- SATU
- PUNCAK Bukit Batu Hangus, dini hari menjelang pagi. Udara dingin
- luar biasa karena hujan lebat baru saja berhenti. Tiupan angin seperti
- sembilu menyayat jangat, menusuk tulang sumsum. Dalam cuaca yang
- masih gelap kelihatan jelas delapan benda bersinar mengapung di
- udara, mengelilingi puncak bukit. Itulah delapan jimat yang
- dilemparkan Eyang Dukun Umbut Watukura bersama Panglima
- Pasukan Kerajaan Garung Parawata, Soka Kandawa Tabib Sepuluh Jari
- Dewa, Klingkit Kuning dan empat tokoh silat Istana berkepandaian
- tinggi lainnya.
- Di puncak bukit, dt atas batu datar berwarna hitam gosong, Sri
- Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Uskapala duduk tak
- bergerak tengah melakukan tapa. Mata terpejam, dua tangan disilang di
- atas dada. Tubuh yang dipalut hawa sakti panas pelindung raga
- mengeluarkan asap ketika bersentuhan dengan udara dingin. Delapan
- jimat melindungi dirinya dari segala kemungkinan datangnya
- marabahaya. Perlahan-lahan tubuh itu tampak memancarkan cahaya
- lalu mulai bergetar. Pertanda ada bahaya mengancam!
- Tiba-tiba wutt!
- Delapan larik cahaya merah entah dari mana datangnya secara
- bersamaan menyambar ke arah puncak Bukit Batu Hangus, tepat di
- jurusan beradanya sang Maharaja Mataram yang tengah duduk bertapa
- memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa, agar dapat menyelamatkan
- Kerajaan dan rakyat Mataram.
- Delapan jimat melesat menghadang sambaran delapan cahaya
- merah. Delapan letusan keras disertai pijaran nyala api menggelegar di
- udara malam. Seantero kawasan Bukit Batu Hangus bergoncang hebat.
- Di lereng bukit terdengar jerit perempuan dan pekik tangis anak-anak.
- Orang-orang lelaki berseru tegang dan berulangkali menyebut nama
- Yang Maha Kuasa.
- Sosok Raja Mataram tersungkur ke depan, seperti sujud tak
- bergerak di atas batu yang didudukinya. Mahkota emas bertabur batu
- permata yang ada di atas kepala terlepas tanggal, jatuh berguling ke
- lereng bukit. Rambut yang tadi disanggul kini terlepas menutupi wajah.
- Dalam keadaan seperti itu hebatnya Raja Mataram ini masih
- meneruskan tapa, seolah tidak melihat, tidak mendengar letusan
- dahsyat, tidak merasakan satu bahaya maut hampir melumat dirinya.
- Delapan jimat para tokoh sakti hancur bertaburan sementara delapan
- cahaya merah sesaat masih menggantung di udara lalu memudar dan
- akhirnya lenyap tak berbekas.
- Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara binatang meraung membuat bulu roma merinding. Mungkin anjing liar mungkin juga
- srigala rimba belantara yang kelaparan, atau mungkin pula mahluk
- halus yang tengah berkeliaran dan terpesat di sekitar kawasan Bukit
- Batu Hangus.
- Tepat ketika fajar menyingsing dan langit di ufuk timur mulai
- terang dan ada cahaya sang surya menyentuh tubuhnya, perlahan-
- lahan Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala buka kedua
- matanya. Tubuh yang bersujud di atas batu hitam bergerak dan duduk
- lurus. Mata memandang jauh ke selatan, ke arah Kotaraja. Apa yang
- dilihat membuat air muka Sri Maharaja berubah.
- “Dewa Jagat Bathara... Rata... Bhumi Mataram nyaris rata
- dengan tanah. Genangan air merah di mana-mana. Bau busuk, mayat
- manusia... bangkai binatang. Kerajaan... rakyatku... keluargaku...”
- Raja Mataram pejamkan mata lalu berteriak keras. Tubuhnya
- seperti hendak meledak. Dia melompat turun dari batu. Lari menuruni
- puncak Bukit Batu Hangus.
- Dalam waktu singkat Sri Maharaja Rakai Kayuwangi telah sampai
- di lereng bukit di mana sebelumnya dia meninggalkan keluarga dan
- semua orang yang ikut menyelamatkan diri. Kejut Raja Mataram ini
- bukan alang kepalang ketika dia menemui dan melihat keadaan orang-
- orang itu. Langsung saja dia jatuhkan diri, berlutut, dua tangan
- diangkat ke atas dan mulut berteriak.
- “Wahai Para Dewa di Swargaloka! Jika memang ada dosa
- kesalahan setinggi langit sedalam lautan dan sepanas bara menyala
- yang telah saya lakukan, mohon segala hukuman dijatuhkan hanya
- pada diri saya. Jangan pada keluarga, para pengikut dan rakyat saya...!”
- Setengah meratap Sri Maharaja Rakai Kayuwangi kemudian
- memeluki istri-istri serta putera puterinya yang bergulingan di tanah,
- tubuh panas menggigil, dua kaki lumpuh tak bisa digerakkan dan di
- kening mereka terdapat delapan benjolan merah mengepulkan asap. Hal
- ini ternyata terjadi juga pada ratusan orang yang ada di bukit termasuk
- tokoh-tokoh sakti berkepandaian tinggi seperti Eyang Dukun, Panglima
- Pasukan Kerajaan Garung Parawata, Tabib Sepuluh Jari Dewa, Klingkit
- Kuning dan banyak lagi yang lainnya.
- Sri Maharaja menggigit bibir menahan gejolak di dalam dada.
- Melihat kening semua orang ditumbuhi delapan benjolan aneh itu Sri
- Maharaja meraba kening sendiri. Astagal Ternyata di keningnya juga ada
- delapan benjolan merah. Bedanya delapan benjolan merah di kening
- sang Raja tidak mengeluarkan asap dan tubuhnya tidak terserang hawa
- panas, dua kaki tidak mengalami kelumpuhan.
- Terhuyung-huyung Sri Maharaja dekati kakek berjubah biru
- Umbut Watukura, yang tergolek di tanah berbantalkan batu hitam.
- Disampingnya tergeletak Panglima Pasukan Kerajaan Garung Parawata.
- Tak jauh dari situ terkapar sosok gemuk Tabib Soka Kandawa.
- “Eyang Dukun, kau bisa bicara...” Sri Maharaja usap kepala
- Umbut Watukura.Yang ditanya kedipkan mata.
- “Yang Mulia Sri Maharaja Mataram, saya bersyukur kepada Dewa,
- Sri Maharaja berada dalam keadaan selamat. Sri Maharaja tidak sampai
- celaka seperti kami-kami ini...”
- “Jangan pikirkan diriku! Eyang, Panglima katakan apa yang
- terjadi. Mengapa anak istriku, kalian semua, bergeletakan lumpuh,
- tubuh panas dan ada delapan benjolan aneh di kening kita semua.
- Apakah malapetaka ini juga melanda semua orang di Bhumi Mataram?”
- Eyang Dukun Umbut Watukura batuk-batuk beberapa kali lalu
- menjawab. “Tak lama setelah Sri Maharaja naik ke puncak bukit, karena
- Sri Maharaja telah memberi izin, saya dan Panglima segera
- menunggangi kuda masing-masing untuk menyelidik turun ke Kotaraja.
- Namun entah apa sebabnya binatang-binatang itu meringkik roboh tak
- mampu menggerakkan kaki. Di kening mereka muncul delapan benjolan
- merah. Kami semua yang ada di sini mengalami hal yang sama. Lumpuh
- tak mampu berdiri dan di kening ada delapan benjolan berasap...”
- “Dari puncak bukit tadi aku melihat Kotaraja. Keadaannya nyaris
- sama rata dengan tanah. Hanya satu dua pohon yang masih kelihatan
- menyembul. Satu-satunya bangunan yang masih tinggal adalah sisa-
- sisa reruntuhan Istana dan beberapa candi. Cairan merah menggenang
- di mana-mana. Malam Jahanam yang diceritakan Empu Semirang Biru
- benar-benar menjadi kenyataan. Bhumi Mataram musnah dilanda
- bencana. Di bukit ini kita semua mengalami kesengsaraan luar biasa.
- Menderita kelumpuhan dan diserang demam panas. Bilamana dalam
- waktu dua hari bencana ini tidak bisa dimusnahkan, kita akan
- menemui kematian 1 Kalaupun bisa bertahan maka kita akan mati
- kelaparan karena kita tidak sempat membawa persediaan makanan
- cukup banyak untuk ratusan orang yang ada di bukit ini. Masih
- bersyukur ada beberapa mata air kecil di sekitar sini. Tapi karena tak
- mampu bergerak kalian semua tidak bisa mendatangi air itu.” Sepasang
- mata Sri Maharaja tampak berkaca-kaca. Dia menatap ke langit. “Wahai
- Para Dewa di Swargaloka, mengapa Kau turunkan cobaan begini berat
- yang tidak sanggup kami semua menghadapi...”
- “Yang Mulia, dalam keadaan seperti ini tidak ada yang dapat kita
- lakukan selain berpasrah diri dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar
- diberi pertolongan...” Berkata Panglima Garung Parawata.
- Sri Maharaja Rakai Kayuwangi menghela nafas dalam. “Kita nyaris
- tidak punya daya apa-apa. Memang hanya kepada Para Dewa kita bisa
- berharap. Kita sudah memanjatkan seribu doa. Kereta Putih, Kereta
- Kencana Ratu Adil yang diharapkan bisa menjadi penangkal malah
- hancur lebur. Apa lagi yang bisa kita lakukan...” Raja Mataram itu
- memandang ke arah Tabib Soka Kandawa. “Tabib Sepuluh Jari Dewa, di
- tempat ini hanya aku seorang yang masih bisa berdiri dan berjalan.
- Yang lain-lain termasuk dirimu lumpuh tak berdaya! Dengan kesaktian
- yang kau miliki, kau bisa melakukan sesuatu?”
- Tabib gemuk bermata sipit itu unjukkan air muka redup, menarik nafas berulang kali lalu gelengkan kepala.
- “Saya mohon maaf dan ampunan Yang Mulia. Sejak pertemuan di
- ruang rahasia di Istana beberapa waktu lalu saya sudah menyadari
- bahwa kemampuan saya tidak dapat menghadapi datangnya bencana...”
- “Bencana ini bukan datang dari kemurkaan alam atau peringatan
- atau hukuman dari Para Dewa. Apa yang dinamakan Malam Jahanam
- adalah buatan manusia, yang bersekutu dengan roh dan arwah jahat!
- Kita pasti punya jalan untuk menghancurkannya! Kalau tidak dalam
- waktu dua hari, keluargaku, kalian semua akan menemui ajal! Aku
- sendiri tidak tahu berapa lama bisa bertahan. Cepat atau lambat aku
- merasa giliranku akan datang juga! Oh Dewa Jagat Bathara...”
- “Sri Maharaja,” berkata Panglima Garung Parawata. “Dari tapa
- Yang Mulia di puncak bukit tengah malam sampai pagi ini, apakah yang
- Mulia berhasil memasuki alam gaib dan bertemu dengan roh pertapa
- Sedayu Galiwardhana?”
- “Aku berhasil masuk ke alam roh. Tapi ada satu kekuatan dahsyat
- luar biasa menghalangi dan memagari roh Sedayu Galiwardhana hingga
- aku tidak bisa menemui pertapa itu. Namun tapaku bukan satu kesia-
- siaan. Dalam tapaku aku mendengar suara genta lonceng. Lalu muncul
- satu cahaya kuning emas disusul suara berucap. Aku harus mencari
- seorang anak lelaki berusia dua belas tahun. Menurut petunjuk anak itu
- mampu memberi pertolongan dan mengeluarkan kita dari bala bencana
- ini. Paling tidak melenyapkan kelumpuhan yang kita alami...”
- DUA
- MENDENGAR ucapan sang Maharaja, Eyang Dukun, Panglima Garung
- Parawata dan Tabib Sepuluh Jari Dewa jadi saling pandang. Untuk
- beberapa lama ketiganya hanya bisa berdiam diri. Panglima Garung
- Parawata kemudian memberanikan diri berkata.
- “Yang Mulia, mudah-mudahan saya tidak salah mendengar.
- Seorang, anak lelaki berusia dua belas tahun apa kemampuan yang
- dimilikinya? Saya mohon maaf kalau saya berkata salah...”
- “Kalian pernah mendengar nama Mimba Purana?” Bertanya Sri
- Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapaja.
- Tiga orang di hadapan sang Raja terkejut. “Maksud Yang Mulia,
- pendekar Satria Lonceng Dewa, Pendekar Bhumi Mataram yang terlahir
- di dalam Sumur Api, dari seorang perawan abadi pilihan Dewa...”
- berucap Panglima Garung Parawata.
- “Yang pada awal pemerintahan Sri Maharaja telah menyelamatkan
- Bhumi Mataram dari angkara murka orang-orang jahat dari selatan?”
- Menyambung Eyang Dukun.
- “Namun... bukankah pemuda belia tapi sakti itu kemudian lenyap
- begitu saja. Sampai hari ini tak ada kabar beritanya...” Berkata Tabib
- Soka Kandawa.
- “Saya ingat,” ikut bicara Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa Soka
- Kandawa. “Tak lama setelah lenyapnya Kesatria Lonceng Dewa Mimba
- Purana, kemudian muncul seorang pendekar belia yang konon masih
- saudara kembar Mimba Purana bernama Dirga Purana. Tapi kesatria
- yang satu ini agaknya bersilang jalan dengan Mimba Purana...”
- “Kau benar Tabib Sakti,” kata sang Raja. “Aku harus mencari dan
- mendatangi sumur tua yang dikenal dengan nama Sumur Api itu.
- Letaknya di kawasan rimba belantara antara Candi Prambanan dan Kali
- Dengkeng. Jika anak lelaki bernama Mimba Purana itu memiliki
- kesaktian yang dititiskan Para Dewa, maka aku sangat yakin Para Dewa
- akan mempertemukan aku dengan dia. Mudah-mudahan kita semua
- mendapat keselamatan...”
- “Yang Mulia, petunjuk yang didapat dalam tapa Yang Mulia
- pastilah datang dari Swargaloka. Kalau saja saya tidak lumpuh, saya
- akan ikut bersama Yang Mulia mencari SumurApi itu.” Kata Eyang
- Dukun.
- “Saya juga,” kata Tabib Soka Kandawa dan Panglima Garung
- Parawata hampir berbarangan.
- “Aku pergi sekarang juga,” ucap Sri Maharaja. Dia memandang
- berkeliling. Tiba-tiba saja dia ingat seseorang. “Dari tadi aku tidak
- melihat salah seorang pembantu kepercayaanku. Raden Ageng Daksa, di
- mana dia? Ada dari kalian yang melihat?”Tiga orang di hadapan Raja baru menyadari. Mereka semua
- memandang berkeliling, mencari-cari lalu sama-sama menggelengkan
- kepala.
- “Kalau dia memang meninggalkan bukit ini, dia pergi ke mana?
- Mengapa tidak memberi tahu?” Ujar Panglima Garung Parawata.
- “Jika benar dia pergi, berarti dia pergi sebelum mala petaka
- demam panas dan kelumpuhan menimpa kita semua...” Kata Tabib
- Soka Kandawa pula. “Mudah-mudahan seperti Sri Maharaja, Raden
- Ageng Daksa juga tidak mengalami bencana seperti kami. Siapa tahu dia
- juga tengah berusaha mencari pertolongan...”
- “Aku berharap begitu,” kata Sri Maharaja Mataram walau hatinya
- agak meragu. “Raibnya Empu Semirang Biru masih belum jelas siapa
- penculiknya dan berada di mana orang tua itu sekarang. Apakah dalam
- keadaan selamat atau bagaimana. Di mana keberadaan Keris Kanjeng
- Sepuh Pelangi yang dicuri juga masih tidak jelas...” Sri Maharaja
- menarik nafas panjang.
- Lalu lanjutkan ucapan. “Sambil mencari Sumur Api aku akan
- menyelidik ke mana raibnya Raden Ageng Daksa.” Hati sang Raja benar
- tidak enak. Perasaan kawatir laksana dua batu besar yang menghimpit
- batok kepala dan dadanya.
- Sebelum meninggalkan Bukit Batu Hangus Sri Maharaja
- memindahkan istri-istri dan putera puterinya ke dalam cegukan batu
- yang merupakan goa besar dan banyak terdapat di bukit batu itu. Dia
- juga melakukan hal yang sama pada orang-orang perempuan dan anak-
- anak serta lelaki-lelaki tua. Lalu Raja Mataram ini mengangkat puluhan
- bebatuan yang terdapat banyak di bukit. Batu disebar dan diletakkan di
- dekat orang banyak. Batu-batu ini di pukul dengan tangan yang
- mengandung kekuatan sakti hingga membentuk cegukan dalam. Ke
- dalam cegukan ini Sri Maharaja kemudian memasukkan air yang
- diambil dari sumber mata air yang ada di sekitar bukit. Makanan yang
- sempat dibawa ke bukit juga disebar. Dengan berbuat begitu Sri
- Maharaja berharap bisa menolong orang-orang lebih mudah
- menjangkau makanan dan mereguk air, paling tidak memperlambat
- datangnya kematian.
- Setelah memeluk anak istrinya, Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
- berkata pada Eyang Dukun Umbut Watukura dan para tokoh lainnya.
- “Eyang, aku pergi sekarang. Bertahanlah dan selalu memanjatkan
- doa pada Yang Maha Kuasa agar kita semua bisa terlepas dari azab
- bencana ini...” Raja Mataram ini lalu angkat dua tangannya ke udara.
- Mulut berucap. “Wahai Para Dewa di Kahyangan. Saya bermohon,
- lindungi semua orang yang ada di bukit ini, juga mereka yang berada di
- seluruh Bhumi Mataram, yang saat ini mungkin jauh lebih menderita
- dari kami di sini. Tolong kami semua. Keluarkan kami dari
- kesengsaraan ini...” Suara ucapan lenyap. Sang Raja kini tampak
- berkomat kamit membaca mantera aji kesaktian. Sesaat kemudian dari
- ke dua tangannya memancar keluar sinar kuning, merebak membentuk kipas raksasa, menyapu
- Bukit Batu Hangus mulai dari lereng sampai ke puncak. Itulah
- ilmu kesaktian yang berintikan doa suci bernama Antara Bumi Dan
- Langit Hanya Yang Maha Kuasa Yang Jadi Pelindung Dan Tempat
- Meminta Pertolongan Bagi Semua Insan.
- Baru saja Sri Maharaja Rakai Kayuwangi menurunkan kedua
- tangan dan dua larik sinar kuning lenyap dari pemandangan mendadak
- dari arah kaki bukit sebelah timur terdengar suara jeritan orang. Semua
- yang ada di bukit batu terkesiap. Wajah berubah.
- “Aku mengenali suara orang yang menjerit itu. Jangan-jangan...”
- Tanpa meneruskan kata-katanya Sri Maharaja Rakai Kayuwangi segera
- meninggalkan tempat itu, berlari menuruni bukit secepat yang bisa
- dilakukan.
- Eyang Dukun Umbut Watukura ulurkan tangan memegang bahu
- Garung Parawata lalu berkata dengan suara perlahan agar tidak
- terdengar oleh orang lain.
- “Panglima, aku kawatir. Apakah Raja kita mampu kembali ke
- bukit ini dengan selamat...?”
- Panglima Pasukan Mataram terkesiap sejenak mendengar ucapan
- itu. Lalu dengan suara lirih dia berkata.
- “Eyang, jangan bertanya seperti itu. Lebih baik kita doakan dan
- memohon pada Para Dewa agar Sri Maharaja selamat, berhasil menemui
- kesatria muda bernama Mimba Purana itu dan kembali tanpa kurang
- suatu apa menemui kita di bukit ini...”
- Eyang Dukun usap-usap tongkat tembaga yang diletakkan di atas
- pangkuan dua kaki yang lumpuh. “Tadi malam kita masih bisa
- melindungi dirinya dengan delapan jimat sakti. Kini kita tidak punya
- daya apapun. Walau Sri Maharaja membekal segudang ilmu kesaktian
- namun aku tetap merasa kawatir. Ingat kejadian di ruang rahasia ketika
- kita mengadakan pertemuan. Kekuatan sakti dari luar mampu
- menembus masuk. Ruangan jebol, cairan merah dan busuk
- menggenang di mana-mana. Lalu saat itu aku berteriak. Delapan Sukma
- Merah! Mahluk itu ada di sinil Kau ingat semua kejadian itu Panglima?
- Apa pendapatmu?”
- Panglima Garung Parawata memandang berkeliling. Dia tidak mau
- menjawab ucapan dan pertanyaan sang dukun lalu memicingkan mata.
- Sebenarnya kekuatiran juga memadati hati dan pikiran Panglima
- Pasukan Kerajaan ini.
- BELUM jauh Sri Maharaja Rakai Kayuwangi meninggalkan kaki
- Bukit Batu Hangus menuju ke arah timur tiba-tiba di satu pedataran
- kecil dia melihat ada semak belukar yang terbakar. Karena pedataran ini
- terletak di tempat yang agak ketinggian maka air banjir yang berwarna
- merah tidak sampai menggenang ke tempat itu.
- Dengan cepat Raja Mataram ini berkelebat mendekati. Begitu
- sampai di balik semak belukar serta merta dia tersentak kaget dan keluarkan seruan tertahan.
- “Dewa Jagat Bathara...!”
- Di tanah tergeletak sosok Raden Ageng Daksa, orang kepercayaan
- Sri Maharaja. Pakaian lurik hitam yang melekat di tubuhnya mulai dari
- pinggang ke bawah tampak hangus mengepulkan asap. Empat kalung
- emas yang tergantung di leher dan menjulai di dada leleh gosong. Topi
- tinggi hitam yang selalu ada di atas kepala tercampak jauh, juga dalam
- keadaan hangus mengepulkan asap. Walau pakaian tampak hangus
- namun tubuh orang ini kelihatan tidak terluka sedikitpun. Ini satu
- pertanda bahwa dengan ilmu kesaktian yang dimiliki Raden Ageng
- Daksa masih mampu melindungi raga sebelah luar walau Sri Maharaja
- tahu kalau pembantunya ini mengalami luka parah di sebelah dalam!
- TIGA
- “RADEN Ageng Daksa! Apa yang terjadi! Siapa yang mencelakaimu?!”
- suara Sri Maharaja setengah berteriak. Dia lalu duduk di tanah,
- memangku kepala orang kepercayaannya itu.
- Megap-megap Raden Ageng Daksa membuka mulut. Berusaha
- menjawab. Namun yang keluar dari mulutnya bukan ucapan melainkan
- lelehan darah berwarna hitami Sri Maharaja cepat tempelkan tangan kiri
- di atas kening dan tangan kanan di dada orang lalu salurkan hawa
- sakti.
- “Bicara Rad«fi, katakan siapa yang melakukan perbuatan keji ini
- atas dirimu...”
- Bantuan tertata dalam dan aliran hawa sakti membuat Raden
- Ageng Daksa mampu mengangkat tangan fcirinya. Tergontai-gontai
- tangan ini ditunjukkan ke arah punggung. Lalu terdengar suaranya
- perlahan dan terputus-putus sementara sepasang mata kini kelihatan
- hanya tinggal putihnya saja.
- “Ma... maafkan saya Yang Mul... Mulia...” Tangan kiri yang
- menunjuk dada lalu berputar menunjuk ke arah kejauhan, ke jurusan
- selatan.
- Sri Maharaja tahu kalau umur Raden Ageng Daksa tidak akan
- lama lagi. Maka dia lipat gandakan tenaga dalam dan aliran hawa sakti
- lalu berbisik ke telinga orang itu.
- “Jangan bicara banyak. Lekas beritahu siapa yang telah
- mencelakai Raden...”
- Raden Ageng Daksa berusaha membuka mulut memberikan
- jawaban. Namun sebelum suara keluar, kepala sudah terkulai, nyawa
- keburu lepas.
- Sri Maharaja Rakai Kayuwangi pejamkan mata. Dalam hati
- menyebut nama Yang Maha Kuasa. Perlahan-lahan dia baringkan tubuh
- Raden Ageng Daksa di tanah. Mata yang terbuka putih diusap hingga
- menutup. Raja Mataram berpaling ke arah selatan, arah yang tadi
- ditunjuk Raden Ageng Daksa. Dengan gerakannya tadi Raden Ageng
- Daksa ingin memberi tahu siapapun yang membunuhnya orang itu telah
- melarikan diri ke arah selatan. Raja Mataram kemudian ingat. Sebelum
- menunjuk ke arah selatan Raden Ageng Daksa terlebih dulu menunjuk
- ke arah bagian belakang tubuhnya sendiri. Raden Ageng rupanya
- hendak memberi tahu sesuatu. Perlahan-lahan Sri Maharaja balikkan
- badan pembantunya itu. Kejut sang Raja bukan alang kepalang ketika
- melihat pada punggung Raden Ageng Daksa terdapat tanda dua telapak
- tangan lengkap dengan jari-jari berwarna merah. Namun masing-masing
- tangan hanya memiliki empat jari, tanpa jari tengah I
- “Hyang Jagat Bathara...” ucap Sri Maharaja Rakai Kayuwangi. Dia lalu ingat pada kejadian di ruang pertemuan rahasia di dalam Istana.
- Waktu itu Ratu Randang penasihatnya tiba-tiba berteriak bahwa ada
- orang meraba dadanya. Raden Ageng Daksa menjawab kalau tidak ada
- orang yang meraba dirinya. Lantas Ratu Randang merobek dada
- pakaian memperlihatkan aurat. Ternyata pada payu daranya kiri kanan
- terdapat tanda telapak tangan berjari empat.
- “Tanda telapak tangan merah berjari empat yang sama.” Ucap
- Raja Mataram perlahan. “Ini penyebab kematian Raden Ageng Daksa.
- Aneh... Mengapa Ratu Randang tidak menemui ajal. Padahal dia
- mengalami kejadian yang hampir tidak berbeda. Selain itu kesaktian
- Ratu Randang tidak lebih tinggi dari Raden Ageng Daksa.” (Perihal
- kejadian aneh yang dialami Ratu Randang harap baca buku sebelumnya
- “Malam Jahanam Di Mataram”)
- Sri Maharaja balikkan kembali jenazah Raden Ageng Daksa hingga
- tertelentang. Lalu memandang berkeliling mencari tempat yang baik. Di
- bagian pedataran yang agak tinggi Raja Mataram ini terapkan ilmu
- kesaktiannya dengan melancarkan pukulan hingga tanah terbongkar
- membentuk liang lahat. Jenazah Raden Ageng Daksa dimasukkan ke
- dalam liang lalu ditimbun dan di atasnya ditancapi semak belukar
- sebagai tanda. Setelah memanjatkan doa untuk keselamatan arwah
- pembantunya itu Sri Maharaja segera tinggalkan pedataran.
- ***
- MATAHARI semakin tinggi. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi yang
- telah berada cukup lama dalam rimba belantara kecil antara Prambanan
- dan Kali Dengkeng masih berputar-putar tidak berhasil menemukan
- Sumur Api. Bahkan tanda-tandanyapun tidak kelihatan. Setiap
- melangkah sepasang kakinya terasa semakin berat. Bahu seperti
- dibebani batu besar dan kepala berdenyut sakit. Sesekali dia mendengar
- suara deru angin namun anehnya tidak ada hembusan angin terasa
- menyapu tubuhnya. Ranting dan daun-daun pepohonan sama sekali
- tidak bergerak, tidak mengeluarkan suara bergemerisik.
- “Ada kekuatan gaib mencegah diriku menemukan Sumur Api,”
- pikir Sri Maharaja.
- Ketika sang surya mencapai titik tertingginya, dalam keadaan
- tubuh basah mandi keringat dan terasa sangat letih, dua lutut
- mendadak goyah, nyaris tak berdaya Raja Mataram itu akhirnya jatuh
- berlutut di tanah. Sambil letakkan dua tangan di dada dan
- membungkuk dalam dia berkata dengan suara lirih.
- “Wahai Yang Maha Kuasa di Swargaloka. Setengah hari telah saya
- habiskan secara sia-sia. Saya masih belum menemukan petunjuk di
- mana beradanya Sumur Api. Apa lagi menemukan Mimba Purana,
- Kesatria Lonceng Dewa. Jika saya mengalami kegagalan berarti saya
- tidak mampu menolong semua orang yang ada di bukit, tidak bisa
- menyelamatkan rakyat yang berada di Kotaraja dan di seluruh pelosok
- Bhumi Mataram. Wahai Yang Maha Kuasa, jangan berhenti memberi
- saya petunjuk, berikan saya pertolongan. Jangan biarkan kami semua musnah, jangan biarkan Bhumi Mataram lenyap dari permukaan
- jagat...”
- Tiba-tiba keadaan di tempat itu berubah luar biasa sunyi. Suara
- tiupan angin aneh lenyap. Saking sunyinya Sri Maharaja mampu
- mendengar detak jantungnya sendiri. Sri Maharaja luruskan tubuh,
- menunggu dengan hati berdebar. Dia maklum sesuatu akan terjadi.
- Satu cahaya putih berkiblat. Sekejap kemudian di hadapan Sri
- Maharaja Rakai Kayuwangi berdiri seorang kakek berselempang kain
- putih. Rambut putih panjang menjulai punggung. Wajah yang jernih
- dihias kumis dan janggut putih. Di tangan kanannya orang tua ini
- membawa sebatang tongkat kayu, besar di sebelah gagang, mengecil di
- bagian ujung.
- Sadar kalau doanya didengar Yang Maha Kuasa dan tahu kalau
- yang dihadapannya bukan mahluk biasa maka Sri Maharaja segera
- membungkuk dalam seraya berkata.
- “Orang tua, saya Rakai Kayuwangi Lokapala menghatur sembah
- dan hormat untukmu...”
- “Terima kasih untuk tutur sapa dan penghormatanmu. Tapi
- bukan dirimu, sayalah yang harus menghatur sembah dan
- penghormatan padamu. Karena kau adalah Sri Maharaja Mataram
- sementara saya hanya rakyat biasa...”
- Selesai keluarkan ucapan si orang tua lalu berlutut dan
- membungkuk dalam-dalam hingga kepalanya hampir menyentuh tanah.
- Raja Mataram cepat memegang bahu orang tua ini, mengangkatnya
- hingga berdiri kembali.
- “Orang tua, saya...”
- “Sri Maharaja, saya tahu Yang Mulia tengah berpacu dengan
- waktu untuk menyelamatkan keluarga, kerajaan dan rakyat Bhumi
- Mataram. Doa Yang Mulia telah didengar oleh Para Dewa di Swargaloka.
- Saya orang tua buruk ini diutus untuk menemui Yang Mulia...”
- “Terima kasih Sang Hyang Bathara Agung, terima kasih orang
- tua... Saya mohon petunjukmu lebih lanjut.”
- “Nama saya Dhana Padmasutra. Dulu saya tinggal di Bhumi
- Mataram ini, tak jauh dari Prambanan. Takdir menentukan bahwa saya
- harus kembali ke alam baka. Saya datang dari alam roh...”
- “Terpujilah Roh Agung...” Sri Maharaja membungkuk berulang
- kali.
- “Para Dewa meminta saya menyerahkan tongkat kayu ini pada
- Yang Mulia. Tongkat ini selanjutnya akan menuntun Yang Mulia ke
- Sumur Api menemui orang yang dicari...”
- Sebelum mengulurkan tangan mengambil tongkat kembali Sri
- Maharaja membungkuk hormat dan berulang kali menyebut nama Yang
- Maha Kuasa. Setelah tongkat kayu dipegang, orang tua mengaku
- bernama Dhana Padmasutra berkata.
- “Ada satu hal perlu saya beritahukan. Bilamana Yang Mulia telah
- bertemu dengan Kesatria Lonceng Dewa Mimba Purana, berikan tongkat ini kepadanya. Walau dulu tongkat ini adalah milik saya, tapi telah saya
- berikan kepada ibunya. Jadi saya hanya meminjam. Wajib
- dikembalikan...”
- “Saya mengerti. Apa yang Eyang katakan akan saya lakukan,”
- kata Sri Maharaja pula. “Saya boleh memanggilmu dengan sebutan
- Eyang?”
- “Itu merupakan satu kehormatan besar bagiku,” jawab Dhana
- Padmasutra. “Ada satu hal lagi,” sambung si orang tua. “Yang Mulia
- belum melihat tapi mungkin telah merasakan. Di dalam rimba belantara
- ini ada bahaya besar mengintai. Bilamana bahaya datang tidak
- terelakkan, robahlah cara memegang tongkat. Ujung yang menempel di
- tanah pegang sebagai gagang. Sebaliknya gagang ditukikkan ke bawah
- hingga menyentuh tanah. Maka Yang Maha Kuasa akan melindungi
- Yang Mulia... Apakah Yang Mulia sudah mengerti atau ada yang hendak
- ditanyakan?”
- “Saya mengerti Eyang. Sekali lagi saya sangat berterima kasih.
- Kalau beberapa saat lagi kita akan berpisah, apakah saya akan dapat
- bertemu lagi dengan Eyang?”
- Orang tua berwajah jernih berselempang kain putih tersenyum.
- “Setiap perpisahan dan pertemuan diatur oleh Yang Maha Kuasa.
- Apa lagi kita hidup berlainan alam. Serahkan semua pada Yang Maha
- mengetahui. Jika ada niat baik di dalam dada, masakan Yang Maha
- Kuasa tidak akan memperhatikan? “
- “Terima kasih Eyang.”
- Dhana Padmasutra mengangguk. “Kita berpisah sampai di sini.
- Semoga Yang Maha Kuasa melindungi Yang Mulia dan keluarga serta
- Bhumi Mataram bersama rakyatnya...”
- “Tunggu Eyang, sebagai tanda saya tidak melupakan budi Eyang,
- terimalah kalung ini sebagai kenang-kenangan...” Raja Mataram
- tanggalkan kalung emas besar bertabur permata lalu diulurkan pada si
- orang tua.
- Dhana Padmasutra tersenyum.
- “Yang Mulia, niatmu ingin membalas budi sungguh sangat terpuji.
- Tapi bukan untuk imbalan itu saya datang menemui Yang Mulia. Selain
- itu, di alam saya, perhiasan luar biasa mahal seperti itu tidak ada
- kegunaannya. Maafkan kalau saya menolak...” Sambil bicara Dhana
- Padmasutra gerakkan tangan kanannya. Kalung yang berada dalam
- pegangan Sri Maharaja tahu-tahu sudah menggantung kembali di
- lehernya.
- Wajah Rakai Kayuwangi tampak agak berubah. Namun cepat-
- cepat dia membungkuk hormat. Ketika dia meluruskan tubuh kembali
- orang tua berwajah jernih itu tidak ada lagi di hadapannya. Sang Raja
- menarik nafas dalam.
- Tiba-tiba tongkat kayu yang dipegangnya bergetar lalu bergerak ke
- samping. Sesuai petunjuk si orang tua Raja Mataram mengikuti gerakan
- tongkat lalu melangkah ke arah mana tongkat kayu itu membawanya.Gerakan ke dua kakinya terasa sangat ringan. Walau cuma melangkah
- biasa namun dalam waktu singkat dia sudah berjalan puluhan langkah.
- Tongkat kayu menuntunnya masuk kembali ke bagian barat rimba
- belantara yang sebelumnya telah didatangi dan diselidiki.
- Getaran pada tongkat kayu semakin keras. Sepasang kaki Sri
- Maharaja Rakai Kayuwangi tidak lagi menginjak tanah. Dia seolah
- terbang. Pandangan mata membesar, dada berdebar ketika tidak berapa
- jauh di depan sana dia melihat tumpukan batu hitam bersusun rapi
- membentuk lingkaran mulut sumur setinggi pinggang.
- “Aku yakin, inilah sumur keramat yang disebut Sumur Api. Tapi
- mengapa tidak ada apinya? Heran, aku yakin tadi telah berada di sekitar
- tempat ini. Tapi mengapa sama sekali tidak melihat sumur itu.”
- Membatin Sri Maharaja.
- Seperti diriwayatkan dalam serial Satria Lonceng Dewa buku
- pertama berjudul “Perawan Sumur Api”, pada masa itu sumur batu ini
- diketahui memancarkan cahaya terang merah karena di dasar sumur
- ada api besar menyala. Saat itu nyala api tak ada lagi namun Sri
- Maharaja dapat merasakan hawa angker yang menjalar di udara datang
- dari arah sumur.
- Hanya tinggal beberapa langkah lagi dari samping sumur batu
- mendadak tanah bergetar. Di langit siang terang benderang ada kilat
- menyambar lalu menyusul suara gemuruh seperti suara geluduk. Tiba-
- tiba dari dalam tanah mencuat delapan larik cahaya merah. Mula-mula
- melesat lurus ke udara lalu bergerak patah menyambar ke arah Sri
- Maharaja Mataram
- EMPAT
- SRI MAHARAJA Mataram ingat akan ucapan Eyang Dhana
- Padmasutra. Bahaya besar yang dikatakan mengintai kini muncul
- sudah memperlihatkan ujudl Secepat kilat Rakai Kayuwangi jatuhkan
- diri ke tanah. Dia tidak berani menangkis atau balas menyerang.
- Delapan cahaya merah lewat dua jengkal di atas tubuhnya. Namun
- setengah jalan berbalik dan kembali menyambar ke arah sang Raja yang
- saat itu tengah berusaha berdiri.
- Kali ini Rakai Kayuwangi tidak tinggal diam. Tangan kiri
- dihantamkan ke depan melepas pukulan sakti bernama Payung Dewa
- Mengguncang Badai. Seumur hidup ini adalah kali ke dua Raja Mataram
- mengeluarkan pukulan sakti tersebut. Yang pertama kali ketika dia
- menghadapi beberapa orang tokoh pemberontak dari selatan yang
- berhasil menyerbu masuk ke dalam Istana beberapa tahun lalu.
- Kehebatan ilmu pukulan ini memang bukan alang kepalang. Cahaya
- ungu berkiblat menyerupai payung raksasa mengembang. Delapan
- cahaya merah bermentalan ke udara namun hanya sesaat. Di lain kejap
- delapan cahaya itu menukik ke bawah, memancarkan pijaran sinar
- menyilaukan pertanda kekuatan yang ada di dalamnya kini berlipat
- ganda!
- Kejut Sri Maharaja Mataram bukan olah-olah. Sulit dia
- mempercayai pukulan saktinya tadi tidak sanggup memusnahkan
- delapan cahaya merah. Namun sang Raja tidak bisa berpikir panjang
- karena saat itu delapan cahaya merah datang menyerbu ke arahnya.
- Sadar kalau saat itu dia memegang tongkat kayu pemberian Eyang
- Dhana Padmasutra maka Raja Mataram alirkan seluruh kekuatan
- tenaga dalam dan hawa sakti ke dalam tongkat hingga tongkat kayu
- memancarkan cahaya merah laksana bara menyala! Tidak tunggu lebih
- lama sang Raja segera sapukan tongkat di tangan kanannya ke udara,
- ke arah datangnya serangan delapan cahaya merah! Sinar merah
- raksasa berkelebat ke udara! Menghantam delapan larik sinar merah.
- Delapan letusan dahsyat menggelegar dalam rimba belantara.
- Tumpukan bebatuan yang membentuk mulut sumur mental, banyak
- yang hancur berkeping-keping. Tanah terbelah di beberapa tempat.
- Langit seolah hendak runtuh. Beberapa pohon bertumbangan dengan
- ranting dan dedaunan hangus menghitam 1 Kabut kelabu entah dari
- mana datangnya menggantung di tempat itul
- Sosok Raja Mataram jatuh terbanting di tanah. Walau tulang
- punggung serasa hancur dan dada laksana terpanggang namun dia
- masih mampu berdiri menyaksikan bagaimana delapan cahaya merah
- terpental memencar kian kemari lalu menyatu dan laksana tombak
- raksasa menghunjam lenyap masuk ke dalam tanah.Rakai Kayuwangi menarik nafas lega. Dia menyangka serangan
- kekuatan jahat telah berhasil dimusnahkan.
- “Blaarr!”
- Mendadak suara letusan dahsyat kembali menggelegar di tempat
- itu. Rakai Kayuwangi tersentak kaget dan keluarkan seruan tertahan
- ketika didahului teriakan-teriakan menggidikkan dari dalam tanah
- mencuat keluar delapan mahluk dahsyat yang hanya mengenakan cawat
- hitam Kecil. Mahluk ini mulai dari ujung rambut sampai ke kaki
- berwarna merah. Sepasang mata membelalak putih semua. Di kening
- ada satu benjolan besar berwarna merah pekat mengepulkan asap
- menebar bau busuk. Rakai Kayuwangi memperhatikan mahluk ini
- hanya mempunyai empat jari tangan. Jari tengah tidak ada sama sekali.
- Sepuluh kuku jari kaki mencuat panjang merah seperti cakar burung
- elang.
- “Dewa Maha Agungi Apakah ini mahluk yang bernama Delapan
- Sukma Merah...”
- Tiba-tiba delapan mahluk merah keluarkan pekik keras. Lalu
- sambil tertawa haha-hihi mereka menebar membentuk lingkaran dan
- mengurung Rakai Kayuwangi di tengah-tengah.
- “Rampas tongkat!”
- Empat mahluk merah berteriak.
- Empat mahluk lainnya berseru.
- “Rampas nyawa!”
- “Kreekkk!”
- Enam belas kuku jari tangan merah keluarkan suara
- berkeretekan lalu mencuat panjang seperti clurit kecil, memancarkan
- cahaya merah pekat menggidikkan.
- Delapan mahluk merah menerjang. Empat pasang tangan berjari
- empat berusaha merampas tongkat sedang empat pasang tangan
- lainnya menyambar ke mata, leher, dada dan perut.
- Raja Mataram Rakai Kayuwangi sadar, dalam keadaan punggung
- dan dada masih mendenyut sakit, dia hanya memiliki satu pilihan. Jika
- ingin menyelamatkan diri maka kemungkinan tongkat kayu yang
- diberikan Eyang Dhana Padmasutra akan kena dirampas empat mahluk
- merah. Sebaliknya kalau dia harus menyelamatkan tongkat maka muka
- atau leher, mungkin juga dada atau perutnya akan jebol disambar
- cakaran jari-jari berkuku panjang merah.
- Sang Raja memilih menyelamatkan tongkat kayu ketimbang
- selamatkan diri. Tongkat diputar di depan tubuh hingga mengeluarkan
- suara mengaung lalu set! Selagi delapan mahluk merah mundur dan
- menunda serangan, Rakai Kayuwangi selipkan tongkat di pinggang
- sebelah depan lalu dua tangan sekaligus melepas pukulan Dewa Kembar
- Membalik Gunung!*
- Dua cahaya hijau kebiruan berkiblat disertai suara menggemuruh
- seperti gunung runtuh. Delapan mahluk merah terkesiap kaget. Tubuh
- bergoncang keras. Mereka berteriak keras sambil tusukkan empat jari tangan kanan ke atas. Kabut kelabu yang sejak tadi menggantung di
- udara bergerak turun menghadang dua cahaya hijau biru dua pukulan
- sakti yang dilepaskan Raja Mataram.
- “Tembusl”
- Delapan mahluk berteriak berbarengan. “Blaarr! Blaarrl”
- Ternyata dua pukulan Rakai Kayuwangi tidak sanggup menahan
- hantaman kabut kelabu yang dijadikan senjata oleh delapan mahluk
- aneh. Begitu dua larik cahaya hijau biru musnah delapan mahluk ini
- kembali berteriak.
- “Rampas tongkat!”
- “Rampas nyawa!”
- “Breett!”
- Empat jari tangan berkuku panjang salah satu mahluk merobek
- dada pakaian Rakai Kayuwangi, menimbulkan luka panjang, memutus
- kalung besar. Saat itu juga Raja Mataram ini merasakan tubuhnya
- menggigil diserang hawa luar biasa dingin. Sepasang lutut goyah. Dua
- kaki terjajar ke belakang.
- “Rampas tongkat!”
- “Rampas nyawa!”
- Dua tangan menyambar ke pinggang sebelah depan di mana
- terselip tongkat kayu, tiga lainnya melesat ke kepala, wajah dan leher
- Sri Maharaja Mataram. Hanya beberapa ketika lagi tongkat kayu akan
- dapat dirampas dan muka serta leher akan hancur jebol mengerikan
- tiba-tiba di telinga Raja Mataram mengiang suara orang tua alam roh
- Dhana Padmasutra.
- “Bilamana bahaya datang tidak terelakkan, robahlah cara
- memegang tongkat. Ujung yang menempel di tanah pegang sebagai
- gagang. Sebaliknya gagang ditukikkan ke bawah hingga menyentuh
- tanah. Maka Yang Maha Kuasa akan melindungi Yang Mulia...”
- Rakai Kayu Wangi tersentak. Mengapa dia tidak ingat dari tadi
- petunjuk orang tua yang dikirimkan Para Dewa untuk menolongnya itu.
- Secepat kilat Raja Mataram cabut tongkat yang terselip di
- pinggang. Ujung yang kecil dipegang sedang ujung yang biasa menjadi
- gagang pegangan ditusukkan ke tanah. Pada waktu yang bersamaan
- salah seorang dari empat mahluk merah yang berusaha merampas
- tongkat berhasil mencekal pertengahan tongkat. Namun di saat itu pula
- gagang tongkat telah menyentuh tanah.
- “Blaarrl”
- Letusan keras menggelegar. Sosok mahluk merah yang memegang
- tombak keluarkan jeritan menggidikkan, tubuh mencelat ke udara
- dalam keadaan tercabik-cabik lalu berubah jadi asap dan lenyap dari
- pemandangan. Dua temannya menggembor marah. Segera menyerang
- Rakai Kayuwangi. Raja Mataram dengan penuh percaya diri gebukkan
- tongkat. Sekali menghantam kepala mahluk merah di samping kanan.
- Pukulan kedua menghajar bahu mahluk merah di sebelah kanan.
- Seperti kawannya tadi dua mahluk merah menjerit setinggi langit. Yang kena gebuk kepalanya meledak dengan mengeluarkan suara
- menggelegar lalu hancur berkeping-keping, sirna setelah lebih dulu jadi
- asap. Yang dihantam bahunya meraung dahsyat lalu suara raungan
- lenyap begitu tubuhnya amblas masuk ke dalam tanahl
- Lima mahluk merah yang masih hidup langsung jatuhkan diri
- duduk bersila di tanah. Lima pasang mata putih membusat keluar.
- Wajah berubah menjadi kuning. Tapi benjolan besar di kening tetap
- masih berwarna merah dan mengepulkan asap. Mereka tampak
- ketakutan begitu melihat Raja Mataram mendatangi sambil
- melintangkan tongkat kayu di atas kepala. Terjadi keanehan. Tubuh
- bagian atas masih bisa bergerak sementara pinggang ke bawah berubah
- lumpuh! Ke limanya membungkuk berulang kali tanda minta diampuni.
- Walau takut setengah mati tapi mereka tidak mampu melarikan diri!
- “Aku akan ampuni kalian berlima. Asal memberi tahu kalian ini
- siapa sebenarnya. Siapa yang mengirim kalian untuk membunuhku dan
- merampas tongkatl Apa kalian ikut mendatangkan bencana di Mataram
- malam tadi!”
- Tidak ada satupun dari kelima mahluk merah membuka mulut
- keluarkan jawaban. Mereka terus saja membungkuk-bungkukkan
- tubuh.
- “Bicara! Atau aku gebuk kalian semua!” Hardik Raja Mataram
- mengancam. Tongkat di tangan kanan diangkat ke atas, siap
- mengemplang kepala lima mahluk yang duduk menjele-pok di tanah di
- hadapannya.
- Tiba-tiba ke lima mahluk merah pukulkan tangan kanan ke
- kening masing-masing yang ada benjolan merah.
- “Praakkk!”
- Lima mahluk merah terkapar di tanah dengan kepala rengkah.
- Kabut kelabu lenyap. Raja Mataram berulang kali mengucap menyebut
- nama Yang Maha Kuasa. Dia bermaksud hendak memeriksa lima mayat
- mahluk aneh, namun tiba-tiba lima sosok merah itu terangkat ke atas
- lalu hancur berkeping-keping, berubah jadi asap dan lenyap!
- Raja Mataram berulang kali menyeru nama Yang Maha Kuasa.
- Tiba-tiba tongkat kayu yang dipegang bergetar keras. Tubuh rtakai
- Kayuwangi terangkat ke udara, melayang sebentar lalu melesat masuk
- ke dalam sumur batu. Sumur yang pernah dikenal dengan sebutan
- Sumur Api di mana beberapa tahun silam Ananthawuri perawan suci
- pilihan Para Dewa ibunda dari Mimba Purana dan Dirga Purana pernah
- tercebur masuk ketika dikejar oleh anak buah Arwah Muka Hijau yaitu
- Setunggul Langit dan Setunggul Bumi. (Baca serial Kesatria Lonceng
- Dewa buku pertama berjudul “Perawan Sumur Api” karangan Bastian
- Tito)
- Tanpa diketahui oleh Raja Mataram, begitu tubuhnya lenyap
- masuk ke dalam Sumur Api yang telah padam seratus jarum hitam
- melesat keluar dari dalam tanah lalu menyusul masuk ke dalam sumur!
- Begitu seratus jarum hitam masuk ke dalam sumur, mendadak dari arah timur rimba belantara bertiup angin kencang. Pada saat angin
- dan tumpukan batu yang membentuk bibir sumur saling bersentuhan,
- cahaya putih berpijar. Saat itu juga sumur batu lenyap. Di tempat itu
- kini terlihat satu jurang sangat dalam. Di sekelilingnya muncul tujuh
- lobang sebesar kubangan kerbau. Begitulah keadaan akhir
- Sumur Api seperti yang diriwayatkan dalam Mimba Purana Serial
- Kesatria Lonceng Dewa buku ke empat berjudul “Dewi Tangan
- Jerangkong”
- LIMA
- SRI MAHARAJA Rakai Kayuwangi Lokapala terheran-heran ketika
- dapatkan dirinya berada di ujung satu pedataran pasir berwarna
- kuning. Di kejauhan tampak sang surya memancarkan cahaya terang
- benderang namun tidak terasa hawa panas menyengat jangat,
- sebaliknya malah mengantar udara sejuk.
- “Dewa Agung, bagaimana mungkin kalau bukan Kau yang punya
- kuasa...” Berkala Rakai Kayuwangi dalam hati. Dia sadar betul kalau
- saat itu berada di dasar sumur, mungkin Jaga d! dalam tanah entah
- pada lapisan ke berapa. Tap} mengapa ada pedataran pasir dan seumur
- hidup ban? sekali itu dia melihat pasir berwarna kuning laksana emas.
- Lalu bagaimana mungkin ada matahari yang sinarnya terang benderang
- namun menebar hawa sejuk? Lalu dia melihat lagi beberapa keanehan.
- Di kejauhan, di tengah pedataran pasir kuning tampak sebuah
- pohon sangat tinggi, tidak berdaun tidak beranting dan hanya memiliki
- satu cabang menghadap ke timur yaitu ke arah sang surya. Angin
- bertiup ke arah Rakai Kayuwangi. Raja Mataram ini mencium bau
- harum semerbak berasal dari pohon tinggi bercabang tunggal. Dia
- menatap kembali ke arah pohon. Saat itulah sang Raja melengak
- terkejut.
- “Tadi aku tidak melihat sosok itu. Bagaimana kini tahu-tahu
- muncul sejelas aku melihat tangan sendiri?”
- Sambil memegang tongkat erat-erat Rakai Kayuwangi melangkah
- cepat ke arah pohon bercabang tunggal. Pada pertengahan cabang
- terlihat duduk bersila seorang anak lelaki berusia sekitar dua belas
- tahun. Anak ini mengenakan pakaian hitam terbuat dari kain kasar
- sederhana, berkasut kulit. Wajah tampan dihias alis tebal, mata bening
- dan bibir merah. Samar-samar tampak cahaya kuning aneh
- menyelubungi tubuh anak itu. Kalau saja Raja Mataram tidak memiliki
- ilmu kesaktian tinggi, dia tidak akan mampu melihat cahaya kuning ini.
- Maka sang Raja mempercepat langkah.
- “Walau hanya bertemu satu kali beberapa tahun lalu, aku yakin
- anak di atas cabang pohon adalah Mimba Purana. Kesatria penyelamat
- Bhumi Mataram berjuluk Kesatria Lonceng Dewa. Terima kasih Dewa
- Agung. Kau akhirnya mempertemukan saya dengan anak itu. Terima
- kasih Eyang Dhana Padmasutra...”
- Tiba-tiba anak lelaki di atas cabang pohon berdiri. Tangan kanan
- di angkat, telapak dikembang. Mulut berseru.
- “Yang Muliai Berhentilah melangkahi Jangan beranjak sebelum
- saya memberi tanda. Maafkan saya karena telah berani memerintah
- Raja Mataram!”
- Rakai Kayuwangi hentikan langkah. Saat itulah di atas kepalanya melesat puluhan benda hitam berpijar. Itulah seratus jarum hitam yang
- menyusul masuk ke dalam sumur. Seratus jarum kemudian berubah
- menjadi seratus tiang batu yang besarnya sepemeluk tangan dan tinggi
- mencapai empat tombak, menyamai ketinggian pohon bercabang
- tunggal. Seratus tiang batu menancap di pedataran mengelilingi pohon.
- Saat itu Rakai Kayuwangi mendengar suara-suara pekik jerit riuh
- sekali, aneh menggidikkan. Pedataran pasir bergetar dan telinganya
- berdenging sakit. Namun dia sama sekali tidak melihat mahluk apa yang
- menjerit dan berada di mana.
- Kalau di pedataran Raja Mataram melihat seratus batu tinggi
- hitam mengeliling pohon, maka di atas cabang pohon, anak lelaki
- berusia dua belas tahun bukannya melihat seratus tiang batu tetapi
- melihat seratus mahluk tinggi hitam bugil berperut buncit mengerikan.
- Semua berkepala botak, bermata merah besar, di kepala ada sebuah
- cula. Lidah panjang luar biasa, setiap dijulurkan bisa menyentuh pasir
- pedataran. Sepuluh jari tangan memiliki kuku berwarna merah.
- “Puluhan tiang batu hitam... Apakah ini yang jadi penyebab
- Mimba Purana melarangku melanjutkan langkah?” pikir Raja Mataram.
- Anak di atas cabang pohon gerakkan tangan kanan. Dari telapak
- yang terkembang keluar sinar kuning menyilaukan, menyambar
- berputar ke arah seratus tiang batu tinggi hitam.
- “Seratus Jin Perut Bumi!” Anak di atas pohon beseru lantang.
- “Aku Mimba Purana tidak akan beranjak dari tempatku berdiri. Kalian
- tidak akan bergerak dari tempat kalian tegak! Tidak ada di antara kita
- yang akan mulai melakukan kekerasan!”
- Rakai Kayuwangi merasa heran. Tidak tahu pada siapa anak di
- atas pohon bicara. Seratus Jin Perut Bumi?! Dia tidak melihat mahluk
- apapun kecuali seratus tiang batu tinggi hitam.
- Rakai Kayuwangi dikejutkan oleh suara menggemuruh yang
- menggetarkan pedataran pasir. Lalu terdengar suara membahana
- diucap seratus mahluk yang tidak mampu dilihatnya.
- “Mimba Puranal Kami akan memanggangmu sampai menjadi
- debu!”
- “Seratus Jin Perut Bumi! Kalian tidak memandang sebelah mata
- pada maksud baikku! Aku tahu kalian diperalat! Aku masih memberi
- kesempatan!”
- Jawaban yang terdengar adalah suara menggembor dahsyat.
- Rakai Kayuwangi bersurut sampai beberapa langkah ketika
- melihat ratusan larik sinar merah menyembur dari seratus tiang batu
- lalu melesat ke arah pohon di mana anak lelaki berusia dua belas tahun
- berdiri di atas cabang tunggal.
- “Wuss ! Wusss !”
- Pohon tinggi besar tenggelam dalam kobaran api berwarna merah
- bercampur biru. Hawa panasnya membuat Rakai Kayuwangi terpaksa
- melompat menjauh.“Satria Lonceng Dewa!” Raja Mataram berteriak karena saat itu dia
- tidak dapat lagi melihat anak di atas cabang pohon. Dia merasa sangat
- kawatir kalau terjadi sesuatu dengan anak lelaki bernama Mimba
- Purana itu. Karena sesuai petunjuk Eyang Dhana Padmasutra anak itu
- adalah kunci petunjuk selanjutnya bagi keselamatan Mataram.
- Seratus Jin Perut Bumi! Di hadapannya ada seratus tiang batu.
- Apakah ini ujud mahluk gaib itu? Karena merasa punya kewajiban
- melindungi anak di atas pohon maka tidak pikir panjang lagi Rakai
- Kayuwangi segera sapukan tongkat di tangan kanan ke arah tiang-tiang
- batu.
- “Wuttt!”
- Cahaya merah bertabur menebar hawa panas.
- “Dess! Dess!”
- Raja Mataram menjerit keras ketika tubuhnya terpental oleh
- hantaman hawa panas yang berbaiik menyerangnya. Pakaian
- mengepulkan asap. Tongkat hampir terlepas. Tiba-tiba suara jerit pekik
- yang tadi mereda kini kembali menggelegar.
- Rakai Kayuwangi melihat ratusan tiang batu hitam yang
- mengelilingi pohon di tengah pedataran berubah ujud menjadi mahluk
- mengerikan. Tubuh bugil buncit dan hitam. Kepala botak bercula.
- Seratus lidah menjulur melesat ke arahnya. Puluhan larik cahaya merah
- panas datang menggulung.
- “Dewa Bathara Agung! Saya pasrah menerima kematian jika ini
- memang kehendakMu. Permohonan saya yang terakhir, selamatkan
- keluarga, kerajaan, para pengikut dan rakyat Mataram!”
- Sri Maharaja Mataram berseru keras karena sadar tidak mampu
- menyelamatkan diri lagi. Tubuh terhuyung ke belakang lalu jatuh
- terduduk di tanah. Tangan kanan masih memegang tongkat namun
- keadaannya seperti lumpuh tak mampu digerakkan. Rakai Kayuwangi
- berusaha pergunakan tangan kiri untuk mencabut keris di belakang
- pinggang. Namun salah satu lidah mahluk hitam bugil menggebuk bahu
- kirinya hingga sang Raja terbanting ke tanah. Kulit bahu hangus
- melepuh! Di sebelah dalam daging dan tulang serasa remuk!
- Sekejapan lagi sekujur tubuh Raja Mataram akan lumat dan
- gosong dilanda serangan puluhan lidah dan cahaya merah panas, tiba-
- tiba terdengar bahana suara lonceng yang agaknya bukan lonceng biasa
- tetapi merupakan satu lonceng raksasa yang seolah menggantung di
- udara. Langit di atas kepala sang Raja tertutup cahaya kuning. Lalu
- cahaya ini menerpa ke bawah.
- Pedataran laksana disergap badai. Pasir kuning menggebubu ke
- udara. Ketika sesaat pandangan mata terhalang tiba-tiba ada seseorang
- merangkul pinggang Rakai Kayuwangi, lalu laksana terbang
- membawanya pergi dari tempat itu.
- Sebelum pedataran lenyap dari pandangan matanya, Rakai
- Kayuwangi masih bisa melihat bagaimana seratus mahluk seram berubah menjadi tiang batu kembali lalu melesak masuk ke dalam
- pedataran pasir I Suara jerit pekik menggelegar di Seantero pedataran.
- Namun lenyap ditelan bahana suara lonceng raksasa yang tidak terlihat
- ujud dan entah berada di mana.
- Raja Mataram berusaha melihat dan mencari tahu siapa orang
- yang menyelamatkan lalu melarikannya laksana terbang membelakangi
- sinar sang surya. Namun dia tidak melihat apa-apa kecuali cahaya
- kuning benderang. Selain itu pemandangan matanya perlahan-lahan
- berubah pudar. Lalu sang Raja terkulai tak sadarkan diri. Ini adalah
- akibat cairan dari lidah panjang mahluk hitam bugil yang melukai bahu
- kirinya. Ternyata cairan itu mengandung racun jahat
- ENAM
- SRI MAHARAJA Rakai Kayuwangi tidak tahu pasti apa yang telah
- terjadi atas dirinya. Yang masih diingatnya terakhir sekali adalah
- seseorang membawanya lari laksana terbang dan dia hanya melihat satu
- cahaya kuning. Ketika perlahan-lahan kesadarannya mulai pulih,
- memandang berkeliling dia melihat sosok anak lelaki itu, duduk bersila.
- Rambut hitam menjulai panjang setengkuk. Wajah tampan dan
- sepasang mata bening dibawah alis tebal hitam menatap ke arahnya.
- Walau agak tersuruk tapi Sri Maharaja dapat melihat kalau ada
- sebentuk anting emas mencantel di daun telinga kanan anak lelaki ini.
- Kemudian, jika dia menatap dan memusatkan perhatian agak lama
- maka dia melihat ada bayangan cahaya kuning menyelubungi tubuh si
- anak.
- Rakai Kayuwangi merasa jaraknya dengan anak lelaki itu hanya
- terpaut sepejangkauan tangan, dekat sekali. Namun ketika dia
- mengulurkan tangan kanan berusaha hendak menjangkau, dia tidak
- berhasil menyentuh tubuh anak itu. Bocah luar biasa I
- “Satria Lonceng Dewa...”
- Anak yang disapa tersenyum lalu membungkuk tiga kali lalu
- berkata.
- “Sri Maharaja, penghormatan saya untuk Yang Mulia. Nama saya
- Mimba Purana. Mohon memanggil saya dengan nama itu...”
- Suara yang terdengar adalah suara anak lelaki usia dua belas
- tahun. Namun suara itu begitu jernih dan penuh wibawa.
- Sadar kalau saat itu dia dalam keadaan tersandar ke dinding,
- Rakai Kayuwangi cepat luruskan tubuh, lipat kedua kaki dan duduk
- bersila. Saat itulah dia juga mengetahui kalau ada dua buah benda
- tergeletak di pangkuannya. Ketika menunduk memperhatikan dia
- melihat sebilah keris telanjang memancarkan cahaya putih keabu-
- abuan. Keris Widuri Bulan. Keris miliknya sendiri. Sesuai dengan
- namanya senjata bertuah itu konon terbuat dari gumpalan besar batu
- Widuri Bulan yang secara gaib melayang jatuh ke bumi setelah seorang
- kakek sakti melakukan tapa selama tujuh purnama. Si kakek kemudian
- menyerahkan batu itu kepada Sri Maharaja Mataram yang waktu itu
- masih berusia sepuluh tahun. Lalu seorang tokoh istana meminta
- seorang sakti di Jawa sebelah timur untuk menempa batu menjadi
- sebilah keris setelah dicampur dengan beberapa jenis logam
- berkekuatan gaib.
- Di samping keris, melintang sebatang tongkat kayu. Itulah tongkat
- pemberian Eyang Dhana Padmasutra. Dia merasa ada sesuatu di bahu
- kirinya. Ketika diperhatikan di bahu itu menempel sehelai daun keladi
- yang warna hijaunya telah berubah menjadi hitam.Rakai Kayuwangi mengingat-ingat. Dia berkelahi melawan
- puluhan mahluk ganas hitam telanjang berkepala botak bercula di satu
- pedataran pasir. Dalam keadaan terdesak dia berusaha menyelamatkan
- diri dengan mencabut keris itu. Lalu lidah salah satu mahluk
- menggebuk bahu kirinya. Ketika hampir menemui ajal tiba-tiba ada
- seseorang menyelamatkan dan menerbangkan dirinya ke langit.
- Sri Maharaja angkat daun keladi yang menempel di bahu kirinya.
- Kulit bahu itu tampak kemerah-merahan namun tidak lagi hangus
- melepuh. Sang Raja menatap ke arah anak lelaki di hadapannya. Dalam
- hati berkata. “Hanya selembar daun keladi hutan. Sungguh anak pilihan
- Para Dewa ini sakti luar biasa.”
- “Mimba Purana, saya percaya kaulah yang telah menyelamatkan
- diri saya dari puluhan mahluk seram itu. Saya percaya engkau pula
- yang membawa saya ke tempat ini dan mengobati luka parah di bahu
- kiri saya. Untuk itu saya berterima kasih...” Tanpa segan-segan Raja
- Mataram ini lalu rundukkan tubuh.
- Anak lelaki bernama Mimba Purana yang tadi dipanggil dengan
- julukan Satria Lonceng Dewa tampak jadi kikuk dan beringsut ke
- belakang. Buru-buru dia berkata.
- “Yang Mulia, saya tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Semua
- terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa. Mohon tidak menghormati
- saya secara berlebihan. Menurut usia, saya seharusnya seumur dengan
- putera Yang Mulia.”
- Raja Mataram anggukkan kepala berulang kali. Berdasarkan
- riwayat yang diketahuinya dari para cerdik pandai dan para tokoh di
- Istana, dia mengetahui kalau anak lelaki yang duduk bersila di
- hadapannya itu sebenarnya baru berusia dua belas bulan. Namun anak
- keramat yang terlahir dari seorang ibu yang tetap perawan ini, atas
- kehendak Para Dewa selain memiliki ilmu kesaktian juga memiliki usia
- yang satu bulan dirinya sama dengan usia satu tahun anak biasa. (Baca
- serial Mimba Purana “Satria Lonceng Dewa”)
- “Saya mengerti,” kate Raja Mataram pula. “Mulai saat ini saya
- akan memanggilmu dengan sebutan Ananda.”
- “Yang Mulia, satu kehormatan yang terhingga kalau Yang Mulia
- memanggil saya sebagai anak...”
- “Tapi saya tetap menghaturkan terima kasih pada Ananda.
- Beberapa tahun lalu kita pernah bertemu. Saat itu Ananda
- menyelamatkan Kerajaan dari perbuatan jahat orang-orang di selatan.
- Sekarang kembali Bhumi Mataram digoncang malapetaka. Jauh lebih
- hebat dari yang terjadi sebelumnya. Banjir besar yang airnya berwarna
- semerah darah dan menebar bau busuk membuat Bhumi Mataram
- porak poranda hampir sama rata dengan tanah. Ratusan bahkan ribuan
- rakyat tidak berdosa termasuk ternak menemui ajal. Yang masih hidup
- diserang penyakit aneh. Kaki lumpuh, di kepala ada delapan benjolan
- berwarna merah seperti yang Ananda bisa lihat sendiri di kening saya.
- Ketika saya bertapa di puncak Bukit Batu Hangus memohon keselamatan bagi para pengikut, keluarga saya dan seluruh rakyat
- Mataram, saya mendapat petunjuk dari Sang Hyang Bathara Agung
- bahwa saya harus mencari dan menemui Ananda. Saya tidak tahu di
- mana harus mencari. Namun saya tahu riwayat Sumur Api. Saya
- memasuki rimba belantara tak jauh dari Kali Dengkeng. Namun saya
- tersesat dan terputar-putar di dalam hutan. Ada satu kekuatan gaib
- menghalangi saya dalam mencari Ananda...”
- “Kekuatan penghalang itu ditimbulkan oleh mahluk bernama
- Delapan Sukma Merah... Kekuatan itu pula yang hendak mencelakai
- Yang Mulia dengan mempergunakan delapan mahluk merah jejadian...”
- Berkata Mimba Purana.
- “Ananda rupanya sudah tahu peristiwa itu,” kata Sri Maharaja
- Mataram. Dia tidak merasa heran karena tahu Mimba Purana bukanlah
- anak sembarangan. “Ananda, saya ingat sekarang. Delapan Sukma
- Merah. Kata-kata itulah yang pernah diucapkan oleh mahluk roh
- Sedayu Galiwardhana. Delapan Sukma Merah penguasa tujuh
- samudera, tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. Ananda, apakah kau
- tahu siapa adanya mahluk itu?”
- “Yang Mulia, harap teruskan dulu cerita Yang Mulia,” jawab
- Mimba Purana.
- “Para Dewa Maha Pengasih. Seorang kakek bernama Dhana
- Padmasutra muncul dari alam roh...” Sri Maharaja meneruskan ucapan
- setelah terdiam sesaat.
- Mimba Purana luruskan tubuhnya. Lalu berkata. “Orang tua itu
- adalah sahabat dan sudah dianggap kakek sendiri oleh Ibunda saya...”
- “Sungguh besar rahmat Yang Maha Kuasa...” ucap Sri Maharaja
- dengan agak tercengang.
- “Saya hanya mendengar cerita Ibunda. Saya sendiri belum pernah
- bertemu dengan kakek itu. Yang Mulia lebih beruntung dari saya, telah
- menemui kakek Ibunda saya...” Berkata anak lelaki bernama Mimba
- Purana.
- Sri Maharaja terdiam sejurus mendengar ucapan Mimba Purana.
- Lalu meneruskan penuturan.
- “Eyang Dhana memberikan tongkat kayu miliknya pada saya.
- Katanya tongkat ini akan menjadi penuntun untuk mencari dan
- menemui diri Ananda. Orang tua itu juga berpesan, setelah kita bertemu
- maka tongkat ini harus saya serahkan pada Ananda karena menurut
- Eyang Dhana tongkat ini sebenarnya adalah milik Ibunda Ananda yang
- dipinjam...”
- Sri Maharaja beringsut mendekati anak lelaki di hadapannya
- untuk menyerahkan tongkat kayu. Si anak menatap tongkat itu
- sebentar lalu berkata.
- “Yang Mulia, mungkin tongkat itu akan lebih banyak manfaatnya
- jika tetap berada di tangan Yang Mulia. Mengapa tidak dipegang saja
- untuk sementara?”
- “Ananda Mimba, saya berterima kasih atas kepercayaan dan perhatian Ananda. Namun begitu pesan Eyang Dhana, begitu pula yang
- harus saya lakukan. Ananda Mimba, terimalah tongkat ini...”
- Anak lelaki berusia dua belas tahun itu akhirnya ulurkan tangan
- menerima tongkat. Sri Maharaja sendiri cepat-cepat mengambil Keris
- Widuri Bulan dari pangkuannya dan memasukkan ke dalam sarung
- yang masih terselip di belakang pinggang. Tanpa diketahui, dilihat
- ataupun disadari oleh Raja Mataram ketika Mimba Purana menerima
- tongkat, anak ini dengan kesaktiannya menyusupkan tongkat itu ke
- dalam tubuh Rakai Kayuwangi melalui lengan kanannya sementara
- yang dilihat sang Raja, tongkat yang diletakkan si anak di lantai di sisi
- kanannya hanyalah bayangan semata.
- “Ananda, saya bersyukur Para Dewa telah mempertemukan saya
- dengan diri Ananda. Selanjutnya saya mohon petunjuk, apa yang harus
- saya lakukan.”
- “Yang Mulia, apakah Yang Mulia telah menceritakan semua apa
- yang terjadi di Mataram?” Mimba Purana bertanya.
- Sri Maharaja merenung sejenak sambil menatap wajah tampan
- anak lelaki di hadapannya.
- “Mungkin saya perlu memberi tahu dari asal muasal kejadian.”
- Berkata Sri Maharaja. Lalu dia menceritakan riwayat pembuatan Keris
- Kanjeng Sepuh Pelangi oleh Empu Semirang Biru. Keris lenyap dicuri
- mahluk jejadian yang menampilkan diri sebagai pertapa sakti dari
- Gunung Merbabu bernama Sedayu Galiwardhana. Raja Mataram juga
- menceritakan lenyapnya Empu Semirang beberapa waktu sebelum
- bencana melanda Kerajaan. Lalu perihal Raden Ageng Daksa yang
- ditemukan sudah menjadi mayat dengan tanda dua telapak tangan
- berjari empat di punggungnya.
- “Ananda Mimba, itu semua yang bisa saya ceritakan padamu.”
- “Yang Mulia, saya menduga Yang Mulia belum menceritakan
- semua kejadian penting yang berlangsung di Mataram.” Berkata Mimba
- Purana.
- Raja Mataram berpikir-pikir. Dia merasa telah menuturkan semua
- kejadian. Namun tiba-tiba dia ingat satu hal.
- “Ketika saya dan para tokoh Kerajaan mengadakan pertemuan di
- satu ruang rahasia di Istana, seorang penasehat saya yaitu perempuan
- berusia sekitar setengah abad bernama Ratu Randang telah kesusupan
- serangan aneh. Di dadanya tiba-tiba saja ada tanda dua telapak tangan
- berjari empat tanpa jari tengah...”
- “Yang Mulia tahu, di mana sekarang beradanya Ratu Randang?”
- “Dia minta izin untuk menemui Arwah Ketua. Mahluk alam gaib
- yang tinggal di sebuah Candi Miring untuk mencari keterangan serta
- petunjuk agar dapat menyelamatkan Kerajaan.” Sri Maharaja diam
- sebentar lalu bertanya. “Ananda, ada apa Ananda menanyakan
- pembantu saya itu?”
- “Saya hanya ingin tahu agar tidak ada yang tertinggal di pikiran
- dan benak saya,” jawab si bocah yang dijuluki Satria Lonceng Dewa,Pendekar Bhumi Mataram.
- “Yang Mulia, sekarang katakan apa yang bisa sama-sama kita
- lakukan untuk menyelamatkan Kerajaan dan rakyat Mataram.”
- “Dengan Kuasa Yang Maha Kuasa Saya ingin kami semua bisa
- keluar dari malapetaka yang mengerikan ini. Yang pertama sekali,
- bagaimana caranya rakyat dan semua mahluk hidup yang ada di Bhumi
- Mataram lepas dari kelumpuhan dan demam panas yang menyerang
- mereka. Lalu delapan benjolan merah agar bisa dilenyapkan dari kening
- mereka. Kemudian mohon sekali bantuan Ananda agar Keris Kanjeng
- Sepuh Pelangi bisa ditemukan kembali. Saya berharap Ananda bisa
- menolong...”
- “Yang Mulia, saya bocah yang tidak punya kepandaian apa-apa.
- Apa lagi yang namanya kekuasaan. Tapi karena saya adalah anak
- Mataram, Ibunda saya juga orang Mataram maka saya merasa diri yang
- tidak berdaya ini ikut punya rasa pengabdian terhadap Yang Mulia dan
- Kerajaan. Jika Yang Mulia mengizinkan saya akan melakukan tapa
- untuk mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa...”
- “Saya mengikut saja. Namun saat ini kita berpacu dengan waktu.
- Jika Ananda melakukan tapa sampai berhari-hari, semua orang,
- termasuk yang kini berada di Bukit Batu Hangus akan menemui ajal
- karena penyakit dan kelaparan...”
- “Saya tahu apa Yang Mulia kawatirkan. Tapi satu tahun bagi kita
- manusia biasa, bisa saja hanya satu hari bagi Yang Maha Kuasa. Satu
- minggu bagi kita, bagi Yang Maha Kuasa bisa saja hanya sekejapan
- mata. Apakah Yang Mulia sudi menunggu sementara saya mulai
- bertapa?”
- “Ananda, saya serahkan semuanya padamu. Saya akan
- membantu dengan doa,” jawab Sri Maharaja Rakai Kayuwangi lalu
- tanpa memejamkan mata dia susun sepuluh jari di atas kepala dan
- mulai memanjatkan doa.
- Di hadapan Raja Mataram anak lelaki berusia dua belas tahun
- duduk bersila dengan khidmat. Mata dipejam, dua tangan disilang di
- atas dada. Bayangan cahaya kuning yang samar-samar membungkus
- sekujur tubuh Mimba Purana tampak memancar lebih terang. Dari
- ubun-ubun di kepalanya memancar satu cahaya kuning berbentuk garis
- lurus, menembus langit-langit batu. Itu garis batin hati nurani yang
- paling suci yang tengah coba bersentuh dengan kekuatan gaib dari Yang
- Maha Kuasa.
- Tiba-tiba Raja Mataram yang tengah berdoa melihat larikan garis
- kuning lenyap. Cahaya terang yang membungkus sosok Mimba Purana
- juga sirna. Anak itu turunkan dua tangan dari atas dada, diletakkan di
- atas pangkuan, perlahan-lahan mata dibuka.
- “Yang Mulia, saya baru saja menyelesaikan tapa dua puluh satu
- hari.” Berkata Mimba Purana Satria Lonceng Dewa.
- “Ananda Mimba, sungguh luar biasa...” Ucap Raja Mataram
- sambil menurunkan kedua tangan yang tadi disusun di atas kepala.“Di dalam tapa saya mendapat petunjuk bahwa pertolongan yang
- kita harapkan itu berada dalam sebuah ruangan keramat yang pintunya
- terkunci. Kunci pembuka pintu itu ada dua buah. Keduanya ada pada
- Yang Mulia...”
- “Saya...? Saya merasa tidak pernah membawa atau memiliki dua
- buah kunci...” Kata Raja Mataram pula dengan heran sambil meraba-
- raba pakaiannya.
- Untuk beberapa ketika si anak menatap wajah sang Raja. Air
- mukanya tampak meredup. Lalu dia berkata dengan suara perlahan.
- “Kunci yang dimaksudkan itu adalah dua jari tengah kedua
- tangan Yang Mulia. Dua jari tangan itu harus dipotong tepat pada
- pangkalnya...”
- Kejut Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Lokapala bukan alang
- kepalang. Wajah berubah. Namun dia cepat menguasai diri lalu
- bertanya.
- “Ananda Mimba Purana. Tidak salahkah telinga saya
- mendengar?”
- “Pertunjuk telah didapat. Kata telah diucapkan. Yang Mulia, saya
- minta maaf. Saya mohon Yang Mulia segera mencabut Keris Widuri
- Bulan. Yang Mulia harus memotong sendiri dua jari tengah Yang Mulia
- dengan keris itu...”
- TUJUH
- SRI MAHARAJA Rakai Kayuwangi terkesiap. Mata menatap lekat-lekat
- ke wajah anak lelaki dua belas tahun di hadapannya. Kalau tadi dia
- masih meragu dan bertanya apakah tidak salah mendengar ucapan
- maka kini keraguan itu serta merta lenyap malah berubah menjadi
- kecurigaan I Dia diminta si anak untuk memotong kedua jari tangan
- sebelah tengah dengan mempergunakan Keris Widuri Bula& Jari lengahi
- Tentu saja sang Raja ingat akan peristiwa yang sudah-sudah. Raden
- Ageng Dak&* menemui kematian dengan tanda dua telapak tsrtg&ft
- oerjari empat-tanpa jari tengah-di panggungnya. Ratu Randang diserang
- secara gaib oleh mahluk yang tidak kelihatan dan meninggalkan tanda
- dua telapak tangan lengkap dengan jari-jari namun tanpa jari tengah.
- Delapan mahluk merah yang hendak membunuhnya juga tidak memiliki
- jari tengah. Delapan Sukma Merah.
- “Punya hubungan apa bocah ini dengan mahluk bernama Delapan
- Sukma Merah. Jangan-jangan... Dewa Agung, apakah saat ini saya
- benar-benar berhadapan dengan anak bernama Mimba Purana, berjuluk
- Satria Lonceng Dewa? Atau hanya jejadiannya yang hendak mencelakai
- diri saya? Menjebak hingga saya berubah menjadi mahluk celaka yang
- tidak punya jari tengah?!”
- Selagi sang Raja berpikir menduga-duga penuh curiga seperti itu
- tiba-tiba ada suara mengiang di telinga kanannya.
- “Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Lokapala. Bocah jahat hendak
- menipumu. Dia bukan Satria Lonceng Dewa yang asli! Dialah mahluk
- biang racun penimbul bencana Malam Jahanam! Cabut keris sakti di
- pinggangmu sekarang jugal Bunuh dia dengan senjata itu! Jika dia mati
- maka dirimu, keluargamu, rakyat dan Kerajaan akan selamat dari
- malapetaka. Bunuh dia sekarang jugal”
- “Pertunjuk Dewa Agungi Ini pasti petunjuk Yang Maha Kuasa!”
- ucap Rakai Kayuwangi dalam hati. Sekujur tubuh menggeletar dialiri
- hawa amarah. Tidak menunggu lebih lama Raja Mataram ini segera
- cabut Keris Widuri Bulan. Sambil melompat keris sakti ditusukkan ke
- dada anak lelaki yang duduk tak bergeming di hadapannya. Gerakan
- yang dipergunakan adalah jurus bernama Kilat Menyabung Di Langit
- Mataram. Gerakannya luar biasa cepat dan disertai tenaga dalam penuhi
- “Setttl”
- Raja Mataram melengak kaget. Keris Widuri Bulan jelas dan telak
- menusuk masuk ke dalam dada si bocah. Namun dia seperti merasa
- menusuk kapas yang lembut. Ketika anak yang hendak dibunuhnya itu
- tampak tersenyum, bergetarlah sekujur tubuh Rakai Kayuwangi,
- tengkuk serta merta menjadi dingini
- Dengan cepat Rakai Kayuwangi cabut keris yang menancap didada si anak. Tidak ada lobang bekas tusukan, tidak ada darah yang
- mengucur. Badan keris sampai ke ujung bersih sama sekali, tidak ada
- noda darah! Cahaya benderang putihnya sama sekali tidak redup!
- Tiba-tiba Raja Mataram melihat ada titik putih muncul di
- permukaan kening Mimba Purana. Dengan cepat titik ini berubah besar
- dan astaga! Titik itu dengan cepat membentuk mata berwarna kuning.
- Mata ketigal Mata Dewal Lalu.
- “Wuss!”
- Selarik sinar kuning melesat keluar dari mata di kening,
- menyambar ke arah Raja Mataram. Sinar menyilaukan itu lewat hanya
- satu jengkal di atas kepala. Sesaat kemudian terdengar suara jeritan,
- disusul suara gedebuk jatuhnya satu sosok ke lantai ruangan. Rakai
- Kayuwangi cepat memutar tubuh palingkan kepala.
- Di lantai, sedikit tertutup oleh kepulan asap tipis hitam tergeletak
- sosok seorang tua berambut putih panjang mengenakan selempang kain
- putih. Di keningnya ada delapan benjolan merah. Raja Mataram ingat,
- dia pernah bertemu orang tua itu satu kali ketika masih berusia enam
- tahun. Namun dia masih bisa mengenali. Si orang tua adalah pertapa
- sakti dari Gunung Merbabu bernama Sedayu Galiwardhana yang
- diketahuinya telah tewas terbunuh beberapa tahun silam. Tentu saja
- yang terlihat saat itu bukanlah jazad asli sang pertapa, melainkan ujud
- roh yang menampakkan diri sebagai manusia biasa. (Mengenai siapa
- adanya Sedayu Galiwadhana. harap baca serial Mimba Purana “Satria
- Lonceng* Mataram”, karangan Bastian Tito)
- “Eyang Sedayu Galiwardhana, saya tahu kau muncul dari alam
- roh. Berbuat kejahatan bukan maumu. Karenanya kembalilah ke alam
- sana dengan segala ketenteraman. Maafkan kalau saya telah berlaku
- kasar terhadap Eyang.”
- Baru saja Mimba Purana selesai mengeluarkan ucapan, kepulan
- asap hitam lenyap. Bersamaan dengan itu sosok orang tua yang
- tergeletak di lantai ruangan batu bergerak bangun, duduk di lantai lalu
- bangkit berdiri. Dia menatap ke arah Sri Maharaja Mataram lalu
- berpaling pada Mimba Purana. Sepertinya ada yang hendak diucapkan.
- Namun mulut tetap terkancing sampai akhirnya sosok gaibnya melesat
- ke atas, menembus atap batu dan lenyap dari pemandangan.
- “Ananda Mimba Purana...” Berkata Rakai Kayuwangi. “Orang tua
- tadi... menurut keterangan yang saya dengar dari Empu Semirang Biru,
- dialah yang telah mencuri Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Seharusnya tadi
- kita tanyai dulu dia...”
- “Saya tahu Yang Mulia. Seperti kata saya tadi, dia berbuat
- kejahatan bukan kehendaknya. Ada yang menguasai dan
- mengendalikan rohnya. Saya tidak bisa berbuat banyak selain
- membiarkannya kembali ke alamnya. Mungkin saja dia akan kembali
- muncul melakukan kejahatan. Tapi jika Yang Maha Kuasa berkehendak
- lain maka hal itu tidak akan terjadi. Yang Mulia perlu menemuinya...”
- Raja Mataram sadar. Cepat-cepat dia membungkuk.
- “Ananda, saya minta maaf. Saya telah tertipu. Ketika Ananda
- meminta saya memotong kedua jari tengah tangan saya, saya mendapat
- bisikan kalau...”
- “Saya tahu Yang Mulia dan saya mengerti. Sekarang apakah Yang
- Mulia yakin bahwa diri saya bukan mahluk bocah jahat yang hendak
- menipu Yang Mulia? Apakah Yang Mulia masih merasa ragu untuk
- memotong kedua jari tengah Yang Mulia sebagaimana petunjuk yang
- saya dapat dalam tapa dua puluh satu hari tadi?”
- Raja Mataram menatap Keris Widuri Bulan yang masih
- tergenggam di tangan kanannya.
- “Ananda, saat ini tidak ada lagi keraguan dalam diri saya.
- Jangankan memotong jari, demi keselamatan rakyat dan Kerajaan
- Mataram memenggal leherpun akan saya lakukan. Karena saya tahu
- semua ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa,” jawab Rakai Kayuwangi.
- Lalu Raja Mataram ini letakkan tangan kiri di atas lantai batu. Lima jari
- dikembang. Keris Widuri Bulan pancarkan sinar terang ketika
- didekatkan ke pangkal jari tengah tangan kiri. Bibir digigit. Tangan
- kanan bergerak ke bawah dengan tekanan penuh.
- “Crasss!”
- DELAPAN
- DARAH menyembur begitu jari tengah tangan kiri putus habis di bagian
- pangkal! Potongan jari tengah tergeletak di lantai batu. Rakai Kayuwangi
- ingin berteriak akibat rasa sakit yang luar biasa. Namun dia kuatkan
- diri menahan sakit agar tidak sampai mengeluarkan jeritan hingga
- sekujur tubuh bergetar dan memercikkan keringat.
- Dalam keadaan tangan kiri berlumuran dan masih mengucurkan
- darah dipindahkan Keris Widuri Bulan ke tangan kM. Kini tangan kanan
- diletakkan dan dikembangkan di lantai.
- Keris sakti berpijar terang-Bagian ujung yang tajam ditetakkan ke
- bawah, ditekan ke pangkal jari tengah tangan kanan. “Crass!”
- Seperti keadaannya jari tangan kiri, jari tengah tangan kanan
- putus buntung! Darah mengucur deras. Rakai Kayuwangi menggigit
- bibir sendiri menahan sakit dan berusaha untuk tidak menjerit. Walau
- mampu menahan sakit dan tidak menjerit namun sepasang mata Rakai
- Kayuwangi tampak berkaca-kaca. Inilah satu pertanda bahwa dia
- memotong putus kedua jari tengahnya dengan segala kepasrahan dan
- ketegaran.
- Sambil membungkukkan tubuh Raja Mataram keluarkan ucapan.
- “Wahai Yang Maha Kuasa, apa yang menjadi petunjukMu telah
- saya lakukan. Saya mohon selamatkan rakyat dan Kerajaan...”
- “Yang Mulia, apa Yang Mulia ucapkan telah didengar oleh Yang
- Maha Kuasa. Sesungguhnya Yang Mulia telah berhasil melalui satu
- ujian yang sangat berat. Luruskan tubuh. Pandanglah baik-baik kedua
- tangan Yang Mulia. Tidak ada yang putus, tak ada yang berkurang pada
- diri Yang Mulia. Baik yang berupa daging, tulang ataupun cairan.
- Sesungguhnya Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan juga Maha
- Pengasih. Yang Maha Kuasa tidak akan pernah mencelakai ummatNya
- sendiri. Kecuali jika itu memang maunya sang ummat sendiri...”
- Raja Mataram terdiam sesaat mendengar kata-kata Mimba
- Purana. Dia merasa aneh. Rasa sakit pada kedua tangannya yang
- seperti hendak meledakkan kepala tiba-tiba lenyap. Malah kini dia
- merasakan kesejukan di sekujur tubuhl
- Perlahan-lahan Rakai Kayuwangi luruskan tubuh dan angkat
- kepala. Pandangan mata diarahkan pada kedua tangan.
- “Dewa Agungi Hyang Jagat Bathara!”
- Di tangan itu tidak ada lagi noda darah. Tidak ada darah yang
- menyembur. Tidak ada jari yang putus buntungl Tidak ada daging dan
- tulang yang putusl Kedua jari tengah tangan kiri kanan masih utuh di
- tempatnya semula, diantara empat jari lainnyal
- Lalu buntungan tangan yang tadi jelas-jelas dipotongnya sendiri?
- Rakai Kayuwangi memandang ke lantai batu. Astaga! Di lantai di mana seharusnya tergeletak dua buntungan jari tengah kedua tangannya kini
- tergeletak dua potongan kayu!
- “Dewa Maha Agung...”
- Raja Mataram menatap ke arah anak lelaki yang duduk tenang di
- hadapannya malah tampak tersenyum.
- “Yang Mulia, Yang Maha Kuasa menguji kita manusia dengan
- berbagai cara. Kadang-kadang tidak masuk akal. Yang Maha Kuasa
- telah mendengar permohonan Yang Mulia. Ketika memohon Yang Mulia
- tidak mengatakan minta keselamatan bagi diri Yang Mulia ataupun
- keluarga Yang Mulia. Tapi memohon dan mementingkan keselamatan
- rakyat dan Kerajaan. Yang Mulia telah membuka dua kunci pintu
- ruangan keramat. Sekarang baru saya berani mengatakan apa yang
- harus kita lakukan.”
- Raja Mataram rundukkan tubuh dan mengucapkan terima kasih
- berulang kali pada Yang Maha Kuasa dan pada anak lelaki di depannya.
- “Yang Mulia, petunjuk dalam tapa mengatakan pada saya bahwa
- Yang Mulia harus mencari Empat Mayat Aneh yang terkubur dalam
- sebuah makam. Makam itu terletak di sekitar Candi Gedong Pitu yang
- dibangun oleh Sri Maharaja Mataram para pendahulu Yang Mulia. Dari
- Empat Mayat Aneh itulah kelak Yang Mulia akan mampu mengetahui
- dan mencari jalan bagaimana menyelamatkan rakyat dan Kerajaan.
- Tentu saja menyelamatkan pula keluarga serta para pengikut yang setia
- dan Yang Mulia sendiri.”
- “Terima kasih Ananda, saya tahu di mana letak Candi Gedong
- Pitu. Saya pernah satu kali diajak mendiang Ayahanda ke tempat itu.
- Mudah-mudahan saya masih ingat jalan ke situ.” Rakai Kayuwangi
- terdiam sejurus. Lalu bertanya. “Ananda, saat ini sebenarnya kita
- berada di mana?” (Kawasan Candi Gedong Pitu terletak di desa Candi,
- kaki selatan Gunung Ungaran. Pada masa itu Raja-Raja Hindu di Jawa
- membangun tujuh candi agung. Itu sebabnya kawasan candi tersebut
- dinamakan Candi Gedong Pitu yang berarti Tujuh Bangunan Candi.
- Kemudian dibangun lagi dua buah candi baru dan sekarang kawasan
- tersebut dikenal dengan nama Candi Gedong Songo atau Sembilan
- Bangunan Candi-penulis)
- “Yang Mulia, kita berada di bawah Pegunungan Oieng, pada
- lapisan tanah ke tiga...”
- Sri Maharaja Mataram sampai ternganga mendengar ucapan
- Mimba Purana. Si anak tampak tenang-tenang saja.
- “Yang Mulia, satu hal perlu saya beritahu. Makam Empat Mayat
- Aneh itu tidak terletak di tanah sekitar Candi Gedong Pitu, di kaki
- selatan Gunung Ungaran. Tapi tergantung di udara. Yang Mulia harus
- mampu menurunkannya ke tanah lalu baru bisa menggali. Satu hal lagi,
- ada kesulitan lain. Makam yang tergantung di udara itu tidak mampu
- dilihat dengan mata kasat biasa...”
- “Ananda, kalau begitu penjelasan Ananda apakah ada petunjuk lain yang bisa membantu saya menemukan
- makam empat mayat aneh itu. Ananda tahu, waktu yang ada sangat
- singkat...”
- Mimba Purana mengangguk. Dua telapak tangan saling disatukan.
- Tak selang berapa lama dua tangan tampak memancarkan cahaya
- kuning. Lalu wuttl Sebuah benda melesat keluar diantara dua telapak
- tangan, berputar tiga kali di udara lalu melayang turun dan tersandar di
- dinding ruangan. Sri Maharaja memperhatikan keberadaan benda itu
- dengan mata tak berkesip. Seumur hidup baru sekali ini dia melihat
- benda seperti itu. Berbentuk kuda, lengkap dengan kepala dan buntut
- tapi tidak berkaki. Kuda-kuda ini terbuat dari kajang bambu yang
- dianyam halus, berwarna hitam dengan sepasang mata coklat besar.
- Pada bagian leher melingkar seutas tali kulit. Pada leher itu pula
- tergantung seuntai giring-giring atau kerincingan perak dan terselip satu
- cemeti kecil.
- “Ananda, benda apa ini? Seumur hidup baru sekali ini saya
- melihat yang seperti ini. Apa kuda jejadian, tapi mengapa tidak
- berkaki...”
- “Yang Mulia, benda yang tersandar di dinding itu disebut Kuda
- Lumping. Tidak berasal dari alam kita. Tapi berasal dari alam delapan
- ratus tahun dimuka kita...”
- Rakai Kayuwangi bertambah heran.
- “Keberadaan Kuda Lumping itu adalah atas kehendak Yang Maha
- Kuasa. Kuda Lumping itu akan menjadi tunggangan Yang Mulia menuju
- Gunung Ungaran dan selanjutnya menjadi penghubung antara Yang
- Mulia dengan beberapa mahluk tertentu, manusia, bangsa jin dan
- mahluk dalam alam roh lainnya...”
- Kening Sri Maharaja mengerenyit. “Kuda mainan, kuda mati, tidak
- berkaki. Bagaimana mungkin...”
- Mimba Purana si bocah sakti berjuluk Satria Lonceng Dewa
- tertawa. Lalu berkata.
- “Bagi Yang Maha Kuasa tidak ada yang tidak mungkin. Tunggangi
- Kuda Lumping itu. Sangkutkan lingkaran tali di leher Yang Mulia. Dia
- tidak berkaki karena dia memang tidak berlari seperti kuda biasa.
- Pergunakan cemeti untuk memecut pinggulnya maka dia akan
- menerbangkan Yang Mulia secepat kilat menyambar. Bilamana Yang
- Mulia telah sampai di kawasan Candi Gedong Pitu, akan ada seseorang
- menemui Yang Mulia. Selanjutnya setelah Yang Mulia menemui Empat
- Mayat Aneh, tanggalkan giring-giring perak dari leher Kuda Lumping,
- digoyang-goyang sambil disapukan diatas wajah Empat Mayat Aneh.
- Maka dengan izin Yang Maha Kuasa ke empat mayat itu akan terbangun
- dari keleiapan tidur mereka di alam baka. Lalu dari merekalah Yang
- Mulia akan mendapat petunjuk lebih lanjut.”
- Mendengar ucapan Mimba Purana, Raja Mataram mengucap
- berulang kali menyebut Kebesaran Yang Maha Kuasa.
- “Ananda, saya akan melakukan apa yang Ananda katakan.Namun sebelum pergi ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan.
- Ketika saya dihadang oleh puluhan mahluk hitam bugil, Ananda telah
- menyelamatkan saya. Mengapa Ananda tidak terlebih dulu mengambil
- tindakan terhadap mereka? Bukankah mahluk seperti itu perlu dibasmi.
- Apa lagi saya yakin mereka ikut mengambil peranan jahat dalam
- bencana yang melanda Kerajaan dan rakyat Mataram. Siapa puluhan
- mahluk itu sebenarnya?”
- “Mereka dikenal dengan nama Seratus Jin Perut Bumi. Mereka
- diam di hutan Mentaok. Walau mereka jahat ganas tapi saya punya
- kendala. Para Dewa tidak memberi izin saya untuk menghabisi mereka.
- Saya tidak menerima tanda berupa bunyi suara lonceng di dalam kepala
- saya. Karena sebenarnya mereka dahulu adalah yang termasuk jin putih
- dan pernah berbakti pada para sepuh Raja Raja Mataram. Sekarang
- mereka berada dibawah satu kekuasaan mahluk jahat..”
- “Delapan Sukma Merah?” tanya Raja Mataram pula.
- “Tidak bisa diduga,” jawab Mimba Purana. “Namun Para Dewa
- menginginkan agar mereka disadarkan. Itu menjadi tugas saya. Mudah-
- mudahan Yang Mulia bisa membantu...”
- “Ananda, menurutmu apakah Delapan Sukma Merah ini ada
- sangkut pautnya dengan orang yang menyebut dirinya sebagai Sri
- Maharaja Ke Delapan yang melakukan pemberontakan beberapa tahun
- silam?”
- “Saya tidak bisa memastikan Yang Mulia. Tapi yang namanya
- dendam kesumat itu bisa saja muncul dalam berbagai bentuk ketika
- melakukan pembalasan. Karenanya kita harus waspada dan berhati-
- hati...”
- Rakai Kayuwangi mengusap dagu lalu bertanya.
- “Mengenai Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, apakah saya akan
- mampu mendapatkannya kembali? Lalu siapa yang telah menculik
- Empu Semirang Biru dan bagaimana keadaannya...?”
- “Saya berharap jika Yang Mulia telah bertemu dengan Empat
- Mayat Aneh, semua pertanyaan Yang Mulia akan terjawab.”
- “Terima kasih Ananda. Rasanya saya harus pergi sekarang juga.”
- Kata Rakai Kayuwangi.
- “Benar Yang Mulia, Yang Mulia harus segera pergi. Namun ada
- sesuatu yang akan saya berikan pada Yang Mulia.”
- Mimba Purana bangkit dari duduknya lalu melangkah mendekati
- Sri Maharaja Mataram. Tangan kanan menggenggam dan tangan itu
- tampak mengeluarkan cahaya putih. Ada sesuatu dalam genggaman si
- bocah sakti. Tangan diulurkan pada Rakai Kayuwangi yang cepat
- disambut oleh sang Raja dengan mengulurkan tangan kanan dan
- membuka telapak lebar-lebar. Mimba Purana buka genggaman tangan
- kanan, letakkan sebuah benda di atas telapak tangan kanan Sri
- Maharaja Mataram. Ketika sang Raja memperhatikan benda yang ada di
- telapak tangannya itu ternyata sebuah batu tipis berwarna putih
- berbentuk segi tiga. Pada ujung kiri segi tiga terdapat guratan angka 2
- berwarna biru. Di ujung segi tiga sebelah atas tertera angka 1, juga
- berwarna biru. Lalu pada ujung segi tiga sebelah kanan ada lagi angka 2
- berwarna biru.
- “Batu putih berangka Dua Satu Dua. Apa artinya ini, Ananda?
- Apa kegunaannya?” tanya Raja Mataram.
- “Yang Mulia, simpan batu itu baik-baik. Jangan sampai hilang.
- Kelak batu itu akan menjadi tanda pengenal bagi seseorang yang datang
- dari negeri delapan ratus tahun mendatang, yang akan menemui Yang
- Mulia. Yang dengan izin Yang Maha Kuasa akan menolong Yang Mulia,
- Kerajaan dan rakyat Mataram... Yang Mulia, kita berpisah sampai di
- sini. Semoga Yang Maha Kuasa melindungi kita semua...”
- “Seseorang dari negeri delapan ratus tahun mendatang akan
- memberi pertolongan. Apakah tidak ada orang di Bhumi Mataram ini
- yang berkemampuan melakukan hal itu? Bagaimana mungkin orang
- yang masih belum ada dimintakan pertolongannya? Ananda, maafkan
- saya. Tapi saya benar-benar tidak mengerti.”
- “Yang Mulia,” sahut Mimba Purana, “kekuasaan Yang Maha Kuasa
- terkadang tidak bisa diterima akal kita bangsa manusia. Tapi siapakah
- yang berani membantah? Selain Kuasa, Dia juga Maha Mengetahui apa-
- apa yang ada di dalam hati kita, apa-apa yang telah terjadi di masa lalu
- dan apa-apa yang akan terjadi sekalipun di masa ribuan tahun
- mendatang. Yang Mulia boleh merasa ragu akan kemampuan manusia
- termasuk diri saya. Tapi jangan sekali-kali meragukan kemampuan
- Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa...”
- Seiring dengan berakhirnya ucapan, anak leiaki dua beias tahun
- itu lenyap dari pemandangan, meninggalkan selubung cahaya kuning
- yang menebar bau harum untuk beberapa lamanya. Rakai Kayuwangi
- menghela nafas panjang berulang kali sambil menyebut nama Yang
- Maha Kuasa. Lalu dia melangkah mendekati Kuda Lumping yang
- tersandar di dinding ruangan. Setelah memperhatikan dan mengusap-
- usap benda itu, punggung dan tubuh Kuda Lumping diletakkan di
- antara kedua kakinya. Lingkaran tali disangkutkan ke leher. Cemeti
- dicabut lalu dicambukkan ke pinggul Kuda Lumping sebelah kanan.
- •Taarrr!”
- Sri Maharaja Rakai Kayuwangi tercekat.
- Suara menggeledek membahana dalam ruangan batu. Di
- kejauhan terdengar suara kuda meringkik. Giring-giring di leher Kuda
- Lumping berbunyi nyaring.
- Wuttt! Saat itu juga Kuda Lumping melesat ke udara, menembus
- atap ruangan bersama Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala
- yang da di atas punggungnya!
- SEMBILAN
- DALAM serial sebelumnya yang berjudul “Malam Jahanam Di Mataram”
- diceritakan Pendekar 212 Wiro Sableng bertemu dengan seorang gadis
- usia empat belas tahun, bernama Ni Gatri anggota pemain rombongan
- Kuda Lumping Cahaya Utara. Ketika tengah mengadakan pertunjukan
- di sebuah pasar di Demak Ni Gatri hampir celaka bahkan tewas akibat
- perbuatan jahat seseorang yang berada di antara para penonton. Wiro
- yang ikut berkerumun dEanfaraorafig banyak menyaksikan pertunjukan
- berhasil menyelamatkan si gadis.
- Di balik kejadian Itu ternyata pembunuhan terhadap Ni Gatri
- memang sudah direncanakan oleh mahluk alamroh yang telah sejak
- lama mengikuti si gadis. Di saat yang bersamaan ada roh putih seorang
- kakek memasuki tubuh si gadis sehingga Ni Gatri berperi laku aneh dan
- bicara dengan suara mahluk yang ada dalam tubuhnya yaitu suara si
- kakek. Saat itu Ni Gatri mengeluarkan ucapan aneh menyangkut diri
- Wiro. “Kau... Akhirnya kutemui juga dirimu... Ki Sugeng saya memang
- tidak mengenal pemuda ini. Tapi saya yakin dialah orangnya.”
- Di pasar itu ada seorang kakek berdestar merah yang dibentak
- oleh Ni Gatri dengan suara anehnya. “Kaulah pembawa roh jahat itu!
- Kau yang hendak memasukkan angkara murka ke dalam tubuhku. Tapi
- Dewa Penguasa Jagat melindungi diriku, menghancurkan kejahatanmu!
- Sekarang tinggalkan tempat ini atau kau akan kujadikan mahluk paling
- hina di muka bumi ini!”
- Sewaktu Wiro meninggalkan pasar, Ni Gatri melarikan diri dari
- rombongan dan pergi mengejar Wiro. Dalam usahanya mencari Wiro
- gadis ini dikejar oleh seekor anjing buduk jejadian yang memiliki
- delapan benjolan merah di kepala. Binatang ini jelas hendak membunuh
- si gadis. Kembali Wiro menyelamatkan Ni Gatri. Anjing hitam dihajar
- dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari hingga kepalanya
- hancur. Sosok anjing berubah menjadi kepulan asap merah yang
- kemudian melesat lenyap ke udara. Di tempat itu lalu muncul samar
- sosok seorang lelaki tua berpakaian hitam. Di keningnya ada delapan
- benjolan merah. Sebelum lenyap orang tua ini berkata pada Wiro. “Anak.
- muda, jangan pernah mengira kalau aku sudah menemui ajal! Delapan
- Sukma Merah tidak pernah mati! Ha... ha... ha!”
- Yang membuat murid Sinto Gendeng jadi bingung adalah ketika Ni
- Gatri menyatakan bahwa dia ingin ikut ke mana Wiro pergi. Dia tidak
- mau kembali ke rombongan pemain Kuda Lumping karena takut akan
- diperlakukan mesum oleh pimpinan rombongan yang bernama Ki
- Sugeng Jambul. Karena merasa ada sesuatu yang aneh dalam diri Ni
- Gatri yang berhubungan dengan dirinya Wiro akhirnya mengajak gadis
- belia itu ke Kotaraja untuk dititipkan pada seorang sahabat. Dia merasa hiba dan sekaligus bertanggung jawab kalau sampai terjadi sesuatu
- yang buruk dengan Ni Gatri.
- Mereka memasuki pinggiran Kotaraja sebelah barat menjelang
- senja. Sahabat yang dimaksudkan Wiro adalah sepasang kakek nenek
- yang dikenal dengan panggilan Kakek dan Nenek Pringkun. Kedua
- suami istri yang tidak punya anak ini bekerja sebagai abdi dalem di
- Keraton Sultan. Sekali seminggu mereka pulang ke rumah mereka di
- pinggiran Kotaraja.
- Kakek-nenek Pringkun selain terkejut melihat kedatangan Wiro
- yang sudah bertahun-tahun tidak pernah ditemui sekaligus merasa
- gembira mengetahui bahwa Pendekar 212 datang membawa seorang
- gadis belia ayu. Sambil membelai kepala Ni Gatri Kakek Pringkun
- berkata.
- “Pendekar, kami berdua tentu saja sangat bahagia ketitipan Ni
- Gatri. Puluhan tahun kawin tidak punya keturunan. Hari ini Dewa
- Agung mengulurkan tangan Kasih memberikan seorang gadis pada
- kami. Namun mungkin Ni Gatri belum berjodoh dengan kami...”
- “Apa maksud Ki Pringkun?” tanya Wiro yang biasa memanggil si
- kakek dengan sebutan Ki.
- Kakek Pringkun menatap wajah istrinya yang tampak seperti
- sedih. Baru kemudian dia menjawab pertanyaan Wiro.
- “Kedatangan Ni Gatri sudah diketahui Raden Mas Jonggrang
- Pringgo. Beliau sejak sore tadi sudah menunggu. Saat ini beliau berada
- di halaman belakang. Seperti kami berdua beliau juga tidak punya
- keturunan...”
- Wiro merasa heran. Sementara mendengar kata-kata si kakek Ni
- Gatri langsung memegang lengan Wiro.
- “Kakak, Gatri suka tinggal di sini bersama kakek-nenek ini. Tapi
- kalau ikut orang yang bernama Raden Mas Jonggrang Pringgo itu Gatri
- tidak mau. Gatri mau ikut Kakak saja.”
- “Ni Gatri, kau tentu saja belum tahu siapa adanya Raden Mas
- Jonggrang Pringgo. Nanti kau lihat sendiri. Orangnya baik, istrinya juga
- baik.” Berkata nenek Pringkun.
- Sebagai jawaban Ni Gatri menggelengkan kepala berulang kali
- sementara kedua matanya mulai merebak berkaca-kaca.
- “Ki Pringkun, siapa adanya orang bernama Raden Mas Jonggrang
- Pringgo itu?” Bertanya murid Sinto Gendeng.
- “Beliau seorang bangsawan, tinggal di Kotaraja, tak jauh dari
- kawasan Keraton. Masih punya pertalian darah dengan salah seorang
- istri Pangeran Kerajaan. Nasib anak ini benar-benar cemerlang. Dia
- akan bahagia tinggal bersama Raden Mas Jonggrang Pringgo...”
- Wiro memandang pada Ni Gatri. Si anak kembali geleng-gelengkan
- kepala. Kakek Pringkun lantas berkata.
- “Karena Raden Mas Jonggrang sudah ada sejak petang tadi berada
- di rumahku, dan kalian berdua sudah datang, tidak baik membiarkan beliau menunggu berlama-lama. Baiknya aku perkenalkan kalian
- berdua dengan beliau.”
- “Ki Pringkun, tunggu dulu. Bagaimana Raden Mas Jonggrang tahu
- kalau gadis ini akan datang ke sini hari ini?” Murid Sinto Gendeng
- kembali ajukan pertanyaan.
- “Pendekar, sudahlah. Simpan dulu pertanyaanmu. Mari kita
- menemui bangsawan yang baik hati itu.” Kakek Pringkun lalu menarik
- tangan Wiro sementara istrinya menuntun Ni Gatri membawa mereka
- masuk ke dalam rumah terus menuju ke halaman belakang di mana
- terdapat sebuah taman kecil.
- Di dalam taman kecil dan sederhana di atas sebuah tonggak batu
- yang dibentuk menyerupai bangku, duduk seorang lelaki berbadan
- gemuk, berperut buncit. Kumis dan janggut tebal menghias wajah yang
- berminyak. Pakaian mewah, kalung bersusun sampai tiga. Di atas
- kepala bertengger topi tinggi hitam bersulam benang emas. Sebilah keris
- bersarung perak terselip di pinggang.
- Sambil setengah membungkuk Kakek Pringkun berkata. “Raden
- Mas Jonggrang, Raden Mas ternyata betul. Ini gadis bernama Ni Gatri
- yang Raden Mas katakan itu...”
- Orang bernama Raden Mas Jonggrang berdiri dan tersenyum
- lebar. Namun Wiro melihat senyum itu menjadi berubah pencong ketika
- pandangan sepasang mata mereka saling beradu.
- “Kakak, saya tidak mau ikut orang buncit itu...” Berkata Ni Gatri
- sambil memegang Wiro kuat-kuat.
- “Ni Gatri, jangan bicara seperti itu.” Berkata Nenek Pringkun.
- Raden Mas Jonggrang Pringgo tertawa gelak-gelak. Wiro merasa
- suara tawa itu membuat tanah yang dipijak bergetar.
- “Hemm... Raden Mas ini agaknya sengaja hendak memperlihatkan
- kehebatan tenaga dalamnya. Apa maksudnya...?” Membatin Pendekar
- 212 dalam hati.
- “Anak ini takut melihat perut buncitku! Ha... ha... ha! Tak jadi
- apa. Ki Pringkun kereta yang akan menjemputku agaknya terlambat
- datang. Biar aku langsung saja membawa gadis ini...”
- Sementara Raden Mas Jonggrong Pringgo bicara Wiro
- memperhatikan. Dalam hati dia berkata.
- “Aku merasa ada yang aneh pada orang satu ini. Tapi aku tidak
- bisa memastikan apa. Topi dan pakaiannya bagus. Kasut juga bagus.
- Dua kaki menginjak tanah pertanda dia memang manusia
- benaran adanya. Janggut dan kumis tebal melintang, terpelihara rapi.
- Tapi...”
- Tiba-tiba ada satu cahaya kelabu berkelebat, entah dari mana
- datangnya masuk ke dalam tubuh Ni Gatri. Pada saat yang bersamaan
- keanehan yang tadi dirasakan Pendekar 212 kini dilihatnya sebagai satu
- kenyataan. Sang Raden Mas Jonggrang Pringgo tidak memiliki bandar di
- bibir bagian atas, yaitu antara kumis kiri kanan yang tebal melintang.Mahluk yang tidak memiliki bandar di bibirnya seperti itu hanyalah
- sebangsa mahluk halus, jin atau roh jahat
- SEPULUH
- TIDAK menunggu lebih... lama Pendekar 212 Wiro Sableng segera
- melompat dan mencekal kerah pakaian bagus Raden Mas Jonggrang
- Pringgo.
- “Bangsawan keparat! Kau punya niat jahat terhadap Ni Gatri!
- Perlihatkan ujudmu sebenarnya!” Sambil membentak Wiro alirkan
- tenaga dalam mengandung hawa sakti panasi
- Kakek nenek Pringkun berseru kaget melihat apa yang pakukan
- Wiro.
- Meski tubuhinengepulkan asap akibat hawa panas yang
- menghantamnya namun Raden Mas Jonggrang Pringgo menyeringai lalu
- tertawa bergolak. $£aJEitu juga delapan benjolan merah muncul di
- keningnya!
- “Jahanaml” Wiro ingat anjing buduk dan kakek berpakaian hitam
- yang pernah hendak mencelakai Ni Gatri. Kedua Mahluk itu sama
- memiliki delapan benjolan merah di kening. Dan kini benjolan seperti itu
- ada pula di kening Raden Mas Jonggrangl
- Tangan kanan Wiro segera bergerak melepaskan pukulan jarak
- dekat. Pukulan diarahkan ke kepala Raden Mas Jonggrang. Orang yang
- diserang masih menyeringai. Padahal pukulan yang dilancarkan murid
- Sinto Gendeng adalah pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung yang
- bisa membuat hancur batu sebesar rumah! Apa lagi kepala manusia,
- bisa hancur lumat dan gosong!
- “Anak muda, kau punya tangan yang bisa memukul. Tapi kau
- tidak pernah menyadari tangan itu adalah seekor ular besar yang akan
- melilit menghancur remuk tubuhmu sendiri!”
- Begitu Raden Mas Jonggrang selesai keluarkan ucapan tiba-tiba
- tangan kanan Wiro yang mencekal leher bajunya berubah menjadi
- seekor ular hitam legam yang memiliki delapan benjolan merah kecil di
- kepalanya. Serta merta gerak serangan sang pendekar menjadi tertahan!
- Pendekar 212 berseru kaget ketika ular besar itu tiba-tiba
- mendesis keras lalu berbalik dan dalam sekejapan mata saja binatang
- ini telah melilit Wiro mulai dari bahu sampai ke kaki!
- “Kreekk! Kreekk!”
- Tulang bahu dan pinggul Wiro mengeluarkan suara berderak.
- Sambil jatuhkan diri Wiro dengan cepat terapkan ilmu Belut
- Menyusup Tanah. Tubuhnya serta merta menjadi licin seperti belut.
- Walau cukup susah namun Wiro berhasil lepaskan diri dari lilitan ular
- hitam.
- Tidak mampu melumat Wiro, ular hitam melesat ke arah Ni Gatri.
- Mulut dibuka lebar. Selarik sinar hitam yang menebar bau sangat busuk
- menyembur ke sekujur tubuh Ni Gatri mulai dari kepala sampai ke kaki “Gadis ayu! Ubah dirimu dan ikut aku! Atau kau kubunuh sekarang
- juga!” Ular hitam besar keluarkan ucapan suara manusia.
- Ni Gatri menjerit. Dari tubuhnya memancar cahaya putih,
- berusaha membendung datangnya semburan sinar hitam. Namun
- kekuatan serangan ular hitam setingkat lebih hebat. Walau cahaya
- putih sanggup bertahan tapi tubuh dari pinggang ke bawah saat itu
- tampak telah berubah menjadi tubuh ular hitami “Ikut aku.”
- Ular hitam besar kembali keluarkan ucapan.
- Ni Gatri tampak menggapai-gapai. Buntut ularnya menjejak-jejak
- tanah seperti berjalan. Tiba-tiba tubuh gadis ini melayang ke arah ular
- besar. Dua tangan dikembang seperti hendak minta dirangkul!
- “Orang tua, peluk diriku. Aku ikut bersamamu...” Ni Gatri
- berseru. Dan suara yang terdengar adalah suara aslinya.
- Namun ada satu kekuatan di dalam tubuh si gadis yang berusaha
- menolak dan melindungi dirinya dari kekuatan yang hendak merubah
- dan membawa melarikannya. Dari mulut Ni Gatri lalu keluar ucapan
- suara seorang kakek.
- “Delapan Sukma Merah! Kau boleh muncul seribu ujud. Kau boleh
- berada di mana-mana. Tapi kematian bagimu juga ada di mana-mana!
- Bagi roh jahat tidak ada tempat di alam manapun!”
- Ular besar mendesis keras. Ujung ekor yang panjang runcing
- laksana sebilah pedang menyambar ke arah leher Ni Gatri. Si gadis yang
- sebagian tubuhnya telah berubah menjadi ular hitam menjerit keras.
- Saat itulah dari samping kanan tiba-tiba berkiblat cahaya putih
- menyilaukan disertai suara menggelegar dahsyat dan tebaran panas luar
- biasai
- Taman kecil di bagian belakang rumah kediaman Ki Pringkun
- laksana terbongkar. Tanah dan segala macam tanaman termasuk batu
- dan meja terbuat dari batu bermentalan ke udara. Sebagian dinding
- halaman belakang roboh hangus. Kakek nenek Pringkun jatuh
- bergulingan di tanah. Udara panas terasa seperti hendak melelehkan
- tubuh. Ni Gatri menjerit keras. Anak perempuan ini tergolek dekat
- sebuah jambangan besar yang telah hancur. Tubuhnya masih
- berbentuk setengah manusia setengah ular.
- Di tanah, dekat reruntuhan tembok halaman sosok ular besar
- hitam yang telah berubah gosong menggelepar-gelepar mengeluarkan
- suara desis berkepanjangan. Tak selang berapa lama ujud binatang
- jejadian ini kepulkan asap busuk. Dalam kegelapan senja memasuki
- malam, asap berubah membentuk sosok seorang kakek berpakaian
- hitam yang kemudian melesat ke udara dan lenyap dari pandangan
- mata. Orang tua ini adalah yang pernah dilihat Wiro secara samar,
- muncul setelah dia membunuh anjing besar hitam dan buduk yang
- mengejar Ni Gatri.
- Tiba-tiba ada suara orang tertawa cekikikan.
- “Hik... hik... Pukulan Sinar Matahari! Aku kira ilmu kesaktian itu
- sudah kau jual pada orang lain!”Wiro terkejut. Memandang berkeliling.
- “Ada suara tak ada orangnya. Mungkin aku salah mendengar.
- Tapi rasa-rasanya itu memang suara dia. Atau masih ada mahluk gaib
- berkeliaran di sekitar sini menyaru suara, mengincar Ni Gatri. Anak itu
- dirinya selalu diikuti maraba-haya ke mana dia pergi. Bagaimana aku
- harus menolongnya. Aku tak mungkin membawanya ke mana aku pergi.
- Dan sekarang sosoknya berbentuk setengah ular setengah manusia.
- Ketika ular jahanam itu tadi menyemburnya, ada cahaya putih di dalam
- tubuhnya berusaha menolong namun kalah kuat...”
- Wiro melangkah mendekati Ni Gatri.
- “Kakak, tolong... Bagaimana ini. Bagaimana tubuh Gatri bisa jadi
- begini. Gatri takut...” Ni Gatri berucap dengan suara tersendat-sendat.
- Wajahnya tampak pucat.
- Ketika Wiro berjongkok di samping anak perempuan itu, tiba-tiba
- satu bayangan hitam berkelebat. Wiro melihat dua kaki kurus kering tak
- berkasut berdiri di tanah di hadapannya. Lalu ada kain panjang dan
- kebaya hitam basah menebar bau pesing. Melihat lebih ke atas Pendekar
- 212 tersentak kaget. Buru-buru dia melompat lalu membungkuk dan
- berseru. “Eyang Sinto!”
- “Hik... hik! Anak setan, aku belum ingin bicara denganmu. Aku
- mau bicara dulu dengan anak perempuan ini. Tidak! Bukan dengan
- anak perempuan ini, tapi dengan mahluk yang ada di dalam dirinya!”
- Orang yang berdiri di hadapan Wiro saat itu adalah nenek tua
- berkulit hitam bermata cekung. Rambut putih jarang digulung di atas
- kepala. Kepala itu sendiri ditancapi lima tusuk konde dari perak. Nenek
- ini bukan lain Sinto Gendeng, tokoh angker rimba persilatan dan adalah
- guru sang pendekar.
- Dengan ujung tongkatnya Sinto Gendeng mengangkat tubuh Ni
- Gatri hingga terduduk tersandar ke runtuhan tembok. Dengan tongkat
- itu pula si nenek kemudian mengusap bagian tubuh gadis belia itu
- mulai dari pinggang ke bawah. Tongkat berpijar biru. Tubuh Ni Gatri
- tersentak. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara seperti orang
- menjerit. Ujud tubuh bagian bawah Ni Gatri yang sebelumnya berbentuk
- ular serta merta berubah, kembali pada keadaan aslinya. Sadar dirinya
- ditolong orang, walau takut melihat wajah si nenek namun Ni Gatri
- cepat berlutut.
- “Nenek, saya Ni Gatri menghatur ribuan terima kasih kau telah
- mengembalikan ujud saya...”
- “Hemmm...” Sinto Gendeng keluarkan suara bergumam. Tongkat
- kayu diusap-usapkan di atas kepala Ni Gatri. “Anak baik, anak tahu
- diri. Sekarang kancing dulu mulutmu. Aku mau bicara dengan mahluk
- yang ada dalam tubuhmu!”
- SEBELAS
- SINTO GENDENG bungkukkan tubuh sedikit. Wiro melihat tidak
- biasanya sang guru memberi penghormatan seperti itu. Apa lagi pada
- orang yang sosoknya tidak terlihat.
- “Sahabat di dalam tubuh anak perempuan bernama Ni Gatri, kau
- telah melindungi anak ini. Berarti kau mahluk putih. Harap kau mau
- memberi tahu siapa dirimu, kau datang dari mana dan apa maksud
- keperluanmu. Apakah kehadiranmu dan semua apa yang terjadi di sini
- sesuai dengan petunjuk Yang Maha Kuasa yang aku terima melalui
- mimpi...”
- Baik Wiro apa lagi nenek Pringkun memperhatikan dengan
- perasaan mencekam. Mereka sama memandang ke arah Ni Gatri.
- Ni Gatri membuka mulut. Suara yang keluar dan terdengar bukan
- suaranya namun suara kakek-kakek. Wiro ingat kejadian di pasar
- Demak. Ketika memaki kakek jahat berdestar Ni Gatri juga bicara bukan
- dengan suaranya sendiri.
- “Nenek bersunting lima di atas kepala. Saya sangat menaruh
- hormat padamu. Saya mahluk yang datang dari jauh dari Kerajaan
- Mataram Kuna, di alam yang berbeda delapan ratus tahun silam dari
- saat ini. Saya menerima tugas dari Yang Maha Agung untuk melindungi
- anak perempuan bernama Ni Gatri itu. Ternyata ilmu kepandaian yang
- saya miliki masih belum memadai. Bersyukur kepada Sang Hyang
- Bathara Agung kau dan muridmu telah memberikan pertolongan...”
- “Oala... Kalau begitu kau adalah salah seorang leluhur kami...
- Hanya Yang maha Kuasa yang mampu membuat kejadian seperti ini...”
- Sinto Gendeng membungkuk sampai beberapa kali.
- “Nenek berkonde lima, jangan membuat aku sungkan dengan
- segala pernghormatan...” Berkata mahluk yang ada di dalam tubuh Ni
- Gatri.
- “Sahabat, mengapa kau merasa perlu menyelamatkan anak
- perempuan itu. Siapa yang berhati jahat menginginkan kematiannya
- dan apa alasannya...” Bertanya Sinto Gendeng.
- “Anak perempuan itu akan menjadi penghubung bagi Raja
- Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala dalam menyelamatkan Kerajaan
- dan rakyat Mataram yang saat ini tengah ditimpa bala bencana
- mengerikan. Mahluk-mahluk jahat yang dikendalikan seseorang yang
- menginginkan agar hubungan tidak terjadi. Itu sebabnya mereka ingin
- menghabisi anak perempuan itu...”
- “Sahabat, apakah kau mempunyai nama. Dapatkah kau
- memperlihatkan ujudmu...?”
- “Nenek berkonde lima. Tidak ada kesulitan bagi saya untuk
- memberi tahu nama dan memperlihatkan ujud. Namun saya membekal pesan Para Dewa di Swargaloka untuk tidak melakukan hal itu.
- Penyebabnya karena di alammu dan di alam saya banyak sekali telinga
- musuh yang bisa mendengar dan mata yang bisa melihat. Kematian bagi
- saya bukan apa-apa. Tapi jika tugas saya gagal di tengah jalan maka
- seumur hidup bahkan sampai di liang kubur saya akan dibebani dosa
- pada Raja dan rakyat Mataram. Saya mohon maaf karena waktu saya
- sudah habis. Satu hal sangat saya harapkan. Jangan pisahkan Ni Gatri
- dengan muridmu. Paling tidak sampai tengah malam nanti. Dan mohon
- diwaspadai, jangan sampai ada kekuatan gaib memisahkan mereka.
- Saya mohon nenek bersunting bisa membawa mereka ke rimba kecil tak
- jauh dari candi Prambanan. Tunggulah di sana sampai sesuatu
- terjadi...”
- Kening berkulit tipis Sinto Gendeng mengerenyit lalu berpaling
- menatap pada sang murid. Wiro garuk-garuk kepala.
- “Mengapa kau meminta agar muridku dan anak perempuan itu
- jangan sampai dipisahkan...?” bertanya Sinto Gendeng.
- “Karena muridmulah orang yang akan dihubungi oleh Raja
- Mataram melalui alam gaib dan melalui anak perempuan bernama Ni
- Gatri.”
- Sinto Gendeng kini semakin mengerti mengapa musuh Raja
- Mataram ingin mencelakai bahkan membunuh Ni Gatri. Supaya
- hubungan terputus.
- “Tapi sahabat, kenapa musti muridku?” bertanya lagi Sinto
- Gendeng.
- “Maaf, saya tidak bisa mengatakan. Saat ini saya melihat di
- sekeliling tempat ini ada bayangan seratus mahluk hitam bugil yang di
- negeri dan zaman kami disebut Seratus Jin Perut Bumi. Mereka bisa
- mencelakai diri saya dan juga muridmu...”
- “Persetan! Jangankan Jin Perut Bumi. Jin Dari Perut Neraka
- sekalipun aku tidak takut I” Ucap Sinto Gendeng. Si nenek lalu
- memandang sekeliling kegelapan malam. Dia tidak melihat mahluk-
- mahluk yang dikatakan kakek di dalam tubuh Ni Gatri. Namun si nenek
- sakti bisa merasakan kehadiran mahluk asing itu. Cuping hidung Sinto
- Gendeng bahkan bisa mencium bau mereka. Bau amis!
- “Wiro, kau mencium bau sesuatu...?” Tanya Sinto Gendeng pada
- Wiro.
- Sang murid menghirup udara malam dalam-dalam. Lalu
- gelengkan kepala.
- “Maaf Eyang, saya tidak mencium bau apa-apa. Kecuali...”
- “Kecuali apa?!” tanya si nenek dengan pelototkan mata karena
- sudah merasa.
- “Maaf Eyang Guru. Yang tercium oleh saya saat ini hanya bau
- pesing di tubuh dan pakaianmu...”
- “Anak setan! Dasar! Kurang ajar!” Sinto Gendeng memaki panjang pendek.
- Ni Gatri tertawa cekikikan. Suara tawanya adalah suaranya sendiri. Pertanda mahluk yang ada di dalam tubuhnya telah
- meninggalkan dirinya.
- “Kalian berdua lekas ikut aku ke rimba belantara dekat candi
- Prambanan itu...” Berkata Sinto Gendeng. Kalau sampai tengah malam
- nanti tidak terjadi apa-apa berarti tak ada yang perlu dicemaskan. Dua
- malam lalu aku memang bermimpi bahwa ada seseorang dari alam gaib
- memberikan mahkota padamu. Mahkota dalam artian mimpi adalah
- tugas sangat berat dan juga satu pertanda bahwa kau akan pergi ke
- satu alam lain...”
- “Nek, apa kau percaya ucapan mahluk yang tadi berada di dalam
- tubuh Ni Gatri itu? Bagaimana kalau dia menipu hingga kita semua
- kelak jadi celaka.”
- Sinto Gendeng gelengkan kepala lalu tersenyum.
- “Kau tersenyum Nek, memangnya kenapa? Ada yang lucu?” tanya
- Wiro.
- “Tidak ada yang lucu. Aku hanya mengenang...”
- “Mengenang? Mengenang apa Nek?” Senyum sang guru semakin
- lebar. “Mengenang wajahnya.”
- “Heh...? Wajah siapa Nek?” tanya Wiro lagi.
- “Wajah kakek gagah yang ada di dalam tubuh Ni Gatri,” jawab
- Sinto Gendeng.
- Wiro tercengang, menggaruk kepala lalu berkata.
- “Ah... rupanya kau tertarik pada kakek itu. Hemm... pantas tadi
- aku melihat Eyang Guru kau bulak balik merunduk membungkukkan
- tubuh. Pasti Eyang Guru bukan cuma tertarik. Tapi sudah kepincut
- alias jatuh hati padanya...”
- “Husss!” Sinto Gendeng membentak.
- “Nek, cinta dimasa tua memang lain pula indahnya dibanding
- dengan cinta orang muda-muda...”
- “Anak setani Jangan macam-macam kau. Aku pelintir pusarmu
- nanti!” Mengancam Sinto Gendeng. Lalu dia sambumg ucapannya. “Para
- leluhur kita sedang dalam kesulitan. Lekas kau gendong anak
- perempuan itu. Kita harus segera berada di hutan yang dikatakan kakek
- itu.”
- “Kakek atau kakak Nek,” ucap Wiro menggoda.
- “Anak setan!” Kembali sang guru memaki.
- “Anu Nek, mengapa kau tidak minta dipeluk dan dicium sama
- kakek gagah itu?”
- “Heh?!” Sinto Gendeng tertegun sejenak. Lalu kembali mulut
- perotnya berteriak memaki.
- “Anak setan! Bego! Gelo! Sinting! Edan! Jangan sampai aku remas kantong menyanmu!”
- DUA BELAS
- PEDATARAN kecil di luar desa Candi di kaki Gunung Ungaran. Saat itu
- matahari bersinar terik-teriknya. Kegersangan agak berkurang dengan
- kehadiran tujuh buah candi walaupun dari keadaannya jelas kurang
- terawat. Itulah kelompok Candi Gedong Pitu yang dibangun oleh Raja
- Raja Mataram pendahulu Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Lokapala.
- Di langit setelah utara serombongan burung melayang terbang ke
- arah barat. DI Ujung pedataran yang sunyi sebelah selatan enam orang
- anak penggembala menggiring selusin kerbau ke arah kali kecil cabang
- sungai Wringin.
- Ketika rombongan burung lenyap di langit sebelah barat dan
- anak-anak penggembala bersama kerbau-kerbaunya menghilang di
- lembah yang menurun yang menuju kali, di langit sebelah utara tiba-
- tiba kelihatan satu pemandangan aneh. Ada orang melayang terbang
- menunggangi benda berbentuk kuda. Orang ini bukan lain Sri Maharaja
- Mataram yang diterbangkan oleh Kuda Lumping yang menurut Mimba
- Purana, Satria Lonceng Dewa, berasal dari alam delapan ratus tahun
- dimasa yang akan datang.
- Di pertengahan pedataran di mana kelompok tujuh candi berada,
- Kuda Lumping melayang turun. Begitu Sri Maharaja Mataram
- menjejakkan kaki di tanah telinganya mendengar suara orang
- melafatkan bacaan yang berasal dari Kitab Weda. Demikian indahnya
- orang itu melafat hingga siapa saja yang mendengar akan merasakan
- kesejukan dalam jiwa raganya.
- Rakai Kayuwangi selipkan cemeti di leher Kuda Lumping,
- tanggalkan tali kulit yang melingkar di lehernya lalu membuka giring-
- giring perak yang tergantung di leher, menyimpannya di balik pinggang
- pakaian. Kuda Lumping kemudian disandarkan pada serumpun semak
- belukar. Dia memandang berkeliling, mata mencari-cari orang yang
- tengah melantunkan bacaan Kitab Weda.
- Sang Raja kemudian melihat ada seorang tua renta berpakaian
- dekil penuh tambalan duduk dekat tangga salah satu candi. Rambut
- putih panjang dan janggut menjela dada melambai-lambai ditiup angin
- pedataran. Rakai Kayuwangi perhatikan kening si orang tua. Dia merasa
- lega karena kening itu licin, tidak ada delapan benjolan merah berasap.
- Di atas kakinya yang bersila terletak sebatang tongkat berlapis daun-
- daun kering. Di sebelah depan, di tanah ada sebuah tempurung. Orang
- tua ini melafalkan isi Kitab Weda di luar kepala sambil jari tangan
- diacung-acung ke udara dan digoyang-goyang sesuai dengan lantunan
- irama bacaan. Kepala diangkat menghadap ke langit, mata dipejamkan.
- Debu pedataran mengotori wajahnya. Berarti dia sudah cukup lama berada di tempat itu.
- Rakai Kayuwangi berhenti di hadapan si orang tua. Mengira orang
- tua ini adalah seorang pengemis maka dia memeriksa saku baju
- pakaiannya. Ternyata dia tidak memiliki sekeping uangpun. Tidak mau
- mengecewakan pengemis tua itu Rakai Kayuwangi tanggalkan sebuah
- gelang emas yang melingkar di per-gelangan tangan kirinya.
- Ketika dia membungkuk untuk menaruh gelang itu di dalam
- tempurung dua hal mengejutkan sang Raja.
- Hal pertama karena melihat, di dalam tempurung ada dua
- potongan kayu. Dua potongan kayu itu sangat sama dengan dua potong
- kayu yang tahu-tahu muncul di ruangan di bawah Pegunungan Dieng
- setelah dia memotong ke dua jari tengahnya sesuai dengan permintaan
- bocah sakti Satria Lonceng Dewa Mimba Purana. Bagaimana mungkin?
- Hal kedua. Ketika menatap wajah si pengemis dalam jarak yang
- begitu dekat, ternyata orang tua ini memiliki sepasang mata yang
- keseluruhannya putih alias butal
- Tidak ada waktu untuk berpikir karena dia harus segera
- menemukan makam Empat Mayat Aneh maka Rakai Kayuwangi berlalu
- dari hadapan sang pengemis.
- Sang Raja berjalan sambil menatap ke atas. Sesuai keterangan
- Mimba Purana, Makam Empat Mayat Aneh terletak di udara, tidak bisa
- terlihat mata biasa. Rakai Kayuwangi jadi bingung. Bagaimana dia bisa
- menemukan makam itu? Mengapa sebelumnya dia tidak meminta
- petunjuk pada Mimba Purana?
- Baru berjalan sekitar tiga tombak Rakai Kayuwangi hentikan
- langkah. Di sebelah sana orang tua pengemis berhenti melafatkan
- bacaan Kitab Weda. Kini terdengar suaranya menyanyi.
- Seorang insan berlalu begitu saja
- Berhati baik dan pemurah
- Namun berpikiran tidak sejernih kaca
- Apakah mungkin membuka pintu
- Tanpa memiliki kunci
- Apakah mungkin melihat yang gaib
- Dengan mata telanjang
- Tanpa terlebih dulu
- Membuka pintu hati
- Sri Maharaja Mataram terpana seketika. Lalu dia ingat ucapan
- Mimba Purana sewaktu berada di dalam ruangan batu yang terletak di
- dasar pegunungan Dieng.
- “...Bilamana Yang Mulia telah sampai di kawasan Candi Gedong
- Pitu, akan ada seseorang menemui Yang Mulia...”
- “Jangan-jangan pengemis itu orang yang dimaksud anak itu.”
- Tidak berpikir lebih lama Rakai Kayuwangi segera berbalik mendatangi
- si orang tua. Sampai di hadapan sang pengemis, Raja Mataram duduk
- bersila di tanah. Dia memegang lutut orang. Pengemis tua hentikan nyanyiannya
- Raja Mataram segera keluarkan ucapan.
- “Orang tua, maafkan kalau saya pergi begitu saja. Apakah kau
- orang yang dimaksudkan Satria Lonceng Dewa sebagai orang yang akan
- saya temui di kawasan Candi Gedong Pitu ini?”
- Orang tua bermata buta menatap Rakai Kayuwangi lalu berkata.
- “Aku mengenal anak keramat berjuluk Satria Lonceng Dewa,
- bernama Mimba Purana. Tapi aku tidak mengenal dirimu. Siapakah kau
- adanya hingga begitu dermawan memberi aku sebuah gelang emas
- besar. Padahal aku tidak meminta, tidak pula mengemis...”
- Berubahlah paras Raja Mataram.
- “Orang tua, maafkan diri saya. Saya tidak bermaksud
- merendahkan dirimu. Tapi di tempat seperti ini, keadaan dirimu, bacaan
- suci yang kau lafatkan serta tempurung yang ada dihadapanmu
- memberi kesan... Saya mohon beribu maaf kalau telah mengira dirimu
- adalah seorang pengemis. Tapi saya tidak akan mengambil kembali apa
- yang telah saya berikan kepadamu. Itu saya berikan dengan keikhlasan
- hati saya.”
- “Insan, dari bau debu yang melekat di tubuh dan pakaianmu
- rupanya kau datang dari jauh. Dari suaramu tersirat tanda kau
- mengidap penyakit, menanggung beban yang maha berat dan sangat
- keletihan. Siapakah dirimu adanya?”
- “Saya Rakai Kayuwangi.”
- “Rakai Kayuwangi.” Mengulang si orang tua bermata putih buta.
- “Ada banyak orang bernama Rakai Kayuwangi di jagat ini. Kau Rakai
- Kayuwangi yang mana? Berasal dari mana?”
- “Saya Rakai Kayuwangi Lokapaia. Berasal dari Bhumi Mataram,”
- Sang Raja masih belum mau menjelaskan siapa dirinya sebenarnya,
- kalau dia adalah Sri Maharaja Kerajaan Mataram. Ini disebabkan karena
- dia masih merasa was-was siapa sebenarnya orang tua bermata putih
- buta di tempat sepi kawasan tujuh candi ini.
- “Aku mengharapkan kedatangan seekor burung elang, yang
- datang ternyata seekor burung pipit. Insan dalam perjalanan, silahkan
- berlalu, aku akan meneruskan bacaan melafatkan isi Kitab Weda...”
- Rakai Kayuwangi bangkit dari duduknya. Si orang tua ulurkan
- tangan kanan mengambil gelang emas besar di dalam tempurung
- dengan maksud hendak mengembalikan pada Rakai Kayuwangi. Ketika
- jari-jari tangannya memegang gelang, kebetulan menyentuh permukaan
- yang ada ukiran burung Rajawali mengembangkan sayap. Dia mengusap
- ukiran berulang kali dengan ujung jari tangan. Ukiran itu adalah
- gambar atau salah satu lambang-lambang keramat Kerajaan Mataram.
- Wajah si orang tua berubah. Mata yang buta ditatapkan ke arah Rakai
- Kayuwangi. Tubuh dibungkukkan. Mulut berucap.
- “Sri Maharaja Mataram, Rakai Kayuwangi Lokapala, saya memang
- menunggu kedatangan Yang Mulia. Mengapa tidak memberi tahu dari
- tadi siapa Yang Mulia sebenarnya. Mohon maafmu kalau saya telah
- berlaku tidak sopan bahkan mungkin kurang ajar.”Raja Mataram usap wajahnya berulang kali lalu menjawab.
- “Saya juga mohon maaf kalau telah mengambil sikap yang tidak
- berkenan di hatimu. Orang tua siapakah namamu. Apakah benar kau
- orang yang dimaksudkan Satria Lonceng Dewa sebagai orang yang akan
- menemui diri saya?”
- “Yang Mulia, apa yang dikatakan anak keramat itu benar adanya.
- Nama saya adalah Kambara Walanipa. Tapi orang-orang lebih sering
- menyebut saya Si Tringgiling. Ini disebabkan karena dalam satu tahun,
- saya hanya dua puluh satu hari berada di alam terbuka. Selebihnya
- saya berada di dalam tanah. Yang Mulia, silahkan bertanya. Mudah-
- mudah Yang Maha Kuasa membimbing saya memberi petunjuk yang
- benar.”
- “Orang tua, saya datang ke sini demi mencari jalan untuk
- menyelamatkan Kerajaan dan rakyat Mataram dari malapetaka yang
- sedang menimpa. Saya harus menemukan sebuah makam dari Empat
- Mayat Aneh...”
- “Apakah Yang Mulia telah menemukan?” bertanya si Tringgiling.
- “Belum. Konon makam itu tergantung di udara. Mata biasa tidak
- bisa melihatnya. Saya mohon petunjuk...”
- “Makam Empat Mayat Aneh masih tertutup dua pinm gaib. Yang
- Mulia tidak akan menemukan makam itu tanpa membuka kunci dua
- pintu.”
- “Kalau begitu saya mohon petunjuk lebih lanjut.”
- “Dua buah kunci pembuka pintu adalah dua potongan kayu yang
- ada di dalam tempurung.” Menjelaskan Kambara Walanipa.
- Rakai Kayuwangi terkejut. Dia memperhatikan dua potongan kayu
- dalam tempurung sebentar lalu berkata.
- “Orang tua, tolong saya diberi tahu. Di mana letak dua pintu yang
- harus dibuka dengan kunci berupa dua potong kayu itu?”
- “Dua pintu itu adalah dua mata Yang Muiia sendiri. Ambil dua
- potong kayu di dalam tempurung. Cucukkan ke mata kiri kanan Yang
- Mulia lalu diputar ke arah yang berlawanan, masing-masing ke arah
- samping kepala. Kalau Yang Mulia mendengar suara kreek, maka berarti
- dua pintu telah terbuka. Yang Mulia akan melihat makam yang
- mengambang di udara. Yang Mulia hanya tinggal berdoa memohon
- pertolongan Yang Maha Kuasa maka makam Empat Mayat Aneh akan
- turun ke tanah...”
- Mendengar penjelasan orang tua buta berjuluk Si Tringgiling kali
- ini kejut Raja Mataram bukan alang kepalang.
- “Sebelumnya aku diminta harus memotong dua jari tengah.
- Sekarang menusuk dua mata dengan potongan kayu. Kalau orang tua
- ini mahluk jahat yang menyaru maka aku akan buta seumur-umur.
- Kerajaan dan rakyat Mataram tidak akan tertolong...”
- Rakai Kayuwangi perhatikan dengan teliti sosok si orang tua mulai
- dari kepaia sampai ke kaki. Dia tidak melihat adanya tanda-tanda yang
- mencurigakan.Tahu kalau Raja Mataram berada dalam kebimbangan, si orang
- tua angkat kepala lalu kembali lantunkan suara nyanyian.
- Keraguan sifat setiap insan
- Keraguan sifat untuk berhati-hati
- Tapi keraguan bisa juga mengandung kecurigaan
- Hidup di dunia berserah diri kepada Yang
- Maha Kuasa
- Percaya pada diri sendiri
- Adalah pangkal percaya pada orang lain
- Mendengar nyanyian Kambara Walanipa keraguan dalam hati
- Raja Mataram serta merta sirna. Dia segera mengambil dua potong kayu
- di dalam tempurung yang besar dan panjangnya seukuran jari tangan
- sebelah tengah. Tidak membuang waktu lagi Raja Mataram ini lalu
- tancapkan dua potongan kayu ke mata kiri kanan.
- “Craasss!”
- Darah mengucur. Tubuh menggigil menahan rasa sakit yang luar
- biasa. Dua potongan kayu yang telah menancap di mata diputar ke arah
- samping wajah.
- “Kreek! Keek
- TIGA BELAS
- SEKONYONG-KONYONG di siang hari yang terang dan panas itu di
- langit berkiblat kilat empat kali berturut-turut. Suara guntur
- menggelegar. Lalu awan tebal kelabu muncul hingga udara yang tadinya
- terang benderang berubah menjadi kelam. Angin bertiup kencang
- namun tidak setetes air hujanpun yang turun.
- Sri Maharaja Mataram tersentak ketika rasa sakit pada kedua
- matanya mendadak hilang. Dia usapkan tangan ke muka. Dua potongan
- kayu yang tadi menancap di kedua matanya lenyap! Tidak ada darah
- yang mengucur. Tidak ada lagi lelehan darah pada wajah dan kedua
- tangannya! Matanya tidak hancur dan juga tidak butaiSelagi dia
- terheran-heran tiba-tiba di langit muncul satu cahaya coklat kehitaman.
- Rakai Kayuwangi angkat kepala, mendongak ke atas. Dada berdebar dan
- tubuh bergetar, mulut berucap.
- “Makam Empat Mayat Aneh... Hyang Jagat Bathara! Dewa Agung!”
- Raja Mataram merasakan tengkuk dingin merinding.
- Seolah tergantung, saat itu di udara tampak sebuah kuburan luar
- biasa besar yang tanahnya masih merah, sebagian tertutup tebaran
- bunga menebar bau harum. Di kepala makam terdapat empat buah
- batu nisan hitam tanpa teraan nama atau tulisan apapun. Di kejauhan
- terdengar suara tiupan terompet ditingkah suara tambur.
- Perlahan-lahan kuburan atau makam raksasa yang menggantung
- di udara bergerak turun ke bawah. Ketika bersentuhan dengan tanah
- pedataran di antara dua buah candi, pedataran terasa bergetar dan
- debu serta tanah muncrat beterbangan ke udara hingga kedaaan di
- tempat itu menjadi bertambah gelap.
- Rakai Kayuwangi bungkukkan tubuh berulang kali. Dalam
- keadaaan tercekat matanya yang ternyata tetap utuh tidak buta
- menatap besar tak berkesip. Dia lalu ingat pada si orang tua buta
- bernama Kambara Walanipa alias Si Tringgiling. Memandang ke arah
- tangga candi di mana orang tua itu tadi duduk bersila, ternyata Si
- Tringgiling tidak ada lagi di tempat itu! Rakai Kayuwangi rapatkan dua
- tangan di depan wajah. Saat itulah dia terkejut ketika melihat gelang
- emas besar yang sebelumnya dimasukkan ke dalam tempurung
- diberikan pada si orang tua, kini telah melingkar kembali di lengan
- kirinya!
- “Luar biasa! Bathara Agungi KuasaMu sungguh luar biasa!”
- Dalam keadaan yang penuh keanehan dan keangkeran itu, Raja
- Mataram melangkah mendekati kuburan besar yang memancarkan
- cahaya coklat kehitaman. Sementara belum tahu bagaimana dia akan
- membongkar makam dan menemukan Empat Mayat Aneh, di hadapan
- kuburan Rakai Kayuwangi perlukan membungkuk memberi penghormatan pada para arwah. Setelah meragu sebentar, sang Raja
- duduk bersila, mengheningkan cipta meminta petunjuk pada Yang Maha
- Kuasa. Ketika petunjuk tidak didapatkan maka Rakai Kayuwangi mulai
- membaca mantera aji kesaktian bernama Sepasang Tangan Dewa
- Menebar Pahala.
- Dua tangan Rakai Kayuwangi mulai dari bahu sampai ke ujung
- jari berubah menjadi sepuluh kali lebih besar. Raja Mataram Ini lalu
- bangkit berdiri, melangkah lebih dekat ke arah kuburan besar, siap
- untuk melakukan penggalian. Namun darahnya tersirap, wajah berubah
- dan tubuh bergeletar ketika tiba-tiba ada suara mendesis keras disusul
- suara kreekkk! Tanah kuburan besar, terbelah dan menguak lebar tepat
- di bagian tengah. Dalam udara gelap Rakai Kayu Wangi melihat sebuah
- peti mati hitam berukuran besar menyembul dari dalam kuburan yang
- tanahnya telah terkuak. Sementara dua tangannya kembali ke bentuk
- semula, sang Raja lagi-lagi merasa tengkuknya menjadi dingin
- merinding. Dia pandangi peti mati besar itu untuk beberapa lama lalu
- melangkah mendekati. Tangan kanan bergetar hebat ketika diulurkan
- untuk menyentuh dan membuka penutup peti mati. Selain sangat berat
- penutup peti keluarkan suara berkereket angker ketika dibuka.
- Sedikit demi sedikit penutup peti mati terbuka. Setengah jalan
- tiba-tiba penutup peti terpentang membuka sendiri. Dari dalam peti
- memancar empat cahaya coklat menyilaukan mata hingga Rakai
- Kayuwangi tersurut mundur. Dari dalam peti terdengar pula suara
- berucap keras yang membuat Raja Mataram jadi tercekat.
- Pelihara mata hanya melihat kebaikan
- Pelihara mulut hanya bicara kebaikan
- Pelihara telinga hanya mendengar kebaikan
- Pelihara kemaluan hanya untuk kebaikan
- Untuk beberapa lama Rakai Kayuwangi tidak dapat melihat apa
- yang ada di dalam peti mati besar karena ada kepulan asap kelabu
- menutupi pemandangan. Tak selang berapa lama, begitu asap kelabu
- sirna Rakai Kayuwangi menyaksikan satu pemandangan yang sungguh
- luar biasa!
- Di dalam peti mati besar terbujur empat sosok mayat laki-laki
- yang sekujur tubuh kecuali wajah dan kepala terbalut gulungan kain
- putih. Mayat pertama dalam keadaan dua tangan ditutupkan ke mata.
- Mayat kedua tangan menutupi mulut. Mayat ketiga dua tangan
- ditutupkan ke telinga kiri kanan. Mayat terakhir yaitu mayat ke empat
- tekapkan dua tangan di atas kemaluan. Empat Mayat Aneh!
- “Hyang Jagat Bathara, bagaimana saya bisa mendapat petunjuk
- dari Empat Mayat Aneh ini,” membatin Rakai Kayuwangi.
- Setelah merenung sejenak, Raja Mataram bergerak lebih
- mendekati peti mati besar. Tiba-tiba dia melihat mayat ke tiga turunkan
- dua tangan yang menutup telinga.
- “Dia siap mendengarkan apa yang hendak aku sampaikan...” kata
- Rakai Kayuwangi dalam hati. Lalu setelah lebih dulu membungkuk Raja Mataram ini cepat berkata.
- “Empat Mayat Aneh, salam sejahtera bagimu semua. Saya Rakai
- Kayuwangi Lokapala Raja Mataram datang mengunjungi untuk mohon
- diberikan petunjuk. Mohon maaf kalau kedatangan saya telah
- menggangu ketenteraman mu di dalam roh di alam baka...”
- Seierai Raja Mataram blcar”, mayat ke tiga yang telah mendengar
- ucapan sang Raja tutup kembali ke dua telinganya dengan dua tangan.
- “Hyang Jagat Bathara, apakah saya akan menerima jawaban?”
- ucap Rakai Kayuwangi dalam hati.
- Tak ada suara jawaban. Tak «da satupun dari Empat Mayat Aneh
- yang bergerak. Kayu penutup peti bergoyang-goyang dan ber-kereketan
- ketika angin kembali berdesau bertiup kencang. Rakai Kayuwangi
- berdoa dalam hati. Meminta pada Yang Maha Kuasa agar sesuatu
- terjadi. Tiba-tiba Raja Mataram Ingat. Ada sesuatu yang terlupa
- dilakukannya.
- Dari balik pinggang pakaian Raka! Kayu-wa “. gi keluarkan qir:r»g-
- oiring porsk. Sesuai dengan petunjuk yang diberikan Satria Lonceng
- Dewa Mimba Purana, giring-giring digoyang hingga keluarkan
- suara bergemerincing keras. Giring-giring lalu disapukan pulang balik di
- atas wajah Empat Mayat Aneh.
- Keajaibanpun terjadi!
- “Yang Maha Kuasa, terima kasih...” Rakai Kayuwangi
- membungkuk dalam-dalam sementara sepasang mata tak berkesip
- memperhatikan mayat kedua yang ada dalam peti mati besar.
- Mayat ke dua, yang menutup mulut dengan dua tangan, turunkan
- dua tangan ke samping. Lalu terdengar suara ucapan penuh
- kelembutan.
- “Raja Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala saiam sejahtera
- bersambut dan berbalas untuk dirimu, keluargamu, para pejabat
- Kerajaan dan rakyat Mataram. Kami berempat merasa masih sangat
- dihargai karena telah dimintai kehadiran untuk memberi petunjuk.
- Petunjuk mana yang sebenarnya bukan datang dari kami mahluk tiada
- guna ini, namun berasal dari Yang Maha Kuasa. Selama kami hidup dan
- sampai kembali menghadap Yang Maha Kuasa, para sepuh Raja-Raja
- Mataram telah sangat memperhatikan kami. Kami diberikan tempat
- beristirahat di alam yang indah dan penuh ketenangan, di udara yang
- penuh kesegaran. Adalah pada tempatnya kalau kami membalas semua
- budi kebaikan itu. Namun rasanya sampai kiamat budi baik itu tidak
- sanggup kami balaskan. Maafkan dan ampuni kekurangan kami ini
- wahai Para Dewa di Kahyangan. Yang Mulia Raja Mataram, sebelum
- lanjut bersuara kami perlu melihat lebih dulu apakah kau sebenar-
- benarnya Yang Mulia Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala.
- Kami perlu berhati-hati karena alam arwah dan alam nyata selalu penuh
- dengan tipu daya.”
- Selesai bicara, mayat kedua tutup kembali mulutnya dengan
- kedua tangan. Di sebelahnya, mayat pertama lepaskan tekapan dua
- tangan pada kedua mata. Mata yang nyalang ini kemudian menatap
- memperhatikan Rakai Kayu Wangi. Hidung menghirup dalam-dalam.
- Mayat pertama ini kemudian menepuk mayat kedua lalu menutup
- matanya. Mayat kedua membuka mulut dan berkata.
- “Saudaraku bertiga, orang yang ada di hadapan kita memang
- adalah Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala, putera dari
- Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu. Tiada keraguan untuk
- membantu dirinya, keluarganya, Kerajaan dan rakyat Mataram agar
- terlepas dari malapetaka yang menimpa...”
- Tiga kepala mayat di samping mayat ke dua tampak bergerak
- menganguk-angguk.
- “Sahabatku Empat Mayat Aneh, saya sangat berterima kasih.
- Saya mohon malapetaka itu dimusnahkan dengan segera...”
- Mayat ke empat yang menutupkan kedua tangan di atas
- kemaluan tiba-tiba angkat dua tangannya ke atas. Mulut keluarkan
- ucapan lantang.
- “Salah satu penyebab kejahatan angkara murka di alam arwah
- dan dimuka bumi berasal dari kemaluan yang tidak terpelihara secara
- baik! Hyang Jagat Bathara Dewa, kami Empat Mayat Bersaudara yang
- tiada daya ini, mohon pertolonganMu. Kirimkan kuasaMu untuk
- menjemput pemuda pilihan, di negeri dan alam delapan ratus tahun
- kemudian nun sangat jauh di sana, yang telah tertulis di dalam aksara
- takdir suciMu, satu-satunya insan yang kau berikan kekuatan dan
- kemampuan untuk menyelamatkan Raja, Rakyat dan Kerajaan Mataram
- dari malapetaka yang sedang menimpa!”
- Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara kuda meringkik.
- “Wuss!”
- Kuda Lumping yang disandarkan Raja Mataram di rerumpunan
- semak belukar berpijar terang lalu melesat ke udara!
- Selagi Raja Mataram tercekat melihat apa yang terjadi, mendadak
- mayat ke empat ulurkan tangan kanan sembari berkata.
- “Yang Mulia, serahkan pada saya batu putih segi tiga yang
- diberikan Satria Lonceng Dewa, Pendekar Bhumi Mataram Mimba
- Purana...”
- Raja Mataram tersentak kaget.
- TAMAT
- penulis : bastian tito
- created : matjenuh channel
- blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
Minggu, 09 Juni 2024
Home »
Wiro Sableng
» PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - EMPAT MAYAT ANEH
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - EMPAT MAYAT ANEH

0 comments:
Posting Komentar