Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Kamis, 13 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - DENDAM DALAM TITISAN

https://matjenuh-channel.blogspot.com


_____________________________________________________________________________

SATU

Ucapan orang berpakaian dan bercadar kuning untuk beberapa lamanya mengiang di 

telinga Bidadari Angin Timur. Hatinya diharu biru oleh berbagai perasaan. “Tidak

ada yang paling bahagia di dunia ini selain menolong orang yang kita cintai....''

“Aku memang mencintai dirinya sepenuh dan setulus hati. Namun kalau kasihnya

bukan untuk diriku? Kusaksikan dengan mata kepala sendiri dia bercinta dengan Ratu

Duyung di tepi telaga. Apakah hati ini masih mau untuk menolong? Jika kemudian hari 

hanya memberi jalan dia diambil oleh gadis lain....?”

Orang bercadar di samping Bidadari Angin Timur yang tadinya siap bergerak kini

berpaling heran campur jengkel. “Gadis berambut pirang! Apa lagi yang membuatmu

bimbang?! Aku sudah siap bergerak. Kalau kau ingin orang yang kau cintai selamat dan jika

tidak mau melihat rimba persilatan ditimpa malapetaka besar lebih baik kau segera berbuat! 

Jangan menangis jika akhirnya kau menemui penyesalan hebat!”

Bidadari Angin Timur menatap sepasang mata orang yang tegak di hadapannya.

Yang dilihat saat itu seolah dua mata biru Ratu Duyung. Membuat rasa benci membakar

dirinya. Lalu tiba-tiba muncul bayangan wajah Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Aku bicara penghabisan kali! Orang pandai sepertimu tidak boleh tertipu oleh suara

hati! Kalau kau tak sudi aku pun tak perduli!” kata orang bercadar dengan ucapan yang

selalu berpantun. Dia bergerak hendak memutar diri.

“Aku....” Bidadari Angin Timur akhirnya anggukkan kepala. “Aku siap!” Gadis jelita

ini tabahkan sikap dan kuatkan hati.

Begitu mendengar ucapan Bidadari Angin Timur orang bercadar segera bergerak ke

kanan. Berjalan tiga langkah lalu laksana terbang tubuhnya berkelebat cepat ke arah Puti

Andini yang saat itu bersama Panji berlindung di balik pohon dan semak belukar. Seperti

diperintahkan kakek botak, sepasang muda mudi ini terpaksa menunggu di tempat itu. Si

kakek merasa perlu menyelidik apa yang terjadi di dalam rimba belantara yakni ketika

berlangsung bentrokan hebat antara Sinto Gendeng dan Sabai Nan Rancak sampai-sampai 

terbakarnya pepohonan. Selain itu dia juga berusaha mencari tahu siapa adanya bayangan

seseorang yang rnengundang kecurigaan dan tahu-tahu muncul di sekitar situ.

Selagi menunggu itulah orang bercadar muncul dari balik semak belukar di sebelah

kanan. Panji hanya merasa sambaran angin yang membuat dirinya terhuyung dua langkah.

Di sampingnya Puti Andini masih sempat melihat berkelebatnya satu bayangan kuning lalu

merasakan satu tepukan di bahu kanannya. Dalam kagetnya gadis ini gerakkan kedua

tangan untuk mendorong orang yang disangkanya hendak menyerang.

“Breett!”

Gerakan Puti Andini luar biasa ringannya. Ini adalah berkat hawa sakti yang

memancar dari Pedang Naga Suci 212 yang saat itu ada di balik pakaiannya. Walaupun dia

tidak berhasil menyentuh tubuh namun Puti Andini masih sempat merobek pakaian orang

itu. Selagi dia berusaha mengejar tiba-tiba terdengar teriakan Panji.

“Puti! Awas di samping kirimu!”

Pemuda ini melompat ke depan. Namun ada selarik angin kencang menahan gerakan

yang membuatnya terjengkang di tanah walau dia tidak mengalami cidera apa-apa.Dengan cepat Puti Andini memutar tubuhnya ke kiri. Tapi kali ini dia masih kalah

cepat. Dia mencium bau sangat harum lalu ada orang berpakaian biru mendorongnya ke

belakang. Orang ini memiliki rambut panjang berwarna pirang yang melesat demikian rupa 

menutupi mata hingga Puti Andini tidak sempat melihat wajahnya. Selagi mengimbangi diri

dia merasakan ada sentuhan halus pada bagian pinggang sebelah kiri. Lalu si bayangan biru 

melesat ke kanan dan lenyap di balik pohon besar.

“Puti, kau tak apa-apa...?” tanya Panji seraya bangkit berdiri dan memegang lengan

gadis itu.

“Aku....” Puti Andini mendadak melihat baju hijau milik Panji yang dikenakannya

tersibak di bagian pinggang. Cepat dia meraba bagian tubuh itu. Lalu terpekiklah gadis ini.

Ada apa?!” tanya Panji yang melihat perubahan pada wajah si gadis.

“Pedang Naga Suci 212!” jawab Puti Andini dengan suara bergetar dan wajah pucat 

pasi. “Senjata itu lenyap! Pasti si bayangan biru tadi yang mencurinya!” Si gadis merasa

sekujur tubuhnya menjadi lemas. Sampai-sampai dia jatuh terduduk dan bersimpuh di 

tanah. Bahunya turun naik. Dadanya sesak menahan tangis. Dia memandang berkeliling

dengan mata nya lang membelalak.

“Sebelumnya aku menanyakan tentang pedang itu padamu. Kau tak mau menjawab. 

Aku tidak tahu kalau kau menyimpannya di balik pakaian. Aku sama sekali tidak melihat

gagangnya menyembul. Lagi pula kulihat orang berpakaian biru tadi lenyap tidak

membawa pedang. Betapapun cepat gerakannya masakan aku tidak bisa melihat pedang 

yang dicurinya. Coba kau periksa dulu. Mungkin masih ada....”

“Kau mana tahu bentuk pedang itu!” jawab Puti Andini jengkel. Lalu meraba-raba

sekitar pinggang dan perutnya. Gad is ini gelengkan kepala. Wajahnya ditutup dengan 

kedua tangan. Tangisnya hampir meledak. Panji berusaha membujuk. Saat itulah tiba-tiba

menggelegar satu bentakan dahsyat.

“Gadis berbaju hijau! Lekas kau serahkan Pedang Naga Suci 212 padaku!”

Puti Andini tersentak. Cepat turunkan kedua tangannya dan memandang ke depan. 

Empat langkah di hadapannya dilihatnya berdiri seorang kakek yang walau tua tapi masih 

punya tampang klimis. Tubuhnya tinggi besar mengenakan jubah panjang menjela tanah

dan destar kain putih. Semula dia mengira Kiai Gede Tapa Pamungkas yang tegak di

depannya itu. Ternyata bukan. Orang tua tak dikenalnya ini tegak dengan tangan kiri 

bertolak pinggang sedang tangan kanan diulurkan dengan sikap meminta sesuatu. Jari-jari

tangannya digerak-gerakkan. Wajahnya walau menyunggingkan senyum angker dan

dingin.

“Orang tua berdestar putih! Kau siapa?!” Panji yang berada di sebelah Puti Andini

ajukan pertanyaan.

“Pemuda gembel tak punya baju! Aku tidak bicara denganmu!” Orang tua tinggi

besar menjawab tanpa memandang pada Panji. Tangan kanannya dikibaskan dan “wuttt!”

Satu gelombang angin menderu membuat Panji terhuyung-huyung lalu jatuh menyangsrang

di antara serumpunan semak belukar.

Melihat gelagat orang Puti Andini segera melompat bangkit. Diam-diam gadis ini

merasakan gerakannya tidak lagi secepat dan seringan sebelumnya. Ini tidak lain karena

saat itu Pedang Naga Suci 212 yang memberikan kekuatan hebat tidak ada lagi padanya.

“Aku berkata satu kali lagi! Lekas serahkan Pedang Naga Suci 212 padaku!”

“Aku tidak kenal kau! Dan aku tidak punya pedang yang kau minta!”Si orang tua berdestar putih kembali menyeringai mendengar ucapan Puti Andini.

“Aku Sutan Alam Rajo Di Bumi datang jauh-jauh dari puncak Gunung Singgalang di 

Pulau Andalas.

Mana sudi mendengar cerita dusta! Mana sudi aku pergi berhampa tangan! Aku tahu 

pedang sakti itu berada padamu! Aku meminta secara baik. Kalau kau tak mau segera

menyerahkan terpaksa aku akan mengambil berikut nyawamu sekalian!”

“Dulu aku pernah mendengar nama orang ini disebut-sebut guru,” kata Puti Andini 

dalam hati. Yang dimaksudkannya dengan guru adalah neneknya sendiri yakni Sabai Nan

Rancak.

Belum sempat Puti Andini berpikir lebih panjang dilihatnya orang berjubah putih di 

hadapannya ulurkan tangan. Saat itu jarak mereka masih terpisah empat langkah namun

seolah-olah bisa menjadi panjang tahu-tahu tangan kanan orang yang mengaku bergelar

Sutan Alam Rajo Di Bumi ini telah mencekik leher Puti Andini.

“Aku bisa mematahkan lehermu semudah aku mengedipkan mata!” kata Sutan Alam

lalu tertawa mengekeh.

“Orang tua kurang ajar! Jangan kau berani menyentuh tubuhnya! Lepaskan

cekikanmu!” teriak Panji. Pemuda yang sebelumnya telah dikibas hingga terpental ini 

menerjang dan kirimkan satu tendangan ke arah pinggang si orang tua. Disaat yang sama

Puti Andini hunjamkan kaki kirinya ke arah selangkangan si orang tua. Mendapat serangan

berupa tendangan dari dua arah Sutan Alam Rajo Di Bumi membuat gerakan aneh dan

hebat. Tubuhnya melesat ke udara. Jubah putihnya mengembang seperti kipas terbuka,

tokoh sakti dari Pulau Andalas ini membuat gerakan setengah lingkaran. Ketika dia

menginjakkan kedua kakinya kembali ke tanah bukan saja dia berhasil mengelakkan dua

tendangan, tapi juga masih tetap mencekik leher Puti Andini. Ha nya kini dia berdiri di

sebelah belakang si gadis hingga sulit bagi Puti Andini untuk menyerang.

Namun gadis cucu dan murid Sabai Nan Rancak ini tidak hilang akal.

Seperti diketahui gadis ini sebelumnya dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh.

Tenaga dalamnya dipusatkan ke kaki. Dua tangan dikembangkan ke samping dengan

telapak tangan terbuka menghadap ke bawah. Begitu jari-jari tangannya dijentikkan hingga

mengeluarkan suara “klik... klik...” maka tubuh Puti Andini bergerak naik ke atas, inilah

gerakan atau jurus yang disebut Payung Mengarak Awan.

Sutan Alam Rajo Di Bumi terkejut sekali ketika dia tak mampu menghentikan 

gerakan si gadis. Walau dia kerahkan tenaga dalam tetap saja tubuhnya ikut terangkat naik 

ke atas. Sutan Alam tidak mau lepaskan cekikannya di leher Puti Andini. Malah kini dengan

geram dia pergunakan tangan kanan merabai sekujur tubuh si gadis. Sepertinya dia tengah 

mencari sesuatu.

“Aneh! Apa betul pedang itu tidak ada padanya? Aku tidak menemukan apa-apa di

tubuhnya!” kata Sutan Alam dalam hati penuh heran.

Di mata Panji apa yang diperbuat oleh si orang tua adalah perbuatan kurang ajar.

Dengan geram dia melompat ke depan.

“Bukkk!”

Sutan Alam Rajo Di Bumi menggereng. Punggungnya barusan digebuk orang. Walau

dia tidak merasa kesakitan tapi amarahnya meluap.

Dengan gerakan kilat dia pergunakan dua jar; tangan kiri untuk menotok urat besar

di punggung Puti Andini hingga sekujur tubuh gadis ini menjadi kaku tegang dan jatuh ditanah. Disaat yang sama di bawah jubah putih panjang kaki kanan Sutan Alam Rajo Di Bumi

melesat ke arah bawah perut Panji. Pemuda ini tak sempat mengelak hanya bisa berteriak 

keras.

Sesaat lagi anggota rahasia Panji akan hancur dimakan tendangan Sutan Alam dan

jiwanya tak akan tertolong tiba-tiba dan samping melesat satu bayangan putih. Sutan Alam

merasakan ada sambaran angin deras ke arah batok kepalanya. Kakek ini cepat tundukkan

kepala. Walau dia sanggup mengelak serangan maut itu namun tiba-tiba dia merasa ada

yang menjirat kaki kirinya yang menjejak tanah sementara kaki kanan yang tadi dipakai

menendang masih mengapung di udara.

Belum sempat Sutan Alam Rajo Di Bumi melakukan sesuatu mendadak satu sentakan

membuat kaki kirinya laksana dihantam kayu besar hingga terpental dan tak ampun lagi 

tubuhnya terhuyung jatuh siap terbanting di tanah!

*

* *

__________________________________________________________________________________

DUA

Sutan Alam Rajo Di Bumi adalah seorang tokoh silat cabang atas yang punya nama 

disegani di Pulau Andalas. Pada saat tubuhnya hampir jatuh terbanting ke tanah, 

tangan kirinya cepat dipergunakan untuk menopang dirinya. Sesaat kemudian tampak 

tubuh orang tua ini seolah membal ke udara. Lalu wuutt... wuutt... wuutt, Angin deras 

menyambar. Bayangan putih berkelebatan. Ternyata begitu melompat dan berdiri kembali

Sutan Alam langsung menyerang prang yang barusan menjirat kaki kirinya.

“Bukk! Bukkk!”

Dua jotosan yang dilepaskan Sutan Alam Rajo Di Bumi mengenai sasaran. Bersarang

telak di bagian dada dan perut orang. Sesaat orang yang kena gebuk itu tegak tak 

bergeming. Namun setelah itu kakinya terjajar dua langkah dan tubuhnya terhuyung.

Namun dia sama sekali tidak kelihatan cidera. Malah keluarkan tawa mengekeh sambil 

gulung sebentuk benang putih halus yang tadi dipakainya untuk menjirat kaki Sutan Alam. 

Begitu benang tergulung dengan cepat disimpannya di balik pakaian putihnya yang lusuh.

“Tua bangka kepala botak! Kau sanggup menahan pukulanku! Siapa kau!” Bentak

Sutan Alam Rajo Di Bumi.

“Ha... ha...! Pukulanmu tadi lumayan mantap. Tapi apa gunanya memiliki ilmu tinggi

kalau dipergunakan menurut kehendak hati yang salah! Kakek berjubah kau datang dari

jauh tentu saja tidak mengenali diriku!” Menjawab orang yang dibentak dan ternyata adalah

kakek kepala botak. Sambil tertawa dia mengusap-usap kepalanya yang licin berkilat. “Kau

tidak kenal aku. Tapi aku cukup kenal tampangmu! Bukankah kau yang di Pulau Andalas 

dikenal dengan julukan Sutan Alam Rajo Di Bumi?!”

Sutan Alam Rajo di Bumi cepat menguasai diri agar wajahnya tidak berubah. “Kakek

botak ini tahu siapa aku. Aku sendiri tidak kenal padanya. Kalau melihat senjata berupa

benang halus putih yang tadi dipergunakannya untuk menjiratku berat dugaan dia adalah....

Tapi wajahnya lain. Kepalanya botak. Hemmm.... Siapapun dia adanya agaknya dia bukan

manusia sembarangan. Dia sanggup menahan dua jotosan telakku yang mengandung

setengah tenaga dalamku!”

“Tua bangka botak! ternyata kau kenal aku! Harap kau mau memperkenalkan diri

hingga jelas kau ini teman atau lawan!”

Orang tua kepala botak tertawa panjang lalu menjawab.

“Teman atau lawan belum jelas. Mengapa kau menyerang gadis itu, menotoknya 

sampai tidak berdaya. Mengapa kau hendak membunuh pemuda itu dengan tendangan

mengarah selangkangan! Lalu barusan kau menjotosku sampai dua kali! Sungguh hebat!

Menghantam dulu baru bertanya teman atau lawan! Apakah begitu adat para tokoh silat 

dari tanah seberang?!”

Tampang Sutan Alam menjadi merah.

Sambil menyeringai kakek botak membungkuk mengambil sebuah batu sebesar

ujung ibu jari. Lalu batu itu dilemparkannya ke punggung Puti Andini yang tergeletak di 

tanah. Tepat di tempat dimana Sutan Alam menotok sebelumnya. Serta merta totokan yang

menguasai gadis itu menjadi punah. Begitu lepas dari totokan Puti Andini segera melompat

dan langsung hendak menyerang Sutan Alam. Panji juga tak tinggal diam.Kakek botak cepat angkat tangan kanannya dan berseru. “Tahan! Jangan menyerang!

Aku mengharapkan orang ini pergi dengan tenang dan kembali ke Pulau Andalas dengan

nyawa utuh di badan. Kehadiran manusia semacammu di tanah Jawa ini hanya membuat

onar dan mencari susah saja!”

“Susah senang diriku bukan urusanmu!” Sentak Sutan Alam Rajo Di Bumi.

“Begitu?” Kakek botak lalu tertawa panjang. “Jauh-jauh kau datang dari tanah

seberang hanya hendak berbuat kejahatan. Buktinya barusan kau hendak merampas senjata

yang dimiliki gadis itu!”

“Apa ada bukti aku mengambil dan memiliki senjata itu saat ini?!” Tanya Sutan Alam

pula dengan berang dan mata mendelik.

Si botak kembali tertawa. “Orang seberang memang pandai bicara, pintar bersilat

lidah. Tapi jangan sampai prang di sini membungkam mulutmu hingga tak bisa bicara atau

melipat lidahmu hingga tak mampu bersuara! Bukankah lebih baik bagimu cepat-cepat

meninggalkan tempat ini?!”

“Aku akan pergi dengan satu syarat!” tukas Sutan Alam yang masih penasaran.

“Katakan apa maumu! Aku mulai muak melihat tampangmu!” kata kakek botak pula.

“Jika kau sanggup menahan satu pukulanku aku akan segera angkat kaki dari tempat

ini!”

Kakek botak tertawa lebar. “Barusan kau sudah menjotosku sampai dua kali! 

Rupanya kau masih penasaran!”

“Apakah kau takut menerima tantanganku?!” tanya Sutan Alam dengan nada dan

mimik mengejek.

Kakek botak mendongak ke langit sambil usap-usap kepalanya. “Rupanya kau belum

puas. Rupanya kau masih punya ilmu simpanan. Hemmm.... Coba aku menerka. Ilmu

pukulan apa kira-kira yang hendak kau hadiahkan padaku. Hemmm... mungkin pukulan

Malaikat Maut Mendera Bumi? Pukulan yang kabarnya sanggup menembus batu bahkan 

merobek dinding besi itu?!”

Kali ini Sutan Alam tak dapat lagi menyembunyikan perubahan wajah tanda

keterkejutannya. “Dia benar-benar banyak mengetahui tentang diriku!” membatin Sutan

Alam.

Kakek botak kembali tertawa. “Hidup manusia tidak lama. Mengapa waktu

dipergunakan untuk berbuat yang tidak-tidak! Manusia setuamu seharusnya sudah sejak

dulu-dulu tobat dan insyaf...!”

“Botak, apa maksud ucapanmu?!” tanya Sutan Alam membentak.

“Begini saja Sutan Alam. Tak usah kau perlihatkan kehebatan pukulan Malaikat Maut

Mendera Bumi padaku. Cukup kau coba saja memutuskan benang buruk ini!”

Habis berkata begitu kakek botak keluarkan kembali gulungan benang putih

halusnya. Sekali tangannya bergerak benang itu melesat ke udara dan berputar-putar di

depan hidung Sutan Alam.

Saking geramnya diperlakukan seperti itu Sutan Alam segera menyambar benang

putih itu dengan kedua tangannya. Lalu dengan gemas benang itu ditariknya. Tapi

bagaimanapun dia mengerahkan tenaga benang halus putih itu tak sanggup diputusnya.

Kakek botak tertawa bergelak. Tangan kanannya disentakkan. “Wuuuttt!” Benang

putih tiba-tiba melesat berbuntal-buntal. Sutan Alam keluarkan seruan tertahan ketika

menyadari bahwa dua pergelangan tangannya tahu-tahu telah dilibat benang putih!Didahului bentakan garang Sutan Alam Rajo Di Bumi melompat satu tombak ke atas.

Di udara dia membuat gerakan jungkir balik yang disebut Langit Runtuh Bumi Bergoncang.

Tubuhnya seolah lenyap masuk ke dalam jubah putih. Lalu tibatiba dua kakinya mencuat ke 

bawah, melangkah cepat diatas benang putih halus. Sebagai tokoh silat tingkat tinggi Sutan 

Alam tentu memiliki keringanan tubuh luar biasa. Itu sebabnya dia mampu berjalan di atas

benang halus. Namun, anehnya disaat yang sama kakek botak merasa benang putihnya 

seolah ditindih satu batu raksasa yang menggelinding ke arahnya. Benang putih

melengkung ke bawah, hampir menyentuh tanah. Pada saat itulah tiba-tiba bagian bawah

jubah Sutan Alam membeset ke depan laksana sambaran sebilah pedang.

“Breeettt!”

“Desss!”

Sutan Alam Rajo Di Bumi berdiri di tanah dengan air muka berubah. Dia pandangi

ujung jubahnya sebelah bawah. Seluruh jubah bagian depan robek besar hingga kakinya 

yang biasanya tertutup kini tampak menyembul. Dia masih untung karena tadi kakinya 

tidak ikut dibabat benang sakti yang ketajamannya melebihi mata pedang.

“Puluhan tahun hidup ditakuti lawan disegani kawan. Baru hari ini aku diperlakukan

orang seperti ini. Jubahku putus amblas. Kalau si botak ini benar-benar punya niat jahat

salah satu kakiku tadi pasti bisa ditabasnya dengan benang saktinya. Hemmm.... Tak bisa

tidak, manusia satu ini pasti setan alas yang berjuluk Pendekar Gila Patah Hati alias Iblis

Gila Pencabut Jiwa. Yang lebih dikenal dengan gelar si Tua Gila!” Sehabis berkata dalam hati

seperti itu perlahan-lahan Sutan Alam Rajo Di Bumi angkat kepalanya, memandang ke arah

kakek botak. Tengkuknya terasa dingin.

Saat itu si kakek botak sendiri berdiri setengah tertegun sambil pandangi benang 

saktinya yang putus. “Bukan main kemajuan ilmu kepandaian orang ini. Dia sanggup

melepas kakinya yang terjirat. Lalu memutus Benang Kayangan milikku....” Seperti

diketahui senjata berupa benang halus putih yang disebut Benang Kayangan adalah milik

Tua Gila Dari Andalas. Berarti kakek botak itu memang bukan lain adalah Tua Gila yang

tengah menyamar.

Sambil menggulung benang saktinya lalu menyimpannya di balik pakaian Tua Gila

angkat kepala menatap ke arah Sutan Alam Rajo Di Bumi. Untuk beberapa lamanya dua

pasang mata saling bentrokan. SUtan Alam berkedip lebih dulu pertanda ada rasa gentar

dalam hatinya.

“Tua bangka botak siapa dirimu aku sudah bisa menduga! Aku bersumpah akan

kembali mencarimu dalam waktu dekat. Saat ini karena ada urusan lain aku terpaksa

meninggalkanmu. Pada pertemuan kedua jangan bermimpi kau masih bisa berdiri jual lagak

di hadapanku!” ,

Kakek botak hanya ganda tertawa mendengar ucapan orang. Dia kurang yakin Sutan

Alam akan menyudahi persoalan begitu saja. Sebaliknya Panji yang sangat benci melihat 

Sutan Alam membuka mulut lemparkan ejekan. “Kau pandai mencari alasan untuk

menghindar. Sebenarnya kau gentar menghadapi kakek sahabatku ini!”

Rahang Sutan Alam sesaat tampak menggembung. Dia acungkan jari telunjuk tangan 

kirinya tepat-tepat ke muka si pemuda lalu berkata. “Kau adalah orang kedua yang kelak

akan kubunuh setelah tua bangka ini!”

Habis berkata begitu Sutan Alam segera berkelebat pergi. Tua Gila tak tinggal diam.

“Aku menaruh firasat manusia satu ini adalah racun biang kerok semua kejadian dalamimba persilatan belakangan ini,” kata si kakek dalam hati. Lalu dia berteriak. “Sutan

keparat! Kau mau lari ke mana!”

Tua Gila hentakkan dua kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat dua tombak dan

mengejar ke arah lenyapnya Sutan Alam Rajo Di Bumi. Namun setelah mengejar cukup

lama dia tak berhasil menemukan Sutan Alam. “Sialan! Ilmu apa yang dipakai manusia itu

hingga bisa lenyap seolah raib?”

