PELANGI DI MAJAPAHIT
BAB I
Kuda bernama Gruo yang ditunggangi Pendekar 212 dan Raden Ayu Gayatri bergerak tidak terlalucepat. Sebentar lagimereka akan keluar dari kawasan hutan
belantara an langsung menuju pinggiran Timur Kotapraja. Disitu Wiro akan melepaskan
putri bungsu Prabu Singosari itu. Walau dia akan terlepas dari beban berat menjaga
keselamatan sang dara namun perpisahan membuat hatinyaa gak haru.
Saat itu menjelang dini hari. Udara masih gelap dan hawa terasa dingin.
Mendekati dua buah pohon besar yang terletak mengapit kira-kira duatombak didepan jalan yang mereka tempuh murid Eyang Sinto Gendeng perlambat langkah Grudo. Dia memandang tak berkesip kearah dua pohon besar di kiri kanan jalan.
”Ada apa,” bisik Gayatri bertanya.
”Saya punya firasat tidak enak. Mungkin sekali ada seorang yang sembunyi di balik pohon menghadang kita,” jawab Wiro.
”Gandita?”
”Mungkin, tapi bisa juga orang lain. Atau Gandita bersama orang lain.”
”Kalau begitu kita ambil jalan lain saja,” mengusulkan Gayatri.
Wiro mengangguk. Dia menariktalikekang Grudo. Namun belumsempat dia memutar kuda itu tiba-tiba di belakangnyaterdengar suara desiran angin disertai
berkelebatnya satu bayangan hitam. Bersamaan dengan itu Gayatri yang duduk di belakang Wiro terdengar menjerit.
Wiro membalik. Dan terkejut besar. Gayatri takada lagi di belakangnya!
Pendekar 212 melompat dari atas kuda. Begitu menjejak tanah dia langsung alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Tapidiatidakmelihat bayangan siapapun. Tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontangan dalam kegelapan malam. Suara kerontangan
lenyap, menyusul terdengar suara tawa bergelak di samping kiri. Wiro cepat berpaling ke arahitu. Tiga tombak di hadapannya, dekat serumpun semak belukar dilihatnya Gandita bertolak pinggang.
”Bangsat! Kau menculik...”
”Apakaulihat kawanmu itu ada bersamaku?” ujar Gandita denganseringai mengejek.
Aneh, bangsat ini tampak biasa-biasasaja. Padahal sebelumnya dia jelas
menderita luka dalam parah! Pikir wiro. Pasti sesuatu terjadi dengandirinya. Mungkin ada orang pandai luarbiasa yang menolong dan mengobatinya.
Gandita tak bergerak di tempatnya, jugatidak menunjukkan tanda-tanda hendak menyerang. Dengan senyum mengejek dia berkata.
”Kau masihingin mencari temanmu yang berkumis tapi punya suara seperti perempuan itu?! Lihat apa yang terjadidi balik pohon besar sebelah kanan sana!”
Sesaat Wiroagak bimbang. Namun ketika dia menangkap suara seperti orang sedang berkelahi dari arah pohon besar yang disebutkan Gandita maka muridEyang Sinto Gendeng segera berkelebat ke balik pohon itu.
Begitusampaidi balik pohon besar muridEyang Sinto Gendeng jadi terkejut menyaksikan apa yang terjadi.
Di situ dilihatnya seorang kakek berkulit hitam dengan rambut digelung ke atas dan bertubuh tinggi dengan tampang kuyusedih tengah mengepit tubuh Gayatriditangan kirinya. Orang tua berpakaian selempang kain putih ini keluarkan suara seperti orang
menangis sesenggukanterus menerus.
Astaga! Manusia ini adalah DewaSedih,kakak DewaKetawa, pentolankaki
tangan pemberontak! Celaka! Membatin Wiro. Jangan-jangan dia yang telah mengobati
Gandita!
Gayatrisendiri yang saat itu berada dalam keadaan tak berdaya, tertotok dan dikepit eratoleh kakek berkulit hitam.
Sambil mengepit Gayatrisi kakek berkelahi menghadapi seorang lawandandari mulutnya masih saja terus terdengar suara sepertimenangis.
Yang dihadapi Dewa Sedih saat itu adalah seorang kakek aneh memakai caping lebar dikepalanya. Dia memanggul sebuah buntalan besar. Di tangan kirinya dia
memegang sebuah tongkat kayusedangdi tangankanannya adasebuahkaleng rombeng
berisi batu-batukerikil. Setiapsaatkaleng rombeng inidigoyang-goyangkannya sehingga mengeluarkan suara berkerontangan. Tangan kirinya yang memegang tongkat bergerak
kian kemaridalam gerakananeh yang ternyata adalah serangan-serangan ganas yang
mengurung kakekhitam.
Bagaimanapunkakek hitamini berusahabertahandan mencoba membalas namun serangan tongaktitusulitditembusnya.
Masih untungdiabelum sempat kenagebuk atautertusuk ujung tongkat. Yang sungguh luarbiasanya lagiialah bahwakakek bercaping lebar dan berpakaian compang-
camping sepertipengemisitu ternyatakeduamatanya tidakmemilikibagian hitam
barang sedikitpun. Sepasang mata kakekaneh ini putih semua dan tentusajaini berarti bahwadiasebenarnyatidak dapat melihat alias buta!
”Kakek Segala Tahu!” seru Pendekar 212 ketika dia mengenalisiapa adanya kakekbuta itu.
”Husss! Jangan berisik! Biar aku memberi pelajaran pada tua bangka cengeng
yang hendak menculik temanmu ini! Jika dia tidak mau melepaskantemanmu itu,
terpaksa aku menghentikan tangisnya! Menghentikan tangisnya berartimenghentikan
jalan nafasnya!” berkatasi kakek buta lalukembalidia goyang-goyangkankaleng
rombengnyasambiltertawa mengekeh.
”Ah benardugaanku...” kakekhitam yang mengepit Gayatrimembatin sambil terussaja sesenggukan. ”Memangdia rupanya. Tapi mengapa ilmunya setinggi ini. Aku
hanya tahu diasebagai seorang pengemis yang pandai meramal. Ternyata akutidak
sanggup keluardarikurungan tongkatnya! Sudahkepalang! Lebih baikmatidaripada menerima malu besar!”
Kakek hitamitu menggerung keras. Saat ituujung tongkat menyambarke mukanyalalumembabat pakaiannya. Breeet! Dada pakaiannya robek besar.
”Itu peringatan pertamadanterakhir!” kata Kakek Segala Tahu. ”Kalau kaumasih belum mau melepaskan orang itu, kali berikutnya tongkatku akan menyatai
tenggorokanmu!”
”Kau yang bakal mampus duluan pengemis busuk!” teriak kakekhitamlalu
kembali menggerung. ”Baiknya lekaskauberitahu nama ataugelarmu agar setan-setan
rimbabelantara ini mengantarmudengan senang kerimbakematian!”
Kakek bermata butaberpakaianseperti pengemishanya sunggingkantawa
mengejek. Kakek hitamjadinaik darah. Dia menggerung keras. Tangankanannya dipukulkan ke depan. Terjadilah satu keanehandaritelapak tangan kakekhitamitu berputarkeluar bola api yang langsung melesat kearah kakek buta!
”Kakek Segala Tahu! Awas! Lawan menyerangmu dengan bola api!” berteriak Wiro. Tangankanannyasendirisudahsiap diangkat siapuntuk memberi pertolongan.
Tapi Kakek Segala Tahu tetaptenang-tenangsajamalahmasih tertawa-tawa.
Wuss!
Bola apimenyambar. Kakek Segala Tahu kerontangkankaleng rombengnyalalu membungkuk. Tapigerakannya agak terlambat. Bola apimenyambar ganas menghantam capinglebarnya. Caping inilangsung terbakar dibuntal bola api danterpentaljauh. Paras Kakek Segala Tahu jadi berubah. Sebaliknya didepannya kakekhitammalah menangis keras-keras. Mungkin begitu caranya diamenyatakan rasa puas melihat serangannya
berhasil walaupun yang menyambardan membakar caping lawan.
” Dalam dunia persilatan hanya adasatumanusia yang bersenjatakan bola api! Kau pastiadalah Dewa Sedih!”
Kakek hitam dongakkan kepaladan menggerung pilusekali. ”Kau sudah tahu siapa aku. Akupunsudah tahu siapakau! Kita orang-orang persilatanakansaling
berbunuhan!
Salah satu dari kita akan menemuikematian. Betapa menyedihkan...Dewa
Bathara kasihani pengemismalang ini...” lalu orang tua ini yang sebenarnya memang adalah Dewa Sedih menangis sejadi-jadinya.
”Manusia edan!” maki Wiro dalam hati. “Kakek Segala Tahu, biaraku yang memberi pelajaran pada tua bangka cengeng ini!”
“Tetap di tempatmu Pendekar 212! Jangan campuri urusan kami duatua bangka keblinger!” Kakek Segala Tahu membentak, membuat Wiroterpaksa hentikangerakan. Hatinyaberkebat-kebit apakah kakek buta ini sanggup menghadapi Dewa Sedih yang
punya senjataberupa bola api yang dahsyat itu. Selama ini Wirohanya mengenal Kakek
Segala Tahu sebagai seorang jagoramaltiadaduanya. Sekarangdia menyaksikan sendiri bahwakakekitu ternyata memilikiilmu silat yang bukansembarangan. Dengan tongkat bututnya dia sanggup membuat Dewa Sedih tidak berdaya. Tapiapakah tongkat burukitu bisa menghadapi bola api?! Selain hal itu yang dikhawatirkan Wiro adalah keselamatan Gayatri yang saat itumasih berada dikepitan tangan kiri Dewa Sedih.
Kakek Segala Tahu mendongakke langit yang mulaikelihatanterang tanda
sebentarlagipagiakantiba. Tangan kanannya digoyang-goyangkan. Kaleng rombeng itu mengeluarkan suara berisik memekakkantelinga. Tangan kirinya mengetuk-ngetukkan tongkatkayunyake tanah.
“Dewa Cengeng!” Kakek Segala Tahu sengajamenyebut nama Dewa Sedih menjadi Dewa Cengeng. “Aku bertanya untuk penghabisan kali! Kau mau serahkan pemuda yang hendakkauculikatautidak!”
Suara gerung tangis Dewa Sedih terdengar perlahan. Lalu dia berucap. ”Malang benarnasibmu pengemis jelek. Rupanya bukan hanyamatamu yang buta, telingamupun sudahtuli. Orang dalamkepitanku inikaukatakan pemuda. Padahal jelas dia menjerit mengeluarkan suara perempuan!”
Wiro merasakanwajahnya menjadipucat dan kuduknya menjadidingin. Kakek
hitamitu ternyata sudah mengetahui bahwa orang yang tengahdiculiknya itu adalah
seorang perempuan. Apakahdiajugasudahmengetahuisiapa adanya orang itu?!
Gayatri haruscepat dirampas. Aku harusikut turun tangan. Persetan sekalipun Kakek Segala Tahu akan marah besar padaku!
Begitu Wiro bertekaddalam hati. Dia segera alirkan tenagadalam ke tangan
kanan. Kalau tidak dapat merampas Gayatri tanpa menciderai,membunuh kakekcengeng
inipunakutak perduli. Apalagidiaberkomplot dengan pemberontak bernama Gandita
itu! Namun gerakannya lagi-lagiberhentiketika didengarnya Dewa Sedih berkata.
”Kau inginkan pemuda banci ini, pengemis buruk? Boleh saja. Akan kuberikan padamutapitelandulu bola apiku ini!”
Habis berkata begitu Dewa Sedihkembali mengisak-isak lalutangan kanannya dipukulkan ke depan.
Dari telapak tangannyauntuk kedua kalinya melesat keluar bola api, menderu deras kearahmulut Kakek Segala Tahu!
”Ah makanan enak! Aku suka sekali!” Kakek Segala Tahu berucapkeras. Lalu buka mulutnya lebar-lebarsepertisiapuntuk benar-benarmenegak bola api yang disuruh
telan itu. Sedang tangankanannya menggoyang-goyangkankaleng rombegnya.
Pinggulnya digoyang-goyangkansepertimenaritapi tentusajamaksudnya mengejek lawan.
Sudah gila tua bangkaini rupanya! Maki Wiro menyaksikan kelakuan Kakek
Segala Tahu. Serangan mautdihadapinya seperti itu! Mautak mau murid neneksakti
Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini segera angkat tangannya, hendak menghantam bola api dengan pukulan ”Dewa topan menggusur gunung”
***
BAB II
”Makanan Enak! Aku sukasekali!” kembaliterdengar Kakek Segala Tahu berucap. ”Cuma sayang akusedang berpuasa!”
Lalu mendahului gerakan Pendekar 212 Wiro Sableng, Kakek Segala Tahu
gerakkan tangan kirinya. Tongkat kayu butut melesat ke atas. Ujung tongkat menusuk bola api.
Sepertimenusuk bola sungguhan, bola api itu tampaktidak bergerak lagiseolah
ditancap mati. Si kakek goyangkan tangannya sedikit. Bola api ituberputarsepertititiran.
”Sayang akusedang berpuasa, kau saja yang makan kueenakini!” seru Kakek Segala Tahu. Lalusekali tangan kirinya bergerak, bola api itu menderu, melesat kearah kepala Dewa Sedih.
Kakek berkulit hitamituberseru keras lalumeratapdalamkagetnya. Dia tak
pernah menyangka senjata yang sangat diandalkannya bisa dikembalikanuntuk
menyerang dirinya sedemikian rupa. Sambil menangis Dewa Sedih cepat jatuhkandiri
cariselamat. Pada saat itulah tongkat di tangan kiri Kakek Segala Tahu berkelebat
menggebuk bahu kirinya. Kali ini Dewa Sedih keluarkan jerit kesakitan.
Tulang bahunya serasa hancur. Tubuhnya terbanting ke tanah.
Kempitannya padatubuh Gayatriterlepas. Melihat hal ini Wiro cepat pergunakan kesempatan menyambartubuh puteri bungsu Prabu Singosari itudan membawanyake
tempat yang aman.
Dewa Sedih mencoba bangundan mulai menangislagi. Namun saat ituujung tongkat kayudi tangan Kakek Segala Tahu sudah menusuk tenggorokannya.
“Menangis sepuas hatimu! Manusia biang kerok sepertimutidak layak hidup lebih lama!”
Tampang kakekmuka hitamitu menjadipucat.
Keringat mengucur dikeningnya. Tapidasar manusiaaneh dalam ketakutan seperti itu diamasihsaja terus menangis. Sebenarnya Kakek Segala Tahu hanya
bermaksud menggertak. Dia tidak punya keinginan untuk membunuh Dewa Sedih. Pandangan hidupnya ilmusilatdan segala macam ilmu kesaktianadalahuntuk
orang, apapun alasannya. Soal bunuh membunuh biarserahkan saja pada orang lain.
Sebaliknya merasa dirinya tidak mungkin akan selamat darikematian Dewa Sedih hanyabisa pasrah. Dia mulaimeratapmemilukan. Menyaksikan kejadian itu Wiro hanya bisagaruk-garukkepala. Lalu dia ingat pada keadaan Gayatri. Totokan yang membuat
kaku sekujur tubuh gadis ini segera dilepaskannya.
Tiba-tibadarisamping kiri pondok kayuberkelebatsatubayangan besardisertai mengumandangnya suara tawa bergelak disusul suara seruan.
”Jangan bunuh saudaraku!”
Selarik angin menyambar.
Wuttt!
Kakek Segala Tahu merasakan tangan kirinya bergetar. Tongkat yang
ditusukkannya keleher Dewa Sedih bergoyang-goyang. Semula dia berusaha
mengerahkan tenagauntuk bertahan. Tapimemikir takada gunanya maka dia kendurkan pegangannya dantongkatituterpelanting kiri namun tak sampailepasdari pegangannya.
Di hadapan Kakek Segala Tahu kini berdiri seorang bertubuh gemuk luarbiasa, mengenakanbaju dancelana yang kesempitan. Sepasang matanya sipit hampir berbentuk garis, rambutnya disanggul ke atas. Dari mulutnya tiadahentinya keluar suara tertawa
gelak-gelak.
Gayatri yang tegak disamping Wiro dan sudah bebas dari totokan pegang lengan Pendekar 212 dan berbisik.
”Manusia-manusia apa sebenarnya yang ada didepan kita ini? Sebaiknya kita lekaspergisajadarisini.”
Keadaan tidak berbahayasepertitadi lagi Raden Ayu. Kalau tadi memang saya yang menginginkan agar kau cepat pergi, kini takada yang perlu dikhawatirkan. Orang gendutsepertikerbau bunting itu adalah Dewa Ketawa. Kalau akutidak salah dia adalah adik dari kakekhitamberjuluk Dewa Sedih itu...”
”Kalau begitukitaketambahan seorang musuh.”
”Tidak. Walau bersaudaratapi Dewa Sedih dan Dewa Ketawa tidaksehaluan. Dewa Ketawa selaluberpihak pada orang persilatangolongan putih...”
”Sungguhtidakmasukakal. Bagaimana adamanusia-manusiaanehseperti merekaitu!”
”Dunia persilatan justrumenjadiramaiolehmanusia-manusia semacam mereka...Kita lihatsaja apa yang akanterjadi.”
Mengenalisiapayangdatang Kakek Segala Tahu bermata buta itu tampakgeleng- gelengkan kepala. Dia goyang-goyangkankaleng rombengnya dan ketuk-ketukkan
tongkat bututnya ke tanah.
”Tertawa sepanjang hari. Berbobot sebesar sapi. Siapalagikalau bukan Dewa
Ketawa? Ha..ha..ha! Kalau sudah tahu apa yang terjadi mengapa tidak memintakakakmu si Dewa Sedih agar segera meninggalkan tempat ini?”
Dewa Ketawa puaskandulugelaknya lalumengangguk-angguk, kemudian berpalingpadakakaknya.
”Kau sudah dengar ucapan orang! Sudah untung kau masihbisa bernafassaat ini. Ayo lekas minggat darisini!”
Sepasang mata Dewa Sedih tampakmelotot memandang padaadiknya. Namun sesaat kemudianterdengarkembali isak tangisnya. Perlahan-lahandia bangkit berdiri
sambil pegangi bahu kirinya yang mendenyut sakit akibatpukulan tongkat Kakek Segala Tahu tadi.
“Kau tidak pernah berubah,” Dewa Ketawa teruskanomelannya. “Masih saja melibatkan “Masih sajamelibatkandiridengan orang-orang tidakbaik. Apa untungmu bergabung dengan orang-orang yang berniat jahatterhadapSingosari?!”
“Urusanmu urusanmu. Urusanku urusanku!“ jawab Dewa Sedih. Dia melangkah mendapatkan Gandita.
Dewa Ketawa mengekeh mendengar ucapan kakaknya itu. Dia menyahuti dengan suara keras. ”Bagus kalaubegituucapanmu! Lain hari, jangan harapaku akan
menolongmu!”
”Aku tidak perlusegala macam pertolongan adik durhaka sepertimu!” teriak
Dewa Sedih lalukembaliterdengar suara isak tangisnya. ”Kita pasti akan bertemu lagi. Kau akan menyesal! Pasti menyesal!”
Dewa Ketawa mencibir. ”Tua bangkatolol! Sudah bau tanah masih mau
melantur!” Si gendut ini perhatikan kepergian kakaknya bersama Gandita laluberpaling pada Kakek Segala Tahu. Dia mulaitertawa.
”Sahabatku pengemis yang turundariKahyangan, apa kabarmu?”
Kakek Segala Tahu tersenyum. ”Aku baik-baiksaja. Bagaimana dengandirimu? Kau kelihatanagaklangsingan!”
Mendengar ucapan itumeledaktawa Dewa Ketawa hinggakeduamatanyaberair. ”Selama tigabulan ini beratkutelah bertambah dua puluh kilo. Bagaimanakaubisa
mengatakan aku agaklangsing?! Ha..ha..ha..!” Dewa tertawalalumelirik kearah Wiro. ”KampretGondrong!” katanya menyebut Wiro dengan panggilan mengejek seenaknya itu. ”Selamat bertemukembali dengan orang yang kau juluki Kerbau Bunting!”
Gayatrimenutup mulutnya agar suara tertawanya tidak membersit keluar. Wiro
garuk-garukkepalatapicepat menjawab, ”Aku siKampret Gondrongbaik-baiksaja. Kukira kausudah beranak Kerbau Bunting, rupanya belum!”
Dewa Tertawa kembalimeledak tawanya. Kakek Segala Tahu dan Gayatri ikut tertawagelak-gelak.
”Kalau akuberanak, siapa yang akan menolong! Tidak adadukun beranak di tempat ini!” kata Dewa Ketawa pula.
Kembali tempat inimenjadiriuholeh suara tertawa.
Kakek Segala Tahu mengangkat tongkatnya dan meletakkan benda inidi atas bahu Pendekar 212 Wiro Sableng.
”Anak muda, kauselalusaja mencari-caripenyakit!” berkatasi kakek
”Saya tidak bermaksud berbuat begitu. Penyakitapakah yang kau maksudkan
Kakek Segala Tahu?”
Si kakekketuk-ketukkan tongkatnya ke bahu Wiro sedang tangan kanannya menggoyang-goyangkankaleng rombeng.
”Kau tahu penyakit apa yang aku maksudkan Wiro. Yang jelassaat inikauberada berdua-duaan didalam hutan bersama seorang puteri Kerajaan Singosari!”
”Astaga!” Wiro melengak.
Dewa Ketawapun tampakkeheranan. Siapa yang dimaksud kakek buta itu dengan
puteri Keraton Singosari? Dia hanya melihat seorang pemuda berkumistipis disamping
Wiro.
”Kakek Segala Tahu, bagaimana kau...?”
Gayatrisendiritidak kalahkagetnya. Diam-diam dia mulai merasa gelisah. Dia hendakmembisikkan sesuatupada Wiro tapitakjadikarenasaat ituterdengar kakek buta berkata.
“Takusah teruskan pertanyaanmu itu. Aku menciumbauharum semerbak dari
pakaiandan tubuh orang yang tegak di sampingmu. Wewangianseperti ituhanya dimiliki oleh permaisuri atau puteri-puteri Keraton Singosari! Apa salah dugaanku?”
”Kau..kau betul,” jawab Wiro sambilgaruk-garukkepala. Bertemu dengan Kakek Segala Tahu belum tentubisa sekalidalam tiga tahun. Maka murid Sinto Gendengcepat
berkata.
”Kek, selagi kauadadisini, aku mohon petunjukmu...”
”Petunjuk mengenai hubunganmu dengangadis Keraton ini?” tanya Kakek Segala
Tahu lalutertawa mengekeh. Dewa Ketawa ikut-ikutantertawa. ”Jangan mimpikau
bakalberjodoh dengannya, Pendekar 212!”
Paras Wiro danwajah samaran Gayatri tampakkemerah-merahan. Wiro cepat
berkata. ”Maksudku bukan itukek. Aku ingin kau meramaltentangSingosari di masa mendatang. Hal ini kutanyakan karenasaatiniada komplotan jahat yang hendak
memberontak dan merebut tahtakerajaandari tangan Sang Prabu.
”Kalau itu yang kau tanyakan sulit bagiku untuk menjawab,” sahut Kakek Segala
Tahu sambil mendongaklalu goyang-goyangkankaleng rombeng berisibatudi tangan
kanannya.
Wiro tahu orang tua bermata putih dan buta ituberdusta. Dipegannya tangan
Kakek Segala Tahu. Sebelum dia berkatasi kakek berpaling kearah Gayatri laluberkata.
”Sebentar lagipagiakandatang. Apakahkautidak bakal mengalamikesulitan jika kembalike Keraton kesiangan?”
Ucapan Kakek Segala Tahu itumembuat Gayatri sadar. Dia memandang ke
Timur. Langit diufuk sana tampakmulai benderang. Puteri bungsu Prabu Singosari ini memandang pada Wiro. Mungkin banyak yang ingin dikatakannyatapi dia hanya
mengucapkan: ”Jika kau ingin menemui saya diKeraton, carilah seorang abdi tua bernama Damar...” Habis berkata Gayatritinggalkan tempat itu. Dia menemukan kudanyatakjauh dari situ lalubersama tunggangannya ini berlaludengancepat.
“Nah, gadis itusudah pergi. Sekarang baru aku bisaleluasameramal. Aku tadi tidakingindia mendengarramalanku,” kata Kakek Segala Tahu. ”Rupanya dia sangat menyukaimu Pendekar 212...”
”Lupakandulugadisitu. Ucapkan ramalanmu,” kata Wiro.
”Ya, ya...Aku juga ingin mendengar,” kata Dewa Ketawa lalumengekeh panjang.
Mulut Kakek Segala Tahu tampak komat-kamit. Denganujung tongkatnya dia menggurattanahdi depannyamembuat gambar segitiga.
”Akan kucoba meramal. Benar tidaknya ramalankuhanya kenyataannanti yang kelak akan membuktikan. Terus terang ini Cuma ramalan seorang tua bangkatolol. Jadi janganterlalupercaya!”
Dewa Ketawa tertawagelak-gelakmendengar ucapan orang tua itu. Kakek Segala Tahu memulai ramalannya.
Kaleng rombengdi tangankanannyadigoyang keras-keras. ”Kejadian pertama.
Akan terjadi perang saudara antara Singosaridengan orang-orang Kediri. Singosari
runtuhtapi bukantidakbisadiselamatkan. Seoarang kesatria akan muncul
menyelamatkantahta baru.” Ujung tongkat di tangan kiri Kakek Segala Tahu bergeser ke ujung segitiga sebelah kananbawah. ”Kejadiankedua. Akan datang balatentaradari utara menyerbutanah Jawa. Siapa yang dapat mempergunakan kesempatandalam kekalutan
akan mendapatpahala besar. Akan muncul lagi seorang kesatria baru. Dia bakal mendapat bantuandarikesatria pertama tadi.”
Kakek Segala Tahu kembali goyang-goyangkankaleng bututnya. Lalu ujung
tongkat ditekankan kearah ujung segitiga sebelah atas. ”Aku melihatsinarterang, tapi
tidak terlaluterang. Sinar ini bukan sinarmatahari, juga bukan sinarrembulan atau
cahaya bintang-bintang. Ada tujuh warna bertabur memanjang. Mungkin ini yang
dinamakan pelangi. Ingat pelangiselalu muncul setelah hujan turundan reda. Berarti ada cahayaharapan memayungi bekas bumiSingosari...” Kakek Segala Tahu mengakhiri
ramalannya. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu menggoyang-goyangkankalengnya.
”Terima kasihkautelah mau meramal. Hanyasaja ada yang kurang jelas. Kek, dapatkah kau menerangkan mengenaibalatentaradari Utara dancahaya pelangi itu...”
Kakek Segala Tahu mendongaklalugelengkan kepalanya.
”Sayang waktuku terbatas. Aku harus pergi sebelumsiangdatang. Pendekar 212 ada satu hal yang perluaku sampaikan padamu. Betapapunsukanya Puteri Raja itu
terhadapmu, jangankauberani bermain cinta. Karena bagaimanapunkaliantidak berjodoh...”
Wiro garuk-garukkepala. Dewa Ketawa tertawagelak-gelak. Terdengar suara kaleng berkerontangan. Ketika memandang ke depan astaga! Kakek Segala Tahu tidak adalagiditempatnya. Hanya suara kaleng rombengnya yang terdengardikejauhan.
Dewa Ketawa menepuk bahu Pendekar 212. ”KampretGondrong! Aku juga harus pergisekarang. Ingat pesan orang tua tadi. Kampretsepertimu jangan bercinta dengan
Puteri Raja! Ha..ha..ha..!”
”Kerbau Buntingsialan!” maki Wiro tapi hanya dikeluarkannyadalam hati.
Dewa Ketawa masukkanduajari tangan kirinyakedalam mulut. Lalu terdengar suara siutan nyaringsekali. Sambil terkekeh-kekehdia memandang seekor keledai yang keluardari balik semak-semak.
”Tungganganku sudahdatang. Aku harus pergisekarang. Lain kali kitangobrol lagiKampret Gondrong! Ha..ha..ha..!”
Dewa Ketawa melompat ke punggung keledaikecil itu. Binatang inimelenguh pendek lalumelangkah cepat. Seperti yang pernah disaksikannyasebelumnya Wiro
melihat Dewa Ketawa hanya menumpang duduk di atas punggung keledai sementara kedua kakinya yang menjejak tanah melangkah cepat mengikuti langkah keledai.
***
BAB III
Malam itu hujan turun lebatsekali. Di bawah curahan hujanderas dandinginnya
udara seorang penunggang kudanampak memacu tunggangannya memasukiSingosari
dari pintu gerbang Utara. Busur dankantonganak panah tersandangdi bahunya. Sebilah
golok panjang tergantung padaikat pinggang besar yang dikenakannya. Bahu kirinya
dibalutkain tebal untuk menutupi luka besar yang masihmengeluarkan darah. Ternyata
dia adalah seorang anggota pasukan Singosari berpangkat setinggi di bawah kepala pasukan.
Luka di bahu kirinya membuat tubuhnya panas dingin. Tapiperajurit ini berusaha menguatkandiri. Apapun yang kemudianterjadi atas dirinyadiatidak perduli. Yang
pentingdia harus menyampaikan berita besar itupada Patih Kerajaan. Seharusnya dia
melapor pada atasantertinggi yaituPanglima PerangArgajaya. Namun karenakediaman sang Panglimaterletakjauhdi selatansedangkan Patih Raganatha diam dikawasan
kraton yang lebih dekat sementaralukanya cukup parah, maka prajurit itumemutuskan
menghubungi Patih Kerajaan lebih dulu. Tetapi para pengawaldigedung Kepatihantidak satupun yang beranimembangunkan Raganatha. Perajurit itudisarankan agar melapor
pada Panglima Argajayasaja.
Udara mulaiterang-terang tanah ketika akhirnyaprajurititusampaiditempat kediaman Panglima Pasukan Singosari. Dia harus menunggu lamasampai seorang
pengawalkeluarmenanyakan keperluannya.
”Serombongan pasukan menyerang balatentaraSingosari di Welirang... Perajurit kitabanyak yang menemuiajal akibat serangan mendadakini. Kepala pasukan berusaha bertahan. Aku diutusuntuk melapor serta minta bala bantuan.”
”Tunggudisini. Aku akan beritahu Panglima Argajaya,” kata pengawal itu.
Tak selang berapa lama Panglima Balatentara Singosari itu muncul di hadapansi prajurit. Prajurit ini segera menghaturhormat.
”SayaKijangat, Wakil Kepala Pasukan wilayah Porongdi utara. Saya dikirim Kepala Pasukan untuk menghadapdanmelapor.”
”Pengawal mengatakanada pasukan tak dikenal menyerang pasukanmu. Betul?”
Kijangat mengangguk. ”Jumlah merekacukup banyak sedang kekuatankitadi
wilayah itu terbatas. Saat inipasukanSingosari pastiberadadalambahaya besar. Kepala Pasukan minta saya mendapatkan bantuandengan segera.”
”Kalian tahu kira-kira pasukandari mana yang berani menyerbu balatentara Singosari itu?” tanya Panglima Argajaya.
”Besar dugaan mereka adalah orang-orang Kediri...”
”Orang-orang Kediri berani melakukan itu? Pasti Adikatwang yang punya pekerjaan! Keparat!” Argajaya tampakberang besar.
”Ada satu hallagiPanglima,” kata Kijagat.
”Apa?”
” Dalam rombongan penyerbuitubercampur pula orang-orang Madura...”
Paras Panglima Argajaya yang tadi sudahmerah kinijaditambahmerah
mengelam. ”Aku harus segera bertindak!” katanya. ”Tapi lukamu perludiobati.”
Argajayaberteriakmemanggil pengawal. Begitupengawal muncul dia berkata. ”Rawat lukanya. Kalau sudah biarkandiaistirahat di salah satukamar belakang.”
Dalam keadaan letih karena perjalananjauh dankarena banyak darah yang keluar Kijangat dipapaholeh dua orang pengawal. Tapi dua pengawal initernyata tidak
melakukanseperti apa yang diperintahkanArgajaya. Kijangat dinaikkankeatas sebuah gerobak lalu dilarikan menujuke Selatan. Pengawal yang satu bertindak sebagai kusir gerobak sementara satunya lagi menduduki punggung Kijangat yang dipaksa
menelungkup di lantaikereta.
”Hai! Kalian mau bawakemana aku?!” teriak Kijangat. ”Kalian diperintahkan untuk mengobati lukaku!”
”Tutup mulutmu ataukubunuhkausaat ini juga!” bentak pengawal yang menduduki punggung Kijangathingga orang initidak berkutik. Sebilah golok pendek disilangkannyadibatangleher Kijangat.
Gerobak meluncur kencangdi atas jalan tanah berbatu-batu menuju arah Selatan Tumapelibukota Singosari.
Di satu tempat yang sunyidanditumbuhipepohonan lebat, pengawaldisebelah
depan hentikan gerobak. Dia memandang berkeliling. Keadaan ditempat itu sunyi
senyap. Udarapagimasih terasa dingin. Merekaberadadibibir timur Lembah Bulan Sabit. Keadaan disitudiselimutikesunyian.
”Kurasa initempat yang baik,” berbisik pengawal yang mengemudikan gerobak. Dia memberi isyarat dengan anggukan kepala. Kawannya di sebelah belakang sertamerta
angkat tangankanannya yang memegang golok. Lalu sekuat tenaga senjata itu
dihunjamkannyake punggung Kijangat.
Wakil Kepala Pasukan wilayah Porong itu meraung keras. Kepalanya mendongak
sesaat laluterbanting ke ataslantai gerobak. Darah mengucur membasahi punggung
pakaiannya. Kedua kaki dan tangannya mengejang beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. Dua pengawal menurunkantubuh Kijangat dari atas gerobak. Lalu tubuh itumereka lemparkan ke lembah.
Tak lama setelah gerobak bersamadua pengawal ituberlalu, dari pusat Lembah Bulan Sabit sayup-sayup terdengar suara orang bersiul menyanyikan lagutakmenentu. Mendadak suara siulan ituberhenti. Menyusul terdengarsatu seruan.
”Astaga! Binatang atau manusia yang melingkardi semakbelukaritu!”
Orang yang bersiul menggarukkepalanya. Dia bukan lainadalah Pendekar 212
Wiro Sableng yang tengah meninggalkan Lembah Bulan Sabit setelah pertemuandengan Gayatri, Dewa Ketawa, dan Kakek Segala Tahu. Wiro mendekati dengancepat sosok
yang terbaring di tanah dengan pakaian penuh lumurandarah. Orang ini berseragam
prajuritSingosari. Sosok iniadalahKijangat yang sebelumnya telahditusuk oleh
pengawal Panglima Argajaya. Wiro memeriksakeadaanprajurit yang malang itu. ”Masih hidup. Tapitakbakallama,” pikir Wiro. Bibir Kijangat tampak bergetar.
Dari sela bibirituterdengar suara mengerang. Murid Eyang Sinto Gendeng segera alirkantenaga dalamuntuk memberikekuatan pada orang yang tengah sekarat itu.
”PrajuritSingosari, katakan apa yang terjadi,” Wiro menekandadaKijangat
dengantelapak tangankanannya. Mulut Kijangatterbukasedikit. Namun bukan suara
yang keluarmelainkan lelehan darah. Wiro lipat gandakan tenagadalamnya. Sepasang mata Kijangat membuka,hanya putihya yang kelihatan.
Pas..pasukan musuh me.. menyerang di Utara...” Kijangat berucap dengansusah
payah. ”Aku...aku melapor pad Panglima...Dua peng.. pengawalnya membawakukesini.
Aku..aku ditusuk... Pengawal itusengaja... membunuhku.
Beritahu Patih. Penyerangadalah orang-orang Kediri...orang-orang Madura.
Aku...” Kijangat megap-megap.
”Beritahu siapanamamu!” ujar Wiro.
”Aku...akuKijangat. Aku...” kata-kata Kijangatterputus. Nyawanya lepas. Wiro menghela napas panjang. Dia ingatramalan Kakek Segala Tahu. ”Agaknya
ramalan orang tua itu akan segera menjadi kenyataan,” kata Wiro dalam hati.
***
Bagi Wiro yang merasa dirinyatidaklebih sebagai seorang buronantidak mungki untuk menemui Patih Singosari guna melaporkan apa yang diketahuinya. Sesuai dengan petunjuk Gayatri, pagi itudiaberusahauntuk menyelinapdisekitar Keraton, mencari
seorang abdi tua bernama Damar.
Namun anehnya setiap orang yang ditanya mengatakantidakada orang bernama Damar. Selagi kebingungan tiba-tibaada seorang anaklelakimendatangidan sengaja
menabraknya.
Wiro yang sedangbingung hendak mendamprat anak itu. Tapisi anak berkata tanpaberpaling, ”Ikuti saya. Saya tahu orang bernama Damar itu.”
Wiro cepatikuti si anak. Dia dibawake tembok belakang Keraton, menuju
sederetankandang kuda. Seoranglelakitua bertubuh katai tampak tengah memakuladam
kaki kiri belakang seekor kuda besar. Anak tadi menunjuk pada orang tua katai itulalu cepat-cepat bertindak pergi.
Murid Sinto Gendeng dekati orang tua bertubuh katai yang tengah memperbaiki
ladam di kaki seekor kuda. Abdi yang tingginyahanyasepinggang Wiro menatap Pendekar 212 dengan pandangandingin.
“Apakeperluanmu?” tanya orang tua katai ini. Ternyata suaranya besarsekali. ”Saya mencari seorang bernamaDamar,” jawab Wiro.
”Dari mana kautahu nama itu?” tanya lagisi katai.
Wirojadi ragu untuk menjawab.
”Orang bertanyaapakahkautuli?!”
”Puteri bungsuSang Prabu yang memberitahu nama itu,” Wiro akhirnya menjawab.
”Namamu sendirisiapa?!”
Dalam hati Wiro mulaimendumal. Si katai tua ini banyaksekalitanyanya. Tapi
karena perlumaka diapun menjawab juga. ”Saya Wiro. Sahabat Raden Ayu Gayatri.”
Si katai menyeringaisinis. ”Puteri Gayatri mana punya sahabat orang sepertimu!” Habis berkata begitu acuhtakacuhsi katai membalikkantubuh. Dia mengambilsebuah ladam besidaridalamsebuah kotakkayu. Tangankanannya yang memegang ladam itu bergerak meremas. Kraaakkk! Ladam besipatah tiga!
Selagi Wiro mengagumikehebatan orang ini, tiba-tibasi katai melemparkan tiga besipotongan ladamtadike arahnya.
Tiga potongan besiitu menderukearahkepala, dada, dan perut Pendekar 212.
Kaget murid Sinto Gendeng bukankepalang. Cepat dia menghantam lepaskan
pukulan saktiTamengsakti menerpa hujan. Tiga kepingan ladammaut mental. Dua
menancap diatap kandang kuda,satulagi menancap ditembok belakang Keraton. Angin pukulan sakti ituterus menggebubu menyapu ke arahsi katai. Dengancekatan orang tua ini melompat kesamping. Di lain kejap diatelah duduk seenaknya di atas punggung
seekor kuda. Wajahnyamasihsedingin tadi walaukinitampak senyumnya yang sinis. Ketika Wiro hendak menghantam dengan pukulan tangan kosong berikutnya, si katai cepat mengangkat tangan tinggi-tinggi.
”Tahan!” katanya. ”Sekarangaku baru percaya kaupemuda yang bernama Wiro, sahabat Raden Ayu Gayatri. Aku mendengarkehebatanmu darinya. Karena itu aku perlu
menguji lebih dahulu. Kau mampu melumpuhkanseranganku. Hanya orang yang berkepandaiansetinggi puncak Gunung Semeru yang dapat melakukan hal itu!”
”Orang tua,siapakausebenarnya?!” tanya Wiro.
Orang tua itutidak menjawab. Dia membuat gerakan ringandan sekaliberkelebat
kinidia sudah berdiridi atas punggung kuda. Tangankanannya diulurkankeatas atap.
Wiro melihat adasebuah bungkusandiatap kandang kuda itu.
Orang tua ini mengambil bungkusan itu, membukanya lalumelemparkan isinya pada Wiro.
”Tukarpakaianmudengan itu!” kata si katai.
Wiro perhatikan apa yangbarusandilemparkan orang tua katai itu. Ternyata seperangkat pakaian prajuritSingosari.
”Kalau kau ingin menemui Raden Ayu Gayatri, lekas kenakan pakaian itu. Aku tak punya waktulama.”
Pendekar 212 garuk-garukkepalanya.
”Kau pastisudahlamatidak mandi. Sejak tadi kulihatsudah beberapa kali kau menggaruk-garukkepala!”
”Kurang ajar! Sialan!” maki Wiro dalam hati.
***
BAB IV
Patih Raganatha yang ditemani Pendeta Mayanauntuk beberapasaatsepertitidak bisa percaya atas apa yang barusandisampaikan Raden Ayu Gayatri.
”Kami akan sampaikan berita inipada Panglima Argajaya agar dia segera melakukan tindakan,” kata Patih Raganatha.
”Sayalebih suka kalau Paman Patih langsung menyampaikan pada Sang Prabu,” kata Raden Ayu Gayatri.
”Jika itukeinginan Raden Ayu akan kami laksanakan,” jawab Pendeta Mayana.
”Lalu bagaiman dengan Panglima Argajaya?Apakah tidak dilakukan pengusutan atas dirinya?”
Patih Raganatha tersenyum. ”Kita tidak tahu pasti apakah memang dia yang menyuruh bunuh prajurit yang datang dari porong itu. Atau kedua pengawalnya itu yang sebenarnyatelah menjadi kaki tangan orang-orang Kediri.”
”Kalau begitukedua pengawal itu harusditangkap, diperiksa!”
Patih Raganatha mengangguk. ”Serahkan semua urusan inipada kami berdua.”
Patih Raganathadan Pendeta Mayana mengantarkan Gayatri sampaidipintu. Di situ berdiri seorang prajurit bertubuh tegap yang tadi ikut datang mengantar puteri Sang Prabu itudan menunggu di luar.
”Raden Ayu,” tiba-tiba Patih Raganatha ingatsesuatu.
”Dari siapa sebenarnya Raden Ayu mendapat berita penyerangan itu. Bukankah prajurit yang datang melaporkannyamati dibunuh?”
Gayatritakbisa menjawab. Dia berpaling padaprajurit yang tegak di samping pintu.
”Maafkan saya,” kata prajurititusetelah menghaturkan sembah hormat. ”Pagitadi
kebetulan saya melakukan perondaandi Lembah Bulan Sabit. Saya yang menemukan
prajurit itu. Dalam keadaan sekarat dia masih sempat menceritakan apa yang terjadi di
Utara.”
Patih Raganatha menatap paras prajurit itusesaat.
”Jika kau yang menemukanprajurit itu, selayaknya kau melapor pada Panglima, bukan pada Raden Ayu Gayatri...”
Pendeta Mayana melirik kearah Gayatri. Dia melihat perubahan padawajah puteri sang Prabu iniketikamendengarkata-kata Patih Raganatha.
”Terus terang...” kata prajurit itu. ”Seharusnya memang saya melapor pada
Panglima atauKepala Pasukandipindahkan. Tetapi setelah saya tahu ada yang tidak
beres dengan kematianprajurit itu maka saya merasa khawatirdan berpikir lebih baik
melapor pada Paduka Patih saja. Dalam perjalananke sini saya berpapasandengan Raden
Ayu. Saya ceritakan padanya kejadian itu. Kami bersama-sama kemudian menghadap
Paduka Patih.”
Patih Raganatha mengangguk-angguktapikeduamatanya tetap mengawasi prajurit itu.
”Paman Patih, ingat. Kerajaandalambahaya besar. Sebaiknya segera saja
menemuiAyahanda,” kata Gayatrimemotong karena mulai merasa tidakenak. Dia
membalikkan diridan meninggalkan tempat itu dengan cepat. Si prajurit melangkah di sampingnya.
”Tunggu!” tiba-tiba Patih Raganthaberseru dan memburu. Dia memotong jalan si prajuritdan menghadang didepannya. Pendeta Mayana bergegas menyusul. ”Aku merasa pernah melihatmusebelumnya,” kata Patih Raganatha.
Tangannya diulurkan menarik rambut prajurit yang tergelung diataskepala.
Ketika ikatan rambut itu terbuka dan rambut siprajurit menjulaigondrong sebahu,
ingatan Patih Raganathapulih penuh. Dia mengenalisiapa adanyaprajurit itu.
”Kau...! Aku sudah duga dan curiga! Kau ternyata buronan bernama Wiro itu! Serahkan dirimu!”
”Paman Patih! Siapadiatidak penting!” Gayatrikeluarkan suara keras seraya menyeruak lalutegak diantara Wiro dan Patih Raganatha. “Yanglebih pentingadalah menyelamatkanKerajaandarikaumpenyerbu Kediri dan Madura!”
Paras Patih Singosari itunampak membesi. “Manusia satu initakkalah pentingnya Raden Ayu. Saya harus menangkapnyasaat ini juga!”
Di saat itupula Wiro tiba-tibamendengar suara mengiang ditelinga kirinya.
Seseorang mengirimkan suara tanpa berucapkepadanya, “Anak muda, lekaskaulakukan sesuatusebelum Patih Raganathamenangkapmu.”
Wiro maklum, yang mengirimkan ucapan itu adalah Pendeta Mayana,kekasih gurunya di masa muda. Saat itu pula dilihatnya Patih Raganathamelompat ke
hadapannya.
Kedua tangannya diulurkan ke depandan Wiro melihat kedua tangan itu berubah panjang sekali, bercabang-cabangsepertigurita.
“Astaga!” Pendeta Mayanaterkejut melihat apa yang dilakukan Patih Raganatha. ”Mapatihmengeluarkan ilmu Seratus gurita mengamuk. Murid Sinto Gendeng itu tak mungkin bisalolos!”
Diam-diam dari belakangdalam gerakan yang tidakkelihatandanterlindung di balikpakaiannya, Pendeta Mayana mengangkat tangankanannya lalumenariknya ke belakang.
Gerakan Patih Raganathamendadak sepertitertahan. Dalam kejutnya Patih Kerajaan inilipat gandakan tenagadalamnya.
Justru saat itudaridepan Wiromendahului dengan mendorongkan tangan kiri ke
arah dada, mengirimkan pukulan tangan kosong kunyuk melempar buah. Raganatha
merasa sepertiadabatubesar yang menghantam dadanya. Dia cepat berkelit kesamping. Namun angin pukulan Wiro masihsempat menabrak bahunya. Patih Singosari ini
terpuntirkeras danterbanting kelantai. Dua tangannya yang tadi berubah panjang
vercabang-cabanglenyap dankembalike bentuknyasemula. Ketika dia mencoba bangkit dengan mengerenyit kesakitanditolong oleh Pendeta Mayana, Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 Wiro Sableng sudahtidakada lagiditempat itu.
Patih Raganthamemandang tak berkesip pada Raden Ayu Gayatri. Kalau saja bukan puteri sang Prabu yang dihadapinya mungkin saatitusudahditamparnya. Dia menoleh kearah Pendeta Mayana, pandangan matanya tampak beringas.
Ah, dia tahu kalau akutadi menahangerakannya, membatin sang Pendeta. Lalu diacepat berkata: ”Mapatih, kita harus segera menghadap Sang Prabu.”
”Biarkan saya sendiri yang menghadap SangPrabu,” kata Patih Raganatha. Lalu dengan bergegas ditinggalkannya tempat itu. Pendeta Mayana dan Gayatrihanyabisa
salingpandanguntuk beberapasaat lamanya. Sang Pendeta kemudian berkata. “Raden Ayu, seperti Raden Ayu, saya merasa yakin bahwasaat iniSingosari benar-benarberada dalambahaya besar. Saya akan menghubungi Damar. Hati-hatilah bicaradan bertindak. Bukan mustahildalam Keraton ini adamusuhdalam selimut.”
Raden Ayu Gayatri mengangguk.
Ketika Patih Raganathamasuk ke ruangan dimana sang Prabu biasamenerima
kedatangan para pejabat dan petinggi Keraton, di tempat itu ternyata sudahada Panglima Argajayatengah bicara dengan sang Prabu.
”Mungkin apa yang saya hendak sampaikan pada sang Prabu, sama dengan apa yang tengahdibicarakan Panglima dengan sang Prabu saat ini,” kata Patih Raganatha. Lalu diamenerangkankabar penyerbuan orang-orang Kediri yang dibantu oleh orang-
orang Madura.
”Paman Patih benar,” kata Panglima Argajaya.
”Saya barusaja menyampaikan laporan itupada sang Prabu. Bahkan saya sudah mengirimkan satu kelompok kecilpasukan ke Utara.”
”Satu kelompok kecil?” ujar Patih Raganatha. ”Kaum penyerbudikabarkan
berjumlah cukup besar dan pasukan kita di sekitarPorongsaat initerdesak hebat.”
”Ah, dari manakahsumber keterangan Paman Patih?” bertanya Argajaya.
Sesaat Patih Raganathaterdiam. Akhirnya dia memutuskan untuk bicara apa
adanya. Lalu diceritakannyakedatangan Raden Ayu Gayatribersamapemudabernama Wiro itu.
Terkejutlah Sang Prabu mendengarketerangan Sang Patih. ”Pemuda kurang ajar buronanituberani masuk Keraton dan bersama puteriku! Paman Patih! Tugasmu
menagkapnya!”
”Sayasudah melakukannya Sang Prabu. Tapipemuda itusempat melarikandiri..” jawab Patih Raganatha.
“Kalau memang dia yang jadisumber keterangan, jangan-jangan kita sudah kena ditipu!” berkata Argajaya.
”Berarti tepattindakan saya hanya mengirimkan satupasukankecilke Utara”
“Saya mencium hal yang mencurigakan,” menyahut Patih Raganatha. Ketika bicaradia memandang pada Sri Baginda.
“Maksud Mapatih?” tanya Sang Prabu.
”Menurut keterangan yang saya terima, prajurit yang datang dari Utara membawa laporandan pesan, dibunuh oleh dua orang pengawal yang bertugasdi tempat kediaman Panglima...Hal ini perludiusut!”
”Secara tidaklangsung Paman Patih bermaksud mengatakan bahwa saya harus
dicurigai dandiusut!” Panglima Argajayatidak dapat menyembunyikan rasa marahnya. Suaranya bergetar.
“Sayatidakmengatakandemikian Panglima. Tapijikaketeranganitubenar, harus dicaritahu mengapa hal ituterjadi,” jawab Patih Raganatha.
”Mencurigai sesama kitatidakbaik,” ujar Sang Prabu.
”Saya setuju dengan ucapan Sang Prabu,” kata Panglima Argajaya. ”Lagi pula saya suvah melakukan pengusutan sebelum Paman Patih mengemukakan. Prajurit yang datang dari Utara berada dalam keadaan luka parah. Ketika hendak diobati dia berusaha
melarikandiri. Karena tidak mau menyerah, dua pengawal saya terpaksa menyerangnya. Dia memang tewas.”
”Tapi mengapa mayatnya ditemukan dekat Lembah Bulan Sabit? Tidak di Tumapel?”
Panglima Argajaya tampakmerahwajahnya. Lalu didengarnya Patih Kerajaan
bertanya, ”Bisakah saya bicara dengandua pengawal yang Panglima sebutkantadi?”
”Bisa saja. Tapikeduanyasudah saya kirim ke Utara bersamakelompok pasukan
bantuan.” jawabArgajaya pula. Lalu diaberpaling pada Sri Baginda. “Sang Prabu, kta
berada disini bukan untuk membicarakan kematianprajuritataukecurigaanterhadap dua
pengawal saya ataupundiri saya sendiri. Yang haruskitalakukanadalah menumpas
kaumpemberontakitu. Sayatelah mengirimkansejumlah pasukan ke Utara. Seseorang sudah saya mintauntuk melihat situasi dankembali memberikan laporan siang ini juga. Bagaimanapun juga saya mohon petunjuk Sang Prabu lebihlanjut.”
”Kalian melaporkanadanya orang-orang Kediri dan pasukandari Madura yang bergabung dalampasukan penyerbuitu,” berucap Sang Prabu. ”Sekali lagi saya katakan tidak mungkinAdikatwang ataupun Wira Seta punya niat jahatterhadapSingosari. Saya setuju dengantindakan Panglima hanya mengirimserombongan pasukankecil. Yang
pentingseluruh pasukandisiapsiagakanuntukmelindungiTumapel.
Tapiingat, satu lapis pasukan harus dikirim ke luarKotapraja sebelah Utara untuk menjagasegalakemungkinan.”
”Perintah Sang Prabu akan saya lakukan,” kata Panglima Argajaya pula. ”Jika tidakadahal-hallain, saya mintadiri untuk menjalankan perintah.”
”Kau boleh pergi Panglima. Beritahu setiapada perkembanganbarupada saya.” “Akan saya lakukan sang Prabu.” Kata Argajaya pula.
Lalu setelah melontarkan lirikantajam kearah Patih Raganatha diapunkeluardari ruangan itu.
“Saya rasa sayapun bisa mintadiri jika diizinkan,” kata Patih Singosari setelah hanya diasaja yang berada di ruang itubersama sang Prabu.
“Tolong panggilkan Pendeta Mayana. Minta dia datang ke ruangan berdoa. Saat- saatseperti inimeminta perlindungandari Yang Kuasa adalah sangat penting. Jika
Paman Patih sukabisaikut mengadakan upacara pemanjatandoabersama-sama.”
“Saya akan panggilkan Pendeta Mayana,” kata Patih Raganathalalu meninggalkan ruangan setelah terlebih dulumenjura hormat.
***
BAB V
Beberapa pengawal yang bertugasdi halaman belakang Keraton meliha ada orang
lari segera mengejar. Di sebelah depan sempat menghadangempat orang prajurit
bersenjatakan tombak dan pedang. Namunkeempatnya langsung terjengkang begitu kaki dan tangan Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat menghantam.
Dengangerakan ringan apalagi setelah menerimailmumeringankan tubuh dari
Dewa Ketawa, Wiro Sableng melompatitembok belakang Kraton tanpakesulitan. Para pengawal tak mungkinmengejar. Begitumenjejakkankakidi jalan belakang tembok
sesaat Wiro berpikirkemanadia harus pergidan apa yang mustidilakukannya. Selagi dia berpikir begitudi depannya dilihatnya seorang nenek berjubahmerah mudaberbelang-
belang merah tua melangkah kearahnya. Semakin dekat perempuan tua inimendatangi tambah jelas keanehan padawajahnya dilihat Wiro. Nenek inimemilikimata semerah buah saga. Telinganya dicantoligiwang panjang berwarnamerah.
Tiupanangin dan langkah yang dibuatnya menyebabkan sepasang giwang itu
bergoyang-goyang dan mengeluarkan suara bergemerincing. Sesekali sinenek
mengulurkan lidahmembasahibibirnya. Lidah itu mengerikansekali. Bukan sajakarena panjang tetapi juga warnanya yang merahseperti api.
Di belakangrambutnya yang berwarnamerahlepasriap-riapan adasecarik pita yang jugaberwarnamerah. Wajahnya yang angker tampaklebih mengerikan karena
sepasang alisnya yang panjang menjulaiternyata jugaberwarnamerah pekat!
Nenek aneh inimelangkah kearah Wiro. Begitusampaidi hadapannya baru
murid Sinto Geneng inimenyadari betapa tingginya sinenek. Kepalanya hanyasampaidi dada perempuan tua itu.
Si nenekmengeluarkan tangankanannya. “Minta sedekah!” katanyakasar. Pandangan mukanya garang dankeduamatanya membara. Ketika bicaralidahnya
menjulurkeluarsepertilidah apimenyambar. Wiro merasa adahawa panas keluardari mulutdan mungkin jugadarikedua mata perempuan tua ini.
Ah, pengemis dia rupanya, kata Wiro dalam hati.
Perasaannya yang tidakenakkini menjadilega. Namun diatidakbisa
memberikan apa-apa dan harus segera meninggalkan tempat itusebelumadayang mengejar.
”Harapmafkan, saya tidak punya uang,” kata Wiro lalu cepat memutardiri
hendak tinggalkan tempat itu. Tapitiba-tiba, sama sekalitidak terduga, tangankanan
yang masih diulurkan itu meluncur kearah dada Wiro Sableng. Pendekar ini merasakan adahawa panas menjalarisekujur tubuhnya. Saat itujuga dia tidakbisa bergeraktidak bisabersuara! Ternyata nenek pengemisitu telahmenotoknya dengan ilmutotokan yang aneh. Semakin lama Wiro merasakantubuhnya semakin panas!
Celaka! Keluh Pendekar 212.
Di hadapannya sinenek tertawa mengekeh. Lidahnya terjulur-julursepertilidah
api menyambar-nyambar. Keduamatanya bertambahmerah. Dia membungkuk, siap
memanggultubuh Wiro. Pada saat itulahadaangin menyambardisusul oleh satu letupan
halus. Segulung asap putih menggebubu menutupi jalan seluaslimatombak persegi.
Wiro merasa ada seseorang tiba-tiba memegang pinggangnya, tubuhnya dikempit laludibawalari laksanamelayang. Di belakangnya terdengar suara nenekmemakimarah
laluada suara menderu keras. Wiro memandang ke belakang. Dari gelungan asap putih
tebaldilihatnya adalidah api mencuat mengerikan. Lidah api ini mengejar kearahnya.
Panas dan ganas. Orang yang mengempitnya melompat ke kiri sambil mengebutkan
lenganjubah pakaiannya. Semburan lidah api tampakbergoyang-goyang.tubuhsi
pengempit bergetarkeras hampirjatuh. Tapilidah api berhasildibuat mental hingga Wiro dan orang yang mengempitnya tidak sempat disambar lidah api itu. Dalamwaktubeberap kejapan sajasi pengempitsudahmembawa Wiro jauh dan tak mungkindikejar oleh nenk pengemis tadi.
Di satu tempat yang sunyi, orang yang mengempit menurunkan Wiro ke tanah.
Tegak berhadap-hadapan Wiro cepatamemandang kearahwajah orang yang telah
menolongnya itu. Ternyata orang itu mengenakansehelaicadar hitamuntuk menutupi wajahnya. Tapidaripakaiannya Pendekar 212 mulai menduga-duga.
Orang bercadar membukadada pakaian Wiro lalu dari balikcadarnya diameniupi dada yang ditotokoleh nenek pengemis tadi. Wiro merasa adahawa hangatsejuk
menembus kulit dandaging tubuhnya, terus menyusup keseluruh peredarandarahnya. Sesaat kemudian tubuhnya yang tadi serasa panas hingga dia kucurkankeringatsebesar- besar butir jagung kini menjadidingin dansaat itu pula diabisa menggerakkan kaki
tangannya dan membuka suara.
”Terima kasih,” ucap Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng. ”Sahabat, siapakah kau yang telah menolongku? Dan siapanenek pengemis tadi? Mengapadiamenotok saya?”
“Dia bukan pengemis,” jawab orang bercadar. “Dia adalah Dewi Maha Geni, seorang tokohsilat istana yang ilmu luarbiasatapi diragukan kesetiaannya.
Kemungkinandia adalahkakitangan orang-orang Kediri... Dia pastibermaksud menculikmu. Ada dua kemungkinan mengapa dia melakukan hal itu, pertama
membujukmuikutdalam gerakan Adikatwang dan Wira Seta. Atau menyerahkan kepalamupada orang-orang Kediri!”
Wiro terkesiap mendengar ucapan orang itu. “Kau, kau sendiri belum mengatakan siapadirimu. Sayasepertimengenal suaramu tapiagak meragu. Bukankah kau...“
Orang di hadapan Wiro membukacadarhitamnya. Wiro melihatsatuwajah yang bersihdan mata yang bening.
“Pendeta Mayana!” seru Wiro sementara orang di hadapannyahanyatersenyum kecil. “Saya memang sudah menyangkatadi..”
“Waktukutidak banyak. Aku perlubeberapa bantuandarimu,“ kata Pendeta
Mayana.
“Katakanlah, matipunaku mau mengingatbudi besarmu” jawab Pendekar 212 tanpa ragu-ragu.
“Tidak, bantuan itu bukan untuk pribadiku. TapiuntukKerajaan. Untuk
Singosari,” kata Pendeta Mayana pula. ”Kita sudah sama tahubahwa musuh mulai menyerbudari Utara.”
Wiro mengangguk. Sang Pendeta meneruskan. “Aku punya firasat bahwa
Singosariakan jatuh. Beberapa petunjuk Dewa mengatakan begitu. Sementara Sang Prabu sepertitidak mau percaya pada kenyataan. Jika bahaya benar-benartak dapat
dihindari, aku mohon kau menyelamatkan keempat puteri sang Prabu danduabuah
pusakaKerajaanyaitu Mahkota Narasinga danKeris Saktipalapa. Dua benda itu adalah
yang menentukan syah tidaknya seseorang menjadi RajaSingosari.”
”Saya akan lakukan hal itupendeta. Namun saya butuh petunjukmubagaimana melakukannya.”
Pendeta Mayana mengangguk. “Bila saatnya sudah tiba, aku akantunjukkan dimanaadanyakedua bendapusakaitu.”
”Bagaimana caranya saya menghubungipendeta?” tanya Wiro.
”Seorang sahabat yang akan menghubungimu. Berusahalah agar tidakjauh-jauh dari Keraton. Kalau perlu menyamar.”
”Akan saya lakukan,” jawab Wiro. Lalu diabertanya.
”Siapasahabat yang akan menghubungi saya itu?”
”Damar.”
”Damar? Orang katai perawat kuda-kuda Keraton itu?”
Pendeta Mayana tersenyum. “Itupekerjaannya sehari-hari. Tapisebenarnya dia adalah orang kita yang disusupkan ke Keraton untuk membayangitindak-tanduk Dewi
Maha Geni. Cuma akukhawatir tingkat kepandaiannya masih berada jauhdi bawah
nenek bermata dan berlidah api itu. Aku harus pergisekarang. Jaga dirimu baik-baik...”
“Sekali lagiterimakasih saya untukmu Pendeta. Kau juga harus berhati-hati. Saya menduga Keraton telahdisusupimusuhdalam selimut...”
Pendeta Mayana mengangguk segera tinggalkan tempat itu. Tiba-tiba Wiro ingat pada pesan Eyang Sinto Gendeng, gurunya. Pendeta Mayana jugatahusekali pesan itu
karenadisampaikan lewat dirinya.
”Pendeta, tunggu dulu!” seru Wiro. Dia larimengejar.
“Ada apa?” tanya Pendeta Mayana seraya hentikan larinya.
”Saya punya ganjalandalam melakukan permintaanmu.
Ingat pesan Eyang Sinto Gendeng yang disampaikannya untukkumelaluimudi pondok Lembah Bulan Sabit tempo hari?”
Pendeta Mayana tersenyum. “Aku tidak lupa hal itu. Pesan orang tua dan guru wajib diingat dandihormati. Tetapiharuskauketahui setiappesan bisasajatidak sesuai
lagi dengan keadaan dan kehendak waktu. Lebih dari ituberbuat satu kebajikanuntuk
orang banyak apalagiKerajaan lebih banyak hikmahnya daripadahanya mengikuti suatu pesan yang tidak dapat lagidipertahankan. Kau mengertimaksudku?”
“SayamengertiPendeta,” jawab Wiro.
“Apakahkaukinimasih merasa adaganjalan?”
”Tidak.”
“Bagus. Kalaupunnanti gurumumarah, biaraku yang menghadapinya. Aku yang akan bertanggung jawab terhadap dirinya.”
“Kalau begitusekarang saya benar-benar merasa lega.”
Pendeta Mayana mengangguk dantinggalkan tempat itu.
***
Patih Raganathatidak berhasil menemui Pendeta Mayana. Sang Pendetasaat itu secara diam-diam hendakmenemui Raden AyuGayatridi Kaputeran.
Di taman indah di samping Kaputeran Pendeta Mayanaberpapasandengan
seorang pemuda bertubuh tinggi langsing berparas cakap. Dia adalahRaden Juwana,
calon menantu sang Prabu yang kelakakandinikahkan dengan puteri sulung Tribuana Tunggadewi. Saat itu Raden Juwana tengah bercakap-cakap dengan calon istrinya yang ditemanioleh seorang pengasuh. Melihat jalan Pendeta Mayana yang begitu bergegas, Raden Juwana menegur hormat.
”Rupanya ada sesuatu yang pentinghingga Pendeta tampakmelangkah cepat. Ada apakahhingga Pendeta mengambil jalan melintas menuju Kaputeran?”
“Syukur Raden adadisini. Mari kita sama-sama masuk Kaputeran. Ada hal penting yang perlukitabicarakan.”
Raden Juwana dan PendetaMayanamelangkah didepan. Tribuana mengikuti dari
belakangdiiringi pengasuh. Di dalam Kaputeran yang kemudiandihadiri juga oleh tiga
puteri Raja lainnya termasuk puteri bungsu Gayatri, Pendeta Mayana menjelaskan tentangadanya serangan oleh musuh Kerajaandisebelah Utara.
”Saya bukan seorang peramal. Tetapidalam kehidupan ini segala sesuatunya dapat kita hubungkan dengan petunjuk dari Dewata. Beberapawaktulaluadahal aneh yang terjadidicandiJago. Petir dahsyat menyambardisianghari.
Getarannya terasa sampai di jantung. Ini satupertanda dari para Dewa bahwa
sesuatu akanterjadidiSingosari. Jika hal itu adalahsesuatu yang baik, kita tidak perlu
membicarakannya. Tetapibagaimana kalaukelakitu adalah pertanda akanterjadinya sesuatu yang buruk, suatumalapetaka?”
“Maksud Pendeta Mayana?” tanya Raden Juwana.
”Orang-orang Kediri dibantu oleh orang-orang Madura mengirimkan pasukan,
menyerbukedudukan pasukan kita di Utara sekitarPorong. Panglimatelah mengirimkan bala bantuan namun saya merasa khawatirpihak kita akan mengalamikekalahan.”
”Mana mungkin Singosaribisadikalahkan. Kta mempunyaijumlah pasukan yang
lebih besar danterlatih. Apakah Raden Adikatwang dan Wira Seta ikutterlibatdalam
gerakan penyerbuan itu?”
”Saya rasa begitu,” jawab Pendeta Mayana. Lalu dipegangnya bahu Raden
Juwana dandiajaknya berjalan agak menjauh dari Tribuana. ”Dengar...” kata Penveta
Mayana pula. ”Singosarimemang punya balatentara besar danterlatih. Tetapibaik
Panglima maupun Mapatih serta sang Prabu merasa bahaya itutidak perlu dikhawatirkan. Lain dari itu, saya merasa kita telahdisusupi oleh musuh-musuh dalam selimut.”
”Kalau Pendeta mengetahuisiapa orangnya, mengapa tidak dilaporkan pada sang Sri Baginda?” ujar Raden Juwana.
”Saya dan beberapapetinggi Kerajaan berada dalamkesulitan. Sang Prabu tidak mau mendengarpandangan kami.”
”Menurut Pendeta apakah keadannya gawatsekali?”
“Saat ini mungkin belum. Tapisiapatahu apa yang terjadi besokataulusa...?”
Saat itu seorang prajurit Kraton muncul memberitahu bahwa Pendeta Mayana ditunggu Sang Prabu diRuangPemanjatan Doa.
”Kita akan bicaralaginanti,” kata Pendeta Mayana lalu tinggalkan tempat itu mengikuti prajurit tadi.
***
BAB VI
Malam itu Tumapel dilanda kehebohan. Deretan gudang panjangdiselatan
Kotaraja dilanda kebakaran. Di bagian lain hampirdua ratusekor kuda yang ketakutan
menjadi liar, mendobrak palang pembatas dan larike pelabagaiarah sulit untuk dikejar.
Di halaman kandang kuda enam orang tidak dikenal menggeletakjadi mayat dengan
kepalapecah.
Orang tua katai bernama Damarmemandangi mayatitusatu per satu. Tak seorangpun yang dikenalinya.
Seharusnyatidaksemuakubunuh, kata Damar dalam hati penuh penyesalan. Kini
dia tidakbisa mengetahui siapa adanya keenam orang yang dengan sengajatelah
melepaskan ratusanekorkuda itu. Damarberlututdisamping salah satu mayat.
Dirabanya pakaian orang itu. Terasa tebal. Tangannya bergerak merobek dada pakaian mayat.
Ah! Orang tua katai inimelengak. Di bawah pakaian yang barusandirobeknya
terlihatsehelai pakaaian berwarna hitambergaris-garis kuning. Itu adalahpakaian
seragam prajurit Kediri! Pasti merekajuga yang telah melakukan pembakaran atas
gudang senjata! Damar segera tinggalkan tempat itu, bergegas menujugedung
Kepatihan.
Sampaididepangedung dilihatnya PatihRaganathategak di tanggadepan, memandang kearah timur dimanalangit tampakmerah terbakar.
”Mohon maafmu, MapatihSingosari,” kata Damar.
”Orang-orang Kediri berhasil menyusup dan melepas kuda-kudamilikkita. Saya berusaha mengejar binatang-binatang itu. Tapisia-siasaja. Enam penyusup berhasil saya
tewaskan...”
”Orang-orang Kediri rupanya tidakmain-main,” kata Patih Raganatha. Hatinya
mulai merasa khawatir. Dia berpaling pada seorang pembantu kepercayaan yang tegak di sampingnya. ”Apasudahadakabar dari Panglima mengenaikeadaandi Utara?”
Yang ditanya menggeleng. ”Orang saya berusaha menemui Panglima. Namun pengawaldi sana mengatakanbahwa Panglima tengah melakukan pertemuandi Selatan dengan beberapa Kepala Pasukan untuk membuat persiapan berjaga-jagamelindungi
Kotaraja.”
”Ada beberapa keanehan!” kata Patih Kerajaan pula.
”Orang-orang Kediri menyusup begitu mudah. Ratusan kuda yang bisa
diandalkan untuk perang dilepas orang! Panglima tidakada di tempat. Lalu gudang
senjatadibakar orang! Tak ada yang bisadiselamatkan! Lalu takada sama sekalikabar darimedan pertempurandi Utara.”
”Maaf Mapatih,” berkatapembantunya. ”Mungkinketerangan saya sebelumnya kurang jelas. Mengenaigudang senjata yang terbakar, gudangnya memang musnah tetapi sewaktukebakaranterjaditidakadasepotong tombakataupedang ataupuntamengdi
dalamnya.”
”Berarti gudang itu memang sudah kosong sebelumterjadikebakaran!” sepasang mata Patih Raganathamembeliak.
”Mungkin memang begitu adanya, Mapatih,” jawabsipembantu.
”Aku segera menemui sang Prabu. Beliau masih berada diRuangPemanjatan Doa saat ini.” Patih ituberpaling pada Damar laluberkata.
”Lakukan apa yang bisa kau lakukan. Usahakan mengembalikan kuda-kuda yang terlepas itu.”
Orang tua bertubuh katai itu mengangguk dancepat-cepattinggalkan tempat itu. Tapidiatidak melakukan apa yang diperintahkan Patih Raganathamelainkan
mendahului Patih itu menujuRuangPemanjatan Doa.
Dalam RuangPemanjatanDoa, sang Prabu hanyaditemanioleh Pendeta Mayana. Sang Prabu saat itu duduk di atas batupualam putih yang mengeluarkan sinarterang
dalam ruangan yang redup itu. Keadaannyaseperti orang yang kurang sadar. Kedua
matanyaterpejam. Telapak tangandirapatkandandiluruskandidepandada. Mulutnya
bregerak-geraktapi takada suara yang keluar. Damar maklum sekalikeadaan sang Prabu sepertiitubuaknkarenadia tenggelamdalamkekhusyukandoa, melainkankarena
pengaruhminumankeras yang diteguknya terlalubanyak. Di ataslantaidisekitarnya bertebarantabung-tabung dari tanah tempatminumankeras yang telah kosong.
Di sebelah belakang duduk bersila Pendeta Mayana. Ada duatabung minumandi sampingnya yang masih berada dalam keadaan penuhkarenadia sama sekalitidak
menyentuhnya walaupundalam upacara pemanjatandoaseperti itu menegukminuman keras memang diperkenankan.
Walaup pun tidak membuka mata namun Pendeta Mayana sudah tahu siapa yang datang.
”Kau membawakabar apa Damar?”
“Orang-orang Kediri membakargudang senjata yang sebelumnya memang sudah kosong. Merekajugamelepaskan kuda-kuda. Panglima...”
”Tunggu, saya mendengar langkah orang diluar sana. Ada yang datang,” memotong Pendeta Mayana. Ketinggian ilmunya membuat dia mampu mendengar
langkah kaki orang yang masihjauhsekalipun.
”Pasti itu Patih Raganatha,” kata Damar. ”Saya tidaksuka dia mengetahui kita bicaraditempat ini.”
”Kalau begitu lekas kita menyelinap ke baliktirai besardisebelah kiri sana,” kata
Pendeta Mayana.
Kedua orang itucepat bersembunyike baliktiraibirumudatebal yang adadi
dinding sebela kiri ruangan. Tak lamakemudian seseorang memasukiRuang Pemanjatan
Doa.
Dia memang adalah Patih Raganatha. Sang Patihagak heran mendapatkan Sri
Bagindahanya sendiriandiruangan. Apalagi dilihatnya Sang Prabu beradadalam
keadaan kurang sadar. Mau tak mau dia harus bicara dengan Sang Prabu. Patih Raganathaberlututdisamping Raja. ”Sang Prabu, saya PatihRaganathadatang menghadap...”
“Kau berani mengganggu Raja yang sedang melakukan upacara keagamaan?” sepasang mata Sri Bagindamembukasedikit. Kelihatan matanyaagak merah kurang tidur.
”Mohon maafmu sang Prabu. Tapiada beritapenting yang harus saya sampaikan. Gudang senjatadibakar dan ratusankudadilepaskan orang. Sama sekalitidakadakabar dari pasukan kita di Utara...”
”Semua laporan ituharuskausampaikan pada Panglima, bukan padaku!”
”Saya tahu sang Prabu. Tapi Panglima tidakada di Kotarajasaat ini. Dia berada di Selatan tengah berembuk dengan beberapa Kepala Pasukan untuk menyusun rencana
perlindungan atas Kotaraja.”
”Adalah tolol kalau dia hanya memikirkan perlindungan bagiTumapel. Dia harus turun tangan menyerbumusuh, sebelummusuh mendekati Tumapel!”
Patih Raganatha merasa heran mendengar ucapan Rajanya itu. Sebelumnya sang
Prabu sendiri yang menyetujuitindakan yang diambil Panglimayaituhanya mengirim satu kelompok kecilpasukan ke Utara. Kini mengapa diabarubisa berpikir lebih baik seperti ini?
”Paman Patih,apakahkaumasihdisini?”
”Sayamasihdisini sang Prabu. Saya mohon petunjuk sang Prabu,” jawab Patih
Raganatha.
“Kau kuperintahkan untukmengambilalih tugas dan tanggung jawab Panglima
Argajaya...”
“Sayasiapkalau begituperintah sang Prabu. Kita masih belumtahusampai
seberapa besar bahaya yang dihadapiSingosari. Namun untuk berjaga-jaga saya mohon sang Prabu meninggalkan tempat inidan bersembunyi di satu tempat yang aman.”
“Bersembunyi?” sang Prabu tertawa panjang.
“RajaSingosari bersembunyi hanyakarena ada gangguan dariserombongan tikus-tikus Kediri dan Madura? Jangankauhinakan Rajamusendiri, Mapatih!”
”Maafkan saya sang Prabu. Kalau sang Prabu ada usullain demikeselamatan sang Prabu, saya akan lakukan..”
“Usulku lekastinggalkan tempat ini. Aku tidak akan pernah meninggalkan Ruangan Pemanjatan Doa ini apapun yang terjadi!”
”Sang Prabu, keadaan sewaktu-waktubisa berubah genting!” kata Patih Raganatha pula.
”Keluar dari tempat ini Paman Patih, lakukan apa yang tadi kuperintahkan! Aku hanyaminta agar seratus prajuritutamaberjaga-jagadi luar.”
Patih Raganatha menarik napas panjang. Perlahan-lahandiaberdiri, menjura hormat lalutinggalkan tempat itu.
Di baliktiraitebal Pendeta Mayana berbisik, ”Damar, saya rasa keadaansudah mulaigawat. Sayatidak yakin Panglima Argajaya emnemui beberapa Kepala Pasukan di Selatan untuk menyusun perlindungan atas Tumapel...”
”Saya juga merasa begitu Pendeta. Jika dia hendakmelindungi Kotaraja, dia harus
memanggil semua Kepala Pasukan ke Kotaraja, bukannya dia yang harus pergike sana.
Sekarang apa yang haruskita lakukan?”
”Kau awasigerak-gerik Dewi Maha Geni. Temui Raden Juwana, katakan agar dia bersiap-siap mengungsikanempat puteri sang Prabu ke desa Tembang Sari dekat Kudadu
di percabangan Kali Brantas.” Dari balik jubahnya Pendeta Mayana mengeluarkan
secarik kertas. Kertas inidiserahkannya pada Damar. ”Berikan peta ini pada Raden Juwana agar dia tidak tersesat.”
Damar menyimpan petakecil itudi balik pinggang pakaiannya. ”Ada hallain lagi Pendeta?” tanya lelaki katai inikemudian.
”Ya. Kau ingatpemudagondrong bernama Wiro itu?”
”Saya ingat.”
”Saat inidiaberada disekitartembok luar Keraton. Temui dia dankatakan
padanya agar menyiapkan seekor kuda yang kuat, menyamar sebagaitukang rumput dan supaya menunggu di persimpangan jalan. Jangan pergi sebelum saya muncul. Nah hanya itu Damar. Cepat pergi. Sebentar lagipagi segera datang.”
”Pendeta sendiriakan berada dimanadanakan berbuat apa?” tanya Damar.
”Ada sesuatu yang akan saya lakukan. Jika sudah selesai saya akan berada di tempat inimenemani sang Prabu.”
Damar tampak bimbangsebentar. Lalu diabertanya.
”Bagaimana dengan Sri Baginda sendiri?Apakah kita tidak akan
menyelamatkannya?”
”Keselamatan sang Prabu serahkan pada saya,” jawab Pendeta Mayana pula.
”Kalau begitu saya mintadirisekarang.”
”Pergilah. Hati-hati..”
***
BAB VII
Apa yang dikhawatirkan orang-orang seperti Pendeta Mayanadan Damar serta
Patih Raganathawalaupunkekhawatiran sang Patih inidatangnya agak terlambat memang beralasan.
Pasukan musuh yang menyerbudikawasan Utara jumlahnya memangtidak besar.
Tetapi mereka sempat memporak-porandakan pasukan Singosaridi wilayah itu. Katika
bala bantuan yang dikirim Panglima Argajaya datang, pasukan musuh berhasildihantam hingga cerai beraidi satu tempat tak jauh dari Candi Sanggariti.
Pasukan dalam jumlah besar yang kemudiandikirimkanoleh Patih Raganathake Utara mambentuk tembok pertahanan guna melindungiSingosari. Namun satu haltidak pernah diduga oleh orang-orang Singosari. Serangan yang dilancarkanoleh orang-orang
Kediri yang dibantu oleh orang-orang Madura dikawasan Utara itu ternyata hanyalah
siasat tipu daya belaka. Selagisebagian besar pasukan Singosari bergerak menuju Utara, secara diam-diam satu gelombang gabungan pasukan Kediri dan Madura yang luarbiasa
besarnya, bergerak menyusuri kaki Gunung Penanggungan sebelah timur, terus
menyusup ke kaki Gunung Welirang, melewatibagian timur kaki Gunung Anjasmoro lalumendekatiSingosari dariarah Selatan. Gerakan pasukan yang besar initelah dilakukanjauh sebelum serbuan pancingandilakukandi Utara. Sehingga ketika
pertempuran pecahdi Utara,duaharikemudian pasukan musuh di Selatan sudah berava dipintu gerbang Selatan membuatkaget pasukan Singosari yan berada di situ. Lebih
mengejutkan lagikarena dikepala pasukankelihatan memimpin panglima Perang
Argajaya. Lenyapnya Sang Panglima sejak beberapahari ini rupanyakarena memang dia sudah menyusun rencana pengkhianatan, menggabungkan pasukan yang dapatditariknya dengan pasukan Kediri-Madura yang datang dari Utara!
Saat itumataharimasih belummenyembul dari ufuk timur. Rombongan pasukan yang siap menggempur Singosari bergerak laksanagelombangairlaut. Di lapis kedua
barisanterdapatserombongan penabuh genderang dan peniup terompet. Mereka bertugas memberikan semangat padaseluruh balatentara.
Di barisanterdepandi belakan pasukan panah kelihatan Panglima Argajaya. Dia tidak mengenakan seragam pasukan Singosarimelainkan berpakaian merah denganikat kepala merah. Dia dikelilingioleh enam orang bekasKepala Pasukan Singosari wilayah Selatan yang berhasildibujuknyauntukikut bergabung dengan pasukan Kediri-Madura.
Dua puluh tombak di sebelah kiri ArgajayaterlihatAdipati Wira Seta didampingi pembantu utamanya yaitupemuda berkepandaian tinggi bernama Gandita. Kedua orang ini mengenakan pakaian perang lengkap dengan senjatanya. SepertiArgajaya keduanya menunggangikuda.
Penunggang kudakeempat yang bertindak selaku salah satu pimpinan pasukan penyerang adalah Dewa Sedih. Orang tua ini sepertibiasa selalukelihatan murung dan
sesenggukan. Orang kelima yang menjadi tokoh dipihak penyerang adalah seorang
perempuan tua bertubuh jangkung, mengenakan jubahmerah. Saosoknya hampirtidak kelihatankarenaterhalang oleh barisan berkuda yang adadi sebelah depan. Perempuan tua ini bukan lainadalah Dewi Maha Geni yang sepertiPanglima Argajaya melakukan pengkhianatan, menyeberang kepihak musuh. Yang tidakkelihatan justruadalahRaden Adikatwang, pucuk pimnpinantertinggi pasukan musuh, yang berambisi ingin menjadi Raja diRaja penguasa Kediri danSingosari.
Di pihak Singosari yang telah bersiapsedia menyambut serangan musuh dipintu
gerbang Selatan hanya dipimpin oleh beberapa Perwira Tinggidan Perwira Muda.
Melihatpasukan musuhdipimpin olehempat orang kawakanitu mau tak mau pihak
Singosari menjadikendor nyalimereka. Namun apa mau dikata tugas merekaharussiap mempertahankankerajaandengandarah dan nyawa.
Perlahan-lahan sang surya mulai muncul di Timur.
Genderangditabuhkeras. Terompet ditiup nyaring. Inilah satu pertandabahwa
serangan segera dimulai. Laksana air bah pasukan Kediri-Madura bergerakcepat menuju pintu gerbang Selatan. Pasukan panah sudahsiap merentang busur. Saat itulahtiba-tiba muncul seorang penunggang kudaberpakaian perang. Ternyata dia avalah Patih
Raganatha.
Kedatangan Raganatha memberi semangat pada pasukanKerajaan. Orang tua ini muncul dipintu gerbang, mengangkat tangannya dan menunjuk kearah Argajaya. Patih Singosari ini berusahaterusmajusampaike luarpintu gerbang. Di satu tempat dia
hentikan kudanya.
Argajaya mengangkat tangandan meneriakkansesuatu.
Seluruh pasukan yang tengah bergerakituberhenti dengantiba-tiba.
“Argajaya! Aku tidak mengira serendah ini budimuterhadap Sri Baginda Prabu
danSingosari. Namun aku memberikan kesempatan. Kau masih punya waktu untuk
kembalibersama pasukanmu!”
Argajaya menyeringai. Diabalas berteriak. “PatihSingosari! Saat initidak perlu
kitabicara menyangkut segala macam budi! Aku tawarkan padamu untuk bergabung
bersama kami. Atau kauakanikut kami sama ratakandengan bumiSingosari!”
”Pengkhianat busuk!” teriak Patih Raganatha marah. Tangan kirinya dihantamkan
ke depan. Selarik angin menderumenyambarkearahArgajaya. Selagi Panglima
Singosari yang menyeberang kepihakmusuhitu menarik kudanya dan mengelakke
samping, Raganathaangkat tangankanannya. Tangan itu berubah menjadipanjang sekali
bercabang cabang. Inilah ilmu kesaktian seratus guritaamuk. Argajaya tahu betul
kehebatanilmu ini. Maka cepat-cepat dia menyingkirkan kudanya ke kiri sambil balas
menghantam dengan pukulan tangan kosong. Argajaya berlaku cerdik. Yang dihantamnya adalahkuda tunggangan Patih Singosari itu.
Saat itu pula Argajaya mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas. Genderang ditabuh gegap gempita.
Terompet ditiup memekakkantelinga. Pasukan menyerbuuntukkedua kalinya. Dan sekali inisepertitidakada lagi yang sanggup menahannya. Setelah menewaskan ratusanprajuritSingosari, pertahanandipintu gerbang Selatan bobol.
Pasukan musuh membanjir. Patih Raganathaberteriak memberi semangat. Tangan kanannyakini memegang sebilah golok panjang sedang tangan kiri terus menerus
melancarkan serangan seratus gurita mengamuk. Balasan prajurit lawan menjadi
korbannya. Namun pasukan musuh datang laksana air bah, menggulung apa saja yang adadi hadapannya. Patih Raganathatidak mampu mendekatiArgajaya. Bahkan kinidia terpaksamundur terusdan keselamatannyaterancam.
Di tengah-tengah perang bersosohituterdengarteriakan Argajaya.“Patih Singosari! Nyawamu akan selamat jika kau ikut dengan kami!”
Patih Raganatha menyambarsebilah tombak laludilemparkannya kearah
Argajaya. Karena tidak menyangka akandiserangseperti itu, walaumasihbisa berkelit namun ujung tombakitumasihsempat menyambarkain merahikatankepalanya hingga putus!
Meskipun marah namun Argajaya tahu kalau ilmunyamasihsetingkat di bawah Patih Raganatha. Maka dengan cerdik dia menoleh pada Dewa Sedih.
”Dewa Sedih! Bantu aku melenyapkantua bangkaburuk ini!”
Dewa Sedih keluarkan suara terisaklalu didahului oleh suara menggerung keras tubuhnya berkelebat kearah Raganatha. Saat itu pula Argajaya cabut golok panjang yang mencantel diikat pinggang besarnya lalumenariktalikekang kudahinggabinatang ini
melompat mendekati Patih Raganatha. Dikeroyok duasertamerta Patih Singosari ini
terdesak hebat, sekalipunadadua Perwira Tinggi yang berusahamembantunya, Sang Patih akhirnyatewas secara mengenaskan.
Di bagian lain, ketikapasukangabungan Kediri-Madura mulai menyerbu, sambil mengeluarkan pekikkeras nenek berjubahmerah yaitu Dewi Maha Geni berkelebat ke depan.
Dia bukannya menyerang pasukan Singosari namun melompatitembok tinggi. Begitusampai didalam dia menggebuk kepala seorang Perwira Muda hinggarengkah danjatuhdarikudanya. Si nenek rampas kudanya lalumenghambur menujuke arah Timur yaitudimanaterletakkawasan Keraton.
Pagi itukabar penyerbuan besar-besaran pasukan musuh dipintu gerbang Selatan telah sampaidi Keraton Tumapel.
Di salah satu bangunan yang sangat rahasia Pendeta Mayana keluardengan
tergopoh-gopoh. Di tangannya ava duabuah kotakkayu. Yang pertama berisi Mahkota Narasinga yakni mahkota lambang dan syahnya seorang menjadi Raja Singosari.
Kotak kedua yang agakkecil dan pipih didalamnya terdapat Keris Saktipalapa, jugamerupakan salah satu bendapusaka sangat berharga, pendamping Mahkota
Narasinga.
Pendeta ini mengambil jalan berputardan muncul disebuah pintukecildi bagian Barat tembok Keraton. Dua orang pengawal yang bertugasdi situ memberihormat dan membiarkannyalewat. Di luartembok Pendeta Mayanamelangkah cepat menuju
persimpangan jalan. Dia mengharapkan pemuda itusudah menunggu di sana. Tetapi
ketika diasampaidi persimpangan tak seorangpun dilihatnya di tempat itu. Sang Pendeta mulaikhawatir. Serombonganprajurit berkuda lewat di jalan dengancepat. Pendeta
Mayanamemandang berkeliling. Hatinyalegaketika didepan sana ada seorang
bercaping terbungkuk-bungkukmemikul dua keranjang berisirumput. Di belakangnya mengikuti seekor kudacoklat.
Pendeta Mayana cepat mendekatitukang pikul rumput itu. Dua buah kotak yang dibawanya dimasukkan ke dalam keranjang seraya berkata.”Lekas tinggalkan Kotaraja.
Bergabung denganRaden Juwana danempat puteri Sri BagindadidesaTembang Sari.
Ingat, dua kotakberisi benda pusaka dalam keranjang itu adalah mati hidupnya Kerajaan Singosari. Jagabaik-baik..”
”Akan saya pertahankandengan darah nyawasaya,” jawab Pendekar 212 Wiro
Sableng.
”Saya haruskembali ke Keraton untuk menyelamatkan Sang Prabu,” kata Pendeta Mayanalalupergimeninggalkan Wiro.
Murid Sinto Gendengcepatnaikkeatas punggung kuda.
Tapi belum sempat diamenariktalikekang binatang itutiba-tibaada bayangan merah berkelebat didepannya disertaimenyambarnya hawa panas. Memandang ke depan
Wiro melihat nenek berjubahmerah yang pernah ditemuinya sebelumnya dan
disangkanya adalah seorang pengemis. Dewi Maha Geni! Dari Pendeta Mayana Wiro suvahmendapat keterangan siapaadanya nenek bermata dan berlidah api ini.
Dia bersikap berpura-pura ramahtapipenuh waspada.
“Ah, sobatkunenek cantijelita bermata sepertiBintang Timur. Apakah kali ini kau muncul hendak mengemislagi? Atau ingin menotokkusekali lagi?!”
Dewi Maha Geni menyeringai. Dari mulutnya keluar suara menggerendeng. Lalu perempuan tua yang sakti ini berkatadengan suara keras.
”Jangan berlakusepertipemuda merayujanda!”
Wiro Sableng batuk-batuk beberapa kali. ”Harapmaafkan kelancanganku. Aku tidak tahu kalaukau seorang janda!”
Sepasang mata Dewi Maha Geni menyorotmarahlaksana api. Lidahnya
dijulurkan membasahibibirnya dan lagi-lagi Wiro melihat lidahitusepertilidah api.
”Sebetulnya aku sudahbosanjadi pengemis. Tapisekali initidakada salahnya. Lekas kauserahkan padaku keranjang berisirumput yang kau cantelkandileher kuda itu!”
Ah,jadi dia sudah tahu apa isi keranjang ini, membatin Wiro. Kalau perempuan tua beralis dan berambut merah inisuvah berkata begituberartidiatidakmain-main.
Tahu betul tingkat kepandaian sinenekmakaWiro siapkan pukulan sinar
matahari di tangan kiri dan tangankanansiap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersisip di pinggangnya. Namun selintas pikiran muncul dalambenaknya.
Kalau dia mampu menipunenek ini mengapa tivak dicobanya?
Daripada harus melakukan baku hantam!
”Kalau kautidak mau serahkankeranjang itu, kau bisagantidengan menyerahkan jantungmu!” sinenek membentakmarah.
Pendekar 212 pura-pura ketakutantapimasih cobabergurau.
Nenek,akutidak tahu kau senang rerumputan. Kalau kau memang doyan lalapan
rumput silahkanambil keranjang ini!” laludengan tangan kirinya Wiro lepaskan
keranjang yang dicantelkannya padatali dileher kuda. Namun tumit kaki kanannya yang dialiritenaga dalamtanpaterlihat oleh Dewi Maha Geni ditusukkannya ketulangrusuk
kuda. Binatang inimeringkikkesakitandan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-
tinggi. Wiro pura-pura jungkir balikjatuh ke tanah.
Keranjang rumput yang hendak diserahkannya jatuh bergelindingandan
bertabrakandengankeranjang rumput yang satulagi yang masihadaditepi jalan. Kedua keranjang itu sama-sama terguling dan sama-sama bergelindingan. Wiro mengejardan menangkap salah satu dari dua keranjang itu.
Lalu dilemparkannya kearah Dewi Maha Geni.
”Ini keranjang yang kau minta Nek! Ambillah!” ujar Wiro.
Nenek bermata api segera menyambuti keranjang yang dilemparkan. Merasa
bahwakeranjang itu memang keranjang yang tadi berada diataskuda maka Dewi Maha
Geni cepattinggalkan tempat itu. Setelah sinenek menghilang dikejauhan Wirotertawa
gelak-gelak. Diambilnya keranjang yang masih tergeletak di tengah jalan dancepat-cepat dicantelkan nya ketali leher kuda. Lalu muridEyang Sinto Gendeng ini menggebrak kuda tunggangannya. Binatang ini menghamburke depan. Di atasnya Wiro tak henti-hentinya tertawa karenaberhasilmenipunenek tadi, menyerahkankeranjang yang hanyaberisi
rumput, tidakberisi duabuah kotak kayu benda pusaka Keraton Singosari itu!
Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 yang berhasilmengelabui Dewi Maha Geni.
Kita menujuke dalam kawasan Keraton. Sesuai dengan nasihat Pendeta Mayana maka
Raden Juwana mengumpulkan keempat puteri Sang Prabu. Agar tidak mencurigakan
merekadinaikkankeatas empat kereta mayat. Sekitar seratus orang prajuritterpercaya
tanpapakaian seragam mengawal empat kereta jenazah itu. Untuk mengelabui, enam
orang perempuan disewa mengikuti perjalanan. Tugas mereka adalah pura-pura menangis bilaberpapasandengan orang lain. Sehingga orang menyangkabahwa rombongan yang lewat itu adalahbenar-benar rombonganduka yang membawa empat jenazah yang akan disembahyangkandisatu tempat. Di sebelah mukamenunggangi kuda Raden Juwana.
Dalam rombonganterdapat sikatai Damar dan empat Perwira Muda. Mereka tidak
menempuh jalan umum tapimelewati perbukitandan hutan belantara di Timur Laut
Tumapel. Meskipun jarak perjalanan menjaditambahjauh namun terasalebih aman. Di satu tempat Raden Juwana yang merasa was-was atas keselamatan calon mertuanyayaitu Sri Bagindaberbalikkembali menuju Tumapel. Dia berpesankepada Damar dan Perwira-
Perwira kepercayaan agar terus bergerak menuju Kudadu. Bila sang Prabu sudah diselamatkandia akan segera menyusul.
Sementara itudi RuangPemanjatanDoa, Pendeta Mayanatelah mendampingi
Sang Prabu melakukan upacara keagamaan. Di luarseratus pengawalberjaga-jaga. Bagi Pendeta Mayana apalahartinyajumlahseratus prajurit itujikananti ribuan pasukan
musuh berhasil menerobos benteng pertahanan Singosaridi Selatan lalumenyerbu
Keraton. Apalagikalau orang-orang berkepandaian tinggi sepertisi pengkhianat Argajaya dan Dewi Maha Geni muncul di tempat itu, pastikeselamatan nyawa Sang Prabu tidak
akantertolong.
Belum lama Pendeta Mayana berpikir seperti itu, seorang prajurit tiba-tibamasuk ke dalam memberikan laporan. Prajurit inijatuhkandirike lantai, bersujud beberapa
lamanyakemudian baru duduk bersila di hadapan Sang Prabu dan Pendeta Mayana denganwajah pucat.
“Ada apa Prajurit?” tanya Pendeta Mayana sedang Sang Prabu hanya memandang dengan lirikan matanya. RajaSingosari inimasih berada dalampengaruh minumankeras.
“Pasukan Singosaritidak sanggup mempertahankan pintu gerbang Selatan. Balatentara musuh berhasil menjebol pintu gerbang dansaat initengahmembanjir
memasuki Kotaraja! Panglima Argajaya ternyata berpihak padamereka danikut memimpin pasukan musuh!”
Pendeta Mayana mengelusdadanya sendiri. Musuh cukup cerdik. Merekasengaja
mengirimkan pasukankecil menyerbukawasan Utara, padahalmereka sebenarnya
tengah menyelinapkan pasukan besar di bagian Selatan Tumapel!
Wajah sang Pendetanampak muram. Sebenarnya dia sudahmaklum bahwasuatu
saat orang-orang Kediri dibawah pimpinan Adikatwang yang sudahdianggap Raja oleh
pengikutnya, dibantu orang-orang Madura di bawah pimpinan Wira Seta akan melakukan
penyerbuan. Namun dia sama sekalitidakmengirahal ituterjadidemikiancepatnya.
“Prajurit,” kata Pendeta Mayana. “Lekas kembalike induk pasukanmu...”
Prajurit itumerunduk khidmat. Lalu cepat-cepat diatinggalkan tempat itu. Dia tidak pernah kembalike induk pasukannyatetapi menghambur bersamakudanya menuju
ke Barat yaitukearah Jombang. Baginyakembalike pasukan sama saja dengan
menyerahkan nyawa padapemberontak.
Pendeta Mayana bangkit dari duduknya lalumelangkah ke tempat Prabu
Kertanegara duduk pejamkan mata. Dalam keadaan biasa tidak mungkin Pendeta Mayana
akan berani mengganggu sang Prabu. Namu saat itukeadaansudah sangat gawat. Dia
harus memberitahu Prabu Kertanegara. ”Sang Prabu...,” kata Pendeta Mayana.
Kertanegara tetap tak bergerak dalam duduknya. Mukanya tampak merah akibat pengaruhminumankeras.
”Sang Prabu!” memanggil kembali Pendeta Mayana. Sekali ini dengan suara lebih
keras. Ketika dilihatnya kedua mata Kertanegara bergeraktandadiamendengar
panggilan tadi maka Pendeta Mayana meneruskan ucapannya dengan suara keras. “Kita
harus meninggalkan tempat ini dengan segera Sang Prabu! Balatentaramusuhtelah
memasuki Tumapel...”
“Kau takut pada orang-orang Kediri dan orang-orang Madura itu, Pendeta Mayana?”
“Tidak ada yang saya takutkandiduniaini sang Prabu,kecualiterhadap para
Dewa...”
“Kalau begituikuti akumemujadanberdoa pada Dewata.”
”Sang Prabu, maafkan saya. Doa bisadilakukankemudian. Yang pentingsaat ini
sang Prabu harus menyelamatkandiri. Ikuti saya. Saya tahu jalan rahasia yang bisa
membawakitakeluardarikawasan Keraton dan sampaidisebuah rimbabelantara.”
Sang Prabu berpaling,memandang menyeringaipada Pendeta Mayana.
”Lupakan apa yang adadalampikiranmu Pendeta Mayana. Lebih baikkaupimpin upacara berdoa ini. Kita beradaditempatsuci. Para Dewa akan melindungi kita.
Balatentara musuhtidakakandapat menyerbuke tempat ini!
Kita punya pasukan besar dansetia sertaberani. Kita punya orang gagah seperti Panglima Argajaya, Dewi Maha Geni, sertabelasan Perwira.”
”Panglima Argajayatelah berkhianat. Dia menyeberang kepihak penyerbu. Dewi Maha Geni saya yakin juga melakukan hal yang sama,” mejelaskan Pendeta Mayana.
Kening sang Prabu tampak mengerenyit tapidiatidak berkata apa-apa.
”Sang Prabu, waktukitahanyatinggalsedikit. Lekas ikuti saya...!”
”Kalau kau mau pergi, pergilahsendiri. Aku akantetapdisini. Jangan ganggu aku lebih lama!” Sang Prabu lalumencabut keris yang tersisip di pinggangnya dan
meletakkan senjata inidi atas mejakecildi hadapannya.
Keris itu adalah senjata sakti, termasuk salah satu pusakaKerajaan.
Dalam keavaan sang Prabu seperti itu akan sulit bagi Pendeta Mayanauntuk
membujuknya. Sementara itudi luarterdengarsorak sorai gegap gempita disusul suara beradunya senjata. Pendeta Mayanamengintai dari balikkisi-kisi didinding. Dia melihat banyaksekali pasukan musuh mengurung dan menghantamseratus prajurit yang
melindungi Raja. Bagaimanapuseratus prajurit itumempertahankandiri namun jumlah lawan banyaksekali.
Pendeta Mayanaberpaling pada sang Prabu. Saat itu dilihatnya sang Prabu
tengah menegukminumankerasdaridalamsebuahtabung bambu. Tak ada jalan lain.
Sang Pendeta segera mendekati Rajanya. Begituberdekatandengancepatditariknya lalu dipanggulnya di bahu kiri.
Namun pertolongan yang dilakukan oleh Pendeta Mayanasia-siasaja. Saat itu puluhanprajurit lawantelah menyerbumasuk ke ruangan itu. Kebanyakan dari mereka segera mengenali sang Prabu dan Pendeta Mayana.
Tidak menunggu lebih lama puluhanprajurit segera memburukedua orang itu dengan senjatamasing-masing. Saat itulahtiba-tibaterdengar suara membentak.
”Tahan! RajaSingosari itu punya hutang padaku! Aku yang akan
menghabisinya!”
Lalu terdengar suara ringkikan kudadisusulada suara angin menyambardan
tahu-tahu seekor kudahitam besar sudahberadadalam ruangan itu. Di atas punggungnya duduk seorang lelaki berusia sekitar enam puluhtahun berpakaian sederhana. Rambutnya yang hitamdigulung diataskepala. Di pihakmusuh, suara itutidak asing lagi. Mereka
segera batalkan serangan lalu bergerakmundur tapitetapdalam keadaan mengurung.
Melihat tidak ava jalan untuk lari, perlahan-lahan Pendeta Mayanaturunkantubuh sang Prabu yang didukungnya. RajaSingosari initegak terhuyung-huyung setengahtidak sadar, bersandarkedinding. Di hadapannyasaat itu Pendeta Mayana melihat Adikatwang penguasa Gelang-Gelang di Kediri duduk di atas punggung kuda sambil memegang
sebilah pedang. Di bagian lain sang Pendeta melihat Panglima Argajaya berdiridiantara para prajurit penyerbu.
”Sri Baginda yang mengakuisebagai Prabu dan RajaSingosari!” tiba-tiba suara Adikatwang menggeledek di ruangan itu. ”Belasan tahun lalukaumembunuhayahku. Kini puteranya akan menuntutbalas! Bersiaplahmenerimakematianmu!”
Habis berkatakeras begituAdikatwang melompatdarikudanya. Namun gerakannyadisongsong oleh Pendeta Mayana.
”Adikatwang manusiatidakberbudi!” bentak Pendeta Mayana. ”Ini balasanmu terhadap Sang Prabu yang telah mengampunijiwamu dan memberikan kedudukan tinggi diGelang-Gelang...!”
”Pendeta Mayana! Kau tidakmasuk dalam daftarmanusia-manusiaSingosari yang harusdisingkirkan. Tapi jika kau tidak segera minggat dari hadapanku, kauakan kubunuh saat ini juga!”
Diancam seperti itu Pendeta Mayanaganti tertawadan menjawab. ”Kau bodoh! Seharusnya kau masukkanakudalamdaftar orang-orang yang harus kau bunuh! Aku bukan penveta yang berpantang membunuh demi menyelamatkan Singosaridan Sang Prabu Raja syah kerajaan ini!”
Pendeta Mayana tutup ucapannya vengan menghantamkan kedua tangannya ke
depansekaligus! Dua gelombangangin menderu. Adikatwang tidakberlaku ayal. Dia
sudah lama tahu kalau Pendeta Mayana bukan Cuma seorang pendeta agama biasa, tetapi
seorang yang memilikikesaktian tinggi. Cepat-cepatAdikatwang menyingkir dengan
melompat kek kiri. Dua gelombangangin menyambar lewatdisampingnya.
Saat itujugaterdengar pekik jerit kematian sembilan orang prajurit yang terkena hantamanpukulan Pendeta Mayana.
Adikatwang cepat berpaling pada Panglima Argajaya dan berkata: ”Dimas
Argajaya! Aku takingin mengotorkan tangan membunuh manusia satu ini! Kau bereskan dia!”
Adikatwang lalu melompat menjauhi Pendeta Mayana namun terus berkelebat ke arah Sang Prabu yang masih tegak tersandarkedinding. Pedangnyamenyambar. Pendeta Mayanaberteriakmarah dan coba memburu Adikatwang. Namun gerakannyadihadang oleh Argajaya yang melompat ke hadapannya dengan golok besar terhunus.
”Pengkhianat busuk terkutu!” teriak Pendeta Mayana.
Dengan tanganterpentang dia menerjang. Argajaya babatkangoloknyatapi
serangannya luput. Sebaliknya serangan Pendeta Mayana pun dapat dihindarioleh
Argajaya yang kemudian berteriak padabeberapa Perwira dan puluhanprajurit yang ada disekitarnya. Pendeta Mayanatak dapat menghindarkandirivarikeroyokan begitu
banyak lawan. Dengan mengandalkan tangan kosongdanpukulan-pukulan sakti dia
mampu merobohkan belasan lawan. Namun lebih banyak yang datang. Selagi dia
terdesak dan bertahan mati-matiandibagian lain didengarnya suara jeritan Sang Prabu.
Pendeta Mayana yang telah menderita beberapa luka ditubuhnya berpaling ke
arah suara jeritan itu. Lalu terdengar Pendeta ini meraung ketikamelihat apa yang terjadi. Adikatwang tegak menyeringai memegang pedang yang berlumurandarah. Di depannya, tersandar kedinding sang Prabu berdiri megap-megam sambil pegangi perutnya yang
berlumurandarah akibattusukan pedangAdikatwang.
”Manusia iblis! Biadab!” teriak Pendeta Mayana. Dia melompat kearah
Adikatwang dan menghantam denganseluruh tenagadalamnya yang ada. Namun vari samping Panglima Argajaya memotong gerakannya dengan sambaran golok besar.
Hantaman Pendeta Mayana memang berhasilmembunuh seorang Perwira Kediri
dan delapanprajurit musuh. Namun tangannya tidak dapatdiselamatkan daritabasan
golok yang dibabatkan Argajaya. Tangankanan itu putus. Darah memancur. Selagi
Pendeta Mayana terhuyung menahansakit, golok di tangan Argajaya bergerak menusuk lambung pendetaitu.
”Ananta!” tiba-tibaterdengar seseorang menjerit menyebut nama asliPendeta
Mayana. Lalu terdengar suara berdesing. Tiga buah benda aneh memancarkan warna
berkilaumelesatdalam Ruangan Pemanjatan Doa. Di lain kejapterdengar jeritan
Panglima Singosari yang berkhianat itu. Sebuah senjataberupatusuk kundai terbuat dari perak menancap dikeningnya. Dua buahlainnya menancap dilehernya!
Sekujur tubuhArgajayanampak bergetar. Dia sepertimenahan rasa sakit yang
luarbiasa. Lalu terdengar jeritannyasekalilagi. Tubuhnyakemudianterbanting kelantai, menggeliat beberapa kali akhirnya meregang nyawa dengan mata membeliak dan lidah mencelet. Seluruh muka dan lehernyasampaikedadatampak berubah menjadiseputih
kapur! Mengerikan untuk dipandang.
Selagi semua orang geger melihat apa yang terjadi, satu sosok berkelebat laksana bayangan. Orang ini menyambartubuh Pendeta Mayanalalumemanggulnya. Belasan
prajuritdan beberapa orang Perwira berusaha menangkapatau menghantamnya dengan senjata. Orang yang memanggultubuh Pendeta Mayanamembuat duakaligerakan.
Enam orang prajuritroboh, seorang Perwira langsung meregang nyawa dengan kepala pecah. Lalu laksanaadakilat yang menyambar, di ruangan ituterdengar suara letusan keras disertai menghamparnya hawa panas dari suatusinar yang menyilaukan. Ruangan Pemanjatan Doa tergoncang sepertidilanda gempa. Dinding, langit-langit dan lantai
ruangan berderak.
”Lekas tinggalkan tempat ini!” terdengarteriakanAdikatwang. Lalu pimpinan
pemberontakini melompat kearah pintu. Beberapa orang mengikutinya. Yang laintidak sempat menyelamatkandiri. Ruangan Pemanjatan Doa itu runtuh dengan suara
bergemuruh. Sekitar enam puluh orang terkubur hidup-hidup didalamnya, belum
terhitung belasan mayat termasuk jenazah Sang Prabu dan Panglima pengkhianat yaitu
Argajaya.
Selamat dari tertimbun ruangan yang runtuhwajahAdikatwang nampak pucat di balikdebureruntuhan bangunan.
Dia memandang berkeliling. Namun diatidakmelihat lagibayangan orang yang tadi melarikantubuh Pendeta Mayana.
***
BAB VIII
Pendeta Mayana tahu kalau dirinyadipangguldandilarikan laksanakilat. Namun
dia tidak tahu siapa yang melarikannya itu. Dibukanyakeduamatanya. Pemandangannya berkunang dankabur. Dia melihat wajahitutapi sangat samar-samar. Lalu dia ingat
kejadiandi Ruangan Pemanjatan Doa. Saat itudiadalam keadaan luka. Tangan kanannya
buntung. Lalu perutnya ditembus golokArgajaya. Saat itudiamendengar ava seseornag berteriak menyebut namanya. Bukan memanggilnya sebagai Pendeta atau Mayanatapi menyebut nama aslinyayaitu Ananta! Suara teriakan itujelas suara perempuan. Jika ada seorang perempuan yang tahu nama aslinyamakahanya satu orangnya yaitunenek sakti Sinto Gendeng alias Sinto Weni.
Dalam keadaan luka parahseperti itu Pendeta Mayana alisan Ananta Wirajaya coba mengerahkan tenagadalamnya. Lama dan perlahansekali akhirnya dia mampu memandang sedikit lebih jelas. Wajahitu. Wajah orang yang mendukungnya. Wajah seorang nenek berkulit hitam keriput dancekung. Memang dia!
”Sinto Weni, betul kakukahini yang memanggul dan melarikanku...?”
terdengar suara menjawab tersendat. ”Jangan bicaradulu Ananta. Lukamu parah sekali. Aku tidak yakin bisamenyelamatkanmu...”
”Kau telah menyelamatkanku. Aku berterimakasih. Bawa akuke tempat yang
teduh Sinto. Aku ingin bicarabanyakhal denganmudisana. Aku.. aku ingin mati bahagia dalampelukanmu.”
”Jangan bicarabegitu Ananta! Jangan bicaralagiatau akuterpaksamenotok jalan
”
suaramu...
Ananta diamtapitersenyum. ”Bawalah aku kemanakausuka Sinto. Kali ini jangankautinggalkan lagidiriku...”
Sinto Weni tidak dapat menahan air mata yang membuat kedua matanyaberkaca-
kaca. Dia mendengar apa yang diminta Ananta Wirajaya. Dia tahu mungkin itu adalah
permintaannya yang terakhir. Karena itu Sinto Wenimembawa Ananta Wirajaya yang dipanggulnya menujusebuah puncak bukit kecil yang teduhdimanatumbuh pepohonan rindang dankembang-kembang liar warna-warni.
Hati-hatisekalinenek sakti itumembaringkan Ananta di atas rerumputan. Pendeta
ini berusahamembukakeduamatanyalebih besar agar dia dapat melihat orang yang
dikasihinya itulebih jelas. Lalu terdengar suaranya berbisik. ”Sinto...Aku ingin mati di dalampelukanmu. Peluk diriku Sinto...”
Betapapunkerasnya hati neneksakti inidiatetap seorang perempuan yang punya hati dansentuhan rasa. Dia membungkuk dan menangis terisak-isaklalu memeluk tubuh
Ananta.
”Boleh...bolehaku melihatwajahmu untuk terakhirkali Sinto...?”
Sinto Weni melepas kulit tipis yang selama puluhan tahunmenutupiwajahnya.
Kelihatan kinisatuwajah putih yang keriputantapimasihmembayangkan kecantikandi masa muda.
Dengan tangan kirinya Ananta Wirajaya berusahamembelaiwajah orang yang dikasihinya itutapi tangannya hilang kekuatandan jatuh. Saat itupulaterdengar suara
tercekikhalusditenggorokannya. Kepala lelaki itu terkulai. Sinto Weni menjerit keras dan memeluk tubuh yang sudahtidakbernapas itu. Air matanya membasahiwajah
Ananta ketika diamenciumilelaki itusejadi-jadinya. ”Aku mengasihimu Ananta. Hanya kau seorang yang benar-benarmendapat tempat di hatiku. Aku ingin ikut bersamamu
Ananta...” Ratapan Sinto Weni yang menyayathati ituhanyadisambut oleh suara hembusan angin di puncak bukit.
”Ananta! Aku bersumpahmembalaskan kematianmu!” kata Sinto Wenidiantara suara isakannya.
***
Kejatuhan Kraton Tumapel dan runtuhnya Kerajaan Singosaritidak dapat
dielakkan lagi. Apalagikalautewasnya Sri Baginda Prabu sudah tersebar luas. Di tengah berkecamuknya pertempurandisekitar Kotaraja, seorang mata-mata membawakabar
kepadaAdipati Sumenep Wira Seta. Kabar ini kemudian diteruskan Wira Seta kepada pembantu utamanyayaitupemuda berkepandaian tinggi bernama Gandita.
”Bawa tigaratus prajurit. Kejar rombongan itu! Ingat jika apa yang dikatakan mata-mata memang benarjangan biarkan seorangpun hidup!”
Gandita mengangguk lalucepat memisah kan diri keluar dari pertempuran. Tak
lamakemudian kelihatandia membawasatu rombongan besar pasukan terdiridaritiga
ratus prajurit gabungan Kediri-Madura. Rombongan berkuda ini bergerak meninggalkan Kotaraja kearah Timur Laut. Menjelang rembang petang, setelah melewatisatujalan
memintas Gandita dan pasukannya berhasil mencapai sebuah bukit kecil. Memandang ke bawah mereka melihat satu rombongan sekitar seratus orang berkuda membawa empat kereta jenazah. Rombongan ini bukan lain adalah rombongan yang telah berusaha
menyelamatkanempat puteri sang Prabu. Mereka tidak pernah menyangka kalaupihak musuhtelah mengetahui rahasia besar yang adadalam rombongan itu. Yanglebih
mengenaskanialahsaat itusetelahditinggalkanoleh Raden Juwana yang hendak
menyelamatkan rombongantidakmemiliki lagi seorang berkepandaian tinggi kecuali lelaki katai bernama Damar.
Dari atas bukit Gandita membawaturun pasukannya kesebuah jalan menikung.
Pasukan bergerakmelebardan begitusampaiditikungan kembalimerapat membentuk
japitan. Ketika rombongan yang membawa empat kereta jenazah sampaiditikungan jalan serat mertamerekaberadadalam kepungan rapat. Dari ataskudanya Gandita memanvang berkeliling. Ada empat kereta jenazah. Dikawal oleh hampirseratus orang berpakaian
biasa. Di bagiandepankereta ada satu atau dua orang perempuan yang bermatamerah tandabanyak menangis.
”Siapa pimpinan rombongan ini?!” teriak Gandita sambiltekankan tangankanan kehulugolok yang terselip di pinggangnya.
Orang tua bernama Damar mengangkat tangannya dan menjawab. ”Aku pimpinan rombongan yang tengah berduka ini!”
”Hemmmm..manusia katai. Aku pernah melihatmu. Kau bekerja di Keraton. Sebagai perawat kuda-kudaKerajaan! Betul! Memang kau orangnya!”
”Dugaanmutidakmeleset!” jawab Damar.
”Rombonganmu inidari mana dan mau kemana?”
“Ini adalah rombongan berduka. Empat orang kerabat kami menemuiajal karena
penyakit sampar. Kami akan mengurus upacara pemakaman merekadi muara Kali Mas.”
”Begitu?” ujar Gandita sambil menyeringai. ”Aku mau periksakereta jenazah itu satu per satu!”
”Kalian manusia-manusiatidak tahu peradatan! Berani mengganggu orangyang sedangberduka! Kalau kalian adalah prajurit-prajuritpemberontak mengapa jauh-jauh berada disini menghadang kami? Bukankah kalianingin merebut tahtaKerajaan Sang Prabu? Pergialh ke Tumapel! Bertempurdisana!”
”Manusia katai! Cakapmubanyak amat! Bawa rombonganmu meninggalkan tempat ini. Empat kereta jenazah tetap disini!”
”Aku memintakaulah yang harus segera meninggalkan tempat ini! Pergilah mencari mampus di Tumapel!”
Kesabaran Ganditahabis sudah. Dia memberi isyarat pada pasukannya. Tiga ratus
prajurit menyerbuseratus lawan yang telah terkurung rapat. Si katai Damar yang sadar
tidakbisaberbuat banyak menyelamatkanempat kereta jenazah berisi puteri-puteri sang Prabu memutuskan untuk berjibaku. Tubuhnya melesat dari punggung kuda. Enam
prajurit yang berusaha menghantamnya dengan berbagai senjataterpental. Dua roboh tak berkutiklagi, empatterjengkang jatuh ke tanah.
”Hemm... Si katai ini rupanya bukantukang kuda biasa! Aku mau lihatsampai
dimana kehebatannya!” habis berkata begitu Gandita majukan kudanya lalulepaskan
pukulan tangan kosong kearah Damar. Orang tua ini memang memilikikepandaiantidak rendah. Tapidibandingkandenganilmu yang dimiliki Gandita, pemuda itu bukanlah
lawannya. Setelah berhasilmengelakkan serangan pemuda inidia tampakmengeruk saku pakaiannya. Lalu terdengar suara berdesing. Tiga buah senjatarahasiaberbentuk paku
hitammelesat kearah kepala, dadadan perut Gandita.
Yang diserangcabut golok besarnya. Sesaat kemudian senjataituberkelebat di udara. Terdengartiga kali suara berdentangan. Tiga paku terbang yang dilemparkan
Damar runtuhke tanah. Satu diantaranya menghantam leher seorang prajurit Kediri hinggadiatewas saat itujuga!
Golok ditangan Gandita berkelebat ganas kian kemari. Namun ternyatatidak
gampang baginyauntuk dapat membacokatau menusuk lawan pendek yang mampu
bergerakcepat kian kemari. Apalagisaat itu Gandita masih tetap berada diataskuda
tunggangannya. Sebelum diamemutuskan untuk melompat turun, si katai Damar berhasil menyelinapdibawah tubuh binatang itudanmemukul pecah kemaluankuda jantan ini. Diiringi ringkik setinggi langit kuda itu mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi,
membuat Gandita terpental. Meskipundia sanggupjatuh ke tanah dengankedua kaki
lebih dahulu namun amarahsi pemuda sudah tak terkendalikan lagi. Tubuhnyaberkelebat ke depan. Goloknya berubah jadi bayang-bayang yang mengeluarkan suara bersiuran. Di samping itu Gandita telah pula memberi isyarat pada anak buahnya. Sepuluh orang
prajurit bergabung dengannya menyerang Damar. Empat prajurit berhasildirobohkan
Damar, namun lebih banyak lagi yang datang mengeroyok. Si katai tua ini hanya mampu bertahan enam jurus. Dengantubuh penuh luka diabersandarkeroda salah satu kereta
jenazah. Dalam keadaan tak berdaya dia harus menerima tusukangolok Gandita di perutnya!
Seratus prajurit yang setia padaKerajaan bertahan mati-matian menyelamatkan empat puteri Sang Prabu yang adadalamempat kereta jenazah itu. Namun kekuatan
lawan yang tiga kali lebih besar tidak dapat dibendung. Apalagi setelah melihatmatinya Damar, mereka merasa tidak punya dayalagi. Dua belas prajurit dan seorang Perwira
yang masih hidup jatuhkandiritanda menyerah. Tanpa ampun Gandita memerintahkan pasukannyauntuk memancung prajurit-prajuritdan Perwira yang menyerah ini! Laludia melompat kearah salah satu kereta jenazah. Dengankasar didorongnyadua orang
perempuan yang duduk didepankereta. Ketiga pintukeretadibuka, sepasang mata
Gandita tampakmembesar. Di dalam sana tampak puteri bungsu sang Prabu duduk
menyudutdenganwajah pucat pasiketakutan. Di tangankanannya puteri ini memegang sebilahpisau.
“Kalau kausentuhaku, aku akan bunuh diri!” mengancam Gayatri.
Gandita tersenyum. “Tidak ada seorangpun yang akan menyakitimu Raden Ayu Gayatri.” Tanpaada yang tahusebenarnya Gandita sudahsejak lama secara diam-diam
jatuh cinta terhadap puteri bungsu sang Prabu ini. Namun ketika diketahuinya ava
semacam hubungan rahasia antara puteri Keraton Singosari ini dengan Pendekar 212
Wiro Sableng yang sangat dibencinya itu, maka rasa cintasepihak pembantu utama
Adipati Sumenepinikinidikobari rasa benci, dendam dan itikad untuk menguasai
Gayatri secara keji. Kesempatan itukinisudahada didepan mata, didalam tangannya karena Sang Puteri berada dalam kekuasaannya. Dan saat itu malam segera pula akan tiba. Pucuk dicinta ulam tiba!
”Apa yang kalian lakukanterhadap kami? Prabu Singosariakan memancung kepalamu jika berani berlakukurang ajar terhadapku!”
Gandita mengulurkan tangannya memegang paha Gayatri. Puteri bungsu sang Prabu ini hunjamkan pisaunyaketangan Gandita. Tapisi pemuda sepat menarik pulang tangannya. ”Raden Ayu Gayatri! Sejak saat initak perlulagi menyebut-nyebut nama
Singosari. Kerajaan itusudah runtuh! Musnah! Masih untung kalauAyahandamu dibiarkan hidup. Dengar, malam inikau akan bersamaku. Kita akan berdua-dua...!”
”Mulutmu kotor! Otakmu keji!” teriak Gayatri marahsekali. Dia melompat dan
kembali menusukkan pisaunyakearah Gandita. Tapi dengancepat pemuda inimerangkul pinggangnya dengan tangan kiri sedangkan tangankanan menotok dada Gayatrihingga puteri Kerajaan initersentak dankakutakbisa bergeraklagi. Gandita memanggul Gayatri di bahu kirinya.
Sementara ituketika tiga kereta jenazah lainnya diperiksadalammasing-masing kereta memang ditemuiketiga puteri RajaSingosari.
”Kumpulkan ketiga puteri inidi satu tempat,” perintah Gandita. ”Puteri Gayatri biaraku yang mengurus. Kita berkemah malam inidisini. Kalian semua boleh istirahat!”
”TapiRaden,” berkata seorang Prajurit Kepala.
”Bukankah Adipati Wira Seta memintakita segera kembalike Kotaraja begitu urusan disiniselesai?”
Sepasangmata Gandita membeliak. ”Aku yang mengambilsegala putusandan mengeluarkan perintah disini!” bentak Gandita dengan mata melotot. ”Jika kau ingin pergike Kotaraja, lebih baikminggat sekarang-sekarang!”
Prajurit Kepala ituhanyabisaberdiam diri.
Gandita berpaling pada seorang pembantunya. ”Siapkan sebuahkemahuntukku di
bawah pohon sana! Dan dengarbaik-baik! Kalauakuberadadalam kemah itu, jangan ada
yang berani mengganggu!”
Si pembantu mengangguk lalubersama beberapa orang lainnya dia segera
melakukan apa yang diperintahkan Gandita. Membangun sebuahkemahuntuk atasan merekaitu.
***
BAB IX
Ketika Raden Juwana bersama empat pengiringnya memasuki Kotaraja dan
sampaidi Keraton Tumapel, saat ituRuang Pemanjatan Doa barusaja runtuhmenimbun jenazah Prabu Singosaridan Panglima pengkhianat Argajaya. Raden Adikatwang masih
belumsirna kejut dankecutnya. Wajahnya masih tampak memucat. Para pengawaldan
pembantunya mengelilinginya. Kalau sajadiaterlambat keluardari ruangan tadi, pastidia akanikuttertimbun hidup-hidup. Dalam tegak sepertitertegun Adikatwang berpikir dan menduga-dugasiapaadanya neneksakti yang mampu membunuh Argajaya dengan
senjatanyaberupa tiga buah tusukkonde perak lalumenyambardan menyelamatkan tubuh Pendeta Mayana yang terluka parah.
Selagi dia berpikir-pikir begitutiba-tibaAdikatwang melihat kemunculan Raden Juwana bersama empat pengiringnya. Adikatwang mengenalisiapa adanya Raden
Juwana. Lebih dari itudiatahu kalau Raden Juwana adalah calon menantumendiang Prabu Singosari, pemuda gagah yang akandinikahkandengan puteri sulung sang Prabu yaitu Tribuana Tunggadewi.
”Manusia ini harusdilenyapkan! Kalau tidak bisaberbahaya!” membatin
Adikatwang. Dia memberi isyarat pada Adipati Wira Seta. Melihat isyarat Adikatwang. Adipati Sumenepitucepat mendatangi.
”Saya tahu apa yang adadi benak KangmasAdi,” kata Wira Seta pula. ”Kalau begitukitabunuh dia sekarang juga!”
”Jangan, dialebih bergunakalaudibiarkan hidup,” jawab Wira Seta. ”Apa gerangan maksud Dimas?” bertanya Adikatwang.
”Setelah sang Bagindadan Patih Raganathatewas dia satu-satunya orang penting
dan berbobotdiSingosari. Bukankahdia keturunan Raja besarSingosari pertama yaitu
Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa? Kalau diatidak disingkirkan sekarang, di kemudian hari bisamenjadi pangkalbahaya!”
”Apa yang Kangmaskatakanitubetul. Tapi untuk sementarabiardiakita tangkap
hidup-hidup. Kita perlubeberapa keterangan penting dari dia.” Wira Seta lebih mendekat.
Lalu berbisik ketelingaAdikatwang. ”Orang kita memberikabarbahwa duapusaka
sangat berhargamilik Keraton Singosari yaitu Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa tidak ditemuidi tempat penyimpanan rahasianya!”
“Kurang ajar! Padahal dua bendapusakaitu sangat diperlukan syahnya aku
menjadi penguasa Singosari dan Kediri!” kata Adikatwang sambil mengepalkan tinjunya.
“Di samping itu saya mendengarkabar bahwa keempat puteri Sang Prabu lenyap tanpa bekas. Diduga dia kaburbersama Pendeta Mayana, tapiternyata Pendeta ituberada dalam Ruangan Pemanjatan Doa. Walaupun seorang tak dikenal melarikandan
menyelamatkan dirinya namun saat inidia pastisudah tewas karena luka-lukanya. Nah, kalaupemuda itukita tangkaphidup-hidup, saya yakin diabisa memberiketerangan
dimana beradanyadua benda pusaka Keraton Singosarisertadimana pula beradanya empat puteri Sri Baginda.”
“Kalau begitu, saya setuju pada pendapat Dimas Wira Seta! Lekas gerakkan orang kitauntuk mengurung pemuda itu. Sayamendengarsi Juwana ini membekalilmu
kesaktian bernamageger guntur. Kita harus berhati-hati.”
Adipati Wira Seta menyeringai. “Dia boleh punya seribu ilmu. Namun diatidak lebih seorang pemuda hijau yang tak punya apa-apa. Lagipulamasakankitaberduatidak bisameringkusnya?”
Di lain pihak Raden Juwana telah pula melihat kedua orang musuh besar
Singosari itu. Meskipundiabelumdapat memastikan nasib Sang Prabu Baginda Raja
namun melihat runtuhnyaRuangan Pemanjatan Doa pemuda ini merasa sangat khawatir bahwasesuatutelah terjadidengan RajaSingosari itu. Ketika dia meninggalkan Keraton sebelumnya, sang Prabu berada didalam ruangan itu. Kini ruangan itu dilihatnya dalam keadaan runtuhporak poranda. Jangan-jangan sang Prabu tertimbun didalamnya! Walau hatinyabersikerasingin menyelidiki namun menyadaribahaya yang bakaldihadapinya
jika dia terus berada di situ maka Raden Juwana cepat mengajak para pengiringnya meninggalkan tempat itu. Tapiterlambat. Puluhanprajurittelah mengurung mereka. Lalu Adikatwang dan Wira Seta bergerakke tengah lingkaran.
“Calon menantu sang Baginda yang malang!” menegur Adikatwang dengan
seringaipongah mengejek. “Calon mertuamu Prabu Singosari sudahjadi mayatdibawah puing reruntuhandisebelahsana! Patih Kerajaansudah tewas! Kinitinggalkau seorang diri. Jika kau mau menyerah secara baik-baik dan ikut bersama kami, tubuhmu akantetap utuh. Aku berjanji memberikan satu kedudukan yang lumayan untukmu. Tapikalau kau bertindak bodohdan beranimelawan, nyawamu tidaklebih berharga dari sampah busuk! Nah, kau memilihmaduatau minta racun?!”
“Manusia-manusiaterkutuk!Pengkhianat busuk! Kalian menghidangkan racun!
Sekarangminumlah sendiri!” teriak Raden Juwana. Pemuda itucabut pedangnya lalu
mendahului membuka serangan.
Ilmupedang Raden Juwana memang hebat. Sekali diamembabatkan pedang, dua
prajurit yang mengurung robohmandidarah. Empat prajurit musuh bergerakmaju.
Keempatnya langsung tersungkur luka-luka. Sesaat para pengurung menjadikecut.
Namun Adikatwang berteriak memberi semangat lalubersama Wira Seta dia menyerbu
masukke kalangan pertempuran. Empat pengiring Raden Juwana merupakan korban
pertamakedua orang berkepandaian tinggi ini. Raden Juwana mengamukdengan pedang
di tangankanan sementara tangan kiri mulai melepas pukulan tangan kosong
mengandungajikesaktian bernama geger guntur. Setiap tangan itudihantamkan
terdengar suara dahsyat seperti suara guntur. Lalu menyusul satu gelombangangin panas
menyapu dengan ganas. Belasanprajurit pengurung mencelat mental dan roboh berkaparan tanpa nyawa.
”Awas! Hati-hati Dimas!” teriakAdikatwang.
Bagaimanapunkehebatan ilmupedang dan pukulan sakti yang dimiliki Raden
Juwana, dikurung ratusanprajurit serta menghadapi dua tokohpemberontak
berkepandaian tinggi setelah mengamuk selama sebelas jurus,dalam satu gebrakan hebat
pedangdi tangan Raden Juwana berhasildibuat mental oleh hantamangolok
Adikatwang. Walau golokAdikatwang patah duatapi jelas bahwatingkat tenagadalam pimpinan pemberontakinijauh lebih tinggi dari yang dimiliki Raden Juwana.
Dalam keadaan tanpa senjata begitu rupa, Raden Juwana kini pergunakan kedua tangannyauntuk menebarmaut dengan melepaskan pukulan-pukulan geger guntur.
Semua serangannya diarahkan padaAdikatwang yang dianggapnya sebagaibiang racun malapetakadan gembing utamakaumpemberontak. Adikatwang yang sejak taditelah berlaku waspadasambut serangan Raden Juwana dengan mengangkat kedua tangannya pula. Dari telapak tangan orang inikelihatan sinarcahaya kebiru-biruan. Inilah ilmu
kesaktian andalanAdikatwang yang didapatnya dari seorang Resi di pantai Selatan. Dia
harus berpuasadanmerendam diridalam lautanselama 40 hari untuk mendapatkanilmu kesaktian yang bernama gelombang hantu itu. Berbarengandenganterlihatnyasinar kebiruan maka menggemuruh suara sepertiombak sambung-menyambung serta deru
angin sepertibadaimengamuk. Suara seperti guntur yang menyertai ilmupukulan yang
dilepaskan Raden Juwana tampak bergetarkeras. Mukanya menjadipucat dan keningnya
penuh dengan butir-butirkeringat. Ketika dia berusahabertahan, didepannya
Adikatwang dorongkan kedua tangannya. Sinarbirupukulangelombang hantukelihatan berkilauterang. Saat itupula Raden Juwana merasakandadanyasepertidihantam batu besar. Dari mulutnya melelehdarah. Sadar bahayamaut yang bakaldihadapinya jika dia bersikeras melayanikekuatan lawan maka Raden Juwana cepat jatuhkandirike tanah. Ketika dia berusahategak dengan sempoyongan, dari belakang Wira Seta mendatangi
lalumenotok punggungnya dengancepathinggapemuda ini kaku tegang tak berkutik lagi.
Lima orang prajurit Kediri segera meringkusnya. Ketika hendak dinaikkankeatas seekor kuda Raden Juwana berpaling padaAdikatwang. ”Aku tidaktakut mati! Mengapa kau tidakmembunuhkusaat ini juga?!”
Adikatwang menyeringai. “Bersabarlah sedikit anak muda. Akan datangsaatnya aku mengorekjantung dan hatimu!”
”Manusia pengkhianat busuk! Sang Prabu telah mengampuninyawamu dan masih mau memberikan kedudukan tinggi diGelang-Gelang. Sekarang ini balasanmu
terhadapnya. Kau bukan manusiatapi iblis laknat! Terkutuk kau dan keturunanmu!”
Plaak!
TamparanAdikatwang meledak dimuka Raden Juwana. Pipikiripemuda ini
tampakbengkakmerah kebiruan. Bibirnya pecah mengeluarkandarah. Tapi di wajahnya
sedikit pun tidak ada tampak rasa takut. Malah dengan menyeringaisinis dia mengangkat kepalanya lalu meludahimuka Adi katwang!
”Keparatrendah!” teriak Adikatwang. Dia menyambar golok seorang prajurit. Sewaktu senjata ituhendak dipancungkannya keleher Raden Juwana, Adipati Wira Seta
cepat menghalangi seraya berbisik. ”Ingat rencana kita harus membiarkannafasnya
berjalan.”
Tubuh Adikatwang nampak bergetarmenahan amarah. Golok di tangannya
dibanting hingga terhunjam masukke tanah sampaike gagangnya. Dalam hati dia
menyumpah. “Aku akan menentukan cara matimu yang paling sengsara Juwana!”
***
BAB X
Adikatwang duduk di singgasana milik Sri BagindaSingosarisambiltiada
hentinyatersenyum. Dia benar-benartelah mendapatkan apa yang diidamkannya,
menumbangkanKerajaan Singosari, merebut tahta Sang Prabu, dan menjadi Raja di Raja di Kediri danSingosari.
Di samping singgasana berdiriAdipati Sumenep Wira Seta. Semuanya tidakkalah dengan Adikatwang yang kinitengahmabukkepayang. Di sekelilingnyaberdiri para
pembantu kepercayaannya yang lain, yang telah membantu perjuangannya meruntuhkan Singosaridan menjadikannya sekarang seorang Raja besar. Beberapa orang Pendeta
Istana jugakelihatan berada di tempat itu denganwajah muram tandamereka sebenarnya mendekam perasaan tidakenak. Tetapisebagaipemuka agama merekahanyabisa pasrah. Apa yang telah terjadiyaitu direbutnya tahtaKerajaandan gugurnya sang Prabu mungkin sudahmenjadisuratan. “Saya sekarang menjadiRajadiseluruh kawasan ini, Dimas Wira Seta!” kata Adikatwangsambiltertawa lebar.
“Memang itutujuan kita Sri Baginda,” jawab Wira Seta. “Sayamengucapkan selamat!”
“Kau boleh memilihjabatan apa yang kau inginkan, asalkan bukanjabatan Patih
Kerajaan...”
Paras Wira Seta berubah. “Kangmas Adikatwang, ” katanyadengan suara agak
tercekat. Rasatercekat membuat diatidaklagi menyebut Adikatwang dengan panggilan Sri Baginda. “Kangmas, sesuai perjanjian kita dalamperundingan sebelum rencana ini
kitajalankan, bukankahkausudahmengatakandan menyetujuibahwa jabatan Patih
adalah menjadi bagianku kalauSingosari berhasilditumbangkan. Apakah Kangmas lupa hal itu?”
“Tidak, tentusajatidak Dimas Wira Seta.”
“Kalau begitu mengapa...”
Adikatwang berdiridarisinggasana dan memegang bahu Wira Seta. ”Sayatidak lupa janji itu Dimas. Cuma berikan saya waktu. Untuk sementara jabatan itu akan
serahkan pada Rana Trijaya...”
“Adik Kangmas?”
“Ya, adikkandung saya...”
Paras Wira Seta berubah mengelam. ”Jadi..”
”Dimas, jabatan Patih ituakan saya berikan pada Rana hanyauntuk sementara. Satu atau duatahunsaja. Setelah itu kauakan menggantikannya.”
”Itu tidak adadalam perjanjian kita Kangmas.” Wira Seta semakintidakenak.
”Memang benar. Maafkan kalausaat ini saya berubah pikiran. Bukan apa-apa. Hanyasekadaruntuk mengajar Rana dalamtatacarakehidupan berkerajaan. Sementara itu Dimas bisamemilihjabatan apa saja. Panglima Balatentara misalnya. Itu bukan
jabatan rendah. Hampir setingkat dengan kedudukan Patih Kerajaan.” Adikatwang tersenyum.
Wira Seta menggeleng. ”Sayatidakmengerti,” jawabnya.
”Sayatidak menginginkan jabatan Panglima Balatentara itu.”
”Kalau begitumasih tersedia jabatan lain. Kedudukan Dimas sebagaiAdipatidi Madura tidak akan dikutik-kutik. Dimas tetap berkuasadi sana.”
”Maafkan saya Kangmas. Saya merasa kurangsehat. Saya akan kembali duluke perkemahanditapal batas...”
”Dimas Wira Seta, jangan pergidulu. Nanti malam pembicaraan kitalanjutkan. Kita akan mengadakan pesta besar-besaran. Lagi pula Dimas harus menyaksikan satu
acara sangat menarik yang sebentar lagiakandiadakandi halaman belakang Keraton. Sesuai dengan usul Dimas sendiri... Ingat Raden Juwana yang sudahkita ringkus?”
Wira Seta mengangguk. Tapidia sudahtidak tertarik lagi untuk bicara dengan
Adikatwang. Jugauntuk menyaksikan apa yang bakaldilakukan Raja baru itu. Dia
merasa sangatterpukul dan sangat kecewa. Dia merasa tertipu ikut membantu
Adikatwang meruntuhkan Singosari, merebut tahta. Begitutujuan tercapai Adikatwang tidakmenepati janjinyayaitu memberikan kedudukan Patih Kerajaan padanya.
“Maaf Kangmas, saya harus kembalike tapalbatas. Saya benar-benar merasa kurangsehat...” kata Wira Seta. Lalu dia bergerakhendakmelangkah.
”Tunggu dulu Dimas,” ujar Adikatwang pula. ”Sayatidakmelihat Gandita pembantu utamamu itu. Dimana dia?”
Semula Wira Seta hendak mengatakan bahwa diatelah memberikantugas pada
Gandita untuk menguntit rombongan yang membawa empat kereta jenazah. Tetapi
setelah melihat keculasanAdikatwang, Wira Seta menjawabdenganangkat bahu. ”Dia pastimasih berada di salah satu medan pertempuran. Saya akan beri tahu jika Kangmas ingin bertemu dia.”
”Ya, malam inidia harusmenghadiripesta. Dimas juga...”
Wira Seta tidakmenyahut. Dia meninggalkan ruangan besar itu dengan langkah cepat tetapi limbung.
Seorang pembantu menyodorkan sebuahtabung bambu berukir-ukirberisi minumankeraspadaAdikatwang. Penguasa baruSingosari ini meneguk seluruh isi tabungsampaihabishinggawajahnyakelihatan merah padam.
Seorang Perwira Tinggi Kediri mendekatinyalalumembisikkansesuatu. ”Bagus!
Mari kita sama-sama ke halaman belakang...” Adikatwang memberi isyarat agar semua
orang yang ava di tempat itumengikutinya. Namun tiba-tibadaripintudepan terdengar seorang berseru.
”Sri BagindaAdikatwang! Lihat apa yang aku bawa!”
Satu bayanganmerah berkelebat. Sesaat kemudiandidepanAdikatwang tampak berdiri Dewi Maha Geni, sinenek yang menjadi kaki tanganutama Adikatwang dalam penggulingan sang Prabu. Seperti diketahuisebelumnya neneksakti ini adalahpembantu RajaSingosari, seorang tokohsilat Istana. Dia berdiridi hadapan Adikatwang membawa
sebuah keranjang berisirumput. Keranjang ini adalah keranjang yang dirampasnya dari
Pendekar 212 Wiro Sableng. Dewi Maha Genimeletakkan keranjang dilantai. Lalu dia
membongkardanmengeluarkan rumput yang adadalam keranjang.
Paras sinenek jadi berubah ketika keseluruhan rumput dikeluarkan tetapi dua
kotakkayu yang dipastikannya adadalam keranjang saat itu sama sekalitidak ditemukan.
Hal inijelaskarena sebelumnya dengan cerdik Wiro telah menukar keranjang rumput
berisidua kotakkayu itu dengankeranjang rumput yang bentuk dan isinya sama, tetapi tidakada isinya selain rumput belaka.
Untuk beberapa lamanya Dewi Maha Geni tegak ternganga. Dia memandang pada
keranjang rumput di hadapannya dengan rasa tidak percaya laluberpaling pada
Adikatwang.
”Nenek sakti, permainan apa yang hendakkausajikan didepan Rajamu?!”
menegur Adikatwang.
Paras Dewi Maha Geni menjadimerah. ”Dalam keranjang iniseharusnyaadadua kotakkayu itu...”
”Kotak kayu apa?” tanya Adikatwang.
”Kotak kayuberisi Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa!” sahut Dewi Maha Geni lalu menggigitbibirnya sendiri.
Adikatwang tampakterkejut. Tapihanya seketika. ”Saya lihat keranjang ituhanya berisirumput melulu! Atau mata Rajamu initelah buta?”
”Maafkan saya Sri Baginda. Sesuatutelah terjadi. Pemuda itutelah menipu saya.” Dewi Maha Geni nampak jengkelsekali.
”Pemuda siapamaksudmu?” Adikatwang mulaikehilangan kesabarannya. ”Pemuda bernama Wiro itu!”
”Lagi-lagidia!” sungutAdikatwang. ”Semua orang-orangkusepertimenjadi tolol di hadapan pemuda itu! Jika kauditipu dan pemuda ituberhasil membawalari Mahkota Narasinga danKeris Saktipalapa, lalu apa lagi yang kau tunggu? Cari pemuda itu! Bawa
kepalanya ke hadapanku dan yang lebih pentingdapatkan kedua benda pusakaKerajaan Singosari itu!”
Dewi Maha Geni merasa sangattersinggung dianggap orang tolol. Tanpa banyak
bicaralagidiaberpaling dantinggalkan tempat itu. Adikatwang tidak perdulikan lagisi
nenek. Dia melangkah kehalaman belakangdiikuti oleh semua yang adadi ruangan itu.
Halaman belakang Keraton Tumapel yang sebagian merupakan sebuahtaman luas
dijaga oleh hampirduaratus pengawalbersenjata lengkap. Di bagiantengah halaman
terdapat duabuah tiang kayu besar dandi ataskeduatiang ini melintangsebuahbalok. Di sebelah atas balokada seutastambang besar yang salah satu ujungnya dipegang oleh tiga
orang prajurit bertubuh tegap kekar. Ujung lain dari tambang inidihubungkan dengan
sebuahikat pinggang besi. Dan ikat pinggang besi ini dikatupkan ke dadaterus keketiak Raden Juwana yang saatitusudah dilepas totokannya tetapi berada dalam keadaanterikat kedua tangandan kakinya. Saat itudiahanya mengenakan sehelaicelanadalamsaja. Di punggung, dada, danwajahnyakelihatan bekas-bekas penganiayaan.
Di bawah tubuhRaden Juwana yang tergantung itusejarak duatombak dari ujung
kedua kakinya adasebuahkualiraksasaberisiminyak mendidih sementara di bawah
kuali api besar terus dipasang menyala. Sudah dapat dibayangkan malapetaka apa yang bakalmenimpapemuda ini. Semua inidilakukan atas perintah Adikatwang. Semua orang menduga-duga apa tujuanAdikatwang melakukan hal itu.
Melihat segala persiapantelah dilakukan orang, Adikatwang nampak puas. Dia
melangkah dan berhenti sekitarsepuluh langkah dari hadapan kuali besar diatas mana Raden Juwana tergantung.
”Juwana!” tiba-tibaAdikatwang berkatadengan suara lantang. ”Kau tahu bahaya apa yang bakal kau hadapisaat ini?”
Mulut Raden Juwana nampak bergetar. Terdengar suaranya menjawab. ”Manusia iblis! Siapa bilangaku takut mati!”
Adikatwang tertawa bergelak. ”Memang tidakada yang bilang kalaukautakut mati. Tapicobakau perhatikan minyak yang mendidihdi bawahmu. Sekali tubuhmu masukke dalam kuali kauakan menjadimatang garing! Ha...ha...ha!”
”Kau boleh melakukannyasekarang juga pengkhianat busuk!” teriak Raden Juwana tanpa rasa takut. Kedua matanyasepertidikobari api.
”Kau memang manusia hebat!” kata Adikatwang. Dia menjentikkan jari-jari
tangannya. Tiga orang lelakidi belakangtiang penggantungan mengulur tambang yang
mereka pegang. Tubuh Raden Juwana turun kebawah sampaiduajengkal. Hawa panas minyak mendidih yang adadibawah kakinya mulaiterasa.
”Juwana, aku akan mengajukan dua pertanyaan! Kalau kau mau menjawabdan
beriketerangan, nyawamu kuampuni!” kata Adikatwang. Raden Juwana diamsaja.
Kedua matanyadipejamkan.
”Pertanyaan pertama! Siapa yang membawa Mahkota Narasinga dan Keris Sakti Palapa. Dimanakedua barangpusakaKerajaan itudisembunyikan! Kau mau memberikan keterangan?!”
Sepasangmata Raden Juwana terbuka. Mulutnya jugaterbuka. Lalu dari mulut itu melesat ludah campur darah. ”Kau tanyalah pada setan-setandineraka!”
WalaupuntampangAdikatwang menjadimengelammerah namun sambil
menyeringaidiaberkata. ”Pertanyaankedua, dimana beradanya empat puteri Sang Prabu. Kau pastitahu! Nah,saatnya kau menjawabatautubuhmu akangaringdalam kuali itu!”
”Manusia terkutuk! Kau tak bakal mendapat jawaban apa-apa dariku!” teriak
Raden Juwana.
Adikatwang menjentikkan jari-jari tangankanannya. Tiga prajuritdi belakang
tianggantungankembali mengulur tali yang mereka pegang. Hawa panas semakin keras terasapadakedua kaki dantubuh bagian bawah Raden Juwana. Tapipemuda initetap tabah bahkannekad.
”Kau mau menjawabataumemilihmampus?” bentakAdikatwang.
”Aku memilihmampus!” jawab Raden Juwana tanpatedeng aling-aling.
”Bangsat tolol!” maki Adikatwang. Dia mengangkat tangan kirinya. Dua orang pengawal muncul membawaseekor kambing. Binatang inidilemparkankedalam kuali berminyak mendidih. Terdengar suara mendesis panjang mengerikan. Kambing itu
terdengarmengembik pendeklalu tubuhnyatelah berubah menjadigaring, mengambang di ataspermukaan minyak. Semua orang yang adaditempatitubergidik menyaksikan kejadian itu. Di tali penggantungan Raden Juwana tetap tenangwalausekujur tubuhnya kinikelihatankeringatanoleh hawa panas minyak mendidih.
”Bagaimana? Kau masih tetap menutup mulutdan memilih mati?” tanya
Adikatwang sementaradua pengawaltadimengeluarkankambing yang sudahmatang garing itudaridalam kuali.
Raden Juwana tak menjawab. Diam-diam diakerahkantenaga dan mengukur jarak antara dia dengan Adikatwang. Tiba-tibatubuh ituberayun keras. Kaki kanan Raden Juwana menyambar kearah kepala Adikatwang. Kalu tendangan itusempat menyambartidak dapattidak akan pecahlahkepala Adikatwang. Namun dengan
menunduk sambil mundur satu langkah Adikatwang berhassilmengelakkan serangan maut mendadakitu. Kedua matanya mendeliksaking marah. Dia berteriakkeras.
”Cemplungkan keparat itukedalam kuali!”
Mendengar perintah itu,ketiga orang di belakangtiang penggantungan langsung lepaskan pegangan merekapadatambang besar. Tubuh Raden Juwana melayang jatuh ke bawah. Beberapa orang yang tidaktahan menyaksikan apa yang bakalterjadi, termasuk para Pendeta Kerajaan, pejamkan mata masing-masing. Sebentar lagipastiterdengar
suara mendesirkeras begitutubuh Raden Juwana menyentuhminyak mendidih didalam kuali besar!
Namun suara mendesir itutidak terdengar. Justru saat itumeledak satu bentakan dahsyat yang menggetarkan halaman luas,disusul oleh suara berdesing.
”Orang-orang Kediri! Pemberontak busuk! Kekejiandandosakalian sedalam laut setinggi langit! Kalian rasakan pembalasanku!”
Di udarakelihatanduabuah benda putih melesat kearahAdikatwang. Lalu
laksanapetir menyambar, di tempatitusatusinar putih seperti perak berkilat. Panas yang sepertimembakartubuh menghampar! Suara pekikanterdengardimana-mana. Asap putih kemudian bergulung-gulung diseluruh halaman. Ketika asap itu pupus, kelihatanlah satu pemandangan yang mengerikan.
Sekitar duapuluh orang prajurit Kediri berkaparan tewas di halaman belakang Keraton Tumapelitu. Tubuh merekakelihatan hitamseperti gosong. Kuali besarberisi minyakmendidihhancur berantakandan minyaknya menyiprat kian kemari
menimbulkan luka parahpada hampirselusin prajurit dan seorang Perwira. Rerumputan dantanaman yang ada ditaman tampakhangus kehitaman. Bau daging manusia yang
seolah-olah dipanggang memenuhiudaraditempat itu, menegakkan bulu kuduk semua orang!
Adikatwang sendiri tampak tegak terhuyung-huyung sambil memgangi sebuah
benda yang menancap di bahunya. Jari-jari tangannya berlumuran darah. Benda itu adalahsebuah tusuk kundai terbuat dari perak. Apa yang telah terjadi?
Ketika tadi terdengar suara orang membentak diudara tampakberdesing duabuah
benda putih. Dua buah benda yang merupakan senjata terbang ini melesat kearah batang
leher Adikatwang. Dalam kejutnya Adikatwang memberikan reaksicepat. Sambil
miringkantubuh dia menghantam ke depan. Salah satu dari benda putih ituberhasil
dipukulnya sampai mental tapitangannya sendiri luka dan berlumurandarah. Benda
keduawalau sudahdielakkanternyatamasihsempat menancap di bahu kirinya! Dan
benda initernyata adalahsebuah tusuk kundai perak ini! Dalam dunia persilatan yang memilikitusuk kundai perak dan menjadikannya satu senjata mauthanyalah seorang
neneksakti dari Gunung Gede, guru dari Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro
Sablengyaitu Sinto Weni alias Sinto Gendeng, manusiaaneh yang dianggap Datuk dari segala Datuk tokoh-tokoh persilatan.
Adikatwang telah menyaksikan ketika tiga buah tusuk kundai yang sama
menancap ditubuh Panglima Argajaya yang membuatnya mati seketika. Tanpatunggu
lebih lama Adikatwang cepat cabut tusuk kundai perak yang menacap di bahunya, lalu
menotok jalandarahnyadibagian kiri tubuh. Saat itudia merasakanbagaimana rasa
panas yang mengerikanmerayapi hampir setiapbagiantubuhnya. Dari dalamsaku
pakaiannyacepat diamengeluarkansebutirobat pemusnah racun laluditelannya cepat- cepat. Sambil menelan obat diamemandang ke depan. Adikatwang masihsempat melihat
sosok tubuh Sinto Gendeng menyambartubuh Raden Juwana yang melayang jatuh ke bawah. Tali pengikat pinggangnya putus. Di lain kejapsinenektelahlenyap dari
pemandangan bersama Raden Juwana di atas dipanggulnya.
”Dia lagi...” desis Adikatwang. Lalu Raja pemberontakiniterkulaitaksadarkan diri. Dua orang prajurit dan seorang Pendeta cepat menolongnya.
***
Raden Juwana merasakannafasnyasepertiterbang dibawa larioleh nenek tak dikenalnya itu. Saat itu merekatelah berada jauhdi luar Kotaraja.
”Nek, kau mau bawa akukemana? Kau menolongjiwaku dari minyak mendidih itu. Katakan apa kau seorang sahabatatau seorang penculik?!”
”Tutup mulutmu anak sambel!” membentak Sinto Gendeng. ”Kalau akutidak berpihak padamu perlu apa aku menghabiskan waktu dantenaga mengurusi manusia macammu!”
Di satu tempat si nenek turunkantubuh Raden Juwana yang hanya mengenakan
sehelai kolor. Begitu menginjak tanah Raden Juwana langsung bersujud menghatur
sembah.
”Nek, akuberhutang nyawa padamu. Mohon kau sudi memberitahu nama...”
Mendengarkata-kata Raden Juwana itu,Eyang Sinto Gendengcemberut. ”Kau pergilah mencaripakaian yang pantas. Kalau sudahlekas menujuke arah Timur Laut dan
bergabung dengan pasukanmukembali. Aku menaruhfirasatempat puteri Sang Prabu
berada dalambahaya besar.”
”Terima kasih Nek, aku sangat berterimakasih. Sekali lagimohonkausudi memberitahu nama...”
”Sudah, berdirilahanak muda. Aku tidak pantas mendapat kehormatanseperti cara yang kau lakukan.”
Sekali lagi Raden Juwana menghatur sembah memberi penghormatan seraya
membungkuk dalam-dalam. Ketika dia bangkit kembali sinenek takada lagiditempat itu! Lalu dia sadarkeadaandirinya yang hanya mengenakan sehelaicelana kolor begitu rupa! Cepat-cepat Raden Juwana menyelinapdi antara semakbelukar. Dia harus segera
menyusul rombongan puteri-puteri Kerajaan yang sebelumnya telahditinggalkannya.
Hatinya mendadak saja merasa tidakenak. Jangan-jangan sesuatutelah terjadidengan
rombongan itu. Raden Juwanamemutuskan untuk mengambil jalan memintas agar dapa menyusul sebelum rombongan mencapaidesaTembang Sari dekat Kudadu. Namun dia harus mencarirumah penduduk lebih dahulu agar dapat memintasehelai pakaian.
***
Adikatwang dinaikkankeatas sebuahtandu. Namun sebelumkeburu diangkut dia
sudahkeburu siuman. Dia mintaditurunkandariatastandudanmelangkah sendiri
dengan sempoyongan menuju tanggabelakang Keraton. Sepertimerasakansesuatudia
hentikan langkahlalumemutardiri. Lama Adikatwang tegak tertegun. Sewaktudia
mendongakke atas,saat itulah diabaru menyadaribahwa langitdi sore itutelah
dibungkusoleh awan mendung yang sangattebal. Belum sempat Adikatwang kembali
meneruskan langkahnya memasuki Keraton tiba-tibaturunlah hujan sangat besar. Tapi
hanya sebentar. Begitu hujan berhenti langit tampakkembalicerah. Adikatwang terheran-
heran menyaksikan perubahan cuaca yang serbacepat ini. Ketika diaberpaling kearah Utara keduamatanya membesar dan hatinyatercekat. Di langit dikejauhan sana dia
melihat pelangi terpampang membelintang dari Barat ke Timur.
”Apa artinya ini...?” desis Adikatwang. Karena lukadi bahunya mendenyut, dia kembalimemutartubuh. Dua orang pembantu menolong memapahnya menaikitangga
Keraton.
***
BAB XI
Di kawasandi mana pasukan pemberontakpimpinan Gandita berada sore itu sama sekalitidak turun hujan. Cuaca terang benderang. Namun semua orang melihat keanehan yang tampak di langit sebelah Utara. Sebuah pelangimembentangdi langit.
“Aneh,” kata seorang Prajurit Kepala. “Tak ava hujan mengapa adapelangi?
Mungkin inisuatupertandaburuk?” diaberpaling pada kawannya. ”Haruskah halinikita beri tahu pada pimpinan pasukan?”
Kawannya menjawab dengangelengan kepala. ”Kurasa tidakusahsaja. Pemuda itusedangdilandanafsu. Dia sibukmemerintah agar kemahnya selesaisebelum malam tiba. Aku tidak menyangka perang akansekejam ini. Dia sama sekalitidak menaruh rasa hormat kepada puteri Sri Baginda. Malah hendak....”
Prajurit Kepala memberitanda agar kawannyatidak meneruskan ucapannya.
Keduanya meningglkan tempat itu, bergabung dengan kawan-kawannya yang lain yang jugasudahmelihat adanyapelangi di langit Utara.
Ketika langit di Barat mulai tampakmeraht anda sang surya akan segera
tenggelam, Pendekar 212 Wiro Sableng yang memanggul keranjang rumput berisidua buah benda pusaka Keraton Singosari yang sangat berharga sampai di puncak bukit.
Menurut penjelasan yang pernah diterimanya rombongan puteri-puteri Kerajaan akan melewati jalan kecil di bawah sana. Wiro memandang kebawah. Dia melihat
serombongan pasukan di kaki bukit. Ada empat buahkereta dekat tikungan jalan. Lalu tersiraplahdarah murid Sinto Gendeng ini. Dia melihat puluhan manusia berkaparan di bawah sana. Diperhatikannya lagi dengan seksama. Pasukan yang berada di tempat itu berseragambalatentara Kediri dan Madura, bukan seragam Singosari.
Wiro menggarukkepalanya. ”Jangan-jangan...” Dia tidak beranimeneruskan kata hatinya. Wiro memandang berkeliling. Tak jauhdi sebelahkanannya dilihatnya
serumpunan semakbelukarlebat. Wiro keluarkanduabuah kotakkayu daridalam
keranjang rumput. Dia menggalisebuahlobang dangkaldi kaki semakbelukarlalu
memasukkan kedua kotakberisi benda pusaka Keraton Singosari itukedalam lobang dan menimbunnyakembali. Tepat padasaat matahari tenggelamdan keadaan mulaigelap
Pendekar 212 sampaidi kaki bukit. Kini diabisamelihat lebih jelas, siapaadanya
kelompok besar pasukan yang berkemahdi tempat itudan pihak mana pula yang telah menjadikorbantewas berkaparan di mana-mana.
Dari balik semak-semak Wiro perhatikanempat buahkeretadi depannya. Jelas itu adalahkeretamilik Keraton Singosari. Keempat kereta itudalam keadaan kosong.
Dimana keempat puteri Sri Baginda? Wiro menyelinap mendekati. Tubuhnya bergetar
ketika tiba-tibamatanyamelihat sosok orang tua katai terkulaitak bernyawa pada salah satu rodakereta. Sekujur tubuh dan mukanyapenuh luka mengerikan. Wiro melompat ke hadapan mayat yang dikenalinya itu. ”Damar...” dia menyebut orang tua katai itu dengan suara tegang.
”Hai! Siapakau?!” satu suara tiba-tiba membentak di belakang Pendekar 212 Wiro Sableng. Bersamaan dengan ituterdengar suara gesekan senjatadicabut. Lalu sebilah golok menempel dilehernya!
Perlahan-lahan Wiro palingkan kepala. Di hadapannya berdiri seorang prajurit Madura bertubuh tinggi besar dan berkumis melintang.
”Kau pasti orang Singosari!” prajurit Madura itukembali membentak. Tangannya bergeraksiapuntuk menusukkangolok.
Murid Sinto Gendeng menyeringai. ”Tahan,sabar dulu! Masakan kaulupasiapa aku?!”
”Sialan! Lekas katakan siapadirimusebelumgolokini menembus lehermu!”
”Ah, kau benar-benar sudahlupasiapadiriku. Bukankah aku malaikat maut yang datanghendakmengambil nyawamu?!”
”Setan alas...”
Makian prajurit Madura ituhanyasampaidisitu. Wiro membuat gerakancepat. Kaki kanannya menedang tulang kering orang lalubersamaandengan itudia menarik
tangankanan lawan. Dalam keadaan kesakitanprajurit itu terbetotke depan. Bersamaan dengan itu tangankanan Wiro kembaliberkelebat.Bukk! prajurit itu langsung
terjengkang dengan mukaremuk akibat jotosan mengandung tenagadalam yang dihantamkan Wiro ke hidungnya. Dengancepat Wiro menyelinap meninggalkan tempat
itu. Dia harus segera mengetahui dimanaadanya keempat puteri Sang Prabu. Yang paling dicemaskannya adalahkesalamatan puteri bungsu yaitu Gayatri. Di samping itudia juga menduga-dugadimana Raden Juwana yang seharusnya berada bersamarombongan
puteri-puteri Kerajaan.
Menyadarikalaudiatidakbisa bergerakleluasadalampakaianseperti itu, Wiro mendekati seorang prajurit yang tengah berjaga-jagasambil menghisapsebatangrokok kawung. Wiro sengajaberdiridi balik sebatang pohon,hanya memperlihatkan sebagian tubuhnya lalu ”Ssstt...!” Dia mengeluarkan suara mendesis dari mulutnya.
Prajurit yang sedang merokok berpaling. Dia melihat ada seorang pemuda
gondrong tak dikenal tersenyum padanya serta melambaikan tangan memanggilnya dari balik pohon. Orang ini buangrokok kawungnya ke tanah, meraba golok di pinggangnya lalu melangkah cepat kearah pohon.
”Siapakau?!” siprajurit membentak. Dari balik pohon sepasang tangan yang
kokoh tiba-tiba berkelebat mencekiklehernya. Dia berusaha mencabut senjatanya. Tapi tubuhnya keburu terangkat ke atas dan lehernyaberderakpatah. Wiro seret prajurit inike balik pohon, menanggalkan pakaiannya lalumemakainyatanpa membuka pakaiannya
sendiri. Dengan mengenakan pakaian seragam prajurit Madura itu Pendekar 212 Wiro Sableng bisamenyelinapke setiappelosok perkemahan tanpadicurigai.
Dalam kegelapan,jauhdi sebelah kiri Wiromelihatsebuahkemah. Dia segera
bergerakke arah kemah ini. Sejarak tiga tombak darikemah tiba-tibaadadua orang pengawal mendatangi.
”Kawan, kau hendakkemana?”
”Ah, kalian,,,” kata Wiro seraya senyum. ”Ada sesuatuhalpenting hendak kusampaikan pada orang didalam kemah.”
”Kau tahu Gandita pemimpinkitatengah beristirahat. Apakauberani mati hendak mengganggunya?”
”Ini menyangkut puteri-puteri sang Prabu,” kata Wiro pula mengada-ada. Justru ucapannya itumemancing jawaban yang mengejutkan.
”Semua puteri itu sudahada yang mengurus. Salah satu diantaranya malahsudah ada didalam kemah sana bersama Gandita.” pengawal yang bicarakeluarkan suara
tertawa pendek.
Wiro ikut-ikutantertawa. Tapidalam hati dia menyumpah. ”Wah, pasti Gandita memilih puteri yang paling cantik. Siapakira-kira yang beruntung dipaksa
melayaninya?”
”Yang paling muda dan yang paling cantik tentunya!” jawab pengawalsatulagi.
Gayatri! Wiro berteriak dalam hati. Saat itu ingindia segera melompat kearah
kemah. Tapi diamasih bisamenguasaidiri. Pura-pura bersungut dia berkata, ”Enak juga jadi pemimpin. Bisa bersenang-senang. Sedang kita berjaga-jagadi luar. Kedinginan dan disantap nyamuk hutan!” Lalu Wiro memutartubuhnya sepertihendak pergi. Tapitiba- tiba sekali keduatangannya bergerak. Empat ujung jari bekerja. Kedua pengawal itu
langsung roboh dalam keadaan kaku tertotok! Pendekar 212 Wiro Sablengcepat bergerak menujukemah. Dia berhentisesaat ketikadaridalam kemahdidengarnya suara
perempuan membentak.
”Manusia iblis! Kau akan mendapat hukuman setimpal atas perbuatan kejimu ini!”
Wiro kenal betul. Itu adalah suara Gayatri. Pendekar ini menggeram dancabut
Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya. Senjata mustika sakti itu tampakberkilau
meskipundalam kegelapan malam.
”Gayatri...” terdengar suara lelaki.
Bangsat! Itu suara Ganditasikeparat! Wiro memakidalam hati. Apa yang
hendak dilakukannya?! Kalau diasampai berani berbuat kurangajarakubersumpah memenggal kepalanya!
”Gayatri, kau tahu akusejak lama menyukaimu. Kau seharusnya merasa beruntung dan berterimakasih karena akumasih mau menyelamatkanmu. Menurut perintah kau dan semua saudaramu harusdibunuhhabis.”
”Aku lebihsuka kau bunuh daripada kau jadikan mangsa nafsu bejatmu!” Gandita terdengarketawa, ”Dengar, jika kau mau berjanji kujadikan istri, keselamatanmu akan kujamin. Tapi jika kau menolakkautahusendiri akibatnya.”
”Cis! Siapasudi menjadi istrimu! Pemberontak busuk! Kau berkacalahlebih
dahulu!” Panas hati Gandita mendengarkata-kataitubukankepalang. Mukanya merah membesi. Dia bergerakmendekatitubuh Gayatri yang terbaring di atassehelaitikar.
Tangannya bergerak. Terdengar suara pakaian robekdisusul oleh suara jeritan Gayatri.
Wiro merasakantubuhnya bergetar. Gagang Kapak Maut Naga Geni 212
dipegangnya erat-erat. Ketika diasiap menerobos kemah tiba-tibadiamendengar suara aneh. Ada suara perempuan menangis keras. Dan itubukanlah suara tangisan Raden Ayu
Gayatri!
***
BAB XII
Di dalam kemah Gandita terkesiapkaget. Dia memandang kearah kemah sebelah kanan dariarah mana, di luar sana terdengar suara orang menangis.
Cepat-cepat Gandita mengenakan pakaiannyakembali. Lalu dia membentak. ”Siapadi luarsana?”
Suara tangis di luarkemah semakinkeras. Tampang Gandita berubah. Dia coba
berpikir dengan cepat. Mungkinkahdia? Tapi apaperlunya diaberadadisini? Aku harus
menemuidan mengusirnya. Bangsat tua itu mengganggu saja!
Gandita membuka tali pengikat belahankemahlalu melangkah keluar. Apa yang
diduganya memang benar. Di dekat kemah, duduk menjelepok tanah tampak duduk
seorang kakek berkulit hitamsekali. Dia duduk sambil menangis keras. Belasan pengawal berdatangan tapi segera disuruhpergioleh Gandita.
”Dewa Sediha! Apa yang kau lakukandisini?!” bertanya Gandita dengan suara keras.
Orang tuasakti yang merupakan kakak dari Dewa Ketawa sesaat memandang pada Gandita lalu mengusap keduamatanya. Perlahan-lahandia berdiridanmemandang sayu kearah Gandita.
”Aku bersedia membantu kalian orang-orang Kediri dan orang-orang Madura
merebut tahta Kerajaan. Membunuh soal biasa bagiku. Tapi merusak kehormatan seorang gadis, melakukan perkosaan sangat bertentangandenganjiwaku! Aku bersumpah untuk tidakmembantulagi manusia-manusia macammu! Kau akan mempertanggungjawabkan
perbuatan kotormudi hadapan para Dewa!” habis berkata begitu Dewa Sedihkembali
menggerung dan melangkah pergi.
”Dewa Sedih! Tunggu dulu! Jangan salah sangka....!” berseru Gandita. Tapisi
kakek sudahtidakkelihatan lagiditempat itu. Sesaat Gandita tegak tertegun. Tapibila
dia kemudianingat padatubuh Gayatri yang setengah telanjang didalam kemah maka dia tidak perdulikanlagi kakeksakti itu. Gandita menyibakkankain penutup kemah dan
masukke dalam. Dua langkah masukke dalam kemah pemuda initerbelalak besar dan tegak laksanadipakuke tanah!
Di hadapannya berdiri Pendekar 212 bertelanjang dada. Di tangankanannya ada sebuah senjata yang terasaaneh dimata Gandita yaknisebuahkapak bermata dua yang memancarkan sinarangker menyilaukan. Pandangan matapemuda itu membersitkan
maut. Di belakangnyaberdiri Raden Ayu Gayatri, mengenakansehelaibaju putih. Pasti itu adalahpakaian Wiro yang dikenakannyauntuk menutupi bajunya yang robek-robek. Di lantaikemahadasehelai baju seragam prajurit Kediri. Wiro sendiri dilihatnya
mengenakancelana pasukan Kediri
”Gandita! Dulu kaumasihlayak dihargaisebagai seorang musuh yang pantas untuk dilawan. Tapisaat inikautaklebih dari seekoranjing buduk pembawapenyakit kotor yang harusdibikin mampus!”
Pelipis dan rahang Gandita menggembung. Dia menyeringai. ”Keberanianmu masukke sarang harimaupatutdipuji. Apakahkau sanggup menembus kepungan tiga ratus prajurit? Kau datang menghantar nyawa pemuda tolol!”
Wiro menyeringai. ”Umurmu tidak lama lagi! Keluarkan semua makiandalam perutmu!”
Sebelumnya Gandita sudah duakaliberhadapan dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Kali terakhirdi Lembah Bulan Sabit, dia dibuat muntah darah, menahansakit dan malusertadendambukankepalang. Saat itu rasa dendamsepertimembakar dirinya. Tapidia menyadaribahwa Wiro bukan lawannya. Maka diacepat mengeluarkan suitan keras duakaliberturut-turut. Saat itu jugadi luar sana terdengar langkah bervatangan
banyaksekali. Gandita menarik sehelaitali sebagian kemah tersibak lebar sehingga kini Wiro dapat melihat bagaimanasekitar seratus prajurit telah mengurung tempat itu.
Paras Gayatri tampak ketakutan. Sebaliknya murid Eyang Sinto Gendeng tenag- tenagsaja. Kalaupundiamati di tempat itudia akan merasa bahagia bisa mati bersama-
sama Gayatri.
“Kurangbanyak Gandita! Panggillagi yang lainnya! Aku tahuadatigaratus prajuritdi tempat ini. Yang muncul baruseratusan!”
”Manusia sombong takabur!” rutuk Gandita. Dia memberi isyarat pada pasukannya. Belasan prajurit melompat kearah Wiro dan Gayatri.
”Wiro...” terdengar suara Gayatriketakutan.
”Kalian mau mampus? Majulah lebih dekat!” kata Wiro pula. Tangan kirinya
diangkat ke atas. Semua orang melihat tangan itu mulaidarisiku sampaikeujung jari
berubah menjadi putih seperti perak. Sementara itu duamatakapak yang di tangan kanan mengeluarkan cahayalebih menyilaukan.
”Kalian mengapa diam saja?! Bunuh kedua orang itu!” teriak Gandita.
Puluhan prajurit kembali bergerak. Kali ini Wiro tidak ragu-ragu lagi. Tangan
kirinya dihantamkan. Terdengar suara menggelegar. Satu cahaya laksana kilat
menyambar berkiblat ditempat itu. Hanya luarbiasa panas laksana matahari berada di
atas kepala! Belasan prajurit Kediri dan Madura berpekikan laluberkaparanditanah.
Semuanya tewas mengerikandengan tubuh menghitam hangus. Belasan lainnya
bergelimpanganterkena sambaran hawa panas, menderitaluka bakar tapimasihuntung tidaksampai meregang nyawa. Yang lain-lainnya sertamertamelompat mundur dengan mukapucat. Ganditajelas tampakkecut. Nyalinyasudahleleh.
Wiro sendiri saat itumerasakan dadanya berdenyut sakit. Seingatnya barusekali itudiamelepaskan pukulan sinarmatahari dengan tenagadalam penuh.
”Serang! Bunuh mereka!” teriak Gandita.
Tapiratusan prajurit yang adaditempat itusudah putus nyalimasing-masing. Bukannya menyerang mereka malahmundur menjauh. Gandita menjadisalah kaprah. Hendak melawan pastidiatidak mampu. Untuk kabur melarikan diri diamasih punya
rasa malu. Ketika Wiro melangkah mendekatinya pemuda ini menjadinekad. Dia
menyambarsebilahpedang yang dipegang oleh seorang prajurit. Dengan senjata inidi
tangandia menyongsong gerakan Wiro. Pedangdibacokkan. Kapak Maut Naga Geni 212 berkelebat. Sepertimemotong sebatangranting, pedangditangan Gandita dibabat putus. Gandita sendiri merasakan tangannyabergetarkeras dan panas. Patahan pedang yang
masihadadalam genggamannya dilemparkannya kearah Wiro laludisusulpukulan tangan kosong yang ganas.
Wiro cepat menghindarketika adaduagelombangangin menderukearahnya.
Kesempatan inidipergunakan Gandita untuk mengambilsebilahkeris yang tergantungdi tiang kemah. Tapidia tak pernah sempat menyentuh senjata mustikapemberian gurunya itu. Dari samping Kapak Maut Naga Geni 212 berkelebat ganas mengeluarkanderu
angker disertaisambaran sinar panas menyilaukan.
Puluhan mulut berserutercekam. Puluhan pasang mata terbeliakketika
menyaksikanbagaimanakepala Gandita menggelinding di lantaikemah. Tempat itukini diselimutikesunyiansepertidi pekuburan. Ketegangan menggantung. Tak ada yang
bergerak, takada yang bicara. Gayatrisendirisampai beberapa lamanya menutup matanya dengankedua telapak tangan.
”Kalian lihatsendiri apa yang bisaakulakukan! Kalian bisabernasibseperti manusia keji itu jika kalian memang menginginkan! Majulah siapa yang mau!”
semua mata memandang kearah Wiro. Tak ada yang bergerak, apa lagimaju
menyambut tantangan yang diucapkan Pendekar 212. Merasa diatelah dapat
mempengaruhi orang-orang itu Wiro lantas berkata, ”Aku tahu kalian adalah prajurit-
prajurit gagah berhatipolos. Aku tahu tiga orang puteri RajaSingosari yang terbunuhada di tempat ini. Aku meminta bantuan kalian. Lepaskan ketiga puteri itudan masukkan ke dalamkeretadi sebelah sana!”
Para prajurit itu tampaksaling berpandangansesaat. Lalusekelompok demi
sekelompok mereka bergerakke satu tempat. Tak lamakemudian kelihatan mereka
mengiringitigakakak perempuan Gayatridalam keadaanselamattidak kurangsuatu apa. Gayatri lari menyongsong. Keempat puteri itumendiang Sang Prabu itusaling
berangkulandan bertangisan.
Khawatirpasukanmusuhitu akan berubah pikiran Wiroberbisik pada Gayatri agar membawakakak-kakaknyanaikkesebuahkeretalaludiasendiri melompat ke
bagiandepankereta, bertindak sebagaisais. Wiro memandang padaprajurit-prajurit itu.
”Kalian bebaspergike Tumapel. Kalian telah menang karenaberhasil
meruntuhkantahtaSingosari. Tapiingat, pengkhianatandan pemberontakan yang kalian lakukan itukelakakan mendapat balasan yang sama pahitnyamalah mungkin lebih pahit dikemudian hari...”
Tidak seorangpun dari puluhanprajurit Kediri dan Madura itu yang bergerak dari tempatnya. Banyak yang menundukkan kepala.
”Mengapakaliantidak pergi?” tanya Wiro. Dia mulai was-was dan tangan kanannya didekatkan ke pinggang dimana terselip Kapak Maut Naga Geni 212.
Seorang prajurit yang sudahagaklanjutusiatiba-tiba melangkah maju. Dia menjura laluberkata. ”Raden...”
Wiro hampir tertawa bergelakmendengardirinya dipanggil dengansebutan Raden! ”Ada apa...?”
”Kami semua disinimemutuskan untukikut bersama Raden saja. Mengabdikan diripada empat puteri mendiang Sang Prabu.”
”Apa?! Apa akutidak salah dengar?” tanya Wiro.
”Tidak, Raden tidak salah dengar...”
”Kalian cobahendakmenipulalunanti di tengah jalan membokong?!”
”Sayatidakmenipu. Saya mewakilikawan-kawan berkata jujur...”
Murid Eyang Sinto Gendenggaruk-garukkepalanya. Dia berpaling ke belakang
dan membuka jendelakereta. ”Semua Raden Ayu yang ada didalam tentusudah
mendengarkata-kata prajurit itu. Harap para Raden Ayu memberikan jawaban.”
Sesaat kemudian muncul kepala Raden Ayu Gayatridijendelakereta. ”Saya percaya mereka semua prajurit-prajurit gagah yang jujurdan tahu artinyakebenaran. Saya dankakak-kakak saya menyetujui merekaikut bersamakita.”
Mendengar ucapan Raden Ayu Gayatri itu, ratusan prajurit Kediri dan Madura mengangkat tangandan bertempik sorak.
Seorang penunggang kudamuncul dalam kegelapan. Dia langsung menujukereta diatas mana Wiro dan empat puteri Singosariberada. ”Apa yang terjadidisini?!” tanya penunggang kuda itu.
Semua orang berpaling. ”Astaga!” seru Wiro. ”Raden Juwana, kau rupanya. Kami semua sudah kebingungan memikirkan apa yang terjadidengandirimu! Hai, kau
memakai pakaian kecil kesempitan. Dari mana kau mencurinya? Kau yang harus mengatakan apa yang terjadidengandirimu!”
Si penunggang kuda yang memang adalah Raden Juwana adanya memandang berkeliling. Dia jelas melihat bahwapasukan yang adaditempat itu adalah prajurit- prajurit Kediri dan Madura. Parasnya berubah.
Wiro cepat berkata. ”Raden tidakusahkhawatir. Mereka adalah prajurit-prajurit kita!”
”Dan Raden mulaisaatiniadalah pimpinan kami!” prajurit tua yang tadi bicara keluarkan seruan. Yang lain-lainnya mengangkat tangan. Kembali di malam hari itu
terdengarpekik sorak gegap gempita.
”Dewa Maha Besar...” kata Raden Juwana. Kedua matanyaberkaca-kaca karena gembira. Terlebih ketika dilihatnya empat puteri mendiang Sang Prabu semua beradavi ataskeretadalam keadaan selamat.
Wiro ingatpadaduabuah kotakkayu yang disembunyikannya vi puncak bukit. Dia melompat turundariataskereta. ”Raden, kau lebihahli menjadi kusir para puteri ini. Aku pinjam kudamusebentar...”
”Eh, kau hendakkemanasahabat?”
Wiro membisikkansesuatuketelinga Raden Juwana. Wajah pemuda itunampak berseri-seri. ”Kau luarbiasa. Benar-benar luarbiasa. Pergilah, tetap hati-hati. Susul kami secepatnya...”
Wiro mengacungkanibu jari tangankanannyalalumelompat keataskuda yang diberikan Raden Juwana padanya.
***
BAB XIII
Runtuhnya Kerajaan Singosari memang tidak dapat dihindarilagi. Sang Prabu
tewas diRuangan Pemanjatan Doa. Keraton Singosari musnah. Putera-putera terbaik
Kerajaanseperti Patih Raganatha, Pendeta Mayana,Damar, dansi pengkhianat Argajaya ikut menjadikorban. Belum terhitung para Perwira dan ratusanprajurit. Semua menemui ajal karena ketamakanakan kekuasaan yang berpangkalpadadendam kesumat.
Adikatwang kembalike Gelang-Gelang membawakemenangang. Puluhan hartapusaka dankekayaan Singosaridibawanyake Kediri. Dalam perjalanandaridaerah pertempuran menuju Kediri dia sempat menderita demam panas akibat tusuk kundai perak beracun
milik Sinto Gendeng. Untung nyawanya masihbisadiselamatkankarenadia cepat menelan obat penangkal racun. Di samping itu seorang tabibdari Banten telah pula memberikanobat mujarab padanyahingga nyawanya tertolong.
Kini Singosari yang porakporanda itu berada dibawah kekuasaan Adikatwang
yang mengangkat dirinya menjadi Raja diRaja Kediri-Singosari. Walau tanpatandasyah yaituadanya Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa. Gelang-gelangdijadikan pusat Kerajaan, Kotaraja baru. Dalam kemelut berdarahitu Raden Juwana bersama empat
puteri Sang Prabu dan Pendekar 212 Wiro Sableng berhasil menyelinap meninggalkan
Singosari menujuke Utara. Mereka bergerak mengikuti peta yang diberikan oleh
mendiang Pendeta Mayana. Dalam perjalanan menuju desaTembang Sari di Kudadu
beberapa kali rombongan itu dicegatdandiserangoleh kelompok-kelompok pasukan
gabungan Kediri-Madura. Namun Raden Juwana berhasil mematahkan semua serangan dibantu oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Kesetiaan prajurit-prajurit Kediri-Madura yang
ikut bersama Raden Juwana patut dipuji. Mereka berjuang mati-matian menyelamatkan
rombongan penting itu, terutama menjaga keselamatan empat puteri mendiang Sang
Prabu. Menjelang mencapai Kudadu, Dewa Ketawa muncul dan bergabung dengan rombongan ini.
Beberapa tokoh penting yang diketahui berpihak padaAdikatwanglenyap secara misterius. Mereka antara lainadalahnenek bermataapi Dewi Maha Geni. Lalu Adipati Wira Seta dan yang ketiga kakek saktibergelar Dewa Sedih.
SepertidituturkanDewi Maha Geni meninggalkan Keraton Singosarikarena sakit
hati dimaki tolololeh Adikatwang di hadapan orang banyak. Nenek saktiinikemudian
bergabung dengan rombonganAdipati Wira Seta yang dalam perjalananke Madura,
kembalike Sumenep. Wira Seta termasuk salah seorang yang meninggalkan Adikatwang
karena dikecewakan mentah-mentah. Sebelumnya sudahada perjanjian bilaSingosari
jatuh maka dalam Kerajaan baru yang akan segera didirikan Wira Seta akandiangkat sebagai Patih. Namun setelah mencapaikemenanganAdikatwang berubah pikiran. Dia mengangkatadik kandungnya sendiri Rana Trijaya sebagai Patih.
Orang ketiga yang tadinyamembantu Adikatwang kemudian melenyapkandiri
begitusaja adalah Dewa Sedih. Orang tuaberkulit hitam yang aneh ini berbalik
membenci orang-orang Adikatwang ketika diamemergoki Gandita yang hendakmerusak kehormatan puteri bungsu sang Prabu. Bagaimanapun mungkinjahathatinya, namun
Dewa Sedih sangat bencipada kekejianseperti itu. Dia mendengarkalau Dewi Maha Geni bergabung dengan Wira Seta menuju Madura. Dewa Sedih memilihjalannya
sendiri, melenyapkandiridalamrimbabelantara dunia persilatan..
Ketika sampai dipedatarandimana Kali Brantas bercabang dua, rombongan
sempat berhentidantercengang melihatpemandangananehdi langit di atas mereka. Ada pelangi membentang jelas dengan segalakeindahannya.
Dewa Ketawa mendongaksambiltertawa mengekeh. Wirogaruk-garukkepala sedang Raden Juwana memandang tak berkesip.
”Aneh,” kata Raden Juwana. ”Tak ada hujan, bagaimana mungkinadapelangi membentangdi langit?”
Wiro lantas sajaingat pava ramalan Kakek Segala Tahu. Dia menoleh pada Dewa
Ketawa yang jugaikut mendengarkan ramalan itu. Keduanya saling pandang sesaat.
Dewa Ketawa kemudian mengekeh panjang.
Di desa Tembang Sari rombonganmembuka sebuahlahandi pinggirandesa, dekat
sebuahhutankecil dimanamengalirsebuahanak sungai. Di sini merekamendirikan
pondok-pondokkayu untuk tempat bermukim sementara.
Pada hariketiga ratus Raden Juwana dan orang-orangnya bermukimdisana, Pendekar 212 Wiro Sablengyang selamaini menghilang sampai tigabulantiba-tiba muncul membawakabar besar.
”Belasan perahu besarberisipasukan Cina mendarat di Tuban!” katanyapada
Raden Juwana.
”Sulit saya percaya hal ini. Apamaksudkedatangan mereka?”
”Saya coba menyirap kabar,” jawab Wiro. ”Pasukan Cina itu adalahpasukan Raja
Kubilai Khan. Ada tiga orang Perwira Tinggi bertindak sebagai pemimpin. Kalau saya
tidak salah sebut....” Wiro garuk-garukkepalasebentar. ”Mereka masing-masing
bernama Shih Pie, Ike Mishe, dan Kau Sing. Kabarnya merekadatang untuk menghukum sang Prabu. Tapi merekatidak tahu kalau sang Prabu sudah tiada...”
Sepasangmata Raden Juwana tampakmembesar. Demikian juga keempat puteri mendiang sang Prabu. Gayatritiba-tiba membuka mulut.
”Saya tahu mengapa merekadatang dengan maksudseperti itu. Ingat peristiwa
beberapatahun laluketikautusan Kubilai Khan bernamaMeng Chi datang keSingosari membawa perintah agar Singosaritunduk padaKerajaan Cina? Ingat apa yang terjadisaat itu?”
”Saya ingat,” sahut Raden Juwana. ”Sang Prabu menyuruh potonghidungutusan bernamaMeng Chi itu. Ini satupenghinaan luarbiasa. Tidak salah kalau Kubilai Khan menjadimarah.”
”Kini ribuan pasukan Cina mendarat di Tuban, tanpatahu kalau Sang Prabu sudah tidakada lagi,” ikut bicara Wiro. Tiba-tiba murid Sinto Gendeng inimemandang melotot pada Raden Juwana.
”Sahabat, ada apa kaumemandangkusepertimelihat setan?”
”Saya...saya punya satu rencana. Bagaimanakalau...” lalu Wiro tertawagelak- gelak.
Saat itupulaterdengar suara tertawa mengekeh. Sesosok tubuhgendut luarbiasa muncul dari balik pohon besar menunggang seekor kudakecil.
”Dewa Ketawa!” seru semua orang lalumereka lari menyambut dan mengelilingi kakekgemukitu.
Dewa Ketawa berpaling pada Wiro. ”Sekilastadiakusudahsempat mendengar
pembicaraan kalian. Dan aku.... Ha..ha..ha..! Aku tahu apa yang adadalambenakmu
Kampret Gondrong!”
Sialan! Dia masihingat sajamakian itu! Wiro mengomeldalam hati.
”Bukankah kau ingin menjalankan siasat meminjam nyawa untuk membunuh
nyawa?! Ha..ha..ha..! Tampangmutolol, wajahmu sepertikampret! Tapisiapa menyangkaotakmu boleh juga!”
”Dewa Ketawa,apakah yang tengah kau bicarakan ini?” tanya Gayatri.
”Tanyakan saja pada dia. Dia yang punya otak. Aku hanya menerkadan kebetulan sangkaanku initidakmeleset! Ha..ha..ha..!”
Gayatrimemandang pada Wiro. Pandangannya inidi sampingingin tahu apa yang
adadalam kepala sang pendekar juga menunjukkan rasa rindukarena sekianlamatidak
bertemu dengan pemuda yang diam-diam disukainyaitudan kepadasiapa diabanyak berhutang budi bahkan nyawa.
Cara memandang Gayatri ini membuatRaden Juwana merasa tidakenak. Maka diapuncepat berkata.
”Agar semuajelas dan semua orang tahu sebaiknya sahabat Wiromenerangkan sajakalau memang punya rencana atausesuatu.”
Wiro menggarukkepalanya dulubaruberkata. ”Sayatidakberani mengatakan
kalau ini adalah rencana saya. Terus terang sebenarnya apa yang akan saya sampaikan
adalahbersumber dari jalan pikiran Raden Juwana. Suatu malam kami mengobrol, Raden Juwana sekali mengatakan. Kalau saja adasatukekuatan besar yangbisa kita pergunakan
untuk menyerbu Gelang-Gelang, menghancurkan kekuasaan Adikatwang yang tidak
syah.”
Raden Juwana terdiammendengar ucapan Wiro itu. Mungkin memang diapernah menyampaikanpendapatsepertiitu namun tidakingatlagi kapandandimana.
”Kalau hal itumemang bisadilaksanakan mengapa tidak dicoba?” Gayatri membuka mulut.
”Saya akan menemuipemimpin pasukan Cina yang baru datang itu!” kata Raden Juwana pula.
”Tidak,” kata Wiro. ”Raden tetapdisini mengatur segalasesuatunya. Saya yang akan berangkat ke Tuban menemuitiga orang Perwira Kubilai Khan itu.”
”Sayaikut bersamamu,” kata Gayatri pula.
Raden Juwana tampaktidak senang mendengar ucapan Gayatri itusebaliknya
Wiro tersenyum dan dengan lembut berkata. ”Saya hargaikeberanian Raden Ayu
Gayatri. Tapi ini adalah urusan laki-laki. Biar saya sendiri yang akan pergi.”
”Ya, biardia saja yang pergi,” kata Dewa Ketawa lalutertawa gelak-gelak. ”Tuban cukup jauh. Aku akan pinjamkan keledaikupadamu! Ha..ha..ha..!”
***
Pagi itudi langit kembalikelihatan pelangi yang membuat semua orang di
pemukimandi pinggirandesaTembang Sari itusemakin merasa aneh. Selagimereka
dicengkeram perasaan itutiba-tibaterdengar suara kaleng berkerontangan. Lalu muncul seorang kakek bercaping, berpakaian penuhtambalan seperti pengemis. Di tangan kirinya adasebatang tongkat sedang tangankanannya memegang sebuahkaleng rombeng berisi batu. Setiapsaatkaleng inidigoyang-goyangkannya hinggamengeluarkan suara berisik memekakkantelinga.
”Pengemis dari mana pagi-pagikesasarkesini?” ujar Raden Juwana. ”Beri dia makanan lalusuruh pergi. Suara kalengnya menusuk gendang-gendang telinga!”
Raden Ayu Gayatrimuncul dari balik pondok. Begitu dia melihat kakek
bercaping itusertamertadiaberseru. “Kakek! Bukankah kau Kakek Segala Tahu?! Sahabat pemudabernama Wiro itu?”
Orang bercaping memutartubuhnya kearah Gayatri yang mendatangi sementara Raden Juwanajadi terheran-heran.
“AH, syukur kau masih mengenalitua bangkaburuk dan buta ini! Aku ingatsiapa
kauadanya. Puteri bungsu mendiang sang Prabu yang biasadipanggil Raden Ayu Gayatri. Benar?!”
”Benar,” sahut Gayatri. ”Saya senang Kakek masihingat saya.”
”Mana sahabatku si Wiro Gendeng itu?”
”Dia tengahmembawapasukan besardari Cina menujukemari,” jawab Gayatri.
Kakek Segala Tahu mendongakke langit. ”Pagi yang segar...” ucapnya perlahan. ”Katakan,apakahadapelangi terpampangdi langit?”
”Betul Kek, memang adapelangi di langit,” menjelaskan Gayatri.
”Pelangi itumembentang diataskawasan hutan maja yang luasdisebelah
Timur?”
”Saya tahu memang ada hutan pohon maja di sebelah Timur. Kau betul, Kek,” kata Gayatri pula.
Wajah Kakek Segala Tahu tampak berseri.
”Pelangi...Pasukan besardari Cina. Ah, rupanya ramalankudahulutidak terlalu
tolol! Satu raja baru akan muncul. Satu kerajaan baru akan berdiri. Maha Besar
kekuasaan Sang Pencipta. Maha Besar Kasih dan KeadilanNya.”
Kakek Segala Tahu menggoyangkan kaleng rombengnya berulang kali. Laludia memutartubuh tinggalkan tempat itu. Raden Juwana coba mengejaruntuk menanyakan
apa maksuducapan si kakek tadi. Tapi orang tua itutidak berhenti ataupun berpaling.
Kaleng rombengnya terus saja digoyang-goyang sepanjang jalan hingga akhirnya lenyap dikejauhan.
***
BAB XIV
Adikatwang tengah duduk di atas singgasana emas berbentuk segi empat, rambut
disanggul rapike atas,berpakaian sutera dan bersepatukulit. Beberapa orang pembantu
dekat duduk mengelilinginya. Tiba-tibamuncul seorang pengawaldengannafasterengah. Pengawal inijatuhkandiri. Begitu bangkit dia segera berkata:
”Mohon ampun daulat Sri Baginda Raja diRaja Kediri. Seorang prajuritdi
perbatasan Timur dan seorang lagidi perbatasan Timur Laut memberitahubahwa ada
dua rombongan besar pasukan Cina berjumlahribuan orang bergerak menujuGelang-
Gelang...”
Adikatwang sampaitertegak dari duduknya mendengarucapan si pengawal. ”Pasukan Cina katamu?!”
”Betul sekali daulat tuanku Sri Baginda Raja diRaja Kediri. Pasukan Cina
bergerak menuju Kotaraja. Ikut bersamaduagelombang pasukan itusejumlah prajurit
berseragam tidak dikenal. Namun ada yang menyaksikan bahwadalam pasukan itu
kelihatan Raden Juwana, seorang pemuda yang dikenal bernamaWiro Sableng, juga seorang kakekgendut menunggang keledaisambiltertawa-tawa. Jugaadabeberapa kelompok prajurit Kediri dan Madura dalampasukan besar itu.”
Paras Adikatwang berubah total. ”Raden Juwana...Wiro Sableng...Pasti dia
pemuda keparat murid nenek sundal yang bersenjatakantusuk kundai itu! Lalu seorang
kakek gemuk menunggang keledai yang selalutertawa-tawa. Siapalagikalau bukan
Dewa Ketawa! Tapiadalahaneh kalaudiantara mereka ada prajurit-prajurit Kediri dan Madura. Mungkin sisa-sisa pasukan Gandita yang dulu membelot? Atau mungkin Wira Seta ikutambilbagian pula!”
Adikatwang memandang berkelilingpada parapembantunya. Lalu kembali pada
pengawal yang masih duduk bersila dilantai. ”Ada keterangan lain yang akankau
sampaikan?”
”Ada Sri Baginda Raja diRajaKediri. Pasukan Cina terlihat membawasenjata
lengkap. Tongkat yang bisameletusdanbatang kelapa yang jugabisameletus!”
“Tongkat dan batang kelapa!Prajurit tolol! Itu namanya bedil dan meriam! Sudah pergisana!”
Begitusi pengawal berlaluAdikatwang segera perintahkan para pembantunya
untukmemukul gentatanda bahaya yang ada diempat sudut Kotaraja. “Siapkan pasukan! Siapasaja yang beranimemasuki Kotaraja akan kitabantai!”
Saat itu di Kediriterdapatsekitar dua ribuprajurit berpengalaman yang siap
tempur. Namunbalatentara Cinajumlahnya jauhlebih besar. Sementara itu di Keraton
Kediri tidaklagimemiliki tokoh-tokohsilat yang bisadiandalkan sedangdi pihak musuh
kelihatan Pendekar 22 Wiro Sableng dansi kakek sakti Dewa Ketawa. Tiba-tibasaja
Adikatwangingatmimpinya malam tadi. Dia melihat rembulan indah empat belashari di
langit malam yang jernih. Tiba-tibarembulan ituturun ke bumi, melayang ke arah
pangkuannya, tapi begitusampaidi pangkuannya rembulan itutiba-tiba berubah menjadi sebuahbola api yang meledak dan membakar sekujur tubuhnya.
”Raden Juwana keparat! Wira Seta tolol sialan! Kalau dulu-duluakumembabat lehernya...”
Adikatwang masukke dalamkamarnya. Ketika keluardia sudah mengenakan pakaian perang yang bagiandepandan punggungnya dilapisibesitipis. Di tangan
kanannya dia mencekal sebilah pedang.
Pada seorang pembantu diaminta agar Patih Kerajaan segera datang menghadap. Seperti diketahui Patih Kediri adalah Rana Trijaya adikkandungAdikatwangsendiri.
Tak lamakemudian pembantu tadikembalimembawakabar yang membuat Adikatwang marah besar.
”Patih Raden Rana Trijaya meninggalkan Kotaraja beberapasaat lalubersama keluarga dan para selir. Dia membawasertaseratus prajuritsebagai pengawal.” begitu laporan sipembantu.
”Manusia keparat! Pengecutharamjadah!” kutuk serapah keluardari mulut
Adikatwang. ”Beritahu Panglima Ganda Cula! Dia harus menyongsong serbuan musuhdi luar Kotaraja! Lipat gandakan pasukan berpanah!”
”Mohon maafmu Sri Baginda Raja diRajaKediri,” berkatapembantu itusambil menjura beberapa kali. ”Panglima Ganda Cula jugasudahmeninggalkan Kotaraja
bersamakeluarganyatak lama setelah Patih Trijaya pergi...”
Meledaklah kemarahanAdikatwang. Dia berteriak-teriak memanggil beberapa orang Perwira TinggiKerajaan. Namun takada yang datang. Malah dikejauhan
terdengar suara letusan-letusan bedil yang sekali-sekali diseling oleh dentuman meriam. Sebuah peluru meriam menghantam dinding Keraton hingga ambruk dan berlubang
besar. Paras Adikatwang menjadipucat. Dia larikeluar Keraton. Dua ratus prajuritsiap mendampinginya menujumedan pertempuran yang telah pecahdi bagian Barat tembok Kotaraja. Raja Kediri inihanyasempat memacu kudanyasejarak seratuslangkah.
Laksana air bahtiba-tibasajapasukanmusuhsudah berada didepan pintu gerbang Keraton. Di sebelah depan tiga orang berkelebat kearahnya. Dua larik sinar putih
menyilaukan menyambar ganas. Sembilan prajurit mencelat mental dan menemuiajal
dengantubuh hangushitam. Tiga ekor kudaterguling roboh. Itulah hantamanpukulan sinarmatahari yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng. Orang kedua bukan lain si kakek gendut Dewa Ketawa. Sambiltertawa mengakak dia mengarahkan keledainya ke barisanprajurit Keraton pendamping Adikatwang. Ketika kakeksakti ini menggerakkan
kedua tangannya terdengar suara sepertianginputingbeliungdisusulmenyambarnya
sinar kebiruan. Pekik jeritseperti merobeklangit. Delapanprajuri Kediri terkapar mati, selusin lainnya berpelantingan. Dewa Ketawa tertawagelak-gelak. Dia terus merangsak maju.
Adikatwang untuk beberapasaat lamanya sepertitertegun di atas punggung kudanya. Kemudian dilihatnya Raden Juwana di sebelah kiri.
”Budak keparat! Aku lawanmu!” teriak Adikatwang. Dia menggebrakkudanya ke
arah Raden Juwana. Namun sebutirpeluru yang ditembakkan pasukan Cina menghantam
dadanyahinggadiaterpelintir danjatuh dari tunggangannya. Sebelum diasempat bangkit Raden Juwana sudah berada didepannya dan langsung menusukkan pedangnyatepat di samping luka tertembus peluru. Adikatwang berteriakantarakesakitandan kemarahan.
Kedua tangannya diulurkandengannekad mencabut pedang yang menancap didadanya. Begitupedang tercabut diameneruskan hendak merebutnya dari tangan Raden Juwana. Namun saat itu, salah seorang Perwira Tinggi Balatentara Cina yaitu Kau Sing yang
berada didekat sana merasa yakin bahwaAdikatwang adalah SangPrabu, melepaskan tembakandengan bedilpanjangnya.
Peluru bersarangtepat dikening Adikatwang. Tubuhnya terbanting. Raja di Raja Kediri ini menghembuskannafas dengan kepala hampirrengkah!
Secara keseluruhan Kediri bertekuk lututhanyadalam tempo kurang dari
setengah hari. Selagipasukan Cina bersukaria merayakan kemenangannya, Raden
Juwana, Dewa Ketawa dan Pendekar 212 Wiro Sableng bersama tiga kelompok prajurit Kediri-Madura sertasisa-sisa pasukandi masa Singosari dulumeninggalkan Gelang-
Gelang,kembali menujupemukimandi pinggiran Desa Tembang Sari. Mereka sampaidi pemukiman pagi hari sama sepertiketika mereka meninggalkannya beberapahari lalu.
Dan lagi-lagi mereka dicengangkan oleh bentangan pelangi di langit sebelah Utara, tepat di atashutan maja yang luas.
”Mungkin sekali ini petunjuk para Dewa. Kita haruspindah dan membukalahan
baru di hutan maja itu.” kata Raden Juwana. Ucapan Raden Juwana ini ternyatanantinya akan menjadi kenyataan. Kelak kemudian hari hutan maja itu akan berubah menjadi
Kotaraja dariKerajaan Majapahit.
”Bagaimanapendapatmu Dewa Ketawa?” tanya Raden Juwana padasi kakek gendut yang menunggang keledai.
”Selama ditempat yang baru itu orang tidak dilarang ketawa, aku pastisetuju dan ikut kesana!” jawab Dewa Ketawa lalutertawagelak-gelak.
”Dan kausahabat Wiro?” tanya Raden Juwana.
“Dia pastiakanikut bersamakita!” menjawabsatu suara. Ketiga orang itu
berpaling. Yang menjawab ternyata adalah Raden Ayu Gayatri. Wirosekilascepat
melirikkearah Raden Juwana. Seperti yang sudah-sudahdia melihat paras pemuda itu berubah.
Wiro mengeluh dalam hati. Aku tidak bisamenipudiriku. Aku menyukaigadisitu. Diapun menyukaidiriku. Tapiseperti ucapan Kakek Segala Tahu adalah gila kalau aku berharapkan bisaberjodoh dengan puteri Raja. Tempatku bukandisini, ataupundi
lahanyang baru itu. Aku harus pergi.
Wiro menggarukkepalanya dan coba tersenyum. ”Kalian semua sahabat-sahabat, mungkin malahbisa kukatakan saudara-saudaraku yang baik. Namun...”
”Kau tidak boleh membantah!” potong Gayatri.
”Maafkan saya... Saya harus pergi. Di lain waktu saya pasti akan menemui kalian lagi. Semogakalian mendapatkan perlindungandan berkah Yang Kuasa. Selamat
tinggal...” Wiro memutarkudanya dan tinggalkan tempat itu.
Gayatri tak tinggal diam. Dia melompat ke atas punggung seekor kudadan mengejar hingga Wiro terpaksaberhenti di satu tempat.
”Raden Ayu...”
”Nama saya Gayatri..” sepasang mata gadis ituberkaca-kaca.
”Gayatri,kembalilah. Sayatidak mungkinmenetapdisini.”
”Kau..Kau tidak mengetahui bagaimana perasaankupadamu Wiro. Dan kau tak
perlumengatakanbagaimana perasaanmu padaku. Aku dapat merasakannya. Lalu
mengapa kau harus pergi?”
Wiro merasa tenggorokannya sepertikering. Untuk beberapa lamanyadia tidak bisaberkata apa-apa.
“Gayatri, saya... Bagaimanapun juga dalam hidup inikita harus melihat
kenyataan. Antara kita ada jurang yang mahaluas. Kau adalah seorang puteri Raja. Saya seorang gelandangan. Mana mungkin...”
Gayatrisesenggukan. Tubuhnyaseperti limbung. Wirocepat memegang bahu gadis itu. ”Kuatkan hatimu Gayatri. Saya berjanjiuntuk datang lagi menemuimu suatu ketikakelak.”
”Kau masih menyimpan peniti emas yang kuberikandulu?”
Wiro mengangguk lalukeluarkan peniti emas yang pernah diberikan Gayatri. Benda itudiperlihatkannyasambiltersenyum. Dari balikpakaiannya Gayatri
mengeluarkanselipatankain. Benda itu adalahikat kepala yang duludiberikan Wiro kepadanya sebagai balasan pemberian peniti. Dengankain itudisekanya air mata yang menggelinding dipipinya.
”Berjanjilah kauakandatang lagi Wiro...” bisik Gayatri.
”Saya berjanji Gayatri. Izinkanlah saya pergisekarang.”
Gayatri mengangguk. Dia mendekatkan wajahnya kemuka Pendekar 212. kedua matanyadipejamkan. Wiro merasa ragu-ragu sesaat. Namun diatidak tegamenolak
permintaantanpaterucapitu. Diciumnya keduapipi dan kening Gayatri. Lalu dengan
lembut dan mesra dikecupnya bibirgadisitu. Gayatri masih terduduk memejamkan kedua mata dan tak bergerak di atas punggung kuda walau saat itu Pendekar 212 telah
meninggalkannya. Gadis iniseolah-olah terlena dan terbuai oleh kelembutan hangat
kecupan pendekartadi.
”Pergilah sayang. Selamat jalan orang yang kucintai. Jagadirimu baik-baik.
Datanglah kelak, aku akan selalumenantimu..” kata-kata ituterucap dan terukir di lubuk hati Gayatri. Air matakembalimembasahi pipinya. Dia mendengar langkah-langkah kaki disampingnya. Dia tak mau membukakan matanya. Yang berjalan disampingnya saat itu adalah sigendut Dewa Ketawa bersamakeledainya. Orang tua ini pandangi wajah cantik
yang tenggelam dalam kesedihan itu. Perlahan-lahan Dewa Ketawa teruskan langkahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. ”Cinta...” desisnya. ”Kau datang begituaneh.
Tidak memilihsiapa yang dicintai, tidak mengenal batas derajatdan keturunan. Cinta begitu indah, tetapiterkadang bisakejam. Itulah sebabnya akumemilih terussaja jadi bujangan!” untuk pertama kalinya Dewa Ketawa tidak mengeluarkan suara tawa
bergelaknya.
TAMAT
Salam 212
Created : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
SEMUA HAK KARYA CIPTA CERITA INI ADALAH MILIK
ALMARHUM BASTIAN TITO
0 comments:
Posting Komentar