SATU
Sepasang mata Sabai Nan Rancak memandang tak berkesip pada orang bercadar yang
tegak di hadapannya. Dia seolah berusaha menembus cadar untuk melihat wajah orang
berpakaian serba kuning itu, untuk mengetahui siapa orang ini adanya.
“Siang telah bergerak menuju petang. Terima kasih kau telah sudi datang memenuhi
undangan.” Si cadar kuning berkata.
Sabai Nan Rancak memasang telinganya baik-baik. Sebelumnya dia telah beberapa
kali bertemu dengan orang ini dan telah beberapa kali pula mendengar suaranya. Dalam
hati Sabai Nan Rancak berkata. “Aku masih belum bisa memastikan apakah orang ini lelaki
atau perempuan. Kalau bicara kata-katanya seperti berpantun. Setiap bicara agaknya dia
mengerahkan tenaga dalam untuk menutupi suara aslinya. Namun berat dugaanku dia
seorang perempuan.”
“Waktuku tidak banyak. Ada beberapa urusan penting menungguku. Jadi kuharap
kau segera menjelaskan maksud tujuan pertemuan ini.” Kata Sabai Nan Rancak setelah tadi
berusaha menyimak suara orang.
“Sebetulnya ada tiga orang yang kuharapkan datang kemari. Namun orang ke tiga belum menunjukkan diri....”
“Kalau pertemuan ini memang penting, aku bersedia menunggu sampai matahari
tenggelam.”
Orang bercadar dan berpakaian serba kuning gelengkan kepala. “Yang ditunggu tak
bakal datang. Entah apa sebab penghalang....”
“Kalau begitu percuma aku datang kemari!” ujar Sabai Nan Rancak dengan nada
keras menunjukkan sikapnya yang mulai tidak sabaran dan cepat naik darah.
“Setiap kedatangan ada manfaatnya,” jawab si cadar kuning. “Undangan ke tiga tidak
datang. Entah apa sebab penghalang. Terakhir kusirap dia berada di sekitar Telaga
Gajahmungkur. Lalu lenyap seolah masuk ke dalam kubur. Hanya kita bertiga yang bisa
berkumpul. Itu sudah cukup untuk memanjatkan syukur.”
“Kalau memang kita bisa mulai bicara, harap kau suruh orang yang sembunyi di
balik pohon besar itu keluar dan datang ke tempat ini!” kata Sabai Nan Rancak. Sejak
pertama datang nenek sakti ini memang sudah mengetahui kalau ada orang mendekam di
balik pohon besar.
“Saudara di balik pohon harap kau suka datang ke sini. Agar pertemuan dan
pembicaraan dimulai lebih dini!” kata si cadar kuning pula.
Dari balik pohon terdengar suara orang mendehem beberapa kali. “Sebetulnya aku
malu untuk menemui kalian. Tapi kupikir jauh lebih memalukan kalau terus-terusan
sembunyi di balik pohon ini!”
Suaranya masih bergema namun orang yang tadi berada di balik pohon tahu-tahu
sudah berada di tempat itu. Duduk mencangkung seenaknya di gundukan tanah tinggi
berumput. Kedua tangannya ditutupkan di atas wajahnya.
“Iblis Pemalu!” kata Sabai Nan Rancak setengah berseru karena dia tidak menyangka
orang di balik pohon itu ternyata adalah si pendatang baru dalam rimba persilatan yang
memperkenalkan diri dengan nama atau julukan Iblis Pemalu. Sebelumnya dia telah pernah
bertemu dengan pemuda itu. Terakhir sekali dia malah mengadakan perjalanan bersama
menyeberangi lautan dari pulau Andalas menuju tanah Jawa. Yakni setelah dia
mendapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan milik Datuk Tinggi Raja Di Langit yang
kemudian merubah gelar menjadi Jaga! Iblis Makam Setan.
Lalu di sebuah teluk mereka berpisah. Namun karena ada satu perasaan aneh timbul
di dalam hatinya, Sabai Nan Rancak secara diam-diam kembali ke teluk. Dia mengintai dan
sempat mendengar desah ucapan Iblis Pemalu yang duduk termenung di tepi pantai
menghadap ke laut. Desah yang keluar dari lubuk hati Iblis Pemalu membuat Sabai Nan
Rancak berdebar. Karena ucapan memelas yang sempat didengar Sabai itu seolah
menyatakan adanya hubungan tertentu antara Iblis Pemalu dengan dirinya. (Baca Episode
Utusan Dari Akhirat) iblis Pemalu sendiri tampak tenang-tenang saja mencangkung di atas
gundukan tanah berumput.
Sabai Nan Rancak berpaling pada orang bercadar di hadapannya. “Karena kau
mengundang pemuda ini datang ke mari, apakah ini satu pertanda bahwa dia juga punya
sangkut paut dengan urusan kita?”
Si cadar kuning mengangguk.
Sabai Nan Rancak kembali menatap Iblis Pemalu lekat-lekat. Walau tampak tenang-
tenang saja namun sampai saat itu Iblis Pemalu terus saja menutupi wajahnya dengan dua
telapak tangan. “Orang mudai Apakah kau mau menurunkan dua tanganmu hingga aku
bisa melihat wajahmu?”
Iblis Pemalu berpaling pada Sabai Nan Rancak. Di antara sela-sela jarinya sepasang
matanya menatap tajam pada si nenek. Lalu dia menjawab. “Wajahku buruk. Memalukan.
Tampangku buruk. Memalukan! Nah buat apa aku memperlihatkan muka?!”
Walau jengkel mendengar kata-kata Iblis Pemalu namun Sabai Nan Rancak masih
bisa menahan diri. Dia alihkan pandangannya pada si cadar kuning.
Saat itu debaran aneh seperti yang dirasakannya waktu mendengar desah Iblis
Pemalu tempo hari kembali muncul di dadanya. Maka nenek ini bertanya lagi. “Tadi kau
mengatakan bahwa sebenarnya ada seorang lagi yang diundang datang ke tempat ini. Tapi
tidak datang. Kau bersedia memberi tahu siapa adanya orang itu?”
“Tamu yang diundang tapi tidak datang. Dia berasal dari tanah seberang. Kukenal
dengan nama Puti Andini. Berwajah secantik puteri. Berjuluk Dewi Payung Tujuh. Memiliki
suara semerdu bulu perindu. Apakah nama dan dirinya berarti sesuatu bagimu?”
Sabai Nan Rancak tersurut dua langkah. Dia tidak dapat menyembunyikan rasa
terkejutnya. Wajahnya jelas berubah.
Semua ini terlihat oleh si cadar kuning. Maka segera saja dia berkata. “Kaki tersurut
dua langkah. Wajah berubah serta merta. Apakah ini satu pertanda. Bahwa kau mengenal
dirinya. Atau ada sesuatu yang mendekam di dalam dada...?”
Tenggorokan Sabai Nan Rancak tampak turun naik beberapa lama. “Aku tidak akan
menjawab sebelum kau lebih dulu mengatakan siapa dirimu dan apa maksud pertemuan ini
sebenarnya!”
“Saling bertanya tapi tak saling menjawab. Tentu ada pasal penyebab. Kau tak suka
menjawab, aku tak mau berdebat. Siapa diriku pasti akan terjawab. Siapa diri kita pasti akan
tersingkap. Mengapa hidup berteka-teki. Kalau kau suka menjawab aku akan menuruti.”
Sepasang mata Sabai Nan Rancak tampak membesar dan rahangnya yang tertutup
kulit menggembung. Ini satu pertanda bahwa dia mulai jengkel.
“Orang bercadar, apakah kau tak bisa bicara wajar. Tidak terus-terusan berpantun
atau bersyair yang terdengar asing di telingaku!”
Wajah di balik cadar tersenyum. “Manusia dilahirkan menurut kodratnya yang telah
ditentukan dan menjadi bagian dirinya. Lingkungan dan perjalanan hidup mempengaruhi
dan membentuk pribadinya. Menunjukkan keaslian diri pribadi adalah lebih baik dari pada
berpura-pura....”
“Kalau kau berkata begitu, mengapa kau justru menunjukkan sifat berpura-pura.
Tidak mau mengatakan siapa dirimu sebenarnya.” Bertanya Sabai Nan Rancak dengan suara
gusar.
“Aku tidak berpura-pura. Diri ini tidak bisa mengada-ada. Pada saatnya semua akan
terbuka. Tapi apakah pintu bisa terbuka kalau tak ada kunci pelaksana. Nenek Sabai Nan
Rancak, justru dirimulah yang menjadi kunci pembuka. Apakah kau sudi menerima?”
“Aku manusia hidup! Bukan benda mati! Bukan sebuah kunci!” Suara Sabai Nan
Rancak mengeras. “Kau cari saja kunci yang lain! Aku merasa menyesal datang memenuhi
undanganmu. Urusanku banyak yang lebih penting!” Habis berkata begitu Sabai Nan
Rancak hendak memutar tubuh. Namun gerakannya tertahan ketika mendengar suara Iblis
Pemalu.
“Kalau ada yang mau mendengar biar badan buruk ingin bicara agar aku tidak malu!
Kalau ada yang tidak mau mendengar biar aku lebih dulu angkat kaki dari sini supaya tidak
malu!”
“Apa yang hendak kau ucapkan?!” tanya Sabai Nan Rancak.
“Aku harap kalian tidak malu mendengarkan!” jawab Iblis Pemalu. Dua tangannya
tetap tak beranjak dari menutupi wajahnya. “Setiggi langit tak ada yang lebih tinggi dari
akal manusia. Aku tidak malu bilang begitu! Sedalam lautan tidak sedalam rahasia
kehidupan! Aku juga tidak malu berkata begitu. Tapi aku merasa malu sekali mengatakan
yang ini. Kenapa banyak manusia bertinggi hati berendah budi. Kalau sampai rahasia tidak
tersingkap hanya karena bertahan pada keangkuhan pribadi, jangan salahkan jika umat
sedarah sedaging saling berbunuh sebelum kiamat!”
“Iblis Pemalu! Ucapanmu aneh tapi tajam! Apa maksudmu?!” hardik Sabai Nan
Rancak.
“Apa memalukan bagimu kalau menceritakan apa hubungan dan sangkut paut
dirimu dengan gadis bernama Puti Andini itu? Kalau aku jadimu aku tidak akan merasa
malu menerangkan.”
Rahang Sabai Nan Rancak kembali menggembung.
“Aku diminta datang ke tempat ini! Tujuan pertemuan ini masih jauh dari jelas. Dia
sebagai tuan rumah malah mengajak aku bicara tak karuan! Menutupi siapa dirinya sendiri.
Tapi berusaha hendak menelanjangi diriku dengan pertanyaan-pertanyaan yang bukan-
bukan!”
“Tamu yang diundang memang tidak harus dibuat malu. Tapi tuan rumah yang
berniat baik juga kurang pantas dipermalukan. Apa susahnya menjawab pertanyaannya.
Apa itu satu hal yang memalukan?”
“Aku jauh lebih tua dari dirinya. Kurasa aku cukup pantas untuk mengetahui siapa
dirinya lebih dulu dan apa tujuan sebenarnya pertemuan ini!” jawab Sabai Nan Rancak.
Iblis Pemalu tertawa pendek. “Nenek,” katanya. “Bagaimana kau tahu lebih tua dari
orang bercadar dan berpakaian kuning ini? Apa kau pernah melihat wajahnya? Apa kau
tidak merasa malu mengatakan sesuatu yang kau sebenarnya tidak yakin?”
Mulut Sabai Nan Rancak tampak memencong dan tenggorokannya turun naik
Matanya memandang ke wajah yang tertutup cadar. Dia coba memperhatikan dua tangan
orang itu. Tapi terlindung di balik lengan baju yang panjang menjulai. Dia memandang ke
bawah. Dua kaki orang ini juga tertutup oleh kaki celana yang gombrang menjela tanah. Dia
tak bisa menemukan bukti-bukti bahwa orang berpakaian serba kuning itu lebih tua atau
lebih muda dari dirinya.
“Baik!” Tiba-tiba Sabai Nan Rancak membuka mulut. “Aku tidak akan memaksanya
menerangkan siapa dirinya. Antara kita berdua adalah sama-sama tamu! Sekarang aku ingin
mendengar dari mulutmu sendiri! Siapa dirimu adanya!”
Saking kagetnya mendengar pertanyaan si nenek, Iblis Pemalu sampai tertegak dari
jongkoknya di atas gundukan tanah berumput.
*
* *
DUA
Untuk beberapa lamanya Iblis Pemalu dan Sabai Nan Rancak sama-sama tegak saling
melontar pandang. “Ini sungguh aneh. Sungguh memalukan! Kalian berdua saling
berdebat, mengapa aku yang kena getah! Jadi korban pertanyaan memalukan!” Iblis
Pemalu akhirnya buka suara.Jadi seperti manusia bercadar itu kau juga tidak mau memberi tahu siapa dirimu!”
ujar Sabai Nan Rancak seraya dongakkan kepala sedikit dan rangkapkan dua tangan di
depan dada.
“Bukan aku malu mengatakan siapa diriku. Bukan aku malu menerangkan asal-usul
diriku! Tapi aku tidak mau mendahului tuan rumah! Aku merasa ini belum saatnya. Aku
menduga ada orang lain yang lebih patut mengatakannya! Orang itu pasti tidak malu
menjelaskan semuanya.... Dia saksi yang punya seribu bukti!”
“Siapa orang yang kau maksud! Apa yang mau dijelaskannya?!” tanya Sabai Nan
Rancak dengan suara keras dan mata membelalak.
Iblis Pemalu tidak menjawab pertanyaan si nenek melainkan berpaling pada orang
bercadar kuning. Lalu berkata. “Aku yakin kau pun merasa malu menjelaskan. Karena
belum saatnya!”
“Kalian ini bicara apa?!” Membentak Sabai Nan Rancak. “Aku diminta datang ke
tempat ini. Setelah aku berada di sini kalian bicara tidak karuan! Kalian semua orang-orang
gila atau bagaimana? Mungkin sengaja memancing aku datang ke sini dengan maksud jahat
tersembunyi?! Jangan berani mempermainkan Sabai Nan Rancak. Aku bisa membunuh
kalian semudah aku membalikkan telapak tangan!” Habis berkata begitu si nenek buka
kancing mantel hitamnya satu persatu.
“Aku tahu.... Aku tahu! Aku malu, sangat malu! Kau dikenal sebagai nenek sakti dari
puncak Singgalang! Malah sekarang kau mengenakan Mantel Sakti. Membekal Mutiara
Setan. Walau dua benda sakti itu bukan milikmu! Aku malu! Aku malu!”
Wajah Sabai Nan Rancak berubah kelam. Dia bergerak mendekati Iblis Pemalu. Jari-
jari tangannya terkepal. Namun orang bercadar cepat menghadang.
“Tidak ada orang yang bicara tak karuan. Jangan merasa dirimu dipermainkan. Siapa
pula yang memancing dengan maksud jahat tersembunyi. Juga tak ada orang gila di tempat
ini!”
“Aku muak mendengar segala syair dan pantunmu!”
“Aku malu melihat sikapmu!” Menukas Iblis Pemalu. Lalu dia berpaling pada si
cadar kuning. “Jika nenek ini tidak sabaran dan tidak mau mengerti katakan saja padanya
semua yang kau ketahui tentang dirimu, diriku, dirinya dan diri gadis bernama Puti Andini
itu! Tapi agar aku tidak malu, sebelum kau mengatakan biar aku angkat kaki dulu dari
tempat ini!”
“Iblis Pemalu, tunggu!” berseru si cadar kuning. “Apapun yang akan aku katakan
kau harus tetap di sini!” Lalu dia berpaling pada Sabai Nan Rancak. “Orang bijaksana
pandai menahan diri. Orang cerdik tahu membaca pikiran. Kalau kau memaksa diri. Maka
kau hanya akan menerima sebagian. Sisanya terpaksa kau telusuri sendiri. Nenek Sabai Nan
Rancak, dalam hidupmu apakah kau pernah punya suami?”
Terkejutlah Sabai Nan Rancak mendengar pertanyaan yang tidak tersangka-sangka
itu. “Pertanyaan gila apa pula ini?! Urusan pribadiku mengapa kau selidiki!”
“Alam terkembang tapi dunia seolah kelam. Puluhan tahun rahasia mencekam.
Apakah manusia masih tetap hendak bertahan. Menyimpan segala tanya hati dan ratap
perasaan. Pertemuan ini tidak mengarah diri pribadi. Urusan yang ada menyangkut ikatan
diri. Kalau rahasia hendak diungkap, mengapa tak mau diajak mufakat? Seperti kataku tadi
kunci semua persoalan ini ada di tanganmu. Kalau tak ada sepotong keterangan pun yang
kudapat darimu mana mungkin persoalan bisa diramu....”
Sabai Nan Rancak terdengar menggerendeng panjang pendek. Dia melirik pada Iblis
Pemalu dan kembali ingat peristiwa di tanjung tempo hari. Kalau tak mau dikatakan curiga,saat itu sebenarnya si nenek telah menaruh kesan bahwa antara dia dengan iblis Pemalu ada
satu hubungan yang sangat dekat tapi keadaan membuatnya terasa begitu jauh.
Sabai Nan Rancak terdiam beberapa lamanya. Mulutnya tampak berkomat-kamit.
“Baik, aku akan menjawab. Aku memang pernah punya suami. Tapi manusia itu justru
sedang aku cari untuk dibunuh!”
“Soal bunuh membunuh adalah soal kedua. Soal pertama ingin kutanyakan apakah
suamimu itu berpunya nama?” Bertanya si cadar kuning.
“Namanya Sukat Tandika!” jawab Sabai Nan Rancak.
Si cadar berpaling pada Iblis Pemalu. Saat itu si pemuda juga memandang ke
arahnya.
“Aku malu bicara. Tapi aku harus ikut bertanya. Apakah suamimu itu punya gelar?”
Bertanya Iblis Pemalu.
“Jangan sebut bangsat itu suamiku! Kami tidak punya hubungan apa-apa lagi! Aku
benar-benar ingin membunuhnya!” Berteriak Sabai Nan Rancak.
“Aku mengerti kalau kau tenggelam dalam perasaan. Namun pertanyaan menunggu
jawaban,” kata orang bercadar pula.
“Bangsat tua itu dikenal dengan julukan Tua Gila!” Menerangkan Sabai Nan Rancak.
“Dari hubungan kalian sebagai suami istri apakah kailan berpunya anak?”
“Orang bercadar! Pertanyaanmu sudah keliwatan. Aku tak mau menjawab!”
“Nek, aku malu melihat sikapmu. Bagimu apakah memalukan menjawab pertanyaan
orang? Berdebat sampai malam dan sampai pagi lagi tak ada gunanya. Jika urusan mau
cepat selesai harap kau jangan berlaku memalukan. Jawab saja pertanyaan orang itu. Kelak
kau nanti akan tahu apa tujuannya. Semua bukan untuk kebaikan kita saja. Tapi juga
beberapa orang lain yang tidak hadir di tempat ini! Ayo Nek. Bersikaplah bijaksana. Jangan
memalukan begitu!”
Sabai Nan Rancak menyeringai buruk. “Enak dan pandainya kau bicara! Kau sendiri
apa sudah pernah punya istri? Siapa nama istrimu! Apa kau juga punya anak? Siapa nama
anakmu!”
“Aku tidak malu menjawab! Aku belum punya istri. Jadi tidak mungkin punya anak!
Kalau aku belum kawin tapi punya anak bukankah memalukan?!”
Sabai Nan Rancak tampak bersungut-sungut mendengar ucapan Iblis Pemalu itu. Dia
ingat sesuatu. Waktu di tepi pantai dulu, sebelum berpisah ada satu perasaan aneh yang
membuatnya ingin memeluk Iblis Pemalu. Tapi orang itu menampik untuk dipeluk.
Sepasang mata si nenek membesar. “Kalau kau tidak punya istri apakah kau punya suami?!”
“Eh...!” Suara Iblis Pemalu tercekat. Tangan kirinya hampir saja diturunkan saking
kaget mendengar kata-kata si nenek. Namun dia cepat menguasai diri. Setelah tertawa
cekikikan dia berkata. “Sungguh ucapanmu memalukan! Aku seorang laki-laki mana
mungkin punyakan suami! Memangnya aku ini manusia banci? Memalukan! Ha... ha... ha!”
Orang bercadar memberi isyarat agar Iblis Pemalu hentikan tawanya. Lalu dia
berkata pada Sabai Nan Rancak.
“Nenek Sabai, kuharap kau tidak berkeberatan memberikan jawaban. Dari
perkawinanmu dengan Sukat Tandika alias Tua Gila apakah kau punya anak atau tidak
harap jelaskan.”
Si nenek meludah ke tanah. Mukanya yang keriputan tampak tambah berkerut.
“Menjijikkan! Betapa bodohnya aku! Aku memang punya anak. Satu. Perempuan.
Untung cuma satu!” Sabai Nan Rancak kembali meludah melampiaskan perasaannya.
“Terima kasih kau mau memberi tahu. Siapakah nama anakmu itu. Di mana gerangan
dia sekarang?”
“Anak itu sudah meninggal. Mati tak lama setelah dia melahirkan.”
Sepasang mata orang bercadar menatap tajam pada Sabai Nan Rancak. Lalu dia
berkata.
“Malangnya nasibmu. Malangnya nasib anakmu! Jika benar anakmu sudah
berpulang, di mana letak makamnya gerangan?”
Sabai Nan Rancak tidak segera menjawab. Dia balas menatap lekat-lekat ke arah
wajah orang yang tertutup cadar. Pandangannya beradu dengan sepasang mata orang itu.
Untuk kesekian kalinya getaran aneh mendebari dada si nenek. “Di mana makam atau
kuburnya aku tak pernah tahu....”
“Nenek Sabai. Kau yakin anakmu itu benar-benar sudah mati? Seyakin kau melihat
hitam di atas putih?”
Sabai Nan Rancak terdiam sesaat. “Terus terang aku memang tidak pernah
mengetahui di mana dia dimakamkan. Tapi yang jelas di Pulau Andalas.”
“Jawabanmu meluncur tegas. Seolah tak ada penyesalan atau pun rasa memelas.
Bagaimana mungkin seorang ibu tidak tahu makam anak tercinta?”
Darah Sabai Nan Rancak kembali naik mendengar ucapan orang. Ini kentara dari apa
yang dikatakannya. “Urusan diriku dengan kematian anakku apa sangkut pautnya dengan
dirimu?!”
“Justru di situlah letak kunci rahasia. Lebih banyak hal nyata yang terungkap lebih
cepat rahasia terbuka,” jawab orang bercadar.
“Kau belum menyebutkan siapa nama anakmu itu, Nek! Tak usah malu-malu
mengatakan.” Iblis Pemalu membuka mulut.
“Orangnya sudah mati! Perlu apa diberi tahu!” jawab Sabai Nan Rancak jengkel.
“Harimau bisa mati. Belangnya tetap tertinggal.
Manusia boleh mati. Rahasia hidupnya akan terus tertinggal. Terserah orang yang
ditinggal. Apakah akan mencari manfaat. Atau mudarat!”
“Katakan saja Nek. Tak usah malu! Aku yakin nama anakmu tidak buruk!” kata Iblis
Pemalu pula.
Sabai Nan Rancak dongakkah kepala. Lama dia seolah menatap sesuatu di langit
lepas di atas sana. Perlahan-lahan kepalanya ditundukkan. Kini dia seperti memandangi
ujung kakinya sendiri. Lehernya yang keriput turun naik. Dadanya berdebar menahan
gejolak. Sudah lama sekali dia tidak pernah menyebut nama itu. Kini di saat dia hendak
mengatakan seolah dia hendak memuntahkan batu berapi dari dalam mulutnya.
“Nek, kau mau mengatakan atau tidak. Hari semakin sore. Jangan malu. Makin cepat
kau mengatakan makin lekas kau terbebas dari tekanan bathin!”
Sabai Nan Rancak palingkan kepalanya ke arah Iblis Pemalu. “Kau benar...” katanya
perlahan. “Tekanan bathin telah mendera hidupku selama lebih dari enam puluh tahun.
Anakku itu bernama Andam.... Andamsuri....”
Orang bercadar tiba-tiba putar tubuhnya. Kepalanya tertunduk dan sekujur tubuhnya
tampak bergetar. Iblis Pemalu mendongak ke langit. Dadanya tampak berguncang-guncang.
Dari sela-sela jarinya ada tetesan air mengalir.
“Dia tidak malu menyebutkan nama anaknya! Orang bercadar agaknya sekarang
giliranmu menyingkap tabir dirimu sendiri!”
“Nama sudah terucap jelas. Namun perlu bukti tuntas. Nenek Sabai, kami inginkan
satu bukti. Bahwa Andamsuri adalah anakmu pasti....”
Baru saja orang bercadar mengucapkan kata-kata itu sekonyong-konyong ada suara
lain menjawab.
“Tak ada kepastian di dunia ini! Kecuali maut!”
Lalu sesosok tubuh berkelebat dan tegak lima langkah di hadapan Sabai Nan Rancak.
Orang yang barusan datang ini keluarkan suara tawa membahana!
*
* *
TIGA
Datuk Tinggi Raja Di Langit! seru Sabai Nan Rancak dengan suara bergetar lalu
bersurut sampai tiga langkah. “Salah! Gelarku sekarang adalah Jagal Iblis Makam
Setan! Ha... ha... ha...!”
Walau Sabai Nan Rancak adalah orang yang paling terkejut namun Iblis Pemalu dan
orang bercadar kuning tak kalah kaget serta ngerinya.
“Makhluk satu ini pasti muncul meneruskan urusan waktu di pantai, memalukan!”
Membathin Iblis Pemalu.
Si cadar kuning walau tampak tenang tak bergerak namun hatinya menjadi tak enak.
“Pertemuan telah kuatur lama. Munculnya makhluk berhala ini akan merusak suasana.
Rahasia besar belum sempat tersingkap. Keadaan bakal bertambah gelap!” Begitu si cadar
kuning membathin. Dia tidak dapat memastikan apakah sosok di depannya ini manusia
atau hantu lembah.
Seperti si cadar kuning, Sabai Nan Rancak juga sangat gelisah. “Kurang ajar.
Bagaimana makhluk celaka ini bisa muncul di tempat ini!” ujar Sabai Nan Rancak dalam
hati. “Urusan besar masih gelap. Kemunculannya akan membuat perkara jadi kapiran!”
Diam-diam dia menjadi tegang karena sebelumnya dia telah menyaksikan sendiri keganasan
sepasang kaki kakek sakti yang pernah menjadi momok nomor satu dalam dunia persilatan
di Pulau Andalas itu.
“Makhluk celaka memalukan! Busuknya seperti lobang kakus!” membathin Iblis
Pemalu. Dia tekap mukanya erat-erat dengan kedua tangannya sedang dua matanya
memandang melotot. Jari-jari kelingking dibengkokkan untuk menutupi lobang hidung.
Orang ini berdiri tidak seperti manusia biasa adanya. Kakinya berada di atas sedang
yang menjejak tanah adalah dua telapak tangannya. Tubuhnya kurus kering, menebar bau
busuk dan terbungkus oleh pakaian penuh robek nyaris hancur. Wajahnya yang seram
dengan dua rongga mata terpuruk, taring dan gigi besar mencuat. Wajahnya yang cekung di
kedua pipi sebagian tersembunyi di balik kelebatan kumis, janggut, cambang bawuk dan
rambut panjang kotor riap-riapan. Yang menambah kengerian pada sosok orang ini adalah
sepasang kakinya. Sepasang kaki itu sebatas lutut ke bawah, sampai ke ujung jari-jari kaki
berwarna putih menggidikkan karena hanya tinggal tulang tak terlapis daging atau kulit
sedikit pun! Dua tulang kaki ini berbentuk sangat pipih hingga tidak beda dengan sepasang
pedang bermata luar biasa tajam! (Siapa adanya orang ini harap baca Episode sebelumnya
berjudul Jagal Iblis Makam Setan)
“Sabai! Dunia ini terlalu sempit untuk kita berdua!”. Orang yang mengaku berjuluk
Jagal Iblis Makam Setan berkata dengan suara keras membahana. Setiap mulutnya terbuka,
rambut, janggut serta kumis yang menutupi wajahnya bersibak melambai bergoyang-
goyang. “Karena itu kematian tak terelakkan menjadi bagianmu! Namun sebelum mampus
harap kau segera menanggalkan Mantel Sakti, menyerahkannya padaku. Jugamengembalikan sekantong Mutiara Setan milikku! Kau tidak tuli, kau mendengar! Jadi
jangan mengumbar berbagai dalih!”
Sabai Nan Rancak tampak tegang sesaat. Begitu dia bisa menguasai diri maka seringai
buruk tersungging di mulutnya. Dari hidungnya keluar suara mendengus.
“Makhluk busuk compang-camping! Aku maklum otakmu tidak waras. Jadi tidak
salah kalau kau sampai kesasar dan bicara ngacok di tempat ini!”
Jagal Iblis Makam Setan yang dulunya adalah salah seorang tokoh silat golongan
hitam di Pulau Andalas dikenal dengan julukan Datuk Tinggi Raja Di Langit tertawa gelak-
gelak. Sepasang kakinya yang tinggal tulang memutih digoyang-goyang hingga
mengeluarkan suara angker bersiuran. (Untuk lebih jelas siapa adanya Datuk Tinggi Raja Di
Langit, riwayatnya bisa dibaca dalam serial berjudul Makam Tanpa Nisan)
“Sabai Nan Rancak! Belum mampus kau sudah jadi setan penasaran yang bicara tak
karuan! Tadi aku sudah bilang jangan berusaha mencari dalih! Lekas kau serahkan barang-
barang milikku! Mantel Sakti dan Mutiara Setan! Atau mungkin kau ingin aku mengambil
dua benda itu setelah kau menjadi mayat tak berguna?!”
Si nenek kembali keluarkan suara mendengus. “Kau bukan saja bicara melantur! Tapi
juga pembohong dan penipu busuk! Apa kau lupa Mantel Sakti dan Mutiara Setan kau
serahkan padaku dengan ikhlas sebagai ganti balas aku mengeluarkan dirimu hingga bebas
dari pendaman kuburan batu?! Sekarang kau bukan saja mengungkit-ungkit kisah yang
sudah basi tapi juga mengumbar cerita palsu! Aku tidak segan-segan mengembalikan
Mantel Saktimu, tapi mungkin kau tak punya kesempatan. Mantel Sakti ini akan
menghancurkan tubuhmu yang kurus kering sebelum kau sempat menyentuhnya!”
Habis berkata begitu Sabai Nan Rancak membuat gerakan seperti hendak membuka
mantel hitam yang dikenakannya.
“Begitu? Alangkah hebatnya! Ha... ha... ha!” Jagal Iblis Makam Setan tertawa
terkekeh. Kakinya kembali digoyang-goyangnya. “Aku mau lihat! Aku mau lihat!”
“Benar-benar memalukan! Semua jangan ada yang berani bergerak!” Tiba-tiba Iblis
Pemalu berteriak.
Kepala Jagal Iblis Makam Setan yang tergantung di antara dua tangannya yang
menjejak tanah berpaling. “Hemmm.... Pemuda berotak miring! Kau juga ada di sini!
Rupanya sudah terniat dalam otak bodohmu akan ikut mampus bersama nenek calon
bangkai itu!”
“Memalukan! Tidak tahu apa-apa enak saja bilang aku gila berotak miring! Kau
sendiri mungkin lahir kurang hari hingga hidup kaki ke atas kepala ke bawah! Manusia
sepertimu ini biasanya lahir tanpa biji! Kalau berak pasti dari mulut bukan dari anus!
Memalukan sekali! Hik... hik... hik!”
Merah padam tampang Jagal Iblis Makam Setan. Dari tenggorokannya keluar jeritan
melengking. Tubuhnya melesat ke udara. Ketika turun lagi ke tanah maka dia berdiri
bagaimana wajarnya yakni dengan dua kaki menginjak tanah! Kini wajahnya terlihat lebih
jelas. Seram angker menggidikkan.
“Pemuda anjing! Kau pasti terlahir dari bapak iblis ibu setan!” bentak Jagal Iblis
Makam Setan.
Iblis Pemalu keluarkan suara bersiul lalu tertawa gelak-gelak. “Kalau iblis dan setan
bisa kawin, sungguh memalukan! Apakah kau pernah melihat setan dan iblis berhubungan
badan?! Hik... hik... hik! Kalau kau mampu melihat berarti kau bukan manusia! Tapi anak
hantu yang keluar dari pantat setan! Hik... hik... hik!”“Jahanam! Jaga lehermu!” Teriak Jagal Iblis Makam Setan. Tubuhnya melesat ke
udara. Seperti tadi kepalanya kembali berada di sebelah bawah dan dua kaki mengapung di
udara. Manusia angker Ini keluarkan satu pekikan dahsyat. Bersamaan dengan itu tubuhnya
melesat ke arah Iblis Pemalu. Dua kakinya laksana gunting raksasa berkiblat mengeluarkan
cahaya menggidikkan. Membuat gerakan memancung. Yang di arah adalah batang leher
Iblis Pemalu. Gerakan serangan ini bukan saja aneh tetapi luar biasa cepatnya.
“Claak!”
“Claak!”
Sambaran sepasang kaki mengeluarkan suara seperti gerakan gunting raksasa.
Sabai Nan Rancak terkesiap melihat aneh dan ganasnya serangan Jagal Iblis Makam
Setan. Orang bercadar kuning tersentak kaget. Belum pernah dia melihat ada orang yang
mempergunakan sepasang tulang-tulang kakinya sebagai dua senjata mengerikan begitu
rupa.
“Kalau makhluk jahanam ini tidak dicegah urusan besar bisa sia-sia!” membathin si
cadar kuning. Maka dia segera kebutkan lengan baju kuningnya.
“Wuss!”
Sinar kuning menderu ke arah Jagal Iblis Makam Setan, menyambar dari samping.
Sabai Nan Rancak tidak tinggal diam. Tenaga dalam sudah disiapkan sejak tadi di
tangan kanan.
Begitu melihat orang bergerak maka dia segera menghantam, lepaskan pukulan sakti
Kipas Neraka. Selarik sinar merah menyambar ganas dan panas. Setengah jalan sinar ini
mengembang seperti kipas hingga ruang serangannya menjadi lebih luas. Selama ini jarang
orang bisa selamat menghadapi pukulan sakti ini.
Iblis Pemalu, orang yang mendapat serangan langsung dari Jagal Iblis Makam Setan
tentu saja tak tinggal diam. Begitu melihat sepasang kaki yang aneh menggidikkan,
keganasan cara menyerang yang mengeluarkan deru angin keras, pemuda ini segera
maklum. Leher atau bagian tubuhnya yang lain akan tergunting putus dan nyawanya pasti
amblasi
“Memalukan! Iblis menyerang iblis!” seru iblis Pemalu. Kedua kakinya ditekuk.
Tubuhnya jatuh punggung di tanah. Dua kaki tinggal tulang berbentuk sepasang pedang
yang menggunting lewat di atas tubuhnya.
“Claaakk!”
“Craasss!”
“Kraaakkk!”
Semua mata terbelalak.
Iblis Pemalu yang masih tertelentang di tanah merasakan tengkuknya laksana
diguyur es!
Akibat serangannya tidak menemui sasaran, tubuh Jagal Iblis Makam Setan melesat
di atas Iblis Pemalu. Sepasang kakinya terus menyambar ke arah pohon yang besar
batangnya hampir tiga kali paha manusia.
Dua tulang kaki yang pipih setajam pedang berkelebat dahsyat dalam gerakan
menggunting. Batang pohon putus rata laksana disambar petir!
Bagian atasnya tumbang dengan suara menggemuruh! Sabai Nan Rancak dan iblis
Pemalu yang sebelumnya sudah pernah menyaksikan keganasan sepasang kaki Jagal Iblis
Makam Setan itu masih merasa merinding. Apalagi si cadar kuning.
“Memalukan! Pohon tak bersalah mengapa ditebang!” berteriak Iblis Pemalu. Dia
kerahkan tenaga dalamnya ke punggung. Secara aneh tubuhnya naik dalam keadaan seperti
berbaring. Lalu tiba-tiba kaki kanannya melesat ke atas, menghantam ke lambung Jagal Iblis
Makam Setan. Gerakan pemuda ini luar biasa cepatnya. Jangankan perut manusia, batu
besar pun akan hancur kena hantamannya!
Saat itu Jagal Iblis siap memutar tubuh untuk melompat turun ke tanah. Namun hal
itu tak bisa dilakukannya. Bukan saja karena dia harus selamatkan diri dari serangan kaki
yang bisa menjebol perutnya. Tapi juga karena di saat yang hampir bersamaan serangan si
cadar kuning dan Sabai Nan Rancak datang hampir berbarengan! Sinar kuning dan sinar
merah menyambar dahsyat dari dua arah!
Jagal Iblis Makam Setan keluarkan suara meraung seperti anjing melolong. Ujung jari-
jari kaki kirinya ditusukkan ke batang pohon. Lalu kaki kanan bergerak menebas dengan
cepat. “Crasss!” Batang pohon putus. Bersamaan dengan itu kaki kiri ikut bergerak
melemparkan potongan batang kayu. Potongan batang kayu melesat ke bawah menghantam
ke arah Iblis Pemalu!
“Gila memalukan!” teriak Iblis Pemalu ketika melihat potongan batang kayu yang
beratnya hampir lima puluh kati itu jatuh tepat di atas kepalanya!
“Memalukan! Kepalaku hendak dibikin rengkah!” kembali Iblis Pemalu berteriak.
Sambil melontarkan tubuhnya ke samping dia hantamkan tangan kanannya ke atas. Tangan
kiri terus menutupi wajah. “Wuttt!”
Satu gulungan sinar putih aneh melesat ke atas. Luar biasanya pukulan sakti ini
bukan memukul untuk membuat mental atau menghancurkan potongan besar batang
pohon. Tapi laksana seutas tali besar sinar itu menggulung kutungan batang pohon.
Iblis Pemalu keluarkan suitan keras. Tangan kanannya disentakkan. “Wuuttt!” Batang
pohon tertarik keras. Melesat ke samping. Menghantam Jagal Iblis Makam Setan. Di saat
yang sama sinar kuning dan sinar merah pukulan sakti yang dilepaskan si cadar kuning
serta Sabai Nan Rancak menderu.
Jagal Iblis Makam Setan keluarkan suara seperti anjing melolong. Kedua kaki
tulangnya bergerak cepat. Membabat, menusuk dan menggunting. Suara “claakk... claakk...
clakkk terdengar tak berkeputusan. Dalam waktu singkat sepasang kaki itu telah membuat
hampir enam puluh gerakan! Apa yang terjadi sungguh luar biasa.
Batang kayu besar berubah menjadi potongan-potongan kecil puluhan banyaknya.
Bertaburan di udara. Lalu terdengar suara orang meniup.
Puluhan keping batang kayu melanda ke arah Iblis Pemalu. Bagaimana pun hebat
dan cepatnya gerakan pemuda aneh ini tidak mungkin dia sanggup mengelakkan demikian
banyak kepingan kayu yang siap menancapi tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki.
*
* *
EMPAT
Iblis Pemalu tekap wajahnya kuat-kuat dengan dua telapak tangan. Sepasang matanya
melirik ke kiri lalu ke kanan. Dalam keadaan kritis begitu rupa dia seperti tidak acuh
menghadapi bahaya maut. Tapi pemuda ini sebenarnya sudah memperhitungkan.
“Jagal Iblis! Seranganmu boleh juga! Tapi sia-sia! Memalukan! Ada dua sahabat
menolong diriku! Lihat saja!”
Habis berseru begitu Iblis Pemalu berjungkir balik di udara. Lalu tubuhnya menukik
ke bawah. Saat itulah sinar kuning serangan si cadar kuning dan cahaya merah pukulan
sakit Kipas Neraka yang dihantamkan Sabai Nan Rancak sampai.
“Wusss!”
“Wusss!”
Sinar kuning dan cahaya merah beradu dahsyat di udara. Kilatan cahaya api mencuat
setinggi lima tombak, menebar mendatar seputar tiga tombak setelah lebih dahulu
mengeluarkan suara berdentum laksana gunung meletus. Lembah Merpati seolah lenyap
ditelan kobaran api dan kepulan asap.
Jagal Iblis Makam Setan melolong keras. Tubuhnya terhempas ke sebatang pohon lalu
terpental sejauh tiga tombak dan jatuh menyangsrang di serumpunan semak belukar.
Sabai Nan Rancak terpental ke udara. Ketika jatuh ke bawah dia bergerak cepat.
Berusaha mengimbangi diri agar tidak terhempas. Namun gelegar bentrokan dua kekuatan
sakti membuat dia seolah kehilangan bobot dan akhirnya terbanting ke tanah tak berapa
jauh dari tempat menyangsrangnya Jagal Iblis. Dia cepat bangkit berdiri. “Memalukan! Gila!
Betul-betul memalukan!” teriak pemuda itu berulang kali. Dia berdiri satu tangan masih
menutupi wajah, satu tangan lagi menepuki pantat celana dan punggung baju hitamnya
yang kotor oleh tanah dan debu. Saat itulah baru disadarinya kalau dua keping pecahan
pohon menancap di tubuhnya. Satu di lengan kiri, satu lainnya di bahu kiri. Iblis Pemalu
cepat gerakkan tangan kanan untuk mencabut kepingan-kepingan kayu itu. Ada bercak
darah pada pundak kirinya pertanda cidera.
Ketika dentuman menggelegar dan Lembah Merpati dilanda goncangan hebat, Sabai
Nan Rancak merasakan sekujur tubuhnya laksana mau amblas ke dalam tanah. Nenek ini
cepat kerahkan tenaga dalam. Namun tak urung lututnya terlipat. Kedua kakinya laksana
dibetot ke bawah. Tubuhnya jatuh terduduk. Perempuan tua ini berusaha segera bangkit.
Tapi dia kembali jatuh terduduk. Mukanya tampak merah mengelam. Bukan saja karena
marah tapi lebih dari itu oleh rasa malu yang amat sangat. Tadi dia menyaksikan sendiri
walau cidera namun begitu jatuh Iblis Pemalu mampu dengan cepat bangkit kembali. Berarti
pemuda itu memiliki tingkat kekuatan yang tidak berada di bawahnya. Lalu saat itu dia juga
menyaksikan bagaimana orang bercadar kuning sanggup bertahan hingga tidak jatuh atau
rubuh ke tanah walau sekujur tubuhnya tampak bergetar dan dia memegangi cadarnya agar
tidak terlepas. “Orang berpakaian dan bercadar kuning itu...” ujar Sabai Nan Rancak dalam
hati. “Dia benar-benar luar biasa. Sanggup bertahan hingga tidak roboh.... aku harus segera
mencari tahu siapa dia sebenarnya! Tapi iblis penghalang satu itu harus kusingkirkan dulu!”
Si nenek berpaling ke arah semak belukar di atas mana Jagal Iblis Makam Setan
terpuruk. Terkejutlah Sabai Nan Rancak. Saat itu si kakek iblis berpakaian hancur kumal itu
telah berdiri di atas semak belukar. Walau tubuhnya kurus kering namun sulit diterima akal
ada orang bisa tegak seperti yang dilakukannya. “Bangsat ini memiliki ilmu meringankan
tubuh luar biasa. Tidak heran kalau dia mampu pergunakan sepasang kaki untuk
menyerang. Benar-benar berbahaya. Agaknya aku terpaksa mengatur siasat agar urusan
besar bisa diselesaikan. Kalau rahasia itu tidak tersingkap rasanya aku akan penasaran
sampai ke liang kubur....” '
Di atas semak belukar Jagal Iblis Makani Setan umbar tawa mengekeh. “Batang
pohon sanggup kutabas. Potongan batang mampu kucacah jadi puluhan keping! Apakah
tubuh-tubuh kalian lebih atos dan kuat dari pohon?! Ha... ha... ha!”Saat itu Sabai Nan Rancak membuat gerakan membuka Mantel Sakti yang
dikenakannya. Melihat hal ini si Jagal Iblis semakin keras tawanya. Sambil menuding
dengan tangan kiri ke arah si nenek, dia berkata.
“Bagus Sabai! Ternyata kau tidak setolol yang aku duga! Kembalikan Mantel Saktiku
secara baik-baik. Juga sekantong Mutiara Setan! Begitu dua benda sakti itu berada di
tanganku aku anggap habis semua perkara!”
“Aku membuka mantel bukan untuk menyerahkan padamu! Tapi dengan mantel ini
aku akan membunuhmu!” jawab Sabai Nan Rancak dengan seringai mengejek.
Jagal Iblis Makam Setan kembali tertawa. “Kalau begitu kau benar-benar dungui Kau
tahu tingginya puncak Singgalang. Dalamnya danau Singkarak! Dan kau hendak menantang
semua itu! Ha... ha... ha...! Hari ini aku untung besar. Membunuhmu dan juga dapatkan
kembali dua senjata sakti milikku!”
Jagal Iblis melolong keras. Tubuhnya melesat ke udara. Ketika menukik sepasang
kakinya berada di sebelah bawah, menyambar ke arah si nenek.
“Claaakkk.... claakkk... clakk!” Dua kaki yang pipih laksana pedang membuat
gerakan menggunting.
“Tahan!” Tiba-tiba Sabai Nan Rancak berseru sambil angkat tangan kanannya
pertanda bahwa .setiap saat tangan itu serta merta bisa menghantamkan pukulan sakti Kipas
Neraka.
Di udara Jagal Iblis membuat gerakan berjungkir balik. Di lain kejap dia tahu-tahu
sudah berdiri dua langkah dari hadapan. Sabai Nan Rancak. Dua telapak tangan menjejak
tanah sedang sepasang kaki yang berada di atas menyilang di atas pundak kiri kanan si
nenek. Sekali tulang kaki berbentuk pedang pipih itu membuat gerakan menggunting, maka
tak ampun akan amblaslah leher si nenek terpancung!
Si nenek tegak laksana patung, tak berani bergerak bahkan mungkin juga tak sanggup
bernafas lagi. Mukanya yang keriputan sepucat kertas. Tangan kanannya memancarkan
sinar merah. Tapi dia tidak membuat gerakan apa-apa untuk melepaskan pukulan Kipas
Neraka. Sebabnya jika gerakannya menghantam didahului oleh lawan maka putuslah
lehernya!
Iblis Pemalu goleng-golengkan kepala. “Aku malui Benar-benar malu! Dua kaki di
atas bahu. Satu nyawa siap melayang!”
Di tempat lain si cadar kuning walaupun tersentak kaget melihat apa yang terjadi di
depan matanya dan telah menyiapkan pukulan sakti di kedua tangannya namun tak berani
membuat gerakan. Dalam hati dia membathin. “Aku bisa membunuh kakek jahanam itu.
Tapi apakah mungkin selamatkan nyawa nenek satunya itu?”
Jagal Iblis Makam Setan tertawa panjang lalu keluarkan suara seperti lolongan anjing.
Di langit sang surya mulai menggelincir menuju ufuk tenggelam. Keadaan di lembah redup
digantungi ketegangan.
Tiba-tiba Jagal Iblis hentikan tawanya. Lalu dari mulutnya keluar bentakan.
“Sabai! Hari ini kau benar-benar bernasib buruk! Sebelum lehermu kujaga! katakan
apa maumu!”
“Aku seorang yang memegang janji. Bagaimana dirimu!” Si nenek ajukan pertanyaan.
“Aku manusia iblis! Mana mungkin mengadakan perjanjian dengan manusia jelek
sepertimu?! Ha... ha... ha...!”
“Kalau begitu kau sengaja memilih mampus bersama!” ujar Sabai Nan Rancak
dengan suara dan wajah dingin.
“Eh, apa maksudmu?!” hardik Jagal iblis Makam Setan seraya melirik ke tangankanan Sabai Nan Rancak yang saat itu semakin keras memancarkan cahaya merah.
“Maksudku silahkan saja menabas leherku! Tapi apa kau bisa selamat dari pukulan
Kipas Neraka di tangan kananku?! Hik... hik... hik!” Si nenek tertawa cekikikan.
Kini Jagal Iblis yang jadi tercekat. Keningnya mengerenyit. Dagunya bergerak-gerak.
Janggut, kumis dan rambutnya yang terjulai ke tanah bergoyang-goyang.
“Keparat jahanam! Apa kau kira aku takut mati?!”
“Hik... hik... hik! Kalau begitu teruskan niatmu menggunting leherku!” Menantang
Sabai Nan Rancak. Tangan kanannya ditarik sejengkal ke belakang. Pertanda nenek ini siap
menghantam.
Jagal Iblis Makam Setan keluarkan suara menggerendeng. Namun diam-diam saat itu
dia menjadi bimbang. Setelah berpikir cepat maka dia berkata.
“Baik! Katakan apa yang ada dalam benakmu!”
“Aku akan mengembalikan Mantel Sakti dan sekantong Mutiara Setan padamu. Tapi
aku punya syarat.... Bagaimana?”
“Hemmm.... Katakan syaratmu!” ujar Jagal Iblis, pula.
“Setelah kau menerima dua benda sakti itu kau tidak boleh mengganggu diriku. Juga
dua orang yang ada bersamaku saat ini....”
“Syarat mudah! Aku terima!” jawab Jagal Iblis lalu tertawa gelak-gelak.
“Syaratku belum semua kusebutkan! Jangan tertawa dulu!” ujar Sabai Nan Rancak.
“Hemm.... Kau' boleh meneruskan. Tapi kalau syaratmu terlalu banyak jangan harap
aku mau menerima!”
“Begitu kau dapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan kau harus segera angkat kaki
dari tanah Jawa ini. Kembali ke Pulau Andalas!”
“Syarat gila! Aku tidak bisa terima! Aku ingin gentayangan dulu cari pengalaman di
tanah Jawa ini! Siapa berahi melarang?!”
“Kalau begitu jangan harap aku akan serahkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan!”
jawab Sabai Nan Rancak.
Jagal Iblis tertawa bergelak. Dia melirik ke tangan kanan Sabai Nan Rancak. Si nenek
merasa dua kaki yang bersilang di atas pundaknya menekan memberat. Sebelum dia tahu
apa yang bakal dilakukan lawan tiba-tiba tangan kiri Jagal Iblis melesat ke atas. Dengan
hanya berdiri di atas tangan kanan Jagal Iblis cekal pergelangan tangan kanan Sabai Nan
Rancak dengan tangan kirinya hingga tak mungkin bagi si nenek untuk melancarkan
serangan Kipas Neraka.
“Aku siap menjagal lehermu Sabai! Apa kau sudah ikhlas mati mengenaskan saat ini
juga?!”
Wajah tua keriput Sabai Nan Rancak berubah dan tampak tegang. Pundaknya turun
ke bawah. “Bangsat kau Datuk Tinggi!”
“Gelarku Jagal Iblis Makam Setan!” bentak si kakek berkaki tulang.
“Persetan siapa pun nama dan gelarmu! Saat ini aku mengalah. Tapi lain kali jangan
harap aku mau memberi ampun padamu! Sebaiknya kita tidak perlu bertemu' lagi. Karena
begitu aku melihatmu aku bersumpah akan membunuhmu!”
Jagal Iblis Makam Setan kembali tertawa bergelak.
“Nenek Sabai! Tindakanmu memalukan sekali!. Jangan serahkan Mantel dan Mutiara
Setan itu!” Berteriak Iblis Pemalu ketika dilihatnya si nenek menanggalkan Mantel Sakti dan
mengeluarkan sebuah kantong kain dari balik pakaiannya.
Si cadar kuning ikut tercekat. “Astaga! Apa yang dilakukannya?! Apa tak ada lagi
benak di dalam kepala?! Memberikan dua senjata itu sama saja menciptakan dua musuhcelaka!” Orang ini segera berlalu. “Sabai! Perbuatanmu salah kaprah! Dunia persilatan akan
dilanda bencana!”
“Aku tak ada pilihan lain!” jawab Sabai Nan Rancak dengan suara tercekat.
Jagal Iblis Makam Setan menyeringai. “Lemparkan mantel dan kantong kain itu ke
tanah, di samping kiriku!”
Sabai Nan Rancak ikuti perintah orang. Mantel Sakti dan kantong kain berisi Mutiara
Setan dijatuhkannya ke tanah, satu langkah di samping kiri si kakek
“Aku malu!” teriak Iblis Pemalu. Lalu palingkan muka, menghadap ke jurusan lain
sambil terus menutupi wajahnya dengan dua telapak tangan. “Percaya pada Iblis! Percaya
pada manusia Setan! Benar-benar memalukan!”
Jagal Iblis pencet lengan kanan si nenek. Lalu berkata. “Aku masih merasakan aliran
tenaga dalam. Tangan kananmu masih memancarkan sinar merah! Kau setengah hati atau
masih berharap dapat membokongku dengan pukulan Kipas Neraka?”
Si nenek pelototkan matanya. Jagal Iblis balas membelalak. Akhirnya Sabai Nan
Rancak terpaksa hentikan aliran tenaga dalam ke tangan kanan. Bersamaan dengan itu sinar
merah yang memancar di tangan itu perlahan-lahan meredup dan akhirnya lenyap sama
sekali.
“Bagus!” ujar Jagal Iblis. Perlahan-lahan dia turunkan sepasang kakinya yang
diletakkan di atas bahu kiri kanan si nenek.
Perlahan-lahan Jagal Iblis turunkan kedua kakinya. Masih mencekal tangan kanan si
nenek, dia berjungkir balik hingga kedua kakinya kini menjejak tanah. Sambil menyeringai
dia berkata. “Kau boleh pergi sekarang Sabai. Tapi aku punya firasat hidupmu tak bakal
lama!”
“Iblis akan kembali ke Iblis. Setan akan kembali menjadi Setan! Itu bagianmu kelak!”
sahut Sabai Nan Rancak lalu sentakkan tangan kanannya dari cekalan orang;
Sabai Nan Rancak membalik dengan cepat. Dia memberi isyarat pada si cadar kuning
dan Iblis Pemalu. “Lekas ikuti aku!” bisiknya.
Iblis Pemalu sesaat meragu. Pemuda ini memandang pada si cadar kuning. Orang
yang dipandang goyangkan kepalanya. Ketiga orang itu akhirnya berkelebat meninggalkan
Lembah Merpati. Di satu tempat Sabai Nan Rancak hentikan larinya.
“Aku tak punya waktu lama. Kita berpisah di sini....”
“Tapi urusan belum selesai! Rahasia besar masih mengambang. Jangan tinggalkan
jurang menghalang. Bicara dulu agar badan tak sansai....” (sansai = menderita) Berkata si
cadar kuning.
“Aku malu! Cadar kuning apakah kau tidak malu? Nenek satu ini agaknya tak punya
malu!”
“Jangan bicara seperti itu! Aku tahu urusan belum selesai. Rahasia masih
mengambang. Aku meminta agar kita bertemu lagi dalam waktu dekat. Meneruskan
pembicaraan! Bagaimana? Aku ingin jawab kalian. Cepat!”
“Ada apa dengan dirimu sebenarnya? Kau menyerahkan Mantel Sakti dan Mutiara
Setan begitu saja. Kini meneruskan bicara pun kau tidak sudi. Sungguh tindakan tidak
terpuji....”
“Orang bercadar! Aku ingin jawabmu. Apa kau mau mengadakan pertemuan lagi
atau tidak? Kalau tidak, perduli setan dengan segala rahasia hidup di antara kita!”
“Kalau itu pintamu! Kita bertemu lagi dua hari di muka di tempat yang sama....”
Berucap si cadar kuning.
“Lembah Merpati?!” tanya Sabai Nan Rancak.“Betul sekali. Oi tempat tadi....”
“Tolol sekali! Orang akan mudah mencari dan menjebak kita di tempat itu!” kata
Sabai Nan Rancak pula.
Si cadar kuning gelengkan kepala. “Itulah rahasia hidup. Seseorang tak akan mencari
di tempat yang sama: Karena itu tidak pernah akan terduga. Siapa yang akan
memperhatikan bunga kuncup?”
Sabai Nan Rancak terdiam. “Kau benar...” katanya perlahan. Nenek ini tiba-tiba
palingkan kepalanya ke kiri. “Dia datang! Lekas lari berpencar!”
“Jangan membuat malu menyuruh lari. Dia siapa yang datang?!” Bertanya Iblis
Pemalu.
“Jangan banyak tanya! Lari saja! Sekarang! Cepat!” Tidak sabaran si nenek dorongkan
tangannya kiri kanan hingga si cadar kuning dan Iblis Pemalu terjajar beberapa langkah.
Ketiga orang itu untuk kedua kalinya berkelebat pergi. Namun sekali ini mereka berpencar
ke tiga jurusan.
Baru saja Sabai Nan Rancak, iblis Pemalu dan si cadar kuning lenyap dari tempat itu
muncullah Datuk Tinggi Raja Di Langit alias Jagal Iblis Makam Setan. Sepasang matanya
yang cekung seperti mau melesat keluar. Rahangnya menggembung- dan pelipisnya
bergerak-gerak.
“Jahanam.... Berani menipuku!” Si kakek memandang berkeliling. “Sabai! Jangan
harap kau bisa kabur jauh! Akan kucincang tubuhmu dengan kedua kakiku!”
Apa yang telah terjadi?
Tak lama setelah Sabai Nan Rancak, si cadar kuning dan Iblis Pemalu meninggalkan
Lembah Merpati, dengan cepat Jagal Iblis mengambil Mantel Sakti dan kantong berisi
senjata rahasia berupa mutiara hitam yang tadi dicampakkan Sabai Nan Rancak di tanah.
Begitu memegang mantel hitam kakek ini merasakan ada kelainan. Dia sibakkan rambutnya
yang menjulai menutupi wajah lalu memperhatikan mantel hitam itu dengan mata
mendelik. Beberapa kali mantel itu dikembangkan dan dibolak-baliknya.
“Enteng.... Mantelku tidak seringan ini...” ujar Jagal Iblis. Kembali Mantel Sakti itu
dibolak-baliknya lalu diciumnya berulang kali. Masih kurang percaya dia lalu kerahkan
tenaga dalam dan kibaskan mantel hitam ke arah sebatang pohon. Tidak terjadi apa-apa.
“Keparat jahanam! Mantel palsu! Aku kena ditipu!” Teriak Jagal Iblis menggeledek.
Mantel hitam yang dipegangnya dibantingkan ke tanah. Dia keluarkan kantong kain dari
balik pakaiannya yang kumal hancur. Isinya dituangkan ke telapak tangan kanan. Sepasang
matanya mendelik semakin besar. Lalu kembali terdengar kutuk serapahnya. “Bangsat!
Mutiara ini juga palsu!” Sekali dia meremas, butiran-butiran hitam dalam genggamannya
hancur luluh. Benda itu ternyata hanyalah butiran-butiran tanah diberi lapisan warna hitam
berkilat!
*
* *
LIMA
Kita tinggalkan dulu Jagal Iblis Makam Setan yang berada dalam keadaan marah luar
biasa karena ditipu oleh Sabah Nan Rancak. Kita kembali pada Puti Andini yang berada di
dasar Telaga Gajahmungkur, di satu tempat aneh penuh rahasia bernama Liang Akhirat.
Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Liang Lahat Gajahmungkur) saat itu atas
perintah Kiai Gede Tapa Pamungkas, bocah aneh bernama Naga Kuning terpaksa
menyergap Puti Andini dan melemparkannya ke dalam lobang Liang Lahat. Tentu saja Puti
Andini tidak tinggal diam. Begitu Naga Kuning Berkelebat ke arahnya dia segera
menghantam dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Naga Kuning merasakan satu dorongan angin keras menahan gerakannya hingga
sesaat dia terpentang dengan tangan terkembang. Puti Andini tidak memberi kesempatan.
Dia terus merangsak ke depan. Tangan kanannya kembali bergerak. Kali ini memukul ke
arah si bocah. Yang diarahnya adalah tangan kanan Naga Kuning yang cidera dan diikat
dengan secarik kain.
Tapi si anak tidak bodoh. Tubuhnya berkelebat ke samping. Kakinya menjegal ke
arah kaki si gadis. “Blukkk!”
Puti Andini jatuh tertelungkup ke lantai ruangan. Gadis ini menggeram marah. Dia
cepat melompat bangkit. Namun belum sempat tahu-tahu tengkuk bajunya telah dicekal
orang. Dia memukul ke belakang. Tidak kena. Dia berpaling. Ternyata yang mencekalnya
adalah anak berpakaian hitam itu. Sulit dipercaya, Naga Kuning yang bertubuh kecil itu
sanggup mencekal lalu mengangkat Puti Andini dan menenteng gadis ini menuju lobang
besar.
“Maafkan aku. Aku terpaksa melemparmu ke dalam Liang Lahat. Aku hanya
menjalankan perintah....” Berucap Naga Kuning setengah berbisik.
“Anak setani Kau mau saja diperintah berbuat keji. Berarti kau sama jahatnya dengan
bangsat tua itu!” Sembur Puti Andini. Lalu dia memutar badannya, kedua kakinya
ditekankan ke pinggiran Liang Lahat. Salah satu tangan menggapai ke balik punggung Naga
Kuning. .
“Kau mau melemparkan aku ke dalam Liang Lahat! Silahkan saja! Tapi aku ingin kau
ikut bersamaku!”
Naga Kuning terkesiap kaget. Ketika dia hendak melemparkan si gadis ke dalam
Liang Lahat, tangan kanan Puti Andini menggelung tubuhnya dengan keras. Kalau dia
teruskan niatnya melempar gadis itu niscaya tubuhnya akan ikut amblas masuk ke dalam
Liang Lahat! Selagi anak itu berada dalam keadaan bingung begitu rupa Puti Andini
pergunakan tangan kirinya untuk menggebuk. Jotosan tangan kirinya mendarat telak di
perut Naga Kuning hingga anak ini mengerluarkan suara seperti orang muntah. Tapi
anehnya wajahnya kemudian tampak tersenyum. Lalu terdengar anak ini berbisik. “Ayo
pukul lagi. Hantam tubuhku sejadi-jadinya. Cepat lakukan!”
Puti Andini tidak bisa berpikir apa maksud Naga Kuning berkata begitu. Dia
kemudian memang menghujani anak ini dengan pukulan tangan kiri. Dua hantaman di
kepala. Empat di dada dan dua lagi di perut. Semua itu dilakukannya bukan karena
mendengar kata-kata Naga Kuning tapi karena takut kalau dirinya benar-benar dilemparkan
masuk ke dalam Liang Lahat dimana tadi dia melihat dua ekor naga raksasa masuk dan
menghilang di dalam lobang itu.
Naga Kuning keluarkan keluhan panjang. Sepasang matanya membeliak berputar-
putar. Anak ini terkulai lalu roboh ke lantai.
“Anak jahat! Silahkan kau masuk ke dalam lobang lebih dulu!” Puti Andini angkat
tubuh Naga Kuning lalu melangkah mendekati Liang Lahat. Sesaat lagi tubuh Naga Kuning
siap dilemparkannya ke dalam lobang besar itu tiba-tiba satu cahaya menyilaukan berkiblat.
Puti Andini terdorong lima langkah. Tubuh Naga Kuning terlepas, dari cekalannya. Dia
sendiri kemudian jatuh terduduk di lantai ruangan. Belum sempat bernafas dia dikejutkan
oleh melesatnya satu tangan aneh yang sangat panjang. Tangan ini menjambak rambutnya
lalu sekali tangan itu bergerak tubuhnya terlempar masuk ke dalam Liang Lahat. Puti
Andini menjerit setinggi langit. Cucu Sabai Nan Rancak ini berusaha menggapai pinggiran
lobang. Dia berhasil. Jari-jari tangannya mencengkeram tepi batu Liang Lahat. Namun daya
lontar lemparan tubuhnya kuat sekali. Pinggiran batu Liang Lahat gompal besar. Tak ampun
lagi sosok Puti Andini jatuh masuk ke dalam lobang besar dan gelap. Sekali lagi terdengar
jeritan mengerikan gadis itu menggelegar di seantero Liang Akhirat.
Sesaat setelah gema jeritan Puti Andini lenyap ditelan dalamnya Liang Lahat, di atas
makam putih sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas rangkapan dua tangan di depan dada,
menatap tajam pada anak yang tergeletak di lantai batu pualam.
“Naga Kuning! Jangan berpura-pura pingsan! Sikap perbuatanmu akhir-akhir ini
sangat mengecewakan diriku!”
Sosok Naga Kuning tidak bergerak. Tapi mata kiri anak ini terbuka sedikit, melirik ke
arah sosok sang Kiai yang konon disebut sebagai setengah manusia setengah roh itu.
“Kalau kau tidak mau bangun sendiri mungkin perlu aku meminta bantuan Makhluk
Api Liang Neraka?!”
Begitu selesai berucap terdengar suara mendesis keras disusul dengan satu letupan.
Ruangan yang tadinya sejuk itu mendadak sontak menjadi sangat panas. Kobaran api aneh
menerangi ruangan. Kobaran api ini membentuk sosok makhluk tinggi besar yang
bergoyang dan menjilat kian kemari. Melihat makhluk api ini kecutlah Naga Kuning. Anak :
ini segera bangkit dan duduk bersila sambil rapatkan dua tangan, menghadap ke arah Kiai
Gede Tapa Pamungkas. Mukanya benjat-benjut akibat pukulan Puti Andini.
“Maafkan saya Kiai...” kata Naga Kuning seraya merunduk dalam-dalam.
“Wussss!” Sosok aneh bernama Makhluk Api Liang Neraka lenyap. Tempat itu
kembali terasa sejuk.
“Naga Kuning! Kau sengaja berpura-pura mengalah! Mengapa kau lakukan itu?!”
“Maafkan saya Kiai. Saya memang salah. Hati saya mengalahkan pikiran. Sanubari
saya mengalahkan perintah. Saya tidak tega membunuh gadis itu....”
“Siapa yang menyuruhmu membunuh! Aku hanya memerintahmu melemparkannya
ke dalam Liang Lahat!”
“Saya mengerti Kiai. Tapi kita sama tahu masuk ke dalam Liang Lahat sama saja
masuk ke dalam liang kematian. Lobang itu seolah tidak memiliki dasar. Di dalam sana
ditunggui oleh sepasang naga sakti yang tak ingin diganggu....”
“Apakah kau pernah masuk ke dalam Liang Lahat hingga kau punya kesimpulan
seperti itu?”
“Memang saya belum pernah masuk Kiai. Tapi sembilan tokoh yang pernah saya
lemparkan ke dalam lobang itu atas perintah Kiai sampai saat ini tidak pernah terdengar lagi
kabar beritanya....”
“Mereka orang-orang tamak berdosa. Mengapa mereka diambil sebagai
perbandingan. Apa jawabmu?!”
“Saya mengaku salah Kiai. Saya tidak berani menjawab lagi,” ujar Naga Kuning.
“Kau memiliki ilmu Paus Putih. Yang bisa membuat tubuhmu licin tak sanggup
dicekal tak bisa dipegang. Tapi ketika gadis itu tadi hendak melemparkanmu ke dalam
Liang Lahat ilmu itu tidak kau keluarkan. Kau seolah pasrah dibunuhnya begitu saja....”
“Saya tidak bisa menjawab Kiai. Saya mengaku salah....”
“Jangan dusta Naga Kuning. Kau menyembunyikan sesuatu di lubuk hatimu!”
“Saya tidak menyembunyikan apa-apa Kiai....” “Kau dusta! Jelas kau dusta! Kau
menyukai gadis itu? Kau terpengaruh oleh keputihan tubuhnya yang tersingkap di balik
pakaian merahnya yang cabik....”
“Pikiran saya tidak sampai ke situ Kiai. Saya tahu siapa diri saya. Saya hanya tidak
tega. Saya merasa kasihan karena sebenarnya gadis itu tidak bersalah. Dia masuk ke tempat
terlarang ini atas perintah kakeknya. Perintah itu disertai pula dengan hasrat untuk
menolong seorang pendekar yang tengah ditimpa musibah. Pendekar mana konon akan
menjadi penyelamat dunia persilatan.... Saya mengaku salah. Saya siap menerima
hukuman....”
“Walau aku tidak percaya tapi baiklah. Kau menyangkal menyukai gadis itu. Tapi
paling tidak berat dugaanku kau telah memandu gadis itu hingga berhasil masuk ke tempat
ini/Menjejakkan kaki di tempat ini bagi orang luar merupakan satu pantangan besar. Maut
tantangannya. Apalagi kalau dia sampai mengetahui dan mencari Pedang Naga Suci 212!”
Naga Kuning terdiam mendengar ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas itu. Dalam
hatinya bocah yang sesungguhnya berusia lebih dari seratus tahun ini berkata. “Kiai tidak
mempercayai. Percuma saja membela diri....” Maka anak ini lantas berucap. “Saya mengaku
salah Kiai. Saya siap menerima hukuman.”
“Kau mengakui kesalahan. Bagus! Hukuman memang tak bisa kau hindarkan! Lekas
kau berdiri dan tegak di bawah dinding batu setengah lingkaran! Tempelkan tubuhmu
bagian belakang ke dinding batu itu!”
Naga Kuning segera berdiri lalu melangkah memutari Liang Lahat hingga akhirnya
dia tegak membelakangi dinding batu tinggi setengah lingkaran. Anak ini tempelkan kepala
dan badan serta kakinya ke dinding batu ini. Di hadapannya dilihatnya Kiai Gede Tapa
Pamungkas mengangkat tangan kanan. Selarik sinar putih menyambar. Terdengar satu
letusan keras disertai mengepulnya asap putih. Ketika asap sirna kelihatanlah tubuh Naga
Kuning melesak masuk ke dalam dinding batu seolah menempel jadi satu.
“Naga Kuning, kau akan tetap berada di tempat itu sampai ada orang yang
menolongmu! Selama seratus tahun tak ada yang menolong berarti seratus tahun kau bakal
menerima nasib malang! Aku masih berbelas hati. Walau kau kaku seolah berubah jadi batu
tapi kau masih bisa bernafas dan bisa mendengar serta bicara!”
“Saya mengaku salah Kiai. Maafkan saya. Tapi saya tidak menyangka Kiai akan
menjatuhkan hukuman begini rupa.” kata Naga Kuning dengan suara perlahan dan bernada
sedih penuh penyesalan.
Kiai Gede Tapa Pamungkas tampaknya tidak terpengaruh oleh ucapan Naga Kuning.
Dia angkat tangannya sekali lagi. Sinar putih kembali berkiblat. Disusul letusan keras. Kali
ini tak ada kepulan asap putih. Tapi ada suara menggemuruh.
“Kiai!” jerit Naga Kuning.
Dinding batu setengah lingkaran secara aneh bergerak turun memasuki Liang Lahat
hingga akhirnya lenyap bersama tubuh Naga Kuning.
*
* *
ENAM
Puti Andini merasa ngeri mendengar jeritannya sendiri. Tubuhnya melayang dalam
liang sangat gelap. Udara sepanjang lobang tempatnya melayang jatuh menebar hawa
aneh membuat nafasnya pengap. Gadis ini pegang! kepalanya erat-erat. Dia tidak tahu
akan berapa lama dia melesat jatuh begitu rupa. Namun dasar lobang tak kunjung sampai.
Kalaupun akhirnya dia menyentuh dasar lobang pasti dia tidak akan mengetahui lagi karena
saat itu juga kepalanya akan hancur dan tubuhnya remuk tak karuan!
Sekujur tubuh gadis ini dibalut hawa dingin. Dia masih terus berteriak sampai
suaranya parau dan tenggorokannya sakit. Beberapa kali dia menggerakkan kaki dan
tangan, berusaha menggapai sesuatu. Namun dia tak bisa memegang apa-apa. Usahanya
agar bisa melayang jatuh dengan kaki ke bawah pun tidak berhasil. Makin jauh masuk ke
dalam Liang Lahat makin tak sanggup gadis ini berpikir lagi. Yang bisa dilakukannya
hanyalah menjerit dan menjerit parau. Pada puncak rasa takutnya kesadarannya mulai
lenyap. Dua tangannya yang diletakkan di atas kepala terkulai ke bawah.
Dalam keadaan seperti itu dia sama sekali tidak mengetahui kalau saat itu jauh di
sebelah bawah ada satu titik putih yang lambat laun berubah menjadi cahaya terang.
Bersamaan dengan itu dari bawah melesat hawa dan kabut dingin yang secara aneh
menahan sosok Puti Andini. Kalau sebelumnya sosok gadis itu jatuh sangat deras, kini
tubuh itu seperti mengapung. Masih terus jatuh ke bawah tapi perlahan-lahan.
Puti Andini yang berada dalam keadaan setengah sadar baru ingat dirinya ketika
hawa dingin sekali membuat sekujur tubuhnya bergeletar. Selain itu ada suara “duk... duk...
duk” menghentak aneh membuat badannya ikut tersentak-sentak. Masih dalam keadaan
terbaring, pertama sekali yang dilakukan gadis ini adalah memegang kepalanya dengan
kedua tangan. Lalu dia bangkit mencoba duduk. Ternyata dia berada di satu tempat
ketinggian. Memandang berkeliling dia melihat air.
“Astaga, aku kembali berada dalam air. Masih bisa bernafas seperti biasa. Berarti ilmu
menyelam yang diberikan nenek sakti itu masih kumiliki.... Kepalaku tidak pecah. Tubuhku
tidak hancur. Berada di mana aku saat ini? Apa masih berada dalam Telaga Gajahmungkur?
Aku masih bisa melihat jernih dalam air. Aku masih bisa bernafas seperti di tempat terbuka.
Aku....”
Ucapan si gadis terhenti ketika tengkuknya mendadak menjadi dingin. Dalam air di
sekelilingnya melayang belasan jerangkong. Manusia yang telah berubah menjadi tulang
belulang ini sebagian dalam keadaan bersambung utuh. Namun banyak di antaranya telah
tercerai putus. Ada yang tanggal kaki atau tangannya. Ada yang tidak berkepala lagi.
Tengkorak-tengkorak kepala manusia melayang-layang dalam air. Namun yang paling
mengerikan adalah dua mayat yang masih utuh, berada dalam keadaan kaku. Dua mayat ini
adalah yang dilihat Naga Kuning sebelumnya yakni mayat Datuk Bonar alias Iblis Penghujat
Jiwa Dari Utara. Satunya lagi mayat seorang nenek bernama Nyi Ulan, dikenai dengan
julukan Singa Betina Pedataran Bromo. Dalam Episode Liang Lahat Gajahmungkur
dituturkan bahwa dua orang sakti itu berusaha mencari Pedang Naga Suci 212 namun
mereka berhasil dicegat oleh sepasang naga besar. Ketika mereka melawan, dua naga serta
merta membunuh keduanya.
Tak berani memperhatikan dua sosok mayat itu lebih lama Puti Andini putar kepala
ke jurusan lain. Dia melihat pasir putih menghampar di dasar air. Lalu ada suara “duk-dukduk” berkepanjangan dan sesuatu yang membuat tubuhnya terlonjak-lonjak. Telapak
tangannya meraba ke bawah. Diusap-usapnya. Terasa sirip-sirip licin mengeluarkan hawa
hangat. Gadis ini menoleh ke kiri lalu memandang ke bawah. Langsung saja jeritan keras
hendak melesat dari mulutnya. Jantungnya seolah lepas dan nyawanya seperti melayang
terbang! Betapakan tidak! Dia baru sadar kalau saat itu dia duduk di atas perut ular naga
besar betina yang sebelumnya dilihatnya di Liang Akhirat. Binatang ini tergolek melingkar.
Ekornya di pasir sedang kepalanya jauh di atas menyondak batu-batu hitam runding
membentuk langit-langit aneh. Setiap bernafas perut naga raksasa itu berguncang-guncang
membuat Puti Andini ikut terguncang-guncang. Lalu suara “duk-duk-duk” tak
berkeputusan bukan lain adalah degup jantung sang ular. Binatang aneh ini diam tak
bergerak. Sepasang matanya terpejam. Puti Andini ingin segera melompat dari atas perut
naga itu. Namun ada rasa khawatir kalau gerakannya akan membuat sang naga yang
diperkirakannya tertidur itu menjadi terbangun.
“Celaka.... Apa yang harus aku lakukan. Cepat “atau lambat binatang aneh ini pasti
akan bangun. Begitu dia melihatku, pasti diriku akan ditelannya bulat-bulat! Tua Gila!
Menyesal aku menuruti perintahmu!”
Si gadis memandang ke samping kanan. Untuk kedua kalinya dia hampir menjerit
kalau dua tangannya tidak cepat dipergunakan untuk menutupi mulut. Hanya sepuluh
langkah di sampingnya terpentang kepala naga jantan, mendekam di atas gulungan
tubuhnya sendiri. Dua matanya yang merah besar memandang menyorot. Mulutnya terbuka
lebar memperlihatkan lidah bercabang serta gigi dan taring besar mengerikan. Hembusan
nafas binatang ini membuat air bergejolak dan menyambar panas ke arah Puti Andini.
Kepala naga jantan bergerak. Sebagian tubuhnya menggeliat. Dari mulut binatang ini
menyambar desisan keras. Membuat air menggelombang. Menghantam Puti Andini hingga
gadis ini terpental dan jatuh ke atas pasir putih. Gelombang air membuat naga betina
terusik, membuka matanya sebentar lalu menggerakkan tubuhnya bagian bawah dan
mengangkat ekornya. Ketika ekor itu diturunkan, tepat menindih tubuh Puti Andini. Ekor
yang beratnya hampir seratus kati itu membuat si gadis tak bisa berkutik. Bagaimana pun
dia berusaha melepaskan diri tetap saja dia tersepit antara pasir putih dan ekor naga betina!
“Celaka! Apa yang harus aku lakukan?!” Ekor naga betina itu makin lama makin
terasa berat. Puti Andini mulai megap-megap. Dia kumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih
ada. Di sebelah belakang dua kakinya ditekankan ke pasir. Di depan sepasang tangannya
menggaruk pasir putih. Dia kerahkan tenaga agar bisa meloloskan tubuh dari himpitan ekor
naga betina. Namun sampai sepuluh jari tangannya menggali pasir sampai membentuk
lobang tetap saja gadis ini tak mampu lolos. Sementara itu beberapa potongan tulang
belulang manusia dan sebuah tengkorak melayang di sekitar kepalanya.
“Pedang Naga Suci 212.... Aku bukan menemukan senjata sakti itu. Tapi mencari mati
sendiri!”
Seolah pasrah Puti Andini akhirnya hanya geletakkan diri menelungkup di pasir. Saat
itulah samar-samar dia melihat sebuah benda putih tersembul di antara pasir dalam lobang
di sebelah kanan. Ketika disentuh dengan tangan ternyata keras dan licin. Karena mengira
hanya sebuah batu putih biasa Puti Andini tidak acuh. Dia kembali berbaring sambil terus
mencari akal bagaimana dapat meloloskan diri.
“Kalau kukerahkan tenaga dalam, lalu menghantam dengan pukulan sakti....
Mungkin pukulanku tidak mempan. Tidak terasa apa-apa. Tapi siapa tahu binatang ini
terbangun, menggerakkan ekornya....” Memikir begitu maka Puti Andini segera alirkan
tenaga dalam ke tangan kanan. Tapi selintas pikiran lain muncul dalam benak gadis ini.“Kalau ular besar ini tersentak bangun tapi lantas menjadi marah dan menyerang diriku.
Tamatlah riwayatku....” Puti Andini batalkan niatnya untuk menyerang naga betina.
Kembali dia berbaring tak bergerak. Dua matanya lagi-lagi membentur batu putih di dalam
lobang. “Kalau kuambil batu itu, lalu kulempar ke tubuh naga yang menghimpitku.
Akibatnya mungkin tidak sehebat jika aku menghantam dengan pukulan sakti. Paling tidak
aku harus melakukan sesuatu. Kalau tidak melakukan apa-apa, cepat atau lambat aku akan
menemui ajal di bawah tindihan ekor binatang raksasa ini....”
Puti Andini ulurkan tangannya. Ternyata tidak mudah mengambil batu dalam lobang
itu. Batu itu seolah bersatu dengan pasir putih di sekitarnya yang telah membeku. Puti
Andini berhenti menggali ketika dirasakannya tiba-tiba ada hawa sangat dingin keluar dari
dalam lobang.
“Ada yang aneh...” membatin si gadis. Lalu dia kembali meneruskan menggali.
Mendadak naga jantan yang sejak tadi memperhatikannya dari kejauhan, menyorotkan
pandangan buas. Sepasang matanya memancarkah sinar merah dan dari mulutnya keluar
suara mendesis keras. Gerakan Puti Andini tertahan. “Binatang itu seperti marah. Tapi tak
ada sambaran angin, tak ada sambaran gelombang....” Si gadis menunggu sesaat lalu
kembali menggali. Untuk mengeluarkan batu dari dasar lobang dia harus menggali bagian
pasir di sekitar batu putih, ini tidak mudah karena pasir itu telah membeku dan menyatu
dengan batu. Si gadis paksakan diri sampai jari-jari tangannya luka dan berdarah. Namun
usahanya tidak sia-sia. Dia akhirnya berhasil mengambil batu putih itu dari dalam lobang.
“Batu aneh...” ujar Puti Andini dalam hati seraya memperhatikan benda di tangan
kanannya. Dia coba membersihkan sisa-sisa pasir yang masih melekat pada batu putih itu.
“Batu apa ini.... Bukan kerang bukan pula karang. Enteng sekali. Mungkin bekas rumah
siput besar? Dua sisi rata. Sisi lainnya bulat membentuk lingkaran.... Ada hawa dingin
keluar dari batu, menjalar masuk ke dalam tanganku....” Puti Andini terus saja
membersihkan batu putih yang besarnya hampir dua kepalan itu.
Tiba-tiba naga jantan yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Puti Andini
menggerakkan tubuhnya. Mulutnya yang besar membuka lebar. Lidahnya menjulur
panjang. Di kejauhan Puti Andini mendengar suara seperti lolongan anjing bersahut-sahutan
di malam buta membuat si gadis tercekat kecut. Lalu, saat itulah naga jantan mendesis keras.
Gulungan tubuhnya terbuka. Kepalanya naik ke atas lalu menyambar ke arah Puti Andini.
Ketika naga jantan mendesis keras, hawa sangat dingin disertai gelombang air yang
dahsyat menghantam ke arah Puti Andini. Gadis ini terpekik. Tubuhnya terlempar jauh
bersamaan dengan terangkatnya ekor ular naga betina lalu terguling-guling di atas pasir
putih. Beberapa jerangkong yang masih utuh hancur cerai berai.
Batu putih yang tadi dipegangnya terlepas. Sesaat batu ini terapung mengambang
dalam air. Naga jantan merunduk. Kepalanya menyambar ke arah batu putih. Mulutnya
dibuka lebar lalu menyedot keras. Batu putih yang melayang dalam air langsung tertarik ke
dalam mulut naga jantan itu.
Namun terjadi satu hal tidak terduga. Naga betina yang sejak tadi seperti diam tak
bergerak tersentak dari tidurnya akibat dorongan gelombang air. Begitu dua matanya yang
merah membuka pandangannya langsung membentur batu putih yang melesat tersedot ke
arah mulut naga jantan. Naga betina keluarkan suara menggerang dahsyat. Ekornya
disentakkan ke atas. Laksana petir menyambar ekor itu menghantam ke arah kepala naga
jantan.
Puti Andini walau dalam keadaan cidera akibat hantaman gelombang air tadi masih
sempat melihat apa yang terjadi dengan mata membelalak.* *
TUJUH
Hantaman ekor naga betina menimbulkan gelombang air besar luar biasa, mendera
ke arah naga jantan. Sesaat naga jantan terkesiap kaget lalu balas menghantam
dengan satu semburan yang memancarkan sinar putih dari hidungnya. Tapi
gerakannya terlambat karena gelombang air lebih dulu menghantam kepala dan sebagian
tubuhnya. Naga jantan terpental ke atas. Kepalanya membentur langit-langit berbatu
runcing hingga hancur berkeping-keping. Tanpa perdulikan cidera di kepalanya naga jantan
menukik. Dengan nekad binatang ini kembali hendak menyambar batu putih yang
melayang jatuh ke dasar telaga. Namun lagi-lagi naga betina gerakkan ekornya. Satu sinar
hitam keluar dari ujung ekor lalu menyambar bergulung-gulung ke arah naga jantan. Yang
diserang tidak tinggal diam. Keluarkan suara mendengus. Dua larik sinar merah melesat
dari sepasang matanya.
Naga betina meraung aneh. Dari tanduk di kepalanya menyembur cairan hijau yang
meredam dan memusnahkan serangan lawan. Naga jantan mengkirik kecut lalu meluncur
mundur dan jatuhkan diri bergelung di pasir putih. Kepalanya masih terpentang tegak
namun sinar merah di kedua matanya telah meredup.
Keanehan yang mengerikan dan memukau Puti Andini tidak hanya sampai di sana.
Naga betina memutar kepala, memandang berkeliling. Begitu pandangannya membentur
batu putih yang melayang jatuh hampir mencapai dasar telaga, naga betina segera
menyambarnya dengan mulutnya. Batu langsung ditelan! Naga jantan yang menyaksikan
kejadian itu menggeram tapi tidak berbuat apa-apa.
“Batu putih itu...” kata Puti Andini dalam hati. “Dua naga berkelahi
memperebutkannya. Pasti benda itu....”
Si gadis tidak sempat melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba naga betina meluncur
ke arahnya. Binatang ini menurunkan kepalanya sedatar dasar telaga. Mulutnya terbuka
lebar. Lidahnya yang bercabang diulurkan panjang-panjang.
“Ya Tuhan!” Puti Andini terpekik. Ketika kepala binatang itu hanya tinggal dua
tombak dari hadapannya, gadis ini seolah baru menyadari kalau ular besar itu hendak
menelannya hidup-hidup. Puti Andini cepat berenang menjauhi, tapi sang naga datang lebih
cepat. Tak ada jalan lain. Tangan kanannya yang sudah dialiri tenaga dalam segera
dipukulkan ke depan. Memang ada kekuatan sakti yang sanggup dilepaskan oleh cucu Tua
Gila dan Sabai Nan Rancak itu. Membuat air telaga menggelombang, pasir putih bertaburan
ke atas dan tulang-tulang serta tengkorak manusia berpelantingan kian kemari. Termasuk
sosok kaku mayat Datuk Bonar dan Nyi Ulan.
Namun ular naga betina sama sekali tidak bergeming. Malah sebaliknya Puti Andini
tersentak kaget ketika dia sadari tangannya yang tadi memukul ke depan tak bisa ditarik
lagi. Karena satu sedotan dahsyat membuat tangan itu terpentang lurus- laksana kaku dan
bersamaan dengan itu tubuhnya ikut tertarik. Lalu melesat dua benda aneh yang ternyata
adalah lidah ular naga betina yang bercabang dua.Ketika dua belahan lidah hendak melibat tubuh Puti Andini tiba-tiba di atas sana
terdengar suara menggemuruh. Sebuah benda meluncur jatuh. Air telaga tersibak laksana
dibelah. Lalu satu dinding batu berbentuk setengah lingkaran dan tinggi belasan tombak
menghunjam ke dasar telaga. Air muncrat sampai ke langit-langit batu runcing. Pasir putih
menggebubu menutupi pemandangan. Udara sangat dingin mencekam. Ketika air kembali
tenang, pasir luruh ke dasar telaga dan pemandangan perlahan-lahan jernih, terlihat tubuh
Puti Andini melayang-layang dalam air, setengah sadar setengah pingsan. Dalam keadaan
seperti itu dia mendengar seseorang berteriak.
“Puti Andini! Keluarkan ilmu silat payung tujuh! Andalkan ilmu meringankan tubuh!
Kau bisa menyelamatkan diri dengan ilmu itu!”
Seperti tersentak Puti Andini angkat kepalanya. Dia masih belum bisa melihat siapa
yang berteriak. Tapi dia kenali suara orang.
“Itu suara bocah berpakaian hitam yang menceburkan diriku ke dalam Liang Lahat.
Dimana dia.... Apa maksudnya?” Si gadis putar otaknya mencerna teriakan tadi. “Anak itu
benar. Aku bisa memainkan ilmu silat payung tujuh tanpa payung. Tapi apakah aku bisa
keluar dari telaga maut ini?”
Belum sempat dia berpikir lebih lama tiba-tiba naga betina mendesis lalu tukikkan
kepalanya ke bawah. Puti Andini segera kerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan diri.
Tubuhnya melesat ke atas. Kepala naga betina lewat di sampingnya. Mulut yang hendak
menelannya menggembor marah. Puti Andini terpental tiga tombak. Gadis ini segera
berjungkir balik lalu menghampiri kepala naga dari belakang. Secepat kilat kaki kanannya
ditendangkan ke tengkuk naga. Tapi dia mengeluh sendiri. Kesakitan dan terpelanting
karena tubuh naga itu ternyata licin. Sambil menggeram naga betina cambukkan ekornya.
Puti Andini masih sempat mengelak bahkan kaki kirinya bisa menendang ke pelipis naga.
Tapi lagi-lagi tak ada hasilnya karena kembali kakinya terasa sakit. Tubuhnya terjungkir.
Naga betina kembali menyerbu. Si gadis mainkan jurus-jurus ilmu silat Payung Tujuh.
Tubuhnya melesat kian kemari. Sesaat naga betina seolah tertegun memperhatikan. Tapi
tiba-tiba binatang ini melesat ke atas sambil mengibaskan ekornya. Selagi Puti Andini
terlempar oleh gelombang air telaga akibat hantaman ekor, di sebelah atas kepala naga
betina melesat ke bawah. Kali ini si gadis tidak punya kesempatan lagi untuk selamatkan
diri.
“Puti Andini! Pukul tanduk di kepala binatang itu!” Kembali si gadis mendengar
teriakan orang. Sang dara berpaling ke kiri. Dia melihat sosok Naga Kuning menempel di
bagian bawah dinding batu setengah lingkaran. Dalam kagetnya gadis ini tidak punya
kesempatan melakukan apa yang dikatakan si anak. Lidah bercabang naga betina melesat ke
depan, melibat tubuh gadis itu. Lalu sekali lidah itu disentakkan ke belakang maka
amblaslah sosok Puti Andini lenyap ke dalam mulut naga!
Naga jantan yang menyaksikan kejadian itu kembali menggeram dan angkat
kepalanya sedikit tapi seolah takut, tak berani melakukan apa-apa.
Naga Kuning pejamkan ke dua matanya. Tidak tega melihat Puti Andini ditelan
hidup-hidup oleh naga betina itu. Hatinya geram dan sedih tak bisa menolong. Tubuhnya
terpendam laksana disemen sama rata ke bagian bawah dinding Liang Lahat.
Seperti diceritakan sebelumnya Kiai Gede Tapa Pamungkas telah menjatuhkan
hukuman terhadap Naga Kuning. Menjebloskan anak itu ke dalam batu lalu
memasukkannya ke dalam Liang Lahat yang ternyata dasarnya adalah di tempat dimana
dua naga raksasa berada.
“Naga betina menelan gadis itu. Tamatlah riwayatnya. Dia tak akan pernahmenemukan Pedang Naga Suci 212. Pendekar 212 tidak akan dapat disembuhkan. Rimba
persilatan akan kejatuhan bencana besar....” Naga Kuning hendak dongakkan kepalanya ke
atas. Tapi tidak bisa karena bagian belakang kepalanya menempel laksana disemen ke
dinding batu Liang Lahat. Anak ini hanya bisa melirik ke atas dan menggumam jengkel.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas.... Jika memang ini maumu maka apa yang kau inginkan
sebagian telah menjadi kenyataan! Semoga kau merasa puas....”
Baru saja Naga Kuning mengeluarkan rasa kesalnya dalam hati tiba-tiba laksana
dihantam gempa yang datang dari dasar telaga, tempat itu bergoncang keras. Dinding batu
dimana Naga Kuning dipendam bergetar. Air telaga membentuk gelombang-gelombang
besar di beberapa tempat. Dua ekor naga tegakkan kepala lalu keluarkan suara melolong
aneh.
“Apa yang terjadi!” pikir Naga Kuning. “Tempat ini seolah siap meledak. Atau
mungkin dunia sudah kiamat?”
Di atas sana Naga Kuning melihat petir menyambar sampai empat kali berturut-turut,
itu pertanda Kiai Gede Tapa Pamungkas tengah marah besar...” ujar Naga Kuning dalam
hati. Lalu samar-samar di sebelah atas dia melihat larikan-larikan air telaga berwarna
kuning. Hidungnya membaui sesuatu.
*
* *
DELAPAN
Tak selang berapa lama setelah dinding batu setengah lingkaran amblas ke dalam Liang
Lahat dan Naga Kuning yang dipendam menempel ke dinding itu ikut lenyap, Kiai
Gede Tapa Pamungkas masih tegak di atas makam besar. Orang tua yang sulit diduga
berapa usianya ini dan disebut sebagai setengah manusia setengah roh tegak dengan mata
terpejam, kepala mendongak dan tangan rangkap di depan dada.
“Mungkin aku salah berbuat. Tapi bagaimana pun juga hukum harus ditegakkan.
Mungkin hukum itu sendiri satu kekeliruan. Tapi tidak berbuat sesuatu adalah lebih jahat
dari mengaminkan kesalahan....” Kata-kata itu muncul di lubuk hati sang Kiai.
Kemudian perlahan-lahan Kiai Gede Tapa Pamungkas gerakkan kedua tangannya ke
atas membuat sikap seperti orang memanjatkan doa. Bersamaan dengan itu sayup-sayup
terdengar suara gaungan aneh. Makin lama makin keras. Kabut putih di liang makam
tampak turun ke bawah. Dua kali secara aneh kilat menyambar keluar dari dalam liang
makam. Lalu ada goncangan keras. Sosok tubuh Kiai Gede Tapa Pamungkas ikut turun,
perlahan-lahan masuk ke dalam liang makam. Begitu kepalanya yang berambut putih
lenyap maka didahului dengan suara menggemuruh, batu besar penutup liang makam yang
berada di sebelah kanan bergeser ke kiri. Sekali lagi petir menyambar keluar. Lalu makam
itupun tertutup. Kabut putih lenyap. Suasana di Liang Akhirat sunyi senyap benar-benar
seperti di pekuburan.
Namun hal itu tidak berlangsung lama. Sekonyong-konyong ada suara
menggemuruh keluar dari perut bumi. Dasar Telaga Gajahmungkur bergoyang keras. Liang Akhirat bergetar hebat. Di luar sana air telaga membentuk gelombang-gelombang besar dan
menghantam pintu serta dinding-dinding Liang Akhirat. Beberapa bagian dinding hitam
tampak retak dan air merambas masuk ke dalam ruangan.
Makam batu putih di tengah ruangan bergoyang-goyang. Liang Lahat yang ada di
samping makam mengepulkan asap panas. Satu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Suara gemuruh menambah ngerinya suasana. Lalu dari celah-celah makam dan batu
penutup membersit cahaya menyilaukan disertai suara menggelegar. Batu makam yang tadi
tertutup bergerak ke kanan. Lalu membuka disertai suara menggaung keras. Kilat
menyambar dari dalam liang makam disusui dengan kepulan asap putih. Lalu melesat
sesosok tubuh yang bukan lain adalah sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Tidak seperti biasanya wajah orang tua ini tampak sangat pucat. Sikapnya luar biasa
gelisah. Sepasang matanya memandang seputar Liang Akhirat. Lalu dia mengerahkan
kesaktian untuk menembus dinding dan pintu batu, memandang ke Seantero Telaga
Gajahmungkur. Kepalanya seperti disentakkan sewaktu melihat ada bagian air telaga
berwarna kuning di sekitar permukaan.
“Malapetaka besar menimpa telaga. Bahaya jatuh atas Liang Akhirat dan Liang Lahat!
Ada orang menebar air larangan! Siapa yang punya pekerjaan jahat ini?!” Sang Kiai lalu
dongakkan kepala dan mencium udara sekitarnya dalam-dalam. “Jalan pernafasanku
membaui sesuatu. Tak salah lagi. Yang kucium adalah air larangan!”
Kiai Gede Tapa Pamungkas kepalkan tangan kanannya. Lalu dihantamkan ke atas.
Terjadilah satu hal aneh. Dari tinju kanan sang Kiai melesat keluar cahaya terang benderang
laksana kilat menyambar. Cahaya tersebut menembus dinding Liang Akhirat tanpa
merusaknya sama sekali. Sampai diluar kilatan petir ini terus melesat menuju permukaan
Telaga Gajahmungkur dan menghantam bagian telaga yang airnya berwarna kekuningan.
Di atas sana air telaga muncrat sampai beberapa tombak. Salah satu bagian dari tanah tepian
telaga laksana meledak, menghamburkan hancuran tanah, bebatuan dan pohon serta semak
belukar.
“Manusia-manusia jahat! Siapa kalian yang berani menebar air larangan di kawasan
kediamanku?!” Kiai Gede Tapa Pamungkas berseru. Dia jentikkan tangan kirinya. Terdengar
suara mendesir. Pintu goa yang terbuat dari batu bergerak membuka. Kiai Gede langsung
melesat ke luar. Liang -Akhirat, terus berenang. Demikian cepatnya hingga kurang dari
sekejapan mata dia sudah- muncul di permukaan air telaga. Jika ada orang melihat sang Kiai
saat itu maka dia akan merasa aneh. Walau barusan jelas keluar dari dalam air namun
tubuh, pakaian selempang kain putih, rambut, janggut dan kumisnya sama sekali tidak
basah!
Memandang berkeliling dia tidak melihat seorang pun. Orang tua ini kertakkan
rahang. “Aku belum melihat orangnya. Tapi aku sudah bisa menduga!” Kiai Gede Tapa
Pamungkas menyelam kembali. Dia berenang berputar-putar. Dia tak mencari lama. Di
kejauhan di arah timur dia melihat gerakan-gerakan dalam air. Air telaga tampak berwarna
kekuningan.
“Ada dua orang di sebelah sana. Yang satu bisa kuterka. Sulit kuduga siapa orang ke
dua....” Sang Kiai lalu melesat cepat ke arah dua orang yang berada di telaga sebelah timur
itu.
Melihat ada orang mendatangi, dua orang yang berenang saling memberi isyarat.
Lalu keduanya cepat melesat ke atas. Kiai Gede Tapa Pamungkas segera mengejar. Ketika
dia muncul di permukaan air dua orang tadi dilihatnya tegak di tepi Telaga Gajahmungkur
dalam keadaan basah kuyup. Dua-duanya menyeringai buruk walau jelas keduanya tampakmenggigil kedinginan.
Kiai Gede Tapa Pamungkas melesat keluar dari dalam air telaga. Sesaat kemudian
orang tua ini sudah berdiri tegak di hadapan dua orang itu. Orang tua ini mencium bau
pesing yang sangat santar menebar dari sosok dua orang yang tegak di hadapannya itu.
Cuping hidungnya sampai kembang kempis karena berusaha menahan nafas dan
mengernyit menahan perutnya yang mendadak menjadi mual.
Melihat keadaan sang Kiai seperti itu dua orang tadi tertawa cekikikan. Tapi salah
seorang dari mereka yakni nenek-nenek hitam kurus kering yang memegang sebuah kendi
tanah berwarna merah sehabis tertawa cepat-cepat membungkuk memberi penghormatan.
“Sinto Weni! Aku sudah menduga kalau kau yang punya pekerjaan! Mengapa kau
berlaku jahat terhadap aku, gurumu sendiri?!”
Orang yang ditegur dengan nama Sinto Weni itu bukan lain adalah nenek sakti dari
Gunung Gede, guru Pendekar 212 yang lebih dikenal dengan sebutan Sinto Gendeng. Si
nenek rapikan barisan lima tusuk kundai yang menancap di kulit kepalanya baru menjawab.
“Kiai harap maafkan diri saya. Saya tidak bermaksud jahat....”
“Di mata dan pikiranmu apa yang kau lakukan tidak jahat. Tapi di mata orang lain
termasuk diriku apa yang kau lakukan benar-benar satu kejahatan! Kau menebar air
larangan yang menjadi pantangan besar bagi Telaga Gajahmungkur! Kau mengacaukan dan
merusak semua pekerjaan yang telah aku mulai sejak puluhan tahun lalu....”
“Kiai, jangan kau bersalah duga. Saya....”
“Sinto Weni! Sejak kau memilih Kapak Naga Geni 212 di puncak Gunung Gede
puluhan tahun silam. Sejak kau melarikan Pedang. Naga Suci 212! Aku sudah tahu kalau
kau adalah seorang berhati jahat dan culas! Serakah dan juga kejam!”
Sinto Gendeng sampai tersurut mendengar dampratan Kiai Gede Tapa Pamungkas
itu. Dia pukul-pukul kepalanya sendiri lalu menjawab. “Kiai, terserah kau mau mengatakan
saya ini apa. Saya menerima pasrah. Saya kemari mencari obat untuk murid saya. Pendekar
212 Wiro Sableng yang terkena musibah....”
“Aku sudah tahu musibah apa yang menimpa muridmu! Aku juga tahu siapa dirinya
adanya! Pemuda bernafsu kotor! Musibah yang menimpa dirinya sudah lebih dari pantas!”
“Kiai, saya tahu siapa murid saya. Harap kau jangan menghina dirinya! Apapun
perbuatannya, salah atau benar akan menjadi tanggung jawab saya dunia akhirat!”
“Ucapanmu hanya menyatakan sifatmu yang congkak!” tukas Kiai Gede Tapa
Pamungkas pula. “Puluhan tahun aku menunggumu. Berharap agar kau kembali
menyerahkan Kapak Naga Geni 212 yang kau ambil tempo hari. Juga menyerahkan Pedang
Naga Suci 212 padaku!”
*
* *
SEMBILAN
Sinto Gendeng jadi terkesiap mendengar ucapan sang Kiai. Lalu dengan suara perlahan
dia berkata. “Saya tidak membawa Kapak Naga Geni 212. Pedang Naga Suci 212 juga
tidak ada pada saya....”
“Kau pandai bicara mencari dalih!”
“Kiai, saya tidak berdalih. Kapak Naga Geni 212 tidak ada pada saya. Juga saat ini saya menyirap kabar senjata itu tidak berada di tangan murid saya. Pedang Naga Suci 212
secara kurang ajar memang saya ambil waktu puluhan tahun lalu di puncak Gunung Gede
itu. Tapi saya punya alasan melarikan senjata mustika itu. Untuk menghindari dunia
persilatan dari malapetaka besar. Karena kalau pedang mustika sakti waktu itu sampai jatuh
ke tangan Sukat Tandika alias Tua Gila pasti dia akan mempergunakannya untuk maksud
jahat! Lagipula saya melarikan Pedang Naga Suci 212 bukan untuk dipakai sendiri tapi saya
sembunyikan di satu tempat. Di dasar Telaga Gajahmungkur ini! Kelak siapa yang benar-
benar berjodoh dengan senjata itu pasti akan mendapatkannya. Karena mendengar murid
saya ditimpa musibah dan konon pedang itu bisa menjadi obat yang mujarab maka itulah
saya kembali ke tempat ini untuk mencarinya, untuk pengobat Pendekar 212. Bukan untuk
maksud lain....”
“Kau tahu penyakit kutuk yang menimpa muridmu akan lenyap dengan sendirinya
setelah seratus hari.... Mengapa bersusah payah mencari Pedang Naga Suci 212 yang bukan
milikmu?!”
“Syukur Kiai telah mendengar dan mengetahui musibah yang menimpa murid saya.
Kapan akan punahnya musibah kutukan itu tidak saya ketahui. Sementara itu rimba
persilatan saat ini tengah dilanda mara bahaya besar. Orang-orang Lembah Akhirat
gentayangan ke mana-mana mengadu domba antar sesama tokoh silat golongan putih.
Bagaimana kalau celaka lebih dulu datang menimpa murid saya sebelum seratus hari?
Kiai....”
“Cukupi Aku tak perlu keterangan panjang lebar!” memotong Kiai Gede Tapa
Pamungkas. “Aku perintahkan agar kau segera angkat kaki dari tempat ini! Bawa serta
kawanmu kakek-kakek bermata belok jereng! Berkuping lebar, bertampang seperti jurik ini!”
Saking marahnya sang Kiai tak bisa lagi mengendalikan kata-katanya.
“Kiai, sekali ini mungkin saya tidak dapat menuruti perintahmu. Saya lebih
mementingkan keselamatan muridku si anak setan itu dari pada diriku sendiri. Saya tidak
perduli kau akan memukul rengkah batok kepala saya. Atau menanggalkan anggota badan
saya satu persatu. Atau mencincang diriku sampai lumat. Murid saya dalam bahaya. Saya
wajib menolongnya. Mengenai kawanku ini terserah padanya apa dia mau pergi atau
tidak....” Sinto Gendeng lalu berpaling pada kakek yang tegak di sampingnya.
“Kakek bermata jereng! Siapa kau adanya!” Kiai Gede Tapa Pamungkas membentak
keras.
Tidak mengira akan dibentak orang, kakek di sebelah Sinto Gendeng sampai
terlompat saking kagetnya. Wajahnya sesat pucat dan “serrrrr.” Ada cairan kuning hangat
mengalir dari bagian bawah perutnya. Karena dia berdiri dekat sekali ke tepi telaga maka
cairan ini terus mengalir dan masuk ke dalam air.
Di dasar telaga lapat-lapat terdengar suara menggemuruh. Kiai Gede Tapa
Pamungkas menjadi kalap dan hendak membentak kembali. Tapi Sinto Gendeng
mengangkat tangan kirinya dan berkata. “Kiai, sahabatku ini punya kelainan aneh. Kalau
tidur seperti anak kecil, suka ngompol! Jika dia berada dalam keadaan terlalu tenang maka
dia akan beser tanpa terasa. Kalau dia mendadak kaget kencingnya lebih banyak lagi! Saya
harap Kiai jangan membentaknya. Karena berarti makin banyak air kencingnya yang akan
masuk ke dalam telaga. Dan makin porak-poranda keadaan di bawah sana. Hik... hik... hik...!
Kalau Kiai ingin tahu nama sahabat satu ini dia adalah yang dipanggil orang dengan
sebutan Setan Ngompol! Julukannya aneh dan lucu! Hik... hik... hik!”
“Sinto Gendeng! Kau mempergunakan air larangan itu untuk mencelakai diriku dan
hendak menghancurkan tempat kediamanku!”“Maafkan saya Kiai. Kau menyebutnya air larangan. Kami berdua menyebutnya air
kencing. Orang beradab dan bersopan santun punya bahasa halus menyebutnya air seni!
Tapi apapun namanya tetap bau pesing! Hik... hik... hik!”
“Sinto! Bawa temanmu ini. Lekas angkat kaki dari sini!”
“Maafkan saya Kiai. Saya baru pergi kalau sudah mendapatkan Pedang Naga Suci
212 itu....”
“Kau tak bakal menemukannya. Senjata itu tak ada di sini....”
Sinto Gendeng tertawa lebar. “Saya tahu di mana beradanya pedang itu Kiai. Karena
puluhan tahun yang lalu saya yang menyembunyikannya di dasar telaga....”
“Keadaan telaga puluhan tahun lalu telah jauh berbeda saat ini. Pedang sakti itu
mungkin sudah tenggelam di dasar telaga. Mungkin sudah dihanyutkan aliran air ke tempat
lain. Kau membutuhkan waktu lama dan nasib baik untuk bisa menemukannya....”
“Bagaimanapun sulitnya saya akan tetap mencoba....”
“Sinto Gendeng kau licik dan jahat. Kau tahu pantangan di tempat ini. Itu sebabnya
kau pergunakan air kencingmu dan mengajak serta kawanmu si Setan Ngompol ini untuk
mencemari air telaga!”
“Maafkan saya Kiai. Saya terpaksa melakukannya. Mungkin sudah saatnya Kiai
kembali ke puncak Gunung Gede....”
“Aku tidak perlu nasihatmu. Kau tetap memaksa tidak mau pergi dari tempat ini?”
“Maafkan saya Kiai...” jawab Sinto Gendeng sambil membungkuk dalam.
“Kalau begitu terpaksa aku menurunkan tangan kasar, Sebelum kulakukan aku tanya
sekali lagi. Kau tetap tidak mau meninggalkan telaga ini?”
Sinto Gendeng gelengkan kepalanya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas habis kesabarannya. Orang tua ini kembangkan
lengannya ke samping. Lalu jari-jari tangannya kiri kanan dijentikkan.
Di dasar telaga terdengar suara menggemuruh keras. Lalu di permukaan telaga
berkiblat petir dua kali berturut-turut. Air telaga bergolak muncrat setinggi belasan tombak.
Sesaat kemudian dua sosok kuning besar mengerikan melesat keluar dari dalam telaga.
Yang muncul bukan lain adalah naga jantan dan naga betina bermata merah dan bertanduk
hijau.
Dua Kakek nenek sama-sama terkejut mundur. Setan Ngompol langsung beser.
Sedang Sinto Gendeng menggigil dan coba menekap perutnya dengan tangan kiri tapi gagal
mencegah terkencing. Begitu cairan ini masuk ke dalam telaga, di dasar telaga terdengar
suara menggemuruh.
Kiai Gede sekali lagi menjentikkan tangannya kiri kanan. Sepasang naga menggeliat
dan keluarkan suara mendesis. Dua binatang ini siap menerkam ke arah dua orang tua di
pinggir telaga.
“Kiai! Tahan!” Sinto Gendeng berteriak seraya acungkan tangan kanannya yang
memegang kendi tanah warna merah. Teriakan si nenek membuat kaget si Setan Ngompol
hingga kembali kakek bermata belok ini kucurkan air seni. “Saya ikhlas dihukum dan
menemui kematian di tangan Kiai. Tapi saya tidak ikhlas murid saya menemui ajal karena
saya tidak melakukan apa-apa. Lihat Kiai! Kendi ini penuh berisi air kencing saya dan air
kencing si Setan Ngompol! Dua naga peliharaan Kiai mungkin bisa membunuh saya. Tapi
sebelum nyawa saya putus, saya masih punya kesempatan untuk melemparkan kendi ini ke
dalam telaga. Akibatnya Kiai tahu sendiri!”
Kiai Gede Tapa tersurut dua langkah begitu mengetahui bahwa isi kendi yang
diacungkan muridnya itu adalah air kencing. Sedikit saja cairan larangan itu mengenai
tubuh atau pakaiannya maka dia akan mengalami cidera yang sulit dibayangkan.
Selain itu yang paling ditakutkan sang Kiai ialah dia tak akan sanggup meneruskan
keadaan dirinya seperti sekarang ini karena kesaktiannya akan menjadi lumpuh.
“Sinto Weni! Kau benar-benar murid kurang ajar! Murtad!” teriak Kiai Gede Tapa
Pamungkas dengan suara menggelegar.
“Aduh! Aku ngompol lagi!” Si Setan Ngompol tekap bagian bawah perutnya. Coba
bertahan. Tapi sia-sia saja. Kakek ini kembali terkencing di celana akibat kaget mendengar
teriakan sang Kiai tadi.
Walau darahnya mendidih dan ingin sekali menghajar Sinto Gendeng namun Kiai
Gede maklum dia tak bisa berbuat apa-apa. Orang tua ini membathin. “Heran, dari mana
dia mengetahui pantangan air larangan itu.... Siapa membocorkan rahasia!”
“Bagaimana Kiai..,?” Sinto Gendeng bertanya sambil menyeringai.
Kiai Gede Tapa Pamungkas berusaha menindih amarahnya. Kedua matanya
dipejamkan. Tangan kirinya berulang kali mengusapi dadanya.
“Sinto Weni, dengar baik-baik apa yang akan kukatakan,” sang Kiai berucap. “Hari
ini kau boleh menikmati kemenanganmu. Tapi hari ini pula pula putus hubungan kita
sebagai guru dan murid!”
“Kiai!” seru Sinto Gendeng seraya jatuhkan diri berlutut. “Saya menerima salah
namun saya harap Kiai mau mengerti....”.
“Selamat tinggal Sinto Weni. Mulai saat ini aku tak ingin melihat dirimu lagi! Aku
akan meninggalkan Telaga Gajahmungkur ini. Tapi aku tidak suka begitu mudah bagimu
gentayangan di tempat ini. Sepasang Naga Kembar dan Makhluk Api Liang Neraka akan
tetap berjaga-jaga di tempat ini! Mudah-mudahan kau dan kawanmu itu tidak akan
menemui ajal di tangan mereka!”
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan tangannya kiri kanan. Dua
ekor naga besar mendesis keras lalu selulupkan kepalanya ke dalam air dan lenyap dari
pemandangan. Kiai Gede Tapa tidak menunggu lebih lama. Orang tua ini rangkapkan dua
tangan di depan dada. Perlahan-lahan tubuhnya masuk lurus ke dalam air, kaki lebih dulu,
menyusul badan dan terakhir sekali kepala. Di bekas tempat lenyapnya sang Kiai untuk
beberapa ketika tampak kabut putih mengambang di atas permukaan telaga.
Sinto Gendeng melirik ke arah telaga. Perlahan-lahan nenek ini bangkit berdiri.
Sambil acungkan kendi merah di tangan kanannya dia tertawa cekikikan. Si Setan Ngompol
buru-buru tekap bagian bawah perutnya sambil berusaha menahan tawa. Tapi sia-sia.
Begitu tawanya meledak, di sebelah bawah dia kembali bocor! *
“Dia tertipu! Dia tertipu! Hik... hik... hik!” Sinto Gendeng tertawa cekikikan sambil
acungkan kendi; merah.
“Kiai gurumu itu pasti sudah mulai pikun! Apa dia tidak bisa membedakan bau
pesingnya air kencing dengan bau wanginya tuak murni? Ha... ha...ha...!” ujar si Setan
Ngompol lalu ikut-ikutan tertawa. Makin keras tawanya makin deras mengucur kencingnya.
“Dia percaya saja waktu kubilang kendi ini berisi air kencingku dan air kencingmu!
Padahal isinya tuak harum yang aku dapat dari kawanku si Dewa Tuak! Hik... hik.:. hik!”
“Serahkan kendi itu padaku Sinto! Tenggorokanku jadi kering karena tertawa terus!
Kau orang perempuan jangan banyak-banyak meneguk tuak. Bisa mandul! Ha... ha... ha...
ha!”
“Diriku memang sudah mandul sejak lahir! Hik... hik... hik!” menyahuti Sinto
Gendeng dan tertawa gelak-gelak. Tuak dalam kendi diteguknya satu kali. Walau cuma
minum satu teguk namun muka keriputan Sinto Gendeng langsung menjadi merah dan
tubuhnya bergetar sedang kedua matanya berkedap-kedip.
“Apa kataku!” ujar Setan Ngompol. “Tuak keras ini minuman lelaki. Bukan minuman
nenek-nenek sepertimu. Untung kau tidak sampai terangsang. Bisa-bisa aku kau tarik ke
balik pohon! Ha... ha... ha! Lekas kau serahkan padaku kendi itu! Aku perlu minum banyak
biar bisa ngompol banyak!”
“Enak saja kau bicara!” kata Sinto Gendeng merengut. Kendi tanah warna merah
diserahkannya pada si kakek. “Minum sepuasmu! Selamat menenggak tuak wangi! Selamat
ngompol! Hik... hik... hik!”
Setan Ngompol dongakkan kepala lalu mengucurkan tuak dalam kendi ke mulutnya
yang dibuka lebar-lebar. “Sialan! Baru kuteguk sedikit sudah habis!” Memaki Setan
Ngompol begitu tuak dalam kendi habis dan tak ada lagi yang mengucur ke dalam
tenggorokannya. Bibir kendi dijilatinya. Belum puas tiba-tiba kendi tanah itu diremasnya
hingga hancur. Lalu “krak... kruk... krak.... kruk!” Kepingan-kepingan pecahan kendi yang
masih dilekati sisa-sisa tuak itu dimasukkan ke dalam mulut, dikunyah seolah dia tengah
makan kerupuk!
Sinto Gendeng tertawa mengekeh melihat perbuatan si Setan Ngompol itu. Lalu
nenek sakti ini berseru. “Kalian berempat yang sembunyi lekas unjukkan diri! Urusanku
masih panjang! Jangan membuang waktu!”
Dari balik sebuah batu besar yang dikelilingi semak belukar terdengar suara kaleng
rombeng berkerontang bising membuat telinga berdenyut sakit. Air di pinggiran telaga
tampak beriak dan membentuk gelombang-gelombang kecil. Sesaat kemudian muncul sosok
seorang kakek berpakaian compang-camping penuh tambalan. Di pundaknya ada sebuah
buntalan butut. Tangan kiri memegang tongkat yang ujungnya patah. Tangan kanan
memegang sebuah kaleng yang digoyang-goyangkan. Sepasang matanya berwarna putih.
“Ah panasnya siang ini! Caping yang hancur belum kuganti! Sialnya nasib tua bangka
ini!”
Kakek buta yang membuat suara berisik ini adalah Kakek Segala Tahu salah seorang
dedengkot rimba persilatan. Dia keluar dari balik batu digandeng seorang pemuda
berpakaian hijau dan memakai anting-anting emas di salah satu telinganya. Dia bukan lain
Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo. Di belakang ke dua Orang ini menyusul gadis
berwajah cantik mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya panjang tergerai dan
sepasang matanya yang berwarna biru menambah pesona kecantikan parasnya. Dialah Ratu
Duyung. Lalu di belakang Ratu Duyung sambil garuk-garuk kepala melangkah pemuda
gondrong yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Begitu empat orang tersebut berada di hadapan Sinto Gendeng dan Setan Ngompol,
si nenek segera berkata.
“Aku dan Setan Ngompol akan menyusup masuk ke dalam telaga. Kuharap kalian
berempat tetap menunggu di sini.” Lalu Sinto Gendeng berpaling pada Ratu Duyung.
“Kami perlu bantuanmu sekali lagi. Memberikan sirap kekuatan agar bisa berada lama di
bawah air. Aku khawatir sirap yang kau berikan sebelumnya pada kami berdua tidak
berlangsung lama. Bisa-bisa kami kakek nenek jelek ini menemui ajal di dasar telaga! Hik...
hik... hik!”
Seperti diketahui Ratu Duyung dikenal sebagai salah satu penguasa kawasan laut
selatan. Dia memiliki kemampuan untuk berenang, menyelam atau berada di dalam air laut
dalam waktu tidak terbatas.
“Saya akan lakukan Nek,” jawab Ratu Duyung. “Tapi daya sirap itu hanya
berkekuatan setengah hari. Jadi kau dan kakek ini paling lama hanya bisa bertahan sampai lewat tengah malam nanti.”
“Itu pun sudah cukup,” menjawab Setan Ngompol seraya kedip-kedipkan matanya
dan usap bagian bawah perutnya menahan kencing.
Ratu Duyung melangkah mendekati Sinto Gendeng lalu dari belakang gadis ini peluk
si nenek. Matanya dipejamkan. Dalam hati dia merapal sesuatu. Mulut Sinto Gendeng
berkomat-kamit ketika dia merasakan ada hawa aneh memasuki tubuhnya. Selesai menyirap
si nenek dengan kekuatan yang membuatnya mampu masuk ke dalam air untuk jangka
waktu lama maka Ratu Duyung mendekati Setan Ngompol.
Belum apa-apa kakek berkuping luar biasa lebar dan bermata jereng ini sudah
tertawa cekikikan sambil memegangi bagian bawah perutnya dengan kedua tangan.
“Aku tak sanggup menahan geli. Aku tak sanggup menahan kencing...!” katanya,
berulang kali. Begitu Ratu Duyung memeluknya dari belakang kakek ini tertawa keras.
Sekujur tubuhnya bergeletar dan “Ssrrr.... Ssrrrr.” Pakaiannya basah kuyup di sebelah
bawah.
“Aku mencium bau pesing! Siapa yang beser! Kau Sinto?!” Bertanya Kakek Segala
Tahu lalu goyangkan kaleng rombengnya dua kali.
“Enak saja kau bicara! Bukan aku! Tapi kakek jelek yang tubuhnya tak punya
saringan lagi ini!” jawab Sinto Gendeng merengut.
Sebelum pakaiannya ikut terciprat basah Ratu Duyung sudahi pelukannya yang
memberi sirap kekuatan pada Setan Ngompol.
Tiba-tiba Pendekar 212 maju mendekati Ratu Duyung. “Ratu, aku ingin menemani
dua orang tua ini ke dasar telaga. Harap kau suka memberikan ilmu kuat menyelam itu
padaku....”
“Anak setan! Jangan kau kira aku tidak tahu apa maksudmu!” Sinto Gendeng
membentak. “Sebenarnya kau cuma ingin dipeluk gadis cantik ini, bukan?!”
Wiro garuk-garuk kepala. “Maksudku bukan begitu Nek. Aku....”
“Kau dan Kakek Segala Tahu serta pemuda satu ini tetap berada di sini. Berjaga-
jaga!” Berkata Setan Ngompol.
“Aku tak mungkin berlama-lama di sini. Aku perlu pergi ke satu tempat menemui
seseorang,” ujar Kakek Segala Tahu. “Tapi sebelum pergi, aku punya penglihatan. Ada
baiknya kalian mengajak serta anak muda bernama Panji ini.”
Sinto Gendeng mengerling pada Wiro dan Ratu Duyung. Lalu nenek ini mendekati
Kakek Segala Tahu dan menarik tangannya. Agak menjauh dari orang-orang itu Sinto
Gendeng berkata. “Apa maksudmu menyuruh pemuda itu ikut dengan kami. Agar muridku
anak setan itu bisa berdua-dua dengan Ratu Duyung?! Hemmm.... Jangan-jangan kau punya
rencana hendak mengatur jodoh muridku! Apa kau tidak tahu kalau anak setan itu
kuinginkan kawin dengan Anggini, murid Dewa Tuak?”
Kakek Segala Tahu tertawa lebar. Setelah kerontangkan kalengnya dia berkata. “Aku
bukan mak comblang, tukang menjodohkan orang. Soal jodoh ada di tangan Yang Kuasa.
Maumu muridmu kawin dengan Anggini. Tapi apa mereka suka satu sama lain? Aku bilang
aku hanya melihat sesuatu. Tapi tidak bisa mengatakan panjang lebar pada kalian. Aku
cuma menyarankan agar kalian membawa serta pemuda itu.”
“Sinto sebaiknya turuti anjurannya, mungkin kita memerlukan bantuan pemuda ini
kelak....”
“Jangan dengarkan kata-kata tua bangka itu. Dia merasa maha segala tahu.... Ayo
ikuti aku!”
Tapi mendadak Ratu Duyung melangkah ke belakang Panji dan memeluk pemuda ini, memberikan sirapan kekuatan untuk masuk ke dalam air. Selesai menyirap sang Ratu
berkata. “Aku tahu kau punya kekuatan alam untuk berenang dan menyelam lama dan jauh
ke dalam laut. Tapi Telaga Gajahmungkur bukan telaga biasa....”
“Terima kasih Ratu. Kau mau memberikan kekuatan hebat padaku,” jawab Panji.
“Sebelumnya aku memang telah masuk ke dalam telaga. Tapi tak sanggup bertahan lama....”
Kakek Segala Tahu kembali kerontangkan kalengnya lalu berkata pada Sinto
Gendeng. “Sinto, aku siap pergi sekarang. Tapi jangan lupa pesanku tempo hari. Pada bulan
purnama empat belas hari nanti, kita berkumpul lagi di tempat ini!”
Sinto Gendeng menggumam lalu anggukkan kepala.
“Apakah kau tidak mengundang diriku serta?” Si Setan Ngompol bertanya.
“Orang sepertimu buat apa diundang. Hanya akan membuat buruk suasana. Tukang
ngompol. Membuat bau pesing menebar di mana-mana!” jawab Kakek Segala Tahu sambil
tersenyum pertanda sebenarnya dia juga menginginkan orang tua aneh itu ikut hadir pada
malam yang ditentukan.
Si Setan Ngompol tertawa gelak-gelak hingga kembali dia terkencing. “Orang tidak
mengundang. Betapa jeleknya nasibku. Padahal pada malam bulan purnama justru
kencingku banyak sekali! Ha... ha...ha!”
Kakek Segala Tahu usap-usap rambutnya yang putih.
“Kalian bertiga tunggu apa lagi?!” ujar si kakek. Setelah mengguncang kaleng
rombengnya dua kali maka dia pun berkelebat pergi.
Sinto Gendeng sesaat tegak termangu. Dia melirik pada Ratu Duyung lalu seolah tak
perduli lagi nenek ini melompat masuk ke dalam telaga. Setan Ngompol menyusul. Panji
memandang dulu pada Wiro dan Ratu Duyung baru ikut menceburkan diri ke dalam Telaga
Gajahmungkur.
*
* *
SEPULUH
Sebelum melanjutkan bagaimana kejadian Puti Andini yang ditelan naga betina raksasa
serta apa yang bakal dilakukan Sinto Gendeng bersama rombongannya di Telaga
Gajahmungkur, kita kembali dulu ke Lembah Merpati.
Di atas sebuah pohon besar berdaun rindang, tampak menyelinap seorang nenek
berambut putih digulung di atas kepala. Dia mengenakan sebuah mantel berwarna hitam.
Sepasang matanya memandang tak berkesip ke arah lembah di mana saat itu ada seorang
lelaki berusia sekitar 60 tahun yang duduk menjelepok di atas gundukan tanah berumput.
Dia seolah tidak memperdulikan keadaan di Lembah Merpati itu. Tidak perduli dengan
burung-burung merpati yang berterbangan atau hinggap di sekitarnya. Seolah tidak
mendengar suara binatang itu bersahut-sahutan satu sama lain. Dia hanya melihat sesuatu
kekosongan di kejauhan.
Nenek di atas pohon yang bukan lain adalah Sabai Nan Rancak masih terus
memperhatikan lelaki berambut putih itu. Dalam hati si nenek muncul berbagai tanya dan
duga. “Hari perjanjian dan pertemuan saat ini agaknya bakal tidak beres lagi. Tempat ini
telah kedahuluan didatangi orang. Siapa adanya kakek berambut putih itu. Wajahnya sayu,sikapnya acuh. Aku melihat dia beberapa kali mengusap matanya yang cekung. Dia seperti
menangis.... Kurasa bukan satu kebetulan dia berada di tempat ini. Mungkin ini termasuk
apa yang diatur orang bercadar kuning itu? Mungkin seseorang yang juga ada sangkut
pautnya dengan rahasia besar kehidupan diriku, Sukat Tandika dan Iblis Pemalu serta orang
bercadar itu? Tapi hemmm.... Aku ingat. Waktu bertemu di sini dua hari lalu orang bercadar
itu mengatakan bahwa orang yang tidak datang itu adalah Puti Andini, cucuku sendiri.”
Sabai Nan Rancak terus perhatikan lelaki di lembah. “Hemmm, pakaian hijau berenda
benang emas yang dikenakan orang itu. Aku pernah melihat orang lain mengenakan
pakaian serupa itu. Aku tak bisa mengingat. Otakku penuh dibuncah oleh berbagai
persoalan gila? Apalagi baru saja aku menyirap kabar bahwa Sutan Alam Rajo Di Langit
lenyap dari Gunung Singgalang. Dikabarkan dia tengah menyeberang ke tanah Jawa Ini.
Gerangan apa yang membuatnya datang ke sini. Tentu ada satu perkara besar. Jangan-
jangan dia pergi ke.... Ah! Makin buncah kepalaku! Lelaki di lembah itu. Siapa dia adanya.
Daripada merusak rencana pertemuan dengan Iblis Pemalu dan orang bercadar lebih baik
orang ini aku usir lebih dulu!” Memikir sampai di situ Sabai Nan Rancak segera melayang
turun dari atas pohon dan tegak tiga langkah tepat di hadapan orang tua berambut putih.
Walau ada orang muncul dengan sangat tiba-tiba, apalagi melayang turun dari atas
pohon, membuat burung-burung merpati berterbangan tapi lelaki berpakaian bagus hijau
yang duduk menjelepok di tanah tidak terkejut atau bergerak sedikit pun. Sepasang
matanya masih memandang kosong ke arah kejauhan seolah menembus sosok tubuh Sabai
Nan Rancak yang berdiri di hadapannya. Dari matanya yang cekung menggelinding, tetesan
air mata ke pipinya yang pucat.
“Aku yakin orang ini tidak buta dan juga tidak tuli! Adalah aneh dia menganggap
seolah aku tidak ada di depannya!” Sabai Nan Rancak merasa heran walau dalam hati dia
juga merasa geram.
“Rambut putih berpakaian hijau! Siapa kau! Ada keperluan apa berada di Lembah
Merpati ini!” Sabai Nan Rancak membentak dengan suara keras dan garang. Hardikannya
ini membuat puluhan ekor burung merpati yang ada di sekitar situ melompat terkejut lalu
terbang ke udara. Tapi anehnya, orang yang duduk di atas gundukan tanah berumput tetap
saja tidak bergerak, tidak berkesip apalagi membuka mulut memberikan jawaban.
Putuslah kesabaran Sabai Nan Rancak. Nenek ini angkat kaki kanannya, siap untuk
menendang. Yang diarahnya adalah bagian pinggang orang berpakaian hijau. Tapi setengah
jalan tendangannya melesat tiba-tiba orang yang duduk di tanah itu angkat tangan kirinya.
Satu gelombang angin bergetar di udara membuat kaki kanan Sabai Nan Rancak seolah
ditahan satu benda sangat lembut tapi memiliki kekuatan dahsyat hingga tendangannya tak
bisa diteruskan. Perlahan-lahan kakinya terdorong dan kembali ke tempat semula, tegak
mendampingi kaki kiri!
Kini terbelalaklah Sabai Nan Rancak. Bersamaan dengan rasa terkejutnya maka
kecurigaannya bertambah besar. “Astaga! Orang ini memiliki ilmu kapas putih. Kekuatan
yang sanggup meredam kekerasan secara lembut tanpa menciderai lawan! Dia dari
golongan putih. Tapi jelas dia punya maksud dan tujuan tertentu berada di lembah ini!”
Di hadapannya orang itu tiba-tiba memasukkan tangan kanannya ke balik pakaian
hijaunya yang gombrong. Ternyata dari balik pakaian itu dia mengeluarkan sebuah tempat
sirih terbuat dari emas yang memantulkan cahaya berkilau-kilau terkena, sinar matahari
pagi.
“Dia memiliki tempat sirih terbuat dari emas. Jangan-jangan orang ini seorang
hartawan kaya raya atau bangsawan terkemuka. Mungkin pula seorang Tumenggung. Tapi mengapa tampaknya pandir-pandir saja dan seperti kurang ingatan!” Kembali Sabai Nan
Rancak membathin.
Di dalam tempat sirih itu terdapat tujuh helai daun sirih yang masih segar. Sejumput
tembakau yang menebar bau harum, segumpal kapur putih serta dua bongkah pinang.
Dengan tenang orang ini mengambil dua lembar daun sirih, menjumput secuil tembakau,
memecah pinang dan mengambil secuil kapur lalu mulai meramu sirih.
Semua itu dilakukannya dengan kepala diarahkan ke depan, sepasang mata tetap
memandang kosong dan jauh. Sambil meramu sirih orang ini berkata dengan suara perlahan
tapi sangat jelas sampainya ke telinga Sabai Nan Rancak.
“Hidup penuh teka-teki. Sengaja aku meninggalkan pulau. Melanggar segala
pantangan dan larangan. Hanya untuk mencari anak yang pergi. Entah masih hidup entah
sudah mati. Kalau sudah mati dimana kuburnya. Kalau masih hidup dimana tersesatnya....”
Orang itu hentikan ucapannya. Daun sirih dilipatnya dua kali berturut-turut.
Kening keriput Sabai Nan Rancak tampak tambah keriput. Mendadak saja dadanya
berdebar dan hatinya jadi penuh dengan segala tanya.
“Orang tak dikenal. Pulau apa yang kau tinggalkan. Pantangan dan larangan apa
yang kau langgar! Siapa anak yang kau cari! Harap kau suka menjawab pertanyaanku.
Kalau tidak menjawab terpaksa aku mengusirmu dari sini saat ini juga! Kalau tidak mau
pergi, aku tidak ragu menurunkan tangan keras. Jangan mengira ilmu kapas putih yang kau
miliki bisa kau andalkan terlalu banyak! Aku tahu kelemahan ilmu itu!”
Orang yang duduk menjelepok di tanah membuat lipatan terakhir pada daun sirih
yang diramunya. Selesai meramu sirih, tempat sirih yang terbuat dari emas itu
dimasukkannya kembali ke dalam pakaian hijaunya yang gombrang. Semula Sabai mengira
orang ini akan segera menyuapkan sirih ke dalam mulut. Ternyata sirih yang sudah dilipat
itu disisipkannya di atas daun telinganya sebelah kiri!
“Orang gila macam apa pula manusia satu ini! Meramu sirih tapi hanya diselipkan di
atas kuping!” membathin Sabai Nan Rancak. Lalu dia membentak. “Kau belum menjawab
pertanyaanku!”
“Orang bertanya aku pantas menjawab. Karena setiap pertanyaan mustahil tak ada
jawabannya. Pulauku adalah pulau Sipatoka. Pulau yang sudah dilupakan orang. Dilupakan
karena tak ada yang mau mengingat. Pantang dan larangan yang kulanggar adalah pantang
dan larangan seorang pimpinan meninggalkan pulau dan rakyat. Anak yang kucari adalah
sang putera mahkota. Disebut dengan nama Datuk Pangeran Rajo Mudo. Pergi menurut
kehendak sendiri. Terbujuk oleh dorongan darah muda. Padahal dunia penuh tantangan
dan petaka. Padahal ilmu hanya panjang sedepa...”
Sepasang mata Sabai Nan Rancak mendadak membesar dan memancarkan sinar
aneh. Mulutnya terkancing rapat. Tapi gemuruh di dadanya bertambah keras. Hatinya
kembali berkata. Cara bicara orang ini hampir sama dengari orang bercadar kuning itu.
Mungkin sekali ada hubungan antara mereka satu sama lain? Aku tak pernah mendengar
ada pulau bernama Sipatoka. Apalagi kerajaan Sipatoka. Dulu memang ada seorang
bernama Datuk Sipatoka. Tapi sudah lama mati. Dia mengaku mencari anaknya yang putera
mahkota? Memangnya apakah dia ini seorang raja?!”
“Orang yang tegak di depanku. Melihat sikap dan cara bicaramu. Mendengar tutur
ucapmu serta melihat air mukamu, kau pastilah seorang pandai bijaksana, luas pengalaman
luas pengetahuan. Apakah kau bisa menolong diriku? Mungkin kau pernah mendengar
nama anakku. Mungkin juga kau tahu di mana dia berada?”
Sabai Nan Rancak menggeleng perlahan. “Aku tak pernah mendengar nama puteramu itu. Aku juga tidak tahu di mana dia berada.”
“Ah, sayang.... Sungguh sayang. Mungkin jiwanya sudah melayang, mungkin aku
akan pulang berhampa tangan. Tapi rasanya lebih baik ikut mati daripada pulang
sendirian.” Orang itu menghela nafas dalam beberapa kali sementara air mata makin banyak
jatuh ke pipinya.
“Kau sudah memberikan banyak keterangan. Tapi satu hai belum kau katakan. Siapa
namamu?” Bertanya Sabai Nan Rancak.
“Aku Rajo Tuo penguasa Kerajaan Sipatoka. Hanya itu yang bisa kuberitahu
padamu....”
“Baik, aku tidak memaksa. Kalau kau tak mau bicara lagi harap kau suka
meninggalkan Lembah Merpati ini, Dan jangan berani mendekati tempat ini lagi! Silahkan
pergi!”
“Ah.... Begini rupanya nasib diri. Belum dapat apa yang dicari sudah disuruh pergi.
Tapi aku tak akan meninggalkan Lembah Merpati. Agar kau senang biar aku hanya beranjak
sedikit saja dari sini!”
Habis berkata begitu lelaki berambut putih berpakaian hijau bagus ini perlahan-lahan
berdiri. Dia melangkah ke arah pohon di mana tadi Sabai Nan Rancak berada. Sesaat dia
dongakkan kepala memandang ke atas. Dua kakinya kemudian digeser-geserkan secara
aneh ke tanah. Dari mulutnya melesat suara suitan nyaring. Saat itu juga tubuhnya melesat
ke udara dan sesaat kemudian dia sudah tegak di cabang pohon.
Sabai Nan Rancak yang memperhatikan apa yang dilakukan orang dalam herannya
kembali membathin. “Tadi waktu dia mengeluarkan ilmu kapas putih menahan
tendanganku, dia sama sekali bukan mengandalkan tenaga dalam. Barusan waktu melesat
ke atas pohon dia juga tidak mengandalkan tenaga dalam atau ilmu meringankan tubuh.
Orang ini memiliki ilmu aneh. ada satu kekuatan gaib dalam dirinya!”
Sabai memandang berkeliling sebentar. “Heran, mengapa Iblis Pemalu dan orang
bercadar itu masih belum datang?” Lalu kembali dia memandang ke atas pohon.
“Orang di atas pohon. Karena pohon ini masih dalam kawasan Lembah Merpati dan
aku tak suka kau berada di lembah maka harap kau segera turun dan pergi dari sini!” Sabai
Nan Rancak berteriak.
Mendengar teriakan si nenek, orang di atas pohon gesek-gesekkan telapak kakinya
yang tidak berkasut ke cabang pohon. Sesaat tubuhnya seolah mumbul ke atas namun di
lain kejap tubuh itu bergerak turun ke bawah. Dia sudah tegak di tanah lembah hanya
terpisah sepuluh langkah dari Sabai Nan Rancak.
“Aneh, ilmu apa yang dimiliki orang ini. Bisa naik turun seperti itu...” pikir si nenek.
Lalu karena dilihatnya orang masih belum pergi dari tempat itu maka. dia kembali
membentak. “Jangan kau menguji kesabaranku. Aku tidak ada ganjalan apa-apa untuk
mencelakai dirimu! Lekas angkat kaki dari sini. Atau kau minta kusingkirkan dengan cara
mengeluarkan rohmu lebih dulu dari tubuh!”
Orang yang diancam sepertinya tidak perduli dan tidak takut dengan ancaman Sabai
Nan Rancak. Dia menjawab dengan suara perlahan dan tenang.
“Walau aku datang dari pulau terpencil, tapi aku tahu lembah ini adalah tanah
Tuhan. Semua milik Tuhan adalah milik dan diperuntukkan ummatNya juga. Karena itu
jangan kau merasa punya hak untuk mengusir diriku dari sini....”
“Hemmm.... Rupanya kau pandai juga bicara memakai dalih dan membawa nama
Tuhan segala! Apakah Tuhanmu akan menolongmu jika saat ini aku memecahkan
kepalamu?!” Bentak Sabai Nan Rancak.“Setiap orang wajib mengingat Tuhan di mana dan dalam keadaan bagaimana pun
juga! Karena itu jangan kau bersikap takabur dan berhati sombong!
Kau hendak memecahkan kepalaku Tuhan tak akan melarang. Tapi apakah kau tahu
bahwa Tuhan bisa berang?”
Sabai Nan Rancak yang telah kehabisan kesabarannya melompat ke depan. Tangan
kanannya dipukulkan ke batok kepala orang. Yang diserang tetap tegak tak bergerak. Malah
dia menatap seperti tadi ke arah si nenek yaitu jauh dan kosong. Melihat sikap orang yang
seolah menganggap enteng diri dan serangannya Sabai Nan Rancak menjadi tambah garang.
Kalau tadi dia hanya mengerahkan sedikit saja tenaga dalamnya maka kini dia menyalurkan
hampir separuh kesaktian yang dimilikinya.
Sejengkal lagi gebukan Sabai Nan Rancak akan memecahkan kening orang berambut
putih itu, tiba-tiba ada satu gelombang kekuatan aneh keluar dari kepalanya. Membuat
tangan kanan si nenek terpental.
“Jahanam! Ilmu apa yang dimiliki keparat ini!” maki Sabai dalam hati. Kembali dia
menghantam. Kali ini dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam. Agaknya sekali ini
pukulan maut itu benar-benar akan memecahkan kepala orang dan merenggut nyawanya.
Tetapi luar biasanya orang yang diserang malah dengan tenang mengambil sirih yang
terselip di telinga kirinya lalu memasukkan sirih itu ke mulut dan perlahan-lahan mulai
mengunyah.
“Jahanam kurang ajar! Dia benar-benar menganggap enteng diriku!” Maki Sabai Nan
Rancak. Tangan kanannya diayun semakin kencang.
Ketika pukulan hanya tinggal setengah jengkal dari kepala tiba-tiba terdengar pekik
Sabai Nan Rancak. Kini bukan saja tangan kanannya yang terpental tapi tubuhnya ikut
sempoyongan.- Kalau tidak cepat dia mengimbangi diri pasti akan jatuh terhantar di tanah!
“Kekerasan tidak akan memecahkan persoalan. Mengapa ingin membunuh orang
hanya karena merasa seolah kau menguasai seluruh lembah? Di dunia manusia tidak bisa
hidup sendiri. Antara satu sama lain ada saling ikatan. Mungkin tali persahabatan. Mungkin
jalur ikatan darah. Mungkin juga hubungan budi baik....”
“Jangan bersyair di depanku!” teriak Sabai Nan Rancak marah sekali. Nenek ini
melompat berdiri. Dari jarak enam langkah dia pukulkan tangan kanannya. Selarik sinar
merah berkiblat ke arah orang berambut putih.
Sekali ini orang yang diserang tidak bisa setenang tadi lagi. Wajahnya jelas
memperlihatkan rasa kejut yang amat sangat. Pucat pasi. Dari mulutnya terdengar seruan.
“Pukulan sakti Kipas Neraka!” Orang itu tersurut mundur sampai beberapa langkah.
Agaknya dia menyadari bagaimanapun tingginya ilmu yang. dimilikinya tak bakal sanggup
menghadapi pukulan Kipas Neraka. Selain itu sebenarnya ada satu hal yang membuat orang
ini tercekat karena adanya satu dugaan berat dalam hatinya membuat dadanya bergemuruh.
Walau terkejut mendengar orang mengetahui dan menyebut nama pukulan saktinya
tapi Sabai Nan Rancak terus saja menghantam. Sebelum larikan sinar merah angker itu
mengembang lebar membentuk kipas tiba-tiba satu seruan keras menggema di seantero
Lembah Merpati.
“Nek! Jangan bunuh orang itu! Kau bakal malu seumur-umur! Tahan Nek! Biar
urusan terang dulu! Jangan bertindak memalukan!”
Saat itu si nenek sedang geram setengah mati. Walau dia mengenali suara Iblis
Pemalu tapi tetap saja dia teruskan serangan Kipas Nerakanya.
Tiba-tiba dari samping ada satu bayangan kuning berkelebat. Tubuh Sabai Nan
Rancak terdorong. Sinar merah Kipas Neraka berkiblat tapi kini melesat ke arah langit terbuka, menghantam udara kosong walau sempat menghancurkan dan membakar cabang-
cabang pohon yang terserempet.
Sabai Nan Rancak menjerit keras saking tak dapat menahan luapan amarah yang
seolah membakar dirinya. Dia melompat dan berpaling ke samping sambil siap melancarkan
serangan Kipas Neraka sekali lagi. Tapi ketika dia memandang ke depan hatinya mendadak
menjadi kecut.
*
* *
SEBELAS
Lima langkah dari hadapan Sabai Nan Rancak berlutut di tanah sosok tubuh
berpakaian dan bercadar kuning. Tangan kanannya diulurkan demikian rupa dengan
telapak terpentang diarahkan pada si nenek.
“Pukulan pemunah Kipas Neraka....” Desis Sabai Nan Rancak. Hatinya kecut karena
sebelumnya orang bercadar itu beberapa kali berhasil meredam pukulan saktinya. Si nenek
ingat pada Mantel Sakti yang dikenakannya. “Kalau dia sanggup menahan pukulan Kipas
Nerakaku, jangan harap dia mampu menghadapi Mantel Sakti ini. Kalau masih belum
mempan akan kuhantam sekalian dengan Mutiara Setan!” Lalu si nenek membuat gerakan
membuka mantel yang dikenakannya.
“Kekerasan tidak bisa mencari jalan penyelesaian. Membunuh tidak akan
mendatangkan keuntungan. Manusia hanya akan mendapat penyesalan. Urusan besar
belum sempat diteruskan. Rahasia belum sempat disingkapkan. Mengapa tidak mau
menahan hati. Padahal bukankah kita semua ingin mencari keselamatan diri?!”
Sabai Nan Rancak ingin sekali mendamprat marah. Namun ada rasa mengalah
muncul di lubuk hatinya. Dia urungkan membuka Mantel Sakti. Sesaat dia melirik pada Iblis
Pemalu yang tegak di samping si cadar kuning.
“Kalian telah datang. Apa yang yang sudah diatur bisa segera dibicarakan. Tapi aku
tidak suka manusia satu ini berada di Lembah Merpati. Jika kau tak ingin aku mengusirnya
maka harap kalian berdua segera melemparkannya ke luar lembah!”
“Memalukan! Itu cara dan tindakan memalukan! Nenek tua, aku tidak akan
melakukan apa yang kau katakan!”
“Perduli setan denganmu!” maki Sabai Nan Rancak walau dengan suara perlahan.
Dia berpaling pada si cadar kuning yang saat itu telah tegak dari berlututnya. “Bagaimana
dengan kau? Kau juga tidak mau melakukan apa yang aku katakan?!”
Orang bercadar gelengkan kepala. “Orang berpakaian hijau yang hendak kau
singkirkan itu justru adalah salah satu orang yang aku minta datang ke Lembah Merpati
ini.”
“Tapi bukankah kau dulu menyebut orang lain itu adalah Dewi Payung Tujuh, Puti
Andini...” ujar Sabai Nan Rancak tidak mengerti.
“Tidak salah. Namun keadaan berubah. Ada perkembangan baru. Yang perlu diikuti
dan dicari tahu....”
“Kepalaku bisa pecah dengan segala urusan gila penuh teka-teki ini! Katakan siapaadanya orang ini!” ucap Sabai Nan Rancak hampir berteriak.
“Dia salah satu tokoh penting dalam urusan kita. Tanpa dia sulit membuka segala
rahasia. Kita bersyukur bahwa dia muncul di tanah Jawa. Seolah ini semua memang
kehendak Yang Kuasa. Kami bertemu tak sengaja satu hari yang lalu dengannya. Sesuai
petunjuk maka kami mengundangnya ke lembah.” Menerangkan orang bercadar.
“Kalau memang kalian yang menyuruhnya datang ke sini aku tidak akan membuat
perkara. Tapi dia sengaja merahasiakan diri. Itu sebabnya aku menaruh curiga....”
“Nenek, harap kau tidak marah, kecewa ataupun curiga. Dia bersikap seperti itu
karena aku yang meminta. Jangan sampai salah berkata. Sebelum kami berdua tiba di
lembah....”
“Hemmmm....” Si nenek hanya bisa bergumam mendengar kata-kata si cadar kuning.
“Sesuai perjanjian kita sudah berkumpul di tempat ini. Apalagi yang ditunggu. Apakah
persoalan segera bisa dibicarakan?”
Si cadar kuning berpaling pada Iblis Pemalu. Orang ini anggukkan kepalanya.
Sepasang matanya yang terlihat di sela-sela jari dua tangan yang menutupi wajahnya sesaat
tampak memancarkan sinar aneh. Sikapnya tidak dapat menyembunyikan rasa tegang.
Orang bercadar melirik ke arah lelaki berpakaian hijau mengaku bernama Rajo Tuo
penguasa pulau Sipatoka yang nampak tegak dengan sikap tenang walau sebenarnya
perasaannya sendiri saat itu campur aduk sulit dikatakan.
“Iblis Pemalu, apakah kau sudah siap melakukan apa yang kita rencanakan?” tanya si
cadar kuning pada Iblis Pemalu. “Rahasia besar yang hendak kita ungkapkan jalurnya
bermula dari dirimu. Kalau kau merasa malu maka rahasia akan tetap tertutup awan
kelabu....”
Iblis Pemalu anggukkan kepala.
“Kalau kau sudah setuju bersudi diri harap segera lakukan rencana suci...” kata orang
bercadar pula.
Sabai Nan Rancak yang tidak tahu apa sebenarnya yang telah diatur oleh orang
bercadar dan Iblis Pemalu berseru ketika dilihatnya Iblis Pemalu hendak melangkah ke arah
pohon besar yang dikelilingi semak belukar lebat.
“Tunggu dulu! Mengapa persoalan tidak dimulai dengan mencari tahu siapa
sebenarnya orang berpakaian hijau yang mengaku seorang raja dari pulau Sipatoka ini!”
“Tidak sulit mengikuti apa maumu. Tapi kami berdua telah mengatur rencana agar
persoalan tidak rincu. Jika kau tidak sepakat maka rahasia lama akan terungkap....”
Sabai Nan Rancak terdiam sesaat. Akhirnya dia berkata. “Terserah padamulah. Aku
hanya mengikut saja. Tapi aku ingatkan semua yang ada di tempat ini. Berlakulah jujur,
jangan berbuat culas dan menipu dalam seribu teka-teki hidup ini!”
“Buang rasa curiga. Jauhkan sikap mendua. Kejujuran adalah sifat budi yang paling
tinggi. Kebenaran adalah kaidah hidup yang paling suci....” Si cadar kuning goyangkan
kepalanya ke arah Iblis Pemalu.
Iblis Pemalu meneruskan langkahnya menuju ke balik pohon besar dan semak
belukar. Saat demi saat berlalu. Lembah Merpati diselimuti kesunyian. Sesekali terdengar
gemerisik dedaunan yang bergeser oleh tiupan angin. Sesekali terdengar suara menggeru
burung merpati atau suara kepakan binatang itu sewaktu melayang terbang.
Orang berbaju hijau tampak berdiri diam dan tenang. Si cadar kuning memandang ke
arah timur. Berusaha menahan gelora hatinya yang membuat dadanya berdebar keras.
Hanya Sabai Nan Rancak yang kelihatan gelisah. Nenek ini melangkah mundar-mandir.
Hatinya bicara sendiri. “Apa yang dilakukan Iblis Pemalu pergi ke balik pohon itu,mendekam di sana berlama-lama. Aku ingat peristiwa waktu di pantai dulu. Aku seolah
merasa....”
Terdengar suara semak belukar bergemerisik. Sabai Nan Rancak yang pertama sekali
memalingkan kepala. Disusul oleh Rajo Tuo dan si cadar kuning.
Dari balik pohon yang dikelilingi semak belukar lebat melangkah keluar seorang
perempuan berusia sekitar lima puluhan. Sebagian rambutnya yang disanggul di atas kepala
berwarna kelabu. Walau berusia setengah abad tapi wajahnya ayu sekali. Di ujung alisnya
sebelah kiri ada sebuah tahi lalat kecil. Kulitnya kuning langsat. Dia mengenakan pakaian
ringkas warna biru muda. Walau dia melangkah tenang namun dari air mukanya jelas
perempuan ini berusaha menekan perasaan yang menggelora dalam dirinya. Orang ini
melangkah dan berdiri di samping si cadar kuning, menghadap ke arah Rajo Tuo dan Sabai
Nan Rancak. Di tangan kanannya dia memegang buntalan pakaian hitam lusuh serta
segulung benda tipis aneh yang ujungnya ada rambut palsunya; Orang ini mencampakkan
pakaian dan gulungan benda tipis itu ke tanah. Sesaat Sabai Nan Rancak perhatikan benda
itu dengan mata membelalak. Lalu diangkatnya kepalanya seraya berkata pada si cadar
kuning. Suaranya agak bergetar tanda perasaannya kembali bergejolak.
“Tidak pernah kulihat orang ini sebelumnya. Apa dia Iblis Pemalu yang tadi...? Jadi
selama ini dia melakukan penyamaran. Berupa seorang pemuda aneh yang selalu menutupi
wajah dengan dua tangan. Ternyata dia adalah seorang perempuan berusia setengah abadi
Cadar kuning lekas kau terangkan siapa orang ini adanya!”
“Puluhan tahun dia hidup dalam penyamaran. Puluhan tahun dia hidup memendam
kegetiran. Puluhan tahun dia menunjukkan sikap aneh seolah kurang ingatan. Rahasia diri
dan perjalanan hidupnya selanjutnya biar dia sendiri yang memberi keterangan.” Jawab si
cadar kuning seraya berpaling pada orang yang tegak di sampingnya.
Ketika perempuan itu membuka mulut ternyata suaranya berbeda sekali dengan
suara Iblis Pemalu. Sesuai keadaan dirinya suaranya kini benar-benar terdengar sebagai
suara perempuan.
“Maafkan keadaan diriku. Selama puluhan tahun aku harus hidup bukan sebagai
diriku sendiri. Selama berbulan-bulan aku terpaksa hidup dengan menyandang sifat aneh
bahkan tidak salah kalau dikatakan sebagai orang kurang waras. Hati ini sebenarnya sudah
letih menyamar diri memalsu sikap dan sifat. Namun satu tuntutan besar meminta aku
berlaku seperti itu. Hari ini aku bersyukur pada Tuhan bahwa aku bisa lepas dari semua
penyamaran itu. Sekitar lima puluh tahun lalu aku dilahirkan di kaki Gunung Singgalang
dari rahim seorang perempuan hasil hubungannya dengan seorang kekasih. Ketika aku
keluar dari perut ibu dan muncul di perut bumi, ibuku jatuh pingsan. Ternyata kemudian di
dalam kandungan ibuku masih ada satu bayi lagi, yakni adik kembarku. Dukun yang
menolong melahirkan berjuang mati-matian untuk dapat mengeluarkan adik kembarku
sementara ibuku masih berada dalam keadaan pingsan.... Mungkin sudah ada yang
mengatur bahwa begitu diriku lahir maka aku akan diserahkan pada seseorang karena
konon baik ayah maupun ibuku merasa malu telah melahirkan seorang anak tanpa jalinan
hubungan perkawinan. Tapi ternyata setelah aku masih ada satu bayi lagi dalam perut
ibuku yakni adik kembarku tadi. Sejak aku masih bayi merah aku sudah dipisahkan dengan
adikku oleh satu riwayat hidup yang mungkin sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa bagi
kami berdua.
Masih belum bernama, dan mungkin juga wajahku tidak sempat dilihat oleh ibuku
sendiri, apalagi ayahku maka aku dibawa orang ke satu tempat yang sangat jauh, dipelihara
Oleh sepasang suami istri yang hanya punya satu anak lelaki dan sangat menginginkan
seorang anak perempuan. Aku diberi nama Bululani. Adapun anak lelaki kakak angkatku
bernama Bululawang, tujuh tahun lebih tua dariku. Sebagai kakak adik walau tidak sedarah
sedaging kami hidup rukun di bawah naungan kasih sayang orang tua kami berdua....”
Sampai di situ perempuan berambut kelabu yang menyamar sebagai Iblis Pemalu dan
sebenarnya bernama Bululani ini hentikan penuturannya. Kedua matanya dipejamkan. Dia
berusaha menahan gejolak dalam dirinya tapi tak dapat. Air mata meleleh keluar dari sudut-
sudut matanya yang dipejamkan.
“Perasaan yang keluar disertai air mata adalah perasaan paling suci dari seorang anak
manusia. Tapi jangan sampai hati naik ke kepala. Jangan sampai perasaan mempengaruhi
pikiran. Kuatkan hatimu Bululani. Teruskan penuturanmu....”
Mendengar ucapan orang bercadar, Bululani, perempuan berpakaian ringkas biru
muda itu seka ke dua matanya. Sementara itu Sabai Nan Rancak tegak tertunduk. Dalam
hati dia berkata. “Perempuan itu menuturkan riwayat dirinya. Namun rasa-rasanya ada
sangkut paut dengan diriku. Siapa ayah dan ibunya...?”
Si nenek tak sempat berpikir lebih panjang karena saat itu Bululani telah mulai
meneruskan keterangan menyangkut rahasia dirinya.
*
* *
DUA BELAS
Dalam kehidupan kami, orang tua kami tidak membedakan antara aku dengan anak
kandungnya. Kami diberikan pendidikan agama yang cukup. Juga berbagai ilmu
pengetahuan termasuk ilmu silat serta kesaktian. Beberapa waktu lalu, dalam usia
yang sebenarnya tidak muda lagi kakakku Bululawang melakukan perjalanan ke berbagai
daerah. Malang tak dapat ditolak, di satu tempat dia tewas menjadi korban pembunuhan. Si
pembunuh seperti kabar yang sampai kepadaku adalah seorang pendekar muda bernama
Wiro Sableng. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Untuk menuntut balas aku bersikeras meninggalkan rumah guna mencari pembunuh
kakakku. Kedua orang tua angkatku melarang. Sebenarnya mereka merasa kasihan padaku
karena sampai usiaku lanjut aku masih belum mendapatkan pasangan hidup.
Sesungguhnya banyak pemuda yang suka padaku, tapi entah mengapa aku seperti tidak
berkeinginan untuk berumah tangga. Walau ayah dan ibuku melarang habis-habisan tapi
aku tak bisa ditahan lagi. Suatu malam secara diam-diam aku meninggalkan rumah.
Sebenarnya ada satu hal yang membuat mengapa aku menjadi nekad. Beberapa bulan
sebelum Bululawang dibunuh, seseorang memberitahu bahwa aku ini sebenarnya adalah
anak pungut atau anak angkat. Jadi bukan anak kandung. Semula ingin kutanyakan
kebenaran hal itu pada kedua orang tuaku. Namun aku takut mereka tersinggung, atau
sedih, atau mungkin juga marah. Maka kebenaran hal itu akhirnya kutanyakan pada
Bululawang. Mula-mula dia mengatakan bahwa hal itu adalah dusta dan fitnah belaka.
Akari tetapi sebelum dia pergi, Bululawang sempat bicara denganku. Dia mengatakan
bahwa aku memang adalah anak angkat. Namun orang tuanya tidak menganggap diriku
sebagai anak angkat. Mereka menganggap aku sama dengan Bululawang yaitu sebagai anak
kandungnya sendiri. Bululawang juga berkata begitu. Aku baginya adalah adik kandung sedarah sedaging yang sangat disayanginya.
Begitulah, memang aku ingin meninggalkan rumah untuk mencari pembunuh
Bululawang. Tapi sekaligus aku juga ingin mencari tahu siapa adanya ke dua orang tuaku.
Dimana mereka berada. Apa masih hidup. Kalau sudah meninggal dimana kubur mereka.
Sebelum hal itu jelas, bagiku merupakan satu rahasia hidup yang sangat menekan batinku.
(Mengenai siapa adanya Bululawang harap, baca serial Wiro Sableng berjudul Dendam
Manusia Paku)
Untuk memudahkan diriku dalam perjalanan aku menyamar sebagai Iblis Pemalu.
Bersikap aneh seolah-olah gila dan menutupi wajah serta tanganku dengan lapisan kulit.
Dalam penyelidikan aku bertemu dengan beberapa tokoh rimba persilatan. Antaranya
Pengiring Mayat Muka Hijau, seorang nenek bernama Sika Sure Jelantik dan seorang kakek
bermata memberojol besar bernama Datuk Gadang Mentari. Belakangan aku ketahui mereka
bertiga bukanlah orang baik-baik. Pengiring Mayat Muka Hijau adalah tangan kanan Datuk
Lembah Akhirat yang membunuh dan mengadu domba sesama tokoh silat golongan putih.
Datuk Gadang Mentari kudengar kabar adalah kaki tangan seorang sakti dari Gunung
Singgalang yang punya urusan dengan murid Dewa Tuak. Katanya adiknya yang bernama
Datuk Mangkuto Kamang dibunuh oleh Anggini, murid Dewa Tuak. Belakangan aku
ketahui bahwa hal itu hanyalah fitnah orang sakti di puncak Singgalang itu yang untuk
tujuan tertentu sengaja menghasut Datuk Gadang Mentari agar bentrokan dengan Dewa
Tuak.
Lalu mengenai nenek bernama Sika Sure Jelantik itu, belakangan kuketahui pula
bahwa dia adalah salah seorang kekasih ayahku di masa muda dan malah sampai saat ini
berusaha mencari ayahku .untuk membunuhnya guna melampiaskan dendam kesumatnya.
Si nenek itu kabarnya pernah menyamar jadi seorang dukun dan diam di sebuah pulau
kerajaan bernama Sipatoka....”
Orang berpakaian hijau yang sejak tadi berdiri tenang mendengar penuturan Iblis
Pemalu alias Bululani tersentak sampai kepalanya terdongak ke atas.
“Perempuan bernama Bululani...” kata orang itu dengan suara bergetar. “Dukun tua
yang kau sebutkan itu apakah dia yang pernah memakai nama Dukun Sakti Langit
Takambang?”
Bululani berpaling ke arah si baju hijau. Sesaat pandangannya tampak sayu. Lalu
perlahan-lahan dia anggukkan kepala. “Betul Rajo Tuo.... Dukun Sakti Langit Takambang
berada di pulaumu. Menyamar menjadi dukun sakti kepercayaanmu karena sebenarnya dia
mengincar sebuah benda sakti mandraguna....”
“Maksudmu....”
“Rajo Tuo, harap kau tidak menyebut dulu nama barang itu. Karena akan merusak
jalannya penuturan Bululani. Harap kau bersabar dulu. Agar semua nanti bisa menahan
diri.”
Sampai di situ Sabai Nan Rancak yang sejak tadi berdiam diri membuka mulut.
“Orang bercadar dan kau perempuan bernama Bululani. Agaknya ada sesuatu yang sengaja
kalian rahasiakan terhadap diriku! Aku tidak suka cara kalian ini!”
“Rahasia di dalam rahasia. Kalau untuk manfaat bersama. Mengapa tidak ditunda
sesaat saja. Agar kita semua tidak kecewa. Semua akan segera nyata. Masalahnya hanya
menunggu waktu yang tepat saja...” jawab orang bercadar dengan gaya bahasanya yang
selalu berpantun.
“Baik! Aku bisa bersabar tapi tidak terlalu lama.” Jawab Sabai Nan Rancak. “Sekarang
aku ingin tahu siapa nama ayah dan ibu yang melahirkanmu! Harap kau segera menjawab pertanyaanku Bululani!”
“Ketika aku dibawa pergi, aku masih bayi. Aku tidak pernah tahu nama ayan dan ibu
kandungku. Kedua orang tua angkatku juga tidak pernah memberitahu. Mungkin mereka
juga tidak tahu...” menjelaskan Bululani.
“Ini adalah aneh,” kata Sabai Nan Rancak dengan wajah berkerut. “Kalau begitu
siapa yang memberitahu semua cerita yang barusan kau tuturkan itu!”
Bululani memandang ke arah orang bercadar.
“Biar aku yang menjawab,” kata si cadar kuning pula. “Apa yang dituturkan Bululani
adalah sahih dan benar adanya. Dia tidak berbohong tidak pula berdusta. Cerita itu
didengarnya langsung dari seorang tokoh sakti di pulau Andalas. Kelak pada saatnya kita
akan menemui orang itu. Tidak akan lama lagi kebenaran rahasia itu akan segera kita
ketahui....”
“Walah!” Sabai Nan Rancak goleng-goleng kepala. “Bukankah kita berkumpul di sini
untuk Mengungkapkan segala rahasia yang ada. Sekarang mengapa malah menambah
rahasia?”
“Harap kau mau bersabar Nek. Ini adalah atas permintaan tokoh silat sakti dari
Andalas itu. Kalau semua disingkapkan sekarang mungkin banyak hal yang akan terabai.
Paling tidak kau nanti akan menanyakan bukti. Padahal menurut pesan semua kejelasan
akan dikatakan sendiri oleh tokoh itu....”
Sabai Nan Rancak keluarkan suara seperti menggerendeng. “aku kenal semua tokoh
silat di Pulau Andalas. Katakan saja aku pasti tahu....”
Bululani menggeleng, “Harap maafmu Nek. Biar aku lanjutkan penuturanku....”
Walau tidak senang tapi Sabai Nan Rancak diam saja. Maka Bululani meneruskan
keterangannya. “Walau aku tahu Datuk Gadang Mentari, si nenek Sika Sure Jelantik dan
Pengiring Mayat Muka Hijau bukan manusia-manusia baik, tapi aku membutuhkan mereka
untuk mencari keterangan dimana adanya Pendekar 212 Wiro Sableng yang telah
membunuh kakakku Bululawang. Di satu lembah batu kami akhirnya menemukan pemuda
itu yang kebetulan berada bersama Anggini, gadis yang tengah dicari-cari Datuk Gadang
Mentari.
Tapi justru saat itu pula aku mendapat penjelasan bahwa sesungguhnya kakakku
Bululawang menemui ajal karena ada sangkut paut dengan kejahatan yang dilakukan oleh
Dewi Ular. Dikatakan bahwa kakakku menemui ajal di tangan seorang pemuda bernama
Sandaka berjuluk Manusia Paku.
Sebelum persoalan menjadi lebih jelas suasana di lembah batu kacau balau karena
seorang pemuda bernama Panji yang jadi lawan Pendekar 212 melarikan sebuah kain berisi
peta penunjuk tempat disembunyikannya Pedang Naga Suci 212.
Sementara rimba persilatan bertambah kacau akibat lenyapnya banyak tokoh silat
golongan putih yang ternyata diculik dan dibawa ke Lembah Akhirat, aku beberapa kali
bertemu dengan orang bercadar kuning ini. Semula aku menganggapnya sebagai musuh
yang punya maksud jahat. Namun dalam beberapa pertemuan aku melihat dia banyak tahu
tentang riwayatku. Maka diam-diam aku juga menyelidiki. Pada pertemuan terakhir kami
berdua menyadari bahwa sesungguhnya antara kami berdua ada hubungan darah yang
sangat dekat. Mungkin dia adalah adik kembarku yang selama puluhan tahun tak pernah
kutemukan. Kukatakan mungkin karena kebenaran hal ini harus dibuktikan dengan
petunjuk oleh tokoh silat utama dari Pulau Andalas itu....”
“Hemm...” Sabai Nan Rancak bergumam. “Orang bercadar, jadi kau sebenarnya
adalah seorang perempuan yang selama ini bersembunyi dibalik baju dan cadar kuningmu.Usiamu tentu sama dengan usia Bululani. Sekitar setengah abad....” Si nenek berpaling pada
Bululani lalu berkata. “Jika kau sudah tahu orang bercadar ini adalah saudara kembarmu,
apakah kau sudah tahu siapa namanya?”
“Dia belum mau memberi tahu,” jawab Bululani.
“Berarti dia melakukan kecurangan. Sengaja menyembunyikan sesuatu!” tukas Sabai
Nan Rancak. Nenek satu ini kembali menjadi geram.
“Aku tidak melakukan kecurangan. Tidak pula menyembunyikan sesuatu. Aku
hanya menunda keterangan. Sesuai petunjuk tokoh yang memberitahu. Biar kejelasan
terucap keluar dari mulut orang bukan dariku. Karena diri ini juga tersangkut dalam rahasia
yang satu.”
Saking kesalnya Sabai Nan Rancak bantingkan kaki kanannya ke tanah hingga
Lembah Merpati terasa bergetar. Burung-burung beterbangan dan di tanah yang bekas
dihantam bantingan kaki tadi kelihatan satu lobang besar.
Walau kesal kelihatan namun Sabai Nan Rancak diam-diam merasa lega juga. Tadi
dia menduga bahwa jangan-jangan ibu Iblis Pemalu atau Bululani adalah dirinya sendiri.
Tapi setelah mengetahui bahwa perempuan itu melahirkan sepasang bayi kembar sedang
dia hanya melahirkan seorang bayi saja, maka berarti bukan dirinya yang dimaksudkan
dalam penuturan Bululani.
“Orang berbaju hijau sekarang giliranmu!”
Si baju hijau yang tegak sambil mengunyah sirih terkejut mendengar kata-kata
Bululani itu.
“Giliranku apa? Apa maksudmu?” Dia balik bertanya.
“Rajo Tuo,” kini si cadar kuning yang bicara. “Orang yang mengaku saudara
kembarku ini telah menceritakan riwayat dirinya. Sekarang giliranmu untuk menuturkan
riwayat dirimu. Bukankah kau meninggalkan tempat kediamanmu karena mencari
puteramu? Harap kau menuturkan mulai dari perkawinanmu dengan ibu anakmu itu. Siapa
nama istrimu dan bagaimana kau sampai berada di tempat ini....”
Orang berbaju hijau sesaat hanya tegak berdiam diri. Lalu dia menyembur
mengeluarkan sirih yang dikunyahnya.
“Aku sudah menceritakan padamu. Sudah menceritakan semua.”
“Padaku, tapi tidak pada nenek ini. Dan hanya sedikit pada saudaraku ini.”
Orang itu memandang dulu pada Sabai Nan Rancak. Lalu dia mulai dengan
penuturannya.
“Aku kawin ketika berusia dua puluh enam tahun dan istriku delapan belas. Aku
tidak tahu asal-usul istriku. Jangankan diriku, istriku sendiri boleh dikatakan tidak tahu
siapa ayah ibunya. Menurut dia ibunya meninggalkan dirinya sejak dia masih kecil. Dia
dipelihara oleh satu keluarga miskin yang tak punya anak. Mereka tinggal di satu gubuk
kecil, terpencil di kaki gunung Singgalang. Setahun setelah kawin istriku melahirkan
seorang bayi perempuan. Keadaannya yang sakit-sakitan ditambah ketidakmampuannya
merawat anak yang masih kecil membuat aku menjadi marah. Dia lalu minggat
meninggalkan diriku. Sampai saat ini aku tidak pernah mendengar kabar tentang dirinya.
Apa masih hidup atau sudah meninggal....”
Orang bercadar melirik pada Sabai Nan Rancak. Dilihatnya si nenek tegak tak
bergerak. Kepalanya tertunduk memandangi rerumputan yang tumbuh di tempat itu.
“Rajo Tuo,” menegur orang bercadar. “Bagian terakhir dari ceritamu adalah palsu
dan dusta! Aku pernah mengatakan hal itu padamu dalam pertemuan kita sebelumnya.
Mengapa kau masih berani bicara dusta?”
Wajah Rajo Tuo tampak berubah. Orang ini sesaat menatap jauh ke depan. Lalu
tenggorokannya turun naik dan suara sesenggukan keluar dari mulutnya. '
“Semua salahku.... Semua memang salahku...” katanya setengah meratap sambil
menutup wajahnya.
“Pertemuan ini bukan untuk mendengar ratap tangismu! Harap kau suka bicara
mengulang cerita. Hanya kejujuran yang akan membebaskan diri dari tekanan bathin yang
menghimpit dirimu!” ujar orang bercadar memperingatkan.
Rajo Tuo hapus air matanya. Dia coba menguatkan hati. Lalu mengulangi kembali
sebagian ceritanya tadi.
*
* *
TIGA BELAS
Maafkan diriku.... Tadi memang ada ceritaku yang tidak benar. Aku terlalu takut
menghadapi hukuman Tuhan. Namun agaknya aku tak mungkin lari dari
kenyataan. Aku juga mengerti bahwa hanya dengan kenyataanlah rahasia besar
yang menyangkut diri kita semua bisa diungkapkan. Tadi aku ceritakan setelah melahirkan
istriku selalu sakit-sakitan. Dia memang sakit tapi bukan sakit jasmani melainkan lebih
banyak akibat tekanan bathin karena ulahku. Aku sering meninggalkannya. Terkadang
sampai berbulan-bulan. Perbuatanku yang semena-mena itu kulakukan karena aku telah
terpikat pada seorang gadis yang diam di sebuah pulau, bernama pulau Sipatoka. Si gadis
adalah puteri penguasa pulau yang telah menganggap pulau itu sebagai satu kerajaan kecil.
Suatu saat penguasa pulau itu jatuh sakit. Sebelum meninggal dia minta aku mengawini
puterinya, sekaligus menyerahkan tahta kerajaan Sipatoka padaku. Sejak aku kawin dan
tinggal di pulau aku tak pernah menjenguk anak istriku. Satu ketika aku mengutus
seseorang untuk pergi ke kaki Singgalang guna menyelidiki keadaan anak istriku. Ternyata
gubuk kediaman mereka kosong. Menurut satu-satunya tetangga ada seorang bernama
Malin, mengaku sebagai suruhan, suatu hari datang lalu membawa pergi anak istriku. Aku
masih berusaha terus menyelidiki dan mencari orang bernama Malin itu. Tapi di Andalas
ada ratusan orang bernama Malin. Anak dan istriku tak pernah kutemukan lagi sampai saat
ini.... Tak bisa kupastikan apa mereka masih hidup atau sudah meninggal. Kalau anakku itu
masih hidup tentu dia sekarang telah menjadi seorang gadis. Aku kemudian mengarang
cerita bahwa istriku telah meninggal dunia karena sakit-sakitan. Ah... aku menyesal.
Perbuatan di masa muda hanya menimbulkan derita sengsara di masa tua.... Bagaimana aku
menebus segala dosa.” Orang berbaju hijau itu tundukkan kepala dengan wajah amat sedih.
“Ceritamu sudah benar, tapi ada yang belum kau jelaskan. Sebagai seorang Rajo Tua
dari kerajaan pulau Sipatoka kau tentunya punya nama. Istrimu tentu juga punya nama dan
anak kalian juga tentu punya nama.... Mengapa tidak kau jelaskan siapa-siapa nama
mereka?”
Rajo Tuo angkat kepalanya sedikit. Sejurus dia menatap pada orang bercadar lalu
melirik pada si nenek. Ada getaran-getaran aneh tiba-tiba dirasakan lelaki berusia 60 tahun
ini. “Aku tidak tahu...” katanya dengan suara tersendat. “Apakah anakku itu masih
memakai nama yang pernah aku berikan padanya....” Rajo Tuo geleng-gelengkan kepala.
Mulutnya kembali terkancing. Air mata membasahi pipinya yang cekung.
“Jangan rahasia disimpan di dalam hati. Sebutkan nama agar kami semua tahu. T
ada lagi gunanya segala sembunyi. Ini saat paling baik untuk memberitahu.”
“Aku.... Aku memberi nama anak itu Puti Andini....”
Sabai Nan Rancak memekik keras. Mukanya yang penuh keriput kelihatan seputih
kertas. Dadanya berguncang hebat. Sepasang kakinya tersurut sampai tiga langkah. Tiba-
tiba nenek ini melompat ke hadapan Rajo Tuo. Membuat lelaki ini kini yang jadi tersurut
saking kagetnya.
“Kau mengatakan anakmu itu bernama Puti Andini! Jangan kau berani bicara dusta!”
teriak Sabai Nan Rancak.
“Aku.... Aku tidak bicara dusta. Puti Andini memang nama yang kuberikan pada
anakku sebelum dia dan ibunya kutinggal pergi!” jawab Rajo Tuo.
“Aku punya seorang cucu perempuan yang juga bernama Puti Andini! Apa ini satu
kebetulan nama sama. Atau.... Kubunuh kau jika berani mengarang cerita dusta!”
“Nenek, siapa kau ini sebenarnya hingga marah begini rupa terhadapku?” tanya Rajo
Tuo dengan wajah yang kini juga menjadi pucat.
“Nenek, harap kau bisa menahan diri dan perasaan. Biar Rajo Tuo menyelesaikan
ceritanya....”
“Tidak!” teriak Sabai Nan Rancak. “Aku harus tahu siapa namamu! Aku harus tahu
siapa gelarmu!”
Rajo Tuo tak mau menjawab melainkan memandang pada Iblis Pemalu alias Bululani,
lalu pada orang bercadar.
“Rajo Tuo, penuhi permintaannya. Katakan namamu...” kata orang bercadar pula.
“Namaku Sidi Kuniang....” Rajo Tuo mengatakan namanya.
“Sidi Kuniang...” mengulang Sabai Nan Rancak dalam hati. “Tak aku kenal nama itu.
Tak pernah kudengar nama ini!” Si nenek berpaling pada orang bercadar lantas berkata,
“Aku tak kenal orang ini. Tak pernah mendengar namanya!”
“Rajo Tuo, orang tak kenal namamu. Mengapa tidak memberi tahu siapa gelarmu?”
Berkata si cadar kuning.
“Orang tuaku memberi aku gelar Datuk Paduko Intan...” kata orang berbaju hijau
dengan suara perlahan. Namun ucapan itu datangnya di telinga Sabai Nan Rancak laksana
petir menyambar.
Dia menjerit keras. Dari celah-celah antara kepala dan topi berkeluk yang
dikenakannya kelihatan kepulan asap pertanda dapat dibayangkan bagaimana marahnya si
nenek.
“Manusia jahanam! Laknat terkutuk! Jadi kau rupanya! Pembunuh anakku!
Penyengsara cucuku! Memang sudah lama kau kucari untuk kujadikan bangkai! Mampus
kau sekarang juga!”
Habis membentak begitu rupa Sabai Nan Rancak angkat kedua tangannya. Karena
dia mengalirkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimilikinya maka dua
lengannya berubah menjadi merah. Si nenek jelas siap untuk menghantam dengan pukulan
maut Kipas Neraka. Dua pukulan sekaligus!
“Nenek siapa kau adanya!” seru Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dengan wajah
ketakutan dan melangkah mundur menjauhi si nenek.
“Siapa aku nanti bisa kau tanyakan di neraka!” jawab Sabai Nan Rancak. Dua
lengannya ditarik ke belakang.
“Nek! Tahan! Jangan bunuh dia!” teriak Iblis Pemalu alias Bululani yang kini cara
bicaranya tidak lagi seperti dulu yakni selalu menyebut-nyebut malu atau memalukan.
Kedua wajahnya pun tidak lagi ditutupnya dengan dua telapak tangan.“Tunggu!” teriak orang bercadar. Dia cepat berkelebat ke hadapan Sabai Nan Rancak.
“Jangan cepat turuti tangan. Tanpa alasan....”
“Aku punya sejuta alasan untuk membunuhnya! Dia adalah menantu yang tak pantas
Kusebut sebagai menantu. Manusia laknat terkutuk! Menyia-nyiakan anakku, menyengsarakan
cucuku!”
“Kalau kau ingin membunuhnya itu soal gampang. Apalagi kalau kau punya alasan
segudang. Tapi kejelasan perlu diungkap. Apa benar dia si menantu laknat....”
“Apa ada sepuluh Datuk Paduko Intan di dunia ini?!” sahut Sabai Nan Rancak pula.
“Aku yakin seribu yakin inilah Datuk Paduko Intan manusia yang telah mencelakai anak
cucuku!”
“Harap kau suka bersabar barang sedikit. Agar perbuatan keliru tidak membawa
sesal penyakit. Biar aku tanyakan beberapa hal padanya. Kalau dia menjawab tanpa dusta.
Maka semua akan jelas dan nyata....” Si cadar kuning memegang lengan Sabai Nan Rancak.
Semula si nenek hendak menyentakkan tangannya yang dipegang malah hendak
mendorong si cadar kuning dengan tangannya yang lain. Namun dia tercekat ketika melihat
sepasang mata bening orang bercadar basah oleh air mata. Gerakannya ditahannya dan dia
hanya mengikut saja ketika dibawa ke samping menjauhi Rajo Tuo Datuk Paduko Intan.
“Kita berada di sini bukan untuk saling membunuh. Menyingkap rahasia hidup adalah lebih
utama dari kematian. Jangan memecah buluh. Kalau miangnya akan meracun tubuh!”
Setelah yakin bahwa Sabai Nan Rancak tidak akan menyerang maka si cadar kuning
berpaling pada orang berpakaian hijau. “Rajo Tuo Datuk Paduko Intan....” Suara si cadar
kuning terdengar aneh di telinga Sabai Nan Rancak. Tidak lagi seperti suaranya sebelumnya.
“Agar jelas bagi kami semua. Agar tidak ada yang salah langkah. Harap kau sudi bicara.
Katakan siapa nama istrimu. Juga apakah kau masih ingat siapa nama mertuamu baik yang
lelaki ataupun yang perempuan....”
“Sudah kukatakan aku tidak tahu nama kedua mertuaku....”
Si cadar kuning gelengkan kepala. “Tidak Rajo Tuo. Aku yakin kau tahu siapa nama
kedua mertuamu. Bukankah kau pernah ditemui oleh seseorang yang datang membawa
sebuah benda. Benda itu harus kau sampaikan pada.... Aku yakin kau tahu tapi kau masih
berusaha menyembunyikan. Aku tak tahu apa kau punya tujuan....”
Rajo Tuo Datuk Paduko Intan kerenyitkan kening dan usap-usap dagunya sesaat.
Lama orang ini terdiam sebelum akhirnya dia berkata. “Orang yang datang menemuiku
membawa sebuah benda dalam satu kotak perak. Katanya benda itu harus aku serahkan
pada ibu mendiang istriku. Dia memang mengatakan siapa ibu mertuaku itu. Seorang nenek
bernama Sabai Nan Rancak. Aku juga diberitahu bahwa Sabai Nan Rancak tengah mencari
suaminya, ayah istriku, yang diketahuinya bergelar Tua Gila. Katanya lagi Sabai Nan
Rancak mencari Tua Gila untuk membunuh si kakek karena dendam kesumat urusan cinta
di masa muda!”
“Apa kataku! Apa kataku!” teriak Sabai Nan Rancak dengan tubuh tampak seperti
menggigil dan mata membeliak seolah mau melompat keluar dari rongganya. “Memang dia
jahanamnya! Memang manusia satu ini laknatnya! Aku tidak akan pernah mengakuinya
sebagai menantu! Keparat!”
Si cadar kuning angkat kedua tangannya. “Nek, aku masih ingin kau menunjukkan
kesabaran. Masih ada beberapa hal perlu kejelasan.... Rajo Tuo Datuk Paduko Intan, kau
tahu siapa nenek bermantel hitam yang tegak di hadapanmu ini?”
“A... aku tidak tahu. Tapi kini aku bisa menduga....”
“Apa dugaanmu Rajo Tuo?” Yang bertanya adalah Bululani.“Mungkin dia...dia adalah Sabai Nan Rancak, ibu istriku, ibu mertuaku!”
“Bukan mungkin! Tapi aku memang adalah Sabai Nan Rancak! Dan jangan kau
berani menyebut diriku sebagai ibu mertuamu! Jahanam keparat!”
“Rajo Tuo, satu hal lagi harus kau terangkan. Siapa nama istrimu gerangan.... Kalau
kau tidak tahu namanya. Tidak pula menyebutkannya. Maka semua . ceritamu tadi hanya
dusta belaka!”
“Andam Suri. Namanya Andam Suri....” Rajo Tuo Datuk Paduko Intan lalu tutup
wajahnya dengan dua tangan. Tenggorokannya turun naik. Tubuhnya berguncang-guncang
tanda dia berusaha keras untuk menahan tangis.
“Manusia jahanam! Kau bukan saja busuk jahat. Tapi juga pengecut! Kau berpura-
pura menangis agar orang berhiba hati. Apapun yang terjadi aku tetap akan membunuhmu!
Orang bercadar harap kau lekas menyingkir!”
“Nenek Sabai, tunggu dulu! Sebagian rahasia memang sudah tersingkap. Tapi harus
ada bukti agar dapat menentukan sikap!” kata si cadar kuning pula.
“Pertanyaanku pada orang ini belum selesai. Datuk Paduko Intan, kalau Andam Suri
benar istrimu, apakah kau tahu atau mungkin pernah menyirap kabar dimana dia berada
saat ini?”
Yang ditanya turunkan tangan. Wajahnya tampak kuyu sedih. Lalu dia gelengkan
kepala. “Aku tidak tahu di mana dia berada. Kalau memang masih hidup aku ingin sekali
menemuinya dan bersujud minta ampun....”
“Minta ampun! Huh! Alangkah enaknya!” hardik Sabat Nan Rancak. Dia maju dua
langkah tapi cepat dihalangi si cadar kuning.
“Nek, setiap manusia tidak terlepas dari kesalahan. Ukuran hukum atas diri
seseorang tidak hanya ditakar dari dosa dan kesalahannya belaka. Mungkin ada alasan
mengapa dia berbuat begitu. Mungkin ada rangkaian kejadian yang memaksa dirinya
melakukan sesuatu. Kita semua harus bertindak bijaksana. Sekali lagi aku meminta. Rahasia
memang sudah tersingkap. Tapi bukti perlu dilihat....”
“Bukti apa lagi?!” bentak Sabai Nan Rancak dengan mata membelalak.
“Bukti itu akan kita dapat dan ketahui pada hari empat belas bulan purnama
mendatang....”
“Aku ada urusan pada saat itu....”
“Hemmm.... Apakah terpikir olehmu bahwa urusanmu ada sangkut pautnya dengan
urusan kita semua. Bukankah seorang sakti berjuluk Kakek Segala Tahu yang memintamu
untuk datang ke satu tempat pada bulan purnama empat belas hari?”
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Sabai Nan Rancak.
“Banyak yang kau tahu. Tapi masih lebih banyak yang aku tidak tahu. Karena itu kita
akan bertemu lagi pada hari empat belas malam mendatang. Semua bukti harus dicocokkan.
Kalau semua bukti tepat. Maka akan gampang menyelesaikan silang sengketa lantai
terjungkat. Bisakah aku mengharapkan kesabaranmu lagi Nek? Menunggu sampai hari
empat belas, malam bulan purnama penuh?”
“Rasa-rasanya aku sudah tidak bisa menunggu. Tak ada lagi kesabaran dalam diriku!
Tapi sekali ini aku terpaksa mengalah...” kata Sabai Nan Rancak dengan suara datar.
“Orang mengalah bukan berarti kalah. Orang mengalah bukan berarti mencari susah.
Orang mengalah justru menunjukkan budi luhur dan tinggi. Orang mengalah justru akan
mencapai kemenangan pribadi.... aku sangat berterima kasih....”
“Kau boleh saja berkata begitu! Tapi aku punya beberapa pertanyaan untuk Raja geblek ini!”
“Silahkan kau bertanya....”
“Paduko Intan! Kau menuturkan ada orang datang padamu membawa sebuah kotak
perak. Orang itu meminta agar kau menyerahkan kotak tersebut pada seorang nenek
bernama Sabai Nan Rancak, yaitu diriku sendiri! Kau tahu apa isi kotak perak itu?”
“Sebuah kalung perak sakti bermata hijau bernama Kalung Permata Kejora....”
“Di mana kau simpan kalung itu sekarang?!” tanya Sabai Nan Rancak geregetan.
“Kuserahkan pada seseorang....”
“Kau serahkan pada seseorang?!” ujar si nenek dengan mata melotot. “Siapa
orangnya?”
“Seorang sahabat bernama Wiro Sableng,” jawab Rajo Tuo Datuk Paduko Intan.
(Seperti dituturkan dalam Episode pertama Tua Gila Dari Andalas kalung sakti itu
diserahkan Datuk Paduko Intan pada Tua Gila untuk diserahkan pada Sabai Nah Rancak.
Ketika Datuk Paduko Intan menanyakan namanya, seenaknya saja Tua Gila memberitahu
bahwa namanya adalah Wiro Sableng)
Sabai Nan Rancak sampai terlonjak mendengar jawaban Datuk Paduko Intan itu.
“Manusia celaka! Kau benar-benar jahanam! Kalung itu kau serahkan pada musuh
besar yang harus kubunuh!” Sabai Nan Rancak melangkah mondar-mandir sambil merepet
tak karuan dan banting-banting kaki.
“Kalian semua dengar! Aku harus pergi dari sini! Dan kau!” Si nenek menunjuk
tepat-tepat pada Datuk Paduko Intan. “Aku tidak ingin melihat tampangmu lagi! Sekali kau
muncul di hadapanku amblas nyawamu!”
“Nek, kau mau ke mana?” tanya Bululani.
“Lama-lama di sini aku bisa mati berdiri!” jawab Sabai Nan Rancak. “Jangan harap
aku akan memenuhi, permintaan kalian datang pada pertemuan di Telaga Gajahmungkur
pada hari empat belas malam bulan purnama!”
“Nek, jalan yang kau lalui hanya tinggal beberapa depa. Rahasia sudah terungkap
hampir semua. Justru hari empat belas malam bulan purnama adalah saat paling
menentukan. Apa salahnya kau menyempatkan diri mencari kebaikan....”
“Mencari kebaikan? Buktinya saat ini aku menemui seribu satu macam perkara
jahanam! Jangan harap aku akan datang!”
“Nenek Sabai, aku khawatir kau akan menyesal. Bukankah kau sangat ingin
menyingkap tabir di mana beradanya anakmu Andam Suri? Bukankah kau ingin
mendapatkan Kalung Permata Kejora? Bukankah banyak hal lagi yang sebenarnya ingin kau
ketahui...?”
“Kalian semua orang-orang gila. Urusan yang kalian hadapkan padaku sama gilanya
dengan diri kalian!”
“Kalau kau ingin pergi dan tak mau datang ke tempat pertemuan bagi kami tidak
menjadi apa. Tapi kau akan sangat kecewa. Apalagi kelak orang mungkin akan
menyalahkan dirimu. Karena semua urusan ini terjadi akibat ulahmu....”
“Manusia bercadar! Jaga mulutmu!” teriak Sabai Nan Rancak marah.
“Benar apa yang dikatakan orang. Sejak muda kau lebih mendahulukan hati daripada
pikiran. Kau menghujat kesalahan orang tanpa menyadari kesalahan sendiri. Bukankah
karena menuruti hawa amarah dan perasaan hati sendiri lima puluh tahun lalu kau sampai
tega meninggalkan bayi yang kau lahirkan. Bayi yang masih merah! Bahkan kau tak pernah
tahu kalau kau punya anak kembar! Kau hanya tahu bahwa anakmu hanya seorang yakni
Andam Suri! Sampai saat ini kau seolah patung tak punya perasaan, tak punya hati tak punya pikiran. Apa kau tidak sadar kalau perempuan bernama Bululani yang tegak di
hadapanmu ini adalah salah satu dari dua anakmu? Anak kandung darah dagingmu! Tapi
kau bertindak acuh seolah dia hanyalah batu! Binatang masih mempunyai rasa kasih sayang
terhadap anaknya. Apakah kau lebih nista dari binatang?! Kau hanya pandai melihat
kesalahan orang lain! Tapi buta mengukur kesalahan sendiri! Apa kau pernah sadar apa
yang telah kau lakukan setelah kau meninggalkan bayimu? Kau hanya mempermomok Tua
Gila pada semua orang. Kau sendiri tidak sadar dengan segala perbuatanmu! Kau telah
mengotori Gunung Singgalang dengan segala tingkah lakumu! Dalam lupa dirimu kau
sampai tidak tahu kalau dirimu telah diperalat orang untuk ikut mengadu domba antara
sesama tokoh golongan putih! Membunuh orang-orang tak bersalah! Jangan merasa dirimu
sebagai malaikat yang hendak membersihkan rimba persilatan. Kau jauh lebih kotor dari
Tua Gila!”
“Orang bercadar, apa maksudmu...?” tanya Sabai Nan Rancak dengan suara bergetar
dan muka putih seperti kain kafan.
“Tanyakan pada dirimu sendiri. Karena jawabnya ada dalam lubuk hatimu sendiri!”
jawab orang bercadar. Lalu dia memberi isyarat pada Bululani. Sekali berkelebat kedua
orang itu lenyap dari tempat itu.
Sabai Nan Rancak merasakan tubuhnya lemas. Lututnya gontai. Nenek ini jatuh
terduduk. Air mata meluncur deras di kedua pipinya. Dia memandang ke samping.
Ternyata Datuk Paduko Intan juga tak ada lagi di tempat itu.
“Ya Tuhan, apa sebenarnya yang tengah terjadi dengan diri tua rapuh ini...?” kata
Sabai Nan Rancak seraya gulingkan diri lalu menelungkup di atas rerumputan. Suara
tangisnya tenggelam seolah ditelan tanah.
Tiba-tiba dia bangkit terduduk. Memandang ke arah lenyapnya orang bercadar
kuning. “Aku membuat satu kesalahan besar. Mengapa aku tidak menanyakan siapa
sebenarnya orang berpakaian dan bercadar kuning itu....” Si nenek pukul-pukul keningnya
sendiri. Lalu kembali dia berbaring menelungkup dan menangis sejadi-jadinya.
“Tuhan...” kata suara hatinya meratap. “Kalau memang aku ini salah jalan. Kalau
memang aku ini orang berdosa, turunkanlah kutuk dan hukumanmu! Hancurkan tubuh tua
tak berguna ini!”
*
* *
EMPAT BELAS
Sabai Nan Rancak tidak tahu berapa lama dia menangis menelungkup di rumput seperti
itu. Dia baru hentikan tangis, usap kedua matanya ketika dia menyadari bahwa dia
tidak lagi seorang diri di Lembah Merpati itu.
Si nenek cepat bangkit dan duduk. Hanya tiga langkah di hadapannya dilihatnya
duduk seorang kakek berkepala botak, berpakaian putih lusuh. Kakek ini memandang ke
arahnya dengan pandangan dan sinar mata sayu.
“Aneh, walau aku tadi tenggelam dalam perasaan mengapa aku sampai tidak
mendengar suara langkah kakinya mendatangi. Dia tahu-tahu muncul seolah burung yang
melayang terbang lalu hinggap tanpa suara! Aku tak kenal si botak ini. Agaknya dia memiliki kepandaian tinggi.”
“Apakah kehadiranku mengejutkan dirimu?” Kakek botak menegur. Dia tersenyum
walau senyuman ini tidak dapat memupus air mukanya yang sayu.
“Kau bukan saja mengejutkan! Tapi juga kurang ajar! Berani mendekati perempuan di
tempat sepi seperti ini. Padahal kita tidak saling kenal!”
Kakek botak bermuka sayu kembali tersenyum. “Lembah ini memang sepi dan indah
sekali. Itu sebabnya aku tertarik datang ke sini. Tapi aku lebih tertarik setelah melihat dirimu
yang tergolek di rumput, menangis sedih dalam keadaan menelungkup. Memang hanya kita
berdua di tempat ini dan kita tidak saling kenal. Tapi apakah ada dan masihkah tua bangka
seperti kita ini mau melakukan yang bukan-bukan walau hanya kita berdua saja yang ada di
tempat ini? Maafkan kalau aku telah mengejutkan dirimu. Di tempat sepi begini berteman
adalah lebih baik daripada seorang diri. Walau tidak tahu pangkal sebabnya tapi aku ikut
hiba mendengar tangismu tadi. Nenek bertopi seperti tanduk kuda, menurut penglihatanku
kau pasti datang dari jauh, dari tanah seberang. Jauh-jauh datang ke sini lalu menangis ini
adalah satu hal yang ingin aku ketahui....”
“Hemmmm.... Ternyata selain kurang ajar kau juga lancangi” semprot Sabai Nan
Rancak.
“Lancang bagaimana maksudmu Nek?”
“Kita tidak saling kenali Kau datang diam-diam secara kurang ajar. Kini hendak
mencampuri urusan orang! Bukankah itu namanya lancang?!”
Si kakek usap-usap kepalanya yang botak. “Menurutmu lancang. Tapi menurutku
lain lagi. Karena maksudku bertanya hanyalah dengan niat menolong semata. Siapa tahu,
walau tidak kenal aku bisa membantu melepaskan dirimu dari kesedihan yang tengah kau
hadapi....”
“Sedih? Siapa bilang aku sedih?!”
“Orang menangis biasanya karena sedih, Bukankah begitu?” ujar si kakek pula.
“Tidak selamanya!”
“Ah, bagaimana kau bisa berkata begitu?”
“Karena aku menangis bukan sebab musabab sedih. Aku menangis karena ingin mati!
Kau tadi bilang ingin menolongku! Nah bisakah kau membantuku! Membunuh diri tua
bangka keropos ini sampai mati?!”
Kakek botak ternganga lalu geleng-gelengkan kepala. “Kau ini ada-ada saja Nek. Tapi
kau tahu, aku suka berbincang-bincang dengan orang seperti m u ini. Mungkin kita bisa
membagi pengalaman....”
“Sayang, aku justru tidak suka bicara denganmu! Apalagi membagi pengalaman!”
kata Sabai Nan Rancak.
“Kalau begitu dengan berat hati aku terpaksa pergi meminta diri. Namun sebelum
pergi maukah kau mendengar beberapa bait nyanyianku...?”
“Ah, rupanya kau adalah seorang kakek pengamen. Maaf saja. Bicaramu saja
suaramu tidak enak, apalagi menyanyi!”
Si kakek botak tertawa lebar. “Suaraku memang tidak sedap didengar. Jangankan
manusia, tikus pun akan lari mendengar suaraku. Tapi jangan suara yang jadi jaminan.
Cobalah kau simak bait-bait dalam nyanyianku. Mungkin bisa sedikit memberi kelegaan di
lubuk hatimu....”
Lalu tanpa perduli apakah orang suka atau tidak si kakek dongakkan kepala
memandang ke langit di atas Lembah Merpati dan mulai melantunkan nyanyiannya.
Jauh berjalan banyak nan dilihat
Lama hidup banyak nan dirasa
Salah jalan bisa tersesat
Salah hidup bisa celaka
Lama hidup banyak nan dirasa
Segala suka segala duka
Kalau duka berlebihan dari suka
Pertanda diri akan binasa
Salah jalan bisa tersesat
Mengapa tidak kembali ke pangkal jalan
Salah hidup bisa celaka
Mengapa tidak mencari letaknya salah
“Tua bangka botak gila! Aku tak suka mendengar nyanyianmu! Lekas menyingkir
dari hadapanku!” membentak Sabai Nan Rancak.
Tapi seolah tidak mendengar ucapan orang, kakek botak terus saja menyanyi.
Kalau dendam membakar hati
Kalau dendam membakar pikiran
Kasih indah di masa muda seolah api
Membakar asmara menjadi ajang kematian
Apakah itu maunya manusia?
Kalau hati berselimut dendam
Kalau darah dibakar amarah
Lautan cinta menjadi padang maut
Padang asmara menjadi neraka kematian
Bisakah kesalahan ditumpahkan pada hanya satu
insan?
Tidakkah ada lagi kasih sayang di hati manusia
Tidakkah ada lagi seberkas cahaya kenangan indah
Tidakkah ada lagi kenangan indahnya asmara di hati
insan
Apakah hidup hanya dibatasi garis bara api antara
yang benar dan yang salah
Antara yang sengsara dan yang sesat
Kalau kematian memang sudah menjadi niat
Kalau malaikat maut memang sudah terpanggil
Lalu manusia bertindak sebagai pencabut nyawa diri
sendiri dan nyawa orang lain
Alangkah sedihnya nasib dunia
Tangis dan air mata bukan lagi penyejuk hati Ratap minta pengampunan bukan lagi pelebur
amarah
Desah kesedihan tidak lagi dorongan untuk me-
nanyai diri sendiri
Manusia hanya bisa melihat jauh pada diri orang lain
Seolah tidak mampu melihat dekat pada diri sendiri
Manusia ingin melihat kegelapan
Padahal dalam dirinya ada cahaya terang
Mengkaji lubuk hati
Sama hikmahnya dengan menyingkap rahasia diri
Datanglah dendam
Datanglah salah sangka
Datanglah maut
Datanglah kematian
Dekap tubuh tua penuh dosa erat-erat dalam
pelukanmu yang paling ganas Kematian datangnya
hanya sekejap Sengsara tetap berbekas sampai kiamat
Apakah manusia lupa bahwa Tuhan selalu membuka
pintu tobat?
Orang tua berkepala botak itu batuk-batuk beberapa kali. Dia seperti tercekik.
“Ah suaraku memang tidak sedap didengar! Aku jadi malu sendiri! Maafkan
kelakuanku yang tidak mengenakkan. Aku minta diri....”
Kakek ini membungkuk lalu putar tubuhnya.
“Tunggu!” seru Sabai Nan Rancak. Sepasang matanya memperhatikan orang di
hadapannya mulai dari kepala sampai ke kaki.
“Siapa kau sebenarnya...?” tanya si nenek.
“Kau tak suka padaku. Perlu apa tahu namaku...?”
“Nyanyianmu itu.... Apa maksudmu dengan nyanyian tadi?”
“Ah, nyanyian hanya sekedar paduan kata-kata yang dikeluarkan secara berirama.
Kalau suaraku tidak sedap harap maafkan. Kalau aku hanya mengganggumu harap
maafkan. Kalau bait-bait dalam nyanyianku menyinggung perasaanmu aku juga minta maaf
beribu maaf.”
“Tidak bisa! Aku ingin tanya! Tahu apa kau tentang diriku?!”
“Seperti katamu bukankah kita sebelumnya tidak saling kenal? Jadi apa yang bisa
kukatakan tentang dirimu? Sekali lagi harap maafkan diriku!”
Kakek botak itu kembali membungkuk. Lalu berkelebat ke arah lembah sebelah barat.
Sabai Nan Rancak tegak termangu-mangu. Dari mulutnya meluncur kata-kata. “Suaranya
tidak sama. Wajahnya tidak serupa. Tapi mengapa hatiku menaruh syak wasangka...? Ah
sudahlah! Lebih baik aku juga pergi dari sini! Tapi aku mau pergi ke mana...?”
Sabai Nan Rancak memandang berkeliling. Saat itu hanya berada seorang diri di
Lembah Merpati yang sunyi dia merasa betapa sepi dan terpencilnya dirinya di dunia ini.
Tak terasa air mata meluncur jatuh ke atas pipinya yang keriput. Tiba-tiba saja si nenek
teringat pada cucunya. “Puti Andini... di mana kau berada Nak....” Si nenek memandang
lagi berkeliling. Dia menarik nafas berulang kali. “Aku harus mencari cucuku itu....”
TAMAT
Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-blogspot.com
Episode berikutnya :
WASIAT MALAIKAT
Hak cipta dan copyright milik Alm. Bastian Tito
Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek dibawah nomor 004245
“Mengenang Alm. Bastian Tito”
Pengarang Wiro Sableng
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
0 comments:
Posting Komentar