Sebenarnya Sutan Alam tidak memiliki kepandaian melenyapkan diri. Yang

dilakukannya adalah lari kencang ke. satu arah dengan dugaan bahwa lawan pasti akan

mengejar. Beg itu dia mengetahui Tua Gila memang mengejar maka Sutan Alam berputar

kembali dan lari ke jurusan datangnya semula. Dengan sendirinya Tua Gila tak bakal dapat

menemukannya karena kini orang yang dikejar berada jauh di belakangnya! 

Begitu berhasil menipu Tua Gila dengan cepat Sutan Alam berbelok ke arah timur.

Dalam waktu singkat dia sampai ke satu tempat dimana di bawah sebatang pohon besar

duduk tersandar seorang nenek berjubah hitam berambut putih. Wajahnya yang keriput

tampak sangat pucat. Di pangkuannya tergeletak sebuah mantel hitam yang robek di

beberapa bagian. Nenek ini bukan lain adalah Sabai Nan Rancak yang sebelumnya telah

mengalami cidera akibat serangan tusuk konde Sinto Gendeng.

“Suto, aku gembira kau kembali ke sini dalam keadaan selamat.... Waktu kau tiba-tiba

muncul tadi dan pergi, aku khawatir kau tak akan kembali,” menyapa Sabai dengan

memanggil Sutan Alam Rajo Di Bumi dengan nama aslinya.

“Kau kekasihku. Masakan akan kutinggal begitu saja. Apalagi saat ini kau berada

dalam keadaan terluka dan kita sama-sama di tanah orang,” jawab Sutan Alam Rajo Di Bumi

sambil tersenyum. Diam-diam Sabai Nan Rancak merasakan ada satu keanehan dalam

senyum tokoh silat dari Andalas itu. Si nenek tidak sempat menduga-duga lebih jauh karena

saat itu pandangannya membentur jubah sebelah bawah Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto

Abang.

“Apa yang terjadi Suto?” tanya Sabai Nan Rancak cemas lalu bangkit berdiri sambil

mengenakan Mantel Sakti.

“Aku gagal merampas Pedang Naga Suci 212. Padahal kalau senjata itu berada di

tanganku semua niat dan urusan pasti beres....”

“Kau tak boleh berputus asa Suto...” ujar Sabai Nan Rancak seraya mendekat dan

hendak memeluk Sutan Alam. Tapi si kakek jauhkan diri lalu diceritakannya apa yang

terjadi sambil melangkah mondar-mandir.

“Hendak kupeluk dia sengaja menjauh. Hatiku tak enak. Sikapnya sekali ini benar-

benar aneh....” Membatin Sabai Nan Rancak. Lalu dia berkata.

“Kakek kepala botak itu.... Aku menaruh curiga jangan-jangan dia adalah Sukat

Tandika alias Tua Gila. Aku pernah menemuinya.”

“Justru dugaan itu memang yang ada dalam benakku!” jawab Sutan Alam Rajo Di

Bumi. Dia hentikan langkahnya lalu menatap tajam pada Sabai Nan Rancak. “Kalau kau

memang sudah menduga orang itu adalah Sukat Tandika alias Tua Gila, mengapa tidak

kau bunuh? Bukankah itu menjadi salah satu tugasmu?! Tapi kau tidak melakukannya! Aku

curiga Sabai! Jangan-jangan kau masih menaruh hati pada bekas kekasihmu itu!”

Wajah keriput Sabai Nan Rancak menjadi merah padam.

“Suto Abang, ketahuilah olehmu. Sejak Sukat Tandika berlaku semena-mena dan

meninggalkan diriku seperti sampah! Aku tidak lagi menganggap dirinya manusia. Tapi setan yang harus aku bunuh dengan tanganku sendiri! Lalu sejak aku bertemu denganmu,

hati dan tubuhku hanya untukmu seorang. Walau sampai saat ini aku masih terus

menunggu karena janjimu untuk menikahiku secara sah belum juga kau penuhi.”

Mulut Sutan Alam Rajo Di Bumi jadi terkancing mendengar kata-kata Sabai Nan

Rancak itu.

Setelah berdiam diri beberapa lama baru dia berkata. “Aku harus meninggalkanmu 

Sabai. Se-belum pergi aku ingin kau menyerahkan padaku Mantel Sakti dan Mutiara 

Setan....”

Terkejutlah Sabai Nan Rancak mendengar ucapan Sutan Alam. “Kau.... Kau mau ke

mana Suto?”

“Aku tidak bisa mengatakannya padamu sekarang ini....”

Hati Sabai Nan Rancak menjadi tidak enak. “Kau bermain rahasia denganku. Tidak

Suto. Lama kita tidak saling temu. Apakah kau tidak merasa rindu? Kali ini aku tak mau lagi 

berpisah denganmu. Ke mana kau pergi aku ikut. Apalagi keadaan sekarang sedang gawat-

gawatnya....”

Sutan Alam gelengkan kepala. “Kau tahu sudah tersiar kabar adanya pemusatan 

kekuatan orang-orang persilatan tanah Jawa di tepi barat Telaga Gajahmungkur. Aku yakin

orang-orang Lembah Akhirat juga akan menyusun kekuatan dibantu para tokoh yang bisa 

mereka rangkul....”

“Hemmm...” si nenek bergumam. “Menurutmu kau belum lama menginjakkan kaki

di tanah Jawa ini. Tapi ternyata kau tahu banyak apa yang terjadi dalam dunia persilatan di

sini.”

Sutan Alam tidak menjawab. Dia maju lebih dekat dan berkata. “Mantel dan Mutiara

Hitam itu, Sabai.... Aku tak punya waktu banyak.”

Sabai Nan Rancak menatap wajah Sutan Alam beberapa lamanya. Lalu perlahan-

lahan dibukanya Mantel Sakti dan diserahkannya pada Sutan Alam. Dari balik jubah 

hitamnya dia mengeluarkan sebuah kantong kain. Kantong ini berisi senjata rahasia berupa

Mutiara Hitam. Baik mantel maupun mutiara seperti diketahui adalah milik Datuk Tinggi

Rajo Di Langit yang kini berganti gelar sebagai Jagal Iblis Makam Setan. Begitu 

menyerahkan kantong berisi Mutiara Setan, Sabai Nan Rancak berkata, “Suto, dulu kau yang

menyuruh aku mencari dan mendapatkan mantel serta mutiara. Sekarang mengapa kau

meminta dua senjata sakti ini?”

“ingat percakapan kita di Singgalang pada pertemuan terakhir dulu, Sabai? Aku

memintamu untuk mencari dan mendapatkan dua senjata sakti ini. Setelah dapat kau harus

mempergunakan senjata-senjata ini untuk membunuh Tua Gila, Sinto Gendeng dan 

Pendekar 212 Wiro Sableng! tapi apakah kau telah berhasil melakukan tugas-tugasmu itu

Sabai? Apakah masih ada gunanya Mantel Sakti dan Mutiara Setan berlama-lama di

tanganmu tanpa kau mampu melakukan sesuatu? Bukankah lebih baik dua senjata kini

berada di tanganku agar bisa kupergunakan untuk melaksanakan tugas yang kau tidak

sanggup melakukan?!”

Paras Sabai Nan Rancak jadi berubah. Namun dalam hatinya nenek ini membatin.

“Aku mulai menyangsikan manusia satu ini. Sikap dan cara bicaranya tampak berubah. Dia

sama sekali tidak memperlihatkan kasih sayangnya yang selama ini diagung-agungkannya 

padaku. Dia merahasiakan kemana mau pergi. Aku harus menguntit dirinya, Aku....”Begitu Sutan Alam Rajo Di Bumi berkelebat pergi, Sabai menunggu beberapa saat 

baru bergerak mengikuti secara diam-diam.

*

* *

__________________________________________________________________________________

TIGA

Panji memegang bahu Puti Andini yang saat itu terduduk di tanah sambil menutupi 

wajah dengan dua tangan berusaha menahan tangis. Dalam hati berulangkali si gadis 

menyesali dan memaki diri sendiri. “Tololnya aku ini! Diberi kepercayaan untuk

memegang Pedang Naga Suci 212. Sekarang pedang sakti itu lenyap dicuri orang! Ya Tuhan!

Tua Gila pasti akan marah besar mengetahui keteledoranku ini! Bagaimana aku akan

menolong Pendekar 212 dari malapetaka yang menimpa dirinya? Waktu tertinggal sempit 

sekali. Hanya sampai nanti malam! Celakalah dunia persilatan!”

“Puti, tak usah bersedih. Kita akan cari pedang itu sampai dapat. Sekarang...” kata

Panji lalu duduk berlutut di hadapan Puti Andini sambil dua tangannya diletakkan di atas 

pundak si gadis kiri kanan.

Sentuhan tangan Panji membuat si gadis merasa agak lega. Tanpa sadar gadis ini

rangkulkan tangannya ke punggung Panji dan sandarkan wajahnya di dada si pemuda yang

diam-diam disukai dan kepada siapa dia sudah jatuh hati.

“Rasanya saat ini aku ingin mati saja!” kata Puti Andini setengah berbisik. Nafasnya

menghangati dada Panji yang tidak mengenakan baju. Pemuda beranting emas ini turunkan

kepalanya, mencium mesra rambut Puti Andini. Si gadis pejamkan sepasang matanya yang

bening, terbuai oleh kemesraan yang selama ini memang selalu didambakannya. Kalau tidak

dalam keadaan seperti saat itu mungkin dia tidak akan malu-malu memeluk dan menciumi 

dada Panji. Panji sendiri hampir lupa diri kalau saja wajah Anggini, murid Dewa Tuak tidak

muncul secara tiba-tiba dan aneh di pelupuk matanya.

Puti Andini angkat wajahnya, menatap paras si pemuda sesaat. “Kau memikirkan

sesuatu, Panji...?”

Panji tidak menjawab.

“Pernahkah kau memikirkan tentang diri kita berdua, Panji?”

“Sudahlah. Lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Kita harus mengejar dan mencari

kakekmu orang tua botak itu....”

“Aku takut bertemu dengannya. Dia pasti marah besar!”

“Marah atau tidak kita tetap harus mencari kakekmu itu. Menceritakan apa yang

telah terjadi,” ujar Panji pula.

Tapi agaknya Puti Andini tidak mau berlaku cepat-cepat. Rangkulannya di tubuh 

Panji semakin kencang. Ketika Panji hendak mencium tengkuk si gadis tiba-tiba ada suara

berdehem. Satu bayangan berkelebat.

Kakek kepala botak kembali muncul di hadapan sepasang muda mudi itu. Melihat

siapa yang tegak di hadapannya Puti dan Panji serta merta lepaskan pelukan masing-

masing. Puti Andini segera jatuhkan diri dan pegangi kedua kaki Tua Gila.

“Aku sudah tahu Pedang Naga Suci 212 lenyap dirampas orang! Mau apa lagi! Tapi 

aku ingin tahu bagaimana kejadiannya!” ujar Tua Gila.

Setengah meratap Puti Andini lantas ceritakan apa yang terjadi. Wajah Tua Gila yang

tersembunyi di balik topeng tipis berubah kelam. Kepalanya yang botak dipukulnya

berulangkali sedang kakinya di-banting-bantingkan ke tanah hingga menimbulkan getaranhebat.“Puluhan tahun aku menunggu. Setelah dapat pedang sakti dicuri orang! Sutan Alam

Rajo Di Bumi ikut-ikutan hendak menguasainya. Kukejar jahanam itu kabur melenyapkan

diri!” Tua Gila menatap Puti Andini dan Panji bergantian. “Apa kalian tahu siapa

si pencuri itu?”

Panji memperlihatkan secarik sobekan kain kuning yang tadi dijatuhkan Puti Andini 

di tanah. “Puti berhasil merobek pakaian si pencuri. Namun kami tak bisa menduga siapa

dia adanya. Orang itu bergerak cepat luar biasa. Sebelum kami bisa melihat sosoknya sudah 

lenyap. Selain itu kami juga melihat ada satu bayangan biru disertai menebarnya bau sangat

wangi. “Tua Gila mengambil sobekan kain kuning dari tangan Panji. Matanya membeliak

besar memperhatikan kain itu. “Kain kuning, orang berpakaian biru dan bau wangi. Berarti

ada dua orang bersekongkol mengerjaimu, Puti!”

“Maafkan saya Kek. Apakah kau bisa menduga siapa mereka adanya? Biar kucari 

sampai ke neraka sekalipun!” kata Puti Andini pula dengan mata memancarkan sinar 

geram.

“Siapa lagi kalau bukannya manusia bercadar kuning itu. Kawannya pasti gadis

berambut pirang yang dijuluki Bidadari Angin Timur!”

Baik Puti Andini maupun Panji sama-sama terkejut mendengar ucapan kakek botak. 

“Tapi Kek...” kata si gadis pula. “Bukankah dua orang itu masih kawan kita sendiri? Orang-

orang sehaluan dalam golongan putih?”

“Dunia persilatan saat ini sudah sangat kacau balau! Sulit diduga mana teman dan

mana lawan! Bukan mustahil mereka berdua telah terperangkap masuk ke dalam kelompok 

manusia jahat. Jadi kaki tangan batuk Lembah Akhirat!” jawab Tua Gila. “Sebelum malam

tiba kita harus dapat mencari mereka!”

Tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontang keras memekakkan telinga.

“Tua bangka sialan itu! Mengapa pula dia muncul lagi di tempat ini!” memaki Tua 

Gila.

Baru saja Tua Gila memaki begitu tiba-tiba kakek bercaping yang mengerontangkan

kaleng sudah muncul di hadapannya. Temyata dia tidak sendirian. Ada beberapa orang lain

ikut datang di tempat itu,

“Kalian semua! Aku muak melihat kalian!” mendamprat Tua Gila.

Terdengar suara tertawa melengking tinggi. Yang tertawa ternyata Sinto Gendeng,

guru Pendekar 212. Di sampingnya berdiri kakek yang dikenal dengan julukan Setan

Ngompol. Tak jauh dari mereka berdiri Sika Sure Jelantik. Lalu di jurusan Iain terlihat pula

si bocah Naga Kuning, Iblis Pemalu, Pendekar 212 Wiro Sableng didampingi Ratu Duyung.

“Kalian bertiga!” Tiba-tiba Sinto Gendeng keluarkan suara melengking keras sambil

menunjuk dan memandang melotot pada kakek kepala botak yang masih belum 

diketahuinya siapa adanya.

“Salah satu dari kalian yang memegang Pedang Naga Suci 212. Lekas serahkan 

padaku atau kubuat tempat ini jadi neraka bagi kalian bertiga!”

Semua orang memandang ke depan. Semua mata membelalak terkejut. Nenek sakti

dari puncak Gunung Gede ini agaknya tidak main-main. Saat itu dia berdiri dengan tangan

kiri memegang tiga tusuk konde perak yang merupakan senjata beracun dan sangat

mematikan. Lalu tangan kanannya yang diangkat di atas kepala tampak memancarkan

cahaya putih perak pertanda dia siap melepaskan pukulan sakti Sinar Matahari! Sepasang mata cekung si nenek membeliak galak. Pelipisnya berg era k-g era k dan mulutnya yang

perot berkomat-kamit terus-terusan.

“Nek...!” Wiro yang melihat keadaan gurunya itu berusaha mengatakan sesuatu tapi

segera dibentak oleh Sinto Gendeng.

“Anak setan! Jangan kau banyak bacot! Gara-gara kau urusan jadi kapiran begini

rupa! Berani kau bicara lagi kurobek mulutmu!”

Wiro masih berusaha hendak melangkah mendekati gurunya tapi Ratu Duyung cepat

memegang lengannya seraya berbisik. “Jangan menambah keruh suasana. Lekas berdiri di

belakangku. Kalau terjadi apa-apa aku masih bisa melindungi dirimu. Dalam keadaan

seperti ini bukan mustahil gurumu ketelepasan tangan!”

Wiro hentikan langkahnya. Sambil garuk-garuk kepala akhirnya dia bergerak ke 

belakang Ratu Duyung.

“Sinto,” Setan Ngompol berbisik. “Kalau berteriak jangan keras-keras. Nanti aku bisa

ngom...”

Ucapan Setan Ngompol terputus. Tendangan kaki kiri Sinto Gendeng mendarat di

bawah pusarnya.

“Dukk!”

Setan Ngompol mengeluh tinggi. Tubuhnya mencelat tiga langkah lalu jatuh duduk 

di tanah. “Serrrr!” Saat itu juga kakek ini mancurkan air kencing.

“Jahatnya kau Sinto. Padahal aku tadi sudah mampu menahan kencing. Sekarang aku 

malah jadi beser berat!” kata Setan Ngompol seraya mencoba bangkit berdiri. Tapi tersentak

jatuh kembali begitu Sinto Gendeng membentak keras. 

“Pedang Naga Suci 212! Lekas serahkan padaku atau kalian bertiga mampus semua!”

Tangan kiri kanan Sinto Gendeng bergerak.

“Tunggu dulu!” Tiba-tiba Sika Sure Jelantik berseru keras. “Aku yang pertama sekali 

mendapatkan Pedang Naga Suci 212! Jadi harus diserahkan kembali padaku!”

“Tua bangka jelek! Jangan kau berani pentang bacot di hadapanku!” damprat Sinto

Gendeng. “Lebih baik kau kembali ke kampungmu sebelum kau ku-bantai di tempat ini! 

Kau biang kerok semua kekacauan ini!”

Si nenek berambut putih Sika Sure Jelantik dongakkan kepala lalu tertawa mengekeh. 

Tawanya dihentikan dengan tiba-tiba lalu dia meludah ke tanah. “Dasar perempuan

gendeng! Rupanya kau tidak pernah berkaca! Pantatku jauh lebih cantik dari mukamu!

Rambutmu sudah sulah. Mulutmu pencong, kulitmu hitam seperti arang! Hik... hik... hik!”

Marahlah Sinto Gendeng diejek begitu rupa. Dari tenggorokannya keluar suara

menggereng. Matanya yang cekung berapi-api seolah hendak melompat keluar. Dia

memutar tubuh ke arah Sika Sure jelantik. Tapi kakek botak yaitu Tua Gila cepat

menghalangi gerakannya.

“Sinto, jangan tertipu oleh gejolak darah. Jangan terhasut oleh hawa amarah. Terus

terang aku katakan padamu Pedang Naga Suci 212 tidak ada pada kami bertiga. Kau tidak

akan mendapatkannya sekalipun kau membunuh kami semua! Pedang sakti itu lenyap

dicuri orang!”

“Kentut busuk! Jangan berani mengarang cerita!” hardik Sinto Gendeng.

“Aku bersumpah Nek!” kata Puti Andini. “Senjata sakti itu memang telah dicuri 

orang. Kami tidak tahu pasti siapa pencurinya. Ada dua orang. Salah satu dari mereka

mengenakan pakaian kuning. Robekan bajunya masih ada di tangan kakek botak itu!”Semua mata diarahkan ke tangan kanan kakek botak. Memang mereka melihat si

kakek memegang sobekan kecil sehelai kain kuning.

“Kalau kau masih kurang percaya silahkan menggeledah diriku luar dalam.” Kata si

kakek botak pula sambil menyengir.

“Siapa sudi menyentuh tubuhmu yang bau!” tukas Sinto Gendeng.

Sesaat suasana menjadi sunyi senyap. Kesunyian dirobek oleh suara kerontangan

kaleng Kakek Segala Tahu. Lalu untuk pertama kalinya kakek buta ini membuka mulut.

“Kalian semua orang-orang tolol! Waktu tinggal sedikit sebelum malam datang. 

Mengapa mau saling berbunuhan dan bukannya mengatur cara yang baik untuk mencari 

pedang sakti itu? Aku tak mau melibatkan diri lebih lama dengan kalian. Aku mau pergi.

Tapi sebelum pergi sekali lagi aku bilang pada kalian. Jangan terlambat berkumpul di tepi 

barat Telaga Gajahmungkur malam nanti, Sekarang aku mau tahu apa anak konyol bernama

Naga Kuning ada di tempat ini?”.

“Aku memang ada di sini Kek!” menjawab Naga kuning seraya keluar dari balik

serumpunan semak belukar.

“Bagus! Kalau begitu lekas ikuti aku!” kata Kakek Segala Tahu pula seraya

mengerontangkan kaleng dan “memutar tubuh.

“Eh, kau mau membawa aku ke mana Kek?”

“Sudan, jangan banyak tanya. Aku perlu bantuanmu untuk menyelidik ke Lembah 

Akhirat....”

Berubahlah paras si bocah sementara yang Iain-Iain terheran-heran. “Kau menyuruh

aku masuk ke sarang macan Kek!”

“Bagimu sarang macan masih jauh lebih baik dari liang kubur! terserah kau mau 

memilih mana! Lagi pula aku tahu. Semasa Kiaimu si Gede Tapa Pamungkas bersamadi

bertahun-tahun di Gajahmungkur, kau sudah menggentayangi kawasan ini berulangkali!” 

jawab Kakek Segala Tahu sambil melangkah terus tanpa perdulikan kebingungan si bocah.

“Kek, apa yang musti aku selidiki di Lembah Akhirat?” tanya Naga Kuning sambil 

melangkah di belakang Kakek Segala tahu.

Orang tua bercaping bambu itu goyangkan kaleng rombengnya di samping telinga

kiri si bocah hingga Naga Kuning terlompat setengah tombak dan menjerit. “Kau mau

memecahkan liang telingaku Kek!”

Kakek Segala Tahu menyeringai. “Justru aku ingin agar kau memasang telinga,

mendengar baik-baik! Kau tahu para tokoh sahabatku yang berkumpul di tepi barat telaga

cuma bertindak menurut nafsu. Mereka ingin menghancurkan Lembah Akhirat. Membunuh

Datuk Lembah Akhirat. Tapi mereka tidak tahu siapa adanya sang Datuk. Sampai dimana

ilmu kesaktiannya. Senjata apa saja yang dimilikinya. Siapa saja para pembantunya!”

“Lalu apa kau sendiri tahu, Kek?” tanya Naga Kuning. Sambil melengos anak itu

cibirkan bibirnya.

“Hemmm.... Walau sedikit tapi aku lebih tahu dari para tokoh geblek itu! Bocah

sialan! Jangan kau “berani mengejekku! Aku suruh kau ke sana justru buat menyelidik! 

Siapa saja yang sudah bergabung menjadi kaki tangan batuk Lembah Akhirat. Apa kekuatan

dan kelemahan sang Datuk. Aku mendengar mereka adalah orang-orang aneh yang jalan

pikiran dan perbuatannya aneh tidak wajar. Di atas semua itu ada satu hal yang sangat

penting. Aku menyirap kabar bahwa Datuk Lembah Akhirat memiliki sepasang sarung

tangan iblis. Senjata itu bukan saja sanggup membunuh lawan tapi sekaligus menyedot

tenaga dalam korbannya! Nah, itu yang perlu kau selidiki!”

“Walah! Tugasku berat amat Kek! Kalau aku tertangkap bisa-bisa tubuhku hanya

tinggal taburan debu merah, hijau atau hitam!”

“Kalau kau menolak perintahku, saat ini juga tubuhmu akan kujadikan taburan tahi 

kuning!” kata Kakek Segala Tahu pula lalu tertawa mengekeh dan goyangkan kaleng tiga 

kali berturut-turut.

Setelah Kakek Segala Tahu dan Naga Kuning meninggalkan tempat itu, semua orang 

yang ada di sana baru menyadari kalau Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung juga 

telah lenyap dari tempat itu. Disaat yang sama kakek botak memberi isyarat pada Put!

Andini dan Panji untuk segera pula berlalu dari situ.

Sinto Gendeng menggerendeng panjang. “Celaka si anak setan itu. Kalau pedang

sakti tidak bertemu dan keadaannya tidak bisa dipulihkan sebelum tengah malam nanti 

tamatlah riwayatnya! Aku punya firasat, turut apa yang diucapkan gembel buta tadi. Malam

nanti akan terjadi satu peristiwa besar di Gajahmungkur! Celaka! Benar-benar celaka anak

setan itu!”

Sinto Gendeng melirik pada Sika Sure Jelantik yang tegak di samping kirinya lalu

memberi isyarat pada kakek bermata jereng Setan Ngompol. Dua orang ini segera

tinggalkan tempat itu.

Sika Sure Jelantik yang tinggal sendiri sesaat berpikir. “Apa yang aku lakukan

sekarang? Mengikuti rombongan kakek botak. Atau menguntit Sinto Gendeng dan Setan

Ngompol. Atau mengejar ke arah lenyapnya Wiro Sableng dan Ratu Duyung? Atau baiknya

aku kembali saja ke Lembah Akhirat....” Setelah berpikir sejenak akhirnya nenek berambut

riap-riapan ini mengambil keputusan untuk mengikuti rombongan kakek botak karena dia

menduga Pedang Naga Suci 212 masih berada pada kakek itu atau pada Puti Andini.

*

* *

__________________________________________________________________________________

EMPAT

Sebelum mengikuti penguntitan yang dilakukan Sabai Nan Rancak atas diri Sutan Alam

Rajo Di Bumi alias Suto Abang serta apa pula yang bakal dilakukan si nenek bernama

Sika Sure Jelantik, kita kembali dulu pada satu peristiwa yang terjadi pada masa sekitar

tujuh bulan sebelumnya.

Di satu bukit yang menghadap ke pantai selatan. Di atas sebuah makam tua terbuat

dari batu yang telah gugus, duduk bersila seorang kakek bermuka lancip. Rambut panjang,

kumis serta janggutnya berwarna kelabu, melambai-lambai ditiup angin. Sepasang matanya

terpejam dan dari mulutnya tiada putus-putusnya keluar suara meracau seperti orang

membaca mantera. Tempat itu dipenuhi bau kemenyan yang dibakar di dalam sebuah

pendupaan dan diletakkan di kepala makam.

Di depan kakek yang mengenakan jubah hitam gombrong ini duduk seorang lelaki 

bertubuh tinggi besar, kepala dan wajahnya tertutup rambut panjang awut-awutan, kumis

tebal, cambang bawuk serta janggut liar. Seperti si kakek, lelaki ini juga mengenakan sehelai

jubah hitam sangat gombrong. Dari mukanya yang garang kelihatan bahwa orang ini sudah,

tidak sabaran. Sebentar-sebentar dari hidungnya keluar suara mendengus. Lalu mulutnya

komat-kamit berulangkali.

Telah tujuh hari tujuh malam kedua orang itu berada di makam batu di puncak bukit

tersebut.

Siang dihantam sengatan sinar matahari dan malam dihajar hawa dingin luar biasa.

Kalau tidak karena satu urusan sangat penting orang tinggi besar mungkin sudah meledak

kesabarannya dan tinggalkan tempat itu dengan kutuk serapah.

Tepat di pertengahan malam, di kejauhan terdengar suara salakan anjing. Lalu di

langit kelam serombongan burung hitam berkelebat dengan sayap-sayap berkesiuran. Di

atas makam burung-burung itu menukik rendah lalu melesat dan akhirnya lenyap'' dalam

kegelapan. Di arah timur mendadak ada sinar terang disusul suara keras laksana petir

menyambar membuat orang tinggi besar tersentak kaget. Tapi kakek berwajah lancip tetap

tenang saja. Perlahan-lahan sepasang matanya yang sejak tujuh hari lalu terpejam membuka.

Memperhatikan keadaan mata orang tua ini bergidiklah kawan di depannya. Mata si kakek 

membuka besar tapi membelalak begitu rupa dan hanya bagian putihnya saja yang

kelihatan!

Suara racauan kakek yang duduk di atas makam batu itu secara perlahan-lahan

berhenti, tubuhnya bergetar hebat. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara halus. Suara

perempuan yang tidak diketahui dari mana datangnya dan juga tidak kelihatan ujudnya.

“Malam ini malam Jum'at Kliwon. Malam terpuji dari empat puluh malam yang ada.

Malam sakti dari empat puluh kesaktian yang ada. Malam permintaan bagi yang meminta.

Malam perjanjian bagi yang mau berjanji...”

Orang tinggi besar berjubah hitam gombrong tambah dingin tengkuknya. Dia

mendongak ke atas.

Suara yang didengarnya tadi seolah ada di atas ubun-ubun kepalanya. Dia

memandang berkeliling. Tak kelihatan apa-apa.“Dua anak manusia di atas makam.... Tujuh hari tujuh malam kalian berada di tempat 

ini. Ini adalah malam ke tujuh, malam Jum'at Kliwon di mana segala permintaan yang baik

maupun yang jahat akan dikabulkan. Katakan siapa diri kalian berdua....”

Si kakek berwajah lancip dan dua mata masih terbalik putih segera menjawab.

“Aku Mangkutani yang biasa disebut Ki Juru Tenung. Temanku bernama Suto Angil.

Kami berdua menghaturkan sembah hormat atas kesudian Junjungan datang ke tempat ini. 

Kami akan lebih bersyukur kalau Junjungan sudi memperlihatkan diri....”

“Katakan dulu maksud dan tujuanmu bersamadi di atas makam tua di bukit yang

menghadap ke laut selatan ini. Kalau aku dan penguasa samudera berkenan, dengan syarat-

syarat tertentu mungkin permintaanmu akan dikabulkan. Tapi kalau permintaan kalian

ditolak maka malam ini akan menjadi malam laknat bagi kalian berdua. Kalian akan

kubunuh di tempat ini juga!”

Sesaat sepasang mata putih kakek bernama Mangkutani berputar terbalik-balik.

Sebentar putih sebentar hitam lalu putih lagi. Sementara itu orang yang bernama Suto Angil

jadi pucat tampangnya dan mengkirik dingin bulu kuduknya.

“Junjungan, aku bersamadi mewakili Suto Angil. Kami berada di sini dengan niat 

baik yakni mengharapkan turunnya berkah bagi kami berdua....”

“Berkah berupa apa anak manusia? Harta, uang atau jabatan?!” tanya suara

perempuan tanpa ujud.

“Junjungan, kami tidak menginginkan harta atau uang. Tidak pula jabatan...” jawab

Mangkutani.

“Aneh! Lalu kalian inginkan apa? Bidadari dari dasar lautan atau bidadari dari ujung

langit?!”

“Juga tidak wahai Junjungan! Suto Angil adalah orang dari dunia persilatan. Cita-

citanya sangat besar ingin menguasai rimba persilatan. Namun bekal ilmu yang dimilikinya 

tidak memungkinkan dia melaksanakan niatnya itu. Karena itulah saat ini jika Junjungan

sudi mengabulkan aku ingin memintakan satu bekal kekuatan baginya. Bekal itu entah

berupa apa kami serahkan pada Junjungan....”

Perempuan tanpa ujud tidak segera menjawab. Lalu terdengar suara tawa halus.

“Menguasai rimba persilatan adalah satu hal yang dimimpi-mimpikan oleh setiap orang

persilatan. Aku pun dulu pernah menginginkan hal itu. Namun ajalku lebih dulu sampai. 

Aku sangat tertarik mendengar permintaan kawanmu itu, Mangkutani. Aku akan

mengabulkan dengan beberapa syarat....”

Mendengar ucapan tanpa ujud itu Mangkutani alias Ki Juru Tenung segera jatuhkan 

diri, bersujud di tanah. Suto Angil segera ikuti apa yang diperbuat si kakek. Setelah disuruh

bangkit baru keduanya duduk bersila kembali. Saat itu kelihatan bahwa sepasang mata

Mangkutani tidak lagi membeliak putih.

“Mangkutani dan Suto Angil. Putar duduk kalian. Menghadaplah ke arah lautan!”

Mendengar perintah, di atas makam batu Mangkutani dan Suto Angil segera 

memutar duduk menghadap ke arah lautan luas yang dibungkus kegelapan malam.

“Kalian berdua aku perintahkan membuka mata besar-besar. Jangan berkedip

sebelum kalian melihat sesuatu di depan kalian!” Suara perempuan tanpa ujud terdengar

keras dan lantang. Maka dua orang di atas makam batu itu segera saja membuka mata lebar-lebar, memandang ke depan.Tiba-tiba di bawah sana, di dalam laut seolah-olah keluar dari dasar laut ada dua

kilatan cahaya aneh masing-masing sepanjang satu tombak. Dua cahaya ini mencuat ke

permukaan laut terus melesat di udara malam dan sesaat kemudian keduanya telah berada

di hadapan Mangkutani dan Suto Angil, mengapung di udara dalam ujud dua ekor ular

kobra atau ular sendok besar. Masing-masing binatang ini memiliki tiga warna yakni hitam,

merah dan hijau.

Dua orang di atas makam batu menjadi gemetar. Membeliak dan tak berani bergerak

atau keluarkan suara.

“Suto Angil....” Tiba-tiba suara perempuan tanpa ujud terdengar kembali. “Katakan

apa yang kau lihat di depan matamu?!”

“Aku... aku melihat dua ekor ular besar...” jawab Suto Angil dengan suara gemetar.

“Kau tahu ular jenis apa yang kau lihat?”

“Aku... aku kurang tahu Junjungan....”

“Dua ekor ular itu adalah ular-ular kobra laut betina yang akan kuberikan padamu

sesuai dengan permintaanmu untuk dibekali sesuatu hingga bisa menguasai rimba 

persilatan...!”

Mangkutani kerenyitkan kening. Suto Angil tersentak kaget. Kedua orang ini tidak 

mengira kalau dua ekor ular berbisa itulah yang mereka dapat. Padahal mereka

mengharapkan bekal berupa senjata atau jimat.

Manusia tanpa ujud tertawa panjang. “Kulihat kalian berdua seperti ketakutan

setengah mati. Hik... hik... hik. Jangan khawatir! Suto Angil, aku tidak akan membekalimu

dengan ular-ular sendok dalam keadaan hidup itu. Sebelum aku memberi tahu apa yang

akan kulakukan, terlebih dulu aku akan memperlihatkan diri pada kalian. Pejamkan mata

kalian. Baru dibuka bila mendengar suara tiupan angin menyerupai suara seruling di

kejauhan....”

Serta merta Mangkutani alias Ki Juru Tenung dan Suto Angil pejamkan mata masing-

masing. Saat mata mereka tertutup di sebelah depan ada cahaya terang. Bersamaan dengan

itu terdengar suara siuran angin dari arah laut yang menyerupai bunyi tiupan seruling. Lalu

udara di sekitar makam batu itu menjadi sangat dingin. Bau sangat wangi menusuk hidung

mengalahkan harumnya kemenyan yang dibakar dalam pendupaan.

Perlahan-lahan dengan rasa takut mencekam Mangkutani dan Suto Angil buka 

kembali mata mereka yang barusan dipejamkan. Dua orang ini tercekat melihat

pemandangan yang terpampang di depan mereka.

*

* *


__________________________________________________________________________________

LIMA

Dihadapan Mangkutani dan Suto Angil saat itu, seolah mengapung di udara tegak

berdiri seorang perempuan sangat cantik yang di atas kepalanya ada sebuah

mahkota terbuat dari emas berbentuk seekor ular. Dia mengenakan pakaian dalam 

hijau tipis. Karena seolah ada cahaya yang menerangi dirinya maka tubuhnya seperti tidak

terbungkus apa-apa.

Sesaat setelah dapat menguasai diri dari keterkejutan masing-masing, Mangkutani 

dan Suto Angil segera jatuhkan diri bersujud. Setelah diperintahkan bangkit baru mereka

kembali duduk bersila. Namun mereka tidak berani menatap ke bagian atas tubuh 

perempuan berbaju hijau. Mereka tundukan kepala hanya memperhatikan sepasang kaki 

yang bagus.

“Junjungan, kami berterima kasih kau telah sudi memperlihatkan diri...” kata Suto 

Angil.

“Aku terlahir bernama Kunti Arimbi yang kemudian dikenal dengan sebutan Dewi

Ular....”

“Ah!”

Mangkutani dan Suto Angil sama-sama keluarkan seruan tertahan. Beberapa waktu

yang lalu orang rimba persilatan mana yang tidak pernah mendengar nama Dewi Ular.

Cuma diam-diam kedua orang itu merasa heran sendiri. Dewi Ular mereka ketahui telah

tewas beberapa waktu lalu. Kalau saat itu dia menunjukkan diri pasti yang muncul ini 

adalah roh atau hantu alias ujud jejadiannya! 

“Kalian harap bangkit dan dengarkan penuturanku!” kata Dewi Ular. “Aku hidup di

alam yang tidak sama dengan alam kalian. Beberapa waktu lalu aku dan guruku Ratu Ular

terpaksa tewas bunuh diri di satu jurang. Kematian kami adalah akibat perbuatan orang-

orang golongan putih rimba persilatan. Kami menemui ajal dengan membawa sejuta rasa

penasaran dan dendam kesumat ke dalam alam baka! Roh kami tidak bisa tenteram sebelum

para penyebab kematian itu menemui ajal. Nanti akan kukatakan siapa-siapa mereka

adanya. Sekarang waktunya aku akan memberikan bekal padamu Suto Angil. Apakah kau

sudah siap menerima ular-ularku?!”

“Aku siap Junjungan Dewi Ular...” jawab Suto Angil. Tubuhnya yang tinggi besar

bergetar dan tengkuknya kembali terasa dingin.

“Ulurkan dua tanganmu ke depan. Buka telapak tangan, bentangkan ke atas...!”

Suto Angil lakukan apa yang diperintah Dewi Ular.

Sang Dewi arahkan pandangan matanya pada dua telapak tangan Suto Angil lalu

beralih pada dua ekor ular kobra laut yang mengapung di udara dengan kepala tegak tak

bergerak tapi ekor menggeliat-geliat.

“Suto Angil harap perhatikan baik-baik. Aku akan menitis masuk ke dalam dua ekor

ular sendok itu...” berkata Dewi Ular. Lalu dari sepasang matanya mencuat dua larik sinar

hijau, menyambar ke arah kepala dua ekor ular kobra betina. Binatang-binatang ini

keluarkan desisan panjang. Dari kepala masing-masing mengepul asap hijau. Di sebelah 

sana tubuh Dewi Ular bergoncang keras. Wajahnya yang cantik berubah menjadi pucat

seolah kehabisan darah. Bibirnya membiru dan dua bola matanya berubah warna menjadikelabu. Wajahnya yang cantik basah oleh keringat dan kelihatan angker menggidikkan. 

Perlahan-lahan dua sinar hijau sirna.

“Titisanku sudah berada dalam sosok dua ekor ular kobra betina. Suto Angil, dua

ekor ular itu sekarang akan kuperintah masuk ke dalam tubuhmu lewat dua telapak tangan

yang terkembang. Jangan bergerak dan apapun yang terjadi kau harus sanggup menahan

sakit....”

Si kakek bernama Mangkutani yang hanya mendengar kata-kata Dewi Ular merasa

bergeming apalagi Suto Angil. Belum apa-apa dadanya sudah terasa sesak dan mukanya

menjadi pucat. Dia berusaha tabahkan diri. Dewi Ular keluarkan pekikan keras dan

goyangkan kepalanya. Dua ekor ular kobra laut belang tiga mendesis panjang. Lalu laksana 

dua anak panah binatang-binatang itu melesat ke arah dua telapak tangan Suto Angil.

“Craasss!” 

“Craasss!” 

Dua ekor ular menghunjam masuk ke dalam telapak tangan kiri kanan Suto Angil. 

Darah muncrat. Laksana ditusuk pedang, begitu sakitnya membuat manusia tinggi besar ini

walau tidak bergerak dari duduknya di atas makam batu tapi tetap saja tak mampu

menahan jerit kesakitan yang meledak keluar dari mulutnya. Sekujur tubuhnya mendadak

sontak basah oleh keringat.

Secara aneh dua ular kobra laut yang menembus telapak tangan Suto Angil terus

menyusup masuk ke dalam tangan, terus amblas sepanjang lengan dan baru berhenti begitu

buntutnya lenyap dari permukaan masing-masing telapak tangan!

Suto Angil merasa nyawanya seperti terbang. Dadanya turun naik. Dia berusaha agar

tidak roboh di atas batu makam. Untuk beberapa lamanya rasa sakit masih menguasai 

dirinya. Darah dalam tubuhnya laksana mengalir menyungsang.

“Suto Angil, titisanku berupa dua ekor ular kobra laut telah masuk dan berada dalam

tubuhmu. Sekarang kau telah membekal satu ilmu kesaktian yang tidak ada duanya di

dunia persilatan. Namun ilmu itu belum muncul kalau kau tidak melakukan syarat-syarat

yang akan kusebutkan. Apa kau bersedia menjalankan syarat yang akan aku katakan Suto

Angil?”

“Aku... aku akan menjalankan, Junjungan Dewi Ular,” jawab Suto Angil masih

tercekat walau rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya perlahan-lahan mulai lenyap.

“Syarat pertama. Setelah aku pergi kau harus bersamadi di tempat ini seorang diri

selama dua puluh satu hari. Kalau kau bisa bertahan kau akan hidup dan dapatkan apa yang

menjadi niatmu. Kalau nasibmu buruk dan umurmu pendek, mungkin sebelum hari kedua

puluh satu kau sudah jadi mayat di tempat ini! Pada akhir samadimu, kau akan melihat

tanganmu kiri kanan sebatas siku ke bawah terbungkus oleh kulit ular kobra laut berwarna

hitam, merah dan hijau. Itu berarti kau telah memiliki sepasang sarung tangan sakti yang

kuberi nama Sarung Tangan Penyedot Batin! Inilah senjata yang dapat kau jadikan bekal

untuk menjadi penguasa rimba persilatan. Sarung tangan itu memiliki dua kekuatan hebat. 

Pertama daya kekuatan untuk membunuh lawan dan kedua menyedot tenaga dalam yang 

dimiliki lawan! Jika kau mau kau bisa membunuh lawanmu sekaligus menyedot tenaga 

dalamnya. Kalau kau hanya inginkan tenaga dalam lawan kau bisa menyedotnya tanpa 

membunuh.“Junjungan Dewi Ular, aku sangat berterima kasih atas kebaikan hati dan berkah

darimu...” kata Suto Angil lalu bersujud. Mangkutani segera pula ikut menyembah dan

menghaturkan rasa terima kasih.

“Sarung tangan sakti itu harap kau jaga baik-baik seperti kau menjaga nyawamu

sendiri. Jika tidak kau pergunakan kau bisa melepaskannya dari tanganmu dan 

menyimpannya di sebuah peti besi yang akan muncul sendirinya pada hari terakhir

samadimu di tempat ini....”

“Terima kasih sekali lagi junjungan Dewi Ular,” kata Suto Angil sambil membungkuk 

dalam.

“Sekarang syarat kedua yang harus kau lakukan. Tadi sudah kukatakan, aku dan

guruku Ratu Ular terpaksa melakukan bunuh diri di satu jurang akibat keganasan orang-

orang golongan putih. Karena itu orang-orang golongan putih harus ditumpas. Terutama

mereka yang berada di tanah Jawa ini dan di Pulau Andalas! Kau harus menebar racun 

perpecahan di antara mereka hingga saling curiga dan saling bunuh! Untuk itu kau harus

mencari satu tempat yang baik sebagai markasmu dan memaklumkan diri sebagai calon

penguasa tunggal rimba persilatan....”

“Dewi Ular, aku mendengar apa yang kau katakan. Namun jika kau sudi memberi

petunjuk harap suka memberi tahu kira-kira di daerah atau kawasan manakah tempat yang

patut aku jadikan markas yang kau maksudkan itu.”

“Tak jauh dari Telaga Gajahmungkur ada satu kawasan berupa lembah subur. Kau 

dengan mudah bisa menemukannya. Jadikan lembah itu sebagai markasmu. Beri nama

lembah itu Lembah Akhirat dan umumkan dirimu sebagai Datuk Lembah Akhirat....”

“Terima kasih atas petunjuk Junjungan...” kata Suto Angil.

“Aku juga menghaturkan terima kasih,” kata Mangkutani pula.

“Kalian berdua harus bekerja sama menyusun siasat hingga apa yang menjadi niat 

Suto Angil bisa menjadi kenyataan,” kata Dewi Ular. “Suto Angil, sekarang dengarkan baik-

baik syarat selanjutnya. Ini yang paling penting. Dari sekian banyak para tokoh silat

golongan putih yang harus kau bunuh, ada beberapa orang yang harus kau hukum mati

lebih dulu. Mereka adalah para penyebab kematian diriku dan guruku Ratu Ular. Manusia

pertama seorang pendekar muda bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut 

Naga Geni 212. Orang kedua seorang tokoh bertubuh gemuk luar biasa, dikenal dengan

julukan Si Raja Penidur. Orang ke tiga adalah pemuda bernama Sandaka. Orang ini

sebelumnya dikenal dengan julukan Manusia Paku. ingat nama atau gelar tiga manusia

keparat itu baik-baik. Bunuh mereka dengan cara paling keji. Jika kau berhasil bawa mayat

mereka dan letakkan di atas makam tua ini hingga aku tahu kau telah melakukan

perintahku....”

“Junjungan Dewi Ular, perintah akan aku lakukan. Kalau aku boleh bertanya untuk

melakukan tugas membunuh tiga prang itu apakah ada batasan waktu?” bertanya Suto 

Angil.

“Tiga orang itu adalah manusia-manusia berkepandaian tinggi. Memang tidak

mudah membunuh mereka. Itu sebabnya aku tidak memberi batasan waktu padamu untuk

melaksanakannya. Tapi khusus untuk Pendekar 212 Wiro Sableng, aku perintahkan agar kau 

membunuhnya dalam waktu cepat!”

“Akan aku lakukan Junjungan Dewi Ular.”“Sebentar lagi pagi akan datang, matahari akan terbit. Waktuku hampir habis. Jika

kalian tidak ada pertanyaan maka aku akan segera meninggalkan tempat ini....”

Suto Angil memandang pada Ki Juru Tenung alias Mangkutani. Kakek bermuka

lancip ini gelengkan kepala.

“Kami tidak ada pertanyaan apa-apa Junjungan.

Semua petunjuk dan perintahmu sudah jelas.... Kami sekali lagi menghaturkan

banyak terima kasih. Kami tidak tahu harus membalas bagaimana....”

“Hik... hik... hik.” Dewi Ular tertawa panjang. “Kalian orang-orang berhati jahat,

nyatanya masih punya peradatan. Balasan yang kuharapkan adalah bunuh Pendekar 212

Wiro Sableng secepat-cepatnya!”

Habis berkata begitu Dewi Ular angkat kedua tangannya ke atas. Gerakannya ini

membuat sosok tubuhnya yang hanya terbungkus kain tipis semakin jelas kelihatan. Lalu di 

kejauhan tiba-tiba ada tiupan angin keras menyerupai bunyi seruling. Bersamaan dengan itu

tubuh Dewi Ular perlahan-lahan lenyap dalam kegelapan, Yang tinggal kini hanyalah wangi 

bau tubuhnya.

Hanya sesaat setelah Dewi Ular raib dari puncak bukit |tu, di balik satu gundukan

tanah seorang berpakaian biru menyelinap dalam kegelapan. Tanpa setahu Mangkutani dan

Suto Angil orang ini berkelebat menuruni bukit ke arah timur.

Sambil berlari orang yang memiliki tubuh tinggi langsing dan bermuka klimis itu 

berkata dalam hati. “Suto Angil aku tidak akan membiarkan keberuntungan menjadi

milikmu seorang. Aku tahu sejak lama kau punya rencana menguasai dunia persilatan. 

Untuk itu kau hendak memanfaatkan diriku, menipu diriku. Tapi kelak aku pun akan

menyiasati dirimu! Kau boleh bangga punya nama besar Datuk Lembah Akhirat! Kau lupa

kalau seperti manusia lainnya kau cuma punya satu nyawa!” (Riwayat Dewi Ular dan Ratu

Ular bisa dibaca dalam Serial Wiro Sableng terdiri dari dua Episode berjudul Dendam

Manusia Paku dan Dewi Ular)

*

* *


__________________________________________________________________________________

ENAM


Sesuai petunjuk Mangkutani yang dipercayakan Suto Angil sebagai juru ramai atau juru

tenung maka Suto Angil tidak segera menggebrak rimba persilatan. Mereka mengatur

siasat sambil mencari para pembantu yang bisa diandaikan. Salah seorang yang

menurut Mangkutani bisa dimanfaatkan adalah Suto Abang, adik Suto Angil yang memang 

memiliki kepandaian tinggi dan sudah mendapat nama dalam rimba persilatan. Setelah

diberi janji-janji muluk Suto Abang kemudian berangkat ke Pulau Andalas. Kehadirannya di

pulau ini adalah untuk menimbulkan perpecahan di kalangan tokoh silat golongan putih 

lalu diam-diam membunuh mereka satu persatu.

Suto Abang mau meninggalkan tanah Jawa dan berangkat ke tanah seberang

sebenarnya mempunyai rencana tersendiri. Selain memang memiliki dendam kesumat 

terhadap beberapa tokoh rimba persilatan dia juga merasa rindu dan ingin bertemu dengan

seorang nenek yang dimasa mudanya pernah dikenalnya dan kepada siapa sebenarnya dia

menaruh hati, perempuan itu adalah Sabai Nan Rancak.

Seperti pernah dituturkan sebelumnya sebenarnya dimasa mudanya Suto Abang

pernah berkasih mesra dengan Sinto Weni alias Sinto Gendeng guru Pendekar 212 Wiro

Sableng. Namun saat itu muncullah pemuda gagah bernama Sukat Tandika (yang kemudian 

dikenal dengan julukan Tua Gila) yang membuat Sinto Gendeng tergila-gila dan

meninggalkan Suto Abang begitu saja. Ternyata Sukat Tandika tidak bersungguh-sungguh

mencintai Sinto Gendeng. Seperti burung elang Sukat Tandika hinggap ke sana ke mari

mencari dan menggauli gadis-gadis di tanah Jawa maupun di Pulau Andalas. Salah satu

gadis-gadis itu yang kemudian dihamilinya adalah Sabai Nan Rancak. Suto Abang merasa 

sangat kecewa ditinggal Sabai Nan Rancak. Lama tak mendengar kabar, setelah puluhan

tahun baru diketahuinya bahwa Sabai diam di Gunung Singgalang. Maka pada kesempatan 

dia menginjakkan kaki di Pulau Andalas Suto Abang segera mencari Sabai yang tentunya

sudah berusia lanjut alias sudah nenek-nenek. Di Pulau Andalas Suto Abang

memperkenalkan diri dengan nama Sutan Alam Rajo Di Bumi. Dia segera mencari Sabai

Nan Rancak di Gunung Singgalang dan berhasil menemui kekasih dimasa mudanya itu.

Walau sudah tua sama tua namun riwayat pengalaman dan hubungan mereka dimasa muda

menggugah hati sepasang kakek nenek itu. Sabai Nan Rancak tidak segan-segan menerima

dan melayani kasih sayang Suto Abang dimasa tuanya dengan sepenuh hati. Tanpa dia 

mengetahui bahwa sebenarnya laki-laki itu tengah menjalankan siasat bersandiwara. Seperti

diceritakan sebelumnya kelak Suto Abang akan memanfaatkan Sabai Nan Rancak sesuai

dengan rencana besar yang dibuatnya bersama kakaknya yaitu Suto Angil.

*

* *

Hujan rintik-rintik turun dalam kegelapan malam. Dua sosok berjubah hitam

mendekam di kawasan Candi Jombang. Mereka adalah Ki Juru Tenung alias Mangkutani 

dan Suto Abang. Malam merayap dingin. Suto Abang mulai tidak sabaran “Ki Juru tenung, apa kau tidak keliru menyirap kabar? Sudah lewat tengah malam.

Sebentar lagi menjelang pagi. Dua kelompok yang katamu hendak mengadakan pertemuan

di tempat ini mengapa masih belum muncul?”

Si kakek yang dipanggil sebagai Ki Juru Tenung itu menyeringai. Saat itu dia

memegang sehelai daun yang ditekuk demikian rupa dan diberi air. Dalam gelap kakek ini

memperhatikan ke dalam air. Sebutannya sebagai Ki Juru Tenung ternyata bukan nama

kosong belaka. Orang tua ini dengan cara melihat air mampu mengetahui sesuatu yang

bakal terjadi.

“Kesabaranku tidak sia-sia Suto. Dalam air di. atas daun ini aku melihat ada dua

benda bergerak ke arah Candi Jombang ini. Selain itu telingaku sudah mendengar detak

roda kereta dari dua arah. Timur dan barat. Sebentar lagi rombongan itu akan muncul dan

mengadakan pertemuan di tempat ini. ingat baik-baik apa yang telah kita atur. Kau

membunuh dan menyedot tenaga dalam Warok Kunto Ireng dan Tumenggung Wiro Culo.

Tapi biarkan hidup tangan kanan Tumenggung yang berjuluk Si Raja Candu. Setahuku dia 

memiliki dan menimbun harta kekayaan di satu tempat. Harta kekayaan, itu bisa kita 

pergunakan untuk mengembangkan Lembah Akhirat. Selain itu aku menyirap kabar Si Raja 

Candu mempunyai seorang kakek berkepandaian tinggi dikenal dengan julukan Mayat Tiga

Warna.

Manusia ini memiliki ilmu pukulan sakti yang sangat langka. Siapa saja yang kena 

hantamannya akan mati dengan tubuh berubah menjadi debu warna hitam, hijau atau

merah. Kalau kau telah memiliki ilmu itu, kurasa sudah saatnya kau mengumandangkan

kehadiran Lembah Akhirat di rimba persilatan.”

“Aku percaya padamu Ki Juru Tenung. Aku akan turuti apa katamu...” kata Suto

Angil menyeringai.

“Ini berarti semua perempuan yang dibawa Tumenggung untuk Warok Kunto Ireng

akan menjadi milikmu hah?!”

Ki Juru Tenung tertawa cekikikan tapi kemudian cepat-cepat menutup mulutnya dan

berbisik. “Dua rombongan sudah di depan mata.” Ki Juru Tenung buang daun berisi air

yang sejak tadi dipegangnya.

Saat itu suara gemeletakan roda kereta dan gerobak terdengar makin keras dan tak

selang berapa lama dalam kegelapan muncullah dua rombongan yang dinanti-nantikan 

kedua orang itu.

Dari sebelah kiri kelihatan sebuah gerobak besar ditarik oleh dua ekor kuda. Di atas

gerobak yang tertutup, rapat kajang bambu ini ada enam orang perempuan desa. Tiga janda,

dua istri orang dan seorang lagi masih gadis. Di samping kiri gerobak, ada seekor kuda

putih ditunggangi seorang lelaki berusia setengah abad, berpakaian biru dan wajahnya

sebatas mata ke bawah ditutupi sehelai sapu tangan hitam.

“Yang memakai penutup muka kain hitam itu adalah Tumenggung Wiro Culo. Dia

sengaja menyamar agar tidak ketahuan.” Berbisik Ki Juru Tenung.

Di samping kanan gerobak, di atas seekor kuda hitam, duduk seorang kakek sambil

terkempot-kempot menghisap sebuah pipa panjang. Kepalanya di sebelah tengah botak

berkilat. Rambutnya yang putih panjang hanya tumbuh di samping kiri dan kanan.

“Si botak berpipa itu pasti Si Raja Candu...” kata Suto Angil.

“Betul,” jawab Ki Juru Tenung. “Kemana-mana dia selalu menghisap pipa candunya.

Pipa itu juga sebagai senjata. Dia menyemburkan hawa candu dari ujung pipa yang bisa membuat lawan pusing lalu dihabisinya dengan ujung pipa lainnya yang biasa dihisapnya.

Kalau kau perhatikan ujung pipa ini diselimuti kerak berwarna hitam dan bau busuk. Itu

adalah darah korban-korban yang dibunuhnya dan telah mengering) Suto semua urusan

kini berada di tanganmu!” Habis berkata begitu Ki Juru Tenung lalu menyelinap dalam 

gelap. Sesaat kemudian dia sudah berada di sebuah cabang sebatang pohon. Dari tempatnya 

berada dia bisa melihat segala apa yang bakal terjadi di tempat itu.

Dari balik pakaiannya Suto Angil keluarkan satu gulungan kain putih. Di dalam

gulungan kain ini tersimpan sepasang sarung tangan sakti pemberian Dewi Ular yakni 

Sarung Tangan Penyedot Batin. Sarung tangan ular kobra tiga warna ini dengan cepat

dikenakannya di tangan kiri kanan.

Sementara itu dari arah kanan muncul rombongan kedua. Rombongan ini terdiri dari 

enam orang berkuda bertampang garang, berpakaian dekil dan bau. Sebuah kereta ditarik

oleh seekor kuda berada di belakang keenam orang ini. Di bagian tengah sebelah depan, 

bertubuh pendek gempal dan berkulit hitam legam adalah pimpinan rombongan yakni

Warok Kunto Ireng, pimpinan rampok paling ditakuti di seantero kawasan Jawa bagian

tengah. Dua bilah golok panjang berkeluk melintang di pinggangnya kiri kanan.

Dari atas kudanya Warok Kunto Ireng angkat tangan kiri dan berseru. “Tumenggung

Wiro Culo! Kami datang sesuai janji. Dalam kereta ada enam peti besar berisi barang-barang

berharga untukmu. Sebagai imbalan apakah kau membawa apa yang kami suka?!”

Orang bercadar, Tumenggung Wiro Culo, balas mengangkat tangan kiri. “Dalam

gerobak tertutup kajang ini ada enam hidangan nikmat yang kalian suka!”

Warok Kunto Ireng tertawa lebar. Lima anak buahnya bersorak gembira. Sang

Tumenggung kembali mengangkat tangan. “Sobatku Si Raja Candu juga tidak lupa 

membawa satu tas kulit berisi candu murni untuk kalian!”

Kembali anak buah Warok Kunto Ireng berteriak gembira.

“Kalau begitu pertukaran bisa kita laksanakan sekarang juga!” kata Warok Kunto

Ireng.

“Harap bersabar. Ada satu keterangan yang aku inginkan. Pada pertemuan terakhir

kita bicara soal menyingkirkan Adipati Ajibarang dan Grobokan. Apa rencana kalian sudah 

disiapkan?”

“Rencana sudah disiapkan. Tinggal menunggu saat baiknya!” jawab sang Warok.

“Aku ingin tahu kapan saat baik kau maksudkan itu. Orang-orangku yang siap 

menggantikan dua Adipati tak berguna itu sudah tidak sabaran!”

“Jangan khawatir Tumenggung. Pada hari delapan bulan di muka dua Adipati itu 

berjanji berburu bersama di sebuah hutan belantara. Saat itulah aku dan anak buahku akan 

menghabisi mereka!” 

“Hemmm.... Baik kalau begitu. Sekarang pertukaran bisa dilaksanakan!” kata 

Tumenggung Wiro Culo pula.

Warok Kunto Ireng memberi tanda pada kusir kereta. Disaat yang sama Tumenggung

Wiro Culo memberi isyarat pula pada kusir gerobak. Sementara kakek berjuluk Si Raja

Candu ambil sebuah kantong kain yang tergantung di leher kudanya. Sekali tangannya 

berkelebat kantong itu dilemparkannya ke arah Warok Kunto Ireng yang segera disambuti

oleh kepala rampok ini sambil tertawa mengekeh.

Pada saat gerobak berisi enam orang perempuan sama-sama bergerak hendak

dipertukarkan tiba-tiba dari kegelapan ada satu suara membentak.“Candi Jombang dan sekitarnya adalah daerah kekuasaanku! Apa saja yang ada di

sini menjadi milikku, termasuk nyawa kalian semua!”

Semua orang yang ada di tempat itu tentu saja menjadi terkejut kecuali Si Raja Candu.

Kakek ini lontarkan lirikan ke arah gelap dari mana datangnya suara tadi. Lalu dengan

tenang dia menghisap pipa candunya kembali. Asap candu mengepul dari liang hidung dan

ujung pipanya.

Yang pertama sekali bersuara dan membuat gerakan adalah Warok Kunto Ireng. Dari

atas punggung kudanya kepala rampok bertubuh gempal pendek ini melesat ke udara.

Setelah jungkir balik dua kali dia langsung melesat ke hadapan orang tinggi besaryang

barusan keluar dari balik semak belukar.

“Bangsat rendah! Siapa kau berani mencari mati mencampuri urusan Warok Kunto

Ireng!”

Si tinggi besar bermuka tertutup rambut gondrong, kumis lebat, janggut dan berewok

tebal menyeringai. “Malam terlalu gelap rupanya. Hingga kau buta tidak melihat tuan

besarmu sendiri!”

Dijawab seperti itu marahlah Warok Kunto Ireng. “jahanam! Biar tubuhmu yang 

tinggi besar aku buat jadi dua belas kutungan!”

Entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu Warok Kunto Ireng telah cabut sepasang 

golok berkeluknya. Dilain kejap dua senjata itu berkiblat memapas ke arah leher dan kepala

orang. Suto Angil angkat kedua tangannya untuk menangkis.

“Traang!”

“Traang!”

Dua golok panjang di tangan Warok Kunto Ireng keluarkan suara berdentrangan

disertai percikan bunga api begitu membentur sepasang sarung tangan ular kobra laut yang

dikenakan Suto Angil, Warok Kunto Ireng berteriak kaget dan cepat melompat mundur.

Yang membuat kaget pemimpin rampok ini bukan saja atosnya sarung tangan lawan namun

karena saat itu mendadak dia merasakan sesuatu.

“Aneh, tubuhku mendadak terasa lemas! Tenaga dalamku seperti mengendor!”

Dengan mata berapi-api sang Warok memandang pada Suto Angil. “Makhluk 

jahanam, siapa kau! Manusia atau setan!”

Suto Angil menyeringai.

“Aku Datuk Lembah Akhirat! Penguasa rimba persilatan dari Lembah Akhirat!”

Warok Kunto Ireng tertawa bergelak. “Baru sekali ini aku dengar namamu dan nama

Lembah Akhirat! Berarti benar dugaanku kau adalah sebangsa hantu yang kesasar turun

dari akhirat!”

Suto Angil tertawa bergelak.

Untuk pertama kalinya Si Raja Candu angkat kepala dan cabut pipa lalu berpaling ke 

arah Suto Angil. Bagi kakek satu ini nama Datuk Lembah Akhirat dan Lembah Akhirat sama

sekali tidak mengejutkannya. Dia juga tidak terkesiap melihat kekebalan sarung tangan yang 

dipakai orang. Yang membuat dia tiba-tiba mencurahkan perhatian adalah suara tawa Suto

Angil tadi. Dia merasa empat kaki kuda dan perut binatang tunggangannya bergetar aneh 

ketika Suto Angil keluarkan suara tawa bergelak tadi.

“Manusia tinggi besar itu memiliki tenaga dalam luar biasa...” kata Si Raja Candu dalam hati.

“Warok Kunto Ireng!” kata Suto Angil. “Kalau orang pendek dan bau sepertimu ini

sudah tahu aku adalah bangsanya hantu, mengapa tidak lekas menyembah agar kuampuni

selembar nyawamu?!”

“Bangsat haram jadah! Nyawamu justru tak ada ampunannya!” Habis membentak

begitu pimpinan rampok ini langsung menggebrak dengan dua golok panjang. Namun

sekali ini gerakannya tidak bertenaga lagi. Sepasang senjatanya boleh dikatakan membabat

hanya mengandalkan tenaga luar saja akibat tenaga dalamnya yang telah tersedot dan

pindah ke dalam tubuh Suto Angil!

“Bukk!”

“Bukk!”

Dua jotosan melanda perut dan dada Warok Kunto Ireng. Kepala rampok ini menjerit

keras lalu, terjengkang di tanah. Matanya mendelik, sekujur tubuhnya seolah tidak

bertulang lagi. Setelah megap-megap sebentar orang ini akhirnya terkapar tak berkutik dan

tak bernafas lagi!

Tumenggung Wiro Culo tak percaya akan apa yang barusan disaksikannya. Dia

berpaling pada Si Raja Candu.

Si Raja Candu cabut pipanya dari mulut. Matanya menatap tak berkesip. “Aku tak

percaya. Warok Kunto Ireng bukan lawan yang mudah ditaklukkan dalam dua gebrakan

saja! Sarung tangan yang dikenakan si tinggi besar itu pasti mengandung satu kekuatan

hebat. Aku harus menguji!” Memanfaatkan kemarahan lima anak buah Warok Kunto Ireng

atas kematian pimpinan mereka maka Si Raja Candu lantas berteriak.

“Kalian berlima mengapa cuma jadi patung! Apa tidak mau membalas kematian

pimpinan kalian?!”

Mendengar teriakan itu lima anak buah Kunto Ireng seolah baru sadar sama berteriak

marah. Masing-masing cabut senjata terus menyerbu Suto Angil. .

“Monyet-monyet tolol! Disuruh mampus mau saja!” teriak Datuk Lembah Akhirat.

Kedua tangannya digerakkan kian kemari. Menangkis dan menghantam. Suara

berdentrangan terdengar berulangkali diseling suara bergedebukan. Lima anggota rampok

itu berpekikan dan. berkaparan tumpang tindih di tanah.

“Tua bangka botak penyadik candu! Kau ambil, patung-patungmu ini!” teriak Suto

Angil. Lalu satu persatu mayat kelima anggota rampok itu dilemparkannya ke arah Si Raja

Candu.

*

* *

__________________________________________________________________________________

TUJUH 

Raja Candu kepulkan asap pipanya ke udara, Sekali dia bergerak maka tubuhnya

melesat lenyap dari atas kuda hingga tidak satu pun dari lima mayat yang

dilemparkan Datuk Lembah Akhirat mengenai tubuhnya. Dilain kejap kakek ini tahu-

tahu sudah berdiri di hadapan Suto Angil dengan sikap mengejek. Kepala mendongak ke

langit gelap. Mulut menyedot pipa dan tangan kiri berkacak pinggang.

“Puluhan tahun malang melintang dalam rimba persilatan baru hari ini aku 

mendengar adanya manusia berjuluk Datuk Lembah Akhirat berasal dari Lembah Akhirat.

Kalau aku boleh bertanya siapa kau sebenarnya dan dari mana asalmu sebetulnya!”

“Raja Candu! Aku tidak begitu suka berbincang-bincang dengan manusia sepertimu.

Manusia laknat yang menjual dari menyebar candu membuat rakyat melarat! Juga temanmu

berpangkat Tumenggung bernama Wiro Culo itu! Musuh Raja dalam selimut. Yang mau

membunuh Adipati-adipati tidak berdosa agar kaki tangannya bisa menduduki jabatan itu!”

Si Raja Candu kepulkan asap pipanya lalu tertawa gelak-gelak. Tapi diam-diam dia 

melirik memperhatikan sepasang sarung tangan yang dikenakan orang. “Ucapanmu

sungguh hebat luar biasa! Manusia miskin sepertimu mana mampu membeli candu hingga

tidak tahu kenikmatan dunia! Ha... ha-ha! Tapi aku akan berbaik hati memberikan secuil 

kecil padamu asal kau mau menyerahkan sepasang sarung tangan kulit ular tiga warna itu!”

“Ah, kau inginkan sarung tanganku rupanya! Hendak kau pertukarkan dengan secuil

candu! Kau baik sekali! Aku menerima tawaranmu!” Lalu Datuk Lembah Akhirat membuat 

gerakan seperti hendak membuka sarung tangannya. Tapi tahu-tahu tangan kanannya 

meluncur ke arah dada Si Raja Candu!

Yang diserang keluarkan suara tawa mengekeh, “ilmu baru sejengkal. Sarung tangan

butut mau diandaikan! Ha... ha... ha!” Orang tua yang rambutnya hanya tumbuh di samping

kepala ini berkelebat mengelak. Tangan kanannya bergerak. Ujung pipanya menusuk ke

mata kiri Datuk Lembah Akhirat! 

Sang Datuk mendengus marah. Kalau dia teruskan pukulannya pasti mengena. Tapi

dia tak mau kehilangan mata. Karenanya dengan cepat sang Datuk menyingkir ke kiri. Kaki 

kanannya menendang. Si Raja Candu kembali tertawa mengejek serangan itu. Tubuhnya

membuat gerakan aneh. Berputar setengah lingkaran. Asap candu membuntal ke arah muka

Datuk Lembah Akhirat. Serta merta jalan pernafasannya tersumbat dan kepalanya pusing.

Sesaat pemandangannya jadi berkunang. Tubuhnya tertegun nanar. Di atas pohon Ki Juru

Tenung menjadi cemas.

“Celaka! Apa yang terjadi!” pikir Ki Juru Tenung.

Saat itulah didahului suara tawa memandang enteng Si Raja Candu yang

menganggap lawan telah tak berdaya dibawah pengaruh asap candunya, tusukkan pipa

candunya ke tenggorokan Suto Angil.

“Kalau asalmu dari akhirat kembalilah ke akhirat! Mampus!” bentak Si Raja Candu.

Sejengkal lagi ujung pipa maut akan mengenai sasarannya tiba-tiba tangan kanan

Datuk Lembah Akhirat berkelebat ke atas. Karena tidak menyangka lawan masih mampu

menangkis, Si Raja Tandu terlambat mengelak, Pipa kayu beradu dengan belakang telapak

tangan kanan Datuk Lembah Akhirat. Pipa dan sarung tangan langsung bertempelan!

Si Raja Candu keluarkan seruan tertahan ketika dia merasakan ada hawa sakti tertarik

keluar dari dalam tubuhnya lewat tangan terus ke pipa. Serta merta tubuhnya menjadi

limbung. Sadar apa yang terjadi kakek ini cepat kerahkan tenaga dalam dan menghantam

dengan tangan kiri. Justru inilah kesalahan besar yang tidak disadarinya. Ketika dia

mengerahkan tenaga dalam langsung saja sarung tangan sakti menyedot seluruh tenaga

yang disalurkannya. Akibatnya tangan kiri Yang hendak melancarkan serangan tadi jadi

terkulai jatuh.

“Celaka! Apa yang terjadi!” pikir Si Raja Candu. Dia semburkan sisa asap pipa yang

masih ada dalam mulutnya sambil melompat mundur. Tapi terlambat. Disaat yang

bersamaan jotosan tangan kiri Datuk Lembah Akhirat menghajar dadanya dengan telak.

Tokoh silat tangan kanan Tumenggung Wiro Culo ini terpental satu tombak. Darah segar

menyembur dari mulutnya. Tubuhnya terbanting jatuh punggung di tanah. Dia mengerang

pendek lalu dengan cepat bangkit berdiri, tapi saat itu juga tubuhnya kembali terkapar di

tanah. Dirinya seolah telah berubah menjadi selembar benang basah yang tak sanggup

ditegakkan lagi karena seluruh kekuatannya sudah tersedot masuk ke tubuh Datuk Akhirat!

Ketika sang Datuk keluarkan suara tawa bergelak maka suaranya membahana

menggetarkan seantero tempat karena tenaga dalamnya telah bertambah dengan tenaga 

dalam milik Si Raja Candu yang berhasil disedotnya.

Melihat apa yang terjadi Tumenggung Wiro Culo menjadi leleh nyalinya. 

Kepandaiannya jauh di bawah tingkat kepandaian Si Raja Candu. Untuk melawan sama saja 

dengan bunuh diri. Maka orang ini segera memutar otak dan dekati Datuk Lembah Akhirat.

“Aku Tumenggung Wiro Culo. Aku punya pengaruh besar di Keraton. Orang

sehebatmu patut mendapat tempat yang layak di Kerajaan. Jika kau mau ikut menjadi orang

kepercayaanku, aku akan memberikan satu jabatan tinggi untukmu!”

Datuk Lembah Akhirat menyeringai. “Jabatan apa? Tumenggung sepertimu atau

Adipati sial yang bakalan mati kau bunuh? Ha... ha... ha!”

“Aku tidak main-main. Orang sehebatmu bisa dijadikan Kepala Pasukan Kerajaan.

Selain itu kau dengar baik-baik. Aku punya segudang timbunan harta kekayaan. Kau tinggal

menyebutkan apa saja yang kau inginkan. Semua akan kuberikan padamu. Sebagai gantinya

cukup kau memberikan satu saja dari sarung tangan kulit ular itu. Kau pasti tidak akan

menolak. Mulai saat ini kita bisa menjadi dua sahabat!”

“Hemmmm....” Datuk Lembah Akhirat bergumam sambil usap-usap jenggot tebal di

dagunya. “Aku tidak melihat orang sepertimu ada artinya bagiku. Datuk Lembah Akhirat

tidak butuh orang sepertimu!” Habis berkata begitu sang Datuk lalu melompat dan cekal

leher Tumenggung Wiro Culo dengan tangan kanannya. Wiro Culo berteriak dan memukul 

kian kemari. Namun tak ada gunanya. Tubuh Datuk Lembah Akhirat yang sudah sarat

dengan tenaga dalam itu seolah kebal terhadap pukulan. Sambil mengangkat tubuh

Tumenggung itu ke atas, Sarung Tangan Penyedot Batin langsung menyedot tenaga dalam 

yang dimiliki Tumenggung. Begitu tubuh orang ini dibantingkan ke tanah bukan saja tenaga

dalamnya telah terkuras habis tapi nyawanya pun putus sudah!

Datuk Lembah Akhirat melangkah mendekati kusir gerobak dan kusir kereta yang

berusaha melarikan diri tapi keburu dicekal dan dijambak.

“Kalian berdua tidak akan kuapa-apakan. Kalian boleh pergi dari sini. Tapi ingat!

Kalian harus memberi tahu kepada setiap orang apa yang telah kalian saksikan di sini. 

Katakan pada semua orang bahwa ini semua adalah pekerjaan. Datuk Lembah Akhirat dari Lembah Akhirat!” Begitu cekalan dan jambakan mereka dilepaskan kusir kereta dan kusir

gerobak itu serta merta ambil langkah seribu!

Sambil berteriak gembira Ki Juru Tenung melompat turun dari atas cabang pohon.

Dia langsung berlari menuju gerobak yang ditutup rapat dengan kajang bambu. Begitu 

kajang yang menutupi bagian belakang gerobak ditarik lepas, terlihatlah enam orang

perempuan desa 

“Kalian semua tidak perlu takut. Datuk Lembah Akhirat dan aku Ki Juru Tenung

telah menyelamatkan kalian dari perbuatan keji Tumenggung Wiro Culo. Lekas turun dari

gerobak. Aku akan membawa kalian ke tempat aman sebelum kukembalikan ke desa

kalian.”

Mendengar ucapan kakek itu walau mereka tidak kenal namun enam perempuan 

desa itu segera saja berserabutan turun dari gerobak. Salah seorang dari mereka adalah

seorang janda bertubuh tambun gemuk. Datuk Lembah Akhirat berkobar birahinya melihat

si gemuk ini. Langsung saja dia mencekal pinggang si gemuk dengan tangan kiri sementara 

tangan kanan merobek lepas pakaian yang melekat di tubuh perempuan itu.

Lima perempuan lainnya yang tadi merasa gembira karena ada orang yang menolong

kini kembali dilanda ketakutan. Ketika Ki Juru Tenung mendekati mereka, kelimanya

menjerit. Salah seorang berhasil melarikan diri tapi yang empat lagi tidak berdaya. Ki Juru

Tenung agaknya memiliki satu ilmu aneh yang membuat perempuan-perempuan desa itu

tidak berkutik lagi. Keempatnya diseret kakek ini ke satu tempat satu persatu.

Beberapa hari berselang ketika seorang penebang kayu lewat di tempat itu, dia 

menemukan lima perempuan desa itu telah jadi mayat membusuk. Dibunuh dengan kepala

pecah!

Datuk Lembah Akhirat jambak rambut putih Si Raja Candu. Sambil memandang ke 

tengah danau kecil di hadapannya dia berkata. “Anggota badanmu akan kutanggalkan satu

persatu jika nanti terbukti kau menipuku. Bagaimana mungkin ada orang tinggal di bawah 

danau!”

“Buat apa aku mendustaimu Datuk. Kau sudah merampas harta kekayaan yang

kusimpan di dalam goa. Diri dan nyawaku ada dibawah kekuasaanmu...” jawab Si Raja

Candu.

Datuk Lembah Akhirat berpaling pada orang kepercayaannya. “Ki Juru Tenung, coba

kau lihat apa benar yang dikatakan tua bangka ini!”

Ki Juru Tenung segera melangkah ke tepi danau. Dengan dua tangannya dia 

menciduk air danau lalu memperhatikan beberapa saat. Perlahan-lahan dia anggukkan

kepala. “Memang ada tanda-tanda kehidupan di bawah danau. Namun jalan ke sana bukan

lewat air atau menyelam. Agaknya ada satu jalan rahasia yang harus kita tempuh. Si botak 

ini pasti mengetahui.” 

Datuk Lembah Akhirat goncang kepala Si Raja Candu yang dijambaknya. “Lekas kau 

beri tahu jalan rahasia menuju bawah danau! Atau kutanggalkan batang lehermu saat ini 

juga!”

“Sulit ditemukan. Kakekku selalu merubah-rubah jalan rahasia itu. Mungkin ada 

sepuluh atau dua belas jalan rahasia berbeda-beda....”

“Kalau begitu kita urut satu persatu. Masakan tidak bertemu!” kata Ki Juru Tenung.“Memang akan bertemu. Tapi membutuhkan waktu lebih dari sepuluh hari!” jawab

Si Raja Candu. Lidahnya dijulurkan berulangkali membasahi bibirnya yang kering dan

kasat. Setengah meratap dia berkata. “Aku sudah tak tahan. Berikan secuil candu padaku!”

“Kau mau candu? Ini candumu!” Datuk Lembah Akhirat menjumput tanah di tepi 

danau lalu disumpalkan ke mulut Si Raja Candu. Orang tua ini menyemburkan tanah dalam

mulutnya berulangkali. “Kau tak mau bicara memberi tahu?”

Yang ditanya diam saja.

“Tak ada jalan lain Datuk. Puntir lehernya sampai putus!” kata Ki Juru Tenung tak

sabaran.

Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat disertai suara

membentak.

“Siapa berani memuntir leher cucu Mayat Tiga Warna?!”

Datuk Lembah Akhirat bersurut dua langkah sambil ikut menyeret tubuh Si Raja 

Candu sementara Ki Juru Tenung keluarkan seruan tertahan. Di hadapan mereka tegak 

seorang berjubah gombrong warna hitam. Orang ini memiliki muka ditutupi selapis cat 

berwarna hitam. Rambutnya yang keriting kecil-kecil dicat hitam, tinggi menyerupai

kerucut. Sebagian wajahnya tertutup kumis dan jenggot tebal. Hidungnya hanya merupakan

dua lobang kecil karena hampir sama rata dengan pipi. Sepasang telinganya ditindis dengan

tulang manusia. Pada bahu kirinya orang ini memanggul seekor babi besar yang empat

kakinya diikat demikian rupa hingga binatang ini tidak bisa bergerak.

Melihat kemunculan orang itu diam-diam Si Raja Candu menjadi gembira.

“Manusia aneh! Turut bicaramu kau kenal baik tua bangka botak ini. Juga tahu

dengan seorang berjuluk Mayat Tiga Warna!”

“Orang tinggi besar. Kau bukan saja telah masuk ke dalam kawasan terlarang. Tapi

memperlakukan Si Raja Candu secara kurang ajari Lekas lepaskan orang tua itu. Nyawamu

akan kuampuni. Aku hanya akan minta sepasang matamu dan mata temanmu itu sebagai

gantinya!”

Datuk Lembah Akhirat tertawa bergelak. “Kalau benar si tua bangka ini cucu

manusia berjuluk Mayat Tiga Warna itu, aku harap kau mempertemukan kami dengan dia!

Berani membantah akan kubunuh orang ini saat ini juga!”

Orang bermuka hitam balas tertawa. “Aku Pengiring Mayat Muka Hitam! Sepuluh

tahun mengabdi pada Mayat Tiga Warna haru hari ini ada gembel kesasar yang berani 

bicara ngacok! Buka mata kalian lebar-lebar. Lihat batu di depart sana!”

Baru saja Datuk Lembah Akhirat dan Ki Juru Tenung menoleh ke arah batu yang

ditunjuk, si muka hitam gerakkan tangan kanannya yang berwarna hitam.

“Wusss!”

Selarik angin berwarna hitam menderu. Dan astaga! Batu hitam besar yang tadi utuh

tiba-tiba dikobari api aneh berwarna hitam. Begitu api lenyap batu itu telah berubah menjadi

debu hitam! Ki Juru Tenung leletkan lidah. Datuk Lembah Akhirat sendiri diam-diam

merasa kaget juga melihat kesaktian si muka hitam itu.

“Kau masih belum mau melepaskan orang tua itu?” tanya si muka hitam seraya

menyeringai dan tangan kirinya diangkat siap menghantam ke arah Datuk Lembah Akhirat.

“Ah, hari ini sungguh aku sangat beruntung! Bertemu dengan seorang sakti 

mandraguna! Tapi bagaimana kau akan membunuhku dengan pukulan saktimu itu kalau

cucu si Mayat Tiga Warna ini aku jadikan tameng seperti ini?!”Dengan cepat Datuk Lembah Akhirat angkat tubuh Si Raja Candu dan

menempatkannya di depan badannya.

“Jahanam! Kau kira aku tidak mampu membunuhmu?!”

“Jangan takabur muka hitam! Kalau kakek ini sampai cidera pasti kau akan mendapat

hukuman berat dari Mayat Tiga Warna!”

Pengiring Mayat Muka Hitam memaki habis-habisan. Tiba-tiba dengan kalap dia 

melompat ke samping. Dari samping dia hendak lancarkan serangan. Tapi gagal lagi karena

dengan cepat Datuk Lembah Akhirat memutar diri demikian rupa hingga Si Raja Candu

tetap saja terlambat menarik pulang tangannya laksana kilat Datuk Lembah Akhirat

mencekal lengan orang itu. Sarung Tangan Penyedot Batin langsung menyedot tenaga

dalam Pengiring Mayat Muka Hitam. Selagi orang ini berteriak kaget dan tidak tahu apa 

yang terjadi dengan dirinya tenaga dalamnya telah habis terkuras masuk ke dalam tubuh 

Datuk Lembah Akhirat. Tubuhnya menjadi lemah seperti tidak bertulang lagi dan langsung

roboh bersama babi gemuk yang dipanggulnya!

Ki Juru Tenung tepuk-tepuk rambut keriting si muka hitam yang mumbul lalu

pelintir tulang hiasan di kedua daun telinganya hingga Pengiring Mayat Muka Hitam 

menggerenyit dan mengeluh kesakitan.

“Muka hitam! Sejak saat ini hidupmu tidak berguna lagi karena jika kekuatanmu

tidak segera dipulihkan, dalam tempo satu hari satu malam kau akan cacat lumpuh seumur 

hidup. Kau boleh pilih, hidup menderita sengsara seumur-umur atau menunjukkan jalan ke

tempat kediaman Mayat Tiga Warna....”

Mula-mula Pengiring Mayat Muka Hitam bersikeras tidak mau membuka mulut. 

Tap! ketika diancam hendak ditinggalkan begitu saja akhirnya dia berkata. “Aku akan

tunjukkan. Tapi apa jaminan bahwa kalian akan memulihkan kekuatanku?!”

“Datuk Lembah Akhirat tidak pernah dusta pada orang yang mau bekerja sama.

Siapa tahu dikemudian hari kau bisa dipercaya dan diangkat menjadi wakilnya. Datuk

Lembah Akhirat akan menjadi raja diraja dunia persilatan, ingat itu baik-baik....”

“Babiku.... Aku hanya akan pergi jika kalian mau membawa serta babiku...” kata

Pengiring Mayat Muka Hitam.

“Binatang itu demikian bergunanya bagimu?” tanya Ki Juru Tenung pula. Dia dekati 

Datuk Lembah Akhirat lalu berbisik. “Aku punya firasat babi gemuk itu sama berharganya

seperti seorang perempuan cantik bagi si muka hitam itu!” Ki Juru Tenung dan Datuk

Lembah Akhirat lalu tertawa gelak-gelak.

*

* *


__________________________________________________________________________________

DELAPAN


Sosok tua kurus kering itu yang telah sangat uzur itu tergeletak hampir sama rata

dengan pembaringan. Kalau tidak diperhatikan benar tubuh itu seolah tidak bernafas

lagi. Apalagi sepasang matanya terpejam. Dalam keadaan seperti itu masih tertinggal

satu keangkeran di wajah tua renta ini. Mukanya yang tak lebih menyerupai sebuah

tengkorak hidup tertutup dengan warna merah, hijau dan hitam. Lalu karena hanya 

mengenakan sehelai celana pendek komprang dan tidak berpakaian maka tulang belulang di

dadanya tidak beda dengan susunan tulang-tulang jerangkong.

Dua orang lelaki aneh duduk di samping pembaringan. Yang pertama adalah seorang

berpenampilan serba merah. Mulai dari pakaian, rambut maupun mukanya. Selain tidak 

memiliki alis pada cuping hidung sebelah kiri menancap sepotong tulang kecil. Di sebelah

kiri orang ini duduk tak bergerak lelaki yang berpenampilan serba hijau. Rambutnya yang

keriting hijau tak beda dengan sarang tawon di atas kepalanya yang peang. Mukanya penuh

benjolan dan pada bibir sebelah bawah mencantel sepotong tulang manusia.

Orang yang tergolek di atas pembaringan itu adalah seorang tokoh silat sangat tua

yang usianya hampir mencapai 180 tahun. Dialah yang dikenal dengan julukan Mayat Tiga

Warna. Sejak sepuluh tahun lalu keadaannya seperti itu, tak pernah meninggalkan

pembaringan. Mati tidak hidup pun seolah tidak. Dua orang yang duduk di samping 

pembaringan adalah murid-muridnya yang dikenal dengan panggilan Pengiring Mayat 

Muka Merah dan Pengiring Mayat Muka Hijau.

Dari mulut orang tua di atas pembaringan tiba-tiba terdengar suara sangat halus.

“Kakek guru, kau hendak mengatakan sesuatu?” tanya Pengiring Mayat Muka Hijau

seraya beringsut mendekati pembaringan. Temannya mengikuti. Keduanya mendekatkan

telinga ke mulut orang tua itu. Tapi bagaimanapun mereka berusaha tetap saja tidak tahu

apa yang hendak dikatakan sang guru. Tiba-tiba Pengiring Mayat Muka Merah melihat ibu 

jari tangan kanan gurunya bergerak seolah menunjuk ke atas sedang jari telunjuk dan jari 

tengah disilangkan. Si muka merah ini segera memberi tahu kawannya. Menyaksikan tanda-

tanda yang dibuat sang guru Pengiring Mayat Muka Hijau berbisik. “Kakek guru memberi

tahu ada orang di atas. Datang membawa bahaya. Aku akan menyelidik ke pintu rahasia.

Kau berjaga-jaga di sini.”

Baru saja Pengiring Mayat Muka Hijau hendak bangkit berdiri tiba-tiba sebuah benda

melayang di dalam ruangan lalu jatuh bergedebukan di atas lantai dibarengi suara menguik

keras. Si muka hijau dan si muka merah berseru kaget lalu melompat berdiri. Di atas 

ruangan terkapar seekor babi dalam keadaan terikat keempat kakinya. Mulutnya pecah

akibat berbenturan dengan lantai batu. Berpaling ke arah pintu masuk, dua orang dalam

ruangan tambah terkejut. Mereka melihat kakek yang mereka kenal sebagai cucu guru

mereka diseret oleh seorang kakek tak dikenal. Lalu kawan mereka Pengiring Mayat Muka

Hitam tersandar ke dinding. Rambutnya dijambak oleh seorang lelaki tinggi besar

bertampang angker tertutup kumis, janggut dan berewok lebat.

“Pengiring Mayat Muka Hitam!” seru si muka merah. Lalu melompat ke hadapan

temannya, memperhatikan dengan mata melotot. Si muka hijau segera pula melakukan hal 

yang sama.“Kalian siapa? Mengapa memperlakukan teman dan cucu guru kami seperti ini?!”

bentak si muka hijau. Tangan kanannya diangkat ke atas. Si muka merah juga melakukan

hal yang sama. Siap untuk menghantam.

“Siapa diriku biar temanmu yang menerangkan!” jawab si tinggi besar yang bukan

lain adalah Datuk Lembah Akhirat. Lalu dipuntirnya rambut si muka hitam hingga orang ini 

mengerang kesakitan dan segera membuka mulut.

“Orang yang menjambakku ini adalah Datuk Lembah Akhirat, calon penguasa

tunggal rimba persilatan. Kakek kawannya bernama Ki Juru Tenung. Mereka datang ke sini 

untuk mencari tahu tentang ilmu pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Jika tidak

mendapatkan ilmu itu kami berdua akan dibunuh. Kalian dan juga kakek guru akan 

menjadi korban keganasannya.”

“Manusia jahanam!” teriak Pengiring Mayat Muka Merah. Tangan kanannya serta

merta dihantamkan ke arah Datuk Lembah Akhirat.

“Tahan! Jangan serang!” teriak Pengiring Mayat Muka Hitam memperingatkan. Tapi

terlambat. Baru saja tangan si muka merah bergerak, tangan kiri Datuk Lembah Akhirat

yang mengenakan sarung tangan sakti melesat ke atas.

“Bukk!”

Dua lengan saling beradu. Kekuatan dahsyat yang ada dalam sarung tangan itu serta

merta menyedot tenaga dalam yang dimiliki si muka merah. Sesaat kemudian tubuh murid

Mayat Tiga Warna ini terkulai lalu roboh ke lantai. Datuk Lembah Akhirat menyeringat

pada si muka hijau. “Kalau kau ingin mengalami nasib seperti kawanmu ini silahkan

menyerang!”

Menggelegak amarah Pengiring Mayat Muka Hijau. Ketika dia hendak bergerak si

muka hitam cepat berteriak. “Lepaskan pukulan dari jauh. Jangan sampai, tangan atau

tubuhmu kena disentuh!”

Datuk Lembah Akhirat tertawa bergelak. “Silahkan menuruti nasihat temanmu. Aku

siap menerima pukulan!” Lalu dengan cepat sang Datuk menarik tubuh Pengiring Mayat

Muka Hitam dan Muka Merah untuk melindungi dirinya!

“Jahanam! Aku mengadu jiwa!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu dengan

nekad dia kembali hendak menghantam. Tak perduli walau serangannya akan menciderai

dua teman asalkan Datuk Lembah Akhirat bisa dibunuhnya.

“Muka Hijau! Jangan bertindak tolol! Kita berdua bisa mati konyol dan nyawamu

serta nyawa kakek guru belum tentu bisa tertolong!”

“Perduli setan!” sahut si muka hijau yang memang paling keras hati di antara tiga

murid Mayat Tiga Warna itu.

Tiba-tiba sesiur angin menerpa dalam ruangan. Tubuh Pengiring Mayat Muka Hijau 

terjajar ke samping. Tiupan angin terus menyambar ke arah jalan masuk hingga Datuk

Lembah Akhirat dan Ki Juru Tenung juga ikut terhuyung-huyung. Ketika dia memandang

ke arah kiri ruangan, di atas pembaringan dilihatnya sosok tua seperti jerangkong tahu-tahu 

telah duduk di atas pembaringan, menatap ke arahnya walau sepasang matanya masih

dalam keadaan terpejam dan tubuh terhuyung-huyung seperti mau jatuh. Melihat keadaan

gurunya Pengiring Mayat Muka Hijau segera menghampiri.

“Kakek guru! Harap kau berbaring saja. Biar kami para murid yang menyelesaikan

semua urusan di tempat iniMuridku, malang tidak dapat ditolak, untung belum tentu bisa diraih. Takdir Yang

Kuasa mungkin akan berlaku atas diriku. Tapi aku tidak akan berpangku tangan begitu saja.

Aku bersedia hancur dan lebur bersama orang yang menginginkan keributan di tempat ini!”

Habis berkata begitu orang tua yang dikenal dengan nama Mayat Tiga Warna ini

angkat sedikit kepalanya ke atas. Saat itu juga sekujur tubuhnya memancarkan cahaya 

merah, hitam dan hijau.

Pengiring Mayat Muka Hijau, Muka Hitam dan Muka Merah serta Si Raja Candu

sama-sama terkejut menyaksikan keadaan Mayat Tiga Warna. Selama bertahun-tahun orang

tua berusia seratus delapan puluh tahun itu hanya terbaring di atas ranjang, jangankan

duduk seperti saat itu, bicara saja dia tidak mampu lagi. Tapi kini mereka menyaksikan

semua keanehan itu. Sang guru duduk di atas pembaringan, berbicara malah tubuhnya

memancarkan sinar tiga warna!

“Orang tua di atas pembaringan. Aku Datuk Lembah Akhirat tidak datang mencari 

keributan. Tetapi bilamana kau coba melawan takdir memang nasibmu akan hancur dan

lebur. Aku kemari untuk meminta ilmu kesaktian yang disebut Mencabut Jiwa Memusnah 

Raga. Jika kau tidak memberikan maka kalian semua akan kuhabisi!”

“Ilmu kesaktian bukan diperjualbelikan. Apa lagi dipertukarkan secara murah

dengan nyawa manusia! Aku dan murid-muridku siap menerima kematian. Tapi siapa saja

yang ada di tempat ini termasuk dirimu tak akan lolos dari maut! Pengiring Mayat Muka

Hijau, tanggalkan alat rahasia penyanggah dasar danau....”

“Tua bangka tolol! Cukup kau saja yang tolol. Jangan menyuruh muridmu ikut-

ikutan tolol!” Habis membantah begitu Datuk Lembah Akhirat hantamkan tangan

kanannya. Selarik angin mengandung tenaga dalam luar biasa menyapu ke depan. Ruangan

di bawah danau itu bergoyang keras dan “braaakk!” Pembaringan kayu di atas mana Mayat

Tiga Warna duduk-duduk walau kini tubuhnya mengapung di udara. Sekaligus hal ini

menunjukkan bahwa kakek ini selain memiliki tenaga dalam tinggi juga menguasai ilmu

meringankan tubuh yang langka.

“Hebat! Kau bertahan untuk hidup tanpa memikirkan keselamatan murid-muridmu! 

Aku ingin tahu apa kau sanggup menerima pukulanku yang kedua ini!”

Datuk Lembah Akhirat kembali menghantam. Kali ini dengan seluruh tenaga 

dalamnya yang ada. Ruangan batu di dasar danau itu laksana dihantam gempa dahsyat.

Semua orang yang ada di dalamnya termasuk sang Datuk sendiri berpelantingan jungkir 

balik. Namun tidak demikian dengan Mayat Tiga Warna. Sosok orang tua ini tetap 

mengapung tak bergerak. Akibat hantaman Datuk Lembah Akhirat tadi dinding ruangan di

samping kiri hancur berkeping-keping. Dari bagian yang hancur merembes masuk air 

danau.

Mayat Tiga Warna tertawa perlahan. “Kematian bersama tak bisa dihindari. Air

danau telah masuk ke dalam ruangan!”

“Tua bangka geblek! Kau silahkan mati duluan!” teriak Datuk Lembah Akhirat lalu 

sekali lagi lancarkan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Dari tubuh

Mayat Tiga Warna menyambar keluar cahaya hitam, merah dan hijau. Datuk Lembah

Akhirat berteriak keras dan melesat ke atas.

“Wusss!”

“Wusss

Cahaya merah dan cahaya hijau sempat memapas kaki celana dan bahu pakaian

hitam sang Datuk hingga hangus dan berubah menjadi debu. Kaki serta bahunya serasa

dipanggang.

“Tua bangka geblek! Kau memilih mati daripada selamat!” Selagi masih di udara 

Datuk Lembah Akhirat kembali menghantam dengan tangan kiri dan kanan sekaligus.

Ruangan batu itu porak poranda. Mayat Tiga Warna tak bisa bertahan lagi seperti tadi.

Tubuhnya melayang kian kemari. Ketika dia mendengar ada siuran angin di belakangnya

dia kerahkan tenaga dalam. Cahaya merah dan hitam membersit melindungi tubuhnya. 

Namun sekali ini si kakek tertipu. Sambaran angin itu sengaja dibuat Datuk Lembah Akhirat

dengan tiupan mulutnya. Begitu lawan terkecoh sambil berjungkir balik dia melayang; 

turun lalu hantamkan tangannya ke dada si orang tua.

“Bukk!”

“Kraaak!” . Mayat Tiga Warna terpental menghantam dinding.

Walau tangan kanan Datuk Lembah Akhirat bertempelan dengan tubuh orang tua itu 

hanya sekejapan saja, namun kesaktian luar biasa dari Sarung Tangan Penyedot Batin

sanggup menguras habis tenaga dalamnya dan masuk ke dalam tubuh Datuk Lembah

Akhirat!

Pengiring Mayat Muka Hitam dan Muka Merah berteriak keras tapi tak bisa berbuat

apa-apa. Pengiring Mayat Muka Hijau menggembor marah saksikan gurunya tergeletak

dengan dada hancur. Si muka hijau ini tahu betul bahwa orang tua itu sudah tak bernyawa

lagi. Dia berbalik untuk melabrak Datuk Lembah Akhirat. Justru saat Ku lehernya dicekal

sang Datuk dari belakang. Dengan nekad dia masih coba menghantam tapi tak ada artinya.

Tubuhnya terasa lemah. Kakinya menekuk. Begitu dibanting ke lantai yang sudah tergenang

air dia tak sanggup lagi berdiri.

“Muka hijau, merah dan hitam! Kalian bertiga masih bisa kuampuni jika mau

memberi tahu di mana guru kalian menyimpan jimat ilmu pukulan tiga warna itu. Aku

menjanjikan kehidupan dan jabatan tinggi bagi kalian di Lembah Akhirat! Selain itu tenaga 

dalam kalian yang sudah kusedot akan kukembalikan sebagian pada kalian!”

“Kau boleh membunuh kami! Kami tidak akan memberi tahu apa-apa!” jawab

Pengiring Mayat Muka Hijau lalu meludah ke lantai.

“Bagus! Kau murid yang setia pada guru. Tapi kesetiaan buta hanya akan membawa

sengsara! Korban pertama akan segera jatuh. Buka mata kalian lebar-lebar. Saksikan apa

yang terjadi!”

Datuk Lembah Akhirat menjentikkan tangannya ke arah Ki Juru Tenung yang tegak

menjambak Si Raja Candu. Melihat isyarat itu Ki Juru Tenung segera lemparkan tubuh si 

penyadik candu itu hingga jatuh tergelimpang di atas lantai berair, tepat di depan Datuk

Lembah Akhirat.

“Lihat baik-baik!” teriak sang Datuk. Lalu “praak!” Kaki kanannya menendang pecah

kepala Si Raja Candu. Langsung tiga-murid Mayat Tiga Warna menjadi ciut nyalinya.

“Korban kedua!” teriak Datuk Lembah Akhirat. Kembali dia memberi isyarat dengan

jentikkan jari. Ki Juru Tenung lemparkan tubuh Pengiring Mayat Muka Hitam ke arah Datuk

Lembah Akhirat. Kaki kanan sang Datuk berkelebat menyambar ke arah bagian bawah perut

si muka hitam ini.

“Tahan! Aku akan memberi tahu!” Pengiring Mayat Muka Merah tiba-tiba berteriak.“Muka Merah! Roh guru akan mengutukmu sampai kiamat kalau kau berkhianat

memberi tahu!” berteriak Pengiring Mayat Muka Hijau.

“Ini bukan soal berkhianat atau apa!” jawab Pengiring Mayat Muka Merah. “Guru

sudah mati! Kita tidak bisa menyelamatkannya! Apa guna mengorbankan diri secara sia-

sia!”

“Dia mungkin benar....” Pengiring Mayat Muka Hitam ikut bicara.

“Kalian jahanam semua!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu seperti anak kecil 

dia menangis menggerung.

Datuk Lembah Akhirat menginjak kepala Pengiring Mayat Muka Merah. “Lekas beri

tahu dimana gurumu menyimpan benda yang kucari!”

“Di dalam tubuhnya. Di dalam perutnya...” jawab Pengiring Mayat Muka Merah.

“Bangsat sialan! Jangan kau berani bicara ngacok dan dusta!” bentak Datuk Lembah 

Akhirat.

“Aku tidak ngacok tidak dusta!” jawab si muka merah.

Sang Datuk berpaling pada Ki Juru Tenung.

Kakek ini segera menyiduk air di lantai dengan tangan kirinya lalu rnemperhatikan.

“Dia tidak dusta! Menurut penglihatanku memang ada sesuatu dalam perut Mayat Tiga

Warna....”

Mendengar penjelasan si Juru Tenung, Datuk Lembah Akhirat cepat hampiri jenazah

Mayat Tiga Warna. Dengan tangan kanannya dijebolnya perut orang tua itu hingga isinya

berbusaian keluar. Di antara isi perut dan darah Datuk Lembah Akhirat temukan sebuah

benda berupa batu bulat pipih memancarkan warna redup hitam, merah dan hijau. Pada

permukaan batu itu tertera tulisan dalam huruf Jawa Kuna dan huruf-huruf aneh seperti 

huruf Arab.

“Apa yang akan kulakukan dengan benda ini...?” tanya Datuk Lembah Akhirat pada

Ki Juru Tenung sementara tangannya yang memegang batu pipih itu mulai terasa panas dan

bergetar.

Ki Juru Tenung periksa bolak-balik batu bulat pipih. Lalu dia menciduk air dari

lantai. Untuk kesekian kalinya kakek ini pergunakan keahliannya untuk melihat sesuatu

yang tak mungkin dilihat oleh orang biasa.

“Datuk kau harus menelan batu tiga warna itu,” kata Ki Juru Tenung sesaat 

kemudian.

Datuk Lembah Akhirat tampak bimbang.

“Jangan ragu Datuk. Benda itu kau temukan dalam perut Mayat Tiga Warna. Berarti 

memang di situlah tempatnya bagi setiap orang yang ingin memiliki dan menguasai

ilmunya!”

Mendengar ucapan orang kepercayaannya itu Datuk Lembah Akhirat buka mulutnya

dan masukkan batu bulat pipih, langsung ditelan. Beg itu batu masuk ke dalam perut besar

terjadilah satu hal yang hebat. Perut Datuk Lembah Akhirat menggembung besar ialu

menciut kembali. Bersamaan dengan itu dari kepalanya mengepul asap tiga warna. Ketika

asap lenyap kelihatan muka Datuk Lembah Akhirat telah berubah menjadi belang merah,

hijau dan hitam!

“Datuk, kau telah menguasai ilmu itu! Lihat wajahmu dalam air!” seru Ki Juru

Tenung.

Datuk Lembah Akhirat hentikan gerakan kaki kanannya.“Muka Merah! Roh guru akan mengutukmu sampai kiamat kalau kau berkhianat

memberi tahu!” berteriak Pengiring Mayat Muka Hijau.

“Ini bukan soal berkhianat atau apa!” jawab Pengiring Mayat Muka Merah. “Guru

sudah mati! Kita tidak bisa menyelamatkannya! Apa guna mengorbankan diri secara sia-

sia!”

“Dia mungkin benar....” Pengiring Mayat Muka Hitam ikut bicara.

“Kalian jahanam semua!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu seperti anak kecil 

dia menangis menggerung.

Datuk Lembah Akhirat menginjak kepala Pengiring Mayat Muka Merah. “Lekas beri

tahu dimana gurumu menyimpan benda yang kucari!”

“Di dalam tubuhnya. Di dalam perutnya...” jawab Pengiring Mayat Muka Merah.

“Bangsat sialan! Jangan kau berani bicara ngacok dan dusta!” bentak Datuk Lembah 

Akhirat.

“Aku tidak ngacok tidak dusta!” jawab si muka merah.

Sang Datuk berpaling pada Ki Juru Tenung.

Kakek ini segera menyiduk air di lantai dengan tangan kirinya lalu rnemperhatikan.

“Dia tidak dusta! Menurut penglihatanku memang ada sesuatu dalam perut Mayat Tiga

Warna....”

Mendengar penjelasan si Juru Tenung, Datuk Lembah Akhirat cepat hampiri jenazah

Mayat Tiga Warna. Dengan tangan kanannya dijebolnya perut orang tua itu hingga isinya

berbusaian keluar. Di antara isi perut dan darah Datuk Lembah Akhirat temukan sebuah

benda berupa batu bulat pipih memancarkan warna redup hitam, merah dan hijau. Pada

permukaan batu itu tertera tulisan dalam huruf Jawa Kuna dan huruf-huruf aneh seperti 

huruf Arab.

“Apa yang akan kulakukan dengan benda ini...?” tanya Datuk Lembah Akhirat pada

Ki Juru Tenung sementara tangannya yang memegang batu pipih itu mulai terasa panas dan

bergetar.

Ki Juru Tenung periksa bolak-balik batu bulat pipih. Lalu dia menciduk air dari

lantai. Untuk kesekian kalinya kakek ini pergunakan keahliannya untuk melihat sesuatu

yang tak mungkin dilihat oleh orang biasa.

“Datuk kau harus menelan batu tiga warna itu,” kata Ki Juru Tenung sesaat 

kemudian.

Datuk Lembah Akhirat tampak bimbang.

“Jangan ragu Datuk. Benda itu kau temukan dalam perut Mayat Tiga Warna. Berarti 

memang di situlah tempatnya bagi setiap orang yang ingin memiliki dan menguasai

ilmunya!”

Mendengar ucapan orang kepercayaannya itu Datuk Lembah Akhirat buka mulutnya

dan masukkan batu bulat pipih, langsung ditelan. Beg itu batu masuk ke dalam perut besar

terjadilah satu hal yang hebat. Perut Datuk Lembah Akhirat menggembung besar ialu

menciut kembali. Bersamaan dengan itu dari kepalanya mengepul asap tiga warna. Ketika

asap lenyap kelihatan muka Datuk Lembah Akhirat telah berubah menjadi belang merah,

hijau dan hitam!

“Datuk, kau telah menguasai ilmu itu! Lihat wajahmu dalam air!” seru Ki Juru

Tenung.Datuk Lembah Akhirat berteriak girang. Dia sambar dan panggul tubuh Pengiring

Mayat Muka Merah lalu menyeret Pengiring Mayat Muka Hitam. Pada Ki Juru Tenung dia 

berteriak agar menyeret Pengiring Mayat Muka Hijau lalu mengikutinya keluar dari 

ruangan di bawah danau. Hanya beberapa saat setelah mereka berada di tempat terbuka di

tepi danau, langit-langit dan dinding ruangan di dasar danau jebol. Air danau 

menggemuruh masuk. Lenyaplah ruangan rahasia yang selama puluhan tahun menjadi 

tempat kediaman kakek sakti Mayat Tiga Warna bersama murid-muridnya.

*

* *

__________________________________________________________________________________

SEMBILAN

Mari kita ikuti apa yang dilakukan Sabai Nan Rancak. Saat itu langit di ufuk barat

berwarna kuning oleh saputan sinar sang surya yang hendak tenggelam Di bawah

bayang-bayang cahaya kuning, di antara kerapatan pepohonan Sabai Nan Rancak

berkelebat mengikuti Sutan Alam Rajo Di Bumi. Dia sengaja mengukur jarak, agar orang

yang dikuntit tidak sampai tahu kalau dirinya tengah diikuti. Berlari sekitar sepeminuman

teh nenek sakti dari Pulau Andalas ini diam-diam mulai merasa heran.

“Melihat arah sang surya, memperhatikan jurusan yang ditempuh Suto Abang alias 

Sutan Alam Rajo Di Bumi. Aku yakin ini adalah arah ke Lembah Akhirat. Adalah aneh kalau

dia sekarang justru menuju ke sana....”

Dalam hati penuh tanda tanya serta berbagai pikiran muncul dalam benaknya Sabai

Nan Rancak terus juga mengikuti Sutan Alam. Apa yang diyakininya ternyata tidak meleset. 

Sutan Alam Rajo Di Bumi memang menuju dan memasuki kawasan Lembah Akhirat

sementara sang surya yang mulai tenggelam membuat suasana perlahan-lahan menjadi

gelap.

Dari balik kerimbunan kawasan pepohonan yang sangat luas serta dalam udara yang

sunyi tiba-tiba terdengar suitan aneh tiga kali berturut-turut. Satu datang dari barat, satunya

dari timur dan yang ketiga dari jurusan depan atau sebelah utara. Belum lama gema suitan

lenyap tahu-tahu tiga sosok tubuh berkelebat menghadang Sutan Alam Rajo Di Bumi.

Tiga orang berjubah hitam, hijau dan merah tegak sambil menolakkan tangan kiri di 

pinggang masing-masing. Rambut dan wajah dipoles dengan sejenis cat yang warna nya 

sesuai dengan warna jubah mereka. Pada tangan kanan mereka tergenggam sebilah tombak

yang bagian tengahnya ditancapi tengkorak kepala manusia berwarna hitam, hijau dan

merah.

Orang lain mungkin bisa putus nyalinya melihat kemunculan tiga sosok aneh 

menyeramkan ini. Namun Sutan Alam. Rajo Di Bumi tenang saja, Ketika salah seorang 

penghadang membentak menanyakan siapa nama dan gelarnya dia ganda menyeringai. 

Sambil rangkap tangan di muka dada dia berkata.

“Namaku Suto Abang. Gelarku Sutan Alam Rajo Di Bumi. Setelah tahu siapa diriku

apa kalian masih layak berdiri di depanku?!”

Mendengar orang menyebutkan nama dan gelar tiga manusia berwajah hitam, hijau

dan merah serta merta jatuhkan diri bersujud di tanah. Salah seorang dari mereka dengan

suara gemetar berkata.

“Harap maafkan kami bertiga yang buta dan bodoh! Tidak tahu kalau Gunung

Singgalang menjulang di hadapan kami! Kami bertiga pengawal Lembah Akhirat siap 

mengantar saudara besar dan tetamu agung menemui Datuk Lembah Akhirat.”

“Aku tahu jalan! Tak usah pakai diantar segala. Katakan saja di mana Datuk Lembah 

Akhirat berada saat ini!” kata Sutan Alam alias Suto Abang.

“Datuk berada di dalam Ruangan Sorga. Tengah bersuka-suka dengan Yuyulentik,

kekasih barunya,”Sutan Alam hanya keluarkan suara bergumam lalu mendorong pengawal di sebelah

kiri dengan kakinya. Setelah itu berkelebat lenyap memasuki Lembah Akhirat. Tiga

pengawal lembah yang tadinya ketakutan setengah mati merasa lega. Perlahan-lahan

mereka bangkit berdiri lalu bergerak cepat ke arah lenyapnya Suto Abang tanpa mengetahui

bahwa di belakang mereka saat itu mengendap-endap sosok Sabai Nan Rancak.

Yang disebut Ruangan Sorga adalah sebuah kamar dilengkapi sebuah tempat tidur 

besar. Karena pengawal tidak berani mengganggu maka terpaksa Sutan Alam sendiri

mengetuk pintu sambil berteriak memanggil.

“Suto Angil! Aku adikmu Suto Abang datang!”

Di dalam ruangan terdengar suara ranjang berderik disertai suara tawa perempuan.

Tak ia ma kemudian pintu besar terbuka. Sesosok tubuh lelaki tanpa pakaian berdiri di

hadapan Suto Alam. Tubuhnya penuh bulu. Mukanya tertutup kumis, cambang bawuk dan

jenggot lebat serta tiga warna yakni hitam, hijau dan merah.

“Manusia sontoloyo! Kalau kau bukan adikku dan datang dari jauh pasti sudah

kupatahkan batang lehermu! Suto Abang akhirnya kau datang juga. Kau memang sudah 

kutunggu! Harap kau suka menanti di taman kecil di belakang bangunan ini!”

Dari tempatnya berdiri Sutan Alam dapat melihat seorang perempuan tergolek di

atas tempat tidur besar. Tubuhnya yang gemuk penuh lemak berlipat-lipat terlihat jelas. Di

sebelah kiri, duduk merapat ke dinding ruangan ada tiga prang perempuan lagi, bertubuh

gemuk. Ketika Suto Abang memandang padanya ketiganya segera bangkit berdiri seraya

melempar senyum.

“Sejak dulu seleramu rupanya tak pernah berubah!” kata Suto Abang sambil 

menyeringai.

“Kalau kau suka, kau boleh pilih salah satu dari mereka. Asal jangan yang di atas 

ranjang. Dia kekasih baruku!”

Mendadak satu bayangan merah berkelebat. Di hadapan Sutan Alam alias Suto

Abang berdiri satu dari tiga orang kepercayaan sang Datuk yakni yang dikenal dengan

sebutan Pengiring Mayat Muka Merah. Rambutnya yang keriting berwarna merah

berbentuk batok kelapa. Muka dan jubahnya berwarna merah. Cuping hidung sebelah kiri

ditancapi sebuah tulang. Manusia satu ini tidak memiliki alis hingga tampangnya benar-

benar angker.

Dengan sikap garang dia hendak membentak. Tapi begitu mengenali siapa yang

berdiri di depan pintu itu dengan cepat dia melangkah mundur dan menjura. “Harap

dimaafkan, saya tidak sempat tahu siapa yang datang. Sutan Alam yang datang dari jauh. 

Mengapa muncul tidak memberi kabar lebih dulu hingga kami bisa mengadakan

penyambutan?”

“Pengiring Mayat Muka Merah, syukur kau masih belum lupa padaku!” kata Suto

Abang sambil tersenyum. Pengiring Mayat Muka Merah menjura sekali lagi laju setelah

melirik ke dalam kamar dia cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Suto Abang berpaling 

pada kakaknya lalu berkata. “Aku menunggumu di taman. Jangan terlalu lama. Waktu kita

terbatas. Yang kita akan bicarakan banyak sekali! Keadaan sudah sangat gawat!”

“Jangan khawatir adikku. Aku hanya melanjutkan sedikit lagi apa yang tadi belum 

sempat kulakukan,” jawab Datuk Lembah Akhirat. Lalu tanpa menutup pintu dia naik ke 

atas ranjang besar, masuk ke dalam rangkulan tangan dan kaki Yuyulentik, perempuan

gemuk yang sejak beberapa waktu lalu menjadi kekasih peliharaan sang Datuk.Suto Abang sesaat memperhatikan dua orange itu. Lalu dengan air muka jijik dia

meludah ke lantai dan bergegas tinggalkan tempat itu.

Di dalam Ruang Sorga Datuk Lembah Akhirat tergolek mandi keringat.

“Yuyulentik....”

Perempuan gemuk di samping Datuk Lembah Akhirat berbalik dan gelungkan

kakinya yang gempal putih di perut sang Datuk.

“Ada apa Datuk...?”

“Aku merasa tidak memerlukan dirimu lagi. Kau tidak sehebat dulu. Aku sudah 

bosan....”

“Datuk!” Perempuan gemuk bernama Yuyulentik itu angkat tubuhnya ke tubuh 

Datuk Lembah Akhirat. “Sampai mati aku bersedia melayanimu. Apa maumu pasti aku

turuti....”

“Mauku banyak. Tapi saat ini cuma satu keinginanku....”

“Katakan Datuk...” ujar Yuyulentik.

Datuk Lembah Akhirat menyeringai. Sikut kirinya menghantam. “Praaak!” Rahang

Yuyulentik rengkah. Darah mengucur dari hidung dan mulutnya. Perempuan malang ini

menemui ajalnya setelah melepas suara erang mengenaskan.

Begitu keluar dari kamar Datuk Lembah Akhirat tidak segera menemui Suto Abang.

Dia terlebih dulu mencari Ki Juru Tenung orang kepercayaannya.

“Adikku Suto Abang berada di Lembah Akhirat.” Dia ingin bicara soal urusan 

penting. Aku sudah bisa menduga apa yang bakal disampaikannya. Menurutmu apa yang

harus aku lakukan? Menghabisinya begitu selesai pembicaraan?”

Si Juru Tenung itu tuangkan air putih ke dalam sebuah piring lalu melihat dan

merenung. Sesaat kemudian dia gelengkan kepalanya. “Belum saatnya Datuk. Belum

saatnya. Kita masih perlu memanfaatkan tenaga dan ilmu kepandaiannya. Dia bisa kita

pakai untuk menghadapi orang-orang tertentu disamping mengawasi para tokoh silat

golongan putih yang bergabung dengan kita....”

Datuk Lembah Akhirat terdiam sejenak. Akhirnya sambil mengusap-usap dadanya

yang penuh bulu dia anggukkan kepala menyetujui pendapat sang juru tenung.

*

* *

__________________________________________________________________________________

SEPULUH

Dari tempatnya bersembunyi Sabai Nan Rancak melihat munculnya seorang lelaki 

tinggi besar mengenakan pakaian hitam serba gombrong. Kepalanya diikat dengan

sehelai kain hitam. Mukanya yang garang memiliki tiga warna tertutup oleh kumis, 

berewok dan janggut lebat. Pergelangan kaki kiri dan kanan digelantungi tengkorak bayi.

Setiap langkah yang dibuatnya menimbulkan getaran di tanah pertanda dia memiliki

kekuatan tenaga dalam yang hebat.

“Makhluk ini pasti Datuk Lembah Akhirat...” menerka Sabai Nan Rancak. Dia

menanti dengan hati berdebar.

Datuk Lembah Akhirat melangkah mendekati Suto Abang yang duduk menunggu di 

atas sebuah batu di satu tempat yang sebenarnya tidak pantas disebut taman. Di situ

memang bertumbuhan beberapa jenis tanaman bunga. Tapi keadaannya kotor dan lebih

banyak semak belukarnya.

“Suto Angil, kita langsung saja bicara pada masalahnya....”

“Adikku, mengapa terburu-buru. Kita membasahi tenggorokan dulu dengan

anggur lezat dan panggang daging sebelum bicara! Kalau kau suka bersenang-senang aku 

hanya tinggal menyuruh orang membawakan perempuan cantik untukmu. Aku tahu sekian

lama di Pulau Andalas kau hanya berteman si nenek peot itu. Kau pasti ingin barang segar.

Ha... ha... ha!”

“Itu bisa kita lakukan nanti saja. Apa kau sudah tahu kalau malam nanti, saat bulan

purnama empat belas hari muncul, para tokoh silat golongan putih akan berkumpul di 

kawasan barat Telaga Gajahmungkur?”

“Gajahmungkur satu telaga sangat luas. Siapa saja boleh berkumpul di salah satu 

tepiannya. Mengapa kau keliwat khawatir adikku?!”

“Suto Angil, harap kau jangan bergurau apalagi menganggap remeh persoalan.

Orang-orang dunia persilatan di Pulau Andalas dan tanah Jawa boleh dibilang sudah tahu 

apa yang telah kita lakukan. Hantu Balak Anam Dari Sijunjung yang pertama sekali

menaruh curiga lalu menyelidik sambil menebar kabar ke mana-mana. Bahkan Sabai Nan

Rancak kurasa juga telah menaruh curiga padaku....”

“Suto Abang! Kau tak dapat mengurus kekasihmu sendiri! Sungguh memalukan!

Aku sudah mendengar bahwa nenek sakti dari puncak Singgalang itu gagal menjalankan

beberapa tugas yang kau berikan! Apa dia masih berharga untuk kita manfaatkan? Apa dia 

masih berharga jadi kekasih pemuas nafsumu? Walau sudah tua kau lebih gagah dariku.

Kau masih bisa mencari perempuan muda yang jauh lebih cantik wajahnya dan jauh lebih

kencang tubuhnya ketimbang nenek-nenek rongsokan itu!”

Sutan Alam alias Suto Abang terbeliak mendengar ucapan Datuk Lembah Akhirat.

Mulutnya laksana terkancing. Sesaat kemudian baru dia bisa berkata. “Aku masih bisa

mengurus perempuan satu itu. Kau tak usah keliwat khawatir. Kuharap kau tidak 

menyepelekan kekuatan orang-orang golongan putih yang akan berkumpul di tepi barat

Gajahmungkur. Mereka bergabung menyusun kekuatan untuk menyerbu markasmu ini!”

“Apa yang kau takutkan adikku? Bukankah ini termasuk salah satu jebakan kita? Soal

kekuatan apa yang kau khawatirkan. Bukankah hampir semua para tokoh silat golongan putih di Pulau Andalas telah berhasil kau singkirkan? Sesuai rencana kita mensiasati mereka

hingga saling curiga dan saling tumpas lalu ambruk sendiri! Ha... ha... ha!”

“Itu rencana kita. Tapi kenyataannya lain Suto Angil. Justru mereka berkumpul di

barat telaga untuk menyusun kekuatan menghancurkan kita!”

“Menghancurkan kita katamu Suto Abang?! Ha... ha... hal Justru mereka tidak tahu

kalau sudah kita jebak. Mereka tidak sadar kalau tepi barat telaga Gajahmungkur akan jadi

liang kubur bagi mereka! Gajahmungkur tidak sama dengan Pangandaran. Dulu di

Pangandaran orang-orang golongan putih boleh bersombong diri menghancurkan golongan 

hitam di bawah pimpinan Pangeran Matahari. Tapi Gajahmungkur tidak sama dengan

Pangandaran. Gajahmungkur adalah kubangan tempat nyawa mereka minggat ke neraka!

Apalagi kalau mereka nekad berani menyerbu ke Lembah Akhirat ini! Darah mereka akan

berkeleleran di seantero lembah. Roh mereka akan gentayangan ke mana-mana menjadi

setan penasaran!”

“Kau begitu yakin mereka akan bisa kita hancurkan. Aku tahu kau memiliki sepasang

sarung tangan sakti. Aku juga tahu kau kini memiliki tenaga dalam luar biasa yang tidak

satu tokoh lain pun mampu menghadapinya. Mungkin juga kau kini telah memiliki kitab 

Wasiat Ma la ikat itu hingga kau tidak takutkan apapun?!” tanya Suto Abang kepada

kakaknya Suto Angil.

Datuk Lembah Akhirat menyeringai. “Adikku, saat ini aku masih mempunyai tiga

orang pembantu utama berkepandaian tinggi. Ditambah dengan dirimu kita pasti bisa

membendung kekuatan orang-orang golongan putih. Aku sudah bisa menghitung dengan

jari siapa-siapa saja mereka. Lalu nenek sakti Sika Sure jelantik dan Dewa Sedih telah

bergabung dengan kita. Jika kau masih merasa jerih biar aku katakan bahwa Dewa Ketawa

pun sudah berada di pihak kita!”

“Dewa Ketawa?” mengulang Sutan Alam sambil usap-usap dagunya.

Datuk Lembah Akhirat pegang bahu adiknya lalu berkata. “Masih ada beberapa

tokoh silat tingkat tinggi yang juga telah bergabung dengan kita. Di antaranya seorang tokoh

muda berjuluk Utusan Dari Akhirat...”

“Aku memang ada mendengar manusia satu ini. Tapi tidak tahu siapa dia adanya....”

“Dia adalah adik satu guru dari Pangeran Matahari!” jawab Datuk Lembah Akhirat.

“Siapa bisa menduga! Pangeran Matahari mati tahu-tahu muncul adik seperguruannya!”

Suto Abang agak tercengang mendengar ucapan kakaknya itu. “Setahuku tak pernah 

kudengar Pangeran itu punya saudara seperguruan....”

“Siapapun dia adanya ternyata dia memiliki semua pukulan sakti yang dipunyai

Pangeran Matahari!”

“Apa semua mereka itu berada di sini saat ini?” tanya Suto Abang.

“Dewa Sedih dan Dewa Ketawa memang sudah ada di sini. Si nenek Sika Sure

Jelantik aku tugaskan untuk menyirap kabar mengenai sebilah pedang sakti bernama

Pedang Naga Suci 212. Selain itu dia punya urusan sendiri dengan Pendekar 212 Wiro

Sableng, Tua Gila dan orang aneh bernama iblis Pemalu. Jika dia bisa membunuh orang-

orang itu bukankah berarti tugas kita jadi lebih mudah?”

“Pedang Naga Suci 212...” berkata Suto Abang. “Senjata itu kabarnya telah ditemukan

orang di dasar Telaga Gajahmungkur. Namun kemudian lenyap dicuri....”

“Senjata itu tidak pernah lenyap. Yang terjadi adalah bahwa kita tidak tahu di mana

beradanya. Bukan begitu? Ha... ha... ha... ha!” Datuk Lembah Akhirat tertawa namun diasegera hentikan tawanya ketika dilihatnya Sutan Alam alias Suto Abang unjukkan wajah

gelisah. “Rupanya kau masih merasa was-was. Padahal sesuai apa yang sudah kita

rencanakan kulihat kau berhasil mendapatkan Mantel Sakti milik Datuk Tinggi Raja Di

Langit. Kalau kau mendapatkan mantelnya, pasti kau juga telah mendapatkan Mutiara Setan

milik tokoh itu. Aku ingin tahu bagaimana ceritanya kau berhasil mendapatkan mantel dan

mutiara itu.”

“Terus terang aku menyimpang dari rencana semula. Bukan aku sendiri yang turun

tangan tapi aku menugaskan pada Sabai Nan Rancak. Setelah dapat, mantel dan mutiara

diserahkannya padaku....”

“Hebat! Pintar! Kau benar-benar cerdik panjang akal, Kalaupun Datuk Tinggi alias 

Jagal iblis Makam Setan mencari dua senjata pusakanya ini, pasti Sabai Nan Rancak yang

akan dikejarnya. Ha... ha... ha! Di dalam ilmu silat ada satu jurus yang disebut Di balik

gunung mengait awan. Rupanya jurus itu yang telah kau pergunakan pada kekasihmu! Ha...

ha... ha! Namun kau harus berhati-hati adikku. Kalau Jagal iblis tahu dua senjata saktinya

berada di tanganmu maka kau akan jadi sasarannya lebih dulu selain Sabai Nan Rancak.”

Sementara itu di tempat persembunyiannya Sabai Nan Rancak merasa sekujur

tubuhnya panas dingin. Wajahnya memucat. Semua pembicaraan antara Datuk Lembah 

Akhirat dengan Sutan Alam orang yang selama ini menjadi kekasih dan dipercayanya

membuat dirinya tak karuan rasa. Sadarlah si nenek kalau sebenarnya dirinya telah

dimanfaatkan oleh kedua orang itu untuk mensiasati orang-orang golongan putih.

“Jahanam busuk! Jadi Datuk Lembah Akhirat adalah kakaknya Suto Abang. Dua

kakak adik keparat ini telah menyusun rencana untuk menyingkirkan para tokoh persilatan

di Pulau Andalas. Dan Suto Abang menipuku dengan cinta kasih palsunya. Dia berpura-

pura mencintai diriku. Padahal maksudnya adalah untuk memperalat diriku! Ya Tuhan! 

Berapa saja tokoh-tokoh tak berdosa telah jadi korban kebodohanku!”

Sekujur tubuh Sabai Nan Rancak kembali panas dingin dan menggigil saking dia 

berusaha menahan amukan amarah dalam dirinya. Dua tangannya terkepal. Seandainya saat 

itu dia menggenggam batu di masing-masing tangan, pastilah batu itu akan hancur

diremasnya!

Kalau dia tak dapat menahan diri, saat itu maulah Sabai Nan Rancak keluar dari

tempat persembunyiannya lalu melompat ke hadapan Suto Abang alias Sutan Alam Rajo Di

Bumi dan menghajarnya sampai mati. Namun si nenek maklum kalau dia berada di sarang

harimau. Mungkin dia bisa menghantam Suto Abang, namun sang Datuk pasti tak tinggal 

diam.

Dengan darah masih mendidih Sabai Nan Rancak memutar tubuh, siap untuk

meninggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba satu suitan keras merobek kesunyian di atas 

lembah. Tahu-tahu tiga orang bertampang aneh telah mengurung si nenek. 

*

* *

__________________________________________________________________________________

SEBELAS

Yang muncul ternyata adalah tiga pengawal yang sebelumnya telah menghadang

Sutan Alam di jalan masuk menuju Lembah Akhirat. Ketiganya tegak sambil

mengangkat tombak siap dihunjamkan ke leher, dada dan perut Sabai Nan Rancak.

Salah seorang dari mereka membentak.

“Tua bangka mencari mampus! Berani kau menyusup ke dalam Lembah Akhirat dan

mencuri dengar pembicaraan pemimpin kami!”

Temannya yang bertampang hijau ikut menimpali. “Sebelum kau kami bantai lekas 

beri tahu siapa nama siapa gelar! Punya tujuan jahat apa masuk ke dalam kawasan Lembah

Akhirat!”

Sabai Nan Rancak tegak tercekat. Dia tidak takut pada tiga pengawal bermuka merah,

hitam dan hijau itu walau tiga ujung tombak siap menembus tubuhnya. Yang 

dikhawatirkannya justru adalah Datuk Lembah Akhirat dan Sutan Alam Rajo Di Bumi yang 

ada di dalam taman. Kenyataannya saat itu sang Datuk dan Suto Alam memang sudah tegak

berdiri karena mendengar suara suitan dan bentakan-bentakan tadi.

“Celaka! Aku harus menghantam tiga pengawal ini sebelum dua orang itu muncul di

sini dan mengetahui kehadiranku!” Sabai Nan Rancak mengambil keputusan cepat.

Tiga pengawal Lembah Akhirat terkesiap kaget ketika melihat tangan kanan Sabai 

Nan Rancak berubah merah.

“Dia hendak melepas pukulan sakti!” teriak pengawal muka hitam.

“Bunuh!” beri perintah si muka merah.

Tiga tombak ditusukkan, tapi terlambat. Saat itu dari tangan kanan Sabai Nan Rancak 

menyembur cahaya merah yang dengan cepat merambas melebar, melalap ketiga pengawal

yang ada di depan si nenek.

Ketika Datuk Lembah Akhirat dan Sutan Alam sampai di tempat itu mereka menjadi

kaget. Tiga pengawal bergeletakan di tanah dengan sekujur tubuh hangus berwarna merah.

“Kurang ajar! Apa yang terjadi! Siapa berani melakukan pembunuhan atas tiga

pengawal di tempat kediamanku!” Datuk Lembah Akhirat menggereng marah lalu 

keluarkan suitan keras.

Sutan Alam perhatikan keadaan tiga pengawal yang telah jadi mayat itu. Melihat

keadaan warna tubuh serta cara mati ketiganya Sutan Alam diam-diam bisa menduga siapa

yang telah menghabisi mereka.

“Antara taman dan tempat ini tidak seberapa jauh. Kalau diantara kita sampai tidak

tahu adanya penyusup berarti orang itu memiliki kepandaian tinggi. Gila betul!” Sang 

Datuk melangkah mundar-mandir lalu berpaling pada adiknya.

“Suto Abang! Kau mengetahui sesuatu?!” tanya Datuk Lembah Akhirat sambil

memperhatikan adiknya dengan tajam.

“Sabai...” desis Suto Alam. “Pasti dia yang melakukan. Tiga pengawal ini mati akibat

pukulan sakti Kipas Neraka. Aku mengenali sekali....”

“Kalau begitu kau harus mencari nenek keparat itu sekarang juga! Jika kau kembali

aku ingin kau membawa mayatnya! Kau dengar Suto Abang?!”Sebelum Suto Abang sempat menjawab, dua orang mendadak muncul di hadapan

Datuk. Mereka adalah Pengiring Mayat Muka Hitam dan Pengiring Mayat Muka Merah

yang cepat datang setelah mendengar tanda berupa suitan sang Datuk tadi.

“Apa saja yang kalian lakukan hingga tidak tahu ada penyusup masuk ke dalam

Lembah Akhirat. Suto Abang! Kau pimpin dua pembantu utamaku mengejar jahanam 

kekasihmu itu!”

*

* *

Sabai Nan Rancak mengharapkan udara yang mulai gelap karena memasuki malam

akan menolongnya meloloskan diri dari tiga orang pengejarnya. Namun dia baru sekali itu

memasuki Lembah Akhirat. Walau kelihatannya lembah itu biasa-biasa saja namun ternyata

setelah berkelebat cepat dan menyelinap lenyap dari kejaran orang, tahu-tahu dia kembali

lagi ke tempat semula! Sewaktu dia menyadari hal itu, Sutan Alam Rajo Di Bumi, Pengiring

Mayat Muka Merah dan Muka Hitam sudah berada sepuluh tombak di samping kirinya.

Begitu melihat orang yang mereka kejar tanpa menunggu lebih lama Pengiring Mayat 

Muka Merah yang merupakan salah satu dari tiga wakil utama sang Datuk langsung

lepaskan pukulan Maut Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Sinar merah menggidikkan

berkiblat. Sutan Alam tercekat dan keluarkan seruan tertahan. Dia tahu sekali keganasan

ilmu kesaktian itu. Tengkuknya dingin bergidik. Walau dia dan kakaknya memang telah

menyusun rencana mensiasati Sabai Nan Rancak namun membayangkan kematian si nenek

hatinya tak tega juga. Pukulan yang dilepaskan Pengiring Mayat Muka Merah jika sempat

mengenai si nenek maka tubuh Sabai Nan Rancak akan berubah menjadi tebaran debu

berwarna merah!

“Tahan!”

Tapi terlambat Sinar merah telah berkiblat dan “wusss!” Di depan sana terdengar

jeritan Sabai Nan Rancak dibarengi dengan menyambarnya cahaya merah menebar

berbentuk kipas.

Apa yang terjadi? Sewaktu melihat kemunculan tiga orang itu disusul oleh 

menggebunya sinar merah, Sabai yang sudah banyak mendengar tentang ilmu orang-orang

Lembah Akhirat segera maklum kalau dirinya telah diserang dengan pukulan Mencabut

Jiwa Memusnah Raga. Sambil menyingkir selamatkan diri dia lepaskan pukulan Kipas

Neraka. Dua pukulan sakti bertemu di udara mengeluarkan letusan dahsyat. Cahaya merah 

laksana semburan bara menyala yang keluar dari muntahan gunung berapi berlesatan kian

kemari. Salah satu diantaranya menyambar ke arah Sabai Nan Rancak. Bagaimanapun nenek

ini bergerak cepat selamatkan diri tetap saja bahu jubah hitamnya sebelah kanan kena

terserempet hingga mengebul dan langsung dikobari api.

Sabai menyelinap ke balik rerumpunan semak berlukar di balik sebatang pohon

besar. Mukanya pucat pasi ketika melihat bagaimana bahu pakaiannya telah berubah

menjadi debu berwarna merah. Ketika dia mempergunakan tangan kiri untuk menepuk 

mematikan api baru disadarinya kalau ada bagian dari daging bahunya yang ikut leleh dan

menjadi debu! Disaat itu juga dia merasakan rasa sakit yang amat sangat hingga tubuhnya

terhuyung-huyung. Dengan cepat dia bersandar ke batang pohon. Justru saat itu dua dari

tiga pengejarnya berkelebat mendekat yakni Pengiring Mayat Muka Hitam dan Sutan Alam.Pengiring Mayat Muka Merah tertinggal di belakang; karena ternyata bentrokan

kekuatan tenaga dalam melalui beradunya dua pukulan sakti tadi telah menciderai dirinya 

pula. Walau di sebelah luar pakaian maupun tubuhnya tidak apa-apa, namun dari denyutan

jantung, aliran darah serta rasa yang menusuk-nusuk di bagian dada, si Pengiring Mayat

Muka Merah sadar kalau dirinya mengalami cidera di sebelah dalam. Karenanya sebelum

meneruskan pengejaran, dia terpaksa menjatuhkan diri, duduk di tanah untuk memulihkan

peredaran darah serta mengatur nafas dan tenaga dalam.

Sabai Nan Rancak maklum dia tak bisa bersembunyi lebih lama di balik semak 

belukar, Dalam waktu cepat para pengejar akan melihat dirinya.

Nenek ini segera berkelebat ke kiri. Berlari dua belas tombak dia jadi kaget karena

seperti tadi dia justru kembali lagi berada di sekitar taman! Sementara itu di belakang sana

Sutan Alam dan Pengiring Mayat Muka Hitam semakin dekat dan si Pengiring Mayat Muka

Merah juga telah sanggup berdiri lagi lalu ikut melakukan pengejaran kembali.

“Celaka! Tak ada tempat lari! Tak ada pilihan lain kecuali mengadu jiwa!” keluh Sabai

Nan Rancak dalam hati.

Disaat yang sangat menegangkan itu tiba-tiba dia mendengar suara berdesir di dekat

kakinya. Ketika dia memandang ke bawah terkejutlah si nenek. Sebuah batu besar di dalam 

taman bergeser ke kiri. Lalu tampak sebuah lobang batu dan ada tangga menuju ke bagian

dalam lobang. Selagi perempuan tua ini tercekat mendadak ada dua tangan mencuat keluar

lobang, langsung mencekal dua pergelangan kakinya. Sebelum Sabai Nan Rancak tahu apa 

yang terjadi tahu-tahu tubuhnya terbetot ke bawah. Ketika Pengiring Mayat Muka Hitam

dan Sutan Alam disusul Pengiring Mayat Muka Merah sampai di taman, batu besar tadi 

telah bergeser dan lobang yang tadi terbuka menutup kembali.

“Jahanam itu lenyap!” teriak Pengiring Mayat Muka Hitam sementara Sutan Alam

tegak terheran-heran. 

“Tak mungkin perempuan tua keparat itu bisa melarikan diri! Dia pasti bersembunyi

di sekitar sini!” kata Pengiring Mayat Muka Merah yang menyusul sampai ke tempat itu.

Ketiga orang itu lalu menggeledah taman dan sekitarnya, Namun mereka tidak menemukan

tanda-tanda kemana lenyapnya Sabai Nan Rancak. Selagi mereka tegak kebingungan dan

saling pandang muncullah Datuk Lembah Akhirat.

“Kalian tak lebih dari babi-babi tolol! Nenek itu pasti telah kabur lewat jalan

rahasia.!”

Meski tidak mengerti maksud ucapan Datuk Lembah Akhirat tapi tak ada yang

berani bertanya. Tiga orang itu kembali saling pandang sementara di dalam hati saling

bertanya-tanya. Jalan rahasia apa dan di mana adanya yang dimaksudkan sang Datuk itu.

Datuk Lembah Akhirat melangkah mendekati batu besar di mana sebelumnya Sutan

Alam tadi duduk sewaktu bicara dengan kakaknya itu. Dengan ujung kaki kirinya sang

Datuk menekan tonjolan batu kecil di dekat batu besar. Terdengar suara berdesir. Disusul 

dengan bergesemya batu besar ke kiri. Lalu tampaklah lobang dan tangga menuju ke bawah.

Pengiring Mayat Muka Hitam dan Merah, apalagi Sutan Alam sama-sama melengak. Sekian

lama mereka berada di Lembah Akhirat baru saat itu mengetahui ada satu jalan rahasia yang

bermulut di taman.

Merasa tidak enak, Pengiring Mayat Muka Hitam akhirnya berkata. “Datuk, izinkan 

kami memasuki lobang, meneruskan pengejaran.”Sang Datuk menyeringai. “Sekalipun kau mampu bergerak secepat kilat, kau tak 

bakal bisa mengejar mereka. Aku hanya bertanya-tanya. Bagaimana perempuan tua itu bisa

masuk ke dalam lobang rahasia.

Siapa yang telah jadi pengkhianat diantara orang-orangku?!” Datuk Lembah Akhirat

lemparkan pandangan curiga pada adiknya.

Merasa tidak enak dipandang seperti itu Suto Abang cepat membuka mulut. “Jangan

kau menaruh curiga padaku Suto Angil! Kalau dia mendengar pembicaraan kita berarti

perempuan itu kini sudah menganggap diriku musuh besar yang harus dibunuhnya!”

“Memalukan sekali kalau kau sampai mampus di tangan bekas kekasihmu!” ujar

Datuk Lembah Akhirat lalu tinggalkan tempat itu.

*

* *

Di dalam terowongan batu berlantai menurun dan sangat licin tubuh Sabai Nan

Rancak meluncur ditarik orang yang memegang kedua pergelangan kakinya.

“Hai! Hentikan perbuatan gila ini! Mengapa kau menyeretku!” teriak Sabai Nan

Rancak karena punggungnya terasa sakit lecet dan tulang-tulangnya seperti mau

bertanggalan. Tapi orang yang menariknya tidak perduli. Jangankan berhenti menyeret, 

malah dia tampak mempercepat larinya di dalam terowongan batu yang licin dan gelap itu.

“Hai!” teriak Sabai sekali lagi. Dia berusaha menerjangkan kedua kakinya untuk

melepaskan diri. Tapi tidak sanggup. Si nenek siapkan pukulan Kipas Neraka tapi setelah 

menimbang-nimbang dia batal menghantam. “Jangan-jangan orang ini adalah tuan

penolongku....”

Si nenek tidak dapat memastikan berapa jauh dia diseret seperti itu. Dalam keadaan

hampir setengah pingsan tiba-tiba di depannya dia melihat sinar terang disertai tiupan

angin. Berarti dia dan si penyeret tengah mendekati ujung terowongan. Betul saja. Sesaat

kemudian tiba-tiba “byurrr... byurr!”

Sabai Nan Rancak dapatkan dirinya tercebur masuk ke dalam air yang sangat dingin. 

Orang yang menyeretnya telah tercebur lebih dulu. Dia memandang berkeliling tapi tak

melihat di mana si penolong itu. Dengan cepat Sabai Nan Rancak berenang menuju tepian

terdekat, Begitu dia sampai di daratan dan memandang berkeliling sadarlah dia kalau tadi

dia tercebur masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur.

Tiba-tiba terdengar suara orang menggigil kedinginan. Sabai Nan Rancak berpaling

ke kiri. Astaga, begitu dekat dia dengan orang itu tapi bagaimana tadi dia tidak mengetahui 

kehadirannya di situ kalau orang ini tidak mengeluarkan suara menggigil.

“Kau!” seru Sabai Nan Rancak dengan mata melotot.

Yang ditegur tertawa cekikikkan. “Kau hebat Nek, tidak kedinginan sepertiku,...”

“Naga Kuning bocah kepar....” Sabai Nan Rancak tidak teruskan rutukannya.

Digigitnya bibirnya. “Mengapa kau menolongku?!”

“Heh, siapa menolong siapa....?” ujar si bocah yang seperti Sabai berada dalam 

keadaan basah kuyup.

“Bukankah kau yang menarik aku masuk ke dalam lobang, menyeret aku sepanjang

terowongan hingga aku selamat dari kejaran bergundal-bergundal Datuk Lembah 

Akhirat?!“Engggg... sebenarnya aku sendiri juga ketakutan setengah mati Nek. Coba kau cium

celanaku. Bau pesing tanda tadi aku sempat terkencing saking takutnya. Hik... hik... hik...”

“Anak kurang ajar. Bukan saatnya bersenda gurau!” bentak Sabai Nan Rancak.

Naga Kuning menyeringai. Lagi pula Nek, kurasa daripada kabur sendiri kebetulan

ada kau, bukankah lebih baik kabur berdua? Hik... hik... hik!”

“Naga Kuning, aku tidak suka padamu. Tapi aku harus mengucapkan terima kasih

kau telah menyelamatkan jiwaku!” kata Sabai Nan Rancak tegas-tegas seraya menekapkan

tangan kirinya ke bahu kanannya yang cidera.

“Maksudmu Nek, apakah sekarang kita jadi bersahabat?” tanya Naga Kuning.

“Siapa sudi bersahabat dengan anak kurang ajar sepertimu!” labrak Sabai Nan

Rancak.

“Ah, kau tentu masih mendendam perbuatanku dulu. Menarik pakaianmu hingga 

auratmu tersingkap bugil....”

“Setan! Jangan kau sebut-sebut peristiwa itu!” bentak si nenek dengan muka merah 

padam.

“Jadi kita sudah bersahabat sekarang Nek?” tanya Naga Kuning kembali.

Sabai Nan Rancak menggerendeng panjang pendek. “Aku kepingin tahu mengapa 

kau menyusup ke dalam Lembah Akhirat. Apa yang kau lakukan di sana?”

“Aku tengah menjalankan tugas Nek!” jawab Naga Kuning keren.

“Tugas! Tugas apa? Siapa yang memberikanmu tugas!” tanya Sabai Nan Rancak lagi.

“Maunya aku tidak akan memberi tahu. Tapi hitung-hitung kita sudah bersahabat

biar kukatakan juga. Yang memberi aku tugas adalah Kakek Segala Tahu...”

“Tua bangka jahanam itu!” maki Sabai Nan Rancak. Sampai saat itu dia tetap

menaruh kesan bahwa Kakek Segala Tahulah yang telah membunuh sahabatnya yaitu 

Datuk Angek Garang.

“Eh, kenapa kau memaki kakek itu, Nek? Orang seperti dia harusnya kau jadikan

teman. Karena kalau kau sampai patah arang dengan Sutan Alam mungkin Kakek Segala

Tahu bisa jadi gantinya! Hik... hik... hik!”

“Anak haram jadah! Kurobek mulut kurang ajarmu!” teriak Sabai Nan Rancak. Si

nenek melompat ke depan. Kalau tidak cepat si bocah menghindar pasti tamparan keras

sudah bersarang di pipinya!

Walau orang sudah marah setengah mati tapi Naga Kuning masih juga menggoda.

“Kakek Segala Tahu memang agak jelekan dibanding dengan Suto Alam. Tapi jelek-jelek

gocekannya hebat luar biasa Nek! Hik... hik... hik!”

Saking marahnya Sabai Nan Rancak pentang tangan hendak menghantam si bocah

dengan pukulan Kipas Neraka, Namun dia cepat sadar. Begitu amarahnya surut dia

bertanya. “Anak kurang ajar, bagaimana kau tahu ihwal hubunganku dengan Sutan Alam?”

Naga Kuning tertawa. “Aku sudah gentayangan di tiga samudera, berkeliaran di tiga

daratan. Usiaku jauh lebih tua darimu. Pengalaman hidupku jauh lebih banyak dari

padamu....”

Sabai Nan Rancak kerenyitkan kening tidak percaya mendengar kata-kata si bocah.

Seperti diketahui Naga Kuning alias Naga Cilik ini adalah orang kepercayaan Kiai Gede

Tapa Pamungkas yang telah berusia 120 tahun. Hanya karena ilmu yang dimilikinya

ujudnya terlihat sebagai anak berusia belasan tahun.“Tugas apa saja yang disuruhkan kakek geblek itu padamu?!” Sabai Nan Rancak 

akhirnya ajukan pertanyaan.

“Banyak Nek. Mengetahui kelemahan dan kekuatan orang-orang Lembah Akhirat.

Menyelidik apa benar Dewa Sedih dan Dewa Ketawa sudah bergabung dengan mereka.

Lalu....”

Belum selesai keterangan Naga Kuning tiba-tiba berkelebat satu bayangan kuning.

“Manusia bercadar kuning!” seru Sabai Nan Rancak. “Ada keperluan apa kau muncul

di sini. Urusan tempo hari belum selesai. Kau mau....”

“Justru aku datang untuk memberi tahu. Meneruskan pembicaraan terdahulu.

Rahasia lama baru sebagian tersingkap. Jangan salah mengambil sikap. Kami menunggumu 

sebelum tengah malam di arah barat telaga. Jangan datang membawa curiga. Ini adalah

kesempatan terakhir dan terbaik. Sebelum malapetaka datang mencabik!”

Habis berkata begitu orang berpakaian dan bercadar kuning itu berkelebat dan

lenyap dalam kegelapan malam.

“Hai! Tunggu!” seru Sabai Nan Rancak. Dia hendak mengejar tapi batal ketika

mendengar suara Naga Kuning berucap.

“Tak usah dikejar Nek. Aku tahu siapa orang itu. Jika kau mau menahan diri pasti

semua urusanmu dengan dia akan berjalan baik....”

“Kau tahu siapa orang tadi? Katakan padaku!” ujar Sabai setengah berteriak.

Naga Kuning gelengkan kepala. “Bukankah dia telah mengatur pertemuan di barat

telaga? Mengapa kau tak mau bersabar?”

“Hemrnm.... Jangan-jangan kau kaki tangan orang bercadar kuning tadi!”

Naga Kuning tidak menjawab. Dia kembangkan dua telapak tangannya ke atas.

“Gerimis...” katanya perlahan. Anak ini lalu memandang ke atas. “Langit gelap.... Aku

merasakan keanehan. Mengapa rembulan empat belas hari belum juga muncul?”

Mendengar kata-kata Naga Kuning itu Sabai Nan Rancak ikut-ikutan memandang ke

langit sementara gerimis tambah keras. Seperti yang dikatakan si bocah, langit memang

tampak menghitam tertutup awan. Tak ada bintang. Tak tampak bulan purnama. Di 

kejauhan terdengar suara lolongan anjing hutan bersahut-sahutan.

*

* *

__________________________________________________________________________________

DUA BELAS

Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan larinya ketika Ratu Duyung tiba-tiba memeganglengannya dan 

melangkah ke depan lalu tegak membelakanginya.“Ada apa...?” tanya Wiro setengah berbisik. Dari air muka, 

sikap dan cara berdiri jelas 

sang Ratu tengah melindungi dirinya terhadap sesuatu.

Ratu Duyung belum sempat memberi penjelasan tiba-tiba seseorang berpakaian dan

bercadar serba kuning muncul di hadapan mereka.

“Orang aneh, kemunculanmu kali ini buruk atau jahat?!” Ratu Duyung ajukan

pertanyaan.

“Bukan saatnya bertanya jawab. Jika ingin tahu pergilah ke arah barat. Cari dua

pohon kelapa saling bersilang. Di situ akan dipulihkan kekuatan yang hilang.”

Seperti dituturkan sebelumnya sesuai yang direncanakan, setelah Bidadari Angin

Timur berhasil mengambil Pedang Naga Suci 212 maka diatur pertemuan antara Wiro

dengan gadis berambut pirang itu di satu tempat. Kelak di tempat itulah pedang sakti

tersebut akan dibuktikan keampuhannya yang konon bisa menyembuhkan malapetaka yang 

dialami Wiro. Disaat itu juga sekaligus Bidadari Angin Timur akan menyerahkan Kapak

Maut Naga Geni 212 kepada Wiro. Seperti dituturkan kapak sakti itu diselamatkan oleh 

orang bercadar kuning lalu diserahkan kepada Bidadari Angin Timur. Karena Bidadari

Angin Timur merasa sungkan untuk menemui Wiro maka orang bercadar menyuruh 

Bidadari Angin Timur menunggu di tempat yang telah ditentukan. Lalu dia sendiri pergi

mencari murid Sinto Gendeng itu.

“Aku tidak paham pembicaraan berpantun-pantun. Katakan saja langsung dan terus 

terang apa maksudmu menyuruh kami pergi ke arah barat...” kata Ratu Duyung pula. Lalu

dia ingat apa yang terjadi dan dialami Puti Andini sebelumnya.

“Kepercayaan memang perlu diuji. Tapi membuang waktu adalah perbuatan tidak

terpuji...” berucap orang bercadar kuning.

“Jawab dengan jujur! Bukankah kau dan seorang kawanmu telah mencuri Pedang 

Naga Suci 212 dari tangan Puti Andini, gadis dari seberang itu?!”

“Jawaban apapun tidak akan menentukan, ikuti nasihat demi kebaikan. Kalau tengah

malam datang lebih dahulu dan orang-orang Lembah Akhirat melakukan penyerbuan maka

segala persiapan hanyalah kesia-siaan.”

Habis berkata begitu si cadar kuning memandang ke langit. Saat itu udara malam

tambah kelam. Tak ada bintang tak ada rembulan. Dan hujan gerimis turuh semakin deras.

Sepasang mata yang tersembul dibalik cadar kuning menetap pada Wiro dan Ratu Duyung

berganti-ganti. “Ingat, sebelum tengah malam. Di barat telaga Gajahmungkur. Di arah

pohon kelapa bersilang. Di situ tempat kita memuji segala syukur....”

Setelah orang bercadar meninggalkan tempat itu, Ratu Duyung berpaling pada Wiro.

“Aku tidak ada pertentangan dengan orang aneh tadi. Tapi jika dia memang bermaksud 

baik mengapa tidak mengatakan secara terus terang...”

Wiro menggaruk kepala. Saat itu perasaannya terasa lain. Penuh harap tapi juga

penuh rasa cemas. Waktu 100 hari dia kehilangan kekuatan dan kesaktiannya masih tersisa

satu setengah hari lagi. Berarti lusa siang baru dia benar-benar pulih. Ini berarti jika tengah malam nanti terjadi bencana hebat yaitu bentrokan besar-besaran antara orang-orang

Lembah Akhirat dengan para tokoh golongan putih maka bukan saja dia tidak mampu

melakukan sesuatu tetapi juga tidak ada satu orang pun yang bisa menjamin keselamatan

dirinya.

“Turut dugaan kakek botak dan penjelasan Puti Andini maka pencuri Pedang Naga 

Suci 212 adalah orang bercadar tadi dan Bidadari Angin Timur. Lalu jika dihubungkan apa

yang barusan dikatakan si cadar kuning, agaknya memang senjata itu ada pada mereka. Kita

disuruh datang ke sana agar dengan pedang sakti itu musibah yang menimpa diriku bisa

disembuhkan.”

“Jika kau memang yakin orang bermaksud baik hendak menyembuhkanmu memang

tak ada jalan lain. Kau harus segera pergi ke tempat yang dikatakan. Hanya saja aku tak bisa

mengantar....”

“Tak bisa mengantar?” mengulang Wiro. Sesaat dia menatap sepasang mata biru sang

Ratu. “Ratu, aku tahu. Kau tidak suka pada Bidadari Angin Timur. Kau cemburu

padanya....”

Kata-kata Pendekar 212 itu membuat hati Ratu Duyung jadi tidak enak.

“Apa alasanku tidak suka pada gadis berambut pirang bertubuh harum semerbak 

itu,” jawab Ratu Duyung mendustai dirinya sendiri. “Lalu apa pula alasanku untuk

cemburu padanya. Karena kau bukan milikku dan kau tidak merasa aku ini milikmu.

Bukankah begitu Wiro?”

“Ah, bagaimana ini!” ujar murid Sinto Gendeng sambil garuk-garuk kepala dan

tersenyum tapi getir. Hatinya serba bingung, jika dia pergi berarti dia akan menyinggung

perasaan Ratu Duyung. Jika dia tidak pergi maka kesembuhan atas dirinya tidak segera

terjadi malah bahaya besar akan menghadang. “Ratu, biar kita bicara berterus terang.

Aku....”

Ratu Duyung pegang dua lengan Pendekar 212 dengan tangannya yang halus. “Wiro,

keterusterangan adalah sifat sangat baik. Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Aku akan

menunggu di sini. Pergilah ke tempat yang dikatakan orang bercadar itu. Semoga kau segera

dapat disembuhkan....”

“Kau tak mau pergi bersamaku?”

“Bukan tidak mau. Aku hanya ingin menjaga perasaan hatiku dan perasaan hati

orang lain, jangan karena kehadiranku rencana penyembuhan atas dirimu menjadi

terhalang.”

“Kalau ucapanmu itu keluar dari hati yang tulus, aku akan pergi seorang diri. 

Tunggu di sini sampai aku kembali.” Pendekar 212 memeluk Ratu Duyung erat-erat,

menciumi wajahnya berulangkali lalu tinggalkan gadis itu. Ditinggal seorang diri Ratu

buyung tak dapat lagi menahan tangisnya.

“Ya Tuhan, mengapa buruk benar nasibku. Mengapa tidak kau mungkinkan aku 

memiliki dirinya. Aku mendambakan kembali hidup sebagai manusia biasa. Agar aku bisa

mendampinginya. Tapi setelah berhasil semua harapan dan keinginan itu ternyata tidak

menjadi kenyataan....” Ratu Duyung tekap wajahnya dengan kedua tangan. Pada saat itulah

sudut matanya menangkap cahaya terang berkelebat. Gadis ini segera turunkan kedua

tangannya dan berpaling ke kiri.

Ratu Duyung tidak dapat memastikan makhluk apa yaitu barusan lewat di 

sampingnya. Dia melihat sebuah obor. Lalu sosok seseorang berlari sambil mendukung

seorang berjubah hitam. Yang membuatnya terperangah dan tak jadi mengejar adalah ketika

di telinganya terdengar satu suara macam nyamuk mengiang.

“Gadis cantik bermata biru. Tak ada yang paling beruntung bagi seorang gadis. Selain

hidup bersama lelaki yang mencintainya. Bukan dengan lelaki yang dicintainya.

Memangnya hanya ada satu pemuda baik di dunia ini? Memangnya hanya ada seorang

lelaki yang bisa dikasihi di kolong langit itu? Carilah, kau pasti akan menemukan. Ketuklah,

pintu pasti akan terbuka....”

“Suara aneh. Seperti ngiangan nyamuk. Siapa diantara dua orang tadi yang bicara

dengan ilmu melempar kata memindahkan suara. Yang mendukung atau yang didukung?

Benar-benar aneh malam sekali ini....”

Lama Ratu Duyung tegang termangu mendengar kata-kata itu. Dalam hatinya

perlahan-lahan menyeruak perasaan bimbang. Apakah dia akan menunggu Pendekar 212

Wiro Sableng di tempat itu. Atau mungkin lebih baik dia pergi saja. Hati kecilnya

mendorongnya tidak menantikan kembalinya Wiro. Namun ketika dia meraba perutnya dan

jari-jari tangannya menyentuh Kitab Wasiat Malaikat maka kebimbangannya menjadi sirna,

Dia mencari tempat yang baik untuk duduk menunggu serta berlindung dari hujan rintik-

rintik yang terus turun.

Belum lama duduk di tempat itu mendadak pandangan Ratu Duyung membentur

pada satu benda hitam yang mendekam dalam gelap di hadapan serumpunan pohon bambu

hutan.

“Aneh, aku yakin betul benda itu tadi tak ada di sana. Bagaimana tahu-tahu 

muncul...?”

Mula-mula dia menyangka benda ini adalah sebuah area atau patung batu. Tapi 

makin diperhatikan makin keras dugaannya bahwa benda itu adalah satu makhluk hidup.

Penuh rasa ingin tahu Ratu Duyung bangkit berdiri lalu melangkah mendekati. Nyawanya 

seperti terbang dan hampir saja keluar jeritan dari mulutnya ketika tiba-tiba benda yang

disangka nya area batu itu berbangkis keras.

Sambil mundur dua langkah Ratu Duyung memperhatikan dengan mata tak

berkesip. Makhluk yang duduk menjelepok di tanah itu berbobot luar biasa besar dan

gemuk. Di atas kepalanya ada sebuah kopiah hitam kebesaran hingga kupluk tenggelam di

keningnya hampir menutupi sepasang alis. Di bawah alis kedua matanya terpejam tapi 

bergerak-gerak tanda dia tidak tidur. Orang ini mengenakan baju yang dipakai terbalik.

Perutnya yang gendut membuntal keluar. Dadanya gembrot bergerak turun naik.

“Seumur hidup belum pernah aku lihat manusia segemuk ini. Jika memang dia

manusia adanya...” membatin Ratu Duyung. Walau tadi jelas-jelas dia melihat dan

mendengar si gemuk itu berbangkis, namun ada rasa was-was dalam diri sang Ratu. Dia

memandang berkeliling mencari sesuatu dalam gelap. Yang dicarinya yaitu sebuah batu 

kecil. Begitu ditemukan, batu kecil ini kemudian dilemparkannya ke atas pangkuan si 

gemuk. Yang dilempar diam saja. Tapi jelas salah satu matanya yang terpejam perlahan-

lahan terbuka dan memandang pada Ratu Duyung. Mata orang ini ternyata belok besar luar

biasa.

“Hik... hik... hik....” Tiba-tiba si gemuk di depan pohon bambu tertawa cekikikan.

“Pasti tadi kau mengira aku sebangsa hantu rimba atau setan kesasar. Sebaliknya aku juga

tadi mengira kau setan perempuan yang gentayangan di malam hari. Hi... hi... hik! Ternyata

kita sama-sama manusia juga!”Ratu Duyung tak segera percaya begitu saja ucapan orang. “Setan dan hantu jaman

sekarang pandai menyaru seperti manusia segemuk dan sejelekmu! Jika kau manusia

mengapa malam-malam begini berada di tempat ini?”

“Anak perjaka berada di luar rumah sampai semalam suntuk siapa yang melarang? 

Tapi anak gadis secantikmu berada di tempat ini malam-malam begini apa tidak aneh?! Ha...

ha... ha! Jangan-jangan kau sebangsa kuntil anak atau cucunya kuntil anak! Ha... ha... ha!”

Wajah Ratu Duyung jadi bersemu merah. Tapi diam-diam dia mulai merasa suka

pada si gemuk ini.

“Gadis cantik bermata biru....”

Ratu Duyung jadi kaget. “Tempat ini cukup gelap. Bagaimana dia bisa tahu aku 

memiliki mata biru,” pikir si gadis.

“Aku sedang mencari pamanku. Kabarnya dia tersesat masuk ke Lembah Akhirat.

Apa kau tahu di mana Lembah Akhirat?”

Ratu Duyung terkejut. “Hah! Jadi kau kaki tangan Datuk Lembah Akhirat rupanya!”

“Kau ini bagaimana! Aku bilang tengah mencari pamanku yang tersesat di Lembah 

Akhirat. Dia bukan orang Lembah Akhirat. Tapi tersesat dan terjebak di sana hingga tak bisa 

keluar lagi. Aku keponakan yang baik. Jadi harus menolongnya! Padahal dulu aku pernah

dibenamnya dalam tanah es selama bertahun-tahun!”

“Hemmm.... Lembah Akhirat bukan tempat sembarangan. Sekali masuk tak mungkin

keluar!”

“Mana bisa begitu. Setiap bisa masuk pasti bisa keluar! Lihat contohnya ini!” Lalu

enak saja si gemuk berpeci kupluk itu memasukkan jari telunjuknya ke salah satu lobang

hidung dan mengupil sambil kedip-kedipkan matanya. Sesaat kemudian jarinya

dikeluarkan lalu berkata. “Nah, kau lihat sendiri. Jariku bisa masuk bisa keluar! Ha... ha...

ha...!”

Walau jengkel tapi Ratu Duyung mau tak mau jadi tertawa juga. “Siapa nama

pamanmu?” tanya Ratu Duyung pula.

“Kerbau Bunting,” jawab si gendut.

“Jangan bergurau! Masakan ada orang bernama Kerbau Bunting!”

“Tunggu dulu. Itukan panggilan jeleknya!” jawab si gendut. “Orang biasa

menyebutnya dengan Dewa Ketawa!”

Kagetlah Ratu Duyung. “Aku pernah mendengar satu cerita. Jangan-jangan orang

dalam cerita itu engkau adanya.”

“Tergantung siapa yang bercerita padamu.”

“Yang bercerita Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212....”

“Wah! Kalau si brengsek geblek itu yang bercerita padamu pasti betul. Pasti kau 

sekarang bisa menduga siapa diriku.”

“Ya, kau pasti yang dipanggil orang Bujang Gila Tapak Sakti.”

Si gemuk tertawa gelak-gelak. “Girang hatiku dikenali orang secantik dirimu. Aku

sendiri juga pernah mendengar cerita tentang dirimu....”

“Dari siapa...?” tanya Ratu Duyung.

“Wah banyak sekali! Tak bisa kusebutkan satu persatu. Tapi yang jelas semua cerita

itu tidak dusta. Jika ada seorang gadis berwajah cantik selangit tembus, memiliki potongan

badan sebagus bidadari dan mempunyai mata sebiru permata di dasar lautan, siapa lagi

orangnya kalau bukan Ratu Duyung....” Si gemuk betulkan letak kopiahnya lalu bertanya.Ratu Duyung terkesiap karena si gendut itu ternyata tahu betul siapa dirinya.

“Eh, ngomong-ngomong apa kau tidak merasa panas saat ini?” Bujang Gila Tapak 

Sakti ajukan pertanyaan sambil seka keringat yang mengucur di kening, muka dan lehernya.

“Eh, malam mulai terasa dingin. Aneh kalau kau merasa panas dan keringatan....”

“itulah penyakit jelek orang gemuk!” kata Bujang Gila Tapak Sakti pula.

Dari sela ketiaknya Bujang Gila Tapak Sakti keluarkan sebuah benda. “Sreeeettt!” 

Ternyata benda itu adalah sebuah kipas kertas. “Aku memang tidak tahan panas. Kalau tak

ada kipas ini celaka diriku. Jika kau merasa kepanasan mendekatlah ke sini biar angin kipas 

kita bagi dua..,. Tapi aku yakin kau tak berani mendekat. Kau takut akan aku apa-apakan.

Padahal aku perjaka alim sejak lahir. Ha... ha... hal” Lalu si gemuk ini berkipas-kipas 

seenaknya. Padahal Ratu Duyung sudah sesak nafasnya mencium bau yang keluar dari

ketiaknya.

“Bujang Gila jika kau tahu tentang Lembah Akhirat, tahu bahwa pamanmu terjebak 

di sana, apakah kau juga tahu bakal terjadi sesuatu di kawasan Telaga Gajahmungkur ini?”

Si gemuk terus saja berkipas-kipas tapi kali ini dia anggukkan kepala berulangkali. 

“Dunia sudah kotor oleh perbuatan yang tidak karuan para tokoh silat golongan hitam.

Yang golongan putih malah ikut-ikutan! Sudan saatnya disapu bersih sampai ke akar-

akarnya. Kau tahu laki-laki dan perempuan sekarang ini sudah sama-sama pintarnya

kencing berdiri! Ha... ha... ha!”

Ratu Duyung menutup mulutnya menahan ketawa. Lalu gadis ini memandang ke 

langit. Setelah itu berpaling ke arah perginya Wiro. Bujang Gila memperhatikan. “Sejak tadi

kulihat kau menatap ke langit lalu memandang ke jurusan sana. Ada apa...?”

“Aku tidak melihat bulan purnama muncul di langit. Padahal rembulan itu satu

isyarat atas dimulainya pertemuan orang-orang golongan putih dalam menghadapi orang-

orang Lembah Akhirat....”

“Hal itu sudah kudengar dan kuketahui. Lalu apa yang menyebabkan kau

berulangkali memandang ke jurusan sana?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.

“Terus terang aku tengah menunggu kedatangan seseorang....”

Si gemuk kedap-kedipkan matanya. “Yang kau tunggu bukankah seorang pemuda?”

“Kau hanya menduga-duga!”

“Yang kau tunggu bukankah Pendekar 212 Wiro Sableng?”

“Bagaimana kau tahu?” tanya Ratu Duyung heran..

Si gemuk itu tertawa lebar. “Waktu kalian berdua sampai di tempat ini tadi, aku

sudah lama nongkrong di sini. Aku mendengar semua pembicaraan kalian. Aku juga

melihat kalian berpeluk cium. Asyiknya! Ha... ha... ha!”'

Merah padam wajah Ratu Duyung mendengar kata-kata Bujang Gila Tapak Sakti itu. 

“Gendut! Ternyata kau seorang kurang ajar yang suka mengintip orang!”

“Jangan kau salah sangka. Ada ujar-ujar mengatakan begini. Sengaja mengintip

adalah dosa! Tidak sengaja mengintip adalah rejeki. Nah, aku ini 'kan termasuk golongan

yang terakhir itu! Ha... ha...ha!” Si gendut tertawa gelak-gelak hingga perut dan dadanya

yang gembrot berguncang-guncang.

Setelah mengusap mukanya yang basah oleh keringat Bujang Gila Tapak Sakti 

berkata. “Ratu Duyung, kalau kau sahabat Pendekar 212 Wiro Sableng, berarti aku adalah 

juga sahabatmu. Aku orangnya memang suka bercanda. Jangan kau salah paham. Sekarang,kalau aku boleh memberi nasihat harap kau segera menyusul Pendekar 212. Aku menaruh

firasat, jangan-jangan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dengan dirinya.”

“Hatiku memang was-was. Apa kau bisa menduga siapa orang yang berniat jahat

terhadapnya? Mungkin ada orang yang hendak menjebaknya?”

“Tidak dapat kupastikan. Tapi yang jelas kudengar dia telah kehilangan kesaktian 

dan tenaga dalamnya. Berarti kemana pun dia pergi bahaya besar selalu mengikutinya.

Kalau orang-orang Lembah Akhirat sampai menangkapnya, nyawanya tidak akan

tertolong.” 

“Bujang Gila, kuceritakan padamu. Ada seseorang meminta Wiro datang ke satu

tempat. Katanya di tempat itu Wiro akan disembuhkan dari malapetaka yang menimpa

dirinya dengan sebilah pedang. Apakah orang itu berdusta dan hendak mencelakainya?”

Bujang Gila Tapak Sakti menggeleng. “Lekas kau tinggalkan tempat ini. Susul

pemuda itu. Kalau sampai terlambat kau bisa menyesal.”

“Akan kuturuti nasihatmu. Tapi kau sendiri bagaimana?”

“Aku akan tetap di sini dulu. Berangin-angin berkipas-kipas sampai tubuhku terasa

sejuk,” jawab Bujang Gila Tapak Sakti.

Mendengar kata-kata Bujang Gila tapak Sakti itu Ratu Duyung segera berkelebat ke

arah jalan yang tadi ditempuh Pendekar 212 Wiro Sableng. (Untuk lebih jelas siapa adanya

Bujang Gila Tapak Sakti harap baca serial Wiro Sableng berjudul Bujang Gila Tapak Sakti).

Belum lama Ratu Duyung berlalu, di dalam gelap kelihatan sosok seorang anak yang

melangkah sambil mulutnya berucap.

“Seratus tombak ke timur. Membelok ke kanan melangkah dua puluh tombak. Sudan

kulakukan! Melangkah terus ke kiri. Berhenti tujuh langkah di depan rumpun bambu.

Hemmm.... Rumpun bambu sudah kutemukan. Di depan rumpun di situ akan kujumpai

orang yang kucari!” Anak itu yang bukan lain adalah Naga Kuning, memandang berkeliling. 

“Rumpun bambu sudah ada. Tapi orang yang kucari tidak kelihatan. Cuma ada sebuah area

besar. Hemmm.... Bagaimana ini. Jangan-jangan Kakek Segala Tahu keliru memberi

penjelasan.... Mana tempat ini banyak nyamuk, dingin. Lalu ada bau aneh. Seperti bau

ketiak....”

Merasa letih Naga Kuning dudukkan tubuhnya di tangan area. Tiba-tiba plaak! Satu 

tamparan melanda pantat Naga Kuning hingga bocah ini terpelanting jatuh di tanah lalu

terkentut-kentut. Dia cepat bangkit sambil memandang ke arah area yang

tadi didudukinya.

“Gila! Tidak mungkin! Mana bisa area batu menggebuk pantatku!” kata Naga

Kuning.

“Anak kurang ajar! Buka matamu lebar-lebar! Apa aku ini arca?!”

Kagetlah Naga Kuning. Anak ini sampai tersurut beberapa langkah ketika mendengar 

benda besar yang mendekam dalam gelap di depan pohon bambu mengeluarkan suara!

takut-takut dia melangkah mendekati. Dari jarak empat langkah bocah ini melotot

memeriksa. 

“Astaga! Kau pasti si gemuk yang aku cari! Kau pasti Bujang Gila Tapak Sakti yang

dikatakan Kakek Segala Tahu. Sobatku gendut harap maafkan diriku! Kukira kau area gajah

yang hidungnya sudah gerumpung! Ha... hal., ha!”

“Anak seta nil Kupiting kepalamu, kusumpal hidungmu dengan ketiakku baru kau

tahu rasa!” memaki Bujang Gila Tapak Sakti.

“Bujang Gila Tapak Sakti, aku disuruh Kakek Segala Tahu mencarimu. Sudan 

bertemu sekarang lekas kau ikut aku. Ada satu urusan penting yang harus kau bantu!”

“Aku juga punya urusan penting! Mencari kakekku Si Dewa Ketawa yang terjebak 

masuk ke dalam Lembah Akhirat!” jawab Bujang Gila Tapak Sakti.

“Kalau begitu kebetulan sekali! Kau memang mau disuruh pergi ke Lembah Akhirat

itu! Ayo! Sebelum tengah malam urusan musti sudah rampung!” Naga Kuning tarik lengan

si gemuk agar cepat bangun. Tapi Bujang Gila Tapak Sakti tidak bergerak malah keluarkan

suara kentut keras sekali.

“Tanggal hidungku!” seru Naga Kuning seraya menekap hidungnya dengan tangan

kiri.

“Tadi kau mengentuti aku! Sekarang giliranku membalas!” jawab Bujang Gila Tapak

Sakti lalu tertawa gelak-gelak. Dengan susah payah si gemuk ini bangkit berdiri. Sebelum

melangkah dia seka dulu keringat di muka dan lehernya. Rapikan bajunya yang kesempitan

dan atur letak kopiah hitamnya yang kupluk. Lalu dia mulai melangkah. Sambil berjalan

mengikuti Naga Kuning dia bersiul-siul. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya angin dan

semburan ludah. Naga Kuning memaki panjang pendek karena semburan ludah si gendut

itu ada yang mengenai tengkuknya.


TAMAT


Penulis : Bastian Tito

created : matjenuh channel

blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com


Episode berikutnya :


GERHANA DI GAJAHMUNGKUR


Hak cipta dan copyright milik Alm. Bastian Tito

Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia

Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek dibawah nomor 004245

“Mengenang Alm. Bastian Tito”

Pengarang Wiro Sableng

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive