Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Jumat, 07 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - TOPAN DI GUNUNG TENGGER

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com



TOPAN DI GURUN TENGGER TOPAN DI GURUN TENGGER 

Di tengah ruangan Pendekar 212 berdiri tanpa pakaian, 

membelakangi Purnama. Keberadaan sang pendekar  membelakangi Purnama. Keberadaan sang pendekar seperti  ini 

membuat Purnama tercekat hentikan langkah. Tiba membuat Purnama tercekat hentikan langkah. Tiba-tiba Wiro tiba Wiro 

membalikkan tubuh. Purnama terperangah. Dua bola ma membalikkan tubuh. Purnama terperangah. Dua bola mata 

membesar. Lutut terasa goyah dan dada bergoncang ke membesar. Lutut terasa goyah dan dada bergoncang keras. 

Aliran darah dalam tubuh mengalir deras. Sepasang mata tak 

berkedip memandangi sosok telanjang sang pendekar. Mulai 

dari kepala sampai ke ujung kaki. Saat itulah gadis ini sempat 

melihat ada satu tanda putih dibagian bawah pusar W melihat ada satu tanda putih dibagian bawah pusar Wiro.


SATU


Dalam episode sebelumnya (Sang Pemikat) diceritakan

setelah mengalami kesembuhan dari penyakit kelainan darah, 

Pendekar 212 Wiro Sableng, secara diam-diam meninggalkan 

rumah panggung tempat dia dirawat. Namun kepergiannya 

diketahui dan diikuti Purnama. Lenyapnya kedua orang itu 

kemudian membuat semua orang yang ada dirumah panggung 

menjadi heboh. Berbagai dugaan dan prasangka muncul. Walau 

bergurau Naga Kuning bocah sakti bermulut jahil sempat 

mengatakan jangan-jangan Purnama membawa Wiro untuk diuji 

kejantanannya. 

Setelah memeriksa lewat cermin sakti Ratu Duyung 

membagi orang-orang yang ada ditempat itu menjadi dua 

rombongan. Dia bersama Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati 

mencari dan mengejar Pendekar 212. Sesuai ucapan Wiro dan 

petunjuk lewat cermin pendekar itu memang tengah menuju ke 

Gunung Gede tempat kediaman gurunya, Eyang Sinto Gendeng. 

Agaknya dia telah berbulat tekad hendak meninggalkan rimba 

persilatan dan menjadi seorang pertapa. 

Setan Ngompol dan Ki Tambakpati diminta mencari 

Purnama, gadis dari Latanahsilam, negeri 1200 tahun silam. Di 

dalam cermin sakti tidak terlihat petunjuk keberadaan Purnama. 

Kemungkinan kesaktian yang dimilikinya bisa menutup diri dari 

daya tangkap cermin milik ratu Duyung. 

Setan ngompol dan Ki Tambakpati berhasil menemui 

Purnama. Gadis ini berada dalam keadaan terpendam di tanah 

akibat ilmu kesaktian Menyusup Bumi Menghancur Bala yang 

dikeluarkannya ketika menghadapi serangan mahluk jahat tanpa 

wajah berhasil dikunci lawan. Setelah diselamatkan Purnama 

mengajak kedua kakek mengejar Wiro ke Gunung Gede. 

Mencegah pendekar itu melaksanakan niatnya hendak menjadi 

pertapa. Namun Ki Tambakpati enggan ke Gunung Gede karena 

ingin membangun gubuknya yang hancur dan menyiapkan peralatan pengobatan yang dulu dimusnahkan oleh orang-orang 

Kerajaan. Setan Ngompol sendiri lebih mementingkan mencari 

Liris Biru yang tengah mengejar Cakra Mentari ke Kuto Gede. Dia 

yakin gadis itu dalam bahaya besar. Walau Ratu Duyung merasa 

agak kecewa ketiga orang itu akhirnya berpisah. 

Keesokan harinya saat matahari terbit ketika Purnama 

tengah mandi di sebuah kali kecil mendadak muncul seorang 

berjubah dan bersorban hitam, memiliki mata kanan yang hanya 

merupakan rongga besar mengerikan. Orang berwajah putih, 

memiliki kumis dan janggut serta cambang bawuk hitam berkilat 

ini mengaku bernama Deewana Khan. Dia menyerahkan dua buah 

kitab pada Purnama. Kitab pertama sebuah kitab yang

keadaannya rusak hangus karena habis terbakar, dikatakan 

sebagai Kitab Jagad Pusaka Dewa yang asli. Kitab kedua 

merupakan salinan dari kitab Jagad Pusaka Dewa, berbentuk utuh 

namun mata biasa tidak mampu melihat dan membaca isinya. 

Seseorang harus bertapa 100 hari 100 malam untuk memiliki 

kemampuan membaca isi kitab itu. 

“Kitab yang terbakar ini masih ada beberapa bagian halaman 

yang utuh. Serahkan dua kitab ini pada Pedekar Dua Satu Dua 

Wiro Sableng.” 

Kejut Purnama bukan alang kepalang mendengar ucapan

Deewana Khan. Lebih terkesiap lagi sewaktu lelaki berjubah itu 

berkata. “Pemuda kepada siapa seharusnya kitab ini diberikan 

telah tersesat jatuh ke tangan insan jahat dan akhir-akhir ini telah 

menimbulkan malapetaka bejat berupa pemerkosaan dan

pembunuhan mengerikan di negeri ini. Insan-insan jahat itu hanya 

bisa dibasmi berdasarkan petunjuk rahasia dalam kitab yang 

terbakar. Dewa mengetahui hanya Pendekar Dua Satu Dua yang 

mempu membuka petunjuk rahasia dalam kitab.” 

Deewana Khan letakkan dua buah kitab di tanah dan 

membungkuk memberi hormat. Dua kaki dijulurkan ke belakang. 

Begitu dua tangannya menyentuh tanah maka tubuh mahluk ini 

meluncur bersurut ke arah dari mana tadi dia datang. Hanya dalam sekejapan mata saja sosoknya kemudian hilang dari 

pemandangan. 

Purnama perhatikan dua buah Kitab Jagat Pusaka Dewa. 

Kitab pertama yang masih utuh dibalik-balik. Kitab ini hanya 

memiliki empat halaman. Seperti yang dikatakan mahluk bermata 

satu tadi, empat halaman kitab tampak kosong, tidak ada tulisan 

apa-apa. Kitab kedua yang rusak karena terbakar juga memiliki 

empat halaman yang telah hangus. Di beberapa bagian halaman 

kitab ini terlihat beberapa deret tulisan. Purnama mencoba 

membaca, namun huruf-huruf dalam tulisan itu seolah bergerak-

gerak. Ketika dipaksakan pendangan matanya mengabur dan 

kepalanya menjadi pusing. 

“Kitab aneh. Ada kekuatan yang melindungi hingga aku tak 

bisa melihat dan membaca jelas,” ucap Purnama. Gadis ini lalu 

memasukkan dua buah kitab ke balik pakaian. “Aku harus segera 

mengejar Wiro. Sudah banyak waktu terbuang percuma.” Sambil 

menerapkan ilmu kesaktian Segara Angin yang membuatnya 

mampu berlari luar biasa cepat hingga sosoknya lenyap dari 

pemandangan, gadis dari Latanahsilam ini sekali-sekali 

mengeluarkan ilmu Nafas Sepanjang Badan. Ilmu kesaktian ini 

selain mampu mengetahui keberadaan mahluk gaib, juga bisa 

dipergunakan untuk mencium atau membaui seseorang yang 

sebelumnya telah dikenal hingga mudah diketahui ke arah mana 

orang itu keberadaannya. 

“Dia bergerak ke arah barat. Agaknya memang tengah 

menuju Gunung Gede. Bau tubuhnya hilang-hilang timbul. 

Pertanda dia bergerak cepat sekali. Pasti dia menerapkan ilmu lari 

tingkat tinggi. Atau….astaga! “Purnama hentikan lari. “Ada mahluk 

hidup lain bersamanya. Mungkin dia menunggang kuda?” 

Purnama dongakkan kepala, menghirup udara dalam-dalam lalu 

menahan nafas beberapa lama. Sesaat kemudian gadis ini 

terbatuk-batuk, mukanya tampak merah. Sepasang mata berair. 

Dada turun naik. “Bukan kuda…..seekor binatang lain yang tak 

bisa aku duga. Aneh, bagaimana mungkin? Apa yang sebenarnya terjadi?” Purnama berdiri lurus-lurus. Dua kaki bergerak, tubuh 

berputar. Mula-mula perlahan lalu berubah cepat, berputar-putar 

seperti gasing, menebar angin mengeluarkan suara menderu 

hingga ranting pepohonan bergoyang dan daun-daun berguguran. 

Di lain kejap tubuh yang berputar itu melesat ke udara dan lenyap 

dari pemandangan. 

*** 

Dari jurusan lain, Ratu Duyung dan Naga Kuning serta 

Gondoruwo Patah Hati juga tengah mengejar Pendekar 212 Wiro 

Sableng. Sambil berlari Ratu Duyung tiada henti menerapkan ilmu 

Menembus Pandang. Bilamana ilmu kesaktian ini tidak dapat 

diterapkan karena orang yang dipantau berada diluar jangkauan 

maka Ratu Duyung pergunakan cermin sakti. Di satu tempat gadis 

cantik bermata biru ini hentikan lari. 

“Ada apa?” Tanya Naga Kuning. 

Ratu Duyung dekatkan cermin pada Naga Kuning dan 

Gondoruwo Patah Hati. 

“Lihat ke dalam cermin. Di dalam cermin ada dua titik putih. 

Titik putih pertama adalah bayangan sosok Wiro. Titik putih kedua 

yang lebih besar dan selalu berubah-ubah adalah bayangan sosok 

lain yang berada bersama Wiro.” 

“Kau bisa menduga siapa?” Tanya Gondoruwo Patah Hati. 

“Mungkin itu bayangan Purnama.” Kata Naga Kuning pula. 

Ratu Duyung terdiam, berpikir sejenak lalu menggeleng. 

“Seperti kalian lihat titik putih besar selalu berubah-ubah. Ini 

suatu pertanda titik itu bukan perwujudan manusia…..” 

“Aku bisa menduga, saat ini Wiro tengah menunggang 

kuda.” Kata Naga Kuning pula. 

“Tadinya aku juga berpendapat demikian,” jawab Ratu

Duyung. “Tapi kuda tidak memiliki kecepatan bergerak seperti 

yang aku lihat dalam cermin …..” 

“Mungkin seorang sakti mendukung Wiro?” ucap Gondoruwo 

Patah Hati. 

“Nek.. sudah aku katakan mahluk itu bukan manusia …“Aku tahu.” Kata Naga Kuning dengan wajah sungguh-

sungguh. “Wiro didukung oleh Purnama! Kita semua tahu 

Purnama bukan manusia biasa. Dia mahluk dari alam gaib!” 

Ratu Duyung terdiam. Wajahnya berubah dan sepasang 

mata menatap tek berkesip pada Naga Kuning. “Apa yang 

dikatakan anak ini mungkin saja betul…..” Ratu Duyung 

membatin. Untuk memastikan dia lalu kerahkan ilmu Menyirap 

Detak jantung. Namun tidak berhasil karena sasaran yang coba 

dipantau terlalu jauh. “Kalau saja aku bisa mendapatkan Batu 

Mustika Angin Laut Kencana Biru pasti kejap ini juga aku bisa 

mengejar Wiro. Ah, bagaimana ini? Satu-satunya usaha hanya 

mengandalkan cermin sakti ini.” Batu Mustika Angin Laut Kencana 

Biru adalah batu sakti milik Nyai Roro Kidul Penguasa Laut 

Selatan. Batu ini mampu membuat seseorang berpindah dari satu 

tempat ke tempat lain yang diinginkannya hanya dalam bilangan 

kejapan mata. Nyai Roro Kidul pernah meminjamkan batu sakti 

tersebut pada orang kepercayaannya bernama Nyi Roro Manggut 

untuk menolong Pendekar 212 yang berada dalam keadaan 

bahaya (baca serial Wiro Sableng berjudul “Sang Pembunuh”). 

Tak mau membuang waktu berlama-lama Ratu Duyung 

memberi tanda. Ketiga orang itu berkelebat, melanjutkan 

pengejaran ke arah barat. 

***


DUA


Kita ikuti dulu apa yang terjadi dengan Bidadari Angin Timur, 

gadis cantik berkepandaian tinggi yang memiliki rambut berwarna 

pirang yang tak asing lagi bagi rimba persilatan tanah Jawa. Di 

dalam serial Wiro Sableng berjudul “Insan Tanpa Wajah” 

dituturkan bagaimana Bidadari Angin Timur menyirap kabar 

ditangkapnya Wiro oleh Pangeran Tua Sena Wirapala dengan 

tuduhan telah memperkosa dan membunuh cucunya yang 

bernama Raden Ayu Ambarsari. Ketika Bidadari Angin Timur 

menyelidik ke Kotaraja, ternyata Wiro telah dibebaskan oleh 

seseorang dan saat itu berada di sebuah gubuk di tikungan Kali 

Progo, dijaga oleh Setan Ngompol dan Ki Tambakpati.

Bidadari Angin Timur mendatangi gubuk, menangis di tepi 

ranjang dimana Pendekar 212 terbaring. Dia merasa sangat sedih 

melihat sang pendekar yang berulang kali mengalami nasib 

sengsara sejak beberapa waktu belakangan ini. Apalagi sebelum 

masuk ke dalam gubuk milik Ki Tambakpati si gadis telah 

mendengar percakapan dua kakek. Diantara isak tangisnya 

Bidadari Angin Timur berkata. 

“Ketika berada di tepi kali, aku sempat mendengar 

pembicaraan kakek berdua. Apa betul Wiro telah menjadi seorang 

lelaki yang tidak sempurna? Apa benar dia telah kehilangan 

kejantanannya? Apakah dia memang tidak bisa disembuhkan lagi 

untuk selama-lamanya?” 

Setan Ngompol pegangi bagian bawah perut menahan 

kencing. Ki Tambakpati terdiam tak bisa menjawab. Tangis 

Bidadari Angin Timur pecah. 

“Sahabatku, mari kita keluar. Kita bicara di luar …..” Setan 

Ngompol membujuk si gadis. 

Bidadari Angin Timur gelengkan kepala lalu berkata.

“Rasanya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi Kek. Aku 

sudah mendengar semuanya.” 

Gadis berambut pirang itu membungkuk mengusap kening 

Pendekar 212 yang terasa sangat dingin.“Kami berdua akan berusaha memusnahkan penyakitnya,” 

berkata Ki Tambakpati. 

Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Dia letakkan 

kepalanya di dada Pendekar 212 lalu menangis keras.

“Hentikan tangismu. Sebaiknya kau membantu dengan 

memanjatkan doa pada Gusti Allah agar Wiro bisa disembuhkan 

….,” berkata Ki Tambakpati. 

“Akan aku lakukan Kek, akan aku lakukan ..,” Jawab Bidadari 

Angin Timur berulang kali. Dalam hati gadis ini membatin. 

“Tuhan, Kau tahu sejak dulu aku telah memanjatkan segala doa 

dan mohon. Tapi agaknya aku harus melihat kenyataan lain …” 

Lalu tanpa berkata lagi Bidadari Angin Timur melangkah ke pintu. 

“Bidadari Angin Timur, tunggu dulu!” Setan Ngompol 

memanggil. 

Namun gadis cantik berambut pirang itu telah lenyap dari 

pandangan. Dikejar keluar gubuk sosoknya tak kelihatan lagi. Di 

dalam rimba persilatan Bidadari Angin Timur dikenal sebagai 

tokoh yang memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa. Tidak 

heran kalau kedua kakek tidak berhasil mengejar. Padahal kurang 

dari sekejapan mata sosoknya masih terlihat di ambang pintu. 

“Heran, aku tahu dia sangat mencintai Wiro. Tapi mengapa 

pergi begitu saja?” berucap Setan Ngompol sambil pegangi bagian 

bawah perutnya. 

“Kalau memang benar dia telah mendengar pembicaraan

kita, aku rasa gadis itu sangat terpukul mengetahui penyakit yang 

diderita Wiro ….” Ujar Ki Tambakpati pula. 

“Aku tidak tahu ….” Ucap Setan Ngompol. “Kalau aku jadi 

dia, aku tidak akan meninggalkan pemuda itu. Aku akan berusaha 

mencari obat penyembuh. Tapi ….” Setan Ngompol gelengkan 

kepala berulang kali. 

“Mungkin itu yang ada dalam pikirannya. Mencari obat untuk 

kesembuhan pemuda yang dicintainya. Mungkin juga gadis itu tak 

mau berlama-lama di sini karena sudah merasa bakal ada gadis-

gadis lain kerabat Wiro yang akan muncul.” Kata Ki Tambakpati pula. Kenyataannya seperti yang dikisahkan dalam episode 

sebelumnya beberapa orang gadis yang sama mencintai Pendekar 

212 memang datang ke gubuk di tepi Kali Progo itu. Mereka 

adalah Purnama, Bunga dan Ratu Duyung. 

*** 

Keadaan Bidadari Angin Timur sangat mengenaskan. Setelah 

dua hari berlari tanpa tujuan seolah hanya sepembawa kakinya, 

disuatu pagi ini sampai disebuah bukit kecil. Di bawah bukit 

terbentang pedataran subur dialiri Kali Pemali. Pakaian birunya 

kotor, wajah pucat dan rambut yang pirang tampak awut-awutan. 

Sepasang mata kelihatan agak sembab karena terlalu banyak 

menangis. Dia tak ingat kapan terakhir kali dia makan mengisi 

perut. Memandang ke arah kali timbul niatnya untuk mandi 

membersihkan diri. Apalgi tempat itu tampak sepi. Ketika dia 

tengah menuruni bukit, melangkah tergontai-gontai disela-sela 

pepohonan, tiba-tiba suasana tenang dan sepi dirobek oleh suara 

derap kaki kuda riuh sekali. Memperhatikan ke bawah bukit 

Bidadari Angin Timur terheran-heran karena tepi kali yang tadi 

sunyi senyap kini dipenuhi oleh dua rombongan orang berkuda 

yang datang dari arah berlawanan dan kini tampak berhadap-

hadapan. 

Bidadari Angin Timur yang tengah kacau pikiran dan 

kelelahan menyelinap di balik rerumpunan semak belukar lalu 

melompat ke cabang sebatang pohon di tepi kali. Dia ingin 

menyaksikan apa yang akan segera terjadi. 

Rombongan penunggang kuda di sebelah kanan berjumlah 

dua puluh orang. Mereka mengenakan daster dan pakaian serba 

hitam, rata-rata memiliki tubuh besar. Semua mencekal sebilah 

golok, kecuali penunggang kuda paling depan yang hanya 

mengandalkan tangan kosong, pertanda dia pasti memiliki ilmu 

kepandaian tinggi. Orang ini menutupi wajahnya dengan sebuah 

topeng berwarna putih perak. Di belakang kepala rambut panjang 

menjulai sebahu. Agaknya dia yang menjadi pimpinan orang-

orang berseragam hitam ini. Bidadari Angin Timur punya dugaan ini bukan orang baik-baik. Mungkin gerombolan penjahat atau 

rampok. Dalam jumlah yang lebih banyak mereka punya

keberanian untuk menghadapi rombongan yang datang dari arah 

depan. Rombongan kedua ini berjumlah sepuluh orang. Mereka 

mengenakan pakaian seragam pasukan Kerajaan. Walau bagian 

Kali Pemali dimana dia berada terletak di wilayah Jawa sebelah 

tengah namun Bidadari Angin Timur mengenali kalau pasukan 

yang berjumlah sepuluh orang itu bukan berasal dari Kerajaan di 

wilayah itu. Dia tidak pernah melihat seragam pasukan seperti itu 

sebelumnya. Pakaian dan celana serta topi biru. Anggota pasukan 

rata-rata bertubuh kecil dan masih muda belia, bersenjata 

pedang, golok, dan tombak. Pasukan kecil ini di pimpin oleh 

seorang Perwira Muda berwajah cakap. Hanya Perwira ini satu-

satunya yang memiliki tubuh besar tegap. 

Ketika memperhatikan wajah sang Perwira Muda tersiraplah 

darah Bidadari Angin Timur. Dada berdebar. Hati berucap. 

“Benarkah dia ? Bagaimana ceritanya dia bisa berada di kawasan 

ini. Sejak kapan dia jadi seorang Perwira. Dari kerajaan mana. 

Bukankah aku dan dia sudah berjanji akan bertemu di air terjun 

Batuputih pada Satu Suro. Satu purnama dari sekarang. Ternyata 

pertemuan terjadi lebih cepat dari yang direncanakan. Apakah 

semua ini atas kehendak Gusti Allah?” 

Walau dia ingin cepat-cepat menemui sang Perwira Muda 

namun Bidadari Angin Timur terpaksa menahan diri. Dia 

memperhatikan dengan mata tak berkesip. Makin diperhatikan 

tambah keras detak jantungnya. “Rasanya pandangan mataku 

tidak mungkin keliru. Sahabat…… Kau pernah membuat hatiku 

dalam kebimbangan. Hari ini kebimbangan itu muncul kembali.” 

Sekilas terbayang wajah Pendekar 212 Wiro Sableng dipelupuk 

mata si gadis. “Tuhan, apa kali ini kebimbangan itu akan berakhir 

pada suatu ujung …. Ah, sulit aku membayangkan.” 

Di tepi kali, lelaki bertopeng perak mengangkat tangan, 

memberi tanda untuk menahan serangan pada sembilan belas 

anak buahnya yang sudah siap menyerbu dengan golok di tangan Orang ini arahkan pandangan pada Perwira Muda berpakaian dan 

bertopi biru yang ternyata juga tidak membekal sebilah 

senjatapun. 

“Tubagus Putrakesuma! Jumlah kami dua kali lebih banyak! 

Anak-anak buahku rata-rata berbadan kokoh besar. Anggota 

pasukanmu hanya pemuda-pemuda kurus kurang makan! Apakah 

kau masih punya nyali untuk menangkapku? Aku memberi saran 

sebaiknya kau pulang saja ke Cirebon, cuci kaki, cebok dan tidur! 

Ha … ha … ha … ha!” Suara tawa lelaki bertopeng perak diikuti 

oleh suara bergelak sembilan belas orang anak buahnya. 

Di atas pohon Bidadari Angin Timur terheran-heran 

mendengar lelaki bertopeng menyebut Perwira Muda itu dengan 

nama Tubagus Putrakesuma. 

“Kalau memang dia, mengapa namanya Tubagus 

Putrakesuma? Apa dia memang sudah berganti nama? Banyak 

keanehan yang tidak aku mengerti …” Gadis berambut pirang 

membatin dalam hati. 

Perwira Muda bernama Tubagus Putrakesuma yang 

dilecehkan balas menatap tajam pada lelaki bertopeng. Tidak ada 

bayangan rasa takut diwajahnya yang cakap. 

“Topeng Perak! Kau pimpinan pemberontak pengacau 

Kerajaan. Aku membawa tugas menangkapmu. Aku tidak akan 

kembali ke Cirebon tanpa membawa dirimu. Jika kau mau 

menyerah hidup-hidup, aku berjanji akan meminta keringanan 

hukuman bagimu pada Sultan Cirebon.” 

Mendengat ucapan Perwira Muda yang ternyata berasal dari 

Kerjaan Cirebon, sebuah Kerajaan yang baru saja berdiri, lelaki 

bertopeng perak tertawa gelak-gelak. 

“Tubagus Putrakesuma. Bagiku apa yang namanya Kerajaan 

Cirebon itu tidak pernah ada! Jadi yang namanya Sultan Cirebon 

juga tidak ada!” 

“Asal muasalnya kau adalah orang jahat kepala rampok keji 

tidak berperikemanusiaan. Sekarang kau melibatkan diri dalam urusan Kerajaan. Siapa yang berada di belakangmu?” Tanya 

Perwira Muda Tubagus Putrakesuma. 

Kembali Topeng Perang tertawa bergelak. 

“Lagakmu hebat hendak menyelidik diriku! Baru beberapa 

minggu jadi Perwira sudah sombong selangit. Bicaramu tidak 

karuan! Tidak ada orang lain di belakangku. Aku bertindak untuk 

kepentinganku sendiri ….” 

“Hemm, apakah kepentinganmu itu?” 

“Membakar tahta, melenyapkan apa yang kau sebut 

Kerajaan Cirebon …” 

“Kau ingin mengambil kekuasaan dari Sultan Cirebon?

Begitu?” Tubagus Putrakesuma tertawa. 

“Manusia sepertimu apa pantasnya jadi Sultan. Unjukkan 

muka saja tidak berani. Buktinya kau menutupi wajah dengan 

topeng. Berarti nyalimu sebenarnya hanya sedengkul.” 

“Perwira keparat! Kau tak akan pernah melihat Sultanmu 

lagi. Ketahuilah, serombongan besar pasukan anak buahku saat 

ini tengah bergerak dari utara ke selatan. Siap membuat Cirebon 

sama rata dengan tanah!” 

Tubagus Putrakesuma tertawa mencemooh. “Kau boleh 

menggertak. Siapa mau percaya. Siapa merasa takut.”

Lelaki bertopeng keluarkan suara menggembor, angkat

tangan kanannya ke atas lalu berteriak, “Anak-anak. Cincang 

sampai lumat cecunguk-cecunguk Kerajaan Cirebon ini!” 

“Tunggu!” Perwira Muda Tubagus Putrakesuma berseru.

“Topeng Perak, kita sama-sama pimpinan disini. Mengapa mau 

mengorbankan anak buah? Bagaimana kalau kita bertarung satu 

lawan satu. Kalau aku kalah aku akan kembali ke Cirebon. Kau 

boleh bebas. Tapi kalau kau yang jadi pecundang, aku akan 

membawamu ke Kotaraja!” 

“Sombongnya berani menantang! Pimpinan, biar aku tabas 

batang leher perwira keparat ini!” Seorang anak buah Topeng 

Perak yang ada di samping kanan berteriak sambil angkat golok 

tinggi-tinggi lalu dibabat ganas ke arah leher Tubagus Putrakesuma. Namun saat itu juga sebuah benda melesat 

berdesing di udara lalu terdengar raungan anak buah Topeng 

Perak yang barusan menyerang. Tubuhnya tergelimpang jatuh ke 

tanah. Di kening menancap potongan cabang kayu sepanjang dua 

jengkal, besar dua kali jari tangan. Darah mengucur menyelomoti 

mukanya. Beberapa ekor kuda meringkik dan bersurut mundur. 

“Bangsat kurang ajar! Pengecut! Kau menyembunyikan 

orang berkepandaian tinggi melakukan serangan membokong!” 

Teriak Topeng Perak marah sekali. 

Tubagus Putrakesuma, Perwira Muda Kerajaan Cirebon saat 

itu sebenarnya juga merasa heran. Dia tidak menyembunyikan 

orang pandai seperti yang dituduhkan. Namun siapa gerangan 

yang barusan membunuh anak buah Topeng Perak begitu rupa? 

Adakah orang itu berada dipihaknya atau sekedar iseng 

menunjukkan kehebatan? 

Sekali menggebrak kuda tunggangannya, Topeng Perak 

melesat ke udara. Kaki kanan menerjang lurus ke arah dada 

Tubagus Putrakesuma. Jurus serangan ini bernama Ladam Sakti 

Menembus Dinding Karang. Demikian cepatnya serangan ini 

hingga Perwira Muda Kerajaan Cirebon itu terlambat berkelit. 

Walau dadanya selamat namun bahu kirinya masih sempat 

ditabrak tumit orang. Sang Perwira terpuntir di atas punggung 

kudanya lalu terbanting ke bawah. Bahu kirinya sakit bukan 

kepalang dan terasa kaku. Namun dengan cekatan dan gerakan 

enteng dia masih mampu jatuh ke tanah di atas dua kaki. Pada 

saat dua kakinya menginjak tanah, kejap itu pula Topeng Perak 

datang dari depan, lancarkan serangan berupa pukulan berantai. 

Pertarungan hebat serta merta terjadi. Dalam keadaan seperti itu 

sebenarnya Topeng Perak tadi sempat terkesiap melihat 

kekebalan tubuh lawan. Tendangan yang dilancarkannya jika 

mengena telak jangankan dada manusia, dinding batu sekalipun 

pasti akan jebol hancur berkeping-keping. Ketika tendangan 

membentur bahu kiri lawan, Perwira Muda itu ternyata hanya 

terpuntir. Tubuhnya sama sekali tidak cidera. Padahal tendangan tadi mampu meremukkan daging dan menghancurkan tulang 

bahunya! 

Melihat pimpinan mereka sudah bertempur, delapan belas 

anak buah Topeng Perak segera menyerbu sembilan prajurit 

Kerajaan Cirebon. Saat itulah dari pohon besar di tepi kali 

melayang turun satu bayangan biru yang bukan lain adalah 

Bidadari Angin Timur. Di tangan kanan gadis ini memegang 

patahan cabang pohon sebesar betis. 

“Diberi peringatan kalian tidak mau membuka mata. 

Sekarang biar mata kalian aku tutup untuk selama-lamanya.” 

“Praakk!” 

“Praakk!” 

Dua anak buah Topeng Perak mencelat dari punggung kuda 

masing-masing. Terkapar di tanah dengan kepala remuk! Enam 

belas temannya berteriak geger, marah tapi banyak yang mulai 

merasa kecut nyalinya. Saat itu diantara mereka berdiri seorang 

gadis cantik berpakaian biru, berambut pirang. Wajah yang cantik 

mengulum senyum, membentuk lesung pipi di pipi kiri kanan. 

“Bidadari Angin Timur!” Berseru Perwira Muda Tubagus 

Putrakesuma. Mata terbeliak, wajah unjukkan rasa kaget tidak 

percaya. 

“Tuduhanku benar! Perwira keparat ternyata kau memang 

membawa bergundal perempuan berkepandaian tinggi untuk 

menolongmu!” Teriak Topeng Perak marah besar walau diam-

diam dia sangat terpesona dengan kecantikan si gadis sementara 

hati kecilnya menduga-duga. Dia rasa-rasa pernah mendengar 

nama gadis yang tadi disebutkan Perwira Muda itu. 

“Mengapa kalian diam melongo! Bunuh perempuan itu!”

teriak Topeng Perak pada anak buahnya. Apa boleh buat. Walau 

nyali leleh, enam belas anak buah Topeng Perak segera 

menggebrak kuda masing-masing. Empat diantaranya melompat 

dari punggung kuda langsung menyerang Bidadari Angin Timur. 

Agaknya mereka memiliki kepandaian silat dan ilmu meringankan 

tubuh yang cukup lumayan. Empat golok menyambar ganas.Bidadari Angin Timur tertawa panjang. Sambil melompat ke 

kiri mengelakkan tebasan golok dua orang lawan, kayu sebesar 

betis di tangan kanan berkelebat ke depan mengeluarkan suara 

berdesing. 

“Wuuuttt!” 

Dua orang anak buah Topeng Perak yang barusan 

menyerang meraung keras. Yang satu jebol perutnya, satu lagi 

hancur tulang pinggulnya. Dua orang berikutnya, selagi mereka 

terkesiap menyaksikan apa yang terjadi, kayu besar di tangan 

Bidadari Angin Timur berturut-turut menghajar kepala masing-

masing. 

Melihat kehebatan serta keganasan serangan gadis cantik 

berambut pirang, sekian banyak anak buah Topeng Perak tak 

sanggup lagi menahan ngeri. Beberapa diantaranya ada yang 

sudah mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Pada saat 

itu pula sembilan prajurit Kerajaan Cirebon datang menyerbu. 

Walau jumlah mereka masih lebih banyak namun ke tiga belas 

anak buah Topeng Perak memilih kabur. Yang bernasib mujur bisa 

melarikan diri hanya enam orang. Empat menemui ajal, tiga luka 

parah. 

Topeng Perak keluarkan seluruh kepandaiannya berusaha 

menghabisi lawan secepat mungkin. Dia merasa di atas angin 

karena Perwira Muda yang dihadapinya berada dalam keadaan 

cidera bahu kiri akibat tendangannya tadi. Namun dia merasa 

heran, setiap serangan dilancarkan dari tubuh lawan berdesir 

keluar hawa aneh yang membuat tangan atau kakinya menjadi 

sakit seperti dicucuki puluhan jarum. Semakin dia mempercepat 

serangan dan melipat gandakan tenaga dalam semakin hebat rasa 

tusukan itu. Dia tersentak kaget ketika melihat dua tangannya 

yang tersembul diujung lengan baju hitam mengeluarkan bercak-

bercak darah! 

Jurus demi jurus Topeng Perak mulai terdesak. Menyadari 

kalau dia hanya tinggal sendirian di tempat itu, lelaki ini melompat 

mundur, keluarkan teriakan bergelegar sambil pentang dua tangan ke atas. Saat itu juga sepasang tangan Topeng Perak 

berubah menjadi hitam kelam sebatas siku sampai ke ujung jari! 

Lelaki ini hentakkan kakinya kiri kanan ke tanah. Serta merta dua 

kaki itu berubah pula menjadi hitam mulai dari lutut sampai ke 

jari! Inilah ilmu kesaktian yang disebut Naroko Wesi Ireng. 

Untuk memperlihatkan ilmu kesaktiannya itu sekaligus 

bermaksud membuat gentar lawan Topeng Perak menyambar ke 

kiri, menghantam dada seorang prajurit dengan tangan kanan. 

“Bukk!” 

Tak ampun lagi prajurit itu terpental dari punggung kuda, 

jatuh terbanting ke bawah. Walau dada yang kena dihantam 

namun luar biasanya seluruh tubuh mulai dari kepala sampai ke 

kaki kelihatan hancur, mengkeret menjadi hitam dan 

mengepulkan asap kelabu! 

Belum puas, Topeng Perak tendang pinggul kuda prajurit 

yang barusan dibunuhnya dengan kaki kanan. 

“Duukkk!” 

Kuda hitam besar itu meringkik keras. Berkelojotan di tanah 

beberapa lama. Tubuhnya hancur, mulai dari pinggul yang kena 

tendang, terus menjalar kebagian tubuh lainnya sampai kepala 

dan empat kaki. Keseluruhan sosok binatang itu tak berbentuk 

lagi, hancur lumat, mengkeret hitam dan mengepul asap kelabu! 

***


TIGA


Perwira Muda Tubagus Putrakesuma terkesiap kaget. 

Gerakan Topeng Perak sewaktu menghabisi secara kejam anak 

buah dan kuda hitam luar biasa cepat hingga dia tidak sempat 

menolong. Delapan prajurit Kerajaan Cirebon tampak pucat dan 

merinding dingin tengkuk masing-masing menyaksikan apa yang 

terjadi. Mampukah pimpinan mereka yang masih muda itu 

menghadapi ilmu kesaktian lawan yang begitu dahsyat? 

Bidadari Angin Timur sendiri seumur hidup baru sekali ini 

menyaksikan ilmu kesaktian yang demikian ganas mengerikan. 

Seperti diketahui gadis ini memiliki ilmu gerak luar biasa cepat. 

Dia melihat kecepatan gerak lawan waktu membunuh prajurit dan 

kuda tadi hanya satu tingkat di bawah Ilmu Selaksa Kilat yang 

dimilikinya. 

”Tubagus Putrakesuma! Apakah kau sudah siap aku jadikan 

puntung neraka?!” ucap Topeng Perak lalu keluarkan suara 

mendengus. 

”Manusia sombong!” ejek si Perwira Muda. “Kuda tak 

berdosa kau bunuh! Sekarang kau tunggu apa lagi! Mengapa tidak 

langsung menyerang diriku!” 

”Perwira!” berkata Bidadari Angin Timur sambil menggeser 

kaki ke arah Topeng Perak. ”Tanganku sudah kepalang tanggung 

membunuh anak buahnya. Sekarang biarkan aku menghabisi 

bapak buahnya!” 

”Gadis congkak!” Bentak Topeng Perak sebelum Tubagus 

Putrakesuma semapat menjawab. ”Lebih baik kau duduk saja di 

bawah pohon sana. Kalau manusia satu ini sudah kujadikan 

puntung neraka, aku akan membawa kau pergi kemana kau 

suka!” 

Bidadari Angin Timur tertawa. ”Kalau begitu aku ke neraka 

sekarang juga! Hik ... hik ... hik!” 

Habis berkata begitu gadis cantik berambut pirang ini 

berkelebat. 

Tubuhnya berubah menjadi bayangan biru.

”Wuuut!” 

”Breett!” 

Dada pakaian hitam Topeng Perak robek besar namun 

Bidadari Angin Timur sendiri terpekik dan melompat mundur 

sambil usap kepalanya. Memandang ke arah lawan Bidadari Angin 

Timur melihat sejumput rambutnya berada dalam genggaman 

tangan kiri Topeng Perak. Lelaki ini sunggingkan seringai lalu 

meniup. Serta merta rambut pirang dalam genggamannya 

terbakar mengepulkan asap. Topeng Perak tertawa bergelak. 

Mau tak mau paras Bidadari Angin Timur jadi berubah. 

Selama malang melintang dalam rimba persilatan tanah Jawa baru 

sekali itu ada lawan sanggup menjambak rambutnya! 

Melihat apa yang terjadi Tubagus Putrakesuma merasa

khawatir. Kalau mau tadi Topeng Perak bisa menghancurkan 

kepala Bidadari Angin Timur. Cemas akan keselamatan si gadis 

jika kedua orang ini melanjutkan pertarungan, sang Perwira cepat 

berkata. 

”Bidadari Angin Timur, Kerajaan menugaskanku untuk 

menangkap manusia ini hidup atau mati. Harap kau mundur dulu 

ketempat aman!” 

Bidadari Angin Timur tidak menjawab juga tidak beranjak. 

Dua kaki digeser merenggang. Tangan kiri diangkat ke atas. 

Tangan kanan perlahan-lahan mengusap perut. Di kejauhan 

terdengar suara meraung seperti srigala melihat setan di malam 

buta. Walau saat itu siang hari namun semua orang termasuk 

Topeng Perak merasa mengkirik bulu kuduknya. Apalagi ketika 

Bidadari Angin Timur kemudian keluarkan suara tawa panjang. 

Sepasang mata menatap ke arah Topeng Perak tak berkesip. 

Wajahnya yang cantik berubah seputih kapur! 

Tubagus Putrakesuma terkejut. 

”Astaga, apakah dia memiliki ilmu Pusar Pusara? Apakah 

ilmu kesaktiannya sanggup melawan ilmu Naroko Wesi Ireng 

Topeng Perak?” ucap Perwira Muda itu sambil matanya

memperhatikan bagian perut Bidadari Angin Timur. Ketika tangan yang mengusap bergerak ke samping, sang perwira sempat 

melihat ada sesuatu yang menonjol di bagian pusar si gadis. 

Setelah itu! 

”Wusss!” 

Dari balik pakaian Bidadari Angin Timur, tepat di arah pusar, 

melesat keluar selarik cahaya biru terang menyilaukan. Hawa luar 

biasa panas memenuhi udara. 

”Ilmu Pusar Pusara! Cahaya Geni Biru! Dia memang masih 

memiliki ilmu kesaktian itu!” ucap Tubagus Putrakesuma lalu 

cepat bergerak menjauh. 

Seperti terkisah dalam serial Wiro Sableng berjudul “Nyi 

Bodong”, Bidadari Angin Timar nekad membuang diri ke dalam 

jurang karena menyangka dirinya telah diperkosa oleh Hantu 

Muka Dua. Gadis ini diselamatkan oleh seorang kakek sakti 

bernama Kiai Munding Suryakala. Kakek inilah yang kemudian 

memberikan satu ilmu dahsyat pada Bidadari Angin Timur disebut 

Ilmu Pusar Pusara. Dari pusarnya yang menyembul bodong bisa 

melesat keluar cahaya biru bernama Geni Biru atau Api Biru. Sejak 

kejadian itu Bidadari Angin Timur dikenal dengan sebutan Nyi 

Bodong, walau orang-orang rimba persilatan tidak mengetahui 

siapa dirinya. (Baca juga serial Wiro Sableng berjudul ”Api di 

Puncak Merapi” dimana diceritakan riwayat tewasnya dedengkot 

tokoh rimba persilatan golongan hitam Pangeran Matahari). 

Ketika diserang lawan, Topeng Perak yang merasa percaya 

penuh akan kehebatan Naroko Wesi Ireng yang dimilikinya, hanya 

bergerak mengelak dua langkah ke samping lalu menggebrak 

dengan dua pukulan maut. 

Bidadari Angin Timur putar pinggulnya. Larikan cahaya Geni 

Biru ikut bergeser. Pada saat itu dua serangan tangan Topeng 

Perak hanya tinggal satu jengkal lagi akan mendarat di dada dan 

kepala Bidadari Angin Timur, cahaya biru yang keluar dari pusar si 

gadis melabrak tubuhnya! 

Topeng Perak meraung setinggi langit. Tubuhnya sebelah 

depan, mulai dari dada sampai ke perut hangus terbelah jebol!Darah menyembur, usus membusai. Namun saat itu tinju 

kanannya masih mampu menderu ke arah kepala Bidadari Angin 

Timur. Hanya sekejapan mata lagi kepala gadis cantik berambut 

pirang itu akan hancur tiba-tiba dari samping kiri melesat satu 

mahluk coklat, langsung menabrakkan tubuhnya ke tangan kanan 

Topeng Perak. 

”Buukkk!” 

Jotosan tangan kanan Topeng Perak mendarat telak di

tubuh mahluk coklat. Topeng Perak sendiri terhuyung beberapa 

langkah sambil pegangi perutnya yang jebol dengan tangan kiri 

lalu jatuh terjengkang tak berkutik lagi. Manusia satu ini memang 

luar biasa. Orang lain kalau sampai terkena hantaman Geni Biru 

pasti akan tercerai berai tubuhnya. 

”Nguiiikk!” 

Mahluk coklat terpental dan terguling di tanah. 

Mengeluarkan jeritan aneh. Semua prajurit Kerajaan Cirebon yang 

ada ditempat itu dan juga Bidadari Angin Timur mendelik kaget. 

Mahluk yang tadi menyelematkan si gadis ternyata adalah seekor 

binatang langka. 

Tubuhnya sebelah kiri yang tertutup duri-duri cokelat 

panjang dan runcing tampak hangus leleh mengepulkan asap. 

”Tikus raksasa berbulu duri! Dari mana datangnya?” seru 

seorang prajurit dengan mata mendelik. 

”Landak jejadian!” teriak prajurit disebelahnya. 

”Hai kemana lenyapnya Perwira Tubagus Putrakesuma?!” 

prajurit lain berteriak. Mereka saling berpandangan lalu sama-

sama memperhatikan binatang yang mendekam di tanah.

Perlahan-lahan sosok mahluk coklat yang merupakan seekor 

landak hampir sebesar anak kerbau itu ujudnya menjadi samar 

lalu berubah membentuk sosok manusia. Dan manusia ini bukan 

lain adalah Tubagus Putrakesuma! Pakaiannya sebelah kiri tampak 

hangus. Kulit tubuh lecet merah. Disela bibir kelihatan ada 

kucuran darah. Seluruh prajurit Kerajaan Cirebon yang ada ditempat itu melengak kaget. Tak percaya akan apa yang mereka 

lihat. 

”Jatilandak!” teriak Bidadari Angin Timur. ”Kau ....kau tak 

apa-apa?” 

Perwira Muda Tubagus Putrakesuma yang sebenarnya 

adalah Jatilandak, pemuda dari negeri Latanahsilam, putra 

Luhmintari yang kini bernama Tubagus Putrakesuma kedipkan 

mata. Tubuhnya bergetar hebat, sakit luar biasa. Kepala 

berdenyut seperti mau pecah, pandangan agak buram. Bidadari 

Angin Timur menolong pemuda berdiri. 

”Kau terluka...” ucap si gadis. 

”Hanya luka luar. Tidak apa-apa ...” 

”Tapi kau juga terluka di dalam. Ada darah di mulutmu.” 

Tubagus Putrakesuma alias Jatilandak seka darah di sela 

bibir. Dia coba tersenyum. “Aku senang bertemu denganmu.” 

“Jangan bicara itu dulu. Aku khawatir sekali akan 

keadaanmu.” 

Jatilandak terdiam sejurus. Pemuda ini merasa terharu 

mendengar kata-kata Bidadari Angin Timur tadi. ”Ternyata dia 

sangat memperhatikan diriku ....” ucap Jatilandak dalam hati. Lalu 

dia berkata. 

”Keadaanku baik-baik saja. Bulu landak melindungi diriku. 

Kalau tidak merubah diri menjadi landak, aku mungkin tidak bisa 

menahan pukulan Topeng Perak. Saat ini aku pasti sudah hancur 

lumat seperti prajurit dan kuda tadi.” 

”Jatilandak, aku sangat berterima kasih padamu. Untuk 

kesekian kali kau menyelamatkan jiwaku tanpa memikirkan 

keselamatan dirimu sendiri. Yang aku tidak mengerti bagaimana 

ceritanya kau sekarang menjadi seorang Perwira. Dari Kerajaan 

Cirebon. Benar ....?” 

Tubagus Putrakesuma tersenyum. 

”Nanti aku ceritakan.” kata sang Perwira pula. Dia 

memandang ke arah mayat Topeng Perak yang tergeletak di 

tanah. ”Aku ingin tahu dulu siapa sebenarnya manusia berjuluk Topeng Perak itu ...” Tubagus Putrakesuma lalu melangkah 

mendekat mayat dan menarik lepas topeng perak yang masih 

menempel menutupi wajah. Ketika topeng tersingkap, semua 

prajurit Kerajaan Cirebon yang ada ditempat itu keluarkan seruan 

kaget sementara Tubagus Putrakesuma sendiri tersurut satu 

langkah sambil berucap menyebut nama. 

”Karang Randu ...” 

”Siapa dia?” tanya Bidadari Angin Timur. 

”Sahabat dekat Sultan Cirebon. Setahuku dulu dia ikut 

membantu berdirinya Kerajaan Cirebon. Konon dia mencintai Nyai 

Rara Santang, saudara perempuan Sultan. Namun dia bertepuk 

sebelah tangan. Setelah tahu cintanya tidak bersambut, Karang 

Randu melenyapkan diri entah kemana. Tidak tahunya ..... Tidak 

bisa ku bayangkan. Demikian hebatnya cinta yang berubah 

menjadi kebencian.” Tubagus Putrakesuma alias Jatilandak 

berpaling pada Bidadari Angin Timur. Si gadis menatap wajah 

pemuda ini. Dua pasang mata saling beradu pandang, 

menimbulkan getaran-getaran aneh di lubuk hati masing-masing. 

”Saudara Sultan itu pasti seorang gadis cantik jelita ...” ucap 

Bidadari Angin Timur pula. 

Tubagus Putrakesuma tidak menjawab. Pemuda ini merasa 

ada nada rasa cemburu yang tersembunyi. ”Apakah dia masih 

memiliki perasaan hati seperti dulu terhadapku? Apakah aku 

masih mempunyai secercah harapan....?” 

Tubagus Putrakesuma memerintahkan anak buahnya 

berangkat duluan ke Cirebon dengan membawa mayat Topeng 

Perak alias Karang Randu setelah terlebih dahulu diikat bagian 

dada dan perutnya yang jebol. 

”Sampaikan pada Sultan aku akan menyusul kemudian. Ada 

satu urusan yang harus aku selesaikan lebih dulu di tempat lain.” 

Delapan prajurit segera tinggalkan tempat itu dengan hati 

bertanya-tanya. Siapa gerangan gadis cantik berambut pirang 

yang memiliki ilmu kesaktian hebat dan berhasil membunuh Topeng Perak yang selama ini menjadi momok nomor satu bagi 

Kerajaan Cirebon. Apa hubungan si gadis dengan atasan mereka. 

***


EMPAT


Setelah semua prajurit pergi Tubagus Putrakesuma meminta 

Bidadari Angin Timur naik ke atas kuda miliknya. Dia sendiri 

menunggangi kuda bekas kepunyaan salah seorang anak buah 

Topeng Perak. Perwira itu kemudian membawa Bidadari Angin 

Timur ke satu tempat berbukit-bukit dimana terdapat sebuah 

teratak beratap bambu. 

”Indah sekali pemandangan di sini ...” ucap Bidadari Angin 

Timur. 

Diantara kehijauan pepohonan serta petak-petak sawah 

menguning, di bawah sana tampak mengalir Kali Pemali. Dia arah 

timur menjulang Gunung Kumbang, didampingi Gunung Kadaka di 

sebelah barat. Diam-diam Tubagus Putrakesuma perhatikan gadis 

di sampingnya. Ketika Bidadari Angin Timur berpaling kearahnya, 

untuk kesekian kali keduanya saling beradu pandang tanpa ada 

yang bicara. Namun seribu kata seolah sudah terucapkan. Seribu 

kata yang menjalin rasa bahagia karena terjadinya pertemuan itu, 

sekaligus melepas rasa rindu yang mendalam. 

”Aku senang sekali bertemu denganmu. Sesuai perjanjian 

kita seharusnya baru bertemu pada Satu Suro bulan mendatang di 

air terjun Batu Putih. Ternyata aku bisa melihatmu lebih cepat. 

Apakah selama ini kau baik-baik saja?” Bertanya Tubagus 

Putrakesuma. 

Bidadari Angin Timur tidak menjawab, hanya mengangkat 

bahu lalu tersenyum. Tubagus Putrakesuma merasa ada sesuatu 

yang mengganjal dalam hati gadis berambut pirang ini. 

”Sahabat, kau mau menceritakan bagaimana kau bisa 

tersesat sampai sejauh ini?” 

”Aku harus memanggilmu dengan nama apa? Tubagus 

Putrakesuma atau Jatilandak? Atau Perwira?” bertanya Bidadari 

Angin Timur. 

”Terserah kau mau memanggil apa. Tapi kalau boleh aku 

lebih suka kau memanggilku Jatilandak. Itu nama asliku. Itu pula 

namaku ketika kita pertama kali saling mengenal ....”Bidadari Angin Timur terdiam. Dipelupuk matanya sekilas 

terbayang banyak hal dimasa lalu yang terjadi antara dirinya dan 

pemuda dari negeri 1200 tahun silam itu. Gadis ini akhirnya 

tersenyum. 

”Aku juga lebih senang memanggilmu dengan nama itu.

Nah, sekarang kau saja yang duluan bercerita bagaimana kau bisa 

jadi seorang Perwira Kerajaan Cirebon.” 

Jatilandak duduk menjeplok di tanah sementara Bidadari 

Angin Timur duduk di bangku panjang terbuat dari tiga batang 

bambu yang sudah agak lapuk. Melihat bambu yang diduduki 

melengkung Jatilandak berkata. ”Hati-hati, kalau patah kau bisa 

jatuh.” 

Bidadari Angin Timur cuma mengangguk. 

Jatilandak yang sekarang jadi Perwira Muda Kerajaan

Cirebon dan bernama Tubagus Putrakesuma, putra Luhmintari 

alias Purnama mengawali cerita ketika dia dan Pendekar 212 Wiro 

Sableng bersama ibunya serta Rayi Jantra bertemu Walang 

Sungsang alias Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang 

putera-puteri Prabu Siliwangi dari Pajajaran. (Baca serial Wiro 

Sableng berjudul ”Sang Pembunuh”). 

”Saat itu kami dalam satu urusan besar, mencari pembunuh 

nenek sakti jejadian Eyang Sepuh Kembar Tilu. Urusan ini ada 

sangkut pautnya dengan dua buah dadu dari negeri Cina yang 

disebut Dadu Setan serta satu tempat terkutuk bernama Istana 

Seribu Rejeki Seribu Sorga. Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara 

Santang tengah mendirikan satu Kerajaan baru di pantai utara 

yang disebut Kesultanan Cirebon. Mereka menawarkan pada Wiro 

jabatan Kepala Balatentara Kerajaan. Namun Wiro menolak. 

Akhirnya mereka meminta diriku. Karena mendapat izin dari ibu 

dan teman-teman, aku ikut bersama mereka. 

Tapi aku tahu diri. Ilmu kepandaianku tidak ada apa-apanya 

dibanding dengan Wiro. Karena itu aku hanya mau menerima 

jabatan Perwira mengepalai satu dari dua pasukan besar 

Kerajaan. Sejak satu minggu lalu aku bersama pasukan mengetahui keberadaan Topeng Perak di kawasan ini. Kami 

memata-matai dan membuntuti lalu menghadang mereka dekat 

Kali Pemali.” (Baca serial Wiro Sableng berjudul ”Sang 

Pembunuh”). 

”Cerita hebat. Tidak sangka kau bisa jadi perwira.” Memuji 

Bidadari Angin Timur. 

”Tugasku berat. Banyak orang tidak menyukai berdirinya 

Kesultanan Cirebon.” Jatilandak menghela nafas panjang. 

”Sekarang giliranmu bercerita bagaimana kau bisa sampai di 

tempat ini.” Jatilandak perhatikan wajah si gadis beberapa lama 

lalu berkata. ”Terus terang aku melihat satu bayangan di balik 

wajah cantikmu. Aku tahu itu bukan bayangan keletihan. Kalau 

aku boleh bertanya dan kau mau berterus terang, ada ganjalan 

apa di dalam hatimu?” 

”Ganjalan? Tak ada ganjalan dalam hatiku.” Jawab Bidadari 

Angin Timur. Dia tutupi kedustaannya ini dengan tersenyum. Lalu 

dia palingkan wajah, menatap ke arah pesawahan dan Kali Pemali 

di kejauhan sana. 

”Kalau begitu ada sesuatu yang mengganggu jalan 

pikiranmu.” 

Bidadari Angin Timur menggigit bibir. Matanya masih

menatap ke arah kejauhan. 

”Kalau saja kita bisa berbagi rasa, mungkin ada sesuatu 

yang bisa aku lakukan untuk menolong. Atau mungkin antara kita 

dua bersahabat masih ada tabir penghalang hingga tidak bisa 

berterus terang?” 

Bidadari Angin Timur masih diam. Seperti merenung 

berpikir-pikir menyelami ucapan Jatilandak. Setelah menghela 

nafas dalam gadis ini akhirnya berkata. 

”Pikiranku sedang kacau. Wiro tertimpa satu musibah besar 

....” 

”Wiro? Musibah apa? Dimana dia sekarang?” tanya 

Jatilandak sambil menatap lekat-lekat ke wajah si gadis.Bidadari Angin Timur menuturkan kisah mulai sewaktu Wiro 

ditangkap karena dituduh telah memperkosa dan membunuh cucu 

seorang Pangeran. 

”Aku tidak yakin dia melakukan hal seperti itu.” Kata 

Jatilandak. 

”Dua kakek yaitu Setan Ngompol dan Ki Tambakpati 

menemui Wiro di sebuah bukit dalam keadaan pingsan. Mereka 

membawa Wiro ke sebuah gubuk dekat Kali Progo. Tapi mereka 

tak mampu mengobati. Aku menemui dan melihat Wiro di tempat 

itu. Keadaannya sangat mengenaskan. Dia menderita penyakit 

kelainan jalan darah. Selain itu ada satu penyakit lain yang 

diindap Wiro. Menurut dua kakek sulit disembuhkan ...” Sampai di 

sini Bidadari hentikan ceritanya. Lagi-lagi dia menatap kejauhan. 

Namun kali ini sepasang matanya yang bagus tampak berkaca-

kaca. 

”Penyakit apa?” tanya Jatilandak sambil memperhatikan air 

mata menggelinding jatuh di pipi Bidadari Angin Timur. 

”Wiro ....” Bidadari Angin Timur tutup wajahnya dengan 

kedua tangan. Tubuhnya bergetar menahan tangis. 

Goncangan tubuh Bidadari Angin Timur karena menahan

tangis membuat tiga batang bambu lapuk yang didudukinya tiba-

tiba berderak patah. 

”Kraakk!” 

Bidadari Angin Timur terhuyung ke samping dan akan 

terjerembab di tanah kalau tidak lekas dirangkul oleh Jatilandak. 

Tubuhnya terduduk di atas pangkuan dan tenggelam dalam 

pelukan si pemuda. Jatilandak yang tidak menyangka akan berada 

dalam keadaan seperti itu untuk beberapa lama duduk diam 

terpaku. Ingatannya kembali pada saat ketika dia dan gadis itu 

bermesraan di sebuah mata air dan sempat dipergoki Wiro. (Baca 

serial Wiro Sableng berjudul ”Bendera Darah”). 

Sebaliknya entah sadar entah tidak Bidadari Angin Timur 

tidak pula berusaha bangkit dari pangkuan atau melepas diri dari 

pelukan Jatilandak. Gadis ini ingat saat-saat ketika Jatilandak menuturkan riwayat dirinya yang penuh duka kesedihan. (Baca 

serial Wiro Sableng berjudul ”Api Cinta Sang Pendekar”). 

Jatilandak mengelus punggung Bidadari Angin Timur, 

membelai rambutnya lalu berbisik ke telinga si gadis. 

”Kuatkan hatimu. Katakan penyakit apa yang diderita

sahabat kita Wiro.” 

Mendengar ucapan Jatilandak pecehlah tangis Bidadari 

Angin Timur. Dua tangannya digelungkan ke punggung sementara 

wajah didekapkan ke dada si pemuda. 

Jatilandak menunggu dengan dada berdebar hati 

terguncang. 

Setelah tangis Bidadari Angin Timur mereda dia kembali 

bertanya. ”Katakan, penyakit apa yang diderita Wiro.” 

Bidadari Angin Timur menarik nafas panjang berulang kali 

sebelum menjawab. Wajahnya masih disembunyikan di dada si 

pemuda. Lalu terdengar suaranya berucap. 

”Wiro kehilangan kemampuannya sebagai laki-laki....” 

Kening Jatilandak mengernyit. 

”Maksudmu?” 

”Dia kehilangan kejantanannya ...” 

Wajah Jatilandak berubah. Mata terpana menatap Bidadari 

Angin Timur. ”Bagaimana mungkin? Apa yang terjadi?” tanya 

Jatilandak kemudian. 

”Tidak ada yang tahu bagaimana kejadiannya.” jawab 

Bidadari Angin Timur. ”Saat itu pikiranku sangat kacau. Aku lari 

meninggalkan gubuk tepi Kali Progo itu....” 

Untuk beberapa lama Jatilandak tak bisa berkata apa-apa. 

Perlahan-lahan Bidadari Angin Timur turun dari pangkuan 

dan melepaskan pelukannya dipunggung si pemuda. Gadis ini 

duduk di tanah membelakangi Jatilandak dengan wajah

ditundukkan. 

”Kalau betul apa yang kau ucapkan, ini satu malapetaka 

besar bagi Wiro. Seharusnya kau tidak meninggalkan dirinya 

dalam keadaan seperti itu ...” Jatilandak berkata perlahan.Saat itu aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. 

Aku seolah berubah ingatan. Aku lari dan lari. Tanpa tujuan. Aku 

tidak lagi memperdulikan keadaan diriku. Aku juga tidak habis 

pikir bagaimana aku kemudian bisa terpesat sejauh itu dan tahu-

tahu sudah sampai di tepi Kali Pemali sewaktu kau dan Topeng 

Perak tengah berhadap-hadapan.” 

”Kita harus mencari Wiro. Kita harus menolongnya. Kau tahu 

dimana dia sekarang berada?” 

”Kata-katanya menyatakan ketulusan hati. Membuat diriku 

merasa bersalah.” Ucap Bidadari Angin Timur dalam hati dan 

tundukkan kepala lalu menjawab. ”Aku tidak tahu dimana Wiro 

berada saat ini. Selama beberapa hari ini aku dihantui oleh rasa 

gelisah, sedih, kecewa, dan juga marah. Sepertinya dunia ini 

bukan milikku lagi. Itu sebabnya tadi aku menghajar Topeng 

Perak dan anak buahnya secara kalap. Aku merasa itu salah satu 

usaha untuk melepas tekanan batin yang aku derita ...” 

”Sahabat, kau tidak boleh menurutkan kata hati serta jalan 

pikiran keliru seperti itu. Kau bisa sakit ...” Jatilandak memegang 

lengan Bidadari Angin Timur. 

”Terima kasih. Aku mendengarkan nasihatmu.” jawab 

Bidadari Angin Timur. 

”Lalu apa yang akan kau lakukan. Kemana kau akan 

melanjutkan perjalanan?” 

Bidadari Angin Timur menggeleng. Wajahnya tampak 

kosong. 

”Aku tidak tahu mau berbuat apa dan mau pergi kemana. 

Aku seperti seekor semut di tengah gurun pasir ...”

”Tidak, kau bukan seekor semut di tengah gurun pasir. Kau 

tetap seorang Bidadari di bumi Tuhan yang indah ini ...” 

Bidadari Angin Timur angkat kepalanya, menatap Jatilandak 

dengan berlinang air mata. Pemuda ini ulurkan tangan mengusap 

tetesan air mata di kedua pipi gadis itu. 

”Kalau kau tidak tahu akan berbuat apa dan tidak tahu mau 

pergi kemana, ikutlah bersama aku ke Cirebon. Aku akan memperkenalkanmu pada Nyai Rara Santang, saudara perempuan 

Sultan. Mudah-mudahan kalian berdua bisa bersahabat.” 

Bidadari Angin Timur tersenyum namun bersamaan dengan 

itu derai air mata semakin banyak jatuh meluncur di pipinya. 

Dalam hati dia berkata. ”Mungkin memang dia, mungkin memang 

pemuda ini satu-satunya yang akan menjadi tempat aku 

berlindung. Dia begitu penuh perhatian ...” 

Perlahan-lahan Bidadari Angin Timur berdiri, melangkah lalu 

naik ke atas kuda milik Jatilandak. Dia menatap pemuda itu 

sebentar lalu berkata. 

”Aku ikut bersamamu ke Cirebon.” 

Mengira si gadis akan pergi meninggalkannya begitu saja, 

ketika mendengar ucapan itu tidak menunggu lebih lama lagi 

Jatilandak langsung melesat ke punggung salah seekor kuda yang 

ada di tempat itu. Tak lama kemudian kedua orang itu memacu 

kuda masing-masing ke arah utara. Jatilandak di sebelah depan. 

*** 

RATU DUYUNG hentikan lari dan menatap ke dalam cermin. 

”Aneh ...” katanya. 

”Apanya yang aneh?” tanya Gondoruwo Patah Hati yang

berdiri di sampingnya bersama Naga Kuning. 

Ratu Duyung melintangkan cermin sakti di depan ke dua 

orang itu. ”Lihat ke dalam cermin. Di arah utara kini kelihatan 

tujuh titik. Tiga di sebelah kanan, empat di sebelah kiri. Jarak 

masih terlalu jauh. Cermin sakti tidak mampu memperlihatkan 

ujud sebenarnya dari tujuh titik itu.” 

”Yang di sebelah kanan aku bisa menduga. Itu Wiro dan 

mahluk dari alam gaib.” Kata Naga Kuning pula. ”Lalu siapa titik 

yang ketiga?” 

”Mungkin sekali Purnama yang tengah mengikuti Wiro.

Kalian bisa melihat, titik ketiga ini selalu berada di belakang dua 

titik lainnya,” menyahuti Gondoruwo Patah Hati.”Bagaimana dengan empat titik di sebelah kiri. Dua 

berwarna biru, dua berwarna hitam,” Naga Kuning berkata sambil 

memperhatikan cermin sakti yang dipegang Ratu Duyung. 

”Salah seorang dari dua titik biru ini aku rasa Bidadari Angin 

Timur. Siapa satunya sulit aku menduga. Dua titik hitam mungkin 

sekali dua ekor kuda yang mereka tunggangi. Walau mereka 

sama-sama berada di utara agaknya masing-masing punya tujuan 

yang berbeda.” Ratu Duyung berkata sambil kerahkan tenaga 

dalam, berusaha memperjelas ujud titik di dalam cermin namun 

tak berhasil. 

”Kita akan terus mengejar Wiro atau mengikuti Bidadari 

Angin Timur?” bertanya Naga Kuning. 

”Kita tetap mengejar Wiro. Ada satu hal yang perlu aku 

beritahukan. Dia berubah arah. Dia tidak menuju Gunung Gede 

tapi ke arah pantai utara.” Ratu Duyung simpan cermin saktinya 

lalu melesat lebih cepat mendahului si nenek dan si bocah 

berambut jabrik. Disamping tidak dapat melihat jelas ujud orang-

orang dalam cermin, gadis bermata biru ini juga merasa gelisah. 

Apa benar titik ketiga di sebelah kanan cermin adalah Purnama? 

***


LIMA


TIUPAN angin terasa semakin kencang. Deru ombak 

terdengar bertambah keras pertanda lautan luas yang

membentang di sebelah utara semakin dekat. Di langit cahaya 

benderang sang surya mulai memudar memasuki awal petang. 

Tak selang berapa lama Teluk Losari kelihatan terhampar 

membentuk satu pemandangan indah. Di samping bukit batu 

yang ikut membentuk tepian teluk, seekor harimau putih besar 

bermata hijau berlari melesat luar biasa cepat. Di atas punggung 

binatang ini duduk seorang pemuda berambut gondrong yang 

bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto 

Gendeng ini hanya mengenakan celana putih bertelanjang dada. 

Siapapun yang melihat sulit mempercayai. Mana ada ceritanya 

manusia menunggang harimau! Dan seekor harimau putih langka 

pula! 

Di satu bagian tebing bukit batu yang sempit dan cukup 

terjal murid Sinto Gendeng tepuk tengkuk harimau besar putih 

bermata hijau. 

”Datuk Rao sahabatku berhentilah. Tunggu aku disini sampai 

aku menemuimu kembali ...” 

Datuk Rao Bamato Hijau, begitulah nama harimau putih 

besar bermata hijau tunggangan Wiro hentikan lari. Kepala 

merunduk ke tanah berbatu-batu, ekor dikibas-kibas dan dari 

mulut binatang ini keluar suara menggereng perlahan. Harimau 

inilah yang terlihat dalam cermin sakti Putri Duyung dalam bentuk 

titik putih berkedip-kedip. 

Seperti diketahui Datuk Rao Bamato Hijau adalah seekor 

harimau gaib sakti peliharaan datuk Rao Basaluang Ameh, 

seorang tua di tanah Minang yang konon telah menemui kematian 

seratus tahun silam. Karena kesaktiannya yang luar biasa orang 

menganggap dirinya setengah roh setengah dewa. 

Selain memberi ilmu kesaktian pada Wiro melalui Kitab Putih 

Wasiat Dewa, Datuk Rao Basaluang Ameh juga menjadikan 

harimau gaib peliharaannya sebagai sahabat dan sekaligus pelindung Pendekar 212 Wiro Sableng. Selama ini Wiro jarang 

meminta bantuan binatang gaib sakti itu. Namun ketika dalam 

kacau pikiran dan baru saja sembuh dari penyakit kelainan jalan 

darah yang dideritanya, sewaktu meninggalkan rumah panggung 

di tepi Kali Progo murid Sinto Gendeng ingat pada sang datuk. 

Bagaimana sampai Wiro bisa bersama sang harimau sakti? 

Dalam perjalanannya di satu tempat Wiro hentikan lari, duduk 

bersila di tanah, menutup mata mengheningkan cipta sambil 

mulutnya berucap. 

”Sahabatku Datuk Rao Bamato Hijau datanglah. Aku perlu 

bantuanmu.” 

Hanya berselang beberapa lama di tempat itu tiba-tiba 

muncul kabut putih. Di dalam kabut itu tampak kilatan dua cahaya 

hijau dan samar-samar muncul satu sosok putih besar disertai 

suara menggereng. Walau suara gerengan ini halus perlahan 

namun cukup membuat tanah dan bebatuan bergetar. 

Perlahan-lahan kabut tipis sirna. 

Wiro membuka kedua matanya. Begitu melihat sosok 

harimau putih besar telah berdiri dihadapannya dia segera 

bangkit, merangkul leher dan mengusap kepala binatang yang 

muncul secara gaib ini lalu berkata. 

”Datuk sahabatku, terima kasih kau mau datang.” 

Harimau putih besar menggereng halus seolah bertanya apa 

yang bisa diperbuatnya lalu ulurkan lidah menjilati tangan sang 

pendekar. 

”Datuk, aku perlu pertolonganmu. Pikiranku sedang kacau. 

Aku bermaksud menemui Eyang Sinto Gendeng di Gunung Gede. 

Tapi ada sesuatu yang harus aku ambil di Teluk Losari di arah 

utara. Aku ingin cepat-cepat sampai dan berada di dua tempat itu. 

Apakah kau mau mengantarkan diriku?” 

Sebagai jawaban harimau putih besar rundukkan tubuh ke 

tanah. 

Wiro segera saja naik ke punggung binatang gaib itu. 

”Wusss!”Sekali berkelebat harimau besar sudah melesat jauh belasan 

tombak. 

*** 

DICERITAKAN sebelumnya ketika Wiro meninggalkan rumah 

panggung tempat dirinya dirawat, secara diam-diam Purnama 

mengikuti. Namun gadis dari alam 1200 tahun silam ini terhalang 

dengan kemunculan mahluk tanpa wajah yang memaksa ikut 

bersamanya. Purnama menolak. Mahluk tanpa wajah menyerang 

dan berhasil membuat gadis itu terpendam di dalam tanah. 

Untung Setan Ngompol dan Ki Tambakpati menemui dan 

menolongnya. Purnama tidak habis mengerti mengapa mahluk 

tanpa wajah itu selalu berniat mencelakai dirinya. Apa karena 

keterkaitannya dengan Wiro? 

Sewaktu Purnama melanjutkan mengejar Pendekar 212, dia 

merasa heran karena jarak orang yang dikejar kini berada 

setengah harian di depan sana. Hal ini diketahuinya setelah dia 

menerapkan ilmu kesaktian bernama Nafas Sepanjang Badan. 

”Aneh, kalau dia berlari biasa mengandalkan ilmu kesaktian, 

bagaimana mungkin jaraknya denganku kini terpisah begitu 

jauh?” Purnama hentikan lari. Untuk kedua kalinya gadis ini 

kerahkan Ilmu Nafas Sepanjang Badan. 

”Aku mencium ada bau mahluk lain bersama Wiro. Bukan 

manusia, bukan juga seekor kuda yang mungkin jadi 

tunggangannya. Lalu mahluk apa ini? Jin? Setahuku Wiro tidak 

memelihara mahluk semacam itu. Aku harus mencari tahu.” 

Cukup lama Purnama merenung. Dia tidak dapat 

memastikan, dia tidak mampu memantau keberadaan harimau 

putih gaib yang jadi tunggangan Pendekar 212. 

”Aku harus melipat gandakan Ilmu meringankan tubuh dan 

tenaga dalam agar ilmu lari Segara Angin yang kumiliki bisa dua 

kali lebih cepat! Aku harus meminta tambahan kekuatan gaib dari 

alam roh seribu dua ratus tahun silam.” 

Setelah menghirup udara dalam-dalam lalu melepas nafas 

panjang, Purnama pergunakan ilmu lari Segara Angin. Karena sekali ini dia mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan tenaga 

dalam dua kali lipat ditambah masuknya kekuatan gaib alam roh 

ke dalam tubuhnya maka sosok gadis ini melesat lenyap seolah 

berubah jadi bayang-bayang. Meskipun demikian, setelah 

mengejar cukup lama Purnama hanya mampu mempersingkat 

jarak seperempat hari perjalanan. 

”Ilmu Segara Angin tidak dapat mengejarnya. Kalau sampai 

matahari terbenam aku tidak dapat mempersingkat jarak, bisa-

bisa aku akan kehilangan jejak ...” Untuk kedua kalinya gadis dari 

Latanahsilam ini hentikan lari. Dia mendongak ke langit, pejamkan 

mata dan hirup udara dalam-dalam. ”Apakah aku tidak salah 

menduga? Wiro bergerak ke utara. Ke arah pantai. Jika dia terus 

menerus bergerak lurus ... Astaga! Dia menuju Teluk Losari 

tempat kediamanku! Mengapa kesana? Bukan ke Gunug Gede?” 

Dada si gadis berdebar. ”Tidak mungkin dia mencariku. Dia tahu 

waktu dia meninggalkan rumah panggung aku masih berada di 

tempat itu.” Jantung si gadis berdetak keras. ”Hanya ada satu 

cara untuk bisa mengejarnya. Aku harus kembali ke alam roh. 

Tapi apakah aku tidak akan terjerat di alam sana? Bagaimana 

kalau aku tidak dapat lagi kembali ke bumi?” Purnama merenung 

bimbang. Akhirnya gadis dari alam 1200 tahun silam ini berkata 

dalam hati. ”Aku serahkan semua pada Yang Maha Kuasa. 

Tuhanku sama dengan Tuhan Wiro. Masakan Dia tidak akan 

menolong diriku?” 

Purnama susun sepuluh jari di atas dada, telapak saling 

dirapatkan. Lalu dua tangan diangkat ke atas. Dua tangan 

bergetar keras. Ketika dua tangan memancarkan cahaya kebiruan 

saat itu pula tubuhnya lenyap. Yang tertinggal hanya cahaya 

ditebari ratusan percikan bunga api biru. 

Mendadak dari arah langit sebelah utara tiba-tiba wuuss! 

Melesat cahaya tiga warna. Merah, biru, dan hijau. Namun 

Purnama telah terlebih dulu lenyap masuk ke dalam alam roh. 

Tebaran ratusan percikan bunga api berwarna biru yang terkena 

hantaman tiga cahaya menggelegar dahsyat. Tanah bergetar pepohonan berderak. Ranting-ranting berpatahan dan dedaunan 

rontok luruh! 

Jauh di atas langit, satu sosok berpakaian selempang kain 

putih tersentak dua langkah ke belakang. Rambut putih awut-

awutan berjingkrak ke atas seperti mau terserabut tanggal. 

Sepasang mata mendelik marah. Mulut mengutuk menyerapah. 

”Kurang ajar. Gadis itu keburu masuk ke alam roh! Kalau 

saja jin peliharaanku Rajip Kupal tidak dimusnahkan oleh keparat 

Deewana Khan gadis itu tak akan bisa lolos. Kepingan emas 

tongkat sakti milikku ada padanya. Berbahaya, sangat berbahaya. 

Aku harus dapat merampasnya ...” 

*** 

DI SATU telaga kecil Ratu Duyung hentikan lari lalu

keluarkan cermin bulat sakti. Kalau sebelumnya dia melihat lima 

titik di dalam cermin yaitu dua di sebelah kiri dan tiga di arah 

kanan, kini tinggal tiga titik yang terlihat yaitu yang di sebelah 

kanan. Tiga titik ini makin lama makin meredup kecil. 

”Wiro, mahluk gaib, dan Purnama ...” ucap gadis bermata 

biru ini dalam hati. Dia menatap pada Naga Kuning si bocah 

berambut jabrik dan Gondoruwo Patah Hati si nenek berwajah 

setan. 

”Dengan kecepatan lari yang kita miliki saat ini, kita tidak 

mungkin mengejar Wiro. Kita harus mencari akal. Aku harus 

melakukan sesuatu ...” memberitahu Ratu Duyung pada dua 

sahabatnya itu. 

”Dengan ilmu kesaktian yang Ratu miliki, apakah Ratu 

hendak pergi mendahului kami?” bertanya Gondoruwo Patah Hati. 

Ratu Duyung menggeleng. ”Kesaktianku kali ini tidak dapat 

menandingi Wiro. Entah ilmu kesaktian apa yang 

dipergunakannya. Aku ingat batu sakti Batu Mustika Angin Laut 

Kencana Biru milik Nyai Roro Kidul pernah meminjamkan batu 

mustika sakti itu pada Nyi Roro Manggut sewaktu menyelamatkan 

Wiro yang terjebak racun maut dalam menyelidiki bangunan 

istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. (Baca serial Wiro Sableng berjudul ”Sang Pembunuh”). Kalau aku bisa memiliki batu sakti 

itu, dalam beberapa kejapan mata pasti aku bisa mengejar Wiro.” 

Ratu Duyung menghelas nafas dalam. ”Mungkinkah Nyai Roro 

mau meminjamkan batu sakti itu?” Ratu Duyung bimbang sesaat. 

Hati kecilnya berkata. ”Aku harus menempuh cara paling cepat 

untuk dapat menghubungi Nyai Roro. Aku harus bersentuhan 

dengan air. Kebetulan ada telaga ...” 

Ratu Duyung berpaling pada Naga Kuning dan Gondoruwo 

Patah Hati. ”Sahabat berdua, kalian tunggu aku di sini.” 

”Memangnya kau mau kemana?” tanya Naga Kuning. 

”Ratu, kau mau berbuat apa?” si nenek ikut bertanya. 

Tanpa menjawab pertanyaan dua orang itu Ratu Duyung

melompat masuk ke dalam telaga. Dalam sekejapan tubuhnya 

lenyap di bawah permukaan air. 

”Eh, mengapa dia masuk ke dalam telaga?” ujar Naga 

Kuning. ”Kalau cuma berniat mandi, mengapa Ratu Duyung tidak 

mengajakku? Nek, kau tunggu di sini. Aku mau ikutan mandi,” 

kata Naga Kuning sambil melangkah mendekati telaga.

”Bocah geblek!” kata Gondoruwo Patah Hati sambil jambak 

rambut jabrik Naga Kuning. ”Jangan kau berani mengganggu apa 

yang dilakukan gadis itu! Aku yakin Ratu Duyung tengah 

melakukan sesuatu! Bukan mandi!” 

”Kau selalu cemburu. Kalau tidak percaya padaku, ikutan 

saja mandi sekalian. Tapi ada syaratnya. Sebelum masuk ke 

dalam telaga kita berdua harus sama-sama menanggalkan 

pakaian!” kata Naga Kuning pula lalu tertawa gelak-gelak. 

Gondoruwo Patah Hati yang nama aslinya Ning Intan Lestari 

dan berpenampilan seorang gadis cantik dan sebenarnya adalah 

kekasih Naga Kuning menyeringai. Tangan kanan masih

menjambak rambut Naga Kuning, kini tangan kiri menjewer 

telinga bocah itu dan memuntirnya hingga Naga Kuning terpekik. 

”Bocah konyol,” berkata si nenek. ”Lain waktu kalau urusan 

sudah selesai aku terima tantanganmu! Aku bawa kau masuk mandi ke dalam telaga. Akan aku gosok tubuhmu mulai dari 

ubun-ubun sampai ke ujung kaki. Sampai kulitmu terkelupas!” 

”Hik ... hik ... hik ...” Naga Kuning tertawa cekikikan lalu 

wajahnya ditempel dan diusapkannya ke perut Gondoruwo Patah 

Hati hingga nenek ini terpekik kegelian dan lepaskan jambakan 

serta jeweran. 

Tiba-tiba di langit dari arah selatan melesat sebuah benda 

bercahaya biru terang. Di atas telaga benda ini menukik turun, 

berputar tiga kali lalu melesat masuk ke dalam air.

”Benda apa tadi itu ...?” ucap Naga Kuning. 

Gondoruwo Patah Hati tidak menyahut. Dia pegangi 

perutnya yang masih terasa geli. Tiba-tiba dari dalam telaga 

melesat keluar sosok Ratu Duyung. Dipertengahan dadanya 

tampak ada satu benda bercahaya biru terang. Dengan wajah 

berseri dia berkata memberi tahu. 

”Aku berhasil mendapatkan Batu Mustika Angin Laut 

Kencana Biru dari Nyai Roro Kidul. Kalian berdua lekas pegang 

tanganku kiri kanan. Dalam beberapa kejapan mata kita bisa 

sampai di tempat dimana Wiro berada.” 

Baru saja ratu Duyung keluarkan ucapan tiba-tiba dilangit 

muncul satu bayangan putih. Bersamaan dengan itu melesat 

cahaya tiga warna. 

”Awas serangan gelap!” Gondoruwo Patah Hati berteriak. 

”Mahluk tanpa wajah!” teriak Ratu Duyung. ”Lekas 

menyingkir!” 

Naga Kuning melompat ke kiri sementara Gondoruwo Patah 

hati bergerak ke kanan. Keduanya sama-sama mengangkat 

tangan ke atas sambil kerahkan tenaga dalam penuh. Gondoruwo 

Patah Hati lepaskan pukulan sakti yang disebut Pukulan Batu 

Naroko sedang Naga Kuning menghantamkan pukulan Naga 

Murka Merobek Langit. 

Ditempatnya berdiri Ratu Duyung keluarkan cermin sakti, 

ditengadahkan ke langit sedang tangan kanan melepas pukulan 

sakti yang disebut Genta Biru Menatap Langit.Dari dalam cermin sakti berkiblat cahaya putih menyilaukan. 

Dari tangan kanan sang Ratu melesat cahaya biru berbentuk kipas 

terbuka disertai lapat-lapat terdengar suara genta aneh. 

”Bumm .... bummm .... bumm!” 

Tiga ledakan keras berdentum di udara terbuka. 

Di langit cahaya merah, kuning, dan biru tercabik-cabik, 

membentuk kepulan asap dan musnah. Naga Kuning dan 

Gondoruwo Patah Hati jatuh terduduk di tanah. Wajah masing-

masing tampak pucat. Untungnya mereka tidak mengalami cidera. 

Ratu Duyung merunduk setengah berlutut. Mulut merapal 

mantra sakti. 

”Gaib atau nyata kembalilah ke tempat asalmu!” 

Habis berucap Ratu Duyung meniup ke udara. Selarik 

cahaya biru pekat dan angker melesat. Sesaat kemudian di atas 

langit terdengar suara raungan aneh disertai sapuan satu cahaya 

kuning. 

”Sahabat berdua kita harus segera tinggalkan tempat ini 

sebelum mahluk jahanam itu menyerang lagi!” kata Ratu Duyung. 

Lalu dia pegang lengan kiri Gondoruwo Patah Hati dan cekal 

tangan kanan Naga Kuning. Sekali dia menghentakkan kaki kanan 

ke tanah maka laksana terbang ke tiga orang itu melesat ke utara. 

”Ratu! Jangan tinggi-tinggi! Jangan kencang-kencang! Aku 

gamang. Bisa terkencing-kencing! Ingat waktu kau membawaku 

mencebur jurang di Seratus Tiga Belas Lorong Kematian?!” Teriak 

Naga Kuning. (Baca serial Wiro Sableng berjudul ”Kematian 

Kedua”). 

”Anak konyol! Kau berisik saja! Kalau mau kencing, kencing 

saja!” berteriak Gondoruwo Patah Hati. ”Syukur-syukur ada setan 

lewat. Biar dipencet kantong menyanmu!” 

Naga Kuning yang memang kegamangan pejamkan kedua 

mata dan tekap bagian bawah celana hitamnya. Dasar bocah 

nakal mulutnya berucap menyahuti kata-kata si nenek. 

”Nek, kalau aku kencing beneran nanti kau yang nyebokin 

ya?!”Gondoruwo Patah Hati pencongkan mulut lalu memaki. 

”Anak kurang ajar! Enak saja mulutmu bicara!” 

***


ENAM


Langit di atas Teluk Losari disaput cahaya kuning kemerahan 

sinar sang surya yang tengah menggelincir menuju ufuk 

tenggelamnya. Di lamping bukit batu yang membujur dari barat 

ke arah timur membentuk sebagian tepian teluk, Purnama melihat 

sosok Pendekar 212 melangkah cepat, sesekali melompat di atas 

bebatuan. Saat menjelang matahari tenggelam itu pemandangan 

di teluk indah sekali. Namun Purnama sama sekali tidak 

memperhatikan hal itu. Pikirannya serta mata dipusatkan pada 

Pendekar 212 yang tengah diikutinya. 

”Tempat kediamanku di atas bukit. Agaknya Wiro tidak 

menuju ke sana.” Purnama terus menguntit dan memperhatikan. 

Tadinya dia ingin berteriak memanggil pemuda itu. Namun dia 

kemudian memutuskan untuk mengikuti secara diam-diam. Saat 

itu gadis dari alam 1200 tahun silam ini telah keluar dari alam roh 

dan kembali membentuk diri dalam ujud manusia biasa. 

Di satu celah bebatuan sosok Wiro lenyap. Purnama 

berkelebat cepat mengejar. Namun gadis ini hampir terpekik keras 

ketika tiba-tiba di hadapannya entah dari mana datangnya telah 

berdiri seekor harimau putih besar. Empat kaki terpentang kokoh 

di atas batu bukit. Kepala agak merunduk. Sepasang matanya 

yang hijau menatap tak berkesip. Dari mulut keluar suara 

gerengan halus. Purnama dapat merasakan bagaimana gerengan 

sangat perlahan itu membuat bukit batu yang dipijaknya terasa 

bergetar. Harimau putih ini pasti memiliki kesaktian luar biasa! 

Purnama tegak tak bergerak. Bahkan bernafaspun dia seolah 

tertahan. ”Aku memang tidak lama diam di tempat ini. Tapi tak 

pernah ada harimau berkeliaran. Ini bukan binatang biasa. 

Jangan-jangan harimau putih ini peliharaan Wiro. Hem ... aku 

tahu sekarang ini rahasianya. Pasti mahluk ini yang membawa 

Wiro laksana kilat ke tempat ini.” 

Walau terasa menyeramkan namun Purnama melihat 

harimau putih bermata hijau tidak menunjukkan sikap buas, 

apalagi hendak menyerang menerkam dirinya. Bahkan sesaat kemudian binatang ini merundukkan badan dan berbaring di atas 

batu menyisakan jalan tidak seberapa lebar di sisi kanan. 

Sementara di sebelah kiri menjulang dinding batu yang tinggi dan 

terjal. Di bawah sana terbentang Teluk Losari dengan ombak 

bergulung menderu, membentur dasar lamping batu, 

menimbulkan suara debur gemuruh tiada henti. Dari tempatnya 

berdiri Purnama bisa melihat celah batu dimana tadi Wiro 

menyusup masuk dan lenyap. 

”Aku tak pernah menyelidik kawasan ini. Agaknya ada satu 

rongga batu di bawah sana. Mungkin sebuah goa. Aku harus 

kesana, aku harus segera menemui Wiro. Tapi harimau putih 

besar itu menghadang jalan. Aku bisa saja melompat diatasnya. 

Tapi ... apakah dia tidak akan menyerangku?” 

Purnama maju beberapa langkah. Dia menatap harimau 

besar yang sejak tadi memperhatikan dirinya dengan sepasang 

matanya yang hiaju. Gadis ini berlutut dua langkah di hadapan 

harimau putih hingga kepala mereka berada di ketinggian yang 

sama. Purnama berusaha menahan rasa dingin ditengkuknya yang 

merinding. 

”Harimau putih, aku tahu kau sahabat Pendekar Dua Satu 

Dua Wiro Sableng. Aku juga sahabat Wiro. Berarti kita berdua 

juga adalah sahabat. Jangan kau menaruh sangka buruk. Aku 

perlu menemui Wiro sekarang juga. Aku harus menyerahkan 

sesuatu padanya. Aku perlu bicara dengan dia. Harap kau mau 

memberi aku lewat.” 

Perlahan-lahan Purnama luruskan tubuh lalu selangkah demi 

selangkah dia berjalan di sisi kanan harimau putih. Pada saat dia 

tepat berada di samping binatang ini tiba-tiba harimau besar 

menggereng halus dan bangkit berdiri. Purnama merasa nafasnya 

terbang. Terlebih ketika harimau itu panjangkan leher dan 

membuka mulut lebar-lebar. 

”Celaka, kalau binatang ini menyerangku apakah aku harus 

melawan?” Purnama takut dan bingung.Harimau putih membuka mulut lebar-lebar, ulurkan lidah lalu 

merunduk menjilati tangan kiri si gadis. Purnama melepas nafas 

lega. Dengan tangan kanannya dia usap-usap bagian kepala 

diantara dua mata harimau seraya tundukkan kepala dan berucap 

perlahan. 

”Aku berterima kasih kau mau bersahabat denganku ...” 

Harimau putih menggereng perlahan. Purnama usap leher 

binatang ini lalu menindak dua langkah. Pada langkah ketiga 

dengan cepat dia membuat lompatan, melesat kebagian bawah 

lamping bukit batu yang ada celahnya dimana tadi Wiro terlihat 

menyusup masuk dan lenyap. 

Apa yang diduga Purnama ternyata benar. Diantara dua 

buah batu yang membentuk celah terdapat sebuah goa. Pada 

jarak enam langkah dari mulut goa di sebelah dalam lorong goa 

membelok ke kiri. Di bagian ini hawa terasa agak hangat karena 

angin yang bertiup dari arah teluk tidak langsung masuk. Selain 

itu bagian dalam goa yang seharusnya gelap tampak ada cahaya 

cukup terang. Dengan berdebar Purnama meneruskan langkah 

melewati belokan goa. 

Begitu melewati belokan dan memandang ke depan, gadis 

ini keluarkan suara tercekat dan cepat hentikan langkah. 

Wajahnya mendadak berubah merah dan panas. Tubuh bergetar 

dan jantung berdebar keras. Seharusnya dia cepat bersurut 

mundur, paling tidak memalingkan kepala. Namun dua hal itu 

tidak satupun mampu dilakukan. Sepasang mata terpentang lebar. 

Ujung goa merupakan sebuah ruangan berbentuk segitiga. 

Di salah satu dinding goa terdapat satu batu sebesar kepala 

memancarkan sinar aneh. Sinar dari batu inilah yang membuat 

ruangan itu menjadi cukup terang. Di tengah ruangan Pendekar 

212 Wiro Sableng berdiri tanpa pakaian, membelakangi Purnama. 

Keberadaan sang pendekar seperti inilah yang membuat Purnama 

tercekat hentikan langkah. Di lantai goa tampak celana putih kotor 

yang sebelumnya dipakai Wiro. Lalu ada satu kantong lain 

berwarna biru.Tiba-tiba Wiro membalikkan tubuh. 

Purnama terperangah. Dua bola mata membesar. Lutut 

terasa goyah dan dada bergoncang keras. Aliran darah dalam 

tubuh mengalir deras. 

”Purnama, sudah lama kau berdiri di situ?” Wiro bertanya. 

Suaranya terdengar datar. 

Purnama tak dapat menjawab. Sepasang matanya masih 

tidak berkedip memandangi sosok telanjang sang pendekar. Mulai 

dari kepala sampai ke ujung kaki. Saat itulah gadis ini sempat 

melihat ada satu tanda putih di bagian bawah pusar Wiro. 

Purnama sadar. Perlahan-lahan gadis ini tundukkan kepala 

dan mundur satu langkah. Dia merasa berdosa telah memergoki 

dan melihat Wiro dalam keadaan tidak berpakaian seperti itu. 

Namun dia juga berpikir bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana 

mungkin Wiro bersikap setenang itu. Sama sekali merasa kaget 

atau malu dan berusaha menutupi aurat atau membalikkan tubuh. 

Malah dia mengajukan pertanyaan pula! Ada satu kelainan dalam 

sikap dan jalan pikirannya. Dia seperti seorang anak kecil yang 

tidak memiliki rasa malu ketika kedapatan dalam keadaan 

telanjang. Apakah ini akibat dari penyakit aneh yang dideritanya? 

Kehilangan kejantanan? 

Seperti tidak mengacuhkan Purnama perlahan-lahan Wiro 

membungkuk. Dari dalam kantong biru dia mengeluarkan sehelai 

baju dan sepotong celana panjang putih. Tenang saja dihadapan 

Purnama Wiro mengenakan baju dan celana itu. Dari kantong kain 

Wiro kemudian mengeluarkan pula beberapa benda lalu disimpan 

di dalam saku kecil dibalik pinggang celana. Sesaat Wiro 

berpaling, menatap ke arah Purnama. Lalu dia membungkuk 

disudut lantai. Pada salah satu bagian lantai terdapat satu 

gundukan batu cukup besar. Wiro dorong gundukan batu. 

Ternyata gundukan batu ini bisa digeser ke samping. Di lantai 

terlihat sebuah lobang. Dari dalam lobang ini Wiro keluarkan 

sebuah benda. Purnama yang terus memperhatikan melihat

benda yang dipegang Wiro adalah sebuah kitab tebal terbuat dari 

daun lontar. 

”Kitab Seribu Pengobatan!” ucap Purnama dalam hati. ”Jadi 

goa ini adalah tempat rahasia dia menyimpan barang-barang 

berharga miliknya. Luar biasa. Goa ini dekat sekali dengan tempat 

kediamanku di atas sana. Tapi aku tidak pernah mengetahui. 

Sejak kapan hal ini terjadi?” 

”Wiro, aku sengaja mengikutimu sampai kesini ....” 

”Aku tahu. Aku dalam perjalanan ke Gunung Gede. Aku

mampir dulu kesini untuk mengambil kitab ini dan beberapa 

barang berharga milikku yang kusimpan di goa ini...” 

”Wiro, ada sesuatu yang harus aku serahkan padamu. Ini 

menyangkut perkara besar yang terjadi beberapa waktu 

belakangan ini.” 

”Perkara apa?” tanya Wiro. 

”Malapetaka perkosaan atas diri puluhan gadis. Munculnya 

mahluk-mahluk aneh yang bukan mustahil menjadi dalang dari 

semua bencana ini, termasuk penyakit yang kini kau derita...” 

”Aku tidak sakit. Aku merasa sehat-sehat saja. Bukankah 

sewaktu di rumah panggung di dekat Kali Progo kau dan para 

sahabat telah menyembuhkan diriku?” 

”Betul, tapi menurut Setang Ngompol dan Ki Tambakpati kau 

masih mengidap satu penyakit lain ...” 

”Penyakit apa?” 

Purnama tak sanggup memberikan jawaban. 

”Kau tak usah menerangkan. Aku sudah tahu. Ki Tambakpati 

pernah mengatakan padaku. Seseorang telah menganiaya diriku 

hingga aku kehilangan kejantanan. Aku tidak berharga lagi hidup 

sebagai seorang lelaki ...” 

”Wiro, aku harap kau tidak berputus asa. Di dunia ini tidak 

ada penyakit yang tidak ada obatnya. Selain itu kita sudah punya 

dugaan siapa manusia jahat yang telah melakukan perbuatan 

terkutuk itu. Dia telah memperkosa dan membunuh puluhan 

gadis. Kami menduga ada sesuatu yang lebih besar di balik semua perbuatannya itu. Tidakkah kau punya niat untuk mencari dan 

membuat perhitungan dengan orang yang telah mencelakai 

dirimu?” 

Wiro masukkan Kitab Seribu Pengobatan ke dalam kantong 

biru. Dia memperlihatkan sikap hendak melangkah ke mulut goa, 

siap meninggalkan tempat itu. 

Dari balik pakaian birunya Purnama cepat-cepat 

mengeluarkan dua buah kitab yang didapatnya dari Deewana 

Khan. Satu berbentuk utuh tapi kosong tak ada tulisan. Satunya 

hangus bekas terbakar dan masih menyisakan beberapa baris 

tulisan. 

”Wiro, seorang asing bernama Deewana Khan menyerahkan 

dua kitab ini padaku. Katanya dia muncul dari alam kematian atas 

kehendak para Dewa. Kitab yang terbakar ini adalah asli Kitab 

Jagat Pusaka Dewa sedang yang masih utuh merupakan salinan. 

Kitab utuh ini tak bisa dibaca isinya dengan mata biasa. Untuk 

bisa membaca isi dan petunjuk didalamnya seseorang harus lebih 

dahulu bersamadi selama seratus hari. Menurut orang asing itu 

sebenarnya kitab yang asli akan diserahkan pada seseorang 

pemuda. Namun pemuda itu telah tersesat dan berada dibawah 

pengaruh kekuasaan insan jahat. Pemuda itu telah menimbulkan 

malapetaka terkutuk di negeri ini. Deewana Khan mengatakan 

insan-insan jahat itu hanya bisa dibasmi berdasarkan petunjuk 

rahasia yang ada dalam kitab yang terbakar ...” 

”Orang bernama Deewana Khan itu, apakah kau sempat 

menyelidik siapa dia adanya?” bertanya Wiro. 

Purnama menggeleng. ”Dia orang asing. Mungkin dari India. 

Fasih berbahasa negeri ini. Aku punya dugaan dia tahu latar 

belakang semua kejadian keji ini. Yang penting dia punya niat 

baik ....” 

”Kitab itu sudah hangus terbakar, bagaimana bisa 

mendapatkan petunjuk?” 

Purnama menatap Wiro sesaat. Gadis ini merasa lega.

Dengan mengajukan pertanyaan seperti itu merupakan satu pertanda bahwa jalan pikiran sang pendekar tidak keseluruhannya 

bermasalah. 

”Kitab ini memang sudah hangus terbakar. Namun masih 

tersisa beberapa baris tulisan. Kau mampu membacanya. Wiro, 

menurut orang asing itu hanya dirimu yang mampu membuka 

petunjuk rahasia dalam kitab. Wiro kita harus menyelematkan 

banyak orang yang akan jadi korban perkosaan dan pembunuhan. 

Selama ini telah puluhan gasis jadi korban. Selain itu yang lebih 

penting adalah mengobati dirimu ...” 

Wiro terdiam beberapa lama lalu berkata. 

”Purnama, aku tidak mau terlibat dengan semua urusan 

yang kau katakan. Aku harus menemui guruku Eyang Sinto 

Gendeng untuk menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan. Selain itu 

aku sudah memutuskan untuk menjadi pertapa.” 

Purnama gelengkan kepala berulang kali. Sepasang matanya 

mulai berkaca-kaca. 

”Wiro setiap saat kau bisa menemui gurumu. Jika kau

memang ingin jadi pertapa kapan saja kau bisa melakukan. Tapi 

ada satu hal penting yang lebih dulu harus kau lakukan. 

Menyelamatkan puluhan gadis dari kemungkinan bencana 

pemerkosaan dan pembunuhan. Menyelamatkan rimba persilatan 

tanah Jawa dari kehancuran. Kau .... kau menghadapi semua ini 

dengan keputusasaan. Apakah gurumu Eyang Sinto Gendeng 

pernah mengajarkan hal itu padamu? Kau masih hidup. Tapi kau 

sengaja mencari mati dalam kehidupanmu. Kau bunuh diri secara 

perlahan-lahan Wiro. Kau harus tahu Wiro, tidak ada hal paling 

memalukan bagi seorang pendekar selain bunuh diri!”

Murid Sinto Gendeng tegak tak bergerak di ruang batu 

berbentuk segi tiga yang diterangi cahaya memancar dari batu 

aneh di dinding. Tempat itu mulai terasa sejuk karena diluar sang 

surya telah tenggelam dan malam merayap datang. 

Dengan berurai air mata Purnama mendekati Wiro, 

memegang lengan kiri pemuda itu lalu berkata dengan suara 

bergetar.”Tadi aku bertanya. Tidakkah kau punya niat untuk 

membuat perhitungan dengan orang yang telah mencelakai 

dirimu? Tapi kau tidak menjawab. Wiro, kalau kau memang ingin 

mati dalam hidupmu, kalau kau memang ingin bunuh diri, aku 

mohon bisa ikut bersamamu ke alam baka. Aku tidak ingin berada 

seorang diri dimuka bumi ini untuk selama-lamanya ...” 

Pendekar 212 Wiro Sableng tatap wajah Purnama beberapa 

lama. Pertemuan pandangan mata dengan mata si gadis yang 

basah menimbulkan berbagai rasa di dalam lubuk hatinya. Wiro 

angkat kepala, menatap langit-langit goa. Lalu tangan kanannya 

bergerak ke atas menggaruk kepala! Melihat hal ini Purnama 

terkesiap. Ini satu tanda bahwa Wiro telah kembali pada jati 

dirinya yang asli. Kesukaan menggaruk kepala! Saking 

gembiranya, walau menangis bercucuran air mata Purnama 

memeluk sang pendekar dan menciumi wajahnya berulang kali. 

”Aku tahu kau pasti sembuh. Aku tahu kau, kita dan para 

sahabat pasti mampu menumpas orang-orang jahat penimbul 

bencana malapetaka keji di negeri ini ...” 

Purnama memeluk semakin kencang. Tubuhnya merapat 

panas di tubuh Wiro. Beberapa bagian tertentu tubuh mereka 

saling menempel bergeseran. 

Dipeluk dan dicium begitu rupa Wiro hanya diam saja. 

”Ya Tuhan, dia benar-benar telah kehilangan kejantanannya. 

Tubuhnya sama sekali tidak mengeluarkan getaran. Tidak ada 

gelora hawa panas. Kupeluk dan kucium dia seperti tidak 

bergairah. Apakah aku harus berbuat lebih jauh yang menyalahi 

adat...?” Purnama turunkan tangan kanannya ke bawah. Gerakan 

tangan itu sesaat terhenti di perut Wiro. Ketika Purnama 

menggerakkan tangannya lebih ke bawah tiba-tiba terdengar Wiro 

berkata. 

”Purnama, aku mau melihat dan meneliti dua kitab yang kau 

bawa itu ....” 

***


TUJUH


Purnama pejamkan mata, tarik nafas panjang dan lepaskan 

rangkulannya. Dia cepat-cepat menyerahkan dua buah kitab pada 

Wiro. 

Mula-mula Wiro meneliti kitab dari Kitab Jagat Pusaka Dewa. 

Seperti dikatakan Purnama kitab yang terdiri dari tiga halaman itu 

tidak memiliki tulisan sama sekali, kosong. 

”Kau perlu waktu seratus hari untuk bersamadi kalau kau 

ingin melihat dan membaca isi kitab ini. Kau tak mungkin 

melakukan itu sementara orang-orang jahat itu bisa leluasa 

menebar malapetaka keji.” 

”Kau benar. Aku tidak akan bersamadi,” kata Wiro pula. Dia 

mengembalikan kitab utuh dan mengambil kitab yang hangus 

terbakar. Sampul kitab nyaris musnah. Halaman pertama kitab ini 

terbakar habis. Halaman kedua yang masih tersisa pada bagian 

sebelah bawah terdapat serangkai tulisan namun tak bisa terbaca 

karena hitam dan gosong. Halaman ketiga atau halaman terakhir 

terlihat banyak tulisan namun sebagian besar tulisan itu hilang tak 

terbaca atau dalam keadaan putus-putus. 

KITAB JAGAT PUSAKA DEWA 

Halaman Ketiga 

Bunga.. .anj... Bunga Bertuah 

Wahai an.. manusia 

Setiap ...u ..sakt... memil... .ant..g.. 

Tak ada ilmu kesakt... 

Yang tak ..mili.. pant....n 

.ilama..a ilmu kes...ian 

Dipergun.kan ..tuk ....ikan 

...n didap.. ber..h serta .anju...n 

Bilam... ..mu .esakt... 

..perg..ak.. unt.. .eja..t.n 

Akan did..at bala dan kut.k.. 

.ohon t ..nja di guru. .engge

Akan ..nyap 

Kemba.. ke.empa. .sa. 

J.uh d. da..r ..wa gunu.. ..omo 

Kes..tian akan ..nyap 

Berkah .kan ..snah 

D.ri ..sar k.wah itulah 

Jika cip.. di.eningk.. 

Pe..n.uk akan .atang 

Bunga put.. bu... h.r.m 

Bu..a suci bunga ber..h 

Men.ad. b.. busuk b.. kem..ian 

P.neb.s seri.. dos. s.rib. nista 

Para dewa ..lah membi rah.t 

....pa manusia ..rtin.. k keji 

Para ..wa mem.... ilmu kes...ian 

Meng... .anu... berl.u ..lan.t 

..hai anak ....sia 

Camkan ... .ni .a.k-baik 

..nga .an.... Bu... ...tuah 

Wiro perlihatkan halaman kitab yang terbakar pada Purnama 

dan menyuruh gadis itu membaca rangkaian tulisan yang masih 

tertera. Setelah memperhatikan sejenak dan coba membaca 

Purnama berkata. 

”Aku tak bisa membacanya. Tulisan ini seperti bergerak, 

bergoyang dan guram ...” 

Wiro membaca kembali tulisan di kitab hangus sampai

beberapa kali. Dari berdiri kali ini dia duduk menjeplok di lantai 

goa. Purnama ikutan duduk dihadapannya, berusaha menolong 

tapi tidak tahu mau melakukan apa. 

”Aku butuh waktu untuk mencari tahu dan menyambung 

potongan kata yang hilang. Kalau tidak berhasil maka rahasia di 

balik tulisan ini tidak akan terungkap. Kalau berhasil masih butuh 

waktu untuk mengartikan dan mengungkap semua apa yang 

tersurat. Aku tak bisa menduga berapa lama waktu yang diperlukan. Mungkin satu hari, mungkin lebih ....” kata Wiro 

sambil menggaruk kepala berulang kali. 

”Aku akan menemanimu di tempat ini sampai rahasia itu 

terpecahkan.” kata Purnama pula. 

Wiro duduk bersila dan letakkan kitab hangus di atas 

pangkuan. 

Ketika Wiro mengambil sikap bersamadi, diam-diam gadis ini 

kerahkan ilmu Nafas Sepanjang Badan. Dadanya berdebar ketika 

lewat penciuman dia mengetahui ada beberapa orang diluar goa, 

tak jauh dari sosok harimau putih berada. Dari penciuman itu 

Purnama bahkan mampu mengetahui siapa saja orang-orang itu. 

Dia berharap Wiro segera mampu memecahkan petunjuk dalam 

kitab yang hangus. Namun sampai lewat tengah malam dan udara 

di dalam goa masih terasa sangat dingin, Wiro masih dalam sikap 

bersamadi. Setiap hembusan nafasnya mengepulkan uap berasap 

putih. Purnama kemudian melihat tubuh pemuda itu mulai 

bergetar. Ada hawa dingin luar biasa memancar keluar dari tubuh 

Wiro yang membuat Purnama mulai menggigil. Selain itu dari 

ubun-ubun murid Sinto Gendeng mengepul asap putih menebar 

bau aneh. Purnama merasa tengkuknya merinding ketika dia 

mengenali. Dadanya berdebar. Lantas saja dia berucap dalam 

hati. 

”Bau kembang tanjung ....” 

Hawa dingin dan hamparan bau bunga tanjung membuat 

sosok Purnama berguncang keras. Di hadapannya getaran pada 

tubuh Wiro tampak semakin kencang. Bahkan rambutnya yang 

gondrong perlahan-lahan berjingkrak ke atas. Tarikan dan 

hembusan nafas terdengar cepat. Pakaian basah, wajah penuh 

butir-butir keringat. 

”Hawa dingin itu bisa membunuh Wiro. Ada tekanan kuat 

mendesak keluar. Tubuhnya bisa meledak! Aku harus melakukan 

sesuatu!” 

Tulang di sekujur tubuh Purnama berkeretekan ketika gadis 

ini bergerak bangun. Kakinya seperti diganduli batu besar dan berat hingga dia terhuyung-huyung ketika melangkah. Dia 

berjalan ke belakang Wiro yang sampai saat itu masih duduk 

bersila di lantai goa dengan tubuh terguncang-guncang, 

memancarkan hawa dingin serta mengepulkan asap dari ubun-

ubun. 

Purnama angkat dua tangan ke atas. Telapak saling 

dirapatkan. Mata menatap tak berkesip ke arah bagian belakang 

kepala Wiro. Bibir bergetar, mulut berucap perlahan. 

”Kekuatan api alam roh, cahaya panas alam gaib. Datanglah! 

Ada seorang anak manusia yang perlu diselamatkan dari 

kematian.” 

Baru saja Purnama selesai berucap tiba-tiba ada kilatan 

cahaya merah melesat di langit malam, masuk ke dalam goa dan 

menyambar dua tangan yang terpentang ke atas. Saat itu juga 

dua tangan gadis dari Latanahsilam ini berubah merah seperti 

bara menyela! Didahului teriakan keras Purnama turunkan tangan. 

Telapak tangan kanan ditempel di atas kepala sedang telapak 

tangan kiri ditekankan ke punggung di bawah leher Wiro. 

”Cess!” 

”Cess!” 

Begitu telapak tangan menempel di kepala dan punggung 

terdengar suara seperti batu api masuk ke dalam air. Satu 

kekuatan dahsyat mengandung hawa dingin melesat keluar dari 

tubuh Wiro, menghantam Purnama membuat gadis ini terpekik 

dan terjengkang di lantai goa, tubuh panas dingin. 

Wiro sendiri saat itu rebah ke lantai, berkelojotan beberapa 

kali lalu terkapar diam tak berkutik. Melihat ini Purnama langsung 

menjerit dan bangkit menghampiri. Dia mengguncang tubuh 

sambil memanggil nama pemuda itu berulang kali namun Wiro 

tetap diam saja. 

”Celaka! Apakah aku telah kesalahan tangan?!” Purnama 

berucap setengah menangis. Gadis ini dekapkan telinga kirinya ke 

dada Wiro. Belum sempat dia mendengar suara degup jantung 

tiba-tiba dua tangan merangkul punggungnya.”Terima kasih. Kau bertindak tepat pada waktunya. Kalau 

tidak saat ini aku sudah menemui ajal ...” 

”Wiro .... Kau yang barusan bicara?” Purnama seperti tidak 

bicara. Dia angkat kepalanya dari dada Wiro dan melihat sang 

pendekar memandang padanya dengan wajah pucat penuh

keringat. 

”Purnama, dengar. Aku telah mendapat petunjuk. Tapi

hanya sebagian saja. Kita harus pergi ke Gunung Bromo saat ini 

juga.” 

”Pergi ke Gunung Bromo?” ujar Purnama. 

”Ya. Kita langsung masuk ke kawahnya. Kita berangkat 

sekarang juga. Kurasa saat ini sudah hampir pagi.” Wiro berusaha 

bangun. 

”Tunggu,” bisik Purnama. ”Aku bahagia, aku gembira 

melihat kau seperti ini. Tadinya aku mengira ... Wiro, izinkan aku 

menciummu.” Lalu tidak menunggu lebih lama gadis itu tindih 

tubuh sang pendekar dan menciumi setiap bagian dari wajah 

Wiro, mulai dari kening, mata, pipi, dan leher. Bahkan dia juga 

mengecup bibir Wiro berulang kali. Tidak dapat dipastikan apakah 

semua itu benar-benar dilakukan karena luapan rasa bahagia atau 

ada tersembunyi gairah alamiah yang dalam keadaan berdekatan 

berhimpitan seperti itu memang sulit untuk dihindari. Apalagi 

gadis dari Latanahsilam ini sejak lama telah memendam rasa cinta 

yang membara terhadap sang pendekar. 

*** 

DENGAN mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut 

Kencana Biru milik Nyai Roro Kidul, Ratu Duyung bersama Naga 

Kuning dan Gondoruwo Patah Hati berhasil sampai di Teluk 

Lohsari tak lama setelah Wiro dan Purnama masuk di dalam goa 

pada petang hari yang sama. 

Untuk meyakinkan dimana beradanya Pendekar 212, di satu 

tempat Ratu Duyung hentikan lari lalu keluarkan cermin bulat 

sakti. Ketika dia melihat ke dalam cermin, gadis bermata biru ini terpekik. Cermin sakti terlepas dan hampir jatuh ke tanah kalau 

tidak lekas ditanggapi Naga Kuning. 

***


DELAPAN


ADA APA Ratu? Bertanya Gondoruwo Patah Hati pada Ratu 

Duyung yang saat itu kelihatan berdiri tegang. Dada yang busung 

turun naik. Wajah merah dan untuk beberapa lamanya dia tak 

mampu bersuara apalagi menjawab. 

Naga Kuning yang memegang benda sakti milik Ratu 

Duyung segera melihat ke dalam kaca. Sesaat tampang bocah ini 

tampak berkerut. Lalu mulut sunggingkan seringai. 

”Hik ... hik ..” Naga Kuning menahan tawa geli. Kepala 

digelengkan lalu keluarkan suara berdecak ck ... ck ... ck berulang 

kali. 

”Oala! Besar amat! Bulunya hitam rimbun! Ha ha ha!” tawa 

Naga Kuning meledak lepas. 

Gondoruwo Patah Hati melirik ke arah Ratu Duyung. Sampai 

saat itu gadis bermata biru ini masih dalam keadaan tegang dan 

memalingkan wajahnya ke arah lain. Si nenek melangkah 

mendekati Naga Kuning. 

”Hai! Kemarikan cermin itu! Aku mau melihat ada apa

didalamnya!” 

Bukannya menyerahkan tapi Naga Kuning terus saja 

memperhatikan ke dalam cermin bulat sambil tertawa-tawa dan 

goyang-goyangkan tangan kiri lalu melangkah mundur menjauhi 

si nenek. 

”Apa kataku?!” ucap si bocah pula. ”Kini terbukti dari alam 

gaib itu memang ingin menjajal kejantanan Wiro! Mungkin juga 

dia ingin mengobati. Itu sebabnya dia membawa Wiro ke tempat 

sunyi ini. Tapi burung tekukurnya kenapa layu menunduk saja?! 

Ha... ha ... ha!” 

”Bocah geblek! Kau ini bicara apa?! Apa yang kau 

tertawakan?! Kemarikan cermin itu!” bentak Gondoruwo Patah 

Hati. 

”Sstt ... Tunggu dulu Nek, aku lagi asyik nih. Ada tontonan 

bagus!” jawab Naga Kuning lalu melompat dan duduk di atas satu 

gundukan batu.”Bocah kurang ajar! Kalau kau tidak berikan cermin itu 

padaku kukepruk kepalamu!” Gondoruwo Patah Hati mengancam 

lalu melompat ke atas batu. 

Naga Kuning cepat sembunyikan cermin bulat di balik

punggungnya. ”Nek, kalau kau mau ikutan melihat apa yang ada 

di dalam cermin boleh saja. Silahkan duduk disampingku! Tapi 

aku tidak akan menyerahkan cermin padamu!” 

Si nenek mengalah, duduk di sebelah Naga Kuning. Si bocah 

keluarkan cermin bulat dari balik punggung lalu diperlihatkan 

pada Gondoruwo Patah Hati. Begitu melihat ke dalam cermin 

wajah si nenek langsung mengkerut. Mata mendelik dan nafas 

berhembus kencang. Tubuhnya mendadak panas. Saat itu di 

dalam cermin masih kelihatan Wiro tengah berdiri tanpa pakaian 

di hadapan Purnama. 

”Oo edan!” Si nenek berucap setengah memaki. Wajah 

mendongak mata dipejamkan, kepala digeleng-geleng. ”Ini tidak 

mungkin! Tidak bisa terjadi kalau gadis itu tidak menjebaknya! 

Dasar perempuan gatal! Wiro tidak mungkin mau berbuat seperti 

itu! Mau telanjang bulat di hadapan seorang gadis!”

”Kau masih bicara tidak mungkin Nek. Kau kan sudah lihat 

sendiri di dalam cermin!” ujar Naga Kuning. 

Gondoruwo Patah Hati turunkan kepala, buka mata dan

mendeliki si bocah. 

Naga Kuning tertawa. ”Sudah Nek, temani saja Ratu 

Duyung. Biar aku sendirian yang melihat apa yang terjadi. Nanti 

aku ceritakan bagaimana kelanjutan tontonan asyik ini padamu.” 

Gondoruwo Patah Hati melompat turun dari atas batu.

Sampai disamping sang Ratu nenek ini berkata. 

”Ratu, kita harus mendatangi goa dimana Wiro dan gadis itu 

berada. Kelihatannya sebuah goa tak jauh dari sini.” 

Ratu Duyung belum sempat menjawab, di atas gundukan

batu Naga Kuning berkata. ”Nah ... nah ... Kalian berdua jangan 

khawatir. Wiro sekarang sudah pakai celana dan baju. Dia asyik 

ngobrol dengan Purnama ”Ratu, kau harus segera mengambil cermin sakti itu dari 

tangan Naga Kuning!” 

”Seharusnya begitu Nek. Tapi aku rasa ada baiknya kalau 

ada orang memantau apa yang terjadi. Yang penting bukan aku. 

Biar saja anak itu memperhatikan terus.” Ratu Duyung menolak 

karena khawatir akan melihat lagi sesuatu yang menusuk mata 

dan hatinya di dalam cermin. 

”Aku tidak setuju dengan pendapatmu. Bagaimana kalau kita 

bertiga masuk saja ke dalam goa menemui dua orang itu. Kita 

harus bertindak cepat sebelum kejadian gila itu berkelanjutan!” 

”Hai!” Naga Kuning tiba-tiba berseru. 

”Anak kurang ajar! Ada apa?! Apa yang kau lihat?!” bentak 

Gondoruwo Patah Hati. 

”Purnama memeluk dan menciumi Wiro. Tapi Wironya diam 

saja. Tololnya dia! Kalau aku pasti aku balas memeluk dan 

mencium! Hik ... hik ... hik!” 

Gondoruwo Patah Hati tak dapat lagi menahan diri. Nenek 

ini melompat ke atas gundukan batu dan merampas cermin sakti 

dari tangan Naga Kuning. Si bocah coba berkelit tapi si nenek jitak 

kepalanya. Selagi Naga Kuning meringis kesakitan Gondoruwo 

Patah Hati cepat merampas cermin sakti lalu menyerahkan pada 

Ratu Duyung sambil berkata. 

”Ratu, aku tahu hatimu sangat terguncang. Apa yang terlihat 

di cermin mungkin saja bukan begitu kenyataannya...” 

”Cermin itu tidak pernah berdusta, Nek.” jawab Ratu

Duyung. Suaranya bergetar. 

”Kalaupun itu terjadi, pasti ada sesuatu sebab musababnya. 

Aku tahu Purnama itu gadis rada-rada gatal. Bisa saja dia punya 

maksud nakal mau menjebak Wiro....” 

Wajah Ratu Duyung tampak tidak berubah. ”Aku tidak tahu 

Nek. Aku masih percaya Purnama adalah gadis baik ...” 

”Kalau begitu tenangkan hatimu. Simpan kembali cermin 

ini.” kata Gondoruwo Patah Hati pula.”Untuk sementara biar kau pegang dulu Nek.” jawab Ratu 

Duyung. 

”Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya si nenek pula. 

Ratu Duyung tak menjawab. Gondoruwo Patah Hati 

berpaling ke arah gundukan batu. Ternyata Naga Kuning tak ada 

lagi di atas gundukan batu itu. 

”Eh, kemana perginya anak konyol itu?!” si nenek 

celingukan. ”Aku khawatir dia mendahului masuk ke dalam goa.” 

Ratu Duyung memandang ke langit. Sebentar lagi malam 

segera datang. ”Nek, kau mungkin benar. Ada baiknya kita masuk 

ke dalam goa dimana Wiro berada ...” 

Kedua orang itu berkelebat cepat ke arah lamping bukit batu 

yang memagari sebagian Teluk Losari. 

Di satu tempat mereka menemui Naga Kuning cengengesan 

duduk menjeplok di tanah. Sekitar enam langkah di hadapan si 

bocah berbaring seekor harimau putih. Sepasang mata hijau 

binatang ini menatap tak berkesip ke arah Naga Kuning lalu 

berputar menatap Ratu Duyung dan Gondoruwo Patah Hati. 

”Aku ingat, harimau putih ini peliharaan seorang sakti di 

negeri seberang ...” kata Ratu Duyung pula. 

”Setahuku dia adalah sahabat dan pelindung Wiro. Kalau aku 

tidak salah namanya Datuk .... ah aku lupa nama panjangnya. 

Sekarang aku mengerti mengapa Wiro mampu bergerak luar biasa 

cepat. Pasti binatang ini yang membawa Wiro ke tempat ini.” 

Harimau putih Datuk Rao Bamato Hijau menggereng halus. 

Ekor menyentak ke kiri dan ke kanan, kepala diulurkan ke arah 

Naga Kuning membuat anak berambut jabrik ini menggeser 

duduknya ke belakang. 

”Waktu aku mencoba lewat harimau ini menghalangi.” 

memberitahu Naga Kuning. 

”Untung Cuma dihalangi. Kalau aku jadi harimau itu sudah 

aku geragot lehermu!” kata Gondoruwo Patah Hati yang masih 

jengkel pada Naga Kuning. 

Ratu Duyung melangkah menghampiri harimau putih.”Ratu, hati-hati ....” mengingatkan Gondoruwo Patah Hati. 

Dua langkah di hadapan harimau putih Ratu Duyung 

berhenti. 

”Datuk ... kami semua yang ada disini adalah sahabat Wiro. 

Kami tahu dia ada dalam sebuah goa di lamping bukit batu 

sebelah sana. Kami mohon kau mau memberi jalan.” Habis 

berkata begitu Ratu Duyung ulurkan tangan membelai kuduk 

harimau putih. Binatang itu bergerak bangkit menggereng halus 

seperti mengerti akan ucapan orang dia gelengkan kepala. 

”Ah, kau tidak mengizinkan kami menemui Wiro. Kami 

datang membawa urusan sangat penting ...” 

Untuk kedua kalinya harimau putih bernama Datuk Rao

Bamato Hijau menggereng halus dan gelengkan kepala.

”Ratu, kau ajak terus dia bicara. Nanti aku akan mencoba 

melesat melewatinya.” berbisik Gondoruwo Patah Hati. 

”Tidak, jangan lakukan itu Nek. Kalau Datuk tidak 

mengizinkan kita lewat pasti ada sebabnya ...” 

”Binatang ini agaknya bersekongkol dengan Purnama.” bisik 

nenek lagi. 

”Kita tidak bisa berbuat lain. Seorang sahabat tidak mau 

memberi jalan. Kita terpaksa menunggu di tempat ini sampai Wiro 

muncul keluar dari goa.” Ratu Duyung berkata lalu memberi 

isyarat pada Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning. Ketiganya 

mencari tempat rata dan duduk bersandar ke lamping bukit batu. 

Malam turun membawa kegelapan. Di langit tak ada rembulan tak 

nampak bintang. Angin laut yang menderu ke arah teluk terasa 

dingin. 

Selama menunggu di tempat itu tidak satupun diantara 

ketiga orang itu bicara. Mereka berdiam diri dalam pikiran masing-

masing. Naga Kuning telah menguap beberapa kali. Sementara 

Gondoruwo Patah Hati yang masih memegang cermin sakti milik 

Ratu Duyung tidak dapat menahan hati. Dia berusaha tanpa 

diketahui kedua orang didekatnya melihat ke dalam cermin. Saat 

itu di dalam goa Purnama pada keadaan menindih tubuh Wiro,memeluk dan menciumi sang pendekar. Si nenek mendelik dan 

keluarkan seruan seperti tercekik. 

”Ada apa Nek?” tanya Ratu Duyung. 

”Tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya merasa kedinginan.” 

jawab Gondoruwo Patah Hati lalu batuk-batuk berulang kali. 

Dari samping Naga Kuning cucukkan jari telunjuknya ke iga 

si nenek seraya berbisik. 

”Kau dusta. Jangan kira aku tidak tahu apa yang barusan 

kau lakukan. Ayo ceritakan apa yang kau lihat dalam cermin.” 

”Bocah sinting! Tutup mulutmu!” tukas si nenek. Lalu 

berpaling ke jurusan lain. Pikirannya merenung. Ingat sewaktu 

peristiwa dia dan Wiro serta beberapa sahabat rimba persilatan 

lainnya menyerbu 113 Lorong Kematian. Waktu itu Gondoruwo 

Patah Hati jatuh berguling-guling saling tindih dengan Wiro. Entah 

bagaimana kejadiannya mulut mereka saling beradu dan terjadi 

ciuman bibir dengan bibir. Wiro hendak menyeka bibirnya tapi 

dilarang oleh si nenek yang sebenarnya memiliki perujudan 

seorang gadis cantik bernama Ning Intan Lestari. Saat itu si nenek 

bahkan sempat berterus terang pada Wiro bahwa kalau saja dia 

tidak keburu jatuh cinta pada Naga Kuning, bocah konyol yang 

perujudan aslinya adalah seorang kakek sakti bernama Kiai Paus 

Samudera Biru, maka Wirolah penggantinya. Celakanya kejadian 

cium-mencium itu sempat terlihat oleh Dewa Tuak yang ada 

ditempat itu. Wiro sendiri berharap kegilaan si nenek hanya 

sampai disitu dan selanjutnya dia menjaga jarak karena 

bagaimanapun juga dia harus menghormati Naga Kuning. (Kisah 

ini dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul ”Kematian 

Kedua”). 

”Ratu, sebaiknya aku kembalikan saja cermin sakti ini 

padamu. Kalau aku pegang terus-terusan aku khawatir rusak atau 

pecah ...” 

Ratu Duyung terpaksa menerima kembali cermin sakti 

miliknya. Tanpa memperhatikan permukaan cermin, benda itu 

disimpan di balik pakaian. Kalau saja dia melihat ke dalam cermin dimana saat itu Purnama masih menindih, memeluk dan mencium 

Wiro entah bagaimana jadinya. 

*** 

SAPUTAN cahaya kuning tampak di ufuk timur pertanda tak 

lama lagi sang surya akan segera muncul menerangi jagat. 

”Fajar sudah menyingsing. Sebentar lagi pagi datang. 

Sampai saat ini Wiro masih mendekam di dalam goa bersama 

gadis alam gaib bernama Purnama itu. Apa sebenarnya yang 

mereka lakukan? Aku tidak dapat membayangkan!” kesunyian di 

tempat itu dipecah oleh suara ucapan Naga Kuning. 

Ratu Duyung diam, Gondorueo Patah Hati tak bersuara. 

Tiba-tiba harimau putih bermata hijau bangkit dari berbaringnya. 

Kepala mendongak buntut bergerak kian kemari. 

”Aku merasa ...” 

Ucapan Ratu Duyung terputus. Gadis bermata biru ini cepat 

berdiri diikuti Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. Dari arah 

lamping bukit batu terjal di sebelah depan berkelebat satu 

bayangan putih dan satu bayangan biru gelap. Tak lama 

kemudian di samping harimau putih telah berdiri Pendekar 212 

Wiro Sableng dan Purnama. Melihat ketiga orang yang berada di 

depan gundukan batu, Wiro segera mendahului menegur. 

”Sahabat bertiga, aku gembira melihat kalian ada di sini ...” 

”Kami memang mengikutimu.” jawab Gondoruwo Patah Hati. 

”Kami tahu kau dan Purnama ada di dalam goa. Tapi 

sahabatmu harimau putih ini tidak mengizinkan kami 

mendatangimu ke dalam goa ...” 

”Di dalam goa aku dan Purnama bekerja keras semalam

suntuk ...” menerangkan Wiro tanpa diminta karena dari wajah 

tiga orang dihadapannya dia maklum ada bayangan rasa 

bertanya-tanya mengapa dia berada dalam goa dan apa yang 

dilakukannya.Naga Kuning cepat-cepat tutup mulut menahan tawa geli 

yang mau tersembur. Wajah dipalingkan ke arah laut, hati 

berkata. ”Kerja keras semalam suntuk. Kerja apa? Hik ... hik ... 

hik! Pasti kerja yang enak-enak!” 

Purnama memperhatikan Naga Kuning. Cepat-cepat dia 

membuka mulut. ”Kami berusaha mengungkapkan petunjuk pada 

sebuah kitab yang sudah hangus terbakar.” 

”Petunjuk apa?” bertanya Ratu Duyung. 

”Petunjuk bahwa aku harus pergi ke dasar kawah Gunung 

Bromo ....” 

”Apa perlunya kau pergi ke sana?” Naga Kuning yang 

bertanya. 

”Aku harus bersamadi, mengheningkan cipta untuk 

mendapat petunjuk lebih lanjut. Petunjuk tentang bunga tanjung 

...” 

”Bunga tanjung? Kok aneh kedengarannya? Kenapa bukan 

bunga mawar?” Naga Kuning keluarkan mulut usil. 

Yang menjawab Purnama tapi tidak langsung ditujukan pada 

bocah berambut jabrik itu. 

”Sahabatku Ratu Duyung, kurasa kau juga tahu bahwa 

munculnya bunga tanjung bersamaan dengan sekian banyak 

perkosaan dan pembunuhan atas diri belasan gadis ...” 

Ratu Duyung mengangguk perlahan. ”Sahabat Bunga 

pernah bercerita tentang pohon tanjung. Semua gadis yang 

diperkosa dan dibunuh ditempeli bunga tanjung dikeningnya ...” 

”Selain itu aku punya firasat petunjuk itu juga bisa 

mengungkap rahasia serta penyembuhan penyakit yang diderita 

Wiro.” Purnama sambung ucapannya. 

”Lalu kalian sekarang mau melakukan apa?” Gondoruwo

Patah Hati bertanya. 

”Petunjuk dalam kitab hangus itu belum seluruhnya 

terungkap. Ada pesan bahwa kami harus segera pergi ke Gunung 

Bromo.” menerangkan Wiro unung Bromo? Sangat jauh dari sini. Apa yang akan kalian 

lakukan disana?” tanya Ratu Duyung. 

”Sumber petunjuk ada disana. Ratu, aku tidak dapat 

menerangkan lebih banyak. Kuharap kau dan dua sahabat mau 

bergabung. Ikut bersama kami.” Jawab Pendekar 212 lalu 

mengusap tengkuk Datuk Rao Bamato Hijau. Sesaat dia

memandang ke arah dada Ratu Duyung. Ada sebuah benda 

dibalik pakaian sang Ratu memancarkan cahaya kebiruan. Wiro 

pernah melihat benda bercahaya seperti itu dibalik pakaian Nyi 

Roro Manggut sewaktu pembantu utama Nyai Roro Kidul itu 

menyelamatkan dirinya dari jebakan racun maut di satu bangunan 

bekas Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. (Baca serial Wiro 

Sableng berjudul ”Sang Pembunuh”). 

Wiro naik ke punggung harimau putih besar. Purnama 

menyusul hendak duduk di belakang sang pendekar. Namun 

sebelumnya dia berpaling dulu pada Ratu Duyung dan berkata. 

”Ratu, kalau kau ingin pergi lebih dulu besama Wiro silahkan ....” 

Ratu Duyung tersenyum menyembunyikan perasaan 

cemburu serta air muka yang berubah. Dia cepat gelengkan 

kepala dan berkata. 

”Kau lebih tahu urusannya. Silahkan pergi duluan ...” 

Purnama naik ke punggung harimau putih, duduk di 

belakang Wiro sambil gelungkan dua tangan di pinggang sang 

pendekar. 

”Ratu ...” Wiro berkata. 

Ratu Duyung saat itu tegak memandang tak berkesip ke 

arah dua orang di atas harimau. Telinganya seperti tersumbat 

oleh rasa cemburu. 

”Ratu, berjanjilah kita akan bertemu di Gunung Bromo.” kata 

Wiro lalu dia usap kepala Datuk Rao Bamato Hijau. Didahului 

gerengan yang menggetarkan bukit batu Teluk Losari, sekali 

berkelebat harimau putih besar dan dua penunggangnya telah 

berada jauh di arah terbitnya sang surya di sebelah timur.Ratu Duyung berpaling pada Naga Kuning dan Gondoruwo 

Patah Hati. ”Bagaimana menurut kalian? Apakah kita akan 

menyusul mereka ke Gunung Bromo?” 

”Kita sudah mengejar Wiro jauh-jauh sampai ke sini. Kita 

punya kemampuan mengikutinya. Mengapa tidak menyusul ke 

Gunung Bromo? Menurut perhitungan ku beberapa hari dimuka 

akan ada perayaan hari suci Kasada di gunung itu. Bilamana 

memang ada urusan yang harus diselesaikan ditempat itu maka 

harus dilakukan sebelum perayaan itu berlangsung agar tidak 

mengganggu kesucian upacara.” 

Ratu Duyung terdiam seolah merenung. Sesaat kemudian 

mulutnya berucap perlahan. 

”Aku punya firasat akan terjadi satu hal luar biasa di 

kawasan Gunung Bromo ....” 

”Yang lebih penting ....” kata Gondoruwo Patah Hati

setengah berbisik hingga tidak terdengar Naga Kuning. ”Kita tidak 

boleh membiarkan Wiro dan Purnama berdua-dua terus-terusan.” 

Gadis jelita bermata biru ini menatap wajah buruk 

Gondoruwo Patah Hati. Diam-diam dia membatin. 

”Sahabat yang satu ini apa tadi dia berkata untuk membela 

diri dan perasaanku atau lebih mengungkapkan perasaan hatinya 

sendiri?” 

Setelah menarik nafas dalam Ratu Duyung pegang lengan 

Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. Sekali kaki kanan 

dihentakkan di tanah, dengan mengandalkan kesaktian Batu 

Mustika Angin Laut Kencana Biru yang didapat dari Nyai Roro 

Kidul ketiga orang itu melesat laksana terbang dan lenyap dari 

pemandangan. 

***


SEMBILAN


MALAM hari menjelang pagi. Lereng sebelah timur puncak 

Gunung Bromo. Dalam sebuah kuil yang diterangi lentera kecil 

dan diselimuti udara dingin serta kesunyian, dua orang Resi duduk 

berhadap-hadapan. Resi di sebelah kiri bernama Resi Sumabarang 

berusia tujuh puluh tahun menatap sahabatnya Resi Jantika 

Lamantara yang berusia hampir sepuluh tahun lebih tua. Kedua 

resi ini baru saja sama-sama menyelesaikan samadi. 

”Resi Sumabarang, apakah ada petunjuk yang kau dapat 

dalam samadimu?” bertanya Resi Jantika Lamantara. 

”Resi Lamantara, terus terang saya merasa khawatir. Saya 

melihat langit hitam. Beberapa kali petir menyambar. Lalu ada 

hembusan angin dari arah selatan. Dalam kegelepan saya melihat 

pasir berterbangan ke udara. Berputar-putar tujuh kali dan baru 

lenyap setelah ada satu cahaya putih datang dari arah barat. Saya 

berusaha mengartikan petunjuk itu namun belum mampu. 

Mungkin saya perlu melakukan samadi susulan sampai menjelang 

pagi nanti.” 

”Resi Sumabarang, kau tak perlu melakukan samadi susulan. 

Ada petunjuk lain yang aku dapat dalam samadiku. Aku melihat 

langit di atas Gurun Tengger berwarna merah membara. Lalu 

hembusan angin kencang datang dari empat jurus arah mata 

angin mengeluarkan suara menggidikkan. Gurun Tengger seperti 

di angkat ke udara. Di saat yang sama aku melihat tiga larik 

cahaya berwarna merah, biru dan hijau. Lalu ada cahaya kuning 

besar seperti hendak melabrak kelap-kelip satu cahaya kuning 

kecil. Aku juga melihat puluhan bahkan ratusan benda aneh kecil 

berwarna putih kekuningan. Kemudian ada suara mendidih 

dahsyat dari dalam kawah Gunung Bromo. Dalam samadi aku 

juga mencium bau harumnya bunga ....” Resi Jantika Lamantara 

berpikir sejenak. 

Resi Aji Sumabarang mendahului bertanya. 

”Resi Lamantara ingat? Bau harum bunga apa?””Sepertinya bau harum bunga tanjung ....” jawab Resi 

Jantika Lamantara. Resi berusia delapan puluh tahun ini 

merenung sejenak lalu berkata. ”Aku jadi ingat pada kisah lama 

tentang pohon tanjung yang lenyap dari alun-alun Kerajaan ....” 

”Kita sama-sama menaruh rasa khawatir. Kalau boleh saya 

mendahului membuat kesimpulan agaknya akan terjadi sesuatu di 

kawasan ini. Lima puluh tahun silam pernah terjadi topan besar di 

Gurun Tengger. Saya khawatir kejadian ini akan berulang lagi.” 

Resi Jantika Lamantara menatap wajah sahabatnya lalu 

berkata. ”Kalau hal itu terjadi pasti ada sebab-musababnya. Kita 

harus menyelidik. Tapi tak cukup waktu. Dua hari lagi kita akan 

melaksanakan hari suci Nyadnya Kasada. Penduduk disekitar ini 

telah bersiap-siap menyambut hari besar itu. Aku sudah melihat 

banyak sekali Ongkek yang sudah dibuat. Aku berharap kalau 

memang terjadi sesuatu, kiranya tidak pada hari itu. Kita harus 

melakukan sesuatu untuk menolak bala.” Dari balik pakaiannya 

Resi Jantika Lamantara mengeluarkan sebuah kalung berbentuk 

tasbih besar terbuat dari untaian butir-butir batu alam aneka 

warna sebesar ujung ibu jari tangan. Kalung diletakkan di atas 

pangkuan lalu Resi ini pejamkan mata. Resi Sumabarang ikut 

picingkan mata dan menunggu. (Ongkek = persembahan yang 

diarak ke dasar Gunung Bromo dalam berbagai bentuk. Antara 

lain berupa binatang dan terbuat kebanyakan dari sayur-sayur 

serta bebuahan). 

Tak lama kemudian Resi Jantika Lamantara buka kedua

mata dan berkata. ”Resi Sumabarang, agaknya kita perlu meminta 

bantuan saudara di Gunung Bromo ini dan juga di Gunung 

Widodaren. Minta mereka menampung tetesan air suci serta air 

embun murni sebanyak mungkin. Berdoa mohon keselamatan lalu 

meneguk air itu. Mudah-mudahan dengan kuasa para Dewa dapat 

dipergunakan untuk menghindari bala bencana malapetaka ....” 

”Kalau begitu saya mohon diri untuk melakukan permintaan 

Resi Lamantara sekarang juga ....”Kedua Resi itu sama-sama berdiri lalu saling membungkuk 

memberi hormat dan salam. Resi Jantika Lamantara letakkan 

untaian kalung batu di atas kening lalu menciumnya dalam-dalam. 

Resi tua ini menarik nafas panjang. ”Aku memang mencium akan 

datang topan di Gurun Tengger. Tetapi apa yang menjadi 

penyebabnya?! Ini bukan perbuatan Yang Kuasa. Ini karena ulah 

manusia. Semoga Para Dewa memberi perlindungan.” Lalu Resi ini 

kembali duduk bersila dan mulai bersamadi lagi. Namun entah 

mengapa dia tidak dapat memusatkan hati dan jalan pikiran. Ada 

kegelisahan muncul didalam dirinya. Setelah mencoba berulang 

kali dan tetap tidak berhasil akhirnya Resi ini bangkit berdiri dan 

melangkah keluar kuil. Malam gelap dan dingin. Di langit tak ada 

bulan tak tampak bintang. Tiupan angin seperti mengikis daun 

telinga. Belum lama berdiri di tempat terbuka, gelap dan dingin, 

tiba-tiba di langit Resi Jantika Lamantara melihat satu benda putih 

melesat dari arah barat disertai berkelipnya dua cahaya hijau. 

Benda ini kemudian menukik masuk ke dalam kawah Gunung 

Bromo. 

”Para Dewa Penguasa dan Penjaga Alam! Tidak salahkah 

mataku melihat?” ucap Resi Jantika Lamantara dalam kejutnya. 

”Seekor binatang putih besar melesat di udara. Masuk ke dalam 

kawah. Ada dua makhluk menungganginya. Ah ....” 

Baru saja makhluk-makhluk tadi lenyap dari pandangan 

mata sang Resi mendadak ada lagi benda lain melayang cepat, 

datang dari jurusan yang sama. 

”Para Dewa, apa artinya semua ini? Aku melihat tiga orang 

melayang di langit.” Resi Jantika Lamantara jatuhkan diri berlutut 

dan mengucap menyebut nama Dewa berulang kali namun

matanya tidak lepas dari tiga makhluk yang melesat di udara itu. 

Seperti binatang putih besar bersama dua penunggangnya tadi 

tiga orang yang melesat di langit melayang turun masuk ke dalam 

kawah Gunung Bromo. 

Saat itu langit di arah timur sudah mulai terang pertanda 

sebentar lagi sang surya akan segera mengubah malam menjadi siang. Setelah berdoa dan menetapkan hatinya Resi Jantika 

Lamantara lari menuju tepi kawah Gunung Bromo. Dalam usia 

yang sudah delapan puluh tahun itu ternyata sang Resi memiliki 

gerakan enteng dan gesit pertanda menguasai ilmu kesaktian 

tinggi. Namun dia hanya mampu memasuki dua pertiga 

kedalaman kawah. Hawa luar biasa dingin menjadi penghalang. 

Dia terpaksa menunggu di satu bagian lereng kawah sampai 

matahari muncul membawa hawa panas. Dari tempatnya berada 

Resi ini memandang ke dasar kawah. Matanya masih mampu 

melihat cukup jelas di balik kepulan asap yang perlahan-lahan 

mulai sirna. Di dasar kawah tampak sosok seekor harimau putih 

besar serta lima orang, salah satu diantaranya seorang anak kecil 

berambut jabrik. 

”Dewa Jagatnata. Lima orang ditemani harimau besar di 

dasar kawah Gunung Bromo. Salah seorang dari mereka duduk 

bersila di atas batu, mengambil sikap bersamadi. Apa artinya 

semua ini ...? Wahai Para Dewa. Apapun yang mereka lakukan 

jangan sampai mengganggu hari suci perayaan Kasada ...” 

*** 

WALAU kepulan asap tebal yang keluar dari kawah di dasar 

Gunung Bromo menutupi pemandangan namun dengan 

menerapkan ilmu Menembus Pandang Wiro bisa melihat cukup 

jelas. Selain itu harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau 

berjalan di sebelah depan sebagai pemandu. Di belakang Wiro 

melangkah Purnama diikuti Ratu Duyung bersama Gondoruwo 

Patah Hati dan Naga Kuning. Sang Ratu juga telah mengerahkan 

ilmu Menembus Pandang sehingga sehingga dapat melihat 

keadaan sekitarnya dengan jelas. Kalau orang-orang itu tidak 

mengandalkan harimau putih sakti tidak mudah bagi mereka 

bergerak di dasar kawah Gunung Bromo. 

Hawa luar biasa dingin menjadi kendala yang tidak 

diperhitungkan sebelumnya. Dada terasa sesak. Sebab hembusan 

nafas menimbulkan kepulan asap. Untuk menghindari tubuh 

menjadi kaku membatu semua orang segera menerapkan kesaktian, mengerahkan lalu mengalirkan hawa panas di dalam 

tubuh masing-masing. Wiro menyalurkan hawa panas Kapak Naga 

Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya. 

Di satu tempat harimau putih hentikan langkah. Binatang 

bermata hijau ini berbalik ke arah Wiro, membuat gerakan berdiri 

di atas dua kaki belakangnya lalu membungkuk dan menjilat 

tangan kanan Wiro sambil keluarkan gerengan halus. 

Wiro mengerti apa arti sikap yang dibuat sang harimau 

segera merangkul binatang itu, menyusup tengkuknya dan 

berkata. 

”Datuk sahabatku. Aku tahu kau memiliki keterbatasan. 

Tidak mungkin berada bersamaku dan teman-teman. Kau sudah 

banyak memberi bantuan. Membawa kami sampai ke tempat ini. 

Aku dan semua sahabat mengucapkan terima kasih.” Wiro peluk 

harimau besar itu sekali lagi. Datuk Rao Bamato Hijau 

menggereng halus. Sebelum melesat ke atas puncak Gunung 

Bromo, Datuk Rao Bamatao Hijau jilati tangan semua orang yang 

ada disitu satu per satu. 

”Ueh! Tanganku yang dijilat kenapa jadi putih?!” Naga 

Kuning keluarkan ucapan. Semua orang memperhatikan lalu 

melihat ke tangan sendiri. Ternyata telapak tangan merekapun 

juga berwarna putih. 

”Apa yang dilakukan harimau itu?” tanya Gondoruwo Patah 

Hati sambil usap-usap tangan kanannya. 

”Ya apa artinya ini? Aku merasa tubuhku jadi hangat.” 

berkata Ratu Duyung. 

”Mungkin datuk meninggalkan sesuatu untuk kita semua. 

Semacam bekal.” kata Pendekar 212 Wiro Sableng pula. 

Sementara itu cahaya matahari yang datang dari atas

membuat udara jadi hangat dan membantu melenyapkan hawa 

dingin serta mengurangi asap. 

Purnama dekati Wiro. ”Saatnya kau mencari tempat yang 

baik untuk mulai samadi sesuai petunjuk dalam kitab.”Wiro memandang sekeliling dinding dasar kawah. 

Pandangannya membentur potongan batang pohon kayu besi 

yang menancap di lereng kawah sebelah bawah. Mata menatap 

dada langsung berdebar. Seperti diceritakan dalam serial ”Misteri 

Bunga Noda” batang pohon kayu besi berwarna hitam ini 

ditancapkan oleh Darmasewara untuk dijadikan petunjuk 

keberadaan sebuah goa. 

”Batang pohon di dasar kawah. Satu hal yang tidak mungkin 

terjadi kalau tidak ada manusia atau makhluk gaib yang 

meletakkannya disitu ...” Wiro berucap lalu merenung sejenak. 

Dia kemudian melangkah ke arah lereng kawah. Sejarak dua 

tombak dari batang kayu hitam ada satu gundukan batu berwarna 

kelabu yang bagian atasnya agak rata. Wiro naik ke atas 

gundukan batu lalu duduk bersila. Purnama dan Ratu Duyung 

serta Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning berdiri di sebelah 

belakang batu. Saat itu sang surya telah naik cukup tinggi. Asap 

di dasar kawah banyak berkurang, udara terasa hangat dan 

seluruh dasar kawah kini dalam keadaan terang benderang. 

Wiro merapal sebagian tulisan terputus-putus yang pernah 

dibacanya di Kitab Jagat Pusaka Dewa yang hangus terbakar. 

Dengan susah payah semalam suntuk bersama Purnama dia 

berhasil menyambung-nyambung tulisan yang nyaris sulit di baca 

itu. 

”Bilamana ilmu kesaktian. Dipergunakan untuk kebaikan. 

Akan didapat berkah serta sanjungan. Bilamana ilmu kesaktian. 

Dipergunakan untuk kejahatan. Akan didapat bala dan kutuk. 

Pohon tanjung di Gurun Tengger. Akan lenyap. Kembali ke 

tempat... Jauh di dasar kawah Gunung Bromo. Kesaktian akan 

lenyap. Berkah akan musnah. Dari dasar kawah itulah. Jika cipta 

diheningkan. Petunjuk akan datang ...” 

Wiro letakkan dua tangan di atas dada, mata dipejam. 

Perlahan-lahan pikiran dikosongkan. Hanya beberapa saat setelah 

Wiro masuk ke dalam alam samadi tiba-tiba di kejauhan terdengar 

suara aneh seperti puluhan seruling ditiup. Bersamaan dengan itu terasa getaran pada dinding dan dasar kawah. Di sebelah atas 

gunung tampak debu kelabu beterbangan. Lalu ada tiupan angin 

turun ke dasar kawah. Kecuali Wiro, semua orang mendongak ke 

puncak gunung memperhatikan apa yang terjadi. 

Ketika suara seperti tiupan seruling akhirnya lenyap, deru 

angin sirna, getaran di dasar serta dinding kawah hilang, dan 

gebubu debu di atas gunung tak tampak lagi, Pendekar 212 telah 

tenggelam dalam samadi khusuk. Lubuk hatinya tiada henti 

berkata. 

”Tuhanku Yang Maha Kuasa. Jika memang di tempat ini aku 

akan mendapat petunjuk, berikanlah. Engkau Maha Mengetahui 

malapetaka apa yang akan terjadi tanpa pertolonganMu.” 

”Ada orang datang.” tiba-tiba Naga Kuning memberi tahu. 

Semua orang berpaling. Saat itu seorang tua berpakaian serba 

putih, berwajah tirus tahu-tahu telah berdiri di tempat itu. Setelah 

menatap orang-orang didepannya dia lalu berkata. 

”Namaku Jantika Lamantara. Aku resi penjaga kawasan

Gunung Bromo. Kalian semua datang dari mana. Ada keperluan 

apa berada di dasar kawah? Satu hari lagi akan ada perayaan hari 

suci Kasada di tempat ini. Aku tidak mau ada tindak perbuatan 

kalian yang mengganggu ketentraman kawasan ini. Apalagi 

sampai mengganggu kesucian jalannya Kasada. Aku mohon kalian 

segera meninggalkan tempat ini. Dari pakaian kalian aku bisa 

menduga kalian adalah orang-orang rimba persilatan.” Sambil 

bicara Sang Resi melirik ke arah Wiro yang tengah duduk 

bersamadi. Ada getaran aneh di dalam dadanya ketika dia melihat 

wajah sang pendekar. Dia kerahkan hawa sakti untuk meneliti 

sosok Wiro. Namun mendadak lututnya terasa goyah. Mulutnya 

bergumam. 

Gondoruwo Patah Hati yang punya sifat berangasan 

langsung saja hendak membuka mulut. Namun Purnama cepat 

mendekati Resi Jantika Lamantara membungkuk memberi hormat 

dan berkata dengan suara sopan.”Resi Jantika, kau benar. Kami memang orang-orang rimba 

hijau persilatan. Kami datang membawa niat baik. Untuk 

mendapat petunjuk dari satu kekuatan gaib. Mungkin yang datang 

dari Para Dewa. Petunjuk itu sangat berguna untuk 

menghancurkan kekuatan jahat yang kini tengah merajalela. Kami 

tidak membekal niat merusak kawasan, juga mengganggu 

ketentraman, apalagi merusak kesucian hari Kasada. Kami mohon 

maaf kalau kami datang tanpa memberi tahu. Resi lihat sendiri. 

Salah seorang dari kami tengah melakukan samadi. Berusaha 

berhubungan dengan kekuatan gaib yang akan memberi 

petunjuk.” 

Resi Jantika Lamantara perhatikan satu persatu orang yang 

berdiri dihadapannya lalu berkata. ”Aku masih belum percaya 

kebenaran ucapan kalian. Tadi aku mendengar suara angin seperti 

tiupan seruling. Ada debu yang mengapung di udara. Lima puluh 

tahun silam hal serupa pernah terjadi. Semua merupakan tanda-

tanda akan munculnya topan prahara di kawasan Gurun Tengger. 

Kalian bisa saja menjadi pangkal penyebab terjadinya bencana itu 

karena alam tidak menerima kehadiran kalian.” 

”Resi Jantika, kami memang tengah menghadapi satu 

kekuatan gaib dari golongan hitam. Kekuatan itu mungkin saja 

menimbulkan petaka berupa topan prahara. Bahkan bisa juga 

meledakkan gunung besar keramat ini. Itu sebabnya kami 

berusaha untuk mencegah ...” 

Kecurigaan Resi Jantika Lamantara berkurang sedikit setelah 

mendengar kata-kata yang barusan diucapkan Ratu Duyung. Dia 

kembali pandangi keempat orang dihadapannya itu. Dua gadis 

sangat cantik, seorang bocah dan seorang nenek berwajah seram 

seperti setan. Tiba-tiba untuk pertama kalinya sang Resi melihat 

telapak tangan kanan keempat orang itu yang berwarna putih. 

Wajahnya berubah. Dia cepat mendekati Naga Kuning. Memegang 

tangan kanan bocah ini lalu mendekatkan ke hidungnya. Berusaha 

membaui sesuatu.”Eh Kek, ada apa kau mencium tanganku?” tanya Naga 

Kuning heran. 

”Aku mencium sesuatu. Sesuatu yang pernah aku cium lima 

puluh tahun lalu. Angin Putih Tangan Dewa ... ” ucap sang Resi 

perlahan dengan suara bergetar. Lalu dia balik bertanya. 

”Bagaimana tangan kalian bisa bertanda putih seperti ini?” 

Dari keempat orang itu tak ada yang mau memberi tahu. 

Malah Gondoruwo Patah Hati ajukan pertanyaan. ”Memangnya 

kenapa?” 

”Lima puluh tahun lalu ...” jawab Resi Jantika. ”Sewaktu 

terjadi malapetaka topan besar di Gurun Tengger. Satu hari 

sebelum topan muncul ayahku Resi Mojong Lamantara 

kedatangan seorang ...” 

Ucapan Resi Jantika Lamantara terputus oleh munculnya 

getaran keras di dasar kawah. Lalu dinding kawah dihadapan 

mana Wiro duduk bersamadi berderak. Pada dinding itu tampak 

retakan dalam, berbentuk setengah lingkaran dengan ketinggian 

hampir satu setengah tombak. Perlahan dan sedikit demi sedikit 

retakan di sebelah atas dinding kawah gugus jatuh ke bawah. Tak 

selang berapa lama pada dinding kawah itu muncul satu lobang 

besar menyerupai mulut goa. 

Hampir tiada beda dengan peristiwa yang pernah terjadi 

ratusan tahun silam, dari dalam goa melangkah keluar seorang 

pemuda gagah mengenakan baju dan celana hitam. Wajah segar 

bersih dilengkapi kumis, cambang bawuk serta jenggot rapi tipis. 

Ratu Duyung dan Purnama sama-sama terpana. Bukan 

karena tertarik akan ketampanan wajah sang pemuda. Namun 

kedua gadis cantik ini samar-samar ingat sesuatu. Pakaian serba 

hitam dengan sulaman bunga tanjung terbuat dari benang perak 

dan emas! Mereka berdua memang belum pernah melihat

orangnya. Namun telah sering mendengar cerita. 

Resi Jantika Lamantara ketika melihat pemuda yang keluar 

dari dalam goa di dinding dasar kawah itu langsung tampungkan 

dua tangan ke langit sambil mulutnya berucap.”Dewa sungguh besar. Puluhan tahun hidup di Gunung 

Bromo baru sekali ini aku mengetahui dan melihat kalau gunung 

ini memang memiliki seorang penunggu sakti.” 

Dengan sikap tenang pemuda yang barusan keluar dari

dalam dinding kawah perhatikan orang-orang didepannya. Ketika 

dia berpaling pada Resi Jantika, Resi ini cepat membungkuk dan 

bentangkan kedua tangan. Dia maklum kalau pemuda itu bukan 

manusia biasa. Kalau tidak dengan kuasa Dewa tidak mungkin dia 

ada dan muncul seperti itu. 

Pemuda berpakaian hitam sesaat perhatikan Pendekar 212 

Wiro Sableng yang duduk bersamadi di atas batu kelabu. Dia 

melangkah mendekati dan letakkan tangan kanan di bahu Wiro. 

Dari mulutnya keluar ucapan dengan suara lembut. 

”Sahabat tak dikenal, ratusan tahun tidak ada yang sanggup 

memanggil diriku dari alam roh kecuali dengan kehendak Para 

Dewa. Dan kau sanggup melakukan! Aku sudah berada 

dihadapanmu. Beritahu apa yang kau dan para pengantarmu 

inginkan.” 

Hawa dingin yang keluar dari tangan kanan pemuda 

berpakaian hitam mengalir ke dalam tubuh Pendekar 212 

membuat sang pendekar sadar, hentikan samadi. Ketika dia 

membuka mata dan melihat orang yang berdiri dihadapannya 

serta merta Wiro terbelalak. Pemuda di candi yang mengobatinya 

tapi sekaligus mencelakainya! Pemuda bejat yang memperkosa 

dan membunuh sekian banyak gadis! Manusia terkutuk yang telah 

merampas kehormatan dan menghabisi Raden Ayu Ambarsari lalu 

menimpakan fitnah kesalahan pada dirinya! Dengan cepat Wiro 

melompat turun dari atas batu sambil mulutnya berseru. 

”Jahanam terkutuk! Cakra Mentari! Kau!” 

***


SEPULUH


PEMUDA berpakaian hitam mundur selangkah ketika melihat 

Pendekar 212 Wiro Sableng angkat tangan kanannya. Tangan itu 

serta merta berubah warna seperti perak berkilau dan 

menghampar hawa panas pertanda siap melepas pukulan sakti 

mematikan. Pemuda di depan Wiro mengangkat kedua tangan 

lalu dengan cepat berkata. 

”Sahabat, tahan seranganmu. Tidak heran kau salah 

mengira. Wajahku dan wajah orang yang barusan kau sebutkan 

namanya itu memang sangat sama. Karena aku sempat menitis 

ke dalam dirinya ketika dia masih bayi. Katakan apakah ada 

permusuhan besar antara dirimu dengan Cakra Mentari ...” 

Wiro balas menatap, pandangi pemuda didepannya mulai 

dari rambut sampai ke kaki. Bedanya pemuda ini dengan Cakra 

Mentari hanya dia tidak mengenakan secarik kain merah pengikat 

kening. Perlahan-lahan Wiro turunkan tangan kanannya yang tadi 

sudah siap menghantamkan pukulan sakti Sinar Matahari. 

”Kami dalam usaha menumpas manusia terkutuk itu. Dia 

telah berbuat kejahatan keji dimana-mana. Memperkosa dan 

membunuh banyak gadis. Namun usaha kami tidak mudah

dilakukan. Selain dia memiliki ilmu kepandaian tinggi ada makhluk 

gaib yang menjadi pelindung. Keras dugaan makhluk gaib itu 

sekaligus menjadi otak dari semua kejahatan bejat yang 

dilakukannya. Wiro hentikan ucapan, memandang lagi Suma 

Mahendra penuh selidik lalu ganti bertanya. ”Sekarang giliranmu 

menerangkan. Siapa dirimu dan apa hubunganmu dengan Cakra 

Mentari.” 

”Namaku Suma Mahendra. Aku berasal dari Kerajaan 

Singosari ratusan tahun lalu ...” 

”Tunggu, kalau kau memang berusia ratusan tahun, 

bagaimana kau bisa tampil sebagai seorang pemuda seperti ini ...” 

Suma Mahendra tertawa. Dia menunjuk pada Naga Kuning. 

”Anak itu.” katanya. ”Bagaimana dia mungkin hadir sebagai 

seorang bocah. Padahal sebenarnya bukankah dia seorang kakek berusia lebih dari seratus tahun? Kita semua mendapat berkah 

dari Para Dewa sesuai dengan keadaan diri masing-masing.” 

Wiro menggaruk kepala. Suma Mahendra lanjutkan 

keterangannya. 

”Suatu ketika guna mendapatkan ilmu kesaktian 

mandraguna aku masuk ke dasar kawah Gunung Bromo ini untuk 

bertapa dan mendapatkan sebuah kitab sakti bernama Kitab Jagat 

Pusaka Dewa. Permohonanku ternyata tidak dikabulkan Para 

Dewa. Seperti kataku tadi Dewa hanya mengizinkan aku menitis 

ke dalam tubuh seorang bayi yang kemudian dikenal dengan 

nama Cakra Mentari. Kepadanya kelak Kitab Pusaka Jagat Dewa 

akan diberikan. Namun ada satu makhluk jahat bertindak culas. 

Mencuri kitab dan menggantikannya dengan kitab palsu yang 

mengandung sari kemesuman dan kejahatan. Cakra Mentari 

mempelajari kitab sesat itu tanpa dia sadar apa yang 

dilakukannya ....” 

”Dia memperkosa dan membunuh sekian banyak gadis. 

Mustahil hal itu dilakukan diluar kesadaran ...” kata Ratu Duyung 

yang sejak tadi berdiam diri. 

”Betul.” jawab Suma Mahendra. ”Disitulah letak kesesatan 

yang bersumber dari kitab palsu dan jahat. Pemuda bernama 

Cakra Mentari itu berada di bawah satu kekuatan dahsyat yang 

tak bisa dilawannya. Dia tidak sadar, dia bahkan lupa akan masa 

silamnya. Dia hanya menjadi alat seseorang yang luar biasa keji 

untuk menjadi perantara mendapatkan ilmu kesaktian yang tiada 

taranya di dunia ini ...” 

”Siapa adanya manusia itu?” tanya Purnama. 

Suma Mahendra menggeleng. ”Sayang sekali, aku tidak

mengetahui siapa adanya orang itu ....” 

”Aku sangat menduga manusianya adalah makhluk tanpa

wajah yang tiba-tiba saja muncul di tanah Jawa ini. Sering sekali 

dia muncul untuk mencelakai kami.” ucap Ratu Duyung. 

”Kau menyebut makhluk itu. Aku jadi ingat dan ucapanmu 

benar.” kata Suma Mahendra pula. ”Dia muncul di puncak Gunung Mahameru ketika aku berusaha menyelamatkan Cakra Mentari 

sebelum terjebak dan tersesat oleh kitab palsu. Dia

menghantamku dengan tongkat sakti berlapis emas. Berarti 

makhluk itu yang telah menukar lalu memberikan kitab jahat pada 

Cakra Mentari.” 

Dari balik pakaian putihnya Wiro mengeluarkan dua buah 

kitab, satu masih utuh satu dalam keadaan hangus. Dua kitab 

diperlihatakan pada Suma Mahendra. Lalu Wiro menerangkan. 

”Sahabatku Purnama menerima dua kitab ini dari seorang 

bernama Deewana Khan. Apakah kau mengenal orang itu?” 

Suma Mahendra menggeleng. 

”Yang bekas terbakar ini adalah Kitab Jagat Pusaka Dewa 

yang asli. Yang masih utuh merupakan salinan tapi tidak bisa 

dibaca oleh mata biasa. Orang yang memberikan kitab

mengatakan bahwa ada petunjuk di dalam kitab yang terbakar. 

Aku dan sahabatku ini mempelajari semalam suntuk. Kami 

berhasil mengungkapkan tulisan hangus dan rusak di dalam kitab. 

Yang mengatakan aku harus datang ke dasar kawah Gunung 

Bromo ini dan bersamadi untuk mendapatkan petunjuk. Ternyata 

aku bertemu dengan dirimu. Berarti kaulah sumber petunjuk 

bagiku dan kawan-kawan untuk dapat menumpas manusia keji 

bernama Cakra Mentari itu serta siapapun yang menjadi otak di 

belakangnya.” 

Wiro menyerahkan kitab yang masih utuh pada Suma 

Mahendra. 

”Deewana Khan memberi petunjuk, jika seseorang bertapa 

seratus hari, dia akan sanggup membaca seluruh isi kitab dan 

menguasai semua ilmu kesaktian yang ada didalamnya. Aku ingin 

menyerahkan kitab itu padamu. Ambillah.” 

Suma Mahendra tersenyum. Dia tepuk-tepuk bahu Pendekar 

212. 

”Kau orang baik. Aku senang bisa bertemu denganmu. 

Hanya saja harus kau ketahui. Masaku telah lewat. Sejak semula 

aku memang tidak berjodoh dengan kitab ini. Di dalam alam roh,aku tidak membutuhkan lagi segala macam ilmu kesaktian. 

Simpan baik-baik. Kelak pasti ada seorang lain yang lebih pantas 

mendapatkannya.” 

Wiro masukkan dua kitab ke balik pakaiannya kembali. 

”Sebelum kami pergi, mohon petunjuk apa yang bisa kami 

lakukan untuk menumpas Cakra Mentari dan makhluk jahat itu.” 

Suma Mahendra picingkan sepasang mata. Dua tangan 

dirapatkan lalu diangkat ke atas. 

”Des ... des ... des!” 

Tiga larik asap putih mengepul keluar dari batok kepala 

pemuda ini. Setelah asap hilang dia buka matanya kembali. 

”Kau dan teman-temanmu tidak akan mampu mengalahkan

Cakra Mentari sebelum terlebih dahulu menghabisi manusia atau 

makhluk pelindungnya ...” 

”Maksudmu makhluk tanpa wajah itu?” tanya Purnama. 

Suma Mahendra mengangguk. 

”Makhluk tanpa wajah itu siapapun adanya, dia memiliki ilmu 

kesaktian dahsyat yang bersumber pada sebuah tongkat emas. 

Untuk mengalahkannya kau harus menghancurkan atau 

merampas tongkat itu.” selesai bicara Suma Mahendra berpaling 

pada Purnama. Matanya memandang seperti hendak 

menelanjangi hingga Purnama merasa tidak enak. 

”Ada apa? Mengapa kau melihat diriku seperti itu?” tanya 

Purnama. 

Suma Mahendra tersenyum. 

”Kau dan diriku sama. Kita sama-sama mahkluk dari alam 

roh. Namun tingkatanmu jauh lebih tinggi karena kau berasal dari 

alam lebih dari seribu tahun lalu.” 

”Lalu?” tanya Purnama lagi. 

”Aku melihat sebuah benda kecil bercahaya kuning di balik 

pakaianmu. Maukah kau mengeluarkan dan memperlihatkan 

padaku?” 

Dalam herannya melihat kemampuan orang mengetahui 

benda kuning yang memang ada dibalik pakaian birunya,Purnama mengeluarkan benda itu dan menyerahkannya pada 

Suma Mahendra. Setelah memperhatikan cukup lama Suma 

Mahendra bertanya. 

”Kepingan emas ini berasal dari tongkat emas makhluk 

tanpa wajah itu. Bagaimana bisa sampai berada padamu?” 

Purnama menerangkan peristiwa perkelahiannya dengan

makhluk tanpa wajah. Ketika lawan menghantam dan membuat 

dia terkunci terpendam di dalam tanah, dia berhasil membuat 

gompal tongkat emas senjata manusia tanpa wajah itu. 

”Gompalan tongkat emas ini bukan benda sembarangan.

Bisa dipergunakan untuk menjajagi dimana keberadaan makhluk 

itu. Sebaliknya memegang kepingan tombak ini bisa berbahaya. 

Karena makhluk tanpa wajah dapat mengetahui keberadaanmu 

dan kawan-kawan ...” Suma Mahendra hentikan ucapan.

Wajahnya agak berubah. 

Dia genggam gompalan tongkat emas di tangan kanan lalu 

pejamkan mata dan hirup udara dalam-dalam. ”Aku merasakan 

datangnya bahaya. Mungkin makhluk ...” 

Belum selesai pemuda berpakaian serba hitam itu berucap 

tiba-tiba entah darimana datangnya selarik sinar kuning berkiblat, 

membuat Suma Mahendra terpental dan jatuh duduk di dasar 

kawah. Mukanya pucat. 

Wiro cepat melompat menolong Suma Mahendra berdiri.

Ratu Duyung dan Purnama sama-sama tempelkan tangan ke 

punggung pemuda ini untuk mengalirkan hawa sakti untuk 

mencegah cidera tubuh di bagian dalam. 

”Terima kasih, aku tak kurang suatu apa.” kata Suma

Mahendra lalu buka genggaman tangan kanan. 

”Kepingan emas ini, ketika aku mengerahkan tenaga dalam 

untuk menjajagi, makhluk pemilik tongkat merasa ada kontak. Dia 

langsung mengirimkan serangan. Daya serangannya luar biasa 

hebat. Padahal jarak makhluk itu dari sini sangat jauh. Namun 

dalam waktu cepat, sebelum matahari naik dia akan segera 

berada di tempat ini. Dia membekal niat dahsyat. Membuat topan di Gurun Tengger untuk menggulung dan melumat kalian. Tadi 

sewaktu kalian pertama kali sampai di dasar kawah ini, aku rasa 

dia telah menjajal mengirim angin dan debu ....” 

”Betul sekali.” yang berucap adalah Resi Jantika Lamantara. 

”Tadi memang ada angin dan debu. Jadi makhluk itu rupanya 

yang akan menimbulkan bencana di kawasan ini. Semoga Dewa di 

kahyangan turun tangan untuk menghukum dirinya. Tidak satu 

orang atau makhluk pun boleh merusak kesucian hari besar 

Kasada.” 

”Sahabat semua, sebaiknya kalian segera meningglkan

tempat ini. Cepat naik ke atas ...” 

Purnama membisikkan sesuatu ke telingan Wiro. 

Wiro lalu berkata pada Suma Mahendra. ”Dalam semua 

kejadian yang menimbulkan semua malapetaka keji ini kami 

melihat bunga tanjung muncul dimana-mana. Bahkan pakaian 

yang kau kenakan di sulam dengan gambar bunga itu. Kami 

mohon petunjukmu apa arti dan hubungan bunga tanjung dengan 

semua kejadian keji itu.” 

”Sebelum aku menitis masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari, 

aku terlebih dahulu mengirimkan ratusan bunga tanjung ke dalam 

tubuhnya sebagai pagar penjaga keselamatan. Namun sewaktu 

pemuda itu terperangkap dalam tangan makhluk jahat, mahkluk 

jahat menyusupkan lebih dari tiga ratus bunga tanjung ke dalam 

tubuh Cakra Mentari, merusak dan menghancurkan bunga tanjung 

milikku. Bunga tanjung berubah menjadi bunga noda. Jika kau 

ingin mengalahkan Cakra Mentari, kau harus menguras habis 

semua bunga tanjung yang ada dalam tubuhnya ....” 

”Caranya?” tanya Gondoruwo Patah Hati yang bicara untuk 

pertama kalinya. 

”Konon ada satu pantangan yang tak boleh dilanggar oleh 

Cakra Mentari. Sayangnya aku tidak tahu apa pantangan itu.” 

Purnama belum puas. Dia berkata lagi. ”Wiro sahabatku ini 

dicelakai oleh Cakra Mentari hingga hilang kejantanannya sebagai 

laki-laki. Apakah kau punya petunjuk untuk mengobatinya?”Suma Mahendra menatap ke bagian bawah pusar Wiro. 

Kelopak matanya bergetar. 

”Ada satu tanda putih di bawah pusar. Seseorang, mungkin 

saja Cakra Mentari sengaja menyusupkan bunga tanjung untuk 

melumpuhkan kejantananmu. Bunga tanjung itu harus dicari dan 

ditanam di bawah pohon tanjung, diantara dua akar yang sejajar 

....” 

”Kejadiannya sudah cukup lama. Bagaimana mungkin 

mencari dan menemukan bunga tanjung yang satu itu ....” 

Suma Mahendra merenung lalu pejamkan kedua matanya.

Saat mata dibuka kembali pemuda ini berkata. 

”Ada petunjuk dari alam gaib. Berasal dari pohon tanjung 

besar yang pernah tumbuh di alun-alun Kerajaan Singosari. Pohon 

itu kemudian masuk ke dalam kawah ini lalu satu kekuatan 

dahsyat memindahkannya ke Gurun Tengger, di pakai untuk 

tempat Cakra Mentari melakukan tapa sesat. Menurut petunjuk 

seorang perempuan berusaha menolong Wiro. Dia mengambil 

bunga tanjung yang disusupkan di bawah pusar lalu 

menghancurkannya. Tanpa diketahui perempuan penolong pada 

saat itu terjadi satu hal aneh. Hancuran bunga tanjung menguap 

di udara lalu dihembus angin gaib, menyatu kembali namun 

masuk ke dalam kemaluan perempuan itu ...” 

”Oala!” ucap Naga Kuning. 

”Untuk menyembuhkan Wiro, bunga tanjung itu harus 

didapatkan, diambil dan seperti kataku tadi disusupkan diantara 

akar sejajar sebuah pohon tanjung. Pohon sanjung dimana saja 

yang bisa kalian temukan.” 

”Apakah ... apakah ...” Naga Kuning kembali membuka

mulut. Kali ini sambil mesem-mesem geli. ”Apakah diketahui siapa 

adanya perempuan yang menolong Wiro itu? Kalau tidak diketahui 

apakah mungkin kita semua memeriksai sekian banyak kemaluan 

perempuan untuk mencari bunga tanjung itu? Untung-untung 

masih utuh. Kalau sudah leleh dan bau-bau pesing!! Oala! Hik ... 

hik ... hik!” si bocah berambut jabrik ini lalu tertawa cekikikan.Wiro, Purnama dan Ratu Duyung terkesiap mendengar 

ucapan lucu tapi kurang ajar itu. Resi Jantika tundukkan kepala 

mengucap berulang kali. Semua orang merasa khawatir kalau 

Suma Mahendra marah. 

Gondoruwo Patah Hati pencet tengkuk Naga Kuning seraya 

membentak. ”Bocah edan! Ini bukan saatnya bicara ngelantur 

seenak udelmu!” 

Sebaliknya tidak disangka Suma Mahendra malah tertawa 

gelak-gelak sampai wajahnya menjadi merah. 

”Ratusan tahun dalam alamku, aku tidak pernah mendengar 

senda gurau yang menyegarkan seperti itu.” kata Suma Mahendra 

pula. ”Ucapan sahabat kecil itu benar adanya. Mungkin satu 

petunjuk lagi bisa aku beritahu. Perempuan yang menolong Wiro 

adalah seorang yang berasal dari alam gaib ...” 

”Nah ... nah!” kembali Naga Kuning bersuara. Kali ini sambil 

melirik ke arah Purnama. 

Merasa tidak enak dirinya seperti dicurigai Purnama cepat-

cepat berkata. ”Sahabat Suma Mahendra. Tidak sia-sia kami 

datang kesini. Kami sangat berterima kasih atas semua petunjuk 

yang kau berikan.” 

”Ada satu hal yang menjadi pertanyaan dalam pikiran dan 

hatiku. Apakah Cakra Mentari pantas bertanggung jawab dan 

dibunuh? Karena semua kejahatan yang dilakukannya berpangkal 

pada tipu daya makhluk tanpa wajah. Ketika dia berusia dua belas 

tahun dia anak yang cerdas. Tanpa setahu kedua orang tuanya 

secara gaib aku mengajarkan ilmu silat dan kesaktian padanya. 

Dia memiliki ilmu kesaktian yang disebut Raja Demit berupa satu 

makhluk raksasa berkulit merah yang bisa keluar dari gosokan 

kedua tangannya. Dia juga memiliki ilmu pukulan sangat 

berbahaya yang didapat setelah bersamadi di Gurun Tengger. 

Pukulan itu bernama Tiga Cahaya Alam Gaib, memancarkan 

cahaya merah, biru dan hijau. Setahuku pemuda itu mempunyai 

teman seekor elang putih berjambul hitam. Hanya itu yang bisa 

aku sampaikan pada kalian ...””Kami sangat berterima kasih. Setelah tahu siapa dan 

bagaimana keadaan Cakra Mentari tentunya kami ...” 

Ucapan Purnama terputus. Tiba-tiba ada getaran keras di 

dasar kawah. Air yang tergenang di beberapa bagian kawah 

tampak bergejolak seperti mendidih. Di langit tampak tebaran 

debu coklat kehitaman disertai suara angin menyerupai tiupan 

seribu seruling. 

”Topan ...” desis Resi Jantika Lamantara. 

”Sahabat semua! Lekas tinggalkan tempat ini. Naik ke atas 

gunung! Cepat!” teriak Suma Mahendra. Lalu pemuda ini balikkan 

tubuh, melangkah masuk ke dalam lobang di dinding kawah. 

Secara aneh dinding yang berlobang membentuk mulut goa itu 

menutup kembali! 

Didahului oleh Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning, 

disusul oleh Resi Jantika Lamantara, Wiro, Ratu Duyung dan 

Purnama, semua orang itu melesat ke atas gunung. Namun dari 

atas gunung menggebubu angin luar biasa dahsyat, menghantam 

ke bawah membawa debu dan pasir gurun hampir selebar mulut 

gunung dengan ketebalan mencapai tiga tombak! Daya dorong 

yang luar biasa hebat membuat semua orang tertekan ke bawah. 

Apapun yang mereka lakukan tidak mampu menembus ke atas, 

tidak dapat menyelamatkan diri. Naga Kuning yang pertama sekali 

kelihatan limbung lalu terlempar ke bawah. Gondoruwo Patah Hati 

berusaha mencekal tangan anak ini tapi diapun ikut terseret dan 

terhempas jatuh. Sementara Wiro, Purnama dan Ratu Duyung 

tampak menggapai-gapai sia-sia. 

”Celaka!” teriak Resi Jantika. Tubuhnya melayang paling 

cepat ke bawah. ”Kita semua akan terkubur hidup-hidup di dasar 

kawah!” dalam keadaan menegangkan begitu rupa tiba-tiba sang 

Resi ingat sesuatu. Dia berteriak sekeras yang bisa dilakukan. 

”Angin Putih Tangan Dewa! Kalian semua! Lekas pukulkan 

tangan kanan kalian ke atas!” habis berteriak begitu sang Resi 

terhempas ke bawah, terpelanting ke dinding kawah dan 

tergeletak satu cegukan batu dengan kepala benjut berdarah.Setengah sadar dia kemudian menyaksikan apa yang terjadi dan 

berulang kali menyebut nama Dewa. 

***



SEBELAS


INTAN! Naga Kuning berteriak memanggil Gondoruwo Patah 

Hati dengan nama aslinya. ”Aku tidak takut, aku tidak penasaran 

kalau kita harus mati berdua di dasar kawah Gunung Bromo ini!” 

”Gila! Aku belum mau mati!” balas berteriak si nenek. ”Kau 

dengar apa yang diteriakkan Resi itu? Dia tahu sesuatu! Ayo 

hantamkan tangan kananmu ke atas!” 

Sementara tubuh melayang ke bawah Gondoruwo Patah 

Hati pukulkan tangan kanannya ke atas. Naga Kuning lakukan hal 

yang sama. Keduanya sama-sama mengerahkan tenaga dalam 

penuh. 

”Tar! Tar!” 

Dari tangan kanan kedua orang itu muncul kilatan terang 

disertai suara seperti petir menyambar. Lalu dua cahaya putih 

melesat ke atas mengandung kekuatan angin dahsyat, menderu 

menggelegar, menghantam pasir gurun tebal yang tengah 

menggemuruh jatuh ke bawah laksana atap raksasa menimpa 

roboh! 

Melihat apa yang terjadi, Wiro, Purnama dan Ratu Duyung 

segera pula pukulkan tangan kanan masing-masing. Dari telapak 

tangan yang putih setelah dijilat harimau sakti Datuk Rao Bamato 

Hijau, menggelegar tiga kilatan cahaya terang, melesat ke atas, 

bergabung dengan dua pukulan yang telah terlebih dahulu 

dihantamkan Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. 

Terjadilah satu hal yang hebat. Begitu lima cahaya putih 

bertabrakan dengan pasir gurun yang jatuh siap menutup dasar 

kawah dan mengubur hidup-hidup kelima orang itu termasuk juga 

Resi Jantika Lamantara, lima ledakan luar biasa dahsyat 

menggelegar. Gunung Bromo seolah hendak meletus. Pasir gurun 

yang tebalnya sampai dua tombak dan bergerak turun tercabik 

buyar, melesat muncrat ke atas. Lalu di udara muncul satu 

kekuatan aneh, menyedot pasir serta semua orang yang ada di 

dalam kawah!Laksana daun kering Wiro, Resi Jantika dan empat orang 

lainnya melayang di udara, dibawa angin kencang berputar-putar 

ke arah selatan dimana terletak Gurun Tengger. Angin dahsyat 

kemudian mencampakkan mereka ditempat yang terpisah satu 

sama lain. Ketinggian ilmu yang dimiliki orang-orang itu membuat 

mereka masih bisa jatuh di gurun pasir dengan hanya mengalami 

cidera ringan. Walaupun begitu mereka terpaksa harus berbaring 

menelungkup serata mungkin di tanah gurun dan melindungi 

mata dengan lengan. Sambaran ribuan bahkan mungkin jutaan 

pasir gurun laksana senjata rahasia bisa membutakan mata dan 

membuat tubuh mereka berubah jadi saringan! 

Ditempatnya menelungkup sesekali dan sangat hati-hati 

Wiro coba mengintai dari balik lengan. Gila! Dia hanya melihat 

kegelapan saking tebalnya pasir gurun yang beterbangan. Dia 

terapkan ilmu Menembus Pandang. Tidak mempan! 

”Apa yang harus aku lakukan?” pikir murid Sinto Gendeng. 

Dia mengusap wajahnya yang penuh pasir dengan tangan kanan. 

Saat itu samar-samar dia melihat kalau warna putih di telapak 

tangan kanannya tak ada lagi. ”Datuk Rao Bamato Hijau. Dia yang 

membuat warna putih dengan jilatan lidah. Ternyata warna putih 

itu adalah satu kekuatan ilmu dahsyat yang mampu melabrak 

hembusan angin topan, merobek tumpukan pasir gurun hingga 

menguak celah untuk menyelamatkan diri. Resi Jantika 

menyebutnya Angin Putih Tangan Dewa. Bagaimana sang Resi 

tahu nama ilmu kesaktian tersebut. Apakah dia punya hubungan 

dengan Datuk Rao Basaluang Ameh di tanah seberang pemilik 

harimau putih sakti? Datuk Rao Bamato Hijau, aku harap kau 

mendengar suaraku. Kalau tidak berkat pertolonganmu, aku dan 

teman-teman saat ini mungkin sudah terkubur jadi bangkai di 

dasar kawah Gunung Bromo. Kami sangat berterima kasih ...” 

Sementara itu ditempat lain Ratu Duyung tutupi wajahnya 

dengan cermin sakti. Setiap ada kesempatan dia berusaha melihat 

ke dalam cermin. Gelap kelam. Hanya itu yang terlihat. Gadis ini 

maklum bukan hanya tebalnya topan pasir yang jadi kendala, tapi ada suatu kekuatan sangat dahsyat ikut menahan daya sakti 

cermin. 

”Makhluk jahanam tak punya wajah itu. Pasti dia ada di 

gurun ini.” pikir Ratu Duyung. ”Berapa lama aku bisa bertahan 

dari topan gila ini? Dimana Wiro. Dimana yang lain-lainnya?” 

dalam keadaan menelungkup dia berteriak. ”Wiro?! Kau dimana?! 

Tak ada jawaban. Begitu juga setiap Ratu Duyung berteriak nama 

yang lain. Sama sekali tidak ada jawaban. Suara teriakannya 

lenyap ditelan gaung panjang tak berkeputusan suara angin topan 

yang menderu ganas. Ratu Duyung kerahkan ilmu Menyerap 

Detak Jantung untuk mengetahui keberadaan Wiro dan yang lain-

lainnya. Tapi gagal. 

”Ini bukan topan kehendak alam. Seperti yang dikatakan 

Suma Mahendra ini adalah topan buatan makhluk tanpa wajah! 

Untuk mencelakai Wiro dan para sahabat termasuk diriku. 

Agaknya makhluk itu sudah tahu pertemuan dengan Suma 

Mahendra.” Ratu Duyung membatin dalam hati. ”Berarti makhluk 

itu ada di gurun ini juga! Kalau aku bisa mengetahui dimana dia 

berada ...” Ratu Duyung berusaha memandang ke berbagai 

penjuru namun tetap saja dia hanya bisa melihat kegelapan 

menghitam akibat tebaran pasir gurun yang luar biasa tebal. 

Resi Jantika Lamantara beruntung jatuh di Gurun Pasir 

Tengger tak jauh dari satu gundukan batu. Dengan 

menggulingkan diri dia berlindung di balik batu ini. Namun 

pikirannya diselimuti rasa khawatir amat sangat. Hatinya tiada 

henti berkata. ”Aku harus menyelamatkan kuil. Aku harus 

menyelamatkan semua benda persembahan untuk hari suci 

Kasada besok. Aku tak bisa hanya tinggal diam di tempat ini. 

Topan belum tentu berhenti sampai malam nanti. Dewa Penguasa 

Alam, lindungi diriku. Aku harus melakukan sesuatu.” 

Dengan nekad Resi usia delapan puluh tahun ini bangkit 

berdiri. Terbungkuk-bungkuk dia melangkah ke arah di mana dia 

menduga terletaknya kuil. Namun baru dua langkah berjalan 

terpaan topan membuat tubuh sang Resi terpental dan jatuh terguling di pasir. Masih nekad dia kembali berdiri. Sekali ini 

hantaman pasir melabrak tubuhnya. Pakaian putihnya berlubang-

lubang. Ratusan pasir menusuk kulit, masuk menembus ke 

daging. Resi Jantika mengeluh kesakitan. Ketika sekali lagi angin 

deras menghantam, orang tua ini terpental, terkapar di tanah 

gurun tak mampu bergerak lagi. Dari mulutnya terdengar suara 

merapal doa diselingi erang menahan sakit. 

Di satu tempat di arah timur Gurun Tengger Purnama 

merapal satu aji kesaktian. Dari tubuhnya memancar cahaya biru 

yang diharapkan bisa melindungi diri dari kemungkinan tersambar 

pasir gurun. Celakanya setiap pasir gurun berbenturan dengan 

lapisan cahaya biru terjadi letupan keras disertai pancaran bunga 

api yang berbalik membakar pakaian birunya. Purnama akhirnya 

berhenti merapal. Seperti Ratu Duyung dia kemudian teringat 

keterangan Suma Mahendra kalau topan yang terjadi saat itu 

adalah perbuatan gila makhluk tanpa wajah. 

”Kalau topan gila ini memang hasil perbuatan makhluk itu, 

mungkin aku bisa mengetahui dimana dia berada lalu 

memancingnya keluar dari persembunyian! Tapi dimana teman-

teman. Apa sanggup menghadapi mahkluk jahat itu sendirian?” 

Gadis dari alam gaib ini coba menyelidik keberadaan Wiro dan 

kawan-kawan dengan ilmu Nafas Sepanjang Badan. Namun 

seperti yang terjadi dengan Ratu Duyung, ilmu tersebut tidak 

mampu diterapkan. Purnama berpikir sejenak lalu masukkan 

tangan kanannya ke saku celana biru. Dari saku ini dia keluarkan 

gompalan tongkat emas milik makhluk tanpa wajah. Gompalan 

tongkat ini diikatnya dengan benang sepanjang sepuluh langkah 

yang dicabut dan dibuat dengan cepat dari benang baju biru 

pakaiannya. Gadis ini pegang ujung benang kemudian bersurut 

menjauh. Di dalam gelapnya topan pasir Gurun Tengger, 

gompalan tongkat emas mengeluarkan cahaya kuning terang. 

Purnama menunggu dengan dada berdebar dan dia tidak

menunggu lama. Selagi masih bersurut tiba-tiba dari arah timur tempatnya tengkurap. Purnama tarik ujung benang yang 

mengikat gompalan tongkat emas sambil berguling menjauh. 

Cahaya kuning berkiblat, melabrak tanah didepannya. Pasir gurun 

muncrat sampai dua tombak. Di tanah tampak satu lobang besar 

dan dalam mengepulkan asap. Purnama berbaring tak bergerak. 

Mata menatap lurus ke depan. Makhluk yang ditunggu tidak 

muncul. Namun Purnama yakin makhluk itu masih berada di 

gurun. Karenanya dia siapkan ilmu kesaktian bernama Menahan 

Raga Menyerap Tenaga yang mampu membuat lawan kaku lemas 

seluruh anggota tubuhnya. Namun sang makhluk tetap tidak 

menampakkan diri. 

Mendadak Purnama merasa merinding. Jangan-jangan 

makhluk jahat tanpa wajah itu sudah berada didekatnya, melihat 

dirinya tapi dia sendiri tidak melihat makhluk itu! Memikir seperti 

itu Purnama segera saja melenyapkan diri, masuk ke dalam alam 

roh tapi sosok tubuh kasarnya masih tetap berbaring di tanah. 

Apa yang terjadi dengan Naga Kuning dan Gondoruwo Patah 

Hati? Ketika tubuh mereka melesat ke udara dan tersedot ke atas 

puncak Gunung Bromo kedua orang yang sebenarnya adalah 

sepasang kekasih ini sempat saling berpegangan. Sewaktu jatuh 

di tanah gurun keduanya jatuh saling tindih dan beruntung masuk 

ke satu cegukan tanah hingga agak terlindung dari sambaran 

pasir gurun. Namun setelah ditunggu beberapa lama Naga Kuning 

yang menindih di sebelah atas masih tidak turun-turun dari atas 

tubuh si nenek bahkan sama sekali tidak bergerak. Ketika 

diperhatikan kedua matanya terpejam. 

”Gunung, kau kenapa?” tanya Gondoruwo Patah Hati 

khawatir. Gunung adalah nama asli Naga Kuning. Si nenek 

merangkak mendekati bocah itu. Tubuh Naga Kuning diguncang. 

Anak ini masih saja diam tak bergerak. ”Heh..?” Gondoruwo Patah 

Hati semakin khawatir. Pipi Naga Kuning ditepuk-tepuk. Sewaktu 

mau diangkat diturunkan ke samping tubuh si bocah terasa berat. 

Sementara di sebelah bawah ada sesuatu yang menekan dan 

terasa panas dan sesekali bergerak-gerak.”Gunung! Kau jangan macam-macam!” teriak Gondoruwo 

Patah Hati. Dia merasa ada yang tidak beres. Terlebih sewaktu 

sosok Naga Kuning yang menindihnya tiba-tiba berubah menjadi 

sosok seorang kakek gagah mengenakan jubah kelabu! Ini adalah 

ujud Naga Kuning yang sebenarnya dan dikenal dengan nama Kiai 

Paus Samudera Biru. ”Kurang ajar! Kau mau berbuat apa?!” 

bentak si nenek. Dia berusaha menurunkan tubuh yang

menindihnya tapi tubuh itu semakin berat. Malah dua tangan si 

kakek kini bergerak merangkulnya. Lalu ditelinganya terdengar 

suara bisikan. 

”Intan, lama sekali aku menginginkan kita berdua-dua 

seperti ini. Baru sekarang ada kesempatan...” 

”Ihhh!” Gondoruwo Patah Hati terpekik. ”Tua bangka kurang 

ajar! Lekas turun! Kalau tidak ...” 

”Nek, tidakkah kau ingin merubah dirimu menjadi Intan Ning 

Lestari agar kita bisa bermesraan lebih mantap? Apa kau tega 

membiarkan diriku seperti ini?” bisik Naga Kuning alias Kiai Paus 

Samudera Biru. 

”Kiai edan! Jangan-jangan kau sudah kemasukan roh 

jahatnya Cakra Mentari!” si nenek susupkan tangan kirinya ke 

balik jubah si kakek. Kiai Paus Samudera Biru mesem-mesem 

merasakan sentuhan tangan yang menjalar itu. Dia menunggu 

datangnya usapan terakhir ditempat yang tak bisa dibayangkan. 

Namun tiba-tiba sang kiai menjerit keras. Kantong menyan 

perabotannya kena dipencet si nenek! Tanpa disuruh lagi 

langsung saja tubuh si kakek melintir turun ke tanah. Dua kaki 

melejang-lejang, mulut mengerang dan muka meringis menahan 

sakit. 

”Rasakan! Makan pencarianmu!” maki Gondoruwo Patah 

Hati lalu cekikikan. Namun nenek ini kemudian hentikan tawa dan 

unjukkan muka khawatir. Sebabnya sosok Kiai Paus Samudera 

Biru kini tergeletak di tanah tidak bergerak tidak bersuara! Ketika 

dia menatap muka si kakek kelihatan sepasang matanya terbuka 

mendelik.”Astaga! Jangan-jangan ...” si nenek ketakutan lalu jatuhkan 

diri dan peluk tubuh si kakek. Dia usap kepala sambil ciumi Kiai 

Paus. ”Gunung, apakah tadi aku terlalu keras memencet anumu?” 

Si kakek tidak dapat menahan tawanya lagi. Sosoknya

berubah menjadi Naga Kuning kembali. Sambil merangkul 

punggung dengan kedua tangan serta menggelungkan dua kaki 

dipinggul si nenek bocah ini tertawa terpingkal-pingkal. 

”Anak kurang ajar!” Gondoruwo Patah Hati mendamprat lalu 

berguling menjauh sambil terus memaki panjang pendek. 


                      TAMAT


Penulis : Bastian Tito

created : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Ikuti episode berikutnya berjudul 

NYAWA TITIPAN



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive