja rakyat pun ikut merasa bahagia dan bangga. Berita ini 

disambut oleh rakyat dengan meriah, bahkan mereka yang terdiri 

dari golongan berada, lalu menyelenggarakan pesta untukmerayakan dan meriahkan pertunangan itu!

Seluruh Pajajaran berpesta-pora dan bergembira-ria. Hanya 

ada dua orang yang tidak ikut bergembira. Pertama adalah Diah 

Pitaloka sendiri Dara jelita ini sungguhpun di lahir tunduk dan 

patuh kepada ramandanya dan ikut pula memperlihatkan wajah 

gembira untuk menyenangkan hati ayahnya, namun di sudut 

hatinya timbul keraguan dan kebimbangan yang membuatnya 

tidak berbahagia Ia telah mendengar akan kegagahan dan 

kecakapan Prabu Hayam Wuruk dan ia percaya bahwa 

kedudukannya akan terangkat tinggi dan akan mendapat 

kemuliaan besar di Majapahit. Akan tetapi, selama hidupnya ia 

belum pernah bertemu dan melihat dengan mata sendiri keadaan 

Sang Prabu Hayam Wuruk. Kalau boleh dan kalau mungkin, ia 

akan merasa lebih senang jika dijodohkan dengan seorang 

pemuda di Pajajaran sendiri, seorang pemuda yang pernah 

dilihatnya dan yang kegagahan atau kecakapannya telah 

diketahuinya dari pandangan mata sendiri, bukan hanya diketahui 

karena mendengar berita angin seperti halnya Prabu Hayam 

Wuruk! Akan tetapi, dia adalah seorang wanita sejati yang 

memegang teguh kesusilaan, apalagi sebagai seorang puteri raja, 

ia harus memberi teladan bagi kaum putri umumnya, yakni 

kepatuhan terhadap orang tua dengan jalan berkorban. Ia 

menganggap pertunangan ini sebagai penguranan dirinya demi 

kebahagiaan orang tua dan demi kepentingan negara! Bukankah 

kalau dia menerima pinangan dan mentaati kehendak ayahnya, 

maka orang tuanya akan berbahagia? Dan bukankah kalau dia 

menjadi permaisuri Raja Majapahit yang besar dan kuat, maka 

kedudukan Pajajaran pun akan kuat pula?

Orang kedua yang pada saat itu merasa berduka adalah 

seorang pemuda rupawan yang tinggal seorang diri di dalam 

pondoknya. Pemuda ini adalah seorang panglima perang atau 

senapati muda dari kerajaan Pajajaran. Namanya sederhanasekali, yakni Sakri.

Telah tiga tahun Sakri menjadi senapati di Pajajaran. Pemuda 

ini berasal dari Gunung Kidul, di sebuah dusun kecil dekat pantai 

Laut selatan. Ia adalah putera seorang panembahan atau wiku ahli 

tapa yang sakti dan suci. Tidak mengherankan bahwa Sakri 

mendapat gemblengan lahir dan batin oleh ayahnya dan mewarisi 

kesaktian yang hebat mengagumkan. Setelah menjadi dewasa, 

ayahnya menyuruh ia merantau dan mencari pengalaman hidup, 

dan kalau bertemu dengan orang besar yang berjodoh, supaya 

bersuita (menghambakan diri).

Dalam perantauannya, akhirnya Sakri tiba di Pajajaran dan ia 

memasuki gelanggang ujian yang diadakan oleh Ratu Dewata. 

Kesaktian dan kegagahannya mengagumkan dan menyenangkan 

hati Raja Pajajaran hingga ia diterima menjadi seorang senapati 

muda.

Mengapa Sakri berduka mendengar bahwa Diah Pitaloka 

terikat jodoh dengan Raja Majapahit? Mudah diduga, Dada 

pemuda ini telah ditembus panahasmara yang mengandung bisa 

maha ampuh dan luka di dada kirinya makin lama makin 

menghebat. Cintanya terhadap puteri itu makin mendalam dan 

berakar. Akan tetapi, ia hanya seorang senapati muda yang baru 

menghambakan diri. Dia hanyalah seorang hamba dan 

kedudukannya hanya setinggi rumput di ladang. Sedangkan Diah 

Pitaloka adalah seorang puteri raja yang menjadi junjungannya 

dan kedudukan puteri itu setinggi bintang di langit! Kini, 

mendengar tentang diterimanya pinangan Prabu Hayam Wuruk 

atas diri Diah Pitaloka, Sakri hanya dapat menyesali nasib.

Malam itu Sakri tak dapat tidur. Ia duduk di atas sebuah batu 

di belakang pondoknya sambil berpangku tangan dan 

memandang ke arah bintang-bintang yang bertaburan di angkasa 

bebas. Berkali-kali ia menghela napas, tanda dari kehancurankalbunya.

"Habislah harapanku, rusak-binasalah cita-citaku. Duhai 

bintang selaksa, tolonglah aku. Hidupku kosong, tiada pegangan 

lagi. Apa artinya hidupku tanpa dia??"

Berulangkali ia menghela napas dan wajahnya yang tampan 

menjadi sepucat bintang yang teraling mega. Kemudian ia 

teringat akan kampung halaman. Sudah menjadi kelaziman orang 

bahwa dalam saat duka selalu ia akan teringat akan kampung 

halamannya. Ia teringat akan ayahnya, dan teringat pula akan 

adiknya yang bernama Saritama. Kedua orang ini adalah orang-

orang yang terkasih dalam hidupnya, yakni sebelum ia bertemu 

dengan Diah Pitaloka. Setelah seluruh hati dan nyawanya 

tercengkeram oleh kecantikan puteri itu, jarang sekali ia teringat 

kepada ayah dan adiknya. Tapi kini, tiba-tiba terbayanglah wajah 

kedua orang itu di ruang matanya dan ia menjadi rindu sekali 

kepada mereka.

Kenangan ini mengingatkan ia kembali kepada segala petuah 

dan pelajaran ayahnya yang bijaksana. Dan timbulah sesal dan 

kecewa dalam hatiya, Menyesal dan kecewa kepada diri sendiri. 

Bukankah dulu ayahnya pernah menyatakan bahwa cinta suci itu 

tak dikotori oleh segala kehendak dan pamrih untuk kesenangan 

diri sendiri? Bukankah segala perbuatan kebajikan itu baru dapat 

disebut sempurna apabila tidak dinodai oleh nafsu ingin 

menyenangkan diri sendiri? Diah Pitaloka telah dijodohkan 

dengan seorang Raja Besar dan akan menjadi seorang permaisuri 

yang tinggi dan mulia kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia 

daripada kedudukannya sekarang sebagai puteri Pajajaran. 

Bukankah hal ini berarti bahagia bagi Diah Pitaloka? Mengapa ia 

harus menyesal dan berduka? Kalau ia memang benar-benar 

menyintai puteri itu, sudah seharusnya apabila ia ikut bersukur 

melihat orang yang dikasihinya itu menjumpai kemulaiaan danmengecap kebahagiaan. Ah, alangkah sesatnya jalan pikiran dan 

gelora perasaannya tadi. Hampir saja ia dibutakan oleh nafsu 

mudanya.

Sakri menghela napas lagi, akan tetapi kini penuh kesadaran. 

Ia harus menerima nasib, Ia harus berani menerima sakit hati dan 

berani berkurban demi cintanya kepada Diah Pitaloka. Pikiran ini 

melapangkan dadanya dan ia lalu bangun dari duduknya, dan 

masuk ke dalam pondoknya. Terdengar ayam jantan berkeruyuk 

tanda bahwa fajar telah mendatang. Tanpa terasa olehnya, ia telah 

duduk melamun semalam suntuk di belakang rumahnya!

Oleh karena perjalanan dari kerajaan Pajajaran ke kerajaan 

Majapahit bukanlah perjalanan yang dekat dan mudah, maka 

Ratu Dewata memberi perintah agar semua senapati dan 

panglima ikut mengiringkan kepergiannya mengantar Diah 

Pitaloka ke Majapahit. Hanya beberapa orang panglima tua saja 

yang ditinggal di kerajaan untuk menjaga kerajaan. Sakri juga 

tidak ketinggalan dan diharuskan mengiringkan rombongan itu.

Rombongan keluarga agung ini berangkat dengan diantar 

oleh seluruh rakyat sampai di luarkota raja. Di sepanjang jalan, 

rakyat di dusun-dusun yang sudah mendengar akan rombongan 

ini, sudah menanti di pinggir jalan untuk menyambut dan 

menghormat junjungan mereka dan mengagumi kecantiakn Diah 

Pitaloka yang naik dalam sebuah tandu.

Sakri menunggang kudanya yang hitam dan besar. Kuda ini 

adalah hadiah dari Ratu Dewata dana karena berbulu hitam 

mulus, maka ia memberi nama Gagak Tantra. Pemuda ini 

nampak gagah sekali hingga beberapa kali sang puteri yang tanpa 

disengaja menjenguk dari jendela tandu yang tertutup tirai sutera 

biru, melihat dia dengan pandangan mata kagum. Puteri ini 

merasa bangga sekali akan pahlawan-pahlawan dan ksatria-

ksatria Pajajaran. Sambil duduk kembali dan menyandarkantubuhnya di dalam tandu, ia menghela napas dan tersenyum. Di 

dunia ini tidak ada ksatria-ksatria yang hebat dan gagah seperti 

ksatria-ksatria Pajajaran, pikirnya.

Rombongan bergerak maju dengan cepat pada siang hari 

sedangkan pada malam hari rombongan itu bermalam di sebuah 

dusun yang dilalui. Kadang-kadang mereka harus bermalam di 

sebuah hutan, akan tetapi oleh karena rombongan itu telah 

membawa perbekalan lengkap, maka biarpun bermalan di dalam 

hutan, mereka dapat membangun sebuah tempat darurat untuk 

tempat bermalam Sang Prabu dan puterinya.

Pada hari ketujuh, mereka tiba di perbatasan Majapahit yang 

mempunyai daerah luas sekali. Oleh karena kemalaman di sebuah 

hutan yang liar dan luas, terpaksa rombongan itu membangun 

seuah pondok darurat untuk Ratu Dewata dan Diah Pitaloka tanpa 

ada prasangka akan adanya malapetaka yang mengancam 

keselamatan mereka.

Di dalam hutan yang liar itu tinggal serombongan begal yang 

ganas. Kepala begal itu bernama Jatimurka, seorang berusia tiga 

puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis 

menakutkan. Ia sangat digdaya dan memiliki ilmu weduk hingga 

tubuhnya tidak mempan tapak paluning pande (tak dapat dilukai 

oleh senjata tajam)! Disamping kehebatan dan kekebalan ini, dia 

juga telah mempelajari pelbagai ilmu hitam, yakni ilmu sihir yang 

dipelajarinya dari seorang dukun pemuja setan di hutan roban. 

Jatimurka memimpin empat puluh orang lebih anggauta 

perampok rata-rata memiliki ketangkasan dan kepandaian 

berkelahi. Oleh karena ini, mereka ini ditakuti sekali dan jarang 

ada orang di sekitar hutan itu berani memasuki hutan.

Jatimurka telah mendengar akan kedatangan rombongan 

Ratu Dewata dan puterinya yang terkenal cantik-jelita. Maka 

diam-diam ia sendiri bersembunyi di balik rumpun alang-alang dan mengintai. Ketika ia melihat wajahDiah Pitaloka,ia menjadi 

tergila-gila dan biarpun hatinya gentar juga melihat para 

bayangkari (pengawal raja) dan panglima, namun ia telah 

mengambil keputusan tetap untuk menculik sang puteri!

Malam itu gelap-gulita. Suasana di luar lingkungan yang 

dibuat oleh barisan penjaga, sangat menyeramkan. Pohon-pohon 

hutan berubah bagaikan raksasa-raksasa siluman yang tinggi 

besar dan bergerak-gerak. Suara burung-burung malam terdengar 

seakan-akan sekalian isi neraka pada keluar dan datang di hutan 

itu menambahkan seramnya kedadaan.

Berkat ketinggian ilmu batinnya, Sakri menjadi tidak enak 

hati dan merasa seakan-akan ada bahaya mendatang. Tentu saja ia 

tidak dapat memberitahukan kepada orang lain maka diam-diam 

ia mengadakan pemeriksaan dan berkeliling memeriksa para 

penjaga yang ditugaskan menjaga di setiap penjuru. Telah tiga 

kali ia berkeliling, akan tetapi keadaan aman hingga dadanya 

menjadi agak lapang. Pondok tempat Raja dan Puteri beristirahat 

telah sunyi, tanda bahwa penghuninya sudah tidur pulas.

Menjelang tengah malam, tiba-tiba Sakri merasa betapa 

kantuk menyerangnya dengan hebat sekali. Hampir saja ia tak 

dapat bertahan lagi dan ia lalu duduk menyandarkan tubuhnya 

yang letih ke batang pohon jati. Pelupuk matanya bagaikan 

melekat dan sukar sekali dibuka. Tiba-tiba ia ingat akan perasaan 

tadi dan dengan sekuat tenaga batinnya ia melawan rasa 

kantuknya. Ia lalu berjalan ke arah penjaga dan alangkah 

marahnya melihat betapa tiga orang penjaga itu telah tidur saling 

tindih di atas tanah, mendengkur dengan enaknya! Ia pegang 

pundak mereka dan diguncang-guncangkanya. Akan tetapi, tubuh 

penjaga yang tertidur itu bagaikan mayat yang tak mungkin 

terbangun pula! Sakri merasa gemas dan menghampiri penjaga-

penjaga di sudut lain. Sama saja! Penjaga-penjaga di sinipun telah tidur mengorok! Dan tak mungkin dibangunkan lagi, biarpun ia 

telah mengguncang dan menamparnya! Sakri berlari ke dalam 

dan memeriksa para panglima dan bayangkari. Juga mereka 

semua telah tidur pulas!

Sakri terkejut dan maklum. Ini adalah ilmu sirep (ilmu sihir 

untuk menidurkan orang) yang jahat dan mukjijat! Hidungnya 

mencium bau kemenyan dibakar dan kembang cempaka. Celaka! 

Tentu ada orang jahat menjalankan sihirnya hingga semua orang 

kena hikmat sihir itu dan pulas. Kembali rasa kantuk 

menyerangnya. Akan tetapi, Sakri tidak percuma menjadi putera 

Panembahan Sidik Panunggal yang sakti mandraguna di Gunung 

Kidul! Ia lalu duduk menyandarakan diri di batang pohon jati, 

dan berpura-pura tidur pula, akan tetapi ia kerahkan tenaganya 

dan menbaca mantera untuk menolak pengaruh jahat itu. Matanya 

dibuka lebar-lebar memandang dengan penuh perhatian.

Dugaannya memang benar. Jatimurka telah memperlihatkan 

kepandaiannya, ia mempergunakan ilmu sihir Cempaka-nendra 

yang berhasil mempengaruhi seluruh anggauta rombongan, 

kecuali Sakri. Tak lama kemudian, Sakri melihat bayangan hitam 

tinggi besar berkelebat melompati tubuh para penjaga. Bayangan 

hitam itu berhenti sejenak, memandang ke kanan kiri seperti 

lakunya seorang maling, lalu bergerak maju perlahan ke arah 

pondok di mana Ratu Dewata dan Diah Pitaloka bermalam.

Hati Sakri bergetar. Apakah kehendak maling digdaya ini? Ia 

merasa heran dan ingin melihat selanjutnya. Ia tidak segera 

menyerbu, akan tetapi diam-diam mengintai dan berjaga-jaga 

dengan pisau belatinya yang siap di tangan bilamana keadaan 

memerlukan. Bayangan hitam itu membuka pintu pondok dan 

Sakri mengintai dari balik daun pintu dengan perhatian. Oleh 

karena ia melihat bahwa bayangan itu tidak memegang senjata 

tajam, maka ia menduga bahwa bayangan itu tentu hanyabermaksud mencuri barang berharga. Akan tetapi, alangkah 

herannya ketika melihat bayangan hitam itu tidak menghampiri 

peti tempat perhiasan Diah Pitaloka, akan tetapi langsung menuju 

ke pembaringan sang puteri yang tertutup tirai sutera putih.

Tangan Sakri menggigil. Ia tidak berani bertindak di dalam 

kamar Sang puteri, khawatir kalau-kalau mengagetkan dara itu. 

Akan tetapi, keraguannya ini memberi kesempatan kepada 

Jatimurka untuk cepat membuka tirai pembaringan dan secepat 

kilat ia menubruk, Puteri juwita itu telah berada dalam 

pondongannya dan Jatimurka melompat keluar!

Bukan main marahnya Sakri ketika melihat bahwa 

kedatangan penjahat itu tidak lain ialah hendak menculik Diah 

Pitaloka. Ia melompat keluar dari tempat mengintainya dan 

membentak,

"Keparat jahanam, lepaskan tanganmu yang kotor dari Sang 

Puteri!"

Jatimurka terkejut sekali oleh karena ia tidak pernah 

menyangka bahwa ada orang yang tidak terpengaruh oleh aji 

sirepnya. Karena kagetnya, ia melepaskan tubuh Diah Pitaloka 

hingga tubuh dara itu terbanting ke atas tanah. Akan tetapi, puteri 

itu tidak terjaga dari tidur seakan-akan tak merasa sama sekali, 

bahkan ia terus tidur pula dengan enaknya!

"Heh, pemuda keparat. Siapa kau yang berani-berani 

menghalangi tindakan Jatimurka?"

Sakri tersenyum, biarpun hatinya panas sekali. "Bangsat 

rendah! Kau berani-berani menjatuhkan sihir dan mencoba 

menculik Sekar Kedaton Pajajaran! Tak tahukah kau bahwa di 

Pajajaran masih ada seorang panglima yang bernama Sakri dan 

yang sama sekali tidak takut segala ilmu iblis yang kau 

keluarkan? Menyerahlah, karena kalau tidak, malam ini tentuakan tewas dalam tangan Sakri!"

"Ha, ha, ha, ha!" Suara ketawa Jatimurka terdengar 

menyeramkan sekali dan menggema di seluruh penjuru hutan. 

Jangkerik-jangkerik dan segala bunyi-bunyian binatang hutan 

serentak diam karena ketakutan mendengar suara ketawa seperti 

ketawa iblis ini.

"Sakri! Kau anak muda yang masih berbau pupuk di embun-

embun kepalamu! Berani menentang Jatimurka?"

"Jatimurka, manusia iblis! Ingatlah betapapun saktinya kau, 

akan tetapi kalau tindakanmu sesat, pasti kau akan binasa!"

"Bangsat jahanam!" Jatimurka menepuk kedua tangannya 

dan dari segenap penjuru berlompatan keluar semua anak 

buahnya yang berjumlah empat puluh orang lebih! Mereka ini 

dengan sikap menakutkan menghampiri dan mengurung Sakri!

Tempat itu diterangi oleh sinar obor yang banyak dipasang di 

sekitar tempat itu hingga Sakri dapat melihat wajah mereka yang 

bengis dan kejam. Maklumlah ia bahwa ia terkurung oleh 

segerombolan perampok kejam dan ganas. Ia berpikir cepat, dan 

mengambil keputusan untuk mendahului. Sekali tubuhnya 

berkelebat, ia telah menyerang maju dan tiga orang begal kena 

hantam oleh kedua tangan dan sebelah kakinya hingga mereka itu 

jatuh terguling-guling dan berteriak kesakitan. Pukulan Sakri 

bukan main kerasnya hingga untuk beberapa lama, begal-begal 

yang telah kena pukul ini takkan dapat bangun lagi.

Sambil berseru marah para begal lalu maju mengeroyoknya 

dengan parang dan tombak di tangan. Sakri marah sekali, lalu 

menghunus keluar keris dan sekali tangan kirinya bergerak, ia 

telah dapat menangkap seorang anggauta begal. Ia lalu 

mengangkat tubuh lawan ini dan dijadikan perisai! Dengan 

perisai istimewa ini di tangan kiri dan keris pusakanya di tangankanan, Sakri lalu mengamuk. Sepak terjangnya laksana seekor 

banteng terluka hingga ke mana saja tubuhnya bergerak, tentu 

terdengar teriakan keras seorang lawan yang roboh mandi darah. 

Tubuh perisai hidup di tangan kiri Sakri telah lama mampus 

karena senjata-senjata kawan sendiri yang datang bagaikan hujan 

dalam penyerangan mereka kepada Sakri, akan tetapi senjata itu 

semua diterima dengan perisai istimewa itu! Ketika merasa, 

betapa perisai hidup itu membasahi tangan dan lengannya, Sakri 

lalu melemparkan mayat itu ke arah pengeroyoknya.

Tiba-tiba ia melihat betapa diam-diam Jatimurka 

mempergunakan kesempatan itu untuk menyaut tubuh Diah 

Pitaloka lagi dan hendak melarikan gadis itu. Sakri berseru keras 

dan tubuhnya melayang ke arah kepala begal itu. Karena tidak 

ingin melukai Diah Pitaloka, Sakri masukkan kerisnya di sarung 

keris, dan menggunakan kedua tangannya. Tangan kiri ia 

gunakan untuk memegang dan memeluk pinggang Sang Puteri, 

sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk mengirim pukulan 

geledek yang mampir dengan hebatnya di kepala Jatimurka!

"Aduh!!!" Jatimurka memekik kesakitan dan tubuh Sang 

Puteri dapat terampas. Sakri lalu melompat ke pinggir dan dengan 

hati-hati meletakkan tubuh Diah Pitaloka ke atas rumput. Pada 

saat itu, Jatimurka yang bertubuh kebal telah bangun kembali dan 

melompati Sakri dengan keris terhunus dari belakang! Juga para 

begal lainnya lalu maju mengeroyok!

Sakri memutar otaknya. Kalau ia melayani semua orang ini 

tentu Jatimurka akan mendapat kesempatan menculik Sang 

Puteri, maka ia menggeram bagaikan suara seekor harimau 

hingga para anak buah begal itu tergetar dan menahan serbuan 

mereka. Saat ini digunakan oleh Sakri untuk menubruk maju 

kepada Jatimurka dan ketika kepala begal itu menusuk dengan 

keris, Sakri memiringkan tubuh, menggunkan tangan kirimenolak pergelangan tangan lawan dan secepat kilat tangan 

kanannya mengirim pukulannya yang disertai Aji Kelabang 

Kencana! Bukan main hebatnya pukulan yang mempunyai 

kemujijatan bagaikan mengandung racun ribuan kelabang 

menyengat ini! Seketika itu juga, tubuh Jatimurka bergulingan di 

atas tanah, mangaduh-aduh, menjerit-jerit, memekik-mekik 

kesakitan kemudian diam tak bergerak. Tubuhnya telah bengkak-

bengkak dan matang biru dan nyawanya telah melayang!

Melihat kehebatan pemuda ini, sisa kawanan begal itu 

lainnya melempar senjata mereka lari tunggang langgang di 

dalam gelap!

Sakri mengatur napas untuk memulihkan kekuatannya. 

Kemudian ia menghampiri tubuh Sang Puteri yang masih rebah 

tak sadarkan diri di atas tanah. Dengan penerangan obor, wajah 

puteri itu nampak cantik-jelita mendebarkan jantung Sakri. Pada 

saat itu, Sang Puteri tersenyum dalam tidurnya, seakan-akan 

sedang bermimpi bertemu dengan calon suaminya, Raja 

Majapahit!

Sakri mengurungkan niatnya hendak memondong tubuh Diah 

Pitaloka dan membawanya kembali ke peraduan. Ia lalu 

mengerahkan tenaga batinnya, membaca mantera dan 

menggunakan tangan kanannya menguap muka gadis itu tiga kali 

sambil berkata perlahan.

"Sang Puteri, sadar dan bangunlah!"

Diah Pitaloka bagaikan disiram air dingin. Serentak ia 

bengun duduk dan terbelalak memandang kepada pemuda yang 

duduk bersila di depannya. Ketika melihat bahwa iapun sedang 

duduk di atas rumput, kedua matanya bernyala seakan-akan 

mengeluarkan api dan kedua mata itu ditujukan ke arah wajah 

Sakri bagaikan hendak menembus wajah itu.Sakri cepat menyembah. "Duhai gusti pujaan hamba, 

janganlah paduka melepas pandang seganas itu kepada hamba."

"Kau...... Senapati Sakri..... apakah yang telah kau perbuat? 

Bagaimana aku bisa berada di tempat ini bersama....... kau.......?"

"Ampunkan hamba, gusti. Hamba persilakan paduka melihat 

ke sebelahsana ." Sambil berkata demikian, Sakri menggunakan 

ibu jari tangannya menunjuk ke belakangnya. Sang Puteri 

mengikuti arah ini dengan pandang matanya dan tiba-tiba ia 

menjadi pucat dan otomatis tangan kanannya diangkat naik 

menutupi mulutnya! Ia melihat beberapa tubuh yang tinggi besar 

dan mengerikan bergelimpangan di situ dan ketika melihat muka 

dan tubuh Jatimurka yang bengkak-bengkak mengerikan, hampir 

saja ia menjerit dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi 

mukanya!

"Sakri....... apa....... apakah yang telah terjadi dan mengapa 

orang-orang kita tidak ada yang muncul?"

Dengan sabar dan tenang, tetapi dengan suara agak gemetar 

oleh karena selamanya tak pernah ia bermimpi akan dapat 

bercengkerama berdua di atas rumput dan berhadapan dengan 

Diah Pitaloka, Sakri lalu menuturkan segala peristiwa yang telah 

terjadi.

"Aduh Dewata yang agung!" Diah Pitaloka menyebut nama 

dewata. "Keparat, laknat betul si Jatimurka! Berani bedebah itu 

mengotori tubuhku dengan tangannya! Binasakan dia, Sakri!"

Sakri menahan senyumnya melihat perubahan pada diri dara 

jelita ini. Tadinya ia merasa demikian takut dan ngeri, tapi 

sekarang begitu bersemangat dan berani! "Dia sudah hamba 

binasakan, gusti."

Kini Diah Pitaloka berdiri dan ia pandang wajah pemuda 

tampan dan gagah yang dengan berani memandangnya daribawah. "Sakri kau memang gagah perkasa. Entah bagaimana 

jadinya kalau tidak ada kau!" Suaranya terdengar mengandung 

keharuan besar dan bahkan disertai isak.

Sakri lupa diri dan serentak ia bangun berdiri pula. 

Ditentangnya pandang mata dara itu dengan sinar mata yang 

mengandung apiasmara sepenuh hatinya, hingga Diah Pitaloka 

menjadi takut dan malu lalu menundukkan muka. "Mengapa pula 

kau memandangku seperti itu, Sakri?" tanyanya lembut.

Sakri sadar kembali dan menghela napas. "Ampun beribu 

ampun, gusti pujaan hamba. Hamba hampir lupa bahwa paduka 

adalah junjungan hamba, bahwa hamba hanyalah seorang 

senapati rendah, dan bahwa paduka adalah calon permaisuri 

Majapahit yang mulia!" Kembali Sakri menghela napas.

Untuk beberapa lama Diah Pitaloka tak dapat menjawab atau 

mengeluarkan kata-kata. Ia hanya memandang kepada Sakri yang 

bertunduk dengan mata basah oleh air mata yang di tahan-

tahannya. "Sakri,...... Sakri, jangan kau berkata demikian 

kepadaku, pahlawan yang gagah perkasa! "Hanya sampai 

sekiankah baktimu terhadap Pajajaran?"

Walau kata-kata ini diucapkan dengan suara bisikan 

tercampur sedu-sedan, namun pengaruhnya menikam jantung 

pemuda itu, membuatnya merasa rendah dan hina dan ia merasa 

malu sekali. Akan tetapi berbareng semangatnya bangkit kembali. 

Ia lalu menyembah dan berlutut, mengangkat dadanya dan 

berkata dengan suara gagah,

"Gusti yang hamba muliakan, hamba adalah senapati dan 

panglima Pajajaran sejati. Untuk paduka, hamba rela 

mengurbankan nyawa dan tubuh yang tak berharga ini! Mulai 

saat ini, hasrat hamba hanya tunggal, yakin mengharap 

kebahagiaan paduka dan membela paduka sampai hayat 

meninggalkan badan!"Diah Pitaloka sangat terharu. Ia mengulurkan tangan kepada 

Sakri. Pemuda itu menerima jari-jari yang halus dan mungil itu 

sambil memandang ke atas dengan mata penuh pertanyaan. 

Melihat bahwa puteri itu memandangnya dengan mata basah dan 

bibir tersenyum, ia maklum bahwa ia dapat perkenaan, maka 

ditariknyalah jari-jari itu ke hidung dan mulutnya dan diciumnya 

dengan penuh khidmat, hormat dan sepenuh perasaan kasihnya.

Diah Pitaloka mengulurkan tangan karena hatinya tergerak 

oleh rasa haru dan kagum, akan tetapi kasih sayang yang 

memancar keluar dari hati sanubari Sakri dan yang menjalar ke 

bibirnya, oleh Sang Puteri dirasakan bagaikan api membakar 

ujung jarinya. Dengan gerakan perlahan dan lemah lembut Diah 

Pitaloka menarik kembali tangan itu dan berkata,

"Sakri, kuharap kau suka melindungi namaku dari cemar dan 

malu. Janganlah kau ceritakan kepada siapa juga akan usaha 

buruk Jatimurka yang hendak menculikku."

"Hamba junjung tinggi perintah paduka dan hamba 

bersumpah takkan membocorkan peristiwa yang menimpa 

paduka malam hari ini. Ancaman maut sekalipun takkan kuasa 

membuka mulut hamba!"

Setelah melempar senyum manis yang mengandung penuh 

rasa terima kasih ke arah Sakri, Diah Pitaloka lalu kembali dalam 

biliknya.

Serasa dalam mimpi segala peristiwa malam itu bagi Sakri. 

Dadanya masih bergelombang dan pikirannya nanar karena 

pertemuan dengan dewi pujaan hatinya yang tak tersangka-

sangka itu. Ia merasa berbahagia sekali karena sudah mendapat 

anugerah dewata dan diberi kesempatan membela Diah Pitaloka. 

Kini hidupnya tidak kosong seperti yang dideritanya dalam 

beberapa hari semenjak puteri itu ditunangkan dengan Raja 

Majapahit. Kini ia memiliki pegangan hidup kembali, yaknibahwa seluruh jiwa-raganya akan ia persembahkan demi 

kebahagiaan dan keselamatan dewi yang dicintainya itu. Untuk 

beberapa lama Sakri tidak bergerak dari tempat duduknya 

semula. Ia tetap duduk bersila di atas rumput dan tak bergerak 

bagaikan patung.

Akhirnya, setelah gelombang di dalam dadanya mereda, ia 

bangun berdiri lalu mengeluarkan aji kesaktiannya untuk 

mengusir pengaruh sirep Cempaka-nendra yang masih meracuni 

udara di sekitar tempat itu. Maka sadarlah semua penjaga yang 

tadinya tertidur. Mereka menggosok-gosok mata dengan terkejut 

dan heran. Alangkah kaget mereka ketika melihat banyak mayat 

bergelimpangan di situ. Juga para panglima segera berlari keluar. 

Keadaan menjadi ribut. Sebenarnya, diantara semua senapati dan 

panglima, banyak yang pandai dan sakti, seperti misalnya Patih 

Anepaken, Demang Cabo, Penghulu Borang, Patih Pitar dan lain-

lain. Akan tetapi mereka ini tadinya sama sekali tak pernah 

menduga akan datangnya bahaya hingga tidak sampai berjaga 

diri. Kalau saja mereka tahu akan datangnya bahaya yang 

mengancam, tentu mereka kuasa menolak sirep yang dilepas oleh 

Jatimurka.

Sakri lalu dihujani pertanyaan dan dengan terus terang Sakri 

menceritakan bahwa gerombolan begal itu melepas sirep yang 

ampuh dan datang bermaksud merampok. Untung ia dapat 

membunuh kepala begal dan beberapa orang kaki tangannya, 

hingga yang lain-lain lalu melarikan diri.

Ratu Dewata yang juga terjaga dari tidurnya mendengar 

ribut-ribut, ketika mendengar akan kegagahan Sakri, merasa 

berterima kasih sekali dan memuji-muji ketangkasan pemuda itu. 

Tak lupa raja ini menegur sekalian senapati dan bayangkari oleh 

karena kelalaian mereka, hingga kalau tidak ada Sakri yang 

waspada dan hati-hati, tentu begal-begal itu telah berhasilmencuri barang-barang berharga!

Pada keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan dengan cepat. 

Berkat penjagaan para pengawal yang semenjak terjadinya 

peristiwa itu kini berlaku sangat tertib dan hati-hati, perjalanan 

rombongan itu selamat tidak terhalang sesuatu.

––––––––

Beberapa hari kemudian, romebongan Ratu Dewata telah tiba 

di Bubat, sebuah lapangan yang luas di sebelah utara ibu kota 

Majapahit. Di tempat ini Sang Prabu memerintahkan supaya 

romebongan memasang kemah dan mereka berhenti di situ. Pak 

Lurah Bubat menerima kedatangan tamu-tamu agung ini dengan 

gugup dan gembira dan menyediakan apa yang ada sekuasanya 

untuk menjamu Raja calon mertua junjungannya yang terhormat 

itu. Kemudian, tergopoh-gopoh Lurah Bubat pergi menghadap ke 

Majapahit untuk mengabarkan perihal kedatangan rombongan 

Raja Pajajaran yang mengantarkan puterinya ke Majapahit. Ratu 

Dewata dan sekalian pengiringnya menunggu di Bubat dengan 

sabar sambil beristirahat setelah melakukan perjalanan yang jauh 

dan penuh bahaya itu.

Keputusan Sang Prabu Hayam Wuruk untuk mengangkat 

puteri sekar-kedaton Pajajaran sebagai permaisuri disambut 

dengan gembira oleh rakyat Majapahit, oleh karena rakyat 

Majapahit sendiri sudah lama mendengar akan kecantikan puteri 

dan kepandaian puteri itu. Akan tetapi, ada dua orang pembesar 

di Majapahit yang tidak puas dan tidak setuju akan keputusan 

Sang Prabu ini. Mereka adalah Wijayarajasa, Raja di Wengker 

dan Sang Patih Gajah Mada sendiri! Wijayarajasa adalah suami 

Diah Wiat yang menjadi adinda Tribuwanatungga Dewi atau bibi 

dari Prabu Hayam Wuruk sendiri. Wijayarajasa tidak senang 

mendengar keputusan Sang Prabu untuk mengangkat seorang 

puteri Pajajaran sebagai permaisuri, oleh karena sudah lama ingin melihat puterinya yang juga cantik-juita bernama 

Susumnadewi, yakni puteri dari seorang selirnya yang terkasih,

untuk menjadi permaisuri di Majapahit!

Adapun Patih Gajah Mada tidak puas akan putusan Prabu 

Hayam Wuruk bukan karena mempunyai sesuatu niat demi 

kepentingan sendiri sebagaimana halnya Wijayarajasa, namun 

semata-mata karena terdorong oleh rasa baktinya terhadap Sang 

Prabu dan Kerajaan Majapahit. Menurut pendapat Patih Gajah 

Mada seyogianya Sang Prabu mengangkat seorang puteri Jawa 

pula sebagai permaisuri, oleh karena selain terdapat perbedaan 

adat-istiadat dengan puteri Pajajaran, juga hal ini akan 

menimbulkan rasa iri hati di kalangan raja-raja kecil. Kalau Sang 

Prabu mengambil puteri Pajajaran sebagai permaisuri muda atau 

selir, kiranya Patih Gajah Mada akan dapat menyetujuinya, 

namun sesungguhnya, sikap menentang keputusan Sang Prabu, 

yang terkandung dalam hati Patih Gajah Mada, tidak sehebat rasa 

penasaran Wijayarajasa.

Diam-diam Wijayarajasa mencari akal untuk menghalangi 

pernikahan agung ini. Ketika mendapat kabar bahwa Lurah Bubat 

berangkat ke kota raja, ia mencegatnya di jalan.

Ketika bertemu dengan raja Wengker yang menjadi paman 

dari Sang Prabu Hayam Wuruk Lurah Bubat segera berlutut 

menyembah.

"Pak Lurah Bubat kiranya yang berjalan tergesa-gesa ini! 

Ada keperluan apa maka kau nampak demikian gugup?" tanya 

Wijayarajasa.

"Hamba hendak pergi menghadap Sang Prabu di kota raja 

untuk mewartakan tentang kedatangan rombongan Gusti Prabu 

dari Pajajaran," jawabnya.

"O, jadi Raja Pajajaran yang hendak mempersembahkanputerinya itu telah tiba?" kata Wijayarajasa dengan tersenyum 

mengejek, kemudian sambungnya. "Eh, ki lurah, dengan maksud 

apa engkau hendak menyampaikan berita kedatangan mereka 

kehadapan Gusti Prabu Hayam Wuruk?"

Pak Lurah Bubat memandang heran. "Bukankah itu sudah 

seharusnya dan menjadi kewajiban hamba, gusti? Hamba 

mewartakan kekota raja, agar rombongan dari Pajajaran itu 

disambut, karena mereka kini sedang menanti di Bubat."

"Dengar, ki lurah, kau harus menurut perintahku. Dan awas, 

kalau kau tidak mentaati perintahku ini, kau dan seluruh 

keluargamu akan kutumpas!"

Menggigillah seluruh tubuh Ki Lurah Bubat mendengar 

ancaman yang diucapkan secara tiba-tiba ini. "Apa..... apakah 

maksud paduka gusti?"

"Kau perlambat perjalananmu, hingga besok baru boleh 

menghadap Sang Prabu, dan apabila kau telah menghadap, 

beritahukanlah bahwa kau diutus oleh Raja Pajajaran yang 

menuntut supaya Sang Prabu Hayam Wuruk sendiri datang 

menyambut kedatangannya di Bubat!"

Lapanglah dada ki lurah Bubat. Tadinya ia menyangka 

bahwa apa yang akan diperintahkan itu adalah sesuatu yang 

hebat. Tetapi kiranya hanya demikian saja kehendak Raja 

Wengker ini. Dan bukankah sudah seharusnya kalau calon mantu 

menyambut calon mertuanya?

"Baiklah, gusti. Hamba akan mentaati perintah paduka," 

jawabnya.

"Nah, aku berangkat lebih dulu, Ki Lurah. Ingat besok pagi 

kau boleh datang menghadap ke keraton."

Setelah memberi pesan itu, Wijayarajasa lalu memacukudanya menuju kekota raja dan langsung menemui Patih Gajah 

Mada.

Setelah saling memberi salam, Wijayarajasa lalu 

memberitahukan bahwa rombongan Raja Pajajaran telah tiba di 

Bubat dan bahwa menurut berita angin yang ia dengar, Ratu 

Dewata dari Pajajaran itu tidak mau melanjutkan perjalanan dan 

akan menanti sampai datang rombongan penyambut dari 

Majapahit. Patih Gajah Mada menjawab bahwa hal itu sudah 

semestinya dan bahwa ia sendiri bersedia mengadakan sambutan 

di Bubat apabila diperintah oleh Sang Prabu Hayam Wuruk. 

Dengan cerdik dan tidak kentara, malam hari itu Wijayarajasa 

membayangkan kepada Patih Gajah Mada bahwa Ratu Dewata 

adalah seorang raja yang sombong, angkuh dan merasa lebih 

tinggi kedudukannya daripada Prabu Hayam Wuruk sendiri.

Gajah Mada adalah seorang perwira gagah perkasa yang 

beradat jujur dan keras hati. Menghadapi siasat kelemasan lidah 

Wijayarajasa yang pandai bertukar-kata, akhirnya ada juga sedikit 

pengaruh obrolannya yang membuat hati Gajah Mada merasa 

kurang senang kepada Raja Pajajaran itu. Wijayarajasa girang 

sekali bahwa ia telah berhasil menanam bibit kebencian dalam 

dada patih yang berpengaruh ini.

Pada keesokan harinya, barulah Ki Lurah Bubat berani 

menghadap Sang Prabu Hayam Wuruk yang sedang bersiniwaka 

dihadap oleh semua pembesar dan panglimanya.

Setelah menyembah dengan khidmad, Ki Lurah Bubat 

berkata,

"Ampunkan hamba yang telah berlaku lancang dan berani 

menghadap tanpa dipanggil, Gusti. Hamba menyampaikan berita 

bahwa rombongan dari Pajajaran telah tiba di Bubat dan kini 

memasang pesanggrahan disana . Sang Nata Ratu Dewata dari 

Pajajaran berkenan mengutus hamba untuk menyampaikan beritaini kepada paduka gusti, dan....... dan...... Sang Nata dari 

Pajajaran minta agar supaya paduka sudi menyambut dan 

menjemput rombongan mereka di Bubat!" Ki Lurah Bubat 

teringat akan ancaman Wijayarajasa yang pada saat itu juga hadir 

di situ.

Berserilah wajah Sang Prabu Hayam Wuruk mendengar 

berita baik ini. Sang Prabu merasa gembira sekali karena hendak 

bertemu dengan puteri juita yang telah lama dirindukannya.

"Baiklah, baiklah....." ujarnya. "Paman Patih Gajah Mada, 

segera siapkanlah semua pengiring. Aku hendak berangkat 

memapak mereka sekarang juga di Bubat!"

Akan tetapi, pada saat itu bibit racun yang semalam ditanam 

oleh Wijayarajasa di dalam hati Gajah Mada, telah mulai 

bersemi. Mendengar bahwa Raja Pajajaran itu minta agar supaya 

Sang Prabu Hayam Wuruk sendiri menyambut dan menjemput di 

Bubat, Patih Gajah Mada merasa marah sekali. Alangkah 

sombongnya Raja Pajajaran, pikirnya! Maka ia menyembah dan 

berkata,

"Ampunkanlah hamba berani menyampaikan kata hati hamba 

kepada paduka, gusti. Bukan semata-mata hamba hendak 

membantah perintah dan kehendak paduka, akan tetapi yang 

hendak hamba haturkan ini adalah sekadar usul untuk menjadi 

bahan pertimbangan paduka dan sukurlah apabila paduka dapat 

menyetujui usul hamba ini. Menurut pendapat hamba, kurang 

sempurna dan bukan selayaknyalah apabila paduka sendiri pergi 

melakukan penyambutan ke Bubat. Demikianlah sebabnya. 

Kedudukan Raja di Pajajaran tidak lebih tinggi daripada 

kedudukan para ratu lain yang telah takluk dan mengakui 

kedudukan paduka sebagai Maharaja, hingga kedudukan paduka 

lebih tinggi daripada kedudukan raja di Pajajaran. Apabila kini 

paduka sendiri sampai menyambut dan memapak mereka diBubat, hal ini sangat merendahkan kedudukan paduka sebagai 

Maharaja. Terutama sekali hal ini akan mendatangkan iri hati dan 

tidak senang di kalangan para raja lain dan akhirnya hanya akan 

mendatngkan keruwetan dan kekacauan belaka. Apabila mereka 

itu menyatakan ketidaksukaan dan iri hati mereka. Kalau Sang 

Prabu Pajajaran minta dijemput, biarlah hamba dan para 

panglima yang menjemputnya sebagai wakil paduka, dan paduka 

cukup menanti di keraton untuk menyambut kedatangan mereka. 

Nah, demikianlah usul dan pendapat hamba yang hamba dasarkan 

semata-mata demi keluhuran nama Paduka dan kebesaran 

kerajaan Majapahit gusti."

Termenunglah Sang Prabu Hayam Wuruk mendengar ucapan 

Patih Gajah Mada ini. Kalau orang lain yang mengeluarkan 

ucapan ini, mungkin Sang Prabu akan marah. Akan tetapi, Sang 

Prabu Hayam Wuruk telah yakin dan percaya penuh akan 

kebijaksanaan dan kesetiaan Patih Gajah Mada dan maklum pula 

bahwa usul ini benar-benar berdasar kesetiannya demi kebaikan 

Raja dan Negara.

Setelah diam sejenak, Sang Prabu Hayam Wuruk lalu 

bersabda,

"Benar dan tepat pendapatmu, Pamanda Patih. Bukan karena 

kecongkakan, bukan karena kurang hormat, dan juga bukan untuk 

merendahkan kedudukan Rama Prabu di Pajajaran, akan tetapi 

aku tidak mengadakan penjemputan sendiri hanya untuk 

mencegah iri hati dan ketidak-senangan fihak ketiga. Kau benar, 

dan demikianlah seyogjanya. Jemputlah mereka dan aku menanti 

di sini."

"Ki lurah, cepatlah kau kembali ke Bubat dan beritahukan 

kepada Ratu dari Pajajaran bahwa Sang Prabu tak dapat 

menjemput sendiri, akan tetapi Patih Gajah Mada yang akan 

mewakilinya."Ki Lurah Bubat segera memacu kudanya kembali ke Bubat, 

akan tetapi di tengah jalan ia ditahan lagi oleh Wijayarajasa. 

Kembali Raja Wengker ini mengancam dan minta supaya ki lurah 

menyampaikan kepada Sang Prabu dari Pajajaran bahwa Sang 

Prabu Hayam Wuruk tidak suka menjemput dan memerintahkan 

agar supaya para tamu itu segera menghadap dan ditunggu di 

Majapahit.

Ki Lurah Bubat tak berani membantah dan mempercepat 

perjalanannya.

Sesungguhnya, tidak ada sesuatu tuntutan timbul dari fihak 

Pajajaran . Sang Prabu beserta rombongannya berhenti dan 

berkemah di Bubat tak lain hanya untuk beristirahat dan untuk 

bersiap-siap memasukikota raja. Tentu saja rombongan itu 

mengharapkan datangnya rombongan penyambut dari keraton 

Majapahit sebagaimana lazimnya.

Karena belum juga ada rombongan penyambut yang datang, 

Ratu Dewata lalu mengutus beberapa orang senapati dan 

pahlawan membawa perajurit pergi kekota raja untuk 

memberitahukan bahwa rombongan dari Pajajaran telah siap-

sedia menerima rombongan penyambut dari Majapahit.

Di tengah jalan, rombongan dan barisan utusan ini bertemu 

dengan Ki Lurah Bubat. Ki Lurah Bubat lalu memberitahu 

kepada mereka bahwa Sang Prabu Hayam Wuruk tidak suka 

menyambut sendiri dan memerinthakan supaya Raja Pajajaran 

segera masuk ke kota raja dan menghadap kepada Sang Prabu 

yang sudah menanti di keraton.

Jawaban ini amat menyakiti hati pemimpin rombongan yang 

terdiri dari Patih Anipaken, Demang Cabo dan Patih Pitar. 

Mereka mencela kesombongan Raja Majapahit yang sama sekali 

tidak menaruh hormat kepada calon mertua. Dengan hati panas 

mereka melanjutkan perjalanan untuk menunaikan tugas merekasebagai utusan ratu.

Ketika mereka tiba dikota raja, Patih Gajah Mada sedang 

bersiap sedia untuk berangkat melakukan penjemputan dengan 

para pengiring dan hulubalang lain. Kedatangan barisan utusan 

ini segera disambutnya dengan baik.

Akan tetapi Patih Anepaken yang sudah merasa sakit hati 

dan marah, tak dapat berlaku ramah terhadap Patih Gajah Mada, 

katanya,

"Sang Nata Pajajaran telah mengutus kami untuk memberi 

tahu bahwa rombongan Pajajaran telah siap-sedia menerima 

kedatangan penyambut dan penjemput di Bubat."

Ketika Patih Gajah Mada melihat sikap keras dan mendengar 

ucapan singkat ini, timbullah marahnya pula. Memang di dalam 

hati Patih Gajah Mada sudah terdapat racun yang ditanam oleh 

Wijayarajasa hingga ia telah mempunyai pandangan bahwa 

orang-orang Pajajaran ini sombong-sombong, sama sekali tidak 

menyangka bahwa Patih Anepaken juga mempunyai pandangan 

yang demikian pula terhadap orang-orang Majapahit akibat 

laporan palsu Ki Lurah Bubat! Syak wasangka dan salah paham 

telah mengeruhkan pikiran dan hati kedua fihak.

"Tidak selayaknya apabila Gusti Prabu Hayam Wuruk yang 

harus menjemput sendiri," jawab Patih Gajah Mada, "Menurut 

tingkat dan kedudukan, seharusnya Sang Prabu di Pajajaranlah 

yang datang menghadap dan langsung menuju ke Majapahit tanpa 

menanti dijemput."

Kedua patih ini mengukuhi pendirian masing-masing yang 

berdasar membela kehormatan kerajaan sendiri di mana mereka 

menghambakan diri dan sedikitpun tidak mau mengalah. Maka 

terjadilah pembantahan. Dalam kemarahanya Patih Anepaken 

bahkan lalu berkata keras,"He, Ki Patih Majapahit, alangkah rendahnya kamu orang-

orang Majapahit, memandang kami orang-orang Pajajaran! 

Memang kami akui bahwa Gusti Prabu Hayam Wuruk adalah 

seorang Maharaja yang besar. Akan tetapi janganlah kamu kira 

bahwa Gusti Prabu Ratu Dewata kalah dalam keagungan dan 

kebesaran dengan Rajamu!

Kami tidak merasa junjungan kami itu lebih rendah 

tingkatnya dari junjungan kamu. Ingatlah bahwa Pajajaran 

bukanlah daerah yang telah takluk kepada Majapahit!" Patih 

Anepaken mengeluarkan kata-kata ini dengan wajah kemerah-

merahan karena marahnya.

Pada saat perang tutur itu terjadi, datanglah Wijayarajasa dan 

ketika Raja Wengker ini melihat terjadinya pertikaian, hatinya 

girang sekali dan ia lalu menjawab kata-kata keras Patih 

Anepaken dengan tantangan.

"He, Patih Anepaken! Janganlah kamu mengumbar nafsu dan 

kesombongan di Majapahit! Ketahuilah bahwa pahlawan-

pahlawan Majapahit tak dapat menelan hinaan demikian saja! 

Gusti Prabu telah berkenan menerima puteri Pajajaran, hal ini 

sudah merupakan penghormatan yang sangat besar bagi 

Pajajaran. Pendeknya, Raja Pajajaran harus mengiringkan 

puterinya kehadapan Gusti Prabu Hayam Wuruk, kalau tidak hal 

ini akan diselesaikan dengan ketajaman tombak dan kekebalan 

kulit!"

Patih Anepaken memang berdarah panas. Mendengar ini, ia 

telah berdiri dari tempat duduknya dan sekali tendang saja 

hancurlah kursi yang tadi didudukinya. Matanya bernyala-nyala 

dan hidungnya berkembang-kempis!

"Hai, orang-orang Majapahit! Kau kira Pajajaran tidak punya 

satria-satria? Ketahuilah, bagi kami orang-orang Pajajaran, 

kehormatan lebih utama daripada jiwa, mengerti?"Hampir saja terjadi keributan di ruang kepatihan itu dan 

hampir terjadi adu tenaga diantara para pembesar itu. Akan tetapi, 

biarpun Sakri yang juga hadir di situ telah merasa panas seluruh 

tubuhnya karena marah, ia tetap dapat mempergunakan kekuatan 

batinnya untuk menekan kemarahannya itu. Ia lalu melompat ke 

dekat Patih Anepaken dan membujuk.

"Sudah, gusti patih. Untuk apa menurutkan nafsu hati dan 

marah-marah di sini? Ingat bahwa kita bukan sedang berada di 

dalammedan peperangan dan sebagai utusan raja kita harus 

bersikap bijaksana."

Kepala dari Patih Anepaken serasa diguyur air dingin ketika 

mendengar ucapan Sakri ini dan ia lalu memandang kepada Sakri 

dengan pernyataan terima kasih. Memang betul, hampir saja ia 

lupa akan keadaan dan karenanya bahkan merendahkan martabat 

Rajanya dengan memperlihatkan sikap yang tidak semestinya.

Sementara itu, biarpun Patih Gajah Mada merasa menyesal 

mendengar tantangan yang diucapkan oleh Wijayarajasa, akan 

tetapi karena yang mengucapkan adalah orang dari fihaknya, 

maka ia tidak mungkin dapat menarik kembali kata-kata itu yang 

berarti akan merendahkan diri sendiri. Maka hanya berkata 

kepada Wijayarajasa.

"Mereka ini adalah utusan nata dan tidak seharusnya kita 

menghina utusan nata!"

Wijayarajasa melihat betapa dari sepasang mata Patih Gajah 

Mada menyinarkan rasa penuh sesal, ia tidak berani banyak cakap 

lagi.

Demikianlah, dalam keadaan sama-sama panas dan 

meradang rombongan utusan itu kembali ke Bubat.

Alangkah murkanya Sang Prabu Dewata mendengar laporan 

patihnya karena merasa betapa kedudukannya direndahkan orang.Sabdanya dengan marah.

"Ya Jagat Dewa Batara! Mengapa dijatuhkan percobaan 

sehebat ini kepada hamba?Para pahlawanku sekalian. Memang 

semenjak kalian berangkat ke Majapahit, telah ada perasaan tidak 

enak dalam hatiku tanda akan adanya bahya mendatang. Kita 

harus bersiap sedia menjaga datangnya segala kemungkinan. 

Betapapun hati seorang ayah menyinta puterinya, akan tetapi bagi 

seorang satria, kehormatan lebih besar artinya. Lebih baik 

hancur-lebur tubuh ini daripada menyerah dalam kehinaan! 

Persiapkanlah seluruh balatentara, kita menanti datangnya 

serbuan dari Majapahit! Demi keluhuran Pajajaran kita lawan 

mereka mati-matian!"

"Hamba rela dan bersedia membela Pajajaran sampai hancur 

tubuh hamba!" seru Patih Anepaken.

"Hamba bersedia membela Pajajaran sampai titik darah yang 

penghabisan!!" Sakri ikut berseru dengan penuh semangat.

Ratu Dewata menjadi terharu sekali, terutama mendengar 

seruan Sakri yang hendak membela Pajajaran sampai titik darah 

penghabisan! Bagi Patih Anepaken dan yang lain-lain, hal ini 

tidak mengherankan dan bahkan sudah selayaknya, karena 

mereka adalah orang-orang Pajajaran. Akan tetapi, bukankah 

Sakri seorang Jawa? Maka sabdanya perlahan,

"Sakri, sudah yakin benarkah hatimu bahwa kau hendak 

mengurbankan jiwa ragamu untuk

Semua orang memandang ke arah pemuda yang gagah 

perkasa ini, dan Sakri juga maklum ke mana maksud pertanyaan 

Sang Prabu Dewata itu. Sembahnya,

"Gusti, hamba adalah seorang laki-laki yang menjunjung 

tinggi sifat satria utama. Semenjak kecil, ayah hamba telah 

menggembleng hamba dengan ajaran yang luhur dari Sri Kresnayang bijak dan waspada. Sekali hamba bersuwita, maka hamba 

akan setia sampai mati!"

Semua orang terharu mendengar ini, dan mereka lalu bersiap 

sedia menjaga datangnya serbuan dari Majapahit.

Patih Gajah Mada mendengar pula dari para penyelidik akan 

sikap Ratu Dewata dari Pajajaran. Ia maklum bahwa demi 

membela kehormatan masing-masing, maka pertempuran takkan 

dapat dielakkan lagi. Maka ia lalu menghadap kepada Prabu 

Hayam Wuruk untuk minta keputusan dan perkenan akan 

maksudnya menggempur barisan Pajajaran di Bubat. Sang Prabu 

Hayam Wuruk menghela napas panjang karena merasa berduka 

dan kecewa bahwa persoalan menjadi demikian panas dan 

meruncing. Akan tetapi, sebagai seorang raja, iapun harus 

mempertahankan kehormatan kerajaannya. Dimintanya agar Patih 

Gajah Mada mencoba membereskan persoalan ini dengan jalan 

damai dan membujuk Sang Prabu Dewata untuk berdamai dan 

sudi mengalah, Patih Gajah Mada setelah menyatakan 

kesanggupannya, lalu mengerahkan sejumlah perajurit yang besar 

untuk pergi ke Bubat.

Sebetulnya Patih Gajah Mada juga ingin membereskan 

kesalah-pahaman ini dengan cara damai. Akan tetapi, hal ini telah 

diketahui pula oleh Wijayarajasa, maka Raja Wengker ini lalu 

mengutus beberapa puluh orang suruhan, yang ini terdiri dari 

orang-orang jahat yang sanggup menjalankan perintah apa saja 

asal mendapat upah besar. Begitu tiba di Bubat, mereka 

menyerang orang-orang Pajajaran dan setelah membunuh 

beberapa orang yang tak berjaga-jaga, mereka lalu melarikan diri.

Ributlah keadaan di Bubat dan semua orang Pajajaran 

mendengar bahwa beberapa kawan dari Pajajaran telah terbunuh 

oleh orang-orang Majapahit! Maka memuncaklah kemarahan 

mereka hingga ketika barisan Gajah Mada tiba, tanpa banyakcakap lagi barisan Pajajaran lalu menyerang!

Dan segeralah terjadi perang tanding yang hebat dan dahsyat 

di Bubat! Peperangan ini terkenal dengan sebutan Perang Bubat 

dan sampai lama menjadi kenangan orang. Darah membanjir di 

lapangan Buabat yang luas. Rumput yang tadinya tumbuh segar, 

menjadi kering dan mati kena injak kaki orang dan kuda. Warna 

lapangan yang tadinya hijau segar menyedapkan mata, kini 

berubah merah oleh darah, darah perajurit-perajurit Majapahit 

dan Pajajaran! Keris dan tombak berkilauan mengamuk 

menenbus perut dan dada. Pekik dan teriak menggegap-gempita 

dan debu mengepul ke angkasa membuat sinar matahari menjadi 

pucat. Kehebatan peperangan di lapangan Bubat ini tiada kalah 

hebatnya dengan peperangan mahabesar yang disebut Bharata-

yuda di lapangan Kurusetra! Ribuan perajurit gagah-perkasa 

tewas di ujung senjata. Panglima-panglima kedua fihak yang 

muda, tampan, dan perkasa, gugur bagaikan ratna dalam perang 

itu!

Sakri mengamuk dengan hebatnya bagaikan seekor banteng 

sakti mencium darah kawannya! Tubuhnya penuh dengan darah 

lawan. Berpuluh-puluh orang tewas dalam tangannya. Setiap kali 

tangan kanannya yang memegang keris bergerak, robohlah 

seorang perajurit Majapahit, dan tiap kali kepalan tangan kirinya 

diayun, pecahlah kepala seorang manusia yang menghalang di 

depannya!

Perajurit-perajurit Majapahit menjadi agak kocar-kacir 

menjauhi sepak-terjang pemuda yang luar biasa ini, bagaikan 

serombongan semut didekati api.

Paraperajurit dan panglima Pajajaran karena merasa telah 

jauh dari negaranya, berperang mati-matian dan nekat hingga tak 

terhitung banyaknya perajurit Majapahit yang tewas.

Melihat kehebatan sepak-terjangnya perajurit-perajurit danpanglima-panglima Pajajaran, Patih Gajah Mada menjadi marah. 

Ia mendatangkan balabantuan yang besar jumlahnya, dan diantara 

balabantuan yang tiba, nampak seorang pemuda yang berpakaian 

sebagai seorang pemuda petani sederhana. Menurut laporan 

pemimpin barisan yang baru tiba, pemuda ini menyatakan hendak 

ikut membela Majapahit dan ikut menghalau musuh. Gajah Mada 

lalu memanggilnya menghadap.

"Hai, anak muda yang muda rupawan. Siapakah kau dan 

mengapa kau yang semuda ini hendak ikut pula beryuda?"

Dengan suaranya yang halus dan tutur katanya yang 

sederhana, pemuda itu menyembah dan berkata,

"Hamba bernama Saritama dari Gunung Kidul, Gusti Patih. 

Dalam perantauan hamba, hamba mendengar bahwa seorang 

panglima Pajajaran yang bernama Sakri amat digdaya dan sukar 

dilawan. Maka apablia Gusti Patih memberi perkenan, hamba 

hendak mencoba melawan panglima Pajajaran yang sakti itu."

Patih Gajah Mada terkejut. Memang iapun telah 

menyaksikan sendiri kesaktian Sakri pahlawan Pajajaran itu dan 

telah mengambil keputusan untuk menghadapinya sendiri oleh 

karena anak buahnya tidak kuat menghadapi amukan Sakri. Akan 

tetapi, tiba-tiba seorang pemuda dusun telah mengajukan diri 

hendak menandingi Sakri!

"Cukup kuatkah pundakmu memikul beban ini?" tanyanya 

dan Patih Gajah Mada melangkah maju mendekati pemuda yang 

masih duduk bersila di depannya itu. Ia gunakan kedua tangan 

untuk menekan kedua bahu Saritama dan pemuda itu maklum 

bahwa Sang Patih sedang mencoba kesaktiannya, karena terasa 

olehnya betapa sepasang tangan sang Patih itu bagaikan dua buah 

batu besar yang beratnya luar biasa menekan dan menindih 

pundaknya! Saritama tersenyum dan berkata,"Hamba rasa beban 

ini tak cukup berat, gusti!" Dan diam-diam ia mengerahkantenaganya ke arah dua pundak yang tertekan.

Patih Gajah Mada merasa terkejut dan berbareng kagum 

ketika merasa, betapa kedua pundak pemuda itu tiba-tiba menjadi 

kaku keras bagaikan baja dan dapat menahan tekanan kedua 

tangannya dengan mudah!

Tertawalah Sang Patih. "Bagus, Saritama. Kau benar-benar 

pantas disebut Pendekar Gunung Kidul. Maju dan lawanlah Sakri, 

aku membekali doa restu padamu."

Saritama bertubuh sedang dan berkulit putih kuning. 

Wajahnya tampan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar 

gemilang. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan dadanya terbuka 

telanjang. Telinga kirinya digantungi sebuah anting-anting perak 

yang mengeluarkan sinar aneh. Senjatanya hanya sebilah keris 

kecil luk tiga yang diselipkan dalam sarung keris di pinggangnya. 

Gerak gayanya perlahan dan lemah lembut, akan tetapi tindakan 

kakinya cepat sekali ketika ia maju kemedan perang.

Paraperajurit yang melihat majunya seorang pemuda 

bertelanjang dada tanpa memegang senjatapun di tangan, merasa 

sangat heran dan untuk sejenak perajurit-perajurit Pajajaran 

menjadi ragu-ragu. Mereka merasa tidak tega menyerang seorang 

pemuda yang demikian tampan dan yang maju kemedan 

pertempuran dengan senyum manis di bibir.

Tiba-tiba seorang perajurit Pajajaran maju dengan tombak di 

tangan. Ia tidak perduli dengan sikap pemuda itu. Siapapun juga 

orangnya yang sudah maju kemedan perang dan berada di fihak 

Majapahit, berarti musuh mereka yang harus dibasmi! Akan 

tetapi Saritama menghadapi perajurit itu dengan tenang. Ketika 

tombak itu meluncur hendak ditusukkan ke arah dadanya, 

pemuda ini perlahan sekali memiringkan tubuh dan sekali 

tangannya bergerak miring, tombak itu patah!"Sabarlah, aku tak hendak bertempur dengan kalian!" 

katanya. "Tunjukkanlah di mana adanya Sakri pahlawan besarmu, 

karena hanya dengan dia saja aku mau bertemu!"

Masih ada dua tiga orang perajurit yang merasa gemas dan 

menyerang, akan tetapi dengan cara sederhana dan mudah, semua 

senjata yang menyerangnya dapat dibikin patah! Anehnya, 

sedikitpun pemuda itu tidak mau membalas serangan atau 

menyakiti lawannya!

Demikianlah, Saritama terus maju mencari-cari Sakri. 

Akhirnya, ia bertemu juga dengan Sakri yang sedang mengamuk 

dan yang kini berdiri dengan tangan kanan memegang keris dan 

tangan kiri bertolak pinggang karena sudah tidak ada lawan yang 

berani melawannya lagi! Gagah dan hebat bagaikan Raden 

Abimanyu mengamuk di lapangan Kurusetra.

Ketika melihat seorang pemuda keluar dari fihak Majapahit, 

Sakri segera lari menghampiri dengan keris di tangan. Akan 

tetapi, setelah melihat orangnya yang datang, tiba-tiba tubuh 

Sakri terasa lemas, dadanya berdebar dan tangan yang memegang 

keris menggigil.

"Dimas Saritama.......!"

"Kakang Sakri!"

Mereka berdua hanya dapat mengeluarkan kata-kata ini dan 

berdiri berhadapan saling pandang. Terharu, kecewa, girang, dan 

duka bercampur-aduk di dalam hati masing-masing, membuat 

mereka berdua tak kuasa berkata-kata. Tanpa disadari Sakri 

memasukkan kerisnya kembali ke dalam sarung keris.

Akhirnya Saritama yang lebih dulu memecah kesunyian yang 

menyelubungi mereka berdua, "Kangmas, kangmas Sakri, kau..... 

kau telah menjadi seorang pengkhianat?"Sakri terkejut mendengar ini. Tadinya ia telah ingin 

menubruk, memeluk dan menciumi adiknya yang terkasih ini, 

akan tetapi oleh karena mereka bertemu dalam keadaan 

bertentangan, ia tidak dapat melakukan hal ini. Pada saat itu, 

Saritama adalah seorang musuh, musuh Pajajaran yang berarti 

musuhnya pula!

"Tidak, Saritama!" jawabnya, "aku bukan seorang 

pengkhianat!"

"Kau tidak merasa menjadi seorang pengkhianat, akan tetapi 

kau telah melawan Majapahit. Kalau begitu, apakah selain 

menjadi seorang pengkhianat, kangmas Sakri juga telah berubah 

menjadi seorang pengecut yang tidak berani mengakui dosa 

sendiri?"

"Saritama! Kau adikku yang kucinta, janganlah mulutmu 

begitu kejam menjatuhkan fitnah keji terhadap kakakmu sendiri! 

Kalau bukan kau yang mengucapkan kata-kata ini pasti telah 

kubinasakan kau!"

"Sakri! Pada saat ini janganlah kau anggap aku sebagai 

seorang adik. Kalau kau hendak membinasakan aku pula, 

lakukanlah, wahai manusia sesat dan gelap mata! Hendak kulihat 

sampai di mana kekejamanmu."

"Saritama," kata Sakri dengan hati perih, "aku bukan seorang 

pengkhianat, juga bukan seorang pengecut seperti yang kau duga. 

Aku sadar dan yakin bahwa perjuanganku ini suci dan benar. 

Ketahuilah, aku seorang panglima Pajajaran, seorang hamba 

Pajajaran yang telah lama bersuita di depan Sang Ratu Dewata 

dan yang telah banyak menerima budi kerajaan Pajajaran. Aku 

telah bersumpah untuk setia dan membela Pajajaran sampai titik 

darahku yang penghabisan, yang memang sudah selayaknya 

menjadi cita-cita seorang satria utama! Dengarlah, wahai anak 

muda, kalau aku melanggar sumpah dan kesetiaanku terhadapkerajaan di mana aku menghambakan diri dan aku tidak 

menghancurkan fihak Majapahit yang telah menjadi musuh 

Pajajaran yang hendak menjaga kehormatan, bukankah aku 

menjadi seorang pengkhianat dan pengecut sebesar-besarnya di 

dunia ini?"

"Tapi lawanmu adalah bangsa dan darah dagingmu sendiri!" 

bantah Saritama.

"Di dalam yuda, tidak ada hubungan apa-apa, yang ada 

hanyalah lawan dan kawan. Siapa saja adanya dia yang berdiri di 

fihak musuh, dialah lawan yang harus dimusnahkan. Cita-cita 

seorang perajurit utama hanya tunggal, yaitu membasmi musuh 

dan membela negara serta taat kepada perintah yang menjadi 

junjungan. Aku melakukan semua ini dengan penuh kesadaran. 

Saritama, perjuanganku suci dan tanpa pamrih, karena aku 

hanyalah menunaikan tugasku sebagai seorang perajurit. Kalau 

kau bukan perajurit Majapahit, menyingkirlah Saritama, dan 

jangan kau menghalangi perjuanganku yang suci. Kelak, kalau 

aku tidak terbinasa di ujung senjata lawan, akan kuceritakan 

kepadamu tentang semua ini."

Saritama tersenyum. "Sakri, kau tenggelam dalam 

kesombonganmu sendiri! Kaukira bahwa seluruh perajurit yang 

bertempur mengadu tenaga ini hanya boneka-boneka belaka? 

Bahwa hanya kau seorang yang memiliki jiwa satria utama? 

Ketahuilah, wahai panglima Pajajaran yang gagah perkasa, 

bahwa aku Saritama juga seorang perajurit Majapahit. Majulah, 

karena akulah lawanmu!"

"Duh Jagat Dewa Batara!" Sakri mengeluh, "mengapa aku 

harus menjatuhkan tanganku kepada adikku sendiri?"

"Sakri, ingatlah akan kata-katamu tadi, kita perajurit sama 

perajurit. Terima kasih atas pelajaranmu tadi yang membuat 

hatiku merasa lebih lapang untuk mengadu kerasnya tulangtebalnya kulit denganmu. Mengapa ragu-ragu?"

"Aduh, adikku Saritama..... Kau yang telah lama kurindukan! 

Tak ada jalan lainkah yang dapat kita ambil? Aku tidak tega 

menjatuhkan tanganku di atas kepalamu yang kukasihi, 

Saritama....... kasihanilah kakakmu dan mundurlah."

"Manusia lemah, mana sifat satria yang kau sombongkan 

tadi?"

Sambil berkata demikian, Saritama melangkah maju dan

menyerang dengan pukulan tangannya. Sakri mengelak lemah, 

akan tetapi Saritama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan 

gerakan cepat itu sudah menyusul dengan pukulan kedua hingga 

dada Sakri kena pukul dan panglima itu jatuh tersungkur!

"Sakri bangunlah! Mari kita bertempur seperti perajurit-

perajurit sejati! Saritama membentak marah karena gemas 

melihat betapa lawannya itu tidak membalas.

Mendengar ucapan ini dan merasa betapa pukulan Saritama 

kuat dan berat, bangkitlah semangat Sakri. Serentak ia melompat 

berdiri dan menggeram keras, "Baiklah, Saritama. Mari kau 

pertahankan serbuan seorang satria Pajajaran!" Maka ia lalu 

menyerang dengan hebatnya. Kedua teruna remaja yang sama 

tampan sama gagah itu, kakak beradik yang setelah lama berpisah 

kini bertemu dimedan yuda menjadi lawan, berkelahi mati-

matian!

Keduanya sama kuat, sama cepat, dan sama digdaya. Pukul-

memukul, tendang-menendang, hempas-menghempas hingga 

debu mengebul dari tanah yang mereka pijak. Perkelahian ini 

demikian hebat dan seru, sehingga para perajurit Majapahit dan 

Pajajaran yang sedang bertempur di dekat tempat kedua kakak-

beradik ini beryuda, menghentikan pertempuran mereka dan 

menonton perkelahian ini dengan kagum!Sakri dan Saritama bertempur bagaikan dua ekor harimau 

berebut kelinci. Sepak-terjang Sakri bagaikan Gatutkaca yang 

menyambar-nyambar dengan hebatnya, kuat dan cepat 

gerakannya. Sedangkan Saritama yang lebih halus gerak-geriknya 

itu bagaikan Raden Angkawijaya yang biarpun bergerak lemah-

lembut, akan tetapi selalu tepat cekatan. Tak banyak bergerak 

dalam mengelak sebuah serangan, dan setiap pukulan yang 

dilancarkan, biarpun kelihatannya dilakukan dengan perlahan, 

namun mengandung tenaga yang cukup besar untuk 

menghancurkan kepala seekor banteng!

Pertempuran itu berjalan seru dan lama hingga para perajurit 

kedua fihak bersorak-sorak membela jago masing-masing. Baik 

Sakri, maupun Saritama keduanya merasa betapa berat dan kuat 

orang yang menjadi lawannya. Sakri diam-diam merasa kagum 

dan girang melihat kehebatan adiknya, akan tetapi oleh karena 

pada saat itu adiknya menjadi seorang Majapahit, terpaksa harus 

dibinasakan! Sakri menggertak gigi untuk menguatkan hatinya, 

kemudian ia mencari kesempatan. Ketika kesempatan yang 

dinanti-nanti itu tiba, cepat bagaikan petir menyambar ia 

mengirim pukulan tangan kanan yang disertai Aji Kelabang 

Kencana yang bukan main dahsyatnya! Pukulan sakti ini tepat 

mengenai pangkal telinga Saritama dan tubuh Saritama terpental 

jauh lalu jatuh di atas tanah tanpa daya!

Kalau saja yang terkena pukulan itu bukan Saritama, Satria 

Gunung Kidul yang telah digembleng secara hebat oleh ayahnya, 

pasti akan tewas di saat itu juga. Akan tetapi, Aji Kelabang 

Kencana mempunyai kesaktian luar biasa hingga biarpun tidak 

tewas, namun tubuh Saritama telah menjadi bengkak-bengkak 

dan matang biru! Pemuda ini merangkak bangun dan mukanya 

yang tampan kini telah menjadi tidak karuan macamnya, 

bengkak-bengkak hingga kedua matanya hampir tak nampak lagi. 

Bukan main rasa sakit yang diderita oleh Saritama, akan tetapisatria ini menguatkan tubuh dan hatinya dan hanya sedikit 

keluhan terdengar dari mulutnya yang bengkak-bengkak itu.

"Aduh, Rama panembahan, tak kusangka Saritama akan 

tewas dalam kakangmas Sakri sendiri....." Kemudian ia 

merangkak bangun dan berseru keras kepada Sakri.

"Panglima Pajajaran, janganlah berlaku kepalang-tanggung, 

majulah dan padamkanlah apiku kalau kau memang seorang 

satria!"

Semenjak ia memukul Saritama dengan Aji Kelabang 

Kencana dan melihat betapa adinda yang dikasihinya jatuh 

berguling dengan tubuh dan muka bengkak-bengkak mengerikan, 

lenyaplah seketika itu juga semangat bertempur dalam dada 

Sakri. Ia merasa ngeri dan kasihan sekali. Apalagi setelah 

mendengar Saritama mengeluh dan menyebut ramanya, hancur 

luluh perasaan Sakri. Ramanya dulu pernah berkata bahwa kelak 

ia harus mewakili rama-ibu dan mendidik serta menjaga 

Saritama, akan tetapi sekarang, dia sendiri telah berusaha 

sekuasanya untuk membinasakan adindanya itu!

Tak tertahan lagi rasa terharu yang melemahkan hatinya. Ia 

lalu menubruk maju sambil memekik, "Adimas Saritama......"

Saritama hendak mengelak, akan tetapi oleh karena tubuhnya 

telah menjadi lemah dan sakit-sakit, ia tak kuasa melepaskan 

rangkulan kakaknya. Sakri lalu menggunakan tangan kanannya 

untuk memijit-mijit dan mengusap-ngusap muka dan tubuh 

adiknya, menggunakan kesaktiannya untuk menghilangkan Aji 

Kelabang Kencana yang menyerang tubuh Saritama. Memang 

selain memiliki Aji Kelabang Kencana dahsyat, Sakri juga 

mempelajari aji untuk mengobati dan memusnahkan daya serang 

Kelabang Kencana.

Seketika itu juga, pulihlah keadaan Saritama. Segalabengkak-bengkak pada muka dan tubuhnya lenyap dan ia merasa 

segar kembali.

Saritama mencela kakaknya. Dengan cepat ia merenggutkan 

tubuh dari pelukan Sakri dan berkata, "Kangmas Sakri, mengapa 

kau memperlihatkan kelemahanmu lagi? Jangan kau memalukan 

aku, kangmas!"

"Saritama, adikku yang tersayang. Bagaimana aku dapat 

sampai hati mencelakakan kau yang kukasihi? Adinda, sekali lagi 

kupinta kepadamu, menyingkirlah dan jangan melawan aku. 

Kelak aku akan minta maaf kepadamu, dinda."

Sakri! Kau hendak merendahkan adikmu sendiri? Kalau kau 

seorang satria utama, apakah akupun bukan seorang satria 

Majapahit yang pantang mundur dan tidak kenal takut pula? 

Hayo, majulah dan pergunakanlah aji kesaktianmu pula. Saritama

bukan anak kecil yang takut akan maut!"

Kembali kakak-beradik ini bertempur. Akan tetapi oleh 

karena Sakri merasa bimbang, ia hanya berkelahi dengan 

setengah hati, sehingga pada saat yang tepat Saritama berhasil 

memasukkan pukulannya yang dengan jitu sekali menghantam 

kepala Sakri. Bukan main hebatnya pukulan ini, oleh karena kali 

ini Saritama mempergunakan aji kesaktiannya yang bernama 

Bromo ati. Pukulan ini mempunyai daya bagaikan petir 

menyambar dan seketika itu juga tubuh Sakri menjadi hangus dan 

kulitnya rusak bagaikan terbakar api! Sakri bergulingan di bawah 

dan mengeluh kesakitan, tak berdaya untuk bangun lagi.

"Kangmas.......... kangmas.......... ampunkan aku......" 

Saritama mengeluh.

"Tidak ada yang harus mengampunkan dan tidak ada yang 

harus minta ampun, dimas. Kita sama-sama perajurit utama, 

bukan? Kematian bukan apa-apa, teruskanlah perjuanganmudengan hati suci. Tak usah kita hiraukan sebab-sebab 

pertempuran. Tugas kita hanya berjuang, berjuang dengan suci. 

Aku..... aku puas, dinda........" Kemudian ia mengeluh dan tiba-

tiba dari mulut keluar keluhan panjang, "Aduh........ adinda Diah 

Pitaloka......"

Terkejutlah Saritama mendengar ini. "Kangmas Sakri...... 

kau..... kau menyinta Diah Pitaloka Puteri Pajajaran?"

Sakri mencoba untuk tersenyum. "Dia.......... Dia pujaan 

kalbu dan sumber kebahagiaanku, dinda..... sampaikanlah 

salamku kepadanya dan sampaikan pula bahwa aku telah 

membela kehormatannya sampai titik darah terakhir......."

Dengan sedih Saritama menyanggupi. Pada saat itu, seorang 

perwira Majapahit yang berdiri di belakang Saritama, ketika 

mendengar bahwa Saritama, sebenarnya adalah adik dari Sakri 

panglima Pajajaran itu, menjadi tercengang. Timbul pikiran jahat 

dalam otaknya. Ia hendak merebut pahala dan jasa karena 

membinasakan Sakri, pahlawan musuh yang digdaya itu. Maka, 

diam-diam ia angkat tombaknya tinggi-tinggi dan cepat sekali ia 

menusuk punggung Saritama dengan tomak itu!

Saritama sama sekali tidak menyangka akan datangnya 

bahaya oleh karena kedukaannya membuat ia lupa akan segala. 

Dan oleh karena segala perhatiannya dicurahkan kepada 

kakaknya, maka agaknya tombak yang ditusukkan ini tentu akan 

menembusi tubuhnya! Akan tetapi pada saat itu Sakri yang telah 

hampir mati itu tiba-tiba meloncat bangun dan menubruk ke 

belakang Saritama hingga tombak itu tidak jadi menancap di 

punggung Saritama, akan tetapi tepat memasuki perut Sakri!

Sakri benar-benar digdaya. Biarpun tubuhnya telah hangus 

dan tombak itu telah menembus perutnya, namun ia masih kuasa 

menyambar maju dan kedua tangannya yang hangus itu mencekik 

leher perwira itu sampai kedua mata perwira itu melotot danlidahnya terjulur keluar. Perwira itu binasa dan setelah melepas 

tubuh perwira yang telah menjadi mayat. Sakri lalu terhuyung-

huyung dan jatuh ke dalam pelukan Saritama,

"Kangmas...... sungguh mulia hatimu. Di saat terakhir kau 

masih sudi menolong jiwaku."

Akan tetapi Sakri tak kuasa berkata banyak. Ia membuat 

gerakan agar Saritama mendekatkan telinganya. Pemuda ini 

mengerti akan isarat kakaknya, maka ia lalu mendekatkan 

telinganya di mulut kakaknya. Dan dalam saat terakhir itu, Sakri 

membisikkan semua aji kesaktiannya kepada adiknya yang 

terkasih ini. Kemudian, satria utama ini menjadi lemas dan 

menghembuskan napas terakhir. Sakri telah gugur bagaikan ratna, 

yang takkan lenyap dan pudar kegemilangan namanya selama 

dunia berkembang!

Saritama mencabut keluar tombak yang masih menancap di 

perut Sakri dan dengan penuh khidmat ia pondong jenazah itu 

keluar darimedan pertempuran, diikuti oleh pandangan mata 

perajurit-perajurit dari kedua fihak. Setelah pemuda itu pergi, 

maka para perajurit itu mulai bertempur pula dengan hebatnya!

Dengan hati duka, Saritama membakar jenazah kakaknya 

sambil berdoa. Setelah pembakaran jenazah ini selesai, ia lalu 

maju pula kemedan pertempuran, bukan untuk ikut bertempur, 

akan tetapi untuk mencari Puteri Pajajaran dan menyampaikan 

pesan Sakri kepada Diah Pitaloka.

Setelah Sakri gugur, maka kekuatan fihak Pajajaran makin 

lemah. Sungguhpun demikian, para satria Pajajaran yang gagah 

berani dan pantang mundur itu melanjutkan pertempuran sampai 

orang terakhir! Patih Gajah Mada mengerahkan semua 

pahlawannya dan akhirnya semua pahlawan Pajajaran dapat 

dibinasakan dalam pertempuran yang maha hebat itu! Darah 

mengalir bagaikan anak sungai dan mayat bergelimpanganbertumpang-tindih memenuhi lapangan Bubat.

Diah pitaloka yang mendengar akan kekalahan fihaknya 

duduk di dalam kemah dengan pikiran kusut dan hati risau. Tiba-

tiba ia teringat kepada Sakri. Ia tidak percaya bahwa fihaknya 

akan menderita kekalahan. Bukankah di fihaknya ada Sakri, 

pahlawan yang gagah perkasa itu?

Tiba-tiba sesosok bayangan yang gesit sekali meloncat 

masuk ke dalam kemahnya dan tahu-tahu seorang pemuda 

tampan yang sederhana berdiri di situ dengan sikap hormat.

"Hai, siapa kau yang kurang ajar dan lancang memasuki 

tempat ini?" Diah Pitaloka menegur marah.

"Maafkan hamba, Sang Puteri. Ketahuilah, hamba adalah 

adik dari seorang panglimamu yang ternama, yaitu Sakri."

"Kau adik Sakri? Dan..... bagaimana dengan dia.....?"

Wajah yang tampan dan agak pucat itu nampak berduka 

ketika menjawab. "Kangmas Sakri telah..... gugur dan 

kedatanganku ini hanya hendak menyampaikan pesannya, yakni 

bahwa kangmas Sakri meninggalkan salam dan hormat kepada 

Sang Puteri dan bahwa kangmas Sakri telah menunaikan 

tugasnya membela paduka sampai pada saat terakhir!"

Diah Pitaloka terharu sekali dan ia tidak dapat menahan air 

matanya yang mengucur turun. Dengan kedua tangannya, ia 

menutupi mukanya dan tubuhnya bergoyang-goyang karena 

menahan sedu-sedan yang keluar dadanya.

"Sakri...... Sakri...... kau pahlawan sejati, satria utama...... 

terima kasih atas pengurbananmu yang besar, Sakri......"

Ketika Diah Pitaloka menurunkan tangan dan memandang, 

ternyata pemuda yang mengaku sebagai adik Sakri itu telah 

pergi! Pada saat itu terdengar berita yang lebih menyayat jantungDiah Pitaloka. Yang membawa berita adalah ibunya sendiri, 

permaisuri raja Pajajaran. Permaisuri masuk ke dalam kamar 

puterinya sambil menangis dan dengan suara terputus-putus ia 

menceritakan bahwa Sang Ratu Dewata telah gugur di dalam 

yuda!

Mendengar ini, kedukaan yang sudah melemahkan jantung 

Diah Pitaloka, memuncak hebat dan ia lalu roboh pingsan! 

Ibunya hanya dapat menangis dan setelah Sang Puteri siuman 

kembali, kedua orang wanita, ibu dan anak ini, bertangis-

tangisan.

"Duhai anakku sayang, belahan nyawa bunda. Alangkah 

buruknya nasib yang menimpa kita! Bunda tak menyesali untung 

bunda, karena bunda sudah tua, sudah cukup mengecap nikmat 

hidup. Akan tetapi kau....... anakku sayang, ibarat bunga sedang 

mulai mekar....... bunda tak patut mengurbankan puterinya, 

sekarang terserah kepadamu, anakku. Kau masih muda, pantas 

menjadi permaisuri yang mulia. Kau menurutlah saja anakku, 

taatilah kehendak Sang Prabu di Majapahit yang hendak 

memboyongmu, kau akan menjadi permaisuri yang dimuliakan 

orang, nak......."

"Duh bunda......." Diah Pitaloka menangis dalam pelukan 

ibunya dan untuk beberapa lama tak dapat berkata-kata. 

Akhirnya, sambil mengeluarkan sebuah keris yang runcing dan 

tajam, Diah Pitaloka berkata,

"Ibunda yang mulia, mohon diampunkan segala dosa dan 

kesalahan ananda. Alangkah akan hinanya nama ananda, 

alangkah akan rendahnya kehormatan ananda apabila ananda 

menyerah kepada musuh! Budi ramanda dan ibunda yang 

demikian besar bdilimpahkan kepada ananda, belum cukup 

terbalas hanya oleh pengurbanan jiwa ananda, apakah mungkin 

ananda menyerahkan diri kepada musuh yang berarti menghinadan menodai nama orang tua? Tidak, ibunda, ananda seribu kali 

lebih suka mati daripada menyerah kepada musuh! Ibunda, 

relakanlah, hamba hendak lebih dahulu menyusul ayahanda!"

Berseri wajah permaisuri mendengar ucapan puterinya itu. 

Saking terharunya, ia tak dapat berkata-kata, dan setelah beberapa 

kali menelan ludah, baru ia dapat berkata singkat, "Diah Pitaloka 

kau patut menjadi puteri sesembahan di keraton Pajajaran, patut 

menjadi sari tauladan para wanita!"

Di depan ibunya, Diah Pitaloka lalu menyuduk-salira 

(menusuk diri). Dengan air mata berlinang-linang, permaisuri dan 

para emban yang menangis sedih lalu menyelimuti jenazah Sang 

Puteri dengan sutera hijau. Kemudian permaisuri lalu mengajak 

para emban untuk mencari jenazah Ratu Dewata, suaminya. 

Diantara ribuan mayat yangmalang melintang, akhirnya Sang 

Permaisuri dapat pula menemukan jenazah suaminya terhantar di 

atas tanah dengan sebatang tombak masih menancap di dadanya. 

Tomba itu merupakan tanda bahwa suaminya telah gugur dengan 

gagah-berani.

Setelah menubruk dan menangisi jenazah suaminya, Sang 

Permaisuri lalu mencabut kerisnya dan membunuh diri di dekat 

suaminya!Para selir dan emban yang mengiringkan Permaisuri 

melihat hal ini lalu meniru tindakan Sang Permaisuri. Mereka 

menggunakan senjata masing-masing untuk membunuh diri 

hingga bertambah pula tubuh manusia memenuhi lapangan 

Bubat! Sebelum senjakala, matahari telah menyembunyikan diri 

siang-siang di belakang awan tebal, seakan-akan Sang Batara 

Surya sendiri tidak tahan lebih lama menyaksikan akibat 

mengerikan dari perbuatan manusia yang bodoh dan dungu, 

manusia yang tak segan-segan untuk saling bunuh hanya karena 

memperebutkan sesuatu yang kosong!

Ketika Sang Prabu Hayam Wuruk mendengar akan peristiwayang amat menyedihkan itu, bukan main duka dan menyesalnya. 

Padahal Sang Prabu Hayam Wuruk yang telah amat rindu dan 

ingin sekali bertemu dengan calon permaisurinya, telah menyusul 

ke Bubat. Tidak tahunya, ketika tiba di Bubat, Sang Prabu hanya 

bertemu dengan layon Sang Puteri.

Perih dan sakit hati Sang Prabu Hayam Wuruk melihat 

jenazah yang telah diselimuti sutera hijau seluruhnya itu. Tanpa 

dapat dicegah lagi, Sang Prabu lalu melangkah maju dan 

menggunakan kedua tangannya untuk menyingkap sutera itu dari 

muka jenazah Diah Pitaloka.

Naik sedu sedan dari dalam dada yang menyumbat 

kerongkongannya ketika Sang Prabu menatap wajah yang tetap 

ayu, tetap gilang-gemilang, dengan dihias senyum manis itu.

Dalam pandangan Sang Prabu, wajah Diah Pitaloka seakan-akan 

masih hidup dan senyum itu seperti sengaja ditujukan padanya.

Tak tertahan pula rasa duka dan terharu yang menggelora 

dalam kalbunya dan beerjatuhanlah air mata Sang Prabu 

membasahi wajah Sang Ayu yang telah tak bernyawa pula itu.

"Aduhai adinda juita! Adinda pujaan kalbu, mustikaningrat 

yang cantik jelita, alangkah kejamnya nasib menimpa kita! Telah 

menjadi kembang-mimpi kanda saat pertemuan kita yang telah 

kurindu-rindukan. Akan tetapi, setelah kita bertemu, kau telah 

pergi.......... aduhai adinda, adinda......"

Parapengiring Sang Prabu yang menyaksikan kedukaan 

Prabu Hayam Wuruk, merasa terharu sekali dan menumpahkan 

air mata dalam belasungkawa. Juga Patih Gajah Mada diam-diam 

merasa menyesal telah terjadi perang yang mengakibatkan 

tewasnya Sang Puteri yang sedianya akan mendatangkan bahagia 

maha besar bagi junjungannya itu. Ia lalu melangkah maju dan 

sambil menyembah berkata,"Duh gusti pujaan hamba! Ingatlah bahwa segala peristiwa 

yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi, 

adalah kehendak Hyang Agung dan kita manusia hanyalah 

sekedar menjalankan kodrat belaka."

Maka sadarlah Prabu Hayam Wuruk dari pengaruh duka-

nestapanya yang maha hebat. Dengan kedua tangan gemetar Sang 

Prabu menyelimutkan kembali sutera hijau itu di atas muka Diah 

Pitaloka, lalu memerintahkan agar jenazah Ratu Dewata seanak-

isteri mendapat penghormatan selayaknya bagaikan keluarga raja 

yang terhormat serta jenazah mereka dibakar menurut upacara 

yang telah lazim.

Kemudian Sang Prabu memerintahkan kepada para ahlinya 

untuk merawat mereka yang terluka dalam perang itu, baik 

perajurit-perajurit Majapahit sendiri maupun Pajajaran. Semua 

diperlakukan sama dan tak boleh dibeda-bedakan.

Sesungguhnya, sebelum Sang Prabu Hayam Wuruk 

meminang Diah Pitaloka, Sang Prabu telah tertarik akan 

kecantikan Puteri Susumnadewi, puteri Raja Wengker. Oleh 

karena itu, setelah perjodohan dengan Diah Pitaloka gagal, Sang 

Prabu teringat kembali kepada Puteri Susumnadewi dan akhirnya 

Sang Prabu melamarnya sebagai permaisuri. Tak perlu 

diceritakan lagi betapa girang hati Wijayarajasa oleh karena 

dengan sendirinya derajat serta kedudukannya meningkat tinggi 

sebagai mertua raja.

Di sebelah selatan Pulau Jawa, yakni di sepanjang pesisir 

Laut Selatan, terdapat pegunungan yang memanjang dari barat ke 

timur yang terkenal disebut Gunung Kidul. Diantara bukit-bukit 

kecil yang tak terbilang banyaknya itu, bertapalah seorang 

Panembahan yang sakti dan suci, yakni Panembahan Sidik 

Panunggal. Sang Panembahan belum tua benar, paling banyak 

berusialima puluh tahun, akan tetapi rambutnya yang panjangserta jenggotnya yang melambai sampai ke dada, telah putih 

semua. Panembahan Sidik Panunggal tinggal dalam sebuah 

pondok kecil terbuat daripada bambu sederhana. Hidupnya hanya 

bertani dan bermuja-samadhi, serta mengulurkan tangan 

menolong para penduduk desa apabila mereka itu membutuhkan 

pertolongan. Juga banyak sekali cantrik-cantrik yang mengejar 

ilmu dan bersuwita kepada Sang Panembahan yang sakti.

Pada suatu hari, tak seperti biasanya, Sang Panembahan 

Sidik Panunggal semenjak pagi tidak meninggalkan pondoknya. 

Biasanya, pagi-pagi sekali pada waktu ayam-ayam jantan 

berkokok Sang Panembahan sudah keluar dari pondok dan 

berjalan-jalan menghirup hawa udara sejuk di pegunungan, 

kemudian Sang Panembahan lalu ikut pula mengerjakan sawah-

ladang dengan para petani lainnya. Berbeda dengan pertapa-

pertapa lainnya yang tidak mau bekerja, Sang Panembahan ini 

tiap hari selalu membantu pekerjaan bapak tani dengan gembira, 

bahkan memberi petunjuk-petunjuk penting oleh karena beliau 

juga ahli dalam soal pertanian dan cara-cara menggarap sawah-

ladang. Biarpun sudah tua dan tubuhnya kelihatan kurus, akan 

tetapi ternyata bahwa Sang Panembahan masih kuat mengayun 

cangkul.

Melihat betapa Sang Panembahan tidak seperti biasanya, dan 

tidak nampak keluar dari sanggar pemujaan para cantrik merasa 

bingung dan kuatir, akan tetapi mereka tidak berani mengganggu 

dan bertanya kepada Sang Panembahan, hanya duduk di luar 

pondok dengan bersila dan tidak berani membuat berisik.

Ketika akhirnya setelah lewat tengah hari Sang Panembahan 

keluar dari pondok, wajah orang tua yang biasanya nampak riang 

itu, kini kelihatan pucat dan walaupun kedua matanya tidak 

menampakkan kedukaan, namun keriangan yang biasa 

membayang pada matanya itu telah lenyap.Para cantrik maklumbahwa tentu ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sang 

Panembahan Sidik Panunggal. Akan tetap, Sang Panembahan 

tidak berkata apa-apa, kecuali menanyakan tentang pekerjaan 

para cantrik.

Pada senja hari datanglah Saritama. Wajah pemuda ini 

nampak kurus dan pucat, sedangkan tubuhnya lemah-lunglai. 

Bahkan di atas kedua pipinya masih nampak bekas-bekas air 

mata.Para cantrik yang tadinya merasa gembira dan girang 

melihat kedatangan pemuda ini, menjadi heran dan diam-diam 

saling berbisik menduga-duga apakah gerangan yang disedihkan 

oleh Saritama.

"Angger, Saritama, kau sudah kembali, nak," kata Sang 

Panembahan Sidik Panunggal ketika melihat pemuda itu.

Tiba-tiba Saritama mengeluarkan suara isak tertahan dan 

sertamerta ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki 

Panembahan itu dan memeluk kaki sambil menangis tersedu-

sedu.

Sang Panembahan menggunkan tangan kanan mengelus-

ngelus kepala pemuda itu sambil berkata,

"Saritama, tidak ada kedukaan dan kekecewaan yang cukup 

besar untuk dapat menggoncangkan iman seorang satria. Sadarlah 

kembali dan gunakan sifat jantanmu untuk mengusir perasaan 

duka yang tak baik dan melemahkan itu."

"Aduh rama Panembahan, hamba telah berdosa besar 

rama....... Hamba..... telah membunuh kakangmas Sakri......" 

Pemuda itu menangis lagi.

"Wahai puteraku yang bagus, puteraku yang setia dan taat 

kepada pelaksanaan tugas, mengapa kau begini lemah? Kau 

bilang bahwa kau telah membunuh kakakmu Sakri? Ya Jagat 

Dewa Batara yang berkuasa di jagatraya! Bagaimanakah asalmulanya maka kau dapat berkata demikian?"

Setelah dapat menekan perasaan terharu dan dukanya dan 

menetapkan hatinya, Saritama lalu berkata, "Hamba mentaati 

perintah Rama Panembahan dan menuju ke Majapahit untuk 

menunaikan tugas sebagai seorang satria dan pembela negara. 

Kebetulan sekali ketika hamba tiba disana , Majapahit sedang 

mengadakan perang melawan barisan dari kerajaan Pajajaran. 

Hamba lalu menuju ke tempat peperangan dan disana hamba 

mendengar tentang mengamuknya seorang panglima Pajajaran 

yang gagah perkasa dan bernama Sakri. Tadinya hamba merasa 

ragu-ragu dan tidak percaya bahwa panglima yang bernama Sakri 

itu adalah kakangmas Sakri sendiri. Maka hamba lalu 

mengajukan diri membela perajurit-perajurit Majapahit. Ketika 

hamba bertemu dengan panglima itu, benar saja, panglima 

Pajajaran itu adalah kangmas Sakri sendiri! Aduh, Rama 

Panembahan, sebelum hamba melanjutkan cerita hamba, mohon 

penyesalan, Rama, dalam keadaan seperti itu, apakah yang hamba 

harus perbuat? Hamba ingin mendengar pendapat Rama, apakah 

perbuatan hamba itu sesuai dengan pendapat Rama atau tidak, 

agar hati hamba menjadi tenang dan puas."

Sang Panembahan Sidik Panunggal mengangguk-angguk 

perlahan sedangkan para cantrik saling pandang dengan heran 

mendengar cerita ini. Kemudian terdengar suara Panembahan itu 

yang halus, sabar, dan penuh ketenangan,

"Saritama, ketika kau maju kemedan perang, kau adalah 

seorang perajurit Majapahit, maka siapa juga orangnya yang 

berdiri di fihak musuh negara, harus disingkirkan."

"Aduh, Rama Panembahan! Lega rasa hati hamba mendengar 

pendapat Rama ini! Ternyata biarpun perbuatan hamba telah 

membuat hati sanubari hamba terasa perih dan hancur, namun 

agaknya tidak menyeleweng daripada pelajaran Rama! Ketikahamba berhadapan dengan kakangmas Sakri, hamba dan kangmas 

Sakri berselisih pendapat dan mempertahankan tugas masing-

masing hingga akhirnya kami berdua beryuda. Tadinya hamba 

kalah dan terkena pukulan Kelabang Kencana yang ampuh dan 

luar biasa. Akan tetapi, kakangmas Sakri menaruh kasihan 

kepada hamba dan hamba disembuhkannya kembali! Kemudian 

karena dorongan tugas kami masing-masing sebagai seorang 

perajurit dan satria utama, kami beretempur pula. Bukan main 

hebatnya sepak-terjang kakangmas Sakri yang benar-benar sakti 

mandaraguna! Dia terlampau gagah perkasa, terlampau sakti, 

hingga terpaksa hamba mengeluarkan Aji Bromojati. Dan dia..... 

kangmas Sakri yang tercinta..... dia kena hamba pukul Aduhai, 

Rama Panembahan, kalau tidak takut akan dosa dan murka 

dewata, mau rasanya hamba memenggal tangan hamba yang telah 

memukul kepala kakangmas Sakri. Rama ...... rama..... hukumlah 

hamba, karena hamba telah berdosa besar dan patut mendapat 

hukuman berat!"

"Tenanglah, Saritama. Lalu bagaimana lanjutan ceritamu? 

Apakah Sakri terus tewas karena pukulanmu Bromojati?"

"Tidak, rama. Dia terlalu sakti dan kebal untuk dapat sekali 

tewas dengan sekali pukul. Hamba sudah tidak kuat meihat 

keadaannya setelah dia terpukul oleh hamba. Hamba tubruk 

tubuhnya dan hamba tak kuat lagi menahan keluarnya air mata. 

Hamba tangisi dia, dan pada saat itu, seorang perwira Majapahit 

tanpa sebab lalu menyerang hamba dari belakang dengan 

tombaknya. Hamba tidak melihat serangan ini, akan tetapi tiba-

tiba kakangmas Sakri melompat berdiri dan menubruk perwira itu 

hingga tombak yang sedianya menancap di punggung hamba, lalu 

menancap di dada kakangmas Sakri! Kakangmas Sakri 

membinasakan perwira yang curang itu dan tak lama kemudian 

dia menghembuskan napas terakhir dalam pelukan hamba! Ah, 

Rama Panembahan, perbuatan kakangmas Sakri yang biarpuntelah hampir tewas karena pukulan hamba itu, akhirnya masih 

menolong hamba dari ancaman maut, sungguh memberatkan rasa 

duka di dalam hati hamba! Dia yang telah hamba pukul hingga 

hampir tewas, bahkan menolong dan menyelamatkan nyawa 

hamba!"

"Saritama, kaukira kau ini siapa maka mudah saja 

mengatakan dapat membunuh? Lupakah kau akan ilmu 

penerangan yang telah diturunkan oleh Sri Kresna? Bukankah Sri 

Kresna dulu pernah bersabda kepada Sang Arjuna bahwa

"Kalau ada orang berkata 

bahwa Atman dapat terbunuh 

atau berkata bahwa dia telah membunuh 

maka orang yang berkata demikian itu 

 tidak mengetahui akan kebenaran! 

Bagaimanakah Dia dapat membunuh 

dan siapakah itu yang dapat membunuh Dia?" 

Ucapan di atas yang dipetik oleh Panembahan Sidik 

Panunggal ini adalah ucapan Sri Kresna yang ditujukan kepada 

Sang Arjuna dalam wejangan-wejangannya, yang terkenal 

sebagai kitab Rhagawad Gita. Memang semenjak kecil Saritama 

telah menerima bermacam pelajaran dari Panembahan Sidik 

Panunggal, maka tentu saja ia masih ingat akan ilmu pelajaran 

batin di atas. Ia lalu menyembah di hadapan Sang Prabu 

Panembahan dan berkata,

"Terima kasih, Rama. Sungguh besar sekali pengaruh 

wejangan Rama, karena kini hamba merasa tidak sangattertekan."

"Kau hanya menjalankan tugasmu sebagai seorang ksatria 

dan perajurit utama, demikianpun Sakri. Biarpun dia telah tewas 

di dalam peperangan, namun ia gugur sebagai seorang ksatria 

utama. Tewas di dalam menunaikan tugas dimedan perang, bagi 

seorang perajurit dan ksatria utama, adalah cara mengakhiri hidup 

yang paling nikmat dan sempurna!"

"Akan tetapi, Rama Panembahan yang menjadi pujaan 

hamba di jagat raya! Betapa hati hamba takkan berduka oleh 

karena di dalam dunia ini, hamba hanya mempunyai rama dan 

kakangmas Sakri. Kini kakangmas Sakri telah pergi, ah, betapa 

hamba takkan merasa sunyi dan sengsara."

Sang Panembahan tersenyum. "Saritama, Saritama! 

Ucapanmu ini seperti seorang anak-anak saja. Mengapa kau 

hanya mempunyai aku dan kangmasmu? Tengoklah di 

sekelilingmu.Para cantrik ini, para kawan pamong desa, para 

petani, semua itu juga bukankah manusia-manusia yang tiada 

bedanya dengan aku atau kangmasmu? Kalau kau dapat 

menganggap aku sebagai ramamu dan Sakri sebagai kangmasmu, 

mengapa kau takkan dapat menganggap mereka semua itu 

sebagai ramamu dan juga sebagai kangmasmu? Dan sekarang, 

Saritama, bersiaplah untuk menerima kenyataan yang sebetulnya 

bukan apa-apa, akan tetapi kalau imanmu lemah, kau dapat 

menganggap bahwa hal ini merupakan hal yang pahit bagimu. 

Kenyataan yang tadinya menjadi rahasia dan yang kini hendak 

kubuka ini, juga akan membongkar pula kenyataan bahwa nafsu 

perseorangan atau nafsu kekeluargaan yang menebal di dalam 

hati manusia itu sebenarnya tidak selayaknya dan hanya timbul 

karena diadakan oleh manusia sendiri, bukan timbul dari kodrat. 

Kasih sayang harus dicurahkan kepada seluruh manusia, tak 

perduli orang itu keluarga maupun tidak, berdasar raperikemanusiaan dan sesama hidup, bahkan seyogianya tidak 

hanya terhadap sesama manusia, akan tetapi juga terhadap 

sesama mahluk di dunia. Saritama, sekarang dengarlah, aku 

hendak menceritakan sebuah riwayat yang hendak kupersingkat 

saja."

Sang Panembahan Sidik Panunggal lalu bercerita sebagai 

berikut. Kurang lebih empat belas tahun yang lalu, terdapat 

seorang adipati yang mengepalai Kadipaten Tritis. Adipati ini 

mempunyai seorang musuh, yakni seorang tumenggung. Oleh 

karena keduanya adalah hamba kerajaan Majapahit dan keduanya 

memiliki kesaktian dan telah berjasa besar terhadap kerajaan 

hingga pengaruh mereka cukup besar, maka rasa permusuhan ini 

tidak dinyatakan berterang, hanya terpendam dalam dasar hati 

masing-masing. Walaupun pada lahirnya adipati dan tumenggung 

itu tidak memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi di dalam 

hati mereka menaruh dendam besar. Permusuhan ini timbul oleh 

karena seorang Puteri keturunan Prabu Jayanegara yang lahir dari 

selir. Puteri ini sebenarnya telah mempunyai hubungan kasih-

sayang dengan adipati itu, akan tetapi oleh karena pada waktu itu 

sang adipati masih belum menduduki pangkat dan keadaannya 

miskin, maka akhirnya sang puteri tak dapat menjadi jodohnya 

dan menjadi isteri sang tumenggung yang kaya raya dan 

berpengaruh. Hal inilah yang menjadikan ganjalan di dalam hati 

kedua orang itu dan menimbulkan sakit hati yang tak kunjung 

padam. Akan tetapi, sang adipati itu dapat mengobati luka di 

hatinya dan biarpun ia masih membenci sang tumenggung, 

namun dia tidak melakukan sesuatu, bahkan lalu kawin dengan 

puteri lain dan hidup cukup berbahagia oleh karena ia mendapat 

anugerah raja dan dijadikan adipati di Tritis.

Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan sang tumenggung 

itu. Biarpun puteri juita yang diperebutkan itu akhirnya terjatuh 

ke dalam tangannya dan menjadi isterinya, namun rasa cemburumasih melekat di dalam hatinya dan bencinya terhadap adiapti itu 

makin lama makin menghebat. Hingga pada suatu hari, dengan 

cara curang sang tumenggung itu berhasil menfitnah sang adipati 

yang dituduh hendak memberontak terhadap kerajaan Majapahit. 

Pada masa itu, yang memerintah di Majapahit adalah Sang Ratu 

Tribuwana Tungga Dewi dan sebagai seorang wanita, Ratu ini 

dapat dihasut hingga Sang Ratu menggerakkan panglima-

panglimanya untuk memukul hancur adipati itu hingga terbinasa 

seluruh keluarganya, kecuali dua orang puteranya yang dapat 

diselamatkannya.

"Demikianlah riwayat itu, Saritama," kata Sang Panembahan 

Sidik Panunggal kepada Saritama yang mendengarkan dengan 

penuh perhatian dan tertarik sekali. "Dan sekarang ketahuilah, 

wahai anakku, bahwa tumenggung itu adalah Tumenggung 

Wiradigda yang sekarang masih menjadi Tumenggung di 

Majapahit dan berkedudukan di wilayah Tangen, sedangkan 

adipati itu adalah Adipati Cakrabuwana atau..... adikku sendiri! 

Sedangkan kedua putera adipati yang diselamatkan itu tidak lain 

adalah........ Sakri dan kau sendiri! Jadi, aku bukanlah ramamu 

sebagaimana yang selama ini kau ketahui, akan tetapi adalah 

bapak tuamu atau pamanmu!"

Kalau bumi yang terpijak kaki Saritama pada saat itu ambles, 

belum tentu pemuda itu akan sedemikian kagetnya mendengar 

penuturan ini. Sepasang matanya tajam menatap Sang 

Panembahan, wajahnya memucat dan bibirnya gemetar. Tiba-tiba 

ia maju menyembah dan berkata dengan suara keras,

"Paman Panembahan, mohon doa restumu!" Ia lalu 

melompat bangun dan sambil mengacungkan tinjunya ke atas, ia 

berseru dengan bengis. "Tumenggung Wiradigda, tunggulah 

pembalasanku!"

Kemudian, tanpa menoleh lagi, pemuda itu lalu melompat kedepan dan lari keluar dari tempat itu secepat kidang melompat!

Sang Panembahan memandang ke arah perginya Saritama 

sambil menggeleng-geleng kepala, "Ah, hati muda....... semoga 

Hyang Agung akan menjauhkannya daripada kesesatan." 

Kemudian, tanpa mengeluarkan kata-kata lain kepada sekalian 

cantrik yang masih duduk bersila di situ, Sang Panembahan lalu 

memasuki pondoknya kembali dan duduk bersila bermuja 

samadhi dengan tekunnya.

Paracantrik hanya dapat saling pandang dan menggeleng-

gelengkan kepala sambil menghela napas.

Dengan hati dan pikiran tak karuan rasa, duka, kecewa, 

marah menjadi satu, Saritama meninggalkan pondok Panembahan 

Sidik Panunggal. Hatinya dipenuhi rasa dendam dan sakit-hati, 

dan pada saat itu ingin sekali ia segera bertemu dengan musuh 

besarnya yang telah menghancurkan penghidupan ayah-ibu dan 

keluarganya. Ingin ia segera mendapat kesempatan menjatuhkan 

tangan kepada Tumenggung Wiradigda.

Hm, Wiradigda keparat! Kau mengandalkan pengaruh dan 

kedudukanmu, dengan kejam dan buas menfitnah orang tuaku. 

Setelah kau merampas kekasih ayah, kau masih sampai hati untuk 

menghancurkan penghidupan ayah! Alangkah kejam, apa kaukira 

hanya aku saja laki-laki jantan di atas dunia ini. Tunggulah, 

awaslah kau, tumenggung keparat!" Tiada hentinya bibir 

Saritama bergerak-gerak membisikkan ancaman-ancaman ini di 

sepanjang jalan. Ia berlari bagaikan gila menuju ke Tangen, 

sebuah pedusunan yang berada di sebelah selatan Majapahit. 

Bukan dekat perjalanan yang ditempuhnya, akan tetapi berkat 

kesaktian dan kepandaiannya yang hebat, yakin dengan ilmu 

lariKidang Kencana,ia mengharapkan akan dapat sampai di 

tempat itu dalam tiga hari.

Pada malam hari ketiga, ia telah tiba di luar daerah Tangen.Oleh karena malam itu gelap sekali, terpaksa ia harus bermalam 

di sebuah dusun kecil dan tak dapat melanjutkan perjalanannya. 

Dusun di mana ia berhenti itu kecil, akan tetapi cukup ramai. 

Ketika melihat sebuah pondok di dalam dusun itu, pondok yang 

dilengkapi dengan sebuah tempat pemujaan di sampingnya 

seperti yang biasa dipunyai oleh seorang pertapa atau seorang 

Panembahan, ia menjadi tertarik. Ketika ia bertanya kepada 

seorang petani yang kebetulan bertemu denganya di tengah jalan 

dekat pondok itu, ia bertanya.

"Paman, maafkan kalau aku menganggumu. Pondok siapakah 

yang nampak di depan ini. Agaknya pondok seorang pertapa."

Petani itu memandangnya sejenak, karena ia dapat menduga 

bahwa pemuda ini tentulah seorang pendatang dari jauh hingga 

tak mengenal pondok pertapa terkenal itu.

"Raden," katanya penuh hormat karena biarpun pakaian 

Saritama sederhana dan bagaikan seorang petani, namun sikap 

halus dan wajah tampan pemuda itu menimbulkan dugaan 

kepadanya bahwa pemuda ini tentu bukanlah seorang petani 

biasa. "Pondok ini adalah tempat kediaman seorang dukun yang 

sakti dan ditakuti orang, namanya Bagawan Kalamaya yang 

kemashurannya telah terkenal sampai kekota raja."

"Ah, kebetulan sekali, paman. Kalau seorang bagawan, tentu 

sudi menerima aku untuk bermalam di sini."

"Raden, kalau kau hendak bermalam di dusun kami, dan 

kalau kiranya gubukku yang bobrok tidak menjadikan celaan, aku 

persilakan kau mampir dan bermalam saja di rumahku. Janganlah 

kau mencoba untuk minta bermalam di sini."

Saritama merasa heran. "Eh, mengapa begitu, paman? Aku 

berterima kasih sekali kepadamu, paman. Kau memang baik hati 

dan ramah tamah, akan tetapi, hatiku menjadi ingin tahumendengar kata-katamu tadi. Mengapa Bagawan Kalamaya 

takkan mau menerimaku? Bukankah seorang pendeta itu biasanya 

murah hati dan berbudi?"

Petani itu menghela napas dan matanya memandang ke arah 

pondok itu dengan hati-hati dan takut-takut, kemudian ia berbisik. 

"Raden, ketahuilah, Bagawan Kalamaya adalah dukun tenung 

yang ditakuti orang dan iapun galak sekali. Yang paling hebat 

ialah bahwa di rumahnya terdapat banyak iblis yang 

dipeliharanya!"

Saritama tersenyum. Ia tidak merasa heran mendengar 

ucapan petani ini, oleh karena memang para petani yang bodoh 

seringkali mudah dipengaruhi dan ditakut-takuti tentang iblis-

iblis dan segala setan oleh orang-orang yang mereka anggap 

dukun tenung.

"Biarlah, paman. Betapapun juga aku ingin sekali berkelanan 

dengan dukun yang sakti itu."

Petani itu memandang kepada saritama dengan penuh 

kekuatiran dan juga kagum, akan tetapi ia telah demikian 

ketakutan berada terlalu lama di dekat pondok Bagawan 

Kalamaya, maka ia segera meninggalkan Saritama cepat-cepat 

sambil menoleh beberapa kali.

Saritama lalu memasuki pekarangan pondok yang gelap itu. 

Langsung ia menuju ke pintunya dan mengetok sambil 

mengucapkan salam. Setelah beberapa kali ia mengetuk pintu, 

barulah terdengar jawaban dari dalam.

"Anak muda yang cakap dan gagah, pintu pondokku tidak 

terpalang, dorong saja dan masuklah!"

Dengan sikap hormat Saritama lalu mendorong daun pintu 

itu. Daun pintu mengeluarkan bunyi bergerit menyeramkan dan 

Saritama melihat seorang kakek bongkok bersila menghadapisebuah meja rendah dan di atas meja itu terdapat sebuah dian 

minyak kecil. Cahaya dian itu remang-remang dan membuat 

bayang-bayang suram pada dinding bilik. Tercium bau kemenyan 

dan kembang layu ketika Saritama memasuki ruang kecil ini.

Dengan sikap menghormat, pemuda itu lalu duduk bersila 

pula menghadapi tuan rumah yang tua itu, lalu berkata,

"Mohon maaf sebesarnya dari Bapak Bagawan apabila saya 

mengganggu ketentraman Bapak."

"Ha, ha, ha!" Kakek itu tertawa dan sepasang matanya 

berputaran. "Anak muda yang tabah dan cakap lagi sopan seperti 

engkau memang tak usah takut takkan mendapat tempat 

bermalam! Bukankah kedatanganmu ini hendak bermalam di 

tempatku yang buruk ini, anak muda?"

"Memang benar demikianlah maksud kedatangan saya, yakni 

kalau bapak tidak menaruh keberatan dan rela menerimanya."

"Tentu, tentu! Kau boleh bermalam di sini. Akan tetapi, 

siapakah kau, anak muda yang tampan dan sopan, kau datang dari 

mana dan hendak ke mana?"

Ketika tadi untuk pertama kalinya melngkahkan kakinya ke 

dalam ruang ini, Saritama yang bermata tajam sudah dapat 

melihat bahwa kakek ini memang seorang sakti yang memiliki 

ilmu hitam atau ilmu sihir yang tidak pantang mendatangkan 

celaka kepada orang lain, maka ia telah merasa kecewa masuk ke 

situ. Akan tetapi, oleh karena ia telah berada di dalam, pula 

sebagai seorang tamu, terpaksa ia harus berlaku sopan santun 

sesuai dengan kepribadiannya. Kini ia hendak mencoba sifat 

dukun itu dan menjawab pertanyaan dengan suara tenang,

"Bapak Bagawan, saya telah mendengar akan kesaktian dan 

kewaspadaanmu, mengapakah bapak masih hendak bertanya 

lagi? Bukankah bapak sudah tahu akan segala rahasia alam,termasuk namaku dan segala hal yang mengenai diriku yang 

bodoh?"

Bagawan Kalamaya tertawa sehingga tubuhnya bergoyang-

goyang. "Ha, ha, ha, anak muda. Kau benar-benar pintar dan 

menyenangkan hati! Sudah tentu aku tahu akan segala apa di 

mayapada ini, dan tidak ada rahasia bagi Bagawan Kalamaya. 

Akan tetapi, sebagai seorang manusia, aku tak boleh 

meninggalkan kebiasaan manusia terhadap manusia lain, yakni 

apabila bertemu harus saling bertanya."

Mendengar jawaban ini. Saritama dapat meraba bahwa 

pendeta ini memiliki kesombongan besar dan hendak berpura-

pura suci dan mengerti akan hukum alam. Maka ia tersenyum 

ketika menjawab,

"Baiklah, bapak bagawan. Saya bernama Saritama dari 

Gunung Kidul, dan saya hendak pergi ke Tangen."

"Ah, ah..... bukankah kau hendak mencari Tumenggung 

Wradigda?" tanya kakek pendeta itu.

Saritama agak tercengang karena tak disangkanya bahwa 

pendeta ini dapat pula membaca maksud hatinya! Ia tak tahu 

bahwa Bagawan Kalamaya hanya menggunakan kecerdikan dan 

bahwa dugaannya itu hanya kebetulan tepat. Orang terpenting di 

Tangen hanya Tumenggung Wiradigda seorang, maka kalau ada 

seorang pemuda gagah datang dari tempat jauh menuju ke 

Tangen, siapa lagi yang hendak ditemuinya disana selain 

Tumenggung Wiradigda? Oleh karena inilah maka dukun hitam 

itu dapat menduga dengan tepat.

"Benar, bapak bagawan yang waspada, memang rasa hendak 

pergi mencari Tumenggung Wiradigda." Ketika mengucapkan 

nama ini, suara Saritama menjadi tajam dan mengandung 

kebencian. Hal ini tak terlepas daripada pendengaran dukunhitam yang cerdik itu.

"Hm, hm, kulihat kau mempunyai permusuhan dengan sang 

tumenggung! Kalau kau tidak merasa keberatan, Saritama, 

cobalah kauceritakan urusanmu dengan tumenggung itu 

kepadaku. Mungkin sekali aku dapat menolongmu!"

Kembali Saritama kagum mendengar dugaan yang tepat ini. 

Ia tidak memiliki rahasia hati dan apa yang hendak ia lakukan 

terhadap Tumenggung Wiradigda, yakni pembalasan dendam, tak 

hendak ia rahasiakan kepada siapapun juga. Maka, apa salahnya 

menceritakan kepada dukun ini?

"Memang tepat dugaan bapak bagawan. Saya hendak 

mencari Tumenggung Wiradigda untuk membuat perhitungan 

lama yang hingga kini belum diselesaikan! Tumenggung keparat 

itu telah membinasakan seluruh keluarga ayahku dan sekarang 

tiba masanya bagi saya untuk membalas kejahatannya itu!"

Bagawan Kalamaya memandang tajam. "Siapakah orang 

tuamu, Saritama yang gagah berani?"

"Mendiang ramandaku adalah Adipati Cakrabuwana di 

Tritis."

Kedua mata pendeta itu melebar lebar. "Eh, eh...... jadi kau 

adalah putera adipati yang telah lama dicari-cari oleh 

Tumenggung Wiradigda dan tak pernah ditemukan itu? Dan 

saudaramu yang seorang lagi, di manakah dia?"

"Hm, agaknya bapak juga tahu benar akan riwayat itu, 

bukan?"

Dukun hitam itu mengangguk-angguk."Siapa yang tak kenal 

Adipati Cakrabuwana, pemberontak itu?"

"Jangan bapak berkata demikian!" bentak Saritama marah. 

"Tumenggung Wiradigda memfitnahnya!""Ya, ya...... memang kedua orang itu bermusuhan dan saling 

membenci! Mereka saling membenci hanya karena seorang 

wanita. Ah, wanita, kau mahluk lemah akan tetapi pengaruhmu 

lebih kuasa dan kuat daripada sekalian pria yang terkuat! 

Tahukah kau Saritama? Wanita macam apa yang dulu dicinta 

ayahmu dan yang telah direbut oleh Tumenggung Wiradigda? 

Ha, ha! Sayang seribu sayang, seorang gagah seperti 

Cakrabuwana hanya menjadi kurban karena seorang wanita 

macam itu! Memang dulu wanita itu mencinta ayahmu, akan 

tetapi setelah ia menjadi isteri Tumenggung, bahkan dia sendiri 

yang membujuk-bujuk suaminya untuk menfitnah Cakrabuwana! 

Ah, wanita...... memang kau mahluk termulia, tapi juga mahluk 

paling jahat di dunia ini! Puteri itu sekarang telah mempunyai 

seorang anak perempuan yang telah dewasa dan dalam hal 

kecantikan, ia tak kalah oleh ibunya! Ha, ha, ha!"

Makin panas hati Saritama mendengar penuturan yang 

memanaskan hati ini, maka dengan menggertak gigi pemuda itu 

berkata,

"Biarlah, paling lama sampai besok pagi, Wiradigda seanak-

isterinya tentu akan binasa di dalam tanganku!"

Tiba-tiba Bagawan Kalamaya tertawa gelak-gelak hingga 

terpingkal-pingkal memegangi perut.

"Bapak Bagawan, apakah yang kau tertawakan?"

Saritama kau anak kecil yang masih hijau, bagaikan seekor 

burung baru belajar terbang! Apakah yang kauandalkan maka kau 

berani mengucapkan kata-kata ancaman itu? Seekor semutpun 

kalau dapat mengerti omonganmu akan tertawa geli, jangankah 

seorang manusia! Kau tahu apa? Wiradigda bukanlah sembarang 

orang yang mudah dibinasakan begitu saja. Bahkan aku dengan 

segala ilmu sihirku tak dapat membinasakannya, apalagi kau. 

Tumenggung Wiradigda adalah seorang yang sakti mandragunadan banyak perwira sakti menjadi pembantunya. Barisan yang 

berada di dalam kekuasaannya saja sebanyak ribuan orang!"

Namun Saritama tidak gentar mendengar ini. "Aku tidak 

takut, Bagawan Kalamaya!" katanya dengan suara tetap keras. 

"Biar andaikata Wiradigda mempunyai tiga kepala dan enam 

tangan, kesemuanya akan kuhancurkan dengan kedua kepalan 

tanganku!"

Sekali lagi dukun itu tertawa geli hingga dari kedua matanya 

keluar air mata.

"Saritama, jangan kau sombong! Selain para perwira dan 

para perajurit Tangen yang sedemikian banyaknya itu, masih 

banyak pula pembantu-pembantunya, yakni pertapa-pertapa sakti 

mandraguna yang memiliki banyak ilmu dan aji kesaktian. 

Diantara mereka ini, akupun menjadi penasehat dan 

pembantunya!"

Saritama bangkit berdiri dan bersiap-sedia!

"Ha, ha, anak muda, kau mempunyai kepandaian apa?" 

Sambil berkata demikian, dukun hitam itu lalu mengangkat 

tangan kirinya ke atas dan tiba-tiba dari arah jendela biliknya itu 

menyambar angin dingin! Api dian berkelap-kelip dan hampir 

padam. Kini Bagawan Kalamaya juga berdiri dan tubuhnya yang 

bongkok menambahkan keseraman ruang gelap itu. Tangan 

kanan dukun itu memegang sebatang tongkat dan sambil 

melempar tongkat itu ke arah Saritama, terdengar suaranya yang 

parau membentak, "Lihat nagaku menelanmu bulat-bulat!"

Aneh sekali, dalam cahaya yang remang-remang itu, tongkat 

yang dilempar tadi tiba-tiba mengeluarkan asap dan berubah 

menjadi seekor naga atau ular besar bertanduk dua yang hanya 

dapat terlihat dalam alam mimpi seorang penakut!

"Bagawan Kalamaya, apakah harganya permainan macam inidiperlihatkan?" kata Saritama tiada gentar sedikitpun. Ketika ular 

naga itu menyambar ke arah lehernya, ia angkat tangan kirinya 

dan dengan telapak tangan dimiringkan ia memukul ke arah 

tubuh ular naga itu sambil berseru keras,

"Asal tongkat kembali menjadi tongkat!"

Terdengar suara keras dan tubuh ular naga itu kena pukul 

tangan Saritama lalu terlempar ke dinding dan berubah menjadi 

dua batang kayu, karena tongkat itu telah patah di tengah-tengah 

dan kini berserakan di atas lantai!

Angin yang bertiup dari arah jendela berhenti dan api dian 

bernyala baik kembali hingga keadaan menjadi terang. Bagawan 

Kalamaya tertawa terkekeh-kekeh, lalu ia duduk bersila kembali.

"Kau sakti, Saritama, cukup sakti! Tak kunyana putera 

Cakrabuwana memiliki kesaktian melebihi ayahnya. Bagus, 

bagus, anak muda, tadi aku hanya mengujimu saja! Kau hendak 

menumpas keluarga Wiradigda di Tangen? Bagus, memang 

mereka itu harus dibinasakan!"

Saritama tertegun melihat perubahan ini. Iapun lalu duduk 

kembali. "Bagawan Kalamaya, agaknya kaupun membenci 

tumenggung keparat itu?" tanyanya.

"Heh, heh, hem!" suara ketawa dukun itu makin 

menjemukan. "Siapa yang tidak kubenci? Ketahuilah, Saritama, 

sudah lama akupun hendak menyerbu ke Tangen, akan tetapi aku 

tidak cukup kuat menghadapi mereka, terutama menghadapi 

Dewi Saraswati!"

"Sang Bagawan, siapakah Dewi Saraswati itu?" tanya 

Saritama.

"Ha, ha, ha, siapa lagi? Dewi Saraswati adalah permaisuri 

Sang Hyang Brahma, Dewa tertinggi!"Saritama memandang heran. Iapun maklum bahwa para 

pemeluk agama Brahma menganggap Dewa yang tertinggi 

kekuasaannya adalah Sang Hyang Brahma dan permaisuri atau 

yang disebut shakti dari dewa ini adalah Dewi Saraswati.

"Akan tetapi, apakah maksudmu mengatakan kau takut 

menghadapi Dewi Saraswati di Tangen?"

"Saritama, ketahuilah bahwa kekasih ayahmu yang telah 

mengecewakan hatinya dan menjadi isteri Tumenggung 

Wiradigda, mempunyai seorang puteri. Puteri inilah yang 

bernama Dewi Saraswati, dan dia ini benar-benar penjelmaan 

Dewi Saraswati permaisuri Brahma dan kini puteri ini sedang 

menanti kedatangan jodohnya yang harus titisan (penjelmaan) 

Sang Hyang Brahma sendiri! Ha, ha, ha!"

Saritama makin heran dan ia mulai menduga bahwa dukun 

tua ini tentu agak miring otaknya.

"Dan siapakah titisan Sang Hyang Brahma sekarang?" 

tanyanya karena ingin mendengar sampai di mana kegilaan dukun 

hitam itu.

"Heh, heh, heh! Titisan Brahma telah berada di hadapanmu, 

masih juga kau belum tahu? Akulah penjelmaan Sang Hyang 

Brahma!"

Ah, dia benar-benar gila! Demikian pikir Saritama, maka ia 

lalu bersila dan diam saja, tidak mau melayani dukun itu lebih 

lanjut lagi. Juga Bagawan Kalamaya agaknya telah lelah, karena 

ia lalu merebahkan tubuhnya dan tak lama kemudian terdengar 

dengkurnya!

Saritama sudah terbiasa beristirahat sambil duduk bersila. 

Maka ia lalu bersamadhi dan beristirahat sambil bersila dengan 

tenang.Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi benar Bagawan 

Kalamaya terdengar menguap dan bangun dari tidurnya, Saritama 

juga mengakhiri samadhinya. Setelah dukun tua itu duduk, 

pemuda itu lalu berkata.

"Sang Bagawan, saya mengucap diperbanyak terima kasih 

atas kebaikan dan keramahanmu yang telah menerima saya 

bermalam di sini. Moga-moga lain waktu saya akan mendapat 

kesempatan membalas kebaikanmu. Sekarang, perkenankanlah 

saya melanjutkan perjalanan saya."

"Eh, eh, nanti dulu, Saritama. Aku akan menyertaimu ke 

Tangen karena menurut pendapatku, sekarang telah tiba saatnya 

aku bergerak bersama kau yang muda dan gagah. Aku lebih 

mengenal keadaan di Tangen, maka akan lebih mudahlah kau 

bertindak apabila kau bersama dengan aku."

"Tapi bukankah kau ini menjadi hamba dari Tumenggung 

Wiradigda?"

"Heh, heh, heh!Ada kalanya aku menjadi hamba, ada kalanya 

aku menjadi pujaan! Kali ini aku menjadi musuh Tumenggug 

Wiradigda!"

Saritama merasa tak enak untuk menolak, dan pula dia tidak 

mau dianggap takut atau kuatir jika pergi bersama dengan dukun 

hitam ini. Maka ia lalu menyatakan persetujuannya. Lama sekali 

Saritama harus menanti bagawan itu berkemas, mengenakan 

pakaian indah-indah dan akhirnya setelah mereka berangkat, 

diam-diam Saritama merasa mendongkol sekali oleh karena 

bagawan itu berjalan perlahan sekali! Dengan bantuan 

tongkatnya, Bagawan Kalamaya berjalan membungkuk-bungkuk.

"Sang Bagawan, kalau kita berjalan seperti ini, kapankah 

akan sampai di Tangen? Marilah kita pergunakan ilmu!"

Bagawan Kalamaya menggeleng-geleng kepala sambiltersenyum.

"Orang yang memperlihatkan kepandaian di tempat umum 

adalah seorang bodoh dan sombong. Nanti saja kalau kita sudah 

tiba di hutan itu, baru kita menggunakan ilmu kesaktian akan 

tetapi aku kuatir kalau-kalau kau ketinggalan jauh!"

Saritama tersenyum dan di dalam hati ia merasa geli dan juga 

mendongkol. Dukun lepus ini melarang orang memperlihatkan 

kepandaian dengan alasan tak baik berlaku sombong akan tetapi 

ucapannya yang terakhir itu jelas sekali menyatakan betapa 

sombongnya kakek ini! Akan tetapi, Saritama diam saja dan tidak 

mendesak lebih jauh. Hendak ia lihat, sampai di mana kehebatan 

ilmu lari cepat dukun ini maka berani mengatakan bahwa dia 

akan tertinggal jauh!

Setelah mereka tiba di dalam hutan, Saritama tak sabar lagi 

dan berkata, "Marilah kita percepat langkah kita, Sang Bagawan."

Bagawan Kalamaya tersenyum. "Baiklah, baiklah!"

Kemudian Bagawan Kalamaya mempergunakan aji 

kesaktiannya dan benar saja, langkahnya lebar dan gerakannya 

cepat hingga tak lama kemudian tubuh yang bongkok itu telah 

berlari cepat sekali. Saritama memandang dan tahulah ia bahwa 

dukun itu mempunyai kepandaian yang disebut Aji Pancal 

Panggung, semacam ilmu lari cepat yang hebat juga. Akan tetapi, 

ketika Saritama mengeluarkan ajinya Kidang Kencana, tak lama 

kemudian ia dapat menyusul bagawan itu yang menengok dengan 

heran dan kagum melihat kepandaian Saritama.

Saritama cukup bijaksana dan ia tidak mau melampaui orang 

tua itu. Ia sengaja memperlambat gerakan kakinya hingga mereka 

dapat berlari dengan sama cepatnya.

Ketika hutan telah mereka lalui, Bagawan Kalamaya dengan 

napas tersengal-sengal minta berhenti. Sebelum bicara ia menariknapas panjang yang senin kemis itu!

"Aduh, tenagaku masih cukup, akan tetapi napasku....." 

setelah menarik napas panjang berulang-ulang, ia berkata lagi. 

"Saritama, kau benar sakti. Kau dapat mengimbangi kecepatanku. 

Kalau aku masih muda seperti engkau, tentu kau akan tertinggal 

jauh! Sekarang kita telah melampaui hutan, maka biarlah kita 

berjalan biasa kembali."

Saritama hanya tersenyum dan diam-diam ia merasa geli oleh 

karena dukun lepus ini masih saja menyombongkan diri. Maka 

mereka lalu berjalan lagi dengan cara biasa.

Oleh karena perjalanan ini dilakukan dengan perlahan dan 

hanya sekali dua kali Bagawan Kalamaya mau mempergunakan 

aji kesaktian yang sangat melelahkan itu, maka setelah hari 

menjadi gelap barulah mereka berdua tiba di Tangen.

Sebelum menuju ke gedung Tumenggung Wiradigda yang 

besar dan megah bagaikan istana Raja Majapahit sendiri, 

Bagawan Kalamaya memberi nasehat,

Saritama, penjagaan di bagian depan gedung tumenggung 

amat kuat. Masuklah engkau diam-diam dari bagian kiri gedung 

oleh karena di bagian kiri itu tak terjaga kuat dan di bagian kiri 

terdapat taman tumenggung yang bersambung dengan taman 

belakang. Di situ banyak terdapat tetumbuhan di mana kau dapat 

bersembunyi apabila ada penjaga-penjaga keluar dan meronda. 

Kemudian kau dapat menyusup masuk ke dalam gedung mencari 

Tumenggung Wiradigda."

"Baiklah, Sang Bagawan," kata Saritama.

Malam hari itu udara bersih dan ribuan bintang menyinarkan 

cahaya gemilang dari angkasa raya. Oleh karena hawa malam itu 

sejuk dan bersih, biarpun tidak terangbulan, namun anak-anak di 

Tangen banyak yang bermain-main di pelataran depan,sedangkan orang-orang tua sambil mengisap rokok daun jagung 

dan menikmati air the kental, duduk di atas tikar yang digelar di 

pelataran dan bercakap-cakap.

Keadaan demikian tenteram bagaikan tidak akan terjadi 

sesuatu yang hebat. Memang, telah bertahun-tahun di Tangen 

selalu tata-tenteram reja-raharja, tak pernah terjadi kejahatan, tak 

pernah terjadi pencurian hingga para petani dapat bekerja dengan 

senang dan penghidupan peduduk di sekeliling Tangen rata-rata 

makmur dan berbahagia.

Akan tetapi, pada malam hari itu, tanpa mereka ketahui dua 

sosok bayangan bergerak menuju ke gedung Tumenggung 

Wiradigda. Setelah keduanya tiba di dekat gedung, mereka 

berbisik-bisik, kemudian bayangan dua orang itu berpisah, 

seorang menuju ke kiri gedung, yang kedua menuju ke belakang.

Bayangan pertama yang memiliki gerakan cepat dan tangkas, 

yakni Saritama sendiri, cepat menyelinap di dalam bayangan 

pohon di sebelah kiri gedung. Ia memandang ke sekeliling dan 

kemudian dengan sekali lompat saja ia sudah dapat meloncati 

pagar taman.

Memang benar kata-kata Bagawan Kalamaya bahwa gedung 

tumenggung itu terjaga kuat, dan bahwa Tumenggung Wiradigda 

mempunyai banyak punggawa yang tangguh dan sakti. Buktinya, 

ketika Saritama melompat masuk ke dalam taman, baru saja 

kedua kakinya menginjak rumput, tiba-tiba dua orang penjaga 

yang muda dan gagah membentaknya dari tempat jauh,

"Hai! Siapakah kamu yang lancang memasuki taman?" 

Mereka ini dengan cepat lari menghampiri.

Saritama tidak mau membuang waktu lagi. Sebelum kedua 

orang penjaga itu sempat bertindak, ia telah bergerak lebih dulu. 

Dengan sekali lompatan, Saritama telah menerkam kedua penjagatu, dengan dua kali kepalan tangannya menyambar, robohlah dua 

orang penjaga itu! Orang pertama roboh tanpa dapat bangun lagi 

dan pingsan, sedang orang kedua memang sengaja dipukul 

perlahan hingga masih dapat bicara walaupun kepalanya terasa 

pusing berputaran akibat pukulan Sambernyawa!

"Lekas katakan, di mana Wiradigda?"

Penjaga itu tak dapat melihat muka penyerangnya dengan 

jelas, hanya dapat menduga bahwa penyerang yang hebat dan 

cepat gerakannya ini adalah seorang pemuda.

"Gusti tumenggung tidak berada di sini," jawabnya sambil 

memegang kepalanya yang berdenyut-denyut.

"Jangan kau membohong!" bentak Saritama sambil 

memegang leher orang itu. "Kalau kau membohong, sekali pukul 

saja aku dapat menghancurkan kepalamu!"

"Ampun, Raden, saya tidak membohong! Gusti tumenggung 

kemarin berangkat ke Kadipaten Pacet untuk membicarakan 

tentang perkawinan gusti puteri."

"Bila ia kembali?" tanya pemuda itu dengan hati kecewa.

"Kalau tidak salah, besok siang baru kembali."

Pada saat itu, terlihat bayangan beberapa orang berkelebat 

dan mereka ini tidak lain ialah para ponggawa Tumenggung 

Tangen. Dengan diam-diam mereka menghampiri tempat itu oleh 

karena mereka mendengar suara-suara mencurigakan. Ketika 

melihat betapa seorang penjaga masih rebah di atas tanah, 

sedangkan seorang penjaga lain sedang dipegang dan ditanyai 

oleh seorang pemuda yang tak jelas rupa wajahnya oleh karena 

keadaan memang agak gelap di dalam taman itu yang penuh 

dengan bayang-bayang pohon dan tetumbuhan, para ponggawa 

yang tujuh orang jumlahnya ini menjadi marah sekali."Bangsat maling, kau berani mengacau di taman 

tumenggungan!" teriak seorang diantara mereka yang segera 

melompat maju diikuti oleh yang lain.

Saritama diam-diam memuji ketelitian dan kecepatan para 

ponggawa itu, maka secepat kilat ia angkat tubuh penjaga tadi 

dan melontarkan tubuh itu ke arah ketujuh orang ponggawa yang 

datang menyerbu! Akan tetapi dengan sigapnya ketujuh orang 

ponggawa itu dapat mengelak dan dari gerakan mereka Saritama 

maklum bahwa mereka rata-rata memiliki ilmu pencak silat yang 

pandai.

Ketujuh orang ponggawa itu menyangka bahwa Saritama 

hanyalah seorang yang datang hendak mencuri saja, maka mereka 

bermaksud hendak menangkapnya. Seorang diantara mereka 

yang termuda dan bernama Waskita hendak memperlihatkan 

ketangkasannya. Dengan seruan keras dia maju menubruk 

Saritama, hendak menangkapnya dengan ilmu silat pencak 

Palwaga Pancakara (Kera Berkelahi). Gerakannya gesit laksana 

seekor kera jantan, kedua tanganya berkembang, yang kiri 

menangkap leher, yang kanan menuju ke lambung Saritama!

Akan tetapi dengan sedikit gerakan saja Saritama berhasil 

mengelak terkaman pada lehernya dan sekali tangan kirinya 

dikibaskan menangkis tangan lawan yang mengarah lambung, 

terdengar Waskita menjerit kesakitan oleh karena tulang 

lengannya terasa sakit bagaikan terpukul sebatang tongkat besi. Ia 

membungkuk-bungkuk sambil mengaduh-aduh dan mengelus-

elus lengannya yang tertangkis itu!

Keenam kawannya terkejut melihat ketangkasan maling 

muda itu. Mereka merasa gemas sekali melihat Waskita telah 

dikalahkan dalam sekali pukul saja. Dua orang ponggawa lain 

lalu menyerang dari kiri kanan. Akan tetapi Saritama cepat 

melangkah mundur dan ketika ia ulur kedua tangannya, tubuhnya telah diangkat tinggi-tinggi dan dilempar ke arah 

kawan-kawannya yang cepat melompat ke pinggir agar jangan 

sampai tertumbuk oleh tubuh kawan sendiri.

Pada saat itu, dari arah belakang gedung terdengar pekik 

seorang wanita. Pekik ini terdengar mengerikan dan 

menggerakkan hati Saritama. Hati nuraninya tersinggung dan 

jiwa ksatrianya bangkit dan menggerakkan hatinya untuk segera 

menolong wanita yang memekik dan yang membutuhkan 

pertolongan itu. Ia lalu bertindak cepat. Dengan ilmu Nandaka 

Amapang (Banteng Menyambut) sambil mengeluarkan aji 

kekebalannya ia menyerbu ke depan tanpa memperdulikan 

serbuan keris lawan! Alangkah terkejutnya para ponggawa ketika 

merasa betapa keris-keris mereka itu mengenai tubuh Saritama 

bagaikan bertemu dengan batu atau baja saja! Tangan mereka 

terasa sakit dan keris mereka mental kembali, sedangkan 

Saritama telah menerjang dengan gerakan siku, tangan, dan kaki. 

Para ponggawa itu terbanting dan terpukul ke kanan kiri!

Saritama tidak memperdulikan mereka, tapi langsung berlari 

cepat sekali ke arah taman di belakang gedung. Dan apa yang 

dilihatnya di dalam taman itu membuat dadanya terasa panas dan 

sesak, dan tak terasa lagi ia membentak.

"Dukun lepus tak tahu malu!"

Ternyata bahwa yang dilihatnya itu adalah Bagawan 

Kalamaya yang sedang menyeret-nyeret dan memeluk-meluk 

seorang dara muda yang cantik-jelita dan yang meronta-ronta 

sambil menangis. Dara itu memekik-mekik, akan tetapi kini suara 

jeritannya tak dapat terdengar keras oleh karena sebelah tangan 

Bagawan Kalamaya telah digunakan untuk menutupi mulut gadis 

itu!

Siapakah dara muda yang ayu itu dan mengapa pula ia dapat 

terjatuh ke dalam tangan Bagawan Kalamaya?ada malam hari itu, di dalam taman di belakang gedung 

tumenggungan, terdapat dua orang wanita yang masih belum 

masuk ke dalam gedung. Mereka ini adalah Dewi Saraswati, 

puteri tunggal Tumenggung Wiradigda, seorang puteri berusia 

tujuh belas tahun yang cantik jelita bagaikan Dewi Komaratih 

sendiri turun dari angkasa! Akan tetapi, pada malam hari itu, 

Dewi Saraswati nampak berduka, bahkan ia menangis sedu-

sedan, dihibur oleh seorang wanita setengah tua yang bersusur 

besar di mulutnya hingga wajahnya yang memang sudah buruk 

itu menjadi tambah tak enak dilihat. Dia ini adalah biung emban, 

yakni pelayan pengasuh Dewi Saraswati semenjak sang dewi 

masih kecil. Pengasuh ini bernama Tomblok.

"Aduhai, gusti ayu, sudahlah jangan paduka terus-menerus 

bersedih saja. Sayanglah air matamu, dan jangan kau buang-

buang," kata Tomblok yang mencoba menghibur sang dewi yang 

dikasihinya bagaikan anak sendiri itu.

Biarpun sedang berduka, akan tetapi mendengar kata-kata 

Tomblok ini Dewi Saraswati tertegun, "Apa maksudmu, biung?"

Melihat bahwa sang dewi sudah mau melayani kata-katanya, 

Tomblok merasa girang sekali. Ia pindahkan susurnya yang besar 

dari ujung mulut kiri ke kanan, lalu berkata,

"Maksudnya, janganlah air mata gusti yang berharga itu 

dibuang-buang. Kalau air mataku, jangankan dijual mahal, 

dihadiahkan dengan cuma-Cuma juga takkan ada yang sudi! Tapi 

air mata seorang puteri sejati bagaikan butir-butir mutiara 

berharga yang tak boleh diboroskan dengan sia-sia! Demikianlah 

kata para punjangga jaman dahulu. Lagipula, air mata seorang 

puteri cantik merupakan senjata yang paling ampuh dan keramat 

di atas dunia ini. Maka peliharalah mutiara dan senjata keramat 

itu baik-baik, gusti ayu, oleh karena kalau dipergunakan untuk 

hal-hal yang kecil tak berarti saja, maka mutiara itu akan hilangkeampuhannya! Karena itulah maka mahal harganya gusti!"

Memang Tomblok ini pandai sekali bicara. Selain pandai 

berkelakar oleh karena seringkali harus menghibur hati kekasih 

dan junjungannya, juga ia pandai menari dan bernyanyi serta 

pandai pula memberi nasihat-nasihat dan petuah-petuah berharga.

"Biung emban, kau tidak mengerti. Aku bukan menyusahkan 

hal-hal remeh sebagaimana yang kau duga, akan tetapi aku 

menyusahkan sisa hidupku. Aku menyedihi nasibku yang akan 

datang, biung."

"Ah, ah, sekali lagi kau keliru, gustiku yang ayu dan manis! 

Kata para cerdik pandai, daripada menyusahkan perkara yang 

belum datang dan menguatirkan nasib yang belum tentu, lebih 

baik mengenang hal-hal yang lalu untuk dijadikan contoh dan 

cermin! Dari pengalaman-pengalaman lalu kita dapat memetik 

pelajaran-pelajaran berharga untuk mengatur langkah hidup 

selanjutnya, sedangkan hal-hal yang belum terjadi serahkanlah 

kepada Hyang Agung untuk mengaturnya, gusti. Ah, junjunganku 

yang manis, kalau paduka bermuram durja, seakan-akan bintang-

bintang di langit kehilangan cahayanya dan hambapun kehilangan 

cahaya hamba!" Nasihat-nasihat Tomblok selalu diseling sendau-

gurau.

"Tomblok, Tomblok.....! Alangkah senangnya hatiku kalau 

pada saat ini kita bertukar tempat!" kata Dewi Saraswati sambil 

termenung.

"Lho, mau bertukar tempat? Hamba duduk di bangku itu dan 

paduka di atas rumput ini? Kalau paduka kehendaki, mengapa 

tidak bisa?" tanya Tomblok sambil melebarkan kedua matanya 

yang sudah lebar dan bundar sebesar telur ayam itu.

"Bukan begitu maksudnya, biung emban. Maksudku bertukar 

pakaian yaitu kau menjadi aku dan aku menjadi kau! Kalau akumenjadi kau, takkan mengalami nasib celaka ini!"

"Eh, eh, gustiku yang manis. Kalau bertukar pakaian saja, 

saya tidak..... menolak! Kalau berganti orang...... ah, berat juga, 

gusti!"

"Biung emban, jangan kau bergurau saja, aku benar-benar 

sedang dalam prihatin dan susah," kata sang puteri dengan wajah 

muram.

"Ampun, gusti ayu, hamba hanya bermaksud menghibur. 

Hamba juga maklum bahwa gusti sedang menderita duka nestapa, 

akan tetapi, sebenarnya ada apakah, gusti?"

"Ketahuilah, biung. Kemarin ayah pergi ke Kadipaten Pacet."

"Hamba sudah tahu, gusti."

"Dan tahukah kau mengapa ramanda pergi ke sana?"

Tomblok menggeleng-gelengkan kepalanya hingga gelung 

rambutnya yang besar itu ikut bergerak-gerak ke kanan kiri.

"Dengarlah hal yang menyusahkan hatiku, biung. Rama pergi 

ke Kadipaten Pacet perlu untuk merundingkan hal pernikahanku."

Tomblok menepuk-nepuk pahanya dengan girang. "Ah, 

ndoro ayu bukankah hal itu sangat menggembirakan dan tak perlu

disusahkan?"

"Biung emban, jangan kau berkata demikian. Adipati Pacet 

adalah seorang duda yang sudah berusia hampir setengah abad 

dan bagaimana aku dapat menjadi isterinya? Ah, biung..... aku 

lebih suka mati daripada menjadi sisihan kakek bandot itu!" Dewi 

Saraswati lalu menutupi mukanya dengan ujung kemben (sabuk 

kain) dan menangis terisak-isak.

Tomblok ikut menangis dan suara tangisnya seperti suara 

bebek bertelur. "Aduh, gusti ayu..... kekasih hatiku...... janganlahmenangis, manis..... hamba tak kuat menahan air mata...... Gusti 

Ayu Dewi Saraswati yang cantik jelita, hamba menjadi teringat 

akan masa dahulu ketika hamba hendak dikawinkan oleh ayah 

hamba..... orangnya juga tua, bahkan bukan setengah abad lagi, 

tapi sudah seabad penuh!"

Mendengar ucapan biung emban Tomblok, Dewi Saraswati 

menurunkan kedua tangannya karena ia menjadi tertarik.

"Kau kan juga merasa susah, bukan, biung?"

"Tidak, gusti, hamba tidak susah karena calon suami itu 

sudah tua, malah kebetulan, oleh karena biarpun tua dia itu tua 

kelapa, yakni harta-bendanya banyak. Hamba pikir, kalau hamba 

sudah kawin dengannya, dalam beberapa bulan atau beberapa 

hari saja tentu dia akan mampus dan semua harta bendanya 

diwariskan kepada hamba! Akan tetapi, gusti, dia mati......! 

Aduh....... dia mati!" Dan Tomblok menangis lagi!

Dewi Saraswati heran. "Mengapa kau susahkan kematiannya, 

biung? Bukankah itu yang kau harapkan?"

"Benar, gusti, akan tetapi dia mati sebelum kami kawin! Baru 

saja kami ditemukan, tiba-tiba dia menggigil dan roboh terus 

mampus! Hamba menjadi janda sebelum kawin dan harta 

bendanya tidak terjatuh kepada hamba." Tomblok menangis lagi 

dan diam-diam Dewi Saraswati menjadi sangat geli.

Pada saat itu, dari belakang sebatang pohon keluarlah 

bayangan seorang bongkok, Dewi Saraswati dan Tomblok 

menjadi kaget sekali oleh karena mereka tidak segera mengenal 

muka pendatang ini. Dewi Saraswati lalu berdiri dengan takut, 

sedangkan Tomblok sudah memeluk kaki Dewi Saraswati dengan 

tubuh menggigil.

"Ssss..... ssseee..... setan!" teriaknya ketakutan melihat tubuh 

bongkok itu melangkah majuSst, biung emban, jangan ribut. Yang datang adalah Paman 

Bagawan Kalamaya!"

"Benar, anakku yang ayu, anak manis dan jelita, akulah yang 

datang!"

"Paman Bagawa, sungguh aku merasa terkejut dan heran. 

Mengapa paman bagawan datang ke taman sari dan pada waktu 

malam gelap begini? Apakah kehendakmu, paman?" tanya Dewi 

Saraswati dengan suara penuh teguran.

"Saraswati, bocah ayu, bocah denok! Aku datang untuk 

memboyongmu, kekasihku!" Sambil berkata demikian, Bagawan 

Kalamaya melangkah maju.

Bukan main terkejutnya Dewi Saraswati mendengar ucapan 

ini serta melihat sikap sang pendeta itu. Ia menduga bahwa 

pendeta ini tentu telah menjadi gila!

"Paman Bagawan, apakah artinya semua ini? Paman, 

janganlah kau berkelakar yang tidak pantas seperti itu!"

"Saraswati, jantung hatiku, jimat pujaan kalbu! Tidak 

tahukah kau bahwa aku adalah titisan Hyang Brahma? Kau 

adalah permaisuriku, Saraswati, marilah kau ikut kakanda untuk 

bersama pulang ke Sorga. Marilah, Saraswati permaisuriku!"

Bukan main takutnya Dewi Saraswati mendengar ini. Ia lalu 

lari di belakang tubuh Tomblok hingga Bagawan itu kini 

menghadapi Tomblok.

Pada saat itu Bagawan Kalamaya hendak maju memeluk, 

akan tetapi ketika melihat kepada Tomblok yang menghadang di 

depannya dan yang kini tidak ketakutan lagi , Bagawan itu 

mundur menyebut.

"Ya dewata yang maha agung! Kukira Saraswati tadi, tidak 

tahunya kau! Eh, kau ini mahluk apa? Manusia atau kadal?"Bukan main marahnya Tomblok disebut kadal. Ia melangkah 

maju dan memutar-mutar susurnya di dalam mulutnya. "Kira-kira 

kalau menyebut orang! Biarpun kau menyebutku kadal, akan 

tetapi aku bukan kadal sembarang kadal! Aku adalah kelangenan 

(kekasih) sang puteri! Kau ini bagawan berotak miring 

barangkali. Mengapa malam-malam datang mengacau dan 

berlaku kurang ajar terhadap sang puteri? Apakah kau tidak takut 

kepada gusti Tumenggung?"

"Kau minggirlah!" bentak Bagawan Kalamaya dan sekali 

saja ia mendorong, Tomblok jatuh terguling-guling sambil 

berteriak-teriak. Akan tetapi, mendengar teriakan wanita ini, 

Bagawan Kalamaya lalu maju dan menendang hingga Tomblok 

menjadi pingsan! Kemudian, sambil membujuk dan merayu, 

menyebut-nyebut Dewi Saraswati sebagai permaisurinya, ia maju 

hendak menangkap Dewi Saraswati! Puteri itu merasa bingung 

dan jijik, hingga ia menjerit keras sekali. Agaknya jeritan inilah 

yang terdengar oleh Saritama dan yang menarik perhatiannya. 

Bagawan Kalamaya lalu melompat dan menerkam, dan ketika 

Dewi Saraswati hendak menjerit lagi, bagawan yang sudah 

kesetanan itu lalu menutup mulut Saraswati dengan tangannya.

Ketika mereka sedang bersitegang, datanglah Saritama yang 

hampir tak dapat mempercayai matanya sendiri. Tak pernah 

disangkanya bahwa Bagawan Kalamaya akan serendah itu 

batinnya!

"Pendeta bangsat tak tahu malu! Lepaskan gadis itu dan 

ingatlah, sadarlah kau, pendeta keparat dan sesat."

"Saritama, jangan kau mencampuri urusanku! Kau pergilah 

melakukan tugasmu sendiri. Aku, titisan Rahma, sedang 

berurusan dengan Dewi Saraswati, permaisuriku sendiri!"

Saritama marah sekali dan membentak sambil melangkah 

maju."Pendeta gila, kau dimabok kerendahan hatimu sendiri!" 

Kemudian, sekali merenggutkan lengan pendeta itu, ia berhasil 

melepaskan Dewi Saraswati yang dipeluk oleh bagawan gila itu.

"Saritama, kau ingin mampus!" Bagawan Kalamaya berseru 

marah dan tiba-tiba bagawan itu mencabut sebilah keris yang 

panjang dan beriuk lima. Keris ini nampak dahsyat mengerikan 

oleh karena selain mempunyai hawa yang berpengaruh dan jahat, 

keris ini juga selalu direndam dalam racun yang sangat jahat dan 

yang didapat dari air liur ular belang!

Biarpun tubuhnya bongkok dan sudah tua, Bagawan 

Kalamaya masih memiliki gerakan sigap dan tangkas oleh karena 

dia memang mempunyai kepandaian pencak silat yang tinggi di 

waktu mudanya. Sambil mengeluarkan suara tertawa yang aneh 

dan mengerikan, ia menyerang dengan kerisnya yang dinamai 

Paripusta yang berarti puas dan senang. Dari nama kerisnya ini 

saja dapat diukur bahwa pada hakekatnya, pendeta ini masih 

menjadi hamba daripada nafsu-nafsu jahat yang mengutamakan 

kepuasan dan kesenangan dunia.

Saritama yang bermata tajam dapat maklum akan kehebatan 

dan berbahayanya keris ini, maka cepat ia mengelak lalu 

mengirim pukulan dari samping kiri. Bagawan Kalamaya 

memiringkan tubuhnya untuk mengelak bahaya pukulan ini dan 

segera mengirim serangan bertubi-tubi dengan keris mautnya. 

Akan tetapi, Saritama dengan mudah sekali melompat ke sana ke 

mari, gesit dan cepat bagaikan seekor burung Srikatan. Pada saat 

yang tepat, sebuah pukulan tangan kirinya bersarang di dada 

pendeta cabul itu hingga Bagawan Kalamaya roboh terjungkir 

dan mengaduh-aduh tanpa dapat bangun lagi. Kerisnya terlempar 

jatuh dan menancap di atas tanah!

Dewi Saraswati masih belum hilang kagetnya. Diam-diam ia 

memperhatikan perkelahian tadi dan ia kagum sekali melihat ketangkasan dan kecakapan pemuda penolongnya itu. Ketika 

Saritama melangkah maju menghampirinya, Dewi Saraswati 

memandang dengan sepasang matanya yang tajam dan bening 

sambil menduga-duga oleh karena belum pernah ia melihat 

pemuda yang namanya disebut Saritama oleh bagawan tadi.

Kebetulan sekali pada saat itu keadaan tidak sangat gelap 

sehingga suram-suram Saritama dapat melihat bahwa dara yang 

diserang oleh Bagawan Kalamaya itu luar biasa cantiknya dan 

memiliki tubuh yang menggiurkan pula. Akan tetapi, pada saat 

itu Saritama tidak memandang dengan mata kagum, bahkan 

memandang dengan mata benci oleh karena ia teringat bahwa 

gadis ini adalah puteri musuh besarnya yang harus dibasmi.

Apakah kau bernama Dewi Saraswati dan anak dari 

Tumenggung Wiradigda?" tanyanya dengan suara kasar hingga 

gadis itu menjadi terkejut, apalagi ketika ia melihat betapa 

pandangan mata pemuda itu ditujukan kepadanya dengan bengis.

Sebelum ia menjawab, dari luar terdengar suara riuh-rendah 

oleh karena barisan ponggawa dan perajurit telah menyerbu ke 

dalam taman! Saritama bersiap hendak melawan mereka, akan 

tetapi tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik.

Ketika barisan terdepan telah tiba di situ dan beberapa orang 

serentak maju menubruknya, dengan tangkas Saritama bergerak 

merobohkan beberapa orang itu, kemudian secepat kilat tangan 

kanannya memeluk pinggang Dewi Saraswati yang segera 

dipondongnya dengan ringan dan mudah. Dewi Saraswati 

menjerit-jerit akan tetapi ia tidak berdaya dalam pondongan 

lengan tangan yang kuat itu.

Beberapa orang perajurit maju lagi menyerbu, akan tetapi 

mereka tidak berani menggunakan senjata tajam, kuatir kalau-

kalau akan melukai sang puteri. Hal ini menguntungkan Saritama 

yang segera beraksi dengan menggunakan tangan kiri dan kedua kakinya. Beberapa orang roboh pula, akan tetapi barisan 

penyerbu makin banyak hingga Saritama merasa kewalahan.

Pemuda ini lalu membentak dengan suara keras,

"Hai, para perajurit Tangen! Bukan cara laki-laki sejati untuk 

maju secara keroyokan! Beritahukanlah kepada si keparat 

Wiradigda bahwa aku, Saritama dari Gunung Kidul, putera 

almarhum Adipati Cakrabuwana, datang hendak membalas 

dendam! Aku tidak mau mencelakakan orang lain dan musuhku 

hanyalah Wiradigda sekeluarga! Oleh karena keparat itu tidak ada 

di sini, maka sebagai gantinya aku menawan puterinya. Jika ia 

memang gagah berani dan menghendaki kembalinya sang puteri, 

silakan pergi menyusulku di tempat kediaman mendiang ayahku 

untuk membuat perhitungan secara laki-laki!"

Setelah berkata demikian Saritama lalu melompat ke dalam 

gelap sambil memondong Dewi Saraswati yang masih meronta-

ronta dan menjerit-jerit! Semua ponggawa mencoba untuk 

mengejar, akan tetapi mereka tak dapat mengejar ilmu lari 

Kidang Kencana yang hebat dari pemuda itu hingga tak lama 

kemudian suara jeritan Dewi Saraswati makin melemah hingga 

tak terdengar lagi dari situ,

Geger dan ributlah seluruh Tangen pada malam hari itu 

ketika berita tentang penculikan diri Dewi Saraswati itu tersebar 

di seluruh tumenggungan. Obor dinyalakan dan orang-orang 

mencari ke sana ke mari dengan sia-sia.

Beberapa orang ponggawa segera menunggang kuda dan 

cepat menuju ke Pacet untuk menyusul sang tumenggung dan 

untuk menyampaikan berita buruk itu.

Setelah merasa bahwa larinya sudah cukup jauh dan tak 

mungkin terkejar oleh musuh-musuhnya lagi, Saritama 

menghentikan larinya. Dia telah sampai dalam sebuah hutan danpada waktu itu, fajar telah mulai menyingsing.

"Lepaskan aku, lepaskan! Kau, orang kurang ajar!"

Saritama tersenyum masam dan tiba-tiba ia melepaskan 

pondongannya hingga tubuh Dewi Saraswati terbanting ke atas 

rumput sampai bergulingan! Sang puteri menggigit bibir dan 

segera merayap berdiri. Dengan sepasang mata bernyala-nyala 

dan bibir gemetar karena marahnya, ia maju dan bertolak 

pinggang dengan tangan kiri. Tangan kanannya diangkat dengan 

jari telunjuk menuding ke arah muka Saritama,

"Pengecut kau! Ah, kalau saja aku menjadi laki-laki tentu 

akan kupatahkan lehermu! Akan kubeset kulitmu dan akan 

kuhancurkan kepalamu!"

"Alangkah sombongmu, gadis! Apakah yang hendak kau 

sombongkan? Dan mengapa kau mencaci-maki?"

"Kau manusia rendah! Kaukira aku tertarik akan 

kedigdayaan dan kecakapanmu? Cis! Tak tahu malu! Kaukira 

mudah saja kau hendak memaksa dan mendapatkan diriku? Lebih 

baik aku mati daripada kau jamah dengan tanganmu yang kotor 

dan keji!" Dewi Saraswati lalu menangis.

"Diam dan jangan kau berani mengeluarkan kata-kata keji 

lagi! Kalau tidak, kutampar mukamu! Kau anggap aku ini orang 

apa maka timbul persangkaan kotor dalam kepalamu yang kecil 

itu? Siapa yang menghendaki dirimu? Kaukira aku tertarik dan 

tergila-gila akan kecantikanmu? Hah! Kau belum kenal aku. 

Inilah Saritama, Ksatria Gunung Kidul yang tak mungkin tergiur 

oleh kecantikan seorang wanita!"

Dewi Saraswati tercengang dan ia lupa bahwa ia sedang 

menangis. Ia turunkan tangan yang menutupi mukanya lalu 

memandang dengan pipi masih basah oleh air mata. Akan tetapi 

oleh karena kabut amat tebal di hutan itu, maka air muka pemuda itu masih belum kelihatan nyata.

"Habis...... untuk apa kau menculikku?"

Aneh sekali, tiba-tiba ia merasa kecewa dan mendongkol 

mendengar bahwa pemuda penculiknya ini sedikitpun tidak 

menghiraukan atau tergiur oleh kecantikannya!

"Dengarkan, gadis! Dulu, ketika kau dan aku masih kecil, 

ayahmu, Tumenggung Wiradigda yang keparat itu telah 

memfitnah orang tuaku sehingga ayah ibu dan keluarganya binasa 

semua! Kebetulan sekali aku dapat menyelamatkan diri dan kini 

aku datang hendak membalas dendam!"

Saraswati tertegun. Ia pernah mendengar tentang Adipati 

Cakrabuwana yang dianggap pemberontak dan ditumpas oleh 

barisan Majapahit.

"Siapakah ayahmu itu?" tanyanya minta kepastian.

"Ayahku adalah Adipati Cakrabuwana yang gagah perkasa, 

ksatria sejati, tidak seperti ayahmu!"

Panas juga hati Saraswati mendengar ayahnya dimaki-maki.

"Oo, jadi ayahmu adalah pemberontak itu?" katanya dengan 

suara mengejek. "Kalau begitu, kau seorang pengecut!"

Tangan Saritama sudah diangkat dan hendak menampar pipi 

gadis itu, akan tetapi Saraswati sama sekali tidak takut, bahkan 

mengangkat dada dan memandang tanpa berkedip hingga 

Saritama yang teringat bahwa ia berhadapan dengan seorang 

wanita, menurunkan lagi tangannya.

"Kalau kau seorang laki-laki," katanya dengan napas sesak 

menahan marah," tentu akan kupatahkan lehermu! Akan kubeset 

kulitmu dan akan kuhancurkan kepalamu!" Tanpa disadarinya, ia 

mengulang ancaman Saraswati tadi dengan otomatis oleh karenakata-kata ini masih mengiang di dalam telinganya!

Saraswati tersenyum mengejek. "Mengancam saja meniru-

niru orang! Aku menyebutmu pengecut oleh karena kau 

membalas dendam dengan curang. Mengapa kau menculikku? 

Apakah dosaku? Mengapa kau tidak berani menghadapi ayahku 

untuk bertanding secara laki-laki? Dan hendak kau apakankah 

aku ini?" kata-kata terakhir ini tidak dikeluarkan dengan hati 

kuatir, bahkan dengan suara menantang!

"Dengarlah, orang-orang Tangen yang pengecut! Bukan aku! 

Mereka maju dengan keroyokan. Oleh karena itu maka aku 

menawanmu dan kau hendak kubawa ke tempat tinggal ayahku 

dulu! Ayahmu harus datang ke sana sendiri apabila ingin 

menjemputmu dan ia harus menghadapiku untuk mengadu 

kesaktian!"

"Hah!" Saraswati mencibirkan bibir mengejek. "Dalam lima 

jurus saja dadamu akan pecah oleh pukulan ayah!"

"Sombong kau!" Saritama membentak. "Sudah tutup 

mulutmu yang cerewet itu dan hayo kita berjalan terus!"

"Tidak! Aku tidak sudi," gadis itu menantang, dan 

mengangkat-angkat dadanya yang penuh ke muka.

"Jalan! Kalau tidak, kau akan kuseret!" bentak Saritama 

gemas.

"Tidak! Boleh kau berbuat sesuka hatimu, aku tidak sudi 

menurut perintahmu!"

"Gadis kepala batu!" Sambil bersungut-sungut Saritama lalu 

memegang lengan tangan gadis itu dan menariknya ke depan. 

Saraswati meronta-ronta dan memberontak sekuat tenaga, 

memukul-mukul lengan tangan Saritama dengan tangan 

kanannya, menggunakan kakinya menendang-nendang lututpemuda itu. Ketika Saritama tidak memperdulikan semua 

serangan ini dan tetap berjalan sambil menyeret Saraswati, gadis 

itu lalu menundukkan kepala dan menggigit tangan Saritama 

dengan giginya yang putih dan tajam!

Saritama berseru kesakitan dan terpaksa melepaskan 

pegangannya. Saraswati berdiri terengah-engah karena menahan 

marahnya, kedua matanya mengeluarkan air mata, akan tetapi ia 

tidak menangis, bahkan memandang dengan mata bernyala dan 

hidungnya yang indah mancung itu berkembang-kempis, seakan-

akan mengeluarkan uap panas! Akan tetapi semua ini tidak 

kelihatan oleh Saritama oleh karena kabut di hutan itu masih tebal 

sekali hingga keadaan masih reamang-remang.

"Kau benar-benar kuda betina liar yang berkepala batu!" 

Saritama memaki.

"Dan kau kuda jantan liar yang tak tahu malu dan tidak 

sopan!" Saraswati balas memaki!

Keparat" Saritama membentak gemas dan tiba-tiba ia 

tangkap gadis itu, lalu dengan mudah dipondongnya! Saraswati 

mencoba untuk memberontak, memukul-mukulkan kedua 

tangannya ke arah dada dan kepala pemuda itu, akan tetapi 

dengan tangan kiri Saritama berhasil memegang kedua 

pergelangan tangannya hingga ia tidak berdaya lagi, hanya kedua 

kakinya saja meronta-ronta dan bergerak-gerak. Akan tetapi, 

Saraswati tidak mau menangis dan tidak mau memperlihatkan 

kelemahannya. Ia sengaja meronta-ronta agar pemuda itu tak 

mudah dapat melanjutkan perjalanannya.

Akan tetapi, Saritama adalah seorang pemuda yang bertubuh 

kuat dan bertenaga besar, maka sedikit perlawanan itu tak berarti 

apa-apa baginya. Bahkan ia lalu mempergunkan ilmu larinya 

Kidang Kencana hingga Saraswati yang tiba-tiba merasa betapa 

pohon-pohon berlari-lari cepat dan angin menyambar muka danseluruh tubuhnya hingga rambutnya berkibar tertiup angin, 

menjadi takut sekali. Gadis ini heran mengapa pemuda itu dapat 

berlari demikian cepatnya, maka iapun lalu berhenti meronta-

ronta, bahkan memejamkan mata karena takut!

Berkat ilmu lari cepatnya yang luar biasa tak lama kemudian 

mereka telah dapat keluar dari hutan itu. Sementara itu, matahari 

telah mengusir pergi kabut yang tebal. Setelah keluar dari hutan 

Saritama kuatir kalau-kalau bertemu dengan petani dan dapat 

melihat betapa ia berlari sambil memondong seorang wanita, 

maka tiba-tiba ia berhenti.

––––––––

Pada saat yang sama, ketika ia memandang ke arah muka 

gadis yang masih berada di dalam pelukannya, gadis itupun 

membuka mata dan memandangnya. Dua pasang mata bertemu 

dan keduanya diam tak berkata-kata! Lama sekali dua pasang 

mata itu saling pandang dengan penuh keheranan dan 

kekaguman. Saritama melihat betapa muka yang berkulit kuning-

putih kemerah-merahan dan berbentuk sangat indah dihiasi mata, 

hidung, bibir dan rambut disinom yang tak kalah oleh 

kecantikannya bidadari dalam alam khayalannya. Sedangkan 

Saraswati melihat wajah pemuda yang tampan dan gagah sekali, 

dengan sepasang mata jernih tajam, perkasa dan bagus bagaikan 

Sang Arjuna sendiri!

Pada saat itu entah darimana datangnya, warna merah 

menjalar di kedua wajah teruna dan dara itu hingga wajah mereka 

memerah sampai ke telinga! Ketika melihat betapa tubuh yang 

berkulit halus dan hangat itu menempel di dadanya dan kedua 

lengannya memeluk tubuh gadis itu, tiba-tiba Saritama menjadi 

malu sekali hingga cepat-cepat ia menurunkan tubuh itu ke atas 

tanah!

"Kau....... kau harus berjalan sendiri," kata Saritama dan iaberusaha sekuatnya untuk memberi tekanan keras kepada 

suaranya supaya terdengar marah, akan tetapi hasilnya tidak 

sebaik yang ia harapkan oleh karena suara itu keluar dengan 

gagap dan lemah!

"Tidak, aku tidak sudi," gadis itu menjawab dengan bibirnya 

yang indah dan merah itu cemberut, sambil menunduk dan tak 

berani mengangkat muka memandang wajah Saritama!

"Apakah kau lebih senang kalau kupondong?" tanya 

Saritama agak berani dan dengan dada berdebar oleh karena gadis 

itu tidak memandangnya. Mendengar ini, Saraswati cepat 

mengangkat kepala memandang dengan mata bernyala lagi.

"Siapa sudi kau pondong?" bentaknya marah.

Saritama tersenyum dan wajahnya berseri oleh karena kini ia 

dapat melihat betapa gadis itu menjadi makin cantik di waktu 

marah! Kedua matanya seakan tertawa hingga gadis itu menjadi 

makin gemas.

"Kalau begitu, kau harus berjalan kaki."

"Tidak sudi!"

"Baik, aku akan memondngmu lagi kalau kau lebih suka 

dipondong!"

Mendengar ini, Saraswati menjauhkan diri dan segera 

berjalan kaki tanpa menoleh lagi, bahkan ia mendahului Saritama.

Pemuda itu tersenyum dan tiba-tiba ia merasa aneh sekali 

mengapa kebenciannya terhadap gadis itu lenyap sama sekali 

bagaikan kabut terusir matahari pagi! Untuk beberapa lamanya ia 

memandang lenggang gadis yang marah itu dengan hati berdebar 

dan semangat melayang. Alangkah manis dan lemah-gemulai 

lenggang gadis itu. Alangkah bersih dan halusnya kulit leher yang 

nampak dari belakang itu, dan alangkah indahnya bentuk kakiyang kadang-kadang nampak keluar dari kainnya ketika ia 

berjalan. Sebaik dan seindah itukah potongan dan bentuk kaki 

bidadari? Tak mungkin! Demikianlah, pemuda itu memandang 

bagaikan sebuah patung batu, dan setelah dara itu berjalan agak 

jauh, ia segera mengejarnya.

Saritama berjalan di sebelah Saraswati dan beberapa kali ia 

menengok, akan tetapi gadis itu berjalan dengan pandangan mata 

ditujukan ke depan, berbuat seolah-olah tidak ada orang di 

dekatnya!

"Nah, begini lebih baik," kata Saritama. "Aku tadi kuatir 

kalau-kalau ada orang melihat aku memondongmu. Alangkah

ganjilnya."

Saraswati berdiam saja dan bahkan mempercepat 

langkahnya. Saritama juga berjalan tanpa berkata-kata, hanya 

beberapa kali memandang wajah yang marah itu. Lambatlaun, 

makin menipislah sinar kemarahan yang membayang pada wajah 

ayu itu, bahkan kini sinar kemarahan itu telah terganti oleh peluh 

yang memenuhi jidatnya. Dadanya agak terengah-engah, tanda 

bahwa gadis yang tidak biasa berjalan kaki jauh-jauh ini telah 

merasa lelah. Akan tetapi, Saraswati tidak sudi memperlihatkan 

kelemahannya dan memaksa diri berjalan cepat.

"Kau lelah? Marilah beristirahat dulu. Kita tak perlu tergesa-

gesa!" kata Saritama dan biarpun ia mencoba untuk membuat 

suaranya terdengar biasa dan sewajarnya, namun ia tidak dapat 

melenyapkan suara yang mengandung iba hati hingga ia menjadi 

benci kepada suaranya sendiri yang telah membongkar rahasia 

perasaannya itu.

Akan tetapi, sedikitpun Saraswati tidak mau menengok atau 

menjawab, bahkan gadis itu lalu merapatkan bibirnya untuk 

menahan lidahnya yang hendak menjawab dan menundukkan

kepalanya untuk mencegah matanya yang hendak mengerling kekanan di mana pemuda itu berjalan!

Saritama menghela napas. Beberapa lama mereka berdua 

berjalan lagi dalam keadaan sunyi.

"Kau masih marah?" Saritama berkata lagi. Tidak ada 

jawaban.

"Dengarlah, Saraswati. Kau bernama Saraswati bukan? 

Nama yang indah! Dengarlah, aku sebetulnya merasa menyesal 

juga bahwa aku terpaksa menawan kau yang tidak berdosa. Akan 

tetapi, kalau aku melayani semua ponggawa Tangen dan 

melakukan amukan di sana, tentu aku akan membinasakan dan 

melukai banyak ponggawa yang sebetulnya tidak mempunyai 

permusuhan apa-apa dengan aku. Aku tidak tega melukai orang-

orang yang tidak berdosa itu. Maka setelah melihat kau sebagai 

anak tunggal musuh besarku timbul akalku untuk membawamu 

pergi dan menanti kedatangan musuh besarku itu di sana agar 

kami berdua berhadapan muka tanpa ada orang lain yang 

mengganggu. Aku menyesal telah menyusahkan dan membuat 

kau marah di luar kehendakku!"

Terdengar suara perlahan keluar dari kerongkongan gadis itu, 

seperti sedu-sedan, akan tetapi Saraswati masih saja merapatkan 

bibirnya dan berjalan terus. Akan tetapi kakinya telah terasa lelah 

sekali dan matahari yang telah naik agak tinggi itu mulai terasa 

panasnya. Ia terhuyung-huyung dan tiba-tiba kaki kanannya 

tersandung batu. Hampir saja ia jatuh kalau Saritama tidak cepat-

cepat memegang kedua tangannya dari samping.

Saraswati merasa kepalanya pening dan ia memejamkan 

kedua matanya sambil tanpa disadarinya ia menyandarkan 

kepalanya di dada pemuda itu. Saritama mencium keharuman 

luar biasa yang keluar semerbak dari rambut gadis yang terurai 

itu dan pemuda ini cepat-cepat mengatur napas menutup mata 

untuk menahan gelora hatinya.Akhirnya kepusingan yang membuat Saraswati merasa 

kepalanya berputar itu mereda dan ketika gadis ini sadar bahwa ia 

menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu, ia cepat-cepat 

merenggutkan tubuhnya, lalu menjatuhkan diri di atas rumput 

sambil menangis tersedu-sedu!

Saritama juga ikut duduk sambil mulai menyesali 

pebuatannya. Ia merasa kasihan sekali melihat gadis ini yang 

menjadi kurban daripada pembalasan dendamnya.

"Saraswati.......," katanya halus, "Jangan kau menangis....... 

kau....... Janganlah kau marah, dan maafkan aku, Saraswati."

Dengan mata mengalirkan air mata yang membasahi kedua 

pipinya yang kemerah-merahan, Saraswati memandang pemuda 

itu.

"Saritama, mengapa kau mengubah sikapmu yang kasar? 

Mengapa kau berubah sebaik ini? Berlakulah kasar karena aku 

adalah anak musuhmu. Hentikanlah godaanmu ini, Saritama."

"Saraswati, jangan kau anggap aku serendah itu. Aku tidak 

menggodamu, aku memang....... entah mengapa, tiba-tiba aku 

merasa kasihan kepadamu. Maafkanlah perbuatanku yang 

terpaksa oleh karena tugasku dan baktiku kepada mendiang 

ayahku."

"Tidak, tidak! Tidak ada yang harus dimaafkan, agaknya 

begini lebih baik lagi! Biarlah ayah mengalami sedikit kekuatiran 

oleh karena dia telah memaksaku menikah dengan tua bangka 

bandotan itu!"

"Apa? Kau dipaksa menikah dengan seorang tua bangka?" 

tanya Saritama. "Apakah dengan dukun lepus itu?"

Maka teringatlah Saraswati akan peristiwa di taman dan ia 

teringat pula bahwa pemuda inilah yang telah menolongnya daribahaya cengkeraman Bagawan Kalamaya yang lebih hebat 

daripada bahaya maut. Untuk sesaat ia memandang kepada wajah 

Saritama dengan pandangan mesra, akan tetapi hanya untuk 

sebentar saja oleh karena ia segera dapat menguasai perasaannya 

kembali. Dia sendiri merasa bahwa pemuda di depannya ini 

adalah seorang ksatria yang baik budi dan gagah perwira maka 

tak sedikitpun terkandung rasa benci dalam hatinya. Pemuda ini 

bersikap demikian sopan-santun hingga menimbulkan 

kepercayaan besar di lubuk hatinya. Maka tanpa disadarinya ia 

lalu menceritakan betapa ia telah dilamar Adipati Tirtaganda dari 

Pacet yang sudah kakek-kakek dan lamaran itu diterima baik oleh 

ayahnya!

Saritama marah sekali mendengar penuturan gadis itu. 

"Sungguh memalukan! Biar kuputar batang leher bandot tua itu!" 

Ucapan ini dikeluarkan tanpa disadarinya dan ketika gadis itu 

gadis itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan bibir 

tersenyum, barulah ia sadar dan tiba-tiba ia menundukkan 

mukanya dengan malu.

"Saritama, mengapa kau demikian memperhatikan nasibku? 

Bukankah aku ini anak musuhmu yang hendak kau basmi?"

"Aku..... eh..... kau benar anak musuhku...... dan...... dan 

tentang Tirtaganda si celeng tua...... ah, aku memang benci sekali 

melihat bandot tua!" jawabnya gagap dan tidak karuan hingga 

tiba-tiba gadis yang tadinya menangis itu kini tertawa geli dengan 

air mata masih membasahi pipinya. Tertawanya nyaring dan 

merdu hingga Saritama mengangkat muka lalu memandang 

kagum.

"Saritama, kau ini....... aneh sekali."

"Mengapa aneh?"

"Betapa tidak? Kau memusuhi ayahku, membenci ayah danmenculik pergi Dewi Saraswati, ia menjadi marah sekali. Akan 

tetapi apa daya, pemuda itu terlampau tangguh baginya. Diam-

diam ia lalu menghampiri Tomblok yang masih rebah sambil 

menangis. Para ponggawa yang sibuk mengejar Saritama tidak 

memperdulikan pendeta itu hingga taman itu kembali menjadi 

sunyi.

"Emban, kau sudah tahu siapa aku, bukan? Nah, kau harus 

menutup mulutmu dan jangan sampai orang lain mendengar 

tentang peristiwa antara aku dan sang puteri tadi. Kalau kau 

sampai bocor mulut, awas! Kerisku ini akan menamatkan 

hidupmu!"

Dengan ketakutan dan tubuh menggigil, Tomblok 

menyatakan kesanggupannya, dan akhirnya berkata, "Jangan 

kuatir, Sang Bagawan, oleh karena pada akhirnya bukan kau yang 

membawa pergi gusti puteri, akan tetapi pemuda itu!" Tomblok 

lalu menangis ketika teringat akan Saraswati yang tertawan 

musuh. Kemudian, setelah mengancam dengan keras sekali lagi, 

Bagawan Kalamaya lalu meninggalkan tempat itu, sedangkan 

Tomblok lalu lari masuk untuk memberi laporan kepada ibu 

Saraswati.

Maka geger dan ributlah di dalam gedung ketika kaum 

wanitanya mendengar cerita Tomblok. Terdengar tangis dan 

keluh-kesah seakan-akan ada kematian dalam rumah itu.

Pada keesokan harinya, di Pacet juga terjadi keributan ketika 

para ponggawa yang menyusul Tumenggung Wiradigda telah 

menyampaikan berita itu. Adipati Pacet yang bernama Tirtaganda 

juga marah sekali mendengar betapa calon isterinya dilarikan 

orang.

"Si keparat Saritama!" teriaknya dengan kumis berdiri karena 

marahnya. "Berani kau megganggu calon isteriku?" Sambil 

berkata begitu Tirtaganda mencabut kerisnya, seakan-akanSaritama telah berada dan berdiri di depannya!

"Ananda Adipati, maafkan aku karena tak dapat lebih lama 

berada di sini," kata Tumenggung Wiradigda yang wajahnya 

menjadi pucat.

"Paman Tumenggung, bagaimana tentang perjodohan itu? 

Hari pernikahan belum ditetapkan dan perundingan kita belum 

selesai, mengapa kini pamanda hendak pulang?"

Bukan main mendongkolnya hati Wiradigda mendengar ini. 

Sudah jelas bahwa Saraswati diculik orang, akan tetapi calon 

mantu ini masih hendak bicara tentang hari pernikahan segala.

"Ah, tentang itu bagaimana nanti saja, ananda," katanya 

dengan suara kurang senang. Tumenggung Wiradigda dan 

ponggawanya lalu keluar dari kadipaten dan menunggang kuda 

dengan secepatnya kembali ke Tangen. Di sepanjang jalan ia 

menyuruh para ponggawa itu menceritakan segala peristiwa yang 

terjadi di Tangen. Ketika mendengar yang menculik puterinya 

adalah putera dari almarhum Adipati Cakrabuwana, wajah 

Tumenggung Wiradigda makin pucat. Ia lalu mempercepat lari 

kudanya hingga siang hari itu juga mereka telah tiba di Tangen.

Dari semua ponggawa yang malam hari kemarin 

mengeroyok Saritama, ia mendapat keterangan betapa sakti dan 

perkasa pemuda musuhnya itu. Maka diam-diam Tumenggung 

Wiradigda merasa kuatir dan cemas. Ia sudah mulai menjadi tua 

dan tenaganya telah banyak berkurang hingga ia merasa bahwa 

iapun takkan dapat menghadapi pemuda yang menjadi musuhnya 

itu. Selain itu, Tumenggung Wiradigda juga merasa menyesal 

sekali mendengar bahwa keturunan Adipati Cakrabuwana kini 

datang menuntut balas. Ia tidak dapat membawa barisannya untuk 

mengejar dan mengepung Saritama, oleh karena selain hal ini 

memalukan dan menjatuhkan namanya, juga ia kuatir kalau-kalau 

pemuda itu akan membinasakan puterinya. Maka ia lalumengumumkan kepada semua ponggawanya untuk mengadakan 

sayembara untuk memilih seorang yang benar-benar gagah 

perkasa untuk mengawaninya mengejar Saritama di Tritis! Dan 

oleh karena kebingungannya, Tumenggung yang sudah tua ini 

bahkan lalu menyatakan bahwa siapa yang terpilih dan akhirnya 

berhasil merebut kembali puterinya dari tangan Saritama, ksatria 

ini akan dipungut mantu dan dijodohkan dengan Dewi Saraswati!

Setelah mengadakan pengumuman ini, Tumenggung 

Wiradigda memasuki kamarnya, disambut oleh isterinya yang 

cantik dan yang sedang menangis sedih memikirkan nasib 

anaknya.

"Rakanda tumenggung, bagaimanakah baiknya.......? Aduh, 

Saraswati anakku......"

Tumenggung Wiradigda menghela napas. "Akhirnya 

Cakrabuwana dapat juga membalas dendam, sungguhpun 

pembalasan dendam ini kurang tepat. Memang, sampai matipun 

Cakrabuwana akan selalu menyangka bahwa aku yang 

memfitnahnya! Cakrabuwana...... sungguh besar rasa sakit hatimu 

padaku....... dan semua ini hanya karena engkau, Mirah."

Isterinya menangis makin sedih. Terbayanglah segala 

peristiwa dan pengalaman di waktu muda. Memang dulu dia telah 

mempunyai hubungan yang mesra dengan Cakrabuwana, akan 

tetapi akhirnya ia harus mengalah kepada pilihan ayahnya hingga 

ia dikawinkan dengan Wiradigda. Akan tetapi, dia tidak menyesal 

oleh karena ternyata kemudian bahwa Wiradigda adalah seorang 

yang baik dan suami yang bijak hingga hidupnya cukup bahagia. 

Sungguh menyesal bahwa diantara Wiradigda dan Cakrabuwana 

terdapat dendam hati yang besar, sungguhpun mereka berdua tak 

pernah menyatakannya. Pada bulan-bulan pertama, Wiradigda 

yang telah menjadi suaminya itu seringkali menyatakan 

ketidaksenangan hatinya dan rasa cemburunya, akan tetapilambat-laun, sikap inipun lenyap, apalagi setelah anak mereka 

Saraswati itu lahir.

Pada waktu itu, memang banyak terjadi pemberontakan dari 

para adipati dan tumenggung yang tidak merasa puas dengan 

pemerintah yang dipegang oleh Ratu Wanita, akan tetapi semua 

pemberontak itu dapat ditumpas oleh Patih Gajah Mada. 

Akhirnya dengan mempergunakan lidahnya yang tajam dan 

hubungan yang baik dan erat dengan fihak keraton, seorang 

pejabat tinggi dapat memfitnah Cakrabuwana dan menuduhnya 

hendak memberontak pula. Kerajaan lalu mengirim bala-tentara 

dan Adipati Cakrabuwana beserta seluruh keluarganya di Pacet 

dihancurkan. Dan celakanya, tentara penumpas pemberontakan 

ini sebelum menuju ke Pacet, terlebih dahulu berhenti dan 

bermalam di Tangen hingga tentu saja mudah menimbulkan 

persangkaan bahwa Wiradigdalah yang menjadi biang keladi 

penumpasan itu!

Padahal pejabat tinggi yang telah memfitnah itu bukan lain 

orangnya adalah Adipati Tirtaganda sendiri! Ketika itu, Adipati 

Tirtaganda masih sangat muda oleh karena sebagai putera 

seorang pangeran ia merasa dikalahkan dalam kemajuan oleh 

Cakrabuwana, seorang pemuda keturunan rendah saja, timbul iri 

hatinya dan ia lalu menggunakan kedudukannya sebagai putera 

pangeran untuk memfitnah adipati itu!

Akan tetapi, hal ini hanya diketahui oleh Wiradigda seorang , 

yang dapat menduga dengan tepat, walaupun tidak berani 

menyatakan dengan mulut. Dan menurut anggapan Wiradigda, 

oleh karena hal itu telah terjadi dan tak dapat dicegah lagi maka 

ia lalu menutup mulut. Tak disangkanya sama sekali bahwa 

keturunan Adipati Cakrabuwana masih hidup dan kini tiba-tiba 

saja datang membalas dendam ayahnya kepada...... dia!

Demikianlah, dengan hati penuh penyesalan TumenggungWiradigda berdiam diri di dalam kamarnya dan ia telah 

mengambil keputusan tetap untuk membatalkan perjodohan 

puterinya dengan Adipati Tirtaganda yang menjadi biang keladi 

tersembunyi daripada segala peristiwa ini!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi, benar di halaman 

tumenggung telah berkumpul banyak sekali ponggawa dan 

pemuda-pemuda yang hendak memasuki sayembara. Akan tetapi, 

kepala ponggawa yang telah mendapat perintah dan petunjuk 

Tumenggung Wiradigda, lalu mengadakan pemilihan lagi dan 

diantara berpuluh ponggawa dan satria yang hendak mengikuti 

sayembara ini, hanya ada dua belas orang yang ia pilih. Tiba-tiba 

diantara para penonton yang banyak jumlahnya, keluarlah 

seorang yang cakap dan gagah. Pemuda ini menghadap kepala 

ponggawa dan berkata,

"Perkenankanlah saya untuk mengikuti sayembara ini."

Kepala ponggawa memandangnya dengan tajam. Ia melihat 

bahwa pemuda ini biarpun halus dan sopan-santun, namun 

memiliki tubuh yang padat dan sepasang mata yang bersinar 

ganjil dan tajam, maka ia dapat menduga bahwa satria ini 

tentulah bukan orang sembarangan.

"Siapa namamu, raden?" tanyanya.

"Saya adalah Jakalelana dari pesisir selatan," jawab yang 

ditanya.

Kepala ponggawa maklum bahwa nama ini bukanlah nama 

aseli dan tentu pemuda ini ingin menyembunyikan keadaan 

dirinya, maka ia makin tertarik.

"Baiklah, mari kau ke sini, berkumpul dengan dua belas 

orang pengikut sayembara yang lain."

Dengan demikian, maka jumlah pengikut yang terpilih adatiga belas orang.

Ketika Tumenggung Wiradigda keluar dari gedungnya, 

dengan girang ia melihat bahwa ketiga belas calon yang tepilih 

oleh kepala ponggawa adalah orang-orang muda yang gagah 

perkasa. Ia menyatakan kecocokan hatinya dan memberi tanda 

agar supaya pertandingan adu kesaktian segera dimulai untuk 

memilih seorang jago yang sakti dan yang akan menyertainya 

menghadapi Saritama!

Gong ditabuh keras dan semua penonton dipersilakan 

mundur untuk memberi tempat bagi para peserta. Cara adu 

kepandaian dan kesaktian yang dilakukan pada waktu itu ialah 

mengadu semua peserta supaya mereka berkelahi tanpa 

membekal senjata. Yang menang terakhir, dialah yang menjadi 

juara!

Atas isarat kepala ponggawa, dua peserta maju ke dalam 

kalangan dan mereka segera bertempur. Keduanya 

memperlihatkan kepandaian masing-masing, pukul-memukul, 

tendang-menendang, banting-membanting, diikuti sorak-sorai 

para penonton. Demikianlah, dari dua belas orang peserta, yang 

menang ada enam orang, sedangkan Jakalelana oleh karena 

datangnya paling akhir dan merupakan angka ganjil, tidak 

mendapat lawan!

Kemudian enam orang pemenang itu lalu diadu kembali atas 

pilihan ponggawa dan dalam babak kedua inipun, Jakalelana 

tidak mendapat lawan oleh karena keenam pemenang itu telah 

menjadi tiga rombongan.

Setelah petandingan selesai dan para pemenang kini tinggal 

tiga orang saja, maka pemuda itu nampaknya kurang puas dan 

tidak senang. Tiba-tiba ia berdiri dan berkata kepada 

Tumenggung Wiradigda."Maafkan saya, Gusti Tumenggung. Oleh karena ketiga 

saudara ini telah berkelahi dua kali dan tentu mereka ini telah 

lelah, maka tidak adillah apabila saya harus menghadapi mereka 

seorang demi seorang. Saya semenjak tadi tak kebagian lawan 

dan saya belum bertempur satu kalipun, maka apabila paduka 

mengizinkan biarlah sekarang mereka bertiga ini maju berbareng 

menghadapi hamba! Apabila hamba kalah biarlah ini dianggap 

bahwa saya tak berharga untuk menjadi pengikut paduka 

menemui Saritama."

Tumenggung Wiradigda tertarik sekali kepada pemuda yang 

tampan dan yang halus tutur katanya itu.

"Hai, satria yang gagah dan tampan, siapakah namamu?"

"Hamba bernama Jakalelana, Gusti Tumenggung."

Tumenggung Wiradigda tertawa. "Baiklah, untuk kali ini kau 

boleh menggunakan nama itu, akan tetapi apabila kau telah 

terpilih dan menang dalam sayembara ini, kau harus 

memberitahukan namamu yang sebetulnya."

Pemuda itupun tersenyum. "Baik, Gusti Tumenggung. 

Apabila dewata memberkahi hamba hingga hamba menang dalam 

sayembara ini, pasti hamba akan memperkenalkan diri hamba 

sebenarnya."

Tumenggung Wiradigda memberi isarat dan pertandingan 

babak ketiga dipersiapkan. Semua penonton memandang gembira 

oleh karena kali ini tentu akan ada pertunjukan yang hebat 

menarik. Siapakah pemuda tampan yang begitu berani mati 

menantang ketiga pemenang itu untuk maju berbareng?

Para ponggawa lalu minta supaya penonton mundur hingga 

kalangan menjadi lebih lebar oleh karena yang hendak bertanding 

kini adalah empat orang. Ketiga pemenang itu menanti sambil 

duduk dan dada mereka yang bidang itu berkilat karena peluh.Ketiganya masih muda dan kesemuanya bertubuh tinggi besar. 

Akan tetapi, ketika mereka ini mendengar usul permintaan 

pemuda yang bertubuh tak berapa besar dan nampaknya tak 

berapa kuat itu, mereka saling pandang dan tersenyum mengejek.

Setelah mendapat isarat dari kepala ponggawa maka ketiga 

orang pemenang itu berdiri dan bersiap di hadapan Jakalelana. 

Pemuda ini dengan tenang lalu menghampiri mereka. Para 

penonton tak ada yang mengeluarkan suara hingga keadaan 

menjadi sunyi seakan-akan di situ tidak terdapat seorangpun! 

Semua mata kini memandang kepada Jakalelana dengan penuh 

kekhawatiran. Memang kalau dipandang amat ganjil, karena 

Jakalelana yang bertubuh tak besar dan yang nampaknya lemah-

lembut itu berdiri menghadapi tiga orang lawan yang demikian 

kuat dan gagahnya!

Tiba-tiba saja datangnya, bagaikan mendapat aba-aba, ketiga 

orang pemenang itu lalu maju menubruk dan menyerang. 

Agaknya mereka hendak merobohkan Jakalelana dalam satu 

gerakan saja. Serangan mereka ini sangat dahsyat, bagaikan 

serangan ombak samudra! Para penonton manahan napas dan 

memandang ke arah Jakalelana dengan kuatir akan tetapi tiba-tiba 

mereka menjadi heran tercengang oleh karena bagaikan seekor 

burung srikatan yang gesit sekali, tubuh Jakalelana telah 

melayang di atas melewati kepala ketiga lawannya dan kini 

berada di belakang mereka sambil bertolak pinggang! Kini 

marahlah ketiga orang itu.

Sambil menggeram mereka maju menyerbu lagi sekuat 

tenaga. Akan tetapi lagi-lagi Jakalelana memperlihatkan 

kegesitannya. Sambil melompat ke kanan kiri ia berhasil 

mengelakkan semua serangan dan kadang-kadang menangkis 

dengan lengan tangannya. Tiap kali melompat, tak pernah lupa ia 

memberi tepukan atau colekan dengan tangan dan kakinya hinggasemua penonton yang melihat betapa ketiga orang itu 

dipermainkan oleh Jakalelana, tertawa geli dan bersorak-sorak 

makin hebat.

Juga Tumenggung Wiradigda yang menonton pertandingan 

ini, diam-diam terkejut sekali. Hebat sekali pemuda ini, pikirnya. 

Bahkan ia akui bahwa ia sendiri tak sanggup mengalahkan 

pemuda itu dalam ilmu perkelahian. Alangkah gagah, cepat, 

tangkas, dan cekatan. Tiada ubahnya sebagai seekor burung 

garuda menyambar-nyambar lawannya. Ah, pantas benar pemuda 

ini menjadi suami Saraswati, pikir Tumenggung Wiradigda. 

Sama-sama tampan sama-sama muda. Diam-diam hatinya 

menjadi girang dan timbul harapannya. Dengan pemuda seperti 

ini sebagai kawan, mustahil ia takkan dapat merebut kembali 

anaknya dari tangan Saritama.

Jakalelana merasa sudah cukup mempermainkan ketiga 

lawannya. Tiba-tiba ia mempercepat gerakannya dan begitu kaki 

tangannya bergerak, maka bergelimpanganlah tubuh ketiga orang 

lawannya tanpa sanggup bangun kembali. Kemenangan yang 

mutlak ini disambut dengan gegap-gempita oleh para penonton.

"Hai, Jakalelana. Dengan disaksikan oleh semua penonton 

dan semua ponggawa, kau kunytakan sebagai pemenang dalam 

sayembara ini!" Tumenggung Wiradigda berseru keras dan kata-

katanya ini disambut dengan sorak-sorai oleh para penonton.

"Sekarang, sebelum kau menyertai aku untuk menghadapi 

musuh, kau harus memenuhi janjimu tadi dan perkenalkan dirimu 

sebenarnya. Siapakah namamu dan dari mana asalmu?"

Pertanyaan ini disambut oleh para penonton dengan penuh 

perhatian hingga keadaan menjadi sunyi sepi, karena semua 

penonton dan bahkan para ponggawa dan para pengikut 

sayembara ingin sekali mendengar siapa adanya pemuda gagah 

perkasa ini Jakalelana tersenyum dan bangkit berdiri dengan perlahan. Ia 

memandang ke sekeliling, kemudian menatap wajah 

Tumenggung Wiradigda. Ketika berkata-kata suaranya terdengar 

nyaring sekali dan bagi telinga semua pendengarnya, ucapan dan 

jawabannya merupakan suara guntur di siang hari!

"Tumenggung Wiradigda dan semua orang Tangen, 

dengarlah baik-baik! Kalian semua hendak mengenal aku? Nah, 

pasanglah telingamu lebar-lebar karena aku adalah putera dari 

Adipati Cakrabuwana dan namaku ialah Saritama!"

Pucatlah wajah Tumenggung Wiradigda mendengar ini. 

Tumenggung sudah tua ini bangkit berdiri dengan muka sebentar 

pucat sebentar merah.

"Kalian mendengar sendiri betapa Tumenggung Wiradigda 

telah memilih Saritama sebagai mantu, maka apa perlunya 

mengejar-ngejar Saritama? Ha, ha, ha!" Saritama tertawa 

mengejek.

"Keparat, jangan kau mempermainkan orang!" Tumenggung 

Wiradigda bangkit berdiri dengan marah sekali. Mereka siap 

dengan senjata di tangan dan hendak menyerbu pemuda itu.

Akan tetapi Saritama mempergunakan kesaktiannya. Siapa 

saja berani datang dekat tentu roboh karena pukulan atau 

tendangannya. Ketika Tumenggung Wiradigda sendiri datang 

menyerang, Saritama melompat pergi jauh dan pemuda itu lalu 

melarikan diri sambil berkata,

"Wiradigda! Tantanganku masih berlaku, tapi tidak di sini! 

Kalau kau memang jantan, datanglah ke Tritis untuk membuat 

perhitungan!"

"Baik, Saritama, pemuda sombong! Kau kira aku takut 

padamuTumenggung Wiradigda lalu lari memasuki rumahnya dan 

sebentar kemudian ia berlari keluar sambil membawa tombak 

pusakanya yang ampuh. Ketika para ponggawa beramai-ramai 

hendak ikut mengejar, tumenggung yang tua itu berhenti dan 

membentak,

"Kalian hendak membuat malu aku? Hayo mundur dan 

kembali! Aku sendiri masih sanggup menghadapi Saritama!" 

Semua ponggawa mundur ketakutan, sedangkan Tumenggung 

Wiradigda dengan muka merah lalu melanjutkan perjalanannya 

ke Tritis!

Ketika ia tiba di sebuah hutan di mana kemarin dulu 

Saritama dan Saraswati bercakap-cakap, tiba-tiba muncul 

beberapa belas orang dan alangkah kagetnya ketika melihat 

bahwa yang muncul ini tidak lain adalah Adipati Tirtaganda dan 

beberapa orang ponggawanya!

"Tirtaganda, mengapa kau menghalangi perjalananku?" tanya 

Tumenggung Wiradigda yang tiba-tiba menjadi marah melihat 

orang ini oleh karena teringat bahwa orang inilah yang menjadi 

biang keladi permusuhannya dengan Saritama.

Adipati Tirtaganda tersenyum mengejek. "Tumennggung 

Wiradigda! Kau tak patut menjadi seorang tumenggung oleh 

karena kau telah melanggar janjimu sendiri. Aku mendngar 

bahwa kau mengadakan sayembara dan memilih mantu, betulkah 

ini?"

"Betul!"

"Bukankah kau sudah berjanji hendak menjodohkan 

puterimu dengan aku?"

"Tirtaganda, jangan kau menambah-nambahi sendiri. Siapa 

yang berjanji? Kita baru mengadakan perundingan akan tetapi 

perkara itu belum jadi dan belum masak. Kau maklum bahwaputeriku telah diculik oleh putera Adipati Cakrabuwana yang 

dulu kau khianati! Kaulah biang keladi segala malapetaka ini. 

Kau yang memfitnah Cakrabuwana, akan tetapi sekarang 

puteranya membalasnya kepadaku! Seharusnya kau sebagai laki-

laki harus berani bertanggung jawab dan pergi menghadapi 

Saritama, oleh karena kaulah musuh besarnya, bukan aku! Aku 

hanyalah menjadi kurban kesalahfahaman yang agaknya timbul 

semenjak Cakrabuwana masih hidup! Aku hanya akan 

menjodohkan puteriku apabila dia suka menerimanya. Kalau kau 

dapat merebut kembali Saraswati dari tangan Saritama, dan kalau 

anakku sudi menjadi isterimu, aku orang tua takkan 

melarangnya!"

"Ha,ha,ha! Wiradigda, kau memutar-mutar lidah bagaikan 

wanita! Baik kau, maupun Saritama hari ini tentu mampus dalam 

tanganku, sedangkan Saraswati, mau tidak mau harus menjadi 

isteriku!"

"Bangsat besar, majulah kalau kau hendak mengenal tombak 

pusaka Tumenggung Wiradigda!" kata tumenggung tua itu sambil 

mengacung-acungkan tombaknya.

"Maju, serbu!" Tirtaganda memberi perintah, dan belasan 

orang itu lalu maju mengurung. Tumenggung Wiradigda hendak 

mengamuk, akan tetapi jumlah lawannya cukup banyak dan 

cukup tangguh, maka tak lama kemudian ia terdesak hebat dan 

keselamatannya terancam!

Pada saat itu, dari balik sebatang pohon besar keluarlah 

seorang pemuda yang tidak lain ialah Saritama sendiri! Pemuda 

ini telah mendengar semua percakapan tadi dan timbul keraguan 

dalam hatinya. Benarkah bahwa Tumenggung Wiradigda bukan 

orang yang memfitnah ayahnya? Akan tetapi, oleh karena 

mendengar bahwa orang yang mengeroyok Wiradigda adalah 

Tirtaganda, bandot tua yang dibencinya, Saritama lalu melompat maju dan tanpa berkata apa-apa ia lalu menyerbu membela 

Tumenggung Wiradigda!

Sepak-terjang pemuda ini hebat sekali hingga dalam sekejap 

saja beberapa orang ponggawa kena dirobohkan.

"He, pemuda, siapakah kau?" bentak Tirtaganda.

"Bangsat dan bandot tua tak tahu malu! Dengarlah, aku 

adalah Saritama putera Cakrabuwana! Jadi kaupun memfitnah 

mendiang ayahku? Kalau begitu, kematianlah bagianmu!" Sambil 

berkata demikian, Saritama menyerang hebat dan sebuah pukulan 

yang disertai Aji Bromojati tepat mampir di pangkal telinga 

Tirtaganda! Adipati itu memekik ngeri dan roboh dengan tubuh 

hangus dan tewas seketika itu juga! Melihat hal ini para kaki 

tangannya lalu lari ketakutan!

Saritama lalu menghadapi Wiradigda dengan mata 

mengancam, akan tetapi Tumenggung itu sama sekali tidak takut.

"Kau juga hendak membunuhku?" Boleh, cobalah kalau kau 

dapat!" Tumenggung itu menantang dengan suara keras.

Akan tetapi, oleh karena telah mendengar percakapan tadi, 

hati pemuda itu menjadi ragu-ragu.

"Aku akan menangkapmu!" Ia lalu menyerbu secepat kilat. 

Wiradigda mengangkat tombaknya dan menusuk ke arah dada 

Saritama. Akan tetapi pemuda itu mengelak ke samping dan dari 

samping bergerak hendak merampas tombak. Tumenggung 

Wiradigda bukan orang lemah, maka tak mudah saja bagi 

Saritama untuk merampas tombak itu. Demikianlah, pemuda dan 

orang tua ini bertempur lama oleh karena Saritama tak hendak 

membunuhnya, hanya hendak menawannya saja. Kalau pemuda 

itu mau menjatuhkan tangan jahat, pasti Wiradigda takkan kuat 

menahan.Akhirnya, karena tenaga Wiradigda yang sudah tua itu telah 

banyak berkurang dan ia telah merasa lelah sekali sebuah 

tendangan Saritama tepat mengenai pergelangan tangannya 

hingga tombak yang dipegangnya terlempar jauh. Sebelum 

Tumenggung Wiradigda sempat mengelak, Saritama telah 

menyergapnya dengan kedua lengan tangannya yang kuat! 

Pemuda itu lalu mempergunakan sarung tumenggung itu sendiri 

untuk mengikat kedua tangan Tumenggung Wiradigda ke 

belakang. Kemudian ia pungut tombak tumenggung itu dan 

membentak,

"Hayo jalan!"

Saritama, kenapa aku tidak kau bunuh saja? Tak perlu aku 

dikasihani, tak perlu aku menyangkal dan membela diri 

menyatakan kebersihanku. Kalau kau anggap aku sebagai 

pengkhianat ayahmu, bunuh saja. Wiradigda tak takut mati!"

"Bunuh kau.......? Mudah, itu perkara nanti. Hayo jalan!"

Dengan ujung tombaknya Saritama memaksa orang tua itu 

berjalan maju menuju ke Tritis.

Ketika mereka tiba di dusun Tritis yang kosong sepi, dari 

dalam sebuah pondok bobrok keluarlah seorang gadis cantik jelita 

yang segera berlari menyambut mereka.

"Ayah........!"

"Saraswati.....! Kau selamat, nak? Terima kasih, Dewa!"

Saraswati ketika melihat ayahnya dibelenggu, menjadi marah 

sekali dan sambil mengangkat dadanya ia menghadapi Saritama.

Saritama hanya menundukkan kepala dengan bingung. Ia 

hampir tak dengar ucapan Saraswati oleh karena pada saat itu 

pikirannya bekerja keras dan diputar-putar memikirkan tentang 

percakapan antara Wiradigda dan Tirtaganda tadi. Ia menyesalmengapa ia telah menewaskannya, kalau tidak, ia dapat memaksa 

adipati itu untuk memberi keterangan dan penjelasan.

Melihat betapa Saritama tunduk saja dan agaknya takut 

kepada anaknya, Wiradigda memandang dengan heran sekali, 

sedangkan Saraswati lalu membuka belenggu ayahnya.

"Saritama, kau telah melakukan kekacauan di Tangen, telah 

menculik aku, dan kini berani pula menangkap ayahku. Tahukah 

kau bahwa kau telah melakukan pelanggaran besar sekali? Kalau 

Kerajaan Majapahit mengetahui hal ini, kau bisa dianggap 

sebagai seorang pemberontak!"

"Dia bahkan telah membunuh Adipati Tirtaganda!" kata 

Tumenggung Wiradigda.

Mata Saraswati yang lebar dan indah itu terbelalak 

memandang kepada Saritama. Kegirangan besar memancar 

keluar dari sepasang mata itu.

"Apa? Bandot tua itu telah kau tewaskan? Ah, Saritama....." 

tapi gadis itu segera mengubah suaranya ketika berkata. "Kalau 

begitu dosamu lebih besar lagi!"

Saritama berkata, "Saraswati, terserah, kepadamulah! Aku 

..... aku bingung sekali. Sebetulnya saja paman Tumenggung 

Wiradigda, apakah yang telah terjadi dengan mendiang ayahku? 

Tadi aku mendengar percakapanmu dengan Tirtaganda. 

Bagaimanakah terjadinya pemfitnahan terhadap keluargaku itu 

sesungguhnya?"

Maka Tumenggung Wiradigda lalu menceritakan semua 

peristiwa dahulu itu dengan jelas. Saraswati yang baru kali ini 

mendengar bahwa ibunya adalah bekas kekasih ayah Saritama, 

mendengarkan dengan hati tertarik pula. Saritama sendiri ketika 

mendengar betapa ia telah salah sangka dan menjatuhkan 

pembalasan kepada orang yang tidak berdosa, segera menundukkan muka dengan menyesal dan malu. Akan tetapi, ia 

masih merasa ragu-ragu, maka ia berkata,

"Paman Tumenggung, kalau memang Tirtaganda yang 

berkhianat dan kau tidak berbuat apa-apa terhadap mendiang 

ayahku maka aku telah berlaku sangat keji dengan menculik 

dinda Saraswati dan paman sendiri. Akan tetapi, keterangan itu 

kudapat dari Paman Panembahan Sidik Panunggal, mungkinkah 

beliau salah sangka pula?"

"Apa? Sidik Panunggal masih hidup? Di manakah dia 

sekarang?" Wajah Tumenggung Wiradigda berseri oleh karena 

Panembahan ini dulu adalah kawan baiknya.

"Aku berada di sini, Wiradigda! Dan kau Saritama, aku tak 

pernah salah sangka!" Tiba-tiba saja, entah darimana datanganya, 

Panembahan yang sakti itu telah muncul di situ sambil 

tersenyum.

"Saritama, memang semua yang diceritakan oleh 

Tumwnggung Wiradigda tadi benar belaka. Aku pun telah dapat 

menduga hal ini, akan tetapi ketahuilah bahwa semua orang, 

kecuali Tumenggung Wiradigda dan Adipati Tirtaganda, semua 

menganggap bahwa biang keladi pembasmian Tritis adalah 

Tumenggung Wiradigda. Aku tidak bisa meyalahi hukum karma, 

dan aku tidak mau membantah pendapat umum. Aku sengaja 

menceritakan kepadamu menurut pandangan umum dan adalah 

menjadi kewajibanmu sendiri untuk menyelidiki dan 

membongkar rahasia ini. Akan tetapi, sebelum aku menuturkan 

dengan jelas, kau telah tak tahan dan segera pergi terdorong hawa

nafsumu. Untung sekali, Dewata berlaku murah dan aku tidak 

salah tangan Saritama. Sekarang kau harus minta maaf kepada 

Tumenggung Wiradigda."

Saritama segera maju berlutut dan menyembah kepada 

Tumenggung itu yang menerimanya dengan senyum legit "Wiradigda, selanjutnya terserah kepadamu. Aku hendak 

segera kembali ke Gunung Kidul. Saritama kelak bila kau 

mempunyai kesempatan, ajaklah isterimu mengunjungi pondokku 

di Gunung Kidul!"

Saritama heran, akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, 

Panembahan Sidik Panunggal sudah berkelebat pergi!

Tumenggung Wiradigda dapat menangkap maksud perkataan 

pendeta itu, maka ia hanya tersenyum saja. Hatinya girang sekali 

dan diam-diam ia mengucap sukur kepada Dewata Yang Maha 

Agung.

Ayah, bagaimana dengan soal ini? Kita harus 

membelenggunya untuk membalas perlakuannya terhadapmu 

tadi!" kata Saraswati kepada ayahnya. "Kita tidak berdosa akan 

tetapi telah mendapat banyak hinaan dan gangguan dari Saritama, 

maka apakah kita takkan membalas?"

Tumenggung Wiradigda tersenyum. "Kau mau 

membelenggunya? Belenggulah, Saraswati!"

Saritama juga tersenyum. Hati pemuda ini sekarang merasa 

girang luar biasa mendapatkan keterangan dari Panembahan Sidik 

Panunggal bahwa Wiradigda benar-benar tidak berdosa! Ia 

memandang kepada Saraswati dengan wajah berseri.

"Betul kata Rama Tumenggung Wati. Belenggulah aku!"

Kedua mata dara itu terbelalak heran dan kemarahan 

menjalar di mukanya. "Kau...... kau kurang ajar......!" katanya 

gemas sekali. "Mengapa kau berani mati menyebut rama (ayah) 

kepada ayahku?’

"Ayahmu telah menerimaku sebagai mantunya, mengapa aku 

tidak boleh menyebutnya rama?" jawab Saritama yang tetap 

tersenyum."Ayah........ ?" hanya demikian Saraswati dapat bertanya 

sambil memandang wajah ayahnya.

Tumenggung Wiradigda mengangguk-anggukkan kepala. 

"Memang benar! Aku telah menggunakan kau sebagai hadiah 

sayembara ketika kau terculik dan yang memenangkan 

sayembara itu adalah Saritama!"

"Kau...... kau......!" Saraswati menoleh kepada Saritama dan 

hendak memaki lagi, akan tetapi ketika pandang matanya 

bertemu dengan pandang mata Saritama, maka menjalarlah warna 

merah pada wajahnya sampai ke telinga.

"Saraswati, mari sini, ikatlah tanganku! Belenggulah aku, 

aku menyerah menjadi tawananmu," Saritama menggoda.

"Kau...... kau kurang ajar!" Saraswati lalu cemberut dan 

berjalan cepat menyusul ayahnya yang telah mendahului mereka 

pergi menuju ke Tangen.

Saritama mengejar dan di sepanjang jalan tidak hentinya 

Saritama menggoda Saraswati hingga gadis ini menjadi malu 

dan....... girang.

Setelah berjalan jauh dan merasa lelah dan sakit telapak 

kakinya menginjak-injak batu dan kerikil tajam, kembali 

Saritama menggunakan kekuatan lengannya memondong tubuh 

gadis kekasihnya itu. Dan kini Saraswati tidak meronta-ronta 

seperti dulu lagi!

–––––GS–––––

TAMAT

Create : matjenuh channel

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive