SATU
Walau saat itu menjelang tengah hari namun puncak Gunung Gede diselimuti
Kegelapan mencekam. Langit hitam kelam ditebali awan hitam mendung
gulung. Angin bertiup kencang mengeluarkan suara aneh. Suara deru hujan
ras seolah langit koyak terbelah. Udara sangat dingin membungkus puncak
gunung. Ditambah dengan gelegar guntur yang sesekali ditimpali sambaran petir membuat
suasana benar-benar menggidikkan.
Di tepi sebuah telaga yang terletak di puncak timur Gunung Gede, dua sosok tubuh
tampak duduk bersila di tanah yang becek. Sepasang lengan dirangkapkan di depan dada.
Mereka tidak bergerak sedikitpun seolah telah berubah menjadi patung tanpa nafas. Sekujur
tubuh ke dua orang ini basah kuyup mulai dari rambut sampai ke kaki. Hawa dingin luar
biasa membuat tubuh mereka sedingin es! Dua orang ini tidak sedang bersamadi atau
bertapa karena sepasang mata mereka memandang tak ber-kesip ke tengah telaga yang
airnya mengeluarkan riak seolah mendidih dan mengepulkan asap putih.
Orang di sebelah kanan adalah seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih.
Wajahnya tampan dan memiliki sepasang mata besar dengan pandangan tajam tak berkesip
menyorot ke arah telaga. Di samping kiri si pemuda duduk tak bergerak seorang dara
berpakaian biru muda, berparas cantik dan berkulit hitam manis. Di pinggangnya melilit
ketat sehelai selendang merah hingga pinggangnya tampak ramping dan pinggulnya
mencuat bagus. Gadis ini memiliki rambut panjang sepinggang yang dijalin lalu
dilingkarkandi atas kepala. Seolah hiasan, jalinan rambut ini menambah kecantikan
wajahnya.
Sulit diduga apa yang tengah dilakukan sepasang muda mudi itu. Mereka tetap tak
bergerak dan tak berkesip walau hujan terus mendera, hawa dingin mencucuk, guntur
menggelegar dan kilat membuat darah berulang kali tersirap.
Tiba-tiba si pemuda tampak membuat gerakan. Perlahan sekali kepalanya
dipalingkan ke kiri ke arah gadis berpakaian biru. Sesaat dipandanginya gadis itu. Mulutnya
bergerak sedikit seperti hendak mengucapkan sesuatu. Namun tak ada suara yang keluar.
Orang yang dipandangi tetap diam tak bergerak. Si pemuda sesaat menjadi bimbang.
Akhirnya dia memutar kepala, memandang kembali ke arah telaga. Tapi dia seperti tidak
dapat memusatkan perhatian lebih lanjut. Tak selang berapa lama kembali dia menoleh ke
kiri, pandangi gadis cantik di sebelahnya itu. Mulutnya bergerak namun tetap saja tak ada
suara yang keluar. Hanya di dalam hatinya si pemuda membatin. “Air mukanya jelas masih
membayangkan marah dan dendam. Dia pasti tetap tak akan mau bicara denganku. Tapi
kalau aku tidak bicara bisa-bisa lebih salah kaprah.... Hemmm. Bagaimana aku harus
memulai. Hatinya sekeras batu, sikapnya segarang harimau betina....”
Kilat menyambar. Sekilas puncak Gunung Gede terang benderang. Guntur
menggelegar seperti merobek telinga dan menghancurkan jantung. Air telaga tampak beriak
keras dan kepulan asap semakin tebal bergulung ke udara. Cahaya kilat lenyap dan tempat
itu kembali dibungkus kegelapan.
“Aku harus bicara! Terserah dia mau marahi” Pemuda berwajah tampan ambil
keputusan. Dia menarik nafas dalam lebih dulu seolah berusaha mempertabah diri. Lalu
terdengar suaranya menegur diantara deru hujan dan tiupan angin
“Sinto, apa kita tidak salah menghitung hari? Jangan-jangan kita datang terlambat
atau terlalu cepat....”
Si pemuda menunggu. Tapi orang yang ditanya jangankan menjawab. Bergerak
sedikitpun tidak. Bahkan dua matanya yang tajam bagus terus saja memandang ke tengah
telaga tanpa berkedip.
“Sinto, kau mendengar pertanyaanku. Harap kau suka menjawab dan sementara
melupakan dulu apa-apa yang menjadi ganjalan di hatimu....” Pemuda gagah di sebelah
kanan si gadis kembali membuka suara.
Gadis yang diajak bicara tetap membungkam seribu bahasa. Hujan dan angin terus
berkecamuk. Kegelapan dan hawa dingin semakin mencekam.
“Sinto Weni kalau kau....”
“Aku tak pernah salah memperhitungkan segala sesuatu dalam hidupku. Satu-
satunya kesalahan adalah kesalahan memperhitungkan dirimu....”
Kata-kata yang tiba-tiba keluar dari mulut si gadis walaupun diucapkan secara
lembut tapi membuat wajah pemuda tampan di sebelahnya menjadi berubah. Untuk
beberapa lamanya dia terdiam dengan mulut ternganga.
“Sinto Weni adikku....”
“Suaramu tidak sedap masuk ke telingaku. Kalau kau tak mau berhenti bicara lebih
baik segera saja angkat kaki dari tempat ini...,”
Si pemuda menggigit bibirnya sendiri. “Hatinya bukan saja sekeras batu tapi juga
sepanas bara. Tak mungkin aku membujuknya. Dari pada urusan jadi panjang memang
lebih baik aku pergi saja. dari sini....”
“Sinto, terus terang aku memang tidak mengharapkan warisan apa-apa dari kiai Gede
Tapa Pamungkas. Hanya sebagai murid aku harus patuh. Itu sebabnya aku datang ke sini
sesuai pesan Kiai beberapa tahun lalu. Kalau kau tidak menginginkan kehadiranku di sini
mungkin memang benar aku harus angkat kaki dari tempat ini. Selamat tinggal Sinto.
Urusan di antara kita pasti ada saat penyelesaiannya.... Satu hal perlu kau ketahui. Hatiku
tidak sejahat yang kau duga. Hanya memang mungkin imanku setipis embun di permukaan
daun. Mudah sirna terkena cahaya sang surya....”
Habis berkata begitu si pemuda siap bergerak bangkit. Bagi si gadis apa yang
dikatakan pemuda itu sama sekali tidak ada pengaruhnya. Dia tetap tak bergerak danterus
menatap ke arah telaga.
Tiba-tiba petir menyambar. Guntur menggelegar. Puncak Gunung Gede bergetar
hebat. Si pemuda yang hendak berdiri jatuh terduduk di tanah becek. Tapi hatinya telah
bulat, tekadnya telah tetap. Dia kembali bangkit berdiri. Namun sekali lagi gerakannya
tertahan.
Mendadak di kejauhan terdengar suara orang menyanyi. Demikian halus lembut
suara itu hingga sulit diketahui apakah yang menyanyi seorang lelaki atau seorang
perempuan.
Hari pertemuan datang sudah
Dua warisan akan muncul di dunia
Benda mati akan membawa manusia
Memilih jalan lurus atau jalan sesat
Memilih sorga atau dunia maksiat
Karena itu manusia diberi otak untuk berpikir
Diberi hati untuk menimbang
Manusia harus menguasai benda
Bukan benda yang harus menguasai manusia
Kalau warisan sudah berbagi
Saat berpisah datang sudah.
Baru saja suara nyanyian sirap tiba-tiba kilat menyambar. Laksana sebilah pedang
raksasa yang menderu dari atas langit, kilat menghantam pertengahan telaga. Air telaga
berobah menjadi panas, mencuat sampai puluhan tombak! Puncak Gunung Gede laksana
dilanda gempa ketika guntur menyusul menggelegar. Sepasang muda-mudi yang duduk di
tepi telaga merasa ada hawa aneh keluar dari tanah lalu menjalar masuk ke dalam tubuh
masing-masing. Keduanya tampak bergetar hebat dan terhuyung-huyung. Mereka kerahkan
tenaga agar tidak terbanting roboh ke tanah.
Sambaran kilat lenyap. Suara gema guntur sirna. Air telaga beriak tenang kembali
seperti semula. Dua orang di tepi telaga masih belum lenyap rasa kejut masing-masing.
Wajah mereka masih kelihatan pucat. Dalam keadaan seperti itu sekonyong-konyong
terdengar suara bergemuruh di dalam telaga. Lalu seolah ada satu kekuatan dahsyat air di
pertengahan telaga muncrat setinggi lima tombak. Bersamaan dengan itu dari dalam telaga
mencuat muncul sosok tubuh seorang tua berselempang kain putih.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas!”
Pemuda dan gadis di tepi telaga sama-sama keluarkan seruan. Keduanya lalu
membungkuk dalam-dalam memberi penghormatan.
Orang tua berselempang kain putih yang dipanggil dengan sebutan Kiai Gede Tapa
Pamungkas seolah berdiri di atas air. Kepulan asap putih berhawa dingin membuat sosok
dan wajahnya tampak samar. Orang tua ini memiliki rambut putih panjang menjulai yang
bukan saja menutupi kepala dan punggungnya tapi juga sebagian wajahnya. Selain dari itu
kumis alis dan janggutnya yang putih panjang ikut menyembunyikan mukanya.
Ada beberapa keanehan menyertai kemunculan Kiai Gede Tapa Pamungkas ini.
Pertama dia muncul dari dalam telaga. Apakah dia memang diam dalam telaga itu?
Manusia mana yang mampu hidup dalam air? Ke dua dia bisa berdiri di atas air telaga me-
rupakan satu kepandaian yang sukar dijajagi. Lalu keanehan ke tiga, walau saat itu hujan
terus mendera dan barusan dia keluar dari dalam air telaga namun baik tubuh, rambut
maupun pakaian Kiai Gede Tapa Pamungkas sama sekali tidak basah! Baik si pemuda
maupun gadis bernama Sinto Weni sebelumnya tidak pernah melihat kemunculan dan
penampilan Kiai Gede Tapa Pamungkas begini hebat!
“Murid-muridku apakah kalian berdua sudah lama menunggu?!” Sang Kiai ajukan
pertanyaan. Sampai saat itu dia tetap tidak beranjak dari pertengahan telaga sementara
cuaca tetap pekat mengetam.
“Kami belum berapa lama berada di tempat ini Kiai,” menjawab si pemuda.
“Kalau Kiai yang memerintah apapun akan kami lakukan. Berapa lamapun
menunggu akan kami nantikan,” berkata Sinto Weni.
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Aku tahu kalian sudah lima hari menunggu
di tepi telaga. Tanpa makan tanpa minum. Kehujanan dan kedinginan. Murid-muridku,
Tuhan menjadikan hidup manusia ini tidak mudah. Cobaan dan ujian datang silih berganti
dalam berbagai bentuk. Tuhan tidak ingin menyusahkan umat-Nya. Semua cobaan dan
ujian itu justru untuk membuat manusia menjadi tabah dan berani menghadapi tantangan.
Hanya dengan ketabahan dan keberanian berdasarkan kebenaran manusia menyadari apa
artinya hidup ini. Ujian dan cobaan yang kalian alami selama lima hari ini hanya sejumput
kecil dari padang luas rimba percobaan. Banyak lagi ujian, cobaan dan tantangan yang kelak
akan kalian hadapi. Untuk semua itu sandarkan keberanian dan kekuatan kalian pada
kekuatan dan perlindungan Yang Maha Kuasa. Karena hanya keberanian dan kekuatan
Tuhanlah yang maha benar dari semua kebenaran. Murid-muridku, Sinto Weni dan Sukat
Tandika apakah selama empat tahun tidak bertemu kalian berdua ada baik-baik saja?”
“Berkat doa Kiai dan perlindungan Yang Maha Kuasa kami ada baik-baik saja. Walau
empat tahun tidak terlalu lama namun kami merasa mulai mengenal apa artinya hidup dan
apa artinya dunia persilatan....” Yang menjawab adalah pemuda bernama Sukat Tandika.
Sinto Weni sang dara berkulit hitam manis hanya berdiam diri memandang ke tengah telaga
tepat pada arah sepasang kaki sang Kiai.
Di tengah telaga, Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Sambil melirik pada
muridnya yang bernama Sinto Weni dia kembali ajukan pertanyaan. “Murid-muridku apa
kalian berdua ada baik-baik saja selama empat tahun ini?”
“Kami... kami berdua ada baik-baik saja Kiai,” akhirnya si gadis menjawab.
“Bagus kalau begitu,” ujar Kiai Gede Tapa Pamungkas sambil anggukkan kepala
walau sebenarnya dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan murid perempuannya ini.
“Sinto Weni dan Sukat Tandika. Empat tahun kalian terjun ke dalam rimba persilatan bukan
satu waktu yang lama. Tidak dapat dijadikan ukuran apakah kalian telah mampu menjadi
pendekar-pendekar yang dihormati dan disegani. Namun aku sudah menyirap kabar bahwa
ilmu Pukulan Sinar Matahari yang kuwariskan padamu Sinto Weni telah membuat geger
dunia persilatan. Lalu aku juga mengetahui bahwa ilmu silat tangan kosong yang kau dapat
dariku Sukat Tandika telah membuat orang-orang golongan hitam menjadi mati kutu.
Seperti yang pernah aku katakan dulu, hari ini adalah hari pertemuan yang dijanjikan. Hari
ini adalah hari dua warisan akan kuserahkan pada kalian. Dan hari ini pula kita akan
berpisah untuk selama-lamanya. Entah kalau Tuhan masih mengijinkan bagi kita bertemu.
Adapun bentuk warisan yang akan kuberikan pada kalian, akan kalian lihat sendiri nanti.
Suka atau tidak suka kalian harus menerimanya sebagai kenyataan. Karena dua benda
warisan itu hanyalah titipan anak cucu kalian yang harus dipergunakan untuk
menyelamatkan dunia persilatan dari segala macam angkara murka. Waktuku pendek, aku
tak mungkin bicara terlalu banyak. Harap kalian tetap duduk di tempat masing-masing.
Jangan bicara kalau aku tidak mengajak bicara. Jangan bergerak kalau tidak aku suruh!”
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu kembangkan ke dua tangannya
ke samping. Bersamaan dengan itu terdengar, suara menggemuruh yang datang dari dua
arah di dasar telaga. Lalu air telaga di kiri kanan si orang tua mencuat setinggi sepuluh
tombak. Anehnya air yang melesat ke udara itu tampak mengeluarkan tiga warna yakni
putih, merah dan biru. Bersamaan dengan mencuatnya air telaga di dua tempat, mendadak
tiupan angin semakin kencang dan hujan mendera bertambah keras!
Sinto Wenidan Sukat Tandika merasakan jantung masing-masing berdebar keras.
Mata mereka dibuka lebar-lebar ketika ada suara mendesir di dalam telaga- Lalu dua buah
kepala mencuat ke permukaan air. Sepasang muda-mudi ini kalau tidak ingat pesan guru
mereka tadi, niscaya saat itu sudah tersurut ke belakang atau keluarkan seruan tertahan
ketika melihat dua makhluk yang keluar dari dalam telaga!
*
* *
DUA
Dua makhluk yang muncul di permukaan air telaga di kiri kanan Kiai Gede Tapa
Pamungkas ternyata adalah dua ekor ular besar bermata merah, satu jantan satu
betina, memiliki lidah terbelah yang menjulur panjang serta gigi dan taring besar
runcing. Di atas kepala sebelah depan ada sebentuk mahkota putih bertabur batu-batu yang
memantulkan sinar berkilauan. Di bagian kepala sebelah belakang tampak sebentuk tanduk
berwarna hijau.
D
“Ular naga...” desis pemuda bernama Sukat Tan-dika dalam hati. “Setahuku binatang
ini hanya ada dalam dongeng. Apa yang kulihat ini ular naga sungguhan atau hanya
makhluk jejadian ciptaan kepandaian Kiai Gede Tapa Pamungkas?
Kalau si pemuda berpikir seperti itu maka lain halnya dengan gadis bernama Sinto
Weni. Dalam hati gadis ini bertanya-tanya. “Permainan apa yang hendak diperlihatkan Kiai
padaku? Apa ular raksasa ini yang hendak diwariskannya padaku? Celaka!”
Di tengah telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas mendongakkan ke langit. Dua
tangannya diangkat sebatas dada dengan telapak membuka menghadap ke atas. Dia seperti
tengah membaca sesuatu. Dua ekor naga besar bergulung-gulung di sebelah kiri dan kanan
tubuhnya. Tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas rentangkan ke dua tangannya kembali ke
samping. Bersamaan dengan itu dia jentikkan jari-jari tangannya kiri kanan. Mendengar
suara jentikan dua ekor ular naga susupkan kepala ke dalam air telaga sementara di sebelan
sana air telaga tiga warna terus mencuat di dua tempat.
Sekali lagi Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan jari-jari tangan kiri kanan. Terdengar
suara menggemuruh ketika dua naga munculkan lagi kepala di permukaan air telaga. Kali
ini di dalam mulut masing-masing mereka menggigit sebuah benda.
Ular naga sebelah kanan yakni ular naga yang jantan mengigit sebuah benda
berbentuk kapak yang memiliki dua mata. Kapak ini bergagang putih kekuningan terbuat
dari gading. Bagian ujung gagang berbentuk ukiran kepala naga jantan dan ada enam buah
lobang kecil seperti lobang seruling. Pada dua mata kapak yang memancarkan sinar
berkilauan itu tertera tiga buah angka. 212.
Dalam mulut ular naga kedua yaitu yang betina ada sebuah benda berbentuk seperti
gulungan ikat pinggang berwarna putih, memiliki ujung berbentuk kepala naga sama
seperti gagang kapak yang ada di mulut naga satunya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas kembali jentikkan dua tangannya kiri kanan. Dua ular
naga kibaskan ekor masing-masing dengan keras hingga air telaga muncrat tinggi. Lalu
binatang ini rundukkan kepala dan meluncur menuju tepi telaga di mana Sinto Weni dan
Sukat Tandika duduk bersila tanpa berani bergerak ataupun keluarkan suara. Namun sekali
ini begitu dua ular naga meluncur ke arah mereka walau mereka tetap mampu bertahan
tanpa keluarkan suara tanpa bergerak rasanya saat itu nyawa masing-masing sudah
melayang terbang!
Di tepi telaga dua ular naga jantan dan betina letakkan senjata berbentuk kapak dan
gulungan benda putih di hadapan Sinto Weni dan Sukat Tandika. Untuk beberapa lamanya
binatang ini menjilati dua benda itu. Lalu keduanya perlahan-lahan meluncur mundur
kembali ke dalam telaga.Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan lagi jari-jari tangannya. Dua ular naga luruskan
badan masing-masing laksana tonggak lalu dongakkan kepala. Dari mulut mereka keluar
suara raungan aneh, terdengar antara lolongan srigala dan ringkik kuda, membuat
merinding Sinto Weni dan Sukat Tandika. Sang Kiai kembali menjentik. Saat itu juga sosok
tubuh sepasang naga perlahan-lahan meluncur turun ke dalam air hingga akhirnya lenyap
dari pemandangan.
“Murid-muridku.... Dua warisan telah berada di hadapan kalian. Sebelum aku
meminta kalian untuk memilih sendiri mana yang kalian sukat, aku akan perlihatkan
kepada kalian kehebatan dua benda itu.”
Di tengah telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas angkat kedua tangannya, diarahkan
pada dua benda yang ada di tepi telaga. Ketika dua tangannya disentakkan ke atas, senjata
berbentuk kapak bermata dua melesat ke udara mengeluarkan suara aneh seperti ribuan
tawon terbang mengamuk. Dari dua mata kapak memancar sinar putih laksana perak. Sinar
ini bukan saja sangat menyilaukan tapi sekaligus menghamparkan hawa panas luar biasa.
Untuk beberapa lamanya senjata ini berputar-putar di atas telaga mengikuti gerak putaran
tangan kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Begitu sang Kiai hantamkan tangan kanannya ke
kiri, kapak bermata dua melesat laksana kilat ke arah sebatang pohon yang tumbuh di tepi
telaga.
“Craasss!”
Batang pohon sebesar pemelukan tangan tertebas putus. Bagian atas pohon besar
tumbang dengan suara bergemuruh. Baik pohon yang tumbang maupun Sisa batang yang
masih tegak kelihatan berubah menjadi hitam gosong laksana habis dimakan api! Sukat
Tandika menyaksikan dengan mata lebarnya bertambah lebar sedang lidahnya berulang kali
dijulurkan membasahi bibir. Sinto Weni memandang dengan mata melotot tapi mulut ter-
kancing.
Kiai Gede Tapa Pamungkas gerakkan tangannya ke arah tepian telaga. Kapak
bermata dua melayang turun dan perlahan-lahan digeletakkan kembali di depan sepasang
muda mudi. Kini sang Kiai ganti angkat tangannya yang kiri. Benda putih berbentuk
gulungan ikat pinggang melesat ke atas lalu “srettt!” Gulungannya terbuka. Satu cahaya
putih yang menghamparkan hawa dingin berkiblat. Di udara saat itu tampak sebilah pedang
putih tipis bergagang gading berbentuk kepala naga betina. Pada badan pedang tertera
angka 212. Pada bagian ujung pedang yang lancip kelihatan sebuah lobang yang demikian
kecilnya hingga sulit dilihat mata telanjang.
Kiai Gede Tapa Pamungkas sentakkan tangan kirinya ke atas. Pedang putih melesat
ke udara,. berputar memancarkan cahaya putih menyilaukan, menebar hawa dingin dan
mengeluarkan suara berdesing yang membuat liang telinga laksana ditusuk!
“Lihat pedang!” berseru sang Kiai seraya hantamkan tangan kanannya ke arah kanan
telaga di mana tumbuh sebuah pohon besar berdaun rimbun. Kiai Gede Tapa putar
tangannya di atas kepala berulang kali. Terdengar suara tebasan tak henti-hentinya. Daun
pohon bertaburan di udara lalu melayang jatuh ke tanah dan ke dalam telaga. Dalam waktu
beberapa kejapan mata saja pohon yang tadinya rimbun itu kini telah botak, hanya tinggal
cabang dan ranting meranggas. Ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas meletakkan pedang
putih itu di tepi telaga, begitu menyentuh tanah pedang ini kembali menggulung diri secara aneh.“Sekarang kalian lihat bagaimana kalau dua senjata sakti dari dua sumber yang sama
saling baku hantam satu sama lain!” kata Kiai Gede Tapa pula. Lalu dua tangannya sama
disentakkan ke atas.
“Sreettt!”
“Wuttt!”
“Wuuutt!”
Pedang putih tipis melesat ke atas dan lepas dari gulungannya. Kapak bermata dua
menyusul melesat lalu membeset gerakan pedang. Dengan lincah pedang tipis membuat
gerakan berputar menghindari tebasan kapak. Dalam waktu singkat di udara dua senjata itu
berubah menjadi buntalan cahaya yang saling menggempur. Dua cahaya berkilauan saling
menyabung. Hawa panas dan hawa .dingin berbenturan hebat. Suara mengaung dan suara
mendesing seperti seruling seolah merobek langit.
“Traangg!”
Dua senjata mustika sakti beradu di udara. Lidah api mencuat sejauh dua tombak.
Suara beradunya kapak dan pedang disusul dengan getaran dahsyat yang membuat tempat
itu laksana dilanda gempa. Karena bentrokan dua senjata sakti terjadi berulang-ulang, baik
Sinto Weni maupun Sukat Tandika terpaksa tutup telinga masing-masing dengan tangan
sementara tubuh mereka yang duduk bersila ditanah terguncang-guncang, aliran darah
tersentak-sentak. Kalau bentrokan dua senjata sakti itu tidak lekas dihentikan sepasang
muda-mudi ini pasti akan menderita luka dalam yang parah!
Untung Kiai Gede Tapa Pamungkas saat itu membuat gerakan dua tangan ke kiri dan
ke kanan. Kapak bermata dua dan pedang tipis lentur serta merta bergerak menjauh. Lalu
perlahan-lahan turun ke tanah di hadapan Sinto Weni dan Sukat Tandika. Seperti tadi begitu
menyentuh tanah pedang tipis lentur langsung bergelung menggulung.
Untuk ke sekian kalinya dua murid Kiai Gede Tapa itu dibuat terkagum-kagum
menyaksikan kehebatan senjata berupa kapak bermata dua dan pedang tipis lentur yang
memancarkan cahaya putih menyilaukan itu.
“Murid-muridku, kalian telah menyaksikan kehebatan dua senjata itu. Apa yang
barusan kalian lihat hanya sebagian kecil saja dari kehebatan yang tersimpan di dalam dua
senjata itu. Inilah dua warisan yang akan aku berikan pada kalian. Senjata berbentuk kapak
cocok menjadi pegangan seorang kesatria. Senjata ini bernama Kapak Naga Geni 212. Jika
mulut kepala naga yang merupakan gagang kapak ditiup maka senjata itu akan berubah
menjadi sebuah seruling yang mampu mengeluarkan suara keras. Membuat kacau jalan
pikiran, peredaran darah dan bisa memecahkan gendang-gendang telinga lawan. Bilamana
mata naga kiri kanan ditekan maka dari mulut naga akan melesat keluar jarum-jarum putih
yang merupakan senjata rahasia ampuh. Siapa saja yang mempergunakan senjata ini dia
harus memiliki tenaga dalam tinggi. Tanpa tenaga dalam Kapak Naga Geni 212 hanya
merupakan satu benda mati belaka. Berarti senjata ini tidak bisa dipergunakan oleh
sembarang orang.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas memandang pada Sinto Weni sesaat lalu meneruskan
penuturannya.
“Senjata yang satunya yakni berupa pedang tipis dan bisa digulung bernama Pedang
Naga Suci 212. Keampuhannya tidak kalah dengan Kapak Naga Geni 212 dan cocok sebagai
senjata andalan seorang dara perkasa. Di dalam badan pedang tersimpan ratusan senjata
rahasia berbentuk jarum putih. Bilamana mulut naga ditiup maka jarum-jarum itu akan melesat keluar lewat sebuah lubang kecil di ujung pedang. Seperti Kapak Naga Geni 212,
pedang sakti ini juga bisa ditiup dijadikan seruling yang bunyinya dapat menghantam
lawan. Untuk mengeluarkan segala kehebatan yang tersimpan dalam pedang seseorang
harus mengerahkan tenaga dalam. Murid-muridku dua senjata ini bukan senjata
sembarangan. Dicipta-kan oleh para pendahuluku hanya dengan satu maksud dan tujuan
yakni membela kebenaran dan keadilan, menghancurkan angkara murka dalam rimba
persilatan. Inilah warisan yang harus kalian jaga dengan baik, dalam merawat maupun
mempergunakannya. Sekali kalian mempergunakan senjata itu di jalan yang salah maka
kesaktiannya akan memukul balik pada diri kalian! Murid-muridku, walau tadi aku
sebutkan bahwa Kapak Naga Geni 212 cocok untuk seorang kesatria dan Pedang Naga Suci
212 cocok untuk seorang pendekar dara perkasa, namun terserah pada kalian masing-
masing untuk berunding memilih yang mana. Khusus untuk Kapak Naga Geni 212 memiliki
pasangan sebuah batu hitam berbentuk persegi panjang. Jika batu ini digosokkan atau di-
pukulkan ke mata kapak maka lidah api akan mencuat keluar dan merupakan senjata luar
biasa. Dua senjata sakti ini akan menjadi senjata maut bagi semua orang jahat di rimba
persilatan, merupakan senjata andalan atau senjata pamungkas bagi kalian masing-masing.
Nah murid-muridku sekarang aku persilahkan kalian berunding. Setelah kalian menerima
warisan dua senjata mustika sakti itii maka aku akan merasa lega dan segera meninggalkan
kalian....”
Dari balik seiempang kain putih yang melilit di tubuhnya Kiai Gede Tapa Pamungkas
keluarkan sebuah batu hitam berbentuk empat persegi yang besarnya segenggaman tangan.
Batu ini dilemparkannya dan jatuh tepat di samping Kapak Naga Geni 212.
Sukat Tandika bukan .seorang pemuda yang suka mementingkan diri sendiri dan tak
pernah temahak dalam hal apapun. Karena itu walau sang guru telah berkata demikian dia
tetap saja duduk di tempatnya, seolah memberi kesempatan pada adik seperguruannya
yaitu Sinto Weni untuk memilih lebih dulu salah satu dari dua senjata mustika sakti itu.
Bagaimanapun dia tidak berprasangka buruk dan yakin bahwa Sinto Weni akan mengambil
Pedang Naga Suci 212 dan dia akan kebagian Kapak Naga Geni 212.
Namun dugaan Sukat Tandika keliru.
*
* *
TIGA
Sinto Weni membungkuk memberi hormat pada Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu
berkata. “Kiai jika memang kau memberi izin untuk memilih, saya akan mengambil
Kapak Naga Geni 212 dan batu pasangannya!”
Di tengah telaga sang Kiai kerenyitkan kening sedang Sukat Tandika melengak kaget.
Sehabis bicara Sinto Weni bergerak cepat mengambil Kapak Naga Geni
S
212 dan batu
pasangannya. Setelah menyimpan dua benda itu dibalik pakaian ringkasnya, dia kemudian
menyambar pula Pedang Naga Suci 212.
Kiai Gede Tapa Pamungkas segera menegur. “Sinto Weni, kau hanya boleh
mengambil satu dari dua senjata sakti itu. Kau telah mengambil Kapak Naga Geni 212.
Mengapa kau juga mengambil Pedang Naga Suci 212?!”
Sinto Weni cepat membungkuk. “Maafkan saya Kiai. Saya memang berlaku lancang
mengambil Pedang Naga Suci ini. Bukan untuk memilikinya tapi justru
menyelamatkannya.”
Baik Kiai Gede Tapa maupun Sukat Tandika sama-sama heran dan tidak mengerti
akan ucapan Sinto Weni. Kalau si pemuda diam saja tak berani bertanya, tidak demikian
dengan sang Kiai. Orang tua ini ajukan pertanyaan.
“Apa maksud ucapanmu tadi, Sinto?!”
“Maafkan kalau jawaban saya terdengar, kasar atau keliru. Tapi saya beranggapan,
senjata sehebat Pedang Naga Suci 212 ini tak layak berada di tangan Sukat Tandika, Saya
mempunyai firasat senjata ini kelak akan disalati gunakannya! Jadi biar Pedang Naga Suci
212 ini saya bawa dulu. Saya akan menyimpannya dengan baik sampai suatu saat ada
seseorang yang lebih pantas memilikinya.”
“Kau berani menilai kakak seperguruanmu seperti itu Sinto?! Kau berani memberikan
warisan berupa pedang itu pada orang lain?!” Suara Kiai Gede Tapa Pamungkas tetap
lembut namun alunan nadanya jelas menegur keras.
“Kalau saya salah harap maafkan saya-Kiah Kalau ini sebuah dosa mohon kau mau
memberi ampun. Kelak waktu yang akan membuktikan ucapan saya!”
Habis berkata begitu Sinto Weni membungkuk lalu dengan gerakan luar biasa
cepatnya bersamaan dengan sambaran kilat pada gelegar guntur gadis ini berkelebat dan
lenyap dalam kegelapan sementara hujan masih terus mengguyur dan angin terus mendera
kencang.
Melihat gurunya diam saja walau menunjukkan wajah masygul Sukat Tandika segera
bergerak hendak mengejar. Namun sang Kiai mencegah.
“Sukat! Tak usah kau kejar!”
“Tapi Kiai...”
“Aku tahu kau tak suka melihat orang melarikan warisan milikmu....”
“Bukan hanya itu Kiai. Saya tidak suka melihat peri laku budi pekertinya. Dia begitu
merendahkan Kiai....”
Kiai Gede Tapa angkat tangan kanannya dan berkata. “Tetap di tempatmu Sukat. Kita
perlu bicara....”
“Sementara kita bicara Sinto Weni telah lari jauh!” memotong si pemuda.“Kita perlu bicara, Sukat. Setahuku gadis itu memiliki perasaan halus, penuh welas
asih walau kadang-kadang suka usil dan bicara ceplas-ceplos. Aku yakin ada sesuatu yang
telah membuat dirinya berubah seperti itu. Dan yang tahu mengapa dia jadi begitu hanya,
kau seorang. Selama empat tahun kalian berkelana menimba ilmu dan pengalaman di rimba
persilatan. Kau mau memberikan penjelasan padaku Sukat?”
Mendengar kata-kata sang guru Sukat Tandika jadi pucat, sesaat dia terdiam. “Saya
rasa....”
“Jelaskan padaku terus terang....” Kiai Gede Tapa Pamungkas seperti mendesak.
“Kiai.... Sejak dilepas empat tahun lalu, dua tahun pertama kami memang selalu
bersama-sama. Pada masa-masa itulah antara kami terjalin hubungan yang sangat akrab....”
“Akrab sebagai teman, saudara seperguruan atau apa?” tanya Kiai Gede Tapa pula.
Kembali Sukat Tandika terdiam. Setelah menarik nafas dalam dia baru menjawab.
“Kami saling jatuh cinta. Namun sesuatu terjadi....”
“Apa yang kau maksud dengan sesuatu itu?” tanya Kiai Gede Tapa.
“Untuk mencari pengalaman lebih luas pada tahun ke tiga kami setuju saling
berpisah. Meneruskan perjalanan sendiri-sendiri. Sinto berkelana di barat, saya sendiri
malang melintang ke berbagai penjuru. Saya kemudian bertemu dengan beberapa orang
gadis. Saya terpikat dan melupakan Sinto. Saya mengkhianati cintanya.... Mungkin itu
sebabnya dia menjadi sangat marah dan mendendam pada saya. Saya akan mencarinya....”
“Tidak, kau tetap di sini sampai aku selesai bicara!” tukas Kiai Gede Tapa. “Muridku
Sukat Tandika! Bagi seorang gadis cinta adalah sejuta bahagia dalam sejuta kesucian! Kalau
dia dikhianati dia bisa sejuta diam dalam sejuta derita. Namun bisa juga dia mendekam
sejuta kebencian sejuta dendam. Agaknya Sinto Weni telah memilih dua hal yang terakhir.
Kalau kau kejar dia saat ini, selagi bara kebencian dan dendam berkobar hebat dalam diri-
nya, bukan mustahil dia akan membunuhmu....”
“Saya rela menemui kematian di tangannya....”
Kiai Gede Tapa tersenyum. “Hanya orang tolol yang memilih jalan hidup seperti itu
muridku. Jangan menebus ketololan dengan menggadaikan nyawamu! Ketahuilah dalam
hidup ini ada tiga hal yang mendatangkan kehancuran pada kaum laki-laki kalau dia
menyimpang dari hukum alam yang telah ditentukan. Pertama jabatan, ke dua harta dan ke
tiga perempuan. Kau telah membenturkan diri pada salah satu dari tiga hukum alam itu
muridku. Apa jawabmu?!”
“Saya mengerti Kiai. Saya telah berbuat sesuatu yang salah terhadap Sinto Weni. Saya
harus berani bertanggung jawab. Saya mohon maafmu Kiai....”
Kiai Gede Tapa tersenyum rawan.
“Kalau kau hendak mencarinya jangan lakukan sekarang. Sinto Weni membutuhkan
waktu bertahun-tahun, mungkin belasan tahun untuk mengobati luka hatinya. Kau harus
menunggu dan memilih waktu yang tepat. Jika kau bersikeras dan bertindak ceroboh kau
bisa celaka sendiri.... Lagi pula aku rasa ada baiknya untuk sementara Pedang Naga Suci 212
berada di tangannya. Ketahuilah senjata mustika sakti itu hanya bertuah di tangan seorang
yang benar-benar suci lahir bathin dan dipergunakan atas nama kebaikan serta kebenaran.
Menyimpang dari itu Pedang Naga Suci 212 akan mendatangkan malapetaka bagi orang
yang memakainya secara salah....”
“Nasihat Kiai akan saya perhatikan...” kata Sukat Tandika dan dalam hati dia berkata.
“Kalau memang begitu tuah Pedang Naga Suci 212 mungkin sekaji senjata itu tidak cocok bagiku. Selama empat tahun terakhir ini aku banyak melakukan hal-hal yang tidak benar....
Agaknya aku harus melupakan pedang sakti itu seumur hidupku.” Sukat memandang ke
arah Kiai Gede Tapa.
“Nasihat merupakan hal terakhir yang bisa kuberikan. Selanjutnya kau sendiri yang
menentukan jalan hidupmu. Waktuku sudah habis. Aku harus pergi sekarang!”
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas rapatkan telapak tangannya satu
sama lain lalu ke dua tangannya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Kilat menyambar.
Guntur menggelegar. Air telaga beriak keras. Asap putih berbuntal-buntal. Perlahan-lahan
sosok tubuh Kiai Gede Tapa Pamungkas lenyap masuk ke dalam telaga.
Sukat Tandika mengusap wajahnya berulang kali. Walau saat itu udara dinginnya
bukan alang kepalang namun hujan yang membasahi wajah dan tubuhnya telah bercampur
dengan keringat.
Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya Sukat Tandika malang melintang
dalam rimba persilatan sambil berusaha mencari Sinto Weni. Namun dalam pengelanaannya
itu justru Sukat Tandika semakin jauh tenggelam dalam kata hati dan bujukan nafsu. Dia
mempunyai kelemahan menghadapi gadis-gadis cantik. Mudah jatuh hati. Sebelum dan
sesudah kawin dengan seorang janda cantik puteri Adipati Plered, pemuda itu menjalin
hubungan cinta dengan beberapa gadis. Di antaranya Sabai Nan Rancak dan Sika Sure
Jelantik. Rata-rata semua gadis itu kemudian ditinggalkannya begitu saja. Sukat Tandika
sendiri kemudian melenyapkan diri selama bertahun-tahun. Ketika dia muncul kembali
keadaannya berubah seperti orang kurang waras. Tindak tanduknya menggegerkan rimba
persilatan. Dia bukan saja membasmi para tokoh golongan hitam tapi juga menumpas
mereka dari golongan putih yang dianggapnya menjadi penghalang. Tak jelas apa yang
menjadi tujuan Sukat Tandika. Apa dia ingin menjadi raja di raja dunia persilatan atau
semua perbuatannya itu akibat penyesalan sesaat atas segala kelakuannya di masa lalu?
Rimba persilatan memberi beberapa julukan pada Sukat Tandika. Dia disebut sebagai
Pendekar Gila Patah Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Dari beberapa gelar yang diberikan
orang padanya, dia lebih dikenai dengan julukan Tua Gila. Dalam usia tuanya dia kemudian
bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dan mengajarkan ilmu silat Orang Gila
ciptaannya sendiri pada Wiro yang sebelumnya telah diambil murid oleh Sinto Weni. Sinto
Weni sendiri dikenal dengan nama Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
Sinto Gendeng mewariskan Kapak Naga Geni 212 pada Wiro yang dalam dunia
persilatan kemudian lebih dikenal sebagai Kapak Maut Naga Geni 212. Sedangkan Pedang
Naga Suci 212 tetap disembunyikan Sinto Gendeng sekalipun di hari tuanya dia telah
bertemu dan berbaik-baik dengan Tua Gila alias Sukat Tandika kekasihnya di masa muda.
Sinto Gendeng sendiri tidak pernah mempergunakan Pedang Naga Suci. Mungkin dia
menyadari sejak menjalin hubungan dengan Sukat Tandika dan ditinggal pergi Setelah cinta
dan kesuciannya dirampas begitu saja maka pedang mustika sakti itu tidak mungkin, bisa
dimanfaatkannya. Namun bagaimanapun Sinto Gendeng merahasiakan di mana dia
menyembunyikan Pedang Naga Suci 212 itu, pada akhirnya Tua Gila mengetahui juga
dimana senjata itu beradanya. Hal itu kemudian diberitahukannya pada Puti Andini,
cucunya sendiri.
Sementara itu di rimba persilatan selain berita besar mengenai Kitab Wasiat Malaikat
kini kabar tentang adanya Pedang Naga Suci 212 itu telah tersiar santar, membuat para
tokoh baik golongan putih maupun golongan hitam sama-sama membuka mata memasang
telinga dan mengatur siasat untuk menjejakinya!
*
* *
EMPAT
Badai yang melanda pantai barat Pulau Andalas sekali ini dahsyat bukan main. Sejak
tengah malam tadi angin keras mendera tanpa henti, menerabas apa saja yang ada di
permukaan laut. Beberapa pulau kecil lenyap seolah amblas ke dasar samudera.
Puluhan nelayan menemui ajal, te
B
nggelam bersama perahu mereka.
Menjelang pagi walau langit di ufuk timur tampak terang tanda sang surya akan
segera terbit, badai masih belum berhenti. Malah bertiup ke arah pantai, menyapu segala
yang ada di daratan.
Di puncak barat Gunung Singgalang seorang tua kurus mengenakan jubah hijau yang
kebesaran berulang kali mengusap wajahnya yang cekung. Sejak tadi dia melangkah
mundar-mandir. Sepasang matanya yang jereng berputar liar kian kemari dan sebentar-
sebentar mengerling ke arah mulut goa di dalam mana dia saat itu berada. Semua gerak-
gerik orang tua ini memberi pertanda bahwa saat itu dia berada dalam satu kegelisahan.
Paling tidak ada sesuatu yang membuatnya tidak sabar.
Bosan mundar-mandir akhirnya orang tua ini duduk di lantai goa. Berusaha
bersamadi. Namun sia-sia saja. Sepasang telinganya tidak mampu menghambat suara deru
angin yang tiada henti-hentinya di luar sana.
Sadar dia tak akan bisa bersamadi orang tua ini akhirnya bangkit berdiri.
Diluruskannya tubuhnya yang agak bungkuk dimakan usia lalu sambil merapikan letak
destar tinggi hijau di atas kepalanya dengan langkah gontai dia berjalan menuju mulut goa
yang sebagian tertutup oleh sebuah batu besar.
Si orang tua menyeruak di antara mulut goa dan batu besar. Angin kencang menerpa
muka dan tubuhnya. Rambut putihnya yang menjulai di bawah destar, janggut serta
kumisnya melambai-lambai. Jubah dan destar hijaunya ikut berkibar-kibar.
“Pertanda apakah yang tengah diberikan alam...” kata si orang tua dalam hati,
“Sekian lama diam di pulau besar ini baru sekarang ada badai begini hebat. Alam agaknya
mulai tidak lagi bersahabat dengan umat. Atau mung kin ini satu isyarat bagiku untuk
segera keluar dari komplotan manusia-manusia aneh tapi jahat itu? Orang tua itu kembali
mengusap wajahnya yang cekung lalu gelengkan kepala. Beberapa kali menarik nafas
dalam, biasanya kalau dia berdiri di mulut goa seperti itu dia akan melihat pemandangan
sangat indah di sepanjang lereng sampai kaki Gunung Singgaiang. Namun saat itu dia
nyaris tidak dapat melihat apa-apa karena lebatnya curahan hujan ditambah kabut menutup
dimana-mana.
tiupan badai semakin menggila. Hujan mendera bumi semakin ganas. Bagian bawah
jubah hijau si orang tua tampak basah. Sebelum tambah kuyup orang tua ini melangkah
mundur, masuk kembali ke dalam goa. Namun gerakannya terhenti ketika sekonyong-
konyong satu bayangan berkelebat di depan goa, tersamar oleh badai dan hujan.
Paras orang tua ini berubah. Sesaat rasa tegang menguasai dirinya. “Orang yang aku
tunggu sudah datang...” hatinya berbisik.
“Wuttt!”
Tahu-tahu satu sosok serba hitam dalam keadaan basah kuyup telah berdiri di
hadapan orang tua itu.Meski orang yang tegak di hadapannya itu angker luar biasa namun si orang tua
bersikap tenang. Sepasang matanya yang jereng memperhatikan orang dengan tak berkesip.
“Hemmm.... Ini tampang manusianya. Tak pernah kulihat sebelumnya tapi dari ciri-ciri jelas
dia orangnya. Lebih baik aku bertanya dulu untuk memastikan,” kata orang tua berjubah
hijau dalam hati.
“Orang tak dikenal, apakah kau tersesat mencari tempat berteduh? Atau memang
goaku ini menjadi tujuanmu?”
Orang yang ditegur balas menatap tanpa berkedip. Orang ini bertubuh tinggi besar
hingga kepalanya yang berambut kasar seperti ijuk hampir menyondak mulut goa. Kulitnya
hitam laksana arang. Pakaiannya yang basah kuyup juga berwarna hitam. Orang ini
memiliki alis aneh. Tebal panjang dan bersambung mulai dari pelipis kiri sampai ke pelipis
kanan. Di atas alis, pada keningnya terdapat enam buah lobang besar hitam. Lalu di bawah
alis terdapat juga enam lobang serupa yakni tiga di pipi kanan dan tiga di pipi kiri. Mungkin
sekali dua belas lobang ini diakibatkan oleh penyakit cacar air yang ganas.
“Aku mencari Sutan Alam Rajo Di Bumi! Apakah kau orangnya?” Orang yang tegak
di depan goa menjawab dengan mata tetap tak berkesip memandangi orang tua di
hadapannya. Suaranya serak namun dibawah hujan dan badai keras begitu rupa ucapannya
itu jelas terdengar ke telinga si orang tua pertanda dia barusan bicara dengan memperguna-
kan tenaga dalam.
“Di puncak Singgalang ini hanya ada satu goa didiami manusia. Di muka bumi ini
hanya ada satu orang bergelar Sutan Alam Rajo Di Bumi. Apakah kau masih ingin
bertanya?!”
Si tinggi besar bermuka angker undur selangkah. “Turut yang aku dengar Sutan
Alam Rajo Di Bumi adalah seorang yang meski tua tapi berbadan tegap. Selalu mengenakan
jubah putih. Kalau kau orangnya maka sungguh lain apa yang kudengar dengan
kenyataan.”
Mata jereng orang tua berdestar dan berjubah hijau berputar beberapa kali. Sambil
menyeringai dia kemudian berkata.
“Berita yang didengar tidak selalu sama dengan kenyataan yang ada. Apakah kau
lebih mempercayai ucapan orang ketimbang kenyataan?!”
“Kalau begitu.... Hemmm....” Lelaki berpakaian hitam basah kuyup dengan muka
berlubang dua belas usap alisnya yang melintang panjang bersambung di atas sepasang
mata. “Jadi aku tidak salah saat ini berhadapan dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi?!”
“Kau berhadapan dengan orang yang kau cari!” kata orang tua di dalam goa. “Aku
sudah tahu kau baka! datang. Lebih dari itu aku juga sudah tahu maksud dan tujuan
kedatanganmu. Jika kau memang orangnya yang dijuluki Hantu Balak Anam Dari
Sijunjung!”
Agak terkesiap juga si jubah hitam mendengar orang sudah tahu siapa dia adanya.
“Kalau kau memang Sutan Alam Rajo Oi Bumi, maka harap kau suka terima salam
hormatku!”
Hantu Balak Anam Dari Sijunjung letakkan tangan kiri di atas dada lalu melipat lutut
sedikit.
Orang tua bergelar Sutan Alam Rajo Di Langit tersenyum dan berkata. “Tampangmu
seburuk setan. Namun nyatanya kau cukup punya peradatan, tahu bagaimana menghormati
orang tua sepertiku!”“Kalau bicara soal hormat menghormati masalah usia tidak layak dijadikan
pegangan....”
“Eh, apa maksudmu...?” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi dengan senyum masih
terkulum di bibirnya.
“Karena usiaku jauh lebih tua darimu....”
Tentu saja orang tua di dalam goa menjadi terkejut. “Aku berusia hampir tujuh puiuh
tahun. Kau sendiri memangnya berapa umurmu?!” Si orang tua bertanya.
“Tujuh puluh delapan!” jawab si jubah hitam Hantu Balak Anam.
Sesaat Sutan Alam tampak seperti bengong tak percaya. Kalau memang benar
bagaimana mungkin orang seusia tujuh puluh delapan tahun masih memiliki tubuh tegap
kokoh begitu rupa. Rambutnya pun tak ada yang putih.
“Luar biasa! Kalau kau memang berusia tujuh puluh delapan, walau wajahmu
seburuk setan ternyata kau awet muda! Aku si tua bangka ini ingin belajar ilmu apa yang
kau pergunakan agar tetap awet muda! Ha... ha... ha!” Sutan Alam Rajo Di Bumi tertawa
mengekeh. Puas mengumbar tawa orang tua ini berucap. “Lama mendengar nama besarmu.
Baru kali ini bertemu dengan orangnya. Aku tak mau berbasa-basi lagi. Silahkan masuk ke
dalam goaku. Mari kita bicarakah maksud kedatanganmu!”
Hantu Balak Anam masuk ke dalam goa. Air hujan yang membasahi jubah hitamnya
mencurah jatuh ke lantai goa. Di dalam goa dia merasa lebih hangat.
“Silahkan duduk tamu agungku!” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi seraya menunjuk
pada sebuah batu berbentuk kursi.
“Aku lebih suka berdiri saja....”
“Hemmm.... Manusia si Hantu Balak Anam ini agaknya bersikap terlalu waspada
atau bercuriga besar. Jangan-jangan dia....” Sutan Aiam Rajo Di Bumi anggukkah kepala dan
berkata. “Kau mau duduk atau tidak terserah saja. Seperti kataku tadi, aku sudah menduga
apa maksud, kedatanganmu. Sekarang apakah kau mau mulai membicarakannya!”
“Kalau kau sudah maklum maksud kedatanganku, lebih mudah bagiku untuk
menjelaskannya,” jawab Hantu Balak Anam. Dia menatap lurus-lurus pada sepasang mata
jereng orang tua di hadapannya lalu melanjutkan. “Sejak beberapa bulan belakangan ini
beberapa tokoh persilatan di pulau Andalas menemui kematian secara aneh. Tewas
mengenaskan. Kematian mereka kemudian diikuti dengan tersiarnya kabar yang membuat
dunia persilatan tanah Andalas menjadi geger....”
Sutan Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali lalu berkata. “Apa yang
kau dengar ternyata tidak beda dengan apa yang sekarang kau katakan. Hantu Balak Anam
teruskan penuturanmu!”
“Di Utara ada kabar bahwa Kiai Tanjung Laboh mati dibunuh. Si pembunuh diduga
keras adalah seorang gadis sakti bernama Pandansuri yang konon merupakan anak angkat
mendiang Raja Rencong Dari Utara. Lalu seorang tokoh silat golongan putih lainnya yang
dikenal dengan julukan Sepasang Telapak Putih ditemukan tewas secara mengerikan di
tempat kediamannya dilereng Gunung Sihabuhabu. Di Andalas tengah, tokoh silat Magek
Bagak Bacufo Duo dibunuh orang di tepi pantai. Siapa pembunuhnya belum jelas. Namun
tersiar dugaan bahwa si pembunuh adalah Tua Gila. Sementara itu Sabai Nan Rancak
seorang tokoh terpandang di Andalas lenyap tak diketahui di mana beradanya. Lalu di
selatan seorang tokoh golongan putih yang dikenal dengan julukan Datuk Agung Berbangsa
ditemui menemui ajal dalam keadaan tergantung di Baturaja. Pada jubah putihnya sipembunuh menuliskan namanya yaitu Datuk Sunti Belanak. Seorang tokoh silat golongan
putih, kawan lama Datuk Agung Berbangsa yang diam di sebuah perguruan silat di Bukit
Martapura. Semua peristiwa yang luar biasa ini telah menimbulkan rasa saling curiga antara
sesama orang-orang persilatan golongan putih. Konon telah terbentuk satu perserikatan
golongan putih untuk memerangi orang-orang golongan putih yang dikabarkan melakukan
pembunuhan-pembunuhan tersebut. Dalam pada itu seorang tokoh paling disegani bernama
Nyanyuk Amber dikabarkan lenyap dari Gunung Sing-galang ini.... Ada yang menduga
bahwa semua pembunuhan itu didalangi oleh Nyanyuk Amber!”
*
* *
LIMA
Sutan Alam Rajo Di Bumi sesaat terdiam mendengar penuturan Hantu Balak Anam itu.
Dengan suara perlahan dia kemudian berkata. “Apa yang kau katakan barusan semua
benar. Terus terang aku merasa risau dengan semua kejadian itu. Bukan mustahil kita
pun kelak akan jadi korban pembunuhan aneh itu. Gila, apa yang sesungguhnya terjadi!
Orang-orang golongan putih membunuh sesama teman sendiri! Lenyapnya Nyanyuk
Amber memang merupakan satu tanda tanya besar. Kau tahu, sejak aku muncul di sini,
Gunung Singgalang ini dibagi tiga. Aku menetap di sebelah puncak. Sabai Nan Rancak di
bawah pada lereng sebelah timur. Lalu Nyanyuk Amber di lereng sebelah barat. Namun
anehnya, tak lama setelah aku menetap di sini Nyanyuk Amber lenyap dari tempat
kediamannya. Lalu seperti katamu Sabai Nan Rancak juga tiba-tiba seperti sirna.” (Mengenai
Nyanyuk Amber harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Raja Rencong Dari Utara”)
S
Orang tua berjubah hijau itu menarik nafas dalam. Dia mendongak menatap langit-
langit goa batu lalu terdengar suaranya bertanya. “Dari semua kejadian itu, kedatanganmu
kemari pasti membawa satu rencana....”
“Betul sekali Sutan. Aku ingin agar semua tokoh silat golongan putih berkumpul,
berunding dan menentukan sikap serta tindakan sebelum jatuh lagi korban-korban
berikutnya.”
“Aku mendukung maksud baikmu Ku. Karena kau yang datang membawa usul
bagaimana kalau kau juga mau bersusah payah untuk mengatur rencana pertemuan itu....”
“Terima kasih atas kepercayaan Sutan. Tapi pulau Andalas bukan pulau kecil.
Bagaimana kalau untuk bagian utara Sutan saja yang mengatur. Aku menghubungi para
tokoh di bagian tengah. Lalu seorang sahabat akan kuminta pertolongannya untuk
mengurusi wilayah selatan. Jika Sutan menyetujui maka saat ini sudah bisa ditentukan
kapan dan di mana pertemuan itu akan dilakukan. Makin cepat pasti makin baik.....”
“Aku bisa segera menentukan saat yang paling tepat,” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi
pula. “Namun sebelum hal itu aku katakan ada satu hal yang ingin aku katakan dan
tanyakan padamu. Apa kau pernah mendengar riwayat seorang tokoh silat berjuluk Datuk
Tinggi Raja Di Langit?”
“Bukankah tokoh satu itu lenyap secara aneh beberapa waktu lalu?”
. “Mungkin dia dibunuh oleh orang-orang persilatan golongan putih?”
Hantu Balak Anam gelengkan kepala. “Lenyapnya Datuk Tinggi jauh sebelum
peristiwa pembunuhan beruntun itu....”
“Apa mungkin dia sudah menemui ajal?” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi pula.
“Sukar dipastikan. Kalau memang sudah menemui ajal mengapa mayatnya tak
pernah ditemukan? Tapi memang ada satu hal yang perlu diteliti....”
“Apa?” tanya Sutan Alam seraya membetulkan letak destarnya yang kebesaran.
“Lenyapnya Datuk Tinggi Raja Di Langit bersamaan dengan tersebarnya kapar
kematian Tua Gila, Juga bersamaan dengan munculnya seorang pendekar muda dari tanah
Jawa yang dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali lalu dia mundar-mandir
di ruangan batu itu. Di hadapan Hantu Balak Anam dia hentikan langkah dan berkata.
“Sebenarnya aku telah meminta seseorang untuk menyelidik lenyapnya Patuk Tinggi Raja Di Langit. Namun sampai saat ini belum ada kabar. Dalam pada itu di tanah Jawa pun
kudengar peristiwa yang hampir bersamaan dengan kejadian-kejadian di pulau Andalas ini.
Beberapa tokoh silat golongan putih dibunuh oleh orang-orang segolongan. Terakhir
kudengar kabar bahwa Datuk Angek Garang, tokoh silat pulau Andalas mati dibunuh
seorang tokoh aneh dikenal dengan panggilan Si Segala Tahu. Tapi ada juga dugaan,
pembunuh sebenarnya adalah Tua Gila....”
“Jika itu benar Sabai Nan Rancak yang diketahui lenyap mungkin sekali telah berada
di tanah Jawa. Bukankah sejak lama diketahui bahwa nenek itu ingin membalaskan sakit
hatinya terhadap Tua Gila? Dan Tua Gila sendiri kabarnya melarikan diri ke tanah Jawa.”
“Rupanya banyak juga pengetahuanmu tentang apa yang terjadi di rimba persilatan
akhir-akhir ini...” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sunggingkan seringai. “Ada satu hal
yang ingin aku tanyakan padamu, Hantu Balak Anam. Apa kau mendengar riwayat sebuah
senjata berbentuk pedang, bernama Pedang Naga Suci 212?”
Si muka hitam berlubang dua belas gelengkan kepala. “Mendengar namanya
mungkin ada sangkut pautnya dengan Kapak Naga Geni 212 milik Pendekar 212.”
“Pedang itu adalah pasangan Kapak Naga Geni 212. Kehebatannya luar biasa. Sejak
puluhan tahun pedang itu disembunyikan di satu tempat. Yang tahu di mana letaknya
hanya dua orang. Pertama Sinto Gendeng seorang nenek sakti di kawasan barat pulau Jawa
yang juga adalah guru Pendekar 212. Orang ke dua adalah Tua Gila.”
“Apakah Sutan berminat terhadap Pedang Naga Suci 212 itu?” tanya Hantu Balak
Anam.
“Rasanya tak ada satu orang pun dalam dunia persilatan yang tidak ingin memiliki
senjata mustika sakti. Termasuk aku dan juga kau tentunya! Namun urusanku di sini banyak
sekali. Kurasa sambil mengatur pertemuan para tokoh di kawasan ini kau bisa. pergunakan
kesempatan untuk menjajagi di mana beradanya Pedang Naga Suci 212 Itu, lalu mem-
bawanya kepadaku.”
Hantu Balak Anam mengangguk. “Akari aku coba melakukan apa yang kau
katakan.” Namun dalam hati dia berkata. “Kalau aku berhasil menemukan, pedang mustika
sakti itu tidak nanti aku serahkan padamu, keledai tua!”
Di luar goa hujan masih deras dan tiupan badai belum mereda. Sutan Alam Rajo Di
Langit batuk-batuk beberapa kali lalu berkata. “Dalam udara dingin begini rupa, meneguk
kopi panas tentu nikmat sekali. Tapi sayang minuman seperti itu tidak dapat ku-sediakan
untuk tamu agung sepertimu. Aku masih memiliki dua butir kelapa hutan yang manis. Apa
kau tidak berkeberatan kalau aku suguhi minuman kelapa muda itu Hantu Balak Anam?”
“Hujan-hujan dan dingin-dingin seperti ini rasanya kurang cocok meneguk kelapa
muda. Tapi kalau tidak ada. minuman lain, apa lagi tenggorokanku memang terasa kering,
apa boleh buat!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi tertawa mengekeh. Dia masuk ke bagian dalam goa. Tak
lama kemudian keluar lagi membawa dua buah kelapa muda. Sebuah kelapa diletakkannya
di atas batu berbentuk kursi. Yang sebuah lagi dipegangnya di depan dada. Matanya yang
jereng berputar liar. Sepuluh jari tangannya bergerak. Hantu Balak Anam melihat
bagaimana sepuluh jari tangan itu menusuk menembus buah kelapa. Lalu “kraakk!” Sekali
si orang tua menarik buah kelapa dalam cengkeramannya terbelah dua. Dengan cepat Sutan
Alam Rajo Di Bumi membalikkan dua belahan buah kelapa hingga tak ada airnya yang tertumpah. Buah kelapa yang telah terbelah ini kemudian diserahkan pada Hantu Balak
Anam.
“Air kelapa hijau punya seribu khasiat untuk kesehatan tubuh. Silahkan
meneguknya!” kata Sutan Alam. Lalu dia mengambil buah kelapa satunya yang diletakkan
di atas kursi batu. Tapi karena agak terburu-buru, buah kelapa yang telah dipegangnya itu
meluncur jatuh lalu menggelinding ke mulut goa dan lenyap di luar sana.
“Ah nasibku sial. Tanda perut tua ini tak akan menikmati air dan daging kelapa yang
enak Ku. Bodohnya akui” Sutan Alam mengumpati diri sendiri. Sepasang matanya yang
jereng memandang ke mulut goa.
“Biar aku keluar mengambil kelapa Ku,” kata Hantu Balak Anam pula seraya
meletakkan buah kelapa yang sudah terbelah di atas batu berbentuk kursi.
“Hujan masih derasi” mengingatkan Sutan Alam.
“Siapa takutkan hujan. Lagi pula tubuh dan jubah hitamku sudah basah kuyup....”
“Kalau kau memang mau mengambilkan kelapa yang menggelinding keluar goa Ku,
aku akan sangat berterima kasih.”
Hantu Balak Anam segera keluar dari goa. Begitu si tinggi besar yang mukanya ada
dua belas lobang ini lenyap di mulut goa, Sutan Alam Rajo Di Bumi cepat keluarkan satu
lipatan kertas dari dalam jubah hijaunya. Lipatan kertas dibuka lalu sejenis bubuk putih
yang ada dalam kertas Ku dituangkannya ke dalam air pada dua belahan buah kelapa.
Dengan cepat kertas berisi bubuk dilipat kembali dan disimpan di balik jubahnya.
“Ah...! Kau berhasil mendapatkan kelapa itu!” kata Sutan Alam ketika tak lama
kemudian Hantu Balak Anam muncul membawa buah kelapa hijau yang jatuh
menggelinding keluar goa. Begitu buah kelapa diserahkan padanya dengan cepat Sutan
Alam Rajo Di Bumi cengkeramkah sepuluh jarinya. Seperti tadi, mudah saja dia membelah
buah kelapa berkulit dan berbatok keras itu. Lalu seperti orang kehausan tanpa tunggu lebih
lama dia segera meneguk habis air kelapa di belahan pertama. Sambil mengusap mulutnya
Sutan Alam berpaling pada Hantu Balak Anam. Sambil menyeringai dia menegur. “Apa lagi
yang kau tunggu? Ayo lekas habiskan air kelapa itu!”
Hantu Balak Anam balas menyeringai. Dia segera mengambil buah kelapa yang ada
di atas kursi batu dan tanpa tunggu lebih lama segera meneguk habis air yang ada di
belahan pertama, dilanjutkan dengan air kelapa di belahan kedua.
“Bagaimana rasanya?!” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi. Mata jerengnya kembali
berputar.
“Manis dan sejuk!” jawab Hantu Balak Anam lalu meletakkan kelapa di atas kursi
batu.
Sutan Alam tertawa mengekeh. “Kau tidak mengupas dagingnya yang putih lembut
itu?”
Hantu Balak Anam menggeleng. “Airnya sudah cukup membuat hausku hilang dan
perutku kenyang!”
Kembali Sutan Alam tertawa panjang. Buah kelapa yang dipegangnya diietakkahnya
puia di atas batu. Sambil menggosok-gosok ke dua tangannya dia bertanya. “Apakah masih
ada hal-hal yang hendak kau bicarakan Hantu Balak Anam?”
Hantu Balak Anam berpikir sejenak lalu gelengkan kepala. “Semua sudah aku
utarakan,” katanya.“Kalau begitu kau sudah bisa mengatur urusan di bagian tengah dan selatan pulau
Andalas. Aku membereskan bagian utara. Yang penting harap kau suka menyirap kabar di
mana adanya Tua Gila, sekaligus muridnya bernama Wiro Sableng itu. Lalu mehcari tahu di
mana tersembunyinya Pedang Naga Suci 212.”
“Akan aku lakukan Sutan!” kata Hantu Balak Anam Dari Sijunjung.
“Ada satu hal lagi yang ingin kau selidiki. Di pulau Andalas beberapa waktu lalu
muncul seorang tokoh silat baru, tidak bernama tidak bergelar. Tapi memiliki kepandaian
luar biasa. Dia seorang perempuan yang selalu mengenakan pakaian kuning. Wajahnya
ditutup dengan sehelai cadar kuning. Sulit diduga berapa usianya apa lagi menduga siapa
dia adanya. Orang ini perlu diselidiki karena tindak tanduknya sangat mencurigakan. Bukan
mustahil dia yang jadi racun semua pembunuhan atas diri para tokoh golongan putih.”
“Apa yang kau katakan ini memang pernah kudengar,” ujar Hantu Balak Anam.
“Kalau ada kesempatan tak ada Salahnya aku menyelidiki.”
“Bukan kalau ada kesempatan Sobatku! Tapi harus ada kesempatan untuk
menyelidikinya. Kalau tidak rimba persilatan di pulau Andalas dan tanah Jawa tak bakal
tenteram....”
Hantu Balak Anam Dari Sijunjung tertawa lebar. Dalam hati dia berkata. “Kau boleh
menyuruh memerintah. Aku akan lakukan apa yang aku suka! Aku tidak berada di bawah
perintahmu. Aku bukan orang suruhan atau anak buahmu!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi menatap ke arah mulut goa. Lalu duduk bersila di atas
lantai goa, pejamkan sepasang matanya yang jereng letakkan dua tangan di atas lutut.
Seolah Hantu Balak Anam tidak ada lagi di situ orang tua ini mulai bersamadi.
“Tua bangka sialan! Sebetulnya aku tidak suka padamu! Kalau tidak ingin
menyelamatkan dunia persilatan di pulau ini tak akan aku datang ke sini!” Hantu Balak
Anam memaki dalam hati diperlakukan seperti itu. Dengan cepat dia membalikkan badan
lalu tinggalkan goa.
Hanya sesaat setelah Hantu Balak Anam Dari Sijunjung meninggalkan tempat itu,
Sutan Alam Rajo Di Bumi buka ke dua matanya yang jereng. Di mulutnya terkulum seringai
buruk lalu sambil melompat bangkit dari mulutnya keluar suara tawa bergelak. Dia
melangkah ke mulut goa. Bayangan Hantu Balak Anam tak kelihatan lagi. Orang tua
berjubah hijau ini palingkan kepala ke belakang lalu berkata dengan suara lantang.
“Sutan Alam Rajo Di Bumi! Aku sudah jalankan tugas sesuai perintahmu!”
Belum lenyap suara gema ucapan si kakek tiba-tiba di sebelah dalam terdengar suara
berke-reketan. Salah satu dinding goa tampak bergeser. Lalu dari balik dinding yang
terbuka secara aneh itu muncul sesosok tubuh tinggi besar mengenakan destar serta jubah
putih menjela lantai batu.
*
* *
ENAM
Hantu Balak Anam berlari kencang menuruni lereng Singgalang di bawah hujan yang
masih mencurah lebat. Di satu tempat orang ini hentikan larinya dan tegak
bersandar ke sebatang pohon besar.
“Aneh.... Mengapa tubuhku mendadak terasa letih, padahal aku berlari belum berapa
jauh. Dadaku sesak, jantung berdebar keras. Peredaran darah dalam tubuhku sepertinya
tidak beres. Aku....” Hantu Balak Anam terbatuk-batuk beberapa kali. Dia merasa ngeri
sendiri mendengar suara batuknya. “Apa yang terjadi dengan diriku?” Diusapnya
wajahnya. Dirabanya lehernya. Terasa panas. Lalu dia batuk-batuk lagi. Kemudian
dirasakannya ada hawa panas seolah membakar perut dan dadanya. Kepalanya berat seperti
mau pecah. Ke dua telapak tangannya dibentangkan. Terkejutlah Hantu Balak Anam ketika
melihat bagaimana telapak tangannya kiri kanan telah berubah warna menjadi kebiruan.
H
“Aku termakan racun...” desis Hantu Balak Anam. Lalu mulutnya dibuka lebar tak
kuat menahan batuk. Namun sekali ini dia batuk lagi, ada darah ikut menyembur keluar
dari mulutnya. “Jahanam! Ada orang meracuniku! Pasti orang tua di puncak Singgalang Ku!
Sutan Alam keparat! Berani kau berlaku culas dan keji! Aku bersumpah membunuhmu!”
Dengan dua jari tangan kanannya Hantu Balak Anam menotok tubuhnya di arah
lambung, pusar, dada dan pangkal leher. Lalu dia mengeluarkan beberapa butir obat
berbentuk bulat yang segera ditelannya. Ketika kepalanya terasa lebih enteng dan debaran
jantungnya mengendur dengan cepat dia tinggalkan tempat itu, naik kembali menuju
puncak Gunung Singgalang.
“Sutan Alam keparatl Serahkan nyawamu padaku!” teriak Hantu Balak Anam begitu
dia sampai di depan goa. Kaki kanannya ditendangkan. Pinggiran batu mulut goa hancur
berentakan. Hantu Balak Anam lalu berkelebat masuk ke dalam.
Langkah Hantu Balak Anam tertahan ketika dia melihat di hadapannya berdiri sosok
tubuh tinggi besar seorang tua berjubah dan berdestar putih. Dia tidak kenal orang ini dan
dia tidak perduli. Langsung saja Hantu Balak Anam membentak.
“Mana dia?!” Sepasang matanya memandang berputar. Rambutnya yang seperti ijuk
dan basah kuyup seperti mau berjingkrak dan alisnya yang aneh panjang mencuat pada ke
dua ujungnya.
Orang tua di hadapan Hantu Balak Anam memperhatikan Hantu Balak Anam
dengan tenang lalu menegur.
“Kau memasuki goaku tanpa memberi salam. Begitu masuk langsung membentak.
Siapa yang kau cari dan siapa dirimu sendiri?!”
Hantu Balak Anam menindih rasa amarahnya sementara dadanya kembali
mendenyut sakit. Sepasang bola matanya memandang sekeliling goa.
“Kau seperti mencari sesuatu. Apa ada binatang peliharaanmu yang tengah kau kejar
dan kesasar ke tempatku ini?!”
Hantu Balak Anam tak dapat lagi menahan amarahnya. “Binatang itu bernama Sutan
Alam Rajo Oi Bumii Tua bangka berjubah hijau yang telah meracun diriku dengan air
kelapa!” Hantu Balak Anam memandang ke arah batu berbentuk kursi. Tadi sebelum pergi
di atas batu Ku terletak dua buah kelapa dalam keadaan terbelah. Tapi saat Hu benda Ku tak
tampak lagi.“Aneh sekali ucapanmu sampai di telingaku! Aku adalah Sutan Alam Rajo Oi Bumi!
Aku tidak mengenali dirimu, apakah kau mengenali diriku?!” Orang berjubah putih ajukan
pertanyaan.
“Jahanam! Apa artinya semua ini!! Belum lama aku meninggalkan tempat ini! Di sini
aku menemui seorang kakek berjubah hijau mengaku bernama Sutan Alam Rajo Di Bumi!
Kami bicara panjang lebar mengenai dunia persilatan. Dia menjamuku dengan air kelapa
yang diberi racun! Sekarang dia tidak ada lagi di sini. Dan kau mengaku Sutan Rajo Di
Bumi! Sandiwara apa yang ada di dalam goa celaka ini?!”
“Sobat, agaknya hawa amarah mempengaruhi dirimu. Harap kau suka bersikap
tenang dan terangkan apa yang terjadi. Kalau kau memang mencari Sutan Alam Rajo Di
Bumi maka akulah orangnya!”
“Lalu siapa tua bangka berjubah dan berdestar hijau yang mengaku bernama Sutan
Alam Rajo Di Bumi yang kutemui di tempat ini?!”
“Sobatku, selama puluhan tahun aku tinggal seorang diri di tempat ini. Jika kau tidak
percaya silahkan kau memeriksa keadaan goa ini....”
“Aku memang tidak percaya!” tukas Hantu Balak Anam. Matanya memandang liar
kian kemari lalu kembali pada orang tua di hadapannya. “Dengar, jika kau tidak
menjelaskan dan berusaha menyembunyikan sesuatu aku akan membunuhmu saat ini juga!”
“Malaikat maut datangnya memang tidak terduga,” kata orang tua tinggi besar yang
mengaku bernama Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sungging ka n seringai mengejek. “Tapi
jika kau muncul dan berkata hendak membunuhku, ini adalah satu keanehan yang sangat
mahal harganya!”
“Aku yakin ada hal yang tidak beres di tempat ini! Seseorang mengaku bernama
Sutan Alam Rajo Di Bumi telah meracuniku! Kini kau sendiri juga mengaku bernama Sutan
Alam Di Bumi! Dari pada susah-susah mengusut perkara biar kau yang aku bunuh lebih
dulu!”
Habis berkata begitu Hantu Balak Anam menyergap orang berjubah putih dengan
satu pukulan keras ke arah kepala. Yang diserang tentu saja tidak tinggal diam. Sambil
membuat gerakan mengelak dia angkat tangan kirinya menepis hantaman lawan.
“Bukkk!”
Dua lengan yang sama-sama terlindung di balik jubah saling beradu keras. Ke dua
orang itu sama-sama keluarkan seruan tertahan. Kakek berjubah putih, terpental sampai dua
langkah sedang Hantu Salak Anam mencelat dan tersandar ke dinding goa!
Dari akibat bentrokan itu Hantu Balak Anam segera maklum kalau lawan memiliki
kekuatan lebih tinggi dari dirinya. Mungkin ini akibat pengaruh luka dalam racun yang
menciderai dirinya.
“Kalau kuserang lagi dan terjadi bentrokan luka dalamku bisa tambah parah!”
membatin Hantu Balak Anam. “Lebih baik kuhantam dengan ilmu andalanku!” Walau agak
susah payah namun Hantu Balak Anam masih sanggup menghimpun hampir tiga perempat
tenaga dalamnya yang segera dialirkan ke kepala.
Di sebelah depan orang tua berjubah putih melihat kulit muka Hantu Balak Anam
semakin menghitam dan kepalanya seolah bertambah sampai empat kali lebih besar. Dua
belas lobang yang ada di wajahnya tampak mengeluarkan cahaya aneh berkilauan. Tiba-tiba
dari lobang-lobang itu melesat dua belas larikan sinar hitam panas luar biasa, menderu ke
arah dua belas bagian tubuh si jubah putih!
“Dua belas jalur kematian!” teriak si jubah putih penuh kaget begitu mengenali ilmu
kesaktian apa yang tengah menyerangnya!
Serta merta orang tua ini lesatkan tubuh ke atas hingga punggungnya menempel rata
di langit-langit goa. Dari mulutnya keluar bentakan garang. Sepasang matanya mendadak
menjadi merah. Lalu tiba-tiba sekali dari dua bola matanya mencuat keluar dua larik sinar
merah dan laksana kilat menghantam ke arah Hantu Balak Anam!
Kejut Hantu Balak Anam bukan olah-olah ketika dia mengenali ilmu kesaktian lawan
yang dipergunakan untuk menyerangnya. “Sepasang Api Neraka! Astaga jadi kau benar
Sutan Alam Rajo Di Bumi! Tahan!” seru Hantu Balak Anam seraya menyingkir dengan
muka pucat.
Namun terlambat.
Salah satu dari dua sinar merah itu menghantam tubuhnya di bagian bawah bahu
sebelah kanan.
“Craaasss!”
Hantu Balak Anam menjerit keras. Bukan oleh rasa sakit akibat hantaman serangan
lawan saja tapi juga oleh rasa ngeri ketika melihat bagaimana dada kanannya kini telah
geroak membentuk sebuah satu lobang besar mengerikan! Jubah hitamnya di sekeliling
lobang mengerikan itu tampak hangus dikobari api.
Terhuyung-huyung Hantu Balak Anam bersurut ke pintu goa. Darah mengucur dari
bofongan luka di dada kanannya. Hantu Balak Anam menyadari dalam keadaan seperti itu
terlalu berbahaya baginya untuk meneruskan perkelahian. Sambil kertakkan rahang
menahan sakit dia berkata. “Orang tua berjubah putih! Siapapun kau adanya jangan
mengira urusan sudah selesai sampai di sini. Aku akan datang lagi mencari dan mengorek
nyawa busukmu!”
Orang tua berjubah putih yang saat itu masih menempel di atas langit-langit goa
keluarkan tawa mengekeh.
“Hantu Balak Anam. tubuh kasarmu boleh pergi dari sini! Tapi tinggalkan dulu
nyawamu!” Habis berkata begitu dua bola mata orang tua ini kembali berubah menjadi
merah. Lalu dua larik sinar sakti Sepasang Api Neraka kembali mencuat menghantam ke
arah Hantu Balak Anam Dari Sijunjung. Namun orang yang diserang sudah lebih dulu
berkelebat pergi. Dua larik sinar merah menghantam lantai dan dinding goa. Goa batu itu
menggelegar keras. Pecahan batu dan debu bertaburan di udara.
“Kurang ajar! Dia melarikan diri!” merutuk si jubah putih. Lalu perlahan-lahan dia
melayang turun dari langit-langit goa. Begitu ke dua kakinya menjejak lantai batu kagetlah
dia ketika melihat ada tiga buah lobang hitam di jubah putihnya. Ternyata tiga dari dua
belas jalur serangan maut Hantu Balak Anam sempat menghantam tubuhnya. Yang pertama
pada bagian jubah sebelah bawah yang hanya menghanguskan ke dua pada bagian lengan
tangan sebelah kanan yang juga tidak membawa Cidera. Namun hantaman yang ketiga
sempat menyerempet pinggulnya. Orang tua ini cepat robek jubahnya di bagian pinggul dan
parasnya berubah ketika melihat bagaimana daging pinggulnya sebelah kanan luka besar
dan membengkak berwarna merah kebiruan. Cepat dia membuat tiga totokan di sekitar
luka. Lalu dengan terpineang-pincang dia masuk ke bagian dalam goa. Dari sebuah legukan
batu diambilnya satu kendi kecil terbuat dari perak. Sejenis cairan yang ada dalam kendi
perak ini lalu diguyurkannya pada luka besar di pinggul. “Wusss!”Cairan itu seperti menyiram satu benda panas hingga mengeluarkan suara berdengus
dan mengepulkan asap. Si orang tua sampai keluarkan keringat dingin menahan sakit.
Kendi perak yang telah kosong terlepas jatuh dari tangannya. Tubuhnya disandarkannya ke
dinding goa. Ketika dia memandang ke dinding goa di sebelah depannya tampangnya
berubah garang. Dari mulutnya keluar teriakan keras,
“Datuk Mangkuto Kamangl Lekas keluar dari balik dinding!”
Belum lagi lenyap gema suara orang tua berjubah putih, dari arah depan terdengar
suara berdesir disusul suara berkereketan. Dinding batu di hadapan orang tua ftu secara
aneh bergeser ke kiri membentuk sebuah pintu di sudut kanan. Dari pintu ini keluarlah
orang tua berjubah dan berdestar hijau. Mukanya yang cekung tampak agak pucat. Dia
melangkah ke hadapan si jubah putih sementara dinding batu di belakangnya kembali
bergeser menutup.
“Datuk Mangkuto, kau sadar bahwa kau telah melakukan satu kesalahan besar?!”
“Saya menyadari Sutan Alam Rajo Di Bumi,” jawab si jubah hijau pada orang tua
berjubah putih yang sebelumnya menyamar menjadi Sutan Alam Rajo Di Bumi. Sedang
orang tua berjubah putih sendiri adalah Sutan Alam Rajo Di Bumi yang asli.
“Berapa bagian racun dalam bungkusan kertas yang kau berikan pada Hantu Balak
Anam Dari Sijunjung? Yang membuatnya tidak segera menemui kematian, malah sanggup
kembali ke sini dan hendak membunuhku!”
“Saya hanya memberikan setengah dari isi bungkusan, Sutan....”
“Itu kesalahan besarmu! Kau tahu Hantu Balak Anam bukan orang sembarangan.
Setengah bungkus racun tidak akan membuatnya menemui ke-matian! Bukankah aku
memerintahkan padamu agar mempergunakan seluruh racun yang ada?!”
“Saya mengaku salah Sutan. Tapi mengingat racun kala putih itu sulit dicari, mahal
harganya dan lagi pula masih ada dua korban lain yang harus dibunuh dengan racun itu,
maka saya hanya menaruhkan setengah....”
“Plaakkk!”
Satu tamparan mendarat di pipi Datuk Mangkuto Kamang, Kepalanya laksana
dipuntir. Bibirnya pecah dan mengucurkan darah. Destar hijau yang kebesaran di kepalanya
tercampak ke lantai goa.
“Sutan, saya sudah mengaku salah. Mengapa kau masih menjatuhkan tangan keras?!”
“Kau berani meradang!” Kau ingin satu tamparan lagi di muka burukmu
Mangkuto?!” bentak Sutan Alam Rajo Di Langit.
“Sutan, saya tidak dapat menerima perlakuan ini! Mulai saat ini saya keluar sebagai
anggota komplotan kejimu!”
Mendengar kata-kata Datuk Mangkuto Kamang itu tampang gagah Sutan Alam Rajo
Di Bumi menjadi berubah merah. Lalu dia tertawa bergelak.
“Jika itu maumu kau boleh pergi Mangkuto. Selamat jalan!” kata Sutan Alam Rajo Di
Bumi pula seperti tak acuh.
Tanpa menunggu lebih lama Datuk Mangkuto Kamang segera melangkah ke pintu.
Namun sebelum dia sempat keluar dari dalam goa, di sebelah belakang sepasang bola mata
Sutan Alam Rajo Di Bumi berubah menjadi merah. Lalu “wuss.... Wusss!” Dua larik sinar
merah ilmu sakti Sepasang Api Neraka melesat. Datuk Mangkuto masih sempat berpaling
dan berusaha selamatkan diri ketika melihat ada dua larik Cahaya merah menyambar ke
arahnya. Namun terlambat. Dua larik sinar merah menghantam tubuhnya, membuat dia
mencelat dan terhempas jatuh dua langkah di depan mulut goa. Sebuah lobang mengerikan
yang mengepulkan asap terlihat di batok kepalanya. Satu lobang lagi membentang di punggungnya!
*
* *
TUJUH
Pertemuan dengan Anggini membuat Wiro merasa gembira. Bukan saja dia mendapat
kawan seiring seperjalanan sambil mengobrol, tapi dia juga merasa mendapat
pelindung jika terjadi apa-apa dengan dirinya dalam keadaan seperti itu. Sikap dan
cara bicara Anggini jauh berbeda dari masa lalu. Tampaknya gadis ini telah matang oleh
pengalaman. Selama perjalanan dia sama sekali tidak menyinggung masalah atau rencana
gurunya yang hendak menjodohkan dirinya dengan murid Sinto Gendeng itu.
P v
“Walau menurutmu guruku meninggalkan Pengandaran bersama kekasihnya di
masa muda, namun sebagai murid aku tetap merasa was-was. Apa lagi mengingat
belakangan ini dikabarkan terjadi saling bunuh antara para tokoh silat sesama golongan
putih. Semua kejadian itu dikaitkan pula dengan munculnya komplotan orang-orang aneh
yang bermarkas di Lembah Akhirat...”
“Aku juga bertanya-tanya siapa adanya manusia yang disebut dengan panggilan
Datuk Lembah Akhirat itu. Kalau saja Pangeran Matahari masih hidup niscaya aku
menduga sang Datuk adalah si Pangeran keparat itu! Agaknya rimba persilatan tidak
pernah lepas dari manusia-manusia jahat berwatak aneh,” kata Wiro sambil melirik pada
gadis berpakaian serba ungu di sampingnya itu.
Saat yang sama Anggini mengerling pula pada si pemuda hingga pandangan mereka
saling bertemu. Paras sang dara tampak bersemu merah sementara murid Sinto Gendeng
tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
“Anggini, apakah kau berniat hendak menyelidik ke Lembah Akhirat?” Wiro ajukan
pertanyaan-Lalu pemuda ini menguap lebar-lebar.
“Rencana memang ada. Tapi aku harus tahu dulu di mana guruku Dewa Tuak berada.
Sekaligus memastikan bahwa dia tidak tersangkut dengan orang-orang Lembah Akhirat....”
Saat itu hari memasuki petang. Mereka sampai di satu pedataran aneh. Di ujung
timur pedataran terdapat legukan menyerupai lembah batu cadas dikelilingi pohon-pohon
besar. Di bawah pepohonan bertumbuhan bunga-bunga hutan yang sedang berkembang
membentuk satu. pemandangan yang indah. Di salah satu sisi bebatuan cadas tampak air
mengucur jernih.
“Indah sekali pemandangan di bawah sana. Ada bunga, ada air. Pasti sejuk. Aku
ingin membasahi tenggorokan dan membersihkan diri. Aku ingin ke bawah sana...” kata
Anggini.
Wiro memandang ke langit. “Jangan lama-lama, sebentar lagi matahari akan
tenggelam. Kau pergilah ke bawah sana. Aku menunggu di sini saja....”
“Apakah tidak terlalu jauh kau menunggu di sini?”
“Kurasa tidak. Kalau terlalu dekat nanti kau salah tingkah seandainya mau
membersihkan diri buka baju segala....”
“Ah, penyakit lamamu usil mulut rupanya belum hilang!” kata Anggini. Lalu gadis
ini cepat tinggalkan tempat itu.
Wiro duduk bersandar di bawah sebatang pohon. Beberapa kali dia menguap. Belum
lagi Anggini sampai di lembah batu cadas murid Sinto Gendeng ini sudah mendengkur!
Di lembah Anggini membasahi wajah, kaki dan tangannya dengan air sejuk yang
mengucur jatuh di antara batu-batu cadas. Setelah meneguk air jernih itu sepuasnya dia duduk berjuntai di atas sebuah batu. Ke dua kaki celananya digulung ke atas lalu seperti
anak kecil sambil bernyanyi-nyanyi kecil murid Dewa Tuak ini permainkan air dengan ke
dua kakinya. Sementara kakinya mempermainkan air Anggini basahi tangannya lalu
diusapkan ke balik dada pakaiannya. Saat itulah dia menyadari kalau dia1 tidak sendirian di
tempat itu. Ada seorang lain tak jauh dari situ. Orang ini mendekam di atas salah satu
pohon besar yang mengelilingi lembah cadas. Mula-mula si gadis menyangka orang itu
adalah Pendekar 212. Namun ketika diliriknya dengan sudut mata ternyata bukan.
“Pengintip lancang di atas pohon! Lekas turun kalau tidak mau mati!” Anggini
berteriak.
Orang di atas pohon tak menjawab. Bergerak pun tidak.
“Bagus! Jadi kau memilih mati dari pada turun!” Tangan kanan si gadis bergerak ke
pinggang. Lalu “wuttt!” Terdengar suara menderu. Tiga buah benda berupa paku perak
melesat di udara. Menyambar ke arah pohon besar di mana orang yang mengintip berada.
Anggini menunggu suara orang itu terpekik ditembus paku perak yang menjadi senjata
rahasia andalannya. Tapi itu tak terjadi. Ketika dia memandang ke arah pohon, orang yang
tadi mendekam di salah satu cabang tak kelihatan lagi. Dua dari tiga paku perak yang
dilemparkan Anggini menancap di batang dah cabang yang melintang.
“Aneh, tak terdengar suara gerakan. Pohon sama sekali tidak bergoyang! Gerakan
orang itu cepat sekali. Jangan-jangan bukan manusia tapi monyet atau orang hutan. Lalu ke
mana kaburnya makhluk sialan itu?!” pikir Anggini. Pandangannya diputar berkeliling ke
arah pohon-pohon besar sekitar lembah batu cadas.
Tiba-tiba dia mendengar suara bergemerisik di pohon sebelah kanan. Ketika
diperhatikan suara gemerisik itu berpindah pada pohon berikutnya. Lalu pindah lagi ke
pohon terdekat.
“Wuttt!”
Ada sambaran angin di belakangnya. Begitu Anggini berpaling tahu-tahu di
hadapannya telah tegak seorang pemuda berwajah keren, berpakaian bagus berwarna hijau.
Di pinggangnya tergantung sebilah pedang sedang di telinga kanannya ada sebuah anting
terbuat dari emas.
“Kau yang barusan mengintip orang mandi?!” bentak Anggini marah sekali.
“Jangan salah paham. Aku tidak mengintip...” si pemuda agak tergagau dibentak
begitu rupa.
“Lalu mengapa berada di atas pohon?!”
“Dengar, sebelum kau datang ke tempat ini aku sudah lebih dulu berada di pohon
itu...”
“Berarti pekerjaanmu memang sengaja menunggu orang datang lalu mengintainya
waktu mandi....”
Si pemuda tertawa lebar. “Namaku Panji, siapa namamu....”
“Pemuda kurang ajari Siapa tanyakan namamu?!” sentak Anggini.
“Ah, aku merasa tidak melakukan sesuatu yang kurang ajar. Malah kau yang sejak
tadi membentak-bentakku!”
“Kesabaranku ada batasnya. Lekas tinggalkan tempat ini!”
“Tidak bisa! Aku mau mandi di sini!” jawab pemuda berbaju hijau yang adalah
putera Raja Pulau Sipatoka yang juga dikenal dengan nama Datuk Pangeran Rajo Mudo.“Kau saja yang pergi!” Lalu enak saja pemuda itu membuka baju hijaunya hingga tampak
dadanya yang bidang penuh otot dan ditumbuhi bulu lebat.
Anggini terbeliak, wajahnya merah sekali dan ke dua kakinya menyurut ke belakang.
“Kau memang pemuda kurang ajar! Biar aku beri sedikit pelajaran bersopan santun!”
Lalu hampir tak kelihatan tangan kanan gadis itu bergerak menampar
ke arah pipi kiri si pemuda.
“Rontok gigimu!” kata Anggini. Tapi “wutttt!” Tamparan yang dipastikannya akan
mendarat keras di muka si pemuda ternyata hanya mengenai angin. Malah saking kerasnya
dia membuat gerakan menampar tubuhnya terputar setengah lingkaran. Kaki kanannya
terpeleset dari atas batu yang dipijaknya. Belum sempat dia mengimbangi diri tahu-tahu tu-
buhnya telah jatuh dan masuk ke dalam air setinggi dada!.
Pemuda berbaju hijau tampak terkejut sekali.
Dia ulurkan tangan berusaha hendak menolong Tapi Anggini justru mencekal
lengannya lalu membetotnya kuat-kuat. Tak ampun lagi pemuda itu ikut jatuh masuk ke
dalam air. Si pemuda ternyata tak mau dilemparkan orang ke dalam air begitu saja. Ketika
tubuhnya melayang di atas kepala Anggini, tangannya yang dicekal membuat gerakan
berputar hingga kini dia juga mencekal lengan si gadis. Akibatnya ke dua orang itu sama-
sama jatuh ke dalam air saling tindih tubuh dan muka satu sama lain. Si pemuda di sebelah
bawah, Anggini menindih di sebelah atasi
Selagi Anggini memaki panjang pendek dan pemuda bernama Panji batuk-batuk
karena tertelan air, di tepi lembah batu cadas terdengar orang tertawa gelak-gelak.
“Kalian berdua sedang mandi bersama atau bergurau atau lagi apa?!”
Tanpa menoleh Anggini sudah tahu kalau yang tertawa itu adalah Wiro Sableng.
Kemarahannya yang meluap ditumpahkannya pada Panji. Sambil melompat keluar dari air
kaki kanannya menendang ke arah dada si pemuda!
“Tahan! Kenapa kau menyerangku!” teriak Panji seraya cepat-cepat menghindar dari
tendangan si gadis.
Lagi-lagi serangan Anggini hanya mengenai tempat kosong, membuat murid Dewa
Tuak ini jadi tambah beringas. Padahal saat itu pakaiannya basah kuyup hingga bentuk
tubuhnya seolah tercetak di bawah pakaian yang basah itu!
Mula-mula Panji memang tidak mau melawan. Dia membuat gerakan-gerakan kilat
untuk menghindar atau berkelit. Namun serangan si gadis datang bertubi-tubi. Di satu saat
ketika dia terdesak ke arah barisan batu-batu cadas setinggi punggung, Anggini gerakkan
tangan kanannya ke arah dada si pemuda. Dua jari menusuk dengan deras ke arah jantung.
Ini adalah totokan maut yang walau bisa dikelit Panji akan tetap mencelakainya.
“Totokan Seribu Lumpuh Seribu Ajal!” seru Wiro kaget ketika melihat jurus maut
yang dilancarkan murid Dewa Tuak itu. Tanpa sadar akan keadaan dirinya sendiri Pendekar
212 Wiro Sableng segera melompat terjun ke dalam air. Dua tangannya memegangi lengan
Anggini dan dia sengaja bergantungan di tangan si gadis hingga Anggini tak dapat
meneruskan totokan mautnya.
“Apa-apaan kau ini?!” bentak Anggini. “Jangan bergelayutan seperti monyet di
tanganku!”
“Sabar Anggini, jangan perturutkan amarahmu! Ayo naik ke atas sana!”
Saking kesalnya Anggini hantamkan tangannya ke bawah. Akibatnya Wiro seperti
dihenyakkan dan kecebur masuk ke dalam air. Megap-megap dia keluar. Sambil geleng
geleng kepala dia, menarik ujung baju ungu si gadis. Anggini tak dapat berbuat lain dari
pada mengikuti. Kalau dia melawan, pakaiannya yang tertarik bisa robek di bagian dada
sampai ke perut!
“Nah duduk bagus-bagus di situ. Katakan apa yang terjadi!“ ujar Wiro sambil
menyuruh duduk Anggini di atas sebuah batu tapi sang dara tetap saja berdiri dan menatap
Wiro dengan mata berkilat-kilat.
“Kurasa otakmu kejangkitan penyakit lama! Kau membantu orang yang sengaja
mengintip aku mandi!” kata Anggini setengah berteriak.
“Dia salah sangka! Aku tidak berbuat serendah itu. Aku tidak mengintip...!” Panji
membela diri. Dia merancah air lalu naik ke atas batu-batu cadas tapi sengaja menjaga jarak
dengan Anggini karena khawatir gadis itu akan menyerangnya kembali.
“Sobatku beranting emas,” menegur Wiro Sableng. “Apa benar kau mengintipnya
ketika sedang mandi?”
Panji menggeleng berkali-kali. “Istrimu itu salah sangka....”
“Pemuda lancang! Enak saja kau bicara! Siapa bilang aku istrinya!” hardik Anggini
marah.
Wiro tertawa lebar dan garuk-garuk kepala sementara Panji unjukkan wajah bingung.
“Harap maafkan, aku tidak tahu kalau.». Sudahlah! Yang jelas dia salah sangka. Aku
sudah lama berada di atas pohon sana ketika dia datang ke lembah batu ini. Lagipula dia
tidak sedang mandi. Hanya mencuci muka dan duduk-duduk di atas batu. Kalau dia mandi
mana mungkin saat ini dia masih berpakaian seperti itu.,..”
“Anggini, kau dengar ucapan pemuda ini. Dia tidak mengintipmu....”
Anggini palingkan wajah ke jurusan lain dan tampak merengut. “Mungkin saja dia
tidak mengintip, tapi mengapa tadi dia hendak membuka baju, hendak bertelanjang di
depanku?!”
Wiro jadi melengak. “Saudara, apa ucapan gadis sahabatku ini benar?” tanya Wiro.
“Benar, tapi tidak bermaksud bertelanjang. Aku hanya berniat membuka baju lalu
mandi. Mana mungkin aku berani melakukan hal segila itu! Sudahlah, kalau temanmu itu
merasa aku memang bersalah, aku minta maaf saja. Tapi aku tetap tidak mau dituduh
mengintip perempuan mandi!”
Wiro angkat tangannya lalu berkata. “Kalau aku boleh bertanya, lalu apa yang kau
lakukan di atas pohon?!”
“Aku dibesarkan di sekitar laut dan rimba belantara. Menyelam dan memanjat pohon
adalah kesukaanku....”
“Berartikalau kau bukannya keturunan ikan buas pasti keturunan orang hutan!”
sergah Anggini.
Mendengar ucapan si gadis, Panji tidak marah malah tertawa lebar. “Sahabatku
memang monyet dan ikan! Kami sering berpacu cepat memanjat pohon dan menyelam ke
dasar laut!”
“Sahabat beranting emas, kau belum mengatakan apa tujuanmu berada di atas pohon
itu,” Wiro mengingatkan.
“Terus terang aku mencari dua sahabat. Karena hari sudah petang aku memilih
duduk di atas pohon sambil memperhatikan keadaan sekitar sini,” jawab Panji.
“Sahabat yang kau tunggu itu lelaki atau perempuan?” tanya Wiro.
“Satu perempuan satu lagi lelaki.”
“Apa mereka punya nama?” tanya Wiro sambil senyum-senyum dan melirik pada
Anggini.
“Yang satu memang seorang gadis....”
“Jelas bukan sahabatku ini, bukan?”
“Memang bukan, tapi sahabatmu ini lebih cantik dari sahabatku itu!” jawab Panji
polos membuat Anggini kembali merengut.
“Siapa nama sahabatmu itu?” tanya Wiro lagi.
Tak bisa kukatakan padamu,” jawab Panji. Yang dimaksudkan pemuda ini seperti
dituturkan dalam Episode sebelumnya jelas adalah Puti Andini yang ditolongnya dari
serbuan anjing hutan ketika tergeletak di tengah jalan dalam keadaan pingsan akibat ilmu
yang diberikan nenek sakti Sika Sure Jelantik.
“Hemmm.... Lalu sahabatmu yang satu lagi siapa dia?”
“Seorang kakek aneh tapi sakti, Namanya Wiro Sableng!”
Murid Sinto Gendeng seperti hendak terlompat mendengar ucapan Panji, Anggini
sendiri palingkan kepala dan memandang terheran-heran pada pemuda beranting emas itu.
“Kau yakin sahabatmu itu seorang kakek bernama Wiro Sableng?”
“Eh, kenapa kau bertanya seolah tak percaya. Memang aku cuma bertemu satu kali
dengan dia. Tapi pertemuan itu membawa satu riwayat yang panjang....”
“Mengapa kau mencarinya?” tanya Wiro pula.
“Dia seorang sahabat baik walau usianya beberapa kali usiaku. Aku mencari karena
dia satu-satunya sahabat baikku di tanah Jawa ini. Waktu berada di pulau dia telah
menyelamatkan ayah dan ibuku dari racun jahat mematikan.”
“Sahabat, coba kau jelaskan ciri-ciri kakek bernama Wiro Sableng itu,” ujar Wiro.
“Orangnya agak bungkuk, tidak terlalu tinggi. Rambut panjang putih, kumis dan
janggutnya juga putih. Dia mengenakan pakaian putih. Matanya lebar sekali dan mukanya
sangat cekung seolah tak berdaging....”
“Tua Gila! Pasti dia!” kata Wiro dalam hati. Dia berpaling pada Anggini, memberi
isyarat bahwa dia akan memberi tahu bahwa sebenarnya dialah orangnya yang bernama
Wiro Sablengi, Tapi Anggini menggelengkan kepala.
“Sahabatku, kalau kau memang hendak mencari sahabatmu itu lebih baik
melanjutkan perjalanan dari pada mendekam di atas pohon....”
Sebenarnya Panji ingin menanyakan siapa adanya Wiro dan teman gadisnya yang
berpakaian serba ungu itu. Tapi akhirnya dia memutuskan lebih baik mengikuti nasihat si
pemuda yaitu melanjutkan perjalanan.
“Kalau kita berpisah kuharap tak ada lagi salah sangka di antara kita,” kata Panji.
Pemuda ini lalu menjura pada Wiro dan Anggini. Ketika dia hendak bergerak pergi tiba-
tiba udara di sekitar lembah batu cadas itu dipenuhi oleh suitan-suitan nyaring. Sesaat
kemudian beberapa bayangan berkelebat dan tahu-tahu empat orang telah tegak di atas
batu-batu cadas di empat jurusan.
*
* *
DELAPAN
Orang pertama adalah kakek berwajah lancip mengenakan jubah hitam berbelang
putih. Yang membuat wajahnya jadi seram adalah sepasang matanya yang merah
sangat besar dan mencuat keluar seolah mau copot. Dia tegak menghadap ke arah
lembah batu di mana Panji, Wiro dan Anggini berada, namun kepalanya terus-terusan
mendongak ke langit seolah memandang sesuatu di atas sana.
O
Memperhatikan kakek yang tidak dikenalnya ini Wiro berkata dalam hati. “Tua
bangka aneh ini mendongak terus-terusan. Mungkin takut mukanya diluruskan sepasang
matanya yang seperti ikan maskoki bisa jatuh menggelinding ke tanah!”
Orang ke dua duduk berjongkok di atas batu cadas paling tinggi. Wajahnya tidak
kelihatan karena seperti sengaja disembunyikan di balik ke dua pahanya. Dua tangan berada
di samping dengan telapak dikembangkan menekan batu yang didudukinya. Orang ini
mengenakan celana panjang dan baju hitam tanpa lengan. Karena tubuhnya tak bergerak
sedikitpun tak dapat dipastikan apakah dia saat itu tengah tertidur atau bagaimana.
Pendatang ke tiga tegak dengan sikap keren. Kaki terkembang dan dua tangan
berkacak pinggang. Manusia ini memiliki kepala panjang tapi peang, berwajah hijau penuh
benjol-benjol seperti ditumbuhi bisul. Rambutnya yang keriting halus tersusun tinggi ke atas
seperti sarang tawon. Keanehan manusia ini masih ditambah dengan sepotong tulang yang
ditancapi di bibirnya sebelah bawah.
“Baru sekali ini aku melihat makhluk seperti ini. Dedemit pun kalah seramnya!”
berucap murid Sinto Gendeng dalam hati. Lalu Wiro perhatikan telapak tangan kanannya
yang berwarna hijau. “Pasti kekuatan atau ilmu andalannya ada di tangan kanan itu,” pikir
Wiro.
Orang ke empat adalah satu-satunya yang dikenali oleh Pendekar 212 yaitu bukan
lain si nenek bernama Sika Sure Jelantik. Seperti dituturkan dalam Episode pertama (Tua
Gila Dari Andalas) semasa berada di pulau Kerajaan Sipatoka dia telah menyamar menjadi
seorang dukun yang dikenal dengan panggilan Dukun Sakti Langit Takambang. Kini karena
dia muncul dalam bentuk aslinya maka Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo tidak bisa
mengenalinya. Sebaliknya si nenek memandang pada pemuda itu dengan mata berkilat-
kilat. Dulu dia ingin menguasai kerajaan Sipatoka dengan jalan meracuni ke dua orang tua
Panji yaitu Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dan permaisuri. Namun gagal berkat pertolongan
Tua Gila yang tersesat ke pulau Kerajaan itu. Kini melihat Panji berada di tempat itu,
kebencian Sika Sure Jelantik jadi berkobar. “Tak dapat ibu bapaknya, anaknya pun tak jadi
apa! Putera Mahkota keparat ini harus disingkirkan dari muka bumi!” kata si nenek dalam
hati penuh geram. Lalu dia melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Hemmm....
Pemuda keparat ini ada di sini pula! Dulu aku sudah berniat membunuhnya! Namun saat
itu ada gadis yang kusukai itu. Memandang mukanya dan memenuhi permintaannya aku
tidak jadi menghabisinya, tapi sekali ini tanganku sudah gatal untuk merampas nyawanya!”
Habis membatin begitu Sika Sure Jelantik memandang berkeliling pada tiga orang
yang datang bersamanya lalu berkata. “Kita berempat tidak satu golongan tapi punya satu
tujuan. Siapa yang hendak bicara dultian?!”
Kakek berjubah hitam putih yang matanya mem-berojol keluar mendehem beberapa
kali seolah memberi isyarat bahwa dialah yang ingin bicara lebih dulu.“Gadis berpakaian ungu bernama Anggini! Dengar baik-baik apa yang aku ucapkan.
Karena kalau nyawamu sudah minggat kau tak bakal bisa mendengar apa-apa lagi...!”
Anggini yang berada di telaga dalam lembah batu terkejut sekali mendengar orang
tua tak dikenalnya itu menyebut namanya. Si gadis bertanya-tanya siapa adanya kakek ini.
“Beberapa waktu lalu di Pulau Andalas kau telah membunuh seorang bernama Datuk
Mangkuto Kamang tanpa sebab tanpa alasan. Seorang gadis sepertimu membunuh seorang
tua, sungguh satu perbuatan teramat keji. Apalagi kau dan sang Datuk sesama orang satu
golongan putih dalam rimba persilatan.” Ketika bicara sepasang mata si kakek tampak
bergerak bergoyang-goyang. Masih terus dengan kepala mendongak dia lanjutkan
ucapannya.
“Sehabis membunuh kau melarikan diri ke tanah Jawa. Kau lupa betapa pun luasnya
bumi ini, dalam kejahatan dia akan menjadi sempit. Hari ini kau kutemui. Berarti hari ini
kau harus melepas nyawa membayar kematian Datuk Mangkuto Kamang. Aku Datuk
Gadang Mentari adalah kakak Datuk Mangkuto Kamang I”
Anggini sampai ternganga mendengar apa yang barusan diucapkan orang tua
mengaku bernama Datuk Gadang Mentari itu, Sekilas dia berpaling pada Wiro. Murid Sinto
Gendeng dilihatnya tegak garuk-garuk kepala. Si gadis memandang kembali pada kakek
berjubah hitam putih itu lalu tertawa panjang.
“Orang tua, aku tidak kenal dirimu. Aku juga tidak kenal saudaramu yang bernama
Datuk Mangkuto Kamang itu! Kau muncul dan menuduh aku membunuh adikmu! Apa kau
tidak keliru menjatuhkan tuduhan? Apa kau tidak terpesat kesasar ke tempat ini? Apa kau
tidak sedang mimpi dan mengigau sementara hari belum lagi malam!”
Sepasang mata yang memberojol dari Datuk Gadang Mentari tampak bergoyang-
goyang tanda dia dilanda kemarahan. Tangan kirinya bergerak mengeluarkan sebuah benda
berwarna ungu.
“Aku bicara tidak sembarang bicara! Aku menuduh bukan tanpa bukti! Buka matamu
lebar-lebar. Benda apa yang aku lemparkan ke hadapanmu!”
Habis berkata begitu sang Datuk lalu lemparkan benda yang dipegangnya ke
hadapan Anggini. Benda itu ternyata adalah sehelai selendang ungu yang salah satu
ujungnya ada tulisan 212. Terbelalaklah murid Dewa Tuak melihat selendang itu. Bentuknya
sangat sama dengan yang dimilikinya dan saat itu melingkar di leher. Orang lain akan sulit
membedakan ke dua selendang itu.
Sementara Anggini hanya tertegak menganga Wiro melangkah lalu membungkuk
mengambil selendang ungu yang dilemparkan Datuk Gadang Mentari. Selendang itu
diperhatikannya sambil diusap-usap dengan jari tangan kiri lalu didekatkannya ke hidung
dan diciumnya.
“Pemuda rambut gondrong bermuka pucat!” hardik Datuk Gadang Mentari. “Apa
yang kau lakukan?!”
“Hebat juga tua bangka bermata brojol ini!” ujar Wiro dalam hati. “Dia mendongak
dan sama sekali tidak melihat ke arahku. Bagaimana bisa tahu kalau aku melakukan
sesuatu?!”
“Menurutku selendang ini memang sama dengan milik gadis ini. Tapi tidak serupa
alias tidak asli....”
“Aku tidak minta pertimbanganmu!” kembali Datuk Gadang Mentari membentak.
Wiro angkat bahu dan serahkan selendang ungu pada Anggini. Tapi tanpa
memperhatikan si gadis langsung saja mencampakkan selendang itu ke tanah.
“Apa yang dikatakan pemuda ini benar! Selendang itu sama warna, sama bentuk
dengan yang kumiliki. Tapi tidak asli. Selendangku terbuat dari sutera asli, selendang yang
kau bawa terbuat dari sutera tiruan....”
“Selendang sahabatku berbau harum. Selendangmu busuk bau tai ayam!” sambung
Wiro pula.
Datuk Gadang Mentari tertawa pendek. Dua bola matanya bergoyang keras. Dari
hidungnya terdengar suara mendengus. Lalu mulutnya semburkan ludah.
Hebatnya ludah yang disemburkan itu tidak jatuh ke tanah seolah melesat dan lenyap
di udara.
“Orang bersalah selalu mengingkari kesalahannya! Selendang itu ditemukan
melingkar menjirat leher adikku! Sementara tubuhnya hancur tak karuan! Apa kau masih
ingin mencari dalih?!”
“Perlu apa aku mencari dalih! Aku tak pernah membunuh orang bernama Datuk
Mangkuto Kamang!” jawab Anggini ketus tapi tegas.
Tenggorokan Datuk Gadang Mentari tampak bergerak cepat turun naik. Dua bola
matanya kembali bergerak-gerak. Kepalanya masih terus mendongak. Agaknya memang
kepala ini tak bisa diluruskan!
“Aku punya seorang saksi yang mengetahui peristiwa pembunuhan itu dan melihat
dengan mata kepalanya sendiri bahwa memang kau yang membunuh adikku!”
“Katakan siapa orangnya!” kata Anggini dengan suara keras.
“Aku tak bisa memberi tahu karena dia bukan seorang tokoh sembarangan.”
“Berarti semua ini adalah fitnah! Kau punya karangan! Katakan terus terang apa
maksudmu melakukan sandiwara keji ini?!” Sepasang mata Anggini membeliak dan
suaranya lantang membahana.
“Orang yang menjadi saksi perbuatanmu itu bukan orang sembarangan. Dia adalah
seorang tokoh di Gunung Singgalang!”
Kening Anggini mengernyit. “Aku mengenal dua orang tokoh yang diam di gunung
itu. Seorang kakek buntung sakti bernama Nyanyuk Amber. Namun sejak lama dia
melenyapkan diri dari Gunung Singgalang. Orang satunya lagi adalah seorang nenek
berkepandaian tinggi bernama Sabai Nan Rancak. Dia....”
“Tidak, tidak!” memotong Datuk Gadang Mentari. “Bukan mereka yang
menyaksikan perbuatan kejimu itu....”
“Berarti....”
“Sudahlah, aku tak ingin bicara berpanjang lebar. Dosa dan kesalahanmu sudah jelas.
Biar kawan-kawanku yang lain punya kesempatan untuk bicara!” Datuk Gadang Mentari
berpaling ke arah Sika Sure Jelantik tapi kepalanya terus saja mendongak.
“Perempuan tua sahabatku harap kau suka memberi tahu kedatanganmu pada calon-
calon mayat yang ada di tempat ini!”
“Calon-calon mayat?!” Untuk pertama kalinya Panji membuka mulut. Dia
memandang pada Wiro dan Anggini lalu satu persatu pada empat orang yang ada di
sekelilingnya. Tak satu pun dari mereka yang dikenali pemuda ini. Maklum saja dia baru
sekali ini menginjakkan kaki di tanah Jawa. “Maksudmu kami bertiga ini yang kau sebut
sebagai calon-calon mayat? Kalian hendak membunuh kami?!” Sika Sure Jelantik tertawa panjang. “Putera Mahkota kerajaan pulau Sipatoka! Kau
mewakili ke dua orang tuamu menjadi tumbal kematian! Hik... hik... hik!”
Terkejutlah Panji mendengar kata-kata si nenek. Matanya melotot tak berkesip
menatap wajah bulat keriput si nenek sementara rambutnya yang putih panjang riap-riapan
dihembus angin lembah. “Siapa sebenarnya perempuan tua ini...?” pikir Panji. Matanya
turun ke bawah memperhatikan jubah hitam yang melekat di tubuh si nenek lalu
pandangannya membentur tangan kiri kanan Sika Sure Jelantik. Sepuluh kuku jari si nenek
dilihatnya berwarna hitam dan panjang-panjang. Pemuda ini mencoba mengingat-ingat. “
“Wajahnya tidak sama. Tapi pakaian dan bentuk jarinya tak ada beda. Lalu suaranya.
Aku mengenali betul. Tak mungkin salah! Jangan-jangan....”
*
* *
SEMBILAN
Nenek bermuka bulat dan ada tahi lalat di dagu kirinya itu kembali mengumbar tawa
panjang. Sementara Wiro dan Anggini memandang pada Panji terheran-heran
karena barusan disebut sebagai Putera Mahkota oleh si nenek.
“Anak muda calon mayat! Aku adalah Sika Sure Jelantik yang dulu kau kenal sebagai
Dukun Sakti Langit Takambang!”
N
“Kau!” seru Panji dengan lidah tercekat tapi wajah langsung merah seperti saga! Dan
darah amarah menggelegak!
“Hik... hik! Kau adalah calon mayat pertama di tempat ini!” hardik si nenek.
Wiro berpaling pada Anggini dan berbisik. “Agaknya siapa calon mayat ke dua di
antara kita...?”
“Aku belum mau mati!” jawab Anggini tanpa berpaling pada Wiro.
“Ah, nasibku jelek. Dalam keadaan seperti ini agaknya aku memang ditakdirkan jadi
calon mayat ke dua. Lebih dulu menemui ajal darimu!” keluh Wiro sambil garuk-garuk
kepala. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan air muka sedih apalagi takut.
Murid Dewa Tuak terkejut mendengar ucapan Pendekar 212 dan baru teringat akan
keadaan Wiro. Walau pemuda ini masih membawa Kapak Maut Naga Geni 212,
mengenakan jubah sakti Kencono Geni dan dibekali Si Raja Penidur dengan ilmu tidur,
namun tetap saja si gadis merasa khawatir. Dia berbisik. “Jangan jauh-jauh dariku Wiro.
Kalau ada apa-apa aku sulit membantumu...” kata Anggini cepat.
Wiro anggukkan kepala dan diam-diam merasa terharu gadis itu memperhatikan
keselamatannya.
“Dukun tua keparat! Dulu kau melarikan diri dari pulau. Apa sekarang kau kira bisa
lolos dari tanganku? Biaraku yang muda mewakili kedua orang tuaku memuntir putus
kepalamu!”
Sika Sure Jelantik tertawa bergelak. “Umur hanya beberapa kali usia jagung! Tubuh
masih bau pesing! Ilmu dan pengalaman hanya sejengkal dalamnya comberan busuk!
Sombong amat bicara hendak memuntir putus kepalaku!”
“Siapa lagi yang hendak bicara?!” Tiba-tiba Datuk Gadang Mentari buka suara. Dia
masih terus mendongak ke langit dan sepasang matanya yang menjorok keluar bergerak-
gerak liar.
“Tunggu! Aku masih belum habis bicara!” berteriak Sika Sure Jelantik.
Tenggorokan Datuk Gadang Mentari bergerak turun naik. Bola matanya yang
memberojol bergoyang beberapa kali.
“Kaii!” tiba-tiba Sika Sure Jelantik menghardik dan menuding dengan jari telunjuk
tangan kirinya yang berkuku panjang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto
Gendeng mengambil sikap diam menunggu. “Terakhir kali nyawamu selamat karena gadis
cantik berlesung pipit kekasihmu itu menolongmu! Kali ini jangan harap kau bisa selamat
dari kematian!”
Wiro garuk-garuk kepala. Dia melirik pada Anggini dan melihat bagaimana paras
gadis ini berubah begitu mendengar si nenek menyebut gadis lesung pipit yang jadi
kekasihnya. “Gara-gara mulut lancang nenek sialan ini, apa kini yang ada dalam benak serta
hati Anggini...?” membatin Wiro.“Pendekar 212, apakah saat ini kamu masih belum mau memberi tahu di mana
adanya kakek keparat Tua Gila?!”
“Bukankah tempo hari sudah kubilang di mana dia berada?!” ujar Wiro sambil
cengar-cengir.
Di sampingnya Anggini yang tiba-tiba jadi kacau pikiran mendengar kata-kata si
nenek tadi, bagaimanapun juga tetap tidak ingin melihat Wiro celaka. Maka dia cepat
berbisik. “Wiro, jangan berlaku gegabah. Nenek satu ini memiliki kepandaian tinggi....”
Sepasang mata Sika Sure Jelantik mendelik. “Kapan kau memberitahu! Di mana?!”
“Kau sudah tua, tak salah kalau cepat pelupa. Bukankah waktu itu kuberitahu
padamu bahwa Tua Gila berada di satu kali kecil? Sedang membuang hajat besar alias
berak?! Sampai saat ini kurasa dia masih ada di sana. Memang mengherankan. Buang hajat
besar saja sampai berminggu-minggu....” Wiro tertawa gelak-gelak. Anggini menggigit bibir
melihat. Wiro abaikan nasihatnya. Datuk Gadang Mentari keluarkan suara menggereng dari
tenggorokannya. Orang bermuka hijau yang rambutnya seperti sarang tawon keluarkan
suara gemeretak dari rahangnya yang dikatupkan kencang-kencang. Sementara itu
terdengar suara tertawa cekikikan tertahan. Yang tertawa ternyata adalah yang duduk
dengan menyembunyikan mukanya di atas batu cadas paling tinggi.
Amarah Sika Sure Jelantik menggemuruh. Didahului satu teriakan keras dia siap
melompat ke hadapan Wiro. Namun dengan cepat Datuk Gadang Mentari rentangkan
tangan kirinya ke samping. “Wuuttt!” Selarik angin menyambar di depan Sika Sure Jelantik
membuat gerakan si nenek tertahan.
“Datuk Gadang! Jangan kau berani menghadang diriku!” teriak Sika Sure Jelantik
marah.
“Tenang dan sabar sedikit Sika. Bukankah kita sudah berjanji tidak akan bertindak
sendiri-sendiri sebelum semua dari kita bicara?!”
Si nenek saking geramnya bantingkan kaki kirinya. “Kraakkk!” Batu yang dipijaknya
retak lalu terbelah dua. Sebelum batu roboh dia telah melompat ke batu lain di sebelahnya.
“Giliran siapa sekarang yang bicara?!” Datuk Gadang Mentari bertanya. Kepala
masih mendongak dan sepasang mata terus bergerak-gerak.
Lelaki bermuka hijau letakkan tangan kirinya di atas dada lalu batuk-batuk beberapa
kali. Sebelum membuka mulut dia terlebih dulu memandang dengan garang pada Wiro,
Anggini dan Panji.
“Aku Pengiring Mayat Muka Hijau! Wakil Datuk Lembah Akhirat! Aku diutus untuk
menjadi saksi pemusnahan orang-orang golongan putih yang melakukan kekejian dalam
rimba persilatan! Bilamana orang-orang golongan putih tidak bisa diperbaiki maka aku
membawa amanat untuk menyingkirkan mereka!”
Wiro pencongkan mulutnya. “Hebat benar tugas manusia ular keket ini!” katanya
dalam hati.
Setelah mengusap bibirnya yang ditancapi tulang kecil, Pengiring Mayat Muka Hijau
menatap ke arah Wiro lalu berkata. “Jika kau benar orang yang dijuluki Pendekar 212,
seperti yang dituntut oleh sobatku Sika Sure Jelantik, aku ingin menanyakan di mana
adanya gurumu si Tua Gila itu?”
“Hemm.... Apa kau punya keperluan sama dengan nenek itu?” tanya Wiro
seenaknya.Pengiring Mayat Muka Hijau menyeringai. “Gurumu si Tua Gila itu telah membunuh
seorang tokoh golongan putih di pulau Andalas. Korbannya adalah Magek Bagak Baculo
Duo! Dosa besar ini harus dipertanggung jawabkannyal Kalau kau tidak memberitahu di
mana dia berada maka aku akan mewakili dunia persilatan untuk menghabisimu saat ini
juga. Tapi mengingat nama besarmu aku bisa memberi pengampunan dengan satu syarat...”
“Asyik juga! Apa syaratmu manusia muka hijau berambut sarang tawon?!” bertanya
Pendekar 212 yang kembali membuat Anggini jadi panas dingin.
“Kau ikut dengan aku ke Lembah Akhirat dan menyatakan tunduk pada Datuk
Lembah Akhirat masuk menjadi anggota kami!”
“Hemmm.... Coba aku pikirkah dulu!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Sebelum aku memberi keputusan mau ikut denganmu atau tidak, apa boleh aku bertanya?
Yang namanya Lembah Akhirat itu pasti letaknya di akhirat ya? Walah, perjalanan ke sana
pasti jauh sekali. Apa orang harus terbang menuju ke sana atau ada tangganya naik ke langit
sana atau bagaimana ya...?” Wiro tutup ucapannya dengan tawa bergelak.
Orang yang duduk menutupi mukanya di atas cadas tinggi ikut-ikutan tertawa.
Murid Sinto Geri-deng mempermainkan Pengiring Mayat Muka Hijau tidak hanya sampai
di sana. Mulutnya kembali me-nyeletuk. “Manusia muka ular keketl Kau tahu Tua Gila sejak
lama berada di tanah Jawa ini, sedang buang hajat besan Kapan dia sempat-sempatnya
membunuh si Magek Bagak Babiji Duo itu?! Ha... ha... ha...!”
“Baculo duo! Bukan Babiji Duo!” Orang yang duduk menutup wajah di atas batu
cadas membetulkan ucapan Wiro lalu tertawa terkekeh-kekeh.
“Datuk Gadang Mentari! Aku sudah gatal tangan membetot jantung mencabut nyawa
orang ini! Harap kau cepat memberi kesempatan pada kawan kita yang terakhir untuk
bicara!” kata Pengiring Mayat Muka Hijau dengan pelipis menggembung bergerak-gerak
saking mendidih amarahnya.
“Sobatku di atas cadas!” berseru Datuk Gadang Mentari. “Jangan tertawa saja! Kami
memberi kesempatan padamu untuk bicara!”
Orang di atas cadas hentikan tawanya tapi tetap saja duduk seperti tadi.
Menyembunyikan wajahnya di balik sepasang kakinya yang dilipat.
Lalu terdengar suaranya berkata dengan nada rawan. “Datuk Gadang Mentari, kau
tahu siapa dan bagaimana sifatku. Harap kau saja yang mewakili aku bicara!”
“Hemm....” Datuk Gadang Mentari bergumam. Matanya tak lepas memandang ke
langit. “Sobatku Iblis Pemalu, jika itu maumu baiklah. Aku akan bicara pada dua kecoak
ingusan itu! Pemuda bergelar Pendekar 212 dan gadis bernama Anggini, dengar baik-baik
apa yang aku katakan! Akibat ulah kalian berdua seorang tokoh bernama Datuk Bululawang
menemui kematian! Malang bagi kalian berdua, Datuk Bululawang adalah kakak kandung
sobatku Iblis Pemalu yang saat ini duduk di atas batu cadas sanal Celaka bagi kalian berdua,
hari ini akhirnya Iblis Pemalu berhasil menemui kalian di sini setelah sekian lama mencari-
cari! Nyawamu mungkin terpaksa kami bagi dua!”
“Mana bisa begitu!” Sika Sure Jelantik menukas. “Kita ada berempat jadi nyawanya
harus dibagi empat!” Si nenek lalu tertawa cekikikan.
Wiro memandang ke atas batu cadas di mana lelaki berpakaian serba hitam duduk.
Lalu berbisik pada gadis di sebelahnya. “Anggini, apa yang kau ketahui tentang manusia
aneh bernama Iblis Pemalu itu?”“Aku memang pernah mendengar nama manusia satu ini. Dia malang melintang
seorang diri. Tidak merangkul golongan mana pun. Kepandaiannya sangat tinggi tapi dia
bukan bangsa manusia yang mudah dikecoh oleh orang-orang golongan hitam, Aneh kalau
hari ini dia ikut-ikutan dengan tiga manusia kesasar itu! Lekas kau bicara menjelaskan
kematian Datuk Bululawang itu!”
“Iblis Pemalu!” Wiro berseru. “Soal kematian kakakmu itu, apakah kau menyaksikan
dengan mata kepala sendiri?!”
“Sobatku Datuk Gadang Mentari, harap kau jawab pertanyaannya.” Iblis Pemalu
bicara dan tetap sembunyikan wajahnya di balik paha.
“Dia memang tidak melihat sendiri pembunuhan yang kalian lakukan atas diri
kakaknya! Tapi dia mendapat penjelasan dari orang lain yang bisa dipercayai”
“Siapa orang lain itu?!” tanya Anggini.
“Agar sesama golongan putih tidak tambah ricuh, harap kau tidak memberi tahu
siapa orangnya Datuk Gadang!” Yang bicara adalah Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Berarti ada kedustaan besar di balik semua ini!” kata Anggini.
“Iblis Pemalu, harap kau tidak termakan fitnah!” kata Wiro.
Iblis Pemalu tidak menjawab tidak bergerak. Yang buka suara kembali, adalah
Pengiring Mayat Muka Hijau, anak buah Datuk Lembah Akhirat. “Kau pandai bicara
membela diri! Tapi siapa yang mau percayai Datuk Gadang, apakah kita sudah siap mulai
dengan pesta kematian ini?!”
Tunggu! Aku mau bicara dulu dengan Iblis Pemalu!” teriak Wiro. Lalu dia naik ke
atas batu-batu cadas dan memanjat ke tempat iblis Pemalu duduk. Kalau saja dia masih
memiliki kesaktian dan tenaga dalam, Wiro tak perlu susah payah naik ke atas batu itu. Tapi
cukup sekali melompat dan melesat saja dia dengan cepat dan mudah bisa sampai di sana.
“Iblis Pemalu, harap kau mau mendengar penjelasanku. Adikmu Datuk Bululawang bukan
kami yang membunuh. Dia jadi korban pembalasan sakit hati Sandaka, seorang pemuda
berjuluk Manusia Paku. Pemuda itu sendiri adalah korban ilmu hitam Dewi Ular!”
Pengiring Mayat Muka Hijau mendengus. “Nama Sandaka ataupun Manusia Paku
tak pernah dikenal. Kalau orangnya memang ada di mana dia sekarang. Juga Dewi Ular.
Coba jelaskan di mana perempuan itu berada!”
“Mereka amblas masuk jurang!” menerangkan Anggini.
Pengiring Mayat Muka Hijau tertawa mengejek. “Semua yang kalian katakan tidak
masuk akal! Datuk.... Bagaimana? Apa kita bisa mulai?” (Mengenai Sandaka atau Manusia
Paku harap baca serial Wiro Sableng berjudul Dendam Manusia Paku)
“Datuk Gadang, kau belum menyampaikan satu permintaanku?” Tiba-tiba Iblis
Pemalu berkata.
“Astaga, hampir aku terlupa!” kata Datuk Gadang Mentari. “Kami menyirap kabar,
salah satu dari kalian memiliki sebuah peta petunjuk di mana adanya sebilah pedang sakti
bernama Pedang Naga Suci 212! Aku dengar kau yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 yang menyimpannya. Jika peta itu kau berikan pada Iblis Pemalu maka segala
urusan menyangkut dirimu akan dilupakannya!”
“Gila, kenapa urusan jadi panjang bertele-tele seperti ini!” keluh Wiro. “Kalian semua
dengar! Aku tidak tahu menahu soal pedang itu! Apalagi menyimpan peta petunjuk!”
“Aku juga!” kata Anggini.“Aku yang menyimpannya!” Tiba-tiba Panji yang sejak tadi berdiam diri keluarkan
seruan.
Pengiring Mayat Muka Hijau, Sika Sure Jelantik palingkah kepala ke arah pemuda
itu. Datuk Gadang Mentari memutar tubuhnya sedikit tapi tetap saja mendongak ke langit.
Iblis Pemalu tampak menggeser dua tangannya yang sejak tadi bersitekan ke batu.
“Datuk Gadang! Lekas kau rampas peta itu!” Berteriak Iblis Pemalu.
“Jangan-jangan dia hanya menipu!” Pengiring Mayat Muka Hijau berkata.
Panji menyeringai. Dari balik pakaiannya yang bagus dia mengeluarkan secarik kain
putih yang telah lusuh. Benda itu diperlihatkannya pada orang-orang yang ada di tempat
itu. Lalu dengan cepat dimasukkannya kembali ke balik pakaiannya.
Pengiring Mayat Muka Hijau jadi bimbang. Datuk Gadang Mentari gerak-gerakkan
kedua kakinya. Iblis Pemalu keluarkan suara aneh sementara Sika Sure Jelantik merupakan
satu-satunya orang yang tampak tidak tertarik dengan urusan Pedang Naga Suci 212 itu.
Sepasang matanya terus menerus mengawasi Wiro yang sejak tadi diincarnya.
Tiba-tiba Panji berkelebat dari tempat itu. Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu dia
sudah berada di salah satu puncak batu cadas. Terus melesat ke atas sebatang pohon besar
dan lenyap di balik kerimbunan dedaunan.
“Kejar!” teriak Iblis Pemalu. Tubuhnya melesat ke atas. Mukanya yang tidak tertutup
lagi di balik kedua pahanya kini ditutupnya dengan tangan kirinya. Di udara dia membuat
gerakan aneh. Di lain kejap laksana terbang dia melesat ke arah pohon besar tempat
lenyapnya Panji.
Datuk Gadang Mentari walau tampak tak bisa menguasai diri tapi masih tetap berada
di atas batu tempatnya berdiri. Sementara Sika Sure Jelantik tidak melepaskan Wiro dari
pengawasannya.
“Sika Sure Jelantik, sementara dua teman kita berusaha mendapatkah peta,
bagaimana kalau kita berdua membagi-bagi rejeki?!”
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. Dia maklum apa maksud ucapan Datuk Gadang
Mentari itu,
“Sika, kau urusi si pemuda, aku biar membereskan yang gadis!” kata Datuk Gadang
Mentari pula. Lalu sekali dia menggenjotkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat ke arah
Anggini. kepalanya tetap mendongak ke langit. Namun tangan kanannya membuat gerakan
kilat. Menghantam ke jurusan Anggini.
Si nenek Sika Sure Jelantik keluarkan teriakan keras lalu berkelebat ke arah Pendekar
212!
SEPULUH
Kita ikuti pengejaran atas diri Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo yang dilakukan
oleh Pengiring Mayat Muka Hijau dan Iblis Pemalu. Seperti diketahui putera Rajo
Tuo Datuk Paduko iman yano juga merupakan cucu Tua Gila itu memiliki ilmu
kepandaian aneh-aneh. Antara lain mampu menyelam dalam waktu sanya W! dalam air. Lalu
dia juga sangat pandai dalam soal panjat memanjat. Sekali berkelebat di atas pohon dirinya
lenyap seolah berubah jadi angin.
K
Pengiring Mayat Muka Hijau penasaran setengah mati. Dia memandang berkeliling.
Satu bayangan hitam berkelebat. Dia siap menghantam tapi cepat menarik tangannya ketika
mengenali orang itu adalah Iblis Pemalu. Sambil tutupi kedua mukanya dengan tangan
manusia aneh ini mengawasi keadaan sekelilingnya lewat celah-celah jarinya.
“Ke mana lenyapnya jahanam itu! “kata Pengiring Mayat Muka Hijau setengah
berteriak. “Aku merasa malu! Lebih baik bunuh diri kalau tidak berhasil menangkap
manusia kampret itu!” kata Iblis Pemalu lalu tutup lebih rapat mukanya dengan ke dua
tangan.
Pengiring Mayat Muka Hijau tambah jengkel mendengar kata-kata sj Iblis Pemalu.
“Kau menyelidik ke sebelah kiri! Aku ke jurusan kanan!” kata anak buah Datuk Lembah
Akhirat ink Lalu tanpa menunggu jawaban orang si Pengiring Mayat Muka Hijau melompat
ke atas pohon besar di sebelah kiri.
Tapi begitu kakinya menginjak salah satu cabang tiba-tiba saja cabang pohon Hu
amblas. Kalau dia tidak lekas bergayut pada cabang di atasnya paling tidak dia akan
terperosok jatuh.
“Jahanam!” maki Pengiring Mayat Muka Hijau. Dia memperhatikan bekas patahan
cabang pohon. Ternyata cabang itu tidak patah biasa, melainkan ada tanda bekas dipotong
dengan beda tajam. “Pasti pemuda jahanam itu yang punya, pekerjaan!”
Perigiring Mayat Muka Hijau memaki.
“Sobatku dari Lembah Akhirat!” tiba-tiba terdengar suara Iblis Pemalu.
Pengiring. Mayat Muka Hijau diam saja. Kembali terdengar suara Iblis Pemalu. “Aku
malu tak dapat mencari pemuda pembawa peta itu! Mengapa kau tidak mengerahkan Ilmu
Pukulan Mayat! Sekali kau menerabas semua pepohonan ini akan musnah dan jahanam itu
tak bisa lagi bersembunyi! Lekas kau lakukan. Sebentar lagi matahari akan terbenam dan
tempat ini akan diselimuti kegelapan!”
Pengiring Mayat Muka Hijau masih diam. Namun dalam hatinya dia membenarkan
kata-kata Iblis Pemalu. Maka dia segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya yang
telapaknya berwarna hijau. “Wusss!”
Pengiring Mayat Muka Hijau menghantam ke pohon di atasnya. Selarik sinar hijau
menderu. Cabang, ranting dan daun-daun pohon di atas sana laksana dikobari api berwarna
hijau. Dalam waktu sekejapan saja pohon itu berubah menjadi bubuk berwarna hijau yang
kemudian lenyap bertaburan tertiup angin, Di pohon yang kini menjadi gundul itu sama
sekali tidak terlihat sosok pemuda yang dikejar. Penasaran Pengiring Mayat Muka Hijau
kembali menghantam pohon di samping kiri. Untuk kedua kalinya pohon ini pun menerima
nasib sama. Gundul laksana dimakan api! Namun Panji tetap saja tidak kelihatan!
“Jahanam!” Lagi-lagi Pengiring Mayat Muka Hijau menyumpah habis-habisan.Tiba-tiba seseorang melayang turun dari atas pohon dan tegak di samping Pengiring
Mayat Muka Hijau, membuat orang ini terkejut dan kembali menyumpah panjang pendek.
Yang datang ternyata adalah Iblis Pemalu.
“Sobatku Pengiring Mayat Muka Hijau!” Iblis Pemalu berbisik. “Aku sudah melihat
pemuda itu. Dia sembunyi di pohon sebelah kanan sana. Lekas kau menghantam kembali.
Aku tak mau menyerangnya. Aku malu!”
Pengiring Mayat Muka Hijau habis sabarnya. Dia membentak. “Kau malu
menyerangnya. Tapi tidak malu menginginkan peta rahasia itu!”
Iblis Pemalu menutup wajahnya dengan dua tangan tambah rapat. “Ah, ucapanmu
membuat diriku tambah malu,” katanya tetap dengan suara berbisik. “Ayo cepat kau
menghantam pohon itu sebelum dia kabur dari sana!”
“Sialan! Bangsat ini memperalat diriku! Jangan harap kau bakal dapatkan peta itu!”
rutuk Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu tanpa berpaling pada orang di sebelahnya dia
langsung menghantam ke pohon yang dikatakan.
“Wusss!”
Untuk kesekian kalinya sinar hijau menggebu. Kali ini lebih dahsyat karena Pengiring
Muka Mayat menghantam dengan penuh amarah serta pengerahan tenaga dalam tinggi
Pohon besar di sebelah sana bukan saja hancur lebur di sebelah atas tapi setengah dari
batangnya ikut berubah jadi arang berwarna hijau yang kemudian lebur ditiup angin!
“Mana dia! Katamu bangsat itu ada di pohon itu! Kau lihat sendiri dia tidak ada di
sana!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau marah ketika dia sama sekali tidak melihat sosok
Panji.
“Ah, bagaimana ini. Tadi jelas aku lihat dia mendekam di atas sana. Aku jadi malu!”
Iblis Pemalu memandang liar kian kemari di antara celah-celah jarinya.
Tiba-tiba terdengar suara bergemeresak di belakang mereka. Iblis Pemalu dan
Pengiring Mayat Muka Hijau cepat berbalik.
Sesosok tubuh berkelebat dari atas pohon kecil dan satu kaki menendang ke arah
Pengiring Mayat Muka Hijau. Demikian cepat datangnya tendangan membuat anak buah
Datuk Lembah Akhirat ini tidak dapat berkelit. Meskipun dia tak sempat menghindar
namun Pengiring Mayat Muka Hijau tidak diam begitu saja. Tangan kanannya dihantamkan
ke arah si penyerang.
“Bukkk!”
“Wuss!”
Satu tendangan menghantam dada kanan Pengiring Mayat Muka Hijau dengan telak.
Selarik sinar hijau berkiblat!
Pengiring Mayat Muka Hijau terpental dua tombak dan menyangsrang jatuh di
semak belukar. Dada kanannya serasa remuk.
“Memalukan! Ah, kau tidak apa-apa sobatku?!” tanya Iblis Pemalu dan mendatangi
Pengiring Mayat Muka Hijau. Tangan kirinya masih ditutupkan ke mukanya. Tangan kanan
diulurkan untuk menolong.
Saat itu bukan saja rasa sakit yang diderita Pengiring Mayat Muka Hijau tapi
amarahnya pun sudah menggelegak sampai ke ubun-ubun. Dengan kaki kirinya
diterjangnya perut Iblis Pemalu hingga orang ini terjengkang tapi cepat bangkit kembali.
Sambil menutupkan ke dua tangannya di wajahnya, Iblis Pemalu berkata.
“Memalukan, diantara sahabat terjadi salah paham!”“Jahanam! Kalau kau tidak lekas menyingkir dari hadapanku akan kubuat jadi debu
kau saat ini juga!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Ah memalukan! Memalukan aku harus pergi!” Iblis Pemalu golengkan kepalanya
beberapa kali. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat ke arah lenyapnya bayangan
hijau yang tadi menyerang Pengiring Mayat Muka Hijau.
Dengan susah payah Pengiring Mayat Muka Hijau keluarkan tubuhnya dari semak
belukar. Dada kanannya yang cidera terkena tendangan diusapnya berulang kali. Dia
memandang ke jurusan lenyapnya Iblis Pemalu. “Pemuda baju hijau itu tak bakal lari jauh!
Aku yakin Pukulan Penghancur Mayat yang aku lepaskan tadi mengenai tubuhnya walau
tidak telak....”
Dengan cepat dia mengerahkan tenaga dalam ke dada yang cidera. Lalu begitu selesai
mengatur jalan nafas dan peredaran darah dia segera menyadari satu hal.
“Aku harus mengejar mereka. Aku tidak bisa membiarkan Iblis Pemalu mendapatkan
peta petunjuk di mana adanya Pedang Naga Suci 212 itu! Kalau sampai dia mendahului
pasti Datuk Lembah Akhirat akan menjatuhi hukuman berat padaku!”
Memikir sampai di sini Pengiring Mayat Muka Hijau segera berkelebat. Namun
gerakannya tertahan karena tiba-tiba saja di tempat itu terdengar suara tawa membahana.
Paras anak buah Datuk Lembah Akhirat yang berwarna hijau penuh benjolan seperti bisul
ini tampak tegang. Suara tawa itu bukan suara tawa biasa. Kedua kakinya yang menginjak
tanah dapat merasakan getaran hebat tanda siapa pun adanya orang yang tertawa pasti
memiliki ilmu kepandaian serta tenaga dalam luar biasa.
Berfirasat bakal ada bahaya yang mengancam Pengiring Mayat Muka Hijau cepat
menyelinap ke balik sebatang pohon besar sambil mengerahkan tenaga dalam ke tangan
kanannya. Menyiapkan Pukulan Maut Penghancur Mayat!
*
* *
SEBELAS
Pengiring Mayat Muka Hijau jadi tegang sendiri. Karena setelah ditunggu agak lama
orang yang tertawa itu belum juga muncul. Padahal suara tawanya begitu keras tanda
orangnya tidak berada jauh dari tempat dia bersembunyi. Suasana yang mendadak
menjadi sunyi senyap membuat anak buah Datuk Lembah Akhirat ini menjadi salah
tingkah. Dia ingin segera keluar dari balik pohon tapi khawatir orang akan membokongnya.
Tidak keluar membuat ketegangan semakin bertumpuk.
P
Si muka hijau ini tergagau ketika tiba-tiba kembali suara tawa meledak. Kali ini
datangnya justru dari atas pohon di bawah mana dia berlindung. Mendongak ke atas
terkejutlah dia. Seumur-umur baru sekali ini dia melihat pemandangan yang demikian luar
biasa. Dia sempat menggosok mata berulang kali untuk memastikan bahwa dia tidak salah
lihat atau tengah bermimpi.
“Keanehan apa ini! Sudah terbalikkah dunia hingga ada pemandangan begini rupa?!”
Di atas pohon besar, di salah satu cabang dia melihat seekor keledai pendek kurus.
Tegak dengan telinga bergerak-gerak, mata berkedap-kedip dan ekor bergoyang-goyang
kian kemari. Di atas punggung keledai kurus kering itu duduk seorang kakek gemuk luar
biasa. Rambutnya digulung di atas kepala. Pakaiannya tak berkancing dan kesempitan
hingga dada dan perutnya yang gembrot berlemak tersembul. Pengiring Mayat Muka Hijau
perhatikan wajah orang di atas pohon itu. Tua dan memiliki sepasang mata sangat sipit.
“Benar-benar edani” kata si Pengiring Mayat dalam hati. “Keledai bisa berada di atas
pohon! Tak masuk akal! Lalu si gendut yang duduk di atasnya! Meski binatang itu kurus
tapi cabang pohon tidak mungkin menahan bobot tubuhnya. Apalagi ditambah dengan
berat orang tua bertubuh gemuk itul Tapi cabang tidak patah, bergoyang atau meliuk pun
tidak! Siapa adahya dua makhluk aneh ini?!” Tengkuk Pengiring Mayat Muka Hijau
mendadak menjadi dingin. Dia tidak bisa menduga pasti. Namun terus memutar otak
mengingat-ingat.
Tiba-tiba si gemuk di atas pohon keluarkan suara bersuit. Lalu tertawa bergelak.
Ranting-ranting pohon bergemeretak. Daun-daun bergemeresik bahkan ada yang
berguguran.
“Dasar keledai pandir! Tolol! Bodoh! Hendak kau bawa ke mana aku ini?! Jalan ke
sorga bukan di sini! . Ha... ha... ha! Ayo lekas turun! Jangan membuat aku gamang. Bisa-bisa
aku ngompo! di celana! Ha... ha... ha! Ayo turun!”
Si gemuk tepuk-tepuk pantat keledainya. Binatang ini mengeluarkan suara melenguh
lalu menggerakkan tubuh sebelah belakangnya ke atas beberapa kali. Si gemuk di atas
punggung keledai bergoncang-goncang. Dada dan perutnya yang gembrot bergoyang-
goyang.
“Keledai dungu! Apa yang kau lakukan ini! Aku bilang jangan membuat diriku jadi
gamang! Nah... nah! Apa kataku! Lihat apa yang terjadi! Rasakan! Habis kau aku kencingi!”
Di bawah pohon Pengiring Mayat Muka Hijau tersentak kaget ketika ada air jatuh
membasahi muka dan dadanya. Ketika mencium bau air dan menyadari air apa adanya
yang barusan membasahi muka serta pakaiannya menyumpahlah dia habis-habisan.
Sementara itu di atas pohon kakek gemuk kembali tertawa keras. Dia tepuk pantat
membandel akan aku tutup lobang anusmu! Jangan harap kau bisa buang hajat selama satu
minggu!”
Entah mengerti ucapan si gemuk entah bagaimana, nyatanya keledai kurus itu
melenguh tinggi dan putar-putar. ekornya. Lalu perlahan-lahan selangkah demi selangkah
dia meniti cabang pohon. Begitu sampai pada batang pohon keledai ini terus membelok ke
bawah dan betul-betul luar biasa! Binatang ini terus menjejakkan kaki pada batang pohon,
bergerak turun ke bawah!
Pengiring Mayat Muka Hijau yang sudah tak dapat menahan amarahnya sesaat jadi
terkesiap. Dia memperhatikan dengan mata mendelik. Ketika dia mengetahui apa
sebenarnya yang terjadi kembali dia menyumpah.
“Jahanam gendut itu menipuku! Ternyata kakinya yang menempel di batang pohon.
Keledai di bawahnya hanya mengikuti gerakannya saja!” Walaupun demikian Pengiring
Mayat Muka Hijau tetap tercengang melihat kehebatan kakek gemuk yang terus-terusan
keluarkan suara tertawa itu. “Dia memiliki tenaga dalam aneh yang mampu membuatnya
meniti pohon dengan tubuh melintang di udara!
Telapak kakinya seperti memiliki perekat!”
Keledai dan si gemuk akhirnya menjejakkan kaki di tanah. Kini lebih jelas di mata
Pengiring Mayat Muka Hijau. Sebenarnya kakek gemuk itu tidak duduk di atas punggung
keledainya karena ke dua kakinya yang panjang buntak menjejak tanah menopang
tubuhnya yang berat!
Si gemuk usap-usap perutnya lalu kembali mengumbar tawa yang menggetarkan
seantero tem-pat. “Keledaiku, kau boleh pergi mencari makan. Tapi awas! Jangan jauh.
Tempat ini terasa aneh. Banyak pohon gundul berwarna hijau. Aku menunggumu di sini
sambil melepas lelah dan bernyanyi-nyanyi!”
Dengan satu gerakan ringan si gendut turun dari keledainya. Begitu binatang itu
menyeruak di antara pepohonan si gemuk menghampiri sebatang pohon lalu duduk
menjelepok di tanah, bersandar ke pohon. Padahal di sebelah belakangnya tegak
bersembunyi Pengiring Mayat Muka Hijau yang barusan dikencinginya!
Mencari saudara semata wayang
Entah hilang entah nyawa sudah melayang
Lain yang dicari
Lain yang ditemui
Kalau memang bukan maling bukan pencuri
Mengapa sengaja sembunyikan diri
Ha... ha... ha....
Enaknya hidup di dunia ini
Bisa tertawa bisa menyanyi
Ha... ha... ha!
Di balik pohon Pengiring Mayat yang sengaja menahan nafas maklum kalau nyanyi
yang dilantunkan kakek gendut itu merupakan sindiran bagi dirinya. Dalam pada itu dia
kini sudah bisa menduga siapa adanya orang itu. Maka tanpa tunggu lebih lama dia segera
keluar dari balik pohon di belakang si gemuk.“Bukankah aku berhadapan dengan tokoh dunia persilatan terhormat yang disebut
dengan gelaran Dewa Ketawa?” Pengiring Mayat Muka Hijau menegur.
Suara tawa si kakek gemuk langsung berhenti. Sepasang matanya yang sipit
memandangi Pengiring Mayat Muka Hijau dari rambut sampai ke kaki. Lalu meledaklah
tawa orang ini kembali.
“Kau pandai menerka siapa diriku. Tapi aku agaknya bakalan susah menduga siapa
dirimu! Di atas kepalamu ada sarang tawon. Ha... ha... ha! Mukamu hijau benjal-benjol
seperti ulat daun. Tubuhmu ada bau pesingnya! Bibirmu diganduli tulang. Bagaimana kau
mencium kekasih atau istrimu! Ha... ha... ha.... Siapa kau ini kira-kira ya? Ha... ha... ha!”
Rahang Pengiring Mayat Muka Hijau menggembung. Tenggorokannya turun naik.
“Orang tua gendut! Aku merasa banyolanmu tidak lucu!”
“Huss! Siapa yang sedang membanyol! Aku tadi cuma menyanyi, bukan membanyol!
Jangan-jangan pendengaranmu agak terganggu alias tuli! Ha... ha... ha!”
“Dewa Ketawa! Kekonyolanmu sudah melampaui batas! Tadinya aku punya rencana
baik untukmu! Tapi kini terpaksa aku batalkan!”
“Ah, kalau begitu rejekiku memang jelek. Tapi bagaimana kau bisa membuat rencana
baik bagiku kalau dirimu sendiri kejatuhan sial! Barusan bukankah ada setan pohon yang
mengencingimu?! Ha... ha... ha!”
“Dewa Ketawa, kau boleh tertawa sampai lidahmu copot! Jangan kaget kalau aku beri
tahu bahwa kakakmu si Dewa Sedih ada di bawah kekuasaan kami orang-orang Lembah
Akhirat....”
“Eh, apa...?! Astaga kenapa telingaku tiba-tiba menjadi budek?!” Si gendut Dewa
Ketawa ketok-ketok bagian kepala dekat telinganya kiri kanan. “Coba kau ulangi lagi
ucapanmu tadi! Aku kurang memperhatikan, kurang mendengar! Kau bilang kakakku mau
kawin? Eh...! Ha.,, ha... ha! Coba ulangi lagi ucapanmu!”
“Kakakmu si Dewa Sedih berada di bawah kekuasaan kami orang-orang Lembah
Akhirat! Tak ada jalan kembali baginya ke dunia luar! Seumur-umur dia akan jadi budak
Datuk Lembah Akhirat! Dan jangan menyesal kalau dirimu pun akan segera menerima
giliran!”
“Ha... ha...! Kalau hendak diajak jalan-jalan ke akhirat aku pun suka! Belum pernah
aku pergi ke sana. Kapan kita berangkat? Sekarang...?!” Dewa Ketawa bergerak bangkit.
Namun saat itu juga Pengiring Mayat Muka Hijau menendang kakinya hingga si
gendut itu jatuh terduduk kembali di bawah pohon.
“Hai! Barusan kau bilang hendak mengajak aku jalan-jalan ke akhirat! Mengapa
sekarang menye-rimpung kakiku?!” tanya Dewa Ketawa terheran-heran sambil menahan
tawa.
Tadi kakimu! Sekarang mulut besarmu!” bentak Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu
tangan kanannya melesat ke depan.
“Bukkk!”
Kepala Dewa Ketawa membentur batang pohon di belakangnya ketika jotosan tangan
kanan Pengiring Mayat Muka Hijau mendarat di mulutnya. Bibirnya pecah. Darah
mengucur. Tapi si gendut ini masih bisa tertawa sambil seka darah di mulutnya.
“Kau baik hati sekali hanya memecahkan bibirku tidak merontokkan gigiku! Ha...
ha... ha! Untung.... Karena dalam mulutku gigiku hanya tinggal dua! Ha... ha... ha!”
0 comments:
Posting Komentar