Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Sabtu, 08 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - FITNAH BERDARAH DI TANAH AGAM

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com





UNTUK beberapa lama nenek berjuluk Si Kamba 

Mancuang Tangan Manjulai masih memegangi kain 

putih yang muncul secara tidak terduga dalam 

keadaan tergulung pada sebatang potongan bambu dan 

menancap di tanah, sementara beberapa tokoh silat yaitu 

Ki Bonang Talang Ijo, Perwira Muda Teng Sien, Pandeka 

Bumi Langit Dari Sumanik dan Tuanku Laras Muko Balang 

yang ada di situ memperhatikan. Di atas kain putih 

terdapat tulisan yang memberi tahu bahwa orang yang 

membunuh Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit 

adalah Wiro, yang disebut sebagai pemuda Jawa berambut 

panjang, berjuluk Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Setelah ditanggalkan dari batang bambu si nenek 

akhirnya serahkan kain putih pada Ki Bonang Talang Ijo, 

tokoh silat dari tanah Jawa yang bertindak selaku pimpinan 

pencarian kupu-kupu batu giok yang lenyap secara gaib 

dari tempat asalnya di Kotaraja Kerajaan Tiongkok. 

“Ki Bonang, baca tulisan ini. Aku ingin tahu bagaimana 

pendapatmu.” 

Kakek bermuka hijau ambil kain putih yang diserahkan 

dan segera membaca apa yang tertulis di atas kain itu. 

Selesai membaca dia berpaling pada Si Kamba Mancuang 

Tangan Manjulai lalu bertanya, “Kau berkata ingin tahu 

bagaimana pendapatku. Apa maksudmu Kamba 

Mancuang?” 

“Aku tidak yakin pemuda Jawa bernama Wiro itu yang 

membunuh Si Kalam Langit.” Menjawab si nenek. 

“Eh, bagaimana kau bisa berkata begitu?” kembali Ki 

Bonang ajukan pertanyaan sambil usap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis putih. 

“Ketika Si Kalam Langit menemui ajal, pemuda Jawa itu 

sedang bertarung melawanku. Bagaimana mungkin dia 

berada di dua tempat yang berlainan pada waktu 

bersamaan?” 

“Kita akan menyelidiki hal itu. Tapi saat ini kita harus 

mengambil keputusan untuk lebih dulu mengetahui di 

mana beradanya kupu-kupu hidup benaran itu.” 

“Ki Bonang, kau berasal dari tanah Jawa. Apakah kau 

tidak mengenal pemuda berambut panjang berjuluk 

Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng itu?” Bertanya si 

nenek Kamba Mancuang Tangan Manjulai. 

“Aku belum pernah bertemu muka. Namun pendekar 

yang masih muda itu telah menggegerkan rimba persilatan 

tanah Jawa. Dia memiliki beberapa orang guru yang 

merupakan tokoh silat berkepandaian tinggi. Kalau tidak 

salah aku mengingat, konon dari sekian banyak gurunya 

ada satu atau dua orang yang berasal dari negeri ini. Aku 

tidak tahu siapa mereka adanya. Pemuda itu dikenal mulai 

dari ujung barat sampai ujung timur tanah Jawa, mulai dari 

pantai utara sampai ke pantai selatan. Ilmu silat serta 

kesaktiannya sulit dicari tandingan. Hanya saja konon dia 

memiliki perangai tidak terpuji. Itu sebabnya dia dijuluki 

pendekar sableng, yang berarti pendekar gila. Tapi 

siapapun dia adanya, yang jadi pertanyaan bagiku ada 

kepentingan apa dia berada di tanah Minang ini?” 

“Ki Bonang,” Tuanku Laras Muko Balang berkata sambil 

mendekati Ki Bonang Talang Ijo. “Aku hanya menduga-

duga tapi mudah-mudahan dugaanku benar adanya...” 

“Tuanku Laras, apa gerangan dugaanmu?” tanya Ki 

Bonang pula. 

“Ketika kita mengepung dan menyerbu pondok 

kediaman Sutan Panduko Alam di Bukit Malintang, kupu-

kupu itu berhasil melarikan diri karena diterbangkan oleh 

sorban sakti milik Sutan Panduko Alam. Agaknya Sutan 

Panduko Alam sudah menyadari apa yang bakal terjadi. Itu 

sebabnya dia berencana melakukan sesuatu. Sorban melayang ke arah timur. Berarti masih dalam batasan 

Luhak Nan Tigo. Kami di sini tahu kalau Sutan Panduko 

Alam bersahabat dengan para datuk pimpinan Luhak Nan 

Tigo. Salah seorang dari mereka merupakan ketua dari 

para datuk yaitu Datuk Marajo Sati. Datuk ini tinggal di 

sebuah goa di Ngarai Sianok. Ngarai Sianok adalah tempat 

paling dekat dibandingkan dengan tempat kediaman para 

datuk lainnya. Aku berani mengatakan dengan sorban yang 

membawa kupu-kupu giok itu terbang ke tempat kediaman 

Datuk Marajo Sati. Malam tadi aku coba mengukur 

kebenaran dugaanku dengan Pedang Al Kausar. Pedang 

sakti memberi petunjuk yang membenarkan dugaanku...” 

Sambil bicara orang berwajah belang ini mengusap-usap 

badan pedang perak besar miliknya yang merupakan 

sebilah senjata sakti dan konon berasal dari tanah Arab. 

“Kalau begitu ada baiknya kita mendatangi Datuk 

Marajo Sati sekarang juga di Ngarai Sianok. Kita bicara 

baik-baik. Kalau dia tidak mau berkata jujur dan ternyata 

memang menyembunyikan kupu-kupu batu giok itu, kita 

tidak perlu berbasa-basi lagi. Kita punya kewajiban untuk 

mendapatkan kupu-kupu batu giok itu. Kita sudah 

menerima sebagian dari hadiah yang dijanjikan. Tuanku 

Laras, aku minta agar kau yang memimpin jalan ke sana 

dan bicara pertama kali begitu bertemu dengan Datuk itu.” 

“Terima kasih atas kepercayaan Ki Bonang. Menemui 

sang Datuk memang harus kita lakukan. Tapi kita harus 

bertindak hati-hati. Datuk itu bukan orang sembarangan. 

Para datuk lainnya pasti akan turun tangan jika terjadi apa-

apa dengan Datuk Marajo Sati,” kata Tuanku Laras Muko 

Balang menjawab ucapan Ki Bonang Talang Ijo. “selain itu 

Pedang Al Kausar juga memberi petunjuk lain yang tidak 

boleh kita abaikan...” 

Kening Ki Bonang Talang Ijo berkerenyit. 

“Petunjuk apa Tuanku Laras?” tanya Pandeka Bumi 

Langit Dari Sumanik. 

“Seperti tarak yang dilakukan sahabatku Si Kamba 

Mancuang, malam tadi Pedang Al Kausar secara gaib membuat guratan di tanah. Guratan itu menggambarkan 

kepala seorang pemuda berambut panjang.” 

“Itu gambaran pemuda dari Jawa bernama Wiro tadi...” 

ucap Ki Bonang. 

“Benar sekali. Pedang memberi tanda kalau pemuda itu 

akan menjadi batu penghalang dari semua apa yang akan 

kita lakukan...” kata Tuanku Laras Muko Balang pula 

sambil menggantungkan pedang besar ke pinggang. 

Ki Bonang Talang Ijo pejamkan mata, coba merenung. 

Begitu mata dibuka kakek bermuka hijau ini mulai 

melangkah mundar-mandir. “Pendekar Dua Satu Dua Wiro 

Sableng. Dia berada di tanah Minang. Apakah ini satu 

kebetulan atau memang dia juga punya niat yang sama 

dengan kita. Ingin mengambil kupu-kupu batu giok. Tapi 

bagaimana dia tahu akan keberadaan kupu-kupu itu? Pasti 

ada seseorang yang memberi petunjuk...” 

“Mungkin saja dia menginginkan ujud asli yang ada di 

dalam batu. Yaitu gadis cantik bernama Chia Swie Kim...” 

Yang berkata adalah Tuanku Laras Muko Balang. Si janggut 

putih tipis ini berpaling pada Perwira Muda Teng Sien. Sang 

perwira yang cuma mengerti sedikit bahasa anak negeri 

hanya menduga-duga apa yang dikatakan orang lalu 

angguk-anggukkan kepala. 

Ki Bonang mengusap dagu beberapa kali. “Tuanku 

Laras, apa yang kau katakan itu bisa jadi betul. Karena apa 

yang aku dengar, pemuda bernama Wiro itu seorang mata 

keranjang, mempunyai kekasih di mana-mana.” 

Mendengar ucapan Ki Bonang, si nenek Mancuang 

Tangan Manjulai tampak berubah wajahnya tapi kemudian 

dia palingkan kepala sambil diam-diam tersenyum. 

“Kalau kita bisa saling bermufakat, memang ada 

baiknya mencari pemuda bernama Wiro itu lebih dulu. Kita 

harus memberi peringatan agar dia jangan mencampuri 

urusan kita. Selesai dengan pemuda itu, kita baru kembali 

menyelidiki keberadaan kupu-kupu batu giok. Yang akan 

kita selidiki orangnya sudah kita ketahui, begitu juga 

tempat kediamannya. Yaitu Datuk Marajo Sati. Para sahabat, bagaimana pendapat kalian?” 

Tuanku Laras Muko Balang, Perwira Muda Teng Sien 

dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik segera 

menyatakan persetujuan mereka. Si Kamba Pesek Tangan 

Manjulai tidak hersuara karena masih tersandar dalam 

keadaan cidera di batang pohon dengan mata terpejam. 

“Bagaimana dengan kau sahabatku nenek Kamba 

Mancuang? Kau tidak berkata apa-apa.” Kata Ki Bonang 

Talang Ijo pada si nenek Kamba Mancuang Tangan 

Manjulai. 

“Aku mohon maafmu Ki Bonang. Juga pada para 

sahabat yang ada di sini. Kita tidak mungkin membawa 

saudaraku yang sakit. Aku tidak mungkin pula 

meninggalkannya di sini seorang diri. Aku harus 

membawanya ke satu tempat dan merawatnya terlebih 

dulu hingga sembuh.” 

Seperti diceritakan dalam “Kupu-Kupu Giok Ngarai 

Sianok” nenek Si Kamba Pesek yang adalah saudara 

kembar Si Kamba Mancuang menderita cidera patah 

tulang iga kiri kanan akibat hantaman siku Sutan Panduko 

Alam yang disergapnya dari belakang. 

Ki Bonang Talang Ijo tampak kecewa mendengar 

ucapan si nenek. Terus terang dia berkata. Ucapannya 

agak ketus. “Aku berharap kau tidak akan berbuat seperti 

Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek yang pergi begitu 

saja dengan alasan hendak mencari pembunuh 

saudaranya.” 

Si nenek diam saja. Ki Bonang mendekati dan berkata 

setengah berbisik. “Apa yang kau katakan tadi adalah 

cuma satu alasan saja. Aku tahu kau punya alasan lain 

mengapa tidak bergabung dengan kami mencari pemuda 

bernama Wiro Sableng itu. Kau takut berhadapan 

dengannya karena sudah pernah dipecundangi, ditotok tak 

berdaya...” 

Si nenek menyeringai, memperlihatkan barisan gigi atas 

bawah yang berlapis perak. 

“Ki Bonang, kau mungkin tidak punya dusanak (saudara), hingga tidak tahu dan tidak bisa mengetahui 

bagaimana rasanya ikut sakit dan ikut khawatir kalau 

seorang saudara dalam keadaan cidera seperti yang aku 

alami. Atau mungkin memang begitu adat kebiasaan orang 

di negerimu? Tidak perduli pada saudara yang sedang 

menderita!” 

Untuk kedua kalinya Ki Bonang Talang Ijo ditempelak 

orang. Yang pertama dilakukan oleh Duo Hantu Gunung 

Sago Si Batu Bakilek beberapa waktu lalu. Sambil 

tersenyum kakek berbelangkon hijau itu serahkan kembali 

secarik kain putih pada si nenek. Dia pegang bahu Si 

Kamba Mancuang lalu bicara dengan suara merendah, 

“Sahabat, aku tidak bermaksud bicara buruk padamu. Aku 

bisa mengerti perasaanmu. Jika kau memang ingin lebih 

dulu merawat saudara kembarmu itu silahkan saja. Tapi 

aku mohon, jika dia sudah mulai sembuh harap kau lekas 

bergabung kembali. Kita membutuhkan orang-orang 

berkepandaian tinggi sepertimu. Satu hal harus kau 

ketahui. Orang Jawa sama baiknya seperti orang di negeri 

ini.” 

Tak lama setelah Ki Bonang Talang Ijo, Pandeka Bumi 

Langit Dari Sumanik, Teng Sien dan seorang anak buah 

serta Tuanku Laras Muko Balang meninggalkan tempat itu, 

perlahan-lahan Si Kamba Pesek Tangan Manjulai buka 

kedua matanya, menatap ke arah saudaranya. 

“Kamba Mancuang, aku tahu kau menolak mencari 

pemuda Jawa itu bukan karena ingin merawatku...” 

“Heh! Saudaraku, bagaimana kau bisa berkata seperti 

itu? Kau juga menyangka aku takut berhadapan lagi 

dengan pemuda itu?” 

Si Kamba Pesek menggeleng. “Bukan, bukan karena 

alasan itu. Ada alasan lain. Aku tengah menduga-duga. 

Tadi malam aku lihat kau bertarak membaca mantera 

memanggil guru kita Inyiek Susu Tigo. Kau juga kudengar 

seperti hendak merapal mantera yang hanya boleh 

diucapkan satu kali seumur hidup. Mantera Pelangi ke 

Bumi. Kau mau berbuat apa? Apakah kau hendak memohon untuk kembali ke ujud asli atau... Kau kira 

semudah itukah...” 

“Aku membatalkan mantera itu. Kau jangan terlalu 

bercuriga,” kata Si Kamba Mancuang cepat-cepat menukas 

ucapan saudara kembarnya. 

“Saudaraku, apa yang kau inginkan dari guru kita. 

Mengapa kau berusaha ingin bertemu dengan beliau?” Si 

Kamba Pesek masih mendesak dengan pertanyaan. 

“Saudaraku, kau masih sakit. Sebaiknya jangan banyak 

bicara dulu. Lebih baik kau banyak istirahat...” 

Si Kamba Pesek tersenyum. “Kau tidak menceritakan 

pada Ki Bonang dan yang lain-lainnya...” 

“Menceritakan apa?” potong Si Kamba Mancuang. 

“Kejadian yang kau ceritakan padaku waktu kau 

berkelahi menghadapi pemuda dari Jawa itu.” 

“Apa yang tidak aku ceritakan?” tanya Si Kamba 

Mancuang. Wajah tuanya yang putih cantik berubah merah. 

“Ketika pemuda itu memeluk dan menciumi dirimu! 

Hik... hik... hik!” Si Kamba Pesek tertawa cekikikan. Si 

Kamba Mancuang berubah merah wajahnya. 

“Pemuda itu bukan hanya kurang ajar tapi juga gilo-gilo 

alang (sinting). Bukan begitu kata Ki Bonang tadi? Jadi 

perlu apa diceritakan perbuatan gilanya?” 

“Tapi kau senang dipeluk dan dicium pemuda itu, kan?” 

“Jangan bicara kurang ajar! Nanti aku tampar 

mulutmu!” Bentak Si Kamba Mancuang. 

Si Kamba Pesek kembali tertawa cekikikan. “Aku 

membayangkan, betapa bahagia nikmatnya kalau diriku 

yang dipeluk dan dicium pemuda itu. Hemmm...” 

“Kalau begitu mengapa kau tidak pergi saja 

mencarinya. Kalau bertemu berikan dirimu padanya. 

Katakan kau minta dipeluk, dicium, dan entah apa maumu 

lagi. Mungkin kau juga minta ditelanjangi!” Si Kamba 

Mancuang tampaknya jengkel sekali hingga sampai 

mengeluarkan kata-kata keras begitu rupa. Si Kamba 

Pesek tertawa panjang. “Aku tahu kau cemburu. Hik... hik... 

hik.” Tiba-tiba Si Kamba Pesek hentikan tawa. Air mukanya tampak bersungguh-sungguh. “Kamba Mancuang, kau 

harus segera melakukan sesuatu...” 

“Apa maksudmu?” tanya Si Kamba Mancuang. 

“Kau harus cepat menemui pemuda itu sebelum orang-

orang itu menemuinya.” 

“Kenapa begitu?” 

“Aih, tololnya saudaraku satu ini. Apa kau ingin Ki 

Bonang dan yang lain-lainnya membantai pemuda dari 

Jawa itu?! Apakah kau tidak berniat menolongnya jika dia 

memang tidak bersalah?!” 

Wajah Si Kamba Mancuang berubah. 

“Sudahlah, aku tidak memikirkan hal itu...” 

“Jangan berdusta padaku. Pergi cepat. Kau tak usah 

mengawatirkan sakitku. Aku akan pergi ke tempat 

kediaman guru. Syukur kalau beliau mau menemui dan 

mengobatiku. Tapi rasanya aku sudah sembuh. Lihat!” Si 

Kamba Pesek lalu berpegangan ke batang pohon. Sambil 

mengerenyit menahan sakit dan terbungkuk-bungkuk 

nenek ini perlahan-lahan bangkit berdiri. Ketika dia 

berpaling, saudara kembarnya Si Kamba Mancuang tidak 

ada lagi di tempat itu! 

Si Kamba Pesek tersenyum. “Saudaraku, aku belum 

melihat pemuda itu. Tapi jika kau tidak marah sungguhan 

sewaktu dipeluk dan diciumnya berarti pasti dia seorang 

pemuda yang gagah. Kalau Allah menghendaki, mungkin 

ini satu jalan yang diberikanNya untuk kita bisa kembali 

seperti dulu lagi...” Sambil melangkah tertatih-tatih 

sepasang mata nenek ini tampak berlinang-linang. 

Mendadak si nenek hentikan langkah. Di hadapannya 

tiba-tiba saja berdiri seorang pemuda berpakaian putih 

berkopiah hitam yang kekecilan. Di sebelah belakang 

kopiah, rambut panjang menjulai sebahu. Kedua orang ini 

sama-sama tertegun, sama-sama terperangah. Si pemuda 

menyeringai, menggaruk rambut di atas kuduk lalu 

berkata. “Eh, nek! Hidungmu kenapa jadi pesek?!” 

***


DUA


SiKAMBA Pesek pegang hidung sendiri lalu tertawa 

cekikikan. “Dari lahir hidungku memang sudah pesek! 

Kau hanya sekedar bertanya atau mau 

menghinaku?!” 

“Nah... nah, suaramu juga agak berbeda. Kau ini pandai 

merubah diri atau bagaimana. Matamu basah, seperti 

habis menangis. Lalu sebentar-sebentar kau mengerenyit. 

Agaknya ada sesuatu yang sakit di tubuhmu! Totokanku 

tidak mungkin akan mencideraimu.” 

“Hemmm...” si nenek keluarkan suara bergumam. 

Dalam hati dia berkata. “Pemuda ini pandangan matanya 

sungguh tajam. Dia bisa menduga apa yang terjadi dengan 

diriku. Tapi dia belum tahu kalau aku ini kembaran Si 

Mancuang...” 

Si Kamba Pesek usap kedua matanya. Waktu tangan 

kirinya diangkat kembali nenek ini mengerenyit karena 

gerakan itu memang membuat sakit tulang-tulang iganya 

yang cidera patah. “Anak muda, sekarang aku tahu siapa 

kau. Rambut panjang, bicara seperti orang kepedasan. Kau 

pasti anak manusia dari Jawa yang bernama Wiro itu! Yang 

telah membuat saudaraku Si Mancuang itu jadi salah 

tingkah. Eh, dia mencarimu. Apa kau tidak bertemu 

dengannya?!” 

Pemuda yang ditanya yang memang Wiro adanya tidak 

segera menjawab. Dia seperti berpikir-pikir. “Jadi kau 

punya saudara kembar. Nenek berhidung mancung itu. 

Kau bilang dia mencariku...” 

“Benar, nenek satu itu namanya Si Kamba Mancuang 

karena hidungnya mancung. Aku Si Kamba Pesek karena hidungku pesek. Kau lihat sendiri.” Si nenek usap-usap 

hidungnya. “Hik... hik... Saudara kembarku mencarimu. 

Mau memberi tahu kalau kau dalam bahaya...” 

“Aku dalam bahaya nek? Bahaya apa...?” tanya Wiro 

terheran-heran. “Malam beberapa hari lalu memang ada 

penyerang gelap. Berusaha mencelakaiku dengan senjata 

rahasia...” 

“Ada beberapa tokoh silat di bawah pimpinan Ki 

Bonang Talang Ijo yang juga berasal dari tanah Jawa 

tengah mencarimu. Orang-orang itu curiga kemunculanmu 

di tanah Minang ini membawa maksud tidak baik. Mereka 

juga sudah tahu kalau kau membunuh salah seorang 

teman mereka bernama Si Kalam Langit. Kau mau diusir 

dari sini. Kalau membangkang akan dikerjai...” 

“Dikerjai bagaimana maksudmu nek?” 

“Digebuki, digantung atau bisa juga dibantai dicincang!” 

Jawab Si Kamba Pesek Tangan Manjulai. 

“Aku tidak percaya orang-orang di negeri ini akan 

berbuat seperti itu. Aku tidak punya salah apa-apa. Tidak 

juga punya rencana jahat. Tanah Minang adalah bumi Allah 

yang siapa saja boleh datang ke sini...” 

“Justru bumi Allah harus dijaga dari orang-orang yang 

mungkin punya niat buruk dan hendak berbuat jahat 

seperti dirimu!” Tiba-tiba ada satu suara menyahuti ucapan 

Wiro. Disusul suara orang membentak dalam bahasa Cina. 

Beberapa orang berkelebat. Mereka ternyata adalah Ki 

Bonang Talang Ijo, Tuanku Laras Muko Balang, Teng Sien 

dan seorang anak buahnya lalu Pandeka Bumi Langit Dari 

Sumanik. 

Sementara Wiro tercengang-cengang, si nenek Kamba 

Pesek Tangan Manjulai unjukkan wajah tidak enak kalau 

tidak mau dikatakan khawatir. Dia kembali mengerenyit 

sambil usap-usap rusuk kirinya. 

Ki Bonang Talang Ijo melangkah dan berhenti di 

hadapan Si Kamba Pesek Tangan Manjulai. 

“Sahabatku, kami lihat kau dan pemuda Jawa ini bicara 

sambil tertawa-tawa. Agaknya kalian seperti sudah saling

mengenal dan bersahabat. Kami juga mendengar kau 

memberi keterangan bahwa kami mencari dirinya karena 

dia telah membunuh sahabat kami yang juga sahabatmu 

yaitu Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit. Tidak 

disangka tidak dinyana. Rupanya kau ternyata musuh 

dalam selimut. Kakakmu Si Kamba Mancuang pasti tidak 

beda dengan dirimu. Itu sebabnya dia menolak ketika 

diajak mencari pemuda ini...” 

“Ado musang babulu domba di antara kita rupanya!” 

Ucap Tuanku Laras Muko Belang. 

“Ki Bonang, Tuanku Laras, buruk duga kalian terlalu 

jauh. Sudah menjurus kepada fitnah...” Berkata Si Kamba 

Pesek. 

“Tua bangka pengkhianat! Tutup mulutmu!” Bentak 

Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Lelaki muda ini 

tampak marah sekali. Seperti Ki Bonang Talang Ijo dan 

Tuanku Laras Muko Balang dia juga yakin kalau si nenek 

dan saudara kembarnya telah mengkhianati mereka, 

menjadi musuh dalam selimut. “Sekarang ketahuan, 

rupanya kau dan saudara kembarmu menjadi kaki tangan 

pemuda ini. Keterangan apalagi yang telah kau berikan 

padanya?!” Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik yang 

mengenakan pakaian destar merah lalu berbisik pada Ki 

Bonang. “Aku khawatir nenek ini dan saudara kembarnya 

telah memberi tahu keberadaan kupu-kupu batu giok itu.” 

“Ucapanmu bisa jadi sangat benar Pandeka. Aku 

tengah berpikir-pikir mungkin kita terpaksa menghabisi 

mereka saat ini juga.” Balas berbisik Ki Bonang Talang Ijo. 

Dituduh pengkhianat dan musuh dalam selimut, 

amarah Si Kamba Pesek naik ke kepala. Dia segera 

membuka mulut mau mendamprat tapi Wiro memberi 

isyarat dengan gerakan tangan. Lalu berpaling pada 

Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. 

“Angku Mudo (panggilan kehormatan yang kira-kira 

sama dengan Tuan Muda) yang aku hormati, jangan bicara 

seperti itu pada perempuan tua ini. Dia pantas jadi 

nenekmu!”Mendengar ucapan Wiro, apalagi dipanggil sebutan 

Angku Mudo yang dirasakannya sebagai mengejek, 

Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik jadi panas. Sepasang 

mata membeliak. Lima jari tangan bergerak mengeluarkan 

suara berkereketan. Tokoh dari Sumanik ini konon memiliki 

ilmu silat bernama Sitaralak. Ilmu silat ini luar biasa 

ganasnya. Jurus serangan dimulai dengan gerakan lemah 

lembut seperti penari. Namun bisa berubah menjadi 

gerakan kilat. Bilamana ilmu silat ini disertai pula dengan 

tenaga dalam maka lawan yang jadi sasaran bisa jebol 

tubuhnya, terbongkar kepalanya! 

Sambil menudingkan telunjuk tangan kiri tepat-tepat ke 

muka Pendekar 212, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik 

menghardik. 

“Tak perlu berbasa basi memanggil aku Angku Mudo. 

Saat ini juga aku perintahkan agar kau undang hapus dari 

tanah Minang! Kembali ke negerimu di Jawa sana! 

Kehadiranmu di sini hanya menimbulkan keonaran!” 

“Keonaran apa yang telah aku buat di negeri ini Angku 

Tuo?” 

Kini Wiro sengaja mengganti panggilan dari Angku 

Mudo menjadi Angku Tuo yang membuat Pandeka Bumi 

Langit Dari Sumanik menjadi tambah naik darah. 

Sebelum dia kembali menghardik Ki Bonang Talang Ijo 

mendahului bicara. “Kami mengetahui kau telah 

membunuh salah seorang sahabat kami bernama Duo 

Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit. Dosa itu tidak ada 

ampunannya!” 

Wiro ingat akan ucapan si nenek berhidung pesek tadi. 

Yang memberi tahu kalau dirinya dalam bahaya, tengah 

dicari orang. Apalagi si nenek barusan menyebut nama 

orang tua berbelangkon hijau sebagai Ki Bonang. 

“Segala macam hantu mana aku kenal. Apalagi 

membunuhnya! Enak saja kalian menuduhku...” Wiro 

berpaling pada si nenek yang tegak di sampingnya. Lalu 

berkata. “Nek, siang bolong begini ada banyak orang bicara 

aneh seperti orang tasapo (kemasukan/ kesambat makhluk halus). Mari kita tinggalkan tempat ini sebelum 

kita berdua ikutan tasapo!” 

“Pemuda kurang ajar! Beraninya kau menghina kami 

mengatakan kami orang-orang kemasukan!” 

Yang menghardik kali ini adalah Tuanku Laras Muko 

Balang. “Ki Bonang, pemuda gila seperti ini tidak boleh 

dibiarkan hidup lebih lama!” 

Srett! 

Tuanku Laras Muko Balang dengan segera menghunus 

Pedang Al Kausar. Ki Bonang Talang Ijo cepat mencegah. 

“Bersabar sebentar, biar aku bicara dulu dengan orang 

ini.” Lalu Ki Bonang bertanya. “Anak muda, kita sama-sama 

berasal dari tanah Jawa. Aku datang ke tanah Minang ini 

membawa tugas yang harus dilaksanakan. Apakah kau 

mau mengatakan mengapa kau berada di negeri ini? Kami 

mendapat petunjuk bahwa kau akan menghalangi tugas 

kami. Bahkan kau telah membunuh salah seorang dari 

kami.” 

Wiro tersenyum, angkat kopiah hitamnya, menggaruk 

kepala. Lalu berkata, “Dua orang Jawa bertemu jauh di 

negeri orang. Seharusnya percakapan akan berjalan enak 

dan lancar. Apalagi kalau ada getuk lindri dan wedang jahe! 

Ha... ha... ha! Tapi celaka nasib diriku, dituduh 

menghalangi tugas orang, malah dituduh membunuh pula! 

Oala! Orang tua, maafkan diriku. Boleh aku mengetahui 

siapa sampeyan ini adanya dan tugas apa yang tengah kau 

jalankan yang menurutmu hendak aku halangi? Lalu kapan 

aku membunuh sahabatmu itu?” 

Si orang tua menyeringai. Ternyata pemuda yang 

diketahui sableng ini pandai bicara bahkan dalam bicara 

sekaligus melemparkan ejekan. 

“Namaku Ki Bonang Talang Ijo. Aku berasal dari Kuto 

Gede. Di tanah Jawa aku dikenal dengan julukan Hantu 

Muka Hijau.” Habis keluarkan ucapan Ki Bonang Talang Ijo 

lalu usap wajahnya satu kali. Saat itu juga muka orang tua 

ini berubah menjadi hijau pekat sampai ke mata. Dengan 

berbuat begini dia ingin menggertak murid Sinto Gendeng kalau dia bukan orang sembarangan. “Soal tugasku kau 

tak layak bertanya...” 

“Begitu?” Ujar Wiro pula sambil garuk kepala dan 

senyum-senyum. Gertakan si kakek baginya sama saja 

dengan anak-anak yang bermain setan-setanan. “Terima 

kasih kau telah memperkenalkan nama dan julukan. 

Namaku Wiro, aku berasal dari emperan Gunung Merapi. 

Di tanah Jawa, aku dijuluki orang Hantu Muka Jelek!” Habis 

berkata begitu Wiro lalu kerahkan ilmu Menahan Darah 

Memindah Jazad. Ilmu aneh ini didapatnya dari Hantu 

Selaksa Angin Luhkentut (Baca serial petualangan 

Pendekar 212 di Negeri Latanahsilam). Begitu wajah 

diusap dan tangan yang mengusap diturunkan, semua 

orang yang melihat jadi tersentak kaget, tersurut ngeri satu 

langkah. Si nenek pesek malah keluarkan suara. “Ihh...” 

Apa yang terjadi dengan wajah Pendekar 212. 

***


TIGA


SAAT itu sepasang mata Wiro telah pindah ke pelipis 

kiri kanan, hidung menempel di kening, mulut turun 

ke dagu! Walaupun ada lucunya tapi wajah sang 

pendekar kini benar-benar seram menggidikkan. Apalagi 

Wiro sengaja pelototkan mata lalu dikedap-kedip! 

“Inilah tampang asliku hingga aku dijuluki Hantu Muka 

Jelek.” Ucap Wiro lalu sambil tertawa gelak-gelak dia 

pegang tangan si nenek, dan berkata. “Nek, ayo kita pergi. 

Tidak ada guna melayani orang-orang itu.” 

Saking ngerinya si nenek tidak mau dipegang 

tangannya malah menjauh lalu lari meninggalkan tempat 

itu. 

“Nenek pesek! Jangan pergi dulu! Tunggu aku!” teriak 

Wiro lalu cepat-cepat mengejar si nenek sambil mengusap 

muka hingga wajahnya kembali seperti semula. Namun 

saat itu Ki Bonang Talang Ijo dan kawan-kawannya telah 

menghadang. 

“Tukang sihir gila! Kau mau pergi ke mana?!” teriak 

Tuanku Laras Muko Balang sambil menghadang dengan 

acungkan ujung pedang Al Kausar ke arah leher Wiro. 

Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik tegak di samping 

kiri, dua kaki merenggang, dua tangan mengambang 

sepinggang. Di sebelah kanan Ki Bonang Talang Ijo berdiri 

dengan sikap angkuh sambil rangkapkan dua tangan di 

atas dada sementara Perwira Muda Teng Sien dan anak 

buahnya yang tinggal seorang saat itu juga telah sama-

sama menghunus golok besar. 

Melihat Pendekar 212 Wiro Sableng dikurung demikian 

rupa, nenek Si Kamba Pesek yang tadi hendak cepat-cepat meninggalkan tempat itu karena ngeri melihat tampang 

Wiro, kini berbalik kembali. Dia berteriak, “Kalian semua 

dengar! Walaupun orang itu mungkin punya kesalahan tapi 

adalah tindakan pengecut kalau kalian mengeroyoknya 

bersama-sama!” 

Tuanku Laras Muko Balang yang sejak tadi sudah 

marah terhadap Wiro dan si nenek langsung berteriak. 

Apalagi saat itu dilihatnya sepasang tangan si nenek telah 

berubah menjadi lebih panjang pertanda dia siap 

mengeluarkan ilmu andalannya. 

“Kamba Pesek! Kalau kau berniat menolong manusia 

satu ini, masuklah ke dalam kalangan! Biar kami 

menghabisi kalian berdua sekaligus! Dasar tua bangka 

gatal! Jangan kira kami tidak tahu riwayatmu!” 

“Sahabat semua orang tua-tua, cerdik pandai. Harap 

kalian mau berpikir. Nenek ini bukan pengkhianat, bukan 

musuh dalam selimut! Aku berada di tanah Minang bukan 

untuk berbuat keonaran. Tidak ada niat menghalangi 

apapun tugas kalian. Aku juga tidak tahu menahu apa 

tugas kalian! Lalu aku juga tidak membunuh sahabat 

kalian yang siapapun namanya!” 

Ki Bonang turunkan dua tangan yang sejak tadi 

dirangkap di atas dada. Lalu keluarkan ucapan, “Sahabat 

semua, tidak ada gunanya kita bicara berpanjang-panjang 

dengan pemuda ini. Jangan sekali-kali percaya pada 

mulutnya! Habisi dia sekarang juga! Jika nenek itu 

membantunya bunuh sekalian!” 

Mendengar ucapan itu, didahului oleh Ki Bonang Talang 

Ijo, semua orang yang ada di situ segera menerjang ke 

arah Wiro dan Si Kamba Pesek. 

“Kalian kambing tolol semua!” teriak Si Kamba Pesek. 

“Nek, aku tahu kau dalam keadaan cidera. Menjauhlah. 

Biar kuhadapi kambing-kambing ini seorang diri!” Berkata 

Wiro. 

“Kurang ajar! Kita dianggap kambing!” Teriak Ki Bonang 

Talang Ijo. 

“Sombongnya!” Teriak Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. 

“Takabur sekali! Aku mau lihat kepandaiannya!” 

Berseru Tuanku Laras Muko Balang. 

Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik lancarkan serangan 

dalam jurus silat Sitaralak bernama Harimau Campa 

Manggapai Rembulan. Dua tangan menyambar ke arah 

kepala Wiro. Kalau serangan ini mengenai sasaran, bukan 

saja muka lawan akan terbongkar tapi batang leher juga 

bisa tanggal! 

Perwira Muda Teng Sien dan anak buahnya menyerbu 

dengan golok besar. Tuanku Laras Muko Balang bolang-

balingkan Pedang Al Kausar sementara Ki Bonang Talang 

Ijo lepaskan belangkon hijau. Belangkon ini dikibas-kibas. 

Kibasan diarahkan pada Wiro dan Si Kamba. Dari semua 

serangan yang dilancarkan yang paling berbahaya adalah 

kibasan belangkon Ki Bonang Talang Ijo. Selain serangan 

ini bisa dilakukan dari jarak jauh, angin yang keluar dari 

kibasan belangkon bisa melumpuhkan lawan! 

Si Kamba Pesek yang tahu kehebatan belangkon itu 

segera ulurkan tangan kiri, mencoba merampas belangkon 

sementara tangan kanan yang juga telah diulur panjang 

menelikung ke arah Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, 

siap menjirat leher orang ini. Tapi yang diserang tidak 

bodoh. Secepat kilat tangannya diayun ke arah sambungan 

siku si nenek hingga Si Kamba Pesek terpaksa cepat-cepat 

tarik pulang serangannya. Di saat yang sama sambaran 

angin deras dari belangkon Ki Bonang Talang Ijo datang 

menyambar. Wiro cepat tarik tangan Si Kamba Pesek 

hingga nenek ini selamat dari hantaman angin sakti yang 

melumpuhkan! 

Walau dalam gebrakan pertama Wiro dan Si Kamba 

Pesek mampu menghadapi serangan lawan, namun jurus 

berikutnya serangan datang laksana air bah! 

“Nek, lekas melompat sepuluh langkah ke belakang!” 

Tiba-tiba Wiro berteriak. 

“Eh, kenapa? Ada apa?!” si nenek bertanya tidak 

mengerti.“Nek! Cepat!” 

Meski bingung Si Kamba Pesek akhirnya lakukan apa 

yang dikatakan Wiro. Begitu si nenek melesat ke belakang 

murid Sinto Gendeng segera hentakkan kaki kanannya ke 

tanah. 

Saat itu juga reettttt! 

Tanah di hadapan Wiro terbelah selebar tiga langkah. 

Dan dari dalam tanah yang terbelah menderu suara angin 

seperti puting beliung menyedot dahsyat. Semua orang 

berteriak kaget dan cepat melompat jauh selamatkan diri. 

Perajurit kerajaan anak-anak buah Teng Sien terlambat 

bergerak. Tubuhnya amblas tersedot masuk ke dalam 

dasar tanah yang terbelah. Destar merah di kepala 

Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik melayang masuk 

tersedot ke dalam belahan tanah. 

Tuanku Laras Muko Balang juga agak terlambat 

bergerak. Masih untung selamat. Meskipun demikian 

celana galembong dan celana dalamnya sempat tersedot 

hingga pinggang ke bawah aurat lelaki ini tidak terlindungi 

lagi alias telanjang melompong! 

“Lekas Nek. Ayo kita pergi!” Wiro pegang lengan Si 

Kamba Pesek. Kali ini si nenek tidak menolak lagi sewaktu 

ditarik. Ketika Wiro dan Si Kamba Pesek berkelebat pergi 

tidak ada yang berani mengejar. Jangankan mengejar, 

mendekati tanah yang terbelah saja orang-orang itu sudah 

merasa ngeri. 

Tuanku Laras Muko Balang kalang kabut menutupi 

auratnya sementara yang lain-lain sibuk mencari selamat 

dari sedotan tanah yang terbelah. Akhirnya Tuanku Laras 

buka bajunya sendiri lalu dipakai untuk menutupi aurat 

bagian bawah. 

Jauh di tepi tanah yang terbelah Pandeka Bumi Langit 

Dari Sumanik berdiri tertegun, mata nyalang mendelik 

dada turun naik. Tangan berkali-kali mengusap kepala. 

Untung hanya destarnya yang tersedot masuk ke dalam 

belahan tanah. Tidak sampai kepalanya yang tanggal dan 

ikut melayang!

“Ilmu Tanah Tabalah Hukum Manimpo!” ucap sang 

Pandeka dengan suara bergetar. “Di tanah Minang hanya 

Datuk Marajo Sati yang memiliki ilmu kesaktian ini! Apa 

hubungan pemuda Jawa itu dengan Datuk Marajo Sati 

hingga mereka bisa memiliki ilmu yang sama?” 

“Jangan-jangan pemuda itu orang kepercayaan Datuk 

Marajo Sati. Bisa juga muridnya...” Berkata Tuanku Laras 

Muko Balang sambil tangan kiri memegangi auratnya 

sebelah bawah yang hanya terlindung baju dan tangan 

kanan masih mencekal Pedang Al Kausar. 

“Kalau begitu kita harus cepat-cepat menemui dan 

menyelidiki sang Datuk!” kata Pandeka Bumi Langit Dari 

Sumanik. Sementara Perwira Muda Teng Sien melangkah 

mundar-mandir sambil berteriak-teriak tiada henti. 

Ki Bonang Talang Ijo tidak mengeluarkan sepotong 

ucapan pun. Namun wajahnya masih nampak agak pucat 

dan dalam hati orang tua ini menyadari. “Kalau dia punya 

niat jahat, paling tidak selain prajurit Cina, pemuda itu bisa 

menyedot amblas dua orang lagi di antara kami. Tugas 

makin berat. Aku harus bisa mendapatkan bantuan dari 

para tokoh silat baru... Datuk Marajo Sati, firasatku 

semakin kuat. Kau menyembunyikan suatu rahasia besar. 

Sorban Sutan Panduko Alam terbang ke tempat 

kediamanmu. Membawa kupu-kupu hidup penjelmaan 

kupu-kupu batu giok...” 

Sementara itu, setelah cukup jauh dari tempat tanah 

terbelah, Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan larinya lalu 

tertawa gelak-gelak. Tentu saja Si Kamba Pesek terheran-

heran melihat hal ini. 

“Apa yang kau tertawakan?! Jangan-jangan kau yang 

sudah tasapo kemasukan roh halus?!” Tapi si nenek 

sendiri kemudian ikut tertawa cekikikan. 

“Orang tua yang bersenjata pedang perak itu!” jawab 

Wiro. 

“Tuanku Laras Mudo Balang. Memangnya kenapa dia?” 

“Bulu di wajahnya belang putih dan hitam. Waktu tadi 

celananya tanggal dan auratnya tersingkap aku kira bulu dibawah perutnya juga belang putih dan hitam! Ternyata di 

bagian tubuh itu dia tidak punya bulu alias botak! Ha... ha... 

ha! Apakah kau juga sempat melihat Nek?!” 

“Najis! Dasar! Pantas Ki Bonang menyebutmu pemuda 

gila!” Kata si nenek pula lalu mengerenyit sakit karena 

tulang-tulang iganya kembali terasa sakit. 

“Nek, aku sering-sering melihat kau mengerenyit 

kesakitan. Aku tahu kau mengalami cidera. Tapi apa 

sebenarnya yang terjadi dengan dirimu?” 

Si Kamba Pesek lalu menceritakan kejadian sewaktu 

dia berkelahi dan kena dihantam lawan tulang iganya kiri 

kanan hingga patah. 

“Aku punya ilmu yang bisa menyembuhkan dan 

menyambung kembali tulang-tulang igamu yang patah. 

Namanya ilmu Kopo. Aku dapat dari seorang nenek sakti di 

tanah Jepun. Tapi caranya aku harus meremas dulu semua 

tulang igamu yang patah lalu baru diobat disambung 

kembali. Apakah kau bisa menahan sakitnya nek?” 

“Asal kau tidak menipuku, aku mau saja menahan 

bagaimanapun sakitnya.” Jawab si nenek yang rupanya 

mulai percaya pada sang pendekar. “Tapi ada satu hal 

yang ingin aku tanya lebih dulu.” 

“Hal apa Nek?” 

“Ilmu membelah tanah yang membuat semua 

penyerang tadi selamatkan diri berserabutan. Dari mana 

kau dapatkan?” 

“Seorang sahabat dari negeri antah berantah 

memberikannya padaku.” 

“Ah, nasib peruntunganmu selalu baik rupanya. Di 

mana-mana ada orang yang memberikan ilmu kesaktian 

baru padamu. Lalu mengingat ilmu kalian sama, apakah 

kau satu perguruan dengan Datuk Marajo Sati?” tanya si 

nenek lagi. 

Wiro tertawa. 

“Aku tahu Datuk itu juga punya ilmu yang sama dengan 

yang aku miliki. Malah satu kali dia pernah hendak 

membunuhku dengan ilmu itu...”Si nenek terkejut. “Bagaimana kejadiannya?” 

“Waktu itu aku tersesat masuk ke dalam sebuah goa di 

lamping Ngarai Sianok. Tidak tahunya goa itu kediaman 

sang Datuk. Aku dianggap sengaja menyusup. Mengenai 

ilmu kami yang sama, aku tidak tahu dari mana dia 

mendapatkan.” 

Si Kamba Pesek terdiam sesaat, merenung berpikir-

pikir. “Jika Datuk Marajo Sati marah besar dan hendak 

membunuh pemuda ini hanya karena dia tersesat, berarti 

ada sesuatu yang coba dilindungi Datuk itu. Lalu pemuda 

ini, jika ilmunya sama dengan Datuk Marajo Sati, bisa saja 

mereka berdua berada di pihak yang sama. Aku harus 

berhati-hati.” Kemudian si nenek berkata. “Sebenarnya aku 

dan kawan-kawan punya rencana akan menyelidiki Datuk 

Marajo Sati tentang satu perkara. Jika ternyata kau adalah 

kaki tangan Datuk itu...” 

Wiro tertawa. 

“Sudah Nek, sekarang kau berbaringlah. Aku akan 

mulai mengobati tulang-tulang igamu...” 

Si nenek baringkan diri di tanah. Menelungkup. 

“Menelentang Nek. Kalau kau menelungkup bagaimana 

aku bisa mengobati tulang igamu!” Kata Wiro pula. 

Si nenek balikkan tubuh menelentang. 

“Aku dengar kau seorang pemuda mata keranjang. 

Awas kalau kau berani menipu dan berlaku jahil padaku...” 

Wiro tertawa. “Mengapa kau sampai punya pikiran 

seperti itu Nek?” 

“Kakakku Si Kamba Mancuang memberi tahu. Kau 

memeluk dan menciuminya...” 

“Lantas, apa kau juga mau aku cium Nek?” 

“Anak gilo!” 

Wiro tertawa gelak-gelak. Tangan kanannya bergerak ke 

deretan tulang iga sisi kiri dan kanan si nenek. Dia siap 

mengobati cidera Si Kamba Pesek dengan ilmu Koppo 

yakni ilmu mematah dan menyambung tulang. Ilmu ini 

didapat Wiro dari seorang nenek sakti di negeri Jepun 

bernama nenek Neko (baca serial Wiro Sableng di negeri Sakura). 

Kraakk... kraakk... kraakkk! 

Jeritan keras setinggi langit menggelegar dari mulut Si 

Kamba Pesek begitu barisan tulang iganya yang patah di 

rusuk kiri kanan mulai diobati. Saking sakitnya si nenek 

menggeliat-geliat. Pinggang tersentak ke atas. Dua kaki 

naik melejang-lejang hingga pakaiannya berupa jubah 

panjang merosot sampai ke pangkal pinggul. Melirik ke 

arah aurat yang tersingkap itu murid Sinto Gendeng jadi 

terkesiap. 

“Astaga, bagaimana mungkin nenek ini memiliki 

sepasang kaki dan paha yang mulus bagus seperti anak 

perawan!” 

Selagi Wiro terheran-heran tiba-tiba satu bayangan 

berkelebat. 

“Pemuda jahanam kurang ajar! Kau apakan saudaraku! 

Kau hendak memperkosanya! Ternyata kau benar-benar 

manusia gila mata keranjang!” 

Sesaat kemudian, bukkk...! Satu tendangan keras 

melanda bahu kanan Wiro hingga sang pendekar terpental 

sampai satu tombak. Tulang bahunya serasa remuk. 

Sakitnya bukan alang kepalang! 

Sambil menahan sakit, terhuyung-huyung Wiro 

mencoba bangun. Di hadapannya berdiri kembaran Si 

Kamba Pesek yaitu Si Kamba Mancuang. Nenek ini setelah 

menendang Wiro langsung melompat ke arah Si Kamba 

Pesek dan jatuhkan diri di samping saudaranya itu. 

“Kamba Pesek, kau tidak apa-apa? Kau belum sempat 

diper...” 

“Tua bangka tolol! Kau terlalu cemburu! Otakmu 

dipenuhi pikiran kotor yang bukan-bukan!” Si Kamba Pesek 

menyemprot marah. 

Si Kamba Mancuang terperangah. “Kau sudah gila! Aku 

mau menolong kau malah marah padaku! Rupanya kau 

suka diperkosa pemuda jahanam itu!” 

“Siapa yang mau berbuat mesum! Dia justru tengah 

mengobati tulang rusukku yang cidera akibat pukulan Sutan Panduko Alam tempo hari...” 

“Tapi aku lihat dia meremas-remas dadamu. 

Pakaianmu tersingkap sampai lancirik-mu (pantat) 

kelihatan...” 

“Sudah! Tutup mulutmu!” bentak Si Kamba Pesek. Dia 

berpaling ke arah Wiro. “Anak muda, harap maafkan 

saudaraku. Dia...” 

“Tidak apa-apa Nek. Aku sudah sempat mengobatimu. 

Tak lama lagi kau pasti sembuh. Kurasa aku lebih baik 

pergi dulu. Ceritakan pada saudaramu apa yang 

sebenarnya terjadi...” 

“Hai tunggu! Jangan pergi dulu!” Berseru Si Kamba 

Pesek. Namun saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng telah 

berkelebat pergi. Nenek satu ini banting-banting kaki. Tiba-

tiba dia terdiam. Dua tangan dielus-eluskan ke rusuk kiri 

kanan. “Luar biasa! Aku tidak merasa sakit lagi! Betul apa 

yang dikatakan anak muda itu. Aku sudah sembuh! Lihat! 

Pemuda itu menyembuhkanku! Bagaimana mungkin kau 

menuduhnya berbuat mesum!” 

Si Kamba Mancuang peluk saudaranya seraya berkata. 

“Aku mohon maafmu. Ternyata aku telah salah menduga. 

Aku juga telah kesalahan melepas tendangan...” 

“Kau selalu begitu! Bertindak dulu baru berpikir! Lihat! 

Dia sudah pergi! Ke mana harus mencarinya! Berterima 

kasihpun aku belum sempat!” 

“Kita berdua akan mencari pemuda itu sampai dapat,” 

kata Si Kamba Mancuang pula. 

“Tidak! Aku tidak mau pergi bersamamu!” Jawab Si 

Kamba Pesek. Lalu nenek ini mundur menjauhi 

saudaranya. Di lain kejap dia balikkan badan dan 

berkelebat lenyap ke arah perginya Wiro. 

Untuk beberapa lama Si Kamba Mancuang masih tegak 

tertegun termangu-mangu seorang diri. Bingung ada 

kecewa juga ada. Akhirnya nenek satu ini pun tinggalkan 

tempat itu, pergi ke arah berkelebatnya Si Kamba Pesek. 

***


EMPAT


MALAM itu, dalam keadaan bahu masih sakit 

Pendekar 212 tengah dalam perjalanan menuju 

Danau Maninjau untuk menemui Datuk Rao 

Basaluang Ameh. Dia ingin mendapat kejelasan tentang 

pesan amanat sang guru mengenai perkara besar yang 

akan terjadi di Ranah Minang. Namun di tengah perjalanan 

pikirannya berubah. Dia merasa khawatir kalau nanti Datuk 

mempunyai anggapan dirinya tidak sanggup melakukan 

tugas, tidak mampu menyelidiki dan memecahkan sendiri 

teka-teki malapetaka yang akan terjadi. 

“Malapetaka bukan akan terjadi, aku rasa malapetaka 

sudah terjadi...” pikir Wiro sambil menggaruk kuduk. 

“Selama aku di sini, sudah beberapa orang menemui ajal. 

Malah aku dituduh jadi pembunuh salah seorang dari 

mereka... Aku sudah masuk dan terlibat dalam perkara 

besar itu. Masakan aku harus menyusahkan Datuk 

meminta penjelasan lagi. Aku harus mampu menyelidiki 

sendiri...” Wiro angkat kopiah hitamnya hendak menggaruk 

kepala. Tapi tidak jadi. 

Saat itu entah dari mana datangnya tiba-tiba, blukk! 

Sesosok tubuh melayang jatuh, terbujur tak bergerak di 

tanah beberapa langkah di hadapannya. Walau malam hari 

namun karena langit bersih dan banyak bintang serta 

merta Wiro mengenali orang yang terkapar di hadapannya 

itu bukan lain adalah Si Kamba Pesek Tangan Manjulai. 

Keadaan nenek ini sangat mengenaskan. Tangan kiri 

patah. Tangan kanan buntung dan masih mengucurkan 

darah tanda dia belum lama dibunuh. Di dada dan leher 

ada luka terkuak. Darah yang mengucur dari batok kepala menutupi sebagian wajahnya. Mulut robek sampai ke 

telinga kiri. Sebelum tewas agaknya nenek ini telah 

diserang dengan senjata tajam serta pukulan ilmu silat 

sangat ganas. 

“Nek!” teriak Wiro. Dia segera hendak menubruk sosok 

yang sudah tidak bernafas itu. Tapi gerakannya tertahan 

ketika beberapa bayangan berkelebat disertai suara orang 

berucap lantang. 

“Selama dunia terkembang, tidak ada seorang 

pengkhianatpun boleh dibiarkan hidup!” 

Murid Sinto Gendeng mengenali. Itu adalah suara 

Tuanku Laras Muko Balang! Dalam keadaan setengah 

berjongkok, Wiro angkat kepala, menatap ke depan. 

Tuanku Laras Muko Balang berdiri dengan sikap pongah, 

memegang pedang telanjang. Ujung pedang nampak 

bernoda merahnya darah! Saat itu dia telah mengenakan 

sehelai celana galembong baru lengkap dengan baju 

hitam. Di sebelah kanan tegak Ki Bonang Talang Ijo. 

Seperti biasa kakek satu ini unjukkan sikap tenang dingin 

dan dua tangan disilangkan di atas dada. 

Orang ke tiga yaitu Teng Sien berdiri berkomat-kamit. 

Golok besar bergetar di tangan kanan pertanda niatnya 

untuk menghabisi Wiro tidak dapat dikendalikan lagi. 

Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik di ujung kiri, tidak 

mengenakan destar karena sebelumnya destar orang ini 

telah amblas masuk tersedot tanah terbelah. Di tempat itu 

Wiro menyaksikan ada dua orang lain yang tidak 

dikenalnya. 

Yang pertama seorang nenek bungkuk mencekal benda 

bergayut seperti jaring ikan. Kulit muka tipis hitam legam, 

mengingatkan Wiro pada gurunya Eyang Sinto Gendeng. 

Dalam berdiri sepasang mata cekung nenek ini tidak 

berkesip memperhatikan ke dua kaki Wiro. Sementara 

tangan kanan yang memegang jaring dalam kuda-kuda 

siap bergerak. 

“Nenek ini rupanya diandalkan untuk mengawasi kedua 

kakiku. Mereka khawatir aku akan kembali mengeluarkan ilmu Membelah Tanah Menyedot Arwah,” pikir Pendekar 

212 Wiro Sableng. 

Orang kedua yang juga tidak dikenal Wiro adalah 

seorang kakek berpakaian serba hitam termasuk destar di 

kepala dan kain sarung melintang di bahu. Kakek ini 

memegang sebatang tongkat berkeluk terbuat dari 

perunggu. 

“Tua bangka ini memegang tongkat secara aneh,” 

membatin Wiro sambil mengawasi. “Dia tidak memegang 

tongkat pada bagian gagang yang berkeluk, tapi pada 

ujung yang lurus. Berarti tongkat ini adalah senjata 

penggebuk yang ampuh! Aku harus berhati-hati.” 

Ketika kakek ini menggeser dua kakinya, Wiro 

memperhatikan dan diam-diam jadi terkesiap. Dua kaki 

kakek ini terbalik. Bagian yang ada jari-jarinya berada di 

sebelah belakang sedang tumit di sebelah depan! 

Ketika kembali memandang ke arah mayat Si Kamba 

Pesek, amarah Pendekar 212 mendidih. Mulut berteriak 

lantang hingga semua orang yang ada di situ merasakan 

denyutan di dada masing-masing. 

“Kalian membunuh nenek ini! Pasti secara mengeroyok! 

Pengecut busuk! Apa salahnya?! Dia bukan pengkhianat! 

Dia tidak pernah memberi keterangan apapun padaku! 

Kalian akan membayar mahal kematiannya!” 

Tuanku Laras Muko Balang mendengus. 

“Semakin kentara kau memang berkomplot dengan 

nenek itu!” Kata Tuanku Laras kemudian. 

Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik tawa mengejek. 

Ki Bonang Talang Ijo membuka mulut. “Pemuda 

sombong takabur! Jika kau memang orang hebat, 

perlihatkan kembali pada kami ilmu Tanah Tabalah Hukum 

Manimpo!” 

Begitu Ki Bonang Talang Ijo keluarkan ucapan, si nenek 

bungkuk berkulit hitam putar pergelangan tangannya yang 

memegang benda bergayut, menggeser dua kaki 

memasang kuda-kuda siap menyerang. Kini tambah jelas 

bagi Wiro kalau orang memang sudah menyiapkan serangan penangkal untuk mencelakai dirinya yaitu di 

bagian ke dua kaki. 

Sambil menyeringai Wiro bergerak berpindah tempat 

hingga dia dan Ki Bonang serta si nenek muka hitam 

berada di satu garis lurus. Si nenek terhalang oleh sosok si 

kakek. 

“Majulah dua langkah, aku akan perlihatkan ilmu yang 

barusan kau katakan!” Ucap Wiro pada Ki Bonang. 

“Kurang ajar!” maki Ki Bonang Talang Ijo. “Dia sengaja 

membuat kedudukan yang menyebabkan nenek itu tidak 

mungkin bergerak menyerangnya karena terlindung diriku.” 

Tiba-tiba Ki Bonang Talang Ijo bersuit keras. Saat itu 

juga tubuhnya melesat ke udara hingga kini Wiro berhadap-

hadapan langsung dengan si nenek muka hitam. Tanpa 

banyak menunggu lagi nenek ini gerakkan tangan kanan. 

Benda yang sejak tadi dipegangnya melesat ke depan, 

menebar membentuk jaring berpijar, mengarah kaki kiri 

kanan Pendekar 212! 

Wiro merasa ada hawa dingin aneh dari pijaran jaring 

membuat dua kakinya mendadak menjadi lemas. Dengan 

cepat dia kerahkan hawa sakti dan tenaga dalam ke tubuh 

bagian bawah lalu melompat setinggi satu tombak. Di saat 

yang sama si nenek sentakkan jaring di tangan kanan. 

Cahaya putih berpijar. Wiro berteriak kaget ketika dua 

kakinya terangkat ke udara, membuat tubuhnya jungkir 

balik tak karuan! 

Dari samping, Ki Bonang Talang Ijo cepat tanggalkan 

belangkon. Sekali belangkon dikebut, menyambar cahaya 

kehijauan menyerang Pendekar 212 yang masih jungkir 

balik di udara. Dalam keadaan seperti itu cahaya hijau 

menghantam tubuhnya. Terhuyung limbung, sambil 

berusaha mengimbangi diri Wiro membuat gerakan 

berputar. Gerakan dua kakinya agak kaku karena masih 

dipengaruhi serangan jaring berpijar si nenek. Namun dua 

tangan dalam keadaan bebas. Tidak tunggu lebih lama 

Wiro lancarkan serangan balasan. Tangan kiri kanan 

melepas pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.“Lekas menyingkir!” teriak Ki Bonang begitu dua 

pukulan menebar angin dahsyat disertai suara 

bergemuruh. Teng Sien berlaku nekad. Sementara semua 

orang menjauh bahkan ada yang terpelanting, dia 

melompat kirimkan babatan golok ke arah dua kaki Wiro 

yang berada di atasnya. Rupanya dia menduga serangan si 

nenek dan kebutan belangkon Ki Bonang tadi masih 

mempengaruhi Wiro. 

Kraakk! 

Perwira Muda itu menjerit begitu kaki kiri Pendekar 212 

bergerak menghantam sambungan sikunya. Golok besar 

terlepas mental. Sambungan siku patah. Teng Sien sendiri 

terpental dan jatuh duduk di tanah mengerang tak 

berkeputusan. 

“Serang!” Ki Bonang Talang Ijo tiba-tiba berteriak. 

Maka serangan dahsyat laksana topan prahara 

menggempur Wiro dari berbagai jurusan. Jaring berpijar 

kembali menyapu ke arah dua kaki Wiro. Pedang Al Kausar 

di tangan Tuanku Laras Muko Balang membabat laksana 

badai, menebar cahaya putih dalam kegelapan malam. 

Setelah dirinya dipermalukan yaitu ditelanjangi di depan 

orang banyak, dendam orang tua bermuka belang ini 

terhadap Wiro bukan alang kepalang. 

Di bagian lain Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik 

laksana menari di udara susupkan satu pukulan ke arah 

dada Wiro sementara kakek yang memegang tongkat 

membuat serangan dalam gerakan aneh. Dia lari ke arah 

Wiro. Ketika berpapasan dia tidak membuat gerakan apa-

apa. Tapi begitu tubuhnya melewati Wiro tiba-tiba wutt! 

Tanpa berpaling tongkat di tangan kanannya menghantam 

ke belakang! 

Bukkk! 

Gagang berlekuk tongkat tembaga menghantam 

punggung kanan Wiro. Selagi Wiro terlempar ke depan, dari 

arah berlawanan datang serangan ilmu silat Sitaralak yang 

dilancarkan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik dalam 

jurus Tigo Alu Mangupak Lasuang (Tiga Alu Menghancurkan Lesung). Sesuai dengan namanya, kekuatan pukulan itu 

sama dengan kekuatan tiga alu besar yang secara 

sekaligus dihantamkan ke dada lawan! Sesaat lagi pukulan 

lawan yang bisa membuat dadanya jebol datang 

menghantam, Wiro kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti 

yang bersumber pada Kapak Naga Geni 212 yang ada di 

dalam tubuhnya! Satu cahaya putih berpijar melindungi 

dada sang pendekar. 

Bukkk! 

Pukulan Tigo Alu Manguak Lasuang mendarat telak di 

dada Wiro. Tubuh murid Sinto Gendeng bergoncang hebat. 

Walau dia selamat dari maut akibat lindungan hawa sakti 

Kapak Geni 212 namun tak urung mulutnya semburkan 

darah segar! 

Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik sendiri menjerit 

keras dan terjajar ke belakang, hampir terjengkang kalau 

tidak ditolong oleh Tuanku Laras Muko Balang. Tangan 

kanan Pandeka Bumi Langit tampak terkelupas seperti 

melepuh mulai dari lima ujung jari sampai ke pergelangan! 

“Pengeroyok pengecut! Kalian akan menerima 

pembalasanku!” Ucap Wiro dengan suara bergetar. Tangan 

kanan dipentang ke atas. 

Saat itu juga tangan itu berubah menjadi putih 

menyilaukan seperti perak mulai dari siku sampai ke ujung 

jari. 

“Pukulan Sinar Matahari!” Teriak Ki Bonang Talang Ijo. 

Walau belum pernah melihat sendiri namun dia telah 

sering mendengar dan yakin saat itu Wiro akan 

melancarkan serangan dengan pukulan yang telah 

menggegerkan seluruh daratan tanah Jawa itu. Maka 

kakek ini segera keluarkan suitan keras. Saat itu juga 

Tuanku Laras Muko Balang melompat ke depan sambil 

tangan kiri menjambak rambut seorang pemuda 

sementara tangan kanan yang memegang pedang 

dimelintangkan di atas tenggorokan orang! 

“Pendekar Dua Satu Dua!” kata Ki Bonang Talang Ijo. 

“Jika kau tidak mau menyerah sahabatmu itu akan kami sembelih!” 

“Benar-benar pengecut jahanam!” rutuk Wiro. 

Pemuda yang dicekal itu bukan lain adalah Malin 

Kapuyuak, pemuda tukang intip yang beberapa waktu lalu 

berhasil lolos dari tangan maut Duo Hantu Gunung Sago Si 

Kalam Langit. 

Sesaat Wiro berpikir sementara pedang di tangan 

Tuanku Laras mulai menyayat kulit leher Malin Kapuyuak 

hingga tergores luka. Malin Kapuyuak meringis kesakitan. 

Mukanya sepucat kain kafan. 

“Jangan bunuh aku! Apa salahku! Ampun, jangan bunuh 

aku...” 

Perlahan-lahan Wiro turunkan tangan kanannya. 

“Lepaskan pemuda itu! Katakan apa mau kalian!” Wiro 

mengalah. Dia tidak ingin melihat Malin Kapuyuak 

menemui ajal secara mengenaskan. Walau mengalah 

namun otaknya diputar mencari akal bagaimana bisa 

menyelamatkan si pemuda tukang intip perawan mandi itu 

dan sekaligus memberi pelajaran pada Ki Bonang dan 

kambrat-kambratnya. 

Namun saat itu tiba-tiba ada suara perempuan berseru. 

“Wiro! Pemuda itu bukan sahabatmu! Biarkan saja dia 

mati disembelih! Jangan mau mengalah! Biar dia hidup 

atau mati tidak ada untungnya bagimu!” 

***



LIMA


SEMUA orang terkejut, termasuk Tuanku Laras Muko 

Balang. Tidak sadar jambakannya di rambut Malin 

Kapuyuak mengendur. Tekanan mata pedang di leher 

si pemuda turun merenggang. Kesempatan ini tidak disia-

siakan oleh Malin Kapuyuak. Tumit kanannya dihunjamkan 

ke jari-jari kaki kanan Tuanku Laras yang tersembul di 

ujung kasut kulit. Selagi si muka belang ini merintih 

kesakitan dan memaki, Malin Kapuyuak cepat loloskan diri, 

menghambur ke arah perempuan yang tadi berseru. 

Perempuan ini tertawa gelak-gelak seolah dia tidak 

perduli keadaan di tempat itu dan ketegangan apa yang 

tengah terjadi! 

Pendekar 212 yang dalam keadaan menahan sakit 

akibat gebukan tongkat di punggung serta hantaman 

tangan di dada, dalam keadaan setengah megap-megap 

mau tak mau jadi terkesiap terheran-heran. Dalam hati dia 

berkata. “Denok Tuba Biru! Bagaimana mungkin?! Setan 

mana yang membawamu ke negeri ini?” 

Perempuan yang muncul di tempat itu dan masih 

tertawa-tawa adalah seorang perempuan muda luar biasa 

gemuk. Ketika tertawa dadanya yang gembrot dan 

perutnya yang gendut bergoyang-goyang. Wajahnya yang 

tembam berwarna biru bergaris-garis kuning. Rambut lurus 

tegak seperti lidi. Anting-anting bulat besar terbuat dari 

perak mencantel di telinga kiri kanan. Mengenakan 

pakaian aneh sebentuk celana monyet hitam tak 

berlengan. Bulu ketiaknya yang lebat panjang menyembul 

berserabutan. Paha yang besar gempal bergoyang-goyang. 

Di bahu kanan ada jarahan sekuntum bunga mawar biru.Di hadapan perempuan gemuk ini Malin Kapuyuak 

jatuhkan diri. Tangan diangkat di atas kepala. Dalam sikap 

menyembah pemuda ini berkata. 

“Inyiek Batino! Ratu Sekalian Harimau Betina di Tujuh 

Gunung Bertuah! Terima kasih kau telah datang 

menyelamatkan diriku!” 

Sementara Wiro tercengang-cengang dan hampir tak 

dapat menahan ketawa, Tuanku Laras Muko Balang dan 

Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik sama-sama berubah 

wajah masing-masing. Keduanya melangkah saling 

mendekat. 

“Aku belum pernah melihat rupa. Tapi kalau dia benar 

Inyiek Batino Ratu Harimau Betina Tujuh Gunung Bertuah, 

sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini.” Berbisik 

Tuanku Laras Muko Balang. 

“Aku mengikut saja apa katamu. Heran, bagaimana 

pemuda keparat itu bisa kenal dengan Inyiek Batino?” 

Jawab Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Kedua orang ini 

memberi isyarat pada kawan-kawan mereka. Kakek 

bertongkat ketika diajak pergi gelengkan kepala. 

“Sebelum aku gebuk kepala perempuan itu dengan 

tongkat perunggu ini, aku tidak akan pergi. Urusan kita di 

tempat ini belum selesai. Bukankah kita mau memeras 

keterangan dari pemuda Jawa berambut panjang itu?!” 

“Datuk Pancido, aku juga tidak ingin melepaskan 

pemuda itu begitu saja. Namun sekali ini kita lebih baik 

mengalah. Benda yang kita cari belum bertemu. Lebih baik 

mendapatkan benda itu lebih dahulu daripada mencari 

celaka...” Yang berbicara adalah Ki Bonang Talang Ijo. 

“Aku tidak yakin perempuan gapuak itu Inyiek Batino.” 

Kakek yang dipanggil dengan nama Datuk Pancido masih 

penasaran. “Logat bicaranya bukan logat orang sini. 

Lagipula turut kata orang yang pernah melihat, Inyiek 

Batino mulutnya ditumbuhi misai putih seperti harimau 

sungguhan. Tapi yang ini ketiaknya yang bermisai...” 

Untuk beberapa lama si kakek masih tak beranjak dari 

tempatnya. Tapi ketika satu persatu orang-orang itu meninggalkan tempat tersebut akhirnya dia mengikuti juga. 

Sebelum pergi dia masih sempat lontarkan kerlingan ke 

arah si gemuk. Perempuan bermuka biru bergaris kuning 

seperti harimau ini tersenyum dan kedipkan mata! 

“Inyiek Setan!” rutuk Datuk Pancido. Dia merasa 

getaran aneh di permukaan kulit tubuhnya yang membuat 

kakek ini jadi merinding lalu cepat-cepat pergi menyusul 

teman-temannya. 

Di tengah jalan tiba-tiba Perwira Muda Teng Sien 

memberi tanda lalu berhenti berlari. Semua orang ikut 

hentikan lari. Perwira ini mendekati Ki Bonang lalu 

mengatakan sesuatu. Ki Bonang tampak mengangguk-

angguk. 

“Ada apa Ki Bonang? Apa yang dikatakan Perwira Cina 

itu?” tanya Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Selesai 

bicara dia kembali meniup-niup tangan kanannya yang 

melepuh. 

“Perwira Muda sahabat kita ini memberi tahu kalau 

setelah menewaskan nenek itu kita lupa menggeledah 

tubuhnya. Tiga batangan emas yang telah diterimanya pasti 

ada di balik pakaian.” 

“Kalau begitu kita kembali ke tempat tadi!” kata kakek 

bersenjata tongkat perunggu bernama Datuk Pancido. Dari 

pekerjaannya membantu orang-orang itu dia dan si nenek 

muka hitam memang belum mendapatkan imbalan. Kalau 

tiga batang emas itu ditemukan dia berharap akan menjadi 

bagian mereka berdua. 

Tuanku Laras gelengkan kepala. “Terlalu berbahaya. 

Orang-orang itu pasti masih ada di sana. Lupakan saja tiga 

batang emas itu. Aku ada satu rencana lain...” 

“Rencana apa Tuanku Laras?” tanya Ki Bonang. 

“Inyiek Susu Tigo. Kita harus cepat-cepat menemui guru 

Si Kamba Pesek dan Si Kamba Mancuang itu. Kita beritahu 

bahwa Si Kamba Pesek muridnya telah dibunuh pemuda 

Jawa bernama Wiro itu. Kita tidak perlu bersusah payah 

lagi. Inyiek Susu Tigo pasti akan mencari dan membunuh 

pemuda itu!”“Rencana bagus Tuanku Laras! Akalmu sungguh luar 

biasa!” memuji Ki Bonang Talang Ijo. 

“Bukan itu saja,” kata Tuanku Laras pula dengan cuping 

hidung mengembang. “Akan kita beritahu Inyiek Susu Tigo. 

Kalau sebelum dibunuh pemuda Jawa itu telah lebih dulu 

memperkosa si nenek! Kita harus bisa membakar hati dan 

pikiran Datuk Susu Tigo hingga dia tidak memikirkan hal 

lain selain membunuh pemuda itu!” 

“Hebat!” Kembali Ki Bonang memuji. 

Sementara orang bicara, Perwira Muda Teng Sien walau 

berdiam diri tapi unjukkan wajah kesal. Tiba-tiba berteriak 

keras lalu melompat pergi. 

“Perwira! Tunggu! Kau mau ke mana?!” berseru Ki 

Bonang Talang Ijo. 

“Dia pasti kembali ke tempat mayat Si Kamba Pesek! 

Mencari tiga batang emas itu!” kata Pandeka Bumi Langit 

Dari Sumanik lalu kembali meniup-niup tangannya yang 

melepuh. 

“Kita kejar dia!” kata Tuanku Laras pula. 

“Biarkan saja! Dia mencari penyakit sendiri! Mau 

menyelamatkan tiga batang emas. Tapi nyawanya sendiri 

nanti bisa-bisa tidak mampu diselamatkannya!” 

“Kalau dia mati, kita tidak akan mendapat bagian 

batangan emas yang kedua dan urusan bisa kacau bubar 

begitu saja!” kata Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. 

“Tidak usah khawatir. Aku tahu di mana dia menyimpan 

sisa peti-peti emas itu!” Kata Ki Bonang pula. 

Tuanku Laras Muko Balang melirik tapi tidak keluarkan 

ucapan. Ada sesuatu bermain di dalam benaknya setelah 

mendengar ucapan Ki Bonang tadi. 

Teng Sien memang pergi ke tempat kejadian 

sebelumnya. Namun bukan saja dia tidak menemukan 

mayat Si Kamba Pesek, di situ juga tidak ada lagi Pendekar 

212, Malin Kapuyuak dan Denok Tuba Biru. Perwira Muda 

ini lalu cepat-cepat kembali menemui rombongan Ki 

Bonang Talang Ijo.

*** 

BEGITU semua orang pergi, perempuan gemuk dan 

Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak. 

Wiro tidak dapat menahan hati lagi. “Denok Tuba Biru! 

Kau dan Malin Kapuyuak seperti sudah lama saling 

mengenal! Kalian ini melakukan apa barusan! Siapa itu 

Inyiek Batino? Mereka tampak seperti ketakutan 

mendengar nama itu! Dan kau Denok, katakan! Bagaimana 

kau bisa berada di tanah Minang ini?! Setan mana yang 

membawamu ke sini?!” 

“Pertanyaanmu banyak amat. Biar Malin Kapuyuak 

yang lebih dulu menjawab,” kata perempuan gemuk 

bermuka biru bergaris kuning masih sambil tertawa-tawa. 

“Uda sahabatku,” kata Malin Kapuyuak pula. “Sewaktu 

aku lolos dari tangan maut Duo Hantu Gunung Sago Si 

Batu Bakilek, ada orang lain berusaha hendak 

membunuhku. Tapi tahu-tahu muncul uni gapuak (kakak 

perempuan gemuk) ini! Dia juga mengejarku. Orang 

pertama yang mengejarku melenyapkan diri entah ke 

mana...” 

“Aku mengejar dia karena ingin mencari tahu di mana 

keberadaanmu,” berkata Denok Tuba Biru. 

“Lalu kau sendiri bagaimana bisa berada di negeri ini?” 

tanya Wiro yang sejak semula tidak habis pikir. 

“Setelah kita menolong Nyi Retno Mantili dan puterinya 

Ken Permata serta Manusia Paku Sandaka, pada saat 

harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau 

menerbangkanmu ke Danau Maninjau, diam-diam aku 

bergelayutan di bawah perutnya. Aku menerapkan ilmu 

Bayang-Bayang Angin hingga kau tidak bisa melihatku...” 

(baca serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul “Bayi 

Titisan”). 

“Tapi kau tidak bisa menipu Datuk Rao Bamato Hijau. 

Harimau sakti itu pasti tahu kau bergantungan di bawah 

tubuhnya...” 

“Pasti tahu, tapi diam saja...” jawab Denok Tuba Biru sambil senyum-senyum. 

“Tidak mungkin harimau sakti itu diam saja. Ceritakan 

hal yang sebenarnya.” 

“Selama di perjalanan aku terus-terusan mengusap 

anunya Datuk Rao Bamato Hijau. Rupanya dia merasa 

keenakan. Itu sebabnya dia diam saja!” 

“Sinting!” Teriak Wiro seraya membuka kopiah 

hitamnya lalu dibanting ke tanah. Kepala digaruk habis-

habisan. Malin Kapuyuak menekap hidung menahan tawa 

sementara Denok Tuba Biru enak saja melepas cekikikan. 

***


ENAM


WIRO melangkah mundar-mandir. Sekali-sekali dia 

berhenti oleh rasa sakit di punggung dan di dada. 

Kalau saja Kapak Naga Geni 212 tidak ada di 

dalam tubuhnya yang menamengi dirinya dari serangan 

dua lawan yaitu Datuk Pancido dan Pandeka Bumi Langit 

Dari Sumanik, mungkin keadaannya bisa sangat parah. 

“Denok Tuba Biru, kalau Datuk Rao Basaluang Ameh 

tahu apa yang kau lakukan pada harimau putih...” Wiro 

mengingatkan. 

“Wiro, sebaiknya kau lebih memperhatikan dirimu. Aku 

yakin kau telah terluka di dalam tapi kau tidak perduli. Aku 

membawa obat. Mungkin bisa menolong. Telanlah!” Dari 

dalam sebuah kantong kecil perempuan gemuk itu 

mengeluarkan sebuah benda bulat seujung kuku berwarna 

hitam lalu diserahkannya pada Wiro. Ketika Wiro hendak 

menelan Malin Kapuyuak berseru. 

“Tunggu dulu! Uni Gapuak, kau tidak salah memberi 

obat pada pandeka sahabatku?” 

“Apa maksudmu?!” bentak Denok Tuba Biru. 

“Obat yang kau berikan bukan obat penyubur 

penambah lebat bulu ketiak?!” 

“Setan alas kurang ajar!” Teriak Denok Tuba Biru marah 

lalu, plaakk! Tangannya menjitak kepala si pemuda hingga 

Malin Kapuyuak kesakitan, menjauh sambil usap-usap 

kepala. Wiro cepat-cepat telan obat yang diberikan. Dada 

dan punggungnya yang sakit terasa hangat. 

“Aku memang khawatir kalau sampai ketahuan Datuk 

Rao Basaluang Ameh,” kata Denok Tuba Biru kemudian. 

“Karenanya ketika harimau putih berlari di sepanjang tepi danau, sebelum sampai di tempat kediaman Datuk Rao 

Basaluang Ameh, di satu tempat aku menjatuhkan diri. 

Setelah itu aku berusaha mencarimu. Aku pernah melihat 

suatu saat kau dan pemuda ini berduaan. Ketika aku 

kehilangan jejakmu, aku mencari pemuda ini dan 

menemuinya sewaktu hendak dibunuh Hantu Gunung Sago 

Si Batu Bakilek...” 

Sementara Wiro mendengarkan cerita Denok Tuba Biru, 

Malin Kapuyuak memperhatikan mayat Si Kamba Pesek. 

Pada pinggang pakaiannya yang agak tersingkap dia 

melihat ada tiga benda berkilat kuning menyembul. Ketika 

dia membungkuk dan memperhatikan lebih dekat dia 

segera mengenali. Tiga benda yang tersembul itu adalah 

tiga ujung batangan emas! Segera saja dia menarik 

batangan emas itu satu persatu. 

“Malin Kapuyuak! Apa yang kau lakukan?!” tiba-tiba 

Wiro bertanya. Membuat si pemuda tergagau dan 

rentangkan dua tangan. 

“Lihat! Kalian pasti tidak percaya! Aku menemukan tiga 

batang emas di balik pinggang jenazah nenek itu!” 

Wiro mengambil sebatang emas, memperhatikannya 

beberapa lama lalu menyerahkan pada Denok Tuba Biru. 

Setelah memeriksa sebentar perempuan gemuk ini 

memberi tahu. 

“Ini emas betulan! Bukan barang palsu!” 

“Rejekiku besar nian! Sekarang aku punya modal untuk 

kawin! Ha... ha... ha!” Malin Kapuyuak melompat-lompat 

sambil mencium dua batangan emas. 

“Malin, serahkan semua emas itu pada sahabat kita Uni 

Gapuak ini. Sebelum ketahuan asal muasal dan siapa 

pemiliknya, tidak satu pun di antara kita boleh 

mengambilnya!” 

“Uda Pandeka, jangan begitu. Pemiliknya jelas nenek ini 

dan dia sudah mati. Kau tahu aku ini orang miskin...” 

“Aku juga orang miskin!” kata Pendekar 212 lalu ambil 

dua batangan emas yang ada di tangan Malin Kapuyuak 

kemudian diserahkan pada Denok Tuba Biru.“Simpan baik-baik. Jangan sampai hilang!” kata Wiro 

pada Denok Tuba Biru. 

Malin Kapuyuak mengomel panjang pendek namun 

kemudian berhenti sendiri. 

Malam itu juga Wiro ditemani Denok Tuba Biru dan 

dipandu Malin Kapuyuak membawa jenazah Si Kamba 

Pesek ke sebuah dusun terdekat. Mereka menemui kepala 

dusun untuk diminta mengurus dan mengubur jenazah si 

nenek. Mula-mula kepala dusun ini marah-marah. Bukan 

saja karena dibangunkan dalam tidur lelapnya tapi juga 

karena diberi pekerjaan yang tidak disangka-sangka. 

“Malam buta kalian membangunkan aku dari tidur! 

Datang membawa mayat yang tidak aku kenal! Minta aku 

mengurusnya sampai penguburan! Rancak bana! Enak 

pada kalian susah padaku! Kelihatannya dia mati tidak 

wajar. Bagaimana kalau nanti kematian perempuan tua ini 

menjadi urusan panjang? Aku yang cilako tigo baleh 

(celaka tiga belas)! Kalian sudah menghilang entah ke 

mana!” 

“Pak gaek (bapak tua),” Malin Kapuyuak berkata. 

“Jangan khawatir. Kalau terjadi apa-apa cari aku. Namaku 

Malin Kapuyuak. Semua orang kenal diriku! Kau boleh 

bertanya di Koto Gadang, Koto Tuo atau Koto Tinggi. 

Semua orang pasti tahu diriku. Aku kemenakan Datuk 

Marajo Sati...” Malin Kapuyuak membual. 

Kepala dusun gelengkan kepala. “Kemenakan Raja di 

Pagaruyung sekalipun kau, aku tidak akan melakukan apa 

yang kalian minta!” 

Dia melangkah mundur, siap masuk ke dalam rumah 

dan menutup pintu. 

Wiro tidak kehabisan akal. Diambilnya salah satu dari 

tiga batangan emas yang ada pada Denok Tuba Biru lalu 

dipatahkan sedikit salah satu ujungnya. Potongan kecil 

emas ini kemudian ditunjukkannya pada kepala dusun. 

“Bapak tua, ini sedikit bantuan untuk biaya pengurusan 

jenazah nenek kami sampai di penguburan. Kuharap kau 

ikhlas menerimanya.” Kata Wiro pula.Sepasang mata kepala dusun terbeliak berkilat. Tidak 

percaya. 

“Ini emas sungguhan?!” tanyanya pada Wiro lalu 

memandang Malin Kapuyuak dan Denok Tuba Biru. Ketiga 

orang itu sama-sama menganggukkan kepala. 

Masih tidak percaya kepala dusun masukkan gumpilan 

emas ke dalam mulut, dihisap dan digigit-gigit lalu 

diludahkan kembali. 

“Ini memang emas sungguhan. He... he... Nanti, kalau 

ada lagi jenazah yang hendak kalian minta aku mengurusi, 

serahkan padaku. Jangan diberikan pada orang lain? 

Jangan satu jenazah. Sepuluh jenazah pun akan aku urus!” 

Kepala dusun ini lalu masuk ke dalam rumah, 

membangunkan istrinya. Di luar rumah, Wiro, Malin 

Kapuyuak dan Denok Tuba Biru mendengar kepala dusun 

berkata pada istrinya. 

“Baidah, kita kaya! Kita akan jadi urang kayo (orang 

kaya)! Lihat ini! Lihat apa yang ada di tanganku! 

Ammeehhh (emas)!” 

Apakah pembaca masih ingat siapa adanya perempuan 

gemuk Denok Tuba Biru dan oleh Malin Kapuyuak dipanggil 

Uni Gapuak itu? Seperti diceritakan dalam serial “Si Cantik 

Gila Dari Gunung Gede”, dia adalah orang ketiga dari 

Serikat Momok Tiga Racun yang terdiri dari tiga orang. Dua 

orang lainnya adalah Tukak Racun Kuning dan Alis Bisa 

Merah. Sesuai dengan perintah guru mereka yang sudah 

mati, ketiganya harus mencari seorang perempuan muda 

berkepandaian tinggi berpikiran tidak waras untuk dijarah 

jantung, ginjal dan hatinya. Sasaran mereka adalah Nyi 

Retno Mantili. Namun usaha jahat itu menemui kegagalan. 

Tukak Racun Kuning menemui ajal di tangan Bujang Gila 

Tapak Sakti dan Alis Bisa Merah tewas di tangan Manusia 

Paku Sandaka. Satu-satunya yang masih hidup adalah 

Denok Tuba Biru yang nyawanya diampuni oleh Manusia 

Paku Sandaka dan disuruh pergi. Kelak kemudian hari 

Denok Tuba Biru menjadi bersahabat dengan Pendekar 

212 Wiro Sableng dan menolong Manusia Paku Sandaka (baca “Perjodohan Berdarah” dan “Bayi Titisan”). 

*** 

SAMBIL berjalan dalam gelap dan dinginnya udara 

malam, Wiro beberapa kali terbatuk-batuk, bertanya pada 

Malin Kapuyuak. “Selama beberapa hari ini, sudah berapa 

lagi anak gadis orang yang kau intai waktu mandi?” 

“Uda pandeka, jangan membuka rahasiaku di depan 

sahabat baru Uni Gapuak ini...” jawab Malin Kapuyuak 

sambil tertawa. 

“Uni Gapuak ini juga masih gadis. Jangan-jangan kau 

sudah...” 

Wiro tidak meneruskan ucapannya karena keburu 

dipotong oleh Denok Tuba Biru. 

“Kalau dia berani mengintip aku mandi, aku peram 

kepalanya tiga hari di ketiak kiri, tiga hari di ketiak kanan! 

Baru dia tahu rasa...” 

Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak. 

Wiro lantas bertanya. 

“Sewaktu kau menyembah sahabat kita ini di depan Ki 

Bonang dan kawan-kawannya, kau menyebutnya Inyiek 

Batino, Ratu Sekalian Harimau Betina Di Tujuh Gunung 

Bertuah. Orang-orang itu aku lihat seperti ketakutan. Siapa 

Inyiek Batino itu?” 

“Aku hanya melihat satu kali. Itu secara tidak sengaja 

dan cepat sekali. Inyiek Batino perempuan gemuk bermuka 

harimau. Mukanya biru bergaris-garis coklat dan kuning. 

Dia dikenal sebagai perempuan sangat sakti. Semua Datuk 

dan tokoh silat di negeri ini menaruh segan kalau tidak 

mau dikatakan takut padanya. Konon Inyiek Batino 

mempunyai ratusan anak buah yang diam di tujuh gunung, 

itu sebabnya dia dijuluki Ratu Sekalian Harimau Betina 

Tujuh Gunung Bertuah.” 

“Akalmu panjang juga Malin. Tapi bagaimana kalau 

kemudian orang-orang itu tahu Uni Gapuak ini bukan Inyiek 

Batino sungguhan? Atau bagaimana kalau Inyiek Batino asli mengetahui ada orang yang menjual namanya?” 

Bertanya Wiro. 

“Inyiek Batino bukan perempuan sembarangan. Selain 

sakti berilmu, kata orang pikirannya selalu jernih seperti 

embun di puncak Merapi, hatinya seputih kapas kapas di 

lereng Singgalang...” Jawab Malin Kapuyuak. 

“Mudah-mudahan dia akan tetap seperti itu kalau 

bertemu pemuda kurang ajar sepertimu!” Kata Denok Tuba 

Biru. 

“Nenek bermuka hitam dan kakek yang berkaki aneh 

bersenjata tongkat perunggu itu. Siapa mereka?” tanya 

Wiro pada Malin Kapuyuak. 

“Si nenek biasa dipanggil dengan nama Niniek Panjalo. 

Kehebatannya pada senjata berbentuk jaring yang bisa 

berpijar...” 

“Aku sudah merasakan kehebatannya,” kata Wiro 

mengakui. “Lalu kakek yang bertongkat perunggu itu? Dia 

menyerang secara aneh. Membuat aku tidak bisa 

menghindar.” 

“Namanya aku tidak tahu tapi dijuluki orang Datuk 

Pancido. Ilmu silatnya memang aneh. Dia datang dari 

depan tapi selalu memukul bagian tubuh lawan di arah 

belakang. Itu sebabnya dia di sebut Datuk Pancido. Artinya 

Datuk yang menyerang bagian belakang lawan...” 

“Ilmu licik. Lain kali kalau berhadapan lagi dengan dia 

aku harus berlaku hati-hati.” Kata Wiro pula. 

“Sekarang kita mau ke mana?” Tanya Malin Kapuyuak. 

“Aku harus mencari saudara kembar Si Kamba Pesek. 

Ada beberapa hal penting yang akan aku tanyakan 

padanya. Selain itu dia juga harus diberitahu kematian 

saudaranya.” Menjawab Wiro. 

Malin Kapuyuak tersenyum lalu berbisik agar tidak 

terdengar Denok Tuba Biru. 

“Aku tahu, setelah memeluk dan menciumnya, kau 

tidak bisa melupakan nenek satu itu. Ha... ha... betul kan?” 

Wiro hanya bisa ikutan tertawa. 

“Malin, kau tahu di mana aku bisa menemukan nenek

itu?” Wiro bertanya. 

Malin Kapuyuak tertawa. Sambil menepuk dada dia 

berkata. 

“Soal intai mengintai, cari mencari serahkan pada Malin 

Kapuyuak. Aku tahu di mana tempat bermukimnya guru Si 

Kamba Mancuang. Besar kemungkinan mereka itu berada 

di sana.” 

“Kalau begitu antarkan kami ke tempat itu. Cari jalan 

memintas. Makin cepat kita sampai makin baik.” Kata Wiro 

pula. 

“Serahkan semua padaku. Tapi kalau sampai bertemu 

Datuk Susu Tigo, kalian harus berhati-hati. Dia tidak suka 

dan selalu curiga pada orang asing...” 

“Siapa itu Datuk Susu Tigo?” tanya Wiro. 

“Guru Si Kamba Pesek dan Si Kamba Mancuang. Orang 

sakti itu sesuai namanya punya tiga bua susu. Konon jika 

ada orang yang sanggup menghisap ke tiga susunya maka 

separuh dari ilmu kesaktiannya akan diberikannya pada 

orang itu.” Malin Kapuyuak berpaling pada Denok Tuba 

Biru. “Uni Gapuak, kau mau mencoba menghisap tiga susu 

Datuk itu?” 

“Sialan! Kau saja duluan!” jawab Denok Tuba Biru 

dengan wajah jengkel bersungut-sungut. Tangan diulurkan 

siap hendak menjitak lagi kepala Malin Kapuyuak. 

*** 



TUJUH


SUARA menguik keras dan panjang disertai kepak 

sayap dan disusul suara benda jatuh membuat Datuk 

Marajo Sati yang berada di dalam goa hentikan 

zikirnya lalu berlari ke mulut goa. Sesaat kemudian 

terdengar teriakan mengucap datuk pimpinan Luhak Nan 

Tigo ini. 

“Astaghfirullah! Rajo Di Langit! Apa yang terjadi dengan 

dirimu!” 

Di mulut goa saat itu tergeletak seekor burung elang 

putih besar. Matanya yang merah berkedap-kedip, dua kali 

menggeliat. Sayap kiri burung besar ini tampak patah dan 

ada warna hitam di sekitar patahan sayap sebelah atas 

serta bawah. 

“Rajo, siapa yang mencelakaimu. Luka di tulang 

sayapmu mengandung racun. Kau bisa menemui ajal 

sebelum tengah hari...” Datuk Marajo Sati usap-usap 

tengkuk elang putih peliharaannya ini yang diberi nama 

Alang Putih Rajo Di Langit. “Rajo, dengar ucapanku. Aku 

akan melakukan sesuatu. Ini akan sangat sakit. Tapi tidak 

ada cara lain untuk menyelamatkan nyawamu...” 

Elang putih besar kedipkan sepasang mata dua kali. 

Lalu mendesah perlahan. Tangan sang Datuk berhenti 

mengusap. Tiba-tiba, kraakkk! Datuk Marajo Sati patahkan 

sebagian atas sayap kiri Alang Putih Rajo Di Langit. Burung 

besar ini menguik keras kesakitan. Sayap sebelah kanan 

menggelepar menghantam dinding mulut goa hingga 

dinding batu pecah rontok berhamburan. 

“Rajo, kau akan mengalami kesulitan terbang. Tapi 

tidak akan lama. Aku akan memberimu obat hingga sayapmu bisa tumbuh lebih cepat. Begitu kau sembuh, kita 

harus mengetahui dan mencari siapa manusia keji yang 

mencelakaimu. Aku akan memberi pembalasan padanya. 

Akan aku tanggalkan tangan kirinya!” 

Saat itu karena mendengar suara mengucap keras sang 

Datuk dan juga pekik elang putih, dari dalam goa keluar 

seorang gadis cantik berwajah putih kemerah-merahan, 

berambut hitam panjang dijalin dan digulung di atas 

kepala. 

“Datuk, apa yang terjadi dengan elang putih itu?” Si 

gadis bertanya. Wajah dan nada suaranya menunjukkan 

rasa cemas. Inilah Chia Swie Kim yang sebenarnya adalah 

puteri seorang Pangeran Tiongkok. Gadis ini melarikan diri 

dari negerinya sewaktu hendak dibunuh oleh sang ayah 

karena dituduh berzinah. Yang Maha Kuasa 

menyelamatkannya dengan memasukkan tubuhnya secara 

gaib ke dalam kupu-kupu batu giok bernama Kupu-kupu 

Giok Mata Dewa. Kupu-kupu batu yang berwarna biru 

bercampur hijau ini ternyata bukan benda sembarangan. 

Merupakan Pusaka Utama Kerajaan yang harus berada di 

tangan kaisar sebagai tanda sahnya sang kaisar 

menduduki tahta Kerajaan Tiongkok. Sewaktu Chia Swie 

Kim menyelamatkan diri lari dari Tiongkok, Pangeran 

memerintahkan seorang Perwira Muda bernama Teng Sien 

untuk melakukan pengejaran berlangsung sampai ke tanah 

Jawa, terus ke Pulau Andalas. Dalam melaksanakan 

tugasnya Perwira Teng Sien meminta bantuan seorang 

tokoh silat asal Jawa bernama Ki Bonang Talang Ijo. 

Sesampainya di Andalas jumlah pengejar yang diminta 

bantuan oleh Teng Sien semakin bertambah. Mereka 

antara lain adalah Dua Hantu Gunung Sago Si Kalam 

Langit dan Si Batu Bakilek. Si Kalam Langit tewas dibunuh 

oleh penyerang gelap. Lalu ada sepasang nenek kembar 

berjuluk Si Kamba Pesek dan Si Kamba Mancuang Tangan 

Manjulai, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, Datuk 

Mangkuto Karih Babegah dan Tuanku Laras Muko Balang. 

Konon rombongan para pengejar diberi hadiah dua peti batangan emas. Satu peti telah diberikan lebih dulu. 

Dalam pelariannya, Chia Swie Kim tersesat ke pantai 

barat Pulau Andalas dan ditolong oleh seorang sakti 

bernama Sutan Panduko Alam. Sutan Panduko Alam meski 

bisa menyelamatkan sang kupu-kupu dan menghabisi 

Datuk Mangkuto Karih Babegah namun dia sendiri 

akhirnya tewas dikeroyok Ki Bonang Talang Ijo dan kawan-

kawan. Chia Swie Kim masih dalam ujud kupu-kupu 

kemudian diterbangkan sorban milik Sutan Panduko Alam 

dan mendapat perlindungan dari Datuk Marajo Sati. Untuk 

jelasnya riwayat tersebut dapat pembaca ikuti dalam serial 

sebelumnya berjudul “Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok”. 

Ketika Chia Swie Kim yang oleh Datuk Marajo Sati 

diganti namanya menjadi Puti Bungo Sekuntum keluar dari 

dalam goa dan tahu-tahu telah berada di sampingnya di 

mulut goa, kejut sang Datuk bukan alang kepalang. 

“Puti, lekas masuk ke dalam! Bukankah aku sudah 

mengingatkanmu berulang kali jangan berada di sekitar 

mulut goa?” 

Sadar akan kesalahannya, Puti Bungo Sekuntum cepat 

berkata. “Maafkan saya Datuk...” Lalu dengan segera gadis 

ini masuk ke dalam goa kembali, di tempat mana dia telah 

berada selama beberapa hari sejak pertama datang 

diterbangkan sorban Sutan Panduko Alam. 

Walau Puti Bungo Sekuntum hanya sesaat berada di 

mulut goa namun saat itu seseorang lelaki bermuka cacat 

yang berada jauh di dasar ngarai, dekat tepian Batang Anai 

masih sempat melihat kehadiran sosoknya. Rahang 

menggembung, geraham bergemeletakan. Sepuluh jari 

tangan digerakkan hingga mengeluarkan suara 

berkeretekan. 

“Chia Swie Kim. Waktu aku masuk ke dalam goa, aku 

memang tidak melihat dirimu. Tapi aku sudah menduga 

dan curiga. Saat itu kau ada di sana, entah dalam ujud 

apa. Jika aku tidak mungkin mendapatkan dirimu, jangan 

salahkan kalau aku akan membuat kegegeran besar di 

negeri ini. Satu persatu akan aku habisi semua orang

 pandai di negeri ini hingga kau tidak lagi mempunyai 

tempat untuk berlindung! Korbanku termasuk Datuk yang 

tinggal bersamamu di dalam goa itu!” 

Lelaki muda berwajah cacat balikkan badan, keluar dari 

balik semak belukar di tepi sungai. Namun gerakannya 

tertahan ketika tiba-tiba di hadapannya telah menghadang 

seorang lelaki tinggi besar, mengenakan pakaian dan 

celana galembong hitam, berkepala botak berkilat dan 

memelihara kumis, janggut serta berewok lebat. Tangan 

kanan orang ini dibalut dengan kain yang digantungkan ke 

leher. 

Tidak seperti si muka cacat, orang ini tidak sempat 

melihat kehadiran Puti Bungo Sekuntum di mulut goa. 

“Manusia bermuka cacat! Apa yang kau lakukan di 

tempat ini. Kau mengintai ke arah goa! Kau membekal niat 

jahat!” Orang tinggi besar yang bukan lain adalah Duo 

Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek membentak. Dia 

sengaja datang ke Ngarai Sianok untuk menyelidiki 

kebenaran cerita Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai 

yang memberi kesan bahwa Datuk Marajo Sati ada sangkut 

paut dengan kematian saudaranya Si Kalam Langit. Selain 

itu dengan adanya tulisan di kain putih, dia juga akan 

mencari Pendekar 212 Wiro Sableng yang dituduh sebagai 

pembunuh saudaranya. Salah satu dari kedua orang itu, 

entah sang Datuk entah pemuda dari Jawa itu pastilah 

yang telah membunuh Si Kalam Langit, begitu jalan pikiran 

Si Batu Bakilek. 

Orang yang dibentak Si Batu Bakilek tampak terkejut 

dan gugup, tak bisa menjawab. Tapi tangan kanan dengan 

cepat bergerak ke pinggang. Dalam genggamannya saat itu 

ada tiga buah benda hitam berbentuk bintang sudut 

empat. Melihat benda itu Duo Hantu Gunung Sago Si Batu 

Bakilek terkejut dan delikkan mata. Dia ingat cerita Si 

Kamba Mancuang Tangan Manjulai tentang kematian 

saudaranya Si Kamba Langit. Menurut si nenek 

saudaranya itu tewas dibunuh dengan senjata rahasia oleh 

seorang penyerang gelap. Namun kemudian ada tulisan rahasia di atas sehelai kain putih yang menyatakan si 

pembunuh adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Karena 

tidak pernah mengenal Wiro, Si Batu Bakilek mengira, si 

muka cacat inilah Pendekar 212 Wiro Sableng yang telah 

membunuh saudaranya. 

“Pemuda jahanam! Kau telah membunuh saudaraku! 

Kau harus tebus nyawanya dengan nyawa anjingmu!” 

Tidak tunggu lebih lama Si Batu Bakilek langsung 

hantamkan tendangan kaki kiri. Yang diserang dengan 

cepat menghindar sambil berusaha menangkap kaki 

lawan. Namun tendangan si Batu Bakilek dalam jurus 

bernama Nago Gadang Kalua Sarang (Naga Besar Keluar 

Sarang) berkelebat lebih cepat, menyusup laksana kilat 

menghajar dada si muka cacat. Tendangan yang begitu 

keras membuat orang yang ditendang mencelat dua 

tombak, tergelimpang di tanah semburkan darah dari 

mulut. Sambil bergerak bangkit, di antara erangan 

mulutnya dia keluarkan ucapan bergumam yang tidak 

jelas. 

Melihat orang masih bisa bangun, malah melangkah ke 

arahnya Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek dengan 

geram dan berteriak keras segera mendatangi. Kembali dia 

siap melancarkan tendangan. Tendangan kali ini disertai 

dengan rapal ajian Dongkak Batu Beracun (Tendangan 

Batu Beracun). Jangankan tubuh manusia, badan seekor 

kerbau besarpun akan hancur remuk kalau sampai kena 

tendangan ini. Namun di saat yang sama, si muka cacat 

masih bisa membuat gerakan kilat. Ketika tangan hanya 

tinggal sejarak panjangnya lengan, tangan kanan si muka 

cacat bergerak. Tiga senjata rahasia berbentuk bintang 

sudut empat berkiblat di udara mengeluarkan suara 

nyaring seperti tiupan seruling. Si Batu Bakilek yang tidak 

menyangka akan mendapat serangan lebih cepat dari yang 

hendak dilancarkannya sementara dua telinganya bergetar 

sakit oleh suara menguing keras, hanya mampu 

mengelakkan dua buah bintang terbang. Senjata rahasia 

yang ketiga menancap telak di antara dua matanya!Manusia tinggi besar ini menggerung keras lalu ambruk ke 

tanah dengan mata membeliak! Walau muka sampai 

kepala botaknya serta merta menjadi kehitaman tapi dia 

tidak langsung menemui ajal! Tiba-tiba tubuh Si Batu 

Bakilek yang dalam keadaan sekarat ini melesat ke udara. 

Dua kaki terkembang, menyambar ke arah leher lelaki 

bermuka cacat. Lalu laksana kilat seperti dua japitan 

raksasa, dua kaki menelikung dan menjepit leher lawan 

dalam jurus disebut Manyemba Tonggak Narako 

(Menyambar Tiang Neraka). Ini merupakan jurus serangan 

ilmu silat yang sulit dilakukan. Konon Duo Hantu Gunung 

Sago telah menghabiskan waktu tiga tahun untuk 

mempelajari hanya satu jurus ilmu silat ini dari seorang 

tokoh silat yang bermukim di Pulau Nias. Sekali lawan 

terkena jepitan dua kaki jangan harap bisa selamatkan diri 

dari kematian. 

Kraakkk! 

Leher si muka cacat berderak patah! Dua tubuh 

tergelimpang jatuh di tanah dan sama-sama tewas saat itu 

juga. 

*** 

SEHARI kemudian, yaitu pada malam hari, bau busuk 

dua mayat yang tergeletak di tepi Batang Anai tercium 

masuk sampai ke dalam goa tempat kediaman Datuk 

Marajo Sati. Ketika dia muncul di mulut goa, dia melihat 

banyak nyala suluh di dasar ngarai. Sang Datuk turun ke 

ngarai. Dia menemui lebih dari sepuluh orang penduduk 

setempat tengah mengelilingi dua sosok mayat. Mayat 

pertama dikenali Datuk Marajo Sati sebagai Duo Hantu 

Gunung Sago Si Batu Bakilek. Mayat kedua agak aneh. 

Ketika Datuk Marajo Sati mengambil suluh dan 

mendekatkan ke wajah orang dia segera mengetahui wajah 

cacat itu hanya merupakan sebuah topeng tipis. Perlahan-

lahan sang Datuk tanggalkan topeng wajah cacat yang 

menutupi muka orang. Begitu topeng terbuka kelihatan wajah seorang pemuda berkulit kuning bermata sipit. 

“Orang Cino...” beberapa penduduk keluarkan ucapan 

hampir berbarengan. Jantung Datuk Marajo Sati berdetak. 

Dengan cepat orang tua ini berkata pada semua orang 

yang ada di sana. Karena saat itu sudah malam hari dan 

tidak membawa peralatan, maka mereka diminta datang 

lagi besok pagi untuk mengurus dua mayat. 

Setelah orang-orang itu pergi Datuk Marajo Sati segera 

menemui Puti Bungo Sekuntum di dalam goa. 

“Puti, aku ingin kau merubah diri menjadi kupu-kupu. 

Kita turun ke ngarai sekarang juga. Ada dua mayat di dasar 

ngarai. Yang seorang aku kenali. Satunya aku minta kau 

memeriksa, mungkin kau mengenali siapa orangnya, di 

ngarai kau jangan mengeluarkan suara sedikitpun. Jika 

sudah kau perhatikan baik-baik mayat yang satu itu segera 

kembali ke goa, aku akan menyusul.” 

Mendengar ucapan Datuk Marajo Sati, Puti Bungo 

Sekuntum alias Chia Swie Kim segera merubah diri 

menjadi kupu-kupu besar. Begitu sang Datuk melompat 

keluar goa, kupu-kupu ini segera terbang mengikuti. Di 

dasar ngarai Datuk Marajo Sati yang sampai lebih dulu 

berdiri di depan mayat yang sebelumnya mengenakan 

topeng. Dia memberi isyarat pada kupu-kupu besar. 

Binatang ini melayang berputar tiga kali di atas mayat lalu 

melesat ke atas ngarai, masuk kembali ke dalam goa. 

Ketika Datuk Marajo Sati sampai di dalam goa, Puti 

Bungo Sekuntum sudah menunggu dalam ujud gadis 

cantik. Wajah gadis ini tampak pucat. Sewaktu ditegur oleh 

Datuk, untuk beberapa lamanya dia hanya bisa berdiam 

diri walau bibir tampak bergetar bergerak-gerak. 

“Anak gadis, aku tahu ada sesuatu yang membuat 

perasaanmu tertekan. Mungkin juga ada rasa takut. Kau 

tak usah khawatir. Tenangkan dirimu. Kalau sudah jawab 

pertanyaanku. Apakah kau mengenali mayat pemuda Cina 

di dasar ngarai itu?” 

Perlahan-lahan Puti Bungo Sekuntum anggukkan 

kepala.“Siapa dia...?” 

“Namanya Loe Singkang. Dia bukan orang Cina tapi 

berasal dari Tibet. Dia murid sebuah perguruan besar di 

daratan Tiongkok. Dia orang yang memfitnah saya berbuat 

zinah hingga ayah membunuh kekasih saya Kui Hoa Seng, 

juga berniat menghabisi saya. Rupanya dia mengikuti saya 

sampai ke sini...” 

“Kau tahu mengapa pemuda dari Tibet itu berbuat 

begitu keji memfitnahmu sampai kekasihmu dibunuh 

bahkan ayahmu yang Pangeran itu juga berniat menghabisi 

dirimu?” 

“Loe Singkang mencintai saya. Tapi cintanya saya tolak 

karena saya telah lebih dulu mengasihi koko (kakak) Hoa 

Seng. Dia lalu mengarang cerita menebar fitnah. Ayah saya 

malu dan marah besar.” 

Datuk Marajo Sati tarik nafas dalam, mengusap wajah 

lalu berkata. “Masuklah ke dalam ruanganmu. Jangan 

sekali-kali berani keluar kecuali aku memanggilmu.” 

“Baik Datuk...” 

Setelah si gadis masuk ke dalam ruangan di balik 

dinding goa, Datuk Marajo Sati merenung. “Agaknya 

tempat ini tidak aman lagi bagi Puti Bungo Sekuntum. Aku 

harus mencari tempat lain untuk menyembunyikan dan 

melindunginya. Apakah aku harus berunding dengan para 

datuk? Aku khawatir mereka akan berburuk sangka atau 

ada yang berlaku culas...” 

*** 

KETIKA Datuk Marajo Sati turun ke dasar ngarai 

bersama kupu-kupu besar perujudan Puti Bungo 

Sekuntum, di dalam Batang Anai, terlindung di balik 

gelapnya satu gundukan batu hitam, seseorang 

memperhatikan gerak-gerik dua insan itu tanpa berkesip. 

Setelah keduanya pergi, orang di balik batu menyeringai. 

Perlahan-lahan dia keluar dari dalam sungai, berdiri di 

tepian.“Datuk Marajo Sati, kau telah memberikan duka 

sengsara padaku seumur-umur. Datuk rakus perambah 

(pemakan) daun muda, dalam waktu kurang dari tujuh hari 

kau akan menerima pembalasanku! Kalau kau tidak mati 

di tangan orang, maka kau akan mati bunuh diri karena 

malu!” 

***



DELAPAN


ETEK (panggilan untuk perempuan yang lebih tua dari 

si pemanggil) Salmah, penjual serabi yang sekali dua 

hari selalu datang membawa dagangannya ke rumah 

istri Datuk Marajo Sati di Koto Gadang pagi itu tidak 

muncul. Yang datang seorang perempuan lain bertubuh 

ramping. Perempuan ini meletakkan dagangannya di 

tangga atas rumah, menunggu penghuni rumah keluar. Tak 

lama kemudian muncul seorang perempuan muda 

berparas elok berkulit putih. Rambut hitam sepinggang. 

Inilah Gadih Puti Seruni, istri Datuk Marajo Sati yang konon 

baru menginjak usia dua puluh tahun. 

Penjual serabi memberi tahu kalau Etek Salmah sedang 

sakit dan hari itu dia membantu menjajakan serabi. Dia 

mengaku bernama Jawiah, masih saudara sepupu dengan 

Etek Salmah. Ini hanyalah satu kedustaan. 

Setelah membeli serabi kesukaannya Puti Seruni 

menanyakan apa sakit Etek Salmah. 

“Saudara saya agak demam. Mungkin masuk angin 

karena kehujanan dua hari lalu.” 

“Kasihan Etek Salmah. Sampaikan salam saya. Saya 

doakan agar Etek cepat sembuh.” 

“Terima kasih. Salam akan saya sampaikan.” 

Pedagang serabi mengemas dagangannya tapi entah 

mengapa dia masih duduk bersimpuh di tangga rumah 

sebelah atas. 

“Apakah kurang uang bayaran saya?” tanya Puti Seruni. 

“Tidak... Sudah cukup, sudah cukup,” jawab Jawiah. Dia 

diam sebentar lalu berkata. “Sebenarnya ada yang hendak 

saya sampaikan. Tapi saya takut nanti akan menjadi masalah...” 

Alis lengkung hitam dan bagus Puti Seruni bergerak 

naik. Matanya yang bulat hitam bercahaya berkedip satu 

kali. 

“Apa yang hendak Etek sampaikan?” tanya istri Datuk 

Marajo Sati. 

“Apakah Datuk ada di dalam?” balik bertanya Jawiah. 

Puti Seruni menggeleng. 

“Saya mendengar kabar yang tidak baik tentang Datuk. 

Konon di luaran sudah banyak orang yang tahu...” 

“Kabar tidak baik apa Etek? Dari mana Etek 

mendengar. Apakah suami saya sedang sakit?” 

“Saya mohon maaf kalau saya berlaku lancang...” 

“Katakan saja Etek. Bukankah kabar baik atau kabar 

buruk harus disampaikan?” 

“Tersiar kabar, konon Datuk Marajo Sati tidak tinggal 

sendirian di dalam goa di Ngarai Sianok...” 

“Saya tahu hal itu. Dia ditemani Alang Putih Rajo Di 

Langit. Burung elang peliharaannya.” 

“Maksud saya... maksud saya bukan burung elang itu. 

Tapi ada seorang perempuan yang kabarnya beraut wajah 

cantik, bertubuh rancak dan berusia lebih muda dari adik 

Puti Seruni...” 

Kalau ada petir menyambar di depan wajahnya, rasanya 

tidak sedemikian hebat kejut Puti Seruni. Matanya tidak 

berkedip memandang lekat-lekat ke wajah Etek Jawiah, 

mulut ternganga dan dada mulai berdebar. 

“Tidak boleh jadi. Bagaimana mungkin. Datuk orang 

siak (alim), orang beragama...” kata Gadih Putih Seruni tapi 

wajahnya telah berubah putih dan tenggorokan bergerak 

turun naik. 

“Maafkan saya,” kata perempuan pedagang serabi. 

“Saya tahu siapa Datuk suami adik. Jangan-jangan dia 

sudah kena diguna-guna. Kabar lain konon yang tinggal 

bersama Datuk di dalam goa sebagai puteri jin. Karena 

konon dia bisa menghilang... Saya berharap semua itu 

tidak betul. Tapi jika saya tidak menyampaikan pada adik Puti Seruni saya merasa salah...” 

“Apakah Etek Salmah juga mengetahui hal ini?” tanya 

Puti Seruni. 

“Saya rasa dia sudah lebih dulu tahu dari saya. Tapi 

tidak bertega hati menyampaikan pada adik Puti Seruni...” 

“Kalau begitu, jika dia sudah sembuh minta dia segera 

datang menemui saya...” 

“Akan saya beritahu. Tapi kalau saya tidak salah 

bukankah adik Puti Seruni masih kemenakan Datuk 

Panglimo Kayo, Ketua Luhak Tanah Datar di Batusangkar?” 

“Dari mana Etek tahu hal itu?” 

“Apakah itu menjadi rahasia? Bukankah hampir semua 

orang tahu...” 

“Kalau benar lalu kenapa?” 

“Lebih baik adik menghubungi Datuk Panglimo Kayo 

lebih dulu. Menanyakan apakah benar kejadian itu. Itu 

hanya nasihat saya supaya adik jangan terombang-ambing 

dalam kebimbangan. Atau akan lebih baik kalau adik 

mendatangi langsung Datuk Marajo Sati di Ngarai 

Sianok...” 

“Beliau tidak pernah memperbolehkan saya datang ke 

sana,” jawab gadih Puti Seruni. 

“Oohhh, kalau begitu rupanya memang ada yang 

dirahasiakan. Masakan istri sendiri tidak boleh 

mengunjungi suami...” 

Gadih Putih Seruni terdiam. Wajahnya yang cantik 

tampak semakin menunjukkan perubahan. 

“Sudah berapa lama kejadian ini Etek?” tanya istri 

Datuk Marajo Sati itu kemudian. 

“Saya mendengar cerita itu di pasar sehari yang lalu. 

Tapi sudah berapa lama kejadian sebenarnya tidak saya 

ketahui...” 

Wajah putih Gadih Puti Seruni yang tadi pucat kini 

mengelam. Sepasang mata tampak menjadi merah seolah 

menahan tangis. Tiba-tiba saja dia membalikkan diri dan 

masuk ke dalam. Meninggalkan begitu saja serabi yang 

baru dibelinya. Jawiah perempuan penjual serabi segera menuruni tangga rumah lalu cepat-cepat pergi. 

Di pinggiran timur Koto Gadang perempuan ini 

membelok memasuki jalan sunyi menurun. Di tepi sebuah 

jurang yang banyak ditumbuhi pohon bambu dia berhenti. 

Memandang kian kemari. Seperti mencari seseorang. Tak 

selang berapa lama, dari balik rumpunan pohon bambu 

keluar seorang lelaki. Dari perawakannya tampak kalau dia 

masih muda. Wajahnya tidak begitu jelas kelihatan karena 

tertutup topi lebar terbuat dari daun pandan. 

“Bagaimana?” tanya orang itu. 

“Sudah saya lakukan.” Jawab Jawiah. 

“Bagus. Ini bayaran untukmu. Sekarang pergilah dari 

Koto Gadang. Pulang ke kampungmu...” 

Jawiah mengambil kantong kain berisi uang yang 

diserahkan orang. 

“Bagaimana dengan Etek Salmah?” 

“Kau tak usah memikirkan. Aku yang mengurus. Dia 

harus menghilang sampai Datuk keparat itu menerima 

hukumannya.” Lelaki itu mengambil ketiding berisi serabi 

yang diletakkan Jawiah di tanah lalu dilemparkan ke dalam 

jurang. 

Sementara ketiding dan serabi berhamburan masuk ke 

dalam jurang, di mata pemuda bertopi pandan seolah 

terbayang kembali peristiwa setahun yang silam, di tepi 

Batang Sianok di Ngarai Sianok... 

*** 

SETELAH melakukan sholat Magrib di tepi sungai, 

pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu berzikir khidmat, 

suara zikirnya menyebut asma Allah menggema lembut di 

seantero ngarai, tiada berkeputusan sampai menjelang 

memasuki ba’da Isya. Suara zikir itu mengumandang 

masuk sampai ke dalam goa tempat kediaman Datuk 

Marajo Sati. Sang Datuk terdiam sejenak. Niatnya hendak 

melakukan sembahyang sunah dibatalkan. 

“Insan sakti mana yang suara zikirnya sampai menggema masuk ke dalam goa...” pikir Datuk Marajo Sati. 

Dia melangkah ke mulut goa, memandang ke dalam ngarai 

sampai akhirnya sepasang mata membentur sosok 

pemuda yang duduk bersila. Sebenarnya pemuda ini tidak 

memiliki ilmu kesaktian apa-apa kecuali ilmu silat biasa 

untuk melindungi diri. Namun kekhusukannya telah 

menimbulkan kekuatan besar sehingga suaranya terdengar 

menggema ke berbagai penjuru ngarai. Setelah 

memperhatikan beberapa lama akhirnya Datuk Marajo Sati 

melompat dari mulut goa, melayang turun ke dalam ngarai 

dan berdiri di tepi sungai, beberapa langkah di hadapan si 

anak muda. 

Sebelum Datuk Marajo Sati menegur, tahu kalau ada 

orang berdiri di hadapannya pemuda itu buka mata yang 

terpejam. Melihat siapa yang berada di depannya pemuda 

ini susun sepuluh jari dan letakkan di atas kepala. 

“Assalamu'alaikum wahai Datuk Marajo Sati. Terima 

kasih Datuk telah mau meluangkan waktu menemui saya.” 

“Anak muda, apakah aku mengenal dirimu?” tanya 

Datuk Marajo Sati pula. 

“Datuk mungkin tidak mengenal saya, tapi saya sangat 

mengenal Datuk. Maafkan kalau kehadiran saya di sini 

telah mengganggu ketenangan Datuk. Saya memang 

sangat berniat menemui Datuk.” 

“Apakah keperluanmu anak muda? Tapi terangkan dulu 

siapa dirimu?” 

“Nama saya Pakih Jauhari. Saya berasal dari Biaro. 

Saya ingin bicara menyangkut soal Gadih Puti Seruni yang 

tinggal di Koto Gadang.” 

Untuk beberapa lamanya Datuk Marajo Sati menatap 

wajah pemuda itu dengan pandangan tidak berkesip. 

“Ada apa dengan anak gadis itu? Apakah kau 

saudaranya? Apa yang hendak kau bicarakan?” 

“Sebelumnya saya terlebih dulu mohon beribu maaf 

pada Datuk. Saya dan Gadih Putih Seruni sudah saling 

mengenal dua puluh tahun lebih. Hanya saja hubungan 

kami belum diketahui kedua orang tua gadis itu. Kami sudah merencanakan untuk mengekalkan hubungan kami 

dalam bentuk perkawinan. Sampai ketika seminggu lalu 

kami mendengar kabar bahwa Datuk hendak melamar 

Gadih Puti Seruni...” 

Kembali Datuk Marajo Sati menatap lekat-lekat ke 

wajah Pakih Jauhari lalu lelaki berusia enam puluh tahun 

lebih ini geleng-gelengkan kepala. 

“Aku melamar gadis itu atas persetujuan kedua orang 

tuanya dan atas permintaan Mamaknya Datuk Panglimo 

Kayo di Batusangkar...” 

“Saya tahu semua itu Datuk...” 

“Lalu apa tujuanmu ingin bicara denganku? Kau 

sengaja menarik perhatianku dengan zikirmu yang hebat! 

Apa yang hendak kau sampaikan? Karena kau telah dua 

tahun bercinta gelap dengan Gadih Puti Seruni kau berniat 

hendak menghalangi perkawinan kami?” 

“Saya tidak berniat seburuk itu Datuk. Saya hanya ingin 

Datuk mengalah, memberi jalan kepada saya yang muda 

ini... Maafkan saya Datuk. Biarkan saya mempersunting 

Gadih Puti Seruni...” 

“Luar biasa! Ini satu hal yang tidak aku sangka-sangka! 

Anak muda, jika kau menginginkan gadis itu, mengapa kau 

tidak menemui kedua orang tuanya, meminta kepada 

Mamaknya...” 

“Saya sudah menemui kedua orang tua gadis itu. 

Mereka tidak bisa memberikan jawaban. Saya juga telah 

menemui Datuk Panglimo Kayo. Tapi saya diusirnya...” 

“Kalau sudah begitu kejadiannya, apa urusannya 

dengan diriku?!” Suara bicara Datuk Marajo Sati mulai 

keras. 

“Saya hanya minta keikhlasan Datuk untuk 

mengurungkan niat menikahi Gadih Puti Seruni. Biarlah dia 

menjadi istri saya. Kami sudah lama saling mencinta...” 

“Cinta gelap dilarang adat diharamkan agama...” 

“Saya mohon Datuk. Jika Datuk mengikhlaskan, saya 

akan berdoa setiap malam demi kesehatan dan 

kebahagiaan Datuk...”Datuk Marajo Sati tersenyum kaku. “Orang hendak 

mengambil calon istriku, bagaimana aku bisa bahagia...” 

“Datuk, apakah Datuk tidak bisa memberikan 

kesempatan pada kami yang muda-muda ini?” 

“Persetan dengan usia kalian. Mau tua atau mau muda. 

Orang tua dan Mamak gadis itu tidak menyukai dirimu. 

Seharusnya kau tahu diri dan melupakan gadis itu untuk 

selama-lamanya.” 

“Mana mungkin saya melupakan Gadih Puti Seruni. 

Saya...” 

“Anak muda. Saat ini tidak pada tempatnya lagi aku 

bicara denganmu. Tinggalkan ngarai ini. Masih banyak 

gadis di tanah Minang. Mengapa kau tidak mau mencari 

yang lain...?!” 

“Kalau saya boleh mengatakan hal yang sama, 

mengapa Datuk tidak mencari perempuan lain yang 

usianya lebih cocok dengan usia Datuk?” 

Mendengar ucapan Pakih Jauhari itu menggelegaklah 

amarah Datuk Marajo Sati. 

“Kau mau mengajari diriku, Datuk Pucuk Para Datuk 

Luhak Nan Tigo. Ha... ha... ha... ha! Anak muda, pergi dari 

sini sebelum aku menjatuhkan tangan kasar...” 

“Datuk, saya dan Gadih Puti Seruni sudah mengambil 

keputusan. Jika permohonan kami tidak kesampaian, kami 

berdua akan melarikan diri dan melangsungkan 

pernikahan di tanah Jawa...” 

“Kurang ajar! Beraninya kalian membuat rencana busuk 

seperti itu!” Teriak Datuk Marajo Sati. 

Sekali bergerak dia sudah melompat mengirimkan satu 

tendangan ke arah Pakih Jauhari yang masih duduk bersila 

di tepi sungai. Melihat orang menyerang pemuda ini cepat-

cepat jatuhkan diri, berguling di tebing sungai. Begitu 

hebatnya kekuatan dan daya dorong serangan sang Datuk, 

ketika serangan itu mengenai tempat kosong tak ampun 

lagi tubuhnya tercebur masuk ke dalam sungai. Walau 

dinginnya air sungai malam itu bukan alang kepalang, 

namun darah di dalam tubuh Datuk Marajo Sati seperti mendidih. Dengan cepat dia keluar dari dalam sungai dan 

kembali menyerang Pakih Jauhari. Sekali ini serangannya 

benar-benar tidak tertahankan lagi. Si pemuda menjadi 

bulan-bulanan pukulan dan tendangan. Hingga akhirnya 

satu pukulan telak menghajar dadanya. Pakih Jauhari 

semburkan darah. Tubuh terlempar masuk ke dalam 

sungai. Selain tidak bisa berenang pemuda itu juga dalam 

keadaan setengah pingsan. Tubuhnya segera dihanyutkan 

arus Batang Sianok ke hilir. 

Sadar apa yang terjadi Datuk Marajo Sati mengucap 

berulang kali. 

“Astaghfirullah, apa yang telah aku lakukan...” Datuk ini 

lari sepanjang tepi sungai berusaha mencari tubuh Pakih 

Jauhari. Namun usaha itu sia-sia saja. 

Sebelum ajal berpantang mati. Menjelang pagi, Pakih 

Jauhari yang dihanyutkan air sungai dan masih dalam 

keadaan pingsan terselip di antara dua batu besar. 

Seorang penebang kayu yang kebetulan lewat di tepi 

sungai melihat sosoknya, segera terjun memberi 

pertolongan. Satu bulan setelah peristiwa itu, selagi Pakih 

Jauhari masih terbaring sakit di rumahnya di Biaro akibat 

luka dalam yang parah di bagian dada, di Koto Gadang 

orang baralek gadang merayakan pesta pernikahan Datuk 

Marajo Sati dengan Gadih Puti Seruni. Sakit hati 

mengetahui peristiwa itu terasa lebih menyengsarakan 

bagi Pakih Jauhari daripada sakit badan yang dideranya... 

*** 

KEMBALI ke Koto Gadang. Di dalam kamar, Gadih Puti 

Seruni lama terduduk di tepi ranjang sambil menekap 

wajah dengan dua tangan. Dia coba menghitung-hitung. 

Sudah lebih dari dua puluh hari Datuk Marajo Sati tidak 

mengunjunginya di rumah di Koto Gadang itu. Hal seperti 

ini belum pernah terjadi sebelumnya. Apakah ini ada 

sangkut pautnya dengan cerita yang tadi disampaikan Etek 

Jawiah?“Tidak termakan di akalku, tidak masuk dalam 

pikiranku Datuk akan berlaku seperti itu. Perempuan tadi, 

yang mengaku sepupu Etek Salmah, aku tidak 

mengenalnya sebelumnya. Tapi kalau bukan dia yang 

datang, cerita ini bisa-bisa tidak pernah kuketahui...” 

Karena tidak sanggup memendam sendiri apa yang 

diketahuinya itu, Gadih Puti Seruni memanggil ibunya lalu 

menceritakan kabar yang dibawa perempuan penjual 

serabi. 

“Anakku, ini bukan urusan kecil. Bukan pula urusan 

yang bisa dibawa lalu begitu saja. Ada baiknya kita 

mengikuti nasihat perempuan penjual serabi itu. Kita harus 

menemui Mamakmu Datuk Panglima Kayo di Batusangkar. 

Bukankah dulu dia yang membujuk-bujuk bahkan setengah 

memaksa agar kau mau kawin dengan Datuk tua itu? 

Ayahmu setengah mati menentang sampai akhirnya dia 

mati benaran karena sakit hati. Kalau cerita penjual serabi 

itu benar, mamak (paman)-mu itu harus bertanggung 

jawab! Kalau kita berangkat sekarang juga, sebelum Ashar 

rasanya kita sudah sampai di sana. Ibu akan menyuruh Si 

Sampono menyiapkan kereta dan kuda. Kita butuh seorang 

pengawal. Ibu akan minta bantuan guru silat Mangkuto 

Ameh. Bagaimana pendapatmu?” 

“Saya menurut bagaimana yang baik di ibu saja,” jawab 

Gadih Puti Seruni. Lalu sang anak bertanya. “Ibu, apakah 

benar Datuk telah berbuat culas terhadap saya?” 

Sang ibu tidak menjawab melainkan cepat-cepat keluar 

dari kamar sambil menyumpah. “Tua bangka tidak tahu 

diuntung! Apa kurangnya anakku! Umurnya tiga kali umur 

Seruni. Sudah bau tanah! Masih juga dia mau berbuat 

serong. Dulu banyak anak muda orang terpandang yang 

mau dengan Puti Seruni! Dia yang beruntung! Sekarang 

diperlakukannya anakku seperti ini! Datuk kalera (kata 

makian yang kasar)!” 

***


SEMBILAN


BERSAMAAN dengan tenggelamnya sang surya di ufuk 

barat, telaga serta bangunan yang terbuat dari kayu 

besi di tengah telaga perlahan-lahan tenggelam 

dalam kegelapan. Walau pintu besar dan dua jendela 

tertutup rapat namun dari nyala pelita yang merambat 

keluar celah-celah papan menyatakan penghuninya ada di 

dalam rumah. Tiupan angin membuat daun pepohonan 

yang tumbuh mengelilingi telaga bersiuran. Di dalam telaga 

terdengar suara riak air. Tapi ini bukan suara riak biasa 

yang disebabkan tiupan angin melainkan ada sesuatu yang 

mendekam dan berkecipuk di dalam telaga itu. 

Ketika ke tiga orang yang datang dari arah timur 

mendekati telaga, salah seorang dari mereka yaitu 

perempuan bertubuh gemuk tersentak kaget dan bersurut 

mundur. 

“Malin Kapuyuak!” kata perempuan gemuk yang bukan 

lain Denok Tuba Biru sambil mencekal kuduk Malin 

Kapuyuak sementara di samping kiri Pendekar 212 Wiro 

Sableng memandang ke dalam telaga mata mendelik 

mulut menganga. 

“Kau tidak mengatakan Inyiek (panggilan untuk orang 

yang sangat tua) Susu Tigo tinggal di telaga yang dipenuhi 

puluhan buaya besar!” Kata Wiro sambil menyikut rusuk 

Malin Kapuyuak. 

“Terakhir aku ke sini, hanya ada empat sampai lima 

ekor buaya. Rupanya binatang itu sudah beranak pinak...” 

“Mungkin diberi minum susunya sendiri oleh Inyiek 

Susu Tigo hingga jadi subur...” ujar Denok Tuba Biru pula. 

“Sstt... Jangan bicara seperti itu. Inyiek punya ilmu mendengar jauh.” Kata Malin Kapuyuak pula. 

“Kalian berdua tunggu di sini. Aku akan masuk ke 

dalam rumah seorang diri.” 

“Aku tidak mau ditinggal di tempat ini!” Kata Malin 

Kapuyuak yang mulai merasa ketakutan. 

Baru saja Wiro berucap seperti itu tiba-tiba puluhan 

buaya yang ada di dalam telaga menggeleparkan ekor lalu 

melesat ke udara. Begitu masuk kembali ke dalam air 

telaga semuanya mengelilingi telaga kecil itu dalam 

keadaan mendongak setengah berdiri. 

“Sepertinya binatang-binatang itu menghalangi kita 

masuk ke dalam rumah di tengah telaga,” kata Denok Tuba 

Biru. 

Tiba-tiba pintu besar dan dua jendela bangunan 

terpentang lebar. Dari dalam rumah, melalui pintu dan 

jendela yang kini terbuka, melesat sebat dan enteng enam 

orang. Untuk langsung melesat mencapai tepian telaga 

atau daratan jaraknya terlalu jauh. Itu sebabnya ke enam 

orang itu dengan gerakan gesit menjejakkan kaki di ujung 

mulut buaya yang mengitari telaga, menjadikannya batu 

loncatan sebelum melayang turun ke daratan. Buaya-buaya 

yang kena diinjak mulut atau kepalanya mengeluarkan 

suara marah. Kawan-kawannya ikut mengibaskan ekor. 

“Hebat!” Memuji Malin Kapuyuak terkagum-kagum. 

Baik Wiro maupun Denok Tuba Biru segera mengenali ke 

enam orang itu adalah Ki Bonang Talang Ijo, Teng Sien, 

Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, Tuanku Laras Muko 

Balang, Datuk Pancido dan si nenek bersenjata jala 

berpijar Niniek Panjalo. 

“Kita keduluan,” ucap Wiro. “Pasti mereka menemui 

Inyiek Tigo untuk menyampaikan sesuatu. Pasti mereka 

memutar balik kenyataan...” 

“Lalu, apakah kita batalkan saja menemui orang itu?” 

tanya Denok Tuba Biru. 

“Aku menduga-duga apakah nenek bernama Si Kamba 

Mancuang ada di dalam rumah bersama gurunya?” 

berkata Wiro.“Bagaimana kalau kita menunggu sampai hari siang 

saja...” Mengusulkan Malin Kapuyuak. 

“Terlalu lama...” Jawab Wiro. 

“Wiro, aku pikir lebih baik aku menunggu saja di sini. 

Kau dan Malin Kapuyuak yang masuk ke rumah menemui 

Inyiek Susu Tigo...” 

Baru saja Denok Tuba Biru keluarkan ucapan tiba-tiba 

dari dalam rumah terdengar suara orang berseru. Suaranya 

keras lantang membuat semua buaya yang mengelilingi 

telaga dongakkan kepala. 

“Barani datang ka talago (telaga). Datang batigo 

(bertiga) masuak (masuk) batigo. Jika berani membatalkan 

niat, kematian hadangannya!” 

Lalu terdengar suara riuh. Puluhan buaya yang sejak 

tadi mengelilingi telaga melesat ke udara. Sesaat 

kemudian binatang-binatang itu telah berjejer di belakang 

ke tiga orang itu. Laksana jajaran pagar melebihi tinggi 

manusia yang sulit ditembus. Perlahan-lahan binatang itu 

bergerak ke depan menggiring ke tiga orang itu ke tepi 

telaga. Mulut terbuka lebar memperlihatkan lidah dan 

barisan gigi besar tajam. Tenggorokan mengeluarkan suara 

menggembor. 

“Mati waden (aku)...” kata Malin Kapuyuak dengan 

suara gemetar sambil memegang bagian bawah perutnya 

yang mendadak terdesak ingin kencing. 

“Apa boleh buat...” Kata Denok Tuba Biru. Dia memberi 

tanda pada Wiro. Kedua orang ini mencekal tangan kiri 

kanan Malin Kapuyuak lalu laksana terbang membawa si 

pemuda melesat masuk ke dalam rumah di tengah telaga 

melalui pintu depan yang terpentang lebar. 

Di dalam rumah ada suara berucap bergumam. 

“Hemmm, sanggup melompat langsung, tidak mencari 

bahan jejakan. Bagus... aku suka membunuh orang-orang 

sakti seperti mereka ini. Menghabisi mereka menambah 

kesaktian yang ada dalam tubuhku!” 

Di satu ruangan terbuka dalam rumah kayu yang 

diterangi sebuah pelita besar hingga keadaannya cukup terang, berdiri di lantai kayu, di alas gulungan kain 

berbentuk sorban hitam. Dua kaki di sebelah atas hampir 

menyentuh atap rumah pertanda orang ini selain gemuk 

juga memiliki tubuh tinggi sekali. Rambut hitam, serta 

janggut lebat panjang menjulai di atas lantai. Kedua daun 

telinga dicanteli anting-anting terbuat dari suasa. Orang ini 

mengenakan celana hitam berkilat tanpa baju hingga perut 

yang gendut dan dada yang gembrot dalam keadaan 

terbuka. Walau dadanya dipenuhi bulu lebat namun nyata 

sekali kelihatan kalau orang ini memiliki tiga buah puting 

susu sebesar ujung ibu jari, berwarna hitam. Susu ke tiga 

berada di pertengahan dada, di antara dua susu di kiri 

kanan. Dua tangan yang terbentang di lantai, ke sepuluh 

jari dihias cincin berbatu aneka warna. 

“Jadi ini manusia bernama Inyiek Susu Tigo. Oala... Apa 

hari-hari dia berkeadaan seperti ini. Apa dia juga berdiri 

seperti ini ketika Ki Bonang Talang Ijo dan rombongan 

mendatanginya?” Murid Sinto Gendeng berpikir-pikir sambil 

usap-usap kuduknya dan memandang berkeliling. Di 

tempat itu ternyata hanya ada si gendut bersusu tiga itu 

seorang diri. Nenek Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai 

ternyata tidak ada di situ. 

Sepasang mata belok besar orang di tengah ruangan 

berputar tiga kali. Memperhatikan Wiro beberapa lama lalu 

menatap ke arah Denok Tuba Biru. Dua mata yang besar 

tampak tambah membeliak memperhatikan perempuan 

gemuk ini. Kepala kemudian didongakkan, hidung 

menghendus-hendus. Lalu mulut menyeringai pencong 

disusul hamburan suara tertawa yang membuat rumah 

kayu di atas telaga itu bergetar berderak-derak. 

Walau dalam keadaan takut setengah mati tapi Malin 

Kapuyuak masih bisa berbisik pada Denok Tuba Biru. 

“Uni Gapuak, lihat dia memperhatikanmu. Aku rasa dia 

tertarik padamu. Dia menghendus-hendus, bau tubuhmu 

sedap rupanya. Aku rasa dia senang pada bulu ketiakmu...” 

“Setan Kapuyuak! Bukan saatnya bicara yang bukan-

bukan! Aku punya firasat sebentar lagi kita bertiga akan dibantainya!” 

“Tamu-tamu tidak sopan! Pemilik rumah berdiri kepala 

ke bawah kaki ke atas! Mengapa kalian bersikap kurang 

ajar! Berdiri kaki ke bawah kepala ke atas!” 

Tangan kanan si gemuk tinggi ini tiba-tiba bergerak 

menggebrak lantai. Braakk! 

Lantai papan kayu besi bergetar membal. Terjadi hal 

yang aneh. Saat itu juga tubuh Wiro, Si Denok Tuba Biru 

dan Malin Kapuyuak melesat ke udara lalu dengan cepat 

turun ke lantai, kepala ke bawah kaki ke atas! Sewaktu 

melayang di udara baik Wiro maupun Denok Tuba Biru 

berusaha mengimbangi diri dan lepas dari kekuatan aneh 

yang menjungkirbalikkan mereka. Namun tanpa daya 

keduanya, apalagi Malin Kapuyuak melayang jatuh ke 

lantai, kepala sampai lebih dulu. Anehnya waktu melayang 

ke bawah tadi, kopiah hitam yang dipakai Wiro sama sekali 

tidak tanggal, tetap melekat di kepala. Dan ketika batok 

kepala mereka jatuh menempel di lantai, walau berbunyi 

braak... braakkk... braakk tapi ketiganya tidak merasa 

sakit! Kini seperti orang gemuk tinggi di tengah ruangan ke 

tiga orang itu berdiri lurus dengan kepala menjejak lantai 

sementara kaki lurus ke atas! Wiro dan Denok Tuba Biru 

segera alirkan tenaga dalam dan hawa sakti namun walau 

dua tangan dan kaki bisa digerakkan, tetap saja keduanya 

tidak mampu berusaha membalikkan tubuh agar bisa 

berdiri di atas kedua kaki. 

“Sekarang baru aku merasa enak bicara!” Si tinggi 

gemuk bersusu tiga membuka mulut. Matanya menatap 

tak berkedip ke arah Wiro. “Kau pasti manusia Jawa 

bernama Wiro bergelar Pendekar Dua Satu Dua...” 

“Dia tahu siapa diriku. Pasti Ki Bonang keparat dan 

kawan-kawannya yang memberitahu ciri-ciriku!” kata Wiro 

dalam hati. Lalu dia menjawab. 

“Benar sekali Inyiek. Mohon maafmu kalau kami datang 

tidak meminta izinmu lebih dulu dan kalau kau sampai 

merasa terganggu...” Wiro cepat menyahuti. 

“Ha... ha... ha. Kau hendak berbasa-basi. Kau tidak bisa menipuku pemuda rambut padusi (perempuan)! Aku Datuk 

Susu Tigo kedatangan manusia yang memperkosa muridku 

Si Kamba Pesek. Habis memperkosa lalu membunuhnya! 

Dan aku tidak terganggu katamu! Jahanam gilo!” 

“Inyiek, kau pasti mendapat keterangan yang salah dari 

orang-orang yang datang sebelum kami. Mereka membawa 

fitnah. Aku bersumpah tidak membunuh muridmu!” 

“Siapa percaya ucapan manusia tak karuan rupa 

macammu! Aku juga tahu kalau kau telah membunuh 

seorang tokoh silat di tanah Minang ini. Duo Hantu Gunung 

Sago Si Kalam Langit! Malam ini kau boleh tidur di dalam 

talago! Besok pagi begitu matahari terbit buaya-buaya 

peliharaanku akan menjadikan dirimu mangsanya yang 

lezat. Seumur hidup baru kali ini mereka menyantap tubuh 

manusia Jawa. Pasti manis... Bukankah orang Jawa suka 

gula? Ha... ha... ha!” 

“Sebenarnya aku dan dua sahabat ini datang untuk 

mencari murid Inyiek yang bernama Si Kamba 

Mancuang...” 

“Hah! Apa?! Rupanya belum puas kau memperkosa dan 

membunuh Si Kamba Pesek! Sekarang mau mengincar 

saudara kembarnya Si Kamba Mancuang! Benar-benar 

kurang ajar!” 

“Inyiek, aku bukan orang gila. Mana mungkin aku 

memperkosa dan membunuh seorang nenek-nenek!” Kata 

Wiro pula. 

Inyiek Susu Tigo tertawa mengakak lalu membentak! 

“Siapa bilang muridku nenek tua bangka! Aku melihat 

ada dua titik biru di dalam rongga matamu! Yang 

menyatakan kau punya ilmu memandang yang bisa 

menembus penghalang! Kau pasti sudah melihat ujud asli 

dua muridku!” 

“Aku tidak mungkin selancang dan sekurang ajar itu!” 

Jawab Wiro. “Aku mencari Si Kamba Mancuang karena 

perlu beberapa keterangan dari dia... Izinkan aku memberi 

penjelasan...” 

“Sampaikan penjelasanmu pada buaya-buaya di dalam 

telaga!” Jawab Inyiek Susu Tigo. Lalu si gemuk tinggi ini 

pukulkan telapak tangan kirinya ke lantai kayu. 

Braakkk! 

Saat itu juga tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng 

mencelat keluar rumah kayu lewat pintu depan. Sesaat 

kemudian Denok Tuba Biru dan Malin Kapuyuak 

mendengar suara tubuh Wiro yang tercebur masuk ke 

dalam telaga. Malin Kapuyuak merasa tengkuknya 

merinding dingin sementara Denok Tuba Biru terkesiap 

membayangkan apa yang bakal terjadi dengan Wiro walau 

itu baru akan berlangsung besok ketika fajar menyingsing! 

***




SEPULUH


INYIEK Susu Tigo tertawa gelak-gelak. Rumah kayu itu 

kembali bergetar berderak-derak. Begitu hentikan tawa 

sepasang mata manusia ini melotot ke arah Denok Tuba 

Biru. 

“Celaka!” ucap Denok Tuba Biru. “Sekarang aku yang 

diincarnya!” 

“Perempuan gemuk berbulu ketiak lebat! Ha... ha... ha! 

Aku tengah memikirkan cara yang baik untuk 

membantaimu. Apakah aku juga akan memasukkanmu ke 

dalam telaga atau menyusul temanmu tadi atau...” 

“Datuk... Apa salahku hingga kau tega berbuat kejam 

hendak membunuh kami...” Sambil bicara diam-diam 

Denok Tuba Biru kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. 

Kalau sampai Inyiek Susu Tigo menggebrak lantai dan 

membuatnya terlempar ke dalam telaga seperti yang 

dilakukan terhadap Wiro, maka apa boleh buat! Dia akan 

mendahului melepas pukulan Menutup Jalan Darah 

Menyumbat Jalan Pernafasan. Dengan pukulan yang 

merupakan ilmu totokan jarak jauh maka dia bisa 

membuat si tinggi gemuk itu tidak bisa bergerak selama 

tiga hari tiga malam. Tapi agaknya Inyiek Susu Tigo tahu 

apa yang hendak dilakukan Denok Tuba Biru. Setelah 

mengumbar tawa dia berkata. 

“Kau mencari celaka sendiri! Ilmu yang hendak kau 

lepas menyerangku hanya bisa kau lakukan jika kakimu 

berada di bawah kepala di atas. Kalau kau nekad 

menyerang dalam keadaan tubuh terbalik maka dirimu 

sendiri yang akan kaku tak bergerak tidak bersuara selama 

tiga hari tiga malam. Buaya-buaya peliharaanku tidak begitu suka menyantap korban yang tidak bisa berteriak 

ketakutan dan menjerit kesakitan. Ha... ha... ha...” 

Kejut Denok Tuba Biru bukan alang kepalang 

mendengar ucapan Datuk Susu Tigo. Namun dengan cerdik 

perempuan gemuk ini menjawab. 

“Aku memang akan mati karena salah mempergunakan 

ilmu! Tapi kau sendiri akan sengsara seumur hidup. Hawa 

sakti beracun akan membuat biji kemaluanmu berubah 

besar! Lebih besar dari buah kelapa! Seumur hidup kau 

tidak akan bisa berjalan! Jangankan berjalan, duduk 

beringsutpun kau tidak mampu! Kau tidak akan bisa pergi 

ke mana-mana! Kau akan mendekam sepanjang hari di 

dalam pondok celaka ini! Dan kantong biji kemaluanmu 

setiap saat akan berbunyi krookkk... krookkk... krookkk! 

Ha... ha... ha! Kau berani menerima tantanganku Datuk?” 

Apa yang diucapkan perempuan gemuk ini bukan main-

main. Selagi bersama tiga saudara seperguruannya 

mereka dikenal dengan sebutan Serikat Momok Tiga 

Racun. Mereka memang memiliki segala ilmu yang 

mengandung racun (Baca “Si Cantik Gila Dari Gunung 

Gede”). Tapi walaupun begitu diam-diam dia merasa 

khawatir kalau Inyiek Susu Tigo benar-benar menerima 

tantangannya. 

“Uni Gapuak! Mengapa mencari celaka! Kau tidak tahu 

kesaktian Datuk Susu Tigo...” ucap Malin Kapuyuak. 

“Dengar ikuti nasihatku ini. Ikuti cepat...” 

Lalu Malin Kapuyuak menyaru-nyarukan suaranya agar 

tidak terdengar dan diketahui Inyiek Susu Tigo. Dia berucap 

dengan suara meracau seperti orang diserang demam 

panas, kadang-kadang terdengar seperti orang menyanyi 

tapi ucapannya tidak jelas. 

“Hisap tiga susunya... hisap tiga susunya. Aku akan 

memancing menipunya...” 

“Inyiek!” tiba-tiba Malin Kapuyuak berseru. “Apa yang 

dikatakan perempuan gapuak ini bukan dusta! Kau bisa 

celaka! Lekas balikkan tubuhnya. Itu satu-satunya cara kau 

bisa menghadapinya dan menyelamatkan diri!”“Aku bisa membunuhnya saat ini juga semudah dan 

secepat membalikkan telapak tangan!” Jawab Inyiek Susu 

Tigo. 

“Inyiek, kau boleh saja membunuh pemuda Jawa itu. 

Tapi yang satu ini jangan berani mempermainkan atau 

membunuhnya! Dia adalah saudara sekandung Inyiek 

Batino. Ratu Sekalian Harimau Betina Di Tujuh Gunung 

Bertuah! Selama ini dia bermukim di tanah Jawa!” 

“Setan alas! Jangan mempermainkan diriku!” 

“Saya tidak mempermainkan. Saya tidak berdusta! 

Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, sebelum 

tengah malam telaga ini sudah dikurung ratusan harimau 

dari tujuh Gunung Bertuah! Puluhan buayamu tidak akan 

berdaya. Ratusan harimau betina akan mencabik-cabik 

tubuhmu!” 

Inyiek Susu Tigo terdiam. Matanya menatap tak 

berkesip. 

“Pemuda muka tikus!” bentak Inyiek Susu Tigo pada 

Malin Kapuyuak. “Inyiek Batino tidak pernah punya 

saudara! Kau mau memperdayaiku?!” Begitu ucapannya 

berakhir sang Inyiek turunkan tangan kanan dan, braak! 

Dengan telapak tangan dia menggebrak lantai kayu. Saat 

itu juga bukan saja Denok Tuba Biru dan Malin Kapuyuak 

yang melesat jungkir balik lalu melayang turun jatuh ke 

lantai dengan kaki ke bawah kepala ke atas, tapi Inyiek 

Susu Tigo sendiri juga mengalami hal yang sama! Rupanya 

dia khawatir juga kalau sampai dua biji kemaluannya 

berubah menjadi sebesar buah kelapa! Dia bersiap 

melancarkan serangan. 

Malin Kapuyuak kembali meracau seperti orang 

diserang demam. 

“Sekarang Uni... sekarang! Hisap tiga susunya. Cepat! 

Separuh ilmu kesaktiannya akan kau kuasai! Kau akan 

aman! Kau tidak akan diapa-apakannya! Inyiek akan 

menjadikanmu sebagai murid! Cepat lakukan!” 

Mendengar ucapan Malin Kapuyuak, Denok Tuba Biru 

yang kini telah berdiri wajar kaki di bawah kepala di atas dan merasa seluruh kekuatannya telah kembali, tidak 

tunggu lebih lama segera melompat ke hadapan Inyiek 

Susu Tigo. Dua tangan merangkul leher erat-erat. Dua kaki 

menelikung pinggang. Sambil bergelayutan begitu rupa 

dengan kecepatan luar biasa mulutnya bergerak ke dada 

sang Datuk. 

“Perempuan gila! Apa yang kau lakukan?” Teriak Datuk 

Susu Tigo. 

Cup... cup... cup! 

Mulut Denok Tuba Biru menyambar dan menghisap tiga 

putting susu di dada Inyiek Susu Tigo. Setiap hisapan 

sampai mengeluarkan suara keras. 

“Hai!” Inyiek Susu Tigo berteriak. Tapi bukan teriakan 

marah. Tubuhnya yang gemuk besar menggeliat kegelian, 

perlahan-lahan huyung ke depan. Dua lutut terlipat lalu 

jatuh berlutut di lantai sementara Denok Tuba Biru yang 

juga gemuk terhimpit di bawah perutnya. 

“Tuhan Maha Besar!” Tiba-tiba Inyiek Susu Tigo 

keluarkan ucapan lantang. Kepala mendongak, dua tangan 

disilang di atas dada berbulu. “Belasan tahun menunggu 

akhirnya aku menemui seorang calon istri! Kaulku didengar 

dan dikabulkan Tuhan! Terima kasih Tuhan... terima kasih!” 

Lalu seolah tidak menyadari kalau sosok Denok Tuba Biru 

berada di bawahnya dia membuat gerakan bersujud. 

Sebelum hal itu sempat dilakukan, sebelum tubuhnya 

terhimpit habis Denok Tuba Biru tendang perut gendut 

sang Inyiek. Perut itu hanya berguncang sedikit. Tendangan 

Denok Tuba Biru seperti membal namun walau begitu dia 

punya kesempatan untuk meloloskan diri dari himpitan 

Inyiek Susu Tigo. 

“Hai. Kau tidak boleh pergi ke mana-mana. Sesuai 

kaulku, siapa perempuan yang bisa menghisap tiga susuku 

maka dialah calon istriku. Terima kasih... terima kasih...” 

Denok Tuba Biru tentu saja terkejut mendengar ucapan 

Inyiek Susu Tigo. 

“Apa?!” teriak perempuan gemuk itu. Dia terpekik lalu 

berpaling pada Malin Kapuyuak. “Jahanam penipu! Kau bilang jika aku menghisap tiga susunya separuh ilmu 

kesaktiannya akan menjadi milikku! Aku tidak akan diapa-

apakan! Aku akan dijadikan murid! Sekarang kau dengar 

sendiri! Dia punya kaulan! Siapa perempuan yang bisa 

menghisap tiga susunya akan dijadikan istri! Celaka 

keparat!” 

Sekali melompat Denok Tuba Biru sudah 

mencengkeram dada pakaian Malin Kapuyuak dengan 

tangan kiri sementara tangan kanan layangkan satu 

jotosan keras. 

“Jangan! Aku tidak menipu! Begitu yang aku dengar! 

Mungkin... mungkin...” 

Bukk! 

Malin Kapuyuak menjerit kesakitan. Darah mengucur 

dari hidung dan bibirnya yang pecah. 

“Istriku! Jangan kau aniaya pemuda itu! Bagaimanapun 

juga dia yang membawamu ke sini! Kita harus berterima 

kasih padanya!” Berseru Inyiek Susu Tigo. Lalu tangan 

kanan digebrakkan ke lantai pondok. Saat itu juga tubuh 

Malin Kapuyuak terlepas dari cengkeraman Denok Tuba 

Biru lalu melayang keluar pondok lewat jendela. Tubuh 

pemuda itu melesat di atas telaga, melewati deretan 

puluhan buaya lalu, ngekk! Jatuh tergelimpang di atas 

cabang sebatang pohon. 

“Onde Mak! Tapanca langek den! (Aduh biyung! 

Muncrat isi perutku!)” teriak Malin Kapuyuak. Mata 

mendelik, bola mata berputar dua kali lalu pemuda ini 

jatuh pingsan dengan tubuh masih menyangsrang 

melintang di atas cabang pohon. 

Di dalam pondok Denok Tuba Biru lari ke salah satu 

jendela. Cepat dihalangi Inyiek Susu Tigo. 

“Istriku! Jangan pergi. Kita akan baralek gadang (pesta 

besar). Kau jadi anak daro (pengantin perempuan), aku 

jadi marapulai (pengantin lelaki)! Ha... ha... ha!” 

Dukk! 

Tawa bergelak Inyiek Susu Tigo langsung lenyap ketika 

tendangan kaki kanan Denok Tuba Biru menghajar dadanya. Tubuhnya yang gemuk besar dan tinggi 

terhuyung-huyung. Tapi dia sama sekali seperti tidak 

merasa sakit malah berkata. 

“Dongkaknya sarupo kudo! Di ateh tampek lalok tantu 

hebat sakali parmainannyo (Tendangannya seperti kuda. Di 

atas tempat tidur tentu hebat sekali permainannya). 

Beruntung aku punya istri seperti dia. Ha... ha... ha!” Iinyiek 

Susu Tigo baru hentikan tawa ketika disadarinya Denok 

Tuba Biru tidak ada lagi di tempat itu! 

“Hah! Istriku! Jangan lari. Jangan kura-kura dalam 

perahu, pura-pura malu melihat suamimu! Ha... ha! Jangan 

jinak-jinak merpati.” Sang Inyiek berteriak lalu melesat 

keluar pondok melalui pintu. 

“Inyiek! Tunggu! Jangan pergi dulu! Denai (saya) perlu 

bicara denganmu!” Satu suara perempuan mengumandang 

dari arah timur telaga yang gelap. 

“Persetan! Calon istriku melarikan diri! Aku mau 

mengejar dulu! Kalau sampai hilang tidak akan aku dapat 

yang seperti itu lagi!” Kata Inyiek Susu Tigo lalu berkelebat 

ke arah barat. 

***



SEBELAS 


DATUK,” kata Puti Bungo Sekuntum alias Kupu-kupu 

Giok Ngarai Sianok alias Chia Swie Kim. “Tadi malam 

saya mendengar suara-suara tidak biasanya di luar 

sana. Seperti ada suara orang menancapkan sesuatu di 

tanah. Lalu ada suara kereta... mungkin juga pedati. 

Sepertinya tepat di atas goa ini...” 

“Aku sudah tahu. Sejak beberapa hari ini hatiku 

memang tidak tenteram. Aku akan segera menyelidiki ke 

atas. Aku berharap tidak ada apa-apa. Kau tidak membuka 

pintu rahasia dan menyelidiki sendiri ke luar sana...?” 

“Tidak Datuk, mana berani saya melakukan hal itu,” 

jawab Puti Bungo Sekuntum. 

“Kau tunggu di sini. Kalau aku kembali, pagi ini juga 

kita segera berangkat ke tempat yang aku katakan. Aku 

bisa menitipkan kau di rumah seorang sahabat.” 

“Datuk, bagaimana kalau saya ikut keluar bersama 

Datuk. Saya akan merubah diri menjadi ramo-ramo 

hidup...” 

“Terlalu besar bahayanya. Kalau ada orang yang 

mengenali dan melihat dirimu...” 

“Kalau begitu saya akan merubah diri menjadi kupu-

kupu batu giok saja. Saya akan masuk ke dalam saku 

jubah Datuk sebelah kanan. Izinkan saya Datuk. Saya 

merasa tidak tenang berada sendirian di dalam goa ini 

walau Datuk telah menutup jalan melalui mulut goa di 

dinding ngarai.” 

Setelah berpikir sebentar Datuk Marajo Sati tetap tidak 

meluluskan permintaan gadis cantik jelita itu. 

“Ingat, jangan ke mana-mana. Tetap di goa ini apapun yang bakal terjadi di luar sana.” 

“Baik Datuk.” 

Datuk Marajo Sati menepuk sorbannya tiga kali. Dinding 

batu di hadapannya secara aneh bergeser membuka, 

membentuk pintu keluar. 

*** 

DI NGARAI Sianok tepat di atas goa tempat kediaman 

Datuk Marajo Sati terdapat kawasan tanah datar dikelilingi 

batu-batu hitam setinggi lutut. Pemandangan di tempat ini 

indah sekali. Di kejauhan menjulang Gunung Merapi. 

Puncaknya masih diselimuti awan pagi. 

Tidak seperti biasanya, saat itu di pedataran terlihat 

satu pemandangan yang mengherankan. Tiga buah 

bendera besar berbentuk segi tiga yang diikat pada tiang 

bambu setinggi dua kali tubuh manusia, menancap di 

tanah. 

Bendera pertama bergambar Kucing. Ini adalah 

bendera lambang Luhak Tanah Datar. Bendera ketiga 

bergambar Harimau, perlambang Luhak Agam. Bendera 

ketiga bergambar Anjing merupakan bendera lambang 

Luhak Lima Puluh Kota. 

“Ada apa ini? Bendera Luhak Nan Tigo menancap di 

atas tanah ngarai...” 

Rasa heran Datuk Marajo Sati tidak hanya sampai di 

situ. Di salah satu pinggiran tanah datar terdapat sebuah 

pohon besar. Pada batang pohon menempel sehelai 

kertas. Dan di atas kertas ini ada tulisan berbunyi: “Di 

pohon ini Datuk Marajo Sati akan diikat dan dirajam 

sampai mati karena perbuatan zinah!” 

“Kurang ajar!” Rahang Datuk Marajo Sati 

menggembung. Geraham bergemeletakan. “Gila! Siapa 

yang punya pekerjaan?” Ketika dia memandang ke kiri 

pohon dia melihat sebuah gerobak besar tak berkuda 

penuh dengan batu sebesar-besar kepalan. Di atas 

gerobak itu juga ada segulung tambang besar.Saking tidak dapat menahan amarah Datuk Marajo Sati 

dekati gerobak berisi batu dan siap menendangnya! 

Namun sebelum tendangan menyentuh gerobak tiba-tiba 

tiga bayangan berkelebat disertai seruan. 

“Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo! Kendalikan amarahmu! 

Perbanyak sabar! Kami bertiga datang untuk bertanya!” 

Beberapa bayangan berkelebat. Sesaat kemudian tiga 

orang berpakaian dan berdestar sangat gagah telah berdiri 

di hadapan Datuk Marajo Sati. Ketiganya sama bertubuh 

tinggi besar, memelihara kumis tebal melintang. Masing-

masing mengenakan baju dan celana galembong hitam, 

kain sarung buatan Silungkang melintang di bahu dan 

destar berbenang emas bertengger di kepala. Sebilah keris 

terselip di pinggang sebelah depan. 

“Tiga Datuk Luhak Nan Tigo! Aku yang akan bertanya 

pada kalian!” membentak Datuk Marajo Sati dengan suara 

lantang dan wajah membara. 

Tiga orang yang dibentak memegang dada lalu 

membungkuk memberi penghormatan. Salah seorang di 

antara mereka berkata. 

“Datuk Marajo Sati, kau pimpinan kami, kau dusanak 

kami. Kau Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo! Silahkan 

mengajukan pertanyaan.” 

“Kalian menancapkan tiga bendera lambang Luhak! 

Apa maksud kalian? Ada tulisan gila di batang pohon sana. 

Siapa yang membuat?! Dan ada satu gerobak berisi batu 

perajam lengkap dengan tali pengikat. Apa maksud kalian 

melakukan ini?” 

Tiga orang yang barusan datang saling pandang. Ketiga 

orang ini adalah para Datuk Pimpinan Luhak Nan Tigo. 

Yang pertama Datuk Panglimo Kayo, Datuk dari Luhak 

Tanah Datar. Seperti diketahui dia adalah paman dari 

Gadih Puti Seruni. Wajah gagah Datuk ini tampak 

mengelam pertanda dia tengah berusaha mengendalikan 

amarah yang setiap saat bisa meledak. 

Datuk kedua bermata besar merah, bertampang 

garang. Memiliki wajah berkulit kuning. Inilah Datuk Kuning Nan Sabatang, pimpinan di Luhak Agam. 

Orang ke tiga yang menjadi Datuk di Luhak Limopuluh 

Kota bergelar Datuk Bandaro Putih. Wajahnya jernih putih. 

Janggut tipis di dagu juga berwarna putih. 

Datuk Bandaro Putih memberi isyarat pada Datuk 

Panglimo Kayo. Paman Gadih Puti Seruni ini lalu maju satu 

langkah mendekati Datuk Marajo Sati. 

“Datuk Marajo Sati, pimpinan pucuk para Datuk di 

Luhak Nan Tigo. Justru begitu datang ke sini kami bertiga 

terheran-heran melihat apa yang terjadi. Kami tidak tahu 

bagaimana bendera pelambang Luhak Nan Tigo bisa 

menancap di sini. Lalu ada tulisan di batang pohon. 

Gerobak berisi batu dan tali...” 

“Datuk Panglimo Kayo dan Datuk berdua. Semua benda 

itu tidak bisa berjalan sendiri, juga mustahil dibawa hantu 

ke tempat ini...” 

“Betul sekali Datuk Marajo Sati. Mana ada hantu yang 

pandai menulis.” Menjawab Datuk Kuning Nan Sabatang 

yang berwajah kuning garang. 

“Kalian jangan berkura-kura dalam perahu. Berpura-

pura tidak tahu!” 

“Datuk Marajo Sati, Datuk menuduh kami melakukan 

semua ini? Menancapkan bendera, mendatangkan 

gerobak berisi batu, merekat tulisan di batang pohon? 

Sungguh naif sekali...” Ucap Datuk Bandaro Putih dari 

Luhak Limopuluh Kota. 

“Betul sekali, justru kami datang hendak bertanyakan 

sesuatu pada Datuk,” bicara kembali Datuk Panglimo Kayo. 

“Tempat di sini indah sekali, cuaca terang pula. Tapi 

bagaimana kalau kita bicara di dalam goa kediaman 

Datuk? Setelah kita bicara nanti kita sama-sama mengusut 

siapa yang melakukan semua hal ini...” 

Datuk Marajo Sati gelengkan kepala. 

“Aku lebih suka kita bicara di sini...” 

“Mengapa begitu Datuk? Biasanya Datuk selalu 

membawa kami ke dalam goa Datuk yang bagus dan sejuk 

itu...”“Sekali ini tidak. Aku menaruh banyak kecurigaan 

dengan kedatangan kalian...” 

Tiga Datuk Luhak Nan Tigo terdiam. Lalu kembali Datuk 

Panglimo Kayo angkat bicara. 

“Datuk Marajo Sati, terlebih dulu kami mohon beribu 

maaf kalau kedatangan kami kurang senang di hati Datuk. 

Kedua kami juga mohon dimaafkan dan diampuni dari 

segala syak wasangka. Di Luhak kami sejak beberapa hari 

ini telah tersiar kabar yang tidak sedap mengenai diri 

Datuk. Kabar yang kami yakin hanyalah fitnah belaka. 

Karena itu kami bertiga datang menemui Datuk di Ngarai 

Sianok ini untuk menanyakan langsung. Jika salah kami 

bertanya mohon dimaafkan, jika salah kami berucap 

mohon diampuni...” 

“Kabar tidak sedap tentang diriku. Yang kalian 

harapkan hanyalah fitnah. Katakan Datuk Panglimo Kayo. 

Kabar dan fitnah apa yang kau maksudkan itu?!” 

“Sekali lagi maaf Datuk. Telah tersiar kabar bahwa 

Datuk menyimpan seorang gadis muda di dalam goa 

kediaman Datuk di Ngarai Sianok...” 

“Kurang ajar!” teriak Datuk Marajo Sati dengan suara 

menggelegar. “Siapa yang menjadi racun penebar fitnah 

itu?!” 

“Datuk, siapa yang membuat dan menebar fitnah 

memang tidak ada yang tahu. Tapi sehari yang lalu 

kemenakan saya Gadih Puti Seruni dan ibunya datang ke 

Batusangkar. Memberi tahu hal yang sama. Ada seorang 

perempuan penjual serabi yang mengatakan hal itu. Kami 

mohon maaf dan ampun Datuk. Kami minta Datuk 

menjelaskan.” 

“Ini benar-benar gila! Jahanam keparat! Kalian 

menuduhku melakukan zinah...” 

“Kami tidak mengatakan Datuk berbuat zinah. Kami 

hanya bertanya apa benar ada gadis muda dan elok di 

dalam goa Datuk? Saya bertanya karena juga mengingat 

saya adalah mertua Datuk, Mamak dari Gadih Puti Seruni. 

Dan saya jauh lebih tua dari Datuk! Adalah pantas kalau Datuk bicara bersopan sopan pada saya. Datuk tahu, 

kemenakan saya Puti Seruni sekarang ini berada di rumah 

saya dalam keadaan sakit. Nasi tidak tertelan, air tidak 

lewat di rangkungan. Kalau terjadi apa-apa dengan dirinya 

tentu akan kami pulangkan kepada Datuk juga. Menurut 

ibunya Datuk sudah lebih dari dua puluh hari tidak pernah 

mengunjungi istri Datuk di Koto Gadang. Apakah Datuk 

terlalu sibuk di dalam goa hingga tidak punya waktu untuk 

melihat istri sendiri...” 

“Datuk Marajo Sati memang sibuk dengan istri 

mudanya! Gadis Cino peranakan jin yang bisa menghilang!” 

Tiba-tiba ada suara perempuan berteriak. Lalu dari 

berbagai jurusan bermunculan banyak sekali orang. Jumlah 

mereka lebih dari dua ratus. Lelaki dan perempuan. 

Seorang lelaki melompat ke atas gerobak berisi batu 

lalu berteriak. 

“Pengadilan rakyat nagari sudah disiapkan! Datuk 

Marajo Sati pantas dihukum rajam sampai mati! Kami 

penduduk empat dusun di sekitar Ngarai Sianok siap 

melakukan!” 

“Betul! Lakukan sekarang!” Orang banyak berteriak 

menyambut. 

“Tiga Datuk Luhak Nan Tigo! Kami minta Datuk bertiga 

meringkus Datuk Marajo Sati! Mengikatnya ke pohon ini!” 

Lelaki di atas gerobak berteriak lalu melemparkan tali ke 

arah tiga orang Datuk. Sementara puluhan orang 

merangsak maju mendekati Datuk Marajo Sati. 

Kejut Datuk Marajo Sati bukan alang kepalang. Tiga 

Datuk juga sama kagetnya. 

“Datuk Panglimo Kayo. Kita harus mencegah orang-

orang itu. Jangan sampai mereka melaksanakan hukum 

rimba!” Berkata Datuk Bandaro Putih. 

Di tempatnya berdiri wajah Datuk Marajo Sati tampak 

mengelam. Sekujur tubuh bergetar. Darah mendidih. 

Sepasang mata laksana mau melompat dari rongganya 

memperhatikan lelaki di atas gerobak. Walau lelaki ini 

mengenakan topi rumbia bertepi lebar yang menutupi sebagian wajahnya tapi Datuk Marajo Sati bisa mengenali 

siapa dia adanya. Begitu juga Datuk Panglimo Kayo. 

“Pakih Jauhari! Anak jahanam! Masih hidup kau 

rupanya! Kau yang jadi biang keladi semua fitnah terhadap 

diriku! Kau yang mengatur semua ini!” Datuk Marajo Sati 

memandang berkeliling. “Penduduk Ngarai Sianok! Berapa 

pemuda jahanam ini membayar kalian untuk mau 

memfitnah diriku?!” 

Seorang kakek mengangkat tangannya yang memegang 

batu. Lalu berteriak. 

“Kami tidak memfitnah! Kami tidak dibayar! Kami 

semua tahu Datuk memang menyimpan seorang gadis 

Cina di dalam goa! Datuk telah merusak adat menginjak 

agama! Jika Datuk merasa benar perbolehkan kami masuk 

ke dalam goa dan memeriksa! Kami penduduk di sini 

merasa malu dan sangat terhina punya pimpinan seperti 

Datuk! Kami tidak perlu Datuk Pucuk pimpinan Para Datuk 

Luhak Nan Tigo. Cukup kami memiliki tiga Datuk ini saja!” 

Orang banyak berteriak riuh. Mereka semakin 

mendekati Datuk Marajo Sati. Tiga Datuk mulai tampak 

bingung. Kalau semua orang menyerbu mereka tidak bisa 

berbuat apa-apa. 

Datuk Panglimo Kayo cepat maju menyongsong orang 

banyak. 

“Kalian semua dengar! Biarkan kami yang mengurus 

semua tuduhan kalian...” 

“Tidak bisa!” Jawab si kakek tadi. “Tiga Datuk kami 

minta meringkus Datuk Marajo Sati. Kami akan 

mengikatnya ke batang pohon. Lalu kami akan merajam 

melempar dengan batu hingga akhirnya Datuk mesum itu 

menemui ajal! Ini adalah pengadilan rakyat. Kami yang 

akan melaksanakan...” 

“Pakih Jauhari! Pemuda jahanam! Kau menebar fitnah 

menggalang orang banyak! Kau yang akan aku bunuh lebih 

dulu!” Datuk Marajo Sati tidak dapat menahan amarahnya 

lagi. Tapi ketika dia melompat ke atas gerobak orang 

banyak mulai melemparinya dengan batu. Sang Datuk segera tanggalkan sorban di atas kepala. Dengan 

mengibaskan sorban itu ke udara puluhan batu yang 

dilempar ke arahnya mencelat bermentalan walau masih 

ada beberapa yang mengenai dirinya bahkan melukai 

kening hingga mengucurkan darah. 

“Datuk! Jangan!” teriak Datuk Kuning Nan Sabatang 

ketika melihat Datuk Marajo Sati melompat ke atas 

gerobak berisi batu siap hendak menggebuk kepala Pakih 

Jauhari. 

Kakek yang tadi berteriak-teriak melompat ke atas 

gerobak. Dua orang lain mengikuti. Mereka menerjang 

Datuk Marajo Sati. Salah seorang di antara mereka 

berusaha mendorong Datuk itu dari atas gerobak. Satunya 

lagi menggigit pinggang sang Datuk. Dari bawah beberapa 

orang menarik jubah. Datuk Marajo Sati yang sudah habis 

sabar langsung saja menebar pukulan dan tendangan. 

Tiga orang menjerit. Tiga korban pertama rubuh ke 

tanah. Dua dengan kepala pecah, satu lagi pinggang patah. 

Pakih Jauhari masih sempat selamatkan kepalanya dari 

gebukan Datuk Marajo Sati. Selagi keadaan kacau balau 

centang perenang dan semakin banyak korban berjatuhan 

tiba-tiba terdengar suara jeritan perempuan. 

“Datuk! Tolong! Mereka menangkap saya!” 

Semua orang terkejut dan berpaling ke kiri. Mereka 

menyaksikan seorang gadis Cina berwajah sangat cantik, 

berambut hitam panjang dan mengenakan pakaian biru 

dicekal beberapa orang. Orang-orang ini bukan lain adalah 

Ki Bonang Talang Ijo dan Perwira Muda Teng Sien bersama 

para pengikutnya yaitu Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, 

Tuanku Laras Muko Balang, Datuk Pancido dan Niniek 

Panjalo. 

Kegemparan serta merta terjadi di tempat itu. 

“Semua menyaksikan sendiri! Ini bukan fitnah! Itu pasti 

gadis Cina simpanan Datuk Marajo Sati!” Seseorang 

berteriak. 

“Gila! Ini memang bukan main-main! Langit boleh 

runtuh, bumi boleh tabalah. Tapi ini adalah kenyataan!”Kata Datuk Panglimo Kayo dengan suara bergetar penuh 

geram. 

Di atas gerobak berisi batu. Pakih Jauhari, pemuda yang 

pernah menjadi kekasih Gadih Puti Seruni berteriak 

lantang. 

“Datuk Marajo Sati! Kau sekarang menjadi ayam putih 

terbang siang. Bersuluh matahari! Bergelanggang mata 

orang banyak! Nyata! Jelas sudah kebejatanmu! Kau tidak 

bisa menyembunyikan gadis Cina simpananmu itu! Ha... 

ha... ha! Terkutuklah engkau dunia akhirat!” 

Sekujur tubuh Datuk Marajo Sati panas bergetar, 

seperti siap hendak meledak. Dia cepat berteriak pada 

Chia Swie Kim. 

“Puti Bungo Sekuntum! Lekas rubah dirimu! Kibaskan 

dua tanganmu!” 

“Tidak bisa Datuk... Mereka melumpuhkan kedua 

tangan saya. Tolong Datuk...!” 

“Kurang ajar! Aku bunuh kalian semua!” Teriak Datuk 

Marajo Sati. Tubuhnya melesat di udara. Sorban di tangan 

kiri diputar. Kaki menendang. Beberapa orang terpental 

berpekikan. 

Tiba-tiba Ki Bonang Talang Ijo melemparkan sesuatu ke 

udara. Letusan keras menggelegar disertai menebarnya 

asap hitam menutupi pemandangan di pedataran sampai 

ke pertengahan dinding ngarai. Tanah bergetar membuat 

semua orang berhuyung-huyung. 

Ketika asap hitam sirna, gadis Cina tadi bersama orang-

orang yang membawanya telah lenyap. Datuk Marajo Sati 

juga tidak kelihatan lagi. Begitu pula Pakih Jauhari ikut 

menghilang. Di tanah bergeletakan banyak mayat. Jerit 

pekik terdengar di mana-mana. 

Tiga Datuk menemui orang-orang itu dan meminta 

mereka meninggalkan ngarai dengan membawa serta 

mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan. 

Setelah semua orang pergi Datuk Bandaro Putih 

berkata. “Ke mana lenyapnya Datuk Marajo Sati. Ke mana 

pula menghilangnya pemuda bernama Pakih Jauhari itu...”“Datuk Marajo Sati menghilang dengan membawa 

dendam besar.” Jawab Datuk Panglimo Kayo. “Kita harus 

berlaku waspada. Aku punya firasat dia akan melakukan 

pembalasan. Akan banyak lagi darah tertumpah di tanah 

Agam ini... Mengenai pemuda bernama Pakih Jauhari itu, 

aku sendiri yang akan mencari dan menekuk batang 

lehernya. Dia yang menjadi biang racun semua kejadian ini! 

Dendamnya karena tidak mendapatkan kemenakanku 

Gadih Puti Seruni dibalasnya dengan fitnah luar biasa 

hebat!” 

“Tapi Datuk Panglimo,” menyahuti Datuk Kuning Nan 

Sabatang dari Luhak Agam. “Kalau kita katakan ini fitnah, 

buktinya ada orang yang menemukan gadis Cina cantik itu 

di dalam goa kediaman Datuk Marajo Sati...” 

“Aku akan menyelidiki. Kita bertiga harus menyelidiki 

bersama-sama. Caranya ialah dengan lebih dulu 

menemukan Datuk Marajo Sati.” Kata Datuk Panglimo 

Kayo pula. 

“Gadis Cina itu juga perlu kita cari untuk bersaksi. Aku 

mengenali beberapa di antara orang-orang yang 

membawanya. Datuk Bumi Langit Dari Sumanik, Tuanku 

Laras Muko Balang...” Berkata Datuk Kuning Nan 

Sabatang. 

“Kalau begitu kita berpisah untuk sementara. 

Bagaimana kalau lepas Ashar nanti kita bertemu di rumah 

gadang kediaman Datuk Panglimo Kayo?” 

Datuk Panglimo Kayo menyetujui. Datuk Bandara Putih 

mengangkat tangannya lalu berseru. “Inyiek Bertiga, 

datanglah.” 

Di udara terdengar siuran menderu. Sesaat kemudian 

muncul tiga ekor harimau besar. Tiga Datuk segera 

melompat ke punggung harimau yang berdiri di hadapan 

masing-masing. Sesaat kemudian pedataran di atas Ngarai 

Sianok itu menjadi sunyi sepi, hanya menyisakan anyirnya 

bau darah yang tergenang di mana-mana. 



TAMAT



penulis : Bastian Tito

Created : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-blogspot.com



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive