Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Selasa, 11 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - PEDANG NAGA SUCI 212

https://matjenuh-channel.blogspot.com



SATU

Walau saat itu menjelang tengah hari namun puncak Gunung Gede diselimuti 

Kegelapan mencekam. Langit hitam kelam ditebali awan hitam mendung 

gulung. Angin bertiup kencang mengeluarkan suara aneh. Suara deru hujan 

ras seolah langit koyak terbelah. Udara sangat dingin membungkus puncak 

gunung. Ditambah dengan gelegar guntur yang sesekali ditimpali sambaran petir membuat 

suasana benar-benar menggidikkan. 

Di tepi sebuah telaga yang terletak di puncak timur Gunung Gede, dua sosok tubuh 

tampak duduk bersila di tanah yang becek. Sepasang lengan dirangkapkan di depan dada. 

Mereka tidak bergerak sedikitpun seolah telah berubah menjadi patung tanpa nafas. Sekujur 

tubuh ke dua orang ini basah kuyup mulai dari rambut sampai ke kaki. Hawa dingin luar 

biasa membuat tubuh mereka sedingin es! Dua orang ini tidak sedang bersamadi atau 

bertapa karena sepasang mata mereka memandang tak ber-kesip ke tengah telaga yang 

airnya mengeluarkan riak seolah mendidih dan mengepulkan asap putih. 

Orang di sebelah kanan adalah seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih. 

Wajahnya tampan dan memiliki sepasang mata besar dengan pandangan tajam tak berkesip 

menyorot ke arah telaga. Di samping kiri si pemuda duduk tak bergerak seorang dara 

berpakaian biru muda, berparas cantik dan berkulit hitam manis. Di pinggangnya melilit 

ketat sehelai selendang merah hingga pinggangnya tampak ramping dan pinggulnya 

mencuat bagus. Gadis ini memiliki rambut panjang sepinggang yang dijalin lalu 

dilingkarkandi atas kepala. Seolah hiasan, jalinan rambut ini menambah kecantikan 

wajahnya. 

Sulit diduga apa yang tengah dilakukan sepasang muda mudi itu. Mereka tetap tak 

bergerak dan tak berkesip walau hujan terus mendera, hawa dingin mencucuk, guntur 

menggelegar dan kilat membuat darah berulang kali tersirap. 

Tiba-tiba si pemuda tampak membuat gerakan. Perlahan sekali kepalanya 

dipalingkan ke kiri ke arah gadis berpakaian biru. Sesaat dipandanginya gadis itu. Mulutnya 

bergerak sedikit seperti hendak mengucapkan sesuatu. Namun tak ada suara yang keluar. 

Orang yang dipandangi tetap diam tak bergerak. Si pemuda sesaat menjadi bimbang. 

Akhirnya dia memutar kepala, memandang kembali ke arah telaga. Tapi dia seperti tidak 

dapat memusatkan perhatian lebih lanjut. Tak selang berapa lama kembali dia menoleh ke 

kiri, pandangi gadis cantik di sebelahnya itu. Mulutnya bergerak namun tetap saja tak ada 

suara yang keluar. Hanya di dalam hatinya si pemuda membatin. “Air mukanya jelas masih 

membayangkan marah dan dendam. Dia pasti tetap tak akan mau bicara denganku. Tapi 

kalau aku tidak bicara bisa-bisa lebih salah kaprah.... Hemmm. Bagaimana aku harus 

memulai. Hatinya sekeras batu, sikapnya segarang harimau betina....” 

Kilat menyambar. Sekilas puncak Gunung Gede terang benderang. Guntur 

menggelegar seperti merobek telinga dan menghancurkan jantung. Air telaga tampak beriak 

keras dan kepulan asap semakin tebal bergulung ke udara. Cahaya kilat lenyap dan tempat 

itu kembali dibungkus kegelapan. 

“Aku harus bicara! Terserah dia mau marahi” Pemuda berwajah tampan ambil 

keputusan. Dia menarik nafas dalam lebih dulu seolah berusaha mempertabah diri. Lalu 

terdengar suaranya menegur diantara deru hujan dan tiupan angin

“Sinto, apa kita tidak salah menghitung hari? Jangan-jangan kita datang terlambat 

atau terlalu cepat....” 

Si pemuda menunggu. Tapi orang yang ditanya jangankan menjawab. Bergerak 

sedikitpun tidak. Bahkan dua matanya yang tajam bagus terus saja memandang ke tengah 

telaga tanpa berkedip. 

“Sinto, kau mendengar pertanyaanku. Harap kau suka menjawab dan sementara 

melupakan dulu apa-apa yang menjadi ganjalan di hatimu....” Pemuda gagah di sebelah 

kanan si gadis kembali membuka suara. 

Gadis yang diajak bicara tetap membungkam seribu bahasa. Hujan dan angin terus 

berkecamuk. Kegelapan dan hawa dingin semakin mencekam. 

“Sinto Weni kalau kau....” 

“Aku tak pernah salah memperhitungkan segala sesuatu dalam hidupku. Satu-

satunya kesalahan adalah kesalahan memperhitungkan dirimu....” 

Kata-kata yang tiba-tiba keluar dari mulut si gadis walaupun diucapkan secara 

lembut tapi membuat wajah pemuda tampan di sebelahnya menjadi berubah. Untuk 

beberapa lamanya dia terdiam dengan mulut ternganga. 

“Sinto Weni adikku....” 

“Suaramu tidak sedap masuk ke telingaku. Kalau kau tak mau berhenti bicara lebih 

baik segera saja angkat kaki dari tempat ini...,” 

Si pemuda menggigit bibirnya sendiri. “Hatinya bukan saja sekeras batu tapi juga 

sepanas bara. Tak mungkin aku membujuknya. Dari pada urusan jadi panjang memang 

lebih baik aku pergi saja. dari sini....” 

“Sinto, terus terang aku memang tidak mengharapkan warisan apa-apa dari kiai Gede 

Tapa Pamungkas. Hanya sebagai murid aku harus patuh. Itu sebabnya aku datang ke sini 

sesuai pesan Kiai beberapa tahun lalu. Kalau kau tidak menginginkan kehadiranku di sini 

mungkin memang benar aku harus angkat kaki dari tempat ini. Selamat tinggal Sinto. 

Urusan di antara kita pasti ada saat penyelesaiannya.... Satu hal perlu kau ketahui. Hatiku 

tidak sejahat yang kau duga. Hanya memang mungkin imanku setipis embun di permukaan 

daun. Mudah sirna terkena cahaya sang surya....” 

Habis berkata begitu si pemuda siap bergerak bangkit. Bagi si gadis apa yang 

dikatakan pemuda itu sama sekali tidak ada pengaruhnya. Dia tetap tak bergerak danterus 

menatap ke arah telaga. 

Tiba-tiba petir menyambar. Guntur menggelegar. Puncak Gunung Gede bergetar 

hebat. Si pemuda yang hendak berdiri jatuh terduduk di tanah becek. Tapi hatinya telah 

bulat, tekadnya telah tetap. Dia kembali bangkit berdiri. Namun sekali lagi gerakannya 

tertahan. 

Mendadak di kejauhan terdengar suara orang menyanyi. Demikian halus lembut 

suara itu hingga sulit diketahui apakah yang menyanyi seorang lelaki atau seorang 

perempuan. 

Hari pertemuan datang sudah 

Dua warisan akan muncul di dunia 

Benda mati akan membawa manusia 

Memilih jalan lurus atau jalan sesat 

Memilih sorga atau dunia maksiat

Karena itu manusia diberi otak untuk berpikir 

Diberi hati untuk menimbang 

Manusia harus menguasai benda 

Bukan benda yang harus menguasai manusia 

Kalau warisan sudah berbagi 

Saat berpisah datang sudah. 

Baru saja suara nyanyian sirap tiba-tiba kilat menyambar. Laksana sebilah pedang 

raksasa yang menderu dari atas langit, kilat menghantam pertengahan telaga. Air telaga 

berobah menjadi panas, mencuat sampai puluhan tombak! Puncak Gunung Gede laksana 

dilanda gempa ketika guntur menyusul menggelegar. Sepasang muda-mudi yang duduk di 

tepi telaga merasa ada hawa aneh keluar dari tanah lalu menjalar masuk ke dalam tubuh 

masing-masing. Keduanya tampak bergetar hebat dan terhuyung-huyung. Mereka kerahkan 

tenaga agar tidak terbanting roboh ke tanah. 

Sambaran kilat lenyap. Suara gema guntur sirna. Air telaga beriak tenang kembali 

seperti semula. Dua orang di tepi telaga masih belum lenyap rasa kejut masing-masing. 

Wajah mereka masih kelihatan pucat. Dalam keadaan seperti itu sekonyong-konyong 

terdengar suara bergemuruh di dalam telaga. Lalu seolah ada satu kekuatan dahsyat air di 

pertengahan telaga muncrat setinggi lima tombak. Bersamaan dengan itu dari dalam telaga 

mencuat muncul sosok tubuh seorang tua berselempang kain putih. 

“Kiai Gede Tapa Pamungkas!” 

Pemuda dan gadis di tepi telaga sama-sama keluarkan seruan. Keduanya lalu 

membungkuk dalam-dalam memberi penghormatan. 

Orang tua berselempang kain putih yang dipanggil dengan sebutan Kiai Gede Tapa 

Pamungkas seolah berdiri di atas air. Kepulan asap putih berhawa dingin membuat sosok 

dan wajahnya tampak samar. Orang tua ini memiliki rambut putih panjang menjulai yang 

bukan saja menutupi kepala dan punggungnya tapi juga sebagian wajahnya. Selain dari itu 

kumis alis dan janggutnya yang putih panjang ikut menyembunyikan mukanya. 

Ada beberapa keanehan menyertai kemunculan Kiai Gede Tapa Pamungkas ini. 

Pertama dia muncul dari dalam telaga. Apakah dia memang diam dalam telaga itu? 

Manusia mana yang mampu hidup dalam air? Ke dua dia bisa berdiri di atas air telaga me-

rupakan satu kepandaian yang sukar dijajagi. Lalu keanehan ke tiga, walau saat itu hujan 

terus mendera dan barusan dia keluar dari dalam air telaga namun baik tubuh, rambut 

maupun pakaian Kiai Gede Tapa Pamungkas sama sekali tidak basah! Baik si pemuda 

maupun gadis bernama Sinto Weni sebelumnya tidak pernah melihat kemunculan dan 

penampilan Kiai Gede Tapa Pamungkas begini hebat! 

“Murid-muridku apakah kalian berdua sudah lama menunggu?!” Sang Kiai ajukan 

pertanyaan. Sampai saat itu dia tetap tidak beranjak dari pertengahan telaga sementara 

cuaca tetap pekat mengetam. 

“Kami belum berapa lama berada di tempat ini Kiai,” menjawab si pemuda. 

“Kalau Kiai yang memerintah apapun akan kami lakukan. Berapa lamapun 

menunggu akan kami nantikan,” berkata Sinto Weni. 

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Aku tahu kalian sudah lima hari menunggu 

di tepi telaga. Tanpa makan tanpa minum. Kehujanan dan kedinginan. Murid-muridku, 

Tuhan menjadikan hidup manusia ini tidak mudah. Cobaan dan ujian datang silih berganti

dalam berbagai bentuk. Tuhan tidak ingin menyusahkan umat-Nya. Semua cobaan dan 

ujian itu justru untuk membuat manusia menjadi tabah dan berani menghadapi tantangan. 

Hanya dengan ketabahan dan keberanian berdasarkan kebenaran manusia menyadari apa 

artinya hidup ini. Ujian dan cobaan yang kalian alami selama lima hari ini hanya sejumput 

kecil dari padang luas rimba percobaan. Banyak lagi ujian, cobaan dan tantangan yang kelak 

akan kalian hadapi. Untuk semua itu sandarkan keberanian dan kekuatan kalian pada 

kekuatan dan perlindungan Yang Maha Kuasa. Karena hanya keberanian dan kekuatan 

Tuhanlah yang maha benar dari semua kebenaran. Murid-muridku, Sinto Weni dan Sukat 

Tandika apakah selama empat tahun tidak bertemu kalian berdua ada baik-baik saja?” 

“Berkat doa Kiai dan perlindungan Yang Maha Kuasa kami ada baik-baik saja. Walau 

empat tahun tidak terlalu lama namun kami merasa mulai mengenal apa artinya hidup dan 

apa artinya dunia persilatan....” Yang menjawab adalah pemuda bernama Sukat Tandika. 

Sinto Weni sang dara berkulit hitam manis hanya berdiam diri memandang ke tengah telaga 

tepat pada arah sepasang kaki sang Kiai. 

Di tengah telaga, Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Sambil melirik pada 

muridnya yang bernama Sinto Weni dia kembali ajukan pertanyaan. “Murid-muridku apa 

kalian berdua ada baik-baik saja selama empat tahun ini?” 

“Kami... kami berdua ada baik-baik saja Kiai,” akhirnya si gadis menjawab. 

“Bagus kalau begitu,” ujar Kiai Gede Tapa Pamungkas sambil anggukkan kepala 

walau sebenarnya dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan murid perempuannya ini. 

“Sinto Weni dan Sukat Tandika. Empat tahun kalian terjun ke dalam rimba persilatan bukan 

satu waktu yang lama. Tidak dapat dijadikan ukuran apakah kalian telah mampu menjadi 

pendekar-pendekar yang dihormati dan disegani. Namun aku sudah menyirap kabar bahwa 

ilmu Pukulan Sinar Matahari yang kuwariskan padamu Sinto Weni telah membuat geger 

dunia persilatan. Lalu aku juga mengetahui bahwa ilmu silat tangan kosong yang kau dapat 

dariku Sukat Tandika telah membuat orang-orang golongan hitam menjadi mati kutu. 

Seperti yang pernah aku katakan dulu, hari ini adalah hari pertemuan yang dijanjikan. Hari 

ini adalah hari dua warisan akan kuserahkan pada kalian. Dan hari ini pula kita akan 

berpisah untuk selama-lamanya. Entah kalau Tuhan masih mengijinkan bagi kita bertemu. 

Adapun bentuk warisan yang akan kuberikan pada kalian, akan kalian lihat sendiri nanti. 

Suka atau tidak suka kalian harus menerimanya sebagai kenyataan. Karena dua benda 

warisan itu hanyalah titipan anak cucu kalian yang harus dipergunakan untuk 

menyelamatkan dunia persilatan dari segala macam angkara murka. Waktuku pendek, aku 

tak mungkin bicara terlalu banyak. Harap kalian tetap duduk di tempat masing-masing. 

Jangan bicara kalau aku tidak mengajak bicara. Jangan bergerak kalau tidak aku suruh!” 

Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu kembangkan ke dua tangannya 

ke samping. Bersamaan dengan itu terdengar, suara menggemuruh yang datang dari dua 

arah di dasar telaga. Lalu air telaga di kiri kanan si orang tua mencuat setinggi sepuluh 

tombak. Anehnya air yang melesat ke udara itu tampak mengeluarkan tiga warna yakni 

putih, merah dan biru. Bersamaan dengan mencuatnya air telaga di dua tempat, mendadak 

tiupan angin semakin kencang dan hujan mendera bertambah keras! 

Sinto Wenidan Sukat Tandika merasakan jantung masing-masing berdebar keras. 

Mata mereka dibuka lebar-lebar ketika ada suara mendesir di dalam telaga- Lalu dua buah 

kepala mencuat ke permukaan air. Sepasang muda-mudi ini kalau tidak ingat pesan guru

mereka tadi, niscaya saat itu sudah tersurut ke belakang atau keluarkan seruan tertahan 

ketika melihat dua makhluk yang keluar dari dalam telaga! 

* *


DUA


Dua makhluk yang muncul di permukaan air telaga di kiri kanan Kiai Gede Tapa 

Pamungkas ternyata adalah dua ekor ular besar bermata merah, satu jantan satu 

betina, memiliki lidah terbelah yang menjulur panjang serta gigi dan taring besar 

runcing. Di atas kepala sebelah depan ada sebentuk mahkota putih bertabur batu-batu yang 

memantulkan sinar berkilauan. Di bagian kepala sebelah belakang tampak sebentuk tanduk 

berwarna hijau. 

D

“Ular naga...” desis pemuda bernama Sukat Tan-dika dalam hati. “Setahuku binatang 

ini hanya ada dalam dongeng. Apa yang kulihat ini ular naga sungguhan atau hanya 

makhluk jejadian ciptaan kepandaian Kiai Gede Tapa Pamungkas? 

Kalau si pemuda berpikir seperti itu maka lain halnya dengan gadis bernama Sinto 

Weni. Dalam hati gadis ini bertanya-tanya. “Permainan apa yang hendak diperlihatkan Kiai 

padaku? Apa ular raksasa ini yang hendak diwariskannya padaku? Celaka!” 

Di tengah telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas mendongakkan ke langit. Dua 

tangannya diangkat sebatas dada dengan telapak membuka menghadap ke atas. Dia seperti 

tengah membaca sesuatu. Dua ekor naga besar bergulung-gulung di sebelah kiri dan kanan 

tubuhnya. Tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas rentangkan ke dua tangannya kembali ke 

samping. Bersamaan dengan itu dia jentikkan jari-jari tangannya kiri kanan. Mendengar 

suara jentikan dua ekor ular naga susupkan kepala ke dalam air telaga sementara di sebelan 

sana air telaga tiga warna terus mencuat di dua tempat. 

Sekali lagi Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan jari-jari tangan kiri kanan. Terdengar 

suara menggemuruh ketika dua naga munculkan lagi kepala di permukaan air telaga. Kali 

ini di dalam mulut masing-masing mereka menggigit sebuah benda. 

Ular naga sebelah kanan yakni ular naga yang jantan mengigit sebuah benda 

berbentuk kapak yang memiliki dua mata. Kapak ini bergagang putih kekuningan terbuat 

dari gading. Bagian ujung gagang berbentuk ukiran kepala naga jantan dan ada enam buah 

lobang kecil seperti lobang seruling. Pada dua mata kapak yang memancarkan sinar 

berkilauan itu tertera tiga buah angka. 212. 

Dalam mulut ular naga kedua yaitu yang betina ada sebuah benda berbentuk seperti 

gulungan ikat pinggang berwarna putih, memiliki ujung berbentuk kepala naga sama 

seperti gagang kapak yang ada di mulut naga satunya. 

Kiai Gede Tapa Pamungkas kembali jentikkan dua tangannya kiri kanan. Dua ular 

naga kibaskan ekor masing-masing dengan keras hingga air telaga muncrat tinggi. Lalu 

binatang ini rundukkan kepala dan meluncur menuju tepi telaga di mana Sinto Weni dan 

Sukat Tandika duduk bersila tanpa berani bergerak ataupun keluarkan suara. Namun sekali 

ini begitu dua ular naga meluncur ke arah mereka walau mereka tetap mampu bertahan 

tanpa keluarkan suara tanpa bergerak rasanya saat itu nyawa masing-masing sudah 

melayang terbang! 

Di tepi telaga dua ular naga jantan dan betina letakkan senjata berbentuk kapak dan 

gulungan benda putih di hadapan Sinto Weni dan Sukat Tandika. Untuk beberapa lamanya 

binatang ini menjilati dua benda itu. Lalu keduanya perlahan-lahan meluncur mundur 

kembali ke dalam telaga.Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan lagi jari-jari tangannya. Dua ular naga luruskan 

badan masing-masing laksana tonggak lalu dongakkan kepala. Dari mulut mereka keluar 

suara raungan aneh, terdengar antara lolongan srigala dan ringkik kuda, membuat 

merinding Sinto Weni dan Sukat Tandika. Sang Kiai kembali menjentik. Saat itu juga sosok 

tubuh sepasang naga perlahan-lahan meluncur turun ke dalam air hingga akhirnya lenyap 

dari pemandangan. 

“Murid-muridku.... Dua warisan telah berada di hadapan kalian. Sebelum aku 

meminta kalian untuk memilih sendiri mana yang kalian sukat, aku akan perlihatkan 

kepada kalian kehebatan dua benda itu.” 

Di tengah telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas angkat kedua tangannya, diarahkan 

pada dua benda yang ada di tepi telaga. Ketika dua tangannya disentakkan ke atas, senjata 

berbentuk kapak bermata dua melesat ke udara mengeluarkan suara aneh seperti ribuan 

tawon terbang mengamuk. Dari dua mata kapak memancar sinar putih laksana perak. Sinar 

ini bukan saja sangat menyilaukan tapi sekaligus menghamparkan hawa panas luar biasa. 

Untuk beberapa lamanya senjata ini berputar-putar di atas telaga mengikuti gerak putaran 

tangan kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Begitu sang Kiai hantamkan tangan kanannya ke 

kiri, kapak bermata dua melesat laksana kilat ke arah sebatang pohon yang tumbuh di tepi 

telaga. 

“Craasss!” 

Batang pohon sebesar pemelukan tangan tertebas putus. Bagian atas pohon besar 

tumbang dengan suara bergemuruh. Baik pohon yang tumbang maupun Sisa batang yang 

masih tegak kelihatan berubah menjadi hitam gosong laksana habis dimakan api! Sukat 

Tandika menyaksikan dengan mata lebarnya bertambah lebar sedang lidahnya berulang kali 

dijulurkan membasahi bibir. Sinto Weni memandang dengan mata melotot tapi mulut ter-

kancing. 

Kiai Gede Tapa Pamungkas gerakkan tangannya ke arah tepian telaga. Kapak 

bermata dua melayang turun dan perlahan-lahan digeletakkan kembali di depan sepasang 

muda mudi. Kini sang Kiai ganti angkat tangannya yang kiri. Benda putih berbentuk 

gulungan ikat pinggang melesat ke atas lalu “srettt!” Gulungannya terbuka. Satu cahaya 

putih yang menghamparkan hawa dingin berkiblat. Di udara saat itu tampak sebilah pedang 

putih tipis bergagang gading berbentuk kepala naga betina. Pada badan pedang tertera 

angka 212. Pada bagian ujung pedang yang lancip kelihatan sebuah lobang yang demikian 

kecilnya hingga sulit dilihat mata telanjang. 

Kiai Gede Tapa Pamungkas sentakkan tangan kirinya ke atas. Pedang putih melesat 

ke udara,. berputar memancarkan cahaya putih menyilaukan, menebar hawa dingin dan 

mengeluarkan suara berdesing yang membuat liang telinga laksana ditusuk! 

“Lihat pedang!” berseru sang Kiai seraya hantamkan tangan kanannya ke arah kanan 

telaga di mana tumbuh sebuah pohon besar berdaun rimbun. Kiai Gede Tapa putar 

tangannya di atas kepala berulang kali. Terdengar suara tebasan tak henti-hentinya. Daun 

pohon bertaburan di udara lalu melayang jatuh ke tanah dan ke dalam telaga. Dalam waktu 

beberapa kejapan mata saja pohon yang tadinya rimbun itu kini telah botak, hanya tinggal 

cabang dan ranting meranggas. Ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas meletakkan pedang 

putih itu di tepi telaga, begitu menyentuh tanah pedang ini kembali menggulung diri secara aneh.“Sekarang kalian lihat bagaimana kalau dua senjata sakti dari dua sumber yang sama 

saling baku hantam satu sama lain!” kata Kiai Gede Tapa pula. Lalu dua tangannya sama 

disentakkan ke atas. 

“Sreettt!” 

“Wuttt!” 

“Wuuutt!” 

Pedang putih tipis melesat ke atas dan lepas dari gulungannya. Kapak bermata dua 

menyusul melesat lalu membeset gerakan pedang. Dengan lincah pedang tipis membuat 

gerakan berputar menghindari tebasan kapak. Dalam waktu singkat di udara dua senjata itu 

berubah menjadi buntalan cahaya yang saling menggempur. Dua cahaya berkilauan saling 

menyabung. Hawa panas dan hawa .dingin berbenturan hebat. Suara mengaung dan suara 

mendesing seperti seruling seolah merobek langit. 

“Traangg!” 

Dua senjata mustika sakti beradu di udara. Lidah api mencuat sejauh dua tombak. 

Suara beradunya kapak dan pedang disusul dengan getaran dahsyat yang membuat tempat 

itu laksana dilanda gempa. Karena bentrokan dua senjata sakti terjadi berulang-ulang, baik 

Sinto Weni maupun Sukat Tandika terpaksa tutup telinga masing-masing dengan tangan 

sementara tubuh mereka yang duduk bersila ditanah terguncang-guncang, aliran darah 

tersentak-sentak. Kalau bentrokan dua senjata sakti itu tidak lekas dihentikan sepasang 

muda-mudi ini pasti akan menderita luka dalam yang parah! 

Untung Kiai Gede Tapa Pamungkas saat itu membuat gerakan dua tangan ke kiri dan 

ke kanan. Kapak bermata dua dan pedang tipis lentur serta merta bergerak menjauh. Lalu 

perlahan-lahan turun ke tanah di hadapan Sinto Weni dan Sukat Tandika. Seperti tadi begitu 

menyentuh tanah pedang tipis lentur langsung bergelung menggulung. 

Untuk ke sekian kalinya dua murid Kiai Gede Tapa itu dibuat terkagum-kagum 

menyaksikan kehebatan senjata berupa kapak bermata dua dan pedang tipis lentur yang 

memancarkan cahaya putih menyilaukan itu. 

