Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Selasa, 18 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - RAHASIA MAWAR BERACUN

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com

BASTIAN TITO

 "MAWAR KUNING..." DESIS PERI ANGSA PUTIH.

 "BUNGA INI HANYA TUMBUH DI TAMAN LARANGAN.

MENGAPA BISA BERADA DI SINI? APAKAH PERI BUNDA

TAHU KALAU DUA KUNTUM MAWAR KUNING INI 

TERSELIP DI ANTARA BUNGA-BUNGA LAIN DALAM 

JAMBANGAN?"

 TIBA-TIBA PERI ANGSA PUTIH INGAT. TANGANNYA 

BERGETAR. "MAWAR INILAH YANG TEMPO HARI HAMPIR 

MEMBUNUH WIRO DI TELAGA. WAHAI PARA DEWA! 

JANGAN-JANGAN... MUNGKINKAH DIA YANG 

MELEMPARKAN BUNGA ITU KE DALAM ANAK SUNGAI. 

UNTUK MERACUN PENDEKAR 212 WIRO SABLENG? 

APAKAH PERI BUNDA SEJAHAT ITU? BAGAIMANA AKU 

HARUS MENYELIDIK?"


SATU


DUA SOSOK putih berkelebat. Begitu cepatnya 

gerakan mereka hingga kelihatan seperti bayang-bayang 

setan, menembus kelebatan rimba belantara. Di satu 

tempat setelah keluar dari kawasan hutan sosok di 

sebelah depan berhenti. Astaga! Ternyata dia adalah 

manusia biasa juga adanya tapi luar biasanya dia adalah 

seorang dara berwajah cantik. Pakaiannya putih tipis 

keabu-abuan. Rambutnya yang tergerai lepas di 

punggung berwarna pirang membuatnya selain tambah 

cantik juga tampak anggun.

 Sosok ke dua berhenti disamping dara cantik

pertama. Ternyata dia juga seorang dara jelita. Raut

tubuh dan potongan badannya sangat menyerupai

gadis satunya. Siapa gerangan sepasang gadis ber-

wajah sama yang barusan memasuki kawasan rimba

belantara sunyi dan berbahaya itu?

 Di Negeri Latanahsilam keduanya dikenal dengan

julukan Sepasang Gadis Bahagia. Di balik kecantikan

mereka yang mempesona itu tersembunyi satu sifat

yang membuat orang lain bisa merinding jika me-

ngetahui, terutama kaum perempuan. Sejak lama di-

ketahui sepasang gadis kembar ini memiliki kelainan.

Begitu banyak para pemuda yang tertarik pada mereka

namun segera menjauhkan diri dengan perasaan ngeri

begitu mengetahui bahwa dua gadis itu hanya ber-

selera pada kaum sejenisnya.

 "Luhkemboja, ada apa kau berhenti?" bertanya

dara bernama Luhkenanga pada dara satunya yang

adalah kakaknya.

 Sebelum menjawab, dari balik pakaiannya Luh-

kemboja keluarkan sebuah tongkat terbuat dari batu

berwarna biru. Tongkat itu digosok-gosokkannya ke

leher. Lalu diturunkan ke dada. Si gadis menggeliat

sendiri lalu tertawa panjang.

 "Tingkahmu membuat aku ingat pada gadis ber-

nama Luhjelita itu," berkata Luhkenanga. Sepasang

matanya membesar berbinar-binar.

 Luhkemboja si kakak telan ludahnya sendiri. "Aku

juga selalu ingat padanya. Belum pernah kita menemui

gadis secantik dia. Memiliki tubuh padat kencang.

Waktu dia mendesah memohon agar kita tidak menyentuh dadanya.... Wahai! Apa yang diucapkan dan

bagaimana dia menggerakkan tubuh malah membuat

aku tambah bergairah. Kapan-kapan aku ingin men-

carinya kembali.”

 "Gadis satu itu memang luar biasa. Terus terang

aku juga belum puas wahai kakakku Luhkemboja. Tapi

kita harus hati-hati. Kau tahu siapa adanya gadis itu.

Dia pasti membekal dendam terhadap kita."

 "Mengapa perlu merasa takut padanya. Jika dia

berani muncul siapa tahu dia memang sengaja mencari

kita karena ketagihan...." kata Luhkemboja lalu tertawa.

(Untuk mengetahui apa yang terjadi antara sepasang

dara kembar ini dengan Luhjelita harap baca Episode

sebelumnya berjudul "Hantu Langit Terjungkir") "Tong-

kat batu ini," kata Luhkemboja setelah puas tertawa.

"Sesuai yang dipesankan kakek, kita harus segera

menyerahkan padanya. Tetapi aku punya rencana lain!"

 "Heh, apa yang ada di benakmu?" bertanya sang

adik.

 "Kalau kakek menginginkan tongkat ini berarti benda 

ini adalah satu benda sangat penting. Pasti mengandung 

satu kekuatan atau satu kesaktian. Buktinya kau lihat 

sendiri. Tongkat ini mengeluarkan cahaya biru."

 "Jangan-jangan tongkat itu menyembunyikan

satu rahasia yang si kakek tidak pernah atau tidak

mau menceritakannya pada kita."

 "Boleh jadi," kata Luhkemboja pula lalu mem-

perhatikan tongkat batu yang dipegangnya dengan

seksama mulai dari ujung satu sampai ujung lainnya.

 "Aku tidak melihat sesuatu yang aneh pada tongkat 

ini. Kecuali sangat enteng...."

 "Coba kuperiksa," kata Luhkenanga pula lalu ganti

memeriksa. Seperti kakaknya gadis satu inipun tidak

melihat keanehan atau kelainan pada tongkat batu itu.

Benda ini ditirnang-timangnya lalu diusap-usapnya

beberapa kali. Ketika hendak dipulangkannya pada

kakaknya, selintas pikiran muncul dalam benaknya.

Tongkat ditariknya kembali. Lalu dengan ujung jari

tengahnya tongkat itu disentil-sentilnya mulai dari

ujung kiri sampai ujung kanan.

 "Apa yang kau lakukan Luhkenanga?" tanya

Luhkemboja.

 "Coba kau perhatikan. Dengar...." Sambil terus

menyentil Luhkenanga dekatkan tongkat batu biru itu

ke telinga kiri kakaknya. "Kau mendengar sesuatu?"

 "Tentu saja. Suara jarimu beradu dengan tongkat

batu biru. Apa anehnya?"

 Luhkenanga gelengkan kepala. "Ada bunyi atau

suara berlainan. Pada dua ujung kiri kanan berlainandengan bagian tengah...."

 "Bagiku sama saja Tidak ada bedanya," kata

Luhkemboja. Tongkat itu diambilnya kembali.

 "Dengar Luhkemboja. Aku punya satu rencana.

Bagaimana kalau...."

 Luhkemboja tertawa ketika mendengar apa yang

kemudian diucapkan adiknya. Dia membalikkan badan

lalu memberi isyarat untuk segera melanjutkan per-

jalanan.

 Belum jauh meninggalkan ujung rimba belantara,

di satu tempat mendaki dimana udara terasa sejuk

Luhkenanga tiba-tiba berkata. "Ada seorang perem-

puan berpakaian serba putih seperti kita duduk di

sebelah sana...."

 Luhkemboja hentikan larinya dan memandang ke

arah yang ditunjuk sang adik. Memang benar. Di

kejauhan sana seorang perempuan muda berparas

cantik jelita duduk bertopang dagu di atas bukit be-

rumput.

 Langsung saja dada sepasang gadis kembar ini

jadi berdebar dan rasa gairah menjalari tubuh mereka.

 "Wajahnya cantik sekali. Kulitnya bersih...." ucap

Luhkemboja.

 "Harum bau tubuhnya tercium sampai ke sini. Aku

rasa-rasa tahu siapa adanya orang itu. Kelihatannya

dia sengaja duduk bersunyi diri. Seperti memikirkan

sesuatu," ujar Luhkenanga pula.

 "Mari kita dekati. Siapa tahu rejeki besar menjadi

bagian kita," kata Luhkemboja mengajak.

 Dua gadis kembar segera berkelebat Sebentar

saja mereka sudah berada di hadapan perempuan

muda yang duduk di atas rumput itu. Orang ini

turunkan tangannya lalu mengangkat kepala meman-

dang pada sepasang dara yang baru datang. Kagetlah

Luhkemboja dan Luhkenanga ketika mereka melihat

dan menyadari siapa adanya orang itu. Sebaliknya

orang yang duduk di atas rumput tetap tenang saja

walau dia sudah mengenali dua gadis yang berdiri di

hadapannya.

 "Peri Angsa Putih...." menyapa Luhkemboja se-

mentara Luhkenanga pandangi peri cantik itu sambil

berulang kali membasahi bibirnya dengan ujung lidah.

Dibanding dengan kakaknya Luhkenanga memang dia

tidak bisa menyembunyikan gelora hatinya melihat

kecantikan wajah dan kemulusan tubuh Peri Angsa

Putih. Apa lagi tubuh peri ini menebar bau harum

mewangi yang menambah rangsangan dalam dirinya.

 "Wahai, sungguh pertemuan tidak disangka. Bukankah 

kalian berdua kerabat yang dijuluki Sepasang GadisBahagia?" balas menegur Peri Angsa Putih.

 Dua gadis kembar jatuhkan diri, berlutut di hadapan

sang Peri. Luhkemboja malah ulurkan tangan memegang 

lalu mengangkat tangan Peri Angsa Putih, kemudian 

menciumnya dengan sikap hormat walau sebenarnya 

perbuatannya itu lebih didorong oleh hawa gairah. 

Luhkenanga tidak tinggal diam. Dia tirukan apa yang 

dilakukan kakaknya dan mencium belakang telapak

tangan malah sampai ujung lengan Peri Angsa Putih.

 Sambil tersenyum Peri Angsa Putih tarik tangannya. 

"Aku sudah lama mendengar perihal kalian berdua. 

Hanya tidak tahu mana yang bernama Luhkemboja dan 

mana yang bernama Luhkenanga."

 Dua gadis kembar lalu memperkenalkan diri masing-

masing.

 "Wahai Peri Angsa Putih, gerangan apakah yang

membuat kau berada di bukit sunyi ini?" bertanya

Luhkemboja.

 "Sepertinya tengah menunggu seseorang," 

menyambung Luhkenanga.

 "Wahai, jika kau benar menunggu seseorang biar

aku coba menerka," kata Luhkemboja sambil tersenyum 

dan mengusap-usap keningnya seolah tengah berpikir-

pikir. "Kalau salah dugaanku mohon maafmu wahai Peri 

cantik dari Negeri Atas Langit. Bukankah kau tengah 

menunggu lelaki gagah bernama Lakasipo, berjuluk 

Hantu Kaki Batu itu?"

 "Wahai! Dugaan kakakku pasti betul. Sudah lama

kami menyirap kabar kalau lelaki itu tertarik padamu

dan kau. Hemm...." Luhkenanga tidak teruskan kata-

katanya. Bersama kakaknya dia tertawa panjang.

 Wajah Peri Angsa Putih sesaat kelihatan menjadi

merah. Namun sambi! mengulum senyum Peri ini

kemudian berkata. "Dugaan kalian memang betul. Aku

berada di bukit berumput ini tengah menunggu orang.

Tapi bukan lelaki bernama Lakasipo itu. Melainkan

justru aku menunggu kedatangan kalian berdua."

 "Kami?!" ujar Luhkenanga dan Luhkemboja terpekik 

girang hampir bersamaan. Sepasang gadis kembar ini 

saling melirik lalu duduk bersimpuh di atas rumput. Satu 

di kiri, satu di kanan. Demikian dekatnya mereka 

mengapit hingga pinggul dan bahu mereka bersentuhan 

hangat dengan pinggul serta bahu Peri Angsa Putih. 

Bahkan hembusan nafas keduanya menyentuh 

permukaan wajah sang Peri.

 "Sungguh kami merasa bahagia mengetahui kau

berada di sini sengaja menunggu kami," kata Luh-

kenanga seraya memegang iengan Peri Angsa Putih

dan mengusap-usapnya. "Tentu ada sesuatu yangbisa kami lakukan untukmu."

 Sementara itu Luhkemboja mulai pula meraba

lengan Peri Angsa Putih satunya.

 Peri Angsa Putih yang sudah tahu kelainan sifat

dua gadis kembar ini perlahan-lahan lepaskan kedua

tangannya dari genggaman Luhkemboja dan Luh-

kenanga. Lalu berkata. "Aku ingin mengetahui dan

meyakini satu hal. Mudah-mudahan kalian berdua bisa

memberi penjelasan...."

 "Wahai, hal apakah itu Peri Angsa Putih?" tanya

Luhkenanga seraya rapatkan duduknya. Pahanya

sampai menindih paha sang Peri.

 "Beberapa waktu yang lalu aku melihat kalian berdua 

keluar dari sebuah goa di kawasan barat sana...."

 Wajah dua gadis kembar mendadak sontak jadi

berubah. Adik kakak ini saling melirik. Dalam hati

mereka menduga-duga apakah sang Peri tahu apa

yang telah terjadi, apa yang telah mereka lakukan di

goa itu?

 "Wahai, tidak disangka kau mengetahui kehadiran

kami di goa itu..." kata Luhkemboja. Dia tak berani

berdusta karena khawatir sang Peri tahu banyak ten-

tang mereka. "Kami kebetulan saja lewat di kawasan

itu...."

 "Betul, kami memang kebetulan lewat di sana,"

menyambungi Luhkenanga.

 "Ketika melihat sebuah goa kami mencoba masuk..." 

Luhkemboja meneruskan.

 Luhkenanga kembali menyambung. "Kami masuk

sekedar untuk mencari tempat yang teduh dan aman

untuk beristirahat"

 "Kalian masuk dan jadi beristirahat dalam goa itu?" 

tanya Peri Angsa Putih.

 Luhkemboja menggeleng. Luhkenanga memandang 

pada kakaknya lalu ikut menggeleng.

 "Jadi kalian tidak masuk...?" tanya Peri Angsa Putih.

 "Kami memang masuk..." jawab Luhkenanga dengan 

suara perlahan.

 "Tapi kami segera keluar lagi!" kata Luhkenanga.

 "Kenapa?" tanya Peri Angsa Putih.

 "Ada orang lain dalam goa itu!"

 "Ada satu pemandangan menusuk mata yang

membuat kami tak sanggup berada di situ dan cepat-

cepat keluar...."

 Peri Angsa Putih menatap dua gadis kembar

berganti-ganti lalu bertanya. "Siapa orang lain yang

kalian lihat dalam goa itu? Kaitan mengenalnya? Lalu....

Memangnya apa yang dia lakukan di situ...."

 "Ada dua orang dalam goa itu wahai Peri AngsaPutih. Satu gadis, satu pemuda..." kata Luhkemboja.

 "Yang gadis berada dalam keadaan bugil. Tengah

berpelukan dengan seorang pemuda berambut panjang. 

Kalau kami tidak salah dia adalah pemuda asing yang 

belum lama berselang berada di Negeri Latanahsilam 

ini...."

 "Kalau tidak salah dia pemuda yang bernama Wiro

Sableng, berjuluk Pendekar 212."


DUA



 TENGGOROKAN Peri Angsa Putih kelihatan turun 

naik. Suaranya agak tersendat ketika bertanya.

 "Apa kalian mengenali siapa adanya gadis di dalam 

goa yang bersama pemuda bernama Wiro Sableng itu?"

 "Luhjelita. Gadis yang dikenal sebagai penunggang 

kura-kura terbang itu!"

 "Kalian tidak salah lihat?"

 "Kami berdua. Mana mungkin salah lihat!" jawab

Luhkenanga.

 "Kalau begitu...." Peri Angsa Putih tidak meneruskan 

ucapannya.

 "Kalau begitu apa wahai Peri Angsa Putih?" tanya

Luhkenanga sambil kembali tangannya merayap ke

lengan sang Peri.

 "Tidak.... Tidak apa-apa. Keterangan kalian sangat

berguna. Paling tidak aku kini benar-benar yakin dan

mengetahui apa yang terjadi dalam goa itu...." Lalu

dalam hati sang Peri berkata. "Aku juga menyaksikan

sendiri. Tadinya aku seperti ingin mengatakan tidak

yakin pada penglihatanku sendiri. Tapi kini ada dua

orang yang menyaksikan hai yang sama. Berarti tidak

perlu aku menyelidik lebih jauh. Wahai mengapa kejam

sekali rasanya dunia ini memperlakukan diriku. Peri

Bunda, kau benar. Aku harus menjauhkan diri dari

pemuda bernama Wiro itu. Aku harus kembali ke

Negeri Atas Langit..." Peri Angsa Putih memandang

pada dua gadis kembar lalu bangkit berdiri. "Terima

kasih atas semua keterangan kalian. Aku harus pergi

sekarang...."

 "Wahai," ujar Luhkenanga seraya berdiri pula.

"Tak jauh dari sini ada sebuah dangau. Dibangun

orang di atas sebuah telaga jernih. Udara di sana sejuk

sekali. Pemandangannya indah nian. Bagaimana kalau

kita bertiga pergi ke sana. Beristirahat barang setengah

hari sambil berbincang-bincang. Siapa tahu ada ke-

terangan lain yang ingin kau dapatkan dan kebetulan

kami ketahui...."

 "Terima kasih. Kalian berdua baik sekali. Tapi

keterangan yang aku cari sudah kudapat. Lain waktu

undangan kalian tentu ada kupenuhi...."

 "Sayang sekali. Kalau kau mau pergi kamipun

hendak pergi pula..." kata Luhkenanga.Saat itu sekonyong-konyong berkelebat satu ba-

yangan putih disertai bentakan.

 "Dua gadis kembar! Jangan kalian berani pergi!

Kembalikan dulu tongkat yang kau curi dariku!"

 Belum habis kejut Luhkemboja dan Luhkenanga tahu-

tahu seorang pemuda berambut gondrong sambil 

menyeringai dan berkacak pinggang telah berdiri

di hadapan mereka.

 "Peri Angsa Putih! Ini pemuda bernama Wiro Sableng 

yang barusan kita bicarakan!" berkata Luhkenanga. 

Sementara Luhkemboja cepat menjauh karena khawatir 

Wiro akan merampas tongkat batu biru yang 

dipegangnya.

 Pemuda berambut gondrong yang memang Pendekar 

212 Wiro Sableng adanya melirik ke kiri dimana berdiri 

Peri Angsa Putih. Murid Sinto Gendeng hendak layangkan 

senyum pada sang Peri namun batal ketika dilihatnya Peri 

Angsa Putih unjukkan wajah kaku malah kemudian 

palingkan muka ke jurusan lain.

 "Kalian membicarakan aku mengenai apa?!" tanya

Wiro.

 Luhkemboja dan Luhkenanga tidak segera menjawab 

tapi tertawa cekikikan.

 "Gadis-gadis aneh! Ada apa kalian tertawa. Luh-

kemboja! Lekas serahkan tongkat di tanganmu itu

padaku!"

 "Kau sungguhan mau tahu apa yang barusan kami

bicarakan?!" Luhkemboja berkata seraya senyum-

senyum.

 Wiro mulai mencium ada yang tidak beres. Tapi

dia segera menjawab. "Katakan saja. Aku ingin tahu!"

 "Kau tidak malu Peri Angsa Putih ikut mendengar?" 

tanya Luhkenanga lalu tertawa cekikikan.

 "Kami melihat kau dan gadis bernama Luhjelita

berbugil-bugil di dalam goa!" Berucap Luhkemboja.

 "Gadis kurang ajar! Jangan kau berani memfitnah!" 

teriak Pendekar 212 marah.

 "Kalian berzinah di dalam goa!" ujar Luhkenanga.

 Amarah murid Sinto Gendeng tidak terkendalikan

lagi. Mukanya mengelam. Kupingnya seperti dipang-

gang. Sekali lompat saja Wiro layangkan satu tam-

paran ke muka Luhkenanga. Seperti diketahui dua

kakak beradik kembar yang dikenal dengan julukan

Sepasang Gadis Bahagia ini bukanlah gadis-gadis

sembarangan. Mereka memiliki ilmu meringankan tu-

buh tinggi sekali hingga mampu bergerak cepat dan

ringan. Selain itu mereka juga memiliki jurus-jurus

ilmu silat aneh. Sekali bergerak Luhkenanga berhasil

selamatkan diri dari tamparan Wiro yang bisameremukkan tulang pipinya.

 Penasaran Wiro kembali mengejar Luhkenanga.

Namun saat itu satu bayangan putih berkelebat dari

samping. Angin yang menyambar membuat Wiro ter-

paksa hentikan niatnya. Ketika dia memandang ke

depan pendekar kita jadi tertegun. Yang menghadang

di hadapannya adalah Peri Angsa Putih.

 "Peri Angsa Putih.... Apa maksudmu menghalangi

gerakanku?!" tanya Wiro heran.

 "Apa maksudmu menyerang gadis itu?!" balik

bertanya Peri Angsa Putih. Tapi dia tidak memandang

ke arah Wiro karena wajahnya seperti tadi lagi-lagi

dipalingkan ke jurusan lain.

 "Dia.... Gadis itu kau dengar sendiri! Dia berkata

jahat! Memfitnahku!"

 Peri Angsa Putih mendengus. Wajahnya tersenyum 

sinis. Membuat Wiro menjadi tambah marah walau 

bercampur heran. "Peri Angsa Putih. Ada apa ini?! Kau 

bicara tapi tidak mau melihat padaku! Kau sepertinya 

membela gadis-gadis tukang fitnah ini!"

 "Mereka tidak memfitnah. Aku melihat sendiri kau

dan Luhjelita di dalam goa itu. Jangan mengira aku

tidak tahu apa yang kalian lakukan?!"

 Wiro hendak menggaruk kepala habis-habisan lalu 

dekati Peri Angsa Putih.

 "Jangan kau berani bergerak lebih dekat!" membentak 

Peri Angsa Putih.

 Wiro kaget bukan main. Dia ulurkan tangan hendak 

memegang lengan Peri Angsa Putih tapi kembali sang 

Peri membentak. Air mukanya membayangkan ancaman.

 "Pendekar 212! Jangan sentuh diriku! Aku bukan

Luhjelita gadis yang bisa menjadi pemuas nafsu bejat-

mu!"

 Wiro ternganga besar. Dua kakinya seperti di-

pantek ke tanah. "Peri Angsa Putih, aku...."

 "Aku tak sudi kau menyebut namaku! Berlalulah

dari hadapanku!"

 "Mati aku! Apa yang terjadi dengan Peri satu ini?!"

membatin Wiro. Ketika dia berpaling ke samping, dua

gadis kembar tertawa cekikikan lalu berkelebat pergi.

Wiro tak mau mengejar karena khawatir Peri Angsa

Putih akan kembali menghadang dan bisa-bisa antara

mereka terjadi bentrokan yang tak diinginkan. Dengan

menahan hawa amarahnya terhadap dua dara yang

kabur itu Wiro bertanya. "Aku tidak mengeri. Ada apa

ini?! Wajahmu melihat aku seperti melihat hantu...."

 "Aku tidak melihat hantu! Tapi melihat makhluk

sangat menjijikkan!" tukas Peri Angsa Putih.

 Wiro garuk kepala. "Tampangku memang jelek!Terserah kau mau bilang apa! Tapi harap kau jelaskan

dulu mengapa kau membela dua gadis jahat tadi. Lalu

mengapa kau marah-marah dan berkata tak karuan

padaku. Aku merasa tidak punya salah padamu. Dua

gadis kembar itu mencuri tongkat batu titipan orang.

Mereka juga memfitnah diriku lalu enak saja melarikan

diri. Aku tidak...."

 Saat itu mendadak ada suara menderu dahsyat

disertai suara ringkikan kuda. Sesaat kemudian seekor

kuda hitam besar berkaki enam muncul dan berhenti

di tempat itu. Di atasnya duduk Lakasipo dengan sikap

gagah.

 "Saudaraku Wiro Sableng! Kerabatku Peri Angsa

Putih! Aku merasa gembira bisa menemui kalian ber-

dua di tempat ini!" Lakasipo hendak tertawa lebar.

Tapi tidak jadi ketika dia melihat raut wajah Peri Angsa

Putih serta Wiro yang tampak kebingungan. Pendekar

212 kedipkan mata. Maksudnya hendak memberi tahu

tapi Lakasipo yang tidak mengerti malah berucap.

 "Wahai, aku tidak ingin mengganggu. Rupanya

kalian sedang asyik berdua-dua di tempat ini. Wiro,

biaraku pergi dulu. Nanti aku akan mencarimu kembali.

Banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu!"

 "Kuharap kau jangan pergi dulu Lakasipo. Aku juga 

banyak pembicaraan denganmu!" kata Wiro.

 "Kerabat Lakasipo, jika kau memang mau pergi

bolehkah aku ikut menumpang bersamamu sampai di

kaki bukit sana?"

 Ucapan Peri Angsa Putih itu membuat Lakasipo

terheran-heran dan memandang Wiro yang saat itu

hanya bisa tegak sambil garuk-garuk kepala.

 Mengira Peri Angsa Putih menyindirnya Lakasipo

cepat membungkuk dan berkata. "Maafkan, tidak 

maksudku mengganggu kalian. Aku mohon diri dulu...."

 "Lakasipo, tunggu! Aku ikut bersamamu!" seru Peri 

Angsa Putih.

 "Peri Angsa Putih, bukankah kau...? Wahai mana

tungganganmu angsa putih itu?" tanya Lakasipo.

 "Dia tak ada di sini. Itu sebabnya aku minta ikut

bersamamu...."

 Lakasipo memandang pada Wiro seolah mau bertanya. 

Tapi pendekar kita hanya tegak diam dan kini tidak lagi 

menggaruk kepala, memandang pada Lakasipo dan Peri 

Angsa Putih dengan raut muka membayangkan heran 

dan bingung.

 Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba Peri Angsa

Putih melompat ke atas punggung kuda hitam kaki

enam dan duduk di belakang Lakasipo.

 "Peri Angsa Putih, bagaimana ini. Mungkin akuperlu bertanya...."

 "Pacu kudamu Lakasipo. Dalam perjalanan kau

boleh mengajukan seribu pertanyaan. Semuanya akan

kujawab! Apa lagi menyangkut saudara angkatmu

yang kau anggap baik dan suci itu!" Habis berkata

begitu Peri Angsa Putih menggebrak pinggul Lae-

kakienam dengan tangan kirinya sementara tangan

kanannya enak saja merangkul ke pinggang Lakasipo.

Kuda hitam raksasa berkaki enam itu meringkik keras

lalu melompat ke depan.

 "Peri geblek!" Wiro memaki sendirian dalam hati.

"Apa yang terjadi dengan dirinya! Katanya dia melihat

sendiri aku dan Luhjelita di dalam goa. Melihat apa?"

Wiro garuk-garuk kepala. "Jangan-jangan.... Bayangan

yang kulihat dalam goa memang adalah bayangannya.

Gila betul! Dia menyangka.... Aku tidak percaya! Dia

bukan makhluk sembarangan. Masakan bisa percaya

saja pada ucapan dua gadis kembar sialan itu. Tapi....

Memangnya aku sedang apa di dalam goa ketika dia

melihat!" Wiro geleng-geleng kepala dan tendang-

tendang rumput liar di depannya. "Caranya dia pergi

dengan Lakasipo. Seperti sengaja hendak membuat

aku sakit hati. Dia pakai merangkul pinggang lelaki itu

segala. Mungkin agar aku sakit hati dan cemburu! Gila,

perlu apa aku sakit hati dan cemburu! Kupikirkanpun

tidak! Sayang.... Kenapa dia jadi begitu. Padahal dia

pernah menyelamatkan nyawaku, aku juga begitu...."

Akhirnya Wiro hanya bisa menghela nafas panjang

sambil jambak-jambak rambut sendiri. Saat itulah tiba-

tiba ada satu suara berucap.

 "Kalau kasih sejati berubah menjadi kebencian

memang hebat akibatnya. Wahai Pendekar 212, kau

tengah menghadapi ujian berat! Ujian itu akan berubah

menjadi malapetaka jika kau memang berbuat apa

yang dikatakan Peri tadi...."

 "Siapa yang bicara?!" seru murid Sinto Gendeng.

 Dalam kagetnya Wiro segera palingkan kepala.


TIGA


DI HADAPAN Wiro berdiri seorang gadis tinggi 

semampai berkulit putih. Pakaiannya yang biru gelap 

membuat kecantikannya tambah menonjol. Rambutnya 

yang panjang tergerai melambai-lambai ditiup angin. Di 

keningnya yang putih licin melekat sebuah bunga tanjung 

kuning.

 "Luhcinta..." ujar Wiro perlahan setengah berbisik. 

Apa yang barusan dialaminya membuat Wiro tidak kuasa 

tersenyum padahal kemunculan Luhcinta murid Nenek 

Hantu Lembah Laekatakhijau ini sangat menggembirakan 

dan mampu menghibur hatinya.

 "Aku bersyukur kau berada di sini..." kata Pendekar 

212. Lalu dia ingat pada ucapan Luhcinta tadi.

 "Kata-katamu tadi, apakah kau sudah lama berada di

sini dan mendengar...."

 "Aku mendengar semua yang dikatakan dua gadis

kembar itu. Aku juga mendengar apa yang diucapkan

Peri Angsa Putih..." kata Luhcinta sambil tersenyum.

Senyuman yang benar-benar tulus dan membuat hati

murid Sinto Gendeng merasa sejuk hingga kemarahan

dan kejengkelannya berangsur lenyap.

 "Kau... kau mempercayai apa yang mereka katakan?" 

Wiro bertanya.

 "Kau tidak boleh bertanya seperti itu. Tapi kau justru 

harus membuktikan bahwa kau tidak melakukan apa 

yang dituduhkan mereka...."

 "Mereka bertiga menuduhku. Aku sendirian! Fitnah 

mereka dalam waktu singkat tentu akan tersebar luas di 

Negeri Latahansilam ini. Sebelum aku bisa membuktikan 

diriku tidak berbuat keji, namaku sudah tak karuan 

tercemar."

 "Itulah hidup. Ketulusan kasih tidak selalu muncul

cerah dimana-mana. Sesekali redup bahkan pupus

oleh hal-hal yang tidak terduga. Apa lagi jika kau tidak

bisa membuktikan dirimu benar-benar bersih...."

 "Aku bersumpah...!" Wiro gelengkan kepalanya.

"Percuma saja! Siapa yang mau percaya! Di tanah

Jawa saja aku tidak pernah berbuat serendah itu. Apa

lagi di sini di negeri orang...."

 "Soal dirimu di tanah Jawa siapa yang tahu. Yang

jadi masalah justru sepak terjangmu di negeri ini...."

 "Agaknya kau seperti mempercayai apa yangdiucapkan tiga orang itu..." kata Wiro dengan nada

kecewa.

 "Wahai, adakah aku mengatakan seperti itu Wiro?

Fitnah adalah penodaan paling jahat atas kasih sayang.

Tapi bagaimana kasih sayang akan menunjukkan ke-

bersihan jati dirinya kalau kau tidak mampu mem-

buktikan bahwa dirimu sungguh bersih?"

 "Jadi kau tidak mempercayai tuduhan ketiga orang

itu?"

 Luhcinta tersenyum. "Masalahnya bukan percaya

atau tidak. Tapi kemampuan dirimu untuk menyatakan

bahwa kau benar-benar bersih...."

 "Aku tidak ingin membela diri. Tapi dua gadis kembar 

itulah yang telah berbuat keji terhadap Luhjelita. Kau 

mungkin belum tahu. Mereka dua gadis yang punya 

kelainan jiwa. Hanya suka...."

 "Aku tak Ingin mendengar hal itu," kata Luhcinta

memotong dengan suara halus. "Seharusnya hal itu

pantas kau ucapkan pada Peri Angsa Putih...."

 "Percuma saja. Dia tidak akan percaya. Dia tidak

memberi kesempatan padaku untuk menjelaskan...."

 Pendekar 212 terdiam. Dia menarik nafas berulang

kali lalu berkata. "Aku berterima kasih padamu. Kau

memberi petunjuk padaku bagaimana harus berbuat.

Aku akan melakukan sesuatu. Melakukan apa saja

untuk membersihkan diriku...."

 "Aku gembira mendengar ucapanmu. Ingatlah

selalu, hidup yang didasarkan pada kasih sejati tidak

ada pernah menempuh jalan keliru...."

 "Tapi aku tidak mencintai Luhjelita atau Peri Angsa

Putih. Jika itu maksudmu. Sekalipun demikian tidak

mungkin aku akan berbuat keji terhadap salah satu

dari mereka...."

 "Wahai, aku tidak membicarakan cinta. Aku menyebut 

kasih. Karena kasih adalah lebih kudus dan lebih agung 

dari pada cinta. Kasih sejati tidak dapat digantikan oleh 

cinta, betapapun murninya...."

 "Aku tidak mengerti maksud ucapanmu," kata Wiro 

sambil garuk-garuk kepala.

 "Suatu ketika kau pasti akan mengerti."

 "Luhcinta, apakah kau pernah mengasihi seseorang?" 

tanya Pendekar 212 pula.

 Luhcinta tertawa perlahan sambil palingkan wajahnya 

yang bersemu merah ke jurusan lain. Lalu gadis

berhiasan bunga tanjung di keningnya ini berkata.

"Teka teki hidupku masih menjadi beban berat dalam

hatiku. Bagaimana mungkin aku memikirkan hal yang

kau tanyakan itu?"

 "Kurasa jika kau pernah mengasihi seseorangbeban hidupmu mungkin bisa berkurang. Tapi en-

tahlah.... Aku bukan orang yang ahli dalam soal kasih

sayang," kata Wiro pula lalu tertawa tapi kecut

 "Luhcinta, apakah kau telah berhasil mengung-

kapkan rahasia kehidupan kedua orang tuamu?" Wiro

alihkan pembicaraan.

 "Masih jauh panggang dari api. Tapi siapa tahu,

segala sesuatunya bisa berubah secara tidak terduga.

Kekuatan kasih bisa meruntuhkan tembok baja yang

mengelilingi kita. Mudah-mudahan semua teka teki

hidup yang menyelubungi diriku bisa terungkap se-

cepatnya...."

 "Jika kau suka, aku bersedia membantu...."

 "Terima kasih. Bahtera hidup ini biar kukayuh

sendiri. Kita berpisah dulu sampai di sini...."

 "Tunggu, kau mau menuju ke mana?"

 "Terus terang aku sendiri tidak tahu harus me-

neruskan perjalanan ke mana...."

 "Kasih ada membimbing perjalananmu," kata Wiro.

 Luhcinta tertawa lepas. "Ternyata kau lebih cepat

mengetahui arti kasih dari pada yang kau duga sen-

diri...."

 Wiro tertawa dan memperhatikan gadis itu mem-

balikkan badannya siap untuk berlalu. Ketika Luhcinta

berputar ke kiri Wiro melihat robek berlubang pada

bagian bahu kanan pakaian biru yang dikenakan si

gadis. Saat itu Wiro tidak ingat apa-apa. Tetapi begitu

Luhcinta sudah jauh di ujung sana tiba-tiba dia ingat

akan secarik sobekan kain biru yang disimpannya di

dalam saku pakaiannya. Wiro segera keluarkan robekan 

itu. Robekan kain itu ditemuinya ketika dia keluar dari 

goa, tersangkut di ujung ranting tak jauh dari goa

di mana Luhjelita disekap.

 "Cabikan pakaian ini.... Jelas cabikan baju biru

Luhcinta," kata Wiro dalam hati. "Berarti dia juga

berada dekat goa itu. Jangan-jangan sebenarnya dia

juga punya dugaan yang sama dengan Peri Angsa

Putih. Celaka! Aku harus mencarinya. Aku harus men-

ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin hanya

dia satu-satunya gadis yang bisa menerima 

penjelasanku." Wiro mengejar ke kaki bukit Tapi gadis

cantik berpakaian biru itu tak kelihatan lagi.

 Tertegun sendirian Wiro ingat pada ucapan Hantu

Raja Obat alias Hantu Seribu Obat dan Luhrinjani yaitu

bahwa di Negeri Latanahsilam ini ada seorang gadis

yang mencintainya dengan sepenuh hati. "Luhjelita

jelas bukan, entah kalau dia bersandiwara," pikir Pen-

dekar 212. "Peri Angsa Putih juga pasti bukan. Dulu

selendangnya saja dimintanya kembali. Tadi sikapnyabegitu ketus dan garang. Selain itu Luhjelita atau Peri

Angsa Putih masih kucurigai sebagai pelaku yang

hendak meracuni diriku dengan mawar kuning di te-

laga tempo hari. Lalu bagaimana dengan Luhcinta?"

Wiro berpikir-pikir. "Dulu Hantu Seribu Obat pernah

mengatakan bahwa diantara sekian banyak gadis di

Negeri Latahansilam ini hanya Luhcinta seorang yang

mencintai diriku. Mungkin benar. Walau dia agak men-

curigai aku telah berbuat aib tapi tadi dia menunjukkan

sikap lembut Mungkin gadis satu ini pandai me-

nyembunyikan perasaan hatinya? Kalau aku terlalu

mempercayai ucapan Hantu Seribu Obat dan Luhrinjani, 

aku khawatir terlalu berharap yang bukan-bukan...." 

Dalam bayangan Wiro saat itu mendadak muncul 

bayangan wajah Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan 

Bunga, tiga gadis yang pernah menempati hatinya. Wiro 

jadi garuk-garuk kepala. Sambil berjalan otaknya bekerja 

terus. Dia ingat pada kakek berjuluk Si Pelawak Sinting. 

"Aku harus mencari Si Pelawak Sinting yang palsu. Kakek 

itu satu-satunya orang yang melihat kejadian di telaga 

tempo hari. Aku harus dapat mengorek keterangan dari 

dirinya."

 DI SATU tempat sunyi, di balik semak belukar lebat di 

kaki sebuah bukit sebelah timur, Luhcinta duduk 

termenung sendirian. Dia mengingat-ingat kembali 

pertemuan serta semua ucapannya dengan Wiro tadi.

 "Aku memang tidak melihat sendiri apa yang

terjadi di dalam goa. Aku hanya melihat Luhjelita keluar

dari dalam goa, disusul pemuda itu. Sepasang gadis

kembar mungkin saja mengarang cerita. Aku tahu sifat

perangai mereka. Tapi Peri Angsa Putih tidak mungkin

memfitnah. Apa lagi kudengar dia berkata bahwa dia

juga melihat dengan mata kepala sendiri apa yang

dilakukan Wiro dan Luhjelita..."

 Luhcinta menghela nafas panjang dan mengusap

wajahnya berulang kali. "Wahai...” katanya dalam hati.

"Sudah seburuk inikah sifat dan perbuatan makhluk

hidup di atas muka bumi Negeri Lahtanahsilam ini? Aku

tak ingin mempercayai dia tega berbuat sekeji itu. Tapi

kenyataan mengatakan demikian, bagaimana mau

membantahnya. Dia mengatakan tidak mencintai Luh

jelita ataupun Peri Angsa Putih. Wahai.... Mungkin itu

sengaja diucapkannya untuk menghilangkan jejak,

untuk menutupi keaiban dirinya. Agaknya dia pandai

bersandiwara. Tapi jika yang dikatakannya itu benar,

lalu siapakah gadis yang dicintainya di Negeri 

Latanahsilam ini?"

 Lama Luhcinta duduk termenung di balik semakbelukar lebat itu. Lalu dia menarik nafas dalam berulang 

kali dan berkata. "Mudah-mudahan dia bisa melakukan 

sesuatu untuk membersihkan dirinya.... Sementara itu, 

bagaimana aku harus mengambil sikap? Mungkin lebih 

baik aku mengurus persoalan diriku sendiri. Tapi.... 

Wiro.... Ah, bagaimana ini.... Apa yang harus aku 

lakukan?"

 Luhcinta memandang berkeliling. Dia ingat pada

orang berpakaian hitam yang mukanya ditempeli tanah

liat kering yang selama ini selalu menguntit dirinya.

Sejak beberapa waktu belakangan ini orang aneh itu

tak pernah lagi kelihatan membayang-bayangi dirinya.

Pertemuan terakhir dengan orang aneh berkepandaian

tinggi itu Luhcinta sempat memintanya untuk me-

nanggalkan tanah liat hitam yang selalu menutupi

wajahnya. Luhcinta melihat satu wajah yang tidak

dikenalnya. Sebagai imbalan Luhcinta siap menerang-

kan apa hubungannya dengan Luhpiranti dan Latampi.

Namun sebelum sempat bicara terjadi satu hal yang

hebat.

 Serombongan Peri turun dari atas langit hendak

memboyong patung Luhmintari (ibu Hantu Jatilandak).

Maksud para Peri itu digagalkan oleh Peri Angsa Putih.

Ketika patung berhasil diselamatkan, orang berpa-

kaian serba hitam yang dikenal dengan panggilan Si

Penolong Budiman tak ada lagi di tempat tersebut

(Baca Ep.sode berjudul "Rahasia Patung Menangis").


EMPAT


UNTUK menghilangkan kerisauan hatinya sambil 

berjalan Pendekar 212 bersiul-siul membawakan lagu tak 

menentu. Di langit sang surya mulai condong ke barat 

Udara yang tadinya panas berangsur-angsur terasa 

teduh. Selagi asyik berjalan sambil bersiul-siul begitu 

tiba-tiba Wiro melihat seseorang di tengah jalan, duduk 

menjelepok di tanah membelakanginya. Orang ini 

mengenakan pakaian berwarna hijau tua. Kepalanya 

separuh botak separuh lagi ditumbuhi rambut panjang 

berwarna putih, kusut masai riap-riapan.

 "Dari caranya duduk di tengah jalan, jelas dia seperti 

sengaja menghadang jalanku," kata murid Sinto Gendeng 

dalam hati. "Aku belum dapat melihat wajahnya. Apa aku 

kenal padanya? Lelaki atau perempuan dia adanya?"

 Wiro hentikan langkahnya tapi terus saja bersiul-siul. 

Tanpa berpaling tiba-tiba orang yang duduk di tengah 

jalan hamburkan suara tertawa. Dari suaranya ternyata 

dia adalah seorang perempuan.

 "Umur tinggal sejengkal buruk! Masih bisa gembira diri 

bersiul-siul!" Orang di tengah jalan keluarkan ucapan.

 Suara siulan Pendekar 212 langsung berhenti.

 "Bicara tapi tak mau melihat! Menegur tapi mem-

belakangi orang! Kalau kau masih muda pasti kurang

mendapat pelajaran sopan santun dari orang tuamu!

Kalau kau sudah tua bangka mungkin kau sudah pikun

atau kurang waras?"

 Baru saja Wiro berkata begitu sosok yang duduk di 

tengah jalan mendadak sontak melesat ke atas. Begitu 

turun ke tanah orang ini telah berdiri menghadang tepat-

tepat ke arah Wiro. Sebelumnya Pendekar 212 telah 

banyak melihat manusia berwajah seram. Tapi yang satu 

ini sungguh dahsyat hingga Wiro tersurut sampai dua 

langkah!

 Yang tegak di hadapan Wiro saat itu adalah seorang 

nenek angker. Sebagian besar wajahnya tidak berdaging 

lagi, terkelupas begitu rupa hingga tulang kening, pipi, 

hidung, mulut dan dagu menyembul putih mengerikan. 

Mata kirinya hanya merupakan satu rongga besar 

sementara bola matanya tersembul bergelantungan 

keluar. Bagian depan pakaian hijau si nenek sengaja 

dibuka hingga dada dan sebagian perutnya kelihatan 

jelas. Dada dan perut inipun tidak lagi berdaging hinggatulang dada dan tulang-tulang iganya menyembul 

menyeramkan!

 "Hik... hik!" Si nenek tertawa pendek. "Anak muda

berambut panjang! Matamu melotot, keningmu me-

ngerenyit tanda berpikir. Apakah kau ingat dan sudah

mengenali siapa diriku?!"

 Wiro garuk kepalanya lalu menjawab. "Gadis cantik 

saja jarang kuingat-ingat apa lagi kau yang sudah

nenek dan buruk pula!" Wiro lalu tertawa gelak-gelak.

Lalu dia menyambung. "Pakaianmu boleh juga Nek!

Cuma kurang kau buka sampai ke bawah. Kalau lebih

ke bawah pasti aku bisa melihat pemandangan yang

lebih apik! Ha.,, ha... ha!"

 Si nenek keluarkan suara menggembor. Dia hun-

jamkan kaki kanannya ke tanah hingga tanah ber-

lobang besar. Pasir dan debu beterbangan ke udara.

 "Buset! Nenek ini punya ilmu juga rupanya. Aku

harus hati-hati," membatin Wiro dan bersikap waspada.

 "Kekasihku Lajahilio!" si nenek tiba-tiba berseru

memanggil seseorang. "Lekas unjukkan diri! Katakan

pada pemuda keparat ini siapa aku adanya!"

 Ada angin bersiur. Lalu dari atas sebatang pohon

besar melayang turun sosok seorang kakek berambut

putih awut-awutan. Mata kanan sipit, sebaliknya mata

kiri besar mendelik. Kakek ini mengenakan jubah

kuning pekat Melihat si kakek Pendekar 212 segera

ingat. Kakek ini adalah Lajahilio. Si nenek pastilah

kekasihnya yang bernama Luhjahilio. Di dalam rimba

persilatan Negeri Latanahsilam mereka dikenal dengan 

julukan Sepasang Hantu Bercinta walau mereka selama 

puluhan tahun memang hidup bersama tanpa kawin.

 Seperti dituturkan dalam Episode berjudul "Rahasia 

Patung Menangis" sepasang kakek nenek ini pernah 

muncul untuk membalaskan dendam kesumat

kematian dua murid mereka yakni Lagandring dan

Lagandrung. Yang mereka serbu saat itu antara lain

Hantu Jatilandak yang membunuh Lagandring. Hantu

Jatilandak hampir menemui ajalnya kalau tidak ditolong 

oleh orang sakti berjuluk Si Penolong Budiman dan 

Luhcinta yang muncul secara berbarengan. Malang bagi

si nenek saat itu, dia terkena hantaman pukulan sakti 

Pukulan Kasih Mendorong Bumi yang dilepaskan 

Luhcinta. Tak ampun lagi sosok si nenek amblas 

terpendam seolah tercetak ke dinding batu. Walau 

Luhjahilio tak sempat menemui ajal, tapi ketika

Lajahilio menolong mengeluarkan sosoknya dari dalam 

batu, sebagian daging muka dan tubuhnya masih

tertinggal di batu! Itu sebabnya kini dia menderita

cacat yang sangat mengerikan.Lajahilio tegak berkacak pinggang tapi agak ter-

bungkuk. Sepasang matanya membeliak pandangi

Pendekar 212 Wiro Sableng.

 "Anak muda yang umurnya tinggal sejengkal buruk! 

Kau berhadapan dengan Sepasang Hantu Bercinta! Aku 

Lajahilio dan nenek itu kekasihku bernama Luhjahilio!"

 "Hebat!" memuji Wiro sambil acungkan jari tapi

bukan jari jempol melainkan jari kelingking tangan

kirinya! "Julukan kalian sungguh luar biasa. Aku salah

menduga. Tadinya kukira bangsa hantu itu tak bisa

bercinta. Ternyata kalian bisa. Pasti kalian bercintanya

di sekitar kuburan! Kalian bernama Lajahilio dan Luh-

jahilio. Pasti kalian orang-orang dari abad jahiliah! Tapi

ada satu hal aku ingin tahu! Bagaimana kalian bisa

menghitung kalau umurku cuma tinggal sejengkal

buruk?!"

 Si kakek menyeringai, si nenek mendengus. "Anak

muda, nasibmu yang malang!" kata Lajahilio. "Se-

benarnya kekasihku bukan mencari dirimu, tetapi men-

cari kekasihmu yang bernama Luhcinta itu! Dia yang

menyebabkan kekasihku cacat begini rupa! Luhcinta

belum ditemui, kaupun tak ada salahnya dipesiangi

lebih dulu! Ha... ha... ha!"

 "Tua bangka pikun! Aku tidak ada hubungan

apa-apa dengan Luhcinta. Dan dia bukan kekasihku!

Jika kalian punya silang sengketa dengan dirinya,

mengapa melampiaskan dendam padaku?!"

 "Rupanya takut mati juga kau! Hik... hik... hik!

Lajahilio! Lekas kau panggil sahabat kita si muka

kuning itu! Kalian berdua harap awasi jangan sampai

pemuda ini melarikan diri!"

 Mendengar kata-kata si nenek kekasihnya Lajahilio 

lantas keluarkan satu suitan keras. Saat itu juga dari 

balik pohon kayu besar terdengar suara "Buuuttttt!"

Lalu kelihatan melangkah keluar seorang nenek. Mulai

dari rambut sampai ke ujung kaki nenek ini berwarna

kuning. Di lehernya bergelantungan berbagai macam

kalung. Semuanya berwarna kuning. Salah satu kalung

itu adalah sendok emas sakti yakni Sendok Pemasung

Nasib yang dirampasnya dari Lakasipo sewaktu Lakasipo 

hendak menyerahkan benda itu pada Hantu Langit

Terjungkir. Di kepala si nenek menancap tiga buah

sunting yang bergoyang-goyang kian kemari setiap

dia bergerak. Dia juga mengenakan anting-anting bulat

besar berwarna kuning.

 Sambil berjalan sesekali si nenek songgengkan

pantatnya. Lalu "buuuutttttt".... Enak sajadia keluarkan

kentut panjang dan keras.

 Di punggungnya nenek muka kuning itu memanggulsebuah keranjang besar. Keranjang ini berisi belasan 

ekor ayam jantan. Sambil berjalan si nenek pegang 

seekor ayam jantan di tangan kirinya. Lalu dengan 

tangan kanannya enak saja nenek ini memuntir dan 

mencabut daging yang menonjol di ujung dubur ayam. 

Binatang ini keluarkan suara kesakitan. Si nenek

lemparkan binatang itu ke tanah. Ayam yang kesakitan

setengah mati ini seperti celeng menghambur sem

poyongan. Seolah menenggak penganan lezat, si nenek 

kemudian mengunyah dan menelan kibul ayam dalam 

mulutnya mentah-mentah! Selagi mulutnya mengunyah, 

di sebelah bawah kentutnya bertabur tiada henti!

 Ketika melihat si nenek bermuka dan berpakaian

serba kuning ini kaget Wiro bukan alang kepalang.

Ternyata si nenek yang dikenal dengan nama Luhkentut 

alias Nenek Selaksa Kentut atau Nenek Selaksa Angin ini 

adalah kambratnya Sepasang Hantu Bercinta! 

Menghadapi dua kakek nenek aneh itu bukan hal mudah, 

apalagi kalau mereka dibantu pula oleh Luhkentut! 

Sungguh Wiro tidak menduga kalau Sepasang Hantu 

Bercinta punya hubungan tertentu dengan si nenek muka 

kuning.

 "Celaka! Bagaimana urusan bisa kapiran begini!"

Wiro mengeluh dalam hati. "Jangan-jangan nenek

tukang kentut itu tahu kalau aku menipunya! Tapi siapa

tahu ada harapan. Kulihat dia masih asyik menenggak

kibul ayam jantan! Seolah tidak acuh akan kehadiranku!" 

Tapi saat itu si nenek justru putar kepala, memandang 

melotot pada Wiro dengan mulut gembung karena 

tersumpal kibul ayam.

 Ketika melihat Pendekar 212 Wiro Sableng, Nenek

Selaksa Kentut tak kalah kejutnya. Mulutnya 

termonyong-monyong. Dia segera telan habis kibul ayam

dalam mulutnya, kentutnya dulu "buuuutttttt"... lalu

berseru.

 "Sepasang Hantu Bercinta, ini urusan salah kaprah! 

Wahai! Aku tidak tahu kalau yang ingin kalian pesiangi 

adalah pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun 

mendatang ini! Aku tak mungkin membantumu! Dia tak 

boleh kalian bunuh!"

 "Buuuuttttttt..!"

 Sepasang kakek nenek bernama Luhjahilio dan

Lajahilio sama-sama delikkan mata. Luhjahilio berteriak 

marah.

 "Luhkentut! Jangan kau berani menipu mengingkari 

perjanjian! Ingat! Aku dan kekasihku sudah mencarikan 

hampir tiga puluh ayam jantan untuk kau jadikan 

santapan kibulnya!"

 "Tua bangka muka setan! Siapa menipu! Siapaingkari perjanjian! Aku cuma bilang tidak mau mem-

bantumu. Dan kalian tidak boleh membunuh pemuda

itu!"

 "Buuuttt..." Luhkentut kembali pancarkan kentutnya.

 Lajahilio maju dekati nenek muka kuning. Dia

sengaja bicara lembut, berusaha membujuk.

 "Mengapa begitu wahai kerabatku Luhkentut?

Mengapa kau mendadak berubah pikiran?"

 "Buuuuttttt!" Si nenek kentut dulu sebelum menjawab.

 "Aku punya urusan besar dengan pemuda itu!

Aku tak ingin dia mampus sebelum urusanku selesai!"

 "Kurang ajar! Kalau kau tak mau membantu harap

lekas angkat kaki dari sini! Lain hari urusan dustamu

ini akan kita selesaikan!" Kembali Luhjahilio berteriak

marah.

 "Aku tidak akan pergi dari sini! Kalian berdua saja

yang lekas menyingkir!" Nenek muka kuning ulurkan

tangannya ke belakang, mencekal seekor ayam jantan.

Seperti tadi kibul ayam ini dipuntirnya sampai putus

lalu dikunyah dan ditelannya. Ayam yang terkuik-kuik

kesakitan enak saja dilemparkannya ke muka Luhjahilio 

sambil tertawa-tawa. Luhjahilio marah besar. Sekali 

hantam saja ayam jantan itu cerai berai berkeping-

keping. Bulunya beterbangan di udara. Kemarahan 

Luhjahilio tidak sampai di sana. Dia segera menerjang ke 

arah nenek muka kuning dan lepaskan satu pukulan sakti 

mengandung tenaga dalam hebat. Angin deras menyapu 

ke depan. Nenek muka kuning sesaat terhuyung dan 

terkentut-kentut "Buutt... buuttt". Tapi dia tidak tinggal 

diam dan cepat bertindak.

 "Kurang ajar! Berani kau menyerangku! Rasakan!" 

teriak Luhkentut Entah kapan nenek ini bergerak

tahu-tahu tangan kanannya telah mencengkeram ta-

ngan kanan Luhjahilio yang hendak menghantam

dadanya.

 Lajahilio, kakek kekasih, Luhjahilio tahu benar

kehebatan si nenek muka kuning berjuluk Nenek Se-

laksa Kentut atau Nenek Selaksa Angin itu. Kalau dia

tidak segera turun tangan pasti tangan kanan ke-

kasihnya akan mengalami cidera berat. Tidak me-

nunggu lebih lama kakek ini segera menyerang dari

samping.

 Melihat orang bertindak curang, walau dia kurang

suka terhadap nenek muka kuning namun Wiro tak

mau berpangku tangan saja. Sebenarnya saat itu dia

bisa saja cari selamat menyelinap tinggalkan tempat

itu. Namun yang dilakukannya adalah berkelebat meng-

hadang gerakan Lajahilio.

 "Bukkkk!"


LIMA


LENGAN kanan Wiro saling bentrokan dengan lengan 

kanan Lajahilio. Pendekar 212 mengerenyit dan 

terhuyung dua langkah. Di depannya si kakek keluarkan 

jeritan tertahan. Dia hampir terjengkang. Ketika 

diperhatikannya ternyata lengannya telah bengkak 

merah, sakitnya bukan kepalang. Mukanya kelam merah 

menahan sakit dan juga ada rasa tidak percaya. Selama 

ini kekuatan tangannya mampu menghancurkan batu. 

Tapi kini si pemuda bukan saja sanggup menahan malah 

membuat dia kesakitan setengah mati. Masih untung 

tulang lengannya tidak cidera.

 "Pemuda asing jahanam! Aku mau lihat sampai

di mana kehebatanmu! Makan seranganku ini!"

 Lajahilio dorongkan dua tangannya ke arah Pendekar 

212. Dua rangkum angin menggebubu, menyapu dahsyat 

Murid Sinto Gendeng terpental sampai dua tombak. Wiro 

cepat tekuk lututnya agar dia tidak jatuh duduk. Ketika 

Lajahilio susul serangannya tadi dengan tendangan ke 

arah kepala, Wiro serta merta pukulkan tangan 

kanannya. Serangkum angin laksana topan melabrak ke 

depan. Sosok Lajahilio sesaat mengapung di udara lalu 

terangkat dan mental jungkir balik di udara. Ketika jatuh 

di tanah punggungnya terbanting lebih dulu. Lajahilio

mengeluh tinggi. Di sebelah belakang sekujur tulang-

tulangnya serasa remuk. Sedang di bagian depan yang 

barusan dihantam angin pukulan Benteng Topan Melanda 

Samudra yang tadi dilepaskan Wiro dadanya serasa 

amblas.

 "Buuuttttt..." Kembali terdengar kentut panjang

nenek muka kuning, disusul ucapannya.

 "Luar biasa! Anak muda rambut panjang! Ilmu

apa yang kau pergunakan menghantam kakek jelek

itu! Hik... hiik... hik...?" Di samping kiri si nenek muka

kuning tertawa cekikikan. Untuk kesekian kalinya ta-

ngannya siap memuntir kibul seekor ayam jantan.

 Terhuyung-huyung, dengan dada sesak dan darah

mengucur di sela bibir, Lajahilio bangkit berdiri. Me-

mandang ke samping kiri dia keluarkan seruan ter-

tahan. Tadi ketika melihat kekasihnya saling men-

cengkeram dengan nenek muka kuning dia berusaha

untuk membantu karena tahu betul bahaya besar yang

mengancam Luhjahilio. Tapi gerakannya dihadangoleh Wiro. Kini ketika dia memperhatikan kagetnya

bukan alang kepalang melihat apa yang terjadi. Saat

itu Luhjahilio dilihatnya tegak sambil pegangi jidatnya.

Di jidat itu kini menempel potongan tangan kanan

miliknya sendiri! Sebatas lengan sampai ke ujung jari.

Dengan muka pucat si nenek berusaha menanggalkan

tangan yang menempel di keningnya itu tapi sia-sia

saja. Luhjahilio berteriak dan hentak-hentakkan kaki-

nya kalang kabut!

 "Ilmu Menahan Darah Memindah Jazadl" desis

Lajahilio dalam hati. "Jadi benar rupanya nenek muka

kuning ini memiliki ilmu dahsyat itu. Dia sanggup

memindah bagian-bagian tubuh manusia tanpa me-

ngeluarkan darah tanpa membunuh! Tapi akibatnya

lebih mengenaskan dari kematian!"

 "Luhjahilio! Mari kita tinggalkan tempat ini!" Lajahilio 

berseru.

 "Buuuutttt...!"

 "Tidak sebelum tanganku ini bisa ditanggalkan!"

jawab Luhjahilio. Kembali dia menarik-narik potongan

tangannya. Tetap tidak berhasil. Nenek muka kuning

tertawa gelak-gelak.

 "Luhjahilio, bagusnya kau ikuti ucapan kekasihmu. 

Sebelum aku memindahkan bagian tubuhmu yang

lain ke jidat atau pipimu!" berkata Luhkentut lalu

"buuuttttt...!"

 Luhjahilio meradang marah. Tapi Lajahilio cepat

menarik tangan kekasihnya dan setengah menyeret

membawa nenek itu kabur dari tempat tersebut

 Pendekar 212 Wiro Sableng merasa tengkuknya

dingin ketika nenek muka kuning tiba-tiba berpaling

ke arahnya. Sepasang mata si nenek memandang

lekat-lekat, mulutnya komat kamit mengunyah kibul

ayam. Dia menyeringai, lalu tertawa mengekeh hingga

sebagian kibul ayam yang ada di mulutnya tersembur

keluar. Melihat si nenek tertawa Wiro merasa lega

sedikit. Namun dia tetap berjaga-jaga dengan me-

ngerahkan tenaga dalam ke tangan kanan.

 Si nenek songgengkan pantatnya lalu "buuuttt..!"

 "Anak muda bernama Wiro Sableng! Mana dua

kawanmu yang dulu turut memperdayaiku di gua yang

ada patungnya?"

 "Anu Nek.... Mereka berada di Latanahsilam..."

 "Pasti mencari perempuan! Hik... hik... hik!" Si

nenek tertawa lalu sambung tawanya dengan kentut

dua kali buuuttt.. buutttt! Puas tertawa dan terkentut-

kentut si nenek perhatikan tangan kanan Wiro Sableng.

terbangan ke udara. Si nenek muka kuning berseru

keras. Tubuhnya tergontai-gontai sementara dua kakinya laksana ditanam ke tanah. Dia kerahkan seluruh

tenaganya tapi tak urung lututnya mulai goyah. Pa-

kaiannya berkibar-kibar. Keranjang ayam di pung-

gungnya berderak-derak. Belasan ayam yang ada da-

lam keranjang itu berkotek-kotek ketakutan lalu se-

muanya amblas terpental dihantam sambaran angin

deras, beterbangan cerai berai di udara. Sesaat ke-

mudian keranjang ayam ikut terbang hancur beran-

takan. Tiga buah sunting di kepala si nenek bergoyang

keras lalu mencelat mental. Begitu juga sepasang

anting ditelinganya, copot mental. Masih untung rang-

kaian kalung yang tergantung di lehernya tak ikut

diterbangkan angin pukulan, tertahan di bawah dagu!

 Bagaimanapun Luhkentut bertahan namun tak

urung dua kakinya yang terpendam di tanah perlahan-

lahan terangkat ke atas. Di lain saat sosok tubuhnya

tampak limbung naik ke udara. Mengapung sejajar

tanah dengan sepasang kaki menghadap ke arah Wiro.

 "Buuuttt... buuuutttt.. buuttttt!" Si nenek kentut

berulang kali.

 Tiba-tiba wut.. wuuutt... wuutttt! Pakaian kuning

yang melekat di tubuh si nenek terlepas tanggal dari

tubuhnya, terbang ke udara lalu menyangkut jauh di

atas sebatang pohon!

 "Kurang ajar! Hai! Kau apakan diriku?!" Teriak

Luhkentut sambil kalang kabut menutupi tubuhnya

yang kini bugil polos sementara kentutnya keluar

bertalu-talu.

 Wiro tersentak kaget Serta merta dia hentikan

serangan Benteng Topan Melanda Samudera. Walau

si nenek ternyata mempunyai kehebatan untuk ber-

tahan tapi dia tidak menyangka akibatnya akan seperti

itu. Ketika Luhkentut berhasil turunkan dua kakinya

ke tanah, Wiro tak berani berada lebih lama di tempat

itu. Takut dilabrak si nenek murid Sinto Gendeng

segera tancap ambil langkah seribu. Sambil kabur dia

memaki dalam hati.

 "Nenek sinting! Salah sendiri mengapa tidak pakai

celana dalam!"


ENAM


PERI Bunda pegang lengan Peri bermata biru yang 

duduk di hadapannya. Untuk beberapa lamanya tak 

satupun diantara mereka yang membuka mulut bicara. 

Akhirnya Peri Bunda memecah kesunyian di dalam 

kamar besar dan bagus itu.

 "Aku tahu hatimu masih terguncang hebat wahai

kerabatku Peri Angsa Putih. Tidak mudah memang

menghadapi kejadian seperti ini karena menyangkut

jauh sampai ke bagian terdalam dari hati nuranimu.

Tapi ketahuilah kerabatku, apa yang telah kau lakukan

adalah tindakan yang benar. Pemuda itu harus kau

jauhi. Bahkan harus kau tinggalkan sebelum mala-

petaka menimpa dirimu seperti yang terjadi dengan

diri Luhmintari, Peri yang jadi ibu Hantu Jatilandak

ketika dia bersuamikan Lahambalang. Aku akan me-

lindungimu terhadap para Peri lainnya. Jika Peri Se-

sepuh bertanya biar aku yang menghadap. Aku akan

membantumu jika terjadi apa-apa."

 "Peri Bunda kau sangat baitetoati. Tapi bagaimana

kalau pemuda itu berdendam terhadapku dan melaku-

kan sesuatu yang tidak baik?" tanya Peri Angsa Putih

pula.

 "Kau tak usah kawatir wahai kerabatku. Aku sen-

diri yang akan turun tangan menghadapinya jika dia

berani berbuat begitu. Kalau perlu kita bisa perguna

kan para tokoh Hantu di Negeri Latanasilam untuk

membantu. Jangan harap dia bisa kembali ke tanah

asalnya jika dia berani mencideraimu..." Peri Bunda

diam sejenak. Lalu dia bertanya. "Peri Angsa Putih,

apakah kau pernah mengatakan isi hatimu pada pe-

muda bernama Wiro Sableng itu? Apakah dia tahu kau

mencintainya?"

 Sepasang mata biru Peri Angsa Putih memandang

lekat-lekat pada Peri Bunda, seolah membesar dan

berbinar. Di lubuk hatinya dia berkata. "Aku memang

tidak pernah berterus terang pada Wiro. Tidak mungkin

seorang perempuan, apa lagi seorang Peri mendahului

membuka isi hatinya. Namun... mungkin ketidak tahuan 

ini membuat dia bersikap seperti itu padaku. Tapi

apa gunanya. Sekalipun kini dia tahu tak ada artinya

lagi. Aib yang telah dilakukannya terlalu besar. Aku

tidak mungkin menerima seorang kekasih sepertiitu...." Peri Angsa Putih usap pinggiran ke dua matanya

lalu berkata. "Kau betul Peri Bunda. Aku memang tak

pernah mengatakan isi hatiku pada Wiro. Sekarang

semuanya sudah kasip. Biar tetap kupendam seumur

hidupku...."

 "Aku bangga melihat ketabahanmu wahai Peri

Angsa Putih. Kau tak usah kawatir pemuda itu akan

melakukan sesuatu. Jika perlu aku akan turun ke

Negeri Latanahsilam menemuinya...."

 "Apa yang akan kau lakukan Peri Bunda? Apa

yang hendak kau katakan padanya?"

 "Kau tak usah kawatir, kau tak usah takut. Se-

rahkan semua padaku. Pasti akan dapat kuselesaikan

demi untuk kebaikan dirimu dan kesucian kita sebagai

kaum Peri yang tidak bisa disamakan dengan bangsa

manusia biasa..." Peri Bunda belai pipi Peri Angsa

Putih lalu bangkit berdiri. "Aku akan pergi ke Negeri

Latanahsilam sekarang juga. Kau tetap di sini. Jangan

kemana-mana. Kau boleh berada di kamarku ini

sampai aku kembali...."

 "Terima kasih Peri Bunda. Aku memang merasa

lebih tenteram berada di kamarmu ini," kata Peri Angsa

Putih pula.

 "Sebelum aku pergi ada satu hal lagi yang perlu

kukatakan padamu. Jika aku tidak mengeluarkan hal

ini rasanya akan menjadi ganjalan yang tidak enak."

 "Katakanlah Peri Bunda. Wahai gerangan apa yang 

hendak kau sampaikan?" ujar Peri Angsa Putih pula.

 "Menurut ceritamu kau meninggalkan Wiro pergi

bersama Lakasipo, menunggangi kuda hitam berkaki

enam berdua-dua."

 "Betul Peri Bunda," membenarkan Peri Angsa

Putih sambil anggukkan kepala.

 "Dengan caramu itu kau bermaksud hendak sekedar 

membalaskan sakit hatimu pada Wiro. Mungkin juga 

hendak mengatakan bahwa bukan dia seorang lelaki di 

atas dunia ini. Tapi kau lupa satu hal. Entah kau sadari 

atau tidak kau seolah memberi harapan pada Lakasipo..."

 Peri Angsa Putih terdiam. Peri Bunda melanjutkan

kata-katanya. "Mungkin aku salah menduga. Tapi se-

tahuku, sebelum Wiro muncul di Negeri Latanahsilam

kau pernah memperlihatkan sikap dan rasa tertarik

pada Lakasipo. Sikapmu berubah begitu Wiro datang...."

 Wajah Peri Angsa Putih bersemu merah. Peri ini coba 

tertawa. "Peri Bunda, kau meminta aku melupakan 

pemuda itu. Aku telah melakukannya.... Mengenai 

Lakasipo, bukankah dia juga telah masuk dalam

pikatan Luhjelita?"

 "Itu dulu. Bagaimana kini kalau dia tahu apa yangtelah dilakukan Wiro dengan Luhjelita? Dia pasti akan

kecewa besar, mungkin marah sakit hati dan meng-

arahkan pilihannya padamu. Apalagi sejak lama tersiar

kabar bahwa Luhjelita konon adalah kekasih Hantu

Muka Dua...."

 "Wahai, terus terang aku tidak memikir sampai ke

sana, Peri Bunda...."

 Peri Bunda cium kening kerabatnya itu lalu tinggalkan 

tempat tersebut Tak lama setelah Peri Bunda pergi, 

walau berada dalam kamar yang luas dan bagus lama-

lama Peri Angsa Putih merasa gelisah sendiri. Dia duduk 

di tepi pembaringan yang empuk. Lalu melangkah 

mundar-mandir. Sesekali dia berdiri di belakang satu 

jendela, memandang keluar ke arah sebuah taman yang 

dipenuhi berbagai bunga yang tengah berkembang. Di 

tengah taman tiba-tiba seolah muncul bayangan sosok 

Pendekar 212 Wiro Sableng, melambaikan tangan ke 

arahnya.

 Peri Angsa Putih sampai tersurut "Wahai.... Pertanda 

apa ini?. Mengapa bayangannya mendadak muncul 

seperti itu. Apakah satu pertanda bahwa aku sebenarnya 

tidak bisa melupakan dirinya? Bahwa semua apa yang 

aku katakan pada Peri Bunda sebenarnya tidak keluar 

dari lubuk hatiku? Wahai.... Antara aku dan dia mungkin 

tidak bisa pernah terjalin tali perkawinan. Tapi apa yang 

telah dilakukannya memperjauh jarak antara aku dengan 

dia. Wiro, mengapa kau melakukan perbuatan aib itu...?"

 Peri Angsa Putih jauhi jendela. Lalu kembali dia

melangkah mundar mandir di dalam kamar yang luas

dan bagus itu. Di sudut kamartergantung serangkaian

jambangan bunga dari rotan bersusun enam. Yang

sebelah bawah paling besar, sebelah atasnya lebih

kecil demikian seterusnya. Peri Angsa Putih telah

beberapa kali memperhatikan jambangan yang berisi

bunga hidup itu. Namun entah mengapa kali ini ter-

gerak hatinya untuk mendekati jambangan tersebut

dan melihat bunga-bunga yang ada di situ lebih dekat.

Semua bunga yang ada dalam jambangan selain bagus

dan memiliki warna indah juga menebar bau harum

semerbak.

 Peri Angsa Putih hendak melangkah pergi ketika

tiba-tiba pandangannya membentur sesuatu pada jam-

bangan paling besar di sebelah bawah. Sang Peri

membungkuk agar bisa melihat lebih jelas. Tidak per-

caya pada apa yang dilihatnya dia ulurkan tangan

mengambil benda itu. Yang diambil Peri Angsa Putih,

terselip di antara kembang-kembang bagus dan harum

ternyata adalah dua buah bunga mawar kuning.

 "Mawar kuning..." desis Peri Angsa Putih. "Bungaini hanya tumbuh di Taman Larangan. Mengapa bisa

berada di sini? Apakah Peri Bunda tahu kalau dua

kuntum mawar kuning ini terselip di antara bunga-

bunga lainnya dalam jambangan?" Tiba-tiba Peri Angsa 

Putih ingat. Tangannya bergetar. "Mawar kuning ini 

mawar beracun! Mawar inilah yang tempo hari hampir 

membunuh Wiro di telaga. Wahai para Dewa! Jangan-

jangan...."

 Takut keracunan Peri Angsa Putih selipkan kembali 

dua kuntum mawar kuning itu di antara bunga-bunga 

dijambangan rotan paling bawah. Namun selintas pikiran 

muncul di benaknya. "Kalau benar apa yang kuduga, aku 

harus mempunyai bukti. Dua bunga mawar kuning 

beracun itu harus kuambil dan kusembunyikan. Lalu aku 

harus menyelidik. Atau mungkin aku akan tanyakan terus 

terang padanya? Berarti aku harus menyusulnya saat ini 

juga! Tidak kusangka! Wahai, sungguh tidak kusangka!"

 Cepat-cepat Peri Angsa Putih hendak mengambil

dua kuntum bunga mawar yang barusan diletakkan-

nya. Namun gerakannya tertahan. Dia merasa ada

seseorang tegak di belakangnya, memperhatikannya.

Pasti Peri Bunda, pikir Peri bermata biru itu. Dia segera

membalikkan badan. Dugaannya ternyata salah!


TUJUH


YANG tegak di depan pintu kamar itu adalah seorang 

perempuan cantik berpakaian putih sangat tipis hingga 

beberapa bagian auratnya terlihat jelas. Bagaimana 

orang ini bisa masuk tanpa membuka pintu bagi Peri 

Angsa Putih tidak mengherankan. Karena perempuan itu 

adalah roh dari seseorang yang sebenarnya telah mati, 

namun bisa muncul dalam wujud seperti manusia biasa 

berkat pertolongan para Peri dibantu para Dewa. 

Sebagai mahluk setengah gaib sosok ini secara aneh 

sanggup masuk ke dalam sebuah ruangan melalui celah 

atau lobang kecil.

 "Luhrinjani...." Peri Angsa Putih menyebut nama 

perempuan itu dengan suara bergetar. Lalu tangan 

kirinya diletakkan di atas bibir seolah tak berani lagi 

bersuara membuka mulut.

 Perempuan yang dipanggil dengan nama Luhrinjani 

tersenyum. "Wahai, kau masih ingat namaku. Apakah 

kau juga masih ingat siapa diriku ini adanya Peri Angsa 

Putih?"

 "Aku ingat, kau adalah roh yang mampu 

mewujudkan diri karena pertolongan para Peri dan para 

Dewa...." jawab Peri Angsa Putih.

 "Jawabanmu tidak salah, tapi bukan itu yang aku 

maksudkan wahai Peri Angsa Putih," kata Luhrinjani 

sambil layangkan senyum.

 "Senyumnya sinis.... Apa yang dimaksudkan mahluk 

ini?" membatin Peri Angsa Putih. "Wahai, aku kurang 

paham maksudmu Luhrinjani."

 "Begitu? Dengar baik-baik wahai Peri bermata biru. 

Aku adalah Luhrinjani. Sampai saat ini aku masih istri 

seorang lelaki bernama Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki 

Batu yang dulunya adalah Kepala Negeri Latanahsilam. 

Jelas...?"

 Peri Angsa Putih anggukkan kepala namun tetap

bertanya-tanya apa maksud Luhrinjani dengan semua

tanya dan ucapannya itu.

 "Aku tidak melupakan budi baik dan jasa para Peri 

termasuk dirimu yang telah mampu membuat diriku bisa 

berkeadaan seperti ini. Tapi itu bukan berarti aku harus 

begitu saja menerima perlakuan menyakitkan dari para 

Peri!"

 "Wahai, sepanjang aku tahu kami para Peri tidakpernah menyakiti hatimu. Mungkin kau...."

 "Peri Angsa Putih, ayam putih terbang siang kata

orang. Apa yang kau telah lakukan terlihat jelas karena

aku tidak buta!"

 "Wahai, memangnya apa yang telah aku lakukan?" 

Peri Angsa Putih bertanya heran.

 "Kau lupa pada ucapanku tadi. Sampai saat ini

Lakasipo masih suamiku dan aku masih istrinya. Jangan 

ada perempuan lain yang berani bermain api cinta 

dengan suamiku, termasuk kau!"

 Waktu menyebut "kau" itu Luhrinjani beliakkan

sepasang matanya dan jari telunjuk tangan kirinya

ditudingkan tepat-tepat ke wajah Peri Angsa Putih,

membuat Peri ini terkejut dan tersurut satu langkah!

Wajahnya yang jelita berubah pucat.

 "Luhrinjani, bagaimana kau bisa menuduhku bermain 

cinta dengan suamimu? Memangnya aku ini...."

 "Kau Peri pertama yang kuketahui berani berkata

dusta!" Membentak Luhrinjani.

 Kalau tadi wajah Peri Angsa Putih putih pucat, maka 

kini paras itu berubah merah. "Luhrinjani, apa

maksudmu! Kedustaan apa yang telah aku lakukan?!"

Peri Angsa Putih bertanya dengan suara keras lantang.

Matanya yang biru membersitkan sinar pertanda dia

tengah dilanda kemarahan besar. "Jangan berani bicara 

yang bukan-bukan! Tempat ini bukan duniamu! Jika kau 

masih bermulut lancang lekas angkat kaki dari sini 

sebelum kuperintahkan barisan para Peri untuk 

menyeretmu dan melemparkan rohmu ke bumi sana!"

 Luhrinjani kembali layangkan senyum sinis.

 "Aku tidak bicara yang bukan-bukan. Justru aku

datang untuk bicara yang benar-benar!" menyahuti

Luhrinjani si mahluk gaib setengah roh setengah

manusia itu. "Aku tidak pula bermulut lancang! Dan

terus terang aku merasa senang jika ada Peri lain di

tempat ini mendengar apa yang akan kusampaikan

padamu!"

 "Rupanya kemunculanmu sengaja hendak mem-

permainkan dan mempermalukan diriku!" kata Peri

Angsa Putih dengan suara bergetar.

 "Peri Angsa Putih, dengar baik-baik apa yang akan

kukatakan. Aku tidak, suka kau memikat suamiku! Aku

tidak suka melihat kau bercinta dengan Lakasipo!"

 "Mahluk kurang ajar! Siapa memikat suamimu!

Siapa bercinta dengan Lakasipo!" Teriakan Peri Angsa

Putih menggelegar di dalam kamar besar itu.

 "Jangan kira aku buta wahai Peri Angsa Putih.

Aku punya kemampuan melihat apa yang kau lakukan.

Aku punya kemampuan mengawasi tindak tanduksuamiku!"

 "Kalau kau mempunyai kemampuan mengapa kau

tidak bertindak ketika Lakasipo bercinta di sebuah goa

batu pualam dengan Luhjelita?! Jika kau punya ke-

mampuan mengapa kau tidak bertindak terhadap Luh-

santini istri Hantu Bara Kaliatus yang sejak beberapa

lama ini selalu kemana-mana bersama Lakasipo?!"

 Luhrinjani tertawa panjang mendengar kata-kata

Peri Angsa Putih itu. "Kau hendak mengalihkan pem-

bicaraan. Saat ini bukan perihal gadis bernama Luh-

jelita itu yang ingin aku bicarakan. Soal Luhsantini

tidak usah kau korek-korek karena aku sudah ada

rencana tersendiri terhadapnya. Aku datang ke sini

untuk membicarakan dirimu! Hanya karena perse-

lisihanmu dengan pemuda gagah bernama Wiro Sa-

bleng itu lantas kau berbuat tak karuan! Wahai! Apa

kau kira aku tidak tahu bagaimana kau meninggalkan

pemuda itu lalu memikat suamiku?! Menunggangi

Laekakienam bersama-sama sambil tanganmu me-

rangkul ke pinggang Lakasipo? Kau sungguh cerdik

Peri Angsa Putih! Kau sakiti hati Wiro Sableng, se-

kaligus kau rayu suamiku!"

 "Luhrinjani! Tuduhanmu busuk sekali! Aku tidak

punya niat memikat suamimu! Juga tidak punya ke-

inginan bercinta dengannya!"

 "Yang kau ucapkan justru berlainan dengan apa

yang aku rasa dan aku lihat sendiri!" jawab Luhrinjani.

"Sebagai Peri kau tentu tahu apa yang kau ucapkan

benar-benar putih bersih! Terus terang aku meragukan

kebersihan diri dan hatimu Peri Angsa Putih! Sebagai

Peri kau lebih banyak berkeliaran di Negeri Latanah-

silam. Kau lebih banyak terpikat pada urusan dunia.

Jangan kira aku tidak tahu kalau kau telah jatuh hati

pada pemuda bernama Wiro Sableng itu! Jangan kira

aku tidak tahu karena Wiro tidak membalas cintamu

kau lantas berbalik hati berusaha mendekatkan diri

pada suamiku! Aku ingin tahu apa kau berani me-

nyangkal ucapanku! Berarti kau menambah dalam

kedustaanmu sendiri!" Luhrinjani tertawa panjang.

Belum puas sehabis tertawa kembali dia menyem-

protkan kata-kata. "Peri Angsa Putih, kau memang

cantik. Banyak lelaki bisa tertarik padamu. Tapi selain

cantik kau ternyata picik! Apa kau kira begitu mudah

mendapatkan seorang suami berasal dari Negeri La-

tanahsilam? Atau kau memang sudah siap menerima

kutuk para Peri dan para Dewa. Seperti yang dialami

Luhmintari dan Lahambalang yang melahirkan bayi

pembawa malapetaka si Hantu Jatilandak itu? Hik...

hik... hik! Rupanya memang bakal ada satu Peri lagiyang akan menerima kutuk laknat! Dan kaulah mah-

luknya!" Kembali Luhrinjani keluarkan tawa panjang.

 "Mahluk roh busuk jahanam!" teriak Peri Angsa

Putih. Amarahnya tak terkendalikan lagi. Dari dua bola

matanya menyambar sinar biru ke arah Luhrinjani.

Tapi orang yang diserang telah lebih dulu berkelebat

lenyap seolah sirna ditelan dinding kamar. Yang ter-

tinggal hanya suara tertawanya. Dua larik sinar biru

yang tidak mengenali sasarannya melabrak sebagian

pintu dan dinding kamar hingga hancur berantakan

dan kepulkan asap biru.

 Peri Angsa Putih sadar lalu bingung sendiri me

lihat apa yang telah dilakukannya. "Celaka.... Kamar

Peri Bunda kubuat rusak. Sebentar lagi para Peri akan

datang ke tempat ini. Aku harus segera pergi sebelum

mereka muncul!"

 Peri Angsa Putih segera berkelebat ke arah pintu

yang jebol. Tapi dia ingat sesuatu. Cepat dia mendekati

jambangan rotan lalu mengambil dua kuntum mawar

beracun. Bunga-bunga ini digulungnya dibalik pakaian

putihnya lalu dengan cepat dia tinggalkan tempat itu.

Ketika enam orang Peri berpakaian serba merah di

bawah pimpinan Peri Sesepuh yang luar biasa gemuknya 

itu sampai di kamar tersebut, Peri Angsa Putih tak ada 

lagi disitu.

 Peri Sesepuh usap mukanya yang putih gembrot

dan selalu keringatan. Dia memandang berkeliling.

"Wahai, gerangan apa yang terjadi di tempat ini? Mana

Peri Bunda? Aku mencium bau harum. Pertanda ada

seseorang memasuki kamar ini sebelumnya...." Peri

gemuk berpakaian merah dan memiliki bulu ketiak

panjang berserabutan itu memandang pada anak

buahnya. Lalu memberi perintah. "Lekas selidiki apa

yang terjadi! Cari Peri Bunda sampai dapat!"


DELAPAN


KAKEK berpenampilan dahsyat di puncak bukit batu 

yang menghadap ke laut itu hentikan samadinya. 

Telinganya menangkap suara kaki-kaki berlari di 

kejauhan. Matanya yang tadi terpejam dibuka sedikit.

 "Ada dua orang yang berlari. Mudah-mudahan

mereka..." membatin si kakek. Orang tua ini 

mengenakan sehelai jubah putih. Rambutnya panjang di 

sebelah belakang, melambai-lambai ditiup angin laut 

Yang dahsyat dari manusia ini adalah kepalanya. Dia 

memiliki otak yang terletak di luar kepala, antara kening

dan ubun-ubun. Otak ini diselubungi oleh sejenis benda 

atos berbentuk kening sehingga otak yang bergerak 

berdenyut-denyut itu bisa dilihat dengan jelas!

 "Kakek Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab! Kami

datang!"

 Kesunyian yang hanya dibayangi suara halus tiupan 

angin laut di tempat itu dipecah oleh dua seruan

perempuan berseru berbarengan.

 Kakek yang tengah bersamadi gerakkan kepalanya. 

Begitu dia membuka sepasang matanya lebih besar, dua 

gadis berparas cantik, sama-sama mengenakan pakaian 

putih dan sama-sama berambut pirang tahu-tahu telah 

berlutut di hadapannya.

 "Cucuku Luhkemboja dan Luhkenanga. Lama aku

menunggu akhirnya kalian datang juga. Apakah kalian

berhasil melaksanakan tugas. Mendapatkan benda

yang aku inginkan?"

 Dua gadis cantik yang bukan lain adalah Sepasang

Gadis Bahagia tundukkan kepala lalu sama-sama men-

jawab. "Berkat petunjukmu kami berhasil mendapat-

kannya." Ternyata dua gadis kembar ini adalah cucu-

cucu dari tokoh paling terkemuka di Negeri Latanah-

silam yakni yang dikenal dengan julukan Hantu Sejuta

Tanya Sejuta Jawab.

 Tidak menunggu lebih lama gadis bernama Luh-

kemboja segera keluarkan tongkat batu biru dari balik

pakaiannya lalu diserahkan pada si kakek.

 Hantu Sejuta Tanya menyambut benda itu dengan

wajah berseri-seri dan mata berkilat-kilat. Tongkat batu

diusapnya berulangkali. "Tongkat Bahagia Biru..." kata

si kakek perlahan menyebut nama tongkat itu. "Akhirnya 

kau kembali juga ke tanganku."Luhkemboja dan Luhkenaga saling melontar pandang. 

Kini mereka baru tahu kalau tongkat batu biru itu 

bernama Tongkat Bahagia Biru. Keduanya menduga-duga 

apakah tongkat tersebut ada hubungan atau sangkut 

pautnya dengan Istana Kebahagiaan, pelambang 

Kerajaan Hantu Muka Dua.

 Sebelumnya telah dituturkan bahwa tongkat sakti

ini pernah berada di tangan tokoh berjuluk si Tongkat

Biru Pengukur Bumi yang mayatnya ditemukan oleh

Luhjelita. Ketika Luhjelita menemukan mayat Si Tongkat 

Biru Pengukur Bumi, tongkat tersebut ada di dekat

mayat, lalu di ambil oleh Luhjelita. Si gadis kemudian

menyerahkan tongkat tersebut kepada Pendekar 212.

Lalu belum lama berselang Sepasang Gadis Bahagia

yang memang mendapat perintah dari Hantu Sejuta

Tanya Sejuta Jawab berhasil mengambil tongkat itu

dari tangan Wiro setelah lebih dulu melakukan per-

buatan keji terhadap Luhjelita.

 "Luhkemboja dan Luhkenanga, tidak sia-sia aku

mempunyai cucu seperti kalian. Aku sangat berterima

kasih kalian sudah dapatkan tongkat ini...."

 Waktu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab berkata

Luhkenanga melirik pada kakaknya. Luhkemboja mem-

beri isyarat dengan kedipan mata. Maka Luhkenanga

lantas berucap. "Kek, mataku yang awam melihat

tongkat batu itu biasa-biasa saja. Buruk seperti tiada

berguna. Tetapi agaknya bagimu sangat penting.

Apakah ada sesuatu rahasia atau satu kekuatan sakti

yang terkandung dalam tongkat itu? Yang kami tidak

tahu?"

 Hantu Sejuta Tanya Jawab tersenyum. "Tongkat

buruk ini bagi orang lain tak ada artinya. Tapi bagiku

sangat berharga dan penuh kenangan. Tongkat ini

diberikan oleh seorang sahabat bernama Lasedayu.

Beberapa lama berada di tanganku tongkat dicuri oleh

seorang tak dikenal. Setelah menguasai tongkat ini

dia kemudian menjuluki dirinya sebagai si Tongkat

Biru Pengukur Bumi. Dengan tongkat ini dia 

gentayangan di Negeri Latanahsilam, menebar angkara

muka hingga dia menjadi momok ditakuti. Kemudian

kusirap kabar dia pernah menjadi kaki tangan Hantu

Muka Dua. Namun kemudian konon dia menemui ajal

di bunuh seseorang. Aku sangat berbahagia karena

tongkat pemberian sahabatku ini sekarang telah ber-

ada di tanganku kembali. Jasamu sangat besar. Aku

tidak akan melupakan seumur hidup...."

 "Kau kakek kami, kami cucumu. Pantas sekali

kalau kami berbakti padamu!" kata Luhkemboja.

 Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tersenyum.

Tongkat Bahagia Biru diletakannya di atas pangkuan.

Lalu tangannya kiri kanan mengusap kepala dua gadis

kembar itu.

 "Luhkenanga dan Luhkemboja. Sewaktu kalian

kutugaskan mencari tongkat ini, aku juga telah me-

minta kalian agar menyirap kabar tentang seorang

pemuda asing bernama Wiro Sableng. Apa kalian

berhasil mengetahui dimana dia berada?"

 "Kakek Sejuta Tanya Sejuta Jawab," kata Luhkenanga. 

"Jangan kau terkejut kalau mengetahui justru tongkat itu 

kami rampas dari pemuda asing bernama Wiro Sableng 

itu!"

 Kakek yang otaknya berada di luar kepala itu

tampak terkejut. Dia usap-usap janggut putihnya ber-

ulang kali. "Sungguh tidak kuduga.... Bagaimana tong-

kat ini bisa berada di tangannya. Harap kau mau

menceritakan lebih banyak dan lebih jelas...."

 Luhkemboja lalu menuturkan riwayat pertemuan-

nya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tak lupa dia

juga menerangkan kemunculan Peri Angsa Putih.

 "Wahai, banyak keanehan rupanya terjadi di Ne-

geri Latanahsilam. Menurut kabar yang aku dengar

sebenarnya Peri Angsa Putih sudah sejak lama me-

naruh hati pada pemuda dari negeri seribu dua ratus

tahun mendatang itu. Mengapa kini dia bersekutu

membantu kalian?"

 "Bisa saja terjadi kalau pemuda itu sebenarnya

adalah seorang hidung belang!" kata Luhkenanga.

 "Apa maksudmu cucuku Luhkenanga?" 'anya

Hantu Sejuta Tanya Jawab.

 Luhkemboja dan Luhkenanga lalu mengarang cerita 

bahwa mereka telah memergoki Pendekar 212 dan

Luhjelita tengah melakukan perbuatan mesum di sebuah 

goa di kawasan terpencil.

 Berubahlah wajah tua Hantu Sejuta Tanya Jawab.

Otaknya tampak menggembung lebih besar dan 

berdenyut keras. Berkali-kali kakek ini gelengkan 

kepalanya.

 "Tak bisa kupercaya! Wahai, sungguh tak bisa

kupercaya.... Dua cucuku, kalian menyaksikan sendiri

kejadian itu?" tanya Hantu Sejuta Tanya jawab.

 "Bukan cuma kami Kek," jawab Luhkenanga. "Peri

Angsa Putih juga ikut melihat karena kebetulan dia

berada di sana!"

 Si kakek hembuskan udara dari dalam mulutnya

seolah menghembuskan hawa panas mengandung

bara api yang membakar perut dan dadanya.

 "Wahai para Dewa. Sungguh tak bisa kupercaya!

Kacau sudah semua rencanaku. Bagaimana aku akanmeneruskan. Pertanda Negeri Latanahsilam tak bisa

diselamatkan! Malapetaka akan melanda negeri ini!

Istana kebahagiaan akan menjadi pusat bahala. Nyawa

akan bertabur dimana-mana. Darah akan menganak

sungai membasahi negeri! Apa yang aku takutkan

kelak akan terjadi! Wahai para Dewa apa yang harus

aku lakukan? Pemuda bernama Wiro Sableng! Wahai,

mengapa yang aku lihat dulu tentang dirimu tidak

sama dengan kenyataan?!" Kembali kakek yang otaknya 

berada di luar kepala itu menggeleng berulang kali. 

Wajahnya yang keriput tampak memucat penuh kecewa.

 Luhkemboja dan Luhkenanga saling bertukar pandang 

mendengar ucapan Hantu Sejuta Tanya Jawab yang tidak 

mereka mengerti itu.

 "Kek, kalau kami boleh bertanya apa maksud

semua ucapanmu tadi?" bertanya Luhkemboja.

 Sang adik menyambung. "Kau punya rencana. Tapi 

kacau katamu. Rencana apa Kek? Malapetaka apa yang 

akan menimpa Negeri Latanashilam? Ada apa dengan 

Hantu Muka Dua di Istana Kebahagiaan? Apa dia yang 

akan jadi biang racun rencana di negeri ini?"

 Luhkemboja kembali membuka mulut. "Kek, tadi

kau berucap sepertinya dulu pernah menyirap diri Wiro

Sableng dan apa yang akan terjadi di masa mendatang.

Lalu kau melihat kenyataan lain.... Kek, agaknya kau

punya satu rencana besar yang tidak pernah kami

ketahui. Kau merahasiakan sesuatu!"

 "Cucu-cucuku, maafkan diriku. Perasaan hati dan

tubuhku mendadak tidak enak. Aku berterima kasih

kalian telah mendapatkan tongkat ini. Namun harap

dimaafkan. Harap kalian suka meninggalkan aku se-

orang diri. Aku ingin bersamadi kembali. Mungkin satu

hari suntuk. Mungkin berhari-hari sampai satu minggu.

Tergantung petunjuk yang aku dapat dari para Dewa..."

 "Kek, jika kami dapat membantu...." kata Luh-

kemboja pula.

 Hantu Sejuta Tanya Jawab gelengkan kepala. "Te-

rima kasih, kurasa saat ini tak ada seorangpun yang

bisa menolongku. Karenanya aku perlu mendekatkan

diri pada Yang Kuasa...."

 Luhkemboja dan Luhkenanga saling pandang se

ketika. Lalu ke dua gadis kembar ini sama-sama mem-

bungkuk memberi hormat Setelah itu keduanya se-

gera tinggalkan tempat itu.

 Tak lama setelah dua gadis itu berlalu Hantu Sejuta

Tanya Jawab ambil Tongkat Bahagia Biru dari atas

pangkuannya. Tongkat dipegangnya dengan ke dua

tangannya. Dia membaca satu mantera pendek. Dari

telapak tangan kiri kanannya mengepul asap biru pekatdan menebar bau harum. Si kakek gerakkan tangan-

nya, membuat gerakan berputar. Yang kiri didorong

ke arah depan, yang kanan ditarik ke belakang. Se-

harusnya tongkat batu itu akan berputar. Tetapi hal

itu tidak terjadi. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab baca

kembali manteranya. Sampai tiga kali. Lalu dua tangan-

nya diputar kuat-kuat

 "Kraaakkkk!"

 Tongkat batu biru patah dua!

 Sepasang mata si kakek membeliak besar per-

hatikan tongkat yang patah. Masih kurang percaya dia

dekatkan tongkat itu ke matanya, memeriksa ujung-

ujung yang patah.

 "Palsu!" teriak si kakek tiba-tiba. "Kurang ajar!

Dua gadis celaka itu pasti telah menipuku!"

 Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tancapkan dua

patahan tongkat batu ke batu hitam di atas mana dia

duduk. Dua patahan tongkat amblas ke dalam batu

sampai dua pertiganya!

 "Luhkemboja! Luhkenanga! Kalian berada di

mana?! Lekas kembali ke sini!" teriak si kakek.

 Jawaban yang diterimanya hanyalah gema suaranya 

yang kemudian pupus ditelan hembusan angin laut

Tapi perlu apa aku mencari kebenaran? Hanya untuk

membela pemuda berhati keji itu? Bukankah lebih baik

aku memencilkan diri bersunyi diri di satu tempat?

Biarlah terjadi apa yang akan terjadi! Kelak semuanya

akan selesai dengan sendirinya."

 "Peri Angsa Putih! Kami sahabatmu datang!"

 Peri Angsa Putih terkejut Ada orang berseru

memanggilnya. Dia cepat berpaling dan dapatkan

Naga Kuning serta Si Setan Ngompol sudah berada

di sampingnya.

 "Hemm... Kalian...." Hanya itu ucapan yang keluar

dari mulut sang Peri. Dalam keadaan seperti itu, apalagi

Naga Kuning dan Si Setan Ngompol adalah sahabat-

sahabat Wiro yang kini dibencinya, Peri Angsa Putih

bersikap seperti tidak acuh. Dalam hati dia berkata.

"Kalau Wiro bersifat sekeji itu, dua sahabatnya ini

walau satu masih bocah dan lainnya sudah kakek-

kakek, keduanya pasti bangsa bajingan juga! Aku tidak

lagi bisa mempercayai orang-orang dari negeri seribu

dua ratus tahun mendatang itu! Ternyata mereka jahat

busuk semua!"

 "Peri Angsa Putih, apakah kau baik-baik saja

selama ini?" bertanya Si Setan Ngompol.

 Peri Angsa Putih pandangi wajah kakek itu. Dia

tidak mau menjawab. Sebenarnya dia merasa heran

dan ingin bertanya sewaktu melihat si kakek tidak lagimempunyai daun telinga sebelah kanan. Tapi karena

sedang kalut ditambah mendadak saja timbul rasa

benci terhadap dua sahabat Wiro ini maka Peri Angsa

Putih tidak ajukan pertanyaan.

 "Wahai, kau diam saja!" berkata Naga Kuning.

"Melihat wajahmu yang murung agaknya ada sesuatu

yang menjadi ganjalan hatimu."

 "Apapun yang sedang kurasa dan kualami, semua

bukan menjadi urusan kalian...."

 Mendengar kata-kata sang Peri Naga Kuning dan

si kakek jadi sama-sama saling pandang. Si bocah

berbisik. "Tidak biasanya dia seperti ini. Mengapa

berubah jadi ketus dan tak acuh pada kita?"

 Si Setan Ngompol sesaat diam saja. Lalu dengan

suara perlahan dia berkata. "Naga Kuning, memang

kita tidak boleh mengganggu orang yang sedang kalut.

Urusan orang jangan dijadikan urusan kita." Lalu pada

Peri Angsa Putih si kakek berkata. "Peri, kami tidak

berniat mengganggumu. Kami tidak berkeinginan

mencampuri apapun yang jadi urusanmu. Kami ke-

betulan lewat di sini dan melihatmu sendirian. Karena

kita bersahabat itu sebabnya kami mendatangi dan

bertegur sapa. Kami tadinya ingin menanyakan apakah

kau mengetahui dimana beradanya sahabat kami Pen-

dekar 212 Wiro Sableng."

 "Pemuda itu, aku tak tahu dia berada di mana.

Kalaupun tahu rasanya bukan menjadi urusanku...."

 Naga Kuning dan Setan Ngompol kembali saling

berpandangan. "Kenapa dia jadi ketus judes begini...?"

Bisik si bocah.

 "Jangan-jangan si sableng itu telah menyakitinya.

Pasti terjadi sesuatu antara mereka!" jawab Si Setan

Ngompol.

 "Kalaupun itu betul, itu urusan dia dengan Wiro.

Tidak selayaknya dia bersikap seperti ini terhadap

kita!" tukas Naga Kuning.

 "Kalian mencari Wiro?" Tiba-tiba Peri Angsa Putih

bertanya. Di wajahnya kelihatan seulas senyum. Naga

Kuning dan Setan Ngompol jadi lega. Tapi hanya

sesaat. Karena di lain kejap senyum itu lenyap dan

sang Peri berucap. "Jika ingin tahu dimana sahabat

kalian itu berada, tanyakan pada kekasihnya, Luh-

jelita!"

 "Eh, sejak kapan Luhjelita jadi kekasih sahabat

kami?" tanya Naga Kuning. Sementara Setan Ngompol

bengong tak mengerti.

 "Jangan pura-pura tidak tahu. Kalian bertiga pasti

sama saja! Muncul di Negeri Latanashilam untuk men-

cari gadis-gadis menghibur diri secara keji! Kami disini bukan gadis-gadis barang mainan!"

 "Astaga." Si Setan Ngompol sampai tersentak

mendengar kata-kata Peri Angsa Putih itu. Kencingnya

yang sejak tadi ditahan-tahannya langsung muncrat.

 "Jangan-jangan Wiro telah melakukan sesuatu

pada Peri ini. Mungkin sudah dipeluk atau diciumnya!"

 "Mungkin juga sudah digerayanginya!" sambung

Si Setan Ngompol.

 "Gila! Dia enak-enakan dapat anak orang, kita

berdua yang dapat dampratan! Kek, mari kita tinggal-

kan tempat ini. Tapi biaraku mengatakan sesuatu dulu

pada Peri ini agar dia tahu rasa!" Habis berkata begitu

si bocah memandang pada Peri Angsa Putih dan

berkata. "Peri cantik bermata biru! Apapun urusanmu

dengan Wiro bukan urusan kami! Apapun urusan Wiro

dengan Luhjelita, juga urusanmu dengan Luhjelita,

bukan pula urusan kami! Tapi satu hal aku beritahu

padamu! Waktu di tanah Jawa ada lusinan gadis

tergila-gila pada Wiro. Mereka semua mengasihi sa-

habatku itu! Kecantikan mereka tidak kalah dengan

kau! Jangan kau merasa paling cantik karena punya

sepasang mata biru. Di tanah Jawa juga ada seorang

gadis bernama Ratu Duyung, memiliki mata lebih biru

dan lebih bening dari kau! Memiliki kecantikan yang

tidak kalah dengan kau! Lalu masih ada segudang

gadis cantik lainnya. Biar aku sebutkan nama mereka

satu persatu. Pandansuri! Anggini! Bidadari Angin

Timur. Yang satu ini memiliki rambut bagus pirang,

tubuhnya tak kalah harum semerbak dengan dirimu!

Banyak lagi gadis-gadis lain yang tergila-gila pada

Wiro. Tapi Wiro memperlakukan mereka sebagai sa-

habat dengan hati tulus! Tidak pernah dia berhati culas

memanfaatkan kasih orang untuk dijadikan barang

permainan seperti katamu tadi! Kalau dia ingin berlaku

serong mengapa dilakukannya di tanah brengsek ini? 

Di tanah Jawa banyak gadis yang bersedia menyerah-

kan dirinya secara pasrah! Tapi dia tidak mau me-

lakukannya! Aku tidak tahu apakah kau masih perawan

atau tidak! Tapi sahabatku itu aku tahu betul! Sampai

saat ini dia masih bujang!"

 Peri Angsa Putih terbelalak ternganga mendengar 

kata-kata Naga Kuning itu. Wajahnya merah sampai ke 

telinga. Tubuhnya tidak bergerak barang sedikitpun.

 "Kau dengar baik-baik Peri Angsa Putih!" Naga

Kuning menyambung ucapannya. "Sebenarnya kami

tidak ingin menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam

ini! Kalau bukan kami tersesat siapa sudi! Negeri kami

di tanah Jawa jauh lebih indah! Orangnya ramah-

ramah. Kalian di sini apa! Pakaian saja tidak karuan!Sebagian dari kalian bertubuh bau! Malah banyak yang

tidak pernah mandi-mandi! Kita pernah bersahabat!

Tapi sikap dan ucapanmu barusan sangat merendah

kan diri kami dan sahabatku Wiro Sableng!"

 Habis berkata begitu Naga Kuning tarik tangan Si

Setan Ngompol mengajaknya pergi dari tempat itu.

Sambil melangkah mengikuti si bocah dengan celana

kuyup oleh kencingnya sendiri si kakek berkata. "Anak

geblek! Perlu apa kau memberi tahu nama gadis-gadis

yang tergila-gila pada Wiro itu. Peri Angsa Putih tidak

kenal mereka semua!"

 "Kenal atau tidak biar dia tahu rasa! Mungkin dia

merasa cantik sendiri di atas langit dan di kolong bumi

ini! Kalau saja dia bisa datang ke tanah Jawa dia akan

lihat bahwa gadis-gadis di sana banyak yang lebih

cantik dan lebih mulus kulitnya dari dia.... Mentang-

mentang kita orang kesasar enak saja dia mau me-

lecehkan kita! Aku sebenarnya sudah gerah. Ingin

buru-buru angkat kaki dari negeri celaka ini...."

 "Aku juga," menyahuti Setan Ngompol. "Tapi se-

belum daun telingaku sebelah kanan kudapat kembali

bagaimana mungkin aku bisa pergi. Selain itu aku juga

belum bertemu dengan Luhlampiri si nenek yang

membuat hatiku empot-empotan itu!"

 "Jangan jadi kakek tolol! Di tanah Jawa ada ratusan 

nenek lebih montok segar dibanding si nenek peot itu. 

Namanya saja Luhlampiri! Pasti dia turunan nenek 

lampir!"

 "Jangan kau menghina kekasihku itu!" Setan

Ngompol marah.

 Naga Kuning tertawa lalu mencibir. "Tua bangka

itu kenal kau saja belum, bagaimana kau bisa bilang

dia kekasihmu!"

 "Kenal memang belum tapi kami berdua sudah

pernah saling berlirik mata dan berbalas senyum!"

 Naga Kuning tertawa cekikikan. "Lama-lama di

negeri aneh ini kau bisa berubah jadi mahluk aneh.

Sekarang saja tampangmu sudah tidak karuan! Mata

lebar jereng! Kuping cuma satu! Celana kuyup bau

pesing! Kek, apa hari ini kau sudah mandi?!"

 "Anak sialan! Jangan sampai kuremas kantong

menyanmu!" teriak Setan Ngompol marah. Tangan

kanannya tiba-tiba menyelonong ke bawah perut Naga

Kuning. Si bocah cepat melompat selamatkan diri

seraya berteriak.

 "Kek! Baru satu hari kau kenal pemuda banci

bernama Si Binal Bercula itu, kini kau sudah ketularan

senang memegang bagian terlarang!"

 "Bocah setan! Kurobek mulutmu!" teriak SetanNgompol marah. Dia mengejartapi Naga Kuning sudah

menghambur lari sambil tertawa cekikikan. (Mengenai

tokoh banci berjuluk Si Binal Bercula harap baca

Episode berjudul "Hantu Muka Dua")

 *

 * *

 HANYA sesaat setelah Naga Kuning dan Setan

Ngompol tinggalkan pedataran tinggi itu, Peri Angsa

Putih merasa sekujur tubuhnya lemas. Dia terduduk

di tanah. Wajahnya mengelam dan air mata tak kuasa

dibendungnya. Dia mulai menangis sesengukan.

Ucapan Naga Kuning sangat memukul sanubarinya.

Hatinya seperti disayat-sayat.

 "Ucapan anak itu mungkin betul. Tapi...." Peri

Angsa Putih tutupkan dua tangannya ke wajah dan

menangis keras. Tiba-tiba hidungnya membaui se

suatu. Dia turunkan dua tangan, memandang ber-

keliling. Ketika dia mendongak ke atas, di langit di-

lihatnya ada satu bayangan biru berkelebat rendah

menuju ke arah barat dimana saat itu sang surya yang

hendak tenggelam menyaput langit dengan cahayanya

yang merah keemasan.

 "Peri Bunda...." desis Peri Angsa Putih. "Dia turun

lebih dulu dari aku. Mengapa baru sampai di sekitar

sini. Wahai, kulihat dia berputar-putar di sebelah sana.

Itu arah Gunung Latinggimeru. Agaknya ada sesuatu

yang tengah diperhatikannya di sekitar situ. Bukankah

dia mengatakan padaku hendak mencari dan menemui

Wiro? Jangan-jangan dia sudah membayangi pemuda

itu. Apa yang harus aku lakukan...?"

 Peri Angsa Putih memandang ke arah barat. Saat

itu dilihatnya sosok biru Peri Bunda tengah menukik

ke bawah, ke arah selatan gunung lalu lenyap dari

pemandangan.

 "Aku harus mengintai ke sana..." kata Peri Angsa

Putih lalu bangkit berdiri. "Kawasan selatan itu adalah

daerah berbatu-batu berbentuk aneh. Jarang orang

datang ke sana. Mungkin ada seseorang yang me-

nunggunya di sana?"

 Peri Angsa Putih cepat melangkah ke tempat dia

meninggalkan Laeputih, angsa putih raksasa tung-

gangannya. Sesaat kemudian kelihatan Peri itu telah

melayang di udara menunggangi angsa putihnya. Dia

sengaja menempuh arah berputar agar tidak terlihat

oleh Peri Bunda.Di atas punggung angsa tunggangannya Peri

Angsa Putih keluarkan dua mawar kuning beracun

dari balik lipatan pakaiannya. "Peri Bunda...." desis

nya. "Jadi kau rupanya.... Sungguh aku tidak percaya....

Mengapa Peri Bunda? Mengapa kau lakukan itu? Apa

dosa pemuda itu terhadapmu?"


SEPULUH


PENDEKAR 212 Wiro Sableng berdiri di atas kepingan 

batu besar berbentuk perahu tertelungkup itu. Jauh di 

sebelah utara menjulang Gunung Latinggimeru.

 "Kawasan aneh..." membatin murid Sinto Gendeng. 

"Batu-batu yang ada di sini semuanya berbentuk ganjil. 

Mengapa Luhjelita meminta aku datang ke bukit batu 

ini?" Agak jauh di sebelah sana ada tiga buah batu 

berbentuk tiang. Ujungnya lancip runcing seolah hendak 

menusuk langit Sang pendekar ingat. "Itu tiga batu yang 

dikatakan Luhjelita. Di situ dia akan menemuiku." 

(Mengenai perjanjian bertemu antara Wiro dengan 

Luhjelita harap baca Episode sebelumnya berjudul "Hantu 

Langit Terjungkir")

 Memandang ke arah barat Wiro melihat matahari

sedang menggelincir ke titik tenggelamnya. "Malam

masih agak lama. Rembulan belum tentu cepat muncul. 

Apakah benar dugaanku bahwa malam ini malam bulan 

purnama penuh seperti yang dikatakan Luhjelita?" Saat 

itu Wiro mendadak ingat pada pertemuannya terakhir 

sekali dengan Luhcinta beberapa waktu lalu. "Aku 

sempat berkata padanya bahwa aku tidak mencintai 

Luhjelita ataupun Peri Angsa Putih. Mungkin aku terlalu 

tolol! Mengapa aku sampai berucap begitu? Bisa-bisa dia 

salah menduga dan salah mengharap. Tapi kalau 

kubanding-banding sifat budi pekertinya, cara dia bicara, 

semuanya sangat berbeda dengan sang Peri maupun 

Luhjelita. Aku punya kesan dia mencurigaiku berbuat 

mesum dengan Luhjelita. Tapi sikapnya tetap tidak 

berubah, bicaranya tetap lembut. Dia seperti tidak 

membenciku sama sekali. Mungkinkah dia gadis yang 

dimaksudkan si Hantu Raja Obat dan Luhrinjani? Gila! 

Tak berani aku menduga! Aku masih dijerat urusan gila! 

Dipermalukan sepasang gadis kembar sialan itu! Semua 

orang di Negeri Latanahsilam pasti sudah tahu cerita gila 

itu!"

 Selagi Wiro tegak di atas batu dan berpikir-pikir

seperti itu tiba-tiba dia melihat satu cahaya biru me-

lesat di udara. Tak lama kemudian cahaya ini menukik

ke bawah. Hawa harum menebar di Seantero bukit

batu. Seorang perempuan berkulit putih bagus, ber-

wajah cantik anggun tahu-tahu telah tegak di hadapan

Pendekar 212.Murid Sinto Gendeng tentu saja terkejut ketika dia

mengenali siapa yang berdiri di depannya. Dalam hati

dia membatin.

 "Lain yang dinanti lain yang datang. Lain yang

dicari lain yang unjukkan diri!"

 Namun sambil tersenyum dan garuk-garuk kepala

murid Sinto Gendeng menyapa.

 "Peri Bunda...."

 "Aku gembira kau masih mengenaliku walau jarang 

kita bersua...." kata si baju biru yang bagian bawahnya 

panjang menjela-jela yang memang Peri Bunda adanya.

 "Siapa yang bisa melupakan seorang Peri cantik

sepertimu. Yang konon adalah Peri Junjungan Dari

Segala Junjungan. Simpul Agung Dari Segala Peri...."

 Peri Bunda tertawa senang. "Hatiku gembira men-

dengar kau menyebut semua itu wahai pemuda ber-

nama Wiro Sableng. Datang dari negeri seribu dua

ratus tahun mendatang menyandang gelar Pendekar

Kapak Maut Naga Geni 212. Lebih gembira lagi karena

aku bisa menemui lebih cepat dari yang aku duga...."

 "Ini memang pertemuan yang tidak terduga, Peri

Bunda. Hanya sayang sebentar lagi malam akan turun.

Tempat ini pasti akan diselimuti kegelapan. Kecuali...."

 "Kecuali bulan purnama penuh muncul menerangi

jagat," sambung Peri Bunda sambil melayangkan se-

nyum. "Lagi pula, terus terang saat pertemuan ini aku

lebih suka jika udara malam yang gelap mau mem-

bantu. Hingga kita disini tidak terlihat siapa-siapa...."

 Saat itu pantulan cahaya sang surya yang hendak

tenggelam jatuh di wajah Peri Bunda hingga parasnya

kelihatan cantik sekali, membuat murid Sinto Gendeng

dari Gunung Gede ini jadi terpesona.

 Dalam hati Wiro bertanya-tanya apa maksud sang

Puteri bahwa dia lebih suka udara malam yang gelap

hingga tidak ada yang melihat mereka berdua di ka-

wasan bukit batu aneh itu.

 "Peri Bunda, apakah kau memang sengaja mencari 

diriku?"

 Sang Peri anggukkan kepala. "Ada yang ingin

kubicarakan denganmu. Pembicaraan ini cukup pan-

jang. Mari kita memilih tempat duduk yang enak...."

 Wiro jadi merasa tidak enak. "Bagaimana kalau

sebelum pembicaraan selesai tahu-tahu Luhcinta

muncul?"

 "Hai, parasmu sesaat terlihat gelisah. Apakah

kehadiranmu di tempat ini tengah menunggu sese

orang?" bertanya Peri Bunda.

 Wiro garuk-garuk kepala. "Aku menunggu dua

orang sahabatku. Naga Kuning dan Si Setan Ngompol.Kami berjanji bertemu di bukit batu ini," kata Wiro

berdusta. Lalu dia memandang berkeliling dan berkata.

 "Batu panjang tempat aku berdiri ini cukup baik

untuk tempat kita duduk berbicara. Kau duduk di

sebelah sana, aku di ujung sini."

 Sang Peri mengangguk tanda setuju. Keduanya

lalu duduk di atas batu panjang berbentuk perahu

tertelungkup itu. Peri Bunda menggeser duduknya,

sengaja agak lebih dekat dengan Wiro. Hal ini membuat

sang pendekar kembali bertanya-tanya dalam hati.

 "Peri Bunda, kau bisa mulai. Hal apakah yang

hendak kau bicarakan?"

 "Wahai, bagaimana aku harus memulai. Ujung

yang mana yang hendak aku sibakkan lebih dulu,"

ujar Peri Bunda dan kembali mengulum senyum. "Aku

khawatir jika salah aku mengucap, jika keliru aku

mengambil langkah permulaan kau akan salah menduga 

terhadap diriku...."

 "Aku percaya, maksudmu sengaja mencari diriku

adalah maksud baik semata. Mengapa ragu untuk

memulai?" ujar Wiro pula. Dalam hati dia berkata.

"Jangan-jangan Peri ini mencariku ada sangkut paut-

nya dengan urusan gila di goa itu. Bukan mustahil

Sepasang Gadis Bahagia telah menemuinya lalu

mengadukan apa yang terjadi. Edan betul!"

 "Aku gembira kau bisa berkesimpulan baik seperti

itu. Biar aku menggeser dudukku lebih dekat." Sang

Peri lalu bergerak ke kiri hingga jaraknya dengan Wiro

hanya terpisah dua jengkal. Berada sedekat itu murid

Sinto Gendeng seolah dapat mencium keharuman bau

tubuh Peri Bunda sampai ke lekuk-lekuknya yang

tersembunyi sekalipun! "Aneh, mengapa Peri satu ini

berperangai lain sekali?" tanya Wiro dalam hati.

 "Aku sengaja bicara berdekat-dekat begini, bukan

maksud apa-apa," kata Peri Bunda seolah tahu apa

yang ada dalam benak atau hati sang Pendekar. "Ke-

gelapan malam bisa saja memiliki telinga yang dapat

mendengar. Saputan angin mungkin saja merupakan

suara yang menebar jauh ke tempat takterduga. Duduk

berdekatan begini aku bisa bicara lebih perlahan, untuk

menjaga segala kemungkinan."

 Wiro tambah tidak mengerti. Mengapa pembicaraan itu 

seolah satu rahasia besar yang jangankan orang lain tapi 

udara malampun tak boleh mendengarkanya? Dia 

menunggu sampai sang Peri akhirnya melanjutkan

bicaranya.

 "Wahai, sejak beberapa waktu lalu telah tersebar

kabar bahwa kau telah melakukan satu aib besar

terhadap Luhjelita, di satu goa.... Kau tahu, perbuatan

ini bukan saja mencemari Negeri Latanahsilam, tetapi

juga menjadikan satu pemandangan menusuk mata

bagi kami para Peri di Negeri Atas Langit."

 "Dugaanku tidak meleset!" kata Wiro dalam hati.

"Hal sialan itu yang hendak dibicarakannya! Sepasang

Gadis Bahagia, pasti kalian sudah menyebar kabar.

Awas kalian!"

 "Kau hendak mengatakan sesuatu Wiro? Kulihat

bibir dan pelipismu bergerak-gerak." Bertanya Peri

Bunda. Wajahnya ditundukkan sedikit dan dia mem-

perhatikan Wiro dari bawah dengan kepala dimiringkan.

 "Peri Bunda, kalau saya boleh bertanya dari mana

atau dari siapa kau mendapat keterangan bahwa saya

telah melakukan aib besar terhadap Luhjelita?" Wiro

menjawab dengan balas bertanya.

 "Wahai.... Aku ingin menjaga semua yang terbaik.

Karenanya tak perlu kujelaskan dari mana sumber

kabar yang aku terima. Kuharap kau tidak kecewa..."

jawab Peri Bunda.

 "Kalau kau tak mau memberitahu tak jadi apa.

Tapi saya sudah bisa mengira, siapa biang racun

penyebar fitnah itu," kata Wiro pula. "Sekarang ingin

saya mengetahui, apakah kau mempercayai hal itu?"

 "Setiap hal yang disertai kenyataan dan saksi

hidup tidak dapat dikatakan sebagai fitnah...."

 Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai. "Kenyataan 

bisa dibuat diciptakan oleh orang yang tidak senang 

terhadap seseorang. Apapun alasannya. Saksi hidup bisa 

saja memberikan kesaksian salah atau kesaksian palsu 

apapun alasannya. Saat ini kita berdua-dua di sini. Jika 

kemudian hari tersebar kabar bahwa kita telah berbuatu 

sesuatu yang memalukan di tempat ini, bagaimana 

perasaan dan tanggapanmu Peri Bunda...."

 Saat itu sang surya telah tenggelam. Udara mulai

gelap. Namun Wiro dapat melihat bagaimana wajah

sang Peri bersemu merah mendengar kata-katanya

barusan.

 "Jadi kau menyangkal telah melakukan perbuatan

itu?"

 "Saya menyangkal karena di dalam goa memang

saya tidak melakukan perbuatan seperti dituduhkan

itu. Saya tidak berbuat apa-apa, kecuali menolong

gadis bernama Luhjelita itu. Kalau kau suka men-

dengar akan saya ceritakan apa yang sebenarnya

terjadi...."

 "Wahai.... Bagaimana kalau kukatakan bahwa Peri

Angsa Putih ikut melihat apa yang kau lakukan ber-

sama Luhjelita."

 "Bisa saja dia memang melihat kami berdua. Tapiapa yang dilihatnya? Ketika saya masuk ke dalam goa,

gadis bernama Luhjelita itu memang sudah tidak dalam

keadaan berpakaian. Dia telah menjadi korban ke-

bejatan...."

 "Tunggu dulu wahai pemuda bernama Wiro. Peri

Angsa Putih tidak mungkin berdusta..." memotong

Peri Bunda.

 "Saya tidak mengatakan dia berdusta. Mungkin

sekali dia hanya melihat ekor dari satu kejadian. Dia

tidak melihat permulaan, ketika saya masuk dan me-

nemukan Luhjelita. Ketika saya menolongnya.... Saya

tidak mengerti, mengapa Peri Angsa Putih mempunyai

dugaan serta tuduhan seperti itu. Padahal dia mungkin

hanya melihat sebagian dari kejadian...."

 "Anggaplah Peri Angsa Putih melihat bagian terakhir 

dari apa yang terjadi. Tapi bagaimana dengan dua gadis 

kembar berjuluk Sepasang Gadis Bahagia itu? Mereka 

melihat bagian pertama dari apa yang terjadi!"

 "Peri Bunda, tadi kau menolak memberitahu siapa

sumber yang menebar berita. Kini akhirnya kau meng-

ungkap sendiri. Peri Angsa Putih dan Sepasang Gadis

Bahagia! Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan Peri

satu itu. Dulu dia sangat baik terhadap saya. Banyak

budi pertolongannya yang sangat besar dan tidak

dapat saya balas. Tapi mengenai Sepasang Gadis

Bahagia, saya tahu kalau mereka adalah gadis-gadis

berkelakuan aneh tidak karuan...."

 "Aku tahu siapa mereka. Tapi itu tidak bisa dijadikan 

alasan bahwa mereka menebar fitnah. Api, yang dilihat 

orang jahat dan orang baik dari satu kenyataan pasti 

tidak akan berbeda dan tidak berubah!"

 Pendekar 212 jadi panas hati mendengar ucapan

sang Peri. Maka diapun berkata. "Peri Bunda, hari

sudah gelap. Saya tak ingin lagi meneruskan pem-

bicaraan ini. Jangan sampai saya mendapat fitnah

untuk kedua kalinya di Negeri Latanah silam ini. Negeri

yang saya tahu tidak semua penghuninya merupakan

mahluk-mahluk suci! Saya juga tahu bahwa tidak

semua Peri di atas langit sana agung dan kudus!

Banyak diantara mereka yang telah menempuh hidup

keliru menurut ukuran para Peri. Padahal mereka

hanya sekedar ingin melepaskan diri dari kepalsuan

hidup dan menginginkan harkat mereka sebagai mah-

luk hidup. Saya kasihan melihat nasib seorang sahabat

saya bernama Hantu Jatilandak. Dia adalah korban

kutukan salah kaprah dari para Peri! Dia hidup dalam

keadaan sebagai mahluk mengerikan! Padahal apa

dosanya! Ibunya menjadi patung mengenasksn! Apakah 

perlakuan hidup seperti itu yang hendak dibanggakandan dianggap paling sesuai oleh para Peri di atas langit 

sana? Terus terang saja Peri Bunda. Maukah kau berterus 

terang bahwa jauh di lubuk hatimu kau juga 

mendambakan satu kehidupan wajar yang dijalin cinta 

kasih sesama mahluk bernyawa?"

 Lama Peri Bunda terpana mendengar ucapan

 murid Sinto Gendeng itu. Untuk beberapa saat se-

 pasang matanya sampai tidak berkedip-kedip me-

 mandangi si pemuda. Perlahan-lahan Wiro bangkit

 berdiri. Tapi tiba-tiba Peri Bunda memegang lengan

'sang Pendekar dan berkata. "Jangan pergi dulu. Pem-

 bicaraan kita belum selesai...."

 Wiro merasa adanya kehangatan dalam pegangan

 Peri Bunda. "Aku ingin melakukan sesuatu untuk

 menolongmu," bisik sang Peri.

 "Apa yang hendak kau lakukan Peri Bunda?"

 "Kau tahu, dengan tersebarnya berita aib itu ke-

 adaan dirimu sebenarnya terancam bahaya. Bukan

 mustahil ada pihak tertentu ingin mencelakai dirimu...."

 "Saya memang sudah dicelakai!" kata Wiro pula

 sambil menyeringai.

 "Mungkin juga ada yang berniat jahat hendak

 membunuhmu," ujar Peri Bunda.

 "Itupun sudah dilakukan orang. Secara kasar dan

 secara diam-diam. Terakhir sekali saya pernah hendak

 dibunuh dengan mawar kuning beracun yang kabarnya 

hanya tumbuh di Negeri Atas Langit. Dan saya juga 

sudah tahu siapa pelakunya...."

 "Siapa?" tanya Peri Bunda.

 "Satu diantara dua orang ini. Luhjelita atau Peri

 Angsa Putih!" jawab Wiro.

 "Wiro...."

 "Dan saya punya saksi hidupnya!" kata Wiro

 lagi-lagi sambil menyeringai.

 "Siapa?!" Peri Bunda sangat ingin tahu.

 "Seorang kakek berjuluk Si Pelawak Sinting. Dia

 adalah Si Pelawak Sinting yang palsu!"

 "Kau percaya pada kakek sinting itu?" tanya Peri

Bunda pula.

 "Lagaknya memang sinting. Tapi saya tahu otak

orang tua satu itu lebih cerdik dari ular kepala dua!"

jawab Wiro.

 Peri Bunda menghela nafas dalam. "Wiro," katanya 

perlahan. "Apapun yang barusan aku dengar terucap 

dari mulutmu, saat ini ada satu hal yang ingin

kutanyakan. Aku ingin kejelasan. Apakah kau mencintai 

gadis bernama Luhjelita itu?"

 "Aku tak ingin menjawab pertanyaan aneh itu!" kata 

Wiro. Padahal pada Luhcinta sebelumnya dia pernahmengatakan bahwa dia tidak mencintai Luhjelita.

 "Kau tak mau menjawab tak jadi apa. Bagiku

jawabnya bisa ya bisa tidak." Berkata Peri Bunda

sambil tersenyum dan sampai saat itu tangannya

masih saja memegangi lengan Pendekar 212. "Per-

tanyaanku selanjutnya. Jika seandainya kau benar

tidak mencintai Luhjelita, lalu apakah kau mencintai

kerabatku si mata biru Peri Angsa Putih?"

 Di balik sebuah batu besar, di udara malam yang

gelap karena bulan purnama empat belas hari masih

belum muncul, seorang yang sejak tadi mendekam

mendengar semua pembicaraan itu letakkan dua ta-

ngannya di atas leher, menahan seruan tertahan yang

hampir tersembur. Dua matanya membeliak, mulutnya

ternganga dan sepasang telinganya berusaha dan

ingin sekali mendengar jawaban yang keluar dari mulut

Pendekar 212. Orang ini bukan lain adalah si mata biru

Peri Angsa Putih.

 Peri Bunda yang tadi mengajukan pertanyaan

diam-diam sebenarnya juga ingin sekali mendengar

jawaban Pendekar 212.

 Tanpa diketahui orang ini, satu sosok lain di

kegelapan malam menahan debaran yang menggoncang 

dadanya. Dia juga ingin tahu apa yang akan keluar 

sebagai jawaban dari mulut Wiro. Apakah masih

sama seperti yang dulu pernah didengarnya? Dan

orang ini adalah gadis cantik bernama Luhcinta. Di

samping kiri orang ini, dua orang yang ikut ber-

samanya juga merasa tegang. Salah seorang diantara

mereka bukan lain Naga Kuning adanya, berbisik pada

kawan di sebelahnya yaitu kakek Si Setan Ngompol.

"Kalau salah si sableng itu berucap, sahabat kita ini

bisa seperti disambar petir!"

 Sang kawan menjawab. "Aku tidak mengira kita

akan kedahuluan Peri Bunda. Lebih celaka lagi kalau

Peri Angsa Putih juga sudah ada di sekitar sini!"

 Yang diajak bicara memandang berkeliling. Lalu

berkata. "Orang yang menurut sahabat kita ini katanya

akan muncul di bukit batu ini juga belum kelihatan.

Kalau dia tidak datang urusan bisa tambah ruwet.

Rahasia mawar beracun itu mungkin tidak akan bisa

terungkap."

 "Aku punya firasat gadis itu pasti datang. Luhjelita

memang punya sifat aneh, pandai merayu membuat

lelaki mudah terpikat dan menganggap dirinya dicintai

gadis itu. Tapi untuk urusan seperti ini dia pasti

muncul. Apa lagi namanya sudah babak belur dibuat

sebusuk comberan." kata Setan Ngompol.

 "Kek," Kata Naga kuning pada Setan Ngompol."Menurutmu apa benar Wiro main burung-burungan

dengan Luhjelita?"

 "Bocah geblek! Apa maksudmu main burung-

burungan?!" tukas Si Setan Ngompol.

 Naga Kuning menutup mulut menahan tawa. "Kau

jangan berpura-pura tidak tahu! Kau lebih banyak

pengalaman dariku! Hik...hik...hik!"


SEBELAS



KITA tinggalkan dulu ketegangan yang mulai 

menggantung di bukit berbatu-batu sementara bulan 

purnama masih juga belum memunculkan diri. Langit 

diatas sana masih masih gelap disaput awan. Angin 

bertiup sayup dan dingin.

 Di saat sore menjelang senja di hari yang sama,

dua bayangan putih berkelebat ke arah timur me-

ninggalkan kawasan pantai. Sambil lari dua orang itu

tidak hentinya tertawa cekikikan. Dari tawa mereka

jelas bahwa keduanya adalah perempuan. Ketika akhir-

nya mereka hentikan lari di satu tempat kelihatan

mereka adalah dua gadis cantik berwajah sama. Ter-

nyata mereka bukan lain Sepasang Gadis bahagia,

cucu-cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang

belum lama berselang telah menipu kakek itu.

 "Aku tak habis pikir!" berkata gadis di sebelah kanan 

yaitu Luhkenanga. "Bagaimana mungkin mudah sekali 

kita membohongi orang tua itu! Padahal dia pandai dan 

cerdik luar biasa! Hik... hik!"

 "Kau benar! Kurasa hari ini hari apesnya!" jawab

Luhkemboja sang kakak.

 Mungkin juga! Tapi jangan-jangan orang tua itu

sudah lamur matanya! Hingga tidak bisa membedakan

lagi tongkat yang asli dan tongkat yang palsu!"

 "Malah, jangan-jangan dia juga tidak kenal lagi

pada tongkatnya yang ada di bawah perut!"

 Dua gadis itu tertawa cekikikan. Lalu Luhkemboja

bertanya."Menurutmu apa saat ini dia sudah tahu kalau

kita membohonginya?"

 "Pertanyaanmu itu membuat aku kecut!" berkata

Luhkenanga."Ayo kita lari biar jauh dulu. Nanti kita

berhenti di bukit Tanah Bertengger. Di sana pasti aman.

Kita periksa lagi tongkat ini. Bukankah tadi kita sempat

melihat bagaimana kakek memuntir-muntir tongkat

yang kita berikan? Tapi karena tongkat itu palsu,

akhirnya patah! Aku yakin ada yang tengah diselidikinya. 

Berarti tongkat asli yang ada pada kita menyembunyikan 

sesuatu!"

 Dua gadis kembar itu lalu lari ke arah timur di

mana terdapat sebuah kawasan berbukit-bukit. Bukit

di tempat itu bersusun-susun demikian rupa hingga

diberi nama Tanah Bertengger.Di satu tempat yang mereka rasakan aman, ke-

duanya hentikan lari. Di langit bulan purnama mulai

menyembulkan diri.

 Dari balik pakaiannya Luhkemboja keluarkan Tongkat 

Bahagia Biru. Setelah ditimang-timang lalu dia mulai 

memeriksa.

 Aku yakin tongkat ini menyembunyikan sesuatu.

Kau ingat bagaimana kakek kita memeriksa tongkat

palsu waktu benda itu patah dua? Sayang kita keburu

kabur karena takut. Kalau tidak pasti kita bisa men-

dapatkan lebih banyak kejelasan." Luhkemboja me-

muntir-muntir tongkat yang dipegangnya.

 "Apa yang hendak kau lakukan?" bertanya Luh-

kenanga.

 "Meniru gerakan kakek. Bukan mustahil tongkat

ini sebenarnya terdiri dari dua bagian yang bisa bertaut

dan bisa dipisahkan...."

 Luhkemboja terus memuntir-muntir tongkat batu

berwarna biru redup itu. Namun sampai beberapa lama

dia tidak terjadi apa-apa.

 "Biar aku yang lakukan!" kata Luhkenanga lalu

mengambil tongkat batu dari tangan kakaknya.

 Namun baru sesaat tongkat batu berada dalam

pegangannya sekonyong-konyong ada sambaran angin

datang dari samping. Luhkenanga berseru kaget. Luh-

kemboja yang sempat melihat ada bayangan orang

berkelebat cepat bergerak melakukan sesuatu. Namun

satu kekuatan tenaga yang tidak kelihatan mendorong

tubuhnya, membuat gadis ini terjajar sampai lima

langkah. Sebelum dia bisa mengimbangi diri dan se-

belum Luhkenanga sempat bertindak, bayangan tadi

telah lenyap seolah ditelan keremangan malam yang

walau ada bulan purnama tapi sinarnya terhalang oleh

sekelompok awan gelap.

 "Celaka! Tongkat batu kena dirampas orang!"

Berteriak Luhkenanga.

 Tiba-tiba satu bayangan hitam besar kelihatan di

tanah. Lalu ada suara tawa berat bergelak. Dua dara

kembar cepat berbalik.

 Empat langkah di hadapan mereka tegak satu

sosok tubuh tinggi besar memiliki sepasang mata

angker. Bola matanya tidak berbentuk bundar melain-

kan berupa segitiga memancarkan warna hijau. Yang

luar biasanya orang ini mempunyai kepala dengan

dua wajah. Wajah di sebelah depan berupa wajah

seorang lelaki separuh baya berwarna putih. Sedang

di wajah sebelah belakang berwarna hitam keling.

 "Hantu Muka Dua! seru Luhkemboja.

 "Dia yang mencuri tongkat biru kita!" teriak Luhkenanga.

 Orang bermuka dua yang memang adalah Hantu

Muka Dua tertawa bergelak. "Gadis-gadis cantik! Aku

sudah lama mengincar kalian! Malam ini bakal me-

rupakan malam bahagia bagi kita bertiga!"

 "Makhluk muka dua! Apa maksudmu?!" sentak

Luhkemboja.

 "Kembalikan tongkat itu pada kami!" teriak Luh-

kenanga.

 Hantu Muka Dua kembali tertawa. "Aku tidak

mungkin mengembalikan tongkat batu ini. Benda ini

sudah ditakdirkan menjadi milikku! Tapi jika kalian

memang menginginkan tongkat, aku akan memberi-

kan tongkat lain!" Habis berkata begitu Hantu Muka

Dua menunjuk ke bawah lalu tertawa gelak-gelak.

 “Mahluk jahanam kurang ajar!" maki Luhkemboja.

 "Walau kau punya nama besar dan ilmu setinggi

langit! Jangan kira kami takut padamu! Malam ini akan

jadi malam kematian bagimu! Riwayat Raja Di Raja

Segala Hantu di Negeri Latanahsilam akan berakhir!

Istana Kebahagiaan akan menjadi milik kami Sepasang

Gadis Bahagia!"

 "Hebat sekali ucapan kalian! Tidak ada salahnya

aku menjajagi dulu sampai dimana kehebatan ilmu

kalian. Setelah itu baru aku menjajagi sampai dimana

kenikmatan yang tubuh kalian bisa berikan padaku!

Ha... ha... ha!"

 Dua gadis kembar berteriak marah. Tubuh mereka

lenyap menjadi bayang-bayang dan berkelebat seraya

menghantam ke arah Hantu Muka Dua.

 "Bukkk!"

 "Bukkk!"

 Dua gadis kembar menjerit dan cepat melompat

mundur seraya pegangi lengan mereka yang meng-

gembung merah dan sakit akibat bentrokan lengan

dengan lawan. Hantu Muka Dua sendiri tertawa me-

ngekeh walau diam-diam dia merasa kagum karena

kekuatan dua pukulan sepasang gadis kembar mem-

buat tulang lengannya menjadi nyeri. "Aku harus ce-

pat-cepat melumpuhkan mereka. Kalau tidak bisa-bisa

aku kena dicelakai!"

 Sambil tertawa Hantu Muka Dua maju mendekati

dua lawan. "Dua gadis kembar! Aku tahu selama ini

kalian hanya suka pada makhluk sejenis. Hari ini aku

akan memberi pengalaman baru pada kalian. Bagai-

mana nikmatnya bersenang-senang dengan seorang

lelaki! H... ha... ha! Kalau kalian sudah merasakan,

kalian pasti akan mengekoriku kemana aku pergi!"

 "Hantu keparat!" maki Luhkemboja lalu dia berteriak menyebut jurus serangan yang hendak dilancar-

kannya. "Bahagia Naik Ke Pelaminan!"

 Luhkenanga tidak tinggal diam. Didahuiui teriakan

"Bahagia Menukik Menjebol Pusar Bumi!" gadis ini

melesat ke arah Hantu Muka Dua. Gerakan mereka

hebat sekali. Hampir tak kelihatan. Tahu-tahu kaki

kanan Luhkemboja sudah menghujam ke arah kepala

sedang tinju kanan Luhkenanga menyodok ke perut

Hantu Muka Dua.

 "Hebat... hebat! Kalian memang dua gadis hebat!

Aku senang! Kalian berdua juga pasti hebat di atas

ranjang! Kalian memang pantas kujadikan penghuni

kamar dari Istana Kebahagiaan!"

 "Habis berkata begitu Hantu Muka Dua gerakkan

tangannya kiri kanan.

 "Wuuuttt!"

 "Wuuuttt!"

 Dua larik angin menderu.

 Luhkemboja terpekik sambil pegangi lehernya.

 Luhkenanga juga menjerit. Seperti kakaknya ga-

dis ini juga pegangi lehernya. Tubuh mereka meng-

geliat beberapa kali lalu terhampar terguling di tanah.

Sepasang kaki bagus kedua gadis ini menyentak-

nyentak hingga pakaian mereka tersingkap sampai ke

pinggul. Sesaat kemudian sosok keduanya diam tak

berkutik lagi. Tak bisa bergerak dan tak mampu ke-

luarkan suara. Itulah kehebatan ilmu Menjirat Urat yang

dilancarkan Hantu Muka Dua. Mampu membuat lawan

tak berdaya, semacam ilmu melumpuhkan tanpa me-

nyentuh. Ilmu ini termasuk salah satu ilmu yang di-

rampasnya beberapa waktu lalu dari Lasedayu alias

Hantu Langit Terjungkir.

 "Putih mulus! Ha... ha... ha! Kalian benar-benar

tidak mengecewakan aku!" kata Hantu Muka Dua. Lalu

dia bertepuk tiga kali. Dari kegelapan muncul enam

orang lelaki mengusung sebuah tandu.

 "Naikkan dua gadis ini ke atas tandu. Segera bawa

ke Istana Kebahagiaan! Aku menunggu di sana!"

 Enam anak buah Hantu Muka Dua menjura hormat.

Dengan cepat mereka menaikkan sosok dua gadis

kembar ke atas tandu lalu mengusung ke arah ber-

kelebatnya makhluk berjuluk Hantu Segala Keji, Segala

Tipu, Segala Nafsu itu!


DUA BELAS


SEPASANG daun telinga Hantu Sejuta Tanya Sejuta 

Jawab bergerak-gerak. Dia mendengar suara kaki-kaki 

berlari, banyak sekali dan masih berada di kejauhan.

 "Itu bukan suara lari Luhkemboja dan Luhke-

nanga..." membatin si orang tua yang otaknya berada

di luar batok kepala. "Mereka berjumlah lebih dari

empat orang. Aneh, mengapa mereka tidak segera

menuju ke sini. Tapi berlari berputar-putar di tebing

laut sebelah timur. Aku akan menunggu. Jika mereka

muncul membawa niat jahat akan kuhabisi!"

 Sejak kejadian dua cucunya menipu dirinya dengan 

Tongkat Bahagia Biru orang tua ini selalu diselubungi 

hawa amarah. Dia seperti mau marah melihat siapa saja. 

Tidak heran kalau dia berucap dalam hati seperti itu.

 Suara kaki-kaki yang berlari terdengar makin keras.

 "Mereka mulai mendekat," kata Hantu Sejuta Tanya 

Sejuta Jawab. Tak selang berapa lama kakek ini

melihat satu pemandangan aneh dihadapannya.

 Enam orang lelaki bertubuh besar bertelanjang

dada mengusung sebuah tandu yang ditutupi sehelai

tikar tipis terbuat dari jerami kering berwarna hitam.

Mereka berlari berputar-putar mengelilingi Hantu Se-

juta Tanya Sejuta Jawab yang tengah duduk di satu 

pedataran tinggi menghadap ke laut Setelah mem-

perhatikan sesaat dan enam pengusung tandu seperti 

tidak mau hentikan larinya, hilanglah kesabaran si 

kakek. Dia pukulkan telapak tangan kanannya ke tanah.

 Bukit pasir di tepi laut itu bergoncang seperti di

landa gempa. Debu dan pasir membubung sampai 

setinggi tiga tombak. Enam pengusung tandu ter-

huyung-huyung. Jika mereka tidak segera jatuhkan

diri berlutut niscaya ke enamnya akan jatuh berse-

rabutan di tanah.

 "Enam lelaki sinting kesasar! Pertunjukkan arak-

arakan gila apa yang tengah kalian lakukan?!" mem-

bentak Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.

 Enam orang bertubuh besar penuh otot itu segera

turunkan tandu yang mereka usung dari bahu masing-

masing, diletakkan di tanah. Salah seorang dari mereka

yang bertindak sebagai wakil teman-temannya paling-

kan kepala ke arah si kakek lalu membuka mulut.

 "Kami mendapat perintah, membawa tandu inikepadamu!"

 Anehnya lima orang kawan lelaki yang barusan

 bicara secara bersamaan mengulang ucapan kawan-

 nya tadi. "Kami mendapat perintah, membawa tandu

 ini kepadamu!"

 Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab kerenyitkan

 kening. Otaknya yang tembus pandang berdenyut

 keras. Matanya pandangi enam orang yang berlutut

 di tanah di hadapannya.

 "Siapa yang memberi perintah?!" Hantu Sejuta

 Tanya Sejuta Jawab ajukan pertanyaan.

 "Pendekar 212 Wiro Sableng!' jawab lelaki tadi.

 Lima kawannya mengikuti.

 "Pendekar 212 Wiro Sableng!"

 "Hah! Siapa?!"

 "Pendekar 212 Wiro Sableng! Pemuda asing dari

negeri seribu dua ratus tahun mendatang!"

 Seperti tadi lima pengusung tandu lainnya meng-

ulangi ucapan temannya. "Pendekar212 Wiro Sableng!

Pemuda asing dari negeri seribu dua rarus tahun

mendatang!"

 "Kalian jahanam semua!" Hantu Sejuta Tanya

Sejuta Jawab membentak. "Apa kalian kira aku tuli

hingga bicara diulang-ulang seperti itu?!"

 "kami hanya menjalankan perintah dari Wiro

Sableng!"

 "kami hanya menjalankan perintah dari Wiro

Sableng!"

 "Aku tak ingin kalian bicara diulang-ulang! Jika

kalian berani berlaku seperti itu satu peratu akan

kupatahkan leher kalian!"

 Enam orang lelaki tidak menjawab, hanya me-

mandang pada si kakek. Si kakek sendiri menatap ke

arah usungan. Dari apa yang dilihatnya dia maklum

ada sesuatu di atas tandu dibawah hamparan tikar

tipis hitam yang menutupinya. *

 "Apa yang ada di bawah tikar di atas tandu itu?!"

Hantu Sejuta Tanya bertanya.

 "Silahkan membuka tikar dan melihat sendiri!"

 "Silahkan membuka tikar dan melihat sendiri!"

Lima lelaki bertelanjang dada seperti tadi mengikuti

ucapan temannya.

 Kesabaran Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab sir-

na. Tubuhnya dimiringkan condong ke depan. Entah

kapan tangannya bergerak tahu-tahu kraaakkk! Salah

seorang dari enam lelaki pengusung tandu terkapar

di tanah dengan leher patah! Lima temannya mem-

beliak marah tapi tidak berani melakukan sesuatu.

 "Siapa yang mau jadi korban ke dua? Silahkan bicara diulang-ulang!" kata Hantu Sejuta Tanya Sejuta

Jawab pula. Lalu keluarkan suara menggereng dari

tenggorokkannya.

 Lima lelaki pengusung tandu tidak menjawab.

 "Aku perintahkan salah satu dari kalian segera

menyibakkan tikar hitam!" membentak si kakek.

 Salah seorang dari lima lelaki ulurkan tangan

kanan.

 "Bettttt!"

 Tikar hitam jerami kering tersingkap lalu dilempar-

kan ke udara, melayang jatuh ke arah pantai.

 Dua mata Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mem-

beliak. Dari mulutnya menggembor teriakan dahsyat.

Sekali bergerak tubuhnya melesat ke udara setinggi

dua tombak. Ketika turun ke tanah, dua kakinya amblas

masuk ke dalam tanah sampai pergelangan kaki.

 Di atas tandu menggeletak dua sosok tubuh gadis

yang nyaris tidak tertutup apa-apa. Sepasang mata

mereka mendelik. Sebatang tongkat batu berwarna

biru melintang di dada salah seorang gadis ini

 "Cucuku!" teriak si kakek. "Luhkemboja! Luh-

kenanga!"

 Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendekati tan-

du. Dia membungkuk memeriksa dan dapatkan dua

gadis di atas tandu masih bernafas dan berada di-

bawah satu kekuatan aneh yang melumpuhkan. Ke-

adaan mereka mengenaskan sekali. Dari tanda-tanda

yang ada di aurat mereka si orang tua maklum kalau

dua cucunya ini telah dirusak kehormatannya secara keji.

 "Biadab! Siapa yang melakukan perbuatan keji

ini?!" teriak Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tangan

kirinya menyambar. Laki-laki di samping kiri dijambak

lalu diangkat ke atas. Tangan kanannya menghantam.

 "Praakkkk!"

 Tulang muka lelaki itu melesak hancur. Darah

muncrat. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab bantingkan

sosok yang sudah jadi mayat itu. Lalu dia menjambak

lelaki berikutnya. Takut setengah mati dan tak mau

jadi korban keganasan si kakek orang ini segera

membuka mulut.

 "Yang melakukan adalah pendekar 212 Wiro

Sableng!"

 Tidak seperti tadi, kini lelaki-lelaki lainnya tidak

mengulangi ucapan kawannya itu.

 Bergetar sekujur tubuh Hantu Sejuta Tanya Sejuta

Jawab. "Dia memperkosa dua cucuku! Lalu menyuruh

kalian membawa gadis-gadis ini ke sini?! Begitukah

hah?!"

 Empat lelaki pengusung tandu anggukan kepala."Manusia jahanam! Kenalpun aku tidak! Bertemu

muka belum pernah! Mengapa dia berbuat sekeji ini

pada dua cucuku!"

 Lelaki di samping tandu sebelah kiri menjawab.

"Menurut Wiro,dua cucumu telah mencuri tongkat batu

berwarna biru. Wiro berusaha mendapatkannya kem-

bali dan menghadang dua gadis itu di satu tempat.

Dia mendapatkan tongkat sakti kembali tapi ternyata

palsu. Wiro lalu menghajar dan memperkosa dua gadis

ini. Menurut Wiro dua gadis ini punya kelainan menebar

aib dan kekejian dimana-mana. Jadi pantas menerima

hukuman berat dan diperlakukan secara keji pula! Lalu

kami disuruhnya mengantarkan sosok-sosok mereka

padamu!"

 "Dimana pemuda asing itu sekarang?!" tanya si

kakek dengan sekujur tubuh bergeletar.

 "Kami tidak tahu! Dia membunuh dua sahabat

kami. Lalu sehabis memberi perintah yang disertai

ancaman dia kabur entah kemana."

 "Kalian lekas angkat kaki dari sini sebelum ku-

bunuh semua!" Menghardik Hantu Sejuta Tanya Sejuta

Jawab.

 Empat lelaki bertubuh besar serta merta berdiri

lalu tinggalkan tempat itu dengan cepat.

 Si kakek segera menyambar tongkat batu biru

yang tergeletak di atas dada Luhkenanga. Dia cepat

memeriksa. Dengan dua tangannya tongkat dipatah-

kan. Lalu dia kembali memeriksa.

 "Tongkat ini memang palsu! Tapi mengapa ini

dijadikan alasan oleh pemuda asing itu untuk berbuat

keji pada dua cucuku! Aku tahu dua cucuku memang

mengidap penyakit tidak wajar. Yang tidak bisa di-

sembuhkan seumur-umur. Tapi itupun tidak bisa di-

jadikan alasan untuk mencelakai mereka. Kabar yang

aku dengar tentang kehebatan dan kebaikan pemuda

itu ternyata jauh berbeda dengan kenyataan! Aku akan

mencarinya! Akan kulumat dengan dua tanganku!

Berarti benar kabar yang kusirap selama ini. Bahwa

pemuda itu telah berbuat cabul dengan gadis bernama

Luhjelita! Kalau tidak diambil tindakan lama-lama bisa

habis semua anak gadis orang di negeri ini!"

 Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab kembali per-

hatikan sosok dua cucunya. Sepasang mata tua ini

tiba-tiba mengerenyit.

 "Ada keanehan.... Luhkemboja dan Luhkenanga

seperti berada dalam kelumpuhan. Tak bisa bergerak

dan tak bisa bicara. Ilmu kekuatan apa yang menguasai

mereka. Aku seperti...." Orang tua itu mengingat-

ngingat "Dua cucuku.'Wahai! Dia berada dibawahpengaruh Ilmu Menjerat Urat! Ilmu ini hanya Hantu

Muka dua dan beberapa orang anak buahnya yang

memiliki! Jangan-jangan Pendekar 212 Wiro Sableng

telah menjadi kaki tangan Hantu Muka Dua? Aku harus

mencari pemuda keparat itu. Mengorek lidahnya agar

mau mengaku lalu melumat sekujur tubuhnya mulai

dari kepala sampai ke kaki!"


TIGA BELAS


KEMBALI ke bukit yang dipenuhi batu-batu berbentuk 

aneh di selatan Gunung Latinggimeru. Bulan purnama 

empat belas hari, bulat penuh telah muncul sejak 

beberapa waktu lalu. Keadaan di tempat itu kini tidak lagi 

diselimuti kegelapan.

 Peri Bunda gerak-gerakkan jari-jari tangannya

yang halus di atas lengan Wiro. "Kau belum menjawab

pertanyaanku tadi Wiro. Malu menjawab atau memang

tidak mau menjawab?! Apakah kau mencintai Peri

Angsa Putih?"

 Wiro coba sunggingkan senyum lalu garuk-garuk

kepalanya. Diusapnya tangan Peri Bunda lalu per-

lahan-lahan dilepaskannya pegangan Peri itu dari

lengannya.

 "Saya tidak tahu apa maksudmu dengan semua

pertanyaan itu. Mungkin sekali kau tengah mempelajari

seluk beluk ilmu bercinta?" Wiro tertawa lebar.

 Peri Bunda juga tertawa tapi kembali mendesak.

"Wahai, kau pandai mengalihkan pembicaraan. Tapi

benar dugaanku kau tak mau menjawab pertanyaanku."

 Kembali murid Sinto Gendeng ini dibuat garuk-garuk 

kepala.

 "Aku menunggu jawabanmu, Wiro," kata Peri Bunda.

 "Peri Bunda, kerabatmu Peri Angsa Putih itu bukan 

saja Peri berhati baik, tapi juga memiliki wajah sangat 

cantik. Sepasang matanya yang biru membuat orang 

memandangnya tak jemu. Tak ada orang yang bisa 

melupakannya jika sudah sekali bertemu. Jangankan 

lelaki, kaum perempuan pasti akan mengaguminya...."

 Peri Bunda tersenyum. "Kata-katamu sungguh

Sejuk didengar dan polos. Kau seperti seorang penyair.

Kalau Peri Angsa Putih ada di sini pasti dia akan

senang mendengarnya...."

 "Mungkin juga terharu!" kata Wiro sambil ter-

senyum-senyum dan garuk-garuk kepala. Di hadapan-

nya Wiro melihat Peri Bunda kerenyitkan kening,

mungkin tidak paham mengapa Wiro berkata begitu.

 Di tempat persembunyiannya Peri Angsa Putih

sendiri merasakan tubuhnya bergetar. Seolah ada

hawa dingin menyelubunginya mulai dari kepala sam-

pai ke kaki.

 Sementara itu Luhcinta yang berada bersamaNaga Kuning dan si kakek Ngompol tegak mematung

walau di dalam dadanya bergoncang menahan rasa

tegang. Sejak tadi dia ingin beranjak pergi, takut tak

kuasa mendengar pembicaraan Peri Bunda dan Wiro

yang semakin mempengaruhi hati dan perasaannya

itu. Tapi dua kakinya seolah diganduli batu besar

hingga dia tak mampu bergerak. Gadis ini akhirnya

setengah terpaksa memilih tetap berdiri di tempat itu.

 "Wahai, tabahkan diriku jika seandainya jawaban

yang diberikan Wiro seolah petir menyambar di depan

wajahku?" begitu Luhcinta Membatin.

 Lain halnya dengan Peri Angsa Putih sendiri. "Aku

tidak mengerti, mengapa Peri Bunda mendesak bah-

kan seperti memaksa ingin mengetahui apakah Wiro

mencintai aku atau tidak. Walau hati ini juga sangat

mengharap mendapatkan jawaban, tetapi bagaimana

kalau jawaban nanti berlainan dari yang diharapkan?

Jangan-jangan Peri Bunda tahu aku sembunyi di sini.

Lalu sengaja mengorek keterangan dari pemuda itu.

Bagiku kalaupun dia...." Peri Angsa Putih tidak berani

meneruskan kata hatinya itu.

 "Wiro, jawaban tak kunjung keluar dari mulutmu.

Sangat susahkah bagimu untuk mengatakan bahwa

kau mencintai kerabatku Peri Angsa Putih. Ya atau

tidak?" Kembali Peri Bunda mendesak.

 "Peri Bunda," Wiro berucap. "Cinta kasih itu adalah 

sesuatu yang suci dan sangat pribadi. Penuh rahasia. Dan 

ada kebahagiaan dalam kerahasiaan itu. Jika seorang 

lelaki mencintai seorang gadis atau sebaliknya atau 

seorang gadis mencintai seorang pemuda, apakah dia 

akan begitu saja mengatakan, menceritakan kepada 

setiap orang, pada siapa saja yang menanyakannya 

karena rasa ingin tahu yang sulit diduga alasannya? Peri 

Bunda, jika aku mencintai seseorang, aku tidak akan 

mengatakan pada orang lain tapi akan mengatakan 

sendiri pada orang yang aku cintai itu. Akan kubisikkan 

ketelinganya. Jadi yang tahu hanya kami berdua. Buat 

apa orang lain yang tak ada urusannya perlu mengetahui 

isi hati kami berdua?"

 Suasana di bukit batu itu untuk beberapa lamanya

dicekam kesunyian. Ada ketidak enakan seolah meng-

gantung di udara, menyusup ke lubuk hati orang-orang

yang ada di tempat itu.

 Peri Bunda terdiam lalu menghela nafas berulang

kali. Agaknya dia kehabisan akal dan cara untuk me-

ngorek keterangan dari mulut Pendekar 212. Di tempat

gelap Peri Angsa Putih tundukkan kepala. Hati kecilnya

sangat ingin mendengar satu jawaban lain. Satu peng-

akuan. Namun jawaban yang didengarnya justrutambah membungkus hati sanubarinya dalam ketidak-

pastian yang mengiris-iris. Dalam hati Peri Angsa Putih

berkata. "Peri Bunda, kau tahu bagaimana perasaanku

terhadap pemuda itu. Memang salahku aku tak pernah

berkata terus terang padanya. Tapi apakah wajar aku

mengatakan hal itu padanya? Bukankah aku terikat

larangan dan pantangan Negeri Atas Langit? Peri

Bunda, jika aku hubungkan dua kuntum bunga mawar

kuning yang ada di kamarmu itu, apakah sebenarnya

yang tengah kau lakukan?"

 Di bagian lain Naga Kuning berbisik pada si kakek

Setan Ngompol. "Untung pandai juga si sableng itu

memberikan jawaban. Tidak ada yang tersinggung dan

kecewa. Rahasia hatinya tetap tersembunyi...."

 "Soal bicara kawan kita itu memang pandai. Dia

bisa berubah jadi penyair, terkadang seperti juru dak-

wah. Tapi jika kau perhatikan dalam setiap sikap dan

ucapannya selalu saja terselip sifat konyol dan sinting!

Dasar sableng!"

 Dalam diamnya Peri Bunda akhirnya menyadari

bahwa tak mungkin baginya mendapatkan jawaban

yang diinginkan dari Wiro. "Pemuda ini benar-benar

cerdik. Membuat aku bertambah kagum padanya.

Mungkin memang lebih baik bagiku kalau dia tidak

menjawab. Siapa tahu dia memang tidak mencintai

Luhjelita, Peri Angsa Putih ataupun Luhcinta. Mudah-

mudahan ada setitik harapan...."

 "Wiro, kau tak mau menjawab berterus terang tak

jadi apa. Tapi aku tetap mengkhawatirkan kesela-

matanmu. Aku tak ingin kau mendapat celaka. Aku

tak ingin kau menemui malapetaka dan merasa ber-

dosa kalau itu terjadi sementara aku tidak berbuat

sesuatu apa demi keselamatan dirimu...."

 "Peri Bunda, saya sangat berterima kasih kau

memperhatikan keselamatan saya. Mudah-mudahan

saya bisa menjaga diri...."

 "Dalam hal keselamatan diri apa lagi menyangkut

keselamatan jiwa jangan berpegang dan mengandal-

kan apa yang disebut mudah-mudahan. Kematian

tidak bisa dicegah dengan yang namanya mudah-

mudahan. Kematian bisa ditimbulkan oleh orang-

orang yang tidak kita duga. Kau telah mengalami

sendiri. Bahkan tadi kau telah menyebutkannya. Kau

hampir menemui kematian akibat sekuntum mawar

kuning beracun. Dan kau sudah yakin pelakunya salah

satu dari dua orang yakni Peri Angsa Putih atau

Luhjelita. Wahai, apakah kau hendak mensia-siakan

jiwamu untuk kedua kalinya? Kau harus menjauhkan

dirimu dari ke dua orang itu Wiro. Jika sekali merekatelah mencoba dan tidak berhasil, bukan mustahil

mereka akan melakukannya kembali. Jika itu sampai

terjadi mungkin nyawamu sulit untuk diselamatkan...."

 Kalau Luhcinta hanya kerenyitkan kening men-

dengar ucapan Peri Bunda itu, lain halnya dengan Peri

Angsa Putih. Dia sangat terkejut karena tidak me-

nyangka Peri Bunda akan berkata seperti itu. "Peri

Bunda sepertinya ikut mempercayai bahwa memang

aku atau Luhjelita yang hendak membunuh Wiro

dengan mawar beracun. Padahal aku menemukan

bukti nyata, bunga-bunga itu berada dalam kamarnya.

Untuk apa dia menyimpan bunga mawar itu kalau

bukan ada maksud jahat? Wahai Peri Bunda, sejak

aku menemukan dua kuntum mawar beracun dalam

kamarmu aku sudah menaruh curiga. Kau berada di

belakang semua bencana itu! Kau yang jadi biang

racunnya. Sekarang kau hendak lempar batu sembunyi

tangan. Peri Bunda, walau kau junjunganku tapi untuk

urusan satu ini aku melawanmu habis-habisan!" Selesai 

berkata begitu Peri Angsa Putih segera bergerak keluar 

dari balik persembunyiannya. Tapi langkahnya tertahan 

ketika telinganya kembali mendengar Peri Bunda 

berucap.

 "Wiro, ada satu tempat yang aman bagimu. Jika

kau suka aku akan mengantarkanmu ke sana...."

 "Tempat aman apa maksudmu Peri Bunda?"tanya

Wiro.

 "Tempat itu, terletak antara Negeri Atas Langit dan

Negeri Latanahsilam. Di situ ada sebuah puri bernama

Puri Kebahagiaan. Aku akan membawamu ke sana.

Sampai keadaan aman kita bisa menetap di sana."

 Pendekar 212 menatap lekat-lekat ke wajah sang

Peri. Dia melihat satu wajah cantik mempesona. Ketika

Peri Bunda merangkum senyum dibibirnya yang merah, 

murid Sinto Gendeng ini merasa ada getaran aneh dalam 

dadanya. Dia hendak menggaruk kepala. Tak jadi, Wiro 

malah balas tersenyum!

 "Ikut aku Wiro,"' bisik Peri Bunda sambil memegang 

jari-jari tangan Pendekar 212.

 Luhcinta merasakan degupan jantungnya mengeras. 

"Peran apa sebenarnya yang tengah dilakukan Peri 

Bunda," dia membatin. "Puri Kebahagiaan.... Baru

sekali ini aku mendengar nama itu. Jangan-jangan ada

sangkut pautnya dengan Istana Kebahagiaan milik

Hantu Muka Dua?"

 Ditempat lain Peri Angsa Putih merasakan tubuhnya 

seperti terbakar. "Peri Bunda! Sekarang aku tahu apa 

yang ada dihatimu! Kau Peri penghianat culas! Kau 

memainkan pisau bermata dua! Wahai!""Puri Kebahagiaan yang kau sebutkan itu Peri

Bunda, tempat apakah itu?" Wiro terdengar bertanya.

 "Puri Kebahagiaan!" kata Peri Angsa Putih dalam

hati. "Para Peri di Negeri Atas Langit telah lama men-

dengar dan mencurigai keberadaan puri tersebut. Na-

mun sulit untuk mengetahui dimana beradanya. Ka-

rena setiap hendak diselidiki ada satu hawa aneh

mengambang di udara, membendung penglihatan!

Kini aku mendengar sendiri. Ternyata Peri Bunda

berada di belakang keberadaaan Puri Kebahagiaan

itu!" Peri Angsa Putih gigit bibirnya menahan gejolak

darah dan gejolak hati. "Peri itu tadi mengucapkan

sampai keadaan aman kita bisa menetap di sana. Kita!

Kita siapa maksudnya? Dia dan Wiro? Sungguh culas!

Kalau aku ingat semua pembicaraan sebelumnya. Dia

melarang diriku berhubungan dengan pemuda itu. Aku

dimintanya agar menjauhkan diri dan melupakan

Wiro. Kini dia malah ingin berdua-dua bersama pe-

muda itu! Berarti selama ini dia telah menipu diriku!"

 Di tempatnya bersembunyi bersama Naga Kuning

dan Si Setan Ngompol, Luhcinta tegak tertegun. Dia

tatap wajah Peri Bunda. Dengan ilmu kesaktian langka

yang dimilikinya gadis ini dalam pandangannya mam-

pu mendekatkan wajah Peri itu hingga dia dapat me-

lihat jelas air muka dan tatapan Peri Bunda yang

ditujukan pada Wiro.

 "Peri Bunda..." membatin Luhcinta. "Dari tatapan

wajahmu, dari pandangan sepasang matamu, aku

dapat meraba ke dalam relung hatimu paling dalam.

Kau mencintai pemuda itu.... Apa kau lupa pantangan

dan larangan di Negeri Atas Langit? Kau seorang Peri

sanjungan, junjungan dari segala Peri, hendak ber-

selingkuh melanggar larangan. Peri Bunda, aku sung-

guh tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi. Tetapi

aku sadar sedalam-dalamnya. Kasih yang selama ini

dimiliki kami manusia biasa ternyata juga masih men-

jadi bagian kalian. Selama ini kalian berusaha me-

nutupi. Tetapi keadaan membuat semakin ditutupi

semakin kuat dorongan hati kalian untuk menyingkap

dan membuangnya. Kita sama-sama perempuan wa-

hai Peri Bunda. Kasih yang ada dalam hatimu dan ada

yang dalam hati semua perempuan tiada beda. Selama

hayat dikandung badan kaum perempuan ditakdirkan

untuk berbagi kasih pada seorang lelaki. Kasih mem-

punyai kekuatan sangat kokoh. Sanggup menghan-

curkan tembok bernama larangan sekalipun tembok

itu terbuat dari baja. Peri Bunda, mungkin kau tidak

mengetahui. Kau bukan saja berperang rasa dengan

Peri Angsa Putih, tetapi juga dengan diriku...."Kalau Luhcinta masih mampu membendung ge-

jolak yang menggoncang hati dan pikirannya, lain

halnya dengan Peri Angsa Putih yang merasa di-

khianati oleh Peri Bunda.

 Tidak dapat menahan hatinya lagi Peri Angsa Putih

segera melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

Tapi lagi-lagi gerakannya tertahan karena saat itu di 

langit sebelah timur kelihatan sebuah benda bulat besar 

bersayap, terbang berputar-putar. Sesaat kemudian 

benda ini yang ternyata adalah seekor kura-kura raksasa 

mendarat di bukit batu. Dua orang melompat turun.

 Orang sebelah depan adalah seorang gadis ber-

pakaian ungu yang rambutnya digulung ke atas. Dia

bukan lain Luhjelita. Di belakangnya mengikuti se-

orang kakek berpipi kempot. Mulutnya yang tonggos

kelihatan cengengesan sedang matanya belok lebar.

Kakek berhidung pesek ini mengenakan celana yang

bagian belakangnya sengaja didodorkan ke bawah

demikian rupa hingga pantatnya yang hitam kasap

budukan kelihatan ogel-ogelan kemana-mana. Di ta-

ngan kanannya kakek ini memegang sebuah rebana

yang pinggirannya diberi kerincingan. Sambil me-

nyanyi na... na... na... ni... ni... ni kakek ini pukul-

pukulkan rebana itu ke pantatnya. Gerakan kakinya

berjalan seperti orang menari.

 "Pendekar2T2 Wiro Sableng! Aku Luhjelita datang

sesuai perjanjian! Lihat siapa ikut bersamaku!"

 Habis berseru begitu Luhjelita melangkah men-

dekati tiga buah batu berbentuk tiang yang ujungnya

lancip mencuat ke arah langit berhias bulan purnama

penuh.


EMPAT BELAS


SEMUA orang yang ada di bukit batu sama terkejut. 

Wiro segera bangkit berdiri. Peri Bunda serta merta 

melompat bangun. "Wahai, jadi ini sebabnya kau datang 

ke bukit batu aneh ini, Wiro. Rupanya kau telah membuat 

perjanjian dengan Luhjelita...! Aku tidak cemburu. Tapi 

akan lebih baik kalau kita berdua segera tinggalkan bukit 

ini, pergi ke Puri Bahagia! Tak ada yang bisa mengikuti 

kita sampai di sana...."

 "Tidak mungkin saya ikut bersamamu Peri Bunda.

Ada urusan yang harus diperjelas dengan gadis itu."

 "Membuat urusan dengan Luhjelita tidak akan

memperjelas masalah. Malah akan memperburuk dan

memperuncing suasana! Ikuti aku Wiro. Lekas ting-

galkan tempat ini!" Peri Bunda ulurkan tangan menarik

lengan Wiro. Tapi murid Sinto Gendeng ini segera

mengelak.

 Tiba-tiba ada cahaya merah melewati bulan pur-

nama. Lalu satu sosok gemuk luar biasa, berpakaian

serba merah, menjela panjang sampai ke tanah tahu-

tahu kelihatan tegak di tiang batu runcing sebelah

tengah. Demikian gemuknya makhluk ini tinggi leher-

nya dan dagu jadi satu. Selain gemuk gembrot tak

karuan, dia juga memiliki wajah buruk. Bulat selalu

keringatan, dihias hidung pesek serta tahi lalat sebesar

telur burung dara di pipi kiri. Karena bagian samping

kiri kanan pakaian sang Peri ini dibelah tinggi, tiupan

angin membuat pakaian itu tersingkap lebar menyem-

bulkan auratnya sampai ke pinggul.

 "Aku sebenarnya sudah jemu dengan suasana di

tempat ini! Sekarang untung ada hiburan! Ada pe-

mandangan sedap menyegarkan! Waw! Montoknya

pinggul peri gendut itu. Putih lagi!" bisik Setan Ngom-

pol sambil cengengesan dan matanya melotot me-

mandang ke arah Peri Sesepuh.

 "Ini belum seberapa," balas berbisik Naga Kuning.

"Ingat waktu dia duduk mengongkong pada saat me-

nolong kita dulu? Aku tidak dapat memastikan apa

kali ini dia pakai celana dalam atau tidak! Hik... hik...

hik!" (Baca Episode sebelumnya berjudul "Peri Angsa

Putih")

 "Aku yakin, seperti dulu sekarang ini dia juga tidak

pakai celana dalam. Jadi buka matamu lebar-lebar.Jangan berkedip. Telat memandang hilang rejeki!"

kata Setan Ngompol pula lalu tertawa cekikikan dan

terkencing-kencing.

 Luhcinta yang merasa terganggu oleh bisik-bisik

serta tawa dua orang itu berpaling dan bertanya. "Apa

yang kalian tertawakan? Kalian mentertawaiku?"

 "Bukan! Tidak.... anu.... Peri gemuk itu. Biasanya

dia tidak pakai celana dalam!" jawab Naga Kuning

seenaknya walau Setan Ngompol telah menginjak

kakinya agar dia tidak bicara teledor.

 Walau mukanya jadi berkerut mendengar kata-

kata Naga Kuning itu namun Luhcinta kembali ber-

tanya. "Kau bisa berkata begitu, memangnya apa

pernah melihat?"

 "Hik... hik.... Tanyakan saja pada kakek ini! Dia

yang paling lama dan paling asyik melihatnya!" jawab

Naga Kuning. Luhcinta tersenyum dan geleng-geleng

kan kepala lalu berpaling ke arah deretan tiga batu

berbentuk tiang.

 "Peri Sesepuh!"

 Peri Angsa Putih berseru kaget Siapa mengira

kalau Peri yang menjadi pimpinan tertinggi di Negeri

Atas Langit itu akan muncul di tempat itu.

 "Peri Bunda, sedang apa kau di sini?!" Peri Se-

sepuh yang mukanya gembrot keringatan menegur.

Matanya memandang ke arah Peri Bunda. Sesaat

kemudian dia alihkan pandangan, menyapu ke Se-

antero bukit batu yang diterangi cahaya bulan pur-

nama. "Hemm.... Ternyata ada banyak orang di tempat

ini. Beberapa diantaranya sengaja sembunyi di balik

bebatuan...." Peri Sesepuh yang sakti ini ternyata

sudah mengetahui bahwa selain Peri Bunda, Wiro

Sableng, Luhjelita dan kakek aneh yang dikenalnya

dengan nama Si Pelawak Sinting, masih ada beberapa

orang lain di bawah sana.

 Peri Bunda tekukkan lututnya memberi hormat

lalu mendongak ke arah Peri Sesepuh yang tegak di

atas tiang batu runcing.

 "Peri Sesepuh, Peri Pimpinan di Negeri Atas Langit, 

mohon maafmu. Aku tidak sempat memberi tahu

sebelum turun ke bumi. Ada satu keperluan yang harus

aku urus di tempat ini."

 "Aku tidak ingin tahu apa urusanmu. Tapi aku

melihat ada yang tidak beres bakal terjadi di bukit batu

ini. Karenanya lekas kau ikut aku kembali ke Negeri

Atas Langit. Sesuatu telah terjadi di sana. Kamar

ketiduranmu dijebol orang!"

 Terkejutlah Peri Bunda mendengar kata-kata Peri

Sesepuh itu. Hatinya sesaat bimbang sebelum berkata."Terima kasih wahai Peri Sesepuh. Kau telah sudi

datang memberi tahu. Aku akan segera kembali. Tapi

aku mohon biarkan aku menyelesaikan urusan lebih

dulu. Izinkan aku membawa pemuda ini ke satu tempat.

Dia harus diselamatkan dari ancaman maut...."

 "Wahai Peri Bunda, tidak pernah kutahu kalau kau

bersahabat dengan pemuda asing yang datang dari

negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. Setahuku

dia adalah sahabatnya Peri Angsa Putih...."

 "Peri Sesepuh, izinkan kami pergi...."

 Peri Sesepuh tersenyum. "Jika kau memikirkan

keselamatan pemuda itu, biar aku yang membawanya.

Katakan ke tempat mana aku harus pergi. Sementara

kau boleh menyelesaikan urusan di tempat ini!"

 Peri Bunda jadi bingung mendengar kata-kata Peri

pimpinannya itu. "Peri Sesepuh, aku mohon.... Aku

tak ingin merepotkanmu. Biar aku yang membawa

pemuda ini...."

 "Para Peri dari atas langit!" tiba-tiba Luhjelita

berseru. Dari tadi dia sudah tidak sabaran melihat dan

mendengar percakapan dua Peri itu. "Jika kalian hen-

dak berbincang-bincang menyelesaikan urusan, cari

saja tempat lain. Jauh-jauh hari tempat ini sudah

kutetapkan sebagai tempat pertemuan dengan Pen-

dekar 212 Wiro Sableng. Harap kalian suka pergi dari

sini!"

 Peri Sesepuh yang merasa tersinggung mende-

ngar kata-kata Luhjelita itu sunggingkan senyum

mengejek lalu menjawab. "Luhjelita, gadis perayu

lelaki! Kau rupanya! Apakah pertemuanmu dengan

pemuda itu menyangkut urusan rayu merayu, urusan

cinta murah? Atau kau hendak melanjutkan perbuatan

aib yang kau lakukan bersamanya di dalam goa dulu?"

 "Peri lancang mulut! Tidak kukira mulutmu se-

kotor itu! Kau berserikat dalam tuduhan! Aku ke bukit

batu ini justru untuk membuktikan bahwa kalian bang-

sa Peri bukanlah makhluk suci dan baik!"

 "Wahai, apa maksudmu gadis perayu?" tanya Peri

Sesepuh.

 "Aku akan membuktikan bahwa salah seorang

Perimu yakni yang bernama Peri Angsa Putih adalah

peri jahat yang bermaksud hendak membunuh pe-

muda asing itu dengan sekuntum mawar beracun!

Tapi kenyataan diputar balik. Tuduhan diacungkan ke

arahku! Sungguh keji dan busuk!"

 Muka bulat gemuk dan keringatan Peri Sesepuh

kelihatan berkerut. "Kau menuduh Peri Angsa Putih

selagi dia tidak berada di sini untuk membela diri. Aku

tidak bisa menerima tuduhan seperti itu! Karenanyakuharap kau dan kawanmu kakek sinting itulah yang

segera angkat kaki dari bukit batu ini!"

 "Peri Sesepuh! Aku ada di sini!" Tiba-tiba ada

suara berseru dari balik sebuah batu besar. Di lain

kejap muncullah Peri Angsa Putih. Wajahnya agak

pucat dan sepasang matanya seperti sembab.

 "Wahai! Sungguh tidak disangka kau rupanya

telah ada di sini Peri Angsa Putih. Mengapa sengaja

bersembunyi sejak tadi?"

 Wajah Peri Angsa Putih menjadi bersemu merah.

"Maafkan saya Peri Sesepuh. Saya tidak ingin merusak

suasana pertemuan antara Peri Bunda dengan pemuda 

bernama Wiro Sableng itu," jawab Peri Angsa Putih pula.

 Kini wajah Peri Bundalah yang berubah merah.

"Peri Angsa Putih!" Peri Bunda menegur. "Ucapanmu

seolah memberi kesan aku punya hubungan rahasia

dan tidak baik dengan pemuda ini!"

 "Aku tidak mengatakan begitu Peri Bunda," jawab

Peri Angsa Putih. "Tapi aku memang ingin menyam-

paikan sesuatu yang bukan saja memberi kesan, tapi

mungkin bisa membuktikan bahwa memang ada se-

suatu yang hendak kau sembunyikan di balik per-

temuanmu dengan pemuda itu!"

 Peri Bunda maju dua langkah mendekati Peri

Angsa Putih. Suaranya keras tapi bergetar ketika dia

bertanya. "Apa maksudmu dengan ucapanmu itu Peri

Angsa Putih?"

 Peri Angsa Putih meraba ke balik pakaian putihnya.

 "Tunggu dulu!" Peri Sesepuh berseru lalu berpaling 

pada Luhjelita. "Gadis perayu, karena Peri Angsa Putih 

sudah ada di sini, aku memberi kesempatan padamu 

untuk membuktikan bahwa memang dia yang telah 

berniat jahat hendak membunuh pemuda asing

itu dengan mawar kuning beracun!"

 Luhjelita yang jadi kesal karena terus-terusan

dipanggil dengan sebutan "gadis perayu" menjawab

tak kalah ketus bahkan kurang ajar. "Peri gendut

hidung pesek! Aku datang kemari membawa seorang

saksi kakek berjuluk Si Pelawak Sinting ini! Dia ber-

sedia memberi kesaksian bahwa bukan aku yang

melepas bunga mawar beracun di anak sungai. Bunga

yang kemudian diambil oleh Wiro, diciumnya lalu

membuatnya jatuh pingsan hampir sekarat"

 Peri Sesepuh mendengus marah. Mukanya me-

ngelam. "Kakek sinting yang otaknya miring bagai-

mana mungkin bisa dijadikan saksi? Bicaranya saja

pasti ngacok! Dari tadi kulihat kerjanya hanya me-

nyanyi dan menari. Pakai celanapun dia tidak karuan!"

 Di bawah batu berbentuk tonggak tinggi kakekberjuluk Si Pelawak Sinting (yang palsu) bernama asli

Labodong tertawa mengekeh. Dia goyangkan rebana-

nya hingga mengeluarkan suara berkerincing keras.

Setelah menyanyi na... na... na... ni... ni... ni diapun

berkata.

 "Peri Sesepuh, waw... waw! Terima kasih kau telah

memuji otakku yang miring, bicaraku yang ngacok

serta celanaku yang kedodoran! Terima kasih, berarti

kau sejak tadi diam-diam memperhatikan diriku! Ha...

ha... ha! Wahai, sudah sejak lama tidak ada perempuan

yang memperhatikan aku. Apa lagi seorang Peri se-

pertimu. Terima kasih... terima kasih! Ha... ha... ha!

Kau tahu wahai Peri Sesepuh, seorang saksi berotak

waras terkadang bisa jadi sinting karena tekanan. Aku

yang kau bilang sinting hari ini tengah berpikiran

cerah! Aku ingat betul apa yang terjadi di tepi sungai

kecil dulu itu karena aku melihat dengan mata kepalaku

sendiri. Sobatku bernama Luhjelita ini memang bukan

dia yang meracun pemuda itu dengan mawar kuning.

Aku kebetulan berada di anak sungai saat itu. Jadi

tahu betul hanya ada dua orang di situ yakni Peri

kerabatmu bernama Peri Angsa Putih itu serta Luh-

jelita.... Ketika Luhjelita muncul di tepi anak sungai,

pemuda itu sudah lebih dulu keracunan, pingsan se-

karat sehabis mencium bunga mawar beracun yang

konon hanya tumbuh di Negeri Atas Langit, negeri

kalian kaum Peri...."

 "Tidak semudah itu menerima kesaksianmu Pe-

lawak Sinting!" tukas Peri Sesepuh, "Bisa saja Luh-

jelita telah lebih dulu meluncurkan bunga beracun itu

ke dalam aliran sungai kecil. Lalu ketika pemuda itu

pingsan dia muncul pura-pura hendak menolong...."

 "Tidak, Luhjelita tidak muncul untuk menolong,"

memotong Si Pelawak Sinting. Lalu sambil melirik

pada Luhjelita yang ada di sampingnya dia berbisik.

"Apa aku katakan pada Peri gendut itu kau kulihat

dalam keadaan bugil, tengah menggerayangi bagian

bawah perut di balik celana Wiro Sableng?"

 "Jangan melantur! Kurobek mulutmu jika kau

membuka rahasia yang satu itu! Yang jelas kau tahu

aku tidak meracuni Wiro dengan bunga mawar kuning!" 

kata Luhjelita cepat

 "Pelawak sinting, jika tidak bermaksud menolong

pemuda itu, lalu apa yang dilakukan Luhjelita?" ber-

tanya Peri Sesepuh.

 "Aku tidak tahu. Yang jelas ketika aku mendatangi

dia lantas kabur. Aku kemudian menolong pemuda

yang keracunan itu. Aku mengetuk pusarnya dengan

gagang gayung hingga racun yang ada dalam tubuhnya larut ke bagian tubuh sebelah bawah, tidak me-

masuki jantung...."

 "Pelawak Sinting berapa kau dibayar Luhjelita

untuk memberi kesaksian palsu itu?" tanya Peri Se-

sepuh sambil sunggingkan senyum mengejek di muka-

nya yang gembrot keringatan.

 "Aku tidak dibayar dan kesaksianku tidak palsu!"

jawab Si Pelawak Sinting lalu goyang rebananya be-

berapa kali. Kakinya bergerak-gerak menari dan dari

mulutnya keluar suara nyanyi na... na... na... ni... ni...

ni!

 "Kalau kau tidak dibayar pasti kau sudah larut dalam 

peluk rayunya!" Yang berkata adalah Peri Bunda.

 Luhjelita delikkan mata dan mendamprat. "Peri

baju biru! Mukamu cantik tapi mulutmu kotor. Tubuh

dan pakaianmu harum tapi hatimu busuk! Kalau kau

tidak bisa membela Peri Angsa Putih jangan bicara

serendah itu! Apakah begitu tata cara bicara kaum

Peri di Negeri Atas Langit?"

 "Aku tak perlu dibela karena memang bukan aku

yang membuang mawar kuning beracun ke dalam

aliran sungai!" Peri Angsa Putih tiba-tiba berkata se-

raya maju beberapa langkah hingga dia kini berdiri

tepat di hadapan Peri Bunda.

 Dari balik pakaiannya Peri Angsa Putih keluarkan

dua kuntum mawar kuning yang telah layu. "Peri

Bunda, aku tidak tahu kau akan berdalih bagaimana.

Tapi dua kuntum mawar beracun ini aku temui dalam

jambangan rotan di kamarmu!"

 Di atas tiang batu Peri Sesepuh terkejut Peri

Bunda sendiri pucat wajahnya. Luhjelita tak kalah

kagetnya sedang Pendekar 212 melongo garuk-garuk

kepala.

 "Peri Bunda, jadi kau rupanya!" ujar Peri Sesepuh

sambil geleng-geleng kan kepala.

 Setan Ngompol ikut-ikutan gelengkan kepalanya. 

"Peri secantik itu tidak sangka berhati begitu jahat!"

 "Tapi apa alasannya dia hendak membunuh sa-

habat kita Wiro?" tanya Naga Kuning.

 "Sahabat-sahabatku, kuharap kalian mau bersabar 

dan tidak berisik. Segala perbuatan yang tidak

berdasarkan kasih antara sesama makhluk akan se-

gera tersingkap..." kata Luhcinta. Ketiga orang itu

sampai saat itu masih mendekam di tempat persem-

bunyian mereka.

 "Peri Bunda!" Dari atas tiang batu berujung lancip

kembali Peri Sesepuh menegur. "Kau telah melakukan

satu perbuatan sangat keji! Apa alasanmu berbuat

begitu?!""Peri Sesepuh...." Peri Bunda gigit bibirnya sen-

diri. Wajahnya masih pucat Dia pegangi dadanya

dengan dua tangan lalu kepalanya digelengkan ber-

ulang kali.

 "Kau tak mau menjawab. Tapi aku sudah dapat

menduga apa yang tersembunyi di balik perbuatanmu

itu! Kau sebenarnya mencintai pemuda asing itu. Kau

tidak ingin kehilangannya. Kau sudah bertekad meng-

hadapi malapetaka apapun asal kau bisa mendapatkan

dia. Karena itu kau lebih dulu ingin mencelakai dan

mengadu domba Peri Angsa Putih dan Luhjelita. Jika

pemuda itu menaruh syak wasangka pada mereka

bukankah berarti kau mendapat jalan untuk merebut

hatinya?!"

 Mendengar kata-kata Peri Sesepuh itu, Peri Angsa 

Putih mau tak mau membatin. "Itu sebabnya Peri

Bunda ingin membawa Wiro ke Puri Bahagia. Dia ingin

berdua-dua dengan pemuda yang dikasihinya itu.

Sungguh tidak kuduga...."

 Peri Bunda mendongak memandang ke arah Peri

Sesepuh. "Peri Sesepuh..." desisnya. Lalu satu teriak-

an dahsyat keluar dari mulut Peri Bunda. "Tidak...!

Tidaaakkkk!" R„nda'"" hardik Peri Se-

 Apa yang tidak Peri Bunda..

sepuh.



LIMA BELAS


WAJAH Peri Bunda yang tadinya pucat kini berubah 

merah seperti saga. Air mukanya tak kalah bengis 

dengan paras Peri Sesepuh.

 "Tidaaaakkkk!" Peri Bunda kembali berteriak. 

Teriakannya menggelegar di seantero malam, 

menggetarkan Seantero bukit batu.

 "Peri Bunda! Jangan sampai membuat aku 

menjatuhkan tangan hukum dan kutuk saat ini juga!

Lekas berlutut dan akui perbuatanmu!" Peri Sesepuh 

keluarkan suara keras lantang.

 "Kau!"

 Tiba-tiba Peri Bunda tudingkan jari telunjuk ta-

ngan kanannya tepat-tepat ke arah Peri Sesepuh. "Aku

tidak berbuat! Bukan aku yang meracuni pemuda itu.

Tapi kau! Kau Peri Sesepuh! Kau! Dua bunga mawar

kuning beracun itu aku temukan dalam kamarmu!

Sengaja aku ambil lalu aku simpan dalam kamarku!

Ketika kejadian bunga itu hanyut di aliran anak sungai,

bukankah kau juga berada di sekitar situ? Bahkan

sempat bicara denganku? Waktu itu sebenarnya aku

juga melihat dua kuntum bunga mawar ada di balik

lipatan pakaian merahmu!"

 Semua orang yang ada di tempat itu jadi terkejut

besar. Luhcinta saking kagetnya sampai-sampai me-

lompat keluar dari persembunyiannya. Diikuti oleh

Naga Kuning dan Setan Ngompol.

 Di atas batu wajah Peri Sesepuh pucat pasi seperti

melihat setan. Mulutnya bergetar.

 "Peri Bunda! Kau menuduhku? Kau sengaja hendak 

memutar balik kenyataan? Benar-benar busuk budi 

pekertimu! Kau layak kuhabisi saat ini juga!"

 Selesai berkata begitu Peri Sesepuh kibaskan

tangan kanannya ke bawah. Segulung cahaya merah

menggelegar, menyambar ke arah Peri Bunda.

 "Tunggu!" teriak Luhjelita.

 "Tahan!" Pendekar 212 ikut berteriak.

 "Peri Sesepuh! Jangan!" Peri Angsa Putih juga

berteriak keras.

 Namun Peri Sesepuh tetap terus menghantam.

Larikan sinar merah menggelombang membuntal tam-

bah cepat dan tambah dekat ke arah Peri Bunda.

Sementara Peri Bunda sendiri tidak melakukan sesuatu seolah pasrah dirinya hendak dibantai orang!

Terpaksa tiga orang itu bertindak cepat. Wiro, Luhjelita

dan Peri Angsa Putih sama-sama gerakkan tangan

kanan, menghantam ke atas.

 Selarik sinar Jingga menderu dahsyat keluar dari

telapak tangan Luhjelita. Selain menebar hawa panas

pukulan ini sanggup membuat lawan menjadi lemas

tak berdaya.

 Dari tangan kanan Peri Angsa Putih melesat satu

sinar putih. Inilah pukulan sakti yang disebut Membalik

Langit Menggulung Bumi. Pukulan ini sanggup mem-

buat setiap serangan lawan berbalik menghantam

pemiliknya sendiri!

 Sinar ke tiga yang mencuat laksana perak menyala

menyilaukan mata dan menebar panas luar biasa

adalah pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Pendekar 

212.

 "Bummm!"

 "Bummm!"

 "Blaarrr!"

 Tiga dentuman dahsyat menggelegar di malam

bulan purnama itu. Bukit batu laksana dilanda geluduk

dihantam gempa. Batu-batu besar bergelundung ber-

gemuruh. Beberapa orang keluarkan seruan tegang.

Tiga batu hitam berbentuk tiang berujung lancip, ter-

masuk dimana Peri Sesepuh sejak tadi berdiri tegak,

keluarkan suara berderak. Lalu patah dan roboh ber-

keping-keping. Sosok Peri Sesepuh sendiri kelihatan

mencelat tinggi ke udara. Pakaian merahnya terbakar

hangus di beberapa tempat Walau kemudian dia mam-

pu berjungkir balik dan melayang turun injakkan kaki

di tanah namun tubuhnya tampak menghuyung. Ram-

butnya yang digulung berbusai riap-riapan. Wajahnya

sepucat kain kafan. Pakaian merahnya hangus dan

robek hingga dada, perut dan pahanya tersingkap

bugil. Sang Peri sadar akan keadaan auratnya. Dia

berusaha gerakkan tangan untuk menutupi tubuh. Tapi

sepasang tangannya seolah kaku, sulit digerakkan!

Dari mulutnya perlahan-lahan keluar lelehan darah.

 Bentrokan kekuatan sakti dahsyat tadi membuat

pendekar 212 Wiro Sableng terjengkang dan sesak

nafas untuk beberapa saat Tangan kanannya kaku.

Di bagian lain Peri Angsa Putih terpental dan jatuh tak

jauh dari Luhcinta. Luhcinta segera memberi per-

tolongan. Luhjelita sendiri saat itu tampak merangkak,

berusaha berdiri. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu

semburkan darah kental. Peri Bunda yang berada di

dekatnya segera mendatangi.Si Pelawak Sinting tampak kelabakan, melangkah

kian kemari mencari-cari rebananya yang tadi mental

akibat letusan-letusan dahsyat Celananya yang se-

lalu kedodoran saat itu bukan cuma kedodoran tapi

sudah merosot sampai ke bawah paha. Dia tidak sadar

kalau auratnya tersembul ke mana-mana.

 Naga Kuning tersandar di sebuah batu, pucat pasi

dan sulit bernafas. Tapi tawanya kemudian tersembur

ketika melihat keadaan Si Pelawak Sinting yang pa-

kaiannya tidak karuan disebelah bawah. Akan halnya

Si Setan Ngompol, kakek satu ini terbadai di tanah

dalam keadaan menungging. Mulutnya komat kamit

entah mengucap apa. Di sebelah bawah air kencingnya

mengucur tiada henti!

 Sambil pegangi dadanya yang berdenyut sakit

Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah mendekati Peri

Sesepuh. Sang Peri memandang dengan mata besar

dan wajah membayangkan rasa takut

 "Wiro, aku mengaku salah.... Kalaupun kau bunuh

aku saat ini aku menerima pasrah..." kata sang Peri

dengan suara sangat perlahan dan bergetar.

 "Peri Sesepuh, apa benar kau yang hendak mem-

bunuh saya dengan mawar beracun itu?" bertanya

Pendekar 212.

 Peri Sesepuh semburkan ratap tangis lalu ang-

gukkan kepalanya berulang kali. Suara tangisnya se-

makin menjadi-jadi ketika Wiro pegang bahunya dan

bertanya dengan suara lembut, sepertinya tanpa ada

rasa marah, tanpa ada rasa dendam. Hal ini membuat

hati Peri Sesepuh serasa disayat-sayat.

 "Memang... memang aku yang melakukannya..."

ucap Peri Sesepuh mengakui dan kembali meng-

anggukkan kepala berulang kali sambil tekap wajah-

nya dengan dua tangan.

 Murid Sinto Gendeng terdiam lalu garuk-garuk

kepalanya.

 "Kenapa Peri Sesepuh.... Kenapa kau melakukan

itu? Apakah saya pernah membuat dosa padamu?

Apakah saya pernah menyakiti hatimu?"

 "Tidak... Kau tidak pernah berbuat salah apa-

apa.... Kau lelaki paling baik yang pernah aku kenal...."

 "Atau mungkin karena kau juga ikut mengira aku

telah berbuat aib dengan Luhjelita seperti yang kini

tersebar luas di seluruh negeri? Tapi bukankah kabar

jahat itu tersiar kemudian, setelah peristiwa mawar

beracun itu?"

 "Wiro, aku tahu kau orang baik. Aku juga yakin

kau tidak berbuat sekeji itu terhadap siapapun, juga

terhadap Luhjelita....""Lalu Peri Sesepuh, kenapa kau hendak meracuni

saya? Apa alasanmu? Kau belum menjawab...."

 Tangis Peri Sesepuh semakin keras. Bahunya

berguncang-guncang.

 "Peri Sesepuh, apakah kau mau menjelaskan ala-

sanmu hendak meracuni saya?" Wiro kembali bertanya.

 Setelah tangisnya reda perlahan-lahan Peri Se-

sepuh turunkan ke dua tangannya. Dia menatap pada

Wiro, lalu pada Peri Angsa Putih dan Peri Bunda. Dia

juga melayangkan pandangan pada Luhjelita dan Luh-

cinta. Dalam sesenggukan dia berucap.

 "Aku Peri tertinggi di Negeri Atas Langit. Tapi

nasibku sangat malang. Aku adalah Peri dengan wajah

dan tubuh paling buruk. Aku tak mungkin bersaing

dengan Peri lainnya, terutama Peri Bunda dan Peri

Angsa Putih...."

 "Kau Peri pimpinan mereka, kau peri panutan. Mereka 

bisa disebut sebagai Peri-Peri asuhmu. Lalu mengapa kau 

mengatakan tidak mungkin bersaing dengan mereka? 

Apa maksudmu Peri Sesepuh?" tanya Wiro.

 "Mereka memiliki paras wajah sangat cantik. Se-

dang aku... kau lihat sendiri. Mana mungkin aku ber-

saing memperebutkan dirimu...."

 "Memperebutkan diriku?" ujar Wiro heran.

 Peri Sesepuh usap wajahnya yang basah oleh air

mata dan keringat lalu mengangguk. "Walau kami

saling merahasiakan, tetapi kami sama tahu bahwa

kami bertiga sama-sama sangat mencintaimu! Cuma

sayang, dalam keterbatasan diriku aku menempuh

jalan salah. Aku ingin menyingkirkanmu. Aku berpikir,

jika aku tidak bisa mendapatkan dirimu maka dua peri

itu juga tidak boleh mendapatkan dirimu!" Peri Se-

sepuh kembali menutup wajahnya dengan dua tangan

lalu terisak-isak menahan tangis. Dia lalu memandang

pada Peri Angsa Putih dan Peri Bunda. Kemudian

menatap kembali pada pemuda di hadapannya.

 "Dosaku besar nian. Bukan saja terhadapmu Wiro.

Tapi juga pada dua kerabatku Peri Angsa Putih dan

Peri Bunda. Juga pada gadis bernama Luhjelita itu.

Perbuatanku sempat menyengsarakan dirinya hinga

dia terkena tuduhan jahat. Wiro, juga kalian semua.

Aku siap menerima hukuman. Kalian bunuhpun saat

ini aku ikhlas menerima...."

 Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede

pandangi wajah Peri Sesepuh beberapa lamanya. Ada

rasa hiba menyeruak di lubuk hatinya. Sambil me-

megang bahu sang Peri dia membungkuk dan berbisik.

"Peri Sesepuh, jangan katakan parasmu tidak cantik.

Bagiku kecantikanmu tidak kalah dengan Peri Bundadan Peri Angsa Putih. Cuma memang kau agak

nakal...."

 Sepasang mata Peri Sesepuh membesar. Lalu

mulutnya menyeruakkan senyum. Tawanya keluar ti-

dak tertahankan lagi.

 "Eh, ada apa dengan Peri gendut itu!" kata Naga

Kuning heran sambil menggamit Setan Ngompol."

Barusan dia menangis meratap habis-habisan. Seka-

rang malah tertawa...."

 "Peri Sesepuh," Wiro berucap. "Kau tak perlu ber-

sedih. Tak perlu memikirkan masalah ini berpanjang-

panjang. Tidak ada dosa dan kesalahan yang harus kau

tanggung. Saya memaafkan semua perbuatanmu...."

 "Wiro...." ujar Peri Sesepuh, "apa aku tidak salah

mendengar dan kau tidak keliru berucap?"

 "Saya memaafkanmu," ulang Wiro.

 Peri Sesepuh berseru keras lalu jatuhkan diri

hendak memeluk dua kaki Wiro. Sang Pendekar cepat

pegang bahu Peri Sesepuh. Susah payah dia meng-

angkat tubuh yang beratnya ratusan kati itu, membantu

sang Peri berdiri. Peri Sesepuh kucurkan air mata dan

lingkarkan tangannya ke punggung Wiro. Pendekar

212 tersenyum. Tangan kiri menepuk-nepuk bahu Peri

Sesepuh sedang tangan kanan menggaruk kepala.

 "Assssyyiiikkkk..." kata Naga Kuning sambil ter-

tawa lebar. "Ini memang kesempatan bagus untuk

memeluk si sableng itu. Lain saat bisa banyak yang

cemburu!" Lalu bocah konyol ini berpaling pada Setan

Ngompol. "Kalau kau ingin dipeluk Peri gembrot itu

lekas dekati dia...."

 "Bocah setan!" maki si kakek.

 "Kami berdua juga memaafkanmu Peri Sesepuh!"

 Peri Sesepuh lepaskan pelukannya di punggung

Wiro dan memandang ke arah Peri Angsa Putih dan

Peri Bunda yang barusan sama-sama berucap. De-

ngan berurai air mata dia melangkah menghampiri

dua kerabatnya itu. Ketiga peri itu lalu saling rangkul

bertangis-tangisan. Sambil mengusut air matanya Peri

Sesepuh berkata.

 "Kerabat-kerabatku, untuk sementara aku tidak

akan kembali ke Negeri Atas Langit. Pimpinan negeri

kuserahkan padamu wahai Peri Bunda...."

 "Memangnya kau mau pergi kemana Peri Sese-

puh?" tanya Peri Bunda.

 "Aku tidak tahu. Mungkin aku perlu memencilkan

diri bersunyi-sunyi di satu tempat. Entah sampai be-

rapa lama." Peri Sesepuh lalu ciumi satu persatu

kening dua kerabatnya itu. Sang Peri kemudian meng-

hampiri Luhjelita dan cubit pipi gadis cantik ini danberkata. "Aku tahu, waktu di tepi telaga kau meng-

gerayangi pemuda itu bukan hendak mencelakainya.

Tapi kau tengah berusaha mendapatkan satu ilmu

dahsyat. Kau tak usah kawatir, tiga tahi lalat yang ada

di bawah pusar pemuda itu bisa kau dapatkan. Asal

kau pandai dan tahu caranya!" Sementara Luhjelita

terbelalak kaget mendengar ucapan yang tidak di-

duganya itu Peri Sesepuh tertawa cekikikan sambil

melangkah menghampiri Luhcinta. Dia pegang dua

tangan si gadis dan berbisik sangat perlahan hingga tak

ada yang mendengar. "Kau yang paling beruntung di-

antara semua kami. Jika kelak kau mendapatkannya

jangan lupakan diri kami. Kami ikut menitipkan kasih

sayang kami untuknya dilubuk hatimu yang paling

suci...."

 "Aku... aku mendapatkan siapa maksudmu Peri

Sesepuh?" tanya Luhcinta.

 Sang Peri tersenyum lalu membisikkan satu nama

ke telinga Luhcinta yang membuat gadis ini melirik ke

arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

 Sebelum pergi Peri Sesepuh layangkan senyum

dan pandangannya pada Si Setan Ngompol, Si Pelawak

Sinting dan Naga Kuning. Lalu dia berpaling sekali

lagi pada Wiro. Sang Pendekar balas tersenyum. Lalu

susun dua jari tangan kanannya di atas bibir kemudian

layangkan cium jauh pada Peri Sesepuh. Peri gemuk

itu tekap mulutnya menahan tawa tapi masih bisa

membalas genit dengan kedipkan mata sebelum ber-

kelebat lenyap.

 "Si sableng itu!" kata Setan Ngompol. "Dia yang

sebenarnya ganjen duluan! Jangan disalahkan kalau Peri

Gendut itu sampai kecantol habis-habisan padanya!"

 "Peri Sesepuh, kalau saja kakek sobatku ini yang

kau pilih pasti urusan bisa beres dan kita bisa berhelat

besar di negeri ini!" kata Naga Kuning pula sambil

tepuk-tepuk perut Si Setan Ngompol.

 Sambil terkencing-kencing karena perutnya di-

tepuk Setan Ngompol berkata. "Mana mungkin aku

dapatkan peri gendut itu. Saat ini aku punya saingan

berat! Lihat kakek berjuluk Pelawak Sinting itu! Dia

sampai memperagakan diri menyembulkan anunya

agar terlihat kejantanannya o!eh Peri Sesepuh. Pa-

dahal menurutku dia cuma punya sebuah terong rebus

yang sudah penyok!" Saat itu Si Pelawak Sinting

memang masih sibuk melangkah mundar mandir men

cari rebananya. Sejak saudaranya Si Pelawak Sinting

yang asli tidak memperbolehkannya membawa tambur

kulit dan payung daun, dia terpaksa mempergunakan

rebana berkerincing.

Semua orang yang ada di situ tertawa bergelak.

Termasuk Peri Angsa Putih, Peri Bunda, Luhjelita dan

Luhcinta malah wajah keempat mereka ini tampak

bersemu merah dan palingkan muka ke jurusan lain,

tak berani melihat ke arah Si Pelawak Sinting yang

masih terus berjalan kian kemari tanpa sadar kalau

bagian bawah tubuhnya terbuka melompong!


TAMAT

Penulis : bastian tito

Create : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

BAST1AN T1TO

Segera terbit:

HANTU SANTET LAKNAT

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive