Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Sabtu, 15 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - BULAN BIRU DI MATARAM

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com

SATU 


DALAM serial sebelumnya berjudul “Selir Pamungkas” 

diceritakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah berha–

sil menyusupkan kekuatan gaib jahat ke dalam diri 

Empu Semirang Biru. Ketika itu sang Empu berada di 

dalam Ruang Segi Tiga Nyawa menjaga Keris Kanjeng 

Sepuh Pelangi yang menancap di langit-langit ruangan. Dia 

juga tengah menunggu kedatangan para sahabat muda 

yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng, Kunti Ambiri, Ratu 

Randang, Sakuntaladewi serta Jaka Pesolek. Jalan pikiran 

Empu Semirang Biru telah dikuasai dan dikendalikan oleh 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Dia diperintah untuk 

menyiasati agar mendapatkan Keris Kanjeng Sepuh 

Pelangi dan ternyata memang berhasil. 

Setelah mendapatkan senjata sakti mandraguna yang 

dibuatnya sendiri di Gunung Bismo itu, sang Empu keluar 

dari Ruang Segi Tiga Nyawa melalui lobang di lantai 

ruangan yang disebut Terowongan Arwah yang dibuat oleh 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah. 

Karena pikiran sehatnya tidak bisa bekerja di samping 

siasat licik Ratu Randang, Empu Semirang Biru tidak 

menyadari kalau keris yang dibawanya adalah keris palsu. 

Keris diserahkan pada Sinuhun Merah Penghisap Arwah di 

dalam sebuah goa di balik air terjun. Di tempat itu hadir 

pula Ksatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari, 

Sinuhun Muda Ghama Karadipa serta bocah sakti Dirga 

Purana yang datang sambil gandeng Ni Gatri. 

Ketika keris dikeluarkan dari balik pinggang pakaian 

putih, sepasang mata Sinuhun Merah bergeletar. Kening 

bocah dua belas tahun Dirga Purana yang mendukung Ni 

Gatri mengerenyit. Pangeran Matahari tegak congkak takbergerak, mata menatap dingin tak berkesip. 

Sinuhun Muda Ghama Karadipa cepat mengambil keris 

dari tangan Empu Semirang Biru. Mata mendelik besar 

meneliti. Kaki tersurut dua langkah. Keris tak bersarung 

tak bergagang terasa dingin. Tak ada hawa kehidupan. 

Pancaran sinar yang keluar dari badan keris berwarna 

merah kehitaman dan sangat redup. Cahaya yang sangat 

tidak pantas bagi sebilah keris sakti mandraguna yang 

bakal dijadikan pusaka Istana Kerajaan Mataram. 

Dengan cepat Sinuhun Muda memperhatikan dan 

menghitung jumlah luk di badan keris. Lalu dia berkata, 

“Sinuhun Merah, keris ini memang memiliki sembilan luk. 

Tapi rasanya ada sesuatu...” 

Dengan cepat Sinuhun Merah mengambil keris dari 

tangan saudara nyawa kembarnya. Sejak pertama kali 

melihat senjata tersebut sebenarnya dia telah menaruh 

curiga. Begitu juga dengan bocah dua belas tahun Dirga 

Purana walau selalu sibuk dengan Ni Gatri yang berada di 

panggulan bahu kirinya dalam keadaan tidak sadar karena 

di bawah pengaruh totokan. Pandangan mata makhluk 

atau orang sakti seperti mereka memang tidak dapat 

ditipu. 

Begitu keris dipegang di tangan, Sinuhun Merah segera 

mendekatkan senjata ke hidung lalu mencium dalam-

dalam. 

“Palsu!” Teriak Sinuhun Merah menggeledek. Mata 

merah mendelik besar. Blangkon di kepala sampai naik 

satu jengkal dan ubun-ubun kepulkan asap merah. Ini 

bukan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang asli! Keris jaha–

nam ini terbuat dari kepingan Rantai Kepala Arwah Kaki 

Roh! Aku bisa menciumnya! Empu keparat! Kau berani 

menipuku!” 

Bukk! Kraakk! 

Tendangan kaki kiri Sinuhun Merah di arah dada 

membuat Empu Semirang Biru terpental dan terkapar di 

lantai goa. Dua tulang iganya patah. Jeritan sang Empu 

menggelegar merobek suara deru curahan air terjun.Dalam gelegak amarah, Sinuhun Merah, Sinuhun Muda 

dan bocah sakti Dirga Purana sepakat untuk segera meng–

habisi Empu Semirang Biru saat itu juga walau sang Empu 

meratap minta ampun, memberi tahu kalau dia tidak punya 

niat menipu. Dia tidak tahu bagaimana keris itu tahu-tahu 

palsu karena sebelumnya dia menerima sendiri senjata 

tersebut dari Ratu Randang. 

Pangeran Matahari yang di Bhumi Mataram dikenal 

dengan panggilan Ksatria Roh Jemputan mengusulkan 

agar sang Empu jangan dibunuh tapi dimanfaatkan begitu 

rupa hingga berhasil menuntaskan rencana untuk 

menyingkirkan raja dan sekaligus menguasai Kerajaan. 

Merasa usulan Ksatria Roh Jemputan masuk diakal 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah mengampuni Empu 

Semirang Biru namun sesuai siasat kakek ahli pembuat 

senjata itu harus mencari dan menemui raja. Berpura-pura 

hendak menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Begitu 

Raja lengah sang Empu harus cepat menikam raja. 

“Cukup satu tikaman! Nyawa raja keparat itu pasti 

amblas!” kata Sinuhun Muda. 

“Betul!” menyahuti Sinuhun Merah. “Cukup satu tika–

man. Raja pasti menemui ajal. Karena keris akan aku 

bungkus dengan racun Cakar Sukma Merah! Selain itu aku 

juga akan memberikan kekuatan pada tubuhmu yang 

kurus kering tua renta!” 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah angkat dua tangan. 

Satu diletakkan di atas kepala Empu Semirang Biru, yang 

satu lagi digenggamkan ke keris palsu. Dua cahaya merah 

memancar dari dua tangan sang Sinuhun Merah. Empu 

Semirang Biru merasa tubuhnya menjadi agak segar dan 

sakit akibat dua tulang iganya yang patah terasa berku–

rang. Sinuhun Merah serahkan kembali keris palsu pada 

Empu Semirang Biru. 

Ketika Empu Semirang Biru siap untuk pergi, Sinuhun 

Merah memaksanya menelan sebuah benda bulat merah 

seujung jari. Benda itu ternyata adalah Racun Kala Merah. 

“Jika dalam tiga hari kau tidak berhasil membunuh RajaMataram, Racun Kala Merah akan merenggut nyawamu! 

Kau akan mampus dengan tubuh leleh menjadi lendir!” 

Sekujur tubuh Empu Semirang Biru bergetar menggigil. 

Di hadapannya sambil menyeringai dan usap janggut hitam 

di dagu Sinuhun Muda berkata, “Jika kau berhasil meng–

habisi Raja Mataram sebelum hari ke tiga, lekas menemui 

kami. Kami akan memberikan obat penangkal pemusnah 

Racun Kala Merah yang ada dalam tubuhmu! Kau dengar 

itu Empu?!” 

“Saya dengar Sinuhun.” Jawab Empu Semirang Biru. 

Sinuhun Muda tertawa bergelak, kedipkan mata pada 

Sinuhun Merah pertanda apa yang barusan dikatakannya 

tentang obat penangkal adalah dusta belaka. 

“Sekarang lekas laksanakan perintah Sinuhun Merah!” 

Kata Sinuhun Muda pula lalu tendang pantat orang tua itu 

hingga terguling di lantai goa. 

Walau dirinya diperlakukan semena-mena seperti itu 

bahkan kemudian dihina dipaksa merangkak melewati 

selangkangan Sinuhun Merah, namun Empu Semirang Biru 

tidak berdaya melawan. 

*** 

MENCARI dan menemui Raja Mataram Raka Kayuwangi 

Dyah Lokapala bukan hal yang mudah bagi Empu Semirang 

Biru. Apa lagi dalam keadaan cidera dua tulang iga patah 

akibat tendangan Sinuhun Merah. Selain itu seperti diceri–

takan sebelumnya, bersama rombongannya yang pernah 

menyelamatkan diri di Bukit Batu Hangus, saat itu Raja 

Mataram telah mengasingkan diri di satu tempat rahasia 

yaitu bekas Sumur Api yang terletak di satu rimba belan–

tara antara kawasan Prambanan dan Kali Dengkeng. 

Tujuan pertama yang didatangi Empu Semirang Biru 

adalah Kotaraja. Dia langsung menuju istana namun jadi 

kecewa karena didapati bangunan istana dalam keadaan 

sunyi gelap, sebagian berada dalam keadaan runtuh. Tak 

ada yang menghuni bahkan tidak seorang prajurit ataupengawalpun terlihat di situ. Empu Semirang Biru menge–

lilingi bangunan istana sampai tiga kali bahkan masuk 

menyelidik ke dalam reruntuhan bangunan. Dia tidak 

menemukan seorangpun. Dia cepat-cepat kembali ke 

halaman depan. 

“Jelas Sri Maharaja Mataram yang harus aku bunuh 

tidak ada di sini...” Ucap Empu Semirang Biru. Tubuhnya 

yang kurus terduduk lemas di tanah. Rasa haus tak terta–

hankan menyengat tenggorokannya. Saat itu kegelapan 

malam membuat segala yang terlihat di depan mata ber–

warna hitam. Semakin malam semakin sunyi dan dingin. 

“Aneh, mengapa tubuhku sekarang menjadi lemas. 

Apakah kekuatan yang diberikan Sinunun Merah telah 

luntur. Aku haus sekali...” 

Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara lolongan 

anjing. 

“Hanya anjing yang ada. Makhluk yang tidak bisa 

kutanyai tak bisa menjawab di mana beradanya Raja 

Mataram...” Kata Empu Semirang Biru sambil duduk 

tersandar di dinding kanan pintu gerbang istana. “Kalau 

saja dulu Raja Mataram tidak menyuruh aku membuat 

keris itu, nasibku tidak akan jadi begini. Sekarang rasanya 

memang cukup pantas kalau aku membunuhnya!” 

Saat itu keadaan sang Empu sudah sangat lemah. 

Seharian tidak ada minuman yang diteguk, tak ada maka–

nan yang ditelan. Bibir kering, tenggorokan laksana dise–

ngat api. Sebenarnya Empu ini memiliki kesaktian yang 

membuat dia bisa bertahan tidak minum dan tidak makan 

selama empat puluh hari. Namun Racun Kala Merah yang 

berada dalam perutnya telah membuat dia menjadi sangat 

lemah. 

Sang Empu menarik nafas dalam. Hidungnya mencium 

bau busuk. Memandang ke kiri dia melihat sebuah combe–

ran. Bau busuk air hitam comberan itulah yang menusuk 

penciumannya. Lidah kelu diulur mengusap bibir kering. 

“Agaknya hanya air comberan itu rejeki yang dapat 

kuminum...” Kata sang Empu dalam hati. Perlahan-lahandia mencoba berdiri. Namun kakinya terpeleset. Sebelum 

jatuh tertelentang ke tanah, setengah sadar dia merasa 

ada angin menyambar lalu di depannya, sungguh tidak 

diduga muncul satu sosok putih. Sosok jerangkong. 

“Tengkorak hidup... hantu... setan... mungkin juga 

penjaga neraka sudah datang menjemput diriku.” Ucap 

Empu Semirang Biru dalam hati. Dia hanya menunggu 

pasrah apa yang akan terjadi. Tangan kanan diselinapkan 

ke balik pakaian, menggenggam keris tak bergagang. Tiba-

tiba jerangkong membungkuk, tangan kanan bergerak. 

Tahu-tahu sang Empu sudah berada di atas pundak kanan. 

Sekali dua kaki bergerak, wuutt! Jerangkong hidup melesat 

dan lenyap dalam kegelapan di arah timur Kotaraja


DUA


EMPU Semirang Biru merasa ada orang menotok 

beberapa bagian tubuhnya. Lalu ada telapak tangan 

ditempel di kening dan dada. Sesaat kemudian dia 

merasa hawa sangat sejuk memasuki kaki, naik ke badan 

terus ke kepala. Sepasang mata yang sejak tadi setengah 

terpejam cepat-cepat dibuka. Bersamaan dengan itu rasa 

lemas tak berdaya yang sebelumnya dirasakan lenyap 

dengan seketika. Bahkan kakek berwajah tinggal kulit 

pembalut tulang ini bisa bergerak bangkit lalu duduk. Dia 

dapatkan diri berada di dalam satu ruangan batu pualam 

berwarna putih kelabu. Di sebelah kiri dia melihat satu 

pedataran pasir aneh yang seumur hidup baru kali itu 

disaksikannya. Pasir pedataran berwarna kuning, berkilau 

seperti emas. 

Menoleh ke kanan sang Empu melihat seorang kakek 

bersorban dan berjubah kelabu serta berkasut putih. 

Kakek ini berdiri sambil rangkapkan dua tangan di atas 

dada. Wajahnya yang jernih tampak tersenyum. Sebaliknya 

wajah Empu Semirang Biru tampak mengerenyit. Ketika dia 

hendak membuka mulut bertanya, orang bersorban men–

dahului berkata. 

“Empu Semirang Biru, kau berada dalam keletihan luar 

biasa. Tenggorokanmu laksana api dalam sekam. Teguklah 

minuman dalam cangkir ini lebih dulu...” 

Empu Semirang Biru terkejut orang mengetahui nama–

nya. Dia berpikir-pikir namun kakek bersorban di hadapan–

nya telah mengulurkan tangan. Tangan yang tadi tidak ada 

apa-apanya itu tahu-tahu kini telah memegang sehelai 

cangkir porselen putih berisi air bening. 

“Minumlah agar Empu sehat dan kuat kembali.Minuman ini sekaligus akan melancarkan peredaran 

darah...” 

Empu Semirang Biru sesaat merasa ragu. Apa betul 

orang berbaik hati hendak memberinya minum atau ber–

maksud meracuni. Tapi ingat pada Racun Kala Merah yang 

ada dalam tubuhnya sang Empu menjadi acuh. Cangkir 

putih diambil lalu cairan di dalamnya diteguk sampai habis. 

Begitu cairan habis sang cangkir lenyap dari pegangannya! 

“Luar biasa...” Wajah Empu Semirang Biru tampak 

bercahaya. Dia pandai menyembunyikan rasa kagumnya. 

“Saya merasa segar. Kekuatan saya pulih kembali. Rasa 

haus lenyap dengan seketika.” Tapi ketika memandang ke 

arah pedataran pasir kuning wajah ahli pembuat senjata ini 

tampak agak tercekat. 

“Empu Semirang Biru, kau tidak usah khawatir. Kau 

berada di tempat aman. Apakah kau masih mengenali diri 

saya?” Orang bersorban dan berjubah kelabu terbuat dari 

sutera bertanya. 

Empu Semirang Biru bangkit berdiri. Tubuh agak mem–

bungkuk. Sejurus dia menatap orang di hadapannya 

sebelum berkata, “Sampean, bukankah kau... kau orang 

yang malam itu datang ke Puncak Gunung Bismo ketika 

saya tengah menempa keris pesanan Raja Mataram...” 

“Betul.” Orang bersorban dan berjubah kelabu di 

hadapan sang Empu menjawab. 

“Sampean yang memberi ilmu kesaktian hingga tangan 

saya berubah menjadi bara menyala. Hingga saya mampu 

menempa dan menyelesaikan pembuatan keris sakti 

perintah Yang Mulia Raja Mataram hanya dalam waktu tiga 

hari...” 

Kakek bersorban tersenyum lalu anggukkan kepala. 

Empu Semirang Biru terdiam, seperti berpikir meng–

ingat-ingat. Lalu dia berkata, “Sampean, bukankah 

sampean kakek gagah bernama Kumara Gandamayana, 

orang utama kepercayaan Sri Maharaja Mataram?” 

“Itu juga betul.” Kembali kakek bersorban menjawab. 

Empu Semirang Biru ingat peristiwa di luar Ruang SegiTiga Nyawa. Sosok Kumara Gandamayana muncul. Di 

dalam tubuhnya ternyata ketumpangan sosok Sinto 

Gendong guru Ksatria Panggilan yang disusupkan oleh 

Sinuhun Merah. Sang guru kemudian merobek dada 

muridnya, mengambil satu senjata berupa sebuah kapak. 

Dalam hati Empu Semirang Biru membatin, “Kalau 

kakek di hadapanku ini juga makhluk susupan Sinuhun 

Merah, aku tidak perlu merasa khawatir. Tapi kalau...” 

Sang Empu menatap ke arah pedataran berpasir kuning 

emas lalu memperhatikan keadaan sekeliling ruangan. 

“Sahabat Kumara Gandamayana, kalau sampean 

berada di sini, berarti ini adalah tempat rahasia di mana Sri 

Maharaja Mataram dan keluarga serta para pengikutnya 

berada. Saya sungguh bersyukur...” 

Sepasang mata Kumara Gandamayana mengecil, 

menatap lekat-lekat ke arah sang Empu lalu bertanya, 

“Dari mana Empu mengetahui kalau ini tempat rahasia dan 

Raja Mataram berada di sini bersama keluarga dan para 

pengikutnya?” 

“Harap maafkan kalau saya keliru. Saya hanya men–

duga. Karena saat ini saya membekal satu amanat tugas 

luar biasa penting. Tapi saya lebih dulu ingin tahu bagai–

mana saya bisa berada di sini. Padahal saya sudah 

setengah mati mencari dari siang sampai malam. Saya 

hampir meneguk air comberan saking haus luar biasa. 

Kalau saja sampean tahu dan mau menceritakan saya 

sangat berterima kasih.” 

“Satu makhluk alam gaib menemukan Empu dekat 

rimba belantara di Prambanan. Dia membawa Empu ke 

tempat ini.” Menerangkan Kumara Gandamayana. 

“Makhluk alam gaib?” Empu Semirang Biru kembali 

mengingat-ingat. “Sewaktu saya nyaris pingsan karena 

kelelahan dan kehausan, mendadak muncul satu sosok 

menyeramkan. Saya melihat tengkorak. Jerangkong hidup! 

Apakah makhluk itu yang sampean maksudkan dan yang 

telah menolong saya dan membawa ke tempat ini?” 

“Benar.” jawab Kumara Gandamaya.“Saya sangat bersyukur. Rupanya para Dewa telah 

mengulurkan pertolongan melalui jerangkong hidup itu 

untuk menolong saya. Tapi adalah aneh, mengapa makh–

luk jerangkong dari alam roh itu mau menolong saya. 

Apakah dia seseorang yang pernah saya kenal. Atau dia 

mengenal saya...” 

Tiba-tiba ada suara mengiang di telinga kiri Empu 

Semirang Biru, “Empu tolol! Kau ditugaskan untuk mencari 

dan membunuh Raja Mataram. Bukan ngobrol panjang 

lebar dengan cecunguk kaki tangannya. Lekas laksanakan 

tugasmu!” 

Wajah sang Empu berubah. Dia cepat mengusap muka. 

Namun sepasang mata Kumara Gandamayana tidak dapat 

ditipu. Kakek bersorban kelabu ini bertanya, “Ada apa 

Empu? Kau sepertinya...” 

“Tidak, tidak ada apa-apa. Maaf, sampean belum men–

jawab pertanyaan saya tadi. Mengapa makhluk jerangkong 

hidup itu menolong saya.” 

Kumara Gandamayana tersenyum. “Bukankah tadi 

Empu sendiri yang mengatakan bahwa itu adalah uluran 

tangan pertolongan para Dewa?” Orang kepercayaan Raja 

Mataram ini tidak mau menerangkan kalau jerangkong 

hidup itu sebenarnya adalah Emban Buyutnya sendiri yang 

bernama Lor Pengging Jumena. 

Empu Semirang Biru usap janggut birunya lalu angguk–

kan kepala. 

Kumara Gandamayana lantas berkata. “Sekarang beri 

tahu saya amanat tugas penting apa yang tengah Empu 

emban?” 

Diam-diam Empu Semirang Biru mulai merasa khawatir 

kalau-kalau orang di hadapannya tahu apa yang tersem–

bunyi di balik kehadirannya di tempat rahasia itu. 

“Sahabat, saya percaya padamu. Terus terang saya 

datang membawa Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Untuk 

diserahkan kepada pemiliknya yang tunggal dan sah yaitu 

Yang Mulia Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah 

Lokapala.”Kumara Gandamayana terkejut tapi sekaligus gembira. 

“Dewa Bathara Agung. Saya tidak menyangka. Ini satu 

peristiwa besar!” 

“Waktu saya tidak lama. Bisakah saya menghadap Yang 

Mulia Raja saat ini juga?” Empu Semirang Biru berkata 

sambil dekapkan dua tangan di atas dada lalu membung–

kuk pertanda dia memohon dengan hormat tetapi sangat. 

“Tentu saja. Tapi Empu, perbolehkan saya melihat keris 

sakti itu terlebih dulu.” 

“Sahabat, mohon maaf sampean. Saya ingin memperli–

hatkan dan menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi 

langsung ke tangan Yang Mulia Sri Maharaja Mataram. 

Harap sampean tidak tersinggung...” 

“Empu tidak mempercayai saya?” Tanya Kumara 

Gandamayana pula. 

“Bukan tidak mempercayai. Saya justru sangat meng–

hormat sampean.” Jawab Empu Semirang Biru sambil 

tersenyum lalu usap janggut yang berwarna biru. 

Kumara Gandamayana terdiam sejenak. Kemudian dia 

berkata. “Kalau begitu keinginan Empu...” 

“Maaf, ini bukan keinginan saya. Saya hanya menjalan–

kan amanat” 

Kumara Gandamayana tersenyum, “Baiklah, saya akan 

mengantarkan Empu menemui Yang Mulia Raja Mataram. 

Tapi sebelumnya saya ada satu pertanyaan.” 

“Pertanyaan apa?” Tanya Empu Semirang Biru sambil 

meluruskan tubuh. Walau orang di hadapannya tampak 

tersenyum, namun dalam hati sang Empu merasa tidak senang.



TIGA


KUMARA Gandamayana rangkapkan dua tangan di 

depan dada. Suaranya tenang dan sabar ketika 

berkata. “Menurut kabar yang saya ketahui, Keris 

Sepuh Kanjeng Pelangi lenyap dicuri orang beberapa ketika 

setelah Empu menyelesaikan pembuatannya. Saat itu keris 

sakti masih belum bergagang dan bersarung.” 

“Itu benar. Itu bukan merupakan rahasia lagi di Bhumi 

Mataram. Terutama di kalangan orang-orang Kerajaan dan 

orang-orang rimba persilatan.” Kata Empu Semirang Biru 

pula. 

“Cerita selanjutnya yang saya ketahui, keris sakti berluk 

sembilan itu dicuri oleh seorang pertapa yang telah me–

ninggal dunia. Sang pertapa bernama Sedayu Galiwardha–

na. Sinuhun Merah Penghisap Arwah berhasil mengeluar–

kannya dari alam roh, menguasai dan mengendalikan 

dirinya. Merubah ujudnya sebagai Raden Ageng Daksa 

palsu. Namun pertapa itu kemudian menemui ajal untuk 

kedua kali di Candi Kalasan sewaktu bentrokan dengan 

Ksatria Panggilan yang dibantu oleh beberapa tokoh 

perempuan, antaranya Ratu Randang.” 

“Ah, sungguh satu cerita nyata luar biasa. Kalau sam–

pean tidak menuturkan, saya tidak pernah tahu riwayat 

itu.” Berkata dusta Empu Semirang Biru. 

“Yang ingin saya ketahui,” kata Kumara Gandamayana 

pula, “Bagaimana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi tahu-tahu 

sekarang berada di tangan Empu dan katanya hendak 

diserahkan pada Yang Mulia Sri Maharaja Mataram.” 

Empu Semirang Biru menatap dalam-dalam ke mata 

orang di hadapannya. Saat itulah dia kembali mendengar 

suara mengiang di telinga kiri, “Empu tolol! Lekas kaubunuh kakek bersorban yang banyak mulut dan banyak 

bertanya itu! Tampaknya dia akan menyusahkan dirimu. 

Bisa-bisa tugas utamamu tidak terlaksana! Jahanam! Dia 

telah menaruh curiga padamu!” 

Suara mengiang itu adalah suara Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah. Empu Semirang Biru menduga-duga di 

mana keberadaan Sinuhun Merah saat itu. Pasti tidak jauh 

di luar tempat rahasia itu. Kalau tidak, mana mungkin 

dengan kesaktiannya dia mengetahui apa yang tengah 

dibicarakan. Sekalipun sangat takut dan berada di bawah 

kendali Sinuhun Merah Penghisap Arwah namun Empu 

Semirang Biru saat itu punya jalan pikiran sendiri. Membu–

nuh Kumara Gandamayana sama saja mencari kehebohan. 

Jika itu terjadi, niat utama untuk membunuh Raja Mataram 

mungkin tidak pernah kesampaian malah dia akan men–

dapat celaka. Maka sang Empu tidak melakukan apa yang 

diperintah Sinuhun Merah. 

“Empu jahanam! Kau berani kurang ajar tidak melaku–

kan apa yang aku perintah!” Suara ngiangan Sinuhun 

Merah menyumpah di telinga kiri Empu Semirang Biru. 

Sang Empu usap-usap rambutnya yang riap-riapan dan 

berusaha bersikap tenang. 

“Sahabat Kumara Gandamayana, setelah pertapa 

Sedayu Galihwardhana terbunuh, para Dewa turun tangan 

menyelamatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Senjata 

sakti yang bakal menjadi pusaka Kerajaan Mataram itu 

dimasukkan Para Dewa ke dalam satu ruangan bernama 

Ruang Segi Tiga Nyawa. Saya juga ikut dimasukkan untuk 

mengawasi. Saya hanya bisa menjaga karena saya tidak 

bisa menyentuh senjata itu. Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah, dibantu oleh bocah sakti bernama Dirga Purana, 

walau tidak mampu menembus masuk ke dalam Ruang 

Segi Tiga Nyawa tapi mereka masih bisa menyusupkan 

ilmu-ilmu dahsyat ke dalam Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. 

Siapa saja yang mendekati keris, apa lagi sampai menyen–

tuhnya maka dari dalam keris akan menyambar petir 

dahsyat.”“Lalu bagaimana sekarang keris itu bisa berada di 

tangan Empu?” Tanya Kumara Gandamayana. 

“Cerita saya belum selesai,” jawab sang Empu. Lalu 

Empu ini menuturkan bagaimana dia meminta Empat 

Mayat Aneh menculik Sakuntaladewi alias Dewi Kaki 

Tunggal untuk dibawa menemuinya. Dia juga menceritakan 

kedatangan seorang gadis bernama Jaka Pesolek yang 

mampu menangkap petir yang memang sangat dihara–

pkannya. 

“Berkat pertolongan kedua orang itu, Keris Kanjeng 

Sepuh Pelangi berhasil diambil dari langit-langit ruangan 

dan diserahkan kepada saya.” 

“Siapa yang menyerahkan?” Tanya Kumara Ganda–

mayana pula. 

“Nenek sakti bernama Ratu Randang.” Jawab Empu 

Semirang Biru. “Bukankah dia salah seorang pembantu 

kepercayaan Raja?” 

“Betul, dia memang salah seorang pembantu keperca–

yaan Raja Mataram.” jawab Kumara Gandamayana. 

Mulut berucap tapi pikiran dan hati sama bertanya-

tanya. “Mengapa Ratu Randang menyerahkan keris pada 

Empu ini, tidak menyerahkan sendiri ke tangan Raja?” 

“Selain Ratu Randang, Jaka Pesolek dan Sakuntala–

dewi, siapa lagi yang ada dalam Ruang Segi Tiga Nyawa?” 

Kumara Gandamayana bertanya hendak menguji apakah 

sang Empu akan menjawab jujur atau tidak. 

“Seorang pemuda yang dikenal sebagai Ksatria 

Panggilan, lalu gadis berpakaian hijau bernama Kunti 

Ambiri...” Menjawab Empu Semirang Biru. 

“Setelah menerima keris dari Ratu Randang, Empu 

langsung saja meninggalkan orang-orang itu?” 

“Benar, karena saya merasa perlu harus bertindak 

cepat. Menyerahkan keris kepada Yang Mulia Raja Mata–

ram. ‘‘ Empu Semirang Biru diam sesaat lalu bicara lagi 

“Sahabat Kumara Gandamayana, saya tidak bisa berlama-

lama bicara denganmu di tempat ini. Mohon dimaafkan. 

Saya harus segera menyerahkan Keris Kanjeng SepuhPelangi pada Yang Mulia Raja Mataram. Saya mohon 

sampean segera mengantar saya menghadap beliau.” 

“Empu Semirang Biru, harap kau bersabar menunggu di 

tempat ini. Saya akan memberi tahu kedatanganmu pada 

Raja Mataram.” 

“Saya sangat berterima kasih.” kata Empu Semirang 

Biru sambil bungkukkan badan. 

Tak selang berapa lama Kumara Gandamayana muncul 

kembali mengiringi seorang lelaki gagah berusia sekitar 

tiga puluh tahun, berpakaian sederhana. Rambut tergerai 

sebahu dan kumis serta janggut meranggas kasar. 

Walau tidak mengenakan mahkota namun Empu Semi–

rang Biru mengenali, orang yang melangkah di depan 

Kumara Gandamayana itu adalah Sri Maharaja Mataram 

Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. 

Empu Semirang Biru cepat-cepat berlutut susuk dua 

tangan di atas kepala seraya berkata. “Salam hormat saya 

untuk Sri Maharaja Mataram. Mohon dimaafkan kalau 

kedatangan saya telah mengganggu ketenteraman Yang 

Mulia.” 

“Empu Semirang Biru, berdirilah. Lama saya tidak 

mendengar kabar tentang dirimu. Saya lihat Empu tidak 

kurang suatu apa. Apa benar Empu datang untuk menye–

rahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi seperti yang diberi–

tahukan kakek Kumara Gandamayana?” 

Empu Semirang Biru rundukkan kepala hingga kening 

hampir menyentuh lantai 

“Mohon maaf Yang Mulia. Keris sakti hilang dirampas 

orang ketika masih berada di tangan saya. Saya merasa 

sangat bertanggung jawab untuk menemukannya kembali. 

Para Dewa telah menolong saya. Saya berhasil mendapat–

kan keris dan saya merasa punya kewajiban untuk menye–

rahkan ke tangan Yang Mulia” 

“Kalau begitu perlihatkanlah keris sakti itu. Empu boleh 

menyerahkan kepada saya sekarang juga.” Kata Raja 

Mataram pula. 

Empu Semirang Biru bangkit berdiri. Dari balik pakaian–nya dia keluarkan sebuah benda yang dibungkus kain 

putih. Kain pembungkus di buka. Kelihatan sebilah keris 

berluk sembilan tidak bergagang. Selarik sinar merah 

kehitaman menyelubungi keris mulai dari ujung yang lancip 

di sebelah atas sampai ke bagian gagang di sebelah 

bawah. 

Raja Mataram perhatikan senjata itu sejenak. Sebe–

lumnya dia memang tidak pernah melihat ujud Keris 

Kanjeng Sepuh Pelangi yang dimintanya sang Empu untuk 

membuat. Raja ulurkan tangan namun tiba-tiba dia melihat 

Kumara Gandamayana yang sengaja berpindah tegak ke 

hadapannya gelengkan kepala perlahan sembari kedipkan 

mata. Walau tidak mengerti apa maksud isyarat yang 

diberikan kakek pembantu kepercayaannya itu, namun 

Raja Mataram serta merta tarik dua tangannya yang 

barusan diulur. 

“Yang Mulia,” Empu Semirang Biru berkata. “Sekali lagi 

saya mohon maaf atas kelalaian hingga keris sakti ini 

sampai dicuri orang. Mudah-mudahan dengan bantuan 

serta kesaktian keris ini Yang Mulia mampu keluar dari 

semua kesulitan dan memimpin Bhumi Mataram kembali. 

Saya mohon Yang Mulia sudi menerima Keris Kanjeng 

Sepuh Pelangi ini...” 

Empu Semirang Biru tundukkan kepala, maju dua 

langkah sambil ulurkan dua tangan. Bagian pertengahan 

keris sampai ke ujung lancip diletakkan di atas telapak 

tangan kiri. Tangan kanan menggenggam gagang senjata. 

“Empu Semirang Biru! Tetap di tempatmu! Jangan 

berani bergerak! Berikan keris padaku!” Tiba-tiba Kumala 

Gandamayana membentak.


EMPAT


SAHABAT Kumara Gandamayana, ada apakah...?” 

Bertanya Empu Semirang Biru sambil kepala dipa–

lingkan sedikit. Tapi dua kaki terus saja melangkah. 

Dan tiba-tiba sekali, tangan yang menggenggam gagang 

keris laksana kilat bergerak. Cahaya merah kehitaman 

yang tadinya redup membungkus keris tiba-tiba memancar 

terang. Ujung keris berkiblat ke arah dada kiri Raja 

Mataram. 

Secepat yang bisa dilakukan Kumara Gandamayana 

melompat ke depan mendorong Raja Mataram. Raja 

terjengkang jatuh tapi selamat dari tusukan keris yang 

mengarah dada. Sebaliknya mata keris menyambar ke 

arah lengan kiri Kumara Gandamayana yang menghalang. 

Brettt! Crass! 

Lengan jubah kiri Kumara Gandamayana robek besar. 

Kulit dan daging lengan ikut terluka. Darah mengucur tapi 

tidak berwarna merah pertanda ada racun yang bekerja 

sangat cepat. 

Gagal dengan serangan pertama menikam ke arah 

dada Raja, Empu Semirang Biru keluarkan suara meng–

gereng seperti raungan anjing terluka lalu membuat 

gerakan melompat terjun ke arah Raja Mataram yang saat 

itu tengah berusaha berdiri. Keris di tangan kanan 

ditikamkan ke arah tenggorokan Raja. Namun sebelum 

keris palsu mengandung racun Cakar Sukma Merah yang 

mematikan itu menancap di leher Raja, Kumara Ganda–

mayana telah terlebih dulu melompat ke hadapan sang 

Empu. Dua tangan yang saat itu telah berubah menjadi 

merah laksana bara menyambar ke arah leher. 

“Kakek Kumara, jangan bunuh Empu itu!” Tiba-tiba Rajaberteriak. “Saya punya dugaan dia hendak membunuh 

saya bukan maunya! Saya mencium bau kemenyan dalam 

hembusan nafasnya! Ada satu kekuatan menguasai 

dirinya!” 

Mendengar teriakan Raja, Kumara Gandamayana tidak 

mau meneruskan serangan dua tangan mautnya namun 

dia juga tidak ingin sang Empu menimbulkan bencana 

lanjutan. Maka sambil membuat gerakan setengah merun–

duk, Kumara Gandamayana hantamkan kaki kanannya ke 

arah perut Empu Semirang Biru. 

“Makhluk biru! Siapapun kau adanya lekas pergi dari 

sini! Jangan berani kembali. Bersyukurlah Raja Mataram 

telah memberi pengampunan!” 

Wuttt! 

Tendangan kaki kanan Kumara Gandamayana berkele–

bat. Selarik sinar kelabu mendahului tendangan, membuat 

tubuh Empu Semirang Biru tergontai-gontai. Lalu, 

Bukkk! 

Kali kedua tendangan kaki kanan Kumara Ganda–

mayana mendarat telak di pertengahan perut Empu Semi–

rang Biru. Sosok sang Empu mencelat menghantam atap 

batu pualam lalu terpental kembali jatuh ke bawah. Darah 

menyembur dari mulut. Walau cidera hebat seperti itu, 

namun keris Kanjeng Sepuh Pelangi palsu masih tergeng–

gam erat di tangan kanan. Selagi tubuh Empu Semirang 

Biru melayang jatuh ke bawah, Kumara Gandamayana 

tanggalkan sorban kelabu di atas kepala. Sekali mengebut, 

sorban berkelebat manggulung tubuh sang Empu. Begitu 

sorban disentakkan dalam gerak jurus ilmu Selendang 

Dewa Menutup Bahala, untuk kedua kalinya tubuh Empu 

Semirang Biru mencalat ke atas langit-langit ruangan. 

Hanya saja sekali ini langit-langit jebol dan sosok sang 

Empu melesat lenyap tak kelihatan lagi! 

“Kakek Kumara Gandamayana, terima kasih kau telah 

menyelamatkan saya” Raja Mataram berkata sambil 

melangkah menghampiri. “Seharusnya tadi kita merampas 

Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dari tangan Empu itu.”“Tidak ada gunanya Yang Mulia,” jawab Kumara 

Gandamayana sambil merobek lengan kiri jubahnya. 

Tangan yang tersingkap nampak melembung hitam dan 

darah masih mengucur. 

“Mengapa Kakek berkata begitu?” Tanya Raja Mata–

ram. 

“Keris yang dibawa Empu itu adalah keris palsu. Bukan 

keris Kanjeng Sepuh Pelangi.” 

Raja Mataram tercengang karena tidak menyangka. 

“Walau keris palsu tapi agaknya mengandung racun jahat. 

Kau harus cepat mengobati luka di tangan kirimu itu.” 

“Akan saya lakukan. Tapi saya tidak pasti apakah ada 

obat yang bisa saya temui dan bisa segera menyembuh–

kan. Tubuh saya terasa panas. Saya tidak tahu berapa 

lama saya bisa bertahan.” Kumara Gandamayana lalu 

totok urat besar di beberapa bagian tubuhnya. 

*** 

EMPU Semirang Biru terkapar tertelentang di satu 

tempat yang tidak diketahuinya di mana. Setelah menge–

rang panjang pendek dan mengusap darah yang masih 

mengucur di sela bibir dia berusaha bangun. Tangan kiri 

menopang tanah, tangan kanan masih memegang keris. 

Baru saja dia mampu berdiri sambil bersandar ke satu 

batang pohon tiba-tiba tiga orang melayang melompat dari 

semak belukar tinggi di hadapannya. Mereka ternyata 

adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah, Sinuhun Muda 

Ghama Karadipa dan Ksatria Roh Jemputan alis Pangeran 

Matahari. 

“Empu tolol sialan! Kau tidak mampu membunuh Raja 

Mataram!” Berteriak Sinuhun Merah Penghisap Arwah. 

“Kau tahu apa artinya ini?!” 

Empu Semirang Biru jatuhkan diri berlutut meratap 

minta ampun, “Sinuhun mohon maafmu. Saya dihadang 

oleh kakek sakti bernama Kumara Gandamayana.” 

Plaakkk!Satu tamparan keras yang dilayangkan Sinuhun Muda 

Ghama Karadipa membuat kepala Empu Semirang Biru 

terpelanting ke kiri dan darah mengucur dari mulutnya 

yang pecah. 

“Aku menyuruh kau membunuh kakek itu, tidak kau 

lakukan! Sekarang kau rasakan sendiri akibatnya!” Hardik 

Sinuhun Merah. Lalu dia membentak “Ketika kau di ruang 

rahasia di mana tempat Raja keparat itu berada kau tahu 

di mana letak tempat itu?!” 

“Saya tidak tahu Sinuhun. Saya hanya tahu ada satu 

makhluk berupa jerangkong putih yang membawa saya ke 

sana...” 

Piaakkk! 

Satu tamparan kembali lagi mendarat di pipi Empu 

Semirang Biru. 

“Kami tidak menanyakan siapa yang membawamu ke 

sana, Empu tolol! Goblok!” Yang menampar dan menghar–

dik lagi-lagi adalah Sinuhun Muda Ghama Karadipa. 

“Saya mohon ampunan Sinuhun berdua. Saya mohon 

diberi obat pemusnah Racun Sukma Merah...” 

Sinuhun Merah dan Sinuhun Muda sama-sama terse–

nyum. Sinuhun Merah berpaling pada Ksatria Roh Jempu–

tan lalu anggukkan kepala. Melihat isyarat ini Ksatria Roh 

Jemputan segera melangkah mendekati si Empu. 

“Empu, kau harus bersyukur dua sinuhun berbaik hati 

mengampuni selembar nyawamu. Sebelum kau diberikan 

obat pemusnah Racun Sukma Merah, harap keris yang kau 

pegang diserahkan dulu padaku...” 

Percaya pada ucapan orang, Empu Semirang Biru ulur–

kan tangan kanan yang sejak tadi menggenggam Keris 

Kanjeng Sepuh Pelangi palsu. Begitu tangan diulurkan 

Ksatria Roh Jemputan bukannya mengambil keris itu tapi 

malah menggenggam kuat-kuat tangan kanan sang Empu, 

tangan kiri menekan siku lalu secepat kilat dengan 

kekuatan penuh dia balikkan ujung keris dan, blesss! 

Empu Semirang Biru keluarkan jeritan keras. Mata 

mencelet. Mulut semburkan darah begitu keris menancapdi dada kirinya, langsung menembus jantung. Perlahan-

lahan tubuh berselempang kain putih itu tergelimpang di 

tanah. Dua kaki melejang-lejang. Begitu Racun Sukma 

Merah membanjiri jantung dan mengalir di seluruh jalan 

darahnya, tak ampun lagi ahli pembuat senjata sakti ini 

meregang nyawa dalam keadaan sangat mengenaskan. 

“Empu tolol! Menjauh dari pandangan mataku!” Bentak 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Kaki kanan ditendang–

kan ke tubuh orang. Sosok sang Empu mencelat jauh di 

atas permukaan rimba belantara.


LIMA


WAJAH tampan anak lelaki usia dua belas tahun 

yang tengah duduk khidmat bersemedi tampak 

tenang bercahaya ketika dalam pandangan mata 

di alam gaib semedi dia melihat langit malam bertabur 

bintang. Hembusan angin meniup sekelompok awan putih, 

perlahan-lahan menyingkap rembulan yang sejak tadi 

tertutup. Ada keanehan. Bulan purnama bulat penuh yang 

tampak di langit berwarna biru bersih. Lalu entah dari 

mana datangnya bermunculan sosok sembilan orang-orang 

tua berpakaian serba putih. Lima orang lelaki, empat orang 

perempuan. Mereka berputar-putar di arah rembulan. Yang 

lelaki susun dua tangan di atas kepala sambil merapal 

bacaan suci Kitab Weda. Yang perempuan menebar 

bebungaan. Semua apa yang terlihat di ruang pandangan 

mata alam gaib anak lelaki yang tengah bersemedi, harum 

mewangi tebaran bunga itu mendatangkan rasa sejuk. 

Sayup-sayup terdengar suara-suara nyanyian perempuan, 

mendayu berhiba-hiba. 

Alam gaib dan keajaiban

Adalah kuasa Para Dewa di Kahyangan Swargaloka

Jika ummat berputih hati

Bertobat dari segala kesalahan

Maka Yang Maha Kuasa menjanjikan

Bulan Biru di langit Mataram

Jika kejahatan terpaksa ditumpas, 

dengan air mata dan darah

Yang Maha Kuasa masih akan tetap menepati janji

Bulan Biru di langit MataramMendadak wajah bercahaya dan berseri anak lelaki 

yang bersemedi di atas batu berubah redup. Pertanda ada 

yang mempengaruhi perasaan hati dan jalan pikiran. Per–

hatiannya terpecah. Lapat-lapat di kejauhan terdengar 

genta suara lonceng. Dengan segala kemampuan yang ada 

anak lelaki itu berusaha bertahan agar semedi tidak terpu–

tus. Namun ketika satu cahaya kuning berkiblat terang lalu 

lenyap di depan sepasang matanya yang terpejam, anak ini 

tak sanggup lagi bertahan. Bulan purnama biru lenyap. 

Langit terkembang dan bintang-bintang sirna. Begitu juga 

suara nyanyian dan sosok sembilan orang tua. 

Wajah dan sekujur tubuh si anak basah oleh keringat, 

tembus sampai ke pakaian hitam yang dikenakan. Anting-

anting emas di telinga kanan berpijar benderang, membuat 

daun telinganya terasa panas. Batu tempat dia duduk 

bersila yang tadinya hangat mendadak berubah dingin. 

Lalu ada hawa aneh membersit dari dalam batu memasuki 

tubuh. Begitu menembus kepala yang tertutup rambut 

tebal hitam, asap kuning mengepul. Seperti disentak oleh 

satu kekuatan dahsyat, sepasang mata membuka nyalang. 

“Hyang Jagat Bathara Agung, apa yang terjadi hingga 

samadi saya terputus begini rupa? Adakah saya berbuat 

kesalahan hingga samadi tidak bisa dirampungkan?” Anak 

lelaki itu merenung dan bertanya dalam hati. Dia lebih dulu 

melihat ke dalam diri sendiri, tidak berprasangka menaruh 

curiga pada hal buruk yang datang dari luar. Satu pertanda 

anak ini memiliki rasa timbang bijaksana serta budi yang 

tinggi. 

Ketika dia mengusap keringat di kening mendadak ada 

suara ngeongan kucing mengiang di telinga. Disusul jeritan 

menyerupai suara raungan anjing di kejauhan. 

Anak lelaki di atas batu kembali merenung. Perlahan-

lahan mulut berucap. “Yang Maha Kuasa memberi dua 

pertanda. Pertama bulan purnama biru di langit. Sembilan 

orang tua dan tebaran bunga. Ada suara nyanyian. Pertan–

da kedua, gema suara lonceng, kilau cahaya kuning, suara 

ngeongan kucing dan jeritan menyerupai lolongan anjing dimalam buta, hawa aneh dari dalam batu, hawa panas di 

telinga kananku. Sesuatu tengah terjadi di luar sana. 

Mungkinkah...” 

Mendadak sebuah benda melayang di udara dan, 

bluukkk! 

Satu sosok berselempang kain putih tergelimpang jatuh 

di hadapan si anak lelaki. Ketika diperhatikan ternyata 

sosok seorang kakek kurus, berambut biru riap-riapan. 

Muka laksana tengkorak karena tinggal kulit pembalut 

tulang. Mulut pecah. Kumis, janggut serta alis juga berwar–

na biru. Sepasang mata terbeliak tak berkedip! 

Anak lelaki di atas batu menatap beberapa jurus tanpa 

rasa takut. Hanya kening tampak mengerenyit dan sepa–

sang alis tebal bergerak naik. Lalu mulutnya berucap, 

“Orang tua, apakah saya mengenal dirimu? Kalau tidak 

salah saya menduga, bukankah kau Empu sakti dari 

Gunung Bismo, bernama Empu Semirang Biru? Wahai, 

nasib buruk apa yang membawamu jatuh di hadapan saya 

dalam keadaan begini rupa? Pertanda apa...” 

Ucapan si anak lelaki terhenti. Gerakannya bangkit 

berdiri setengah tertahan ketika dua matanya yang besar 

bening melihat sebilah keris tidak bergagang dan meman–

carkan warna redup hitam, menancap tepat di dada kiri si 

orang tua. Kain putih yang jadi pakaian dan hampir seluruh 

tubuhnya basah oleh lumuran darah. 

Anak lelaki di atas batu tarik nafas dalam dan panjang. 

Wajah tampak redup. Mata dipejam sesaat, kepala 

digeleng. “Orang tua malang, nyawamu telah tiada. Agak–

nya kau menemui ajal di luar wajar. Saya hanya bisa 

berduka. Saya tidak mungkin menolongmu...” 

Perlahan-lahan dengan tangan kanannya anak lelaki itu 

mengusap sepasang mata nyalang jenazah Empu Semi–

rang Biru hingga menutup. 

Mendadak di kejauhan kembali dia mendengar suara 

lonceng, lalu riuh suara mengeong disertai jeritan seperti 

lolongan anjing. Bayangan cahaya kuning muncul lagi di 

pelupuk matanya.“Empu, saya harus pergi. Tanda yang diberikan oleh 

Para Dewa kali ini sudah cukup jelas. Saudara saya dalam 

bahaya. Maafkan kalau saya tidak bisa mengurus jenazah–

mu. Mudah-mudahan akan ada orang menemuimu di 

sini...” 

Setelah menatap cukup lama pada keris tak bergagang 

yang menancap di dada kiri sang Empu anak lelaki itu 

berdiri dengan cepat. Sebelum pergi dia kembangkan 

telapak tangan, di arahkan ke jenazah Empu Semirang 

Biru. 

Selarik cahaya kuning menebar hawa luar biasa dingin 

melesat keluar dari telapak tangan. Begitu menyentuh 

sosok jenazah maka sekujur jenazah diselubungi lapisan 

kuning mengepulkan asap dingin. 

“Salju Kuning. Semoga jenazahmu tetap utuh sampai 

ada orang menemui. Selamat tinggal Empu.” 

Anak lelaki berpakaian hitam beranting emas di telinga 

kanan menatap ke langit. Dalam hati anak ini membatin, 

“Kanda Dirga Purana aku adikmu Mimba Purana mende–

ngar suara jeritanmu. Bukan dalam suara manusia. Tapi 

suara raungan anjing. Aku mendengar suara binatang 

peliharaanmu mengeong riuh. Apa yang terjadi dengan–

mu?! Apa ada kesulitan tengah kau alami yang berhu–

bungan dengan kematian Empu ini...?” 

Perlahan-lahan dua kaki berkasut kulit kayu bergerak 

ke atas lalu wuuttt! Sosok anak ini melesat masuk ke 

dalam gumpalan awan, lenyap dari pemandangan.


ENAM 


DALAM buku sebelumnya berjudul “Delapan Pocong 

Menari” diceritakan bahwa Selir Kesatu Penguasa 

Atap Langit Ken Parantili memberitahu kepada Wiro 

di mana beradanya Ni Gatri. Menurut Ken Parantili gadis 

berusia empat belas tahun itu diancam bahaya besar, 

disekap oleh bocah sakti Dirga Purana di sebuah goa, 

terlindung oleh air terjun di dekat sebuah telaga. Sang selir 

juga menceritakan kalau Ratu Randang mengetahui letak 

goa tersebut. Tidak menunggu lebih lama, setelah Ken 

Parantili melenyapkan diri melalui Terowongan Arwah, 

dipimpin oleh Ratu Randang, Pendekar 212 Wiro Sableng, 

Kunti Ambiri, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek segera 

menuju ke kawasan di mana beradanya goa di balik air 

terjun. 

Tidak disangka, Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah 

terlebih dulu berada di tempat itu, tengah berjaga-jaga 

sementara Dirga Purana berada di dalam goa bersama Ni 

Gatri. Karena diejek dan dipermainkan oleh kelima orang 

itu, Sinuhun Merah Penghisap Arwah kena dipancing oleh 

Kunti Ambiri. Dia menyerang Wiro dengan pukulan Delapan 

Sukma Merah dan menghantam Ratu Randang dengan 

ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit. Semua 

serangan mencuatkan sinar merah. 

Begitu diserang Wiro segera berteriak memberi tahu 

pada kawan-kawan untuk membalas serangan Sinuhun 

Merah dengan serangan balik berupa ilmu penangkal 

dahsyat sebagaimana yang diajarkan Ken Parantili pada–

nya. Maka didahului oleh Wiro, Kunti Ambiri, Ratu Randang 

dan Sakuntaladewi segera tancapkan delapan jari tangan 

kiri kanan masing-masing ke bebatuan yang ada di sekitartelaga. Empat jari saja kehebatan daya penangkalnya 

bukan olah-olah. Apa lagi saat itu tiga puluh dua jari 

sekaligus ditancapkan ke batu. Enam belas serangan 

berupa cahaya merah yang dilepas Sinuhun Merah berbalik 

menyerang dirinya sendiri. Tak ampun lagi sosok makhluk 

alam roh itu meletus keras, hancur tercabik-cabik. Anggota 

badan terkutung-kutung. Belahan kepala mengapung di 

permukaan air telaga! 

Pada saat itu anehnya terdengar teriakan Sinuhun 

Merah Penghisap Arwah memanggil nyawa kembarannya 

agar menjemput rohnya. Sang saudara nyawa kembar yaitu 

Sinuhun Muda Ghama Karadipa kemudian memang 

muncul sambil mengembangkan dua tangan. Lalu terjadi 

keanehan kedua. Semua kutungan tubuh, belahan kepala, 

cabikan daging dan hancuran tulang belulang Sinuhun 

Merah Penghisap Arwah laksana disedot melayang ke 

udara, bergabung membentuk sosok samar lalu masuk 

menyatu ke dalam tubuh Sinuhun Muda Ghama Karadipa. 

Wiro berusaha menghantam Sinuhun Muda dengan 

Pukulan Sinar Matahari namun lelaki muda berpakaian 

dan berikat kepala hijau itu telah lebih cepat berhasil 

melarikan diri setelah meneriakkan ancaman akan mela–

kukan pembalasan terhadap Wiro dan kawan-kawan. Tak 

lama kemudian dari dalam goa, menembus celah terbuka 

air terjun melesat keluar delapan ekor anak kucing merah. 

Delapan Sukma Merah! Binatang-binatang ini langsung 

menyerang. Ketika semua orang siap hendak menghan–

tam, muncul bocah sakti Dirga Purana sambil mencekik 

leher Ni Gatri. Lima jari tangannya yang mencekik nampak 

berubah sangat besar. Dirga Purana mengancam akan 

membunuh Ni Gatri kalau ada yang berani menyerang 

delapan ekor anak kucing berbulu merah. Dengan 

sombongnya dia menyuruh semua orang meninggalkan 

tempat itu sementara Wiro dipaksa bunuh diri dengan 

membenturkan kepala ke tebing batu. 

“Laknat jahanam!” Rutuk Wiro 

Kutuk serapah Wiro dibalas dengan teriakan keras olehDirga Purana, ditujukan pada delapan ekor anak kucing 

peliharaannya. 

“Rakanda! Orang berkeras kepala! Lanjutkan rencana 

semula! Bunuh mereka semua!” 

Didahului suara mengeong keras, delapan anak kucing 

siap menyerang. Namun pada saat itu delapan bunga 

matahari kecil yang ada pada Wiro mendadak berubah dan 

muncullah delapan pocong berwajah polos. Delapan 

Pocong Menari! Sambil menari, dari sela dua telapak 

tangannya delapan pocong melepas delapan ekor anak 

kucing betina gemuk berbulu putih. Begitu melihat 

kehadiran delapan anak kucing betina putih yang montok-

montok, delapan anak kucing merah langsung mengeong 

riuh, melompat mendatangi, mencium dan menjilati. 

Dirga Purana berteriak keras ketakutan ketika dia 

melihat delapan kucing peliharaannya menunggangi 

delapan kucing putih. 

“Celaka! Celaka besar! Pantangan besar telah dilang–

gar!” 

Dirga Purana berteriak berulang kali memanggil 

delapan anak kucing merah. Menyuruh mereka masuk 

kembali ke dalam goa. Tapi binatang-binatang itu tidak 

perduli. Mereka lebih asyik menggeluti delapan anak 

kucing putih. Sadar bahaya besar yang akan mengancam 

sementara dia tidak bisa berbuat apa-apa, tanpa perduli–

kan lagi Ni Gatri yang saat itu jatuh terguling di kaki tebing 

batu di pinggir telaga, didahului teriakan berupa lolongan 

anjing Dirga Purana melesat ke udara, maksudnya segera 

masuk ke dalam goa lewat celah di pertengahan air terjun 

yang masih berhenti mencurah. Namun kaget sang bocah 

bukan alang kepalang ketika dapatkan dirinya telah 

dikelilingi oleh Wiro, Ratu Randang, Jaka Pesolek, Kunti 

Ambiri dan Sakuntaladewi. 

“Bocah keparat! Apa yang telah kau lakukan pada Ni 

Gatri!” Bentak Wiro. 

Dirga Purana menyeringai. “Anak perempuan itu ada di 

sana. Mengapa tidak kau tanya langsung padanya? Pastidia akan bercerita bagaimana enaknya ketika aku membe–

lai tubuhnya. Ha... ha... ha!” 

“Bangsat kurang ajar!” Wiro langsung menggebuk 

dengan Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. 

Sikutan diarahkan ke kepala Dirga Purana pertanda dalam 

marah yang menggelegak sang pendekar ingin menghabisi 

si anak saat itu juga. 

Sementara semua orang siap menyerang Dirga Purana, 

Jaka Pesolek yang memang tidak memiliki ilmu silat apa 

lagi pukulan sakti palingkan kepala ke arah tebing batu di 

tepi telaga. Melihat sosok Ni Gatri yang tergeletak di tanah 

gadis ini merasa perlu segera menolong anak itu. Secepat 

kilat dia melompat ke arah tebing. Namun selagi tubuhnya 

masih melayang di atas telaga tiba-tiba seseorang ber–

mantel hitam muncul dari balik tebing, langsung menyam–

bar tubuh Ni Gatri. Dalam sekejap saja orang itu telah 

lenyap di arah timur. Jaka pesolek tidak tinggal diam. 

Dengan kemampuannya bergerak laksana kilat dia segera 

melesat ke atas tebing. Dari sini terus melakukan penge–

jaran. Namun sambaran cahaya tiga warna yang tiba-tiba 

menyerang dari arah depan membuatnya cepat-cepat 

selamatkan diri. 

Ketika bagian atas tebing batu tempat tadi dia berdiri 

hancur berkeping-keping disertai kobaran api dan kepulan 

asap, Jaka Pesolek telah lebih dulu melesat ke satu pohon 

tinggi. 

Wajah gadis ini tampak pucat, tengkuk terasa dingin. 

Karena sekejap saja dia terlambat pasti dia sudah mene–

mui ajal dengan tubuh tak karuan rupa. 

“Gila! Aku seperti mau kencing tapi tidak bisa!” Jaka 

Pesolek memaki sendiri dalam hati “Aku harus menolong 

anak itu. Orang bermantel walau aku tidak melihat muka–

nya, aku menduga pasti dia hendak mencabuli anak itu. 

Kasihan Ni Gatri. Jangan-jangan sebelumnya anak itu 

sudah...” 

Walau takut namun Jaka Pesolek kembali melanjutkan 

pengejaran ke arah timur.


TUJUH


KEMBALI ke telaga di depan air terjun. Ketika dirinya 

diserang Pendekar 212, Dirga Purana tidak berusa–

ha menghindar atau menangkis. Dengan sikap 

menantang anak usia dua belas tahun berpakaian mewah 

ini berkacak pinggang sunggingkan senyum mengejek. 

Wiro jadi geram langsung kerahkan seluruh tenaga dalam 

yang dimiliki. Jangankan kepala seorang bocah seperti 

Dirga Purana, batu sebesar rumahpun akan hancur luluh 

dihantam pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu 

Karang warisan Datuk Rao Basaluang Ameh yang 

bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa. 

Hanya setengah jengkal pukulan maut akan mendarat 

di batok kepala Dirga Purana, tiba-tiba satu cahaya kuning 

bening melesat keluar dari tubuh anak itu. Walau pukulan–

nya terus menderu tanpa halangan namun saat itu Wiro 

merasa sekujur tubuhnya panas kesemutan. 

Bukkk! 

Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang saling 

bentrokan dengan sinar kuning bening yang melindungi 

Dirga Purana. Wiro menjerit keras. Ratu Randang, Kunti 

Ambiri dan Sakuntaladewi terpekik. Wiro hampir terjeng–

kang jatuh ke dalam telaga kalau tidak cepat mengimbangi 

diri. Dia melihat tangan kanannya bengkak melepuh sam–

pai pergelangan. Jangankan untuk melancarkan serangan 

susulan, digerakkan saja tangan itu sakitnya bukan kepa–

lang. Seumur hidup baru kali ini dia mengalami cidera dan 

rasa sakit seperti itu. 

Ratu Randang usap wajahnya yang pucat. Mata juling 

menatap tak berkesip. “Bocah itu! Dia punya Ilmu Mega 

Kuning Sujud Ke Bumi!” Si nenek cepat salurkan suaramengiang ke telinga Pendekar 212. “Wiro! Selama dua 

kaki anak itu menginjak bumi, tidak satu ilmu kesaktian–

pun bisa menciderai apa lagi membunuhnya! Kau harus 

menghajarnya pada saat dua kakinya tidak menginjak 

tanah, batu, air atau apa saja yang berhubungan dengan 

bumi! Aku akan mengangkat anak itu ke udara. Syukur-

syukur bisa melemparnya. Nanti kau cepat menggebuk–

nya!” 

Wiro berpaling ke arah Ratu Randang. Tangannya yang 

bengkak melepuh terasa seberat gundukan batu besar. 

Sambil menahan sakit tubuhnya tertarik ke bawah hingga 

dia jatuh setengah berlutut di atas batu di tengah telaga. 

Dengan tangan kiri Wiro menotok urat besar di pundak dan 

di atas siku sambil alirkan hawa sakti. 

“Celaka! Ditotok malah tanganku terasa seperti 

digarang api!” Wiro mengerenyit menahan sakit. Karena 

tidak tahan hawa panas yang menyelubungi tangan dan 

seluruh tubuhnya Wiro bermaksud hendak menceburkan 

diri saja ke dalam telaga. Tiba-tiba ada suara beberapa 

orang perempuan yang berucap berbarengan. 

“Percuma mencebur ke dalam telaga. Cidera di tangan 

tidak akan sembuh...” 

“Siapa yang bicara?” Wiro bertanya dengan suara 

tertahan. 

“Jangan khawatir kami akan menolongmu. Tapi kami 

tidak lagi bisa menampakkan diri dengan kehendak kami 

sendiri...” 

“Delapan bunga matahari. Delapan Pocong Menari!” 

Dengan tangan kiri Wiro pegang pinggang pakaiannya di 

balik mana dia menyimpan delapan bunga matahari kecil. 

Saat itu juga dia merasa ada hawa sejuk mengalir di dalam 

tubuh, bergerak menuju ke tangan kanan. Lima jari 

berpijar. Telapak tangan berdenyut dan ajaib, sesaat 

kemudian bengkak melepuh di tangan kanan sirna tidak 

berbekas. Hawa panas di sekujur tubuh ikut lenyap. 

Di tepi telaga Dirga Purana tertawa gelak-gelak. Dia 

tidak memperhatikan dan tidak tahu kalau saat itu cideradi tangan Wiro telah lenyap. 

“Jauh-jauh dipanggil dari negeri delapan ratus tahun 

mendatang ternyata ilmumu hanya setetek comberan!” Si 

bocah tertawa lagi lalu meludah sampai tiga kali. Setelah 

itu dengan cepat dia berkelebat ke arah delapan anak 

kucing putih yang tengah ditunggangi oleh delapan anak 

kucing merah peliharaannya. 

“Makhluk pembawa bahala! Mampus kalian semua!” 

Satu demi satu anak kucing putih ditendang hingga 

terpental jauh. Setelah mengeong kesakitan secara aneh 

delapan anak kucing putih berubah menjadi asap lalu 

lenyap! 

Melihat delapan anak kucing putih ditendang dan 

lenyap entah ke mana, delapan kucing merah yang merasa 

diputus kenikmatannya menjadi marah dan kalap. Mereka 

menggerung keras. Taring dan kuku langsung mencuat. 

Siap menyerang Dirga Purana! 

“Makhluk keparat! Kalian berani kurang ajar hendak 

menyerangku!” Dirga Purana membentak marah. Dua 

tangan digerakkan demikian rupa seperti orang tengah 

membuntal sesuatu. Saat itu juga bergemerlap cahaya 

merah disertai suara bergemerincing. Satu rantai panjang 

berwarna merah bergulung di udara, Rantai Kepala Arwah 

Kaki Roh! 

Dengan sangat cepat rantai meliuk melibat tubuh 

delapan anak kucing merah. Binatang-binatang itu 

mengeong keras. Coba memutus rantai besi dengan gigitan 

dan cakaran tetapi tidak berhasil. 

“Masuk ke dalam goa!” Bentak Dirga Purana sambil 

kebutkan tangan kanan ke arah delapan anak kucing 

merah yang tidak berdaya dan ada dalam gulungan rantai. 

Saat itu juga gulungan rantai melesat ke udara, siap masuk 

ke dalam goa melewati di antara celah air terjun yang 

sampai saat itu masih menggantung di udara! 

“Nek!” Tiba-tiba Sakuntaladewi berkata pada Ratu 

Randang. “Lekas bunuh delapan anak kucing merah. 

Pergunakan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang adapadamu! Jika tidak dibunuh, dalam tempo dua puluh satu 

hari kelak Sinuhun Merah Penghisap Arwah akan muncul 

kembali karena sesungguhnya roh atau jiwanya terpecah 

dalam sosok delapan anak kucing merah itu!” (Hal ini telah 

pernah diberitahu Sakuntaladewi kepada Pendekar 212 

dan kawan-kawan sebelumnya. Baca “Sesajen Atap 

Langit”) 

Ratu Randang tersentak kaget. Tidak banyak menunggu 

ataupun bertanya si nenek segera keluarkan Keris Kanjeng 

Sepuh Pelangi asli dari balik pakaian, membuka kain yang 

membungkus senjata. Begitu keris sakti tergenggam di 

tangan, si nenek merasa tubuhnya luar biasa enteng dan 

ada hawa sejuk di kepala dan hawa hangat di pertengahan 

dada. Secepat kilat Ratu Randang melesat ke udara. 

Cahaya biru berkiblat dari badan keris. Kemudian ikut 

memancar sembilan cahaya aneh menyerupai cahaya 

pelangi. 

Traangg! Traangg! 

Rantai Kepala Arwah Kaki Roh putus berdentrangan di 

enam bagian. Delapan anak kucing merah yang merasa 

bebas mengeong keras lalu menghambur laksana terbang 

ke arah celah air terjun. Ratu Randang tidak mau memberi 

hati. Membunuh delapan anak kucing itu bukan saja 

berarti membunuh delapan binatang jahat tapi sekaligus 

menghabisi delapan pecahan roh Sinuhun Merah Peng–

hisap Arwah yang mendekam di dalam tubuh mereka dan 

suatu ketika akan keluar lagi, muncul di Bhumi Mataram 

untuk berbuat berbagai macam kejahatan yang lebih 

dahsyat! 

Keris Kanjeng Sepuh Pelangi membeset di udara. Tidak 

mengeluarkan suara menderu, tidak menimbulkan angin, 

tapi mencuatkan cahaya tujuh pelangi dan sembilan luk. 

Delapan anak kucing berbulu merah yang tengah menge–

ong keras mendadak bungkam. Tubuh mereka mengapung 

tak bergerak. Dirga Purana berteriak kaget melihat apa 

yang terjadi. 

Hanya dalam bilangan kejapan mata saja delapanbinatang peliharaannya itu akan menemui ajal dibantai 

keris sakti, si bocah cepat dorong dua tangan ke atas. 

Larikan sinar bening menderu. Inilah ilmu kesaktian yang 

disebut Mega Kuning Berarak Naik ke Langit yang 

merupakan pasangan dari Mega Kuning Sujud ke Bumi

dan sebelumnya telah mampu menciderai Pendekar 212.


DELAPAN


DUDARA, Ratu Randang terkejut melihat semburan 

cahaya kuning menyerang dirinya dari bawah. Di 

sekitar telaga Kunti Ambiri dan Dewi Kaki Tunggal 

alias Sakuntaladewi tidak tinggal diam. Dengan pukulan 

sakti keduanya menggempur ilmu Mega Kuning Berarak 

Naik ke Langit. Dua letusan keras menggelegar. 

Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi yang melancarkan 

serangan untuk menghantam Mega Kuning Berarak Naik 

ke Langit menjerit keras. Tubuh mereka berpelantingan. 

Kunti Ambiri terguling di tepi telaga sebelah kiri sementara 

Sakuntaladewi tergeletak dekat sebuah batu besar. 

Keduanya laksana lumpuh, tak bisa menggerakkan tubuh 

dan anggota badan. Sepasang mata membeliak, wajah 

pucat pasi. Nafas megap-megap, dada turun naik. Di 

seberang telaga dua tangan Dirga Purana membuat 

gerakan seperti orang merobek. 

Breett! 

Cahaya Mega Kuning Berarak Naik ke Langit terbelah 

dua, seolah satu kain besar yang robek menjadi dua. 

Bagian pertama terus melesat ke arah Ratu Randang, 

bagian yang lain berubah menjadi Mega Kuning Sujud ke 

Bumi, menderu membabat ke arah Kunti Ambiri dan 

Sakuntaladewi yang saat itu dalam keadaan tidak berdaya, 

tak mampu bergerak apa lagi selamatkan diri! 

Melihat serangan sinar kuning ke arah Sakuntaladewi 

dan Kunti Ambiri yang berada dalam keadaan tidak 

berdaya, Pendekar 212 yang baru saja pulih dari cideranya 

melompat bangkit. Mulut merapal. Tangan kanan berubah 

warna menjadi putih perak sampai sebatas siku. Sekali 

tangan dihantamkan, Pukulan Sinar Matahari meng–geledek ke arah cahaya Mega Kuning Sujud ke Bumi. 

Wuusss! 

Sinar putih terang menyilaukan menderu disertai 

hamparan hawa luar biasa panas. Di atas batu tempatnya 

berdiri Dirga Purana sunggingkan senyum merendahkan. 

Dalam jalan pikirannya ilmu kesaktian apapun tidak akan 

mampu menyentuh apa lagi memusnahkan ilmu Mega 

Kuning Sujud ke Bumi. Dia lupa apa yang tadi ditakutkan 

dan diteriakkannya sendiri yaitu bahala besar akibat 

delapan anak kucing merah peliharaannya telah menye–

badani delapan anak kucing putih yang merupakan 

pantangan besar. 

Blaarr! 

Letusan keras disertai pijaran bunga api setinggi 

sepuluh tombak melesat ke udara dan seantero telaga. Air 

terjun yang sejak tadi berhenti mencurah dan tergantung di 

udara bergoyang keras lalu seolah terbuat dari kaca hancur 

berkeping-keping untuk kemudian kembali utuh dan 

mencurah lagi! Empat batu besar di dalam telaga lenyap 

dari tempatnya semula. Dua hancur bertaburan menjadi 

debu, dua lagi amblas masuk ke dasar telaga. Suara 

ngeongan kucing mendadak terdengar menggidikkan. 

Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi selamat. Musnahnya Ilmu 

Mega Kuning Sujud ke Bumi membuat mereka mampu 

bergerak kembali walau seluruh pakaian dan permukaan 

kulit mereka tampak diselimuti debu berwarna kuning. 

Walau tidak bicara atau memberi isyarat namun keduanya 

sama-sama menceburkan diri ke dalam telaga untuk 

membersihkan noda kuning. Lalu dengan cepat keduanya 

keluar dari dalam telaga. 

Di atas telaga, Ratu Randang yang tengah menghadapi 

serbuan cahaya kuning Ilmu Mega Kuning Berarak Naik ke 

Langit melihat Dirga Purana jatuh berlutut di atas batu di 

tengah telaga. Wajahnya seputih kain kafan. Dua tangan 

menggapai ke udara. Mulut terbuka seperti hendak berte–

riak namun tidak ada suara yang keluar. Mega Kuning 

Berarak Naik ke Langit mendadak sontak menciut lalu

bergulung berubah bentuk menyerupai sebatang lidi. Lidi 

ini kemudian melesat ke bawah, masuk ke dalam telaga. 

Dirga Purana tiba-tiba saja bisa berteriak keras. Namun 

teriakannya terdengar menggidikkan karena bukan meru–

pakan teriakan anak kecil atau manusia, tetapi menyerupai 

raungan anjing di malam buta! Dia sendiri terkesiap kaget 

mendengar suara teriakannya itu. 

“Pertanda tidak baik. Malapetaka besar tengah meng–

ancam diriku! Aku akan segera menemui kematian.” Anak 

usia dua belas tahun itu membatin ngeri dalam hati. 

Wajahnya pucat pasi. Tubuh terasa dingin. 

Sementara itu Ratu Randang berseru kaget ketika tiba-

tiba Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang digenggam erat di 

tangan kanan, entah bagaimana tahu-tahu melesat lepas 

dan bergulung di udara. Saat itu juga terdengar suara 

mengeong keras. 

Tiga anak kucing merah berjelapakan di tepi telaga 

tanpa kepala! 

Si nenek mendelik ngeri. “Oala bukan aku yang mem–

bantai. Tapi keris sakti yang punya mau!” Ucap Ratu 

Randang dalam hati. 

Dirga Purana kembali menjeritkan suara raungan 

anjing. Tidak pikir panjang lagi dia melompat ke udara. 

Mulut merapal panjang. Delapan benjolan merah tiba-tiba 

muncul di kening. Sekali kepala digoyangkan, delapan 

sinar merah melesat ke arah Ratu Randang. Serangan 

Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!

Sebelumnya Ratu Randang oleh Wiro sudah diberi tahu 

ilmu penangkal setiap serangan yang memancarkan sinar 

atau cahaya merah, yaitu dengan menusukkan delapan jari 

tangan ke benda apa saja. Namun saat ketika diserang itu 

dirinya masih melayang di udara. Ratu Randang tidak tahu 

mau menusuk apa. Wiro lupa menerangkan kalau berada 

dalam keadaan seperti itu maka dia bisa menusuk kepala 

atau tubuhnya sendiri! Sementara Keris Kanjeng Sepuh 

Pelangi masih melayang di udara, mengejar ke arah lima 

kucing merah yang saat itu lari berpencaran. Dengannekad binatang itu menembus curahan air terjun dan 

masuk ke dalam goa. 

Dua tangan Dirga Purana berubah panjang dan besar 

berwarna hitam berkilat. Sepuluh kuku jari memancarkan 

cahaya merah. Hebatnya dua tangan itu bisa diulur pan–

jang ke udara untuk menangkap Keris Kanjeng Sepuh 

Pelangi. Inilah ilmu yang disebut Dua Roh Bermata Sepu–

luh. Ilmu kesaktian ini bukan saja bisa berupa serangan 

ganas mematikan tapi juga sanggup menangkap benda-

benda sakti yang berada di tempat jauh seperti keris yang 

saat itu tengah melayang di udara. 

Namun yang dihadapi Dua Roh Bermata Sepuluh

adalah keris sakti mandraguna Kanjeng Sepuh Pelangi 

yang kelak akan menjadi pusaka bertuah Kerajaan Mata–

ram yang oleh sementara petinggi kerajaan dan para tokoh 

rimba persilatan seperti pernah dikatakan oleh Jaka 

Pesolek, senjata itu dijuluki sebagai ‘Mahkota di Atas 

Mahkota’. 

Wuttt! Wuttt! 

Dua tangan hitam berkelebat di udara. Sepuluh cahaya 

merah bergulung membuntal membentuk jaring. Menyam–

bar ke arah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang tadi 

mengejar lima ekor anak kucing merah. 

Tanpa suara kecuali pancaran cahaya, keris sakti 

melesat tinggi ke udara sambil membersitkan kibasan 

sembilan cahaya pelangi, yang membuat dua tangan hitam 

Dirga Purana saling memukul sendiri satu sama lain! 

Kraaakk! 

Tulang dua lengan hitam berderak patah. Sepuluh 

cahaya merah di ujung kuku lenyap. Si bocah sendiri 

berteriak setinggi langit. Tubuh terbanting jatuh di pinggi–

ran telaga. Tangannya kembali berubah pendek seperti 

semula dan tampak terbujur tak berkutik! 

Sementara itu Keris Sepuh Kanjeng Pelangi dengan 

cepat turun ke bawah ke arah Ratu Randang. Lagi-lagi 

tanpa suara sembilan cahaya pelangi memancar laksana 

kipas raksasa terbuka, melindungi si nenek dengantebaran sembilan cahaya pelangi! 

Ketika serangan Delapan Arwah Sesat Menembus 

Langit yang dilepas lebih dulu oleh Dirga Purana memben–

tur sembilan cahaya pelangi, untuk ke dua kalinya di 

tempat itu menggelegar letusan keras. Seantero tempat 

tenggelam dalam goncangan luar biasa hebat disertai 

punahnya delapan cahaya merah. 

Ratu Randang yang terkesiap melihat apa yang terjadi 

tersentak kaget sewaktu tiba-tiba gagang Keris Kanjeng 

Sepuh Pelangi menyusup kembali ke dalam genggaman–

nya. Di bawahnya dia melihat bocah Dirga Purana terkapar 

tak bergerak, mengerang panjang pendek dan ada sesekali 

muntahkan darah segar dari mulut. Tiba-tiba ada satu 

cahaya kuning bertabur ke bawah dengan cepat menyapu 

tepian telaga di mana Dirga Purana tergeletak. Di saat 

bersamaan di kejauhan terdengar suara genta lonceng. 

Sosok Dirga Purana yang tadi terkapar tak bergerak 

mendadak bangkit berdiri. Dua tangan yang sebelumnya 

patah tergontai-gontai kini tampak utuh tanpa cidera. 

Di bagian lain telaga, di atas batu besar Pendekar 212 

melihat kesempatan untuk kedua kali melepas Pukulan 

Sinar Matahari. Kali ini diarahkan pada Dirga Purana. Dia 

lupa kehebatan ilmu kesaktian bocah ini. Dari udara Ratu 

Randang cepat mengirim suara mengiang. 

“Wiro! Hantam pinggiran telaga di bawah kaki anak itu. 

Begitu dia tidak menginjak bumi lagi aku akan menyerang 

dengan Keris Kanjeng Sepuh pelangi! Riwayatnya harus 

tamat saat ini juga!” 

Wiro mendongak ke atas. Sebagai tanda telah mende–

ngar apa yang diucapkan si nenek, murid Sinto Gendeng 

tekapkan tiga jari tangan kiri di atas bibir lalu tangan dila–

yangkan ke arah si nenek. 

“Edan! Masih bisa bergurau si gondrong itu!” Ucap Ratu 

Randang dalam hati agak kesal tapi mulut tampak mesem-

mesem melihat gerak cium jauh yang dilayangkan Pen–

dekar 212. 

Didahului teriakan panjang si nenek melayang kebawah. Tangan yang memegang keris sakti diulur lurus-

lurus. Ujung lancip diarahkan tepat-tepat ke dada Dirga 

Purana. 

Karena dua tangan yang patah sudah sembuh secara 

aneh dan kekuatan telah kembali pulih, Dirga Purana 

membalas serangan si nenek dengan Ilmu Pembungkam 

Bumi. Ilmu ini sanggup membuat semua benda hidup dan 

gerakan manusia dalam lingkaran sepuluh tombak serta 

merta terhenti laksana kaku. Namun saat itu satu cahaya 

putih menyilaukan disertai gebubu hawa panas melesat ke 

arah tepian telaga tempat si bocah berdiri. Pukulan Sinar 

Matahari!

Blaaarrr! 

Bebatuan di tepi telaga tempat Dirga Purana berdiri 

hancur berantakan, sebagian besar longsor ke dalam 

telaga. Karena tidak menginjak apa-apa lagi si bocah 

langsung melesat ke atas. Membuat gerakan jungkir balik. 

Lalu cepat-cepat melayang turun. Namun begitu tubuhnya 

mengapung lurus di udara dia berteriak kaget ketika 

melihat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi di tangan Ratu 

Randang telah berada hanya dua jengkal di depan dada! Di 

saat itu pula dia sadar kalau dua kakinya tidak menginjak 

apa-apa! 

Si bocah berteriak keras. Lagi-lagi suara teriakannya 

luar biasa menggidikkan. Menyerupai raungan anjing di 

malam buta! 

“Ibunda Ananthawuri! Tewas putramu! Tewas putramu!” 

Dirga Purana berteriak menyebut nama ibunya. 

Hanya sekejapan lagi Keris Kanjeng Sepuh Pelangi 

akan menghunjam telak di dada kiri Dirga Purana tiba-tiba 

terdengar suara genta lonceng disertai menyambarnya 

satu cahaya kuning, menyapu tepat antara dada dan ujung 

keris!


SEMBILAN


SAMBARAN cahaya kuning yang disertai suara gema 

lonceng membuat Dirga Purana terpental ke arah kiri, 

menembus curahan air mancur dan lenyap masuk ke 

dalam goa. 

Blaarr! 

Hampir di saat bersamaan, Keris Kanjeng Sepuh 

Pelangi menusuk deras. Benturan antara senjata sakti dan 

sinar kuning menimbulkan suara letusan dahsyat. Ternyata 

keris sakti itu masih sanggup menembus cahaya kuning. 

Breett! 

Baju hitam mewah Dirga Purana robek besar di dada 

kiri! Untungnya sosok anak itu telah mental lebih dahulu 

terdorong sambaran cahaya kuning. Kalau tidak jangan 

harap bocah itu lolos dari kematian! 

Selagi semua orang terkesiap melihat apa yang terjadi, 

Ratu Randang cepat melayang turun ke dekat Wiro berdiri 

dan langsung berbisik, “Ada yang menyelamatkan bocah 

kurang ajar itu!” 

“Kau betul Nek, justru aku ingin tahu siapa pelakunya.” 

Mata juling bagus Ratu Randang menatap ke langit. 

“Sebentar lagi kita segera akan melihat orangnya. Hatiku 

tidak enak,” kata si nenek pula. 

Benar saja, sesaat kemudian di langit tampak ada awan 

kelabu melayang turun ke arah telaga sementara suara 

gema lonceng terdengar semakin keras. Ketika suara 

lonceng berhenti, awan kelabu telah berada beberapa 

tombak di atas telaga. Di saat itu terdengar seseorang 

berucap. Suara anak laki-laki. 

“Pemilik sah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi belum 

mendapatkan senjatanya. Mengapa orang lain bertindaklancang berani mempergunakan keris untuk membunuh?” 

“Sial Nek. Kita dibilang lancang!” Wiro menggerutu. 

“Anak kecil yang mana pula ini! Aku rasa-rasa pernah 

mendengar suaranya!” 

Tiba-tiba awan kelabu bergerak naik ke udara dan dari 

bagian bawah melayang turun seorang anak lelaki menge–

nakan pakaian hitam sederhana serta kasut dari kulit kayu. 

Wajah tampan jernih dan segar. Di telinga kanan mencan–

tel sebuah anting-anting emas. Raut wajah dan rambutnya 

sangat sama dengan Dirga Purana. Anak ini berdiri di tepi 

telaga sebelah selatan, di kiri air terjun. Setelah meman–

dang pada semua orang yang ada di tempat itu, dia 

membungkuk memberi penghormatan. 

“Nek, waktu di Bukit Batu Hangus kita pernah bertemu 

dengan anak ini! Aku pernah mendampratnya gara-gara 

bicara konyol! Bukankah dia yang pernah berkata: Jangan 

membuat sejuta alasan untuk menghalalkan kematian 

seorang insan. Sekarang dia muncul lagi! Dan barusan kau 

dengar sendiri dia bicara seperti apa! Nek, cepat susupkan 

keris sakti ke balik pakaian di punggungku. Aku tidak suka 

anak satu ini. Aku punya dugaan anak ini hendak meminta 

senjata itu!” 

Tanpa banyak tanya Ratu Randang gulung Keris 

Kanjeng Sepuh Pelangi dengan potongan kain robekan 

pakaiannya yang telah dipergunakan sebelumnya lalu 

diselipkan ke pinggang di balik punggung pakaian Wiro. 

“Nek apa anak yang ini kembaran dari anak satunya 

bernama Dirga Purana itu yang berhasil kabur masuk ke 

dalam goa?” 

“Menurut riwayat yang aku dengar dia adalah adik Dirga 

Purana. Kesaktiannya berada di atas sang kakak. Kau lupa 

kalau dia yang bernama Mimba Purana, berjuluk Satria 

Lonceng Dewa.” 

“Aku tidak lupa. Bukankah dia yang menurut Raja 

Mataram merupakan anak keramat mempunyai kesaktian 

luar biasa tapi berpantang membunuh makhluk hidup, 

hewan atau manusia, kecuali kalau ada petunjuk dari ParaDewa berupa suara lonceng! Lalu dia jadi punya alasan 

membiarkan saja malapetaka dan pembunuhan terjadi di 

Bhumi Mataram. Pasti tadi dia yang menolong kakaknya 

dengan cahaya kuning itu. Padahal kau tahu sendiri siapa 

adanya bocah bernama Dirga Purana itu.” 

Ratu Randang hanya anggukkan kepala karena saat itu 

bocah yang tengah dirasani telah melompat ke atas batu di 

tengah telaga dan kini hanya terpisah beberapa langkah 

dari Ratu Randang dan Wiro Sableng sementara Kunti 

Ambiri dan Sakuntaladewi memperhatikan dari tepi telaga. 

“Nek, aku tidak mau bicara berbasa basi dengan anak 

itu. Aku harus segera menyusul Jaka Pesolek mengejar Ni 

Gatri. Aku sangat khawatir bocah keparat Dirga Purana itu 

telah berbuat mesum atas dirinya. Tadi aku sempat melihat 

ada orang bermantel melarikan anak itu. Kurasa Pangeran 

Matahari alias Ksatria Roh Jemputan. Kau urus dan layani 

bocah tengik satu ini.” 

“Ssst...” Ratu Randang sentuh lengan Wiro dan berkata 

perlahan. “Jangan bicara seperti itu. Kalau anak itu men–

dengar kita bisa berabe...” 

“Apanya yang berabe?” Wiro jadi kesal. “Aku tidak ada 

urusan dengan dia. Tadi jelas-jelas dia menyelamatkan 

bocah jahat bernama Dirga Purana. Siapapun dia adanya 

dia memperlihatkan diri sebagai pembela orang jahat!” 

“Tapi bocah jahat itu adalah kakaknya sendiri. Wajar 

saja kalau dia memberi pertolongan.” Jawab Ratu 

Randang. 

“Terserah kau mau bicara apa Nek. Menurutku anak ini 

punya otak tapi setengahnya sudah berlumut. Punya hati 

tapi separuhnya sudah membeku jadi batu! Aku pergi Nek. 

Aku akan mengajak Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri...” 

“Tunggu!” Ratu Randang cepat cekal tangan kiri Wiro. 

“Kau ingat, ketika kau dihajar gurumu dan aku beserta 

kawan-kawan beramai-ramai balas menghantam Sinto 

Gendeng, nenek itu pasti sudah menemui ajal dalam 

keadaan tubuh hancur tak karuan kalau tidak diselamat–

kan oleh bocah sakti ini.”Wiro terdiam. Lalu berkata. “Dia berbuat budi, aku 

berterima kasih. Tapi itu bukan berarti aku mau menjual 

diri! Nek, kau juga harus ingat, kapak yang hilang belum 

ditemukan. Selain itu guruku juga harus diselamatkan.” 

Wiro lalu memberi isyarat pada Kunti Ambiri dan Sakun–

taladewi yang ada di tepi telaga. Ketika Wiro hendak 

melesat ke arah kedua perempuan ini tiba-tiba anak lelaki 

di depan sana geserkan kaki kanannya yang menginjak 

batu. Saat itu juga ada selarik cahaya kuning memancar 

lalu bergerak ke arah batu di mana Wiro berdiri. Bersama–

an dengan itu terdengar anak ini berkata. 

“Sahabat dari negeri delapan ratus tahun mendatang 

yang di Bhumi Mataram dikenal dengan sebutan Ksatria 

Panggilan, beri saya waktu untuk bicara dan menerang–

kan.” 

Sepasang kaki Pendekar 212 mendadak tidak bisa 

bergerak. Wiro maklum bocah di hadapannya telah 

mempergunakan kesaktian untuk menahan geraknya 

melalui pancaran cahaya kuning yang keluar dari kaki 

kanan si bocah. Sebenarnya Wiro sudah siap untuk alirkan 

tenaga dalam penuh pada kedua kaki namun dilihatnya 

Ratu Randang memberi isyarat dengan gerakan kepala 

disertai suara mengiang. 

“Tak usah dilawan. Dengarkan saja apa yang mau 

dikatakannya.” 

Wiro batalkan niat mengalirkan tenaga dalam lalu 

berkata, “Sahabat muda Mimba Purana, kalau ingin bicara 

pergunakan mulut, bukan diam-diam mencekal sepasang 

kakiku unjukkan kesaktian!” 

Anak lelaki bernama Mimba Purana tersenyum. 

“Sahabat Ksatria Panggilan, terima kasih kau telah 

menegur. Saya bersyukur bisa menemuimu dan kau mau 

memberi waktu...” 

“Sudah, katakan saja kau mau bicara dan menerang–

kan apa?” Wiro memotong ucapan Mimba Purana. 

“Pertama saya perlu menjelaskan bahwa anak lelaki 

yang tadi masuk ke dalam goa adalah kakak kandung saya

sedarah sedaging. Ketika salah satu dari kami berada 

dalam bahaya adalah wajar jika kami memberi perto–

longan...” 

“Saya maklum dan saya mengerti. Tadipun Ratu Ran–

dang sudah memberitahu.” Jawab Pendekar 212. “Tapi 

apa yang saya tidak maklum dan tidak mengerti, apakah 

sahabat muda menyadari berapa saja tokoh kerajaan yang 

sudah menemui ajal? Berapa saja rakyat tak berdosa yang 

telah terbunuh? Semua gara-gara perbuatan Sinuhun 

Merah dan Sinuhun Muda. Dan sangat disayangkan karena 

secara kasat mata semua orang tahu bahwa kakak kan–

dung sahabat muda ikut terlibat dalam semua kejahatan 

itu. Termasuk punya andil dalam menimbulkan Malapetaka 

Malam Jahanam di Bhumi Mataram!” 

“Ksatria Panggilan, saya tidak menyangkal kalau kakak 

saya telah banyak melakukan kesalahan besar. Namun 

kita sebagai manusia dan saya sebagai adiknya merasa 

jika kesalahan kakak saya masih bisa diperbaiki, mengapa 

saya tidak harus melakukannya? Menasihatinya dan 

meminta dia bertobat?” 

“Apakah sahabat muda sudah melakukan hal itu? 

Pernah menasihati dan menyuruh tobat kakak kandung 

sahabat muda?” Pertanyaan itu diucapkan Wiro sambil 

senyum-senyum. 

“Memang belum.” jawab Mimba Purana. 

Pendekar 212 kembali tersenyum, “Walah...!” Wiro 

menggaruk kepala “Selagi sahabat muda bicara panjang 

lebar di sini, berapa orang lagi di luar sana menemui ajal 

akibat kejahatan dua Sinuhun dan kaki tangannya! 

Mengapa hukum dan kebenaran tidak lebih cepat 

dilakukan?” 

“Soal hukuman bahkan kematian sekalipun biarlah 

Para Dewa yang menentukan. Kita manusia jangan men–

dahului kehendak Yang Maha Kuasa.” 

“Kejahatan telah terjadi di depan mata dan masih akan 

terjadi. Dan kita bangsa manusia hanya berpangku tangan 

dengan alasan jangan mendahului kehendak Yang MahaKuasa! Oala! Apa memang begitu maunya Yang Maha 

Kuasa? Kita telah berbuat lalai lalu enak saja berkata biar 

nanti Yang Maha Kuasa yang menjatuhkan hukuman! 

Pantas banyak orang mati tak karuan di negeri ini. Kalau 

sudah jadi roh maka rohnyapun masih gentayangan tidak 

karuan! Masih tega berbuat kejahatan!” 

Wajah Ratu Randang tampak berubah. Dia khawatir 

Satria Lonceng Dewa akan merasa tersinggung oleh 

ucapan Wiro tadi. Sakuntaladewi unjukkan raut muka 

terkesiap. Sebaliknya Kunti Ambiri tersenyum dan dari tepi 

telaga dia acungkan jempol tangan kanannya ke udara. 

Mimba Purana sebaliknya tetap unjukkan wajah tenang, 

tidak ada rasa kecewa, apa lagi gejolak amarah mendengar 

ucapan Pendekar 212. “Sahabat Ksatria Panggilan, saya 

sangat mengerti jalan pikiran dan suara hatimu,” berkata 

Mimba Purana “Bagi saya jika sesuatu bisa diperbaiki 

dengan cara tidak membunuh maka hal itulah yang 

pertama kali akan saya lakukan. Lagi pula bagaimanakah 

perasaan hati seseorang membunuh saudara kandung 

sendiri. Ksatria Panggilan, apakah kau punya saudara 

kandung? Jika punya apakah kau akan merasa tega 

membunuh saudaramu sendiri walau dia memang 

bersalah?” 

“Sahabat Mimba Purana, mohon maaf. Turut bicaramu 

rupanya ada perbedaan hukum terhadap saudara kandung 

dan orang yang bukan saudara kandung. Sayang, aku 

memang tidak punya saudara kandung hingga tidak dapat 

menyelami jalan pikiran dan perasaan hatimu. Sahabat 

muda, mohon maafmu. Aku dan kawan-kawan harus pergi. 

Seorang anak perempuan terancam keselamatannya. Kami 

harus menolong, walau anak itu bukan saudara kandung 

kami!” 

“Tunggu...! Masih ada yang ingin saya sampaikan.” 

“Pasti dia mau minta keris!” Duga Wiro dalam hati. Saat 

itu kembali dia mulai kerahkan tenaga dalam dan hawa 

sakti ke kaki. 

“Ksatria Panggilan, saya tahu kau mampumemusnahkan kekuatan yang membuat dua kakimu tak 

bisa bergerak dan pergi dari sini. Tapi saya mohon jangan 

pergi dulu. Ada sesuatu teramat penting yang akan saya 

sampaikan” 

“Apakah itu lebih penting dari menyelamatkan nyawa 

dan kehormatan seorang anak perempuan bernama Ni 

Gatri, menemukan kapak sakti, menyelamatkan guruku 

dan...” 

“Semua yang sahabat sebutkan itu memang penting, 

bahkan sangat penting. Tergantung dari sisi mana kita 

melihatnya...” 

“Tidak ada sisi yang lebih baik selain sisi kebenaran!” 

Jawab Wiro yang sudah jengkel dan tak dapat menahan diri 

lagi. Setengah berbisik Wiro berkata pada Ratu Randang. 

“Nek, temui aku di pinggiran timur kawasan Prambanan. 

Aku sudah muak melihat dan bicara dengan bocah sok 

pintar itu. Beri tahu teman-teman...” 

Murid Sinto Gendeng dengan cepat kembali salurkan 

tenaga dalam tinggi dan hawa sakti penuh pada dua 

kakinya. 

Desss! 

Batu besar di tengah telaga yang dipijak Wiro bergetar 

keras. Selarik cahaya kuning mengepul. 

Braakkk! 

Batu besar hancur berantakan. Air telaga muncrat 

setinggi dua tombak. Bersamaan dengan itu sosok Pen–

dekar 212 meluncur ke bawah, lenyap ke dalam telaga. 

Mimba Purana terkesiap melihat apa yang terjadi. 

“Nenek Ratu Randang...” Ucapan anak ini terputus 

karena saat itu Ratu Randang tidak ada lagi di tempatnya 

semula. Dia berpaling ke tepi telaga. Kunti Ambiri dan 

Sakuntaladewi juga tidak kelihatan lagi! 

Si bocah menarik nafas dalam. Perlahan mulutnya 

berucap. “Mungkin aku terlalu banyak bicara. Seharusnya 

tadi langsung saja pada amanat yang diberikan kakek alam 

roh itu...” 

Dia kemudian memandang ke arah curahan air terjun.Memperhatikan mulut goa yang terlihat samar. Mulut 

kembali berucap, “Rakanda Dirga, hari ini aku masih bisa 

menolongmu. Tapi bila datang takdir dan kuasa Para Dewa, 

tidak seorangpun bisa menyelamatkanmu, termasuk 

dirimu sendiri.” 

Setelah merenung sejenak anak ini gosokkan dua 

telapak tangan. Ketika dua telapak dipisahkan kelihatan 

ada lingkaran putih di telapak tangan kanan. Di dalam 

lingkaran putih terdapat bagian berwarna biru setengah 

luas lingkaran. 

“Warna biru baru seluas setengah lingkaran. Hyang 

Jagat Bathara Dewa, apakah Bhumi Mataram benar-benar 

akan dapat diselamatkan? Apakah Bulan Biru benar-benar 

akan muncul di langit pada malam yang telah ditentukan? 

Apa lagi yang akan terjadi sampai warna biru menutup 

seluruh lingkaran putih di telapak tangan kanan saya? 

Sayang, saya tidak berkesempatan memberitahu pada 

pendekar dari alam delapan ratus tahun mendatang itu. 

Dia kelihatan jengkel pada saya. Tapi saya tahu mulut dan 

hatinya polos. Saya mohon Para Dewa memberi perlin–

dungan dan pertolongan pada semua maksud baik yang 

hendak dilaksanakannya.” 

Awan kelabu tiba-tiba muncul dan turun di tengah 

telaga. Mimba Purana melesat ke bagian atas awan. Dia 

bersila seolah duduk di atas satu buntalan empuk. Dua 

tangan dirangkap di atas dada. Sepasang mata dipejam. 

Angin sejuk bertiup dari arah timur. Awan kelabu bergerak 

naik semakin tinggi. Anak lelaki itu mulai masuk ke alam 

samadi.


SEPULUH


KSATRIA Roh Jemputan alias Pangeran Matahari boleh 

punya ilmu lari secepat setan berkelebat. Namun dia 

tidak mampu menghindar dari kejaran Jaka Pesolek 

yang sanggup melesat seperti kilat menyambar. Di satu 

hutan jati yang sepi tak jauh dari kawasan Prambanan, 

Pangeran Matahari baringkan Ni Gatri di tanah. Dia tidak 

mengetahui kalau di atas salah satu pohon jati di sekitar 

situ Jaka Pesolek mengawasi apa yang dilakukannya. 

Setelah membaringkan Ni Gatri Pangeran Matahari 

memeriksa keadaan anak perempuan itu. Tubuh Ni Gatri 

diraba di beberapa bagian. Lalu pipi ditepuk-tepuk. Namun 

Ni Gatri tetap tidak bergerak. 

“Anak ini masih bernafas. Aku tidak yakin dia dalam 

keadaan pingsan. Ada satu kekuatan aneh mendekam 

dalam tubuhnya. Jangan-jangan bocah itu telah memper–

gunakan rapalan jahat ilmu mencuci otak.” Sang Pangeran 

perhatikan keadaan pakaian Ni Gatri. Dadanya berdebar, 

kecurigaan muncul. 

“Jangan-jangan aku sudah kedahuluan...” Ucap Pange–

ran Matahari dalam hati. Tangan kanan diulur menyingkap 

pakaian Ni Gatri di sebelah bawah. Serta merta sang 

Pangeran tersentak melihat apa yang disaksikannya. 

“Dirga Purana bocah keparat! Kurang ajar!” Pangeran 

Matahari berdiri. “Ni Gatri, kau tidak ada gunanya lagi 

bagiku! Pangeran Matahari berpantang mendapat sisa!” 

Tidak pikir panjang lagi Pangeran Matahari segera 

hendak melangkah pergi. Saat itulah sudut matanya 

melihat satu benda kemerahan menyelinap di atas salah 

satu pohon jati. 

“Pohon jati tidak pernah membekal warna merah. Ada

seseorang mengintai gerak-gerikku!” 

Tidak menunggu lebih lama sang Pangeran segera 

angkat tangan kanan. Tidak tanggung-tanggung dia mele–

pas pukulan Gerhana Matahari. Tiga cahaya berkiblat 

kuning, hitam, dan merah. 

Wusss! 

Pohon jati besar yang telah berumur setengah abad 

lebih tenggelam dalam buntalan api. Satu pekikan terde–

ngar ketika pohon jati roboh ke tanah dalam keadaan 

hangus hitam. Pangeran Matahari cepat melompat men–

datangi. 

“Jelas aku mendengar suara jeritan! Tapi tidak ada 

bangkai gosong!” Sang Pangeran berpikir-pikir. “Bayangan 

merah. Agaknya bukan pendekar keparat itu! Suara yang 

menjerit suara perempuan! Mungkin Dewi Ular atau gadis 

berkaki satu itu?” 

Tadinya Pangeran Matahari mengira yang mengintainya 

adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Bangsat pengintai itu 

mampu selamatkan diri dari pukulan Gerhana Matahari. 

Berarti dia memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Tapi 

mengapa tidak membalas. Justru malah sembunyi.” 

Pangeran Matahari memandang berkeliling, “Aku tak 

mungkin membakar seluruh hutan jati ini untuk menang–

kap tikus yang bersembunyi!” 

Pangeran berjuluk Segala Cerdik, Segala Akal, Segala 

Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak ini menyeringai. Satu 

akal cerdik terlintas di benaknya. Cepat-cepat dia menda–

tangi sosok Ni Gatri yang masih tergeletak di tanah. Dia 

berteriak keras-keras, “Ni Gatri! Kau layak mendapat 

kemurahan hati seorang pangeran. Soal aku sudah keda–

huluan anak jahanam itu aku tidak perduli! Kau masih 

pantas melayani diriku!” 

Pangeran Matahari gerakkan dua tangan ke pinggang 

celana lalu membungkuk di atas tubuh Ni Gatri. Pada saat 

itulah tiba-tiba ada yang berteriak. 

“Jangan! Anak itu sudah cukup menderita! Jangan kau 

tambah kesengsaraannya!”Satu bayangan merah berkelebat dari balik serumpun 

semak belukar. Yang muncul ternyata seorang gadis cantik 

berpakaian merah muda yang bukan lain adalah Jaka 

Pesolek. 

“Kau!” Ujar Pangeran Matahari yang diam-diam senang 

jebakannya berhasil. Lebih senang lagi ketika menyaksikan 

yang berdiri di hadapannya saat itu adalah gadis cantik 

salah seorang sahabat Pendekar 212. Akal busuknya 

kembali bekerja. “Gadis cantik kau berani menghalangi 

apa yang hendak aku lakukan! Apa imbalannya kalau 

maksudku terhadap anak ini tidak jadi aku teruskan? Kau 

mau menjadi penggantinya?” 

Jaka Pesolek tersipu-sipu. “Walau kasar tapi tampang 

orang ini tidak jelek-jelek amat.” Kata si gadis dalam hati. 

Lalu dia berkata “Aku mohon, anak itu masih terlalu kecil. 

Dalam keadaan pingsan pula...” 

“Kurasa anak itu sudah mati...” 

“Aku tidak percaya. Masakan seorang yang mengaku 

Pangeran mau meniduri mayat! Hik... hik... hik!” 

“Kurang ajar! Cerdik juga gadis satu ini!” Pikir Pangeran 

Matahari. “Dengar, kau boleh membawa anak ini. Tapi 

sebelum pergi kita berdua bisa bersenang-senang lebih 

dulu.” 

“Bersenang-senang bagaimana maksudmu?” 

Pangeran Matahari menyeringai. “Jangan pura-pura 

tolol. Lekas tanggalkan pakaianmu!” 

“Hik... hik!” Jaka Pesolek tertawa. “Mengapa aku harus 

menanggalkan pakaian?!” Dia bertanya lalu keluarkan 

kotak hias, bedaki wajah, poles bibir dan kerengi alis. 

Sambil rapikan rambut dia simpan kembali kotak hias 

hadiah Nyi Roro Jonggrang itu. Sesaat Pangeran Matahari 

dibuat terpesona melihat wajah yang kini berubah lebih 

cantik dan lebih segar itu. Sambil usap-usap dadanya 

sendiri Jaka Pesolek bertanya konyol. “Hai, apakah 

menurutmu dadaku bagus dan besar?” 

“Kalau pakaianmu sudah kau buka baru aku bisa tahu!” 

Jawab Pangeran Matahari tak kalah konyol.“Oh begitu? Tapi kau belum menjawab mengapa aku 

harus menanggalkan pakaian.” 

“Jangan berpura-pura. Sorot matamu menyatakan kau 

suka padaku! Tapi kalau kau menampik, berarti kau minta 

aku yang menanggalkan pakaianmu!” 

“Ah, itu rasanya lebih menarik. Hik... hik... hik. Tapi 

bagaimana kalau kita berdua sama-sama menanggalkan 

pakaian. Kulihat bajumu sudah tersingkap, celanamu 

sudah melorot!” 

“Aku tidak menolak!” Jawab Pangeran Matahari jadi 

panas. Cuping hidung kembang kempis dan pelipis ber–

gerak-gerak. 

“Bagus, tapi sebelum kita sama-sama bugil lalu terus..., 

hik... hik. Aku ingin anak perempuan itu disingkirkan lebih 

dulu. Biar aku pindahkan dia ke balik semak belukar sana. 

Siapa tahu selagi kita berasyik-asyik tiba-tiba dia sadar dan 

melihat apa yang kita kerjakan. Bagaimana, kau bisa 

mengerti? Kau setuju?” 

Pangeran Matahari mengangguk. “Lakukan cepat! 

Kalau sudah lekas datang ke hadapanku!” 

“Jangan khawatir!” Kata Jaka Pesolek pula. “Selesai 

aku membawa anak ini ke balik semak belukar sana aku 

akan membuka seluruh pakaianku. Lalu datang ke 

hadapanmu! Aku harap kau sudah menunggu dalam 

keadaan yang sama.” Jaka Pesolek layangkan senyum 

genit sambil lidah dijulur membasahi bibir. 

Hasrat Pangeran Matahari jadi tambah bergelora. 

Membuat dia jadi tidak sabaran. “Cepat singkirkan anak 

itu!” 

Pangeran Matahari memperhatikan sambil usap 

janggut tipis kasar di dagu. Dalam hati dia membatin. 

“Tadinya kalau sudah bersenang-senang aku niat akan 

membunuhnya. Tapi dia punya ilmu bergerak cepat luar 

biasa. Lalu kepandaiannya menangkap serangan Lentera 

Iblis yang dianggapnya petir kurasa bisa aku manfaatkan. 

Aku akan merayunya agar mau menjadi kekasih untuk 

membantuku menumpas Sinuhun Muda merebut kuasa dinegeri yang sedang kacau ini! Sinuhun Merah sudah 

mampus, kembali ke alam roh! Tujuanku hanya tinggal 

beberapa langkah saja!” 

*** 

Seperti diceritakan dalam Episode terdahulu berjudul 

“Roh Jemputan”, Sinuhun Merah Penghisap Arwah mema–

suki alam delapan ratus tahun mendatang dan pergi ke 

Gunung Merapi untuk menemui Pangeran Matahari yang 

disebut sebagai Ksatria Roh Jemputan. Sinuhun Merah 

minta bantuan Pangeran Matahari untuk membunuh 

Ksatria Panggilan yang bukan lain adalah Pendekar 212 

Wiro Sableng. Pangeran Matahari menjawab dia bersedia 

membantu asal diberi imbalan. Imbalan yang diminta 

adalah agar Sinuhun Merah dan orang-orangnya memban–

tu pendirian Partai Bendera Darah di Bhumi Mataram. 

Saat itu dengan congkak Pangeran Matahari yang 

belum tahu banyak siapa adanya Sinuhun Merah Penghi–

sap Arwah, berkata, “Sinuhun Merah, aku minta diberi hak 

dan kesempatan untuk mendirikan Partai Bendera Darah 

di Bhumi Mataram. Partai ini kelak akan menguasai dunia 

nyata dan alam gaib. Kau akan menjadi salah seorang 

pembantuku. Berarti mulai saat ini kau harus tunduk 

padaku!” 

Kejut Sinuhun Merah bukan alang kepalang. Darah 

mendidih. Amarah meledak! Setelah memaki dia pancar–

kan delapan cahaya merah dari benjolan yang ada di 

keningnya, diarahkan pada Pangeran Matahari. Saat itu 

juga di kening Pangeran Matahari muncul delapan benjolan 

merah. 

“Roh Jemputan!” Hardik Sinuhun Merah. “Kesom–

bonganmu tidak berlaku di hadapanku. Mulai saat ini kau 

yang harus tunduk padaku! Aku akan mengendalikan 

dirimu dan memberi setiap perintah yang harus kau patuhi! 

Sekarang berlututlah di hadapanku! Jika kau menolak aku 

akan membuat kau tidak kembali ke alammu untukGatri tiba-tiba merasakan ada sambaran angin di sebelah 

bawah. Kedua kakinya terasa berat dan tubuhnya seperti 

ditarik ke tanah. Sementara itu di arah depan dia melihat 

cahaya terang berputar yang membuat pandangannya 

menjadi silau. 

Braakk!



SEBELAS


JAKA PESOLEK terpekik ketika bahu kirinya menabrak 

pohon jati. Tak ampun lagi tubuh gadis ini jatuh 

terbanting ke tanah. Ni Gatri terguling dari panggulan. 

Sambil mengusap bahu kirinya dan mengerang kesakitan, 

terhuyung-huyung Jaka Pesolek mencoba berdiri. Saat 

itulah dari belakang ada satu tangan berkelebat. 

Breett! 

Jaka Pesolek terpekik. Bagian belakang baju merahnya 

robek besar mulai dari punggung sampai ke pinggul! Jaka 

Pesolek tahu bahaya besar yang mengancam dirinya. Dia 

hendak berkelebat lari tapi pandangan kedua matanya 

masih gelap. Dalam takutnya gadis ini jadi nekad. Dia 

menghambur dengan gerakan kilat tapi tanpa arah. 

Akibatnya Pangeran Matahari dengan mudah berhasil 

mencekalnya! 

“Aku suka gadis berani dan punya akal!” Berkata 

Pangeran Matahari lalu tertawa bergelak. Tangan kanan 

bergerak. 

Breett! Breett! 

Pakaian merah muda Jaka Pesolek robek di bagian 

bahu dan pinggang. Gadis itu usap kedua matanya. Ketika 

pandangannya mulai jelas dia melihat dua tangan diulur ke 

arah dadanya. Dengan cepat Jaka Pesolek melompat ke 

belakang. Namun gerakannya terhalang batang pohon jati. 

“Gadis cantik, kau harus dibuat jinak lebih dulu!” 

Lalu bett... bett! 

Dua totokan mendarat di urat besar di leher serta bahu 

kanan Jaka Pesolek. Langsung gadis ini merasa tubuhnya 

kejang, tak bisa bergerak tapi masih mampu bersuara. 

Ketika tubuhnya terhuyung ke depan, Pangeran Mataharicepat merangkul pinggangnya lalu baringkan si gadis di 

tanah. 

Dalam takutnya Jaka Pesolek berkata. “Jangan berlaku 

kasar. Kalau kau lepaskan totokan, aku akan melayanimu 

sampai kau benar-benar merasa puas...” 

Pangeran Matahari menyeringai. “Siapa percaya gadis 

penipu sepertimu!” 

Tangan kiri menyambar ke dada. 

Brettt! 

Kembali ada pakaian Jaka Pesolek yang robek. Kali ini 

di bagian dada. Sepasang mata Pangeran Matahari 

mendelik, kening mengerenyit dan tampang berubah aneh 

ketika melihat dada yang tersingkap. Seumur hidup baru 

kali ini dia melihat dada seorang gadis rata seperti itu. 

Penasaran dengan cepat tangannya bergerak turun ke 

bawah. 

“Tunggu... jangan! Aku mau bicara dulu!” Jaka Pesolek 

berkata. Wajah mendadak pucat. 

“Ada apa?!” Bentak Pangeran Matahari. “Tadi kau 

menantang mau membuat aku puas. Sekarang kenapa kau 

ketakutan?! Kau mau mengatakan apa...?” 

“Aku, aku, maksudku... aku bisa jantan bisa betina...” 

“Apa maksudmu dengan ucapan itu!” 

“Hik... hik! Aku hanya mau memberi tahu. Biar aku 

sendiri yang menanggalkan pakaianku. Lepaskan totokan–

ku. Nanti aku...” 

Tidak sabaran Pangeran Matahari langsung saja 

bertindak kurang ajar. Seluruh pakaian Jaka Pesolek di 

sebelah bawah ditarik lepas. Begitu melihat aurat yang 

tersingkap, Pangeran Matahari berteriak kaget! Tubuhnya 

yang mencangkung di samping Jaka Pesolek tersurut 

bahkan kemudian dia melompat berdiri! 

“Jahanam keparat! Kau ini makhluk apa?! Manusia 

atau jejadian?! Kau ini lelaki atau perempuan. Kalau lelaki 

mengapa berpakaian dan berdandan serta punya suara 

seperti perempuan! Kalau perempuan mengapa...” 

“Pangeran, lepaskan dulu totokan di tubuhku. Nanti akuakan menerangkan. Kau tidak akan kecewa! Karena, 

karena seperti kataku tadi aku bisa jantan bisa betina. 

Terserah kau mau memilih yang mana. Bisa salah satu bisa 

dua-duanya...” 

“Makhluk terkutuk! Manusia banci! Berani kau mem–

permainkanku!” Saking marahnya Pangeran Matahari 

tendangkan kaki kanannya ke pinggul Jaka Pesolek. 

Bukkk! 

Jaka Pesolek menjerit keras. Tubuhnya mencelat sam–

pai dua tombak. Terkapar tertelentang di tanah, menge–

rang pendek lalu megap-megap siap untuk pingsan! Masih 

belum puas Pangeran Matahari mengejar. Kaki kanan 

diangkat tinggi-tinggi. Kali ini kaki itu siap dihunjamkan ke 

bagian bawah perut Jaka Pesolek. 

Hanya tinggal sekejapan saja tubuh bagian bawah Jaka 

Pesolek akan hancur luluh dan sudah dipastikan akibatnya 

si gadis akan menemui ajal, tiba-tiba tanah di samping kaki 

kiri Pangeran Matahari terkuak. Satu tangan mencuat ke 

atas langsung mencekal pergelangan kaki kirinya! 

Kaget Pangeran Matahari bukan olah-olah. 

“Kurang ajar! Setan dari mana...?!” 

Ketika Pangeran Matahari berusaha menyentakkan 

kaki yang dicekal tiba-tiba sesosok tubuh berpakaian 

merah bergaris kuning, didahului oleh kepala berambut 

gondrong sebahu mencuat keluar dari dalam tanah. Saat 

itu juga sang Pangeran merasa kaki kirinya dibetot keras, 

membuat tubuhnya melintir diputar seperti titiran. Ketika 

cekalan tiba-tiba dilepas tak ampun lagi tubuh Pangeran 

Matahari terlempar ke udara dan baru berhenti ketika, 

braaakk! 

Tubuh itu menghantam batang pohon jati kecil. Pohon 

jati berderak patah dan tumbang. Walau bahu kirinya 

serasa remuk akibat beradu dengan pohon namun 

Pangeran Matahari masih bisa keluarkan teriakan marah. 

Tubuh melesat ke udara, berjungkir balik satu kali dan di 

lain kejap sudah berdiri lima langkah di hadapan orang 

yang melemparnya ke udara. Dia jadi melengak kagetkarena tidak menyangka. Ternyata orang itu bukan lain 

adalah Pendekar 212 Wiro Sableng! 

“Jahanam keparat! Kau muncul mengantar nyawa!” 

Teriak Pangeran Matahari dengan menindih rasa herannya 

melihat Wiro memiliki ilmu bisa masuk dan keluar dari 

dalam tanah! 

Wiro sunggingkan senyum mengejek. 

“Dari hidup kau minta mampus. Sudah mampus dan 

jadi roh masih berkeliaran menebar kejahatan! Pangeran 

geblek! Kau pantas dikembalikan ke alam roh untuk 

selama-lamanya!” 

Mendidih darah dan amarah Pangeran Matahari 

mendengar ucapan Wiro. Didahului teriakan dahsyat tidak 

kepalang tanggung dia lancarkan dua serangan dengan 

tangan kiri kanan sekaligus! 

Tangan kiri diangkat ke atas membentuk tinju. Begitu 

tangan dihantamkan ke arah lawan, lima jari yang menge–

pal dibuka. Lima larik angin menderu tanpa warna. Lawan 

yang diserang serta merta merasa dada dan isi perutnya 

seperti dibongkar dibetot keluar. Jalan darah terhenti. 

Kepala seperti dihajar palu godam! Tubuh secara menda–

dak kehilangan kekuatan! Inilah yang disebut Pukulan 

Merapi Meletus. Jika tidak mampu selamatkan diri maka 

dalam hitungan kejapan mata orang yang jadi sasaran 

akan meledak tubuhnya mulai dari kepala sampai ke ujung 

kaki! 

Serangan Pangeran Matahari kedua yang dilancarkan 

dengan tangan kanan melesatkan cahaya tiga warna yaitu 

merah, kuning, dan hitam, Pukulan Gerhana Matahari!

Orang lain mungkin tidak bisa menghindar dan mere–

gang nyawa secara mengerikan dilanda dua serangan 

Pangeran Matahari. Tetapi murid Sinto Gendeng sebagai 

musuh lama dan bebuyutan tahu betul semua ilmu kesak–

tian yang dimiliki lawan. Malah saat itu dia sudah mewas–

padai kalau-kalau Pangeran Matahari akan mengeluarkan 

senjata dahsyatnya, yaitu Lentera Iblis! 

Walau saat itu tubuhnya mulai terasa gontai dan panas

akibat dikunci serangan pertama yaitu Pukulan Merapi 

Meletus, sementara serangan kedua menderu dengan 

ganas, Pendekar 212 cepat tancapkan dua kaki ke tanah 

hingga tenggelam sampai sebatas pertengahan betis. Dari 

batok kepala mengepul asap putih. Ini pertanda sang 

pendekar tengah mengerahkan seluruh tenaga dalam dan 

hawa sakti yang dimiliki. Satu hal yang jarang-jarang 

dilakukan Wiro. 

Sambil membentak keras Wiro tekuk sedikit kedua 

lutut. Dua tangan dihantamkan ke depan, ke arah datang–

nya dua serangan lawan. Tangan kiri digerakkan dalam 

jurus Membuka Jendela Memanah Matahari lalu melepas 

Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Dengan 

tangan kanan Wiro melepas Pukulan Tangan Dewa Meng–

hantam Tanah yang sengaja diarahkan ke bagian kaki 

lawan. 

Dua dentuman keras menggelegar di dalam hutan jati. 

Tanah di depan kaki Pangeran Matahari terbongkar mem–

bentuk lobang besar. Sang Pangeran tampak tergontai 

pucat. Mulut lelehkan darah merah kehitaman. Dalam 

berusaha mengimbangi diri agar tidak terperosok ke dalam 

lobang, Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang

datang menggebubu. Ketika dia berusaha bertahan 

dengan mengerahkan seluruh kekuatan luar dalam yang 

dimiliki, Pangeran Matahari dapatkan tubuhnya terangkat 

ke udara. Wiro sentakkan tangan kiri. Seperti dibetot tubuh 

Pangeran Matahari tertarik ke depan dan langsung masuk 

ke dalam lobang besar. Di saat itu Wiro yang juga mende–

rita luka dalam cepat guratkan ujung kaki kanannya ke 

tanah. 

Rrrttttt! 

Ilmu Membelah Bumi Menyedot Tanah! Tanah di dalam 

lobang besar terbelah. Pangeran Matahari berteriak kaget 

ketika tubuhnya mendadak tersedot ke dalam belahan 

tanah. Mendahului datangnya daya sedotan yang lebih 

besar, Pangeran yang cerdik ini dengan ilmu yang didapat–

nya dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah amblaskan dirike sisi kiri belahan tanah. Lenyap dari pemandangan. 

Wiro cepat mengejar namun hanya bisa berhenti di 

depan belahan tanah yang perlahan-lahan kembali ber–

satu. Wiro seka darah yang keluar di sela bibirnya. Dada 

mendenyut sakit. Selagi dia berpikir-pikir apakah Pangeran 

Matahari benar-benar telah menemui ajal di dalam tanah 

tiba-tiba dia merasa sambaran angin di belakangnya. Wiro 

cepat berbalik tepat pada saat satu jotosan dahsyat 

memancarkan cahaya merah menderu ke arah keningnya. 

Inilah pukulan bernama Di Dalam Arwah Ada Raga. Yang 

melancarkan serangan adalah Pangeran Matahari. 

Ternyata makhluk berjuluk Ksatria Roh Jemputan ini masih 

hidup!



DUA BELAS


PUKULAN yang dilancarkan Pangeran Matahari adalah 

pukulan bernama Di Dalam Arwah Ada Raga yang 

didapatnya dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah. 

Sebenarnya Wiro punya kesempatan untuk mengelak atau 

menghindar dari pukulan maut itu, namun entah mengapa 

dia memilih berjibaku. Ingin melumat musuh bebuyutannya 

saat itu juga! 

Pendekar 212 rundukkan kepala sambil dua lutut 

ditekuk. Dua tangan dengan cepat dipentang ke atas, 

disilang demikian rupa. Telapak tangan kanan dibuka lalu 

ditiup. Serta merta di atas telapak tangan itu muncul gam–

bar kepala harimau putih bermata biru! Di kejauhan tiba-

tiba terdengar suara auman dahsyat yang menggetarkan 

tanah di hutan jati. Itulah auman harimau sakti Datuk Rao 

Bamato Hijau yang walau terpisah jauh tapi mendapat 

sambung rasa dan tahu kalau Pendekar 212 berada dalam 

bahaya. 

Pangeran Matahari terlalu yakin kalau serangannya kali 

itu akan menghancurkan kepala lawan dan menamatkan 

riwayat Pendekar 212! Sambil keluarkan suara menggem–

bor dia kerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti. 

Sebaliknya begitu tangan kanan lawan masuk, Wiro 

menggerakkan dua tangan seperti gunting melibas. 

Bukkk! 

Terjadi bentrokan hebat antara dua tangan Wiro yang 

disilang dengan lengan Pangeran Matahari yang datang 

menyambar. 

Kraakk! 

Jeritan menggelegar dari mulut Pangeran Matahari 

begitu tulang lengan tangan kanannya patah. Selain itudorongan tenaga dalam lawan membuat tubuhnya 

terpental dua tombak dan jatuh terjengkang di tanah. 

Kehebatan serangan sang Pangeran yang mengandalkan 

ilmu kesaktian dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah 

ternyata tidak mampu menandingi tangkisan sekaligus 

serangan Pukulan Harimau Dewa warisan Datuk Rao 

Basaluang Ameh dari Danau Maninjau! 

Wiro sendiri terhempas satu tombak ke belakang. 

Punggung membentur batang pohon jati. Cidera dalam 

yang dialaminya bertambah parah akibat bentrokan tadi 

dan lelehan darah semakin menebal di sela bibir sementa–

ra dua kaki terasa bergetar. Sebelum dirinya jatuh berlutut, 

Wiro masih mampu mengangkat tangan, merapal aji 

kesaktian Pukulan Sinar Matahari. Begitu tangan kanan 

mulai dari siku sampai ke ujung jari berubah menjadi 

seputih perak, Wiro langsung menghantam ke depan. 

Sinar putih berkilau disertai suara menggelegar dan 

hamparan panas berkiblat ke arah Pangeran Matahari yang 

dalam keadaan nyaris tak berdaya masih berusaha jatuh–

kan diri ke tanah walaupun terlambat. Hanya sesaat lagi 

dia akan menemui ajal untuk kedua kali tiba-tiba satu 

bayangan merah berkelebat di udara. Aneh dan luar 

biasanya bayangan ini sengaja menyongsong datangnya 

cahaya putih menyilaukan Pukulan Sinar Matahari yang 

dilepas Pendekar 212 Wiro Sableng untuk menghabisi 

Pangeran Matahari alias Ksatria Roh Jemputan! 

Apa yang terjadi? 

Sebelumnya diketahui Jaka Pesolek terhantar di tanah 

akibat tendangan Pangeran Matahari. Dalam keadaan 

setengah sadar setengah pingsan dia mengetahui sedang 

terjadi pertarungan hebat antara Wiro dan sang Pangeran 

sementara Ni Gatri tidak terlihat lagi di sekitar situ. Mung–

kin anak ini terlempar ke dalam hutan jati ketika terjadi 

letusan-letusan dahsyat akibat bentrokan pukulan-pukulan 

sakti tadi. Meski tidak berdaya seperti itu, tetapi ketika dia 

mendengar suara menggelegar disertai sambaran cahaya 

putih, mendadak sontak semangat dan kekuatan JakaPesolek timbul kembali. Anehnya, dia merasa tubuhnya 

seringan kapas. 

“Ada petir menyambar di dalam hutan! Oala! Tanganku 

jadi gatal! Aku...” 

Tidak tunggu lebih lama gadis ini segera melesat ke 

atas lalu laksana kilat menyambar dia berkelebat ke arah 

cahaya putih yang seperti sudah-sudah, diduganya sebagai 

petir. Padahal cahaya putih menyilaukan dan panas itu 

adalah Pukulan Sinar Matahari yang dilepas Pendekar 212 

Wiro Sableng untuk menghabisi Pangeran Matahari! 

Sambil berteriak girang Jaka Pesolek kembangkan dua 

tangan di udara, dengan cepat menyambar ujung cahaya 

putih lalu membuntalnya seperti menggulung kain panjang. 

Beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu berseru 

kaget. 

“Aku berhasil!” teriak Jaka Pesolek girang. Cahaya putih 

yang dibuntal lalu diusung ke atas dan dilempar di langit 

lepas. Tubuh dan pakaiannya tampak putih berkilat, 

mengepulkan asap panas. Namun Jaka Pesolek tidak 

merasa apa-apa. Begitu gadis ini melayang turun sambil 

tertawa haha-hihi dan jejakkan dua kaki di tanah. Wiro 

langsung membentak marah. 

“Jaka Pesolek! Apa yang kau lakukan?! Kau menolong 

musuh bebuyutanku! Kau sengaja menyelamatkan musuh 

besar raja dan rakyat Mataram!” 

Jaka Pesolek jadi terkejut, mulut ternganga mata 

mendelik. “Astaga! Apa aku telah berbuat keliru? Aku 

menyangka...” Saking takutnya Jaka Pesolek tak bisa 

teruskan ucapan. 

Sementara itu Pangeran Matahari sendiri tak kalah 

kejutnya. Dia mengira Jaka Pesolek memang telah menye–

lamatkan dirinya dari hantaman Pukulan Sinar Matahari. 

Tapi otak dan hatinya tetap saja ingin berbuat jahat. 

Melihat perhatian Wiro tertuju pada Jaka Pesolek dia 

merasa ada kesempatan. Pangeran Matahari segera 

lepaskan serangan Delapan Arwah Sesat Menembus 

Langit. Delapan cahaya merah menderu dahsyat daridelapan benjolan di kening. Enam menyambar ke arah 

Wiro, sisa yang dua melesat ke arah Jaka Pesolek yang 

berdiri membelakanginya dan menghalangi pandangan 

Wiro. Semua terjadi sangat cepat dan tidak terduga. 

Kurang dari sekejapan mata tubuh Jaka Pesolek akan 

hancur berkeping-keping dan dikobari api, menyusul hal 

sama akan terjadi pula dengan Wiro, tiba-tiba berkelebat 

tiga bayangan disertai suara teriakan perempuan. 

“Kawan-kawan! Lekas tancapkan delapan jari!” 

Sett! Settt! 

Dua puluh empat jari tangan yang dipentang seperti 

besi lurus berkelebat deras. Delapan menancap di tanah, 

delapan menusuk batang pohon jati dan delapan lagi 

melesak ke dalam gundukan batu. Saat itu juga terjadi hal 

luar biasa hebat. 

Pangeran Matahari tidak pernah tahu adanya ilmu 

penangkal serangan Delapan Arwah Sesat Menembus 

Langit. Dia berteriak keras ketika menyaksikan delapan 

larik cahaya merah panas berbalik menderu lalu menye–

rang ke arah dirinya! Ilmu apapun yang dimilikinya, 

kecepatan bagaimanapun yang bisa dilakukan untuk 

menyelamatkan diri, semua hanyalah sia-sia belaka! 

Blaarr! Blaarr! 

Letusan keras disertai percikan bunga api setinggi dan 

selebar dua tombak menggelegar di hutan jati, menggetar 

gendang-gendang telinga, seolah menyumbat jalan aliran 

darah! Beberapa pohon jati tenggelam dalam kobaran api 

dan langsung gosong menghitam! 

Suara jeritan sang Pangeran yang dijuluki Pangeran 

Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, 

Segala Congkak, serta merta terputus begitu delapan larik 

cahaya merah membabat tubuhnya mulai dari kepala 

sampai ke kaki! Kutungan tubuh yang dikobari api dan 

menebar bau daging terpanggang menggidikkan itu 

berlesatan ke berbagai penjuru hutan jati lalu mengepul 

jadi asap dan akhirnya lenyap dari pandangan mata. 

Saat itu Wiro dengan terhuyung-huyung berusahabangkit berdiri. Tangan kiri ditopangkan ke pohon jati di 

dekatnya. Dada mendenyut sakit tak karuan, tangan kanan 

menyeka darah yang membasahi dagu. Dia memandang 

berkeliling. Di arah depan dia melihat Kunti Ambiri menge–

luarkan delapan jari tangan dari dalam pohon jati yang 

ditusuknya. Lalu di sebelah kiri tampak Ratu Randang 

mencabut delapan jari dari dalam batu. Di arah kanan 

Sakuntaladewi si gadis berkaki tunggal tengah member–

sihkan jari-jari tangannya yang tadi ditancapkan ke tanah. 

“Mereka menyelamatkan nyawaku dengan ilmu 

penangkal.” Ucap Wiro dalam hati. Dia hendak melangkah 

mendekati ke tiga orang itu. 

Tiba-tiba terjadi satu hal luar biasa aneh. Dari dalam 

hutan jati menggelegar suara teriakan. 

“Ksatria Roh Jemputan! Aku berikan pecahan lima 

nyawaku padamu! Aku akan membantumu! Kau akan 

kembali pada ujudmu! Keluarkan Lentera Iblis. Bunuh 

semua musuhmu!” Suara orang yang berteriak terdengar 

sama dengan suara Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang 

roh keduanya telah menemui ajal. 

Lima benda aneh berwarna merah samar berkelebat di 

dalam hutan jati lalu bergabung jadi satu, membentuk 

asap merah menyerupai sosok manusia. Ketika turun ke 

tanah ujudnya membentuk sosok Pangeran Matahari alias 

Ksatria Roh Jemputan. Tapi wajahnya berwarna sangat 

putih seperti kain kafan! Tangan kanan menggenggam 

Lentera Iblis! 

Selagi Wiro, Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakun–

taladewi terkejut melihat kemunculan Pangeran Matahari 

secara tidak disangka-sangka, sang Pangeran tiba-tiba 

sudah menggerakkan tangan kanan memutar Lentera Iblis. 

Dia sengaja lancarkan serangan terhebat yakni jurus ketiga 

dari Tiga Jurus Serangan Lentera Iblis yang bernama Liang 

Lahat Menunggu. 

Cahaya kuning berkiblat. Menghambur secepat setan 

menyambar ke arah Wiro dan tiga orang lainnya pada 

ketinggian sepinggang tubuh manusia!

“Awas serangan Lentera Iblis!” Teriak Wiro mempe–

ringatkan tiga perempuan. Dia cepat melompat ke udara 

setinggi dua tombak. Ratu Randang berkelebat ke balik 

satu pohon jati besar lalu melompat naik ke cabang 

terendah. Kunti Ambiri amblaskan diri masuk ke dalam 

tanah. Sakuntaladewi jejakkan kaki tunggalnya ke tanah 

hingga tubuhnya membal sampai tiga tombak lalu 

melayang turun dan seperti seekor burung hinggap di 

puncak salah satu cabang pohon jati. 

Kalau Wiro, Ratu Randang, dan Sakuntaladewi berhasil 

selamatkan diri maka tidak demikian dengan Kunti Ambiri. 

Di antara ke empat orang itu dia satu-satunya yang meng–

ambil cara menyelamatkan diri dengan memasukkan tubuh 

ke dalam tanah. Padahal saat itu cahaya kuning Lentera 

Iblis melesat datar setinggi pinggang di atas tanah. Ketika 

tubuhnya amblas baru sampai ke lutut, serangan cahaya 

kuning Lentera Iblis bernama Liang Lahat Menunggu

datang menyambar! Dalam sekejapan lagi sudah dapat 

dipastikan tubuh gadis cantik alam roh yang pernah 

berjuluk Dewi Ular itu akan terkutung dua lalu meledak 

hancur berkeping-keping! 

Dari tempat masing-masing berada, Wiro, Ratu 

Randang, dan Sakuntaladewi dalam kaget mereka cepat 

bertindak. Wiro hantamkan dua tangan sekaligus melepas 

Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera dengan 

tangan kiri sementara tangan kanan untuk kedua kalinya 

melepas Pukulan Sinar Matahari. 

Ratu Randang menggebrak dengan Pukulan Tangan 

Langit Kaki Bumi. Sakuntaladewi gerakkan dua tangan 

membuat Enam Belas Gerakan Tangan Bisu. 

Langit seolah hendak runtuh, tanah bergoncang seperu 

dilanda lindu. Beberapa pohon jati berderak bertumbangan 

ketika berbagai warna cahaya pukulan-pukulan sakti yang 

dilancarkan Wiro, Sakuntaladewi dan Ratu Randang saling 

beradu dahsyat dengan sambaran sinar kuning Lentera 

Iblis! 

Wiro membentak keras, Ratu Randang dan Sakuntala–dewi sama terpekik. Tubuh ketiga orang ini terjengkang di 

tanah, semburkan darah segar dari mulut masing-masing. 

Khawatir akan mendapat serangan balasan, ketiganya 

cepat bergulingan di tanah mencari tempat yang aman Di 

depan sana Pangeran Matahari tegak menyeringai. Dia 

tidak tampak cidera sedikitpun. Namun sebenarnya saat 

itu bagian dalam tubuh makhluk alam roh ini telah 

mengalami luka luar biasa parah. Tangan kanan masih 

memegang Lentera Iblis yang diputar demikian rupa tanda 

siap hendak melancarkan serangan lagi. Agaknya dia akan 

sekaligus menghantamkan tiga cahaya lentera yaitu 

merah, kuning dan hitam! Namun sesaat kemudian dua 

lututnya tampak bergetar dan mulai menekuk. Darah 

mengalir tersendat. Wajah berubah merah kelam. Dada 

terhuyung ke depan. Tenggorokan keluarkan suara 

mengorok. Seperti orang mau muntah. Mulut terbuka. 

“Tahan! Jangan muntah! Cepat jauhkan Lentera!” 

Mendadak ada suara mengiang di telinga Pangeran 

Matahari. Suara itu datang dari makhluk aneh yang ada di 

dalam tubuhnya yang bukan lain pecahan lima roh Sinuhun 

Merah Penghisap Arwah. 

Pangeran Matahari terkejut! Astaga! Dia baru sadar. 

Lentera Iblis punya pantangan rahasia. Yaitu tidak boleh 

tersentuh oleh cairan yang keluar dari tubuh manusia, 

terutama berasal dari orang yang memegangnya. Cairan itu 

bisa saja berupa keringat, air kencing, ludah bahkan 

termasuk juga darah! Pangeran Matahari cepat tekap 

mulutnya dengan tangan kiri. Namun saat itu tubuhnya 

telah terhuyung ke depan. Dalam keadaan seperti itu mulut 

tak mampu lagi menahan muntah. Ketika mulut terbuka 

yang menyembur ternyata adalah darah kental berbuku-

buku! Bersamaan dengan itu tubuh Pangeran Matahari 

tersungkur ke depan. Lentera iblis terlepas dari tangannya, 

menggelinding ke arah tebaran muntahan darah di tanah! 

Pangeran Matahari cepat ulurkan tangan menjangkau 

lentera agar tidak bersentuhan dengan muntahan darah. 

Hanya seujung kuku dia akan berhasil menyentuh LenteraIblis mendadak ada satu bayangan hijau berkelebat. 

Semula Wiro dan kawan-kawan mengira Sinuhun Muda 

Ghama Karadipa yang muncul, turun tangan untuk 

menolong Pangeran Matahari. Tapi apa yang kemudian 

terjadi membuat semua orang jadi melengak kaget!


TIGA BELAS 


ENTAH dari mana datangnya tiba-tiba muncul lima 

cahaya biru panjang yang ujudnya hampir menyerupai 

benang menyambar ke arah lima bagian tubuh 

Pangeran Matahari. Bau santar kemenyan terbakar meme–

nuhi udara, menggidikan! Lalu terdengar suara drett drett! 

Sosok Pangeran Matahari serta merta kaku. Tangan yang 

diulur seolah berubah menjadi batu. Sekujur tubuh, mulai 

dari leher, dada, pinggang, dua tangan, dan sepasang kaki 

dilibat cahaya benang biru membuat keadaannya tidak 

beda seperti dijahit mati. Semua anggota badan tidak bisa 

digerakkan lagi. Di atas batok kepala menancap lima 

benda aneh berbentuk jarum panjang sejengkal berwarna 

biru! Mulut dibuka hendak berteriak tapi tidak ada suara 

yang keluar. 

“Lima Jarum Penjahit Raga!” Ucap Wiro dengan mata 

terbelalak. Matanya memandang cepat berkeliling seperti 

tengah mencari seseorang. Saat itu dilihatnya Lentera Iblis 

yang menggelinding di tanah hanya sejengkal lagi akan 

menyentuh muntahan darah Pangeran Matahari. Wiro serta 

merta berteriak. “Cepat menyingkir! Lentera jahanam akan 

segera meledak!” 

Walau saat itu ketiganya menderita luka dalam dan 

masih terbaring di tanah namun dengan mengerahkan 

tenaga yang ada, Wiro, Ratu Randang, dan Sakuntaladewi 

cepat berdiri lalu melompat sejauh yang bisa dilakukan, 

mencari tempat yang aman. Ketiganya berkelebat ke balik 

satu gundukan batu setinggi pinggul yang berada di 

belakang tumbangan tiga pohon jati. 

Ledakan dahsyat kembali menggelegar di hutan jati. 

Lentera Iblis hancur berkeping-keping mengeluarkanpancaran cahaya merah kuning dan hitam. Pangeran 

Matahari yang terkena sambaran cahaya yang keluar dari 

Lentera Iblis mencelat ke udara, meledak hancur tak 

karuan rupa dalam keadaan hancur. Sebelum meledak 

satu sosok aneh berwarna merah keluar dari tubuh sang 

Pangeran. Walau samar namun Wiro dan kawan-kawan 

masih bisa melihat betapa sosok itu luar biasa mengerikan. 

Kepala hanya sebelah. Bagian mata merupakan rongga 

merah dalam. Mulut pencong mencuatkan gigi panjang 

hitam. Dada dan perut bolong. Sebagian usus besar keluar 

menggelembung. Tangan serta kaki hanya tinggal satu. 

Seluruh kulit mengelupas merah! Di balik gundukan batu 

untuk beberapa lama Wiro, Ratu Randang, dan Sakuntala–

dewi sama-sama mendelik melihat makhluk yang tadi 

keluar dari dalam tubuh Pangeran Matahari. Tengkuk 

masing-masing terasa dingin padahal rimba yang terbakar 

menghampar hawa panas! 

Hutan jati diselimuti kesunyian. Sesekali hanya terde–

ngar suara gemeretak ranting dan dedaunan yang terba–

kar. Serombongan burung yang terbang terlalu rendah di 

atas hutan begitu kena sengatan kobaran api mencicit 

keras, jatuh ke tanah dalam keadaan gosong! 

*** 

Di satu tempat sunyi di lereng barat Gunung Merapi 

awan kelabu yang berarak di langit perlahan-lahan berubah 

putih bersih. Lalu awan putih ini melayang ke timur, untuk 

beberapa lama diam menggantung di udara tinggi kemu–

dian berubah menjadi biru. 

Mimba Purana yang tengah duduk bersila di satu 

cabang pohon sejak tadi memperhatikan keadaan langit. 

Perubahan awan putih menjadi kebiruan tidak lepas dari 

pandangan matanya. Anak sakti bergelar Satria Lonceng 

Dewa ini letakkan dua telapak tangan di atas dada. Lalu 

dua telapak tangan disatukan dan digosok satu sama lain. 

Setelah itu dua telapak dipisah. Tangan kiri diletakkan dikepala sebelah belakang sementara sepasang mata 

memperhatikan telapak tangan kanan yang dikembang. 

Di atas telapak tangan itu kelihatan satu lingkaran 

putih. Di dalam lingkaran putih ada warna biru memenuhi 

dua pertiga luas lingkaran putih. Beberapa waktu sebe–

lumnya warna biru itu baru setengah luas lingkaran. 

Melihat hal ini anak lelaki berusia dua belas tahun yang 

mencantol anting-anting merah di telinga kanan tampak 

berseri wajahnya. Perlahan dia berucap. 

“Luas warna biru dalam lingkaran putih bertambah 

besar. Berarti malam nanti bulan purnama hari ke empat 

belas akan muncul dengan warna kebiru-biruan. Bahaya 

yang selama ini mengungkung kerajaan akan segera 

lenyap. Aku tidak sabar untuk menyaksikan. Tapi...” 

Wajah Satria Lonceng Dewa Mimba Purana berubah 

suram. Ada kekhawatiran di dalam hatinya. 

“Aku tahu, ada arti lain dari pertambahan warna biru di 

telapak tanganku. Ada manusia yang berbuat kebajikan 

dan ada makhluk atau orang jahat musuh Raja dan rakyat 

Mataram telah menemui ajal. Siapa?” Anak lelaki itu 

pejamkan mata seolah berusaha melihat jauh ke dalam 

alam gaib. Namun apa yang diharapkan tidak mendapat 

jawaban. Dua mata dibuka kembali. “Jangan-jangan 

kakanda Dirga Purana yang bernasib malang...” 

Anak lelaki di lereng Gunung Merapi itu bangkit berdiri. 

Tubuh dan wajah dihadapkan ke selatan ke arah laut di 

kejauhan yang tidak terlihat dari tempatnya berdiri. Namun 

dia sanggup mencium baunya hawa laut. Sayup-sayup 

mendengar suara tiupan angin samudera selatan. Dua 

tangan dirangkap di atas dada. Sepasang mata dipejam. 

Dia mencoba lagi masuk ke dalam alam gaib. Selarik 

cahaya kuning keluar dari ubun-ubun anak ini. Lalu di 

kejauhan terdengar suara lonceng. Setelah cukup lama 

menjajagi Mimba Purana akhirnya buka kedua matanya. 

“Aneh, semedi pendekku tidak mampu melihat atau 

mendapatkan satu petunjuk. Mengapa aku mengalami 

kesulitan masuk ke alam gaib. Tidak pernah kejadianseperti ini. Ada satu kekuatan membentuk tabir menghala–

ngi semediku. Para Dewa di Kahyangan? Adakah kakak 

saya berada dalam keadaan selamat? Saya mohon perlin–

dungan Para Dewa atas dirinya...” 

Tiba-tiba di arah timur menyambar cahaya serta gelegar 

petir. Darah Mimba Purana tersirap. Lebih-lebih ketika 

dilihatnya di langit ada satu lingkaran kemerah-merahan 

mengelilingi matahari. Udara berubah redup seolah malam 

akan segera datang. 

“Aneh, rasanya malam tiba lebih cepat dari biasanya. 

Apakah ini merupakan suatu berkat atau...” Mimba Purana 

berdiri, menatap ke arah kejauhan. Lalu dengan gerakan 

cepat tanpa suara, laksana terbang anak ini berkelebat 

menuruni lereng barat Gunung Merapi. 

*** 

KEMBALI ke hutan jati yang masih dilamun kobaran api 

berasal dari ledakan Lentera Iblis. Wiro berpaling pada dua 

perempuan di sampingnya. “Nek, Dewi Kaki Tunggal, kau 

tak apa-apa...?” 

Meski jelas mereka terluka di dalam dan masih ada 

sisa lelehan darah di dagu masing-masing namun dua 

perempuan itu sama menjawab kalau mereka baik-baik 

saja. Wiro yang tidak percaya ucapan orang berpikir 

sejenak lalu segera keluarkan delapan bunga matahari 

kecil dari balik pakaian. 

“Mudah-mudahan bunga sakti ini bisa menolong 

kalian.” Lalu Wiro usapkan delapan bunga matahari kecil 

ke kening dan dada Ratu Randang serta Sakuntaladewi. 

Kedua perempuan itu sama-sama batuk beberapa kali. 

Ratu Randang tarik nafas panjang. “Rasanya tubuhku 

jauh lebih segar.” Kata si nenek sambil mengusap dada. 

Sakuntaladewi menyambung ucapan Ratu Randang, 

“Denyutan sakit di dadaku lenyap.” Lalu dia bertanya pada 

Wiro. “Kau tidak mengobati dirimu sendiri?” 

“Dadaku memang sakit. Aliran darah terasa tersendat

dan tubuhku terasa panas. Kalau kalian tidak membantu 

ikut menghantam serangan yang dilakukan Pangeran 

Keparat itu, rasanya saat ini aku bisa-bisa sudah jadi 

bangkai gosong!” 

Wiro lalu usapkan delapan bunga matahari ke dadanya. 

Setelah tubuhnya terasa lega bunga dicium berulang kali. 

Terasa ada hawa sangat sejuk masuk ke dalam jalan 

pernafasan, mengalir dalam semua saluran darah di 

tubuhnya. Kemudian delapan bunga disimpan kembali di 

balik pakaian. Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. 

Suara perempuan. 

“Hai, kami berdua dicium. Hik... hik. Kalian berenam 

tidak beruntung rupanya. Tidak kebagian ciuman...” 

Wiro dan Ratu Randang serta Sakuntaladewi saling 

berpandangan. 

“Siapa yang barusan bicara dan tertawa cekikikan?” 

Berbisik Sakuntaladewi. 

Wiro menggaruk kepala. “Kurasa makhluk di dalam 

bunga. Delapan pocong. Bukankah mereka sebenarnya 

gadis dari alam gaib? Kalau kalian tidak percaya biar 

kucium lagi. Sekarang aku akan cium delapan bunga itu 

bergantian agar tidak ada yang iri.” 

“Sudah...” kata Ratu Randang pula yang merasa disindir 

sambil cepat memegang tangan kanan Wiro yang hendak 

mengeluarkan delapan bunga matahari kecil. Lalu si nenek 

berkata. “Tadi waktu lima cahaya biru halus muncul, kau 

kudengar mengatakan sesuatu. Lima Jarum Penjahit Raga. 

Aku memang melihat sinar biru seperti benang dan lima 

jarum menancap di atas kepala Ksatria Roh Jemputan. Jika 

itu nama satu ilmu kesaktian, dari mana kau tahu? Siapa 

pemiliknya yang tadi menjahit lima bagian tubuh pangeran 

jahanam itu?” 

“Pemilik satu-satunya Ilmu Lima Jarum Penjahit Raga

adalah Penguasa Atap Langit.” Menerangkan Wiro. 

Ratu Randang dan Sakuntaladewi sama-sama terce–

ngang. 

“Aneh!” Kata Sakuntaladewi.“Wiro, bagaimana kau tahu nama ilmu aneh yang 

menjirat Pangeran Matahari itu? Lalu juga dari mana kau 

tahu pemilik ilmu kesaktian itu adalah Penguasa Atap 

Langit?” Bertanya Ratu Randang. 

“Ketika berada di Negeri Atap Langit aku pernah 

melihat sendiri Penguasa Atap Langit menyerang Ken 

Parantili dengan ilmu itu. Ken Parantili sempat kudengar 

menyebut ilmu serangan itu. Yang membuat dia jadi 

lumpuh, tak mampu bergerak...” 

“Ken Parantili. Di mana selir itu sekarang?” tanya Ratu 

Randang. 

Wiro hanya gelengkan kepala lalu berpaling pada 

Sakuntaladewi. “Tadi kau bilang aneh. Apa yang aneh?” 

“Kalau Ilmu Jarum Penjahit Raga adalah milik makhluk 

yang kau sebut Penguasa Atap Langit, berarti tadi dia 

berada di tempat ini.” 

“Kurasa begitu,” jawab Wiro. “Tadi aku melihat ada 

bayangan hijau berkelebat di dekat sosok Pangeran 

Matahari.” 

“Penguasa Atap Langit menjahit Pangeran Matahari 

dengan ilmu anehnya. Berarti dia menolong kita. Mengapa 

dia melakukan hal itu? Waktu muncul tidak kelihatan, 

setelah menolong dia lenyap begitu saja. Dari bayangan 

hijaunya tadi aku mengira dia adalah Sinuhun Muda 

Ghama Karadipa. Ada apa sebenarnya dia datang ke 

Bhumi Mataram ini? Untuk maksud baik atau jahat?” 

“Nek, sebelum aku meninggalkan Negeri Atap Langit 

aku melihat ada beberapa perubahan pada diri Penguasa 

Atap Langit. Dia seperti ingin menjadi makhluk baik...” 

“Makhluk jahat seperti dia ingin berbuat baik? Tidak 

masuk di akal!” Sahut Ratu Randang. 

“Satu makhluk jahat berubah menjadi baik secepat 

membalik telapak tangan memang tidak masuk akal!” 

Sakuntaladewi sambung ucapan si nenek 

“Aku punya dugaan sebenarnya Penguasa Atap Langit 

makhluk baik. Beberapa kesalahannya adalah memberikan 

ilmu kesaktian pada Sinuhun Merah Penghisap Arwah dankawan-kawannya. Lalu Sinuhun sialan itu menyalah–

gunakan ilmu kesaktian yang didapatnya. Kesalahan lain 

adalah memelihara sekian banyak gundik dan setiap enam 

bulan sekali membunuh selir pertama Setahuku dia 

melakukan itu untuk kelanggengan ilmunya.” 

“Walau tadi kita sama menduga dia telah menolong kita 

dengan menjahit Ksatria Roh Jemputan tapi aku merasa 

dia tetap makhluk jahat yang harus diwaspadai. Aku yakin 

ada satu hal tersembunyi mengapa dia datang ke Bhumi 

Mataram.” 

“Nek, kurasa dia tengah mencari selir pertamanya, Ken 

Parantili!” Jawab Wiro. 

“Gagal membunuh selir itu di Negeri Atap Langit lalu 

mau menghabisinya di Bhumi Mataram ini?” Ucap Ratu 

Randang pula. Lalu si nenek menyambung ucapannya. 

“Kalian lihat tadi ada makhluk mengerikan keluar dari 

tubuh Ksatria Roh Jemputan sebelum meledak?” 

“Itu sosok Roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah.” Yang 

menjawab Sakuntaladewi. “Sosok rohnya tidak sempurna 

lagi karena tiga dari delapan pecahan nyawanya sudah 

amblas. Ini sebagai akibat karena Wiro berhasil membunuh 

tiga anak kucing merah itu.” 

“Dunia penuh keanehan!” Kata Ratu Randang sambil 

geleng-geleng kepala. Makhluk-mahluknya lebih aneh lagi. 

Dalam keanehan itu gentayangan segala macam niat jahat 

dan busuk!” 

Wiro memandang berkeliling. 

“Kawan-kawan, kita seperti melupakan Kunti Ambiri. 

Jangan-jangan...” 

“Aku khawatir sebelum seluruh tubuhnya masuk ke 

dalam tanah, cahaya kuning Lentera Iblis sempat meng–

hantamnya.” Berkata Sakuntaladewi sambil ikut pula 

memandang berkeliling. 

“Jika dia tewas dengan tubuh terkutung, bagian tubuh 

sebelah atas pasti ada di sekitar sini, bagaimanapun 

ujudnya.” Jawab Wiro. Mendadak murid Sinto Gendeng 

ingat sesuatu. Setengah berteriak dia berkata. “Astaga!Kita juga melupakan Ni Gatri. Dan Jaka Pesolek! Di mana 

mereka?!” 

Ketiga orang itu lalu sama-sama berteriak. 

“Ni Gatri! Jaka Pesolek! Kalian di mana?” 

Tak ada suara jawaban. Kobaran api yang membakar 

hutan jati semakin besar karena tiupan angin dari arah 

barat. 

“Aku akan mencari mereka! Aku tidak akan mening–

galkan tempat ini sebelum menemui keduanya!” Kata Wiro. 

“Kami berdua akan membantu! Sekalian kita menye–

lidik apa yang terjadi dengan sahabat Kunti Ambiri.” Kata 

Ratu Randang pula. 

“Sebaiknya kita berpencar. Aku akan naik ke atas salah 

satu pohon jati agar lebih mudah menyelidik.” Berkata 

Sakuntaladewi. 

Baru saja ke tiga orang itu hendak berpencar, dari balik 

satu batang pohon jati yang condong nyaris tumbang 

karena akarnya terbongkar berserabutan, sekonyong-

konyong keluar seseorang, melangkah tertatih-tatih. Orang 

ini mengenakan pakaian merah muda yang kotor dan 

penuh robek hingga auratnya tersingkap di mana-mana. 

Rambut riap-riapan. Dia berjalan sambil menangis kucur–

kan air mata, menggendong seorang anak perempuan yang 

keadaannya sangat memilukan. Pipi kiri sembab sampai ke 

mata seperti bekas pukulan. Pakaian tersingkap tak 

karuan. 

Orang yang menggendong bukan lain Jaka Pesolek, 

sedang yang digendong adalah Ni Gatri! Saat itu Jaka 

Pesolek kelihatan tidak mampu lagi berdiri. Kedua kakinya 

terlipat lalu tersungkur di tanah. Ni Gatri terguling lepas 

dari gendongannya. Wiro, Ratu Randang dan Sakuntala–

dewi sama-sama berseru kaget dan menghambur menda–

tangi. 

“Jaka, apa yang terjadi padamu dan Ni Gatri?!” Tanya 

Wiro. 

Jaka Pesolek tidak menjawab. Wajah tampak pucat, 

tubuh bergetar, mulut sesenggukan dan ada air mata

meluncur jatuh di pipinya. 

“Celaka! Ada yang tidak beres!” Wiro membungkuk, 

memeriksa Ni Gatri. Sekali pandang saja dia sudah tahu 

apa yang terjadi. Wiro coba tepuk-tepuk pipi anak perem–

puan itu. Tapi Ni Gatri diam saja. Si anak ternyata sudah 

tak bernafas lagi. 

“Jahanam! Kau memperkosa anak perempuan ini! Ni 

Gatri sudah tidak bernyawa! Pasti kau juga yang punya 

pekerjaan! Memperkosa lalu membunuhnya!” Wiro 

berteriak menggeledek. 

Tangis Jaka Pesolek menghambur. Kepala digeleng 

berulang kali. Tidak pikir panjang lagi Wiro hantamkan kaki 

kanannya ke kepala Jaka Pesolek. Si gadis tidak berusaha 

menghindar, seolah memang sudah pasrah!



EMPAT BELAS


RATU Randang cepat menggelung pinggang Wiro lalu 

menariknya ke belakang. Bersamaan dengan itu 

Sakuntaladewi palangkan kaki tunggalnya di arah 

tendangan. 

Buukkk! 

Kaki kanan Wiro beradu dengan kaki tunggal Sakun–

taladewi. Kepala Jaka Pesolek selamat dari tendangan 

maut Pendekar 212 namun Sakuntaladewi terpekik 

kesakitan. Tubuhnya mencelat membal ke udara sampai 

tiga tombak! Begitu turun dengan menahan sakit, ter–

pincang-pincang Sakuntaladewi cepat mendatangi Jaka 

Pesolek sementara Ratu Randang masih terus memegangi 

Wiro. 

“Jaka Pesolek, katakan apa yang terjadi. Benar kau...” 

Ditanya Sakuntaladewi seperti itu Jaka Pesolek geleng–

kan kepala dan menjawab. “Tidak, aku tidak berbuat sekeji 

itu. Anak ini...” 

“Apa Pangeran Matahari yang telah berlaku biadab? 

Memperkosa Ni Gatri?!” Tanya Sakuntaladewi memotong 

ucapan Jaka Pesolek. 

“Tidak, bukan dia. Dia memang punya maksud mesum 

tapi tidak kesampaian...” 

“Kami melihat sewaktu di telaga air terjun dia melarikan 

Ni Gatri. Pasti dia telah melakukan sesuatu. Bagaimana 

kau bisa mengatakan tidak.” Ratu Randang berkata, masih 

dengan memegangi Wiro walau tidak seerat tadi. 

“Aku menguntit pangeran itu ketika dia membawa lari 

Ni Gatri. Dia memang punya maksud keji. Tapi saat itu 

sebenarnya Ni Gatri sudah tidak bernyawa akibat perbua–

tan terkutuk anak lelaki jahanam bernama Dirga Purana.Aku yakin Ni Gatri telah dirusak kehormatannya ketika 

berada di dalam goa di belakang air terjun. Pangeran 

Matahari marah besar ketika mengetahui kalau dirinya 

telah kedahuluan. Namun entah setan apa yang masuk ke 

dalam tubuhnya, tiba-tiba saja dia juga hendak memper–

kosa Ni Gatri. Aku berusaha mencegah. Tapi aku ditendang 

dan dihajar babak belur. Ketika aku hampir mati di 

tangannya, untung kalian datang menolong. Sewaktu 

terjadi pertarungan antara Wiro dengan Pangeran Matahari 

aku mendatangi Ni Gatri yang terhampar di dalam hutan 

jati sana. Ketika aku periksa keadaannya, anak malang itu 

ternyata memang sudah tidak bernyawa lagi. Tubuhnya 

kugendong, kubawa ke sini...” Jaka Pesolek bicara sambil 

berusaha menahan sesenggukan. Dia sengaja tidak 

menceritakan kalau dirinya juga hendak diperkosa oleh 

Pangeran Matahari sebelum sang pangeran tahu keadaan 

auratnya. 

Mendengar cerita Jaka Pesolek itu Pendekar 212 

berteriak marah. Sekujur tubuh bergetar. Ketika dia 

membuat sentakan keras, Ratu Randang yang masih 

mencekalnya terlempar dan terjengkang di tanah. Wiro 

menghambur memeluk Ni Gatri. Wajah anak perempuan 

itu dicium berulang kali. Sambil mencium kening Ni Gatri 

Wiro berkata, “Adikku, maafkan aku tidak dapat meno–

longmu. Aku bersumpah akan membalaskan sakit hati 

serta kesengsaraan yang kau alami! Adik, tidurlah dengan 

tenang.” 

Perlahan-lahan Wiro berdiri. Dua tangan dikepal. 

Sepasang mata tampak merah. 

“Kalian semua!” Wiro berkata dengan suara keras. 

Tolong urus jenazah Ni Gatri. Kuburkan, jangan dibakar!” 

“Kau sendiri mau ke mana?!” Tanya Ratu Randang 

sambil berdiri. 

“Aku akan kembali ke air terjun mencari anak jahanam 

bernama Dirga Purana itu! Dia harus mampus di tanganku. 

Hari ini juga!” 

“Wiro...” Teriak Sakuntaladewi berucap.Namun Wiro mendahului sambil tunjukkan jari telunjuk 

ke langit, “Tidakkah kalian melihat keanehan? Langit di 

atas sana tampak redup. Sore pergi begitu saja. Malam 

datang lebih cepat...” 

“Kami memang melihat keanehan.” jawab Sakuntala–

dewi “Tapi, kami harap...” 

Namun Wiro tak dapat menahan sabar. Sekali berkele–

bat dia sudah melesat ke arah barat. 

Ratu Randang menarik nafas dalam lalu berkata pada 

Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek, “Kita bertiga harus 

menguburkan Ni Gatri cepat-cepat lalu mengejar Wiro. Aku 

tidak mau dia pergi sendirian. Roh Sinuhun Merah Peng–

hisap Arwah masih gentayangan. Masih ada saudara 

kembaran nyawanya Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Lalu 

bocah bernama Dirga Purana itu bukan pula anak 

sembarangan! Apa lagi kalau saudaranya Mimba Purana 

turun tangan kembali menolongnya. Ditambah dengan 

arwah-arwah bejat yang jadi kaki tangan Sinuhun Merah 

ada pula di mana-mana. Jika mereka bergabung mengha–

dapi Wiro, bisa celaka sahabat kita itu. Kawan-kawan, 

cepat bantu aku membuat liang kubur!” 

Baru saja Ratu Randang selesai berucap tiba-tiba ada 

perempuan berseru. “Sahabat bertiga, tidak usah bersusah 

payah. Biar aku yang menyiapkan makam buat sahabat 

kecil kita yang malang itu!” 

Dua tangan halus putih mencuat keluar dari dalam 

tanah. Jelas tangan perempuan mengenakan pakaian 

berlengan panjang warna hijau tipis! Lalu rrrtttttt. Dua 

tangan bergerak menggurat tanah berbentuk empat 

persegi panjang. Sesaat kemudian bersamaan dengan 

mencelatnya keluar orang yang menggurat, tanah 

berhamburan ke udara dan tahu-tahu satu lobang besar 

sudah menganga di hutan jati! 

“Sahabat Kunti Ambiri!” Berseru Sakuntaladewi ketika 

melihat siapa adanya orang yang barusan keluar dari 

dalam lobang di tanah. Semua orang merasa gembira 

melihat Kunti Ambiri tidak kurang suatu apa.Saking girangnya melihat Kunti Ambiri selamat, Jaka 

Pesolek langsung saja hendak memeluk dan mencium 

gadis cantik alam roh itu. Tapi cepat didorong oleh Kunti 

Ambiri hingga terjajar ke belakang. 

“Kunti Ambiri, syukur kau masih hidup. Sebelumnya 

kami sudah menduga yang tidak-tidak! Kami menyangka 

kau sudah menemui ajal.” Berkata Ratu Randang. “Apa 

yang terjadi dengan dirimu?” 

“Cuma nasib baik saja Nek,” Jawab Kunti Ambiri. “Kalau 

terlambat sedikit saja aku masuk ke dalam tanah, kepala–

ku pasti sudah leleh dihajar cahaya Lentera Iblis Pangeran 

keparat itu!” 

“Dia sudah mampus dihajar ledakan Lentera Iblis milik–

nya sendiri.” Menerangkan Ratu Randang. 

Kunti Ambiri menatap ke langit. “Heran, mengapa hari 

ini sore cepat sekali berlalu. Di langit sebelah sana malah 

sudah tampak bayangan rembulan...” 

“Sahabat Wiro tadi juga mengatakan hal itu.” Berkata 

Ratu Randang. 

“Lalu sekarang dia berada di mana?” Tanya Kunti 

Ambiri pula. 

“Dia pergi ke gua di balik air terjun. Katanya mau 

membunuh bocah bernama Dirga Purana itu...” 

“Astaga, apa yang terjadi?!” Kunti Ambiri baru sadar, 

menatap ke arah Ni Gatri. Gadis cantik alam roh ini segera 

saja maklum apa yang telah dialami anak perempuan itu 

sebelum menemui ajal. “Kurang ajar! Jika memang bocah 

itu telah berbuat keji, dia pantas dihabisi!” 

Setelah selesai mengubur Ni Gatri, Kunti Ambiri melirik 

ka arah Jaka Pesolek yang berpakaian compang-camping 

penuh robekan, termasuk celana dalam yang dikenakan–

nya dan merupakan hadiah dari patung sakti Nyi Roro 

Jonggrang. Seperti diceritakan sebelumnya celana dalam 

itu adalah untuk Kunti Ambiri tapi ditilap oleh Jaka Pesolek. 

Walau sampai saat itu masih merasa jengkel terhadap 

Jaka Pesolek bahkan tadi sempat mendorongnya, namun 

merasa tidak tega melihat keadaan Jaka Pesolek yangkusut masai tidak karuan. Dari balik pakaiannya Kunti 

Ambiri keluarkan sehelai pakaian salinan berwarna hijau. 

Pakaian dilempar ke arah Jaka Pesolek. 

“Sahabat, aku sangat berterima kasih,” kata Jaka 

Pesolek sambil segera menyambuti pakaian yang dilempar. 

Dia membungkuk berulang kali lalu cepat-cepat menye–

linap ke balik semak belukar. Hanya beberapa saat setelah 

Jaka Pesolek lenyap di balik semak belukar tiba-tiba 

terdengar suara jeritan gadis itu. 

“Tolong... tol...!” 

Suara jeritan putus. 

Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi tersen–

tak kaget. Ketiganya segera melesat ke balik rumpunan 

semak belukar. Namun Jaka Pesolek tidak ada di situ! 

“Jangan-jangan gadis itu sudah diculik Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah!” Kata Sakuntaladewi. 

Ketiga orang itu saling berpandangan. 

“Nek, aku mencium bau kemenyan terbakar.” Kata 

Sakuntaladewi. 

“Aku juga,” jawab si nenek sementara Kunti Ambiri 

menyelidik dengan pandangan mata ke berbagai jurusan 

hutan jati. Walau tidak melihat ujud nyata tapi dia merasa 

ada seorang lain di tempat itu.


LIMA BELAS


KEADAAN di kawasan air terjun merayap gelap walau 

di barat sang surya masih tampak menggelantung di 

langit. Dari balik semak belukar lebat untuk bebe–

rapa lama Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan 

keadaan sekitar telaga. Mata dipentang telinga dipasang. 

Kemudian dia memperhatikan ke arah air terjun. Dengan 

mengerahkan Ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu 

Duyung, Wiro mampu melihat mulut goa di tebing batu di 

belakang air terjun. Goa yang selama ini menjadi tempat 

kediaman Dirga Purana dan juga sering dipergunakan oleh 

Sinuhun Merah serta Sinuhun Muda. 

“Aku harap bocah keparat itu belum kabur!” Kata Wiro 

dalam hati. Dia keluar dari balik semak belukar, melesat ke 

tengah telaga, berdiri di atas sebuah batu besar. Tenaga 

dalam dihimpun ke pertengahan perut lalu dialirkan ke 

arah tangan kanan. Begitu kekuatan penuh telah terkum–

pul di tangan kanan, Wiro membuat gerakan mengayun 

lalu didahului satu teriakan keras dia lepaskan Pukulan 

Dewa Topan Menggusur Gunung, ilmu pukulan sakti yang 

didapat dari gurunya Tua Gila di Pulau Andalas. 

Curahan air terjun langsung terputus dan tertahan 

begitu pukulan melanda. Ketika ujung angin sakti pukulan 

menghantam hancur tebing batu dan sebagian mulut goa, 

Wiro cepat melompat sementara batu besar yang tadi 

dipijaknya berderak terbelah di empat bagian. Tubuh Wiro 

melesat di udara, melewati celah air terjun dan sesaat 

kemudian dia sudah berada di depan mulut goa. Air terjun 

yang terbelah menyatu dan kembali mencurah jatuh ke 

dalam telaga. 

Wiro cepat berkelebat masuk ke dalam goa. Sambilmelangkah dia siapkan Pukulan Sinar Matahari di tangan 

kanan hingga tangan kanannya berubah seputih perak 

berkilau mulai dari ujung jari sampai ke siku. Selain itu 

agar lebih waspada dia juga menerapkan Ilmu Menembus 

Pandang. Namun aneh, dia tidak bisa melihat benda-benda 

lain selain lorong goa yang dilaluinya. 

“Ada kekuatan hebat menahan Ilmu Menembus 

Pandang. Berarti anak jahanam itu masih berada di sini. 

Paling tidak ada kaki tangannya yang berjaga-jaga!” Wiro 

membatin. Dia terus melangkah. 

Kalau sepuluh tombak pertama bagian dalam goa 

diselimuti kegelapan, namun selewat sepuluh tombak 

keadaan mulai terang. Ternyata bagian dalam goa itu kini 

berubah menyerupai satu bangunan kokoh. Lantai goa, 

dinding kiri kanan dan bagian atas bukan lagi berupa tanah 

dan bebatuan namun berbentuk batu pualam putih keabu-

abuan. Hawa di tempat itu kini juga terasa sejuk. 

Di pertengahan goa Wiro menemui sebuah kolam 

bundar. Di tengah kolam terdapat sebuah patung. Wiro 

terkejut ketika melihat patung itu merupakan ujud 

Penguasa Atap Langit! 

“Aneh, mengapa Patung Penguasa Atap Langit ada di 

tempat ini? Apakah ini termasuk kediaman dan daerah 

kekuasaannya? Atau mungkin patung itu dibuat oleh orang-

orang Sinuhun Merah Penghisap Arwah termasuk bocah 

jahanam itu sebagai penghormatan pada sang guru?!” 

Khawatir ada makhluk sembunyi di dalam patung Wiro 

segera memeriksa patung dengan Ilmu Menembus Pan–

dang. Kali ini ilmu kesaktian itu mampu diterapkan. Ter–

nyata patung itu bersih, tak ada makhluk yang mendekam 

di dalamnya. 

Wiro mengikuti lorong batu pualam di seberang kolam. 

Berjalan sepuluh tombak lorong batu pualam ternyata 

buntu, tertutup sebuah batu hitam besar berlapis lumut 

tebal berwarna merah. Ketika Wiro mendekati, sayup sayup 

dia mendengar suara air mengalir. 

“Kurasa ada sungai mengalir di belakang batu berlumutmerah ini,” membatin Wiro. 

Karena sampai saat itu masih belum menemukan jejak 

anak lelaki yang dicarinya Wiro berteriak. “Dirga Purana! 

Bocah keji keparat! Di mana kau sembunyi?!” 

Pada saat itulah secara tidak terduga lumut merah yang 

menyelubungi batu besar bergerak aneh seperti mengelu–

pas. Di lain kejap lapisan lumut telah berubah menjadi 

larikan kain lebar berwarna merah dan secepat kilat 

berkelebat siap menyelubungi Wiro. 

“Selubung Kain Kafan Merah!” Ucap Wiro tersentak 

kaget. Cepat dia menghantam dengan tangan kanan. Wiro 

segera lepas Pukulan Sinar Matahari. Cahaya putih berki–

lau menggelegar dahsyat. Hawa panas menebar. Batu 

besar di depan sana hancur berkeping-keping terkena 

hantaman Pukulan Sinar Matahari. Beberapa bagian dari 

lorong goa yang dilapisi batu pualam ikut berderak runtuh. 

Sementara itu walau Pukulan Sinar Matahari berhasil 

dibuat tercabik-cabik dan dikobari api, secara aneh Kain 

Kafan Merah menyatu kembali dan dalam gerakan lebih 

cepat dari serangan pertama berhasil menyelubung sosok 

Wiro mulai dari kepala sampai ke betis. 

Wiro berusaha merobek kain merah. Tapi seperti yang 

pernah terjadi sebelumnya hal itu tidak mampu dilakukan. 

Dia kerahkan tenaga dalam, berusaha menjebol kelumu–

nan Kain Kafan Merah dengan Pukulan Tangan Dewa 

Menghantam Matahari dan Pukulan Tangan Dewa Meng–

hantam Air Bah. 

Dess! Desss! 

Dua pukulan sakti seperti menghantam bantalan kasur 

tebal dan empuk, lenyap seolah hembusan asap! 

“Gila!” Wiro memaki dalam hati. Dia jatuhkan diri, 

berguling di lantai goa. Berusaha mencari jalan lain untuk 

selamatkan diri dari telikungan Kain Kafan Merah. Namun 

Kain Kafan Merah semakin ketat menelikungnya. Malah 

dia merasakan tubuhnya menjadi lemah. Tenaganya seolah 

tersedot! 

Wiro ingat, ketika dia dan sukmanya ditelikung KainKafan Merah di Negeri Atap Langit, sang sukma berhasil 

meloloskan diri. Maka Wiro cepat merapal ajian untuk 

mengeluarkan sukmanya dari dalam tubuh. 

“Sukmaku, keluarlah. Musnahkan Kain Kafan Merah!” 

Namun setelah dicoba berulang kali sang sukma tak 

kunjung keluar. Malah kini dadanya terasa sesak, tenggo–

rokan seperti dicekik, sulit bernafas! 

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar mengiang 

riuh suara perempuan. 

“Apa yang terjadi? Mengapa keadaan tiba-tiba menjadi 

gelap?!” 

“Kita ini berada di mana?!” 

“Aku tidak bisa bernafas! 

“Kita harus melakukan sesuatu!” 

“Tapi kita tidak mungkin bisa keluar lagi. Kecuali kalau 

diminta oleh Ksatria Panggilan.” 

“Dia hanya bisa memanggil kita satu kali. Berarti kita 

tidak bisa menolong dia untuk kedua kali. Padahal akan 

ada perkara besar menghadang! Bagaimana kalau nanti 

ada urusan yang lebih hebat? Dia tidak bisa minta tolong, 

kita tidak bisa menolong!” 

“Lekas mencari akal!” 

“Keluarkan Ilmu Madu Bunga Sakti Membersih Jalan 

Darah!” 

Wiro tiba-tiba merasa ada hawa sejuk menjalar 

memasuki urat dan pembuluh darah dalam tubuhnya. 

Nafas yang sesak dan dada yang sakit lenyap. Ada rasa 

manis di dalam mulutnya yang berdarah. Namun hanya 

sesaat! Hawa sejuk lenyap, berganti hawa panas yang 

menerpa sekujur badan. Tenggorokan kembali seperti 

dicekik membuat dia sulit bernafas! Rasa manis di dalam 

mulut berubah menjadi rasa pahit luar biasa! 

“Tidak mempan!” Tiba-tiba ada suara perempuan 

berseru. 

“Celaka!” 

“Tunggu! Aku melihat ada petunjuk dari bokong Ksatria 

Panggilan!”“Kau ini bicara apa! Jangan berani kurang ajar!” 

“Sudah! Lihat saja nanti!” 

Suara perempuan bersahut-sahutan yang mengiang di 

telinganya membuat Wiro tersentak dan berhenti berguling 

di lantai goa. 

“Delapan Pocong Perempuan. Salah seorang dari 

mereka melihat ada petunjuk dari bokongku. Apa maksud–

nya?” Ucap Wiro dalam hati. Dia berusaha berdiri dan 

ulurkan tangan hendak mengusap pantat. Tapi bluukk! 

Wiro langsung roboh karena dua kakinya seolah telah 

berubah menjadi benda leleh! Suara perempuan riuh 

berpelukan. 

“Celaka!” 

Wiro semakin sulit bernafas. Sepasang mata mulai 

kabur lalu segala sesuatunya berubah gelap. 

“Hekk!” 

Lidah Wiro terjulur keluar bersama melelehnya darah 

kental. Suara pekikan perempuan kembali mengiang di 

telinga Wiro. Dalam hati Pendekar 212 berucap, “Gusti 

Allah, kematian adalah kuasaMu dan bagian semua 

makhluk hidup. Saya pasrah menemui ajal! Tapi saya 

mohon! Bagaimana Eyang Sinto, bagaimana Kapak Naga 

Geni. Bagaimana raja, rakyat dan Kerajaan Mataram...” 

Begitu Wiro menyebut nama Mataram mendadak 

sontak ada suara berdesir di belakang punggungnya di 

atas bokongnya! Dari bagian tubuh ini kemudian muncul 

getaran hawa dingin menjalar di sekujur tubuh. 

Wuuttt! 

Di dalam telikungan Kain Kafan Merah sebuah benda 

melesat keluar dari pinggang sebelah belakang Pendekar 

212, menabur cahaya sembilan warna! Lalu breett breett 

brett. Kain Kafan Merah yang menelikung Wiro mulai dari 

kaki sampai ke betis bukan saja robek besar di sembilan 

bagian, tapi sekaligus membuat hangus Kain Kafan Merah, 

lalu berubah menjadi bubuk! Wiro cepat melompat 

menjauhi batu besar di ujung lorong goa. 

“Delapan Pocong! Terima kasih telah menolongku!’’

“Ksatria Panggilan! Bukan kami yang menolongmu!” 

Terdengar jawaban. 

Wiro terkesiap. Dia memandang berkeliling. Saat itulah 

di depannya berkelebat sebuah benda memancarkan sinar 

biru yang ketika diperhatikan ternyata adalah Keris Kan–

jeng Sepuh Pelangi. 

“Keris sakti, terima kasih sampean menolongku.” Wiro 

cepat gerakkan tangan untuk menangkap senjata sakti itu. 

Namun Keris Kanjeng Sepuh Pelangi lebih cepat menyeli–

nap masuk ke balik punggung Wiro, menyusup ke dalam 

robekan kain pakaian Ratu Randang yang jadi pembung–

kusnya. 

Belum sempat Wiro menarik nafas lega tiba-tiba meng–

gelegar satu letusan keras. Batu besar yang menutup ujung 

goa dan kini tidak berlumut lagi meledak hancur. Di bekas 

batu yang hancur tampak satu lobang besar. Saat itu pula 

terdengar suara menggemuruh. Ketika Wiro memandang 

ke depan kagetnya bukan alang kepalang. Dari lobang 

besar bergemuruh air bah berwarna merah! Saat itu jarak 

Wiro dengan ujung air bah sekitar dua belas tombak. 

Cepatnya air bah yang datang menggulung tidak mungkin 

bagi Wiro untuk menyelamatkan diri dengan lari ke mulut 

goa. 

Sambil bergerak mundur Wiro lepas dua pukulan. Yang 

pertama Pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menin–

dih, yang kedua Pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan. 

Dua pukulan sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng 

memang dapat menahan bahkan mendorong datangnya 

serbuan air bah. Namun hanya sebentar. Tak selang 

berapa lama air bah itu kembali menggemuruh lebih ganas 

ke arah Pendekar 212. Selain itu Wiro melihat ada cairan 

aneh berkilau mengambang di atas permukaan air bah. 

Wiro mencium sesuatu 

“Aku mencium bau minyak...” 

Baru saja Wiro keluarkan ucapan dalam hati tiba-tiba 

dari ujung sana kelihatan dua sosok bayangan, satu kecil 

satu besar. Walau tidak kelihatan wajah mereka namunkeduanya tampak jelas menyulutkan api ke atas permu–

kaan air bah yang digenangi minyak! Cepat sekali kobaran 

api membakar minyak di permukaan air bah! Wiro berbalik, 

berusaha melesat mencapai mulut goa yang kini berada 

belasan tombak di depan sana. Dua tawa bergelak meng–

gelegar di dalam goa. Satu suara lelaki dewasa, satu lagi 

suara anak-anak. 

“Pasti Sinuhun Muda keparat dan bocah sialan ber–

nama Dirga Purana itu!” Rutuk Wiro dalam hati. 

Tiba-tiba terdengar lagi suara bergemuruh.



ENAM BELAS


TEBING batu di atas mulut goa mendadak runtuh dan 

menutup mulut goa. Sekaligus menutup jalan keluar! 

Sementara gulungan air bah merah mendatangi 

dengan cepat sambil membuntal kobaran api ganas! Udara 

di tempat itu yang tadinya sejuk kini berubah menjadi 

panas. Di saat yang sama Wiro mendengar lapat-lapat 

suara jeritan perempuan banyak sekali. Mereka jelas-jelas 

dalam ketakutan yang amat sangat. Datangnya dari balik 

dinding batu pualam sebelah kanan. 

“Delapan Pocong, kaliankah yang berteriak?!” Wiro 

bertanya ingin memastikan kalau dia tidak salah mende–

ngar. 

“Bukan kami! Jangan perdulikan kami! Selamatkan 

dirimu!” Terdengar jawaban perempuan. 

“Aku tidak mungkin menyelamatkan diri!” Teriak Wiro. 

“Jangan bicara tolol!” 

“Betul! Keluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot 

Arwah! Gurat di lantai batu pualam pada dinding kiri. 

Jangan menggurat di dinding kanan! Alihkan arah air bah! 

Cepat lakukan! Kalau terlambat, bulan biru tidak akan 

pernah muncul di langit Mataram!” 

Wiro terperangah. Ilmu Membelah Bumi Menyedot 

Arwah, itu memang ilmu kesaktian yang dimilikinya. Tapi 

bulan biru di langit Mataram, apa maksudnya? 

“Diberi tahu malah seperti orang melamun! Kau mau 

kita mati konyol semua dalam goa ini?!” 

“Sebaiknya kita cepat keluar dari dalam bunga 

matahari.” 

“Tunggu!” Wiro berteriak. Dia cepat melompat mundur. 

Saat itu jarak antara dirinya dengan ujung air bah berapihanya tinggal lima tombak. Tiga tombak di belakang 

terletak kolam yang ada patung Penguasa Atap Langit. 

Sambil merapal aji kesaktian Wiro guratkan kaki kanan di 

lantai batu pualam sementara dua tangan didorong ke 

depan mengeluarkan kekuatan sakti untuk menahan laju 

gemuruhnya arus air bah. 

Rrreettt! 

Guratan menimbulkan kepulan asap. Wiro merasa ada 

satu kekuatan tersembunyi di dalam lantai berusaha 

menyerangnya, membuat kakinya bergetar sampai ke lutut. 

Dengan cepat dia melompat ke atas setinggi setengah 

tombak. Kaki kanan kembali menggurat, kali ini digurat ke 

dinding goa sebelah kiri. 

Rettt! 

Sekarang tidak ada lagi kekuatan tersembunyi yang 

menyerang kaki Wiro. 

Asap mengepul dari dinding batu pualam. Terjadilah hal 

luar biasa hebat yang Wiro sebelumnya tidak mengira. Di 

lantai goa menganga satu lobang besar dan dalam. 

Demikian juga di dinding batu pualam sebelah kiri. Dari 

kedua lobang muncul kekuatan menyedot dahsyat. 

Jangankan manusia, seekor gajahpun mampu disedot 

hingga amblas. 

Ketika air bah datang menderu, arahnya serta merta 

terpecah dua. Yang pertama menggebubu masuk dan 

tersedot ke dalam lobang di lantai. Yang kedua bersibak 

masuk disedot ke dalam lobang di dinding kiri goa. Dengan 

kejadian itu tidak ada sedikitpun air bah berapi yang bisa 

terus melanda ke arah mulut goa. Di antara gemuruh suara 

air bah yang bersibak, lapat-lapat Wiro mendengar suara 

seorang menjerit. Lalu di ujung sana dia melihat ada satu 

bayangan hijau tergulung dalam air bah merah berapi, ikut 

tersedot amblas ke dalam lobang besar di lantai goa! 

Bersamaan dengan itu dia juga mendengar suara jeritan 

anak kecil disusul suara genta lonceng. Sekilas dia seperti 

melihat ada cahaya kuning menyambar. 

Tidak tunggu lebih lama Wiro segera lari ke mulut goa

sambil siapkan satu pukulan sakti untuk mendobrak jalan 

keluar yang tertutup runtuhan batu-batu tebing. 

Tiba-tiba kembali terdengar suara jerit pekik perem–

puan banyak sekali. Ada pula suara menangis meraung-

raung. 

“Tolong! Tolong!” 

“Hyang Jagat Bathara! Selamatkan kami!” 

Kini jelas suara teriakan itu berasal dari orang-orang 

yang minta tolong. Seperti tadi datangnya dari balik dinding 

kanan goa. Karena Wiro menghadap ke arah mulut goa, 

sekarang suara itu muncul dari balik dinding kiri. 

“Suara perempuan berteriak minta tolong! Siapa 

mereka? Berada di mana?!” Wiro perhatikan dinding goa di 

arah kiri. Dia segera mengeluarkan Pukulan Tangan Dewa 

Menghantam Karang untuk menjebol dinding batu pualam 

di hadapannya. 

Wuttt! 

Pukulan sakti pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh 

menggelegar. Seantero goa bergoncang laksana dihantam 

gempa keras namun dinding yang dipukul sedikitpun tidak 

rusak apa lagi jebol! Di balik dinding suara jeritan perem–

puan semakin menjadi-jadi. 

“Kasihan! Ada banyak nyawa yang agaknya terancam di 

balik dinding ini. Tapi aku tak berdaya menolong!” Wiro 

garuk kepala lalu ingat ilmu yang diberikan kakek sakti 

Kumara Gandamayana padanya yaitu ilmu mengamblas–

kan diri ke dalam tanah. Dengan masuk ke bagian bawah 

goa dia mungkin bisa menemui perempuan-perempuan 

yang minta tolong itu. Dengan cepat Wiro hentakkan kaki 

kanan ke lantai goa. 

Bukkk! 

Lantai batu pualam bergetar sedikit. Pendekar 212 

terkejut ketika ternyata dia tidak mampu mengamblaskan 

diri masuk menembus lantai batu pualam! 

“Aku harus cepat keluar dari sini. Aku akan coba 

menolong orang-orang itu dari luar goa.” Wiro balikkan 

badan, siap lari ke arah mulut goa yang tertutup timbunan

hancuran batu tebing. 

Ketika lewat di samping kolam yang ada patung 

Penguasa Atap Langit, tiba-tiba terdengar suara mengiang 

di telinga kiri Pendekar 212. 

“Yang Maha Kuasa berbuat sesuai kuasaNya. Niat dan 

perbuatan baik para makhluk tidak akan pernah lepas dari 

perhatianNya. Pertobatan akan mendapat balas dengan 

segala asih. Saat ini malam telah tiba. Lebih cepat datang–

nya dari seribu malam sebelumnya. Segala kebajikan 

menuai berkah. Rakhmat sejahtera dan ketenteraman 

akan menjadi bagian Bhumi Mataram. Kuasa Para Dewa 

akan muncul malam ini. Di langit warna biru nyaris sem–

purna memenuhi lingkaran rembulan empat belas hari. 

Itulah pertanda dari Yang Maha Kuasa.” 

Wiro hentikan lari. Dia menatap ke arah kolam lalu 

perhatikan patung Penguasa Atap Langit. 

“Siapa yang bicara?” Wiro bertanya. Tak ada jawaban. 

Wiro ketok-ketok tempurung lutut kanan patung. Aneh! 

Kaki yang diketuk berjingkat ke atas. Wajah patung batu 

Penguasa Atap Langit tampak mengerenyit! 

“Aku bertanya, siapa yang barusan bicara. Jika mau 

memberi petunjuk lekas katakan!” 

Setelah kaki patung diketok mendadak saja ada 

jawaban, “Tidak usah bertanya siapa diriku. Dan jangan 

jahil mengetuk tempurung lututku! Lekas masuk ke sini. 

Lewat lobang ini kau akan sampai di ruangan sebelah, 

tempat para perempuan berteriak minta tolong! Selamat–

kan mereka. Kebajikanmu akan membuat bulan berwarna 

biru penuh. Bhumi Mataram akan kembali aman sejah–

tera.” 

Wiro menggaruk kepala. “Penguasa Atap Langit? Kau 

yang barusan bicara? Aku mengenali suaramu!” Wiro 

keluarkan ucapan. Hidung menghirup. Dia mencium bau 

kemenyan terbakar. 

“Sudah, waktumu tidak banyak. Lekas masuk ke dalam 

lobang ini!” 

Wiro melongo kaget ketika mendengar suara berdesirdan melihat patung batu Penguasa Atap Langit tiba-tiba 

bergeser ke kiri lalu menggantung di atas kolam. Di bekas 

tempat tegaknya patung terlihat sebuah lobang batu empat 

persegi. Wiro menggaruk kepala. 

“Jangan menaruh curiga. Jangan bersyak wasangka. 

Tidak ada maksud untuk menjebak. Lobang ini akan tetap 

terbuka sampai hitungan dua ratus. Inilah jalan keselama–

tan! Mulailah menghitung.” 

Setelah menghilangkan kebimbangan hatinya Wiro 

mulai menghitung. Lalu dengan cepat dia melompat ke 

atas lobang batu di tengah kolam yang berada pada 

ketinggian sepinggang di atas air. Di bagian bawah lobang 

dia melihat delapan anak tangga berwarna merah. Wiro 

cepat masuk ke dalam lobang lalu menuruni delapan 

undakan batu. Di sebelah bawah, satu langkah di hada–

pannya dia menemukan sebuah tangga lain yang juga 

punya delapan anak tangga, mengarah naik ke atas 

menuju sebuah ruangan dengan tiga dinding berwarna 

merah sementara dinding ke empat di sebelah depan 

merupakan dinding tembus padang. Entah dari mana 

datangnya, air berwarna merah tampak menggenangi 

ruangan. Saat itu sudah mencapai ketinggian sebatas 

lutut. Belasan perempuan berada dalam ruangan itu. 

Mereka berteriak-teriak, meraung menangis. Ada pula yang 

menggedor-gedor dinding tembus pandang menyerupai 

kaca. Rata-rata mereka adalah gadis atau perempuan 

muda berwajah cantik. Namun ada juga beberapa orang 

anak perempuan sebaya Ni Gatri. 

Wiro melompati delapan anak tangga sekaligus. Pada 

hitungan ke tiga puluh enam di depan dinding tembus 

pandang dia sama sekali tidak melihat pintu atau jalan 

masuk. Wiro kerahkan sedikit tenaga dalam lalu menghan–

tam dinding tembus pandang dengan satu jotosan keras. 

Dinding tidak bergeming sedikitpun! 

Wiro memberi tanda agar semua perempuan yang ada 

dalam ruangan menjauh dari dinding tembus pandang 

karena dia siap menjebol dinding itu dengan pukulan saktiberkekuatan tenaga dalam penuh. Namun hampir semua 

perempuan di dalam ruangan berteriak dan memberi 

isyarat dengan goyangan tangan agar Wiro tidak melaku–

kan hal itu. 

Beberapa di antaranya membuat gerakan tangan, 

menunjuk ke arah dinding batu sebelah kiri di luar ruang–

an. Di salah satu bagian dinding menempel sebuah batu 

bulat berwarna merah. 

“Batu merah! Tekan batu merah!” Perempuan-perem–

puan itu berteriak sambil mencontohkan gerakan menekan 

dengan telapak tangan masing-masing. Saat itu Wiro sudah 

sampai pada hitungan ke seratus sepuluh. Mendengar apa 

yang diteriakkan serta tanda yang diberikan beberapa 

perempuan di dalam ruangan, Wiro cepat mendatangi 

dinding di samping kiri lalu tanpa ragu menekan satu 

tonjolan batu berwarna merah. Saat itu juga terdengar 

suara aneh seperti suitan bersahut-sahutan disusul suara 

deru keras. Bersamaan dengan itu dinding tembus pan–

dang terbelah di bagian tengah. Masing-masing belahan 

bergeser ke kiri dan ke kanan. Air merah di dalam ruangan 

langsung mencurah ke ruangan bawah tempat dua tangga 

batu berundak delapan bertemu. Beberapa orang perem–

puan hampir terpeleset akibat seretan air merah yang 

cukup deras. 

“Lekas keluar! Ikuti aku!” Teriak Wiro. Namun dia sadar, 

orang-orang itu tidak mungkin menuruni tangga yang satu 

lalu naik lagi ke tangga yang lain sementara genangan air 

merah telah memenuhi lantai. Untuk disuruh menyeberang 

dengan cara melompat pasti mereka tidak mampu, malah 

bisa-bisa tercebur ke dalam air merah. 

Wiro menggaruk kepala. Tiba-tiba dengan cepat dia 

melompat ke udara, lalu membelintang menelungkup 

antara dua buah tangga batu pada undakan ke lima. Dua 

kaki bersitekan pada anak tangga ke lima di depan dinding 

tembus, dua tangan berpegangan kuat pada anak tangga 

di sebelah lainnya. Tubuh dibuat demikian rupa dijadikan 

jembatan penyeberang.“Kalian semua! Lekas melintas di atas punggungku! 

Menyeberang ke ruangan sebelah! Cepat! Satu-satu! 

Jangan berebutan! Jangan saling dorong!” 

Tapi yang namanya perempuan tetap saja mereka 

berteriak riuh. Apa lagi dalam keadaan takut kacau balau 

mereka berebutan cari selamat saling mendahului satu 

sama lain. Akibatnya dari enam belas perempuan yang 

berusaha menyeberang melalui tubuh Wiro, tiga di antara–

nya terpeleset dan jatuh tercebur ke dalam genangan air 

merah sedalam dua ketinggian tubuh manusia! Wiro tak 

mungkin menolong sementara tubuhnya masih terus 

dijadikan landasan jembatan untuk menyeberangi.



TUJUH BELAS


TlGA belas perempuan yang berhasil selamat setelah 

sampai di sebarang cepat dituntun Wiro berlari 

menaiki tangga menuju ke arah lobang empat persegi 

yang masih menganga di atas kolam! Saat itu sudah 

sampai hitungan seratus empat puluh! Pada hitungan ke 

seratus sembilan puluh satu, perempuan terakhir keluar 

melewati lobang batu empat persegi. Begitu memasuki 

hitungan ke seratus sembilan puluh sembilan patung batu 

Penguasa Atap Langit yang menggantung di atas kolam 

bergeser kembali ke tempatnya semula, menutup lobang. 

Wiro menarik nafas lega. Dia mendahului lari ke arah mulut 

goa yang saat itu masih tertutup runtuhan batu-batu tebing 

yang hancur. 

Dari jarak dua tombak Wiro lepaskan pukulan sakti 

dengan kedua tangannya yang tak lain adalah Pukulan 

Dewa Topan Menggusur Gunung dan Benteng Topan 

Melanda Samudera. 

Blaarr! Blaarr! 

Timbunan puing batu di mulut goa hancur, beterbangan 

ke udara. Yang hancur ternyata bukan timbunan batu tapi 

juga puing di atasnya. Suara bergemuruh dan goncangan 

hebat melanda seantero tempat sewaktu dasar sungai 

besar di atas bukit batu yang menjadi tempat aliran air 

bergeser jauh, membuat curahan air terjun berpindah ke 

kanan sampai tiga tombak dari tempatnya semula dan kini 

tidak lagi mencurah masuk ke dalam telaga! 

Wiro berdiri di tepi telaga dikelilingi sepuluh gadis dan 

tiga anak perempuan. Saat itu ternyata hari sudah malam. 

Menatap ke langit dia melihat bulan purnama empat belas 

hari berwarna biru.

“Aneh, aku sudah beberapa kali mendengar orang 

menyebut bulan biru. Tapi tidak menyangka kalau hal itu 

benar-benar berupa kenyataan. Apa yang sebenarnya telah 

terjadi?” Wiro membatin dalam hati. Lalu dia berpaling 

pada tiga belas perempuan cantik di sekelilingnya. Tiga di 

antaranya masih berusia belasan tahun. 

“Kalian siapa? Mengapa berada di dalam goa?” Wiro 

bertanya. 

Ditanya begitu rupa semua orang langsung jatuhkan 

diri, berlutut di tepi telaga yang kini airnya hanya tinggal 

setinggi mata kaki susut entah ke mana. 

“Kami..., kami adalah orang peliharaan bocah bejat 

Dirga Purana. Kami sudah lama disekap di dalam goa. 

Kami harus melayani kemauan mesumnya...” Seorang 

perempuan muda bicara tersendat memberi tahu. 

“Hah! Apa? Seorang bocah dua belas tahun punya 

belasan perempuan cantik sebagai peliharaan?! Gila!” Wiro 

tak bisa mempercayai. “Bocah jahanam terkutuk! Aku 

harap dia benar-benar sudah mampus di dalam goa sana!” 

Dalam marahnya dia ingat apa yang telah terjadi dengan Ni 

Gatri. Anak perempuan malang itu telah menjadi korban 

kemesuman Dirga Purana. Tapi adalah aneh bagaimana 

dia bisa berbuat mesum dengan gadis-gadis cantik yang 

lebih besar sosok tubuhnya dan lebih tua usianya. 

“Kalian diperlakukan mesum oleh bocah sekecil itu. 

Bagaimana mungkin? Mengapa kalian mau saja?i” Wiro 

bertanya masih merasa tidak percaya. 

Dengan menundukkan kepala salah seorang gadis 

menjawab, “Kami dicekoki semacam obat yang mempe–

ngaruhi jalan pikiran dan tidak mampu menolak apa mau 

anak itu. Selain itu, jika dia sedang berbuat keji tubuhnya 

berubah menjadi besar walau mukanya masih tetap anak-

anak.” 

“Dajal edan!” Teriak Wiro. 

“Kakak siapa...?” Salah seorang gadis bertanya. 

Wiro tak menjawab. 

“Kami sangat berterima kasih pada kakak.” Seoranggadis lainnya berkata sambil berdiri. Yang lain-lain ikut 

berdiri. Lalu tiga belas gadis itu mengerubungi Wiro. Ada 

yang mencium tangannya, ada pula yang memeluknya 

sambil kucurkan air mata. 

Tiba-tiba ada suara orang berseru lantang. 

“Oala! Orang yang kita khawatirkan keselamatannya 

ternyata tengah bersenang-senang dengan belasan gadis 

cantik!” 

Tiga belas gadis cepat melepaskan pelukan. Wiro 

berpaling ke arah telaga sebelah kiri. Di tepi telaga itu 

berdiri Ratu Randang senyum-senyum. Di sebelahnya tegak 

Sakuntaladewi sambil menggigit-gigit bibir, sementara agak 

jauh Kunti Ambiri berdiri sambil rangkapkan dua tangan di 

depan dada menatap ke langit memandangi bulan biru. 

“Wiro, rejekimu rupanya besar nian malam ini! Dari 

mana kau dapat begitu banyak kekasih cantik?” Ratu 

Randang kembali keluarkan ucapan. 

“Nek, mereka bukan kekasihku. Mereka para gadis 

peliharaan Dirga Purana. Mereka...” 

“Sudah, sudah. Aku percaya pada ucapanmu. Rupanya 

Dirga Purana bocah kurang ajar itu sudah mati di tangan–

mu! Jadi kini kau merasa semua peliharaannya menjadi 

milikmu!” 

“Bukan begitu Nek. Aku... Tanya saja sama mereka apa 

yang telah terjadi. Apa kau juga tidak melihat ada keane–

han? Di langit bulan purnama empat belas hari berwarna 

biru!” 

“Weehhh! Jangan mengalih pembicaraan dari kepergok 

bercumbu-cumbuan kepada bulan di langit tinggi. Jauh 

amat. Hik... hik... hik!” 

Tiba-tiba di kegelapan malam melesat satu bayangan 

putih di tepi telaga sebelah timur. Ketika semua mata 

dipalingkan ke arah itu, di atas sebuah batu kelihatan 

berdiri satu jerangkong yang memancarkan cahaya putih. 

Di atas tengkorak kepalanya bergelung sehelai sorban 

berwarna kelabu. 

“Emban Buyut Kumara Gandamayana. Lor PenggingJumena.” Ucap Sakuntaladewi perlahan dengan suara 

bergetar sementara Ratu Randang dan Kunti Ambiri 

menatap tak berkesip. Tak ada yang berani bicara. Tiga 

belas gadis yang mengelilingi Wiro tampak ketakutan. 

Jerangkong yang berdiri di atas batu dongakkan kepala, 

memandang ke arah bulan purnama biru di langit malam. 

Lalu makhluk ini keluarkan ucapan bersuara lembut tapi 

jelas terdengar oleh semua orang yang ada di sekitar 

telaga, padahal air terjun walau sudah berpindah tempat 

suaranya masih tetap menggemuruh deras. 

“Kebajikan telah dibuat. Berkah Yang Maha Kuasa 

telah turun. Bulan biru menjadi kenyataan. Bhumi Mataram 

telah kembali pada ketenteraman. Sri Maharaja Rakai 

Kayuwangi Lokapala akan kembali memimpin kerajaan. 

Lalu mengapa kita masih menaruh syak wasangka dan 

berprasangka buruk...?” 

Ratu Randang yang maklum kalau ucapan itu ditujukan 

pada dirinya cepat menjawab, “Embah Buyut Lor Pengging 

Jumena, maafkan saya. Sebenarnya tadi saya cuma 

bercanda...” 

Seolah tidak mendengar apa yang diucapkan si nenek, 

jerangkong di atas batu lanjutkan ucapan. 

“Di balik semua berkah itu masih ada perkara yang 

belum terselesaikan. Ksatria Panggilan, pergilah ke Kota–

raja. Sebelum fajar menyingsing, selagi rembulan biru 

masih kelihatan ujudnya di langit Mataram, kau sudah 

harus sampai di sana. Temui Raja Mataram dan serahkan 

Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pada beliau. Setelah Raja 

menerima senjata sakti itu minta izin padanya untuk kau 

pinjam barang seketika guna menyembuhkan cacat di kaki 

gadis bernama Sakuntaladewi itu. Hanya kau yang ditentu–

kan mampu menyembuhkan cacat yang membawa derita 

sengsara dirinya. Lalu jangan lupa akan segala kaul yang 

telah terucap. Sebaik-baiknya hati adalah yang siap mene–

rima segala kenyataan. Sebaik-baiknya perbuatan adalah 

yang dilakukan dengan segala keikhlasan...” 

Sosok jerangkong di atas batu yang tadi bersinar terang

perlanan-lahan berubah redup dan akhirnya lenyap dari 

pemandangan. Ratu Randang tundukkan kepala. Kunti 

Ambiri menatap ke arah air terjun yang kini telah berpindah 

tempat. Sakuntaladewi melirik ke jurusan Pendekar 212, 

dan tiga belas gadis tampak tertegun memandangi Wiro 

sang tuan penolong mereka. 

“Kakak, kami akan mengantarmu ke Kotaraja...” Tiba-

tiba salah seorang gadis berkata. 

Wiro tersenyum lalu anggukkan kepala. “Kita semua 

sama-sama menuju ke sana. Kalau memang ada berkah 

Yang Maha Kuasa turun ke bumi, maka berkah itu adalah 

juga bagian kita semua yang ada di sini. Kalau kita semua 

bisa berjalan cepat sebelum tengah malam pasti sudah 

sampai di Kotaraja.” Wiro lalu melangkah mendekati 

Sakuntaladewi. Dipegangnya tangan gadis itu. “Aku sudah 

terlalu lama tidak memperhatikan dirimu. Saatnya aku 

harus menolongmu. Kita berangkat ke Kotaraja.” Lalu Wiro 

mendekati Kunti Ambiri. Memeluk gadis cantik alam roh ini 

pada punggungnya dan menggandengnya mendatangi Ratu 

Randang. 

“Nek, sebelum aku merasa berkah Yang Maha Kuasa 

benar-benar menjadi bagian diriku, aku ingin menerima 

berkah darimu terlebih dulu...” 

Ratu Randang tampak terkejut. “A... apa maksudmu?” 

Tanya Ratu Randang agak gagap. 

“Ssstt! Berapa sisa ciumanku yang masih terhutang?” 

Ujar Wiro pula dengan suara sengaja diperlahan. 

Sepasang mata si nenek mendelik, tapi wajahnya tam–

pak berseri. Tidak malu-malu dan tidak menunggu lebih 

lama lagi Ratu Randang lalu rangkul dan daratkan belasan 

ciuman di wajah Pendekar 212. Kunti Ambiri geleng-geleng 

kepala. Sakuntaladewi senyum-senyum. Sepuluh gadis dan 

tiga anak perempuan tercengang-cengang melihat apa 

yang terjadi. Tapi tak urung semua mereka kemudian 

bersorak bahkan ada yang berseru dan tertawa haha-hihi! 



TAMAT

Penulis : bastian tito

Created : matjenuh channel

https://matjenuh-channel.blogspot.com


Malapetaka di Bhumi Mataram belum sepenuhnya 

berakhir, karena nasib Eyang Sinto Gendeng masih belum 

ada kejelasan. Apa yang terjadi dengan Dirga Purana. 

Benarkah anak lelaki itu telah menemui ajal di dalam goa? 

Berhasilkah Wiro menyembuhkan cacat Sakuntaladewi dan 

terlaksanakah kaulan si gadis untuk menjadikan Wiro 

sebagai suaminya? 

Apa yang terjadi dengan Jaka Pesolek. Ke mana 

lenyapnya selir ke satu sang Penguasa Atap Langit? 

Silahkan pembaca mengikuti kisah selanjutnya dalam 

jalinan cerita dimulai dengan judul: 

DEWI DUA MUSIM

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive