BASTIAN TITO
"MAWAR KUNING..." DESIS PERI ANGSA PUTIH.
"BUNGA INI HANYA TUMBUH DI TAMAN LARANGAN.
MENGAPA BISA BERADA DI SINI? APAKAH PERI BUNDA
TAHU KALAU DUA KUNTUM MAWAR KUNING INI
TERSELIP DI ANTARA BUNGA-BUNGA LAIN DALAM
JAMBANGAN?"
TIBA-TIBA PERI ANGSA PUTIH INGAT. TANGANNYA
BERGETAR. "MAWAR INILAH YANG TEMPO HARI HAMPIR
MEMBUNUH WIRO DI TELAGA. WAHAI PARA DEWA!
JANGAN-JANGAN... MUNGKINKAH DIA YANG
MELEMPARKAN BUNGA ITU KE DALAM ANAK SUNGAI.
UNTUK MERACUN PENDEKAR 212 WIRO SABLENG?
APAKAH PERI BUNDA SEJAHAT ITU? BAGAIMANA AKU
HARUS MENYELIDIK?"
SATU
DUA SOSOK putih berkelebat. Begitu cepatnya
gerakan mereka hingga kelihatan seperti bayang-bayang
setan, menembus kelebatan rimba belantara. Di satu
tempat setelah keluar dari kawasan hutan sosok di
sebelah depan berhenti. Astaga! Ternyata dia adalah
manusia biasa juga adanya tapi luar biasanya dia adalah
seorang dara berwajah cantik. Pakaiannya putih tipis
keabu-abuan. Rambutnya yang tergerai lepas di
punggung berwarna pirang membuatnya selain tambah
cantik juga tampak anggun.
Sosok ke dua berhenti disamping dara cantik
pertama. Ternyata dia juga seorang dara jelita. Raut
tubuh dan potongan badannya sangat menyerupai
gadis satunya. Siapa gerangan sepasang gadis ber-
wajah sama yang barusan memasuki kawasan rimba
belantara sunyi dan berbahaya itu?
Di Negeri Latanahsilam keduanya dikenal dengan
julukan Sepasang Gadis Bahagia. Di balik kecantikan
mereka yang mempesona itu tersembunyi satu sifat
yang membuat orang lain bisa merinding jika me-
ngetahui, terutama kaum perempuan. Sejak lama di-
ketahui sepasang gadis kembar ini memiliki kelainan.
Begitu banyak para pemuda yang tertarik pada mereka
namun segera menjauhkan diri dengan perasaan ngeri
begitu mengetahui bahwa dua gadis itu hanya ber-
selera pada kaum sejenisnya.
"Luhkemboja, ada apa kau berhenti?" bertanya
dara bernama Luhkenanga pada dara satunya yang
adalah kakaknya.
Sebelum menjawab, dari balik pakaiannya Luh-
kemboja keluarkan sebuah tongkat terbuat dari batu
berwarna biru. Tongkat itu digosok-gosokkannya ke
leher. Lalu diturunkan ke dada. Si gadis menggeliat
sendiri lalu tertawa panjang.
"Tingkahmu membuat aku ingat pada gadis ber-
nama Luhjelita itu," berkata Luhkenanga. Sepasang
matanya membesar berbinar-binar.
Luhkemboja si kakak telan ludahnya sendiri. "Aku
juga selalu ingat padanya. Belum pernah kita menemui
gadis secantik dia. Memiliki tubuh padat kencang.
Waktu dia mendesah memohon agar kita tidak menyentuh dadanya.... Wahai! Apa yang diucapkan dan
bagaimana dia menggerakkan tubuh malah membuat
aku tambah bergairah. Kapan-kapan aku ingin men-
carinya kembali.”
"Gadis satu itu memang luar biasa. Terus terang
aku juga belum puas wahai kakakku Luhkemboja. Tapi
kita harus hati-hati. Kau tahu siapa adanya gadis itu.
Dia pasti membekal dendam terhadap kita."
"Mengapa perlu merasa takut padanya. Jika dia
berani muncul siapa tahu dia memang sengaja mencari
kita karena ketagihan...." kata Luhkemboja lalu tertawa.
(Untuk mengetahui apa yang terjadi antara sepasang
dara kembar ini dengan Luhjelita harap baca Episode
sebelumnya berjudul "Hantu Langit Terjungkir") "Tong-
kat batu ini," kata Luhkemboja setelah puas tertawa.
"Sesuai yang dipesankan kakek, kita harus segera
menyerahkan padanya. Tetapi aku punya rencana lain!"
"Heh, apa yang ada di benakmu?" bertanya sang
adik.
"Kalau kakek menginginkan tongkat ini berarti benda
ini adalah satu benda sangat penting. Pasti mengandung
satu kekuatan atau satu kesaktian. Buktinya kau lihat
sendiri. Tongkat ini mengeluarkan cahaya biru."
"Jangan-jangan tongkat itu menyembunyikan
satu rahasia yang si kakek tidak pernah atau tidak
mau menceritakannya pada kita."
"Boleh jadi," kata Luhkemboja pula lalu mem-
perhatikan tongkat batu yang dipegangnya dengan
seksama mulai dari ujung satu sampai ujung lainnya.
"Aku tidak melihat sesuatu yang aneh pada tongkat
ini. Kecuali sangat enteng...."
"Coba kuperiksa," kata Luhkenanga pula lalu ganti
memeriksa. Seperti kakaknya gadis satu inipun tidak
melihat keanehan atau kelainan pada tongkat batu itu.
Benda ini ditirnang-timangnya lalu diusap-usapnya
beberapa kali. Ketika hendak dipulangkannya pada
kakaknya, selintas pikiran muncul dalam benaknya.
Tongkat ditariknya kembali. Lalu dengan ujung jari
tengahnya tongkat itu disentil-sentilnya mulai dari
ujung kiri sampai ujung kanan.
"Apa yang kau lakukan Luhkenanga?" tanya
Luhkemboja.
"Coba kau perhatikan. Dengar...." Sambil terus
menyentil Luhkenanga dekatkan tongkat batu biru itu
ke telinga kiri kakaknya. "Kau mendengar sesuatu?"
"Tentu saja. Suara jarimu beradu dengan tongkat
batu biru. Apa anehnya?"
Luhkenanga gelengkan kepala. "Ada bunyi atau
suara berlainan. Pada dua ujung kiri kanan berlainandengan bagian tengah...."
"Bagiku sama saja Tidak ada bedanya," kata
Luhkemboja. Tongkat itu diambilnya kembali.
"Dengar Luhkemboja. Aku punya satu rencana.
Bagaimana kalau...."
Luhkemboja tertawa ketika mendengar apa yang
kemudian diucapkan adiknya. Dia membalikkan badan
lalu memberi isyarat untuk segera melanjutkan per-
jalanan.
Belum jauh meninggalkan ujung rimba belantara,
di satu tempat mendaki dimana udara terasa sejuk
Luhkenanga tiba-tiba berkata. "Ada seorang perem-
puan berpakaian serba putih seperti kita duduk di
sebelah sana...."
Luhkemboja hentikan larinya dan memandang ke
arah yang ditunjuk sang adik. Memang benar. Di
kejauhan sana seorang perempuan muda berparas
cantik jelita duduk bertopang dagu di atas bukit be-
rumput.
Langsung saja dada sepasang gadis kembar ini
jadi berdebar dan rasa gairah menjalari tubuh mereka.
"Wajahnya cantik sekali. Kulitnya bersih...." ucap
Luhkemboja.
"Harum bau tubuhnya tercium sampai ke sini. Aku
rasa-rasa tahu siapa adanya orang itu. Kelihatannya
dia sengaja duduk bersunyi diri. Seperti memikirkan
sesuatu," ujar Luhkenanga pula.
"Mari kita dekati. Siapa tahu rejeki besar menjadi
bagian kita," kata Luhkemboja mengajak.
Dua gadis kembar segera berkelebat Sebentar
saja mereka sudah berada di hadapan perempuan
muda yang duduk di atas rumput itu. Orang ini
turunkan tangannya lalu mengangkat kepala meman-
dang pada sepasang dara yang baru datang. Kagetlah
Luhkemboja dan Luhkenanga ketika mereka melihat
dan menyadari siapa adanya orang itu. Sebaliknya
orang yang duduk di atas rumput tetap tenang saja
walau dia sudah mengenali dua gadis yang berdiri di
hadapannya.
"Peri Angsa Putih...." menyapa Luhkemboja se-
mentara Luhkenanga pandangi peri cantik itu sambil
berulang kali membasahi bibirnya dengan ujung lidah.
Dibanding dengan kakaknya Luhkenanga memang dia
tidak bisa menyembunyikan gelora hatinya melihat
kecantikan wajah dan kemulusan tubuh Peri Angsa
Putih. Apa lagi tubuh peri ini menebar bau harum
mewangi yang menambah rangsangan dalam dirinya.
"Wahai, sungguh pertemuan tidak disangka. Bukankah
kalian berdua kerabat yang dijuluki Sepasang GadisBahagia?" balas menegur Peri Angsa Putih.
Dua gadis kembar jatuhkan diri, berlutut di hadapan
sang Peri. Luhkemboja malah ulurkan tangan memegang
lalu mengangkat tangan Peri Angsa Putih, kemudian
menciumnya dengan sikap hormat walau sebenarnya
perbuatannya itu lebih didorong oleh hawa gairah.
Luhkenanga tidak tinggal diam. Dia tirukan apa yang
dilakukan kakaknya dan mencium belakang telapak
tangan malah sampai ujung lengan Peri Angsa Putih.
Sambil tersenyum Peri Angsa Putih tarik tangannya.
"Aku sudah lama mendengar perihal kalian berdua.
Hanya tidak tahu mana yang bernama Luhkemboja dan
mana yang bernama Luhkenanga."
Dua gadis kembar lalu memperkenalkan diri masing-
masing.
"Wahai Peri Angsa Putih, gerangan apakah yang
membuat kau berada di bukit sunyi ini?" bertanya
Luhkemboja.
"Sepertinya tengah menunggu seseorang,"
menyambung Luhkenanga.
"Wahai, jika kau benar menunggu seseorang biar
aku coba menerka," kata Luhkemboja sambil tersenyum
dan mengusap-usap keningnya seolah tengah berpikir-
pikir. "Kalau salah dugaanku mohon maafmu wahai Peri
cantik dari Negeri Atas Langit. Bukankah kau tengah
menunggu lelaki gagah bernama Lakasipo, berjuluk
Hantu Kaki Batu itu?"
"Wahai! Dugaan kakakku pasti betul. Sudah lama
kami menyirap kabar kalau lelaki itu tertarik padamu
dan kau. Hemm...." Luhkenanga tidak teruskan kata-
katanya. Bersama kakaknya dia tertawa panjang.
Wajah Peri Angsa Putih sesaat kelihatan menjadi
merah. Namun sambi! mengulum senyum Peri ini
kemudian berkata. "Dugaan kalian memang betul. Aku
berada di bukit berumput ini tengah menunggu orang.
Tapi bukan lelaki bernama Lakasipo itu. Melainkan
justru aku menunggu kedatangan kalian berdua."
"Kami?!" ujar Luhkenanga dan Luhkemboja terpekik
girang hampir bersamaan. Sepasang gadis kembar ini
saling melirik lalu duduk bersimpuh di atas rumput. Satu
di kiri, satu di kanan. Demikian dekatnya mereka
mengapit hingga pinggul dan bahu mereka bersentuhan
hangat dengan pinggul serta bahu Peri Angsa Putih.
Bahkan hembusan nafas keduanya menyentuh
permukaan wajah sang Peri.
"Sungguh kami merasa bahagia mengetahui kau
berada di sini sengaja menunggu kami," kata Luh-
kenanga seraya memegang iengan Peri Angsa Putih
dan mengusap-usapnya. "Tentu ada sesuatu yangbisa kami lakukan untukmu."
Sementara itu Luhkemboja mulai pula meraba
lengan Peri Angsa Putih satunya.
Peri Angsa Putih yang sudah tahu kelainan sifat
dua gadis kembar ini perlahan-lahan lepaskan kedua
tangannya dari genggaman Luhkemboja dan Luh-
kenanga. Lalu berkata. "Aku ingin mengetahui dan
meyakini satu hal. Mudah-mudahan kalian berdua bisa
memberi penjelasan...."
"Wahai, hal apakah itu Peri Angsa Putih?" tanya
Luhkenanga seraya rapatkan duduknya. Pahanya
sampai menindih paha sang Peri.
"Beberapa waktu yang lalu aku melihat kalian berdua
keluar dari sebuah goa di kawasan barat sana...."
Wajah dua gadis kembar mendadak sontak jadi
berubah. Adik kakak ini saling melirik. Dalam hati
mereka menduga-duga apakah sang Peri tahu apa
yang telah terjadi, apa yang telah mereka lakukan di
goa itu?
"Wahai, tidak disangka kau mengetahui kehadiran
kami di goa itu..." kata Luhkemboja. Dia tak berani
berdusta karena khawatir sang Peri tahu banyak ten-
tang mereka. "Kami kebetulan saja lewat di kawasan
itu...."
"Betul, kami memang kebetulan lewat di sana,"
menyambungi Luhkenanga.
"Ketika melihat sebuah goa kami mencoba masuk..."
Luhkemboja meneruskan.
Luhkenanga kembali menyambung. "Kami masuk
sekedar untuk mencari tempat yang teduh dan aman
untuk beristirahat"
"Kalian masuk dan jadi beristirahat dalam goa itu?"
tanya Peri Angsa Putih.
Luhkemboja menggeleng. Luhkenanga memandang
pada kakaknya lalu ikut menggeleng.
"Jadi kalian tidak masuk...?" tanya Peri Angsa Putih.
"Kami memang masuk..." jawab Luhkenanga dengan
suara perlahan.
"Tapi kami segera keluar lagi!" kata Luhkenanga.
"Kenapa?" tanya Peri Angsa Putih.
"Ada orang lain dalam goa itu!"
"Ada satu pemandangan menusuk mata yang
membuat kami tak sanggup berada di situ dan cepat-
cepat keluar...."
Peri Angsa Putih menatap dua gadis kembar
berganti-ganti lalu bertanya. "Siapa orang lain yang
kalian lihat dalam goa itu? Kaitan mengenalnya? Lalu....
Memangnya apa yang dia lakukan di situ...."
"Ada dua orang dalam goa itu wahai Peri AngsaPutih. Satu gadis, satu pemuda..." kata Luhkemboja.
"Yang gadis berada dalam keadaan bugil. Tengah
berpelukan dengan seorang pemuda berambut panjang.
Kalau kami tidak salah dia adalah pemuda asing yang
belum lama berselang berada di Negeri Latanahsilam
ini...."
"Kalau tidak salah dia pemuda yang bernama Wiro
Sableng, berjuluk Pendekar 212."
DUA
TENGGOROKAN Peri Angsa Putih kelihatan turun
naik. Suaranya agak tersendat ketika bertanya.
"Apa kalian mengenali siapa adanya gadis di dalam
goa yang bersama pemuda bernama Wiro Sableng itu?"
"Luhjelita. Gadis yang dikenal sebagai penunggang
kura-kura terbang itu!"
"Kalian tidak salah lihat?"
"Kami berdua. Mana mungkin salah lihat!" jawab
Luhkenanga.
"Kalau begitu...." Peri Angsa Putih tidak meneruskan
ucapannya.
"Kalau begitu apa wahai Peri Angsa Putih?" tanya
Luhkenanga sambil kembali tangannya merayap ke
lengan sang Peri.
"Tidak.... Tidak apa-apa. Keterangan kalian sangat
berguna. Paling tidak aku kini benar-benar yakin dan
mengetahui apa yang terjadi dalam goa itu...." Lalu
dalam hati sang Peri berkata. "Aku juga menyaksikan
sendiri. Tadinya aku seperti ingin mengatakan tidak
yakin pada penglihatanku sendiri. Tapi kini ada dua
orang yang menyaksikan hai yang sama. Berarti tidak
perlu aku menyelidik lebih jauh. Wahai mengapa kejam
sekali rasanya dunia ini memperlakukan diriku. Peri
Bunda, kau benar. Aku harus menjauhkan diri dari
pemuda bernama Wiro itu. Aku harus kembali ke
Negeri Atas Langit..." Peri Angsa Putih memandang
pada dua gadis kembar lalu bangkit berdiri. "Terima
kasih atas semua keterangan kalian. Aku harus pergi
sekarang...."
"Wahai," ujar Luhkenanga seraya berdiri pula.
"Tak jauh dari sini ada sebuah dangau. Dibangun
orang di atas sebuah telaga jernih. Udara di sana sejuk
sekali. Pemandangannya indah nian. Bagaimana kalau
kita bertiga pergi ke sana. Beristirahat barang setengah
hari sambil berbincang-bincang. Siapa tahu ada ke-
terangan lain yang ingin kau dapatkan dan kebetulan
kami ketahui...."
"Terima kasih. Kalian berdua baik sekali. Tapi
keterangan yang aku cari sudah kudapat. Lain waktu
undangan kalian tentu ada kupenuhi...."
"Sayang sekali. Kalau kau mau pergi kamipun
hendak pergi pula..." kata Luhkenanga.Saat itu sekonyong-konyong berkelebat satu ba-
yangan putih disertai bentakan.
"Dua gadis kembar! Jangan kalian berani pergi!
Kembalikan dulu tongkat yang kau curi dariku!"
Belum habis kejut Luhkemboja dan Luhkenanga tahu-
tahu seorang pemuda berambut gondrong sambil
menyeringai dan berkacak pinggang telah berdiri
di hadapan mereka.
"Peri Angsa Putih! Ini pemuda bernama Wiro Sableng
yang barusan kita bicarakan!" berkata Luhkenanga.
Sementara Luhkemboja cepat menjauh karena khawatir
Wiro akan merampas tongkat batu biru yang
dipegangnya.
Pemuda berambut gondrong yang memang Pendekar
212 Wiro Sableng adanya melirik ke kiri dimana berdiri
Peri Angsa Putih. Murid Sinto Gendeng hendak layangkan
senyum pada sang Peri namun batal ketika dilihatnya Peri
Angsa Putih unjukkan wajah kaku malah kemudian
palingkan muka ke jurusan lain.
"Kalian membicarakan aku mengenai apa?!" tanya
Wiro.
Luhkemboja dan Luhkenanga tidak segera menjawab
tapi tertawa cekikikan.
"Gadis-gadis aneh! Ada apa kalian tertawa. Luh-
kemboja! Lekas serahkan tongkat di tanganmu itu
padaku!"
"Kau sungguhan mau tahu apa yang barusan kami
bicarakan?!" Luhkemboja berkata seraya senyum-
senyum.
Wiro mulai mencium ada yang tidak beres. Tapi
dia segera menjawab. "Katakan saja. Aku ingin tahu!"
"Kau tidak malu Peri Angsa Putih ikut mendengar?"
tanya Luhkenanga lalu tertawa cekikikan.
"Kami melihat kau dan gadis bernama Luhjelita
berbugil-bugil di dalam goa!" Berucap Luhkemboja.
"Gadis kurang ajar! Jangan kau berani memfitnah!"
teriak Pendekar 212 marah.
"Kalian berzinah di dalam goa!" ujar Luhkenanga.
Amarah murid Sinto Gendeng tidak terkendalikan
lagi. Mukanya mengelam. Kupingnya seperti dipang-
gang. Sekali lompat saja Wiro layangkan satu tam-
paran ke muka Luhkenanga. Seperti diketahui dua
kakak beradik kembar yang dikenal dengan julukan
Sepasang Gadis Bahagia ini bukanlah gadis-gadis
sembarangan. Mereka memiliki ilmu meringankan tu-
buh tinggi sekali hingga mampu bergerak cepat dan
ringan. Selain itu mereka juga memiliki jurus-jurus
ilmu silat aneh. Sekali bergerak Luhkenanga berhasil
selamatkan diri dari tamparan Wiro yang bisameremukkan tulang pipinya.
Penasaran Wiro kembali mengejar Luhkenanga.
Namun saat itu satu bayangan putih berkelebat dari
samping. Angin yang menyambar membuat Wiro ter-
paksa hentikan niatnya. Ketika dia memandang ke
depan pendekar kita jadi tertegun. Yang menghadang
di hadapannya adalah Peri Angsa Putih.
"Peri Angsa Putih.... Apa maksudmu menghalangi
gerakanku?!" tanya Wiro heran.
"Apa maksudmu menyerang gadis itu?!" balik
bertanya Peri Angsa Putih. Tapi dia tidak memandang
ke arah Wiro karena wajahnya seperti tadi lagi-lagi
dipalingkan ke jurusan lain.
"Dia.... Gadis itu kau dengar sendiri! Dia berkata
jahat! Memfitnahku!"
Peri Angsa Putih mendengus. Wajahnya tersenyum
sinis. Membuat Wiro menjadi tambah marah walau
bercampur heran. "Peri Angsa Putih. Ada apa ini?! Kau
bicara tapi tidak mau melihat padaku! Kau sepertinya
membela gadis-gadis tukang fitnah ini!"
"Mereka tidak memfitnah. Aku melihat sendiri kau
dan Luhjelita di dalam goa itu. Jangan mengira aku
tidak tahu apa yang kalian lakukan?!"
Wiro hendak menggaruk kepala habis-habisan lalu
dekati Peri Angsa Putih.
"Jangan kau berani bergerak lebih dekat!" membentak
Peri Angsa Putih.
Wiro kaget bukan main. Dia ulurkan tangan hendak
memegang lengan Peri Angsa Putih tapi kembali sang
Peri membentak. Air mukanya membayangkan ancaman.
"Pendekar 212! Jangan sentuh diriku! Aku bukan
Luhjelita gadis yang bisa menjadi pemuas nafsu bejat-
mu!"
Wiro ternganga besar. Dua kakinya seperti di-
pantek ke tanah. "Peri Angsa Putih, aku...."
"Aku tak sudi kau menyebut namaku! Berlalulah
dari hadapanku!"
"Mati aku! Apa yang terjadi dengan Peri satu ini?!"
membatin Wiro. Ketika dia berpaling ke samping, dua
gadis kembar tertawa cekikikan lalu berkelebat pergi.
Wiro tak mau mengejar karena khawatir Peri Angsa
Putih akan kembali menghadang dan bisa-bisa antara
mereka terjadi bentrokan yang tak diinginkan. Dengan
menahan hawa amarahnya terhadap dua dara yang
kabur itu Wiro bertanya. "Aku tidak mengeri. Ada apa
ini?! Wajahmu melihat aku seperti melihat hantu...."
"Aku tidak melihat hantu! Tapi melihat makhluk
sangat menjijikkan!" tukas Peri Angsa Putih.
Wiro garuk kepala. "Tampangku memang jelek!Terserah kau mau bilang apa! Tapi harap kau jelaskan
dulu mengapa kau membela dua gadis jahat tadi. Lalu
mengapa kau marah-marah dan berkata tak karuan
padaku. Aku merasa tidak punya salah padamu. Dua
gadis kembar itu mencuri tongkat batu titipan orang.
Mereka juga memfitnah diriku lalu enak saja melarikan
diri. Aku tidak...."
Saat itu mendadak ada suara menderu dahsyat
disertai suara ringkikan kuda. Sesaat kemudian seekor
kuda hitam besar berkaki enam muncul dan berhenti
di tempat itu. Di atasnya duduk Lakasipo dengan sikap
gagah.
"Saudaraku Wiro Sableng! Kerabatku Peri Angsa
Putih! Aku merasa gembira bisa menemui kalian ber-
dua di tempat ini!" Lakasipo hendak tertawa lebar.
Tapi tidak jadi ketika dia melihat raut wajah Peri Angsa
Putih serta Wiro yang tampak kebingungan. Pendekar
212 kedipkan mata. Maksudnya hendak memberi tahu
tapi Lakasipo yang tidak mengerti malah berucap.
"Wahai, aku tidak ingin mengganggu. Rupanya
kalian sedang asyik berdua-dua di tempat ini. Wiro,
biaraku pergi dulu. Nanti aku akan mencarimu kembali.
Banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu!"
"Kuharap kau jangan pergi dulu Lakasipo. Aku juga
banyak pembicaraan denganmu!" kata Wiro.
"Kerabat Lakasipo, jika kau memang mau pergi
bolehkah aku ikut menumpang bersamamu sampai di
kaki bukit sana?"
Ucapan Peri Angsa Putih itu membuat Lakasipo
terheran-heran dan memandang Wiro yang saat itu
hanya bisa tegak sambil garuk-garuk kepala.
Mengira Peri Angsa Putih menyindirnya Lakasipo
cepat membungkuk dan berkata. "Maafkan, tidak
maksudku mengganggu kalian. Aku mohon diri dulu...."
"Lakasipo, tunggu! Aku ikut bersamamu!" seru Peri
Angsa Putih.
"Peri Angsa Putih, bukankah kau...? Wahai mana
tungganganmu angsa putih itu?" tanya Lakasipo.
"Dia tak ada di sini. Itu sebabnya aku minta ikut
bersamamu...."
Lakasipo memandang pada Wiro seolah mau bertanya.
Tapi pendekar kita hanya tegak diam dan kini tidak lagi
menggaruk kepala, memandang pada Lakasipo dan Peri
Angsa Putih dengan raut muka membayangkan heran
dan bingung.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba Peri Angsa
Putih melompat ke atas punggung kuda hitam kaki
enam dan duduk di belakang Lakasipo.
"Peri Angsa Putih, bagaimana ini. Mungkin akuperlu bertanya...."
"Pacu kudamu Lakasipo. Dalam perjalanan kau
boleh mengajukan seribu pertanyaan. Semuanya akan
kujawab! Apa lagi menyangkut saudara angkatmu
yang kau anggap baik dan suci itu!" Habis berkata
begitu Peri Angsa Putih menggebrak pinggul Lae-
kakienam dengan tangan kirinya sementara tangan
kanannya enak saja merangkul ke pinggang Lakasipo.
Kuda hitam raksasa berkaki enam itu meringkik keras
lalu melompat ke depan.
"Peri geblek!" Wiro memaki sendirian dalam hati.
"Apa yang terjadi dengan dirinya! Katanya dia melihat
sendiri aku dan Luhjelita di dalam goa. Melihat apa?"
Wiro garuk-garuk kepala. "Jangan-jangan.... Bayangan
yang kulihat dalam goa memang adalah bayangannya.
Gila betul! Dia menyangka.... Aku tidak percaya! Dia
bukan makhluk sembarangan. Masakan bisa percaya
saja pada ucapan dua gadis kembar sialan itu. Tapi....
Memangnya aku sedang apa di dalam goa ketika dia
melihat!" Wiro geleng-geleng kepala dan tendang-
tendang rumput liar di depannya. "Caranya dia pergi
dengan Lakasipo. Seperti sengaja hendak membuat
aku sakit hati. Dia pakai merangkul pinggang lelaki itu
segala. Mungkin agar aku sakit hati dan cemburu! Gila,
perlu apa aku sakit hati dan cemburu! Kupikirkanpun
tidak! Sayang.... Kenapa dia jadi begitu. Padahal dia
pernah menyelamatkan nyawaku, aku juga begitu...."
Akhirnya Wiro hanya bisa menghela nafas panjang
sambil jambak-jambak rambut sendiri. Saat itulah tiba-
tiba ada satu suara berucap.
"Kalau kasih sejati berubah menjadi kebencian
memang hebat akibatnya. Wahai Pendekar 212, kau
tengah menghadapi ujian berat! Ujian itu akan berubah
menjadi malapetaka jika kau memang berbuat apa
yang dikatakan Peri tadi...."
"Siapa yang bicara?!" seru murid Sinto Gendeng.
Dalam kagetnya Wiro segera palingkan kepala.
TIGA
DI HADAPAN Wiro berdiri seorang gadis tinggi
semampai berkulit putih. Pakaiannya yang biru gelap
membuat kecantikannya tambah menonjol. Rambutnya
yang panjang tergerai melambai-lambai ditiup angin. Di
keningnya yang putih licin melekat sebuah bunga tanjung
kuning.
"Luhcinta..." ujar Wiro perlahan setengah berbisik.
Apa yang barusan dialaminya membuat Wiro tidak kuasa
tersenyum padahal kemunculan Luhcinta murid Nenek
Hantu Lembah Laekatakhijau ini sangat menggembirakan
dan mampu menghibur hatinya.
"Aku bersyukur kau berada di sini..." kata Pendekar
212. Lalu dia ingat pada ucapan Luhcinta tadi.
"Kata-katamu tadi, apakah kau sudah lama berada di
sini dan mendengar...."
"Aku mendengar semua yang dikatakan dua gadis
kembar itu. Aku juga mendengar apa yang diucapkan
Peri Angsa Putih..." kata Luhcinta sambil tersenyum.
Senyuman yang benar-benar tulus dan membuat hati
murid Sinto Gendeng merasa sejuk hingga kemarahan
dan kejengkelannya berangsur lenyap.
"Kau... kau mempercayai apa yang mereka katakan?"
Wiro bertanya.
"Kau tidak boleh bertanya seperti itu. Tapi kau justru
harus membuktikan bahwa kau tidak melakukan apa
yang dituduhkan mereka...."
"Mereka bertiga menuduhku. Aku sendirian! Fitnah
mereka dalam waktu singkat tentu akan tersebar luas di
Negeri Latahansilam ini. Sebelum aku bisa membuktikan
diriku tidak berbuat keji, namaku sudah tak karuan
tercemar."
"Itulah hidup. Ketulusan kasih tidak selalu muncul
cerah dimana-mana. Sesekali redup bahkan pupus
oleh hal-hal yang tidak terduga. Apa lagi jika kau tidak
bisa membuktikan dirimu benar-benar bersih...."
"Aku bersumpah...!" Wiro gelengkan kepalanya.
"Percuma saja! Siapa yang mau percaya! Di tanah
Jawa saja aku tidak pernah berbuat serendah itu. Apa
lagi di sini di negeri orang...."
"Soal dirimu di tanah Jawa siapa yang tahu. Yang
jadi masalah justru sepak terjangmu di negeri ini...."
"Agaknya kau seperti mempercayai apa yangdiucapkan tiga orang itu..." kata Wiro dengan nada
kecewa.
"Wahai, adakah aku mengatakan seperti itu Wiro?
Fitnah adalah penodaan paling jahat atas kasih sayang.
Tapi bagaimana kasih sayang akan menunjukkan ke-
bersihan jati dirinya kalau kau tidak mampu mem-
buktikan bahwa dirimu sungguh bersih?"
"Jadi kau tidak mempercayai tuduhan ketiga orang
itu?"
Luhcinta tersenyum. "Masalahnya bukan percaya
atau tidak. Tapi kemampuan dirimu untuk menyatakan
bahwa kau benar-benar bersih...."
"Aku tidak ingin membela diri. Tapi dua gadis kembar
itulah yang telah berbuat keji terhadap Luhjelita. Kau
mungkin belum tahu. Mereka dua gadis yang punya
kelainan jiwa. Hanya suka...."
"Aku tak Ingin mendengar hal itu," kata Luhcinta
memotong dengan suara halus. "Seharusnya hal itu
pantas kau ucapkan pada Peri Angsa Putih...."
"Percuma saja. Dia tidak akan percaya. Dia tidak
memberi kesempatan padaku untuk menjelaskan...."
Pendekar 212 terdiam. Dia menarik nafas berulang
kali lalu berkata. "Aku berterima kasih padamu. Kau
memberi petunjuk padaku bagaimana harus berbuat.
Aku akan melakukan sesuatu. Melakukan apa saja
untuk membersihkan diriku...."
"Aku gembira mendengar ucapanmu. Ingatlah
selalu, hidup yang didasarkan pada kasih sejati tidak
ada pernah menempuh jalan keliru...."
"Tapi aku tidak mencintai Luhjelita atau Peri Angsa
Putih. Jika itu maksudmu. Sekalipun demikian tidak
mungkin aku akan berbuat keji terhadap salah satu
dari mereka...."
"Wahai, aku tidak membicarakan cinta. Aku menyebut
kasih. Karena kasih adalah lebih kudus dan lebih agung
dari pada cinta. Kasih sejati tidak dapat digantikan oleh
cinta, betapapun murninya...."
"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu," kata Wiro
sambil garuk-garuk kepala.
"Suatu ketika kau pasti akan mengerti."
"Luhcinta, apakah kau pernah mengasihi seseorang?"
tanya Pendekar 212 pula.
Luhcinta tertawa perlahan sambil palingkan wajahnya
yang bersemu merah ke jurusan lain. Lalu gadis
berhiasan bunga tanjung di keningnya ini berkata.
"Teka teki hidupku masih menjadi beban berat dalam
hatiku. Bagaimana mungkin aku memikirkan hal yang
kau tanyakan itu?"
"Kurasa jika kau pernah mengasihi seseorangbeban hidupmu mungkin bisa berkurang. Tapi en-
tahlah.... Aku bukan orang yang ahli dalam soal kasih
sayang," kata Wiro pula lalu tertawa tapi kecut
"Luhcinta, apakah kau telah berhasil mengung-
kapkan rahasia kehidupan kedua orang tuamu?" Wiro
alihkan pembicaraan.
"Masih jauh panggang dari api. Tapi siapa tahu,
segala sesuatunya bisa berubah secara tidak terduga.
Kekuatan kasih bisa meruntuhkan tembok baja yang
mengelilingi kita. Mudah-mudahan semua teka teki
hidup yang menyelubungi diriku bisa terungkap se-
cepatnya...."
"Jika kau suka, aku bersedia membantu...."
"Terima kasih. Bahtera hidup ini biar kukayuh
sendiri. Kita berpisah dulu sampai di sini...."
"Tunggu, kau mau menuju ke mana?"
"Terus terang aku sendiri tidak tahu harus me-
neruskan perjalanan ke mana...."
"Kasih ada membimbing perjalananmu," kata Wiro.
Luhcinta tertawa lepas. "Ternyata kau lebih cepat
mengetahui arti kasih dari pada yang kau duga sen-
diri...."
Wiro tertawa dan memperhatikan gadis itu mem-
balikkan badannya siap untuk berlalu. Ketika Luhcinta
berputar ke kiri Wiro melihat robek berlubang pada
bagian bahu kanan pakaian biru yang dikenakan si
gadis. Saat itu Wiro tidak ingat apa-apa. Tetapi begitu
Luhcinta sudah jauh di ujung sana tiba-tiba dia ingat
akan secarik sobekan kain biru yang disimpannya di
dalam saku pakaiannya. Wiro segera keluarkan robekan
itu. Robekan kain itu ditemuinya ketika dia keluar dari
goa, tersangkut di ujung ranting tak jauh dari goa
di mana Luhjelita disekap.
"Cabikan pakaian ini.... Jelas cabikan baju biru
Luhcinta," kata Wiro dalam hati. "Berarti dia juga
berada dekat goa itu. Jangan-jangan sebenarnya dia
juga punya dugaan yang sama dengan Peri Angsa
Putih. Celaka! Aku harus mencarinya. Aku harus men-
ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin hanya
dia satu-satunya gadis yang bisa menerima
penjelasanku." Wiro mengejar ke kaki bukit Tapi gadis
cantik berpakaian biru itu tak kelihatan lagi.
Tertegun sendirian Wiro ingat pada ucapan Hantu
Raja Obat alias Hantu Seribu Obat dan Luhrinjani yaitu
bahwa di Negeri Latanahsilam ini ada seorang gadis
yang mencintainya dengan sepenuh hati. "Luhjelita
jelas bukan, entah kalau dia bersandiwara," pikir Pen-
dekar 212. "Peri Angsa Putih juga pasti bukan. Dulu
selendangnya saja dimintanya kembali. Tadi sikapnyabegitu ketus dan garang. Selain itu Luhjelita atau Peri
Angsa Putih masih kucurigai sebagai pelaku yang
hendak meracuni diriku dengan mawar kuning di te-
laga tempo hari. Lalu bagaimana dengan Luhcinta?"
Wiro berpikir-pikir. "Dulu Hantu Seribu Obat pernah
mengatakan bahwa diantara sekian banyak gadis di
Negeri Latahansilam ini hanya Luhcinta seorang yang
mencintai diriku. Mungkin benar. Walau dia agak men-
curigai aku telah berbuat aib tapi tadi dia menunjukkan
sikap lembut Mungkin gadis satu ini pandai me-
nyembunyikan perasaan hatinya? Kalau aku terlalu
mempercayai ucapan Hantu Seribu Obat dan Luhrinjani,
aku khawatir terlalu berharap yang bukan-bukan...."
Dalam bayangan Wiro saat itu mendadak muncul
bayangan wajah Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan
Bunga, tiga gadis yang pernah menempati hatinya. Wiro
jadi garuk-garuk kepala. Sambil berjalan otaknya bekerja
terus. Dia ingat pada kakek berjuluk Si Pelawak Sinting.
"Aku harus mencari Si Pelawak Sinting yang palsu. Kakek
itu satu-satunya orang yang melihat kejadian di telaga
tempo hari. Aku harus dapat mengorek keterangan dari
dirinya."
DI SATU tempat sunyi, di balik semak belukar lebat di
kaki sebuah bukit sebelah timur, Luhcinta duduk
termenung sendirian. Dia mengingat-ingat kembali
pertemuan serta semua ucapannya dengan Wiro tadi.
"Aku memang tidak melihat sendiri apa yang
terjadi di dalam goa. Aku hanya melihat Luhjelita keluar
dari dalam goa, disusul pemuda itu. Sepasang gadis
kembar mungkin saja mengarang cerita. Aku tahu sifat
perangai mereka. Tapi Peri Angsa Putih tidak mungkin
memfitnah. Apa lagi kudengar dia berkata bahwa dia
juga melihat dengan mata kepala sendiri apa yang
dilakukan Wiro dan Luhjelita..."
Luhcinta menghela nafas panjang dan mengusap
wajahnya berulang kali. "Wahai...” katanya dalam hati.
"Sudah seburuk inikah sifat dan perbuatan makhluk
hidup di atas muka bumi Negeri Lahtanahsilam ini? Aku
tak ingin mempercayai dia tega berbuat sekeji itu. Tapi
kenyataan mengatakan demikian, bagaimana mau
membantahnya. Dia mengatakan tidak mencintai Luh
jelita ataupun Peri Angsa Putih. Wahai.... Mungkin itu
sengaja diucapkannya untuk menghilangkan jejak,
untuk menutupi keaiban dirinya. Agaknya dia pandai
bersandiwara. Tapi jika yang dikatakannya itu benar,
lalu siapakah gadis yang dicintainya di Negeri
Latanahsilam ini?"
Lama Luhcinta duduk termenung di balik semakbelukar lebat itu. Lalu dia menarik nafas dalam berulang
kali dan berkata. "Mudah-mudahan dia bisa melakukan
sesuatu untuk membersihkan dirinya.... Sementara itu,
bagaimana aku harus mengambil sikap? Mungkin lebih
baik aku mengurus persoalan diriku sendiri. Tapi....
Wiro.... Ah, bagaimana ini.... Apa yang harus aku
lakukan?"
Luhcinta memandang berkeliling. Dia ingat pada
orang berpakaian hitam yang mukanya ditempeli tanah
liat kering yang selama ini selalu menguntit dirinya.
Sejak beberapa waktu belakangan ini orang aneh itu
tak pernah lagi kelihatan membayang-bayangi dirinya.
Pertemuan terakhir dengan orang aneh berkepandaian
tinggi itu Luhcinta sempat memintanya untuk me-
nanggalkan tanah liat hitam yang selalu menutupi
wajahnya. Luhcinta melihat satu wajah yang tidak
dikenalnya. Sebagai imbalan Luhcinta siap menerang-
kan apa hubungannya dengan Luhpiranti dan Latampi.
Namun sebelum sempat bicara terjadi satu hal yang
hebat.
Serombongan Peri turun dari atas langit hendak
memboyong patung Luhmintari (ibu Hantu Jatilandak).
Maksud para Peri itu digagalkan oleh Peri Angsa Putih.
Ketika patung berhasil diselamatkan, orang berpa-
kaian serba hitam yang dikenal dengan panggilan Si
Penolong Budiman tak ada lagi di tempat tersebut
(Baca Ep.sode berjudul "Rahasia Patung Menangis").
EMPAT
UNTUK menghilangkan kerisauan hatinya sambil
berjalan Pendekar 212 bersiul-siul membawakan lagu tak
menentu. Di langit sang surya mulai condong ke barat
Udara yang tadinya panas berangsur-angsur terasa
teduh. Selagi asyik berjalan sambil bersiul-siul begitu
tiba-tiba Wiro melihat seseorang di tengah jalan, duduk
menjelepok di tanah membelakanginya. Orang ini
mengenakan pakaian berwarna hijau tua. Kepalanya
separuh botak separuh lagi ditumbuhi rambut panjang
berwarna putih, kusut masai riap-riapan.
"Dari caranya duduk di tengah jalan, jelas dia seperti
sengaja menghadang jalanku," kata murid Sinto Gendeng
dalam hati. "Aku belum dapat melihat wajahnya. Apa aku
kenal padanya? Lelaki atau perempuan dia adanya?"
Wiro hentikan langkahnya tapi terus saja bersiul-siul.
Tanpa berpaling tiba-tiba orang yang duduk di tengah
jalan hamburkan suara tertawa. Dari suaranya ternyata
dia adalah seorang perempuan.
"Umur tinggal sejengkal buruk! Masih bisa gembira diri
bersiul-siul!" Orang di tengah jalan keluarkan ucapan.
Suara siulan Pendekar 212 langsung berhenti.
"Bicara tapi tak mau melihat! Menegur tapi mem-
belakangi orang! Kalau kau masih muda pasti kurang
mendapat pelajaran sopan santun dari orang tuamu!
Kalau kau sudah tua bangka mungkin kau sudah pikun
atau kurang waras?"
Baru saja Wiro berkata begitu sosok yang duduk di
tengah jalan mendadak sontak melesat ke atas. Begitu
turun ke tanah orang ini telah berdiri menghadang tepat-
tepat ke arah Wiro. Sebelumnya Pendekar 212 telah
banyak melihat manusia berwajah seram. Tapi yang satu
ini sungguh dahsyat hingga Wiro tersurut sampai dua
langkah!
Yang tegak di hadapan Wiro saat itu adalah seorang
nenek angker. Sebagian besar wajahnya tidak berdaging
lagi, terkelupas begitu rupa hingga tulang kening, pipi,
hidung, mulut dan dagu menyembul putih mengerikan.
Mata kirinya hanya merupakan satu rongga besar
sementara bola matanya tersembul bergelantungan
keluar. Bagian depan pakaian hijau si nenek sengaja
dibuka hingga dada dan sebagian perutnya kelihatan
jelas. Dada dan perut inipun tidak lagi berdaging hinggatulang dada dan tulang-tulang iganya menyembul
menyeramkan!
"Hik... hik!" Si nenek tertawa pendek. "Anak muda
berambut panjang! Matamu melotot, keningmu me-
ngerenyit tanda berpikir. Apakah kau ingat dan sudah
mengenali siapa diriku?!"
Wiro garuk kepalanya lalu menjawab. "Gadis cantik
saja jarang kuingat-ingat apa lagi kau yang sudah
nenek dan buruk pula!" Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Lalu dia menyambung. "Pakaianmu boleh juga Nek!
Cuma kurang kau buka sampai ke bawah. Kalau lebih
ke bawah pasti aku bisa melihat pemandangan yang
lebih apik! Ha.,, ha... ha!"
Si nenek keluarkan suara menggembor. Dia hun-
jamkan kaki kanannya ke tanah hingga tanah ber-
lobang besar. Pasir dan debu beterbangan ke udara.
"Buset! Nenek ini punya ilmu juga rupanya. Aku
harus hati-hati," membatin Wiro dan bersikap waspada.
"Kekasihku Lajahilio!" si nenek tiba-tiba berseru
memanggil seseorang. "Lekas unjukkan diri! Katakan
pada pemuda keparat ini siapa aku adanya!"
Ada angin bersiur. Lalu dari atas sebatang pohon
besar melayang turun sosok seorang kakek berambut
putih awut-awutan. Mata kanan sipit, sebaliknya mata
kiri besar mendelik. Kakek ini mengenakan jubah
kuning pekat Melihat si kakek Pendekar 212 segera
ingat. Kakek ini adalah Lajahilio. Si nenek pastilah
kekasihnya yang bernama Luhjahilio. Di dalam rimba
persilatan Negeri Latanahsilam mereka dikenal dengan
julukan Sepasang Hantu Bercinta walau mereka selama
puluhan tahun memang hidup bersama tanpa kawin.
Seperti dituturkan dalam Episode berjudul "Rahasia
Patung Menangis" sepasang kakek nenek ini pernah
muncul untuk membalaskan dendam kesumat
kematian dua murid mereka yakni Lagandring dan
Lagandrung. Yang mereka serbu saat itu antara lain
Hantu Jatilandak yang membunuh Lagandring. Hantu
Jatilandak hampir menemui ajalnya kalau tidak ditolong
oleh orang sakti berjuluk Si Penolong Budiman dan
Luhcinta yang muncul secara berbarengan. Malang bagi
si nenek saat itu, dia terkena hantaman pukulan sakti
Pukulan Kasih Mendorong Bumi yang dilepaskan
Luhcinta. Tak ampun lagi sosok si nenek amblas
terpendam seolah tercetak ke dinding batu. Walau
Luhjahilio tak sempat menemui ajal, tapi ketika
Lajahilio menolong mengeluarkan sosoknya dari dalam
batu, sebagian daging muka dan tubuhnya masih
tertinggal di batu! Itu sebabnya kini dia menderita
cacat yang sangat mengerikan.Lajahilio tegak berkacak pinggang tapi agak ter-
bungkuk. Sepasang matanya membeliak pandangi
Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Anak muda yang umurnya tinggal sejengkal buruk!
Kau berhadapan dengan Sepasang Hantu Bercinta! Aku
Lajahilio dan nenek itu kekasihku bernama Luhjahilio!"
"Hebat!" memuji Wiro sambil acungkan jari tapi
bukan jari jempol melainkan jari kelingking tangan
kirinya! "Julukan kalian sungguh luar biasa. Aku salah
menduga. Tadinya kukira bangsa hantu itu tak bisa
bercinta. Ternyata kalian bisa. Pasti kalian bercintanya
di sekitar kuburan! Kalian bernama Lajahilio dan Luh-
jahilio. Pasti kalian orang-orang dari abad jahiliah! Tapi
ada satu hal aku ingin tahu! Bagaimana kalian bisa
menghitung kalau umurku cuma tinggal sejengkal
buruk?!"
Si kakek menyeringai, si nenek mendengus. "Anak
muda, nasibmu yang malang!" kata Lajahilio. "Se-
benarnya kekasihku bukan mencari dirimu, tetapi men-
cari kekasihmu yang bernama Luhcinta itu! Dia yang
menyebabkan kekasihku cacat begini rupa! Luhcinta
belum ditemui, kaupun tak ada salahnya dipesiangi
lebih dulu! Ha... ha... ha!"
"Tua bangka pikun! Aku tidak ada hubungan
apa-apa dengan Luhcinta. Dan dia bukan kekasihku!
Jika kalian punya silang sengketa dengan dirinya,
mengapa melampiaskan dendam padaku?!"
"Rupanya takut mati juga kau! Hik... hik... hik!
Lajahilio! Lekas kau panggil sahabat kita si muka
kuning itu! Kalian berdua harap awasi jangan sampai
pemuda ini melarikan diri!"
Mendengar kata-kata si nenek kekasihnya Lajahilio
lantas keluarkan satu suitan keras. Saat itu juga dari
balik pohon kayu besar terdengar suara "Buuuttttt!"
Lalu kelihatan melangkah keluar seorang nenek. Mulai
dari rambut sampai ke ujung kaki nenek ini berwarna
kuning. Di lehernya bergelantungan berbagai macam
kalung. Semuanya berwarna kuning. Salah satu kalung
itu adalah sendok emas sakti yakni Sendok Pemasung
Nasib yang dirampasnya dari Lakasipo sewaktu Lakasipo
hendak menyerahkan benda itu pada Hantu Langit
Terjungkir. Di kepala si nenek menancap tiga buah
sunting yang bergoyang-goyang kian kemari setiap
dia bergerak. Dia juga mengenakan anting-anting bulat
besar berwarna kuning.
Sambil berjalan sesekali si nenek songgengkan
pantatnya. Lalu "buuuutttttt".... Enak sajadia keluarkan
kentut panjang dan keras.
Di punggungnya nenek muka kuning itu memanggulsebuah keranjang besar. Keranjang ini berisi belasan
ekor ayam jantan. Sambil berjalan si nenek pegang
seekor ayam jantan di tangan kirinya. Lalu dengan
tangan kanannya enak saja nenek ini memuntir dan
mencabut daging yang menonjol di ujung dubur ayam.
Binatang ini keluarkan suara kesakitan. Si nenek
lemparkan binatang itu ke tanah. Ayam yang kesakitan
setengah mati ini seperti celeng menghambur sem
poyongan. Seolah menenggak penganan lezat, si nenek
kemudian mengunyah dan menelan kibul ayam dalam
mulutnya mentah-mentah! Selagi mulutnya mengunyah,
di sebelah bawah kentutnya bertabur tiada henti!
Ketika melihat si nenek bermuka dan berpakaian
serba kuning ini kaget Wiro bukan alang kepalang.
Ternyata si nenek yang dikenal dengan nama Luhkentut
alias Nenek Selaksa Kentut atau Nenek Selaksa Angin ini
adalah kambratnya Sepasang Hantu Bercinta!
Menghadapi dua kakek nenek aneh itu bukan hal mudah,
apalagi kalau mereka dibantu pula oleh Luhkentut!
Sungguh Wiro tidak menduga kalau Sepasang Hantu
Bercinta punya hubungan tertentu dengan si nenek muka
kuning.
"Celaka! Bagaimana urusan bisa kapiran begini!"
Wiro mengeluh dalam hati. "Jangan-jangan nenek
tukang kentut itu tahu kalau aku menipunya! Tapi siapa
tahu ada harapan. Kulihat dia masih asyik menenggak
kibul ayam jantan! Seolah tidak acuh akan kehadiranku!"
Tapi saat itu si nenek justru putar kepala, memandang
melotot pada Wiro dengan mulut gembung karena
tersumpal kibul ayam.
Ketika melihat Pendekar 212 Wiro Sableng, Nenek
Selaksa Kentut tak kalah kejutnya. Mulutnya
termonyong-monyong. Dia segera telan habis kibul ayam
dalam mulutnya, kentutnya dulu "buuuutttttt"... lalu
berseru.
"Sepasang Hantu Bercinta, ini urusan salah kaprah!
Wahai! Aku tidak tahu kalau yang ingin kalian pesiangi
adalah pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang ini! Aku tak mungkin membantumu! Dia tak
boleh kalian bunuh!"
"Buuuuttttttt..!"
Sepasang kakek nenek bernama Luhjahilio dan
Lajahilio sama-sama delikkan mata. Luhjahilio berteriak
marah.
"Luhkentut! Jangan kau berani menipu mengingkari
perjanjian! Ingat! Aku dan kekasihku sudah mencarikan
hampir tiga puluh ayam jantan untuk kau jadikan
santapan kibulnya!"
"Tua bangka muka setan! Siapa menipu! Siapaingkari perjanjian! Aku cuma bilang tidak mau mem-
bantumu. Dan kalian tidak boleh membunuh pemuda
itu!"
"Buuuttt..." Luhkentut kembali pancarkan kentutnya.
Lajahilio maju dekati nenek muka kuning. Dia
sengaja bicara lembut, berusaha membujuk.
"Mengapa begitu wahai kerabatku Luhkentut?
Mengapa kau mendadak berubah pikiran?"
"Buuuuttttt!" Si nenek kentut dulu sebelum menjawab.
"Aku punya urusan besar dengan pemuda itu!
Aku tak ingin dia mampus sebelum urusanku selesai!"
"Kurang ajar! Kalau kau tak mau membantu harap
lekas angkat kaki dari sini! Lain hari urusan dustamu
ini akan kita selesaikan!" Kembali Luhjahilio berteriak
marah.
"Aku tidak akan pergi dari sini! Kalian berdua saja
yang lekas menyingkir!" Nenek muka kuning ulurkan
tangannya ke belakang, mencekal seekor ayam jantan.
Seperti tadi kibul ayam ini dipuntirnya sampai putus
lalu dikunyah dan ditelannya. Ayam yang terkuik-kuik
kesakitan enak saja dilemparkannya ke muka Luhjahilio
sambil tertawa-tawa. Luhjahilio marah besar. Sekali
hantam saja ayam jantan itu cerai berai berkeping-
keping. Bulunya beterbangan di udara. Kemarahan
Luhjahilio tidak sampai di sana. Dia segera menerjang ke
arah nenek muka kuning dan lepaskan satu pukulan sakti
mengandung tenaga dalam hebat. Angin deras menyapu
ke depan. Nenek muka kuning sesaat terhuyung dan
terkentut-kentut "Buutt... buuttt". Tapi dia tidak tinggal
diam dan cepat bertindak.
"Kurang ajar! Berani kau menyerangku! Rasakan!"
teriak Luhkentut Entah kapan nenek ini bergerak
tahu-tahu tangan kanannya telah mencengkeram ta-
ngan kanan Luhjahilio yang hendak menghantam
dadanya.
Lajahilio, kakek kekasih, Luhjahilio tahu benar
kehebatan si nenek muka kuning berjuluk Nenek Se-
laksa Kentut atau Nenek Selaksa Angin itu. Kalau dia
tidak segera turun tangan pasti tangan kanan ke-
kasihnya akan mengalami cidera berat. Tidak me-
nunggu lebih lama kakek ini segera menyerang dari
samping.
Melihat orang bertindak curang, walau dia kurang
suka terhadap nenek muka kuning namun Wiro tak
mau berpangku tangan saja. Sebenarnya saat itu dia
bisa saja cari selamat menyelinap tinggalkan tempat
itu. Namun yang dilakukannya adalah berkelebat meng-
hadang gerakan Lajahilio.
"Bukkkk!"
LIMA
LENGAN kanan Wiro saling bentrokan dengan lengan
kanan Lajahilio. Pendekar 212 mengerenyit dan
terhuyung dua langkah. Di depannya si kakek keluarkan
jeritan tertahan. Dia hampir terjengkang. Ketika
diperhatikannya ternyata lengannya telah bengkak
merah, sakitnya bukan kepalang. Mukanya kelam merah
menahan sakit dan juga ada rasa tidak percaya. Selama
ini kekuatan tangannya mampu menghancurkan batu.
Tapi kini si pemuda bukan saja sanggup menahan malah
membuat dia kesakitan setengah mati. Masih untung
tulang lengannya tidak cidera.
"Pemuda asing jahanam! Aku mau lihat sampai
di mana kehebatanmu! Makan seranganku ini!"
Lajahilio dorongkan dua tangannya ke arah Pendekar
212. Dua rangkum angin menggebubu, menyapu dahsyat
Murid Sinto Gendeng terpental sampai dua tombak. Wiro
cepat tekuk lututnya agar dia tidak jatuh duduk. Ketika
Lajahilio susul serangannya tadi dengan tendangan ke
arah kepala, Wiro serta merta pukulkan tangan
kanannya. Serangkum angin laksana topan melabrak ke
depan. Sosok Lajahilio sesaat mengapung di udara lalu
terangkat dan mental jungkir balik di udara. Ketika jatuh
di tanah punggungnya terbanting lebih dulu. Lajahilio
mengeluh tinggi. Di sebelah belakang sekujur tulang-
tulangnya serasa remuk. Sedang di bagian depan yang
barusan dihantam angin pukulan Benteng Topan Melanda
Samudra yang tadi dilepaskan Wiro dadanya serasa
amblas.
"Buuuttttt..." Kembali terdengar kentut panjang
nenek muka kuning, disusul ucapannya.
"Luar biasa! Anak muda rambut panjang! Ilmu
apa yang kau pergunakan menghantam kakek jelek
itu! Hik... hiik... hik...?" Di samping kiri si nenek muka
kuning tertawa cekikikan. Untuk kesekian kalinya ta-
ngannya siap memuntir kibul seekor ayam jantan.
Terhuyung-huyung, dengan dada sesak dan darah
mengucur di sela bibir, Lajahilio bangkit berdiri. Me-
mandang ke samping kiri dia keluarkan seruan ter-
tahan. Tadi ketika melihat kekasihnya saling men-
cengkeram dengan nenek muka kuning dia berusaha
untuk membantu karena tahu betul bahaya besar yang
mengancam Luhjahilio. Tapi gerakannya dihadangoleh Wiro. Kini ketika dia memperhatikan kagetnya
bukan alang kepalang melihat apa yang terjadi. Saat
itu Luhjahilio dilihatnya tegak sambil pegangi jidatnya.
Di jidat itu kini menempel potongan tangan kanan
miliknya sendiri! Sebatas lengan sampai ke ujung jari.
Dengan muka pucat si nenek berusaha menanggalkan
tangan yang menempel di keningnya itu tapi sia-sia
saja. Luhjahilio berteriak dan hentak-hentakkan kaki-
nya kalang kabut!
"Ilmu Menahan Darah Memindah Jazadl" desis
Lajahilio dalam hati. "Jadi benar rupanya nenek muka
kuning ini memiliki ilmu dahsyat itu. Dia sanggup
memindah bagian-bagian tubuh manusia tanpa me-
ngeluarkan darah tanpa membunuh! Tapi akibatnya
lebih mengenaskan dari kematian!"
"Luhjahilio! Mari kita tinggalkan tempat ini!" Lajahilio
berseru.
"Buuuutttt...!"
"Tidak sebelum tanganku ini bisa ditanggalkan!"
jawab Luhjahilio. Kembali dia menarik-narik potongan
tangannya. Tetap tidak berhasil. Nenek muka kuning
tertawa gelak-gelak.
"Luhjahilio, bagusnya kau ikuti ucapan kekasihmu.
Sebelum aku memindahkan bagian tubuhmu yang
lain ke jidat atau pipimu!" berkata Luhkentut lalu
"buuuttttt...!"
Luhjahilio meradang marah. Tapi Lajahilio cepat
menarik tangan kekasihnya dan setengah menyeret
membawa nenek itu kabur dari tempat tersebut
Pendekar 212 Wiro Sableng merasa tengkuknya
dingin ketika nenek muka kuning tiba-tiba berpaling
ke arahnya. Sepasang mata si nenek memandang
lekat-lekat, mulutnya komat kamit mengunyah kibul
ayam. Dia menyeringai, lalu tertawa mengekeh hingga
sebagian kibul ayam yang ada di mulutnya tersembur
keluar. Melihat si nenek tertawa Wiro merasa lega
sedikit. Namun dia tetap berjaga-jaga dengan me-
ngerahkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Si nenek songgengkan pantatnya lalu "buuuttt..!"
"Anak muda bernama Wiro Sableng! Mana dua
kawanmu yang dulu turut memperdayaiku di gua yang
ada patungnya?"
"Anu Nek.... Mereka berada di Latanahsilam..."
"Pasti mencari perempuan! Hik... hik... hik!" Si
nenek tertawa lalu sambung tawanya dengan kentut
dua kali buuuttt.. buutttt! Puas tertawa dan terkentut-
kentut si nenek perhatikan tangan kanan Wiro Sableng.
terbangan ke udara. Si nenek muka kuning berseru
keras. Tubuhnya tergontai-gontai sementara dua kakinya laksana ditanam ke tanah. Dia kerahkan seluruh
tenaganya tapi tak urung lututnya mulai goyah. Pa-
kaiannya berkibar-kibar. Keranjang ayam di pung-
gungnya berderak-derak. Belasan ayam yang ada da-
lam keranjang itu berkotek-kotek ketakutan lalu se-
muanya amblas terpental dihantam sambaran angin
deras, beterbangan cerai berai di udara. Sesaat ke-
mudian keranjang ayam ikut terbang hancur beran-
takan. Tiga buah sunting di kepala si nenek bergoyang
keras lalu mencelat mental. Begitu juga sepasang
anting ditelinganya, copot mental. Masih untung rang-
kaian kalung yang tergantung di lehernya tak ikut
diterbangkan angin pukulan, tertahan di bawah dagu!
Bagaimanapun Luhkentut bertahan namun tak
urung dua kakinya yang terpendam di tanah perlahan-
lahan terangkat ke atas. Di lain saat sosok tubuhnya
tampak limbung naik ke udara. Mengapung sejajar
tanah dengan sepasang kaki menghadap ke arah Wiro.
"Buuuttt... buuuutttt.. buuttttt!" Si nenek kentut
berulang kali.
Tiba-tiba wut.. wuuutt... wuutttt! Pakaian kuning
yang melekat di tubuh si nenek terlepas tanggal dari
tubuhnya, terbang ke udara lalu menyangkut jauh di
atas sebatang pohon!
"Kurang ajar! Hai! Kau apakan diriku?!" Teriak
Luhkentut sambil kalang kabut menutupi tubuhnya
yang kini bugil polos sementara kentutnya keluar
bertalu-talu.
Wiro tersentak kaget Serta merta dia hentikan
serangan Benteng Topan Melanda Samudera. Walau
si nenek ternyata mempunyai kehebatan untuk ber-
tahan tapi dia tidak menyangka akibatnya akan seperti
itu. Ketika Luhkentut berhasil turunkan dua kakinya
ke tanah, Wiro tak berani berada lebih lama di tempat
itu. Takut dilabrak si nenek murid Sinto Gendeng
segera tancap ambil langkah seribu. Sambil kabur dia
memaki dalam hati.
"Nenek sinting! Salah sendiri mengapa tidak pakai
celana dalam!"
ENAM
PERI Bunda pegang lengan Peri bermata biru yang
duduk di hadapannya. Untuk beberapa lamanya tak
satupun diantara mereka yang membuka mulut bicara.
Akhirnya Peri Bunda memecah kesunyian di dalam
kamar besar dan bagus itu.
"Aku tahu hatimu masih terguncang hebat wahai
kerabatku Peri Angsa Putih. Tidak mudah memang
menghadapi kejadian seperti ini karena menyangkut
jauh sampai ke bagian terdalam dari hati nuranimu.
Tapi ketahuilah kerabatku, apa yang telah kau lakukan
adalah tindakan yang benar. Pemuda itu harus kau
jauhi. Bahkan harus kau tinggalkan sebelum mala-
petaka menimpa dirimu seperti yang terjadi dengan
diri Luhmintari, Peri yang jadi ibu Hantu Jatilandak
ketika dia bersuamikan Lahambalang. Aku akan me-
lindungimu terhadap para Peri lainnya. Jika Peri Se-
sepuh bertanya biar aku yang menghadap. Aku akan
membantumu jika terjadi apa-apa."
"Peri Bunda kau sangat baitetoati. Tapi bagaimana
kalau pemuda itu berdendam terhadapku dan melaku-
kan sesuatu yang tidak baik?" tanya Peri Angsa Putih
pula.
"Kau tak usah kawatir wahai kerabatku. Aku sen-
diri yang akan turun tangan menghadapinya jika dia
berani berbuat begitu. Kalau perlu kita bisa perguna
kan para tokoh Hantu di Negeri Latanasilam untuk
membantu. Jangan harap dia bisa kembali ke tanah
asalnya jika dia berani mencideraimu..." Peri Bunda
diam sejenak. Lalu dia bertanya. "Peri Angsa Putih,
apakah kau pernah mengatakan isi hatimu pada pe-
muda bernama Wiro Sableng itu? Apakah dia tahu kau
mencintainya?"
Sepasang mata biru Peri Angsa Putih memandang
lekat-lekat pada Peri Bunda, seolah membesar dan
berbinar. Di lubuk hatinya dia berkata. "Aku memang
tidak pernah berterus terang pada Wiro. Tidak mungkin
seorang perempuan, apa lagi seorang Peri mendahului
membuka isi hatinya. Namun... mungkin ketidak tahuan
ini membuat dia bersikap seperti itu padaku. Tapi
apa gunanya. Sekalipun kini dia tahu tak ada artinya
lagi. Aib yang telah dilakukannya terlalu besar. Aku
tidak mungkin menerima seorang kekasih sepertiitu...." Peri Angsa Putih usap pinggiran ke dua matanya
lalu berkata. "Kau betul Peri Bunda. Aku memang tak
pernah mengatakan isi hatiku pada Wiro. Sekarang
semuanya sudah kasip. Biar tetap kupendam seumur
hidupku...."
"Aku bangga melihat ketabahanmu wahai Peri
Angsa Putih. Kau tak usah kawatir pemuda itu akan
melakukan sesuatu. Jika perlu aku akan turun ke
Negeri Latanahsilam menemuinya...."
"Apa yang akan kau lakukan Peri Bunda? Apa
yang hendak kau katakan padanya?"
"Kau tak usah kawatir, kau tak usah takut. Se-
rahkan semua padaku. Pasti akan dapat kuselesaikan
demi untuk kebaikan dirimu dan kesucian kita sebagai
kaum Peri yang tidak bisa disamakan dengan bangsa
manusia biasa..." Peri Bunda belai pipi Peri Angsa
Putih lalu bangkit berdiri. "Aku akan pergi ke Negeri
Latanahsilam sekarang juga. Kau tetap di sini. Jangan
kemana-mana. Kau boleh berada di kamarku ini
sampai aku kembali...."
"Terima kasih Peri Bunda. Aku memang merasa
lebih tenteram berada di kamarmu ini," kata Peri Angsa
Putih pula.
"Sebelum aku pergi ada satu hal lagi yang perlu
kukatakan padamu. Jika aku tidak mengeluarkan hal
ini rasanya akan menjadi ganjalan yang tidak enak."
"Katakanlah Peri Bunda. Wahai gerangan apa yang
hendak kau sampaikan?" ujar Peri Angsa Putih pula.
"Menurut ceritamu kau meninggalkan Wiro pergi
bersama Lakasipo, menunggangi kuda hitam berkaki
enam berdua-dua."
"Betul Peri Bunda," membenarkan Peri Angsa
Putih sambil anggukkan kepala.
"Dengan caramu itu kau bermaksud hendak sekedar
membalaskan sakit hatimu pada Wiro. Mungkin juga
hendak mengatakan bahwa bukan dia seorang lelaki di
atas dunia ini. Tapi kau lupa satu hal. Entah kau sadari
atau tidak kau seolah memberi harapan pada Lakasipo..."
Peri Angsa Putih terdiam. Peri Bunda melanjutkan
kata-katanya. "Mungkin aku salah menduga. Tapi se-
tahuku, sebelum Wiro muncul di Negeri Latanahsilam
kau pernah memperlihatkan sikap dan rasa tertarik
pada Lakasipo. Sikapmu berubah begitu Wiro datang...."
Wajah Peri Angsa Putih bersemu merah. Peri ini coba
tertawa. "Peri Bunda, kau meminta aku melupakan
pemuda itu. Aku telah melakukannya.... Mengenai
Lakasipo, bukankah dia juga telah masuk dalam
pikatan Luhjelita?"
"Itu dulu. Bagaimana kini kalau dia tahu apa yangtelah dilakukan Wiro dengan Luhjelita? Dia pasti akan
kecewa besar, mungkin marah sakit hati dan meng-
arahkan pilihannya padamu. Apalagi sejak lama tersiar
kabar bahwa Luhjelita konon adalah kekasih Hantu
Muka Dua...."
"Wahai, terus terang aku tidak memikir sampai ke
sana, Peri Bunda...."
Peri Bunda cium kening kerabatnya itu lalu tinggalkan
tempat tersebut Tak lama setelah Peri Bunda pergi,
walau berada dalam kamar yang luas dan bagus lama-
lama Peri Angsa Putih merasa gelisah sendiri. Dia duduk
di tepi pembaringan yang empuk. Lalu melangkah
mundar-mandir. Sesekali dia berdiri di belakang satu
jendela, memandang keluar ke arah sebuah taman yang
dipenuhi berbagai bunga yang tengah berkembang. Di
tengah taman tiba-tiba seolah muncul bayangan sosok
Pendekar 212 Wiro Sableng, melambaikan tangan ke
arahnya.
Peri Angsa Putih sampai tersurut "Wahai.... Pertanda
apa ini?. Mengapa bayangannya mendadak muncul
seperti itu. Apakah satu pertanda bahwa aku sebenarnya
tidak bisa melupakan dirinya? Bahwa semua apa yang
aku katakan pada Peri Bunda sebenarnya tidak keluar
dari lubuk hatiku? Wahai.... Antara aku dan dia mungkin
tidak bisa pernah terjalin tali perkawinan. Tapi apa yang
telah dilakukannya memperjauh jarak antara aku dengan
dia. Wiro, mengapa kau melakukan perbuatan aib itu...?"
Peri Angsa Putih jauhi jendela. Lalu kembali dia
melangkah mundar mandir di dalam kamar yang luas
dan bagus itu. Di sudut kamartergantung serangkaian
jambangan bunga dari rotan bersusun enam. Yang
sebelah bawah paling besar, sebelah atasnya lebih
kecil demikian seterusnya. Peri Angsa Putih telah
beberapa kali memperhatikan jambangan yang berisi
bunga hidup itu. Namun entah mengapa kali ini ter-
gerak hatinya untuk mendekati jambangan tersebut
dan melihat bunga-bunga yang ada di situ lebih dekat.
Semua bunga yang ada dalam jambangan selain bagus
dan memiliki warna indah juga menebar bau harum
semerbak.
Peri Angsa Putih hendak melangkah pergi ketika
tiba-tiba pandangannya membentur sesuatu pada jam-
bangan paling besar di sebelah bawah. Sang Peri
membungkuk agar bisa melihat lebih jelas. Tidak per-
caya pada apa yang dilihatnya dia ulurkan tangan
mengambil benda itu. Yang diambil Peri Angsa Putih,
terselip di antara kembang-kembang bagus dan harum
ternyata adalah dua buah bunga mawar kuning.
"Mawar kuning..." desis Peri Angsa Putih. "Bungaini hanya tumbuh di Taman Larangan. Mengapa bisa
berada di sini? Apakah Peri Bunda tahu kalau dua
kuntum mawar kuning ini terselip di antara bunga-
bunga lainnya dalam jambangan?" Tiba-tiba Peri Angsa
Putih ingat. Tangannya bergetar. "Mawar kuning ini
mawar beracun! Mawar inilah yang tempo hari hampir
membunuh Wiro di telaga. Wahai para Dewa! Jangan-
jangan...."
Takut keracunan Peri Angsa Putih selipkan kembali
dua kuntum mawar kuning itu di antara bunga-bunga
dijambangan rotan paling bawah. Namun selintas pikiran
muncul di benaknya. "Kalau benar apa yang kuduga, aku
harus mempunyai bukti. Dua bunga mawar kuning
beracun itu harus kuambil dan kusembunyikan. Lalu aku
harus menyelidik. Atau mungkin aku akan tanyakan terus
terang padanya? Berarti aku harus menyusulnya saat ini
juga! Tidak kusangka! Wahai, sungguh tidak kusangka!"
Cepat-cepat Peri Angsa Putih hendak mengambil
dua kuntum bunga mawar yang barusan diletakkan-
nya. Namun gerakannya tertahan. Dia merasa ada
seseorang tegak di belakangnya, memperhatikannya.
Pasti Peri Bunda, pikir Peri bermata biru itu. Dia segera
membalikkan badan. Dugaannya ternyata salah!
TUJUH
YANG tegak di depan pintu kamar itu adalah seorang
perempuan cantik berpakaian putih sangat tipis hingga
beberapa bagian auratnya terlihat jelas. Bagaimana
orang ini bisa masuk tanpa membuka pintu bagi Peri
Angsa Putih tidak mengherankan. Karena perempuan itu
adalah roh dari seseorang yang sebenarnya telah mati,
namun bisa muncul dalam wujud seperti manusia biasa
berkat pertolongan para Peri dibantu para Dewa.
Sebagai mahluk setengah gaib sosok ini secara aneh
sanggup masuk ke dalam sebuah ruangan melalui celah
atau lobang kecil.
"Luhrinjani...." Peri Angsa Putih menyebut nama
perempuan itu dengan suara bergetar. Lalu tangan
kirinya diletakkan di atas bibir seolah tak berani lagi
bersuara membuka mulut.
Perempuan yang dipanggil dengan nama Luhrinjani
tersenyum. "Wahai, kau masih ingat namaku. Apakah
kau juga masih ingat siapa diriku ini adanya Peri Angsa
Putih?"
"Aku ingat, kau adalah roh yang mampu
mewujudkan diri karena pertolongan para Peri dan para
Dewa...." jawab Peri Angsa Putih.
"Jawabanmu tidak salah, tapi bukan itu yang aku
maksudkan wahai Peri Angsa Putih," kata Luhrinjani
sambil layangkan senyum.
"Senyumnya sinis.... Apa yang dimaksudkan mahluk
ini?" membatin Peri Angsa Putih. "Wahai, aku kurang
paham maksudmu Luhrinjani."
"Begitu? Dengar baik-baik wahai Peri bermata biru.
Aku adalah Luhrinjani. Sampai saat ini aku masih istri
seorang lelaki bernama Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki
Batu yang dulunya adalah Kepala Negeri Latanahsilam.
Jelas...?"
Peri Angsa Putih anggukkan kepala namun tetap
bertanya-tanya apa maksud Luhrinjani dengan semua
tanya dan ucapannya itu.
"Aku tidak melupakan budi baik dan jasa para Peri
termasuk dirimu yang telah mampu membuat diriku bisa
berkeadaan seperti ini. Tapi itu bukan berarti aku harus
begitu saja menerima perlakuan menyakitkan dari para
Peri!"
"Wahai, sepanjang aku tahu kami para Peri tidakpernah menyakiti hatimu. Mungkin kau...."
"Peri Angsa Putih, ayam putih terbang siang kata
orang. Apa yang kau telah lakukan terlihat jelas karena
aku tidak buta!"
"Wahai, memangnya apa yang telah aku lakukan?"
Peri Angsa Putih bertanya heran.
"Kau lupa pada ucapanku tadi. Sampai saat ini
Lakasipo masih suamiku dan aku masih istrinya. Jangan
ada perempuan lain yang berani bermain api cinta
dengan suamiku, termasuk kau!"
Waktu menyebut "kau" itu Luhrinjani beliakkan
sepasang matanya dan jari telunjuk tangan kirinya
ditudingkan tepat-tepat ke wajah Peri Angsa Putih,
membuat Peri ini terkejut dan tersurut satu langkah!
Wajahnya yang jelita berubah pucat.
"Luhrinjani, bagaimana kau bisa menuduhku bermain
cinta dengan suamimu? Memangnya aku ini...."
"Kau Peri pertama yang kuketahui berani berkata
dusta!" Membentak Luhrinjani.
Kalau tadi wajah Peri Angsa Putih putih pucat, maka
kini paras itu berubah merah. "Luhrinjani, apa
maksudmu! Kedustaan apa yang telah aku lakukan?!"
Peri Angsa Putih bertanya dengan suara keras lantang.
Matanya yang biru membersitkan sinar pertanda dia
tengah dilanda kemarahan besar. "Jangan berani bicara
yang bukan-bukan! Tempat ini bukan duniamu! Jika kau
masih bermulut lancang lekas angkat kaki dari sini
sebelum kuperintahkan barisan para Peri untuk
menyeretmu dan melemparkan rohmu ke bumi sana!"
Luhrinjani kembali layangkan senyum sinis.
"Aku tidak bicara yang bukan-bukan. Justru aku
datang untuk bicara yang benar-benar!" menyahuti
Luhrinjani si mahluk gaib setengah roh setengah
manusia itu. "Aku tidak pula bermulut lancang! Dan
terus terang aku merasa senang jika ada Peri lain di
tempat ini mendengar apa yang akan kusampaikan
padamu!"
"Rupanya kemunculanmu sengaja hendak mem-
permainkan dan mempermalukan diriku!" kata Peri
Angsa Putih dengan suara bergetar.
"Peri Angsa Putih, dengar baik-baik apa yang akan
kukatakan. Aku tidak, suka kau memikat suamiku! Aku
tidak suka melihat kau bercinta dengan Lakasipo!"
"Mahluk kurang ajar! Siapa memikat suamimu!
Siapa bercinta dengan Lakasipo!" Teriakan Peri Angsa
Putih menggelegar di dalam kamar besar itu.
"Jangan kira aku buta wahai Peri Angsa Putih.
Aku punya kemampuan melihat apa yang kau lakukan.
Aku punya kemampuan mengawasi tindak tanduksuamiku!"
"Kalau kau mempunyai kemampuan mengapa kau
tidak bertindak ketika Lakasipo bercinta di sebuah goa
batu pualam dengan Luhjelita?! Jika kau punya ke-
mampuan mengapa kau tidak bertindak terhadap Luh-
santini istri Hantu Bara Kaliatus yang sejak beberapa
lama ini selalu kemana-mana bersama Lakasipo?!"
Luhrinjani tertawa panjang mendengar kata-kata
Peri Angsa Putih itu. "Kau hendak mengalihkan pem-
bicaraan. Saat ini bukan perihal gadis bernama Luh-
jelita itu yang ingin aku bicarakan. Soal Luhsantini
tidak usah kau korek-korek karena aku sudah ada
rencana tersendiri terhadapnya. Aku datang ke sini
untuk membicarakan dirimu! Hanya karena perse-
lisihanmu dengan pemuda gagah bernama Wiro Sa-
bleng itu lantas kau berbuat tak karuan! Wahai! Apa
kau kira aku tidak tahu bagaimana kau meninggalkan
pemuda itu lalu memikat suamiku?! Menunggangi
Laekakienam bersama-sama sambil tanganmu me-
rangkul ke pinggang Lakasipo? Kau sungguh cerdik
Peri Angsa Putih! Kau sakiti hati Wiro Sableng, se-
kaligus kau rayu suamiku!"
"Luhrinjani! Tuduhanmu busuk sekali! Aku tidak
punya niat memikat suamimu! Juga tidak punya ke-
inginan bercinta dengannya!"
"Yang kau ucapkan justru berlainan dengan apa
yang aku rasa dan aku lihat sendiri!" jawab Luhrinjani.
"Sebagai Peri kau tentu tahu apa yang kau ucapkan
benar-benar putih bersih! Terus terang aku meragukan
kebersihan diri dan hatimu Peri Angsa Putih! Sebagai
Peri kau lebih banyak berkeliaran di Negeri Latanah-
silam. Kau lebih banyak terpikat pada urusan dunia.
Jangan kira aku tidak tahu kalau kau telah jatuh hati
pada pemuda bernama Wiro Sableng itu! Jangan kira
aku tidak tahu karena Wiro tidak membalas cintamu
kau lantas berbalik hati berusaha mendekatkan diri
pada suamiku! Aku ingin tahu apa kau berani me-
nyangkal ucapanku! Berarti kau menambah dalam
kedustaanmu sendiri!" Luhrinjani tertawa panjang.
Belum puas sehabis tertawa kembali dia menyem-
protkan kata-kata. "Peri Angsa Putih, kau memang
cantik. Banyak lelaki bisa tertarik padamu. Tapi selain
cantik kau ternyata picik! Apa kau kira begitu mudah
mendapatkan seorang suami berasal dari Negeri La-
tanahsilam? Atau kau memang sudah siap menerima
kutuk para Peri dan para Dewa. Seperti yang dialami
Luhmintari dan Lahambalang yang melahirkan bayi
pembawa malapetaka si Hantu Jatilandak itu? Hik...
hik... hik! Rupanya memang bakal ada satu Peri lagiyang akan menerima kutuk laknat! Dan kaulah mah-
luknya!" Kembali Luhrinjani keluarkan tawa panjang.
"Mahluk roh busuk jahanam!" teriak Peri Angsa
Putih. Amarahnya tak terkendalikan lagi. Dari dua bola
matanya menyambar sinar biru ke arah Luhrinjani.
Tapi orang yang diserang telah lebih dulu berkelebat
lenyap seolah sirna ditelan dinding kamar. Yang ter-
tinggal hanya suara tertawanya. Dua larik sinar biru
yang tidak mengenali sasarannya melabrak sebagian
pintu dan dinding kamar hingga hancur berantakan
dan kepulkan asap biru.
Peri Angsa Putih sadar lalu bingung sendiri me
lihat apa yang telah dilakukannya. "Celaka.... Kamar
Peri Bunda kubuat rusak. Sebentar lagi para Peri akan
datang ke tempat ini. Aku harus segera pergi sebelum
mereka muncul!"
Peri Angsa Putih segera berkelebat ke arah pintu
yang jebol. Tapi dia ingat sesuatu. Cepat dia mendekati
jambangan rotan lalu mengambil dua kuntum mawar
beracun. Bunga-bunga ini digulungnya dibalik pakaian
putihnya lalu dengan cepat dia tinggalkan tempat itu.
Ketika enam orang Peri berpakaian serba merah di
bawah pimpinan Peri Sesepuh yang luar biasa gemuknya
itu sampai di kamar tersebut, Peri Angsa Putih tak ada
lagi disitu.
Peri Sesepuh usap mukanya yang putih gembrot
dan selalu keringatan. Dia memandang berkeliling.
"Wahai, gerangan apa yang terjadi di tempat ini? Mana
Peri Bunda? Aku mencium bau harum. Pertanda ada
seseorang memasuki kamar ini sebelumnya...." Peri
gemuk berpakaian merah dan memiliki bulu ketiak
panjang berserabutan itu memandang pada anak
buahnya. Lalu memberi perintah. "Lekas selidiki apa
yang terjadi! Cari Peri Bunda sampai dapat!"
DELAPAN
KAKEK berpenampilan dahsyat di puncak bukit batu
yang menghadap ke laut itu hentikan samadinya.
Telinganya menangkap suara kaki-kaki berlari di
kejauhan. Matanya yang tadi terpejam dibuka sedikit.
"Ada dua orang yang berlari. Mudah-mudahan
mereka..." membatin si kakek. Orang tua ini
mengenakan sehelai jubah putih. Rambutnya panjang di
sebelah belakang, melambai-lambai ditiup angin laut
Yang dahsyat dari manusia ini adalah kepalanya. Dia
memiliki otak yang terletak di luar kepala, antara kening
dan ubun-ubun. Otak ini diselubungi oleh sejenis benda
atos berbentuk kening sehingga otak yang bergerak
berdenyut-denyut itu bisa dilihat dengan jelas!
"Kakek Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab! Kami
datang!"
Kesunyian yang hanya dibayangi suara halus tiupan
angin laut di tempat itu dipecah oleh dua seruan
perempuan berseru berbarengan.
Kakek yang tengah bersamadi gerakkan kepalanya.
Begitu dia membuka sepasang matanya lebih besar, dua
gadis berparas cantik, sama-sama mengenakan pakaian
putih dan sama-sama berambut pirang tahu-tahu telah
berlutut di hadapannya.
"Cucuku Luhkemboja dan Luhkenanga. Lama aku
menunggu akhirnya kalian datang juga. Apakah kalian
berhasil melaksanakan tugas. Mendapatkan benda
yang aku inginkan?"
Dua gadis cantik yang bukan lain adalah Sepasang
Gadis Bahagia tundukkan kepala lalu sama-sama men-
jawab. "Berkat petunjukmu kami berhasil mendapat-
kannya." Ternyata dua gadis kembar ini adalah cucu-
cucu dari tokoh paling terkemuka di Negeri Latanah-
silam yakni yang dikenal dengan julukan Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab.
Tidak menunggu lebih lama gadis bernama Luh-
kemboja segera keluarkan tongkat batu biru dari balik
pakaiannya lalu diserahkan pada si kakek.
Hantu Sejuta Tanya menyambut benda itu dengan
wajah berseri-seri dan mata berkilat-kilat. Tongkat batu
diusapnya berulangkali. "Tongkat Bahagia Biru..." kata
si kakek perlahan menyebut nama tongkat itu. "Akhirnya
kau kembali juga ke tanganku."Luhkemboja dan Luhkenaga saling melontar pandang.
Kini mereka baru tahu kalau tongkat batu biru itu
bernama Tongkat Bahagia Biru. Keduanya menduga-duga
apakah tongkat tersebut ada hubungan atau sangkut
pautnya dengan Istana Kebahagiaan, pelambang
Kerajaan Hantu Muka Dua.
Sebelumnya telah dituturkan bahwa tongkat sakti
ini pernah berada di tangan tokoh berjuluk si Tongkat
Biru Pengukur Bumi yang mayatnya ditemukan oleh
Luhjelita. Ketika Luhjelita menemukan mayat Si Tongkat
Biru Pengukur Bumi, tongkat tersebut ada di dekat
mayat, lalu di ambil oleh Luhjelita. Si gadis kemudian
menyerahkan tongkat tersebut kepada Pendekar 212.
Lalu belum lama berselang Sepasang Gadis Bahagia
yang memang mendapat perintah dari Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab berhasil mengambil tongkat itu
dari tangan Wiro setelah lebih dulu melakukan per-
buatan keji terhadap Luhjelita.
"Luhkemboja dan Luhkenanga, tidak sia-sia aku
mempunyai cucu seperti kalian. Aku sangat berterima
kasih kalian sudah dapatkan tongkat ini...."
Waktu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab berkata
Luhkenanga melirik pada kakaknya. Luhkemboja mem-
beri isyarat dengan kedipan mata. Maka Luhkenanga
lantas berucap. "Kek, mataku yang awam melihat
tongkat batu itu biasa-biasa saja. Buruk seperti tiada
berguna. Tetapi agaknya bagimu sangat penting.
Apakah ada sesuatu rahasia atau satu kekuatan sakti
yang terkandung dalam tongkat itu? Yang kami tidak
tahu?"
Hantu Sejuta Tanya Jawab tersenyum. "Tongkat
buruk ini bagi orang lain tak ada artinya. Tapi bagiku
sangat berharga dan penuh kenangan. Tongkat ini
diberikan oleh seorang sahabat bernama Lasedayu.
Beberapa lama berada di tanganku tongkat dicuri oleh
seorang tak dikenal. Setelah menguasai tongkat ini
dia kemudian menjuluki dirinya sebagai si Tongkat
Biru Pengukur Bumi. Dengan tongkat ini dia
gentayangan di Negeri Latanahsilam, menebar angkara
muka hingga dia menjadi momok ditakuti. Kemudian
kusirap kabar dia pernah menjadi kaki tangan Hantu
Muka Dua. Namun kemudian konon dia menemui ajal
di bunuh seseorang. Aku sangat berbahagia karena
tongkat pemberian sahabatku ini sekarang telah ber-
ada di tanganku kembali. Jasamu sangat besar. Aku
tidak akan melupakan seumur hidup...."
"Kau kakek kami, kami cucumu. Pantas sekali
kalau kami berbakti padamu!" kata Luhkemboja.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tersenyum.
Tongkat Bahagia Biru diletakannya di atas pangkuan.
Lalu tangannya kiri kanan mengusap kepala dua gadis
kembar itu.
"Luhkenanga dan Luhkemboja. Sewaktu kalian
kutugaskan mencari tongkat ini, aku juga telah me-
minta kalian agar menyirap kabar tentang seorang
pemuda asing bernama Wiro Sableng. Apa kalian
berhasil mengetahui dimana dia berada?"
"Kakek Sejuta Tanya Sejuta Jawab," kata Luhkenanga.
"Jangan kau terkejut kalau mengetahui justru tongkat itu
kami rampas dari pemuda asing bernama Wiro Sableng
itu!"
Kakek yang otaknya berada di luar kepala itu
tampak terkejut. Dia usap-usap janggut putihnya ber-
ulang kali. "Sungguh tidak kuduga.... Bagaimana tong-
kat ini bisa berada di tangannya. Harap kau mau
menceritakan lebih banyak dan lebih jelas...."
Luhkemboja lalu menuturkan riwayat pertemuan-
nya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tak lupa dia
juga menerangkan kemunculan Peri Angsa Putih.
"Wahai, banyak keanehan rupanya terjadi di Ne-
geri Latanahsilam. Menurut kabar yang aku dengar
sebenarnya Peri Angsa Putih sudah sejak lama me-
naruh hati pada pemuda dari negeri seribu dua ratus
tahun mendatang itu. Mengapa kini dia bersekutu
membantu kalian?"
"Bisa saja terjadi kalau pemuda itu sebenarnya
adalah seorang hidung belang!" kata Luhkenanga.
"Apa maksudmu cucuku Luhkenanga?" 'anya
Hantu Sejuta Tanya Jawab.
Luhkemboja dan Luhkenanga lalu mengarang cerita
bahwa mereka telah memergoki Pendekar 212 dan
Luhjelita tengah melakukan perbuatan mesum di sebuah
goa di kawasan terpencil.
Berubahlah wajah tua Hantu Sejuta Tanya Jawab.
Otaknya tampak menggembung lebih besar dan
berdenyut keras. Berkali-kali kakek ini gelengkan
kepalanya.
"Tak bisa kupercaya! Wahai, sungguh tak bisa
kupercaya.... Dua cucuku, kalian menyaksikan sendiri
kejadian itu?" tanya Hantu Sejuta Tanya jawab.
"Bukan cuma kami Kek," jawab Luhkenanga. "Peri
Angsa Putih juga ikut melihat karena kebetulan dia
berada di sana!"
Si kakek hembuskan udara dari dalam mulutnya
seolah menghembuskan hawa panas mengandung
bara api yang membakar perut dan dadanya.
"Wahai para Dewa. Sungguh tak bisa kupercaya!
Kacau sudah semua rencanaku. Bagaimana aku akanmeneruskan. Pertanda Negeri Latanahsilam tak bisa
diselamatkan! Malapetaka akan melanda negeri ini!
Istana kebahagiaan akan menjadi pusat bahala. Nyawa
akan bertabur dimana-mana. Darah akan menganak
sungai membasahi negeri! Apa yang aku takutkan
kelak akan terjadi! Wahai para Dewa apa yang harus
aku lakukan? Pemuda bernama Wiro Sableng! Wahai,
mengapa yang aku lihat dulu tentang dirimu tidak
sama dengan kenyataan?!" Kembali kakek yang otaknya
berada di luar kepala itu menggeleng berulang kali.
Wajahnya yang keriput tampak memucat penuh kecewa.
Luhkemboja dan Luhkenanga saling bertukar pandang
mendengar ucapan Hantu Sejuta Tanya Jawab yang tidak
mereka mengerti itu.
"Kek, kalau kami boleh bertanya apa maksud
semua ucapanmu tadi?" bertanya Luhkemboja.
Sang adik menyambung. "Kau punya rencana. Tapi
kacau katamu. Rencana apa Kek? Malapetaka apa yang
akan menimpa Negeri Latanashilam? Ada apa dengan
Hantu Muka Dua di Istana Kebahagiaan? Apa dia yang
akan jadi biang racun rencana di negeri ini?"
Luhkemboja kembali membuka mulut. "Kek, tadi
kau berucap sepertinya dulu pernah menyirap diri Wiro
Sableng dan apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Lalu kau melihat kenyataan lain.... Kek, agaknya kau
punya satu rencana besar yang tidak pernah kami
ketahui. Kau merahasiakan sesuatu!"
"Cucu-cucuku, maafkan diriku. Perasaan hati dan
tubuhku mendadak tidak enak. Aku berterima kasih
kalian telah mendapatkan tongkat ini. Namun harap
dimaafkan. Harap kalian suka meninggalkan aku se-
orang diri. Aku ingin bersamadi kembali. Mungkin satu
hari suntuk. Mungkin berhari-hari sampai satu minggu.
Tergantung petunjuk yang aku dapat dari para Dewa..."
"Kek, jika kami dapat membantu...." kata Luh-
kemboja pula.
Hantu Sejuta Tanya Jawab gelengkan kepala. "Te-
rima kasih, kurasa saat ini tak ada seorangpun yang
bisa menolongku. Karenanya aku perlu mendekatkan
diri pada Yang Kuasa...."
Luhkemboja dan Luhkenanga saling pandang se
ketika. Lalu ke dua gadis kembar ini sama-sama mem-
bungkuk memberi hormat Setelah itu keduanya se-
gera tinggalkan tempat itu.
Tak lama setelah dua gadis itu berlalu Hantu Sejuta
Tanya Jawab ambil Tongkat Bahagia Biru dari atas
pangkuannya. Tongkat dipegangnya dengan ke dua
tangannya. Dia membaca satu mantera pendek. Dari
telapak tangan kiri kanannya mengepul asap biru pekatdan menebar bau harum. Si kakek gerakkan tangan-
nya, membuat gerakan berputar. Yang kiri didorong
ke arah depan, yang kanan ditarik ke belakang. Se-
harusnya tongkat batu itu akan berputar. Tetapi hal
itu tidak terjadi. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab baca
kembali manteranya. Sampai tiga kali. Lalu dua tangan-
nya diputar kuat-kuat
"Kraaakkkk!"
Tongkat batu biru patah dua!
Sepasang mata si kakek membeliak besar per-
hatikan tongkat yang patah. Masih kurang percaya dia
dekatkan tongkat itu ke matanya, memeriksa ujung-
ujung yang patah.
"Palsu!" teriak si kakek tiba-tiba. "Kurang ajar!
Dua gadis celaka itu pasti telah menipuku!"
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tancapkan dua
patahan tongkat batu ke batu hitam di atas mana dia
duduk. Dua patahan tongkat amblas ke dalam batu
sampai dua pertiganya!
"Luhkemboja! Luhkenanga! Kalian berada di
mana?! Lekas kembali ke sini!" teriak si kakek.
Jawaban yang diterimanya hanyalah gema suaranya
yang kemudian pupus ditelan hembusan angin laut
Tapi perlu apa aku mencari kebenaran? Hanya untuk
membela pemuda berhati keji itu? Bukankah lebih baik
aku memencilkan diri bersunyi diri di satu tempat?
Biarlah terjadi apa yang akan terjadi! Kelak semuanya
akan selesai dengan sendirinya."
"Peri Angsa Putih! Kami sahabatmu datang!"
Peri Angsa Putih terkejut Ada orang berseru
memanggilnya. Dia cepat berpaling dan dapatkan
Naga Kuning serta Si Setan Ngompol sudah berada
di sampingnya.
"Hemm... Kalian...." Hanya itu ucapan yang keluar
dari mulut sang Peri. Dalam keadaan seperti itu, apalagi
Naga Kuning dan Si Setan Ngompol adalah sahabat-
sahabat Wiro yang kini dibencinya, Peri Angsa Putih
bersikap seperti tidak acuh. Dalam hati dia berkata.
"Kalau Wiro bersifat sekeji itu, dua sahabatnya ini
walau satu masih bocah dan lainnya sudah kakek-
kakek, keduanya pasti bangsa bajingan juga! Aku tidak
lagi bisa mempercayai orang-orang dari negeri seribu
dua ratus tahun mendatang itu! Ternyata mereka jahat
busuk semua!"
"Peri Angsa Putih, apakah kau baik-baik saja
selama ini?" bertanya Si Setan Ngompol.
Peri Angsa Putih pandangi wajah kakek itu. Dia
tidak mau menjawab. Sebenarnya dia merasa heran
dan ingin bertanya sewaktu melihat si kakek tidak lagimempunyai daun telinga sebelah kanan. Tapi karena
sedang kalut ditambah mendadak saja timbul rasa
benci terhadap dua sahabat Wiro ini maka Peri Angsa
Putih tidak ajukan pertanyaan.
"Wahai, kau diam saja!" berkata Naga Kuning.
"Melihat wajahmu yang murung agaknya ada sesuatu
yang menjadi ganjalan hatimu."
"Apapun yang sedang kurasa dan kualami, semua
bukan menjadi urusan kalian...."
Mendengar kata-kata sang Peri Naga Kuning dan
si kakek jadi sama-sama saling pandang. Si bocah
berbisik. "Tidak biasanya dia seperti ini. Mengapa
berubah jadi ketus dan tak acuh pada kita?"
Si Setan Ngompol sesaat diam saja. Lalu dengan
suara perlahan dia berkata. "Naga Kuning, memang
kita tidak boleh mengganggu orang yang sedang kalut.
Urusan orang jangan dijadikan urusan kita." Lalu pada
Peri Angsa Putih si kakek berkata. "Peri, kami tidak
berniat mengganggumu. Kami tidak berkeinginan
mencampuri apapun yang jadi urusanmu. Kami ke-
betulan lewat di sini dan melihatmu sendirian. Karena
kita bersahabat itu sebabnya kami mendatangi dan
bertegur sapa. Kami tadinya ingin menanyakan apakah
kau mengetahui dimana beradanya sahabat kami Pen-
dekar 212 Wiro Sableng."
"Pemuda itu, aku tak tahu dia berada di mana.
Kalaupun tahu rasanya bukan menjadi urusanku...."
Naga Kuning dan Setan Ngompol kembali saling
berpandangan. "Kenapa dia jadi ketus judes begini...?"
Bisik si bocah.
"Jangan-jangan si sableng itu telah menyakitinya.
Pasti terjadi sesuatu antara mereka!" jawab Si Setan
Ngompol.
"Kalaupun itu betul, itu urusan dia dengan Wiro.
Tidak selayaknya dia bersikap seperti ini terhadap
kita!" tukas Naga Kuning.
"Kalian mencari Wiro?" Tiba-tiba Peri Angsa Putih
bertanya. Di wajahnya kelihatan seulas senyum. Naga
Kuning dan Setan Ngompol jadi lega. Tapi hanya
sesaat. Karena di lain kejap senyum itu lenyap dan
sang Peri berucap. "Jika ingin tahu dimana sahabat
kalian itu berada, tanyakan pada kekasihnya, Luh-
jelita!"
"Eh, sejak kapan Luhjelita jadi kekasih sahabat
kami?" tanya Naga Kuning. Sementara Setan Ngompol
bengong tak mengerti.
"Jangan pura-pura tidak tahu. Kalian bertiga pasti
sama saja! Muncul di Negeri Latanashilam untuk men-
cari gadis-gadis menghibur diri secara keji! Kami disini bukan gadis-gadis barang mainan!"
"Astaga." Si Setan Ngompol sampai tersentak
mendengar kata-kata Peri Angsa Putih itu. Kencingnya
yang sejak tadi ditahan-tahannya langsung muncrat.
"Jangan-jangan Wiro telah melakukan sesuatu
pada Peri ini. Mungkin sudah dipeluk atau diciumnya!"
"Mungkin juga sudah digerayanginya!" sambung
Si Setan Ngompol.
"Gila! Dia enak-enakan dapat anak orang, kita
berdua yang dapat dampratan! Kek, mari kita tinggal-
kan tempat ini. Tapi biaraku mengatakan sesuatu dulu
pada Peri ini agar dia tahu rasa!" Habis berkata begitu
si bocah memandang pada Peri Angsa Putih dan
berkata. "Peri cantik bermata biru! Apapun urusanmu
dengan Wiro bukan urusan kami! Apapun urusan Wiro
dengan Luhjelita, juga urusanmu dengan Luhjelita,
bukan pula urusan kami! Tapi satu hal aku beritahu
padamu! Waktu di tanah Jawa ada lusinan gadis
tergila-gila pada Wiro. Mereka semua mengasihi sa-
habatku itu! Kecantikan mereka tidak kalah dengan
kau! Jangan kau merasa paling cantik karena punya
sepasang mata biru. Di tanah Jawa juga ada seorang
gadis bernama Ratu Duyung, memiliki mata lebih biru
dan lebih bening dari kau! Memiliki kecantikan yang
tidak kalah dengan kau! Lalu masih ada segudang
gadis cantik lainnya. Biar aku sebutkan nama mereka
satu persatu. Pandansuri! Anggini! Bidadari Angin
Timur. Yang satu ini memiliki rambut bagus pirang,
tubuhnya tak kalah harum semerbak dengan dirimu!
Banyak lagi gadis-gadis lain yang tergila-gila pada
Wiro. Tapi Wiro memperlakukan mereka sebagai sa-
habat dengan hati tulus! Tidak pernah dia berhati culas
memanfaatkan kasih orang untuk dijadikan barang
permainan seperti katamu tadi! Kalau dia ingin berlaku
serong mengapa dilakukannya di tanah brengsek ini?
Di tanah Jawa banyak gadis yang bersedia menyerah-
kan dirinya secara pasrah! Tapi dia tidak mau me-
lakukannya! Aku tidak tahu apakah kau masih perawan
atau tidak! Tapi sahabatku itu aku tahu betul! Sampai
saat ini dia masih bujang!"
Peri Angsa Putih terbelalak ternganga mendengar
kata-kata Naga Kuning itu. Wajahnya merah sampai ke
telinga. Tubuhnya tidak bergerak barang sedikitpun.
"Kau dengar baik-baik Peri Angsa Putih!" Naga
Kuning menyambung ucapannya. "Sebenarnya kami
tidak ingin menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam
ini! Kalau bukan kami tersesat siapa sudi! Negeri kami
di tanah Jawa jauh lebih indah! Orangnya ramah-
ramah. Kalian di sini apa! Pakaian saja tidak karuan!Sebagian dari kalian bertubuh bau! Malah banyak yang
tidak pernah mandi-mandi! Kita pernah bersahabat!
Tapi sikap dan ucapanmu barusan sangat merendah
kan diri kami dan sahabatku Wiro Sableng!"
Habis berkata begitu Naga Kuning tarik tangan Si
Setan Ngompol mengajaknya pergi dari tempat itu.
Sambil melangkah mengikuti si bocah dengan celana
kuyup oleh kencingnya sendiri si kakek berkata. "Anak
geblek! Perlu apa kau memberi tahu nama gadis-gadis
yang tergila-gila pada Wiro itu. Peri Angsa Putih tidak
kenal mereka semua!"
"Kenal atau tidak biar dia tahu rasa! Mungkin dia
merasa cantik sendiri di atas langit dan di kolong bumi
ini! Kalau saja dia bisa datang ke tanah Jawa dia akan
lihat bahwa gadis-gadis di sana banyak yang lebih
cantik dan lebih mulus kulitnya dari dia.... Mentang-
mentang kita orang kesasar enak saja dia mau me-
lecehkan kita! Aku sebenarnya sudah gerah. Ingin
buru-buru angkat kaki dari negeri celaka ini...."
"Aku juga," menyahuti Setan Ngompol. "Tapi se-
belum daun telingaku sebelah kanan kudapat kembali
bagaimana mungkin aku bisa pergi. Selain itu aku juga
belum bertemu dengan Luhlampiri si nenek yang
membuat hatiku empot-empotan itu!"
"Jangan jadi kakek tolol! Di tanah Jawa ada ratusan
nenek lebih montok segar dibanding si nenek peot itu.
Namanya saja Luhlampiri! Pasti dia turunan nenek
lampir!"
"Jangan kau menghina kekasihku itu!" Setan
Ngompol marah.
Naga Kuning tertawa lalu mencibir. "Tua bangka
itu kenal kau saja belum, bagaimana kau bisa bilang
dia kekasihmu!"
"Kenal memang belum tapi kami berdua sudah
pernah saling berlirik mata dan berbalas senyum!"
Naga Kuning tertawa cekikikan. "Lama-lama di
negeri aneh ini kau bisa berubah jadi mahluk aneh.
Sekarang saja tampangmu sudah tidak karuan! Mata
lebar jereng! Kuping cuma satu! Celana kuyup bau
pesing! Kek, apa hari ini kau sudah mandi?!"
"Anak sialan! Jangan sampai kuremas kantong
menyanmu!" teriak Setan Ngompol marah. Tangan
kanannya tiba-tiba menyelonong ke bawah perut Naga
Kuning. Si bocah cepat melompat selamatkan diri
seraya berteriak.
"Kek! Baru satu hari kau kenal pemuda banci
bernama Si Binal Bercula itu, kini kau sudah ketularan
senang memegang bagian terlarang!"
"Bocah setan! Kurobek mulutmu!" teriak SetanNgompol marah. Dia mengejartapi Naga Kuning sudah
menghambur lari sambil tertawa cekikikan. (Mengenai
tokoh banci berjuluk Si Binal Bercula harap baca
Episode berjudul "Hantu Muka Dua")
*
* *
HANYA sesaat setelah Naga Kuning dan Setan
Ngompol tinggalkan pedataran tinggi itu, Peri Angsa
Putih merasa sekujur tubuhnya lemas. Dia terduduk
di tanah. Wajahnya mengelam dan air mata tak kuasa
dibendungnya. Dia mulai menangis sesengukan.
Ucapan Naga Kuning sangat memukul sanubarinya.
Hatinya seperti disayat-sayat.
"Ucapan anak itu mungkin betul. Tapi...." Peri
Angsa Putih tutupkan dua tangannya ke wajah dan
menangis keras. Tiba-tiba hidungnya membaui se
suatu. Dia turunkan dua tangan, memandang ber-
keliling. Ketika dia mendongak ke atas, di langit di-
lihatnya ada satu bayangan biru berkelebat rendah
menuju ke arah barat dimana saat itu sang surya yang
hendak tenggelam menyaput langit dengan cahayanya
yang merah keemasan.
"Peri Bunda...." desis Peri Angsa Putih. "Dia turun
lebih dulu dari aku. Mengapa baru sampai di sekitar
sini. Wahai, kulihat dia berputar-putar di sebelah sana.
Itu arah Gunung Latinggimeru. Agaknya ada sesuatu
yang tengah diperhatikannya di sekitar situ. Bukankah
dia mengatakan padaku hendak mencari dan menemui
Wiro? Jangan-jangan dia sudah membayangi pemuda
itu. Apa yang harus aku lakukan...?"
Peri Angsa Putih memandang ke arah barat. Saat
itu dilihatnya sosok biru Peri Bunda tengah menukik
ke bawah, ke arah selatan gunung lalu lenyap dari
pemandangan.
"Aku harus mengintai ke sana..." kata Peri Angsa
Putih lalu bangkit berdiri. "Kawasan selatan itu adalah
daerah berbatu-batu berbentuk aneh. Jarang orang
datang ke sana. Mungkin ada seseorang yang me-
nunggunya di sana?"
Peri Angsa Putih cepat melangkah ke tempat dia
meninggalkan Laeputih, angsa putih raksasa tung-
gangannya. Sesaat kemudian kelihatan Peri itu telah
melayang di udara menunggangi angsa putihnya. Dia
sengaja menempuh arah berputar agar tidak terlihat
oleh Peri Bunda.Di atas punggung angsa tunggangannya Peri
Angsa Putih keluarkan dua mawar kuning beracun
dari balik lipatan pakaiannya. "Peri Bunda...." desis
nya. "Jadi kau rupanya.... Sungguh aku tidak percaya....
Mengapa Peri Bunda? Mengapa kau lakukan itu? Apa
dosa pemuda itu terhadapmu?"
SEPULUH
PENDEKAR 212 Wiro Sableng berdiri di atas kepingan
batu besar berbentuk perahu tertelungkup itu. Jauh di
sebelah utara menjulang Gunung Latinggimeru.
"Kawasan aneh..." membatin murid Sinto Gendeng.
"Batu-batu yang ada di sini semuanya berbentuk ganjil.
Mengapa Luhjelita meminta aku datang ke bukit batu
ini?" Agak jauh di sebelah sana ada tiga buah batu
berbentuk tiang. Ujungnya lancip runcing seolah hendak
menusuk langit Sang pendekar ingat. "Itu tiga batu yang
dikatakan Luhjelita. Di situ dia akan menemuiku."
(Mengenai perjanjian bertemu antara Wiro dengan
Luhjelita harap baca Episode sebelumnya berjudul "Hantu
Langit Terjungkir")
Memandang ke arah barat Wiro melihat matahari
sedang menggelincir ke titik tenggelamnya. "Malam
masih agak lama. Rembulan belum tentu cepat muncul.
Apakah benar dugaanku bahwa malam ini malam bulan
purnama penuh seperti yang dikatakan Luhjelita?" Saat
itu Wiro mendadak ingat pada pertemuannya terakhir
sekali dengan Luhcinta beberapa waktu lalu. "Aku
sempat berkata padanya bahwa aku tidak mencintai
Luhjelita ataupun Peri Angsa Putih. Mungkin aku terlalu
tolol! Mengapa aku sampai berucap begitu? Bisa-bisa dia
salah menduga dan salah mengharap. Tapi kalau
kubanding-banding sifat budi pekertinya, cara dia bicara,
semuanya sangat berbeda dengan sang Peri maupun
Luhjelita. Aku punya kesan dia mencurigaiku berbuat
mesum dengan Luhjelita. Tapi sikapnya tetap tidak
berubah, bicaranya tetap lembut. Dia seperti tidak
membenciku sama sekali. Mungkinkah dia gadis yang
dimaksudkan si Hantu Raja Obat dan Luhrinjani? Gila!
Tak berani aku menduga! Aku masih dijerat urusan gila!
Dipermalukan sepasang gadis kembar sialan itu! Semua
orang di Negeri Latanahsilam pasti sudah tahu cerita gila
itu!"
Selagi Wiro tegak di atas batu dan berpikir-pikir
seperti itu tiba-tiba dia melihat satu cahaya biru me-
lesat di udara. Tak lama kemudian cahaya ini menukik
ke bawah. Hawa harum menebar di Seantero bukit
batu. Seorang perempuan berkulit putih bagus, ber-
wajah cantik anggun tahu-tahu telah tegak di hadapan
Pendekar 212.Murid Sinto Gendeng tentu saja terkejut ketika dia
mengenali siapa yang berdiri di depannya. Dalam hati
dia membatin.
"Lain yang dinanti lain yang datang. Lain yang
dicari lain yang unjukkan diri!"
Namun sambil tersenyum dan garuk-garuk kepala
murid Sinto Gendeng menyapa.
"Peri Bunda...."
"Aku gembira kau masih mengenaliku walau jarang
kita bersua...." kata si baju biru yang bagian bawahnya
panjang menjela-jela yang memang Peri Bunda adanya.
"Siapa yang bisa melupakan seorang Peri cantik
sepertimu. Yang konon adalah Peri Junjungan Dari
Segala Junjungan. Simpul Agung Dari Segala Peri...."
Peri Bunda tertawa senang. "Hatiku gembira men-
dengar kau menyebut semua itu wahai pemuda ber-
nama Wiro Sableng. Datang dari negeri seribu dua
ratus tahun mendatang menyandang gelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212. Lebih gembira lagi karena
aku bisa menemui lebih cepat dari yang aku duga...."
"Ini memang pertemuan yang tidak terduga, Peri
Bunda. Hanya sayang sebentar lagi malam akan turun.
Tempat ini pasti akan diselimuti kegelapan. Kecuali...."
"Kecuali bulan purnama penuh muncul menerangi
jagat," sambung Peri Bunda sambil melayangkan se-
nyum. "Lagi pula, terus terang saat pertemuan ini aku
lebih suka jika udara malam yang gelap mau mem-
bantu. Hingga kita disini tidak terlihat siapa-siapa...."
Saat itu pantulan cahaya sang surya yang hendak
tenggelam jatuh di wajah Peri Bunda hingga parasnya
kelihatan cantik sekali, membuat murid Sinto Gendeng
dari Gunung Gede ini jadi terpesona.
Dalam hati Wiro bertanya-tanya apa maksud sang
Puteri bahwa dia lebih suka udara malam yang gelap
hingga tidak ada yang melihat mereka berdua di ka-
wasan bukit batu aneh itu.
"Peri Bunda, apakah kau memang sengaja mencari
diriku?"
Sang Peri anggukkan kepala. "Ada yang ingin
kubicarakan denganmu. Pembicaraan ini cukup pan-
jang. Mari kita memilih tempat duduk yang enak...."
Wiro jadi merasa tidak enak. "Bagaimana kalau
sebelum pembicaraan selesai tahu-tahu Luhcinta
muncul?"
"Hai, parasmu sesaat terlihat gelisah. Apakah
kehadiranmu di tempat ini tengah menunggu sese
orang?" bertanya Peri Bunda.
Wiro garuk-garuk kepala. "Aku menunggu dua
orang sahabatku. Naga Kuning dan Si Setan Ngompol.Kami berjanji bertemu di bukit batu ini," kata Wiro
berdusta. Lalu dia memandang berkeliling dan berkata.
"Batu panjang tempat aku berdiri ini cukup baik
untuk tempat kita duduk berbicara. Kau duduk di
sebelah sana, aku di ujung sini."
Sang Peri mengangguk tanda setuju. Keduanya
lalu duduk di atas batu panjang berbentuk perahu
tertelungkup itu. Peri Bunda menggeser duduknya,
sengaja agak lebih dekat dengan Wiro. Hal ini membuat
sang pendekar kembali bertanya-tanya dalam hati.
"Peri Bunda, kau bisa mulai. Hal apakah yang
hendak kau bicarakan?"
"Wahai, bagaimana aku harus memulai. Ujung
yang mana yang hendak aku sibakkan lebih dulu,"
ujar Peri Bunda dan kembali mengulum senyum. "Aku
khawatir jika salah aku mengucap, jika keliru aku
mengambil langkah permulaan kau akan salah menduga
terhadap diriku...."
"Aku percaya, maksudmu sengaja mencari diriku
adalah maksud baik semata. Mengapa ragu untuk
memulai?" ujar Wiro pula. Dalam hati dia berkata.
"Jangan-jangan Peri ini mencariku ada sangkut paut-
nya dengan urusan gila di goa itu. Bukan mustahil
Sepasang Gadis Bahagia telah menemuinya lalu
mengadukan apa yang terjadi. Edan betul!"
"Aku gembira kau bisa berkesimpulan baik seperti
itu. Biar aku menggeser dudukku lebih dekat." Sang
Peri lalu bergerak ke kiri hingga jaraknya dengan Wiro
hanya terpisah dua jengkal. Berada sedekat itu murid
Sinto Gendeng seolah dapat mencium keharuman bau
tubuh Peri Bunda sampai ke lekuk-lekuknya yang
tersembunyi sekalipun! "Aneh, mengapa Peri satu ini
berperangai lain sekali?" tanya Wiro dalam hati.
"Aku sengaja bicara berdekat-dekat begini, bukan
maksud apa-apa," kata Peri Bunda seolah tahu apa
yang ada dalam benak atau hati sang Pendekar. "Ke-
gelapan malam bisa saja memiliki telinga yang dapat
mendengar. Saputan angin mungkin saja merupakan
suara yang menebar jauh ke tempat takterduga. Duduk
berdekatan begini aku bisa bicara lebih perlahan, untuk
menjaga segala kemungkinan."
Wiro tambah tidak mengerti. Mengapa pembicaraan itu
seolah satu rahasia besar yang jangankan orang lain tapi
udara malampun tak boleh mendengarkanya? Dia
menunggu sampai sang Peri akhirnya melanjutkan
bicaranya.
"Wahai, sejak beberapa waktu lalu telah tersebar
kabar bahwa kau telah melakukan satu aib besar
terhadap Luhjelita, di satu goa.... Kau tahu, perbuatan
ini bukan saja mencemari Negeri Latanahsilam, tetapi
juga menjadikan satu pemandangan menusuk mata
bagi kami para Peri di Negeri Atas Langit."
"Dugaanku tidak meleset!" kata Wiro dalam hati.
"Hal sialan itu yang hendak dibicarakannya! Sepasang
Gadis Bahagia, pasti kalian sudah menyebar kabar.
Awas kalian!"
"Kau hendak mengatakan sesuatu Wiro? Kulihat
bibir dan pelipismu bergerak-gerak." Bertanya Peri
Bunda. Wajahnya ditundukkan sedikit dan dia mem-
perhatikan Wiro dari bawah dengan kepala dimiringkan.
"Peri Bunda, kalau saya boleh bertanya dari mana
atau dari siapa kau mendapat keterangan bahwa saya
telah melakukan aib besar terhadap Luhjelita?" Wiro
menjawab dengan balas bertanya.
"Wahai.... Aku ingin menjaga semua yang terbaik.
Karenanya tak perlu kujelaskan dari mana sumber
kabar yang aku terima. Kuharap kau tidak kecewa..."
jawab Peri Bunda.
"Kalau kau tak mau memberitahu tak jadi apa.
Tapi saya sudah bisa mengira, siapa biang racun
penyebar fitnah itu," kata Wiro pula. "Sekarang ingin
saya mengetahui, apakah kau mempercayai hal itu?"
"Setiap hal yang disertai kenyataan dan saksi
hidup tidak dapat dikatakan sebagai fitnah...."
Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai. "Kenyataan
bisa dibuat diciptakan oleh orang yang tidak senang
terhadap seseorang. Apapun alasannya. Saksi hidup bisa
saja memberikan kesaksian salah atau kesaksian palsu
apapun alasannya. Saat ini kita berdua-dua di sini. Jika
kemudian hari tersebar kabar bahwa kita telah berbuatu
sesuatu yang memalukan di tempat ini, bagaimana
perasaan dan tanggapanmu Peri Bunda...."
Saat itu sang surya telah tenggelam. Udara mulai
gelap. Namun Wiro dapat melihat bagaimana wajah
sang Peri bersemu merah mendengar kata-katanya
barusan.
"Jadi kau menyangkal telah melakukan perbuatan
itu?"
"Saya menyangkal karena di dalam goa memang
saya tidak melakukan perbuatan seperti dituduhkan
itu. Saya tidak berbuat apa-apa, kecuali menolong
gadis bernama Luhjelita itu. Kalau kau suka men-
dengar akan saya ceritakan apa yang sebenarnya
terjadi...."
"Wahai.... Bagaimana kalau kukatakan bahwa Peri
Angsa Putih ikut melihat apa yang kau lakukan ber-
sama Luhjelita."
"Bisa saja dia memang melihat kami berdua. Tapiapa yang dilihatnya? Ketika saya masuk ke dalam goa,
gadis bernama Luhjelita itu memang sudah tidak dalam
keadaan berpakaian. Dia telah menjadi korban ke-
bejatan...."
"Tunggu dulu wahai pemuda bernama Wiro. Peri
Angsa Putih tidak mungkin berdusta..." memotong
Peri Bunda.
"Saya tidak mengatakan dia berdusta. Mungkin
sekali dia hanya melihat ekor dari satu kejadian. Dia
tidak melihat permulaan, ketika saya masuk dan me-
nemukan Luhjelita. Ketika saya menolongnya.... Saya
tidak mengerti, mengapa Peri Angsa Putih mempunyai
dugaan serta tuduhan seperti itu. Padahal dia mungkin
hanya melihat sebagian dari kejadian...."
"Anggaplah Peri Angsa Putih melihat bagian terakhir
dari apa yang terjadi. Tapi bagaimana dengan dua gadis
kembar berjuluk Sepasang Gadis Bahagia itu? Mereka
melihat bagian pertama dari apa yang terjadi!"
"Peri Bunda, tadi kau menolak memberitahu siapa
sumber yang menebar berita. Kini akhirnya kau meng-
ungkap sendiri. Peri Angsa Putih dan Sepasang Gadis
Bahagia! Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan Peri
satu itu. Dulu dia sangat baik terhadap saya. Banyak
budi pertolongannya yang sangat besar dan tidak
dapat saya balas. Tapi mengenai Sepasang Gadis
Bahagia, saya tahu kalau mereka adalah gadis-gadis
berkelakuan aneh tidak karuan...."
"Aku tahu siapa mereka. Tapi itu tidak bisa dijadikan
alasan bahwa mereka menebar fitnah. Api, yang dilihat
orang jahat dan orang baik dari satu kenyataan pasti
tidak akan berbeda dan tidak berubah!"
Pendekar 212 jadi panas hati mendengar ucapan
sang Peri. Maka diapun berkata. "Peri Bunda, hari
sudah gelap. Saya tak ingin lagi meneruskan pem-
bicaraan ini. Jangan sampai saya mendapat fitnah
untuk kedua kalinya di Negeri Latanah silam ini. Negeri
yang saya tahu tidak semua penghuninya merupakan
mahluk-mahluk suci! Saya juga tahu bahwa tidak
semua Peri di atas langit sana agung dan kudus!
Banyak diantara mereka yang telah menempuh hidup
keliru menurut ukuran para Peri. Padahal mereka
hanya sekedar ingin melepaskan diri dari kepalsuan
hidup dan menginginkan harkat mereka sebagai mah-
luk hidup. Saya kasihan melihat nasib seorang sahabat
saya bernama Hantu Jatilandak. Dia adalah korban
kutukan salah kaprah dari para Peri! Dia hidup dalam
keadaan sebagai mahluk mengerikan! Padahal apa
dosanya! Ibunya menjadi patung mengenasksn! Apakah
perlakuan hidup seperti itu yang hendak dibanggakandan dianggap paling sesuai oleh para Peri di atas langit
sana? Terus terang saja Peri Bunda. Maukah kau berterus
terang bahwa jauh di lubuk hatimu kau juga
mendambakan satu kehidupan wajar yang dijalin cinta
kasih sesama mahluk bernyawa?"
Lama Peri Bunda terpana mendengar ucapan
murid Sinto Gendeng itu. Untuk beberapa saat se-
pasang matanya sampai tidak berkedip-kedip me-
mandangi si pemuda. Perlahan-lahan Wiro bangkit
berdiri. Tapi tiba-tiba Peri Bunda memegang lengan
'sang Pendekar dan berkata. "Jangan pergi dulu. Pem-
bicaraan kita belum selesai...."
Wiro merasa adanya kehangatan dalam pegangan
Peri Bunda. "Aku ingin melakukan sesuatu untuk
menolongmu," bisik sang Peri.
"Apa yang hendak kau lakukan Peri Bunda?"
"Kau tahu, dengan tersebarnya berita aib itu ke-
adaan dirimu sebenarnya terancam bahaya. Bukan
mustahil ada pihak tertentu ingin mencelakai dirimu...."
"Saya memang sudah dicelakai!" kata Wiro pula
sambil menyeringai.
"Mungkin juga ada yang berniat jahat hendak
membunuhmu," ujar Peri Bunda.
"Itupun sudah dilakukan orang. Secara kasar dan
secara diam-diam. Terakhir sekali saya pernah hendak
dibunuh dengan mawar kuning beracun yang kabarnya
hanya tumbuh di Negeri Atas Langit. Dan saya juga
sudah tahu siapa pelakunya...."
"Siapa?" tanya Peri Bunda.
"Satu diantara dua orang ini. Luhjelita atau Peri
Angsa Putih!" jawab Wiro.
"Wiro...."
"Dan saya punya saksi hidupnya!" kata Wiro
lagi-lagi sambil menyeringai.
"Siapa?!" Peri Bunda sangat ingin tahu.
"Seorang kakek berjuluk Si Pelawak Sinting. Dia
adalah Si Pelawak Sinting yang palsu!"
"Kau percaya pada kakek sinting itu?" tanya Peri
Bunda pula.
"Lagaknya memang sinting. Tapi saya tahu otak
orang tua satu itu lebih cerdik dari ular kepala dua!"
jawab Wiro.
Peri Bunda menghela nafas dalam. "Wiro," katanya
perlahan. "Apapun yang barusan aku dengar terucap
dari mulutmu, saat ini ada satu hal yang ingin
kutanyakan. Aku ingin kejelasan. Apakah kau mencintai
gadis bernama Luhjelita itu?"
"Aku tak ingin menjawab pertanyaan aneh itu!" kata
Wiro. Padahal pada Luhcinta sebelumnya dia pernahmengatakan bahwa dia tidak mencintai Luhjelita.
"Kau tak mau menjawab tak jadi apa. Bagiku
jawabnya bisa ya bisa tidak." Berkata Peri Bunda
sambil tersenyum dan sampai saat itu tangannya
masih saja memegangi lengan Pendekar 212. "Per-
tanyaanku selanjutnya. Jika seandainya kau benar
tidak mencintai Luhjelita, lalu apakah kau mencintai
kerabatku si mata biru Peri Angsa Putih?"
Di balik sebuah batu besar, di udara malam yang
gelap karena bulan purnama empat belas hari masih
belum muncul, seorang yang sejak tadi mendekam
mendengar semua pembicaraan itu letakkan dua ta-
ngannya di atas leher, menahan seruan tertahan yang
hampir tersembur. Dua matanya membeliak, mulutnya
ternganga dan sepasang telinganya berusaha dan
ingin sekali mendengar jawaban yang keluar dari mulut
Pendekar 212. Orang ini bukan lain adalah si mata biru
Peri Angsa Putih.
Peri Bunda yang tadi mengajukan pertanyaan
diam-diam sebenarnya juga ingin sekali mendengar
jawaban Pendekar 212.
Tanpa diketahui orang ini, satu sosok lain di
kegelapan malam menahan debaran yang menggoncang
dadanya. Dia juga ingin tahu apa yang akan keluar
sebagai jawaban dari mulut Wiro. Apakah masih
sama seperti yang dulu pernah didengarnya? Dan
orang ini adalah gadis cantik bernama Luhcinta. Di
samping kiri orang ini, dua orang yang ikut ber-
samanya juga merasa tegang. Salah seorang diantara
mereka bukan lain Naga Kuning adanya, berbisik pada
kawan di sebelahnya yaitu kakek Si Setan Ngompol.
"Kalau salah si sableng itu berucap, sahabat kita ini
bisa seperti disambar petir!"
Sang kawan menjawab. "Aku tidak mengira kita
akan kedahuluan Peri Bunda. Lebih celaka lagi kalau
Peri Angsa Putih juga sudah ada di sekitar sini!"
Yang diajak bicara memandang berkeliling. Lalu
berkata. "Orang yang menurut sahabat kita ini katanya
akan muncul di bukit batu ini juga belum kelihatan.
Kalau dia tidak datang urusan bisa tambah ruwet.
Rahasia mawar beracun itu mungkin tidak akan bisa
terungkap."
"Aku punya firasat gadis itu pasti datang. Luhjelita
memang punya sifat aneh, pandai merayu membuat
lelaki mudah terpikat dan menganggap dirinya dicintai
gadis itu. Tapi untuk urusan seperti ini dia pasti
muncul. Apa lagi namanya sudah babak belur dibuat
sebusuk comberan." kata Setan Ngompol.
"Kek," Kata Naga kuning pada Setan Ngompol."Menurutmu apa benar Wiro main burung-burungan
dengan Luhjelita?"
"Bocah geblek! Apa maksudmu main burung-
burungan?!" tukas Si Setan Ngompol.
Naga Kuning menutup mulut menahan tawa. "Kau
jangan berpura-pura tidak tahu! Kau lebih banyak
pengalaman dariku! Hik...hik...hik!"
SEBELAS
KITA tinggalkan dulu ketegangan yang mulai
menggantung di bukit berbatu-batu sementara bulan
purnama masih juga belum memunculkan diri. Langit
diatas sana masih masih gelap disaput awan. Angin
bertiup sayup dan dingin.
Di saat sore menjelang senja di hari yang sama,
dua bayangan putih berkelebat ke arah timur me-
ninggalkan kawasan pantai. Sambil lari dua orang itu
tidak hentinya tertawa cekikikan. Dari tawa mereka
jelas bahwa keduanya adalah perempuan. Ketika akhir-
nya mereka hentikan lari di satu tempat kelihatan
mereka adalah dua gadis cantik berwajah sama. Ter-
nyata mereka bukan lain Sepasang Gadis bahagia,
cucu-cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang
belum lama berselang telah menipu kakek itu.
"Aku tak habis pikir!" berkata gadis di sebelah kanan
yaitu Luhkenanga. "Bagaimana mungkin mudah sekali
kita membohongi orang tua itu! Padahal dia pandai dan
cerdik luar biasa! Hik... hik!"
"Kau benar! Kurasa hari ini hari apesnya!" jawab
Luhkemboja sang kakak.
Mungkin juga! Tapi jangan-jangan orang tua itu
sudah lamur matanya! Hingga tidak bisa membedakan
lagi tongkat yang asli dan tongkat yang palsu!"
"Malah, jangan-jangan dia juga tidak kenal lagi
pada tongkatnya yang ada di bawah perut!"
Dua gadis itu tertawa cekikikan. Lalu Luhkemboja
bertanya."Menurutmu apa saat ini dia sudah tahu kalau
kita membohonginya?"
"Pertanyaanmu itu membuat aku kecut!" berkata
Luhkenanga."Ayo kita lari biar jauh dulu. Nanti kita
berhenti di bukit Tanah Bertengger. Di sana pasti aman.
Kita periksa lagi tongkat ini. Bukankah tadi kita sempat
melihat bagaimana kakek memuntir-muntir tongkat
yang kita berikan? Tapi karena tongkat itu palsu,
akhirnya patah! Aku yakin ada yang tengah diselidikinya.
Berarti tongkat asli yang ada pada kita menyembunyikan
sesuatu!"
Dua gadis kembar itu lalu lari ke arah timur di
mana terdapat sebuah kawasan berbukit-bukit. Bukit
di tempat itu bersusun-susun demikian rupa hingga
diberi nama Tanah Bertengger.Di satu tempat yang mereka rasakan aman, ke-
duanya hentikan lari. Di langit bulan purnama mulai
menyembulkan diri.
Dari balik pakaiannya Luhkemboja keluarkan Tongkat
Bahagia Biru. Setelah ditimang-timang lalu dia mulai
memeriksa.
Aku yakin tongkat ini menyembunyikan sesuatu.
Kau ingat bagaimana kakek kita memeriksa tongkat
palsu waktu benda itu patah dua? Sayang kita keburu
kabur karena takut. Kalau tidak pasti kita bisa men-
dapatkan lebih banyak kejelasan." Luhkemboja me-
muntir-muntir tongkat yang dipegangnya.
"Apa yang hendak kau lakukan?" bertanya Luh-
kenanga.
"Meniru gerakan kakek. Bukan mustahil tongkat
ini sebenarnya terdiri dari dua bagian yang bisa bertaut
dan bisa dipisahkan...."
Luhkemboja terus memuntir-muntir tongkat batu
berwarna biru redup itu. Namun sampai beberapa lama
dia tidak terjadi apa-apa.
"Biar aku yang lakukan!" kata Luhkenanga lalu
mengambil tongkat batu dari tangan kakaknya.
Namun baru sesaat tongkat batu berada dalam
pegangannya sekonyong-konyong ada sambaran angin
datang dari samping. Luhkenanga berseru kaget. Luh-
kemboja yang sempat melihat ada bayangan orang
berkelebat cepat bergerak melakukan sesuatu. Namun
satu kekuatan tenaga yang tidak kelihatan mendorong
tubuhnya, membuat gadis ini terjajar sampai lima
langkah. Sebelum dia bisa mengimbangi diri dan se-
belum Luhkenanga sempat bertindak, bayangan tadi
telah lenyap seolah ditelan keremangan malam yang
walau ada bulan purnama tapi sinarnya terhalang oleh
sekelompok awan gelap.
"Celaka! Tongkat batu kena dirampas orang!"
Berteriak Luhkenanga.
Tiba-tiba satu bayangan hitam besar kelihatan di
tanah. Lalu ada suara tawa berat bergelak. Dua dara
kembar cepat berbalik.
Empat langkah di hadapan mereka tegak satu
sosok tubuh tinggi besar memiliki sepasang mata
angker. Bola matanya tidak berbentuk bundar melain-
kan berupa segitiga memancarkan warna hijau. Yang
luar biasanya orang ini mempunyai kepala dengan
dua wajah. Wajah di sebelah depan berupa wajah
seorang lelaki separuh baya berwarna putih. Sedang
di wajah sebelah belakang berwarna hitam keling.
"Hantu Muka Dua! seru Luhkemboja.
"Dia yang mencuri tongkat biru kita!" teriak Luhkenanga.
Orang bermuka dua yang memang adalah Hantu
Muka Dua tertawa bergelak. "Gadis-gadis cantik! Aku
sudah lama mengincar kalian! Malam ini bakal me-
rupakan malam bahagia bagi kita bertiga!"
"Makhluk muka dua! Apa maksudmu?!" sentak
Luhkemboja.
"Kembalikan tongkat itu pada kami!" teriak Luh-
kenanga.
Hantu Muka Dua kembali tertawa. "Aku tidak
mungkin mengembalikan tongkat batu ini. Benda ini
sudah ditakdirkan menjadi milikku! Tapi jika kalian
memang menginginkan tongkat, aku akan memberi-
kan tongkat lain!" Habis berkata begitu Hantu Muka
Dua menunjuk ke bawah lalu tertawa gelak-gelak.
“Mahluk jahanam kurang ajar!" maki Luhkemboja.
"Walau kau punya nama besar dan ilmu setinggi
langit! Jangan kira kami takut padamu! Malam ini akan
jadi malam kematian bagimu! Riwayat Raja Di Raja
Segala Hantu di Negeri Latanahsilam akan berakhir!
Istana Kebahagiaan akan menjadi milik kami Sepasang
Gadis Bahagia!"
"Hebat sekali ucapan kalian! Tidak ada salahnya
aku menjajagi dulu sampai dimana kehebatan ilmu
kalian. Setelah itu baru aku menjajagi sampai dimana
kenikmatan yang tubuh kalian bisa berikan padaku!
Ha... ha... ha!"
Dua gadis kembar berteriak marah. Tubuh mereka
lenyap menjadi bayang-bayang dan berkelebat seraya
menghantam ke arah Hantu Muka Dua.
"Bukkk!"
"Bukkk!"
Dua gadis kembar menjerit dan cepat melompat
mundur seraya pegangi lengan mereka yang meng-
gembung merah dan sakit akibat bentrokan lengan
dengan lawan. Hantu Muka Dua sendiri tertawa me-
ngekeh walau diam-diam dia merasa kagum karena
kekuatan dua pukulan sepasang gadis kembar mem-
buat tulang lengannya menjadi nyeri. "Aku harus ce-
pat-cepat melumpuhkan mereka. Kalau tidak bisa-bisa
aku kena dicelakai!"
Sambil tertawa Hantu Muka Dua maju mendekati
dua lawan. "Dua gadis kembar! Aku tahu selama ini
kalian hanya suka pada makhluk sejenis. Hari ini aku
akan memberi pengalaman baru pada kalian. Bagai-
mana nikmatnya bersenang-senang dengan seorang
lelaki! H... ha... ha! Kalau kalian sudah merasakan,
kalian pasti akan mengekoriku kemana aku pergi!"
"Hantu keparat!" maki Luhkemboja lalu dia berteriak menyebut jurus serangan yang hendak dilancar-
kannya. "Bahagia Naik Ke Pelaminan!"
Luhkenanga tidak tinggal diam. Didahuiui teriakan
"Bahagia Menukik Menjebol Pusar Bumi!" gadis ini
melesat ke arah Hantu Muka Dua. Gerakan mereka
hebat sekali. Hampir tak kelihatan. Tahu-tahu kaki
kanan Luhkemboja sudah menghujam ke arah kepala
sedang tinju kanan Luhkenanga menyodok ke perut
Hantu Muka Dua.
"Hebat... hebat! Kalian memang dua gadis hebat!
Aku senang! Kalian berdua juga pasti hebat di atas
ranjang! Kalian memang pantas kujadikan penghuni
kamar dari Istana Kebahagiaan!"
"Habis berkata begitu Hantu Muka Dua gerakkan
tangannya kiri kanan.
"Wuuuttt!"
"Wuuuttt!"
Dua larik angin menderu.
Luhkemboja terpekik sambil pegangi lehernya.
Luhkenanga juga menjerit. Seperti kakaknya ga-
dis ini juga pegangi lehernya. Tubuh mereka meng-
geliat beberapa kali lalu terhampar terguling di tanah.
Sepasang kaki bagus kedua gadis ini menyentak-
nyentak hingga pakaian mereka tersingkap sampai ke
pinggul. Sesaat kemudian sosok keduanya diam tak
berkutik lagi. Tak bisa bergerak dan tak mampu ke-
luarkan suara. Itulah kehebatan ilmu Menjirat Urat yang
dilancarkan Hantu Muka Dua. Mampu membuat lawan
tak berdaya, semacam ilmu melumpuhkan tanpa me-
nyentuh. Ilmu ini termasuk salah satu ilmu yang di-
rampasnya beberapa waktu lalu dari Lasedayu alias
Hantu Langit Terjungkir.
"Putih mulus! Ha... ha... ha! Kalian benar-benar
tidak mengecewakan aku!" kata Hantu Muka Dua. Lalu
dia bertepuk tiga kali. Dari kegelapan muncul enam
orang lelaki mengusung sebuah tandu.
"Naikkan dua gadis ini ke atas tandu. Segera bawa
ke Istana Kebahagiaan! Aku menunggu di sana!"
Enam anak buah Hantu Muka Dua menjura hormat.
Dengan cepat mereka menaikkan sosok dua gadis
kembar ke atas tandu lalu mengusung ke arah ber-
kelebatnya makhluk berjuluk Hantu Segala Keji, Segala
Tipu, Segala Nafsu itu!
DUA BELAS
SEPASANG daun telinga Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab bergerak-gerak. Dia mendengar suara kaki-kaki
berlari, banyak sekali dan masih berada di kejauhan.
"Itu bukan suara lari Luhkemboja dan Luhke-
nanga..." membatin si orang tua yang otaknya berada
di luar batok kepala. "Mereka berjumlah lebih dari
empat orang. Aneh, mengapa mereka tidak segera
menuju ke sini. Tapi berlari berputar-putar di tebing
laut sebelah timur. Aku akan menunggu. Jika mereka
muncul membawa niat jahat akan kuhabisi!"
Sejak kejadian dua cucunya menipu dirinya dengan
Tongkat Bahagia Biru orang tua ini selalu diselubungi
hawa amarah. Dia seperti mau marah melihat siapa saja.
Tidak heran kalau dia berucap dalam hati seperti itu.
Suara kaki-kaki yang berlari terdengar makin keras.
"Mereka mulai mendekat," kata Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab. Tak selang berapa lama kakek ini
melihat satu pemandangan aneh dihadapannya.
Enam orang lelaki bertubuh besar bertelanjang
dada mengusung sebuah tandu yang ditutupi sehelai
tikar tipis terbuat dari jerami kering berwarna hitam.
Mereka berlari berputar-putar mengelilingi Hantu Se-
juta Tanya Sejuta Jawab yang tengah duduk di satu
pedataran tinggi menghadap ke laut Setelah mem-
perhatikan sesaat dan enam pengusung tandu seperti
tidak mau hentikan larinya, hilanglah kesabaran si
kakek. Dia pukulkan telapak tangan kanannya ke tanah.
Bukit pasir di tepi laut itu bergoncang seperti di
landa gempa. Debu dan pasir membubung sampai
setinggi tiga tombak. Enam pengusung tandu ter-
huyung-huyung. Jika mereka tidak segera jatuhkan
diri berlutut niscaya ke enamnya akan jatuh berse-
rabutan di tanah.
"Enam lelaki sinting kesasar! Pertunjukkan arak-
arakan gila apa yang tengah kalian lakukan?!" mem-
bentak Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Enam orang bertubuh besar penuh otot itu segera
turunkan tandu yang mereka usung dari bahu masing-
masing, diletakkan di tanah. Salah seorang dari mereka
yang bertindak sebagai wakil teman-temannya paling-
kan kepala ke arah si kakek lalu membuka mulut.
"Kami mendapat perintah, membawa tandu inikepadamu!"
Anehnya lima orang kawan lelaki yang barusan
bicara secara bersamaan mengulang ucapan kawan-
nya tadi. "Kami mendapat perintah, membawa tandu
ini kepadamu!"
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab kerenyitkan
kening. Otaknya yang tembus pandang berdenyut
keras. Matanya pandangi enam orang yang berlutut
di tanah di hadapannya.
"Siapa yang memberi perintah?!" Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab ajukan pertanyaan.
"Pendekar 212 Wiro Sableng!' jawab lelaki tadi.
Lima kawannya mengikuti.
"Pendekar 212 Wiro Sableng!"
"Hah! Siapa?!"
"Pendekar 212 Wiro Sableng! Pemuda asing dari
negeri seribu dua ratus tahun mendatang!"
Seperti tadi lima pengusung tandu lainnya meng-
ulangi ucapan temannya. "Pendekar212 Wiro Sableng!
Pemuda asing dari negeri seribu dua rarus tahun
mendatang!"
"Kalian jahanam semua!" Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab membentak. "Apa kalian kira aku tuli
hingga bicara diulang-ulang seperti itu?!"
"kami hanya menjalankan perintah dari Wiro
Sableng!"
"kami hanya menjalankan perintah dari Wiro
Sableng!"
"Aku tak ingin kalian bicara diulang-ulang! Jika
kalian berani berlaku seperti itu satu peratu akan
kupatahkan leher kalian!"
Enam orang lelaki tidak menjawab, hanya me-
mandang pada si kakek. Si kakek sendiri menatap ke
arah usungan. Dari apa yang dilihatnya dia maklum
ada sesuatu di atas tandu dibawah hamparan tikar
tipis hitam yang menutupinya. *
"Apa yang ada di bawah tikar di atas tandu itu?!"
Hantu Sejuta Tanya bertanya.
"Silahkan membuka tikar dan melihat sendiri!"
"Silahkan membuka tikar dan melihat sendiri!"
Lima lelaki bertelanjang dada seperti tadi mengikuti
ucapan temannya.
Kesabaran Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab sir-
na. Tubuhnya dimiringkan condong ke depan. Entah
kapan tangannya bergerak tahu-tahu kraaakkk! Salah
seorang dari enam lelaki pengusung tandu terkapar
di tanah dengan leher patah! Lima temannya mem-
beliak marah tapi tidak berani melakukan sesuatu.
"Siapa yang mau jadi korban ke dua? Silahkan bicara diulang-ulang!" kata Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab pula. Lalu keluarkan suara menggereng dari
tenggorokkannya.
Lima lelaki pengusung tandu tidak menjawab.
"Aku perintahkan salah satu dari kalian segera
menyibakkan tikar hitam!" membentak si kakek.
Salah seorang dari lima lelaki ulurkan tangan
kanan.
"Bettttt!"
Tikar hitam jerami kering tersingkap lalu dilempar-
kan ke udara, melayang jatuh ke arah pantai.
Dua mata Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mem-
beliak. Dari mulutnya menggembor teriakan dahsyat.
Sekali bergerak tubuhnya melesat ke udara setinggi
dua tombak. Ketika turun ke tanah, dua kakinya amblas
masuk ke dalam tanah sampai pergelangan kaki.
Di atas tandu menggeletak dua sosok tubuh gadis
yang nyaris tidak tertutup apa-apa. Sepasang mata
mereka mendelik. Sebatang tongkat batu berwarna
biru melintang di dada salah seorang gadis ini
"Cucuku!" teriak si kakek. "Luhkemboja! Luh-
kenanga!"
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendekati tan-
du. Dia membungkuk memeriksa dan dapatkan dua
gadis di atas tandu masih bernafas dan berada di-
bawah satu kekuatan aneh yang melumpuhkan. Ke-
adaan mereka mengenaskan sekali. Dari tanda-tanda
yang ada di aurat mereka si orang tua maklum kalau
dua cucunya ini telah dirusak kehormatannya secara keji.
"Biadab! Siapa yang melakukan perbuatan keji
ini?!" teriak Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tangan
kirinya menyambar. Laki-laki di samping kiri dijambak
lalu diangkat ke atas. Tangan kanannya menghantam.
"Praakkkk!"
Tulang muka lelaki itu melesak hancur. Darah
muncrat. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab bantingkan
sosok yang sudah jadi mayat itu. Lalu dia menjambak
lelaki berikutnya. Takut setengah mati dan tak mau
jadi korban keganasan si kakek orang ini segera
membuka mulut.
"Yang melakukan adalah pendekar 212 Wiro
Sableng!"
Tidak seperti tadi, kini lelaki-lelaki lainnya tidak
mengulangi ucapan kawannya itu.
Bergetar sekujur tubuh Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab. "Dia memperkosa dua cucuku! Lalu menyuruh
kalian membawa gadis-gadis ini ke sini?! Begitukah
hah?!"
Empat lelaki pengusung tandu anggukan kepala."Manusia jahanam! Kenalpun aku tidak! Bertemu
muka belum pernah! Mengapa dia berbuat sekeji ini
pada dua cucuku!"
Lelaki di samping tandu sebelah kiri menjawab.
"Menurut Wiro,dua cucumu telah mencuri tongkat batu
berwarna biru. Wiro berusaha mendapatkannya kem-
bali dan menghadang dua gadis itu di satu tempat.
Dia mendapatkan tongkat sakti kembali tapi ternyata
palsu. Wiro lalu menghajar dan memperkosa dua gadis
ini. Menurut Wiro dua gadis ini punya kelainan menebar
aib dan kekejian dimana-mana. Jadi pantas menerima
hukuman berat dan diperlakukan secara keji pula! Lalu
kami disuruhnya mengantarkan sosok-sosok mereka
padamu!"
"Dimana pemuda asing itu sekarang?!" tanya si
kakek dengan sekujur tubuh bergeletar.
"Kami tidak tahu! Dia membunuh dua sahabat
kami. Lalu sehabis memberi perintah yang disertai
ancaman dia kabur entah kemana."
"Kalian lekas angkat kaki dari sini sebelum ku-
bunuh semua!" Menghardik Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab.
Empat lelaki bertubuh besar serta merta berdiri
lalu tinggalkan tempat itu dengan cepat.
Si kakek segera menyambar tongkat batu biru
yang tergeletak di atas dada Luhkenanga. Dia cepat
memeriksa. Dengan dua tangannya tongkat dipatah-
kan. Lalu dia kembali memeriksa.
"Tongkat ini memang palsu! Tapi mengapa ini
dijadikan alasan oleh pemuda asing itu untuk berbuat
keji pada dua cucuku! Aku tahu dua cucuku memang
mengidap penyakit tidak wajar. Yang tidak bisa di-
sembuhkan seumur-umur. Tapi itupun tidak bisa di-
jadikan alasan untuk mencelakai mereka. Kabar yang
aku dengar tentang kehebatan dan kebaikan pemuda
itu ternyata jauh berbeda dengan kenyataan! Aku akan
mencarinya! Akan kulumat dengan dua tanganku!
Berarti benar kabar yang kusirap selama ini. Bahwa
pemuda itu telah berbuat cabul dengan gadis bernama
Luhjelita! Kalau tidak diambil tindakan lama-lama bisa
habis semua anak gadis orang di negeri ini!"
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab kembali per-
hatikan sosok dua cucunya. Sepasang mata tua ini
tiba-tiba mengerenyit.
"Ada keanehan.... Luhkemboja dan Luhkenanga
seperti berada dalam kelumpuhan. Tak bisa bergerak
dan tak bisa bicara. Ilmu kekuatan apa yang menguasai
mereka. Aku seperti...." Orang tua itu mengingat-
ngingat "Dua cucuku.'Wahai! Dia berada dibawahpengaruh Ilmu Menjerat Urat! Ilmu ini hanya Hantu
Muka dua dan beberapa orang anak buahnya yang
memiliki! Jangan-jangan Pendekar 212 Wiro Sableng
telah menjadi kaki tangan Hantu Muka Dua? Aku harus
mencari pemuda keparat itu. Mengorek lidahnya agar
mau mengaku lalu melumat sekujur tubuhnya mulai
dari kepala sampai ke kaki!"
TIGA BELAS
KEMBALI ke bukit yang dipenuhi batu-batu berbentuk
aneh di selatan Gunung Latinggimeru. Bulan purnama
empat belas hari, bulat penuh telah muncul sejak
beberapa waktu lalu. Keadaan di tempat itu kini tidak lagi
diselimuti kegelapan.
Peri Bunda gerak-gerakkan jari-jari tangannya
yang halus di atas lengan Wiro. "Kau belum menjawab
pertanyaanku tadi Wiro. Malu menjawab atau memang
tidak mau menjawab?! Apakah kau mencintai Peri
Angsa Putih?"
Wiro coba sunggingkan senyum lalu garuk-garuk
kepalanya. Diusapnya tangan Peri Bunda lalu per-
lahan-lahan dilepaskannya pegangan Peri itu dari
lengannya.
"Saya tidak tahu apa maksudmu dengan semua
pertanyaan itu. Mungkin sekali kau tengah mempelajari
seluk beluk ilmu bercinta?" Wiro tertawa lebar.
Peri Bunda juga tertawa tapi kembali mendesak.
"Wahai, kau pandai mengalihkan pembicaraan. Tapi
benar dugaanku kau tak mau menjawab pertanyaanku."
Kembali murid Sinto Gendeng ini dibuat garuk-garuk
kepala.
"Aku menunggu jawabanmu, Wiro," kata Peri Bunda.
"Peri Bunda, kerabatmu Peri Angsa Putih itu bukan
saja Peri berhati baik, tapi juga memiliki wajah sangat
cantik. Sepasang matanya yang biru membuat orang
memandangnya tak jemu. Tak ada orang yang bisa
melupakannya jika sudah sekali bertemu. Jangankan
lelaki, kaum perempuan pasti akan mengaguminya...."
Peri Bunda tersenyum. "Kata-katamu sungguh
Sejuk didengar dan polos. Kau seperti seorang penyair.
Kalau Peri Angsa Putih ada di sini pasti dia akan
senang mendengarnya...."
"Mungkin juga terharu!" kata Wiro sambil ter-
senyum-senyum dan garuk-garuk kepala. Di hadapan-
nya Wiro melihat Peri Bunda kerenyitkan kening,
mungkin tidak paham mengapa Wiro berkata begitu.
Di tempat persembunyiannya Peri Angsa Putih
sendiri merasakan tubuhnya bergetar. Seolah ada
hawa dingin menyelubunginya mulai dari kepala sam-
pai ke kaki.
Sementara itu Luhcinta yang berada bersamaNaga Kuning dan si kakek Ngompol tegak mematung
walau di dalam dadanya bergoncang menahan rasa
tegang. Sejak tadi dia ingin beranjak pergi, takut tak
kuasa mendengar pembicaraan Peri Bunda dan Wiro
yang semakin mempengaruhi hati dan perasaannya
itu. Tapi dua kakinya seolah diganduli batu besar
hingga dia tak mampu bergerak. Gadis ini akhirnya
setengah terpaksa memilih tetap berdiri di tempat itu.
"Wahai, tabahkan diriku jika seandainya jawaban
yang diberikan Wiro seolah petir menyambar di depan
wajahku?" begitu Luhcinta Membatin.
Lain halnya dengan Peri Angsa Putih sendiri. "Aku
tidak mengerti, mengapa Peri Bunda mendesak bah-
kan seperti memaksa ingin mengetahui apakah Wiro
mencintai aku atau tidak. Walau hati ini juga sangat
mengharap mendapatkan jawaban, tetapi bagaimana
kalau jawaban nanti berlainan dari yang diharapkan?
Jangan-jangan Peri Bunda tahu aku sembunyi di sini.
Lalu sengaja mengorek keterangan dari pemuda itu.
Bagiku kalaupun dia...." Peri Angsa Putih tidak berani
meneruskan kata hatinya itu.
"Wiro, jawaban tak kunjung keluar dari mulutmu.
Sangat susahkah bagimu untuk mengatakan bahwa
kau mencintai kerabatku Peri Angsa Putih. Ya atau
tidak?" Kembali Peri Bunda mendesak.
"Peri Bunda," Wiro berucap. "Cinta kasih itu adalah
sesuatu yang suci dan sangat pribadi. Penuh rahasia. Dan
ada kebahagiaan dalam kerahasiaan itu. Jika seorang
lelaki mencintai seorang gadis atau sebaliknya atau
seorang gadis mencintai seorang pemuda, apakah dia
akan begitu saja mengatakan, menceritakan kepada
setiap orang, pada siapa saja yang menanyakannya
karena rasa ingin tahu yang sulit diduga alasannya? Peri
Bunda, jika aku mencintai seseorang, aku tidak akan
mengatakan pada orang lain tapi akan mengatakan
sendiri pada orang yang aku cintai itu. Akan kubisikkan
ketelinganya. Jadi yang tahu hanya kami berdua. Buat
apa orang lain yang tak ada urusannya perlu mengetahui
isi hati kami berdua?"
Suasana di bukit batu itu untuk beberapa lamanya
dicekam kesunyian. Ada ketidak enakan seolah meng-
gantung di udara, menyusup ke lubuk hati orang-orang
yang ada di tempat itu.
Peri Bunda terdiam lalu menghela nafas berulang
kali. Agaknya dia kehabisan akal dan cara untuk me-
ngorek keterangan dari mulut Pendekar 212. Di tempat
gelap Peri Angsa Putih tundukkan kepala. Hati kecilnya
sangat ingin mendengar satu jawaban lain. Satu peng-
akuan. Namun jawaban yang didengarnya justrutambah membungkus hati sanubarinya dalam ketidak-
pastian yang mengiris-iris. Dalam hati Peri Angsa Putih
berkata. "Peri Bunda, kau tahu bagaimana perasaanku
terhadap pemuda itu. Memang salahku aku tak pernah
berkata terus terang padanya. Tapi apakah wajar aku
mengatakan hal itu padanya? Bukankah aku terikat
larangan dan pantangan Negeri Atas Langit? Peri
Bunda, jika aku hubungkan dua kuntum bunga mawar
kuning yang ada di kamarmu itu, apakah sebenarnya
yang tengah kau lakukan?"
Di bagian lain Naga Kuning berbisik pada si kakek
Setan Ngompol. "Untung pandai juga si sableng itu
memberikan jawaban. Tidak ada yang tersinggung dan
kecewa. Rahasia hatinya tetap tersembunyi...."
"Soal bicara kawan kita itu memang pandai. Dia
bisa berubah jadi penyair, terkadang seperti juru dak-
wah. Tapi jika kau perhatikan dalam setiap sikap dan
ucapannya selalu saja terselip sifat konyol dan sinting!
Dasar sableng!"
Dalam diamnya Peri Bunda akhirnya menyadari
bahwa tak mungkin baginya mendapatkan jawaban
yang diinginkan dari Wiro. "Pemuda ini benar-benar
cerdik. Membuat aku bertambah kagum padanya.
Mungkin memang lebih baik bagiku kalau dia tidak
menjawab. Siapa tahu dia memang tidak mencintai
Luhjelita, Peri Angsa Putih ataupun Luhcinta. Mudah-
mudahan ada setitik harapan...."
"Wiro, kau tak mau menjawab berterus terang tak
jadi apa. Tapi aku tetap mengkhawatirkan kesela-
matanmu. Aku tak ingin kau mendapat celaka. Aku
tak ingin kau menemui malapetaka dan merasa ber-
dosa kalau itu terjadi sementara aku tidak berbuat
sesuatu apa demi keselamatan dirimu...."
"Peri Bunda, saya sangat berterima kasih kau
memperhatikan keselamatan saya. Mudah-mudahan
saya bisa menjaga diri...."
"Dalam hal keselamatan diri apa lagi menyangkut
keselamatan jiwa jangan berpegang dan mengandal-
kan apa yang disebut mudah-mudahan. Kematian
tidak bisa dicegah dengan yang namanya mudah-
mudahan. Kematian bisa ditimbulkan oleh orang-
orang yang tidak kita duga. Kau telah mengalami
sendiri. Bahkan tadi kau telah menyebutkannya. Kau
hampir menemui kematian akibat sekuntum mawar
kuning beracun. Dan kau sudah yakin pelakunya salah
satu dari dua orang yakni Peri Angsa Putih atau
Luhjelita. Wahai, apakah kau hendak mensia-siakan
jiwamu untuk kedua kalinya? Kau harus menjauhkan
dirimu dari ke dua orang itu Wiro. Jika sekali merekatelah mencoba dan tidak berhasil, bukan mustahil
mereka akan melakukannya kembali. Jika itu sampai
terjadi mungkin nyawamu sulit untuk diselamatkan...."
Kalau Luhcinta hanya kerenyitkan kening men-
dengar ucapan Peri Bunda itu, lain halnya dengan Peri
Angsa Putih. Dia sangat terkejut karena tidak me-
nyangka Peri Bunda akan berkata seperti itu. "Peri
Bunda sepertinya ikut mempercayai bahwa memang
aku atau Luhjelita yang hendak membunuh Wiro
dengan mawar beracun. Padahal aku menemukan
bukti nyata, bunga-bunga itu berada dalam kamarnya.
Untuk apa dia menyimpan bunga mawar itu kalau
bukan ada maksud jahat? Wahai Peri Bunda, sejak
aku menemukan dua kuntum mawar beracun dalam
kamarmu aku sudah menaruh curiga. Kau berada di
belakang semua bencana itu! Kau yang jadi biang
racunnya. Sekarang kau hendak lempar batu sembunyi
tangan. Peri Bunda, walau kau junjunganku tapi untuk
urusan satu ini aku melawanmu habis-habisan!" Selesai
berkata begitu Peri Angsa Putih segera bergerak keluar
dari balik persembunyiannya. Tapi langkahnya tertahan
ketika telinganya kembali mendengar Peri Bunda
berucap.
"Wiro, ada satu tempat yang aman bagimu. Jika
kau suka aku akan mengantarkanmu ke sana...."
"Tempat aman apa maksudmu Peri Bunda?"tanya
Wiro.
"Tempat itu, terletak antara Negeri Atas Langit dan
Negeri Latanahsilam. Di situ ada sebuah puri bernama
Puri Kebahagiaan. Aku akan membawamu ke sana.
Sampai keadaan aman kita bisa menetap di sana."
Pendekar 212 menatap lekat-lekat ke wajah sang
Peri. Dia melihat satu wajah cantik mempesona. Ketika
Peri Bunda merangkum senyum dibibirnya yang merah,
murid Sinto Gendeng ini merasa ada getaran aneh dalam
dadanya. Dia hendak menggaruk kepala. Tak jadi, Wiro
malah balas tersenyum!
"Ikut aku Wiro,"' bisik Peri Bunda sambil memegang
jari-jari tangan Pendekar 212.
Luhcinta merasakan degupan jantungnya mengeras.
"Peran apa sebenarnya yang tengah dilakukan Peri
Bunda," dia membatin. "Puri Kebahagiaan.... Baru
sekali ini aku mendengar nama itu. Jangan-jangan ada
sangkut pautnya dengan Istana Kebahagiaan milik
Hantu Muka Dua?"
Ditempat lain Peri Angsa Putih merasakan tubuhnya
seperti terbakar. "Peri Bunda! Sekarang aku tahu apa
yang ada dihatimu! Kau Peri penghianat culas! Kau
memainkan pisau bermata dua! Wahai!""Puri Kebahagiaan yang kau sebutkan itu Peri
Bunda, tempat apakah itu?" Wiro terdengar bertanya.
"Puri Kebahagiaan!" kata Peri Angsa Putih dalam
hati. "Para Peri di Negeri Atas Langit telah lama men-
dengar dan mencurigai keberadaan puri tersebut. Na-
mun sulit untuk mengetahui dimana beradanya. Ka-
rena setiap hendak diselidiki ada satu hawa aneh
mengambang di udara, membendung penglihatan!
Kini aku mendengar sendiri. Ternyata Peri Bunda
berada di belakang keberadaaan Puri Kebahagiaan
itu!" Peri Angsa Putih gigit bibirnya menahan gejolak
darah dan gejolak hati. "Peri itu tadi mengucapkan
sampai keadaan aman kita bisa menetap di sana. Kita!
Kita siapa maksudnya? Dia dan Wiro? Sungguh culas!
Kalau aku ingat semua pembicaraan sebelumnya. Dia
melarang diriku berhubungan dengan pemuda itu. Aku
dimintanya agar menjauhkan diri dan melupakan
Wiro. Kini dia malah ingin berdua-dua bersama pe-
muda itu! Berarti selama ini dia telah menipu diriku!"
Di tempatnya bersembunyi bersama Naga Kuning
dan Si Setan Ngompol, Luhcinta tegak tertegun. Dia
tatap wajah Peri Bunda. Dengan ilmu kesaktian langka
yang dimilikinya gadis ini dalam pandangannya mam-
pu mendekatkan wajah Peri itu hingga dia dapat me-
lihat jelas air muka dan tatapan Peri Bunda yang
ditujukan pada Wiro.
"Peri Bunda..." membatin Luhcinta. "Dari tatapan
wajahmu, dari pandangan sepasang matamu, aku
dapat meraba ke dalam relung hatimu paling dalam.
Kau mencintai pemuda itu.... Apa kau lupa pantangan
dan larangan di Negeri Atas Langit? Kau seorang Peri
sanjungan, junjungan dari segala Peri, hendak ber-
selingkuh melanggar larangan. Peri Bunda, aku sung-
guh tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi. Tetapi
aku sadar sedalam-dalamnya. Kasih yang selama ini
dimiliki kami manusia biasa ternyata juga masih men-
jadi bagian kalian. Selama ini kalian berusaha me-
nutupi. Tetapi keadaan membuat semakin ditutupi
semakin kuat dorongan hati kalian untuk menyingkap
dan membuangnya. Kita sama-sama perempuan wa-
hai Peri Bunda. Kasih yang ada dalam hatimu dan ada
yang dalam hati semua perempuan tiada beda. Selama
hayat dikandung badan kaum perempuan ditakdirkan
untuk berbagi kasih pada seorang lelaki. Kasih mem-
punyai kekuatan sangat kokoh. Sanggup menghan-
curkan tembok bernama larangan sekalipun tembok
itu terbuat dari baja. Peri Bunda, mungkin kau tidak
mengetahui. Kau bukan saja berperang rasa dengan
Peri Angsa Putih, tetapi juga dengan diriku...."Kalau Luhcinta masih mampu membendung ge-
jolak yang menggoncang hati dan pikirannya, lain
halnya dengan Peri Angsa Putih yang merasa di-
khianati oleh Peri Bunda.
Tidak dapat menahan hatinya lagi Peri Angsa Putih
segera melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Tapi lagi-lagi gerakannya tertahan karena saat itu di
langit sebelah timur kelihatan sebuah benda bulat besar
bersayap, terbang berputar-putar. Sesaat kemudian
benda ini yang ternyata adalah seekor kura-kura raksasa
mendarat di bukit batu. Dua orang melompat turun.
Orang sebelah depan adalah seorang gadis ber-
pakaian ungu yang rambutnya digulung ke atas. Dia
bukan lain Luhjelita. Di belakangnya mengikuti se-
orang kakek berpipi kempot. Mulutnya yang tonggos
kelihatan cengengesan sedang matanya belok lebar.
Kakek berhidung pesek ini mengenakan celana yang
bagian belakangnya sengaja didodorkan ke bawah
demikian rupa hingga pantatnya yang hitam kasap
budukan kelihatan ogel-ogelan kemana-mana. Di ta-
ngan kanannya kakek ini memegang sebuah rebana
yang pinggirannya diberi kerincingan. Sambil me-
nyanyi na... na... na... ni... ni... ni kakek ini pukul-
pukulkan rebana itu ke pantatnya. Gerakan kakinya
berjalan seperti orang menari.
"Pendekar2T2 Wiro Sableng! Aku Luhjelita datang
sesuai perjanjian! Lihat siapa ikut bersamaku!"
Habis berseru begitu Luhjelita melangkah men-
dekati tiga buah batu berbentuk tiang yang ujungnya
lancip mencuat ke arah langit berhias bulan purnama
penuh.
EMPAT BELAS
SEMUA orang yang ada di bukit batu sama terkejut.
Wiro segera bangkit berdiri. Peri Bunda serta merta
melompat bangun. "Wahai, jadi ini sebabnya kau datang
ke bukit batu aneh ini, Wiro. Rupanya kau telah membuat
perjanjian dengan Luhjelita...! Aku tidak cemburu. Tapi
akan lebih baik kalau kita berdua segera tinggalkan bukit
ini, pergi ke Puri Bahagia! Tak ada yang bisa mengikuti
kita sampai di sana...."
"Tidak mungkin saya ikut bersamamu Peri Bunda.
Ada urusan yang harus diperjelas dengan gadis itu."
"Membuat urusan dengan Luhjelita tidak akan
memperjelas masalah. Malah akan memperburuk dan
memperuncing suasana! Ikuti aku Wiro. Lekas ting-
galkan tempat ini!" Peri Bunda ulurkan tangan menarik
lengan Wiro. Tapi murid Sinto Gendeng ini segera
mengelak.
Tiba-tiba ada cahaya merah melewati bulan pur-
nama. Lalu satu sosok gemuk luar biasa, berpakaian
serba merah, menjela panjang sampai ke tanah tahu-
tahu kelihatan tegak di tiang batu runcing sebelah
tengah. Demikian gemuknya makhluk ini tinggi leher-
nya dan dagu jadi satu. Selain gemuk gembrot tak
karuan, dia juga memiliki wajah buruk. Bulat selalu
keringatan, dihias hidung pesek serta tahi lalat sebesar
telur burung dara di pipi kiri. Karena bagian samping
kiri kanan pakaian sang Peri ini dibelah tinggi, tiupan
angin membuat pakaian itu tersingkap lebar menyem-
bulkan auratnya sampai ke pinggul.
"Aku sebenarnya sudah jemu dengan suasana di
tempat ini! Sekarang untung ada hiburan! Ada pe-
mandangan sedap menyegarkan! Waw! Montoknya
pinggul peri gendut itu. Putih lagi!" bisik Setan Ngom-
pol sambil cengengesan dan matanya melotot me-
mandang ke arah Peri Sesepuh.
"Ini belum seberapa," balas berbisik Naga Kuning.
"Ingat waktu dia duduk mengongkong pada saat me-
nolong kita dulu? Aku tidak dapat memastikan apa
kali ini dia pakai celana dalam atau tidak! Hik... hik...
hik!" (Baca Episode sebelumnya berjudul "Peri Angsa
Putih")
"Aku yakin, seperti dulu sekarang ini dia juga tidak
pakai celana dalam. Jadi buka matamu lebar-lebar.Jangan berkedip. Telat memandang hilang rejeki!"
kata Setan Ngompol pula lalu tertawa cekikikan dan
terkencing-kencing.
Luhcinta yang merasa terganggu oleh bisik-bisik
serta tawa dua orang itu berpaling dan bertanya. "Apa
yang kalian tertawakan? Kalian mentertawaiku?"
"Bukan! Tidak.... anu.... Peri gemuk itu. Biasanya
dia tidak pakai celana dalam!" jawab Naga Kuning
seenaknya walau Setan Ngompol telah menginjak
kakinya agar dia tidak bicara teledor.
Walau mukanya jadi berkerut mendengar kata-
kata Naga Kuning itu namun Luhcinta kembali ber-
tanya. "Kau bisa berkata begitu, memangnya apa
pernah melihat?"
"Hik... hik.... Tanyakan saja pada kakek ini! Dia
yang paling lama dan paling asyik melihatnya!" jawab
Naga Kuning. Luhcinta tersenyum dan geleng-geleng
kan kepala lalu berpaling ke arah deretan tiga batu
berbentuk tiang.
"Peri Sesepuh!"
Peri Angsa Putih berseru kaget Siapa mengira
kalau Peri yang menjadi pimpinan tertinggi di Negeri
Atas Langit itu akan muncul di tempat itu.
"Peri Bunda, sedang apa kau di sini?!" Peri Se-
sepuh yang mukanya gembrot keringatan menegur.
Matanya memandang ke arah Peri Bunda. Sesaat
kemudian dia alihkan pandangan, menyapu ke Se-
antero bukit batu yang diterangi cahaya bulan pur-
nama. "Hemm.... Ternyata ada banyak orang di tempat
ini. Beberapa diantaranya sengaja sembunyi di balik
bebatuan...." Peri Sesepuh yang sakti ini ternyata
sudah mengetahui bahwa selain Peri Bunda, Wiro
Sableng, Luhjelita dan kakek aneh yang dikenalnya
dengan nama Si Pelawak Sinting, masih ada beberapa
orang lain di bawah sana.
Peri Bunda tekukkan lututnya memberi hormat
lalu mendongak ke arah Peri Sesepuh yang tegak di
atas tiang batu runcing.
"Peri Sesepuh, Peri Pimpinan di Negeri Atas Langit,
mohon maafmu. Aku tidak sempat memberi tahu
sebelum turun ke bumi. Ada satu keperluan yang harus
aku urus di tempat ini."
"Aku tidak ingin tahu apa urusanmu. Tapi aku
melihat ada yang tidak beres bakal terjadi di bukit batu
ini. Karenanya lekas kau ikut aku kembali ke Negeri
Atas Langit. Sesuatu telah terjadi di sana. Kamar
ketiduranmu dijebol orang!"
Terkejutlah Peri Bunda mendengar kata-kata Peri
Sesepuh itu. Hatinya sesaat bimbang sebelum berkata."Terima kasih wahai Peri Sesepuh. Kau telah sudi
datang memberi tahu. Aku akan segera kembali. Tapi
aku mohon biarkan aku menyelesaikan urusan lebih
dulu. Izinkan aku membawa pemuda ini ke satu tempat.
Dia harus diselamatkan dari ancaman maut...."
"Wahai Peri Bunda, tidak pernah kutahu kalau kau
bersahabat dengan pemuda asing yang datang dari
negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. Setahuku
dia adalah sahabatnya Peri Angsa Putih...."
"Peri Sesepuh, izinkan kami pergi...."
Peri Sesepuh tersenyum. "Jika kau memikirkan
keselamatan pemuda itu, biar aku yang membawanya.
Katakan ke tempat mana aku harus pergi. Sementara
kau boleh menyelesaikan urusan di tempat ini!"
Peri Bunda jadi bingung mendengar kata-kata Peri
pimpinannya itu. "Peri Sesepuh, aku mohon.... Aku
tak ingin merepotkanmu. Biar aku yang membawa
pemuda ini...."
"Para Peri dari atas langit!" tiba-tiba Luhjelita
berseru. Dari tadi dia sudah tidak sabaran melihat dan
mendengar percakapan dua Peri itu. "Jika kalian hen-
dak berbincang-bincang menyelesaikan urusan, cari
saja tempat lain. Jauh-jauh hari tempat ini sudah
kutetapkan sebagai tempat pertemuan dengan Pen-
dekar 212 Wiro Sableng. Harap kalian suka pergi dari
sini!"
Peri Sesepuh yang merasa tersinggung mende-
ngar kata-kata Luhjelita itu sunggingkan senyum
mengejek lalu menjawab. "Luhjelita, gadis perayu
lelaki! Kau rupanya! Apakah pertemuanmu dengan
pemuda itu menyangkut urusan rayu merayu, urusan
cinta murah? Atau kau hendak melanjutkan perbuatan
aib yang kau lakukan bersamanya di dalam goa dulu?"
"Peri lancang mulut! Tidak kukira mulutmu se-
kotor itu! Kau berserikat dalam tuduhan! Aku ke bukit
batu ini justru untuk membuktikan bahwa kalian bang-
sa Peri bukanlah makhluk suci dan baik!"
"Wahai, apa maksudmu gadis perayu?" tanya Peri
Sesepuh.
"Aku akan membuktikan bahwa salah seorang
Perimu yakni yang bernama Peri Angsa Putih adalah
peri jahat yang bermaksud hendak membunuh pe-
muda asing itu dengan sekuntum mawar beracun!
Tapi kenyataan diputar balik. Tuduhan diacungkan ke
arahku! Sungguh keji dan busuk!"
Muka bulat gemuk dan keringatan Peri Sesepuh
kelihatan berkerut. "Kau menuduh Peri Angsa Putih
selagi dia tidak berada di sini untuk membela diri. Aku
tidak bisa menerima tuduhan seperti itu! Karenanyakuharap kau dan kawanmu kakek sinting itulah yang
segera angkat kaki dari bukit batu ini!"
"Peri Sesepuh! Aku ada di sini!" Tiba-tiba ada
suara berseru dari balik sebuah batu besar. Di lain
kejap muncullah Peri Angsa Putih. Wajahnya agak
pucat dan sepasang matanya seperti sembab.
"Wahai! Sungguh tidak disangka kau rupanya
telah ada di sini Peri Angsa Putih. Mengapa sengaja
bersembunyi sejak tadi?"
Wajah Peri Angsa Putih menjadi bersemu merah.
"Maafkan saya Peri Sesepuh. Saya tidak ingin merusak
suasana pertemuan antara Peri Bunda dengan pemuda
bernama Wiro Sableng itu," jawab Peri Angsa Putih pula.
Kini wajah Peri Bundalah yang berubah merah.
"Peri Angsa Putih!" Peri Bunda menegur. "Ucapanmu
seolah memberi kesan aku punya hubungan rahasia
dan tidak baik dengan pemuda ini!"
"Aku tidak mengatakan begitu Peri Bunda," jawab
Peri Angsa Putih. "Tapi aku memang ingin menyam-
paikan sesuatu yang bukan saja memberi kesan, tapi
mungkin bisa membuktikan bahwa memang ada se-
suatu yang hendak kau sembunyikan di balik per-
temuanmu dengan pemuda itu!"
Peri Bunda maju dua langkah mendekati Peri
Angsa Putih. Suaranya keras tapi bergetar ketika dia
bertanya. "Apa maksudmu dengan ucapanmu itu Peri
Angsa Putih?"
Peri Angsa Putih meraba ke balik pakaian putihnya.
"Tunggu dulu!" Peri Sesepuh berseru lalu berpaling
pada Luhjelita. "Gadis perayu, karena Peri Angsa Putih
sudah ada di sini, aku memberi kesempatan padamu
untuk membuktikan bahwa memang dia yang telah
berniat jahat hendak membunuh pemuda asing
itu dengan mawar kuning beracun!"
Luhjelita yang jadi kesal karena terus-terusan
dipanggil dengan sebutan "gadis perayu" menjawab
tak kalah ketus bahkan kurang ajar. "Peri gendut
hidung pesek! Aku datang kemari membawa seorang
saksi kakek berjuluk Si Pelawak Sinting ini! Dia ber-
sedia memberi kesaksian bahwa bukan aku yang
melepas bunga mawar beracun di anak sungai. Bunga
yang kemudian diambil oleh Wiro, diciumnya lalu
membuatnya jatuh pingsan hampir sekarat"
Peri Sesepuh mendengus marah. Mukanya me-
ngelam. "Kakek sinting yang otaknya miring bagai-
mana mungkin bisa dijadikan saksi? Bicaranya saja
pasti ngacok! Dari tadi kulihat kerjanya hanya me-
nyanyi dan menari. Pakai celanapun dia tidak karuan!"
Di bawah batu berbentuk tonggak tinggi kakekberjuluk Si Pelawak Sinting (yang palsu) bernama asli
Labodong tertawa mengekeh. Dia goyangkan rebana-
nya hingga mengeluarkan suara berkerincing keras.
Setelah menyanyi na... na... na... ni... ni... ni diapun
berkata.
"Peri Sesepuh, waw... waw! Terima kasih kau telah
memuji otakku yang miring, bicaraku yang ngacok
serta celanaku yang kedodoran! Terima kasih, berarti
kau sejak tadi diam-diam memperhatikan diriku! Ha...
ha... ha! Wahai, sudah sejak lama tidak ada perempuan
yang memperhatikan aku. Apa lagi seorang Peri se-
pertimu. Terima kasih... terima kasih! Ha... ha... ha!
Kau tahu wahai Peri Sesepuh, seorang saksi berotak
waras terkadang bisa jadi sinting karena tekanan. Aku
yang kau bilang sinting hari ini tengah berpikiran
cerah! Aku ingat betul apa yang terjadi di tepi sungai
kecil dulu itu karena aku melihat dengan mata kepalaku
sendiri. Sobatku bernama Luhjelita ini memang bukan
dia yang meracun pemuda itu dengan mawar kuning.
Aku kebetulan berada di anak sungai saat itu. Jadi
tahu betul hanya ada dua orang di situ yakni Peri
kerabatmu bernama Peri Angsa Putih itu serta Luh-
jelita.... Ketika Luhjelita muncul di tepi anak sungai,
pemuda itu sudah lebih dulu keracunan, pingsan se-
karat sehabis mencium bunga mawar beracun yang
konon hanya tumbuh di Negeri Atas Langit, negeri
kalian kaum Peri...."
"Tidak semudah itu menerima kesaksianmu Pe-
lawak Sinting!" tukas Peri Sesepuh, "Bisa saja Luh-
jelita telah lebih dulu meluncurkan bunga beracun itu
ke dalam aliran sungai kecil. Lalu ketika pemuda itu
pingsan dia muncul pura-pura hendak menolong...."
"Tidak, Luhjelita tidak muncul untuk menolong,"
memotong Si Pelawak Sinting. Lalu sambil melirik
pada Luhjelita yang ada di sampingnya dia berbisik.
"Apa aku katakan pada Peri gendut itu kau kulihat
dalam keadaan bugil, tengah menggerayangi bagian
bawah perut di balik celana Wiro Sableng?"
"Jangan melantur! Kurobek mulutmu jika kau
membuka rahasia yang satu itu! Yang jelas kau tahu
aku tidak meracuni Wiro dengan bunga mawar kuning!"
kata Luhjelita cepat
"Pelawak sinting, jika tidak bermaksud menolong
pemuda itu, lalu apa yang dilakukan Luhjelita?" ber-
tanya Peri Sesepuh.
"Aku tidak tahu. Yang jelas ketika aku mendatangi
dia lantas kabur. Aku kemudian menolong pemuda
yang keracunan itu. Aku mengetuk pusarnya dengan
gagang gayung hingga racun yang ada dalam tubuhnya larut ke bagian tubuh sebelah bawah, tidak me-
masuki jantung...."
"Pelawak Sinting berapa kau dibayar Luhjelita
untuk memberi kesaksian palsu itu?" tanya Peri Se-
sepuh sambil sunggingkan senyum mengejek di muka-
nya yang gembrot keringatan.
"Aku tidak dibayar dan kesaksianku tidak palsu!"
jawab Si Pelawak Sinting lalu goyang rebananya be-
berapa kali. Kakinya bergerak-gerak menari dan dari
mulutnya keluar suara nyanyi na... na... na... ni... ni...
ni!
"Kalau kau tidak dibayar pasti kau sudah larut dalam
peluk rayunya!" Yang berkata adalah Peri Bunda.
Luhjelita delikkan mata dan mendamprat. "Peri
baju biru! Mukamu cantik tapi mulutmu kotor. Tubuh
dan pakaianmu harum tapi hatimu busuk! Kalau kau
tidak bisa membela Peri Angsa Putih jangan bicara
serendah itu! Apakah begitu tata cara bicara kaum
Peri di Negeri Atas Langit?"
"Aku tak perlu dibela karena memang bukan aku
yang membuang mawar kuning beracun ke dalam
aliran sungai!" Peri Angsa Putih tiba-tiba berkata se-
raya maju beberapa langkah hingga dia kini berdiri
tepat di hadapan Peri Bunda.
Dari balik pakaiannya Peri Angsa Putih keluarkan
dua kuntum mawar kuning yang telah layu. "Peri
Bunda, aku tidak tahu kau akan berdalih bagaimana.
Tapi dua kuntum mawar beracun ini aku temui dalam
jambangan rotan di kamarmu!"
Di atas tiang batu Peri Sesepuh terkejut Peri
Bunda sendiri pucat wajahnya. Luhjelita tak kalah
kagetnya sedang Pendekar 212 melongo garuk-garuk
kepala.
"Peri Bunda, jadi kau rupanya!" ujar Peri Sesepuh
sambil geleng-geleng kan kepala.
Setan Ngompol ikut-ikutan gelengkan kepalanya.
"Peri secantik itu tidak sangka berhati begitu jahat!"
"Tapi apa alasannya dia hendak membunuh sa-
habat kita Wiro?" tanya Naga Kuning.
"Sahabat-sahabatku, kuharap kalian mau bersabar
dan tidak berisik. Segala perbuatan yang tidak
berdasarkan kasih antara sesama makhluk akan se-
gera tersingkap..." kata Luhcinta. Ketiga orang itu
sampai saat itu masih mendekam di tempat persem-
bunyian mereka.
"Peri Bunda!" Dari atas tiang batu berujung lancip
kembali Peri Sesepuh menegur. "Kau telah melakukan
satu perbuatan sangat keji! Apa alasanmu berbuat
begitu?!""Peri Sesepuh...." Peri Bunda gigit bibirnya sen-
diri. Wajahnya masih pucat Dia pegangi dadanya
dengan dua tangan lalu kepalanya digelengkan ber-
ulang kali.
"Kau tak mau menjawab. Tapi aku sudah dapat
menduga apa yang tersembunyi di balik perbuatanmu
itu! Kau sebenarnya mencintai pemuda asing itu. Kau
tidak ingin kehilangannya. Kau sudah bertekad meng-
hadapi malapetaka apapun asal kau bisa mendapatkan
dia. Karena itu kau lebih dulu ingin mencelakai dan
mengadu domba Peri Angsa Putih dan Luhjelita. Jika
pemuda itu menaruh syak wasangka pada mereka
bukankah berarti kau mendapat jalan untuk merebut
hatinya?!"
Mendengar kata-kata Peri Sesepuh itu, Peri Angsa
Putih mau tak mau membatin. "Itu sebabnya Peri
Bunda ingin membawa Wiro ke Puri Bahagia. Dia ingin
berdua-dua dengan pemuda yang dikasihinya itu.
Sungguh tidak kuduga...."
Peri Bunda mendongak memandang ke arah Peri
Sesepuh. "Peri Sesepuh..." desisnya. Lalu satu teriak-
an dahsyat keluar dari mulut Peri Bunda. "Tidak...!
Tidaaakkkk!" R„nda'"" hardik Peri Se-
Apa yang tidak Peri Bunda..
sepuh.
LIMA BELAS
WAJAH Peri Bunda yang tadinya pucat kini berubah
merah seperti saga. Air mukanya tak kalah bengis
dengan paras Peri Sesepuh.
"Tidaaaakkkk!" Peri Bunda kembali berteriak.
Teriakannya menggelegar di seantero malam,
menggetarkan Seantero bukit batu.
"Peri Bunda! Jangan sampai membuat aku
menjatuhkan tangan hukum dan kutuk saat ini juga!
Lekas berlutut dan akui perbuatanmu!" Peri Sesepuh
keluarkan suara keras lantang.
"Kau!"
Tiba-tiba Peri Bunda tudingkan jari telunjuk ta-
ngan kanannya tepat-tepat ke arah Peri Sesepuh. "Aku
tidak berbuat! Bukan aku yang meracuni pemuda itu.
Tapi kau! Kau Peri Sesepuh! Kau! Dua bunga mawar
kuning beracun itu aku temukan dalam kamarmu!
Sengaja aku ambil lalu aku simpan dalam kamarku!
Ketika kejadian bunga itu hanyut di aliran anak sungai,
bukankah kau juga berada di sekitar situ? Bahkan
sempat bicara denganku? Waktu itu sebenarnya aku
juga melihat dua kuntum bunga mawar ada di balik
lipatan pakaian merahmu!"
Semua orang yang ada di tempat itu jadi terkejut
besar. Luhcinta saking kagetnya sampai-sampai me-
lompat keluar dari persembunyiannya. Diikuti oleh
Naga Kuning dan Setan Ngompol.
Di atas batu wajah Peri Sesepuh pucat pasi seperti
melihat setan. Mulutnya bergetar.
"Peri Bunda! Kau menuduhku? Kau sengaja hendak
memutar balik kenyataan? Benar-benar busuk budi
pekertimu! Kau layak kuhabisi saat ini juga!"
Selesai berkata begitu Peri Sesepuh kibaskan
tangan kanannya ke bawah. Segulung cahaya merah
menggelegar, menyambar ke arah Peri Bunda.
"Tunggu!" teriak Luhjelita.
"Tahan!" Pendekar 212 ikut berteriak.
"Peri Sesepuh! Jangan!" Peri Angsa Putih juga
berteriak keras.
Namun Peri Sesepuh tetap terus menghantam.
Larikan sinar merah menggelombang membuntal tam-
bah cepat dan tambah dekat ke arah Peri Bunda.
Sementara Peri Bunda sendiri tidak melakukan sesuatu seolah pasrah dirinya hendak dibantai orang!
Terpaksa tiga orang itu bertindak cepat. Wiro, Luhjelita
dan Peri Angsa Putih sama-sama gerakkan tangan
kanan, menghantam ke atas.
Selarik sinar Jingga menderu dahsyat keluar dari
telapak tangan Luhjelita. Selain menebar hawa panas
pukulan ini sanggup membuat lawan menjadi lemas
tak berdaya.
Dari tangan kanan Peri Angsa Putih melesat satu
sinar putih. Inilah pukulan sakti yang disebut Membalik
Langit Menggulung Bumi. Pukulan ini sanggup mem-
buat setiap serangan lawan berbalik menghantam
pemiliknya sendiri!
Sinar ke tiga yang mencuat laksana perak menyala
menyilaukan mata dan menebar panas luar biasa
adalah pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Pendekar
212.
"Bummm!"
"Bummm!"
"Blaarrr!"
Tiga dentuman dahsyat menggelegar di malam
bulan purnama itu. Bukit batu laksana dilanda geluduk
dihantam gempa. Batu-batu besar bergelundung ber-
gemuruh. Beberapa orang keluarkan seruan tegang.
Tiga batu hitam berbentuk tiang berujung lancip, ter-
masuk dimana Peri Sesepuh sejak tadi berdiri tegak,
keluarkan suara berderak. Lalu patah dan roboh ber-
keping-keping. Sosok Peri Sesepuh sendiri kelihatan
mencelat tinggi ke udara. Pakaian merahnya terbakar
hangus di beberapa tempat Walau kemudian dia mam-
pu berjungkir balik dan melayang turun injakkan kaki
di tanah namun tubuhnya tampak menghuyung. Ram-
butnya yang digulung berbusai riap-riapan. Wajahnya
sepucat kain kafan. Pakaian merahnya hangus dan
robek hingga dada, perut dan pahanya tersingkap
bugil. Sang Peri sadar akan keadaan auratnya. Dia
berusaha gerakkan tangan untuk menutupi tubuh. Tapi
sepasang tangannya seolah kaku, sulit digerakkan!
Dari mulutnya perlahan-lahan keluar lelehan darah.
Bentrokan kekuatan sakti dahsyat tadi membuat
pendekar 212 Wiro Sableng terjengkang dan sesak
nafas untuk beberapa saat Tangan kanannya kaku.
Di bagian lain Peri Angsa Putih terpental dan jatuh tak
jauh dari Luhcinta. Luhcinta segera memberi per-
tolongan. Luhjelita sendiri saat itu tampak merangkak,
berusaha berdiri. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu
semburkan darah kental. Peri Bunda yang berada di
dekatnya segera mendatangi.Si Pelawak Sinting tampak kelabakan, melangkah
kian kemari mencari-cari rebananya yang tadi mental
akibat letusan-letusan dahsyat Celananya yang se-
lalu kedodoran saat itu bukan cuma kedodoran tapi
sudah merosot sampai ke bawah paha. Dia tidak sadar
kalau auratnya tersembul ke mana-mana.
Naga Kuning tersandar di sebuah batu, pucat pasi
dan sulit bernafas. Tapi tawanya kemudian tersembur
ketika melihat keadaan Si Pelawak Sinting yang pa-
kaiannya tidak karuan disebelah bawah. Akan halnya
Si Setan Ngompol, kakek satu ini terbadai di tanah
dalam keadaan menungging. Mulutnya komat kamit
entah mengucap apa. Di sebelah bawah air kencingnya
mengucur tiada henti!
Sambil pegangi dadanya yang berdenyut sakit
Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah mendekati Peri
Sesepuh. Sang Peri memandang dengan mata besar
dan wajah membayangkan rasa takut
"Wiro, aku mengaku salah.... Kalaupun kau bunuh
aku saat ini aku menerima pasrah..." kata sang Peri
dengan suara sangat perlahan dan bergetar.
"Peri Sesepuh, apa benar kau yang hendak mem-
bunuh saya dengan mawar beracun itu?" bertanya
Pendekar 212.
Peri Sesepuh semburkan ratap tangis lalu ang-
gukkan kepalanya berulang kali. Suara tangisnya se-
makin menjadi-jadi ketika Wiro pegang bahunya dan
bertanya dengan suara lembut, sepertinya tanpa ada
rasa marah, tanpa ada rasa dendam. Hal ini membuat
hati Peri Sesepuh serasa disayat-sayat.
"Memang... memang aku yang melakukannya..."
ucap Peri Sesepuh mengakui dan kembali meng-
anggukkan kepala berulang kali sambil tekap wajah-
nya dengan dua tangan.
Murid Sinto Gendeng terdiam lalu garuk-garuk
kepalanya.
"Kenapa Peri Sesepuh.... Kenapa kau melakukan
itu? Apakah saya pernah membuat dosa padamu?
Apakah saya pernah menyakiti hatimu?"
"Tidak... Kau tidak pernah berbuat salah apa-
apa.... Kau lelaki paling baik yang pernah aku kenal...."
"Atau mungkin karena kau juga ikut mengira aku
telah berbuat aib dengan Luhjelita seperti yang kini
tersebar luas di seluruh negeri? Tapi bukankah kabar
jahat itu tersiar kemudian, setelah peristiwa mawar
beracun itu?"
"Wiro, aku tahu kau orang baik. Aku juga yakin
kau tidak berbuat sekeji itu terhadap siapapun, juga
terhadap Luhjelita....""Lalu Peri Sesepuh, kenapa kau hendak meracuni
saya? Apa alasanmu? Kau belum menjawab...."
Tangis Peri Sesepuh semakin keras. Bahunya
berguncang-guncang.
"Peri Sesepuh, apakah kau mau menjelaskan ala-
sanmu hendak meracuni saya?" Wiro kembali bertanya.
Setelah tangisnya reda perlahan-lahan Peri Se-
sepuh turunkan ke dua tangannya. Dia menatap pada
Wiro, lalu pada Peri Angsa Putih dan Peri Bunda. Dia
juga melayangkan pandangan pada Luhjelita dan Luh-
cinta. Dalam sesenggukan dia berucap.
"Aku Peri tertinggi di Negeri Atas Langit. Tapi
nasibku sangat malang. Aku adalah Peri dengan wajah
dan tubuh paling buruk. Aku tak mungkin bersaing
dengan Peri lainnya, terutama Peri Bunda dan Peri
Angsa Putih...."
"Kau Peri pimpinan mereka, kau peri panutan. Mereka
bisa disebut sebagai Peri-Peri asuhmu. Lalu mengapa kau
mengatakan tidak mungkin bersaing dengan mereka?
Apa maksudmu Peri Sesepuh?" tanya Wiro.
"Mereka memiliki paras wajah sangat cantik. Se-
dang aku... kau lihat sendiri. Mana mungkin aku ber-
saing memperebutkan dirimu...."
"Memperebutkan diriku?" ujar Wiro heran.
Peri Sesepuh usap wajahnya yang basah oleh air
mata dan keringat lalu mengangguk. "Walau kami
saling merahasiakan, tetapi kami sama tahu bahwa
kami bertiga sama-sama sangat mencintaimu! Cuma
sayang, dalam keterbatasan diriku aku menempuh
jalan salah. Aku ingin menyingkirkanmu. Aku berpikir,
jika aku tidak bisa mendapatkan dirimu maka dua peri
itu juga tidak boleh mendapatkan dirimu!" Peri Se-
sepuh kembali menutup wajahnya dengan dua tangan
lalu terisak-isak menahan tangis. Dia lalu memandang
pada Peri Angsa Putih dan Peri Bunda. Kemudian
menatap kembali pada pemuda di hadapannya.
"Dosaku besar nian. Bukan saja terhadapmu Wiro.
Tapi juga pada dua kerabatku Peri Angsa Putih dan
Peri Bunda. Juga pada gadis bernama Luhjelita itu.
Perbuatanku sempat menyengsarakan dirinya hinga
dia terkena tuduhan jahat. Wiro, juga kalian semua.
Aku siap menerima hukuman. Kalian bunuhpun saat
ini aku ikhlas menerima...."
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede
pandangi wajah Peri Sesepuh beberapa lamanya. Ada
rasa hiba menyeruak di lubuk hatinya. Sambil me-
megang bahu sang Peri dia membungkuk dan berbisik.
"Peri Sesepuh, jangan katakan parasmu tidak cantik.
Bagiku kecantikanmu tidak kalah dengan Peri Bundadan Peri Angsa Putih. Cuma memang kau agak
nakal...."
Sepasang mata Peri Sesepuh membesar. Lalu
mulutnya menyeruakkan senyum. Tawanya keluar ti-
dak tertahankan lagi.
"Eh, ada apa dengan Peri gendut itu!" kata Naga
Kuning heran sambil menggamit Setan Ngompol."
Barusan dia menangis meratap habis-habisan. Seka-
rang malah tertawa...."
"Peri Sesepuh," Wiro berucap. "Kau tak perlu ber-
sedih. Tak perlu memikirkan masalah ini berpanjang-
panjang. Tidak ada dosa dan kesalahan yang harus kau
tanggung. Saya memaafkan semua perbuatanmu...."
"Wiro...." ujar Peri Sesepuh, "apa aku tidak salah
mendengar dan kau tidak keliru berucap?"
"Saya memaafkanmu," ulang Wiro.
Peri Sesepuh berseru keras lalu jatuhkan diri
hendak memeluk dua kaki Wiro. Sang Pendekar cepat
pegang bahu Peri Sesepuh. Susah payah dia meng-
angkat tubuh yang beratnya ratusan kati itu, membantu
sang Peri berdiri. Peri Sesepuh kucurkan air mata dan
lingkarkan tangannya ke punggung Wiro. Pendekar
212 tersenyum. Tangan kiri menepuk-nepuk bahu Peri
Sesepuh sedang tangan kanan menggaruk kepala.
"Assssyyiiikkkk..." kata Naga Kuning sambil ter-
tawa lebar. "Ini memang kesempatan bagus untuk
memeluk si sableng itu. Lain saat bisa banyak yang
cemburu!" Lalu bocah konyol ini berpaling pada Setan
Ngompol. "Kalau kau ingin dipeluk Peri gembrot itu
lekas dekati dia...."
"Bocah setan!" maki si kakek.
"Kami berdua juga memaafkanmu Peri Sesepuh!"
Peri Sesepuh lepaskan pelukannya di punggung
Wiro dan memandang ke arah Peri Angsa Putih dan
Peri Bunda yang barusan sama-sama berucap. De-
ngan berurai air mata dia melangkah menghampiri
dua kerabatnya itu. Ketiga peri itu lalu saling rangkul
bertangis-tangisan. Sambil mengusut air matanya Peri
Sesepuh berkata.
"Kerabat-kerabatku, untuk sementara aku tidak
akan kembali ke Negeri Atas Langit. Pimpinan negeri
kuserahkan padamu wahai Peri Bunda...."
"Memangnya kau mau pergi kemana Peri Sese-
puh?" tanya Peri Bunda.
"Aku tidak tahu. Mungkin aku perlu memencilkan
diri bersunyi-sunyi di satu tempat. Entah sampai be-
rapa lama." Peri Sesepuh lalu ciumi satu persatu
kening dua kerabatnya itu. Sang Peri kemudian meng-
hampiri Luhjelita dan cubit pipi gadis cantik ini danberkata. "Aku tahu, waktu di tepi telaga kau meng-
gerayangi pemuda itu bukan hendak mencelakainya.
Tapi kau tengah berusaha mendapatkan satu ilmu
dahsyat. Kau tak usah kawatir, tiga tahi lalat yang ada
di bawah pusar pemuda itu bisa kau dapatkan. Asal
kau pandai dan tahu caranya!" Sementara Luhjelita
terbelalak kaget mendengar ucapan yang tidak di-
duganya itu Peri Sesepuh tertawa cekikikan sambil
melangkah menghampiri Luhcinta. Dia pegang dua
tangan si gadis dan berbisik sangat perlahan hingga tak
ada yang mendengar. "Kau yang paling beruntung di-
antara semua kami. Jika kelak kau mendapatkannya
jangan lupakan diri kami. Kami ikut menitipkan kasih
sayang kami untuknya dilubuk hatimu yang paling
suci...."
"Aku... aku mendapatkan siapa maksudmu Peri
Sesepuh?" tanya Luhcinta.
Sang Peri tersenyum lalu membisikkan satu nama
ke telinga Luhcinta yang membuat gadis ini melirik ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sebelum pergi Peri Sesepuh layangkan senyum
dan pandangannya pada Si Setan Ngompol, Si Pelawak
Sinting dan Naga Kuning. Lalu dia berpaling sekali
lagi pada Wiro. Sang Pendekar balas tersenyum. Lalu
susun dua jari tangan kanannya di atas bibir kemudian
layangkan cium jauh pada Peri Sesepuh. Peri gemuk
itu tekap mulutnya menahan tawa tapi masih bisa
membalas genit dengan kedipkan mata sebelum ber-
kelebat lenyap.
"Si sableng itu!" kata Setan Ngompol. "Dia yang
sebenarnya ganjen duluan! Jangan disalahkan kalau Peri
Gendut itu sampai kecantol habis-habisan padanya!"
"Peri Sesepuh, kalau saja kakek sobatku ini yang
kau pilih pasti urusan bisa beres dan kita bisa berhelat
besar di negeri ini!" kata Naga Kuning pula sambil
tepuk-tepuk perut Si Setan Ngompol.
Sambil terkencing-kencing karena perutnya di-
tepuk Setan Ngompol berkata. "Mana mungkin aku
dapatkan peri gendut itu. Saat ini aku punya saingan
berat! Lihat kakek berjuluk Pelawak Sinting itu! Dia
sampai memperagakan diri menyembulkan anunya
agar terlihat kejantanannya o!eh Peri Sesepuh. Pa-
dahal menurutku dia cuma punya sebuah terong rebus
yang sudah penyok!" Saat itu Si Pelawak Sinting
memang masih sibuk melangkah mundar mandir men
cari rebananya. Sejak saudaranya Si Pelawak Sinting
yang asli tidak memperbolehkannya membawa tambur
kulit dan payung daun, dia terpaksa mempergunakan
rebana berkerincing.
Semua orang yang ada di situ tertawa bergelak.
Termasuk Peri Angsa Putih, Peri Bunda, Luhjelita dan
Luhcinta malah wajah keempat mereka ini tampak
bersemu merah dan palingkan muka ke jurusan lain,
tak berani melihat ke arah Si Pelawak Sinting yang
masih terus berjalan kian kemari tanpa sadar kalau
bagian bawah tubuhnya terbuka melompong!
TAMAT
Penulis : bastian tito
Create : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
BAST1AN T1TO
Segera terbit:
HANTU SANTET LAKNAT
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
0 comments:
Posting Komentar