SATU
DALAM serial sebelumnya berjudul “Selir Pamungkas”
diceritakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah berha–
sil menyusupkan kekuatan gaib jahat ke dalam diri
Empu Semirang Biru. Ketika itu sang Empu berada di
dalam Ruang Segi Tiga Nyawa menjaga Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi yang menancap di langit-langit ruangan. Dia
juga tengah menunggu kedatangan para sahabat muda
yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng, Kunti Ambiri, Ratu
Randang, Sakuntaladewi serta Jaka Pesolek. Jalan pikiran
Empu Semirang Biru telah dikuasai dan dikendalikan oleh
Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Dia diperintah untuk
menyiasati agar mendapatkan Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi dan ternyata memang berhasil.
Setelah mendapatkan senjata sakti mandraguna yang
dibuatnya sendiri di Gunung Bismo itu, sang Empu keluar
dari Ruang Segi Tiga Nyawa melalui lobang di lantai
ruangan yang disebut Terowongan Arwah yang dibuat oleh
Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Karena pikiran sehatnya tidak bisa bekerja di samping
siasat licik Ratu Randang, Empu Semirang Biru tidak
menyadari kalau keris yang dibawanya adalah keris palsu.
Keris diserahkan pada Sinuhun Merah Penghisap Arwah di
dalam sebuah goa di balik air terjun. Di tempat itu hadir
pula Ksatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari,
Sinuhun Muda Ghama Karadipa serta bocah sakti Dirga
Purana yang datang sambil gandeng Ni Gatri.
Ketika keris dikeluarkan dari balik pinggang pakaian
putih, sepasang mata Sinuhun Merah bergeletar. Kening
bocah dua belas tahun Dirga Purana yang mendukung Ni
Gatri mengerenyit. Pangeran Matahari tegak congkak takbergerak, mata menatap dingin tak berkesip.
Sinuhun Muda Ghama Karadipa cepat mengambil keris
dari tangan Empu Semirang Biru. Mata mendelik besar
meneliti. Kaki tersurut dua langkah. Keris tak bersarung
tak bergagang terasa dingin. Tak ada hawa kehidupan.
Pancaran sinar yang keluar dari badan keris berwarna
merah kehitaman dan sangat redup. Cahaya yang sangat
tidak pantas bagi sebilah keris sakti mandraguna yang
bakal dijadikan pusaka Istana Kerajaan Mataram.
Dengan cepat Sinuhun Muda memperhatikan dan
menghitung jumlah luk di badan keris. Lalu dia berkata,
“Sinuhun Merah, keris ini memang memiliki sembilan luk.
Tapi rasanya ada sesuatu...”
Dengan cepat Sinuhun Merah mengambil keris dari
tangan saudara nyawa kembarnya. Sejak pertama kali
melihat senjata tersebut sebenarnya dia telah menaruh
curiga. Begitu juga dengan bocah dua belas tahun Dirga
Purana walau selalu sibuk dengan Ni Gatri yang berada di
panggulan bahu kirinya dalam keadaan tidak sadar karena
di bawah pengaruh totokan. Pandangan mata makhluk
atau orang sakti seperti mereka memang tidak dapat
ditipu.
Begitu keris dipegang di tangan, Sinuhun Merah segera
mendekatkan senjata ke hidung lalu mencium dalam-
dalam.
“Palsu!” Teriak Sinuhun Merah menggeledek. Mata
merah mendelik besar. Blangkon di kepala sampai naik
satu jengkal dan ubun-ubun kepulkan asap merah. Ini
bukan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang asli! Keris jaha–
nam ini terbuat dari kepingan Rantai Kepala Arwah Kaki
Roh! Aku bisa menciumnya! Empu keparat! Kau berani
menipuku!”
Bukk! Kraakk!
Tendangan kaki kiri Sinuhun Merah di arah dada
membuat Empu Semirang Biru terpental dan terkapar di
lantai goa. Dua tulang iganya patah. Jeritan sang Empu
menggelegar merobek suara deru curahan air terjun.Dalam gelegak amarah, Sinuhun Merah, Sinuhun Muda
dan bocah sakti Dirga Purana sepakat untuk segera meng–
habisi Empu Semirang Biru saat itu juga walau sang Empu
meratap minta ampun, memberi tahu kalau dia tidak punya
niat menipu. Dia tidak tahu bagaimana keris itu tahu-tahu
palsu karena sebelumnya dia menerima sendiri senjata
tersebut dari Ratu Randang.
Pangeran Matahari yang di Bhumi Mataram dikenal
dengan panggilan Ksatria Roh Jemputan mengusulkan
agar sang Empu jangan dibunuh tapi dimanfaatkan begitu
rupa hingga berhasil menuntaskan rencana untuk
menyingkirkan raja dan sekaligus menguasai Kerajaan.
Merasa usulan Ksatria Roh Jemputan masuk diakal
Sinuhun Merah Penghisap Arwah mengampuni Empu
Semirang Biru namun sesuai siasat kakek ahli pembuat
senjata itu harus mencari dan menemui raja. Berpura-pura
hendak menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Begitu
Raja lengah sang Empu harus cepat menikam raja.
“Cukup satu tikaman! Nyawa raja keparat itu pasti
amblas!” kata Sinuhun Muda.
“Betul!” menyahuti Sinuhun Merah. “Cukup satu tika–
man. Raja pasti menemui ajal. Karena keris akan aku
bungkus dengan racun Cakar Sukma Merah! Selain itu aku
juga akan memberikan kekuatan pada tubuhmu yang
kurus kering tua renta!”
Sinuhun Merah Penghisap Arwah angkat dua tangan.
Satu diletakkan di atas kepala Empu Semirang Biru, yang
satu lagi digenggamkan ke keris palsu. Dua cahaya merah
memancar dari dua tangan sang Sinuhun Merah. Empu
Semirang Biru merasa tubuhnya menjadi agak segar dan
sakit akibat dua tulang iganya yang patah terasa berku–
rang. Sinuhun Merah serahkan kembali keris palsu pada
Empu Semirang Biru.
Ketika Empu Semirang Biru siap untuk pergi, Sinuhun
Merah memaksanya menelan sebuah benda bulat merah
seujung jari. Benda itu ternyata adalah Racun Kala Merah.
“Jika dalam tiga hari kau tidak berhasil membunuh RajaMataram, Racun Kala Merah akan merenggut nyawamu!
Kau akan mampus dengan tubuh leleh menjadi lendir!”
Sekujur tubuh Empu Semirang Biru bergetar menggigil.
Di hadapannya sambil menyeringai dan usap janggut hitam
di dagu Sinuhun Muda berkata, “Jika kau berhasil meng–
habisi Raja Mataram sebelum hari ke tiga, lekas menemui
kami. Kami akan memberikan obat penangkal pemusnah
Racun Kala Merah yang ada dalam tubuhmu! Kau dengar
itu Empu?!”
“Saya dengar Sinuhun.” Jawab Empu Semirang Biru.
Sinuhun Muda tertawa bergelak, kedipkan mata pada
Sinuhun Merah pertanda apa yang barusan dikatakannya
tentang obat penangkal adalah dusta belaka.
“Sekarang lekas laksanakan perintah Sinuhun Merah!”
Kata Sinuhun Muda pula lalu tendang pantat orang tua itu
hingga terguling di lantai goa.
Walau dirinya diperlakukan semena-mena seperti itu
bahkan kemudian dihina dipaksa merangkak melewati
selangkangan Sinuhun Merah, namun Empu Semirang Biru
tidak berdaya melawan.
***
MENCARI dan menemui Raja Mataram Raka Kayuwangi
Dyah Lokapala bukan hal yang mudah bagi Empu Semirang
Biru. Apa lagi dalam keadaan cidera dua tulang iga patah
akibat tendangan Sinuhun Merah. Selain itu seperti diceri–
takan sebelumnya, bersama rombongannya yang pernah
menyelamatkan diri di Bukit Batu Hangus, saat itu Raja
Mataram telah mengasingkan diri di satu tempat rahasia
yaitu bekas Sumur Api yang terletak di satu rimba belan–
tara antara kawasan Prambanan dan Kali Dengkeng.
Tujuan pertama yang didatangi Empu Semirang Biru
adalah Kotaraja. Dia langsung menuju istana namun jadi
kecewa karena didapati bangunan istana dalam keadaan
sunyi gelap, sebagian berada dalam keadaan runtuh. Tak
ada yang menghuni bahkan tidak seorang prajurit ataupengawalpun terlihat di situ. Empu Semirang Biru menge–
lilingi bangunan istana sampai tiga kali bahkan masuk
menyelidik ke dalam reruntuhan bangunan. Dia tidak
menemukan seorangpun. Dia cepat-cepat kembali ke
halaman depan.
“Jelas Sri Maharaja Mataram yang harus aku bunuh
tidak ada di sini...” Ucap Empu Semirang Biru. Tubuhnya
yang kurus terduduk lemas di tanah. Rasa haus tak terta–
hankan menyengat tenggorokannya. Saat itu kegelapan
malam membuat segala yang terlihat di depan mata ber–
warna hitam. Semakin malam semakin sunyi dan dingin.
“Aneh, mengapa tubuhku sekarang menjadi lemas.
Apakah kekuatan yang diberikan Sinunun Merah telah
luntur. Aku haus sekali...”
Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara lolongan
anjing.
“Hanya anjing yang ada. Makhluk yang tidak bisa
kutanyai tak bisa menjawab di mana beradanya Raja
Mataram...” Kata Empu Semirang Biru sambil duduk
tersandar di dinding kanan pintu gerbang istana. “Kalau
saja dulu Raja Mataram tidak menyuruh aku membuat
keris itu, nasibku tidak akan jadi begini. Sekarang rasanya
memang cukup pantas kalau aku membunuhnya!”
Saat itu keadaan sang Empu sudah sangat lemah.
Seharian tidak ada minuman yang diteguk, tak ada maka–
nan yang ditelan. Bibir kering, tenggorokan laksana dise–
ngat api. Sebenarnya Empu ini memiliki kesaktian yang
membuat dia bisa bertahan tidak minum dan tidak makan
selama empat puluh hari. Namun Racun Kala Merah yang
berada dalam perutnya telah membuat dia menjadi sangat
lemah.
Sang Empu menarik nafas dalam. Hidungnya mencium
bau busuk. Memandang ke kiri dia melihat sebuah combe–
ran. Bau busuk air hitam comberan itulah yang menusuk
penciumannya. Lidah kelu diulur mengusap bibir kering.
“Agaknya hanya air comberan itu rejeki yang dapat
kuminum...” Kata sang Empu dalam hati. Perlahan-lahandia mencoba berdiri. Namun kakinya terpeleset. Sebelum
jatuh tertelentang ke tanah, setengah sadar dia merasa
ada angin menyambar lalu di depannya, sungguh tidak
diduga muncul satu sosok putih. Sosok jerangkong.
“Tengkorak hidup... hantu... setan... mungkin juga
penjaga neraka sudah datang menjemput diriku.” Ucap
Empu Semirang Biru dalam hati. Dia hanya menunggu
pasrah apa yang akan terjadi. Tangan kanan diselinapkan
ke balik pakaian, menggenggam keris tak bergagang. Tiba-
tiba jerangkong membungkuk, tangan kanan bergerak.
Tahu-tahu sang Empu sudah berada di atas pundak kanan.
Sekali dua kaki bergerak, wuutt! Jerangkong hidup melesat
dan lenyap dalam kegelapan di arah timur Kotaraja
DUA
EMPU Semirang Biru merasa ada orang menotok
beberapa bagian tubuhnya. Lalu ada telapak tangan
ditempel di kening dan dada. Sesaat kemudian dia
merasa hawa sangat sejuk memasuki kaki, naik ke badan
terus ke kepala. Sepasang mata yang sejak tadi setengah
terpejam cepat-cepat dibuka. Bersamaan dengan itu rasa
lemas tak berdaya yang sebelumnya dirasakan lenyap
dengan seketika. Bahkan kakek berwajah tinggal kulit
pembalut tulang ini bisa bergerak bangkit lalu duduk. Dia
dapatkan diri berada di dalam satu ruangan batu pualam
berwarna putih kelabu. Di sebelah kiri dia melihat satu
pedataran pasir aneh yang seumur hidup baru kali itu
disaksikannya. Pasir pedataran berwarna kuning, berkilau
seperti emas.
Menoleh ke kanan sang Empu melihat seorang kakek
bersorban dan berjubah kelabu serta berkasut putih.
Kakek ini berdiri sambil rangkapkan dua tangan di atas
dada. Wajahnya yang jernih tampak tersenyum. Sebaliknya
wajah Empu Semirang Biru tampak mengerenyit. Ketika dia
hendak membuka mulut bertanya, orang bersorban men–
dahului berkata.
“Empu Semirang Biru, kau berada dalam keletihan luar
biasa. Tenggorokanmu laksana api dalam sekam. Teguklah
minuman dalam cangkir ini lebih dulu...”
Empu Semirang Biru terkejut orang mengetahui nama–
nya. Dia berpikir-pikir namun kakek bersorban di hadapan–
nya telah mengulurkan tangan. Tangan yang tadi tidak ada
apa-apanya itu tahu-tahu kini telah memegang sehelai
cangkir porselen putih berisi air bening.
“Minumlah agar Empu sehat dan kuat kembali.Minuman ini sekaligus akan melancarkan peredaran
darah...”
Empu Semirang Biru sesaat merasa ragu. Apa betul
orang berbaik hati hendak memberinya minum atau ber–
maksud meracuni. Tapi ingat pada Racun Kala Merah yang
ada dalam tubuhnya sang Empu menjadi acuh. Cangkir
putih diambil lalu cairan di dalamnya diteguk sampai habis.
Begitu cairan habis sang cangkir lenyap dari pegangannya!
“Luar biasa...” Wajah Empu Semirang Biru tampak
bercahaya. Dia pandai menyembunyikan rasa kagumnya.
“Saya merasa segar. Kekuatan saya pulih kembali. Rasa
haus lenyap dengan seketika.” Tapi ketika memandang ke
arah pedataran pasir kuning wajah ahli pembuat senjata ini
tampak agak tercekat.
“Empu Semirang Biru, kau tidak usah khawatir. Kau
berada di tempat aman. Apakah kau masih mengenali diri
saya?” Orang bersorban dan berjubah kelabu terbuat dari
sutera bertanya.
Empu Semirang Biru bangkit berdiri. Tubuh agak mem–
bungkuk. Sejurus dia menatap orang di hadapannya
sebelum berkata, “Sampean, bukankah kau... kau orang
yang malam itu datang ke Puncak Gunung Bismo ketika
saya tengah menempa keris pesanan Raja Mataram...”
“Betul.” Orang bersorban dan berjubah kelabu di
hadapan sang Empu menjawab.
“Sampean yang memberi ilmu kesaktian hingga tangan
saya berubah menjadi bara menyala. Hingga saya mampu
menempa dan menyelesaikan pembuatan keris sakti
perintah Yang Mulia Raja Mataram hanya dalam waktu tiga
hari...”
Kakek bersorban tersenyum lalu anggukkan kepala.
Empu Semirang Biru terdiam, seperti berpikir meng–
ingat-ingat. Lalu dia berkata, “Sampean, bukankah
sampean kakek gagah bernama Kumara Gandamayana,
orang utama kepercayaan Sri Maharaja Mataram?”
“Itu juga betul.” Kembali kakek bersorban menjawab.
Empu Semirang Biru ingat peristiwa di luar Ruang SegiTiga Nyawa. Sosok Kumara Gandamayana muncul. Di
dalam tubuhnya ternyata ketumpangan sosok Sinto
Gendong guru Ksatria Panggilan yang disusupkan oleh
Sinuhun Merah. Sang guru kemudian merobek dada
muridnya, mengambil satu senjata berupa sebuah kapak.
Dalam hati Empu Semirang Biru membatin, “Kalau
kakek di hadapanku ini juga makhluk susupan Sinuhun
Merah, aku tidak perlu merasa khawatir. Tapi kalau...”
Sang Empu menatap ke arah pedataran berpasir kuning
emas lalu memperhatikan keadaan sekeliling ruangan.
“Sahabat Kumara Gandamayana, kalau sampean
berada di sini, berarti ini adalah tempat rahasia di mana Sri
Maharaja Mataram dan keluarga serta para pengikutnya
berada. Saya sungguh bersyukur...”
Sepasang mata Kumara Gandamayana mengecil,
menatap lekat-lekat ke arah sang Empu lalu bertanya,
“Dari mana Empu mengetahui kalau ini tempat rahasia dan
Raja Mataram berada di sini bersama keluarga dan para
pengikutnya?”
“Harap maafkan kalau saya keliru. Saya hanya men–
duga. Karena saat ini saya membekal satu amanat tugas
luar biasa penting. Tapi saya lebih dulu ingin tahu bagai–
mana saya bisa berada di sini. Padahal saya sudah
setengah mati mencari dari siang sampai malam. Saya
hampir meneguk air comberan saking haus luar biasa.
Kalau saja sampean tahu dan mau menceritakan saya
sangat berterima kasih.”
“Satu makhluk alam gaib menemukan Empu dekat
rimba belantara di Prambanan. Dia membawa Empu ke
tempat ini.” Menerangkan Kumara Gandamayana.
“Makhluk alam gaib?” Empu Semirang Biru kembali
mengingat-ingat. “Sewaktu saya nyaris pingsan karena
kelelahan dan kehausan, mendadak muncul satu sosok
menyeramkan. Saya melihat tengkorak. Jerangkong hidup!
Apakah makhluk itu yang sampean maksudkan dan yang
telah menolong saya dan membawa ke tempat ini?”
“Benar.” jawab Kumara Gandamaya.“Saya sangat bersyukur. Rupanya para Dewa telah
mengulurkan pertolongan melalui jerangkong hidup itu
untuk menolong saya. Tapi adalah aneh, mengapa makh–
luk jerangkong dari alam roh itu mau menolong saya.
Apakah dia seseorang yang pernah saya kenal. Atau dia
mengenal saya...”
Tiba-tiba ada suara mengiang di telinga kiri Empu
Semirang Biru, “Empu tolol! Kau ditugaskan untuk mencari
dan membunuh Raja Mataram. Bukan ngobrol panjang
lebar dengan cecunguk kaki tangannya. Lekas laksanakan
tugasmu!”
Wajah sang Empu berubah. Dia cepat mengusap muka.
Namun sepasang mata Kumara Gandamayana tidak dapat
ditipu. Kakek bersorban kelabu ini bertanya, “Ada apa
Empu? Kau sepertinya...”
“Tidak, tidak ada apa-apa. Maaf, sampean belum men–
jawab pertanyaan saya tadi. Mengapa makhluk jerangkong
hidup itu menolong saya.”
Kumara Gandamayana tersenyum. “Bukankah tadi
Empu sendiri yang mengatakan bahwa itu adalah uluran
tangan pertolongan para Dewa?” Orang kepercayaan Raja
Mataram ini tidak mau menerangkan kalau jerangkong
hidup itu sebenarnya adalah Emban Buyutnya sendiri yang
bernama Lor Pengging Jumena.
Empu Semirang Biru usap janggut birunya lalu angguk–
kan kepala.
Kumara Gandamayana lantas berkata. “Sekarang beri
tahu saya amanat tugas penting apa yang tengah Empu
emban?”
Diam-diam Empu Semirang Biru mulai merasa khawatir
kalau-kalau orang di hadapannya tahu apa yang tersem–
bunyi di balik kehadirannya di tempat rahasia itu.
“Sahabat, saya percaya padamu. Terus terang saya
datang membawa Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Untuk
diserahkan kepada pemiliknya yang tunggal dan sah yaitu
Yang Mulia Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah
Lokapala.”Kumara Gandamayana terkejut tapi sekaligus gembira.
“Dewa Bathara Agung. Saya tidak menyangka. Ini satu
peristiwa besar!”
“Waktu saya tidak lama. Bisakah saya menghadap Yang
Mulia Raja saat ini juga?” Empu Semirang Biru berkata
sambil dekapkan dua tangan di atas dada lalu membung–
kuk pertanda dia memohon dengan hormat tetapi sangat.
“Tentu saja. Tapi Empu, perbolehkan saya melihat keris
sakti itu terlebih dulu.”
“Sahabat, mohon maaf sampean. Saya ingin memperli–
hatkan dan menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi
langsung ke tangan Yang Mulia Sri Maharaja Mataram.
Harap sampean tidak tersinggung...”
“Empu tidak mempercayai saya?” Tanya Kumara
Gandamayana pula.
“Bukan tidak mempercayai. Saya justru sangat meng–
hormat sampean.” Jawab Empu Semirang Biru sambil
tersenyum lalu usap janggut yang berwarna biru.
Kumara Gandamayana terdiam sejenak. Kemudian dia
berkata. “Kalau begitu keinginan Empu...”
“Maaf, ini bukan keinginan saya. Saya hanya menjalan–
kan amanat”
Kumara Gandamayana tersenyum, “Baiklah, saya akan
mengantarkan Empu menemui Yang Mulia Raja Mataram.
Tapi sebelumnya saya ada satu pertanyaan.”
“Pertanyaan apa?” Tanya Empu Semirang Biru sambil
meluruskan tubuh. Walau orang di hadapannya tampak
tersenyum, namun dalam hati sang Empu merasa tidak senang.
TIGA
KUMARA Gandamayana rangkapkan dua tangan di
depan dada. Suaranya tenang dan sabar ketika
berkata. “Menurut kabar yang saya ketahui, Keris
Sepuh Kanjeng Pelangi lenyap dicuri orang beberapa ketika
setelah Empu menyelesaikan pembuatannya. Saat itu keris
sakti masih belum bergagang dan bersarung.”
“Itu benar. Itu bukan merupakan rahasia lagi di Bhumi
Mataram. Terutama di kalangan orang-orang Kerajaan dan
orang-orang rimba persilatan.” Kata Empu Semirang Biru
pula.
“Cerita selanjutnya yang saya ketahui, keris sakti berluk
sembilan itu dicuri oleh seorang pertapa yang telah me–
ninggal dunia. Sang pertapa bernama Sedayu Galiwardha–
na. Sinuhun Merah Penghisap Arwah berhasil mengeluar–
kannya dari alam roh, menguasai dan mengendalikan
dirinya. Merubah ujudnya sebagai Raden Ageng Daksa
palsu. Namun pertapa itu kemudian menemui ajal untuk
kedua kali di Candi Kalasan sewaktu bentrokan dengan
Ksatria Panggilan yang dibantu oleh beberapa tokoh
perempuan, antaranya Ratu Randang.”
“Ah, sungguh satu cerita nyata luar biasa. Kalau sam–
pean tidak menuturkan, saya tidak pernah tahu riwayat
itu.” Berkata dusta Empu Semirang Biru.
“Yang ingin saya ketahui,” kata Kumara Gandamayana
pula, “Bagaimana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi tahu-tahu
sekarang berada di tangan Empu dan katanya hendak
diserahkan pada Yang Mulia Sri Maharaja Mataram.”
Empu Semirang Biru menatap dalam-dalam ke mata
orang di hadapannya. Saat itulah dia kembali mendengar
suara mengiang di telinga kiri, “Empu tolol! Lekas kaubunuh kakek bersorban yang banyak mulut dan banyak
bertanya itu! Tampaknya dia akan menyusahkan dirimu.
Bisa-bisa tugas utamamu tidak terlaksana! Jahanam! Dia
telah menaruh curiga padamu!”
Suara mengiang itu adalah suara Sinuhun Merah
Penghisap Arwah. Empu Semirang Biru menduga-duga di
mana keberadaan Sinuhun Merah saat itu. Pasti tidak jauh
di luar tempat rahasia itu. Kalau tidak, mana mungkin
dengan kesaktiannya dia mengetahui apa yang tengah
dibicarakan. Sekalipun sangat takut dan berada di bawah
kendali Sinuhun Merah Penghisap Arwah namun Empu
Semirang Biru saat itu punya jalan pikiran sendiri. Membu–
nuh Kumara Gandamayana sama saja mencari kehebohan.
Jika itu terjadi, niat utama untuk membunuh Raja Mataram
mungkin tidak pernah kesampaian malah dia akan men–
dapat celaka. Maka sang Empu tidak melakukan apa yang
diperintah Sinuhun Merah.
“Empu jahanam! Kau berani kurang ajar tidak melaku–
kan apa yang aku perintah!” Suara ngiangan Sinuhun
Merah menyumpah di telinga kiri Empu Semirang Biru.
Sang Empu usap-usap rambutnya yang riap-riapan dan
berusaha bersikap tenang.
“Sahabat Kumara Gandamayana, setelah pertapa
Sedayu Galihwardhana terbunuh, para Dewa turun tangan
menyelamatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Senjata
sakti yang bakal menjadi pusaka Kerajaan Mataram itu
dimasukkan Para Dewa ke dalam satu ruangan bernama
Ruang Segi Tiga Nyawa. Saya juga ikut dimasukkan untuk
mengawasi. Saya hanya bisa menjaga karena saya tidak
bisa menyentuh senjata itu. Sinuhun Merah Penghisap
Arwah, dibantu oleh bocah sakti bernama Dirga Purana,
walau tidak mampu menembus masuk ke dalam Ruang
Segi Tiga Nyawa tapi mereka masih bisa menyusupkan
ilmu-ilmu dahsyat ke dalam Keris Kanjeng Sepuh Pelangi.
Siapa saja yang mendekati keris, apa lagi sampai menyen–
tuhnya maka dari dalam keris akan menyambar petir
dahsyat.”“Lalu bagaimana sekarang keris itu bisa berada di
tangan Empu?” Tanya Kumara Gandamayana.
“Cerita saya belum selesai,” jawab sang Empu. Lalu
Empu ini menuturkan bagaimana dia meminta Empat
Mayat Aneh menculik Sakuntaladewi alias Dewi Kaki
Tunggal untuk dibawa menemuinya. Dia juga menceritakan
kedatangan seorang gadis bernama Jaka Pesolek yang
mampu menangkap petir yang memang sangat dihara–
pkannya.
“Berkat pertolongan kedua orang itu, Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi berhasil diambil dari langit-langit ruangan
dan diserahkan kepada saya.”
“Siapa yang menyerahkan?” Tanya Kumara Ganda–
mayana pula.
“Nenek sakti bernama Ratu Randang.” Jawab Empu
Semirang Biru. “Bukankah dia salah seorang pembantu
kepercayaan Raja?”
“Betul, dia memang salah seorang pembantu keperca–
yaan Raja Mataram.” jawab Kumara Gandamayana.
Mulut berucap tapi pikiran dan hati sama bertanya-
tanya. “Mengapa Ratu Randang menyerahkan keris pada
Empu ini, tidak menyerahkan sendiri ke tangan Raja?”
“Selain Ratu Randang, Jaka Pesolek dan Sakuntala–
dewi, siapa lagi yang ada dalam Ruang Segi Tiga Nyawa?”
Kumara Gandamayana bertanya hendak menguji apakah
sang Empu akan menjawab jujur atau tidak.
“Seorang pemuda yang dikenal sebagai Ksatria
Panggilan, lalu gadis berpakaian hijau bernama Kunti
Ambiri...” Menjawab Empu Semirang Biru.
“Setelah menerima keris dari Ratu Randang, Empu
langsung saja meninggalkan orang-orang itu?”
“Benar, karena saya merasa perlu harus bertindak
cepat. Menyerahkan keris kepada Yang Mulia Raja Mata–
ram. ‘‘ Empu Semirang Biru diam sesaat lalu bicara lagi
“Sahabat Kumara Gandamayana, saya tidak bisa berlama-
lama bicara denganmu di tempat ini. Mohon dimaafkan.
Saya harus segera menyerahkan Keris Kanjeng SepuhPelangi pada Yang Mulia Raja Mataram. Saya mohon
sampean segera mengantar saya menghadap beliau.”
“Empu Semirang Biru, harap kau bersabar menunggu di
tempat ini. Saya akan memberi tahu kedatanganmu pada
Raja Mataram.”
“Saya sangat berterima kasih.” kata Empu Semirang
Biru sambil bungkukkan badan.
Tak selang berapa lama Kumara Gandamayana muncul
kembali mengiringi seorang lelaki gagah berusia sekitar
tiga puluh tahun, berpakaian sederhana. Rambut tergerai
sebahu dan kumis serta janggut meranggas kasar.
Walau tidak mengenakan mahkota namun Empu Semi–
rang Biru mengenali, orang yang melangkah di depan
Kumara Gandamayana itu adalah Sri Maharaja Mataram
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
Empu Semirang Biru cepat-cepat berlutut susuk dua
tangan di atas kepala seraya berkata. “Salam hormat saya
untuk Sri Maharaja Mataram. Mohon dimaafkan kalau
kedatangan saya telah mengganggu ketenteraman Yang
Mulia.”
“Empu Semirang Biru, berdirilah. Lama saya tidak
mendengar kabar tentang dirimu. Saya lihat Empu tidak
kurang suatu apa. Apa benar Empu datang untuk menye–
rahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi seperti yang diberi–
tahukan kakek Kumara Gandamayana?”
Empu Semirang Biru rundukkan kepala hingga kening
hampir menyentuh lantai
“Mohon maaf Yang Mulia. Keris sakti hilang dirampas
orang ketika masih berada di tangan saya. Saya merasa
sangat bertanggung jawab untuk menemukannya kembali.
Para Dewa telah menolong saya. Saya berhasil mendapat–
kan keris dan saya merasa punya kewajiban untuk menye–
rahkan ke tangan Yang Mulia”
“Kalau begitu perlihatkanlah keris sakti itu. Empu boleh
menyerahkan kepada saya sekarang juga.” Kata Raja
Mataram pula.
Empu Semirang Biru bangkit berdiri. Dari balik pakaian–nya dia keluarkan sebuah benda yang dibungkus kain
putih. Kain pembungkus di buka. Kelihatan sebilah keris
berluk sembilan tidak bergagang. Selarik sinar merah
kehitaman menyelubungi keris mulai dari ujung yang lancip
di sebelah atas sampai ke bagian gagang di sebelah
bawah.
Raja Mataram perhatikan senjata itu sejenak. Sebe–
lumnya dia memang tidak pernah melihat ujud Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi yang dimintanya sang Empu untuk
membuat. Raja ulurkan tangan namun tiba-tiba dia melihat
Kumara Gandamayana yang sengaja berpindah tegak ke
hadapannya gelengkan kepala perlahan sembari kedipkan
mata. Walau tidak mengerti apa maksud isyarat yang
diberikan kakek pembantu kepercayaannya itu, namun
Raja Mataram serta merta tarik dua tangannya yang
barusan diulur.
“Yang Mulia,” Empu Semirang Biru berkata. “Sekali lagi
saya mohon maaf atas kelalaian hingga keris sakti ini
sampai dicuri orang. Mudah-mudahan dengan bantuan
serta kesaktian keris ini Yang Mulia mampu keluar dari
semua kesulitan dan memimpin Bhumi Mataram kembali.
Saya mohon Yang Mulia sudi menerima Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi ini...”
Empu Semirang Biru tundukkan kepala, maju dua
langkah sambil ulurkan dua tangan. Bagian pertengahan
keris sampai ke ujung lancip diletakkan di atas telapak
tangan kiri. Tangan kanan menggenggam gagang senjata.
“Empu Semirang Biru! Tetap di tempatmu! Jangan
berani bergerak! Berikan keris padaku!” Tiba-tiba Kumala
Gandamayana membentak.
EMPAT
SAHABAT Kumara Gandamayana, ada apakah...?”
Bertanya Empu Semirang Biru sambil kepala dipa–
lingkan sedikit. Tapi dua kaki terus saja melangkah.
Dan tiba-tiba sekali, tangan yang menggenggam gagang
keris laksana kilat bergerak. Cahaya merah kehitaman
yang tadinya redup membungkus keris tiba-tiba memancar
terang. Ujung keris berkiblat ke arah dada kiri Raja
Mataram.
Secepat yang bisa dilakukan Kumara Gandamayana
melompat ke depan mendorong Raja Mataram. Raja
terjengkang jatuh tapi selamat dari tusukan keris yang
mengarah dada. Sebaliknya mata keris menyambar ke
arah lengan kiri Kumara Gandamayana yang menghalang.
Brettt! Crass!
Lengan jubah kiri Kumara Gandamayana robek besar.
Kulit dan daging lengan ikut terluka. Darah mengucur tapi
tidak berwarna merah pertanda ada racun yang bekerja
sangat cepat.
Gagal dengan serangan pertama menikam ke arah
dada Raja, Empu Semirang Biru keluarkan suara meng–
gereng seperti raungan anjing terluka lalu membuat
gerakan melompat terjun ke arah Raja Mataram yang saat
itu tengah berusaha berdiri. Keris di tangan kanan
ditikamkan ke arah tenggorokan Raja. Namun sebelum
keris palsu mengandung racun Cakar Sukma Merah yang
mematikan itu menancap di leher Raja, Kumara Ganda–
mayana telah terlebih dulu melompat ke hadapan sang
Empu. Dua tangan yang saat itu telah berubah menjadi
merah laksana bara menyambar ke arah leher.
“Kakek Kumara, jangan bunuh Empu itu!” Tiba-tiba Rajaberteriak. “Saya punya dugaan dia hendak membunuh
saya bukan maunya! Saya mencium bau kemenyan dalam
hembusan nafasnya! Ada satu kekuatan menguasai
dirinya!”
Mendengar teriakan Raja, Kumara Gandamayana tidak
mau meneruskan serangan dua tangan mautnya namun
dia juga tidak ingin sang Empu menimbulkan bencana
lanjutan. Maka sambil membuat gerakan setengah merun–
duk, Kumara Gandamayana hantamkan kaki kanannya ke
arah perut Empu Semirang Biru.
“Makhluk biru! Siapapun kau adanya lekas pergi dari
sini! Jangan berani kembali. Bersyukurlah Raja Mataram
telah memberi pengampunan!”
Wuttt!
Tendangan kaki kanan Kumara Gandamayana berkele–
bat. Selarik sinar kelabu mendahului tendangan, membuat
tubuh Empu Semirang Biru tergontai-gontai. Lalu,
Bukkk!
Kali kedua tendangan kaki kanan Kumara Ganda–
mayana mendarat telak di pertengahan perut Empu Semi–
rang Biru. Sosok sang Empu mencelat menghantam atap
batu pualam lalu terpental kembali jatuh ke bawah. Darah
menyembur dari mulut. Walau cidera hebat seperti itu,
namun keris Kanjeng Sepuh Pelangi palsu masih tergeng–
gam erat di tangan kanan. Selagi tubuh Empu Semirang
Biru melayang jatuh ke bawah, Kumara Gandamayana
tanggalkan sorban kelabu di atas kepala. Sekali mengebut,
sorban berkelebat manggulung tubuh sang Empu. Begitu
sorban disentakkan dalam gerak jurus ilmu Selendang
Dewa Menutup Bahala, untuk kedua kalinya tubuh Empu
Semirang Biru mencalat ke atas langit-langit ruangan.
Hanya saja sekali ini langit-langit jebol dan sosok sang
Empu melesat lenyap tak kelihatan lagi!
“Kakek Kumara Gandamayana, terima kasih kau telah
menyelamatkan saya” Raja Mataram berkata sambil
melangkah menghampiri. “Seharusnya tadi kita merampas
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dari tangan Empu itu.”“Tidak ada gunanya Yang Mulia,” jawab Kumara
Gandamayana sambil merobek lengan kiri jubahnya.
Tangan yang tersingkap nampak melembung hitam dan
darah masih mengucur.
“Mengapa Kakek berkata begitu?” Tanya Raja Mata–
ram.
“Keris yang dibawa Empu itu adalah keris palsu. Bukan
keris Kanjeng Sepuh Pelangi.”
Raja Mataram tercengang karena tidak menyangka.
“Walau keris palsu tapi agaknya mengandung racun jahat.
Kau harus cepat mengobati luka di tangan kirimu itu.”
“Akan saya lakukan. Tapi saya tidak pasti apakah ada
obat yang bisa saya temui dan bisa segera menyembuh–
kan. Tubuh saya terasa panas. Saya tidak tahu berapa
lama saya bisa bertahan.” Kumara Gandamayana lalu
totok urat besar di beberapa bagian tubuhnya.
***
EMPU Semirang Biru terkapar tertelentang di satu
tempat yang tidak diketahuinya di mana. Setelah menge–
rang panjang pendek dan mengusap darah yang masih
mengucur di sela bibir dia berusaha bangun. Tangan kiri
menopang tanah, tangan kanan masih memegang keris.
Baru saja dia mampu berdiri sambil bersandar ke satu
batang pohon tiba-tiba tiga orang melayang melompat dari
semak belukar tinggi di hadapannya. Mereka ternyata
adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah, Sinuhun Muda
Ghama Karadipa dan Ksatria Roh Jemputan alis Pangeran
Matahari.
“Empu tolol sialan! Kau tidak mampu membunuh Raja
Mataram!” Berteriak Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
“Kau tahu apa artinya ini?!”
Empu Semirang Biru jatuhkan diri berlutut meratap
minta ampun, “Sinuhun mohon maafmu. Saya dihadang
oleh kakek sakti bernama Kumara Gandamayana.”
Plaakkk!Satu tamparan keras yang dilayangkan Sinuhun Muda
Ghama Karadipa membuat kepala Empu Semirang Biru
terpelanting ke kiri dan darah mengucur dari mulutnya
yang pecah.
“Aku menyuruh kau membunuh kakek itu, tidak kau
lakukan! Sekarang kau rasakan sendiri akibatnya!” Hardik
Sinuhun Merah. Lalu dia membentak “Ketika kau di ruang
rahasia di mana tempat Raja keparat itu berada kau tahu
di mana letak tempat itu?!”
“Saya tidak tahu Sinuhun. Saya hanya tahu ada satu
makhluk berupa jerangkong putih yang membawa saya ke
sana...”
Piaakkk!
Satu tamparan kembali lagi mendarat di pipi Empu
Semirang Biru.
“Kami tidak menanyakan siapa yang membawamu ke
sana, Empu tolol! Goblok!” Yang menampar dan menghar–
dik lagi-lagi adalah Sinuhun Muda Ghama Karadipa.
“Saya mohon ampunan Sinuhun berdua. Saya mohon
diberi obat pemusnah Racun Sukma Merah...”
Sinuhun Merah dan Sinuhun Muda sama-sama terse–
nyum. Sinuhun Merah berpaling pada Ksatria Roh Jempu–
tan lalu anggukkan kepala. Melihat isyarat ini Ksatria Roh
Jemputan segera melangkah mendekati si Empu.
“Empu, kau harus bersyukur dua sinuhun berbaik hati
mengampuni selembar nyawamu. Sebelum kau diberikan
obat pemusnah Racun Sukma Merah, harap keris yang kau
pegang diserahkan dulu padaku...”
Percaya pada ucapan orang, Empu Semirang Biru ulur–
kan tangan kanan yang sejak tadi menggenggam Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi palsu. Begitu tangan diulurkan
Ksatria Roh Jemputan bukannya mengambil keris itu tapi
malah menggenggam kuat-kuat tangan kanan sang Empu,
tangan kiri menekan siku lalu secepat kilat dengan
kekuatan penuh dia balikkan ujung keris dan, blesss!
Empu Semirang Biru keluarkan jeritan keras. Mata
mencelet. Mulut semburkan darah begitu keris menancapdi dada kirinya, langsung menembus jantung. Perlahan-
lahan tubuh berselempang kain putih itu tergelimpang di
tanah. Dua kaki melejang-lejang. Begitu Racun Sukma
Merah membanjiri jantung dan mengalir di seluruh jalan
darahnya, tak ampun lagi ahli pembuat senjata sakti ini
meregang nyawa dalam keadaan sangat mengenaskan.
“Empu tolol! Menjauh dari pandangan mataku!” Bentak
Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Kaki kanan ditendang–
kan ke tubuh orang. Sosok sang Empu mencelat jauh di
atas permukaan rimba belantara.
LIMA
WAJAH tampan anak lelaki usia dua belas tahun
yang tengah duduk khidmat bersemedi tampak
tenang bercahaya ketika dalam pandangan mata
di alam gaib semedi dia melihat langit malam bertabur
bintang. Hembusan angin meniup sekelompok awan putih,
perlahan-lahan menyingkap rembulan yang sejak tadi
tertutup. Ada keanehan. Bulan purnama bulat penuh yang
tampak di langit berwarna biru bersih. Lalu entah dari
mana datangnya bermunculan sosok sembilan orang-orang
tua berpakaian serba putih. Lima orang lelaki, empat orang
perempuan. Mereka berputar-putar di arah rembulan. Yang
lelaki susun dua tangan di atas kepala sambil merapal
bacaan suci Kitab Weda. Yang perempuan menebar
bebungaan. Semua apa yang terlihat di ruang pandangan
mata alam gaib anak lelaki yang tengah bersemedi, harum
mewangi tebaran bunga itu mendatangkan rasa sejuk.
Sayup-sayup terdengar suara-suara nyanyian perempuan,
mendayu berhiba-hiba.
Alam gaib dan keajaiban
Adalah kuasa Para Dewa di Kahyangan Swargaloka
Jika ummat berputih hati
Bertobat dari segala kesalahan
Maka Yang Maha Kuasa menjanjikan
Bulan Biru di langit Mataram
Jika kejahatan terpaksa ditumpas,
dengan air mata dan darah
Yang Maha Kuasa masih akan tetap menepati janji
Bulan Biru di langit MataramMendadak wajah bercahaya dan berseri anak lelaki
yang bersemedi di atas batu berubah redup. Pertanda ada
yang mempengaruhi perasaan hati dan jalan pikiran. Per–
hatiannya terpecah. Lapat-lapat di kejauhan terdengar
genta suara lonceng. Dengan segala kemampuan yang ada
anak lelaki itu berusaha bertahan agar semedi tidak terpu–
tus. Namun ketika satu cahaya kuning berkiblat terang lalu
lenyap di depan sepasang matanya yang terpejam, anak ini
tak sanggup lagi bertahan. Bulan purnama biru lenyap.
Langit terkembang dan bintang-bintang sirna. Begitu juga
suara nyanyian dan sosok sembilan orang tua.
Wajah dan sekujur tubuh si anak basah oleh keringat,
tembus sampai ke pakaian hitam yang dikenakan. Anting-
anting emas di telinga kanan berpijar benderang, membuat
daun telinganya terasa panas. Batu tempat dia duduk
bersila yang tadinya hangat mendadak berubah dingin.
Lalu ada hawa aneh membersit dari dalam batu memasuki
tubuh. Begitu menembus kepala yang tertutup rambut
tebal hitam, asap kuning mengepul. Seperti disentak oleh
satu kekuatan dahsyat, sepasang mata membuka nyalang.
“Hyang Jagat Bathara Agung, apa yang terjadi hingga
samadi saya terputus begini rupa? Adakah saya berbuat
kesalahan hingga samadi tidak bisa dirampungkan?” Anak
lelaki itu merenung dan bertanya dalam hati. Dia lebih dulu
melihat ke dalam diri sendiri, tidak berprasangka menaruh
curiga pada hal buruk yang datang dari luar. Satu pertanda
anak ini memiliki rasa timbang bijaksana serta budi yang
tinggi.
Ketika dia mengusap keringat di kening mendadak ada
suara ngeongan kucing mengiang di telinga. Disusul jeritan
menyerupai suara raungan anjing di kejauhan.
Anak lelaki di atas batu kembali merenung. Perlahan-
lahan mulut berucap. “Yang Maha Kuasa memberi dua
pertanda. Pertama bulan purnama biru di langit. Sembilan
orang tua dan tebaran bunga. Ada suara nyanyian. Pertan–
da kedua, gema suara lonceng, kilau cahaya kuning, suara
ngeongan kucing dan jeritan menyerupai lolongan anjing dimalam buta, hawa aneh dari dalam batu, hawa panas di
telinga kananku. Sesuatu tengah terjadi di luar sana.
Mungkinkah...”
Mendadak sebuah benda melayang di udara dan,
bluukkk!
Satu sosok berselempang kain putih tergelimpang jatuh
di hadapan si anak lelaki. Ketika diperhatikan ternyata
sosok seorang kakek kurus, berambut biru riap-riapan.
Muka laksana tengkorak karena tinggal kulit pembalut
tulang. Mulut pecah. Kumis, janggut serta alis juga berwar–
na biru. Sepasang mata terbeliak tak berkedip!
Anak lelaki di atas batu menatap beberapa jurus tanpa
rasa takut. Hanya kening tampak mengerenyit dan sepa–
sang alis tebal bergerak naik. Lalu mulutnya berucap,
“Orang tua, apakah saya mengenal dirimu? Kalau tidak
salah saya menduga, bukankah kau Empu sakti dari
Gunung Bismo, bernama Empu Semirang Biru? Wahai,
nasib buruk apa yang membawamu jatuh di hadapan saya
dalam keadaan begini rupa? Pertanda apa...”
Ucapan si anak lelaki terhenti. Gerakannya bangkit
berdiri setengah tertahan ketika dua matanya yang besar
bening melihat sebilah keris tidak bergagang dan meman–
carkan warna redup hitam, menancap tepat di dada kiri si
orang tua. Kain putih yang jadi pakaian dan hampir seluruh
tubuhnya basah oleh lumuran darah.
Anak lelaki di atas batu tarik nafas dalam dan panjang.
Wajah tampak redup. Mata dipejam sesaat, kepala
digeleng. “Orang tua malang, nyawamu telah tiada. Agak–
nya kau menemui ajal di luar wajar. Saya hanya bisa
berduka. Saya tidak mungkin menolongmu...”
Perlahan-lahan dengan tangan kanannya anak lelaki itu
mengusap sepasang mata nyalang jenazah Empu Semi–
rang Biru hingga menutup.
Mendadak di kejauhan kembali dia mendengar suara
lonceng, lalu riuh suara mengeong disertai jeritan seperti
lolongan anjing. Bayangan cahaya kuning muncul lagi di
pelupuk matanya.“Empu, saya harus pergi. Tanda yang diberikan oleh
Para Dewa kali ini sudah cukup jelas. Saudara saya dalam
bahaya. Maafkan kalau saya tidak bisa mengurus jenazah–
mu. Mudah-mudahan akan ada orang menemuimu di
sini...”
Setelah menatap cukup lama pada keris tak bergagang
yang menancap di dada kiri sang Empu anak lelaki itu
berdiri dengan cepat. Sebelum pergi dia kembangkan
telapak tangan, di arahkan ke jenazah Empu Semirang
Biru.
Selarik cahaya kuning menebar hawa luar biasa dingin
melesat keluar dari telapak tangan. Begitu menyentuh
sosok jenazah maka sekujur jenazah diselubungi lapisan
kuning mengepulkan asap dingin.
“Salju Kuning. Semoga jenazahmu tetap utuh sampai
ada orang menemui. Selamat tinggal Empu.”
Anak lelaki berpakaian hitam beranting emas di telinga
kanan menatap ke langit. Dalam hati anak ini membatin,
“Kanda Dirga Purana aku adikmu Mimba Purana mende–
ngar suara jeritanmu. Bukan dalam suara manusia. Tapi
suara raungan anjing. Aku mendengar suara binatang
peliharaanmu mengeong riuh. Apa yang terjadi dengan–
mu?! Apa ada kesulitan tengah kau alami yang berhu–
bungan dengan kematian Empu ini...?”
Perlahan-lahan dua kaki berkasut kulit kayu bergerak
ke atas lalu wuuttt! Sosok anak ini melesat masuk ke
dalam gumpalan awan, lenyap dari pemandangan.
ENAM
DALAM buku sebelumnya berjudul “Delapan Pocong
Menari” diceritakan bahwa Selir Kesatu Penguasa
Atap Langit Ken Parantili memberitahu kepada Wiro
di mana beradanya Ni Gatri. Menurut Ken Parantili gadis
berusia empat belas tahun itu diancam bahaya besar,
disekap oleh bocah sakti Dirga Purana di sebuah goa,
terlindung oleh air terjun di dekat sebuah telaga. Sang selir
juga menceritakan kalau Ratu Randang mengetahui letak
goa tersebut. Tidak menunggu lebih lama, setelah Ken
Parantili melenyapkan diri melalui Terowongan Arwah,
dipimpin oleh Ratu Randang, Pendekar 212 Wiro Sableng,
Kunti Ambiri, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek segera
menuju ke kawasan di mana beradanya goa di balik air
terjun.
Tidak disangka, Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah
terlebih dulu berada di tempat itu, tengah berjaga-jaga
sementara Dirga Purana berada di dalam goa bersama Ni
Gatri. Karena diejek dan dipermainkan oleh kelima orang
itu, Sinuhun Merah Penghisap Arwah kena dipancing oleh
Kunti Ambiri. Dia menyerang Wiro dengan pukulan Delapan
Sukma Merah dan menghantam Ratu Randang dengan
ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit. Semua
serangan mencuatkan sinar merah.
Begitu diserang Wiro segera berteriak memberi tahu
pada kawan-kawan untuk membalas serangan Sinuhun
Merah dengan serangan balik berupa ilmu penangkal
dahsyat sebagaimana yang diajarkan Ken Parantili pada–
nya. Maka didahului oleh Wiro, Kunti Ambiri, Ratu Randang
dan Sakuntaladewi segera tancapkan delapan jari tangan
kiri kanan masing-masing ke bebatuan yang ada di sekitartelaga. Empat jari saja kehebatan daya penangkalnya
bukan olah-olah. Apa lagi saat itu tiga puluh dua jari
sekaligus ditancapkan ke batu. Enam belas serangan
berupa cahaya merah yang dilepas Sinuhun Merah berbalik
menyerang dirinya sendiri. Tak ampun lagi sosok makhluk
alam roh itu meletus keras, hancur tercabik-cabik. Anggota
badan terkutung-kutung. Belahan kepala mengapung di
permukaan air telaga!
Pada saat itu anehnya terdengar teriakan Sinuhun
Merah Penghisap Arwah memanggil nyawa kembarannya
agar menjemput rohnya. Sang saudara nyawa kembar yaitu
Sinuhun Muda Ghama Karadipa kemudian memang
muncul sambil mengembangkan dua tangan. Lalu terjadi
keanehan kedua. Semua kutungan tubuh, belahan kepala,
cabikan daging dan hancuran tulang belulang Sinuhun
Merah Penghisap Arwah laksana disedot melayang ke
udara, bergabung membentuk sosok samar lalu masuk
menyatu ke dalam tubuh Sinuhun Muda Ghama Karadipa.
Wiro berusaha menghantam Sinuhun Muda dengan
Pukulan Sinar Matahari namun lelaki muda berpakaian
dan berikat kepala hijau itu telah lebih cepat berhasil
melarikan diri setelah meneriakkan ancaman akan mela–
kukan pembalasan terhadap Wiro dan kawan-kawan. Tak
lama kemudian dari dalam goa, menembus celah terbuka
air terjun melesat keluar delapan ekor anak kucing merah.
Delapan Sukma Merah! Binatang-binatang ini langsung
menyerang. Ketika semua orang siap hendak menghan–
tam, muncul bocah sakti Dirga Purana sambil mencekik
leher Ni Gatri. Lima jari tangannya yang mencekik nampak
berubah sangat besar. Dirga Purana mengancam akan
membunuh Ni Gatri kalau ada yang berani menyerang
delapan ekor anak kucing berbulu merah. Dengan
sombongnya dia menyuruh semua orang meninggalkan
tempat itu sementara Wiro dipaksa bunuh diri dengan
membenturkan kepala ke tebing batu.
“Laknat jahanam!” Rutuk Wiro
Kutuk serapah Wiro dibalas dengan teriakan keras olehDirga Purana, ditujukan pada delapan ekor anak kucing
peliharaannya.
“Rakanda! Orang berkeras kepala! Lanjutkan rencana
semula! Bunuh mereka semua!”
Didahului suara mengeong keras, delapan anak kucing
siap menyerang. Namun pada saat itu delapan bunga
matahari kecil yang ada pada Wiro mendadak berubah dan
muncullah delapan pocong berwajah polos. Delapan
Pocong Menari! Sambil menari, dari sela dua telapak
tangannya delapan pocong melepas delapan ekor anak
kucing betina gemuk berbulu putih. Begitu melihat
kehadiran delapan anak kucing betina putih yang montok-
montok, delapan anak kucing merah langsung mengeong
riuh, melompat mendatangi, mencium dan menjilati.
Dirga Purana berteriak keras ketakutan ketika dia
melihat delapan kucing peliharaannya menunggangi
delapan kucing putih.
“Celaka! Celaka besar! Pantangan besar telah dilang–
gar!”
Dirga Purana berteriak berulang kali memanggil
delapan anak kucing merah. Menyuruh mereka masuk
kembali ke dalam goa. Tapi binatang-binatang itu tidak
perduli. Mereka lebih asyik menggeluti delapan anak
kucing putih. Sadar bahaya besar yang akan mengancam
sementara dia tidak bisa berbuat apa-apa, tanpa perduli–
kan lagi Ni Gatri yang saat itu jatuh terguling di kaki tebing
batu di pinggir telaga, didahului teriakan berupa lolongan
anjing Dirga Purana melesat ke udara, maksudnya segera
masuk ke dalam goa lewat celah di pertengahan air terjun
yang masih berhenti mencurah. Namun kaget sang bocah
bukan alang kepalang ketika dapatkan dirinya telah
dikelilingi oleh Wiro, Ratu Randang, Jaka Pesolek, Kunti
Ambiri dan Sakuntaladewi.
“Bocah keparat! Apa yang telah kau lakukan pada Ni
Gatri!” Bentak Wiro.
Dirga Purana menyeringai. “Anak perempuan itu ada di
sana. Mengapa tidak kau tanya langsung padanya? Pastidia akan bercerita bagaimana enaknya ketika aku membe–
lai tubuhnya. Ha... ha... ha!”
“Bangsat kurang ajar!” Wiro langsung menggebuk
dengan Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang.
Sikutan diarahkan ke kepala Dirga Purana pertanda dalam
marah yang menggelegak sang pendekar ingin menghabisi
si anak saat itu juga.
Sementara semua orang siap menyerang Dirga Purana,
Jaka Pesolek yang memang tidak memiliki ilmu silat apa
lagi pukulan sakti palingkan kepala ke arah tebing batu di
tepi telaga. Melihat sosok Ni Gatri yang tergeletak di tanah
gadis ini merasa perlu segera menolong anak itu. Secepat
kilat dia melompat ke arah tebing. Namun selagi tubuhnya
masih melayang di atas telaga tiba-tiba seseorang ber–
mantel hitam muncul dari balik tebing, langsung menyam–
bar tubuh Ni Gatri. Dalam sekejap saja orang itu telah
lenyap di arah timur. Jaka pesolek tidak tinggal diam.
Dengan kemampuannya bergerak laksana kilat dia segera
melesat ke atas tebing. Dari sini terus melakukan penge–
jaran. Namun sambaran cahaya tiga warna yang tiba-tiba
menyerang dari arah depan membuatnya cepat-cepat
selamatkan diri.
Ketika bagian atas tebing batu tempat tadi dia berdiri
hancur berkeping-keping disertai kobaran api dan kepulan
asap, Jaka Pesolek telah lebih dulu melesat ke satu pohon
tinggi.
Wajah gadis ini tampak pucat, tengkuk terasa dingin.
Karena sekejap saja dia terlambat pasti dia sudah mene–
mui ajal dengan tubuh tak karuan rupa.
“Gila! Aku seperti mau kencing tapi tidak bisa!” Jaka
Pesolek memaki sendiri dalam hati “Aku harus menolong
anak itu. Orang bermantel walau aku tidak melihat muka–
nya, aku menduga pasti dia hendak mencabuli anak itu.
Kasihan Ni Gatri. Jangan-jangan sebelumnya anak itu
sudah...”
Walau takut namun Jaka Pesolek kembali melanjutkan
pengejaran ke arah timur.
TUJUH
KEMBALI ke telaga di depan air terjun. Ketika dirinya
diserang Pendekar 212, Dirga Purana tidak berusa–
ha menghindar atau menangkis. Dengan sikap
menantang anak usia dua belas tahun berpakaian mewah
ini berkacak pinggang sunggingkan senyum mengejek.
Wiro jadi geram langsung kerahkan seluruh tenaga dalam
yang dimiliki. Jangankan kepala seorang bocah seperti
Dirga Purana, batu sebesar rumahpun akan hancur luluh
dihantam pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu
Karang warisan Datuk Rao Basaluang Ameh yang
bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa.
Hanya setengah jengkal pukulan maut akan mendarat
di batok kepala Dirga Purana, tiba-tiba satu cahaya kuning
bening melesat keluar dari tubuh anak itu. Walau pukulan–
nya terus menderu tanpa halangan namun saat itu Wiro
merasa sekujur tubuhnya panas kesemutan.
Bukkk!
Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang saling
bentrokan dengan sinar kuning bening yang melindungi
Dirga Purana. Wiro menjerit keras. Ratu Randang, Kunti
Ambiri dan Sakuntaladewi terpekik. Wiro hampir terjeng–
kang jatuh ke dalam telaga kalau tidak cepat mengimbangi
diri. Dia melihat tangan kanannya bengkak melepuh sam–
pai pergelangan. Jangankan untuk melancarkan serangan
susulan, digerakkan saja tangan itu sakitnya bukan kepa–
lang. Seumur hidup baru kali ini dia mengalami cidera dan
rasa sakit seperti itu.
Ratu Randang usap wajahnya yang pucat. Mata juling
menatap tak berkesip. “Bocah itu! Dia punya Ilmu Mega
Kuning Sujud Ke Bumi!” Si nenek cepat salurkan suaramengiang ke telinga Pendekar 212. “Wiro! Selama dua
kaki anak itu menginjak bumi, tidak satu ilmu kesaktian–
pun bisa menciderai apa lagi membunuhnya! Kau harus
menghajarnya pada saat dua kakinya tidak menginjak
tanah, batu, air atau apa saja yang berhubungan dengan
bumi! Aku akan mengangkat anak itu ke udara. Syukur-
syukur bisa melemparnya. Nanti kau cepat menggebuk–
nya!”
Wiro berpaling ke arah Ratu Randang. Tangannya yang
bengkak melepuh terasa seberat gundukan batu besar.
Sambil menahan sakit tubuhnya tertarik ke bawah hingga
dia jatuh setengah berlutut di atas batu di tengah telaga.
Dengan tangan kiri Wiro menotok urat besar di pundak dan
di atas siku sambil alirkan hawa sakti.
“Celaka! Ditotok malah tanganku terasa seperti
digarang api!” Wiro mengerenyit menahan sakit. Karena
tidak tahan hawa panas yang menyelubungi tangan dan
seluruh tubuhnya Wiro bermaksud hendak menceburkan
diri saja ke dalam telaga. Tiba-tiba ada suara beberapa
orang perempuan yang berucap berbarengan.
“Percuma mencebur ke dalam telaga. Cidera di tangan
tidak akan sembuh...”
“Siapa yang bicara?” Wiro bertanya dengan suara
tertahan.
“Jangan khawatir kami akan menolongmu. Tapi kami
tidak lagi bisa menampakkan diri dengan kehendak kami
sendiri...”
“Delapan bunga matahari. Delapan Pocong Menari!”
Dengan tangan kiri Wiro pegang pinggang pakaiannya di
balik mana dia menyimpan delapan bunga matahari kecil.
Saat itu juga dia merasa ada hawa sejuk mengalir di dalam
tubuh, bergerak menuju ke tangan kanan. Lima jari
berpijar. Telapak tangan berdenyut dan ajaib, sesaat
kemudian bengkak melepuh di tangan kanan sirna tidak
berbekas. Hawa panas di sekujur tubuh ikut lenyap.
Di tepi telaga Dirga Purana tertawa gelak-gelak. Dia
tidak memperhatikan dan tidak tahu kalau saat itu cideradi tangan Wiro telah lenyap.
“Jauh-jauh dipanggil dari negeri delapan ratus tahun
mendatang ternyata ilmumu hanya setetek comberan!” Si
bocah tertawa lagi lalu meludah sampai tiga kali. Setelah
itu dengan cepat dia berkelebat ke arah delapan anak
kucing putih yang tengah ditunggangi oleh delapan anak
kucing merah peliharaannya.
“Makhluk pembawa bahala! Mampus kalian semua!”
Satu demi satu anak kucing putih ditendang hingga
terpental jauh. Setelah mengeong kesakitan secara aneh
delapan anak kucing putih berubah menjadi asap lalu
lenyap!
Melihat delapan anak kucing putih ditendang dan
lenyap entah ke mana, delapan kucing merah yang merasa
diputus kenikmatannya menjadi marah dan kalap. Mereka
menggerung keras. Taring dan kuku langsung mencuat.
Siap menyerang Dirga Purana!
“Makhluk keparat! Kalian berani kurang ajar hendak
menyerangku!” Dirga Purana membentak marah. Dua
tangan digerakkan demikian rupa seperti orang tengah
membuntal sesuatu. Saat itu juga bergemerlap cahaya
merah disertai suara bergemerincing. Satu rantai panjang
berwarna merah bergulung di udara, Rantai Kepala Arwah
Kaki Roh!
Dengan sangat cepat rantai meliuk melibat tubuh
delapan anak kucing merah. Binatang-binatang itu
mengeong keras. Coba memutus rantai besi dengan gigitan
dan cakaran tetapi tidak berhasil.
“Masuk ke dalam goa!” Bentak Dirga Purana sambil
kebutkan tangan kanan ke arah delapan anak kucing
merah yang tidak berdaya dan ada dalam gulungan rantai.
Saat itu juga gulungan rantai melesat ke udara, siap masuk
ke dalam goa melewati di antara celah air terjun yang
sampai saat itu masih menggantung di udara!
“Nek!” Tiba-tiba Sakuntaladewi berkata pada Ratu
Randang. “Lekas bunuh delapan anak kucing merah.
Pergunakan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang adapadamu! Jika tidak dibunuh, dalam tempo dua puluh satu
hari kelak Sinuhun Merah Penghisap Arwah akan muncul
kembali karena sesungguhnya roh atau jiwanya terpecah
dalam sosok delapan anak kucing merah itu!” (Hal ini telah
pernah diberitahu Sakuntaladewi kepada Pendekar 212
dan kawan-kawan sebelumnya. Baca “Sesajen Atap
Langit”)
Ratu Randang tersentak kaget. Tidak banyak menunggu
ataupun bertanya si nenek segera keluarkan Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi asli dari balik pakaian, membuka kain yang
membungkus senjata. Begitu keris sakti tergenggam di
tangan, si nenek merasa tubuhnya luar biasa enteng dan
ada hawa sejuk di kepala dan hawa hangat di pertengahan
dada. Secepat kilat Ratu Randang melesat ke udara.
Cahaya biru berkiblat dari badan keris. Kemudian ikut
memancar sembilan cahaya aneh menyerupai cahaya
pelangi.
Traangg! Traangg!
Rantai Kepala Arwah Kaki Roh putus berdentrangan di
enam bagian. Delapan anak kucing merah yang merasa
bebas mengeong keras lalu menghambur laksana terbang
ke arah celah air terjun. Ratu Randang tidak mau memberi
hati. Membunuh delapan anak kucing itu bukan saja
berarti membunuh delapan binatang jahat tapi sekaligus
menghabisi delapan pecahan roh Sinuhun Merah Peng–
hisap Arwah yang mendekam di dalam tubuh mereka dan
suatu ketika akan keluar lagi, muncul di Bhumi Mataram
untuk berbuat berbagai macam kejahatan yang lebih
dahsyat!
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi membeset di udara. Tidak
mengeluarkan suara menderu, tidak menimbulkan angin,
tapi mencuatkan cahaya tujuh pelangi dan sembilan luk.
Delapan anak kucing berbulu merah yang tengah menge–
ong keras mendadak bungkam. Tubuh mereka mengapung
tak bergerak. Dirga Purana berteriak kaget melihat apa
yang terjadi.
Hanya dalam bilangan kejapan mata saja delapanbinatang peliharaannya itu akan menemui ajal dibantai
keris sakti, si bocah cepat dorong dua tangan ke atas.
Larikan sinar bening menderu. Inilah ilmu kesaktian yang
disebut Mega Kuning Berarak Naik ke Langit yang
merupakan pasangan dari Mega Kuning Sujud ke Bumi
dan sebelumnya telah mampu menciderai Pendekar 212.
DELAPAN
DUDARA, Ratu Randang terkejut melihat semburan
cahaya kuning menyerang dirinya dari bawah. Di
sekitar telaga Kunti Ambiri dan Dewi Kaki Tunggal
alias Sakuntaladewi tidak tinggal diam. Dengan pukulan
sakti keduanya menggempur ilmu Mega Kuning Berarak
Naik ke Langit. Dua letusan keras menggelegar.
Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi yang melancarkan
serangan untuk menghantam Mega Kuning Berarak Naik
ke Langit menjerit keras. Tubuh mereka berpelantingan.
Kunti Ambiri terguling di tepi telaga sebelah kiri sementara
Sakuntaladewi tergeletak dekat sebuah batu besar.
Keduanya laksana lumpuh, tak bisa menggerakkan tubuh
dan anggota badan. Sepasang mata membeliak, wajah
pucat pasi. Nafas megap-megap, dada turun naik. Di
seberang telaga dua tangan Dirga Purana membuat
gerakan seperti orang merobek.
Breett!
Cahaya Mega Kuning Berarak Naik ke Langit terbelah
dua, seolah satu kain besar yang robek menjadi dua.
Bagian pertama terus melesat ke arah Ratu Randang,
bagian yang lain berubah menjadi Mega Kuning Sujud ke
Bumi, menderu membabat ke arah Kunti Ambiri dan
Sakuntaladewi yang saat itu dalam keadaan tidak berdaya,
tak mampu bergerak apa lagi selamatkan diri!
Melihat serangan sinar kuning ke arah Sakuntaladewi
dan Kunti Ambiri yang berada dalam keadaan tidak
berdaya, Pendekar 212 yang baru saja pulih dari cideranya
melompat bangkit. Mulut merapal. Tangan kanan berubah
warna menjadi putih perak sampai sebatas siku. Sekali
tangan dihantamkan, Pukulan Sinar Matahari meng–geledek ke arah cahaya Mega Kuning Sujud ke Bumi.
Wuusss!
Sinar putih terang menyilaukan menderu disertai
hamparan hawa luar biasa panas. Di atas batu tempatnya
berdiri Dirga Purana sunggingkan senyum merendahkan.
Dalam jalan pikirannya ilmu kesaktian apapun tidak akan
mampu menyentuh apa lagi memusnahkan ilmu Mega
Kuning Sujud ke Bumi. Dia lupa apa yang tadi ditakutkan
dan diteriakkannya sendiri yaitu bahala besar akibat
delapan anak kucing merah peliharaannya telah menye–
badani delapan anak kucing putih yang merupakan
pantangan besar.
Blaarr!
Letusan keras disertai pijaran bunga api setinggi
sepuluh tombak melesat ke udara dan seantero telaga. Air
terjun yang sejak tadi berhenti mencurah dan tergantung di
udara bergoyang keras lalu seolah terbuat dari kaca hancur
berkeping-keping untuk kemudian kembali utuh dan
mencurah lagi! Empat batu besar di dalam telaga lenyap
dari tempatnya semula. Dua hancur bertaburan menjadi
debu, dua lagi amblas masuk ke dasar telaga. Suara
ngeongan kucing mendadak terdengar menggidikkan.
Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi selamat. Musnahnya Ilmu
Mega Kuning Sujud ke Bumi membuat mereka mampu
bergerak kembali walau seluruh pakaian dan permukaan
kulit mereka tampak diselimuti debu berwarna kuning.
Walau tidak bicara atau memberi isyarat namun keduanya
sama-sama menceburkan diri ke dalam telaga untuk
membersihkan noda kuning. Lalu dengan cepat keduanya
keluar dari dalam telaga.
Di atas telaga, Ratu Randang yang tengah menghadapi
serbuan cahaya kuning Ilmu Mega Kuning Berarak Naik ke
Langit melihat Dirga Purana jatuh berlutut di atas batu di
tengah telaga. Wajahnya seputih kain kafan. Dua tangan
menggapai ke udara. Mulut terbuka seperti hendak berte–
riak namun tidak ada suara yang keluar. Mega Kuning
Berarak Naik ke Langit mendadak sontak menciut lalu
bergulung berubah bentuk menyerupai sebatang lidi. Lidi
ini kemudian melesat ke bawah, masuk ke dalam telaga.
Dirga Purana tiba-tiba saja bisa berteriak keras. Namun
teriakannya terdengar menggidikkan karena bukan meru–
pakan teriakan anak kecil atau manusia, tetapi menyerupai
raungan anjing di malam buta! Dia sendiri terkesiap kaget
mendengar suara teriakannya itu.
“Pertanda tidak baik. Malapetaka besar tengah meng–
ancam diriku! Aku akan segera menemui kematian.” Anak
usia dua belas tahun itu membatin ngeri dalam hati.
Wajahnya pucat pasi. Tubuh terasa dingin.
Sementara itu Ratu Randang berseru kaget ketika tiba-
tiba Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang digenggam erat di
tangan kanan, entah bagaimana tahu-tahu melesat lepas
dan bergulung di udara. Saat itu juga terdengar suara
mengeong keras.
Tiga anak kucing merah berjelapakan di tepi telaga
tanpa kepala!
Si nenek mendelik ngeri. “Oala bukan aku yang mem–
bantai. Tapi keris sakti yang punya mau!” Ucap Ratu
Randang dalam hati.
Dirga Purana kembali menjeritkan suara raungan
anjing. Tidak pikir panjang lagi dia melompat ke udara.
Mulut merapal panjang. Delapan benjolan merah tiba-tiba
muncul di kening. Sekali kepala digoyangkan, delapan
sinar merah melesat ke arah Ratu Randang. Serangan
Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!
Sebelumnya Ratu Randang oleh Wiro sudah diberi tahu
ilmu penangkal setiap serangan yang memancarkan sinar
atau cahaya merah, yaitu dengan menusukkan delapan jari
tangan ke benda apa saja. Namun saat ketika diserang itu
dirinya masih melayang di udara. Ratu Randang tidak tahu
mau menusuk apa. Wiro lupa menerangkan kalau berada
dalam keadaan seperti itu maka dia bisa menusuk kepala
atau tubuhnya sendiri! Sementara Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi masih melayang di udara, mengejar ke arah lima
kucing merah yang saat itu lari berpencaran. Dengannekad binatang itu menembus curahan air terjun dan
masuk ke dalam goa.
Dua tangan Dirga Purana berubah panjang dan besar
berwarna hitam berkilat. Sepuluh kuku jari memancarkan
cahaya merah. Hebatnya dua tangan itu bisa diulur pan–
jang ke udara untuk menangkap Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi. Inilah ilmu yang disebut Dua Roh Bermata Sepu–
luh. Ilmu kesaktian ini bukan saja bisa berupa serangan
ganas mematikan tapi juga sanggup menangkap benda-
benda sakti yang berada di tempat jauh seperti keris yang
saat itu tengah melayang di udara.
Namun yang dihadapi Dua Roh Bermata Sepuluh
adalah keris sakti mandraguna Kanjeng Sepuh Pelangi
yang kelak akan menjadi pusaka bertuah Kerajaan Mata–
ram yang oleh sementara petinggi kerajaan dan para tokoh
rimba persilatan seperti pernah dikatakan oleh Jaka
Pesolek, senjata itu dijuluki sebagai ‘Mahkota di Atas
Mahkota’.
Wuttt! Wuttt!
Dua tangan hitam berkelebat di udara. Sepuluh cahaya
merah bergulung membuntal membentuk jaring. Menyam–
bar ke arah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang tadi
mengejar lima ekor anak kucing merah.
Tanpa suara kecuali pancaran cahaya, keris sakti
melesat tinggi ke udara sambil membersitkan kibasan
sembilan cahaya pelangi, yang membuat dua tangan hitam
Dirga Purana saling memukul sendiri satu sama lain!
Kraaakk!
Tulang dua lengan hitam berderak patah. Sepuluh
cahaya merah di ujung kuku lenyap. Si bocah sendiri
berteriak setinggi langit. Tubuh terbanting jatuh di pinggi–
ran telaga. Tangannya kembali berubah pendek seperti
semula dan tampak terbujur tak berkutik!
Sementara itu Keris Sepuh Kanjeng Pelangi dengan
cepat turun ke bawah ke arah Ratu Randang. Lagi-lagi
tanpa suara sembilan cahaya pelangi memancar laksana
kipas raksasa terbuka, melindungi si nenek dengantebaran sembilan cahaya pelangi!
Ketika serangan Delapan Arwah Sesat Menembus
Langit yang dilepas lebih dulu oleh Dirga Purana memben–
tur sembilan cahaya pelangi, untuk ke dua kalinya di
tempat itu menggelegar letusan keras. Seantero tempat
tenggelam dalam goncangan luar biasa hebat disertai
punahnya delapan cahaya merah.
Ratu Randang yang terkesiap melihat apa yang terjadi
tersentak kaget sewaktu tiba-tiba gagang Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi menyusup kembali ke dalam genggaman–
nya. Di bawahnya dia melihat bocah Dirga Purana terkapar
tak bergerak, mengerang panjang pendek dan ada sesekali
muntahkan darah segar dari mulut. Tiba-tiba ada satu
cahaya kuning bertabur ke bawah dengan cepat menyapu
tepian telaga di mana Dirga Purana tergeletak. Di saat
bersamaan di kejauhan terdengar suara genta lonceng.
Sosok Dirga Purana yang tadi terkapar tak bergerak
mendadak bangkit berdiri. Dua tangan yang sebelumnya
patah tergontai-gontai kini tampak utuh tanpa cidera.
Di bagian lain telaga, di atas batu besar Pendekar 212
melihat kesempatan untuk kedua kali melepas Pukulan
Sinar Matahari. Kali ini diarahkan pada Dirga Purana. Dia
lupa kehebatan ilmu kesaktian bocah ini. Dari udara Ratu
Randang cepat mengirim suara mengiang.
“Wiro! Hantam pinggiran telaga di bawah kaki anak itu.
Begitu dia tidak menginjak bumi lagi aku akan menyerang
dengan Keris Kanjeng Sepuh pelangi! Riwayatnya harus
tamat saat ini juga!”
Wiro mendongak ke atas. Sebagai tanda telah mende–
ngar apa yang diucapkan si nenek, murid Sinto Gendeng
tekapkan tiga jari tangan kiri di atas bibir lalu tangan dila–
yangkan ke arah si nenek.
“Edan! Masih bisa bergurau si gondrong itu!” Ucap Ratu
Randang dalam hati agak kesal tapi mulut tampak mesem-
mesem melihat gerak cium jauh yang dilayangkan Pen–
dekar 212.
Didahului teriakan panjang si nenek melayang kebawah. Tangan yang memegang keris sakti diulur lurus-
lurus. Ujung lancip diarahkan tepat-tepat ke dada Dirga
Purana.
Karena dua tangan yang patah sudah sembuh secara
aneh dan kekuatan telah kembali pulih, Dirga Purana
membalas serangan si nenek dengan Ilmu Pembungkam
Bumi. Ilmu ini sanggup membuat semua benda hidup dan
gerakan manusia dalam lingkaran sepuluh tombak serta
merta terhenti laksana kaku. Namun saat itu satu cahaya
putih menyilaukan disertai gebubu hawa panas melesat ke
arah tepian telaga tempat si bocah berdiri. Pukulan Sinar
Matahari!
Blaaarrr!
Bebatuan di tepi telaga tempat Dirga Purana berdiri
hancur berantakan, sebagian besar longsor ke dalam
telaga. Karena tidak menginjak apa-apa lagi si bocah
langsung melesat ke atas. Membuat gerakan jungkir balik.
Lalu cepat-cepat melayang turun. Namun begitu tubuhnya
mengapung lurus di udara dia berteriak kaget ketika
melihat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi di tangan Ratu
Randang telah berada hanya dua jengkal di depan dada! Di
saat itu pula dia sadar kalau dua kakinya tidak menginjak
apa-apa!
Si bocah berteriak keras. Lagi-lagi suara teriakannya
luar biasa menggidikkan. Menyerupai raungan anjing di
malam buta!
“Ibunda Ananthawuri! Tewas putramu! Tewas putramu!”
Dirga Purana berteriak menyebut nama ibunya.
Hanya sekejapan lagi Keris Kanjeng Sepuh Pelangi
akan menghunjam telak di dada kiri Dirga Purana tiba-tiba
terdengar suara genta lonceng disertai menyambarnya
satu cahaya kuning, menyapu tepat antara dada dan ujung
keris!
SEMBILAN
SAMBARAN cahaya kuning yang disertai suara gema
lonceng membuat Dirga Purana terpental ke arah kiri,
menembus curahan air mancur dan lenyap masuk ke
dalam goa.
Blaarr!
Hampir di saat bersamaan, Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi menusuk deras. Benturan antara senjata sakti dan
sinar kuning menimbulkan suara letusan dahsyat. Ternyata
keris sakti itu masih sanggup menembus cahaya kuning.
Breett!
Baju hitam mewah Dirga Purana robek besar di dada
kiri! Untungnya sosok anak itu telah mental lebih dahulu
terdorong sambaran cahaya kuning. Kalau tidak jangan
harap bocah itu lolos dari kematian!
Selagi semua orang terkesiap melihat apa yang terjadi,
Ratu Randang cepat melayang turun ke dekat Wiro berdiri
dan langsung berbisik, “Ada yang menyelamatkan bocah
kurang ajar itu!”
“Kau betul Nek, justru aku ingin tahu siapa pelakunya.”
Mata juling bagus Ratu Randang menatap ke langit.
“Sebentar lagi kita segera akan melihat orangnya. Hatiku
tidak enak,” kata si nenek pula.
Benar saja, sesaat kemudian di langit tampak ada awan
kelabu melayang turun ke arah telaga sementara suara
gema lonceng terdengar semakin keras. Ketika suara
lonceng berhenti, awan kelabu telah berada beberapa
tombak di atas telaga. Di saat itu terdengar seseorang
berucap. Suara anak laki-laki.
“Pemilik sah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi belum
mendapatkan senjatanya. Mengapa orang lain bertindaklancang berani mempergunakan keris untuk membunuh?”
“Sial Nek. Kita dibilang lancang!” Wiro menggerutu.
“Anak kecil yang mana pula ini! Aku rasa-rasa pernah
mendengar suaranya!”
Tiba-tiba awan kelabu bergerak naik ke udara dan dari
bagian bawah melayang turun seorang anak lelaki menge–
nakan pakaian hitam sederhana serta kasut dari kulit kayu.
Wajah tampan jernih dan segar. Di telinga kanan mencan–
tel sebuah anting-anting emas. Raut wajah dan rambutnya
sangat sama dengan Dirga Purana. Anak ini berdiri di tepi
telaga sebelah selatan, di kiri air terjun. Setelah meman–
dang pada semua orang yang ada di tempat itu, dia
membungkuk memberi penghormatan.
“Nek, waktu di Bukit Batu Hangus kita pernah bertemu
dengan anak ini! Aku pernah mendampratnya gara-gara
bicara konyol! Bukankah dia yang pernah berkata: Jangan
membuat sejuta alasan untuk menghalalkan kematian
seorang insan. Sekarang dia muncul lagi! Dan barusan kau
dengar sendiri dia bicara seperti apa! Nek, cepat susupkan
keris sakti ke balik pakaian di punggungku. Aku tidak suka
anak satu ini. Aku punya dugaan anak ini hendak meminta
senjata itu!”
Tanpa banyak tanya Ratu Randang gulung Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi dengan potongan kain robekan
pakaiannya yang telah dipergunakan sebelumnya lalu
diselipkan ke pinggang di balik punggung pakaian Wiro.
“Nek apa anak yang ini kembaran dari anak satunya
bernama Dirga Purana itu yang berhasil kabur masuk ke
dalam goa?”
“Menurut riwayat yang aku dengar dia adalah adik Dirga
Purana. Kesaktiannya berada di atas sang kakak. Kau lupa
kalau dia yang bernama Mimba Purana, berjuluk Satria
Lonceng Dewa.”
“Aku tidak lupa. Bukankah dia yang menurut Raja
Mataram merupakan anak keramat mempunyai kesaktian
luar biasa tapi berpantang membunuh makhluk hidup,
hewan atau manusia, kecuali kalau ada petunjuk dari ParaDewa berupa suara lonceng! Lalu dia jadi punya alasan
membiarkan saja malapetaka dan pembunuhan terjadi di
Bhumi Mataram. Pasti tadi dia yang menolong kakaknya
dengan cahaya kuning itu. Padahal kau tahu sendiri siapa
adanya bocah bernama Dirga Purana itu.”
Ratu Randang hanya anggukkan kepala karena saat itu
bocah yang tengah dirasani telah melompat ke atas batu di
tengah telaga dan kini hanya terpisah beberapa langkah
dari Ratu Randang dan Wiro Sableng sementara Kunti
Ambiri dan Sakuntaladewi memperhatikan dari tepi telaga.
“Nek, aku tidak mau bicara berbasa basi dengan anak
itu. Aku harus segera menyusul Jaka Pesolek mengejar Ni
Gatri. Aku sangat khawatir bocah keparat Dirga Purana itu
telah berbuat mesum atas dirinya. Tadi aku sempat melihat
ada orang bermantel melarikan anak itu. Kurasa Pangeran
Matahari alias Ksatria Roh Jemputan. Kau urus dan layani
bocah tengik satu ini.”
“Ssst...” Ratu Randang sentuh lengan Wiro dan berkata
perlahan. “Jangan bicara seperti itu. Kalau anak itu men–
dengar kita bisa berabe...”
“Apanya yang berabe?” Wiro jadi kesal. “Aku tidak ada
urusan dengan dia. Tadi jelas-jelas dia menyelamatkan
bocah jahat bernama Dirga Purana. Siapapun dia adanya
dia memperlihatkan diri sebagai pembela orang jahat!”
“Tapi bocah jahat itu adalah kakaknya sendiri. Wajar
saja kalau dia memberi pertolongan.” Jawab Ratu
Randang.
“Terserah kau mau bicara apa Nek. Menurutku anak ini
punya otak tapi setengahnya sudah berlumut. Punya hati
tapi separuhnya sudah membeku jadi batu! Aku pergi Nek.
Aku akan mengajak Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri...”
“Tunggu!” Ratu Randang cepat cekal tangan kiri Wiro.
“Kau ingat, ketika kau dihajar gurumu dan aku beserta
kawan-kawan beramai-ramai balas menghantam Sinto
Gendeng, nenek itu pasti sudah menemui ajal dalam
keadaan tubuh hancur tak karuan kalau tidak diselamat–
kan oleh bocah sakti ini.”Wiro terdiam. Lalu berkata. “Dia berbuat budi, aku
berterima kasih. Tapi itu bukan berarti aku mau menjual
diri! Nek, kau juga harus ingat, kapak yang hilang belum
ditemukan. Selain itu guruku juga harus diselamatkan.”
Wiro lalu memberi isyarat pada Kunti Ambiri dan Sakun–
taladewi yang ada di tepi telaga. Ketika Wiro hendak
melesat ke arah kedua perempuan ini tiba-tiba anak lelaki
di depan sana geserkan kaki kanannya yang menginjak
batu. Saat itu juga ada selarik cahaya kuning memancar
lalu bergerak ke arah batu di mana Wiro berdiri. Bersama–
an dengan itu terdengar anak ini berkata.
“Sahabat dari negeri delapan ratus tahun mendatang
yang di Bhumi Mataram dikenal dengan sebutan Ksatria
Panggilan, beri saya waktu untuk bicara dan menerang–
kan.”
Sepasang kaki Pendekar 212 mendadak tidak bisa
bergerak. Wiro maklum bocah di hadapannya telah
mempergunakan kesaktian untuk menahan geraknya
melalui pancaran cahaya kuning yang keluar dari kaki
kanan si bocah. Sebenarnya Wiro sudah siap untuk alirkan
tenaga dalam penuh pada kedua kaki namun dilihatnya
Ratu Randang memberi isyarat dengan gerakan kepala
disertai suara mengiang.
“Tak usah dilawan. Dengarkan saja apa yang mau
dikatakannya.”
Wiro batalkan niat mengalirkan tenaga dalam lalu
berkata, “Sahabat muda Mimba Purana, kalau ingin bicara
pergunakan mulut, bukan diam-diam mencekal sepasang
kakiku unjukkan kesaktian!”
Anak lelaki bernama Mimba Purana tersenyum.
“Sahabat Ksatria Panggilan, terima kasih kau telah
menegur. Saya bersyukur bisa menemuimu dan kau mau
memberi waktu...”
“Sudah, katakan saja kau mau bicara dan menerang–
kan apa?” Wiro memotong ucapan Mimba Purana.
“Pertama saya perlu menjelaskan bahwa anak lelaki
yang tadi masuk ke dalam goa adalah kakak kandung saya
sedarah sedaging. Ketika salah satu dari kami berada
dalam bahaya adalah wajar jika kami memberi perto–
longan...”
“Saya maklum dan saya mengerti. Tadipun Ratu Ran–
dang sudah memberitahu.” Jawab Pendekar 212. “Tapi
apa yang saya tidak maklum dan tidak mengerti, apakah
sahabat muda menyadari berapa saja tokoh kerajaan yang
sudah menemui ajal? Berapa saja rakyat tak berdosa yang
telah terbunuh? Semua gara-gara perbuatan Sinuhun
Merah dan Sinuhun Muda. Dan sangat disayangkan karena
secara kasat mata semua orang tahu bahwa kakak kan–
dung sahabat muda ikut terlibat dalam semua kejahatan
itu. Termasuk punya andil dalam menimbulkan Malapetaka
Malam Jahanam di Bhumi Mataram!”
“Ksatria Panggilan, saya tidak menyangkal kalau kakak
saya telah banyak melakukan kesalahan besar. Namun
kita sebagai manusia dan saya sebagai adiknya merasa
jika kesalahan kakak saya masih bisa diperbaiki, mengapa
saya tidak harus melakukannya? Menasihatinya dan
meminta dia bertobat?”
“Apakah sahabat muda sudah melakukan hal itu?
Pernah menasihati dan menyuruh tobat kakak kandung
sahabat muda?” Pertanyaan itu diucapkan Wiro sambil
senyum-senyum.
“Memang belum.” jawab Mimba Purana.
Pendekar 212 kembali tersenyum, “Walah...!” Wiro
menggaruk kepala “Selagi sahabat muda bicara panjang
lebar di sini, berapa orang lagi di luar sana menemui ajal
akibat kejahatan dua Sinuhun dan kaki tangannya!
Mengapa hukum dan kebenaran tidak lebih cepat
dilakukan?”
“Soal hukuman bahkan kematian sekalipun biarlah
Para Dewa yang menentukan. Kita manusia jangan men–
dahului kehendak Yang Maha Kuasa.”
“Kejahatan telah terjadi di depan mata dan masih akan
terjadi. Dan kita bangsa manusia hanya berpangku tangan
dengan alasan jangan mendahului kehendak Yang MahaKuasa! Oala! Apa memang begitu maunya Yang Maha
Kuasa? Kita telah berbuat lalai lalu enak saja berkata biar
nanti Yang Maha Kuasa yang menjatuhkan hukuman!
Pantas banyak orang mati tak karuan di negeri ini. Kalau
sudah jadi roh maka rohnyapun masih gentayangan tidak
karuan! Masih tega berbuat kejahatan!”
Wajah Ratu Randang tampak berubah. Dia khawatir
Satria Lonceng Dewa akan merasa tersinggung oleh
ucapan Wiro tadi. Sakuntaladewi unjukkan raut muka
terkesiap. Sebaliknya Kunti Ambiri tersenyum dan dari tepi
telaga dia acungkan jempol tangan kanannya ke udara.
Mimba Purana sebaliknya tetap unjukkan wajah tenang,
tidak ada rasa kecewa, apa lagi gejolak amarah mendengar
ucapan Pendekar 212. “Sahabat Ksatria Panggilan, saya
sangat mengerti jalan pikiran dan suara hatimu,” berkata
Mimba Purana “Bagi saya jika sesuatu bisa diperbaiki
dengan cara tidak membunuh maka hal itulah yang
pertama kali akan saya lakukan. Lagi pula bagaimanakah
perasaan hati seseorang membunuh saudara kandung
sendiri. Ksatria Panggilan, apakah kau punya saudara
kandung? Jika punya apakah kau akan merasa tega
membunuh saudaramu sendiri walau dia memang
bersalah?”
“Sahabat Mimba Purana, mohon maaf. Turut bicaramu
rupanya ada perbedaan hukum terhadap saudara kandung
dan orang yang bukan saudara kandung. Sayang, aku
memang tidak punya saudara kandung hingga tidak dapat
menyelami jalan pikiran dan perasaan hatimu. Sahabat
muda, mohon maafmu. Aku dan kawan-kawan harus pergi.
Seorang anak perempuan terancam keselamatannya. Kami
harus menolong, walau anak itu bukan saudara kandung
kami!”
“Tunggu...! Masih ada yang ingin saya sampaikan.”
“Pasti dia mau minta keris!” Duga Wiro dalam hati. Saat
itu kembali dia mulai kerahkan tenaga dalam dan hawa
sakti ke kaki.
“Ksatria Panggilan, saya tahu kau mampumemusnahkan kekuatan yang membuat dua kakimu tak
bisa bergerak dan pergi dari sini. Tapi saya mohon jangan
pergi dulu. Ada sesuatu teramat penting yang akan saya
sampaikan”
“Apakah itu lebih penting dari menyelamatkan nyawa
dan kehormatan seorang anak perempuan bernama Ni
Gatri, menemukan kapak sakti, menyelamatkan guruku
dan...”
“Semua yang sahabat sebutkan itu memang penting,
bahkan sangat penting. Tergantung dari sisi mana kita
melihatnya...”
“Tidak ada sisi yang lebih baik selain sisi kebenaran!”
Jawab Wiro yang sudah jengkel dan tak dapat menahan diri
lagi. Setengah berbisik Wiro berkata pada Ratu Randang.
“Nek, temui aku di pinggiran timur kawasan Prambanan.
Aku sudah muak melihat dan bicara dengan bocah sok
pintar itu. Beri tahu teman-teman...”
Murid Sinto Gendeng dengan cepat kembali salurkan
tenaga dalam tinggi dan hawa sakti penuh pada dua
kakinya.
Desss!
Batu besar di tengah telaga yang dipijak Wiro bergetar
keras. Selarik cahaya kuning mengepul.
Braakkk!
Batu besar hancur berantakan. Air telaga muncrat
setinggi dua tombak. Bersamaan dengan itu sosok Pen–
dekar 212 meluncur ke bawah, lenyap ke dalam telaga.
Mimba Purana terkesiap melihat apa yang terjadi.
“Nenek Ratu Randang...” Ucapan anak ini terputus
karena saat itu Ratu Randang tidak ada lagi di tempatnya
semula. Dia berpaling ke tepi telaga. Kunti Ambiri dan
Sakuntaladewi juga tidak kelihatan lagi!
Si bocah menarik nafas dalam. Perlahan mulutnya
berucap. “Mungkin aku terlalu banyak bicara. Seharusnya
tadi langsung saja pada amanat yang diberikan kakek alam
roh itu...”
Dia kemudian memandang ke arah curahan air terjun.Memperhatikan mulut goa yang terlihat samar. Mulut
kembali berucap, “Rakanda Dirga, hari ini aku masih bisa
menolongmu. Tapi bila datang takdir dan kuasa Para Dewa,
tidak seorangpun bisa menyelamatkanmu, termasuk
dirimu sendiri.”
Setelah merenung sejenak anak ini gosokkan dua
telapak tangan. Ketika dua telapak dipisahkan kelihatan
ada lingkaran putih di telapak tangan kanan. Di dalam
lingkaran putih terdapat bagian berwarna biru setengah
luas lingkaran.
“Warna biru baru seluas setengah lingkaran. Hyang
Jagat Bathara Dewa, apakah Bhumi Mataram benar-benar
akan dapat diselamatkan? Apakah Bulan Biru benar-benar
akan muncul di langit pada malam yang telah ditentukan?
Apa lagi yang akan terjadi sampai warna biru menutup
seluruh lingkaran putih di telapak tangan kanan saya?
Sayang, saya tidak berkesempatan memberitahu pada
pendekar dari alam delapan ratus tahun mendatang itu.
Dia kelihatan jengkel pada saya. Tapi saya tahu mulut dan
hatinya polos. Saya mohon Para Dewa memberi perlin–
dungan dan pertolongan pada semua maksud baik yang
hendak dilaksanakannya.”
Awan kelabu tiba-tiba muncul dan turun di tengah
telaga. Mimba Purana melesat ke bagian atas awan. Dia
bersila seolah duduk di atas satu buntalan empuk. Dua
tangan dirangkap di atas dada. Sepasang mata dipejam.
Angin sejuk bertiup dari arah timur. Awan kelabu bergerak
naik semakin tinggi. Anak lelaki itu mulai masuk ke alam
samadi.
SEPULUH
KSATRIA Roh Jemputan alias Pangeran Matahari boleh
punya ilmu lari secepat setan berkelebat. Namun dia
tidak mampu menghindar dari kejaran Jaka Pesolek
yang sanggup melesat seperti kilat menyambar. Di satu
hutan jati yang sepi tak jauh dari kawasan Prambanan,
Pangeran Matahari baringkan Ni Gatri di tanah. Dia tidak
mengetahui kalau di atas salah satu pohon jati di sekitar
situ Jaka Pesolek mengawasi apa yang dilakukannya.
Setelah membaringkan Ni Gatri Pangeran Matahari
memeriksa keadaan anak perempuan itu. Tubuh Ni Gatri
diraba di beberapa bagian. Lalu pipi ditepuk-tepuk. Namun
Ni Gatri tetap tidak bergerak.
“Anak ini masih bernafas. Aku tidak yakin dia dalam
keadaan pingsan. Ada satu kekuatan aneh mendekam
dalam tubuhnya. Jangan-jangan bocah itu telah memper–
gunakan rapalan jahat ilmu mencuci otak.” Sang Pangeran
perhatikan keadaan pakaian Ni Gatri. Dadanya berdebar,
kecurigaan muncul.
“Jangan-jangan aku sudah kedahuluan...” Ucap Pange–
ran Matahari dalam hati. Tangan kanan diulur menyingkap
pakaian Ni Gatri di sebelah bawah. Serta merta sang
Pangeran tersentak melihat apa yang disaksikannya.
“Dirga Purana bocah keparat! Kurang ajar!” Pangeran
Matahari berdiri. “Ni Gatri, kau tidak ada gunanya lagi
bagiku! Pangeran Matahari berpantang mendapat sisa!”
Tidak pikir panjang lagi Pangeran Matahari segera
hendak melangkah pergi. Saat itulah sudut matanya
melihat satu benda kemerahan menyelinap di atas salah
satu pohon jati.
“Pohon jati tidak pernah membekal warna merah. Ada
seseorang mengintai gerak-gerikku!”
Tidak menunggu lebih lama sang Pangeran segera
angkat tangan kanan. Tidak tanggung-tanggung dia mele–
pas pukulan Gerhana Matahari. Tiga cahaya berkiblat
kuning, hitam, dan merah.
Wusss!
Pohon jati besar yang telah berumur setengah abad
lebih tenggelam dalam buntalan api. Satu pekikan terde–
ngar ketika pohon jati roboh ke tanah dalam keadaan
hangus hitam. Pangeran Matahari cepat melompat men–
datangi.
“Jelas aku mendengar suara jeritan! Tapi tidak ada
bangkai gosong!” Sang Pangeran berpikir-pikir. “Bayangan
merah. Agaknya bukan pendekar keparat itu! Suara yang
menjerit suara perempuan! Mungkin Dewi Ular atau gadis
berkaki satu itu?”
Tadinya Pangeran Matahari mengira yang mengintainya
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Bangsat pengintai itu
mampu selamatkan diri dari pukulan Gerhana Matahari.
Berarti dia memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Tapi
mengapa tidak membalas. Justru malah sembunyi.”
Pangeran Matahari memandang berkeliling, “Aku tak
mungkin membakar seluruh hutan jati ini untuk menang–
kap tikus yang bersembunyi!”
Pangeran berjuluk Segala Cerdik, Segala Akal, Segala
Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak ini menyeringai. Satu
akal cerdik terlintas di benaknya. Cepat-cepat dia menda–
tangi sosok Ni Gatri yang masih tergeletak di tanah. Dia
berteriak keras-keras, “Ni Gatri! Kau layak mendapat
kemurahan hati seorang pangeran. Soal aku sudah keda–
huluan anak jahanam itu aku tidak perduli! Kau masih
pantas melayani diriku!”
Pangeran Matahari gerakkan dua tangan ke pinggang
celana lalu membungkuk di atas tubuh Ni Gatri. Pada saat
itulah tiba-tiba ada yang berteriak.
“Jangan! Anak itu sudah cukup menderita! Jangan kau
tambah kesengsaraannya!”Satu bayangan merah berkelebat dari balik serumpun
semak belukar. Yang muncul ternyata seorang gadis cantik
berpakaian merah muda yang bukan lain adalah Jaka
Pesolek.
“Kau!” Ujar Pangeran Matahari yang diam-diam senang
jebakannya berhasil. Lebih senang lagi ketika menyaksikan
yang berdiri di hadapannya saat itu adalah gadis cantik
salah seorang sahabat Pendekar 212. Akal busuknya
kembali bekerja. “Gadis cantik kau berani menghalangi
apa yang hendak aku lakukan! Apa imbalannya kalau
maksudku terhadap anak ini tidak jadi aku teruskan? Kau
mau menjadi penggantinya?”
Jaka Pesolek tersipu-sipu. “Walau kasar tapi tampang
orang ini tidak jelek-jelek amat.” Kata si gadis dalam hati.
Lalu dia berkata “Aku mohon, anak itu masih terlalu kecil.
Dalam keadaan pingsan pula...”
“Kurasa anak itu sudah mati...”
“Aku tidak percaya. Masakan seorang yang mengaku
Pangeran mau meniduri mayat! Hik... hik... hik!”
“Kurang ajar! Cerdik juga gadis satu ini!” Pikir Pangeran
Matahari. “Dengar, kau boleh membawa anak ini. Tapi
sebelum pergi kita berdua bisa bersenang-senang lebih
dulu.”
“Bersenang-senang bagaimana maksudmu?”
Pangeran Matahari menyeringai. “Jangan pura-pura
tolol. Lekas tanggalkan pakaianmu!”
“Hik... hik!” Jaka Pesolek tertawa. “Mengapa aku harus
menanggalkan pakaian?!” Dia bertanya lalu keluarkan
kotak hias, bedaki wajah, poles bibir dan kerengi alis.
Sambil rapikan rambut dia simpan kembali kotak hias
hadiah Nyi Roro Jonggrang itu. Sesaat Pangeran Matahari
dibuat terpesona melihat wajah yang kini berubah lebih
cantik dan lebih segar itu. Sambil usap-usap dadanya
sendiri Jaka Pesolek bertanya konyol. “Hai, apakah
menurutmu dadaku bagus dan besar?”
“Kalau pakaianmu sudah kau buka baru aku bisa tahu!”
Jawab Pangeran Matahari tak kalah konyol.“Oh begitu? Tapi kau belum menjawab mengapa aku
harus menanggalkan pakaian.”
“Jangan berpura-pura. Sorot matamu menyatakan kau
suka padaku! Tapi kalau kau menampik, berarti kau minta
aku yang menanggalkan pakaianmu!”
“Ah, itu rasanya lebih menarik. Hik... hik... hik. Tapi
bagaimana kalau kita berdua sama-sama menanggalkan
pakaian. Kulihat bajumu sudah tersingkap, celanamu
sudah melorot!”
“Aku tidak menolak!” Jawab Pangeran Matahari jadi
panas. Cuping hidung kembang kempis dan pelipis ber–
gerak-gerak.
“Bagus, tapi sebelum kita sama-sama bugil lalu terus...,
hik... hik. Aku ingin anak perempuan itu disingkirkan lebih
dulu. Biar aku pindahkan dia ke balik semak belukar sana.
Siapa tahu selagi kita berasyik-asyik tiba-tiba dia sadar dan
melihat apa yang kita kerjakan. Bagaimana, kau bisa
mengerti? Kau setuju?”
Pangeran Matahari mengangguk. “Lakukan cepat!
Kalau sudah lekas datang ke hadapanku!”
“Jangan khawatir!” Kata Jaka Pesolek pula. “Selesai
aku membawa anak ini ke balik semak belukar sana aku
akan membuka seluruh pakaianku. Lalu datang ke
hadapanmu! Aku harap kau sudah menunggu dalam
keadaan yang sama.” Jaka Pesolek layangkan senyum
genit sambil lidah dijulur membasahi bibir.
Hasrat Pangeran Matahari jadi tambah bergelora.
Membuat dia jadi tidak sabaran. “Cepat singkirkan anak
itu!”
Pangeran Matahari memperhatikan sambil usap
janggut tipis kasar di dagu. Dalam hati dia membatin.
“Tadinya kalau sudah bersenang-senang aku niat akan
membunuhnya. Tapi dia punya ilmu bergerak cepat luar
biasa. Lalu kepandaiannya menangkap serangan Lentera
Iblis yang dianggapnya petir kurasa bisa aku manfaatkan.
Aku akan merayunya agar mau menjadi kekasih untuk
membantuku menumpas Sinuhun Muda merebut kuasa dinegeri yang sedang kacau ini! Sinuhun Merah sudah
mampus, kembali ke alam roh! Tujuanku hanya tinggal
beberapa langkah saja!”
***
Seperti diceritakan dalam Episode terdahulu berjudul
“Roh Jemputan”, Sinuhun Merah Penghisap Arwah mema–
suki alam delapan ratus tahun mendatang dan pergi ke
Gunung Merapi untuk menemui Pangeran Matahari yang
disebut sebagai Ksatria Roh Jemputan. Sinuhun Merah
minta bantuan Pangeran Matahari untuk membunuh
Ksatria Panggilan yang bukan lain adalah Pendekar 212
Wiro Sableng. Pangeran Matahari menjawab dia bersedia
membantu asal diberi imbalan. Imbalan yang diminta
adalah agar Sinuhun Merah dan orang-orangnya memban–
tu pendirian Partai Bendera Darah di Bhumi Mataram.
Saat itu dengan congkak Pangeran Matahari yang
belum tahu banyak siapa adanya Sinuhun Merah Penghi–
sap Arwah, berkata, “Sinuhun Merah, aku minta diberi hak
dan kesempatan untuk mendirikan Partai Bendera Darah
di Bhumi Mataram. Partai ini kelak akan menguasai dunia
nyata dan alam gaib. Kau akan menjadi salah seorang
pembantuku. Berarti mulai saat ini kau harus tunduk
padaku!”
Kejut Sinuhun Merah bukan alang kepalang. Darah
mendidih. Amarah meledak! Setelah memaki dia pancar–
kan delapan cahaya merah dari benjolan yang ada di
keningnya, diarahkan pada Pangeran Matahari. Saat itu
juga di kening Pangeran Matahari muncul delapan benjolan
merah.
“Roh Jemputan!” Hardik Sinuhun Merah. “Kesom–
bonganmu tidak berlaku di hadapanku. Mulai saat ini kau
yang harus tunduk padaku! Aku akan mengendalikan
dirimu dan memberi setiap perintah yang harus kau patuhi!
Sekarang berlututlah di hadapanku! Jika kau menolak aku
akan membuat kau tidak kembali ke alammu untukGatri tiba-tiba merasakan ada sambaran angin di sebelah
bawah. Kedua kakinya terasa berat dan tubuhnya seperti
ditarik ke tanah. Sementara itu di arah depan dia melihat
cahaya terang berputar yang membuat pandangannya
menjadi silau.
Braakk!
SEBELAS
JAKA PESOLEK terpekik ketika bahu kirinya menabrak
pohon jati. Tak ampun lagi tubuh gadis ini jatuh
terbanting ke tanah. Ni Gatri terguling dari panggulan.
Sambil mengusap bahu kirinya dan mengerang kesakitan,
terhuyung-huyung Jaka Pesolek mencoba berdiri. Saat
itulah dari belakang ada satu tangan berkelebat.
Breett!
Jaka Pesolek terpekik. Bagian belakang baju merahnya
robek besar mulai dari punggung sampai ke pinggul! Jaka
Pesolek tahu bahaya besar yang mengancam dirinya. Dia
hendak berkelebat lari tapi pandangan kedua matanya
masih gelap. Dalam takutnya gadis ini jadi nekad. Dia
menghambur dengan gerakan kilat tapi tanpa arah.
Akibatnya Pangeran Matahari dengan mudah berhasil
mencekalnya!
“Aku suka gadis berani dan punya akal!” Berkata
Pangeran Matahari lalu tertawa bergelak. Tangan kanan
bergerak.
Breett! Breett!
Pakaian merah muda Jaka Pesolek robek di bagian
bahu dan pinggang. Gadis itu usap kedua matanya. Ketika
pandangannya mulai jelas dia melihat dua tangan diulur ke
arah dadanya. Dengan cepat Jaka Pesolek melompat ke
belakang. Namun gerakannya terhalang batang pohon jati.
“Gadis cantik, kau harus dibuat jinak lebih dulu!”
Lalu bett... bett!
Dua totokan mendarat di urat besar di leher serta bahu
kanan Jaka Pesolek. Langsung gadis ini merasa tubuhnya
kejang, tak bisa bergerak tapi masih mampu bersuara.
Ketika tubuhnya terhuyung ke depan, Pangeran Mataharicepat merangkul pinggangnya lalu baringkan si gadis di
tanah.
Dalam takutnya Jaka Pesolek berkata. “Jangan berlaku
kasar. Kalau kau lepaskan totokan, aku akan melayanimu
sampai kau benar-benar merasa puas...”
Pangeran Matahari menyeringai. “Siapa percaya gadis
penipu sepertimu!”
Tangan kiri menyambar ke dada.
Brettt!
Kembali ada pakaian Jaka Pesolek yang robek. Kali ini
di bagian dada. Sepasang mata Pangeran Matahari
mendelik, kening mengerenyit dan tampang berubah aneh
ketika melihat dada yang tersingkap. Seumur hidup baru
kali ini dia melihat dada seorang gadis rata seperti itu.
Penasaran dengan cepat tangannya bergerak turun ke
bawah.
“Tunggu... jangan! Aku mau bicara dulu!” Jaka Pesolek
berkata. Wajah mendadak pucat.
“Ada apa?!” Bentak Pangeran Matahari. “Tadi kau
menantang mau membuat aku puas. Sekarang kenapa kau
ketakutan?! Kau mau mengatakan apa...?”
“Aku, aku, maksudku... aku bisa jantan bisa betina...”
“Apa maksudmu dengan ucapan itu!”
“Hik... hik! Aku hanya mau memberi tahu. Biar aku
sendiri yang menanggalkan pakaianku. Lepaskan totokan–
ku. Nanti aku...”
Tidak sabaran Pangeran Matahari langsung saja
bertindak kurang ajar. Seluruh pakaian Jaka Pesolek di
sebelah bawah ditarik lepas. Begitu melihat aurat yang
tersingkap, Pangeran Matahari berteriak kaget! Tubuhnya
yang mencangkung di samping Jaka Pesolek tersurut
bahkan kemudian dia melompat berdiri!
“Jahanam keparat! Kau ini makhluk apa?! Manusia
atau jejadian?! Kau ini lelaki atau perempuan. Kalau lelaki
mengapa berpakaian dan berdandan serta punya suara
seperti perempuan! Kalau perempuan mengapa...”
“Pangeran, lepaskan dulu totokan di tubuhku. Nanti akuakan menerangkan. Kau tidak akan kecewa! Karena,
karena seperti kataku tadi aku bisa jantan bisa betina.
Terserah kau mau memilih yang mana. Bisa salah satu bisa
dua-duanya...”
“Makhluk terkutuk! Manusia banci! Berani kau mem–
permainkanku!” Saking marahnya Pangeran Matahari
tendangkan kaki kanannya ke pinggul Jaka Pesolek.
Bukkk!
Jaka Pesolek menjerit keras. Tubuhnya mencelat sam–
pai dua tombak. Terkapar tertelentang di tanah, menge–
rang pendek lalu megap-megap siap untuk pingsan! Masih
belum puas Pangeran Matahari mengejar. Kaki kanan
diangkat tinggi-tinggi. Kali ini kaki itu siap dihunjamkan ke
bagian bawah perut Jaka Pesolek.
Hanya tinggal sekejapan saja tubuh bagian bawah Jaka
Pesolek akan hancur luluh dan sudah dipastikan akibatnya
si gadis akan menemui ajal, tiba-tiba tanah di samping kaki
kiri Pangeran Matahari terkuak. Satu tangan mencuat ke
atas langsung mencekal pergelangan kaki kirinya!
Kaget Pangeran Matahari bukan olah-olah.
“Kurang ajar! Setan dari mana...?!”
Ketika Pangeran Matahari berusaha menyentakkan
kaki yang dicekal tiba-tiba sesosok tubuh berpakaian
merah bergaris kuning, didahului oleh kepala berambut
gondrong sebahu mencuat keluar dari dalam tanah. Saat
itu juga sang Pangeran merasa kaki kirinya dibetot keras,
membuat tubuhnya melintir diputar seperti titiran. Ketika
cekalan tiba-tiba dilepas tak ampun lagi tubuh Pangeran
Matahari terlempar ke udara dan baru berhenti ketika,
braaakk!
Tubuh itu menghantam batang pohon jati kecil. Pohon
jati berderak patah dan tumbang. Walau bahu kirinya
serasa remuk akibat beradu dengan pohon namun
Pangeran Matahari masih bisa keluarkan teriakan marah.
Tubuh melesat ke udara, berjungkir balik satu kali dan di
lain kejap sudah berdiri lima langkah di hadapan orang
yang melemparnya ke udara. Dia jadi melengak kagetkarena tidak menyangka. Ternyata orang itu bukan lain
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng!
“Jahanam keparat! Kau muncul mengantar nyawa!”
Teriak Pangeran Matahari dengan menindih rasa herannya
melihat Wiro memiliki ilmu bisa masuk dan keluar dari
dalam tanah!
Wiro sunggingkan senyum mengejek.
“Dari hidup kau minta mampus. Sudah mampus dan
jadi roh masih berkeliaran menebar kejahatan! Pangeran
geblek! Kau pantas dikembalikan ke alam roh untuk
selama-lamanya!”
Mendidih darah dan amarah Pangeran Matahari
mendengar ucapan Wiro. Didahului teriakan dahsyat tidak
kepalang tanggung dia lancarkan dua serangan dengan
tangan kiri kanan sekaligus!
Tangan kiri diangkat ke atas membentuk tinju. Begitu
tangan dihantamkan ke arah lawan, lima jari yang menge–
pal dibuka. Lima larik angin menderu tanpa warna. Lawan
yang diserang serta merta merasa dada dan isi perutnya
seperti dibongkar dibetot keluar. Jalan darah terhenti.
Kepala seperti dihajar palu godam! Tubuh secara menda–
dak kehilangan kekuatan! Inilah yang disebut Pukulan
Merapi Meletus. Jika tidak mampu selamatkan diri maka
dalam hitungan kejapan mata orang yang jadi sasaran
akan meledak tubuhnya mulai dari kepala sampai ke ujung
kaki!
Serangan Pangeran Matahari kedua yang dilancarkan
dengan tangan kanan melesatkan cahaya tiga warna yaitu
merah, kuning, dan hitam, Pukulan Gerhana Matahari!
Orang lain mungkin tidak bisa menghindar dan mere–
gang nyawa secara mengerikan dilanda dua serangan
Pangeran Matahari. Tetapi murid Sinto Gendeng sebagai
musuh lama dan bebuyutan tahu betul semua ilmu kesak–
tian yang dimiliki lawan. Malah saat itu dia sudah mewas–
padai kalau-kalau Pangeran Matahari akan mengeluarkan
senjata dahsyatnya, yaitu Lentera Iblis!
Walau saat itu tubuhnya mulai terasa gontai dan panas
akibat dikunci serangan pertama yaitu Pukulan Merapi
Meletus, sementara serangan kedua menderu dengan
ganas, Pendekar 212 cepat tancapkan dua kaki ke tanah
hingga tenggelam sampai sebatas pertengahan betis. Dari
batok kepala mengepul asap putih. Ini pertanda sang
pendekar tengah mengerahkan seluruh tenaga dalam dan
hawa sakti yang dimiliki. Satu hal yang jarang-jarang
dilakukan Wiro.
Sambil membentak keras Wiro tekuk sedikit kedua
lutut. Dua tangan dihantamkan ke depan, ke arah datang–
nya dua serangan lawan. Tangan kiri digerakkan dalam
jurus Membuka Jendela Memanah Matahari lalu melepas
Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Dengan
tangan kanan Wiro melepas Pukulan Tangan Dewa Meng–
hantam Tanah yang sengaja diarahkan ke bagian kaki
lawan.
Dua dentuman keras menggelegar di dalam hutan jati.
Tanah di depan kaki Pangeran Matahari terbongkar mem–
bentuk lobang besar. Sang Pangeran tampak tergontai
pucat. Mulut lelehkan darah merah kehitaman. Dalam
berusaha mengimbangi diri agar tidak terperosok ke dalam
lobang, Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang
datang menggebubu. Ketika dia berusaha bertahan
dengan mengerahkan seluruh kekuatan luar dalam yang
dimiliki, Pangeran Matahari dapatkan tubuhnya terangkat
ke udara. Wiro sentakkan tangan kiri. Seperti dibetot tubuh
Pangeran Matahari tertarik ke depan dan langsung masuk
ke dalam lobang besar. Di saat itu Wiro yang juga mende–
rita luka dalam cepat guratkan ujung kaki kanannya ke
tanah.
Rrrttttt!
Ilmu Membelah Bumi Menyedot Tanah! Tanah di dalam
lobang besar terbelah. Pangeran Matahari berteriak kaget
ketika tubuhnya mendadak tersedot ke dalam belahan
tanah. Mendahului datangnya daya sedotan yang lebih
besar, Pangeran yang cerdik ini dengan ilmu yang didapat–
nya dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah amblaskan dirike sisi kiri belahan tanah. Lenyap dari pemandangan.
Wiro cepat mengejar namun hanya bisa berhenti di
depan belahan tanah yang perlahan-lahan kembali ber–
satu. Wiro seka darah yang keluar di sela bibirnya. Dada
mendenyut sakit. Selagi dia berpikir-pikir apakah Pangeran
Matahari benar-benar telah menemui ajal di dalam tanah
tiba-tiba dia merasa sambaran angin di belakangnya. Wiro
cepat berbalik tepat pada saat satu jotosan dahsyat
memancarkan cahaya merah menderu ke arah keningnya.
Inilah pukulan bernama Di Dalam Arwah Ada Raga. Yang
melancarkan serangan adalah Pangeran Matahari.
Ternyata makhluk berjuluk Ksatria Roh Jemputan ini masih
hidup!
DUA BELAS
PUKULAN yang dilancarkan Pangeran Matahari adalah
pukulan bernama Di Dalam Arwah Ada Raga yang
didapatnya dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Sebenarnya Wiro punya kesempatan untuk mengelak atau
menghindar dari pukulan maut itu, namun entah mengapa
dia memilih berjibaku. Ingin melumat musuh bebuyutannya
saat itu juga!
Pendekar 212 rundukkan kepala sambil dua lutut
ditekuk. Dua tangan dengan cepat dipentang ke atas,
disilang demikian rupa. Telapak tangan kanan dibuka lalu
ditiup. Serta merta di atas telapak tangan itu muncul gam–
bar kepala harimau putih bermata biru! Di kejauhan tiba-
tiba terdengar suara auman dahsyat yang menggetarkan
tanah di hutan jati. Itulah auman harimau sakti Datuk Rao
Bamato Hijau yang walau terpisah jauh tapi mendapat
sambung rasa dan tahu kalau Pendekar 212 berada dalam
bahaya.
Pangeran Matahari terlalu yakin kalau serangannya kali
itu akan menghancurkan kepala lawan dan menamatkan
riwayat Pendekar 212! Sambil keluarkan suara menggem–
bor dia kerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti.
Sebaliknya begitu tangan kanan lawan masuk, Wiro
menggerakkan dua tangan seperti gunting melibas.
Bukkk!
Terjadi bentrokan hebat antara dua tangan Wiro yang
disilang dengan lengan Pangeran Matahari yang datang
menyambar.
Kraakk!
Jeritan menggelegar dari mulut Pangeran Matahari
begitu tulang lengan tangan kanannya patah. Selain itudorongan tenaga dalam lawan membuat tubuhnya
terpental dua tombak dan jatuh terjengkang di tanah.
Kehebatan serangan sang Pangeran yang mengandalkan
ilmu kesaktian dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah
ternyata tidak mampu menandingi tangkisan sekaligus
serangan Pukulan Harimau Dewa warisan Datuk Rao
Basaluang Ameh dari Danau Maninjau!
Wiro sendiri terhempas satu tombak ke belakang.
Punggung membentur batang pohon jati. Cidera dalam
yang dialaminya bertambah parah akibat bentrokan tadi
dan lelehan darah semakin menebal di sela bibir sementa–
ra dua kaki terasa bergetar. Sebelum dirinya jatuh berlutut,
Wiro masih mampu mengangkat tangan, merapal aji
kesaktian Pukulan Sinar Matahari. Begitu tangan kanan
mulai dari siku sampai ke ujung jari berubah menjadi
seputih perak, Wiro langsung menghantam ke depan.
Sinar putih berkilau disertai suara menggelegar dan
hamparan panas berkiblat ke arah Pangeran Matahari yang
dalam keadaan nyaris tak berdaya masih berusaha jatuh–
kan diri ke tanah walaupun terlambat. Hanya sesaat lagi
dia akan menemui ajal untuk kedua kali tiba-tiba satu
bayangan merah berkelebat di udara. Aneh dan luar
biasanya bayangan ini sengaja menyongsong datangnya
cahaya putih menyilaukan Pukulan Sinar Matahari yang
dilepas Pendekar 212 Wiro Sableng untuk menghabisi
Pangeran Matahari alias Ksatria Roh Jemputan!
Apa yang terjadi?
Sebelumnya diketahui Jaka Pesolek terhantar di tanah
akibat tendangan Pangeran Matahari. Dalam keadaan
setengah sadar setengah pingsan dia mengetahui sedang
terjadi pertarungan hebat antara Wiro dan sang Pangeran
sementara Ni Gatri tidak terlihat lagi di sekitar situ. Mung–
kin anak ini terlempar ke dalam hutan jati ketika terjadi
letusan-letusan dahsyat akibat bentrokan pukulan-pukulan
sakti tadi. Meski tidak berdaya seperti itu, tetapi ketika dia
mendengar suara menggelegar disertai sambaran cahaya
putih, mendadak sontak semangat dan kekuatan JakaPesolek timbul kembali. Anehnya, dia merasa tubuhnya
seringan kapas.
“Ada petir menyambar di dalam hutan! Oala! Tanganku
jadi gatal! Aku...”
Tidak tunggu lebih lama gadis ini segera melesat ke
atas lalu laksana kilat menyambar dia berkelebat ke arah
cahaya putih yang seperti sudah-sudah, diduganya sebagai
petir. Padahal cahaya putih menyilaukan dan panas itu
adalah Pukulan Sinar Matahari yang dilepas Pendekar 212
Wiro Sableng untuk menghabisi Pangeran Matahari!
Sambil berteriak girang Jaka Pesolek kembangkan dua
tangan di udara, dengan cepat menyambar ujung cahaya
putih lalu membuntalnya seperti menggulung kain panjang.
Beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu berseru
kaget.
“Aku berhasil!” teriak Jaka Pesolek girang. Cahaya putih
yang dibuntal lalu diusung ke atas dan dilempar di langit
lepas. Tubuh dan pakaiannya tampak putih berkilat,
mengepulkan asap panas. Namun Jaka Pesolek tidak
merasa apa-apa. Begitu gadis ini melayang turun sambil
tertawa haha-hihi dan jejakkan dua kaki di tanah. Wiro
langsung membentak marah.
“Jaka Pesolek! Apa yang kau lakukan?! Kau menolong
musuh bebuyutanku! Kau sengaja menyelamatkan musuh
besar raja dan rakyat Mataram!”
Jaka Pesolek jadi terkejut, mulut ternganga mata
mendelik. “Astaga! Apa aku telah berbuat keliru? Aku
menyangka...” Saking takutnya Jaka Pesolek tak bisa
teruskan ucapan.
Sementara itu Pangeran Matahari sendiri tak kalah
kejutnya. Dia mengira Jaka Pesolek memang telah menye–
lamatkan dirinya dari hantaman Pukulan Sinar Matahari.
Tapi otak dan hatinya tetap saja ingin berbuat jahat.
Melihat perhatian Wiro tertuju pada Jaka Pesolek dia
merasa ada kesempatan. Pangeran Matahari segera
lepaskan serangan Delapan Arwah Sesat Menembus
Langit. Delapan cahaya merah menderu dahsyat daridelapan benjolan di kening. Enam menyambar ke arah
Wiro, sisa yang dua melesat ke arah Jaka Pesolek yang
berdiri membelakanginya dan menghalangi pandangan
Wiro. Semua terjadi sangat cepat dan tidak terduga.
Kurang dari sekejapan mata tubuh Jaka Pesolek akan
hancur berkeping-keping dan dikobari api, menyusul hal
sama akan terjadi pula dengan Wiro, tiba-tiba berkelebat
tiga bayangan disertai suara teriakan perempuan.
“Kawan-kawan! Lekas tancapkan delapan jari!”
Sett! Settt!
Dua puluh empat jari tangan yang dipentang seperti
besi lurus berkelebat deras. Delapan menancap di tanah,
delapan menusuk batang pohon jati dan delapan lagi
melesak ke dalam gundukan batu. Saat itu juga terjadi hal
luar biasa hebat.
Pangeran Matahari tidak pernah tahu adanya ilmu
penangkal serangan Delapan Arwah Sesat Menembus
Langit. Dia berteriak keras ketika menyaksikan delapan
larik cahaya merah panas berbalik menderu lalu menye–
rang ke arah dirinya! Ilmu apapun yang dimilikinya,
kecepatan bagaimanapun yang bisa dilakukan untuk
menyelamatkan diri, semua hanyalah sia-sia belaka!
Blaarr! Blaarr!
Letusan keras disertai percikan bunga api setinggi dan
selebar dua tombak menggelegar di hutan jati, menggetar
gendang-gendang telinga, seolah menyumbat jalan aliran
darah! Beberapa pohon jati tenggelam dalam kobaran api
dan langsung gosong menghitam!
Suara jeritan sang Pangeran yang dijuluki Pangeran
Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik,
Segala Congkak, serta merta terputus begitu delapan larik
cahaya merah membabat tubuhnya mulai dari kepala
sampai ke kaki! Kutungan tubuh yang dikobari api dan
menebar bau daging terpanggang menggidikkan itu
berlesatan ke berbagai penjuru hutan jati lalu mengepul
jadi asap dan akhirnya lenyap dari pandangan mata.
Saat itu Wiro dengan terhuyung-huyung berusahabangkit berdiri. Tangan kiri ditopangkan ke pohon jati di
dekatnya. Dada mendenyut sakit tak karuan, tangan kanan
menyeka darah yang membasahi dagu. Dia memandang
berkeliling. Di arah depan dia melihat Kunti Ambiri menge–
luarkan delapan jari tangan dari dalam pohon jati yang
ditusuknya. Lalu di sebelah kiri tampak Ratu Randang
mencabut delapan jari dari dalam batu. Di arah kanan
Sakuntaladewi si gadis berkaki tunggal tengah member–
sihkan jari-jari tangannya yang tadi ditancapkan ke tanah.
“Mereka menyelamatkan nyawaku dengan ilmu
penangkal.” Ucap Wiro dalam hati. Dia hendak melangkah
mendekati ke tiga orang itu.
Tiba-tiba terjadi satu hal luar biasa aneh. Dari dalam
hutan jati menggelegar suara teriakan.
“Ksatria Roh Jemputan! Aku berikan pecahan lima
nyawaku padamu! Aku akan membantumu! Kau akan
kembali pada ujudmu! Keluarkan Lentera Iblis. Bunuh
semua musuhmu!” Suara orang yang berteriak terdengar
sama dengan suara Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang
roh keduanya telah menemui ajal.
Lima benda aneh berwarna merah samar berkelebat di
dalam hutan jati lalu bergabung jadi satu, membentuk
asap merah menyerupai sosok manusia. Ketika turun ke
tanah ujudnya membentuk sosok Pangeran Matahari alias
Ksatria Roh Jemputan. Tapi wajahnya berwarna sangat
putih seperti kain kafan! Tangan kanan menggenggam
Lentera Iblis!
Selagi Wiro, Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakun–
taladewi terkejut melihat kemunculan Pangeran Matahari
secara tidak disangka-sangka, sang Pangeran tiba-tiba
sudah menggerakkan tangan kanan memutar Lentera Iblis.
Dia sengaja lancarkan serangan terhebat yakni jurus ketiga
dari Tiga Jurus Serangan Lentera Iblis yang bernama Liang
Lahat Menunggu.
Cahaya kuning berkiblat. Menghambur secepat setan
menyambar ke arah Wiro dan tiga orang lainnya pada
ketinggian sepinggang tubuh manusia!
“Awas serangan Lentera Iblis!” Teriak Wiro mempe–
ringatkan tiga perempuan. Dia cepat melompat ke udara
setinggi dua tombak. Ratu Randang berkelebat ke balik
satu pohon jati besar lalu melompat naik ke cabang
terendah. Kunti Ambiri amblaskan diri masuk ke dalam
tanah. Sakuntaladewi jejakkan kaki tunggalnya ke tanah
hingga tubuhnya membal sampai tiga tombak lalu
melayang turun dan seperti seekor burung hinggap di
puncak salah satu cabang pohon jati.
Kalau Wiro, Ratu Randang, dan Sakuntaladewi berhasil
selamatkan diri maka tidak demikian dengan Kunti Ambiri.
Di antara ke empat orang itu dia satu-satunya yang meng–
ambil cara menyelamatkan diri dengan memasukkan tubuh
ke dalam tanah. Padahal saat itu cahaya kuning Lentera
Iblis melesat datar setinggi pinggang di atas tanah. Ketika
tubuhnya amblas baru sampai ke lutut, serangan cahaya
kuning Lentera Iblis bernama Liang Lahat Menunggu
datang menyambar! Dalam sekejapan lagi sudah dapat
dipastikan tubuh gadis cantik alam roh yang pernah
berjuluk Dewi Ular itu akan terkutung dua lalu meledak
hancur berkeping-keping!
Dari tempat masing-masing berada, Wiro, Ratu
Randang, dan Sakuntaladewi dalam kaget mereka cepat
bertindak. Wiro hantamkan dua tangan sekaligus melepas
Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera dengan
tangan kiri sementara tangan kanan untuk kedua kalinya
melepas Pukulan Sinar Matahari.
Ratu Randang menggebrak dengan Pukulan Tangan
Langit Kaki Bumi. Sakuntaladewi gerakkan dua tangan
membuat Enam Belas Gerakan Tangan Bisu.
Langit seolah hendak runtuh, tanah bergoncang seperu
dilanda lindu. Beberapa pohon jati berderak bertumbangan
ketika berbagai warna cahaya pukulan-pukulan sakti yang
dilancarkan Wiro, Sakuntaladewi dan Ratu Randang saling
beradu dahsyat dengan sambaran sinar kuning Lentera
Iblis!
Wiro membentak keras, Ratu Randang dan Sakuntala–dewi sama terpekik. Tubuh ketiga orang ini terjengkang di
tanah, semburkan darah segar dari mulut masing-masing.
Khawatir akan mendapat serangan balasan, ketiganya
cepat bergulingan di tanah mencari tempat yang aman Di
depan sana Pangeran Matahari tegak menyeringai. Dia
tidak tampak cidera sedikitpun. Namun sebenarnya saat
itu bagian dalam tubuh makhluk alam roh ini telah
mengalami luka luar biasa parah. Tangan kanan masih
memegang Lentera Iblis yang diputar demikian rupa tanda
siap hendak melancarkan serangan lagi. Agaknya dia akan
sekaligus menghantamkan tiga cahaya lentera yaitu
merah, kuning dan hitam! Namun sesaat kemudian dua
lututnya tampak bergetar dan mulai menekuk. Darah
mengalir tersendat. Wajah berubah merah kelam. Dada
terhuyung ke depan. Tenggorokan keluarkan suara
mengorok. Seperti orang mau muntah. Mulut terbuka.
“Tahan! Jangan muntah! Cepat jauhkan Lentera!”
Mendadak ada suara mengiang di telinga Pangeran
Matahari. Suara itu datang dari makhluk aneh yang ada di
dalam tubuhnya yang bukan lain pecahan lima roh Sinuhun
Merah Penghisap Arwah.
Pangeran Matahari terkejut! Astaga! Dia baru sadar.
Lentera Iblis punya pantangan rahasia. Yaitu tidak boleh
tersentuh oleh cairan yang keluar dari tubuh manusia,
terutama berasal dari orang yang memegangnya. Cairan itu
bisa saja berupa keringat, air kencing, ludah bahkan
termasuk juga darah! Pangeran Matahari cepat tekap
mulutnya dengan tangan kiri. Namun saat itu tubuhnya
telah terhuyung ke depan. Dalam keadaan seperti itu mulut
tak mampu lagi menahan muntah. Ketika mulut terbuka
yang menyembur ternyata adalah darah kental berbuku-
buku! Bersamaan dengan itu tubuh Pangeran Matahari
tersungkur ke depan. Lentera iblis terlepas dari tangannya,
menggelinding ke arah tebaran muntahan darah di tanah!
Pangeran Matahari cepat ulurkan tangan menjangkau
lentera agar tidak bersentuhan dengan muntahan darah.
Hanya seujung kuku dia akan berhasil menyentuh LenteraIblis mendadak ada satu bayangan hijau berkelebat.
Semula Wiro dan kawan-kawan mengira Sinuhun Muda
Ghama Karadipa yang muncul, turun tangan untuk
menolong Pangeran Matahari. Tapi apa yang kemudian
terjadi membuat semua orang jadi melengak kaget!
TIGA BELAS
ENTAH dari mana datangnya tiba-tiba muncul lima
cahaya biru panjang yang ujudnya hampir menyerupai
benang menyambar ke arah lima bagian tubuh
Pangeran Matahari. Bau santar kemenyan terbakar meme–
nuhi udara, menggidikan! Lalu terdengar suara drett drett!
Sosok Pangeran Matahari serta merta kaku. Tangan yang
diulur seolah berubah menjadi batu. Sekujur tubuh, mulai
dari leher, dada, pinggang, dua tangan, dan sepasang kaki
dilibat cahaya benang biru membuat keadaannya tidak
beda seperti dijahit mati. Semua anggota badan tidak bisa
digerakkan lagi. Di atas batok kepala menancap lima
benda aneh berbentuk jarum panjang sejengkal berwarna
biru! Mulut dibuka hendak berteriak tapi tidak ada suara
yang keluar.
“Lima Jarum Penjahit Raga!” Ucap Wiro dengan mata
terbelalak. Matanya memandang cepat berkeliling seperti
tengah mencari seseorang. Saat itu dilihatnya Lentera Iblis
yang menggelinding di tanah hanya sejengkal lagi akan
menyentuh muntahan darah Pangeran Matahari. Wiro serta
merta berteriak. “Cepat menyingkir! Lentera jahanam akan
segera meledak!”
Walau saat itu ketiganya menderita luka dalam dan
masih terbaring di tanah namun dengan mengerahkan
tenaga yang ada, Wiro, Ratu Randang, dan Sakuntaladewi
cepat berdiri lalu melompat sejauh yang bisa dilakukan,
mencari tempat yang aman. Ketiganya berkelebat ke balik
satu gundukan batu setinggi pinggul yang berada di
belakang tumbangan tiga pohon jati.
Ledakan dahsyat kembali menggelegar di hutan jati.
Lentera Iblis hancur berkeping-keping mengeluarkanpancaran cahaya merah kuning dan hitam. Pangeran
Matahari yang terkena sambaran cahaya yang keluar dari
Lentera Iblis mencelat ke udara, meledak hancur tak
karuan rupa dalam keadaan hancur. Sebelum meledak
satu sosok aneh berwarna merah keluar dari tubuh sang
Pangeran. Walau samar namun Wiro dan kawan-kawan
masih bisa melihat betapa sosok itu luar biasa mengerikan.
Kepala hanya sebelah. Bagian mata merupakan rongga
merah dalam. Mulut pencong mencuatkan gigi panjang
hitam. Dada dan perut bolong. Sebagian usus besar keluar
menggelembung. Tangan serta kaki hanya tinggal satu.
Seluruh kulit mengelupas merah! Di balik gundukan batu
untuk beberapa lama Wiro, Ratu Randang, dan Sakuntala–
dewi sama-sama mendelik melihat makhluk yang tadi
keluar dari dalam tubuh Pangeran Matahari. Tengkuk
masing-masing terasa dingin padahal rimba yang terbakar
menghampar hawa panas!
Hutan jati diselimuti kesunyian. Sesekali hanya terde–
ngar suara gemeretak ranting dan dedaunan yang terba–
kar. Serombongan burung yang terbang terlalu rendah di
atas hutan begitu kena sengatan kobaran api mencicit
keras, jatuh ke tanah dalam keadaan gosong!
***
Di satu tempat sunyi di lereng barat Gunung Merapi
awan kelabu yang berarak di langit perlahan-lahan berubah
putih bersih. Lalu awan putih ini melayang ke timur, untuk
beberapa lama diam menggantung di udara tinggi kemu–
dian berubah menjadi biru.
Mimba Purana yang tengah duduk bersila di satu
cabang pohon sejak tadi memperhatikan keadaan langit.
Perubahan awan putih menjadi kebiruan tidak lepas dari
pandangan matanya. Anak sakti bergelar Satria Lonceng
Dewa ini letakkan dua telapak tangan di atas dada. Lalu
dua telapak tangan disatukan dan digosok satu sama lain.
Setelah itu dua telapak dipisah. Tangan kiri diletakkan dikepala sebelah belakang sementara sepasang mata
memperhatikan telapak tangan kanan yang dikembang.
Di atas telapak tangan itu kelihatan satu lingkaran
putih. Di dalam lingkaran putih ada warna biru memenuhi
dua pertiga luas lingkaran putih. Beberapa waktu sebe–
lumnya warna biru itu baru setengah luas lingkaran.
Melihat hal ini anak lelaki berusia dua belas tahun yang
mencantol anting-anting merah di telinga kanan tampak
berseri wajahnya. Perlahan dia berucap.
“Luas warna biru dalam lingkaran putih bertambah
besar. Berarti malam nanti bulan purnama hari ke empat
belas akan muncul dengan warna kebiru-biruan. Bahaya
yang selama ini mengungkung kerajaan akan segera
lenyap. Aku tidak sabar untuk menyaksikan. Tapi...”
Wajah Satria Lonceng Dewa Mimba Purana berubah
suram. Ada kekhawatiran di dalam hatinya.
“Aku tahu, ada arti lain dari pertambahan warna biru di
telapak tanganku. Ada manusia yang berbuat kebajikan
dan ada makhluk atau orang jahat musuh Raja dan rakyat
Mataram telah menemui ajal. Siapa?” Anak lelaki itu
pejamkan mata seolah berusaha melihat jauh ke dalam
alam gaib. Namun apa yang diharapkan tidak mendapat
jawaban. Dua mata dibuka kembali. “Jangan-jangan
kakanda Dirga Purana yang bernasib malang...”
Anak lelaki di lereng Gunung Merapi itu bangkit berdiri.
Tubuh dan wajah dihadapkan ke selatan ke arah laut di
kejauhan yang tidak terlihat dari tempatnya berdiri. Namun
dia sanggup mencium baunya hawa laut. Sayup-sayup
mendengar suara tiupan angin samudera selatan. Dua
tangan dirangkap di atas dada. Sepasang mata dipejam.
Dia mencoba lagi masuk ke dalam alam gaib. Selarik
cahaya kuning keluar dari ubun-ubun anak ini. Lalu di
kejauhan terdengar suara lonceng. Setelah cukup lama
menjajagi Mimba Purana akhirnya buka kedua matanya.
“Aneh, semedi pendekku tidak mampu melihat atau
mendapatkan satu petunjuk. Mengapa aku mengalami
kesulitan masuk ke alam gaib. Tidak pernah kejadianseperti ini. Ada satu kekuatan membentuk tabir menghala–
ngi semediku. Para Dewa di Kahyangan? Adakah kakak
saya berada dalam keadaan selamat? Saya mohon perlin–
dungan Para Dewa atas dirinya...”
Tiba-tiba di arah timur menyambar cahaya serta gelegar
petir. Darah Mimba Purana tersirap. Lebih-lebih ketika
dilihatnya di langit ada satu lingkaran kemerah-merahan
mengelilingi matahari. Udara berubah redup seolah malam
akan segera datang.
“Aneh, rasanya malam tiba lebih cepat dari biasanya.
Apakah ini merupakan suatu berkat atau...” Mimba Purana
berdiri, menatap ke arah kejauhan. Lalu dengan gerakan
cepat tanpa suara, laksana terbang anak ini berkelebat
menuruni lereng barat Gunung Merapi.
***
KEMBALI ke hutan jati yang masih dilamun kobaran api
berasal dari ledakan Lentera Iblis. Wiro berpaling pada dua
perempuan di sampingnya. “Nek, Dewi Kaki Tunggal, kau
tak apa-apa...?”
Meski jelas mereka terluka di dalam dan masih ada
sisa lelehan darah di dagu masing-masing namun dua
perempuan itu sama menjawab kalau mereka baik-baik
saja. Wiro yang tidak percaya ucapan orang berpikir
sejenak lalu segera keluarkan delapan bunga matahari
kecil dari balik pakaian.
“Mudah-mudahan bunga sakti ini bisa menolong
kalian.” Lalu Wiro usapkan delapan bunga matahari kecil
ke kening dan dada Ratu Randang serta Sakuntaladewi.
Kedua perempuan itu sama-sama batuk beberapa kali.
Ratu Randang tarik nafas panjang. “Rasanya tubuhku
jauh lebih segar.” Kata si nenek sambil mengusap dada.
Sakuntaladewi menyambung ucapan Ratu Randang,
“Denyutan sakit di dadaku lenyap.” Lalu dia bertanya pada
Wiro. “Kau tidak mengobati dirimu sendiri?”
“Dadaku memang sakit. Aliran darah terasa tersendat
dan tubuhku terasa panas. Kalau kalian tidak membantu
ikut menghantam serangan yang dilakukan Pangeran
Keparat itu, rasanya saat ini aku bisa-bisa sudah jadi
bangkai gosong!”
Wiro lalu usapkan delapan bunga matahari ke dadanya.
Setelah tubuhnya terasa lega bunga dicium berulang kali.
Terasa ada hawa sangat sejuk masuk ke dalam jalan
pernafasan, mengalir dalam semua saluran darah di
tubuhnya. Kemudian delapan bunga disimpan kembali di
balik pakaian. Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan.
Suara perempuan.
“Hai, kami berdua dicium. Hik... hik. Kalian berenam
tidak beruntung rupanya. Tidak kebagian ciuman...”
Wiro dan Ratu Randang serta Sakuntaladewi saling
berpandangan.
“Siapa yang barusan bicara dan tertawa cekikikan?”
Berbisik Sakuntaladewi.
Wiro menggaruk kepala. “Kurasa makhluk di dalam
bunga. Delapan pocong. Bukankah mereka sebenarnya
gadis dari alam gaib? Kalau kalian tidak percaya biar
kucium lagi. Sekarang aku akan cium delapan bunga itu
bergantian agar tidak ada yang iri.”
“Sudah...” kata Ratu Randang pula yang merasa disindir
sambil cepat memegang tangan kanan Wiro yang hendak
mengeluarkan delapan bunga matahari kecil. Lalu si nenek
berkata. “Tadi waktu lima cahaya biru halus muncul, kau
kudengar mengatakan sesuatu. Lima Jarum Penjahit Raga.
Aku memang melihat sinar biru seperti benang dan lima
jarum menancap di atas kepala Ksatria Roh Jemputan. Jika
itu nama satu ilmu kesaktian, dari mana kau tahu? Siapa
pemiliknya yang tadi menjahit lima bagian tubuh pangeran
jahanam itu?”
“Pemilik satu-satunya Ilmu Lima Jarum Penjahit Raga
adalah Penguasa Atap Langit.” Menerangkan Wiro.
Ratu Randang dan Sakuntaladewi sama-sama terce–
ngang.
“Aneh!” Kata Sakuntaladewi.“Wiro, bagaimana kau tahu nama ilmu aneh yang
menjirat Pangeran Matahari itu? Lalu juga dari mana kau
tahu pemilik ilmu kesaktian itu adalah Penguasa Atap
Langit?” Bertanya Ratu Randang.
“Ketika berada di Negeri Atap Langit aku pernah
melihat sendiri Penguasa Atap Langit menyerang Ken
Parantili dengan ilmu itu. Ken Parantili sempat kudengar
menyebut ilmu serangan itu. Yang membuat dia jadi
lumpuh, tak mampu bergerak...”
“Ken Parantili. Di mana selir itu sekarang?” tanya Ratu
Randang.
Wiro hanya gelengkan kepala lalu berpaling pada
Sakuntaladewi. “Tadi kau bilang aneh. Apa yang aneh?”
“Kalau Ilmu Jarum Penjahit Raga adalah milik makhluk
yang kau sebut Penguasa Atap Langit, berarti tadi dia
berada di tempat ini.”
“Kurasa begitu,” jawab Wiro. “Tadi aku melihat ada
bayangan hijau berkelebat di dekat sosok Pangeran
Matahari.”
“Penguasa Atap Langit menjahit Pangeran Matahari
dengan ilmu anehnya. Berarti dia menolong kita. Mengapa
dia melakukan hal itu? Waktu muncul tidak kelihatan,
setelah menolong dia lenyap begitu saja. Dari bayangan
hijaunya tadi aku mengira dia adalah Sinuhun Muda
Ghama Karadipa. Ada apa sebenarnya dia datang ke
Bhumi Mataram ini? Untuk maksud baik atau jahat?”
“Nek, sebelum aku meninggalkan Negeri Atap Langit
aku melihat ada beberapa perubahan pada diri Penguasa
Atap Langit. Dia seperti ingin menjadi makhluk baik...”
“Makhluk jahat seperti dia ingin berbuat baik? Tidak
masuk di akal!” Sahut Ratu Randang.
“Satu makhluk jahat berubah menjadi baik secepat
membalik telapak tangan memang tidak masuk akal!”
Sakuntaladewi sambung ucapan si nenek
“Aku punya dugaan sebenarnya Penguasa Atap Langit
makhluk baik. Beberapa kesalahannya adalah memberikan
ilmu kesaktian pada Sinuhun Merah Penghisap Arwah dankawan-kawannya. Lalu Sinuhun sialan itu menyalah–
gunakan ilmu kesaktian yang didapatnya. Kesalahan lain
adalah memelihara sekian banyak gundik dan setiap enam
bulan sekali membunuh selir pertama Setahuku dia
melakukan itu untuk kelanggengan ilmunya.”
“Walau tadi kita sama menduga dia telah menolong kita
dengan menjahit Ksatria Roh Jemputan tapi aku merasa
dia tetap makhluk jahat yang harus diwaspadai. Aku yakin
ada satu hal tersembunyi mengapa dia datang ke Bhumi
Mataram.”
“Nek, kurasa dia tengah mencari selir pertamanya, Ken
Parantili!” Jawab Wiro.
“Gagal membunuh selir itu di Negeri Atap Langit lalu
mau menghabisinya di Bhumi Mataram ini?” Ucap Ratu
Randang pula. Lalu si nenek menyambung ucapannya.
“Kalian lihat tadi ada makhluk mengerikan keluar dari
tubuh Ksatria Roh Jemputan sebelum meledak?”
“Itu sosok Roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah.” Yang
menjawab Sakuntaladewi. “Sosok rohnya tidak sempurna
lagi karena tiga dari delapan pecahan nyawanya sudah
amblas. Ini sebagai akibat karena Wiro berhasil membunuh
tiga anak kucing merah itu.”
“Dunia penuh keanehan!” Kata Ratu Randang sambil
geleng-geleng kepala. Makhluk-mahluknya lebih aneh lagi.
Dalam keanehan itu gentayangan segala macam niat jahat
dan busuk!”
Wiro memandang berkeliling.
“Kawan-kawan, kita seperti melupakan Kunti Ambiri.
Jangan-jangan...”
“Aku khawatir sebelum seluruh tubuhnya masuk ke
dalam tanah, cahaya kuning Lentera Iblis sempat meng–
hantamnya.” Berkata Sakuntaladewi sambil ikut pula
memandang berkeliling.
“Jika dia tewas dengan tubuh terkutung, bagian tubuh
sebelah atas pasti ada di sekitar sini, bagaimanapun
ujudnya.” Jawab Wiro. Mendadak murid Sinto Gendeng
ingat sesuatu. Setengah berteriak dia berkata. “Astaga!Kita juga melupakan Ni Gatri. Dan Jaka Pesolek! Di mana
mereka?!”
Ketiga orang itu lalu sama-sama berteriak.
“Ni Gatri! Jaka Pesolek! Kalian di mana?”
Tak ada suara jawaban. Kobaran api yang membakar
hutan jati semakin besar karena tiupan angin dari arah
barat.
“Aku akan mencari mereka! Aku tidak akan mening–
galkan tempat ini sebelum menemui keduanya!” Kata Wiro.
“Kami berdua akan membantu! Sekalian kita menye–
lidik apa yang terjadi dengan sahabat Kunti Ambiri.” Kata
Ratu Randang pula.
“Sebaiknya kita berpencar. Aku akan naik ke atas salah
satu pohon jati agar lebih mudah menyelidik.” Berkata
Sakuntaladewi.
Baru saja ke tiga orang itu hendak berpencar, dari balik
satu batang pohon jati yang condong nyaris tumbang
karena akarnya terbongkar berserabutan, sekonyong-
konyong keluar seseorang, melangkah tertatih-tatih. Orang
ini mengenakan pakaian merah muda yang kotor dan
penuh robek hingga auratnya tersingkap di mana-mana.
Rambut riap-riapan. Dia berjalan sambil menangis kucur–
kan air mata, menggendong seorang anak perempuan yang
keadaannya sangat memilukan. Pipi kiri sembab sampai ke
mata seperti bekas pukulan. Pakaian tersingkap tak
karuan.
Orang yang menggendong bukan lain Jaka Pesolek,
sedang yang digendong adalah Ni Gatri! Saat itu Jaka
Pesolek kelihatan tidak mampu lagi berdiri. Kedua kakinya
terlipat lalu tersungkur di tanah. Ni Gatri terguling lepas
dari gendongannya. Wiro, Ratu Randang dan Sakuntala–
dewi sama-sama berseru kaget dan menghambur menda–
tangi.
“Jaka, apa yang terjadi padamu dan Ni Gatri?!” Tanya
Wiro.
Jaka Pesolek tidak menjawab. Wajah tampak pucat,
tubuh bergetar, mulut sesenggukan dan ada air mata
meluncur jatuh di pipinya.
“Celaka! Ada yang tidak beres!” Wiro membungkuk,
memeriksa Ni Gatri. Sekali pandang saja dia sudah tahu
apa yang terjadi. Wiro coba tepuk-tepuk pipi anak perem–
puan itu. Tapi Ni Gatri diam saja. Si anak ternyata sudah
tak bernafas lagi.
“Jahanam! Kau memperkosa anak perempuan ini! Ni
Gatri sudah tidak bernyawa! Pasti kau juga yang punya
pekerjaan! Memperkosa lalu membunuhnya!” Wiro
berteriak menggeledek.
Tangis Jaka Pesolek menghambur. Kepala digeleng
berulang kali. Tidak pikir panjang lagi Wiro hantamkan kaki
kanannya ke kepala Jaka Pesolek. Si gadis tidak berusaha
menghindar, seolah memang sudah pasrah!
EMPAT BELAS
RATU Randang cepat menggelung pinggang Wiro lalu
menariknya ke belakang. Bersamaan dengan itu
Sakuntaladewi palangkan kaki tunggalnya di arah
tendangan.
Buukkk!
Kaki kanan Wiro beradu dengan kaki tunggal Sakun–
taladewi. Kepala Jaka Pesolek selamat dari tendangan
maut Pendekar 212 namun Sakuntaladewi terpekik
kesakitan. Tubuhnya mencelat membal ke udara sampai
tiga tombak! Begitu turun dengan menahan sakit, ter–
pincang-pincang Sakuntaladewi cepat mendatangi Jaka
Pesolek sementara Ratu Randang masih terus memegangi
Wiro.
“Jaka Pesolek, katakan apa yang terjadi. Benar kau...”
Ditanya Sakuntaladewi seperti itu Jaka Pesolek geleng–
kan kepala dan menjawab. “Tidak, aku tidak berbuat sekeji
itu. Anak ini...”
“Apa Pangeran Matahari yang telah berlaku biadab?
Memperkosa Ni Gatri?!” Tanya Sakuntaladewi memotong
ucapan Jaka Pesolek.
“Tidak, bukan dia. Dia memang punya maksud mesum
tapi tidak kesampaian...”
“Kami melihat sewaktu di telaga air terjun dia melarikan
Ni Gatri. Pasti dia telah melakukan sesuatu. Bagaimana
kau bisa mengatakan tidak.” Ratu Randang berkata, masih
dengan memegangi Wiro walau tidak seerat tadi.
“Aku menguntit pangeran itu ketika dia membawa lari
Ni Gatri. Dia memang punya maksud keji. Tapi saat itu
sebenarnya Ni Gatri sudah tidak bernyawa akibat perbua–
tan terkutuk anak lelaki jahanam bernama Dirga Purana.Aku yakin Ni Gatri telah dirusak kehormatannya ketika
berada di dalam goa di belakang air terjun. Pangeran
Matahari marah besar ketika mengetahui kalau dirinya
telah kedahuluan. Namun entah setan apa yang masuk ke
dalam tubuhnya, tiba-tiba saja dia juga hendak memper–
kosa Ni Gatri. Aku berusaha mencegah. Tapi aku ditendang
dan dihajar babak belur. Ketika aku hampir mati di
tangannya, untung kalian datang menolong. Sewaktu
terjadi pertarungan antara Wiro dengan Pangeran Matahari
aku mendatangi Ni Gatri yang terhampar di dalam hutan
jati sana. Ketika aku periksa keadaannya, anak malang itu
ternyata memang sudah tidak bernyawa lagi. Tubuhnya
kugendong, kubawa ke sini...” Jaka Pesolek bicara sambil
berusaha menahan sesenggukan. Dia sengaja tidak
menceritakan kalau dirinya juga hendak diperkosa oleh
Pangeran Matahari sebelum sang pangeran tahu keadaan
auratnya.
Mendengar cerita Jaka Pesolek itu Pendekar 212
berteriak marah. Sekujur tubuh bergetar. Ketika dia
membuat sentakan keras, Ratu Randang yang masih
mencekalnya terlempar dan terjengkang di tanah. Wiro
menghambur memeluk Ni Gatri. Wajah anak perempuan
itu dicium berulang kali. Sambil mencium kening Ni Gatri
Wiro berkata, “Adikku, maafkan aku tidak dapat meno–
longmu. Aku bersumpah akan membalaskan sakit hati
serta kesengsaraan yang kau alami! Adik, tidurlah dengan
tenang.”
Perlahan-lahan Wiro berdiri. Dua tangan dikepal.
Sepasang mata tampak merah.
“Kalian semua!” Wiro berkata dengan suara keras.
Tolong urus jenazah Ni Gatri. Kuburkan, jangan dibakar!”
“Kau sendiri mau ke mana?!” Tanya Ratu Randang
sambil berdiri.
“Aku akan kembali ke air terjun mencari anak jahanam
bernama Dirga Purana itu! Dia harus mampus di tanganku.
Hari ini juga!”
“Wiro...” Teriak Sakuntaladewi berucap.Namun Wiro mendahului sambil tunjukkan jari telunjuk
ke langit, “Tidakkah kalian melihat keanehan? Langit di
atas sana tampak redup. Sore pergi begitu saja. Malam
datang lebih cepat...”
“Kami memang melihat keanehan.” jawab Sakuntala–
dewi “Tapi, kami harap...”
Namun Wiro tak dapat menahan sabar. Sekali berkele–
bat dia sudah melesat ke arah barat.
Ratu Randang menarik nafas dalam lalu berkata pada
Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek, “Kita bertiga harus
menguburkan Ni Gatri cepat-cepat lalu mengejar Wiro. Aku
tidak mau dia pergi sendirian. Roh Sinuhun Merah Peng–
hisap Arwah masih gentayangan. Masih ada saudara
kembaran nyawanya Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Lalu
bocah bernama Dirga Purana itu bukan pula anak
sembarangan! Apa lagi kalau saudaranya Mimba Purana
turun tangan kembali menolongnya. Ditambah dengan
arwah-arwah bejat yang jadi kaki tangan Sinuhun Merah
ada pula di mana-mana. Jika mereka bergabung mengha–
dapi Wiro, bisa celaka sahabat kita itu. Kawan-kawan,
cepat bantu aku membuat liang kubur!”
Baru saja Ratu Randang selesai berucap tiba-tiba ada
perempuan berseru. “Sahabat bertiga, tidak usah bersusah
payah. Biar aku yang menyiapkan makam buat sahabat
kecil kita yang malang itu!”
Dua tangan halus putih mencuat keluar dari dalam
tanah. Jelas tangan perempuan mengenakan pakaian
berlengan panjang warna hijau tipis! Lalu rrrtttttt. Dua
tangan bergerak menggurat tanah berbentuk empat
persegi panjang. Sesaat kemudian bersamaan dengan
mencelatnya keluar orang yang menggurat, tanah
berhamburan ke udara dan tahu-tahu satu lobang besar
sudah menganga di hutan jati!
“Sahabat Kunti Ambiri!” Berseru Sakuntaladewi ketika
melihat siapa adanya orang yang barusan keluar dari
dalam lobang di tanah. Semua orang merasa gembira
melihat Kunti Ambiri tidak kurang suatu apa.Saking girangnya melihat Kunti Ambiri selamat, Jaka
Pesolek langsung saja hendak memeluk dan mencium
gadis cantik alam roh itu. Tapi cepat didorong oleh Kunti
Ambiri hingga terjajar ke belakang.
“Kunti Ambiri, syukur kau masih hidup. Sebelumnya
kami sudah menduga yang tidak-tidak! Kami menyangka
kau sudah menemui ajal.” Berkata Ratu Randang. “Apa
yang terjadi dengan dirimu?”
“Cuma nasib baik saja Nek,” Jawab Kunti Ambiri. “Kalau
terlambat sedikit saja aku masuk ke dalam tanah, kepala–
ku pasti sudah leleh dihajar cahaya Lentera Iblis Pangeran
keparat itu!”
“Dia sudah mampus dihajar ledakan Lentera Iblis milik–
nya sendiri.” Menerangkan Ratu Randang.
Kunti Ambiri menatap ke langit. “Heran, mengapa hari
ini sore cepat sekali berlalu. Di langit sebelah sana malah
sudah tampak bayangan rembulan...”
“Sahabat Wiro tadi juga mengatakan hal itu.” Berkata
Ratu Randang.
“Lalu sekarang dia berada di mana?” Tanya Kunti
Ambiri pula.
“Dia pergi ke gua di balik air terjun. Katanya mau
membunuh bocah bernama Dirga Purana itu...”
“Astaga, apa yang terjadi?!” Kunti Ambiri baru sadar,
menatap ke arah Ni Gatri. Gadis cantik alam roh ini segera
saja maklum apa yang telah dialami anak perempuan itu
sebelum menemui ajal. “Kurang ajar! Jika memang bocah
itu telah berbuat keji, dia pantas dihabisi!”
Setelah selesai mengubur Ni Gatri, Kunti Ambiri melirik
ka arah Jaka Pesolek yang berpakaian compang-camping
penuh robekan, termasuk celana dalam yang dikenakan–
nya dan merupakan hadiah dari patung sakti Nyi Roro
Jonggrang. Seperti diceritakan sebelumnya celana dalam
itu adalah untuk Kunti Ambiri tapi ditilap oleh Jaka Pesolek.
Walau sampai saat itu masih merasa jengkel terhadap
Jaka Pesolek bahkan tadi sempat mendorongnya, namun
merasa tidak tega melihat keadaan Jaka Pesolek yangkusut masai tidak karuan. Dari balik pakaiannya Kunti
Ambiri keluarkan sehelai pakaian salinan berwarna hijau.
Pakaian dilempar ke arah Jaka Pesolek.
“Sahabat, aku sangat berterima kasih,” kata Jaka
Pesolek sambil segera menyambuti pakaian yang dilempar.
Dia membungkuk berulang kali lalu cepat-cepat menye–
linap ke balik semak belukar. Hanya beberapa saat setelah
Jaka Pesolek lenyap di balik semak belukar tiba-tiba
terdengar suara jeritan gadis itu.
“Tolong... tol...!”
Suara jeritan putus.
Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi tersen–
tak kaget. Ketiganya segera melesat ke balik rumpunan
semak belukar. Namun Jaka Pesolek tidak ada di situ!
“Jangan-jangan gadis itu sudah diculik Sinuhun Merah
Penghisap Arwah!” Kata Sakuntaladewi.
Ketiga orang itu saling berpandangan.
“Nek, aku mencium bau kemenyan terbakar.” Kata
Sakuntaladewi.
“Aku juga,” jawab si nenek sementara Kunti Ambiri
menyelidik dengan pandangan mata ke berbagai jurusan
hutan jati. Walau tidak melihat ujud nyata tapi dia merasa
ada seorang lain di tempat itu.
LIMA BELAS
KEADAAN di kawasan air terjun merayap gelap walau
di barat sang surya masih tampak menggelantung di
langit. Dari balik semak belukar lebat untuk bebe–
rapa lama Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan
keadaan sekitar telaga. Mata dipentang telinga dipasang.
Kemudian dia memperhatikan ke arah air terjun. Dengan
mengerahkan Ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu
Duyung, Wiro mampu melihat mulut goa di tebing batu di
belakang air terjun. Goa yang selama ini menjadi tempat
kediaman Dirga Purana dan juga sering dipergunakan oleh
Sinuhun Merah serta Sinuhun Muda.
“Aku harap bocah keparat itu belum kabur!” Kata Wiro
dalam hati. Dia keluar dari balik semak belukar, melesat ke
tengah telaga, berdiri di atas sebuah batu besar. Tenaga
dalam dihimpun ke pertengahan perut lalu dialirkan ke
arah tangan kanan. Begitu kekuatan penuh telah terkum–
pul di tangan kanan, Wiro membuat gerakan mengayun
lalu didahului satu teriakan keras dia lepaskan Pukulan
Dewa Topan Menggusur Gunung, ilmu pukulan sakti yang
didapat dari gurunya Tua Gila di Pulau Andalas.
Curahan air terjun langsung terputus dan tertahan
begitu pukulan melanda. Ketika ujung angin sakti pukulan
menghantam hancur tebing batu dan sebagian mulut goa,
Wiro cepat melompat sementara batu besar yang tadi
dipijaknya berderak terbelah di empat bagian. Tubuh Wiro
melesat di udara, melewati celah air terjun dan sesaat
kemudian dia sudah berada di depan mulut goa. Air terjun
yang terbelah menyatu dan kembali mencurah jatuh ke
dalam telaga.
Wiro cepat berkelebat masuk ke dalam goa. Sambilmelangkah dia siapkan Pukulan Sinar Matahari di tangan
kanan hingga tangan kanannya berubah seputih perak
berkilau mulai dari ujung jari sampai ke siku. Selain itu
agar lebih waspada dia juga menerapkan Ilmu Menembus
Pandang. Namun aneh, dia tidak bisa melihat benda-benda
lain selain lorong goa yang dilaluinya.
“Ada kekuatan hebat menahan Ilmu Menembus
Pandang. Berarti anak jahanam itu masih berada di sini.
Paling tidak ada kaki tangannya yang berjaga-jaga!” Wiro
membatin. Dia terus melangkah.
Kalau sepuluh tombak pertama bagian dalam goa
diselimuti kegelapan, namun selewat sepuluh tombak
keadaan mulai terang. Ternyata bagian dalam goa itu kini
berubah menyerupai satu bangunan kokoh. Lantai goa,
dinding kiri kanan dan bagian atas bukan lagi berupa tanah
dan bebatuan namun berbentuk batu pualam putih keabu-
abuan. Hawa di tempat itu kini juga terasa sejuk.
Di pertengahan goa Wiro menemui sebuah kolam
bundar. Di tengah kolam terdapat sebuah patung. Wiro
terkejut ketika melihat patung itu merupakan ujud
Penguasa Atap Langit!
“Aneh, mengapa Patung Penguasa Atap Langit ada di
tempat ini? Apakah ini termasuk kediaman dan daerah
kekuasaannya? Atau mungkin patung itu dibuat oleh orang-
orang Sinuhun Merah Penghisap Arwah termasuk bocah
jahanam itu sebagai penghormatan pada sang guru?!”
Khawatir ada makhluk sembunyi di dalam patung Wiro
segera memeriksa patung dengan Ilmu Menembus Pan–
dang. Kali ini ilmu kesaktian itu mampu diterapkan. Ter–
nyata patung itu bersih, tak ada makhluk yang mendekam
di dalamnya.
Wiro mengikuti lorong batu pualam di seberang kolam.
Berjalan sepuluh tombak lorong batu pualam ternyata
buntu, tertutup sebuah batu hitam besar berlapis lumut
tebal berwarna merah. Ketika Wiro mendekati, sayup sayup
dia mendengar suara air mengalir.
“Kurasa ada sungai mengalir di belakang batu berlumutmerah ini,” membatin Wiro.
Karena sampai saat itu masih belum menemukan jejak
anak lelaki yang dicarinya Wiro berteriak. “Dirga Purana!
Bocah keji keparat! Di mana kau sembunyi?!”
Pada saat itulah secara tidak terduga lumut merah yang
menyelubungi batu besar bergerak aneh seperti mengelu–
pas. Di lain kejap lapisan lumut telah berubah menjadi
larikan kain lebar berwarna merah dan secepat kilat
berkelebat siap menyelubungi Wiro.
“Selubung Kain Kafan Merah!” Ucap Wiro tersentak
kaget. Cepat dia menghantam dengan tangan kanan. Wiro
segera lepas Pukulan Sinar Matahari. Cahaya putih berki–
lau menggelegar dahsyat. Hawa panas menebar. Batu
besar di depan sana hancur berkeping-keping terkena
hantaman Pukulan Sinar Matahari. Beberapa bagian dari
lorong goa yang dilapisi batu pualam ikut berderak runtuh.
Sementara itu walau Pukulan Sinar Matahari berhasil
dibuat tercabik-cabik dan dikobari api, secara aneh Kain
Kafan Merah menyatu kembali dan dalam gerakan lebih
cepat dari serangan pertama berhasil menyelubung sosok
Wiro mulai dari kepala sampai ke betis.
Wiro berusaha merobek kain merah. Tapi seperti yang
pernah terjadi sebelumnya hal itu tidak mampu dilakukan.
Dia kerahkan tenaga dalam, berusaha menjebol kelumu–
nan Kain Kafan Merah dengan Pukulan Tangan Dewa
Menghantam Matahari dan Pukulan Tangan Dewa Meng–
hantam Air Bah.
Dess! Desss!
Dua pukulan sakti seperti menghantam bantalan kasur
tebal dan empuk, lenyap seolah hembusan asap!
“Gila!” Wiro memaki dalam hati. Dia jatuhkan diri,
berguling di lantai goa. Berusaha mencari jalan lain untuk
selamatkan diri dari telikungan Kain Kafan Merah. Namun
Kain Kafan Merah semakin ketat menelikungnya. Malah
dia merasakan tubuhnya menjadi lemah. Tenaganya seolah
tersedot!
Wiro ingat, ketika dia dan sukmanya ditelikung KainKafan Merah di Negeri Atap Langit, sang sukma berhasil
meloloskan diri. Maka Wiro cepat merapal ajian untuk
mengeluarkan sukmanya dari dalam tubuh.
“Sukmaku, keluarlah. Musnahkan Kain Kafan Merah!”
Namun setelah dicoba berulang kali sang sukma tak
kunjung keluar. Malah kini dadanya terasa sesak, tenggo–
rokan seperti dicekik, sulit bernafas!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar mengiang
riuh suara perempuan.
“Apa yang terjadi? Mengapa keadaan tiba-tiba menjadi
gelap?!”
“Kita ini berada di mana?!”
“Aku tidak bisa bernafas!
“Kita harus melakukan sesuatu!”
“Tapi kita tidak mungkin bisa keluar lagi. Kecuali kalau
diminta oleh Ksatria Panggilan.”
“Dia hanya bisa memanggil kita satu kali. Berarti kita
tidak bisa menolong dia untuk kedua kali. Padahal akan
ada perkara besar menghadang! Bagaimana kalau nanti
ada urusan yang lebih hebat? Dia tidak bisa minta tolong,
kita tidak bisa menolong!”
“Lekas mencari akal!”
“Keluarkan Ilmu Madu Bunga Sakti Membersih Jalan
Darah!”
Wiro tiba-tiba merasa ada hawa sejuk menjalar
memasuki urat dan pembuluh darah dalam tubuhnya.
Nafas yang sesak dan dada yang sakit lenyap. Ada rasa
manis di dalam mulutnya yang berdarah. Namun hanya
sesaat! Hawa sejuk lenyap, berganti hawa panas yang
menerpa sekujur badan. Tenggorokan kembali seperti
dicekik membuat dia sulit bernafas! Rasa manis di dalam
mulut berubah menjadi rasa pahit luar biasa!
“Tidak mempan!” Tiba-tiba ada suara perempuan
berseru.
“Celaka!”
“Tunggu! Aku melihat ada petunjuk dari bokong Ksatria
Panggilan!”“Kau ini bicara apa! Jangan berani kurang ajar!”
“Sudah! Lihat saja nanti!”
Suara perempuan bersahut-sahutan yang mengiang di
telinganya membuat Wiro tersentak dan berhenti berguling
di lantai goa.
“Delapan Pocong Perempuan. Salah seorang dari
mereka melihat ada petunjuk dari bokongku. Apa maksud–
nya?” Ucap Wiro dalam hati. Dia berusaha berdiri dan
ulurkan tangan hendak mengusap pantat. Tapi bluukk!
Wiro langsung roboh karena dua kakinya seolah telah
berubah menjadi benda leleh! Suara perempuan riuh
berpelukan.
“Celaka!”
Wiro semakin sulit bernafas. Sepasang mata mulai
kabur lalu segala sesuatunya berubah gelap.
“Hekk!”
Lidah Wiro terjulur keluar bersama melelehnya darah
kental. Suara pekikan perempuan kembali mengiang di
telinga Wiro. Dalam hati Pendekar 212 berucap, “Gusti
Allah, kematian adalah kuasaMu dan bagian semua
makhluk hidup. Saya pasrah menemui ajal! Tapi saya
mohon! Bagaimana Eyang Sinto, bagaimana Kapak Naga
Geni. Bagaimana raja, rakyat dan Kerajaan Mataram...”
Begitu Wiro menyebut nama Mataram mendadak
sontak ada suara berdesir di belakang punggungnya di
atas bokongnya! Dari bagian tubuh ini kemudian muncul
getaran hawa dingin menjalar di sekujur tubuh.
Wuuttt!
Di dalam telikungan Kain Kafan Merah sebuah benda
melesat keluar dari pinggang sebelah belakang Pendekar
212, menabur cahaya sembilan warna! Lalu breett breett
brett. Kain Kafan Merah yang menelikung Wiro mulai dari
kaki sampai ke betis bukan saja robek besar di sembilan
bagian, tapi sekaligus membuat hangus Kain Kafan Merah,
lalu berubah menjadi bubuk! Wiro cepat melompat
menjauhi batu besar di ujung lorong goa.
“Delapan Pocong! Terima kasih telah menolongku!’’
“Ksatria Panggilan! Bukan kami yang menolongmu!”
Terdengar jawaban.
Wiro terkesiap. Dia memandang berkeliling. Saat itulah
di depannya berkelebat sebuah benda memancarkan sinar
biru yang ketika diperhatikan ternyata adalah Keris Kan–
jeng Sepuh Pelangi.
“Keris sakti, terima kasih sampean menolongku.” Wiro
cepat gerakkan tangan untuk menangkap senjata sakti itu.
Namun Keris Kanjeng Sepuh Pelangi lebih cepat menyeli–
nap masuk ke balik punggung Wiro, menyusup ke dalam
robekan kain pakaian Ratu Randang yang jadi pembung–
kusnya.
Belum sempat Wiro menarik nafas lega tiba-tiba meng–
gelegar satu letusan keras. Batu besar yang menutup ujung
goa dan kini tidak berlumut lagi meledak hancur. Di bekas
batu yang hancur tampak satu lobang besar. Saat itu pula
terdengar suara menggemuruh. Ketika Wiro memandang
ke depan kagetnya bukan alang kepalang. Dari lobang
besar bergemuruh air bah berwarna merah! Saat itu jarak
Wiro dengan ujung air bah sekitar dua belas tombak.
Cepatnya air bah yang datang menggulung tidak mungkin
bagi Wiro untuk menyelamatkan diri dengan lari ke mulut
goa.
Sambil bergerak mundur Wiro lepas dua pukulan. Yang
pertama Pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menin–
dih, yang kedua Pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.
Dua pukulan sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng
memang dapat menahan bahkan mendorong datangnya
serbuan air bah. Namun hanya sebentar. Tak selang
berapa lama air bah itu kembali menggemuruh lebih ganas
ke arah Pendekar 212. Selain itu Wiro melihat ada cairan
aneh berkilau mengambang di atas permukaan air bah.
Wiro mencium sesuatu
“Aku mencium bau minyak...”
Baru saja Wiro keluarkan ucapan dalam hati tiba-tiba
dari ujung sana kelihatan dua sosok bayangan, satu kecil
satu besar. Walau tidak kelihatan wajah mereka namunkeduanya tampak jelas menyulutkan api ke atas permu–
kaan air bah yang digenangi minyak! Cepat sekali kobaran
api membakar minyak di permukaan air bah! Wiro berbalik,
berusaha melesat mencapai mulut goa yang kini berada
belasan tombak di depan sana. Dua tawa bergelak meng–
gelegar di dalam goa. Satu suara lelaki dewasa, satu lagi
suara anak-anak.
“Pasti Sinuhun Muda keparat dan bocah sialan ber–
nama Dirga Purana itu!” Rutuk Wiro dalam hati.
Tiba-tiba terdengar lagi suara bergemuruh.
ENAM BELAS
TEBING batu di atas mulut goa mendadak runtuh dan
menutup mulut goa. Sekaligus menutup jalan keluar!
Sementara gulungan air bah merah mendatangi
dengan cepat sambil membuntal kobaran api ganas! Udara
di tempat itu yang tadinya sejuk kini berubah menjadi
panas. Di saat yang sama Wiro mendengar lapat-lapat
suara jeritan perempuan banyak sekali. Mereka jelas-jelas
dalam ketakutan yang amat sangat. Datangnya dari balik
dinding batu pualam sebelah kanan.
“Delapan Pocong, kaliankah yang berteriak?!” Wiro
bertanya ingin memastikan kalau dia tidak salah mende–
ngar.
“Bukan kami! Jangan perdulikan kami! Selamatkan
dirimu!” Terdengar jawaban perempuan.
“Aku tidak mungkin menyelamatkan diri!” Teriak Wiro.
“Jangan bicara tolol!”
“Betul! Keluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot
Arwah! Gurat di lantai batu pualam pada dinding kiri.
Jangan menggurat di dinding kanan! Alihkan arah air bah!
Cepat lakukan! Kalau terlambat, bulan biru tidak akan
pernah muncul di langit Mataram!”
Wiro terperangah. Ilmu Membelah Bumi Menyedot
Arwah, itu memang ilmu kesaktian yang dimilikinya. Tapi
bulan biru di langit Mataram, apa maksudnya?
“Diberi tahu malah seperti orang melamun! Kau mau
kita mati konyol semua dalam goa ini?!”
“Sebaiknya kita cepat keluar dari dalam bunga
matahari.”
“Tunggu!” Wiro berteriak. Dia cepat melompat mundur.
Saat itu jarak antara dirinya dengan ujung air bah berapihanya tinggal lima tombak. Tiga tombak di belakang
terletak kolam yang ada patung Penguasa Atap Langit.
Sambil merapal aji kesaktian Wiro guratkan kaki kanan di
lantai batu pualam sementara dua tangan didorong ke
depan mengeluarkan kekuatan sakti untuk menahan laju
gemuruhnya arus air bah.
Rrreettt!
Guratan menimbulkan kepulan asap. Wiro merasa ada
satu kekuatan tersembunyi di dalam lantai berusaha
menyerangnya, membuat kakinya bergetar sampai ke lutut.
Dengan cepat dia melompat ke atas setinggi setengah
tombak. Kaki kanan kembali menggurat, kali ini digurat ke
dinding goa sebelah kiri.
Rettt!
Sekarang tidak ada lagi kekuatan tersembunyi yang
menyerang kaki Wiro.
Asap mengepul dari dinding batu pualam. Terjadilah hal
luar biasa hebat yang Wiro sebelumnya tidak mengira. Di
lantai goa menganga satu lobang besar dan dalam.
Demikian juga di dinding batu pualam sebelah kiri. Dari
kedua lobang muncul kekuatan menyedot dahsyat.
Jangankan manusia, seekor gajahpun mampu disedot
hingga amblas.
Ketika air bah datang menderu, arahnya serta merta
terpecah dua. Yang pertama menggebubu masuk dan
tersedot ke dalam lobang di lantai. Yang kedua bersibak
masuk disedot ke dalam lobang di dinding kiri goa. Dengan
kejadian itu tidak ada sedikitpun air bah berapi yang bisa
terus melanda ke arah mulut goa. Di antara gemuruh suara
air bah yang bersibak, lapat-lapat Wiro mendengar suara
seorang menjerit. Lalu di ujung sana dia melihat ada satu
bayangan hijau tergulung dalam air bah merah berapi, ikut
tersedot amblas ke dalam lobang besar di lantai goa!
Bersamaan dengan itu dia juga mendengar suara jeritan
anak kecil disusul suara genta lonceng. Sekilas dia seperti
melihat ada cahaya kuning menyambar.
Tidak tunggu lebih lama Wiro segera lari ke mulut goa
sambil siapkan satu pukulan sakti untuk mendobrak jalan
keluar yang tertutup runtuhan batu-batu tebing.
Tiba-tiba kembali terdengar suara jerit pekik perem–
puan banyak sekali. Ada pula suara menangis meraung-
raung.
“Tolong! Tolong!”
“Hyang Jagat Bathara! Selamatkan kami!”
Kini jelas suara teriakan itu berasal dari orang-orang
yang minta tolong. Seperti tadi datangnya dari balik dinding
kanan goa. Karena Wiro menghadap ke arah mulut goa,
sekarang suara itu muncul dari balik dinding kiri.
“Suara perempuan berteriak minta tolong! Siapa
mereka? Berada di mana?!” Wiro perhatikan dinding goa di
arah kiri. Dia segera mengeluarkan Pukulan Tangan Dewa
Menghantam Karang untuk menjebol dinding batu pualam
di hadapannya.
Wuttt!
Pukulan sakti pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh
menggelegar. Seantero goa bergoncang laksana dihantam
gempa keras namun dinding yang dipukul sedikitpun tidak
rusak apa lagi jebol! Di balik dinding suara jeritan perem–
puan semakin menjadi-jadi.
“Kasihan! Ada banyak nyawa yang agaknya terancam di
balik dinding ini. Tapi aku tak berdaya menolong!” Wiro
garuk kepala lalu ingat ilmu yang diberikan kakek sakti
Kumara Gandamayana padanya yaitu ilmu mengamblas–
kan diri ke dalam tanah. Dengan masuk ke bagian bawah
goa dia mungkin bisa menemui perempuan-perempuan
yang minta tolong itu. Dengan cepat Wiro hentakkan kaki
kanan ke lantai goa.
Bukkk!
Lantai batu pualam bergetar sedikit. Pendekar 212
terkejut ketika ternyata dia tidak mampu mengamblaskan
diri masuk menembus lantai batu pualam!
“Aku harus cepat keluar dari sini. Aku akan coba
menolong orang-orang itu dari luar goa.” Wiro balikkan
badan, siap lari ke arah mulut goa yang tertutup timbunan
hancuran batu tebing.
Ketika lewat di samping kolam yang ada patung
Penguasa Atap Langit, tiba-tiba terdengar suara mengiang
di telinga kiri Pendekar 212.
“Yang Maha Kuasa berbuat sesuai kuasaNya. Niat dan
perbuatan baik para makhluk tidak akan pernah lepas dari
perhatianNya. Pertobatan akan mendapat balas dengan
segala asih. Saat ini malam telah tiba. Lebih cepat datang–
nya dari seribu malam sebelumnya. Segala kebajikan
menuai berkah. Rakhmat sejahtera dan ketenteraman
akan menjadi bagian Bhumi Mataram. Kuasa Para Dewa
akan muncul malam ini. Di langit warna biru nyaris sem–
purna memenuhi lingkaran rembulan empat belas hari.
Itulah pertanda dari Yang Maha Kuasa.”
Wiro hentikan lari. Dia menatap ke arah kolam lalu
perhatikan patung Penguasa Atap Langit.
“Siapa yang bicara?” Wiro bertanya. Tak ada jawaban.
Wiro ketok-ketok tempurung lutut kanan patung. Aneh!
Kaki yang diketuk berjingkat ke atas. Wajah patung batu
Penguasa Atap Langit tampak mengerenyit!
“Aku bertanya, siapa yang barusan bicara. Jika mau
memberi petunjuk lekas katakan!”
Setelah kaki patung diketok mendadak saja ada
jawaban, “Tidak usah bertanya siapa diriku. Dan jangan
jahil mengetuk tempurung lututku! Lekas masuk ke sini.
Lewat lobang ini kau akan sampai di ruangan sebelah,
tempat para perempuan berteriak minta tolong! Selamat–
kan mereka. Kebajikanmu akan membuat bulan berwarna
biru penuh. Bhumi Mataram akan kembali aman sejah–
tera.”
Wiro menggaruk kepala. “Penguasa Atap Langit? Kau
yang barusan bicara? Aku mengenali suaramu!” Wiro
keluarkan ucapan. Hidung menghirup. Dia mencium bau
kemenyan terbakar.
“Sudah, waktumu tidak banyak. Lekas masuk ke dalam
lobang ini!”
Wiro melongo kaget ketika mendengar suara berdesirdan melihat patung batu Penguasa Atap Langit tiba-tiba
bergeser ke kiri lalu menggantung di atas kolam. Di bekas
tempat tegaknya patung terlihat sebuah lobang batu empat
persegi. Wiro menggaruk kepala.
“Jangan menaruh curiga. Jangan bersyak wasangka.
Tidak ada maksud untuk menjebak. Lobang ini akan tetap
terbuka sampai hitungan dua ratus. Inilah jalan keselama–
tan! Mulailah menghitung.”
Setelah menghilangkan kebimbangan hatinya Wiro
mulai menghitung. Lalu dengan cepat dia melompat ke
atas lobang batu di tengah kolam yang berada pada
ketinggian sepinggang di atas air. Di bagian bawah lobang
dia melihat delapan anak tangga berwarna merah. Wiro
cepat masuk ke dalam lobang lalu menuruni delapan
undakan batu. Di sebelah bawah, satu langkah di hada–
pannya dia menemukan sebuah tangga lain yang juga
punya delapan anak tangga, mengarah naik ke atas
menuju sebuah ruangan dengan tiga dinding berwarna
merah sementara dinding ke empat di sebelah depan
merupakan dinding tembus padang. Entah dari mana
datangnya, air berwarna merah tampak menggenangi
ruangan. Saat itu sudah mencapai ketinggian sebatas
lutut. Belasan perempuan berada dalam ruangan itu.
Mereka berteriak-teriak, meraung menangis. Ada pula yang
menggedor-gedor dinding tembus pandang menyerupai
kaca. Rata-rata mereka adalah gadis atau perempuan
muda berwajah cantik. Namun ada juga beberapa orang
anak perempuan sebaya Ni Gatri.
Wiro melompati delapan anak tangga sekaligus. Pada
hitungan ke tiga puluh enam di depan dinding tembus
pandang dia sama sekali tidak melihat pintu atau jalan
masuk. Wiro kerahkan sedikit tenaga dalam lalu menghan–
tam dinding tembus pandang dengan satu jotosan keras.
Dinding tidak bergeming sedikitpun!
Wiro memberi tanda agar semua perempuan yang ada
dalam ruangan menjauh dari dinding tembus pandang
karena dia siap menjebol dinding itu dengan pukulan saktiberkekuatan tenaga dalam penuh. Namun hampir semua
perempuan di dalam ruangan berteriak dan memberi
isyarat dengan goyangan tangan agar Wiro tidak melaku–
kan hal itu.
Beberapa di antaranya membuat gerakan tangan,
menunjuk ke arah dinding batu sebelah kiri di luar ruang–
an. Di salah satu bagian dinding menempel sebuah batu
bulat berwarna merah.
“Batu merah! Tekan batu merah!” Perempuan-perem–
puan itu berteriak sambil mencontohkan gerakan menekan
dengan telapak tangan masing-masing. Saat itu Wiro sudah
sampai pada hitungan ke seratus sepuluh. Mendengar apa
yang diteriakkan serta tanda yang diberikan beberapa
perempuan di dalam ruangan, Wiro cepat mendatangi
dinding di samping kiri lalu tanpa ragu menekan satu
tonjolan batu berwarna merah. Saat itu juga terdengar
suara aneh seperti suitan bersahut-sahutan disusul suara
deru keras. Bersamaan dengan itu dinding tembus pan–
dang terbelah di bagian tengah. Masing-masing belahan
bergeser ke kiri dan ke kanan. Air merah di dalam ruangan
langsung mencurah ke ruangan bawah tempat dua tangga
batu berundak delapan bertemu. Beberapa orang perem–
puan hampir terpeleset akibat seretan air merah yang
cukup deras.
“Lekas keluar! Ikuti aku!” Teriak Wiro. Namun dia sadar,
orang-orang itu tidak mungkin menuruni tangga yang satu
lalu naik lagi ke tangga yang lain sementara genangan air
merah telah memenuhi lantai. Untuk disuruh menyeberang
dengan cara melompat pasti mereka tidak mampu, malah
bisa-bisa tercebur ke dalam air merah.
Wiro menggaruk kepala. Tiba-tiba dengan cepat dia
melompat ke udara, lalu membelintang menelungkup
antara dua buah tangga batu pada undakan ke lima. Dua
kaki bersitekan pada anak tangga ke lima di depan dinding
tembus, dua tangan berpegangan kuat pada anak tangga
di sebelah lainnya. Tubuh dibuat demikian rupa dijadikan
jembatan penyeberang.“Kalian semua! Lekas melintas di atas punggungku!
Menyeberang ke ruangan sebelah! Cepat! Satu-satu!
Jangan berebutan! Jangan saling dorong!”
Tapi yang namanya perempuan tetap saja mereka
berteriak riuh. Apa lagi dalam keadaan takut kacau balau
mereka berebutan cari selamat saling mendahului satu
sama lain. Akibatnya dari enam belas perempuan yang
berusaha menyeberang melalui tubuh Wiro, tiga di antara–
nya terpeleset dan jatuh tercebur ke dalam genangan air
merah sedalam dua ketinggian tubuh manusia! Wiro tak
mungkin menolong sementara tubuhnya masih terus
dijadikan landasan jembatan untuk menyeberangi.
TUJUH BELAS
TlGA belas perempuan yang berhasil selamat setelah
sampai di sebarang cepat dituntun Wiro berlari
menaiki tangga menuju ke arah lobang empat persegi
yang masih menganga di atas kolam! Saat itu sudah
sampai hitungan seratus empat puluh! Pada hitungan ke
seratus sembilan puluh satu, perempuan terakhir keluar
melewati lobang batu empat persegi. Begitu memasuki
hitungan ke seratus sembilan puluh sembilan patung batu
Penguasa Atap Langit yang menggantung di atas kolam
bergeser kembali ke tempatnya semula, menutup lobang.
Wiro menarik nafas lega. Dia mendahului lari ke arah mulut
goa yang saat itu masih tertutup runtuhan batu-batu tebing
yang hancur.
Dari jarak dua tombak Wiro lepaskan pukulan sakti
dengan kedua tangannya yang tak lain adalah Pukulan
Dewa Topan Menggusur Gunung dan Benteng Topan
Melanda Samudera.
Blaarr! Blaarr!
Timbunan puing batu di mulut goa hancur, beterbangan
ke udara. Yang hancur ternyata bukan timbunan batu tapi
juga puing di atasnya. Suara bergemuruh dan goncangan
hebat melanda seantero tempat sewaktu dasar sungai
besar di atas bukit batu yang menjadi tempat aliran air
bergeser jauh, membuat curahan air terjun berpindah ke
kanan sampai tiga tombak dari tempatnya semula dan kini
tidak lagi mencurah masuk ke dalam telaga!
Wiro berdiri di tepi telaga dikelilingi sepuluh gadis dan
tiga anak perempuan. Saat itu ternyata hari sudah malam.
Menatap ke langit dia melihat bulan purnama empat belas
hari berwarna biru.
“Aneh, aku sudah beberapa kali mendengar orang
menyebut bulan biru. Tapi tidak menyangka kalau hal itu
benar-benar berupa kenyataan. Apa yang sebenarnya telah
terjadi?” Wiro membatin dalam hati. Lalu dia berpaling
pada tiga belas perempuan cantik di sekelilingnya. Tiga di
antaranya masih berusia belasan tahun.
“Kalian siapa? Mengapa berada di dalam goa?” Wiro
bertanya.
Ditanya begitu rupa semua orang langsung jatuhkan
diri, berlutut di tepi telaga yang kini airnya hanya tinggal
setinggi mata kaki susut entah ke mana.
“Kami..., kami adalah orang peliharaan bocah bejat
Dirga Purana. Kami sudah lama disekap di dalam goa.
Kami harus melayani kemauan mesumnya...” Seorang
perempuan muda bicara tersendat memberi tahu.
“Hah! Apa? Seorang bocah dua belas tahun punya
belasan perempuan cantik sebagai peliharaan?! Gila!” Wiro
tak bisa mempercayai. “Bocah jahanam terkutuk! Aku
harap dia benar-benar sudah mampus di dalam goa sana!”
Dalam marahnya dia ingat apa yang telah terjadi dengan Ni
Gatri. Anak perempuan malang itu telah menjadi korban
kemesuman Dirga Purana. Tapi adalah aneh bagaimana
dia bisa berbuat mesum dengan gadis-gadis cantik yang
lebih besar sosok tubuhnya dan lebih tua usianya.
“Kalian diperlakukan mesum oleh bocah sekecil itu.
Bagaimana mungkin? Mengapa kalian mau saja?i” Wiro
bertanya masih merasa tidak percaya.
Dengan menundukkan kepala salah seorang gadis
menjawab, “Kami dicekoki semacam obat yang mempe–
ngaruhi jalan pikiran dan tidak mampu menolak apa mau
anak itu. Selain itu, jika dia sedang berbuat keji tubuhnya
berubah menjadi besar walau mukanya masih tetap anak-
anak.”
“Dajal edan!” Teriak Wiro.
“Kakak siapa...?” Salah seorang gadis bertanya.
Wiro tak menjawab.
“Kami sangat berterima kasih pada kakak.” Seoranggadis lainnya berkata sambil berdiri. Yang lain-lain ikut
berdiri. Lalu tiga belas gadis itu mengerubungi Wiro. Ada
yang mencium tangannya, ada pula yang memeluknya
sambil kucurkan air mata.
Tiba-tiba ada suara orang berseru lantang.
“Oala! Orang yang kita khawatirkan keselamatannya
ternyata tengah bersenang-senang dengan belasan gadis
cantik!”
Tiga belas gadis cepat melepaskan pelukan. Wiro
berpaling ke arah telaga sebelah kiri. Di tepi telaga itu
berdiri Ratu Randang senyum-senyum. Di sebelahnya tegak
Sakuntaladewi sambil menggigit-gigit bibir, sementara agak
jauh Kunti Ambiri berdiri sambil rangkapkan dua tangan di
depan dada menatap ke langit memandangi bulan biru.
“Wiro, rejekimu rupanya besar nian malam ini! Dari
mana kau dapat begitu banyak kekasih cantik?” Ratu
Randang kembali keluarkan ucapan.
“Nek, mereka bukan kekasihku. Mereka para gadis
peliharaan Dirga Purana. Mereka...”
“Sudah, sudah. Aku percaya pada ucapanmu. Rupanya
Dirga Purana bocah kurang ajar itu sudah mati di tangan–
mu! Jadi kini kau merasa semua peliharaannya menjadi
milikmu!”
“Bukan begitu Nek. Aku... Tanya saja sama mereka apa
yang telah terjadi. Apa kau juga tidak melihat ada keane–
han? Di langit bulan purnama empat belas hari berwarna
biru!”
“Weehhh! Jangan mengalih pembicaraan dari kepergok
bercumbu-cumbuan kepada bulan di langit tinggi. Jauh
amat. Hik... hik... hik!”
Tiba-tiba di kegelapan malam melesat satu bayangan
putih di tepi telaga sebelah timur. Ketika semua mata
dipalingkan ke arah itu, di atas sebuah batu kelihatan
berdiri satu jerangkong yang memancarkan cahaya putih.
Di atas tengkorak kepalanya bergelung sehelai sorban
berwarna kelabu.
“Emban Buyut Kumara Gandamayana. Lor PenggingJumena.” Ucap Sakuntaladewi perlahan dengan suara
bergetar sementara Ratu Randang dan Kunti Ambiri
menatap tak berkesip. Tak ada yang berani bicara. Tiga
belas gadis yang mengelilingi Wiro tampak ketakutan.
Jerangkong yang berdiri di atas batu dongakkan kepala,
memandang ke arah bulan purnama biru di langit malam.
Lalu makhluk ini keluarkan ucapan bersuara lembut tapi
jelas terdengar oleh semua orang yang ada di sekitar
telaga, padahal air terjun walau sudah berpindah tempat
suaranya masih tetap menggemuruh deras.
“Kebajikan telah dibuat. Berkah Yang Maha Kuasa
telah turun. Bulan biru menjadi kenyataan. Bhumi Mataram
telah kembali pada ketenteraman. Sri Maharaja Rakai
Kayuwangi Lokapala akan kembali memimpin kerajaan.
Lalu mengapa kita masih menaruh syak wasangka dan
berprasangka buruk...?”
Ratu Randang yang maklum kalau ucapan itu ditujukan
pada dirinya cepat menjawab, “Embah Buyut Lor Pengging
Jumena, maafkan saya. Sebenarnya tadi saya cuma
bercanda...”
Seolah tidak mendengar apa yang diucapkan si nenek,
jerangkong di atas batu lanjutkan ucapan.
“Di balik semua berkah itu masih ada perkara yang
belum terselesaikan. Ksatria Panggilan, pergilah ke Kota–
raja. Sebelum fajar menyingsing, selagi rembulan biru
masih kelihatan ujudnya di langit Mataram, kau sudah
harus sampai di sana. Temui Raja Mataram dan serahkan
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pada beliau. Setelah Raja
menerima senjata sakti itu minta izin padanya untuk kau
pinjam barang seketika guna menyembuhkan cacat di kaki
gadis bernama Sakuntaladewi itu. Hanya kau yang ditentu–
kan mampu menyembuhkan cacat yang membawa derita
sengsara dirinya. Lalu jangan lupa akan segala kaul yang
telah terucap. Sebaik-baiknya hati adalah yang siap mene–
rima segala kenyataan. Sebaik-baiknya perbuatan adalah
yang dilakukan dengan segala keikhlasan...”
Sosok jerangkong di atas batu yang tadi bersinar terang
perlanan-lahan berubah redup dan akhirnya lenyap dari
pemandangan. Ratu Randang tundukkan kepala. Kunti
Ambiri menatap ke arah air terjun yang kini telah berpindah
tempat. Sakuntaladewi melirik ke jurusan Pendekar 212,
dan tiga belas gadis tampak tertegun memandangi Wiro
sang tuan penolong mereka.
“Kakak, kami akan mengantarmu ke Kotaraja...” Tiba-
tiba salah seorang gadis berkata.
Wiro tersenyum lalu anggukkan kepala. “Kita semua
sama-sama menuju ke sana. Kalau memang ada berkah
Yang Maha Kuasa turun ke bumi, maka berkah itu adalah
juga bagian kita semua yang ada di sini. Kalau kita semua
bisa berjalan cepat sebelum tengah malam pasti sudah
sampai di Kotaraja.” Wiro lalu melangkah mendekati
Sakuntaladewi. Dipegangnya tangan gadis itu. “Aku sudah
terlalu lama tidak memperhatikan dirimu. Saatnya aku
harus menolongmu. Kita berangkat ke Kotaraja.” Lalu Wiro
mendekati Kunti Ambiri. Memeluk gadis cantik alam roh ini
pada punggungnya dan menggandengnya mendatangi Ratu
Randang.
“Nek, sebelum aku merasa berkah Yang Maha Kuasa
benar-benar menjadi bagian diriku, aku ingin menerima
berkah darimu terlebih dulu...”
Ratu Randang tampak terkejut. “A... apa maksudmu?”
Tanya Ratu Randang agak gagap.
“Ssstt! Berapa sisa ciumanku yang masih terhutang?”
Ujar Wiro pula dengan suara sengaja diperlahan.
Sepasang mata si nenek mendelik, tapi wajahnya tam–
pak berseri. Tidak malu-malu dan tidak menunggu lebih
lama lagi Ratu Randang lalu rangkul dan daratkan belasan
ciuman di wajah Pendekar 212. Kunti Ambiri geleng-geleng
kepala. Sakuntaladewi senyum-senyum. Sepuluh gadis dan
tiga anak perempuan tercengang-cengang melihat apa
yang terjadi. Tapi tak urung semua mereka kemudian
bersorak bahkan ada yang berseru dan tertawa haha-hihi!
TAMAT
Penulis : bastian tito
Created : matjenuh channel
https://matjenuh-channel.blogspot.com
Malapetaka di Bhumi Mataram belum sepenuhnya
berakhir, karena nasib Eyang Sinto Gendeng masih belum
ada kejelasan. Apa yang terjadi dengan Dirga Purana.
Benarkah anak lelaki itu telah menemui ajal di dalam goa?
Berhasilkah Wiro menyembuhkan cacat Sakuntaladewi dan
terlaksanakah kaulan si gadis untuk menjadikan Wiro
sebagai suaminya?
Apa yang terjadi dengan Jaka Pesolek. Ke mana
lenyapnya selir ke satu sang Penguasa Atap Langit?
Silahkan pembaca mengikuti kisah selanjutnya dalam
jalinan cerita dimulai dengan judul:
DEWI DUA MUSIM
0 comments:
Posting Komentar