“Murid-muridku, kalian telah menyaksikan kehebatan dua senjata itu. Apa yang 

barusan kalian lihat hanya sebagian kecil saja dari kehebatan yang tersimpan di dalam dua 

senjata itu. Inilah dua warisan yang akan aku berikan pada kalian. Senjata berbentuk kapak 

cocok menjadi pegangan seorang kesatria. Senjata ini bernama Kapak Naga Geni 212. Jika 

mulut kepala naga yang merupakan gagang kapak ditiup maka senjata itu akan berubah 

menjadi sebuah seruling yang mampu mengeluarkan suara keras. Membuat kacau jalan 

pikiran, peredaran darah dan bisa memecahkan gendang-gendang telinga lawan. Bilamana 

mata naga kiri kanan ditekan maka dari mulut naga akan melesat keluar jarum-jarum putih 

yang merupakan senjata rahasia ampuh. Siapa saja yang mempergunakan senjata ini dia 

harus memiliki tenaga dalam tinggi. Tanpa tenaga dalam Kapak Naga Geni 212 hanya 

merupakan satu benda mati belaka. Berarti senjata ini tidak bisa dipergunakan oleh 

sembarang orang.” 

Kiai Gede Tapa Pamungkas memandang pada Sinto Weni sesaat lalu meneruskan 

penuturannya. 

“Senjata yang satunya yakni berupa pedang tipis dan bisa digulung bernama Pedang 

Naga Suci 212. Keampuhannya tidak kalah dengan Kapak Naga Geni 212 dan cocok sebagai 

senjata andalan seorang dara perkasa. Di dalam badan pedang tersimpan ratusan senjata 

rahasia berbentuk jarum putih. Bilamana mulut naga ditiup maka jarum-jarum itu akan melesat keluar lewat sebuah lubang kecil di ujung pedang. Seperti Kapak Naga Geni 212, 

pedang sakti ini juga bisa ditiup dijadikan seruling yang bunyinya dapat menghantam 

lawan. Untuk mengeluarkan segala kehebatan yang tersimpan dalam pedang seseorang 

harus mengerahkan tenaga dalam. Murid-muridku dua senjata ini bukan senjata 

sembarangan. Dicipta-kan oleh para pendahuluku hanya dengan satu maksud dan tujuan 

yakni membela kebenaran dan keadilan, menghancurkan angkara murka dalam rimba 

persilatan. Inilah warisan yang harus kalian jaga dengan baik, dalam merawat maupun 

mempergunakannya. Sekali kalian mempergunakan senjata itu di jalan yang salah maka 

kesaktiannya akan memukul balik pada diri kalian! Murid-muridku, walau tadi aku 

sebutkan bahwa Kapak Naga Geni 212 cocok untuk seorang kesatria dan Pedang Naga Suci 

212 cocok untuk seorang pendekar dara perkasa, namun terserah pada kalian masing-

masing untuk berunding memilih yang mana. Khusus untuk Kapak Naga Geni 212 memiliki 

pasangan sebuah batu hitam berbentuk persegi panjang. Jika batu ini digosokkan atau di-

pukulkan ke mata kapak maka lidah api akan mencuat keluar dan merupakan senjata luar 

biasa. Dua senjata sakti ini akan menjadi senjata maut bagi semua orang jahat di rimba 

persilatan, merupakan senjata andalan atau senjata pamungkas bagi kalian masing-masing. 

Nah murid-muridku sekarang aku persilahkan kalian berunding. Setelah kalian menerima 

warisan dua senjata mustika sakti itii maka aku akan merasa lega dan segera meninggalkan 

kalian....” 

Dari balik seiempang kain putih yang melilit di tubuhnya Kiai Gede Tapa Pamungkas 

keluarkan sebuah batu hitam berbentuk empat persegi yang besarnya segenggaman tangan. 

Batu ini dilemparkannya dan jatuh tepat di samping Kapak Naga Geni 212. 

Sukat Tandika bukan .seorang pemuda yang suka mementingkan diri sendiri dan tak 

pernah temahak dalam hal apapun. Karena itu walau sang guru telah berkata demikian dia 

tetap saja duduk di tempatnya, seolah memberi kesempatan pada adik seperguruannya 

yaitu Sinto Weni untuk memilih lebih dulu salah satu dari dua senjata mustika sakti itu. 

Bagaimanapun dia tidak berprasangka buruk dan yakin bahwa Sinto Weni akan mengambil 

Pedang Naga Suci 212 dan dia akan kebagian Kapak Naga Geni 212. 

Namun dugaan Sukat Tandika keliru. 

* *



TIGA


Sinto Weni membungkuk memberi hormat pada Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu 

berkata. “Kiai jika memang kau memberi izin untuk memilih, saya akan mengambil 

Kapak Naga Geni 212 dan batu pasangannya!” 

Di tengah telaga sang Kiai kerenyitkan kening sedang Sukat Tandika melengak kaget. 

Sehabis bicara Sinto Weni bergerak cepat mengambil Kapak Naga Geni 

S

212 dan batu 

pasangannya. Setelah menyimpan dua benda itu dibalik pakaian ringkasnya, dia kemudian 

menyambar pula Pedang Naga Suci 212. 

Kiai Gede Tapa Pamungkas segera menegur. “Sinto Weni, kau hanya boleh 

mengambil satu dari dua senjata sakti itu. Kau telah mengambil Kapak Naga Geni 212. 

Mengapa kau juga mengambil Pedang Naga Suci 212?!” 

Sinto Weni cepat membungkuk. “Maafkan saya Kiai. Saya memang berlaku lancang 

mengambil Pedang Naga Suci ini. Bukan untuk memilikinya tapi justru 

menyelamatkannya.” 

Baik Kiai Gede Tapa maupun Sukat Tandika sama-sama heran dan tidak mengerti 

akan ucapan Sinto Weni. Kalau si pemuda diam saja tak berani bertanya, tidak demikian 

dengan sang Kiai. Orang tua ini ajukan pertanyaan. 

“Apa maksud ucapanmu tadi, Sinto?!” 

“Maafkan kalau jawaban saya terdengar, kasar atau keliru. Tapi saya beranggapan, 

senjata sehebat Pedang Naga Suci 212 ini tak layak berada di tangan Sukat Tandika, Saya 

mempunyai firasat senjata ini kelak akan disalati gunakannya! Jadi biar Pedang Naga Suci 

212 ini saya bawa dulu. Saya akan menyimpannya dengan baik sampai suatu saat ada 

seseorang yang lebih pantas memilikinya.” 

“Kau berani menilai kakak seperguruanmu seperti itu Sinto?! Kau berani memberikan 

warisan berupa pedang itu pada orang lain?!” Suara Kiai Gede Tapa Pamungkas tetap 

lembut namun alunan nadanya jelas menegur keras. 

“Kalau saya salah harap maafkan saya-Kiah Kalau ini sebuah dosa mohon kau mau 

memberi ampun. Kelak waktu yang akan membuktikan ucapan saya!” 

Habis berkata begitu Sinto Weni membungkuk lalu dengan gerakan luar biasa 

cepatnya bersamaan dengan sambaran kilat pada gelegar guntur gadis ini berkelebat dan 

lenyap dalam kegelapan sementara hujan masih terus mengguyur dan angin terus mendera 

kencang. 

Melihat gurunya diam saja walau menunjukkan wajah masygul Sukat Tandika segera 

bergerak hendak mengejar. Namun sang Kiai mencegah. 

“Sukat! Tak usah kau kejar!” 

“Tapi Kiai...” 

“Aku tahu kau tak suka melihat orang melarikan warisan milikmu....” 

“Bukan hanya itu Kiai. Saya tidak suka melihat peri laku budi pekertinya. Dia begitu 

merendahkan Kiai....” 

Kiai Gede Tapa angkat tangan kanannya dan berkata. “Tetap di tempatmu Sukat. Kita 

perlu bicara....” 

“Sementara kita bicara Sinto Weni telah lari jauh!” memotong si pemuda.“Kita perlu bicara, Sukat. Setahuku gadis itu memiliki perasaan halus, penuh welas 

asih walau kadang-kadang suka usil dan bicara ceplas-ceplos. Aku yakin ada sesuatu yang 

telah membuat dirinya berubah seperti itu. Dan yang tahu mengapa dia jadi begitu hanya, 

kau seorang. Selama empat tahun kalian berkelana menimba ilmu dan pengalaman di rimba 

persilatan. Kau mau memberikan penjelasan padaku Sukat?” 

Mendengar kata-kata sang guru Sukat Tandika jadi pucat, sesaat dia terdiam. “Saya 

rasa....” 

“Jelaskan padaku terus terang....” Kiai Gede Tapa Pamungkas seperti mendesak. 

“Kiai.... Sejak dilepas empat tahun lalu, dua tahun pertama kami memang selalu 

bersama-sama. Pada masa-masa itulah antara kami terjalin hubungan yang sangat akrab....” 

“Akrab sebagai teman, saudara seperguruan atau apa?” tanya Kiai Gede Tapa pula. 

Kembali Sukat Tandika terdiam. Setelah menarik nafas dalam dia baru menjawab. 

“Kami saling jatuh cinta. Namun sesuatu terjadi....” 

“Apa yang kau maksud dengan sesuatu itu?” tanya Kiai Gede Tapa. 

“Untuk mencari pengalaman lebih luas pada tahun ke tiga kami setuju saling 

berpisah. Meneruskan perjalanan sendiri-sendiri. Sinto berkelana di barat, saya sendiri 

malang melintang ke berbagai penjuru. Saya kemudian bertemu dengan beberapa orang 

gadis. Saya terpikat dan melupakan Sinto. Saya mengkhianati cintanya.... Mungkin itu 

sebabnya dia menjadi sangat marah dan mendendam pada saya. Saya akan mencarinya....” 

“Tidak, kau tetap di sini sampai aku selesai bicara!” tukas Kiai Gede Tapa. “Muridku 

Sukat Tandika! Bagi seorang gadis cinta adalah sejuta bahagia dalam sejuta kesucian! Kalau 

dia dikhianati dia bisa sejuta diam dalam sejuta derita. Namun bisa juga dia mendekam 

sejuta kebencian sejuta dendam. Agaknya Sinto Weni telah memilih dua hal yang terakhir. 

Kalau kau kejar dia saat ini, selagi bara kebencian dan dendam berkobar hebat dalam diri-

nya, bukan mustahil dia akan membunuhmu....” 

“Saya rela menemui kematian di tangannya....” 

Kiai Gede Tapa tersenyum. “Hanya orang tolol yang memilih jalan hidup seperti itu 

muridku. Jangan menebus ketololan dengan menggadaikan nyawamu! Ketahuilah dalam 

hidup ini ada tiga hal yang mendatangkan kehancuran pada kaum laki-laki kalau dia 

menyimpang dari hukum alam yang telah ditentukan. Pertama jabatan, ke dua harta dan ke 

tiga perempuan. Kau telah membenturkan diri pada salah satu dari tiga hukum alam itu 

muridku. Apa jawabmu?!” 

“Saya mengerti Kiai. Saya telah berbuat sesuatu yang salah terhadap Sinto Weni. Saya 

harus berani bertanggung jawab. Saya mohon maafmu Kiai....” 

Kiai Gede Tapa tersenyum rawan. 

“Kalau kau hendak mencarinya jangan lakukan sekarang. Sinto Weni membutuhkan 

waktu bertahun-tahun, mungkin belasan tahun untuk mengobati luka hatinya. Kau harus 

menunggu dan memilih waktu yang tepat. Jika kau bersikeras dan bertindak ceroboh kau 

bisa celaka sendiri.... Lagi pula aku rasa ada baiknya untuk sementara Pedang Naga Suci 212 

berada di tangannya. Ketahuilah senjata mustika sakti itu hanya bertuah di tangan seorang 

yang benar-benar suci lahir bathin dan dipergunakan atas nama kebaikan serta kebenaran. 

Menyimpang dari itu Pedang Naga Suci 212 akan mendatangkan malapetaka bagi orang 

yang memakainya secara salah....” 

“Nasihat Kiai akan saya perhatikan...” kata Sukat Tandika dan dalam hati dia berkata. 

“Kalau memang begitu tuah Pedang Naga Suci 212 mungkin sekaji senjata itu tidak cocok bagiku. Selama empat tahun terakhir ini aku banyak melakukan hal-hal yang tidak benar.... 

Agaknya aku harus melupakan pedang sakti itu seumur hidupku.” Sukat memandang ke 

arah Kiai Gede Tapa. 

“Nasihat merupakan hal terakhir yang bisa kuberikan. Selanjutnya kau sendiri yang 

menentukan jalan hidupmu. Waktuku sudah habis. Aku harus pergi sekarang!” 

Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas rapatkan telapak tangannya satu 

sama lain lalu ke dua tangannya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Kilat menyambar. 

Guntur menggelegar. Air telaga beriak keras. Asap putih berbuntal-buntal. Perlahan-lahan 

sosok tubuh Kiai Gede Tapa Pamungkas lenyap masuk ke dalam telaga. 

Sukat Tandika mengusap wajahnya berulang kali. Walau saat itu udara dinginnya 

bukan alang kepalang namun hujan yang membasahi wajah dan tubuhnya telah bercampur 

dengan keringat. 

Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya Sukat Tandika malang melintang 

dalam rimba persilatan sambil berusaha mencari Sinto Weni. Namun dalam pengelanaannya 

itu justru Sukat Tandika semakin jauh tenggelam dalam kata hati dan bujukan nafsu. Dia 

mempunyai kelemahan menghadapi gadis-gadis cantik. Mudah jatuh hati. Sebelum dan 

sesudah kawin dengan seorang janda cantik puteri Adipati Plered, pemuda itu menjalin 

hubungan cinta dengan beberapa gadis. Di antaranya Sabai Nan Rancak dan Sika Sure 

Jelantik. Rata-rata semua gadis itu kemudian ditinggalkannya begitu saja. Sukat Tandika 

sendiri kemudian melenyapkan diri selama bertahun-tahun. Ketika dia muncul kembali 

keadaannya berubah seperti orang kurang waras. Tindak tanduknya menggegerkan rimba 

persilatan. Dia bukan saja membasmi para tokoh golongan hitam tapi juga menumpas 

mereka dari golongan putih yang dianggapnya menjadi penghalang. Tak jelas apa yang 

menjadi tujuan Sukat Tandika. Apa dia ingin menjadi raja di raja dunia persilatan atau 

semua perbuatannya itu akibat penyesalan sesaat atas segala kelakuannya di masa lalu? 

Rimba persilatan memberi beberapa julukan pada Sukat Tandika. Dia disebut sebagai 

Pendekar Gila Patah Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Dari beberapa gelar yang diberikan 

orang padanya, dia lebih dikenai dengan julukan Tua Gila. Dalam usia tuanya dia kemudian 

bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dan mengajarkan ilmu silat Orang Gila 

ciptaannya sendiri pada Wiro yang sebelumnya telah diambil murid oleh Sinto Weni. Sinto 

Weni sendiri dikenal dengan nama Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. 

Sinto Gendeng mewariskan Kapak Naga Geni 212 pada Wiro yang dalam dunia 

persilatan kemudian lebih dikenal sebagai Kapak Maut Naga Geni 212. Sedangkan Pedang 

Naga Suci 212 tetap disembunyikan Sinto Gendeng sekalipun di hari tuanya dia telah 

bertemu dan berbaik-baik dengan Tua Gila alias Sukat Tandika kekasihnya di masa muda. 

Sinto Gendeng sendiri tidak pernah mempergunakan Pedang Naga Suci. Mungkin dia 

menyadari sejak menjalin hubungan dengan Sukat Tandika dan ditinggal pergi Setelah cinta 

dan kesuciannya dirampas begitu saja maka pedang mustika sakti itu tidak mungkin, bisa 

dimanfaatkannya. Namun bagaimanapun Sinto Gendeng merahasiakan di mana dia 

menyembunyikan Pedang Naga Suci 212 itu, pada akhirnya Tua Gila mengetahui juga 

dimana senjata itu beradanya. Hal itu kemudian diberitahukannya pada Puti Andini, 

cucunya sendiri. 

Sementara itu di rimba persilatan selain berita besar mengenai Kitab Wasiat Malaikat 

kini kabar tentang adanya Pedang Naga Suci 212 itu telah tersiar santar, membuat para 

tokoh baik golongan putih maupun golongan hitam sama-sama membuka mata memasang 

telinga dan mengatur siasat untuk menjejakinya! 

* *


EMPAT


Badai yang melanda pantai barat Pulau Andalas sekali ini dahsyat bukan main. Sejak 

tengah malam tadi angin keras mendera tanpa henti, menerabas apa saja yang ada di 

permukaan laut. Beberapa pulau kecil lenyap seolah amblas ke dasar samudera. 

Puluhan nelayan menemui ajal, te

B

nggelam bersama perahu mereka. 

Menjelang pagi walau langit di ufuk timur tampak terang tanda sang surya akan 

segera terbit, badai masih belum berhenti. Malah bertiup ke arah pantai, menyapu segala 

yang ada di daratan. 

Di puncak barat Gunung Singgalang seorang tua kurus mengenakan jubah hijau yang 

kebesaran berulang kali mengusap wajahnya yang cekung. Sejak tadi dia melangkah 

mundar-mandir. Sepasang matanya yang jereng berputar liar kian kemari dan sebentar-

sebentar mengerling ke arah mulut goa di dalam mana dia saat itu berada. Semua gerak-

gerik orang tua ini memberi pertanda bahwa saat itu dia berada dalam satu kegelisahan. 

Paling tidak ada sesuatu yang membuatnya tidak sabar. 

Bosan mundar-mandir akhirnya orang tua ini duduk di lantai goa. Berusaha 

bersamadi. Namun sia-sia saja. Sepasang telinganya tidak mampu menghambat suara deru 

angin yang tiada henti-hentinya di luar sana. 

Sadar dia tak akan bisa bersamadi orang tua ini akhirnya bangkit berdiri. 

Diluruskannya tubuhnya yang agak bungkuk dimakan usia lalu sambil merapikan letak 

destar tinggi hijau di atas kepalanya dengan langkah gontai dia berjalan menuju mulut goa 

yang sebagian tertutup oleh sebuah batu besar. 

Si orang tua menyeruak di antara mulut goa dan batu besar. Angin kencang menerpa 

muka dan tubuhnya. Rambut putihnya yang menjulai di bawah destar, janggut serta 

kumisnya melambai-lambai. Jubah dan destar hijaunya ikut berkibar-kibar. 

“Pertanda apakah yang tengah diberikan alam...” kata si orang tua dalam hati, 

“Sekian lama diam di pulau besar ini baru sekarang ada badai begini hebat. Alam agaknya 

mulai tidak lagi bersahabat dengan umat. Atau mung kin ini satu isyarat bagiku untuk 

segera keluar dari komplotan manusia-manusia aneh tapi jahat itu? Orang tua itu kembali 

mengusap wajahnya yang cekung lalu gelengkan kepala. Beberapa kali menarik nafas 

dalam, biasanya kalau dia berdiri di mulut goa seperti itu dia akan melihat pemandangan 

sangat indah di sepanjang lereng sampai kaki Gunung Singgaiang. Namun saat itu dia 

nyaris tidak dapat melihat apa-apa karena lebatnya curahan hujan ditambah kabut menutup 

dimana-mana. 

tiupan badai semakin menggila. Hujan mendera bumi semakin ganas. Bagian bawah 

jubah hijau si orang tua tampak basah. Sebelum tambah kuyup orang tua ini melangkah 

mundur, masuk kembali ke dalam goa. Namun gerakannya terhenti ketika sekonyong-

konyong satu bayangan berkelebat di depan goa, tersamar oleh badai dan hujan. 

Paras orang tua ini berubah. Sesaat rasa tegang menguasai dirinya. “Orang yang aku 

tunggu sudah datang...” hatinya berbisik. 

“Wuttt!” 

Tahu-tahu satu sosok serba hitam dalam keadaan basah kuyup telah berdiri di 

hadapan orang tua itu.Meski orang yang tegak di hadapannya itu angker luar biasa namun si orang tua 

bersikap tenang. Sepasang matanya yang jereng memperhatikan orang dengan tak berkesip. 

“Hemmm.... Ini tampang manusianya. Tak pernah kulihat sebelumnya tapi dari ciri-ciri jelas 

dia orangnya. Lebih baik aku bertanya dulu untuk memastikan,” kata orang tua berjubah 

hijau dalam hati. 

“Orang tak dikenal, apakah kau tersesat mencari tempat berteduh? Atau memang 

goaku ini menjadi tujuanmu?” 

Orang yang ditegur balas menatap tanpa berkedip. Orang ini bertubuh tinggi besar 

hingga kepalanya yang berambut kasar seperti ijuk hampir menyondak mulut goa. Kulitnya 

hitam laksana arang. Pakaiannya yang basah kuyup juga berwarna hitam. Orang ini 

memiliki alis aneh. Tebal panjang dan bersambung mulai dari pelipis kiri sampai ke pelipis 

kanan. Di atas alis, pada keningnya terdapat enam buah lobang besar hitam. Lalu di bawah 

alis terdapat juga enam lobang serupa yakni tiga di pipi kanan dan tiga di pipi kiri. Mungkin 

sekali dua belas lobang ini diakibatkan oleh penyakit cacar air yang ganas. 

“Aku mencari Sutan Alam Rajo Di Bumi! Apakah kau orangnya?” Orang yang tegak 

di depan goa menjawab dengan mata tetap tak berkesip memandangi orang tua di 

hadapannya. Suaranya serak namun dibawah hujan dan badai keras begitu rupa ucapannya 

itu jelas terdengar ke telinga si orang tua pertanda dia barusan bicara dengan memperguna-

kan tenaga dalam. 

“Di puncak Singgalang ini hanya ada satu goa didiami manusia. Di muka bumi ini 

hanya ada satu orang bergelar Sutan Alam Rajo Di Bumi. Apakah kau masih ingin 

bertanya?!” 

Si tinggi besar bermuka angker undur selangkah. “Turut yang aku dengar Sutan 

Alam Rajo Di Bumi adalah seorang yang meski tua tapi berbadan tegap. Selalu mengenakan 

jubah putih. Kalau kau orangnya maka sungguh lain apa yang kudengar dengan 

kenyataan.” 

Mata jereng orang tua berdestar dan berjubah hijau berputar beberapa kali. Sambil 

menyeringai dia kemudian berkata. 

“Berita yang didengar tidak selalu sama dengan kenyataan yang ada. Apakah kau 

lebih mempercayai ucapan orang ketimbang kenyataan?!” 

“Kalau begitu.... Hemmm....” Lelaki berpakaian hitam basah kuyup dengan muka 

berlubang dua belas usap alisnya yang melintang panjang bersambung di atas sepasang 

mata. “Jadi aku tidak salah saat ini berhadapan dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi?!” 

“Kau berhadapan dengan orang yang kau cari!” kata orang tua di dalam goa. “Aku 

sudah tahu kau baka! datang. Lebih dari itu aku juga sudah tahu maksud dan tujuan 

kedatanganmu. Jika kau memang orangnya yang dijuluki Hantu Balak Anam Dari 

Sijunjung!” 

Agak terkesiap juga si jubah hitam mendengar orang sudah tahu siapa dia adanya. 

“Kalau kau memang Sutan Alam Rajo Oi Bumi, maka harap kau suka terima salam 

hormatku!” 

Hantu Balak Anam Dari Sijunjung letakkan tangan kiri di atas dada lalu melipat lutut 

sedikit. 

Orang tua bergelar Sutan Alam Rajo Di Langit tersenyum dan berkata. “Tampangmu 

seburuk setan. Namun nyatanya kau cukup punya peradatan, tahu bagaimana menghormati 

orang tua sepertiku!”“Kalau bicara soal hormat menghormati masalah usia tidak layak dijadikan 

pegangan....” 

“Eh, apa maksudmu...?” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi dengan senyum masih 

terkulum di bibirnya. 

“Karena usiaku jauh lebih tua darimu....” 

Tentu saja orang tua di dalam goa menjadi terkejut. “Aku berusia hampir tujuh puiuh 

tahun. Kau sendiri memangnya berapa umurmu?!” Si orang tua bertanya. 

“Tujuh puluh delapan!” jawab si jubah hitam Hantu Balak Anam. 

Sesaat Sutan Alam tampak seperti bengong tak percaya. Kalau memang benar 

bagaimana mungkin orang seusia tujuh puluh delapan tahun masih memiliki tubuh tegap 

kokoh begitu rupa. Rambutnya pun tak ada yang putih. 

“Luar biasa! Kalau kau memang berusia tujuh puluh delapan, walau wajahmu 

seburuk setan ternyata kau awet muda! Aku si tua bangka ini ingin belajar ilmu apa yang 

kau pergunakan agar tetap awet muda! Ha... ha... ha!” Sutan Alam Rajo Di Bumi tertawa 

mengekeh. Puas mengumbar tawa orang tua ini berucap. “Lama mendengar nama besarmu. 

Baru kali ini bertemu dengan orangnya. Aku tak mau berbasa-basi lagi. Silahkan masuk ke 

dalam goaku. Mari kita bicarakah maksud kedatanganmu!” 

Hantu Balak Anam masuk ke dalam goa. Air hujan yang membasahi jubah hitamnya 

mencurah jatuh ke lantai goa. Di dalam goa dia merasa lebih hangat. 

“Silahkan duduk tamu agungku!” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi seraya menunjuk 

pada sebuah batu berbentuk kursi. 

“Aku lebih suka berdiri saja....” 

“Hemmm.... Manusia si Hantu Balak Anam ini agaknya bersikap terlalu waspada 

atau bercuriga besar. Jangan-jangan dia....” Sutan Aiam Rajo Di Bumi anggukkah kepala dan 

berkata. “Kau mau duduk atau tidak terserah saja. Seperti kataku tadi, aku sudah menduga 

apa maksud, kedatanganmu. Sekarang apakah kau mau mulai membicarakannya!” 

“Kalau kau sudah maklum maksud kedatanganku, lebih mudah bagiku untuk 

menjelaskannya,” jawab Hantu Balak Anam. Dia menatap lurus-lurus pada sepasang mata 

jereng orang tua di hadapannya lalu melanjutkan. “Sejak beberapa bulan belakangan ini 

beberapa tokoh persilatan di pulau Andalas menemui kematian secara aneh. Tewas 

mengenaskan. Kematian mereka kemudian diikuti dengan tersiarnya kabar yang membuat 

dunia persilatan tanah Andalas menjadi geger....” 

Sutan Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali lalu berkata. “Apa yang 

kau dengar ternyata tidak beda dengan apa yang sekarang kau katakan. Hantu Balak Anam 

teruskan penuturanmu!” 

“Di Utara ada kabar bahwa Kiai Tanjung Laboh mati dibunuh. Si pembunuh diduga 

keras adalah seorang gadis sakti bernama Pandansuri yang konon merupakan anak angkat 

mendiang Raja Rencong Dari Utara. Lalu seorang tokoh silat golongan putih lainnya yang 

dikenal dengan julukan Sepasang Telapak Putih ditemukan tewas secara mengerikan di 

tempat kediamannya dilereng Gunung Sihabuhabu. Di Andalas tengah, tokoh silat Magek 

Bagak Bacufo Duo dibunuh orang di tepi pantai. Siapa pembunuhnya belum jelas. Namun 

tersiar dugaan bahwa si pembunuh adalah Tua Gila. Sementara itu Sabai Nan Rancak 

seorang tokoh terpandang di Andalas lenyap tak diketahui di mana beradanya. Lalu di 

selatan seorang tokoh golongan putih yang dikenal dengan julukan Datuk Agung Berbangsa 

ditemui menemui ajal dalam keadaan tergantung di Baturaja. Pada jubah putihnya sipembunuh menuliskan namanya yaitu Datuk Sunti Belanak. Seorang tokoh silat golongan 

putih, kawan lama Datuk Agung Berbangsa yang diam di sebuah perguruan silat di Bukit 

Martapura. Semua peristiwa yang luar biasa ini telah menimbulkan rasa saling curiga antara 

sesama orang-orang persilatan golongan putih. Konon telah terbentuk satu perserikatan 

golongan putih untuk memerangi orang-orang golongan putih yang dikabarkan melakukan 

pembunuhan-pembunuhan tersebut. Dalam pada itu seorang tokoh paling disegani bernama 

Nyanyuk Amber dikabarkan lenyap dari Gunung Sing-galang ini.... Ada yang menduga 

bahwa semua pembunuhan itu didalangi oleh Nyanyuk Amber!” 

* *


LIMA


Sutan Alam Rajo Di Bumi sesaat terdiam mendengar penuturan Hantu Balak Anam itu. 

Dengan suara perlahan dia kemudian berkata. “Apa yang kau katakan barusan semua 

benar. Terus terang aku merasa risau dengan semua kejadian itu. Bukan mustahil kita 

pun kelak akan jadi korban pembunuhan aneh itu. Gila, apa yang sesungguhnya terjadi! 

Orang-orang golongan putih membunuh sesama teman sendiri! Lenyapnya Nyanyuk 

Amber memang merupakan satu tanda tanya besar. Kau tahu, sejak aku muncul di sini, 

Gunung Singgalang ini dibagi tiga. Aku menetap di sebelah puncak. Sabai Nan Rancak di 

bawah pada lereng sebelah timur. Lalu Nyanyuk Amber di lereng sebelah barat. Namun 

anehnya, tak lama setelah aku menetap di sini Nyanyuk Amber lenyap dari tempat 

kediamannya. Lalu seperti katamu Sabai Nan Rancak juga tiba-tiba seperti sirna.” (Mengenai 

Nyanyuk Amber harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Raja Rencong Dari Utara”) 

S

Orang tua berjubah hijau itu menarik nafas dalam. Dia mendongak menatap langit-

langit goa batu lalu terdengar suaranya bertanya. “Dari semua kejadian itu, kedatanganmu 

kemari pasti membawa satu rencana....” 

“Betul sekali Sutan. Aku ingin agar semua tokoh silat golongan putih berkumpul, 

berunding dan menentukan sikap serta tindakan sebelum jatuh lagi korban-korban 

berikutnya.” 

“Aku mendukung maksud baikmu Ku. Karena kau yang datang membawa usul 

bagaimana kalau kau juga mau bersusah payah untuk mengatur rencana pertemuan itu....” 

“Terima kasih atas kepercayaan Sutan. Tapi pulau Andalas bukan pulau kecil. 

Bagaimana kalau untuk bagian utara Sutan saja yang mengatur. Aku menghubungi para 

tokoh di bagian tengah. Lalu seorang sahabat akan kuminta pertolongannya untuk 

mengurusi wilayah selatan. Jika Sutan menyetujui maka saat ini sudah bisa ditentukan 

kapan dan di mana pertemuan itu akan dilakukan. Makin cepat pasti makin baik.....” 

“Aku bisa segera menentukan saat yang paling tepat,” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi 

pula. “Namun sebelum hal itu aku katakan ada satu hal yang ingin aku katakan dan 

tanyakan padamu. Apa kau pernah mendengar riwayat seorang tokoh silat berjuluk Datuk 

Tinggi Raja Di Langit?” 

“Bukankah tokoh satu itu lenyap secara aneh beberapa waktu lalu?” 

. “Mungkin dia dibunuh oleh orang-orang persilatan golongan putih?” 

Hantu Balak Anam gelengkan kepala. “Lenyapnya Datuk Tinggi jauh sebelum 

peristiwa pembunuhan beruntun itu....” 

“Apa mungkin dia sudah menemui ajal?” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi pula. 

“Sukar dipastikan. Kalau memang sudah menemui ajal mengapa mayatnya tak 

pernah ditemukan? Tapi memang ada satu hal yang perlu diteliti....” 

“Apa?” tanya Sutan Alam seraya membetulkan letak destarnya yang kebesaran. 

“Lenyapnya Datuk Tinggi Raja Di Langit bersamaan dengan tersebarnya kapar 

kematian Tua Gila, Juga bersamaan dengan munculnya seorang pendekar muda dari tanah 

Jawa yang dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng!” 

Sutan Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali lalu dia mundar-mandir 

di ruangan batu itu. Di hadapan Hantu Balak Anam dia hentikan langkah dan berkata. 

“Sebenarnya aku telah meminta seseorang untuk menyelidik lenyapnya Patuk Tinggi Raja Di Langit. Namun sampai saat ini belum ada kabar. Dalam pada itu di tanah Jawa pun 

kudengar peristiwa yang hampir bersamaan dengan kejadian-kejadian di pulau Andalas ini. 

Beberapa tokoh silat golongan putih dibunuh oleh orang-orang segolongan. Terakhir 

kudengar kabar bahwa Datuk Angek Garang, tokoh silat pulau Andalas mati dibunuh 

seorang tokoh aneh dikenal dengan panggilan Si Segala Tahu. Tapi ada juga dugaan, 

pembunuh sebenarnya adalah Tua Gila....” 

“Jika itu benar Sabai Nan Rancak yang diketahui lenyap mungkin sekali telah berada 

di tanah Jawa. Bukankah sejak lama diketahui bahwa nenek itu ingin membalaskan sakit 

hatinya terhadap Tua Gila? Dan Tua Gila sendiri kabarnya melarikan diri ke tanah Jawa.” 

“Rupanya banyak juga pengetahuanmu tentang apa yang terjadi di rimba persilatan 

akhir-akhir ini...” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sunggingkan seringai. “Ada satu hal 

yang ingin aku tanyakan padamu, Hantu Balak Anam. Apa kau mendengar riwayat sebuah 

senjata berbentuk pedang, bernama Pedang Naga Suci 212?” 

Si muka hitam berlubang dua belas gelengkan kepala. “Mendengar namanya 

mungkin ada sangkut pautnya dengan Kapak Naga Geni 212 milik Pendekar 212.” 

“Pedang itu adalah pasangan Kapak Naga Geni 212. Kehebatannya luar biasa. Sejak 

puluhan tahun pedang itu disembunyikan di satu tempat. Yang tahu di mana letaknya 

hanya dua orang. Pertama Sinto Gendeng seorang nenek sakti di kawasan barat pulau Jawa 

yang juga adalah guru Pendekar 212. Orang ke dua adalah Tua Gila.” 

“Apakah Sutan berminat terhadap Pedang Naga Suci 212 itu?” tanya Hantu Balak 

Anam. 

“Rasanya tak ada satu orang pun dalam dunia persilatan yang tidak ingin memiliki 

senjata mustika sakti. Termasuk aku dan juga kau tentunya! Namun urusanku di sini banyak 

sekali. Kurasa sambil mengatur pertemuan para tokoh di kawasan ini kau bisa. pergunakan 

kesempatan untuk menjajagi di mana beradanya Pedang Naga Suci 212 Itu, lalu mem-

bawanya kepadaku.” 

Hantu Balak Anam mengangguk. “Akari aku coba melakukan apa yang kau 

katakan.” Namun dalam hati dia berkata. “Kalau aku berhasil menemukan, pedang mustika 

sakti itu tidak nanti aku serahkan padamu, keledai tua!” 

Di luar goa hujan masih deras dan tiupan badai belum mereda. Sutan Alam Rajo Di 

Langit batuk-batuk beberapa kali lalu berkata. “Dalam udara dingin begini rupa, meneguk 

kopi panas tentu nikmat sekali. Tapi sayang minuman seperti itu tidak dapat ku-sediakan 

untuk tamu agung sepertimu. Aku masih memiliki dua butir kelapa hutan yang manis. Apa 

kau tidak berkeberatan kalau aku suguhi minuman kelapa muda itu Hantu Balak Anam?” 

“Hujan-hujan dan dingin-dingin seperti ini rasanya kurang cocok meneguk kelapa 

muda. Tapi kalau tidak ada. minuman lain, apa lagi tenggorokanku memang terasa kering, 

apa boleh buat!” 

Sutan Alam Rajo Di Bumi tertawa mengekeh. Dia masuk ke bagian dalam goa. Tak 

lama kemudian keluar lagi membawa dua buah kelapa muda. Sebuah kelapa diletakkannya 

di atas batu berbentuk kursi. Yang sebuah lagi dipegangnya di depan dada. Matanya yang 

jereng berputar liar. Sepuluh jari tangannya bergerak. Hantu Balak Anam melihat 

bagaimana sepuluh jari tangan itu menusuk menembus buah kelapa. Lalu “kraakk!” Sekali 

si orang tua menarik buah kelapa dalam cengkeramannya terbelah dua. Dengan cepat Sutan 

Alam Rajo Di Bumi membalikkan dua belahan buah kelapa hingga tak ada airnya yang tertumpah. Buah kelapa yang telah terbelah ini kemudian diserahkan pada Hantu Balak 

Anam. 

“Air kelapa hijau punya seribu khasiat untuk kesehatan tubuh. Silahkan 

meneguknya!” kata Sutan Alam. Lalu dia mengambil buah kelapa satunya yang diletakkan 

di atas kursi batu. Tapi karena agak terburu-buru, buah kelapa yang telah dipegangnya itu 

meluncur jatuh lalu menggelinding ke mulut goa dan lenyap di luar sana. 

“Ah nasibku sial. Tanda perut tua ini tak akan menikmati air dan daging kelapa yang 

enak Ku. Bodohnya akui” Sutan Alam mengumpati diri sendiri. Sepasang matanya yang 

jereng memandang ke mulut goa. 

“Biar aku keluar mengambil kelapa Ku,” kata Hantu Balak Anam pula seraya 

meletakkan buah kelapa yang sudah terbelah di atas batu berbentuk kursi. 

“Hujan masih derasi” mengingatkan Sutan Alam. 

“Siapa takutkan hujan. Lagi pula tubuh dan jubah hitamku sudah basah kuyup....” 

“Kalau kau memang mau mengambilkan kelapa yang menggelinding keluar goa Ku, 

aku akan sangat berterima kasih.” 

Hantu Balak Anam segera keluar dari goa. Begitu si tinggi besar yang mukanya ada 

dua belas lobang ini lenyap di mulut goa, Sutan Alam Rajo Di Bumi cepat keluarkan satu 

lipatan kertas dari dalam jubah hijaunya. Lipatan kertas dibuka lalu sejenis bubuk putih 

yang ada dalam kertas Ku dituangkannya ke dalam air pada dua belahan buah kelapa. 

Dengan cepat kertas berisi bubuk dilipat kembali dan disimpan di balik jubahnya. 

“Ah...! Kau berhasil mendapatkan kelapa itu!” kata Sutan Alam ketika tak lama 

kemudian Hantu Balak Anam muncul membawa buah kelapa hijau yang jatuh 

menggelinding keluar goa. Begitu buah kelapa diserahkan padanya dengan cepat Sutan 

Alam Rajo Di Bumi cengkeramkah sepuluh jarinya. Seperti tadi, mudah saja dia membelah 

buah kelapa berkulit dan berbatok keras itu. Lalu seperti orang kehausan tanpa tunggu lebih 

lama dia segera meneguk habis air kelapa di belahan pertama. Sambil mengusap mulutnya 

Sutan Alam berpaling pada Hantu Balak Anam. Sambil menyeringai dia menegur. “Apa lagi 

yang kau tunggu? Ayo lekas habiskan air kelapa itu!” 

Hantu Balak Anam balas menyeringai. Dia segera mengambil buah kelapa yang ada 

di atas kursi batu dan tanpa tunggu lebih lama segera meneguk habis air yang ada di 

belahan pertama, dilanjutkan dengan air kelapa di belahan kedua. 

“Bagaimana rasanya?!” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi. Mata jerengnya kembali 

berputar. 

“Manis dan sejuk!” jawab Hantu Balak Anam lalu meletakkan kelapa di atas kursi 

batu. 

Sutan Alam tertawa mengekeh. “Kau tidak mengupas dagingnya yang putih lembut 

itu?” 

Hantu Balak Anam menggeleng. “Airnya sudah cukup membuat hausku hilang dan 

perutku kenyang!” 

Kembali Sutan Alam tertawa panjang. Buah kelapa yang dipegangnya diietakkahnya 

puia di atas batu. Sambil menggosok-gosok ke dua tangannya dia bertanya. “Apakah masih 

ada hal-hal yang hendak kau bicarakan Hantu Balak Anam?” 

Hantu Balak Anam berpikir sejenak lalu gelengkan kepala. “Semua sudah aku 

utarakan,” katanya.“Kalau begitu kau sudah bisa mengatur urusan di bagian tengah dan selatan pulau 

Andalas. Aku membereskan bagian utara. Yang penting harap kau suka menyirap kabar di 

mana adanya Tua Gila, sekaligus muridnya bernama Wiro Sableng itu. Lalu mehcari tahu di 

mana tersembunyinya Pedang Naga Suci 212.” 

“Akan aku lakukan Sutan!” kata Hantu Balak Anam Dari Sijunjung. 

“Ada satu hal lagi yang ingin kau selidiki. Di pulau Andalas beberapa waktu lalu 

muncul seorang tokoh silat baru, tidak bernama tidak bergelar. Tapi memiliki kepandaian 

luar biasa. Dia seorang perempuan yang selalu mengenakan pakaian kuning. Wajahnya 

ditutup dengan sehelai cadar kuning. Sulit diduga berapa usianya apa lagi menduga siapa 

dia adanya. Orang ini perlu diselidiki karena tindak tanduknya sangat mencurigakan. Bukan 

mustahil dia yang jadi racun semua pembunuhan atas diri para tokoh golongan putih.” 

“Apa yang kau katakan ini memang pernah kudengar,” ujar Hantu Balak Anam. 

“Kalau ada kesempatan tak ada Salahnya aku menyelidiki.” 

“Bukan kalau ada kesempatan Sobatku! Tapi harus ada kesempatan untuk 

menyelidikinya. Kalau tidak rimba persilatan di pulau Andalas dan tanah Jawa tak bakal 

tenteram....” 

Hantu Balak Anam Dari Sijunjung tertawa lebar. Dalam hati dia berkata. “Kau boleh 

menyuruh memerintah. Aku akan lakukan apa yang aku suka! Aku tidak berada di bawah 

perintahmu. Aku bukan orang suruhan atau anak buahmu!” 

Sutan Alam Rajo Di Bumi menatap ke arah mulut goa. Lalu duduk bersila di atas 

lantai goa, pejamkan sepasang matanya yang jereng letakkan dua tangan di atas lutut. 

Seolah Hantu Balak Anam tidak ada lagi di situ orang tua ini mulai bersamadi. 

“Tua bangka sialan! Sebetulnya aku tidak suka padamu! Kalau tidak ingin 

menyelamatkan dunia persilatan di pulau ini tak akan aku datang ke sini!” Hantu Balak 

Anam memaki dalam hati diperlakukan seperti itu. Dengan cepat dia membalikkan badan 

lalu tinggalkan goa. 

Hanya sesaat setelah Hantu Balak Anam Dari Sijunjung meninggalkan tempat itu, 

Sutan Alam Rajo Di Bumi buka ke dua matanya yang jereng. Di mulutnya terkulum seringai 

buruk lalu sambil melompat bangkit dari mulutnya keluar suara tawa bergelak. Dia 

melangkah ke mulut goa. Bayangan Hantu Balak Anam tak kelihatan lagi. Orang tua 

berjubah hijau ini palingkan kepala ke belakang lalu berkata dengan suara lantang. 

“Sutan Alam Rajo Di Bumi! Aku sudah jalankan tugas sesuai perintahmu!” 

Belum lenyap suara gema ucapan si kakek tiba-tiba di sebelah dalam terdengar suara 

berke-reketan. Salah satu dinding goa tampak bergeser. Lalu dari balik dinding yang 

terbuka secara aneh itu muncul sesosok tubuh tinggi besar mengenakan destar serta jubah 

putih menjela lantai batu. 

* *


ENAM


Hantu Balak Anam berlari kencang menuruni lereng Singgalang di bawah hujan yang 

masih mencurah lebat. Di satu tempat orang ini hentikan larinya dan tegak 

bersandar ke sebatang pohon besar. 

“Aneh.... Mengapa tubuhku mendadak terasa letih, padahal aku berlari belum berapa 

jauh. Dadaku sesak, jantung berdebar keras. Peredaran darah dalam tubuhku sepertinya 

tidak beres. Aku....” Hantu Balak Anam terbatuk-batuk beberapa kali. Dia merasa ngeri 

sendiri mendengar suara batuknya. “Apa yang terjadi dengan diriku?” Diusapnya 

wajahnya. Dirabanya lehernya. Terasa panas. Lalu dia batuk-batuk lagi. Kemudian 

dirasakannya ada hawa panas seolah membakar perut dan dadanya. Kepalanya berat seperti 

mau pecah. Ke dua telapak tangannya dibentangkan. Terkejutlah Hantu Balak Anam ketika 

melihat bagaimana telapak tangannya kiri kanan telah berubah warna menjadi kebiruan. 

H

“Aku termakan racun...” desis Hantu Balak Anam. Lalu mulutnya dibuka lebar tak 

kuat menahan batuk. Namun sekali ini dia batuk lagi, ada darah ikut menyembur keluar 

dari mulutnya. “Jahanam! Ada orang meracuniku! Pasti orang tua di puncak Singgalang Ku! 

Sutan Alam keparat! Berani kau berlaku culas dan keji! Aku bersumpah membunuhmu!” 

Dengan dua jari tangan kanannya Hantu Balak Anam menotok tubuhnya di arah 

lambung, pusar, dada dan pangkal leher. Lalu dia mengeluarkan beberapa butir obat 

berbentuk bulat yang segera ditelannya. Ketika kepalanya terasa lebih enteng dan debaran 

jantungnya mengendur dengan cepat dia tinggalkan tempat itu, naik kembali menuju 

puncak Gunung Singgalang. 

“Sutan Alam keparatl Serahkan nyawamu padaku!” teriak Hantu Balak Anam begitu 

dia sampai di depan goa. Kaki kanannya ditendangkan. Pinggiran batu mulut goa hancur 

berentakan. Hantu Balak Anam lalu berkelebat masuk ke dalam. 

Langkah Hantu Balak Anam tertahan ketika dia melihat di hadapannya berdiri sosok 

tubuh tinggi besar seorang tua berjubah dan berdestar putih. Dia tidak kenal orang ini dan 

dia tidak perduli. Langsung saja Hantu Balak Anam membentak. 

“Mana dia?!” Sepasang matanya memandang berputar. Rambutnya yang seperti ijuk 

dan basah kuyup seperti mau berjingkrak dan alisnya yang aneh panjang mencuat pada ke 

dua ujungnya. 

Orang tua di hadapan Hantu Balak Anam memperhatikan Hantu Balak Anam 

dengan tenang lalu menegur. 

“Kau memasuki goaku tanpa memberi salam. Begitu masuk langsung membentak. 

Siapa yang kau cari dan siapa dirimu sendiri?!” 

Hantu Balak Anam menindih rasa amarahnya sementara dadanya kembali 

mendenyut sakit. Sepasang bola matanya memandang sekeliling goa. 

“Kau seperti mencari sesuatu. Apa ada binatang peliharaanmu yang tengah kau kejar 

dan kesasar ke tempatku ini?!” 

Hantu Balak Anam tak dapat lagi menahan amarahnya. “Binatang itu bernama Sutan 

Alam Rajo Oi Bumii Tua bangka berjubah hijau yang telah meracun diriku dengan air 

kelapa!” Hantu Balak Anam memandang ke arah batu berbentuk kursi. Tadi sebelum pergi 

di atas batu Ku terletak dua buah kelapa dalam keadaan terbelah. Tapi saat Hu benda Ku tak 

tampak lagi.“Aneh sekali ucapanmu sampai di telingaku! Aku adalah Sutan Alam Rajo Oi Bumi! 

Aku tidak mengenali dirimu, apakah kau mengenali diriku?!” Orang berjubah putih ajukan 

pertanyaan. 

“Jahanam! Apa artinya semua ini!! Belum lama aku meninggalkan tempat ini! Di sini 

aku menemui seorang kakek berjubah hijau mengaku bernama Sutan Alam Rajo Di Bumi! 

Kami bicara panjang lebar mengenai dunia persilatan. Dia menjamuku dengan air kelapa 

yang diberi racun! Sekarang dia tidak ada lagi di sini. Dan kau mengaku Sutan Rajo Di 

Bumi! Sandiwara apa yang ada di dalam goa celaka ini?!” 

“Sobat, agaknya hawa amarah mempengaruhi dirimu. Harap kau suka bersikap 

tenang dan terangkan apa yang terjadi. Kalau kau memang mencari Sutan Alam Rajo Di 

Bumi maka akulah orangnya!” 

“Lalu siapa tua bangka berjubah dan berdestar hijau yang mengaku bernama Sutan 

Alam Rajo Di Bumi yang kutemui di tempat ini?!” 

“Sobatku, selama puluhan tahun aku tinggal seorang diri di tempat ini. Jika kau tidak 

percaya silahkan kau memeriksa keadaan goa ini....” 

“Aku memang tidak percaya!” tukas Hantu Balak Anam. Matanya memandang liar 

kian kemari lalu kembali pada orang tua di hadapannya. “Dengar, jika kau tidak 

menjelaskan dan berusaha menyembunyikan sesuatu aku akan membunuhmu saat ini juga!” 

“Malaikat maut datangnya memang tidak terduga,” kata orang tua tinggi besar yang 

mengaku bernama Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sungging ka n seringai mengejek. “Tapi 

jika kau muncul dan berkata hendak membunuhku, ini adalah satu keanehan yang sangat 

mahal harganya!” 

“Aku yakin ada hal yang tidak beres di tempat ini! Seseorang mengaku bernama 

Sutan Alam Rajo Di Bumi telah meracuniku! Kini kau sendiri juga mengaku bernama Sutan 

Alam Di Bumi! Dari pada susah-susah mengusut perkara biar kau yang aku bunuh lebih 

dulu!” 

Habis berkata begitu Hantu Balak Anam menyergap orang berjubah putih dengan 

satu pukulan keras ke arah kepala. Yang diserang tentu saja tidak tinggal diam. Sambil 

membuat gerakan mengelak dia angkat tangan kirinya menepis hantaman lawan. 

“Bukkk!” 

Dua lengan yang sama-sama terlindung di balik jubah saling beradu keras. Ke dua 

orang itu sama-sama keluarkan seruan tertahan. Kakek berjubah putih, terpental sampai dua 

langkah sedang Hantu Salak Anam mencelat dan tersandar ke dinding goa! 

Dari akibat bentrokan itu Hantu Balak Anam segera maklum kalau lawan memiliki 

kekuatan lebih tinggi dari dirinya. Mungkin ini akibat pengaruh luka dalam racun yang 

menciderai dirinya. 

“Kalau kuserang lagi dan terjadi bentrokan luka dalamku bisa tambah parah!” 

membatin Hantu Balak Anam. “Lebih baik kuhantam dengan ilmu andalanku!” Walau agak 

susah payah namun Hantu Balak Anam masih sanggup menghimpun hampir tiga perempat 

tenaga dalamnya yang segera dialirkan ke kepala. 

Di sebelah depan orang tua berjubah putih melihat kulit muka Hantu Balak Anam 

semakin menghitam dan kepalanya seolah bertambah sampai empat kali lebih besar. Dua 

belas lobang yang ada di wajahnya tampak mengeluarkan cahaya aneh berkilauan. Tiba-tiba 

dari lobang-lobang itu melesat dua belas larikan sinar hitam panas luar biasa, menderu ke 

arah dua belas bagian tubuh si jubah putih!

“Dua belas jalur kematian!” teriak si jubah putih penuh kaget begitu mengenali ilmu 

kesaktian apa yang tengah menyerangnya! 

Serta merta orang tua ini lesatkan tubuh ke atas hingga punggungnya menempel rata 

di langit-langit goa. Dari mulutnya keluar bentakan garang. Sepasang matanya mendadak 

menjadi merah. Lalu tiba-tiba sekali dari dua bola matanya mencuat keluar dua larik sinar 

merah dan laksana kilat menghantam ke arah Hantu Balak Anam! 

Kejut Hantu Balak Anam bukan olah-olah ketika dia mengenali ilmu kesaktian lawan 

yang dipergunakan untuk menyerangnya. “Sepasang Api Neraka! Astaga jadi kau benar 

Sutan Alam Rajo Di Bumi! Tahan!” seru Hantu Balak Anam seraya menyingkir dengan 

muka pucat. 

Namun terlambat. 

Salah satu dari dua sinar merah itu menghantam tubuhnya di bagian bawah bahu 

sebelah kanan. 

“Craaasss!” 

Hantu Balak Anam menjerit keras. Bukan oleh rasa sakit akibat hantaman serangan 

lawan saja tapi juga oleh rasa ngeri ketika melihat bagaimana dada kanannya kini telah 

geroak membentuk sebuah satu lobang besar mengerikan! Jubah hitamnya di sekeliling 

lobang mengerikan itu tampak hangus dikobari api. 

Terhuyung-huyung Hantu Balak Anam bersurut ke pintu goa. Darah mengucur dari 

bofongan luka di dada kanannya. Hantu Balak Anam menyadari dalam keadaan seperti itu 

terlalu berbahaya baginya untuk meneruskan perkelahian. Sambil kertakkan rahang 

menahan sakit dia berkata. “Orang tua berjubah putih! Siapapun kau adanya jangan 

mengira urusan sudah selesai sampai di sini. Aku akan datang lagi mencari dan mengorek 

nyawa busukmu!” 

Orang tua berjubah putih yang saat itu masih menempel di atas langit-langit goa 

keluarkan tawa mengekeh. 

“Hantu Balak Anam. tubuh kasarmu boleh pergi dari sini! Tapi tinggalkan dulu 

nyawamu!” Habis berkata begitu dua bola mata orang tua ini kembali berubah menjadi 

merah. Lalu dua larik sinar sakti Sepasang Api Neraka kembali mencuat menghantam ke 

arah Hantu Balak Anam Dari Sijunjung. Namun orang yang diserang sudah lebih dulu 

berkelebat pergi. Dua larik sinar merah menghantam lantai dan dinding goa. Goa batu itu 

menggelegar keras. Pecahan batu dan debu bertaburan di udara. 

“Kurang ajar! Dia melarikan diri!” merutuk si jubah putih. Lalu perlahan-lahan dia 

melayang turun dari langit-langit goa. Begitu ke dua kakinya menjejak lantai batu kagetlah 

dia ketika melihat ada tiga buah lobang hitam di jubah putihnya. Ternyata tiga dari dua 

belas jalur serangan maut Hantu Balak Anam sempat menghantam tubuhnya. Yang pertama 

pada bagian jubah sebelah bawah yang hanya menghanguskan ke dua pada bagian lengan 

tangan sebelah kanan yang juga tidak membawa Cidera. Namun hantaman yang ketiga 

sempat menyerempet pinggulnya. Orang tua ini cepat robek jubahnya di bagian pinggul dan 

parasnya berubah ketika melihat bagaimana daging pinggulnya sebelah kanan luka besar 

dan membengkak berwarna merah kebiruan. Cepat dia membuat tiga totokan di sekitar 

luka. Lalu dengan terpineang-pincang dia masuk ke bagian dalam goa. Dari sebuah legukan 

batu diambilnya satu kendi kecil terbuat dari perak. Sejenis cairan yang ada dalam kendi 

perak ini lalu diguyurkannya pada luka besar di pinggul. “Wusss!”Cairan itu seperti menyiram satu benda panas hingga mengeluarkan suara berdengus 

dan mengepulkan asap. Si orang tua sampai keluarkan keringat dingin menahan sakit. 

Kendi perak yang telah kosong terlepas jatuh dari tangannya. Tubuhnya disandarkannya ke 

dinding goa. Ketika dia memandang ke dinding goa di sebelah depannya tampangnya 

berubah garang. Dari mulutnya keluar teriakan keras, 

“Datuk Mangkuto Kamangl Lekas keluar dari balik dinding!” 

Belum lagi lenyap gema suara orang tua berjubah putih, dari arah depan terdengar 

suara berdesir disusul suara berkereketan. Dinding batu di hadapan orang tua ftu secara 

aneh bergeser ke kiri membentuk sebuah pintu di sudut kanan. Dari pintu ini keluarlah 

orang tua berjubah dan berdestar hijau. Mukanya yang cekung tampak agak pucat. Dia 

melangkah ke hadapan si jubah putih sementara dinding batu di belakangnya kembali 

bergeser menutup. 

“Datuk Mangkuto, kau sadar bahwa kau telah melakukan satu kesalahan besar?!” 

“Saya menyadari Sutan Alam Rajo Di Bumi,” jawab si jubah hijau pada orang tua 

berjubah putih yang sebelumnya menyamar menjadi Sutan Alam Rajo Di Bumi. Sedang 

orang tua berjubah putih sendiri adalah Sutan Alam Rajo Di Bumi yang asli. 

“Berapa bagian racun dalam bungkusan kertas yang kau berikan pada Hantu Balak 

Anam Dari Sijunjung? Yang membuatnya tidak segera menemui kematian, malah sanggup 

kembali ke sini dan hendak membunuhku!” 

“Saya hanya memberikan setengah dari isi bungkusan, Sutan....” 

“Itu kesalahan besarmu! Kau tahu Hantu Balak Anam bukan orang sembarangan. 

Setengah bungkus racun tidak akan membuatnya menemui ke-matian! Bukankah aku 

memerintahkan padamu agar mempergunakan seluruh racun yang ada?!” 

“Saya mengaku salah Sutan. Tapi mengingat racun kala putih itu sulit dicari, mahal 

harganya dan lagi pula masih ada dua korban lain yang harus dibunuh dengan racun itu, 

maka saya hanya menaruhkan setengah....” 

“Plaakkk!” 

Satu tamparan mendarat di pipi Datuk Mangkuto Kamang, Kepalanya laksana 

dipuntir. Bibirnya pecah dan mengucurkan darah. Destar hijau yang kebesaran di kepalanya 

tercampak ke lantai goa. 

“Sutan, saya sudah mengaku salah. Mengapa kau masih menjatuhkan tangan keras?!” 

“Kau berani meradang!” Kau ingin satu tamparan lagi di muka burukmu 

Mangkuto?!” bentak Sutan Alam Rajo Di Langit. 

“Sutan, saya tidak dapat menerima perlakuan ini! Mulai saat ini saya keluar sebagai 

anggota komplotan kejimu!” 

Mendengar kata-kata Datuk Mangkuto Kamang itu tampang gagah Sutan Alam Rajo 

Di Bumi menjadi berubah merah. Lalu dia tertawa bergelak. 

“Jika itu maumu kau boleh pergi Mangkuto. Selamat jalan!” kata Sutan Alam Rajo Di 

Bumi pula seperti tak acuh. 

Tanpa menunggu lebih lama Datuk Mangkuto Kamang segera melangkah ke pintu. 

Namun sebelum dia sempat keluar dari dalam goa, di sebelah belakang sepasang bola mata 

Sutan Alam Rajo Di Bumi berubah menjadi merah. Lalu “wuss.... Wusss!” Dua larik sinar 

merah ilmu sakti Sepasang Api Neraka melesat. Datuk Mangkuto masih sempat berpaling 

dan berusaha selamatkan diri ketika melihat ada dua larik Cahaya merah menyambar ke 

arahnya. Namun terlambat. Dua larik sinar merah menghantam tubuhnya, membuat dia

mencelat dan terhempas jatuh dua langkah di depan mulut goa. Sebuah lobang mengerikan 

yang mengepulkan asap terlihat di batok kepalanya. Satu lobang lagi membentang di punggungnya! 

* *



TUJUH


Pertemuan dengan Anggini membuat Wiro merasa gembira. Bukan saja dia mendapat 

kawan seiring seperjalanan sambil mengobrol, tapi dia juga merasa mendapat 

pelindung jika terjadi apa-apa dengan dirinya dalam keadaan seperti itu. Sikap dan 

cara bicara Anggini jauh berbeda dari masa lalu. Tampaknya gadis ini telah matang oleh 

pengalaman. Selama perjalanan dia sama sekali tidak menyinggung masalah atau rencana 

gurunya yang hendak menjodohkan dirinya dengan murid Sinto Gendeng itu. 

P v 

“Walau menurutmu guruku meninggalkan Pengandaran bersama kekasihnya di 

masa muda, namun sebagai murid aku tetap merasa was-was. Apa lagi mengingat 

belakangan ini dikabarkan terjadi saling bunuh antara para tokoh silat sesama golongan 

putih. Semua kejadian itu dikaitkan pula dengan munculnya komplotan orang-orang aneh 

yang bermarkas di Lembah Akhirat...” 

“Aku juga bertanya-tanya siapa adanya manusia yang disebut dengan panggilan 

Datuk Lembah Akhirat itu. Kalau saja Pangeran Matahari masih hidup niscaya aku 

menduga sang Datuk adalah si Pangeran keparat itu! Agaknya rimba persilatan tidak 

pernah lepas dari manusia-manusia jahat berwatak aneh,” kata Wiro sambil melirik pada 

gadis berpakaian serba ungu di sampingnya itu. 

Saat yang sama Anggini mengerling pula pada si pemuda hingga pandangan mereka 

saling bertemu. Paras sang dara tampak bersemu merah sementara murid Sinto Gendeng 

tersenyum sambil garuk-garuk kepala. 

“Anggini, apakah kau berniat hendak menyelidik ke Lembah Akhirat?” Wiro ajukan 

pertanyaan-Lalu pemuda ini menguap lebar-lebar. 

“Rencana memang ada. Tapi aku harus tahu dulu di mana guruku Dewa Tuak berada. 

Sekaligus memastikan bahwa dia tidak tersangkut dengan orang-orang Lembah Akhirat....” 

Saat itu hari memasuki petang. Mereka sampai di satu pedataran aneh. Di ujung 

timur pedataran terdapat legukan menyerupai lembah batu cadas dikelilingi pohon-pohon 

besar. Di bawah pepohonan bertumbuhan bunga-bunga hutan yang sedang berkembang 

membentuk satu. pemandangan yang indah. Di salah satu sisi bebatuan cadas tampak air 

mengucur jernih. 

“Indah sekali pemandangan di bawah sana. Ada bunga, ada air. Pasti sejuk. Aku 

ingin membasahi tenggorokan dan membersihkan diri. Aku ingin ke bawah sana...” kata 

Anggini. 

Wiro memandang ke langit. “Jangan lama-lama, sebentar lagi matahari akan 

tenggelam. Kau pergilah ke bawah sana. Aku menunggu di sini saja....” 

“Apakah tidak terlalu jauh kau menunggu di sini?” 

“Kurasa tidak. Kalau terlalu dekat nanti kau salah tingkah seandainya mau 

membersihkan diri buka baju segala....” 

“Ah, penyakit lamamu usil mulut rupanya belum hilang!” kata Anggini. Lalu gadis 

ini cepat tinggalkan tempat itu. 

Wiro duduk bersandar di bawah sebatang pohon. Beberapa kali dia menguap. Belum 

lagi Anggini sampai di lembah batu cadas murid Sinto Gendeng ini sudah mendengkur! 

Di lembah Anggini membasahi wajah, kaki dan tangannya dengan air sejuk yang 

mengucur jatuh di antara batu-batu cadas. Setelah meneguk air jernih itu sepuasnya dia duduk berjuntai di atas sebuah batu. Ke dua kaki celananya digulung ke atas lalu seperti 

anak kecil sambil bernyanyi-nyanyi kecil murid Dewa Tuak ini permainkan air dengan ke 

dua kakinya. Sementara kakinya mempermainkan air Anggini basahi tangannya lalu 

diusapkan ke balik dada pakaiannya. Saat itulah dia menyadari kalau dia1 tidak sendirian di 

tempat itu. Ada seorang lain tak jauh dari situ. Orang ini mendekam di atas salah satu 

pohon besar yang mengelilingi lembah cadas. Mula-mula si gadis menyangka orang itu 

adalah Pendekar 212. Namun ketika diliriknya dengan sudut mata ternyata bukan. 

“Pengintip lancang di atas pohon! Lekas turun kalau tidak mau mati!” Anggini 

berteriak. 

Orang di atas pohon tak menjawab. Bergerak pun tidak. 

“Bagus! Jadi kau memilih mati dari pada turun!” Tangan kanan si gadis bergerak ke 

pinggang. Lalu “wuttt!” Terdengar suara menderu. Tiga buah benda berupa paku perak 

melesat di udara. Menyambar ke arah pohon besar di mana orang yang mengintip berada. 

Anggini menunggu suara orang itu terpekik ditembus paku perak yang menjadi senjata 

rahasia andalannya. Tapi itu tak terjadi. Ketika dia memandang ke arah pohon, orang yang 

tadi mendekam di salah satu cabang tak kelihatan lagi. Dua dari tiga paku perak yang 

dilemparkan Anggini menancap di batang dah cabang yang melintang. 

“Aneh, tak terdengar suara gerakan. Pohon sama sekali tidak bergoyang! Gerakan 

orang itu cepat sekali. Jangan-jangan bukan manusia tapi monyet atau orang hutan. Lalu ke 

mana kaburnya makhluk sialan itu?!” pikir Anggini. Pandangannya diputar berkeliling ke 

arah pohon-pohon besar sekitar lembah batu cadas. 

Tiba-tiba dia mendengar suara bergemerisik di pohon sebelah kanan. Ketika 

diperhatikan suara gemerisik itu berpindah pada pohon berikutnya. Lalu pindah lagi ke 

pohon terdekat. 

“Wuttt!” 

Ada sambaran angin di belakangnya. Begitu Anggini berpaling tahu-tahu di 

hadapannya telah tegak seorang pemuda berwajah keren, berpakaian bagus berwarna hijau. 

Di pinggangnya tergantung sebilah pedang sedang di telinga kanannya ada sebuah anting 

terbuat dari emas. 

“Kau yang barusan mengintip orang mandi?!” bentak Anggini marah sekali. 

“Jangan salah paham. Aku tidak mengintip...” si pemuda agak tergagau dibentak 

begitu rupa. 

“Lalu mengapa berada di atas pohon?!” 

“Dengar, sebelum kau datang ke tempat ini aku sudah lebih dulu berada di pohon 

itu...” 

“Berarti pekerjaanmu memang sengaja menunggu orang datang lalu mengintainya 

waktu mandi....” 

Si pemuda tertawa lebar. “Namaku Panji, siapa namamu....” 

“Pemuda kurang ajari Siapa tanyakan namamu?!” sentak Anggini. 

“Ah, aku merasa tidak melakukan sesuatu yang kurang ajar. Malah kau yang sejak 

tadi membentak-bentakku!” 

“Kesabaranku ada batasnya. Lekas tinggalkan tempat ini!” 

“Tidak bisa! Aku mau mandi di sini!” jawab pemuda berbaju hijau yang adalah 

putera Raja Pulau Sipatoka yang juga dikenal dengan nama Datuk Pangeran Rajo Mudo.“Kau saja yang pergi!” Lalu enak saja pemuda itu membuka baju hijaunya hingga tampak 

dadanya yang bidang penuh otot dan ditumbuhi bulu lebat. 

Anggini terbeliak, wajahnya merah sekali dan ke dua kakinya menyurut ke belakang. 

“Kau memang pemuda kurang ajar! Biar aku beri sedikit pelajaran bersopan santun!” 

Lalu hampir tak kelihatan tangan kanan gadis itu bergerak menampar 

ke arah pipi kiri si pemuda. 

“Rontok gigimu!” kata Anggini. Tapi “wutttt!” Tamparan yang dipastikannya akan 

mendarat keras di muka si pemuda ternyata hanya mengenai angin. Malah saking kerasnya 

dia membuat gerakan menampar tubuhnya terputar setengah lingkaran. Kaki kanannya 

terpeleset dari atas batu yang dipijaknya. Belum sempat dia mengimbangi diri tahu-tahu tu-

buhnya telah jatuh dan masuk ke dalam air setinggi dada!. 

Pemuda berbaju hijau tampak terkejut sekali. 

Dia ulurkan tangan berusaha hendak menolong Tapi Anggini justru mencekal 

lengannya lalu membetotnya kuat-kuat. Tak ampun lagi pemuda itu ikut jatuh masuk ke 

dalam air. Si pemuda ternyata tak mau dilemparkan orang ke dalam air begitu saja. Ketika 

tubuhnya melayang di atas kepala Anggini, tangannya yang dicekal membuat gerakan 

berputar hingga kini dia juga mencekal lengan si gadis. Akibatnya ke dua orang itu sama-

sama jatuh ke dalam air saling tindih tubuh dan muka satu sama lain. Si pemuda di sebelah 

bawah, Anggini menindih di sebelah atasi 

Selagi Anggini memaki panjang pendek dan pemuda bernama Panji batuk-batuk 

karena tertelan air, di tepi lembah batu cadas terdengar orang tertawa gelak-gelak. 

“Kalian berdua sedang mandi bersama atau bergurau atau lagi apa?!” 

Tanpa menoleh Anggini sudah tahu kalau yang tertawa itu adalah Wiro Sableng. 

Kemarahannya yang meluap ditumpahkannya pada Panji. Sambil melompat keluar dari air 

kaki kanannya menendang ke arah dada si pemuda! 

“Tahan! Kenapa kau menyerangku!” teriak Panji seraya cepat-cepat menghindar dari 

tendangan si gadis. 

Lagi-lagi serangan Anggini hanya mengenai tempat kosong, membuat murid Dewa 

Tuak ini jadi tambah beringas. Padahal saat itu pakaiannya basah kuyup hingga bentuk 

tubuhnya seolah tercetak di bawah pakaian yang basah itu! 

Mula-mula Panji memang tidak mau melawan. Dia membuat gerakan-gerakan kilat 

untuk menghindar atau berkelit. Namun serangan si gadis datang bertubi-tubi. Di satu saat 

ketika dia terdesak ke arah barisan batu-batu cadas setinggi punggung, Anggini gerakkan 

tangan kanannya ke arah dada si pemuda. Dua jari menusuk dengan deras ke arah jantung. 

Ini adalah totokan maut yang walau bisa dikelit Panji akan tetap mencelakainya. 

“Totokan Seribu Lumpuh Seribu Ajal!” seru Wiro kaget ketika melihat jurus maut 

yang dilancarkan murid Dewa Tuak itu. Tanpa sadar akan keadaan dirinya sendiri Pendekar 

212 Wiro Sableng segera melompat terjun ke dalam air. Dua tangannya memegangi lengan 

Anggini dan dia sengaja bergantungan di tangan si gadis hingga Anggini tak dapat 

meneruskan totokan mautnya. 

“Apa-apaan kau ini?!” bentak Anggini. “Jangan bergelayutan seperti monyet di 

tanganku!” 

“Sabar Anggini, jangan perturutkan amarahmu! Ayo naik ke atas sana!” 

Saking kesalnya Anggini hantamkan tangannya ke bawah. Akibatnya Wiro seperti 

dihenyakkan dan kecebur masuk ke dalam air. Megap-megap dia keluar. Sambil geleng

geleng kepala dia, menarik ujung baju ungu si gadis. Anggini tak dapat berbuat lain dari 

pada mengikuti. Kalau dia melawan, pakaiannya yang tertarik bisa robek di bagian dada 

sampai ke perut! 

“Nah duduk bagus-bagus di situ. Katakan apa yang terjadi!“ ujar Wiro sambil 

menyuruh duduk Anggini di atas sebuah batu tapi sang dara tetap saja berdiri dan menatap 

Wiro dengan mata berkilat-kilat. 

“Kurasa otakmu kejangkitan penyakit lama! Kau membantu orang yang sengaja 

mengintip aku mandi!” kata Anggini setengah berteriak. 

“Dia salah sangka! Aku tidak berbuat serendah itu. Aku tidak mengintip...!” Panji 

membela diri. Dia merancah air lalu naik ke atas batu-batu cadas tapi sengaja menjaga jarak 

dengan Anggini karena khawatir gadis itu akan menyerangnya kembali. 

“Sobatku beranting emas,” menegur Wiro Sableng. “Apa benar kau mengintipnya 

ketika sedang mandi?” 

Panji menggeleng berkali-kali. “Istrimu itu salah sangka....” 

“Pemuda lancang! Enak saja kau bicara! Siapa bilang aku istrinya!” hardik Anggini 

marah. 

Wiro tertawa lebar dan garuk-garuk kepala sementara Panji unjukkan wajah bingung. 

“Harap maafkan, aku tidak tahu kalau.». Sudahlah! Yang jelas dia salah sangka. Aku 

sudah lama berada di atas pohon sana ketika dia datang ke lembah batu ini. Lagipula dia 

tidak sedang mandi. Hanya mencuci muka dan duduk-duduk di atas batu. Kalau dia mandi 

mana mungkin saat ini dia masih berpakaian seperti itu.,..” 

“Anggini, kau dengar ucapan pemuda ini. Dia tidak mengintipmu....” 

Anggini palingkan wajah ke jurusan lain dan tampak merengut. “Mungkin saja dia 

tidak mengintip, tapi mengapa tadi dia hendak membuka baju, hendak bertelanjang di 

depanku?!” 

Wiro jadi melengak. “Saudara, apa ucapan gadis sahabatku ini benar?” tanya Wiro. 

“Benar, tapi tidak bermaksud bertelanjang. Aku hanya berniat membuka baju lalu 

mandi. Mana mungkin aku berani melakukan hal segila itu! Sudahlah, kalau temanmu itu 

merasa aku memang bersalah, aku minta maaf saja. Tapi aku tetap tidak mau dituduh 

mengintip perempuan mandi!” 

Wiro angkat tangannya lalu berkata. “Kalau aku boleh bertanya, lalu apa yang kau 

lakukan di atas pohon?!” 

“Aku dibesarkan di sekitar laut dan rimba belantara. Menyelam dan memanjat pohon 

adalah kesukaanku....” 

“Berartikalau kau bukannya keturunan ikan buas pasti keturunan orang hutan!” 

sergah Anggini. 

Mendengar ucapan si gadis, Panji tidak marah malah tertawa lebar. “Sahabatku 

memang monyet dan ikan! Kami sering berpacu cepat memanjat pohon dan menyelam ke 

dasar laut!” 

“Sahabat beranting emas, kau belum mengatakan apa tujuanmu berada di atas pohon 

itu,” Wiro mengingatkan. 

“Terus terang aku mencari dua sahabat. Karena hari sudah petang aku memilih 

duduk di atas pohon sambil memperhatikan keadaan sekitar sini,” jawab Panji. 

“Sahabat yang kau tunggu itu lelaki atau perempuan?” tanya Wiro. 

“Satu perempuan satu lagi lelaki.”

“Apa mereka punya nama?” tanya Wiro sambil senyum-senyum dan melirik pada 

Anggini. 

“Yang satu memang seorang gadis....” 

“Jelas bukan sahabatku ini, bukan?” 

“Memang bukan, tapi sahabatmu ini lebih cantik dari sahabatku itu!” jawab Panji 

polos membuat Anggini kembali merengut. 

“Siapa nama sahabatmu itu?” tanya Wiro lagi. 

Tak bisa kukatakan padamu,” jawab Panji. Yang dimaksudkan pemuda ini seperti 

dituturkan dalam Episode sebelumnya jelas adalah Puti Andini yang ditolongnya dari 

serbuan anjing hutan ketika tergeletak di tengah jalan dalam keadaan pingsan akibat ilmu 

yang diberikan nenek sakti Sika Sure Jelantik. 

“Hemmm.... Lalu sahabatmu yang satu lagi siapa dia?” 

“Seorang kakek aneh tapi sakti, Namanya Wiro Sableng!” 

Murid Sinto Gendeng seperti hendak terlompat mendengar ucapan Panji, Anggini 

sendiri palingkan kepala dan memandang terheran-heran pada pemuda beranting emas itu. 

“Kau yakin sahabatmu itu seorang kakek bernama Wiro Sableng?” 

“Eh, kenapa kau bertanya seolah tak percaya. Memang aku cuma bertemu satu kali 

dengan dia. Tapi pertemuan itu membawa satu riwayat yang panjang....” 

“Mengapa kau mencarinya?” tanya Wiro pula. 

“Dia seorang sahabat baik walau usianya beberapa kali usiaku. Aku mencari karena 

dia satu-satunya sahabat baikku di tanah Jawa ini. Waktu berada di pulau dia telah 

menyelamatkan ayah dan ibuku dari racun jahat mematikan.” 

“Sahabat, coba kau jelaskan ciri-ciri kakek bernama Wiro Sableng itu,” ujar Wiro. 

 “Orangnya agak bungkuk, tidak terlalu tinggi. Rambut panjang putih, kumis dan 

janggutnya juga putih. Dia mengenakan pakaian putih. Matanya lebar sekali dan mukanya 

sangat cekung seolah tak berdaging....” 

“Tua Gila! Pasti dia!” kata Wiro dalam hati. Dia berpaling pada Anggini, memberi 

isyarat bahwa dia akan memberi tahu bahwa sebenarnya dialah orangnya yang bernama 

Wiro Sablengi, Tapi Anggini menggelengkan kepala. 

“Sahabatku, kalau kau memang hendak mencari sahabatmu itu lebih baik 

melanjutkan perjalanan dari pada mendekam di atas pohon....” 

Sebenarnya Panji ingin menanyakan siapa adanya Wiro dan teman gadisnya yang 

berpakaian serba ungu itu. Tapi akhirnya dia memutuskan lebih baik mengikuti nasihat si 

pemuda yaitu melanjutkan perjalanan. 

“Kalau kita berpisah kuharap tak ada lagi salah sangka di antara kita,” kata Panji. 

Pemuda ini lalu menjura pada Wiro dan Anggini. Ketika dia hendak bergerak pergi tiba-

tiba udara di sekitar lembah batu cadas itu dipenuhi oleh suitan-suitan nyaring. Sesaat 

kemudian beberapa bayangan berkelebat dan tahu-tahu empat orang telah tegak di atas 

batu-batu cadas di empat jurusan. 

* *



DELAPAN


Orang pertama adalah kakek berwajah lancip mengenakan jubah hitam berbelang 

putih. Yang membuat wajahnya jadi seram adalah sepasang matanya yang merah 

sangat besar dan mencuat keluar seolah mau copot. Dia tegak menghadap ke arah 

lembah batu di mana Panji, Wiro dan Anggini berada, namun kepalanya terus-terusan 

mendongak ke langit seolah memandang sesuatu di atas sana. 

O

Memperhatikan kakek yang tidak dikenalnya ini Wiro berkata dalam hati. “Tua 

bangka aneh ini mendongak terus-terusan. Mungkin takut mukanya diluruskan sepasang 

matanya yang seperti ikan maskoki bisa jatuh menggelinding ke tanah!” 

Orang ke dua duduk berjongkok di atas batu cadas paling tinggi. Wajahnya tidak 

kelihatan karena seperti sengaja disembunyikan di balik ke dua pahanya. Dua tangan berada 

di samping dengan telapak dikembangkan menekan batu yang didudukinya. Orang ini 

mengenakan celana panjang dan baju hitam tanpa lengan. Karena tubuhnya tak bergerak 

sedikitpun tak dapat dipastikan apakah dia saat itu tengah tertidur atau bagaimana. 

Pendatang ke tiga tegak dengan sikap keren. Kaki terkembang dan dua tangan 

berkacak pinggang. Manusia ini memiliki kepala panjang tapi peang, berwajah hijau penuh 

benjol-benjol seperti ditumbuhi bisul. Rambutnya yang keriting halus tersusun tinggi ke atas 

seperti sarang tawon. Keanehan manusia ini masih ditambah dengan sepotong tulang yang 

ditancapi di bibirnya sebelah bawah. 

“Baru sekali ini aku melihat makhluk seperti ini. Dedemit pun kalah seramnya!” 

berucap murid Sinto Gendeng dalam hati. Lalu Wiro perhatikan telapak tangan kanannya 

yang berwarna hijau. “Pasti kekuatan atau ilmu andalannya ada di tangan kanan itu,” pikir 

Wiro. 

Orang ke empat adalah satu-satunya yang dikenali oleh Pendekar 212 yaitu bukan 

lain si nenek bernama Sika Sure Jelantik. Seperti dituturkan dalam Episode pertama (Tua 

Gila Dari Andalas) semasa berada di pulau Kerajaan Sipatoka dia telah menyamar menjadi 

seorang dukun yang dikenal dengan panggilan Dukun Sakti Langit Takambang. Kini karena 

dia muncul dalam bentuk aslinya maka Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo tidak bisa 

mengenalinya. Sebaliknya si nenek memandang pada pemuda itu dengan mata berkilat-

kilat. Dulu dia ingin menguasai kerajaan Sipatoka dengan jalan meracuni ke dua orang tua 

Panji yaitu Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dan permaisuri. Namun gagal berkat pertolongan 

Tua Gila yang tersesat ke pulau Kerajaan itu. Kini melihat Panji berada di tempat itu, 

kebencian Sika Sure Jelantik jadi berkobar. “Tak dapat ibu bapaknya, anaknya pun tak jadi 

apa! Putera Mahkota keparat ini harus disingkirkan dari muka bumi!” kata si nenek dalam 

hati penuh geram. Lalu dia melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Hemmm.... 

Pemuda keparat ini ada di sini pula! Dulu aku sudah berniat membunuhnya! Namun saat 

itu ada gadis yang kusukai itu. Memandang mukanya dan memenuhi permintaannya aku 

tidak jadi menghabisinya, tapi sekali ini tanganku sudah gatal untuk merampas nyawanya!” 

Habis membatin begitu Sika Sure Jelantik memandang berkeliling pada tiga orang 

yang datang bersamanya lalu berkata. “Kita berempat tidak satu golongan tapi punya satu 

tujuan. Siapa yang hendak bicara dultian?!” 

Kakek berjubah hitam putih yang matanya mem-berojol keluar mendehem beberapa 

kali seolah memberi isyarat bahwa dialah yang ingin bicara lebih dulu.“Gadis berpakaian ungu bernama Anggini! Dengar baik-baik apa yang aku ucapkan. 

Karena kalau nyawamu sudah minggat kau tak bakal bisa mendengar apa-apa lagi...!” 

Anggini yang berada di telaga dalam lembah batu terkejut sekali mendengar orang 

tua tak dikenalnya itu menyebut namanya. Si gadis bertanya-tanya siapa adanya kakek ini. 

“Beberapa waktu lalu di Pulau Andalas kau telah membunuh seorang bernama Datuk 

Mangkuto Kamang tanpa sebab tanpa alasan. Seorang gadis sepertimu membunuh seorang 

tua, sungguh satu perbuatan teramat keji. Apalagi kau dan sang Datuk sesama orang satu 

golongan putih dalam rimba persilatan.” Ketika bicara sepasang mata si kakek tampak 

bergerak bergoyang-goyang. Masih terus dengan kepala mendongak dia lanjutkan 

ucapannya. 

“Sehabis membunuh kau melarikan diri ke tanah Jawa. Kau lupa betapa pun luasnya 

bumi ini, dalam kejahatan dia akan menjadi sempit. Hari ini kau kutemui. Berarti hari ini 

kau harus melepas nyawa membayar kematian Datuk Mangkuto Kamang. Aku Datuk 

Gadang Mentari adalah kakak Datuk Mangkuto Kamang I” 

Anggini sampai ternganga mendengar apa yang barusan diucapkan orang tua 

mengaku bernama Datuk Gadang Mentari itu, Sekilas dia berpaling pada Wiro. Murid Sinto 

Gendeng dilihatnya tegak garuk-garuk kepala. Si gadis memandang kembali pada kakek 

berjubah hitam putih itu lalu tertawa panjang. 

“Orang tua, aku tidak kenal dirimu. Aku juga tidak kenal saudaramu yang bernama 

Datuk Mangkuto Kamang itu! Kau muncul dan menuduh aku membunuh adikmu! Apa kau 

tidak keliru menjatuhkan tuduhan? Apa kau tidak terpesat kesasar ke tempat ini? Apa kau 

tidak sedang mimpi dan mengigau sementara hari belum lagi malam!” 

Sepasang mata yang memberojol dari Datuk Gadang Mentari tampak bergoyang-

goyang tanda dia dilanda kemarahan. Tangan kirinya bergerak mengeluarkan sebuah benda 

berwarna ungu. 

“Aku bicara tidak sembarang bicara! Aku menuduh bukan tanpa bukti! Buka matamu 

lebar-lebar. Benda apa yang aku lemparkan ke hadapanmu!” 

Habis berkata begitu sang Datuk lalu lemparkan benda yang dipegangnya ke 

hadapan Anggini. Benda itu ternyata adalah sehelai selendang ungu yang salah satu 

ujungnya ada tulisan 212. Terbelalaklah murid Dewa Tuak melihat selendang itu. Bentuknya 

sangat sama dengan yang dimilikinya dan saat itu melingkar di leher. Orang lain akan sulit 

membedakan ke dua selendang itu. 

Sementara Anggini hanya tertegak menganga Wiro melangkah lalu membungkuk 

mengambil selendang ungu yang dilemparkan Datuk Gadang Mentari. Selendang itu 

diperhatikannya sambil diusap-usap dengan jari tangan kiri lalu didekatkannya ke hidung 

dan diciumnya. 

“Pemuda rambut gondrong bermuka pucat!” hardik Datuk Gadang Mentari. “Apa 

yang kau lakukan?!” 

“Hebat juga tua bangka bermata brojol ini!” ujar Wiro dalam hati. “Dia mendongak 

dan sama sekali tidak melihat ke arahku. Bagaimana bisa tahu kalau aku melakukan 

sesuatu?!” 

“Menurutku selendang ini memang sama dengan milik gadis ini. Tapi tidak serupa 

alias tidak asli....” 

“Aku tidak minta pertimbanganmu!” kembali Datuk Gadang Mentari membentak.

Wiro angkat bahu dan serahkan selendang ungu pada Anggini. Tapi tanpa 

memperhatikan si gadis langsung saja mencampakkan selendang itu ke tanah. 

“Apa yang dikatakan pemuda ini benar! Selendang itu sama warna, sama bentuk 

dengan yang kumiliki. Tapi tidak asli. Selendangku terbuat dari sutera asli, selendang yang 

kau bawa terbuat dari sutera tiruan....” 

“Selendang sahabatku berbau harum. Selendangmu busuk bau tai ayam!” sambung 

Wiro pula. 

Datuk Gadang Mentari tertawa pendek. Dua bola matanya bergoyang keras. Dari 

hidungnya terdengar suara mendengus. Lalu mulutnya semburkan ludah. 

Hebatnya ludah yang disemburkan itu tidak jatuh ke tanah seolah melesat dan lenyap 

di udara. 

“Orang bersalah selalu mengingkari kesalahannya! Selendang itu ditemukan 

melingkar menjirat leher adikku! Sementara tubuhnya hancur tak karuan! Apa kau masih 

ingin mencari dalih?!” 

“Perlu apa aku mencari dalih! Aku tak pernah membunuh orang bernama Datuk 

Mangkuto Kamang!” jawab Anggini ketus tapi tegas. 

Tenggorokan Datuk Gadang Mentari tampak bergerak cepat turun naik. Dua bola 

matanya kembali bergerak-gerak. Kepalanya masih terus mendongak. Agaknya memang 

kepala ini tak bisa diluruskan! 

“Aku punya seorang saksi yang mengetahui peristiwa pembunuhan itu dan melihat 

dengan mata kepalanya sendiri bahwa memang kau yang membunuh adikku!” 

“Katakan siapa orangnya!” kata Anggini dengan suara keras. 

“Aku tak bisa memberi tahu karena dia bukan seorang tokoh sembarangan.” 

“Berarti semua ini adalah fitnah! Kau punya karangan! Katakan terus terang apa 

maksudmu melakukan sandiwara keji ini?!” Sepasang mata Anggini membeliak dan 

suaranya lantang membahana. 

“Orang yang menjadi saksi perbuatanmu itu bukan orang sembarangan. Dia adalah 

seorang tokoh di Gunung Singgalang!” 

Kening Anggini mengernyit. “Aku mengenal dua orang tokoh yang diam di gunung 

itu. Seorang kakek buntung sakti bernama Nyanyuk Amber. Namun sejak lama dia 

melenyapkan diri dari Gunung Singgalang. Orang satunya lagi adalah seorang nenek 

berkepandaian tinggi bernama Sabai Nan Rancak. Dia....” 

“Tidak, tidak!” memotong Datuk Gadang Mentari. “Bukan mereka yang 

menyaksikan perbuatan kejimu itu....” 

“Berarti....” 

“Sudahlah, aku tak ingin bicara berpanjang lebar. Dosa dan kesalahanmu sudah jelas. 

Biar kawan-kawanku yang lain punya kesempatan untuk bicara!” Datuk Gadang Mentari 

berpaling ke arah Sika Sure Jelantik tapi kepalanya terus saja mendongak. 

“Perempuan tua sahabatku harap kau suka memberi tahu kedatanganmu pada calon-

calon mayat yang ada di tempat ini!” 

“Calon-calon mayat?!” Untuk pertama kalinya Panji membuka mulut. Dia 

memandang pada Wiro dan Anggini lalu satu persatu pada empat orang yang ada di 

sekelilingnya. Tak satu pun dari mereka yang dikenali pemuda ini. Maklum saja dia baru 

sekali ini menginjakkan kaki di tanah Jawa. “Maksudmu kami bertiga ini yang kau sebut 

sebagai calon-calon mayat? Kalian hendak membunuh kami?!” Sika Sure Jelantik tertawa panjang. “Putera Mahkota kerajaan pulau Sipatoka! Kau 

mewakili ke dua orang tuamu menjadi tumbal kematian! Hik... hik... hik!” 

Terkejutlah Panji mendengar kata-kata si nenek. Matanya melotot tak berkesip 

menatap wajah bulat keriput si nenek sementara rambutnya yang putih panjang riap-riapan 

dihembus angin lembah. “Siapa sebenarnya perempuan tua ini...?” pikir Panji. Matanya 

turun ke bawah memperhatikan jubah hitam yang melekat di tubuh si nenek lalu 

pandangannya membentur tangan kiri kanan Sika Sure Jelantik. Sepuluh kuku jari si nenek 

dilihatnya berwarna hitam dan panjang-panjang. Pemuda ini mencoba mengingat-ingat. “ 

 “Wajahnya tidak sama. Tapi pakaian dan bentuk jarinya tak ada beda. Lalu suaranya. 

Aku mengenali betul. Tak mungkin salah! Jangan-jangan....” 

* *


SEMBILAN

Nenek bermuka bulat dan ada tahi lalat di dagu kirinya itu kembali mengumbar tawa 

panjang. Sementara Wiro dan Anggini memandang pada Panji terheran-heran 

karena barusan disebut sebagai Putera Mahkota oleh si nenek. 

“Anak muda calon mayat! Aku adalah Sika Sure Jelantik yang dulu kau kenal sebagai 

Dukun Sakti Langit Takambang!” 

N

“Kau!” seru Panji dengan lidah tercekat tapi wajah langsung merah seperti saga! Dan 

darah amarah menggelegak! 

“Hik... hik! Kau adalah calon mayat pertama di tempat ini!” hardik si nenek. 

Wiro berpaling pada Anggini dan berbisik. “Agaknya siapa calon mayat ke dua di 

antara kita...?” 

“Aku belum mau mati!” jawab Anggini tanpa berpaling pada Wiro. 

“Ah, nasibku jelek. Dalam keadaan seperti ini agaknya aku memang ditakdirkan jadi 

calon mayat ke dua. Lebih dulu menemui ajal darimu!” keluh Wiro sambil garuk-garuk 

kepala. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan air muka sedih apalagi takut. 

Murid Dewa Tuak terkejut mendengar ucapan Pendekar 212 dan baru teringat akan 

keadaan Wiro. Walau pemuda ini masih membawa Kapak Maut Naga Geni 212, 

mengenakan jubah sakti Kencono Geni dan dibekali Si Raja Penidur dengan ilmu tidur, 

namun tetap saja si gadis merasa khawatir. Dia berbisik. “Jangan jauh-jauh dariku Wiro. 

Kalau ada apa-apa aku sulit membantumu...” kata Anggini cepat. 

Wiro anggukkan kepala dan diam-diam merasa terharu gadis itu memperhatikan 

keselamatannya. 

“Dukun tua keparat! Dulu kau melarikan diri dari pulau. Apa sekarang kau kira bisa 

lolos dari tanganku? Biaraku yang muda mewakili kedua orang tuaku memuntir putus 

kepalamu!” 

Sika Sure Jelantik tertawa bergelak. “Umur hanya beberapa kali usia jagung! Tubuh 

masih bau pesing! Ilmu dan pengalaman hanya sejengkal dalamnya comberan busuk! 

Sombong amat bicara hendak memuntir putus kepalaku!” 

“Siapa lagi yang hendak bicara?!” Tiba-tiba Datuk Gadang Mentari buka suara. Dia 

masih terus mendongak ke langit dan sepasang matanya yang menjorok keluar bergerak-

gerak liar. 

“Tunggu! Aku masih belum habis bicara!” berteriak Sika Sure Jelantik. 

Tenggorokan Datuk Gadang Mentari bergerak turun naik. Bola matanya yang 

memberojol bergoyang beberapa kali. 

“Kaii!” tiba-tiba Sika Sure Jelantik menghardik dan menuding dengan jari telunjuk 

tangan kirinya yang berkuku panjang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto 

Gendeng mengambil sikap diam menunggu. “Terakhir kali nyawamu selamat karena gadis 

cantik berlesung pipit kekasihmu itu menolongmu! Kali ini jangan harap kau bisa selamat 

dari kematian!” 

Wiro garuk-garuk kepala. Dia melirik pada Anggini dan melihat bagaimana paras 

gadis ini berubah begitu mendengar si nenek menyebut gadis lesung pipit yang jadi 

kekasihnya. “Gara-gara mulut lancang nenek sialan ini, apa kini yang ada dalam benak serta 

hati Anggini...?” membatin Wiro.“Pendekar 212, apakah saat ini kamu masih belum mau memberi tahu di mana 

adanya kakek keparat Tua Gila?!” 

“Bukankah tempo hari sudah kubilang di mana dia berada?!” ujar Wiro sambil 

cengar-cengir. 

Di sampingnya Anggini yang tiba-tiba jadi kacau pikiran mendengar kata-kata si 

nenek tadi, bagaimanapun juga tetap tidak ingin melihat Wiro celaka. Maka dia cepat 

berbisik. “Wiro, jangan berlaku gegabah. Nenek satu ini memiliki kepandaian tinggi....” 

Sepasang mata Sika Sure Jelantik mendelik. “Kapan kau memberitahu! Di mana?!” 

“Kau sudah tua, tak salah kalau cepat pelupa. Bukankah waktu itu kuberitahu 

padamu bahwa Tua Gila berada di satu kali kecil? Sedang membuang hajat besar alias 

berak?! Sampai saat ini kurasa dia masih ada di sana. Memang mengherankan. Buang hajat 

besar saja sampai berminggu-minggu....” Wiro tertawa gelak-gelak. Anggini menggigit bibir 

melihat. Wiro abaikan nasihatnya. Datuk Gadang Mentari keluarkan suara menggereng dari 

tenggorokannya. Orang bermuka hijau yang rambutnya seperti sarang tawon keluarkan 

suara gemeretak dari rahangnya yang dikatupkan kencang-kencang. Sementara itu 

terdengar suara tertawa cekikikan tertahan. Yang tertawa ternyata adalah yang duduk 

dengan menyembunyikan mukanya di atas batu cadas paling tinggi. 

Amarah Sika Sure Jelantik menggemuruh. Didahului satu teriakan keras dia siap 

melompat ke hadapan Wiro. Namun dengan cepat Datuk Gadang Mentari rentangkan 

tangan kirinya ke samping. “Wuuttt!” Selarik angin menyambar di depan Sika Sure Jelantik 

membuat gerakan si nenek tertahan. 

“Datuk Gadang! Jangan kau berani menghadang diriku!” teriak Sika Sure Jelantik 

marah. 

“Tenang dan sabar sedikit Sika. Bukankah kita sudah berjanji tidak akan bertindak 

sendiri-sendiri sebelum semua dari kita bicara?!” 

Si nenek saking geramnya bantingkan kaki kirinya. “Kraakkk!” Batu yang dipijaknya 

retak lalu terbelah dua. Sebelum batu roboh dia telah melompat ke batu lain di sebelahnya. 

“Giliran siapa sekarang yang bicara?!” Datuk Gadang Mentari bertanya. Kepala 

masih mendongak dan sepasang mata terus bergerak-gerak. 

Lelaki bermuka hijau letakkan tangan kirinya di atas dada lalu batuk-batuk beberapa 

kali. Sebelum membuka mulut dia terlebih dulu memandang dengan garang pada Wiro, 

Anggini dan Panji. 

“Aku Pengiring Mayat Muka Hijau! Wakil Datuk Lembah Akhirat! Aku diutus untuk 

menjadi saksi pemusnahan orang-orang golongan putih yang melakukan kekejian dalam 

rimba persilatan! Bilamana orang-orang golongan putih tidak bisa diperbaiki maka aku 

membawa amanat untuk menyingkirkan mereka!” 

Wiro pencongkan mulutnya. “Hebat benar tugas manusia ular keket ini!” katanya 

dalam hati. 

Setelah mengusap bibirnya yang ditancapi tulang kecil, Pengiring Mayat Muka Hijau 

menatap ke arah Wiro lalu berkata. “Jika kau benar orang yang dijuluki Pendekar 212, 

seperti yang dituntut oleh sobatku Sika Sure Jelantik, aku ingin menanyakan di mana 

adanya gurumu si Tua Gila itu?” 

“Hemm.... Apa kau punya keperluan sama dengan nenek itu?” tanya Wiro 

seenaknya.Pengiring Mayat Muka Hijau menyeringai. “Gurumu si Tua Gila itu telah membunuh 

seorang tokoh golongan putih di pulau Andalas. Korbannya adalah Magek Bagak Baculo 

Duo! Dosa besar ini harus dipertanggung jawabkannyal Kalau kau tidak memberitahu di 

mana dia berada maka aku akan mewakili dunia persilatan untuk menghabisimu saat ini 

juga. Tapi mengingat nama besarmu aku bisa memberi pengampunan dengan satu syarat...” 

“Asyik juga! Apa syaratmu manusia muka hijau berambut sarang tawon?!” bertanya 

Pendekar 212 yang kembali membuat Anggini jadi panas dingin. 

“Kau ikut dengan aku ke Lembah Akhirat dan menyatakan tunduk pada Datuk 

Lembah Akhirat masuk menjadi anggota kami!” 

“Hemmm.... Coba aku pikirkah dulu!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. 

“Sebelum aku memberi keputusan mau ikut denganmu atau tidak, apa boleh aku bertanya? 

Yang namanya Lembah Akhirat itu pasti letaknya di akhirat ya? Walah, perjalanan ke sana 

pasti jauh sekali. Apa orang harus terbang menuju ke sana atau ada tangganya naik ke langit 

sana atau bagaimana ya...?” Wiro tutup ucapannya dengan tawa bergelak. 

Orang yang duduk menutupi mukanya di atas cadas tinggi ikut-ikutan tertawa. 

Murid Sinto Geri-deng mempermainkan Pengiring Mayat Muka Hijau tidak hanya sampai 

di sana. Mulutnya kembali me-nyeletuk. “Manusia muka ular keketl Kau tahu Tua Gila sejak 

lama berada di tanah Jawa ini, sedang buang hajat besan Kapan dia sempat-sempatnya 

membunuh si Magek Bagak Babiji Duo itu?! Ha... ha... ha...!” 

“Baculo duo! Bukan Babiji Duo!” Orang yang duduk menutup wajah di atas batu 

cadas membetulkan ucapan Wiro lalu tertawa terkekeh-kekeh. 

“Datuk Gadang Mentari! Aku sudah gatal tangan membetot jantung mencabut nyawa 

orang ini! Harap kau cepat memberi kesempatan pada kawan kita yang terakhir untuk 

bicara!” kata Pengiring Mayat Muka Hijau dengan pelipis menggembung bergerak-gerak 

saking mendidih amarahnya. 

“Sobatku di atas cadas!” berseru Datuk Gadang Mentari. “Jangan tertawa saja! Kami 

memberi kesempatan padamu untuk bicara!” 

Orang di atas cadas hentikan tawanya tapi tetap saja duduk seperti tadi. 

Menyembunyikan wajahnya di balik sepasang kakinya yang dilipat. 

Lalu terdengar suaranya berkata dengan nada rawan. “Datuk Gadang Mentari, kau 

tahu siapa dan bagaimana sifatku. Harap kau saja yang mewakili aku bicara!” 

“Hemm....” Datuk Gadang Mentari bergumam. Matanya tak lepas memandang ke 

langit. “Sobatku Iblis Pemalu, jika itu maumu baiklah. Aku akan bicara pada dua kecoak 

ingusan itu! Pemuda bergelar Pendekar 212 dan gadis bernama Anggini, dengar baik-baik 

apa yang aku katakan! Akibat ulah kalian berdua seorang tokoh bernama Datuk Bululawang 

menemui kematian! Malang bagi kalian berdua, Datuk Bululawang adalah kakak kandung 

sobatku Iblis Pemalu yang saat ini duduk di atas batu cadas sanal Celaka bagi kalian berdua, 

hari ini akhirnya Iblis Pemalu berhasil menemui kalian di sini setelah sekian lama mencari-

cari! Nyawamu mungkin terpaksa kami bagi dua!” 

“Mana bisa begitu!” Sika Sure Jelantik menukas. “Kita ada berempat jadi nyawanya 

harus dibagi empat!” Si nenek lalu tertawa cekikikan. 

Wiro memandang ke atas batu cadas di mana lelaki berpakaian serba hitam duduk. 

Lalu berbisik pada gadis di sebelahnya. “Anggini, apa yang kau ketahui tentang manusia 

aneh bernama Iblis Pemalu itu?”“Aku memang pernah mendengar nama manusia satu ini. Dia malang melintang 

seorang diri. Tidak merangkul golongan mana pun. Kepandaiannya sangat tinggi tapi dia 

bukan bangsa manusia yang mudah dikecoh oleh orang-orang golongan hitam, Aneh kalau 

hari ini dia ikut-ikutan dengan tiga manusia kesasar itu! Lekas kau bicara menjelaskan 

kematian Datuk Bululawang itu!” 

“Iblis Pemalu!” Wiro berseru. “Soal kematian kakakmu itu, apakah kau menyaksikan 

dengan mata kepala sendiri?!” 

“Sobatku Datuk Gadang Mentari, harap kau jawab pertanyaannya.” Iblis Pemalu 

bicara dan tetap sembunyikan wajahnya di balik paha. 

“Dia memang tidak melihat sendiri pembunuhan yang kalian lakukan atas diri 

kakaknya! Tapi dia mendapat penjelasan dari orang lain yang bisa dipercayai” 

“Siapa orang lain itu?!” tanya Anggini. 

“Agar sesama golongan putih tidak tambah ricuh, harap kau tidak memberi tahu 

siapa orangnya Datuk Gadang!” Yang bicara adalah Pengiring Mayat Muka Hijau. 

“Berarti ada kedustaan besar di balik semua ini!” kata Anggini. 

“Iblis Pemalu, harap kau tidak termakan fitnah!” kata Wiro. 

Iblis Pemalu tidak menjawab tidak bergerak. Yang buka suara kembali, adalah 

Pengiring Mayat Muka Hijau, anak buah Datuk Lembah Akhirat. “Kau pandai bicara 

membela diri! Tapi siapa yang mau percayai Datuk Gadang, apakah kita sudah siap mulai 

dengan pesta kematian ini?!” 

Tunggu! Aku mau bicara dulu dengan Iblis Pemalu!” teriak Wiro. Lalu dia naik ke 

atas batu-batu cadas dan memanjat ke tempat iblis Pemalu duduk. Kalau saja dia masih 

memiliki kesaktian dan tenaga dalam, Wiro tak perlu susah payah naik ke atas batu itu. Tapi 

cukup sekali melompat dan melesat saja dia dengan cepat dan mudah bisa sampai di sana. 

“Iblis Pemalu, harap kau mau mendengar penjelasanku. Adikmu Datuk Bululawang bukan 

kami yang membunuh. Dia jadi korban pembalasan sakit hati Sandaka, seorang pemuda 

berjuluk Manusia Paku. Pemuda itu sendiri adalah korban ilmu hitam Dewi Ular!” 

Pengiring Mayat Muka Hijau mendengus. “Nama Sandaka ataupun Manusia Paku 

tak pernah dikenal. Kalau orangnya memang ada di mana dia sekarang. Juga Dewi Ular. 

Coba jelaskan di mana perempuan itu berada!” 

“Mereka amblas masuk jurang!” menerangkan Anggini. 

Pengiring Mayat Muka Hijau tertawa mengejek. “Semua yang kalian katakan tidak 

masuk akal! Datuk.... Bagaimana? Apa kita bisa mulai?” (Mengenai Sandaka atau Manusia 

Paku harap baca serial Wiro Sableng berjudul Dendam Manusia Paku) 

“Datuk Gadang, kau belum menyampaikan satu permintaanku?” Tiba-tiba Iblis 

Pemalu berkata. 

“Astaga, hampir aku terlupa!” kata Datuk Gadang Mentari. “Kami menyirap kabar, 

salah satu dari kalian memiliki sebuah peta petunjuk di mana adanya sebilah pedang sakti 

bernama Pedang Naga Suci 212! Aku dengar kau yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga 

Geni 212 yang menyimpannya. Jika peta itu kau berikan pada Iblis Pemalu maka segala 

urusan menyangkut dirimu akan dilupakannya!” 

“Gila, kenapa urusan jadi panjang bertele-tele seperti ini!” keluh Wiro. “Kalian semua 

dengar! Aku tidak tahu menahu soal pedang itu! Apalagi menyimpan peta petunjuk!” 

“Aku juga!” kata Anggini.“Aku yang menyimpannya!” Tiba-tiba Panji yang sejak tadi berdiam diri keluarkan 

seruan. 

Pengiring Mayat Muka Hijau, Sika Sure Jelantik palingkah kepala ke arah pemuda 

itu. Datuk Gadang Mentari memutar tubuhnya sedikit tapi tetap saja mendongak ke langit. 

Iblis Pemalu tampak menggeser dua tangannya yang sejak tadi bersitekan ke batu. 

“Datuk Gadang! Lekas kau rampas peta itu!” Berteriak Iblis Pemalu. 

“Jangan-jangan dia hanya menipu!” Pengiring Mayat Muka Hijau berkata. 

Panji menyeringai. Dari balik pakaiannya yang bagus dia mengeluarkan secarik kain 

putih yang telah lusuh. Benda itu diperlihatkannya pada orang-orang yang ada di tempat 

itu. Lalu dengan cepat dimasukkannya kembali ke balik pakaiannya. 

Pengiring Mayat Muka Hijau jadi bimbang. Datuk Gadang Mentari gerak-gerakkan 

kedua kakinya. Iblis Pemalu keluarkan suara aneh sementara Sika Sure Jelantik merupakan 

satu-satunya orang yang tampak tidak tertarik dengan urusan Pedang Naga Suci 212 itu. 

Sepasang matanya terus menerus mengawasi Wiro yang sejak tadi diincarnya. 

Tiba-tiba Panji berkelebat dari tempat itu. Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu dia 

sudah berada di salah satu puncak batu cadas. Terus melesat ke atas sebatang pohon besar 

dan lenyap di balik kerimbunan dedaunan. 

“Kejar!” teriak Iblis Pemalu. Tubuhnya melesat ke atas. Mukanya yang tidak tertutup 

lagi di balik kedua pahanya kini ditutupnya dengan tangan kirinya. Di udara dia membuat 

gerakan aneh. Di lain kejap laksana terbang dia melesat ke arah pohon besar tempat 

lenyapnya Panji. 

Datuk Gadang Mentari walau tampak tak bisa menguasai diri tapi masih tetap berada 

di atas batu tempatnya berdiri. Sementara Sika Sure Jelantik tidak melepaskan Wiro dari 

pengawasannya. 

“Sika Sure Jelantik, sementara dua teman kita berusaha mendapatkah peta, 

bagaimana kalau kita berdua membagi-bagi rejeki?!” 

Sika Sure Jelantik tertawa panjang. Dia maklum apa maksud ucapan Datuk Gadang 

Mentari itu, 

“Sika, kau urusi si pemuda, aku biar membereskan yang gadis!” kata Datuk Gadang 

Mentari pula. Lalu sekali dia menggenjotkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat ke arah 

Anggini. kepalanya tetap mendongak ke langit. Namun tangan kanannya membuat gerakan 

kilat. Menghantam ke jurusan Anggini. 

Si nenek Sika Sure Jelantik keluarkan teriakan keras lalu berkelebat ke arah Pendekar 

212!


SEPULUH


Kita ikuti pengejaran atas diri Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo yang dilakukan 

oleh Pengiring Mayat Muka Hijau dan Iblis Pemalu. Seperti diketahui putera Rajo 

Tuo Datuk Paduko iman yano juga merupakan cucu Tua Gila itu memiliki ilmu 

kepandaian aneh-aneh. Antara lain mampu menyelam dalam waktu sanya W! dalam air. Lalu 

dia juga sangat pandai dalam soal panjat memanjat. Sekali berkelebat di atas pohon dirinya 

lenyap seolah berubah jadi angin. 

K

Pengiring Mayat Muka Hijau penasaran setengah mati. Dia memandang berkeliling. 

Satu bayangan hitam berkelebat. Dia siap menghantam tapi cepat menarik tangannya ketika 

mengenali orang itu adalah Iblis Pemalu. Sambil tutupi kedua mukanya dengan tangan 

manusia aneh ini mengawasi keadaan sekelilingnya lewat celah-celah jarinya. 

“Ke mana lenyapnya jahanam itu! “kata Pengiring Mayat Muka Hijau setengah 

berteriak. “Aku merasa malu! Lebih baik bunuh diri kalau tidak berhasil menangkap 

manusia kampret itu!” kata Iblis Pemalu lalu tutup lebih rapat mukanya dengan ke dua 

tangan. 

Pengiring Mayat Muka Hijau tambah jengkel mendengar kata-kata sj Iblis Pemalu. 

“Kau menyelidik ke sebelah kiri! Aku ke jurusan kanan!” kata anak buah Datuk Lembah 

Akhirat ink Lalu tanpa menunggu jawaban orang si Pengiring Mayat Muka Hijau melompat 

ke atas pohon besar di sebelah kiri. 

Tapi begitu kakinya menginjak salah satu cabang tiba-tiba saja cabang pohon Hu 

amblas. Kalau dia tidak lekas bergayut pada cabang di atasnya paling tidak dia akan 

terperosok jatuh. 

“Jahanam!” maki Pengiring Mayat Muka Hijau. Dia memperhatikan bekas patahan 

cabang pohon. Ternyata cabang itu tidak patah biasa, melainkan ada tanda bekas dipotong 

dengan beda tajam. “Pasti pemuda jahanam itu yang punya, pekerjaan!” 

Perigiring Mayat Muka Hijau memaki. 

“Sobatku dari Lembah Akhirat!” tiba-tiba terdengar suara Iblis Pemalu. 

Pengiring. Mayat Muka Hijau diam saja. Kembali terdengar suara Iblis Pemalu. “Aku 

malu tak dapat mencari pemuda pembawa peta itu! Mengapa kau tidak mengerahkan Ilmu 

Pukulan Mayat! Sekali kau menerabas semua pepohonan ini akan musnah dan jahanam itu 

tak bisa lagi bersembunyi! Lekas kau lakukan. Sebentar lagi matahari akan terbenam dan 

tempat ini akan diselimuti kegelapan!” 

Pengiring Mayat Muka Hijau masih diam. Namun dalam hatinya dia membenarkan 

kata-kata Iblis Pemalu. Maka dia segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya yang 

telapaknya berwarna hijau. “Wusss!” 

Pengiring Mayat Muka Hijau menghantam ke pohon di atasnya. Selarik sinar hijau 

menderu. Cabang, ranting dan daun-daun pohon di atas sana laksana dikobari api berwarna 

hijau. Dalam waktu sekejapan saja pohon itu berubah menjadi bubuk berwarna hijau yang 

kemudian lenyap bertaburan tertiup angin, Di pohon yang kini menjadi gundul itu sama 

sekali tidak terlihat sosok pemuda yang dikejar. Penasaran Pengiring Mayat Muka Hijau 

kembali menghantam pohon di samping kiri. Untuk kedua kalinya pohon ini pun menerima 

nasib sama. Gundul laksana dimakan api! Namun Panji tetap saja tidak kelihatan! 

“Jahanam!” Lagi-lagi Pengiring Mayat Muka Hijau menyumpah habis-habisan.Tiba-tiba seseorang melayang turun dari atas pohon dan tegak di samping Pengiring 

Mayat Muka Hijau, membuat orang ini terkejut dan kembali menyumpah panjang pendek. 

Yang datang ternyata adalah Iblis Pemalu. 

“Sobatku Pengiring Mayat Muka Hijau!” Iblis Pemalu berbisik. “Aku sudah melihat 

pemuda itu. Dia sembunyi di pohon sebelah kanan sana. Lekas kau menghantam kembali. 

Aku tak mau menyerangnya. Aku malu!” 

Pengiring Mayat Muka Hijau habis sabarnya. Dia membentak. “Kau malu 

menyerangnya. Tapi tidak malu menginginkan peta rahasia itu!” 

Iblis Pemalu menutup wajahnya dengan dua tangan tambah rapat. “Ah, ucapanmu 

membuat diriku tambah malu,” katanya tetap dengan suara berbisik. “Ayo cepat kau 

menghantam pohon itu sebelum dia kabur dari sana!” 

“Sialan! Bangsat ini memperalat diriku! Jangan harap kau bakal dapatkan peta itu!” 

rutuk Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu tanpa berpaling pada orang di sebelahnya dia 

langsung menghantam ke pohon yang dikatakan. 

“Wusss!” 

Untuk kesekian kalinya sinar hijau menggebu. Kali ini lebih dahsyat karena Pengiring 

Muka Mayat menghantam dengan penuh amarah serta pengerahan tenaga dalam tinggi 

Pohon besar di sebelah sana bukan saja hancur lebur di sebelah atas tapi setengah dari 

batangnya ikut berubah jadi arang berwarna hijau yang kemudian lebur ditiup angin! 

“Mana dia! Katamu bangsat itu ada di pohon itu! Kau lihat sendiri dia tidak ada di 

sana!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau marah ketika dia sama sekali tidak melihat sosok 

Panji. 

“Ah, bagaimana ini. Tadi jelas aku lihat dia mendekam di atas sana. Aku jadi malu!” 

Iblis Pemalu memandang liar kian kemari di antara celah-celah jarinya. 

Tiba-tiba terdengar suara bergemeresak di belakang mereka. Iblis Pemalu dan 

Pengiring Mayat Muka Hijau cepat berbalik. 

Sesosok tubuh berkelebat dari atas pohon kecil dan satu kaki menendang ke arah 

Pengiring Mayat Muka Hijau. Demikian cepat datangnya tendangan membuat anak buah 

Datuk Lembah Akhirat ini tidak dapat berkelit. Meskipun dia tak sempat menghindar 

namun Pengiring Mayat Muka Hijau tidak diam begitu saja. Tangan kanannya dihantamkan 

ke arah si penyerang. 

“Bukkk!” 

“Wuss!” 

Satu tendangan menghantam dada kanan Pengiring Mayat Muka Hijau dengan telak. 

Selarik sinar hijau berkiblat! 

Pengiring Mayat Muka Hijau terpental dua tombak dan menyangsrang jatuh di 

semak belukar. Dada kanannya serasa remuk. 

“Memalukan! Ah, kau tidak apa-apa sobatku?!” tanya Iblis Pemalu dan mendatangi 

Pengiring Mayat Muka Hijau. Tangan kirinya masih ditutupkan ke mukanya. Tangan kanan 

diulurkan untuk menolong. 

Saat itu bukan saja rasa sakit yang diderita Pengiring Mayat Muka Hijau tapi 

amarahnya pun sudah menggelegak sampai ke ubun-ubun. Dengan kaki kirinya 

diterjangnya perut Iblis Pemalu hingga orang ini terjengkang tapi cepat bangkit kembali. 

Sambil menutupkan ke dua tangannya di wajahnya, Iblis Pemalu berkata. 

“Memalukan, diantara sahabat terjadi salah paham!”“Jahanam! Kalau kau tidak lekas menyingkir dari hadapanku akan kubuat jadi debu 

kau saat ini juga!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau. 

“Ah memalukan! Memalukan aku harus pergi!” Iblis Pemalu golengkan kepalanya 

beberapa kali. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat ke arah lenyapnya bayangan 

hijau yang tadi menyerang Pengiring Mayat Muka Hijau. 

Dengan susah payah Pengiring Mayat Muka Hijau keluarkan tubuhnya dari semak 

belukar. Dada kanannya yang cidera terkena tendangan diusapnya berulang kali. Dia 

memandang ke jurusan lenyapnya Iblis Pemalu. “Pemuda baju hijau itu tak bakal lari jauh! 

Aku yakin Pukulan Penghancur Mayat yang aku lepaskan tadi mengenai tubuhnya walau 

tidak telak....” 

Dengan cepat dia mengerahkan tenaga dalam ke dada yang cidera. Lalu begitu selesai 

mengatur jalan nafas dan peredaran darah dia segera menyadari satu hal. 

“Aku harus mengejar mereka. Aku tidak bisa membiarkan Iblis Pemalu mendapatkan 

peta petunjuk di mana adanya Pedang Naga Suci 212 itu! Kalau sampai dia mendahului 

pasti Datuk Lembah Akhirat akan menjatuhi hukuman berat padaku!” 

Memikir sampai di sini Pengiring Mayat Muka Hijau segera berkelebat. Namun 

gerakannya tertahan karena tiba-tiba saja di tempat itu terdengar suara tawa membahana. 

Paras anak buah Datuk Lembah Akhirat yang berwarna hijau penuh benjolan seperti bisul 

ini tampak tegang. Suara tawa itu bukan suara tawa biasa. Kedua kakinya yang menginjak 

tanah dapat merasakan getaran hebat tanda siapa pun adanya orang yang tertawa pasti 

memiliki ilmu kepandaian serta tenaga dalam luar biasa. 

Berfirasat bakal ada bahaya yang mengancam Pengiring Mayat Muka Hijau cepat 

menyelinap ke balik sebatang pohon besar sambil mengerahkan tenaga dalam ke tangan 

kanannya. Menyiapkan Pukulan Maut Penghancur Mayat! 

* *



SEBELAS


Pengiring Mayat Muka Hijau jadi tegang sendiri. Karena setelah ditunggu agak lama 

orang yang tertawa itu belum juga muncul. Padahal suara tawanya begitu keras tanda 

orangnya tidak berada jauh dari tempat dia bersembunyi. Suasana yang mendadak 

menjadi sunyi senyap membuat anak buah Datuk Lembah Akhirat ini menjadi salah 

tingkah. Dia ingin segera keluar dari balik pohon tapi khawatir orang akan membokongnya. 

Tidak keluar membuat ketegangan semakin bertumpuk. 

P

Si muka hijau ini tergagau ketika tiba-tiba kembali suara tawa meledak. Kali ini 

datangnya justru dari atas pohon di bawah mana dia berlindung. Mendongak ke atas 

terkejutlah dia. Seumur-umur baru sekali ini dia melihat pemandangan yang demikian luar 

biasa. Dia sempat menggosok mata berulang kali untuk memastikan bahwa dia tidak salah 

lihat atau tengah bermimpi. 

“Keanehan apa ini! Sudah terbalikkah dunia hingga ada pemandangan begini rupa?!” 

Di atas pohon besar, di salah satu cabang dia melihat seekor keledai pendek kurus. 

Tegak dengan telinga bergerak-gerak, mata berkedap-kedip dan ekor bergoyang-goyang 

kian kemari. Di atas punggung keledai kurus kering itu duduk seorang kakek gemuk luar 

biasa. Rambutnya digulung di atas kepala. Pakaiannya tak berkancing dan kesempitan 

hingga dada dan perutnya yang gembrot berlemak tersembul. Pengiring Mayat Muka Hijau 

perhatikan wajah orang di atas pohon itu. Tua dan memiliki sepasang mata sangat sipit. 

“Benar-benar edani” kata si Pengiring Mayat dalam hati. “Keledai bisa berada di atas 

pohon! Tak masuk akal! Lalu si gendut yang duduk di atasnya! Meski binatang itu kurus 

tapi cabang pohon tidak mungkin menahan bobot tubuhnya. Apalagi ditambah dengan 

berat orang tua bertubuh gemuk itul Tapi cabang tidak patah, bergoyang atau meliuk pun 

tidak! Siapa adahya dua makhluk aneh ini?!” Tengkuk Pengiring Mayat Muka Hijau 

mendadak menjadi dingin. Dia tidak bisa menduga pasti. Namun terus memutar otak 

mengingat-ingat. 

Tiba-tiba si gemuk di atas pohon keluarkan suara bersuit. Lalu tertawa bergelak. 

Ranting-ranting pohon bergemeretak. Daun-daun bergemeresik bahkan ada yang 

berguguran. 

“Dasar keledai pandir! Tolol! Bodoh! Hendak kau bawa ke mana aku ini?! Jalan ke 

sorga bukan di sini! . Ha... ha... ha! Ayo lekas turun! Jangan membuat aku gamang. Bisa-bisa 

aku ngompo! di celana! Ha... ha... ha! Ayo turun!” 

Si gemuk tepuk-tepuk pantat keledainya. Binatang ini mengeluarkan suara melenguh 

lalu menggerakkan tubuh sebelah belakangnya ke atas beberapa kali. Si gemuk di atas 

punggung keledai bergoncang-goncang. Dada dan perutnya yang gembrot bergoyang-

goyang. 

“Keledai dungu! Apa yang kau lakukan ini! Aku bilang jangan membuat diriku jadi 

gamang! Nah... nah! Apa kataku! Lihat apa yang terjadi! Rasakan! Habis kau aku kencingi!” 

Di bawah pohon Pengiring Mayat Muka Hijau tersentak kaget ketika ada air jatuh 

membasahi muka dan dadanya. Ketika mencium bau air dan menyadari air apa adanya 

yang barusan membasahi muka serta pakaiannya menyumpahlah dia habis-habisan. 

Sementara itu di atas pohon kakek gemuk kembali tertawa keras. Dia tepuk pantat

membandel akan aku tutup lobang anusmu! Jangan harap kau bisa buang hajat selama satu 

minggu!” 

Entah mengerti ucapan si gemuk entah bagaimana, nyatanya keledai kurus itu 

melenguh tinggi dan putar-putar. ekornya. Lalu perlahan-lahan selangkah demi selangkah 

dia meniti cabang pohon. Begitu sampai pada batang pohon keledai ini terus membelok ke 

bawah dan betul-betul luar biasa! Binatang ini terus menjejakkan kaki pada batang pohon, 

bergerak turun ke bawah! 

Pengiring Mayat Muka Hijau yang sudah tak dapat menahan amarahnya sesaat jadi 

terkesiap. Dia memperhatikan dengan mata mendelik. Ketika dia mengetahui apa 

sebenarnya yang terjadi kembali dia menyumpah. 

“Jahanam gendut itu menipuku! Ternyata kakinya yang menempel di batang pohon. 

Keledai di bawahnya hanya mengikuti gerakannya saja!” Walaupun demikian Pengiring 

Mayat Muka Hijau tetap tercengang melihat kehebatan kakek gemuk yang terus-terusan 

keluarkan suara tertawa itu. “Dia memiliki tenaga dalam aneh yang mampu membuatnya 

meniti pohon dengan tubuh melintang di udara! 

Telapak kakinya seperti memiliki perekat!” 

Keledai dan si gemuk akhirnya menjejakkan kaki di tanah. Kini lebih jelas di mata 

Pengiring Mayat Muka Hijau. Sebenarnya kakek gemuk itu tidak duduk di atas punggung 

keledainya karena ke dua kakinya yang panjang buntak menjejak tanah menopang 

tubuhnya yang berat! 

Si gemuk usap-usap perutnya lalu kembali mengumbar tawa yang menggetarkan 

seantero tem-pat. “Keledaiku, kau boleh pergi mencari makan. Tapi awas! Jangan jauh. 

Tempat ini terasa aneh. Banyak pohon gundul berwarna hijau. Aku menunggumu di sini 

sambil melepas lelah dan bernyanyi-nyanyi!” 

Dengan satu gerakan ringan si gendut turun dari keledainya. Begitu binatang itu 

menyeruak di antara pepohonan si gemuk menghampiri sebatang pohon lalu duduk 

menjelepok di tanah, bersandar ke pohon. Padahal di sebelah belakangnya tegak 

bersembunyi Pengiring Mayat Muka Hijau yang barusan dikencinginya! 

Mencari saudara semata wayang 

Entah hilang entah nyawa sudah melayang 

Lain yang dicari 

Lain yang ditemui 

Kalau memang bukan maling bukan pencuri 

Mengapa sengaja sembunyikan diri 

Ha... ha... ha.... 

Enaknya hidup di dunia ini 

Bisa tertawa bisa menyanyi 

Ha... ha... ha! 

Di balik pohon Pengiring Mayat yang sengaja menahan nafas maklum kalau nyanyi 

yang dilantunkan kakek gendut itu merupakan sindiran bagi dirinya. Dalam pada itu dia 

kini sudah bisa menduga siapa adanya orang itu. Maka tanpa tunggu lebih lama dia segera 

keluar dari balik pohon di belakang si gemuk.“Bukankah aku berhadapan dengan tokoh dunia persilatan terhormat yang disebut 

dengan gelaran Dewa Ketawa?” Pengiring Mayat Muka Hijau menegur. 

Suara tawa si kakek gemuk langsung berhenti. Sepasang matanya yang sipit 

memandangi Pengiring Mayat Muka Hijau dari rambut sampai ke kaki. Lalu meledaklah 

tawa orang ini kembali. 

“Kau pandai menerka siapa diriku. Tapi aku agaknya bakalan susah menduga siapa 

dirimu! Di atas kepalamu ada sarang tawon. Ha... ha... ha! Mukamu hijau benjal-benjol 

seperti ulat daun. Tubuhmu ada bau pesingnya! Bibirmu diganduli tulang. Bagaimana kau 

mencium kekasih atau istrimu! Ha... ha... ha.... Siapa kau ini kira-kira ya? Ha... ha... ha!” 

Rahang Pengiring Mayat Muka Hijau menggembung. Tenggorokannya turun naik. 

“Orang tua gendut! Aku merasa banyolanmu tidak lucu!” 

“Huss! Siapa yang sedang membanyol! Aku tadi cuma menyanyi, bukan membanyol! 

Jangan-jangan pendengaranmu agak terganggu alias tuli! Ha... ha... ha!” 

“Dewa Ketawa! Kekonyolanmu sudah melampaui batas! Tadinya aku punya rencana 

baik untukmu! Tapi kini terpaksa aku batalkan!” 

 “Ah, kalau begitu rejekiku memang jelek. Tapi bagaimana kau bisa membuat rencana 

baik bagiku kalau dirimu sendiri kejatuhan sial! Barusan bukankah ada setan pohon yang 

mengencingimu?! Ha... ha... ha!” 

“Dewa Ketawa, kau boleh tertawa sampai lidahmu copot! Jangan kaget kalau aku beri 

tahu bahwa kakakmu si Dewa Sedih ada di bawah kekuasaan kami orang-orang Lembah 

Akhirat....” 

“Eh, apa...?! Astaga kenapa telingaku tiba-tiba menjadi budek?!” Si gendut Dewa 

Ketawa ketok-ketok bagian kepala dekat telinganya kiri kanan. “Coba kau ulangi lagi 

ucapanmu tadi! Aku kurang memperhatikan, kurang mendengar! Kau bilang kakakku mau 

kawin? Eh...! Ha.,, ha... ha! Coba ulangi lagi ucapanmu!” 

“Kakakmu si Dewa Sedih berada di bawah kekuasaan kami orang-orang Lembah 

Akhirat! Tak ada jalan kembali baginya ke dunia luar! Seumur-umur dia akan jadi budak 

Datuk Lembah Akhirat! Dan jangan menyesal kalau dirimu pun akan segera menerima 

giliran!” 

“Ha... ha...! Kalau hendak diajak jalan-jalan ke akhirat aku pun suka! Belum pernah 

aku pergi ke sana. Kapan kita berangkat? Sekarang...?!” Dewa Ketawa bergerak bangkit. 

Namun saat itu juga Pengiring Mayat Muka Hijau menendang kakinya hingga si 

gendut itu jatuh terduduk kembali di bawah pohon. 

“Hai! Barusan kau bilang hendak mengajak aku jalan-jalan ke akhirat! Mengapa 

sekarang menye-rimpung kakiku?!” tanya Dewa Ketawa terheran-heran sambil menahan 

tawa. 

Tadi kakimu! Sekarang mulut besarmu!” bentak Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu 

tangan kanannya melesat ke depan. 

“Bukkk!” 

Kepala Dewa Ketawa membentur batang pohon di belakangnya ketika jotosan tangan 

kanan Pengiring Mayat Muka Hijau mendarat di mulutnya. Bibirnya pecah. Darah 

mengucur. Tapi si gendut ini masih bisa tertawa sambil seka darah di mulutnya. 

“Kau baik hati sekali hanya memecahkan bibirku tidak merontokkan gigiku! Ha... 

ha... ha! Untung.... Karena dalam mulutku gigiku hanya tinggal dua! Ha... ha... ha!”

“Berapa nyawa yang adadalam tubuhmugendut keparat?!” tanya Pengiring Mayat 
Muka Hijau. 
“Eh, walau dara bertanyamu mulai kasar tapi aneh juga! Kampret cuma punya satu 
nyawa! Burung hantu alias kokokbeluk juga punya satu nyawa! Ular keket yang 
tampangnya sepertimu hanya punya Satu nyawa. Keledai butut tungganganku juga punya 
satu nyawa. Lalu apa menurutmu aku bisa punya dua nyawa kalau yang satu aku pinjam 
darimu?! Ha... ha... ha...! Untung mukamu hijau. Kalau tidak pasti sudah merah dadu saat 
ini! Ha... ha... ha!” 
“Gendut edan! Kau akan menyesal sampai ke liang kubur! Nyawamu yang cuma satu 
itu terpaksa harus kau serahkan padaku saat ini juga!” 
Saat itu diam-diam Pengiring Mayat Muka Hijau telah kerahkan tenaga dalam ke 
tangan kanannya untuk mengeluarkan pukulan sakti Penghancur Mayat. Selagi Dewa 
Ketawa masih asyik tertawa-tawa tiba-tiba dia hantamkan tangannya ke depan. “Wuutt!” 
“Settt!” 
Belum lagi sinar hijau mematikan membersit keluar dari tangan Pengiring Mayat 
Muka Hijau tiba-tiba tangan kanan anak buah Datuk Lembah Akhirat ini telah masuk dalam 
cengkeraman tangan kanan Dewa Ketawa. 
Pengiring Mayat Muka Hijau kaget luar biasa. Dengan cepat dia menarik tangannya. 
Namun bagaimanapun dia mengerahkan tenaga sampai keluarkan keringat dingin, dia tidak 
mampu melepaskan tangan kanannya dari cengkeraman si gemuk itu. 
Dewa Ketawa tertawa mengekeh. “Apa ceritamu tentang nyawa sudah selesai....” 
Dewa Ketawa mengejek. “Aku masih punya waktu untuk mendengarkan! Ha... ha... ha...!” 
“Jahanam! Lepaskan cengkeramanmu! Atau kakakmu akan aku suruh bunuh biar jadi 
setan penasaran!” Membentak Pengiring Mayat Muka Hijau. Tonjolan-tonjolan di mukanya 
kelihatan seperti membengkak hingga kepalanya jadi tampak lebih besar. 
Dewa Ketawa ganda tertawa. “Kasihan, kau kesakitan rupanya. Memang tanganku 
kasar, tidak sehalus tangan gadis cantik jelita! Ha... ha... ha! Sudah, tak perlu cengeng. Lihat 
tanganmu akan aku lepaskan.... Ha... ha... ha!” 
Ternyata Dewa Ketawa tidak segera melepaskan cengkeraman tangan kanannya pada 
tangan Pengiring Mayat Muka Hijau. Acuh tak acuh sambil terus tertawa-tawa lima jari 
tangannya bergerak meremas. Telapak tangannya menjepit laksana jepitan besi. 
“Kreekkk.... Kereekkkk.... kereek!” 
Terdengar suara berderak tiga kali. 
Pengiring Mayat Muka Hijau menjerit setinggi langit. 
Ketika Dewa Ketawa lepaskan cengkeramannya kelihatan bagaimana tangan kanan 
Pengiring Mayat Muka Hijau telah hancur. Tulang-tulangnya mencuat berpatahan! 
“Manusia tak tahu diuntung! Tadi kau minta tanganmu dilepaskan. Setelah aku 
lepaskan bukannya mengucapkan terima kasih malah menjerit-jerit seperti anak kecil!” 
“Keparat jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!” teriak Pengiring Mayat Muka 
Hijau. Tiga jari tangan kirinya melesat laksana tiga mata tombak ke tenggorokan Dewa 
Ketawa. 
Yang diserang sesaat masih tertawa. Tiba-tiba Dewa Ketawa meniup ke depan. Saat 
itu juga sekujur tubuh Pengiring Mayat Muka Hijau menjadi kaku tak bisa bergerak, tak 
mampu bersuara! Inilah ilmu totokan dengan cara meniup yang dalam rimba persilatan 
hanya dimiliki oleh Dewa Ketawa!“Ha... ha... ha! Sekarang kau sudah jadi anak baik penurut! Saatnya kau 
mengantarkan aku ke tempat terletaknya Lembah Akhirat!” 
Dewa Ketawa bangkit berdiri. Dua jari tangan kanannya dimasukkan ke dalam 
mulut. Lalu dari mulut itu keluar suara bersuit tiga kali nyaring sekali. Sesaat kemudian dari 
balik semak belukar menyeruak datang keledai pendek kurus tunggangannya. 
DewaKetawa tertawa panjang. “Bagus, sekali ini kau datang cepat. Berarti kau juga 
senang diajak jalan-jalan ke Lembah Akhirat!” 
Dewa Ketawa naik ke punggung keledai itu. Ke dua kakinya menjejak tanah. Dengan 
tangan kirinya dijambaknya rambut Pengiring Mayat Muka Hijau. Dengan tangan kanan 
digebuknya pinggul keledai. Binatang dan penunggang sama-sama bergerak. Tubuh 
Pengiring Mayat Muka Hijau ikut terseret! 
* *

DUA BELAS


Panji menghentikan larinya ketika dirasakannya tangan kanannya seperti kesemutan. 
Ketika dia meneliti berubahlah paras pemuda ini. Ujung baju hijaunya mulai dari 
bahu sampai ke pinggang nampak berlubang besar, berubah jadi bubuk! 
“Sedikit saja pukulan itu lebih masuk ke dalam pasti sebagian tubuhku berubah jadi 
debu!” membatin si pemuda. “Rupanya bukan cerita kosong bahwa orang-orang Lembah 
Akhirat memiliki ilmu Pukulan Penghancur Mayat yang mengerikan itu! Kalau dibiarkan 
mereka malang melintang berbuat sekehendak hatinya celakalah dunia persilatan di tanah 
Jawa ini. Padahal aku baru saja menjejakkan kaki di sini. Belum punya pengalaman, apalagi 
yang namanya menimba ilmu baru!” 
P
Tiba-tiba ingat pada Anggini dan Pendekar 212. “Dua orang itu agaknya bisa 
kujadikan sahabat. Apa yang terjadi dengan mereka. Apakah usahaku tadi dapat menolong 
mereka? Sampai saat ini tak ada yang mengejarku. Kalau mereka sampai dikeroyok empat 
celaka besar akan mereka hadapi! Aku harus kembali ke lembah batu itu!” 
Berpikir sampai di situ Panji berusaha merapikan pakaiannya yang robek hangus itu. 
Ketika dia belum lama menyusuri jalan yang tadi dilewatinya tiba-tiba di depannya tegak 
menghadang Iblis Pemalu. Orang ini berdiri dengan kedua tangan menutupi wajah namun 
di antara sela-sela jarinya Panji melihat sepasang mata memandang tak berkesip padanya. 
“Hanya dia seorang yang mengejar. Berarti yang tiga lainnya masih di lembah,” pikir 
Panji yang tidak mengetahui kalau Pengiring Mayat Muka Hijau telah dibuat tak berdaya 
oleh Dewa Ketawa. 
“Sobatku, mengapa kau menghadangku?” menegur Panji dengan nada bersahabat. 
“Aku bukan sobatmu! Aku malu jadi sobatmu! Lekas serahkan padaku peta itu!” 
Melihat sikap aneh orang di hadapannya yang terus-terusan menutupi wajahnya 
Panji memutar otak. “Orang aneh kalau diikuti segala perbuatannya bisa dijadikan sahabat. 
Tapi kalau meleset bisa membawa kematian.... Orang ini jelas memiliki ilmu kepandaian 
yang bisa membawa bencana bagiku! Aku harus berani ambil keputusan!” 
Maka Panji lantas meniru perbuatan Iblis Pemalu. Dengan kedua tangannya dia 
menutupi mukanya. “Aku jadi malu kau tidak menerima persahabatanku! Daripada malu 
terus lebih baik aku pergi saja....” Panji lalu memutar diri dan melangkah pergi. 
“Tunggu! Jangan pergi!” Tiba-tiba Iblis Pemalu berteriak dan sekali berkelebat dia 
telah berada di hadapan Panji. “Kalau kau tidak menyerahkan peta itu, aku tidak akan 
menjadi sahabatmu! Malah aku akan membunuhmu saat ini juga!” 
“Celaka! Bagaimana aku harus menjawab!” keluh Panji. 
“Mengapa tak menjawab? Apa merasa malu?!” bentak iblis Pemalu. 
“Ya... yai Aku merasa malu. Yang aku perlihatkan di lembah itu sebenarnya bukan 
peta. Tapi sehelai potongan kain butut!” 
“Aku tidak percaya. Jangan membuat aku malu karena tertipu! Keluarkan kain itu! 
Perlihatkan padaku!” bentak Iblis Pemalu. 
“Ah.... Aku benar-benar malu!” ujar Panji. Tangan kirinya diselinapkan ke balik 
pakaian. Ketika dikeluarkan tampak dia memegang sehelai kain putih yang sudah kusut dan 
dekil. Kain itu diulurkannya pada Iblis Pemalu. 
“Aku malu memegangnya! Kembangkan di tanah!” perintah Iblis Pemalu.Panji membungkuk. Potongan kain dikembangkannya di tanah. Di atas kain itu 
memang tidak ada tulisan ataupun peta seperti yang dikatakan Panji. 
“Balikkan kainnya!” kata !b!is Pemalu pu!a. 
Kembali Panji mengikuti apa yang diperintahkan. Kain putih dibalikkan dan 
dikembangkan. Pada bagian ini pun tidak ada apa-apanya. , 
“Hemmm.... Sayang matahari hampir tenggelam. Aku tak bisa mengembangkan kain 
itu ke arah matahari. Siapa tahu peta itu tersembunyi di dalamnya dan hanya bisa dilihat 
kalau dikembangkan di bawah penerangan tembus sinar sang surya!” 
“Sobatku, kau cerdik sekali,” memuji Panji. 
“Jangan membuat aku malu dengan pujian!” hardik Iblis Pemalu. 
“Harap maafkan aku. Tapi terus terang sebenarnya aku merasa malu karena telah 
menipumu....” 
“Apa maksudmu? Jangan-jangan kau menyembunyikan peta yang sebenarnya!” 
“Aku tidak menyembunyikan apa-apa lagi. Aku sengaja menipu kalian hanya karena 
ingin menolong dua sahabatku yang sekarang mungkin masih ada di lembah, dikeroyok 
oleh tiga orang kawan-kawanmu itu....” 
“Aku datang ke sana bukan untuk mengeroyok! Mengeroyok adalah perbuatan 
memalukan! Tunggu, jangan mengalihkan pembicaraan. Kau belum menerangkan tuntas 
apa maksudmu sengaja menipu!” 
“Sekali melihat saja aku sudah tahu bahwa kau dan teman-temanmu adalah orang-
orang persilatan berkepandaian tinggi. Aku dan dua kawahku tak mungkin bisa menang 
menghadapi kalian. Karena itu aku memancing dengan memperlihatkan secarik kain butut 
yang kebetulan kubawa. Lalu kukatakan saja kain itu adalah peta petunjuk di mana 
beradanya Pedang Naga Suci 212. Habis berkata begitu aku lalu melarikan diri dengan 
harapan agar kalian mengejar. Dengan demikian dua sahabatku itu selamat dari keroyokan 
kalian. Nyatanya yang mengejar aku cuma kau sendiri. Berarti tiga temanmu masih ada di 
sana! Pasti saat ini tengah terjadi perkelahian hebat di lembah. Aku harus kembali ke sana 
menolong mereka!” 
“Jangan kau berani pergi dari sini!” bentak Iblis Pemalu. Dua matanya berputar-putar 
memandangi Panji. Lalu dari mulutnya terdengar suara tawa cekikikan. 
“Manusia aneh, apa pula yang ditertawakannya!” pikir Panji. 
“Sobatku, kalau kau tetap menghadang berarti kau melakukan perbuatan yang 
memalukan. Kau membantu tiga orang itu mencelakai dua temanku!” 
“Jangan bicara seenak perutmu! Yang mengejarmu bukan aku sendirian. Tapi 
manusia bermuka hijau itu juga ikut mengejar. Hanya aku tidak tahu sampai saat ini dia 
tidak muncul!” 
“Kalau kau Jngin dipermalukan apa kau mau memberi jalan agar aku segera bisa 
kembali ke lembarrbatu?” tanya Panji pula. 
“Berarti aku juga harus segera ikut ke sana!” 
“Guna membantu tiga temanmu itu?!” 
“Jangan bicara memalukan! Mereka bukan temanku! Aku ikut mereka karena diajak 
oleh Datuk Gadang Mentari, katanya aku akan dipertemukan dengan dua orang yang telah 
membunuh saudaraku yaitu Datuk Buluiawang! Kalau aku tidak ikut mereka bukankah itu 
satu hal yang memalukan? Tidak melakukan sesuatu terhadap orang-orang yang telah 
membunuh saudara sendiri?! Kalau aku dibuat malu terus-terusan apakah menurutmu lambat laun kemaluanku tidak tambah besar? Astaga aku mengatakan sesuatu yang salah! 
Sungguh memalukan! Maksudku....” 
“Sudah! Sudah! Aku mengerti maksudmu!” kata Panji sambil tersenyum. “Pasti, tentu 
saja memalukan jika tidak melakukan sesuatu atas kematian saudara yang dibunuh orang. 
Aku dapat mengerti perasaanmu. Tapi bakal memalukan lagi kalau ternyata dua orang itu 
sebenarnya bukan pembunuh saudaramu! Itu hanya akal-akalan Datuk Gadang Mentari 
saja! Mungkin dia punya maksud tertentu atau disuruh oleh seseorang yang hendak mencari 
keuntungan darimu....” 
Iblis Pemalu terdiam sesaat. Mukanya yang selalu ditutup dengan dua tangan tampak 
basah keringatan. “Agar aku tidak tambah malu, apa yang harus aku lakukan?” 
“Kau teruskan perjalananmu. Aku akan kembali ke lembah batu untuk menolong dua 
sahabatku itu!” 
“Hemm... Kalau mereka sahabatmu, adalah memalukan kalau aku tidak menganggap 
mereka sahabatku juga. Aku ikut bersamamu!” 
Panji terdiam bimbang. “Apakah orang yang kelihatannya kurang waras ini bisa 
dipercaya?” pikirnya. “Dia dijuluki Iblis Pemalu. Kalau tidak memiliki sifat jahat seperti 
iblis, tidak mungkin dia digelari seperti itu. 
“Kau malu membawa aku ke sana?” bertanya Iblis Pemalu. “Hemm.... aku tahu! 
Jangan-jangan.... Ha... ha... ha!” 
“Jangan-jangan apa?!” tanya Panji tak mengerti. 
“Kau takut aku merampas gadis cantik berbaju ungu itu! Kau telah jatuh hati 
padanya! Benar?!” 
Panji tertawa gelak-gelak. Tapi wajahnya tampak kemerahan. 
Di balik ke dua tangannya wajah Iblis Pemalu tertawa lebar. “Wajahmu merah! Pasti 
dugaanku betul! Ha... ha... ha! Dengar sobatku. Eh siapa namamu?” 
“Panji.” 
“Dengar, jika aku sudah menganggap seseorang sebagai sahabat, walau hatiku bisa 
berubah sejahat iblis tapi aku tidak akan mengkhianatinya.” 
“Terima kasih kau mau menganggapku sebagai sahabat,” kata Panji dengan perasaan 
lega. 
“Aku menduga gadis itu menyukaimu....” 
“Kau bicara memalukan saja sobatku. Pemuda yang bersamanya adalah kekasihnya!” 
kata Panji. 
“Bagaimana kau tahu?” tanya ibis Pemalu. Panji terdiam. “Nah, kau tak bisa 
menjawab. Berarti dugaanku tidak salah! Ayo lekas kita kembali ke lembah. Sebentar lagi 
hari akan gelap!” 
Iblis Pemalu putar tubuhnya lalu tinggalkan tempat itu. Kalau tadi Panji tidak 
menginginkan orang aneh itu kembali ke lembah, kini dia yang jadi mengikuti. 
Ketika sampai di lembah batu matahari telah tenggelam dan keadaan di tempat itu 
mulai gelap. Mereka tidak menemukan Wiro ataupun Anggini. Sebaliknya di tempat itu 
menggeletak mayat Datuk Gadang Mentari. Kepalanya pecah. Mukanya hancur dan 
lehernya hampir putus dijirat selendang berwarna ungu. 
“Kita datang terlambat sobatku! Memalukan sekali!” kata Iblis Pemalu.Panji hanya bisa anggukkan kepala. Dalam udara yang mulai gelap dia memandang 
berkeliling. Namun tak seorang lain pun tampak di tempat itu. Tiba-tiba Iblis Pemalu 
mendongak. 
“Aku mendengar suara seseorang merintih.... Datangnya dari arah sana. Dari balik 
batu cadas besar.... Jangan bertindak yang memalukan. Lekas kita menyelidik ke sana!” Iblis 
Pemalu berkelebat ke arah batu besar di ujung kanan lembah. Lalu terdengar suaranya 
berseru. “Sobatku Panji! Lekas kemari!” 
Panji melompat ke balik batu besar di mana Iblis Pemalu berada. Dia terkejut ketika 
menyaksikan sesosok tubuh tergeletak di tanah. Pakaiannya penuh robek. Luka berdarah 
terlihat di mana di mana-mana. 
“Anggini!” seru Panji. “Apa yang terjadi?!” 
“Sungguh memalukan!” desis Iblis Pemalu. Sepasang matanya berkilat-kilat 
memandangi sekujur tubuh Anggini. Lalu dia cepat berkata. “Panji, luka yang diderita 
sahabatmu tidak seberapa. Tapi racun yang mengendap dalam tubuhnya sangat jahat! Lekas 
kau suruh dia menelan obat ini!” 
Iblis Pemalu angkat tangan kanannya dari wajahnya. Tangan kiri masih menutupi. 
Dari kantong celana hitamnya dia keluarkan satu lipatan kertas yang segera diserahkannya 
pada Panji. “Lekas kau. masukkan semua obat itu ke dalam mulutnya. Memalukan kalau dia 
sampai menemui ajal dan kita tidak bisa menolong!” 
Panji yang telah percaya penuh pada Iblis Pemalu cepat membuka lipatan kertas di 
dalam mana terdapat sejenis bubuk berwarna kuning dan menebar bau harum. 
“Anggini, buka mulutmu. Telan obat ini....” 
“Ja... jangan perdulikart di... diriku. Tolong sahabatku Pendekar 212. Dia... dia diculik 
nenek jahat bernama Sika Sure Jelantik...” 
“Kami akan menolongnya nanti. Yang penting kau cepat telan obat ini!” kata Panji 
pula. Lalu setengah memaksa ditekannya ke dua pipi si gadis hingga mulut Anggini 
terbuka. Obat bubuk kuning yang ada dalam lipatan kertas dikucurkannya ke dalam mulut 
gadis itu. Anggini mengeluarkan suara tercekik lalu batuk-batuk. 
Panji cepat tekap mulut gadis itu hingga akhirnya obat dalam tubuhnya tertelan 
masuk ke dalam tenggorokan. Bersamaan dengan masuknya obat ke dalam perut si gadis 
langsung jatuh pingsan. 
“Anggini!” seru Panji yang jadi bingung melihat keadaan si gadis dan menyangka 
telah menghembuskan nafas terakhir, Dia berpaling pada Iblis Pemalu dan memandang 
penuh curiga. 
“Jangan khawatir. Gadis itu cuma pingan! Aku tidak melakukan sesuatu yang 
memalukan! Dengar, kau tunggu gadis itu sampai dia siuman. Aku akan coba mengejar 
nenek yang melarikan sahabatmu itu! Memalukan, sudah tua bangka masih suka-sukanya 
melarikan anak muda!” Habis berkata begitu Iblis Pemalu segera berkelebat pergi sementara 
hari merayap gelap. 
Apakah yang telah terjadi di lembah batu sepeninggalnya Panji, Iblis Pemalu dan 
Pengiring Mayat Muka Hijau? 

TIGA BELAS

Seperti dituturkan sebelumnya yang membunuh Datuk Mangkuto Kamang adalah 
Sutan Alam Rajo Di Bumi. Namun Sutan Alam kemudian mengarang cerita bahwa 
murid Dewa Tuak Angginilah yang membunuh sang Datuk disertai bukti-bukti palsu. 
Terhasut oleh fitnah itu maka Datuk Gadang mentari, kakak- kandung Datuk Mangkuto 
Kamang meninggalkan tempat kediamannya di muara sungai Siak. Sebenarnya Datuk 
Gadang Mentari sudah belasan tahun tak pernah lagi mencampuri urusan dunia persilatan. 
Dalam usianya yang telah lanjut itu dia lebih banyak bersunyi diri di tempat kediamannya. 
Apa lagi dia menderita semacam penyakit yang membuat kedua matanya sedikit demi 
sedikit keluar dari rongganya. Itu sebabnya dalam keadaan bagaimanapun orang tua ini 
terpaksa harus mendongakkan kepala agar kedua bola matanya tidak bergayut yang 
dikhawatirkannya bisa tangga! dan jatuh! 
S
Walau sudah lama tidak turun lagi ke rimba persilatan namun di kawasan timur 
pulau Andalas orang tua ini tetap dikenal sebagai salah seorang tokoh yang disegani kawan 
ditakuti lawan. Dengan demikian jelas dia memiliki kepandaian tinggi. Hari itu yang 
dihadapinya adalah seorang gadis yang meskipun masih muda belia tapi telah mendapat 
gemblengan hebat serta pengalaman luas. Ketika Sang Datuk melancarkan serangan tangan 
kosong Anggini langsung balas menghantam dengan selendang ungunya. 
 “Wuttt!” “Desss!” 
Tangan kanan Datuk Gadang beradu dengan ujung selendang ungu. Sang Datuk 
tersentak kaget dantersurut dua langkah. Mukanya yang mendongak tampak berobah 
sedang sepasang matanya bergerak cepat. Walau tangannya tidak cidera namun dari 
bentrokan tadi dia, segera maklum kalau lawannya yang masih muda itu memiliki tenaga 
dalam tinggi. Ketika menyerang lagi untuk ke dua kalinya sang Datuk tidak berani 
memukul langsung tapi kibaskan lengan jubahnya. 
Satu gelombang angin menderu ke arah Anggini. Si gadis berteriak keras dan 
melompat ke atas. Dari atas selendangnya berkelebat menyambar ke arah kepala lawan. 
Datuk Gadang Mentari lipat ke dua lututnya. Begitu selendang lewat di atas kepalanya dia 
langsung menghantam dengan dua tangan sekaligus. 
Angin laksana topan prahara menyambar tubuh Anggini. Membuat gadis ini terpekik 
kaget. Dia cepat berputar. Walau sempat mengelak namun tak urung salah satu kaki celana 
ungunya tersambar robek. Merasa mendapat angin Datuk Gadang Mentari susul dengan 
serangan berantai hingga Anggini terpaksa melompat ke atas sebuah batu cadas. 
Datuk Gadang Mentari agaknya tak mau memberi kesempatan. Beium lagi sepasang 
kaki si gadis menyentuh batu dia kembali melancarkan serangan tangan kosong-
mengandung tenaga dalam tinggi. 
“Braaakkk!” 
Batu di bawah kaki murid Dewa Tuak hancur berantakan. Anggini kelihatan agak 
gugup dan terlambat mengatur kuda-kuda. Ketika dia melompat ke kiri, salah satu kakinya 
tertekuk dan tubuhnya miring. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Datuk Gadang 
Mentari. Didahului suara menggembor, dengan kepala mendongak dia menerjang dan 
kirimkan satu tendangan kaki kanan. 
Anggini gerakkan tangan kanannya yang memegang selendang.“Wuttt!” 
Selarik sinar ungu membeset ke arah kaki Datuk Gadang Mentari yang mencari 
sasaran di kepala si gadis. Namun serangan sang Datuk ternyata hanya tipuan belaka. 
Begitu sambaran selendang yang bisa mematahkan kakinya lewat, Datuk Gadang Mentari 
teka p matanya dengan tangan kiri lalu membuat gerakan berjumpalitan dua kali. Ke dua 
kakinya mencuat ke udara. Anggini melompat mundur untuk menghindar namun tubuhnya 
tertahan oleh dinding batu cadas! Mau tak mau, satu-satunya jalan untuk selamatkan diri 
adalah melompat ke kiri atau ke kanan. 
Anggini memilih melompat ke kiri. Sayang gerakannya terlambat. Kaki kanan lawan 
memang bisa dielakkannya. Kaki itu menghantam batu cadas hingga pecah berantakan. 
Sebaliknya kaki kiri sang Datuk melesat mengikuti arah gerakan mengelak si gadis. 
“Bukkk!” 
Anggini terpekik. Tubuhnya terpental ke kanan begitu tendangan kaki Datuk Gadang 
Mentari menghantam pinggangnya. Di samping kanan telah menunggu dinding batu cadas. 
Anggini merasa seolah sekujur tubuhnya sebelah kanan hancur remuk begitu beradu keras 
dengan batu. Selendang sutera ungunya terlepas dari tangan dan jatuh ke dalam telaga kecil. 
Dia sendiri tersandar menahan sakit di dinding batu. 
Datuk Gadang Mentari dengan kepala mendongak ke langit melangkah mendatangi. 
“Anak gadis, sebenarnya aku dan gurumu si Dewa Tuak pernah bersahabat! Tapi 
dosamu keliwat besar! Aku terpaksa melupakan persahabatan itu dan membunuhmu saat 
ini sebagai batasan sakit hati atas pembunuhan yang kau lakukan terhadap saudaraku!” 
“Aku tidak membunuh adikmu!” teriak Anggini. 
Datuk Gadang Mentari keluarkan tawa mengekeh. Sekali berkelebat dia sudah berada 
satu langkah dari samping Anggini. Dua tangannya diulurkan cepat sekali dan tahu-tahu 
sudah mencekal leher si gadis! 
Anggini merasa nyawanya seolah terbang. Namun dia tidak hilang akal. Dengan siku 
tangan kirinya dihantamnya rusuk orang tua itu. 
“Kraaakk!” 
Paling tidak ada dua tulang iga Datuk Gadang Mentari yang patah. Selagi sang Datuk 
mengeluh tinggi kesakitan Anggini luncurkan dirinya masuk ke dalam telaga, dengan cepat 
mengambil selendangnya yang mengapung di air. Datuk Gadang Mentari yang walau 
mendongak dan kesakitan masih bisa mengetahui di mana (awannya berada. Tangan kiri-
nya dihantamkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Di saat yang sama, sedikit lebih 
cepat Anggini putar selendang suteranya ke arah kaki Datuk Gadang Mentari. Walau cuma 
sehelai selendang halus dan dalam keadaan basah, namun di tangan murid Dewa Tuak 
benda itu bisa berubah seperti ular atau tombak atau pentungan besi! 
Datuk Gadang Mentari terjungkal begitu kaki kirinya dihantam selendang. Di dalam 
air Anggini sudah menunggu dengan hantaman berikutnya karena mengira sang Datuk 
akan terbanting jatuh ke dalam telaga. Namun lawan berlaku cerdik. Dengan membuat 
gerakan berputar Datuk Gadang Mentari berhasil melesatkan dirinya ke kanan hingga dia 
jatuh di antara batu-batu cadas di sebelah atas telaga. Orang tua ini bergerak bangkit dengan 
cepat. Ketika dilihatnya Anggini muncul di antara dua Celah batu cadas, sang Datuk cepat 
menghantam salah satu batu di depannya. Hancuran batu berhamburan menghantam ke 
arah Anggini. Hancuran batu ini bukan sembarangan karena tidak ubahnya dengan puluhan 
senjata rahasia yang bisa membuat sekujur tubuhnya tercabik-cabik Secepat kilat Anggini jatuhkan diri ke tanah. Walau gerakannya sudah demikian 
cepat namun masih ada hancuran batu yang merobek pakaian dan melukai tubuhnya. 
Bahkan beberapa diantaranya menggores kening dan pipinya hingga menimbulkan luka 
berdarah. 
Datuk Gadang Mentari bangkit berdiri lebih dulu dari Anggini. Justru inilah 
kesalahannya. Sebelum dia melancarkan satu tendangan mematikan ke arah kepala si gadis, 
murid Dewa Tuak hantamkan selendangnya ke bawah perut sang Datuk. Jubah hitam 
belang putih Datuk Gadang Mentari robek besar. Dari sela robekan kelihatan darah 
mengucur. Sang Datuk terjajar mundur. Kepalanya masih mendongak namun tersentak-
sentak. 
“Gadis jahanam! Terima kematianmu!” Datuk Gadang Mentari kebutkan lengan 
jubahnya sebelah kiri. Terdengar suara bersiur disusul melesatnya tiga buah benda terbuat 
dari besi hitam berujung tiga. Seumur hidupnya baru dua kali Datuk Gadang Mentari 
mengeluarkan senjata rahasia beracun itu. Yaitu pada keadaan sangat terdesak dimana dia 
tak sanggup lagi menghadapi lawan. Ini adalah kali ke tiga dia terpaksa mengeluarkan 
senjata itu untuk menyerang lawannya. 
Anggini tak tinggal diam. Dengan tangan kirinya dia mengeruk ke dalam sebuah 
kantong kecil di balik pinggangnya. Ketika tangannya melesat keluar maka setengah lusin 
paku terbuat dari perak putih berukuran panjang setengah jengkal berkiblat berkilauan 
dalam udara yang mulai menggelap. 
“Traang... trang... trang!” 
Sembilan senjata rahasia berdentrangan di udara disertai memerciknya bunga api. 
Selagi Datuk Gadang Mentari terkesiap kecut melihat tiga senjata rahasianya dikepung dan 
dibuat mental oleh enam senjata rahasia lawan, Anggini bergerak menyusup lancarkan 
serangan. Selendang ungu di tangan kanannya melesat ke udara lalu berputar dan se-
terusnya laksana seekor kepala ular mematuk ke bawah dua kali berturut-turut. Inilah jurus 
yang disebut Memecah Angin Memukul Matahari Menghancurkan Rembulan! 
“Praaakk!” 
“Praaakk!” 
Datuk Gadang Mentari keluarkan pekik keras. Darah mengucur dari kepalanya yang 
pecah dan mukanya yang hancur. Sepasang matanya mencelat mental entah ke mana. Walau 
cidera berat demikian rupa namun Datuk Gadang Mentari tak segera mati. Terhuyung-
huyung dia melangkah menghampiri Anggini. Dua tangan diulurkan seolah hendak men-
cekik. Ngeri dan juga khawatir lawan masih memiliki ilmu simpanan yang bisa 
mencelakainya, murid Dewa Tuak kembali gerakkan tangan kanannya yang memegang 
selendang. Senjata andalan si gadis melesat deras, laksana seekor ular menggelung leher 
Datuk Gadang Mentari! 
Anggini putar pergelangan tangannya. Gerakannya membuat jiratan selendang 
mengencang dan “kraakk!” Tulang leher Datuk Gadang Mentari hancur. Kepalanya miring 
ke kiri. Nafasnya terhenti. Nyawanya melayang! 
Belum lagi sempat Anggini melepaskan jiratan selendangnya dari leher si Datuk tiba-
tiba ada siuran angin di belakangnya. Lalu “bukk!” 
Satu hantaman keras mendera punggung Anggini hingga murid Dewa Tuak ini 
terpekik dan mencelat sampai dua tombak lalu terhampar di tanah. 
“Pengecut pembokong!” teriak Anggini dan «cepat berdiri.Di belakangnya terdengar suara orang tertawa mengekeh! 
* *

EMPAT BELAS


Anggini berpaling. Dalam menahan sakit pada punggungnya gadis ini tersurut kaget. 
Di hadapannya tegak si nenek Sika Sure Jelantik dengan rambut awut-awutan dan 
jubah robek. Dia memanggul sesosok tubuh yang ketika diperhatikan si gadis 
membuat dirinya tercekat. Yang dipanggul oleh perempuan tua itu ternyata adalah 
Pendekar 
A
212 Wiro Sableng. 
“Apa yang terjadi dengan Wiro. Pingsan, dalam keadaan tertotok atau...? Kulihat 
pakaian putihnya robek dan hangus.” Habis membatin begitu murid Dewa Tuak ini 
langsung membentak. 
“Tua bangka pembokong keji. Ternyata kau bukan cuma seorang pengecut. Tapi juga 
penculik busuk! Apa yang kau lakukan terhadapnya?!” 
Si nenek tertawa panjang. “Kau begitu mengkhawatirkan dirinya! Apa kau 
mencintainya?! Hik... hik... hik!” 
“Jangan bicara hgacok! Lekas lepaskan pemuda itu!” Hardik Anggini. 
“Percuma kau memperhatikan dirinya. Apa kau tak tahu kalau dia dicintai oleh 
seorang gadis berwajah secantik bidadari?! Nasibmu buruk.... Hik... hik... hik!” 
Walaupun wajahnya menjadi merah dari dadanya berdebar namun dalam keadaan 
seperti itu Anggini tidak terlalu memperhatikan ucapan Sika Sure Jelantik, Hantaman si 
nenek yang dilakukan secara membokong pada punggungnya membuat sekujur tubuhnya 
terasa sakit. Tapi dia bersedia bertekad mati demi menyelamatkan Wiro. Secepat kilat 
Anggini mengeruk kantong senjata rahasianya. 
Enam buah paku berdesing di kegelapan. Membuat Sika Sure Jelantik terkejut dan 
hentikan tawanya. 
“Gadis sialan! Dari senjata rahasiamu aku bisa menduga siapa kau adanya! Gurumu 
dan guru pemuda ini masih satu komplotan! Jadi jangan kira aku tidak tega membunuhmu! 
Terima kematianmu!” 
Habis berkata begitu si nenek gerakkan tangan kirinya. Lima sinar hitam menderu ke 
arah Anggini. Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut Kilat Kuku Akhirat. Sebenarnya si 
nenek memiliki ilmu yang sama namun berdaya kekuatan jauh lebih dahsyat yang disebut 
Jalur Hitam Bara Dendam. Namun pukulan sakti Jalur Hitam Bara Dendam itu hanya akan 
dikeluarkannya untuk membunuh Tua Gila. Lagi pula dia menganggap dengan pukulan 
Kilat Kuku Akhirat sudah cukup bagi si gadis untuk meregang nyawa karena selama ini 
belum ada musuh yang sanggup bertahan. 
Melihat enam paku peraknya yang dilemparkan dengan tenaga dalam tinggi mental 
berpatahan Anggini segera maklum kalau lima jalur sinar hitam pukulan sakti yang 
dilepaskan si nenek tidak bisa dibuat main. Serta merta gadis ini jatuhkan diri. Dua jalur 
sinar hitam masih sempat melabrak pita di kepala dan bagian bahu baju ungu murid Dewa 
Tuak. 
Gadis ini memekik keras. Tubuhnya terbanting ke tanah. Nyawanya serasa terbang. 
Dia tak berani bergerak ketika si nenek melangkah mendekatinya. 
Untung saja Anggini terjatuh di bawah bayang-bayang gelap sebuah batu besar 
hingga si nenek tidak bisa melihat jelas. Mengira Anggini sudah menemui ajalnya Sika Sure

Jelantik segera tinggalkan lembah batu itu dengan memboyong Pendekar 212 di bahu 
kirinya. 
Sebelumnya telah terjadi perkelahian hebat antara Wiro dengan si nenek. Walau tidak 
lagi memiliki kepandaian silat serta tenaga dalam namun ilmu tidur yang diberikan Si Raja 
Penidur serta Jubah Kencono Geni yang dikenakannya membuat Wiro sanggup bertahan 
sampai dua puluh jurus walau untuk itu dia dibuat babak belur dan megap-megap 
kehabisan nafas serta tenaga. 
Sika Sure Jelantik dua kali melepaskan pukulan Kuku Kilat Akhirat. Sekujur baju 
putih yang dikenakan Wiro tampak robek hangus dan setiap menerima pukulan itu tubuh 
Wiro terpental sampai tiga tombak. Asap mengepul.dari tubuhnya! Tapi sungguh 
mengherankan si nenek, pemuda itu sama sekali tidak menemui ajalnya. Dari marah Sika 
Sure Jelantik berubah menjadi heran. Dari rasa heran ini timbullah rasa ingin tahu. 
“Heran, kesaktian apa yang dimiliki si gondrong bertampang tolol ini! Jelas aku lihat 
dia sudah babak belur. Tapi pukulan saktiku sama sekali tak sanggup membunuhnya! Aku 
harus menyelidiki! Aku harus mendapatkan ilmu yang dimilikinya itu! Kalau muridnya 
punya ilmu sehebat ini, jangan-jangan Tua Gila juga membekal ilmu yang sama! Heran, 
bagaimana dalam waktu singkat pemuda tolol ini bisa sehebat ini?!” 
Memikir sampai di situ, Sika Sure Jelantik ham-piriWi.ro yang tergeletak di tanah. 
“Kau ingin membunuhku, lakukan cepat!” kata Wiro tanpa rasa takut seolah sudah 
pasrah menghadapi kematian. 
“Nyalimu boleh juga anak muda! Tidak, jangan kawatir. Aku tak ingin 
membunuhmu cepat-cepat....” 
“Kalau kau mengharapkan keterangan tentang guruku, walau lidahku kau copot aku 
tak akan memberi tahu!” 
“Hemmm.... Kau memang murid yang pantas dipuji! Haik... hik!” Dua jari tangan kiri 
Sika Sure Jelantik bergerak cepat ke arah pangkal leher Wiro. Saat itu juga Pendekar 212 
tenggelam dalam totokan yang membuatnya tak mampu bergerak ataupun bicara! 
Si nenek segera menyambar tubuh Wiro, me-, letakkannya di atas bahu lalu 
berkelebat pergi dari tempat itu. 
Tak lama setelah si nenek kabur Panji dan Iblis Pemalu muncul kembali di lembah 
batu yang ada telaganya itu. Mereka berhasil menemukan Anggini. Setelah memberikan 
obat dan meminta Panji menjaga serta merawat gadis itu, Iblis Pemalu segera pergi untuk 
mengejar Sika Sure Jelantik yang sesuai keterangan Anggini telah melarikan Pendekar 212. 
Iblis Pemalu berlari dengan satu tangan menutupi wajahnya. Tidak mudah untuk 
mencari jejek Sika Sure Jelantik. Selain hari telah gelap dia juga tidak mengetahui ke arah 
mana si nenek melarikan Wiro. 
Ternyata si nenek melarikan Wiro ke arah timur. Meskipun malam begitu gelap dan 
jalan yang ditempuh terhalang oleh pepohonan serta berkelok-kelok namun dia mampu 
berlari dengan cepat. Pertanda dia mengenali betul seluk beluk kawasan itu. Sesampainya di 
satu pedataran tinggi Sika Sure Jelantik langsung mendaki ke lereng timur. Di satu tempat di 
mana terdapat sebuah gubuk tanpa dinding si nenek hentikan larinya. Tubuh Wiro yang 
berada dalam keadaan tertotok dilemparkannya begitu saja ke tanah. 
“Pendekar 212! Aku memberi kesempatan padamu sampai matahari terbit! Kalau 
sampai saat itu kau tidak mau memberitahu dimana gurumu si Tua Gila berada maka 
tamatlah riwayatmu! Apa jawabmu?!” Si nenek membungkuk lalu menotok leher Wiro membuka jalan suaranya. “Kau tidak tuli! Kau mendengar apa yang barusan aku ucapkan! 
Ayo jawab!” 
Setelah menguap lebar-lebar baru Wiro menjawab. 
“Kau sudah tahu apa jawabku! Aku tidak tahu dimana orang tua itu berada. 
Kalaupun tahu tak bakal kukatakan!” 
“Bagus! Murid dan guru sama saja! Sama-sama keras kepala! Kau sudah menentukan 
kematianmu sebelum marahari terbit besok pagi-pagi buta!” 
“Aku tidak takut mati! Sekarangpun kalau kau mau membunuh silahkan!” jawab 
Wiro. 
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. “Aku memang tidak akan membunuhmu cepat-
cepat. Biar rasa takut menggerogoti dirimu! Biar kau tersiksa sebelum mampus! Jangan 
mengharap ada yang bakal menolongmu! Kalaupun gadis berbaju biru berwajah seperti 
bidadari kekasihmu itu muncul meminta pengampunan untuk ke dua kali bagimu, jangan 
harap aku bakal mengabulkan!” Yang dimaksud si nenek adalah Bidadari Angin Timur. 
“Nek, kurasa kau adalah manusia paling tidak berbudi dan paling tidak bersyukur di 
muka bumi ini!” 
“Jahanam! Lancang betul mulutmu! Apa maksudmu hah?!” 
“Ketika kau bercinta dengan gurukupaling tidak kau telah merasakah kebahagiaan 
hidup! Kalau kemudian kalian tidak berjodoh apa itu salah Tua Gila? Tidak! Juga bukan 
salahmu Nek! Kejadiannya sudah lewat puluhan tahun lalu. Di usia tua seperti ini apa 
bukan lebih baik kalian berbaik-baik saja? Dengan -bersikap garang dan terus mendesak 
guruku apa yang bakal kau dapat?!” 
“Kalau dia mampus di tanganku aku merasa puas selangit!” jawab Sika Sure Jelantik. 
“Belum tentu. Rasa puasmu mungkin hanya sesaat. Setelah itu kau mungkin akan 
dirundung penyesalan sampai malaikat maut memanggilmu masuk ke liang kubur!” 
“Anak setan! Kau pandai bicara! Siapa bakal menyesal atas kematian manusia 
terkutuk seperti gurumu itu?!” 
“Nek, aku jauh lebih muda darimu. Katkanlah aku hijau dalam pengalaman. Tapi aku 
percaya pada satu ujar-ujar yang berkata begini. Kita baru menyadari betapa berartinya 
seseorang bagi kita setelah dia tidak ada lagi. Kuharap hal itu tidak terjadi dengan dirimu 
Nek!” 
Sesaat mulut Sika Sure Jelantik jadi terkancing mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. 
Hatinya tercekat. Hanya sepasang matanya yang memandang tak berkesip pada Wiro. 
Apakah ada kebimbangan kini menyeruak dalam dirinya? Ternyata tidak. Tiba-tiba dia 
membentak keras. 
“Jangan kira aku akan terpengaruh oleh ucapan-ucapanmu! Keputusanku tidak 
berubah! Aku akan membunuhmu besok pagi sebelum matahari terbit!” 
“Terserah padamu! Aku capek bicara denganmu! Lebih baik aku tidur saja!” Wiro 
lalu menguap lebar-lebar. 
Sika Sure Jelantik jadi jengkel penasaran dan merasa seolah diejek. Dia membungkuk 
memperhatikan sosok Pendekar 212. 
“Dia mampu menahan pukulan Kilat Kuku Akhirat sampai dua kali. Berarti dia 
memiliki ilmu kebal luar biasa. Aku harus memeriksanya. Mungkin dia punya semacam 
jimat. Aku harus mendapatkan jimat itu! Hemmm....”Si nenek pergunakan ke dua tangannya meraba-raba tubuh Wiro. Dia menyentuh 
sebuah benda keras di balik pinggang si pemuda. Ketika pakaian putih Wiro yang hancur 
hangus disibakkannya dia melihat Kapak Maut Naga Geni 212 terselip di pinggang pemuda 
ini. 
“Hemmm, senjata ini perlu aku amankan dulu...” kata si nenek lalu kapak bermata 
dua itu ditariknya dan diletakkan di tanah. 
“Kau merabai tubuhku, mengambil senjataku! Ternyata kau seorang tua bangka yang 
masih menyimpan nafsu kotor! Ini membuktikan bagaimana pun buruknya sifat Tua Gila, 
dia jauh lebih baik darimu!” 
“Plaaaakkk!” 
Sika Sure Jelantik layangkan satu tamparan keras hingga darah mengucur dari sudut 
mulut Pendekar 212. 
Gilanya yang ditampar malah menguap lebar-lebar. Hal ini membuat si nenek 
penasaran setengah mati. 
“Kau tidak mengerang kesakitan! Bagus! Apa kau mau kutampar sekali lagi sampai 
mukamu ku-bikin memar?!” 
Murid Sinto Gendeng menyeringai. Si nenek kembali merabai tubuh Wiro. Saat itulah 
dalam gelap dia menyadari dan melihat bahwa di balik pakaian putihnya Wiro mengenakan 
satu pakaian berwarna merah. Si nenek dekatkan wajahnya meneliti. “Pakaian bagus, 
terbuat dari beludru merah. Ada renda-renda kuning emas. Aneh! Pakaian ini tidak cidera 
oleh pukulan saktiku! Jangan-jangan...” 
“Breeett! Breettt!” 
Sika Sure Jelantik tanpa pikir panjang segera merobek baju putih Wiro. Ketika dia 
hendak menanggalkan pakaian merah yang dikenakan si pemuda yang bukan lain adalah 
jubah sakti Kencono Geni pemberian Si Raja Penidur mendadak ada suara tertawa cekikikan 
di belakangnya. 
“Setahuku lelaki yang suka menelanjangi perempuan! Sekarang malah terbalik! Ada 
nenek-nenek hendak membugili seorang pemuda! Dunia sudah terbalik rupanya! Hik... 
hik... hik!” 
Sika Sure Jelantik tersentak kaget. Dia berpaling ke arah datangnya suara tadi. 
Namun dia tidak melihat siapa-siapa! 
* *


TAMAT 

Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com


Episode berikutnya : 

JAGAL IBLIS MAKAM SETAN 

Hak cipta dan copyright milik Alm. Bastian Tito 
Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia 
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek dibawah nomor 004245 
“Mengenang Alm. Bastian Tito” 
Pengarang Wiro Sableng 
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive