Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Sabtu, 01 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - KI AGENG TUNGGUL AKHIRAT

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Hujan rintik-rintik turun sejak pagi. Teluk Burung diselimuti kabut tebal. Dalam

udara yang buruk itu seorang penunggang kuda berbaju biru dan mengenakan 

blangkon bergerak di antara batu-batu besar yang terhampar di seantero tempat.

Mukanya yang hitam boleh dikatakan bukan wajah manusia. Lebih tepat dikatakan 

sebagai wajah setan. Di pipi kirinya ada cacat bekas luka memanjang mulai dari

ujung bibir sempai ke mata. Mata ini sendiri tampak terbujur ke luar, kelopak bawah

membeliak merah dan selalu basah. Akibat cacat di pipi kiri itu mulut orang ini

tertarik ke atas hingga gigi-giginya yang besar-besar menjorok ke luar!

Sebenarnya kuda coklat dan penunggangnya sudah sama-sama sangat letih

saat itu. Beberapa kali kaki-kaki kuda terantuk atau terpeleset di bebatuan licin. Si

penunggang sendiri dengan segala sisa kekuatan dan harapan untuk hidup mencoba 

membawa kudanya ke jurusan Timur, sampai di sebuah lamping bukit batu yang

solah membentuk dinding panjang dari Timur ke Selatan. Di salah satu bagian

dinding batu, orang ini hentikan kudanya lalu memandang berkeliling. Hujan rintikrintik telah berhenti. Namun kabut masih kelihatan di mana-mana menutupi

pemandangan. Orang ini menunggu dan berusaha untuk sabar. Ketika sang surya

muncul kabut di tempat itu perlahan-lahan mulai terkikis habis. Dalam terangnya 

udara orang tadi kembali memperhatikan keadaan di sekitarnya. Apa yang dicarinya 

terlihat di kejauhan.

Tepat di pertengahan dinding batu ada satu lobang besar. Sesaat ada rasa

tegang dalam diri orang ini. Setelah menabahkan hatinya dia lalu bergerak kea rah

lobang tadi yang merupakan mulut sebuah goa. Di depan goa dia hentikan kudanya 

lalu turun dengan terhuyung-huyung. Dari kantong perbekalan yang tergantung di

leher kuda dia mengambil sebuah bungkusan lalu melangkah hendak memasuki goa.

Namun belum sempat kakinya menginjak mulut goa, tiba-tiba dari dalam

menggelegar suara bentakan.

“Siapa yang mengantar nyawa berani datang ke tempatku tanpa diundang?!”

Manusia bermuka cacat itu terkejut. Setelah reda kejutnya dia memberanikan

diri menjawab.

“Aku Ki Ageng Tunggul. Kepala desa Pasirginting. Ingin bertemu dengan 

orang tua sakti bernama Supit Jagal. Kabarnya beliau adalah penghuni goa ini!”

“Begitu? Katakan apa keperluanmu!” orang di dalam goa bertanya.

“Aku dating untuk mohon diambil jadi murid!”

“Bah! Maksud sintingmu membuat aku ingin melihat kau punya tampang!

Lekas masuk dalam goa!”

Ki Ageng Tunggul cepat melangkah masuk. Ternyata bagian dalam goa batu

itu tidak seberapa besar. Di tengah ruangan duduk seorang kakek berpakaian sangat

kotor dan penuh tambalan. Rambutnya keriting macam bulu domba. Pipinya sebelah 

kana nada cacat bekas luka yang amat dalam. Daun telinganya sebelah kanan 

sumplung sedang sepasang matanya sangat sipit sehingga dia seperti sedang 

memejam.

“Mukamu seperti setan! Apa kau benar manusia atau makhluk jejadian?!”

“Aku manusia biasa, tak lebih tak kurang….”


Si kakek menyeringai mendengar ucapan itu. “Duduk!” bentaknya kasar.

Ki Ageng Tunggul duduk. Bungkusan yang dibawanya diletakkan di pangkuan.

“Aku memang Supit Jagal, orang yang kau cari!” berkata si kakek. “Kau 

bilang minta diambil jadi murid! Sudah tua bangka begini apa kau sinting?!”

“ Soalnya aku terpaksa..... "

“Terpaksa ?! Siapa yang memaksa ?! " Ki Ageng Tunggul lalu menerangkan.

“Tiga orang jahat berilmu tinggi hendak membunuhku"

“Kau ketakutan lalu minta dijadikan murid agar dapat ilmu ! " Supit Jagal

tertawa mengekeh. “Anak manusia berwajah setan, coba kau katakan padaku

mengapa tiga orang itu hendak membunuhmu ?! "

“ Dulu mereka adalah kawan-kawanku. Masing-masing bernama Kunto

Handoko, Lor Paregreg dan Rah Gludak. Mereka kukhianati hingga dijebloskan

masuk penjara. Entah bagaimana ketiganya bisa melarikan diri. Kini mereka 

mencariku dengan tujuan membunuh. Aku tidak berdaya menghadapi meraka.

Ketiganya memiliki kepandaian silat tinggi serta kesaktian. "

Mulut Supit Jagal sesaat tampak komat kamit. “ Berkhianat sesama kawan

adalah perbuatan paling keji. Kini kau tanggung sendiri akibatnya. Aku tidak bisa 

mengambilmu jadi murid ! Sekarang lekas minggat dari hadapanku ! "

Ki Ageng Tunggul ambil bungkusan di pangkuannya. Bungkusan ini

diletakkannya di lantai goa di hadapan si kakek. Ketika bungkusan dibuka tampaklan 

puluhan mata uang perak dan beberapa mata uang emas serta seperangkat perhiasan.

“Semua ini untukmu. Asal saja kau mau mengambilku jadi murid dan mangajarkan 

ilmu silat dan kesaktian,” kata KI Ageng Tunggul pula. Si kakek bermata sipit tampak

agak terkesiap.

“Anak manusia berwaah setan, pemberianmu membuat aku tergiur. Tapi

tetap saja aku tidak akan mengambilmu jadi murid. Hanya mungkin ada cara lain

untuk menolongmui. Yang jadi soal kini, apakah kau bakal sanggup memenuhi syarat

yang akan kutetapkan!”

“Syarat apapun akan kulaksanakan,” jawab Ki Ageng Tunggul tanpa tedeng

aling-aling.

“Bagus. Pertanyaanku, apa kau bisa mengatur ketiga musuhmu itu datang

kemari? Urusan selanjutnya biar aku yang membereskan!”

“Begitupun aku setuju. Yang penting mereka harus mampus semua! Harap

kau mau mengatakan syarat tadi…..”

“Kau harus bersumpah dulu bahwa kau betul-betul akan melaksanakan.”

“Demi Tuhan saya bersumpah akan melaksanakan…..”

“Tolol! Bukan demi Tuhan! Tapi demi aku! Demi Supit Jagal ! " membentak

si kakek. Matanya membesar. Ia menyangka sudah melotot padahal kedua matanya 

itu tetap masih sipit-sipit saja.

“ Demi Supit Jagal...... Aku bersumpah !" ucap Ki Ageng Tunggul.

“ Bagus. Kau sudah bersumpah. Sekarang coba telan dulu benda ini ! " Supit

Jagal melemparkan sebuah benda hitam ke pangkuan Ki Ageng Tunggul. Lelaki ini

cepat mengambilnya.

“ Benda apa ini ? "

“ Telan saja ! Tak perlu banyak tanya ! " sentak Supit Jagal.

Mau tak mau Ki Ageng Tunggul segera menelan benda hitam itu yang terasa

kesat di mulut dan tenggorokannya.

“Sudah kau telan?!” tanya Supit Jagal.

Ki Ageng Tunggul mengangguk. Si kakek tertawa panjang.

Kenapa kau tertawa?” tanya Ki Ageng Tunggul

Benda hitam yang barusan kau telan adalah racun penghancur usus!”

Pucatlah wajah hitam Ki Ageng Tunggul.

“Racun itu akan bekerja setelah dua hari dari sekarang. Jika kau berhasil

melaksanakan syarat yang akan ku katakan, kau boleh kembali ke mari membawa 

tiga orang musuh besarmu itu. Aku akan memberikan obat penawar racun padamu.

Teteapi ingat! Kalau ingkar kau akan mampus dengan usus berantakan!” Supit Jagal

kembali tertawa mengekeh. Ki Ageng Tungul merasakan sekujur tubuhnya menjadi

dingin.

“Sekarang akan kukatakan syarat itu!” kata Supit Jagal pula. Ki Ageng 

Tunggul jadi tegang. “Tepat tengah malam besok yaitu hari Kamis malam Jum’at

Kliwon kau harus menggorok leher seorang bayi lalu memandikan ke kepala dan

tubuhmu. Upacara ini harus kau lakukan di puncak tertinggi bukit batu ini, kira-kira 

seratus langkah ke arah Timur!”

Sepasang mata Ki Ageng Tunggul, terutama mata kiri yang dalam keadaan 

mencelet kini tampak membeliak besar. Jantungnya seperti mau copot dan nyawanya 

serasa terbang mendengar syarat yang dikatakan Supit Jagal tadi. “Kalau syarat itu

tidak kau lakukan, jangan harap umurmu bisa lebih panjang dari dua hari!”

“Kakek, apakah syarat itu bisa diganti? Aku kawatir tidak sanggup 

melaksanakannya.”

“Kalau begitu cepat angkat kaki dari hadapanku. Tapi tinggalkan bungkusan 

ini di sini!”

Ki Ageng Tunggul jadi bingung dan takut. Syarat yang harus dilakukannya

sungguh sangat keji dan mengerikan. Tak sanggup dia melakukan. Namun kalau dia 

menolak, racun yang mengidap di perutnya akan merengut nyawanya! Tak ada

pilihan lain kini. Dia terpaksa memenuhi apa yang dikatakan Supit Jagal tadi.



Laksana terbang kuda coklat itu berlari kencang di bawah panas terinya matahari.

Dalam waktu singkat kuda dan penunggangnya sudah sampai di kaki bukit terus

bergerak menuju lembah sepanjang kaki bukit. Si penunggang yang berwajah seperti

setan bukan lain adalah Ki Ageng Tunggul kepala desa Pasirginting yang tengah

menjalankan syarat seperti yang ditetapkan manusia iblis Supit Jagal. Lelaki ini

mendongak ke langit. Matahari dilihatnya tepat di ubun-ubun kepalanya. Muka 

setannya langsung berubah.

“Celaka! Aku hanya punya waktu setengah harian lagi. Kalau yang kucari

tidak kutemui mampuslah diriku!” Ki Ageng Tunggul membetulkan letak blangkonnya 

lalu kemabli memacu kudanya. Dari satu tempat ketinggian dia melihat atap-atap

rumah yang terletak di sebuah desa kecil. Segera saja dia mengarahkan kudanya

menuju ke sana.

Angin dari Timur bertiup kencang merontokkan daun-daun pepohonan ketika

Ki Ageng Tunggul memasuki jalan teduh di mulut desa. Dia mulai memperlambat lari

kudanya. Kedua matanya yang merah, satu di antaranya membeliak mengerikan,

memandang liar kian kemari.Sepasang telingnya dibuka tajam-tajam. Dia

berpapasan dengan beberapa penduduk desa. Orang-orang itu jelas ketakutan ketika

melihat tampangnya. Mereka melangkah pergi dengan cepat. Sampai di tengah desa 

Ki Ageng Tunggul hentikan kudanya. Dia seperti putus asa. Tiba-tiba daun

telinganya bergetar. Kedua matanya berputar ke arah kanan. Di sebelah sana, di

antara beberapa pohon besar kelihatan sebuah rumah gedek. Di rumah gedek ini

terdengar suara tangisan bayi. Inilah yang dicari Ki Ageng Tunggul! Tanpa 

menunggu lebih lama orang ini segera menghambur menuju rumah gedek itu. Begitu

sampai dia langsung melompat ke pintu lalu menggedor dengan keras.

Terdengar langkah-langkah kaki di dalam rumah. Sesaat kemudian pintu 

terbuka. Perempuan yang menggendong seorang orok lelaki yang masih merah 

tersurut pucat ketika melihat tampang manusia yang berdiri di hadapannya.

Ki Ageng Tunggul memandang bayi dalam gendongan ibunya itu.

Tenggorokannya turun naik dan mulutnya komat kamit. Sesaat dia bingung. Hendak

mengatakan sesuatu dulu atau langsung saja merampas bayi dalam gendongan itu.

“Sam....sampeyan siapa....?” perempuan muda yang menggendong bayi

bertanya dengan suara gemetar dan siap-siap hendak menutupkan pintu.

“Aku mencari suamimu.”

“Dia sedang ke sawah. Nanti siang baru kembali....”

Mata Ki Ageng Tunggul menatap bayi dalam dukungan. “Ini anakmu?’

Ynag ditanya mengangguk. Tangannya bergerak lagi hendak menutup pintu.

Ki Ageng Tunggul cepat manahan daun pintu.

“Dengar,” katanya. “Kemarin aku sudah bicara degnan suamimu. Dia

bersedia menjual bayi ini.” Lalu Ki Ageng Tunggul keluarkan sebuah kantong kecil

berisi uang.

Perempuan yang menggendong bayi tampak terkejut mendengar kata-kata 

tamu bermuka seram yang tidka dikenalnya itu. “Apa? Suamiku.....? Tidak! Aku tidak

percaya! Kau pasti berdusta! Suamiku tidak bakalan mau menjual anak ini!”

“Ini ambillah...!” kata Ki Ageng Tunggul seraya mengulurkan kantong uang.

“Tidak!” dengan tangan kanannya perempuan itu mendorong pintu kuat-kuat.

Tapu Ki Ageng Tunggu lebih kuat menahan.



5

“Kalau kau tidak mau menjual tidak apa-apa...... Berarti kau akan rugi dua 

kali!”

“Apa maksud sampeyan....?”

Ki Ageng Tunggul menyeringai. Sekali dia bergerak, bayi dalam dukungan si

ibu berhasil dirampasnya. Secepat kilat lelaki ini lalu meloncat ke atas punggung

kudanya dan menghambur lenyap.

Ibu si bayi menjerit keras. “Bayiku! Tolong! Bayiku dilarikan orang!

Tolong!”

Beberapa orang tetangga berlarian keluar dari rumah masing-masing. Tapi

tak seorangpun bisa berbuat sesuatu. Si ibu masih menjerit beberapa kali lalu roboh 

tak sadarkan diri di depan rumahnya.

Hari Kamis malam Jum’at Kliwon.

Hujan gerimis menambah dingin dan angkernya suasana malam. Kuda coklat

yang ditunggangi Ki Ageng Tunggul mendaki di lereng bukit, bergerak menuju ke

puncak. Dalam kegelapan malam kuda dan penunggangnya ini tidak beda seperti

setan yang sedang gentayangan!

Puncak bukit batu yang hendak dicapai tingi sekali. Jalan yang menuju ke situ

Sangat sulit. Beberapa kali kuda coklat itu tersandung dan hampir roboh. Lidahnya 

terjulur, tubuhnya basah oleh keringat bercampur air hujan. Di satu tempat binatang

ini tersandung kembali. Sekali ini langsung roboh dan tak mau bangkit lagi. Kutuk

serapah keluar dari mulut Ki Ageng Tunggul. Ketika jatuh tadi untung dia cepat

melompat dan menyelamatkan benda yang dibawanya yaitu bukan lain sosok bayi

rampasan yang dibuntal dengan sehelai kain. Sambil menggendong bayi itu Ki Ageng 

Tunggul melanjutkan perjalanan ke puncak bukit batu dengan jalan kaki. Gerakannya 

cekup sebat. Dia melompat dari satu batu ke batu lain. Tak selang berapa lama lelaki

ini sampai di puncak bukit batu paling tinggi. Di sini angin terasa kencang dan

dingin sekali.

Ki Ageng Tunggul memandang berkeliling. Mulutnya berkomat kamit. Di

kejauhan kilat menyambar. Suasana terang sexta lalu gelap kembali. Bayi dalam

buntalan kain menangis dan mengagetkan Ki Ageng Tungul. Cepat-cepat dia

membuka buntalan. Sesaat tubuhnya terasa bergeletar. Mulutnya kembali komat

kamit seperti merapal sesuatu. Lalu dia mendongak ke langit. Seringai iblis

menyeruak di tampangnya yang angker. Bayi di tangan kirinya diangkat tinggi-tinggi

ke atas. Tangisan si bayi semakin keras. Dari mulut Ki Ageng Tunggul kemudian 

terdengar ucapan.

“Orang sakti dalam goa!

Demi sumpah yang kupatuhi!

Bersaksi lepada langit di atas keepala!

Bersakasi pada batu di bawah kaki!

Saat ini aku Siap untuk mandi!”

Habis berseru seperti itu Ki Ageng Tunggul mencabut sebilah golok pendek

dari pinggangnya. Saking tajamnya, walaupun malam sensata ini berkilauan dalam

kegelapan. Seperti kemasukan setan yang haus darah golok di tangan kanan

berkelebat membabat. Sungguh mengerikan. Suara tangisan bayi serta merta lenyap.

Darah mengucur.

Dengan darah yang mengucur Ki Ageng Tunggul menyirami kepala, muka 

dan tubuhnya. Pelipisnya bergerak-gerak. Rahangnya menggembung dan 

gerahamnya terdengar bergemeletukan. Kedua matanya berputar liar sedang sekujur

tubuhnya bergeletar Darah berhenti memancur tanda sudah terkuras habis. Kembali KI Ageng

Tunggul mendongak ke langit dan berucap.

“Orang sakti dalam goa!

Sumpah sudah dilaksanakan!

Aku mohon diri!”

Lalu dalam keadaan basah kuyup oleh darah, keringat dan air hujan Ki

Ageng Tunggul mulai menuruni bukit. Di satu tempat golok dibuang ke bawah bukit.

Suara senjata ini berkerontangan dalam kesunyian malam. Ki Ageng Tunggul

merasakan satu keanehan. Saat itu tubuhnya terasa ringan luar biasa hinggá dengan

gerakan yang sebat dalam waktu singkat dia sudah sampai di tempat tadi dia

meninggalkan kudanya.

Begitu sampai di goa, Ki Ageng Tunggul duduk dengan hormat di hadapan

Supit Jagal memberitahu kalau dia sudah melaksanakan apa yang diperintahkan.

“Bagus!” kata si kakek dengan seringai iblis di mulutnya. “Sekarang kau 

harus mencari tiga manusia yang kau bilang mau membunuhmu itu. Bawa dia

kemari! Tapi jangan lupa! Begitu urusan selesai kau harus berikan padaku dua 

kantong berisi uang dan harta perhiasan. Bukan cuma satu kantong! Mengerti?!”

“Aku mengerti kek.”

“Nah Sekarang lekas pergi dari hadapanku!” kata Supit Jagal dengan mimik

seolah jijik melihat tampang Ki Ageng Tunggul yang buruk dan seram itu.

“Aku akan pergi. Tapi sebelum munta diri mohon kakek memberikan obat

pemusnah racun yang sudah kutelan dua hari lalu. Bukankah begitu sesuai

perjanjian?!”

Supit Jagal usap-usap kuping kirinya yang sumplung. Lalu dia tertawa 

mengekeh. Ki Ageng Tunggul diam-diam jadi merinding ngeri kalau-kalau orang tua 

aneh ini tidak menepati janjinya. Sesaat kemudian Supit Jagal mengeluarkan sebuah 

benda putih dari dalam saku bajunya lalu dilemparkannya ke pangkuan Ki Ageng 

Tunggul. “Telan dan pergi cepat!”

Ki Ageng Tunggul segera menelan obat pemusnah yang ada dalam perutnya,

steelah menjura dia cepat-cepat meninggalkan goa itu.


K

eempat penunggang kuda berhenti di ujung dinding batu di kaki bukit yang 

terletak di Teluk Burung. Angin laut bertiup keras. Ombak mendebur menggelegar di

pantai. Di antara deru angin dan suara deburan ombak penunggang kuda paling

depan yaitu Lor Paregreg bertanya pada Ki Ageng Tunggul.

“Mana goanya?!”

“Di sebelah sana. Tepat di pertengahan dinding batu.”

Lelaki bernama Rak Gludak membuka mulut. “Kawan-kawan, aku punya

firasat buruk. Si Tunggul keparat ini jangan-jangan menipu kita!”

“Kalau nanti terbukti begitu, tidak akan susah memisahkan tubuh dan

kepalanya!” jawab Lor Paregreg.

“Golokku masih cukup tajam!” menyahuti Kunto handoko seraya mencabut

goloknya dan memutar-mutar senjata ini di depan hidungnya.

Atas perintah Lor Paregreg, Ki Ageng Tunggul kini berjalan di sebelah depan.

Mereka akhirnya sampai di sebuah lobang yang merupakan mulut goa.

“Ini goanya,” kata Ki Ageng Tunggul. “Peti berisi uang dan harta perhiasan 

itu kusembunyikan di dalam. Belum sepotongpun sempat kuambil. Kalian ambil saja

semuanya, bagi tiga. Asalkan diriku diampuni.” Habis berkata begitu Ki Ageng 

Tunggul hendak turun dari kudanya. Tapu Lor Paregreg mencegah.

“Tetap di punggung kudamu Ki Ageng!” kata Lor Paregreg seraya mendekat.

Lalu dengan sangat tiba-tiba dia menusuk punggung Ki Ageng Tunggul. Kejap itu

juga Ki Ageng Tunggul tak bisa bergerak lagi. Kaku tertotok! Lor Paregreg

berpaling pada kedua kawannya. “Kalian berdua masuk ke dalam memeriksa goa.

Aku mengunggu di sini. Beri tahu kalau peti itu memang ada di dalam!”

“Sret!”

Kunto handoko kembali cabut goloknya. Bagian tajam itu dengan gerakan

cepat ditempelkan ke batang leher Ki Ageng Tunggul hingga orang bermuka setan ini

merasa nyawanya seperti terbang saat itu. “Paregreg, kita sudah sampai di tempat

peti itu disembunyikan. Mengapa manusia keparat ini tidak kita bereskan sekarang

juga?!”

“Nyawa anjingnya soal mudah Kunto. Lebih penting kau dan Rah Gludak

memeriksa dulu. Jika bengsat pengkhianat ini kita habisi dan ternyataa peti itu tidak

ada dalam goa, kita bertiga tidak bakal dapat menemukan uang dan harta benda itu

untuk selama-selamanya!”

“Kalian harus percaya padaku! Aku tidak menipu!” kta Ki Ageng Tunggul.

“Empat perti itu ada di dalam goa! Kalian masuk saja lihat sendiri!” Diam-diam Ki

Ageng Tunggul merasa ngeri sekali kalau-kalau Kunto Handoko akan menebas

batang lehernya saat itu juga.

Lor Paregreg memberi isyarat pada Rah Gludak dan Kunto Handoko. Kedua 

orang ini melompat turun dari kuda masing-masing dan melangkah cepat menuju

mulut goa. Belum sempat kaki mereka menginjak bagian dalam goa, tiba-tiba

terdengar suara menderu. Bersamaan dengan itu selarik angin panas menerpa ke

arah Rah Gludak dan Kunto Handoko. Kedua orang ini berseru kaget dan serentak

melompat ke samping selamatkan diri. Sambaran angin menyapu, menghantam kuda

yang ditungggangi Lor Paregreg. Binatang ini meringkik keras lalu roboh ke tanah

dengan kepala hangus. Setelah melejang-lejang beberapa kali kuda ini akhirnya 

tewas.


Ketika mendengar deru angin yang keluar dari dalam goa, Lor Paregreg 

seudah bersiaga. Begitu angin panas menyambar keluar dan menghantam kudanya,

dengan cepat dia melompat. Walau selamat tapi wajahnya tampak agak pucat.

“Ki Ageng Tunggul! Kau benar-benar menipu kami!” teriak Lor Paregreg

marah. Dia melompat marah. Kedua tangannya dipentangkan menyambar leher Ki

Ageng Tunggul yang berada dalam keadaan tertotok kaku di atas kudanya. Namun

saat itu dari dalam goa melesat satu sosok tubuh seorang kakek berbaju tambalan

berambut keriting, berkuping sumplung dan mukanya ada guratan cacat sangat

dalam. Sekali orang ini mendorong kedua tangannya, Lor Paregreg terhempas ke

belakang.

“Ki Ageng Tunggul, apa ini tiga manusia yang menurutmu tak layak hidup 

lebih lama dan harus seera disingkirkan dari muka bumi ini?!” si kakek yang bukan 

lain adalah Supit Jagal bertanya pada Ki Ageng Tunggul.

“Betul!” jawab Ki Ageng Tunggul cepat. “Bunuh ketiganya cepat! Aku akan

memberikan satu kantong uang lagi padamu!”

Supit Jagal tertawa bergelak. “Rejekiku sedang besar-besar rupanya,”

katanya. Lalu sepasang matanya yang sipit menyapu tampang ketiga orang itu.

“Hemmm, wajah mereka memang tidak sedap dipandang. Kehadiran mereka di muka 

bumi hanya mengotori saja. Mereka memang pantas disingkirkan!” masih tertawa 

mengekeh Supit Jagal melangkah mendekati Lor Paregreg.

“Apa kataku Paregreg!” Kunto Handoko berteriak. “Keparat ini memang 

menipu kita!” Lalu Kunto Handoko hantamkan satu jotosan ke perut Ki Ageng

Tunggul. Namun sebelum hantaman itu mengenai sasarannya, selarik angin dahsyat

menyambar dari samping. Mau tak mau Kunto Handoko terpaksa melompat cari

selamat.

“Tua Bangka sialan! Kau yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini lebih 

dulu!” teriak Lor Paregreg marah. Tangan kanannya mengemplang ke arah kepala si

kakek. Kunto Handoko juga tidak tinggal diam. Dari jarak beberapa kaki dia

lemparkan segenggam paku hitam beracun yang merupakan senjata andalannya. Rah 

Gludak ikut pula beraksi. Goloknya berkelebat ke arah supit Jagal.

Walau jelas tiga serangan itu merupakan serangan maut namun si kakek

ganda tertawa. Didahului dengan bentakan garang dia mengangkat kedua tangannya

ke atas. Rah Guldak, Lor Paregreg dan Kunto Handoko melihat dua larik sinar hitam

bergulung membuntal lalu dengan kecepatan luar biasa menghantam ke arah mereka.

Tentu saja ketiga oran ini berserabutan selamatkan nyawa. Namun agaknya mereka

tidak punya kesempatan lagi. Sambaran dua larik sinar hitam itu lebih cepat dari

gerakan mereka untuk cari selamat. Tak ada hal lain yang bisa mereka lakukan dari

pada menjerit menunggu ajal!

Di saat yang kritis itu tiba-tiba terdengar satu bentakan keras.

“Supit Jagal! Apa kowe sudah edan hendak membunuh murid-muridku?!”

Satu larik angin yang mengeluarkan cahaya biru menyambar. Terdengar

suara letupan beberapa kali dan buyarlah asap hitam yang dilepaskan Supit Jagal

tadi dan hampir membunuh Lor Paregreg, Kunto Handoko serta Rah Gludak.

Supit Jagal terkesiap. Bukan saja karena serangannya dapat dimusnahkan 

orang, tapi juga dia mengenali suara orang yang barusan membentak. Dia melompat

satu langkah ke samping lalu berpaling. Satu bayangan hitam berkelebat turun dari

tebing batu. Yang muncul ternyata seorang kakek bertubuh sangat tinggi, berkulit

sangat hitam. Mata kirinya hanya merupakan rongga menganga yang mengerikan.

Supit Jagal segera mengenali orang ini yang ternyata adalah adiknya sendiri.

Dia balas berteriak. “Supit Ireng! Apa-apaan kau ini?!”


Kowe yang apa-apaan!” balas menyemprot Supti Ireng. “Kau hendak

membunuh tiga muridku! Sungguh gila!”

“Bah!” Supit Jagal delikkan matanya yang sipit. “Mereka muridmu….? 

Kalau begitu….” Supit Jagal berpaling pada Ki Ageng Tunggul. “Kalau begitu si

keparat ini hendak mengadu domba kita kakak dan adik. Bangsat kurang ajar!”

Sekali lompat saja Supit Jagal sudah menjambak rambut Ki Ageng Tunggul lalu

menyentakkannya dari atas kuda hingga jatuh terbanting di tanah, masih dalam

keadaan tertotok. Manusia muka setan ini tempak ketakutan setengah mati.

“Guru…..”

“Anjing kurap! Jangan sebut aku guru! Aku tidak pernah jadi gurumu dan 

kau tidak pernah jadi muridku!”

“De….dengar. Berjanjilah kau tidak akan mengap-apakan diriku. Aku

berjanji untuk memberikan uang serta harta berlimpah-limpah padamu!”

“Supit Jagal, lepaskan totokannya,” berkata Supit Ireng.

Supit Jagal lepaskan totokan di tubuh Ki Ageng Tunggul. Begitu totokannya 

lepas Ki Ageng Tunggul jatuhkan diri berlutut. “Ampuni diriku. Ampuni diriku…..”

kata Ki Ageng Tunggul setengah meratap sementara Supit Ireng dan Lor Paregreg 

melangkah ke arahnya.

Sampai di hadapan Ki Ageng Tunggul, Lor Paregreg berkata sambil

memegang bahu lelaki itu. “Nyawamu akan kami ampuni. Asal saja kau mau

menerangkan di mana empat peti besar berisi uang dan harta benda itu kau 

sembunyikan!”

“Terima kasih! Terima kasih…..” kata Ki Ageng Tunggul sambil manggutmanggut berulang kali.

“Lekas katakan!” teriak Lor Paregreg.

“Peti-peti itu….aku sembunyikan, aku kubur di halaman belakang rumahku di

Pasirginting,” kata Ki Ageng Tunggul akhirnya menerangkan.

“Kau dusta!” bentak Kunto Handoko.

“Demi Tuhan! Aku bersumpah! Aku tidak dusta!”

“Jangan percaya keterangannya itu Paregreg!” Rah Gludak berkata.

Lor Paregreg angakt tangannya. “Sekali ini kita harus percaya kawankawan….”

“Betul Paregreg, sekali ini aku benar-benar tidak menipu kalian! Cincang

tubuhku jika ketahuan aku berdusta!”

Lor Paregreg menyeringai. “aku percaya padamu Ki Ageng Tunggul.

Nyawamu diampuni. Kau sekarang bebas pergi. Pergi ke neraka!” Kaki kanan Lor

Paregereg menendang ke arah perut Ki Ageng Tunggul hingga orang ini mencelat

dan terjungkal di tanah. Belum lagi dia sempat bangun, masih dalam keadaan 

merintih sambil pegangi perutnya yang laksana pecah, tendangan Kunto Handoko 

mendarat di kepalanya. Ki Ageng Tunggul terlempar ke kiri. Kepalanya serasa

terbang meninggalkan tubuhnya. Hidungnya yang tepat kena tendangan melesak

patah dan mengucurkan darah. Dari mulutnya terdengar suara lolong kesakitan. Rah

Gludak tak mau ketinggalan. Tendangannya mematahkan tiga buah tulang-tulang iga

Ki Ageng.

“Jangan….Ampuni nyawaku. Kawan-kawan…..”

“Kami bukan kawan-kawanmu manusia busuk! Pengkhianat keji! Penipu

keparat!” teriak Lor Paregreg. Tendangannya menghantam dada KI Ageng Tunggul

hingga kembali orang ini terlempar. Karena jatuhnya tepat di hadapan Supit Jagal,

maka Ki Ageng Tunggul jatuhkan dirinya seraya memohon. “Tolong….kau yang bisa

menolongku dari orang-orang ini….


0

“Tolong….? Baik, aku akan tolong,” kata Supit Jagal sambil menganggukangguk dan seringai bermain di mulut. “Nah, ini pertolongan dariku!” Kaki kiri

Supit Jagal melesat mengeluarkan suara berdesing.

“Bukk!”

Tendangan itu menghantam telak lambung kiri Ki Ageng Tunggul. Orang ini

terpekik, mental dan roboh tergelimpang di tanah. Baru saja jatuh bergedebukan

begitu rupa, yang lain ikut pula menendang. Begitu terus bergantian hingga akhirnya 

Ki Ageng Tunggul menemui ajal dengan muka dan kepala hancur bergelimang darah.

Tulang belulangnya berpatahan!

Supit Jagal berpaling pada adiknya. “Supit Ireng, untung kau muncul pada

waktunya. Kalau tidak ketiga muridmu pasti sudah kugebuk mati konyol!”

Supit Ireng tertawa pendek. Dia hendak mengatakan sesuatu menjawab 

ucapan kakaknya tadi. Namun tiba-tiba dia melihat ada serombongan orang muncul

di depan sana. “Lihat!” serunya memberi tahu seraya menunjuk.

Semua orang berpaling pada arah yang ditunjuk. Saat itu di sebelah atas

dinding batu dan sepanjang pantai Teluk Burung muncul hampir seratur perajurit

bersenjata lengkap termasuk tombak dan tameng. Dari cara mengatur kedudukan 

jelas mereka tengah melakukan pengurungan.

“Ada keperluan apa monyet-monyet Kerajaan itu jual tampang di sini?!” ujar

Supit Jagal sementara Lor Paregreg dan dua kawannya tampak gelisah sedang Supit

Ireng tenang-tenang saja.

Baru Supit Jagal berucap, tiba-tiba dari lamping dinding batu sebelah kiri

terdengar seruan keras.

“Lima orang di depan goa lekas menyerah! Kalian sudah terkurung!”

“Itu suara si keparat Brajaseta! Kepala Pasukan Kerajaan!: kata Lor

Paregreg yang mengenali suara orang.

Rahang Supit Ireng menggembung. Matanya yang hanya satu itu seperti

menyala begitu ingat bahwa Kepala Pasukan Kerajaan itulah yang tempo hari

memenjarakan dan menyiksa ketiga muridnya. Dia mendongak dan berteriak.

“Brajaseta! Kalau kau punya nyali turun ke bawah sini! Jangan jual lagak

dari jauh!”

Supit Ireng tutup teriakannya dengan menghantamkan tangan kanannya ke

atas. Sesaat kemudian terdengar suara menggelegar. Salah satu bagian dinding batu

sebelah atas hancur berantakan. Tiga orang perajurit jatuh bersama kuda

tunggangan mereka. Brajaseta yang diarah sudah dulu melompat selamatkan diri.

Tubuhnya jatuh ke bawah seperti bola tapi sampai di tanah kedua kakinya sampai

lebih dulu. Begitu berdiri dia berteriak memberi aba-aba menyerbu. Seorang tokoh 

silat Istana berjuluk Si Kipas Besi ikut melompat turun sambil kebutkan kipas

saktinya. Terdengar suara menderu. Debu dan pasir pantai beterbangan menutupi

udara beberapa ketika.

Sewaktu udara terang kembali maka kelihatan puluhan perajurit Kerajaan

bergerak cepat ke arah sasaran yaitu lima orang di depan goa. Di depan sekali

berjejer lima orang Perwira Tinggi. Penyerangan dipimpin langsung oleh Brajaseta 

dan Si Kipas Besi.

Melihat muduh begitu banyak mulai mendekati untuk menggempur dua 

bersaudara Supit Jagal dan Supit Ireng masih tenang-tenang saja, malah kelihatan 

mereka tertawa-tawa.

Pada jarak sepuluh langkah Brajaseta kembali berseru. “Kalian sudah

terkurung! Tidak mungkin meloloskan diri! Lekas menyerah kalau sayang nyawa!”


Supit Jagal dan Supit Ireng tertawa bergelak. “Menyerah? Siapa yang sayang 

nyawa?!” teriak Supit Ireng. Matanya yang cuma satu mulai merah tanda kemarahan

mulai menguasai dirinya. “Bangsat bernama Brajaseta! Dengar baik-baik ucapanku!

Kau telah memenjarakan dan menyiksa tiga orang muridku ini! Apa yang telah kau

lakukan harir ini bakal kau terima balasannya berikut bunganya! Dan kau juga Kipas

Besi! Berapa kau dibayar untuk menjadi cecunguk Istana?! Dosamu cukup besar.

Kau layak mampus saat ini juga!” Supit Ireng melompat ke arah Brajaseta. Supit

Jagal, Lor Paregreg, Kunto Handoko dan Rah Gludak tak tinggal diam. Keempatnya 

ikut menyongsong datangnya gempuran.

Pukulan-pukulan sakti yang dilepaskan Supit Jagal dan Supit Ireng memang

luar biasa. Sekelompok para perajrit yang menyerbu roboh mati bergelimpangan.

Tiga orang Perwira Tinggi yang secara nekad coba balas menghantam ikut jadi

korban. Duanya lagi jadi terkesiap kalau tak mau dikatakan leleh nyalinya. Brajaseta 

sendiri diam-diam jadi tercekat. Dia sama sekali tidak menyangka dua tokoh silat

golongan hitam itu demikian hebat kepandaiannya. Amukan kedua orang itu tak bisa 

dibiarkan begitu saja. Brajaseta melompat ke hadapan Supti Jagal dan Supit Ireng 

yang saat itu tengah mengeroyok Si Kipas Besi. Namun gerakannya dihadang oleh

Lor Paregreg, Kunto Handoko dan Rah Gludak.

“Keparat! Biar kalian kubunuh lebih dulu!” bentak Brajaseta. Baru saja dia

membentak begitu tiba-tiba dia mendengar seruan Si Kipas Besi. Brajaseta berusaha

melirik dan sempat melihat bagaimana dua bersaudara Supit berhasil merampas

kipas besi di tangan tokoh silat Istana. Lalu dengan senjata itu Supit Ireng 

mengepruk batok kepala Si Kipas Besi. Tokoh silat ini meraung keras dan roboh ke

tanah tanpa nyawa lagi!

Brajaseta merasa seperti berada di neraka. Dia cabut pedangnya setelah 

terlebih dahulu melancarkan satu pukulan tangan kosong keras ke arah tiga 

pengurungnya. Namun gerakannya terlalu lamban akibat pengaruh menyaksikan

kematian Si Kipas Besi tadi. Golok di tangan Lor Paregreg menyambar bahu

kanannya lebih cepat. Darah muncrat, pedang yang digenggamnya terlepas jatuh.

Bersamaan dengan itu Supit Ireng sudah melompat ke hadapannya dengan tangan

terpentang siap untuk menghantam.

“Saatnya kau membayar hutang berikut bunganya Brajaseta!” teriak Supit

Ireng.

“Guru!” seru Lor Paregreg. “Sebagai murid tertua biar aku yang menabas

batang leher manusia satu itu!”

Supti Ireng menyeringai. “Tentu! Kau dan dua muridku lainnya bakal dapat

bagian. Beri aku kesempatan hanya untuk mencungkil salah satu matanya agar

tampangnya mirip-mirip aku!” Supit Ireng tertawa mengekeh. Tubuhnya berkelebat.

Dua jari tangan kirinya membeset ke depan, ke arah mata kiri Brajaseta sedang 

tangan kanan dipentang ke depan untuk menjaga kalau-kalau Kepala Pasukan 

Kerajaan itu mengirimkan serangan atau berusaha menangkis. Brajaseta sendiri saat

itu boleh dikatakan tidak berdaya. Darahnya terlalu banyak keluar dari luka besar di

bahunya. Dia masih berusaha untuk merundukkan kepala menghindar cungkilan dua

jari tangan Supit Ireng. Tapi itupun tidak ada artinya. Karena seperti kepala ular,

dua jari tangan Supti Ireng bergerak mengikuti gerakan kepala Brajaseta.

Di saat menegangkan itu terjadilah hal yang luar biasa. Seolah-olah muncul

dari dasar laut terdengar suara menderu dahsyat dan aneh. Teluk Burung laksana 

dilanda topan prahara. Pasir pantai beterbangan ke udara menutupi pemandangan.

Deru ombak tertindih lenyap. Belasan perajurit yang tidak mampu bertahan jatuh 

terduduk behkan banyak yang berpelantingan. Dua orang Perwira Tinggi Kerajaan 


ITO

12

coba bertahan tapi keduanya akhirnya jatuh berlutut. Supit Ireng dan Supit Jagal

berdiri tergontai-gontai. Saat itu suara menderu tadi semakin jelas. Laksana suara

ratusan tawon mengamuk dan kini malah disertai hamparan hawa panas.

Supti Jagal cepat melompat menjauh dan bersandar ke dinding batu.

Sebaliknya Supit Ireng yang sudah siap mencungkil mata kiri Brajaseta dengan nekad 

meneruskan serangannya.

Satu cahaya menyilaukan beriblat.

“Craass!”

Supit Ireng menjerit setingi langit. Tangan kirinya putus sebatas pergelangan!

Darah mengucur deras. Sekujur tubuhnya mendadak sontak menjadi panas. Dia 

menjerit sekali lagi lalu jatuh terduduk di atas pasir!

Seorang pemuda berambut gondrong, mengenakan baju putih tak terkancing 

tegak di tengah-tengah kalangan pertempuran. Di dadanya kelihatan rajahan angka

212. Tangan kirinya berkacak pinggang sedang tangan kanan memegang sebilah 

kapak bermata dua yang kelihatan merah oleh darah Supit Ireng.

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng dari Gunung Gede

memandang berkeliling. Pandangannya sesaat melekat pada Supit Ireng dan Supit

Jagal. “Siapa di antara kalian bernama Supit Jagal?!” Murid sinto Gendeng ini

ajukan pertanyaan. Baik Supit jagal maupun Supit Ireng sama sekali tidak

mengetahui siapa adanya pemuda ini. Sebaliknya Brajaseta walaupun barusan telah

diselamatkan nyawanya oleh Wiro namun masih mendekam dendam kesumat. Karena 

ulah Pendekar 212lah beberapa waktu lalu seorang tokoh silat bergelar Malaikat Tak

Bernama beserta Jakaeulung muridnya berhasil meloloskan diri dari sergapan 

Pasukan Kerajaan. Dalam pada itu yang paling membuat Kepala Pasukan Kerajaan 

ini menjadi sangat sakit hati ialah Wiro pula yang menyebabkan Ning Larasati,

puteri Sultan yang dicintainya sempat menghilang lalu ikut bersama Jakawulung dan

menjalin cinta dengan pendekar muda ini!

Supit Jagal batuk-batuk beberapa kali. Dia menyeringai memandang pada 

Pendekar 212 dan berkata. “Kacungku jelek! Ada apa kau mencari majikanmu ini?

Aku Supit Jagal orang yang kau cari!”

Pendekar 212 balas menyeringai. “Jadi begini tampang manusia bernama

Supit Jagal. Tadinya kukira masih muda dan ganteng, Tidak tahunya mirip-mirip

kodok bengkak bermata sipit! Pakaianmu bagus amat banyak tambalan. Dekil dan

bau. Paling tidak kau tak pernah mandi selama dua tahun! Betul?”

Tampang hitam Supit Jagal jadi berubah merah. Sebaliknya murid Sinto

Gendeng tertawa gelak-gelak.

“Bangsat bosan hidup! Katakan apa keperluanmu mencariku?! Atau kau

ingin mati saat ini juga?!” hardik Supit Jagal.

“Aku mewakili seorang tua bernama Empu Pamenang dari Danau Merak

Biru. Kau telah membunuh tiga orang muridnya tanpa sebab dan secara keji!”

“Hemm….begitu? jadi kau kacung Empu Pamenang rupanya. Berapa upah

yang diberikan tua bangka itu padamu? Jika kau mau jadi kacungku, aku bersedia 

membayar dua kali lipat!”

Wiro menyengir. “Membeli baju yang bagus saja kau tidak punya. Mau 

membayar aku pula! Tua bangka keblinger!” ejek Wiro.

“Keparat haram jadah! Si Pamenang itu nyatanya tidak punya nyali untuk

datang sendiri!”

“Orang tua itu telah memilih hidup suci. Tak mau lagi mengotori tangannya 

dengan darah dan nyawa. Baliau punya pntangan membunuh. Itu sebabnya aku

datang mewakili beliau!”


3

Supit Jagal menyeringai. “Dusta kentut busuk!” makinya.

Saat itu tiba-tiba terdengar suara jeritan Brajaseta. Tubuhnya jatuh 

menelungkup ke tanah. Di punggungnya menancap sebilah golok yang menghujam

menembus sempai ke dadanya. Begitu jatuh Kepala Pasukan Kerajaan ini langsung 

tewas. Apa yang telah terjadi?!

Selagi perhatian semua orang tertuju pada Wiro Sableng dan Supit Jagal,

kesempatan licik ini tidak disia-siakan oleh Lor Paregreg. Dengan licik, dari belakng

dia menusukkan goloknya ke punggung Kepala Pasukan Kerajaan itu!

Meskipun sebenarnya tidak begitu senang terhadap Brajaseta, namun melihat

kematian orang mengenaskan begitu rupa Pendekar 212 Wiro Sableng melompat

sambil menyergap Lor Paregreg dengan satu tabasan. Kapak Naga Geni 212

berkiblat menyambar batok kepala Lor Paregreg. Namun saat itu pula dari samping

kiri kana dua pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi

menyerangnya dalam waktu yang bersamaan.

Wiro bersuit keras. Tubuhnya berkelebat lenyap. Kini yang terlihat hanya 

kilauan cahaya senjata mustikanya disertai deru keras dan tebaran hawa panas.

Melihat guru mereka sudah mulai menyerang, Lor Paregreg, Rah Gludak dan Kunto

Handoko tidak tinggal diam. Mereka ikut menyerbu mengeroyok Wiro. Murid Sinto 

Gendeng kini jadi dikeroyok lima orang. Mereka memiliki kepandaian tinggi namun

yang paling berbahaya adalah Supit Jagal dan Supit Ireng.

Sisa-sisa pasukan Kerajaan begitu menyaksikan kematian pimpinan mereka 

serta merta jadi putus nyali. Di bawah pimpinan dua orang Perwira Tinggi mereka

segera bersiap-siap meninggalkan tempat itu dengan membawa mayat Brajaseta

yang masih ditancap golok!

Sementara itu di atas dinding batu kelihatan tiga orang berdiri menyaksikan

apa yang terjadi di bawah sana. Mereka adalah Empu Pamenang, Jakawulung dan

Ning Larasati. Sang Empu sengaja datang untuk menyaksikan sendiri kematian

musuh besarnya Supit Jagal.

“Empu, kita tidak bisa tinggal diam. Kita harus segera turun tangan

membantu sahabat Wiro.”

Empu Pamenang mengusap dagunya dan menjawab penuh keyakinan. “Tidak

perlu Jaka. Pendekar 212 bukan manusia sembarangan. Jika Kapak Naga Geni

berada dalam genggamannya, tidak ada musuh yang tidak dapat dimusnahkannya!”

“Tapi satu lawan lima benar-benar perkelahian yang idak adil! Saya kawatir

para pengeroyok berlaku curang!” kata Ning Larasati puteri Sultan yang jatuh cinta

pada Jakawulung.

“Larasati betul sekali Empu. Biar saya membantu Wiro!” kata Jakawulung.

Ketika dia hendak melompat ke bawah Empu Pamenang memegang bahunya. “Lihat

apa yang terjadi di bawah sana Jaka!”

Jakawulung dan Ning Larasati sama memandang ke bawah dinding batu.

Saat itu tampak dua dari lima pengeroyok roboh bersimbah darah dimakan Kapak

Naga Geni 212. Mereka adalah Rah Gludak dan Kunto Handoko.

Dua jurus kemudian terdengar jeritan Supit Ireng. Darah menyembur dari

luka di lehernya yang kena dibabat Kapak Naga Geni 212 hampir putus. Tubuhnya

terbanting ke pasir. Menggeliat sedikit lalu diam tak berkutik lagi. Supit Jagal

meraung menyaksikan apa yang terjadi dengan adiknya itu dan menyangka Supit

Ireng telah tewas. Amarah membuat dia mengamuk seperti setan.

Pukulan-pukulan sakti mengandung enaga dalam tinggi dilepaskan tiada 

henti ke arah Wiro. Lor Paregreg, satu-satunya kawan yang masih mendampinginya

saat itu berkelahi dengan setengah hati karena nyalinya sudah leleh. Manusia satu ini

melolong kesakitan dan lari meninggalkan kalangan perempuran ketika senjata di

tangan Wio membabat tangan kirinya sebatas bahu hingga buntung. Wiro tidak

perdulikan orang itu karena yang ingin dibereskannya saat itu adalah Supit Jagal.

Sebaliknya begitu Lor Paregreg melarikan diri, Ning Larasati yang punya dendam

luar biasa terhadap lelaki ini. Dulu hampir saja dia jadi korban perkosaan Lor

Paregreg. Larasati segera mengejar setelah lebih dulu menyambar pedang milik

Jakawulung dari sarungnya.

“Manusia iblis! Kau mau lari kemana?!” bentak Ning Larasati.

Melihat si gadis menghadang dengan pedang di tanagn, Lor Paregreg

berteriak ketakutan. “Jangan….jangan bunuh! Ampuni diriku….”

Pedang di tangan Ning Larasati berkelebat menabas ke arah perut Lor

Paregreg. Lelaki ini melolong kesakitan, jatuh terduduk sambil pegangi perutnya 

yang robek besar. Ususnya menyembul keluar. Tubuhnya menggigil melihat isi

perutnya sendiri yang berbusaian. Antara sadar dan tiada tubuhnya jatuh ke tanah.

Pedang di tangan Larasati berkelebat sekali lagi. Kali ini menetak lehernya hingga 

nyaris putus!

Sehabis membunuh Lor Paregreg, Ning Larasati merasakan sekujur tubuhnya

mnggigil dingin. Seumur hidup baru sekali ini dia membunuh yang namanya manusia.

Untung Jakawulung da Empu Pamenang muncul di tempat itu dan menolongnya.

Kalau tidak niscaya gadis ini akan terhantar pingsan di tanah.

Perkelahian antara Supit Jagal dan Pendekar 212 Wiro Sableng berjalan seru.

Namun kakek bermata sipit itu mana sanggup menahan hantaman-hantaman Kapak

Naga Geni 212. Setelah bertahan mati-matian selama sembilan jurus akhirnya satu

tendangan yang dilepaskan Wiro secara tidak terduga membuat dirinya mencelat

mental. Malang baginya tubuhnya jatuh tepat di depan Empu Pamenang. Tanpa pikir

panjang orang tua ini kirimkan pula tendangan ke punggung Supit Jagal. Untuk

kedua kalinya tubuh Supit Jagal mencelat, kembali melayang ke arah Wiro.Seperti

sebuah bola, tubuh melayang itu disambut oleh murid Sinto Gendeng dengan 

tendangan kaki kanan.

“Bukkk!”

Sosok Supit Jagal mencelat ke arah laut amblas ditelan ombak. Sesaat

kelihatan kedua tangannya menggapai-gapai udara kosong. Kakek jahat ini akhirnya 

lenyap dari pemandangan.

Empu Pamenang pejamkan kedua matanya. Terbayang murid-muridnya yang 

telah menemui ajal dibunuh oleh Supit Jagal. Dalam hati orang tua ini berkata.

“ Murid-muridku pembunuh kailan sudah menemui ajal. Sekarang kuharap kalian

semua bisa beristirahat dengan tenang di alam baka....”

Ketika membuka mata kembali pandangan Empu Pamenang tertuju pada

Wiro. Dia melangkah mendekati pemuda ini. “Pendekar 212. Aku sangat berterima

kasih atas semua bantuanmu....”

Wiro hanya tersenyum dan garuk-garuk kepala. “Tolong menolong dalam

dunia persilatan sudah lumrah Empu. Lagi pula apa yang saya lakukan bukan 

sesuatu yang patut dibesar-besarkan.... Kalau boleh saya mohon diri sekarang. Saya 

ingin melanjutkan perjalanan.”

Empu Pamenang menarik nafas panjang lalu perlahan-lahan menganggukkan 

kepalanya. Ning Larasati mendekati seorang Perwira Tinggi yang tengah bersiapsiap membawa jenazah Brajaseta. “Jika kalian kembali ke Kotaraj, beritahu Sultan 

bahwa aku telah diambil murid oleh Empu Pamenang di Danau Merak Biru. Katakan

agar ayahanda tidak usah kawatir. Jika aku sudah mewarisi ilmu kepandaian pasti

aku akan kembali ke Istana.”


Perwira Tinggi itu tak bisa menjawab apa-apa hanya menjura dalam-dalam

lalu tinggalkan tempat itu.

Empu Pamenang memandang pada Jakawulung dan Ning Larasati. Dia lalu

celingukan ke kiri dan ke kanan. “Eh, kemana lenyapnya pemuda itu?!”

Jakawulung dan Ning Larasati baru sadar. Memandang berkeliling Pendekar

Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng tak ada lagi di tempat itu. Sang Empu

geleng-gelengkan kepala. Dia memegang lengan sepasang muda mudi itu lalu

mengajaknya pergi dari situ.

Belasan mayat bertebaran di tepi pantai Teluk Burung. Deburan ombak dan

tiupan angin terdengar aneh seolah menambah keangkeran keadaan tempat itu. Tibatiba kesunyian itu dirobek oleh suara derap kaki kuda. Tak lama kemudian muncullah 

seorang penunggang kuda berpakaian biru. Di bawah blangkon yang terletak di atas

kepalanya kelihatan tampangnya yang seram. Astaga! Manusia ini memiliki wajah

yang sangat sama dengan KI Ageng Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul.

Keparat yang satu itu mayatnya masih terkapar di antara tebaran mayat-mayat

lainnya. Bahkan orang ini juga memiliki cacat bekas luka di pipi kirinya! Kulitnya 

sama hitamnya dengan Ki Ageng Tungul. Aneh, bagaimana ada dua manusia begini

mirip satu sama lain?

Orang ini hentikan kudanya di antara tebaran mayat. Dia memandang 

berkeliling. Dia tidak melihat sosok tubuh yang dicarinya. “Tunggul....?!” desisinya.

Untuk memastikan dia turun dari kuda. Satu demi satu ditelitinya mayat-mayat yang

berkaparan itu. Dari mulutnya kemudian terdengar suara meraung sewaktu dia

menemukan mayat Ki Ageng Tunggul terkapar di tanah, terhimpit oleh sosok mayat

seorang perajurit Kerajaan. Orang ini tendang mayat perajurit itu lalu jatuhkan diri

sambil merangkul mayat Ki Ageng Tunggul. “Adikku, mari kita tinggalkan tempat ini.

Aku akan menguburkan dirimu. Istirahatlah dengan tenang. Kalau manusia-manusia 

yang membunuhmu masih hidup aku akan cari mereka sampai dapat! Bahkan aku 

bersumpah akan membasmi semua orang yang ada sangkut pautnya dengan 

mereka!”

Dengan susah payah orang yang berwajah sangat mirip dengan Ki Ageng 

Tunggul ini mendukung tubuh Ki Ageng Tunggul dan meletakkannya di atas kuda.

Sesaat kemudian dia segera tinggalkan tempat itu.

Bersamaan dengan menggelincirnya sang surya menuju ke Barat, di

permukaan laut Teluk Burung tampak sesosok tubuh berusaha berenang dengan

susah payah menuju ke tepi pasir. Sekujur tubuhnya penuh luka, bengkak-bengkak

bahkan tulang-tulang iga serta tangannya ada yang patah. Dia berenang seperti

tengah berenang dalam neraka! Keadaannya hampir sekarat ketika dia akhirnya 

berhasil mencapai pasir pantai lalu merangkak menjauhi ombak. Sungguh luar

biasa! Manuisa ini bukan lain adalah Supit Jagal, kakek sakti yang disangka sudah 

menemui ajal tenggelam di dasar laut. Ternyata dia masih hidup dan berhasil

menyelamatkan diri dengan berenang ke tepi pantai.

Di bagian lain dari pantai, di antara tebaran mayat yang berkaparan di sana 

sini, lapat-lapat terdengar suara erangan. Lalu ada satu sosok tubuh yang

bergelimang darah tampak menggeliat dan mencoba bangkit. Manusia ini ternyata 

adalah Supit Ireng yang disangka telah menemui ajal akibat bacokan Kapak Maut

Naga Geni 212 pada bagian lehernya. Sungguh luar biasa dia masih bisa hidup

walau sebagian tubuhnya telah menjadi hangus! Samar-samar Supit Ireng melihat

ada seseorang yang merangkak di atas pasir. Begitu pandangannya agak menjelas

dia segera mengenali orang itu.

Supit Jagal.... Kau masih hidup.....?” Supit Ireng berusaha berdiri. Tapi

kedua lututnya goyah dan tubuhnya terbanting ke tanah, menggeletak pingsan!


BAB 1


Gubuk reyot itu terletak tak jauh dari Teluk Burung. Ruangan di dalamnya terbuka

begitu saja, tak ada sekat tak ada dinding, apalagi yang disebut kamar. Sebuah obor

kecil tergantung di tiang bambu, menerangi dua sosok tubuh kakek-kakek yang

tergeletak di atas sebuah balai-balai kayu. Keadaan dua sosok tubuh ini sangguh

mengerikan. Kakek pertama buntung kuping kirinya. Mukanya hancur mengerikan.

Pakaiannya yang banyak tambalan kelihatan basah oleh air laut dan darah. Beberapa

tulang iganya patah. Tidak jelas apakah manusia ini masih hidup atau sudah jadi

mayat. Dia bukan lain adalah Supit Jagal, kakek sakti yang diam di sebuah goa di

Teluk Burung.

Di sebelah Supit Jagal menggeletak tubuh kakek kedua yaitu Supit Ireng.

Kakek bertubuh jangkung dan berkulit hitam ini kini hanya punya satu tangan yaitu 

tangan kanan. Tangan kirinya buntung sebatas pergelangan akibat tebasan Kapak

Maut Naga Geni 212. Lengan yang buntung itu tampak menghitam hangus sampai ke

siku. Selain pakaiannya yang kuyup oleh darah, di lehernya kelihatan ada sebuah luka

terbuka mengerikan. Luka ini juga adalah akibat sambaran senjata mustika Pendekar

212 Wiro Sableng. Seperti kakknya, saat itu tidka jelas apakah Supit Ireng masih

hidup atau sudah mati pula.

Pintu gubuk tiba-tiba terbuka disertai suara berkereketan. Seorang tua

melangkah terbungkuk-bungkuk diiringi dua orang pemuda. Di depan balai-balai

kayu, orang tua ini berhenti lalu berpaling pada dua pemuda. “Ini dua orang yang

kuceritakan itu. Mereka kutemui di antara tebaran mayat di Teluk. Hanya mereka

yang masih hidup. Coba kalian periksa keadaannya.”

Dua orang pemuda memperhatikan sosok-sosok manusia yang tergeletak di

atas balai-balai kayu itu dengan pandangan penuh ngeri.

“Mereka sudah jadi mayat kek. Buat apa diperiksa lagi,” kata pemuda yang 

tegak tepat di samping orang tua itu. Namanya Kudo Aru. Dia adalah cucu pertama

dari si orang tua yang disebutnya dengan panggilan kakek.

“Aku tidak sependapat!” menjawab si kakek. “Aku yakin dua manusia ini

masih hidup. Mereka orang-orang sakti. Karena itu mereka sanggup bertahan hidup.

Orang lain pasti sudah tewas menemui ajal!”

“Kakek Pungku,” giliran pemuda yang satu membuka mulut. “Sebenarnya

mengapa kau mau bersusah payah mengurusi dua orang ini? Sanak bukan saudara

bukan! Biar saja mereka tergeletak di Teluk sampai jadi tengkorak digerogoti elang

laut pemakan daging manusia!”

Si orang tua bernama Pungku menghela nafas dalam. “Aku sudah menduga

kau bakal berkata begitu Sindak Bumi. Terus terang aku sudah lama kenal dengan

yang sebelah kiri ini. Dia tinggal di sebuah goa di teluk. Dia seorang sakti

mandraguna.Kalau tidak salah namanya Supit Jagal.”

“Kalau dia orang sakti mengapa bisa babak belur seperti ini?” tanya Sindak 

Bumi.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Namun keras degaanku dia

telah berkelahi melawan orang yang jauh lebih sakti. Karena kenal itu sebabnya aku 

menolong. Kalaupun dia sudah mati apa salahnya aku mengurusi mayatnya. Kalian 

hanya kuminta membantu.....”

“Lalu kek, apa kau juga kenal dengan mayat yang satu ini?” bertanya Kudo

Aru.

Kalau tidak salah, dia adalah adik dari yang satu ini. Dia juga bukan manusia

sembarangan. Tapi kalah perkasa dengan lawannya. Lihat saja tangannya dibikin 

buntung. Lehernya terluka dalam....”

“Kek, kedua orang ini sudah mati. Lebih baik mereka diseret keluar lalu 

dibuang ke jurang!” kata Sindak Bumi pula yang tidak mau repot.

“Aku setuju dengan Sindak! Kata Kudo Aru menyambuti.

Kakek Pungku diam sesaat. Akhirnya dia berkata. “Jika itu mau kalian apa

boelh buat.” Orang tua ini mengambil obor kecil yang tergantung di dinding lalu 

berpaling pada kedua cucunya. “Seperti mau kalian, ayo seret satu-satu mayat itu lalu

kita buang ke jurang malam ini juga.”

“Kek, Kakek....” kata Sindak Bumi. “Kau ini ada-ada saja. Saya tahu kau ingin

berbuat baik. Tapi mengapa harus menyengsarakan diri sendiri?” Sindak berpaling

pada Kudo Aru lel keduanya melangkah mendekati sosok tubuh di atas balai-balai

kayu yang di sebelah kanan. Sosok Supit Ireng. Masing-masing mereka sudah siap

unuk mencekal kaki Supit Ireng dan menyeretnya ke luar gubuk, terus dibawa ke

jurang yang tak berapa jauh dari sana. Namun belum sempat kedua pemuda ini

memegang pergelangan kaki Supit Ireng tiba-tiba menerobos masuk satu bayangan

yang mengeluarkan suara deru angin.

“Hai! Siapa ini?!” seru kakek Pungku.

Orang yang masuk ternyata adalah seorang tua berambut putih yang disisir

rapi dan berwajah klimis. Dia mengenakan baju hitam yang di bagian dadanya ada

lukisan telapak tangan berkuku panjang dalam warna putih. Ketika Pungku dan dua

cucunya memperhatikan sepasang jarinya yang memiliki kuku-kuku sangat panjang.

“Orang berambut putih,kau belum menjawab pertanyaanku. Harap jelaskan 

siapa dirimu dan apa keperluanmu datang ke mari,” berucap Pungku.

“Siapa aku apa perdulimu. Aku ada urusan dengan dua orang ini. Aku mau

memeriksa dan menanyai!”

“Eh, kau tentu tidak gila mau menanyai orang yang sudah mati!” ujar Sindak

Bumi.

“Sudah! Jangan banyak mulut. Menjauh ke dinding sana! Lihat saja apa yang 

aku lakukan. Berani membuka mulut aku kepruk mulut kalian!” Lalu orang berkuku

panjang itu melangkah ke arah balai-balai kayu.

“Hai! Kau tidak bisa berbuat sesukamu di gubukku!” seru orang tua bungkuk

bernama Pungku.seraya menghalangi langkah orang.

Paras orang berpakaian hitam itu tampak berubah menyeramkan. “Jangan buat

aku marah! Atau kau ingin kubuat seperti ini?!” Kakek berambut putih ini pentang 

tangan kanannya. Tiba-tiba tangan itu berkelebat ke arah dinding papan. Terdenga

suara seperti orang menggergaji! Ketika Pungku dan dua cucunya memandang ke

dinding, wajah ketiganya jadi pucat. Dinding kayu itu kelihatan berlubang dalam

berbentuk guratan panjang! Orang tua ini menyeringai. “Apa kalian masih mau bicara

rewel denganku?!”

“Maafkan kami,” kata Sindak Bumi cepat-cepat.”Kami tidak tahu kalau 

berhadapan dengan orang pandai. Kami memang tidak berkepentingan dengan dua

mayat itu. Kau mau mengapakannya silahkan saja. Kami menunggu di luar.....”

“Tak usah pakai keluar segala. Kalian boleh lihat sendiri apa yang bakal aku 

lakukan!”

Orang tua berambut putih rapi dan berwajah klimis itu melangkah mendekati

tubuh Supit Ireng yang tergeletak di atas balai-balai kayu sebelah kanan. Dia

memperhatikan keadaan orang ini beberapa lama. Tiba-tiba bret....bret! Dia merobek

baju yang dikenakan Supit Ireng hingga dadanya terpentang lebar. Dengan hati-hati

orang ini kemudian menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada Supit Ireng.

Lalu dia mulai mengerahkan tenaga dalam yang berpusat di perut. Wajahnya yang

klimis tampak menjadi kemerahan. Tubuh dan terutama kedua tangannya kelihatan

bergetar. Keringat memrcik di keningnya.

Kaki kanan Supit Ireng tampak bergerak. Menyusul kaki kirinya. Perlahanlahan kedua matanya terbuka. Merah mengerikan. Tiba-tiba tubuh Supit Ireng 

bergerak bangkit seperti mau duduk. Kakek Pungku dan dua cucunya tersirap ngeri

dan mundur ke dinding gubuk. Tapi Supit Ireng hanya tertegak sesaat lalu tubuhnya

jatuh lagi terbanting ke balai-balai kayu. Kedua matanya terpejam kembali. Dia

pingsan lagi!

Kakek berambut putih geleng-gelengkan kepala. Sambil menarik nafas

panjang dia lepaskan kedua tangannya dari dada Supit Ireng. “Keadaannya parah 

sekali......” kata orang tua ini dalam hati. “Lika di lengan dan di lehernya yang jadi

penyebab. Orang lain mungkin sudah menemui ajal. Benda apa yang telah 

menghantamnya sampai keadaannya parah seperti ini?”

Dia melirik pada sosok Supit Jagal. “Kalau yang satu inipun tidak bisa kubuat

sadar, sia-sia saja aku datang jauh-jauh ke sini....!” Lalu orang tua ini berpindah ke

samping kiri balai-balai. Seperti tadi, kali ini dia juga merobnek baju yang dikenakan 

Supit Jagal. Dia menyeka keningnya yang basah keringatan lalu kedua telapak 

tangannya ditempelkan ke dada Supit Jagal. Perlahan-lahan dia mengeluarkan tenaga

dalamnya menghangati peredaran darah dan sekujur tubuh Supit Jagal. Hatinya mulai

cemas setelah menunggu beberapa saat tidak tampak tanda-tanda Supit Jagal akan

siuman dari pingsannya.

“Celaka!” keluh orang tua berambut putih itu. Digesernya sedikit telapak

tangan kanannya hinnga kini tepat berada di arah jantung Supit Jagal. Lalu dia mulai

mengerahkan lagi tenaga dalamnya dengan segala daya yang dimilikinya.

Tiba-tiba terdengar suara erangan halus. Yang mengerang adalah Supit Jagal.

Si orang tua kerahkan seluruh sisa tenaganya. Suara erangan itu semakin keras dan

jelas.

“Air....air?”

“Ambilkan air! Cepat!” perintah orang tua rambut putih pada Pungku. Pungku

memberi isyarat pada salah satu cucunya. Kudo Aru keluar dari dalam gubuk. Tak 

lama kemudian dia muncul lagi membawa air dalam mengkok tanah yang pecah salah

satu pinggirannya. Air dalam mangkok tanah itu dikucurkan ke mulut Supit Jagal.

Orang tua berambut putih salurkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya lalu dia

lepaskan tempelan dua telapak tangannya dan tertegak dengan nafas memburu. Di

atas balai-balai kayu Supit Jagal tampak telah membuka mata. Pandangannya

mengerikan apalagi mukanya sendiri saat itu hancur babak belur.

“Tol.....tolong. Di mana aku....” Supit Jagal berucap di antara erangannya.

Melihat hal ini si orang tua segera letakkan tangan kanannya di atas kening

Supit Jagal. Kalau tadi dia mengerahkan tenaga dalam yang mengeluarkan hawa

panas, kini dia ganti dengan tenaga dalam yang memancarkan hawa sejuk. Supit Jagal

merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya berkurang sedikit. Pemandangannya lebuh 

jelas tapi tetap saja dia tidak mengenali orang tua yang tegak di sampingnya.

“Kau siapa.... DI mana aku saat ini?” tanyanya. Suaranya lebih keras dan lebih

jelas.

“Siapa aku tidak penting. Paling penting adalah menyelamatkan nyawamu saat

inijuga. Kau masinh ingin hidup.....?”

“Aku.....” Supit Jagal merasakan lehernya seperti tercekik. Orang tua tadi

cepat-cepat kerahkan lagi tanaga dalam yang mengandung hawa sejuk.


“Dengar.....” Si orang tua kini berlutut di samping balai-balai kayu. Mulutnya

didekatkan ke telinga kanan Supit Jagal. “Aku akan menyelamatkan nyawamu. Juga

saudaramu. Tapi dengan satu perjanjian! Dengan satu syarat!”

“Keparat.....” terdengar serapah Supit Jagal. “Kau menolong karena

mengharapkan sesuatu! Bangsat!”

Orang tua tak dikenal berambut putih itu menyeringai. “Jaman sekarang mana

ada pertolongan diberikan Cuma-Cuma. Apalagi pertolongan menyangkut nyawa!”

“Apa yang kau harapkan dariku?” tanya Supit Jagal.

“Aku yakin kau mengetahui di mana bekas sobatmu Tunggul Bayana alias Ki

Ageng Tunggul menyembunyikan empat buah peti berisi uang dan harta perhiasan 

itu!”

“Setan alas! Jadi itu yang ingin kau ketahui.....” kembali Supit Jagal merutuk.

“Kau tanyakan saja pada setan dan dedemit!”

“Kau lebih sayang uang dan harta dari pada nyawamu sendiri dan nyawa

saudaramu!”

“Aku tidak perlu pertolongan manusia macam kau! Aku lebih suka mampus

dari pada memberi tahu!”

“Bagus sekali kalau begitu!” kata si orang tua lalu berdiri. “Selamat mampus!

Sampaikan salamku pada iblis-iblis akhirat!” Lalu dia membalik dan melangkah cepat

menuju pintu.

“Tunggu!” Supit Jagal memanggil.

Orang tau itu berhenti di ambang pintu dan membalik. Lalu bertanya “kau

belum pasrah untuk mampus?!”

“Aku mau membuat perjanjian denganmu. Tapi jangan serakah!”

Si orang tua mendekati balai-balai kayu. “Apa perjanjianmu?” tanyanya.

“Kau selamatkan nyawaku dan nyawa saudaraku. Empat peti itu kita bagi dua.

Kau dapat dua, aku dapat dua....”

Orang tua itu tampak seperti berpikir-pikir. Sesaat kemudian dia berkata.

“Baik. Aku setuju. Sekarang lekas katakan di mana beradanya empat peti itu!”

“Sabar dulu. Bagaimana aku tahu kau tidak akan menipuku?” tenya Supit

Jagal pula.

Si orang tua tersenyum. “Kalau kau memang tidak percaya, buat apa

mengadakan perjanjian?!” tukasnya. Dia seperti hendak bergerak pergi.

Supit Jagal masih diam beberapa ketika. Akhirnya dia berkata. “Mendekatlah,

aku akan beritahu....”

Si orang tua mendekat. Seperti tadi dia berlutut di samping balai-balai kayu 

dimana Supit Jagal tergeletak menelentang.

“Empat peti berharga itu ditanam di....”

Belum sempat Supit Jagal menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba di dalam

gubuk melesat satu sosok tubuh. Sambil melesat ke dalam dia melepaskan satu

pukulan jarak jauh yang ampuh. Orang tua yang sedang berlutut di samping balaibalai kayu berseru kaget. Tubuhnya terpental begitu angin pukulan menghantamnya!

“Penyerang gelap kurang ajar! Siapa kau!” teriak orang tua berambut putih 

sambil pegangi dadanya yang masih berdenyut sakit.

Terdengar suara tawa mengekeh.


BAB 2


Di tengah gubuk, di ujung kanan balai-balai kayu kini tampak berdiri seorang 

lelaki muda bertubuh tinggi tegap. Rambutnya sangat hitam, keningnya menonjol

sedang dagu dan rahangnya tampak kukuh. Walaupun parasnya gagah tapi jelas

membayangkan sifat sombong angkuh dan kecongkakan. Sehelai ikat kepala warna

merah melintang di atas keningnya. Dia mengenakan pakaian hitam atas bawah.

Dengan adanya orang ini di tempat itu, gubuk kecil itu jadi semakin sempit. Kini ada

lima orangdi situ, ditambah dengan Supit Jagal dan Supit Irang yang masih tergeletak 

di atas balai-balai.

Kakek Pungku yang memegang obor berbisik pada dua cucunya, bertanya

kalau-kalau mereka mengenali siapa adanya pemuda itu. Tapi Sindak Bumi dan Kudo

Aru sama menggelengkan kepala.

“Siapa kau?!” bentak orang tua berambut putih dengan geram karena barusan 

telah diserang secara mendadak.

Pemuda yang ditanya mendongak lalu kembali keluarkan tawa mengekeh.

“Dunia ini terlalu luas rupanya hingga kau tidak tahu siapa tuan besarmu ini!”

“Kurang ajar! Jawab pertanyaanku, jangan bicara bertele-tele!”

“Orang tua jelek bergelar Sepuluh Cakar Setan, apakah kau tidak mengenali

gambar di bajuku ini?!”

Orang tua bermbut putih terkejut mendengar orang mengenali dan menyebut

namanya. Namun dia lebih terkejut lagi sewaktu melihat gambar yang terpampang di

baju hitam yang dikenakan si pemuda. Yaitu gambar Gunung Merapi berwarna

kebiruan dengan latar belakang sang surya berwarna merah lengkap dengan garisgaris cahaya juga berwarna merah.

“Pangeran Matahari!” seru si orang tua dengan wajah berubah. Siapa adanya

orang di dunia persilatan yang tidak kenal dengan Pangeran Matahari, tokoh silat sakti

madraguna yang juga dikenal dengan julukan Pendekar Segala Cerdik, Segala Akal,

Segala Ilmu, Segala Licik dan Segala Congkak.

Pemuda di tengah gubuk kembali tertawa. Kepalanya yang sejak tadi

mendongak kini diturunkan. Kedua matanya memandang lekat-lekat pada orang tua

yang bergelar Sepuluh Cakar Setan itu.

“Aku menganggap kau tidak punya kepentingan apa-apa lagi di sini.

Karenanya lekas angkat kaki dari sini!” kata Pangeran Matahari dengan suara keras

membentak.

“Siapa bilang aku tidak punya kepentingan! Apa pula kepentinganmu berada

di sini?!” membentak Sepuluh Cakar Setan.

“Aku datang untuk mengambil dua orang di atas balai-balai kayu iotu!” jawab 

Pangeran Matahari. “Itu kepentingan pertama. Kepentingan kedua ialah 

membunuhmu jika kau terlalu banyak tingkah di depan tuan besarmu ini!”

“Manusia sombong! Namamu memang besar. Tapi apa kau kira aku takut

padamu?!” hardik Sepuluh Cakar Setan. Jari-jari tangannya tampak bergetar tanda

diam-diam dia telah bersiap-siap mengerahkan tenaga dalamnya.

Hal ini bukan tidak diketahui oleh Pangeran Matahari. Sambil menyeringai dia

menjawab. “Soal takut atau tidak takut tidak menjadi masalah. Yang aku ingin tanya

apakah kau punya nyawa rangkap atau nyawa cadangan hingga berani-beranian 

menentang tuan besarmu ini?!

Manusia congkak! Ternyata kau juga punya maksud hendak merampas uang 

dan harta yang tersembunyi itu! Kau tidak lebih dari seorang maling. Pencuri!”

“Lalu apakah kau lebih baik dariku?!” bentak Pangeran Matahari. Pelipisnya

tampak bergerak-gerak sedang rahangnya menggembung. Ini satu pertanda bahwa dia

mulai kehilangan kesabarannya. “Dengar tua bangka buruk. Kau mau angkat kaki dari

sini atau ingin mampus dalam gubuk ini?!”

Sepuluh Cakar Setan mendengus. Kedua tangannya disilangkan di depan dada.

“Kau akan jadi mayat lebih dulu!” katanya. Dua tangannya yang bersilang bergerak

ke samping. Terdengar siuran angin. Sepuluh cahaya putih berkiblat. Sepuluh kuku

panjang tiba-tiba menyambar ke arah wajah Pangeran Matahari!

Pangeran Matahari yang sudah cukup lama mendengar kehebatan Sepuluh 

Cakar Setan degnan sigap melompat hindarkan serangan. Begitu berhasil berkelit dia

bukannya balas menyerang tapi tiba-tiba menyambar obor yang dipegang kakek 

Pungku. Sekali dia meniup, obor kecil itupun padam. Gubuk serta merta berada dalam

keadaan gelap gulita. Lalu terdengar suara bergedebukan disusul seperti suara tulangtulang berpatahan, dibarengi oleh suara pekik kakek rambut putih berjuluk Sepuluh

Cakar Setan. Tak lama kemudian menyusul suara jebolnya dinding gubuk di sebelah

belakang. Lalu sunyi.

Kakek Pungku dan dua cucunya saat itu terpuruk di sudut gubuk setengah 

mati ketakutan. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi karena keadaan dalam gubuk

sangat gelap. Setelah menunggu beberapa saat Sindak Bumi memberanikan berbisik.

“Sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini. Melangkah hati-hati ke arah pintu....”

Perlahan-lahan kakek dan dua cucunya itu bangkit berdiri. Dalam gelap 

mereka berusaha mencari pintu. Kudo Aru menginjak sesuatu. Dia berbisik pada

saudaranya. “Aku menginjak sesuatu. Seperti bambu obor....”

“Ambil, nyalakan cepat,” menyahuti Sindak Bumi.

Kudo Aru lalu membungkuk. Benda yang diinjaknya itu memang ternyata

obor yang rupanya telah dicampakkan oleh Pangeran Matahari. Benda itu segera

dinyalakannya. Begitu keadaan gubuk menjadi terang, kakek dan dua cucunya itu

sama-sama melengak kaget.

Kakek berambut putih bergelar Sepuluh Cakar Setan kelihatan tergelimpang di

lantai gubuk. Mukanya hancur. Sepuluh jari tangannya tampak patah-patah!

“Dia sudah jadi mayat....” kata kakek Pungku.

Kudo Aru mangangkat obornya lebih tinggi. Balai-balai di atas mana

sebelumnya Supit Jagal dan Supit Ireng tergeletak kini terbalik kosong melompong.

Lalu di sebelah sana, dinding gubuk tampak jenol.

“Orang yang dipanggil dengan nama Pageran Matahari itu, pasti dia yang

melarikan dua sosok tubuh di atas balai-balai!” kata Sindak Bumi.

“Aku kawatir akan terjadi lagi hal-hal yang mengerikan. Mari kita tinggalkan 

tempat celaka ini!” kata Kudo Aru. Dia memandang pada kakeknya lalu berkata. “Ini

gara-garamu kek. Kalau kau tidak membawa dua orang tak dikenal itu ke sini, tidak 

akan terjadi segala keanehan yang mengerikan ini!”

Kakek Pungku diam saja. Dia mendahului melangkah ke luar gubuk yang 

nyaris porak poranda itu.

Manusia bermuka setan, kakak kembar Ki Ageng Tunggul Bayana tegak di

depan makam adiknya. Saat itu matahari telah redup tanda sebentar lagi akan segera

tenggelam.

“Tunggul sekarang kau bisa istirahat dengan tenang. Aku telah bersumpah 

untuk menuntut balas kematianmu. Semua orang yang menjadi pangkal sebab kematianmu akan menerima balasan!” Habis berkata begitu orang ini lalu mundur tiga

langkah dari hadapan kuburan. Mulutnya berkomat kamit sedang kedua tangannya

diletakkan di atas kepala. Sepasang matanya dipejamkan. Tiba-tiba terjadi hal yang

aneh. Sekujur tubuh itu bergetar keras dan dari mulutnya terdengar suara seperti

menggereng terus menerus.

“Eyang..... di alam gaib. Aku mohon kehadiranmu. Aku butuh petunjuk....”

orang ini berucap.

Sayup-sayup terdengar suara seperti tiupan angin. Lalu laksana datang dari

sebuah lobang yang dalam dan bergema, terdengar suara jawaban.

“Aku sudah ada di hadapanmu Tunggul, apa keperluanmu?!”

“Eyang, aku mohon petunjuk. Dari mana aku harus memulai mencari para

pembunuh adikku Ki Ageng Tunggul Bayana....” Saat itu sekujur tubuhnya masih 

terus bergetar.

“Katakan dulu apa tujuanmu?!” tanya suara yang orangnya tak kelihatan itu.

“Dengan izinmu aku hendak menuntut balas kematian adikku, Eyang....”

“Bagus! Kau memang saudara kembar yang baik. Petunjukku, kembalilah ke

Teluk Burung. Cari sebuah gubuk. Di sana kau akan menemukan jawabannya. Tapi

kau harus bertindak cepat. Aku kawatir ada orang lain yang bakal mendahuluimu.”

“Kalau begitu aku pergi sekarang juga Eyang....”

“Baik, kau boleh pergi. Tapi dengar dulu ucapanku. Kini kau yang mewakili

rohnya di atas dunia ini. Kau layak memakai nama yang menyerupai namanya..... Kau

bersedia?”

“Tentu aku bersedia Eyang.”

“Mulai saat ini namamu adalah Ki Ageng Tunggul Akhirat. Tugasmu 

mengirim ke akhirat orang-orang yang menjadi sebab kematian adikmu. Kau dengar

dan mengerti?”

“Aku dengar dan mengerti Eyang.”

“Bagus. Satu hal aku ingatkan. Saat untuk memberikan tumbal hanya tinggal

lima belas hari saja. Jangan kau sampai lupa melaksanakannya.”

“Hal itu tidak akan aku lupakan Eyang.”

“Aku pergi sekarang!”

Orang itu cepat menjura.

Terdengar suara aingin bersiur. Untuk sesaat lamanya sekujur tubuh orang itu

masih bergetar. Lalu perlahan-lahan getaran itu berhenti. Dia buka kembali kedua

matanya dan turunkan kedua tangan yang diletakkan di atas kepala. Disekanya

keringat yang memercik di keningnya. Lalu dia melangkah ke tempat di mana dia

menambatkan kudanya. Binatang ini dipacunya ke arah Teluk Burung secepat yang 

bisa dilakukannya sementara matahari mulai tenggelam dan malam akan segera

datang.

Karena gubuk yang dikatakan suara gaib itu merupakan satu-satunya

bangunan di Teluk Burung, tidak sulit bagi Ki Ageng Tunggul Akhirat untuk 

menemukannya. Namun seperti yang dikawatirkan oleh suara gaib, dia datang 

terlambat. Ketika dia sampai di depan gubuk dilihatnya tiga orang tengah melangkah 

ke luar. Satu di antaranya membawa obor. Ki Ageng Tunggul Akhirat melompat dari

kudanya dan menghadang.

“Berhenti!” hardiknya yang membuat kakek Pungku dan dua cucunya menjadi

terkejut dan kecut begitu menyaksikan mengerikannya tampang manusia yang tibatiba muncul melompat dari kudanya itu. “Kalian bertiga siapa?! Kulihat kalian

barusan keluar dari dalam gubuk!”

“Kau....kau sendiri siapa?” Kudo Aru beranikan diri bertanya.


Ki Ageng Tunggul Akhirat langsung membentak marah. “Haram jadah!

Ditanya malah bertanya. Apa aku harus menggebuk dlu salah satu dari kalian sampai

mampus dan baru kalian memberi tahu?!”

Kakek Pungku cepat berkata. “”Maafkan cucuku. Kami baru saja mengalami

satu peristiwa yang mengerikan. Sesuatu terjadi di dalam sana.....” Orang tua itu

menunjuk ke arah gubuk.

“Aku akan memeriksa ke dalam gubuk itu. Kalian bertiga tetap di sini. Berani

lari akan kubunuh kalian semua!” Lalu Ki Ageng Tunggul Akhirat menyambar obor

di tangan Kudo Aru dan lari ke arah gubuk. Begitu masuk ke dalam gubuk yang salah 

satu dindingnya sudah jebol itu, sesaat dia jadi tercekat. Di balik balai-balai kayu dia

menemukan sesosok tubuh manusia yang sudah jadi mayat. Mukanya hancur tak 

mungkin dikenali. Namun dari jari-jarinya yang panjang serta gambar telapak tangan 

berkuku panjang di dada bajunya Ki Ageng Tunggul Akhirat dapat menduga siapa

adanya orang itu.

“Sepuluh Cakar Setan. Siapa gerangan yang membunuhnya....?” Ki Ageng 

Tunggul Akhirat membatin. Dia memandang seputar gubuk, akhirnya keluar dan 

menemui tiga orang yang tetap berada di tempatnya, tak berani beranjak saking 

takutnya. “Ceritakan apa yang terjadi di gubuk sana sebelumnya!” membentak Ki

Ageng Tunggul Akhirat.

Kakek Pungku menerangkan walaupun dengan ucapan terputus-putus.

“Orang yang dipanggil dengan nama Pangeran Matahari itu, apakah dia

mengenakan pakaian hitam, berikat kepala kain merah dan bertubuh tinggi kekar?”

Kakek Pungku mengangguk. “Kalian tahu mengapa dia menginginkan dua

orang yang berada dalam keadaan pingsan itu?”

“Kami tidak tahu,” jawab kakek Pungku.

“Juga tidak tahu mengapa orang berjuluk Sepuluh Cakar Setan itu berusaha

menolong orang-orang pingsan?!”

“Kami mendengar dia menanyakan sesuatu. Tapi tidak begitu jelas....” kata

Sindak Bumi.

“Apa yang ditanyakannya? Pada siapa?!”

“Pada salah seorang yang pingsan. Dia berusaha membuatnya sadar lalu 

menanyakan sesuatu. Kalau tidak salah menyangkut uang dan harta perhiasan....”

Ki Ageng Tunggul Akhirat tampak berubah dan tegang wajah setannya. “Apa

dia mendapatkan jawaban?!” tanyanya pada Sindak Bumi.

“Orang yang pingsan hendak mengatakan sesuatu. Tapi terputus sewaktu 

Pangeran Matahari menerobos masuk.....”

Ki Ageng Tungul Akhirat terdiam.

“Kalau tak ada pertanyaan lagi, izinkan kami pergi.....” kata Kudo Aru pula.

“Tunggu! Kalian tahu kemana Pangeran Matahari membawa kedua orang

yang diculiknya itu?!”

Kakek Pungku dan dua cucunya menggeleng.

Ki Ageng Tunggul Akhirat memandang pada kakek Pungku yang membuat

orang tua ini seperti terbang nyawanya saking ngerinya. “Orang tua.... Tadi kau bilang

kau menemukan dua manusia yang masih hidup itu di antara tebaran mayat di pantai

Teluk Burung.....?”

“Betul..... Tapi aku tidak tahu siapa mereka. Aku menolong karena meliohat

hanya mereka berdua yang masih hidup.....”

“Kalian boleh pergi.” Kata Ki Ageng Tungul Akhirat pula. Lalu dia melompat

ke punggung kudanya, memacu binatang itu menuju Teluk Burung. Di pantai dia

menunggu sampai hari siang. Begitu paginya sang surya muncul dan pantai menjadi terang dia memeriksa tebaran mayat yang malang melintang di tempat itu. Setelah 

memastikan bahwa yang lenyap dari tempat itu adalah sosok tubuh Supit Jagal dan 

Supit Ireng, Ki Ageng Tunggul Akhirat segera tinggalkan tempat itu. Sementara

burung-burung pemakan mayat mulai tampak terbang berputar-putar di atas teluk.


BAB 3


Malam gelap sekali. Langit hitam pekat tanpa bintang tanpa rembulan. Gerobak

itu meluncur melewati jalan yang mendaki hingga akhirnya sampai di puncak sebuah

bukit terjal. Di bawah bukit terbentang sebuah jurang batu. Lapat-lapat dari dasar

jurang yang gelap terdengar suara aliran air tanda di situ terdapat sebuah sungai.

Orang yang menjadi sais gerobak hentikan kendaraannya di tepi jurang. Wajahnya

yang seram seperti setan menjadi pertanda bahwa dia bukan lain adalah Ki Ageng 

Tunggul Akhirat, kakak kembar Ki Ageng Tunggul Keparat yang mati dibunuh Supit

Jagal dan Supit Ireng.

Di tepi jurang Ki Ageng Tunggul Akhirat sesaat tegak berdiam diri. Kedua

matanya, yang satu menyembul merah mengerikan memandang ke dalam jurang yang 

gelap hitam. Lalu dia mendongak. Mulutnya komat kamit. Kedua tangannya di

letakkan di atas kepala. Tak lama kemudian tubuh itu mulai tampak bergetar. Dalam

kesunyian malam lalu terdenagr suara Ki Ageng Tunggul Akhirat.

“Eyang, mohon kau segera muncul. Aku datang untuk melaksanakan 

perjanjian. Membawa tumbal yang kau minta......”

Sunyi sesaat. Suara Ki Ageng Tunggul seperti bergema, memantul dari dasar

jurang. Lalu ada suara siurang angin. Tak lama kemudian terdengar suara seolah 

keluar dari dalam jurang dan bergaung angker.

“Aku sudah berada di hadapanmu. Jika kau memang sudah membawa tumbal,

lekas laksanakan perjanjian!”

Ki Ageng Tunggul Akhirat menjura. Lalu dia memutar tubuh, melangkah ke

arah gerobak. Dari atas kendaraan ini dikeluarkannya sesosok tubuh perempuan muda

dalam keadaan hamil besar dan dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuh itu 

dipanggulnya dibawa ke tepi jurang.

“Eyang, satu tubuh dua nyawa siap dijadikan tumbal!” berseru Ki Ageng 

Tunggul Akhirat. “Apakah Eyang sudah siap emnerima?”

“Aku siap menerima. Lemparkan tumbal itu ke dalam jurang!”

Ki Ageng Tunggul Akhirat pegang tubuh perempuan hamil pada bagian

pinggang dan lehernya. Ketika dia hendak melemparkan sosok tubuh itu ke dalam

jurang yang gelap, tiba-tiba dari kiri kanan terdengar bentakan-bentakan keras.

“Manusia keparat! Kali ini kami menangkap basah kamu!”

“Turunkan tubuh perempuan itu ke tanah! Kalau tidak kutabas batang

lehermu!” Sebuah benda tajam tiba-tiba menempel dingin di tengkuk Ki Ageng 

Tunggul Akhirat.

Bentakan ketiga menyusul. “Nyawa anjingmu tidak tertolong lagi! Bebaskan

perempuan hamil itu! Letakkan perlahan-lahan di tanah!”

Ki Ageng Tunggul Akhirat memandang ke bawah. Sebuah celurit besar

menempel di lambungnya. Sekujur tubuhnya yang gemeteran langsung tertegun kaku.

Mulutnya berkomat kamit, siap untuk memanggil sang Eyang. Tapi makhluk gaib itu

telah lenayp bersamaan dengan putusnya getaran di tubuh Ki Ageng Tunggul.

“Kalian siapa?! Mengapa mencampuri urusanku?!” Ki Ageng Tunggul

Akhirat membentak. Rupanya dia memang bukan jenis manusia penakut.

“Aku Jelamat Kuru Seta, dari Kotaraja mewakili Kerajaan!” Orang yang

menekankan golok ke tengkuk Ki Ageng Tunggul Akhirat menjawab.

Aku Tubagus Gamyang, berjuluk Clurit Hantu dari Barat!” Orang kedua

perkenalkan diri. Dialah yang menyorongkan clurit besar ke perut Ki Ageng Tunggul

Akhirat.

Orang ketiga menyusul membuka mulut. Aku Gambir Seloka dari Timur.

Kami bertiga mewakili orang-orang persilatan untuk menamatkan riwayatmu!

Menamatkan pekerjaan iblismu!”

“Jika kalian orang-orang persilatan mengapa kalian mengeroyok kawan 

sendiri?!” tukas Ki Ageng Tunggul Akhirat.

“Cis! Siapa menganggapmu sebagai kawan! Pekerjaanmu terkutuk sepanjang 

usiamu! Kau mengandalkan ilmu hitam dengan mengorbankan perempuan hamil

sebagai tumbal! Kau tidak beda dengan binatang berhati iblis! Budak ilmu hitam

terkutuk!” kata Jelamat Kuru Seta.

“Kalian tidak bijaksana! Menuntut ilmu bisa dengan berbagai cara! Lekas

kalian pergi dari sini!”

“Dengan manusia laknat macam kalain tidak perlu segala kebijaksanaan!”

jawab Tubagus Gamyang.

“Bersiaplah untuk mampus. Tapi turunkan dulu perempuan hamil itu!” berkata

Gambir Seloka.

Ki Ageng Tunggul Akhirat tertawa perlahan.

“Kalau kalian mau perempuan hamil ini silahkan ambil sendiri! Tapi dengar!

Sedikit saja kalian berani bergerak, kupatahkan batang leher perempuan ini!”

“Tubagus Gamyang, bagaimana pendapatmu?!” bertanya Gambir Seloka.

“Sekali ini biar kita mengepit kepala harimau. Satu korban tidak jadi apa.

Sekali bengsat keparat ini mampus berarti kita menyelamatkan puluhan perempuan 

hamil lainnya!” jawab Tubagus Gamyang sambil mempererat pegangannya pada hulu

Clurut Hantunya.

“Kau dengar sendiri manusia iblis! Kematian sudah di depan mata!” kata

Gambir Seloka pula.

Dua senjata bergerak. Satu jotosan keras menderu ke arah jantung. Namun 

sesaat sebelum semua gerakan itu terjadi, dengan nekad Ki Ageng Tunggul Akhirat

membuang dirinya ke dalam jurang. Kedua tangannya yang memegang tubuh 

perempuan hamil itu secara serentak melemparkan tubuh itu ke dalam jurang.

“Brett!”

Clurit Tubagus Gamyang masih sempat merobek pakaian dan melukai perut

Ki Ageng Tunggul Akhirat. Darah mengucur. Tapi dia selamat dari tabasan golok dan

jotosan maut. Dalam gelap tubuhnya jatuh ke bawah jurang.

Dalam keadaan seperti itu Ki Ageng Tunggul Akhirat letakkan kedua

tangannya di atas kepala. Matanya dipejamkan dan mulutnya komat kamit dengan 

cepat.

“Eyang, aku dalam bahaya! Aku butuh pertolonganmu!” teriak Ki Ageng

Tunggul Akhirat. Sekujur tubuhnya kini bergetar keras.

Sesiur angin menerpa. Lalu Ki Ageng Tunggul Akhirat merasa ada dua tangan 

yang tidak kelihatan yang menangkap tubuhnya. Seperti diajak melayang, tubuh lelaki

ini meluncur ke bagian Timur jurang sementara tubuh perempuan hamil tadi jatuh

terhempas di dasar jurang, disambut oleh batu-batu besar.

Ki Ageng Tunggul merasakan dua tangan yang tidak kelihatan 

membaringkannya di tanah, di tepi jurang.

“Terima kasih Eyang, kau menyelamatkanku.....” kata Ki Ageng Tunggul

Akhirat, lalu dia cepat bangkit dan menjura dalam Tugasmu sekarang adalah membunuh ketiga orang itu Ki Ageng! Lakukan

cepat! Manusia-manusia pengacau seperti itu bisa menyusahkanmu dan aku jika tidak

segera dihabisi!”

“Akan saya lakukan Eyang. Mohon Eyang menolong luka di perutku ini.

Darahnya masih mengucur!”

“Hanya luka kecil saja mengapa harus ditakutkan!”

Ki Ageng Tunggul Akhirat merasakan satu tangan yang tidak kelihatan

mengusap luka bekas sambaran clurit di lambungnya. Aneh! Begitu diusap luka itu

sembuh bahkan hampir tanpa bekas sama sekali!

Ki Ageng Tunggul Akhirat menjura kembali seraya mengucapkan terima

kasih. Lalu dia berdiri dan bepaling ke arah Barat jurang di mana tiga orang yang tadi

hendak membunuhnya berada.

Sementara itu di tepi jurang sebelah Barat, Jelamat Kuru Seta dan dua orang 

kawannya sama-sama kaget dan tak menduga. Mereka memandang ke arah jurang

yang dalam gelap. Mereka tidak mampu menembus kegelapan malam dan tak dapat

melihat apa yang terjadi di bawah sana.

“Iblis nekad!” kata Jelamat Kuru Seta bergumam.

“Keparat itu pasti sudah hancur di dasar jurang!” kata Tubagus Gamyang pula

yang merasa agak puas karena sebelumnya masih sempat menorehkan cluritnya.

“Aku yakin dia sudah mampus di dasar jurang. Hanya sayang kita tidak 

sempat menyelamatkan perempuan hamil yang dijadikan tumbal ilmu hitamnya!”

Ketiganya diam sejenak.Akhirnya Tubagus Gamyang mengajak kedua

kawannya meninggalkan tampat itu. Mereka hendak menyelinap ke tempat

sebelumnya mereka menyembunyikan kuda masing-masing. Namun belum sempat

bergerak tiba-tiba satu sosok tubuh menghadang. Laksana melihat setan begitulah

kagetnya tiga orang ini.

“Kau!” seru Gambir Seloka.

“Jadi kau belum mampus di dasar jurang sana!” ujar Jelamat Kuru Seta.

Tubagus Gamyang maju selangkah untuk memastikan. “Kalau kau punya

nyawa setan, saat ini juga aku akan mengakhiri kebejatanmu!” Dia cabut cluritnya

yang masih berdarah lalu menerjang sambil menabaskan senjata itu ke leher Ki

Ageng Tunggul Akhirat. Dua kawannya tidak tinggal diam. Ikut menyerbu!


BAB 4


Begitu clurit bedar di tangan Tubagus Gamyang menyambar ke leher, golok dalam

genggaman Jelamat Kuru Seta menyusul menderu ke arah dada. Dari jurusan lain

Gambir Seloka yang mengandalkan tangan kosong, menghantamkan satu jotosan ke

batok kepala Ki Ageng Tunggul Akhirat!

Yang diserang keluarkan tawa bergelak. Dia letakkan kedua tangan di atas

kepala. Mulutnya berkomat kamit. Dalam hatinya dia membatin. “Eyang tolong diriku

menghadapi tiga manusia keparat ini!” Sekujur tubuh Ki Ageng Tunggul Akhirat

bergetar. Lalu tubuh itu membuat gerakan luar biasa cepatnya hingga tiga penyerang

hanya seperti melihat bayang-bayang dalam kegelapan malam. Tiga serangan 

mengenai tempat kosong. Golok dan clurit malah sempat saling bentrokan. Ketiga

orang itu terkejut dan sama bersurut. Saat itulah terjadi neraka bagi ketiganya.

Gambir Seloka menjerit keras sewaktu satu tendangan menghantam perutnya.

Tubuhnya mencelat sejauh dua tombak lalu terkapar di tanah. Anggota badannya

tersentak-sentak. Tubhnya di bagian dalam terluka parah.

Tubagus Gamyang berusaha membabatkan cluritnya ke arah bayang-bayang 

Ki Ageng Tunggul Akhirat yang dilhatnya di sebelah depan. Namun saat itu terasa

ada sambaran angin di samping kanannya. Lalu tahu-tahu tangan kanannya ditelikung

orang ke belakang. Bagaimanapun dia berusaha melepaskan diri namun sia-sia saja.

“Kraakk!”

Sambungan bahu Tubagus Gamyang berdrak tanggal. Tokoh silat dari barat

ini menjerit setinggi langit. Suara jeritannya menggema sampai ke dasar jurang. Clurit

besar lepas dari pegangannya. Selagi dia terhuyung-huyung kesakitan setengah mati

tiba-tiba tubuhnya terasa diangkat orang lalu dilemparkan ke depan, tepat pada saat

mana golok di tangan Jelamat Kuru Seta berkelebat!

Tubagus Gamyang berteriak keras. Jelamat Kuru Seta berseru tegang dan 

berusaha menarik tangannya namun serangannya terlalu deras. Goloknya tanpa bisa

ditahan membacok tepat di pangkal leher teman sendiri. Raungan Tubagus Gamyang 

mengerikan. Darah muncrat dari lehernya yang nyaris putus. Tubuhnya terhuyung

sesaat lalu roboh.

“Jahanam!” teriak Jelamat Kuru Seta. Dengan golok berdarah dia membacok 

ke arah sosok tubuh Ki Ageng Tunggul Akhirat. “Mampus kau!” teriak orang 

Kerajaan ini. Dia yakin goloknya akan membuat luka dalam pinggang lawan. Tetapi

astaga! Kejutnya bukan alang kepalang. Dia seperti membacok air atau membabat

bayang-bayang. Goloknya lewat dengan suara menderu. Bayangan Ki Ageng

Tunggultampak berputar dalam gelap. Lalu terdengar tawa bergelak. Di lain kejap

tahu-tahu batang lehernya dicengkeram keras. Dengan kalap Jelamat Kuru Seta

membacokkan goloknya pulang balik. Dia hanya membabat angin. Cekikan di

lehernya mengencang hingga lidahnya terjulur dan sepasang matanya mencelat ke

luar. Tubuhnya tiba-tiba terangkat lalu, “Kreeeekkkk!” Dalam keadaan terangkat

batang lehernya dipuntir. Tulang lehernya berderak patah. Jelamat Kuru Seta sudah 

lepas nyawanya sebelum tubuhnya roboh tergelimpang di tanah.

Bayangan tubuh Ki Ageng Tunggul Akhirat kelihatan utuh dan nyata kembali.

Dia bergerak menghampiri mayat Tubagus Gamyang dan Jelamat Kuru Seta. Satu

demi datu sosok tanpa nyawa itu ditendangnya hingga terjungkal masuk kedalam

jurang. Sewaktu dia menghampiri sosok Gambir Seloka, terdengar orang ini berteriak.

“Jangan! Jangan tendang diriku!”

Dalam gelap tampang Ki Ageng Tunggul Akhirat tampak menyeringai.

“Belum mampus kau rupanya!” Dia melangkah lebih dekat.

“Jangan bunuh diriku Ki Ageng! Jangan.....!” teriak Gambir Seloka ketakutan 

setengah mati.

“Jangan takut. Kau memang kubiarkan hidup! Untuk menjaga dua mayat

temanmu dalam jurang sana! Nah kau susullah mereka!”

Kaki kanan Ki Ageng Tunggul Akhirat menendang.

“Dukk!”

Tubuh Gambir Seloka mencelat dalam gelap. Suara jeritannya menggidikkan

ketika tubuhnya melayang ke dasar jurang yang kelam pekat!

“Eyang.....” desis Ki Ageng Tunggul Akhirat “Terima kasih kau telah 

menolongku!” Tubuhnya yang keringatan tampak berhenti bergetar. Seperti orang

yang baru sadar apa yang telah dilakukannya dia memandang berkeliling, mengusap 

mukanya beberapa kali lalu melangkah menuju gerobak yang ditinggalkannya tak 

jauh dari tepi jurang


BAN 5


Dua orang kakek berwajah cacat mengerikan itu bersujud di depan Pangeran 

Matahari yang duduk di atas sebuah gundukan batu berwarna merah kecoklatan dalam

goa di pantai Selatan.

“Kalian boleh duduk kembali!” berkata Pangeran Matahari.

Supit Jagal dan Supit Ireng lantas bangkit dan duduk bersila di depan sang 

Pangeran.

“Kalian sudah tahu berada di mana, sudah tahu siapa aku, sudah mendengar

ceritaku apa yang telah terjadi dengan diri kalian kakak adik. Sebelum aku 

melanjutkan bicara apakah kalian ingin bertanya atau mengatakan sesuatu?”

Supit Ireng berpaling pada kakaknya yaitu Supit Jagal. “Kau saja yang

bicara,” katanya perlahan.

Supit Jagal mendehem beberapa kali lalu membuka mulut. “Kami sudah 

mendengar apa yang terjadi. Sudah tahu apa yang Pangeran lakukan terhadap kami.

Kami tentu saja merasa berhutang budi dan nyawa. Karena itu kami berdua kakak dan 

adik pantas tunduk menyerahkan diri pada Pangeran....”

“Bagus, kalian adalah tua bangka yang tahu diri!” kata Pangeran Matahari

pula.

Pada keadaan yang berbeda, disebut sebagai tua bangka dua kakek berwajah 

setan itu pasti akan marah, mungkin mengamuk. Namun terhadap sang Pangeran yang 

telah menyelamatkan nyawa mereka, keduanya bersikap tunduk.

“Penyerahan diri dan sikap tunduk kalian sudah sepantasnya. Aku menerima

hal itu. Namun aku tak ingin hanya sampai di situ!” kata Pangeran Matahari pula.

“Apapun yang Pangeran minta dari kami akan kami berikan. Nyawa

sekalipun!” kata Supit Ireng.

Pangeran Matahari mendongak lalu terdengar tawanya bergema dalam goa

batu itu.

“Aku menolong kalian agar bisa hidup. Sesudah hidup masakan aku akan 

meminta nyawa kalian kembali? Jangan bersikap dan bicara tolol. Aku tidak suka

pada manusia-manusia tolol!”

“Maafkan kami Pangeran,” kata Supit Jagal dan Supit Ireng hampir

berbarengan .

“Aku menyirap kabar bahwa seorang penjahat bernama Ki Ageng Tunggul

menyembunyikan bebrapa peti hasil rampasan berisi harta perhiasan dan uang emas

tak ternilai harganya. Kalian pernah tahu siapa adanya manusia itu?”

Dalam hati Supit Jagal dan Supit Ireng merasa heran bagaimana sang

Pangeran tahu tentang empat peti yang berisi barang serta uang itu.

“Kami memang kenal orang itu, Pangeran,” menjawab Supit Ireng. “Manusia

itu sudah menemui ajal. Tewas di tangan kami berdua....”

“Sayang.....sayang sekali,” ujar sang Pangeran. “Tetapi apakah kalian tahu di

mana dia menyembunyikan harta kekayaan itu?”

“Harap dimaafkan. Kalau soal harta perhiasan dan uang emas sebanyak empat

peti itu kami tidak tahu menahu,” jawab Supit Jagal.

“Hemmm.....” Pengeran Matahari usap-usap dagunya yang kokoh. “Kalian 

tidak berdusta padaku?” Pandangan mata Pangeran Matahari yang tajam seperti

menusuk membuat dua kakek itu diam-diam jadi berdebat juga. Akhirnya Supit Irang

membuka mulut menjawab.

“Pangeran telah menyelamatkan kami. Masakan kami berani berbohong?”

Pangeran Matahari mengangguk-angguk. “Kalian sebentar lagi boleh pergi

dengan bebas. Namun ada satu tugas yang harus kalian lakukan untukku!”

“Kami berdua siap menerima dan menjalankan tugas itu. Pangeran tinggal

menyebutkan saja,” kata Supit Jagal pula.

“Tugasmu cukup berat. Karena itu aku akan memberikan kekuatan tenaga

dalam tambahan paa kalian serta ilmu pukulan Telapak Merapi. Walau kalian hanya

mempelajari dalam satu minggu namun dengan pengalaman serta tambahan tenaga

dalam kalian pasti bisa mempergunakannya.”

“Terima kasih Pangeran mau dan percaya memberikan tugas pada kami. Kami

menunggu....” kata Supit Jagal.

“Kalian berdua aku tugaskan untuk mencari dan membunuh seorang pemuda

bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, murid

seorang nenek sakti dari Gunung Gede.....”

Supit Jagal dan Supit Ireng sama-sama saling pandang.

“Ada apa?!” menegur Pangeran Matahari.

Yang menjawab Supit Jagal. “Justru pemuda satu itu adlah musuh besar yang 

memang hendak kami singkirkan dari muka bumi. Lihat luka di leher adikku, juga

tangan kirinya yang buntung. Pemuda edan itulah yang jadi pangkal bahala!”

Pangeran Matahari tersenyum lebar.

“Apa kalian punya musuh-musuh lain?”

“Betul, memang ada Pangeran. Seorang kakek sakti bernama Empu Pamenang.

Degnan izin Pangeran kami berniat untuk membunuhnya! Kakek ini punya hubungan

cukup dekat dengan Wiro. Wiro sendiri tidak mudah untuk dicari karena selalu 

gentayangan kian ke mari. Kami mohon petunjuk Pangeran lebih lanjut.”

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 memang sulit dicari karena tidak pernah

diam di satu tempat. Tetapi dengan sedikit akal kita bisa memancingnya keluar. Kau

bunuh dulu Empu Pamenang. Dalam waktu singkat dia pasti akan muncul!”

Supit Jagal dan Supit Ireng mengangguk-angguk. Mereka menyatakan pujian

atas kecerdikan sang Pangeran.

“Kalian berdua boleh pergi,” kata Pangeran Matahri pula seraya berdiri. Supit

Jagal dan Supit Ireng bersujud di depan kaki Pangeran Matahari. Ketika mereka

mengangkat kepala kembali tenyata Pangeran itu tidak ada lagi di dalam goa!

“Dulu aku sering merasa sebagai orang paling jago di dunia. Ternyat di depan 

Pangeran Matahari aku merasa kecil sekali.”

Supit Jagal tertawa mendengar ucapan adiknya itu. Sambil memegang bahu 

Supit Jagal dia berkata “Ada satu ujar-ujar yang mengatakan bahwa di atas langit ada

langit lagi!”

Keduanya sampai di luar goa.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Supit Ireng.

“Berjalan saja terus. Kalau sudah jauh dari goa baru kita bicara lagi,” jawab 

Supit Jagal.

“Hemmm..... kau mengkhawatirkan sesuatu, Jagal?”

“Setan! Kataku nanti saja kita bicara kalau sudah jauh dari goa!” Supit Jagal

mendamprat marah lalu mulai berlari. Sang adik jadi diam. Dia segera berlari pula

menysul kakaknya.

Setelah meninggalkan goa cukup jauh, begitu memasuki rimba belantara Supit

Ireng ajukan pertanyaan. “Apa di sini kau rasa masih kurang aman untuk bicara?”

Supit Jagal hentikan larinya. Sambil melangkah dia berkata.

Ingat ucapan Pangeran Matahri tadi? Dia tidak suka pada orang-orang tolol!

Apa dia menyangka kita ini memang tolol?!”

“Apa maksudmu Supit Jagal?”

“Tentang empat buah peti berisi harta perhiasan dan uang itu,” jawab Supit

Jagal. “Kita berhasil mengelabuhinya dengan mengatakan tidak tahu menahu tentang

barang-barang itu. Dan dia percaya saja. Siapa yang tolol. Dia atau kita?!” Dua kakek 

muka setan kakak beradik itu tertawa gelak-gelak.

Tapi Supit Ireng segera hentikan tawanya dan berkata. “Apa bisa dijamin

bahwa Pangeran Matahari benar-benar percaya pada keterangan kita. Bahwa kita

tidak tahu menahu tentang empat peti itu?”

“Eh, apa maksudmu?” tanya Supit Jagal.

“Manusia satu itu berotak cerdik, licin, berilmu tinggi dan panjang akal. Kita

harus hati-hati. Wajahnya bisa saja tampak tersenyum tetapi hatinya menjanjikan 

kematian!”

“Kalau begitu berarti kita harus segera ke Pasirginting,” kata Supit Jagal.

Supit Ireng menggeleng.

“Sialan! Apa maksudmu dengan gelengan itu?”

“Aku kawatir Pangeran Matahri sengaja melepas kita pergi. Lalu diam-diam

menguntit. Kalau kita langusng menuju Pasirginting dan mengambil peti-peti

berharga itu lalau dia memergoki, tamatlah riwayat kita!”

Supit Jagal terdiam sesaat. “Kupikir-pikir kita berdua dia sendiri. Ilmunya

malah diberikannya pada kita. Apa kau kira kita tidak bisa mengalahkannya?”

“Bagaimanpun kita berhutang nyawa padanya Jagal. Jangan lupakan hal itu!”

“Hutang nyawa itu tentu tidak kita lupakan. Itu sebab kita berdua mau

menjalankan tugas yang diberikannya. Membunuh Pendekar Kapak Maut Naga Geni

212! Nah itu balasan dari kita. Kurasa sudah lebih dari cukup. Lalu apakah kita juga

harus menyerahkan empat peti harta itu padanya? Jangan jadi orang tolol Supit

Ireng!”

“Aku tetap tidak setuju kalau kita langsung ke Pasirginting. Empat peti itu 

aman di sana karena tidak ada yang tahu. Aku ingin kita mencari Empu Pamenang 

lebih dulu! Ingat gadis cantik yang ikut bersamanya?” Supit Ireng membasahi

bibirnya dengan ujung lidah.

“Aku lebih tua.Aku kakakmu. Jika gadis itu kita temui, aku yang harus

menikmati tubuhnya lebih dulu! Ingat itu Supit Ireng!”

“Kau kakak sialan!” maki Supit Ireng lalu lari meninggalkan Supit Jagal di

belakang


BAB 6


Di dalam pondok di pinggir danau Merak Biru Pendekar 212 menyerahkan surat

yang dibawanya pada Empu Pamenang disaksikan oleh dua muridnya yaitu Ning

Larasati dan Jakawulung.

“Seorang kepercayaan Sultan meminta saya menyampaikan ini pada Empu,”

menerangkan Wiro.

Orang tua bungkuk berpakaian selempang kain putih itu menerima surat

dengan tenang. Justru Ning Larasati yang puteri Sultan itu tampak tegang sementara

Jakawulung bersikap menunggu.

Empu Pamenang membaca isi surat dengan cepat. Selesai membaca surat itu

dilipatnya kembali lalu dia berpaling pada Ning Larasati.

“Muridku, ayahandamu sedang sakit. Sakitnya sakit biasa saja. Namun 

kerinduannya padamu bisa-bisa membuat sakitnya jadi berat. Kuminta kau segera

berangkat ke Kotaraja. Tunggui dan rawat ayahandamu. Bila beliau sudah sembuh 

baru kau boleh kembali ke mari lagi melanjutkan ilmu pelajaran.”

Ning Larasati berpaling pada Jakawulung, saudara seperguruan dan juga

kekasihnya. Jakawulung yang maklum akan arti pandangan ini cepat berkata “Dengan 

izin Empu saya akan mengantarkan Larasati ke Kotaraja.”

Empu Pamenang mengangguk.

“Kalau begitu saya akan segera bersiap-siap,” kata Larasati seraya berdiri. Dia

masuk ke dalam sebuah kamar. Tak lama kemudian dia keluar lagi mengenakan 

pakaian ringkas baju dan celana putih. Rambutnya yang panjang telah disanggul dan

ditutup dengan sehelai kain hitam. Sepintas lalu orang akan menyangkanya sebagai

seorang pemuda berwajah tampan dan halus.

“Kalau para sahabat di sini sudah siap berangkat sayapun ingin minta diri.

Tugas saya sudah selesai....” kata Wiro pula.

Empu Pamenang tersenyum. “Sebetulnya ada hal-hal dalam dunia persilatan 

yang ingin aku bicarakan denganmu anak muda. Namun tidak terlalu penting. Lain

hari saja kalau kita bertemu kita ngobrol panjang lebar. Aku tahu orang sepertimu 

tentu banyak urusan di luar sana.”

Empu Pamenang mengantarkan ketiga orang muda itu sampai di pintu.

Mereka meninggalkan Danau Merak Biru dengan menunggang kuda. Setelah 

ketiganya lenyap di kejauhan Empu Pamenang melangkah ke tepi danau. Saat itu 

matahari baru saja menggelincir ke arah Barat. Udara siang yang tadi terasa panas

kini agak sejuk sedikit. Apalagi angin bertiup cukup banyak.

Di tengah danau saat itu ada sebuah perahu terapung-apung dimainkan 

ombak-ombak kecil. Jarak antara tepian tempat Empu Pamenang berdiri sampai ke

perahu sekitar dua puluh tombak. Di samping Empu Pamenang berdiri terdapat

serumpun pohon bambu. Orang tua bungkuk ini memilih salah satu batang bambu 

yang paling lentur lalu digoyang-goyangkan. Makin lama makin kencang. Pada

puncaknya kekencangan Empu Pamenang angkat kedua kakinya. Bersamaan dengan

itu dia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sekejap kemudian kelihatan sosok

bungkuk berselempang kain putih itu melesat ke tengah danau lalu jatuh tepat di atas

perahu yang terapung-apung di air. Sesaat perahu tampak agak oleng sedikit lalu diam

tak bergerak lagi.

Perlahan-lahan Empu Pamenang mendudukkan dirinya di atas perahu. Kedua

tangannya dirangkapkan di atas dada. Dia mendongak ke atas. Ketika kepalanya



diturunkan kedua matanya telah terpejam. Lalu orang tua inipun tenggelam dalam

semedi yang khusuk. Semua panca inderanya berhenti bekerja. Bagi Empu Pamenang 

danau yang sunyi, udara yang segar adalah tempat yang baik untuk melakukan semedi

di tengah alam terbuka. Tidak seperti orang pandai lainnya yang suka melakuka

semedi dalam goa tertutup. Biasanya kalau bersemedi di atas perahu seperti itu Empu

Pamenang bisa tahan samapi berhari-hari. Selesai bersemedi dia merasakan tubuhnya

lebih segar, pendengaran dan penglihatannya lebih tajam.

Kita kembali pada tiga orang pemuda yang tengah melakukan perjalanan

menuju Kotaraja.di satu tempat, dekat sebuah simpang tiga di dataran rendah di

bawah lamping sebiah bukit. Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan kudanya. Dia

berpaling pada Ning Larasati dan Jakawulung lalu berkata.

“Para sahabat, kita seiring sampai di sini. Untuk ke Kotaraja kalian berdua

harus membelok ke kanan. Aku akan mengambil jalan ke kiri. Bila umur sama

panjang kita pasti akan bertemu lagi.”

“Wiro, aku mengucapkan terima kasih. Kau telah bersusah payah 

mengantarkan surat dari ayahanda.....” kata Ning Larasati.

Wiro tertawa lebar. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi urung. Saat itu di

sebuah jalan yang terletak di atas lereng bukit kelihatan dua orang penunggang kuda.

Selain jarak mereka terpisah cukup jauh, kedua orang itu tampak menutupi wajah

masing-masing dengan sehelai kain sampai sebatas mata hingga sulit dikenali siapa

mereka adanya. Entah mengapa Pendekar 212 mendadak saja merasa tidak enak 

melihat kemunculan kedua orang itu. Dua penunggang kuda tersebut tampak hentikan 

kuda masign-masing dan saling bicara beberapa lamanya. Karena tempat Wiro dan

dua kawannya berhenti berada di bawah lindungan sebatang pohon besar berdaun

rimbun, dua penunggang kuda di lereng bukit tak dapat melihat mereka.

Larasati dan Jakawulung rupanya juga telah melihat dua penunggang kuda di

atas sana.

“Siapa mereka.....?” tanya Larasati.

“Tampaknya bukan orang baik-baik. Kalau tidak mengapa mereka sengaja

menutupi wajah dengan kain?” ujar Jakawulung pula.

“Kalian berdua teruskan saja perjalanan. Tidak usah memperdulikan dua

orang di atas bukit sana,” kata Wiro.

Jakawulung mengangguk lalu memberi isyarat pada Larasati. Kedua orang ini

segera melanjutkan perjalanan menuju Kotaraja. Setelah Larasati dan Jakawulung 

lenyap di kejauhan Wiro kembail memandang ke arah lereng bukit. Dua penunggang 

kuda bertopeng tadi ternyata tidak ada lagi di situ. Pendekar 212 berpikir sejenak.

Akhirnya diarahkannya kudanya menuju lereng bukit itu. Sampai di atas dia

memandang berkeliling. Di kejauhan di sebelah Timur tampak sepintas sosok Larasati

dan Jakawulung. Tapi dua penunggang kuda tadi sama sekali tidak kelihatan. Wiro 

memperhatikan tanah di lereng bukit. Jejak-jejak kaki kuda tunggangan kedua orang 

tak dikenal tadi jelas kelihatan. Wiro bergerak mengikuti jejak ini. Namun di satu 

tempat jejak-jejak itu lenyap.

Dua penunggang kuda yang wajahnya ditutup kain hitam sampai di tepi Timur

Danau Merak Biru. Perhatian mereka serta merta tertuju pada satu-satunya bangunan

yang ada di situ.

“Pasti ini tempat kediaman tua bangka bernama Empu Pamenang itu,” kata

penunggang kuda di sebelah kanan. Dia bukan lain adalah Supit Jagal kakek iblis

berbaju tambalan, berkuping sumplung dan memiliki cacat panjang serta dalam di

wajahnya. Dia melompat turun dari kudanya. Orang kedua mengikuti gerakannya. Dia

tentu saja adalah adik Supit Jagal yaitu Supit Ireng, manusia yang memiliki wajah 

seangker setan karena tampangnya yang cekung itu dihias dengan rongga bolong

besar pada mata kiri sedang mata kanan membeliak merah dan besar.

Karena pintu pondok tidak terkunci mereka masuk dengan mudah. Setelah 

menggeledah seisi pondok dan tidak menemukan seorang di situ, Supit Ireng berkata.

“Kosong, Tak satu orangpun ada di sini. Tidak si tua bangka itu, tidak pula

gadis jelita yang membakar mafsuku itu! Bagaimana? Kita tunggu saja sampai

mereka kembali?”

“Agar mereka lekas muncul, biar bangunan ini kita bakar saja!” jawab Supit

Jagal. Dia keluar untuk mencari kayu pembakar. Namun sewaktu sampai di pintu dan 

matanya tak sengaja memandang ke arah danau, langkahnya tertahan.

“Ireng! Lekas ke mari!” serunya.

Supit Ireng melompat ke samping kakaknya lalu memandang ke arah yang

ditunjuk Supti Jagal yaitu perahu di tengah danau. “Memang dia! Apa yang 

dikerjakannya di sana!”

“Tampaknya seperti tengah bersemedi..... Tak ada perahu lain. Kita harus

berenang untuk mendatanginya.”

“Terlalu berbahaya. Aku dengar tua bangka itu raja diraja dalam air. Dia

sanggup menyelam dan mendekam dalam air seperti ikan. Satu-satunya jalan ialah

menghancurkan perahunya, memancing kemarahan dan membuat dia datang ke

daratan sini.”

“Kau benar!” kata Supit Jagal. Dia melangkah ke arah rumunan pohon bambu.

“Bambu-bambu ini bisa menolong!” Lalu dia mengeluarkan sebilah golok. Dengan 

senjata ini dia memotong empat batang bambu yang kemudian dipotong-potong

dibuat runcing salah satu ujungnya. Kedua kakak beradik itu kembali ke tepi danau.

Masing-masing mereka memasukkan sebatang potongan bambu ke dalam air. Bagian 

yang runcing di arahkan ke perahu di tengah danau.

“Kau duluan Jagal!” kata Supit Ireng.

Supit Jagal menyeringai. Dengan tangan kanannya dia menepuk bagian 

belakang potongan bambu. Karena pukulan itu disertai tenaga dalam yang tinggi

maka laksana anak panah, potongan bambu yang runcing menghantam tepat di

lambung perahu sebelah kanan, menghancurkan papan dan menimbulkan lobang 

besar. Sesaat perahu tampak bergoyang lalu diam kembali. Namun air mulai

mengucur masuk ke lantai perahu. Di atas perahu orang tua bungkuk tetap saja duduk 

tenang seolah apa yang terjadi tidak mengganggu semedinya.

Supit Ireng tak mau kalah. Dia mengarahkan bambu runcingnya ke bagian kiri

perahu. Sekali menggubuk potongan bambu itu melesat. Sesaat kemudian tedengar

suara braak! Lambung perahu sebelah kiri hancur berkeping-keping, menimbulkan

lubang yang lebih besar dari yang di sebelah kanan. Air danau masuk dengan cepat.

Separuh dari lantai perahu telah terisi air dan merendam kedua kaki Empu Pamenang 

yang duduk bersila. Baigan depan perahu mulai tenggelam ke bawah. Tetapi aneh dan

hebatnya si orang tua bungkuk masih saja tampak duduk tak bergerak. Kedua tangan 

masih dirangkapkan di atas dada bahkan sepasang matanya tidak bergeming apa lagi

terbuka sedikitpun!

“Tua bangka itu kebal juga rupanya!” kata Supit Jagal. Dia menurunkan 

sebatang bambu ke dalam air danau. Kali ini bambu diarahkannya ke bagian depan 

perahu. Tangan kanannya bergetar tanda dia mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya.

Lalu tangan itu menghantam dengan keras. Batangan bambu melesat di permukaan air

danau dan menghantam bagian depan perahu.


Kali ini bagian depan perahu tanggal berantakan. Air danau menggebubu 

masuk. Perahu menungging ke depan, lalu prlahan-lahan tenggelam ke dalam air

danau. Empu Pamenang yang masih duduk bersemedi ikut tenggelam. Air mencapai

pinggul, naik ke pinggang, terus ke dada. Perahu semakin dalam amblasnya. Air kini

mencapai leher si orang tua. Hebatnya orang tua ini masih saja tetap tidak bergerak.

Kedua matanya masih terus terpejam. Air kini mencapai dagunya. Lalu cepat sekali

seluruh kepalanya amblas. Perahu dan sosok tubuh si orang tua tenggelam, lenyap

dari pemukaan air danau yang hanya meninggalkan riak-riak berbentuk lingkaran!

“Manusia gila!” teriak Supit Jagal.

“Seharusnya tadi bambu itu kita arahkan ke tubuh atau kepalanya biar dia

langusng mampus!” kta Supit Ireng sambil kepalkan tinju kanannya. “Apa yang harus

kita lakukan sekarang?!”

“Tunggu saja sampai dia muncul di permukaan air. Langsung kita hantam

dengan bambu runcing!” kata Supit Jagal pula.

“Tapi tua bangka itu punya ilmu yang membuat dia mampu mendekam dalam

air sampai lama!” ujar Supit Ireng dengan gemas dan pelipis bergerak-gerak.

“Tak ada jalan lain. Bagaimanapun kita harus menunggu sampai dia muncul.

Kalau dia masih hidup langsung kita bunuh. Kalau dia sudah jadi mayat itu lebih

baik!”

Saat itu sang surya sudah sangat condong ke Barat tanda sebentar lagi akan 

tenggelam. Keadaan di sekitar danau mulai redup dan meremang gelap. Di tengah 

danau sama sekali tak ada gerakan. Tak ada suara!

“Setan! Pekerjaan gila macam apa yang kita lakukan ini!” rutuk Supit Ireng

sambil mengusap-usap mata kain penutup wajahnya di bagian mata kirinya yang 

hanya merupakan rongga bolong.

Baru saja dia merutuk seperti itu, Supit Jagal tiba-tiba memegang lengan 

kirinya yang buntung.

“Ada apa....?” tanya Supit Ireng.

“Sssst..... Jangan bicara keliwat keras. Apa kau tidak mendengar suara kakikaki kuda mendatangi tempat ini?” bisik Supit Jagal. “Lihat ke sana....”

Supit Jagal menunjuk ke depan. Supit Ireng mengikuti arah yang ditunjuk

kakaknya itu. Di antara pepohonan tampak seorang penunggang kuda berpakaian dan

berikat kepala putih muncul. Orang ini menghentikan kudanya di antara dua batang

pohon sambil memandang tajam ke arah pondok. Lalu dia mengarahkan

pandangannya ke danau Merak Biru.

“Aneh, semua serba sepi. Seharusnya di danau ada sebuah perahu....” Orang di

atas kuda membatin Lalu perlahan-lahan dia majukan kudanya sampai sejarak dua

tombak dari pondok kayu. Di sini dia melompat turun dan melangkah ke pintu.

Dari balik rerumpunan pohon bambu, Supit Jagal dan Supti Ireng saling 

pandang.

“Rejeki kita ternyata besar sekali hari ini. Kita tidak perlu bersusah payah!

Orang yang kita cari ternyata datang sendiri!” kata Supit Jagal.

“Tunggu apalagi! Ayo kita cabut nyawanya! Aku ingin mencoba pukulan sakti

Telapak Merapi yang diberikan Pangeran Matahari itu!” kata Supit Ireng. Tenaga

dalamnya segera dialirkan ke tangan kanan.


BAB 7


Pemuda berpakaian putih mendorong pintu pondok yang tidak terkunci. Bagian 

dalam diselimuti kegelapan. “Empu Pamenang, kau ada di dalam....?”

Baru saja dia bertanya begitu tiba-tiba ada suara mendesisi disertai

menggebubunya hawa panas luar biasa. Pemuda di depan pintu serta merta

menjatuhkan dirinya ke tanah dan berguling menjauhi pondok. Ketika dia bangki

kembali dilihatnya pondok Empu Pamenang telah disabung asap dan ada api menyala

di balik asap itu. Memandang ke kiri dilihatnya dua sosok tubuh bercadar tegak di

bawah kegelapan rerumpunan pohon bambu.

“Pembokong pengecut! Siapa kalian?!” bentak si pemuda. Meskipun dia tidak 

dapat memastikan namun dari potongan tubuh kedua orang itu dia bisa menduga-duga

siapa adanya. “Aneh, kalau memang mereka, bukankah keduanya sudah mampus?

Satu dibantai di tepi pantai satunya lagi tenggelam di dalam laut Teluk Burung?”

Dua orang di depan sana keluarkan tawa mengekeh.

Yang di sebelah kanan berkata. “Agar kau tambah terkejut biar kubuka kain 

penutup wajahku!” Lalu orang ini pergunakan tangan kanannya untuk menanggalkan 

kain hitam yang menutupi mukanya.

“Supit Ireng! Memang kau rupanya atau setanmu yang sedang gentayangan!”

Supit Ireng tertawa. Sambil tangan kanan bertolak pinggang dia berkata “Yang 

kau lihat memang setan Supit Ireng! Aku gentayangan untuk mencarimu. Sebentar

lagi nyawamu akan kutarik amblas dari tubuhmu! Roh busukmu bisa bertemu dengan 

roh busuk Empu Pamenang di alam baka!”

Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede jadi terkejut.

“Apa maksudmu manusia muka setan?!” bentak Wiro.

“Tua bangka sahabatmu itu sudah kami bunuh! Mayatnya bisa nanti kau temui

di dasar danau!” Yang menjawab adalah Supit Jagal.

“Bedebah kurang ajar....!” Wiro melompat ke muka.

“Tunggu dulu!” teriak Supit Jagal. “Kami membawa tugas untuk 

membunuhmu! Tetapi jika kita bisa berunding mungkin selembar nyawa anjingmu

akan kuampuni!”

“Setan alas! Kalian sudah membunuh Empu Pamenang, berarti hanya

kematian bagi kalian berdua!”

“Jangan bicara takabur dulu....”

“Keparat! Siapa yang menyuruh kalian membunuhku?!” hardik Wiro.

“Siapa orangnya tak perlu kami katakan cepat-cepat. Kami ingin berunding

dulu mengenai pengampunan jiwamu! Jika kau mau mengatakan di mana gadis

bernama Ning Larasati itu berada, kau akan kami selamatkan. Hanya gadis itu yang

bisa menyelamatkan kau dari kematian!”

“Kalian dua tua bangka tidak tahu diri! Setan neraka sekalipun tidak akan mau 

bergaul dengan kalian. Apalagi seorang puteri raja secantik Larasati! Manusiamanusia edan!”

“Ah, kalau begitu biar tubuhmu kami panggang sampai matang! Diberi

pengampunan minta mampus!” kata Supit Jagal. Dia melirik pada adiknya, memberi

isyarat.

Supit Ireng angkat tangan kanannya ke atas. Supit Jagal mengangkat kedua

tangannya sekaligus. Masing0masing telapak tangan tampak bergetar dan diarahkan

pada Wiro Sableng. Lalu terdengar suara mendesis tajam. Angin panas menyambar

ganas.

“Pukulan Telapak Merapi!” teriak Wiro kaget luar biasa lalu membuang diri

ke samping sambil lepaskan pukulan tangan kosong mengandung aji kesaktian

Benteng Topan Melanda Samudra. Segulung angin dahsyat menderu ke depan 

memapas tiga pukulan Telapak Merapi yang dilepaskan Supit Jagal dan Supit Ireng.

Tiga larik pukulan sakti yang dilepaskan dua bersaudara Supit saling bertabrakan

dengan pukulan sakti yang dilepaskan Wiro. Akibatnya bentrokan dahsyat ini

terdengar suara letusan keras. Debu dan pasir beterbangan. Air danau bergelombang 

keras. Pendekar 212 terpental sampai satu tombak. Tubuhnya bergetar keras dan ada

hawa panas menyengat jangatnya. Ini satu pertanda bahwa kekuatan serangan lawan

berada di atas tingkat kekuatan pukulan saktinya!

“Celaka! Bagaimana dua manusia keparat ini menguasai dan membekal ilmu

pukulan yang dimiliki Pangeran Matahari itu?!” membatin Wiro dengan perasaan

tegang. DI depannya dilihatnya Supit Jagal dan Supit Ireng hanya terpental beberapa

langkah lalu bangkit dengan cepat dan tampang garang! Keduanya maklum kalau

pukulan Telapak Merapi yang tadi mereka lepaskan telah menggetarkan pemuda

berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu.

“Kematian sudah di depan mata! Tapi kami masih bersedia memberi

pengampunan. Lekas beri tahu di mana Ning Larasati berada!” kata Supit Jagal seraya

maju satu langkah.

Tiba-tiba terdengar suara mencuatnya air danau. Dalam udara yang mulai

gelap itu melesat keluar sesosok tubuh dalam selempang kain putih yang basah kuyup.

Seorang kakek bungkuk sesaat kemudian sudah tegak di depan Supit Jagal dan Supit

Ireng.

“Edan! Bukankah kau sudah mampus dan jadi mayat pendekam dasar

danau?!” teriak Supit Jagal kaget ketika mengenali kakek bungkuk di depannya

ternyata adalah Empu Pamenang.

Orang tua itu mendongak ke langit lalu berucap. “Jika kalian berdua masih

hidup, seharusnya bisa menyadari kebesaran Tuhan dan bertobat untuk jadi orang

baik! Sekarang malah kalian berdua muncul membawa dosa baru!”

“Tua bangka buruk! Jangan berkhotbah di hadapanku!” hardik Supit Ireng.

Tangan kanannya bergerak. Untuk kesekian kalinya dia lepaskan pukulan Telapak 

Merapi.

“Empu awas!” teriak Wiro memberi ingat.

Empu Pamenang menyambar ujung kain putih basah yang menyelempang

dadanya. Kain ini dikibaskan ke arah datangnya angin pukulan. Terdengar suara

dess...! Asap putih menggebubu ke udara. Orang tua itu tampak terhuyung-huyung

lalu jatuh berlutut di tanah. Ujung pakaian putihnya kelihatan hangus. Mukanya yag

klimis merah menggelap. Dadanya berdenyut.

“Aneh, bagaimana dua manusia iblis ini masih hidup. Dari mana pula mereka

mendapatkan kesaktian sehebat ini?” ujar Empu Pamenang dalam hati. Perlahanlahan dia mencoba bangkit.

Di depannya Supit Jagal dan Supit Ireng saling berbisik. “Kalau satu pukulan

saja sanggup menjatuhkannya, mari kita menghantam berbarengan. Pasti dia

mampus!” Lalu Supit Jagal segera angkat kedua tangannya.

Melihat hal ini Pendekar 212 Wiro Sableng segera kerahkan tenaga dalam ke

tangan kanan. Lengannya sampai ke ujung jari serta merta berubah putih seperti perak 

dan memijarkan cahaya angker. Ini satu pertanda dia siap melepaskan pukulan Sinar

Matahari.

Di depan sana Supit Jagal dan Supit Ireng sudah lebih dulu menggerakkan 

tangan menghantam. Serangan balasan yang dilancarkan Pendekar 212 dan Empu 

Pamenang terlambat. Sinar silau panas pukulan Sinar Matahari terpukul membalik ke

arah Wiro dan sang Empu. Ditambah dengan tiga larik pukulan Telapak Merapi maka

tempat itu berubah bagai neraka bagi Wiro dan Empu Pamenang!

Sekejap lagi Pendekar 212 dan Empu Pamenang akan disapu lumat oleh

pukulan-pukulan lawan tiba-tiba satu sinar merah menjulang laksana jatuh dari langit,

menghantam ke bawah!

Keadaan di tepi danau itu seperti dihantam goncangan gempa maha dahsyat

disertai letupan-letupan keras seolah merobek langit dan dibarengi pula dengan 

cahaya-cahaya menyilaukan.

Empat orang berjatuhan ke tanah. Dada masing-masing terasa berdenyut sakit.

Telinga laksana tuli beberapa saat lamanya.

Pendekar 212 jatuh terduduk. Nafasnya mendadak menyesak dan dadanya

terasa sakit. Di sebelah depannya Empu Pamenang berlutut tergontai-gontai. Ada

cairan darah kelihatan di sela bibirnya. Di bgian lain dua bersaudara Supit Jagal dan 

Supit Ireng terkapar saling tindih. Muka setan mereka sesaat tampak pucat seperti

tidak berdarah. Tangan masing-masing bergetar kaku dan sakit seperti ditusuk-tusuk.

Di antara empat orang yang berkaparan di tanah itu tampak tegak seorang 

lelaki berpakaian biru gelap mengenakan blangkon. Dalam udara yang samakin gelap

wajahnya masih bisa terlihat jelas. Dan tampang manusia ini ternyata tidak kalah

seram dengan tampang Supit Jagal ataupun Supit Ireng. Pada pipi kirinya ada cacat

panjang sampai ke mata yang membuat mata kirinya mencuat keluar merah 

mengerikan dan selalu basah. Mulutnya pencong akibat tarikan daging muka yang 

cacat.

Supit Jagal dan Supit Ireng sama-sama melompat kaget.


BAB 8


Supit Jagal sempat maju dua langkah lalu berhenti. “Kau!” katanya dengan suara

agak kelu karena rasa tak percaya. “Kau Ki Ageng Tunggul Keparat! Jadi kau masih 

hidup?! Bedebah!”

Orang berpakaian biru dan mengenakan blangkon itu tertawa bergelak. Baik 

Wiro maupun Empu Pamenang ikut heran. Sebelumnya mereka telah menyaksikan

bahwa manusia bernama Ki Ageng Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul Keparat

itu telah tewas. Mayatnya terkapar di antara belasan mayat di Teluk Burung tempo

hari. Bagaimana mungkin kini dia bisa hidup dan muncul di sini. Bahkan lebih

mengherankan lagi, dia pula tadi yang membuat kejutan dengan menerobos jalur-jalur

pukulan sakti yang saling bentrokaan sehingga sempat menyelamatkan Wiro dan

Empu Pamenang dari malapetaka. Bagaimana dia tiba-tiba bisa sehebat ini dan

berhasil memusnahkan semua pukulan sakti tanpa diri sendiri cidera sedikitpun?!”

“HA...ha! Kalian masih ingat wajah ini! Ketahuilah aku bukan Ki Ageng 

Tunggul Keparat.....” kata orang berblangkon itu.

“Lalu kau siapa? Setannya?! Rohnya yang gentayangan?!” tanya Supit Ireng.

“Aku saudara kembarnya. Aku Ki Ageng Tunggul Akhirat! Kalian berdua

telah membunuh saudara kembarku itu! Sekarang saatnya kalian menebus dosa

dengan nyawa masing-masing!”

“Lagakmu keren amat! Manusia sombong memang harus lekas-lekas

disingkirkan!”

Habis berkata begitu Supit Jagal hantamkan kedua tangannya. Supit Ireng ikut

memukul dengan tangan kanan. Masing-masing mereka kembali lepaskan pukulan

sakti Telapak Merapi.

Ki Ageng Tunggul Akhirat membentak garang. Kedua tangannya dipalangkan

di depan kepala. Sekujur badannya bergetar. Dari sela bibirnya terdengar suara.

“Eyang, hajar kedua manusia ini!”

Kedua tangan Ki Ageng Tunggul Akhirat tiba-tiba menyentak ke depan. Baik

Supit Jagal maupun adiknya sama-sama terkejut katika mereka tiba-tiba melihat

sepasang tangan Ki Ageng Tunggul Akhirat berubah menjadi dua bauh tangan raksasa

yang memiliki kuku panjang dan hitam runcing. Mereka lanjutkan menghantam

karena yakin pukulan Telapak Merapi yang mereka lepaskan tak akan sanggup di

tahan oleh lawan. Namun keduanya salah sangka. Sebelum pukulan Telapak Merapi

sempat mereka lepaskan, tangan-tangan berkuku panjang itu telah menyambar lebih 

dulu.

“Breet....breet....breetttt!”

Sepasang lengan pakaian Supit Jagal robek besar. Daging lengannya

terkelupas berbusaian. Orang ini menjerit setinggi langit. Hal yang sama terjadi

dengan Supit Ireng. Tangan kanannya mengucurkan darah dari luka-luka yang 

mencabik dagingnya. Orang ini meraung sambil muncur.

“Jagal, manusia satu ini bukan lawan kita. Berat dugaanku dia punya ilmu

hitam. Lebih baik kita segera melarikan diri!” bisik Supit Ireng. Supit Jagal yang 

berada dalam keadaan kesakitan setengah mati dan juga diam-diam merasa takut

keluarkan sebuah benda hitam bulat sebesar tinju dari balik pinggangnya.

“Bangsat! Kalian mau lari ke mana?!” kertak Ki Ageng Tunggul Akhirat yang

sudah tahu gelagat orang lalu melompat hendak menyergap. Supit Jagal bergerak

lebih cepat. Benda di tangannya dilemparkan ke tanah. Terdengar satu letusan keras


Disusul dengan menggebubunya asap hitam menutup pemandangan sampai sejarak 

beberapa tombak. Ketika asap itu sirna dua bersaudara Supit sudah lenyap dari tempat

itu.

Ki Ageng Tunggul Akhirat menggembor marah. “Kalian berdua boleh lari ke

ujung dunia. Tak akan kalian bisa lolos dari kematian di tanganku!” Dia hendak

berkelebat mengejar namun ingat pada dua orang di sebelah sana. Dia berpaling dan

memandang tajam pada Wiro serta Empu Pamenang.

Saat itu Wiro dan si orang tua sudah berdiri. Sambil terbungkuk-bungkuk

Empu Pamenang berkata.”Terima kasih. Kau telah menyelamatkan kami dari

serangan maut dua manusia keparat itu!”

“Aku juga berterima kasih dan berhutang nyawa padamu,” kata Wiro pula.

“Kalian punya sangkut paut apa dengan kedua orang itu?” Ki Ageng Tunggul

Akhirat ajukan pertanyaan.

“Yang bernama Supit Jagal pernah membunuh tiga orang muridku,”

menerangkan Empu Pamenang. “Beberapa waktu lalu kami telah membantai mereka

tapi adalah aneh tahu-tahu mereka masih hidup dan muncul hendak membalaskan

dendam! Ternyata mereka kini memiliki satu pukulan sakti luar biasa!”

“Hemmm.... Untung kalian berdua bukan sahabat mereka. Kalau tidak nyawa

kalian tak bakal aku ampuni....”

“Apa betul kau saudara kembarnya Ki Ageng Tunggul?” bertanya Empu

Pamenang.

Ki Ageng Tunggul Akhirat tidak menjawab. Dia keluarkan suara mendengus

lalu berkelebat lenyap dari tempat itu. Empu Pamenang termangu sedang Pendekar

212 hanya bisa garuk-garuk kepala.

“Dunia persilatan semakin kusut rupanya....” kata Empu Pamenang.

“Tang saya tidak habis pikir,” menyahuti Wiro. “Bagaimana dua manusia

setan itu bisa memiliki ilmu pukulan Telapak Merapi. Pukulan sakti itu hanya dimiliki

oleh Pangeran Matahari!”

“Ada hal-hal sanling terkait....” ujar Empu Pamenang. “Siapa tahu Pangeran 

Matahari kini talh membentuk satu komplotan terdiri dari manusia-manusia jahat

seperti dua bersaudara Supit itu. Merka sengaja dibekali satu dua macam ilmu 

kepandaian yang sulit ditandingi.....”

“Mungkin kau benar Empu.Supit Jagal tadi sesumbar mengatakan bahwa dia

membawa tugas untuk membunuhku. Tapi dia tidak mau mengatakan siapa yan

gmenyuruhnya.....”

“Aku punya dugaan berat si penyuruh adalah Pangeran Matahari sendiri. Itu

sebabbnay dia membekali kedua setan itu dengan pukulan sakti. Agaknya kau ada

silang sengketa dendam kesumat dengan Pangeran Matahari gila itu?”

“Orang jahat seprti Pangeran Matahari memang banyak musuhnya. Salah satu 

di antaranya adalah saya. Kami pernah bentrokan beberapa kali. Dia selalu gagal

membunuh saya. Saya sendiri sampai saat ini belum dapat menundukkannya,” kata

Wiro pula.

“Saya ingat akan maksud bejat dua bersaudara Supit. Mereka datang dengan

dua maksud. Pertama hendak membunuh Empu. Kedua hendak menculik Ning

Larasati. Mungkin saya akan ke Kotaraja. Gadis itu harus diberi tahu bahwa ada

bahaya mengancam dirinya.....”

Empu Pamenang mengangguk. “Itu memang hal yang terbaik yang harus kau

lakukan. Ada satu hal yang harus kau perhatikan. Manusia bernama Ki Ageng 

Tunggul Akhirat itu. Meski dia telah menyelamatkan kita dari serangan maut dua

bersaudara Supit, namun jangan mengharap bahwa dia adalah jenis manusia yang bisa dijadikan sahabat. Saudara kembarnya memiliki ilmu hitam. Dia aku yakin sekali

pasti juga memiliki ilmu hitam. Kau harus berhati-hati terhadapnya Wiro.”

“Terima kasih atas peringatan Empu,” kata Pendekar 212.

Empu Pamenang membetulkan letak selempang kainnya yan gmasih basah.

Sekali dia berkelebat tubuhnya melayang lalu laksana seekor burung dia hinggap di

cabang sebuah pohon besar


BAN 9 


Sepanjang malam itu Supit Jagal dan Supit Ireng lari terus ke arah Timur.

Menjelang dini hari baru keduanya berhenti dan menggulingkan diri di dalam sebuah 

dangau yang terletak di tepi daerah pesawahan.

“Tubuhku terasa panas. Jangan-jangan cakar manusia setan itu mengandung 

racun.....” kata Supit Jagal.

“Tubuhku juga panas,” menyahuti Supit Ireng. Dia merogoh ke dalam saku 

pakaiannya. Tak lama kemudian dikeluarkannya sebuah kantong kecil. Dalam

kentong ini terdapat sejenis bubuk yang merupakan obat luka ampuh.

“Bubuk obat ini akan menyelamatkan kita kalau cakar si iblis itu memang 

mengandung racun. Kau bisa usapkan bubuk ini di kedua lenganmu. Tapi tolong dulu

aku.....”

Setelah menggosokkan bubuk obat pada luka di lengan masing-masing kedua

orang ini merasa agak tenang. Apalagi jelas mereka rasakan hawa panas di tubuh 

mereka kini mulai berkurang.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang Jagal?” tanya Supit Ireng.

“Kita telah gagal membunuh Pendekar 212. Jika Pangeran Matahari sempat

mengetahui pasti dia akan marah besar....”

“Sekali memang kita gagal. Itupun gara-gara munculnya jahanam

yangmengaku bernama Ki Ageng Tunggul Akhirat. Kalau dia tidak ada pasti kita

sudah menghabisi pemuda itu dan si tua bangka Empu Pamenang. Kita harus mencari

kedua orang itu kembali. Aku yakin Empu Pamenang tidak akan berada jauh dari

danau Merak Biru. Soal Pendekar 212 kita pasti akan menemuinya. Jika bertemu

untuk kedua kali, nyawanya tak akan tertolong lagi!” Supit Ireng mengusap mukanya

beberapa kali.

“Aku berpikir-pikir, buat apa kita bersusuah payah mencari dan membunuh

kedua orang itu. Bagaimana kalau sementara mereka kita lupakan saja. Yang penting 

adalah mengambil peti berisi harta dan uang yang ada di belakang rumah Ki Ageng 

Tunggul Bayana alias Tunggul Keparat di Pasirginting. Bila empat peti itu sudah kita

dapat, kita bawa pergi jauh-jauh ke Timur atau ke Barat. Lupakan dunia kita yang

sekarang ini. Kita hidup mewah sebagai orang kaya raya....”

“Apa kau kira Pangeran Matahari tidak akan menyatroni kita? Sekali dia

menemui kita tamatlah riwayat kita.” Supit Ireng berkata dengan nada meragu.

“Kalau kau takut tinggal di tanah jawa ini kau boleh pergi ke seberang di

mana tidak seorangpun tahu siapa dirimu.”

“Tapi jangan lupa Jagal. Tampang-tampang kita ini akan mudah menarik

perhatian orang,” kata Supit Ireng pula.

“Terserah padamu Supit Ireng. Aku akan ke Pasirginting. Aku akan 

mengambil dua dari empat peti itu lalu memlenyapkan diri. Persetan dengan Pangeran 

Matahari. Persetan dengan Empu Pamenang serta Pendekar 212 Wiro Sableng. Aku

ingin hidup senang sebelum masuk liang kubur!” Habis berkata begitu Supit Jagal

bangkit dari tidurnya.

“Heh, kau mau ke mana?” tanya sang adik.

“Aku akan ke Pasirginting sekarang juga. Jika aku bisa mendapatkan kuda

paling tidak dua hari di muka aku sudah sampai di sana!” Supit Jagal melompat turun 

dari atas dangau. “Kau ikut?” tanyanya pada adiknya.

Supit Ireng tampak bimbang. Tapi ketika kakaknya melangkah pergi, dia

bergerak pula mengikuti. Hanya sesaat setelah kedua orang itu lenyap, dari balik

sebatang pohon besar tak berapa jauh dari dangau keluar satu sosok tinggi besar. Dia

memandang ke jurusan perginya Supit Jagal dan Supit Ireng. Seringai bermain di

mulutnya. Rambutnya yang menjulai gondrong di belakang tengkuk melambai-lambai

ditiup angin. Sekali berkelebatt orang ini lenyap ke arah yang sama yang dituju Supit

Jagal danSupit Ireng.

Tidak sulit mencari rumah bekas kediaman Ki Ageng Tunggul Bayana alias

Ki Ageng Tunggul Keparat yang pernah menjadi Kepala Desa Pasirginting itu.

Rumah besar di tengah desa itu kelihatan gelap. Biasanya selalu ada beberapa

pengawal berjaga-jaga di sana. Tapi sejak jabatan Kepala Desa diambil alih oleh

orang lain rumah itu menjadi sunyi sepi. Penghuninya yaitu istri muda Ki Ageng 

Tunggul Bayana yang kini menjadi janda saat itu tertidur lelap dalam pelukan seorang 

pemuda desa yang diam-diam dijadikannya teman hidupnya. Pemuda ini selalu datang 

pada malam hari. Menjelang dini hari dia meninggalkan rumah kembali ke tempat

kediamannya di pinggir desa sebelah Selatan.

Dua buah gerobak memasuki desa hampir tanpa suara lalu berhenti di depan 

rumah besar itu.

“Kita langsung saja ke halaman belakang,” bisik kusir gerobak yang sebelah 

kanan yaitu Supit Jagal. Dua buah gerobak bergerak ke halaman belakang rumah

besar. Supit Jagal melompat dari gerobak lalu dengan cepat mengambil sebuah pacul

dan linggis. Linggis diberikannya pada Supit Ireng seraya berkata.” Aku akan macul,

kau bantu dengan linggis. Kita harus bekaerja cepat sebelum pagi tiba.”

Supit Ireng mengangguk. Lalu dia turun pula dari atas gerobaknya. Supit Jagal

sesaat memandangi halaman belakang yang cukup luas itu. Lalu dia mulai memacul.

Adiknya memegang linggis dengan tangan kanannya. Dengan benda ini dia menusuk 

tanah yang dipaculi kakaknya. Setelah memacul cukup lama dan hampir sebagian

halaman belakang itu terkikis, benda yang mereka cari masih belum ditemukan.

“Aku kawatir, ucapan tunggul Bayana pada Lor Paregreg yang sempat kau 

dengar tempo hari hanya dusta belaka,” kata Supit Ireng.

Supit Jagal berhenti memacul. Sekujur tubuh dan pakaiannya basah oleh

keringat. Dia memandang berkeliling. “Orang yang mati ketakutan dan ingin hidup 

tak mungkin berdusta!” jawab Supit Jagal. Tapi hatinya mulai mendua. Dia

memandang berkeliling. Pandangannya membentur pada sederetan pohon-pohon 

pisang yang tumbuh dekat pagar batas halaman di sebelah kiri. Supit Jagal memberi

isyarat. Lalu dia melangkah ke arah pohon-pohon pisang itu. Di sini dia mulai

menggali. Dan Supit Ireng kembali menusuk-menusuk tanah bekas galian dengan

linggis.

“Dukkk!”

Terdengar suara keras tanda ujung linggis membentur sebuah benda. Abang

dan adik itu saling berpandangan sesaat. “Gali lagi! Pacul! Cepat Jagal......” bisik

Supit Ireng seraya memegang erat-erat linggis yang menancap di tanah.

Seperti mendapat tenaga baru, penuh semangat Supit Jagal memacul tanah di

sekitar linggis. Pada jarak tiga jengkal kedalam paculnya tertahan oleh sebuah benda

keras. Supit Jagal lepaskan pacul. Dia berlutut dan pergunakan kedua tangannya

untuk mengangkat tanah. Sesaat kemudian dalam gelap dia melihat sebuah papan 

melintang.

“Ireng.....!” desis Supit Jagal. “Kita menemukan peti-peti itu!” Seperti

kesetanan kedua kakak beradik itu memacul dan menggali sampai akhirnya sosok


sebuah peti muncul dalam lobang di tanah. Dengan susah payah peti besar itu

dikeluarkan dari dalam tanah. Lalu dengan ujung linggis Supit Jagal mendongkel

papan penutupnya. Begitu papan terkuak kelihatanlah isinya. Supit Jagal dan Supit

Ireng seperti hendak bersorak ketika mereka melihat isi peti itu. Sejumlah perhiasan,

uang emas dan perak serta ukiran-ukiran perunggu yang tak terkira nilainya.

“Bantu aku menaikkannya ke gerobak....” kata Supit Jagal. Karena Supit Ireng

hanya punya satu tangan, cukup susah juga bagi keduanya menaikkan peti besar itu ke

atas gerobak.

“Baru satu peti Ireng. Masih ada tiga lagi!” bisik Supit Jagal.

Kedua kakak beradik ini kembali bekerja keras. Dalam waktu singkat mereka

berhasil menemukan peti yang kedua. Peti ini lalu dinaikkan pula ke atas gerobak

pertama yaitu gerobak yang tadi di bawa oleh Supit Jagal. Kini kedua orang itu 

menggali peti yang ketiga.

Di dalam rumah, Suniarsih jada Ki Ageng Tunggl Bayana menggeliat dan

terbangun dari tidurnya. Gerakan kaki perempuan ini membuat terbangun pula sang 

kekasih, pemuda bernama Pintoro.

“Aku tidak tahu kalau ketiduran....” kata Suniarsih seraya merangkul Pintoro

dengan tangan dan kakinya.

“Sebenarnya aku ingin membangunkanmu, tapi aku kawatir kau keletihan,”

jawab si pemuda dan tangannya mengusapi punggung telanjang Suniarsih, membuat

janda ini terangsang dan menyelinapkan tangannya. Gerakan tangan sang janda

membuat Pintoro tesentak dan terbakar kejantanannya.

“Kau selalu membuat aku seperti kesetanan Arsih....” bisik Pintoro.

“Justru aku suka kalau kau sudah kesetanan. Ayo Pintoro.....lakukanlah.....!”

Suniarsih menarik tubuh kuat pemuda itu. Sesaat ketika gerakan pemuda ini seperti

tertahan.

“Ada apa....?” tanya sang janda.

“Aku mendengar suara....”

“Suara apa?”

“Entahlah. Tak dapat kupastikan....”

“Ah itu mungkin hanya suara angin. Atau suara binatang malam. Mungkin 

juga tikus atau kucing. Mengapa diperdulikan? Ayolah Pintoro. Jangan siksa aku.....”

Lalu Suniarsih tekan pinggang pemuda itu. Tapi Pintoro yang elisah justru turun dari

tempat tidur.

“Kau mau kemana?”

“Aku kawatir orang-orang desa melakukan pengintaian. Kalau mereka

menangkap basah kita di kamar ini....”

Mendengar ucapan si pemuda Suniarsih jadi kecut. “Kalau begitu coba kita

intai.....” Kini janda itu yang mengajak.

“Suara itu datangnya dari halaman belakang. Seperti suara orang menggali

tanah,” bisik Pintoro.Pemuda ini cepat mengenakan celana panjangnya sedang

Suniarsih melangkah mengikuti sambil menggelungkan kain panjang ke tubuhnya.

Kedua orang ini setengah berjingkat-jingkat menuju ke bagian belakang rumah.

Karena dinding belakang rumah terbuat dari gedek dengan mudah Pintoro membuat

sebuah lobang lalu mengintai.

“Ada dua buah gerobak. Yang satu berisi dua peti besar. Satunya lagi satu peti

besar. Ada dua orang tengah menggali tanah dekat pohon-pohon pisang....” Pintoro 

menceritakan apa yang dilihatnya, lalu menyuruh Suniarsih mengintai sendiri.

“Astaga, siapa orang-orang itu.....” bisik sang janda. “Apa isi peti-peti itu.

Mereka pasti pencuri. Maling! Kau harus melakukan sesuatu Pintoro. Ambil parang!”

Tidak, mereka bukan pencuri atau maling. Mereka bukan penjahat biasa,”

jawab Pintoro. “Apa yang mereka lakukan adalah satu pekerjaan rahasia....”

“Jangan-jangan peti-peti itu berisi barang-barang berharga. Mungkin sekali

kepunyaan mendiang suamiku.... Lekas ambil parang, Pintoro. Atau aku akan 

berteriak maling saja?”

“Jangan....”

“Kau pengecut!”

Kedua orang itu jadi terlibat dalam pertengkaran. Di halaman belakang Supit

Jagal dan Supit Ireng sedang menggotong peti keempat. Di dalam rumah karena

bertengkar, tak sengaja tangan Suniarsih menyentuh sebuah kendi yang terletak di

meja. Kendi ini jatuh ke lantai mengeluarkan suara berisik.

“Supit Jagal dan Supit Ireng terkejut dan sama memandang ke arah rumah.

Pada saat itu mereka melihat pintu rumah terbuka dan dua orang keluar.

“Kita ketahuan Ireng. Habisi kedua orang itu!” kata Supit Jagal.

Supit Ireng segera melompat ke hadapan dua orang yang barusan keluar dari

dalam rumah yakni Pintoro dan Suniarsih.

“Siapa kalian?!” bentak Pintoro. Parang di tangannya diangkat tinggi-tinggi,

siap untuk membacok. Tapi nyalinya jadi meleleh ketika melihat wajah setan Supit

Ireng.

“Kau....kau hantu....?!”

Ucapan Pintoro hanya sampai di situ. Tangan kiri Supit Ireng bergerak.

Praaakk! Pintoro terpental sampai lima langkah. Tubuhnya tergelimpang di dekat roda

gerobak, mati dengan muka rengkah.

Suniarsih menjerit keras. Tapi Supit Jagal yang sudah ada di dekat situ segera

menutup mulut perempuan ini. Suniarsih coba meronta berusaha melepaskan diri.

Namun yang lepas justru kain panjang yang menutupi tubuhnya. Tak ampun lagi

perempuan ini kini berada dalam keadaan bugil. Melihat tubuh putih telanjang seperti

itu terbakarlah bafsu Supit Jagal. Supit Irengpun tampak terkesiap. Mata kanannya

membeliak besar. Nafasnya langsung memburu.

“Heh, kau mau bawa ke mana perempuan itu?!” seru Supti Ireng ketika

dilihatnya kakaknya menggotong Suniarsih ke arah pintu balakang rumah.

“Berminggu-minggu aku tak pernah menyentuh tubuh perempuan Ireng!

Pantas kalau aku pergunakan kesempatan untuk bersenang-senang. Kau tunggu saja.

Aku tak akan lama. Kalau aku sduah selesai kau bakal dapat giliran!” Supit Jagal

tertawa mengekeh.

“Kau gila! Tolol! Jangan cari penyakit! Kalau kau mau bawa saja! Naikkan ke

atas gerobak!” kata Supit Ireng.

Supit Jagal tidak menajwab. Dia melangkah terus menuju pintu.

Justru saat itu ada suara lain yang menyahuti ucapan Supit Ireng tadi.


BAB 10 


Kau benar Supit Ireng! Kakakmu itu bukan saja cari penyakit tapi juga tolol dan 

gila!”

Supit Jagal serta merta hentikan langkahnya ketika mendengar suara itu lalu 

berpaling. Supit Ireng telah lebih dulu memutar kepala ke arah datangnya suara tadi.

Wajah setan kedua orang ini mendadak sontak berubah. Lutut masing-masing terasa

bergetar.

“Pangeran Matahari....!” desis Supit Jagal.

Pemuda tinggi besar berjubah hitam itu mendongak ke langit gelap lalu

terdengar suara tawanya mengekeh. Kekehan iniperlahan saja namun seperti

mencucuk liang telinga terasa oleh Supit Jagal dan Supit Ireng.

“Perempuan itu tak pantas berada dalam dukunganmu Supit Jagal. Lepaskan 

tekapanmu pada mulutnya. Turunkan tubuhnya dan suruh dia melangkah ke

hadapanku!”

“Akan.....akan saya lakukan Pangeran....” kata Supit Jagal pula. Degnan hatihati diturunkannya tubuh tanpa pakaian itu ke tanah. Berdiri di samping Supit Jagal

janda muda itu kini dapat melihat pemuda yang tegak beberapa langkah di depannya.

Seorang pemuda bertubuh tinggi kekar, bertampang gagah, jauh lebih gagah dari

Pintoro yang sudah jadi mayat itu.

“Lepaskan tekapanmu dari mulutnya!” perintah Pangeran Matahari ketika

dilihatnya Supit Jagal masih menekap mulut perempuan itu dengan tangan kirinya.

“Saya kawatir dia akan berteriak, Pangeran. Orang sedesa bisa bangun dan 

mendatangi tempat ini....”

Pangeran Matahari menyeringai mendengar kata-kata Supit Jagal itu.

“Kau takut perempuan itu berteriak. Kau takut orang satu desa datang ke mari.

Tapi kau tidak takut mendustai dan menipu aku. Menipu Pangeran Matahari yang 

telah menyelamatkan kau dari kematian!” Pangeran Matahari melirik pada Supit Ireng.

“Kau juga tidak takut bukan?”

Baik Supit Jagal dan Supit Ireng tak ada yang menjawab. Pangeran Matahari

kembali tertawa mengekeh. Suara tawanya lenyap. Dia memandang dengan

tersenyum pada Suniarsih lalu membentak pada Supit Jagal.

“Lepaskan tekapanmu! Perempua itu tidak akan menjerit!”

Perlahan-lahan Supit Jagal lepaskan tekapannya pada mulut Suniarsih.

Ternyata sang janda memang tidak berteriak. Pangeran Matahari melambaikan 

tangannya.

“Mari, melangkahlah dan datang ke dekatku. Kau tak pantas dekat-dekat

dengan setan itu!” kata sang Pangeran pula.

Ternyata Suniarsih mengikuti ucapan Pangeran Matahari. Memang kalau

dilihat tampang dan perawakan tentu saja setiap perempuan akan memilih atau lebih

suka berada di dekat sang Pangeran dari pada Supit Jagal. Suniarsih lalu melangkah 

ke dekat Pangeran Matahari. Bagitu perempuan ini berada di hadapannya, sang 

Pangeran langsung merangkul dan mencium lehernya. Tubuh Suniarsih diputarnya

hingga punggung perempuan ini menempel ke dadanya. Tangan kiri Pangeran

Matahari menyelinap ke bawah ketiak kiri Suniarsih. Pemandangan ini membuat

tenggorokan Supit Jagal dan Supit Ireng jadi turun naik

.

“Tak usah takut. Kau aman bersamaku.....” bisik Pangeran Matahari yang 

mulai terangsang merangkulinya, sedang wajah Suniarsih walaupun hanya seorang 

perempuan desa tetapi kecantikannya sanggup memikat lelaki manapun, termasuk 

sang Pangeran. Sang Pangeran kembali mencium kuduk jada itu. “Siapa namamu....?”

“Suni....Suniarsih. Saya.....saya takut pada dua orang itu. Tolong saya bawa

saya ke tempat yang aman....”

“Tak usah takut. Dua setan itu akan segera kuhabisi,” bisik Pangeran Matahari,

sedang dua matanya memandang berkeliling. Dia memperhatikan dua buah gerobak 

yang masing-masing berisi dua buah peti besar itu. Lalu pandangannya kembali di

arahkan pada Supit Jagal dan Supit Ireng.

“Kalian berdua memang manusia setan! Terlalu serakah. Terlalu ingin kaya

sendiri! Untuk itu kalian sengaja mendustaiku. Menipuku! Mengatakan tidak tahu 

menahu tentang empat peti itu! Dulu kutolong nyawamu dari kematian, kini biar aku

sendiri yang akan membetot nyawa busuk kalian dari tubuh-tubuh anjing kalian!”

“Pangeran,” kataSupit Jagal cepat. “Jangan salah duga. Waktu di goa tempo

hari, ketika kau menanyakan tentang empat peti itu, kami memang belum tahu apaapa. Tapi beberapa hari lalu kami berhasil mendapatkan rahasia peti-peti ini dari

Empu Pamenang sebelum kami membunuhnya dan membuang mayatnya ke dalam

danau Merak Biru......”

“Hemm....Betul begitu?” tanya Pangeran Matahari.

“Apa yang dikatakan Supit Jagal memang betul Pangeran!” berkata Supit

Ireng.

“Apakah kalian juga sudah menjalankan tugas, membunuh Pendekar Kapak 

Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng?!” tanya Pangeran Matahari pula dengan seringai

di bibir.

“Tugas dari Pangeran memang sudah kami laksanakan. Kebetulan Wiro

Sableng muncul di danau Merak Biru. Tetapi sebelum dia sempat kami bunuh,

seorang berkepandaian tinggi yang menguasai ilmu hitam tiba-tiba muncul! Dia

mengaku sebagai saudara kembar Ki Ageng Tunggul Keparat. Dia mengaku bernama

Ki Ageng Tunggul Akhirat!”

Sampai di sini Supit Ireng meneruskan keterangan kakaknya. “Kami

menghantam mereka dengan pukulan Telapak Merapi. Tapi pukulan yang dilepaskan 

manusia bernama Ki Ageng Tunggul Akhirat itu membuyarkan pukulan-pukulan 

kami. Bahkan kalau kami tidak segera membuang bola asap mungkin kami berdua

sudah celaka!”

“Hebat sekali cerita kalian!” kata Pangeran Matahari pula. “Lalu empat buah 

peti ini hendak kalian bawa ke mana?”

“Tentu saja hendak kami serahkan pada Pangeran!” jawab Supit Jagal.

Pangeran Matahari tertawa tergelak-gelak. “Kalian sungguh setan-setan yang

mencoba berbudi seperti manusia. Untuk itu kalian akan kuberi pengampunan....”

“Terima kasih Pangeran....” kata Supit Jagal.

“Diam! Ucapanku belum selesai!” bentak Pangeran Matahari. “Tadinya aku 

sudah merencanakan hendak membunh kalian sampai daging dan tulang belulang

kalian cerai berai. Tapi mendengar ucapan kalian tadi, aku beri pengampunan dan 

kalian bisa meregang nyawa dengan tubuh tetap utuh!”

Berubahlan paras Supit Jagal dan Supit Ireng.

“Pangeran.....”kata Supit Ireng dengan suara bergetar.

“Tutup mulutmu bangsat! Bersiap saja menerima kematian!” hardik Pangeran

Matahari. Lalu tangannya kiri kanan diangkat ke atas.

Melihat hal itu Supit Jagal dan Supit Ireng tak bisa berbuat apa-apa selain 

melompat ke samping seraya mendahului menyerang. Keduanya sengaja melepaskan

pukulan sakti Telapak Merapi yang didapatnya dari sang Pangeran. Dua pukulan ini dilakukan dengan mengandalkan tenaga dalam penuh! Didahului dua desisan keras,

dua larik angin panas menyambar ke arah Pangeran Matahari yang di depannya masih 

tegak berdiri Suniarsih dalam keadaan tanpa pakaian itu!

Tampang Pangeran Matahari tampak membesi. Rahangnya menggebung.

Pelipisnya bergerak-gerak. Cuping hidungnya mengembang. Kedua tangannya

didorongkan ke depan.

“Wuss! Wuss!”

Dua gelombang angin sedahsyat topan prahara menyambar dari telapak tangan 

kiri kanan Pangeran Matahari. Dau larik angin pukulan Supit Jagal dan Supit Ireng 

serta merta terbabat musnah. Dua kakak beradik ini berteriak keras.

“Pangeran! Ampuni kami!” teriak Supit Jagal.

“Pangeran! Jangan bunuh diriku!” jerit Supit Ireng.

Namun pekik jerit itu tak ada gunanya lagi. Dua pukulan Telapak Merapii

yang dilepaskan sang Pangeran datang menyambar dengan ganas!


BAB 11


Sesaat lagi sosok tubuh Supit Jagal dan Supit Ireng akan terpanggang hangus oleh 

pukulan Telapak Merapi yang dilepaskan Pangeran Matahari, tiba-tiba mencuat satu 

sinar merah, merambas ke bawah menghantam pukulan sakti sang Pangeran. Tanah 

bergoncang laksana dilanda gempa bumi. Hawa panas menyungkup dan dentuman 

keras terdengar sampai dua kali berturut-turut.

Dua ekor kuda penarik gerobak meringkik keras lalu lari manjauh ke halaman 

samping.

Seruan keras keluar dari mulut Pangeran Matahari. Bukan saja karena kaget

menyaksikan bagaimana dua larik pukulan saktinya musnah tetapi juga karena saat itu

dia merasakan kedua tangannya bergetar keras sedang dadanya berdenyut sakit.

Wajahnya jelas agak pucat.

Bersamaan dengan seruan Pangeran Matahari tadi, Suniarsih juga menjerit

ketakutan. Pangeran Matahari cepat merangkul janda muda itu lalu melompat jauh ke

belakang.

“Berlindung di balik pohon sana,” kata Pangeran Matahari lalu mendorong

Suniarsih ke arah sebuah pohon besar. Setelah getaran di dadanya lenyap dengan

mengatur aliran darah serta nafasnya Pangeran Matahari maju tiga langkah. Dia tidak

memperdulikan Supit Jagal dan Supit Ireng yang jatuh bergelimpangan di tanah

sambil mengeluh kesakitan. Kedua matanya memandang tak berkesip dan membeliak

pada seorang kakek berpakaian serba biru, mengenakan blangkon dan bertampang 

seangker setan!

Saat itu beberapa penduduk yang tinggal di sekitar situ tersentak bangun dari

tidur masing-masing. Mereka berlarian ke luar. Mereka mendatangi rumah bekas

Kepala Desa itu. Namun ketika mereka melihat wajah-wajah setan yang ada di situ,

semuanya serta merta melarikan diri karena menyangka setan betulan sedang 

mengamuk di malam buta itu!

“Iblis siapa kau?!” hardik Pangeran Matahari.

“Pangeran!” Tiba-tiba Supit Jagal berkata sambil berdiri. “Ini makhluk yang 

menghalangi kami membunuh Pendekar 212!”

“Hemmm....Siapa namamu? Apa kau menusia betulan atau sebangsa dedemit

jejadian?!”

Orang yang ditanya, yang tentunya sudah dapat diterka yaitu Ki Ageng 

Tunggul Akhirat tertawa bergelak.

“Aku Ki Ageng Tunggul Akhirat! Apakah aku manusia betulan atau sebangsa

dedemit terserah kau menilai sendiri!”

“Lagakmu sombong amat!” tukas Pangeran Matahari merasa tersinggung.

“Kau tahu berhadapan dengan siapa saat ini?!”

“Siapa dirimu aku tidak merasa ingin mengetahui. Aku hanya tahu satu hal!

Dua bangsat bermuka iblis itu nyawanya adalah milikku. Kalau dia mampus maka

aku yang berhak membunuhnya! Tidak percuma aku bernama Tunggul Akhirat!”

Ucapan Ki Ageng Tunggul Akhirat itu benar-benar membuat marah Pangeran 

Matahari. Tapi dia bukan sang Pangeran namanya kalau tidak bisa menahan diri dan

berlaku cerdik. Akalnya berjalan, kelicikannya muncul. Dia dapat melihat adanya

getaran yang menyungkup sekujur tubuh orang di depannya itu. Satu pertanda bahwa

orang ini memang meiliki ilmu hitam seperti yang dikatakan Supit Jagal. Sambil

menyeringai Pangeran Matahari berkata.


“Kalau kau memang ada sangkut paut dendam kesumat dengan dua keparat

itu , silakan kau selesaikan dulu urusan dengan mereka. Aku bisa sabar menunggu!

Aku tidak merasa rugi kalau kau memang mampu membunuh mereka!”

Ki Ageng Tunggul Akhirat membalas seringai Pangeran Matahari dengan

tawa dingin. Dia memutar tubuh berpaling pada Supit Jagal dan Supit Ireng yang saat

itu berada dalam keadaan setengah mati.

“Pangean! Tolong kami!” teriak Supit Jagal.

“Setan keparat! Tak satu orangpun bisa menolong dirimu dan saudaramu!”

bentak Ki Ageng Tunggul Akhirat. Tubuhnya bergetar keras.

Supit Jagal dan Supit Ireng yang sudah putus nyali melompat ke jurusan yang 

berlainan. Masing-masing berusaha melarikan diri.

“Mana bisa kalian lari dariku!” teriak Ki Ageng Tunggul Akhirat. Kedua

tangannya diangkat ke atas. Selagi dia siap untuk menghantam, tanpa diketahuinya

dari belakang dengan licik Pangeran Matahari melepaskan satu pukulan mau bernama

Gerhana Matahari. Pukulan sakti ini memancarkan sinar kuning, hitam dan merah!

Sekalipun Ki Ageng Tunggul Akhirat memiliki ilmu hitam, namun dibokong dari

belakang seperti itu tipis harapan nyawanya akan selamat.

Pada saat itulah tiba-tiba ada suara orang berseru menggelegar dalam

kegelapan malam.

“Ki Ageng! Awas serangan di belakangmu!”

Ki Ageng Tunggul Akhirat menggembor marah. Dia membalikkan tubuh dan 

masih sempat melihat tiga larik sinar pukulan maut yang dilepaskan Pangeran 

Matahari menderu ke arahnya!

“Eyang, bunuh manusia itu!” Mulut Ki Ageng Tunggul Akhirat berucap.

Kedua tangannya dipukulkan ke depan. Dua larik sinar merah berkiblat. Halaman

belakang itu laksana dihantam halilintar. Tiga letusan menggeletarkan bumi dan 

seperti merobek langit. Ki Ageng Tunggul Akhirat merasakan kedua kakinya seperti

disapu dari tanah yang dipijaknya. Atubuhnya mengapung sampai setengah tombak.

Ketika dia jatuh ke tanah kembali sekujur tubuhnya bergelegar keras. Dia masih 

sanggup berdiri meski kedua kakinya terasa goyah.

Di depan sana Pangeran Matahari tampak terhuyung-huyung. Mukanya pucat

seperti kain kafan. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah mengucur. Tiba-tiba seperti

ada kekuatan baru masuk ke dalam tubuhnya, dia maju sampai tiga langkah ke

hadapan Ki Ageng Tunggul Akhirat. Tangan kanannya yang membentuk tinju 

diangkat tinggi-tinggi ke atas. Dia siap melepaskan pukulan sakti paling 

diandalkannya yaitu pukulan Merapi Meletus. Namun belum sempat tangan itu 

bergeak lebih jauh dari arah kegelapan terdengar suara bersiur, disusul dengan

berkiblatnya sinar berwarna perak menyilaukan disertai hawa panas luar biasa.

Pangeran Matahari tersentak kaget. “Pukulan Sinar Matahari,” desisnya

tegang. Dalam saat-saat sangat menegangkan dan menentukan begitu rupa saat

pangeran masih sempat memutar otaknya. Dia melompat empat tombak ke belakang,

sebatas jarak jangkauan pukulan sakti Sinar Matahari. Dari tempatnya berdiri dengan

pengerahan tenaga dalam penuh Pangeran Matahari membuat gerakan seperti

mendorong. Terjadilah hal yang hebat. Pukulan Sinar Matahari laksana terbendung

lalu ketika dia memukulkan kedua telapak tangannya dengan keras, pukulan Sinar

Matahari dan sekaligus pukulan Merapi Meletus miliknya sendiri membalik 

menghantam ke arah Ki Ageng Tunggul Akhirat yang tengah berkomatkamit

memanggil Eyang di alam gaib. Namun sekali ini sang Eyang tidak mampu melawan

serangan balik yang datang sangat cepat dan tidak terduga.

Ki Ageng Tunggul Akhirat menjerit keras. Tubuhnya terlempar sampai

bebrapa tombak. Ketika tubuh itu berhenti menggelinding kelihatan sekujur

dagingnya merah laksana dipanggang bahkan di beberapa bagian tulang belulangnya

menguak putih mengerikan.

Dari dalam gelap satu bayangan melompat, memburu ke arah Ki Ageng

Tunggul Akhirat. Sungguh luar biasa. Walau keadaan tubuhnya leleh mengerikan

ternyata dia tidak segera mati. Bahkan salah satu matanya masih bisa melihat sosok 

tubuh orang yang berdiri di sampingnya.

“Pendekar 212.....” suara Ki Ageng Tunggul Akhirat sember dalam sekarat.

“Terima kasih kau berusaha menolongku. Aku....” Ucapan Ki Ageng Tunggul Akhirat

terputus sampai di situ. Kepalanya sesaat seperti hendak bergerak bangkit. Namun

terhempas kembali ke tanah. Bersamaan dengan itu nyawanya pun melayang.

Wiro palingkan kepala ketika telinga kirinya menangkap suara mengerang di

samping kiri. Dilihatnya Pangeran Matahari melangkah tertatih-tatih. Murid Eyang

Sinto Gendeng segera mengjar dan menghadang musuh besarnya itu. Sekujur tubuh

dan pakaian sang Pangeran tampak hangus. Dari mulutnya masih terus mengucur

darah. Tubuhnya di sebelah dalam terluka parah.

Pangeran Matahari hentikan langkahnya. Kedua matanya tampak membersit

sinar ganas. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian terdengar dia berkata.

“Antara kita memang ada jurang permusuhan yang dalam. Saat ini aku dalam

keadaan tak berdaya! Sebagai orang persilatan apakah kau akan membunuh diriku?!”

“Manusia licik! Kau pergunakan keadaanmu yang tak berdaya untuk belas

kasihan!”

Sang Pangeran tertawa dingin. “Siapa minta belas kasihanmu Pendekar 212!

Jika kau ingin membunuhku silahkan! Aku tidak akan melawan!”

“Sialan!” maki Wiro dalam hati. “Keparat busuk licik ini tahu betul kalau aku

tidak akan mau membunuhnya dalam keadaan seprti ini!”

“Ayo, kau tunggu apa lagi?! Lekas bunuh diriku! Hantam dengan pukulan 

mataharimu! Atau cabut Kapak Naga Genimu!” teriak Pangeran Matahari.

Saking geramnya murid Eyang Snito Gendeng maju lebih dekat lalu “Plaak!”

Tamparannya mendarat di pipi kiri Pangeran Mtahari. Sang Pangeran terpuntir keras

lalu jatuh berlutut. Darah semakin banyak keluar dari mulutnya apalagi tamparan

Wiro tadi telah merobek pinggiran bibirnya. Wiro cekal leher pakaian Pangeran 

Matahari yang hangus lalu meraiknya ke atas dengan satu sentakan hingga orang ini

tertegak. Begitu berdiri Wiro dorong tubuhnya sampai terhuyung-huyung ke depan.

“Kau boleh pergi membawa nyawa busukmu. Lain kali jangan harap aku mau 

membiarkanmua pergi dengan nyawa masih di badan!”

Sepasang mata Pangeran Matahari memandang tak berkesip pada Wiro.

“Pendekar 212.....” katanya dengan suara bergetar. “Kelak kau akan menyesal seumur

hidup karena tidak membunuhku saat ini!”

“Setan! Tak perlu bicara ngaco!” hardik Wiro. Kaki kirinya bergerak dan 

“Bukk!” Dia tendang pantat sang Pangeran. Terbungkuk-bungkuk menahan sakit

akibat luka dalam yang parah Pangeran Matahari akhirnya tinggalkan tempat itu.

Wiro seperti tersentak ketika sudut matanya melihat dua bayangan melompat

ke atas dua buah gerobak yang masing-masing berisi dua peti besar. Kedua orang ini

siap menggebrak kuda-kuda penarik gerobak.

“Setan-setan edan!” teriak Wiro. “Sebenarnya tadi kalian bisa melarikan diri

cari selamat! Tapi kalian lebih sayang harta dari pada nyawa!”

Wiro melompat ke atas gerobak di sebelah kanan. Kaki kirinya bergerak

menghantam dada Supit Jagal yang berusaha mencabut golok dan menusukkan


senjata ini ke perut Pendekar 212. Supit Jagal terlempar ke tanah. Malang baginya,

saat itu pula gerobak yang dilarikan Supit Ireng lewat dan menggilas lehernya! Tubuh 

Supit Jagal tampak menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.

“Keparat haram jadah! Terma kematianmu!”teriak Supit Ireng. Dengan tangan 

kanannya dia lepaskan pukulan Telapak Merapi yang dipelajarinya dari Pangeran 

Matahari. Wiro sudah maklum kehebatan ilmu pukulan itu. Dia tak mau menunggu 

lebih lama dan segera mendahului serangan lawan. Tangan kanannya bergerak ke

pinggang. Sesaat kemudian satu sinar menyilaukan membelah kegelapan malam

disertai suara seperti ribuan tawon mengamuk.

“Crass!”

Tangan kanan Supit Ireng yang hendak melepaskan pukulan sakti putus!

Jeritan manusia muka setan ini setinggi langit. Tapi suara jeritan itu tertahan ketika

untuk kedua kalinya Kapak Maut Naga Geni 212 berkelebat dan kali ini menetak 

tepat di ubun-ubunnya.

Tidak mudah bagi Wiro untuk menenangkan dua ekor kuda penarik gerobak.

Dengan susah payah akhirnya dia berhasil menggandengkan kuda yang satu dengan

bagian belakang gerobak. Wiro tahu pasti bahwa empat bau peti berisi barang-barang

berharga serta uang itu adalah milik Kerajaan yaitu yang dirampok komplotan Lor

Paregreg beberapa waktu lalu. Berarti dia punya kewajiban untuk mengembalikan 

keempat peti itu ke Istana Sultan di Kotaraja. Wiro siap menggebrak kuda penarik

gerobak sebelah depan ketika tiba-tiba terdengar suara perempuan memanggil.

“Saudara! Hai! Jangan tinggalkan diriku! Tolong!”

Murid Eyang Sinto Gendeng tertegun sesaat. Dia hentikan kudanya.”Ah,

mungkin aku salah pendengaran. Suara angin kukira suara orang memanggil.....”

Wiro tarik tali kekang kuda.

“Saudara! Tunggu....! Tolong aku... Aku takut!”

“Eh.... Itu suara manusia beneran...” ujar Wiro. Dia memandang ke belakang,

ke arah sebatang pohon besar. Suara perempuan yang memanggil itu datang dari balik 

pohon. Meskipun hatinya agak meragu dia turun juga dari atas gerobak lalu

melangkah mendekati pohon besar dari mana datangnya suara yang memanggil tadi.

Begitu dia sampai di balik pohon, sang pendekar kita jadi tergagau kaget dan mundur

beberapa langkah. Bagaimana kan tidak. Tak pernah dia menduga bakal melihat satu

sosok tubuh perempuan dalam keadaan bugil dengan muka pucat dan rambut riapriapan.

“Kau....kau setan....” Wiro tergagap-gagap.

“Bukan....Bukan! Aku Suniarsih! Janda Kepala Desa Pasirginting!

Tolong....aku takut. Orang-orang yang kau bunuh itu sebelumnya hendak menculik 

diriku....”

“Aku tidak percaya,” kata Wiro dengan mata membelalak memandang mulai

dari atas sampai ke bawah, :Jangan-jangan kau kuntil anak....”

“Aku bukan kuntil anak! Kalau tidak percaya lihat! Punggungku tidak 

bolong!” Lalu perempuan bugil itu membalikkan tubuhnya memperlihatkan 

punggungnya, Tapi mata murid Sinto Gendeng bukannya melihat ke punggung 

melainkan ke bagian bawah pinggang!

Suniarsih membalikkan tubuhnya kembali. Kali ini seperti baru sadar akan

keadaannya perempuan ini berusaha menutupi auratnya dengan kedua tangannya

sedapat-dapatnya.

“Aku...aku percaya kau memang bukan setan. Bukan kuntil anak. Tapi dalam

keadaan begini pertolongan apa yang bisa kulakukan...Itu rumahku... Tolong antarkan aku mau mengambil pakaianku. Setelah itu

aku akan ikut ke mana kau pergi. Aku tak akan mau lagi tinggal di rumah ini! Aku 

takut!”

Belum sempat Wiro mengatakan atau berbuat sesuatu tiba-tiba Suniarsih

melompat dan merangkul tubuhnya. Kedua kakinya digelungkan ke pinggang Wiro

seperti anak kecil minta dukung. Pendekar 212 merasakan jantungnya seolah berhenti

berdetak. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian tubuhnya terasa panas. Sambil

melangkah tidak karuan dalam hatinya pendekar ini berkata. “Mungkin ini pahala

bagiku karena tidak punya maksud jahat melarikan empat peti berharga milik 

Kerajaan itu!”

.


                                       TAMAT

Penulis : Bastian Tito

Created : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive