Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Senin, 03 Juni 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - HARI HARI TERKUTUK

https://matjenuh-channel.blogspot.com



SATU


Bangunan besar itu dari luar tampak sepi-sepi saja. Satu-satunya penerangan

hanya sebuah lampu minyak yang berkelap-kelip di bawah cucuran atap dekat pintu 

masuk yang berada dalam keadaan tertutup. Di kejauhan terdengar suara derap kaki

kuda mendatangi. Tak lama kemudian empat penunggang kuda memasuki halaman 

depan yang gelap.

Lelaki pertama bertubuh tinggi besar dengan wajah penuh brewok dan kumis

tebal melingtang. Pakaiannya serba hitam. Keningnya diikat dengan sehelai kain 

hitam dan di pinggang kirinya tergantung sebilah pedang. Orang ini bernama Kebo 

Panaran. Dari gerak geriknya kelihatannya dia yang menjadi pemimpin dari

rombongan yang baru datang ini.

Orang kedua bernama Bargas Pati, bertubuh gemuk berkepala botak plontos.

Mukanya selalu berminyak. Baju dan ikat kepalanya serba merah. Di balik baju 

merahnya dia membekal sebuah clurit besar.

Lelaki ketiga berbadan kurus kering tapi tinggi jangkung. Kulitnya sangat

pucat tidak beda mayat. Dia mengenakan pakaina dan ikat kepala warna biru. Di

pinggangnya melingkar sebuah rantai besi yang rupanya menjadi senjatanya. Manusia

satu ini dikenal dengan nama Tunggul Anaprang.

Orang terakhir bernama Legok Ambengan, mengenakan baju dan celana serta

ikat kepala warna hijau. Tubuhnya bungkuk dan di pinggangnya kiri kanan tersisip 

sepasang golok pendek.

Belum sempat keempat orang ini turun dari kuda masing-masing, dari

samping kiri kanan bangunan besar yang kelihatan sepi itu tiba-tiba muncul lima

orang berpakaian seragam hitam dan bertubuh rata-rata tinggi besar. Kelimanya

membekal golok besar di pinggangnya masing-masing.

Walau empat penunggang kuda yang dating memiliki tampang sangar namun 

lima orang berseragam hitam itu kelihatannya tidak menaruh rasa jerih. Malah salah

seorang dari mereka sambil bertolak pinggang menegur. Namanya Ranggas.

“Kalian berempat kami lihat baru sekali ini datang kemari. Betul…….?”

Empat penunggang kuda saling pandang satu sama lain lalu sama-sama

menyeringai. Yang di ujung sebelah kanan yaitu Bargas Pati berkata perlahan pada

kawan di sampingnya.

“Tunggul kau jawab saja pertanyaan monyet itu!”

Tunggul Anaprang lalu membuka mulut. “Kami berempat memang baru sekali

ini kemari. Kenapa kau bertanya? Apa kau yang punya tempat ini?”

“ Aku dan kawan-kawan bertanggung jawab atas keamanan di tempat ini.

Bagi orang-orang baru ada aturannya sendiri!” jawab orang berbaju hitam yang masih 

tegak sambil bertolak pinggang. “Pertama turun dari kuda masing-masing. Orangorangku akan membawa binatang itu ke halaman belakang.”

“Hemm begitu? Bagus juga pelayanan di tempat ini,” kata Kebo Panaran. Dia

memberi isyarat pada kawan-kawannya. Keempat orang ini lalu turun dari atas kuda.

Dua orang anak buah si baju hitam memegang tali-tali kekang kuda lalu menuntun 

bintang itu ke halaman belakang

Sekarang kalian harus menyerahkan uang keamanan. Cukup sekali ini saja.

Lain kali kalian datang tidak perlu.”

Legok Ambengan berpaling pada Kebo Panaran. Kebo Panaran kedipkan 

matanya. “Berapa besarnya uang keamanan itu?” bertanya Legok Ambengan

kemudian.

“Seperlima dari jumlah uang yang kalian bawa. Keluarkan semua isi kantong

kalian!” jawab Ranggas.

“Kami sama sekali tidak membawa uang!” kata Kebo Panaran lalu tertawa

gelak-gelak. Tiga kawannya ikut-ikutan tertawa.

Merasa dipermainkan Ranggas jadi marah.

“Jika kalian tidak punya uang, lekas angkat kaki dari sini. Kuda-kuda kalian 

kami tahan!”

“Begitu?” Ujar Kebo Panaran sambil usap-usap berewoknya. “Mulai saat ini

kau dan teman-temanmu dipecat sebagai penjaga keamanan di tempat ini! Lekas

minggat dari hadapanku!”

Terkejutlah Ranggas mendengar ucapan Kebo Panaran itu. Rasa terkejut ini

disertai juga dengan gejolak amarah. Karenanya Ranggas langsung melompati Kebo

Panaran sambil melayangkan tamparan. Sesaat lagi tamparan itu akan melanda muka

Kebo Panaran dengan keras tiba-tiba dari samping satu tangan mencekal lengan

Ranggas. Sekali sentak saja tubuh Rangas terpuntir terbungkuk-bungkuk membuatnya

meringis kesakitan. Dua orang anak buah kepala keamanan itu berteriak marah 

melihat atasan mereka diperlakukan seperti itu. Tanpa banyak bicara lagi keduanya

mencabut golok di pinggang masing-masing terus membabat ke arah si gemuk botak

Bargas Pati yang tengan memelintir lengan Ranggas.

Golok pertama membacok ke arah batok kepala yang botak sedang golok 

kedua membabat ke arah pinggang. Bargas Pati hanya ganda tertawa melihat serangan 

maut itu. Dari kiri kanan dua orang kawannya berkelebat.

“Bukk……..Bukkk!”

Terdengar dua kali suara bergedebuk disusul dengan jeritan dua orang anak 

buah Ranggas. Keduanya terhuyung-huyung. Satu pegangi hidungnya yang 

mengucurkan darah, satunya lagi menekapi mata kirinya yang juga mengucurkan 

darah. Golok mereka berjatuhan ke tanah pada saat jotosan-jotosan Tunggul

Anaprang dan Legok Ambengan menghantam muka meraka. Selagi keduanya

terhuyung-huyung begitu, kaki-kaki kedua anak buah Kebo Panaran tadi ganti beraksi.

Kembali dua orang yang berpakaian hitam itu keluarkan jeritan kesakitan lalu 

tergelimpang roboh di tanah. Masing-masing menderita patah tiga tulang iga dan 

remuk tulang dadanya!

Dua orang anak buah Ranggas yang tadi membawa kuda-kuda ke halaman

belakang berseru kaget ketika mereka kembali dan melihat apa yang terjadi.

Keduanya serta merta mencabut golok masing-masing lalu menyerang Tunggul

Anaprang dan Legok Ambengan. Namun nasib mereka tidak berbeda dengan dua

kawannya terdahulu. Begitu keduanya menyerang, Legok dan Tunggul

menyambutnya dengan tendangan yang membuat keduanya terpental hampir satu 

tombak. Yang satu jatuh terduduk sambil memegangi perutnya yang kena tendang.

Satunya lagi terkapar dengan mulut hancur dan gigi-gigi rontok.

Ranggas yang sedang menderita kesakitan karena tangannya masih dipuntir di

belakang punggung terbeliak kaget melihat kejadian itu. Dia sadar kini kalau 

berhadapan dengan serombongan orang-orang berkepandaian tinggi. Namun satu hal

yang masih belum diketahuinya apakah mereka ini orang baik-baik atau bukan.

Melihat kepada keadaan pakaian dan tampang-tampang mereka yang beringas bengis

Ranggas sulit mempercayai keempat orang itu adalah orang baik-baik..

“Kebo Panaran mau diapakan monyet satu ini?” Tanya Bargas Pati yang 

menelikung tangan Ranggas.

Kebo Panaran berpaling pada Legok Ambengan lalu pada Tunggul Anaprang 

“Kalian tahu apa yang harus dilakukan?”

Mendengar ucapan Kebo Panaran itu kedua anak buahnya segera memndekati

Ranggas. Dalam keadaan tak berdaya Ranggas mereka jejali dengan jotosan-jotosan 

dan tendangan-tendangan. Sekujur muka Ranggas babak belur berlumuran darah tak 

karuan lagi. Ketika Bargas Pati melepas cekalannya Ranggas langsung roboh tapi dia

cukup kuat untuk tidak jatuh pingsan.

Pada saat itu tiba-tiba pintu bangunan terbuka. Seorang lelaki berpakaian

mewah keluar sambil berkipas-kipas. Dia memperhatikan apa yang terjadi di halaman

depan itu sesaat lalu berkata. “Sahabat-sahabat jauh dari mana yang telah sudi

memberi pelajaran pada anak-anak buahku?”

Kebo Panaran dan tiga temannya sama-sama berpaling ke pintu. Mereka

perhatikan orang yang tegak berkipas-kipas itu sesaat lalu tertawa gelak-gelak.

“Gandul Wirjo! Tidak sangka kowe rupanya yang jadi mucikari rumah cabul

ini!” berseru Kebo Panaran lalu melangkah besar-besar menghampiri orang di depan

pintu diikuti oleh ketiga anak buahnya. Kebo Panaran memegang bahu orang itu lalu

berpaling pada ketiga anak buahnya dan berkata “Kalian lihat dia sudah jadi orang 

kaya sekarang! Tapi tidak lupa dengan teman-teman seperjuangan! Ha…. Ha… ha….

Ayo kita beri salam pada sahabat lama ini!” Kebo Panaran dan tiga orang lainnya

segera menyalami lelaki bernama Gandul Wirjo yang memang adalah pemilik

bangunan besar itu.

“Kalian ke mari tentu punya maksud. Tidak bagus kalau maksud itu tidak

kesampaian. Jangan di luar saja. Mari masuk!”

Gandul Wirjo membuka pintu lebar-lebar. Kebo Panaran dan ketiga kawannya

masuk ke dalam diikuti si pemilik bangunan. Sebelum ikut masuk Gandul Wirjo

berpaling pada Ranggas yang masih terkapar kesakian di tanah.

“Kerjamu sebagai kepala keamanan bagus. Tapi lihat-lihat dulu siapa orang

yang hendak kau kerjakan. Sekarang kau kena batu sendiri Ranggas!”

Ranggas diam saja. Tapi dalam hati dia memaki habis-habisan.

Di dalam bangunan. Kelima orang itu duduk di sebuah ruangan yang berbau

harum kayu cendana. Mereka bercakap-cakap beberapa lama. Kemudian Kebo 

Panaran berkata. “Bagaimana kalau obrolan ini kita sambung nanti. Sekarang aku dan 

teman-teman ingin bersenang-senang lalu istirahat sampai menjelang pagi.”

Gandul Wirjo tersenyum. “Jangan kawatir. Kalian akan mendapatkan 

kesenangan. Memang sejak perang berakhir tidak terlalu mudah mencari perempuan

cantik-cantik.” Pemilik bangunan besar itu mengambil sebuah lonceng kecil dari atas

meja lalu digoyang-goyangkan dua kali. Tak berapa lama kemudian lima orang

perempuan muda muncul. Tiga diantaranya berparas lumayan. Mereka langsung

mengelilingi Kebo Panaran dan kawan-kawannya. Ada yang membelai rambut atau 

memijit-mijit bahu, ada juga yang mengusap-usap lengan orang-orang itu.

“Para sahabat, kalian silahkan memilih sendiri. Jangan pikirkan soal bayaran.

Semua aku berikan denga cuma-cuma. Demi persahabatab kita di masa lalu dan 

dimasa mendatang!”

Kebo Panaran memilih perempuan yang bertubuh ramping dan ada tahi lalat di

dagu kirinya. Bargas Pati menarik lengan perempuan berkebaya biru yang dadanya

montok luar biasa. Satu demi satu perempuan-perempuan itu membawa tamu mereka ke kamar masing-masing. Tinggal kini Tunggul Anaprang. Dia masih duduk

memandangi dua orang perempuan yang tegak di hadapannya.Tak satupun dari kedua

perempuan ini cocok dengan seleranya.

“Tunggul, kau tunggu apa lagi? Pilih salah satu atau otak kotormu mungkin

mau berbuat macam-macam. Membawa keduanya sekaligus ke dalam kamar?”

bertanya Gandul Wirjo.

Tunggul Anaprang menggeleng “Tak satupun yang ku suka……..”

“Matamu terbalik sahabatku! Kedua permpuan ini tidak jelek dan masih 

muda-muda!” kata Gandul Wirjo pula.

“Terserah kamu mau bilang apa, tapi aku tidak naksir satupun dari mereka.

Buatkan saja aku kopi, biar aku istirahat di sini dan tidur barang seketika. Atau 

mungkin kau masih ada persediaan perempuan yang lain?”

Gandul Wirjo menyuruh masuk kedua perempuan pelacur yang masih berdiri

di tempat itu. Setelah keduanya masuk ke dalam. Pemilik rumah pelacuran yang 

sekaligus menjadi mucikari itu berkata pada Tunggul Anaprang.

“Dulu di masa sebelum dan di waktu peperangan kau adalah sahabatku paling 

dekat. Aku tidak akan melupakan hal itu terus terang memang ada satu simpananku.

Baru datan sore tadi. Aku bermaksud hendak menggarapnya ketika kau dan kawankawan datang. Tapi demi persahabatan perempuan itu akan aku berikan padamu.

Hanya untuk yang satu ini tak mungkin aku berikan secara cuma-cuma sahabat…..”

“Ah, jangan begitu Gandul,” kata Tunggul Anaprang pula.

“Kau lihat saja dulu orangnya Tunggul. Masih sangat muda. Kulit putih mulus.

Wajah cantikluar biasa. Dia pasti orang baik-baik.”

Kedua orang itu sampai di hadapan sebuah pintu. Selain ada ukirannya pintu

satu ini lebih besar dari pintu-pintu lain yang ada dalam bangunan besar rumah

pelacuran itu.

Gandul Wirjo mengeluarkan sebuah anak kunci. Dengan kunci ini dibukanya

pintu. Sebuah lampu minyak besar di atas meja menerangi kamar yang ternyata sangat

bagus. Sebuah ranjang berkasur tebal empuk terletak di tengah kamar. Lalu disebuah 

kursi rendah, dekat meja kecil tampak duduk seorang perempuan yang wajahnya

memang membuat jantung Tunggul Anaprang seperti berhenti berdetak. Rambutnya

hitam panjang tergerai menutupi dada kebayanya yang agak terbuka di sebelah atas

sehingga Tunggul dan Gandul dapat melihat payudaranya yang menggelembung 

mulus. Betisnya yang putih tersembul dari balik kain panjang. Dia tampak agak 

ketakutan.

“Bagaimana?” bisik Gandul Wirjo.

“Benar-benar luar biasa. Dari mana kau dapat yang satu ini? Aku percaya

pada ucapanmu kalau dia sebelumnya perempuan baik-baik. Buktinya dia tampak 

takut-takut. Wajahnya betul-betul mempesona. Bagaimana kalau dia kuambil jadi

istri…?”

“Itu bisa urus kemudian sahabatku. Sekarang untuk malam ini berapa kau mau

membayar?”

Mendengar pertanyaan Gandul Wirjo itu Tunggul Anaprang merogoh saku 

pakaian birunya kiri kanan. Dua tumpuk uang dimasukkannya ke dalam genggaman 

pemilik rumah pelacuran itu. Malah kemudian dia mengambil lagi sebuah kantong

kecil berisi sejumlah uang dan dimasukkannya ke dalam saku pakaian Gandul Wirjo.

“Keluarlah cepat. Aku sudah tidak tahan!” kata Tunggul Anaprang pula.

Dibukanya pintu kamar lebar-lebar lalu didorngnya sahabatnya itu keluar. Begitu

Gandul Wirjo lenyap Tunggul Anaprang segera menutupkan pintu dan menguncinya

sekali. Sambil menyeringai dia melangkah mendekati kursi dimana duduk si dara jelita. Sesaat Tunggul Anaprang tegak seperti tertegun memandangi wajah yang sangt

cantik itu. Dia rasa-rasa seperti pernah melihat gadis itu sebelumnya tapi lupa entah

dimana. Sebuah tahi lalat di pipi kiri menambah kecantikan parasnya.

“Siapa namamu anak manis?” Tanya Tunggul Anaprang sambil meraba dagu 

perempuan yang duduk di kursi. Tiba-tiba perempuan muda itu memegang lengan

Tunggul Anaprang kuat-kuat lalu menggigitnya. Tidak keras tapi malah membuat

lelaki itu jadi tambah terangsang.

Tunggul Anaprang tertawa lebar. Hidungnya menghembuskan nafas memburu 

dan darahnya menjadi panas. Sekujur tubuhnya bergetar. Tak tahan lagi lelaki ini

segera hendak membuka pakaian pelacur muda itu.

“Tunggu dulu….” Perempuan itu berkata. “Kita masih banyak waktu. Tiduran 

saja. Raden Mas tentu letih. Biar saya pijiti dulu….”

Tunggul Anaprang tertawa mendengar dirinya dipanggil sebutan Raden Mas.

“Jangan panggil aku dengan sebutan Raden Mas, sayangku. Namaku Tunggul

Anaprang. Gelarku si Rantai Maut. Kau boleh panggil namaku atau gelaranku.

Terserah mana yang kau suka!” Lalu kedua tangan lelaki ini menjalar di bahu

perempuan itu.

Terangsang oleh nafsu yang sulit ditahan-tahan Tunggul Anaprang sama

sekali tidak melihat adanya sambaran cahaya aneh pada kedua mata pelacur itu ketika

dia mendengar nama dan gelar yang dikatakannya.

“Berbaringlah dulu. Biar saya pijit. Setelah itu baru kita bersenang-senang.

Sampai pagi kalau mau….”

Meskipun sudah sangat ingin memeluki dan menciumi pelacur muda itu

namun Tunggul Anaprang mengalah juga. Tanpa banyak cerita dia berbaring

menelentang.

“Tengkurap dulu. Biar punggungnya saya pijiti dulu.”

Tunggul Anaprang tersenyum dan mengikuti apa yang dikatakan si pelacur.

Dia membalikkan diri lalu menelungkup. Tangan kiri perempuan itu mulai memijiti

punggungnya. Tapi tanpa diketahui Tunggul Anaprang tangan kanannya bergerak ke

balik kebayanya.


DUA 


Matahari memang belum terbit. Diluar udara masih gelap dan dingin. Namun di

dalam bangunan saat itu Kebo Panaran, Legok Ambengan dan Bargas Pati ditemani

oleh Gandul Wirjo sudah duduk-duduk mengobrol sambil menikmati kopi manis dan

pisang goreng hangat.

Karena ditunggu-tunggu Tunggul Anaprang masih belum muncul Kebo

Panaran mulai jengkel.

“Semua sudah tahu kita harus berangkat pagi-pagi sekali. Sontoloyo si

Tunggul Anaprang itu masih belum muncul! Tadi malam dia segan-seganan memilih

pasangan. Kini malah dia yang paling lama! Sialan!”

“Dia selalu begitu! Seenaknya sendiri!” Ikut mengomel Legok Ambengan.

Lalu berdiri sambil membetulkan ikat kepalanya. “Biar akan kugedor kamarnya!” Dia

berpaling pada Gandul Wirjo. Tunjukkan padaku kamarnya!”

Gandul Wirjo melangkah lebih dulu. Legok Ambengan mengikuti dari

belakang. Sampai di hadapan pintu besar berukir pemilik rumah

Pelacuran ini mengetuk pintu. Satu kali. Tak ada sahutan. Dua kali dan sampai tiga

kali tak ada sahutan. Legok Ambengan hilang sabarnya. Pintu itu ditinjunya keraskeras seraya berteriak.

“Tunggul! Keparat kau! Lekas bangun! Kita harus segera berangkat!”

Meski sudah digedor dan teriaki seperti itu tetap saja dari dalam kamar tidak

ada jawaban.

“Gila! Masakan dia tidur begitu pulas hingga tidak terbangun oleh

gedoranku?!” maki Legok Ambenga.

“Memang aneh,” kata Gandul Wirjo pula. “Kalau Tunggul tidak terbangun,

masakan perempuan yang ada bersamanyajuaga tidak terbangun?”

“Akan kugedor dan kupanggil sekali lagi. Kalau tidak ada jawaban pintu ini

akan kudobrak!” kata Legok Ambengan pula.

“Jangan didobrak! Rusak pintuku! Pintu ini mahal dan ini kamar tidurku yang

daipakainya!”

“Perduli setan!” jawab Legok Ambengan. Dia kembali menggedor dan

berteriak lebih keras. Tapi seperti tadi, tak ada suara jawaban.

“Setan betul si Tunggul itu!” Serapah Legaok Ambengan. Dia melangkah 

menjauhi pintu. Sebelum Gandul Wirjo sempat mencegah Legak Ambengan sudah 

meloncat dan menerjang pintu dengan kaki kanannya. Pintu yang cukup tebal itu 

berderak jebol lalu terpentang lebar. Legok Ambengan masuk ke dalam. Gandul

Wirjo mengikuti. Tiba-tiba terdengar seruan keras dari kedua orang ini. Seperti

melihat setan kepala tujuh keduanya menghambur keluar kamar, kembali ke ruangan 

dimana Kebo Panaran dan dua lainnya duduk menunggu.

“Kalian mengejutkan aku saja!” Teriak Kebo Panaran marah. “Ada apa?

Tampang kalian pucat seperti kain kafan!”

“Kebo…..Tunggul Anaprang…” Suara Legok Ambengan seperti tercekik.

Tangannya gemetar menunjuk ke arah kamar. “Di…di…dia dibunuh!”

Serta merta Kebo Panaran dan kedua kawannya melompat dari kursi dan lari

memasuki kamar yang pintunya jebol terpentang. Begitu masuk Kebo Panaran

langsung tertegun. Mukanya mengelam!

“Keparat! Siapa yang melakukan ini?!” teriaknya.Di atas tempat tidur terbujur tubuh Tunggul Anaprang dalam keadaan

menelungkup, masih berpakaian lengkap. Lehernya hampir putus akibat tebasan

sebilah golok besar yang masih menancap di leher itu. Darah yang mulai megering

membasahi tempat tidur dan ada yang mengalir jatuh ke lantai. Bargas Pati tutup

kedua mukanya dengan kedua tangan. Kebo Panaran pejamkan kedua mata. Legok 

Ambengan berdiri di luar pagar, tersandar lemas ke dinding sedang Gandul Wirjo

tertegun dengan muka pucat!

Tiba-tiba Kebo Panaran membalik. Dia melompat ke hadapan Gandul Wirjo 

dan mencekal leher pakaian lelaki pemilik tempat pelacuran itu.

“Siapa yang tidur dangan kawanku adi malam? Pasti pelacur itu 

pembunuhnya!”

Pucat ketakutan, dengan terbata-bata Gandul Wirjo menjawab. “Tunggul tidur

dengan seorang pelacur muda. Namanya kalau aku tidak salah ingat Wardianing. Dia

pelacur baru. Baru datang sore kemarin….Tidak mungkin. Tidak mungkin dia yang

membunuh Tunggul….”

Kebo Panaran menarik leher pakaian andul Wirjo kuat-kuat lalu membanting 

lelaki itu ke dinding kamar hingga Gandul merintih kesakitan.

“Kalau bukan pelacur yang tidur bersamanya yang membunuh, lalu siapa?

Setan?! Hanya mereka berdua dalam kamar ini. Kau lihat sana! Jendela kamar

terbuka! Berarti sehabis membunuh Tunggul pelacur keparat itu melarikan diri lewat

jendela. Dan tak satupun anak buahmu yang melihat keparat itu kabur!”

“Sulit kupercaya Kebo,” kata Gandul Wirjo sambil usap-usap keningnya yang

benjut sewaktu terbanting ke dinding tadi. “ apa alasan pelacur itu membunuh

Tunggul?”

Kebo Panaran sesaat jadi terdiam mendengar kata-kata pemilik rumah 

pelacuran itu. Sementara itu dari beberapa kamar sebelah menyebelah penghuninya

ikut bangun dan keluar mendengar ribut-ribut itu. Mereka semua mundur menjauh

ketika menyaksikan mayat Tunggul Anaprang yang masih ditancapi golok itu.

“Apapun alasannya yang jelas kawanku itu sudah mampus dibunuhnya!”

“Kebo Panaran,” Membuka mulut Bargas Pati. Jangan-jangan Gandul Wirjo 

berkomplot dengan orang-orang kerajaan!”

Pucatlah wajah Gandul Wirjo mendengar kata-kata si botak Bargas Pati itu.

“Demi Tuhan! Aku bersumpah tidak punya hubungan apa-apa dengan orangorang kerajaan!”

“Siapa peraya ucapanmua Gandul!” kata Kebo Panaran seraya satu tangannya

mengusap-usap wajah lelaki yang dicekalnya itu. “Kau dulu termasuk orang-orang 

yang berperang melawan penguasa sekarang ini. Sementara kami diburu-buru kau

enak-enak saja membuka usaha di tempat ini tanpa ada yang mengganggu. Tanpa ada

orang-orang kerajaan yang mengambil tindakan! Aneh bukan? Lalu kau punya

seorang pelacur yang baru kemarin sore datang ke tempat ini katamu! Dan pelacur itu 

yang membunuh kawanku Tunggul. Mengapa semua serba kebetulan Gandul? Kau

merencanakan semua ini. Kau menjebak kami. Mungkin sebenarnya aku yang kau

tuju.

“Demi Tuhan Kebo! Aku bersumpah tidak merencanakan apapun! Siapa

adanya pelacur itu belum sempat kuselidiki. Bahkan aku belum menidurinya……”

“Sialan! Aku tidak menanyakan kau sudah menidurinya atau belum!” bentak 

Kebo Panaran. “Katakan cirri-ciri pelacur yang tidur bersama Tunggul malam tadi!”

“Orangnya masih muda. Wajahnya bujur telur. Cantik. Kulitnya putih. Dia

mengenakan kain panjang dan kebaya berkembang-kembang. Di….. di pipi kirinya

ada tahi lalat.”Bagus!” desis Kebo Panaran. “Keteranganmu itu memberi keampunan

padamu untuk tidak mati dengan leher ditabas!”

Tangan kanannya bergerak ke pinggang.

Gandul Wirjo melihat golok keluar dari sarungnya. Dia berteriak.

“Kebo! Jangan! Aku benar-benar tidak ada sangku paut dengan kematian

Tunggul….. Akh…..”

Ucapan pemilik rumah pelacuran itu terputus begitu golok di tangan kanan

Kebo Panaran amblas masuk ke dalam perutnya. Sepasang mata Gandul Wirjo

membeliak seperti hendak melompat dari sarangnya. Mukanya sesaat merah lalu

berubah menjadi pucat. Dia merasakan panas darahnya sendiri keluar mengucur dari

perutnya yang robek besar!.

Kebo Panaran dorong sosok tubuh Gandul Wirjo hingga terlempar ke kaki

tempat tidur. Lalu dia berpaling pada Legok Ambengan. “Kau ahli mencari jejak.

Bangsat pembunuh itu harus dapat kita kejar!”

Legok Ambengan mengangguk. “Kita harus berangkat sekarang juga! Pelacur

itu pasti sudah lari jauh!”

Kebo Panaran, Legaok Ambengan dan Bargas Pati segera keluar dari rumah

besar itu. Di luar udara masih gelap. Legaok Ambengan yang memang memiliki

keahlian mengusut segala macam jejak memperhatikan keadaan halaman samping

dekat jendela kamar di mana Tunggul Anaprang dibunuh. Di bawah penerangan 

lampu minyak matanya yang tajam melihat adanya bekas-bekas jejak kaki walaupun 

hampir tidak kentara. Jejak-jejak kaki ini menuju ke kandang kuda.

“Orang itu melarikan diri dengan kuda. Kelihatannya ke arah Timur…” kata

Legok Ambengan.

“Kalau begitu segera kita kejar ke arah Timur!” kata Kebo Panaran pula.

Ketiga orang ini lari ke kandang kuda. “Lihat, kuda kita hanya tinggal tiga. Berarti

yang seekor lagi dissambar pembunuh itu! Sialan! Kudaku yang dicurinya!” Saking 

marahnya Kebo Panaran memukul tiang kandang kuda hingga patah!


TIGA 


Perlahan-lahan udara mulai terang walau dinginnya malam masih menusuk 

menjelang pagi itu. Ketika sang surya muncul menerangi jagat dan keadaan jadi

terang benderang, untuk pertama kalinya Kebo Panaran melihat segulung kertas

tergantung dekat buntalan barang di leher kudanya. Kertas itu berwarna putih tetapi

penuh dengan noda-noda darah.

“Heh, kertas apa ini?” bertanya Kebo Panaran dalam hati. Merasa tidak enak 

lalu dia berseru. “Kawan-kawan! Berhenti dulu!”

“Ada apa Kebo?” Tanya Bargas Pati seraya menghentikan lari kudanya.

Legok Ambengan ikut menghentikan kuda tunggangannya. Kedua orang ini sama

memandang pada orang yang jadi pemimpin mereka itu.

KeboPenaan menunjuk pada gulunga kertas yang tergantung di leher kuda.

“Aku tidak tahu benda apa ini. Tapi sebelumnya gulungan kertas ini tidak ada di

sini!”

Bargas Pati usap kepala botaknya. “Coba kau ambil saja dan buka

gulungannya. Jangan-jangan sehelai surat…”

“Surat berdarah….” Desisi Legok Ambengan.

Dengan perasaan tidak enak Kebo Panaran betot gulungan kertas berdarah itu

hingga ikatannya, sehelai benang halus terlepas putus. Betul kata Bargas Pati.

Gulungan kertas itu ternyata sehelai surat yang ditulis dengan darah. Walau tulisan di

atas kertas begitu buruk mungkin terburu-buru waktu ditulisnya namun Kebo Panaran 

masih bisa membacanya dengan jelas.

Surat ini kutulis dengan darah salah seorang dari kalian. Aku tidak akan 

berhenti sampai kalian berlima kuhabisi! Roh suamiku dan akan mengejar

kemanapun kalian pergi. Kalian tidak ada tempat untuk lari!

Paras Kebo Panaran sesaat tampak pucat.

“Ada apa Kebo?” Tanya Bargas Pati.

“Berikan padaku surat itu!” kata Legok Ambengan pula. Kebo Panaran

menyerahkan kertas yang dipegangnya pada kawannya itu. Bargas Pati mendekatkan 

dirinya pada Legok Ambengan. Kedua orang ini kemudian sama-sama membaca isi

surat yang ditulis dengan darah itu. Keduanya seperti Kebo Panaran tadi langsung 

pucat.

“Membaca isi surat itu….” kata Kebo Panaran setelah coba menenangkan diri.

“Yang menulisnya tidak bisa tidak adalah Antini istri Lor Kameswara. Tapi

bagaimana aku bisa mempercayainya. Perempuan itu tidak memiliki kepandaian silat

apalagi nyali untuk melakukan hal ini. Membunuh Tunggul Anaprang lalu

melenyapkan diri dangan meninggalkan surat berdarah ini!”

“Dalam waktu tiga bulan segala sesuatunya bisa terjadi…. Mungkin

perempuan itu berguru pada seorang pandai. Setelah memiliki bekal ilmu yang cukup

dia lalu turun tangan melakukan balas dendam terhadap kita. Korban pertamanya

telah jatuh! Kawan kita Tunggul Anaparang!”

“Omonganmu membuat aku lebih sulit percaya Bargas Pati,” menyhut Kebo

Panaran.

“Nyatanya dia bisa mwmbunuh Tunggul. Dia bukan saja punya nyali dan ilmu

Kebo. Tapi bekerja dengan memakai otak! Dia bisa menyamar jadi pelacur. Mungkin 

dibantu oleh Gandul Wirjo, mungkin juga tidak.”

“Kurasa kita telah berbuat satu kesalahan,” kata Legok Ambengan.Apa maksudmu?” Tanya Kebo Panaran sambil memandang ajam pada

kawannya itu.

“Pada peristiwa tiga bulan lalu itu, seharusnya perempuan itu kita habisi

sekalian. Tak ada saksi atas perbuatan kita! Tak akan ada yang balas dendam!” jawab

Legok Ambengan pula.

Bargas Pati usap-usap lagi kepala botaknya. “Kalau ingat peristiwa itu justru 

sebenarnya kita tidak boleh berlaku sekeji itu. Lor Kameswara adalah bekas pimpinan 

yang kita hormati…”

“Tutup mulutmu Bargas Pati!” hardik Kebo Panaran. “Aku tidak suka

mendengar kau bicara begitu! Semua sudah terjadi! Kita bersama yang 

melakukannya! Kenapa sekarang harus disesali? Kau sendiri meniduri perempuan itu

sampai beberapa kali! Ingat?”

Bargas Pati terdiam. Kebo Panaran lanas kembali membuka mulut. “Sampai

saat ini ada satu teka-teki yang belum terjawab. Lenyapnya sahabat kita Ambar

Parangkuning. Perempuan itu menghilang beberapa saat setelah peristiwa di rumah

Lor Kameswara. Di mana dia sekarang tidak satupun dari kita yang tahu. Apakah dia

berkomplot dengan istri Lor Kameswara?”

“Kalau hal itu sulit kupercaya. Ambar terlibat bersama kita. Bagaimana

mungkin dia berkomplot dengan Antini?!” ujar Bargas Pati.

“Betul sekali Kebo. Hal itu tidak masuk akal!” berkata Legok Ambengan.

“Tapi sudahlah. Kita tak perlu berdebat. Orang yang kita kejar tentu sudah tambah 

jauh. Sebaiknya kita teruskan pengejaran. Menurut penglihatanku Antini atau siapaun 

dia melarikan diri menuju ke Timur. Jika kita mengambil jalan lurus kita akan sampai

di sebuah bukit kecil. Di balik bukit itu ada sebuah kali besar. Antara tempat ini ke

kali besar itu ada jalan liar. Bukan mustahil si pembunuh menempuh jalan itu. Sebab

jika dia memang istri Lor Kameswara, perempuan itu tidak tahu betul seluk beluk

daerah ini. Di pasti mengikuti jalan yang sudah sering dilalui orang sebelumnya.

Kurasa kita bisa mengambil jalan memintas dan memotong arah larinya.”

“Aku dan Bargas Pati mengikuti apa katamu saja Legok Ambengan,” kata

Kebo Panaran. Makin cepat kita menempuh jalan memintas yang kau katakana itu 

makin bagus. Kita berangkat sekarang saja! Kau jalan di depan! Tapi…… ucapan 

Kebo Panaran terhenti. “Aku khawatir, jangan-jangan Ambaar Parangkuning sudah

jadi koban pula. Dibunuh istri Lor Kameswara!”

“Tidak, dia memang lenyap entah kemana. Tapi jika kau teliti surat tadi jelas

si pembunuh masih menyebut kita berlima. Bukan berempat. Berarti sahabat kita

perempuan itu masih hidup.”

Kebi Panaran mengangguk-angguk membenarkan kata-kata Legok 

Ambengan itu.

Ketika rombongan tiga pengunggang kuda itu sampai di kaki bukit kecil yang

dikatakn Legok Ambengan udara tiba-tiba berubah. Siang yang tadinya terang

benderang mendadak menjadi gelap seperti senja. Gumpalan awan hitam kelabu 

bertebaran menutupi langit. Dikejauhan mulai terdengar suara geledek ditimpali

cahaya sambaran kilat. Sesaat kemudian hujan yang bukan alang kepalang lebatnya

turun membasahi bumi.

“Kita mau mencari tempat berteduh atau meneruskan pengejaran?” Tanya

Legok Ambengan.

Bargas Pati maunya berhenti dulu mencari perlindaungan sambil beristirahat.

Tapi Kebo Panaran punya jalan pikiran lain.

“Hanya orang-orang tolol yang takut pada hujan! Teruskan pengejaran.

Bukankah kita harus cepat-cepat sampai di balik bukit sana?Aku setuju kita meneruskan pengejaran” kata Legok Ambengan. Aku kawatir

hujan membuat mataku kurang awas dan aku bisa kehilangan jejak-jejak orang yang 

kita kejar. Ayo kita teruskan perjalanan.”

Hujan yang sangat lebat dan lama membuat arus kali besar itu menjadi deras

dan ganas. Di beberapa tempat air kali meluap melewati tebing kali dan membanjiri

daratan sekitarnya sementara itu hujan masih terus turun seperti tidak akan berhenti.

Kebo Panaran dan kawan-kawannya tidak bisa bergerak cepat dalam cuaca

buruk seperti ini. Namun demikian akhirnya mereka sampai juga ke balik bukit dan 

berhenti di tepi kali yang sedang banjir.

“Celaka!” kata Legok Ambengan. “Air hujan dan banjir membuat aku tidak 

dapat mengenali jejak yang ditinggalkan orang yang kita kejar!”

“Keparat!” maki Kebo Panaan sambil mengusap mukanya yang basah.

“Kerahkan seluruh kepandaianm Legok! Orang itu harus kita kejar! Ingat! Dia telah

membunuh kawan kita Tunggu Anaprang!”

Legok Ambengan menggigit bibir. Dia menyentakkan tali kekang kudanya,

bergerak menyusuri tepi kali ke arah hulu. Kebo Panaran dan Bargas Pati mengikuti.

Di satu tempat Legok Ambengan hentikan kudanya dan menunjuk ke arah benda

kehijau-hijauan yang terapung-apung di atas genangan air di tepi kali.

“Bendad apa itu?” Tanya Bargas Pati.

“Kotoran kuda….” Sahut Legok Ambengan. “Kita mengejar ke arah yang

beanar kawan-kawan!” Lelaki itu tampak gembira. “Kotoran kuda itu pasti kotoran

kuda orang yang kita kejar!”

Mendengar itu Kebo Panaran serta merta menyentakkan tali kekang kudanya

dan mendahului bergerak ke hulu kali yang arusnya tampak tambah deras.

Saat itu udara masih gelap karena langit yang masih mendung tebal dan hujan 

yang terus mendera turun. Di kejauhan kila menyambar dua kali berturut-turut. Sesaat

udara menjadi terang benderang. Kebo Panaran yang berkuda di sebelah depan 

kebetulan memnadang ke arah kejauhan. Lalu terdengar dia berteriak.

“Aku melihat seorang penunggang kuda di depan sana!”

“Pasti dia!” teriak Legok Ambengan.

Ketiga orang itu lalu sama memacu kuda masing-masing di bawah hujan lebat.

Tak lama kemudian meraka berhasil menyusul penunggang kuda itu. Orang

ini kelihatannya seperti dalam bingung. Hendak terus ke arah hulu jalan terhalang

oleh banjir besar. Hendak menyeberang kali yang berarus besar itu tentu saja tidak

mungkin.

Kebo Panaan dan kawan-kawannya sampai di tempat itu. Melihat ada tiga

orang berkuda muncul, penunggang kuda tadi cepat membalikkan tunggangannya ke

arah kanan dan siap untuk melarikan diri.

“Jangan lari!” teriak Kebo Panaran.

Baru saja Kebo Panaran membentak begitu, dari arah kali muncul sebuah 

perahu disusul terdengarnya suara orang menyanyi. Suara nyanyiannya tidak begitu

jelas. Ditelan oleh deru hujan, desau angin serta arus sungai yang menggila.


EMPAT 


Ini merupakan satu pemandangan aneh kalau tidak mau dikatakan gila. Di atas kali

yang arusnya ganas mengerikan sementara hujan lebat masih terus menderu turun,

dalam cuaca yang masih gelap tiba-tiba kelihatan meluncur sebuah perahu. Perahu ini

terombang-ambing tidak menentu. Sesekali dilontarkan arus ke atas sampai tinggi

setengah tombak lalu dihenyakkan seperti hendak dibenam ke dasar kali. Namun

perahu itu kemudian muncul kembali. Beberapa kali perahu ini kelihatan oleng dan 

hampir terbalik, tetapi kembali meluncur mantap! Apapun yang dibuat arus, perahu 

itu sepertinya tidak mampu untuk dilempar diterbalikkan, apalagi dibenamkan ke

dasar kali.

Yang lebih gilanya, di aas perahu itu tampak duduk seorang pemuda

berpakaian serba putih. Rambutnya yang gondrong serta pakaiannya telah basah 

kuyup oleh air hujan dan terpaan air kali. Namun dia enak saja duduk di atas

perahunya yang penuh air itu sambil bernyanyi-nyanyi seperti anak kecil yang sedang 

kegirangan tanpa menyadari betapa bahaya maut mengancamnya!

Hujan turunlah terus…..asyik!

Air kali mengamuklah terus….asyik!

Perahuku jelek tak mungkin tenggelam….asyik!

Aku bersahabat dengan hujan……asyik!

Aku bersahabat dengan air kali…..asyik!

Tapi demi Tuhan jangan ada buaya di kali ini!

Suara nyanyian itu disusul denag gelak tawa si pemuda. Setelah mengusap 

mukanya yang basah dia kembali melantunkan nyanyian tadi berulang-ulang. Sampai

pada suatu saat dia melihat ada seorang penunggang kuda di tepi kali yang sedang 

banjir itu. Penunggang kuda itu ternyata seorang pemuda berwajah cakap halus.

Tampaknya dia tengah bingung karana idak dapat meneruskan perjalanan. Banjir di

depannya menghadang mengerikan.Membelok kiri berarti masuk ke dalam kali.

Membelok kanan jalan terhalang oleh lereng batu yang cukup tinggi. Satu-satunya

jalan adalah kembali ke arah datangnya semula. Dalam keadaan seperti itu, sebelum

pemuda berkuda ini sempat mengambil keputusan tiba-tiba dari arah belakang muncul

tiga penunggang kuda. Ketiganya dalam keadaan basah kuyup dan tampang-tampang 

mereka tampak garang sekali.

Tiga penunggang kuda itu bukan lain adalah Kebo Panaran, Bargas Pati dan

Legok Ambengan.

“Jangan lari!” teriak Kebo Panaran ketika dilihatnya penunggang kuda di

depan sana hendak memutar tunggangannya dan siap kabur!

Karena memang sudah terkurung pemuda di atas kuda terpaksa duduk tak 

bergerak sehingga Kebo Panaran dan kawan-kawannya dapat melihat jelas wajahnya.

Bargas Pati menggerendeng “Bukan perempuan yang kita kejar!”

Kebo Panaran juga hendak ikut-ikutan menggerendeng namun kemudian dia

segera mengenali kuda yang ditunggangi pemuda itu. Kuda miliknya yang hilang 

dicuri di penginapan milik Gandul Wirjo!

“Itu kudaku yang ditungganginya!” kata Kebo Panaran. Lalu segera mencabut

golok besarnya.

“Anak muda! Lekas kaakan siapa dirimu dan dari mana kau dapat kuda itu?!”

menghardik Legok Ambengan Pemuda di depan ketiga orang itu memperhatikan dengan pandangan mata tak 

berkesip.

“Aku tidak kenal kalian. Kuda ini milikku. Apa kalian hendak merampok?!”

“Pemuda kurang ajar! Kutabas batang lehermu!” teriak Kebo Panaran seraya

memajukan kudanya. “Jawab pertanyaan tadi atau kupisahkan kepalamu dari badan

saat ini juga!”

“Namaku Jaliteng. Kuda ini milikku. Kubeli dari seorang tak kukenal

beberapa waktu lalu.”

“Siapa orang yang menjual kuda itu?” tanya Bargas Pati.

“Seorang perempuan muda. Cantik…..”

“Hemmm….” Kebo Panaran usap-usap janggutnya yang basah.

“Aku mau pergi. Menyingkirlah. Jangan menghadang jalan!” pemuda tadi

berkata.

Kebo Panaran melirik pada kedua temannya. Lalu berbisik “Aku curiga

padanya. Bagaimana pendapat kalian?”

“Pemuda itu harus kita geledah! jawab Legok Ambengan. Lalu dia berseru.

“Lemparkan buntalan yang kau bawa. Kami ingin memeriksa!”

Pemuda di atas kuda memegang buntalan yang tergantung di leher kudanya

lalu menjawab. “Ada hak apa kau memeriksa aku? Lekas menyingkir sebelum aku 

jadi marah!”

Kebo Panaran dan kedua kawannya tertawa bergelak mendengar ucapan 

pemuda cakap itu.

“Turun daru kudamu! Berlutut di hadapan kami dan serahkan buntalan!”

menghardik Kebo Panaran.

“Perampok-perampok picisan! Rasakan dulu senjataku ini!” Pemuda di atas

kuda berteriak. Tangan kanannya bergerak Lalu tiga buah pisau terbang meluncur ke

arah Kebo Panaran, Bargas Pati dan Legok Ambengan.

Bagi orang biasa, serangan tiga pisau terbang itu kelihatannya hebat sekali dan

membahayakan keselamatan bahkan nyawa Kebo Panaran dan dua kawannya. Tetapi

bagi pemuda yang duduk cengar-cengir di atas perahu yang dipermainkan arus kali,

lemparan tiga pisau terbang tadi sama sekali tidak mantap dan tidak disertai cukup 

aliran tenaga dalam. Ternyata memang benar. Dengan mudah Kebo Panaran, Baras

Pati dan Legok Ambengan memukul mental tiga serangan pisau tersebut. Begitu 

berhasil mementahkan serangan lawan Kebo Panaran berteriak “Legok! Lekas kau

cincang pemuda itu!”

“Srett! Srett!”

Di bawah hujan lebat Legok Ambengan cabut sepasang goloknya dari

pinggang. Sambil memutar-mutar senjatanya di tangan kiri kanan Legok Ambengan 

menyerbu. Pemuda yang diserang tidak tinggal diam. Dari balik punggungnya dia

mencabut sebilah pedang. Begitu Legok Ambengan mendekat dia sabatkan senjatanya.

“Trang…! Trang….!”

Pedang dan dua golok saling beradu.

Pemuda di atas kuda diam-diam mengeluh. Bentrokan senjata tadi membuat

tangannya yang memegang pedang bergetar. Senjatanya hampir terlepas. Segera dia

mundurkan kudanya lalu coba menebas tubuh Legok Ambengan dari samping kiri.

Legok Ambengan menangkis. Kali ini si pemuda berlaku cerdik. Dia tidak

mau melakukan bentrokan senjata. Lagi-lagi dia memundurkan kudanya. Dengan 

tangan kiri dia melepas dua pisau terbang. Tapi dengan mudah kedua senjaa itu

dihantam mental oleh Legok Ambengan dengan kedua goloknya.Kebo Panaran yang sudah tidak sabaran melihat jalannya perkelahian seera

menyerbu dangan golok di tangan. Kini tak ampun lagi pemuda berwajah cakap itu 

terdesak hebat.

Dalam satu bentrokan hebat golok di tangan si pemuda kena dipukul lepas.

Pemuda ini berseru kaget. Kudnya dilarikan menjauhi ketiga orang itu. Tapi dai salah 

mengambil arah. Kudanya mundur ke arah pinggiran kali yang arusnya tengah

menggila! Tak ada kesempatan ataupun jalan untuk lari. Di depannya Kebo Panaran,

Bargas Pati dan Legok Ambengan bergerak mendekat. Kebo Panaran mencekal golok

besar. Bargas Pati memegang senjatanya berupa sebuah clurit besar sedang Legok

Ambengan memegang sepasang golok.

Pemuda berambut gondrong di atas perahu hentikan nyanyiannya. Dia

menggaruk-garuk kepala beberapa kali lalu berteriak.

“Sahabat! Naik ke atas kudamu! Melompat ke mari!” Lalu pemuda di atas

perahu mendayung perahunya menuju tepian kali.

Sesaat pemuda cakap di atas kuda jadi tercekat. Memang satu-satunya jalan 

untuk lari adalah melompat ke atas perahu itu. Tapi dai tidak punya kemampuan

melakukannya. Baginya perahu itu masih terlalu jauh untuk dilompati!

“Sahabat! Cepat! Melompat ke atas perahuku!” Teriak si gondrong di atas

perahu. Dia tambah mendekatkan perahunya ke pinggir kali.

“Melompatlah kalau kau mampu!” kata Kebo Panaran sambil menyeringai.

Goloknya berkelebat.

“Craassss!”

Kuda tunggangan si pemuda meringkik keras ketika golok Kebo Panaran

membabat lehernya. Binatang ini mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.

Pemuda di atas kuda itu terlempar ke arah kali. Jarak jatuhnya masuih jauh dari

perahu di atas kali. Melihat hal ini pemuda di atas perahu cepat memutar perahunya

untuk mneyambut jatuhnya pemuda tadi.

“Bangsat kurang ajar!” maki Kebo Panaran. Lelaki itu mengangkat goloknya

tinggi-tingg. Lalu senjata ini dilemparkannya ke arah pemuda yang saat itu tubuhnya

masih melayang di atas kali.

Terdengar pekik si pemuda ketika mata golok sempat mengiris daging 

bahunya. Bajunya kelihatan merah oleh darah. Kakinya melejang dan kedua

tangannya menggapai-gapai akibat rasa takut dan sakit yang jadi satu. Sakit karena

luka di bahu kirinya cukup besar. Takut karena sebentar lagi dirinya akan amblas

masuk ke dalam air kali yang menggila sedang dia sama sekali tidak bisa berenang.

Pada saat yang menegangkan itu pemuda gondrong di atas perahu ternyata

dapat menyorongkan perahunya dalam waktu yang tepat. Tubuh pemuda yag terluka

jatuh ke dalam perahu. Pemuda yang jatuh kembali menjerit sedang perahu itu 

terlonjak ke atas lalu miring ke kiri. Pemuda berambut gondrong cepat mengimbangi

dengan membuat gerakan-gerakan lucu. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba dari

pinggiran kali tampak melesat dua buah senjata. Ternyata Legok Ambengan telah 

melemparkan sepasang goloknya kearah pemuda gondrong di atas perahu.

“Walah!” Si gondrong sesaat tampak bingung. Saat itu dia tengah berusaha

agar perahu jangan sampai terbalik. Di lantai perahu orang yang jatuh kembali

menjerit lalu mengerang kesakitaan sambil memegang bahunya. Celakanya orang ini

malah memegangi kaki pemuda gondrong hingga tak ampun lagi keseimbangannya

benar-benar hilang dan tubuhnya terjatuh ke kali. Dalam keadaan seperti ini dua

golok terbang daang menyambar! Satu mengarah dada satunya lagi mengincar perut.

Selagi tubuhnya melayang jatuh ke dalam kali yang berarus deras, pemuda

gondrong itu gerakkan tangan kanannya ke pinggang Kunyuk yang berlagak jadi pahlawan, rasakan sepasang golokku!” teriak 

Legok Ambengan dari atas kudanya sambil bertolak pinggang sementara Kebo 

Panarandan Bargas Pati menyeringai. Kelihaian Bagas Pati dalam memainkan dan 

melemparkan sepasang golok selama ini sudah tersohor. Karenanya ketiga orang ini

sudah sama memastikan bahwa pemuda yang melayang jatuh ke kali akan ditambus

golok pada dada dan perutnya.

Namun apa yang terjadi kemudian membuat ketiga orang itu berseru kaget


LIMA 


DIatas kali kelihatan warna terang menyilaukan mata. Bersamaan sengan itu 

terdengar suara sperti gaung ribuan lebah. Hawa di tempat itu yang tadinya lembab 

dingin mendadak menjadi panas. Lalu terdengar suara berdentrangan dua kali

berturut-turut. Dua golok yang tadi dilemparkan Legok Ambengan mental ke udara.

Yang satunya patah dua lalu jatuh ke dalam kali. Saunya lagi mental utuh ke Pinggir

kali, tepat di depan Legok Ambengan dan kawan-kawannya. Ketika ketiga orang ini

memperhatikan golok yang tercampak di tanah becek itu, ternyata golok itu berada

dalam keadaan bengkok dan hitam hangus serta mengeluarkan kepulan asap!

Kebo Panaran, Bargas Pati dan Legok Ambengan sama-sama ternganga dan

sama-sama memandang ke tengah kali. Saat itu mereka lihat perahu di tengah kali

meluncur ke seberang padahal tidak ada yang mendayung sedang pemuda yang tadi

terjatuh di dalamnya masih terbujur dan merintih pegangi bahunya

“Aneh, ke mana lenyyapnya pemuda gondrong di atas perahu tadi!” kata Kebo

Panaran.

Selagi Kebo Panaran dan dua temannya masih berada dalam keadaan tercekat

heran tiba-tiba dari dalam air kali mencuat sebuah pendayung. Benda ini melayang ke

pinggir kali, menyambar kepala kuda yang ditunggangi Legok Ambengan.

“Praakkk!”

Pendayung itu patahdua. Kening kuda remuk. Binatang ini meringkik keras

lalu berputar kencang dan kabur hingga Legok Ambengan terpelanting dan jatuh 

duduk pada bagian tanah yang becek!

“Bangsat kurang ajar!” kutuk Legok Ambengan seraya berdiri dan pegangi

pantat celananya yang basah dan ditempeli Lumpur. Matanya memandang garang ke

tengah kali. Saat itu pemuda gondrong yang tadi lenyap kini tahu-tahu kelihatan lagi

di atas perahu sambil menjulur-julurkan lidah. Kedua ibu jari tangannya ditekankan 

ke pelipis lalu jari-jarinya yang lain digerak-gerakkan.

“Keparat! Berani dia mengejek kita! Teriak Legok Ambengan sambil

kepalkan kedua tinju. “Kalau bertemu akan kupaahkan batang lehernya!”

“Kurasa dia bukan seorang pemuda sembarangan Legok,” kata Kebo Panaran.

“Pasti tadi dia membuat mental sepasang golokmu. Pasti dia memiliki semacam

senjata yang hebat! Dan pasti dia pula yang melemparkan pendayung itu selagi

menyelam di dalam air!”

“Aku tidak perdulikan bangsat gondrong itu!” kata Bargas Pati. “Yang

membuatku jengkel ialah lolosnya orang yang kita kejar….”

“Tolol! Yang kita kejar sebenarnya Antini, istri Lor Kameswara, bukan

pemuda seperti banci itu!” bentak Legok Ambengan.

“Kau yang tolol! Belum tentu dia benar-benar seorang pemuda! Buktinya dia

ketakutan ketika hendak kita geledah!” balas mendamprat Bargas Pati.

“Kudanya masih ada di situ. Bargas, coba kau periksa buntalannya!” kata

Kebo Panaran.

Bargas Pati turun dari kudanya. Seluruh isi buntalan dikeluarkannya. Salah 

satu benda yang keluar adalah sehelai kebaya dan kain panjang perempuan.

“Kebo lihat! Apa kataku!” teriak Bargas Pati. “Pemuda tadi pasti Antini istri

Lor Kameswara. Buktinya dalam buntalan ini ada pakaian perempuan!”

“Kurang ajar! Jadi dia rupanya yang tadi malam menyamar menjadi pelacur!

Jelas memang dia yang membunuh Tunggul Anaprang! Kita harus cari perahu atau

membuat rakit dangan segera! Bangsat itu tidak boleh lolos!” Memandang ke depan

Kebo Panaran melihat perahu yang ditumpangi pemuda berambut gondrong serta

pemuda yang terluka telah mencapai pinggiran kali dan berhenti.

Di atas perahu si gondrong membungkuk seraya berkata. “Sahabat, mari

kugotong kau ke daratan….”

Pemuda ini tersentak kaget ketika orang yang hendak ditolongnya membuka

mulut dan berkata dengan suara keras. “Jangan sentuh!”

“Eh, bagaimana ini?” Si gondrong garuk-garuk kepalanya. “Kau sanggup 

berdiri sendiri dan berjalan dalam banjir? Arus banjir di daratan sana cukup keras….”

“Aku sanggup berdiri dan bejalan sendiri. Aku berterima kasih kau tadi

menolongku.” Pemuda yang terbujur di atas lantai perahu yang basah itu berusaha

bangkit dangan berpegangan pada pinggiran perahu. Ukanya tampak mengernyit

tanda dia menahan sakit. Dengan terhuyung-huyung dia melangkah di dalam air yang 

tingginya sampai sepaha.

“Saudara, kau terluka cukup parah…”

“Aku bisa mengobatinya nanti. Sudah jangan perdulikan diriku…” Pemuda itu 

melangkah terus melawan arus air yang cukup keras meskipun sudah cukup jauh dari

kali.

Si gondrong geleng-geleng kepala. “Pemuda aneh….” Katanya dalam hati lalu

turun dari perahu dn melangkah mengikuti pemuda di depannya.

“Kuharap kau jangan mengikutiku!” Tiba-tiba pemuda di depan sana berkata.

“Agaknya ada sesuatu yang kau takutkan, sahabat. Pasti ada suatu sebeb

mengapa orang-orang di seberang kali sana hendak mencelakaimu.”

“Benar atau tidaknya itu bukan urusanmu!” jawab si pemuda sambil perbaiki

kait ikat kepalanya.

“Namamu siapa dan kau sebenarnya tangah menuju kemana?”

Yang ditanya balas bertanya. “ Kau sendiri siapa dan mengapa mengikutiku?

Mengapa ingin tahu? Bukankah aku sudah mengucapkan terima kasih atas

pertolonganmu?”

“Aku tidak butuh terima kasih….”

“Kalau begitu sebutkan saja siapa dirimu!”

“Namaku Wiro Sableng. Tujuan perjalananmu sama dengan tujuan 

perjalananku,” jawab si gondrong.

“Hemmm….. Dari namamu saja aku sudah pantas berhati-hati….”

“Kau keliwat menghina, sahabat….”

“Tidak, siapa bilang aku menghina….”

Pendekar 212 Wiro Sableng tersenyum. “Kau tidak hendak mengatakan 

namamu?” Tanya Wiro.

“Tidak perlu. Dan sekali lagi aku bilang! Jangan mengikutiku!”

“Sudahlah kau boleh pergi ke mana kau suka. Aku tidak akan mengintil. Tapi

aku sudah tahu namamu!” kata Wiro pula.

“Heh?!” Pemuda di depan Wiro hentikan langkah dan berpaling padanya.

“Kau tahu namaku? Dari mana? Dari siapa?! Jangan menipu. Coba kau

katakana siapa namaku kalau kau memang tahu!”

“Kalau tidak Sumini ya Suminah, kalau tidak Amini ya Aminah!” jawab Wiro

lalu tertawa gelak-gelak.

Paras si pemuda yang cakap tampak menjadi merah. Dlam hati dia membatin 

“Apa dia tahu siapa diriku?” Sesaat pemuda ini memandang tak berkesip pada Wiro.

Tanpa diketahuinya sebuah batang pohon yang dihanyutkan arus meluncur ke arahnya.

Wiro berteriak memberi tahu tapi bang pohon itu telah menghantam pinggangnya 

hingga pemuda itu terdorong keras dan terjerambab masuk ke dalam air. Sakit yang

bukan kepalang akibat hantaman batangan pohon tadi membuat dia tidak mampu

untuk bangkit. Tubuhnya segera tenggelam ke dalam air setinggi paha itu lalu terseret

oleh arus.

“Tol…tolong…!” teriak pemuda itu. Tapi air kali jdai masuk ke dalam

mulutnya. Membuat megap-megap kelagapan dan semakin tak berdaya diseret arus

banjir.

“Tolong…… teriakan pemuda itu kembali terdengar.

Wiro melangkah bergerak meotong arah hanyutnya si pemuda.

“Tolong…..!”

Tubuh si pemud hanyut di belakang Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng ini

gerakkan tangan kanannya ke belakang dan berhasil mencekal punggung pakaian

pemuda itu lalu diseretnya sambil terus melangkah.

Hujan mulai mereda.

Di satu tempat yang hanya sedikit digenangi air kali Wiro berhenti. Dia

terkejut ketika didapatinya orang yang diseret itu ternyata telah jatuh pingsan. Acuh 

tak acuh Wiro bujurkan tubuh pemuda itu menelungkup dai tanah yang becek. Lalu

dengan kakinya ditekannya bagian pinggang si pemuda. Kelihatan air kaliyang 

sempat terminum keluar mengucur dari mulutnya.

Wiro membungkuk memeriksa luka di bahu kiri si pemuda. Luka itu cukup 

besar. Kalau tidak segera dibersihkan dan diobati pasti akan membusuk. Wiro

balikkan tubuh si pemuda. Matanya menatap ke arah dada.

“Dadanya kelihatan seperti rata. Tapi aku yakin…..” Wiro garuk-garuk

kepalanya. Akhirnya tangannya bergerak ke arah dada orang yang pingsan itu.

Meraba dan memijat lalu cepat ditaiknya kembali ketika jari-jari tangannya terasa

menyentuh bagian tubuh yang membusung. “Tidak salah,” katanya. Dalam hati.

“Untung tidak kupijat kuat-kuat….. Mengapa dia menyamar pasti ada satu rahasia.

Biar lukanya kuobati lebih dulu.”

Baru saja Wiro berkata dalam hati seperti itu tiba-tiba satu bayangan 

berkelebat. Satu bentakan keras terdengar.

“Pemuda kurang ajar! Berani kau mengerayangi tubuh muridku!”

“Bukkk!”

Satu tendangan menghantam punggung Pendekar 212 hingga murid Eyang

Sinto Gendeng ini terpelanting!


ENAM


Untuk beberapa lamanya Wiro terkapar terelungkup di tanah yang becek. Pakaian

putihnya di sebelah depan serta mukanya berkelukuran Lumpur tanah liat merah.

Sambil mengernyit kesakitan Wiro memandang ke samping untuk meliha

siapa yang bausan telah menghantamnya.

Orang itu ternyata seorang nenek berwajah pucat yang rambutnya kasar jabrik 

berwarna kelabu. Dia mengenakan jubah hitam besar gombrong menjela tanah hingga

kedua kakinya tidak kelihatan. Sepasang lengan jubah juga gombrong menutupi

kedua tangannya. Tpai mata Wiro yang tajam dapat melihat bahwa pada kedua lengan 

nenek tak dikenal ini tersisip sesuatu. Mungkin golok pendek mungkin juga sebentuk 

pisau.

Sambil garuk-garuk kepala dan masih mengernyit sakit Wiro bangkit lalu

duduk di tanah.

“Nenek muka pucat, aku tidak kenal kau. Mengapa membokong aku dengan 

tendangan?” bertanya Wiro.

“Kau tidak perlu kenal siapa aku! Masih untung aku cuma menendangmu!

Seharusnya sudah kupecahkan kepalamu!” Si nenek menjawab dengan mata melotot

dan membentak. Suaranya halus aneh tapi melengking.

“Kenapa kau hendak membunuhku?!”Tanya Wiro lagi seraya berdiri.

“Kenapa? Monyet! Kau masih bisa bertanya? Apa kau masih tidak tahu 

kesalahanmu?!”

“Aku tidak merasa berbuat salah. Malah aku barusan habis menolong pemuda

itu!” jawab Wiro.

“Setan alas! Kau berdalih menolong! Aku tidak buta! Aku lihat jelas tadi kau 

meraba memegang-megang dada muridku!”

“Ah” Wiro menyeringai. “Kalau kau cemburu aku memegangi dada pemuda

itu, jangan-jangan dia bukan muridmu! Lelaki meraba lelaki apa salahnya? Janganjangan kau punya hubungan asamara gila dengan pemuda ini!”

Si nenek keluarkan suara melengking keras. Tangan kanannya digerakkan.

Dari ujung lengan jubahnya keluar angin bersiuran. Menghantam deras ke arah Wiro

yang saat itu masih setengah berdiri. Yang keluar dari lengan jubah itu ternyata bukan 

hanya pukaulan angin kosong ganas, tetapi tiba-tiba ikut melesat sebilah pisau belati.

Pisau terbang ini bersiuran deras di udara, melesat ke arah dada Pendekar 212!

“Tua bangka edan!” maki Wiro. Dia terpaksa jatuhkan diri kea nah kembali.

Pukulan tangan kosong dan pisau terbang lewat di atasnya lalu menancap di sebatang 

pohon. Begitu lolos dari serangan orang Wiro cepat melompat bangkit lalu menuding 

dengan telunjuk tangan kirinya tepat-tepat ke muka si nenek.

“Dengar nenek muak pucat! Siapapun pemuda itu berada dalam

keadaanterluka. Kau lihat bahu kirinya….”

“Aku tidak buta! Aku melihat! Tapi kau cuma mengarang cerita!”

‘Sialan!” maki Wiro. Sudahlah! Jika pemuda itu memang muridmu kau 

uruslah sendiri!” Wiro jadi jengkel lalu balikkan diri hendak tinggalkan tempat itu

sementara paemuda yang tadi ditolongnya masih tergeletak tidak sadarkan diri.

Si nenek berteriak marah. “Setelah kau berbuat mesum terhadap muridku apa

kau kira aku akan biarkan kau pergi begitu saja?! Ulurkan dulu tangan kananmu yang 

tadi menggerayangi tubuh muridku biar kupatahkan!”Eh tua bangka ini benar-benar sial dangkalan!” kata Wiro dalam hati. Dia

alirkan separuh dari tenaga dalamnya ke tangan kanan lalu melangkah ke hadapan si

nenek seraya ulurkan tangan itu.

“Kau mau mematahkan tanganku? Lakukanlah!” kata Wiro seraya

membelintangkan tangan kanannya di depan hidung si nenek.

“Manusia sombong! Lihat! Tanganmu akan kujadikan tiga potongan!

Nenek muka pucat melompat sambil gerakkan kedua tangannya. Dengan

pinggiran telapak tangannya dia menghantam lengan Wiro.

“Krakkk! Krakkk!”

Terdengar suara berderak patah dua kali berturut-turut.

“Rasakan!” teriak si nenek sambil menyeringai puas dan melompat mundur.

Namun ketika dia memandang ke depan si nennek jadi melengak. Yang barusan 

dipukulnya patah bukannya lengan pemuda berambut gondrong itu melainkan sebuah 

ranting pohon!

Pendekar 212 tertawa mengakak.

“Nenek muka pucat rambut jabrik!” kata Wiro pula sambil senyum-senyum.

“Kau bilang matamu tidak buta tetapi kau lihat sendiri apa yang berusan kau 

paahkan? Bukan tanganku tapi ranting kayu butut!”

Si nenek sendiri memang sudah terkejut dan heran sejak tadi-tadi. Tak dapat

dia menduga apa yang telah terjadi. Jelas tadi dia memukul lengan si pemuda. Lalu

bagaimana kemudian dia jadi memukul ranting kayu sedang tangan Wiro jelas

dilihatnya masih utuh tidak cidera barang sedikitpun, apalagi patah tiga!

Sebenarnya apakah yang telah dilakukan Pendekar 212?

Ketika melangkah ke hadapan si nenek Wiro sempat menyambar sepotong 

ranting kayu yang ada di dekat situ. Si nenek tidak melihatnya karena perhatiannya

tertuju pada tangan kanan yang dipentangkan Wiro tepat-tepat di depan hidungnya.

Sewaktu si nenek memukulkan kedua tangannya dengan marah secepat kilat Wiro

turunkan tangan kanannya. Lalu sebagai gantinya dia palangkan ranting kayu itu.

Tentu saja yang kemudian dipukul si nenek buakan tangannya melainkan ranting tadi!

Kalau saja nenek muka pucat itu sadar akan keahlian orang 

mempermainkannya pasti selanjutnya dia tidaka akan gegabah lagi. Namun dalam

marahnya dia tidak dapat berpikir banyak. Didahului suara menggembor perempuan

tua ini berkelebat. Sebilah belati melesat keluar dari lengan jubahnya kiri kanan,

masuk ke dalam genggamannya. Lalu dengan sepasang senjata ini dia melompat

menyerang Wiro.

Murid Sinto Gendeng yang masih tertwa-tawa gak terlambat membuat

gerakan mengelak.

“Brett!”

Pisau di tangan kiri si nenek sempat membabat dada kirinya. Maisih untung

hanya baju putihnya saja yang kena disambar hingga robek besar. Wiro melompat ke

samping. Lawan memburu dengan ganas. Dua pisau belati berkelebat di udara.

Pendekar 212 sambutt serangan si nenek dengan keluarkan jurus ilmu silat orang gila

yang dipelajarinya dari Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya meliuk-liuk

sempoyongan seperti orang mabuk yang mau roboh. Nenek muka pucat jadi terkejut

ketika setelah tiga jurus menggempur bertubi-tubi tak satu serangannyapun dapat

mencapai sasaran. Penasaran dia lipat gandakan kecepatan dan tenaga serangannya.

Tubuhnya berubah jadi baying-bayang hitam yang melesat kian kemari. Pisaunya

menderu-deru menikam dan membabat.

Jurus-jurus ganas si nenek membuat Pendekar 212 terdesak sampai tiga jurus.

Wiro kerahkan tenaga dalamnya pada kedua lengannya. Getaran tanga dalam yang memancar dari kedua tangannya emmbuat serangan sepasang pisau si nenek seperti

tertahan oleh satu kekuatan yang tidak terlihat.

“Hemmm….Pemuda ini ternyata memilii tenaga dalam tinggi,” meyadari si

nenek. Mak diapun berlaku cerdik. Dia mulai keluarkan serangan-serangan tipuan 

dangan tangan kanan sedanga angan kirir melancarkan serangan sungguhan.

“Tua bangka ini licik juga!” kata Wiro dalam hati. Dia membuat gerakan 

mundur sebagai pancingan. Ketika lawan mengejar Wiro membungkukkan tubuhnya

lalu tangannya bergerak melancarkan jurus pukulan Kepala Naga Menyusup Awan.

Tangan kanannya mencuat ke atas, laksana seekor naga mematuk ke arah

tangan kanan si nenek. Perempuan tua ini berseru kaget dan cepat tarik tangan 

kananya. Tapi terlambat. Lima ujung jari Pendekar 212 yang disusun rapat dan

dikeraskan telah lebih dulu menghujam di pergelangan tangannya.

Si nenek terpekik. Pisau yang dipegangnya terlepas dan cepat disambar oleh

Wiro. Sambil melompat mundur kesakitan, dengan mata melotot nenek itu 

memandang tak berkesip pada Pendekar 212. Wiro sendiri kini tegak dangan tangan

kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan menimang-nimang belati milik si nenek.

“Pemuda mesum! Siapa kau sebenarnya?” bertanya si nenek.

“Kau yang lebih tua coba katakana siapa dirimu sesungguhnya!” membalas

Wiro.

Ucapan ini membuat si nenek jadi tidak enak. Dia berkata. “Saat ini aku 

bersedia mengalah. Biar urusan kita anggap selesai. Kau boleh pergi. Biar aku

mengurus muridku itu.”

Wiro tertawa.

‘Maaf saja Nek. Aku terpaksa jual mahal sekarang! Kalau kau tidak mau 

menerangkan siapa dirimu, juga mengatakan sengan jujur apa hubunganmu dengan 

pemuda ini, terpaksa aku yang memintamu agar lekas-lekas minggat dari sini! Kau

harus pergi mencari tukang gunting untuk mencukur rambutmu yang jabrik itu!”

Si nenek tmapak marah sekali dan menjadi mengkelap.

“Siapa aku tidak bisa kukatakan. Tapi pemuda itu memang muridku!” jawab si

nenek hambpir berteriak.

Wiro menyeringai. “Kau boleh pergi dengan aman Nek!” katanya.

“Aku akan membawa serta muridku!”

“Tidak bisa!”

“Keparat! Kenapa tidak bisa?!”

“Aku tahu siapa muridmu sebenarnya!”

Si nenek melengak. “Maksudmu apa?!” bentak orang tua ini.

“Muridmu bukan seorang lelaki! Tapi seorang permpuan!”

Si nenek terpekik. Lalu seperti orang gila dia menyerbu ke arah Wiro. Di

tangan kanannya ada sebuah benda bulat. Benda ini dilemparkannya ke arah Pendekar

212. Menyangka benda itu adalah senjata rahasia, Wiro cepat menghantam dengan 

tangan kiri yang mengandung tenaga dalam tinggi. Terdengar suara letupan keras

yang disertai menebarnya asap hitam tebal. Wiro cepat melompat menjauhi. Tetapi

tempat sekitar situ sudah keburu tertutup asap tebal yang menghalangi pemandangan.

Tangan di depan matapun sulit untuk dilihat.

Ketika akhirnya asap hitam itu perlahan-lahan pupus dan keadaan di tempat

itu menjdai terang seperti semula, Wiro dan si nenek yang tegak saling berhadaphadapan menjadi terkejut. Pemuda yang pingsan di atas tanah tak ada lagi di tempat

itu!

“Muridku lenyap! Kau yang punya gara-gara!” teriak si nenek marah sekali Tua bangka goblok! Kalau kau tidak berlaku tolol melepas bola asap tadi

tidak akan terjadi urusan gila begini! Muridmu dilarikan orang salahmu sendiri!”

balik mendamprat Wiro. Saat itu matanya melihat ujung ranting di salah satu semak

belukar bergoyang-goyang. Lalu di ujung ranting ada secarik robekan kain. Ketika

ditelitinya dia merasa yakin itu adalah robekan pakaian pemuda yang pingsan tadi.

Berarti siapapun yang melarikan pemuda itu , orangnya lari ke jurusan sini. Tanpa

pikir panjang Wiro segera berkelebat mengejar. Si nenek tak tinggal diam. Dia ikut

berkelebat ke jurusan larinya Wiro. Jengkel merasa diikuti Pendekar 212 balikkan

tubuh dan tegak menghadang.

“Aku tak suka kau ikuti! Uusan bisa jdai salah kaprah kalau kau muncul di

mana aku muncul!”

“Pemuda sombong! Kemana aku pergi setanpun tidak bisa melarang! Apalagi

manusia sontoloyo macam kau!”

“Kalau begitu kau tetaplah di sini! Tua bangka jelek!” tukas Wiro. Dia

dorongkan kedua tangannya ke arah si nenek.

Perempuan tua itu berseru keras ketika dari arah Wiro menderu keluar angin

deras laksana topan prahara. Dia coba menerjang. Tapi tubuhnya terdorong keras. Dia

kerahkan seluruh kekuatannya luar dalam. Di depan sana Wiro sentakkan kedua

tangannya. Tak ampun lagi tubuh si nenek terpental jauh dan punggungnya terbanting

ke sabatang pohon. Dia coba lagi bergerak. Tapi badannya seperti menempel ke

batang poon itu. Sambil menggapai-gapai dia memaki panjang pendek. Namun Wiro

yang barusan melepaskan pukulan sakti bernama Benteng Topan Melanda Samudera

telah lenyap dari tempat itu. Sesaat kemudian dengan susah payah baru si nenek 

berhasil melepaskan diri dari tekanan hawa sakti yang tadi dilepaskan Pendekar 212.

Dia berkelebat ke arah lenyapnya Wiro. Namun nenek ini kembali terdengar memaki

ketika menyadari bahwa dia telah kehilangan jejak pemuda itu!


TUJUH 


Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan larinya di satu kaki bukit karena kehilangan

jejak orang yang dikejarnya. Sambil memandang berkeliling Wiro berkata dalam hati.

“Aneh, jejak orang itu sama sekali tidak terlihat di tanah yang becek. Tidak mungkin

orang itu lari tanpa menginjak tanah! Atau dia mempunyai kesaktian sehebat Dewa?”

Wiro memandang lagi berkelilig lalu menengadah ke atas memperhatikan pepohonan.

“Heh….?!” Mudrid Sinto Gendeng keluarkan suara keheranan. Beberapa akar

gantung pohon-pohon besar yang ada di tempat itu kelihatn bergoyang-goyang. Tak 

ada angin yang bertiup, tidak kelihatan burung terbang juga tidak tampak bajing atau

binatang pohon lainnya. “Mustahil akar itu bergoyang kalau tidak ada yang 

menyentuhnya…..”

Wiro memutuskan masuk ke dalam rimba belantara di kaki bukit itu. Belum

lama dia bergerak di antara kerapatan pepohonan dan semak belukar tiba-tiba

didengarnya suara orang menarik nafas panjang berulang kali. Lalu ada suara berkata.

“Gila! Panas sekali hari ini!”

Murid Sinto Gendeng jadi melengak. “Siapa yang bicara?!” tanyanya dalam

hati seraya memandang kekiri dan kekanan.Tidak kelihatan orang yang berbicara itu.

“Hujan baru saja reda. Udara masih terasa dingin. Enak saja ada yang berkata panas

sekali hari ini! Dia yang gila agaknya!”

“Uhhh….Uhhh…. Panas betul!”

Terdengar lagi suara orang tadi. Kali ini daangnya dari arah serumpun semak 

belukar di sebelah kanan. Wiro cepat bergerak ke arah semak belukar itu lalu

menyibaknya.

“Sialan! Tak ada siapa-siapa di sini!” maki Pendekar 212 ketika dia tidak 

menemui orang yang tadi bicara. Padahal jelas suaranya datang dari arah belik semak 

belukar itu!

“Uhh…Uhhh… Panasnya benar-benar gila! Tubuhku sudah mandi keringat!

Untung hujan tidak turun. Kalau turun pasti udara lebih panas lagi!”

“Benar-benar gila!” maki Wiro lagi. “Siapa yang bicara seperti itu?!” Dia

melangkah cepa ke arah kiri. Karena suara yang barusan didengarnya datang dari

balik sebatang pohon besar. Namun begitu sampai di balik pohon tetap saja dia tidak

menemukan siapapun! Murid Sinto Gendeng jadi garuk-garuk kepala. Dia berpikir

keras. “Orang yang barusan bicara jelas mempergunakan ilmu memindahkan suara.

Hingga suaranya terdengar datang dari satu jurusan tetapi dia sendiri tidak ada di

tempat itu. Tapi otaknya miring. Aku hendak dipermainkannya! Hemmm…. Orang

gila harus dilayani secara gila!” Wiro garuk-garuk lagi kepalanya. Lalu dia mulai

menceloteh.

“Gila! Memang gila udara hari ini! Panas luar biasa. Matahari seperti di atas

batok kepala! Ah, ingin rasanya mandi di kali. Tapi air kalipun pasti panas! Sialan!”

Wiro diam. Suasana sunyi. Tapi tidak lama. Sesaat kemudian terdengar suara

orang tadi. “Nah apa kataku! Udara hari ini memang panas! Buktinya ada orang gila

yang barusan berucap begitu!”

“Sial dangkalan! Aku dikatakan gila!” Wiro bantingkan kaki. Tangan

kanannya diangkat lalu dipukulkan ke arah rerumputan semak belukar. Dari balik

semak belukar itu tadi datangnya suara yang mengatakannya orang gila.

“Braakkk!”Semak belukar mental berantakan terkena pukulan tangan kosong 

mengandung tanaga dalam yang dilepaskan Pendekar 212. Tak ada suara keluhan 

kesakitan, apalagi jeritan. Untuk beberapa lamanya murid Eyang Sinto Gendeng ini

jadi tegak terdiam di tempatnya. “Setan, aku benar-benar dipermainkan!”

Baru saja Wiro membatin serperti itu tiba-tiba orang tadi kembali terdengar

berucap. “Kekasihku, ada orang gila dalam hutan ini. Sebaiknya kita menyingkir

saja!”

Suara terdengar tepat di atas kepala Pendekar 212. Wiro mendongak ke atas.

Astaga! Sekali ini rupanya orang yang bicara tidak menggunakan ilmu memindahkan

suara lagi. Karena suaranya yang dating dari atas dan ketika dilihat dan ternyata dia

memang ada di atas pohon. Yang mengejutkan Wiro ialah ketika menyaksikan bahwa

orang yang bicara dilihatnya duduk di ujung cabang sebatang pohon. Di tangan

kanannya ada sehelai kipas lipat yang tiada hentinya digoyang-goyangkannya ke

wajah yang penuh keringat!

Orang aneh ini mengenakan pakaian lucu. Celananya jelas terbalik. Bajunya

juga sengaja dipakai terbalik. Bagian belakang ditempatkan sebelah depan sedang

bagian depan yang ada kancingnya diletakkan di sebelah punggung! Mukanya bundar

merah dan tubuhnya gemuk bulat. Kedua matanya besar dan kepalanya memakai

sehelai peci hitam yang kupluk kebesaran.

Yang lebih membuat Wiro terkejut adalaj ketika menyaksikan, pemuda yang

tengah dicarinya ternyata ada di samping si orang aneh, masih dalam keadaan pingsan

dan punggung bajunya terkait pada ujung sebuah ranting. Tubuh ini tergantung 

terkatung-katung dan bergoyang-goyang ke atas ke bawah! Kalau ranting yang

mangait bajunya patah, tak ampun lagi pemuda tersebut akan jatuh ke tanah.

“Manusia aneh. Kepandaiannya pasti luar biasa!” kata Wiro dalam hati sambil

garuk-garuk kepala. Lalu dai berseru. “Sobat di atas pohon! Hati-hati! Harap kau

turunkan sahabatku yang terkait di ujung ranting itu!”

Orang di atas pohon memandang ke bawah ke arah Wiro. Mulutnya

menyeringai. “Di atas dunia, orang gila tidak punya sobat tidak punya sahabat!”

katanya membalas seruan Wiro tadi.

“Edan!” maki Wiro dalam hati. “Orang di atas pohon! Kau melarikan 

sahabatku masih bisa kumaafkan. Tapi kalau kau mempermainkan jiwanya di ujung

ranting itu dan samapai jatuh, aku akan menggebukmu sampai setengah mati!”

“Digebuk setengah mati itu justru enak! Yang tidak enak kan kalau digebuk 

mati betulan!” jawab orang gemuk di atas pohon.

“Gemuk konyol!” teriak Wiro. “Kalau sudah mampus kau mana bisa

merasakan enak atau tidak enak!”

“Eh! Makianmu membuat udara tambah panas!” kata orang di aas pohon lalu 

kembali berkipas-kipas. “Jangan berani memaki lagi! Nanti aku kipas!”

“Kalau kau tidak segera menurunkan sahabatku itu dari atas pohon aku akan 

mengambilnya dan jangan menyesal kalau kau kebagian bogem mentah atau 

tendangan dariku.” Mengancam Wiro.

“Hidup delapan puluh tahun sekalipun aku tidak pernah menyesal. Lagi pula

siapa percaya kalau orang ini adalah sahabatmu. Bisa kau membuktikan?!” bertanya

si gemuk bulat di atas pohon.

“Persetan dangan urusan bukti membukti. Yang jelas kau telah melarikan 

sahabatku itu. Kini kau mempermainkan jiwanya dan menggantungnya di ujung

ranting!” Dalam pada itu Wiro jadi terheran-heran. Orang gemuk di aas pohon 

mengaku usianya delapan puluh tahun. Padahal melihat wajah dan keadaan kulit

badannya paling bantar dia berusia dua puluh lima tahun!Ternyata kau bukan saja gila, tetapi juga tolol! Aku tidak merasa melarikan

orang ini!”

“Lalu bagaimana dia bisa tergantung di atas pohon sana. Dan kau juga ada di

pohon itu!”

“Soal sama-sama di satu pohon bisa saja merupakan kebetulan!” jawab orang 

itu seenaknya lalu tertawa gelak-gelak yang membuat Wiro tambah jengkel.

“Bagaimana dia bisa tergantung di ujung ranting nanti kau bisa Tanya sendiri padanya

kalau dia sudah siuman! Sekarang kau lebih baik pergi! Ada lebih dari dua orang di

tempat ini embuat udara jadi tambah panas!” Lalu si gemuk di atas pohon kembali

berkipas-kipas.

“Kalau kau tidak mau menurunkan pemuda sahabatku itu, terpaksa aku naik

ke atas pohon!”

“Sudahlah, jangan banyak omong. Aku tahu kau ingin menolong orang ini

karena sebenarnya dia adalah kekasihmu. Paling tidak kau sudah tergila-gila padanya!

Jangan kira aku tidak tahu siapa adanya orang yang kau katakan pemuda ini!”

“Kunyuk berkopiah kupluk di atas pohon itu rupanya sudah tahu siapa adanya

pemuda itu. Jangan-jangan dia sudah menggerayangi tubuh perempuan itu!” Lalu 

Wiro bertanya. “Hai! Bagaimana kau tahu kalau pemuda itu sebenarnya adalah 

perempuan?”

Yang ditanya tersenyum-senyum lalu menjawab. “Ada dua buah bisul besar di

dadanyakiri kanan! Ha… ha… ha…!

Meskipun jengkel tapi Wiro tidak dapat menahan ledakan tertawanya

mendengar kata-kata orang di atas pohon. Selagi dia tertawa bergelak, orang itupun

ikut-ikutan tertawa. Tubuhnya bergoyang-goyang. Akibatnya ranting di mana pemuda

itu terkait ikut bergoyang-goyang. Wiro menahan nafas kawatir si pemuda akan jatuh 

ke tanah. Karena tidak sabar lagi murin Eyang Sinto Gendeng segera melompat ke

atas. Tangan kirinya didorongkan ke arah si gemuk. Satu gelombang angin 

menyambar. Dengan sigap Wiro pergunakan tangan kanannya untuk menyambar

sosok tubuh pemuda yang tergantung dalam keadaan pingsan di ujung ranting.

Orang gemuk berpakaian terbalik di atas pohon goyangan kaki kanannya.

Gerakannya acuh tak acuh. Tapi gerakan kaki itu tidak lain adalah satu serangan 

berbahaya yang mengeluarkan dan mengarah rusuk kiri Pendekar 212. Mau tak mau 

dia terpaksa mengelak. Akibatnya sambaran tangan kanannya ke tubuh pemuda

tergantung di ujung ranting menjadi gagal.

Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya Wiro kembali melompat.

Tangan kiri lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Tubuh si gemuk tampak 

bergoyang-goyang tapi hanya sesaat. Tiba-tiba dengan gerakan yang juga kelihatan

acuh tak acuh dia babatkan kipas di tangan kanannya ke bawah.

Murid Eyang Sinto Gendeng merassakan tubuhnya disambar angin sejuk. Lalu 

satu gelombang angin yang dasyat luar biasa menghantamnya dari atas. Dia coba

bertahan. Kerahkan seluruh tenaga luar dan dalam. Tapi tidak berhasil. Tubuhnya

terbanting jatuh dan terjengkang di tanah!

Untuk beberapa saat lamanya Wiro terhenyak nanar. Ketika dia sadar cepatcepat dia jatuhkan diri dan berguling menjauh, kalau dalam keadaan seperti itu orang 

di atas pohon menghantamnya kembali pasti dia celaka. Tapi si gemuk itu tidak 

melancarkan serangan susulan malah kelihatan duduk bergoyang-goyang kaki sambil

berkipas-kipas dan malah kini sambil bersiul-siul.

Wiro memutar otak. “Kalau kulawan orang gila itu dengan kekrasan mungkin 

aku akan menemui kesulitan. Jangan-jangan pemuda di ujung ranting itu juga bakal

celaka!” Wiro garuk-garuk kepala. Lalu dia mendongak dan berseru. “Pangeran! Hari 

sudah hampir malam. Kalau malam dating hawa di sini tentu tambah panas.

Bagaimana kalau Pangeran segera kuantar pulang ke Istana dan pemuda itu biar aku

yang mendukungnya?!”

“Eh! Siapa yang memanggil aku dengan sebutan Pangeran!” Si gendut muka

bulat di atas pohon memandang kian ke mari celingak celinguk dengan sikap lucu dan

tentunya tidak lupa berkipas-kipas.

“Saya yang memanggil Pangeran. Hamba sahaya Pengeran!” jawab Wiro dari

bawah pohon.

Si gemuk tertawa gelak-gelak. “Manusia kampret tolol! Aku bukan Pangeran.

Tapi seorang Raja Di Raja!”

“Ah! Maafkan hamba sahayamu ini Pangeran. Hamba sampai lupa kalau baru 

kemarin saja kau telah diobatkan jadi Raja Di Raja,” kata Wiro sambil menahan geli.

“Bagaimana Sri Baginda? Kita pulang sekarang? Permaisuri tentu sudah tak sabar

menunggu Sri Baginda di atas tilam….”

“Lagi-lagi kau kampret tolol! Kau tahu aku Raja bujangan! Belum kawin!

Belu punya permaisuri! Mungkin…. Mungkin dia akan kujadikan permaisuri!” kata si

gemuk sambil menunjuk dengan ujung kipas pada pemuda yang masih pingsan dan

dikaitkannya di ujung ranting.

“Ah, lagi-lagi hamba berlaku tolol! Orang itu memang pantas menjadi

permaisuri Sri Baginda. Tapi dia dalam keadaan terluka. Apakah Sri Baginda tidak

akan membawanya turun lalu mengobatinya lebih dulu?!”

Si gemuk tampak terkejut. Dia memeriksa sekujur tubuh pemuda di ujung

ranting. “Astaga! Kampret kau betul! Calon permaisuriku ini terluka bahu kirinya.

Harus diobati dengan cepat………”

“Izinkan hamba membawa turun sang permaisuri itu Sri Baginda,” kata Wiro.

“Kampret! Aku tidak percaya padamu! Aku tidak mau permaisuriku disentuh 

makhluk macammu!” jawab si gemuk. Lalu dia berkipas-kipas tiga kali berturut-turut.

Setelah itu dia ulurkan tangan kirinya untuk mencekal leher pakaian si pemuda.

Dengan satu gerakan yang enteng mengagumkan orang gemuk ini melayang turun

sambil membimbing tubuh si pemuda!

Begitu ampai di bawah si gemuk membaringkan tubuh si pemuda di tanah.

Dia berpaling pada Wiro. “Hamba sahayaku!” katanya.

“Saya Sri Baginda…”

“Dari atas kulihat tampangmu jelek! Sudah dekat begini justru malah tambah 

jelek!

Wiro melengak jengkel tapi geli juga ada. Sambil garu-garuk kepala dia

berkata. “Sri Baginda, kita harus segera kembali ke Istana. Sebagai hamba sahaya,

saya bersedia memanggul tubuh permaisuri. Tapi jika Sri Baginda belum percaya,

silahkan pergi, apakah Sri Baginda tidak akan bersantap sekedar mengisi perut lebih

dulu? Istana kita cukup jauh dari sini.”

“Istana kita cukup jauh dari sini katamu? Hemm….. Betul. Sekali ini kau betul

kampret! Lalu santapan apa yang hendak kau berikan padaku?”

Di dekat sini ada sebatang pohon yang menghasilkan sejenis buah yang sangat

manis. Dengan izin Sri Baginda saya akan pergi mengambilnya barang sua tiga

buah…”

“bagus , pergilah cepat!” kata si gemuk yang menganggap dirinya sebagai aja

Di Raja.

Wiro cepat menyelinap di antara semak belukar. Di satu tempat sebelumnya

dia telah melihat sebuah pohon yang berbuah merah. Dia tidak tahu nama buah itu

namun dia tahu kalau buah yang rasanya enak dan sangat manis itu kalau dimakan 

maka dalam waktu beberapa saat saja orang yang memakannya akan mulas perutnya

lalu akan bocor terus-terusan sampai isi perutnya kosong!

Tapi baru saja Wiro bergerak dua langkah si gendut tiba-tiba terdengar

memanggil. “Tunggu!”

“Sial! Apa lagi maunya si gendut ini. Atau mungkin dia tahu kalau hendak 

ditipu?!”


DELAPAN


Wiro hentikan langkah dan berbalik. “Ada apa Sri Baginda memanggil saya?”

tanaya Wiro.

“Permaisuriku…..”

“Kenapa dengan permaisuri Sri Baginda?” Tanya Wiro

“Kampret! Tadi kau bilang permaisuriku terluka dan harus segera diobati!”

“Ah, maafkan hamba Sri Baginda. Apakah Sri Baginda segera hendak

memeriksa lukanya?”

“Coba kau telungkupkan tubuhnya! Tapia was kalau kau coba meraba-raba

tempat-tempat yang terlarang!

Wiro menyeringai. “Masakan hamba berani berlaku kurang ajar terhadap

seorang calon permaisuri!” kata Wiro pula. Lalu dengan hati-hati tubuh si pemuda

dibalikannya hingga kini terbujur menelungkup. Si gendut jongkok di samping kiri.

Dengan ujung kipasnya dikuakkannya pakaian yang robek di bahu kiri. Kelihatan 

luka yang cukup dalam di bahu itu.

“Hemm…… Kalau aku tahu siapa orang yang melukai bahu calon 

permaisuriku ini, akan kupatahkan batang lehernya!” kata si gendut. Lalu dia berlutut

dan angkat tangan kanan yang memegang kipas. Perutnya yang gendut tampak 

mengempis. Wiro maklum kalau orang ini tengah mengerahkan seluruh tenaga

dalamnya.

“Srettt!”

Kipas di tangan si gendut membuka lalu kipas ini diusapkannya kesekujur

tubuh si pemuda yang tertelungkup, mulai dari kepala sampai ke ujung kaki. Selesai

mengusap si gendut lipat kembali kipasnya dan selipkan benda ini di pinggang

celananya yang terbalik.

Masih dalam keadaan berlutut si gendut kemudian usap-usapkan tangannya

satu sama lain. Ketika telapak tangan itu diangkat Wiro melihat warna kulit telapak 

kanan telah berubah menjadi sangat merah dan mengeluarkan asap. Ada hawa dingin

keluar dari telapak tangan kanan itu yang terasa sampai tempat Wiro berdiri.

Perlahan-lahan si gendut menurunkan tangan kanannya. Telapak tangan kanan

ditempelkan di luka pada bahu kiri si pemuda. Kemudian perlahan-lahan tangan itu

diangkat. Ketika tangan kanan diangkat, Wiro jadi melengak. Luka di bahu kiri si

pemuda sembuh sama sekali. Bahkan bekasnyapun tak kelihatan. Meski sudah 

sembuh tapi si pemuda masih tetap tertelungkup pingsan.

“Si gendut gila ini benar-benar memiliki kesaktian seperti Dewa!” kata Wiro 

dalam hati penuh kagum. “Siapa dia sebenarnya. Eyang rasa-rasanya tak pernah

menceritakan tentang manusia satu ini….” Lalu Wiro bertanya. “Sri Baginda, apakah 

sekarang hamba boleh pergi mengambil buah untuk santapan Sri Baginda itu?”

“Ya, kau boleh pergi sekarang….” Jawab si gendut tanpa mengalihkan 

pandangannya dari sosok tubuh si pemuda yang tergeletak di tanah.

Wiro segera berlalu. Tak lama kemudian dia muncul membawa tiga buah 

berkulit merah dan keras. Wiro pecahkan buah pertama. Kelihatan isinya yang putih 

dan menebar bau harum. Tenggorokan si gendut kelihatan turun naik. Begitu Wiro

menyerahkan buah itu serta merta dimakannya sengan rakus sampai mulutnya

mengeluarkan suara menyiplak.

“Enak sekali. Manis sakali! Buah apa ini namanya? Tanya si gendut. Sebentar

saja buah pertama itu sudah lenyap ke dalam perutnya. Dia mengulurkan tangan minta buah kedua. Wiro segera memberikan buah kedua. “Ah luar biasa sedapnya!” kata si

gendut dengan mata sampai terbalik-balik.

“Satu lagi Sri Baginda……”

Si gendut mengangguk tapi kepalanya kelihatan miring ke kiri dan matanya

kini terbalik-balik lain, tidak seperti tadi lagi. Tiba-tiba dia letakkan kedua tangan di

atas perut. “Mulas! Perutku mulas!” Kampret! Buah apa yang kau berikan padaku?”

Si gendut hendak marah. Tapi perutnya yang mulas tidak tertahankan membuat dia

salah tingkah. “Sialan!” teriaknya.

“Ikuti hamba Sri Baginda. Ada tempat yang aman untuk buang hajat…” kata

Wiro lalu ditariknya tangan si gendut dan dibawanya menyusup ke balik beberapa

semak belukar. Di balik serumpunan semak belukar lebat dia berhenti. “Nah di sini

tempat yang baik Sri Baginda. Tak ada yang melihat Raja buang hajat besar di

sini….”

“Eh, kau mau kemana?” Tanya si gendut sambil melorotkan celananya.

“Hamba akan mencari air untuk pembersih Sri Baginda!” jawab Wiro.

“Tak usah air. Daun saja!” kata si gendut pula. Lalu mulai jongkok.

“Daun di hutan ini kebanyakan ada bulunya Sri Baginda. Hamba takut nanti

selangkangan Sri Baginda jadi lecet dan Sri Baginda punya perabotan menjadi

bengkak dan gatal!”

“Ah sudah ! Pergi sana! Jangan lama-lama….”

Si gendut mengerenyit. Perutnya mulas sekali tapi yang mau dikeluarkan seperti

macet.

Begitu lenyap dari pemandangan si gendut Pendekar 212 Wiro Sableng segera

lari ke tempat di mana pemuda tadi masih tergeletak pingsan. Dengan cepat

dipanggulnya tubuh pemuda itu lalu berkelebat lenyap di balik kerapatan pepohonan 

dan semak belukar.

Di sebelah timur di bagian hutan yang sunyi Wiro henikan larinya. Saat itu

sudah memasuki rembang petang. Dia melihat pemuda itu mengerakkan kepalanya

sedikit ketika dibaringkan di tanah.

“Aku harus benar-benar memastikan dia memang permpuan…” kata Wiro 

dalam hati. Lalu murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini menganggalkan 

kain penutup kepala si pemuda. Begitu kepalanya tersingkap kelihatanlah rambutnya

yang hitam panjang. Wiro membelai rambut itu dan menariknya dengan hati-hati.

Ternyata rambut itu panjangnya sampai ke pinggang. Dan wajah si pemuda kini

kelihatan aslinya. Wajah seorang permepuan muda berparas cantik sekali.

“Hemmm….” Wiro garuk-garuk kepala. Selagi dia berpikir-pikir apa yang 

akan dilakukannya tiba-tiba perempuan itu membuka kedua matanya. Pandangannya

membentur Wiro. Mulutnya terbuka hendak menjeri. Wiro cepat menekap mulutnya

seraya berkata. “Saudara jangan takut. Aku bukan orang jahat. Aku seorang sahabat….

Tekapanku akan kulepaskan. Tapi ingat, jangan menjerit….” Wiro kawatir kalau 

ssampai perempuan itu mengeluarkan jeritan akansempat terdengar si gendut gila

berkepandaian tinggi itu. Wiro belum lepaskan tekapannya karena dirasakannya

mulut perempuan itu bergerak-gerak entah hendak mengatakan sesuatu entah hendak

berteriak.

“Dengar namaku Wiro Sableng. Aku menemukanmu di kali sewaktu kau 

diserang oleh tiga orang yang aku tidak kenal…..”

Sepasang mat aperempuan itu terpejam sesaat. Perlahan-lahan Wiro 

melepaskan tekapannya. Perempuan itu coba mengingat-ingat apa yang terjadi

sebelumnya. Lalu tangan kanannya meraba ke bahu kiri. Wiro cepat berkata. “Waktu 

kau melompat ke dalam perahuku, salah seorang penyerang berhasil melukai bahu

kirimu. Tapi sekarang luka itu sudah sembuh. Ada seorang sakti yang mengobatimu!”

“Orang sakti? Bukan kau…?” Tanya perempuan itu dengan suara halus

perlahan.

“Bukan, aku idak memiliki ilmu sehebat dia….”

“Sekarang dimana orang sakti itu…?”

“Jauh di dalam hutan sana. Aku sengaja membawamu lari daridia karena dia

hendak mengambilmu jadi permaisuri….”

Perlahan-lahan perempuan itu bangkit dan duduk di tanah. “Kau jangan bicara

ngacok!”

“Aku tidak ngacok Saudari,” jawab Wiro. “Aku akan ceritakan padamu apa

yang telah terjadi setelah kau jatuh pingsan dihantam batangan pohon. Tapi aku ingin 

kau memberi tahu namamu lebih dulu….”

“Saudari….?!” Tiba-tiba perempuan itu saperti ingat sesuatu. Diraba

kepalanya. Baru disadarinya rambutnya yang hitam panjang telah tersingkap dan

tergerai lepas. Sesaat wajahnya tampak berubah. Dia juga ragu-ragu untuk

mengatakan namanya. “Jangan-jangan kau adalah kaki tangan Kebo Panaran dan

kawan-kawannya….”

“Siapa Kebo Panaran?” Tanya Wiro.

Yang ditanya tidak menjawab. Dia memandang jauh ke depan. Lalu tampak

kedua matanya berkaca-kaca. Tidak dapat membendung tangisnya akhirnya

perempuan muda ini menangis. Mula-mula perlahan, tapi lama-lama tangisnya jadi

keras.

Wiro melangkah bingung mundar mandir sambil garuk-garuk kepala. “Saudari

hentikan tangismu. Kalau terdengar oleh orang itu urusan bisa jadi berabe. Aku tak

akan sanggup lagi menolongmu!”

Perempuan muda yang duduk di tanah mengusap pipi dan kedua matanya.

Suara tangisnya perlahan-lahan menyurut. “Aku tak mampu mengingat lagi… 

Ceritakan apa yang terjadi selama aku pingsan.”

Wiro lalu menuturkan apa yang terjadi yatiu sejak dia melihat permpuan itu

diserang oleh tiga penunggang kuda samapi dia diculik oleh si gendut gila dan

akhirnya berhasil dilarikan oleh Wiro sampai ke tampat itu.

“Kau telah menolongku. Aku tak athu harus berterima kasih begaiman. Aku

ingin segera meninggalkan tempat ini…”

“Kita bisa pergi sebentar lagi. Kau tak ingin menceritakan mengapa

sebelumnya kau menyamar sebagai seorang pemuda?”

Perempuan itu meraba rambutnya kembali. “Orang-orang yang menyerangku

di pinggir kali, salah satu diantaranya adalah manusia terkutuk Kebo Panaran itu. Dua

lainnya Bargas Pati dan Legok Ambengan. Manusia-manusia jahanam! Aku

bersumpah untuk membunuh mereka…”

“Rupanya ada satu perkara besar antara kau dangan orang-orang itu?”

Perempuan itu mengangguk. “Perkara besar. Amat besar,” katanya perlahan.

“Jika kau tidak mau menceritakan tidak jadi apa. Tapi aku punya firasat kau

berada dalam bahaya besar…”

Perempuan itu terdiam sesaat. “Sejak dilahirkan aku sudah hidup dalam

bahaya. Kedua orang tuaku tewas dalam perang saudara. Selama masa peperangan

aku dibawa ke mana-mana. Setelah aku kawin ternyata hidupku tidak terlepas dari

bahaya…”

‘Maafkan aku, aku kira kau masih gadis…” kata Wiro sambil tersenyum dan

menggaruk kepala. Ucapan ini membuat perempuan di hadapannya menjadi merah parasnya. Wiro segera mengalihkan pembicaraan. “Kau ingin kita segera pergi dari

sini sekarang juga?”

“Tunggu, ada hal penting yang ingin kutanyakan. Tentang nenek berjubah 

hitam dan berambut kasar itu. Ketika kau berkelahi dengan dia apakah kau

menciderainya?”

“Tidak. Ada keraguan pada diriku saat itu. Kawatir kalau dia memang

gurumu…”

“Dia memang guruku walau hanya sempat mengajarku lima silat selama tiga

bulan…” kata perempuan muda itu pula. “Aku harus segera mencarinya. Aku butuh

bantuannya menghadapi tiga manusia terkutuk itu.”

Wiro hanya berdiam diri. Perempuan di depannya menatap wajahnya beberapa

lama lalu bertanya. “Kau kecewa kalau aku tidak mau menceritakan siapa diriku dan

apa yang telah terjadi padaku?”

Wiro hanya tersenyum dan gelengkan kepala.

“Kurasa kau orang baik dan mungkin bisa kupercaya. Baiklah, akan kukaakan 

siapa diriku. Namaku Antini. Suamiku Lor Kameswara. Tapi dia sudah tewas.

Dibunuh secara keji oleh Kebo Panaran dan tiga kawannya….”


SEMBILAN


Bukit kecil subur itu terletak di sebelah barat Kali Bogowonto, tak berapa jauh 

dari Banyuurip. Di sebuah rumah seorang lelaki berusia sekitar setengah abad tengah

membersihkan biji-biji kopi dalam tiga buah keranjang besar. Dia telah melakukan 

pekerjaan itu sejak pagi. Kelihatannya pekerjaan ringan saja tetapi cukup melelahkan 

dan membuat tubuhnya pegal serta keringatan.

Karena tenggorokannya terasa kering lelaki ini mengambil kendi tanah berisi

air putih lalu meneguknya. Selagi dia meneguk air inilah kedua matanya melihat lima

orang penunggang kuda muncul di kaki bukit sebelah barat dan bergerak ke arah 

rumahnya.

Tak berapa lama kemudian muncul lima penunggang kuda itu sudah

memasuki halaman. Ternyata mereka empat orang lelaki berpakaian kumal berambut

panjang riap-riapan dan bertampang sangar. Yang satu lagi seorang perempuan

berpakaian dan berikat kepala kuning. Wajahnya tak kalah seram dengan empat lelaki

itu.

Kelima penunggang kuda berhenti di depan rumah lalu turun dari kuda

masing-masing. Yang sebelah depan yaitu yang berubuh tinggi hitam, berewok dan

berkumis tebal berdiri berkacak pinggang sementara tiga lainnya tegak sambil

menyeringai.

“Lor Kameswara! Kau tidak mengenali kami lagi?!” Tanya si berewok dengan

suara lantang.

“Astaga! Kalau tidak mendengar suaramu aku hampir lupa! Kebo Panaran!”

menyahut lelaki di dalam rumah lalu melompat berdiri, menubruk dan merangkul si

tinggi hitam berewok. Dia juga memeluk empat orang lainnya sambil menyebut nama

mereka satu persatu. “Bargas Pati, Tunggul Anaprang, Legok Ambengan dan Ambar

Parangkuning!”

Orang yang terakhir yakni perempuan berbaju kuning yang pada pinggangnya

bergelantungan selusin pisau belati tertawa tinggi lalu berkata. “Tidak salah kalau dia

tidak mengenal kita lagi. Habis, tampang dan pakaian kita dekil lecak seperti ini!

Hik…hik…hikkk!

Empat kawannya menyeringai sedang si pemilik rumah yang bernama Lor

Kameswara tertawa lebar. Dia mempersilahkan kelima orang itu masuk dan duduk di

atas sehelai tikar lebar.

“Kau kelihatan hidup tentram di sini Lor Kameswara,” kata lelaki bernama

Bargas Pati. Kepalanya botak. Tubuhnya gemuk. Dia mengenakan pakaian dan ikat

kepala serba merah.

Yang bernama Legok Ambengan ulurkan kepalanya ke dekat keranjang kopi.

“Kau sudah jadi petani kopi rupanya. Dan sedang panen! Wah, kami datang tepat

pada waktunya untuk dapat menikmati kopi hasil kebunmu!”

“Jangan kawatir. Akan ku buatkan kopi untuk kalian berlima,” kata Lor

Kameswara. Lalu di bertanya “Selama ini kemana saja kalian menghilang?”

“Siapa bilang kami menghilang!” kata Kebo Panaran sambil mengusap

berewoknya. Dia berpaling pada kawan yang duduk di sebelahnya. “Legok, coba kau

katakana pada bekas pimpinan kita ini apa saja yang kita lakukan selama ini!”

Legok Ambengan yang berpakaian serba hijau dengan dua golok tersisip di

pinggangnya kiri kanan bersandar ke dinding rumah. Sambil melunjurkan kedua

kakinya dia berkata “Satu bulan setelah pertemuan kita terakhir, kami berhasil menjebak serombangan pasukan kerajaan. Mereka berjumlah dua belas orang dan 

membawa barang-barang cukup berharga. Setelah itu kami berhasil menyusup masuk 

ke dalam rumah kediaman Pangeran Blorong. Sejumlah harta dan uang kami rampas.

Bahkan dua orang selir sang Pangeran sempat kami ajak berkeliling selama dua bulan.

Kami juga sempat bergabung dengan para penjahat di hutan sebelah utara. Kami

berhasil mengumpulkan sejumlah harta kekayaan. Digabung dengan yang kita

dapatkan di masa perang tempo hari, kita berlima, berenam dengan kau boleh dibilang

sudah jadi orang-orang kaya baru…”

“Kalau begitu kalian semua bisa menjalani hidup senang, tak perlu bekeliaran 

lagi” kata Lor Kameswara.

“Maunya memang begitu” menyahuti Kebo Panaran. “Tapi kami merasa

peperangan belum selesai. Itu pula sebabnya kami dating menemuimu. Kau bekas

pimpinan kami di masa perang. Sampai saat ini kami tetap menganggapmu sebagai

pemimpin. Kami datang untuk minta kau pimpin kembali guan melanjutkan 

perjuangan”

Sesaat Lor Kameswara seperti tercengang mendengar kata-kata bekas anak buahnya

itu. “Kawan-kawan, sakit hai kita terhadap Raja yang sekarang memang tak bisa

lenyap samapi kapanpun. Tetapi adalah sanagat berbahaya kalau kalian menjalani

hidup sebagai penjahat dan perampok malah berani memasuki tempat kediaman 

Pangeran Blorong menculik dua selirnya dan membunuh pasukan kerajaan. Kalian 

akan jadi sasaran pengejaran seumur hidup. Kalian bisa celaka. Kita semua bisa

celaka!”

“Kau kedengarannya seperti takut pada kerajaan, Lor Kameswara. Mana

keberanian yang pernah kau tunjukkan di masa perang dahulu?”

“Kebo Panaran, sekarang keadaan sudah berubah,” kata Lor Kameswara pula.

“Maksudmu berubah bagaimana?” Tanya Legok Ambengan. “Apanya yang

berobah. Kau bilang perang sudah berakhir. Kami mengatakan tidak!”

“Kau keliru Legok. Perang nyata-nyata telah berakhir sejak jatuhnya Sri

Baginda yang lama tewas di tangan Raja yang sekarang memerintah. Ini kenyataan 

yang tidak bisa dipungkiri sahabat-sahabatku!”

Kebo Panaran tertawa. “Kau keliru Lor Kameswara. Apa kau tidak tahu 

bagaimana sisa-sisa perajurit kerajaan yang masih setia dengan Raja lama kini

menyusun kekuatan. Di mana-mana mereka melakukan perang susup atau perang 

gerilya. Walau sedikit demi sedikit tetapi secara pasti mereka menggerogoti kekuatan

Kerajaan hingga satu ketika akan lumpuh dan hancur!”

“Kekuatan pasukan yang setia pada Sri Baginda lama terlalu kecil. Terpencarpencar. Mereka mudah dihancurkan oleh pasukan Kerajaan.”

Kebo Panaran geleng-gelengkan kepala. “Buktinya sampai saat ini pasukan 

Kerajaan tidak mampu menghancurkan kami berlima!”

“Mungkin sekarang tidak sahabatku! Ta pi percayalah. Kerajaan sekarang 

benar-benar kuat. Mereka memiliki perajurit yang terlatih, perwira yang tangguh seta

dibantu oleh belasan tokoh-tokoh silat tingkat tinggi…”

“Itu betul,” memotong Bargas Pati. “Tetapi apakah kita akan jadi patah

semangat hanya karena kelemahan yang tidak berarti itu? Kita bisa mengumpulkan

harta dan uang untuk membeli atau membuat senjata. Untuk menggembleng semua

perajurit kita bahkan kalau perlu membeli perwira dan okoh silat Kerajaan!”

“Aku yakin tidak semudah itu melakukannya sahabat-sahabat,” kata Lor

Kameswara pula.

“Sudahlah, tak usah kita ributkan lagi soal apakah perang sudah selesai atau

belum. Yang jelas kami minta kau jadi pemimpin kami kembali. Kita akan kumpulkan kawan-kawan. Bentuk pasukan baru. Kita pasti menang Kameswara.”

Yang bicara adalah Ambar Parangkuning.

Di masa perang saudara antara Ambar Parangkuning dan Lor Kameswara

terjalin hubungan mesra. Tapi hubungan itu keburu diketahui oleh istri Lor

Kameswara sehingga perempuan ini dalam marahnya melarikan diri. Malang baginya

di tengah jalan dia diserang penyakit menular dan akhirnya menemui ajal. Lor

Kameswara merasa sangat bersalah dan berdosa besar. Setelah perang selesai dia

sama sekali tidak mau melanjutkan hubungan dengan Ambar Parangkuning walau 

perempuan ini sebenarnya sangat mengharapkan untuk diambilnya jadi istrinya. Lor

Kameswara sendiri kemudian mengucilkan diri di tempat sepi.

“Maafkan aku Ambar,” menjawab Lor Kameswara. “Aku sudah terlalu tua

memimpin satu perjuangan yang sia-sia. Kebo Panaran bisa kalian jadikan pemimpin

baru. Aku ingin di sisa usiaku menikmati hidup yang tenteram….. Aku akan 

hidangkan kopi untuk kalian.” Lalu Lor Kameswara berdiri dan masuk ke dalam

rumah. Tak berapa lama kemudian dia keluar lagi membawa sebuah nampan kayu. Di

atas nampan terdapat enam buah cangkir tanah dan sebuah teko besar berisi kopi

panas. Di atas nampan itu masih ada sebuah piring kaleng besar berisi pisang goreng.

Kepulan asap kopi yang harum serta sedapnya bau pisang goreng membuat air liur

kelima orang itu jadi berdecak.

Hidung mereka kembang kempis. Dan mata mereka tiba-tiba saja menjadi

membesar. Seorang perempuan sanga muda, mungkin masih gadis, berkulit kuning

langsa dan berwajah cantik sekali serta memiliki potongan tubuh yang menggiurkan 

melangkah di belakang Lor Kameswara. Orang-orang itu bertanya-tanya siapa adanya

si jelita yang menurut dugaan mereka berusia sekitar dua puluh tahunan itu.

Kebo Panaran mengusap berewoknya. Kedua matanya tak berkesip. Tunggul

Anaprang membasahi bibir dangan ujung lidah berulang kali sedang Legok 

Ambengan dan Bargas Pati seperi orang tersirap sihir, memandang tak bergerak dan 

tak berkedip. Ambar Parangkuning tampak tenang saja. Namun diam-diam dalam

dadanya muncul satu getaran rasa cemburu.

“Tidak kusangka kau menyimpan seorang dara jelita di rumah ini, Lor

Kameswara!” kata Kebo Panaran pada Lor Kameswara tetapi matanya memandang 

pada perempuan itu dengan pandangan mata seperti hendak menelanjangi.

“Kami tahu dari istrimu dulu kau tidak memiliki anak. Siapa gerangan

bidadari ini Kameswara?” Tanya Tunggul Anaprang pula sambil mengusap muka

yang pucat berulang kali.

Lor Kameswara tersenyum. “Ini Antini, istriku….” Menerangkan Lor

Kameswara.

Karena tidak menduga sama sekali, karuan saja keempat lelaki itu jadi terkejut

dan ada yang keluarkan seruan tertahan. Sementara itu paras Ambar Parangkuning

kelihatan berubah.

“Istrimu katamu Kames?” Tanya Bargas Pati.

“Betul…?” Lor Kameswara meletakkan nampan di lantai yang beralaskan 

tikar. Kelima kawannya jadi saling pandang.

“Kini aku tahu. Rupanya ini sebabnya. Kau tak mau lagi meneruskan 

perjuangan, tak mau lagi ikut perang karena kini kau sudah punya istri cantik jelita!”

kata Kebo Panaran.

“Boleh saja kau bilang begitu. Tapi alasanku tadi sudah kukatakan. Aku ingin

hidup tenteram….”

Tunggul Anaprang menyeringai. “Usia kalian pasti terpaut jauh. Istrimu ini

sebenarnya pantas jadi anakmu! Ha… ha… ha!Paras istri Lor Kameswara jadi merah mendengat kata-kata itu. Lor

Kameswara sendiri merasa tidak enak dengan ucapan Tunggul Anaprang tadi. Namun

dia tenang saja. “Antini masih keponakan mendiang istriku. Dia anak baik. Kami tahu

perbedaan umur kami yang menyolok. Tetapi dia merasa berjodoh denganku. Kalau

tidak ada dia, siapa yang akan merawat tubuh keropok ini!”

“Kau benar-benar tua bangka yang beruntung…” kata Legok Ambengan 

sementara Lor Kameswara menyuruh istrinya menuangkan kopi hangat ke dalam

enam cangkir tanah.

“Selagi masih hangat silahkan kalian minum kopinya. Juga pisang gorengnya

agar dicicipi,” mempersilahkan tuan rumah.

Namun tidak ada satu orangpun yang bergerak. Kecuali Ambar Parangkuning,

leleaki yang lima itu sama memperhatikan Antini melangkah masuk ke dalam rumah.

Betisnya yang putih bagus dan tersingkap ketika melangkah membuat para lelaki

yang selama ini hanya berada dalam rimba belantara menjadi terangsang dan 

berangan-angan kotor. Beberapa lama kemudian baru mereka meneuk minuman

masing-masing.

“Sedap sekali kopi buatan istrimu,” memuji Legok Ambengan. “Kapan aku 

bisa mendapatkan istri seperti istrimu itu!” Ucapan lelaki ini membuat kawankawannya yang lain tertawa bergelak. Tetapi mereka sebenarnya tengah tenggelam

dalam jalan pikiran masing-masing. Ketika Kebo Panaran memandang padanya,

Legok Ambengan kedipkan mata kirinya. Kebo Panaran yang maklum akan arti

kedipan mata itu membalas dengan seringai. Tiba-tiba Kebo Panaran berdiri. “Aku 

ingin mencuci muka. Wajahku terasa lengket oleh debu jalanan. Di mana letak

sumur?”

“Di halaman belakang. Mari kuantar,” kata Lor Kameswara pula.

“Tak usah, aku bisa pergi sendiri!” Lalu Kebo Panaran bergegas masuk ke

dalam rumah, terus menuju halaman belakang. Tetapi sebenarnya bukan mencari

sumur itu yang hendak dilakukannya. Melainkan dia ingin melihat Antini yang cantik 

jelita tadi, yang telah membakar aliran darahnya.

Istri Lor Kameswara itu ternyata berada tidak jauh dari sumur di halaman 

belakang, tengah menampi beras membelakanginya. Begitu samapi di dekat Antini ,

langsung saja perempuan ini disergap dirangkulnya. Tentu saja perempuan ini terkejut

dan terpekik keras. Tampian beras yang dpegangnya terlepas jatuh dan beras

berserakan di tanah.

Di serambi depan Lor Kameswara melompat dari duduknya begitu mendengar

suara jeritan istrinya dari belakang rumah. Namun baru saja dia hendak berdiri,

Bargas Pati, Legok Ambengan dan Tunggu Anaprang telah mendahului dan tegak

mengurungnya. Hanya Ambar Parangkuning yang masih tetap duduk di atas tikar.

Perempuan ini sebenarnya sudah maklum apa yang terjadi di belakang sana dan apa

yang hendak dilakukan tiga kawannya itu. Hatinya sebenarnya tidak suka namun

kebencian karena merasa dilupakan begitu saja oleh Lor Kameswara membuat dia

tidak melakukan apa-apa.

Di belakang sana kembali terdengar jeritan Antini.

“Minggir!” bentak Lor Kameswara sambil berdiri. Tapi Legok Ambengan 

cepat menekan kedua bahunya dari belakang.

“Kau hendak kemana Kameswara? Tenang-tenang saja di sini. Obrolan kita

belum selesai…’ kata Legok Ambengan. Lor Kameswara merasa kedua bahunya

seperti ditekan oleh dua batu besar yang beratnya puluhan kati. Jelas Legok

Ambengan telah mengerahkan tenaga dalamnya.

“Singkirkan kedua tanganmu Legok!” bentak Lor Kameswara.

“Tidak, kecuali kalau kau mengatakan akan bersedia menjadi pimpinan kami

lagi dan berperang melawan Kerajaan!”

Di halaman belakang lagi-lagi terdengar jeritan Antini.

“Keparat! Aku tahu ada maksud kotor dan busuk dalam diri kalian berlima!

Awas! Jika terjadi sesuatu dengan istriku kalian semua akan kubunuh!” Habis berkata

begitu Lor Kameswara tarik kedua tangan Legok Ambengan yang masih menekan

bahunya lalu sambil menjatuhkan diri dia membetot orang yang di belakangnya itu.

Gerakan Lor Kameswara secepat kilat dan daya tariknya luar biasa. Orang lain pasti

akan terbetot dan terbanting ke lantai. Tapi tidak demikian dengan Legok Ambengan.

Tubuhnya memang terbanting ke depan tapi tidak sampai terhampar di lantai serambi.

Kedua kakinya membuat gerakan cepat dan dia berhasil tegak, bersamaan dengan

bangkitnya Lor Kameswara.

Karena Legok Ambengan perlu saat untuk mengimbangi dirinya, maka

kesempatan ini dipergunakan oleh Lor Kameswara untuk menghantam lelaki ini

dengan satu jotosan keras kea rah dadanya.

“Bukkk!”

Legok Ambengan terlempar. Dari mulutnya keluar seruan kesakitan disusul

dengan mengucurnya darah dari mulut. Jelas dia mengalami luka di dalam yang parah.

Tetapi manusia ini seperti mempunyai kekuatan aneh. Secara luar biasa dia menerjang 

ke depan sambil menyemburkan darah yang ada dalam mulutnya ke muka Lor

Kameswara. Ludah campur darah menodai wajah Lor Kameswara.

Mendidih darah bekas perwira Kerajaan ini. Didahului bentakan keras Lor

Kameswara kembali hendak menggasak orang di depannya itu. Namun dari kiri kanan 

saat itu Tunggul Anaprang dan Bargas Pati bergerak cepat dan lancarkan serangan

tangan kosong yang dahsyat.

Sebagai seorang bekas perwira Kerajaan Lor Kameswara memang memiliki

kepandaian tinggi disbanding dengan kawan-kawannya seperjuangan dulu. Namun 

dikeroyok tiga membuat dia serta merta terdesak.

“Aku tidak harus melayani masing-masing keparat ini. Aku harus menolong

Antini. Sesuatu terjadi di belakang sana!” kata Lor Kameswara dalam hati. Kaki

kanannya menendang mencari sasaran di perut Legok Ambengan. Serentak dengan itu

tangan kirinya menderu ke arah kepala Bargas Pati. Selagi kedua orang ini membuat

gerakan menghindar Lor Kameswara lepaskan pukulan tangan kosong ke arah 

Tunggul Anaprang. Serangkum anagin menderu keras. Tunggul anaprang sudah tahu 

kalau bekas pimpinannya itu memiliki tenaga dalam lebih tinggi darinya. Dia tak

berani menangkis karenanya cepat mengelak dangan melompat ke samping. Selagi

dua orang lainnya belum sempat berbuat sesuatu Lor Kameswara cepat menerjang 

dan lari ke dlaam rumah, terus berkelebat ke halaman belakang.

“Kebo Panaran keparat! Kubunuh kau!” teriak Lor Kameswara ketika

menyaksikan apa yang terjadi di halaman belakang dekat sumur


SEPULUH


Kebo Panaran seperti orang kemasukan setan merobek pakaian Antini. Nafsu 

mesum semakin membakar tubuh lelaki ini begitu dada istri Lor Kameswara itu

tersingkap lebar. Saat itu Legok Ambengan, Bargas Pati, Tunggul Anaprang serta

Ambar Parangkuning sudah berada pula di halaman belakang itu. Tiga lelaki ini

menahan nafas menyaksikan keindahan dada Antini.

“Kebo! Jangan kau makan sendiri daun muda berwajah bidadari itu!” seru 

Tunggul Anaprang. Lalu dia melompat dan mendekap Antini dari samping dan 

menciumi oeremouan ini. Di saat yang sama Lor Kameswara telah menyerbu Kebo

Panaran dengan kemarahan yang tidak dapat dilukiskan. Tinjunya menderu ke arah 

muka Kebo Panaran. Perkelahian seru segera terjadi tanpa Lor Kameswara menyadari

bahwakeadaan istrinya yang sedang dibelanya itu justru saat itu makin berbahaya.

Tunggul Anaprang, Bargas Pati dan Legok Ambengan berebut cepat menggerayangi

tubuh Antini yang benjerit-jerit tiada henti hingga suaranya serak.

“Manusia-manusia iblis!” kertak Lor Kameswara. Dia memutar tubuh

meninggalkan Kebo Panaran, berkelebat ke arah Legok Ambengan. Tangannya

bergerak cepat menyambar satu dari dua golok yang tergantung di pinggang Legok.

Dengan senjata itu lalu dia mengamuk. Melihat hal ini Kebo Panaran dan kawankawannya segera pula menghunus senjata masing-masing. Kebo Panaran mencabut

golok besarnya. Tunggul Anaparang loloskan rantai besi yang menggelung

pinggangnya. Bargas PAti cepat keluarkan celurit besarnya sedang Legok Ambengan

juga sudah mencabut goloknya yang kini hanya tinggal satu.

Kini perkelahian baralih dari hanya mempergunakan tangan kosong menjadi

perkelahian dengan senjata tajam. Saat itu hanya Ambar Parangkuning yang tidak ikut

mengeroyok dan tetap tegak di tempatnya.

“Antini! Lari….. Selamatkan dirimu!” teriak Lor Kameswara ketika dia

menyadari dirinya mulai terdessak. Tapi sang istri malah belas berteriak “Kangmas

Kames. Saya memilih mati bersamamu……” Lalu perempuan muda ini menyambar

sebilah parang yang tersisip di dinding belakang rumah. Namun belum sempat dia

menyentuh senjata ini Tunggul Anaprang melompat dai kalangan perkelahian dan 

menyambar pinggangnya. Kedua orang itu jatuh beulingan di tanah. Celakanya,

ketika berada di sebelah atas! Langsung saja dia menciumi dan menggerayangi tubuh

Antini.

“Kangmas Kames! Tolong…. Tolong!”

“Tunggul! Setan kau!” teriak Lor Kameswara. Dia tidak perdulikan lagi para

pengeroyoknya, langsung saja dia berkelebat ke kanan untuk menolong istrinya yang 

tengah dinodai oaring. Namun saat itu pula clurit di tangan Bargas Pati menyambar.

Lor Kameswara masih sempat melihat datangnya senjata lawan. Dia mengelak tapi

terlambat. Ujung clurit membabat pipi kirinya. Darah mengucur deras dari luka yang

terbuka. Antini menjerit keras.

Selagi Lor Kameswara tertegun sempoyongan sambil pegangi wajahnya yang

koyak. Golok yang tadi dipegangnya sudah terlepas jatuh. Saat itulah Kebo Panaran 

dating dari samping menusukkan goloknya ke perut Lor Kameswara.

“Jangan bunuh dia!” Satu suara membentak.

“Heh?!” gerakan tangan kanan Kebo Panaran sesaat terhenti. Dia berpaling ke

samping, “Heh?! Betul kau yang barusan bicara Ambar?!”Ambar Parangkuning memandang tajam dan tak berkesip pada Kebo Panaran 

membuat sesaat lelaki ini jadi tertegun.

“Rupanya kau masih mencintai dia, Ambar?!”

“Saat ini kita bukan bicara soal cinta Kebo! Tapi soal persahabatan dan 

kehormatan! Betapa keji pribadimu hendak membunuh kawan dan bekas pimpinan 

sendiri! Lebih busuk lagi karena kau diam-diam mengatur untuk menodai istrinya!

Aku tidak suka hal ini!”

“Jika kau tidak suka, kau boleh pergi dari sini! Tunggu saja di halaman depan 

sampai kami seleai!” Yang bicara adalah si botak Bargas Pati.

“Kalian biadab semua! Rutuk Ambar Parangkuning lalu putar tubuh

tinggalkan tempat itu.

Lor Kameswara merasakan tubuhnya lemas akibat banyaknya darah yang

keluar dari luka di pipinya. Walau amarahnya masih mendidih namun dia seperti

lumpuh dan tak mampu melawan ketika tendangan Legok Ambengan menghanam

pinggangnya sebelah belakang. Tubuhnya terhantar di tanah. Lalu satu tendangan 

pada kepalanya membuat pemandangannya serta merta gelap. Megap-megap dan 

boleh dikatakan sudah setengah pingsan Lor Kameswara coba bangun. Namun 

tusukan golok Kebo Panaran ke lehernya mengakhiri semuanya. Darah menyembur

muncrat dari batang leher Lor Kameswara. Bekas perwira yang malang ini terguling

di tanah tanpa berkutik lagi.

Melihat suaminya menemui ajal seperti itu ditambah dia tidak bisa

melepaskan diri dari cengekraman Tunggul Anaprang, Antini seperti gila hanya bisa

menjerit serak.

“Bunuh! Bunuh saja aku!” teriak perempuan muda berusia dua puluh tahun ini.

Kebo Panaran tertawa mengekeh. Sambil menyeka golok berdarahnya ke

celana hitamnya orang ini melangkah mendekati Tunggul Anaprang yang masih 

bersama Antini.

“Jangan rakus! Jangan dimakan sendiri Tunggul!” kata Kebo Panaran sambil

mencekal baju biru Tunggul Anaprang lalu menariknya ke atas kemudian dibanting 

lagi ke tanah! Dan berkata “Kau dan yang lain-lainnya gotong mayat Kameswara dan 

cemplungkan ke dalam sumur!”

“Jang… jangan….” Kata Antini perlahan yang sudah lemas tak punya

kekuatan lagi.

Sesuai perintah Kebo Panaran tiga orang kawannya segera menggotong

jenazah Lor Kameswara. Lalu jenazah itu dilemparkan ke dlaam sumur!

Kebo Panaran menyeringai. Dia berjongkok di samping Antini yang masih

terbaring tak berdaya di tanah. “Tak ada yang harus kau takutkan. Aku lebih muda

dan lebih gagah dari suamimu si tua bangka tak tahu diri itu. Jika kalau mau selamat

ikuti saja apa mauku dan mau kawan-kawanku. Mari kita bersenang-senang 

sebentar!”

“Iblis! Manusia durjana! Pergi!

Kebo Panaran hanya ganda tertawa. Perlahan lahan dia buka ikat pinggang 

besarnya. Lalu berlutut di samping tubuh Antini. Saat itu perempuan ini sudah tak 

punya daya apa-apa lagi. Hanya air mata saja yang masih sanggup dikeluarkannya.

Dadanya bergoncang keras ketika Kebo Panaran menarik kain panjangnya….Lalu 

dilihatnya wajah lain di atas tubhnya. Lalu wajah lain lagi dan lain lagi….. Ini adalah 

hari paling terkutuk bagi perempuan muda yang malang itu.

Menjelang rembang petang keempat orang itu berkumpul di halaman depan

rumah Lor Kameswara.“Eh, kuda Ambar Kuning tidak kelihatan!” kata Bargas Pati sambil mengusap 

mukanya yang penuh keringat.

“Dia benar-benar sudah kabur rupanya!” menyahuti Legok Ambengan.

“Kabur atau kemanapun dia tak usah dipikirkan. Cepat atau lambat dia pasti

akan bergabung lagi dengan kita. Tolol kalau dia pergi mentah-mentah begitu saja.

Apa dia tidak ingin bagian dari segala harta kekayaan dan uang yang kita simpan di

tempat rahasia itu?!” Kebo Panaran meludah ke tanah. “Sudah jangan banyak bicara

lagi. Cepat tinggalkan tempat terkutuk ini!”

Besamaan dengan tenggelamnya sang surya dan keadaan mulai gelap karena

malam segera tiba, di halaman depan rumah kediaman Lor Kameswara kelihatan satu 

bayangan. Dengan cepat bayangan ini bergerak menuju halaman belakang. Begitu

sampai di halaman belakang orang yang muncul ini terdengar menghela nafas panjang.

Lalu dia melangkah mendekati sosok tubuh Antini yang tergeletak di tanah. Orang ini

ternyata seorang nenek muka pucat berambut jabrik berjubah hitam gombrong

menjela tanah.

Beberapa lama dia hanya tegak memandangi sosok tubuh tak bergerak itu 

dengan muka membesi dan kedua tangan terkepal. Lalu orang ini membungkuk.

Dipegangnya pergelangan tangan kiri Antini. Tak terasa denyutan nadi. “Mati…?”

pikirnya. Lalu diturunkannya kepalanya , diletakkan di atas dada Antini. Perlahan 

sekali, antara terdengar dan tidak, si nenek masih dapat menangkap suara detak 

jantung. “Ah, dia masih hidup. Tapi keadaannya gawat sekali. Aku harus cepat-cepat

membawanya dari sini dan mengobatinya. Kasihan, kalaupun dia bisa kutolong 

apakah batin dan perasaannya bisa diselamatkan?”

Nenek berjubah hitam itu cepat memanggul Antini di bahu kirinya. Sebelum

pergi dia berpaling kea rah sumur di mana sebelumnya Kebo Panaran dan kawankawannya telah mencemplungkan Lor Kameswara ke dalam sumur itu.

“Ah, dia tak mungkin bisa kutolong. Semoga rohnya tenteram di tempat

itu….” Si nenek menghela nafas sekali lagi lalu sekali berkelebat diapun lenyap dari

tempat itu bersama Antini. Tempat itu kini hanya diselimuti kepekatan malam dan

kesunyian.

Antini tidak tahu berapa lama dia jatuh pingsan. Sewaktu sadar didapatinya

dirinya tergolek dalam sebuah goa batu yang dinding-dindingnya terasa dingin.

Perempuan malang ini sesaat menatap langit-langit goa. Dia coba berpikir dan 

mengingat-ingat. Tiba-tiba satu goncangan dahsyat melanda benak dan hatinya.

Langsung dari mulutnya terdengar suara jeritan. Dia akan terus menjerit kalau saja

tidak ada yang muncul. Seorang nenk bermuka pucat dan berambut kaku tegak

muncul di tempat itu. Wajahnya seram tapi suaranya lembut.

“Anakkua, tabahkan hatimu. Aku tahu penderitaanmu lebih berat dari seisi

jagat ini, lebih dalam dari laut dan lebih tinggi dari langit. Aku mohon kau ingat pada

Tuhan. Dialah yang telah menekdirkan segala sesuatu dalam hidup kita ini. Kau harus

tabah anak. Aku akan menolongmu….”

Antini bangkit dan duduk bersasndar ke dinding goa. Kejadian hebat yang

menimpanya telah membuat satu perubahan besar dalam diri perempuan yang masih 

sangat muda ini. Kalau dulu dia merupakan seorang perempuan yang lenbut dengan 

segala kehati-hatian, kini dia tampak begitu kasar dan berani walau sinar matanya

tidak dapat menyembunyikan rasa takut akibat kejadian terkutuk yang dialaminya.

“Kau boleh panggil aku Nenek Tidar,” jawab si nenek muka pucat. “Kau tak

usah takut padaku. Aku tahu semua yang telah kau alami…..”

Mendengar ucapan itu Antini langsung menjerit.Tenang…..Tenang anakku,” kata Nenek Tidar. “Kau tidak usah takut. Saat

ini kau berada di tempat yang aman. Dengar, aku akan berusaha menolongmu…”

“Menolongku Nek? Bagaimana mungkin kau bisa mengembalikan kehormaan 

dan kesucianku yang telah dirusak manusia-manusia durjana itu….”

“Kalau itu memang aku tidak dapat mengembalikannya. Tuhanpun tidak bisa.

Tetapi kesucian dan kehormatan dalam arti kejiwaan, pasti kau bisa mendapatkannya

kembali.”

“Aku tidak mengenal kau. Mengapa kau hendak menolongku. Aku curiga….”

Si nenek menyeringai. “Dalam soal tolong menolong tidak harus kenal satu 

sama lain lebih dahulu. Juga tak perlu rasa curiga padaku…..”

“Nek, kau tahu apa yang ingin kulakukan saat ini?” tanya Antini.

Si nenek menggeleng. “Coba kau katakan, anakku.”

“Aku ingin bunuh diri! Menyusul suamiku!” Habis berkata begitu Antini

kembali menjerit lalu menangis keras.

Nenek Tidar menghela nafas dalam lalu gelengkan kepala sambil membelai

rambut perempuan muda di hadapannya itu.

“Anakku, jika kau bunuh diri dan mati, berarti selesailah kejahatan yang

dilakukan oleh keempat manusia durjana itu. Kejadian pada hari terkutuk itu akan 

dilupakan orang. Berarti mereka tidak akan pernah menerima pembalasan. Kau 

seperti gila menghadapi kenyataan keji yang menimpa dirimu. Tapi apakah kau tidak 

merasa gila untuk bertekad menuntut balas aas perbuatan terkutuk yang mereka

lakukan terhadapmu? Apakah kau tidak punya niat untuk membalas kematian

suaamimu?! Mereka telah membuat satu hari terkutuk bagimu. Apakah kau tidak

bertekad untuk balas memberikan hari-hari terkutuk pada mereka?”

Si nenek memmandang tak berkesip dan Antini hanya bisa tersandar diam

dengan meulut terkancing. Tetapi kedua metanya yang indah tibaa-tiba memancarkan

satu sinar menyeramkan. Sinar itu perlahan-lahan redup dan hilang. Kedua mata itu

kini tampak berkaca-kaca lagi.

Kemudain terdengar suara Antini berkata “Tentu saja Nek, siaa orangnya yang

tidak punya niat membalaskan sakit hati dendam kesumat. Api aku yang lemah ini

punya kemampuan apa? Jangankan aku, pasukan Kerajaan saja tidak mampu 

menindak kelima manusia terkutuk itu.”

“Asal kau mau, kau pasti dapat melakukannya. Untuk itu pertama sekali kau

harus mempunyai kepandaian silat serta dasar-dasar ilmu tenaga dalam….”

“Aku sama sekali tidak memiliki kepandaian apapun!” jawab Antini.

“Anak, kau tak usah khawatir. Aku akan mengajarkan padamu dalam waktu 

singkat. Tiga kali purnama kurasa sudh cukup bagimu untuk menguasainya. Aku

maklum kalau tiga bulan tidak mungkin bagimu untuk berbuat banyak dalam

menghadapi manusia-manusia terkutuk itu. Untuk itu kau akan kuajarkan ilmu kedua

yaitu ilmu penyamaran dan mempergunakan akal serta pikiran. Kecerdikan selalu 

dapat mengalahkan kekuatan atau musuh yang bagaimanapun hebatnya….Nah yang

jadi pertanyaan kau mau mendekam selama tiga bulan di tempat ini bersamaku?”

Antini tak segera menjawab. Dia seperti berpikir-pikir. Kemudaian perlahanlahan kepalanya dianggukkan.

Si nenek terawa lebar. Antini memperhatikan ada satu keanehan pada wajah 

orang tua ini tapi dia belum dapat menerka keanehan apa yang tersembunyi di balik 

wajah tersebut. Hanya ada satu pertanyaan yang tidak terjawab yaitu siapa sebenarnya

perempuan tua ini dan mengapa dia mau memberikan pertolongan….

Antini memandang pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Pemuda ini telah 

menyelamatkannya. Lalu apakah dia dapat dipercaya? Dari nama dan gerak geriknya Antini merasa bimbang. Sejak malapetaka besar yang menimpa suaminya dan dirinya

sendiri kepercayaan terhadap lelaki boleh dikatakan sudah tidak ada lagi. Setiap dia

melihat lelaki langsung timbul rasa curiga dan jijik. Dan ada kobaran rasa ingin 

membunuh semua lelaki yang ada di dunia ini!

Wiro sendiri setelah mendengar penuturan Antini menjadi sangat kasihan pada

perempuan malang ini. Dalam hatinya timbul rasa ingin menolong.

“Jadi selama tiga bulan kau digembleng oleh Nenek Tidar itu?”

Antini mengangguk.

“Tiga bulan waktu yang sangat singkat. Apapun ilmu yang kau miliki

sekarang ini rasanya belum cukup untuk dapat membalaskan dendam kesumat

sementara dirimu sendiri akan jadi bulan-bulanan maa bahaya.”

“Aku tahu. Nenek Tidar juga berkata begitu. Itu sebebnya dia berpesan agar

aku mempergunakan akal dan kecerdikan dalam melawan kekuatan dan kedurjanaan.

Dengan kepandaian menyamar yang diajarkan terbukti aku berhasil membunuh salah 

seorang dari mereka. Aku berpura-pura jadi pelacur. Dengan cara itu aku dapat

membunuh Tunggul Anaprang. Sekarang tinggal empat orang lagi. Aku yakin akan 

dapat menghabisi mereka semua. Yang paling aku incar adalah Kebo Panaran….”

“Masalahnya yang kau hadapi bukan saja sulit dan berat. Tapi juga berbahaya.

Kalau kau percaya padaku, aku bersedia membantumu.”

Antini memandang lagi pada Pendekar 212. “Kau telah menolongku. Aku

berterima kasih. Tapi apakah aku percaya padamu, itu hal lain. Biar aku melakukan 

pembalasan sendiri. Kalaupun aku mati, aku pasrah. Mungkin itu lebih baik bagiku!”

Murid Eyang Sinto Gendeng hanya bisa garuk-garuk kepala.


SEBELAS 


Rumah makan Simpang Tiga yang memang terletak di simpang tiga Jati Gombol

milik Among Kuntoro sangat terkenal akan kelezatan masakannya. Selain itu

harganya tidak mahal, cukup terjangkau oleh mereka dari golongan bawah sekalipun.

Siang itu Wiro duduk di satu sudut rumah makan sambil menunggu nasi yang 

dipesannya. Dia tak lama menunggu, seorang pelayan lelaki muda bertampang lugu 

menggunakan pakaian serta kopiah merah kebesaran dan wajah berswlomotan arang 

dapur dating membawakan pesanannya. Sikapnya agak kikuk. Wiro tersenyum.

Begitu pelayan hendak pergi Wiro cepat pegang lengannya seraya berkata “Dulu kau

menyamar sebagai pelacur. Sekarang sebagai pelayan rumah makan. Apayang akan 

terjadi hari ini, Antini?”

Wajah pelayan yang celemongan tampak menjadi pucat. Dalam hati dia

berkata “Matanya tajam sekali.” Lalu pelayan ini bertanya “Bagaimana dia bisa

mengenali diriku?”

“Kau mengajarkan agar berlaku cerdik. Nah aku hanya mengikuti ajaranmu.

Kau bisa merubah pakaian dan wajahmu serta sikapmu seratus kali dalam satu hari.

Tapi kau tidak bisa merobah kedua matamu. Aku mengenali mata dan caramu 

memandang.”

“Kalau kau sudah tahu jangan macam-macam. Aku tak mau segala rencana

yang sudah kususun akan menjadi berantakan gara-gara keusilanmu!” Si pelayan 

yang memang Antini adanya merengutkan tangannya. Baru saja dia melangkah masuk

ke bagian dalam rumah makan, di halaman depan dua pengunggang kuda yang baru

dating menambatkan kuda masing-masing lalu masuk ke dalam rumah makan dengan 

sikap seolah-olah tempat itu milik mereka. Orang pertama berkepala botak gemuk

dengan wajah berminyak. Dia menggunakan pakaian dan ikat kepala berwarna merah.

Sebuah celurit besar tergantung di pinggang kanannya. Orang ini bukan lain adalah

Bargas Pati.

Teman Bargas Pati yang mengenakan pakaian dan ikat kepala hijau serta

membekal dua buah golok tentu saja adalah Legok Ambengan. Kedua orang ini

duduk terpisah satu meja dari tempat Wiro asyik menyantap makanannya sambil

angkat kaki.

Seorang pelayan bukan Antini mendatangi. Bargas Pati menggebrak meja.

“Kami sudah lapar. Kau melayani seperti siput! Siapkan ikan bakar dan ayam goreng.

Jangan lupa sayuran. Cepat! Jangan lupa letakkan satu kendi tuak dan satu kendi air

putih di meja ini!” Kembali Bargas Pati menggebrak meja hingga pelayan di

depannya terlonjak kaget.

Si pelayan membungkuk lalu cepat-cepat berlalu dari situ. Di balik pintu 

ruangan dalam Antini memperhatikan. “Mereka hanya dating berdua. Kebo Panaran

dan perempuan bernama Ambar Parangkuning tidak kelihatan. Biar yang dua ini saja

dulu aku kerjakan….” Lalu Antini masuk ke dalam menemui pelayan yang satu tadi.

“Agar kau tidak kena semprot dua monyet itu, biar aku yang menyiapkan dan

menghidangkan makanan mereka.”

Di tempat duduknya Wiro memperhatikan dengan sudut mata. “Dari cerita

Antini, jangan-jangan dua orang ini adalah manusia-manusia terkutuk itu. Agaknya

sesuatu akan terjadi di tempat ini….”

Tak selang berapa lama, pelayan muda itu muncul membawa makanan yang

dipesan Bargas Pati dan Legok Ambengan, lengkap dengan minuman.“Pelayan muka banci! Untung kau yang datang. Kalau pelayan tadi pasti

sudah kutampar karena lama sekali!”

Si pelayan membungkuk dan meletakkan semua makanan dan minuman di

atas meja dengan sigap. “Mungkin ada pesanan lain?” Tanya si pelayan dengan 

hormat sekali. Bargas Pati mengusap kepalanya yang botak lalu tertawa. “Suaramu

halus seperti tikus cerurut! Sudah pergi sana!” Setelah membungkuk si pelayan 

memutar tubuh dan kedua orang itu segera saja menyantap makanan mereka. Sambil

makan mereka bicara dengan suara perlahan.

“Kalau nanti Kebo Panaran datang, sebaiknya kita bicarakan soal harta dan

uang yang kita sembunyikan itu,” akta Bargas Pati.

“Maksudmu?” Tanya Legok Ambengan sambil menggeragot paha ayam

goreng.

“Aku kawatir. Tempat kita menyembunyikan uang dan harta itu sewaktuwaktu bisa bocor….”

“Kalau Ambar Parangkuning yang kau takutkan, bukankah kita sudah 

memindahkan barang dan uang itu ke tempat lain?” ujar Legok Ambengan.

“Sebaiknya harta kekayaan itu segera kita bagi tiga saja. Lupakan si Ambar

yang minggat itu.” kata Bargas Pati pula.

“Kalau sudah dibagi lantas apa?”

Belum sempat Bargas Pati menjawab pertanyaan Legok Ambengan itu tibatiba dia merasakan perutnya seperti dibalik-balik. “Sialan! Perutku mulas!”

“Gila! Aku juga!” kata Legok Ambengan. Lalu cepat-cepat dia meneguk tuak 

dalam kendi maksudnya agar mulasnya hilang. Justru rasa mulas itu makin menggila.

“Tunggu aku di sini. Aku akan mencari kakus dulu!”

“Aku juga! Kita sama-sama ke belakang! Sialan!” maki Bargas Pati seraya

bangkit dari kursinya. Sambil bergegas ke bagian belakang rumah makan Bargas Pati

kembali mengomel. “Keparat! Ada yang tidak beres dengan makanan dan minuman 

di sini! Selesai buang hajat kita harus selidiki, Legok!”

“Aku setuju. Akan kupatahkan batang lehernya kalau nanti ternyata

makanannya ada yang basi atau mengandung racun!”

Sampai di belakang ternyata hanya ada satu kakus. Dan saat itu sedang diisi

seorang tamu. “Kurang ajar. Siapa di dalam. Lekas keluar!” teriak Bargas Pati lalu

digedornya pintu kakus. Terdengar suara orang di dalam. Lalu pintu terbuka sedikit.

Satu kepala bermuka bopeng muncul “Ada apa…” Orang ini bertanya. Bargas Pati

cekal kerah pakaian orang itu lalu menariknya dengan kasar keluar kakus. Si bopeng 

yang hanya mengenakan baju tanpa celana itu tentu saja berteriak-teriak.

“Hai! Apa-apaan ini! Aku belum selessai! Apa kau sudah gila?!”

Bargas Pati bantingkan orang itu ke lantai lalu masuk ke dalam kakus sambil

membantingkan pintu. Sementara itu Legok Ambengan yang sudah tidak tahan,

dalam keadaan kalang kabut enak saja menongkrong dekat cucian piring. Seorang

perempuan tua yang nyinyir yang sedangmembasuh sayuran dekat tempat itu

mengomel.

“Tua bangka edan! Jangan di situ!”

“Perempuan celaka! Apa katamu!” teriak Legok Ambengan. Lalu “Plaakk!”

Tangan kanannya menampar hingga perempuan itu terbanting ke dekat sumur.

Dari dalam rumah makan bergegas keluar seorang lelaki separuh baya. Dia

adalah Among Kuntoro pemilik rumah makan itu. Dia suah tahu apa yang terjadi

maka dia cepat berkata.

“Saudara tamu, seratus langkah di belakang sana ada sebuah parit. Airnya

cukup bersih. Pergilah kesana…”“Setan! Kenapa kau tidak bilang dari tadi!”

Legok Ambengan lalu lari ke arah yang ditunjuk pemilik rumah makan.

Seperti yang dikatakn memang tidak jauh dari situ ada sebuah parit berair jernih.

Disitu ditemuinya juga sebuah dinding gedek yang rupanya memang dibuat untuk

orang yang hendak buang hajat. Maka Legok Ambengan segera nongkrong di balik 

dinding gedek itu.

Kembali ke dalam kakus rumah makan. Sekujur tubuh dan wajah Bargas Pati

mandi keringat. Tapi sekarang dia benar-benar merasa lega setelah buang hajat. “Gila!

Baru sekali ini aku mengalami begini! Pasti ada yang tidak beres dengan makanan di

sini. Ada orang yang bermaksud jahat! Masakan hanya aku dan Legok saja yang jadi

begini?! Keparat betul!”

Selagi si botak gemuk ini mengomel dalam hati seperti itu tanpa diketahuinya

sebuah benda meluncur dari atas atap bangunan kakus. Benda ini ternyata adalah 

seutas ambang hitam yang ujungnya melingkar berbentuk buhul besar. Tanpa suara

tali itu meluncur terus melewati kepala botak Bargas Pati. Ketika Bargas Pati

merasakan ada sesuatu yang menyentuh bagian belakang kepalanya lalu melihat ada

benda yang lewat di depan mata dan hidungnya, dia pergunakan tangan untuk 

menangkapnya.

“Seran! Apa pula ini….?!” Bentaknya. Itulah ucapan terakhir dalam hidupnya.

Baru Bargas Pati sadar apa yang terjadi. Namun sudah terlambat. Dicobanya menarik

ali itu. Namun jiratan semakin kencang. Semakin dicobanya melepaskan diri semakin 

kencang gelungan tambang di batang lehernya. Dia coba berdiri. Tambang di atas

kepalanya seperti ditarik dengan cepat dan lehernya kembali terjirat kencang. Kedua

mata si botak ini mulai memdelik. Mulutnya terbuka dan lidahnya mulai terjulur.

Ketika di sebelah atas kembali tambang ditarik dan kedua kaki Bargas Pati tidak lagi

berpijak ke lantai kakus, terdengar suara berderak patah dan tanggalnya atulang leher

lelaki ini. Kedua kakinya melejang-lejang bebeapa kali. Setelah itu tubuhnya tak 

berkutik lagi. Bersamaan dengan itu sesosok tubuh yang mendekam di atas atap 

bangunan kakus cepat menyelinap turun tanpa satu orangpun melihatnya!

Tak lama kemudian Legok Ambengan muncul di belakang rumah makan.

Celana hijaunya basah kuyup. Selesai membuang hajat dia berusaha mencuci celana

itu. Bagaimanapun dicucinya bau busuk yang melekat di situ masih tercium santar.

Begitu sampai di pintu belakang rumah makan, dia berteriak. “Mana pemilik rumah

makan ini!”

Among Kuntoro bergegas mendatangi dengan wajah ketakutan. “Ada yang 

tidak beres dengan masakanmu! Aku dan kawanku kau beri makanan basi pasti!”

“Tidak bisa jadi, semua makanan baru dimasak pagi tadi,” jawab Among 

Kuntoro. “Kalau makanan di sini tercemar mengapa hanya saudarar tamu berdua saja

yang diserang mules?”

“Kalau begitu pasti ada yang menaruh sesuatu di makanan kami! Kau harus

bertanggung jawab!”

“Maafkan saya saudara tamu. Semua kebersihan dan pelayanan kami selalu 

terjamin…”

“Diam!” sentak Legok ambengan. ‘Aku dan kawanku minta ganti kerugian.

Kau harus bayar sepuluh ringgit perak pada kami berdua!”

“Saudara tamu. Bagaimana bisa begitu. Saya…”

“Kalau tidak kau berikan, akan kaim bakar rumah makan ini dan kupatahkan 

batang lehermu!”

Pucatlah wajah Among Kuntoro. Saat itu Legok Ambengan ingat pada Bargas

Pati. “Mana kawanku?!” tanyanya berteriak.

Di….dia masih di dalam kakus….” jawab Among Kuntoro.

“Dalam kakus…. Mengapa lama sekali?!” Legok Ambengan tiba-tiba saja

merasa tidak enak. Untuk pergi ke parit, buang hajat lalu mencuci celana dan kembali

ke rumah makan itu jelas dia membutuhkan waktu cukup lama. Dalam waktu yang

sebegitu mustahil Bargas Pati juga mendekam dalam kakus. Maka dia melangkah 

menuju kakus dan menggedor pintunya.

“Bargas! Jangan kau ngeram dalam kakus ini. Cepat! Ada sepuluh ringgit

perak menunggu kita!”

Tak ada jawaban dari dalam kakus. Legok Ambengan hendak berlalu tapi dia

berbalik lagi dan kembali menggedor.

“Bargas! Kau tuli apa bisu?! Ayo cepat keluar!”

Tetapi tak ada jawaban dari dalam kakus. Legok Ambengan dari tidak enak 

jadi curiga. “Kalau kau masih tak menjawab akan kudobrak pintu kakus ini!”

mengancam Legok Ambengan. Sementara itu beberapa orang tamu yang mendengar

suara ribut-ribut dan ingin tahu apa yang terjadi berdatangan ke belakang rumah 

makan. Seorang diantaranya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Setetlah beberapa kali menggedor dan berteriak memanggil-manggil

kawannya itu dan tetap tak ada jawaban, Legok Ambengan pergunakan kaki

kanannya untuk menendang pintu kakus. Pintu yang terbuat dari kayu tipis dan rapuh

itu pecah berantakan. Legok Ambengan menanggalkan sisa-sisa daun pintu yang

masih menempel. Namun kemudian, ketika dia memandang ke dalam kakus, satu 

teriakan keras keluar dari mulutnya. MUkanya pucat dan kedua kakinya yang gemetar

bersurut ke belakang!

Rumah makan yang ramai itu menjadi geger ketika mayat si botak Bargas Pati

akhirnya ditemukan dalam kakus dalam keadaan tergantung. Mata mencelet, lidah

terjulur. Ada darah keluar dari hidung dan telinganya. Yang menusuk mata Bargas

Pati tergantung hanya mengenakan baju saja. Celana merahnya terongok di lantai

kakus.

“Seseorang telah membunuh temanku!” teriak Legok Ambengan marah.

Dalam marahnya dia melompat ke hadapan Among Kuntoro dan mencekik leher

orang ini. “Kau bertanggung jawab atas kematian temanku! Katakan siapa yang

menggantungnya!”

Tentu saja pemilik rumah makan itu tidak bisa menjawab. Legok Ambengan 

jadi kalap. Tinjunya menderu menghantam muka si pemilik rumah makan hingga

hidungnya patah dan darah mengucur. Tubuh Among Kuntoro kemudian 

dibantingnya ke lantai. Ketika hendak diinjaknya satu suara terdenagr berkata.

“Kawanmu itu mungkin saja bunuh diri! Coba kau periksa dulu….!”

“Bangsat! Siapa yang barusan berani bicara?!” bentak Legok Ambengan. Dia

memandang berkeliling. Dengan geram dipalingkannya kepalanya ke arah kakus yang

pintunya terpentang lebar. Saat itulah baru Legok Ambengan melihat kalau di kerah

baju merah yang dikenakan Bargas Pati teselip secarik kertas. Legok Ambengan 

masuk ke dalam kakus dan berjingkat untuk dapat mengambil kertas itu. Begitu

gulungan kertas dibuka berubahlah paras Legok Ambengan. Dia segera mengenali

bentuk tulisan itu. Sama dengan tulisan yang ditinggalkan pembunuh Tunggul

Anaprang yang dibunuh di rumah pelacuran tempo hari. Bedanya kalau dulu ditulis

dengan darah, yang ini ditulis dengan kayu arang.

Di situ tertulis dengan jelas :

Orang kedua dari kalian tamat riwayatnya. Kalian bertiga tinggal menunggu 

giliran untuk menghadap roh suamiku di pintu akhirat! “Jadi….. jadi dia….” Desis Legok Ambengan dengan bibir bergetar. “Janganjangan dia masih ada di tempat ini….” Legok Ambengan memandang berkeliling.

Pandangannya membentur wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Aku rasa-rasa pernah 

melihat tampang ini sebelumnya. Tapi di mana…” Selagi Legok Ambengan

mengingat-ingat kedua matanya jatuh pada sosok tubuh pelayan yang tadi

membawakan makanan dan minuman pesanannya. “Eh….Tampangnya memang lain.

Tapi sosok tubuhnya sama besar dengan pemuda di kali tempo hari. Dan…” Legok 

Ambengan kembali berpaling pada Wiro. Dia ingat! “Pemuda gondrong ini adalah

orang yang menolong pemuda di kali itu….”

Sekali lompat saja Legok Ambengan sudah mencekal leher pakaian Wiro.

“Mana temanmu itu…. Lekas katakan di mana dia!”

“Temanku banyak. Satu diantaranya yang mampus gantung diri itu! jawab 

Wiro seenaknya. “Teman yang mana maksudmu?!”

Amarah Legok Ambengan jadi mendidih. Surat yang dipegangnya

ditempelkannya ke kening Wiro. “Temanmu di kali dulu. Dia yang menulis surat ini.

Pasti!”

“Ah, temanku semua buta huruf. Tak pandai menulis tak tahu baca…”

“Setan kau berani mempermainkanku!” teriak Legok Ambengan marah. Lalu 

tinjunya melayang ke muka Pendekar 212.

Namun jotosan murid Eyang Sinto Gendeng mendarat di ulu hati Legok 

Ambengan lebih dulu. Orang ini terpekik dan terpental dampai tiga langkah.

“Manusia haram jadah!” rutuk Legok Ambengan. Kedua tangannya bergerak ke

pinggang. Sepasang golok andalannya kini tergenggam di tangan kiri kanan. “Setan 

gondrong! Kucincang tubuhmu!” teriak Legok ambegan. Dua bilah golok berkiblat.

Wiro cepat menyingkir. Orang serumah makan itu kembali gempar. Legok Ambengan 

memburu Wiro dengan kedua goloknya. Namun setengah jalan langkahnya tertahan.

Dia mendengar suara berdesing di belakangnya. Goloknya diputar di belakang 

punggung.

“Trang!”

Sebuah pisau belati terbang terpental kena sambaran golok. Namun itu hanya

satu dari empat serangan pisau terbang yang sanggup dimentahkannya. Satu berhasil

dielakkan. Yang ketiga dan keempat menancap di punggung kiri dan pinggang

kanannya!

Legok Ambengan menjerit keras. Dalam keadaan terhuyung-huyung dia coba

memutar tubuh untuk melihat siapa yang membokongnya. Dia melihat pemuda

pelayan berkopiah merah tegak bertolak pinggang memandang tak berkesip dengan 

padangan angker ke arahnya.

“Kau… Kau Antini….” Desis Legok Ambengan.

Sambil menyeringai si pelayan buka kopiah merahnya. Semua orang yang ada

di situ kecuali Wiro melengak ketika melihat di atas kepala si pemuda tergelung

rambut hitam panjang. Pemuda itu goyangkan kepalanya. Rambut yang tergelung 

tanggal dan jatuh ke bahu.

“Astaga! Pelayan ini perempuan rupanya!” seseorang berseru.

“Tidak disangka wajahnya cantik sekali.” Seorang lain ikut berkata sementara

si pemilik rumah makan yaitu Among Kuntoro tercengang-cengang. Diapun tidak 

pernah menyangka kalau pelayan yang baru bekerja beberapa hari itu ternyata adalah 

seorang perempuan muda berparas sungguh jelita.

Dalam keadaan seperti itu si pelayan yang tentu saja Antini adanya melangkah 

mendekati Legok Ambengan. Setengah jalan dia membungkuk dan dengan cepat

mengambil golok milik Legok Ambengan yang tadi jatuh. Legok Ambengan yang 

lemas karena banyak mengeluarkan darah dari dua luka di tubuhnya coba menangkis

dengan goloknya sewaktu Antini membacokkan senjatanya ke arah kepalanya.

“Trang!” Golok di tangan Legok Ambengan mental.

“Jangan! Jang….” Teriakan Legok Ambengan putus berubah menjadi jeritan 

dahsyat ketika Antini menyorongkan goloknya ke bagian bawah perut lelaki itu.

Darah muncrat mengerikan. Saat itu Antini sendiri merasakan tubuhnya menjadi

limbung. Selagi dia terhuyung dan tersandar ke dinding bangunan rumah makan,

Pendekar 212 cepat mendatanginya. “Aku sudah menyiapkan dua ekor kuda di

halaman samping. Lekas tinggalkan tempat ini!” Tanpa banyak bicara Antini

mengikuti saja ketika dengan cepat Wiro menarik dirinya meninggalkan tempat itu.

Sementara rumah makan dalam keadaan kacau balau keduanya berlalu dari situ.


DUA BELAS 


Wiro dan Antini memacu kuda masing-masing menuju Selatan sementara sinar

sang surya yang tadinya putih silau dan terik kini berangsur menjadi lembut

kekuningan tanda hari mulai memasuki rembang petang.

“Ke mana tujuanmu sekarang?” Tanya Wiro.

“Masih ada dua orang manusia terkutuk yang harus kucari. Kebo Panaran dan

perempuan bernama ambar Parangkuning itu”

“Terus terang aku memuji ketabahan dan keberanianmu. Kau telah berhasil

membunuh tiga dari lima manusia terkutuk itu. Itu bukan pekerjaan mudah. Setahuku 

di dekat sini ada sebuah telaga kecil. Kuda-kuda tunggangan ini perlu istirahat dan

diberi minum. Dekat telaga ada pedataran rumput kecil. Keduanya bisa melepaskan 

lelah sambil merumput…”

Antini tidak menyahut. Tapi ketika Wiro membelokkan kudanya mengambil

jalan menuju telaga yang dikataknannya itu, Antini iktu membelok.

Telaga itu terletak di sebuah lembah kecil yang subur. Dikelilingi oleh pohonpohon rimbun serta bebatuan. Airnya jernih dan hawa di situ sejuk sekali. Wiro dan 

Antini turun dari kudanya masing-masing dan melepas kedua kuda itu di pedataran 

rumput segar. Wiro membasuh mukanya dengan air telaga sementara Antini duduk di

atas sebuah batu merendam kedua kakinya yang bagus ke dalam telaga.

“Perutku lapar. Sayang kita tak membekal makanan…” kata Wiro sambil

merebahkan diri di atas rerumputan dan memandang ke langit lepas. Dari balik 

pakaiannya Antini mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Ketika dibuka isinya

ternyata beberapa potong kue. Makanan itu diberikannya kepada Wiro. “Kalau lapar

makanlah…”

Wiro mengambil sepotong kue. Sambil mengunyah dia berkata. “Kue itu pasti

kau curi di rumah makan itu.”

Antini tersenyum.

“Ah! Ini kali pertama aku melihatmu tersenyum!” kata Wiro.

“Aku memang mencuri keu-kue ini di rumah makan. Tapi kau tidak lebih baik 

dariku. Kau makan dan minum di rumah makan itu, lalu enak saja ngeloyor tidak

membayar!”

“Astaga! Kau betul!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala hingga rambutnya

berselomotan minyak kue yang dimakannya. “Tapi tak usah khawatir. Sudah ada yang

membayar.”

“Siapa?” tanya Antini heran.

“Kau!” jawab Wiro.

“Aku?” Antini jadi heran.

“Betul. Kau sudah bekerja di rumah makan itu beberapa hari. Berapapun 

kecilnya pasti kau harus menerima upah. Nah upah yang belum kau ambil itulah

pembayar makanan dan minuman yang kusantap siang tadi!”

Mau tak mau Antini tidak dapat menahan tawanya. Suara tawanya lepas dan

merdu. Namun suara tawa ini terhenti sewaktu salah seekor kuda yang masih 

merumput tiba-tiba mengeluarkan suara meringkik. Wiro cepat bangkit sedang Antini

sudah melompat dari atas batu.

“Aku melihat bayangan seseorang di balik pepohonan sana!” kata Wiro lalu

berkelebat mengejar. Tapi begitu sampai di dekat deretan pohon-pohon, bayangan

yang dimaksudnya sudah lenyap tanpa bekas. Dia kembali ke tempat Antini.Dilihatnya perempuan muda itu tengah mengambil sesuatu yang tersisip di kelebatan 

bulu-bulu leher kudanya. Benda itu adalah segulung kertas.

“Kertas ini sebelumnya tak ada di sini….” kata Antini.

“Ada orang yang melemparkannya. Pasti dia berkepandaian tinggi kerana

bukan perkerjaan mudah menyusupkan gulungan kertas di antara bulu-bulu di leher

kuda. Coba kau buka. Kurasa sepucuk surat…”

Antini membuka gulungan kertas itu. Di sebelah dalam gulungan kertas ini

ternyata diberati dengan sepotong kayu pangjang kecil. Dengan adanya kayu itu,

seseorang akan lebih mudah untuk melemparkan gulungan kertas. Dengan dada

berdegub Antini membuka gulungan kertas. Seperti yang dikatakan Wiro, kertas itu

ternyata memang sepucuk surat.

Kebo Panaran berada di Goa Srindil di kaki timur bukit Batu Merah. Dia

akan ada di tempat itu pada purnama hari ketiga belas.

“Purnama hari ketiga belas….” desis Pendekar 212. “Berarti besok malam…”

“Aku akan segea menuju ke sana. Bukit Batu Merah satu hari satu malam

perjalanan dari sini!” kata Antini.

“Tunggu dulu!” kata Wiro sambil cepat memegang tangn perempuan itu.

Sebelumnya jangankan dipegang, diajak bicarapu Antini selalu ketus. Tapi kali ini dia

diam saja. Malah ajukan pertanyaan tanpa menarik tangannya yang dipegang hingga

Wiro sendiri yang lepaskan pegangannya.

“Kau tahu siapa kira-kira yang membuat dan mengirimkan surat ini?” tanya

Wiro. “Bukan mustahil ada seseorang yang hendak menjebakmu”

“Siapa?” tanya Antini. “Kebo Panaran?”

“Memang sulit diduga. Tapi menusia terkutuk itu tidak akan melakukannya.

Dia pasti akan membunuhmu begitu melihatmu berada di sini…”

“Kita patut curiga. Tapi bukan tidak mungkin ada seorang teman yang tak mau

diketahui memberikan kisikan ini…”

“Misalnya si gemuk yang menculik dan tergila-gila padamu itu,” kata Wiro

pula yang membuat paras Antini jadi bersemu merah.

“Seperti dulu-dulu, aku tak ingin kau mengikuti perjalananku…”

Pendekar 212 tampak kecewa.

Antini tersenyum. “Tapi sekali ini kau akan kuajak. Mungki aku perlu 

bantuanmu…”

Wiro tertawa lebar. “Aku ada usul,” katanya. Kita harus menyamar.

Pergunakan kepandaianmu untuk merubah dirimu dan juga diriku…”

“Tidak terlalu sulit untuk merubah dirimu jadi seekor kambing misalnya,” kata

Antini. Keduanya lalu sama tertawa mengekeh.

Penyamaran yang dibuat Antini cukup meyakinkan. Wiro telah berubah 

menjadi seorang kakek berjanggut putih sedang Antini sendiri menjadi seorang nenek 

berambut awut-awutan. Mereka memacu kuda masing-masing dan sama-sama tertawa

jika melihat keadaan diri satu sama lain.

Kedua orang itu sampai di kaki bukit sebelah Timur menjelang sore keesokan 

harinya. Sesuai dengan namanya bukit ini merupakan satu bukit yang selain 

ditumbuhi pepohonan merah yang berusia ratusan tahun. Berbagai binatang hutan 

terdengar memecahkan kesunyian.

“Menurut bunyi surat, Kebo Panaran akan berada di tempat ini malam nanti.

Bagaimna kalau kita mencari goa itu lebih dulu lalu menyelidikinya. Jika kita

memang dijebak, siang-siang begini akan lebih mudah mengetahuinya daripada

menunggu sampai malam tiba”Wiro berpikir sejenak. “Aku setuju pendapatmu, mari…” Lalu keduanya

bergerak menyusuri kaki timur bukit itu sampai akhirnya menemukan yang disebut

Goa Srindil itu. Goa itu terlihat jelas karena terletak dilamping bukit yang terbuka.

Sebuah tangga batu kelihatan menuju ke mulut goa.

“Itu pasti goanya.” kata Wiro. Antini mengangguk dan hendak melompat.

Tapi Wiro memberi isyarat. “Kita harus berhati-hati. Aku akan melakukan sesuatu

untuk membuktikan tidak ada yang menjebak kita di tempat ini.” Pendekar 212 lalu 

kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Tangan itu ampak berubah menjadi putih

menyilaukan disertai keluarnya hawa panas. Perlahan-lahan Wiro angkat tangan 

kanan itu dan diarahkan ke bukit batu merah di lamping kanan mulut goa.

Ketika tangan kanan itu dipukulkan maka berkiblatlah selatik sinar putih

menyilaukan membuat Antini bergidik. Pukulan Sinar Matahari! Begitu pukulan sakti

itu menghantam dinding bukit terdengar suara menggelegar. Bukit batu merah itu

seperti meledak. Hancuran batu berbongkah-bongkah beterbangan di udara.Antini

yang tidak menyangka kalau si pemuda itu memiliki kesaktian luar biasa seperti itu 

jadi tercengang-cengang kagum. “Kalau ada orang di dalam goa atau di sekitar sini,

pasti dia akan muncul untuk menyelidiki. Kita tunggu dan lihat saja!” kata Wiro.

Setelah menunggu sekian lama tak ada gerakan dan tidak ada yang muncul murid

Sinto Gendeng turun dari kudanya. Dia memberi isyarat pada Anitini. “Kau tunggu di

sini, biar aku yang menyelidiki ke dalam goa.”

“Aku ikut bersamamu!” kata Antini.

“Aku khawatir masih ada bahaya yang tersembunyi,” jawab Pendekar 212.

Tapi sekali ini Antini memaksa hingga Wiro akhirnya mengalah. Kedduanya

menyelinap di balik pepohonan, menaiki angga batu yang licin berlumut dengan hatihati dan akhirnya sampai di mulut goa. Wiro mengintai ke dalam. Mula-mula hanya

kegelapan yang terlihat. Setelah matanya jadi biasa, dia dan juga Antini mulai dapat

melihat jelas isi goa. Goa Srindil ternyata hanya merupakan legukan dalam pada bukit

Batu Merah itu. Tak terdapat apa-apa di dalamnya kecuali tumpukan dedaunan yang

telah mongering. Wiro masuk. Antini mengikuti.

“Tak ada apa-apanya dalam goa ini, “ kata Wiro. Lalu dia melangkah

mendekati tumpukan daun-daun kering. Tumpukan dedaunan itu ditendangtendangnya dengan kakinya. Tiba-tiba dia melihat sesuatu tersembunyi dibalik

tumpukan daun-daun kering. Kini Wiro pergunakan kedua tangannya untuk

menyelidiki dan mengangkat daun-daun kering itu.

“Antini lihat!” seru Wiro. Antini segera mendatangi.

Di balik daun-daun kering yang disingkapkan Wiro kelihatan sebuah peti kayu

berlapiskan emas. “Apa isi peti itu?” tanya Antini berbisik. “Bisa harta pusaka atau

uang. Bisa juga kosong. Tapi bisa juga berisi mayat!”

Antini tersurut selangkah mendengar ucapan Wiro itu. Peti kayu berlapis seng 

itu ternyata hanya diikat dengan sehelai tali sehingga Wiro tidak kesulitan untuk

membukanya.

Di dalam peti itu kelihatan tumpukan berbagai macam perhiasan-perhiasan,

uang perak dan uang emas. Lalu ada cangkir dan piring terbuat dari porselen serta

perunggu berrlapis emas.

“Bagaimana barang dan uang ini bisa berada di tempat ini?” tanya Antini

heran.

“Aneh memang.Orang yang mengirim surat itu pasti tahu peti ini berada di

sini. Anehnya mengapa dia tidak mengambil harta benda dan uang yang ada dalam

peti ini?!” ujar Wiro pula sambil garuk-garuk kepala. Dimasukkanya kedua tangannya

ke dalam tumpukan uang dan barang-barang berharga di dalam peti. Di dasar peti

tangan kanannya memegang sebuah benda berbentuk bulat tapi kosong di sebelah

tengahnya. Perlahan-lahan dengan hati-hati Wiro memegang benda itu dan

mengangkatnya ke atas.

“Astaga! Ini mahkota Kerajaan!” seru Wiro ketika melihat benda apa yang

barusan ditariknya dari dasar peti.. Sebuah mahkota emas bertabur berlian dan batubatu permata warna warni.

“Aku ingat……” kata Antini. “Ketika lima manusia terkutuk itu datang ke

rumahku, salah seorang dari merreka pernah menyebut harta pusaka yang mereka

miliki. Yang bisa dijual atau ditukar untuk dibelikan senjata guna melawan Kerajaan.

Pasti ini harta yang dimaksudkan itu!”

“Kerajaan memang pernah mengumumkan tentang lenyapnya mahkota ini.

Kepada siapa yang menemukan dan mengembalikannya akan diberikan hadiah besar.

Hemm…. Pasti ini barang-barang hasil rampokan kelima orang durjana itu. Karena

kini hanya dua orang yang masih hidup berarti meraka akan membagi dua. Berarti

benar juga isi surat itu bahwa Kebo Panaran akan muncul di sini malam ini. Mungkin

dia muncul untuk mengambil peti ini.”

“Apa yang harus kita lakukan sekarang Wiro?” tanya Antini.

Pendekar 212 memasukkan mahkota emas itu ke dalam peti kembali. Lalu peti

ditutupnya. “Sebentar lagi malam segera tiba. Mudah-mudahan isi surat itu betul.

Kebo panaran akan muncul di sini. Kita bersembunyi di sekitar sini, menunggu 

kemunculannya!”

“Aku sudah sangat ingin mencincang tubuhnya saat ini juga!” kata Antini.

Lalu melangkah meninggalkan goa mengikuti Pendekar 212.


TIGA BELAS


Datangnya malam terasa lama seperti merayap. Ketika akhirnya sang surya

tenggela dan rimba belantara di kaki bikit Batu Merah itu menjadi gelap gulita, diamdiam Antini jadi merinding juga. Di kejauhan terdengar suara auman binatang hutan.

Suara jengkerik dan kodok terdengar di mana-mana.

“Kau takut…?” bisik Wiro ketika dirasakannya Antini merapatkan diri ke

dekatnya. Ketika Atini hendak menjawab cepat Wiro memberi isyarat agar

perempuan itu jangan bicara. Laludia berbisik. “Aku mendengar suara derak rodaroda gerobak di kejauhan…” Dia memandang ke arah selatan yaitu ujung kaki bukit

dari arah mana sebelumnya mereka datang. “Lihat, ada nyala api di kejauhan sana…”

Saat itu selain terdengar suara gemeletak roda-roda gerobak, dari arah selatan 

memang juga kelihatancahay aterang. Makin dekat makin kentara bahwa nyala terang

itu adalah nyala sebuah obor yang diikatkn pada bagian depan sebuah gerobak kecil

yang ditarik seekor kuda besar.

Di atas gerobak hanya ada satu orang yakni yang bertindak sebagai sais. Nyala

obor yang terang membuat jelas keadaan sosok manusia satu ini. Tampangnya yang 

garang dan sangar hampir tertutup oleh cambang bawuk serta kumis tebal. Dia

mengenakan ikat kepala dan pakaian hitam. Sebilah golok besar tergantung di

pinggangnya.

“Memang dia binatangnya!” bisik Antini.

“Maksudmu Kebo Panaran?”

Antini mengangguk. “Dia cuma datang sendirian. Iblis perempuan bernama

Ambar Parangkuning itu tidak ikut bersamanya. Aneh, ke mana menghilangnya iblis

perempuan itu?”

Gerobak mencapai bagian bukit di mana terdapat tangga batu yang menuju ke

mulut Goa Srindil.

“Aku akan membunuhnya saat ini juga!” kata Antini lalu bergerak dari

tempatnya. Wiro cepat menangkap pinggang perempuan ini.

“Jangan kesusu,” bisik Wiro. “Kita tunggu dulu apa yang dilakukannya. Dia

pasti akan mengambil peti itu. Tapi bukan mustahil dia tidak datang sendirian.

Mungkin dia membawa kawan yang sengaja mengawal dari kejauhan…”

“Perduli ama apa dia membawa pengawal manusia atau setan sekalipun. Aku 

akan mencincang tubhnya sampai lumat!”

“Antini, sabar kataku. Kebo Panaran pasti berkepandaian jauh lebih tinggi dari

yang lain-lainnya yang telah kau bunuh. Jadi harus berhati-hati….. Tunggu samapi

kita mendapat kesempatan paling baik.”

“Menungu sampai kapan?”

“Aku akan beri tahu kapan saatnya kita harus bergerak,” jawab Wiro pula.

Lalu dari balik pinggangnya dia mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata itu 

berkilauan dalam gelapnya malam. “Pegang ini. Kau bisa pergunakan senjata ini

untuk menghadapi Kebo Panaran. Aku khawatir jika kau hanya menghadapinya

dengan tangan kosong….”

“Aku masih membekal setengah lusin pisau belati pemberian guruk…”

“Jika terjadi perkelahian di dalam goa, pisau terbang itu tak akan banyak 

gunanya,” kata Wiro pula.

Antini memperhatikan Kapak Maut Naga Geni 212 yang diulurkan Wiro.

“Senjata apa ini? Kapak? Bermata dua dan beratnya pasti luar biasa….”“Coba kau pegang dulu.”

Antini mengambil senjata itu. “Astaga. Enteng sekali!” kata Antini agak kers

hingga Wiro terpaksa cepat-cepat menutup mulutnya.

Saat itu Kebo Panaran tampak sudah turun dari atas gerobak. Dia mengambil

obor yang terikat di bagian depan gerobak lalu mulai menaiki tangga batu menuju 

mulut Goa Srindil di lamping bukit Batu Merah. Di mulut goa lelaki itu tampak 

berhenti sesaat. Dia memandang ke dlaalm goa dengan pandangan tajam. Dan dia

melihat ada sesuatu perobahan pada bentuk tumpukan daun-daun kering yang ada di

tempat itu. Dia menghirup udara dalam goa dalam-dalam. “Hemmm… ada orang 

masuk ke sini sebelumnya,” katanya. Obor di masukkannya ke dalam sebuah lobang 

pendek di dinding goa. Lalu dengan cepat disibakkannya tumpukan daun-daun kering.

Hatinya lega sedikit melihat peti berlapis seng itu masih ada di situ. Dengan cepat

dibukanya tali pengikat peti lalu tutup peti. Dia benar-benar lega ketika melihat isi

peti itu tidak berkurang sepotongpun. Segera peti diikatnya dengan tali kembali. Kebo

Panaran siap mengeluarkan peti itu dari dalam goa. Ketika tangan kirinya hendak

menjangkau obor tiba-tiba satu bayangan berkelebat. Seorang nenek-nenek 

berpakaian serba putih denga rambut awut-awutan tegak di depannya. Di tangan 

kanannya dia memegang senjata aneh yaitu sebatang kapak bermata dua yang masingmasing matanya mengeluarkan cahaya terang. Kejut Kebo Panaran bukan alang 

kepalang.

“Tua bangka! Siapa kau! Setan atau manusia?!”

Si nenek yang bukan lain adalah Antini keluarkan suara tawa mengekeh.

“Orang yang mau mampus memang layak bertanya. Aku tua bangka malaikat maut

yang akan mencabut nyawamu Kebo Panaran!”

“Eh! Kau kenal namaku?!” kejut Kebo Panaran.

Si nenek kembali mengekeh. “Malaikat maut selalu tahu pasti nama dan siapa

orang yang bakal diajaknya minggat ke akhirat. Hik… hik… hik… Aku sudah 

menyediakan tempat yang baik untukmu di liang neraka!”

“Keparat gila!” hardik Kebo Panaran. Sudut matanya melihat seseorang tegak

di pintu goa. Dia cepat berpaling. Di mulut goa dilihatnya tegak seorang kakek 

berjanggut putih. Si kakek tertawa mengekeh dan berkata “Aku malaikat emannya

malaikat yang hendk emncabut nyawamu itu! Ha… ha… ha… Aku sengaja berdiri di

sini agar kau tidak bisa kabur!”

“Keparat! Siapa mau kabur! Kalian berdua kalau tidak lekas angkat kaki dari

sini akan kupecahkan kepala kalian!”

“Mau memecahkan kepalaku? Silahkan!” kata si kakek berjanggut yang 

tentunya adalah Pendekar 212. Lalu dia ulurkan kepalanya ke arah Kebo Panaran.

Saking marahnya Kebo Panaranlantas saja menghantam kepala itu dengan tinju kanan.

Gerakannya cepat serta mengeluarkan suara menderu.

“Bukk!”

Kebo Panaran mengeluh tinggi. Yang dihantamnya bukan kepala Pendekar

212, melainkan sebuah batu besar yang dengan cepat disorongkan Wiro melindungi

kepalanya. Batu itu hancur lebur tapi tangan Kebo Panaran sendiri tampak lecet!

Sadarlah Kebo Panaran kalau saat itu dia tidak berhadapan dengan orang-orang

sinting. Si kakek berjanggut jelas memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidk mana dia

mampu berbuat seperi itu. Dia berpaling pada si nenek yang saat itu tegak

menyeringai.

“Kebo Panaran! Kau sudah siap untuk dicincang?” Kapak di tangan si nenek 

berputar-putar hingga cahayanya yang menggidikkan berpijar-pijar menyilaukan mata

Kebo Panran.Tua bangka buruk sepertimu hendak mencincang Kebo Panaran? Huh!”

Kebo Panaran mendengus dan segera mencabut golok besar di pinggangnya. Sekali

dia mengayunkan tangn golok besar itu berkelebat ke arah leher si nenek. Antini cepat

angkat Kapak Maut Naga Geni 212 di tangannya untuk melindungi diri dan 

menangkis. Di antara gaungan Kapak Naga Geni 212 terdengar suara berdentrangan.

“Trang!”

Mata golok dan mata kapak saling bentrokan. Kebo Panaran berseru kaget

seraya melompat mundur. Golok di tangannya gompal besar dan senjata itu hampir

terlepas. Tangannya sendiri terasa panas kesemutan.

“Tua bangka edan. Siapa kau sebenarnya?!” tanya Kebo Panaan membentak

sambil melirik ke arah kakek yang menghadang di pintu. Diam-diam hatinya mulai

tidak enak. Si nenek memiliki senjata aneh yang luar biasa. Sedang si kakek samapi

saat itu hanya bertangan kosong. Maka Kebo Panaran melompat ke arah mulut goa.

Ujung goloknya secepat kilat ditudingkan ke leher Pendekar 212. Sebelum dia sempat

menusukkan senjata itu Pendekar 212 yang dalam samaran kakek berjanggut putih

menghantam dengan tangan kanan. Segulung angin dahsyat menerpa Kebo Panaran 

sehingga lelaki ini terdorong ke dalam goa kembali. Sebelum dia sempat berbuat

sesuatu si nenek yang memegang kapak telah menyergapnya. Kebo Panaran cepat

babatkan goloknya ke pinggang. Si nenek tak kalah cepat. Segera pula menghantam

dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Terdengar suara bergaung laksana tawon

ngamuk yang disertai berkiblatnya cahaya menyilaukan dan hawa panas menghampar.

Untuk kedua kalinya kapak dan golok saling bentrokan. Kali ini Kebo Panaran tak 

sanggup bertahan. Goloknya bukan saja patah dua tetapi juga terlepas mental.

Sebelum dia bisa bergerak salah satu mata kapak yang dipegang si nenek telah 

menempel di tenggorokannya.

“Nenek…aku tidak kenal siapa kau. Aku tidak ada permusuhan apapun

denganmu. Jika kau dan kawanmu inginkan harta itu, kita bisa berunding. Aku tidak

keberata membagi tiga isi peti itu!”

Si nenek terawa tinggi. Lalu gerakkan tangan kirinya ke atas kepala.

Rambutnya yang awut-awutan tanggal dan kini kelihatan rambutnya yang asli,

panjang hitam terjela ke pinggang. Sepasang mata Kebo Panaran terbeliak tapi dia

masih belum dapat memastikan siapa adanya si rambut hitam bermuka nenek keriput

itu.

“Kau belum mengenali diriku Kebo Panaran?” Si nenek menyeringai. Lalu dia

usap wajahnya yang buruk. Selapis topeng tipis tersingkap lepas dan kini kelihatanlah

wajahnya yang asli.

“Kau… kau istri Lor Kameswara….! Kau…. Kau Antini….!” Kata Kebo

Panaran penuh kejut dan wajah berubah pucat.

“Bagus! Akhirnya kau mengenali diriku manusia terkutuk. Saat kematianmu 

sudah datang!” Antini angkat tangannya yang memegang Kapak Maut Naga Geni

212.

Tiba-tiba Kebo Panaran jatuhkan diri ke lantai goa dan berlutut. “Antini

dosaku memang besar. Tai aku yakin kau mau mengampuni diriku. Aku mengaku

bersalah besar dan bertobat….”

“Penyesalan selalu datang terlambat manusia iblis!”

Dengar Antini. Dalam peti itu ada harta kekayaan yang tidak terniali harganya.

Jika ka mengampuni diriku separuh harta itu akan jadi milikmua. Kau akan hidup

kaya raya. Kau bisa mencari suami lain pengganti Lor Kameswara. Kau masih 

muda….”Manusia keparat! Makan dulu kakiku ini! teriak Antini. Kaki kanannya

melesat ke dada Kebo Panaran hingga terdengar suara bergedebuk dan lelaki itu

terkapar di lantai. Tapi dia cepat bangkit dan berlutut kembali.

“Ampuni selembar nyawaku Antini. Semua harta dalam peti itu boleh kau 

ambil. Asal kau memprbolehkan aku pergi dari sini. Aku akan kembali ke jalan benar.

Aku tidak akan melakukan kejahatan lagi. Juga tidak akan meneruskan

pemberontakan….”

“Hemm…. Bagaimana dengan kawanmu yang satu lagi. Perempuan bernama

Ambar Parangkuning itu?!”

“Aku tidak tahu dia berada di mana. Dia menghilang sejak peristiwa itu…”

jawab Kebo Panaran. “Tapi aku tahu satu tempat di mana dia berada. Aku punya

petanya…” Lalu Kebo Panaran memasukkan tangannya ke balik pakaian hitamnya.

Ketika tangan itu keluar yang dipegangnya bukan sehelai kertas atau peta melainkan 

sebuah benda bulat hitam. Dengan cepat benda itu dipencetnya. “Tesss!” terdengar

satu letusan kecil. Bersamaan dengan itu asap hitam mengebubu memenuhi goa.

Antini dan Wiro merasakan mata mereka menjadi perih, nafas sesak. Lutut mereka

tertekuk lalu keduanya terjatuh ke lantai goa. Antini merasakan ada tangan yang

menarik Kapak Naga geni yang dipegangnya. Dia berusaha mempertahankan tapi

daya dan kekuatannya seperti lenyap.

Begitu berhasil merampas Kapak Maut Naga Geni 212 Kebo Panaran 

berkelebat ke pintu goa. Namun baru saja dia sampai di luar satu tangan berkelebat ke

dadanya dan satu totokan bersarang di tubuhnya membuat Kebo Panaran tidak 

mampu bergerak lagi, apalagi melarikan dri.

“Perempuan laknat! Siapa kau?!” teriak Kebo Panaran ketika melihat orang 

yang menotoknya adalah seorang nenek berambut kelabu kasar dan berjubah hitam.

Nenek itu tertawa mengekeh.

“Anak manusia, kejahatanmu sudah lewat takaran. Lebih dalam dari lautan

dan lebih tinggi dari langit. Jangan harap kau bisa melarikan diri. Malam ini kau 

sudah ditakdirkan untuk menemui kematian di tangan perempuan yang telah kau

rusak kehormatannya dan keu bunhu suaminya!”

Saat itu asap hitam yang ada di dalam goa berangsur-aangsur mulai pupus.

Udara segar bertiup masuk sehingga Wiro dan Antini merasa dadanya yang sesak 

pulih kembali. Kedua matanya tidak lagi perih dan rasa lemas di tubuh masingmasing berangsur lenyap. Perlahan-lahan kedua orang ini berdiri. Melangkah ke

mulut goa mereka apatkan Kebo Panaran berada dalam keadaan tertotok dan memakimaki seorang perempuan tua berjubah hitam.

Begitu melihat si nenek berambut kelabu kasar ini, Antini langsun berteriak

“Guru!”

“Ah, jadi inilah manusia yang dipanggil dengan sebutan Nenek Tidar itu….”

kata Wiro dalam hati.

“Nek, syukur kau muncul. Kalau tidak manusia terkutuk ini pasti sempat

melarikan diri!” Antini melompat ke hadapan Kebo Panaran dan cepat merampas

kembali Kapak Maut Naga Geni 212 yang dipegang Kebo Panaran di tangan 

kanannya.

Nenek Tidar melirik sesaat pada muridnya lalu memperhatikan Pendekar 212.

Dengan tangan kanannya dia menarik lengan Kebo Panaran ke dalam goa lalu 

melpaskan totokan di tubuh lelaki itu. “Muridku Antini, saatmu melakukan 

pembalasan!” Lalu dengan cepat dilepaskannya totokan di dada Kebo Panaran.

Mendengar ucapan gurunya Antini yang memang sudah tidak sabaran segera

melompat ke hadapan Kebo Panaran. Kapak Naga Geni 212 berkelebat ke arah dada

Kebo Panaran. Lelaki ini cepat mengelak. Tapi begitu lolos dari serangan Antini

kembali memburu dengan senjata mustika di tangannya. Kebo Panaran yang

sebenarnya sudah putus asa berkelabat kian kemari menghindari sambaran kapak

maut.itu. Namun di satu sudut goa dia tidak mampu lagi mengelak. Salah satu mata

kapak membabat bahu kanannya. Lelakiinimenjerit setingi langit. Darah muncrat dari

bahunya yang hampir putus! Tubuhnya terhuyung-huyung hilang keseimbangan. Dari

mulutnya terdengar suara aneh. Suara seperti gerungan dan teriakan kesakitan serta

suara seperti orang merta.

“Antini ampuni di…..”

Ucapan Kebo Panaran terputus. Kapak Maut Naga Geni 212 kembali berkiblat.

Kali ini mencari sasaran di pangkal leher sebelah kiri. Kebo Panaran meraung keras

menggidikkan. Sekujur tubuhnya bersimbah darah. Kapak di tangan Antini berkelebat

kembali. Kali ini menghantam ke bagian bawah perut Kebo Panaran. Ketika senjata

itu membelah selangkangannya, tak ada lagi jeritan yang keluar dari mulut Kebo 

Panaran. Mungkin nyawanya sudah lepas sewaktu pangkal lehernya kena dibacok tadi.

Tubuh Kebo Panaran terjatuh ke lantai goa. Seperti orang kemasukan setan Antini

membacokkan kapak itu berulang kali ke kepala dan sekujur tubuh Kebo Panaran.

Mengerikan sekali. Kapala dan tubuh Kebo Panaran tak berbentuk lagi. Terpotongpotong dalam kepingan-kepingan menggidikkan.

Ketika Nenek Tidar memegang bahunya dan berkata “Antini muridku, cukup.

Jangan ikuti kemauan setan. Musuh besarmu sudah kau tamatkan riwayatnya…”

Pendekar 212 cepat mengambil Kapak Maut Naa Geni dari tangan Antini.

Antini sendiri menutupi mukanya dengan kedua tangan lalu menangis keras. Di antara

tangisnya terdengar suaranya berkata “Masih ada, masih ada satu lagi yang harus

kucari dan kubumuh. Perempuan bernama Ambar Parangkuning itu…!”

“kau akan menemukannya, antini. Kau pasti akan menemuinya.” Bekata

Nenek Tidar.

“Guru….Kau…kau tahu di mna orang satu itu berada?”

“Dia ada di dekat sini Antini. Dia tidak jauh darimu. Dia ada di depanmu!”

jawab Nenek Tidar.

“Guru, apa maksudmu….? Tanya Antini seraya menurunkan kedua tangannya

dan memandang tepat-tepat pada perempuan tua di depannya.Wiro sendiri juga

tampak heran dan berusaha menduga-duga. “Jangan-jangan…”kata murid Sinto

Gendeng dalam hati. Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya Nenek Tidar

menggerakkan tangan kanannya ke muka. Dia seperti menarik sesuatu dari wajahnya.

Kagetlah Antini ketika melihat wajah asli si nenek. Tapi dia masih belum yakin. Si

nenek yang kini berwajah jauh lebih muda membuka jubah hitamnya. Di balik jubah 

itu ternyata dia mengenakan sehelai pakaian serba kuning. Ingatan Antini kembali

penuh.

“Kau……..Orang kelima itu! Kau Ambar Parangkuning!” teriak Antini.

Perempuan di hadapan Antini mengangguk dan tersenyum kecut. “idak salah.

Aku memang Ambar Parangkuning. Salah satu dari lima manusia durjana yang 

melakukan perbuatan terkutuk itu….Aku yang mnegirimkan surat bahwa Kebo 

Panaran akan berada di sini. Lalu aku ikut muncul ke tempat ini agar kau dapat

menyelesaikan segala dendam kesumatmu secara tuntas. Aku sudah siap untuk

menerima kematian. Hukuman atas diriku tidak berbeda dengan empat kawanku

lainnya….”

Antini menjerit keras. Dia melompat berusaha mengambil Kapak Maut Naga

Geni 212 dari tangan Wiro. Tapi sang pendekar berkelebat dan memegan lengan Antini seraya berkata. “Jangan kau turutkan ajakan setan Antini. Saat ini kau harus

berpikir panjang sebelum mengambil keputusan…”

“Aku haru membunuh dia! Dia salah seorang dari manusia-manusia terkutuk

itu! Mereka membunuh suamiku! Mereka merusak kehormatanku secara keji….”

“Antini…” kata Ambar Parangkuning dengan suara tersendat. “Aku menyesal

telah bergabung dengan orang-orang itu. Aku tidak pernah menyangka mereka akan

sebiadab itu. Apa yang kami setujui bersama ialah meneruskan perjuangan 

meruntuhkan kekuasaan Sri Baginda yang baru. Namun mereka kemudian

menyimpang dari cita-cita perjuangan. Mereka mulai merampok, membunuh dan

merusak kehormatan anak istri orang. Puncak kebengisan mereka terjadi ketika

mereka membunuh suamimu Lor Kameswara lalu memperkosamu bergantian. Aku 

berusaha melarang mereka tapi tak berhasil. Itulah sebabnya sejak kejadian itu aku 

menghilang. Aku ikut merasa berdosa. Aku harus mencari jalan untuk dapat lepas dari

beban dosa yang begitu besar dan berat. Itu sebabnya aku membawamu dan

mengambil dirimu menjadi murid. Dengan kepandaian yang tidak seberapa itu aku 

ingin agar kau mampu melkaukan pembalasan membunuh semua musuh suamimu 

dan musuhmu sendiri. Termasuk diriku! Antini, aku yang berdosa ini siap menerima

kematian…”

Kedua mata Antini tidak berkedip. Dia melihat Wiro tegak di hadapannya.

Sang pendekar menggelengkan kepalanya berkali-kali.

“Ingat Antini, dia tidak sama dengan empat lelaki terkutuk itu. Walaupun dia

termasuk dalam kelompok mereka tapi jelas dia tidak ikut membunuh suamimu, juga

tidak ikut merusak dirimu. Inga juga jasanya yang telah mengusahakan agar kau dapat

membalaskan sakit hati dendam kesumatmu….”

“Anak muda,” kata Ambar Parangkuning. “Segala jasa dan apa yang aku 

perbuat tidak ada artinya. Aku tak ingin berlindung di balik semua itu untuk 

dikasihani. Antini, lakukanlah Nak….”

Antini menangis sesenggukan. “Tidak….Aku tidak akan membunuhmu.

Kau…kau boleh pergi. Kalau kau pergi bawa serta peti berisi harta itu…”

Ambar Parangkuning tampak tercengang. “Tidak salahkah pendengaanku?”

ujarnya perlahan.

“Pergilah. Aku tahu kau orang baik. Bahkan aku harus berterima kasih pada

hari itu kau menyelamatkanku dan mengambilku jadi murid. Pergilah, biar kita

berpisah dengan hati sama tenteram dan tanpa rasa dendam…”

Sepasang mata Ambar Parangkuning berkaca-kaca. Dia tegak dan melangkah 

mendekati peti kayu berlapis seng. Dibukanya ikaan tali pada peti. Dia berpaling 

sesaat pada Antini dan Pendekar 212.

“Aku hanya akan mengambil benda dalam peti ini.” Lalu Ambar

Parangkuning mengeluarkan mahkota emas bertahta berlian dari dalam peti.

“Mahkota ini adalah milik Kerajaan, siapapun yang memerintah saat ini. Aku merasa

brkewajiban untuk mengembalikannya ke Keraton.” Ambar Parangkuning menutup

peti kembali lalu dia melangkah mendekati Antini. “Aku berterima kasih atas

pengampunan yang kau berikan. Aku berdo’a untuk keselamatan dan kebahagiaanmu

di masa depan.” Ketika Ambar Parangkuning memeluknya, Antini merangkul tubuh 

perempuan itu erat-erat.

“Selamat tinggal Antini….” kata Ambar Parangkuning.

“Selamat jalan guru….” Balas Antini yang membuat hati Ambar

Parangkuning jadi sangat terenyuh. Lalu dia cepat-cepat melangkah ke mulut goa. Di

lain saat perempuan lenyap dalam kegelapan malam.Lama Antini tertegun did lama goa. Khirnya dia berpaling pada Wiro. “Kau

juga ingin pergi…?” tanya Antini.

Pendekar 212 menggeleng. “Kau kulihat sangat letih. Sebaiknya kau

beristirahat saja di sini sambil menunggu pagi. Biar goa ini kubersihkan dulu….”

Dengan kakinya Wiro tending mayat Kebo Panaran hingga menelat mental ke luar

goa. Lalu dengan daun-daun kering dibersihkannya lantai goa itu.

Antini duduk di salah satu goa. Dia masih menatap Wiro. Lalu terdengar dia

berucap “Peti itu Wiro…. Barang-barang di dalamnya bukan milik kita. Semua hasil

rampokan….Harus kita kembalikan…”

“Kembalikan pada siapa?” tanya Wiro. Ketika Antini tidak menyahut Wiro

berkata. “Kurasa tidak ada salahnya kau menyimpan isi peti itu untuk bekal masa

depanmu…. Kau telah kehilangan segal-galanya….”

Antini menggeleng. “Aku akan menjual rumah dan lading mendiang suamiku.

Itu akan kujadikan modal hidup di kemudian hari. Aku akan pulang ke rumah orang 

tuaku. Peti itu kuserahkan padamu….”

Wiro jadi garuk-garuk kepala. “Terus terang aku memang tertarik dangan isi

peti itu. Tapi lebih terus terang aku tak mau memilikinya….”

“Lalu akan kita apakan harta kekayaan itu….” tanya Antini.

“Sebaiknya malam ini hal itu tak usah kita pikirkan dulu. Kau perlu istirahat.

Tidurlah sepuasmu. Aku akan menjagamu di mulut go asana…”

“Di mulut goa? Kenapa mesti di mulut goa? Kenapa tidak sama-sama di

dalam sini?”

Wiro tertawa. “Kau tidak lagi membenci atau takut pada laki-laki?”

Antini tertawa lebar. “Perlu apa takut pada seorang kakek tua renta yang tidak 

punya daya apa-apap sepertimu ini!”

Astaga! Wiro baru sadar. Saat itu dia masih mengenakan topeng tipis dengan

wajah seorang kakek lengkap dengan janggut putihnya. Cepat-cepat Wiro

menanggalkan topeng samaran itu.

“Nah, kalau keadaanmu seperti ini sekarang, aku harus berhati-hati…” kata

Antini pula.

Wiro tertawa bergelak. “Harus kau buktikan dulu, apa memang kau harus

berhati-hati terhadapku,” kata Wiro seraya menggeser duduknya. Lalu tangannya

dilambaikan ke arah obor. Obor padam. Goa serta merta diselimuti kegelapan. Antini

terpekik. Dalam takutnya tanpa disadarinya dia menggeser duduknya mendekati Wiro.

Dalam gelap Wiro tertawa bergelak. Kemudian dirasakan jari-jari tangan perempuan

itu memegang jari-jari tangannya.



                             TAMAT


Penulis : Bastian Tito

Createed : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive