Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Rabu, 12 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - RAHASIA CINTA TUA GILA

https://matjenuh-channel.blogspot.com



SATU


Sepasang mata Sabai Nan Rancak memandang tak berkesip pada orang bercadar yang 

tegak di hadapannya. Dia seolah berusaha menembus cadar untuk melihat wajah orang

berpakaian serba kuning itu, untuk mengetahui siapa orang ini adanya.

“Siang telah bergerak menuju petang. Terima kasih kau telah sudi datang memenuhi 

undangan.” Si cadar kuning berkata.

Sabai Nan Rancak memasang telinganya baik-baik. Sebelumnya dia telah beberapa

kali bertemu dengan orang ini dan telah beberapa kali pula mendengar suaranya. Dalam

hati Sabai Nan Rancak berkata. “Aku masih belum bisa memastikan apakah orang ini lelaki

atau perempuan. Kalau bicara kata-katanya seperti berpantun. Setiap bicara agaknya dia

mengerahkan tenaga dalam untuk menutupi suara aslinya. Namun berat dugaanku dia

seorang perempuan.”

“Waktuku tidak banyak. Ada beberapa urusan penting menungguku. Jadi kuharap

kau segera menjelaskan maksud tujuan pertemuan ini.” Kata Sabai Nan Rancak setelah tadi

berusaha menyimak suara orang.

“Sebetulnya ada tiga orang yang kuharapkan datang kemari. Namun orang ke tiga belum menunjukkan diri....”

“Kalau pertemuan ini memang penting, aku bersedia menunggu sampai matahari

tenggelam.”

Orang bercadar dan berpakaian serba kuning gelengkan kepala. “Yang ditunggu tak

bakal datang. Entah apa sebab penghalang....”

“Kalau begitu percuma aku datang kemari!” ujar Sabai Nan Rancak dengan nada 

keras menunjukkan sikapnya yang mulai tidak sabaran dan cepat naik darah.

“Setiap kedatangan ada manfaatnya,” jawab si cadar kuning. “Undangan ke tiga tidak

datang. Entah apa sebab penghalang. Terakhir kusirap dia berada di sekitar Telaga

Gajahmungkur. Lalu lenyap seolah masuk ke dalam kubur. Hanya kita bertiga yang bisa

berkumpul. Itu sudah cukup untuk memanjatkan syukur.”

“Kalau memang kita bisa mulai bicara, harap kau suruh orang yang sembunyi di

balik pohon besar itu keluar dan datang ke tempat ini!” kata Sabai Nan Rancak. Sejak 

pertama datang nenek sakti ini memang sudah mengetahui kalau ada orang mendekam di 

balik pohon besar.

“Saudara di balik pohon harap kau suka datang ke sini. Agar pertemuan dan

pembicaraan dimulai lebih dini!” kata si cadar kuning pula.

Dari balik pohon terdengar suara orang mendehem beberapa kali. “Sebetulnya aku

malu untuk menemui kalian. Tapi kupikir jauh lebih memalukan kalau terus-terusan 

sembunyi di balik pohon ini!”

Suaranya masih bergema namun orang yang tadi berada di balik pohon tahu-tahu 

sudah berada di tempat itu. Duduk mencangkung seenaknya di gundukan tanah tinggi 

berumput. Kedua tangannya ditutupkan di atas wajahnya.

“Iblis Pemalu!” kata Sabai Nan Rancak setengah berseru karena dia tidak menyangka

orang di balik pohon itu ternyata adalah si pendatang baru dalam rimba persilatan yang

memperkenalkan diri dengan nama atau julukan Iblis Pemalu. Sebelumnya dia telah pernah

bertemu dengan pemuda itu. Terakhir sekali dia malah mengadakan perjalanan bersama

menyeberangi lautan dari pulau Andalas menuju tanah Jawa. Yakni setelah dia

mendapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan milik Datuk Tinggi Raja Di Langit yang

kemudian merubah gelar menjadi Jaga! Iblis Makam Setan.

Lalu di sebuah teluk mereka berpisah. Namun karena ada satu perasaan aneh timbul

di dalam hatinya, Sabai Nan Rancak secara diam-diam kembali ke teluk. Dia mengintai dan

sempat mendengar desah ucapan Iblis Pemalu yang duduk termenung di tepi pantai 

menghadap ke laut. Desah yang keluar dari lubuk hati Iblis Pemalu membuat Sabai Nan 

Rancak berdebar. Karena ucapan memelas yang sempat didengar Sabai itu seolah

menyatakan adanya hubungan tertentu antara Iblis Pemalu dengan dirinya. (Baca Episode 

Utusan Dari Akhirat) iblis Pemalu sendiri tampak tenang-tenang saja mencangkung di atas 

gundukan tanah berumput.

Sabai Nan Rancak berpaling pada orang bercadar di hadapannya. “Karena kau

mengundang pemuda ini datang ke mari, apakah ini satu pertanda bahwa dia juga punya

sangkut paut dengan urusan kita?”

Si cadar kuning mengangguk.

Sabai Nan Rancak kembali menatap Iblis Pemalu lekat-lekat. Walau tampak tenang-

tenang saja namun sampai saat itu Iblis Pemalu terus saja menutupi wajahnya dengan dua 

telapak tangan. “Orang mudai Apakah kau mau menurunkan dua tanganmu hingga aku

bisa melihat wajahmu?”

Iblis Pemalu berpaling pada Sabai Nan Rancak. Di antara sela-sela jarinya sepasang

matanya menatap tajam pada si nenek. Lalu dia menjawab. “Wajahku buruk. Memalukan.

Tampangku buruk. Memalukan! Nah buat apa aku memperlihatkan muka?!”

Walau jengkel mendengar kata-kata Iblis Pemalu namun Sabai Nan Rancak masih

bisa menahan diri. Dia alihkan pandangannya pada si cadar kuning.

Saat itu debaran aneh seperti yang dirasakannya waktu mendengar desah Iblis 

Pemalu tempo hari kembali muncul di dadanya. Maka nenek ini bertanya lagi. “Tadi kau

mengatakan bahwa sebenarnya ada seorang lagi yang diundang datang ke tempat ini. Tapi

tidak datang. Kau bersedia memberi tahu siapa adanya orang itu?”

“Tamu yang diundang tapi tidak datang. Dia berasal dari tanah seberang. Kukenal

dengan nama Puti Andini. Berwajah secantik puteri. Berjuluk Dewi Payung Tujuh. Memiliki

suara semerdu bulu perindu. Apakah nama dan dirinya berarti sesuatu bagimu?”

Sabai Nan Rancak tersurut dua langkah. Dia tidak dapat menyembunyikan rasa

terkejutnya. Wajahnya jelas berubah.

Semua ini terlihat oleh si cadar kuning. Maka segera saja dia berkata. “Kaki tersurut

dua langkah. Wajah berubah serta merta. Apakah ini satu pertanda. Bahwa kau mengenal

dirinya. Atau ada sesuatu yang mendekam di dalam dada...?”

Tenggorokan Sabai Nan Rancak tampak turun naik beberapa lama. “Aku tidak akan

menjawab sebelum kau lebih dulu mengatakan siapa dirimu dan apa maksud pertemuan ini

sebenarnya!”

“Saling bertanya tapi tak saling menjawab. Tentu ada pasal penyebab. Kau tak suka

menjawab, aku tak mau berdebat. Siapa diriku pasti akan terjawab. Siapa diri kita pasti akan

tersingkap. Mengapa hidup berteka-teki. Kalau kau suka menjawab aku akan menuruti.”

Sepasang mata Sabai Nan Rancak tampak membesar dan rahangnya yang tertutup

kulit menggembung. Ini satu pertanda bahwa dia mulai jengkel.

“Orang bercadar, apakah kau tak bisa bicara wajar. Tidak terus-terusan berpantun

atau bersyair yang terdengar asing di telingaku!”

Wajah di balik cadar tersenyum. “Manusia dilahirkan menurut kodratnya yang telah

ditentukan dan menjadi bagian dirinya. Lingkungan dan perjalanan hidup mempengaruhi 

dan membentuk pribadinya. Menunjukkan keaslian diri pribadi adalah lebih baik dari pada

berpura-pura....”

“Kalau kau berkata begitu, mengapa kau justru menunjukkan sifat berpura-pura.

Tidak mau mengatakan siapa dirimu sebenarnya.” Bertanya Sabai Nan Rancak dengan suara

gusar.

“Aku tidak berpura-pura. Diri ini tidak bisa mengada-ada. Pada saatnya semua akan 

terbuka. Tapi apakah pintu bisa terbuka kalau tak ada kunci pelaksana. Nenek Sabai Nan 

Rancak, justru dirimulah yang menjadi kunci pembuka. Apakah kau sudi menerima?”

“Aku manusia hidup! Bukan benda mati! Bukan sebuah kunci!” Suara Sabai Nan

Rancak mengeras. “Kau cari saja kunci yang lain! Aku merasa menyesal datang memenuhi

undanganmu. Urusanku banyak yang lebih penting!” Habis berkata begitu Sabai Nan

Rancak hendak memutar tubuh. Namun gerakannya tertahan ketika mendengar suara Iblis 

Pemalu.

“Kalau ada yang mau mendengar biar badan buruk ingin bicara agar aku tidak malu!

Kalau ada yang tidak mau mendengar biar aku lebih dulu angkat kaki dari sini supaya tidak

malu!”

“Apa yang hendak kau ucapkan?!” tanya Sabai Nan Rancak.

“Aku harap kalian tidak malu mendengarkan!” jawab Iblis Pemalu. Dua tangannya

tetap tak beranjak dari menutupi wajahnya. “Setiggi langit tak ada yang lebih tinggi dari


akal manusia. Aku tidak malu bilang begitu! Sedalam lautan tidak sedalam rahasia 

kehidupan! Aku juga tidak malu berkata begitu. Tapi aku merasa malu sekali mengatakan

yang ini. Kenapa banyak manusia bertinggi hati berendah budi. Kalau sampai rahasia tidak

tersingkap hanya karena bertahan pada keangkuhan pribadi, jangan salahkan jika umat

sedarah sedaging saling berbunuh sebelum kiamat!”

“Iblis Pemalu! Ucapanmu aneh tapi tajam! Apa maksudmu?!” hardik Sabai Nan

Rancak.

“Apa memalukan bagimu kalau menceritakan apa hubungan dan sangkut paut

dirimu dengan gadis bernama Puti Andini itu? Kalau aku jadimu aku tidak akan merasa

malu menerangkan.”

Rahang Sabai Nan Rancak kembali menggembung.

“Aku diminta datang ke tempat ini! Tujuan pertemuan ini masih jauh dari jelas. Dia

sebagai tuan rumah malah mengajak aku bicara tak karuan! Menutupi siapa dirinya sendiri.

Tapi berusaha hendak menelanjangi diriku dengan pertanyaan-pertanyaan yang bukan-

bukan!”

“Tamu yang diundang memang tidak harus dibuat malu. Tapi tuan rumah yang

berniat baik juga kurang pantas dipermalukan. Apa susahnya menjawab pertanyaannya.

Apa itu satu hal yang memalukan?”

“Aku jauh lebih tua dari dirinya. Kurasa aku cukup pantas untuk mengetahui siapa

dirinya lebih dulu dan apa tujuan sebenarnya pertemuan ini!” jawab Sabai Nan Rancak.

Iblis Pemalu tertawa pendek. “Nenek,” katanya. “Bagaimana kau tahu lebih tua dari

orang bercadar dan berpakaian kuning ini? Apa kau pernah melihat wajahnya? Apa kau 

tidak merasa malu mengatakan sesuatu yang kau sebenarnya tidak yakin?”

Mulut Sabai Nan Rancak tampak memencong dan tenggorokannya turun naik 

Matanya memandang ke wajah yang tertutup cadar. Dia coba memperhatikan dua tangan

orang itu. Tapi terlindung di balik lengan baju yang panjang menjulai. Dia memandang ke 

bawah. Dua kaki orang ini juga tertutup oleh kaki celana yang gombrang menjela tanah. Dia

tak bisa menemukan bukti-bukti bahwa orang berpakaian serba kuning itu lebih tua atau

lebih muda dari dirinya.

“Baik!” Tiba-tiba Sabai Nan Rancak membuka mulut. “Aku tidak akan memaksanya

menerangkan siapa dirinya. Antara kita berdua adalah sama-sama tamu! Sekarang aku ingin

mendengar dari mulutmu sendiri! Siapa dirimu adanya!”

Saking kagetnya mendengar pertanyaan si nenek, Iblis Pemalu sampai tertegak dari

jongkoknya di atas gundukan tanah berumput.

*

* *

DUA

Untuk beberapa lamanya Iblis Pemalu dan Sabai Nan Rancak sama-sama tegak saling

melontar pandang. “Ini sungguh aneh. Sungguh memalukan! Kalian berdua saling 

berdebat, mengapa aku yang kena getah! Jadi korban pertanyaan memalukan!” Iblis

Pemalu akhirnya buka suara.Jadi seperti manusia bercadar itu kau juga tidak mau memberi tahu siapa dirimu!”

ujar Sabai Nan Rancak seraya dongakkan kepala sedikit dan rangkapkan dua tangan di 

depan dada.

“Bukan aku malu mengatakan siapa diriku. Bukan aku malu menerangkan asal-usul 

diriku! Tapi aku tidak mau mendahului tuan rumah! Aku merasa ini belum saatnya. Aku

menduga ada orang lain yang lebih patut mengatakannya! Orang itu pasti tidak malu

menjelaskan semuanya.... Dia saksi yang punya seribu bukti!”

“Siapa orang yang kau maksud! Apa yang mau dijelaskannya?!” tanya Sabai Nan

Rancak dengan suara keras dan mata membelalak.

Iblis Pemalu tidak menjawab pertanyaan si nenek melainkan berpaling pada orang

bercadar kuning. Lalu berkata. “Aku yakin kau pun merasa malu menjelaskan. Karena

belum saatnya!”

“Kalian ini bicara apa?!” Membentak Sabai Nan Rancak. “Aku diminta datang ke 

tempat ini. Setelah aku berada di sini kalian bicara tidak karuan! Kalian semua orang-orang

gila atau bagaimana? Mungkin sengaja memancing aku datang ke sini dengan maksud jahat

tersembunyi?! Jangan berani mempermainkan Sabai Nan Rancak. Aku bisa membunuh 

kalian semudah aku membalikkan telapak tangan!” Habis berkata begitu si nenek buka

kancing mantel hitamnya satu persatu.

“Aku tahu.... Aku tahu! Aku malu, sangat malu! Kau dikenal sebagai nenek sakti dari

puncak Singgalang! Malah sekarang kau mengenakan Mantel Sakti. Membekal Mutiara

Setan. Walau dua benda sakti itu bukan milikmu! Aku malu! Aku malu!”

Wajah Sabai Nan Rancak berubah kelam. Dia bergerak mendekati Iblis Pemalu. Jari-

jari tangannya terkepal. Namun orang bercadar cepat menghadang.

“Tidak ada orang yang bicara tak karuan. Jangan merasa dirimu dipermainkan. Siapa

pula yang memancing dengan maksud jahat tersembunyi. Juga tak ada orang gila di tempat

ini!”

“Aku muak mendengar segala syair dan pantunmu!”

“Aku malu melihat sikapmu!” Menukas Iblis Pemalu. Lalu dia berpaling pada si 

cadar kuning. “Jika nenek ini tidak sabaran dan tidak mau mengerti katakan saja padanya

semua yang kau ketahui tentang dirimu, diriku, dirinya dan diri gadis bernama Puti Andini

itu! Tapi agar aku tidak malu, sebelum kau mengatakan biar aku angkat kaki dulu dari 

tempat ini!”

“Iblis Pemalu, tunggu!” berseru si cadar kuning. “Apapun yang akan aku katakan 

kau harus tetap di sini!” Lalu dia berpaling pada Sabai Nan Rancak. “Orang bijaksana

pandai menahan diri. Orang cerdik tahu membaca pikiran. Kalau kau memaksa diri. Maka

kau hanya akan menerima sebagian. Sisanya terpaksa kau telusuri sendiri. Nenek Sabai Nan

Rancak, dalam hidupmu apakah kau pernah punya suami?”

Terkejutlah Sabai Nan Rancak mendengar pertanyaan yang tidak tersangka-sangka

itu. “Pertanyaan gila apa pula ini?! Urusan pribadiku mengapa kau selidiki!”

“Alam terkembang tapi dunia seolah kelam. Puluhan tahun rahasia mencekam.

Apakah manusia masih tetap hendak bertahan. Menyimpan segala tanya hati dan ratap

perasaan. Pertemuan ini tidak mengarah diri pribadi. Urusan yang ada menyangkut ikatan

diri. Kalau rahasia hendak diungkap, mengapa tak mau diajak mufakat? Seperti kataku tadi

kunci semua persoalan ini ada di tanganmu. Kalau tak ada sepotong keterangan pun yang

kudapat darimu mana mungkin persoalan bisa diramu....”

Sabai Nan Rancak terdengar menggerendeng panjang pendek. Dia melirik pada Iblis 

Pemalu dan kembali ingat peristiwa di tanjung tempo hari. Kalau tak mau dikatakan curiga,saat itu sebenarnya si nenek telah menaruh kesan bahwa antara dia dengan iblis Pemalu ada

satu hubungan yang sangat dekat tapi keadaan membuatnya terasa begitu jauh.

Sabai Nan Rancak terdiam beberapa lamanya. Mulutnya tampak berkomat-kamit.

“Baik, aku akan menjawab. Aku memang pernah punya suami. Tapi manusia itu justru

sedang aku cari untuk dibunuh!”

“Soal bunuh membunuh adalah soal kedua. Soal pertama ingin kutanyakan apakah

suamimu itu berpunya nama?” Bertanya si cadar kuning.

“Namanya Sukat Tandika!” jawab Sabai Nan Rancak.

Si cadar berpaling pada Iblis Pemalu. Saat itu si pemuda juga memandang ke 

arahnya.

“Aku malu bicara. Tapi aku harus ikut bertanya. Apakah suamimu itu punya gelar?”

Bertanya Iblis Pemalu.

“Jangan sebut bangsat itu suamiku! Kami tidak punya hubungan apa-apa lagi! Aku

benar-benar ingin membunuhnya!” Berteriak Sabai Nan Rancak.

“Aku mengerti kalau kau tenggelam dalam perasaan. Namun pertanyaan menunggu

jawaban,” kata orang bercadar pula.

“Bangsat tua itu dikenal dengan julukan Tua Gila!” Menerangkan Sabai Nan Rancak.

“Dari hubungan kalian sebagai suami istri apakah kailan berpunya anak?”

“Orang bercadar! Pertanyaanmu sudah keliwatan. Aku tak mau menjawab!”

“Nek, aku malu melihat sikapmu. Bagimu apakah memalukan menjawab pertanyaan

orang? Berdebat sampai malam dan sampai pagi lagi tak ada gunanya. Jika urusan mau

cepat selesai harap kau jangan berlaku memalukan. Jawab saja pertanyaan orang itu. Kelak

kau nanti akan tahu apa tujuannya. Semua bukan untuk kebaikan kita saja. Tapi juga

beberapa orang lain yang tidak hadir di tempat ini! Ayo Nek. Bersikaplah bijaksana. Jangan

memalukan begitu!”

Sabai Nan Rancak menyeringai buruk. “Enak dan pandainya kau bicara! Kau sendiri 

apa sudah pernah punya istri? Siapa nama istrimu! Apa kau juga punya anak? Siapa nama

anakmu!”

“Aku tidak malu menjawab! Aku belum punya istri. Jadi tidak mungkin punya anak! 

Kalau aku belum kawin tapi punya anak bukankah memalukan?!”

Sabai Nan Rancak tampak bersungut-sungut mendengar ucapan Iblis Pemalu itu. Dia

ingat sesuatu. Waktu di tepi pantai dulu, sebelum berpisah ada satu perasaan aneh yang

membuatnya ingin memeluk Iblis Pemalu. Tapi orang itu menampik untuk dipeluk.

Sepasang mata si nenek membesar. “Kalau kau tidak punya istri apakah kau punya suami?!”

“Eh...!” Suara Iblis Pemalu tercekat. Tangan kirinya hampir saja diturunkan saking

kaget mendengar kata-kata si nenek. Namun dia cepat menguasai diri. Setelah tertawa

cekikikan dia berkata. “Sungguh ucapanmu memalukan! Aku seorang laki-laki mana

mungkin punyakan suami! Memangnya aku ini manusia banci? Memalukan! Ha... ha... ha!”

Orang bercadar memberi isyarat agar Iblis Pemalu hentikan tawanya. Lalu dia

berkata pada Sabai Nan Rancak.

“Nenek Sabai, kuharap kau tidak berkeberatan memberikan jawaban. Dari 

perkawinanmu dengan Sukat Tandika alias Tua Gila apakah kau punya anak atau tidak

harap jelaskan.”

Si nenek meludah ke tanah. Mukanya yang keriputan tampak tambah berkerut.

“Menjijikkan! Betapa bodohnya aku! Aku memang punya anak. Satu. Perempuan.

Untung cuma satu!” Sabai Nan Rancak kembali meludah melampiaskan perasaannya.

“Terima kasih kau mau memberi tahu. Siapakah nama anakmu itu. Di mana gerangan

dia sekarang?”

“Anak itu sudah meninggal. Mati tak lama setelah dia melahirkan.”

Sepasang mata orang bercadar menatap tajam pada Sabai Nan Rancak. Lalu dia

berkata.

“Malangnya nasibmu. Malangnya nasib anakmu! Jika benar anakmu sudah 

berpulang, di mana letak makamnya gerangan?”

Sabai Nan Rancak tidak segera menjawab. Dia balas menatap lekat-lekat ke arah

wajah orang yang tertutup cadar. Pandangannya beradu dengan sepasang mata orang itu.

Untuk kesekian kalinya getaran aneh mendebari dada si nenek. “Di mana makam atau

kuburnya aku tak pernah tahu....”

“Nenek Sabai. Kau yakin anakmu itu benar-benar sudah mati? Seyakin kau melihat

hitam di atas putih?”

Sabai Nan Rancak terdiam sesaat. “Terus terang aku memang tidak pernah

mengetahui di mana dia dimakamkan. Tapi yang jelas di Pulau Andalas.”

“Jawabanmu meluncur tegas. Seolah tak ada penyesalan atau pun rasa memelas.

Bagaimana mungkin seorang ibu tidak tahu makam anak tercinta?”

Darah Sabai Nan Rancak kembali naik mendengar ucapan orang. Ini kentara dari apa

yang dikatakannya. “Urusan diriku dengan kematian anakku apa sangkut pautnya dengan

dirimu?!”

“Justru di situlah letak kunci rahasia. Lebih banyak hal nyata yang terungkap lebih

cepat rahasia terbuka,” jawab orang bercadar.

“Kau belum menyebutkan siapa nama anakmu itu, Nek! Tak usah malu-malu

mengatakan.” Iblis Pemalu membuka mulut.

“Orangnya sudah mati! Perlu apa diberi tahu!” jawab Sabai Nan Rancak jengkel.

“Harimau bisa mati. Belangnya tetap tertinggal.

Manusia boleh mati. Rahasia hidupnya akan terus tertinggal. Terserah orang yang

ditinggal. Apakah akan mencari manfaat. Atau mudarat!”

“Katakan saja Nek. Tak usah malu! Aku yakin nama anakmu tidak buruk!” kata Iblis 

Pemalu pula.

Sabai Nan Rancak dongakkah kepala. Lama dia seolah menatap sesuatu di langit

lepas di atas sana. Perlahan-lahan kepalanya ditundukkan. Kini dia seperti memandangi

ujung kakinya sendiri. Lehernya yang keriput turun naik. Dadanya berdebar menahan

gejolak. Sudah lama sekali dia tidak pernah menyebut nama itu. Kini di saat dia hendak 

mengatakan seolah dia hendak memuntahkan batu berapi dari dalam mulutnya.

“Nek, kau mau mengatakan atau tidak. Hari semakin sore. Jangan malu. Makin cepat

kau mengatakan makin lekas kau terbebas dari tekanan bathin!”

Sabai Nan Rancak palingkan kepalanya ke arah Iblis Pemalu. “Kau benar...” katanya

perlahan. “Tekanan bathin telah mendera hidupku selama lebih dari enam puluh tahun. 

Anakku itu bernama Andam.... Andamsuri....”

Orang bercadar tiba-tiba putar tubuhnya. Kepalanya tertunduk dan sekujur tubuhnya

tampak bergetar. Iblis Pemalu mendongak ke langit. Dadanya tampak berguncang-guncang.

Dari sela-sela jarinya ada tetesan air mengalir.

“Dia tidak malu menyebutkan nama anaknya! Orang bercadar agaknya sekarang

giliranmu menyingkap tabir dirimu sendiri!”

“Nama sudah terucap jelas. Namun perlu bukti tuntas. Nenek Sabai, kami inginkan 

satu bukti. Bahwa Andamsuri adalah anakmu pasti....”

Baru saja orang bercadar mengucapkan kata-kata itu sekonyong-konyong ada suara

lain menjawab.

“Tak ada kepastian di dunia ini! Kecuali maut!”

Lalu sesosok tubuh berkelebat dan tegak lima langkah di hadapan Sabai Nan Rancak.

Orang yang barusan datang ini keluarkan suara tawa membahana!

*

* *

TIGA

Datuk Tinggi Raja Di Langit! seru Sabai Nan Rancak dengan suara bergetar lalu

bersurut sampai tiga langkah. “Salah! Gelarku sekarang adalah Jagal Iblis Makam

Setan! Ha... ha... ha...!”

Walau Sabai Nan Rancak adalah orang yang paling terkejut namun Iblis Pemalu dan

orang bercadar kuning tak kalah kaget serta ngerinya.

“Makhluk satu ini pasti muncul meneruskan urusan waktu di pantai, memalukan!”

Membathin Iblis Pemalu.

Si cadar kuning walau tampak tenang tak bergerak namun hatinya menjadi tak enak. 

“Pertemuan telah kuatur lama. Munculnya makhluk berhala ini akan merusak suasana.

Rahasia besar belum sempat tersingkap. Keadaan bakal bertambah gelap!” Begitu si cadar 

kuning membathin. Dia tidak dapat memastikan apakah sosok di depannya ini manusia

atau hantu lembah.

Seperti si cadar kuning, Sabai Nan Rancak juga sangat gelisah. “Kurang ajar.

Bagaimana makhluk celaka ini bisa muncul di tempat ini!” ujar Sabai Nan Rancak dalam

hati. “Urusan besar masih gelap. Kemunculannya akan membuat perkara jadi kapiran!”

Diam-diam dia menjadi tegang karena sebelumnya dia telah menyaksikan sendiri keganasan

sepasang kaki kakek sakti yang pernah menjadi momok nomor satu dalam dunia persilatan

di Pulau Andalas itu. 

“Makhluk celaka memalukan! Busuknya seperti lobang kakus!” membathin Iblis 

Pemalu. Dia tekap mukanya erat-erat dengan kedua tangannya sedang dua matanya

memandang melotot. Jari-jari kelingking dibengkokkan untuk menutupi lobang hidung. 

Orang ini berdiri tidak seperti manusia biasa adanya. Kakinya berada di atas sedang 

yang menjejak tanah adalah dua telapak tangannya. Tubuhnya kurus kering, menebar bau 

busuk dan terbungkus oleh pakaian penuh robek nyaris hancur. Wajahnya yang seram

dengan dua rongga mata terpuruk, taring dan gigi besar mencuat. Wajahnya yang cekung di

kedua pipi sebagian tersembunyi di balik kelebatan kumis, janggut, cambang bawuk dan

rambut panjang kotor riap-riapan. Yang menambah kengerian pada sosok orang ini adalah

sepasang kakinya. Sepasang kaki itu sebatas lutut ke bawah, sampai ke ujung jari-jari kaki 

berwarna putih menggidikkan karena hanya tinggal tulang tak terlapis daging atau kulit

sedikit pun! Dua tulang kaki ini berbentuk sangat pipih hingga tidak beda dengan sepasang 

pedang bermata luar biasa tajam! (Siapa adanya orang ini harap baca Episode sebelumnya

berjudul Jagal Iblis Makam Setan)

“Sabai! Dunia ini terlalu sempit untuk kita berdua!”. Orang yang mengaku berjuluk

Jagal Iblis Makam Setan berkata dengan suara keras membahana. Setiap mulutnya terbuka,

rambut, janggut serta kumis yang menutupi wajahnya bersibak melambai bergoyang-

goyang. “Karena itu kematian tak terelakkan menjadi bagianmu! Namun sebelum mampus 

harap kau segera menanggalkan Mantel Sakti, menyerahkannya padaku. Jugamengembalikan sekantong Mutiara Setan milikku! Kau tidak tuli, kau mendengar! Jadi 

jangan mengumbar berbagai dalih!”

Sabai Nan Rancak tampak tegang sesaat. Begitu dia bisa menguasai diri maka seringai

buruk tersungging di mulutnya. Dari hidungnya keluar suara mendengus.

“Makhluk busuk compang-camping! Aku maklum otakmu tidak waras. Jadi tidak

salah kalau kau sampai kesasar dan bicara ngacok di tempat ini!”

Jagal Iblis Makam Setan yang dulunya adalah salah seorang tokoh silat golongan 

hitam di Pulau Andalas dikenal dengan julukan Datuk Tinggi Raja Di Langit tertawa gelak-

gelak. Sepasang kakinya yang tinggal tulang memutih digoyang-goyang hingga 

mengeluarkan suara angker bersiuran. (Untuk lebih jelas siapa adanya Datuk Tinggi Raja Di

Langit, riwayatnya bisa dibaca dalam serial berjudul Makam Tanpa Nisan)

“Sabai Nan Rancak! Belum mampus kau sudah jadi setan penasaran yang bicara tak

karuan! Tadi aku sudah bilang jangan berusaha mencari dalih! Lekas kau serahkan barang-

barang milikku! Mantel Sakti dan Mutiara Setan! Atau mungkin kau ingin aku mengambil

dua benda itu setelah kau menjadi mayat tak berguna?!”

Si nenek kembali keluarkan suara mendengus. “Kau bukan saja bicara melantur! Tapi 

juga pembohong dan penipu busuk! Apa kau lupa Mantel Sakti dan Mutiara Setan kau

serahkan padaku dengan ikhlas sebagai ganti balas aku mengeluarkan dirimu hingga bebas 

dari pendaman kuburan batu?! Sekarang kau bukan saja mengungkit-ungkit kisah yang

sudah basi tapi juga mengumbar cerita palsu! Aku tidak segan-segan mengembalikan

Mantel Saktimu, tapi mungkin kau tak punya kesempatan. Mantel Sakti ini akan

menghancurkan tubuhmu yang kurus kering sebelum kau sempat menyentuhnya!”

Habis berkata begitu Sabai Nan Rancak membuat gerakan seperti hendak membuka

mantel hitam yang dikenakannya. 

“Begitu? Alangkah hebatnya! Ha... ha... ha!” Jagal Iblis Makam Setan tertawa

terkekeh. Kakinya kembali digoyang-goyangnya. “Aku mau lihat! Aku mau lihat!”

“Benar-benar memalukan! Semua jangan ada yang berani bergerak!” Tiba-tiba Iblis 

Pemalu berteriak.

Kepala Jagal Iblis Makam Setan yang tergantung di antara dua tangannya yang

menjejak tanah berpaling. “Hemmm.... Pemuda berotak miring! Kau juga ada di sini!

Rupanya sudah terniat dalam otak bodohmu akan ikut mampus bersama nenek calon

bangkai itu!”

“Memalukan! Tidak tahu apa-apa enak saja bilang aku gila berotak miring! Kau

sendiri mungkin lahir kurang hari hingga hidup kaki ke atas kepala ke bawah! Manusia 

sepertimu ini biasanya lahir tanpa biji! Kalau berak pasti dari mulut bukan dari anus!

Memalukan sekali! Hik... hik... hik!”

Merah padam tampang Jagal Iblis Makam Setan. Dari tenggorokannya keluar jeritan 

melengking. Tubuhnya melesat ke udara. Ketika turun lagi ke tanah maka dia berdiri

bagaimana wajarnya yakni dengan dua kaki menginjak tanah! Kini wajahnya terlihat lebih

jelas. Seram angker menggidikkan.

“Pemuda anjing! Kau pasti terlahir dari bapak iblis ibu setan!” bentak Jagal Iblis 

Makam Setan.

Iblis Pemalu keluarkan suara bersiul lalu tertawa gelak-gelak. “Kalau iblis dan setan

bisa kawin, sungguh memalukan! Apakah kau pernah melihat setan dan iblis berhubungan

badan?! Hik... hik... hik! Kalau kau mampu melihat berarti kau bukan manusia! Tapi anak

hantu yang keluar dari pantat setan! Hik... hik... hik!”“Jahanam! Jaga lehermu!” Teriak Jagal Iblis Makam Setan. Tubuhnya melesat ke 

udara. Seperti tadi kepalanya kembali berada di sebelah bawah dan dua kaki mengapung di

udara. Manusia angker Ini keluarkan satu pekikan dahsyat. Bersamaan dengan itu tubuhnya

melesat ke arah Iblis Pemalu. Dua kakinya laksana gunting raksasa berkiblat mengeluarkan

cahaya menggidikkan. Membuat gerakan memancung. Yang di arah adalah batang leher

Iblis Pemalu. Gerakan serangan ini bukan saja aneh tetapi luar biasa cepatnya.

“Claak!”

“Claak!”

Sambaran sepasang kaki mengeluarkan suara seperti gerakan gunting raksasa.

Sabai Nan Rancak terkesiap melihat aneh dan ganasnya serangan Jagal Iblis Makam

Setan. Orang bercadar kuning tersentak kaget. Belum pernah dia melihat ada orang yang

mempergunakan sepasang tulang-tulang kakinya sebagai dua senjata mengerikan begitu

rupa.

“Kalau makhluk jahanam ini tidak dicegah urusan besar bisa sia-sia!” membathin si 

cadar kuning. Maka dia segera kebutkan lengan baju kuningnya.

“Wuss!”

Sinar kuning menderu ke arah Jagal Iblis Makam Setan, menyambar dari samping.

Sabai Nan Rancak tidak tinggal diam. Tenaga dalam sudah disiapkan sejak tadi di 

tangan kanan.

Begitu melihat orang bergerak maka dia segera menghantam, lepaskan pukulan sakti

Kipas Neraka. Selarik sinar merah menyambar ganas dan panas. Setengah jalan sinar ini

mengembang seperti kipas hingga ruang serangannya menjadi lebih luas. Selama ini jarang

orang bisa selamat menghadapi pukulan sakti ini.

Iblis Pemalu, orang yang mendapat serangan langsung dari Jagal Iblis Makam Setan

tentu saja tak tinggal diam. Begitu melihat sepasang kaki yang aneh menggidikkan, 

keganasan cara menyerang yang mengeluarkan deru angin keras, pemuda ini segera

maklum. Leher atau bagian tubuhnya yang lain akan tergunting putus dan nyawanya pasti 

amblasi

“Memalukan! Iblis menyerang iblis!” seru iblis Pemalu. Kedua kakinya ditekuk.

Tubuhnya jatuh punggung di tanah. Dua kaki tinggal tulang berbentuk sepasang pedang 

yang menggunting lewat di atas tubuhnya.

“Claaakk!”

“Craasss!” 

“Kraaakkk!”

Semua mata terbelalak.

Iblis Pemalu yang masih tertelentang di tanah merasakan tengkuknya laksana 

diguyur es!

Akibat serangannya tidak menemui sasaran, tubuh Jagal Iblis Makam Setan melesat

di atas Iblis Pemalu. Sepasang kakinya terus menyambar ke arah pohon yang besar

batangnya hampir tiga kali paha manusia.

Dua tulang kaki yang pipih setajam pedang berkelebat dahsyat dalam gerakan

menggunting. Batang pohon putus rata laksana disambar petir!

Bagian atasnya tumbang dengan suara menggemuruh! Sabai Nan Rancak dan iblis 

Pemalu yang sebelumnya sudah pernah menyaksikan keganasan sepasang kaki Jagal Iblis 

Makam Setan itu masih merasa merinding. Apalagi si cadar kuning.

“Memalukan! Pohon tak bersalah mengapa ditebang!” berteriak Iblis Pemalu. Dia

kerahkan tenaga dalamnya ke punggung. Secara aneh tubuhnya naik dalam keadaan seperti

berbaring. Lalu tiba-tiba kaki kanannya melesat ke atas, menghantam ke lambung Jagal Iblis 

Makam Setan. Gerakan pemuda ini luar biasa cepatnya. Jangankan perut manusia, batu

besar pun akan hancur kena hantamannya!

Saat itu Jagal Iblis siap memutar tubuh untuk melompat turun ke tanah. Namun hal

itu tak bisa dilakukannya. Bukan saja karena dia harus selamatkan diri dari serangan kaki 

yang bisa menjebol perutnya. Tapi juga karena di saat yang hampir bersamaan serangan si

cadar kuning dan Sabai Nan Rancak datang hampir berbarengan! Sinar kuning dan sinar

merah menyambar dahsyat dari dua arah!

Jagal Iblis Makam Setan keluarkan suara meraung seperti anjing melolong. Ujung jari-

jari kaki kirinya ditusukkan ke batang pohon. Lalu kaki kanan bergerak menebas dengan 

cepat. “Crasss!” Batang pohon putus. Bersamaan dengan itu kaki kiri ikut bergerak 

melemparkan potongan batang kayu. Potongan batang kayu melesat ke bawah menghantam 

ke arah Iblis Pemalu!

“Gila memalukan!” teriak Iblis Pemalu ketika melihat potongan batang kayu yang

beratnya hampir lima puluh kati itu jatuh tepat di atas kepalanya! 

“Memalukan! Kepalaku hendak dibikin rengkah!” kembali Iblis Pemalu berteriak.

Sambil melontarkan tubuhnya ke samping dia hantamkan tangan kanannya ke atas. Tangan

kiri terus menutupi wajah. “Wuttt!”

Satu gulungan sinar putih aneh melesat ke atas. Luar biasanya pukulan sakti ini

bukan memukul untuk membuat mental atau menghancurkan potongan besar batang

pohon. Tapi laksana seutas tali besar sinar itu menggulung kutungan batang pohon.

Iblis Pemalu keluarkan suitan keras. Tangan kanannya disentakkan. “Wuuttt!” Batang

pohon tertarik keras. Melesat ke samping. Menghantam Jagal Iblis Makam Setan. Di saat

yang sama sinar kuning dan sinar merah pukulan sakti yang dilepaskan si cadar kuning

serta Sabai Nan Rancak menderu.

Jagal Iblis Makam Setan keluarkan suara seperti anjing melolong. Kedua kaki 

tulangnya bergerak cepat. Membabat, menusuk dan menggunting. Suara “claakk... claakk...

clakkk terdengar tak berkeputusan. Dalam waktu singkat sepasang kaki itu telah membuat

hampir enam puluh gerakan! Apa yang terjadi sungguh luar biasa.

Batang kayu besar berubah menjadi potongan-potongan kecil puluhan banyaknya. 

Bertaburan di udara. Lalu terdengar suara orang meniup.

Puluhan keping batang kayu melanda ke arah Iblis Pemalu. Bagaimana pun hebat

dan cepatnya gerakan pemuda aneh ini tidak mungkin dia sanggup mengelakkan demikian 

banyak kepingan kayu yang siap menancapi tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki.

*

* *

EMPAT


 Iblis Pemalu tekap wajahnya kuat-kuat dengan dua telapak tangan. Sepasang matanya

melirik ke kiri lalu ke kanan. Dalam keadaan kritis begitu rupa dia seperti tidak acuh 

menghadapi bahaya maut. Tapi pemuda ini sebenarnya sudah memperhitungkan.

“Jagal Iblis! Seranganmu boleh juga! Tapi sia-sia! Memalukan! Ada dua sahabat

menolong diriku! Lihat saja!”

Habis berseru begitu Iblis Pemalu berjungkir balik di udara. Lalu tubuhnya menukik

ke bawah. Saat itulah sinar kuning serangan si cadar kuning dan cahaya merah pukulan

sakit Kipas Neraka yang dihantamkan Sabai Nan Rancak sampai.

“Wusss!”

“Wusss!”

Sinar kuning dan cahaya merah beradu dahsyat di udara. Kilatan cahaya api mencuat 

setinggi lima tombak, menebar mendatar seputar tiga tombak setelah lebih dahulu

mengeluarkan suara berdentum laksana gunung meletus. Lembah Merpati seolah lenyap

ditelan kobaran api dan kepulan asap.

Jagal Iblis Makam Setan melolong keras. Tubuhnya terhempas ke sebatang pohon lalu 

terpental sejauh tiga tombak dan jatuh menyangsrang di serumpunan semak belukar.

Sabai Nan Rancak terpental ke udara. Ketika jatuh ke bawah dia bergerak cepat.

Berusaha mengimbangi diri agar tidak terhempas. Namun gelegar bentrokan dua kekuatan

sakti membuat dia seolah kehilangan bobot dan akhirnya terbanting ke tanah tak berapa

jauh dari tempat menyangsrangnya Jagal Iblis. Dia cepat bangkit berdiri. “Memalukan! Gila!

Betul-betul memalukan!” teriak pemuda itu berulang kali. Dia berdiri satu tangan masih

menutupi wajah, satu tangan lagi menepuki pantat celana dan punggung baju hitamnya

yang kotor oleh tanah dan debu. Saat itulah baru disadarinya kalau dua keping pecahan

pohon menancap di tubuhnya. Satu di lengan kiri, satu lainnya di bahu kiri. Iblis Pemalu

cepat gerakkan tangan kanan untuk mencabut kepingan-kepingan kayu itu. Ada bercak

darah pada pundak kirinya pertanda cidera.

Ketika dentuman menggelegar dan Lembah Merpati dilanda goncangan hebat, Sabai

Nan Rancak merasakan sekujur tubuhnya laksana mau amblas ke dalam tanah. Nenek ini

cepat kerahkan tenaga dalam. Namun tak urung lututnya terlipat. Kedua kakinya laksana

dibetot ke bawah. Tubuhnya jatuh terduduk. Perempuan tua ini berusaha segera bangkit.

Tapi dia kembali jatuh terduduk. Mukanya tampak merah mengelam. Bukan saja karena

marah tapi lebih dari itu oleh rasa malu yang amat sangat. Tadi dia menyaksikan sendiri

walau cidera namun begitu jatuh Iblis Pemalu mampu dengan cepat bangkit kembali. Berarti

pemuda itu memiliki tingkat kekuatan yang tidak berada di bawahnya. Lalu saat itu dia juga

menyaksikan bagaimana orang bercadar kuning sanggup bertahan hingga tidak jatuh atau 

rubuh ke tanah walau sekujur tubuhnya tampak bergetar dan dia memegangi cadarnya agar

tidak terlepas. “Orang berpakaian dan bercadar kuning itu...” ujar Sabai Nan Rancak dalam

hati. “Dia benar-benar luar biasa. Sanggup bertahan hingga tidak roboh.... aku harus segera

mencari tahu siapa dia sebenarnya! Tapi iblis penghalang satu itu harus kusingkirkan dulu!”

Si nenek berpaling ke arah semak belukar di atas mana Jagal Iblis Makam Setan

terpuruk. Terkejutlah Sabai Nan Rancak. Saat itu si kakek iblis berpakaian hancur kumal itu 

telah berdiri di atas semak belukar. Walau tubuhnya kurus kering namun sulit diterima akal

ada orang bisa tegak seperti yang dilakukannya. “Bangsat ini memiliki ilmu meringankan

tubuh luar biasa. Tidak heran kalau dia mampu pergunakan sepasang kaki untuk

menyerang. Benar-benar berbahaya. Agaknya aku terpaksa mengatur siasat agar urusan

besar bisa diselesaikan. Kalau rahasia itu tidak tersingkap rasanya aku akan penasaran

sampai ke liang kubur....” '

Di atas semak belukar Jagal Iblis Makani Setan umbar tawa mengekeh. “Batang

pohon sanggup kutabas. Potongan batang mampu kucacah jadi puluhan keping! Apakah

tubuh-tubuh kalian lebih atos dan kuat dari pohon?! Ha... ha... ha!”Saat itu Sabai Nan Rancak membuat gerakan membuka Mantel Sakti yang

dikenakannya. Melihat hal ini si Jagal Iblis semakin keras tawanya. Sambil menuding 

dengan tangan kiri ke arah si nenek, dia berkata.

“Bagus Sabai! Ternyata kau tidak setolol yang aku duga! Kembalikan Mantel Saktiku

secara baik-baik. Juga sekantong Mutiara Setan! Begitu dua benda sakti itu berada di

tanganku aku anggap habis semua perkara!”

“Aku membuka mantel bukan untuk menyerahkan padamu! Tapi dengan mantel ini

aku akan membunuhmu!” jawab Sabai Nan Rancak dengan seringai mengejek.

Jagal Iblis Makam Setan kembali tertawa. “Kalau begitu kau benar-benar dungui Kau

tahu tingginya puncak Singgalang. Dalamnya danau Singkarak! Dan kau hendak menantang

semua itu! Ha... ha... ha...! Hari ini aku untung besar. Membunuhmu dan juga dapatkan

kembali dua senjata sakti milikku!”

Jagal Iblis melolong keras. Tubuhnya melesat ke udara. Ketika menukik sepasang

kakinya berada di sebelah bawah, menyambar ke arah si nenek.

“Claaakkk.... claakkk... clakk!” Dua kaki yang pipih laksana pedang membuat 

gerakan menggunting.

“Tahan!” Tiba-tiba Sabai Nan Rancak berseru sambil angkat tangan kanannya 

pertanda bahwa .setiap saat tangan itu serta merta bisa menghantamkan pukulan sakti Kipas 

Neraka.

Di udara Jagal Iblis membuat gerakan berjungkir balik. Di lain kejap dia tahu-tahu 

sudah berdiri dua langkah dari hadapan. Sabai Nan Rancak. Dua telapak tangan menjejak

tanah sedang sepasang kaki yang berada di atas menyilang di atas pundak kiri kanan si 

nenek. Sekali tulang kaki berbentuk pedang pipih itu membuat gerakan menggunting, maka

tak ampun akan amblaslah leher si nenek terpancung!

Si nenek tegak laksana patung, tak berani bergerak bahkan mungkin juga tak sanggup

bernafas lagi. Mukanya yang keriputan sepucat kertas. Tangan kanannya memancarkan

sinar merah. Tapi dia tidak membuat gerakan apa-apa untuk melepaskan pukulan Kipas

Neraka. Sebabnya jika gerakannya menghantam didahului oleh lawan maka putuslah

lehernya!

Iblis Pemalu goleng-golengkan kepala. “Aku malui Benar-benar malu! Dua kaki di

atas bahu. Satu nyawa siap melayang!”

Di tempat lain si cadar kuning walaupun tersentak kaget melihat apa yang terjadi di

depan matanya dan telah menyiapkan pukulan sakti di kedua tangannya namun tak berani

membuat gerakan. Dalam hati dia membathin. “Aku bisa membunuh kakek jahanam itu.

Tapi apakah mungkin selamatkan nyawa nenek satunya itu?”

Jagal Iblis Makam Setan tertawa panjang lalu keluarkan suara seperti lolongan anjing.

Di langit sang surya mulai menggelincir menuju ufuk tenggelam. Keadaan di lembah redup

digantungi ketegangan.

Tiba-tiba Jagal Iblis hentikan tawanya. Lalu dari mulutnya keluar bentakan.

“Sabai! Hari ini kau benar-benar bernasib buruk! Sebelum lehermu kujaga! katakan

apa maumu!”

“Aku seorang yang memegang janji. Bagaimana dirimu!” Si nenek ajukan pertanyaan.

“Aku manusia iblis! Mana mungkin mengadakan perjanjian dengan manusia jelek

sepertimu?! Ha... ha... ha...!”

“Kalau begitu kau sengaja memilih mampus bersama!” ujar Sabai Nan Rancak

dengan suara dan wajah dingin.

“Eh, apa maksudmu?!” hardik Jagal iblis Makam Setan seraya melirik ke tangankanan Sabai Nan Rancak yang saat itu semakin keras memancarkan cahaya merah.

“Maksudku silahkan saja menabas leherku! Tapi apa kau bisa selamat dari pukulan

Kipas Neraka di tangan kananku?! Hik... hik... hik!” Si nenek tertawa cekikikan.

Kini Jagal Iblis yang jadi tercekat. Keningnya mengerenyit. Dagunya bergerak-gerak.

Janggut, kumis dan rambutnya yang terjulai ke tanah bergoyang-goyang.

“Keparat jahanam! Apa kau kira aku takut mati?!”

“Hik... hik... hik! Kalau begitu teruskan niatmu menggunting leherku!” Menantang

Sabai Nan Rancak. Tangan kanannya ditarik sejengkal ke belakang. Pertanda nenek ini siap 

menghantam.

Jagal Iblis Makam Setan keluarkan suara menggerendeng. Namun diam-diam saat itu 

dia menjadi bimbang. Setelah berpikir cepat maka dia berkata.

“Baik! Katakan apa yang ada dalam benakmu!”

“Aku akan mengembalikan Mantel Sakti dan sekantong Mutiara Setan padamu. Tapi

aku punya syarat.... Bagaimana?”

“Hemmm.... Katakan syaratmu!” ujar Jagal Iblis, pula.

“Setelah kau menerima dua benda sakti itu kau tidak boleh mengganggu diriku. Juga

dua orang yang ada bersamaku saat ini....”

“Syarat mudah! Aku terima!” jawab Jagal Iblis lalu tertawa gelak-gelak.

“Syaratku belum semua kusebutkan! Jangan tertawa dulu!” ujar Sabai Nan Rancak.

“Hemm.... Kau' boleh meneruskan. Tapi kalau syaratmu terlalu banyak jangan harap

aku mau menerima!”

“Begitu kau dapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan kau harus segera angkat kaki

dari tanah Jawa ini. Kembali ke Pulau Andalas!”

“Syarat gila! Aku tidak bisa terima! Aku ingin gentayangan dulu cari pengalaman di

tanah Jawa ini! Siapa berahi melarang?!”

“Kalau begitu jangan harap aku akan serahkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan!”

jawab Sabai Nan Rancak.

Jagal Iblis tertawa bergelak. Dia melirik ke tangan kanan Sabai Nan Rancak. Si nenek

merasa dua kaki yang bersilang di atas pundaknya menekan memberat. Sebelum dia tahu 

apa yang bakal dilakukan lawan tiba-tiba tangan kiri Jagal Iblis melesat ke atas. Dengan

hanya berdiri di atas tangan kanan Jagal Iblis cekal pergelangan tangan kanan Sabai Nan

Rancak dengan tangan kirinya hingga tak mungkin bagi si nenek untuk melancarkan

serangan Kipas Neraka.

“Aku siap menjagal lehermu Sabai! Apa kau sudah ikhlas mati mengenaskan saat ini 

juga?!”

Wajah tua keriput Sabai Nan Rancak berubah dan tampak tegang. Pundaknya turun

ke bawah. “Bangsat kau Datuk Tinggi!”

“Gelarku Jagal Iblis Makam Setan!” bentak si kakek berkaki tulang.

“Persetan siapa pun nama dan gelarmu! Saat ini aku mengalah. Tapi lain kali jangan 

harap aku mau memberi ampun padamu! Sebaiknya kita tidak perlu bertemu' lagi. Karena

begitu aku melihatmu aku bersumpah akan membunuhmu!”

Jagal Iblis Makam Setan kembali tertawa bergelak.

“Nenek Sabai! Tindakanmu memalukan sekali!. Jangan serahkan Mantel dan Mutiara

Setan itu!” Berteriak Iblis Pemalu ketika dilihatnya si nenek menanggalkan Mantel Sakti dan

mengeluarkan sebuah kantong kain dari balik pakaiannya.

Si cadar kuning ikut tercekat. “Astaga! Apa yang dilakukannya?! Apa tak ada lagi

benak di dalam kepala?! Memberikan dua senjata itu sama saja menciptakan dua musuhcelaka!” Orang ini segera berlalu. “Sabai! Perbuatanmu salah kaprah! Dunia persilatan akan

dilanda bencana!”

“Aku tak ada pilihan lain!” jawab Sabai Nan Rancak dengan suara tercekat.

Jagal Iblis Makam Setan menyeringai. “Lemparkan mantel dan kantong kain itu ke

tanah, di samping kiriku!”

Sabai Nan Rancak ikuti perintah orang. Mantel Sakti dan kantong kain berisi Mutiara 

Setan dijatuhkannya ke tanah, satu langkah di samping kiri si kakek

“Aku malu!” teriak Iblis Pemalu. Lalu palingkan muka, menghadap ke jurusan lain

sambil terus menutupi wajahnya dengan dua telapak tangan. “Percaya pada Iblis! Percaya

pada manusia Setan! Benar-benar memalukan!”

Jagal Iblis pencet lengan kanan si nenek. Lalu berkata. “Aku masih merasakan aliran

tenaga dalam. Tangan kananmu masih memancarkan sinar merah! Kau setengah hati atau 

masih berharap dapat membokongku dengan pukulan Kipas Neraka?”

Si nenek pelototkan matanya. Jagal Iblis balas membelalak. Akhirnya Sabai Nan

Rancak terpaksa hentikan aliran tenaga dalam ke tangan kanan. Bersamaan dengan itu sinar

merah yang memancar di tangan itu perlahan-lahan meredup dan akhirnya lenyap sama

sekali.

“Bagus!” ujar Jagal Iblis. Perlahan-lahan dia turunkan sepasang kakinya yang

diletakkan di atas bahu kiri kanan si nenek. 

Perlahan-lahan Jagal Iblis turunkan kedua kakinya. Masih mencekal tangan kanan si 

nenek, dia berjungkir balik hingga kedua kakinya kini menjejak tanah. Sambil menyeringai

dia berkata. “Kau boleh pergi sekarang Sabai. Tapi aku punya firasat hidupmu tak bakal

lama!”

“Iblis akan kembali ke Iblis. Setan akan kembali menjadi Setan! Itu bagianmu kelak!”

sahut Sabai Nan Rancak lalu sentakkan tangan kanannya dari cekalan orang;

Sabai Nan Rancak membalik dengan cepat. Dia memberi isyarat pada si cadar kuning

dan Iblis Pemalu. “Lekas ikuti aku!” bisiknya.

Iblis Pemalu sesaat meragu. Pemuda ini memandang pada si cadar kuning. Orang

yang dipandang goyangkan kepalanya. Ketiga orang itu akhirnya berkelebat meninggalkan 

Lembah Merpati. Di satu tempat Sabai Nan Rancak hentikan larinya.

“Aku tak punya waktu lama. Kita berpisah di sini....”

“Tapi urusan belum selesai! Rahasia besar masih mengambang. Jangan tinggalkan

jurang menghalang. Bicara dulu agar badan tak sansai....” (sansai = menderita) Berkata si

cadar kuning.

“Aku malu! Cadar kuning apakah kau tidak malu? Nenek satu ini agaknya tak punya 

malu!”

“Jangan bicara seperti itu! Aku tahu urusan belum selesai. Rahasia masih

mengambang. Aku meminta agar kita bertemu lagi dalam waktu dekat. Meneruskan

pembicaraan! Bagaimana? Aku ingin jawab kalian. Cepat!”

“Ada apa dengan dirimu sebenarnya? Kau menyerahkan Mantel Sakti dan Mutiara 

Setan begitu saja. Kini meneruskan bicara pun kau tidak sudi. Sungguh tindakan tidak

terpuji....”

“Orang bercadar! Aku ingin jawabmu. Apa kau mau mengadakan pertemuan lagi

atau tidak? Kalau tidak, perduli setan dengan segala rahasia hidup di antara kita!”

“Kalau itu pintamu! Kita bertemu lagi dua hari di muka di tempat yang sama....”

Berucap si cadar kuning.

“Lembah Merpati?!” tanya Sabai Nan Rancak.“Betul sekali. Oi tempat tadi....”

“Tolol sekali! Orang akan mudah mencari dan menjebak kita di tempat itu!” kata

Sabai Nan Rancak pula.

Si cadar kuning gelengkan kepala. “Itulah rahasia hidup. Seseorang tak akan mencari

di tempat yang sama: Karena itu tidak pernah akan terduga. Siapa yang akan

memperhatikan bunga kuncup?”

Sabai Nan Rancak terdiam. “Kau benar...” katanya perlahan. Nenek ini tiba-tiba

palingkan kepalanya ke kiri. “Dia datang! Lekas lari berpencar!”

“Jangan membuat malu menyuruh lari. Dia siapa yang datang?!” Bertanya Iblis

Pemalu.

“Jangan banyak tanya! Lari saja! Sekarang! Cepat!” Tidak sabaran si nenek dorongkan

tangannya kiri kanan hingga si cadar kuning dan Iblis Pemalu terjajar beberapa langkah.

Ketiga orang itu untuk kedua kalinya berkelebat pergi. Namun sekali ini mereka berpencar 

ke tiga jurusan.

Baru saja Sabai Nan Rancak, iblis Pemalu dan si cadar kuning lenyap dari tempat itu

muncullah Datuk Tinggi Raja Di Langit alias Jagal Iblis Makam Setan. Sepasang matanya 

yang cekung seperti mau melesat keluar. Rahangnya menggembung- dan pelipisnya

bergerak-gerak.

“Jahanam.... Berani menipuku!” Si kakek memandang berkeliling. “Sabai! Jangan

harap kau bisa kabur jauh! Akan kucincang tubuhmu dengan kedua kakiku!”

Apa yang telah terjadi?

Tak lama setelah Sabai Nan Rancak, si cadar kuning dan Iblis Pemalu meninggalkan

Lembah Merpati, dengan cepat Jagal Iblis mengambil Mantel Sakti dan kantong berisi 

senjata rahasia berupa mutiara hitam yang tadi dicampakkan Sabai Nan Rancak di tanah.

Begitu memegang mantel hitam kakek ini merasakan ada kelainan. Dia sibakkan rambutnya 

yang menjulai menutupi wajah lalu memperhatikan mantel hitam itu dengan mata

mendelik. Beberapa kali mantel itu dikembangkan dan dibolak-baliknya. 

“Enteng.... Mantelku tidak seringan ini...” ujar Jagal Iblis. Kembali Mantel Sakti itu 

dibolak-baliknya lalu diciumnya berulang kali. Masih kurang percaya dia lalu kerahkan

tenaga dalam dan kibaskan mantel hitam ke arah sebatang pohon. Tidak terjadi apa-apa.

“Keparat jahanam! Mantel palsu! Aku kena ditipu!” Teriak Jagal Iblis menggeledek.

Mantel hitam yang dipegangnya dibantingkan ke tanah. Dia keluarkan kantong kain dari 

balik pakaiannya yang kumal hancur. Isinya dituangkan ke telapak tangan kanan. Sepasang

matanya mendelik semakin besar. Lalu kembali terdengar kutuk serapahnya. “Bangsat! 

Mutiara ini juga palsu!” Sekali dia meremas, butiran-butiran hitam dalam genggamannya

hancur luluh. Benda itu ternyata hanyalah butiran-butiran tanah diberi lapisan warna hitam 

berkilat!

*

* *

LIMA


Kita tinggalkan dulu Jagal Iblis Makam Setan yang berada dalam keadaan marah luar

biasa karena ditipu oleh Sabah Nan Rancak. Kita kembali pada Puti Andini yang berada di

dasar Telaga Gajahmungkur, di satu tempat aneh penuh rahasia bernama Liang Akhirat.

Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Liang Lahat Gajahmungkur) saat itu atas 

perintah Kiai Gede Tapa Pamungkas, bocah aneh bernama Naga Kuning terpaksa

menyergap Puti Andini dan melemparkannya ke dalam lobang Liang Lahat. Tentu saja Puti

Andini tidak tinggal diam. Begitu Naga Kuning Berkelebat ke arahnya dia segera

menghantam dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.

Naga Kuning merasakan satu dorongan angin keras menahan gerakannya hingga 

sesaat dia terpentang dengan tangan terkembang. Puti Andini tidak memberi kesempatan. 

Dia terus merangsak ke depan. Tangan kanannya kembali bergerak. Kali ini memukul ke

arah si bocah. Yang diarahnya adalah tangan kanan Naga Kuning yang cidera dan diikat

dengan secarik kain.

Tapi si anak tidak bodoh. Tubuhnya berkelebat ke samping. Kakinya menjegal ke 

arah kaki si gadis. “Blukkk!”

Puti Andini jatuh tertelungkup ke lantai ruangan. Gadis ini menggeram marah. Dia

cepat melompat bangkit. Namun belum sempat tahu-tahu tengkuk bajunya telah dicekal

orang. Dia memukul ke belakang. Tidak kena. Dia berpaling. Ternyata yang mencekalnya

adalah anak berpakaian hitam itu. Sulit dipercaya, Naga Kuning yang bertubuh kecil itu 

sanggup mencekal lalu mengangkat Puti Andini dan menenteng gadis ini menuju lobang 

besar.

“Maafkan aku. Aku terpaksa melemparmu ke dalam Liang Lahat. Aku hanya 

menjalankan perintah....” Berucap Naga Kuning setengah berbisik.

“Anak setani Kau mau saja diperintah berbuat keji. Berarti kau sama jahatnya dengan

bangsat tua itu!” Sembur Puti Andini. Lalu dia memutar badannya, kedua kakinya

ditekankan ke pinggiran Liang Lahat. Salah satu tangan menggapai ke balik punggung Naga

Kuning. .

“Kau mau melemparkan aku ke dalam Liang Lahat! Silahkan saja! Tapi aku ingin kau 

ikut bersamaku!”

Naga Kuning terkesiap kaget. Ketika dia hendak melemparkan si gadis ke dalam 

Liang Lahat, tangan kanan Puti Andini menggelung tubuhnya dengan keras. Kalau dia

teruskan niatnya melempar gadis itu niscaya tubuhnya akan ikut amblas masuk ke dalam

Liang Lahat! Selagi anak itu berada dalam keadaan bingung begitu rupa Puti Andini 

pergunakan tangan kirinya untuk menggebuk. Jotosan tangan kirinya mendarat telak di 

perut Naga Kuning hingga anak ini mengerluarkan suara seperti orang muntah. Tapi

anehnya wajahnya kemudian tampak tersenyum. Lalu terdengar anak ini berbisik. “Ayo

pukul lagi. Hantam tubuhku sejadi-jadinya. Cepat lakukan!”

Puti Andini tidak bisa berpikir apa maksud Naga Kuning berkata begitu. Dia

kemudian memang menghujani anak ini dengan pukulan tangan kiri. Dua hantaman di

kepala. Empat di dada dan dua lagi di perut. Semua itu dilakukannya bukan karena

mendengar kata-kata Naga Kuning tapi karena takut kalau dirinya benar-benar dilemparkan

masuk ke dalam Liang Lahat dimana tadi dia melihat dua ekor naga raksasa masuk dan

menghilang di dalam lobang itu. 

Naga Kuning keluarkan keluhan panjang. Sepasang matanya membeliak berputar-

putar. Anak ini terkulai lalu roboh ke lantai.

“Anak jahat! Silahkan kau masuk ke dalam lobang lebih dulu!” Puti Andini angkat

tubuh Naga Kuning lalu melangkah mendekati Liang Lahat. Sesaat lagi tubuh Naga Kuning

siap dilemparkannya ke dalam lobang besar itu tiba-tiba satu cahaya menyilaukan berkiblat.

Puti Andini terdorong lima langkah. Tubuh Naga Kuning terlepas, dari cekalannya. Dia

sendiri kemudian jatuh terduduk di lantai ruangan. Belum sempat bernafas dia dikejutkan

oleh melesatnya satu tangan aneh yang sangat panjang. Tangan ini menjambak rambutnya 

lalu sekali tangan itu bergerak tubuhnya terlempar masuk ke dalam Liang Lahat. Puti 

Andini menjerit setinggi langit. Cucu Sabai Nan Rancak ini berusaha menggapai pinggiran

lobang. Dia berhasil. Jari-jari tangannya mencengkeram tepi batu Liang Lahat. Namun daya 

lontar lemparan tubuhnya kuat sekali. Pinggiran batu Liang Lahat gompal besar. Tak ampun

lagi sosok Puti Andini jatuh masuk ke dalam lobang besar dan gelap. Sekali lagi terdengar 

jeritan mengerikan gadis itu menggelegar di seantero Liang Akhirat.

Sesaat setelah gema jeritan Puti Andini lenyap ditelan dalamnya Liang Lahat, di atas

makam putih sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas rangkapan dua tangan di depan dada,

menatap tajam pada anak yang tergeletak di lantai batu pualam.

“Naga Kuning! Jangan berpura-pura pingsan! Sikap perbuatanmu akhir-akhir ini 

sangat mengecewakan diriku!”

Sosok Naga Kuning tidak bergerak. Tapi mata kiri anak ini terbuka sedikit, melirik ke 

arah sosok sang Kiai yang konon disebut sebagai setengah manusia setengah roh itu.

“Kalau kau tidak mau bangun sendiri mungkin perlu aku meminta bantuan Makhluk 

Api Liang Neraka?!”

Begitu selesai berucap terdengar suara mendesis keras disusul dengan satu letupan. 

Ruangan yang tadinya sejuk itu mendadak sontak menjadi sangat panas. Kobaran api aneh

menerangi ruangan. Kobaran api ini membentuk sosok makhluk tinggi besar yang

bergoyang dan menjilat kian kemari. Melihat makhluk api ini kecutlah Naga Kuning. Anak :

ini segera bangkit dan duduk bersila sambil rapatkan dua tangan, menghadap ke arah Kiai

Gede Tapa Pamungkas. Mukanya benjat-benjut akibat pukulan Puti Andini. 

“Maafkan saya Kiai...” kata Naga Kuning seraya merunduk dalam-dalam.

“Wussss!” Sosok aneh bernama Makhluk Api Liang Neraka lenyap. Tempat itu

kembali terasa sejuk.

“Naga Kuning! Kau sengaja berpura-pura mengalah! Mengapa kau lakukan itu?!”

“Maafkan saya Kiai. Saya memang salah. Hati saya mengalahkan pikiran. Sanubari 

saya mengalahkan perintah. Saya tidak tega membunuh gadis itu....”

“Siapa yang menyuruhmu membunuh! Aku hanya memerintahmu melemparkannya

ke dalam Liang Lahat!”

“Saya mengerti Kiai. Tapi kita sama tahu masuk ke dalam Liang Lahat sama saja

masuk ke dalam liang kematian. Lobang itu seolah tidak memiliki dasar. Di dalam sana

ditunggui oleh sepasang naga sakti yang tak ingin diganggu....”

“Apakah kau pernah masuk ke dalam Liang Lahat hingga kau punya kesimpulan

seperti itu?”

“Memang saya belum pernah masuk Kiai. Tapi sembilan tokoh yang pernah saya

lemparkan ke dalam lobang itu atas perintah Kiai sampai saat ini tidak pernah terdengar lagi

kabar beritanya....”

“Mereka orang-orang tamak berdosa. Mengapa mereka diambil sebagai

perbandingan. Apa jawabmu?!”

“Saya mengaku salah Kiai. Saya tidak berani menjawab lagi,” ujar Naga Kuning.

“Kau memiliki ilmu Paus Putih. Yang bisa membuat tubuhmu licin tak sanggup

dicekal tak bisa dipegang. Tapi ketika gadis itu tadi hendak melemparkanmu ke dalam

Liang Lahat ilmu itu tidak kau keluarkan. Kau seolah pasrah dibunuhnya begitu saja....”

“Saya tidak bisa menjawab Kiai. Saya mengaku salah....”

“Jangan dusta Naga Kuning. Kau menyembunyikan sesuatu di lubuk hatimu!”

“Saya tidak menyembunyikan apa-apa Kiai....” “Kau dusta! Jelas kau dusta! Kau

menyukai gadis itu? Kau terpengaruh oleh keputihan tubuhnya yang tersingkap di balik 

pakaian merahnya yang cabik....”

“Pikiran saya tidak sampai ke situ Kiai. Saya tahu siapa diri saya. Saya hanya tidak

tega. Saya merasa kasihan karena sebenarnya gadis itu tidak bersalah. Dia masuk ke tempat 

terlarang ini atas perintah kakeknya. Perintah itu disertai pula dengan hasrat untuk

menolong seorang pendekar yang tengah ditimpa musibah. Pendekar mana konon akan

menjadi penyelamat dunia persilatan.... Saya mengaku salah. Saya siap menerima

hukuman....”

“Walau aku tidak percaya tapi baiklah. Kau menyangkal menyukai gadis itu. Tapi 

paling tidak berat dugaanku kau telah memandu gadis itu hingga berhasil masuk ke tempat

ini/Menjejakkan kaki di tempat ini bagi orang luar merupakan satu pantangan besar. Maut

tantangannya. Apalagi kalau dia sampai mengetahui dan mencari Pedang Naga Suci 212!”

Naga Kuning terdiam mendengar ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas itu. Dalam

hatinya bocah yang sesungguhnya berusia lebih dari seratus tahun ini berkata. “Kiai tidak

mempercayai. Percuma saja membela diri....” Maka anak ini lantas berucap. “Saya mengaku 

salah Kiai. Saya siap menerima hukuman.”

“Kau mengakui kesalahan. Bagus! Hukuman memang tak bisa kau hindarkan! Lekas

kau berdiri dan tegak di bawah dinding batu setengah lingkaran! Tempelkan tubuhmu

bagian belakang ke dinding batu itu!”

Naga Kuning segera berdiri lalu melangkah memutari Liang Lahat hingga akhirnya 

dia tegak membelakangi dinding batu tinggi setengah lingkaran. Anak ini tempelkan kepala

dan badan serta kakinya ke dinding batu ini. Di hadapannya dilihatnya Kiai Gede Tapa

Pamungkas mengangkat tangan kanan. Selarik sinar putih menyambar. Terdengar satu

letusan keras disertai mengepulnya asap putih. Ketika asap sirna kelihatanlah tubuh Naga

Kuning melesak masuk ke dalam dinding batu seolah menempel jadi satu.

“Naga Kuning, kau akan tetap berada di tempat itu sampai ada orang yang

menolongmu! Selama seratus tahun tak ada yang menolong berarti seratus tahun kau bakal

menerima nasib malang! Aku masih berbelas hati. Walau kau kaku seolah berubah jadi batu

tapi kau masih bisa bernafas dan bisa mendengar serta bicara!”

“Saya mengaku salah Kiai. Maafkan saya. Tapi saya tidak menyangka Kiai akan 

menjatuhkan hukuman begini rupa.” kata Naga Kuning dengan suara perlahan dan bernada

sedih penuh penyesalan.

Kiai Gede Tapa Pamungkas tampaknya tidak terpengaruh oleh ucapan Naga Kuning.

Dia angkat tangannya sekali lagi. Sinar putih kembali berkiblat. Disusul letusan keras. Kali

ini tak ada kepulan asap putih. Tapi ada suara menggemuruh.

“Kiai!” jerit Naga Kuning.

Dinding batu setengah lingkaran secara aneh bergerak turun memasuki Liang Lahat

hingga akhirnya lenyap bersama tubuh Naga Kuning.

*

* *


ENAM


Puti Andini merasa ngeri mendengar jeritannya sendiri. Tubuhnya melayang dalam

liang sangat gelap. Udara sepanjang lobang tempatnya melayang jatuh menebar hawa

aneh membuat nafasnya pengap. Gadis ini pegang! kepalanya erat-erat. Dia tidak tahu 

akan berapa lama dia melesat jatuh begitu rupa. Namun dasar lobang tak kunjung sampai.

Kalaupun akhirnya dia menyentuh dasar lobang pasti dia tidak akan mengetahui lagi karena

saat itu juga kepalanya akan hancur dan tubuhnya remuk tak karuan!

Sekujur tubuh gadis ini dibalut hawa dingin. Dia masih terus berteriak sampai

suaranya parau dan tenggorokannya sakit. Beberapa kali dia menggerakkan kaki dan 

tangan, berusaha menggapai sesuatu. Namun dia tak bisa memegang apa-apa. Usahanya

agar bisa melayang jatuh dengan kaki ke bawah pun tidak berhasil. Makin jauh masuk ke 

dalam Liang Lahat makin tak sanggup gadis ini berpikir lagi. Yang bisa dilakukannya

hanyalah menjerit dan menjerit parau. Pada puncak rasa takutnya kesadarannya mulai

lenyap. Dua tangannya yang diletakkan di atas kepala terkulai ke bawah.

Dalam keadaan seperti itu dia sama sekali tidak mengetahui kalau saat itu jauh di

sebelah bawah ada satu titik putih yang lambat laun berubah menjadi cahaya terang.

Bersamaan dengan itu dari bawah melesat hawa dan kabut dingin yang secara aneh

menahan sosok Puti Andini. Kalau sebelumnya sosok gadis itu jatuh sangat deras, kini

tubuh itu seperti mengapung. Masih terus jatuh ke bawah tapi perlahan-lahan.

Puti Andini yang berada dalam keadaan setengah sadar baru ingat dirinya ketika

hawa dingin sekali membuat sekujur tubuhnya bergeletar. Selain itu ada suara “duk... duk...

duk” menghentak aneh membuat badannya ikut tersentak-sentak. Masih dalam keadaan

terbaring, pertama sekali yang dilakukan gadis ini adalah memegang kepalanya dengan

kedua tangan. Lalu dia bangkit mencoba duduk. Ternyata dia berada di satu tempat

ketinggian. Memandang berkeliling dia melihat air.

“Astaga, aku kembali berada dalam air. Masih bisa bernafas seperti biasa. Berarti ilmu 

menyelam yang diberikan nenek sakti itu masih kumiliki.... Kepalaku tidak pecah. Tubuhku 

tidak hancur. Berada di mana aku saat ini? Apa masih berada dalam Telaga Gajahmungkur? 

Aku masih bisa melihat jernih dalam air. Aku masih bisa bernafas seperti di tempat terbuka.

Aku....”

Ucapan si gadis terhenti ketika tengkuknya mendadak menjadi dingin. Dalam air di

sekelilingnya melayang belasan jerangkong. Manusia yang telah berubah menjadi tulang

belulang ini sebagian dalam keadaan bersambung utuh. Namun banyak di antaranya telah

tercerai putus. Ada yang tanggal kaki atau tangannya. Ada yang tidak berkepala lagi.

Tengkorak-tengkorak kepala manusia melayang-layang dalam air. Namun yang paling

mengerikan adalah dua mayat yang masih utuh, berada dalam keadaan kaku. Dua mayat ini

adalah yang dilihat Naga Kuning sebelumnya yakni mayat Datuk Bonar alias Iblis Penghujat

Jiwa Dari Utara. Satunya lagi mayat seorang nenek bernama Nyi Ulan, dikenai dengan

julukan Singa Betina Pedataran Bromo. Dalam Episode Liang Lahat Gajahmungkur

dituturkan bahwa dua orang sakti itu berusaha mencari Pedang Naga Suci 212 namun

mereka berhasil dicegat oleh sepasang naga besar. Ketika mereka melawan, dua naga serta

merta membunuh keduanya.

Tak berani memperhatikan dua sosok mayat itu lebih lama Puti Andini putar kepala

ke jurusan lain. Dia melihat pasir putih menghampar di dasar air. Lalu ada suara “duk-dukduk” berkepanjangan dan sesuatu yang membuat tubuhnya terlonjak-lonjak. Telapak

tangannya meraba ke bawah. Diusap-usapnya. Terasa sirip-sirip licin mengeluarkan hawa

hangat. Gadis ini menoleh ke kiri lalu memandang ke bawah. Langsung saja jeritan keras

hendak melesat dari mulutnya. Jantungnya seolah lepas dan nyawanya seperti melayang

terbang! Betapakan tidak! Dia baru sadar kalau saat itu dia duduk di atas perut ular naga

besar betina yang sebelumnya dilihatnya di Liang Akhirat. Binatang ini tergolek melingkar.

Ekornya di pasir sedang kepalanya jauh di atas menyondak batu-batu hitam runding

membentuk langit-langit aneh. Setiap bernafas perut naga raksasa itu berguncang-guncang

membuat Puti Andini ikut terguncang-guncang. Lalu suara “duk-duk-duk” tak

berkeputusan bukan lain adalah degup jantung sang ular. Binatang aneh ini diam tak

bergerak. Sepasang matanya terpejam. Puti Andini ingin segera melompat dari atas perut 

naga itu. Namun ada rasa khawatir kalau gerakannya akan membuat sang naga yang

diperkirakannya tertidur itu menjadi terbangun.

“Celaka.... Apa yang harus aku lakukan. Cepat “atau lambat binatang aneh ini pasti

akan bangun. Begitu dia melihatku, pasti diriku akan ditelannya bulat-bulat! Tua Gila!

Menyesal aku menuruti perintahmu!”

Si gadis memandang ke samping kanan. Untuk kedua kalinya dia hampir menjerit

kalau dua tangannya tidak cepat dipergunakan untuk menutupi mulut. Hanya sepuluh

langkah di sampingnya terpentang kepala naga jantan, mendekam di atas gulungan 

tubuhnya sendiri. Dua matanya yang merah besar memandang menyorot. Mulutnya terbuka

lebar memperlihatkan lidah bercabang serta gigi dan taring besar mengerikan. Hembusan

nafas binatang ini membuat air bergejolak dan menyambar panas ke arah Puti Andini.

Kepala naga jantan bergerak. Sebagian tubuhnya menggeliat. Dari mulut binatang ini 

menyambar desisan keras. Membuat air menggelombang. Menghantam Puti Andini hingga 

gadis ini terpental dan jatuh ke atas pasir putih. Gelombang air membuat naga betina

terusik, membuka matanya sebentar lalu menggerakkan tubuhnya bagian bawah dan

mengangkat ekornya. Ketika ekor itu diturunkan, tepat menindih tubuh Puti Andini. Ekor

yang beratnya hampir seratus kati itu membuat si gadis tak bisa berkutik. Bagaimana pun

dia berusaha melepaskan diri tetap saja dia tersepit antara pasir putih dan ekor naga betina!

“Celaka! Apa yang harus aku lakukan?!” Ekor naga betina itu makin lama makin

terasa berat. Puti Andini mulai megap-megap. Dia kumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih 

ada. Di sebelah belakang dua kakinya ditekankan ke pasir. Di depan sepasang tangannya 

menggaruk pasir putih. Dia kerahkan tenaga agar bisa meloloskan tubuh dari himpitan ekor

naga betina. Namun sampai sepuluh jari tangannya menggali pasir sampai membentuk

lobang tetap saja gadis ini tak mampu lolos. Sementara itu beberapa potongan tulang

belulang manusia dan sebuah tengkorak melayang di sekitar kepalanya.

“Pedang Naga Suci 212.... Aku bukan menemukan senjata sakti itu. Tapi mencari mati

sendiri!”

Seolah pasrah Puti Andini akhirnya hanya geletakkan diri menelungkup di pasir. Saat

itulah samar-samar dia melihat sebuah benda putih tersembul di antara pasir dalam lobang

di sebelah kanan. Ketika disentuh dengan tangan ternyata keras dan licin. Karena mengira

hanya sebuah batu putih biasa Puti Andini tidak acuh. Dia kembali berbaring sambil terus

mencari akal bagaimana dapat meloloskan diri.

“Kalau kukerahkan tenaga dalam, lalu menghantam dengan pukulan sakti....

Mungkin pukulanku tidak mempan. Tidak terasa apa-apa. Tapi siapa tahu binatang ini

terbangun, menggerakkan ekornya....” Memikir begitu maka Puti Andini segera alirkan

tenaga dalam ke tangan kanan. Tapi selintas pikiran lain muncul dalam benak gadis ini.“Kalau ular besar ini tersentak bangun tapi lantas menjadi marah dan menyerang diriku.

Tamatlah riwayatku....” Puti Andini batalkan niatnya untuk menyerang naga betina.

Kembali dia berbaring tak bergerak. Dua matanya lagi-lagi membentur batu putih di dalam

lobang. “Kalau kuambil batu itu, lalu kulempar ke tubuh naga yang menghimpitku. 

Akibatnya mungkin tidak sehebat jika aku menghantam dengan pukulan sakti. Paling tidak 

aku harus melakukan sesuatu. Kalau tidak melakukan apa-apa, cepat atau lambat aku akan

menemui ajal di bawah tindihan ekor binatang raksasa ini....”

Puti Andini ulurkan tangannya. Ternyata tidak mudah mengambil batu dalam lobang 

itu. Batu itu seolah bersatu dengan pasir putih di sekitarnya yang telah membeku. Puti

Andini berhenti menggali ketika dirasakannya tiba-tiba ada hawa sangat dingin keluar dari

dalam lobang.

“Ada yang aneh...” membatin si gadis. Lalu dia kembali meneruskan menggali.

Mendadak naga jantan yang sejak tadi memperhatikannya dari kejauhan, menyorotkan

pandangan buas. Sepasang matanya memancarkah sinar merah dan dari mulutnya keluar

suara mendesis keras. Gerakan Puti Andini tertahan. “Binatang itu seperti marah. Tapi tak

ada sambaran angin, tak ada sambaran gelombang....” Si gadis menunggu sesaat lalu 

kembali menggali. Untuk mengeluarkan batu dari dasar lobang dia harus menggali bagian

pasir di sekitar batu putih, ini tidak mudah karena pasir itu telah membeku dan menyatu

dengan batu. Si gadis paksakan diri sampai jari-jari tangannya luka dan berdarah. Namun 

usahanya tidak sia-sia. Dia akhirnya berhasil mengambil batu putih itu dari dalam lobang.

“Batu aneh...” ujar Puti Andini dalam hati seraya memperhatikan benda di tangan

kanannya. Dia coba membersihkan sisa-sisa pasir yang masih melekat pada batu putih itu. 

“Batu apa ini.... Bukan kerang bukan pula karang. Enteng sekali. Mungkin bekas rumah

siput besar? Dua sisi rata. Sisi lainnya bulat membentuk lingkaran.... Ada hawa dingin

keluar dari batu, menjalar masuk ke dalam tanganku....” Puti Andini terus saja

membersihkan batu putih yang besarnya hampir dua kepalan itu.

Tiba-tiba naga jantan yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Puti Andini 

menggerakkan tubuhnya. Mulutnya yang besar membuka lebar. Lidahnya menjulur

panjang. Di kejauhan Puti Andini mendengar suara seperti lolongan anjing bersahut-sahutan

di malam buta membuat si gadis tercekat kecut. Lalu, saat itulah naga jantan mendesis keras.

Gulungan tubuhnya terbuka. Kepalanya naik ke atas lalu menyambar ke arah Puti Andini.

Ketika naga jantan mendesis keras, hawa sangat dingin disertai gelombang air yang

dahsyat menghantam ke arah Puti Andini. Gadis ini terpekik. Tubuhnya terlempar jauh

bersamaan dengan terangkatnya ekor ular naga betina lalu terguling-guling di atas pasir 

putih. Beberapa jerangkong yang masih utuh hancur cerai berai.

Batu putih yang tadi dipegangnya terlepas. Sesaat batu ini terapung mengambang

dalam air. Naga jantan merunduk. Kepalanya menyambar ke arah batu putih. Mulutnya

dibuka lebar lalu menyedot keras. Batu putih yang melayang dalam air langsung tertarik ke 

dalam mulut naga jantan itu.

Namun terjadi satu hal tidak terduga. Naga betina yang sejak tadi seperti diam tak

bergerak tersentak dari tidurnya akibat dorongan gelombang air. Begitu dua matanya yang 

merah membuka pandangannya langsung membentur batu putih yang melesat tersedot ke 

arah mulut naga jantan. Naga betina keluarkan suara menggerang dahsyat. Ekornya

disentakkan ke atas. Laksana petir menyambar ekor itu menghantam ke arah kepala naga 

jantan.

Puti Andini walau dalam keadaan cidera akibat hantaman gelombang air tadi masih

sempat melihat apa yang terjadi dengan mata membelalak.* *

TUJUH 

Hantaman ekor naga betina menimbulkan gelombang air besar luar biasa, mendera

ke arah naga jantan. Sesaat naga jantan terkesiap kaget lalu balas menghantam 

dengan satu semburan yang memancarkan sinar putih dari hidungnya. Tapi 

gerakannya terlambat karena gelombang air lebih dulu menghantam kepala dan sebagian

tubuhnya. Naga jantan terpental ke atas. Kepalanya membentur langit-langit berbatu

runcing hingga hancur berkeping-keping. Tanpa perdulikan cidera di kepalanya naga jantan

menukik. Dengan nekad binatang ini kembali hendak menyambar batu putih yang

melayang jatuh ke dasar telaga. Namun lagi-lagi naga betina gerakkan ekornya. Satu sinar

hitam keluar dari ujung ekor lalu menyambar bergulung-gulung ke arah naga jantan. Yang

diserang tidak tinggal diam. Keluarkan suara mendengus. Dua larik sinar merah melesat 

dari sepasang matanya.

Naga betina meraung aneh. Dari tanduk di kepalanya menyembur cairan hijau yang

meredam dan memusnahkan serangan lawan. Naga jantan mengkirik kecut lalu meluncur

mundur dan jatuhkan diri bergelung di pasir putih. Kepalanya masih terpentang tegak 

namun sinar merah di kedua matanya telah meredup.

Keanehan yang mengerikan dan memukau Puti Andini tidak hanya sampai di sana.

Naga betina memutar kepala, memandang berkeliling. Begitu pandangannya membentur

batu putih yang melayang jatuh hampir mencapai dasar telaga, naga betina segera 

menyambarnya dengan mulutnya. Batu langsung ditelan! Naga jantan yang menyaksikan

kejadian itu menggeram tapi tidak berbuat apa-apa.

“Batu putih itu...” kata Puti Andini dalam hati. “Dua naga berkelahi

memperebutkannya. Pasti benda itu....”

Si gadis tidak sempat melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba naga betina meluncur

ke arahnya. Binatang ini menurunkan kepalanya sedatar dasar telaga. Mulutnya terbuka

lebar. Lidahnya yang bercabang diulurkan panjang-panjang.

“Ya Tuhan!” Puti Andini terpekik. Ketika kepala binatang itu hanya tinggal dua

tombak dari hadapannya, gadis ini seolah baru menyadari kalau ular besar itu hendak

menelannya hidup-hidup. Puti Andini cepat berenang menjauhi, tapi sang naga datang lebih

cepat. Tak ada jalan lain. Tangan kanannya yang sudah dialiri tenaga dalam segera 

dipukulkan ke depan. Memang ada kekuatan sakti yang sanggup dilepaskan oleh cucu Tua

Gila dan Sabai Nan Rancak itu. Membuat air telaga menggelombang, pasir putih bertaburan

ke atas dan tulang-tulang serta tengkorak manusia berpelantingan kian kemari. Termasuk

sosok kaku mayat Datuk Bonar dan Nyi Ulan.

Namun ular naga betina sama sekali tidak bergeming. Malah sebaliknya Puti Andini

tersentak kaget ketika dia sadari tangannya yang tadi memukul ke depan tak bisa ditarik

lagi. Karena satu sedotan dahsyat membuat tangan itu terpentang lurus- laksana kaku dan

bersamaan dengan itu tubuhnya ikut tertarik. Lalu melesat dua benda aneh yang ternyata

adalah lidah ular naga betina yang bercabang dua.Ketika dua belahan lidah hendak melibat tubuh Puti Andini tiba-tiba di atas sana

terdengar suara menggemuruh. Sebuah benda meluncur jatuh. Air telaga tersibak laksana

dibelah. Lalu satu dinding batu berbentuk setengah lingkaran dan tinggi belasan tombak 

menghunjam ke dasar telaga. Air muncrat sampai ke langit-langit batu runcing. Pasir putih

menggebubu menutupi pemandangan. Udara sangat dingin mencekam. Ketika air kembali

tenang, pasir luruh ke dasar telaga dan pemandangan perlahan-lahan jernih, terlihat tubuh 

Puti Andini melayang-layang dalam air, setengah sadar setengah pingsan. Dalam keadaan

seperti itu dia mendengar seseorang berteriak.

“Puti Andini! Keluarkan ilmu silat payung tujuh! Andalkan ilmu meringankan tubuh! 

Kau bisa menyelamatkan diri dengan ilmu itu!”

Seperti tersentak Puti Andini angkat kepalanya. Dia masih belum bisa melihat siapa

yang berteriak. Tapi dia kenali suara orang.

“Itu suara bocah berpakaian hitam yang menceburkan diriku ke dalam Liang Lahat.

Dimana dia.... Apa maksudnya?” Si gadis putar otaknya mencerna teriakan tadi. “Anak itu 

benar. Aku bisa memainkan ilmu silat payung tujuh tanpa payung. Tapi apakah aku bisa

keluar dari telaga maut ini?”

Belum sempat dia berpikir lebih lama tiba-tiba naga betina mendesis lalu tukikkan

kepalanya ke bawah. Puti Andini segera kerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan diri. 

Tubuhnya melesat ke atas. Kepala naga betina lewat di sampingnya. Mulut yang hendak 

menelannya menggembor marah. Puti Andini terpental tiga tombak. Gadis ini segera

berjungkir balik lalu menghampiri kepala naga dari belakang. Secepat kilat kaki kanannya 

ditendangkan ke tengkuk naga. Tapi dia mengeluh sendiri. Kesakitan dan terpelanting 

karena tubuh naga itu ternyata licin. Sambil menggeram naga betina cambukkan ekornya. 

Puti Andini masih sempat mengelak bahkan kaki kirinya bisa menendang ke pelipis naga.

Tapi lagi-lagi tak ada hasilnya karena kembali kakinya terasa sakit. Tubuhnya terjungkir. 

Naga betina kembali menyerbu. Si gadis mainkan jurus-jurus ilmu silat Payung Tujuh.

Tubuhnya melesat kian kemari. Sesaat naga betina seolah tertegun memperhatikan. Tapi

tiba-tiba binatang ini melesat ke atas sambil mengibaskan ekornya. Selagi Puti Andini 

terlempar oleh gelombang air telaga akibat hantaman ekor, di sebelah atas kepala naga

betina melesat ke bawah. Kali ini si gadis tidak punya kesempatan lagi untuk selamatkan

diri.

“Puti Andini! Pukul tanduk di kepala binatang itu!” Kembali si gadis mendengar 

teriakan orang. Sang dara berpaling ke kiri. Dia melihat sosok Naga Kuning menempel di

bagian bawah dinding batu setengah lingkaran. Dalam kagetnya gadis ini tidak punya

kesempatan melakukan apa yang dikatakan si anak. Lidah bercabang naga betina melesat ke

depan, melibat tubuh gadis itu. Lalu sekali lidah itu disentakkan ke belakang maka

amblaslah sosok Puti Andini lenyap ke dalam mulut naga!

Naga jantan yang menyaksikan kejadian itu kembali menggeram dan angkat

kepalanya sedikit tapi seolah takut, tak berani melakukan apa-apa.

Naga Kuning pejamkan ke dua matanya. Tidak tega melihat Puti Andini ditelan

hidup-hidup oleh naga betina itu. Hatinya geram dan sedih tak bisa menolong. Tubuhnya 

terpendam laksana disemen sama rata ke bagian bawah dinding Liang Lahat.

Seperti diceritakan sebelumnya Kiai Gede Tapa Pamungkas telah menjatuhkan

hukuman terhadap Naga Kuning. Menjebloskan anak itu ke dalam batu lalu

memasukkannya ke dalam Liang Lahat yang ternyata dasarnya adalah di tempat dimana

dua naga raksasa berada.

“Naga betina menelan gadis itu. Tamatlah riwayatnya. Dia tak akan pernahmenemukan Pedang Naga Suci 212. Pendekar 212 tidak akan dapat disembuhkan. Rimba

persilatan akan kejatuhan bencana besar....” Naga Kuning hendak dongakkan kepalanya ke 

atas. Tapi tidak bisa karena bagian belakang kepalanya menempel laksana disemen ke

dinding batu Liang Lahat. Anak ini hanya bisa melirik ke atas dan menggumam jengkel. 

“Kiai Gede Tapa Pamungkas.... Jika memang ini maumu maka apa yang kau inginkan

sebagian telah menjadi kenyataan! Semoga kau merasa puas....”

Baru saja Naga Kuning mengeluarkan rasa kesalnya dalam hati tiba-tiba laksana 

dihantam gempa yang datang dari dasar telaga, tempat itu bergoncang keras. Dinding batu

dimana Naga Kuning dipendam bergetar. Air telaga membentuk gelombang-gelombang

besar di beberapa tempat. Dua ekor naga tegakkan kepala lalu keluarkan suara melolong

aneh.

“Apa yang terjadi!” pikir Naga Kuning. “Tempat ini seolah siap meledak. Atau

mungkin dunia sudah kiamat?”

Di atas sana Naga Kuning melihat petir menyambar sampai empat kali berturut-turut,

itu pertanda Kiai Gede Tapa Pamungkas tengah marah besar...” ujar Naga Kuning dalam 

hati. Lalu samar-samar di sebelah atas dia melihat larikan-larikan air telaga berwarna

kuning. Hidungnya membaui sesuatu.

*

* *

DELAPAN


Tak selang berapa lama setelah dinding batu setengah lingkaran amblas ke dalam Liang

Lahat dan Naga Kuning yang dipendam menempel ke dinding itu ikut lenyap, Kiai 

Gede Tapa Pamungkas masih tegak di atas makam besar. Orang tua yang sulit diduga

berapa usianya ini dan disebut sebagai setengah manusia setengah roh tegak dengan mata

terpejam, kepala mendongak dan tangan rangkap di depan dada. 

“Mungkin aku salah berbuat. Tapi bagaimana pun juga hukum harus ditegakkan.

Mungkin hukum itu sendiri satu kekeliruan. Tapi tidak berbuat sesuatu adalah lebih jahat

dari mengaminkan kesalahan....” Kata-kata itu muncul di lubuk hati sang Kiai.

Kemudian perlahan-lahan Kiai Gede Tapa Pamungkas gerakkan kedua tangannya ke 

atas membuat sikap seperti orang memanjatkan doa. Bersamaan dengan itu sayup-sayup 

terdengar suara gaungan aneh. Makin lama makin keras. Kabut putih di liang makam

tampak turun ke bawah. Dua kali secara aneh kilat menyambar keluar dari dalam liang

makam. Lalu ada goncangan keras. Sosok tubuh Kiai Gede Tapa Pamungkas ikut turun,

perlahan-lahan masuk ke dalam liang makam. Begitu kepalanya yang berambut putih 

lenyap maka didahului dengan suara menggemuruh, batu besar penutup liang makam yang

berada di sebelah kanan bergeser ke kiri. Sekali lagi petir menyambar keluar. Lalu makam

itupun tertutup. Kabut putih lenyap. Suasana di Liang Akhirat sunyi senyap benar-benar

seperti di pekuburan.

Namun hal itu tidak berlangsung lama. Sekonyong-konyong ada suara

menggemuruh keluar dari perut bumi. Dasar Telaga Gajahmungkur bergoyang keras. Liang Akhirat bergetar hebat. Di luar sana air telaga membentuk gelombang-gelombang besar dan

menghantam pintu serta dinding-dinding Liang Akhirat. Beberapa bagian dinding hitam

tampak retak dan air merambas masuk ke dalam ruangan.

Makam batu putih di tengah ruangan bergoyang-goyang. Liang Lahat yang ada di

samping makam mengepulkan asap panas. Satu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Suara gemuruh menambah ngerinya suasana. Lalu dari celah-celah makam dan batu

penutup membersit cahaya menyilaukan disertai suara menggelegar. Batu makam yang tadi

tertutup bergerak ke kanan. Lalu membuka disertai suara menggaung keras. Kilat

menyambar dari dalam liang makam disusui dengan kepulan asap putih. Lalu melesat

sesosok tubuh yang bukan lain adalah sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas.

Tidak seperti biasanya wajah orang tua ini tampak sangat pucat. Sikapnya luar biasa

gelisah. Sepasang matanya memandang seputar Liang Akhirat. Lalu dia mengerahkan

kesaktian untuk menembus dinding dan pintu batu, memandang ke Seantero Telaga

Gajahmungkur. Kepalanya seperti disentakkan sewaktu melihat ada bagian air telaga

berwarna kuning di sekitar permukaan.

“Malapetaka besar menimpa telaga. Bahaya jatuh atas Liang Akhirat dan Liang Lahat! 

Ada orang menebar air larangan! Siapa yang punya pekerjaan jahat ini?!” Sang Kiai lalu 

dongakkan kepala dan mencium udara sekitarnya dalam-dalam. “Jalan pernafasanku

membaui sesuatu. Tak salah lagi. Yang kucium adalah air larangan!”

Kiai Gede Tapa Pamungkas kepalkan tangan kanannya. Lalu dihantamkan ke atas.

Terjadilah satu hal aneh. Dari tinju kanan sang Kiai melesat keluar cahaya terang benderang

laksana kilat menyambar. Cahaya tersebut menembus dinding Liang Akhirat tanpa

merusaknya sama sekali. Sampai diluar kilatan petir ini terus melesat menuju permukaan

Telaga Gajahmungkur dan menghantam bagian telaga yang airnya berwarna kekuningan.

Di atas sana air telaga muncrat sampai beberapa tombak. Salah satu bagian dari tanah tepian

telaga laksana meledak, menghamburkan hancuran tanah, bebatuan dan pohon serta semak

belukar.

“Manusia-manusia jahat! Siapa kalian yang berani menebar air larangan di kawasan

kediamanku?!” Kiai Gede Tapa Pamungkas berseru. Dia jentikkan tangan kirinya. Terdengar

suara mendesir. Pintu goa yang terbuat dari batu bergerak membuka. Kiai Gede langsung

melesat ke luar. Liang -Akhirat, terus berenang. Demikian cepatnya hingga kurang dari

sekejapan mata dia sudah- muncul di permukaan air telaga. Jika ada orang melihat sang Kiai

saat itu maka dia akan merasa aneh. Walau barusan jelas keluar dari dalam air namun

tubuh, pakaian selempang kain putih, rambut, janggut dan kumisnya sama sekali tidak 

basah!

Memandang berkeliling dia tidak melihat seorang pun. Orang tua ini kertakkan

rahang. “Aku belum melihat orangnya. Tapi aku sudah bisa menduga!” Kiai Gede Tapa

Pamungkas menyelam kembali. Dia berenang berputar-putar. Dia tak mencari lama. Di 

kejauhan di arah timur dia melihat gerakan-gerakan dalam air. Air telaga tampak berwarna

kekuningan.

“Ada dua orang di sebelah sana. Yang satu bisa kuterka. Sulit kuduga siapa orang ke

dua....” Sang Kiai lalu melesat cepat ke arah dua orang yang berada di telaga sebelah timur

itu.

Melihat ada orang mendatangi, dua orang yang berenang saling memberi isyarat.

Lalu keduanya cepat melesat ke atas. Kiai Gede Tapa Pamungkas segera mengejar. Ketika

dia muncul di permukaan air dua orang tadi dilihatnya tegak di tepi Telaga Gajahmungkur 

dalam keadaan basah kuyup. Dua-duanya menyeringai buruk walau jelas keduanya tampakmenggigil kedinginan.

Kiai Gede Tapa Pamungkas melesat keluar dari dalam air telaga. Sesaat kemudian

orang tua ini sudah berdiri tegak di hadapan dua orang itu. Orang tua ini mencium bau

pesing yang sangat santar menebar dari sosok dua orang yang tegak di hadapannya itu.

Cuping hidungnya sampai kembang kempis karena berusaha menahan nafas dan

mengernyit menahan perutnya yang mendadak menjadi mual.

Melihat keadaan sang Kiai seperti itu dua orang tadi tertawa cekikikan. Tapi salah

seorang dari mereka yakni nenek-nenek hitam kurus kering yang memegang sebuah kendi 

tanah berwarna merah sehabis tertawa cepat-cepat membungkuk memberi penghormatan.

“Sinto Weni! Aku sudah menduga kalau kau yang punya pekerjaan! Mengapa kau 

berlaku jahat terhadap aku, gurumu sendiri?!”

Orang yang ditegur dengan nama Sinto Weni itu bukan lain adalah nenek sakti dari

Gunung Gede, guru Pendekar 212 yang lebih dikenal dengan sebutan Sinto Gendeng. Si

nenek rapikan barisan lima tusuk kundai yang menancap di kulit kepalanya baru menjawab.

“Kiai harap maafkan diri saya. Saya tidak bermaksud jahat....”

“Di mata dan pikiranmu apa yang kau lakukan tidak jahat. Tapi di mata orang lain 

termasuk diriku apa yang kau lakukan benar-benar satu kejahatan! Kau menebar air 

larangan yang menjadi pantangan besar bagi Telaga Gajahmungkur! Kau mengacaukan dan

merusak semua pekerjaan yang telah aku mulai sejak puluhan tahun lalu....”

“Kiai, jangan kau bersalah duga. Saya....”

“Sinto Weni! Sejak kau memilih Kapak Naga Geni 212 di puncak Gunung Gede 

puluhan tahun silam. Sejak kau melarikan Pedang. Naga Suci 212! Aku sudah tahu kalau

kau adalah seorang berhati jahat dan culas! Serakah dan juga kejam!”

Sinto Gendeng sampai tersurut mendengar dampratan Kiai Gede Tapa Pamungkas 

itu. Dia pukul-pukul kepalanya sendiri lalu menjawab. “Kiai, terserah kau mau mengatakan

saya ini apa. Saya menerima pasrah. Saya kemari mencari obat untuk murid saya. Pendekar

212 Wiro Sableng yang terkena musibah....”

“Aku sudah tahu musibah apa yang menimpa muridmu! Aku juga tahu siapa dirinya

adanya! Pemuda bernafsu kotor! Musibah yang menimpa dirinya sudah lebih dari pantas!”

“Kiai, saya tahu siapa murid saya. Harap kau jangan menghina dirinya! Apapun

perbuatannya, salah atau benar akan menjadi tanggung jawab saya dunia akhirat!”

“Ucapanmu hanya menyatakan sifatmu yang congkak!” tukas Kiai Gede Tapa 

Pamungkas pula. “Puluhan tahun aku menunggumu. Berharap agar kau kembali 

menyerahkan Kapak Naga Geni 212 yang kau ambil tempo hari. Juga menyerahkan Pedang

Naga Suci 212 padaku!”

*

* *

SEMBILAN


Sinto Gendeng jadi terkesiap mendengar ucapan sang Kiai. Lalu dengan suara perlahan

dia berkata. “Saya tidak membawa Kapak Naga Geni 212. Pedang Naga Suci 212 juga

tidak ada pada saya....”

“Kau pandai bicara mencari dalih!”

“Kiai, saya tidak berdalih. Kapak Naga Geni 212 tidak ada pada saya. Juga saat ini saya menyirap kabar senjata itu tidak berada di tangan murid saya. Pedang Naga Suci 212

secara kurang ajar memang saya ambil waktu puluhan tahun lalu di puncak Gunung Gede

itu. Tapi saya punya alasan melarikan senjata mustika itu. Untuk menghindari dunia

persilatan dari malapetaka besar. Karena kalau pedang mustika sakti waktu itu sampai jatuh

ke tangan Sukat Tandika alias Tua Gila pasti dia akan mempergunakannya untuk maksud

jahat! Lagipula saya melarikan Pedang Naga Suci 212 bukan untuk dipakai sendiri tapi saya

sembunyikan di satu tempat. Di dasar Telaga Gajahmungkur ini! Kelak siapa yang benar-

benar berjodoh dengan senjata itu pasti akan mendapatkannya. Karena mendengar murid 

saya ditimpa musibah dan konon pedang itu bisa menjadi obat yang mujarab maka itulah

saya kembali ke tempat ini untuk mencarinya, untuk pengobat Pendekar 212. Bukan untuk

maksud lain....”

“Kau tahu penyakit kutuk yang menimpa muridmu akan lenyap dengan sendirinya

setelah seratus hari.... Mengapa bersusah payah mencari Pedang Naga Suci 212 yang bukan

milikmu?!”

“Syukur Kiai telah mendengar dan mengetahui musibah yang menimpa murid saya.

Kapan akan punahnya musibah kutukan itu tidak saya ketahui. Sementara itu rimba

persilatan saat ini tengah dilanda mara bahaya besar. Orang-orang Lembah Akhirat

gentayangan ke mana-mana mengadu domba antar sesama tokoh silat golongan putih.

Bagaimana kalau celaka lebih dulu datang menimpa murid saya sebelum seratus hari?

Kiai....”

“Cukupi Aku tak perlu keterangan panjang lebar!” memotong Kiai Gede Tapa 

Pamungkas. “Aku perintahkan agar kau segera angkat kaki dari tempat ini! Bawa serta 

kawanmu kakek-kakek bermata belok jereng! Berkuping lebar, bertampang seperti jurik ini!”

Saking marahnya sang Kiai tak bisa lagi mengendalikan kata-katanya.

“Kiai, sekali ini mungkin saya tidak dapat menuruti perintahmu. Saya lebih

mementingkan keselamatan muridku si anak setan itu dari pada diriku sendiri. Saya tidak

perduli kau akan memukul rengkah batok kepala saya. Atau menanggalkan anggota badan

saya satu persatu. Atau mencincang diriku sampai lumat. Murid saya dalam bahaya. Saya

wajib menolongnya. Mengenai kawanku ini terserah padanya apa dia mau pergi atau

tidak....” Sinto Gendeng lalu berpaling pada kakek yang tegak di sampingnya.

“Kakek bermata jereng! Siapa kau adanya!” Kiai Gede Tapa Pamungkas membentak

keras.

Tidak mengira akan dibentak orang, kakek di sebelah Sinto Gendeng sampai 

terlompat saking kagetnya. Wajahnya sesat pucat dan “serrrrr.” Ada cairan kuning hangat

mengalir dari bagian bawah perutnya. Karena dia berdiri dekat sekali ke tepi telaga maka 

cairan ini terus mengalir dan masuk ke dalam air.

Di dasar telaga lapat-lapat terdengar suara menggemuruh. Kiai Gede Tapa

Pamungkas menjadi kalap dan hendak membentak kembali. Tapi Sinto Gendeng

mengangkat tangan kirinya dan berkata. “Kiai, sahabatku ini punya kelainan aneh. Kalau

tidur seperti anak kecil, suka ngompol! Jika dia berada dalam keadaan terlalu tenang maka

dia akan beser tanpa terasa. Kalau dia mendadak kaget kencingnya lebih banyak lagi! Saya

harap Kiai jangan membentaknya. Karena berarti makin banyak air kencingnya yang akan

masuk ke dalam telaga. Dan makin porak-poranda keadaan di bawah sana. Hik... hik... hik...!

Kalau Kiai ingin tahu nama sahabat satu ini dia adalah yang dipanggil orang dengan

sebutan Setan Ngompol! Julukannya aneh dan lucu! Hik... hik... hik!”

“Sinto Gendeng! Kau mempergunakan air larangan itu untuk mencelakai diriku dan

hendak menghancurkan tempat kediamanku!”“Maafkan saya Kiai. Kau menyebutnya air larangan. Kami berdua menyebutnya air

kencing. Orang beradab dan bersopan santun punya bahasa halus menyebutnya air seni!

Tapi apapun namanya tetap bau pesing! Hik... hik... hik!”

“Sinto! Bawa temanmu ini. Lekas angkat kaki dari sini!”

“Maafkan saya Kiai. Saya baru pergi kalau sudah mendapatkan Pedang Naga Suci

212 itu....”

“Kau tak bakal menemukannya. Senjata itu tak ada di sini....”

Sinto Gendeng tertawa lebar. “Saya tahu di mana beradanya pedang itu Kiai. Karena

puluhan tahun yang lalu saya yang menyembunyikannya di dasar telaga....”

“Keadaan telaga puluhan tahun lalu telah jauh berbeda saat ini. Pedang sakti itu

mungkin sudah tenggelam di dasar telaga. Mungkin sudah dihanyutkan aliran air ke tempat

lain. Kau membutuhkan waktu lama dan nasib baik untuk bisa menemukannya....”

“Bagaimanapun sulitnya saya akan tetap mencoba....”

“Sinto Gendeng kau licik dan jahat. Kau tahu pantangan di tempat ini. Itu sebabnya

kau pergunakan air kencingmu dan mengajak serta kawanmu si Setan Ngompol ini untuk

mencemari air telaga!”

“Maafkan saya Kiai. Saya terpaksa melakukannya. Mungkin sudah saatnya Kiai 

kembali ke puncak Gunung Gede....”

“Aku tidak perlu nasihatmu. Kau tetap memaksa tidak mau pergi dari tempat ini?”

“Maafkan saya Kiai...” jawab Sinto Gendeng sambil membungkuk dalam.

“Kalau begitu terpaksa aku menurunkan tangan kasar, Sebelum kulakukan aku tanya

sekali lagi. Kau tetap tidak mau meninggalkan telaga ini?”

Sinto Gendeng gelengkan kepalanya.

Kiai Gede Tapa Pamungkas habis kesabarannya. Orang tua ini kembangkan

lengannya ke samping. Lalu jari-jari tangannya kiri kanan dijentikkan.

Di dasar telaga terdengar suara menggemuruh keras. Lalu di permukaan telaga

berkiblat petir dua kali berturut-turut. Air telaga bergolak muncrat setinggi belasan tombak.

Sesaat kemudian dua sosok kuning besar mengerikan melesat keluar dari dalam telaga.

Yang muncul bukan lain adalah naga jantan dan naga betina bermata merah dan bertanduk

hijau.

Dua Kakek nenek sama-sama terkejut mundur. Setan Ngompol langsung beser.

Sedang Sinto Gendeng menggigil dan coba menekap perutnya dengan tangan kiri tapi gagal 

mencegah terkencing. Begitu cairan ini masuk ke dalam telaga, di dasar telaga terdengar 

suara menggemuruh.

Kiai Gede sekali lagi menjentikkan tangannya kiri kanan. Sepasang naga menggeliat 

dan keluarkan suara mendesis. Dua binatang ini siap menerkam ke arah dua orang tua di

pinggir telaga.

“Kiai! Tahan!” Sinto Gendeng berteriak seraya acungkan tangan kanannya yang

memegang kendi tanah warna merah. Teriakan si nenek membuat kaget si Setan Ngompol

hingga kembali kakek bermata belok ini kucurkan air seni. “Saya ikhlas dihukum dan

menemui kematian di tangan Kiai. Tapi saya tidak ikhlas murid saya menemui ajal karena

saya tidak melakukan apa-apa. Lihat Kiai! Kendi ini penuh berisi air kencing saya dan air

kencing si Setan Ngompol! Dua naga peliharaan Kiai mungkin bisa membunuh saya. Tapi

sebelum nyawa saya putus, saya masih punya kesempatan untuk melemparkan kendi ini ke 

dalam telaga. Akibatnya Kiai tahu sendiri!”

Kiai Gede Tapa tersurut dua langkah begitu mengetahui bahwa isi kendi yang 

diacungkan muridnya itu adalah air kencing. Sedikit saja cairan larangan itu mengenai 

tubuh atau pakaiannya maka dia akan mengalami cidera yang sulit dibayangkan.

Selain itu yang paling ditakutkan sang Kiai ialah dia tak akan sanggup meneruskan

keadaan dirinya seperti sekarang ini karena kesaktiannya akan menjadi lumpuh.

“Sinto Weni! Kau benar-benar murid kurang ajar! Murtad!” teriak Kiai Gede Tapa

Pamungkas dengan suara menggelegar.

“Aduh! Aku ngompol lagi!” Si Setan Ngompol tekap bagian bawah perutnya. Coba

bertahan. Tapi sia-sia saja. Kakek ini kembali terkencing di celana akibat kaget mendengar 

teriakan sang Kiai tadi.

Walau darahnya mendidih dan ingin sekali menghajar Sinto Gendeng namun Kiai 

Gede maklum dia tak bisa berbuat apa-apa. Orang tua ini membathin. “Heran, dari mana

dia mengetahui pantangan air larangan itu.... Siapa membocorkan rahasia!”

“Bagaimana Kiai..,?” Sinto Gendeng bertanya sambil menyeringai.

Kiai Gede Tapa Pamungkas berusaha menindih amarahnya. Kedua matanya

dipejamkan. Tangan kirinya berulang kali mengusapi dadanya.

“Sinto Weni, dengar baik-baik apa yang akan kukatakan,” sang Kiai berucap. “Hari

ini kau boleh menikmati kemenanganmu. Tapi hari ini pula pula putus hubungan kita 

sebagai guru dan murid!”

“Kiai!” seru Sinto Gendeng seraya jatuhkan diri berlutut. “Saya menerima salah

namun saya harap Kiai mau mengerti....”.

“Selamat tinggal Sinto Weni. Mulai saat ini aku tak ingin melihat dirimu lagi! Aku

akan meninggalkan Telaga Gajahmungkur ini. Tapi aku tidak suka begitu mudah bagimu

gentayangan di tempat ini. Sepasang Naga Kembar dan Makhluk Api Liang Neraka akan

tetap berjaga-jaga di tempat ini! Mudah-mudahan kau dan kawanmu itu tidak akan

menemui ajal di tangan mereka!” 

Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan tangannya kiri kanan. Dua

ekor naga besar mendesis keras lalu selulupkan kepalanya ke dalam air dan lenyap dari

pemandangan. Kiai Gede Tapa tidak menunggu lebih lama. Orang tua ini rangkapkan dua

tangan di depan dada. Perlahan-lahan tubuhnya masuk lurus ke dalam air, kaki lebih dulu,

menyusul badan dan terakhir sekali kepala. Di bekas tempat lenyapnya sang Kiai untuk

beberapa ketika tampak kabut putih mengambang di atas permukaan telaga.

Sinto Gendeng melirik ke arah telaga. Perlahan-lahan nenek ini bangkit berdiri. 

Sambil acungkan kendi merah di tangan kanannya dia tertawa cekikikan. Si Setan Ngompol 

buru-buru tekap bagian bawah perutnya sambil berusaha menahan tawa. Tapi sia-sia. 

Begitu tawanya meledak, di sebelah bawah dia kembali bocor! *

“Dia tertipu! Dia tertipu! Hik... hik... hik!” Sinto Gendeng tertawa cekikikan sambil

acungkan kendi; merah.

“Kiai gurumu itu pasti sudah mulai pikun! Apa dia tidak bisa membedakan bau

pesingnya air kencing dengan bau wanginya tuak murni? Ha... ha...ha...!” ujar si Setan 

Ngompol lalu ikut-ikutan tertawa. Makin keras tawanya makin deras mengucur kencingnya.

“Dia percaya saja waktu kubilang kendi ini berisi air kencingku dan air kencingmu!

Padahal isinya tuak harum yang aku dapat dari kawanku si Dewa Tuak! Hik... hik.:. hik!”

“Serahkan kendi itu padaku Sinto! Tenggorokanku jadi kering karena tertawa terus!

Kau orang perempuan jangan banyak-banyak meneguk tuak. Bisa mandul! Ha... ha... ha...

ha!”

“Diriku memang sudah mandul sejak lahir! Hik... hik... hik!” menyahuti Sinto 

Gendeng dan tertawa gelak-gelak. Tuak dalam kendi diteguknya satu kali. Walau cuma

minum satu teguk namun muka keriputan Sinto Gendeng langsung menjadi merah dan

tubuhnya bergetar sedang kedua matanya berkedap-kedip.

“Apa kataku!” ujar Setan Ngompol. “Tuak keras ini minuman lelaki. Bukan minuman

nenek-nenek sepertimu. Untung kau tidak sampai terangsang. Bisa-bisa aku kau tarik ke 

balik pohon! Ha... ha... ha! Lekas kau serahkan padaku kendi itu! Aku perlu minum banyak

biar bisa ngompol banyak!”

“Enak saja kau bicara!” kata Sinto Gendeng merengut. Kendi tanah warna merah

diserahkannya pada si kakek. “Minum sepuasmu! Selamat menenggak tuak wangi! Selamat

ngompol! Hik... hik... hik!”

Setan Ngompol dongakkan kepala lalu mengucurkan tuak dalam kendi ke mulutnya 

yang dibuka lebar-lebar. “Sialan! Baru kuteguk sedikit sudah habis!” Memaki Setan

Ngompol begitu tuak dalam kendi habis dan tak ada lagi yang mengucur ke dalam 

tenggorokannya. Bibir kendi dijilatinya. Belum puas tiba-tiba kendi tanah itu diremasnya 

hingga hancur. Lalu “krak... kruk... krak.... kruk!” Kepingan-kepingan pecahan kendi yang

masih dilekati sisa-sisa tuak itu dimasukkan ke dalam mulut, dikunyah seolah dia tengah

makan kerupuk!

Sinto Gendeng tertawa mengekeh melihat perbuatan si Setan Ngompol itu. Lalu

nenek sakti ini berseru. “Kalian berempat yang sembunyi lekas unjukkan diri! Urusanku

masih panjang! Jangan membuang waktu!”

Dari balik sebuah batu besar yang dikelilingi semak belukar terdengar suara kaleng

rombeng berkerontang bising membuat telinga berdenyut sakit. Air di pinggiran telaga

tampak beriak dan membentuk gelombang-gelombang kecil. Sesaat kemudian muncul sosok 

seorang kakek berpakaian compang-camping penuh tambalan. Di pundaknya ada sebuah

buntalan butut. Tangan kiri memegang tongkat yang ujungnya patah. Tangan kanan

memegang sebuah kaleng yang digoyang-goyangkan. Sepasang matanya berwarna putih.

“Ah panasnya siang ini! Caping yang hancur belum kuganti! Sialnya nasib tua bangka

ini!”

Kakek buta yang membuat suara berisik ini adalah Kakek Segala Tahu salah seorang

dedengkot rimba persilatan. Dia keluar dari balik batu digandeng seorang pemuda 

berpakaian hijau dan memakai anting-anting emas di salah satu telinganya. Dia bukan lain

Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo. Di belakang ke dua Orang ini menyusul gadis

berwajah cantik mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya panjang tergerai dan

sepasang matanya yang berwarna biru menambah pesona kecantikan parasnya. Dialah Ratu

Duyung. Lalu di belakang Ratu Duyung sambil garuk-garuk kepala melangkah pemuda

gondrong yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Begitu empat orang tersebut berada di hadapan Sinto Gendeng dan Setan Ngompol, 

si nenek segera berkata.

“Aku dan Setan Ngompol akan menyusup masuk ke dalam telaga. Kuharap kalian

berempat tetap menunggu di sini.” Lalu Sinto Gendeng berpaling pada Ratu Duyung. 

“Kami perlu bantuanmu sekali lagi. Memberikan sirap kekuatan agar bisa berada lama di

bawah air. Aku khawatir sirap yang kau berikan sebelumnya pada kami berdua tidak 

berlangsung lama. Bisa-bisa kami kakek nenek jelek ini menemui ajal di dasar telaga! Hik...

hik... hik!”

Seperti diketahui Ratu Duyung dikenal sebagai salah satu penguasa kawasan laut

selatan. Dia memiliki kemampuan untuk berenang, menyelam atau berada di dalam air laut

dalam waktu tidak terbatas.

“Saya akan lakukan Nek,” jawab Ratu Duyung. “Tapi daya sirap itu hanya

berkekuatan setengah hari. Jadi kau dan kakek ini paling lama hanya bisa bertahan sampai lewat tengah malam nanti.”

“Itu pun sudah cukup,” menjawab Setan Ngompol seraya kedip-kedipkan matanya 

dan usap bagian bawah perutnya menahan kencing.

Ratu Duyung melangkah mendekati Sinto Gendeng lalu dari belakang gadis ini peluk

si nenek. Matanya dipejamkan. Dalam hati dia merapal sesuatu. Mulut Sinto Gendeng

berkomat-kamit ketika dia merasakan ada hawa aneh memasuki tubuhnya. Selesai menyirap

si nenek dengan kekuatan yang membuatnya mampu masuk ke dalam air untuk jangka 

waktu lama maka Ratu Duyung mendekati Setan Ngompol.

Belum apa-apa kakek berkuping luar biasa lebar dan bermata jereng ini sudah

tertawa cekikikan sambil memegangi bagian bawah perutnya dengan kedua tangan.

“Aku tak sanggup menahan geli. Aku tak sanggup menahan kencing...!” katanya, 

berulang kali. Begitu Ratu Duyung memeluknya dari belakang kakek ini tertawa keras.

Sekujur tubuhnya bergeletar dan “Ssrrr.... Ssrrrr.” Pakaiannya basah kuyup di sebelah

bawah.

“Aku mencium bau pesing! Siapa yang beser! Kau Sinto?!” Bertanya Kakek Segala

Tahu lalu goyangkan kaleng rombengnya dua kali.

“Enak saja kau bicara! Bukan aku! Tapi kakek jelek yang tubuhnya tak punya

saringan lagi ini!” jawab Sinto Gendeng merengut.

Sebelum pakaiannya ikut terciprat basah Ratu Duyung sudahi pelukannya yang 

memberi sirap kekuatan pada Setan Ngompol.

Tiba-tiba Pendekar 212 maju mendekati Ratu Duyung. “Ratu, aku ingin menemani

dua orang tua ini ke dasar telaga. Harap kau suka memberikan ilmu kuat menyelam itu

padaku....”

“Anak setan! Jangan kau kira aku tidak tahu apa maksudmu!” Sinto Gendeng

membentak. “Sebenarnya kau cuma ingin dipeluk gadis cantik ini, bukan?!”

Wiro garuk-garuk kepala. “Maksudku bukan begitu Nek. Aku....”

“Kau dan Kakek Segala Tahu serta pemuda satu ini tetap berada di sini. Berjaga-

jaga!” Berkata Setan Ngompol.

“Aku tak mungkin berlama-lama di sini. Aku perlu pergi ke satu tempat menemui

seseorang,” ujar Kakek Segala Tahu. “Tapi sebelum pergi, aku punya penglihatan. Ada

baiknya kalian mengajak serta anak muda bernama Panji ini.”

Sinto Gendeng mengerling pada Wiro dan Ratu Duyung. Lalu nenek ini mendekati 

Kakek Segala Tahu dan menarik tangannya. Agak menjauh dari orang-orang itu Sinto

Gendeng berkata. “Apa maksudmu menyuruh pemuda itu ikut dengan kami. Agar muridku

anak setan itu bisa berdua-dua dengan Ratu Duyung?! Hemmm.... Jangan-jangan kau punya

rencana hendak mengatur jodoh muridku! Apa kau tidak tahu kalau anak setan itu 

kuinginkan kawin dengan Anggini, murid Dewa Tuak?”

Kakek Segala Tahu tertawa lebar. Setelah kerontangkan kalengnya dia berkata. “Aku

bukan mak comblang, tukang menjodohkan orang. Soal jodoh ada di tangan Yang Kuasa.

Maumu muridmu kawin dengan Anggini. Tapi apa mereka suka satu sama lain? Aku bilang

aku hanya melihat sesuatu. Tapi tidak bisa mengatakan panjang lebar pada kalian. Aku

cuma menyarankan agar kalian membawa serta pemuda itu.”

“Sinto sebaiknya turuti anjurannya, mungkin kita memerlukan bantuan pemuda ini

kelak....”

“Jangan dengarkan kata-kata tua bangka itu. Dia merasa maha segala tahu.... Ayo

ikuti aku!”

Tapi mendadak Ratu Duyung melangkah ke belakang Panji dan memeluk pemuda ini, memberikan sirapan kekuatan untuk masuk ke dalam air. Selesai menyirap sang Ratu

berkata. “Aku tahu kau punya kekuatan alam untuk berenang dan menyelam lama dan jauh

ke dalam laut. Tapi Telaga Gajahmungkur bukan telaga biasa....”

“Terima kasih Ratu. Kau mau memberikan kekuatan hebat padaku,” jawab Panji.

“Sebelumnya aku memang telah masuk ke dalam telaga. Tapi tak sanggup bertahan lama....” 

Kakek Segala Tahu kembali kerontangkan kalengnya lalu berkata pada Sinto

Gendeng. “Sinto, aku siap pergi sekarang. Tapi jangan lupa pesanku tempo hari. Pada bulan

purnama empat belas hari nanti, kita berkumpul lagi di tempat ini!”

Sinto Gendeng menggumam lalu anggukkan kepala.

“Apakah kau tidak mengundang diriku serta?” Si Setan Ngompol bertanya.

“Orang sepertimu buat apa diundang. Hanya akan membuat buruk suasana. Tukang

ngompol. Membuat bau pesing menebar di mana-mana!” jawab Kakek Segala Tahu sambil 

tersenyum pertanda sebenarnya dia juga menginginkan orang tua aneh itu ikut hadir pada 

malam yang ditentukan.

Si Setan Ngompol tertawa gelak-gelak hingga kembali dia terkencing. “Orang tidak

mengundang. Betapa jeleknya nasibku. Padahal pada malam bulan purnama justru

kencingku banyak sekali! Ha... ha...ha!”

Kakek Segala Tahu usap-usap rambutnya yang putih.

“Kalian bertiga tunggu apa lagi?!” ujar si kakek. Setelah mengguncang kaleng

rombengnya dua kali maka dia pun berkelebat pergi.

Sinto Gendeng sesaat tegak termangu. Dia melirik pada Ratu Duyung lalu seolah tak

perduli lagi nenek ini melompat masuk ke dalam telaga. Setan Ngompol menyusul. Panji

memandang dulu pada Wiro dan Ratu Duyung baru ikut menceburkan diri ke dalam Telaga 

Gajahmungkur.

*

* *

SEPULUH


Sebelum melanjutkan bagaimana kejadian Puti Andini yang ditelan naga betina raksasa

serta apa yang bakal dilakukan Sinto Gendeng bersama rombongannya di Telaga 

Gajahmungkur, kita kembali dulu ke Lembah Merpati.

Di atas sebuah pohon besar berdaun rindang, tampak menyelinap seorang nenek

berambut putih digulung di atas kepala. Dia mengenakan sebuah mantel berwarna hitam.

Sepasang matanya memandang tak berkesip ke arah lembah di mana saat itu ada seorang

lelaki berusia sekitar 60 tahun yang duduk menjelepok di atas gundukan tanah berumput.

Dia seolah tidak memperdulikan keadaan di Lembah Merpati itu. Tidak perduli dengan

burung-burung merpati yang berterbangan atau hinggap di sekitarnya. Seolah tidak 

mendengar suara binatang itu bersahut-sahutan satu sama lain. Dia hanya melihat sesuatu

kekosongan di kejauhan.

Nenek di atas pohon yang bukan lain adalah Sabai Nan Rancak masih terus

memperhatikan lelaki berambut putih itu. Dalam hati si nenek muncul berbagai tanya dan

duga. “Hari perjanjian dan pertemuan saat ini agaknya bakal tidak beres lagi. Tempat ini

telah kedahuluan didatangi orang. Siapa adanya kakek berambut putih itu. Wajahnya sayu,sikapnya acuh. Aku melihat dia beberapa kali mengusap matanya yang cekung. Dia seperti

menangis.... Kurasa bukan satu kebetulan dia berada di tempat ini. Mungkin ini termasuk

apa yang diatur orang bercadar kuning itu? Mungkin seseorang yang juga ada sangkut

pautnya dengan rahasia besar kehidupan diriku, Sukat Tandika dan Iblis Pemalu serta orang

bercadar itu? Tapi hemmm.... Aku ingat. Waktu bertemu di sini dua hari lalu orang bercadar

itu mengatakan bahwa orang yang tidak datang itu adalah Puti Andini, cucuku sendiri.”

Sabai Nan Rancak terus perhatikan lelaki di lembah. “Hemmm, pakaian hijau berenda

benang emas yang dikenakan orang itu. Aku pernah melihat orang lain mengenakan

pakaian serupa itu. Aku tak bisa mengingat. Otakku penuh dibuncah oleh berbagai 

persoalan gila? Apalagi baru saja aku menyirap kabar bahwa Sutan Alam Rajo Di Langit

lenyap dari Gunung Singgalang. Dikabarkan dia tengah menyeberang ke tanah Jawa Ini.

Gerangan apa yang membuatnya datang ke sini. Tentu ada satu perkara besar. Jangan-

jangan dia pergi ke.... Ah! Makin buncah kepalaku! Lelaki di lembah itu. Siapa dia adanya.

Daripada merusak rencana pertemuan dengan Iblis Pemalu dan orang bercadar lebih baik 

orang ini aku usir lebih dulu!” Memikir sampai di situ Sabai Nan Rancak segera melayang

turun dari atas pohon dan tegak tiga langkah tepat di hadapan orang tua berambut putih.

Walau ada orang muncul dengan sangat tiba-tiba, apalagi melayang turun dari atas

pohon, membuat burung-burung merpati berterbangan tapi lelaki berpakaian bagus hijau

yang duduk menjelepok di tanah tidak terkejut atau bergerak sedikit pun. Sepasang

matanya masih memandang kosong ke arah kejauhan seolah menembus sosok tubuh Sabai

Nan Rancak yang berdiri di hadapannya. Dari matanya yang cekung menggelinding, tetesan

air mata ke pipinya yang pucat.

“Aku yakin orang ini tidak buta dan juga tidak tuli! Adalah aneh dia menganggap

seolah aku tidak ada di depannya!” Sabai Nan Rancak merasa heran walau dalam hati dia

juga merasa geram.

“Rambut putih berpakaian hijau! Siapa kau! Ada keperluan apa berada di Lembah

Merpati ini!” Sabai Nan Rancak membentak dengan suara keras dan garang. Hardikannya

ini membuat puluhan ekor burung merpati yang ada di sekitar situ melompat terkejut lalu

terbang ke udara. Tapi anehnya, orang yang duduk di atas gundukan tanah berumput tetap

saja tidak bergerak, tidak berkesip apalagi membuka mulut memberikan jawaban.

Putuslah kesabaran Sabai Nan Rancak. Nenek ini angkat kaki kanannya, siap untuk

menendang. Yang diarahnya adalah bagian pinggang orang berpakaian hijau. Tapi setengah 

jalan tendangannya melesat tiba-tiba orang yang duduk di tanah itu angkat tangan kirinya.

Satu gelombang angin bergetar di udara membuat kaki kanan Sabai Nan Rancak seolah

ditahan satu benda sangat lembut tapi memiliki kekuatan dahsyat hingga tendangannya tak

bisa diteruskan. Perlahan-lahan kakinya terdorong dan kembali ke tempat semula, tegak 

mendampingi kaki kiri!

Kini terbelalaklah Sabai Nan Rancak. Bersamaan dengan rasa terkejutnya maka

kecurigaannya bertambah besar. “Astaga! Orang ini memiliki ilmu kapas putih. Kekuatan

yang sanggup meredam kekerasan secara lembut tanpa menciderai lawan! Dia dari

golongan putih. Tapi jelas dia punya maksud dan tujuan tertentu berada di lembah ini!”

Di hadapannya orang itu tiba-tiba memasukkan tangan kanannya ke balik pakaian

hijaunya yang gombrong. Ternyata dari balik pakaian itu dia mengeluarkan sebuah tempat

sirih terbuat dari emas yang memantulkan cahaya berkilau-kilau terkena, sinar matahari

pagi.

“Dia memiliki tempat sirih terbuat dari emas. Jangan-jangan orang ini seorang

hartawan kaya raya atau bangsawan terkemuka. Mungkin pula seorang Tumenggung. Tapi mengapa tampaknya pandir-pandir saja dan seperti kurang ingatan!” Kembali Sabai Nan

Rancak membathin.

Di dalam tempat sirih itu terdapat tujuh helai daun sirih yang masih segar. Sejumput 

tembakau yang menebar bau harum, segumpal kapur putih serta dua bongkah pinang.

Dengan tenang orang ini mengambil dua lembar daun sirih, menjumput secuil tembakau,

memecah pinang dan mengambil secuil kapur lalu mulai meramu sirih.

Semua itu dilakukannya dengan kepala diarahkan ke depan, sepasang mata tetap

memandang kosong dan jauh. Sambil meramu sirih orang ini berkata dengan suara perlahan

tapi sangat jelas sampainya ke telinga Sabai Nan Rancak.

“Hidup penuh teka-teki. Sengaja aku meninggalkan pulau. Melanggar segala

pantangan dan larangan. Hanya untuk mencari anak yang pergi. Entah masih hidup entah

sudah mati. Kalau sudah mati dimana kuburnya. Kalau masih hidup dimana tersesatnya....”

Orang itu hentikan ucapannya. Daun sirih dilipatnya dua kali berturut-turut.

Kening keriput Sabai Nan Rancak tampak tambah keriput. Mendadak saja dadanya

berdebar dan hatinya jadi penuh dengan segala tanya.

“Orang tak dikenal. Pulau apa yang kau tinggalkan. Pantangan dan larangan apa

yang kau langgar! Siapa anak yang kau cari! Harap kau suka menjawab pertanyaanku.

Kalau tidak menjawab terpaksa aku mengusirmu dari sini saat ini juga! Kalau tidak mau

pergi, aku tidak ragu menurunkan tangan keras. Jangan mengira ilmu kapas putih yang kau

miliki bisa kau andalkan terlalu banyak! Aku tahu kelemahan ilmu itu!”

Orang yang duduk menjelepok di tanah membuat lipatan terakhir pada daun sirih

yang diramunya. Selesai meramu sirih, tempat sirih yang terbuat dari emas itu 

dimasukkannya kembali ke dalam pakaian hijaunya yang gombrang. Semula Sabai mengira

orang ini akan segera menyuapkan sirih ke dalam mulut. Ternyata sirih yang sudah dilipat

itu disisipkannya di atas daun telinganya sebelah kiri!

“Orang gila macam apa pula manusia satu ini! Meramu sirih tapi hanya diselipkan di

atas kuping!” membathin Sabai Nan Rancak. Lalu dia membentak. “Kau belum menjawab

pertanyaanku!”

“Orang bertanya aku pantas menjawab. Karena setiap pertanyaan mustahil tak ada

jawabannya. Pulauku adalah pulau Sipatoka. Pulau yang sudah dilupakan orang. Dilupakan

karena tak ada yang mau mengingat. Pantang dan larangan yang kulanggar adalah pantang

dan larangan seorang pimpinan meninggalkan pulau dan rakyat. Anak yang kucari adalah

sang putera mahkota. Disebut dengan nama Datuk Pangeran Rajo Mudo. Pergi menurut 

kehendak sendiri. Terbujuk oleh dorongan darah muda. Padahal dunia penuh tantangan

dan petaka. Padahal ilmu hanya panjang sedepa...”

Sepasang mata Sabai Nan Rancak mendadak membesar dan memancarkan sinar 

aneh. Mulutnya terkancing rapat. Tapi gemuruh di dadanya bertambah keras. Hatinya

kembali berkata. Cara bicara orang ini hampir sama dengari orang bercadar kuning itu.

Mungkin sekali ada hubungan antara mereka satu sama lain? Aku tak pernah mendengar

ada pulau bernama Sipatoka. Apalagi kerajaan Sipatoka. Dulu memang ada seorang

bernama Datuk Sipatoka. Tapi sudah lama mati. Dia mengaku mencari anaknya yang putera

mahkota? Memangnya apakah dia ini seorang raja?!”

“Orang yang tegak di depanku. Melihat sikap dan cara bicaramu. Mendengar tutur

ucapmu serta melihat air mukamu, kau pastilah seorang pandai bijaksana, luas pengalaman

luas pengetahuan. Apakah kau bisa menolong diriku? Mungkin kau pernah mendengar

nama anakku. Mungkin juga kau tahu di mana dia berada?”

Sabai Nan Rancak menggeleng perlahan. “Aku tak pernah mendengar nama puteramu itu. Aku juga tidak tahu di mana dia berada.”

“Ah, sayang.... Sungguh sayang. Mungkin jiwanya sudah melayang, mungkin aku

akan pulang berhampa tangan. Tapi rasanya lebih baik ikut mati daripada pulang

sendirian.” Orang itu menghela nafas dalam beberapa kali sementara air mata makin banyak

jatuh ke pipinya.

“Kau sudah memberikan banyak keterangan. Tapi satu hai belum kau katakan. Siapa

namamu?” Bertanya Sabai Nan Rancak.

“Aku Rajo Tuo penguasa Kerajaan Sipatoka. Hanya itu yang bisa kuberitahu

padamu....”

“Baik, aku tidak memaksa. Kalau kau tak mau bicara lagi harap kau suka

meninggalkan Lembah Merpati ini, Dan jangan berani mendekati tempat ini lagi! Silahkan

pergi!”

“Ah.... Begini rupanya nasib diri. Belum dapat apa yang dicari sudah disuruh pergi.

Tapi aku tak akan meninggalkan Lembah Merpati. Agar kau senang biar aku hanya beranjak

sedikit saja dari sini!”

Habis berkata begitu lelaki berambut putih berpakaian hijau bagus ini perlahan-lahan

berdiri. Dia melangkah ke arah pohon di mana tadi Sabai Nan Rancak berada. Sesaat dia

dongakkan kepala memandang ke atas. Dua kakinya kemudian digeser-geserkan secara

aneh ke tanah. Dari mulutnya melesat suara suitan nyaring. Saat itu juga tubuhnya melesat

ke udara dan sesaat kemudian dia sudah tegak di cabang pohon.

Sabai Nan Rancak yang memperhatikan apa yang dilakukan orang dalam herannya 

kembali membathin. “Tadi waktu dia mengeluarkan ilmu kapas putih menahan

tendanganku, dia sama sekali bukan mengandalkan tenaga dalam. Barusan waktu melesat

ke atas pohon dia juga tidak mengandalkan tenaga dalam atau ilmu meringankan tubuh.

Orang ini memiliki ilmu aneh. ada satu kekuatan gaib dalam dirinya!”

Sabai memandang berkeliling sebentar. “Heran, mengapa Iblis Pemalu dan orang

bercadar itu masih belum datang?” Lalu kembali dia memandang ke atas pohon.

“Orang di atas pohon. Karena pohon ini masih dalam kawasan Lembah Merpati dan

aku tak suka kau berada di lembah maka harap kau segera turun dan pergi dari sini!” Sabai 

Nan Rancak berteriak.

Mendengar teriakan si nenek, orang di atas pohon gesek-gesekkan telapak kakinya 

yang tidak berkasut ke cabang pohon. Sesaat tubuhnya seolah mumbul ke atas namun di

lain kejap tubuh itu bergerak turun ke bawah. Dia sudah tegak di tanah lembah hanya 

terpisah sepuluh langkah dari Sabai Nan Rancak.

“Aneh, ilmu apa yang dimiliki orang ini. Bisa naik turun seperti itu...” pikir si nenek.

Lalu karena dilihatnya orang masih belum pergi dari tempat itu maka. dia kembali 

membentak. “Jangan kau menguji kesabaranku. Aku tidak ada ganjalan apa-apa untuk

mencelakai dirimu! Lekas angkat kaki dari sini. Atau kau minta kusingkirkan dengan cara

mengeluarkan rohmu lebih dulu dari tubuh!”

Orang yang diancam sepertinya tidak perduli dan tidak takut dengan ancaman Sabai

Nan Rancak. Dia menjawab dengan suara perlahan dan tenang.

“Walau aku datang dari pulau terpencil, tapi aku tahu lembah ini adalah tanah

Tuhan. Semua milik Tuhan adalah milik dan diperuntukkan ummatNya juga. Karena itu 

jangan kau merasa punya hak untuk mengusir diriku dari sini....”

“Hemmm.... Rupanya kau pandai juga bicara memakai dalih dan membawa nama

Tuhan segala! Apakah Tuhanmu akan menolongmu jika saat ini aku memecahkan

kepalamu?!” Bentak Sabai Nan Rancak.“Setiap orang wajib mengingat Tuhan di mana dan dalam keadaan bagaimana pun

juga! Karena itu jangan kau bersikap takabur dan berhati sombong!

Kau hendak memecahkan kepalaku Tuhan tak akan melarang. Tapi apakah kau tahu 

bahwa Tuhan bisa berang?”

Sabai Nan Rancak yang telah kehabisan kesabarannya melompat ke depan. Tangan 

kanannya dipukulkan ke batok kepala orang. Yang diserang tetap tegak tak bergerak. Malah 

dia menatap seperti tadi ke arah si nenek yaitu jauh dan kosong. Melihat sikap orang yang 

seolah menganggap enteng diri dan serangannya Sabai Nan Rancak menjadi tambah garang.

Kalau tadi dia hanya mengerahkan sedikit saja tenaga dalamnya maka kini dia menyalurkan

hampir separuh kesaktian yang dimilikinya. 

Sejengkal lagi gebukan Sabai Nan Rancak akan memecahkan kening orang berambut

putih itu, tiba-tiba ada satu gelombang kekuatan aneh keluar dari kepalanya. Membuat 

tangan kanan si nenek terpental.

“Jahanam! Ilmu apa yang dimiliki keparat ini!” maki Sabai dalam hati. Kembali dia

menghantam. Kali ini dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam. Agaknya sekali ini

pukulan maut itu benar-benar akan memecahkan kepala orang dan merenggut nyawanya.

Tetapi luar biasanya orang yang diserang malah dengan tenang mengambil sirih yang

terselip di telinga kirinya lalu memasukkan sirih itu ke mulut dan perlahan-lahan mulai 

mengunyah.

“Jahanam kurang ajar! Dia benar-benar menganggap enteng diriku!” Maki Sabai Nan

Rancak. Tangan kanannya diayun semakin kencang.

Ketika pukulan hanya tinggal setengah jengkal dari kepala tiba-tiba terdengar pekik

Sabai Nan Rancak. Kini bukan saja tangan kanannya yang terpental tapi tubuhnya ikut

sempoyongan.- Kalau tidak cepat dia mengimbangi diri pasti akan jatuh terhantar di tanah!

“Kekerasan tidak akan memecahkan persoalan. Mengapa ingin membunuh orang

hanya karena merasa seolah kau menguasai seluruh lembah? Di dunia manusia tidak bisa

hidup sendiri. Antara satu sama lain ada saling ikatan. Mungkin tali persahabatan. Mungkin

jalur ikatan darah. Mungkin juga hubungan budi baik....”

“Jangan bersyair di depanku!” teriak Sabai Nan Rancak marah sekali. Nenek ini

melompat berdiri. Dari jarak enam langkah dia pukulkan tangan kanannya. Selarik sinar

merah berkiblat ke arah orang berambut putih.

Sekali ini orang yang diserang tidak bisa setenang tadi lagi. Wajahnya jelas 

memperlihatkan rasa kejut yang amat sangat. Pucat pasi. Dari mulutnya terdengar seruan.

“Pukulan sakti Kipas Neraka!” Orang itu tersurut mundur sampai beberapa langkah.

Agaknya dia menyadari bagaimanapun tingginya ilmu yang. dimilikinya tak bakal sanggup

menghadapi pukulan Kipas Neraka. Selain itu sebenarnya ada satu hal yang membuat orang 

ini tercekat karena adanya satu dugaan berat dalam hatinya membuat dadanya bergemuruh.

Walau terkejut mendengar orang mengetahui dan menyebut nama pukulan saktinya 

tapi Sabai Nan Rancak terus saja menghantam. Sebelum larikan sinar merah angker itu

mengembang lebar membentuk kipas tiba-tiba satu seruan keras menggema di seantero

Lembah Merpati.

“Nek! Jangan bunuh orang itu! Kau bakal malu seumur-umur! Tahan Nek! Biar

urusan terang dulu! Jangan bertindak memalukan!”

Saat itu si nenek sedang geram setengah mati. Walau dia mengenali suara Iblis

Pemalu tapi tetap saja dia teruskan serangan Kipas Nerakanya.

Tiba-tiba dari samping ada satu bayangan kuning berkelebat. Tubuh Sabai Nan

Rancak terdorong. Sinar merah Kipas Neraka berkiblat tapi kini melesat ke arah langit terbuka, menghantam udara kosong walau sempat menghancurkan dan membakar cabang-

cabang pohon yang terserempet.

Sabai Nan Rancak menjerit keras saking tak dapat menahan luapan amarah yang

seolah membakar dirinya. Dia melompat dan berpaling ke samping sambil siap melancarkan

serangan Kipas Neraka sekali lagi. Tapi ketika dia memandang ke depan hatinya mendadak

menjadi kecut.

*

* *

SEBELAS

Lima langkah dari hadapan Sabai Nan Rancak berlutut di tanah sosok tubuh

berpakaian dan bercadar kuning. Tangan kanannya diulurkan demikian rupa dengan 

telapak terpentang diarahkan pada si nenek.

“Pukulan pemunah Kipas Neraka....” Desis Sabai Nan Rancak. Hatinya kecut karena

sebelumnya orang bercadar itu beberapa kali berhasil meredam pukulan saktinya. Si nenek

ingat pada Mantel Sakti yang dikenakannya. “Kalau dia sanggup menahan pukulan Kipas

Nerakaku, jangan harap dia mampu menghadapi Mantel Sakti ini. Kalau masih belum

mempan akan kuhantam sekalian dengan Mutiara Setan!” Lalu si nenek membuat gerakan

membuka mantel yang dikenakannya.

“Kekerasan tidak bisa mencari jalan penyelesaian. Membunuh tidak akan

mendatangkan keuntungan. Manusia hanya akan mendapat penyesalan. Urusan besar

belum sempat diteruskan. Rahasia belum sempat disingkapkan. Mengapa tidak mau

menahan hati. Padahal bukankah kita semua ingin mencari keselamatan diri?!”

Sabai Nan Rancak ingin sekali mendamprat marah. Namun ada rasa mengalah

muncul di lubuk hatinya. Dia urungkan membuka Mantel Sakti. Sesaat dia melirik pada Iblis

Pemalu yang tegak di samping si cadar kuning.

“Kalian telah datang. Apa yang yang sudah diatur bisa segera dibicarakan. Tapi aku

tidak suka manusia satu ini berada di Lembah Merpati. Jika kau tak ingin aku mengusirnya

maka harap kalian berdua segera melemparkannya ke luar lembah!”

“Memalukan! Itu cara dan tindakan memalukan! Nenek tua, aku tidak akan

melakukan apa yang kau katakan!”

“Perduli setan denganmu!” maki Sabai Nan Rancak walau dengan suara perlahan.

Dia berpaling pada si cadar kuning yang saat itu telah tegak dari berlututnya. “Bagaimana

dengan kau? Kau juga tidak mau melakukan apa yang aku katakan?!”

Orang bercadar gelengkan kepala. “Orang berpakaian hijau yang hendak kau 

singkirkan itu justru adalah salah satu orang yang aku minta datang ke Lembah Merpati

ini.”

“Tapi bukankah kau dulu menyebut orang lain itu adalah Dewi Payung Tujuh, Puti

Andini...” ujar Sabai Nan Rancak tidak mengerti.

“Tidak salah. Namun keadaan berubah. Ada perkembangan baru. Yang perlu diikuti

dan dicari tahu....”

“Kepalaku bisa pecah dengan segala urusan gila penuh teka-teki ini! Katakan siapaadanya orang ini!” ucap Sabai Nan Rancak hampir berteriak.

“Dia salah satu tokoh penting dalam urusan kita. Tanpa dia sulit membuka segala 

rahasia. Kita bersyukur bahwa dia muncul di tanah Jawa. Seolah ini semua memang 

kehendak Yang Kuasa. Kami bertemu tak sengaja satu hari yang lalu dengannya. Sesuai

petunjuk maka kami mengundangnya ke lembah.” Menerangkan orang bercadar.

“Kalau memang kalian yang menyuruhnya datang ke sini aku tidak akan membuat

perkara. Tapi dia sengaja merahasiakan diri. Itu sebabnya aku menaruh curiga....”

“Nenek, harap kau tidak marah, kecewa ataupun curiga. Dia bersikap seperti itu 

karena aku yang meminta. Jangan sampai salah berkata. Sebelum kami berdua tiba di 

lembah....”

“Hemmmm....” Si nenek hanya bisa bergumam mendengar kata-kata si cadar kuning.

“Sesuai perjanjian kita sudah berkumpul di tempat ini. Apalagi yang ditunggu. Apakah

persoalan segera bisa dibicarakan?”

Si cadar kuning berpaling pada Iblis Pemalu. Orang ini anggukkan kepalanya.

Sepasang matanya yang terlihat di sela-sela jari dua tangan yang menutupi wajahnya sesaat

tampak memancarkan sinar aneh. Sikapnya tidak dapat menyembunyikan rasa tegang.

Orang bercadar melirik ke arah lelaki berpakaian hijau mengaku bernama Rajo Tuo 

penguasa pulau Sipatoka yang nampak tegak dengan sikap tenang walau sebenarnya 

perasaannya sendiri saat itu campur aduk sulit dikatakan.

“Iblis Pemalu, apakah kau sudah siap melakukan apa yang kita rencanakan?” tanya si

cadar kuning pada Iblis Pemalu. “Rahasia besar yang hendak kita ungkapkan jalurnya 

bermula dari dirimu. Kalau kau merasa malu maka rahasia akan tetap tertutup awan 

kelabu....”

Iblis Pemalu anggukkan kepala.

“Kalau kau sudah setuju bersudi diri harap segera lakukan rencana suci...” kata orang

bercadar pula.

Sabai Nan Rancak yang tidak tahu apa sebenarnya yang telah diatur oleh orang

bercadar dan Iblis Pemalu berseru ketika dilihatnya Iblis Pemalu hendak melangkah ke arah

pohon besar yang dikelilingi semak belukar lebat.

“Tunggu dulu! Mengapa persoalan tidak dimulai dengan mencari tahu siapa

sebenarnya orang berpakaian hijau yang mengaku seorang raja dari pulau Sipatoka ini!”

“Tidak sulit mengikuti apa maumu. Tapi kami berdua telah mengatur rencana agar

persoalan tidak rincu. Jika kau tidak sepakat maka rahasia lama akan terungkap....”

Sabai Nan Rancak terdiam sesaat. Akhirnya dia berkata. “Terserah padamulah. Aku

hanya mengikut saja. Tapi aku ingatkan semua yang ada di tempat ini. Berlakulah jujur,

jangan berbuat culas dan menipu dalam seribu teka-teki hidup ini!”

“Buang rasa curiga. Jauhkan sikap mendua. Kejujuran adalah sifat budi yang paling

tinggi. Kebenaran adalah kaidah hidup yang paling suci....” Si cadar kuning goyangkan

kepalanya ke arah Iblis Pemalu.

Iblis Pemalu meneruskan langkahnya menuju ke balik pohon besar dan semak

belukar. Saat demi saat berlalu. Lembah Merpati diselimuti kesunyian. Sesekali terdengar

gemerisik dedaunan yang bergeser oleh tiupan angin. Sesekali terdengar suara menggeru

burung merpati atau suara kepakan binatang itu sewaktu melayang terbang.

Orang berbaju hijau tampak berdiri diam dan tenang. Si cadar kuning memandang ke 

arah timur. Berusaha menahan gelora hatinya yang membuat dadanya berdebar keras.

Hanya Sabai Nan Rancak yang kelihatan gelisah. Nenek ini melangkah mundar-mandir.

Hatinya bicara sendiri. “Apa yang dilakukan Iblis Pemalu pergi ke balik pohon itu,mendekam di sana berlama-lama. Aku ingat peristiwa waktu di pantai dulu. Aku seolah

merasa....”

Terdengar suara semak belukar bergemerisik. Sabai Nan Rancak yang pertama sekali 

memalingkan kepala. Disusul oleh Rajo Tuo dan si cadar kuning.

Dari balik pohon yang dikelilingi semak belukar lebat melangkah keluar seorang

perempuan berusia sekitar lima puluhan. Sebagian rambutnya yang disanggul di atas kepala 

berwarna kelabu. Walau berusia setengah abad tapi wajahnya ayu sekali. Di ujung alisnya

sebelah kiri ada sebuah tahi lalat kecil. Kulitnya kuning langsat. Dia mengenakan pakaian

ringkas warna biru muda. Walau dia melangkah tenang namun dari air mukanya jelas 

perempuan ini berusaha menekan perasaan yang menggelora dalam dirinya. Orang ini

melangkah dan berdiri di samping si cadar kuning, menghadap ke arah Rajo Tuo dan Sabai

Nan Rancak. Di tangan kanannya dia memegang buntalan pakaian hitam lusuh serta

segulung benda tipis aneh yang ujungnya ada rambut palsunya; Orang ini mencampakkan

pakaian dan gulungan benda tipis itu ke tanah. Sesaat Sabai Nan Rancak perhatikan benda

itu dengan mata membelalak. Lalu diangkatnya kepalanya seraya berkata pada si cadar

kuning. Suaranya agak bergetar tanda perasaannya kembali bergejolak.

“Tidak pernah kulihat orang ini sebelumnya. Apa dia Iblis Pemalu yang tadi...? Jadi

selama ini dia melakukan penyamaran. Berupa seorang pemuda aneh yang selalu menutupi

wajah dengan dua tangan. Ternyata dia adalah seorang perempuan berusia setengah abadi

Cadar kuning lekas kau terangkan siapa orang ini adanya!”

“Puluhan tahun dia hidup dalam penyamaran. Puluhan tahun dia hidup memendam

kegetiran. Puluhan tahun dia menunjukkan sikap aneh seolah kurang ingatan. Rahasia diri 

dan perjalanan hidupnya selanjutnya biar dia sendiri yang memberi keterangan.” Jawab si

cadar kuning seraya berpaling pada orang yang tegak di sampingnya.

Ketika perempuan itu membuka mulut ternyata suaranya berbeda sekali dengan

suara Iblis Pemalu. Sesuai keadaan dirinya suaranya kini benar-benar terdengar sebagai

suara perempuan.

“Maafkan keadaan diriku. Selama puluhan tahun aku harus hidup bukan sebagai 

diriku sendiri. Selama berbulan-bulan aku terpaksa hidup dengan menyandang sifat aneh

bahkan tidak salah kalau dikatakan sebagai orang kurang waras. Hati ini sebenarnya sudah

letih menyamar diri memalsu sikap dan sifat. Namun satu tuntutan besar meminta aku

berlaku seperti itu. Hari ini aku bersyukur pada Tuhan bahwa aku bisa lepas dari semua

penyamaran itu. Sekitar lima puluh tahun lalu aku dilahirkan di kaki Gunung Singgalang

dari rahim seorang perempuan hasil hubungannya dengan seorang kekasih. Ketika aku

keluar dari perut ibu dan muncul di perut bumi, ibuku jatuh pingsan. Ternyata kemudian di

dalam kandungan ibuku masih ada satu bayi lagi, yakni adik kembarku. Dukun yang 

menolong melahirkan berjuang mati-matian untuk dapat mengeluarkan adik kembarku

sementara ibuku masih berada dalam keadaan pingsan.... Mungkin sudah ada yang

mengatur bahwa begitu diriku lahir maka aku akan diserahkan pada seseorang karena

konon baik ayah maupun ibuku merasa malu telah melahirkan seorang anak tanpa jalinan

hubungan perkawinan. Tapi ternyata setelah aku masih ada satu bayi lagi dalam perut

ibuku yakni adik kembarku tadi. Sejak aku masih bayi merah aku sudah dipisahkan dengan

adikku oleh satu riwayat hidup yang mungkin sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa bagi

kami berdua.

Masih belum bernama, dan mungkin juga wajahku tidak sempat dilihat oleh ibuku

sendiri, apalagi ayahku maka aku dibawa orang ke satu tempat yang sangat jauh, dipelihara

Oleh sepasang suami istri yang hanya punya satu anak lelaki dan sangat menginginkan

seorang anak perempuan. Aku diberi nama Bululani. Adapun anak lelaki kakak angkatku

bernama Bululawang, tujuh tahun lebih tua dariku. Sebagai kakak adik walau tidak sedarah

sedaging kami hidup rukun di bawah naungan kasih sayang orang tua kami berdua....”

Sampai di situ perempuan berambut kelabu yang menyamar sebagai Iblis Pemalu dan

sebenarnya bernama Bululani ini hentikan penuturannya. Kedua matanya dipejamkan. Dia

berusaha menahan gejolak dalam dirinya tapi tak dapat. Air mata meleleh keluar dari sudut-

sudut matanya yang dipejamkan.

“Perasaan yang keluar disertai air mata adalah perasaan paling suci dari seorang anak

manusia. Tapi jangan sampai hati naik ke kepala. Jangan sampai perasaan mempengaruhi

pikiran. Kuatkan hatimu Bululani. Teruskan penuturanmu....”

Mendengar ucapan orang bercadar, Bululani, perempuan berpakaian ringkas biru

muda itu seka ke dua matanya. Sementara itu Sabai Nan Rancak tegak tertunduk. Dalam

hati dia berkata. “Perempuan itu menuturkan riwayat dirinya. Namun rasa-rasanya ada

sangkut paut dengan diriku. Siapa ayah dan ibunya...?”

Si nenek tak sempat berpikir lebih panjang karena saat itu Bululani telah mulai

meneruskan keterangan menyangkut rahasia dirinya.

*

* *

DUA BELAS


Dalam kehidupan kami, orang tua kami tidak membedakan antara aku dengan anak

kandungnya. Kami diberikan pendidikan agama yang cukup. Juga berbagai ilmu

pengetahuan termasuk ilmu silat serta kesaktian. Beberapa waktu lalu, dalam usia

yang sebenarnya tidak muda lagi kakakku Bululawang melakukan perjalanan ke berbagai 

daerah. Malang tak dapat ditolak, di satu tempat dia tewas menjadi korban pembunuhan. Si 

pembunuh seperti kabar yang sampai kepadaku adalah seorang pendekar muda bernama

Wiro Sableng. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.

Untuk menuntut balas aku bersikeras meninggalkan rumah guna mencari pembunuh

kakakku. Kedua orang tua angkatku melarang. Sebenarnya mereka merasa kasihan padaku

karena sampai usiaku lanjut aku masih belum mendapatkan pasangan hidup.

Sesungguhnya banyak pemuda yang suka padaku, tapi entah mengapa aku seperti tidak

berkeinginan untuk berumah tangga. Walau ayah dan ibuku melarang habis-habisan tapi

aku tak bisa ditahan lagi. Suatu malam secara diam-diam aku meninggalkan rumah.

Sebenarnya ada satu hal yang membuat mengapa aku menjadi nekad. Beberapa bulan

sebelum Bululawang dibunuh, seseorang memberitahu bahwa aku ini sebenarnya adalah

anak pungut atau anak angkat. Jadi bukan anak kandung. Semula ingin kutanyakan

kebenaran hal itu pada kedua orang tuaku. Namun aku takut mereka tersinggung, atau

sedih, atau mungkin juga marah. Maka kebenaran hal itu akhirnya kutanyakan pada

Bululawang. Mula-mula dia mengatakan bahwa hal itu adalah dusta dan fitnah belaka.

Akari tetapi sebelum dia pergi, Bululawang sempat bicara denganku. Dia mengatakan

bahwa aku memang adalah anak angkat. Namun orang tuanya tidak menganggap diriku 

sebagai anak angkat. Mereka menganggap aku sama dengan Bululawang yaitu sebagai anak 

kandungnya sendiri. Bululawang juga berkata begitu. Aku baginya adalah adik kandung sedarah sedaging yang sangat disayanginya.

Begitulah, memang aku ingin meninggalkan rumah untuk mencari pembunuh 

Bululawang. Tapi sekaligus aku juga ingin mencari tahu siapa adanya ke dua orang tuaku.

Dimana mereka berada. Apa masih hidup. Kalau sudah meninggal dimana kubur mereka.

Sebelum hal itu jelas, bagiku merupakan satu rahasia hidup yang sangat menekan batinku.

(Mengenai siapa adanya Bululawang harap, baca serial Wiro Sableng berjudul Dendam

Manusia Paku)

Untuk memudahkan diriku dalam perjalanan aku menyamar sebagai Iblis Pemalu.

Bersikap aneh seolah-olah gila dan menutupi wajah serta tanganku dengan lapisan kulit.

Dalam penyelidikan aku bertemu dengan beberapa tokoh rimba persilatan. Antaranya

Pengiring Mayat Muka Hijau, seorang nenek bernama Sika Sure Jelantik dan seorang kakek

bermata memberojol besar bernama Datuk Gadang Mentari. Belakangan aku ketahui mereka

bertiga bukanlah orang baik-baik. Pengiring Mayat Muka Hijau adalah tangan kanan Datuk

Lembah Akhirat yang membunuh dan mengadu domba sesama tokoh silat golongan putih. 

Datuk Gadang Mentari kudengar kabar adalah kaki tangan seorang sakti dari Gunung 

Singgalang yang punya urusan dengan murid Dewa Tuak. Katanya adiknya yang bernama

Datuk Mangkuto Kamang dibunuh oleh Anggini, murid Dewa Tuak. Belakangan aku

ketahui bahwa hal itu hanyalah fitnah orang sakti di puncak Singgalang itu yang untuk

tujuan tertentu sengaja menghasut Datuk Gadang Mentari agar bentrokan dengan Dewa

Tuak.

Lalu mengenai nenek bernama Sika Sure Jelantik itu, belakangan kuketahui pula 

bahwa dia adalah salah seorang kekasih ayahku di masa muda dan malah sampai saat ini

berusaha mencari ayahku .untuk membunuhnya guna melampiaskan dendam kesumatnya. 

Si nenek itu kabarnya pernah menyamar jadi seorang dukun dan diam di sebuah pulau

kerajaan bernama Sipatoka....”

Orang berpakaian hijau yang sejak tadi berdiri tenang mendengar penuturan Iblis 

Pemalu alias Bululani tersentak sampai kepalanya terdongak ke atas.

“Perempuan bernama Bululani...” kata orang itu dengan suara bergetar. “Dukun tua

yang kau sebutkan itu apakah dia yang pernah memakai nama Dukun Sakti Langit 

Takambang?”

Bululani berpaling ke arah si baju hijau. Sesaat pandangannya tampak sayu. Lalu

perlahan-lahan dia anggukkan kepala. “Betul Rajo Tuo.... Dukun Sakti Langit Takambang 

berada di pulaumu. Menyamar menjadi dukun sakti kepercayaanmu karena sebenarnya dia

mengincar sebuah benda sakti mandraguna....”

“Maksudmu....”

“Rajo Tuo, harap kau tidak menyebut dulu nama barang itu. Karena akan merusak

jalannya penuturan Bululani. Harap kau bersabar dulu. Agar semua nanti bisa menahan

diri.”

Sampai di situ Sabai Nan Rancak yang sejak tadi berdiam diri membuka mulut.

“Orang bercadar dan kau perempuan bernama Bululani. Agaknya ada sesuatu yang sengaja

kalian rahasiakan terhadap diriku! Aku tidak suka cara kalian ini!”

“Rahasia di dalam rahasia. Kalau untuk manfaat bersama. Mengapa tidak ditunda

sesaat saja. Agar kita semua tidak kecewa. Semua akan segera nyata. Masalahnya hanya

menunggu waktu yang tepat saja...” jawab orang bercadar dengan gaya bahasanya yang

selalu berpantun.

“Baik! Aku bisa bersabar tapi tidak terlalu lama.” Jawab Sabai Nan Rancak. “Sekarang

aku ingin tahu siapa nama ayah dan ibu yang melahirkanmu! Harap kau segera menjawab pertanyaanku Bululani!”

“Ketika aku dibawa pergi, aku masih bayi. Aku tidak pernah tahu nama ayan dan ibu

kandungku. Kedua orang tua angkatku juga tidak pernah memberitahu. Mungkin mereka

juga tidak tahu...” menjelaskan Bululani.

“Ini adalah aneh,” kata Sabai Nan Rancak dengan wajah berkerut. “Kalau begitu 

siapa yang memberitahu semua cerita yang barusan kau tuturkan itu!” 

Bululani memandang ke arah orang bercadar.

“Biar aku yang menjawab,” kata si cadar kuning pula. “Apa yang dituturkan Bululani

adalah sahih dan benar adanya. Dia tidak berbohong tidak pula berdusta. Cerita itu

didengarnya langsung dari seorang tokoh sakti di pulau Andalas. Kelak pada saatnya kita 

akan menemui orang itu. Tidak akan lama lagi kebenaran rahasia itu akan segera kita

ketahui....”

“Walah!” Sabai Nan Rancak goleng-goleng kepala. “Bukankah kita berkumpul di sini

untuk Mengungkapkan segala rahasia yang ada. Sekarang mengapa malah menambah

rahasia?”

“Harap kau mau bersabar Nek. Ini adalah atas permintaan tokoh silat sakti dari

Andalas itu. Kalau semua disingkapkan sekarang mungkin banyak hal yang akan terabai.

Paling tidak kau nanti akan menanyakan bukti. Padahal menurut pesan semua kejelasan

akan dikatakan sendiri oleh tokoh itu....”

Sabai Nan Rancak keluarkan suara seperti menggerendeng. “aku kenal semua tokoh

silat di Pulau Andalas. Katakan saja aku pasti tahu....”

Bululani menggeleng, “Harap maafmu Nek. Biar aku lanjutkan penuturanku....”

Walau tidak senang tapi Sabai Nan Rancak diam saja. Maka Bululani meneruskan

keterangannya. “Walau aku tahu Datuk Gadang Mentari, si nenek Sika Sure Jelantik dan

Pengiring Mayat Muka Hijau bukan manusia-manusia baik, tapi aku membutuhkan mereka

untuk mencari keterangan dimana adanya Pendekar 212 Wiro Sableng yang telah

membunuh kakakku Bululawang. Di satu lembah batu kami akhirnya menemukan pemuda

itu yang kebetulan berada bersama Anggini, gadis yang tengah dicari-cari Datuk Gadang

Mentari.

Tapi justru saat itu pula aku mendapat penjelasan bahwa sesungguhnya kakakku

Bululawang menemui ajal karena ada sangkut paut dengan kejahatan yang dilakukan oleh

Dewi Ular. Dikatakan bahwa kakakku menemui ajal di tangan seorang pemuda bernama

Sandaka berjuluk Manusia Paku.

Sebelum persoalan menjadi lebih jelas suasana di lembah batu kacau balau karena

seorang pemuda bernama Panji yang jadi lawan Pendekar 212 melarikan sebuah kain berisi 

peta penunjuk tempat disembunyikannya Pedang Naga Suci 212.

Sementara rimba persilatan bertambah kacau akibat lenyapnya banyak tokoh silat

golongan putih yang ternyata diculik dan dibawa ke Lembah Akhirat, aku beberapa kali

bertemu dengan orang bercadar kuning ini. Semula aku menganggapnya sebagai musuh

yang punya maksud jahat. Namun dalam beberapa pertemuan aku melihat dia banyak tahu

tentang riwayatku. Maka diam-diam aku juga menyelidiki. Pada pertemuan terakhir kami

berdua menyadari bahwa sesungguhnya antara kami berdua ada hubungan darah yang

sangat dekat. Mungkin dia adalah adik kembarku yang selama puluhan tahun tak pernah 

kutemukan. Kukatakan mungkin karena kebenaran hal ini harus dibuktikan dengan

petunjuk oleh tokoh silat utama dari Pulau Andalas itu....”

“Hemm...” Sabai Nan Rancak bergumam. “Orang bercadar, jadi kau sebenarnya

adalah seorang perempuan yang selama ini bersembunyi dibalik baju dan cadar kuningmu.Usiamu tentu sama dengan usia Bululani. Sekitar setengah abad....” Si nenek berpaling pada

Bululani lalu berkata. “Jika kau sudah tahu orang bercadar ini adalah saudara kembarmu,

apakah kau sudah tahu siapa namanya?”

“Dia belum mau memberi tahu,” jawab Bululani.

“Berarti dia melakukan kecurangan. Sengaja menyembunyikan sesuatu!” tukas Sabai

Nan Rancak. Nenek satu ini kembali menjadi geram.

“Aku tidak melakukan kecurangan. Tidak pula menyembunyikan sesuatu. Aku

hanya menunda keterangan. Sesuai petunjuk tokoh yang memberitahu. Biar kejelasan

terucap keluar dari mulut orang bukan dariku. Karena diri ini juga tersangkut dalam rahasia

yang satu.”

Saking kesalnya Sabai Nan Rancak bantingkan kaki kanannya ke tanah hingga

Lembah Merpati terasa bergetar. Burung-burung beterbangan dan di tanah yang bekas

dihantam bantingan kaki tadi kelihatan satu lobang besar.

Walau kesal kelihatan namun Sabai Nan Rancak diam-diam merasa lega juga. Tadi

dia menduga bahwa jangan-jangan ibu Iblis Pemalu atau Bululani adalah dirinya sendiri.

Tapi setelah mengetahui bahwa perempuan itu melahirkan sepasang bayi kembar sedang

dia hanya melahirkan seorang bayi saja, maka berarti bukan dirinya yang dimaksudkan

dalam penuturan Bululani.

“Orang berbaju hijau sekarang giliranmu!”

Si baju hijau yang tegak sambil mengunyah sirih terkejut mendengar kata-kata 

Bululani itu.

“Giliranku apa? Apa maksudmu?” Dia balik bertanya. 

“Rajo Tuo,” kini si cadar kuning yang bicara. “Orang yang mengaku saudara

kembarku ini telah menceritakan riwayat dirinya. Sekarang giliranmu untuk menuturkan

riwayat dirimu. Bukankah kau meninggalkan tempat kediamanmu karena mencari

puteramu? Harap kau menuturkan mulai dari perkawinanmu dengan ibu anakmu itu. Siapa

nama istrimu dan bagaimana kau sampai berada di tempat ini....”

Orang berbaju hijau sesaat hanya tegak berdiam diri. Lalu dia menyembur

mengeluarkan sirih yang dikunyahnya.

“Aku sudah menceritakan padamu. Sudah menceritakan semua.”

“Padaku, tapi tidak pada nenek ini. Dan hanya sedikit pada saudaraku ini.”

Orang itu memandang dulu pada Sabai Nan Rancak. Lalu dia mulai dengan

penuturannya.

“Aku kawin ketika berusia dua puluh enam tahun dan istriku delapan belas. Aku

tidak tahu asal-usul istriku. Jangankan diriku, istriku sendiri boleh dikatakan tidak tahu 

siapa ayah ibunya. Menurut dia ibunya meninggalkan dirinya sejak dia masih kecil. Dia

dipelihara oleh satu keluarga miskin yang tak punya anak. Mereka tinggal di satu gubuk 

kecil, terpencil di kaki gunung Singgalang. Setahun setelah kawin istriku melahirkan

seorang bayi perempuan. Keadaannya yang sakit-sakitan ditambah ketidakmampuannya 

merawat anak yang masih kecil membuat aku menjadi marah. Dia lalu minggat

meninggalkan diriku. Sampai saat ini aku tidak pernah mendengar kabar tentang dirinya.

Apa masih hidup atau sudah meninggal....”

Orang bercadar melirik pada Sabai Nan Rancak. Dilihatnya si nenek tegak tak

bergerak. Kepalanya tertunduk memandangi rerumputan yang tumbuh di tempat itu.

“Rajo Tuo,” menegur orang bercadar. “Bagian terakhir dari ceritamu adalah palsu

dan dusta! Aku pernah mengatakan hal itu padamu dalam pertemuan kita sebelumnya. 

Mengapa kau masih berani bicara dusta?”

Wajah Rajo Tuo tampak berubah. Orang ini sesaat menatap jauh ke depan. Lalu 

tenggorokannya turun naik dan suara sesenggukan keluar dari mulutnya. '

“Semua salahku.... Semua memang salahku...” katanya setengah meratap sambil 

menutup wajahnya. 

“Pertemuan ini bukan untuk mendengar ratap tangismu! Harap kau suka bicara

mengulang cerita. Hanya kejujuran yang akan membebaskan diri dari tekanan bathin yang 

menghimpit dirimu!” ujar orang bercadar memperingatkan.

Rajo Tuo hapus air matanya. Dia coba menguatkan hati. Lalu mengulangi kembali 

sebagian ceritanya tadi.

*

* *

TIGA BELAS


Maafkan diriku.... Tadi memang ada ceritaku yang tidak benar. Aku terlalu takut

menghadapi hukuman Tuhan. Namun agaknya aku tak mungkin lari dari

kenyataan. Aku juga mengerti bahwa hanya dengan kenyataanlah rahasia besar

yang menyangkut diri kita semua bisa diungkapkan. Tadi aku ceritakan setelah melahirkan

istriku selalu sakit-sakitan. Dia memang sakit tapi bukan sakit jasmani melainkan lebih

banyak akibat tekanan bathin karena ulahku. Aku sering meninggalkannya. Terkadang

sampai berbulan-bulan. Perbuatanku yang semena-mena itu kulakukan karena aku telah

terpikat pada seorang gadis yang diam di sebuah pulau, bernama pulau Sipatoka. Si gadis

adalah puteri penguasa pulau yang telah menganggap pulau itu sebagai satu kerajaan kecil.

Suatu saat penguasa pulau itu jatuh sakit. Sebelum meninggal dia minta aku mengawini

puterinya, sekaligus menyerahkan tahta kerajaan Sipatoka padaku. Sejak aku kawin dan

tinggal di pulau aku tak pernah menjenguk anak istriku. Satu ketika aku mengutus

seseorang untuk pergi ke kaki Singgalang guna menyelidiki keadaan anak istriku. Ternyata

gubuk kediaman mereka kosong. Menurut satu-satunya tetangga ada seorang bernama

Malin, mengaku sebagai suruhan, suatu hari datang lalu membawa pergi anak istriku. Aku 

masih berusaha terus menyelidiki dan mencari orang bernama Malin itu. Tapi di Andalas 

ada ratusan orang bernama Malin. Anak dan istriku tak pernah kutemukan lagi sampai saat

ini.... Tak bisa kupastikan apa mereka masih hidup atau sudah meninggal. Kalau anakku itu

masih hidup tentu dia sekarang telah menjadi seorang gadis. Aku kemudian mengarang

cerita bahwa istriku telah meninggal dunia karena sakit-sakitan. Ah... aku menyesal. 

Perbuatan di masa muda hanya menimbulkan derita sengsara di masa tua.... Bagaimana aku

menebus segala dosa.” Orang berbaju hijau itu tundukkan kepala dengan wajah amat sedih.

“Ceritamu sudah benar, tapi ada yang belum kau jelaskan. Sebagai seorang Rajo Tua

dari kerajaan pulau Sipatoka kau tentunya punya nama. Istrimu tentu juga punya nama dan

anak kalian juga tentu punya nama.... Mengapa tidak kau jelaskan siapa-siapa nama

mereka?”

Rajo Tuo angkat kepalanya sedikit. Sejurus dia menatap pada orang bercadar lalu

melirik pada si nenek. Ada getaran-getaran aneh tiba-tiba dirasakan lelaki berusia 60 tahun

ini. “Aku tidak tahu...” katanya dengan suara tersendat. “Apakah anakku itu masih

memakai nama yang pernah aku berikan padanya....” Rajo Tuo geleng-gelengkan kepala.

Mulutnya kembali terkancing. Air mata membasahi pipinya yang cekung.

“Jangan rahasia disimpan di dalam hati. Sebutkan nama agar kami semua tahu. T

ada lagi gunanya segala sembunyi. Ini saat paling baik untuk memberitahu.”

“Aku.... Aku memberi nama anak itu Puti Andini....”

Sabai Nan Rancak memekik keras. Mukanya yang penuh keriput kelihatan seputih

kertas. Dadanya berguncang hebat. Sepasang kakinya tersurut sampai tiga langkah. Tiba-

tiba nenek ini melompat ke hadapan Rajo Tuo. Membuat lelaki ini kini yang jadi tersurut

saking kagetnya.

“Kau mengatakan anakmu itu bernama Puti Andini! Jangan kau berani bicara dusta!”

teriak Sabai Nan Rancak.

“Aku.... Aku tidak bicara dusta. Puti Andini memang nama yang kuberikan pada

anakku sebelum dia dan ibunya kutinggal pergi!” jawab Rajo Tuo.

“Aku punya seorang cucu perempuan yang juga bernama Puti Andini! Apa ini satu 

kebetulan nama sama. Atau.... Kubunuh kau jika berani mengarang cerita dusta!”

“Nenek, siapa kau ini sebenarnya hingga marah begini rupa terhadapku?” tanya Rajo

Tuo dengan wajah yang kini juga menjadi pucat.

“Nenek, harap kau bisa menahan diri dan perasaan. Biar Rajo Tuo menyelesaikan

ceritanya....”

“Tidak!” teriak Sabai Nan Rancak. “Aku harus tahu siapa namamu! Aku harus tahu

siapa gelarmu!”

Rajo Tuo tak mau menjawab melainkan memandang pada Iblis Pemalu alias Bululani, 

lalu pada orang bercadar.

“Rajo Tuo, penuhi permintaannya. Katakan namamu...” kata orang bercadar pula.

“Namaku Sidi Kuniang....” Rajo Tuo mengatakan namanya.

“Sidi Kuniang...” mengulang Sabai Nan Rancak dalam hati. “Tak aku kenal nama itu. 

Tak pernah kudengar nama ini!” Si nenek berpaling pada orang bercadar lantas berkata,

“Aku tak kenal orang ini. Tak pernah mendengar namanya!”

“Rajo Tuo, orang tak kenal namamu. Mengapa tidak memberi tahu siapa gelarmu?”

Berkata si cadar kuning.

“Orang tuaku memberi aku gelar Datuk Paduko Intan...” kata orang berbaju hijau

dengan suara perlahan. Namun ucapan itu datangnya di telinga Sabai Nan Rancak laksana

petir menyambar.

Dia menjerit keras. Dari celah-celah antara kepala dan topi berkeluk yang

dikenakannya kelihatan kepulan asap pertanda dapat dibayangkan bagaimana marahnya si

nenek.

“Manusia jahanam! Laknat terkutuk! Jadi kau rupanya! Pembunuh anakku! 

Penyengsara cucuku! Memang sudah lama kau kucari untuk kujadikan bangkai! Mampus 

kau sekarang juga!” 

Habis membentak begitu rupa Sabai Nan Rancak angkat kedua tangannya. Karena

dia mengalirkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimilikinya maka dua

lengannya berubah menjadi merah. Si nenek jelas siap untuk menghantam dengan pukulan

maut Kipas Neraka. Dua pukulan sekaligus!

“Nenek siapa kau adanya!” seru Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dengan wajah

ketakutan dan melangkah mundur menjauhi si nenek.

“Siapa aku nanti bisa kau tanyakan di neraka!” jawab Sabai Nan Rancak. Dua

lengannya ditarik ke belakang.

“Nek! Tahan! Jangan bunuh dia!” teriak Iblis Pemalu alias Bululani yang kini cara 

bicaranya tidak lagi seperti dulu yakni selalu menyebut-nyebut malu atau memalukan.

Kedua wajahnya pun tidak lagi ditutupnya dengan dua telapak tangan.“Tunggu!” teriak orang bercadar. Dia cepat berkelebat ke hadapan Sabai Nan Rancak.

“Jangan cepat turuti tangan. Tanpa alasan....”

“Aku punya sejuta alasan untuk membunuhnya! Dia adalah menantu yang tak pantas

Kusebut sebagai menantu. Manusia laknat terkutuk! Menyia-nyiakan anakku, menyengsarakan 

cucuku!”

“Kalau kau ingin membunuhnya itu soal gampang. Apalagi kalau kau punya alasan

segudang. Tapi kejelasan perlu diungkap. Apa benar dia si menantu laknat....”

“Apa ada sepuluh Datuk Paduko Intan di dunia ini?!” sahut Sabai Nan Rancak pula. 

“Aku yakin seribu yakin inilah Datuk Paduko Intan manusia yang telah mencelakai anak

cucuku!”

“Harap kau suka bersabar barang sedikit. Agar perbuatan keliru tidak membawa

sesal penyakit. Biar aku tanyakan beberapa hal padanya. Kalau dia menjawab tanpa dusta.

Maka semua akan jelas dan nyata....” Si cadar kuning memegang lengan Sabai Nan Rancak.

Semula si nenek hendak menyentakkan tangannya yang dipegang malah hendak 

mendorong si cadar kuning dengan tangannya yang lain. Namun dia tercekat ketika melihat

sepasang mata bening orang bercadar basah oleh air mata. Gerakannya ditahannya dan dia

hanya mengikut saja ketika dibawa ke samping menjauhi Rajo Tuo Datuk Paduko Intan. 

“Kita berada di sini bukan untuk saling membunuh. Menyingkap rahasia hidup adalah lebih

utama dari kematian. Jangan memecah buluh. Kalau miangnya akan meracun tubuh!”

Setelah yakin bahwa Sabai Nan Rancak tidak akan menyerang maka si cadar kuning 

berpaling pada orang berpakaian hijau. “Rajo Tuo Datuk Paduko Intan....” Suara si cadar

kuning terdengar aneh di telinga Sabai Nan Rancak. Tidak lagi seperti suaranya sebelumnya.

“Agar jelas bagi kami semua. Agar tidak ada yang salah langkah. Harap kau sudi bicara.

Katakan siapa nama istrimu. Juga apakah kau masih ingat siapa nama mertuamu baik yang

lelaki ataupun yang perempuan....”

“Sudah kukatakan aku tidak tahu nama kedua mertuaku....”

Si cadar kuning gelengkan kepala. “Tidak Rajo Tuo. Aku yakin kau tahu siapa nama

kedua mertuamu. Bukankah kau pernah ditemui oleh seseorang yang datang membawa

sebuah benda. Benda itu harus kau sampaikan pada.... Aku yakin kau tahu tapi kau masih

berusaha menyembunyikan. Aku tak tahu apa kau punya tujuan....”

Rajo Tuo Datuk Paduko Intan kerenyitkan kening dan usap-usap dagunya sesaat. 

Lama orang ini terdiam sebelum akhirnya dia berkata. “Orang yang datang menemuiku

membawa sebuah benda dalam satu kotak perak. Katanya benda itu harus aku serahkan

pada ibu mendiang istriku. Dia memang mengatakan siapa ibu mertuaku itu. Seorang nenek

bernama Sabai Nan Rancak. Aku juga diberitahu bahwa Sabai Nan Rancak tengah mencari

suaminya, ayah istriku, yang diketahuinya bergelar Tua Gila. Katanya lagi Sabai Nan

Rancak mencari Tua Gila untuk membunuh si kakek karena dendam kesumat urusan cinta

di masa muda!”

“Apa kataku! Apa kataku!” teriak Sabai Nan Rancak dengan tubuh tampak seperti 

menggigil dan mata membeliak seolah mau melompat keluar dari rongganya. “Memang dia

jahanamnya! Memang manusia satu ini laknatnya! Aku tidak akan pernah mengakuinya

sebagai menantu! Keparat!”

Si cadar kuning angkat kedua tangannya. “Nek, aku masih ingin kau menunjukkan

kesabaran. Masih ada beberapa hal perlu kejelasan.... Rajo Tuo Datuk Paduko Intan, kau

tahu siapa nenek bermantel hitam yang tegak di hadapanmu ini?”

“A... aku tidak tahu. Tapi kini aku bisa menduga....”

“Apa dugaanmu Rajo Tuo?” Yang bertanya adalah Bululani.“Mungkin dia...dia adalah Sabai Nan Rancak, ibu istriku, ibu mertuaku!”

“Bukan mungkin! Tapi aku memang adalah Sabai Nan Rancak! Dan jangan kau 

berani menyebut diriku sebagai ibu mertuamu! Jahanam keparat!”

“Rajo Tuo, satu hal lagi harus kau terangkan. Siapa nama istrimu gerangan.... Kalau 

kau tidak tahu namanya. Tidak pula menyebutkannya. Maka semua . ceritamu tadi hanya

dusta belaka!”

“Andam Suri. Namanya Andam Suri....” Rajo Tuo Datuk Paduko Intan lalu tutup 

wajahnya dengan dua tangan. Tenggorokannya turun naik. Tubuhnya berguncang-guncang 

tanda dia berusaha keras untuk menahan tangis.

“Manusia jahanam! Kau bukan saja busuk jahat. Tapi juga pengecut! Kau berpura-

pura menangis agar orang berhiba hati. Apapun yang terjadi aku tetap akan membunuhmu! 

Orang bercadar harap kau lekas menyingkir!”

“Nenek Sabai, tunggu dulu! Sebagian rahasia memang sudah tersingkap. Tapi harus

ada bukti agar dapat menentukan sikap!” kata si cadar kuning pula.

“Pertanyaanku pada orang ini belum selesai. Datuk Paduko Intan, kalau Andam Suri 

benar istrimu, apakah kau tahu atau mungkin pernah menyirap kabar dimana dia berada

saat ini?”

Yang ditanya turunkan tangan. Wajahnya tampak kuyu sedih. Lalu dia gelengkan

kepala. “Aku tidak tahu di mana dia berada. Kalau memang masih hidup aku ingin sekali

menemuinya dan bersujud minta ampun....”

“Minta ampun! Huh! Alangkah enaknya!” hardik Sabat Nan Rancak. Dia maju dua

langkah tapi cepat dihalangi si cadar kuning.

“Nek, setiap manusia tidak terlepas dari kesalahan. Ukuran hukum atas diri

seseorang tidak hanya ditakar dari dosa dan kesalahannya belaka. Mungkin ada alasan

mengapa dia berbuat begitu. Mungkin ada rangkaian kejadian yang memaksa dirinya

melakukan sesuatu. Kita semua harus bertindak bijaksana. Sekali lagi aku meminta. Rahasia

memang sudah tersingkap. Tapi bukti perlu dilihat....” 

“Bukti apa lagi?!” bentak Sabai Nan Rancak dengan mata membelalak.

“Bukti itu akan kita dapat dan ketahui pada hari empat belas bulan purnama

mendatang....”

“Aku ada urusan pada saat itu....”

“Hemmm.... Apakah terpikir olehmu bahwa urusanmu ada sangkut pautnya dengan

urusan kita semua. Bukankah seorang sakti berjuluk Kakek Segala Tahu yang memintamu

untuk datang ke satu tempat pada bulan purnama empat belas hari?”

“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Sabai Nan Rancak.

“Banyak yang kau tahu. Tapi masih lebih banyak yang aku tidak tahu. Karena itu kita 

akan bertemu lagi pada hari empat belas malam mendatang. Semua bukti harus dicocokkan.

Kalau semua bukti tepat. Maka akan gampang menyelesaikan silang sengketa lantai 

terjungkat. Bisakah aku mengharapkan kesabaranmu lagi Nek? Menunggu sampai hari

empat belas, malam bulan purnama penuh?”

“Rasa-rasanya aku sudah tidak bisa menunggu. Tak ada lagi kesabaran dalam diriku!

Tapi sekali ini aku terpaksa mengalah...” kata Sabai Nan Rancak dengan suara datar.

“Orang mengalah bukan berarti kalah. Orang mengalah bukan berarti mencari susah.

Orang mengalah justru menunjukkan budi luhur dan tinggi. Orang mengalah justru akan

mencapai kemenangan pribadi.... aku sangat berterima kasih....”

“Kau boleh saja berkata begitu! Tapi aku punya beberapa pertanyaan untuk Raja geblek ini!”

“Silahkan kau bertanya....”

“Paduko Intan! Kau menuturkan ada orang datang padamu membawa sebuah kotak

perak. Orang itu meminta agar kau menyerahkan kotak tersebut pada seorang nenek 

bernama Sabai Nan Rancak, yaitu diriku sendiri! Kau tahu apa isi kotak perak itu?”

“Sebuah kalung perak sakti bermata hijau bernama Kalung Permata Kejora....”

“Di mana kau simpan kalung itu sekarang?!” tanya Sabai Nan Rancak geregetan.

“Kuserahkan pada seseorang....”

“Kau serahkan pada seseorang?!” ujar si nenek dengan mata melotot. “Siapa

orangnya?” 

“Seorang sahabat bernama Wiro Sableng,” jawab Rajo Tuo Datuk Paduko Intan. 

(Seperti dituturkan dalam Episode pertama Tua Gila Dari Andalas kalung sakti itu

diserahkan Datuk Paduko Intan pada Tua Gila untuk diserahkan pada Sabai Nah Rancak. 

Ketika Datuk Paduko Intan menanyakan namanya, seenaknya saja Tua Gila memberitahu

bahwa namanya adalah Wiro Sableng)

Sabai Nan Rancak sampai terlonjak mendengar jawaban Datuk Paduko Intan itu.

“Manusia celaka! Kau benar-benar jahanam! Kalung itu kau serahkan pada musuh

besar yang harus kubunuh!” Sabai Nan Rancak melangkah mondar-mandir sambil merepet

tak karuan dan banting-banting kaki.

“Kalian semua dengar! Aku harus pergi dari sini! Dan kau!” Si nenek menunjuk

tepat-tepat pada Datuk Paduko Intan. “Aku tidak ingin melihat tampangmu lagi! Sekali kau

muncul di hadapanku amblas nyawamu!”

“Nek, kau mau ke mana?” tanya Bululani.

“Lama-lama di sini aku bisa mati berdiri!” jawab Sabai Nan Rancak. “Jangan harap

aku akan memenuhi, permintaan kalian datang pada pertemuan di Telaga Gajahmungkur 

pada hari empat belas malam bulan purnama!”

“Nek, jalan yang kau lalui hanya tinggal beberapa depa. Rahasia sudah terungkap

hampir semua. Justru hari empat belas malam bulan purnama adalah saat paling

menentukan. Apa salahnya kau menyempatkan diri mencari kebaikan....”

“Mencari kebaikan? Buktinya saat ini aku menemui seribu satu macam perkara

jahanam! Jangan harap aku akan datang!”

“Nenek Sabai, aku khawatir kau akan menyesal. Bukankah kau sangat ingin

menyingkap tabir di mana beradanya anakmu Andam Suri? Bukankah kau ingin

mendapatkan Kalung Permata Kejora? Bukankah banyak hal lagi yang sebenarnya ingin kau

ketahui...?”

“Kalian semua orang-orang gila. Urusan yang kalian hadapkan padaku sama gilanya

dengan diri kalian!”

“Kalau kau ingin pergi dan tak mau datang ke tempat pertemuan bagi kami tidak

menjadi apa. Tapi kau akan sangat kecewa. Apalagi kelak orang mungkin akan

menyalahkan dirimu. Karena semua urusan ini terjadi akibat ulahmu....”

“Manusia bercadar! Jaga mulutmu!” teriak Sabai Nan Rancak marah.

“Benar apa yang dikatakan orang. Sejak muda kau lebih mendahulukan hati daripada

pikiran. Kau menghujat kesalahan orang tanpa menyadari kesalahan sendiri. Bukankah 

karena menuruti hawa amarah dan perasaan hati sendiri lima puluh tahun lalu kau sampai

tega meninggalkan bayi yang kau lahirkan. Bayi yang masih merah! Bahkan kau tak pernah

tahu kalau kau punya anak kembar! Kau hanya tahu bahwa anakmu hanya seorang yakni

Andam Suri! Sampai saat ini kau seolah patung tak punya perasaan, tak punya hati tak punya pikiran. Apa kau tidak sadar kalau perempuan bernama Bululani yang tegak di 

hadapanmu ini adalah salah satu dari dua anakmu? Anak kandung darah dagingmu! Tapi

kau bertindak acuh seolah dia hanyalah batu! Binatang masih mempunyai rasa kasih sayang 

terhadap anaknya. Apakah kau lebih nista dari binatang?! Kau hanya pandai melihat

kesalahan orang lain! Tapi buta mengukur kesalahan sendiri! Apa kau pernah sadar apa

yang telah kau lakukan setelah kau meninggalkan bayimu? Kau hanya mempermomok Tua 

Gila pada semua orang. Kau sendiri tidak sadar dengan segala perbuatanmu! Kau telah

mengotori Gunung Singgalang dengan segala tingkah lakumu! Dalam lupa dirimu kau

sampai tidak tahu kalau dirimu telah diperalat orang untuk ikut mengadu domba antara

sesama tokoh golongan putih! Membunuh orang-orang tak bersalah! Jangan merasa dirimu

sebagai malaikat yang hendak membersihkan rimba persilatan. Kau jauh lebih kotor dari

Tua Gila!” 

“Orang bercadar, apa maksudmu...?” tanya Sabai Nan Rancak dengan suara bergetar

dan muka putih seperti kain kafan.

“Tanyakan pada dirimu sendiri. Karena jawabnya ada dalam lubuk hatimu sendiri!”

jawab orang bercadar. Lalu dia memberi isyarat pada Bululani. Sekali berkelebat kedua

orang itu lenyap dari tempat itu.

Sabai Nan Rancak merasakan tubuhnya lemas. Lututnya gontai. Nenek ini jatuh

terduduk. Air mata meluncur deras di kedua pipinya. Dia memandang ke samping.

Ternyata Datuk Paduko Intan juga tak ada lagi di tempat itu.

“Ya Tuhan, apa sebenarnya yang tengah terjadi dengan diri tua rapuh ini...?” kata

Sabai Nan Rancak seraya gulingkan diri lalu menelungkup di atas rerumputan. Suara

tangisnya tenggelam seolah ditelan tanah.

Tiba-tiba dia bangkit terduduk. Memandang ke arah lenyapnya orang bercadar

kuning. “Aku membuat satu kesalahan besar. Mengapa aku tidak menanyakan siapa

sebenarnya orang berpakaian dan bercadar kuning itu....” Si nenek pukul-pukul keningnya

sendiri. Lalu kembali dia berbaring menelungkup dan menangis sejadi-jadinya.

“Tuhan...” kata suara hatinya meratap. “Kalau memang aku ini salah jalan. Kalau 

memang aku ini orang berdosa, turunkanlah kutuk dan hukumanmu! Hancurkan tubuh tua

tak berguna ini!”

*

* *

EMPAT BELAS


Sabai Nan Rancak tidak tahu berapa lama dia menangis menelungkup di rumput seperti 

itu. Dia baru hentikan tangis, usap kedua matanya ketika dia menyadari bahwa dia

tidak lagi seorang diri di Lembah Merpati itu.

Si nenek cepat bangkit dan duduk. Hanya tiga langkah di hadapannya dilihatnya 

duduk seorang kakek berkepala botak, berpakaian putih lusuh. Kakek ini memandang ke 

arahnya dengan pandangan dan sinar mata sayu.

“Aneh, walau aku tadi tenggelam dalam perasaan mengapa aku sampai tidak

mendengar suara langkah kakinya mendatangi. Dia tahu-tahu muncul seolah burung yang

melayang terbang lalu hinggap tanpa suara! Aku tak kenal si botak ini. Agaknya dia memiliki kepandaian tinggi.”

“Apakah kehadiranku mengejutkan dirimu?” Kakek botak menegur. Dia tersenyum

walau senyuman ini tidak dapat memupus air mukanya yang sayu.

“Kau bukan saja mengejutkan! Tapi juga kurang ajar! Berani mendekati perempuan di 

tempat sepi seperti ini. Padahal kita tidak saling kenal!” 

Kakek botak bermuka sayu kembali tersenyum. “Lembah ini memang sepi dan indah

sekali. Itu sebabnya aku tertarik datang ke sini. Tapi aku lebih tertarik setelah melihat dirimu

yang tergolek di rumput, menangis sedih dalam keadaan menelungkup. Memang hanya kita

berdua di tempat ini dan kita tidak saling kenal. Tapi apakah ada dan masihkah tua bangka

seperti kita ini mau melakukan yang bukan-bukan walau hanya kita berdua saja yang ada di

tempat ini? Maafkan kalau aku telah mengejutkan dirimu. Di tempat sepi begini berteman

adalah lebih baik daripada seorang diri. Walau tidak tahu pangkal sebabnya tapi aku ikut

hiba mendengar tangismu tadi. Nenek bertopi seperti tanduk kuda, menurut penglihatanku

kau pasti datang dari jauh, dari tanah seberang. Jauh-jauh datang ke sini lalu menangis ini 

adalah satu hal yang ingin aku ketahui....”

“Hemmmm.... Ternyata selain kurang ajar kau juga lancangi” semprot Sabai Nan

Rancak.

“Lancang bagaimana maksudmu Nek?”

“Kita tidak saling kenali Kau datang diam-diam secara kurang ajar. Kini hendak

mencampuri urusan orang! Bukankah itu namanya lancang?!”

Si kakek usap-usap kepalanya yang botak. “Menurutmu lancang. Tapi menurutku

lain lagi. Karena maksudku bertanya hanyalah dengan niat menolong semata. Siapa tahu,

walau tidak kenal aku bisa membantu melepaskan dirimu dari kesedihan yang tengah kau 

hadapi....”

“Sedih? Siapa bilang aku sedih?!”

“Orang menangis biasanya karena sedih, Bukankah begitu?” ujar si kakek pula.

“Tidak selamanya!”

“Ah, bagaimana kau bisa berkata begitu?”

“Karena aku menangis bukan sebab musabab sedih. Aku menangis karena ingin mati!

Kau tadi bilang ingin menolongku! Nah bisakah kau membantuku! Membunuh diri tua

bangka keropos ini sampai mati?!”

Kakek botak ternganga lalu geleng-gelengkan kepala. “Kau ini ada-ada saja Nek. Tapi

kau tahu, aku suka berbincang-bincang dengan orang seperti m u ini. Mungkin kita bisa

membagi pengalaman....”

“Sayang, aku justru tidak suka bicara denganmu! Apalagi membagi pengalaman!”

kata Sabai Nan Rancak.

“Kalau begitu dengan berat hati aku terpaksa pergi meminta diri. Namun sebelum

pergi maukah kau mendengar beberapa bait nyanyianku...?”

“Ah, rupanya kau adalah seorang kakek pengamen. Maaf saja. Bicaramu saja

suaramu tidak enak, apalagi menyanyi!”

Si kakek botak tertawa lebar. “Suaraku memang tidak sedap didengar. Jangankan

manusia, tikus pun akan lari mendengar suaraku. Tapi jangan suara yang jadi jaminan.

Cobalah kau simak bait-bait dalam nyanyianku. Mungkin bisa sedikit memberi kelegaan di 

lubuk hatimu....”

Lalu tanpa perduli apakah orang suka atau tidak si kakek dongakkan kepala 

memandang ke langit di atas Lembah Merpati dan mulai melantunkan nyanyiannya.

Jauh berjalan banyak nan dilihat

Lama hidup banyak nan dirasa

Salah jalan bisa tersesat

Salah hidup bisa celaka

Lama hidup banyak nan dirasa

Segala suka segala duka

Kalau duka berlebihan dari suka

Pertanda diri akan binasa

Salah jalan bisa tersesat

Mengapa tidak kembali ke pangkal jalan

Salah hidup bisa celaka

Mengapa tidak mencari letaknya salah

“Tua bangka botak gila! Aku tak suka mendengar nyanyianmu! Lekas menyingkir 

dari hadapanku!” membentak Sabai Nan Rancak.

Tapi seolah tidak mendengar ucapan orang, kakek botak terus saja menyanyi. 

Kalau dendam membakar hati

Kalau dendam membakar pikiran

Kasih indah di masa muda seolah api

Membakar asmara menjadi ajang kematian

Apakah itu maunya manusia?

Kalau hati berselimut dendam

Kalau darah dibakar amarah

Lautan cinta menjadi padang maut

Padang asmara menjadi neraka kematian

Bisakah kesalahan ditumpahkan pada hanya satu 

insan?

Tidakkah ada lagi kasih sayang di hati manusia

Tidakkah ada lagi seberkas cahaya kenangan indah

Tidakkah ada lagi kenangan indahnya asmara di hati

insan

Apakah hidup hanya dibatasi garis bara api antara

yang benar dan yang salah

Antara yang sengsara dan yang sesat

Kalau kematian memang sudah menjadi niat

Kalau malaikat maut memang sudah terpanggil

Lalu manusia bertindak sebagai pencabut nyawa diri

sendiri dan nyawa orang lain

Alangkah sedihnya nasib dunia

Tangis dan air mata bukan lagi penyejuk hati Ratap minta pengampunan bukan lagi pelebur

amarah

Desah kesedihan tidak lagi dorongan untuk me-

nanyai diri sendiri

Manusia hanya bisa melihat jauh pada diri orang lain 

Seolah tidak mampu melihat dekat pada diri sendiri

Manusia ingin melihat kegelapan

Padahal dalam dirinya ada cahaya terang

Mengkaji lubuk hati

Sama hikmahnya dengan menyingkap rahasia diri

Datanglah dendam

Datanglah salah sangka

Datanglah maut

Datanglah kematian

Dekap tubuh tua penuh dosa erat-erat dalam

pelukanmu yang paling ganas Kematian datangnya 

hanya sekejap Sengsara tetap berbekas sampai kiamat

Apakah manusia lupa bahwa Tuhan selalu membuka

pintu tobat?

Orang tua berkepala botak itu batuk-batuk beberapa kali. Dia seperti tercekik.

“Ah suaraku memang tidak sedap didengar! Aku jadi malu sendiri! Maafkan

kelakuanku yang tidak mengenakkan. Aku minta diri....”

Kakek ini membungkuk lalu putar tubuhnya.

“Tunggu!” seru Sabai Nan Rancak. Sepasang matanya memperhatikan orang di 

hadapannya mulai dari kepala sampai ke kaki.

“Siapa kau sebenarnya...?” tanya si nenek.

“Kau tak suka padaku. Perlu apa tahu namaku...?”

“Nyanyianmu itu.... Apa maksudmu dengan nyanyian tadi?”

“Ah, nyanyian hanya sekedar paduan kata-kata yang dikeluarkan secara berirama.

Kalau suaraku tidak sedap harap maafkan. Kalau aku hanya mengganggumu harap

maafkan. Kalau bait-bait dalam nyanyianku menyinggung perasaanmu aku juga minta maaf

beribu maaf.”

“Tidak bisa! Aku ingin tanya! Tahu apa kau tentang diriku?!”

“Seperti katamu bukankah kita sebelumnya tidak saling kenal? Jadi apa yang bisa 

kukatakan tentang dirimu? Sekali lagi harap maafkan diriku!”

Kakek botak itu kembali membungkuk. Lalu berkelebat ke arah lembah sebelah barat.

Sabai Nan Rancak tegak termangu-mangu. Dari mulutnya meluncur kata-kata. “Suaranya

tidak sama. Wajahnya tidak serupa. Tapi mengapa hatiku menaruh syak wasangka...? Ah

sudahlah! Lebih baik aku juga pergi dari sini! Tapi aku mau pergi ke mana...?”

Sabai Nan Rancak memandang berkeliling. Saat itu hanya berada seorang diri di

Lembah Merpati yang sunyi dia merasa betapa sepi dan terpencilnya dirinya di dunia ini.

Tak terasa air mata meluncur jatuh ke atas pipinya yang keriput. Tiba-tiba saja si nenek 

teringat pada cucunya. “Puti Andini... di mana kau berada Nak....” Si nenek memandang

lagi berkeliling. Dia menarik nafas berulang kali. “Aku harus mencari cucuku itu....”


TAMAT


Penulis : Bastian Tito

Created : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-blogspot.com

Episode berikutnya :


WASIAT MALAIKAT


Hak cipta dan copyright milik Alm. Bastian Tito

Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia

Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek dibawah nomor 004245

“Mengenang Alm. Bastian Tito”

Pengarang Wiro Sableng

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive