Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Senin, 03 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - KU TUNGGU DI PINTU NERAKA

https://matjenuh-channel.blogspot.com




 SATU 


Dua sosok bayangan hitam berkelebat dalam gelapnya malam. Pada waku siang 

saja hutan belantara itu selalu diselimuti kegelapan dan dicengkam kesunyian.

Apalagi di malam buta seperti itu. Hingga dua sosok yang bergerak tadi tidak

ubahnya seperti dua hantu tengah gentayangan.

“Kita sudah dekat…..” bisik bayangan di sebelah kanan. Ternyata dia manusia

juga adanya.

“Betul, aku sudah dapat mencium baunya,” menyahuti bayangan satunya.

Keduanya terus lari ke arah Timur rimba belantara. Tak selang berapa lama

mereka sampai di bagian hutan yang baynak ditumbuhi semak belukar setinggi dada.

Di sini mereka hentikan lari. Tegak tak bergerak dan juga tidak bersuara. Hanya

sepasang mata masing-masing memandang tak berkedip ke depan.

Di atas serumpun semak belukar lebar terletak sebuah batu lebar berbentuk

hampir pipih. Di atas batu ini duduk seorang lelaki berpakaian rombeng penuh 

tambalan seperti pengemis. Dia mengenakan sebuah caping bamboo. Bagian depan 

caping ini turun ke bawah hingga dari wajahnya hanya dagunya yang ditumbuhi bulubulu kasar saja yang kelihatan.

Bau aneh seperti bau bunga kamboja busuk datang dari orang yang duduk 

bersila di atas batu ini. Entah berasal dari tubuhnya atau dari pakaiannya yang dekil

kotor.

Otak dua orang yang barusan datang cepat bekerja. Batu pipih itu beratnya

paling tidak 30 sampai 40 kati. Tetapi mengapa semak belukar setinggi dada itu 

sanggup menahannya? Lalu ditambah pula dengan berat badan orang bercaping yang 

duduk bersila di atas batu. Semak belukar tetap berdiri tegak! Akal manusia mana

yang bisa menerima kenyataan ini?!

“Aku tak menyangka dia memiliki ilmu setinggi ini,” bisik orang di sebelah 

kiri.

“Dia sanggup membuat tubuh dan batu yang didudukinya seringan kapas,”

balas orang di sebelah kanan. “Tapi kalau cuma ilmu meringankan tubuhnya saja yag 

hebat, kenapa kita musti takut?”

“Lalu bagaimana? Kita teruskan?” tanya orang yang pertama tadi.

“Seharusnya kau tak usah bertanya begitu. Ucapanmu menandakan keraguan 

hati. Kau kecut, bahkan mungkin takut. Padahal, bukankah kita sudah bersumpah 

untuk menangkapnya hidup atau mati?” kata orang kedua pula dengan nada sengit.

Lalu cepat dia menyambung. “Kau dari sebelah kiri. Aku dari kanan. Sekarang!”

Dua orang itu bergerak. Satu ke kiri, satu ke kanan. Tiba-tiba secara serempak 

mereka menyergap ke arah orang yang duduk di atas batu. Dari gerakan-gerakan

mereka yang mengeluarkan suara angin bersiuran jelas dua orang ini bukan hanya

melancarkan serangan biasa, tetapi serangan-serangan dahsyat yang bisa meremuk 

dada dan merengkahkan kepala!

Orang bercaping di atas batu kelihatan tidak bergerak sedikitpun. Seolah sama

sekali tidak menyadari kalau dirinya tengah diancam bahaya maut. Sesaat lagi jotosan 

dari kanan akan menghantam caping di atas kepalanya dan jotosan dari kiri akan 

menghancurkan tulang dadanya, tiba-tiba dalam satu gerakan kilat yang hampir tidak

terlihat oleh mata telanjang, orang bercaping di atas batu angkat kedua tangannya “Wutt! Setttt!”

“Wutt Setttt!”

Dua penyerang sama berteriak kaget ketika dapatkan lengan kanan masingmasing yang mereka pergunakan untuk memukul tahu-tahu kena cekal orang!

Mereka cepat menyentak untuk bebaskan diri. Namun ceklan itu laksana

japitan besi yang tak dapat digoyahkan. Terpaksa keduanya pergunakan tangan kiri

untuk menghantam. Sayang gerakan mereka kalah cepat. Tubuh keduanya tampak 

terangkat ke atas. Lalu dalam gerakan kilat yang ditunjang dengan kekuatan luar biasa

tubuh itu diadu satu sama lain!

“Praaakkk!”

Dua kepala berbentur keras.

Perlahan-lahan orang di atas batu lepaskan cekalannya. Dua orang yang tadi

menyerangnya dan kini talah menjadi mayat roboh di bawah, terkapar di tanah rimba

belantara lembab.

Keadaan yang tadi sempat berisik kini kembali diliputi kesunyian. Orang di

atas batu duduk tak bergerak seolah tidak terjadi apa-apa!

Sementara itu di atas sebuah pohon tinggi, dalam kegelapan malam, sulit

terlihat oleh mata telanjang, seorang kakek bermuka kuning mengenakan pakaian 

selempang kain putih seperti seorang resi, duduk di atas salah satu cabang pohon. Di

tangan kanannya dia memegang sebatang joran atau bambu pemancing. Pada ujung 

benang di mana terdapat mata kail yang dibalut sejenis getah, berbagai binatang hutan

yaitu serangga terbang, kunang-kunang, nyamuk dan sebagainya telah menjadi korban.

Mati menempel di mata kail.

Sungguh aneh keadaan orang tua ini. Apakah dia menganggap dirinya tengah 

memancing? Walaupun dia tidak bergerak atau bersuara namun apa yang terjadi di

bawah sana yaitu kematian mengerikan dua orang yang menyerang, sama sekali tidak

luput dari pandangannya. Malah sewaktu dua orang itu jatuh bergedebukan di tanah 

tanpa nyawa dan kepala rengkah, dalam hatinya orang tua di atas pohon mengejek.

“Manusia-manusia tolol! Kalau ilmu cuma sejengkal mengapa berani datang ke

tempat ini! Mencari perkara mencari mati!”

Kesunyian di tempat itu ternyata tidak berlangsung jauh. Karena tak selang 

berapa lama kemudian entah dari mana datangnya sesosok tubuh renta bungkuk

dengan punuk di tengkuknya tahu-tahu muncul di tempat itu lalu duduk sejarak lima

langkah dari hadapan semak belukar di atas mana ada batu dan duduk orang 

bercaping. Orang yang baru darang ini berambut kelabu dan di tangan kanannya ada

sebatang tongkat hitam.

Dua mata orang tua berambut kelabu ini kecil dan selalu berputar liar, melirik

ke kiri dan ke kanan. Sekilas dia memperhatikan orang di atas batu, lalu 

memperhatikan dua sosok yang sudah jadi mayat, lalu kembali lagi memperhatikan

orang bercaping. Kemudian kelihatan dia geleng-gelengkan kepala.

“Anak-anak manusia malang! Kalian mampus percuma. Akibat meminta lebih 

dari kemampuan!” Si rambut kelabu membuka mulut. Lalu dia ketukkan tongkat

hitamnya ke tanah.

“Duk….duk….dukkkk!”

Hebat sekali! Ketukan tongkat itu bukan saja mengeluarkan suara aneh jauh ke

dalam tanah tetapi juga menyebabkan semak belukar di hadapannya bergoyanggoyang. Goyangan ini membuat batu hitam di atas semak-semak itu bergetar. Namun 

orang bercaping yang duduk di atasnya seolah tidak merasakan apa lagi terganggu.

Di atas pohon orang tua bermuka kuning dan berpakaian seperti resi usap-usap

joran bambunya. “Si bungkuk itu…… Hemmmmm…..” katanya dan bergumam

dalam hati. “Boleh juga dia. Kepandaiannya jauh meningkat. Ketukan tongkatnya

membuat pohon yang kududuki bergetar. Bahkan pantatku terasa seperti kesemutan.”

“Ck…..Ck…..Ck.”

“Tapi aku kurang yakin dia mampu melaksanakan niatnya. Biar kutunggu saja

sambil memancing…… Ah, mengapa sedikit sekali hasil pancinganku malam ini.”

Orang tua berpunuk berhenti mengetuk-ngetukkan tongkat hitamnya. Dia

maju dua langkah. Mulutnya tampak dipencongkan. Sesaat kemudian terdengar dia

berucap.

“Kebo Pradah. Kau boleh menyamar seribu samaran. Sebagai resi, sebagai

nelayan atasu sebaga petani. Juga sebgai pengemis seperi kau lakukan saat ini. tapi

kau tak bisa lari dari aku. Mata tua ini tak bisa ditipu. Aku datang menjemputmu! Apa

jawabmu?!”

Orang di atas batu tidak bergerak. Juga tidak ada suara jawaban.

Orang tua berambut kelabu di depan semak belukar menyeringai. Tangan 

kirinya mengusap-usap rambutnya beberapa kali lalu tangan kanannya yang 

memegang tongkat bergerak.

Ujung tongkat kayu hitam itu tiba-tiba menyusup ke bawah caping. Di depan

mata kiri ujung tongkat berhenti seolah hendak menusuk. Ternyata tidak. Tongkat itu

bergerak ke bawah lalu berhenti tepat pada cegukan di pangkal leher. Agaknya bagian 

inilah yang akan ditusuk. Jelas tusukan membawa kematian!

“Aku bertanya sekali lagi Kebo Pradah! Kau bersedia ikut aku atau bermaksud 

membangkang?!”

Orang tua berpunuk menunggu. Yakin bahwa dia tak bakal mendapat jawaban

maka diapun keluarkan suara tawa mengekeh. Tiba-tiba kekehannya lenyap laksana

direngut setan. Pergelangan tangan kanannya bergerak. Ujung tongkat benar-benar

menusuk!

“Traaaaakkkk!”

Orang tua berpunuk berseru kaget lalu melompat mundur sampai tiga langkah.

Dua matanya mendelik, memandang liar berganti-ganti ke arah orang di atas batu dan 

tongkat kayu hitamnya yang patah. Dia tidak dapat melihat kapan orang di atas batu 

itu menggerakkan tangannya. Yang jelas gerakan orang itu jauh lebih cepat dari

tusukan tongkatnya tadi.

Di atas pohon yang gelap, kakek bermuka kuning yang memegang joran

geleng-gelengkan kepalanya. Dalam hati dia berkata. “Tua bangka bungkuk berpunuk

itu ternyata cuma bermulut besar. Kalau otaknya waras apa yang terjadi sudah cukup

menjadi peringatan. Sebaiknya dia lekas saja angkat aki dari tempat ini!”

Namun lain kata hati si kakek di atas pohon, lain pula ucapan orang tua

berpunuk.

“Bagus Kebo Pradah! Bagus sekali! Kau menunjukkan keperkasaanmu tanda

kau memang pantas kuajak pergi. Tapi dari sikapmu tadi jelas kau memutuskan untuk 

ikut aku tanpa nyawa di badan!” Si bungkuk berpunuk lemparkan patahan tongkat ke

tanah. Dari mulutnya keluar suara lengkingan keras. Di lain kejap tubuhnya melesat

ke depan. Ketika kedua tangannya dihantamkan, ada deru angin yang dahsyat

mendahului serangannya. Orang di atas batu maklum dia kini tidak bisa bertindak 

gegabah. Dengan cepat dia angkat kedua tangannya menangkis. Dua pasang lengan 

saling bentrokan keras. Tapi anehnya sama sekali hampir tidak terdengar suara

bergedebukan. Ini satu pertanda bahwa kedua orang itu sama-sama memiliki tenaga

dalam yang tingginya sulit dijajagi. Terbukti dengan apa yang terjadi setelah 

bentrokan lengan itu. batu di atas semak belukar kelihatan retak. Beberapa bagiannya

malah hancur berkeping-keping. Asap mengepul dari batu. Orang bercaping yang tadi duduk di atasnya lenyap entah kemana! Sebaliknya si bungkuk berpunuk tampak 

berlutut enam langkah dari depan semak belukar dengan sekujur tubuh bergetar.

Punuknya seolah bertambah besar tiba-tiba.

“Des!”

Punuk itu meletus pecah! Darah muncrat mengerikan!


DUA 


Orang tua bermuka kuning di atas pohon leletkan lidahnya. “Si bungkuk itu tak

bakal lama nyawanya,” katanya dalam hati. “Kebo Pradah pasti tidak lepas dari

hantaman tenaga dalam lawan. Tapi dia berlaku cerdik. Tenaga sakti lawan 

diteruskannya ke atas batu yang tadi didudukinya. Karuan saja batu itu jadi retak 

bahkan pecah berkeping-keping!”

Si bungkuk berambut kelabu berusaha menahan sakit dengan mengatupkan

rahangnya kuat-kuat. Namun tak urung suara erangan terdengar juga keluar dari

mulutnya. Tangan kirinya diulurkan ke belakang. Begitu dia berhasil memegang 

punuknya yang pecah, orang ini menekan kuat-kuat. Sungguh luar biasa. Darah yang 

seperti memancur dari pecahan punuk serta merta berhenti mengalir.

Dengan mengumpulkan seluruh tenaga perlahan-lahan orang ini bangkit

berdiri.

“Kebo Pradah! Dimana kau?! Jangan bersembunyi pengecut! Aku akan 

mengadu jiwa denganmu!” Si bungkuk memandang kian kemari. Orang bercaping itu

tidak kelihatan. Dia membalik! Tahu-tahu Kebo Pradah sudah ada di depannya!

Si bungkuk keluarkan suara menggembor. Kedua tangan diulurkan ke depan.

Didahului bentakan keras dia melompat. Dua tangannya siap untuk mencekal dan 

mematahkan leher Kebo Pradah. Namun tindakan nekadnya itu tidak membawa hasil.

Sebelum dia sempat menyentuh leher yang jadi sasaran, orang bercaping gerakkan 

tangan kanannya.

“Praaaakkk!”

Kening si bungkuk pecah besar. Tubuhnya terjengkang. Jeritannya terdengar

singkat karena maut keburu merenggut nyawanya!

Di atas pohon orang tua bermuka kuning menghela nafas panjang. “Kasihan,

satu korban lagi jatuh. Apa masih ada lagi manusia tolol akan muncul mencari mati di

tempat ini?”

Di bawah pohon Kebo Pradah terdengar mendengus. “Tak jelas apa maunya

manusia-manusia itu. Mereka memburuku sejak tiga puluh hari lalu. Hampir tidak 

memberi kesempatan bagiku untuk bernafas lega. Pintu Neraka….. Kudengar ada di

antara mereka menyebut-nyebut nama itu. Apa betul ada Pintu Neraka? Di mana

itu…..?” orang ini membetulkan letak capingnya lalu memandang berkeliling sambil

mengusap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu kasar. Tiba-tiba Kebo Pradah berseru.

“Orang di atas pohon! Sudah saatnya kau turun. Aku mau lhat tampangmu

biar jelas dan apa kepentinganmu di tempat ini, mendekam sejak tadi di atas pohon!”

Orang tua bermuka kuning di atas pohon tersentak kaget. Jorannya sampai

bergoyang-goyang. “Astaga, rupanya dia tahu sejak tadi kalau aku nongkrong di sini!

Ah, bagaimana ini. Mau tak mau aku harus turun juga! Mungkin sudah saatnya aku

jarus memberi tahu padanya…..”

Orang tua ini gulung tali kailnya. Baru saja dia hendak melompat turun tibatiba terdengar suara aneh di kejauhan. Kakek muka kuning dan Kebo Pradah samasama tercekat dan saling dongakkan kepala. Suara aneh itu terdengar semakin keras

tanda bertambah dekat.

“Hemmmmmm……” si muka kuning bergumam. “Itu suara kerontang kaleng .

Hanya ada satu manusia yang membawa kaleng rombeng ke mana-mana. Kakek 

Segala Tahu….. Kalau tidak ada apa-apa tidak akan dia muncul di tempat ini. Janganjangan dia punya maksud yang sama….. Wah, apakah aku harus bentrokan dengan orang satu golongan…..? Sebaiknya aku menunggu saja. Biar dia muncul dulu di

tempat ini….. Tapi Kebo Pradah pasti tidak sabar!” Orang tua ini berpikir sesaat.

Sementara itu suara kerontang kaleng terdengar seperti menjauh dan akhirnya lenyap

sama sekali.

“Mudah-mudahan dugaanku salah. Kakek Segala Tahu mungkin hanya

kebetulan saja tersesat ke kawasan ini. Sudahlah, biar aku turun saja menemui Kebo 

Pradah……”

Sekali dia menggoyangkan tubuhnya, orang tua bermuka kuning itu melesat

ke bawah dan mejejakkan kedua kakinya di tanah tanpa mengeluarkan suara sama

sekali. Dia tegak dengan muka menyeringai, joran bambu dimelintangkan di bahu kiri

sementara tangan kiri berkacak pinggang.

“Ah, Si Pengail Sakti Bermuka Kuning rupanya!” kata Kebo Pradah begitu dia

melihat siapa orang yang tegak lima langkah di hadapannya itu. “Apakah banyak hasil

kailmu malam ini?”

“Cuma nyamuk dan serangga tak berguna. Ada beberapa ekor kunang-kunang.

Lumayan dari pada tidak dapat apa-apa sama sekali…..” jawab kakek bermuka

kuning lalu tertawa gelak-gelak.

Kebo Pradah menunggu. Setelah Si Pengail Sakti hentikan tawanya dia cepat

berkata. “Sekarang katakan apa maksud kehadiranmu di tempat ini Pengail Sakti. Apa

sama dengan orang-orang yang sudah jadi mayat ini?!”

Si Pengail Sakti usap muka kuningnya dua kali lalu batuk-batuk beberapa kali.

Setelah itu dia rapikan pakaian putihnya yang seperti pakaian seorang resi, membuat

Kebo Pradah jadi tidak sabaran.

“Aku menunggu jawabmu Pengail Sakti. Jangan terlalu petantang petenteng di

hadapanku. Atau sebaiknya kau lekas menyingkir saja dari tempat ini?!” Kebo Pradah 

akhirnya bicara dengan suara keras.

“Kebo Pradah, usiamu belum sampai setengah umurku yang sudah seratus dua

puluh tahun ini. Jadi tak pantas bicara kasar padaku….”

“Aku tidak mau tahu berapa umurmu! Jawab saja pertanyaanku tadi!” hardik 

Kebo Pradah.

“Kalau begitu maumu baiklah. Aku datang ke sini sebenarnya hendak

memberitahu bahwa dirimu terancam bahaya besar…..”

“Hemmmm begitu? Baik sekali hatimu padaku. Tetapi mengapa ku hanya

mendekam di atas pohon, tidak langsung menemuiu dan memberi tahu?!”

“Begini, setiap aku hendak turun menemuimu, aku selalu kedahuluan oleh

orang-orang yang muncul mencari urusan denganmu. Aku pikir sebaiknya aku 

menunggu saja sampai urusan kalian selesai…..”

“Berarti kau sengaja membiarkan aku dalam bahaya!”

“Tidak begitu. Karena kau tahu kau bakal dapat menyelesaikan urusan itu,

maka sebaiknya aku tidak ikut campur. Buktinya kau bisa membereskan orang-orang

itu!”

“Katakan bahaya besar apa yang mengancam diriku…..”

Pengail Sakti memandang dulu berkeliling seolah kawatir orang lain di tempa

itu mendengarkan apa yang bakal dikatakannya. Lalu dia maju dua langkah

mendekati Kebo Pradah.

“Ada hal luar biasa dalam dunia persilatan terjadi sejak beberapa waktu lalu.

Jika hal ini dibiarkan dunia persilatan akan ambruk!”

“Katakan saja langsung apa yang kau maksud dengan hal luar biasa itu!” kata

Kebo Pradah pula.Beberapa tokoh silat golongan putih lenyap secara aneh. Beberapa tokoh 

mengadakan penyelidikan. Ternyata satu kekuatan hitam telah mencullik mereka lalu 

disekap di sebuah tempat yang tak mungkin bisa dimasuki oleh manusia biasa. Jika

hal ini dibiarkan terus bukankah bisa membuat kiamat dunia persilatan? Lagi

pula…..”

“Tunggu dulu! Apa hubungan peristiwa itu dengan diriku…..” memotong

Kebo Pradah.

“Seorang pakar dunia persilatn dari golongan putih yang aku tidak jelas siapa

adanya mengatakan bahwa hanya kau yang bisa menolong menyingkap tabir

peristiwa ini. Menyelamatkan tokoh-tokoh silat yang diculik itu, mengeluarkan dari

sekapan dunia hitam…..”

Kebo Pradah tertawa. “Selama ini orang-orang persilatan mana pernah

memperhatikan diriku. Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan mereka. Mereka

membuat berbagai macam urusan. Mereka sendiri yang harus menyelesaikan. Soal

segala yang terjadi, dunia hitam dan kegaiban yang kau katakan itu, aku tidak 

perduli…..”

“Dengar dulu Kebo Pradah. Beberapa orang sakti siap untuk masuk ke dalam

dunia hitam makhluk-makhluk gaib sesat itu. Namun mereka tidak bisa tembus.

Meeka tahu daerahnya tapi tidak tahu bagaimana caranya bisa masuk ke alam gaib itu.

Hanya mereka katakan kau yang bisa melakukannya. Kau punya kekuatan dan 

kemampuan yang tidak dimiliki orang lain……”

“Kau sudah cerita banyak. Tapi belum mengatakan apa keperntinganmu 

sendiri datang ke sini. Hanya untuk memberitahu aku dalam bahaya dan bahwa aku

yang bisa menolong menyingkap tabir aneh itu? Aku tidak percaya. Kau pasti punya

kepentingan sendiri!”

Pengail Sakti tersenyum. Dia memandang lagi berkeliling. Lalu dengan suara

perlahan dia berkata. “Di alam gaib itu diketahui terdapat timunan harta perhiasan.

Kalau kita bisa masuk ke dalamnya kita bukan saja bisa menolong para sahabat tetapi

sekaligus bisa mendapatkan harta kekayaan itu! kita akan jadi orang-orang maha kaya

di dunia ini!”

“Aku tidak tertarik untuk jadi orang kaya…… Sekarang kau boleh pergi….”

“Tunggu dulu Kebo Pradah. Jika kau tidak tertarik pada kekayaan itu tak jadi

apa. Tapi kuminta kau mau menolong menyingkap tabir alam gaib itu. hanya kau

satu-satunya di dunia ini yang bisa menolongnya!”

Kebo Pradah menyeringai. “Banyak orang lain memiliki kemampuan lebih

hebat dariku. Kau bisa mencari mereka…..”

“Kau betul, banyak orang lain yang lebih hebat dan memiliki kemampuan 

serta kesaktian jauh di atasmu. Tapi bukan itu masalahnya!”

“Lalu?!”

“Seperti yang tadi aku bilang. Hanya kau yang memiliki kunci kekuatan untuk

dapat masuk ke alam gaib iu!” kata Pengail Sakti pula.

“Kunci kekuatan……? Aku tidak mengerti Pengail Sakti…..”

“Kalau begitu biar aku membuktikannya dulu. Apa betul kau orangnya….”

Pengail Sakti mengulur tali jorannya sambil memutar-mutar mata kail yang

ditempel dengan sejenis getah perekat.

“Eh, apa yang hendak kau lakukan?!” tanya Kebo Pradah heran tapi segera

saja bersikap waspada.

Tangan kanan Pengail Sakti bergerak. Joran bambu yang dipeganginya

menderu ke kiri. Mata kail yang diselubungi getah menyambar ke bagian perut Kebo 

Pradah. Mendapat serangan ini Kebo Pradah jadi marah.Muka kuning! Kau berkedok hendak menolong orang. Ternyata kau sama

saja dengan orang-orang lainnya hendak mencelakai diriku!”

Habis berkata begitu Kebo Pradah berkelebat ke kiri. Tangan kanannya

menyambar ke arah mata kail. Pengail Sakti kedutkan jorannya agar kailnya tidak 

sampai disambar lawan. Namun bersamaan dengan itu tangan kanan Kebo Pradah 

memukul ke depan.

“Bagus!” seru Pengail Sakti. Joran bambu di tangan kanannya bergerak aneh.

“Sreettt… sretttt… Betttt! Bettttt!”

kebo Pradah terperangah kaget ketika tahu-tahu kedua tangannya telah terlibat

tali kail sementara mata kail yang bergetah menempel di bagian dada baju

rombengnya.

Si Pengail Sakti tertawa mengekeh. Sekali menyentak saja maka Kebo Pradah

terbetot ke depan.

“Breettt!” Baju Kebo Pradah robek di bagian dada. “Sialan! Robekannya

kurang besar!” kata Pengail Sakti dalam hati. Joran bambunya kembali disentakkan.

Namun sekali ini Kebo Pradah sudah dapat membaca apa yang hendak dilakukan

kakek bermuka kuning itu. Dia cepat mendahului. Bukan saja dia mengikuti tarikan 

lawan tapi malah mendahului bergerak. Sesaat lagi tubuhnya dan tubuh Si Pengail

Sakti akan saling beradu, tiba-tiba Kebo Pradah berkelebat ke kiri. Dua tangannya

yang dilibat tali kail diangkat ke atas. Lalu dia membuat gerakan berputar beberapa

kali.

Pengail Sakti berseru tegang ketika melihat tali kailnya melibat lehernya

sendiri. Dia berusaha meloloskan diri dari libatan sambil lepaskan satu pukulan

tangan kosong yang dahsyat. Naumn terlambat. Libatan tali kail di lehernya semakin 

kencang. “Trel….trek….trek…..”

Terdengar suara berkereketan tiga kali berturut-turut. Tulang leher Pengail

Sakti patah di tiga tempat! Lidahnya menjulur ke luar dan kedua matanya membaliak 

mengerikan! Untuk meyakinkan bahwa orang tua bermuka kunig itu benar-benar mati,

Kebo Pradah sentakkan kedua tangannya yang terikat dengan keras. Tak ampun lagi

tubuh Pengail Sakti terbanting ke bawah. Muknya menghantam tanah lebih dulu.

Remuk tak karuan rupa! Dengan tenang Kebo Pradah kemudian membuka libatan tali

kail di kedua tangannya.

“Aku harus buru-buru meninggalkan tempat celaka ini!” kata Kebo Pradah 

membatin. “Kalau tidak, sulit bagiku melakukan samadi…..”

Kebo Prradah rapikan letak capingnya. Sesaat kakinya hendak melangkah,

satu bayangan berkelebat. Angin bayangan yang menyambar ini membuat capingnya

bergesr ke kiri. Baju rombengnya yang robek berkibar-kibar dan tubuhnya terasa

dingin. Kebo Pradah cepat membalik. Benar saja, bayangan yang barusan berkelebat

tau-tahu sudah berada di belakangnya. Berubahlah paras Kebo Pradah ketika dia

mengenali siapa adanya mahluk di depannya itu!


TIGA 


Hutan Tapakhalimun di kaki selatan Gunung Merapi terkenal angker. Itu sebabnya

tak pernah ada penduduk sekitar situ berani mendekati apa lagi masuk ke dalamnya.

Jangankan manusia, binatangpun boleh dikatakan jarang kelihtan berkeliaran di

sekitar situ. Kata orang hutan Tapakhalimun adalah sarang segalam macam mahluk 

halus. Pada siang hari di kawasan hutan yang selalu redup itu sering terdengar suara

lolongan anjing, bernada aneh panjang menggidikkan. Terkadang ada suara tawa

cekikikan membaut siapa saja yang mendengarnya bisa lari lintang pukang. Ada pula

yang mengatakan bahwa dalam rimba belantara itu sering terdengar suara jeritanjeritan seperti orang disiksa. Lalu juga ada tangisan orok! Malam hari tentu saja

keangkeran di tempat itu jangan disebut lagi.

Saat itu tepat tengah hari. Di langit sang surya memancarkan sinarnya yang

terik. Namun di kawasan hutan yang ditumbuhi berbagai pohon besar berdaun rimbun 

suasana tampak redup. Sinar matahari seolah tak sanggup menembus kelebatan rimba

belantara Tapakhalimun. Sewaktu lapat-lapat terdengar suara lolongan anjing dari

dalam hutan, tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih. Setan? Bukan. Ternyata dia

manusia. Seorang pemuda berpakaian dan ikat kepala putih dengan rambut gondrong

acak-acakan. Sesaat dia memandang berkeliling.

“Sepi….” Katanya dalam hati. Baru saja dia berucap begitu mendadak dari

dalam hutan terdengar suara lolongan anjing, membuat pemuda ini tergagap kaget dan

merutuk dalam hati. “Sialan! Kalau binatang itu ada di hadapanku pasti kutendang!”

Dia memandang lagi berkeliling sambil memasang telinga. “Eh, apakah aku ini sudah 

sampai di hutan Tapakhalimun…..? Keadaan di sini serba aneh. Udara redup dan 

hawanya pengap. Tapi mengapa aku mendadak keluarkan keringat dingin? Ada bau 

seperti kebang busuk. Tapi kulihat tak satu pohonpun ada bunganya! Pohon-pohon

besar itu tumbuhnya aneh. Berjajar dekat-dekat seperti pagar….”

Selagi pemuda ini membatin tiba-tiba kesunyian dirobek oleh suara jeritanjeritan mengerikan. Kembali pemuda ini terkejut dan memaki habis-habisan.

“Gila! Siapa yang menjerit seperti itu? Datangnya dari kejauhan di sebelah 

sana. Sepertinya lebih dari satu orang. Jangan-jangan itu bukan jeritan manusia

tapi…..” Pemuda ini tidak teruskan ucapannya. Dia melangkah sepanjang deretan

pohon-pohon besar yang membentuk pagar. Di setiap celah antara dua pohon dia coba

memeperhatikan. “Aku seperti melihat ada bayangan berkelebat di sebelah sana. Jelas

bukan bayangan binatang…. Apa yang harus aku lakukan? Aku harus melihat

bagaimana keadaannya sekarang….” Cepat-cepat dari dalam saku pakaiannya

pemuda ini mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah sekuntum bunga

kenanga aneh. Aneh karena bunga ini tak pernah layu dan jika dikeluarkan selalu 

menebar bau harum. Selain itu kembang kenanga ini berasal-usul dari satu kejadian 

yang sulit diterima akal manusia.

Beberapa waktu lalu dia pernah mengenal bahkan bercinta dengan seorang

dara cantik yang dipanggilnya dengan nama Bunga. Gadis ini sebenarnya adalah

penjelmaan dari seorang gadis yang telah meninggal dunia karena diracun oleh

kekasihnya sendiri yang mengkhianati cintanya. Satu kekuatan yang menguasai

Bunga membuat gadis ini mampu meninggalkan alam gaibnya dan hidup seperti

mahluk halus bahkan menjelma atau memperlihatkan diri sebagaimana keadaannya

sebelum meninggal dunia dulu. (untuk jelasnya baca serial Wiro Sableng berjudul

“Misteri Dewi Bunga Mayat”)

Setelah menatap kembang kenanga itu sesaat, perlahan-lahan si pemuda

mendekatkan bunga tadi ke hidungnya. Perlahan-lahan pula, penuh kekhusukan 

sambil memejamkan kedua matanya dia mencium bunga itu. Hawa harum dan sejuk 

masuk ke dalam hidungnya terus ke rongga pernafasan. Rasa sejuk menyeruak ke

rongga dadanya.

“Bunga….. Datanglah. Aku ingin melihatmu….” Si pemuda berbisik dengan

suara bergetar. Dia menunggu. Tak terjadi apa-apa. Dia menunggu lagi.

“Aneh,” kata pemuda ini dalam hati. “Biasanya tidak selama ini. sekali

panggil saja dia sudah muncul memperlihatakn diri….. Jangan-jangan……” Si

pemuda tampak kawatir. Diciumnya kembang kenangaitu sekali lagi. Lebih lama dari

tadi seraya berbisik. “Bunga, aku ingin melihat. Bagaimana keadaanmu sekarang.

Perlihatkan dirimu Bunga……”

Tetap saja tak ada yang terjadi. Hati si pemuda jadi semakin tidak tenang.

“Kalau dia mati dan aku tidak bisa menolongnya…… Aku akan menyesal seumur

hidup……. Tapi bukankah sebenarnya dia sudah mati? Apakah ada mahluk hidup

mati sampai dua kali?” Si pemuda termenung sesaat. “Biar kucoba sekali lagi…..”

katanya.

Bunga kenanga itu diusap-usapnya beberapa kali. Lalu didekatkannya ke

hidungnya. Kemudian diciumnya. “Bunga….. Jika kau masih ada di alammu,

datanglah Bunga. Perlihatkan dirimu……”

Pemuda itu hampir putus asa ketika menunggu sekian lama apa yang 

dharapkannya tak kunjung terjadi. Namun tiba-tiba, perlahan sekali ada suara berdesis.

Serta merta udara pengap di tempat itu dipenuhi oleh bau bunga kenanga. “Dia

datang…..” desis si pemuda. Kedua matanya memandang tak berkedip ke arah

datangnya suara berdesir itu. dari arah itu tampak satu sinar terang. Hanya sesaat.

Begitu sinar terang lenyap muncullah bayangan sosok tubuh seorang gadis

mengenakan kebaya putih berkancing-kancing besar. Rambutnya tergerai lepas.

Bayangan ini makin lama makin jelas.

“Bunga!” pekik si pemuda begitu melihat keadaan gadis yang muncul secara

aneh itu. pakaian putihnya ternyata penuh dengan darah. Wajahnya yang cantik tapi

pucat digelimangi datah yang keluar dari kedua matanya, hidung, telinga dan mulut.

Wajah itu memperlihatkan rasa takut yang amat sangat. Si gadis berada dalam

keadaan terikat kedua tangan dan kakinya pada sebuah tonggak kayu.

“Bunga!” teriak pemuda tadi kembali seraya memburu. Namun baru sedikit

saja dia bergerak tiba-tiba muncul dua mahluk menyeramkan yang tubuhnya meliukliuk seperti asap. Setiap menyeringai dua mahluk ini memperlihatkan barisan gigigiginya yang panjang-panjang dan runcing. Mulutnya, mulai dari bibir sampai gigi

dan lidah bergelimang darah. Dengan jari-jari tangannya yang berkuku panjang dan

sebesar pisang tanduk, dua mahluk seram ini menarik tubuh si gadis ke arah satu 

tempat yang hitam dan gelap sehingga akhirnya lenyap dari pemandangan.

Bersamaan dengan lenyapnya sosok tubuh itu terdengar suara jertan-jeritan

keras, membuat pemuda itu hampir jatuh duduk saking kaget dan ngerinya. Suara

jeritan semakin keras. Si pemuda kerahkan tenaga dalam untuk menutup jalan 

pendengarannya. Tetapi tembus! Terpaksa dia dekap kuat-kuat kedua telinganya. Lalu

jatuhkan diri berlutut. Untuk beberapa lamanya suara jeritan itu masih terus

menggema bahkan kini sesekali diiringi oleh lolongan anjing!

“Ya Tuhan! Apa sebenarnya yang terjadi dengan dirinya!” Pemuda berpakaian 

putih membatin sambil gigit bibirnya sendiri. “Terakhir sekali dia muncul tidak 

seperti itu. Masih bisa bicara…… Tapi kini mengapa begitu sengsara

keadaannya…… Tuhan! Beri aku kemampuan dan kekuatan untuk menolongnya!”Baru saja pemuda ini mengucapkan doa itu suara jerit dan lolongan anjing tadi

kini malah diikuti oleh suara tawa cekikikan riuh sekali. Mau tak mau kuduk si

pemuda menjadi dingin. Mukanya keringatan. Nafasnya mengengah-engah. Dia

melompat. Kerahkan tenaga dalam lalu berteriak sekerasnya yang bisa dilakukannya.

Dalam kengeriannya dia sengaja berteriak untuk melawan suara-suara menggidikkan 

itu. tapi percuma. Suara jerit, tawa cekikikan dan lolongan anjing tetap saja memenuhi

tempat itu.

“Aku harus meninggalkan tempat ini sebelum terjadi sesuatu dengan diriku!”

kata si pemuda yang memasukkan kembang kenanga ke dalam sakunya. Dia cepat

berdiri “Tapi…..” Hatinya ragu. “Aku datang kemari bukankah untuk mencari hutan 

Tapakhalimun? Aku yakin aku sudah sampai di hutan itu. Bunga….. Tadi dia muncul

lalu dilarikan oleh mahluk-mahluk mengerikan. Berarti seperti katanya dalam mimpi,

dia memang telah dilarikan ke satu sarang mahluk-mahluk halus yang punya

kekuasaan dan kekuatan tidak terbatas! Buktinya Bunga sendiri yang merupakan 

mahluk gaib, tidak mampu membebaskan diri dan minta tolong padaku…… Kalau 

begitu apapun yang terjadi aku tidak boleh meninggalkan tempat itu. Sarang mahlukmahluk jahat itu rasanya tidak jauh dari sini! Dan aku harus menemukannya! Aku

harus segera membebaskan Bunga. Keadaannya gawat sekali…..”

Suara tawa dan jerit serta lolongan anjing perlahan-lahan mulai berhenti dan

akhirnya lenyap sama sekali. Namun hal ini tidak membuat si pemuda bebas dari rasa

ngeri dan tegang. Kedua matanya kembali menyapu ke arah deretan pohon-pohon

besar.

“Aku yakin suara-suara jerit dan tawa serta lolongan anjing tadi datang dari

balik pohon-pohon besar itu. Aku harus menyelidiki ke sana….”

Si pemuda mendekati deretan pohon-pohon besar lalu melompat di celah 

kosong antara dua batang pohon.

“Dukkkk!”

Pemuda berambut gondrong itu berteriak keras. Bukan hanya karena kesakitan

tapi terlebih lagi dan terutama oleh rasa kejut yang bukan alang-kepalang. Saat itu

pula terdengar suara tawa cekikikan riuh rendah.

Waktu pemuda itu tadi melangkah untuk lewat di antara celah dua buah pohon,

kaki dan kepalanya menabrak sesuatu yang tidak kelihatan hingga tubuhnya

terhempas ke belakang.

“Gila! Aku tidak melihat apa-apa. Mengapa langkahku seperti ada yang 

menghalangi? Apa yang barusan kutabrak?!” lalu pemuda ini kembali melangkah 

maju. Kali ini gerakannya lebih cepat dan lebih sebat.

“Dukkkk!”

Untuk kedua kalinya dia menabrak sesuatu hingga langkahnya bukan saja

tertahan tapi tubuhnya jatuh terjengkang di tanah! Saat itu pula terdengar suara tawa

cekikikan disertai lolongan anjing di kejauhan.

“Tembok tanpa ujud!” desisnya dengan mata melotot memandang ke depan.

“Tak bisa kupercaya!” Dia melompat berdiri. Tangan kirinya diulurkan ke depan,

membuat gerakan meraba dan mengusap. “Aneh! Tak ada apa-apa di sini!” katanya

terheran-heran. “Lalu tadi apa yang menahan langkahku? Mengapa aku tidak bisa

berjalan ke arah celah pohon?” Pemuda ini berpikir sejenak. “Coba aku melangkah 

melewati celah yang lainnya….” Lalu dia melangkah ke delah antara dua pohon di

sebelah kiri. Tak terjadi apa-apa. “Nah, kali ini aku bisa lewat….” Baru saja dia

berkata begitu tiba-tiba.

“Dukkk…..dukkkk!” kaki kanan dan keningnya lagi-lagi menabrak benda

keras yang tidak kelihatan.Edan!” maki pemuda itu. lalu dia tersentak oleh suara tawa bergelak, jeritan 

aneh dan lolongan anjing. “Keparat! Mahluk apapun kalian adanya, apa kau kira aku 

takut pada kalian!” Pemuda itu kepalkan tangan kanannya lalu menghantam ke depan.

“Dukkk!”

Jeritan keras keluar dari mulut si pemuda. Tangan kanannya dikibas-kibaskan.

Ketika diperhatikan ternyata ruas-ruas jarinya lecet bahkan ada kulitnya yang

terkelupas.

“Tempat celaka apa ini?!” kertak pemuda itu. Amarahnya menggelegak.

Dalam keadaan seperti itu tanpa pikir panjang lagi dia kerahkan tenaga dalam. Kini

dengan tangan kirinya dia lepaskan pukulan sakti. Gelombang angin laksana topan

prahara menghampar deras.

“Bummmmm!”

Pukulan sakti itu melanda sesuatu mengeluarkan suara letusan keras. Angin 

pukulan membalik dahsyat, menghantam orang yang melepaskannya. Senjata makan 

tuan! Tak ampun lagi tubuh pemuda itu mencelat mental. Terlempar dan tergulingguling sampai bebrapa tombak. Untuk beberapa lamanya dia terkapar di tanah.

Sekujur tubuhnya laksana remuk. Dari hidungnya meleleh darah. Dadanya berdenyut

sakit. Perlahan-lahan dia coba berdiri. Saat itu pula terdengar suara tawa riuh rendah 

dan jeritan panjang pendek.

“Iblis! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan kalian!” teriak si pemuda.

Tangan kanannya diangkat ke atas. Saat itu juga tampak tangan itu berubah putih dan

mengeluarkan sinar perak menyilaukan. “Makan ini! Masakan tidak jebol!” berseru si

pemuda. Lalu dia menghantam ke depan. Sinar putih panas dan menyilaukan mata

berkiblat. Bersamaan dengan itu si pemuda melompat ke atas. Hal ini dilakukannya

untuk lebih dulu menyelamatkan diri kalau pukulan sakti yang barusan dilepaskannya

seperti tadi berbalik kembali menghantam tubuhnya!

“Wuuuttt!”

“Bummmmm!”

“Wuutttt!”

Benar saja. Pukulan sakti yang mengeluarkan hawa sangat panas itu ternyata

benar-benar membalik. Kalau saja pemuda itu tidak melompat ke udara pasti sinar

saktiitu akan menghantam dirinya.

“Wusss! Braaaakkkk!”

Sinar menyilaukan menyambar semak belukat dan beberapa pohon di

seberang sana. Semak belukar langsung terbakar sedang batang-batang pohon hangus,

satu di antaranya roboh tumbang.

Si pemuda melayang turun ke tanah. Wajahnya berubah.

“Aneh…… Benar-benar aneh…. Apa sebenarnya yang ada di depan deretan

pohon-pohon besar itu? Tembok sakti tak berwujud. Dinding gaib? Mustahil tak bisa

dijebol! Tak dapat ditembus! Padahal Bunga yang hendak kuselamatkan aku yakin

berada di balik deretan pohon-pohon itu! Tak bisa kupercaya!”

Pemuda ini usap-usap dagunya. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. “Aku

tak akan menyerah! Dengan senjata mustika ini masakan tak bisa jebol!”

Sinar menyilaukan memancar di tempat yang redup itu. sebuah senjata berupa

kapak bermata dua tergenggam di tangan si pemuda. Inilah Kapak Maut Naga Geni

212. Milik nenek sakti mandraguna di Gunung Gede yang kemudian diwariskan pada

muridnya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng


EMPAT


Wiro pegang Kapak Maut Naga Geni 212 erat-erat. Tahangnya dikatupkan kuatkuat.

“Ciaaattt!”

Didahului dengan teriakan keras Wiro babatkan senjata mustikanya ke depan.

Sinar putih perak meyambar disertai suara laksana seribu tawon mengamuk. Hawa

panas menghampar.

“Braaakkkk!”

Kapak Maut Naga Geni 212 menghantam sebuah benda yang tidak kelihatan.

Terdengar suara seperti sesuatu hancur berantakan. Tetapi benda atau apa yang

hancur itu sama sekali tidak terlihat oleh mata. Tanah terasa bergetar. Pohon-pohon

bergoyang. Semak belukar berserabutan. Sebaliknya Kapak Maut Naga Geni 212

terlepas mental dari tangan Wiro, tercampak di tanah. Wiro merasakan tangannya

seperti memegang bara panas. Jari-jarinya digerak-gerakkan sambil meniup

termonyong-monyong.

“Gila betul! Tapi jebol juga akhirnya!” kata Wiro. Senjata mustika yang 

tercampak di tanah cepat diambilnya lalu diperiksa. “Untung tak ada yang gompal,”

kata Wito lega. Kapak Maut Naga Geni 212 cepat disimpannya di balik pakaian.

“Sekarang pasti aku bisa masuk ke hutan itu tanpa kesulitan!” berucap Wiro. Dia

membuat langkah-langkah besar, berjalan ke arah salah satu celah pohon di bagian

mana diperkirakannya tadi telah menjebol dinding atau tembok yang tidak berwujud

itu.

“Duukkkkkk!”

“Jahanam!” rutuk Pendekar 212. Ternyata dugaannya salah. Tembok yang tak

kelihatan itu sama sekali tidak jebol. Kaki dan kepalanya kembali terantuk. Selagi dia

tertegun tiba-tiba dekat sekali di depannya terdengar suara tawa cekikikan sedang di

kejauhan kembali ada suara lolongan anjing, panjang menggidikkan.

Pendekar 212 bersurut beberapa langkah. Langkahnya terhenti ketika

punggungnya membentur sesuatu. Dia sempat tergagau dan cepat berpaling. Kalau 

tadi cuma tergagau kini dari mulutnya keluar seruan tertahan. Tampangnya seputih 

kertas. Apa yang menyebabkan sang pendekar sampai berseru dan berubah wajahnya

begitu rupa? Apa pula yang barusan telah dibenturnya?

Di hadapan Wiro saat itu ada satu sosok menyeramkan tegak setengah

membungkuk seolah hendak melompat menerkamnya. Sosok ini adalah sosok 

seorang tua berkepala panjang. Dia hanya mengenakan sehelai kancut. Sekujur

tubuhnya penuh dengan luka-luka bekas siksaan. Darah bergelimang di mana-mana.

Sepasang bola matanya memberojol keluar, bergelayutan di atas pipi seolah hendak 

copot! Telinganya lancip ke atas. Dagunya berbentuk segitiga. Di atas dagu terlihat

satu mulut yang hancur dan selalu mengucurkan darah. Pada lidahnya yang terjulur

panjang menancap sepotong besi lancip. Sepotong besi lagi menancap membelintang

dari telinga kiri ke telinga kanan. Pada pangakal lehernya kelihatan lobang luka besar.

Dari lobang ini mengucur darah berwarna hitam. Baik tangan maupun kaki mahluk ini

diikat dengan rantai besar merah menyala. Agaknya dia tidak mampu bergerak 

sedikitpun. Kalau dia mencoba menggerakkan tangan dan kakinya maka rantai panas

akan melumerkan daging bahkan tulangnya!Pendekar 212 bersurut beberapa langkah. Sumur hidup belum pernah dia

meliha mahluk mengerikan seperti ini. “Hantu atau apa yang ada di depanku ini…..”

pikir Wiro.

“Grokkk….grokkkk…..grokkkkk.” Dari tenggorokan mahluk dahsyat itu tibatiba keluar suara aneh, hampir seperi suara orang mengorok. Dari lobang luka di

tenggorokannya terus mengucur darah hitam.

“Agaknya dia hendak mengatakan sesuatu….” Pikir Wiro dengan tampang 

mengerenyit memperhatikan.

“Grokkk…grokkkk….grokkk.”

“Ah, betul. Dia hendak bicara tapi suaranya seperti itu. Mana aku bisa

mengerti….” Wiro mundur lagi dua langkah. “Kau…. Kau mau bilang apa…..?”

Wiro ajukan pertanyaan.

Mahluk itu anggukkan kepala. Perlahan sekali. Dua bola matanya yang 

bergelantungan tampak bergoyang-goyang. Darah mengucur dari dua rongga matanya.

“Kau….kau penghuni rimba belantara ini?” tanya Wiro lagi.

Si mahluk mengangguk.

“Kau mengerti omonganku. Kau ini manusia atau apa….?”

Kali ini tak ada anggukan. Mahluk itu diam saja.

“Apakah 

kawasan 

di

belakang 

pohon-pohon 

besar

itu 

hutan 

Tapakhalimun….?” Tanya Wiro selanjutnya.

Kepala mahluk menyeramkan mengangguk sedikit. Baru saja dia mengangguk 

tiba-tiba ada suara letupan disertai kepulan asap di depan deretan pohon-pohon besar.

Lalu dua sosok sangat besar muncul. Ternyata yang muncul ini adalah dua orang 

perempuan gemuk luar biasa, berwajah galak, memiliki lidah menjulur panjang 

sampai ke dada. Dua mahluk ini hanya mengenakan cawat. Payudaranya yang besar

bergundal-gandil kian kemari. Rambutnya hitam dan panjang sempai ke betis. Wiro 

yang memperhatikan tersentak mundur dan merinding. Di celah-celah rambut panjang

dua perempuan gemuk itu kelihatan bergelantungan ular-ular sepanjang tiga jengkal,

berwarna hitam berbelang kuning! Masing-masing mereka memegang sebilah golok

merah yang menyala.

“Aku tidak bermimpi! Tapi bagaimana ada mahluk-mahluk mengerikan 

seperti ini…..”

Dua mahluk perempuan itu tiba-tiba keluarkan suara pekikan keras. Lalu 

mereka memburu ke arah mahluk yang tegak terbungkuk dan terikat rantai panas

membara tangan serta kakinya dan kini tampak sangat ketakutan. Dua golok 

diacungkan lurus-lurus diarahkan pada perut mahluk yang terikat tadi.

“Cleeppp!”

“Cleepp!”

“Ceesss!”

“Cesss!”

Tak ampun lagi perut mahluk itu ambrol di dua tempat. Asap mengepul dari

perut yang jebol dan dua golok yang membara. Begitu dua golok ditarik isi perut si

mahluk laksana dibedol keluar. Wiro seperti mau muntah melihat hal luar biasa

mengerikan itu. Si mahluk sendiri keluarkan suara lolongan aneh sementara dua

mahluk perempuan tadi kembali memekik-mekik marah. Puluhan ular yang ada di

kepala mereka berjingkrak meliuk-liuk seolah-olah iku marah.

Tiba-tiba mahluk berkepala panjang yang terikat rantai membara kaki dan 

tangannya itu melompat ke depan, berusaha menubrukkan kepalanya pada salah satu

mahluk perempuan. Yang hendak ditubruk menjerit keras. Golok panas merah

menyala di tangannya dibacokkan ke arah kepala panjang si mahluk.Grokkkkk!”

Mahluk berkepala panjang itu keluarkan suara menggmbor keras lalu angkat

dua tangannya yang terikat bsei panas untuk melindungi kepala.

“Craassss!”

Dua lengan putus. Dua tangan yang masih dalam keadaan terikat rantai panas

jatuh ke tanah.

“Grokkkk,,,,!” mahluk berkepala panjang menggembor keras sementara darah

mancur dari dua tangannya yang kini buntung.

Salah seorang dari mahluk perempuan tadi cekal leher si kepala panjang lalu

menyeretnya ke arah pepohonan. Kawannya tak segera mengikuti tapi memandang ke

arah Wiro Sableng. Karuan saja murid Sinto Gendeng ini merasa seperti mau lumer

sekujur tubuhnya. Dalam takutnya dia siapkan pukulan sakti “sinar matahari” di

tangan kanan. Mahluk perempuan yang tadi memandang pada Wiro keluarkan 

pekikan, berpaling pada kawannya yang tengah menyeret mahluk lelaki yang isi

perutnya manjela-jela sampai ke tanah. Mahluk perempuan yang satu ini gelengkan 

kepalanya. Kawannya yang tegak di hadapan Wiro tampak kecewa. Tiba-tiba

lidahnya yang panjang menjulur bertambah panjang.

“Wuttt!”

Lidah itu melesat ke arah bawah perut Pendekar 212. Wiro merasakan 

selangakangannya seperti disambar api. Tubuhnya terlonjak mental sampai satu 

tombak ke belakang.

“Uhhh….mati aku!” katanya sambil menekap bagian bawah perutnya.

Di depannya dilihatnya dua mahluk perempuan itu melangkah ke deretan

pohon-pohon sambil satunya menyeret mahluk lelaki tadi. Begitu melewati barisan 

pohon keduanya, juga mahluk lelaki yang diseret tiba-tiba lenyap laksana ditelan 

bumi!

Murid Sinto Gendeng raba-raba bagian bawah perutnya yang tadi disentuh 

lidah mahluk perempuan itu.

“Astaga!” wajahnya jadi pucat. Ikat pinggang celananya dilonggarkan lalu dia

mengintip ke bawah. Sang pendekar menjadi lega. “Masih ada….. Tadi kenapa seperti

amblas lenyap….”

Wiro memandang ke jurusan lenyapnya tiga mahluk menyeramkan tadi.

“Aku melihat mereka melangkah ke arah pohon. Lewat di antara dua pohon di

sebelah sana dan lenyap. Berart sebenarnya tidak ada penghalang apapun di tempat

itu.” Berpikir seperti itu murid Sinto Gendeng lalu melangkah ke jurusan tiga mahluk 

tadi berjalan dan lenyap. Satu langkah lagi dari hadapan celah dua buah pohon yang

hendak dilewatinya tiba-tiba.

“Dukkkk!”

“Setan alas!” maki Pendekar 212 sambil pegangi keningnya sedang kaki

kanannya dijingkat-jingkatkan menahan sakit. “Tak bisa ditembus! Kalau begitu 

mereka tadi adalah pasti mahluk-mahluk halus. Berarti tak ada gunanya aku mencoba

masuk! Sampai kiamat pun tak akan tembus! Lalu bagaimana dengan Bunga….?”

Wiro gelengkan kepala dan garuk-garuk keningnya yang masih mendenyut

sakit. “Tak ada gunanya aku berlama-lama di tempat ini. Aku harus cepat mencari

bantuan agar bisa menyelamatkan Bunga. Tapi mencari bantuan pada siapa….?”

Murid Sinto Gendeng jadi bingung dan garuk-garuk kepala lagi sambil memandang

berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sesuatu di tanah. Seperti tulisan. Samarsamar dan apa yang tertulis tidak rampung. Dengan susah payah Wiro coba

membacanya. Dia harus menglilingi tulisan di tanah itu berulang kali sebelum bisa

membaca dengan jelas.Tulisan aneh ini dibuat dengan darah. Darah siapa…..?” Wiro coba berpikir.

“Mahluk yang perutnya jebol itu. Jangan-jangan dia…. Dia menulis dengan darah

yang mengucur dari salah satu tangannya yang buntung. Sebelum selesai tubuhnya

sudah keburu diseret ke balik pepohonan….”

Wiro berputar sekali lagi. Kali yang keenam akhirnya dia bisa juga membaca

tulisan itu.

“Kakek Segal…..”

“Kakek Segal….. Kakek Segal….” Wiro mengulang-ulang memaca tulisan itu

di dalam hati. “Astaga! Yang dimaksudnya pasti Kakek Segala Tahu! Aku tolol!

Mengapa aku tidak ingat orang tua itu! Kalau tidak diingatkan oleh mahluk itu….

Aku harus segera pergi. Tidak mudah mencari tua bangka aneh itu. kalau nasibku 

jelek, satu tahun pun berkeliling tak bakal bisa menemukannya.


LIMA 


Hari pasar di Kotobarang sekali ini bukan main ramainya. Penyebabnya karena

hari ini seorang akrobat ulung akan mempertunjukkan kehebatannya di tengah pasar.

Maka penduduk Kutobarang bahkan mereka yang tinggal jauh di pedalamn datang 

berbondong-bongdong. Pertunjukkan diadakan di sebuah pedataran yang bagian

teganhnya membentuk bukit kecil. Sejak pagi tempat itu telah dipenuhi orang banyak.

Tak lama kemudian akrobat ulung yang ditungg-tunggu muncul. Ternyata dia seorang 

kakek bungkuk berpakaian compang-camping, kotor penuh tambalan. Di bahunya

membekal buntalan dekil. Di kepalanya bertengger sebuah caping bambu. Sebuah 

tongkat kayu tergenggam di tangan kanan.

“Sialan! Cuma seorang jembel! Apa kemampuannya?!” sungut seorang lelaki

yang sejak pagi berada di situ.

“Tua bangka itu menipu kita! Berjalan saja susah! Masakan dia pandai main

akrobat?!” tukas seorang lainnya.

“Jangan-jangan dia datang ke sini hanya mau mengemis! Minta sedekah!

Lihat! Kedua matanya putih! Gila! Dia buta!”

Di antara kekecewaan yang terlontar di mulut orang banyak ada seorang

berkata seperti membela. “Di beberapa desa sebelumnya aku dengar dia mampu

memperlihatkan akrobat mengagumkan luar biasa!”

“Uh! Siapa percaya pada pengemis!” seseorang menyeletuk.

Di tempatnya berdiri, orang tua bercaping tegak sambil senyum-senyum.

“Uhhhhh! Lihat dia cengengesan! Membuat aku muak!” ujar seorang di

pinggir lapangan.

“Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Seekor monyet tua mampu 

mempertunjukkan apa?!”

“Kau betul kawan. Baru sekali saja dia meliukkan tubuhnya tulang

pinggangnya akan patah!”

Perlahan-lahan orang tua di atas bukit kecil membuka capingnya. Begitu 

caping bambu tanggal dari kepalanya tiba-tiba seekor burung merpati keluar dari

dalam caping, terbang berputar-putar di atas kepalanya beberapa kali lalu melesat

lenyap ke arah Timur.

Kini orang banyak jadi terdiam dalam heran. Segala ejek cemooh tidak

terdengar lagi. Semua mata memandang pada pengemis buta di atas tanah berbukit. Si

kakek sendiri usap-usap kedua tangannya satu sama lain. Lalu dia mencabut tongkat

kayu butut yang dikepit di ketiak kiri. Sambil membolang-balingkan tongkat kayu itu

dia melangkah berputar-putar mengelilingi buntalan kainnya yang terletak di tanah.

Tiba-tiba dia mengetuk buntalan itu dengan ujung tongkat.

Terdengar suara denyit keras lalu seekor monyet coklat keluar dari dalam

buntalan meloncat-loncat kian kemari. Si kakek acungkan tongkat kayunya luruslurus ke atas lalu jentikkan jari tangan kiri. Monyet coklat melompat tinggi lalu hup!

Cekatan sekali dia naik dan berdiri di ujung tongkat si kakek. Di ujung tongkat

binatang ini tidak hanya berdiri diam tapi berjingkrak-jingkrak malah melompat

jungkir balik beberapa kali. Orang banyak berseru kagum.

Perlahan-lahan si kakek letakkan tongkat di atas capingnya. Lalu dia

melangkah berputar-putar membuat gerakan seperti orang menari. Di ujung tongkat si

monyet kembali melompat jungkir balik. Orang banyak bertepuk riuh penuh kagum.

Sayang tak ada tetabuhan. Kalau tidak pasti pertunjukkan itu lebih semara

Setelah membiarkan monyetnya melompat-lompat beberapa lama si kakek

angkat capingnya dengan tangan kanan sedang tangan kiri memegang tongkat. Caping

lalu diputar-putar dengan sebat. Dalam keadaan berputar caping bambu ini

dilemparkannya ke atas. Lalu dia bersuit memberi tanda. Mendengar suitan ini

monyet yang ada di ujung tongkat melompat ke atas caping dan ikut berputar.

Sebelum caping melayang turun si kakek cepat menunjang dengan tongkatnya lalu

memutar caping itu lebih cepat sehingga caping dan monyet di atasnya terlihat seperti

bayang-bayang. Perlahan-lahan ujung tongkat dipindahkannya ke atas ubun-ubun 

kepalanya. Sambil menggoyang-goyangkan kepala agar caping dan monyet terus

berputar, orang tua itu keluarkan dua tiga biah benda dari balik pakaian rombengnya.

Ternyata benda-benda itu adalah tiga buah bola terbuat dari rotan. Sementara

kepalanya menjunjung tongkat dan di ujung tongkat terus berputar caping dan monyet,

si kakek mulai melambung-lambungkan tiga buah bola itu. Dilempar, ditangkap lalu 

dilempar lagi terus menerus.

“Luar biasa!”

“Hebat!”

“Tidak disangka gembel buta tua itu ternyata memang pandai main akrobat!”

Berbagai pujian keluar dari mulut orang banyak.

Setelah puas dengan pertunjukan itu si orang tua mengambil kantong kain dan 

menyandangnya di bahu kiri. Lalu dia melangkah mendekati sebuah pohon bercabang 

besar yang terletak di tepi lapangan. Waktu memungut buntalan dan berjalan, tongkat,

caping dan monyet masih terus berada di atas kepalanya sementara tiga buah bola

terus dimainkannya dengan cekatan. Begitu sampai di bawah cabang pohon besar dia

keluarkan suitan keras. Lalu membuat beberapa gerakan berturut-turut secara cepat.

Pertama dia menyimpan kembali tiga buah bola rotan di balik pakaian 

rombengnya. Selanjutnya dia melompat ke atas lalu jungkir balik. Di lain kejap dia

tampak bergelantungan pada cabang pohon. Kedua kakinya dicantelkan ke dahan

kayu, tubuh serta kepalanya tergantung ke bawah tidak beda seperti seekor kelelawar.

Di saat yang sama pula dia ulurkan tangan kiri untuk memegang tongkat. Perlahanlahan tongkat diturunkannya ke bawah. Caping dan monyet yang ada di ujung tongkat

ikut turun. Lalu dengan kecepatan luar biasa tongkat dikepitnya di ketiak kiri, caping

dipegang di tangan kanan. Karena tak ada tempat berpijak tentu saja monyet yang ada

di atas caping jadi jatuh ke bawah. Dengan tangan kirinya si kakek cepat menangkap

salah satu tangan binatang itu lalu dilemparkannya ke atas. Monyet itu melesat ke

udara. Si kakek keluarkan suitan keras. Tubuhnya tiba-tiba bergerak memutari dahan.

Dua kali putaran monyet yang dilempar ke atas kembali jatuh. Si kakek cepat

menangkap tangan binatang ini lalu dilempar kembali ke atas. Demikian terjadi

berulang-ulang. Makin lama putaran tubuh si kakek semakin cepat dan monyet coklat

dilempar semakin tinggi. Orang banyak sesaat tercekat melihat hal yang luar biasa itu.

sedikit saja meleset dan sikakek tidak dapat menangkap tangan monyet, binatang itu

pasti akan hancur ke tanah.

Pada putaran kedua belas kembali kakek itu keluarkan suitan panjang. Monyet

yang ditangkapnya di tangan kiri dilemparkannya ke udara tinggi-tinggi.

“Hai! Binatang itu lenyap di udara!” teriak seseorang.

“Jangan-jangan dilempar menembus langit!” seru seorang lainnya.

Ketika si kakek berhenti berputar-putar di cabang pohon dan melompat turun

ke tanah, orang-orang banyak segera mendatangi.

“Kek, akrobatmu hebat sekali. Tapi bagaiman dengan monyetmu. Binatang itu

lenyap seperti ditelan langit!” kata seseorang diantara kerumunan orang banyak.Orang tua itu tersenyum. “Binatang itu tidak lenyap. Juga tidak ditelan langit,”

katanya. “Monyet itu aku kembalikan ke tempat asalnya semula. Ke dalam rimba

belantara.”

“Berarti kau tak akan bisa lagi main akrobat!”

“Mengapa tidak? Aku bisa mencari monyet lain atau binatang lain…..

Saudara-saudara pertunjukkanku sudah selesai. Kala ada umur panjang lain waktu aku

akan ke Kutobarang lagi. Sekarang jika kalian mau berbelas kasihan dan jika aku ada

sedikit rejeki, aku mohon sedekah. Yang sanggup memberi silahkan, yang tidak

mampu tidak apa-apa….. Aku hanya minta sekedar pembeli nasi untuk hari ini….”

Lalu pengemis itu turunkan capingnya. Benda ini dibalikannya dan

melangkah berkeliling. Orang banyak memberi sedekah semampu yang bisa mereka

berikan. Di antara kerumunan orang banyak menyeruak seorang lelaki tinggi besar

berikat kapala dan berpakaian hitam. Mukanya tertutup berewok. Pada pipi kirinya

ada cacat bekas luka yang dalam. Di belakangnya ada tiga orang lelaki bermuka

sangar, berpakaian serba hitam yang rupanya adalah kawan-kawan dari lelaki di

sebelah depan. Orang ini mengulurkan tangannya memasukkan sedekah ke dalam

caping. Namun yang diletakkannya dalam caping bambu itu bukannya uang 

melainkan sebuah batu sebesar kepalan tangan. Habis meletakkan batu itu dia tertawa

gelak-gelak. Tiga kawannya ikut tertawa.

Orang banyak yang ada di tempat itu merasa tidak senang dengan perlakuan 

sendau gurau kurang ajar itu. namun mereka tidak berani berbuat apa-apa setelah

melihat siapa adanya empat orang itu. Malah perlahan-lahan orang banyak satu demi

satu menyingkir dari tempat itu.

Sebaliknya si kakek berpakaian rombeng cuma senyum-senyum. “Terima

kasih,” katanya pada lelaki tinggi besar sambil usap-usap batu itu. “Kau memberikan 

sedekah yang tidak ternilai. Tidak sangka rejekiku begini besar hari ini. Semoga

Tuhan membalas budi baikmu ini. Aku doakan agar rejekimu berlipat ganda!” si

orang tua mengambil batu itu. dengan tangan kirinya benda itu digenggamnya sesaat

lalu ditimang-timangnya.

Sepasang mata si tinggi besar, juga tiga kawannya dan banyak orang yang 

masih ada di sekitar situ sama-sama membeliak. Yang kini ditimang-timang si

pengemis bukannya batu melainkan benda kuning berkilauan ditimpa sinar matahari


ENAM


Salah seorang berpakaian hitam yang tak percaya pada apa yang dilihatnya berbisik 

pada si tinggi besar.

“Ganang! Kau sudah gila memberi emas pada jembel buruk itu?!”

Ganang Culo di tinggi besar pelototkan matanya. “Kau yang gila! Masakan 

aku mau memberikan emas sebesar itu padanya. Lagi pula punya pun tidak! Kau lihat

sendiri. Yang kuberikan tadi batu!”

“Lalu bagaimana sekarang jembel itu memegang sebongkah besar emas begitu

rupa?!” ujar kawan Ganang Culo di sebelah kiri.

“Terima kasih…. Terima kasih,” kata kakek gembel sambil membungkukkan

tubuhnya berulang kali. “Kau baik sekali. Sekarang izinkan aku meninggalkan tempat

ini….” Si orang tua lalu masukkan uang yang didapatkannya ke dalam saku besar di

samping kiri pakaiannya. Katika dia hendak memsaukkan emas sebesar kepalan

tangan itu, Ganang Culo berkata.

“Tunggu dulu!”

“Ada apakah orang baik hati?” tanya si kakek.

“Aku salah memberi. Kembalikan emas itu padaku….!”

“Ah, rupanya kau ragu. Bersedekah tidak sepenuh hati,” kata kakek sambil

tersenyum. “Tak jadi apa. Rejekiku rupanya berobah. Ini kukembalikan padamu 

emasnya….” Lalu orang tua itu menyerahkan emas sebesar kepalan pada Ganang 

Culo. Begitu menerima benda sangat berharga itu Ganang Culo memberi isyarat pada

tiga orang temannya. Keempat orang itu lalu cepat-cepat tinggalkan lapangan menuju

tempat mereka menambatkan kuda.

“Orang tua, orang sudah memberi. Mengapa kau menyerahkan emas itu

kembali?!” seseorang bertanya.

Si kakek cuma tertawa. “Emas itu belum ditakdirkan jadi punyaku.

Pemiliknya emminta kembali. Mana mungkin aku menolak…. Nah saudara-saudara

aku minta diri sekarang…”

Kakek gembel kenakan caping bambunya. Lalu terbungkuk-bungkuk dia

tinggalkan tempat itu diikuti pandangan banyak orang. Kehebatannya bermain 

akrobat kini dibumbui dengan cerita sebuah batu yang beruba jadi emas itu dan 

diserahkan kembali pada Ganang Culo, yang mereka ketahui adalah penjahat kepala

rampok ganas di kawasan Selatan. Tapi apakah si kakek mengetahui siapakah Ganang

Culo dan kawan-kawannya?

Kita ikuti dulu kemana perginya para penjahat itu. Ganang Culo membedal

kudanya diikuti tiga orang temannya ke arah Tenggara. Di satu tempat salah satu dari

tiga orang itu rupanya sudah tidak tahan, tiba-tiba berseru.

“Ganang! Kita berhenti dulu! Emas besar harus kita bagi empat!”

Dua temannya mengiyakan tanda setuju. Ganang Culo hentikan kudanya,

memandang beringas pada ketiga temannya.

“Rupanya kalian tidak percaya padaku? Apa kalian kira aku mau makan 

sendiri emas ini?!” katanya setengah berteriak. Dari saku pakaian hitamnya

dikeluarkannya emas besar itu. lalu tangan kirinya bergerak mencabut golok besar

tanda dia memang benar-benar siap untuk membagi empat emas besar itu. Tetapi

ketika bongkahan emas itu keluar dari saku dan diperlihatkan pada tiga orang itu,

semua mereka termasuk Ganang Culo sendiri berseru kaget. Benda yang di dalam

genggamannya ternyata bukan emas kuning berkilat melainkan sebuah batu besar.Eh, apa yang terjadi? Bagaimana emas itu kini berubah lagi menjadi batu?!”

kata Ganang Culo hampir berteriak sedang kedua matanya laksana mau melompat

dari sarangnya.

Tiga kawannya saling pandang. Salah seorang dari mereka berkata. “Aku lihat

sendiri emas sebesar kepalan itu tadi kau masukkan ke dalam saku pakaianmu.

Adalah aneh kalau emas itu tahu-tahu berubah menjadi batu….”

“Tapi, kalian juga tahu dan melihat. Waktu aku memasukkan sedekah ke

dalam caping gembel tua itu, yang kuberikan adalah sebuah batu besar, bukan emas!”

tukas Ganang Culo.

“Memang benar. Orang tua aneh itu merubahnya jadi emas. Emas itu kau 

masukkan dalam sakumu, kau bawa sampai ke sini. Lalu tiba-tiba saja emas berubah

jadi batu. Jangan-jangan kau tukar dengan batu sungguhan. Emas asli kau

sembunyikan!”

“Kurang ajar kau Rantana!” kata Ganang Culo hampir berteriak marah.

Tangannya bergerak hendak menampar muka kawannya itu. Tapi kawan di

sebelahnya cepat memegang tangannya. Orang ini bernama Janger Kawala. Dia

adalah yang paling tua diantara mereka.

“Tak ada gunanya kita bersikeras satu sama lain. Menurutku kakek ahli

akrobat itu adalah seorang tukang sihir. Dia berani mempermainkan kita. Berani

menipu! Kita harus mencarinya. Merampok uang hasil pertunjukkan akrobatnya lalu 

menghajarnya sampai mampus!”

“Kau betul,” kata penjahat bernama Tumara Akun. “Aku sempat melihat

gembel sialan itu pergi ke arah Timur. Dia jalan kaki. Kita pasti bisa mengejarnya!”

Keempat penjahat itu segera memutar kuda masing-masing lalu bergerak

menuju ke Timur dengan cepat.

***

Kakek berpakaian rombeng berjalan seorang diri sambil membolangbalingkan tongkat kayunya. Agaknya dia dalam keadaan girang karena hari itu 

banyak sumbangan uang atau sedekah dari penduduk Kutobarang. Saat itu dia berada

jauh di Timur Kota, melangkah di pinggir pedataran yang banyak ditumbuhi alangalang. Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara derap kaki kuda mendatangi. Karena

jalan sempit dan dia tidak mau diterjang kuda maka cepat-cepat orang tua ini menepi

sambil pegangi pinggiran capingnya, di bawah mana dia menyimpan seluruh uang 

logam hasil pertunjukan akrobatnya.

“Ini dia penipu keparat itu!” satu suara membentak menggeledek di

belakangnya bersamaan degnan berhentinya derap kaki-kaki kuda.

“Tua bangka tukang sihir! Jangan harap kau bisa melarikan diri! Kami akan 

menghajarmu sampai mati!” bentakan kedua terdengar.

Belum sempat orang tua itu berpaling, satu tendangan menghantam bahu

kanannya.

“Bukkk!”

Tak ampun lagi orang tua itu tersungkur ke tanah. Tapi anehnya capingnya

masih menempel di kepalanya, tongkat bututnya juga masih tergenggam di tangan 

kanan. Perlahan-lahan dia berdiri, menatap pada empat orang penunggang kuda

berpakaian serba hitam.

“Aneh, meskipun tersungkur tapi tua bangka ini mampu menahan 

tendanganku! Dia tidak kelihatan cidera. Bahkan kerenyit kesakitan pun tidak tampak

di wajahnya yang keriput,” begitu Rantana berkata dalam hati. Dialah tadi yang 

menendang gembel tua itu.

“Eh, kalian berempat bukankah dermawan yang memberikan aku sebongkah 

emas di Kutobarang, tapi lalu diambil lagi?” kata pengemis tua itu. “Sekarang kalian

muncul lagi. Menendangku! Apa salahku?”

“Tua bangka penipu! Pengemis buta tukang sihir sialan!” bentak Ganang Culo.

Dari dalam saku pakaian dikeluarkannya sebuah batu sebesar kepalan tangan. “Ini

emas yang kau berikan itu!” teriaknya dengan mata mendelik. “Kau boleh ambil

kembali!” Lalu Ganang Culo lemparkan batu itu ke arah si pengemis.

“Plukkk!”

Batu sebesar kepalan mendarat tepat di dagu orang tua itu. Lagi-lagi aneh.

Dagu yang dihantam batu tampak merah. Namun si orang tua jangankan bergeming,

menunjukkan rasa sakit sedikit sajapun tidak!

“Tua bangka jahanam! Rupanya kau punya ilmu juga hah! Lalu mau jual

lagak di hadapanku! Baik! Aku mau lihat sampai di mana kehebatanmu. Kau bisa

merobah batu jadi emas lalu mengembalikannya jadi batu. Aku juga punya

kemampuan merobah tubuhmu jadi daging cincang dan potongan tulang belulang!”

Ganang Culo cabut goloknya. Sekali lompat saja tubuhnya melayang di udara.

Golok berkelebat ke arah kepala pengemis tua.

“Ooo ladalah! Walau sudah tua bangka begini aku masih ingin hidup lama di

dunia!” teriak si pengemis tua lalu tangan kanannya yang memegang tongkat bergerak.

Ujung tongkat melesat ke arah badan golok.

“Treek….”

Walau tongkat kayu itu memukul badan golok perlahan saja namun Ganang 

Culo merasa seolah senjatanya dihantam balok besar. Tak ampun golok terlepas

mental.

Tiga teman Ganang Culo terkesiap kaget melihat apa yang terjadi. Sebaliknya

rasa malu dihajar hanya satu kali gebrakan saja membuat dirinya marah sekali. Masih

melayang di udara dia membentak sambil membuat gerakan jungkir balik. Tahu-tahu

kaki kanannya melesat ke arah rahang kiri kakek berpakaian rombeng. Nnemun 

tendangan itu tak pernah sampai. Ujung tongkat di tangan si kakek lebih dulu

menyentuh perutnya. Lalu entah bagaimana caranya, entah gerakan apa yang

dilakukan orang tua ini tubuh Ganang Culo kelihatan naik ke atas kemudian berputarputar seperti baling-baling. Makin lama makin kencang. Rasa sakit pada perutnya,

gamang oleh putaran yang cepat ditambah dengan amarah membuat GanangCulo

berteriak habis-habisan. Dia berusaha melepaskan pukulan tangan kosong 

mengandung enaga dalam ke arah si kakek. Tapi selalu luput karena tubuhnya terus

berputar. Malah beberapa pukulannya hampir mengenai teman-temannya sendiri.

Orang tua bercaping tertawa mengekeh. Tiba-tiba dia menarik tangannya yang 

memegang tongkat. Untuk seketika tubuh Ganang Culo masih melayang berputar di

udara. Namun sesaat kemudian tubuh tinggi besar itu ambruk jatuh bergedebuk di

tanah.

Ganang Culo menjeri kesakitan. Tulang pinggulnya sebelah kiri remuk. Dari

mulutnya keluar caci maki. Dia berusaha berdiri tapi rubuh kembali. Akhirnya

makiannya ditujukan pada tiga temannya.

“Kalian keparat semua! Tua bangka gila itu memperlakukan aku seperti ini!

kalian cuma berdiri seperti patung!”

“Sret! Sret! Sret!”

Tiga golok besar dicabut. Rantana, Tumara Akun dan Janger Kawala cabut

golok masing-masing lalu mengurung pengemis bercaping. Ketika Rantana dan Tumara Akun siap menyerang, Janger Kawala yaitu penjahat paling tua dianara

mereka mengangkat tangannya.

“Tunggu dulu,” katanya. “Kita bertiga. Membunuh jembel busuk ini semudah

membalikkan telapak tangan. Sebelum dia kita cincang, biar aku menanyakan emas

sebesar kepalan itu padanya…..” Janger Kawala maju satu langkah. “Dimana kau 

sembunyikan emas itu! Lekas keluarkan dan srahkan padaku!”

“Ah, kalian masih saja bicara dan meminta emas itu. Bukankah tadi kawanmu 

yang melongsor di sana itu sudah membuangnya dan melemparkannya padaku?”

“Coba buka capingmu!” bentak Tumara Akun.

Seperti patuh orang tua itu buka capingnya.

“Mendekat ke sini! Aku mau lihat apa saja isinya!”

Yang diperintah melangkah mendekati Tumara Akun lalu mengangsurkan 

capingnya. Dalam caping bambu ada sebuah kantong kain butut.

“Apa isi kantong it?!” tanya Tumara Akun.

“Uang sedekah orang-orang di Kutobarang,” jawab si orang tua.

“Kalau begitu serahkan padaku!” sekali rengut saja kantong berisi uang logam

itu berpindah ke tangan si penjahat.

“Mana emasnya?!” tanya Janger Kawala.

“Tak ada padaku…..”

Mata Janger Kawala perhatikan buntalan di bahu si kakek. “Apa isi buntalan 

itu?!”

“Barang-barang rongsokan. Pakaian rombeng…..”

Janger Kawala menyeringai. “Biar aku periksa sendiri!” katanya. Sekali lagi

tangan kiri Janger Kawala berkelebat. Buntalan di bahu si kakek berhasil dibetotnya

lalu dibukanya dengan cepat. Isinya ternyata memang pakaian-pakaian rombeng. Lalu

ada sebuah kaleng butut yang sudah penyok-penyok.

“Apa ini?!” tanya Janger Kawala.

“Kau lihat sendiri. Kaleng butut penyok…..”

Janger Kawala goyang-goyangkan kaleng itu beberapa kali. Suara berisik

berkerontang memenuhi tempat itu.

“Eh, apa isi kaleng ini?!” tanya Rantana saling pandang dengan Janger kawala.

Si kakek tertawa perlahan. “Kalian pasti menyangka aku menyembunyikan

potongan-potongan emas dalam kaleng ini. kalau mau tahu kaleng ini isinya batu-batu 

kerikil…..”

Rantana berpikir, “Kalau cuma batu-batu kerikil buat apa tua bangka gila ini

memasukkannya ke dalam kaleng. Dia berdusta. Aku harus membongkar kaleng ini!”

Namun maksud Rantana itu urung karena saat itu Janger Kawala berkata.

“Tumara, Rantana! Geledah tua bangka penipu ini!”

“Eh, kalian ini mau apa? Jangan pegang. Aku ini penggeli!” kata si kakek 

seraya melangkah mundur begitu Tumara Akun dan Rantana bergerak mendekatinya.

“Kalau dia tak mau digeledah berari emas itu memang ada padanya. Di

sembunyikan di salah satu bagian pakaiannya!” Yang berkata adalah Ganang Culo 

yang saat itu mash tergeletak di tanah. “Buat apa bersusah payah! Bereskan saja dia.

Habis perkara!”

“Ganang Culo betul! Saatnya kita mencincang bajingan tengik tua bangka

ini!” kata Rantana yang rupanya sudah habis kesabaran. Lalu dia melompat

mendahului dua kawannya. Golok di tangannya dipancungkan ke arah batok kepala si

kakek.

“Celaka! Kalian hendak menjagalku!” teriak pengemis tua. Cepat dia

mengenakan capingnya kembali. Tangan kirinya bergerak menyambar kaleng penyok

di dalam buntalan. Tangan itu bergoyang. Batu-batu kerikil di dalamnya memukul

badan kaleng. Terdengar suara berkerontang yang menyengat telinga, membuat tiga

penyerang bahkan Ganang Culo yang berada labih jauh merasa sakit dan bergetar

gendang-gendang telinga masing-masing.

Sebenarnya apa yang telah dilakukan gembel tua itu terhadap Ganang Culo 

cukup membuat Janger Kawala dan dua kawannya sadar bahwa mereka tengah

menantang gunung di depan mata. Namun amarah merasa ditipu dan dipermainkan

serta keserakahan hendak mendapatkan emas sebesar kepalan itu kembali membuat

mereka seperti buta. Golok Rantana menderu keras. Menyusul golok Janger Kawala

dan Tumara Akun. Ganang Culo menyeringai di kejauhan. Sesaat lagi tubuh

pengemis itu akan lumat dicincang golok tiga kawannya.

Orang tua yang diserang sekali lagi kerontangkan kalengnya. Tongkat kayu

butut di tangan kanannya melesat membuat alur setengah lingkaran. Saat itulah tibatiba terdengar suara seruan.

“Kakek Segala Tahu! Serahkan tiga ekor tikus hutan ini padaku!”

Satu bayangan putih berkelebat. Lalu “Plaakk! Buuukkk! Duukkkk


TUJUH 


Janger Kawala meraung kesakitan. Tiga giginya tanggal. Darah bercucuran dari

mulutnya. Goloknya mental entah kemana. Di sebelahnya Tumara Akun terjengkang 

jatuh duduk di tanah. Tulang dadanya remuk. Dalam keadaan megap-megap sulit

bernafas akhirnya dia roboh terguling. Dari mulutnya keluar darah kental. Rantana

yang paling parah. Mata kirinya hancur. Darah membasahi sebagian mukanya. Suara

jeritannya seperti mau menembus langit!

Di antara raung kesakitan itu pengemis berpakaian rombeng tertawa

mengekeh. Lalu dia berucap. “Anak sableng! Untung kau datang hingga si tua bangka

ini tak perlu susah-payah!”

Pemuda berambut gondrong, berpakaian putih yang bukan lain adalah 

Pendekar 212 Wiro Sableng dan yang barusan menghajar tiga penjahat itu

membungkuk memberi hormat.

“Kek, syukur aku bisa menemuimu! Kalau tidak ketemu entah bagaimana

jadinya?!”

“Bah! Rupanya kau datang membawa perkara! Bukan khusus muncul

menolongku!” orang tua yang dipanggil dengan sebutan Kakek Segala Tahu itu 

merengut. “Perkaramu bisa dibicarakan nanti. Coba kau urus dulu penjahat jelek yang

satu itu. Kudengar dia hendak merayap kabur!”

Yang dimaksud Kakek Segala Tahu adalah Ganang Culo. Sungguh luar biasa

pendengarannya hingga merupakan sepasang mata yang tak kalah tajamnya dengan 

mata biasa. Penjahat itu benar-benar putus nyalinya melihat apa yang terjadi dengan 

tiga orang temannya. Meski saat itu tulang pinggulnya sebelah kiri remuk dan sakit

bukan kepalang namun rasa takut mendapat hajaran lagi membuat penjahat ini

kumpulkan tenaga untuk bisa bangkit lalu melarikan diri. Tapi usahanya sia-sia saja.

Dia hanya mampu merayap. Ketika mencoba berdiri tubuhnya ambruk. Saat itu justru 

Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di hadapannya.

“Jangan….. Jangan…..” suara Ganang Culo setengah meratap.

“Kek, kau mau aku apakan kampret ini?” tanya Wiro.

“Ampun! Jangan!” jerit Ganang Culo.

Kakek Segala Tau kerontangkan kaleng rombengnya. Lalu berkata “Selama

ini, kampret itu gentayangan melakukan kejahatan di mana-mana. Dari tubuhnya yang 

paling banyak berbuat jahat adalah tangan kanannya. Kurasa ada baiknya kalau kau 

patahkan jari-jari tangan kanannya barang beberapa buah!”

“Aku menurut saja apa yang kau perintahkan Kek,” jawab Wiro.

“Tobat! Ampun! Jangan patahkan tanganku!” teriak Ganang Culo

Wiro melangkah mendekat. “Kurasa itu hukuman paling ringan bagimu 

kampret! Masih untung dia tidak meminta aku mematahkan batang leher jalan

nafasmu!”

“Aku benar-benar bertobat!” teriak Ganang Culo.

“Ah, soal tobat-tobatan itu urusanmu dengan Tuhan! Aku tidak menampung 

urusan tobat-tobatan!” kata Pendekar 212 pula. Lalu dia membungkuk menyambar

tangan kanan Ganang Culo. Penjahat ini cepat tarik lengannya. Namun saat itu Wiro 

sudah meremas telapak tangan kanannya. “Kraakkk….. kraakkkk….. kraakkkk….!”

Tiga jari tangan kanan Ganang Culo dan juga sebagian tulang telapak

tangannya remuk. Penjahat ini melolong setinggi langit lalu bergulingan di tanah.Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya lalu tertawa mengekeh.

Tongkat kayu di bolang-baling. Dia melangkah mendekati Janger Kawala.

“Setttt!” ujung tongkat si kakek melesat ke arah leher pakaian penjahat yang

tiga giginya rontok itu. terjadilah satu hal luar biasa ketika Kakek Segala Tahu 

menyentakkan tongkat. Tubuh Janger Kawala melayang ke udara, jatuh tepat di atas

tubuh Ganang Culo uang saat itu masih menjerit-jerit kesakitan. Si kakek kemudian

melangkah ke arah Tumara Akun. Orang yang dadanya remuk ini dan mengeluarkan

darah dari mulut berusaha menghindar sewaktu dilihatnya kakek bercaping itu

mendatangi. Namun terlambat. Ujung tongkat Kakek Segala Tahu sudah menyambar

leher pakaiannya. Tubuhnya terangkat ke atas. Dia coba memukul tongkat dengan 

tangan kiri. Berhasil.

“Bukkk!” Tapi justru dari mulutnya keluar jerit kesakitan. Darah ikut muncrat.

Dia seperti memukul besi, bukan tongkat kayu. Sebelum dia bisa berbuat yang lain,

tubuhnya tahu-tahu sudah terlempar ke udara. Seperti Janger Kawala tadi, Tumara

Akun pun jatuh menimpa tubuh Ganang Culo hingga ketiganya saling tumpang tindih.

Lain halnya dengan Rantana yang mata kirinya hancur dan masih terus

mengucurkan darah. Dalam keadaan mengerang penjahat satu ini hanya pasrah saja

melihat apa yang akan dilakukan oleh si kakek. Ujung tongkat melesat. Rantana

merasakan tubuhnya terangkat lalu seperti dilempar dirinya melesat ke udara. Dia

berusaha berjungkir balik untuk menghindarkan jatuh menimpa tiga kawannya yang 

tumpang tindih babak belur. Tapi gagal. Dia jatuh lebih dulu dengan kepala

menghantam dagu Tumara hingga tak ampun lagi Tumara Akun terlonjak kesakitan 

lalu diam tak berkutik, pingsan!

Sambil membolang-balingkan tongkat dan mengoyang-goyangkan kaleng 

rombengnya Kakek Segala Tahu membalikkan tubuh ke arah Wiro.

“Ayo kita pergi dari sini. Empat kampret itu sudah cukup menerima pelajaran.

Kalau mereka masih meneruskan hidup sebagai penjahat, lain kali bertemu pasti akan 

kulipat jalan nafasnya!” Si kakek ambil kantong uang dan buntalan miliknya yang

tercampak di tanah.

Pendekar 212 segera mengikuti Kakek Segala Tahu. Tongkat dan sepasang 

telinganya menjadi pengganti matanya. Di satu tempat, karena tidak tahan lagi dan

ingin cepat-cepat bicara, pemuda itu berkata.

“Kek, ada satu hal penting yang aku ingin minta bantuanmu.”

“Heeemmmm….” Si kakek menjawab dengan gumaman lalu kerontangkan

kalengnya dan terus saja berjalan.

Walau hati kecilnya kecewa melihat sikap si kakek namun karena maklum

kalau orang tua itu memang sering bersikap aneh maka dia hanya bisa diam dan terus

mengikuti.

Di sebuah tikungan jalan di mana terdapat satu batu besar Kakek Segala Tahu

hentikan langkahnya lalu duduk di atas batu itu. Sesaat dia memandang pada pemuda

di hadapannya itu, kerontangkan kalengnya beberapa kali lalu berkata. “Beberapa

orang tokoh persilatan dikabarkan menghilang secara aneh tanpa diketahui ke mana

perginya. Apakah hal penting yang hendak kau katakan itu ada sangkut pautnya

dengan diri mereka?”

“Aku kurang mengetahui mengenai menghilangnya tokoh-tokoh silat itu. Saat

ini aku butuh pertolonganmu. Seorang sahabatku terancam keselamatannya. Dia

disekap dan disiksa di alam gaib. Alam siluman. Aku berhasil mengetahui letak 

kawasan gaib itu. Di kaki Selatan Gunung Merapi. Di satu rimba belantara bernama

Tapakhalimun…..”

Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya lalu berkata. “Sahabatmu yang 

kau katakan itu pasti seorang perempuan cantik….”

“Bagaimana kau tahu Kek?” tanya Wiro.

Orang tua itu menyeringai dan buka capingnya. “Pemuda sepertimu, kalau 

bukan urusan perempuan cantik mana mungkin kau mau mencari urusan. Mencariku

segala…..! Siapa nama si cantik itu?”

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. “Namanya Suci. Aku biasa

memanggilnya Bunga. Dia disekap di kawasan siluman hutan Tapakhalimun.”

“Bagaimana kau bisa tahu dia disekap. Di hutan Tapakhalimun?”

“Mula-mula aku mendapat petunjuk dari mimpi….”

“Mimpi? Itu petunjuk gila. Bisa betul bisa menipu!”

“Tapi Kek, kemudian aku coba memanggilnya dari alam gaib….”

“Pendekar 212, aku baru tahu kalau kau punya ilmu baru. Pandai memanggil

orang dari alam gaib. Lalu apakah sahabatmu itu sebangsa dedemit atau hantu

kuburan?!” tanya Kakek Segala Tahu sambil kerontangkan kalengnya.

“Sebaiknya aku ceritakan saja padamu asal-usul aku mengenal Bunga,” kata

Wiro pula. Lalu diceritakannya semua kejadian di masa lalu yang telah dialaminya.

“Kau tidak berdusta….?” Tanya Kakek Segala Tahu begitu Wiro mengakhiri

kisahnya.

Murid Sinto Gendeng menggeleng. “Aku tidak berdusta. Juga tidak bergurau.

Aku tidak main-main Kek. Keselamatan gadis itu terancam….”

Kakek buta itu balas gelengkan kepala. “Menolong orang yang sudah mati

dari kematian…. Benar-benar tak bisa dipercaya. Sudah jadi apa dunia ini

sebenarnya? Kalau tidak mendengar dari mulutmu sendiri, sulit aku bisa percaya!”

“Kau punya ilmu. Punya kesaktian untuk melihat segala sesuatu. Itu sebabnya

kau digelari Kakek Segala Tahu….”

Orang tua itu tertawa mengekeh. “Yang namanya manusia itu bagaimanapun 

tinggi ilmu selalu ada keterbatasan. Ingat hal itu Wiro! Mengenai hutan 

Tapakhalimun itu memang sudah lama aku dengar keangkerannya. Kata orang dulu di

situ ada satu kerajaan kecil yang makmur. Rajanya tersesat dalam ilmu-ilmu gaib

mengerikan. Seisi istana dan semua orang di kerajaan berubah menjadi siluman.

Rupanya mereka masih bercokol di sana….”

“Lalu yang aku tidak mengerti, mengapa siluman-siluman hutan 

Tapakhalimun itu menculik Bunga dari alam gaibnya. Menyekap dan menyiksanya….

Kita harus menolong dia Kek!”

“Menolong orang yang sudah mati dan gentayangan di alam gaib. Jangan kau

marah kalau kukatakan sebenarnya gadis itu juga sudah jadi siluman. Bedanya dia

siluman baik-baik dan cantik hingga kau mau menyabung jiwa untuk

menyelamatkannya…..”

“Terserah kau mau menyebutnya siluman, hantu atau apa! Yang penting dia

harus diselamatkan….”

Kakek Segala Tahu menghela nafas panjang. Dia mendongak. Matanya yang

putih buta menatap langit. Lalu kaleng di tangan kirinya dikerontangkannya beberapa

kali.

“Katamu kau mampu memanggilnya melalui bunga kenanga itu. cobalah aku

ingin melihat….”

Dalam hati Pendekar 212 menggerutu. “Kedua matanya jelas-jelas buta. Apa

yang bisa dilihatnya?”

Namun untuk tidak mengecewakan orang tua itu Wiro keluarkan juga bunga

kenanga pemberian Suci dari dalam saku bajunya. Sambil memejamkan mata bunag itu diletakkannya di depan hidung lalu diciumnya dalam-dalam. Hawa segar dan

harum menyeruak masuk kedalam tubuhnya. Tak segera terjadi apa-apa. Wiro

menunggu. Tetap saja tidak ada tanda-tanda Bunga akan muncul.

“Mungkin jarak dari sini ke hutan Tapakhalimun itu terlalu jauh Kek. Aku tak

bisa menghubunginya….” Kata Wiro.

“Coba sekali lagi,” ujar Kakek Segala Tahu seaya memegang bahu Wiro.

Pemuda itu merasakan ada satu hawa aneh masuk ke dalam tubuhnya yang dipegang.

Dia maklun kalau si kakek kini menyalurkan kekuatan saktinya ke dalam dirinya

untuk membantu memberi kekautan. Wiro dekatkan lagi bunga kenanga itu ke

hidungnya dan menghirup dalam-dalam. Sunyi. Tak ada suara tak ada bayangan yang 

muncul. Namun sesaat kemudian terdengar suara lolongan anjing di kejauhan disertai

jeritan-jeritan mengerikan. Setelah itu samar-samar nampak satu sosok berpakaian 

putih muncul dalam keadaan terikat pada sebuah tonggak kayu.

“Bunga…..” bisik Wiro memperhatikan. Keadaan gadis itu tidak beda seperti

yang dilihatnya sebelumnya. Pakaiannya putih penuh darah begitu juga wajahnya.

Kedua matanya terpejam. Di kiri kanan dua mahluk seram seperti asap, meliuk-liuk

menjaga. Tiba-tiba Bunga membuka kedua matanya. Dari mulutnya keluar jeritan

menggidikkan. Suara jeritan itu menggema laksana menggelegar dalam juran batu

yang dalam. Bersamaan dengan lenyapnya gema jeritan, sirna pula sosok tubuh

Bunga dan dua mahluk seram itu.

Wiro simpan kembali bunga kenanga dalam saku bajunya. Dia berpaling pada

Kakek Segala Tahu dan bertanya. “Apa yang kau lihat Kek?”

Orang tua itu mendongak. “Aku memang tidak melihat apa-apa. Tapi aku bisa

mendengar dan merasakan. Bencana yang menimpa sahabatmu itu memang luar biasa.

Jika mahluk yang berasal dari alam lain tidak mampu melawan kekuatan hitam itu,

apalagi kita manusia biasa!”

“Lalu apa yang harus kita lakukan?’ tanya Wiro.

Kakek Segala Tahu mendongak dan kerontangkan kalengnya. “Kita harus

segera meninggalkan tempat ini. di tengah jalan siapa tahu aku bisa mendapatkan

petunjuk.”

“Kita harus mencari kuda. Sebelum dapat biar kau kugendong dulu!” kata

Wiro yang sudah tidak sabaran. Lalu cepat saja si kakek didukungnya di belakang

punggung, terus lari ke arah Timur.

“Eh, kau ini mau membawa aku ke mana?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Ke mana lagi kalau bukan ke hutan Tapakhalimun?!” sahut Wiro.

“Percuma ke sana. Kau sudah coba menembus tabir alam siluman itu. Tak 

berhasil. Aku pun rasa-rasanya tidak sanggup.”

“Celaka kalau begitu!” ujar Wiro seraya hentikan langkahnya. Si kakek 

diturunkannya dari punggungnya. Nafasnya memburu dan dadanya turun naik.

“Jangan lekas putus asa anak muda,” kata orang tua itu sambil kerontangkan 

kalengnya. “Di dunia ini segala urusan ada jawabannya. Hanya untuk mencari

jawaban itu manusia harus memutar otak. Beberapa waktu lalu aku menyirap kabar

ada tokoh-tokoh persilatan tengah mengejar sorang sakti bernama Kebo Pradah…..”

“Aku tidak tertarik mendengar ceritamu. Apa hubungan kejadian yang tengah 

kualami dengan Kebo atau Sapi Pradah itu?!”

Si kakek tertawa bergelak. “Sudah kubilang segala urusan bisa

diselesaikanjika manusia mau memutar otak mempergunakan akal. Jangan seradakseruduk tak tahu juntrungan seperti yang sudah kau lakukan. Kebo Pradah bukan 

orang sembarangan. Jika para tokoh memburunya berarti ada satu urusan luar biasa

yang tengah mereka hadapi. Kabar yang aku sirap mengatakan para tokoh itu mengejar Kebo Pradah sehubungan dengan lenyapnya beberapa tokoh silat secara

aneh. Siapa-siapa yang lenyap masih belum diketahui dengan jelas. Si Kebo Pradah 

ini mempunyai peran penentu. Kabarnya dia satu-satunya manusia yang punya

kekuatan untuk menyingkap tabir gaib dan untuk dapat menembus ke dalam kawasan

alam siluman di hutan Tapakhalimun itu…… Tanpa dia masalah ini tak akan 

terpecahkan….”

“Kalau memang begitu masalahnya di mana kita bisa mencari Kebo Pradah?”

“Itu sulitnya. Karena dia diburu-buru dengan sendirinya dia selalu kabur

menyembunyikan diri. Terakhir aku dengar dia berada di sebuah hutan kecil di Barat

Gunung Merbabu. Kalau saja kita tidak kedahuluan oleh para tokoh itu mungkin kita

bisa minta bantuannya….”

Wiro melompat. Mendukung Kakek Segala Tahu di punggungnya lalu lari

sekencang-kencangnya.

“Eh, ke mana tujuan kita kali ini?!” tanya Kakek Segala Tahu.

“Apa perlu kau tanyakan lagi Kek? Sudah pasti ke kawasan di Barat Gunung

Merbabu!” jawab Wiro.

“Ah! terserah kaulah! Aku hanya membonceng di punggungmu!” kata Kakek 

Segala Tahu pula lalu kerontangkan kaleng rombengnya.


DELAPAN


Orang yang berdiri di depan Kebo Pradah adalah seorang perempuan separuh baya

bertubuh tinggi. Wajahnya sebenarnya cantik namun jadi tampak lucu karena

dandanannya yang tebal. Bibir dan pipinya merah mencorong. Alisnya hitam panjang

dengan kedua ujung mencuat ke atas. Sepasang matanya memiliki pandangan taja

dingin. Walaupun kepekatan malam membungkus tempat itu namun karena

berhadapan begitu dekat Kebo Pradah dapat melihat seluruh sosok orang ini dengan 

jelas.

Perempuan ini mengenakan jubah berbentuk aneh. Bagian dadanya sangat

ketat berpotongan rendah sehingga lebih dari separuh payudaranya menyembul besar

keluar. Di bawah pinggangnya yang sangat ramping jubah berbunga-bunga itu 

menggembung besar seperti ada ganjalannya. Di belakang rambutnya yang dikonde

tinggi ada tujuh helai bulu burung merak warna-warni yang dijadikan hiasan seperti

sebarisan tusuk konde.

Untuk sesaat lamanya Kebo Pradah tak bisa berkata apa-apa, hanya tegak 

memandang denan mulut terkancing.

“Kebo Pradah, kau membisu karena kaget tak menyangka pertemuan ini atau

terpesona melihat buah dadaku yang besar?’

Paras Kebo Pradah kelihatan merah padam.

Perempuan cantik berdandan menor dan punya suara merdu itu tertawa

panjang lalu melanjutkan ucapannya. “Dulu kau pernah bersenang-senang menikmati

keindahan bauh dadaku. Tapi setelah kau puas kau kabur begitu saja. Sekarang

apakah kau masih ingin mengelus dan menciumnya?!”

“Dewi Merak Bungsu….”

“Ah, itu gelaranku. Kau biasanya memanggil nama asliku. Kuntini Arimurti.

Kenapa sekarang kau tidak memanggilku denagn nama asli?’

“Kuntini, terus terang tentu saja aku gembira dengan pertemuan ini….”

“Kalau begitu kita bisa bersenang-senang lagi seperti dulu? Mandi berdua di

danau Rawapening, bercanda di atas tanjang atau bergurau di pedataran di bawah 

bulan purnama?”

“Kuntini, apa yang terjadi di masa lalu untuk apa diungkit lagi. Kita tak 

berjodoh jadi suami istri. Umur kita terpaut jauh. Hampir dua puluh tahun…..”

“Alangkah enaknya kau bicara seperti itu. Untung saja hubungan gila itu tidak 

membuatku hamil. Kalau sampai aku melahirkan anak, kau akan kubunuh di hadapan 

bayimu sendiri!”

Kebo Pradah terdiam. Dewi Merak Bungsu alias Kuntini Arimurti terus

menatap orang itu dengan pandangan lekat dingin tak berkedip.

“Aku kasihan meihat keadaan dirimu Kebo Pradah, kau kabur kian kemari.

Sembunyi di sana-sini. Menyamar jadi resi, jadi petani. Sekarang kulihat kau 

menyamar jadi seorang pengemis. Apa enaknya hidup seperti itu?”

“Soal enak atau tidak biar aku yang menanggung sendiri. Aku berbuat seperti

ini bukan kau menghindar atau mencoba sembunyi darimu. Tapi karena dikejar-kejar

oleh tokoh-tokoh silat dengan alasan gila tak masuk akal!”

“Ohhh, begitu rupanya…..” kata Dewi Merak Bungsu sambil sunnggingkan 

senyum sinis.

“Lalu apakah kemunculanmu untuk menghukum perbuatanku di masa lalu?”

tanya Kebo Pradah.“Soal hukum menghukum biar kita serahkan pada yang Kuasa. Bukan aku,

kelak bakal ada orang lain yang menghukummu. Kalaupun tidak ada yang 

menghukummu di dunia ini, Gusti Allah akan menghukummu di akhirat. Lagi pula

kedatanganku ke sini bukan mengungkit masa lalu. Aku buka anak kecil atau seorang

pengemis yang minta belas kasihanmu. Aku perlu pertolonganmu. Hanya dengan 

memberi pertolongan padaku kau bisa menebus dosa di masa lalu.”

“Ah, dia masih pandai bicara seperti dulu. Otaknya cerdik seolah ada sepuluh 

otak dalam kepalanya,” kata Kebo Pradah dalam hati.

“Pertolongan apa yang hendak kau harapkan dariku. Katakan cepat karena aku 

tak ada waktu lama…..”

“Kenapa terburu-buru Kebo Pradah. Takut akan muncul lagi orang-orang 

pandai? Saat ini hanya kita berdua di sini. Tak usah kawatir. Yang aku inginkan ialah

agar kau membantu aku membuka tabir Pintu Neraka di hutan Tapakhalimun…..”

“Ternyata maksud kedatanganmu tidak beda dengan orang-orang yang lebih 

dulu muncul di tempat ini!”

“Oh, begitu?” ujar Dewi Merak Bungsu sambil menyeringai dan memandang 

berkeliling. “Hemmmmmm Pasti kau menolak permintaan mereka lalu membunuh 

mereka. Memang banyak kulihat yang sudah jadi korbanmu. Dua bersaudara Cengkir

Lesmana. Lalu ada tua bangka berpunuk. Kemudian satu lagi si Pengail Sakti Muka

Kuning. Mereka bukan orang-orang sembarangan. Jika kau mampu membunuh

mereka dengan mudah berarti kepandaianmu sudah jauh meningkat….”

“Terserah kau mau menilainya bagaimana. Yang jelas aku tidak mau

bentrokan denganmu. Itu saja….”

“Bagus. Baik sekali hatimu. Berarti kau akan meluluskan permintaanku minta

tolong tadi….”

“Aku tidak mau mendengar urusan gila itu lagi. Aku tak akan menolongmu

atau siapapun!”

“Ah, kalau begitu lain ucapan lain kenyataan!” tukas Dewi Merak Bungsu.

“Kita habisi pembicaraan sampai di sini Kuntini. Lain kesempatan jika

bertemu lagi kita bisa bicara panjang lebar…. Sebentar lagi pagi akan datang.”

“Tunggu dulu Kebo Pradah!” kata Dewi Merak Bungsu. Ketika melihat Kebo 

Pradah hendak meninggalkan tempat itu. “Bagiku kesempatan hanya ada satu kali.

Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan. Kuharap kau juga berbuat sama….?”

“Lalu maumu apa?” Kebo Pradah kelihatan mulai jengkel. Kentara dari nada

suaranya.

“Ikut aku ke hutan Tapakhalimun!”

“Kalau aku tidak mau?!”

Dewi Merak Bungsu tertawa panjang hingga buah dadanya yang menyembul

besar kelihatan bergoyang-goyang membuat Kebo Pradah sesaat jadi menahan nafas.

“Kalau kau tidak mau apa dayaku….” Kata Dewi Merak Bungsu pula seolaholah pasrah membuat Kebo Pradah menjadi lega. Tapi cuma sesaat karena dilain 

ketika perempuan itu meneruskan ucapannya. “Dirimu sangat berharga Kebo Pradah.

Sehingga sosokmu tanpa nyawapun masih mampu menyingkap tabir gaib alam

siluman di kaki Gunung Merapi itu. Jadi terserah padamu. Mau pergi ke sana hiduphidup atau dalam keadaan jadi mayat!”

Rahang Kebo Pradah menggembung. Tampangnya membesi. Dalam hati

orang ini berkata. “Jelas dia bukan lawanku. Dulu saja ilmunya hampir dua tingkat di

atasku. Dia tidak membunuhku di masa lalu karena mencintaiku dan berharap bisa

kuambil jadi istri. Tapi sekarang keadaan sudah berubah. Sebaiknya aku berpura-pura

ikut saja. Kalau dia lengah kuhabisi dirinya!”

Baiklah Kuntini. Aku bersedia ikut bersamamu ke hutan Tapakhalimun. Tapi

sesudah tabir itu tersingkap kita berpisah. Tak ada lagi urusan di antara kita….”

“Terima kasih kau mau menolong. Hanya saja tiba-tiba saja kau berubah 

pikiran. Membuatku jadi curiga. Karenanya aku terpaksa merubah rencana. Aku 

terpaksa membunuhmu. Tubuh hidupmu dengan mayatmu sama saja artinya!

Mengapa aku susah-susah harus mempercayaimu?!”

“Rupanya dia dapat membaca jalan pikiranku!” membatin Kebo Pradah. Lalu

dia berkata.

“Kau memang perempuan culas! Bukan cuma culas! Tapi juga bangsat!”

teriak Kebo Pradah marah. “Kau mungkin bisa membunuhku! Tapi aku bersumpah 

untuk membuat dirimu cacat seumur hidup!” teriak Kebo Pradah lagi. Lalu dari balik

pakaiannya dikeluarkan sebuah tabung bambu. Ketika tabung itu dibuka terdengar

letupan kecil disertai kepulan asap biru kelabu.

“Cairan pengerut tubuh!” seru Dewi Merak Bungsu terkejut.

Kebo Pradah mengekeh. “Kau mau bunuh aku silahkan! Tapi wajah dan 

tubuhmu akan kubuat cacat! Akan kubuat mengkerut hingga setanpun akan takut

malihat dirimu!”

Habis berkata begitu Kebo Pradah gerakkan tangannya yang memegang

tabung bambu. Sejenis cairan yang disertai semburan asap muncrat ke luar ke arah 

tubuh Dewi Merak Bungsu. Perempuan ini menjerit keras kerakutan dan cepat

melompat muncur ke belakang serumpunan semak belukar.

Untungnya semak belukar itu diselingi oleh tetumbuhan berdaun lebar. Kalau 

tidak beberapa bagian dari tanagn dan tubuh Dewi Merak Bungsu akan tersiram

cairan dahsyat itu. daun-daun yang terkena siraman cairan dahsyat itu. daun-daun

yang terkena siraman cairan itu tampak mengepulkan asap dan berlobang besar. Paras

Dewi Merak Bungsu tampak pucat pasi. Di seberang sana dilihatnya Kebo Pradah 

tengah memperhatikan tabung bambunya. Lalu terdengar dia memaki “Setan! Isinya

Habis!”

Dewi Merak Bungsu melihat ini kesempatan paling tepat untuk keluar dari

balik semak belukar langsung menyerang Kebo Pradah. Maka tanpa pikir panjang lagi

dia segera melompat dari balik semak belukar, menggebrak Kebo Pradah dengan satu

jotosan keras di bagian kepala orang itu.

Kebo Pradah tiba-tiba tertawa mengekeh. “Perempuan culas! Kau tertipu!

Tamat riwayatmu sekarang!” Kebo Pradah angkat tabung bambu tinggi-tinggi.

Ternyata dalam tabung itu masih terdapat banyak cairan dahsayat pengerut tubuh.

“Seerrrrr. Seerrrrr. Seerrrrr!”

Cairan ganas itu muncrat keluar. Dewi Merak Bungsu terpekik. Dia sama

sekali tidak menyangka. Saat itu tak ada kesempatan untuk mengelak. Kalaupun dia

mampu menghindar tetap saja sebagian wajah dan bahu kirinya akan kena tersiram

cairan!

Pada saat yang genting itu tiba-tiba dari balik sebatang pohon besar menderu

sambaran angin sedahsyat topan. Dewi Merak Bungsu terpelanting ke kiri dan jatuh

ke tanah. Beberapa tetes cairan pengerut lewat di atas kepalanya. Di sebelah sana

Kebo Pradah berseru kaget ketika air pengerut yang disiramkannya ke arah Kuntini

tiba-tiba membalik menghantam dirinya. Sebelum dia terseret oleh sambaran angin 

keras itu air pengerut tubuh telah lebih dulu memercik di wajahnya, dada dan tangan 

kanannya

Kebo Pradah meraung keras. Sebagian mukanya tenggelam dalam kepulan

asap. Ketika kepulan asap lenyap kelihatanlah hal yang mengerikan. Wajah Kebo

Pradah seolah berubah jadi hantu menakutkan. Pipi kanan dan mulut mengkerut.Hidungnya kini hanya merupakan rongga besar menjijikkan dan mengerikan karena

dari situ bisa terlihat lidah dan rongga tenggorokannya yang juga telah mengkerut.

Mata kanannya hanya tinggal rongga besar. Bola matanya yang mengkerut mengecil

dan telah jadi buta terbenam di rongga yang mengerikan itu! Tangan dan dadanya

juga mengalami cacat menggidikkan.

“Anak setan! Sudah ku bilang kau jangan ikut campur urusan orang!” satu 

suara terdengar membentak di balik pohon besar.


SEMBILAN


Ketika Pengail Sakti Muka Kuning hendak melompat turun dari pohon, seperti

telah dituturkan sebelumnya orang tua sakti ini maupun Kebo Pradah sama-sama

mendengar suara kerontangan kaleng di kejauhan malam. Mereka sama-sama

terkesiap dan curiga bahwa seorang kakek sakti yang mereka kenal dengan nama

Kakek Segala Tahu segera akan muncul di tempat itu untuk urusan yang sama.

Namun suara kerontangan kaleng terdengar semakin jauh dan akhirnya lenyap sama

sekali. Apakah sebenarnya yang terjadi?

Saat itu sebenarnya Pendekar 212 dan Kakek Segala Tahu memang hendak 

menuju ke tempat di mana kedua orang itu berada. Namun si kakek buta ini turun dari

kudanya lalu tegak dengan mendongak. “Aku tidak tahu apakah kita datang terlambat

atau bagaimana,” katanya pada Wiro. “Tapi yang jelas jauh di sebelah sana Kebo 

Pradah tidak sendirian. Sebaiknya kita tinggalkan kuda. Dengan jalan kaki kita purapura menjauh. Mereka menyangka kita sudah pergi. Lalu diam-diam kita kembali

mendekati tempat mereka…..”

“Aku setuju saja dengan pendapatmu Kek,” kata Wiro walau hati kecilnya dia

lebih suka untuk langsung mendatangi tempat di mana Kebo Pradah berada. Wiro lalu 

turun pula dari kudanya dan mengikuti si kakek mengambil jalan berputar. Menjauh 

untuk kemudian mendekat kembali dari jurudan lain.

Ketika mereka sampai di tempat itu, dari balik pepohonan rapat Wiro dan

Kakek Segala Tahu sempat mendengar pembicaraan Kebo Pradah dengan orang 

bermuka kuning.

“Coba kau katakan ciri-ciri orang yang berbicara dengan Kebo Pradah itu.

juga pakaiannya….” Bisik Kakek Segala Tahu pada Wiro.

Pendekar 212 segera menerangkan. “Hemmmmm….. tak ada orang lain. Dia

pasti Pengail Sakti Muka Kuning….. kalau dia berani bertindak keras terhadap Kebo 

Pradah, dia bakal celaka. Ilmunya masih di bawah Kebo Pradah…..”

“Kalau begitu kita harus membantu si muka kuning itu. Biar Kebo Pradah bisa

ditangkap hidup-hidup lalu kita bawa ke hutan Tapakhalimun….”

“Tidak perlu. Biar mereka membuat urusan dan menyelesaikannya sendiri.

Biarkan mereka bicara panjang lebar. Berarti kita bisa mendengar keteranganketerangan berharga. Menurut kabar yang aku sirap si Kebo Pradah ini biar hidup atau 

pun mati kemampuannya tetap saja sama untuk dapat membuka tabir gaib di hutan 

siluman itu….” jawab Kakek Segala Tahu. Lalu dia hampir saja hendak 

mengerontangkan kaleng bututnya kalau tidak cepat kaleng itu diambil oleh Wiro!

Seperti diketahui setelah terjadi pertengkaran antara Kebo Pradah dan Pengail

Sakti Muka Kuning maka perkelahianpun tak dapat dihindari yang akhirnya

membawa kematian bagi Pengail Sakti.

Saat itulah sebenarnya Kakek Segala Tahu dan Wiro hendak keluar dari

tempat persembunyian mereka guna menemui Kebo Pradah. Namun dalam gelapnya

malam satu sosok berkelebat. Mereka kedahuluan orang lain.

Yang muncul ternyata adalah perempuan muda berpakaian semarak aneh dan

berwajah cantik tertutup dandanan tebal mencorong.

Wiro cepat memberitahu kakek di sebelahnya. Juga diceritakan ciri-ciri

perempuan yang barusan muncul itu. “Walah Kek, bajunya sebelah atas terbuka lebar.

Payudaranya menyembul sebesar kelapa. Putih berkilat walau dalam gelap…..

“Setan kau!” maki Kakek Segala Tahu yang tak bisa melihat. “Kau sengaja

membuat aku jadi blingsatan….”

“Kau kira-kira kenal siapa perempuan ini Kek?”

“Banyak sekali perempuan berdandan seperti celepuk. Tapi kalau dia memang

memakai tujuh lemabr tusuk konde terbuat dari bulu burung merak, aku sudah bisa

menduga. Dan dugaanku tak bakal meleset. Dia adalah Kuntini, berjuluk Dewi Merak 

Bungsu. Sebenarnya dia punya saudara kembar berjuluk Dewi Merak Sulung. Tapi

sang kakak meninggal karena sakit berat beberapa tahun silam. Si bungsu ini kalau

aku tidak salah adalah kekasih Kebo Pradah…..”

“Wah, kalau begitu sebentar lagi aku bakal menyaksikan dua orang bercumbucumbuan di tempat ini….”

“Husss! Otakmu selalu kotor. Lihat saja apa yang terjadi. Setahuku dua orang 

ini sudah berseteru sejak lama. Dengar saja apa yang mereka bicarakan. Tunggu apa

yang bakal terjadi. Dan ingat! Jangan ikut campur! Yang perempuan itu ilmunya lebih

tinggi dari si Kebo. Aku punya firasat kita bisa menangguk keuntungan dari

pertemuan dua orang ini…..”

“Keuntungan macam apa?” tanya Wiro.

“Sudah! Jangan banyak tanya. Kudengar mereka sudah mulai bicara….”

Dari balik deretan pohon-pohon besar Wiro dan Kakek Segala Tahu diamdiam mendengarkan pembicaaan antara Kebo Pradah den Dewi Merak Bungsu.

Mula-mula keduanya bicara biasa-biasa saja sedikit berbasa-basi. Namun 

pembicaraan berubah begitu Dewi Merak Bungsu meminta Kebo Pradah ikut ke hutan 

Tapakhalimun di kaki Gunung Merapi. Perkelahian tak dapat dicegah. Kebo Pradah

yang tahu bahwa dia tak bakal menang menghadapi bekas kekasihnya itu dengan licik

keluarkan sejenis cairan yang bisa merusak daging manusia. Dewi Merak Bungsu

hampir saja celaka kalau tidak dibantu oleh Pendekar 212 yang tiba-tiba melepaskan 

pukulan “benteng topan melanda samudera” dengan tangan kanan dan “kunyuk

melempar buah” dengan tangan kiri.

Akibat dua serangan dahsyat itu Kebo Pradah bukan saja terpelanting jatuh.

Air pengerut tubuh yang tadi hendak disiramkannya pada Dewi Merak Bungsu kini

justru membalik ke arahnya tanpa dia bisa mengelak. Akibatnya tubuhnya menjadi

cacat mengerikan seperti yang diceritakan sebelumnya.

“Anak setan! Sudah kubilang kau jangan ikut campur urusan orang!” Kakek 

Segala Tahu membentak marah ketika telinganya menangkap suara raungan Kebo

Pradah. Sebelumnya dia sudah merasakan gerakan yang dibuat Wiro dan menyusul

menderunya dua larik angin dahsyat. “Edan! Edan! Rusak segala rencanaku jadinya!”

“Tapi Kek, kalau tidak kutolong perempuan itu pasti celaka!” kata Wiro 

membela diri. “Saat ini aku menyaksikan muka Kebo Pradah menjadi cacat

mengerikan….”

“Lalu apa keuntunganmu?!” bentak Kakek Segala Tahu. “Kau tertarik pada

perempuan muda itu ya? Kau terangsang melihat payudaranya yang besar hah?!”

Wiro hanya bisa mesem sambil garuk-garuk kepala. Memandang ke depan

dilihatnya perempuan yang barusan diselamatkannya melompat keluar dari balik 

rerumpunan semak belukar, bergerak ke arah Kebo Pradah yang terkapar di tanah 

masih meraung-raung. Dewi Merak Bungsu tak dapat bayangkan kengerian kalau apa

yang terjadi dengan lelaki itu menimpa dirinya sendiri.

“Demi Tuhan! Aku minta kau segera membunuhku saat ini juga Kuntini!

Bunuh! Bunuh aku! Tobat! Aku tak tahan sakitnya! Bunuh aku Kuntini. Sekarang 

juga!”“Kau minta mati! Aku akan memberi. Hitung-hitung sebagai penyelesaian

hutang piutang atas kematian Merak Sulung!”

“Perempuan bangsat! Apa maksudmu?!”

“Kau ikut bertanggung jawab atas kematian kakak kembarku itu!”

“Setan alas! Semua orang tahu kakakmu mati karena sakit! Ayo bunuh aku!

Sekarangggg!”

“Apa yang semua orang tahu tidak sama dengan apa yang aku tahu. Kakakku 

memang mati karena sakit. Tapi bukan sakit biasa. Mati karena kau masukkan sejenis

racun dalam makanannya…..”

“Perempuan iblis! Dalam keadaan seperti ini kau masih mau menuduh dan

memfitnahku!” teriak Kebo Pradah. Laksana mendapatkan kekuatan hebar lelaki ini

melompat. Kedua tangannya diulurkan untuk mencekik batang leher Dewi Merak

Bungsu. Tapi perempuan itu lebih cepat. Tangan kanannya melesat di antara dua

lengan Kebo Pradah.

“Praaaaakkkk!”

Kening Kebo Pradah rengkah. Tubuhnya terbanting ke tanh. Kali ini tak 

berkutik lagi untuk selama-lamanya.

Sesaat perempuan itu pandangi mayat Kebo Pradah. Tak ada rasa kasihan 

ataupun penyesalan dalam dirinya. Lalu perlahan-lahan dia memutar tubuh.

Memandang ke arah deretan pohon-pohon besar di kegelapan.

“Orang yang telah menolongku, harap keluar unjukkan diri agar aku bisa

mengenali dan berterima kasih!” Tiba-tiba Dewi Merak Bungsu keluarkan ucapan.

Di balik pohon Kakek Segala Tahu berpaling pada Wiro. “Ayo, kau tunggu

apa lagi? Bukankah kau sudah menolongnya? Jadi lekas keluar! Temui dia!”

“Kau saja yang keluar Kek,” kata Wiro.

“Lah! Kenapa aku?! Bukankah kau tertarik padanya? Kalau kau berada lebih 

dekat dengan dia, pasti kau bisa melihat dadanya lebih puas…..! Enakkan?!”

Pendekar 212 menyeringai. Tiba-tiba dia kerontangkan kaleng rombeng milik

Kakek Segala Tahu yang sejak tadi dipegangnya.

“Ah, rupanya yang menolongku seorang tokoh sakti yang kalau aku tidak 

salah mengucap dipanggil dengan sebutan Kakek Segala Tahu!” kata Dewi Merak 

Bungsu. “Kakek Segala Tahu keluarlah. Aku sudah sejak lama mendengar nama

besarmu. Satu kehormatan kini kau muncul di sini malah jadi tuan penolongku.”

Di balik pohon Kakek Segala Tahu mengomel penjang pendek. “Dasar anak

setan!” makinya. Kaleng rombeng dirampasnya dari tangan Wiro. Lalu mau tak mau

dia melangkah keluar dari balik pohon.

Begitu si kakek sampai di hadapannya Dewi Merak Bungsu segera

membungkuk memberi hormat. “Kakek Segala Tahu, aku sangat berterima kasih.

Kalau kau tidak menolongku entah bagaimana jadinya diriku. Rasanya memang lebih 

baik mati dari pada cacat seperti yang dialami Kebo Pradah…..”

“Anak setan itu……”

“Kau mengatakan sesuatu Kek…..?”

Kakek Segala Tahu batuk-batuk beberapa kali. “Anu maksudku…..

Sebetulnya bukan aku yang tadi menolongmu…..”

Sepasang alis mata Dewi Merak Bungsu naik ke atas. Keningnya mengerenyit.

“Lalu siapa yang telah menolongku?”

“Seorang pemuda sahabatku. Rasa-rasanya dia tertarik padamu. Tapi entah 

mengapa kemudian dia malu-malu memperlihatkan diri…..”

“Aneh. Tapi dia bukan banci kan?”

Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh Siapa namanya?’

“Biar dia saja yang memberitahu. Aku akan panggil dia ke sini.” Lalu Kakek 

Segala Tahu kerontangkan kalengnya. Sesaat kemudian Pendekar 212 Wiro Sableng

ke luar dari balik pohon dan melangkah ke arah kedua orang itu.

Sesaat Dewi Merak Bungsu menatap pemuda berambut gondrong itu. Lalu dia

tersenyum. “Ternyata kau memang bukan banci,” katanya. Dia menjura lalu berkata.

“Tuan penolong, aku sangat berterima kasih, merasa berhutang budi dan nyawa.

Kalau aku boleh tahu siapa namamu, pasti akan kukenang seumur hidupku….”

Wiro melirik pada Kakek Segala Tahu. Orang tua buta itu tampak tenangtenang saja. “Namaku Wiro….”

“Wiro….. hemmmm aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu….” kata Dewi

Merak Bungsu. Dia melangkah mendekati. Kedua matanya memandang ke arah dada

si pemuda yang terbuka karena bajunya sebelah atas tersibak. Perempuan muda itu

melihat rajah tiga angka di dada si pemuda. Berubahlah parasnya. “Sungguh tidak

terduga kalau malam ini aku bisa bertemu sekaligus dengan dua orang tokoh silat

tingkat atas! Satu di antaranya menjadi tuan penolongku. Pendekar 212……”

Perempuan itu tidak meneruskan ucapannya. Dia hanya bisa geleng-gelengkan kepala,

dalam hati membatin. “Nama besar pemuda ini sudah lama aku dengar. Tadinya

kukira usianya paling tidak 50 tahun. Tidak sangka ternyata begini muda. Lebih muda

dariku…..” Sehabis membatin begitu perempuan muda ini bertanya, “Kakek Segala

Tahu dan Pendekar 212, kalau aku boleh tanya mengapa kalian berdua bisa muncul

berbarengan di tempat ini?”

Orang tua itu tidak menjawab. Wiro juga berdiam diri.

“Ah, kalau kalian punya suatu yang bersifat rahasia kalian tak usah menjawab

pertanyaanku tadi,” kata perempuan muda itu sambil mengerling pada Pendekar 212.

“Kek, bagaimana ini,” berbisik Wiro. “apa kita beritahukan saja? Kita sudah 

mendengar kalau dia hendak ke kaki Gunung Merapi. Tujuannya sama dengan tujuan

kita. Rasa-rasaya masalah yang kita hadapi juga sama….. Aku minta petunjukmu.”

“Kukira tak ada salahnya kau terangkan saja,” jawab Kakek Segala Tahu.

Saat itu Dewi Merak Bungsu telah melangkah mendekati mayat Kebo pradah.

“Dewi…..” Wiro memanggil.

Perempuan itu membalik. “Namaku Kuntini…..”

“Begini….. Kurasa antara kita tak perlu ada rahasia. Kami sudah mendengar

maksdmu membawa Kebo Pradah ke kawasan hutan Tapakhalimun. Kami pun

sebenarnya hendak menuju ke sana. Kebo Pradah merupakan satu-satunya kunci yang 

mampu menyingkap tabir hutan siluman itu. Dalam keadaan mati maupun hidup…..”

“Eh, dari mana kau mengetahui hal itu Pendekar 212?” tanya Dewi Merak

Bungsu.

“Panggil aku Wiro saja…..” jawab murid Sinto Gendeng. “Sebelumnya kami

memang sudah menyirap kabar bahwa Kebo Pradah adalah satu-satunya orang yang

bisa menolong kami untuk menembus masuk ke dalam alam siluman di kaki Gunung

Merapi itu. Waktu kami sampai di sini, diam-diam kami telah mendengar

pembicaraan antara Kebo Pradah dengan Pengail Sakti Muka Kuning. Lalu hal itu

lebih jelas lagi setelah kami mendengar pembicaraanmu dengan Kebo Pradah tadi….”

Kuntini yang bergelar Dewi Merak Bungsu itu terdiam sesaat. Dia melirik 

pada Kakek Segala Tahu. “Mengapa kalian ingin masuk ke dalam alam siluman di

hutan Tapakhalimun itu?” tanya kemudian.

“Aku ingin menolong seorang sahabat. Dia disekap dan disiksa di tempat

itu…..” jawab Wiro. “Di samping itu kami ketahui ada beberapa tokoh persilatan 

telah diculik secara aneh. Kami belum tahu siapa-siapa mereka adanya. Namun kami

yakin mereka juga talah jadi korban mahluk-mahluk jahat hutan siluman itu.”

“Siapa sahabatmu itu?”

“Namanya Bunga. Sebenarnya dia juga sudah mati dan hidup di alam gaib….”

Sepasang mata Dewi Merak Bungsu membesar. Keningnya mengerenyit.

“Aku tidak mengerti. Sahabatmu itu manusia atau apa…..?”

“Kita tidak punya waktu banyak. Kita harus cepat-cepat ke kaki Gunung

Merapi. Nanti saja aku menerangkan padamu mengenai sahabatku itu…..”

Dewi Merak Bungsu angkat bahunya. “Kalian ke sini membawa kuda?”

“Ada. Kami tinggalkan agak jauh dari sini,” jawab Wiro.

“Aku juga membawa kuda. Aku yakin kakek muka kuning ini datang kemari

juga membawa kuda. Binatang itu bisa dipakai untuk membawa mayat Kebo 

Pradah…..”

Kakek Segala Tahu batuk-batuk beberapa kali. “Sebelum pergi, ada dua hal

yang ingin kutanyakan padamu Kuntini. Kau boleh menjawab boleh tidak.”

“Ya, tanyakan saja,” kata perempuan muda berdandan mencorong itu.

Si kakek kerontangkan dulu kaleng rombengnya membuat Dewi Merak 

Bungsu terpaksa menutupkan kedua tangannya di telinga kiri dan kanan saking 

bisingnya. “Mengapa kau ingin masuk ke dalam kawasan hutan siluman itu?” Kakek 

Segala Tahu ajukan pertanyaannya.

“Aku mencari seseorang. Dia juga jadi koeban kebuasan mahluk-mahluk 

siluman. Apa hal kedua yang ingin kau tanyakan?”

“Kita, maksudku engaku sudah menguasai Kebo Pradah yang katanya

merupakan satu-satunya manusia yang bisa membuka tabir dan menembus masuk ke

dalam hutan Tapakhalimun. Yang aku ingin tanyakan bagaimana caranya mayat itu

nanti bisa melakukan hal itu….?”

“Betul Kuntini,” menyambung Wiro. “Walau kau sudah dapat Kebo Pradah,

apakah kau tahu cara memanfaatkan dirinya untuk menembus dan masuk ke dalam

hutan siluman itu?”

“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Tunggu saja setelah kita sampai di

kaki Gunung Merapi,” jawab Dewi Merak Bungsu pula. Kakek Segala Tahu teridam.

Wiro pun tak bersuara. Kedua orang itu diam-diam memaklumi kalau Dewi Merak

Bungsu masih belum dapat mempercayai mereka.

“Sebaiknya kita berangkat sekarang. Sebentar lagi malam akan berganti siang.

Kita tidak bisa melewati jalan biasa. Terlalu menarik perhatian orang karena kita

membawa sesosok mayat…..” kata Kuntini dan melangkah mendekati mayat Kebo 

Pradah.

“Biar aku yang menggotongnya. Kau cari saja dulu kudamu,” kata Wiro.

Perempuan muda itu mantap Pendekar 212 sesaat lalu tersenyum. “Terima

kasih. Kau baik sekali….” Katanya.


SEPULUH


Rombongan Dewi Merak Bungsu sampai di kaki Selatan Gunung Merapi dua hari

kemudian. Saat itu matahari baru saja tersembul di permukaan bumi.

“Di sini tempo hari aku coba menembus masuk ke dalam hutan 

Tapakhalimun,” menerangkan Wiro.

Dewi Merak Bungsu diam saja seolah tidak mendengar. Wiro berpaling pada

Kakek Segala Tahu.

“Kek,” Wiro berbisik pada orang tua itu. “Kita sudah sampai. Kau tahu kirakira yang akan dilakukan Kuntini dengan mayat Kebo Pradah agar bisa menembus

masuk ke dalam kawasan hutan siluman?”

“Tak bisa kuduga. Baiknya kita menunggu saja,” jawab orang tua itu. Dia

membuka capingnya lalu turun dari atas kuda.

Saat itu Dewi Merak Bungsu sudah lebih dulu menjejakkan kaki di tanah. Dia

memandang berkeliling. “Hemmmmm…… Pohon-pohon besar itu tumbuh rapat

secara aneh,” katanya dalam hati.

Wiro melompat pula dari kudanya. Dia segera mendekati perempuan itu dan

berkata. “Di balik deretan pohon-pohon besar itulah hutan Tapakhalimun. Beberapa

waktu yang lalu aku coba melangkah melewati pepohonan itu. tapi aku tertahan oleh 

satu tembok yang tidak kelihatan. Tembok gaib tak mempan dipukul atau dijebol

dengan senjata…..”

Dewi Merak Bungsu gigit bibirnya sebelah bawah. “Aku memang sudah 

mendengar hal itu. tapi belum yakin kalau tidak membuktikan dan melihatnya

sendiri!” katanya.

Tangan kanannya bergerak mencabut salah satu dari tujuh lembar bulu burung

merak yang menancap di kepalanya. Sesaat benda itu digoyang-goyangkannya di

depan wajahnya yang cantik tapi berdandan terlalu tebal. Tiba-tiba didahului suara

pekikan nyaring perempuan muda itu lemparkan bulu burung merak itu ke arah pohon

terdekat. Bulu burung itu melesat laksana sebilah pisau terbang.

Sesaat lagi bulu itu akan menghantam pohon tiba-tiba terdengar satu ledakan 

keras. Tiga buah pohon terdekat bergoyang-goyang. Ranting-rantingnya berpatahan.

Daun-daun berguguran. Kakek Segala Tahu dan Pendekar 212 Wiro Sableng 

merasakan tanah yang mereka pijak bergetar. Dari belakang deretan pohon-pohon

terdengar suara pekik jerit mengerikan dibarengi oleh suara lolongan anjing panjang 

sekali. Empat ekor kuda yang ada di tempat itu meringkik keras dan tampak menjadi

lair. Tubuh mayat Kebo Pradah yang ada di atas salah satu seekor kuda itu jatuh 

bergedebuk ke tanah.

Bersamaan degan itu dari arah depan terdengar suara deru angin sedahsyat

topan prahara. Bulu burung mreak yang tadi dilemparkan hancur berantakan dan

beterbangan di udara menjadi serpihan-serpihan halus.

“Semua tiarap!” teriak Dewi Merak Bungsu lalu jatihkan diri ke tanah. Wiro

tarik tangan Kakek Segala Tahu. Keduanya lalu sama-sama mencium tanah.

“Wuuuusssss!!”

Gelombang angin dahsyat yang bersumber pada bulu burung merak yang tadi

dilemparkan Dewi Merak Bungsu, kini membalik ke arah tiga orang itu membawa

hawa sedingin es! Sapuan angin dingin lewat di atas mereka. Terus menghantam

semak belukar serta pepohonan di sebelah sana. Terdengar suara bergemuruh ketika 

empat pohon besar tumbang sekaligus dan semak belukar berterbangan ke udara

dalam keadaan hancur luluh.

“Luar biasa….” Kata Wiro.

“Aku tidak melihat. Tapi aku yakin perempuan itu telah melemparkan satu 

dari tujuh tusuk konde bulu burung meraknya ke arah dinding gaib kawasan hutan 

siluman,” kata Kakek Segala Tahu. “Dia bukan hanya merubah bulu burung itu seolah 

menjadi sebuah senjata, tapi sekaligus melepaskan pukulan sakti dan mengalirkannya

pada bulu burung. Kalau aku tak salah pukulannya tadi bernama pukulan ratu merak

membelah jagat….”

“Aneh juga nama pukulan itu. Ratunya pasti cantik….” Kata Wiro masih bisa

berseloroh. Lalu ketika dilihatnya Dewi Merak Bungsu berdiri, dia pun ikut berdiri

sambil memegangi tangan Kakek Segala Tahu.

Sewaktu memandang berkeliling kagetlah Pendekar 212.

“Eh….. aku merasakan tanganmu bergetar. Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya

Kakek Segala Tahu.

“Empat ekor kuda itu….” jawab Wiro seperlahan mungkin. “Binatangbinatang itu berkaparan di tanah dalam keadaan hancur luluh mengerikan. Dapat kau 

bayangkan kalau tubuh kita tadi yang kena dihantam angin pukulan ratu merak nekad 

tadi itu….”

Kakek Segala Tahu tersenyum lalu kerontangkan kalengnya. Ketika dirasakan

Dewi Merak Bungsu berpaling ke arahnya si kakek segera berkata.

“Kuntini, kita sudah sampai di tempat yang berbatasan dengan hutan

Tapakhalimun. Kebo Pradah yang menjadi kunci penyingkap tabir gaib juga ada di

sini, di bawah kekuasaanmu. Kalau boleh aku bertanya apa yang akan kau lakukan 

sekarang?”

“Aku dan juga kalian berdua kalau suka, akan masuk ke dalam hutan siluman

itu.”

“Caranya?” tanya Wiro. “Tadi kau telah coba menghantam dengan pukulan

ratu merak membelah jagat tapi gagal.”

“Eh, bagaimana kau tahu nama pukulan itu?” tanya Dewi Merak Bungsu agak

kaget.

“Aku menceritakan kehebatan tusuk konde berbentuk bulu burung yang 

disertai angin pukulan begitu dahsyat. Kakek ini lalu memberitahu padaku nama

pukulan itu….”

Dewi Merak Bungsu memandang sesaat pada Kakek Segala Tahu. Tanpa

berkata apa-apa dia melangkah mendekati Kebo Pradah. Dengan tangan kirinya

dijambaknya rambut mayat lalu mayat yang mengerikan itu dibuatnya tegak. Dengan

gerakan cepat Dewi Merak Bungsu kemudian menotok lima bagian tubuh mayat.

Setiap totokan mengeluarkan suara.

“Trak…. Trak….” Pertanda bahwa totokan itu menembus daging dan

menghancukan tulang di belakangnya!

“Totokan gila apa pula ini….?” kata Wiro dalam hati keheranan.

Ketika Dewi Merak Bungsu melepaskan jambakannya pada rambut Kebo

Pradah, ternyata mayat itu mampu berdiri laksana orang hidup yang tegak dalam

keadaan tertotok!

Kakek Segala Tahu dongakkan kepala ke langit sedang Pendekar 212 hanya

bisa melongo saking kagumnya. Menotok manusia hidup hingga kaku tegang 

merupakan satu hal biasa. Tetapi jika perempuan cantik itu mampu menotok orang

yang sudah jadi mayat dan membuatnya kaku tegak seperti itu benar-benar luar biasa.Diam-diam murid Sinto Gendeng menyadari bahwa di dunia ini banyak sekali orang

berilmu tinggi yang kepadaiannya jauh di atas dirinya.

Selagi Wiro terkagum-kagum seperti itu Dewi Merak Bungsu ulurkan tangan 

kanannya mencengkeram dada pakaian Kebo Pradah yang robek. Tangan kirinya

diangkat tinggi-tinggi ke atas dengan telapak tangan terkembang. Kedua matanya

memandang ke depan tanpa berkedip, ke arah deretan pohon-pohon besar. Lalu dari

mulutnya terdengar ucapan lantang.

“Penguasa dan penghuni hutan siluman Tapakhalimun! Aku datang membawa

anak manusia berpusar dua. Dia adalah kunci segala kunci. Karena itu harap bukakan 

pintu! Jangan berani melawan kehendak gaib di atas gaib!”

Habis berkata begitu tangan kanan Dewi Merak Bungsu bergerak membetot

pakaian Kebo Pradah.

“Breeeeeet!”

Baju Kebo Pradah robek besar hingga seluruh dada dan perutnya tersingkap 

lebar. Wiro pelototkan mata memandang ke arah perut Kebo Pradah. Apa yang tadi

diucapkan Dewi Merak Bungsu memang benar. Tidak seperti manusia biasa, Kebo 

Pradah ternyata memiliki dua buah pusar!

Begitu perut Kebo Pradah tersingkap, dari balik deretan pohon-pohon

terdengar suara pekik bersahut-sahutan. Lolongan anjing muncul di mana-mana.

Menyusul suara seperti orang mengerang dan di kejauhan ada pula suara tawa orang

meringkik seperti kuda!

Tiba-tiba ada dua cahaya biru menyambar ke arah perut Kebo Pradah disertai

suara gelegar keras. Begitu menyentuh dua buah pusar terdengar letupan keras dua

kali berturut-turut. Asap biru menggebu membungkus tempat itu.

“Kunci segala kunci! Bukakan pintu masuk ke hutan siluman!” terdengar

Dewi Merak Bungsu berteriak dalam asap biru yang menutupi sekujur badannya.

Wiro yang merasa kawatir akan terjadi apa-apa yang bisa membahayakan

keselamatan dirinya dan si kakek, bertindak waspada. Kedua tangannya siap

melepaskan dua pukulan sakti. Kakek Segala Tahu tampaknya tenang-tenang saja

seolah tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi saat itu. Malah dalam asap biru dia

kerontangkan kalengnya berulang kali hingga suasana jadi tampak tegang mencekam.

Tiba-tiba ada suara menggemuruh. Mula-mula perlahan, makin lama makin

keras. Pada puncaknya suara menggemuruh itu tidak beda dengan suara runtuhnya

sebuah gunung!

Tanah yang dipijak orang-orang itu oleng keras membuat mereka bertiga

terpelanting jatuh. Namun anehnya sosok mayat kaku Kebo Pradah tetap saja tegak di

tempatnya!

Asap biru yang membungkus tempat itu perlahan-lahan lenyap. Tapi suara

teriakan, pekik jerit, lolongan anjing serta suara tawa menggidikkan semakin keras.

Sewaktu asap biru benar-benar pupus dua larik cahaya biru masih tetap tinggal,

membersit ke arah dua buah pusar di perut Kebo Pradah tampak bergetar keras.

Mukanya yang cacat mengkerut seperti menyeringai. Lehernya seolah-olah menjadi

panjang. Lalu yang lebih mengerikan mulutnya yang rusak itu keluarkan suara jeritan

keras. Bersamaan dengan itu dua buah cahaya biru yang membersit ke perutnya

laksana ditolak oleh satu kekuatan dahsyat membalik ke arah asalnya. Lalu terdengar

suara letusan keras. Tubuh Kebo Pradah mental ke udara. Bukan dalam keadaan

tercabik-cabik. Darahnya muncrat ke mana-mana, menyiprat ke pakaian Dewi Merak 

Bungsu, Wiro dan caping Kakek Segala Tahu.

Begitu letusan suara pupus keadaan di tempat itu sunyi senyap seperti di

pekuburan. Namun kesunyian ini justru membuat ketegangan yang mengantung di 

udara menjadi tambah mencekam. Tiba-tiba terdengar suara orang menangis terisakisak.

“Heh….. Siapa yang menangis?” tanya Kakek Segala Tahu celingukan.

“Hanya suara Kek, orangnya tak kelihatan,” jawab Wiro. “Aku…..” Murid

Sinto Gendeng tidak meneruskan kata-katanya. Saat itu terdengar suara aneh. Suara

seperti sebuah benda berat bergeser ke kiri dan ke kanan. Wiro memandang 

berkeliling. Astaga! Dia terkejut besar. Pohon-pohon yang banyak berderet-deret

seperti membentengi hutan Tapakhalimun lenyap entah ke mana! Kini mereka berada

di satu tempat kosong yang serba putih. Tak ada peohonan, semak belukar atau langit.

Bahkan mereka tidak tahu tengah berpijak di mana saat itu karena semuanya sebar

putih.

Suara gesekan semakin keras. Begitu juga suara tangisan. Dewi Merak 

Bungsu melirik ke arah Wiro. Perempuan cantik ini tampak berusaha menahan rasa

tegang. Tangan kanannya didekatkan ke kepala. Siap untuk mencabut tusuk konde

berupa bulu burung merak yang kini tinggal enam lembar.

Tiba-tiba “bummmm!”

Satu ledakan menggelegar mengejutkan ketiga orang itu. Tabir putih di

hadapan mereka seperti terbelah. Yang sebelah kanan bergeser ke kanan dan yang kiri

ke kiri. Dari depan terdengar suara siuran angin. Bukan meniup ke arah tiga orang itu

justru menyedot dengan dahsyatnya hingga tak ampun lagi Dewi Merak Bungsu di

sebelah depan, menyusul Wiro lalu si Kakek Segala Tahu tersedot, laksana amblas ke

satu terowongan yang tidak kelihatan. Ketiganya kelihatan jungkir balik.

Karena mengenakan jubah panjang yang menggelembung, sewaktu tubuhnya

melayang di udara sedotan atas tubuh perempuan itu agak tertahan. Wiro yang tadi

ada di belakang dan tersedot lebih cepat langsung saja masuk ke dalam jubah itu!

“Manusia kurang ajar! Apa yang kau lakukan ini!” teriak Dewi Merak Bungsu 

marah sekali. Kepala Pendekar 212 menyelip di antara kedua pangkal pahanya. Dari

dalam jubah terdengar suara Wiro menyahut tapi tidak jelas mengatakan apa. Dewi

Merak Bungsu berusaha menendang tubuh Wiro keluar dari dalam pakaiannya namun 

tidak mudah. Sebelum berhasil tubuhnya bersama tubuh Wiro, menyusul tubuh si

kakek tiba-tiba terbanting ke bawah!

“Pemuda kurang ajar! Rasakan ini!” teriak perempuan itu sambil menarik

jubahnya ke atas lalu hantamkan lututnya. Wiro mengeluh tinggi. Perutnya yang kena

sodokan lutut seperti mau pecah. Terhuyung-huyung dia keluar dari dalam jubah 

sambil pegangi perut.

“Ini lagi!” teriak Dewi Merak Bungsu. Kali ini masih dalam keadaan 

terlentang kaki kanannya di tendangkan ke kepala Pendekar 212. Wiro cepat

menangkap betis sang Dewi.

“Aduh mulus dan putihnya. Lembut sekali….” Kata Wiro dalam hati.

“Benar-benar kurang ajar!” teriak Dewi Merak Bungsu. Dia hendak mencabut

selembar tusuk konde bulu meraknya. Ketika mau dilemparkan tiba-tiba terdengar

bentakan Kakek Segala Tahu.

“Kalian berdua jangan seperti anjing dan kucing! Coba lihat kita berada di

mana!”

Wiro melepaskan pegangannya pada betis Dewi Merak Bungsu. Perempuan

itu cepat menggulingkan diri. Ketika keduanya memandang berkeliling mereka samasama tersentak. Di hadapan mereka ada sebuah bangunan batu berbentuk pintu 

gerbang. Di sebelah atas pintu gerbang ini ada tulisan berbunyi “Pintu Neraka”! Apa

yang ada di pintu itu dan sekitarnya membuat Dewi Merak Bungsu dan Wiro jadi

merinding


SEBELAS


Pada dua buah pilar Pintu Neraka bergelantungan belasan ular besar berwarna

hitam kelabu. Tubuhnya berupa ular namun kepalanya berwujud kepala setan 

mengerikan. Di tiang kiri kanan tegak dua mahluk bertubuh tinggi besar dengan

tampang angker. Keduanya berkepala botak yang dibasahi dengan darah. Masingmasing memegang sebilah golok api berwarna merah. Sekujur tubuh mahluk yang 

hanya mengenakan cawat ini penuh dengan kalajengking yang menjalar kian kemari.

Di atas Pintu Neraka duduk berjuntai enam jerangkong. Yang aneh dan 

mengerikan kepala jerangkong berupa tengkorak ini memiliki sepasang mata merah 

yang selalu berputar-putar kian kemari. Lalu dari rongga mulutnya mencelat keluar

sebuah lidah berwarna merah, sangat panjang dan ujungnya berupa kepala ular!

“Ya Tuhan, apakah kita benar-benar sudah masuk di neraka…..?” desisi

Pendekar 212

“Ceritakan apa yang kau lihat!” kata Kakek Segala Tahu. Wiro segera

menerangkan dengan cepat.

“Kita memang sudah berada di jalan menuju kawasan hutan siluman. Kita

harus melewati Pintu Neraka itu….”

“Celaka…..” bisik Wiro yang masih berada dalam kengerian.

“Apa yang celaka?!” tanya Kakek Segala Tahu. Lalu enaknya saja dia

kerontangkan kalengnya. Tapi dia jadi melengak kaget. Bagaimanapun dia

mengguncang kalrng rombeng itu dan merasa batu-batu kerikil di dalamnya memukul

dinding kaleng, tapi sama sekali tidak ada suara yang keluar! “Kekuatan siluman 

sungguh luar biasa. Kalengku tak bisa berkerontang…..” kata si kakek. Lalu dia

berpaling pada Wiro. “Ada apa dengan kau?”

“Baru berada di ambang pintu saja aku sudah mau terkencing-kencing.

Bagaimana kalau sampai masuk…..”

“Tak ada jalan mundur! Kita harus melewati Pintu Neraka ini!” kata Dewi

Merak Bungsu walau nyalinya juga hampir leleh oleh rasa ngeri terutama melihat

mahluk ular berkepala manusia yang menyeramkan itu. ketika hendak melangkah,

gerakanya tertahan. Dia berpaling pada Wiro dan Kakek Segala Tahu. “Siapa yang

masuk duluan….?” Tanyanya.

“Kau saja!” jawab Wiro.

“Sebaiknya kau!” kata sang Dewi.

“Sudah, jangan saling tolak-tolakan. Biar aku yang masuk duluan! Siluman itu 

pasti tidak tertarik melihat tampang dan keadaanku. Mudah-mudahan mereka tidak 

menggangguku. Yang disebelah belakangnya biasanya jadi incaan….”

“Kalau begitu biar aku yang masuk duluan!” kata Wiro.

Kakek Segala Tahu mengekeh. Dewi Merak Bungsu membentak halus. “Ini

bukan tempat bersuka ria tertawa segala! Kita bertiga bisa mampus kaki ke atas

kepala ke bawah!” dia berpaling pada Wiro. “Kau bilang mau jalan duluan. Ayo,

tunggu apa lagi?!”

Wiro garuk kepalanya dengan tangan kiri. Tangan kanan mencabut Kapak

Maut Naga Geni 212. Sinar terang benderang memenuhi tempat itu. Lalu dengan 

segala ketabahan dia mendekati tangga Pintu Neraka yang terdiri dari tujuh undakan.

Pada saat kaki kanannya menginjak undakan pertama belasan ular berkepala manusia

yang ada pada pilar pintu keluarkan desisan keras lalu berganti dengan teriakan 

mengerikan. Dari mulut mahluk ini menetes-netes darah kental. Langkah Pendekar 212 tertahan. Dua mahluk berkepala botak angkat tangannya yang memegang pedang

merah. Di atas Pintu Neraka enam jerangkong menggoyang-goyangkan tubuhnya

mengeluarkan suara berkeresekan. Kedua tangan diangkat-angkat ke atas, mata

berputar liar dan dari mulut yang menyemburkan darah terdengar pekik-pekik 

melengking tinggi. Sesekali lidah mereka yang panjang dan berbentuk kepala ular itu 

menjulur ke bawah seperti hendak mematuk Wiro.

“Jalan terus, tak ada yang perlu ditakutkan!” kata Dewi Merak Bungsu seraya

mendorong punggung Pendekar 212.

Murid Sinto Gendeng melintangkan senjata mustikanya di depan dada lalu

naik ke anak tangga kedua. Tidak terjadi apa-apa. Begitu kakinya menginjak anak

tangga ketiga, dua mahluk bercawat melompat ke arahnya sambil menusukkan 

pedang merah.

Luar biasa. Pedang masih belum sampai sinarnya telah melesat ke arah 

tenggorokan dan dada Wiro. Pendekar 212 segera lindingi diri dengan menyabatkan 

Kapak Maut Naga Geni 212 ke depan. Sinar putih menyilaukan berkiblat disertai deru 

lasana ribuan tawon mengamuk. Hawa panas yang menampar ke luar dari senjata

mustika itu membuat dua mahluk bercawat dan berkepala botak dan berlumuran darah 

tersurut mundur sambil mengeluarkan teriakan marah. Sepasang mata mereka

melompat keluar lalu masuk lagi!

Walau ngeri melihat dua mahluk siluman yang ganas ini tapi Wiro sudah bisa

meraba bahwa mereka pun takut melihat serangan kapaknya. Maka dia cepat

melompat ke anak tangga keempat. Tidak terjadi apa-apa.

“Tangga berikutnya tangga kelima….” Kata Wiro membatin. “Mahlukmahluk penjaga Pintu Neraka ini baru berindak setiap aku menginjakkan kaki di anak 

tangga ganjil. Jadi aku harus hati-hati….”

Benar saja. Begitu kaki Wiro menyentuh anak tangga kelima, enam

jerangkong di atas pintu keluarkan pekikan keras. Lalu keenamnya berlompatan. Dua

ke arah Wiro. Dua lainnya mengincar Dewi Merak Bungsu dan dua terakhir melesat

ke arah Kakek Segala Tahu!

Kembali Kapak Maut Naga Geni 212 membeset udara. Sinar putih berkiblat.

“Wuttt! Wuuuttttt!” Senjata mustika itu jelas-jelas membabat tubuh dua

jerangkong. Tapi sambaran mata kapak seolah menghantam udara kosong, lewat

begitu saja. Di kejauhan terdengar suara tawa cekikikan. Dua jerangkong membuat

gerakan jumpalitan lalu tiba-tiba sekali melesat kembali menyerang Wiro. Agak

gugup Wiro lepaskan pukulan sakti dengan tangan kiri. Jerangkong yang sebelah kiri

terangkat ke atas, hancur berantakan di udara dan lenyap. Saat itu pula srangan

jerangkong sebelah kanan sampai. Wiro berteriak keras ketika ujung lidah jerangkong

yang berbentuk ular itu mematuk bahu kanannya. Dia merasa seperti ditusuk besi

panas. Kapak Maut Naga Geni 212 hampir terlepas dari genggamannya. Darah 

membasahi bahu baju putihnya. Dengan terhuyung dia menindak menaiki anak tangga

keenam. Aman. Terus pada anak tangga ketujuh yaitu yang terakhir.

Sementara itu dua jerangkong yang menyerang Dewi Merak Bungsu disambut

perempuan ini dengan mendorongkan kedua telapak tangannya ke atas.

“Wuuuss!”

“Wuuss!”

Dua angin deras menyambar ke atas. Dua jerangkong menjerit keras.

Keduanya mental berantakan lalu berubah manjadi kepulan asap dan akhirnya sirna.

Perempuan ini menarik nafas lega sesaat lalu mengikutiWiro menaiki tangga ke enam.

“Ada darah di bahumu….” Kata Dewi Merak Bungsu 

“Lidah ular salah satu jerangkong itu sempat mematukku,” jawab Wiro.

Wajahnya pucat. Agak limbung dia menaiki anak tangga ketujuh yakni anak tangga

terakhir dari Pintu Neraka. Di atas sana terdengar suitan keras. Satu jerangkong 

siluman yang tadi menyerangnya kini kembali menyerbu. Wiro segara hendak 

menghantam dengan Kapak Maut Naga Geni 212.

Di bagian bawah tangga Kakek Segala tahu yang berada paling belakang dan

mendapat serangan dua jerangkong dongakkan kepala. Telinganya menangkap suara

mendesir. Dia cepat menghantam ke atas dengan tongkatnya. Ujung tongkat

menyambar ganas dan dengan tepat mengenai sosok dua jerangkong itu. namun 

seperti sewaktu Wiro membabat dengan kapak mustikanya ternyata si kakek juga

seolah mengenai udara kosong. Dengan berteriak-teriak sambil menjulurkan lidahnya

yang berbentuk kepala ular dua jerangkong kembali menyerbu.

“O ladalah!” seru Kakek Segala Tahu yang maklum kalau serangan

tongkatnya gagal dan kini dia jerangkong itu kembali menyerangnya. Dengan cepat

dia tanggalkan caping bambunya. Sekali dia mengibaskan caping itu, satu gelombang 

angin menderu laksana air bah. Dua jerangkong yang hendak menghujamkan lidah 

ularnya mencelat mental ke atas. Di udara dua jerangkong ini hancur bercerai berai,

mengepulkan asap dan sirna.

Kembali pada Pendekar 212 yang mendapat serangan dari sisa jerangkong di

tangga ketujuh.

“Jangan pakai senjata!” teriak Dewi Merak Bungsu. “Hantam dengan pukulan

tangan kosong!”

Sesaat Wiro terkesiap. “Apa yang dikatakan Kuntini itu agaknya betul. Tadi

aku membabat dengna Kapak Maut Naga Geni tidak mempan. Sewaktu kuhantam

dengna pukulan benteng topan melanda samudera salah satu dari dua jerangkong it

ambruk…..” Memikir sampai di sini maka murid Eyang Sinto Gendeng segera

lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Satu gelombang angin laksana gulungan 

batu besar menderu. Jerangkong yang menyerang dari atas seolah tahu kalau dia tak 

akan mampu menghadapi pukulan sakti itu menjerit keras lal berbalik dan melesat

pergi.

Di anak tangga ketujuh Dewi Merak Bungsu memberitahu pada Kakek Segaal

Tahu bahwa Wiro terluka bahu kanannya akibat pukulan lidah ular jerangkong 

siluman. Paras orang tua itu tampak berubah. Dia meraba-raba sekitar ujung 

capingnya.

“Dia untung. Obat ini masih tersisa satu. Bisa ular siluman seratus kali lebih

jahat dari bisa ular biasa….. Berikan obat ini padanya dan suruh dia segera

menelannya!”

Perempuan itu mengambil obat yang diberikan lalu menyerahakan pada Wiro.

Belum sempat obat berbentuk bulat sebesar ujung kelingking itu berpindah tangan,

tiba-tiba seekor ular besar berkepala setan yang melilit di pilat pintu sebelah kanan 

melesat dan berusaha mematuk. Dewi Merak Bungsu terpekik. Saking kagetnya obat

itu terlepas dari tangannya, jatuh tepat di tangga ketujuh!

“Wiro lekas ambil!” teriak Dewi Merak Bungsu.

Wiro jatuhkan diri mengambil satu-satunya obat yang bisa menyelamatkan 

jiwanya itu. namun ular berkepala manusia tadi meluncur lebih cepat. Pada saat Wiro

berhasil memegang obat , pada detik itu pula ular siluman membuka mulutnya besarbesar. Kepala Pendekar 212 hanya setengah jengkal saja dari hadapannya.

Dalam keadaan genting begitu rupa, sebelum kepala Wiro sempat dilahap ular

siluman, ujung tongkat Kakek Segala Tahu dengan keras memukul putus ujung ekor

binatang ini. Ular siluman keluarkan jeritan seperti raungan anjing di malam buta. Dia sabatkan ekornya ke arah si kakek. Orang tua ini cepat rundukkan kepala. Tongkatnya

kembali berkelebat. Terdengar lagi raungan seperti anjing itu. Ujung tongkat Kakek 

Segala Tahu menancap tepat di leher ular siluman. Darah menyembur. Si kakek 

menghindar agar tidak kecipratan. Ular siluman itu bergelimang darah menyentaknyentak di atas tangga Pintu Neraka. Wiro berguling memasuki Pintu Neraka sambil

menelan obat yang berhasil diambilnya sementara Dewi Merak Bungsu cepat menarik

tangan Kakek Segala Tahu lalu keduanya melompat melewati Pintu Neraka.


DUA BELAS


SS

elewatnya Pintu Neraka ketiga orang itu berada di satu rimba belantara ditumbuhi

pohon-poon besar dan semak belukar aneh. Keadaanya redup sekali dan udara terasa

dingin. Kesunyian yang mencekam justru menimbulkan suasana tambah

menggidikkan.

Kakek Segala Tahu mendongak. “Aneh…..” katanya. “Tak ada suara barang 

sedikitpun. Bahkan suara siliran angin tidak terdengar. Kita harus berhati-hati….

Mungkin kita akan berkubur di sini atau mati dan ikut jadi siluman….” Wiro dan 

Kuntini saling berpandangan dengan wajah tegang. “Apa yang kalian lihat?” si kakek 

bertanya.

“Pohon-pohon besar di mana-mana. Semak belukar setinggi langit seperti

jaring. Batu-batu besar menyerupai binatang purba….” Yang menjawab Dewi Merak 

Bungsu.

“Apa lagi?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Hanya itu….” sahut Wiro.

“Tak ada hantu atau siluman yang muncul?”

“Tidak,” jawab Wiro dan Kuntini berbarengan.

Kakek Segala Tahu coba kerontangkan kalengnya. Tetap tak mau berbunyi.

“Hemmmm…. Keadaan di tempat ini benar-benar berbahaya. Hati-hatilah. Kita bisa

mati mendadak di sini…. Satu hal harus kalian ingat. Kita harus tetap bersama.

Jangan sampai tercerai….”

Baru saja orang tua ini berkata begitu tiba-tiba terdengar suara. “Wusssss!”

Disusul dengan munculnya sinar merah benderang. Wiro dan Kuntini keluarkan

seruan tertahan.

“Ada apa….?” Tanya Kakek Segala Tahu sambil melintangkan tongkat kayu 

di depan dada.

“Satu pohon besar tiba-tiba saja terbakar. Gejolak apinya laksana menjulang

langit….” Menerangkan Dewi Merak Bungsu.

“Tak dapat kuketahui apa artinya ini….” kara si kakek pula dan berusaha

berpikir memecahkan arti keanehan itu.

“Ada bayangan orang di atas pohon. Di dalam api!” teriak Dewi Merak 

Bungsu.

“Astaga! Itu Bunga sahabatku!” teriak Wiro seraya lari ke arah pohon. Si

kakek dan Kuntini segera mengikuti.

Di atas salah satu cabang pohon besar yang dilamun api itu kelihatan sosok 

tubuh seorang perempuan berambut panjang. Wajahnya cantik tapi sangat pucat dan

pakaiannya penuh darah. Seperti yang dilihat Wiro sebelumnya gadis ini berada

dalam keadaan terikat. Namun tonggak kayu di mana dia diikatkan tidak kelihatan

lagi. Sepasang mata Bunga tampak sangat ketakutan. Mulutnya terbuka. “Wiro….

Wiro….”

“Bunga!” teriak Pendekar 212. Seperti kalap pendekar ini hendak memanjat

pohon. Tapi begitu hawa panas menyengat sekujur tubuhnya dia jadi tak berdaya dan

terpaksa melangkah mundur.

Di atas pohon kembali terdengar suara Bunga memanggil memelas. “Wiro….

Taolong….. Aku tak tahan lagi…..”

Pendekar 212 bantingkan kakinya. Kapak Maut Naga Geni 212 digenggamnya

erat-erat. Tapi senjata itu tak akan ada gunanya Wiro, kita tak dapat menolong sahabatmu itu. Api di pohon besar sekali….”

Kakek Segala Tahu yang diam-diam sudah dapat membaca keadaan bertanya.

“Api di pohon, apakah membakar tubuh, rambut atau pakaian sahabatmu itu….?”

“Ti…. Tidak. Memang tidak….” Jawab Wiro melotot.

“Berarti dia bukan sahabatmu sungguhan!” juar Kakek Segala Tahu.

“Dia siluman!” kata Dewi Merak Bungsu pula.

“Aku tidak percaya. Aku sudah melihat keadaannya seperti itu 

sebelumnya….” Jawab Wiro. Dengan nekad dia maju beberapa langkah lalu berteriak.

“Bunga! Jatuhkan dirimu dari atas pohon! Jatuhkan drimu! Aku akan menangkapmu

di bawah sini!”

“Tolong…. Tolong aku Wiro….”

“Jatuhkan dirimu!” teriak Wiro lagi.

“Sambut aku Wiro….. Aku akan jatuhkan diri….” Kata Bunga dari atas pohon.

Lalu tampak gadis itu menggeliatkan tubhnya. Begitu kedua kakinya bergeswe dari

cabang pohon yang dipijaknya tubuhnya langsung melayang jatuh ke bawah!

Pendekar 212 Wiro Sableng rentangkan tangan mengatur tempat tegaknya

agar bisa menyambut tubuh Bunga yang jatuh itu dengan tepat.

“Blukkkk!”

Tubuh Bunga jatuh tepat dalam pelukan Wiro.

“Syukur….” Kata Wiro lega. “Kau selamat Bunga. Aku akan membawa kau

keluar dari tempat jahanam ini!”

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara raungan anjing. Bersamaan dengan itu 

keadaan menjadi tambah redup. Lalu menyusul suara tawa cekikikan menggidikkan.

Dewi Merak Bungsu diam-diam merasa cemburu melihat Pendekar 212

memeluk gadis cantik itu tiba-tiba berseru kaget ketika melihat gadis yang dipeluk

Wiro berubah menjadi sosok raksesi. Menyeringai mengerikan mencuat keluar,

bergelimang darah.

“Wiro! Lemparkan gadis itu! Dia bukan sahabatmu!” teriak Dewi Merak 

Bungsu.

Tapi terlambat. Raksesi dalam pelukan Wiro gerakkan kepalanya. Mulutnya

ditempelkan ke leher Pendekar 212. Murid Eyang Sinto Gendeng menjerit keras.

Darah muncrat dari lehernya. Tubuh yang dipeluknya langsug dibantingkan ke tanah.

“Hik…. Hik…. Hik….!” Raksesi cepat bangkit berdiri dan julurkan lidahnya

yang bergelimang darah. Darah itu disemburkannya ke arah Kuntini lalu didahului

dengan raungan panjang dia melompat ke arah Wiro. Kedua tangannya berkelebat

lebih dulu. Ternyata dua tangan raksesi ini memiliki jari sebesar pisang dengan kukukukunya hitam panjang sekali. Dalam keadaan masih tegang oleh rasa kaget serta luka

di leher dan sebelumnya di bahu, Wiro seperti tak berdaya dan bertindak lamban. Saat

itu pula jari tangan berkuku panjang menyambar ke lehernya!

Dalam keadaan gawat seperti itu di mana nyawa Pendekar 212 hanya tinggal

seujung rambut tiba-tiba dari samping melesat sebuah benda memancarkan sinar

aneka warna disertai suara menggemuruh. Bulu merak sakti!

Raksesi yang hendak mencengkeram leher Pendekar 212 keluarkan jeritan 

tinggi dan berusaha menghindar. Namun bagian tajam dari bulu burung merak yang 

dilemparkan Dewi Merak Bungsu keburu menghantam keningnya! Kepala raksesi itu 

hancur berkeping-keping. Hancurnya menyiprat ke muka dan tubuh Pendekar 212.

Sebelum tubuh raksesi siluman itu lenyap terlebih dulu terdengar suara raungan 

disertai suara lolongan anjing di kejauhan.

Wiro usap mukanya. Kedua kakinya goyah. Dia jatuh berlutut. Wajahnya

tampak pucat. Dia memandang pada Dewi Merak Bungsu. “Kuntini…. Terima kasih.

Kau menyelamatkan jiwaku….”

“Kau belum lolos dari kematian….” Jawab Dewi Merak Bungsu.

“Apa maksudmu?”

“Luka di lehermu bekas gigitan mahluk siluman itu cukup parah…..”

“Mari kuperiksa lukamu….” Kata Kakek Segala Tahu yang tadi ikut hanyut

dalam ketegangan. Dengan ujung tongkatnya diraba dan ditusuk-tusuknya luka bekas

gigitan di leher Pendekar 212 hingga pemuda ini menjerit kesakitan.

“Hemmmmm…. Untung tak ada urat yang putus. Lebih untung lagi gigitan itu

tidak beracun….. Biar kutotok agar darahnya berhenti!”

Kakek Segala Tahu tusukkan ujung tongkatnya dua kali berturut-turut. Wiro 

meringis kesakitan. Luka di lehernya seperti bertaut kembali dan darah berhenti

mengucur. Dewi Merak Bungsu ulurkan tangan kirinya menolong Wiro berdiri.

Sambil pegangi lehernya Wiro berkata. “Apa yang harus kita lakukan

sekarang? Kau mungkin benar Kek, kita akan mati di sini dan ikut jadi siluman…..”

Baru saja ucapan Wiro berakhir tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak 

laksana guntur mengguncang bumi. Suara tawa itu menggema panjang mengerikan.

“Pendekar 212 Wiro Sabelng….. Kau dan dua kawanmu telah memasuki Pintu 

Neraka Kerajaan Siluman! Sekali masuk tak ada jalan keluar…. Ha….. ha…. ha!”

“Heh…. Siapa yang tertawa dan bicara itu?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Orangnya tak kelihatan. Dari mana arahnya pun sulit dicari…..” jawab Wiro.

“Pendekar 212! Membunuhmu saat ini semudah membalik telapak tangan!

Tapi aku ingin menyiksa kau lebih dulu sampai puas! Ha… Ha…. ha…. ha!”

“Keparat! Siapa kau! Coba unjukkan diri!” berntak Wiro.

Jawaban hanyalah suara tertawa. “Ha…..ha…..ha…..ha!”

“Mahluk pengecut! Tak berani memperlihatkan diri! Siluman keparat!” teriak

Wiro.

“Ha….ha….ha! Aku berada di dekatmu Wiro! Dekat sekali! Dari tahta

Kerajaan Siluman aku akan menyaksikan dirimu tersiksa dalam ketakutan. Lalu.

“Blaaaammmmm! baru kubunuh dirimu! Ha….. ha….. ha….!”

Suara tawa lenyap. Tempat itu kembali sunyi.

“Kau tidak mengenali suara orang tadi yang bicara dan tertawa itu?” bertanya

Dewi Merak Bungsu.

“Sulit sekali. Suara gemanya terlalu tinggi dan panjang….” Jawab Wiro.

“Itu tantangan jadi seorang pendekar dalam dunia persilatan….” Terdengar

Kakek Segala Tahu berkata. “Kita akan punya banyak musuh. Begitu banyaknya

hingga kita tidak mengenali lagi suaranya. Bahkan kalau ketemu muka mungkin kita

lupa. Setelah dibokong dan sekarat meregang nyawa baru kita ingat. Tapi sudah 

terlambat….”

Ucapan Kakek Segala Tahu terputus. Di belakang mereka terdengar suara

menggemuruh seperti ada ombak menggulung menyerbu. Tiga orang itu cepat

membalik.

“Ada gelombang air menyerbu ke jurusan kita!” seru Wiro.

“Cairan berwarna merah….!” Pekik Dewi Merak Bungsu.

“Aku mencium amisnya bau darah!” teriak Kakek Segala Tahu tegang.

“Gelombang air itu! Astaga. Itu memang darah!” teriak Wiro.

“Darah mendidih!” jerit Dewi Merak Bungsu. “Kita harus selamatkan diri!”

“Cari tempat ketinggian!” teriak Kakek Segala Tahu.

Wiro dan Dewi Merak Bungsu memandang berkeliling.“Di sebelah sana ada kawasan berbatu-batu. Tapi letaknya tak lebih tinggi dari

tempat ini….. Celaka!” seru Dewi Merak Bungsu.

“Kita naik saja ke atas pohon!” teriak Kakek Segala Tahu dan siap-siap 

hendak melompat.

“Lebih celaka!” seru Wiro.

“Apa yang lebih celaka?!”

“Semua pohon kini dipenuhi puluhan ular siluman. Bahkan ratusan 

kalajengking….”

“Ah, kalau begitu kita pasrah saja. Kematian sudah di ambang mata!” kata

Kakek Segala Tahu.

“Jangan pasrah macam orang tolol!” teriak Wiro. “Ayo lari dari sini. Jauhi

gelombang darah mendidih itu…..!”

Tiba-tiba terdengar suara.

“Grokkk….groookkkk….grooookkk!”

“Heh….suara malaikat mautkah itu?” ujar Kakek Segala Tahu yang membuat

Wiro dan Dewi Merak Bungsu mau rasanya memaki panjang pendek.

Di hadapan ketia orang itu melayang satu sosok siluman. Mahluk satu ini

hanya mengenakan cawat. Tua dan berkepala panjang seperti pepaya. Sekujur

tubuhnya penuh luka-luka. Darah membasahi badannya. Kedua matanya memberojol

keluar sperti mau tanggal. Sepasang telinganya lancip mencuat ke atas. Lidahnya

terjulur panjang dan pada lidah ini menancap sepotong besi runsing. Potongan besi

kedua menyatai telinganya dari kiri ke kanan. Di lehernya ada sebuah lobang besar

yang terus menerus mengucurkan darah. Dari lobang ini keluar suara

grooookk….groookkk. Itu! Kedua tangan dan kakinya terikat dengan rantai besi

panas membara. Ketika mahluk ini hendak mendekati Dewi Merak Bungsu,

perempuan ini cepat cabut bulu merak yang dijadikannya tusuk konde dan merupakan 

senjata sakti luar biasa. Begitu dia hendak menghantam Wiro dengan cepat mencegah.

“Jangan!”

“Heh! Kau sudah gila! Siluman ini hendak membunuhku dan kau 

menghalangi!”

“Dia bukan siluman jahat! Mahluk ini yang dulu menolongku. Memberi

petunjuk agar mencari Kakek Segala Tahu. Dia tidak bisa bicara. Dia menuliskan 

pesan dengan darahnya! Hanya heran. Kenapa sekarang tangannya tidak buntung?!”

“Kau tidak bergurau!”

“Edan! Masakan dalam keadaan seperti ini aku mau bergurau!” teriak Wiro.

Mahluk siluman masih terus berputar-putar mengelilingi mereka sambil

mengeluarkan suara “grokkk…..groookkkkk!” sementara gelombang air bah cairan 

darah mendidih dan berbau sangat busuk semakin dekat. Tiba-tiba mahluk siluman itu

melesat ke kiri. Di sini dia berputar dua kali, lalu melesat lagi. Demikian 

dilakukannya berkali-kali.

“Aku tahu! Mahluk itu memberi isyarat agar kita mengikutinya!” teriak Wiro.

“Ayo! Tunggu apa lagi!” Wiro pegang tangan Kakek Segala Tahu dan Dewi Merak 

Bungsu.

“Jangan-jangan mahluk itu hendak menjebak kita! Di tempat ini kita tidak

tahu mana kawan mana siluman!” kata Dewi Merak Bungsu bimbang. Namun ketika

dilihatnya gelombang darah mendidih semakin dekat, mau tak mau perempuan ini

akhirnya lari juga mengikuti Wiro dan Kakek Segala Tahu.


TIGA BELAS


Mhluk siluman itu melayang ke arah deretan tujuh buah pohon besar yang

batang dan cabang-cabangnya hampir tertutup oleh akar-akar gantung. Tiga orang di

belakangnya mengikuti dengan rasa takut dan juga bimbang. Bukan mustahil seperti

yang dikatakan Dewi Merak Bungsu tadi mahluk ini hendak menjebak mereka

menuju maut. Di balik deretan tujuh pohon besar kelihatan sebuah daerah berbatubatu yang makin ke sebelah sana semakin tinggi. Lalu di puncak bebatuan ini terdapat

beberapa buah gundukan batu besar.

Seperti terbang mahluk siluman itu melesat ke arah salah satu gundukan batu.

“Lihat! Di atas sana ada gundukan batu membentuk goa!” seru Wiro. “Mahluk 

itu memberi isyarat aga kita lari menuju goa itu!”

Di belakang mereka suara gelombang cairan darah terdengar menggemuruh 

sewaktu melewati celah-celah tujuh pohon besar.

“Lekas naik ke bukit batu!” teirak Wiro. Kakek Segala Tahu lepaskan 

pegangannya dari tangan Wiro. Walaupun kedua matanya buta tapi dengan cekatan 

orang tua sakti ini melompat enteng dan sebat hingga akhirnya dia sampai di puncak 

gundukan batu dan masuk ke dalam goa lebih dulu. Baru menyusul Wiro dan Dewi

Merak Bungsu.

“Grokkkk…..groookkkk…..grokkkk!”

Mahluk siluman yang menolong tegak di atap goa. Tiba-tiba di kejauhan 

kelihatan dua sosok besar melayang di udara. Ternyata mereka adalah mahluk

siluman perempuan yang hanya mengenakan cawat. Payudara mereka gundal-gandil

kian kemari. Tambutnya riap-riapan penuh dengan ular-ular kecil. Di tangan masingmasing ada sebilah golok merah menyala.

Pendekar 212 cepa menarik sebuah batu besar dan menutupi mulut goa.

“Bantu aku…. Tarik batu-batu itu….” katanya pada Dewi Merak Bungsu. Di ats atap

goa, begitu melihat dua siluman perempuan telanjang itu mendatangi, siluman 

penolong keluarkan suara seperti meratap lalu cepat-cepat berkelebat dan menghilang.

“Hak…..huk….hak….huk!” Dua siluman perempuan sampai di depan goa

mengeluarkan suara aneh. Keduanya tampak seperti memeriksa tempat itu. Wiro dan 

Dewi Merak bungsu serta Kakek Segala Tahu yang berada di sebelah dalam goa

menjatuhkan diri sama rata dengan lantai goa.

“Hak..huk…hak….huk!” Dua siluman perempuan itu masih melayang-layang

di atas goa.

“Celaka! Kalau mereka sampai mengetahui kita ada di sini, tamat riwayat

kita!” bisik Wiro pada Dewi Merak Bungsu.

“Aku tidak mengerti. Mengapa siluman yang lidahnya ditancap besi itu

menolong kita. Lalu siapa pula dua siluman perempuan telanjang ini….”

“Kelihatannya mereka seperti pengawal. Mereka yang dulu menambus

siluman penolong itu dengan pedang menyala. Sampai isi perutnya berojol keluar….”

“Aku tidak mengerti….”

“Nanti saja aku ceritakan,” kata Wiro.

Di luar goa masih terdengar suara hak huk hak huk dua siluman perempuan itu.

tak lama kemudian keduanya tampak berkelebat di udara lalu lenyap. Di bawah sana

gelombang banjir darah mendidih telah mencapai kaki bebatuan. Makin lama makin

tinggi. Bergerak mendekati goa di mana tiga orang itu berada. Wiro coba mengintip di antaa celah-celah batu. Dewi Merak Bungsu melihat perubahan wajah pemuda ini dan

bertanya.

“Ada apa….?”

“Air darah. Naik semakin tinggi. Hanya tinggal beberapa jengkal saja dari

mulut goa…..”

“Kalau begitu kita harus keluar dari sini. Apa kataku! Siluman yang kau

katakan sebagai penolong itu ternyata menjebak kita di tempat ini!” Dewi Merak

Bungsu bergerak hendak berdiri.

“Tunggu!” kata Kakek Segala Tahu. “Telingaku menangkap suara gelombang

air darah mendidih berhenti di arah hulu. Berarti tak ada lagi cairan yang akan

mengalir ke sini…..”

Wiro dan sang Dewi sama-sama mengintip. Memang benar. Ternyata cairan 

darah tidak bertambah tinggi. Gelombangnya pun menyurut. “Aku tak bisa tenang.

Kita tak bisa terus menerus berada di sini….”

“Mau tak mau. Kita terpaksa menunggu sampai air darah surut….” Kata Wiro.

“Aku mengantuk….” Kata Kakek Segala Tahu lalu menguap. “Jangan-jangan 

sekarang sudah malam.”

“Di Kerajaan siluman tak pernah ada malam hari…..” jawab Dewi Merak 

Bungsu. Tapi saat itu dia sendiri sebenarnya juga sudah mengantuk selain letih. Dia

mengerling pada Wiro. “Kau mengantuk….?” Bisiknya bertanya sementara di

belakang mereka di bagian goa sebelah dalam si kakek terdengar sudah mendengkur.

“Kalau kau mengantuk, aku sebenarnya juga ingin tidur. Tapi kupikir-pikir

rugi kalau dalam keadaan seperti ini, berada dekat orang cantik sepertimu aku harus

tidur segala….” Jawab Wiro sambil senyum-senyum.

“Aku memang sudah dengar tentang kekonyolanmu. Tapi ternyata kau bukan 

cuma konyol, malah juga sableng seperti namamu. Bagaimana mungkin dalam

keadaan dijepit maut seperti ini, di kawasan hutan siluman begini rupa kau masih bisa

bicara tidak karuan seperti itu…..”

“Jadi kau mau tidur ngorok seperti kakek itu. aku juga tidur nyenyak. Lalu

kalau siluman yang datang menyerbu ita mati semua. Enak juga ya mati konyol

seperti itu….!”

Dewi Merak Bungsu terdiam.

“Heiiiii…..” bisik Wiro.

“Apa lagi?”

“Kau tahu, wajahmu cantik sekali. Apa perlunya berdandan tebal-tebal seperti

ini?”

Paras perempuan muda itu menjadi sangat merah karena jengah. “Apa…. Apa

betul aku cantik…..?”

Wiro mengangguk. Anggukannya ini membuat hidungnya mengusap pipi

Dewi Merak Bungsu. “Dingin sekali dalam goa ini…..” kata perempuan itu. Wiro

menggeser tubuhnya lebih rapat. Tangannya diletakkan di punggung Dewi Merak

Bungsu. Perempuan itu diam saja. Lalu terdengar dia bertanya. “Gadis yang hendak

kau tolong itu…. Dia kekasihmu atau apa…..?”

“Sulit mengatakan. Mungkin ya, mungkin juga tidak.”

“Mengapa kau bilang begitu?’

“Soalnya dia sebenarnya sudah mati. Diracun oleh calon suaminya sendiri.

Kini dia hidup dalam alam lain…..”

“Keanehan yang aku tidak mengerti….”

“Lalu kau sendiri yang kau cari di Kerajaan Siluman ini?”“Seseorang. Aku tak ingin membicarakannya sekarang….” Dewi Merak

Bungsu balikkan badannya. Dadanya yang membusung tersingkap lebar. Wiro merasa

seperti kesilauan. Dilihatnya perempuan itu memejamkan kedua matanya.

“Gila, dia seperti memberikan kesempatan. Apakah aku harus menyianyiakan….?” Perlahan-lahan Wiro turunkan kepalanya. Hidungnya menyentuh buah 

dada perempuan muda itu. Nafasnya menghangati permukaan dada Dewi Merak

Bungsu.

“Wiro, apakah kita bisa keluar dari tempat celaka ini?”

“Aku tak tahu Kuntini. Hanya Tuhan yang bisa menolong kita.”

“Aku tengah berdoa…” bisik perempuan itu.

“Apa doamu?” tanya Wiro.

“Selain minta selamat aku juga berdoa kalau berhasil keluar dari tempat ini

aku ingin bersamamu….”

Wiro mengangkat kepalanya dan menatap paras Dewi Merak Bungsu dengan 

pandangan heran. Saat itu dirasakannya degupan jantung perempuan itu mengeras.

Lalu tangan kanan Dewi Merak Bungsu mengelus kepalanya, mendorong ke bawah 

hingga kembali wajah Pendekar 212 menyentuh dadanya.

Ketika Wiro dan Dewi Merak Bungsu terbangun Kakek Segala tahu masih

mengorok. Mereka tak tahu entah berapa lama mereka tertidur dalam goa itu. Dewi

merak Bungsu merapikan pakaiannya. Lalu membalikkan tubuhnya dan merangkul

Pendekar 212. Dia berbisik hangat. “Tak pernah aku merasakan sebahagia ini….”

Di dalam goa terdengar suara terbatuk-batuk.

“Kek, kau sudah bangun?” tanya Wiro.

“Ya…. Ya aku sudah bangun. Aku terbangun oleh suara-suara getaran pada

batu goa. Coba kalian mengintai keluar. Aku curiga sesuatu tengah terjadi di luar

sana…”

Tiba-tiba di luar terdengar suara mengggelegar keras laksana suara guntur.

Goa di mana mereka berada terasa goyang. Lalu ada suara teriakan-teriakan

mengerikan dibarengi suara raungan anjing serta tawa cekikikan yang menegakkan

bulu roma. Mendadak semua suara itu sirap. Yang terdengar kini adalah suara orang

berucap, menggelegar dan menggema panjang.

“Tiga manusia dalam goa keluarlah! Kalian sudah terkurung. Tak mungkin

terus bersembunyi! Tak mungkin keluar hidup-hidup dari dalam Kerajaan Siluman

Tapakhalimun!”

“Suara itu sama dengan suara orang beberapa waktu lalu….!” Kata Dewi

Merak Bungsu sambil memegang jari-jari tangan Pendekar 212. Keduanya lalu

menggeser batu-batu besar yang menutupi mulut goa.

“Astaga….” Dewi Merak Bungsu terpekik kecil.

“Apa yang kalian lihat?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Kek, agaknya kita memang akan sama-sama mati di tempat ini. Seluruh

kawasan telah dikurung ratusan siluman berbagai bentuk. Mereka berdiri di puncakpuncak batu, di atas pohon, di seluruh tempat!” suara Wiro bergetar.

Kakek Segala Tahu menyeruak ke mulut goa. “Apa lagi yang kalian lihat?!”

tanyanya kemudian.

“Cairan darah mendidih itu lenyap. Tepat di depan kita ada sebuah bukit batu.

Di puncak bukit ada sebuah tempat duduk memancarkan sinar kuning menyilaukan.

Agaknya terbuat dari emas. Di atas kursi emas itu duduk seorang berjubah hijau….”

“Kau mengenali siapa dia…..?” tanya Kakek Segala Tahu.Selain jauh, dia mengenakan caping. Bagian bawah caping sebelah depan 

diberi lindungan kain jarang….” Wiro hentikan ucapannya.

Dewi Merak Bungsu ganti memberitahu. “Di sekeliling orang yang duduk di

kursi emas itu terdapat enam ekor anjing besar bertaring panjang. Lalu ada dua belas

siluman bersikap sebagai pengawal…. Enam di antaranya siluman perempuan tanpa

pakaian, hanya mengenakan cawat….”

“Sayang mataku buta! Hingga tak dapat menyaksikan pemandangan bagus

itu!” kata Kakek Segala Tahu. Lalu dia berkata. “Jika ada seorang duduk di kursi

emas. Dikelilingi pengawal binatang dan siluman berarti dialah Raja Siluman,

penguasa di tempat jahanam ini! kalian ingat apa ucapannya beberapa waktu lalu?

Dari tahta Kerajaan Siluman aku akan menyaksikan dirimu tersiksa dalam ketakutan.

Lalu blaaam! Baru kubunuh dirimu! Jadi jelas dia memang Raja penguasa hutan

siluman ini!”

“Berarti satu-satunya jalan untuk selamat adalah kita harus membunuh Raja

Siluman itu!” kata Dewi Merak Bungsu.

“Belum tentu,” jawab Kakek Segala Tahu.”Siluman tak bisa dibunuh. Mereka

bisa dihancurleburkan tapi kelak akan muncul lagi dlam bentuk semula atau berubah 

bentuk. Coba kalian perhatikan orang yang duduk di atas kursi emas itu, apakah 

kedua kakinya menginjak batu di bawahnya atau melayang?!”

Wiro dan Dewi Merak Bungau membuka mata lebar-lebar. “Kedua kakinya

memakai kasut. Kasut itu menempel di batu!” menerangkan Wiro atas apa yang 

dilihatnya.

“Berarti dia bukan siluman. Bukan hantu atau setan. Tapi manusia seperti kita

juga! Berarti dia memiliki satu kekuatan sakti luar biasa yang mampu menguasai

kawasan hutan Tapakhalimun serta seluruh isinya…”

Di luar sana orang berjubah hijau dan duduk di atas kursi keluarkan suara

mendengus. “Keparat, mereka masih berusaha bertahan di dalam goa itu. aku akan 

berteriak lagi. Kalau mereka tidak keluar juga akan kulepaskan anjing-anjing

siluman!” Lalu orang ini kempeskan perutnya tanda dia mengerahkan tenaga dalam.

Sesaat kemudian terdengar suaranya menggelegar. “Pendekar 212! Saatmu habis!

Kalau kau dan dua kawanmu tidak segera keluar, kami akan datang menjemput!”

“Sebaiknya kita keluar saja…. Wiro kalau kita mendekat ke tempat penguasa

keparat itu, beritahu padaku setiap apa saja yang kau lihat. Terutama yang ada pada

dirinya,” kata Kakek Segala Tahu. Lalu dia mendahului melangkah ke mulut goa.

Wiro dan Dewi Merak Bungsu saling pandang. “Kalau aku mati, aku ingin mati

bersamamu…..” bisik perempuan muda itu.

“Kita tidak akan mati. Tuhan akan menolong kita….” Jawab Wiro.

“Setelah kita berbuat dosa di goa ini…..?” ujar Dewi Merak Bungsu pula.

“Sssstttt…. Jangan keras-keras. Nanti terdengar oleh orang tua itu,” kata Wiro.

Lalu ditariknya tangan Dewi Merak Bungsu.

Di atas kursi emasnya, penguasa hutan siluman rupanya tidak sabaran. Dia

menjentikkan jari-jari tangannya tiga kali berturut-turut. “Jemput mereka! Bawa ke

hadapanku iga ekor anjing siluman yang perawakannya seram hampir sebesar anak kerbau

meraung keras lalu melompat dan melesat menuruni bukit batu. Hanya dalam

beberapa kejapan saja tiga binatang ini sudah berada di puncak bukit batu di mana

goa terletak dan tiga orang itu baru saja bergeak ke luar.

“Awas anjing siluman!” teriak Dewi Mreak Bungsu. Namun terlambat.

Sebelum mereka sempat melakukan sesuatu tiga ekor anjing siluman itu telah

menggigit leher pakaian mereka lalu laksana terbang binatang-binatang siluman ini

melarikan kereka ke arah bukit batu. Sepuluh langkah dari kursi emas tempat si

penguasa duduk ketiga orang iu dijatuhkan di atas batu.

“Ha…. ha….! Tidak kusangka satu di antara kalian ternyata adalah seorang

perempuan cantik!” seru Raja Siluman. “Siapa namamu? Mengapa tersesat ikut

pemuda tolol ini ke sini?”

“Aku Dewi Merak Bungsu! Aku ke mati mencari seorang bernama Singa

Lodra…. Kau telah menculik dan menyekapnya di tempat celaka ini!”

Enam ekor anjing siluman menyalak keras. Puluhan siluman lainnya

keluarkan jeritan. Rupanya mereka tidak senang mendengar Dewi Merak Bungsu

menyebut tempat itu sebagai tempat celaka.

Orang di atas kursi tertawa lebar. “Di sini banyak sekali tawanan. Aku tidak

ingat lagi yang mana bernama Singa Lodra. Apa hubunganmu dengan orang ini?!”

“Dia kakakku!”

“Ah! Kalau dia kakakmu, aku pasti akan melepaskannya. Asal kau mau

mengikuti segala kemauanku!”

“Cis! Siapa sudi turut kemauan siluman macammu! Lekas katakan di mana

kau sekap kakakku itu! juga para tokoh silat lainnya!”

Orang di atas kursi tertawa bergelak.

Sewaktu orang itu bicara dengan Dewi Merak Bungsu, diam-diam Wiro

berbisik pada Kakek Segala Tahu. Menceritakan apa yang dilihatnya. “Aku masih

belum bisa melihat tampang keparat itu, Kek. Tapi suaranya aku rasa-rasa pernah 

mendengar. Dia mengenakan jubah hijau. Aku yakin di balik jubah ini dia

mengenakan jubah lain….”

“Dengar….” Balas berbisik Kakek Segala Tahu. “Mata butaku menangkap

kilapan sinar putih berasal dari orang itu. Coba kau perhatikan. Mungkin di

pinggangnya dia menyelipkan senjata mustika, atau memakai kalung permata…. Apa

saja. Perhiasan, batu permata….”

Wiro memperhatikan dengan teliti. Tak ada kalung, tak ada senjata mustika,

juga tak ada gelang. Tapi! “Kek, aku melihat ada sebentuk cincin aneh di kelingking

jari tangan kanannya. Aku seperti pernah melihat benda ini sebelumnya. Astaga! Ya

Tuhan….. Mana mungkin!”

“Kau mengenali cincin itu?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Aku tidak salah lihat! Benda itu dikenal dengan nama Cincin Warisan Setan.

Terbuat dari baja putih berbentuk kepala ular sendok!”

“O ladalah! Cincin maha sakti itu! Kau tak salah lihat?!”

“Tidak Kek. Aku merasa pasti. Itu benar-benar Cincin Warisan Setan.”

Si kakek gelengkan kepala. “Kau ingat waktu dulu kita merampas cincin 

bahala itu dari tangan Randu Ireng sehabis dia diakali oleh Ratu Mesum. Lalu aku

sendiri yang membuang cincin pembawa malapetaka itu ke dalam laut di pantai Selatan. Kenapa kini muncul dan tahu-tahu berada di tangan orang tak dikenal itu?!

Berarti cincin itulah yang menjadi kekuatan dirinya untuk menguasai kawasan hutan 

siluman ini. apapun yang terjadi kau harus merampas cincin itu Wiro!” (Mengenai

riwayat cincin ini dapat diikuti dalam serial Wiro Sableng berjudul “Cincin Warisan 

Setan”)

“Aku akan melakukannya sekalipun harus mati! Tapi mengapa aku tidak 

melihat Bunga dan para tokoh yang katanya disekap di tempat ini?’

“Jangan bodoh! Penguasa hutan siluman itu tentu saja menyembunyikan 

mereka agar tidak mudah dirampas diselamatkan….. Lekas kau bisikkan pada kekasih

barumu itu agar dia ikut bantu merampas cincin itu….”

“Siapa kau bilang Kek? Kekasih baruku?” ujar Wiro heran.

“Jangan pura-pura. Kau kira aku tidak tahu kau dan Kuntini saling 

bercumbuan di dalam goa?!”

Paras Pendekar 212 jadi berubah. “Waktu itu bukankah kau sedang tidur

ngorok?!”

“Mulutku yang ngorok tapi telingaku tidak ikut tidur!” jawab Kakek Segala

Tahu. “Sudahlah! Sekarang lekas kau katakan pada Kuntini hal itu. Aku berusaha

menghantam lepas caping dan pelindung muka di kepalanya. Aku kepingin tahu siapa

adanya manusia celaka ini!”

Terhuyung-huyung Wiro mendekati Dewi Merak Bungsu yang masih bicara

dengan orang yang duduk di atas kursi emas. Lalu dia pura-pura terjatuh dan 

berpegangan pada Dewi Merak Bungsu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro

untuk berbisik. “Kuntini, usahakan agar kau bisa merampas cincin baja putih di jari

kelingking orang itu…..”

“Aha! Pendekar 212! Datang mencari mati. Cukup lama aku menunggumu di

Pintu Neraka ini. akhirnya kau muncul juga. Bertahun-tahun mengincarmu, sekarang 

baru berahasil! Kecuali kau punya nyawa rangkap maka kau tak akan bisa lolos dari

tempat ini. juga kawanmu tua bangka berbaju rombeng itu!”

“Bagaimana dengan perempuan ini?!” tanya Wiro.

“Itu urusanku!”

“Dengar, aku serahkan dia padamu. Kau boleh berbuat apa saja asal kau

lepaskan Bunga dan biarkan kami meninggalkan tempat ini!”

“Wiro!” teriak Dewi Merak Bungsu. Di belakang Wiro kakek Segala Tahu 

juga terdengar memaki. “Aku tidak menyangka seculas itu hatimu! Pendekar jahat!

Kalau begitu perbuatanmu lebih baik aku menyerahkan diri sendiri padanya….” Lalu

Dewi Merak Bungsu jatuhkan diri berlutut di hadapan orang bercaping di atas kurisi

emas. Karena keadaanya yang lebih rendah dan tubuhnya agak membungkuk maka

keseluruhan payudaranya yang menggembung besar terlihat jelas. Orang di atas kursi

merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak.

“Dewi Merak Bungsu, berdirilah….” Kata orang di atas kursi emas. Tangan 

kirinya memegang bahu perempuan muda itu. ibu jarinya mengusap pangkal

payudaranya. Sedang tangan kanan mengusap wajah perempuan yang cantik. Dewi

Merak Bungsu usap jari-jari tangan orang itu, menekapnya dengan kedua tangannya

sambil pejamkan mata seolah-olah menikmati tangan kukuh dan hangat itu. lalu

mendekatkan tangan itu ke wajahnya, diusapkan berulang kali di wajahnya yang

cantik itu. kemudian perlahan-lahan didekatkannya ke hidungnya seperti orang 

hendak mencium tangan itu dengan mesra.

Orang di atas kursi yang terangsang oleh kemesraan itu sama sekali tidak

menyangka apa yang sebentar lagi akan terjadi. Tiba-tiba Dewi Merak Bungsu 

memasukkan jari tangan kelingking orang itu ke dalam mulutnya.Hai!” teriak orang di atas kursi kaget dan terlonjak dari tempat duduknya.

“Craaassss!”

Jari kelingking orang berjubah hijau putus dan masuk ke dalam mulut Dewi

Merak Bungsu bersama cincin Warisan Setan yang terbuat dari baja putih itu!

“Perempuan jahanam! Muntahkan cincin itu ata kau akan mampus!” teriak 

orang berjubah. Tangan kirinya yang berlumuran darah dengan cepat memencet

kedua pipi Dewi Merak Bungsu hingga mulut perempuan ini terbuka dan cincin serta

potongan jari yang ada dalam mulutnya hampir tersembul ke luar. Namun sebelum

orang itu bisa mengambil cincin dalam mulut, Wiro dan Kakek Segala Tahu sudah 

menggebrak.

Si kakek lemparkan capingnya ke arah kepala orang yang tengah mencekal

Dewi Merak Bungsu. Di saat yang sama Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di

tangan Wiro menderu laksana ribuan tawon mengamuk, menghantam ke arah 

pinggang orang berjubah hijau. Sinar putih panas berkilat!

“Kurang ajar!” teriak si jubah hijau. Dia segera berteriak! “Semua mahluk di

Kerajaan Siluman! Lekas bunuh ketiga orang ini!”

Biasanya, sekali memerintah saja semua siluman yang ada di tempat itu akan

melesat terbang melakukan apa yang dikatakannya. Tapi aneh. Saat itu semua mahluk 

menyeramkan itu tetap diam di tempat masing-masing, hanya mengeluarkan suara

halus seperti orang merintih. Di kejauhan secara aneh terdengar suara orang menangis.

“Cincin itu! aku tak mampu menguasai mereka lagi tanpa cincin itu!” Orang 

berjubah sadar apa yang terjadi. Sekali lagi dia masih berusaha mengambil cincin baja

putih dari dalam mulut Dewi Merak Bungsu. Tapi tak berhasil. Dalam pada itu dua

serangan datang menyambar. Tak ada kesempatan lagi. Dia harus melepaskan Dewi

Merak Bungsu lalu memilih apakah akan menghidari sambaran Kapak Maut Naga

Geni 212 atau menyelamatkan kepalanya dari hantaman caping yang dilemparkan

Kakek Segala Tahu. Orang ini memilih selamat dari serangan pertama.

Sambil melepaskan cengkeramannya dari muka Dewi Merak Bungsu dan 

melompat menghidari sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 si jubah hijau ini balas

menghantam ke arah Kakek Segala Tahu.

“Braaaakkk!”

Caping yang dilemparkan Kakek Segala Tahu menghantam caping di atas

kepala orang itu. hingga kepala dan wajahnya tersingkap. Sebaliknya pukulan yang 

dilepaskannya membuat udara menjadi redup, lalu tiga larik sinar kuning, hitam dan 

merah menyambar ganas ke arah Kakek Segala Tahu.

“Pangeran Matahari!” teriak Pendekar 212 ketika dia mengenali wajah orang 

berjubah hijau di hadapannya. “Jahanam! Kau rupanya!” Murid Eyang Sinto Gendeng

melompat ke depan.

Kakek Segala Tahu sewaktu mendapatkan serangan pukulan “gerhana

matahari” dari orang berjubah yang bukan lain adalah Pangeran Matahari, musuh 

bebuyutan Pendekar 212 Wiro Sableng, cepat melompat mundur dan kibaskan 

tongkat kayu bututnya dalam gerakan setengah lingkaran.

“Kraaakkk!”

Tongkat kayu itu patah dan hancur berkeping-keping. Tapi si kakek selamat

dari pukulan sakti yang sangat mematikan itu! Menyadari siapa yang tengah dihadapi

Wiro, orang tua ini segera bergabung menyerbu manusia durjana terlahir bernama

Pangeran Anom, berjuluk Pangeran Matahari itu.

“Kurang ajar! Tak mungkin aku menghadapi mereka berdua sekaligus!” rutuk

Pangeran Matahari dalam hati. Lalu berteriak. “Pendekar 212! Kali ini aku gagal lagi Tapi ingat! Aku akan terus memburumu! Mengincar nyawamu!” habis berkata begitu

Pangeran Matahari lemparkan sebuah benda ke tanah.

“Wussss!”

Asap hitam pekat membumbung ke udara menutup pemandangan. Ketika asap 

itu lenyap, Pangeran Matahari tidak kelihatan lagi.

Dewi Merak Bungsu keluarkan potongan jari kelingking dan Cincin Warisan

Setan dari mulutnya. Dia meludah berulang kali dan keluarkan suara seperti orang

mau muntah. Cincin yang ada dalam genggaman tangan kirinya diserahkan pada

Kakek Segala Tahu.

“Benda pembawa malapetaka…..” kata si kakek. Ketiga orang itu memandang

berkeliling. Semua siluman hutan Tapakhalimun tak satupun beranjak di empat

masing-masing. Mereka merundukkan kepala dan keluarkan suara seperti orang

merintih.

“Kek…..” kata Wiro. “Kalau memang cincin itu yang dipergunakan Pangeran 

Matahari untuk menguasai mereka, berarti kau juga bisa mempergunakannya untuk 

melakukan sesuatu…..”

“Apa yang akan kulakukan? Menjadi Raja di Kerajaan Siluman ini?”

“Aku tidak melihat Bunga….”

“Kakakku Singa Lodra juga tak nampak. Jangan-jangan mereka semua sudah 

dibunuh….” Kata Dewi Merak Bungsu.

Kakek Segala Tahu tanggalkan cincin baja berbentuk kepala ular sendok itu 

dari potongan jari Pangeran Matahari. Lalu diusap-usapnya beberapa kali. Dia berkata

perlahan. “Cincin sakti. Kalau kau memang mempunyai kekuatan untuk menguasai

hutan siluman dan seluruh isinya, tunjukkan padaku!” Si kakek lalu memandang

berkeliling. “Siluman hutan Tapakhalimun! Kalian semua berada dalam kekuasaanku!

Lekas tunjukkan di mana para tahanan disekap. Bawa mereka semua ke mari!”

Semua siluman menyeramkan berbagai bentuk yang ada di tempat itu 

keluarkan suara jeritan keras. Enam anjing siluman menyalak panjang. Mereka lalu 

berkelebat lenyap. Tak lama kemudian kembali muncul membawa sembilan sosok 

tubuh yang kesemuanya berada dalam keadaan terikat tangan dan kakinya.

“Bunga!” teriak Pendekar 212 ketika dia mengenali Bunga, gadis yang selama

ini hidup dalam alam gaib tapi tak berdaya di bawah kekuasaan siluman. Pemuda ini

memburu dan berusaha membuka ikatan di tubuh Bunga. Tapi tak bisa.

Dewi Merak Bungsu memandang berkeliling, mencari-cari. Lalu dilihatnya

Singa Lodra. “Kakak!” jerit gadis ini seraya lari lalu menjatuhkan diri di atas tubuh

seorang lelaki paruh baya bertelanjang dada dan tubuhnya penuh bekas cambukan.

Perempuan ini juga tak mampu membuka ikatan di tangan dan kaki kakaknya.

“Kek, pergunakan kekuatan cincin itu! perintahkan siluman untuk membuka

tali-tali ikatan para tawanan!” teriak Wiro.

“Kalian dengan ucapan itu! lakukan perintah! Buka ikatan para tawanan!” kata

Kakek Segala Tahu. Lebih dari duabelas siluman segera bergerak membuka ikatan

yang mengikat tangan serta kaki sembilan tawanan. Begitu ikatannya terlepas Bunga

segera memluk Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Kau datang juga akhirnya Wiro…. Aku sudah putus asa. Mengira tak akan 

bisa keluar dari hutan siluman ini. Tak bisa kembali ke alamku. Terima kasih Wiro….

Aku tak apa-apa. Darah ini hanya darah yang disemburkan mahluk-mahluk itu

sewaktu menakuti diriku. Pangeran Matahari sengaja tidak mencelakaiku untuk

memancing dirimu masuk ke tempat ini…. Terima kasih Wiro….”

“Berterima kasih pada dua sahabatku itu. Kakek Segala Tahu dan Dewi Merak

Bungsu….” Kata Wiro sambil melepaskan pelukannya karena saat itu dia melihat 

beberapa orang yang dikenalinya diantara tokoh-tokoh silat yang jadi tawanan. Datuk

Harimau Gunung Merapi, Dewa Pedang dari Timur. Lalu Pendekar Tongkat Gading

dan tiba-tiba matanya membentur sosok tubuh yang luar biasa besarnya itu.

“Raja Penidur!” teriak Wiro lalu dia melompat ke arah orang tua berbobot

lebih dari 200 kati. Manusia gemuk luar biasa ini adalah seorang tokoh silat paling

dihormati dalam usianya yang lebih dari 160 tahun.

Raja Penidur menggosok-gosok matanya.

“Hah, kau rupanya. Murid si nenek jelek dari puncak Gunung Gede itu!” kata

Raja Penidur sambil ucak-ucak kedua matanya lalu menguap lebar-lebar. “Heh….

Aku rasanya kenal pada kakek jelek berbaju tambalan di sampingmu ini. Bukankan

dia manusia yang dijuluki si Segala Tahu itu?”

Kakek Segala Tahu membungkuk lalu tertawa mengekeh sambil membetulkan

capingnya yang jebol akibat dipakai untuk menghantam caping Pangeran Matahari

tadi.

“Mereka mengambil pipaku! Tolong kalian carikan pipaku! Sementara aku 

mau tidur dulu! Awas kalau ada yang berani membangunkan!” Raja Penidur menguap 

lebar-lebar. Kedua matanya dipejamkan. Sesaat kemudian terdengar suaranya

mengorok.

Wiro tiba-tiba ingat sesuatu lalu ia berteriak. “Ada satu siluman menolongku 

dua kali! Aku tidak melihat dia di antara kalian! Bawa dia kemari cepat!” Sambil

berteriak Wiro ikut memgang cincin baja di tangan Kakek Segala Tahu.

Beberapa siluman kelihatan sibuk dan lenyap. Tak lama kemudian mereka

muncul lagi membawa siluman yang dimaksudkan oleh Wiro itu. telinga dan

lidahnya masih ditancapi besi runcing. Kedua kakinya diikat dengan besi panas. Dewi

Merak Bungsu dan Bunga mengerenyit ngeri melihat keadaan siluman satu ini. Apa

lagi lehernya bolong dan kedua matanya hampir copot!

“Aku mengerti, mungkin dia punya kesalahan hingga kalian menghukumnya

seperti ini! tapi sejak saat ini kalian harus membebaskan dirinya! Siapa berani

menyiksanya aku sate tubuhnya dengan besi panas dari pantat sampai ke mulut!”

Dua orang siluman bertubuh tinggi besar mendekati siluman yang satu itu.

mereka segera mencabut besi runcing dari lidah dan kepalanya. Lalu juga memutus

rantai besi panas. Begitu bebas siluman satu itu lantas menjatuhkan diri dan berlutut

di hadapan Wiro.

“Bagaimana kita harus keluar dari tempat ini?!” terdengar Dewi Merak 

Bungsu bertanya sambil memapah kakaknya.

“Pergunakan kekuatan Cincin itu!” kata Bunga seraya melangkah mendekati

Wiro dan memeluk sang pendekar.

“Ah, kau betul!” kata Kakek Segala Tahu. Lalu diusapnya cincin berbentuk 

kepala ulat sendok itu. “Siluman hutan Tapakhalimun! Kami tak mau diganggu dan 

juga tak ingin mengganggu kalian. Kami ingin keluar dari tempat kalian. Bawa kami

keluar sampai di depan Pintu Neraka!”

Semua siluman yang ada di tempat itu bersorak keras. Lalu mereka melayang 

kian kemari. Tahu-tahu semua orang yang ada di tempat itu telah melayang di udara,

digotong beramai-ramai. Kakek Segala Tahu di depan sekali, menyusul si gemuk Raja

Penidur dan beberapa tokoh silat lainnya. Setelah itu Bunga, lalu Dewi Merak Bungsu

dan kakak lelakinya dan terakhir sekali Pendekar 212 Wiro Sableng.

Yang menggotong dan membawa Wiro melayang justru adalah enam orang 

siluman perempuan yang hanya mengenakan cawat. Payudara mereka yang sebesar

buah kelapa bergundal-gadil kian kemari. Ada yang sempat menampar dan menyapu


wajah atau tubuh murid Sinto Gendeng itu. Masih melayang di udara tiba-tiba Wiro

berteriak.

“Kurang ajar! Siapa yang meraba selangkanganku!”

Enam siluman perempuan itu menyeringai lalu bersorak ramai. “Ah, sudahlah.

Lebih baik memberi sedekah sedikit sekarang dari pada kemudian hari mereka

gentayangan mencariku!” kata Pendekar 212 dalam hati lalu pejamkan kedua matanya.



                              Tamat

Penulis : Bastian Tito

Createed : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive