Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Rabu, 19 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - BATU PEMBALIK WAKTU

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Sinopsis :

 PAKAIAN PERI ANGSA PUTIH ROBEK DI BAGIAN

PINGGANG. BATU BERWARNA TUJUH MENYEMBUL

DI ATAS PERUTNYA YANG PUTIH. PERI ANGSA

PUTIH TERPEKIK. BARU SADAR APA YANG TERJADI. 

DIA CEPAT MENGHANTAM TAPI TERLAMBAT. BATU 

PEMBALIK WAKTU TELAH BERADA DALAM

GENGGAMAN LAMANYALA. BEGITU DAPATKAN

BATU SAKTI TERSEBUT LAMANYALA SIAP 

BERKELEBAT KABUR. PADA SAAT ITULAH TIBA-TIBA

SUARA PEREMPUAN MENGGERUNG KERAS.

 "LASEDAYU SUAMIKU! SIAPA YANG BERANI

MENCELAKAI DIRIMU!"

 SATU BAYANGAN KUNING BERKELEBAT. SATU

TENDANGAN KERAS MELABRAK DADA LAMANYALA 

HINGGA TUBUHNYA MENCELAT MENTAL SAMPAI 

TIGA TOMBAK DAN BATU PEMBALIK WAKTU YANG 

ADA DALAM GENGGAMAN TANGAN KANANNYA 

TERLEMPAR KE UDARA LALU JATUH KE TANAH.

 PERI ANGSA PUTIH CEPAT MEMBURU, GULINGKAN 

DIRI DI TANAH DAN MENYAMBAR BATU SAKTI ITU.


SATU


SATU pemandangan luar biasa terlihat di dalam rimba 

belantara Lasesatbuntu. Dua sosok aneh berlari cepat 

mengusung sebuah tandu kayu. Sosok di sebelah depan 

tinggi kurus hanya mengenakan sehelai cawat. Sekujur 

tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki termasuk 

sepasang matanya berwarna kuning. Kulitnya ditumbuhi 

duri-duri panjang kaku seperti bulu landak. Sambil berlari 

sesekali makhluk ini membuang ludah berwarna kuning. 

Seperti diketahui, di Negeri Latanahsilam hanya ada dua

makhluk yang sekujur tubuhnya berwarna kuning.

Orang pertama adalah Hantu Selaksa Angin alias

Hantu Selaksa Kentut alias Luhpingitan dan diketahui

sebagai istri Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu.

Orang ke dua ialah makhluk yang mengusung tandu

di sebelah depan tadi yang bukan lain adalah Hantu

Jatilandak.

 Pengusung tandu sebelah belakang tak kalah

hebatnya. Seluruh permukaan tubuhnya tertutup lapisan 

aneh berbentuk sisik hitam. Sisik ini seolah kepingan-

kepingan baja hitam yang mencuat keluar.

Makhluk satu ini dikenal dengan nama Tringgiling

Liang Batu. Menurut riwayat dialah yang telah memelihara 

dan membesarkan Hantu Jatilandak, lalu menganggap 

Hantu Jatilandak sebagai cucunya sendiri. (Untuk lebih 

jelas mengenai nwayat Hantu Jatilandak dan Tringgilng 

Liang Batu harap baca episode Wiro Sableng di Negeri 

Lanahsilam berjudul "Hantu Jatilandak")

 Di atas tandu kayu yang diusung Hantu Jatilandak dan 

Tringgiling Liang Batu, terbujur sosok seorang

perempuan tua renta, berambut putih awut-awutan.

Sepintas mukanya terlihat seolah tengkorak karena kulit 

wajahnya yang pucat memulih sangat tipis. Sepasang 

mata orang ini tertutup Dan mulutnya yang agak 

menganga tiada henti keluar suara erangan. Sesekali 

erangannya tersendat lalu dari sela bibirnya meleleh 

darah merah kehitaman. Sebilah pisau menancap di 

dadanya sebelah kiri. Gagang pisau maut ini terbuat dari 

sejenis batu berbentuk singa berkepala dua!

 "Jatilandak!" tiba-tiba Tringgiling Liang Batu berseru. 

"Hentikan larimu. Ada yang perlu kita bicarakan!"

 "Wahai! Kita tidak ada waktu lagi!" Menjawab

Hantu Jatilandak. Lalu dia menyambung. "Nenek ini

siap meregang nyawa! Kalau ajalnya putus sebelum

kita menemui orang yang dicarinya, rahasia besaryang diketahuinya tidak pernah akan terungkap! Dan

aku akan merasa berdosa seumur-umur terhadap

gadis bernama Luhcinta itu!"

 "Justru karena aku khawatir dia akan menemui

ajal maka aku perlu bicara denganmu! Lekas kau

hentikan larimu!" berteriak Tringgiling Liang Batu.

 Tapi Hantu Jatilandak tidak pedulikan ucapan

kakeknya. Terpaksa makhluk bersisik itu salurkan

tenaga dalamnya ke kaki. Dua kakinya yang tengah

berlari cepat itu tiba-tiba menjadi berat sekali. Hantu

Jatilandak terkejut ketika merasakan bagaimana gerakan 

dua kakinya terasa sangat berat hingga dia tidak bisa lagi 

berlari cepat.

 "Kakek ini hendak memaksaku berhenti berlari!"

kata Hantu Jatilandak dalam hati. Diam-diam dia kerahkan 

tenaga dalam. Dua tenaga sakti tingkat tinggi saling 

bentrok. Akibatnya Hantu Jatilandak lari tertahan-tahan. 

Duri Landak di sekujur tubuhnya mencuat kaku. Di 

sebelah belakang dua kaki Tringgiling Liang Batu laksana 

dua batu besar, terseret di tanah, mengepulkan pasir dan 

debu. Sosok perempuan tua di atas tandu berguncang-

guncang. Suara erangannya mengeras.

 Hantu Jatilandak kucurkan keringat di sekujur tubuhnya 

ketika dia berusaha berdiri terus. Dua kakinya memang 

bergerak cepat, tapi gerakannya tetap disitu-situ juga! Dia 

tidak mampu bergerak maju barang satu jengkalpun! 

Akhirnya Hantu Jatilandak terpaksa hentikan larinya.

 "Kek! Aku mengalah! Apa yang hendak kau bicarakan!"

 "Sebelum bicara, kita turunkan dulu tandu ini."

berkata makhluk bersisik kepingan baja hitam.

 Tandu kayu di atas terbujur sosok perempuan tua

yang dadanya ditancapi pisau perlahan-lahan diturunkan 

ke tanah. Hantu Jatilandak memandang pada Tringgiling 

Liang Batu. Menunggu apa yang hendak dikatakan kakek 

itu

 "Jatilandak, tahukan kau di mana kita berada saat ini '" 

Trenggiling Liang Batu ajukan pertanyaan.

 Walau heran mendengar pertanyaan kakeknya itu

tapi Hantu Jatilandak memandang juga berkeliling.

"Heh! Bukankah kila berada dalam rimba belantara

Lasesat buntu?!"

 "Kau betul! Kita berada di dalam rimba keramat.

Penuh dengan seribu satu macam petakal Kila telah

tersesat. Berarti kita harus segera mencati jalan keluar

sebelum mendapat celaka'"

 "Aku ingat Kek, di hutan ini konon pernah saha-

batku tersesat dan mendapat malapetaka. Tapi aku

tidak takut! Kalau memang harus menembus hutan

ini, walau ada seribu bahaya akan tetap kulewati. Lagi

pula bukankah menembus ribuan belantara ini kita

bisa lebih cepat sampai di Lembah Katak Hijau tempatkediaman nenek bernama Luhmasigi itu? Atau mungkin 

kau merasa takut Kek?"

 Tringgiling Liang Batu tertawa dicap sebagai penakut 

"Sejak lahir sampai kelak aku menemui kematian, aku 

tidak akan pernah mengenal rasa takut."

 "Kalau begitu mengapa kita tidak meneruskan

perjalanan?" tanya Hantu Jatilandak.

 "Waktu kita sangat singkat! Lihat keadaan perempuan 

tua di atas tandu itu! Ajalnya tak akan lama. Jika kita 

dihadang marabahaya di tengah hutan berarti sebagian 

dari waktu kita akan habis percuma. Aku tidak yakin kita 

bisa menemui salah satu dari tiga orang yang 

dikatakannya. Apa lagi ke tiga-tiganya." Dengan suara 

agak perlahan makhluk bersisik ini berkata "Perempuan 

malang ini akan menemui Kematiannya sebelum menemui 

orang-orang itu!"

 "Kalau begitu apa yang harus kita lakukan? Ingat

Kek, sebelumnya kita telah berjanji untuk menolongnya!" 

kata Jatilandak pula seraya menatap pada pisau

bergagang dua kepala singa yang menancap di dada

perempuan tua di atas tandu.

 "Aku ingat. Janji adalah satu kebajikan yang harus

dipenuhi! Tapi kesia-siaan adalah satu hal yang harus

dihindarkan! Kita harus bisa memaksanya bicara saat

ini juga! Kalau nasibnya buruk, dia meninggal sebelum

sempat menemui salah satu dari tiga orang itu, sebelum 

sempat mengungkap rahasia besar yang katanya telah 

dipendamnya selama puluhan tahun, celakalah kita 

berdua yang telah berusaha menolongnya!"

 "Aku mengerti maksudmu Kek," menyahuti Hantu

Jatilandak. "Tapi apa kau lupa? Sebelum kita mulai

mengusungnya empat hari lewat, bukankah kita sudah

meminta agar dia mengungkapkan saja pada kita

rahasia besar yang diketahuinya. Lalu kita yang akan

menyampaikan pada orang-orang itu. Tapi dia tegas-

tegas menolak. Dia tetap meminta kita mengusungnya,

mencari orang-orang itu. Karena katanya semua rahasia 

besar itu harus terungkap dari mulutnya sendiri. Harus 

disampaikan langsung pada salah satu dari orang-orang 

itu. Kalau hal itu tidak dapat dilakukannya maka dia akan 

menanggung satu dosa besar, Rohnya akan dikutuk para 

Dewa dan akan tergantung sengsara antara langit dan 

bumi!"

 Tringgiling Liang Batu terdiam sejurus. Dia pandangi 

sosok perempuan tua di atas tandu. Lalu dia membungkuk 

di samping sosok malang yang tengah meregang nyawa 

itu. Mulutnya didekatkan ke telinga kiri orang.

 "Luhmundinglaya, kau dapat mendengar suaraku?"

 Mulut yang mengerang tidak memberikan jawaban. 

Mata yang terpejam tidak bergerak.

 "Luhmundinglaya, kau belum mati! Kuatkan dirimu, tabahkan hatimu! Jika kau ingin bebas dari beban

dosa besar, dengar apa yang akan kutanyakan!"

 Sosok perempuan tua bernama Luhmundinglaya

tetap tidak bersuara dan tidak bergerak. Tringgiling

Liang Batu memandang pada cucunya. "Jatilandak,

bantu aku mengalirkan hawa sakti ke dalam tubuh

perempuan ini. Kita harus bisa membuatnya bicara!"

 Makhluk bersisik ini lalu tempelkan dua telapak

tangannya ke dada. Dia memberi isyarat agar Jati-

landak menempelkan tangannya di atas kening orang.

Jatilandak segera melakukan. Begitu ke duanya me-

ngerahkan hawa sakti dan hawa ini menerobos masuk

ke dalam tubuh Luhmundinglaya lewat dada dan kening, 

tubuh perempuan tua itu menggeliat keras dan

mengepulkan asap putih! Darah meleleh di sela bibirnya. 

Setelah mengerang pendek, sepasang matanya kelihatan 

bergerak lalu mulutnya terbuka.

 "Apa yang kalian lakukan terhadapku? Mengapa

berbuat jahat menambah kesengsaraanku?!"

 "Luhmundinglaya, jangan kau salah paham!" berkata 

Tringgiling Liang Batu. "Kami tidak berbuat jahat

menambah deritamu. Kami justru ingin menolongmu

lepas dari azab sengsara ini! Dengar Luhmundinglaya.

Kami khawatir kau tak bisa bertahan dan melepas ajal

lebih dulu sebelum menemui orang-orang yang kau

sebutkan empat hari lalu itu! Keadaanmu sangat gawat

Luhmundinglaya...."

 "Tringgiling Liang Batu, kau tua bangka buta mata

buta pikiran! Ajalku bukan di tangan kalian, juga bukan

dalam diriku sendiri. Ajalku berada di tangan Yang

Maha Kuasa di atas sana. Aku yakin para Dewa masih

melindungi diriku...."

 "Nek, sebaiknya kau katakan saja rahasia apa

yang hendak kau sampaikan pada orang-orang itu,

kakekku tidak bicara dusta. Bukan mustahil kau keburu

mati sebelum sempat menemui Luhcinta atau Luhmasigi 

atau Luhniknik...."

 "Kalau rahasia itu memang ingin kukatakan pada

kalian, mengapa tidak sejak empat hari lalu ketika

pertama kali bertemu dengan kalian? Mengapa harus

menyengsarakan diri dalam perjalanan panjang ini?"

 "Luhmundinglaya, aku...."

 "Tringgiling Liang Batu, aku mengutuk dirimu jika saat 

ini kau tidak segera melanjutkan perjalanan mencari 

orang-orang itu!"

 Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu jadi

terdiam dan saling pandang. Makhluk bersisik gelengkan 

kepala dan berkata. "Baiklah, jika memang itu maumu. 

Mengingat hubungan baik kita dimasa lalu aku dan cucuku 

akan mengusungmu sampai keujung dunia sekalipun. 

Tapi jika nyawamu putu;, di tengah jalan jangan salahkanaku dan cucuku!" Makhluk bersisik ini memberi isyarat 

pada Jatilandak. Keduanya segera hendak mengusung 

tandu. Namun gerakan mereka tertahan ketika tiba-tiba di 

tempat itu menyeruak santar sekali bau godokan rempah-

rempah. Tidak menunggu lama, satu sosok besar gemuk 

muncul di depan Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang

Batu.

 “Hantu Raja Obat!" seru kakek dan cucu itu hampir

bersamaan.

 Saat itu juga tempat itu dipenuhi suara gelak tawa

keras. Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu

merasa tanah yang mereka pijak bergetar hebat. Cepat-

cepat keduanya kerahkan tenaga dalam lalu bangkit

berdiri. Sambil berdiri Tringgiling Liang Batu berbisik

pada cucunya. "Hati-hati terhadap makhluk satu ini.

Dia bisa baik seperti Dewa. Tapi juga bisa membedol

usus, mengorek jantung atau merengkah batok kepala

mengambil otak kita untuk ramuan obat-obatnya!"


DUA


ORANG gemuk luar biasa yang tegak tertawa di 

hadapan Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu 

mengenakan jubah putih gombrang. Di atas kepalanya 

yang bermuka bulat dan ada tompel (tahi lalat besar 

berbulu) di pipi kiri, terdapat sebuah sorban besar. Di atas 

sorban ini terletak sebuah belanga tanah mengepulkan 

asap dan keluarkan suara mendidih. Dari dalam belanga 

itu menebar bau rempah-rempah aneh.

 "Dua sahabat lama Hantu Jatilandak dan Tringgiling 

Liang Batu! Tidak disangka kita bertemu di tempat ini. Apa 

yang tengah kalian lakukan di sini?!" Si gemuk Hantu Raja 

Obat bertanya.

 "Hantu Raja Obat sobatku lama! Kau datang disaat 

yang tepat Kami butuh bantuanmu untuk menolong orang 

ini!"

 Mendengar ucapan Tringgiling Liang Batu sepasang 

mata si gemuk bersorban itu melirik ke arah sosok 

Luhmundinglaya di atas tandu.

 "Hemm.... Apa yang terjadi dengan perempuan ini? 

Kalau tidak salah mataku melihat bukankah dia yang 

bernama Luhmundinglaya? Sejak muda sampai tua suka 

bergentayangan dari satu hutan ke hutan lain?!

 "Dugaanmu siapa dia memang tepai! Seperti kau

lihat sendiri dia tengah meregang nyawa!"

 "Wahai! Kalau soal nyawa mana ada obatnya di

dunia ini!" ujar Hantu Raja Obat pula

 "Kau orang pandai! Kau pasti bisa menolongnya!

Paling tidak mencabut pisau di dadanya lalu mengobati

lukanya!" kata Tringgiling Liang Hatu pula.

 Hantu Raja Obat perhatikan pisau bergagang batu

berbentuk singa berkepala dua yang menancap di

dada kiri Luhmundinglaya. Lalu gelengkan kepalanya.

 "Aku tak bisa menolongnya. Pisau itu bukan pisau

biasa. Begitu menembus sasaran, ujungnya akan terbelah 

menjadi tiga membentuk cakar terbalik. Jika dicabut 

bagian tubuh yang tertancap akan terbongkar. Malah bisa-

bisa jantungnya ikut tertarik keluar!"

 "Ganas sekali! Hantu Raja Obat, apa kau tahu

siapa yang mencelakai nenek ini dengan pisau itu?!"

 "Tak bisa kuduga. Tak pernah kulihat senjata

bergagang dua kepala singa seperti itu sebelumnya.

Tapi, sejak Istana Kebahagiaan dibangun oleh Hantu

Muka Dua, berbagai keanehan dan angkara murka

muncul di Negeri Latanahsilam ini. Bukan mustahil inipekerjaan Hantu Muka Dua atau orang-orangnya. Jika

orang-orang Istana Kebahagiaan berlaku sekejam ini

pasti ada sebab musababnya. Apa kalian tahu permu-

suhan apa yang menguak antara Luhmundinglaya dan

Hantu Muka Dua?"

 "Wahai! Kami tidak tahu menahu. Bahkan Luh-

mundinglaya tidak tahu siapa makhluk jahat yang

menginginkan nyawanya. Namun saat ini perlu kau

ketahui. Ada satu rahasia besar yang harus disampai-

kannya pada tiga orang tertentu. Sejak empat hari lalu

kami mengusungnya mencari orang-orang itu. Yang

kami khawatirkan dia akan menemui ajal sebelum

sempat menemui salah satu dari ke tiga orang itu."

 "Rahasia besar! Rahasia apa?" tanya Hantu Raja Obat.

 "Dia tidak mau mengatakan!" menjawab Hantu

Jatilandak. "Katanya dia akan menanggung beban

dosa teramat besar jika rahasia itu tidak disampaikannya 

langsung pada orang-orang itu!"

 "Siapa tiga orang yang dimaksudkannya itu?"

Kembali Hantu Raja Obat bertanya.

 "Yang pertama seorang gadis bernama Luhcinta.

Lalu seorang nenek bernama Luhmasigi dan yang

ketiga seorang nenek lagi bernama Luhniknik!"

 "Luhcinta!" kata Hantu Raja Obat setengah berseru. 

"Wahai, gadis cantik sahabatku itu. Walau banyak kabar 

kudengar tentang dirinya dan dia pernah menolong diriku 

namun entah dimana dia sekarang berada. Jika memang 

Luhmundinglaya punya satu rahasia besar dan harus 

disampaikannya langsung pada gadis itu, aku merasa 

punya kewajiban untuk membantu. Tapi, sayang, saat ini 

aku punya satu urusan sangat penting. Ada seorang 

sahabat yang perlu ditolong. Soal nenek-nenek bernama 

Luhmasigi dan Luhniknik itu aku kenal siapa mereka. 

Luhniknik bukan lain nenek bobrok yang biasa dipanggil 

dengan sebutan Hantu Penjunjung Roh. Dia adalah nenek 

Luhcinta. Sedang Luhmasigi lebih dikenal dengan 

panggilan Hantu Lembah Laekatakhi|au Dia adalah guru

Luhcinta. Aku tidak begitu suka pada dua nenek itu.

Tapi mengingat bi di baik Luhcinta di masa lalu biarlah

aku menolongnya dengan cara lain "

 Habis berkata begitu Hantu Ma|a Obat gerakkan

tangan kirinya. Dia turunkan belanga besar panas yang

ada di atas sorbannya. Mulut belanga didekatkannya

ke bibir Luhmundinglaya yang agak terbuka. Lalu enak

saja cairan panas yang ada dalam belanga itu diguyur-

kannya ke dalam mulut si nenek. Hantu Jatilandak dan

Tringgiling Liang Batu melengak kaget. Mereka tahu

cairan yang ada dalam belanga itu panasnya bukan

main. Justru cairan itu diguyurkan ke dalam mulut

nenek yang sedang sekarat!

 "Glekk... glekkkk...! Cesss! Cesss! Cesss!"Hantu Raja Obat tertawa gelak-gelak. Sementara

Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu sama tercekat.

 Dari mulut Luhmundinglaya tiba-tiba menggelegar satu 

jeritan dahsyat. Cairan aneh bercampur buku-buku darah 

menyembur. Bersamaan dengan itu sosok si nenek 

bangkit terduduk. Sepasang matanya membeliak 

kemerahan. Sesaat kemudian tubuh itu terbanting 

kembali ke atas tandu.

 "Mati!" seru Hantu Jatilandak.

 Hantu Raja Obat tertawa. "Jangan khawatir. Dia

masih hidup. Mudah-mudahan para Dewa member-

katinya. Kuharap obatku bisa membuatnya bertahan

sampai tujuh hari dimuka. Aku harus pergi sekarang.

Jika kalian bertemu dengan Luhcinta, katakan pada

gadis itu. Aku tengah menuju ke satu tempat untuk

menolong seorang pemuda yang dicintainya...." Hantu

Raja Obat putar tubuhnya yang gemuk luar biasa.

 "Tunggu dulu!" berkata Tringgiling Liang Batu.

 Tubuh gemuk itu berputar kembali.

 "Sahabatku Hantu Raja Obat, apakah kau telah

mendengar kabar mengenai undangan dari Istana

Kebahagiaan. Ada satu upacara besar di sana pada

hari ke lima belas bulan dua belas. Apakah kau berniat

menghadiri undangan itu?"

 Hantu Raja Obat tertawa gelak-gelak. "Upacara

makan minum aku tidak begitu suka. Tapi mengingat

di sana bakal banyak orang pandai bermunculan, aku

akan usahakan datang. Belanga obatku perlu tambahan 

isi perut orang-orang berkepandaian tinggi! Ha...ha... 

ha...!" Si gemuk berjubah putih ini berkelebat.

Walau tawanya masih mengumandang di rimba be-

lantara itu namun sosoknya lenyap tak berbekas!

 "Makhluk luar biasa..." kata Tringgiling Liang Batu

sambil gelengkan kepala. Lalu dia berpaling pada

cucunya. "Jatilandak, tadi Hantu Raja Obat berkata

bahwa dia tengah menuju ke satu tempat untuk me-

nolong seorang pemuda yang dicintai Luhcinta. Cucu-

ku, apakah kau tahu siapa gerangan pemuda itu?"

 Hantu Jatilandak tak segera menjawab. Dia seperti

tengah merenung. Tringgiling Liang Batu pandangi

wajah cucunya yang kuning ditumbuhi duri-duri panjang. 

Dalam hatinya mendadak muncul satu perasaan.

"Jangan-jangan cucuku ini memendam rasa menyimpan 

cinta terhadap gadis bernama Luhcinta itu. Kasihan dia.... 

Sebaiknya tadi aku tidak bertanya siapa

pemuda yang dicintai gadis itu Aku telah membuat

hatinya bersedih... Bukan mustahil cucuku ini hanya

bertepuk sebelah tangan

 Hantu Jatilandak tatap wajah kakeknya dengan

sayu. Lalu dengan suara perlahan dia berkala "Wiro

Sableng.... Dia sahabatku. Pemuda asing itulah yangdicintai Luhcinta. Lalu dalam bati Mandi Jatilandak

ada suara lain ikut bicara. "Wiro memang lebih lantas

untuk dicintai gadis itu. Dari pada aku yang buruk rupa

begini...."

 Sisik hitam keras di wajah Tringgiling Liang Batu

bergerak naik. Sepasang matanya menatap ke arah

Hantu Jatilandak tak berkedip. "Wiro Sableng? Bukankah 

pemuda itu yang dulu pernah menolong kita sewaktu 

Hantu Muka Dua hendak menghabisi kita di pulau?"

 Hantu Jatilandak mengangguk.

 Tringgiling Liang Batu menghela nafas dalam.

Hatinya berkata. "Memang tidak mungkin gadis ber-

nama Luhcinta itu mengasihi cucuku. Dibanding de-

ngan pemuda asing dari negeri seribu dua ratus tahun

mendatang, cucuku ketinggalan segala-galanya. Bu-

kan cuma ketinggalan ilmu kesaktian dan kepandaian

silat, tapi dalam ujud nyata saja tak mungkin me-

nandingi Wiro Sableng. Kasihan cucuku.... Semoga

para Dewa menabahkan hatinya. Semoga rahmat dan

berkah akan jatuh atas dirinya dalam cara yang lain."


TIGA


NENEK berjubah coklat yang di atas kepalanya ada 

gulungan asap merah berbentuk kerucut hentikan larinya, 

berpaling ke belakang, pada nenek yang sekujur 

tubuhnya tertutup ratusan katak hijau.

 "Luhmasigi! Kita sudah menghabiskan banyak hari 

secara percuma! Hanya gara-gara mengikuti kemauanmu. 

Menyelidik arti mimpi gilamu itu! Padahal bukankah lebih 

penting mencari Luhmundinglaya, orang yang konon 

hendak menyampaikan sesuatu berita besar pada kita?"

 Nenek bernama Luhmasigi yang di Negeri 

Latanahsilam dikenal dengan sebutan Hantu Lembah 

Laekatakhijau pencongkan mulutnya lalu menjawab 

ucapan temannya.

 "Luhniknik! Kau masih saja mengomel tak karuan!

Mimpiku bukan bunga tidur! Aku yakin apa yang aku

lihat dalam mimpi merupakan satu kenyataan! Apalagi

jika dihubungkan dengan firasatku suatu peristiwa

besar akan terjadi di Negeri ini. Ingat undangan per-

temuan besar di Istana Kebahagiaan? Aku yakin dibalik 

undangan itu ada satu rahasia busuk!"

 "Rahasia itu akan kita singkapkan! Bukankah kita

sudah sama memutuskan untuk hadir di Istana itu?

Jika Hantu Muka Dua punya maksud jahat hendak

mencelakai kita, aku akan beset tubuhnya hingga

hanya tinggal tulang belulang!" berkata nenek ber-

nama Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh yang

merupakan nenek kandung Luhcinta.

 "Sudahlah, jangan bicara saja. Beri aku kesempatan 

untuk meneliti keadaan. Rasa-rasanya alam dikawasan ini 

menyerupai keadaan yang aku lihat di dalam mimpi!"

 "Aku melihat sesuatu di sebelah sana!" Hantu

Penjunjung Roh berkata lalu membuat dua kali lom-

patan. Di satu tempat di bawah sebatang pohon dia

membungkuk mengambil sesuatu.

 "Apa yang kau temukan?" tanya Hantu Laekatakhijau 

yang ikut berkelebat ke tempat Hantu Penjunjung Roh 

berada.

 Hantu Penjunjung Roh perlihatkan pada sahabatnya 

benda apa yang barusan dipungutnya. Ternyata seuntai 

rantai besi.

 "Potongan rantai besi..." kata nenek yang tubuhnya 

dipenuhi ratusan katak hijau. "Dari mana asalnya

benda ini, bagaimana bisa berada di sini? Coba kau

periksa...." Ketika Luhmasigi memegang rantai besiitu dia merasakan satu hawa dingin aneh menjalar pada 

dua lengannya terus hinggap di kuduknya. "Aku merasa 

ada hawa aneh. Aku yakin rantai besi ini bukan benda 

sembarangan. Agaknya datang dari alam gaib...."

 Mendengar ucapan sahabatnya itu Hantu Penjunjung 

Roh pejamkan dua matanya dan mendongak ke langit 

"Mungkin aku bisa menduga..." kata nenek ini dengan 

suara perlahan. Setelah merenung beberapa lamanya dia 

kembali berucap. "Menurut riwayat yang pernah kudengar 

menyangkut diri orang bernama Lakasipo bergelar Hantu 

Kaki Batu, besar dugaanku rantai besi ini adalah rantai 

yang dulu pernah mengikat dua kakinya. Aku...."

 Belum habis Luhniknik alias Hantu Penjunjung

Roh berucap tiba-tiba ratusan katak hijau yang

menempel di kepala, muka dan sekujur tubuh

kemudian keluarkan jeritan-jeritan aneh keras sekali.

 "Katak celaka! Kalian mau membuat pecah gendang-

gendang telingaku!" teriak Hantu Penjunjung Roh marah.

 Ratusan katak hijau kembali menjerit keras membeset 

udara. Lalu puluhan binatang itu melesat belasan tombak 

ke kiri di mana terdapat satu kawasan berumput

 "Tidak biasanya anak-anakku bertingkah aneh seperti 

ini!" kata Hantu Lembah Laekatakhijau terheran-heran. 

"Aku harus menyelidiki! Agaknya mereka melihat sesuatu 

yang tak bisa kulihat dengan mataku!" Lalu Luhmasigi 

nenek yang adalah guru Luhcinta ini berkelebat menyusul 

puluhan kataknya. Luhniknik melompat pula mengikuti.

 Di satu pedataran berumput, di samping sebuah

batu besar yang tertutup lumut, tergeletak tak bergerak

seekor katak hijau luar biasa besarnya, hampir sebesar

buah kelapa. Dua matanya yang coklat membeliak tak

bergeming. Di sekitar sosok katak besar itu berkeliling

puluhan katak hijau yang tadi melompat dari tubuh

Hantu Laekatakhijau. Puluhan katak ini berjongkok di

tanah, menatap ke arah katak besar dengan sikap seolah 

menghormat. Puluhan katak yang masih menempel di 

tubuh Luhmasigi tiba-tiba berlompatan dan bergabung 

bersama teman-temannya mengelilingi katak besar. 

Kalau sebelumnya binatang-binatang itu berteriak-teriak 

keras setinggi langit, kini semuanya mendekam tak 

bersuara dan juga tak bergerak. Malah pandangan mata 

mereka pun tidak berkesip!

 "Yang kita temukan hanya seekor katak besar

yang sudah jadi bangkai! Apa anehnya!" kata

Luhniknik tak acuh lalu memandang berkeliling.

 "Wahai! Justru aku melihat keanehan! Apa matamu 

buta tidak melihatnya?" kata Luhmasigi pula.

 "Apa maksudmu?!" tanya Luhniknik alias Hantu

Penjunjung Roh agak penasaran mendengar kata-kata

Luhmasigi tadi.

 "Aku sudah puluhan tahun hidup di tengah katak-katakhijau. Tapi baru sekali ini aku melihat katak sebesar ini. 

Katak besar itu memang sudah jadi bangkai. Tapi 

mengapa sosoknya tidak rusak dan mengapa tidak 

membusuk menebar bau busuk?! Lalu kau saksikan 

sendiri. Ratusan katak yang selama ini melekat di

tubuhku duduk mengelilingi katak hijau besar itu.

Tadinya mereka berteriak-teriak. Kini mereka semua

mendekam duduk seperti menghormat!"

 Hantu Penjunjung Roh hendak tertawa gelak-

gelak mendengar ucapan Hantu Laekatakhijau itu.

Namun niatnya dibatalkan karena khawatir sahabatnya

akan tersinggung. Dalam pada itu dia sendiri diam-diam 

mengakui memang ada keanehan dengan katak besar 

yang telah mati itu seperti yang dikatakan Luhmasigi.

 Saat itu Luhmasigi telah melangkah mendekati

batu besar. Dia jongkok di hadapan mayat katak hijau

besar. "Tak ada kulihat penyebab keanehan pada kulit

tubuh binatang ini. Mungkin keanehan itu ada di se-

belah dalam badannya. Kalau tidak ada satu kekuatan

sakti, tidak mungkin katak ini bisa bertahan seperti

ini. Katak ini menemui ajalnya pasti sudah lama sekali.

Bagaimana aku memeriksa menyingkapkan keanehan

ini?" Luhmasigi merenung sejenak. Dia melirik pada

puluhan katak yang berada di sekelilingnya. Lalu dia

bangkit berdiri.

 "Anak-anak, aku perlu bantuan kalian!" Luhmasigi

berucap pada katak-kataknya. "Beset tubuh katak hijau

besar itu. Aku ingin melihat apa yang ada dalam

perutnya!"

 Luhmasigi kerenyitkan kening. Setelah ditunggu

tak seekorpun dari katak-katak hijau itu melakukan

apa yang tadi dikatakan si nenek. Padahal jangankan

seekor katak besar, seekor kudapun jika diserbu dan

dibeset oleh ratusan katak itu pasti akan berubah

menjadi tulang belulang dalam waktu singkat!

 "Anak-anak! Apa kalian telah jadi tuli semua hingga 

tidak melakakan apa yang aku perintahkan?!" Luhmasigi 

alias Hantu Laekatakhijau berucap dengan suara keras.

 Tetap saja tak ada seekor katakpun yang bergerak.

 "Wahai!" Luhmasigi berseru dan delikkan matanya. 

"Jangan membuat aku marah! Puluhan tahun aku

bersama kalian! Tak pernah ada satu perintahkupun

tidak kalian laksanakan! Mengapa hari ini kalian semua

diam membisu, tak bersuara tak bergerak! Tidak men-

jalankan apa yang aku perintahkan?!"

 "Luhmasigi, kurasa ada apa-apanya. Antara katakmu 

dan katak besar itu ada kaitan hubungan yang tidak kau 

ketahui..." berkata Hantu Penjunjung Roh.

 "Lihat saja gerak gerik mereka. Semuanya mendekam

dengan sikap seolah menghormati katak besar yang

sudah jadi bangkai itu."Sepasang mata Luhmasigi masih membeliak

besar. Pelipisnya bergerak-gerak. "Untung saja aku

tidak membawa tongkat bambu kuning lagi! Kalau

tidak sudah kugebuk kalian satu persatu!"

 "Luhmasigi, biar aku membantumu! Biar aku yang

membongkar isi perut katak hijau itu!"

 "Luhniknik! Tungggu!" Luhmasigi berkata. "Jika

anak-anakku berlaku hormat pada katak besar itu, kita

berdua juga harus perduli. Jangan melakukan sesuatu

yang menyakitkan mata dan hati mereka...."

 "Kalau begitu terserah padamu! Bagaimana kau

mau melihat apa yang ada dalam perut binatang itu

kalau tidak menjebol badannya?!" ujar Hantu Penjunjung 

Roh pula.

 Hantu Laekatakhijau kembali membungkuk. 

Diangkatnya sosok katak hijau besar. Dengan tangan

kirinya dipegangnya tinggi-tinggi dua kaki belakang

binatang itu. Lalu dengan jari-jari tangan kanannya

perlahan-lahan dipencetnya tubuh katak di bagian

punggung dan perut. Mendadak si nenek tersentak.

Kakinya tersurut dua langkah dan wajahnya berubah.

 "Ada apa?" tanya Hantu Penjunjung Roh ingin tahu.

 "Ada hawa aneh dingin mencucuk masuk ke dalam 

tubuhku," menerangkan Hantu Lembah Laekatakhijau. 

"Aku... aku merasakan ada sesuatu dalam perut

bangkai katak ini...." Si nenek merasakan jari-jari ta-

ngannya bergetar. Dia kuatkan hati, kerahkan tenaga

dalam dan kembali memencet punggung serta perut

katak hijau. Puluhan katak di sekitarnya keluarkan

suara mendesah panjang seolah-olah mereka turut

merasakan sesuatu.

 Saat itu memang Hantu Lembah Laekatakhijau

merasakan ada sesuatu dalam perut bangkai katak.

Dia kerahkan tangan ke ujung-ujung jari. Benda di

dalam perut terasa meluncur ke bawah, ke arah teng-

gorokan katak hijau.

 Tiba-tiba dari dalam mulut katak hijau keluar suara

mendesis panjang. Menyusul memancarnya cahaya

aneh tujuh warna. Lalu menyusul keluar lelehan cairan

putih. Warna putih ini kemudian berubah membentuk

tujuh warna. Hantu Laekatakhijau merasakan tangannya 

bergetar. Tengkuknya semakin dingin. Jari-jari

tangannya menekan terus. Mulut katak yang sudah

jadi bangkai bergerak membuka secara aneh. Sesaat

kemudian dari mulut itu menyembul sebuah benda

keras dibalut tujuh macam warna, makin panjang,

makin panjang.

 "Dess!"

 Benda aneh keluar lepas dari mulut katak hijau,

jatuh ke bawah. Sesaat lagi benda itu akan terhempas

jatuh di tanah berumput Hantu Penjunjung Roh melompat ke depan, cepat menyambutnya. Ternyata benda 

itu sebuah batu pipih aneh sebesar batu pengasah pisau. 

Memiliki tujuh macam warna. Pada bagian atas berbentuk 

agak bulat menyerupai kepala manusia dan pada sisi kiri 

kanan ada bagian yang menonjol seperti telinga.

 Mendadak ratusan kodok yang masih bertebaran

di tanah sekeliling batu besar keluarkan teriakan-

teriakan keras. Hantu Laekatakhijau merasa tidak enak.

Dia melangkah mendekati sahabatnya yang tengah

memperhatikan terheran-heran benda yang ada di

telapak tangannya yakni yang keluar dari perut katak

besar.

 Pada saat itulah tiba-tiba di langit ada suara men-

deru keras. Laksana sambaran kilat satu benda putih

melesat rendah di udara. Pedataran berumput seolah

diterpa topan. Dua nenek terjengkang di tanah! Ber-

samaan dengan itu satu benda biru berkelebat dahsyat, 

menyambar ke tangan kanan Hantu Penjunjung Roh 

yang memegang benda aneh. Sebelum dua nenek itu 

mengetahui apa yang terjadi, benda putih yang

melesat sebat dan benda biru yang barusan menyambar 

membumbung ke udara lalu lenyap seolah menembus 

langit.

 "Jahanam! Ada yang merampas benda itu!" teriak

Hantu Penjunjung Roh. Hantu Laekatakhijau terkejut

besar. Dua nenek ini cepat melompat bangkit dan

hantamkan tangan kanan masing-masing ke udara.

 "Wuuuttt!"

 "Wuttt!"

 Dua gelombang angin melesat ke atas. Yang jadi

sasaran ternyata sudah lenyap. Walau demikian ada

sepotong benda putih tiba-tiba melayang jatuh dari

atas langit. Hantu Penjunjung Roh dan Hantu Lembah

Laekatakhijau sama-sama melompat, berebut cepat

menangkap benda putih itu.

 "Rontokan bulu burung..." kata si nenek seraya

memperlihatkannya pada sahabatnya Hantu Laekatak-

hijau.

 Hantu Laekatakhijau ambil benda itu dan mem-

perhatikan. "Hemmm..." si nenek bergumam. "Bulu

burung tidak ada yang sebesar ini...." Dia memandang

ke langit "Aku sudah bisa menduga siapa adanya

makhluk yang berusaha merampas batu aneh tujuh

warna itu...."

 "Siapa?" bertanya Hantu Penjunjung Roh.

 "Tidak akan kukatakan sekarang. Aku tak ingin

pikiranmu ikut bercabang. Makhluk itu kelak akan

muncul sendiri. Yang penting kita harus lebih dulu

mencari nenek bernama Luhmundinglaya itu. Rahasia

apa konon yang hendak disampaikannya pada kita...."

 "Aku kecewa kau tak mau memberitahu siapa adanya siperampas batu berwarna tujuh itu. Apa boleh buat

Aku tak mau memaksa! Tapi apa kau mau mengatakan

benda apa sebenarnya yang tadi keluar dari mulut katak

hijau itu?" tanya Hantu Penjunjung Roh pula.

 "Tak dapat kupastikan apa adanya," jawab Hantu

Laekatakhijau. Lalu dia menambahkan. "Tapi jika ada

seseorang merampasnya, pasti benda itu sangat ber-

harga. Jangan-jangan...." Si nenek mendadak hentikan

ucapannya. Wajahnya yang keriput berubah.

 "Kau tidak meneruskan ucapanmu. Wajahmu ku-

lihat berubah. Apa yang ada dalam pikiranmu wahai

sahabatku Luhmasigi?"

 "Aku ingat pada peristiwa beberapa waktu lalu.

Konon Hantu Tangan Empat pernah diutus Hantu Muka

Dua pergi ke negeri seribu dua ratus tahun mendatang

untuk mencari sebuah batu sakti bernama Batu Sakti

Pembalik Waktu. Dengan mempergunakan ilmu itu

siapapun bisa menembus perbedaan waktu dan bisa

muncul datang ke negeri asing itu lalu kembali lagi ke

sini setiap saat yang dikehendakinya...."

 "Aku memang pernah mendengar riwayat itu,"

kata Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh pula.

"Tetapi setahuku Hantu Tangan Empat tidak berhasil

mendapatkan batu sakti itu. Lalu bagaimana batu itu

bisa berada di sini, jika dugaanmu memang benar

bahwa benda yang tadi dirampas orang itu adalah

Batu Pembalik Waktu ? Bagaimana bisa berada di

dalam perut katak hijau?"

 "Memang sulit untuk dipercaya. Namun bukan

mustahil batu itu tadinya dibawa oleh orang-orang dari

negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu...."

 "Jika pendapatmu benar, mengapa mereka tidak

mempergunakan untuk kembali ke kampung halaman

mereka di Tanah Jawa? Mengapa menyengsarakan

diri dalam bahaya di negeri ini?"

 "Aku tidak tahu mau mengatakan apa lagi," kata

Luhmasigi. Si nenek garuk-garuk kepalanya yang di-

tumbuhi rambut putih lalu memandang pada ratusan

katak hijau yang bertebaran di tanah. "Anak-anak, kita

akan segera tinggalkan tempat ini!" Mendengar ucap-

an si nenek ratusan katak hijau segera berlompatan

ke kepala, muka dan tubuh Hantu Laekatakhijau.

 Untuk mengingatkan pembaca pada riwayat Batu

Pembalik Waktu perlu kita kembali pada Episode Per-

tama dari petualangan Wiro di Negeri Latanahsilam

berjudul "Bola Bola Iblis". Dituturkan dalam Episode

tersebut secara tak sengaja Naga Kuning telah me-

nekan bagian menonjol di kiri kanan batu yang ber-

akibat membawa mereka melesat ke alam seribu dua

ratus tahun silam dan muncul di Negeri Latanahsilam.

 Secara tidak sengaja Batu Pembalik Waktu yangdibawa oleh Naga Kuning terjatuh di satu tempat dan

ditemui oleh katak hijau besar yang langsung me-

nelannya.

 Pada saat menginjakkan kaki pertama kali di Ne-

geri Latanahsilam Wiro dan dua kawannya bertemu

dengan Lakasipo alias Hantu Kaki Batu. Walau tadinya

Lakasipo berniat membunuh ke tiga orang itu namun

persahabatan kemudian terjalin. Bahkan Lakasipo

menganggap Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol

sebagai saudara-saudara angkatnya. Lakasipo juga

berusaha membantu mereka untuk menemukan kem-

bali Batu Pembalik Waktu agar ketiganya bisa kembali

ke Tanah Jawa. Namun usaha itu sia-sia belaka karena

sang batu tidak dapat ditemukan.

 Pada saat bersamaan sampainya Wiro dan dan

kawan-kawan di Negeri Latanahsilam, muncul pula

seekor katak hijau besar. Binatang inilah yang me-

nemukan Batu Pembalik Waktu lalu menelannya. Ka-

rena batu itu bukan benda biasa, sehari setelah me-

nelan batu katak tadi menemui kematiannya. Anehnya

walau telah jadi bangkai sosoknya tidak rusak atau

membusuk. Apa yang terjadi selanjutnya adalah seperti 

yang dituturkan di atas.


EMPAT


DERU lima air terjun seolah menjadi pengantar 

kekhusukan samadi yang tengah dilakukan kakek 

berambut putih riap-riapan itu. Orang tua ini memiliki 

kening, hidung dan dagu sama rata dengan pipinya. Dia 

duduk bersila mengapung satu jengkal di atas batu rata di 

dalam bangunan berbentuk gapura.

 Orang tua ini bukan lain adalah Hantu Tangan Empat,

salah seorang tokoh rimba persilatan yang disegani

di Negeri Latanahsilam. Di langit matahari mulai condong 

ke barat. Peri Angsa Putih sampai saat itu masih saja 

tetap duduk bersila di hadapan si orang tua. Sikapnya 

yang sepanjang hari memperlihatkan kesabaran kini mulai 

goyah. Peri ini mulai gelisah, apa lagi setelah melihat 

petang mulai merayap siap membawa sang surya ke titik 

tenggelamnya.

 "Cucuku Peri Angsa Putih, sifat manusia luar rupanya 

mulai mempengaruhi dirimu. Dimana kau simpan rasa 

kesabaranmu selama ini?" Tiba-tiba kesunyian dan 

keresahan menunggu dipecahkan oleh suara aneh yang 

seolah datang dari empat jurusan hingga sulit mengetahui 

siapa adanya orang yang bicara. Mulut si kakek tidak 

tampak bergerak. Matanyapun masih terpejam. Itulah 

ilmu Empat Penjuru Angin Menebar Suara. Di Negeri 

Latanahsilam hanya ada tiga makhluk yang memiliki ilmu 

kesaktian ini. Pertama Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud. 

Ke dua Hantu Tangan Empat dan ke tiga adalah Pendekar 

212 Wiro Sableng yang beruntung mendapat ilmu tersebut 

dari Luhpingitan, istri Lasedayu alias Hantu Langit 

Terjungkir.

 Peri bermata biru itu terkesiap kaget mendengar

suara tadi. Dia menatap wajah Hantu Tangan Empat

sesaat lalu jatuhkan diri berlutut.

 "Kek, harap maafkan diriku kalau kedatanganku

mengganggu semedimu...."

 Dua mata Hantu Tangan Empat yang sejak tadi

tertutup perlahan-lahan terbuka. Dia pandangi Peri

Angsa Putih sejenak lalu berkata. "Terakhir sekali kau

datang ke tempat kediamanku ini dulu lama sekali.

Kau muncul membawa pemuda asing dan dua kawannya. 

Apakah kali ini kedatanganmu juga ada sangkut pautnya 

dengan diri pemuda itu?"

 Peri Angsa Putih berusaha tersenyum untuk menutupi 

perubahan wajahnya. "Saya menemuimu karena ada satu 

mimpi datang berulang kali sejak beberapa hari ini....""Begitu?" Alis putih Hantu Tangan Empat naik ke

atas. Keningnya mengerenyit. "Sebelum kau mene-

rangkan mimpi apa yang kau alami, ada satu hal ingin

kuketahui. Di Negeri Latanahsilam sejak belakangan

ini tersiar banyak berita. Satu diantaranya menyangkut

dirimu yang dihubungkan dengan pemuda asing bernama 

Wiro Sableng itu. Konon kabar itu mengatakan bahwa kau 

tergila-gila pada pemuda itu dan melakukan apa saja 

untuk mendapatkannya. Aku inginkan kejujuranmu. 

Apakah berita itu benar adanya?"

 "Kakek Hantu Tangan Empat, berbagai berita bisa

saja tersebar dan tersiar kemana-mana. Namun kebe-

narannya perlu diteliti dan dikaji. Seingat saya sampai

saat ini saya masih bisa menjaga diri. Masih menyadari

bahwa saya adalah bangsa Peri yang tidak sama

dengan manusia biasa...."

 "Hemmm.... Aku berharap kau tetap berada dalam

keadaan seperti itu," kata Hantu Tangan Empat pula.

"Namun perlu kau ketahui wahai cucuku. Pengaruh

zaman mendatangkan banyak perubahan di alam kehi-

dupan kita. Perubahan ini berpengaruh pula pada sifat

dan sikap serta tindakan kita, termasuk kalian bangsa

Peri. Perbedaaan antara kaum Peri dan makhluk biasa

semakin menipis. Pengaruh dunia luar semakin terasa.

Kuharap kau berlaku hati-hati.... Termasuk berhati-hati

dengan pemuda asing bernama Wiro Sableng itu. Aku

mendengar banyak sekali kabar buruk menyangkut

diri pemuda itu...."

 "Semua ucapan Kakek akan saya perhatikan,"

kata Peri Angsa Putih pula.

 "Bagus, sekarang kau boleh menceritakan padaku

perihal mimpimu."

 "Saya kedatangan mimpi, tiga malam berturut-

turut. Dalam mimpi itu muncul seorang tua mem-

perlihatkan sebuah benda berbentuk segi empat.

Agaknya merupakan sebuah batu. Setiap dia hendak

memberikan batu itu kepada saya, saya tersentak

bangun dan mimpi saya terputus. Saya lalu merenung

apa arti mimpi itu. Tidak bisa saya memecahkannya.

Lalu saya ingat pada peristiwa beberapa waktu lalu.

Ketika Kakek diperintahkan oleh Hantu Muka Dua untuk

berangkat menembus waktu, pergi ke Tanah Jawa. Bu-

kankah saat itu Kakek ditugaskan untuk mencari sebuah

benda bernama Batu Sakti Pembalik Waktu?"

 "Kau benar. Hantu Muka Dua memang menugas-

kan diriku mencari benda itu sampai ke Negeri Seribu

Dua Ratus Tahun Mendatang yang disebut Tanah

Jawa. Aku terpaksa melakukannya karena dia men-

culik dan menyekap istriku Luhbarini...."

 "Mengenai Batu Pembalik Waktu itu, Kek. Dapat-

kah kau mengatakan bagaimana bentuknya?" bertanya Peri Angsa Putih.

 "Aku sendiri belum pernah melihatnya. Seperti

kau ketahui aku tidak berhasil mendapatkan batu

tersebut Hanya dari Hantu Muka Dua aku pernah diberi

tahu bentuk dan ciri-cirinya."

 "Coba kau katakan, mungkin sama dengan batu

yang saya lihat dalam mimpi."

 "Menurut Hantu Muka Dua, batu itu berbentuk

empat persegi. Salah satu ujungnya agak bulat. Me-

miliki tujuh warna. Apakah penjelasanku cocok de-

ngan batu yang kau lihat dalam mimpimu?"

 Peri Angsa Putih menggeleng. "Bentuknya mungkin

sama. Tapi mengenai warnanya tidak terlalu jelas...."

 Hantu Tangan Empat tatap wajah Peri Angsa Putih

sejenak lalu bertanya. "Mengenai orang tua dalam

mimpi itu. Yang katamu hendak menyerahkan batu

tersebut padamu, apakah kau mengenali siapa dia

adanya. Atau pernah melihat sebelumnya?"

 "Saya tidak mengenali siapa dia. Juga belum

pernah melihatnya...."

 "Kalau begitu tidak banyak hal lain yang bisa

kuberitahu padamu...."

 "Penjelasan Kakek sudah lebih dari cukup. Saya

sangat berterima kasih. Sekarang izinkan saya mohon

diri berpamit pergi...."

 "Sebentar lagi hari akan malam. Mengapa kau

tidak menginap saja di sini? Mungkin banyak hal lain

yang bisa kita bicarakan."

 "Saya ingin sekali bermalam di sini. Tapi masih

ada beberapa urusan penting lainnya yang harus saya

lakukan. Mungkin Kakek sudah mendengar kabar bah-

wa Peri Bunda tengah ditimpa musibah...."

 "Aku mendengar. Aib besar bagi bangsa Peri!

Lagi-lagi karena perbuatan pemuda bernama Wiro

Sableng itu! Peri Bunda sampai hamil! Jika tiba saatnya

pemuda itu perlu dimintai pertanggungan jawabnya.

Dengan darah bahkan kalau perlu dengan nyawanya!

Aku mengerti cucuku. Pergilah. Selalu berlaku hati-hati

dimana kau berada, dengan siapapun kau berhadapan."

 Peri Angsa Putih bersujud di hadapan Hantu Tangan 

Empat lalu tinggalkan bangunan berbentuk gapura itu.

 Sesaat setelah Peri Angsa Putih meninggalkan

tempat kediamannya, Hantu Tangan Empat usap-usap

janggut putihnya, menatap ke arah pedataran berumput di 

seberang sana. Rumput di pedataran itu tidak berwarna 

hijau seberapa lazimnya warna rumput melainkan 

berwarna biru.

 "Batu Sakti Pembalik Waktu..." desis Hantu Tangan 

Empat. "Batu keramat itu tidak berhasil aku

dapatkan. Tidak ada yang tahu dimana beradanya.

Cucuku datang membawa cerita tentang mimpi melihat batu sakti itu. Apakah dia berkata benar...? Bu-

kankah sejak beberapa lama belakangan ini cara ber-

pikir dan gerak geriknya banyak dipengaruhi oleh

orang-orang dari negeri seribu dua ratus tahun men-

datang itu? Aku curiga. Jangan-jangan batu itu mung-

kin sudah ada padanya. Paling tidak dia mengetahui

dimana beradanya. Cuma dia tidak tahu pasti bagai-

mana bentuknya. Itu sebabnya dia datang ke sini

mencari keterangan untuk memastikan..." Hantu Ta-

ngan Empat menyeringai dan usap-usapjanggut putih-

nya. "Cucuku Peri Angsa Putih. Kau sudah pandai

bercerdik diri. Tapi kau tidak bisa menipu kakekmu

ini!"

 Hantu Tangan Empat tepukkan tangannya tiga

kali berturut-turut. Saat itu juga muncullah satu makh-

luk luar biasa yang sekujur sosoknya mulai dari kepala

sampai ke kaki dikobari api. Selain itu bagian tubuhnya

sebelah kanan sangat mengerikan untuk dipandang.

Karena bagian tubuh ini hanya berbentuk satu lobang

besar, menggeroak demikian rupa hingga tulang-tu-

lang iga, isi dada dan isi perutnya kelihatan dengan

nyata! Siapa gerangan adanya makhluk dahsyat ini?!

 Sebelumnya dalam Episode berjudul "Hantu Muka

Dua telah diriwayatkan mengenai seorang Utusan atau

Wakil Para Dewa bernama Lamanyala yang bertempur

habis-habisan melawan Lasedayu alias Hantu Langit

Terjungkir. Lamanyala berusaha mengambil Jimat Hati

Dewa yang dilarikan Lasedayu. Tapi Lasedayu keburu

menelan jimat itu hingga kesaktiannya berlipat ganda.

Lamanyala tidak berdaya menghadapi Lasedayu,

akhirnya melarikan diri setelah tubuhnya sebelah ka-

nan dihantam hancur oleh lawan dengan pukulan sakti

bernama Pukulan Tangan Dewa Warna Kuning.

 Sejak peristiwa itu dengan sendirinya Lamanyala

mendekam dendam kesumat besar terhadap Lasedayu 

alias Hantu Langit Terjungkir. Di dalam Episode

berjudul "Hantu Langit Terjungkir" dia muncul kembali

pada saat Lasedayu berusaha mengejar Hantu Kaki

Batu (Lakasipo) yang diduganya adalah putera 

kandungnya sendiri.

 Lamanyala berani menghadang Lasedayu karena

dia mengetahui bahwa seluruh kesaktian yang ada

pada Lasedayu telah dirampas oleh Hantu Muka Dua

lewat Sendok Pemasung Nasib. Dugaan Lamanyala

meleset. Karena selama berada di Lembah Seribu

Kabut diam-diam Lasedayu menciptakan satu ilmu

kesaktian yang didasarkan pada kekuatan alam 

sekitarnya. Dalam keadaan terdesak Lamanyala 

bermaksud hendak melarikan diri. Namun tidak terduga 

muncullah Hantu Lumpur Hijau membantu. Dikeroyok dua

Lasedayu jadi tak berdaya. Apalagi setelah Lamanyala mengeluarkan ilmu kesaktiannya berupa kobaran api

raksasa menelikung seputar Lasedayu.

 Pada saat-saat dimana Lasedayu akan ditumpas

habis dan menemui ajal, tiba-tiba muncullah Pendekar 

212 Wiro Sableng bersama dua kawannya yakni Naga 

Kuning dan Setan Ngompol. Untuk menyelamatkan si 

kakek, Wiro keluarkan ilmu kesaktian bernama Angin Es. 

Kobaran api ganas Lamanyala bukan saja padam tapi 

kakek jahat ini bersama-sama Hantu Lumpur Hijau 

serta merta berubah menjadi patung es!

 Penuh kagum akan kehebatan ilmu kesaktian Wiro

yang sanggup membuat Lamanyala dan Hantu Lum-

pur Hijau berubah menjadi patung es, Hantu Langit

Terjungkir bertanya. "Berapa lama dia akan jadi patung

es seperti itu?"

 Wiro menjawab. "Jika mereka tetap berada di

udara terbuka tapi terkena cahaya matahari, mereka

baru bisa bebas sekitar tujuh hari. Jika tidak terkena

matahari bisa-bisa dua puluh hari. Tapi jka mereka

berada dalam air bisa-bisa empat puluh hari."

 Sambil menyeringai Naga Kuning lalu menyambung 

ucapan Wiro itu.

 "Kek, waktu kau ke sini, kami melihat ada satu

comberan busuk. Dalamnya sekitar seleher. Di dalam-

nya ada macam-macam kotoran, ular air, kodok dan

lintah. Mengapa tidak dijebloskan saja dua kakek jahat

itu ke sana?!"

 Hantu Langit Terjungkir menyeringai geli. "Memang, 

ada baiknya aku mengikuti usulmu itu wahai

sahabat kecil yang nakal! Ha... ha... ha!"

 Apa yang dikatakan Naga Kuning itu kemudian

benar-benar dilaksanakan. Diikuti dari belakang oleh

Hantu Langit Terjungkir, Wiro, Naga Kuning dan Setan

Ngompol menyeret sosok Lamanyala dan Hantu Lumpur 

Hijau ke sebuah kubangan busuk yang bukan saja penuh 

berbagai kotoran tapi juga banyak binatangnya. Dua 

kakek itu mereka cemplungkan ke dalam kubangan. 

Masih untung kepalanya sengaja dibiarkan timbul.

Kalau sampai diceburkan kaki ke atas kepala ke bawah

niscaya keduanya akan menemui kematian secara

mengenaskan! Lamanyala dan Hantu Lumpur Hijau

memaki menyumpah habis-habisan!

 Seperti yang dikatakan Wiro jika mereka

terpendam dalam kubangan atau comberan busuk itu

maka baru empat puluh hari kemudian lapisan es aneh

yang membuat tubuh mereka kaku akan mencair dan

mereka bisa bebas kembali. Ternyata nasib keduanya

tidak seburuk itu. Baru tiga hari mendekam dalam

kubangan busuk, Hantu Tangan Empat yang kebetulan

lewat di tempat itu menemukan mereka. Keduanya

ditarik keluar dari dalam kubangan. Selama satu hari satu malam Hantu Tangan Empat mengerahkan

kesaktiannya baru dia berhasil melelehkan lapisan es

yang membungkus sosok dua kakek itu.

 Setelah mengucapkan terima kasih Hantu Lumpur

Hijau meninggalkan tempat itu. Sedang Lamanyala

yang merasa berhutang budi dan nyawa terhadap

Hantu Tangan Empat memutuskan untuk mengabdi

dan mengikuti Hantu Tangan Empat kemanapun kakek

itu pergi. Tapi diam-diam sebenarnya Lamanyala mem-

punyai satu maksud rahasia dalam memperhambakan

diri pada tokoh utama Negeri Latanahsilam itu.

 *

 * *

 BEGITU berhadapan dengan Hantu Tangan

Empat, Lamanyala segera menghormat menjura dalam. 

"Hantu Tangan Empat, kau memanggilku. Tentu ada 

urusan penting. Harap kau memberi tahu agar aku bisa 

segera melaksanakan."

 "Lamanyala, kau tentu tahu. Barusan saja aku

mendapat kunjungan cucuku makhluk Peri bernama

Peri Angsa Putih. Dia datang kemari menanyakan

perihal sebuah batu bernama Batu Pembalik Waktu.

Kurasa kau pernah mendengar tentang batu keramat

itu...."

 "Sedikit banyaknya aku memang sudah pernah

mendengar," jawab Lamanyala. "Apa yang harus aku

lakukan wahai Hantu Tangan Empat?"

 "Ikuti Peri Angsa Putih. Selidiki sampai kau me-

ngetahui apakah dia memiliki batu sakti itu atau tidak.

Jika benda itu memang berada di tangannya kau harus

dapat merampasnya...."

 "Perintahmu akan segera aku lakukan. Namun

sebelum pergi aku ada dua pertanyaan ..." kata Lama-

nyala pula.

 "Ajukan apa pertanyaanmu!"

 "Pertama, apakah cucumu Peri Angsa Putih tahu

kalau aku telah menjadi abdimu?"

 "Tidak, Peri Angsa Putih tidak mengetahui. Juga

tidak ada orang lain yang tahu. Mungkin Hantu Lumpur

Hijau karena dia yang melihat kau dan aku bersama-

sama terakhir sekali. Tapi itupun baru dugaan. Apa

pertanyaanmu yang ke dua?"

 "Jika Batu Pembalik Waktu itu ternyata memang

ada di tangan Peri Angsa Putih, namun dia menolak

menyerahkan padaku, apa yang harus aku lakukan?"

 "Wahai, kau tahu apa yang harus kau lakukan

Lamanyala! Nyawa manusia dan nyawa seorang Peri

tak ada bedanya. Kuharap kau mengerti maksud ucap-

anku itu....""Aku mengerti Hantu Tangan Empat Tapi untuk

menghindarkan kesalah pahaman biar aku bertanya

berterus terang. Apakah kau mengizinkan aku mem-

bunuhnya?!"

 Hantu Tangan Empat menatap tajam ke sepasang

mata Lamanyala yang dikobari api. Lalu kakek ini

tertawa gelak-gelak. "Kau sudah tahu apa yang aku

inginkan, Lamanyala! Apakah aku harus bicara sejelas

kilat di langit mendung?! Ha... ha... ha... ha!"

 Lamanyala merenung. Lalu setelah anggukkan

kepala dan menjura dalam, makhluk yang sosoknya

dikobari api ini berkelebat pergi dari hadapan Hantu

Tangan Empat


LIMA


DALAM Episode sebelumnya ("Muka Tanah Liat") 

diceritakan bagaimana Luhcinta, mengalami bencana, 

dikeroyok oleh kaki tangan Hantu Muka Dua yakni 

Luhjahilio dan Lajahilio yang dikenal dengan julukan 

Sepasang Hantu Bercinta. Dalam pertempuran hebat dua 

kakek nenek jahat ini menyerang dengan 

mempergunakan sejenis bubuk beracun sehingga 

Luhcinta roboh pingsan tak sadarkan diri. Sebelum 

bencana lebih hebat menimpa gadis murid Hantu Lembah 

Laekatakhijau ini muncullah Si Penolong Budiman alias 

Latampi memberikan pertolongan. Orang yang wajahnya 

selama ini selalu ditutup tanah liat hitam itu kini 

menampakkan diri dengan wajah aslinya.

 Hantu Muka Dua yang ada di tempat itu coba

menghadang ketika Si Penolong Budiman menyela-

matkan Luhcinta. Tapi gagal. Penguasa Istana Keba-

hagiaan ini kemudian melarikan diri menghindari ben-

trokan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro sen-

diri yang merasa khawatir akan keselamatan Luhcinta,

bersama Hantu Selaksa Angin alias Luhpingitan se-

gera melakukan pengejaran sementara Naga Kuning,

Setan Ngompol dan Betina Bercula menyusu! bela-

kangan....

 Latampi baru memperlambat larinya ketika sang

surya yang condong ke barat mulai memudar sinarnya.

 "Sudah cukup jauh. Pasti aman sekarang. Aku

harus mencari tempat yang baik. Gadis ini harus

segera diselamatkan..." Latampi perhatikan wajah

Luhcinta yang pucat pasi sedang bibirnya yang selama

ini merah menawan kini kelihatan kebiru-biruan per-

tanda ada racun jahat merasuk dalam aliran darahnya.

 Memandang berkeliling lelaki berjubah hitam itu

melihat satu bukit kecil di ujung sana. Tak jauh dari

kaki bukit tampak beberapa ekor belibis hutan.

 "Jika ada belibis berarti ada mata air tak jauh dari

tempat ini," membatin Si Penolong Budiman. Lalu dia

melarikan Luhcinta ke arah bukit Benar saja. Sebelum

dia mencapai kaki bukit di tengah jalan dia menemui

satu telaga kecil. Belasan ekor belibis coklat berenang

seputar telaga. Latampi mencari tempat yang kering

dan baik lalu membaringkan Luhcinta. Dirabanya ke-

ning gadis itu. Terasa panas. Lalu ditempelkannya

telinganya ke dada. Dia mendengar suara detak jantung

Si Penolong Budiman menarik nafas dalam. "Luh-

cinta, belasan tahun mengarungi negeri, akhirnya ku-

temui juga dirimu. Sayang pertemuan ini tidak dalam

suasana menggembirakan.... Tidak mungkin akan

menggembirakan. Karena..." Si Penolong Budiman

merasakan dadanya sesak. Kemudian dia sadar. "Aku

tak boleh hanyut dalam perasaan. Aku harus segera

bertindak! Para Dewa, beri aku petunjuk dan kekuatan

untuk menyelamatkan gadis ini!" Si Penolong Budiman 

berdoa. Lalu dia memijit urat besar di atas dua

tumit Luhcinta. Hal yang sama dilakukannya pada urat

besar dii lekukan siku serta pangkal leher. Dari balik

pakaiannya dia mengeluarkan sebuah kantong kecil

berisi bubuk berwarna biru. Bubuk ini dituangkannya

ke atas daun yang dibentuk menyerupai corong. Lalu

ke dalam corong daun dimasukkannya air telaga.

Kemudian sedikit demi sedikit air bercampur bubuk

biru itu dituangkannya sampai habis ke dalam mulut

Luhcinta.

 Latampi menunggu. Dia mulai khawatir ketika

sosok Luhcinta masih belum bergerak dan hembusan

nafasnya tidak berubah. Dipegangnya kening gadis

itu. Diusapnya beberapa kali.

 "Masih panas.... Kalau obat itu tidak mampu mem-

buat dia memuntahkan racun jahat yang ada dalam

tubuhnya, terpaksa aku mempergunakan cara lain...."

Si Penolong Budiman menunggu beberapa saat lagi.

Disamping tidak sabar kini dia mulai merasa cemas.

"Tak ada jalan lain. Aku harus mengambil tindakan

pertolongan secara langsung. Aku harus menyedot

racun yang ada di dalam tubuhnya...."

 Sesaat Latampi tatap wajah Luhcinta yang telah

diketahuinya sebagai anak kandungnya sendiri. Se-

pasang matanya berkaca-kaca. "Kalau aku tidak dapat

menolong anak ini, aku rela mati bersamanya. Derita

sengsaranya selama ini menjadi beban tambahan di

atas derita sengsara diriku sendiri.... Wahai Para Dewa,

tolong kami yang menderita ini...."

 Latampi merunduk mencium kening Luhcinta. Air

matanya jatuh mengucur di atas pipi si gadis. Lalu

dengan memejamkan mata dia susupkan dua tangan-

nya ke balik dada pakaian Luhcinta, meraba mencari

letak urat besar di arah jantungnya. Perlahan-lahan

dia kerahkan hawa sakti yang ada dalam tubuhnya.

Begitu jari-jarinya dapat menjajagi letak urat besar itu,

Latampi membungkuk, dekatkan wajahnya ke wajah

Luhcinta. Bibir mereka saling bertempelan. Lalu

Latampi menyedot. Sekujur tubuh lelaki ini bergetar.

Mukanya merah keringatan. Tiba-tiba sosok Luhcinta

menggeliat Dua matanya yang sejak tadi terpejam

mendadak terpentang lebar. Dia melihat satu wajahdekat sekali di atasnya. Gadis ini menjerit keras. Ber-

samaan dengan jeritannya itu menyembur cairan biru

berlendir, menyusul muntahan darah kehitam-hitaman, 

muncrat membasahi wajah orang yang meneduhi

mukanya.

 "Manusia kurang ajar! Siapa kau!" Luhcinta gerakkan 

kaki kanannya.

 "Bukkk!"

 Latampi mencelat mental sampai dua tombak.

Ketika dia berusaha bangkit berdiri di hadapannya

tahu-tahu telah tegak dua orang yang memandang

padanya dengan pandangan penuh amarah!

 "Penolong Budiman! Kemesumanmu rupanya

tidak berhenti pada hanya mengintip saja! Sekarang

kau berani menggerayangi tubuh gadis yang sedang

pingsan! Menciumnya! Manusia sepertimu tidak ada

tempat di Negeri Latanahsilam ini!" Salah seorang dari

yang tegak di hadapan Penolong Budiman membentak. 

Lalu pancarkan kentut.

 "Brut prett!"

 "Sobatku, aku tidak menyangka sekeji ini budi

pekertimu! Menggagahi gadis yang tidak berdaya!"

Orang kedua ikut membentak.

 "Hantu Selaksa Angin! Wiro! Tidak! Tunggu! Biar aku..."

 Bayangan kuning berkelebat Satu tendangan melabrak 

ke arah dada Si Penolong Budiman. Untung orang ini 

bertindak cepat jatuhkan diri. Dia berguling menjauh 

namun mendadak satu sinar kuning menyerupai tombak 

berkiblat, menderu ke arah batok kepala Si Penolong 

Budiman!

 "Tahan serangan!" teriak Latampi alias Si Penolong 

Budiman.

 Tapi tombak kuning itu terus menderu. Malah dari

samping satu tangan datang melesat menjambak ram-

butnya membuat Latampi tak mungkin menghindar-

kan diri dari hantaman cahaya kuning berbentuk tom-

bak yang adalah ilmu pukulan sakti milik Hantu Selaksa

Angin bernama Tombak Kuning Pengantar Mayatl

 "Wiro! Lepaskan jambakanmu!" teriak Latampi.

"Kau dan nenek itu salah sangka!"

 Pendekar 212 hanya menyeringai. Dia sengaja

menarik rambut Latampi hingga sosok orang ini ter-

betot ke arah datangnya sinar kuning!

 Tak ada jalan lain bagi Si Penolong Budiman. Dari

pada menemui ajal secara mengenaskan begitu rupa

mau tak mau dia harus menyelamatkan diri dengan

balas menghantam. Tangan kanannya bergerak.

 "Wuuttt!"

 Selarik sinar hitam berbentuk kipas dipenuhi cahaya-

cahaya terang seperti tebaranbunga api berkiblat

di udara!"Pukulan Menebar Budi!" teriak Pendekar 212.

Tahu keganasan pukulan sakti itu dia segera lepaskan

jembakannya pada rambut Si Penolong Budiman. Lalu

melompat satu tombak ke belakang seraya lepaskan

pukulan Benteng Topan Melanda Samudera.

 "Bummm!"

 "Bummm!"

 Dua letusan menggelegar di tempat itu. Air telaga

muncrat setinggi tiga tombak. Belasan burung belibis

menjerit keras ketakutan lalu beterbangan ke udara.

 Wiro jatuh terhenyak di tanah. Mukanya pucat dan

dadanya berdenyut sakit Hantu Selaksa Angin ter-

sandar ke sebatang pohon. Lututnya goyah lalu nenek

ini jatuh berlutut. Di bagian lain Si Penolong Budiman

terpental dan terguling-guling di tanah. Mukanya me-

ngelam. Sosoknya menghuyung ketika dia coba ber-

diri. Di sela bibirnya tampak lelehan darah.

 "Masih hidup manusia keji ini rupanya!" kertak

Hantu Selaksa Angin. Dia menggebrak ke depan sam-

bil kembali menghantam. Kali ini tidak kepalang tang-

gung dia lepaskan pukulan Salju Putih Latinggimerul

 "Nenek jubah kuning! Harap kau suka mundur!

Biar aku yang menyingkirkan kekejian dari bumi Negeri

Latanahsilam ini!" Satu suara membentak nyaring.

Satu bayangan biru berkelebat ke arah Si Penolong

Budiman. Orangnya bukan lain adalah Luhcinta!

 "Butt prett!"

 "Wahai! Kau yang diperlakukan keji, memang

pantas kalau kau yang menghabisinya!" kata Hantu

Selaksa Angin lalu menarik pulang serangannya dan

menyingkir ke samping, memberi jalan pada Luhcinta.

 "Luhcinta! Tahan seranganmu! Jangan teruskan!

Aku harus menerangkan sesuatu padamu!" teriak Si

Penolong Budiman.

 "Berikan keteranganmu pada semua roh jahat

yang tergantung antar langit dan bumi!" jawab Luhcinta. 

Lalu gadis ini hamburkan serangan berantai

yang hebat sekali.

 "Bukk... bukkk... bukkk!"

 Si Penolong Budiman tidak berkelit tidak pula

menangkis. Sepertinya dia pasrah menerima hantaman 

lawan.

 Tiga pukulan keras melanda tubuh Si Penolong

Budiman, membuatnya kembali terjengkang di tanah

dan muntahkan darah segar!

 Dengan muka pucat, mulut dan pakaian berselomot 

darah Si Penolong Budiman merangkak di tanah lalu 

bangkit berdiri.

 "Luhcinta, kau tidak memberi kesempatan untukku 

bicara! Aku tidak menyesal kalau harus mati di

tanganmu.... Bunuhlah, aku tidak akan melawan!Mungkin ini satu-satunya cara untuk menebus 

kekeliruan dan dosa besarku di masa lalu!"

 Kalau saja Luhcinta tidak sedang dilanda amarah,

kata-kata Si Penolong Budiman itu pasti akan menjadi

satu tanda tanya besar baginya. Namun saat itu luapan

amarah tengah menyungkup dirinya. Dia melihat sen-

diri, juga ada beberapa orang menyaksikan betapa

tadi Si Penolong Budiman berbuat keji terhadapnya!

Kata-kata yang diucapkan Si Penolong Budiman itu

malah dianggap sebagai tantangan oleh Luhcinta.

 "Selama ini kasih sayang adalah pegangan hidup-

ku! Tapi aku tidak akan pernah menyesal membunuh

makhluk keji sepertimu!"

 Didahului satu pekik dahsyat Luhcinta melesat ke

depan. Dua tangannya bergerak. Satu menghantam-

kan pukulan Tangan Dewa Merajam Bumi, satunya

lagi melepas pukulan bernama Kasih Mendorong

Bumi. Sekalipun Si Penolong Budiman memiliki ilmu

kesaktian setinggi langit sedalam samudera namun

tidak mungkin baginya menyelamatkan diri dari dua

pukulan maut itu. Apalagi saat itu dia seperti memang

sengaja memasang diri, siap untuk dihabisi!

 Sesaat lagi Si Penolong Budiman akan dibantai

oleh dua pukulan sakti yang dilepaskan Luhcinta anak

kandungnya sendiri, tiba-tiba dua bayangan berkele-

bat sebat. Satu teriakan keras menggelegar di Seantero

tempat!

 "Luhcinta! Tahan seranganmu! Jangan bunuh

orang itu! Dia Latampi! Ayahmu sendiri!"


ENAM


SEMUA orang yang ada di tempat itu tersentak kaget! 

Luhcinta sendiri merasa kalau ada setan kepala tujuh 

menghambur keluar dari dalam tanah hendak

mencekiknya, atau ada halilintar turun dari langit me-

nyambar di puncak hidungnya, tidak akan seluar biasa

itu kaget dirinya.

 Gerakan dua tangan si gadis serta merta tertahan.

Mukanya sepucat kain kafan. Dua matanya meman-

dang membeliak ke arah Latampi yang dari merangkak

dengan susah payah berusaha bangkit berdiri tapi

hanya mampu tegak berlutut Mukanya tak kalah pucat

dan pandangannya mengarah sayu pada Luhcinta.

 "Luhcinta.... Kau...." Si Penolong Budiman tak

Kuasa meneruskan ucapannya. Dua tangannya diulurkan 

ke depan. Dua lututnya beringsut di tanah. Dua matanya 

berkaca-kaca.

 Luhcinta seperti melihat hantu. Gadis ini bersurut

ke belakang. Tubuhnya huyung. Dia tak kuat lagi

menahan diri. Tubuhnya tersungkur ke depan. Tiba-

tiba ada sepasang tangan merangkulnya. Memandang

ke samping Luhcinta melihat satu wajah dan tubuh

yang dipenuhi katak-katak hijau.

 "Guru..." desis Luhcinta.

 "Muridku, tabahkan hatimu, kuatkan jiwamu

menghadapi kenyataan ini...."

 Luhcinta menarik ke samping kiri. Dia melihat

sosok Hantu Penjunjung Roh memandang padanya.

Nenek ini kelihatan tersenyum, tapi senyum itu begitu

sayu. Sambil memegang kepala gadis itu si nenek

berkata. "Cucuku, kau telah sampai diakhir perjalananmu. 

Rahasia besar yang selama ini menjadi beban

kehidupanmu kini telah tersingkap...."

 “Nek..." suara Luhcinta bergetar. "Orang itu. Dia...."

 Hantu Penjunjung Roh usap kepala cucunya. Lalu

ditolongnya gadis itu bangkit berdiri. "Ya, dia.... Dia

adalah Latampi. Dia anak kandungku. Dia ayah yang

selama ini kau cari. Aku akan memapahmu kepadanya.

Bersimpuhlah di hadapannya, lalu peluk dan rangkul

dia. Ayah yang kau cari selama ini kau temukan....

Berkah para Dewa telah sampai atas diri kalian

berdua...." Waktu berkata itu Hantu Penjunjung Roh

tidak dapat lagi menahan kucuran air matanya.

 Luhcinta merasa dua kakinya seolah seberat batu

raksasa. Dia tak sanggup melangkah. Bibirnya bergetar.Sepasang matanya mulai basah. "Nek. saya....

Saya tidak bisa mempercayai semua ini.... Si muka

tanah liat ini. Sebelumnya dia telah berbuat keji atas

diri saya.... Tak mungkin Nek.... Tak mungkin.... Saya

tidak pernah mengharapkan seorang ayah sekeji dirinya!"

 "Luhcinta, aku dan gurumu Hantu Laekatakhijau

sudah menyelidik, sudah mendapat bukti-bukti bahwa

orang itu adalah Latampi ayah kandungmu. Jangan

kau berani berkata tidak mungkin. Yang Kuasa telah

memperlihatkan kebesaran dan kasih sayangNya pada

kalian hingga hari ini kalian dipertemukan satu sama

lain...."

 Hantu Penjunjung Roh terus memapah Luhcinta.

Di depan sana Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk

kepala. Sesaat dia tampak bingung. Lalu dia melangkah 

mendekati Si Penolong Budiman dan menolong orang ini 

berdiri. Seperti apa yang dilakukan Hantu Penjunjung 

Roh, Wiro kemudian membantu Si Penjunjung Roh 

melangkah mendekati Luhcinta.

 Hantu Selaksa Angin menyaksikan apa yang ter-

jadi di hadapannya itu dengan mata basah. Sejak tadi

dia menahan diri agar tidak memancarkan kentut.

Sementara Hantu Laekatakhijau guru Luhcinta ter-

sengguk-sengguk menahan tangis.

 Beberapa saat kemudian ayah dan anak itu tegak

berhadap-hadapan, hanya terpisah dua langkah. Ke-

duanya saling memandang berhamburan air mata.

 "Anakku Luhcinta..." ucap Latampi dengan suara

bergetar dan dada menggemuruh. Dua tangannya

diulurkan hendak menyentuh bahu gadis itu. "Apa

yang aku lakukan bukan kekejian berselubung nafsu

mesum. Aku terpaksa menekan urat besar di dadamu.

Aku terpaksa harus menyedot racun jahat lewat mulutmu. 

Hanya itu satu-satunya jalan menolong dirimu dari racun 

jahat yang ditebar kaki tangan Hantu Muka Dua...."

 Luhcinta sendiri tegak tak bergerak. Telinganya

terbuka, tapi dia seolah tidak mendengar apa yaru

diucapkan Latampi. Mulutnya ikut terbuka. Bibirnya

bergeletar. Ingin ia mengucapkan kata "Ayah" tetapi

lidahnya serasa kelu. Tak ada ucapan, tak ada suara

yang keluar. Pada saat itulah tiba-tiba sekilas bayangan 

hitam masa lalu terpampang di depan matanya,

menghujam di dalam benak Luhcinta. Yakni berupa

kenyataan bahwa ayah kandungnya itu sebenarnya

adalah kakak kandung dari ibunya sendiri, sang ibu

yang bernama Luhpiranti memang melahirkan dirinya,

tapi dia merupakan anak yang terlahir diluar nikah.

Lalu sang ayah sendiri tidak pula syah menjadi ayahnya 

karena dia adalah kakak kandung ibu yang 

melahirkannya!

 Luhcinta memandang ke arah Pendekar 212 WiroSableng. Dalam keadaan seperti itu ingin sekali dia

berlari ke dalam pelukan pemuda itu. Bicara dengannya. 

Agaknya hanya Wirolah satu-satunya tempat dia

menceritakan kemalangan hidup mengadukan nasib.

Namun hatinya menjadi perih bila dia ingat bahwa

Wiro telah kawin dengan Luhrembulan dan menjadi

milik orang lain. Air mata semakin deras mengucur

jatuh ke pipi Luhcinta. Tubuhnya bergetar hebat.

 Tiba-tiba satu teriakan keras keluar dari mulutnya.

'Tidak! Tidak!"

 Seperti ada kekuatan gaib memasuki dirinya, Luhcinta 

meronta keras melepaskan pegangan dua nenek di kiri 

kanannya lalu melompat meninggalkan tempat itu.

 "Luhcinta!" teriak Hantu Penjunjung Roh me

manggil. Hantu Laekatakhijau coba mengejar. Pen-

dekar 212 tak tinggal diam. Dia berusaha menghalangi

tapi hanya sempat menyentuh punggung gadis itu.

Latampi sendiri jatuh berlutut di tanah, menutupi wa-

jahnya dengan dua tangan menahan gemuruh tangis

yang seolah hendak meledakkan tubuhnya!

 "Luhmasigi," kata Hantu Laekatakhijau pada

Hantu Penjunjung Roh. "Cucumu berada dalam ke-

adaan kalut kacau pikiran. Keadaannya bisa berba-

haya. Kita harus mengejarnya."

 Tanpa banyak bicara lagi dua nenek itu segera

berkelebat ke arah lenyapnya Luhcinta.

 Hantu Selaksa Angin memandang pada Wiro.

"Kau tidak ikutan mengejar gadis itu?"

 Wiro tak bisa menjawab. Dia memang ingin sekali

mengejar Luhcinta. Bukan saja untuk menyelamatkan

si gadis tapi juga untuk membicarakan masalah per-

kawinannya dengan Luhrembulan.

 Tanpa setahu Hantu Selaksa Angin dan Wiro

ataupun Latampi yang masih berlutut menahan tangis,

di balik serumpun semak belukar tiga sosok saling

berdesakan bersembunyi mengintai. Mereka adalah

Naga Kuning, Betina Bercula dan si kakek tukang

kencing Si Setan Ngompol.

 "Aneh, apa yang terjadi sebelumnya di tempat ini!

Orang berjubah hitam yang berlutut di tanah seseng-

gukan itu, bukankah dia Si Muka Tanah Liat yang

dikenal dengan julukan Si Penolong Budiman? Setan

apa yang masuk ke dalam tubuhnya hingga dia berlaku

aneh seperti itu?!"

 Mendengar ucapan Naga Kuning, Betina Bercula

kepalkan dua tinjunya. "Memang dia! Terakhir sekali

kita melihatnya waktu dia menolong Luhcinta. Waktu

itu lapisan tanah liat hitam tidak lagi menutupi wajah-

nya! Aku mengenali wajahnya! Ingat bagaimana dia

menggebuki kita beberapa waktu lalu?!" Biar aku ganti

menghajarnya saat ini juga!""Tunggu!" bisik Setan Ngompol sambil menahan

pundak dua temannya. "Kita intip saja dulu. Agaknya

telah terjadi satu peristiwa besar di tempat ini. Jika

kita keluar mungkin semua keanehan ini tidak akan

tersingkap...."

 Saat itu si nenek muka kuning terdengar berkata.

 "Wiro, kata orang gadis itu mencintaimu. Apa kau

tidak mencintai dirinya? Kau harus mengejar dan

menolongnya.... Aku tidak akan mengadu pada istrimu

yang bernama Luhrembulan itu! Hik... hik... hik!" Hantu

Selaksa Angin tertawa menggoda.

 "Sstt... Nenek itu bicara tentang seorang gadis.

Kau bisa menduga siapa gadis itu adanya?" Naga

Kuning memandang pada Setan Ngompol. Kakek ini

menggeleng. "Jangan-jangan sebelumnya Luhcinta

berada di tempat ini!"

 "Si nenek muka kuning tadi menyebut nama Luh-

rembulan. Rupanya dia juga sudah tahu kalau Wiro

sudah kawin dengan gadis itu!" kata Betina Bercula

perlahan.

 "Hai! Gadis itu sudah lari jauh! Kau tidak mau

mengejar dan menolongnya?" Hantu Selaksa Angin

kembali bertanya pada Pendekar 212 Wiro Sableng.

 Murid Eyang Sinto Gendeng ini jadi garuk-garuk

kepala berulang kali. "Dalam bingungnya gadis itu

bisa saja melihat diriku seperti hantu. Tadi kita berdua

telah menolongnya. Saat ini kita tidak bisa berbuat

banyak. Dua nenek tadi sudah mengejar. Lagi pula

aku punya kewajiban padamu untuk mencari Lasedayu. 

Nenek suamimu itu belum kita temukan!"

 Nenek muka kuning tersenyum. "Tidak kusangka

hatimu sebaik itu. Sampai-sampai mengorbankan gadis 

cantik yang mencintaimu demi menolong nenek keriput 

sepertiku!"

 "Aku berbuat baik kepada siapa saja yang aku suka 

Nek," kata Pendekar 212 pula.

 "Hemm.... Begitu? Aku suka pada orang yang mau

bicara jujur sepertimu. Lalu bagaimana dengan lelaki

malang itu?" tanya si nenek sambil memandang pada

Latampi.

 Wiro menarik nafas dalam lalu melangkah men-

dekati Si Penolong Budiman. Dipandangnya pundak

Latampi seraya berkata. "Sahabatku, maafkan kesalah

pahaman kami berdua. Hidup ini memang penuh de-

ngan hal tak terduga. Tidak semuanya sesuai dengan

kehendak kita. Aku percaya, Gusti Allah Yang Maha

Kuasa akan menolongmu!"

 Latampi tidak dapat lagi menahan tangisnya. Tu-

buhnya berguncang keras. Lelaki ini akhirnya meratap

memilukan sambil bersujud di tanah. Wiro dan si nenek

memperhatikan dengan perasaan sedih.Murid Sinto Gendeng memandang dengan sangat

haru. Dia lalu meraba ke balik pakaiannya dan merasa

lega. "Untung obat ini masih ada padaku...." Dari balik

pakaiannya Wiro keluarkan satu kantong kecil. Kan-

tong itu diletakkannya di tanah, di depan kepala Si

Penolong Budiman.

 "Sahabatku, kau tertuka parah. Dalam kantong

kecil ini ada dua butir obat. Mudah-mudahan mujarab

menyembuhkan lukamu. Aku tahu, luka di tubuh akan

sanggup kau hadapi. Namun luka hati agaknya me-

mang sulit ditahan. Kuatkan jiwamu, tabahkan hatimu

sahabatku!"

 Tangis Si Penolong Budiman meledak. Ratapannya 

menyayat hati. Karena tidak tahan melihat semua

itu Wiro segera memberi isyarat pada Hantu Selaksa

Angin. Keduanya lalu tinggalkan tempat itu. belum

jauh berjalan si nenek berkata.

 "Kau memang pantas berbuat baik pada Si Penolong 

Budiman itu. Siapa tahu satu hari dia kelak akan

menjadi ayah mertuamu! Hik... hik... hik!"

 "Butt prett!"

 "Mulutmu enak saja bicara Nek!" gerutu Wiro

mendengar ucapan si nenek muka kuning.

 Hantu Selaksa Angin tersenyum geli. "Tadi aku

dengar kau lagi-lagi menyebut nama Gusti Allah Yang

Maha Kuasa. Kapan kau mau menerangkan siapa

adanya Gusti Allah itu. Lalu dimana aku bisa me-

nemuiNya?"

 Kini Wiro yang tertawa. "Nanti Nek, kalau kau

sudah bertemu dengan suamimu Lasedayu, pada saat

itulah kau akan merasakan kekuasaan dan kasihnya

Gusti Allah...."

 "Jadi aku harus bertemu dulu dengan kakek sial

itu, baru bisa tahu Gusti Allah?"

 Wiro tersenyum. Sulit baginya menerangkan pada

Hantu Selaksa Angin. Sebaliknya karena tidak men-

dapat jawab si nenek muka kuning lalu pancarkan

kentutnya.

 "Buttt prett!"

 Habis kentut tiba-tiba si nenek berbalik.

 Wiro memandang dengan heran lalu bertanya.

"Ada apa Nek?"

 "Bicara soal Gusti Aliahmu itu, aku jadi ingat pada

perintah guruku Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud.

Bukankah aku harus mewariskan semua ilmu kepan-

daianku padamu? Sampai saat ini tidak satu ilmu

kesaktianpun yang aku berikan. Aku takut melanggar

perintah...."

 "Kau tak usah keliwat memikir hal itu Nek," jawab

Wiro yang sejak sebelumnya memang tidak mau mene-

rima ilmu kepandaian apapun dari si nenek. "Kausudah punya niat menjalankan perintah tapi aku ber-

terima kasih dan menolak pemberian ilmu itu. Berarti

kau tidak melanggar perintah, apalagi merasa ber-

dosa...."

 "Aku memang tidak merasa berdosa. Tapi merasa

berhutang! Ini membuat aku merasa tidak tenteram.

Bagiku hutang jauh lebih berat dari pada dosa! Aku

tahu kau orangnya suka jahil. Jadi yang cocok untuk-

mu adalah ilmu Menahan Darah Memindah Jazad."

 "Nek, jangan kau bergurau. Aku sudah bilang aku

ngeri dengan ilmu kepandaianmu yang satu itu."

 Si nenek mendongak ke langit. "Mendung di mana-

mana...." katanya. "Sebentar lagi pasti hujan akan

turun! Dengar Wiro, aku akan berikan ilmu itu padamu

sebelum hujan mencurah!"

 "Tidak Nek, terima kasih...."

 Tapi saat itu Hantu Selaksa Angin tiba-tiba sekali

telah merangkul tubuh Pendekar 212. Wiro berusaha

meronta lepaskan diri. Tapi anehnya semakin dia

bersikeras mengeluarkan tenaga semakin dia tak bisa

bergerak malah nafasnya mulai megap-megap.

 "Apa yang hendak kau lakukan Nek...? Kau mau

membunuh aku?!" tanya Wiro.

 "Perlu apa aku membunuhmu?!"

 "Kau... mungkin... mungkin kau tiba-tiba kema-

sukan setan mesum. Kau hendak berbuat tidak se-

nonoh padaku...?!"

 "Anak gila! Kau kira aku ini nenek bejat seperti

Hantu Santet Laknat hah?!"

 Wiro jadi tersentak mendengar si nenek menyebut

nama itu.

 "Dengar Wiro. Aku akan memberikan ilmu Menahan 

Darah Memindah Jazad sekarang juga padamu!"

 "Nek! Jangan paksa diriku!"

 "Kuremukkan tulang belulangmu jika kau berani

membantah!" mengancam Hantu Selaksa Angin. Lalu

butt prett! Nenek ini pancarkan kentutnya. Bersamaan

dengan itu dia memperkencang pelukannya hingga

Wiro merasa sekujur tubuhnya seperti mau remuk.

"Ilmu Menahan Darah Memindah Jazad tidak susah

menguasainya Kerahkan tenaga dalammu, pusatkan

ke perut, tahan nafas sambil menggosokkan ibu jari

tangan kiri atau tangan kananmu pada empat jari

lainnya. Kalau sudah kau lakukan, bagian tubuh manu-

sia yang mana saja bisa kau pindahkan kemana kau

suka! Kau dengar Wiro?"

 Di balik semak belukar Naga Kuning dan kawan-

kawannya yang diam-diam terus menguntit Wiro dan

si nenek, menggamit Si Setan Ngompol. "Kau dengar

apa yang dikatakan nenek tukang kentut itu? Ternyata

tidak sulit menguasai ilmu Menahan Darah Memindah

Jazad itu! Aku juga pasti bisa melakukannya...."

 "Kalau orang tidak memberikan ilmu langsung

padamu, jangan jahil mencoba-coba. Nanti bisa kapiran 

salah kaprah!" kata Setan Ngompol pula.

 "Ah, kau cuma iri. Kaupun sebenarnya inginkan

ilmu itu!" menggoda Naga Kuning.

 "Jangan kau bicara tak karuan!" bentak Setan

Ngompol delikkan mata.

 "Dengar Kek," Naga Kuning masih belum berhenti

mengganggu orang. "Kalau aku dapatkan ilmu itu,

nanti barangmu akan aku tukar dengan barang kuda.

Agar kau sembuh tidak ngompol-ngompol lagi! Hik...

hik... hik!"

 "Setan alas kau!" rutuk Setan Ngompol.

 Betina Bercula ikut-ikutan mengganggu si kakek.

"Naga Kuning, kalau barangnya sudah kau tukar de-

ngan-punya kuda, jangan lupa memberi tahu aku. Ingin

sekali aku melihatnya! Hik... hik... hik...!"

 Sementara itu murid Sinto Gendeng tidak men-

jawab pertanyaan si nenek muka kuning. Saat itu dia

sudah kelagapan tak bisa melepaskan diri dari pelukan

kencang si nenek. Hantu Selaksa Angin kembali ke-

rahkan tenaganya.

 "Kreekkk!"

 Tulang punggung Wiro bergemeletak. Sang pen-

dekar mengeluh kesakitan.

 "Sudah Nek, aku.... Terserah padamu saja! Tapi

lepaskan pelukanmu! Aku tak tahan...."

 "Heh, kau tak tahan? Tak tahan apa? Kau mulai

terangsang rupanya dalam pelukanku? Dasar pemuda

cabul!" Si nenek membentak.

 "Bukan terangsang Nek. Tapi tak tahan bau ketiakmu! 

Hidungku mau tanggal rasanya!" jawab Wiro.

 "Hii... hik... hik!" Hantu Selaksa Angin tertawa

cekikikan mendengar kata-kata Wiro itu. "Sekarang

aku akan tunjukkan bagaimana cara mengembalikan

bagian tubuh atau benda apa saja kau pindahkan...."

 Naga Kuning memasang telinganya tajam-tajam,

berusaha mencuri dengar petunjuk apa yang hendak

dikatakan si nenek pada Wiro. Tapi saat itu tiba-tiba

di langit mendung berkiblat petir. Cahaya putih ber-

sabung laksana merobek langit. Bersamaan dengan

itu suara guntur menghunjam menggetarkan bumi

memekakan telinga. Naga Kuning tidak dapat men-

dengar apa yang dikatakan nenek muka kuning pada

Pendekar 212 Wiro Sableng.

 "Geledek jahanam! Budek telingaku! Aku tak bisa

mendengar apa yang diucapkan nenek itu!" Naga

Kuning memaki marah sambil bantingkan kaki.

 Setan Ngompol menyeringai. Sejak tadi kakek ini

sudah jengkel pada si bocah. Sekarang dia siap melakukan pembalasan. Dia susupkan telapak tangan kiri-

nya ke dalam celananya yang basah oleh air kencing.

Lalu tangan yang berselomotan air kencing pesing itu

dipeperkannya ke muka Naga Kuning seraya berkata.

"Makanya, jangan suka jahil mencuri rejeki mendengar

ucapan orang! Mendingan kau terima dulu hadiah

dariku!"

 "Kakek sialan!" rutuk Naga Kuning sambil me-

ludah-ludah dan seka mukanya berulang kali.


TUJUH


SATU cahaya merah melesat dari langit, membuat Peri 

Angsa Putih yang tengah duduk di bawah keteduhan 

pohon besar di tepi kelokan sungai terkejut Cepat-cepat 

dia menyembunyikan benda yang sejak tadi dipegangnya 

ke balik pakaian putihnya. Satu sosok terbungkus 

gulungan kain sutera merah tahu-tahu sudah berada di 

hadapan Peri Angsa Putih. Bau harum mewangi 

memenuhi udara di tempat itu.

 "Wahai, kau terkejut melihat kehadiranku yang

tiba-tiba ini Peri Angsa Putih?" Satu suara parau

menegur.

 "Peri Sesepuh!" seru Peri Angsa Putih ketika

menyadari siapa yang tegak di hadapannya. Lalu dia

menjura memberi hormat.

 "Keterkejutanku rasanya sangat beralasan wahai

Peri Sesepuh. Aku berada di tempat terpencil begini

rupa. Bagaimana kau bisa mengetahui kehadiranku di

sini. Kemudian, bukankah sejak beberapa purnama

ini kau diketahui mengucilkan diri menjauhi alam

manusia dan alam Peri? Mengapa kini kau mendadak

muncul? Apakah pengucilan dirimu telah berakhir?"

 Yang tegak di hadapan Peri Angsa Putih adalah

seorang perempuan luar biasa gemuk, berkulit putih.

Mukanya yang bulat gembrot sungguh tidak sedap

untuk dipandang. Selain hidung yang pesek lebar serta

bibir tebal, pada pipi kirinya ada tahi lalat hitam sebesar

telur burung dara. Makhluk ini mengenakan kain ber-

warna merah tipis yang digelungkan ke sekujur tubuh-

nya secara sembrono hingga beberapa bagian lekuk

tubuhnya yang terlarang kadang-kadang tersingkap

jelas. Ketika dia tersenyum kelihatan gigi-giginya yang

besar. Ketika dia mengangkat tangan kirinya agak

tinggi untuk mematik gulungan rambutnya, bulu ke-

tiaknya kelihatan berserabutan seperti ijuk!

 Dalam kisah di Negeri Latanahsilam si gemuk

berpakaian sutera merah tipis ini dikenal sebagai Peri

Sesepuh yang merupakan Peri pimpinan dari segala

Peri yang ada di Negeri Atas Langit Dalam Episode

berjudul "Rahasia Mawar Beracun" dikisahkan bagai-

mana Peri Sesepuh terbongkar rahasianya sebagai

Peri yang hendak mencelakai Pendekar 212 Wiro

Sableng dengan sekuntum mawar kuning beracun.

Akibat perbuatannya itu Peri Angsa Putih dan Peri

Bunda, juga Luhjelita hampir terkena tuduhan sebagaipelaku. Malu karena perbuatan jahatnya diketahui, Peri

Sesepuh akhirnya meninggalkan Negeri Atas Angin

dan memencilkan diri di satu tempat yang tidak satu

orang atau Peripun mengetahui.

 "Kerabatku Peri Angsa Putih, tidak heran kalau

kau sampai terkejut. Diriku ini memang sengaja mun-

cul dari alam pengasingan karena beberapa hal. Aku

harap kau mau membagi waktu, bersabar hati men-

dengar apa yang hendak aku katakan...."

 "Aku akan mendengar apa yang akan kau ucap-

kan, wahai Peri Sesepuh," kata Peri Angsa Putih pula.

Namun dalam hati Peri Angsa Putih merasa curiga.

"Jangan-jangan dia mengetahui kalau Batu Pembalik

Waktu berada di tanganku," pikir Peri Angsa Putih.

 "Pertama sekali aku merasa risau mendengar apa

yang terjadi dengan Peri Bunda. Sewaktu aku mening-

galkan Negeri Atas Langit kepadanyalah aku perca-

yakan untuk mewakili diriku selama aku bersunyi diri

di tempat pengucilan. Ternyata kini satu musibah

besar menimpa dirinya. Dia diketahui hamil berbadan

dua. Diketahui pula bahwa pemuda asing bernama

Wiro Sableng itulah yang telah melakukan perbuatan

keji itu!" Peri Sesepuh terdiam sebentar lalu melan-

jutkan ucapannya dengan pertanyaan. "Wahai Peri

Angsa Putih, gerangan tindakan apakah yang telah

atau akan dilakukan oleh kita kaum Peri?"

 Peri Angsa Putih tak segera menjawab.

 "Wahai, apakah ada keraguan dalam lubuk hatimu

untuk melakukan sesuatu pada pemuda itu?" tanya

Peri Sesepuh.

 Peri Angsa Putih masih diam.

 "Hemm.... Atau mungkin rasa cintamu terhadapnya 

semakin mendalam hingga kau...."

 "Peri Sesepuh, aku sudah lama melupakan pemuda 

itu," kata Peri Angsa Putih pula.

 "Begitu?" Peri Sesepuh menatap tajam ke dalam

sepasang mata biru Peri Angsa Putih. Hatinya tak

percaya akan apa yang barusan dikatakan kerabatnya

itu. "Terus terang aku juga telah melupakan semua

kejadian di masa lalu. Tetapi hati sanubari kita tidak

terlalu jauh berbeda dengan hati nurani manusia biasa,

Hal-hal yang lama tetap akan menjadi kenangan se-

dang semua hal yang kita hadapi saat ini merupakan

satu kenyataan. Lalu segala hal di masa mendatang

merupakan satu tantangan. Kerabatku Peri Angsa

Putih, saat ini aku tidak berkewenangan untuk turun

tangan mengambil tindakan. Peri Bunda yang menjadi

wakilku justru yang ditimpa musibah memalukan itu.

Berarti hanya kau seorang kini yang bisa dipercaya

untuk berbuat sesuatu.... Kau harus mencari pemuda

asing itu. Kau harus meminta pertanggung jawabnya!Kalau Peri Bunda sampai melahirkan sungguh sangat

memalukan. Dan seribu kali lebih memalukan kalau

tidak diketahui atau tidak dapat dipastikan siapa ayah

anak yang dilahirkannya itu! Walau kemudian orang

itu harus menemui kematiannya! Peri Angsa Putih,

tanggung jawab besar terletak di pundakmu!"

 "Aku memang sudah berniat mencari pemuda itu.

Membawanya ke Puri kebahagiaan, mempertemukan-

nya dengan Peri Bunda sebelum Peri Bunda me-

lahirkan."

 "Aku gembira mendengar kau sudah memasang

niat begitu rupa," kata Peri Sesepuh sambil angguk-

anggukkan kepala.

 Sebenarnya Peri Angsa Putih ingin agar peri gemuk itu 

cepat-cepat meninggalkannya. Namun Peri

Sesepuh malah kembali membuka ucapan.

 "Aku pernah mengimpikan dirimu, Peri Angsa

Putih. Dalam mimpi kulihat kau duduk di atas sebuah

tebing tinggi di sebuah teluk. Bulan purnama empat

belas hari bersinar indah di langit. Tiba-tiba bulan itu

meluncur turun ke pangkuanmu. Agaknya satu berkah

atau satu anugerah berupa sebuah benda sangat

berharga akan jatuh ke haribaanmu. Atau mungkin

benda itu sudah berada di tanganmu?"

 "Benda apa maksudmu Peri Sesepuh? Bisakah

kau menerangkan?" balik bertanya Peri Angsa Putih.

Suaranya datar dan agak tercekat. Hal ini karena

kekhawatiran yang muncul mendadak. Khawatir Peri

Sesepuh benar-benar telah mengetahui kalau Batu

Pembalik Waktu itu ada di tangannya.

 "Wahai, benda itu bisa saja berupa sebuah logam,

berbentuk sebilah senjata. Mungkin juga berupa benda

yang kelihatannya tidak berharga sama sekali. Seperti

sebuah batu. Padahal benda itu menyimpan satu ke-

saktian maha dasyat...."

 Peri Angsa Putih tersenyum. "Kalau aku memiliki

benda atau senjata sakti pasti akan kuberi tahu semua

sahabat para Peri dan akan kusimpan di dalam almari

penyimpanan benda-benda pustaka di Negeri Atas

Langit..."

 "Kalau begitu mimpiku hanya merupakan bunga

tidur yang tak ada artinya..." kata Peri Sesepuh pula

sambil tersenyum. Di mata Peri Angsa Putih senyum

peri gemuk itu seperti satu isyarat rasa tidak percaya.

 "Peri Sesepuh, aku ingin pergi ke Puri Kebahagiaan 

tempat Peri Bunda mengasingkan diri selama

kehamilannya. Maafkan kalau aku tidak bisa bicara

berlama-lama...."

 Peri Sesepuh mengangguk. "Kau boleh segera

pergi wahai kerabatku. Namun ada satu hal lagi yang

ingin kukatakan. Pada hari lima belas bulan dua belasmendatang, pergilah ke Istana Kebahagiaan. Atas 

undangan Hantu Muka Dua disitu akan berkumpul semua

tokoh utama Negeri Latanahsilam. Tapi berhati-hatilah.

Satu hal besar menurut firasatku akan terjadi di tempat

itu."

 "Aku memang sudah mendengar berita undangan

itu. Dan aku juga sudah memutuskan untuk pergi..."

 Peri Sesepuh tersenyum. "Selamat tinggal Peri

Angsa Putih. Aku akan kembali ke tempat pengasing-

anku. Jangan lupa kewajibanmu mencari pemuda yang

telah mencemari kehidupan kita bangsa Peri. Sudah

sejak lama kaum kita dipermalukan dan dipaksa ber-

tekuk lutut di depan kaki laki-laki bangsa manusia.

Kalau tidak diambil tindakan tegas, kejadian seperti

itu akan terulang berkali-kali...."

 "Aku tahu apa yang harus dilakukan," kata Peri

Angsa Putih pula lalu menjura lebih dahulu sebelum

Peri Sesepuh meninggalkan tempat itu. Sikap Peri

Angsa Putih ini dirasakan oleh Peri Sesepuh sebagai

satu cara halus sengaja menyuruhnya pergi lebih

cepat

 Peri Angsa Putih menghela nafas lega. "Peri Se-

sepuh..." katanya dalam hati. "Apakah semua ucap-

anmu itu bisa kau jamin kebenarannya. Aku tahu,

sampai saat ini kau masih menaruh hati terhadap

pemuda asing bernama Wiro Sableng itu. Aku sendiri

selama ini selalu hidup menipu diri. Kebencian yang

kuperlihatkan di depan semua orang seolah membakar

diriku sendiri. Wiro.... Kalau kau tahu bagaimana sebe-

narnya hati ini. Aku bahkan tidak perduli kau sekarang

ini milik siapa. Aku tidak akan perduli sekalipun kau

kawin sepuluh kali dalam sehari. Hatiku telah terlanjur

luluh, seolah melebur masuk ke dalam aliran darahmu.

Dewa manapun tak ada yang sanggup untuk menarik

melepas mengeluarkannya."

 Lama Peri Angsa Putih duduk termenung dalam

kesendiriannya di bawah pohon di kelokan sungai itu.

Begitu dia ingat akan batu sakti yang ada di balik

pakaian putihnya, benda itu segera dikeluarkannya.

Sambil memandangi batu berwarna tujuh itu, dalam

hatinya Peri Angsa Putih berkata.

 "Wiro, aku terlalu cinta padamu. Tubuh dan cinta-

ku saat ini seolah terbelah dua. Belahan pertama ingin

memberikan batu ini padamu. Agar kau bisa kembali

ke negeri seribu dua ratus tahun mendatang, Tanah

Jawa tanah kelahiranmu. Tetapi belahan kedua tidak

menginginkan aku kehilangan dirimu. Wiro, maafkan

diriku kalau Batu Pembalik Waktu ini tidak akan ku-

berikan padamu. Apapun yang akan terjadi. Aku terlalu

takut kehilanganmu..." Peri Angsa Putih cium batu

sakti itu sambil pejamkan matanya penuh khidmat.Namun dia tersentak kaget ketika mendadak di tempat

itu membahana satu suara tawa bergelak.



DELAPAN


SATU bayangan merah berkelebat. Udara di tikungan 

sungai itu mendadak menjadi panas.

 Memandang ke depan terkejutlah Peri Angsa

Putih. Yang tegak di depannya adalah seorang kakek

dengan sekujur tubuh mulai dari kepala sampai kaki

dikobari api.

 "Lamanyala!" desis Peri Angsa Putih.

 Angsa Putih besar yang mendekam tak jauh dari

tempat itu mengeluarkan suara halus. Suara binatang

tunggangannya ini merupakan satu pertanda kurang

baik bagi sang Peri. Dia segera mengawasi ke depan.

 Kobaran api dalam mata makhluk bernama Lama-

nyala menjilat ke luar. Ketika dia membuka mulutnya,

kobaran api juga melesat keluar dari mulut itu.

 "Peri Angsa Putih, Peri tercantik dari Peri yang

ada di Negeri Latanahsilam. Sungguh heran aku me-

nemukan kau bersunyi diri di tempat seperti ini. Ge-

rangan apakah yang tengah menyelimuti hatimu hing-

ga bersepi-sepi seorang diri?"

 Peri Angsa Putih tatap sosok makhluk yang di-

kobari api itu. Dalam hati dia berkata. "Puluhan tahun

diketahui makhluk ini bukan makhluk yang ramah.

Puluhan tahun dikenal dirinya berhati culas. Tugasnya

menyelamatkan Jimat Hati Dewa gagal. Lasedayu alias

Hantu Langit Terjungkir berhasil merampas dan me-

nelan jimat sakti itu. Tidak heran kalau para Dewa

menarik kembali jabatannya sebagai wakil para Dewa

di Negeri Latanahsilam. Kini dia muncul bersikap

ramah setelah sekian lama tidak diketahui dimana

beradanya. Keadaan dirinya sungguh mengerikan.

Setahuku dia mempunyai hubungan sangat dekat

dengan Hantu Muka Dua. Dia yang konon memberi

ilmu kesaktian pada Hantu Muka Dua, menyuruh mem-

bangun Istana Kebahagiaan dan memberikan gelar

Hantu Segala Keji, Segala Tipu dan Segala Napsu pada

Hantu Muka Dua. Kini tahu-tahu dia muncul di sini.

Aku harus berlaku hati-hati."

 "Wahai!" berucap Lamanyala. "Benar rupanya ada

sesuatu menutupi hati dan mengganjal jalan pikiran-

mu. Hingga aku menyapa dan bertanya tidak juga kau

sahuti. Peri Angsa Putih, jika ada kesulitan harap kau

suka memberi tahu padaku. Siapa menduga kalau aku

bisa menolongmu...."

 Peri Angsa Putih akhirnya tersenyum. "Kau sangat baik, Lamanyala. Lama kita tidak bertemu. Apa

kabar beritamu. Apa pula yang membuatmu tahu-tahu

sampai di tempat ini?"

 "Langkah orang memang tidak bisa diduga. Aku

mencarimu untuk menanyakan apakah kau sudah

mendengar kabar yang tersiar mengenai undangan

besar di Istana Kebahagiaan pada hari lima belas bulan

dua belas mendatang?"

 "Aku memang sudah mendengar," jawab Peri

Angsa Putih.

 "Apakah kau berkehendak menghadirinya?"

 "Wahai, mengapa kau bertanyakan hal itu Lama-

nyala?"

 "Tidak ada maksud buruk tersembunyi. Meng-

ingat kini kau satu-satunya Peri yang dianggap sebagai

pimpinan tertinggi di Negeri Atas Langit, maka hal itu

mendorong diriku ingin mengetahui...."

 "Aku memang sudah memutuskan untuk hadir.

Kecuali jika terjadi sesuatu yang tidak memungkinkan

kedatanganku ke sana. Bagaimana dengan dirimu

sendiri? Apakah kau akan pergi ke sana?"

 Lamanyala mengangguk. Kobaran api di atas

batok kepalanya naik ke atas. Peri Angsa Putih bangkit

dari duduknya. Dia menatap ke dalam sungai lalu

melangkah mendekati angsa putih tunggangannya.

Sambil mengusap punggung binatang itu Peri Angsa

Putih berkata.

 "Lamanyala, aku senang bertemu denganmu. Na-

mun karena ada kepentingan lain, aku minta izin

meninggalkan tempat ini lebih dulu...."

 "Wahai, kau rupanya sedang terburu-buru. Agak-

nya banyak hal yang harus kau lakukan sejak tanggung

jawab Negeri Atas Langit berada di pundakmu. Peri

Angsa Putih, aku melihat bulu angsa tungganganmu

ada yang rusak. Agaknya pernah terjadi sesuatu de-

ngan binatang itu beberapa waktu lalu?"

 Peri Angsa Putih terkejut mendengar pertanyaan

Lmanyala. Seperti diceritakan sebelumnya akibat pukulan 

dua nenek sakti Hantu Penjunjung Roh dan

Hantu Lembah Laekatakhijau, memang ada bagian

sayap angsa putih itu yang cidera. "Mata makhluk ini

tajam sekali. Agaknya dia tengah menyelidiki diriku..."

membatin Peri Angsa Putih. Lalu dia menjawab.

"Angsa putih tungganganku tidak kurang suatu apa.

Hanya memang beberapa waktu lalu bulunya sempat

rusak akibat angin keras selagi terbang di udara...."

Tentu saja Peri Angsa Putih tidak mau menerangkan

bentrokannya dengan dua nenek sakti itu. "Selamat

tinggal Lamanyala! Mudah-mudahan kita bisa bertemu

di Istana Kebahagiaan pada hari lima belas bulan dua

belas!""Peri Angsa Putih, tunggu dulu!" seru Lamanyala.

Dua kali melangkah makhluk ini sudah berada di depan

sang Peri. "Aku belum menjelaskan maksud pertemu-

an kita ini...."

 "Hemm.... Kalau begitu kau hadir karena sengaja

mencari diriku...."

 "Tidak salah. Tapi jangan kau menaruh curiga.

Aku datang membawa maksud baik...."

 "Katakanlah maksud baik yang bagaimana?"

 Dari balik pakaiannya yang dikobari api Lamanyala 

keluarkan seuntai kalung terbuat dari butir-butir

batu yang dikobari nyala api berwarna biru aneh.

 Peri Angsa Putih terkejut melihat benda itu.

"Kalung Api Buana Biru..." katanya menyebut nama

benda itu. Setahu Peri Angsa Putih kalung itu adalah

benda keramat milik para Dewa yang semasa jabatan

Lamanyala sebagai Wakil Para Dewa memang pernah

diberikan pada Lamanyala. Kini setelah dia tidak men-

jabat sebagai Wakil Para Dewa, apakah kalung itu

masih boleh berada di tangannya?

 Kobaran api dalam mata Lamanyala menjilat ke-

luar. "Peri Angsa Putih, melihat air mukamu, men-

dengar desah ucapanmu, aku bisa membaca apa yang

ada dalam hatimu dan apa yang terlintas dalam pikir-

anmu. Kau tentu bertanya-tanya mengapa pusaka Para

Dewa ini masih berada di tanganku. Bukankah harus

kukembalikan karena aku tidak lagi menjadi Wakil Para

Dewa?"

 Peri Angsa Putih tidak menjawab. Dan Lamanyala

menjawab sendiri ucapannya tadi. "Kalung Api Buana

Biru ini masih berada di tanganku. Belum sempat aku

kembalikan pada Para Dewa. Ketika aku punya niat

untuk mengembalikannya, seorang utusan Dewa me-

nemuiku. Dia memberi tahu agar benda sakti keramat

ini diberikan padamu...."

 "Aku terkejut mendengar ucapanmu itu! Aku tidak

menyangka!" kata Peri Angsa Putih pula karena dia

tahu kalung di tangan Lamanyala bukan benda sem-

barangan.

 "Aku sudah menduga kau pasti akan terkejut!"

kata Lamanyala. Namun agaknya begitu garis tangan

nasib peruntunganmu. Rejekimu besar sekali dan aku

mana berani menahan kalung ini lebih lama. Makanya

saat ini aku akan menyerahkannya padamu...."

 Peri Angsa Putih menatap kalung di tangan Lama-

nyala. Hatinya kembali membatin. "Setahuku telah

berulang kali Para Dewa meminta makhluk ini me-

ngembalikan kalung itu. Dicari-cari makhluk ini entah

menyembunyikan diri dimana. Adalah aneh kalau hari

ini katanya Para Dewa meminta agar kalung itu diserah-

kan padaku...."Lamanyala maju satu langkah dan mengulurkan

Kalung Api Buana Biru itu pada sang Peri. Peri Angsa

Putih tidak berani menyambutinya, malah ajukan per-

tanyaan.

 "Lamanyala, kalau aku boleh bertanya siapa ada-

nya orang yang dipercaya menjadi Utusan Para Dewa

yang membawa berita bahwa kalung ini harus diberi-

kan padaku?"

 "Wahai! Aku ingin sekali mengatakan siapa orang-

nya padamu. Tapi Para Dewa berpesan agar hal itu

tidak kukatakan pada siapapun, termasuk padamu...."

 Perlahan-lahan Peri Angsa Putih gelengkan ke-

palanya dan berkata. "Aku tidak berani menerima

kalung keramat itu. Harap kau tidak memaksa..." Sang

Peri lalu hendak bertindak naik ke punggung angsa

putihnya.

 "Peri Angsa Putih, tunggu. Jangan pergi dulu.

Aku belum mengatakan keseluruhan pesan Utusan

Dewa itu..." kata Lamanyala.

 Peri Angsa Putih berbalik. Dia tegak tak bergerak.

Menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh

makhluk kobaran api.

 "Agaknya Para Dewa sudah memaklumi kalau kau

akan merasa tidak enak atau keberatan menerima

benda begini berharga. Itu sebabnya pada sang Utus-

an, Para Dewa berkata bahwa kalung ini diberikan

padamu dengan syarat kau balas menyerahkan se-

suatu pada para Dewa...."

 Sepasang alis Peri Angsa Putih naik ke atas. "Aku

harus menyerahkan sesuatu? Sesuatu apa?"

 "Mohon maafkan. Utusan Para Dewa tidak me-

ngatakan benda apa yang harus kau serahkan. Yang

jelas sesuatu apa saja yang kau miliki...."

 "Aku tidak memiliki benda berharga yang bisa

dijadikan penukar kalung keramat itu. Kalaupun aku

punya apa-apa tetap saja aku tidak, berani menerima

kalung itu. Harap kau bisa memaklumi Lamanyala.

Harap kau suka menyampaikan pada Utusan Para

Dewa itu...."

 "Peri Angsa Putih, aku tidak memaksa. Tapi harap

kau mau berpikir sebentar. Mungkin kau terlupa. Kau

pasti memiliki sesuatu yang sangat berharga...."

 "Lamanyala, aku tidak ingin meneruskan pem-

bicaraan ini," kata Peri Angsa Putih pula. Hatinya mulai

tidak enak.

 "Wahai kerabatku. Aku hanya menjalankan perin-

tah. Bagaimana jadinya jika aku tidak berhasil melaku-

kan tugas ini. Harap kau mau berpikir. Di dirimu pasti

ada sesuatu yang sangat berharga...."

 "Kau tidak meminta aku memberikan diriku atau

kehormatanku, bukan?!"Lidah api membersit dari mata dan mulut Lama-

nyala. "Maafkan diriku Peri Angsa Putih. Maka aku

berani berbuat dan meminta seperti itu. Terus terang,

Para Dewa pasti melihat sesuatu dalam dirimu yang

aku tidak dapat melihatnya. Cobalah kau memikirkan

sekali lagi...."

 Peri Angsa Putih terdiam dalam kejengkelan hati

nya. "Jangan-jangan makhluk ini meminta Batu Pem-

balik Waktu yang ada padaku sebagai penukar Kalung

Api Buana Biru..." pikir Sang Peri. "Lebih baik aku

tidak memperdulikan dirinya!" Peri ini lalu melompat

ke atas angsa putihnya. Melihat hal ini Lamanyala

cepat gerakkan tangan kirinya. Mulutnya menghem-

bus ke depan.

 "Bleeppp.... Wussss!"

 Lingkaran api setinggi kepala mengurung Peri

Angsa Putih dan angsa tunggangannya. Kejut sang

Peri bukan alang kepalang.

 "Lamanyala! Mengapa kau melakukan ini? Apa

maumu sebenarnya?!" berseru Peri Angsa Putih.

 "Wahai! Aku hanya menjalankan tugas. Kemur-

kaan Para Dewa yang yang aku takutkan jika aku tidak

berhasil melakukan tugas. Menyerahkan kalung ini

dan meminta sesuatu darimu!"

 "Kau carilah Utusan Dewa itu. Biar nanti aku yang

bicara dengan dia. Saat ini aku tidak punya waktu

lagi!" Peri Angsa Putih mengusap kuduk angsa tung-

gangannya seraya berkata. "Naik. Melesat ke atas!"

 Angsa Putih itu keluarkan suara menguik. Siap

melayang naik karena memang bagian ataslah yang

aman sementara kobaran api mengurung sekelilingnya.

 "Wusss.... Bleepp!"

 Lamanyala kembali meniup dan gerakkan tangan

kirinya. Kini kobaran api menggebubu di sebelah atas

kepala Peri Angsa Putih.

 Marahlah Peri cantik ini. Sepasang matanya yang

biru siap membersitkan dua larik cahaya biru untuk

menghantam sosok Lamanyala. Tapi dia masih bisa

bersabar diri. Sambil meraba ke pinggangnya dia

berkata. "Padaku ada selendang biru. Kau boleh ambil

benda ini. Dan kau tidak perlu menyerahkan kalung

sakti itu padaku!" Peri Angsa Putih menarik gulungan

selendang biru panjang yang melilit di pinggangnya.

 "Ah! Hati dan pikiranmu rupanya mulai terbuka!

Tapi harap maafkan diriku wahai Peri Angsa Putih.

Menurut Dewa itu aku tidak boleh menerima apapun

yang berbentuk kain atau pakaian darimu. Berarti kau

harus menyerahkan benda lain pengganti kalung ke-

ramat ini!"

 "Lamanyala! Silat lidahmu hanya menghabiskan

waktuku saja! Jika Utusan Dewa tidak mau menerimapemberianku berupa selendang biru ini, maka harap

dia suka menerima dua bola mataku!" Habis berkata

begitu Peri Angsa Putih kedipkan dia matanya dan

putar kepalanya.

 Begitu mata dikedipkan maka melesatlah dua larik

cahaya biru. Begitu kepala diputar maka cahaya biru

itu bergulung menghantam kobaran api di sekeliling

dan di atas Peri Angsa Putih.

 "Wuussss! Wussss!"

 "Buummm! Bummm!"

 Cahaya biru menyabung menyambar kobaran api.

Dua letusan dahsyat menggoncang tempat itu. Air

sungai memercik sampai setengah tombak. Daun-

daun pohon yang kering berkobar diterjang api. Peri

Angsa Putih menggebrak tunggangannya, berusaha

menerobos kobaran api yang terkuak lebar di sisi

sebelah kanan. Namun baru saja dia berhasil ber-

kelebat keluar, selagi tunggangannya mengapung se-

tinggi satu tombak di udara tiba-tiba satu benda me-

nyala menghantam dari kanan. Ternyata Lamanyala

telah menerjangnya dengan satu serangan dahsyat!

 Mau tak mau Peri Angsa Putih terpaksa selamat-

kan diri dengan melompat turun dari punggung angsa-

nya. Dia tegak berkacak pinggang dengan mata mem-

beliak marah pada makhluk kobaran api di depannya.

 "Peri Angsa Putih. Kau sungguh bodoh. Tidak

mau menerima kalung sakti ini. Berarti aku terpaksa

meminta benda yang aku inginkan itu secara cuma-

cuma dari dirimu!"

 "Makhluk keparat! Aku sudah tahu keculasanmu!

Yang aku belum tahu benda apa yang kau inginkan

dariku!" Membentak Peri Angsa Putih.

 Lamanyala tertawa bergelak. "Aku inginkan Batu

Pembalik Waktu!"

 Kaget Peri Angsa Putih bukan alang kepalang.

"Bagaimana makhluk ini bisa tahu kalau Batu Pembalik

Waktu ada padaku? Mungkin dia berserikat dengan

Peri Sesepuh? Tapi Peri itu sendiri tidak tahu kalau

batu tersebut ada padaku. Atau mungkin aku salah

menduga...."


SEMBILAN


KAU menyebut batu apa?!" tanya Peri Angsa Putih. 

Lamanyala tertawa bergelak. "Kau tidak tuli.Tapi biar 

kuulang sekali lagi. Serahkan padaku Batu Pembalik 

Waktu!"

 "Aku tidak mengerti! Kau meminta sesuatu yang

tidak aku miliki!"

 Kembali Lamanyala tertawa gelak-gelak. Kobaran

api melesat dari dua mata, dua liang telinga dan

mulutnya.

 "Setahuku bangsa Peri tidak pernah berdusta!

Entah dirimu! Ha... ha... ha...!" Lamanyala memasuk-

kan kalung batu biru ke balik pakaiannya.

 "Siapa berdusta!" Bentak Peri Angsa Putih.

 Gelak tawa Lamanyala semakin menjadi-jadi.

"Peri Angsa Putih, dengar ucapanku ini. Wajahmu

cantik, tubuhmu mulus. Aku tidak ingin membuatmu

menjadi seorang peri cacat... Keluarkan cepat batu

sakti itu. Serahkan padaku. Aku akan tinggalkan tem-

pat ini. Kau juga boleh pergi dengan aman...."

 "Makhluk dajal tak tahu diuntung. Geroak di

badanmu rupanya tidak cukup membuatmu ingat diri!

Atau mungkin kau minta sisi tubuh kirimu aku buat

berlobang besar seperti sisi sebelah kanan?!"

 "Peri Angsa Putih. Kau berani mengancam. Aku

jadi tidak ragu-ragu lagi menjatuhkan tangan keras

terhadapmu. Cuma aku masih berbaik hati. Aku tahu

Batu Pembalik Waktu itu ada padamu. Serahkan pada-

ku. Apa sulitnya...."

 Peri Angsa Putih mendengus. "Sekarang aku tahu.

Semua yang kau ucapkan tadi hanya karanganmu

belaka! Kau sebenarnya perampok yang mencoba

berbasa-basi!"

 "Terima kasih atas pujianmu itu! Ha... ha... ha!"

Habis berkata begitu Lamanyala dorongkan dua ta-

ngannya. Dua gelombang angin panas datang me-

nerpa Peri Angsa Putih. Peri ini berteriak keras. Selagi

dia melesat ke udara, dua gelombang api menyusul

menggulung ke arahnya.

 "Makhluk durjana! Kau minta barang bukan milik-

mu! Biar aku memberikan ini padamu!" Peri Angsa

Putih silangkan dua lengannya lalu saling digosokkan

satu sama lain. Begitu kepalanya dianggukkan maka

laksana air bah, melesatlah cahaya biru pekat. Me-

mapas ke arah dua gelombang kobaran api!

"Pukulan Membalik Langit Menggulung Bumil"

teriak Lamanyala. Makhluk kobaran api ini cepat me-

lesat ke udara. Tengkuknya bergidik ketika melihat

bagaimana cahaya biru dengan dahsyatnya meng-

gulung dua gelombang kobaran apinya. Kobaran api

ini kemudian melesat membalik menghantam ke arah

dirinya sendiri!

 "Wussss! Wussss!"

 Untungnya Lamanyala telah lebih dulu melompat

ke udara selamatkan diri. Di belakangnya rumpunan

semak belukar, sebuah batu besar dan dua pohon

langsung tenggelam disapu dua gelombang api, am-

blas hitam menjadi arang!

 Peri Angsa Putih tegak berkacak pinggang. "Kau

masih bisa selamatkan diri. Jangan harap kali kedua

aku menghantam kau bisa lolos dari kematian!"

 "Peri sombong! Jangan kira aku takut padamu!

Makan ini!" teriak Lamanyala. Lalu tangan kanannya

dipukulkan ke arah sang Peri. Tak ada cahaya, tak ada

sinar atau suara. Tapi Peri Angsa Putih tahu satu

serangan dahsyat menghantam ke arahnya. Sambil

kibaskan ujung lengan pakaian putihnya Peri ini cepat

singkirkan diri ke samping kiri.

 "Setttt... wuut! Blass!"

 Batu setinggi pinggang di sebelah sana kelihatan

bergetar sesaat lalu diam lagi. Lamanyala meniup ke

arah batu itu. Batu besar langsung mengepul dan

menebar menjadi debu! Itulah ilmu yang disebut Peng-

hancur Karang Membentuk Debu. Ilmu kesaktian ini

pernah diajarkan Lamanyala pada Hantu Muka Dua

ketika Hantu Muka Dua masih bertapa di satu pulau

karang. (Baca Episode berjudul "Hantu Muka Dua")

 "Aku kagum melihat permainan sulapmu!" kata

Peri Angsa Putih mengejek kehebatan ilmu pukulan

sakti Lamanyala tadi. "Tapi sayang aku bukan anak

kecil yang bisa dibuat gembira dengan ilmu murahan

begitu rupa!"

 Walau hatinya sakit diejek begitu rupa namun

Lamanyala keluarkan suara tertawa "Jika kau tidak

senang dengan ilmu sulapku, kau pasti akan senang

melihat Hantu Api Menari! Peri Angsa Putih, buka

matamu. Lihat baik-baik...!"

 Lamanyala susun dua tangannya di atas kepala.

Ketika perlahan-lahan tangan itu diturunkan, kobaran

api di kepala dan sekujur tubuhnya menjadi menipis.

Sosoknya yang cacat berubah menjadi sosok utuh,

tapi pakaiannya lenyap entah kemana. Hingga di balik

api tipis itu Lamanyala terlihat bertelanjang bulat.

Dengan sepasang mata memandang galak tak ber-

kesip pada Peri Angsa Putih, Lamanyala mulai meng-

gerakkan dua kaki dan sepasang tangannya. Dia benarbenar menari!

 Melihat keadaan tubuh lelaki yang serba bugil

walau tertutup api tipis, Peri Angsa Putih menjadi

merah mukanya.

 "Makhluk kurang ajar! Ilmu iblis apa yang kau

perlihatkan padaku!" bentak sang Peri. Justru disinilah

kesalahan Peri Angsa Putih. Siapa saja yang menyak-

sikan sosok Hantu Api Menari sekali-kali tidak boleh

terpengaruh. Kalau sampai terpengaruh maka hawa

aneh akan merasuk masuk ke dalam tubuhnya dan

dalam alam diluar sadar orang itu akan ikut menari.

Lebih celakanya dia akan membuka pakaiannya satu

persatu agar dapat bersama bugil dengan sang hantu!

 Perlahan-lahan Peri Angsa Putih mulai meng-

gerakkan kaki dan sepasang tangannya menirukan

gerak tari Lamanyala. Sesaat kemudian ketika Lama-

nyala menari mengelilinginya Peri Angsa Putih gerak-

kan dua tangannya membuka ikatan pinggang pakaian

sutera putihnya. Sebagian dada dan perutnya yang

putih mulus tersingkap. Pada saat itu pula sebuah

benda yang sejak tadi disimpannya di balik pinggang,

meluncur jatuh ke tahan. Sepasang mata Lamanyala

yang telah berubah menjadi Hantu Api Menari meng-

awasi. Benda yang jatuh itu ternyata adalah Batu

Pembalik Waktu! Sebaliknya Peri Angsa Putih sendiri

tidak menyadari apa yang terjadi. Dia terus saja menari

lemah gemulai dan kini siap membuka dada pakai-

annya. Hampir tubuh sebelah atas sang Peri tersingkap

lebar tiba-tiba satu hawa dingin menyeruak dan seke-

lompok kabut aneh berwarna kebiru-biruan memenuhi

tempat itu!

 Saat itu juga gerak Hantu Api Menari mendadak

berubah menjadi kaku. Semakin dingin udara semakin

bertahan gerakannya. Pada puncaknya sosok Lama-

nyala hanya bisa tertegun. Sementara itu Peri Angsa

Putih yang kembali pulih kesadarannya terpekik keras.

Cepat-cepat dia menutup dadanya yang hampir ter-

singkap lalu mengikat pinggang pakaiannya kembali.

Tidak menunggu lebih lama Peri ini melompat ke

depan, kirimkan dua pukulan keras ke kepala dan dada

Lamanyala.

 Lamanyala mencelat dua tombak. Terguling di

tanah lalu wusss! Sosok Lamanyala kembali ke ujud-

nya semula. Kobaran api besar kembali terlihat mem-

bungkus tubuhnya. Dari mulutnya ada darah me-

ngucur. Pipi kiri makhluk ini di bekas yang terkena

jotosan Peri Angsa Putih kelihatan menggembung

biru. Dua tulang iganya sebelah kiri patah remuk!

 "Peri jahanam! Kau tak bakai selamat dari tanganku!" 

teriak Lamanyala marah. Dia menggebrak ke depan 

melompati lawan. Selagi Peri Angsa Putih bertindak mundur tiba-tiba Lamanyala berbalik dan mem-

bungkuk. Apa yang dilakukannya? Tidak lain me-

nyambar Batu Pembalik Waktu yang tadi jatuh dari

balik pakaian Peri Angsa Putih. Namun belum sempat

dia menyentuh batu sakti itu, tiba-tiba satu tangan

aneh dingin mencekal pergelangan tangan kanannya

yang hendak mengambil batu. Seperti diketahui se-

kujur tubuh Lamanyala termasuk lengannya diselu-

bungi api. Jangankan dipegang, berada dekat saja

orang lain pasti sudah kepanasan. Namun nyatanya

tangan yang mencekalnya itu tidak cidera. Dengan

kertakkan rahang dan mata melotot Lamanyala ulurkan

tangan kiri untuk mengambil Batu Pembalik Waktu.

Tapi lagi-lagi sebelum dia sempat menyentuh tiba-tiba

tangan kanannya dibetot keras. Sesaat kemudian

tubuhnya mencelat jungkir balik di udara.

 Satu tangan kurus mengambil Batu Pembalik

Waktu yang tergeletak di tanah. Lalu terdengar suara

orang berseru.

 "Peri Angsa Putih! Cepat kau simpan benda itu

baik-baik!"

 Belum habis kata-kata itu terucap, Peri Angsa

Putih melihat batu tujuh warna melesat ke arahnya.

Dengan cepat dia segera menyambuti. Batu Pembalik

Waktu kini kembali berada di tangan Peri Angsa Putih.

Sebenarnya saat itu dia bisa segera meninggalkan

tempat itu namun sang Peri yang merasa menerima

budi orang tidak mau berlaku begitu.

 Sebagai makhluk berkepandaian tinggi walau di-

lempar ke udara dan terbanting ke tanah seharusnya

Lamanyala masih sanggup jatuh dengan dua kaki

menjejak tanah lebih dulu. Tapi anehnya saat itu dia

tidak mampu berbuat begitu. Persendian tangan dan

kakinya laksana kaku. Dia terkapar tertelungkup di

tanah. Dadanya serasa remuk. Dengan pandangan

mata keliangan, rahang menggembung dia meman-

dang beringas ke depan. Dia melihat satu kepala

hampir menyentuh tanah. Dia tak bisa jelas melihat

wajah orang itu karena tertutup janggut, kumis dan

rambut putih. Lamanyala kerahkan seluruh tenaga

dalamnya hingga kobaran api di kepala dan sekujur

tubuhnya mengeluarkan suara berdesir-desir.

 "Makhluk aneh! Mengapa kepalanya ada di bawah!

Jangan-jangan dia adalah..." Lamanyala merutuk

dalam herannya. Perlahan-lahan dia berusaha bangkit

berdiri. Saat itulah meledak tawa berkekehan!

 Memandang ke depan Lamanyala terkesiap kaget

melihat seorang kakek yang berdiri kaki ke atas kepala

ke bawah. Dua tangannya dipergunakan sebagai kaki.

 "Lasedayu. Hantu Langit Terjungkir! Benar dia

rupanya!" Lamanyala menyebut nama itu sampai lidahapinya bergetar saking geramnya.

 "Makhluk api Lamanyala! Kau beruntung. Rupanya ada 

orang yang menolongmu keluar dari kubangan busuk! 

Ha... ha... ha! Kita bertemu lagi! Hari ini hari

penentuan! Kau atau aku yang bakal mampus!"

 "Kakek Hantu Langit Terjungkir! Harap kau jangan

mencampuri urusan kami!" Berseru Peri Angsa Putih.

 "Peri cantik. Dosa makhluk api ini atas diriku

setinggi langit sedalam lautan! Jadi biar aku yang

memberi pelajaran padanya!" kata makhlukyang barusan 

muncul dan bukan lain memang Hantu Langit

Terjungkir alias Lasedayu.

 Kalau tidak merasa segan terhadap Hantu Langit

Terjungkir mungkin saat itu Peri Angsa Putih tidak

perdulikan ucapan si kakek dan terus saja menyerang

Lamanyala. Walau demikian Peri Angsa Putih segera

loloskan selendang birunya. Bagaimanapun juga dia

tidak ingin Lamanyala lolos dari tangannya.

 "Makhluk salah kaprah!" hardik Lamanyala. "Kau

hanya bisa menghitung dosa orang! Dosamu sendiri

berserabutan! Tidak heran kalau kutuk menyengsarai

dirimu! Hari ini biar deritamu kuhabisi bersama nyawamu!"

 Hantu Langit Terjungkir tertawa gelak-gelak.

"Ujudmu lebih buruk dari setan alas. Tapi kesom-

bonganmu lebih tinggi dari Gunung Latinggimeru!

Sungguh kau makhluk tak tahu diri! Setelah menyik-

saku dengan kutukanmu, kini kau inginkan nyawaku!

Ha... ha... ha! Kau terlambat bertindak Lamanyala! Hari

ini kau yang lebih dulu mendapat kesempatan me-

nemui para kerabatmu di alam roh! Ha... ha... ha!"

 "Makhluk salah ujud! Makhluk semacammu tidak

pantas hidup di Negeri Latanahsilam ini! Kebetulan

kau datang mencari mati!" kertak Lamanyala lalu dida-

hului dengan melancarkan satu pukulan tangan ko-

song, dia berkelebat melompati Hantu Langit Ter

jungkir.

 Satu gelombang api menyambar ke arah si kakek.

Selagi Hantu Langit Terjungkir berusaha menghindar,

Lamanyala kirim tendangan ganas ke tempat ber-

bahaya di bawah perut lawan!

 Dua kaki Hantu Langit Terjungkir membuat gerakan 

bersilang. Kabut kebiruan menebar. Lalu bukkk!

 Kekuatan hawa dingin saling bentrokan dengan

hawa panas lewat beradunya dua kaki.

 "Cessss!"

 Hantu Langit Terjungkir terbalik tunggang langgang.

 Lamanyala sendiri terpental jauh. Ketika dia bangkit 

berdiri tubuhnya tampak miring. Kaki kanannya

yang tadi beradu dengan kaki lawan kini tidak di kobari

api lagi dan kelihatan bengkok hitam kebiruan. Lama-

nyala tidak bisa mempercayai bagaimana musuh yangtelah kehilangan seluruh ilmu kesaktiannya dan seng-

sara berpuluh tahun dalam kutukannya ternyata masih

memiliki ilmu kesaktian yang bisa membuat dirinya

cidera begitu rupa! Sudah dua kali sebelum ini dia

dipecundangi! Sekali ini dia harus bisa melumat meng-

habisi musuh besarnya ini!

 Lamanyala membentak keras. Dua tangannya di-

gerakkan. Dua larik kobaran api bergulung di seputar

tubuh Hantu Langit Terjungkir. Sekali lagi Lamanyala

menggerakkan dua tangan. Seperti tadi waktu dia

berhadapan dengan Peri Angsa Putih, kali ini kembali

Lamanyala menutup gerak lawan dengan membuat

kobaran api di atas kaki Hantu Langit Terjungkir.

 "Ha... ha...! Permainan apa yang hendak kau per-

lihatkan padaku Lamanyala!" berseru Hantu Langit

Terjungkir.

 Lamanyala kertakkan rahang. Dia membatin. "Aku

harus memasukkan hawa sakti penyedot kekuatan

dalam kobaran apiku. Kalau tidak pasti dia masih akan

bisa menembus ilmu kesaktianku!" Diam-diam lalu

Lamanyala merapal satu aji kesaktian yang selama ini

jarang dipergunakannya karena belum sempurna di-

kuasainya. Setelah merapal sambil menyeringai dia

kembali menggerakkan dua tangannya. Kali ini gerak-

an tangan itu bukan cuma menghantam lurus ke depan,

tapi diputar demikian rupa sehingga dua gelombang

api yang menyerbu Hantu Langit Terjungkir seperti

dua buah mata bor raksasa, menderu ganas ke arah

lawan. Yang dituju adalah dua tangan Hantu Langit

Terjungkir yang berada di sebelah bawah diperguna-

kan sebagai kaki.

 Hantu Langit Terjungkir berseru kaget ketika meli-

hat bagaimana tanah dekat dua tangannya berubah

menjadi lobang-lobang besar, terbongkar oleh serang-

an dua larik kobaran api. Kakek ini cepat mengapung

naik. Namun gerakannya tertahan karena di sebelah

atas telah menunggu pula dinding kobaran api dan

secara perlahan-lahan kobaran api ini turun ke bawah.

Sementara kobaran api yang bergulung mengelilingi-

nya bergerak menciut!

 "Kurang ajar! Makhluk jahanam itu hendak me-

manggang tubuhku!" kertak Hantu Langit Terjungkir.

Dia kerahkan tenaga dalamnya yang kini berpusat di

kening. Dengan cepat dia alirkan tenaga dalam me-

ngandung hawa sakti dingin ke sekujur tubuhnya. Lalu

dua kakinya digerakkan seperti sepasang mata gunting. 

Dua larik cahaya kebiruan menggebubu menutupi

tubuhnya. Dengan bertameng kabut sakti dingin ini

Hantu Langit Terjungkir kemudian melesat ke udara.

Tapi dia jadi kaget ketika tubuhnya mendadak terpental

ke bawah, dua kakinya cidera kemerahan dijilat api!"Celaka! Bagaimana mungkin aku tidak sanggup

menembus kobaran api itu!" Si kakek menggeser

tubuhnya ke kanan. Kembali dia kerahkan tenaga

dalam dan kerahkan kabut biru melindungi tubuhnya

lalu dia coba menerobos ke sisi kanan.

 "Cesss!"

 Bahu Hantu Langit Terjungkir berubah merah

disambar kobaran api. Lamanyala tertawa bergelak.

Merasa sudah bisa menguasai lawan, maka makhluk

api ini memutuskan untuk segera menghabisi. Tangan

kanannya perlahan-lahan diangkat ke atas. Di dalam

kobaran api Hantu Langit Terjungkir menyumpah-

nyumpah habis-habisan.

 "Jahanam! Biar aku mengadu jiwa dengan bangsat

itu!" Hantu Langit Terjungkir kerahkan seluruh tenaga

dalamnya sampai sekujur tubuhnya mengeluarkan ca-

haya kebiruan. Bahkan hawa yang membersit dari hi-

dung dan mulutnyapun tampak berwarna biru. Tubuhnya

bergerak naik, mengapung demikian rupa hingga tampak

melayang sama rata, satu jengkal di atas tanah. Di dahului

bentakan keras kakek ini kemudian pukulkan dua tangan

dan hentakkan dua kakinya.

 Di saat bersamaan Lamanyala sabetkan tangan

kanannya ke bawah.

 Dua kilatan cahaya biru bersabung dengan dua

kiblatan nyala api merah. Untuk kesekian kalinya tem-

pat itu digoncang dentuman keras. Hantu Langit Ter-

jungkir terguling-guling beberapa kali lalu terhantar

dekat pohon hangus. Tubuhnya kelihatan merah dan

kulitnya mengelupas di beberapa bagian. Peri Angsa

Putih tercekat kaget, cepat berlari menghampiri kakek

ini. Tapi Lamanyala datang menghadang. Padahal

keadaan makhluk api ini saat itu mengerikan luar biasa.

Keningnya sebelah kiri kelihatan berlubang. Darah

mengucur tiada henti. Ususnya merorot keluar lewat

lobang di sisi kanannya. Kalau tidak terkait pada

patahan salah satu tulang iganya, usus ini pasti akan

jebol menjela sampai ke tanah.

 "Batu Pembalik Waktu.... Lekas serahkan padaku...!" 

Suara Lamanyala berubah serak dan sember. Kobaran 

api yang biasanya menyembur keluar setiap dia bicara 

kini hanya bergulung-gulung di dalam mulutnya.

 Untuk sesaat Peri Angsa Putih tertegun tak ber-

gerak saking ngerinya melihat keadaan makhluk api

bernama Lamanyala itu. Kelengahan sang Peri tidak

disia-siakan oleh Lamanyala. Tadi dia sempat melihat

dimana Peri Angsa Putih menyembunyikan Batu Pem-

balik Waktu. Maka dengan satu gerakan kilat tangan

kanannya menyambar ke pinggang.

 "Brettt!"

 Pakaian Peri Angsa Putih robek di bagian pinggang. Batu berwarna tujuh menyembul di atas perut-

nya yang putih. Peri Angsa Putih terpekik. Baru sadar

apa yang terjadi dan dilakukan orang terhadapnya.

Dia cepat menghantam ke depan tapi terlambat. Batu

Pembalik Waktu telah berada dalam genggaman Lama-

nyala. Begitu dapatkan batu sakti tersebut tanpa me-

nunggu lebih lama Lamanyala segera putar tubuh,

siap berkelebat kabur. Pada saat itulah tiba-tiba ada

suara perempuan menggerung keras.

 "Lasedayu suamiku! Siapa yang berani mencelakai 

dirimu!"

 Satu bayangan kuning berkelebat. Satu tendangan 

keras melabrak dada Lamanyala hingga tubuhnya

mencelat mental sampai tiga tombak dan Batu Pem-

balik Waktu yang ada dalam genggaman tangan ka-

nannya terlempar ke udara lalu jatuh ke tanah. Peri

Angsa Putih cepat memburu, gulingkan dirinya di

tanah dan menyambar batu sakti itu dengan cepat.

Dengan cepat pula benda itu disisipkannya ke balik

pinggang pakaian. Ketika dia bangkit berdiri, terkejutlah 

sang Peri. Beberapa langkah di hadapannya tegak

Pendekar 212 Wiro Sableng. Menatap ke arahnya.

 "Wahai.... Apakah dia tahu... apakah tadi dia sempat 

melihat Batu Pembalik Waktu itu...?" pikir Peri

Angsa Putih. Sang Peri tidak tahu mau berkata atau

berbuat apa. Dia berpaling ke kiri. Di situ terkapar

sosok Lamanyala, megap-megap seperti mau sakarat.

Menoleh ke sebelah kanan dia melihat seorang nenek

berjubah kuning duduk bersimpuh di tanah, terisak-

isak menahan tangis sambil memangku sosok Hantu

Langit Terjungkir.

 Pandangan Peri Angsa Putih kembali pada Wiro.

Untuk sesaat lamanya dua orang ini saling menatap

tanpa ada kata yang terucap. Kemudian Wiro bergerak.

Peri Angsa Putih mengira sang pendekar hendak

mendatanginya. Ternyata Wiro mendekati sosok ne-

nek berjubah kuning. Dalam kecewa Peri Angsa Putih

merasa lega. "Dia tidak mendatangiku. Dia tidak me-

ngatakan apa-apa. Berarti dia tidak melihat. Dia tidak

tahu kalau Batu Pembalik Waktu ada padaku...."


SEPULUH


LUHPINGITAN alias Hantu Selaksa Kentut terduduk 

memeluk dan menangisi sosok Hantu Langit Terjungkir 

yang diletakkannya di atas pangkuannya. Beberapa 

bagian kulit tubuh kakek ini tampak terkelupas merah. 

Saat itu Naga Kuning, Setan Ngompol dan Betina Bercula 

yang mengikuti perjalanan Wiro telah sampai pula di 

tempat itu. Mereka tidak tahu mau berbuat apa. Lebih-

lebih ketika melihat Peri Angsa Putih. Sejak peristiwa Peri 

Angsa Putih menganiaya Lakasipo tempo hari, ke tiga 

orang itu tidak lagi menaruh hormat pada sang Peri. 

(Baca Episode berjudul "Rahasia Perkawinan Wiro") 

Akhirnya mereka bergerak mendekati nenek muka kuning

yang tengah meratap.

 "Puluhan tahun aku hidup tersiksa dan kau men-

derita. Puluhan tahun kita berpisah. Kini setelah ber-

temu dirimu hanya tinggal jazad tak bernafas lagi.

Lasedayu, buka matamu, bicaralah.... Berucaplah

walau hanya barang sepatah. Lasedayu kalau kau tak

bisa bersuara senyumpun jadilah. Lasedayu suamiku,

mengapa buruk nian nasib peruntungan kita. Empat

orang anak kita lenyap tak diketahui di mana rimbanya.

Kalau masih hidup berada di mana. Kalau memang

sudah meninggal dimana kuburnya. Kini aku juga

kehilangan dirimu selama-lamanya...."

 Wiro tegak terdiam sambil sesekali menggaruk

kepala. Setan Ngompol tertunduk menahan kencing.

Betina Bercula usap matanya yang berkaca-kaca. Se-

dang Naga Kuning sesekali melirik memperhatikan

Peri Angsa Putih yang kini jadi dibencinya itu.

 "Nenek, biar aku memeriksa kakek itu. Mungkin

masih bisa ditolong..." Wiro berkata seraya berjongkok

di samping Hantu Selaksa Angin.

 "Mau ditolong bagaimana lagi? Jangankan kau.

Para Dewapun tidak mungkin mengembalikan nyawa-

nya!" menjawab si nenek lalu meratap tambah keras.

 Wiro pegang bahu Hantu Selaksa Angin dan ber-

kata. "Kalau dia memang sudah mati, memang tidak

siapapun tidak bisa menolongnya. Tapi aku melihat

masih ada denyut halus pada urat nadi di lehernya.

Lagi pula apa kau lupa pada Gusti Allah Nek...?"

 Si nenek sesaat hentikan tangisnya. Dengan mata

basah dia berpaling pada Pendekar 212. "Gusti Allah

temanmu itu, apakah dia bisa menolong suamiku ini?"

 Wiro tersenyum. "Gusti Allah bukan temanku Nek.Dia adalah Junjungan kita. Satu-satunya tempat kita

meminta tolong. Karena dia Maha Pengasih Maha

Penyayang dan Maha Kuasa...."

 Hantu Selaksa Angin usap matanya yang basah.

"Kalau begitu kau minta tolonglah padaNya. Hidupkan

suamiku ini. Biar kami bisa menghabiskan sisa hidup

di hari tua ini bersama-sama.... Mudah-mudahan dia

memang belum mati...."

 Nenek muka kuning itu hendak beringsut dan

membaringkan Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir di 

tanah agar Wiro bisa memeriksanya. Namun sebelum hal 

itu sempat dilakukannya tiba-tiba ada suara berucap.

 "Kalian tolol semua! Siapa bilang aku sudah mati!"

 Hantu Selaksa Angin tersentak kaget. Dia sampai

tersurut ke belakang hingga tubuh Hantu Langit Ter-

jungkir terguling ke tanah. Memandangi wajah kakek

itu si nenek melihat mata kiri Hantu Langit Terjungkir

terbuka sedikit

 "Wahai! Dia memang masih hidup. Tapi mengapa

hanya satu matanya saja yang terbuka?!" Si nenek

kembali terisak.

 Mata kiri Hantu Langit Terjungkir yang terbuka itu

mengedip tiga kali. Si nenek kembali terkejut

 "Wahai! Kalau kau sudah mati jangan rohmu

mempermainkan diriku Lasedayu!"

 "Siapa yang sudah mati?!"

 Tiba-tiba sosok Lasedayu bergerak bangkit lalu

duduk di tanah! Betina Bercula terpekik dan melang-

kah mundur. Hantu Selaksa Angin sendiri beringsut

menjauh dengan mata pucat. Naga Kuning menyelinap

ke belakang karena dia juga mengira si kakek tadinya

sudah menemui ajal. Setan Ngompol mendelik mem-

perhatikan sambil pegangi bagian bawah perutnya.

Dari jauh Peri Angsa Putih diam-diam juga mem-

perhatikan semua yang terjadi dengan perasaan heran.

 "Lasedayu, suamiku. Kau ini benar-benar masih

hidup atau bagaimana? Jangan berani mempermain-

kan diriku! Sudah cukup aku puluhan tahun menderita

sengsara. Jangan berani berlaku kurang ajar...."

 Hantu Langit Terjungkir berpaling dan menatap

si nenek sejurus. "Nenek muka kuning," katanya. "Kita

pernah berjumpa beberapa kali. Terakhir sekali kau

menolong tanganku yang patah. Walau kita mungkin

bersahabat tapi jarang bicara yang bukan-bukan. Jangan 

berani mengada-ada. Apalagi memanggil diriku suami!"

 "Kek, biar aku menerangkan..." kata Wiro.

 Hantu Langit Terjungkir kini berpaling pada Pen-

dekar 212. "Hemm.... Kau pasti orangnya. Aku sudah

tahu perangaimu yang suka bergurau dan bercanda.

Tapi jangan keterlaluan anak muda! Kau pasti yang

menjadi biang keladi semua ini...."Wiro menggaruk kepala. "Kek, ingat saat sehabis

nenek ini menolong tanganmu dan kau bercakap-

cakap dengan Si Penolong Budiman di tepi telaga?"

 "Aku setengah-setengah ingat," jawab Hantu

Langit Terjungkir. "Memangnya ada apa kau bertanya

begitu?"

 "Menurut apa yang didengar nenek ini, waktu itu

kau berkata pada Si Penolong Budiman. Kau bersedia

kawin dengannya. Ayo, kau pasti ingat. Jangan berani

berdusta."

 Hantu Langit Terjungkir memandang pada Hantu

Selaksa Angin. "Aku tidak ingat, tapi mungkin saja

saat itu aku memang bicara begitu. Karena... karena

dia berbuat baik menolong tanganku yang patah. Lagi

pula sudah puluhan tahun aku hidup menyendiri. Tapi

aku tidak mengerti. Kalian semua tahu, aku masih

belum kawin dengannya. Mengapa dia berani-beranian

menyebut diriku suaminya?!"

 Wiro tertawa. "Coba kau lihat wajahnya baik-baik,

Kek. Apa kau tidak ingat siapa dirinya?"

 Hantu Langit Terjungkir ikuti apa yang dikatakan

Wiro. Setelah menatap beberapa jurus lamanya kakek

ini berkata. "Aku memang mengenalinya. Dia nenek

muka kuning yang menolong diriku...."

 "Maksudku bukan itu Kek. Maksudku apakah

wajahnya mengingatkanmu pada wajah seseorang di

masa puluhan tahun silam? Maksudku ketika kau

masih muda?"

 "Sulit aku mengingat...."

 Hantu Selaksa Angin hampir terpancar kentutnya.

Sambil menahan diri nenek ini bertanya. "Waktu di

telaga kau berkata pada Si Penolong Budiman bahwa

kau kawin dengan aku. Apakah saat ini perasaan itu

masih ada dalam hatimu...."

 "Aku.... Aku tahu kau nenek baik. Aku menanam

budi padamu. Tapi...."

 Wajah nenek muka kuning itu mendadak jadi

muram. Dia berpaling pada Wiro. Wiro lantas berkata.

"Terlalu banyak orang di sini. Mungkin kakek ini malu

mengatakan bahwa dia memang suka padamu...."

 "Kalau suka saja tak ada artinya. Yang aku ingin-

kan adalah kawin. Juga dia sendiri dulu yang jelas-jelas

kudengar berkata mau kawin denganku!" si nenek

merajuk.

 Mendengar ucapan si nenek itu Naga Kuning dan

Betina Bercula jadi tersenyum geli.

 Wiro tertawa lebar. Dia memandang pada si kakek

lalu berkata. "Kek, apa ikan asap atau ikan pindang

mengingatkan kau pada seseorang?"

 Wajah tua Hantu Langit Terjungkir langsung ber-

ubah. Kakek ini usap janggutnya berulang kali danbasahi bibirnya dengan ujung lidah. "Kau membuat

air liurku keluar. Itu makanan kesayanganku sejak

muda. Tapi sudah puluhan tahun aku tak pernah

mencicipinya...."

 Nenek muka kuning memegang lengan Wiro dan

berbisik. "Kau dengar sendiri. Dia hanya ingat pada

ikannya. Bukan padaku...."

 "Kek, kalau kau memang suka ikan pindang atau

ikan asap, apa kau masih ingat siapa yang paling

pandai memasakkannya untukmu?"

 "Tentu saja istriku! Tapi dia entah dimana seka-

rang. Puluhan tahun kami berpisah. Juga empat orang

anakku..."

 Mendengar ucapan si kakek Hantu Selaksa Angin

jadi sesenggukan menahan tangis. Wiro pegang bahu

nenek ini dan goyangkan kepalanya memberi isyarat.

Si nenek ambil kantong perbekalannya. Dari kantong

ini dia keluarkan satu bungkusan daun pisang dan

diletakkannya di atas pangkuannya. Dengan tangan

gemetaran Hantu Selaksa Angin buka bungkusan

daun pisang itu. Hantu Langit Terjungkir memperhati-

kan dengan mata tak berkesip dan hidungnya mem-

baui sesuatu hingga tampak kembang kempis meng-

endus-endus.

 Ketika bungkusan daun pisang akhirnya terbuka,

Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara tertahan.

Tubuhnya seperti didorong ke belakang. Saat itu dia

masih terduduk di tanah. Matanya berkilat-kilat. Lidah-

nya terjulur tak berkeputusan. Tangannya serta merta

diulurkan hendak mengambil salah satu dari dua po-

tong ikan asap berbumbu cabai hijau yang ada di atas

daun itu. Tapi tiba-tiba dia tarik pulang tangannya

kembali. Dia memandang pada Hantu Selaksa Angin.

 "Apakah kau yang membuat ikan asap ini Nek?"

tanya Hantu Langit Terjungkir.

 Si nenek menjawab dengan anggukkan kepala.

Dua matanya kembali basah oleh air mata.

 "Kau membawa dua potong ikan itu, untuk

siapa...?" kembali Hantu Langit Terjungkir bertanya.

 "Untuk kau, suamiku...."

 "Lagi-lagi kau menyebut diriku suamimu. Siapa-

kah kau sebenarnya nenek muka kuning?"

 "Aku Luhpingitan. Apa kau tidak ingat lagi padaku?" 

jawab Hantu Selaksa Angin dengan suara bergetar dan

tak kuat menahan tangis.

 Sosok Hantu Langit Terjungkir meleset satu tombak ke 

udara lalu turun kaki ke atas kepala ke bawah.

 "Jangan kau berani menyebut nama itu. Jangan

kau berani mengada-ada. Kau tahu! Luhpingitan ada-

lah nama orang yang pernah menjadi istriku!"

 "Aku memang Luhpingitan, istrimu yang terpisahselama puluhan tahun!"

 "Kau!" Hantu Selaksa Angin menatap lekat-lekat

pada si nenek. Lalu dia memandang pada Wiro. Sesaat

kemudian meledaklah tawanya. "Wiro, kau benar

benar hebat! Pandai sekali mengatur semua ini...."

 "Kek, tidak ada yang mengatur. Nenek ini memang

Luhpingitan. Orang yang pernah menjadi istrimu. Dan

sampai sekarang tetap menjadi istrimu...."

 "Tidak mungkin, wajah dan kulit istriku tidak

kuning seperti dia...."

 "Lasedayu suamiku. Sejak kita terpisah puluhan

tahun silam, banyak hal telah terjadi dengan diriku.

Suaraku berubah. Ingatanku hilang. Aku senang pada

warna kuning hingga setiap saat aku selalu melumuri

wajah dan tubuhku dengan sejenis cairan. Jika kau

bersedia menunggu, di dekat sini ada satu danau kecil.

Aku akan membersihkan diri di sana untuk melun-

turkan lapisan kuning di muka dan tubuhku ini. Nanti

akan kau lihat sendiri wajahku. Akan kau saksikan

apakah aku ini benar Luhpingitan atau bukan...."

 Hantu Langit Terjungkir jadi ternganga mendengar kata-

kata si nenek. Dia masih terpana ketika Hantu Selaksa 

Angin bangkit berdiri lalu meninggalkan tempat itu. Ketika 

dia sadar, kakek ini segera hendak mengikuti.

 Tapi pinggang celananya cepat dipegang Naga

Kuning. "Dilarang mengintai perempuan mandi Kek,

termasuk mengintai nenek-nenek!"

 "Anak lancang! Mengapa aku tidak boleh mengintai 

istriku sendiri?!" menyahuti Hantu Langit Terjungkir.

 "Hik... hik!" Betina Bercula tertawa geli. "Kau

sendiri tadi belum yakin apa nenek itu benar-benar

istrimu. Jadi kau harus menunggu dulu di sini...."

 "Harap bersabar sobat," kata Setan Ngompol pula.

"Nenek itu mandi tidak akan lama. Paling-paling satu

hari satu malam!"

 "Kalian gila semua!" maki Hantu Langit Terjungkir.

Lalu kakek ini melesat ke atas melewati orang-orang

yang mengelilinginya.

 "Hai! Dia hendak menuju ke danau!" teriak Betina

Bercula.

 "Sudah tidak sabaran dia rupanya!" kata Naga

Kuning pula.

 Semua orang yang ada di tempat itu segera me-

ngejar karena ingin tahu apa yang hendak dilakukan

Hantu Langit Terjungkir.

 Ketika si kakek sampai di tepi danau, Hantu Selaksa 

Angin baru saja hendak keluar dari danau. Saat itu air 

masih setinggi dadanya. Mukanya yang sebelumnya 

kuning kini kelihatan bersih memperlihatkan wajah aslinya.

 Hantu Langit Terjungkir terkesiap begitu dia melihat 

wajah si nenek. "Demi Para Dewa!" katanya dengansuara gemetar.

 "Kek, apa nenek dalam danau itu memang Luh-

pingitan, perempuan yang pernah menjadi istrimu?"

Betina Bercula bertanya.

 Lama Hantu Langit Terjungkir tak bisa menjawab

saking terkesimanya. Sesaat kemudian meluncur

ucapannya dengan suara bergetar.

 "Walau wajahnya kini sudah begitu tua. Tapi aku

masih bisa mengenali. Dia benar Luhpingitan. Istriku!

Ibu dari anak-anakku!" Hantu Langit Terjungkir lantas

lari memasuki danau, mencebur ke dalam air sambil

tiada berhentinya berteriak. "Luhpingitan! Luhpingitan!"

 Di dalam air Luhpingitan hentikan langkahnya

menuju tepian danau. Wajahnya tersenyum walau air

mata kembali membasahi pipinya. Perempuan tua ini

mengembangkan dua tangannya ketika Lasedayu

mendatanginya. Keduanya lalu saling berangkulan

dalam air, sama-sama bertangisan.

 Betina Bercula jadi ikut-ikutan menangis dan

cepat-cepat mengusut air matanya sebelum ketahuan

yang lain-lain. Wiro menarik nafas lega. Dia berkata

pada Naga Kuning, Setan Ngompol dan Betina Bercula.

"Ayo kita tinggalkan tempat ini. Biarkan sepasang

kakek nenek itu melepas kerinduan hati mereka setelah

puluhan tahun berpisah...."

 "Betapa bahagianya mereka..." kata Betina Bercula lalu 

menarik nafas lega.

 "Apakah kau inginkan kebahagiaan seperti itu?" Naga 

Kuning bertanya.

 "Anak setan! Kau pasti mau menggoda diriku!" kata 

Betina Bercula sambil delikkan mata.

 "Aku cuma bertanya," jawab Naga Kuning. "Kalau

kau memang ingin merasakan bahagia seperti dia,

turun saja ke danau. Kakek Setan Ngompol pasti mau

menemanimu! Apalagi dia sudah seminggu tidak pernah 

mandi! Hik... hik... hik!"

 "Anak sambal! Ucapanmu selalu tidak karuan!"

mengomel Setan Ngompol. "Kau mau aku peperi lagi

mukamu dengan air kencing?!"

 Mendengar ancaman si kakek Naga Kuning cepat

menjauhkan diri, melangkah cepat-cepat. Tiba-tiba

anak ini hentikan langkahnya. Dia memandang berkeliling.

 "Aku tidak melihat Peri Angsa Putih! Kemana

perginya Peri itu?" berucap Naga Kuning.

 "Pasti dia pergi ketika kita menuju danau tadi!"

berkata Betina Bercula.

 "Makhluk api Lamanyala juga tak ada lagi di tempat

ini!" kata Setan Ngompol.

 "Walah! Jangan-jangan dua makhluk itu sudah

mencari danau lain untuk bermesraan!" menimpali

Betina Bercula lalu tertawa cekikikan.Tiba-tiba satu benda putih melesat rendah di atas

rombongan orang-orang itu. Satu cahaya biru ber-

kelebat. Naga Kuning dan Betina Bercula berseru

kaget. Si Setan Ngompol langsung terkencing. Benda

biru itu ternyata menyambar ke arah Pendekar 212

Wiro Sableng. Sebelum murid Sinto Gendeng ini sem-

pat merunduk, ujung benda biru telah menerpa urat

besar di leher kirinya. Langsung Wiro menjadi kaku,

tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Ternyata bukan

itu saja yang terjadi. Di udara benda putih tadi bergerak

berbalik. Bersamaan dengan itu benda biru ikut ber-

gulung ke bawah, membuntal tubuh Wiro. Di udara

terdengar suara menguik panjang. Di lain saat sosok

Wiro terangkat ke atas dan lenyap dilangit tinggi.

 "Angsa putih! Yang melesat itu angsa putih!"

berteriak Si Setan Ngompol.

 "Peri Angsa Putih melarikan Wiro!" Betina Bercula

ikut berseru.

 "Astaga! Mengapa Peri itu berbuat begitu?!" ujar

Naga Kuning sambil kepalkan tinjunya.

 Ketiga orang itu hendak mengejar. Tapi tidak tahu

mau mengejar kemana.


SEBELAS


KETIKA sang surya muncul di ufuk timur menerangi 

jagat, segala sesuatunya terlihat indah mulai dari lembah 

sampai ke puncak bukit di kejauhan. Namun semua 

keindahan itu seolah tidak tertangkap oleh sepasang mata 

biru bagus Peri Angsa Putih. Dia duduk di depan mulut 

goa kecil, merenung gundah. Hati dan pikirannya 

bergalau kacau. Sejak malam tadi boleh dikatakan dia 

tidak memicingkan mata sekejappun. Dia juga tidak berani 

masuk ke dalam goa dimana terbaring sosok Pendekar 

212 Wiro Sableng, masih dalam keadaan kaku. Tak bisa 

bersuara tak dapat bergerak.

 Berkali-kali Peri Angsa Putih menarik nafas dalam.

Rasa bingung membuat dia tidak dapat mengambil

keputusan. Matanya memandang ke arah puncak bukit

di kejauhan. Di balik kerapatan pepohonan, samar-

samar tampak satu bangunan putih kecil yang atapnya

berbentuk rembulan setangan lingkaran. Itulah Puri

Kebahagiaan, tempat dimana Peri Bunda mengasingkan 

diri dan dikabarkan berada dalam keadaan hamil akibat 

hubungan gelapnya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.

 Sampai sore kemarin tekadnya begitu kiat untuk

membawa Wiro ke Puri Kebahagiaan guna meminta

pertanggungan jawab pemuda itu atas apa yang telah

dilakukannya terhadap Peri Bunda. Namun menjelang

akan sampai ke Puri Kebahagiaan mendadak hatinya

mulai kacau. Bagaimana mungkin dia akan menyerah-

kan Wiro padahal dia menyadari betapa dia sangat

mencintai pemuda itu?! Di dalam hati sanubari sang

Peri terjadi semacam peperangan. Kalau dia tidak

membawa Wiro ke Puri Kebahagiaan, maka dia akan

dituduh melakukan kesalahan besar. Melanggar perintah. 

Apalagi sebelumnya dia sempat bertemu dengan Peri 

Sesepuh. Sebaliknya jika dia meneruskan membawa 

Wiro, maka mungkin dia akan kehilangan pemuda itu 

untuk selama-lamanya.

 Dalam kekacauan pikiran begitu rupa, ada sekelumit 

bisikan agar dia menyerahkan saja Batu Pembalik

Waktu pada Wiro. Hingga memungkinkan pemuda itu

selamat dari tuntutan dan kembali ke Tanah Jawa

bersama teman-temannya. Tetapi itu sama juga. Berarti 

dia tetap akan kehilangan orang yang dikasihinya itu.

 Ketika sinar matahari mulai terasa menyengat

kulitnya yang halus, Peri Angsa Putih baru menyadari

bahwa dia tidak mungkin duduk merenung terus didepan goa itu. Apapun yang akan terjadi dia harus

melakukan sesuatu. Setelah memejamkan mata dan

berdoa agar para Dewa meneguhkan hatinya, Peri

Angsa Putih akhirnya masuk ke dalam goa.

 Di dalam goa ternyata dia tidak bisa bertindak

cepat. Beberapa lamanya dia hanya berdiri tegak mem-

belakangi Wiro yang terbaring di lantai. Hatinya kombali 

bimbang.

 "Betapapun terkadang kebencian menyelinap di

hati ini terhadapnya, tapi aku harus mengakui aku

sangat mencintainya. Aku sangat takut kehilangan

dirinya. Kalau saja aku ini tidak dilahirkan sebagai

Peri, mungkin labih mudah bagiku untuk mengambil

keputusan sesuai dengan suara hatiku. Sesuai dengan

rasa cinta kasihku terhadapnya...."

 Perlahan-lahan Peri Angsa Putih balikkan tubuh-

nya. Dua matanya yang biru saling bertatapan dengan

sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia tak

dapat bertahan lama. Dengan menundukkan kepala

dan memandang ke jurusan lain Peri Angsa Putih

menekan bagian leher Wiro yang kemarin di lumpuh-

kannya dengan ujung selendang biru miliknya. Saat

itu juga Wiro mampu bergerak dan bersuara kembali.

 "Kau bebas. Kau boleh pergi...."

 Murid Eyang Sinto Gendeng cepat bergerak duduk. 

Ketika Peri Angsa Putih hendak bangkit berdiri pula dia 

segera memegang bahu Peri itu seraya berkata.

 "Duduklah, kita perlu bicara."

 Peri Angsa Putih jadi bertambah bingung. Tapi

dia tidak bisa berbuat lain. Setelah duduk berhadap-

hadapan, terpisah tiga langkah, Wiro bertanya. "Peri

Angsa Putih, mengapa kau lakukan hal ini?"

 "Aku melakukan apa Wiro?" balik bertanya Peri

Angsa Putih. Tidak seperti biasanya sekali suara

sang Peri terdengar bergetar.

 Pendekar 212 tersenyum. "Mungkin kau sedang

bingung, kacau pikiran disebabkan banyak hal yang

kau hadapi. Biar aku ulangi pertanyaanku tadi lebih

jelas. Kemarin kau melumpuhkan aku di tepi danau.

Aku tak tahu apa tujuanmu melakukannya. Kau mem-

bawaku ke goa ini. Aku juga tidak tahu apa maksudmu.

Kini kau bebaskan aku dan menyuruh pergi. Mengapa

kau melakukan semua ini dan apa sebenarnya maksud

tujuanmu?"

 "Aku tidak bermaksud apa-apa. Mungkin ini karena 

kesalah pahamanku atau ketololanku sendiri."

 "Tidak, jangan mendustai diri sendiri Peri Angsa

Putih. Kau bukan saja Peri tercantik di Negeri Atas

Langit, tapi juga seorang Peri cerdik dan tidak tolol

seperti katamu."

 Peri Angsa Putih menatap wajah Pendekar 212 sesaat. Ketika sepasang mata mereka saling beradu

pandang sang Peri tak kuasa bertahan. Dia palingkan

wajah lalu bangkit berdiri. "Ikuti aku, aku akan menun-

jukkan sesuatu padamu."

 Wiro berdiri, melangkah mengikuti Peri Angsa

Putih keluar dari goa. Di mulut goa Peri itu hentikan

langkahnya lalu menunjuk ke arah bangunan putih di

puncak bukit di kejauhan.

 "Kau lihat bangunan itu?" tanya Peri Angsa Putih.

 Wiro memandang ke bukit lalu anggukkan kepala.

 "Itu Puri Kebahagiaan...."

 "Puri atau Istana Kebahagiaan?" Wiro bertanya

ingin ketegasan.

 "Istana Kebahagiaan adalah kediamannya Hantu

Muka Dua. Yang di bukit sana adalah Puri Kebahagiaan. 

Tempat saat ini Peri Bunda berada...."

 Wiro garuk kepalanya. "Kini aku bisa menduga

apa sebenarnya yang hendak kau lakukan. Kau me-

lumpuhkan aku karena ingin membawaku ke Puri itu.

Bukankah dikabarkan Peri Bunda mengalami kehamilan 

karena melakukan hubungan denganku?"

 Peri Angsa Putih tidak menyahut.

 "Aku tidak melakukan hal itu Peri Angsa Putih.

Aku tidak pernah berhubungan dengan Peri Bunda...."

 "Ini menjadi satu tanda tanya besar bagiku. Mana

mungkin seorang perempuan hamil tanpa melakukan

hubungan dengan lawan jenisnya. Kau tidak mengaku

melakukan hubungan dengan Peri Bunda. Sebaliknya

Peri Bunda sendiri selalu menyebut namamu!"

 "Aneh, aku berkata sejujurnya. Tapi terkadang

kejujuran tidak ada artinya apa-apa dalam kancah

fitnah. Hanya ada satu cara. Kau harus mengantarkan

aku ke Puri itu. Mempertemukan aku dengan Peri

Bunda."

 "Tadinya itu maksudku melumpuhkanmu. Agar

kau bisa kubawa ke Puri Kebahagiaan. Tapi malam

tadi diriku dilanda kebimbangan. Aku memutuskan

tidak akan membawamu ke Puri itu."

 "Mengapa?" tanya Pendekar 212.

 "Aku tak ingin terjadi sesuatu dengan dirimu,"

kata Peri Angsa Putih pula. Lalu dalam hati dia menam-

bahkan. "Aku tak ingin kehilanganmu Wiro. Saat ini

aku ingin sekali menyerahkan Batu Pembalik Waktu

padamu. Tapi aku takut. Itu hanya akan mempercepat

kepergian dirimu dari sisiku."

 "Peri Angsa Putih, kulihat bibirmu bergerak. Tapi

tak satu patahpun meluncur dari mulutmu," kata Wiro.

Tangannya diulurkan memegang lengan Peri Angsa

Putih. Sang Peri pandangkan jari-jari yang memegang

lengannya itu. Wajahnya yang cantik kelihatan me-

merah namun sepasang matanya bercahaya indah dan hatinya berbunga-bunga.

 "Peri Angsa Putih, jika kau tidak mau meng-

antarkan aku ke Puri sana tak jadi apa. Tapi apakah

itu tidak mendatangkan kecurigaan bahwa kau ber-

serikat atau membantu diriku?"

 Karena ditunggu Peri Angsa Putih tidak mem-

berikan jawaban Wiro akhirnya berkata. "Kalau kau

tidak mau mengantar, apakah kau bersedia me-

nungguku di sini? Aku akan segera ke Puri selagi hari

masih pagi. Makin cepat urusan ini diselesaikan makin

baik."

 "Pergilah. Aku menunggumu di sini," kata Peri

Angsa Putih lirih. Sesaat dipegangnya tangan Wiro

yang masih menempel di lengannya.

 Tak lama setelah Wiro meningggalkan dirinya ada

rasa menyesal di hati Peri Angsa Putih. Mengapa tadi

dia tidak pergi saja bersama pemuda itu? Bagaimana

kalau terjadi apa-apa dengan Wiro. Siapa yang akan

menolongnya? Dia memandang ke arah kejauhan

Saat itu dilihatnya sosok Wiro telah sampai di kaki

bukit, siap mendaki ke atas.

 Tiba-tiba bau aneh menusuk hidung Peri Angsa

Putih. Belum sempat dia memperkirakan bau apa iiu

adanya atau dari mana dalang sumbernya tiba-tiba

satu sosok gemuk luar biasa mengenakan jubah rum-

put kering gombrong tegak di hadapannya. Orang ini

mengenakan sorban dan di atas sorban dia men-

junjung sebuah belanga mengepulkan asap tebal me-

nebar bau aneh.

 "Hantu Raja Obat..." berucap Peri Angsa Putih

begitu dia mengenali siapa adanya orang gemuk di

hadapannya itu.

 Hantu Raja Obat yang mukanya ada tompel besar

tertawa lebar. "Nasibku sedang mujur. Bertemu ke-

rabat tempat bertanya. Peri Angsa Putih, aku tidak

menyangka kau berada di sini. Aku mohon petunjuk.

Di mana arah jalan menuju Puri Kebahagiaan?"

 "Wahai, apa maksud tujuanmu mencari Puri itu?"

balik bertanya Peri Angsa Putih.

 "Menolong seorang sahabat yang akan mendapat

celaka," jawab Hantu Raja Obat.

 "Siapa orang itu?" kembali Peri Angsa Putih ber-

tanya. "Pemuda katai yang dulu pernah aku tolong

menjadi besar. Kau pasti kenal dirinya. Namanya Wiro

Sableng. Dia berasal dari negeri seribu dua ratus tahun

mendatang...."

 Peri Angsa Putih menunjuk ke arah bukit. "Kau

lihat bangunan putih di atas bukit sana. Itulah Puri

Kebahagiaan."

 Hantu Raja Obat letakkan tangannya di atas mata

agar tidak silau. "Hemmm.... Bangunan itu di sana rupanya. Eh, aku melihat ada seseorang berlari cepat

menuju puncak bukit...."

 "Itu pemuda kerabat yang hendak kau tolong. Dia

barusan dari sini," menerangkan Peri Angsa Putih.

 "Ah! Kuharap aku tidak terlambat...."

 "Aku juga akan ke sana. Kita pergi sama-sama!"

kutu Peri Angsa Putih pula.

 " Terima kasih. Kau kuanggap sebagai tuan rumah.

Jadi berjalanlah di sebelah depan...."

 Dua orang itu lalu segera tinggalkan tempat ter-

sebut. Sambil lari Peri Angsa Putih memperhatikan

Hantu Raja Obat di sampingnya. Walau gemuk luar

biasa orang ini cepat dan ringan gerakan larinya.

bagalmanapun Peri Angsa Putih mempercepat larinya

Raja Obat tetap saja berada di sebelahnya. Padahal

si gemuk ini berlari seperti melangkah biasa. Hanya

pakaiannya saja yang mengeluarkan suara berdesir

pertanda dia sebenarnya memang berlari cepat luar

Mana Di atas kepalanya belanga berisi cairan obat

tidak bergerak sedikitpun!


DUA BELAS


PENDEKAR 212 Wiro Sableng sampai di depan 

bangunan putih di puncak bukit. Pintu kayu kokoh yang 

tertutup terbuka sendirinya begitu dia sampai di depannya. 

Hawa aneh menebar bau wangi keluar dari dalam 

bangunan.

 "Tamu yang sudah lamaditunggu silakan masuk!"

Satu suara menggema di sebelah dalam.

 Karena merasa dirinya memang tidak bersalah,

tanpa ragu murid Eyang Sinto Gendeng ini melangkah

masuk. Namun baru saja dia melewati pintu kayu

tiba-tiba dua orang Peri berpakaian merah muda me-

nyambutnya. Bukan dengan keramahan tapi dengan

todongan dua batang tombak. Tombak kedua siap

menghunjam di dadanya, tepat di arah jantung.

 Dua orang Peri lagi muncul di hadapan Wiro. Yang

sebelah depan berkata. "Sebelum masuk kami harus

menggeledehmu lebih dulu. Jika kau membawa senjata, 

harus diserahkan pada kami. Selain itu dua tanganmu 

harus kami amankan!"

 Begitu selesai berucap Peri ini angkat tangan

kanannya. Ternyata dia sudah menyiapkan segulung

tali berwarna kuning. Tali ini kelihatannya buruk dan

lapuk. Tapi begitu sang Peri mengangkat tangannya,

tali kuning itu meluncur laksana kilat. Tahu-tahu dua

tangan Pendekar 212 telah terikat kencang. Wiro kerah-

kan tenaga dalam, coba memutus. Ternyata dia tidak

mampu melakukan. Ketika Peri berikutnya mendekatinya, 

menggeledah dan mengambil kapaknya, Wiro jadi

penasaran.

 "Kalian semua dengar! Aku datang kesini membawa 

itikad baik. Meluruskan semua fitnah jahat. Jangan 

perlakukan diriku sebagai tawanan!"

 "Kami menghargai jiwa besarmu datang ke sini.

Kami tuan rumah di sini. Jadi kau layak harus mengikuti

apa aturan kami!"

 "Jaga kapak itu baik-baik. Jika sampai terjadi

apa-apa aku tidak segan-segan memecahkan kepala

kalian sekalipun kalian semua cantik-cantik!"

 Peri yang mengikat tangan Wiro memberi isyarat

agar Wiro mengikutinya. Ketika pintu ditutupkan, di

luar sana ada orang menggedor disertai suara berteriak.

 "Aku Peri Angsa Putih! Buka pintu kembali!"

 Pintu kayu dibuka kembali. Semua Peri berpakaian

merah muda menjura begitu mereka melihat kehadiran Peri Angsa Putih.

 "Peri Angsa Putih, kami memang menunggu 

kedatanganmu!"

 Peri Angsa Putih kerenyitkan kening ketika melihat dua 

tangan Pendekar 212 berada dalam keadaan terikat tali 

kuning. Lalu Kapak Naga Geni 212 dipegang oleh salah 

seorang Peri berpakaian merah muda.

 "Mengapa kalian memperlakukan dia seperti ini?!"

bertanya Peri Angsa Putih.

 "Wahai, bukankah hal ini sudah pernah dibicarakan 

sebelumnya? Kami hanya menjalankan perintah!" jawab 

Peri yang mengikat tangan Wiro.

 "Buka ikatannya dan kembalikan senjatanya!" Perintah 

Peri Angsa Putih. "Aku yang akan bertanggung jawab jika 

terjadi apa-apa!"

 Peri tadi hendak menyahuti tapi segera tunduk begitu 

melihat Peri Angsa Putih pelototkan mata. Tali kuning 

yang mengikat dua tangan Wiro segera dibuka. Kapak 

sakti dikembalikan. Peri Angsa Putih lalu masuk ke dalam. 

Wiro mengikuti di belakang, diapit oleh dua Peri 

berpakaian merah muda. Ketika Hantu Raja Obat hendak 

menyusul masuk dua Peri yang tadi membawa tombak 

segera menahannya.

 "Makhluk gemuk menjunjung belanga di atas kepala. 

Kau tamu tak dikenal. Kami tidak mengizinkan kau 

masuk!" berucap salah seorang dari Peri yang memegang 

tombak.

 Hantu Raja Obat ganda tertawa. "Setahuku ada Peri

hamil di dalam bangunan ini. Kalau aku tidak diper-

bolehkan masuk bagaimana aku bisa menolongnya?!"

 "Memangnya kau siapa?!" tanya Peri satunya.

 "Aku dukun beranak! Aku yang akan menolong

Peri itu melahirkan!" jawab Hantu Raja Obat lalu ter-

senyum lebar sambil kedip-kedipkan matanya.

 "Jangan berani bergurau! Kau laki-laki. Mana ada

laki-laki jadi dukun beranak!" Membentak Peri di se-

belah kanan. Lalu tombaknya langsung diarahkan ke

leher gembrot Hantu Raja Obat.

 Hantu Raja Obat kembali tertawa. "Mukaku muka

laki-laki, suaraku juga suara laki-laki. Tapi apa kau

yakin auratku yang lain juga adalah aurat laki-laki?"

 "Jangan berani bicara kurang ajar!"

 "Aku tidak kurang ajar! Apa perlu aku perlihatkan

jenis diriku sebenarnya?!" tanya Hantu Raja Obat

seraya berbuat seolah hendak menyingkapkan bagian

bawah pakaiannya tinggi-tinggi. Peri yang ada di ha-

dapannya langsung bersurut mundur dengan muka

merah. Wiro tersenyum-senyum mendengar ucapan

dan melihat perbuatan si Raja Obat.

 Di sebelah depan Peri Angsa Putih berkata. "Biarkan 

orang gemuk itu ikut masuk. Aku yang membawanya kemari!"

 Dengan muka ditekuk akhirnya dua Peri yang

berusaha menahan Hantu Raja Obat terpaksa mem-

biarkan si gemuk itu memasuki bangunan.

 Peri Angsa Putih melangkah melewati dua lorong

panjang dan sunyi. Saking sunyinya suara langkah-

langkah kaki itu terdengar menggidikkan. Memasuki

lorong ke tiga yang kiri kanannya diterangi nyala api

obor yang menebar harum sebau kayu cendana, mere-

ka sampai di hadapan sebuah pintu merah. Dari balik

pintu terdengar suara seperti orang meratap.

 Peri pengawal mendorong pintu merah, lalu mem-

beri jalan pada Peri Angsa Putih. Tak satupun dari Peri

pengawal itu ikut masuk ke dalam. Namun begitu

sampai di dalam ternyata ada delapan Peri lainnya

yang tampak berjaga-jaga di empat sudut ruangan.

 Di tengah ruangan ada satu tempat tidur terbuat

dari susunan empat kasur tebal. Di atas kasur ini,

berselimutkan sehelai kain berwarna hijau muda ter-

baring sosok Peri Bunda. Walau wajahnya agak pucat

namun kelihatan lebih putih dan lebih cantik sebagai-

mana biasanya keadaan perempuan yang sedang ha-

mil. Bagian perutnya yang tertutup selimut hijau ke-

lihatan membuncit tinggi. Peri Bunda terbaring dengan

mata terpejam. Namun dari mulutnya tiada henti keluar

suara seperti meratap yang membuat Pendekar 212

jadi mengkirik dingin tengkuknya.

 "Wiro... Wiro.... Kenapa kau tinggalkan diriku. Jika

kau tidak mengasihi diriku aku rela. Tapi jangan sia-

siakan anak kita. Kasihan bayi yang akan lahir nanti

kalau sampai tidak mempunyai ayah. Wiro... Wiro dimana

kau berada. Sampai hati kau meninggalkan diriku. Anak

kita Wiro. Hasil hubungan kasih sayang kita...."

 Semua orang yang ada di ruangan itu memandang

pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro sendiri tegak

tertegun, memandangi Peri Bunda dengan mata besar

dan garuk-garuk kepala. Dalam hati dia memaki. "Peri

satu ini mungkin kesurupan atau telah berubah tidak

waras pikirannya!" kata Wiro dalam hati. Lalu dia

berpaling pada Peri Angsa Putih.

 "Peri Angsa Putih, aku tidak mengerti...."

 "Jangan bicara padaku. Bicaralah padanya. Dia sudah 

berada dalam keadaan begini rupa sejak seratus empat 

puluh hari lalu."

 Wiro kembali garuk-garuk kepala. Dia memandang

pada Hantu Raja Obat yang kemudian mendekatinya

dan berbisik. "Kerjamu boleh juga anak muda! Menurut

penglihatanku Peri ini sudah hamil empat bulan...."

 "Raja Obat, kau boleh tidak percaya. Tapi aku

bersumpah tidak pernah berbuat yang tidak-tidak

padanya....""Aku tahu kau memang tidak berbuat yang tidak-

tidak. Berarti kau berbuat yang iya-iya!" Hantu Raja

Obat tekap mulutnya agar tawanya tidak meledak.

 "Peri Bunda, pemuda bernama Wiro Sableng itu

ada di sini. Dia akan bicara padamu," Peri Angsa Putih

memberi tahu.

 Mendengar ucapan Peri Angsa Putih itu Peri

Bunda keluarkan suara terisak. Lalu seperti tadi dia

kembali memanggil-manggil Wiro. Dua matanya tetap

saja terpejam. Peri Angsa Putih memberi isyarat pada

Wiro agar dia segera bicara dengan Peri Bunda.

 Dengan kuduk masih dingin Wiro bergerak mendekati 

kasur ketiduran. "Peri Bunda, aku Wiro Sableng. Aku 

datang untuk meluruskan yang tidak benar. Antara kita 

sebelumnya tidak pernah melakukan hubungan apapun. 

Mengapa kau berucap berkepanjangan bahwa kita pernah 

melakukan hubungan badan. Bahwa akulah yang 

menghamili dirimu...."

 "Wiro, aku sedih mendengar kau berucap seperti

itu. Dulu berhari-hari kita berkasih sayang membagi

cinta di dalam Puri ini. Ketika hubungan kita berakibat

hamilnya diriku, mengapa kau tega menghindari tang-

gung jawab. Sudah kukatakan Wiro. Kau boleh menyia-

nyiakan diriku. Tapi kasihani anak kita yang akan lahir

kelak...."

 Tampang Pendekar 212 jadi pucat. Dia memegang

lengan Hantu Raja Obat dan berbisik. "Harap kau

segera memeriksanya. Aku yakin kalau tidak men-

dadak gila, pasti ada roh jahat yang kesasar masuk

ke dalam tubuhnya hingga dia meracau begitu rupa!"

 "Apa yang kau katakan bisa saja terjadi. Tapi

bagaimana dengan perutnya yang gendut. Apa roh

jahat bisa membuat perempuan hamil?!"

 Mendengar ucapan Hantu Raja Obat itu Pendekar

212 jadi garuk-garuk kepala.

 "Kau harus melakukan sesuatu Hantu Raja Obat.

Lekas kau periksa keadaannya. Aku tak pernah berbuat

sekeji itu. Jadi aku tidak percaya...."

 "Sudah, tenangkan saja hatimu. Tak usah takut Aku

sudah melihat ada sesuatu yang tidak beres. Aku akan

menolong. Tenangkan hatimu!" Habis berkata begitu

Hantu Raja Obat berpaling pada Peri Angsa Putih. "Aku

akan memeriksanya. Harap kau memberi izin...."

 "Silakan asal kau jangan menyentuh bagian-bagian 

tubuhnya yang terlarang!" jawab Peri Angsa Putih.

 Hantu Raja Obat menyeringai. Dia berlutut di

samping pembaringan. Mulutnya komat kamit entah

membaca apa. Setelah pejamkan dua matanya sesaat,

dia dekatkan telinga kanannya ke perut Peri Bunda.

Hantu Raja Obat tersentak kaget ketika dia menangkap

suara aneh di dalam perut sang Peri. Seperti ada banyak makhluk aneh di dalam perut itu, bergerak-

gerak mengeluarkan suara serupa binatang digorok!

 Dengan muka keringatan Hantu Raja Obat bangkit

berdiri.

 "Kau menemukan sesuatu?" tanya Wiro berbisik.

 "Kau benar anak muda. Ada yang tidak beres. Di

dalam perut Peri ini ada sesuatu. Aku tidak tahu apa

adanya. Kita lihat saja nanti!"

 Dengan tangan kirinya Hantu Raja Obat menurunkan 

belanga tanah di atas kepalanya. Ketika dia hendak

menuangkan cairan panas di dalam belanga itu ke

dalam mulut Peri Bunda, Peri Angsa Putih cepat

mencegah.

 "Peri Angsa Putih, jika kau tidak mengizinkan aku

mengobati Peri Bunda, sebaiknya sejak sebelumnya

kau tidak mengizinkan aku datang dan masuk ke tempat 

ini!"

 "Cairan apa yang ada dalam belanga itu?"

 "Ah! Kau keliwat curiga! Puluhan tahun aku menge-

lana kian kemari membawa cairan dalam belanga ini

untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit Isi

belanga ini tentu saja obat! Bukannya racun! Jika kau

tidak percaya kau boleh mencicipi lebih dulu. Kalau

terjadi sesuatu denganmu, semua Peri anak buahmu di

tempat ini boleh menggorok batang leherku!"

 "Peri Angsa Putih, harap kau mau memberi izin

padanya. Jika dia mencelakai Peri Bunda, aku yang

pertama sekali akan membabat putus lehernya!" Habis

berkata begitu Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni

212.

 "Ha... ha... ha! Anak muda! Kau boleh putuskan

leherku jika aku memang berniat jahat terhadap Peri ini!"

 "Bagaimana Peri Angsa Putih?" tanya Wiro.

 Setelah diam sejurus Peri Angsa Putih akhirnya

mengangguk. "Lakukan apa yang tadi hendak kau

lakukan! Tapi ingat Jika terjadi sesuatu dengan Peri

Bunda, kau akan menemui kematian pertama sekali

di tempat ini Hantu Raja Obat!"

 "Aku bersedia menerima hukuman jika ternyata aku

berniat jahat hendak mencelakai Peri Bunda. Aku hanya

ingin menolong sahabat mudaku ini hingga dia lepas

dari segala fitnah yang bukan-bukan!" Lalu Hantu Raja

Obat kembali angkat belanga tanahnya. Dengan hati-hati

cairan panas dalam belanga itu dituangkannya ke dalam

mulut Peri Bunda yang menganga.

 "Glukk.... Hek! Glukkk.... Hek... hek!"

 Walau agak susah dan tersendat-sendat namun

sedikit demi sedikit cairan panas di dalam belanga

masuk juga ke dalam mulut Peri Bunda. Dari mulut

itu mengepul asap kekuning-kuningan. Tiba-tiba dari

dalam perut Peri Bunda keluar suara aneh, keras dan berulang-ulang. Hantu Raja Obat letakkan belanganya

ke atas sorban kembali. Lalu dia buka pakaiannya

sebelah atas hingga dadanya yang gembrot dan penuh

bulu tersingkap sampai ke perut.

 Pendekar 212 Wiro Sableng yang tegak tepat di

belakang Hantu Raja Obat tak sengaja memandang

ke arah lengan kanan sebelah belakang si gemuk ini.

Murid Sinto Gendeng terkesiap kaget ketika melihat

di bagian belakang lengan sebelah atas, dekat ketiak

kanan Hantu Raja Obat ada tanda menyerupai rajah

menggambarkan sekuntum bunga dalam lingkaran.

 "Bunga dalam lingkaran! Aku ingat cerita Hantu

Langit Terjungkir alias Lasedayu! Jangan-jangan Hantu 

Raja Obat ini adalah salah seorang dari empat anaknya 

yang hilang! Aku harus memberi tahu Hantu Langit 

Terjungkir. Tapi aku harus lebih dulu bicara dengan Hantu 

Raja Obat ini!"

 Sementara itu Hantu Raja Obat yang barusan

membuka pakaiannya sebelah atas sampai ke perut

tegak sambil letakkan tangan kirinya di atas perutnya

sendiri. Lalu tangan kanan dengan telapak terbuka

diarahkan ke perut Peri Bunda. Mulutnya kembali

berkomat-kamit Suara aneh di perut Peri Bunda terde-

ngar semakin keras menggidikkan. Sesaat kemudian

dari telapak tangan kanan Hantu Raja Obat memancar

satu sinar lembut berwarna ungu. Ketika sinar itu

menyentuh dan menyapu perut buncit Peri Bunda

tiba-tiba sepasang mata sang Peri terbuka membeliak

besar. Dari mulutnya keluar jeritan keras. Bersamaan

dengan itu tubuhnya mencelat ke atas seperti dilempar

ke langit-langit ruangan. Begitu melayang ke bawah,

dari mulut Peri Bunda menyembur darah hitam berbuku-

buku. Lalu lebih menggidikkan dari dalam perut itu ikut 

berserabutan tiga belas ekor lintah hitam! Binatang-

binatang yang berlumuran darah ini bergeletakan di 

lantai.

 Peri Angsa Putih melompat jauhkan diri. Beberapa

Peri pengawal terpekik. Sebelum lintah-lintah itu lari

berkeliaran Hantu Raja Obat arahkan sinar yang keluar

dari telapak tangannya.

 "Cesss! Cesss! Cesss!"

 Satu persatu ke tiga belas lintah hitam itu meng-

geliat hangus lalu berubah menjadi bubuk-bubuk hitam! 

Peri Bunda sendiri saat itu tegak tertegun dengan

muka pucat Matanya mendelik. Mulutnya masih ter

nganga walau tak ada lagi darah atau lintah yang

menyembur keluar. Dalam keadaan seperti itu kembali

Peri Bunda keluarkan jeritan mengerikan. Lalu tubuhnya 

huyung. Sebelum roboh ke lantai ruangan Wiro

cepat merangkul pinggang Peri ini lalu membaringkannya 

di atas kasur. Saat itu kelihatan jelas bagaimana perut

sang Peri telah kempis hampir sama rata dengan pinggul 

dan dadanya!

 "Peri Angsa Putih, kau dan semua yang ada disini!" 

Hantu Raja Obat membuka mulut. "Kalian semua

menyaksikan sendiri! Yang keluar dari perut Peri Buda

bukan jabang bayi. Tapi tiga belas ekor lintah jahat!

Berarti kini terbukti tidak benar Peri Bunda hamil.

Kalaupun sahabatku si Wiro ini berselingkuh dengan

Peri Bunda, mana mungkin yang dikandungnya tiga

belas ekor lintah! Berarti Peri Bunda telah menjadi

korban kejahatan keji. Ada orang jahat yang telah

menyantet mengguna-gunainya!"

 Semua orang yang ada di tempat itu terdiam. Seantero 

ruangan dilanda kesunyian.

 "Tugasku sudah selesai. Peri Angsa Putih, aku mohon 

diri sekarang...."

 "Hantu Raja Obat, kami berterima kasih padamu.

Jika aku boleh bertanya, apakah kau tahu siapa gerangan

yang telah berbuat begitu keji terhadap Peri Bunda?"

 Hantu Raja Obat tersenyum. "Aku tahu paling tidak

dapat menduga. Tapi aku tidak mau mengatakan."

 "Apakah Hantu Santet Laknat?" tanya Peri Angsa

Putih, membuat Wiro menjadi sesak dadanya karena

ingat akan Luhrembulan. Dia menjadi lega ketika me

lihat Hantu Raja Obat gelengkan kepala.

 "Bukan nenek satu itu. Tapi orang lain!"

 Ketika Hantu Raja Obat melangkah ke pintu ruangan, 

Wiro segera mengikuti. Peri Angsa Putih ikut pula

beranjak. Sambil berjalan Wiro berkata. "Raja Obat,

aku berterima kasih padamu. Kau telah membebaskan

diriku dari segala tuduh dan fitnah! Aku tidak melupakan 

budi baikmu ini!"

 Makhluk gemuk itu tertawa lebar. "Anak muda,

kau berhati-hatilah. Di negeri ini masih ada orang yang

tidak menyenangi dirimu. Bukan mustahil satu ketika

kelak bagian tubuh di bawah perutmu itu disantetnya

hingga berubah menjadi lintah hitam seperti yang ada

dalam perut Peri Bunda tadi! Ha...ha...ha!"

 Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Sambil

terus melangkah dia berkata. "Sekeluarnya dari tempat

ini, ada satu hal yang ingin aku sampaikan padamu...."

 "Hemmm, pasti soal gadis-gadis cantik. Sudah,

bicara saja di sini sambil kita berjalan. Mengapa harus

menunggu sampai di luar!"

 "Bukan. Ini bukan menyangkut gadis-gadis cantik,

Ini menyangkut tanda bunga dalam lingkaran yang ada

di balik lengan kananmu sebelah atas. Dekat ketiak...."

 "Eh, aku tidak tahu kalau aku punya tanda seperti itu!" 

kata Hantu Raja Obat pula.

 "Aku tak sengaja melihat. Ketika tadi kau membuka 

pakaian sampai ke perut, kebetulan aku berdiri di

belakangmu!" jawab Wiro.

 Tak acuh Hantu Raja Obat berkata. "Manusia

dilahirkan membawa berbagai macam tanda. Aku ke

betulan bertanda seperti yang kau katakan tadi. Juga

lihat saja tompel yang ada di wajahku. Itu juga satu

tanda yang tak bisa dilenyapkan. Apa anehnya? Mengapa 

hal itu sengaja kau ceritakan padaku?"

 "Karena ada kaitannya dengan cerita yang kudengar 

dari Hantu Langit Terjungkir...."

 "Hemmm,... Kakek satu itu. Ada apa dengan dirinya? 

Cerita apa yang dikatakannya padamu?"

 "Menurut kakek itu, tanda bunga dalam lingkaran

adalah tanda yang dimiliki empat orang anaknya sejak

dilahirkan ke dunia...."

 Hantu Raja Obat hentikan langkahnya dan menatap

tajam pada Wiro. Sesaat kemudian dia tertawa gelak-

gelak. "Jadi kau hendak mengatakan bahwa aku ini

adalah anak Hantu Langit Terjungkir! Sungguh gila!"

 "Tidak, ini tidak gila. Dan bukan kau saja yang

mempunyai tanda seperti itu di Negeri Latanahsilam

ini. Menurut Hantu Langit Terjungkir, Lakasipo alias

Hantu Kaki Batu dan Hantu Bara Kaliatus juga memiliki

tanda yang sama. Tanda bunga dalam lingkaran!"

 Hantu Raja Obat hentikan langkahnya. Dia menatap 

tajam seolah hendak menembus sampai ke dalam batok 

kepala Pendekar 212.

 "Aku jadi haus mendengar kata-katamu sahabatku!" 

kata si gemuk besar itu. Lalu dia turunkan belanga

tanah dari atas sorbannya. Dan gluk... glukl.. gluk.

Enak saja dia meneguk cairan yang ada dalam belanga.

Setelah menyeka mulutnya dengan ujung lengan jubah

Hantu Raja Obat berkata.

 "Kau sahabatku baik! Tapi sekali ini sulit aku 

mempercayai apa yang kau katakan! Selamat tinggal 

Wiro!"

 "Hantu Raja Obat, tunggu dulu!" memanggil Pen-

dekar 212. Tapi manusia gemuk besar itu telah melesat

keluar pintu yang sudah dibuka untuknya oleh Peri

pengawal. Murid Eyang Sinto Gendeng tak bisa berbuat

apa selain garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.


TAMAT

penulis : Bastian Tito

Create : matjenuh channel

blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Facebook : matjenuh channel


(EPISODE TERAKHIR WIRO DI NEGERI 

LATANAHSILAM)

ISTANA KEBAHAGIAAN

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive