Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Minggu, 19 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 KUTUKAN SANG BADIK

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com

 WIRO SABLENG 

KUTUKAN SANG BADIK 1

 

LEMBAH Welirang terletak di tenggara kawasan Bukit 

Menoreh, tak jauh dari sebuah desa kecil sepi 

penduduk bernama Imoyudan. Sepanjang pagi asap 

kuning yang berbaur dengan kabut menggantung di udara 

membuat pandangan mata kadang-kadang hanya bisa 

menembus jarak beberapa tombak saja. Bau belerang 

tercium di mana-mana. Siapa saja yang berada di sekitar 

lembah, apa lagi berani menuruni sampai ke bawah, akan 

mengalami sesak nafas bahkan bisa jatuh pingsan akibat 

sengatan uap belerang yang menyumbat jalan pernafasan-

nya. 


Namun saat itu di bibir lembah sebelah timur kelihatan 

sepasang muda-mudi asyik bercakap-cakap sambil 

memasang mata dan telinga, seolah-olah tidak terganggu 

oleh asap dan kabut serta-bau belerang yang begitu santar. 

Kalau tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak mungkin 

keduanya bisa berbuat seperti itu. 

Sang pemuda yang berambut gondrong berpakaian 

serba putih dan bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro 

Sableng adanya berdiri di bibir lembah, menatap ke arah 

danau kecil menyerupai kawah berair kuning pekat di 

dasar lembah. Dari danau kecil inilah berasalnya asap 

berbau belerang yang menyatu dengan kabut. 

Beberapa saat berlalu, Wiro alihkan pandangan ke 

bagian lembah di atas dan seputar danau belerang yang 

hampir seluruhnya tertutup oleh batu-batu cadas berwarna 

kuning dan coklat. Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung 

Gede itu tidak melihat dengan pandangan mata biasa 

karena penglihatannya di sana-sini akan terhalang kabut.

Dia menerapkan llmu Menembus Pandang yang di-

dapatnya dari Ratri Duyung yang saat itu berada di 

sampingnya. Seperti Wiro Sang Ratu juga telah 

mengerahkan ilmu yang sama untuk menyelidik keadaan 

seantero Lembah Welirang. 

Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya 

berjudul "Meraga Sukma" kedua orang ini baru saja keluar 

dari dasar kawasan samudera selatan. Sesuai petunjuk 

Kakek Segala Tahu dengan diantar Ratu Duyung Wiro telah 

menemui Nyi Roro Manggut dan berhasil mendapatkan 

ilmu yang disebut Meraga Sukma. Konon hanya dengan 

ilmu inilah Pendekar 212 akan mampu menyelamatkan 

dan membebaskan Suci gadis alam roh yang lebih dikenal 

dengan nama Bunga dari sekapan guci tembaga Iblis 

Kepala Batu Alis Empat. 

"Ratu, kau melihat sesuatu?" tanya Wiro. 

Ratu Duyung yang memiliki bola mata berwarna biru 

gelengkan kepala lalu berkata. 

"Lembah di bawah kita tidak seberapa besar. Tapi 

ternyata tidak mudah untuk mencari tahu dimana bagian 

lembah yang dijadikan sarang tempat kediaman dan 

persembunyian oleh Iblis Kepala Batu Alis Empat." 

"Kita sudah tahu, kawasan Lembah Welirang ini adalah 

sarang kediaman Iblis itu. Jika sulit mencari, dari pada 

membuang waktu lebih baik kita hancur leburkan lembah 

ini. Masakan makhluk jahanam itu tidak akan muncul 

unjukkan diri." 

Ratu Duyung tersenyum mendengar ucapan Wiro. 

Sambil memegang mesra lengan sang pendekar dia 

berkata. 

"Bagi kita berdua memang mungkin saja melakukan 

hal itu. Tapi apakah dengan cara seperti itu kita akan 

mampu menyelamatkan gadis alam roh itu dari dalam 

sekapan guci tembaga Iblis Kepala Batu?" 

Wiro garuk-garuk kepalanya. 

"Kau benar juga..." kata Wiro kemudian. 

Iblis Kepala Batu Alis empat alias Iblis Kepala BatuPemasung Roh adalah dedengkot golongan hitam rimba 

persilatan yang pernah menjadi tokoh silat Istana. Dia telah 

menculik dan menyekap Bunga dalam sebuah guci kecil 

terbuat dari tembaga dan sampai saat itu Pendekar 212 

Wiro Sableng masih belum rnampu membebaskan gadis 

alam roh yang mencintainya itu. Harapannya kini ter-

gantung pada ilmu Meraga Sukma yang telah didapatkan-

nya dari Nyi Roro Manggut. 

"Kita musti menuruni lembah. Tapi sebaiknya kita 

menunggu sampai, matahari bersinar terik, membuat asap 

dan kabut menipis. Walau kita menerapkan Ilmu 

Menembus Pandang, bisa melihat segala sesuatunya 

dengan cukup jelas, tetap saja berbahaya. Kita tidak 

melihat orang yang kita cari. Tapi saat ini mungkin dia 

tengah memperhatikan gerak-gerik kita. Sesuatu bahaya 

tak terduga bisa saja terjadi secara mendadak dan kita..." 

Ucapan Ratu Duyung terputus karena tiba-tiba sekali 

Wiro menarik lengannya, membawanya berlindung ke balik 

serumpunan semak belukar setinggi dada di pinggir 

lembah. 

"Ada apa?" bisik Ratu Duyung. 

"Aku mendengar suara orang berlari," jawab murid 

Sinto Gendeng. Sejak dia menerima masukan hawa aneh 

dari Naga Biru yang diam di dasar samudera tempat 

kediaman Nyi Roro Manggut, pendengaran dan penglihatan 

Wiro menjadi lebih peka. Selain itu tubuhnya terasa lebih 

ringan. 

Wiro menyibakkan semak belukar lalu menunjuk ke 

arah lembah sebelah selatan. 

"Lihat, ada orang berlari di pinggiran lembah sebelah 

sana. Mungkin dia bergerak ke arah kita. Aku seperti 

mengenali..." 

Ratu Duyung memandang ke arah yang ditunjuk Wiro. 

Memang benar. Di arah selatan bibir lembah seorang 

berpakaian serba hitam tengah berlari kencang. Dari 

rambutnya yang panjang melambai tertiup angin jelas dia 

adalah seorang perempuan."Jangan-jangan orang itu gurumu, Eyang Sinto 

Gendeng." kata Ratu Duyung pula. 

Wiro garuk kepalanya, buru-buru menjawab. 

"Tidak mungkin. Kalau orang itu Eyang Sinto Gendeng 

dari sini aku pasti sudah bisa mencium bau pesing tubuh 

dan pakaiannya. Lagi pula di atas kepalanya ada lima 

tusuk konde. Orang yang lari itu tidak ada tusuk kondenya 

tapi ada warna aneh kemerah-merahan. Apakah kau tak 

bisa menduga siapa dia adanya?" 

"Aku akan menerapkan llmu Menembus Pandang 

kembali," kata Ratu Duyung pula. Sepasang matanya yang 

biru memandang tak berkedip, mengikuti sosok tubuh yang 

berlari. Ilmu Menembus Pandang yang dimiliki Sang Ratu 

satu tingkat berada di atas ilmu yang sama yang dimiliki 

Wiro. 

"Ahhh...." Ratu Duyung keluarkan suara mendesah 

halus dan panjang. "Asap merah berbentuk kerucut terbalik 

di atas kepala. Siapa lagi kalau bukan orang yang kau 

sebut Hantu Penjunjung Roh, makhluk dari negeri seribu 

dua ratus tahun silam." 

"Aku sudah mengira. Nenek itu adalah saudara Iblis 

Kepala Batu Alis Empat. Dia muncul di sini pasti menemui 

saudaranya itu. Mungkin mau memheritahu kalau kita 

akan mendatanginya di lembah ini." 

"Sebelum dia menemukan saudaranya, aku akan 

menghajarnya lebih dulu," kata Ratu Duyung. "Ingat 

peristiwa di pantai waktu kita baru saja keluar dari tempat 

kediaman Nyi Roro Manggut? Nenek jahat itu memukulku, 

membuatku hampir menemui ajal." 

"Ratu Duyung, kuharap kau mau bersabar. Nenek itu 

bisa kita jadikan penunjuk jalan. Secara tidak sadar dia 

akan memandu kita ke tempat kediaman Iblis Kepala Batu 

Alis Empat!" 

Ratu Duyung terdiam lalu berkata perlahan. "Aku 

menurut saja apa katamu." 

Saat itu orang yang lari dari arah selatan telah berada 

di pinggir lembah sebelah timur, tak jauh dari tempatmereka sembunyi di balik semak-semak. Ternyata dia 

memang Hantu Penjunjung Roh yang nama aslinya adalah 

Luhniknik. Di atas kepalanya asap merah berbentuk 

kerucut terbalik bergerak turun naik. Sepasang bola mata-

nya juga berbentuk aneh yakni tidak bulat tapi menyerupai 

segi tiga yang bisa keluar masuk. 

Si nenek tegak tak bergerak di tepi lembah. Sepasang 

matanya berputar liar mencari-cari. Lalu terdengar suara-

nya menggerendeng. 

"Gila! Bagaimana aku bisa mengetahui di mana 

beradanya Hantu Pemasung Roh." Hantu Pemasung Roh 

adalah nama panggilan saudaranya selagi masih diam di 

negeri 1200 silam. Di tanah Jawa dia lebih dikenal dengan 

julukan Iblis Kepala Batu Alis Empat atau Iblis Kepala Batu 

Pemasung Roh. Sesuai dengan julukannya dia memang 

memiliki ilmu kesaktian menculik dan memasung makhluk-

makhluk gaib, termasuk makhluk alam roh seperti Bunga. 

Karena kehebatannya ini pula dia diambil oleh pihak Istana 

menjadi salah seorang tokoh silat Istana. Namun banyak 

tokoh silat golongan putih yang juga bekerja untuk Keraja-

an merasa tidak suka terhadap Iblis Kepala Batu. Karena 

tindakan dan perbuatannya lebih sering dirasakan sebagai 

satu kejahatan. 

Si nenek berpikir. Lalu berucap dalam hati. "Terpaksa 

aku mengeluarkan suitan rahasia! Dia mungkin tak suka 

dan marah. Apa boleh buat! Lagi pula perduli setan! Aku 

kakaknya!" 

Si nenek mendongak ke langit pagi. Lidahnya ditekuk 

demikian rupa. Sesaat kemudian dari dalam mulutnya 

melesat keluar suitan nyaring. Dua kali berturut-turut. 

Hantu Penjunjung Roh menunggu. Tak ada jawaban. 

Dia memperhatikan, matanya menyusuri seluruh bagian 

lembah. Tak ada yang kelihatan bergerak. Sebagian 

pandangannya tertutup oleh asap kuning dan kabut. 

Kembali si nenek mendongak dan keluarkan suitan. Kali ini 

walau cuma satu kali tapi suitannya panjang dan keras 

hingga menggetarkan seantero lembah.Belum lenyap gema suitan si nenek tiba-tiba di bagian 

bawah sebelah barat danau kecil berair kuning pekat 

kelihatan satu cahaya berwarna biru menyambar. Sesaat 

kemudian menyusul terdengar dua kali suara suitan. 

Hantu Penjunjung Roh menyeringai. Sekali berkelebat 

dia sudah menuruni Lembah Welirang sejauh tiga tombak. 

Seperti sebuah bola karet yang membal tubuhnya mem-

buat gerakan melompat berulangkali ke bawah tembah. Di 

lain saat dia sudah berada di pinggiran danau berair 

kuning. 

Wiro memberi isyarat pada Ratu Duyung. Kedua orang 

ini segera keluar dari balik semak belukar lalu dengan hati-

hati tetapi cepat mengikuti Hantu Penjunjung Roh. 

Semakin dalam ke dasar Lembah Welirang semakin santar 

tebaran bau belerang. Wiro dan Ratu Duyung terpaksa 

mengatur cara bernafas masing-masing agar tidak sesak. 

Ketika mereka sampai di pinggiran danau kuning sebelah 

barat sosok nenek yang mereka ikuti lenyap seolah ditelan 

batu-batu cadas kuning coklat. Di situ udara terasa panas 

hingga dua orang itu kucurkan keringat. Wiro melirik pada 

Ratu Duyung. Dalam pakaiannya yang serba ketat dan 

basah oleh keringat, tubuh gadis cantik ini seolah ter-

bayang tercetak, memperlihatkan liku-liku yang indah luar 

biasa. Sebelum hatinya tergetar murid Sinto Gendeng 

alihkan pandangan ke jurusan lain sambil garuk-garuk 

kepala. 

"Kemana lenyapnya nenek itu?" ucap Wiro sesaat 

kemudian. 

"Aku sudah melihat," jawab Ratu Duyung. Gadis ini 

menunjuk ke depan. 

"Perhatikan batu cadas kuning yang dari sini kelihatan 

seperti kepala gajah dengan belalai ditekuk ke dalam. 

Nenek itu lenyap tepat ketika berada di samping batu itu. 

Pasti di situ ada celah atau terowongan batu." ' 

"Berarti kita sudah berada dekat sarang Iblis Kepala 

Batu Alis Empat," kata Wiro sambil kepalkan tinju. "Mari." 

Kedua orang itu memutari danau kecil hingga akhirnyasampai di depan batu yang tadi mereka lihat dari seberang. 

Ternyata dibalik batu cadas menyerupai kepala gajah itu 

tidak terdapat celah atau terowongan seperti yang mereka 

sangkakan. 

"Edan!" maki Wiro jengkel dan penasaran. 

"Wiro, lihat!" Mendadak Ratu Duyung berkata sambil 

menunjuk ke balik sebuah gundukan batu coklat beberapa 

langkah di depan mereka. Nyaris terlindung di balik batu 

coklat itu hampir sama datar dengan tanah dan bebatuan 

di sekelilingnya kelihatan sebuah lobang besar. Cukup 

besar untuk dimasuki dua orang sekaligus. 

Wiro dan Ratu Duyung segera dekati lobang. "Nenek itu 

pasti masuk ke sni. Aku akan masuk menyelidik. Ratu, kau 

menunggu di sini." 

"Tidak, kita masuk sama-sama," jawab Ratu Duyung. 

"Kita tidak tahu ada apa di dalam lobang itu. Bukan 

mustahil ada jebakan, senjata rahasia, binatang buas atau 

ular berbisa." 

"Siapa takut? Jauh-jauh datang kesini apakah aku 

hanya akan jadi penonton?" 

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. 

"Dengar..." 

"Biar aku yang masuk duluan!" kata Ratu Duyung 

nekad ketika melihat Wiro ragu-ragu. 

"Tunggu," Wiro cepat pegang lengan Ratu Duyung. 

Kedua orang itu sama-sama bergerak ke tepi lobang 

mereka segera menerapkan Ilmu Menembus Pandang. 

Samar-samar mereka melihat bagian dalam lobang yang 

merupakan tangga batu menurun, lalu ada satu lorong 

panjang. Terlihat bayangan seseorang lari ke ujung lorong 

lalu lenyap. 

Wiro memberi isyarat pada Ratu Duyung. 

"Aku masuk duluan. Kau mengikuti di belakang. Hati-

hati!" 

Ratu Duyung mengangguk. 

Dengan gerakan cepat dan enteng Pendekar 212 Wiro 

Sableng masuk ke dalam lobang. Ratu Duyung menyusul.Mendadak Wiro merasakan tangga batu yang dipijaknya 

bergetar. Lalu telinganya menangkap suara berdesing 

halus. 

"Awas senjata rahasia!" seru Wiro. 

***

WIRO SABLENG 

KUTUKAN SANG BADIK 2

 

Dengan cepat Wiro menarik tangan Ratu Duyung. 

Keduanya jatuhkan diri di tangga. Di sebelah atas 

tiga benda memancarkan cahaya merah 

begemerlap melesat dari dinding lobang sebelah kiri ke 

arah kanan. Hanya satu jengkal dari depan hidung Wiro 

dan serambut di depan dada Ratu Duyung! 


"Wutt! Wutt! Wuttt!" 

"Srett!" 

Ujung dada pakaian Ratu Duyung robek. Gadis ini 

terpekik, mukanya pucat. Untung hanya pakaiannya yang 

robek. 

"Blaarr! Blaarr! Blaar!" 

Tiga benda itu menghantam dinding batu sebelah 

kanan. Amblas masuk ke dalam batu. Lalu tiga ledakan 

inenggelegar. Asap mengepul, hancuran batu dan pasir 

mengguyur.sosok ke dua orang yang saat itu jatuh 

bergedebukan di lantai lorong gelap di depan tangga 

sebelah bawah. 

Untuk beberapa lamanya kesunyian menggantung 

dalam ketegangan di lorong batu. Wiro dan Ratu Duyung 

keluarkan keringat dingin. Sambil menyeka pasir di 

wajahnya Wiro berkata perlahan. 

"Ratu, sepanjang lorong ini pasti dipenuhi peralatan 

rahasia yang bisa membunuh kita sebelum sampai ke 

ujung sana. Barusan saja kita hampir tewas. Selanjutnya 

harus berhati-hati. Kerahkan Ilmu Menembus Pandang." 

Ratu Duyung mengangguk. Kedua orang itu sama 

bangkit berdiri lalu sambil menerapkan Ilmu Menembus 

Padang mereka mulai melangkah ke arah depan.Tiba-tiba Ratu Duyung pegang lengan Wiro dan ber-

bisik. 

"Bagian atas lorong batu, sekitar tujuh langkah dari 

sini. Coba kau perhatikan. Ada lekukan aneh. Aku rasa di 

situ ditanam senjata rahasia." 

"Aku sudah melihat," jawab Wiro. "Senjata rahasia yang 

disembunyikan di tempat itu hanya akan bekerja kalau 

pemicunya disentuh. Berarti ada alat rahasia lain di depan 

kita yang berhubungan dengan senjata rahasia di atas 

lorong..." 

Wiro dan Ratu Duyung segera menyusuri setiap jengkal 

lantai dan dinding lorong di depan mereka dengan 

pandangan mata yang dialiri ilmu Kesaktian. 

"Lantai sebelah tengah, dua langkah dari hadapan kita! 

Gila!" Maki Pendekar 212. Kalau tadi mereka tidak 

berhenti untuk meneliti keadaan lebih dulu, niscaya salah 

satu dari mereka telah menginjak lantai lorong itu. Di 

bawah lapisan batu lantai samar-samar kelihatan sebuah 

benda berbentuk bulat, mungkin terbuat dari besi. Pada 

salah satu pinggiran benda bulat ini terdapat alat pengait 

yang berhubungan dengan tali kaku yang kemungkinan 

terbuat dari kawat. 

"Kita harus hancurkan senjata rahasia di atas atap 

lorong." Bisik Ratu Duyung. "Kalou sudah hancur sekalipun 

alat pemicu kita injak tak akan terjadi apa-apa." 

"Kalau begitu biar aku hantam," kata Wiro sambil 

angkat tangan kanannya. 

"Biar aku saja yang melakukan," kata Ratu Duyung. 

Lalu gadis ini bergerak ke samping kanan Wiro. 

Kepalanya didongakkan ke arah atap lorong batu yang ada 

lekukan aneh. Tiba-tiba Ratu Duyung sentakkan kepalanya, 

dua mata dikedipkan. Bersamaan dengan itu dua larik 

sinar biru memancar berkiblat keluar dari sepasang mata 

Sang Ratu. Menyambar bersilangan, menghantam bagian 

atas lorong batu. Itulah ilmu kesaktian yang disebut 

Sepasang Pedang Dasar Samudera. 

"Bummm!""Bummm!" 

Dua letusan dahsyat menggoncang lorong batu. Ketika 

bagian atap amblas, kepingan-kepingan benda aneh jatuh 

ke bawah, bertaburan dengan suara berkerontangan di 

lantai lorong. 

Wiro meniup keras ke depan. Membuat kepulan asap 

dan taburan batu serta pasir mencelat mental. Begitu 

keadaan di dalam terowongan kembali agak terang, kedua 

orang ini baru dapat melihat jelas benda apa yang tadi 

jatuh bertaburan di lantai. Ternyata di situ terlihat puluhan 

kepingan besi putih yang setiap pinggirannya memiliki 

ketajaman seperti golok yang selalu diasah setiap hari. 

"Aku pernah mendengar Iblis Kepala Batu memiliki 

senjata rahasia berbentuk piringan baja. Pinggirannya 

tajam luar biasa. Jangankan leher manusia, tiang baja 

seatos apapun bisa dibabat putus! Yang hancur ini pasti 

senjata rahasia berbentuk piringan maut itu." Berkata Ratu 

Duyung. 

"Kau hebat," memuji Wiro. "Kalau tadi kita salah 

melangkah, saat ini sudah jadi bangkai dengan kepala dan 

sekujur tubuh terkutung-kutung..." 

"Jangan memuji," bisik Ratu Duyung. "Kita masih harus 

bergerak menuju ujung lorong di sebelah depan sana. 

Barusan aku sudah menerapkan Ilmu Menembus Pandang. 

Kelihatannya tidak ada lagi peralatan rahasia sampai di 

ujung lorong batu ini. Tapi kita tetap harus berhati-hati..." 

Wiro mengangguk. Sambil melangkah dia berkata. "Si 

nenek berjuluk Hantu Penjunjung Roh itu tentu sudah 

diberi tahu seluk beluk tempat ini. Kalau tidak pasti dia 

lebih dulu celaka dari kita." 

"Berarti antara dua kakak adik itu ada persekutuan 

jahat. Jadi, walau dulu semasa berada di negeri aneh itu 

kau bersahabat dengan si nenek, di sini kuharap kau 

jangan terlalu mempercayainya. Bagaimanapun juga 

seorang saudara akan membela saudaranya lebih dulu dari 

pada menolong orang lain walau saudaranya salah. Itu 

hukum alam yang terkadang sulit dicerna, tetapi

merupakan kenyataan yang tak japat dipungkiri." 

Wiro mengamati wajah jelita Ratu Duyung dengan 

penuh kagum. "Aku tidak menyangka kau bisa bicara 

seperti seorang penyair agung. Aku berterima kasih." 

Sambil berkata Wiro membelai pipi Sang Ratu. Entah 

mengapa sejak kepergian mereka bersama ke dasar 

samudera pantai selalu muncul rasa sayang dalam lubuk 

hati Pendekar 212 terhadap gadis bermata biru itu. 

Mungkinkah karena dia telah menerima budi yang begitu 

besar? 

Sentuhan jari-jari tangan Wiro pada pipinya itu mem-

buat Ratu Duyung seribu bahagia. Dipegangnya tangan 

sang pendekar. Ditarik dan didekatkannya ke wajahnya lalu 

diciumnya penuh mesra. Dalam hati gadis ini berkata. 

"Wiro, kemanapun kau pergi, apapun yang kau lakukan, 

aku rela mati berdua bersamamu." 

*** 

Kepala kerbau dan kulit tubuh yang dikeringkan 

merupakan tikar terhampar di tengah ruangan. Di atas 

kepala kerbau terletak sebuah pelita aneh. "Terbuat dari 

sejenis kayu berminyak yang ditancapkan dalam sebuah 

jambangan batu. Nyala api pelita menerangi seluruh 

ruangan, termasuk dua orang yang duduk berhadapan di 

atas tikar kulit kerbau dan sebuah guci terbuat dari 

tembaga yang terletak di atas sebuah meja batu di sudut 

ruangan. 

Orang pertama seorang kakek bermuka kebiruan, 

mengenakan sehelai celana hitam komprang. Di sebelah 

atas dia tidak mengenakan apa-apa. Sekujur dada sampai 

ke leher dan juga dua tangannya penuh ditumbuhi bulu. Di 

sudut bibir mencuat taring lancip. Masing-masing matanya 

memiliki dua alis, satu di atas satu dibawah. Kepala kakek 

ini berbentuk segi empat, berwarna kelabu kehitaman, 

sangat keras tidak beda dengan batu. Dulu di atas kepala 

itu ada sebuah pendupaan yang selalu menyala danmenebar bau kemenyan. Pendupaan itu salah satu 

kekuatan penunjang bagi si kakek. Namun beberapa waktu 

lalu pendupaan itu hancur dihantam pedang Sutri 

Kaliangan, puteri Patih Kerajaan. (Baca Episode berjudul 

"Mayat Persembahan") Kakek angker ini bukan lain adalah 

Iblis Kepala Batu Alis Empat yang juga dikenal dengan 

nama Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. 

Di hadapan si kakek muka biru bertaring lancip dan 

berkepala seperti batu duduk orang kedua yakni seorang 

nenek berjubah gelap. Di atas kepalanya ada asap merah 

berbentuk kerucut terbalik. Sepasang mata si nenek yang 

tidak bulat tapi berbentuk segi tiga dan bisa keluar masuk, 

memperhatikan kakek di depannya. 

"Hantu Pemasung Roh," si nenek berucap. "Jika kau 

tidak menuruti nasihatku, jangan salahkan diriku kalau ter-

jadi apa-apa dengan dirimu, dan aku tidak bisa 

menolongmu." 

"Luhniknik," Iblis Kepala Batu menyebut si nenek 

dengan nama aslinya. "Kau adalah kakakku. Kalau kau 

tidak mau menolong diriku sungguh keterlaluan. Tapi 

sudahlah, aku tidak mau lagi membicarakan hal ini. Walau 

kau paksa sekalipun aku tidak akan membebaskan gadis 

dari alam roh yang aku sekap dalam guci itu. Tekadku 

sudah bulat untuk menjadikannya gadis peliharaanku. Kau 

tahu aku hanya bisa bergairah pada makhluk seperti dia." 

"Kau membuatku marah!" Kata Luhniknik alias Hantu 

Penjunjung Roh. 

"Kau yang membuat aku marah!" tukas Iblis Kepala 

Batu. "Aku sudah mengatakan agar kau tidak perlu mencari 

diriku. Kau malah datang ke sini. Dan kau mengeluarkan 

suitan di dalam lembah! Kau mengundang perhatian 

orang! Aku punya firasat dirimu diikuti pemuda itu! Aku 

juga menaruh curiga! Jangan-jangan kau pernah menyebut 

tempatku ini secara sembrono! Sungguh tolol perbuatan-

mu!" 

"Tolol atau apapun yang hendak kau katakan, justru 

aku datang untuk menolongmu! Ketahuilah, Pendekar 212memiliki satu ilmu kesaktian yang bisa membuatmu tidak 

berdaya dan sengsara seumur-umur." 

Iblis Kepala Batu berdiri, melangkah seputar ruangan, 

memegang guci tembaga di atas meja batu sesaat lalu 

berkata. "Aku menyirap kabar, dua gadis sahabat Pendekar 

212 Wiro Sableng yaitu Bidadari Angin Timur dan Anggini 

pernah menghajarmu beberapa waktu lalu, membuatmu 

hampir sekarat! Heran, mengapa kau kelihatannya masih 

membela pemuda itu?" 

"Aku tidak ada maksud membela pemuda itu. Justru 

aku ingin menolongmu jika kau memang mau bertobat!" 

Iblis Kepala Batu tertawa bergelak. 

"Tobat adalah perbuatan orang-orang tolol! Perbuatan 

orang-orang yang mau mampus! Aku bukan makhluk tolol! 

Aku belum dan tidak akan menemui kematian!" 

"Kau terlalu takabur. Ketinggian ilmumu bukan segala-

galanya. Diibaratkan kau seperti gunung, jangan lupa 

tingginya gunung masih belum apa-apa dibanding dengan 

tingginya langit." 

"Sudah, jangan terlalu banyak mengoceh di hadapan-

ku. Kau pernah menerangkan. Katamu Pendekar 212 

mendapatkan ilmu bernama Membelah Bumi Menyedot 

Arwah dari seseorang di Negeri Latanahsilam. Apa itu yang 

menakutkanmu? Aku menaruh curiga, jangan-jangan di-

balik semua usahamu membujuk diriku ada terselip 

maksud culas. Mungkin kau telah mendengar tentang 

harta karun yang aku pendam di satu tempat? Ha... ha... 

ha!" 

"Segala macam harta karun apa perduliku!" jawab 

Hantu Penjunjung Roh dengan sorotan mata dan wajah 

marah. "Ketahuilah, ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah 

tidak seberapa hebatnya dibanding dengan ilmu yang baru 

saja didapatnya dari seorang sakti di dasar samudera 

kawasan selatan. Aku menyirap kabar bahwa Pendekar 

212 kini memiliki ilmu yang disebut Meraga Sukma." 

"Ilmu apa itu? Aku baru mendengar." Kata Iblis Kepala 

Batu acuh saja."Aku sendiri tidak dapat memastikan. Tapi aku yakin 

dengan ilmu itu dia akan mengobrak-abrik sarangmu ini. 

Bahkan mampu membebaskan gadis alam roh yang kau 

sekap dalam guci itu." 

Iblis Kepala Batu tertawa bergelak. 

"Pemuda itu boleh punya seribu ilmu kepandaian dan 

kesaktian. Tapi Iblis Kepala Batu Alis Empat bukan 

tandingannya! Kau akan menyaksikan sendiri bagaimana 

aku bakal membantainya. Sekarang keluarlah dari ruangan 

ini. Aku mau bersenang-senang dulu dengan gadis dari 

alam roh itu. Aku sudah memberi waktu memberi hati. Tapi 

dia masih keras kepala. Saatnya dia harus melayani diriku!" 

"Apa maksudmu?" tanya Hantu Penjunjung Roh 

dengan mata mendelik. 

Iblis Kepala batu menyeringai. "Jangan pura-pura tidak 

tahu. Aku mau meniduri gadis itu! Kalau kau tak mau 

keluar dari sini, silahkan menonton!" 

Si nenek merutuk habis-habisan sedang Iblis Kepala 

Batu sambil tertawa bergelak melangkah mendekati meja 

batu di mana terletak guci tembaga tempat Bunga disekap. 

Sesaat ketika Iblis Kepala Batu ulurkan tangan hendak 

mengambil guci tembaga tiba-tiba di luar sana terdengar 

letusan keras. Tiga kali berturut-turut. 

Langkah Iblis Kepala Batu terhenti, gerakannya ter-

tahan. Kepala diangkat, mata membeliak. 

"Dugaanku tidak meleset. Tiga letusan itu adalah 

bekerjanya peralatan senjata rahasia pertama di lorong 

batu. Berarti ada orang yang masuk ke sini. Aku berharap 

saat ini dia sudah jadi mayat. Tapi...." Iblis Kepala Batu 

gelengkan kepala. Tampangnya yang kebiru-biruan men-

dadak berubah. "Tiga letusan tadi bukan letusan kematian. 

Itu letusan hancurnya tiga senjata rahasia yang kupasang 

di lorong." 

"Menurutmu, sejak kau memasangi tiga senjata 

rahasia itu tidak pernah ada satu orangpun bisa melewati 

dengan selamat. Sekarang ada orang mampu melewatinya. 

Dia pasti Pendekar 212 Wiro Sableng. Kau bisa mengukur

sampai dimana kehebatan pemuda itu. Apa hal ini tidak 

membuatmu mau berpikir sekali lagi?" 

Iblis Kepala Batu menyeringai. Belum lenyap seringai 

di wajahnya yang biru mendadak dua letusan menggelegar 

di luar sana, menggetarkan ruangan di mana mereka 

berada. Disusul suara benda keras jatuh berkerontangan. 

Tampang Iblis Kepala Batu bukan saja berubah tapi 

juga menunjukkan kemarahan! Dia bangkit berdiri. Taring-

nya mencuat di sudut bibir. Dia sudah maklum apa yang 

terjadi. Senjata rahasia kedua yang dipasangnya di dalam 

terowongan pasti telah dihancurkan orang. Iblis Kepala 

Batu melangkah ke dinding di hadapannya. Telinganya 

ditempelkan di dinding. 

"Pemuda itu tidak sendirian. Ada seseorang bersama-

nya," kata Iblis Kepala Batu memberitahu Hantu Pen-

junjung Roh. "Pertama sekali aku akan melumpuhkan 

mereka dengan asap beracun! Setelah itu kau bisa 

menyaksikan bagaimana aku menyiangi tubuh mereka!" 

Sambil menyeringai Iblis Kepala Batu melangkah men-

dekati sudut ruangan sebelah kanan. Di situ ada sebuah 

tonjolan batu berwarna merah. Iblis Kepala Batu per-

gunakan ibu jari tangan kanannya untuk menekan tonjolan 

batu. Secara aneh dinding batu itu bergeser ke bawah, 

membentuk satu celah yang amat kecil, kurang dari 

ketebalan ujung kuku. Lalu menyusul terdengar suara men-

desis panjang. 

Iblis Kepala Batu menyeringai, memandang pada 

saudaranya. Hantu Penjunjung Roh angkat kepala, coba 

mencium. Wajah si nenek berubah kaget. 

"Kau mengeluarkan Asap Penyiksa Roh!" ucap si nenek 

setengah berteriak. "Gila! Makhluk alam roh saja bisa mati 

berkali-kali terkena asap jahat itu. Apa lagi manusia biasa! 

Hentikan perbuatanmu!" 

Iblis Kepala Batu ganda tertawa. 

"Mereka mencari mati! Aku hanya memberikan apa 

yang mereka minta! Ha... ha…ha!"

*** 

WIRO dan Ratu Duyung melangkah dengan hati-hati 

mendekati ujung terowongan batu. Tinggal beberapa 

langkah dari ujung terowongan Wiro hentikan langkah 

sambil mengangkat tangan memberi tanda. 

"Ada suara orang bicara..." 

Ratu Duyung angkat kepalanya sedikit, memasang 

telinga baik-baik lalu mengangguk. 

"Ada dua orang. Aku yakin mereka adalah Iblis Kepala 

Batu dan saudaranya si nenek yang kepalanya ada asap 

merah. Tunggu apa lagi. Kita harus segera menyerbu 

mereka." 

"Saatnya aku mengeluarkan llmu Meraga Sukma," kata 

Wiro pula. Dia mencari tempat yang rata lalu duduk bersila. 

Dua tangan dirangkapkan di depan dada. Mata dipejam-

kan. Pikiran dikosongkan. Bibirnya bergetar ketika melafal-

kan Basmallah tiga kali berturut-turut. Kemudian dalam 

hati Wiro mengucapkan Meraga Sukma. Juga sebanyak 

tiga kali. 

Ratu Duyung memang pernah mendengar ilmu yang di-

sebut Meraga Sukma itu. Namun seumur-umur dia belum 

pernah melihat cara atau kejadiannya seseorang menerap-

kan ilmu tersebut. Gadis ini sampai tersurut dua langkah 

ketika melihat bagaimana dari sosok kasar Wiro yang 

duduk bersila tidak bergerak perlahan-lahan keluar satu 

sosok samar yang ujudnya menyerupai Wiro. Mula-mula 

ujud ini tampak bergoyang-goyang seperti asap. Namun 

saat demi saat berubah utuh hingga tidak beda dengan 

sosok Wiro yang asli. Kalau tidak menyaksikan sendiri Ratu 

Duyung tidak akan tahu mana Wiro yang sebenarnya dan 

mana Sukma yang keluar dari dalam tubuh sang pendekar. 

Kini ada dua Wiro. Satu yang masih tetap duduk bersila di 

lantai terowongan batu, satunya lagi sukmanya yang 

tengah melangkah menuju mulut terowongan laksana 

melayang. 

"Luar biasa, apakah dia juga bisa bicara seperti aslinya?" Ratu Duyung bertanya-tanya dalam hati. Ketika Wiro 

sampai di ujung terowongan, sesaat Ratu Duyung jadi 

bingung. Apakah dia akan tetap berdiri di tempat itu 

menunggui sosok Wiro yang asli dan masih tetap dalam 

keadaan duduk bersila, mata terpejam lanpa gerak sama 

sekali. Atau dia harus mengikuti Sukma Wiro di sebelah 

sana. 

Selagi bimbang seperti itu Ratu Duyung melihat Wiro 

yang di ujung terowongan menggerakkan tangan, memberi 

isyarat agar mendatanginya. Tidak menunggu lebih lama 

Ratu Duyung melangkah cepat menghampiri. 

Di ujung terowongan, seperti diduga semula, di 

sebelah kanan terdapat sebuah ruangan batu. Tapi ketika 

Sukma Wiro sampai di situ, ruangan itu ternyata kosong. 

Padahal tadi dia jelas mendengar ada suara dua orang ber-

cakap-cakap di tempat itu. Sukma Wiro memeriksa setiap 

sudut ruangan batu. Mulai dari lantai, empat dinding dan 

langit-langit. Tak ada lobang, atau celah barang sedikitpun. 

Apa lagi pintu. 

Ratu Duyung sampai pula di ruangan dimana Sukma 

Wiro berada. 

"Kosong. Tak ada siapa-siapa. Aneh..." kata Ratu 

Duyung. 

"Di belakang salah satu dinding batu pasti ada ruangan 

lain. Mereka berada di situ." 

Sukma Wiro dan Ratu Duyung kerahkan Ilmu Menem-

bus Pandang. Tapi di tempat itu ilmu tersebut ternyata 

tidak bekerja. 

"Tidak bisa tembus..." ucap Ratu Duyung seraya me-

mandang pada Sukma Wiro. 

Sukma Wiro kembali perhatikan empat dinding batu di 

sekelilingnya. Lalu dia berkata. "Ratu, kalau tidak salah kau 

memiliki ilmu kesaktian yang disebut Menyirap Detak 

Jantung. Apakah kau bisa mengetahui di balik dinding 

sebelah mana mereka berada?" 

"Akan kucoba," jawab Ratu Duyung. Lalu gadis ini 

kembangkan dua tangannya dengan telapak dibuka menghadap ke arah dinding batu di depannya. Sepasang mata 

dikecilkan setengah terpejam. Tak terjadi apa-apa. Berarti 

ruangan di balik dinding itu kosong. Ratu Duyung berputar, 

kini menghadap ke dinding sebelah kiri. Sesaat kemudian 

sepuluh jari tangan Ratu Duyung kelihatan bergerak-gerak. 

Gadis ini letakkan dua tangannya di atas dada. Sesaat 

kemudian dia buka lebar-lebar dua matanya yang setengah 

terpejam, menatap ke arah Wiro. 

"Aku berhasil menyirap. Ada dua detak jantung di balik 

dinding batu ini." 

"Pasti mereka, Iblis Kepala Batu dan Hantu Penjunjung 

Roh," kata Wiro. "Kita harus bisa masuk ke ruang di balik 

dinding itu. Bagaimanapun caranya!" 

Ratu Duyung mengangguk. Sejak tadi gadis cantik 

bermata biru ini terkesima tapi juga merasa lega. Ternyata 

ujud sukma sang pendekar bisa bicara seperti ujud aslinya. 

Tiba-tiba dari belakang dinding terdengar suara tawa 

bergelak disusul ucapan lantang keras. 

"Aku mengenali! Itu suara tertawanya Iblis Kepala 

Batu!" kata Sukma Wiro. Lalu tangan kanannya diangkat, 

siap untuk dihantamkan. 

"Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung!" Keluar 

suara dari balik dinding batu. "Kalian telah sampai di liang 

akhirat! Aku mengucapkan selamat jalan ke neraka! Ha... 

ha... ha!" 

Belum lenyap gema suara ucapan, di sebelah atas 

ruangan terdengar suara mendesis. Sukma Wiro dan Ratu 

Duyung sama mengangkat kepala, memperhatikan dinding 

ruangan batu sebelah atas. Dari sebuah celah sangat kecil, 

menguak antara ujung dinding dan ujung langit-langit 

ruangan membersit keluar cahaya kuning yang kemudian 

berubah menjadi asap. 

"Asap beracun!" teriak Pendekar 212 begitu dia 

mencium bau yang menyengat hidung. "Ratu, kembali ke 

terowongan!" 

Kedua orang itu berkelebat ke mulut terowongan dari 

mana tadi mereka datang. Tapi terlambat. Sebelummereka bisa keluar dari ruangan, satu dinding batu secara 

aneh bergerak bergemuruh dan braak! Lobang terowongan 

yang merupakan satu-satunya jalan keluar tertutup rapat. 

"Kurang ajar!" Maki Sukma Wiro. 

"Kita terjebak!" ujar Ratu Duyung dengan wajah 

berubah. 

"Jangan panik," kata Sukma Wiro sambil pegang 

tangan si gadis. 

***


WIRO SABLENG 

KUTUKAN SANG BADIK 3

 

Di SAMPING Sukma Wiro, Ratu Duyung mulai 

tersengal. Sesaat kemudian dadanya terasa ' sesak 

dan gadis ini mulai batuk-batuk. "Ratu bertahanlah. 

Jangan panik. Kita harus bisa keluar dari tempat ini!" kata 

Sukma Wiro sambil memegang lengan Ratu Duyung. Kedua 

orang itu segera menutup jalan pernafasan dan pencium-

an. Tapi berapa lama mereka bisa bertahan? 


Wiro perhatikan dinding di atasnya. Tepat pada 

pertemuan langit-langit ruangan. Sepanjang dinding 

sebelah atas kelihatan membersit asap kuning. Berarti ada 

celah memanjang di atas sana. 

Dia berpaling pada Ratu Duyung memberi isyarat agar 

gadis itu bergerak menjauh ke belakangnya. Lalu dengan 

cepat tangannya hendak mencabut senjata sakti Kapak 

Maut Naga Geni 212 yang terselip di pinggang di balik 

pakaian. 

"Wiro, kau mau melakukan apa?" tanya Ratu Duyung. 

"Aku mau menjebol dinding itu dengan kapak sakti ini." 

"Tunggu, aku punya firasat. Kalau dinding ini tidak 

tembus llmu Menembus Pandang, berarti senjata atau 

pukulan sakti apapun tidak bakal sanggup menghancur-

kannya..." 

"Lalu apa yang harus kita lakukan? Berdiam diri saja 

sampai akhirnya kita mati pengap di ruangan celaka ini?!" 

"Pasti ada cara! Pasti! berpikirlah Wiro! Putar otakmu!" 

Ratu Duyung batuk-batuk. Dia semakin sulit bernafas. 

Sukma Wiro menggaruk kepalanya habis-habisan. Dia 

tak bisa berpikir. Dalam keadaan seperti itu otaknya tak 

bisa bekerja. 

"Wiro, ingat Nyi Roro Manggut! Ingat Ilmu MeragaSukma yang kau dapat dari dia. Ilmu itu... pasti... pasti kau 

bisa melakukan sesuatu dengan ilmu itu!" Dengan suara 

tersengal-sengal Ratu Duyung keluarkan ucapan. 

Sukma Wiro kembali menggaruk kepala. Dia mem-

bayangkan pertemuan dengan Nyi Roro Manggut beberapa 

waktu lalu. Dia coba mengingat setiap ucapan Nyi Roro 

Manggut makhluk sakti berpenampilan sebagai seorang 

nenek cebol berhidung pesek bermata juling. Tapi ujud 

sebenarnya adalah seorang perempuan muda luar biasa 

cantik dan bagus tubuhnya. 

"Aaah...." Sukma Wiro keluarkan suara mendesah 

panjang. 

"Wiro, kau ingat sesuatu? Kau menemukan sesuatu 

dalam alam pikiranmu?" Ratu Duyung bertanya sambil 

mengguncang bahu Sukma Wiro. . 

Sukma Wiro anggukkan kepala. Di telinganya saat itu 

mengiang suara ucapan Nyi Roro Manggut ketika dia 

berada di dasar samudera, di tempat kediaman makhluk 

sakti itu. 

"Sosok yang duduk bersila di atas batu merah panas 

itu adalah sosokmu yang asli. Yang berdiri di sini adalah 

sukmamu. Inilah yang disebut ilmu Meraga Sukma. Si 

pemilik bisa meninggalkan tubuh kasarnya, melanglang 

buana dengan sukmanya yang bisa menembus ke mana-

mana, bahkan masuk ke dalam lobang semut, lolos 

melewati lobang jarum sekalipun." 

Sukma Wiro menatap ke arah dinding di hadapannya. 

Dia membayangkan wajah Nyi Roro Manggut. Hatinya 

bimbang, dirinya diselubungi keraguan. Apakah dia 

memang mampu melakukan hal itu? Lalu mulutnya ber-

getar mengucapkan Basmallah. Saat itu juga dalam dirinya 

muncul satu keyakinan dan satu kekuatan yang bersumber 

pada satu kekuasaan yakni kekuasaan Tuhan Yang Maha 

Kuasa. Tanpa keraguan sedikitpun dia melangkah ke arah 

dinding batu. Ratu Duyung menyaksikan dengan mata tak 

berkesip hati tercekat sementara ruangan semakin 

dipenuhi asap kuning.Sukma Wiro melangkah terus ke arah dinding. Tinggal 

satu langkah lagi dari hadapan dinding. Lalu sosok itu siap 

saling berbenturan dengan dinding batu. Tapi apa yang 

terjadi? Dinding batu itu seolah udara kosong. Sosok 

Sukma Wiro melangkah menembusnya lalu lenyap dari 

pemandangan Ratu Duyung. Sang Ratu tercekat kaget. 

"Wiro!" 

Ratu Duyung mengejar. Tapi sosok Sukma Wiro telah 

lenyap dan Sang Ratu hanya memegang dinding batu. 

*** 

Di dalam ruangan dimana dia berada Hantu Penjun-

jung Roh keluarkan suara kaget ketika dia melihat 

bagaimana sosok Pendekar 212 Wiro Sableng keluar dari 

dalam dinding batu. Adiknya, Iblis Kepala Batu Alis Empat 

tak kalah terkejutnya. Bagaimana mungkin hal ini bisa 

terjadi. Seseorang, sanggup masuk ke dalam ruangan 

dengan cara menembus dinding batu! Apakah ini yang 

disebut Ilmu Meraga Sukma seperti yang dikatakan kakak-

nya? 

"Pendekar 212 Wiro Sableng! Kau bisa selamat dari 

pendaman liang batu. Juga bisa lolos ketika kupendam 

dalam liang tanah. Tapi hari ini jangan harap kau bisa 

selamatkan diri dari kematian. Kau datang berdua. Tapi 

rupanya kau lebih suka memilih mati sendiri-sendiri. Kau 

mampus di sini dan sahabatmu meregang nyawa di ruang 

sana! Ha... ha... ha!" 

Sukma Wiro berdiri di tengah ruangan dengan sikap 

tenang. Sewaktu memasuki ruangan itu tadi dia telah 

sempat melihat dimana beradanya guci tembaga tempat 

Bunga disekap. Yakni di atas sebuah meja batu di salah 

satu sudut ruangan. Untuk tidak membuat orang curiga, 

Sukma Wiro sengaja berdiri membelakangi guci tembaga 

itu. Dia tahu kalau dia harus bertindak cepat. Pertama 

mengambil guci dan kedua demi menyelamatkan Ratu 

Duyung yang berada di ruangan sebelah yang disirami asap

beracun. 

Iblis Kepala Batu Alis Empat sudah bisa menduga apa 

yang ada di benak Pendekar 212 saat itu. Karenanya 

secepat kilat dia melesat ke arah meja batu untuk 

mengambil guci tembaga. Namun lebih cepat dari gerakan, 

sang Iblis, tubuh Sukma Wiro berkelebat laksana siuran 

angin. Di lain kejap Sukma Wiro telah menghadang 

gerakan Iblis Kepala Batu. 

Iblis Kepala Batu merutuk marah. Sukma Wiro tidak 

mau membuang waktu. Dia langsung hantamkan pukulan 

Kilat Menyambar Puncak Gunung ke arah kepala lawan. 

Ketika Iblis Kepala Batu menghindar Sukma Wiro susul 

dengan serangan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. 

"Jahanam kurang ajar!" damprat Iblis Kepala Batu. 

"Aku mau tahu sampai dimana kehebatanmu!" 

Lalu tanpa tedeng aling-aling Iblis Kepala Batu sengaja 

sambuti pukulan Sukma Wiro dengan jotosan Iblis Tunggal 

Menjebol Tembok Roh. Pukulan ini bisa juga dilancarkan 

dengan dua tangan sekaligus dan disebut Dua Iblis 

Menjebol Tembok Roh. 

"Buukk!" 

Dua pukulan mengandung kesaktian tinggi beradu 

keras di udara. Sosok Sukma Wiro merasakan tubuhnya 

terangkat ke atas. Sebelum terpental dia masih sempat 

keluarkan ilmu oppo yakni ilmu menghancur tulang yang 

didapatnya dari Nenek Neko ketika dia terpesat ke Negeri 

Sakura. 

"Kreek... kreekkk!" 

Iblis Kepala Batu terpental sampai punggungnya 

menghantam dinding batu lalu jatuh terduduk di lantai 

ruangan. Dadanya berguncang hebat, seperti melesak 

akibat hantaman tenaga dalam lawan yang membanjiri 

tubuhnya sewaktu terjadi bentrokan jotosan tadi. Sambil 

menahan sakit Iblis Kepala Batu membatin heran. 

"Aneh, pemuda jahanam itu mengapa tenaga dalam-

nya seperti berlipat ganda?" 

Seperti diketahui, ketika berada di dasar samuderaWiro telah bertemu dengan naga batu yang bisa menjelma 

hidup dan disebut dengan nama Naga Biru. Saat itu 

makhluk sakti yang telah mendekam selama ratusan tahun 

di dasar samudera ini menelan Kapak Naga Geni 212. 

Ketika Wiro menyelipkan kapak sakti itu kembali dia 

merasa ada hawa aneh mengalir dari dalam kapak 

memasuki tubuhnya sehingga dia merasa tubuhnya lebih 

enteng dan tenaga dalamnya jauh lebih besar. 

Terhuyung-huyung Iblis Kepala Batu bangkit berdiri. 

Matanya mendelik ketika sadar apa yang terjadi dengan 

tangannya. Empat dari lima jari tangannya telah hancur 

dimakan cengkeraman Ilmu Koppo! 

"Jahanam.... " rutuk Iblis Kepala Batu. Sekali dia per-

gunakan tangan kiri mengusap tangan kanan yang remuk 

itu maka secara aneh empat jari tangan yang hancur 

kembali utuh! Dengan keluarkan suara menggereng Iblis 

Kepala Batu Alis Empat melompat ke hadapan Wiro. Dua 

tangannya dipentang. Kini dia siap melancarkan pukulan 

Dua Iblis Menjebol Tembok Roh. 

Saat itu Sukma Wiro tengah berusaha berdiri. Ketika 

dilihatnya lawan datang dengan menghantamkan dua 

tangan sekaligus Sukma Wiro cepat bergerak mundur dan 

menyusup masuk ke dalam dinding batu. 

"Bukk! Buukkk!" 

Dua jotosan maut Iblis Kepala Batu menghantam 

dinding ruangan. Walau tidak sampai jebol tapi dinding itu 

hancur dan geroak besar di dua tempat. 

Selain marah besar melihat serangannya tidak 

mengenai sasaran, Iblis Kepala Batu kembali terheran-

heran menyaksikan bagaimana lawan bisa menghindar 

selamatkan diri dengan menyusupkan tubuh masuk ke 

dalam tembok. Selagi dia terheran bingung seperti itu tiba-

tiba dari dalam tembok satu tangan mencuat melancarkan 

serangan dahsyat. Inilah pukulan yang disebut Tangan 

Dewa Menghantam Matahari. Yakni pukulan pertama dari 

enam pukulan inti Kitab Putih Wasiat Dewa. 

"Praakkk!"Bagaimanapun atosnya kcpala Iblis Kepala Batu Alis 

Empat, namun dihantam jotosan yang mengandung hawa 

sakti serta tenaga dalam luar biasa tinggi itu tak ampun 

Iblis Kepala Batu terpental ke dinding, roboh ke lantai 

dengan kepala pecah. 

Perlahan-lahan dari dalam dinding batu Sukma Wiro 

bergerak keluar. 

Si nenek Hantu Penjunjung Roh yang sejak tadi diam 

saja memperhatikan jalannya perkelahian meraung keras. 

Dia melompat menubruk sosok Iblis Kepala Batu, meraung 

sekali lagi lalu berpaling pada Sukma Wiro. 

"Pemuda jahat! Kau membunuh saudaraku!" 

"Nek, kematian mungkin adalah penyelesaian terbaik 

bagi dirinya," menyahuti Sukma Wiro. Lalu dengan cepat 

dia melompat menyambar guci tembaga di atas meja batu. 

Setelah dapatkan guci ini Sukma Wiro segera hendak 

berkelebat menerobos dinding ke arah ruangan dimana 

tadi dia meninggalkan Ratu Duyung. 

Tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh. 

"Siapa bilang aku mati!" Satu suara berucap lantang. 

Itu adalah suara tawa dan ucapan Iblis Kepala Batu Alis 

Empat. Tubuhnya yang tadi tergeletak tak berkutik dan 

dalam keadaan kepala pecah kini perlahan-lahan bangkit 

berdiri. 

Apa yang telah terjadi? Sesaat setelah kepalanya 

pecah dan tubuhnya tergeletak di lantai batu, sewaktu 

Sukma Wiro berkelebat menyambar guci tembaga, tangan 

kanan Iblis Kepala Batu bergerak mengusap muka dan 

kepalanya. Ajaib luar biasa! Begitu kepala dan wajahnya 

diusap, kepala yang pecah dan muka yang hancur itu 

kembali utuh seperti semula! 

Sukma Wiro melengak kaget. 

"Aneh, apakah sewaktu kepalanya pecah tadi nyawa-

nya belum melayang?! Mustahil bangsat ini punya nyawa 

cadangan!" membatin Sukma Wiro. 

Hantu Penjunjung Roh sampai ternganga. Tidak per-

caya kalau saudaranya punya ilmu kesaktian seperti itu."Pantas... pantas dia bicara begitu sombong! Tidak 

takut pada siapapun. Ternyata dia memiliki ilmu aneh!" 

"Pendekar 212! Aku ampuni selembar nyawamu! Tapi 

lekas serahkan guci itu padaku!" Tiba-tiba Iblis Kepala Batu 

membentak. Taringnya mencuat tajam di sudut bibir. 

Sukma Wiro mendengus. 

"Kau boleh punya selusin nyawa. Siapa takut dirimu!" 

"Kalau begitu terima kematianmu!" Kertak Iblis Kepala 

Batu. Sepasang matanya dipentang nyalang. Dia maju 

beberapa langkah mendekati Sukma Wiro. 

Hantu Penjunjung Roh tiba-tiba melompat di antara ke-

dua orang itu. 

"Kalian gila semua! Hentikan perkelahian ini! Pendekar 

212! Kau sudah dapatkan apa yang kau inginkan! Lekas 

tinggalkan tempat ini! Dan kau Hantu Pemasung Roh! 

Bertobatlah berbuat kejahatan!" 

"Perempuan celaka! Sejak semula kehadiranmu di 

ranah Jawa ini hanya mengacau saja! Rupanya kau ingin 

ikutan mati bersama pemuda jahanam itu!" 

"Hantu Pemasung Roh. Dengar, kau boleh punya ilmu 

setinggi langit sedalam lautan! Tapi jika datang hari 

apesmu, kau bakal menerima kematian secara sengsara!" 

"Perempuan celaka! Menyingkir dari hadapanku!" 

bentak Iblis Kepala Batu. 

"Tidak!" jawab si nenek malah sambil bertolak ping-

gang. 

Sebelumnya Wiro telah beberapa kali bertempur 

nelawan Iblis Kepala Batu. Salah satu diantaranya ketika 

dia berusaha menolong Sutri Kaliangan, puteri Patih 

Kerajaan. Waktu itu sebelum diculik dan dilarikan oleh Iblis 

Kepala Batu Alis Empat Sutri Kaliangan sempat berteriak. 

"Wiro! Alis kiri sebelah kanan bawah! Alis kiri sebelah 

bawah...!" 

Wiro dan Naga Kuning serta nenek berjuluk 

Gondoruwo Patah Hati pernah pula membicarakan serta 

memecahkan apa maksud ucapan Sutri Kaliangan itu. 

namun mereka tidak bisa menemukan apa makna atauapa yang hendak disampaikan puteri Patih Kerajaan itu 

dengan ucapannya tersebut. 

Kini berada di tempat itu, dalam keadaan genting 

tegang begitu rupa, suara teriakan Sutri Kaliangan itu 

seolah terngiang kembali di telinga Sukma Wiro. 

Sepasang mata Iblis Kepala Batu Alis Empat meman-

dang nyalang tak berkesip ke arah Hantu Penjunjung Roh, 

lalu ke sebelah belakang di mana Sukma Wiro berdiri. Tiba-

tiba Iblis Kepala Batu meluarkan bentakan keras. Sosok-

nya naik ke udara setinggi lima jengkal. Dua matanya me-

mancarkan kilatan aneh. Sesaat kemudian dari sepasang 

mata itu menyambar keluar dua larik cahaya menyilaukan. 

"Sepasang Sinar Pemasung Roh" teriak Hantu 

Penjunjung Roh. Dia cepat merunduk. Dua larik cahaya 

menyambar lewat di atas kepalanya, terus menghantam ke 

arah Sukma Wiro. Namun Sukma Wiro sendiri yang sudah 

menyadari datangnya bahaya, cepat melompat ke kiri, 

masuk menembus dinding batu. 

"Wusss! Wusss!" 

"Blummmm!" 

"Blummmmm!" 

***


WIRO SABLENG 

KUTUKAN SANG BADIK 4

 

DUA larik cahaya menyilaukan menghantam dinding. 

Dua dentuman keras mengguncang ruangan batu 

itu. Pecahan batu dinding berhamburan. Sesaat 

ruangan itu diselimuti hamburan batu, pasir dan debu. Dua 

larik cahaya yang menghantam dinding berbalik ke tengah 

ruangan. Lalu terdengar satu pekik mengenaskan! 


"Nek!" 

Sukma Wiro berteriak. Dalam udara yang masih 

tertutup hamburan pasir dan debu yang berasal dari 

hancuran dinding, Sukma Wiro berkelebat ke arah Iblis 

Kepala Batu yang saat itu berdiri tertegun, serasa tidak 

percaya menyaksikan bagaimana kilatan cahaya panas 

yang keluar dari kedua matanya telah berbalik meng-

hantam kakaknya sendiri yaitu Hantu Penjunjung toh. 

"Iblis jahanam! Kau inginkan guci ini! Ambillah!" teriak 

Sukma Wiro seraya ulurkan guci tembaga di angan kirinya 

ke muka Iblis Kepala Batu Alis Empat. 

Masih terkesiap menyaksikan apa yang terjadi lengan 

kakaknya, Iblis Kepala Batu secara di luar sadar ulurkan 

tangan kanan menyambuti guci tembaga yang diserahkan 

Sukma Wiro. Pada saat itulah tiba-tiba tangan kanan 

Sukma Wiro secepat kilat berkelebat nenyambar ke arah 

mata kiri Iblis Kepala Batu Alis Empat. Saat itu juga satu 

raungan keras keluar dari mulut Iblis ini. Matanya sebelah 

kiri, termasuk dua buah alis merah yang berada di sebelah 

atas dan bawah kini berada dalam genggaman tangan 

Sukma Wiro. 

"Kembalikan mataku! Kembalikan alisku!" teriak. Iblis 

Kepala Batu. "Aku bertobat! Aku minta ampun!"Sukma Wiro menyeringai. 

"Kau inginkan mata dan sepasang alismu. Ambillah!" 

Kalau tadi Sukma Wiro pergunakan Ilmu Menahan Darah 

Memindah Jasad untuk membetot lepas mata dan dua alis 

kiri Iblis Kepala Batu, kini dia pergunakan Ilmu Meraga 

Sukma untuk membenamkan mata dan dua alis itu ke 

dalam dinding batu! 

Iblis Kepala Batu merasakan sekujur badannya lemas. 

Seolah tidak bertulang lagi sosoknya jatuh ke lantai. Dia 

berusaha bangkit, merangkak mendatang Sukma Wiro. 

"Kembalikan mataku! Kembalikan alisku! Tolong 

Pendekar 212, aku bersumpah! Aku bertobat!" 

Sukma Wiro menyeringai. Kini dia tahu apa arti ucapan 

Sutri Kaliangan. Alis mata kiri sebelah bawah Iblis Kepala 

Batu, di situlah letak kekuatan dan kekebalannya. Tanpa 

alis yang satu kini keadaannya tidak beda seperti seekor 

cacing tanah. 

Sukma Wiro mendekati sosok Hantu Penjunjung Roh 

yang tergeletak di lantai. Sebagian tubuhnya, dari dada 

sampai pinggang kelihatan hancur dan bergelimang darah. 

Orang lain cidera parah seperti itu mungkin sudah 

menemui ajal. Walau masih bisa bertahan hidup namun 

Sukma Wiro bisa menduga umur nenek satu ini tak bakal 

lama lagi. 

"Pendekar 212.... Aku tak ingin mati di ruangan celaka 

ini. Bawa aku keluar...." Suara si nenek perlahan sekali dan 

sepasang matanya setengah terpejam. 

"Nek, aku bisa keluar menembus dinding, tapi tidak 

mungkin membawa tubuh kasarmu..." 

Si nenek menunjuk lemah ke arah dinding di mana 

terdapat tonjolan batu berwarna merah. 

"Tekan... tekan batu merah itu. Sebuah pintu rahasia 

akan terbuka di sudut kanan. Semburan Asap Penyiksa 

Roh akan berhenti. Pintu yang menutupi... mulut 

terowongan akan terbuka. Tekan cepat..." 

Sukma Wiro selipkan guci tembaga di pinggang. Lalu 

membungkuk di samping Hantu Penjunjung Roh."Nek, mengingat apa yang telah kau lakukan terhadap 

sahabatku Ratu Duyung, rasanya tidak perlu aku bersusah 

payah menyelamatkan dirimu dari ruangan ini. Tapi biarlah 

urusan hutang piutangmu dengan gadis itu kalian selesai-

kan sendiri." 

Sukma Wiro lalu panggul sosok si nenek lalu melang-

kah ke sudut ruangan, menekan tonjolan batu merah di 

dinding. Di ruang sebelah semburan asap kuning beracun 

serta merta berhenti. Lalu berbarengan dengan itu ter-

dengar suara berdesir di dinding sebelah kanan. Sebuah 

pintu membuka. Tanpa tunggu lebih lama Sukma Wiro 

melompat keluar dari ruangan itu. tapi ada dua tangan 

tiba-tiba mencekal kakinya. 

"Pendekar 212... Aku bertobat! Aku minta ampun! 

Jangan tinggalkan aku dalam ruangan ini!" 

"lbiis keparat!" rutuk Sukma Wiro ketika melihat yang 

memegangi dua kakinya adalah Iblis Kepala Batu Alis 

Empat. Kaki kanannya disentakkan ke atas lalu tumitnya 

dihantamkan ke kening orang. 

"Praakk!" 

Untuk ke dua kalinya kepala Iblis Kepala Batu Alis 

Empat pecah. Kali ini dia tak punya kemampuan lagi untuk 

mengusap dan membuat utuh kepala itu. Dari mulutnya 

keluar suara raungan menggidikkan lalu… hekk! Suara itu 

terputus. Sosok Iblis Kepala Batu terkapar di lantai tak 

berkutik lagi. Kali ini dia benar-benar telah menemui ajal! 

Sukma Wiro melompat melewati pintu di dinding batu. 

Dia sampai di satu ruangan yang dipenuhi asap kuning. 

Saat itu tak ada lagi asap yang menyembur dari celah di 

sebelah atas. Sukma Wiro ingat di ruangan inilah dia 

meninggalkan Ratu Duyung. 

"Ratu! Ratu Duyung!" 

Sukma Wiro memandang berkeliling mencari-cari sam-

bil kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Dia bisa melihat 

pintu mulut terowongan yang sebelumnya tertutup kini 

berada dalam keadaan terbuka. Sebagian asap kuning 

merambat keluar lewat mulut terowongan itu"Ratu! Ratu Duyung!" Sukma Wiro kembali berteriak. 

Lalu pandangan Sukma Wiro membentur sesosok 

tubuh tergeletak di lantai. Sosok Ratu Duyung. Secepat 

kilat Sukma Wiro menyambar tubuh Ratu Duyung, me-

manggulnya di bahu kiri sementara si nenek berada di 

bahu kanan. Sukma Wiro lari sepanjang terowongan 

menuju keluar. Dia tidak sadar kalau barusan telah 

melewati sosok kasarnya di dekat mulut terowongan yang 

masih berada dalam keadaan tak bergerak, duduk, bersila, 

mata terpejam. 

Sampai di luar, di udara terbuka di dasar Lembah 

Welirang Sukma Wiro baringkan dua tubuh yang, 

dibawanya ke tanah. Saat itu matahari hampir mencapai 

puncaknya. Teriknya cahaya sang surya membuat kabut 

dan asap kuning jauh berkurang hingga udara di tempat itu 

lebih bersih dibanding pagi sebelumnya. 

Saat itulah Sukma Wiro baru menyaksikan dengan 

jelas bagaimana wajah dan kulit tubuh Ratu Duyung 

kelihatan berwarna kuning. Ketika kelopak mata Ratu 

Duyung dibalikkannya, bagian mata yang seharusnya putih 

juga kelihatan kuning. Sukma Wiro dekatkan telinganya ke 

dada si gadis. Masih ada detakan jantung pertanda gadis 

itu masih hidup. Sukma Wiro membuat beberapa kali 

totokan di bagian tubuh tertentu Ratu Duyung. Gadis ini 

kemudian ditengkurapkannya. Perlahan-lahan dengan 

mengerahkan tenaga dalam dia mengurut sekujur tubuh 

sebelah belakang. Beberapa saat berlalu. Dua kaki Ratu 

Duyung kelihatan bergerak. Sukma Wiro keluarkan Kapak 

Maut Naga Geni 212. Senjata yang bisa menyedot segala 

macam racun ini diusapkannya berulang kali ke seluruh 

tubuh Ratu Duyung sebelah depan dan belakang. Kapak 

yang tadinya berwarna putih dan dilingkari cahaya tipis 

kemerahan kini berubah kekuning-kuningan pertanda 

senjata sakti ini berhasil menyedot racun jahat yang ada di 

tubuh si gadis. 

Semakin kuning warna kapak sakti semakin putih tulit 

wajah dan tubuh Ratu Duyung. Tiba-tiba Ratu Duyung menggeliat lalu batuk keras berulang kali. Dari mulutnya 

mengalir cairan kuning. Sukma Wiro kembali melakukan 

beberapa kali totokan. Cairan kuning semakin banyak 

keluar dan akhirnya terhenti sama sekali. 

Sukma Wiro membuka kelopak mata Ratu Duyung. Tak 

ada lagi bagian mata yang berwarna kuning. Lalu ia 

merenggangkan bibir gadis itu. Di dalam mulut si tadis 

ternyata masih ada cairan berwarna kuning. Wiro buka 

mulut Ratu Duyung lebih lebar. Lalu dia lekatkan mulutnya 

ke mulut si gadis. Tanpa ragu-ragu dia kemudian menyedot 

cairan di dalam mulut Ratu Duyung berulang kali hingga 

bersih sama sekali. 

Tiba-tiba tangan yang sejak tadi kaku bergerak 

melingkar ke leher Sukma Wiro. Satu suara halus ter-

dengar. 

"Wiro.... Kita berada dimana? Apa yang terjadi?" 

"Ah, syukur. Kau siuman," kata Sukma Wiro lalu 

dengan cepat melepas totokan dan membuat totokan baru. 

Sosok Ratu Duyung di dudukkannya di tanah, disandarkan 

ke satu lamping batu. 

"Ratu, aku gembira kau selamat..." 

"Wiro, Iblis Kepala Batu?" 

"Dia sudah mati. Mudah-mudahan mati benaran." 

"Apa maksudmu mati benaran?" 

"Sudah, nanti saja aku ceritakan." 

"Guci tembaga?" 

"Aku berhasil mendapatkan." Sukma Wiro lalu 

keluarkan guci tembaga dan diperlihatkannya pada Ratu 

Duyung. 

Ratu Duyung pegang guci tembaga itu sambil ter-

senyum lalu berbisik. "Simpan guci itu baik-baik. Kita harus 

segera mengeluarkan Bunga dari dalamnya." 

"Segera, tapi tidak di tempat ini. Kita mencari tempat 

yang baik di luar lembah." Ratu Duyung mengangguk. 

"Pendekar 212..." 

Ada suara memanggil. Hantu Penjunjung Roh. 

"Ratu, kau tunggu sebentar. Aku akan menolong nenekitu." kata Sukma Wiro pula. Ketika dia hendak bangkit 

berdiri Ratu Duyung pegang lengan sang pendekar. 

"Nenek jahat itu, kau masih mau menolongnya?" 

"Umurnya tak lama lagi. Aku..." 

"Jangan seperti menolong anjing terjepit Wiro. Begitu 

dia kau bebaskan, kau akan digigitnya..." 

"Aku akan berhati-hati. Kau tak usah kawatir," kata 

Wiro pula lalu menghampiri si nenek. 

Keadaan Hantu Penjunjung Roh saat itu ternyata 

sudah sangat payah. Nafasnya tinggal satu-satu. Sepasang 

matanya yang merah seolah masuk ke dalam. Asap merah 

berbentuk kerucut terbalik di atas kepalanya tinggal tipis 

dan bergoyang-goyang. 

"Pendekar 212, nyawaku tak lama lagi. Ada sesuatu 

ingin kukatakan padamu. Dekatkan telingamu ke mulutku." 

Sukma Wiro yang merasa tidak tega melihat keadaan 

si nenek, tidak sampai hati kalau tidak memenuhi per-

mintaannya. Sebagian tubuh Hantu Penjunjung Roh hancur 

laksana dipanggang. Sukma Wiro dekatkan telinga kirinya 

ke mulut si nenek. 

"Bicaralah Nek..." bisik Sukma Wiro. 

"Pemuda jahanam! Kau telah membunuh adikku! 

Kalau bukan karena dirimu, aku juga tidak bakal menemui 

ajal saat ini! Sekarang giliranmu untuk mampus, ikut kami 

berdua ke alam akhirat!" 

Sukma Wiro tersentak kaget. 

"Nek...!" 

"Hekkk!" 

Dua tangan Hantu Penjunjung Roh yang tadi terkulai 

lemas, kini laksana japitan besi mencekik batang leher 

Sukma Wiro. 

Sebelum lidahnya terjulur Sukma Wiro cekal dua 

lengan si nenek. Tapi cekikan Hantu Penjunjung Roh luar 

biasa kuatnya. Sulit dilepaskan! Sukma Wiro mulai megap-

megap. Inilah satu keanehan. Kalau Sukma Wiro bisa 

menembus dinding batu, mengapa melepaskan diri dari 

cekikan saja tidak bisa? Pasti Hantu Penjunjung Rohmemiliki ilmu penangkal bekerjanya Ilmu Meraga Sukma 

atas dirinya. 

"Nenek setan! Hutangmu padaku masih belum aku 

tagih! Sekarang kembali kau memperlihatkan kebejatan 

budi! Orang telah menolongmu! Kau malah hendak 

membunuhnya!" Satu suara memaki. Satu kaki bergerak 

menendang. 

"Bukkk!" 

Sosok tubuh Hantu Penjunjung Roh mencelat mental 

lalu byuuur! Tubuh si nenek jatuh ke dalam danau kecil 

berair kuning. Untuk beberapa lamanya tubuh si nenek 

kelihatan mengapung. Lalu terjadi satu keanehan. Laksana 

leleh tubuh Hantu Penjunjung Roh berubah menjadi cairan 

putih. Cairan ini kemudian berubah menjadi asap, naik ke 

udara bersama sisi kabut dan asap belerang lalu sirna dari 

pandangan mata. 

Sukma Wiro merasa tengkuknya dingin menyaksikan 

kejadian itu. 

"Wiro, kau tak apa-apa?" Ratu Duyung yang kini telah 

berlutut di samping Wiro bertanya. Gadis inilah yang tadi 

menendang tubuh si nenek. 

Sukma Wiro usap-usap lehernya yang kelihatan merah 

bekas cekikan Hantu Penjunjung Roh. Sambil geleng-

geleng kepala dan garuk-garuk rambut Sukma Wiro ber-

kata. 

"Tadinya aku kira dia minta dicium sebelum mati. Tahu-

tahu…" 

"Tahu-tahu hampir saja kau mencium anjing yang kau 

lepaskan dari jepitan!" 

Ratu Duyung tertawa lebar, mengusap rambut 

gondrong sang pendekar sambil berkata. 

"Dasar sableng! Dalam keadaan seperti ini kau masih 

bisa bergurau!" 

"Aku memang jelas sableng. Jadi harap kau jangan 

ikut-ikutan sableng!" 

Ratu Duyung menutup mulut menahan tawa. "Sebaik-

nya kita segera tinggalkan tempat ini. Mencari tempat yangbaik untuk mengeluarkan Bunga." Sukma Wiro melompat 

ke atas batu cadas. 

"Hai tunggu dulu!" Ratu Duyung berseru. 

"Ada apa?" tanya Sukma Wiro. 

"Aku mau tanya dulu..." 

"Hemm, tanya apa?" 

"Sosokmu yang sekarang ini Wiro benaran atau sukma-

mu yang gentayangan dalam Ilmu Meraga Sukma?" 

Sukma Wiro terkejut! 

"Astaga!" ucapnya. "Untung kau mengingatkan!" 

"Aku tak mau jalan bersama dengan makhluk gaib 

atau jejadian sepertimu!" kata Ratu Duyung pula sambil 

tersenyum. 

Sukma Wiro garuk-garuk kepala. 

"Aku harus kembali ke terowongan. Tubuh kasarku 

masih tertinggal di sana! Kau tunggu di sini." 

"Ya... ya cepatlah. Aku kawatir sosok kasarmu yang ada 

di sana diboyong hantu terowongan!" 

Sukma Wiro kepalkan tinjunya. 

Ratu Duyung tertawa-tawa memperhatikan Sukma 

Wiro berlari kembali ke arah lobang jalan masuk menuju 

terowongan di balik batu-batu cadas. 

***


WIRO SABLENG 

KUTUKAN SANG BADIK 5

 

TaK lama setelah meninggalkan Lembah Welirang, 

kedua orang itu sampai di satu pedataran rumput. 

Walau rumput yang tumbuh adalah rumput liar, 

diseling alang-alang namun pemandangan di tempat ini 

cukup indah. Jauh di bawah pedataran kelihatan sebuah 

sungai kecil meliuk-liuk di antara kehijauan rimba 

belantara. 


Wiro yang sudah kembali pada ujud aslinya hentikan 

larinya. Saat itu sang surya telah condong ke barat. Wiro 

duduk di batang pohon tua yang tumbang dan melintang di 

ujung pedataran rumput. Berdampingan dengan Ratu 

Duyung. 

"Sejak tadi aku mendengar suara sayup-sayup. 

Mungkin sekali suara Bunga dari dalam guci..." kata 

Pendekar 212. Lalu dia keluarkan guci tembaga yang di-

selipkan dibalik pinggang. 

"Saatnya kita mengeluarkan dia dari dalam guci," kata 

Ratu Duyung pula. 

Wiro anggukkan kepala. Guci tcmbaga ditimang-

timang, diperhatikan beberapa sat lalu dengan jari jarinya 

dia mengetuk-ngetuk badan guci. 

"Bunga! Aku Wiro! Aku bersama Ratu Duyung. Apakah 

kau bisa mendengar suaraku?" 

Angin sepoi-sepoi bertiup di pedataran. 

Di antara suara dedaunan yang saling bergesekan, 

tiba-tiba dari dalam guci terdengar suara halus. 

"Wiro! Kau menunggu apa lagi? Lekas keluarkan aku 

dari dalam guci!" 

Wiro dan Ratu Duyung tampak lega mendengar suaragadis dari alam roh itu. 

Wiro letakkan guci tembaga di atas batang pohon. 

Sesaat diperhatikannya benda hitam yang menyumpal dan 

menutup mulut guci. Dengan hati-hati dia tarik benda itu. 

Begitu penutup guci lepas, terdengar satu letupan kecil. 

Lalu dari dalam guci mengepul keluar asap putih. Perlahan-

lahan asap ini sirna ditiup angin pedataran rumput. 

"Bunga, penutup guci sudah aku buka. Mengapa kau 

masih belum keluar?" Wiro bertanya setelah beberapa saat 

menunggu. 

"Kaki dan tanganku terbelenggu ke dasar guci!" 

"Apa?!" 

"Dua hari lalu Iblis Kepala Batu membelenggu tangan 

dan kakiku ke dasar guci. Kau harus memecah guci ini 

untuk bisa membebaskan diriku!" 

"Kurang ajar!" kata Wiro geram sekali. 

Di sampingnya Ratu Duyung berkata. "Kau harus 

mengeluarkan Ilmu Meraga Sukma kembali untuk bisa 

masuk ke dalam guci itu. Jika kau belah dari luar aku 

khawatir Bunga akan cidera." 

Wiro mengangguk. "Aku ingat ucapan Kakek Segala 

Tahu. Untuk bisa membebaskan Bunga, katanya aku harus 

jadi kentut!" 

"Jadi kentut?!" Ratu Duyung bertanya heran. "Pasti kau 

bergurau lagi." 

"Tidak. Maksud kakek itu aku harus jadi angin dan 

nasuk ke dalam guci." Habis berkata begitu Pendekar 212 

Wiro Sableng duduk bersila di rumput. Dua tangan dirang-

kapkan di depan dada. Mata dipejamkan. Pikiran dikosong-

kan. Lalu dia mengucapkan Basmallah, dan merapal kata 

Meraga Sukma sebanyak tiga kali. Sesaat kemudian, 

seperti yang pernah disaksikan Ratu Duyung sebelumnya, 

dari tubuh kasar Wiro bergerak keluar satu sosok samar 

menyerupai asap. Asap ini bergelung ke udara membentuk 

sosok kecil Pendekar 212 Wiro Sableng, meliuk-liuk lalu 

menukik turun dan masuk ke dalam guci. 

Ratu Duyung kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Tapiilmu itu tidak bisa menembus dinding guci. Dia tidak bisa 

melihat apa yang terjadi. Sayup-sayup didengarnya suara 

orang bicara. Lalu ada suara berkerontang halus. Tak lama 

kemudian ada asap membubung keluar dari dalam guci. 

Asap membentuk dua sosok tubuh. Yang pertama sosok 

Wiro dalam keadaan memegang Kapak Naga Geni 212 

dengan tangan kanan sementara tangan kiri memegang 

lengan sosok kedua yang bukan lain adalah Bunga. Dua 

sosok yang menyerupai asap itu perlahan-lahan berubah 

besar. Akhirnya membentuk ujud utuh Pendekar 212 Wiro 

Sableng dan Bunga gadis dari alam roh, mengenakan 

pakaian kebaya panjang putih yang kotor dan lusuh serta 

berwajah sangat pucat. Rambut tergerai kusut. 

Berdiri di pedataran rumput Bunga terheran-heran me-

lihat ada dua sosok Wiro. Satu yang berdiri di hadapannya 

yaitu yang tadi masuk ke dalam guci. Satu lagi yang saat itu 

masih duduk dalam keadaan bersila rangkapkan tangan di 

depan dada. , 

"Aku tak mengerti..." bisik Bunga. 

Wiro selipkan kapak saktinya ke pinggang. Lalu per-

lahan-lahan dia melangkah ke sosok dirinya yang duduk 

bersila di atas rumput. Sosok Sukma Wiro berubah samar, 

kemudian masuk ke dalam sosok kasar. Tak lama kemudi-

an setelah melafalkan Meraga Sukma Kembali Pulang 

sebanyak tiga kali, sosok Wiro yang duduk bersila perlahan-

lahan membuka mata, menurunkan sepasang tangan dan 

bangkit berdiri menghampiri gadis alam roh. 

"Ilmu aneh. Luar biasa..." kata Bunga terkagum-kagum. 

"Wiro, aku, aku tidak tahu bagaimana harus berterima 

kasih padamu..." 

Tidak bisa meneruskan kata-katanya, Bunga jatuhkan 

diri ke dada bidang Pendekar 212. 

"Bunga..." Suara Pendekar 212 bergetar dan setengah 

tercekat. Waktu di dalam guci, ketika dia memutus 

belenggu besi di kaki dan tangan si gadis, dia tidak dapat 

melihat jelas keadaan Bunga. Kini melihat keadaan gadis 

itu begitu rupa hatinya terharu sekali. Ketika Bunga menjatuhkan diri ke atas dadanya Wiro segera memeluknya. 

"Tadinya aku mengira tak akan pernah keluar lagi dari 

dalam guci itu..." Ucap Bunga sambil memeluk Wiro erat-

erat. Wiro merasakan hangatnya air mata si gadis di per-

mukaan dadanya. 

"Iblis Kepala Batu Alis Empat sudah menemui ajal." 

"Aku tahu. Walau cuma mendengarkan suara dari 

dalam guci tapi aku tahu semua yang telah terjadi. Aku 

sangat berterima kasih padamu Wiro. Kau telah 

menyelamatkan diriku..." 

"Pertama sekali berterima kasih kepada Tuhan Yang 

Maha Kuasa dan Maha Pengasih. Hanya dengan kekuasa-

anNya dirimu bisa selamat..." 

"Dalam alamku, aku memang sudah terlalu lama tidak 

mengingat Yang Satu itu. Tapi bagaimanapun juga kau 

adalah kepanjangan tangan Tuhan yang nenolongku..." 

"Sebenarnya ada beberapa orang lain kepada siapa 

kau pantas berterima kasih. Bukan kepadaku..." 

"Aku tahu. Aku ingin kau menyebutkan mereka satu 

persatu agar aku tidak salah mengenang budi dan ber-

terima kasih..." 

"Mulai dari Kakek Segala Tahu. Dia yang pertama kali 

memberi petunjuk tentang bagaimana caranya agar aku 

bisa menolongmu. Lalu pada Nyi Roro Manggut, seorang 

sakti di dasar samudera kawasan selatan. Dialah yang 

memberikan Ilmu Meraga Sukma padaku. Lalu pada Nyi 

Agung Roro Kidul, penguasa kawasan samudera selatan 

yang telah mengizinkan aku untuk bisa bertemu dengan 

Nyi Roro Manggut. Kemudian pada Ratu Duyung sahabat-

ku. Kalau bukan dengan pertolongannya mustahil aku bisa 

masuk ke dalam laut menemui Nyi Roro Manggut." 

"Ratu Duyung, aku tahu. Budinya besar sekali. Tapi di 

manakah dia? Bukankah tadi dia ada di sini bersamamu. 

Bukankah dia ada bersamamu sejak berada di sarang Iblis 

Kepala Batu?" 

Pendekar 212 Wiro Sableng memandang berkeliling. 

Dia baru sadar kalau saat itu Ratu Duyung tak ada lagi ditempat itu. 

Bunga menghela nafas dalam. 

"Aku ingin sekali bertemu dengan dia. Tapi mungkin 

dia sengaja mengelak. Di masa lalu hubungan kami 

memang kurang baik. Mungkin aku banyak berbuat keliru." 

"Bunga, harap kau mau menunggu sebentar. Aku akan 

mencari Ratu Duyung. Dia pasti berada di sekitar sini..." 

Bunga cepat memegang lengan Wiro dan berkata. 

"Tak usah pergi. Waktuku tidak banyak lagi. Aku sudah 

terlalu lama meninggalkan alamku. Ada satu hal yang ingin 

aku sampaikan selain dari ucapan terima kasih atas budi 

pertolonganmu. Aku tidak malu mengatakan bahwa pada 

pertemuan kita pertama kali dulu aku telah jatuh cinta 

padamu. Saat ini, sampai dalam keadaanku seperti ini 

sebagai makhluk yang tidak satu dunia dengan dirimu, 

rasa cinta itu tak pernah hilang. Malah semakin bertambah 

dan semakin dalarn. Namun aku mengerti siapa diriku. 

Alam kita berbeda. Aku tidak perlu menanyakan, apakah 

kau mengasihi diriku, apakah kau mencintai diriku. Kalau-

pun perasaan itu ada dalam lubuk hatimu, rasa cinta dan 

kasih sayang kita hanya akan tetap merupakan perasaan 

belaka. Kita tidak mungkin bersatu. Apapun yang terjadi, 

sampai kapanpun kita tak mungkin...." 

Wiro membelai rambut Bunga lalu memegang dua pipi-

nya. Air mata masih meleleh membasahi pipi pucat gadis 

alam roh itu. 

"Saat ini kau tidak boleh bicara segala ketidak-

mungkinan. Serahkan semua pada Yang Maha Kuasa. Aku 

ingin kau tetap bersamaku selama beberapa hari..." 

Bunga tersenyum. "Itu satu hal yang lagi-lagi tidak 

mungkin. Sebelum aku pergi aku ingin mengatakan se-

suatu. Di luar diriku, aku tahu begitu banyak gadis men-

cintai dirimu. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu ter-

hadap mereka. Tetapi jika kelak dikemudian hari kau ingin 

memilih salah satu dari mereka sebagai teman hidupmu, 

jatuhkanlah pilihanmu pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-

baik."Wajah Pendekar 212 berubah. 

"Mengapa kau berkata begitu Bunga?" 

"Pertanyaanmu tidak akan kujawab. Aku ingin agar kau 

sendiri yang mencari tahu, yang mencari jawabannya..." 

"Mungkin karena dia telah menanam budi menyela-

matkan dirimu dari sekapan guci Iblis Kepala Batu?" 

"Kalaupun aku harus menemui kematian ganda di 

dalam guci itu, aku tetap akan mengatakan agar kau me-

milih dirinya sebagai teman hidupmu." 

Murid Sinto Gendeng jadi terdiam. 

"Saatnya aku pergi Wiro." 

"Tidak. Tunggu dulu..." 

Gadis dari alam roh itu tersenyum. Kini dia yang ganti 

mendekap wajah si pemuda dengan kedua tangannya. 

"Aku pergi Wiro. Ingat selalu apa yang telah aku ucap-

kan saat ini padamu. Sampaikan salam dan terima kasihku 

pada Ratu Duyung." 

Wiro coba memeluk gadis itu. Tapi seperti angin, 

Bunga meliuk lepas dan melesat ke udara untuk kemudian 

lenyap dari pemandangan. 

Lama Wiro terduduk di batang pohon kayu di ujung pe-

dataran rumput. Beberapa kali dia menghela nafas dalam 

dan menggaruk kepala. Lalu dia bangkit berdiri. 

"Ratu Duyung..." Wiro memanggil. "Ratu..." Wiro me-

langkah menyusuri pinggiran pedataran. Sampai ke ujung 

dia kembali lagi. Ratu Duyung lenyap entah kemana. Wiro 

merasa berdosa seolah telah melupakan gadis itu ketika 

tadi dia keluar dari dalam guci bersama Bunga. Tiba-tiba 

dia mendengar suara isakan. Wiro memandang ke arah 

semak belukar rapat di ujung kanan. Dia cepat melangkah 

ke tempat itu. Di balik semak belukar dia menemukan Ratu 

Duyung duduk dengan kepala dibenamkan di atas dua 

lutut yang dilipat. 

"Ratu...." Wiro berlutut di samping gadis itu. "Bunga 

ingin menemuimu. Tapi kau seperti mengelak. Mengapa? 

Kau tidak suka padanya?" 

Perlahan-lahan Ratu Duyung angkat wajahnya. Tanpamemandang pada Wiro dia berkata. 

"Kami memang pernah berseteru. Sudah lama 

kejadiannya dan aku sudah melupakan hal itu. Kalau aku 

mungkin penyebab semua itu, aku berharap mungkin 

sedikit budi yang aku tanamkan bisa menebus dosaku ter-

hadapnya..." 

"Bunga tidak pernah mengingat lagi semua kejadian di 

masa lalu. Dia menyampaikan pesan dan terima kasih 

padamu." 

Ratu Duyung menyeka air matanya. "Apa lagi yang di-

katakan Bunga padamu?" 

"Banyak..." 

"Tentang diriku?" 

"Banyak sekali." 

"Coba kau beritahu satu persatu." 

Wiro tertawa lebar. 

"Akan kuberitahu. Tapi tidak sekarang ini. Kita masih 

banyak urusan. Aku tidak tahu apakah para sahabat telah 

berhasil mendapatkan Melati Tujuh Racun untuk meng-

obati Patih Kerajaan. Lalu bagaimana dengan Pedang Naga 

Suci 212 yang lenyap. Juga Kitab Seribu Pengobatan milik 

Eyang Sinto Gendeng yang dicuri orang..." 

Dalam hati Ratu Duyung berkata. "Kau tidak mau 

memberitahu apa saja yang dikatakan Bunga padamu. 

Tapi tadi aku mendengar semua apa yang kalian 

bicarakan. Kelak aku ingin tahu, apakah kau mau berkata 

jujur menceritakan semua apa yang dikatakan gadis alam 

roh itu. Terutama mengenai hal yang satu itu…" 

Wiro memegang lengan Ratu Duyung, membantu gadis 

ini berdiri. Saat itu ucapan Bunga seolah terngiang di te-

linga sang pendekar. "Jika kelak dikemudian hari kau ingin 

memilih salah satu dari mereka sebagai teman hidupmu, 

jatuhkan pilihanmu pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik." 

Wiro garuk-garuk kepala lalu tersenyum. 

"Kenapa kau tersenyum?" Ratu Duyung bertanya. 

"Apa aku tak boleh tersenyum?" Tanya Wiro. 

"Pasti ada sesuatu. Ada sebabnya.""Tidak, kali ini aku tersenyum tidak ada sebabnya." 

"Oh begitu? Aneh..." 

"Aneh bagaimana maksudmu?" 

"Tidak, tidak ada maksud apa-apa," jawab Ratu 

Duyung. 

Wiro menggaruk kepala. 

"Ah, kau sengaja menggodaku. Aku ingin tahu apakah 

kau juga bisa tersenyum." Lalu Wiro menggelitik pinggang 

gadis bermata biru itu hingga Ratu Duyung terpekik ke-

gelian dan lari menuruni pedataran berumput. 

***


WIRO SABLENG 

KUTUKAN SANG BADIK 6

 

Di DALAM Episode sebelumnya (Melati Tujuh Racun) 

telah diceritakan kemunculan Hantu Jatilandak, 

pemuda berkulit serba kuning yang terpesat dari 

Negeri Latanahsilam sewaktu meledaknya Istana 

Kebahagiaan. Juga dikisahkan bagaimana Jatilandak 

menemukan bunga Melati Tujuh Racun yang menyumpal di 

liang telinga Setan Ngompol. 

Oleh Setan Ngompol bunga melati keramat yang meru-

pakan satu-satunya obat penyembuh Patih Kerajaan 

diserahkan pada Bidadari Angin Timur yang muncul di 

tempat itu bersama Anggini. Bidadari Angin Timur mem-

bungkus bunga melati hitam itu dalam sehelai lipatan sapu 

tangan. 

Selagi mereka membicarakan Hantu Jatilandak yang 

tiba-tiba saja melenyapkan diri dari tempat itu, serta mem-

perbincangkan bagaimana caranya agar bisa menemui 

Pendekar 212 Wiro Sableng, secara tidak terduga murid 

Sinto Gendeng itu justru muncul di tempat itu. Tentu saja 

semua orang menjadi gembira. 

Tidak perlu susah-susah mencari Wiro dan perjalanan 

ke Kotaraja menuju Gedung Kepatihan bisa segera dilaku-

kan. 

Tapi kehadiran Pendekar 212 kali ini mendatangkan 

rasa curiga dalam diri Bidadari Angin Timur dan Anggini. 

Dia datang sendirian, padahal sebelumnya pergi bersama 

Ratu Duyung menuju Lembah Welirang. 

Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan dijawab 

Wiro dengan sikap dan ucapan agak janggal, tidak ber-

sambung. Ketika Setan Ngompol menerangkan bahwamereka baru saja berhasil menemukan Melati Tujuh 

Racun, Wiro serta merta meminta bunga itu dengan sikap 

setengah memaksa. Karena Setan Ngompol menyuruh 

Bidadari Angin Timur menyerahkan bunga melati tersebut 

pada Wiro, mau tak mau si gadis berambut pirang ini 

serahkan bunga yang disimpannya dalam lipatan sapu 

tangan itu pada Pendekar 212. 

Begitu menerima selampai berisi bunga, Pendekar 212 

Wiro Sableng segera minta diri mendahului menuju Kota 

raja. Setelah Wiro pergi kecurigaan dalam diri dua gadis 

jadi bertambah-tambah. Si kakek tukang ngompol juga 

merasa ada yang tidak beres. 

"Anak sableng itu!" kata Setan Ngompol sambil me-

rapikan celananya yang basah kuyup dan kedodoran. "Dua 

kali aku menyebut nama Hantu Jatilandak. Kali terakhir 

malah aku jelaskan kalau pemuda muka kuning itulah yang 

telah menolong menemukan Melati Tujuh Racun. Tapi si 

gondrong itu tidak acuh. Seperti tidak mendengar apa yang 

aku katakan." 

"Dia mendengar Kek, tapi sepertinya dia tidak kenal 

pada Hantu Jatilandak," ujar Anggini pula. 

"Di situlah letak keanehannya! Seharusnya dia terkejut 

mendengar Hantu Jatilandak ada di Tanah Jawa ini. Sewak-

tu di Negeri Latanahsilam, dia pernah menolong Hantu 

Jatilandak, masakan dia lupa pada pemuda itu?" 

"Keanehan yang kami lihat lain lagi Kek," ucap Bidadari 

Angin Timur. "Pertama, dia pergi bersama Ratu Duyung. 

Muncul seorang diri. Kedua, jika dia memang telah mem-

bebaskan Bunga, masakan mereka berpisah begitu saja di 

Kotaraja. Ketiga, mengapa dia memaksa pergi lebih dulu. 

Meninggalkan kita pergi ke Kotaraja membawa Melati 

Tujuh Racun. Apa salahnya kita pergi sama-sama. Ke-

anehan keempat, seingatku Wiro tidak pernah memanggil 

kami dengan kata kawan-kawan. Biasanya dengan pang-

gilan sahabat. Itupun jarang dilakukan." 

"Sesuatu telah terjadi dengan anak sableng itu. 

Mungkin ini akibat ilmu baru yang dimilikinya. Ilmu MeragaSukma. Ah, aku menyesal menyuruh kau memberikan 

bunga sakti itu padanya," kata Setan Ngompol sambil me-

nahan kencing. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?" 

"Aku ingin kita mengikutinya ke Kotaraja," jawab 

Bidadari Angin Timur yang saat itu paling jengkel dan 

penasaran. 

"Aku setuju!" kata Setan Ngompol. "Nah, kita tunggu 

apa lagi?" 

Sambil pegangi perutnya untuk menahan kencing 

kakek ini berkelebat ke arah lenyapnya Pendekar 212. 

Bidadari Angin Timur dan Anggini segera mengikuti. 

Belum lama rombongan terdiri dari tiga orang itu me-

nempuh jalan menuju Kotaraja, di satu pedataran tinggi 

yang banyak ditumbuhi pohon jati serta tebaran batu-batu 

bekas reruntuhan tembok sebuah candi yang telah rusak, 

terdengar suara orang saling bentak. Satu perkelahian 

hebat rupanya tengah berlangsung di tempat itu. 

"Serrr!" 

Setan Ngompol langsung kucurkan air kencing lalu 

hentikan larinya. Dia menunjuk ke arah pedataran tinggi 

yang dirapati deretan pohon-pohon jati. 

"Ada orang berkelahi di atas pedataran sana. Aku ingin 

menyelidik." 

"Perlu apa menyelidik membuang waktu Kek?" ujar 

Bidadari Angin Timur. "Kita punya urusan jauh lebih pen-

ting." 

"Aku tahu," jawab Setan Ngompol. "Kita sudah tahu ke 

mana perginya Wiro. Ke Kotaraja. Berarti kita sudah tahu 

arah yang dituju. Soal menyelidik siapa yang berkelahi itu 

hanya urusan sesaat saja. Aku punya firasat, apa yang ter-

jadi di pedataran tinggi sana ada sangkut pautnya dengan 

semua keanehan, yang tadi kita bicarakan." 

Setan Ngompol lalu berkelebat ke arah pedataran ting-

gi. Dua gadis tak bisa berbuat lain, berlari mengikuti si 

kakek. 

Ketika mereka melewati deretan pohon-pohon jati dan 

akhirnya sampai di puncak pedataran, mereka semua keluarkan seruan tertahan. 

Di puncak pedataran mereka menyaksikan satu pe-

mandangan sulit dipercaya. Dua sosok Pendekar 212 Wiro 

Sableng saling bertempur satu sama lain. Tak jauh dari situ 

Ratu Duyung kelihatan berkelahi dikeroyok dua kakek. 

Kakek pertama berpakaian ringkas warna biru bukan lain 

adalah Rana Suwarte, tokoh silat Istana yang tergila-gila 

pada Gondoruwo Patah Hati alias Ning Istana Lestari. Di 

sebelahnya, kawannya yang mengeroyok Ratu Duyung 

adalah seorang kakek bermuka pucat laksana mayat hidup 

yang sekali lihat saja segera diketahui kalau dia adalah Si 

Muka Bangkai, guru Pangeran Matahari. (Seperti diketahui 

Si Muka Bangkai yang asli telah menemui ajal di Pangan-

daran, dibunuh oleh Bujang Gila Tapak Sakti sewaktu ter-

jadi pertempuran hebat antara para dedengkot golongan 

hitam melawan para tokoh puncak golongan putih. Si Muka 

Bangkai yang kemudian malang melintang dalam rimba 

persilatan adaiah saudara kembar Si Muka Bangkai yang 

konon lebih ganas dari Si Muka Bangkai yang asli dan 

memiliki ilmu silat serta kesaktian tidak dibawah saudara 

kembarnya yang sudah almarhum itu) 

Setan Ngompol terkencing-kencing menyaksikan per-

kelahian hebat di puncak bukit jati itu. Sambil memegangi 

perutnya dia berkata. 

"Gila! Yang mana Wiro sungguhan, yang mana yang 

palsu?!" 

"Yang palsu adalah yang tadi kau suruh aku menyerah-

kan Melati Tujuh Racun padanya!" Menjawab Bidadari 

Angin Timur. 

"Dua gadis cantik. Salah satu dari dua orang kembar 

itu pasti Wiro palsu. Berjaga-jagalah. Jangan dia sampai 

lolos! Kalian harus dapatkan Melati Tujuh Racun itu 

kembali!" 

"Kakek tukang kencing! Kau sendiri mau ke mana?" 

tanya Bidadari Angin Timur. 

"Aku mau membantu sahabatku si mata biru," jawab 

Setan Ngompol lalu melesat ke hadapan Rana Suwarte.Sambil tertawa ha-ha he-he dan pegangi perutnya kakek 

yang kini berkepala botak karena harus memenuhi kaulan 

itu berseru pada Rana Suwarte. 

"Rana Suwarte pencuri Keris Naga Kopek pusaka 

Kerajaan! Pembunuh gadis cilik bernama Sulantri! Sobatku 

Naga Kuning telah menghancurkan tangan kirimu! Kau 

masih malang melintang jual lagak! Apa kau kira dengan 

tangan hancur seperti itu Ning Intan Lestari masih mau 

melihat tampangmu?! Hari ini kalau tidak bisa mencekok 

mulutmu dengan kencingku biar aku disunat sekali lagi! 

Ha... ha... ha!" 

Dimaki sebagai pencuri keris pusaka Kerajaan serta 

sebagai pembunuh Sulantri tidak membuat marah Rana 

Suwarte. Tapi ucapan Setan Ngompol menyebut-nyebut 

Ning Intan Lestari alias Gondruwo Patah Hati yang selama 

ini digilainya membuat Rana Suwarte jadi naik darah. 

"Aku memang sudan lama mengincar nyawamu. Hari 

ini aku bersumpah mengorek jantungmu!" 

Setan Ngompol tertawa bergelak. 

"Hati-hati kalau bicara! Jaga mulut sombongmu!" kata 

Setan Ngompol. Lalu setengah pancarkan air kencing 

kakek ini melesat ke arah Rana Suwarte. 

"Wuutttt!" 

Dalam keadaan tubuh masih melayang di udara Setan 

Ngompol lancarkan serangan berupa tendangan, dalam 

jurus yang disebut Setan Ngompol Mengencingi Pusara. 

Rana Suwarte keluarkan tawa mengejek. Dengan 

mudah dia bisa menghindar dari serangan Setan Ngompol. 

Tapi cipratan air kencing yang bertebaran bersama ten-

dangan itu sempat membasahi pakaian bahkan wajahnya 

yang pucat. Karuan saja Rana Suwarte jadi mendidih 

amarahnya. Ketika lawan kembali menyerang dia segera 

menghadang dengan serangan balasan. Perkelahian 

antara dua jago tua ini berkecamuk hebat. Tapi tangan 

kirinya yang cidera berat dan saat itu masih dibalut 

merupakan kendala besar bagi Rana Suwarte dalam 

menghadapi kakek tukang kencing yang kelihatan konyolitu tapi sebenarnya sangat berbahaya. 

Kita kembali dulu pada Ratu Duyung. 

Sewaktu dikeroyok dua oleh Rana Suwarte dan Si 

Muka Bangkai, Ratu Duyung sempat terdesak hebat. Apa 

lagi dirinya masih lemas akibat pengaruh jahat Asap 

Penyiksa Roh. Begitu menghadapi Si Muka Bangkai satu 

lawan satu, semangat gadis bermata biru ini jadi berkobar. 

Dia keluarkan jurus-jurus aneh ilmu silat dasar samudera. 

Dalam waktu singkat Ratu Duyung mulai mendesak lawan-

nya. Melihat bahaya mengancam Si Muka Bangkai segera 

keluarkan pukulan-pukulan saktinya. 

Mula-mula Si Muka Bangkai bentengi diri dengan ilmu 

Sepuluh Tameng Kematian. Sepuluh sinar merah kuning 

dan hitam berselang seling menyambar membentengi 

tubuhnya tapi secara tak terduga bisa berubah menjadi 

serangan ganas. Beberapa kali Ratu Duyung coba susup-

kan serangan atau tendangan namun selalu sia-sia. Dari 

pada kedahuluan dicelakai lawan maka Ratu Duyung 

segera keluarkan cermin saktinya. Kini dalam perkelahian 

kedua orang itu terlihat sambaran-sambaran sinar putih 

menyilaukan yang keluar dari permukaan cermin, meng-

gempur sepuluh larik sinar sakti yang membentengi Si 

Muka Bangkai. Walau kakek muka mayat ini tidak gentar 

menghadapi Ratu Duyung dan merasa masih bisa bertahan 

bahkan punya niat untuk mulai mengeluarkan pukulan 

ganas Gerhana Matahari namun keadaan mendadak 

berubah ketika dua gadis yang sejak tadi rnemperhatikan 

jalannya perkelahian dari jauh, tibatiba melesat ke 

arahnya. 

Sebelumnya antara Bidadari Angin Timur dan Anggini 

terjadi percakapan. 

"Tanganku sudah gatal. Kita pilih mana? Rana Suwarte 

atau Si Muka Bangkai?" Bertanya Bidadari Angin Timur. 

"Menurutku kakek tukang kencing itu tidak punya 

kesulitan menghadapi lawannya. Aku memilih si bungkuk 

muka pucat. Kau sendiri bukankah punya dendam 

kesumat terhadap guru Pangeran Matahari itu?" Yangbicara adalah Anggini. 

Walau Si Muka Bangkai yang satu ini bukan sungguh-

an guru Pangeran Matahari tapi Anggini langsung saja men-

jawab. 

"Setuju!" 

"Dua gadis cantik! Kalian mencari penyakit! Mengapa 

tidak menunggu giliran sampai kakekmu ini melayani 

kalian di atas ranjang?! Ha... ha... ha!" Sebenarnya Si Muka 

Bangkai merasa kecut dengan turunnya dua gadis cantik 

itu ke gelanggang pertempuran. Dia tahu benar kehebatan 

Anggini dan Bidadari Angin Timur. Cuma untuk menyem-

bunyikan rasa jerihnya dia sengaja keluarkan ucapan 

seperti itu. 

"Bangkai tua bermulut kotor!" teriak Bidadari Angin 

Timur. "Lihat serangan!" Bidadari Angin Timur, yang dikenal 

memiliki gerakan luar biasa cepatnya goyangkan kepala. 

Bau wangi menebar, rambut pirangnya berkelebat laksana 

tebasan pedang. Dari sebelah kiri Anggini murid Dewa Tuak 

menghantam dengan jurus ganas bernama Memecah 

Angin Meruntuh Matahari Menghancur Rembulan! 

Si Muka Bangkai membentak keras. Tubuhnya ber-

kelebat sambil gerakkan tangan kiri kanan melepas 

pukulan Merapi Meletus. Tapi gerakan tangan Si Muka 

Bangkai hanya setengah jalan. Dalam satu gerakan cepat 

sekali, Bidadari Angin Timur berputar gesit dan tahu-tahu 

telah berada di belakang lawannya. Di sebelah depan 

cahaya yang melesat keluar dari cermin sakti Ratu Duyung 

menyilaukan matanya. Si Muka Bangkai tidak melihat 

gerakan Bidadari Angin Timur. Dia terpaksa pergunakan 

salah satu tangannya untuk melindungi mata yang 

kesilauan sambil melompat ke kanan menjauhi serangan 

ganas Anggini. Pada saat itulah dari belakang datang 

melanda jotosan Bidadari Angin Timur. Telak bersarang di 

punggungnya yang bungkuk! 

"Bukkk!" 

Sosok Si Muka Bangkai mencelat dua tombak. 

Darah segar menyembur dari mulut kakek ini. Jatuh ketanah dia masih sanggup bertahan dengan cara berlutut, 

tak sampai roboh atau terguling-guling. 

Memandang ke depan tiga gadis dilihatnya mengurung 

rapat, memandang dengan wajah-wajah cantik tapi angker 

seolah tiga bidadari yang muncul membawa persembahan 

anggur kematian! 

Perlahan-lahan Si Muka Bangkai bangkit berdiri. Saat 

itu didengarnya Ratu Duyung berseru. 

"Para sahabat! Tunggu apa lagi! Ini saatnya kita 

berebut pahala menghabisi manusia sejuta jahat penimbul 

sejuta bencana!" 

Tiga tubuh elok serentak berkelebat. 

Tiga tangan halus menderu ke satu sasaran. 

Si Muka Bangkai tiba-tiba kembangkan dua tangannya. 

"Aku Si Muka Bangkai akan merasa bahagia jika dapat 

mati bersama kalian bertiga!" 

Dari dua tangan yang mengembang itu tiba-tiba 

menebar bubuk berwarna biru. Bau aneh menggidikkan 

tercium santar. 

"Awas bubuk beracun!" Teriak Anggini memperingat-

kan. 

Tiga gadis serta merta batalkan serangan. Malah mere-

ka terpaksa bersurut mundur. Kesempatan ini tidak disia-

siakan Si Muka Bangkai. Sekali dia mengenjot ke dua 

kakinya, tubuhnya melesat ke udara sampai dua tombak. 

Menembus ranting-ranting dan dedaunan lebat sebuah 

pohon jati. Ratu Duyung bertindak cepat. Dia sudah 

maklum apa yang hendak dilakukan si kakek. Cermin sakti 

diputar demikian rupa. Cahaya menyiaukan berkiblat. 

"Wusss!" 

Ranting dan daun-daun pohon jati di atas sana 

meranggas dilamun kobaran api. Namun sosok Si Muka 

Bangkai lenyap tak kelihatan lagi! 

***


WIRO SABLENG 

KUTUKAN SANG BADIK 7

 

MENGETAHUI kalau Si Muka Bangkai telah kabur 

melarikan diri, Rana Suwarte yang saat itu berada 

dibawah tekanan serangan Setan Ngompol mulai 

leleh nyalinya. Beberapa jotosan lawan telah mendarat di 

tubuh dan pipi kanan hingga wajahnya kelihatan bengap 

merah kebiruan. Dua giginya rontok. Dalam menahan sakit 

Rana Suwarte juga menyumpah panjang pendek. Dia 

menyesali kebodohan dirinya sendiri yang berserikat 

dengan Pangeran Aryo Probo alias Sarontang untuk men-

curi Keris Naga Kopek dari tempat penyimpanan di Istana. 

Ternyata Sarontang telah menipunya. Kalau keris sakti itu 

masih ada padanya saat itu mungkin sudah sejak tadi-tadi 

Setan Ngompol dihabisinya. Kini Si Muka Bangkai yang jadi 

andalannya telah kabur. Mau tak mau dalam otak Rana 

Suwarte timbul pula niat untuk melarikan diri. Maka dia 

segera mengatur siasat mencari kesempatan untuk melari-

kan diri. Sambil terus mundur dicecar serangan gencar 

Setan Ngompol, Rana Suwarte coba keluarkan pisau ter-

bang yang merupakan salah satu senjata andalannya. Tapi 

Setan Ngompol sudah bisa menduga siasatnya dan tidak 

memberi kesempatan pada lawan. 


Rana Suwarte dengan nekad keluarkan jurus-jurus 

simpanannya. Begitu gempuran lawan sedikit terbendung 

dengan cepat dia menyelinap ke balik sederetan pohon 

jati. Dia membuat gerakan cepat dan aneh. Lalu di lain 

kejap sosoknya lenyap dari pemandangan Setan Ngompol. 

"Sialan! Kemana lenyapnya bangsat itu!" maki Setan 

Ngompol dan serrr! Kencingnya mengucur. 

Rana Suwarte memang bisa membuat gerakan menipuSetan Ngompol. Tapi dia tidak bisa memperdayai pandang-

an mata tiga gadis yang sejak tadi mengawasi gerak 

geriknya. Ketika dia berhasil menipu Setan Ngompol dan 

berkelebat melarikan diri, Bidadari Angin Timur yang berdiri 

di balik pohon palangkan kaki kanannya mengait dua kaki 

Rana Suwarte. Tak ampun kakek berpakaian serba biru ini 

jatuh tengkurap, terbanting di tanah. Sebelum dia sempat 

bangun dan kabur lagi, Setan Ngompol telah melompat dan 

menginjak jidat orang ini. Tiga gadis bertindak cepat, ber-

diri mengelilingi ke dua orang itu. 

"Rana Suwarte! Saat ini kau hanya tinggal memilih. 

Menjawab semua pertanyaanku atau kuinjak kepalamu 

sampai pecah!" 

Rahang Rana Suwarte menggembung. Matanya men-

delik. Mulutnya komat-kamit tapi tak sepotong suarapun 

keluar dari mulut itu. Dia merasa heran mendengar ucapan 

Setan Ngompol. 

"Kau tak mau menjawab tidak apa-apa! Coba kau rasa-

kan dulu ini!" 

Setan Ngompol keraskan injakkan kaki kanannya di 

kening Rana Suwarte hingga orang ini merasa kepalanya 

seolah mau rengkah. Sakitnya bukan kepalang, sepasang 

matanya sampai mendelik jereng. Setan Ngompol yang 

jereng benaran tertawa gelak-gelak. 

"Mau kuinjak lebih keras lagi?!" 

"Keparat! Ucapkan apa yang hendak kau tanyakan!" 

Rana Suwarte akhirnya membuka mulut tapi disertai maki-

an. 

"Setan Ngompol!" Bidadari Angin Timur yang sudah 

tidak sabaran menegur. "Buat apa bicara panjang lebar 

dengan manusia jahat itu! Habisi saja dia sekarang juga!" 

"Sobatku gadis cantik berambut pirang," jawab Setan 

Ngompol. "Tenang saja. Sabar barang sebentar. Lihat saja 

apa yang aku lakukan! Kau pasti akan merasa senang!" 

"Huh!" Bidadari Angin Timur merengut. Anggini dan 

Ratu Duyung senyum-senyum. Mereka ingin tahu apa 

sebenarnya yang akan dilakukan kakek tukarrg kencing itu."Rana Suwarte. Pertanyaanku yang pertama. Apakah 

sampean pernah minum dawet?" (dawet – cendol) 

Walau heran mengapa orang ajukan pertanyaan 

seperti itu, setelah menggerutu dalam hati Rana Suwarte 

menjawab juga. 

"Pernah." 

"Bagus!" kata Setan Ngompol pula sambil senyum dan 

pegangi bagian bawah perut menahan kencing. "Apakah 

sampean juga pernah minum wedang jahe?" 

"Pernah," jawab Rana Suwarte lagi. Dalam hati dia me-

maki panjang pendek. 

"Aahhhh, bagus! Lalu sewaktu kerja di Istana, apakah 

sampean pernah meneguk tuak enak?" 

"Pernah," jawab Rana Suwarte. 

"Hemm, tentu enak sekali tuak di Istana itu," Setan 

Ngompol melirik pada tiga gadis sambil basahi bibirnya 

dengan ujung lidah. Kaki kanannya digeser-geser di atas 

jidat Rana Suwarte. "Masih sewaktu sampean di Istana. 

Apa pernah minum anggur wangi?" 

"Pernah," sahut Rana Suwarte. "Bangsat, apa maksud-

mu dengan semua pertanyaan ini?!" teriak Rana Suwarte. 

"Luar biasa! Kau rupanya telah menikmati segala 

macam minuman enak! Pertanyaanku yang terakhir. 

Apakah sampean pernah merasakan nikmatnya air ken-

cing?!" 

Sepasang mata Rana Suwarte mendelik. Kini dia tahu 

apa maksud kakek bermata jereng berkuping leher tukang 

ngompol itu. Dari tenggorokannya keluar suara menggem-

bor. Sekujur tubuhnya menggeletar. Saat itu ingin dia me-

lompat dan menerkam Setan Ngompoi. Tapi injakan di atas 

keningnya terasa seberat batu raksasa hingga dia tak ber-

daya untuk loloskan diri. 

Tiga gadis yang kini sudah bisa menduga apa maksud 

semua pertanyaan si kakek, menutup mulut dengan 

tangan menahan tawa cekikikan. 

"Setan Ngompol! Jangan kau berani berbuat edan ter-

hadapku!" Rana Suwarte mengancam."Wuaallllah! Siapa yang mau berbuat edan terhadap 

sampean orang kepercayaan Istana. Wong aku cuma tanya 

apakah sampean pernah merasakan nikmatnya air 

kencing, aku dibilang edan. Jawab saja pertanyaanku!" 

"Setan kau! Siapa manusianya yang pernah minum air 

kencing! Jelas tidak ada! Termasuk aku"' 

"Ha… ha! Kalau begitu biar aku si orang edan ini 

memberikan minuman paling enak di dunia itu padamu. 

Katamu kau belum pernah merasakan. Hari ini, sekarang 

kau akan menikmatinya! Hik... hik,., hik!" 

Habis berkata dan tertawa cekikikan, Sean Ngompol 

angkat kaki kanannya yang tadi menginjak kening orang, 

kini dipindah ke tenggorokan diinjak lehernya keras-keras 

karuan saja mulut Rana Suwarte jadi terpentang lebar. 

Saat itulah Setan Ngompol enak saja rorotkan celananya 

ke bawah. Bidadari Angin Timur, Anggini dan Ratu Duyung 

tersentak kaget, sama-sama terpekik dan sama-sama 

melompat lari dari tempat itu. 

"Tua bangka sinting!" teriak Bidadari Angin Timur. 

Setan Ngompol tertawa gelak-gelak. Dua tangan ber-

tolak pinggang. Di sebelah bawah perutnya air kencing 

yang sejak tadi dengan susah payah ditahan-tahannya kini 

mancur deras. Rana Suwarte berusaha mengatupkan 

mulutnya. Tapi injakan keras kaki kanan Setan Ngompol 

membuat mulut itu tak bisa ditutup. Air kencing si kakek 

masuk ke dalam mulutnya dengan mengeluarkan suara 

seru meriah! 

"Mana enak air kencingku dengan dawet?!" Setan 

Ngompol bertanya. Pantatnya lalu digoyang diogel-ogel. 

"Hekkk!" 

Tentu saja Rana Suwarte tidak bisa menjawab. Yang 

keluar dari tenggorokannya adalah suara tercekik. Dia 

berusaha untuk tidak menelan air kencing yang memenuhi 

mulutnya. Tapi tidak bisa. 

"Mana enak lebih enak air kencingku dengan wedang 

jahe! Dengan tuak Istana? Dengan anggur Istana?!" 

"Hekkk!""Ha... ha... he..." 

Makin keras tawa Setan Ngompol makin deras air 

kencingnya mengucur. Air kencing si kakek bukan saja 

memenuhi mulut, menyumbat hidung Rana Suwarte tapi 

juga luber membasahi muka dan lehernya! 

Puas mengencingi Rana Suwarte Setan Ngompol me-

mandang berkeliling. 

"Tiga gadis sahabatku! Di mana kalian! Keluarlah! 

Mengapa sembunyi segala? Mentang-mentang aku sudah 

tua. Anuku peot, keriput jelek! Kalian tidak mau melihat! 

Coba kalau aku masih muda dan anuku mengkilat. 

Hemm... Pasti mata kalian tidak akan berkedip! Ha... ha... 

ha!" 

"Kakek sinting!" Teriak Bidadari Angin Timur dari balik 

pohon jati. "Lekas rapikan celanamu! Baru kami keluar!" 

"Hai! Kau tahu celanaku masih merosot di bawah 

pinggul! Berarti kau mengintip!" 

"Enak saja kau bicara! Siapa suka mengintip terong 

bonyok budukan!" Teriak Bidadari Angin Timur. 

"Ha... ha… ha... ha!" Setan Ngompol tertawa gelak-

gelak. Lalu tarik celananya tinggi-tinggi ke atas. "Sudah! 

Sekarang kalian boleh keluar!" kakek ini kemudian 

berteriak. 

"Jangan keluar dulu," kata Ratu Duyung pada dua 

sahabatnya. "Mungkin dia mendustai kita. Mungkin saja 

saat ini dia berdiri menghadap ke arah pohon, memper-

lihatkan terong bututnya!" 

"Betul," menyahuti Anggini. "Kalau sampai kita melihat 

anunya, bakalan sial kita empat puluh hari empat puluh 

malam!" 

Tiga gadis cantik itu tak dapat lagi menahan tawa. 

Mereka cekikikan sambil memegangi perut. 

"Hai! Kenapa kalian ketawa? Apa yang lucu?!" teriak 

Setan Ngompol yang saat itu memang sudah merapikan 

celananya. 

Anggini memberanikan diri mengintip dari balik pohon. 

Murid Dewa Tuak ini tarik nafas lega.Dia sudah pakai celana," kata Anggini memberitahu 

dua sahabatnya. 

Tiga gadis kemudian muncul dari balik pohon dengan 

wajah merah. Bidadari Angin Timur paling merah wajahnya. 

"Siapa diantara kalian yang paling jago ilmu totokan-

nya? Tua bangka satu ini harus dilumpuhkan! Dibawa ke 

Kotaraja! Biar Kerajaan yang akan menghukumnya atas 

dua kejahatan yang dilakukannya. Mencuri Keris Naga 

Kopek dan membunuh Sulantri, gadis cilik tak berdosa 

puteri Kepala Desa Maguwo." 

Rana Suwarte semburkan air kencing yang masih ber-

sisa di dalam mulutnya. 

"Kakek edan! Jika kau mau membunuh aku, bunuh 

saja sekarang! Jangan bawa aku ke Kotaraja!" 

Setan Ngompol mencibir mendengar teriakan Rana 

Suwarte itu. Dia memandang pada tiga gadis. 

Bidadari Angin Timur berkata. "Buat apa bersusah 

payah membawa calon bangkai itu ke Kotaraja? Lebih baik 

penuhi saja permintaannya! Habisi dia sekarang juga!" 

"Mati di tempat ini terlalu enak baginya. Biar dia me-

rasakan sengsara jiwa bagaimana menghadapi tiang 

gantungan. Selain itu para penjahat dan pengkhianat 

Kerajaan akan bisa menyaksikan bagaimana hukum yang 

berlaku bagi manusia-manusia seperti tua bangka satu ini!" 

Tiga gadis cantik jadi terdiam. 

"Kalian tidak mau menolong aku menotok orang ini?" 

Tiga gadis sama gelengkan kepala. 

Setan Ngompol angkat kaki kanannya. Lalu buuuuk! 

Tumit kaki kanan itu dihantamkan ke pangkal leher 

sebelah kiri Rana Suwarte, tepat pada urat besar pem-

buluh darah. 

"Ngeekk!" 

Tubuh Rana Suwarte menggeliat lalu diam kaku tak 

mampu bergerak tak bisa bersuara. Matanya membeliak 

seperti mau melompat dari rongganya. 

"Rana Suwarte orang hebat! Kau datang dari Istana. 

Kembali ke Istana. Di sana akan ada sambutan meriahuntukmu! Bukan dawet bukan wedang jahe. Bukan tuak 

juga bukan anggur. Jangan takut, juga tak ada air kencing. 

Yang ada hanyalah tiang gantungan!" 

Selesai keluarkan ucapan Setan Ngompol berpaling ke 

arah pertempuran yang berlangsung hebat antara dua 

orang yang sama satu dengan lainnya yakni dua sosok 

Pendekar 212 Wiro Sableng. Salah seorang dari mereka 

tengah mendesak lawannya hingga sang lawan terpaksa 

mundur sambil berkelebat di antara pohonpohon jati. 

Namun di ujung pedataran tak ada lagi pohon jati yang bisa 

membantunya untuk menghindar dari serangan lawan. 

Dengan mengeluarkan bentakan keras Wiro yang terdesak 

tiba-tiba nekad menyerang dengan jurus-jurus luar biasa 

hebatnya. 

Setan Ngompol memberi isyarat pada tiga gadis seraya 

berkata. "Kita harus mengawasi jalannya perkelahian dua 

orang itu. Jangan sampai Wiro palsu meloloskan diri!" 

Ke empat orang itu segera berkelebat, mendekat 

memperhatikan jalannya pertempuran dari empat tempat 

dan sekaligus mengurung berjaga-jaga. 

***


WIRO SABLENG 

KUTUKAN SANG BADIK 8

 

SEBELUM Si Muka Bangkai melarikan diri dan 

sebelum Rana Suwarte dipecundangi dan dibuat tak 

berdaya oleh Setan Ngompol, pertempuran antara 

dua sosok Wiro berlangsung seimbang, hebat dan ganas. 

Namun begitu Si Muka Bangkai kabur dan Rana Suwarte 

tergelimpang tak berdaya akibat totokan, hal ini men-

datangkan pengaruh besar bagi salah seorang Wiro. Rasa 

kecut mempengaruhi permainan silatnya. Apa lagi ketika 

dia melihat bagaimana tiga gadis dan kakek botak itu telah 

mengelilingi kalangan pertempuran, berdiri mengurung. 

Karena berkelahi dengan digerayangi rasa bimbang, 

akibatnya Wiro yang satu ini mulai ditekan dan didesak 

lawan. Namun, mendadak dia bertindak nekad. Gerakan 

silatnya berubah. Tubuhnya berkelebat demikian rupa me-

lancarkan serangan balik yang tidak terduga. 

Setan Ngompol, Anggini dan Ratu Duyung segera 

mengenali. Serangan-serangan yang dilancarkan Wiro satu 

ini bukanlah dalam ilmu silat warisan Sinto Gendeng. 

Selain itu setiap tangan kanannya hendak saling beradu 

dengan tangan lawan, Wiro yang satu ini selalu meng-

hindar. 

"Sepertinya ada cidera di tangan kanannya..." 

Membatin Ratu Duyung. "Dia terus-terusan menyerang 

dengan tangan kiri. Astaga... Serangannya itu, bukankah itu 

jurus-jurus Pembalik Otak Pembuta Mata? Jangan-jangan 

dia adalah... Jahanam! Siapa lagi manusianya yang bisa 

merubah-rubah ujud kalau bukan dia?!" Ratu Duyung 

kepalkan dua tinju. Merasa yakin Wiro yang satu itu adalah 

erang yang pernah mencelakainya, tanpa menunggu lebihlama didahului teriakan keras Ratu Duyung menyerbu ke 

dalam kalangan pertempuran. Tapi mendadak gerakannya 

tertahan ketika tiba-tiba sosok Wiro di sebelah kanan 

lancarkan satu pukulan yang memancarkan cahaya ber-

kilauan disertai hantaran hawa panas luar biasa. Pukulan 

Sinar Matahari! 

Berarti Wiro di sebelah kanan itu adalah Wiro yang asli! 

Wiro di sebelah kiri tidak menyangka dalam perkelahian 

jarak pendek begitu rupa lawan akan mengeluarkan 

pukulan yang sangat ditakuti di dalam rimba persilatan itu. 

Dia cepat melompat ke kiri. Tubuhnya bagian dada ke atas 

memang bisa diselamatkan, namun dari dada ke bawah 

telak dihantam cahaya panas menyilaukan. Satu jeritan 

terdengar menggidikkan mengiringi mencelatnya sosok 

tubuh ke udara sampai dua tombak. Waktu melayang ke 

bawah tubuh ini melintir beberapa kali lalu jatuh ber-

gedebukan. Di balik asap yang mengepul dari tubuh bagian 

bawah yang seperti dipanggang, kelihatan dua kaki me-

lejang. Di sebelah atas dua tangan menggeliat. Dari mulut 

orang ini keluar suara seperti kerbau digorok. Lalu hekk! 

Tak ada suara lagi yang keluar dari mulut orang itu. Tubuh-

nya juga tidak bergerak lagi. Perlahan-lahan, berbarengan 

dengan sirnanya kepulan asap yang mencuat dari tubuh 

sebelah bawah, sosoknya yang tadi menyerupai sosok Pen-

dekar 212 Wiro Sableng berubah, demikian juga kepala 

dan wajahnya. Wajah orang ini ternyata adalah wajah 

seorang nenek berdandan mencorong. Alis mata kereng 

hitam, bibir diberi gincu sangat merah, pipi tertutup bedak 

tebal! 

Setan Ngompol keluarkan seruan tertahan dan pancar-

kan air kencing ketika dia mengenali siapa adanya orang 

itu. Tiga gadis tak kalah kagetnya. Tapi yang paling terkejut 

adalah Pendekar 212 Wiro Sableng asli yang barusan 

melepaskan pukulan maut itu. 

"Nyi Ragil Tawangalu...." desis murid Sinto Gendeng 

sambil garuk-garuk kepala. "Pantas tangan kanannya tidak 

berdaya. Dulu dihajar Eyang Sinto hingga patah danbuntung." 

"Betina berjuluk Si Manis Penyebar Maut..." kata Setan 

Ngompol. Satu tangan mengusap kepala botaknya. Yang 

lain pegangi bagian bawah perut yang saat itu kembali 

mengucur. 

"Aku sudah duga. Aku sudah duga," kata Ratu Duyung 

berulang kali. "Ternyata memang dia!" Hati kecil Sang Ratu 

merasa penasaran karena dia tidak dapat turun tangan 

sendiri membalaskan dendam sakit hatinya terhadap 

orang yang tempo hari pernah menghantamnya hingga 

cidera berat. 

Tiba-tiba Setan Ngompol menjerit keras. 

"Kek! Kau kenapa?" tanya Wiro terkejut. 

"Kek, kau kesurupan?!" teriak Anggini. 

"Setan apa yang masuk ke dalam tubuh tua bangka 

ini?!" kata Bidadari Angin Timur pula. 

"Jangar-jangan dia kemasukan rohnya Nyi Ragil!" ucap 

Ratu Duyung. 

"Serrr... serrr... serrr!" 

Setan Ngompol pancarkan air kencing sarnpai tiga kali 

berturut-turut. Lalu tanpa perdulikan ucapan semua orang 

dia menubruk mayat Nyi Ragil Tawangalu. Dua tangannya 

meraba sekujur tubuh jenazah si nenek mulai dari atas 

sampai ke bawah. 

"Kek! Kau melakukan apa?!" Teriak Anggini yang jadi 

merasa jengah. 

"Benar-benar edan! Mayat saja digerayanginya. Apa 

lagi perempuan hidup!" Berkata Bidadari Angin Timur. 

"Celaka! Celaka!" ucap Setan Ngompol berulang kali. 

"Apa yang celaka Kek? Siapa?!" Bertanya Ratu Duyung. 

"Dia… kalian semua!" Setan Ngompol berteriak marah. 

Lalu kakek ini jatuhkan diri, duduk menjelepok di tanah. 

Kepala mendongak ke langit tapi dua mata dipejamkan. 

Seperti orang terisak Setan Ngompol berkata. "Kasihan.... 

Aku tidak menemukan! Aku tidak menemukan! Kasihan...." 

Wiro berlutut di hadapan si kakek. Anggini, Bidadari 

Angin Timur dan Ratu Duyung berdiri mengelilingi."Siapa yang kasihan Kek? Apa yang tidak kau temu-

kan?" tanya Wiro. 

Masih mendongak, Setan Ngompol menunjuk ke arah 

mayat Nyi Ragil. "Bunga itu... Bunga melati hitam. Melati 

Tujuh Racun! Aku tidak menemukan! Yang kasihan Patih 

Kerajaan. Dia akan sengsara sakit seumur-umur!" 

Ratu Duyung dan Anggini baru sadar dan mengerti. 

Keduanya memandang pada Bidadari Angin Timur dengan 

paras pucat. 

"Apa sebenarnya yang telah terjadi?" Bertanya Wiro. 

Setan Ngompol buka matanya lalu menjawab. 

"Perempuan keparat ini muncul, menyaru menjadi diri-

mu! Kami memberitahu kalau sudah mendapatkan se-

kuntum Melati Tujuh Racun. Dia meminta. Karena maksud-

nya sama dengan maksud kami yakni untuk mengobati 

Patih Kerajaan, apa lagi dia ingin pergi mendahului agar 

bisa cepat sampai di Kotaraja. Aku menyuruh Bidadari 

Angin Timur agar memberikan Melati Tujuh Racun itu pada-

nya. Siapa mengira, siapa curiga! Ternyata dia adalah Wiro 

palsu! Dan kini dia sudah mampus. Aku menggeledah se-

kujur tubuhnya. Bunga melati hitam itu tidak bertemu. 

Sapu tangan pembungkusnyapun tidak ada! Pasti bunga 

dan saputangan sudah hangus dan ludas terkena pukulan 

Sinar Matahari!" 

Ratu Duyung, Anggini dan Wiro Sableng hanya bisa ter-

diam mendengar keterangan Setan Ngompol itu. Bidadari 

Angin Timur memijit-mijit kepalanya dan menghela nafas 

berulang kali. 

"Kalau saja bunga itu bisa kuganti dengan nyawaku, 

aku rela mati asal Melati Tujuh Racun dapat ditemukan. 

Tapi apa jadinya sekarang?" Setan Ngompol bicara me-

nyesali diri. "Kalau saja aku tidak menyuruh Bidadari Angin 

Timur menyerahkan bunga itu. Ah...!" 

Setan Ngompol pukuli jidatnya sendiri. Kepala atas 

yang dipukuli tapi kepala bawah malah yang mengucur 

habis-habisan!" 

"Sudahlah Kek, tak usah sedih! Buat apa menyesalmemukuli kepala sendiri!" Berkata Bidadari Angin Timur. 

"Ini, kuganti bungamu yang hilang. Yang satu ini harap kau 

sendiri yang menyimpannya baik-baik." 

"Gadis rambut pirang. Jangan kau bergurau! Apa mak-

sudmu?" tanya Setan Ngompol. Wiro dan dua gadis lainnya 

sama-sama memandang pada Bidadari Angin Timur. 

Tenang saja, dari balik pakaiannya Bidadari Angin 

Timur keluarkan sehelai sapu tangan dalarn keadaan ter-

lipat rapi. Ketika lipatan sapu tangan dibuka di dalamnya 

kelihatan sekuntum bunga melati hitam. 

"Gusti Allah!" seru Setan Ngompol. Kakek ini melompat 

dari duduknya. Air kencingnya langsung terpancar karena 

kaget luar biasa. "Bagaimana ini bisa terjadi? Apa yang kau 

lakukan? Kau... kau merampas sapu tangan berisi bunga 

itu dari Wiro palsu?" 

Bidadari Angin Timur tersenyum. Dia gelengkan kepala. 

"Waktu kau menyuruh aku menyerahkan Melati Tujuh 

Racun pada Wiro palsu, aku mengikuti saja. Tapi lipatan 

sapu tangan yang kuberikan pada Wiro palsu kosong, tak 

ada isi apa-apa. Sedang sapu tangan yang ada bunga 

melati hitamnya, tetap aku simpan di balik pakaian. Aku...." 

Setan Ngompol tiba-tiba berteriak keras kegirangan. 

Dia melangkah ke hadapan Bidadari Angin Timur. 

"Sobatku, kau ternyata bukan cuma cantik. Tapi juga 

cerdik!" 

Lalu dalam girangnya si kakek melompat mendekati si 

gadis. Ciumannya menyambar pipi Bidadari Angin Timur. 

Gadis cantik berambut pirang ini tak sempat mengelak. Dia 

hanya bisa berteriak, "Iiihhhh!" Lalu usap-usap pipinya yang 

kena dicium! 

***

WIRO SABLENG 

KUTUKAN SANG BADIK 9

 

DALAM episode sebelumnya (Meraga Sukma) telah 

diceritakan perihal Adipati Jatilegowo yang 

melarikan Nyi Larasati ke sebuah rumah kosong 

miliknya di desa Bandongan. Ternyata di tempat itu 

Sarontang alias Pangeran Aryo Probo telah mendahului dan 

menunggunya. Amarah dan dendam kesumat Sarontang 

terhadap Jatilegowo memang selangit tembus. Pertama, 

Jatilegowo sewaktu masih di tanah Makassar telah mem-

bunuh pemuda kekasihnya yakni Bontolebang. Membuat 

pemuda itu sebagai Mayat Persembahan. Kemudian yang 

paling menyakitkan hati ialah Jatilegowo membawa kabur 

Badik Sumpah Darah yang sangat diperlukannya untuk 

dapat merampas tahta Kerajaan Pakubuwono. 


Perkelahian antara ke dua orang itu berkecamuk 

hebat. Sarontang keluarkan ilmu kesaktian yang bisa men-

datangkan belasan makhluk aneh berbentuk kelelawar 

besar berkepala seperti srigala bertaring, memiliki se-

pasang tangan menyerupai manusia, berkuku panjang 

hitam yang sanggup membongkar batang kayu merobek 

tembok. Namun menghadapi Badik Sumpah Darah di 

tangan Adipati Salatiga itu, semua makhluk peliharaan 

Sarontang dibuat tidak berdaya. Mereka habis dibunuhi, 

yang masih hidup melarikan diri. Sarontang sendiri kena 

dibabat putus lima kuku jari tangan kirinya oleh badik sakti 

beracun itu. Sebelum racun menjalar ke dalam peredaran 

darahnya yang bisa membuat dia menemui ajal, Sarontang 

terpaksa tanggalkan tangan kirinya sebatas pergelangan 

lalu melarikan diri. 

Ketika Jatilegowo kembali ke tempat dia meninggalkansosok Nyi Larasati, janda Adipati Temanggung itu telah 

lenyap dilarikan seorang penunggang kuda. 

Jatilegowo berhasil rnengejar orang yang membawa 

kabur Nyi Larasati. Orang itu ternyata adalah Loh Gatra, 

pemuda cucu Ki Sarwo Ladoyo, abdi Kabupaten Temang-

gung yang menemui ajal di tangan Jatilegowo. Walau Loh 

Gatra memiliki senjata sakti Keris Tumbal Bekisar serta 

mampu melukai telinga kanan Jatilegowo dengan senjata 

rahasia, namun dalam perkelahian yang berkecamuk 

hebat, pemuda itu terdesak hebat. Pada saat nyawanya ter-

ancam di ujung Badik Sumpah Darah, muncul Bujang Gila 

Tapak Sakti menyelamatkannya. Ternyata pendekar aneh 

bersosok gemuk luar biasa ini juga tidak sanggup meng-

hadapi kehebatan Badik Sumpah Darah. 

Sewaktu Adipati Jatilegowo akan menghabisi Bujang 

Gila Tapak Sakti dan Loh Gatra, mendadak ada orang lain 

melarikan Nyi Larasati untuk ke sekian kalinya. Yang mem-

bawa lari janda cantik itu kali ini adalah Sarontang yang 

rupanya kembali lagi untuk menyiasati Jatilegowo. Karena 

lebih mementingkan sang janda dari pada dua lawannya 

yang sudah tak berdaya itu, Jatilegowo memutuskan 

mengejar Sarontang. Untuk beberapa lamanya Sarontang 

raib, tak bisa ditemukan. Lenyapnya Sarontang ini adalah 

karena dia bekerja sama dengan Rana Suwarte menyusun 

rencana untuk mencari Keris Naga Kopek yang belum lama 

lenyap dan kini telah kembali serta disimpan dalam ruang 

penyimpanan rahasia. Menurut perhitungan Sarontang, 

satu-satunya senjata yang dapat diandalkan untuk dapat 

menghadapi Badik Sumpah Darah adalah senjata pusaka 

kerajaan itu yakni Keris Naga Kopek. 

Kepada Rana Suwarte Sarontang bukan saja menjanji-

kan imbalan berupa sejumlah uang emas dan harta per-

hiasan, tetapi juga memberitahu dimana letak tumbuhnya 

bunga melati hitam yang disebut Melati Tujuh Racun yang 

menjadi satu-satunya obat penyembuh Patih Kerajaan. 

Rupanya Sarontang sudah mengetahui satu rencana busuk 

yang tengah dijalankan Rana Suwarte. Salah satu dari rencana Rana Suwarte itu ialah melenyapkan setiap bunga 

melati hitam, termasuk memusnahkan tempat di mana 

bunga itu tumbuh. 

Atas petunjuk Sarontang Rana Suwarte kemudian me-

mang menemukan tempat tumbuhnya bunga melati hitam 

itu yakni di salah satu pinggiran Kali Opak. Bunga itu dan 

seluruh tanaman yang ada di tempat itu dimusnahkannya 

dengan cara dibakar. . 

Sebagai tokoh silat Istana, dengan bantuan seorang 

petugas penjaga ruangan penyimpanan senjata Rana 

Suwarte berhasil mendapatkan Keris Naga Kopek lalu 

diserahkannya pada Sarontang. Namun Sarontang 

menipunya. Peti yang dikatakan berisi uang emas dan 

harta perhiasan nyatanya berisi batu-batu kerikil. 

Sarontang kemudian lenyap bersama Keris Naga Kopek. 

(Baca Episode "Meraga Sukma" dan "Melati Tujuh Racun") 

*** 

Dalam usaha mengejar Sarontang, di sebuah telaga 

Jatilegowo bertemu dengan Nyi Ragil yang saat itu tengah 

mengerang kesakitan karena tangannya baru saja 

dihantam patah dan buntung oleh Sinto Gendeng dalam 

satu perkelahian hebat. Si Muka Bangkai yang waktu itu 

melarikan diri bersamanya sempat terkena lemparan tusuk 

konde Sinto Gendeng. Untung cuma bahunya saja yang 

terserempet. Walau begitu Si Muka Bangkai cukup dibuat 

kalang kabut mengobati dirinya dari racun tusuk konde itu. 

Sebenarnya saat itu Nyi Ragil Tawangalu yang dijuluki 

Si Manis Penyebar Maut tidak sendirian. Dia bersama 

kekasihnya Si Muka Bangkai. Namun Si Muka Bangkai 

meninggalkannya sendirian untuk mencari obat agar luka 

patahan di tangan kanan Nyi Ragil bisa cepat disembuh-

kan. 

Selagi Nyi Ragil berada sendirian di tepi telaga itulah 

datang Jatilegowo. Si nenek yang memang senang pada 

lelaki muda ini sangat tertarik pada sang Adipati yangpunya tampang jantan garang serta sosok besar kokoh. 

Kekasihnya Si Muka Bangkai tidak ada, maka dia per-

gunakan kesempatan. Segera dia terapkan ilmu kesaktian-

nya untuk merubah ujud. Saat itu sosok dan wajahnya yang 

tadi berupa seorang nenek-nenek berdandan menor men-

colok dan buntung tangan kanannya, kini telah berubah 

menjadi seorang gadis cantik jelita, dua tangan sempurna, 

mengenakan pakaian sangat tipis hingga setiap sudut dan 

liku tubuhnya yang mulus terlihat jelas di mata Jatilegowo. 

Walau terheran-heran melihat kejadian ini tapi sang 

Adipati tak urung jadi berdebar jantungnya, darah mengalir 

panas dalam tubuhnya. Nafsunya segera saja naik ke 

kepala. Apa lagi memang sudah agak lama dia tidak 

menyentuh perempuan. Dua istrinya di Kabupaten Salatiga 

boleh dikatakan tidak pernah diacuhkan karena ingatannya 

selalu tertuju pada Nyi Larasati. 

Entah karena selalu ingat pada sang janda, wajah 

gadis di tepi telaga itu jadi kelihatan mirip-mirip dengan 

paras Nyi Larasati. Nafsu Jatilegowo semakin berkobar 

ketika sang dara mengajaknya duduk di sampingnya di tepi 

telaga. Bahkan sang dara memintanya mandi bersama. 

Tentu saja Jatilegowo tidak menolak. 

"Orang gagah, mandi sendirian apa nikmatnya. Sung-

guh bahagia kau mau menemani aku mandi. Mohon kau 

mau menolong membukakan pakaianku." 

Darah panas dan nafsu membara semakin berkobar 

dalam tubuh Jatilegowo. Tidak tunggu lebih lama dia 

segera lakukan apa yang barusan dikatakan si gadis. 

Dengan cepat Jatilegowo melepas tali-tali kecil yang men-

jadi kancing bagian depan pakaian tipis yang melekat di 

tubuh sang dara. Pada saat bagian atas pakaiannya ter-

singkap, pada saat Jatilegowo terbelalak tak berkesip, 

kagum melihat keindahan tubuh di depannya itu. Tiba-tiba 

terdengar suara orang berkata. 

"Nyi Ragil, Nyi Ragil. Aku pergi tidak lama. Aku pergi 

mencari obat untuk menyembuhkan luka tanganmu yang 

buntung! Tahu-tahu kau sudah bergendak dengan lelakilain! Sungguh keterlaluan!" 

Nyi Ragil terkejut. Sirapannya terhadap Jatilegowo 

sirna. Serta merta ujudnya kembali ke bentuk asli. Yakni 

seorang nenek genit berdandan mencorong, bertangan 

buntung. 

Jatilegowo tersentak kaget. Dia ingat, nenek inilah 

yang tadi pertama kali dilihatnya di tepi kali. Si nenek tentu 

mempunyai ilmu aneh bisa merubah diri. Kalau nenek 

bungkuk bermuka seputih kain kafan itu tidak muncul 

niscaya dia akan tertipu. Bukan mustahil si nenek punya 

maksud jahat terhadapnya. Mungkin pula tua bangka satu 

ini adalah kaki tangan Sarontang yang sengaja meng-

hadangnya, hingga Sarontang bisa melarikan diri. 

"Srett!" 

Jatilegowo cabut Badik Sumpah Darah dari sarungnya. 

Nyi Ragil dan juga Si Muka Bangkai terkesiap melihat 

cahaya redup angker yang keluar dari senjata itu. Kakek ini 

memperhatikan bagaimana cahaya yang keluar dari tubuh 

badik membuat gelombang halus air di permukaan telaga 

terhenti bergerak. Dia juga merasakan bagaimana cahaya 

senjata sakti di tangan Jatilegowo itu seolah menahan 

tiupan angin yang sejak tadi berhembus di sekitar telaga. 

"Nyi Ragil, namamu Nyi Ragil!" Berucap Jatilegowo 

dengan mata besar berkilat memandang pada si nenek. 

"Aku hanya pernah mendengar cerita. Apa kau orangnya 

yang dijuluki Si Manis Penyebar Maut?!" 

Nyi Ragil sunggingkan senyum, kedipkan mata penuh 

genit menyahuti pertanyaan orang. Sambil membungkuk 

dalam dia berkata. 

"Matamu cukup tajam. Aku memang Nyi Ragil yang 

dijuluki Si Manis Penyebar Maut. Tapi julukan itu keliru. 

Yang lebih cocok adalah Si Manis Penyebar Kasih! Hik... 

hik... hik!" 

"Apa hubungan kalian berdua?!" Bentak Jatilegowo. Dia 

berpaling pada Si Muka Bangkai. "Kakek muka pucat! Kau 

siapa?" 

Si Muka Bangkai batuk-batuk beberapa kali baru menjawab. 

"Dalam rimba persilatan aku yang tua bangka btingkuk 

ini dikenal dengan panggilan Si Muka Bangkai alias Si 

Muka Mayat! Aku diketahui sebagai guru seorang pendekar 

besar bernama Pangeran Matahari!" 

Kagetlah Jatilegowo. Ternyata dia berhadapan dengan 

dua dedengkot rimba persilatan berkepandaian tinggi. 

"Apa hubungan kalian dengan Sarontang? Jangan-

jangan kalian berdua kaki tangannya!" 

"Sarontang, siapa manusia satu itu? Kami tidak kenal!" 

ucap Nyi Ragil sambil memandang pada Si Muka Bangkai. 

"Betul, kami baru sekali ini mendengar nama itu. Apa 

lagi melihat orangnya, belum pernah!" Kata Si Muka 

Bangkai pula. 

"Aku tidak percaya pada kalian! Walau punya nama 

besar dalam rimba persilatan Tanah Jawa tapi kalian 

bukanlah para tokoh baik-baik!" 

Si Muka Bangkai tertawa. "Begitulah takdir menentu-

kan! Begitu kehendak yang berlaku! Orang gagah, harap 

simpan senjatamu! Mari kita bicara baik-baik." Ujar Si 

Muka Bangkai. 

Jatilegowo gelengkan kepala. 

"Nenek berdandan mencorong ini barusan menipuku. 

Merubah diri menjadi seorang gadis cantik. Berusaha 

memikatku. Pasti dia punya maksud jahat tersembunyi!" 

"Tidak salah kau menduga seperti itu," kata Si Muka 

Bangkai pula. "Nyi Ragil memang tua bangka jorok, tidak 

boleh melihat lelaki gagah langsung mau mencoba ke-

jantanannya. Tapi secara jujur aku bilang dia tidak punya 

maksud jahat tersembunyi. Dia hanya ingin menipumu 

untuk memuaskan nafsunya..." 

"Ya... ya, memang betul begitu," kata Nyi Ragil meng-

akui tanpa malu-malu. 

"Mengenai orang bernama Sarontang itu, siapakah 

dia?" Bertanya Si Muka Bangkai. 

"Dia seorang Pangeran tua dari Pakubuwon. Dia 

menculik seorang perempuan muda. Aku tengah mengejarnya!" Menerangkan Jatilegowo. 

"Apakah dia menunggangi kuda?" tanya Nyi Ragil. 

"Benar. Kau melihatnya?" 

"Apakah dia berambut biru berminyak? Ada cacat aneh 

memutari keningnya. Mengenakan jubah tebal. Tangan kiri 

buntung sebatas pergelangan..." 

"Benar sekali! Bagaimana kau tahu ciri-ciri orang itu 

padahal kau tadi bilang tidak kenal padanya!" Jatilegowo 

berkata setengah berteriak lalu mendekati si nenek. 

Nyi Ragil tersenyum. Dia pegang lengan Adipati 

Salatiga itu dengan tangan kirinya lalu usap-usap lengan 

yang penuh bulu itu berulang kali sambil matanya ter-

pejam-pejam. 

"Sebelum kau datang. Ketika aku sendirian di tepi 

telaga ini. Seorang penunggang kuda dengan ciri-ciri yang 

aku katakan tadi, lewat di tempat ini. Membawa seorang 

perempuan muda cantik, entah tidur entah pingsan. 

Perempuan itu melintang di atas pangkuannya. Dia ber-

henti di sebelah sana. Lalu melemparkan sesuatu ke 

arahku. Yang dilemparkan ternyata sehelai daun lontar. 

Daun lontar jatuh tepat di depan kakiku. Aku tidak acuh, 

tidak memperhatikan apa lagi mengambil daun itu. 

Kemudian kakek berambut biru itu berkata padaku. 

"Nenek berdandan seronok! Aku tahu siapa dirimu. 

Jika kau mau bersahabat denganku melakukan apa yang 

aku minta, maka benda ini akan menjadi milikmu!" Lalu 

kakek itu acungkan sebuah kalung mutiara dengan lilitan 

dan rantai dari emas. Ini barangnya." Dari balik pakaiannya 

Nyi Ragil keluarkan kalung mutiara yang dikatakannya itu. 

"Melihat kalung begitu bagus, ada mutiara ada emas, 

perempuan mana tidak tertarik. Aku bilang pada si rambut 

biru berminyak itu bahwa apa permintaannya akan aku 

lakukan jika sanggup. Lalu dia melemparkan kalung ini 

padaku. Setelah kalung berada di tanganku dia berkata. 

Akan lewat di tempat ini seorang penunggang kuda ber-

tubuh tinggi besar, berkumis melintang, berdandan 

mewah. Jika dia muncul berikan daun lontar itu padanya.Agaknya kaulah yang dimaksud oleh orang tersebut." 

"Mana daun lontar yang kau katakan itu!" Bertanya 

Adipati Jatilegowo. 

Nyi Ragil Tawangalu menunjuk semak-semak di arah 

kiri telaga. Di antara rerantingan kelihatan terselip sehelai 

daun lontar. 

"Setelah menerima kalung mutiara, setelah orang itu 

pergi, aku tidak perdulikan daun lontar itu. Daun aku ambil, 

aku tidak memperhatikan lalu aku buang ke semak-semak 

itu." 

Jatilegowo melangkah cepat ke arah semak belukar 

lalu mengambil daun lontar kering yang terselip di antara 

rerantingan. Ketika daun itu diperhatikannya, ternyata di 

salah satu sisinya ada tulisan berbunyi. 

"Jatilegowo. Jika kau masih menginginkan Nyi Larasati 

datanglah ke Bukit Watu Ireng. Kau akan mendapatkan 

perempuan yang kau sukai ini asal kau mau menyerahkan 

Badik Sumpah Darah padaku. Datanglah pada bulan mati 

malam pertama." 

Bulan mati malam pert:ama berarti sekitar empat hari 

dari sekarang. Jatilegowo masih sempat berpikir meng-

hitung hari. Bukit Watu Ireng terletak di utara Kotaraja, tak 

jauh dari desa kecil bernama Pakem. 

Apakah dia akan mendekaim di desa itu menunggu 

sampai empat hari sementara dia punya kesempatan dan 

waktu untuk kembali dulu ke Salatiga. Akhirnya Jatilegowo 

memutuskan untuk ke Salatiga dulu. Lalu dia menyumpah. 

"Keparat! Sarontang jahanam! Aku pasti datang untuk 

mengambil Nyi Larasati! Sekalian mengambil nyawamu! 

Bedebah!" 

Jatilegowo bantingkan kaki kanannya hingga melesak 

ke tanah sedalam setengah jengkal. Daun lontar ditangan 

kanannya diremas sampai hancur. Dia hendak tinggalkan 

tempat itu tapi sesaat menahan langkah, berpaling pada 

sepasang kakek nenek di depannya. 

"Nyi Ragil, bagaimanapun juga kau telah membantuku 

mencari petunjuk lewat daun lontar itu. Jika kau mau bersekutu dengan aku, mungkin aku bisa membalas budi 

baikmu itu." 

"Bersekutu bagaimana?" tanya Nyi Ragil sambil kedap-

kedipkan matanya genit. 

"Kau ikut bersamaku, bantu aku menemukan 

Sarontang. Kalau berhasil kau akan mendapat pahala dari-

ku serta berkah dari Kerajaan." 

"Berkah dari Kerajaan?" ulang Si Muka Bangkai. 

"Benar, karena Sarontang sebenarnya adalah seorang 

Pangeran bernama Aryo Probo. Dia ingin merebut tahta 

dari Sri Baginda Raja yang sekarang..." 

"Ah.... Begitu ceritanya!" ujar Nyi Ragil. "Orang gagah, 

aku tidak berjanji apa kami berdua bisa membantumu. 

Tetapi seandainya kami mampu dan berhasil, imbalan apa 

yang akan kau berikan padaku?" 

"Kalau Sarontang memberimu sebuah kalung, aku 

akan memberikan padamu dua buah cincin dua buah 

gelang dan sepasang giwang!" 

Nyi Ragil tertawa panjang. Dia memandang ke langit di 

atasnya lalu berkata pada Jatilegowo. "Lupakan segala 

macam pemberianmu itu. Aku cuma minta satu hal. 

Bisakah kita melanjutkan kemesraan yang tadi tertunda 

gara-gara munculnya kakek bermuka mayat ini?!" 

Tampang Jatilegowo jadi berubah. Si Muka Bangkai 

merutuk habis-habisan. 

"Kalau begitu lupakan saja permintaanku!" Kata Sang 

Adipati. Lalu tanpa banyak bicara lagi dia segera tinggalkan 

tempat itu. 

Nyi Ragil tertawa gelak-gelak. Si 'Muka Bangkai masih 

cemberut. Apa yang kemudian terjadi Nyi Ragil tidak 

pernah melakukan apa yang diminta Jatilegowo. Dia malah 

bersekutu dengan Rana Suwarte dalam berusaha me-

musnahkan bunga Melati Tujuh Racun. Untuk itulah Nyi 

Ragil merubah diri menjadi Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Namun akhirnya, seperti dituturkan dalam bagian depan 

buku ini, Nyi Ragil akhirnya menemui ajal oleh Pukulan 

Sinar Matahari yang dilepaskan Wiro Sableng sedang RanaSuwarte tertangkap hidup-hidup setelah sebelumnya 

dikerjai oleh Setan Ngompol, diguyur mulut dan mukanya 

dengan air kencing. 

***

WIRO SABLENG 

KUTUKAN SANG BADIK 10

 

SEJAK pertemuannya dengan Wiro Sableng, Sri 

Kemuning, istri muda Adipati Jatilegowo yang cantik 

jelita itu tidak pernah melupakan sang Pendekar. 

Selama suaminya pergi entah kemana, setiap malam dia 

selalu tidur sendirian dan sulit memicingkan mata. Wajah 

serta senyum Wiro senantiasa terbayang di pelupuk mata-

nya. Suara ucapan dan tawa pemuda itu sering seperti 

mengiang di telinganya. 


Malam itu udara di Salatiga memang panas. Sampai 

menjelang pagi, di atas ranjang Sri Kemuning tidak dapat 

memicingkan mata. Wajah Wiro lagi-lagi terbayang. Tiba-

tiba pintu kamar terbuka. Disusul suara kaki berat me-

langkah masuk. Hanya ada satu orang yang berani masuk 

ke dalam kamar itu tanpa mengetuk. Dia adalah Adipati 

Jatilegowo, suaminya. 

"Siapa?!" tanya perempuan muda ini sambil me-

nyingkap tirai kelambu. 

Tahu-tahu sosok tinggi besar Jatilegowo telah berdiri di 

tepi tempat tidur. Kemuning dapat mencium bau yang tidak 

sedap keluar dari tubuh, pakaian dan jalan nafas lelaki itu. 

"Kangmas..." 

"Kau kira siapa?!" Suara Jatilegowo langsung kasar. 

"Pintu tidak dikunci. Sepertinya kau sengaja untuk mem-

beri masuk seseorang. Siapa yang kau tunggu?!" 

"Saya mohon maaf. Saya terlupa mengunci pintu. Saya 

tidak menunggu siapa-siapa..." jawab Kemuning ketakutan. 

"Aku tahu kau dusta! Kau tengah menunggu pemuda 

sableng itu! Aku kira dia sudah beberapa kali menyelinap 

ke atas ranjang ini selama aku pergi.""Saya berani sumpah Kangmas. Saya tidak pernah ber-

buat serong seperti itu." 

"Kau pernah dikecupnya hingga menimbulkan tanda di 

leher. Apa kau masih mau menyangkal?" 

Kemuning tadi terdiam. Tiba-tiba Jatilegowo ulurkan 

tangannya. 

"Brett!" 

Pakaian tidur yang dikenakan Kemuning robek besar di 

bagian dada. Karena di balik pakaian itu dia tidak menge-

nakan apa-apa maka dadanya yang putih dan kencang 

terbuka lebar. Nafas Jatilegowo menggeru, darahnya meng-

alir cepat. Nafsunya naik ke kepala. 

"Suruh pelayan membangunkan Sumini. Suruh perem-

puan itu datang ke sini. Aku rindu pada kalian berdua!" 

Sri Sumini adalah istri tua Jatlegowo yang hanya ter-

paut beberapa tahun di atas usia istri mudanya. 

Sebagai seorang istri kata-kata rindu sang suami se-

harusnya merupakan hal yang membahagiakan bagi Sri 

Kemuning. Tapi sebaliknya hal ini justru membuat tengkuk 

sang istri muda menjadi dingin. Hatinya kecut. Dia tahu 

bagaimana perlakuan Jatilegowo terhadap dirinya dan Sri 

Sumini selama ini. Mereka diperlakukan bukan sebagai 

istri. Mereka disuruh melayani bukan sebagai suatu 

kewajiban. Tapi mereka diperlakukan sebagai budak bah-

kan seperti binatang, dengan cara-cara tidak wajar. 

"Kangmas, saya akan panggilkan Kakak Sumini. Tapi 

setahu saya dia sedang sakit. Sejak dua hari lain dia ter-

serang demam panas..." 

"Perduli setan dia sakit demam panas atau sakit apa! 

Aku bilang panggil dan suruh dia datang ke sini sekarang 

juga! Aku ingin dilayani saat ini juga!" 

Jatilegowo membentak marah. 

"Baik Kangmas, akan saya panggilkan Kakak." 

Lalu dengan ketakutan Kemuning turun dari atas 

tempat tidur sambil merapikan dada pakaian tidurnya yang 

tersingkap lebar. Tak lama kemudian dia muncul kembali 

sambil memapah Sri Sumini, istri tua Jatilegowo. Tanpapupur dan pemerah bibir, perempuan ini kelihatan sangat 

pucat dan lernah. Tubuhnya lunglai, mungkin akan 

sempoyongan jatuh kalau tidak dipegangi Sri Kemuning. 

Selain itu Sumini masih berada dalam keadaan panas. 

Sebagai seorang suami, melihat keadaan istrinya se-

perti itu seharusnya Jatilegowo menaruh rasa hiba. Tapi 

dasar manusia setengah binatang, laki-laki ini malah me-

narik Sumini ke atas tempat tidur. 

"Kangmas, saya sedang sakit. Saya mohon maaf. Saat 

ini saya tidak bisa melayani Kangmas..." Keluar ucapan 

perlahan dan suara bergetar dari mulut Sri Sumini. 

"Siapa yang suruh kau sakit? Apa yang kau lakukan 

selama aku tidak ada di sini?!" Bentak Jatilegowo. 

"Tak ada yang saya lakukan. Saya tidak ke mana-mana 

Kangmas..." 

"Kalian berdua sama saja pandai berdusta!" 

"Kangmas, kalau boleh biar saya saja yang melayani-

mu malam ini. Kasihan Kakak Sumini. Dia benar-benar 

sakit..." Sri Kemuning memohon. 

"Sekali lagi kau berani bicara mengatur diri dan kema-

uanku, kutampar pecah mulutmu!" Hardik Jatilegowo. 

Sri Kemuning tak berani lagi mengeluarkan kata. Per-

lahan-lahan dia memapah madunya naik ke atas tempat 

tidur. Kemudian dia menyusul berbaring di samping Sri 

Sumini. 

*** 

Suasana sunyi menjelang pagi di gedung Kadipaten 

dirobek oleh suara jeritan. Jeritan itu keluar dari kamar 

tidur Adipati Jatilegowo. Yang menjerit , adalah Sri 

Kemuning. Beberapa orang termasuk pengawal yang 

bertugas saat itu berhamburan menuju kamar tapi mereka 

tidak bisa masuk karena pintu dikunci dari dalam. Suara 

jeritan Sri Kemuning masih terdengar. Lalu terdengar 

bentakan-bentakan keras Adipati Jatilegowo. 

"Apa yang terjadi?Di lantai kamar Sri Kemuning menangis keras, sesekali 

kembali menjerit. Di hadapannya terbujur sosok Sri Sumini, 

pucat dingin tak bergerak. Dan hidung dan mulutnya 

mengucur darah. Sebelumnya dalam keadaan sakit parah 

bersama-sama Sri Kemuning perempuan ini telah dipaksa 

oleh Jatilegowo untuk melayani nafsu badaniahnya. Karena 

keadaan tubuhmya yang sakit dan lemah, Sri Sumini tidak 

mampu melayani sang suami. Akibatnya Jatilegowo 

menjadi marah. Setelah mendaratkan tempelengnya 

beberapa kali Sri Sumini diusir keluar kamar. 

Terhuyung-huyung dan dengan berpakaian seadanya 

perempuan ini turun dari tempat tidur, melangkah menuju 

pintu. Namun sebelum mencapai pintu tubuhnya terjerem-

bab dan jatuh terbanting ke lantai. Kepalanya bagian 

belakang mendarat keras di lantai kamar. Sri Sumini 

keluarkan keluhan pendek lalu sosoknya tak bergerak lagi. 

Dari hidung dan mulutnya kelihatan darah mengucur. 

Melihat kejadian itu Sri Kemuning yang masih berada 

dalam pelukan Jatilegowo meronta lepaskan diri. Istri muda 

Adipati Salatiga ini langsung menjerit ketika dia dapatkan 

Sumini tidak bernafas lagi. Jatilegowo melompat turun dari 

atas tempat tidur. Memeriksa Sumini lalu membentak, 

Kemuning agar perempuan itu berhenti berteriak-teriak. 

Tapi jerit pekik Kemuning malah semakin menjadi-jadi. 

Tidak tahu apa yang akan dilakukannya akhirnya Jatile-

gowo mendaratkan tangan menempelengi Kemuning 

hingga perempuan muda ini babak belur. Hidung dan 

mulutnya mengeluarkan darah. Jatilegowo ikut berteriak-

teriak. Tangannya terus bekerja memukul dan menampar 

Kemuning. 

Saat dirinya dilanda ketakutan yang amat sangat serta 

rasa sakit dihajar Jatilegowo seperti itu tiba-tiba Sri Kemu-

ning melihat Badik Sumpah Darah tergeletak di atas meja. 

Dengan cepat dia menyambar senjata sakti mandraguna 

ini. Tidak jelas apakah senjata itu akan ditusukkannya 

kepada Jatilegowo atau dipakai untuk menusuk dirinya 

sendiri, namun sebelum badik terhunus keluar dari dalamsarungnya Jatilegowo telah merampas senjata itu. Lalu 

tangan kanannya kembali mengirimkan tamparan keras ke 

muka Sri Kemuning hingga perempuan ini terpelanting; 

menjerit keras dan jatuh terrguling di lantai. 

Dengan muka bengkak dan luka-luka akibat pukulan 

serta tamparan Jatilegowo, Sri Kemuning merangkak 

menuju pintu. Dia berhasil membuka pintu yang terkunci 

lalu tersaruk-saruk keluar dari kamar. 

"Perempuan celaka! Mau kemana kau! Masuk kem-

bali!" teriak Jatilegowo. Dia coba mengejar tapi Sri Kemu-

ning telah berada di luar kamar. Beberapa orang menolong 

perempuan malang itu. Beberapa lainnya mencoba masuk 

ke dalam kamar namun terbirit-birit kembali keluar, keta-

kutan karena dibentak dan diterjang Jatilegowo. Ketika 

Adipati itu keluar dari kamar Sri Kemuning tak kelihatan 

lagi. Dia berteriak pada para pengawal. 

"Cari perempuan itu! Bawa kesini! Cepat!" 

Para pengawal menjadi sibuk. Namun sampai sekian 

lama mereka mencari ke seluruh pelosok gedung Kadipa-

ten, Sri Kemuning tak berhasil ditemukan. Apa yang ter-

jadi? Kemana lenyapnya sang istri muda itu? 

Bi Supi, pembantu di Kadipaten yang selalu merawat 

dan melayani Sri Kemuning dengan bantuan dua orang 

temannya membawa istri muda Adipati Jatilegowo itu ke 

bagian belakang gedung, menyembunyikannya di sebuah 

gudang yang jarang orang keluar masuk. 

"Bi Supi... Saya mohon.... Tolong keluarkan saya dari 

gedung ini. Adipati pasti mencari saya. Dia akan 

membunuh saya. Tolong...." 

Bi Supi dan dua temannya tentu saja menjadi bingung 

mendengar ucapan Sri Kemuning itu. Mereka ' hanya bisa 

menolong mengamankan Sri Kemuning di dalam gedung 

Kadipaten. Jika harus membawa istri Adipati itu keluar 

gedung, tentu saja mereka tidak mampu dan tidak berani 

melakukan. Terlalu berbahaya. Kalau sampai Adipati 

mengetahui, mereka bertiga bukan saja bakal dihajar 

habis-habisan tapi juga akan dipecat. Dalam bingungnyatiga pelayan itu hanya bisa menangis sambil memeluki Sri 

Kemuning. 

Dalam keadaan seperti itu muncul Paman Rejo, lelaki 

berkumis yang juga bekerja di gedung Kadipaten. 

Dekat dengan Bi Supi dan sangat bersahabat dengan 

Sri Kemuning. Bi Supi menyampaikan permintaan Sri 

Kemuning. 

"Paman, tolong. Saya mohon. Saya tidak takut mati. 

Tapi kalau matipun saya tidak mau di gedung ini." Kata Sri 

Kemuning dengan berurai air mata. 

Paman Rejo ikutan bingung. Tapi hanya sebentar. 

"Jeng Ayu, tunggu di sini. Jangan keluar sampai saya 

datang!" 

Tak lama kemudian Paman Rejo muncul bersama se-

orang temannya, membawa selembar kain lebar 

menyerupai terpal. Sri Kemuning mereka buntal di dalam 

kain lebar ini, lalu digotong dan dinaikkan ke atas sebuah 

gerobak kuda yang biasa dipakai untuk segala macam 

keperluan Kadipaten. Di sebelah atas, sosok Sri Kemuning 

ditutupi dengan tumpukan jerami kering. 

Sewaktu kawannya naik ke atas gerobak, Paman Rejo 

berbisik. "Bawa ke Kali Tuntang. Di bawah jembatan 

bambu di sebelah timur ada sebuah perahu milik seorang 

teman. Tunggu aku di situ." 

Gerobak keluar dari gedung Kadipaten tanpa ada yang 

mencurigai, tanpa diperiksa oleh perajurit dan pengawal. Di 

dalam kamarnya Adipati Jatilegowo berteriak marah seperti 

orang gila ketika pengawai melaporkan Sri Kemuning tidak 

berhasil ditemukan. 

"Kurang ajar! Pasti ada orang dalam yang menolong! 

Kalau kutemukan perempuan itu akan kubunuh! Juga 

semua orang yang menolongnya!" 

Menjelang tengah hari Adipati Jatilegowo kelihatan 

meninggalkan gedung Kadipaten bersama dua orang 

pengawal. Tampangnya sangat kusam. Pakaiannya tidak 

diganti. Dia masih mengenakan pakaian yang dipakainya 

semalam. Tidak ada satu orangpun yang tahu ke mana diapergi. Ditunggu sampai keesokan harinya dia tak kunjung 

muncul. Jenazah Sri Sumini terpaksa dimakamkan tanpa 

kehadirannya. 

***


WIRO SABLENG 

KUTUKAN SANG BADIK 11

 

ROMBONGAN Pendekar 212 Wiro Sableng tengah 

dalam perjalanan menuju Kotaraja ketika mereka 

berpapasan dengan sebuah kereta terbuka ditarik 

dua ekor kuda. 

Kusir yang mengemudikan kuda kereta mengenakan 

pakaian bagus berwarna merah. Di sebelah bawah dia 

memakai sebentuk kain panjang longgar. Di pinggangnya 

tersisip senjata seperti sebuah pisau besar. 

Di bagian belakang, di atas kursi kayu yang dipantek 

mati ke lantai kereta dan diberi bantalan empuk duduk se-

orang kakek berjubah hitam ditaburi sulaman benang 

emas. Di atas kepalanya ada sebuah topi hitam berbentuk 

tarbus lengkap dengan jumbai-jumbainya. Di bawah tarbus 

menjulai rambut panjang kelabu. Janggut dan kumisnya 

putih seperti kapas. Kakek ini memiliki wajah sangat 

cekung seolah tidak berdaging. Dia duduk di atas kursi 

dengan sepasang mata terpejam-pejam. Kalau saja 

wajahnya pucat pasi maka tampang kakek ini hampir 

menyerupai Si Muka Mayat. 

Di sebelah belakang, di kiri kanan kakek bertopi 

tarbus, di atas dua buah peti kayu duduk dua orang lelaki 

berpakaian hampir menyerupai kusir kereta. Bedanya dua 

orang ini membekal dua buah golok besar. Dari sikap 

mereka agaknya keduanya adalah pengawal kakek ber-

tarbus hitam. 

Agar tidak ditabrak atau diserempet oleh kereta yang 

berjalan kencang itu Wiro dan kawan-kawannya cepat 

menepi. Tepi jalan. Kereta melewati rombongan dengan 

cepat. Namun di depan sana atas perintah kakek bertarbus, kusir hentikan kereta lalu berbalik kembali ke arah 

rombongan Wiro. Kusir hentikan kereta di depan rombong-

an yang berhenti di tepi jalan. 

Kakek berjubah hitam buka dua matanya yang sejak 

tadi terpejam. Sepasang mata kakek ini ternyata meman-

carkan cahaya berkilat aneh dan angker. Dia layangkan 

pandangan pada orang-orang di depannya, lalu tertawa 

mengekeh. 

"Sekian lama aku berada di Tanah Jawa, baru hari ini 

aku bisa mencuci mata, menikmati wajah-wajah cantik. 

Sungguh besar berkah Tuhan atas diriku." 

Si kakek tentu saja tujukan ucapannya pada Bidadari 

Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini. Karena si kakek 

tidak bicara nakal dan memandang tidak memandang 

secara kurang ajar, tiga gadis mengambil sikap diam. Dari 

logat bicara orang, Wiro dan kawan-kawan sudah bisa men-

duga bahwa si kakek di atas kereta adalah orang dari 

tanah seberang. 

Si kakek turun dari atas kursi, tegak di lantai kereta. 

Ternyata kakek ini bertubuh pendek bungkuk. Tetapi ketika 

dia meluruskan badannya, astaga! Sosoknya menjadi 

sangat tinggi. Tarbusnya hampir menyondok ujung ranting 

sebuah pohon di tepi jalan. Si kakek membungkuk dalam-

dalam pada Wiro dan rombongan. 

"Para sahabat, terima salam penghormatan dariku." 

Wiro menggaruk kepala lalu membungkuk membalas 

hormat orang. Sementara Setan Ngampol berdiri satu 

tangan pegangi celana yang merosot satu lagi menekap 

bagian bawah perutnya menahan kencing. 

Di atas kereta kakek bertubuh tinggi jangkung bung-

kukkan badannya hingga seperti tadi dia kembali kelihatan 

pendek. Matanya yang berkilat memperhatikan sosok Rana 

Suwarte yang melintang tak bergerak di atas seekor kuda 

yang dituntun Wiro. 

"Hemmm...." Si kakek bergumam. "Kalau bukan 

manusia jahat tidak akan mengalami nasib seperti itu." 

Dia lalu arahkan pandangan pada Wiro"Kami kehilangan jalan. Sebelum benar-benar tersesat 

ada baiknya kami bertanya pada para sahabat. Kami harap 

para sahabat mau menolong." 

"Orang tua, kau datang dari mana dan tujuan ke 

mana?" Tanya Wiro. 

"Kami datang dari seberang. Dari tanah Makassar. 

Jauh-jauh ke sini mengejar seseorang. Satu minggu lalu 

orang yang kami kejar lenyap. Kemudian kami mendapat 

kabar bahwa orang itu akan berada di Bukit Watu Ireng. 

Itulah tempat yang kami tuju. Tapi kami tidak paham jalan. 

Harap para sahabat sudi memberitahu mana arah dan 

jalan yang harus kami tempuh." 

"Kek, bukit yang kau tuju terletak di sebelah utara 

sana." Wiro berikan penjelasan. "Kau bisa mengikuti jalan 

ini. Jika bertemu simpangan membelok ke kanan. Terus 

saja. Kira-kira menjelang sore kau akan sampai di kawasan 

kaki bukit." 

"Ah...." Si kakek luruskan tubuhnya hingga dia kembali 

kelihatan tinggi. "Kami sangat berterima kasih padamu, 

anak muda. Tuhan akan memberkatimu!" 

Wiro anggukkan kepala lalu ajukan pertanyaan. 

"Kakek dari tanah seberang. Tadi kau mengatakan 

tengah mengejar seseorang. Orang yang kau kejar lenyap 

di tengah jalan. Kalau kami boleh bertanya siapakah orang 

yang kau cari. Apakah dia punya nama?" 

"Tentu, tentu saja kau boleh bertanya. Siapa tahu 

penjelasan kami bisa mendatangkan berkah bagi kita 

semua. Orang yang aku cari itu di tanah Jawa bernama 

Aryo Probo. Konon dia adalah seorang Pangeran. Entah 

benar entah tidak kami tidak perduli. Tapi sewaktu dia 

berada di tanah seberang, aku memberi nama baru 

padanya. Sarontang." 

"Aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu," bisik 

Ratu Duyung pada dua gadis sahabatnya. "Mungkin juga 

salah satu diantara kita ada yang pernah melihat. Biar aku 

tanyakan mengapa dia mencari orang itu." Lalu Ratu 

Duyung ajukan pertanyaan pada si kakek."Mengapa aku mencari orang itu?" Kakek yang ditanya 

mengulang lalu tertawa mengekeh. Dia susutkan tubuhnya 

lalu duduk kembali ke atas kursi. Setelah duduk baru dia 

keluarkan jawaban yang mengejutkan. "Aku ingin dia mem-

bunuhku!" 

Wiro dan teman-temannya tentu saja jadi terkesiap 

mendengar jawaban si kakek. Setan Ngompol tak usah 

ditanya lagi. Saat itu kakek yang kepalanya plontos ini 

langsung kucurkan air kencing. 

"Aneh, baru hari ini kami menemui orang yang ingin 

mati dengan cara meminta dirinya dibunuh. Apa kau tidak 

salah bicara Kek?" Tanya Wiro. 

Si kakek di atas kursi gelengkan kepalanya yang me-

makai tarbus hitam. 

"Aku sudah hidup seratus dua puluh tahun lebih. Aku 

sudah bosan melihat dunia ini. Orang juga sudah bosan 

melihat diriku. Jadi bukankah lebih pantas aku mati saja? 

Tapi celakanya aku tidak mati-mati. Entah mengapa 

Malaikat Maut masih belum mau datang mengunjungiku. 

Padahal makin panjang umurku bisa saja makin tambah 

dosaku! Aku ingin mati, malah sudah mencobanya be-

berapa kali. Tapi tak ada senjata yang bisa membunuhku. 

Kecuali satu senjata sakti yang ada di tangan Sarontang. 

Dulu dia berjanji akan membunuhku di Gunung Lompo-

batang tempat kediamanku. Namun entah mengapa dia 

kabur begitu saja ke Tanah Jawa ini. Aku terpaksa 

mengejarnya untuk minta dibunuh. Untuk minta mati!" 

Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Tiga gadis 

kembali berbisik-bisik. Setan Ngompol cepat pegangi 

bagian bawah perutnya. 

"Kalian pasti tidak percaya ucapanku! Biar aku bukti-

kan!" 

Si kakek tanggalkan topi hitamnya. Lalu. "Klik!" 

Si kakek gesekkan jari tengah tangan kanannya 

dengan ibu jari hingga mengeluarkan suara keras. Melihat 

isyarat ini pengawal yang duduk di peti sebelah kanan 

cabut golok besar di pinggangnya. Lalu tanpa banyakbicara dia bacokkan senjata itu ke kepala, bahu, serta 

punggung si kakek. Tak satu bacokanpun mempan melukai 

orang tua itu, apa lagi membunuhnya. Suara ber-

dentrangan terdengar berulang kali setiap golok besar 

beradu dengan kepala atau bagian tubuh si kakek. Si 

pengawal terus saja membacokkan goloknya. Dia baru 

berhenti ketika senjata itu akhirnya terlepas dari tangannya 

yang menjadi licin oleh keringat, lalu jatuh berdentrangan 

di atas lantai kereta! 

Setan Ngompol terkencing-kencing melihat kejadian 

itu. Wiro dan tiga gadis sama terkesima kagum. 

"Sekarang apa kalian mau percaya? Atau masih 

belum?" Si kakek bertanya. Dia memandang pada Anggini. 

"Gadis cantik berpakaian ungu. Aku mengira ada se-

kantung senjata rahasia berbentuk paku terbuat dari perak 

di balik pakaianmu yang bagus. Jika salah dugaanku harap 

maafkan. Tapi jika benar mohon kau mau menyerangku 

dengan senjata rahasia itu." 

Wiro dan yang lain-lainnya jadi melengak kaget. Yang 

paling hebat kagetnya tentu Anggini sendiri. 

Di sebelahnya Ratu Duyung berbisik. 

"Aneh, apa sepasang mata kakek itu bisa menembus 

pakaianmu hingga dia bisa tahu dan melihat senjata 

rahasia Paku Perak Pemburu Nyawa milikmu? Jika mata-

nya tembus pandang kita bisa celaka. Jangan-jangan dia 

sudah menggerayangi sekujur tubuh kita dengan matanya!" 

"Anak gadis berpakaian ungu, kau mau menolongku 

membuktikan bahwa aku yang kepingin mati ini memang 

benar-benar belum bisa menemui ajal?" Si kakek berkata 

sambil menatap pada Anggini. 

"Baiklah, aku akan mencoba. Harap maafkan kalau 

aku sampai kesalahan tangan." Kata Anggini murid Dewa 

Tuak. Dengan cepat dia mengeluarkan lima buah paku 

perak yang menjadi senjata rahasia andalannya. Sekali 

tangannya bergerak lima paku itu melesat laksana kilat. 

Dua menyambar ke arah mata, satu mencari sasaran di 

tenggorokan, satu menghantam ke dada kiri tepat di arahjantung dan yang kelima melesat ke arah kening si kakek. 

Di atas kursi si kakek duduk tenang-tenang, tidak 

bergerak malah sambil tersenyum. Lima paku perak 

menghantam sasarannya dengan tepat. Terdengar suara 

lima dentringan. Lima paku itu mental ke udara, jatuh ke 

tanah. Kening, dua mata, leher dan dada yang kena 

hantaman paku sedikitpun tidak luka atau berbekas! 

"Kuharap sekarang kalian mau percaya," ujar si kakek 

sambil kenakan kembali topi tarbusnya. "Atau mungkin 

masih ada yang merasa penasaran dan mengira aku 

bermain sulap?" Si kakek menatap ke arah Wiro, 

memperhatikan pinggang sang pendekar di mana di balik 

pakaian putihnya terselip Kapak Maut Naga Geni 212. Wiro 

tahu apa yang ada di benak orang tua ini. Dia hendak 

menjajal kehebatan Kapak Naga Geni 212. Sebelum si 

kakek bicara Wiro cepat membuka mulut. 

"Terima kasih Kek. Aku sungguh kagum. Kau luar biasa 

sekali. Kalau boleh aku hanya ingin bertanya. Senjata 

apakah yang berada di tangan orang bernama Sarontang. 

Yang menurutmu merupakan satu-satunya senjata yang 

bisa mengakhiri hidupmu." 

"Senjata itu berupa sebilah badik. Bernama Badik 

Sumpah Darah." 

"Badik Sumpah Darah..." Mengulang Wiro. Dia meman-

dang pada kawan-kawannya. Lalu dengan suara perlahan 

sekali hingga tidak terdengar oleh si kakek dia berkata 

"Menurut kabar yang aku dengar, bukankah senjata itu 

berada di tangan Adipati Jatilegowo?" Wiro memandang 

pada kakek di atas kereta. "Kek, kalau kami boleh ber-

tanya, siapakah dirimu ini sebenarnya?" 

Yang ditanya tersenyum, usap-usap janggutnya lalu 

berkata. "Namaku Pattirobajo. Di tanah Makassar dan 

tanah Bugis aku dijuluki Iblis Seribu Nyawa. Julukan gila! 

Itu yang membuat tambah berat beban diriku. Aku seolah 

punya seribu nyawa. Saat ini tidak tahu tinggal berapa 

nyawa. Mungkin seratus, dua ratus... Ha... ha... ha!" Puas 

tertawa dari atas kursi si kakek menjura. "Para sahabat,kami sangat berterima kasih pada kalian! Doakan agar aku 

lekas mati!" 

Tiga gadis menutup mulut menahan tawa. Wiro garuk-

garuk kepala. Setan Ngompol manggut-manggut lalu 

kucurkan air kencing. 

"Gila!" kata murid Sinto Gendeng. "Orang hidup bisanya 

minta didoakan agar panjang umur. Kakek itu malah minta 

didoakan agar lekas mati!" Sang pendekar menatap ke 

arah kereta di kejauhan. Setan Ngompol mendekatinya. 

"Apa yang ada di benakmu, anak sableng?" Setan 

Ngompol bertanya. 

Wiro memandang si kakek. Dua-duanya sama tertawa. 

"Aku tahu, pikiran kita sama. Kalau Sarontang ada di 

Bukit Watu Ireng, manusia jahat Adipati Jatilegowo pasti 

juga bakalan ada di sana..." 

"Mungkin begitu. Tapi...." Wiro tidak teruskan ucapan-

nya. Di ujung jalan muncul seorang penunggang kuda. 

Begitu melihat rombongan Wiro orang ini segera hentikan 

kudanya secara mendadak hingga binatang itu meringkik 

keras dan angkat dua kakinya ke atas. Untung saja si 

penunggang cukup cekatan hingga dia tidak sampai 

dilemparkan tunggangannya. Malah orang ini membuat 

gerakan melenting ke udara, jungkir balik lalu mendarat 

turun di hadapan Wiro dan kawan. Setan Ngompol 

terkencing dan pelototkan mata. 

"Loh Gatra!" seru Pendekar 212 begitu mengenali 

orang yang berdiri di hadapannya. Ternyata penunggang 

kuda itu adalah Loh Gatra, cucu mendiang Ki Sarwo 

Ladoyo, sesepuh Kadipaten Temanggung yang mati di-

bunuh Jatilegowo. 

"Tuhan Maha Besar! Beruntung aku menemui para 

sahabat di sini." 

"Sobatku, kau dari mana dan mau menuju ke mana?" 

tanya Wiro. 

"Saya memang tengah mencari kalian. Dua peristiwa 

besar terjadi di Temanggung dan Salatiga. Di Temanggung 

Jeng Ayu Nyi Larasati diungsikan ke luar kota. TapiJatilegowo berhasil mengetahui rumah persembunyiannya 

lalu menculik Nyi Lara. Saya dan sahabat Bujang Gila 

Tapak Sakti berhasil memergoki Adipati itu. Namun kami 

tidak berdaya menghadapinya. 

Dia memiliki sebilah senjata luar biasa sakti 

mandraguna..." 

"Pasti Badik Sumpah Darah," kata Wiro. "Loh Gatra, 

teruskan ceritamu." 

"Ketika saya dan Bujang Gila Tapak Sakti berkelahi 

melawan Adipati Jatilegowo, ada orang lain muncul 

menculik Nyi Lara. Di mana Nyi Lara berada sekarang dan 

bagaimana keadaannya tidak diketahui." 

"Apa yang terjadi di Salatiga?" tanya Pendekar 212. 

"Adipati Jatilegowo membunuh istri tuanya, Sri Sumini. 

Dia juga hendak membunuh Kemuning istri mudanya. Tapi 

perempuan itu berhasil lari diselamatkan oleh para 

sahabat abdi Gedung Kadipaten. Seorang bernama Paman 

Rejo menyerahkan Kemuning pada saya di tepi Kali Opak 

dua hari lalu untuk diungsikan ke tempat yang lebih aman. 

Kemuning minta saya mencarimu. Katanya ada satu hal 

penting yang hendak disampaikannya." 

"Di mana Kemuning saat ini berada?" Tanya Pendekar 

212 pula. 

"Di sebuah rumah kenalan saya. Di desa Klingkit, tak 

jauh dari sini." Menerangkan Loh Gatra. 

Wiro menggaruk kepala. Otaknya bekerja. Lalu keluar 

ucapannya. 

"Kalau Jatilegowo kembali ke Salatiga seorang diri, 

membunuh istri tuanya, bahkan juga hendak membunuh 

istri mudanya, lalu keterangan Loh Gatra barusan bahwa 

ada orang lain menculik Nyi Lara, berarti Nyi Lara memang 

benar-benar tidak berada di tangan Jatilegowo. Loh Gatra, 

kau tahu dimana Jatilegowo berada sekarang?" 

"Setelah membunuh Sri Sumini, Jatilegowo 

meninggalkan Kadipaten Salatiga. Dua orang pengawal 

ikut bersamanya. Sebelum pergi salah satu dari Pengawal 

itu sempat bicara dengan temannya. Katanya Adipati mintadikawal ke Bukit Watu Ireng..." 

"Tidak meleset dugaanku!" Ucap Wiro. "Berarti besar 

kemungkinan Nyi Lara juga ada di situ. Janganjangan 

Sarontang yang telah menculik Nyi Lara. Berarti Jatilegowo 

pasti berada di tempat itu. Nyawa Nyi Lara sangat 

terancam. Kalau dia tidak celaka di tangan Sarontang, 

pasti akan binasa di tangan Jatilegowo." Wiro menggaruk 

kepalanya. Lalu berkata pada Loh Gatra. "Sahabat, aku dan 

kawan-kawan tadinya akan ke Kotaraja. Tapi mendengar 

keterangan darimu aku memutuskan akan segera menuju 

Bukit Watu lreng saat ini juga." 

"Bagaimana dengan pesan Kemuning? Dia ingin 

menemuimu. Ada satu pesan penting yang harus disampai-

kannya padamu. Tidak boleh melalui perantara sekalipun 

diriku." 

Wiro garuk-garuk kepala. Setan Ngompol usap kepala 

botaknya. Lalu kakek ini berkata. "Begini saja. Kami tetap 

akan berangkat menuju Bukit Watu Ireng. Kau jemput 

Kemuning. Bawa ke Watu Ireng. Kami menunggu di sana. 

Ini pekerjaan berbahaya. Tapi tak ada cara lain. Dan satu 

hal! Dandani Kemuning seperti lelaki!" 

Loh Gatra hanya bisa mengangguk-angguk. Dia men-

jura pada orang-orang itu lalu melompat naik ke atas 

kudanya. 

Setan Ngompol berpaling pada Wiro. Lalu memandang 

pada tiga gadis cantik. Seperti tahu membaca pikiran si 

kakek, tiga gadis ini berbarengan keluarkan ucapan. 

"Kami ikut ke Bukit Watu Ireng." 

"Lalu bagaimana dengan manusia bernama Rana 

Suwarte ini?" tanya Wiro. 

"Mudah saja," jawab Setan Ngompol. "Tambah totokan 

di tubuhnya agar tahan beberapa hari. Lalu kita titipkan dia 

di rumah salah seorang penduduk desa yang tadi kita 

lewati." 

"Kau memang cerdik kek," puji Wiro. 

"Siapa dulu! Setan Ngompol!" kata si kakek memuji diri 

sendiri."Tukang kencing..." Menimpali Bidadari Angin Timur 

lalu tertawa cekikikan. 

Ketika berjalan agak terpisah dari tiga gadis itu, Wiro 

berbisik pada Setan Ngompol. 

"Kek, sebenarnya aku ingin tiga gadis itu membawa 

Rana Suwarte ke Kotaraja. Kita titipkan bunga Melati Tujuh 

Racun pada mereka..." 

"Mana bisa begitu?" ujar Setan Ngompol pula. 

"Mengapa tidak bisa?" tukas Wiro. 

"Anak sableng! Apa kau kira mereka tidak pernah 

menyirap kabar apa yang terjadi antara kau dengan Sri 

Kemuning setelah peristiwa kau menyelamatkan gadis itu 

dari perampok di Kali Tuntang. Jangan-jangan mereka juga 

tahu kalau kau pernah mengecup leher gadis itu sampai 

meninggal bekas cupangan!" 

"Edan, aku mengecupnya bukan untuk membuat 

cupang. Tapi melepaskan totokan di lehernya! Karena aku 

tidak boleh menyentuhnya mempergunakan tangan!" 

Setan Ngompol tertawa lebar. Sambil pegangi bagian 

bawah perutnya dia berkata. "Seumur hidup baru aku 

mendengar kalau ada orang melepaskan totokan dengan 

kecupan. Ilmu dari mana itu. Gila kali." 

Wiro jadi diam. Garuk-garuk kepala. Lalu tertawa. 

Setan Ngompol pegang lengan Wiro. "Eh, kau tahu 

mengapa tiga gadis itu ingin ikut?" 

Wiro menggeleng. 

"Jangan pura-pura tolol. Mereka pasti pada cemburu. 

Takut kau bakal keplingsut pada istri muda yang cantik 

jelita itu. Kalau sampai kejadian bisa-bisa kau membuat 

cupang baru. Kali ini bukan di leher tapi di bawah 

pusarnya! Ha... ha... ha!" 

"Tua bangka jorok!" Maki Wiro. Lalu ikutan tertawa. 

***


WIRO SABLENG 

KUTUKAN SANG BADIK 12

 

BUKIT Watu Ireng merupakan gugusan tanah tinggi 

ditumbuhi pohon-pohon raksasa tak jauh dari 

Pakem. Di sela-sela pepohonan kelihatan batu-batu 

aneh berwarna sangat hitam, menyerupai tiang berujung 

lancip dengan ketinggian antara satu sampai tiga tombak. 


Ketika terjadi musim kemarau panjang beberapa 

tahun lalu, kawasan itu dilanda kebakaran hebat. Semua 

pohon besar habis dilalap api. Begitu kebakaran reda dan 

api padam, yang kelihatan kini adalah batangbatang kayu 

hitam gosong serta batu-batu hangus. Debu yang berasal 

dari bakaran daun, ranting dan cabang pohon mengendap 

di permukaan pedataran lambat laun berubah keras, hitam 

membatu menjadi satu dengan permukaan pedataran. 

Pada malam hari kawasan itu tampak seram sekali. 

Selama bertahun-tahun tak ada orang yang naik ke bukit 

ini. Mereka lewat di kaki bukit yang tidak terlalu tinggi itu, 

melintas cepat-cepat. Ada perasaan angker kalau berada di 

sekitar tempat itu. 

Malam itu langit hitam pekat tanpa sebuah bintangpun 

kelihatan. Saat itu adalah bulan mati hari ke empat. 

Kawasan Bukit Watu Ireng dibungkus kegelapan 

menggidikkan. Di kejauhan terdengar suara raungan anjing 

hutan menambah seramnya suasana. 

Sesekali ada suara aneh datang dari puncak bukit. 

Suara sesuatu yang bergerak dalam air. Sejak sore tadi 

Wiro dan Ratu Duyung secara bergantian menerapkan Ilmu 

Menembus Pandang. Namun mereka tidak melihat apa-

apa kecuali batu dan pepohonan dalam kepekatan malam. 

"Para sahabat," kata Setan Ngompol yang duduk ditanah bersandar ke batu besar di belakangnya. "Jangan-

jangan kita datang ke tempat yang salah. Mana Adipati 

Jatilegowo. Mana manusia bernama Sarontang! Tak ada 

siapa-siapa di sini! Juga kakek aneh yang tubuhnya bisa 

ciut bisa molor mengaku berjuluk Iblis Seribu Nyawa itu! 

Katanya dia mau menuju ke sini untuk minta mati! Tapi 

mata hidungnya tidak kelihatan!" 

"Kek, jangan mengomel dulu. Nanti kau beser lagi. 

Tenang, sabar. Aku punya firasat satu peristiwa besar akan 

terjadi di tempat ini." Berkata Wiro sambil memegang 

kepala botak Setan Ngompol. "Aku yakin di puncak bukit 

batu sana, diantara tiga buah tiang batu itu ada benda 

hidup. Aku mendengar suara sesuatu bergerak di dalam 

air. Berarti di atas sana ada kolam atau telaga, ada 

makhluk hidup di dalamnya." 

"Aku tidak mendengar apa-apa," kata Setan Ngompol. 

Tiga gadis juga tidak mendengar suara seperti yang 

dikatakan Wiro. Hal ini memang tidak aneh. Karena sejak 

masuk ke dasar samudera, diberi kekuatan hawa murni 

secara aneh oleh Naga Biru, pendengaran Wiro menjadi 

jauh lebih tajam. 

"Ratu," bisik Wiro. "Coba kau terapkan Ilmu Menyerap 

Detak Jantung. Selidiki apa ada orang sembunyi di atas 

bukit sana." 

Ratu Duyung lakukan apa yang dikatakan Wiro. Dua 

tangan diangkat, telapak dikembangkan dan diarahkan ke 

puncak bukit. Sesaat kemudian sepuluh jari tangan gadis 

cantik bermata biru ini kelihatan bergetar. Ratu Duyung 

pejamkan mata, letakkan dua tangan di atas dada lalu 

berkata. 

"Ada dua makhluk hidup di atas bukit. Tapi bukan 

manusia." 

"Serrr!" Setan Ngompol langsung kencing. 

"Kalau bukan makhluk hidup lalu apa? Setan? Jin? 

Mungkin dedemit?" Ujar Wiro. 

"Tidak bisa kupastikan. Mungkin sekali binatang 

bersosok besar. Ada dua ekor. Tadi aku mendengar suarasesuatu dalam air. Dua binatang itu memang berada dalam 

air..." 

Pendekar 212 angkat tangan kanan memberi tanda. 

Ratu Duyung hentikan ucapannya. 

"Aku melihat sesuatu bergerak di atas bukit." 

Semua pandangan serta merta diarahkan ke atas 

bukit. Memang benar. Saat itu di sela-sela deretan pohon 

dan batu-batu hitam kelihatan seseorang berjalan sambil 

memanggul sosok tubuh manusia di bahu kirinya. Dari 

rambutnya yang tergerai panjang ke bawah jelas sosok 

yang dipanggul itu adalah seorang perempuan. 

"Aku yakin, perempuan yang dipanggul itu adalah Nyi 

Larasati," kata Wiro. "Tapi siapa orang yang memanggul 

dan membawanya ke atas bukit batu itu?!" 

Di atas bukit, si pemanggul menurunkan dan mem-

baringkan sosok perempuan di atas sebuah batu datar. 

Lalu dia duduk bersila di pinggiran batu. Tangan kiri 

terkulai buntung di atas paha, tangan kanan melintang di 

dada, memegang sebuah benda memancarkan cahaya 

kuning terang. 

Wiro dan Ratu Duyung kerahkan Ilmu Menembus 

Pandang. Keduanya sama-sama terkejut. 

"Perempuan di atas batu memang Nyi Larasati!" kata 

Ratu Duyung. 

"Benda bersinar kuning sudah dapat kupastikan Keris 

Kiai Naga Kopek!" Wiro menyambungi ucapan Ratu 

Duyung. 

Semua orang sama terkejut. 

"Dulu senjata itu berada di tangan Rana Suwarte. Rana 

Suwarte sudah kita bekuk. Apakah Rana Suwarte menye-

rahkan keris tersebut pada orang itu? Lalu siapa orang 

yang kini memegang senjata pusaka Kerajaan itu?" 

"Aku yakin dialah manusianya yang bernama Saron-

tang," kata Bidadari Angin Timur pula. 

"Sosok Nyi Lara tidak bergerak tidak bersuara. Mung-

kin pingsan, mungkin ditotok. Tapi mungkin juga sudah 

dibunuh oleh Sarontang. Kita harus bergerak sekarangjuga!" Kata Wiro pula. 

Mendadak dari atas bukit batu orang yang memegang 

benda bercahaya kuning terang keluarkan suara nyanyian. 

Ketika bintang dan bulan sembunyi mendekam 

Sewaktu angin malam bertiup bersama hembusan 

nafas para arwah 

Kutukan jatuh atas manusia sejagat salah sejagat 

dosa 

Malam bulan mati hari ke empat 

Aku duduk bersila di tempat ini 

Menunggu saat bertuah 

Tubuh hidup ditukar dengan benda mati. 

Sosok bernyawa ditukar dengan senjata sakti. 

"Orang gila kesasar dari mana dia! Malam-malam 

begini menyanyi di tempat begini rupa..." Baru saja Setan 

Ngompol keluarkan gerendengan, tiba-tiba dari arah timur 

kaki bukit terdengar derap kaki-kaki kuda. "Ada tiga 

penunggang Ruda bergerak ke arah bukit," kata Ratu 

Duyung. 

Semua mata dipalingkan ke arah timur. Walau malam 

gelap pekat namun orang-orang itu bisa mengenali. 

Penunggang kuda paling depan bertubuh tinggi besar 

bukan lain adalah Adipati Salatiga Jatilegowo. Sekali 

bergerak Adipati ini melesat dari kudanya, lalu melompat 

menaiki bukit. Ketika dia mencapai pertengahan bukit, 

diikuti dua pengawalnya, di atas sana orang yang 

memegang senjata bercahaya kuning berdiri dari 

duduknya. 

"Cukup sampai disitu Jatilegowo! Kalau kau berani naik 

lebih tinggi, kematian akan lebih cepat menjamah janda 

yang kau sukai ini!" 

Habis keluarkan ancaman orang di atas bukit injakkan 

kakinya pada sebuah batu. Tiba-tiba ujung batu di bagian 

kepala diatas mana terbaring sosok perempuan yang 

memang Nyi Larasati adanya, bergerak ke atas."Jatilegowo! Dengar baik-baik! Di bawah batu, satu 

tombak di ujung kaki Nyi Lara ada sebuah liang berair 

dihuni dua ekor buaya hitam yang selama bertahun-tahun 

tidak bisa keluar dan tidak pernah mendapat makanan! 

Sekali aku menggerakkan kaki, batu tempat Nyi Lara 

terbaring akan terangkat tegak lurus dan perempuan itu 

akan meluncur masuk ke dalam telaga maut, menjadi 

santapan sepasang buaya lapar!" 

"Sarontang bangsat keparat! Jangan berdusta 

menakuti diriku! Aku bukan anak kecil! Mana ada buaya di 

bukit ini! Kau yang akan kubantai lebih dulu!" Teriak 

Jatilegowo marah. Tangannya bergerak mencabut Badik 

Sumpah Darah dari pinggang. Begitu senjata sakti tersebut 

ketuar dari sarungnya, satu cahaya hitam angker menebar 

di lereng Bukit Batu Ireng, membuat pudar terangnya 

cahaya Keris Naga Kopek di tangan Sarontang. Dari 

bentrokan dua cahaya sakti ini sudah terlihat bahwa badik 

di tangan Jatilegowo memiliki pamor atau kekuatan lebih 

hebat, setingkat lebih tinggi dari Keris Kiai Naga Kopek. 

Saat itu antara Jatilegowo dan Sarontang terpisah 

sekitar tiga tombak. Ketika Jatilegowo membuat gerakan 

hendak melompat ke atas bukit, Sarontang segera 

tekankan kaki kanannya ke batu yang dipijaknya. Batu 

hitam tempat Nyi Lara terbujur bergerak di atas, lebih 

tinggi. Tubuh Nyi Lara meluncur turun. Di ujung batu 

sebelah bawah, dari dalam sebuah hang berair, terdengar 

suara-suara menyeramkan disertai muncratan air. Jatile-

gowo tercekat dan terpaksa hentikan gerakannya. Di 

bawah bukit Wiro dan para sahabat terkesiap. Sarontang, 

orang di atas bukit batu tertawa mengekeh. Gerakan batu 

ditahannya hingga sosok Nyi Larasati berhenti meluncur. 

Jatilegowo berpaling pada pengawal di sebelah kanan-

nya. "Naik ke bukit, selidiki apa yang ada di atas sana!" 

Meski ragu tapi karena harus menjalankan perintah 

sang pengawal berlari naik ke atas bukit. Sarontang segera 

menghadang. 

"Kau mau apa?!" bentak si kakek berambut biruberminyak. "Mau menyelidik?! Biar majikanmu percaya aku 

akan memperlihatkan sesuatu padanya!" 

Ketika Sarontang mendekat, pengawal ini segera 

menghunus pedangnya. Walau bersenjata dia bukan 

tandingan Sarontang. Sambil berkelit Sarontang menen-

dang selangkangannya. Pengawal ini keluarkan jeritan 

dahsyat. Tubuhnya mencelat ke bawah. Setengah tombak 

akan mencapai bebatuan, tiba-tiba ada suara meng-

gemuruh disertai muncratan air dan melesatnya dua sosok 

buaya hitam dari liang batu berair! Untuk kedua kalinya 

pengawal itu keluarkan jeritan keras. Lalu suara jeritannya 

lenyap. Berganti dengan suara gaduh dua ekor buaya 

hitam mencabik-cabik dan melahap tubuh pengawal 

malang itu. Kalau saja hal itu terjadi pada siang hari, maka 

akan terlihat bagaimana air hitam di dalam liang batu telah 

berubah menjadi merah pekat! 

Wiro, Setan Ngompol dan tiga gadis terkesiap ngeri. 

Jatilegowo dan pengawal satunya terbeliak kaget. Semen-

tara Sarontang enak saja umbar tawa bergelak. Begitu 

hentikan tawa, dia tudingkan Keris Naga Kiai Kopek 

kepada Jatilegowo. 

"Adipati, kau saksikan sendiri! Setiap saat bisa terjadi 

kematian mengerikan di atas bukit ini. Sekarang saatnya 

kita berjual beli. Saatnya tubuh hidup ditukar dengan 

benda mati. Saatnya sosok bernyawa ditukar dengan 

senjata sakti! Serahkan Badik Sumpah Darah padaku! 

Letakkan di atas tiang batu setinggi lutut di depanmu. Lalu 

turun jauh-jauh ke bukit. Aku akan mengambil badik. 

Meninggalkan tempat ini! Kau akan mendapatkan Nyi Lara 

dalam keadaan selamat!" 

Jatilegowo mendelik besar. Dua matanya laksana di-

kobari api. Tiba-tiba dia keluarkan tertawa bergelak lalu 

meludah ke tanah. 

"Aku bisa nekad Sarontang! Aku tidak akan memberi-

kan Badik Sumpah Darah ini padamu!" 

Sarontang tertawa mengekeh. "Aku juga bisa nekad! 

Aku tidak mendapatkan badik, kau tidak akan mendapatkan janda idamanmu ini!" 

"Perduli setan! Kau mau berbuat apa, kau mau mem-

bunuh Nyi Lara silahkan! Aku masih bisa mendapatkan 

perempuan lain. Tapi nyawamu cuma satu! Aku merasa 

lebih puas jika bisa membunuhmu!" Dengan badik diacung-

kan ke atas, Adipati Jatilegowo menerjang ke arah 

Sarontang. 

"Ha... ha! Secepat itukah hati dan pikiranmu 

berubah?!" 

Sarontang yang tidak mengira Jatilegowo akan berbuat 

senekad itu cepat kiblatkan Keris Naga Kopek menahan 

sambaran Badik Sumpah Darah. Bersamaan dengan itu 

kaki kanannya menginjak kuat-kuat batu penggerak batu 

besar di atas mana Nyi Lara terbaring. 

"Saatnya kita bergerak! Ingat apa yang barusan sudah 

kita atur!" Dibawah bukit Wiro berteriak. Lima sosok ber-

kelebat ke atas bukit. Bidadari Angin Tirnur melesat ke 

arah batu di mana Nyi Lara terbujur. Ratu Duyung berlari 

sambil keluarkan cermin sakti. Setan Ngompol terkencing-

kencing membuat dua lompatan. Anggini melesat sambil 

mengeruk tiga paku perak senjata rahasia. 

Saat itulah tiba-tiba dua penunggang kuda mendatangi 

cepat dari arah barat. 

"Wiro! Tunggu!" Seorang berteriak. 

Pendekar 212 yang telah melesat ke atas bukit 

terpaksa hentikan gerakan. Walau lama tidak pernah 

bertemu tapi dia mengenali suara itu. Wiro berpaling ke 

bawah bukit. Dua orang pemuda dilihatnya lari ke arahnya. 

Di sebelah depan dikenalinya sebagai Loh Gatra. Satunya, 

jauh tertinggal di sebelah belakang seorang pemuda 

berkulit halus, berwajah cakap memakai daster. ltulah Sri 

Kemuning yang diberi dandanan laki-laki. Wiro ingat 

ucapan Loh Gatra tentang pesan penting yang hendak 

disampaikan istri muda Jatilegowo itu padanya. Dengan 

cepat Wiro melompat ke bawah. Loh Gatra sambil lari ke 

atas bukit perhatikan suasana. Dia melihat Setan Ngompol 

dan tiga gadis berkelebat menyerbu ke arah Jatilegowo. Diamelihat batu di atas mana Nyi Larasati terbujur bergerak ke 

atas, membuat tubuh perempuan muda itu meluncur ke 

bawah, siap jatuh ke dalam lobang dimana terdapat dua 

ekor buaya hitam ganas. Tidak tunggu lebih lama pemuda 

ini melesat ke arah batu itu. 

"Wiro!" Begitu sampai di hadapan Wiro Kemuning 

jatuhkan diri dalam pelukan sang pendekar. Nafasnya 

megap-megap karena berlari mendaki bukit. Dadanya 

turun naik. 

"Jeng Ayu Kemuning, kata Loh Gatra ada satu pesan 

penting hendak Jeng Ayu kau sampaikan padaku. Pesan 

apa? Katakan cepat!" 

"Jangan panggil saya Jeng Ayu!" 

"Baik, baik.... Sekarang katakan apa pesan yang 

hendak kau sampaikan." 

"Jatilegowo!" Ucap Kemuning. "Dia memiliki kekebalan 

bersumber dari kesaktian Badik Sumpah Darah. Tidak ada 

pukulan atau senjata yang sanggup membunuhnya! 

Kecuali jika kau menghantam kelemahannya..." 

"Apa?! Bagaimana Jeng Ayu... kau bisa tahu? Di mana 

letak kelemahannya?" 

Belum sempat Sri Kemuning menjawab, di atas bukit 

sana terdengar suara letusan-letusan keras dibarengi 

kiblatan cahaya hitam kuning serta jerit pekik dahsyat! 

Wiro palingkan kepala, memandang ke atas bukit. 

***


WIRO SABLENG 

KUTUKAN SANG BADIK 13

 

MELIHAT Jatilegowo melompat ke arahnya dan 

melancarkan serangan dengan Badik Sumpah 

Darah, Sarontang segera injak keras-keras batu 

dibawah kaki kanannya. Batu besar di atas mana sosok Nyi 

Larasati terbujur tanpa bisa bergerak dan bersuara 

meluncur ke bawah, ditunggu dua ekor buaya ganas dalam 

liang batu berair. Sesaat kemudian kakek bertangan kanan 

buntung ini menerjang ke depan, sambuti sambaran 

senjata lawan dengan Keris Kiai Naga kopek. Sarontang 

begitu percaya bahwa keris pusaka Kerajaan itu akan 

sanggup menghadapi badik di tangan lawan. 


"Traangg!" Dua senjata sakti beradu di udara. Bunga 

api memercik di kegelapan malam disusul dengan 

bentrokan sinar kuning dan hitam hingga mengeluarkan 

suara gelegar letusan keras. 

Sarontang menjerit. Keris Kiai Naga Kopek terlepas 

dari genggaman tangan kanannya. Jatuh berkerontangan di 

atas tanah membatu. Tubuhnya sendiri mencelat dua 

tombak, terpental ke arah liang batu. Dia membuat 

gerakan jungkir balik, berusaha menghindari agar tidak 

jatuh ke dalam liang maut itu. Namun saat itu Jatilegowo 

telah melancarkan serangan susulan dengan membabat-

kan secara ganas Badik Sumpah Darah ke arah leher 

Sarontang. 

"Crasss!" 

Sarontang keluarkan jeritan pendek. Darah menyem-

bur dari pangkal lehernya yang terkena sambaran Badik 

Sumpah Darah. Saat itu juga leher, muka dan bagian atas 

dadanya berubah hitam oleh ganasnya racun SeratusPohon Tuba. Tubuhnya yang berjungkir balik tak ampun lagi 

melayang jatuh ke dalam liang batu. Sarontang menjerit 

keras. Suara jeritannya lenyap begitu dua ekor buaya 

menyergap dan melahap tubuhnya! 

Jatuhnya Sarontang ke dalam liang batu justru 

menyelamatkan Nyi Larasati. Sosoknya yang meluncur 

deras ke bawah dan seharusnya masuk amblas ke dalam 

liang maut, untuk sesaat tertahan oleh tubuh Sarontang 

yang telah lebih dulu jatuh ke dalam liang. Hal ini memberi 

kesempatan pada Bidadari Angin Timur untuk menyelamat-

kan janda mendiang Adipati Temanggung itu. Bidadari 

Angin Timur yang punya kemampuan bergerak cepat luar 

biasa, laksana kilat menyambar tubuh Nyi Larasati, tapi 

gerakannya terhalang karena Jatilegowo secara tidak ter-

duga membabatkan badiknya ke arah sang d.ara. 

Sesaat setelah Jatilegowo membabat leher Sarontang, 

Setan Ngompol, Anggini dan Ratu Duyung menghantam, 

dengan tiga serangan. Cahaya putih yang melesat dari 

cermin sakti Ratu Duyung menyambar ke arah kepala 

Jatilegowo, membuat lelaki ini meraung marah kesilauan. 

Dari samping kiri Setan Ngompol lancarkan pukulan tangan 

kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Dari sebelah 

kanan tiga paku perak yang dilemparkan Anggini 

menyambar ke arah kepala dan dada! 

Jatilegowo menggembor marah. Dia tidak begitu 

mengenali siapa orang-orang yang menyerbunya. 

"Keparat! Siapa kalian! Kalau minta mati akan kuberi-

kan saat ini juga!" 

"Wuuuuttt!" 

Sinar hitam angker menderu di kegelapan malam. 

Setan Ngompol berteriak kaget ketika sinar hitam yang 

keluar dari Badik Sumpah Darah laksana badai meng-

hantam dirinya hingga dia terpental dan jatuh terjengkang 

terkencing-kencing. Sekujur tubuhnya terasa remuk. Ketika 

dia mencoba bangun, tubuhnya terseok rubuh! 

Tiga suara berdentringan terdengar begitu pakupaku 

perak yang dilemparkan Anggini disapu Badik SumpahDarah, mental hancur berkeping-keping. Anggini sendiri 

tergontai-gontai hampir jatuh berlutut di tanah. 

Di bagian lain Ratu Duyung terpekik sewaktu cahaya 

putih panas yang keluar dari cermin saktinya berbalik ke 

arahnya begitu kena diterpa sinar hitam yang melesat 

keluar dari badan senjata di tangan lawan. Kalau tidak 

lekas melompat menjauh, cermin saktinya akan terlepas 

mental, mungkin bisa pecah bertaburan. 

Pendekar 212 yang masih berada di lereng bukit 

sebelah bawah menyaksikan semua kejadian itu hampir 

tak percaya. Belum pernah dia melihat senjata begitu luar 

biasa seperti Badik Sumpah Darah. Angin dan cahayanya 

saja bisa membuat lawan celaka. Wiro sadar, dia harus 

segera turun ke gelanggang pertempuran menolong para 

sahabat. 

"Kemuning, lekas katakan dimana letak kelemahan 

Jatilegowo! Aku harus segera menolong teman-temanku di 

atas bukit sana." 

"Bagian bawah perut, antara ke dua pangkal paha," 

jawab Kemuning. 

Pendekar 212 merasa bimbang mendengar ket-

erangan itu. "Bagaimana kau bisa tahu? Siapa yang 

mengatakan padamu?" 

"Saya kedatangan seorang tua aneh dalam mimpi..." 

"Mimpi? Jadi kau mengetahui kelemahan Jatilegowo 

dalam mimpi? Ah..." Wiro jadi garuk-garuk kepala. 

"Kau boleh percaya atau tidak. Saya bermimpi sampai 

tiga kali. Seorang tua berjubah merah muncul. Dia 

mengaku bernama Daeng Wattansopeng. Katanya dia yang 

membuat Badik Sumpah Darah. Kutuk akan segera jatuh 

atas diri Jatilegowo." 

Wiro memandang ke arah bukit. Saat itu dilihatnya 

Setan Ngompol masih terduduk di tanah. Ratu Duyung 

walau mengeroyok Jatilegowo bersama Anggini dan 

Bidadari Angin Timur namun berada dalam keadaan 

terdesak hebat. Setiap saat salah seorang dari mereka 

bisa celaka.Sebelumnya, sewaktu Bidadari Angin Timur gagal 

menyelamatkan Nyi Larasati yang siap jatuh masuk ke 

dalam liang batu berisi sepasang buaya, Loh Gatra yang 

datang kemudian berhasil bertindak cepat, merangkul 

pinggang Nyi Larasati. Janda muda itu selamat tapi Loh 

Gatra justru dilanda bencana. Dalam satu pertempuran 

beberapa waktu lalu Loh Gatra berhasil melukai salah satu 

telinga Jatilegowo dengan senjata rahasia berbentuk 

bintang (Baca Episode "Meraga Sukma") Kini melihat 

pemuda itu muncul dan berusaha menyelamatkan Nyi 

Lara, dendam amarah Jatilegowo jadi berkobar. Didahului 

makian kotor dia tusukkan Badik Sumpah Darah ke arah 

dada Loh Gatra. Pemuda ini masih sanggup menghindar 

dengan jatuhkan diri sambil terus memeluk tubuh Nyi Lara. 

Namun ketika kaki kiri Jatilegowo bergerak menghantam-

kan tendangan, Loh Gatra tak dapat lagi mengelak. Tulang 

pinggulnya remuk. Tubuhnya terpental sejauh dua tombak. 

Terguling-guling ke bawah. Dalam keadaan seperti itu 

tubuh Nyi Larasati tidak dilepaskannya, terus saja dipeluk 

sampai akhirnya keduanya terkapar di kaki bukit batu. 

Wiro cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Dia sampai di 

atas bukit tepat ketika Badik Sumpah Darah di tangan 

Jatilegowo membabat deras ke arah kepala Bidadari Angin 

Timur. Untung saja gadis ini memiliki kecepatan luar biasa 

dalam bergerak. Namun walau dia berhasil menyelamatkan 

kepala, tak urung sebagian rambutnya yang pirang dan 

bagus masih kena dibabat putus dan mengepulkan asap. 

Bidadari Angin Timur berseru tegang, melompat mundur. 

Wajahnya yang jelita tampak pucat sekali. Dalam keadaan 

terkesima kaget dan kecut seperti itu, lawan pergunakan 

kesempatan untuk menyerbu kembali. Satu tusukan 

dihunjamkannya ke dada Bidadari Angin Timur. 

"Adipati jahanan! Aku lawanmu!" 

Satu bentakan menggeledek disusul berkeiebatnya 

satu bayangan putih, memotong gerakan Jatilegowo. Lalu 

ada suara menderu laksana ratusan tawon mengamuk. 

Sinar putih berselubung cahaya kemerahan disertai hawapanas berkiblat dafam kegelapan. Sang Adipati tidak 

melihat jelas benda atau senjata apa yang melabrak ke 

arahnya. Percaya akan kekuatan dan kesaktian Badik 

Sumpah Darah Jatilegowo belokkan tusukan senjatanya, 

memburu ke arah benda yang menyambar. 

"'Traang!" 

Bunga api memercik hebat. Dua orang sama-sama 

berseru kaget. Wiro terpental dua langkah, lututnya goyah. 

Tangan kanan terasa panas dan perih. Dia genggam 

gagang kapak erat-erat agar tidak lepas. 

Namun dia tidak mampu menjaga keseimbangan 

tubuh. Murid Sinto Gendeng ini akhirnya jatuh bertutut. Di 

hadapannya Jatilegowo terjengkang di tanah. Dadanya 

mendenyut sakit seperti ada ratusan jarum menusuki. 

Mukanya yang garang kelihatan pucat. Mata mendelik 

merah. Ketika dia mengenali siapa orang di depannya 

segera dia melompat. 

"Pendekar jahanam! Kau rupanya!" Teriak Jatilegowo 

memaki. "Aku memang sudah lama mencarimu! Sekarang 

kau datang sendiri mengantar nyawa!" 

Wiro cepat melompat bangun. Kapak Naga Geni 212 

diputar sebat demikian rupa hingga puncak Bukit Watu 

Ireng laksana dilanda topan. Namun Badik Sumpah Darah 

sungguh luar biasa. Cahaya hitam senjata beberapa kali 

menembus iingkaran sinar putih Kapak Naga Geni 212. 

Tahu kehebatan badik lawan Wiro tidak berani bentrokan 

senjata. Sambil terus memutar kapak di tangan kanan, 

tangan kiri ikut melancarkan pukulan-pukulan inti Kitab 

Putih Wasiat Dewa. Dua kali pukulan sakti yang dihantam-

kan Wiro mengenai sasaran di dada dan perut lawan. 

Pertama pukufan bernama Tangan Dewa Menghantam Air 

Bah. yang kedua pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu 

Karang. Jangankan tubuh manusia, batang pohon atau 

tembok pasti hancur dan jebol jika kena dihantam dua 

pukulan itu. Wafau tubuhnya terpental dan kelihatan 

menahan sakit, tapi begitu Badik Sumpah Darah 

diusapkannya ke bagian tubuh yang terpukul, rasa sakitdan cidera serta merta lenyap! Malah ketika dengan nekad 

Wiro menyerbu tak mau memberi kesempatan pada lawan, 

Jatilegowo berhasil menyusupkan satu jotosan ke dada 

Wiro, membuat murid Sinto Gendeng ini terpental satu 

tombak dan muntah darah. 

Tiga gadis sama terpekik menyaksikan kejadian itu. Sri 

Kemuning yang tak mau diam di lereng bukit dan naik ke 

puncak terisak pejarnkan mata, tidak tega melihat sang 

pendekar terluka parah seperti itu. Setan Ngompol 

kucurkan air kencing. 

Jatilegowo menyeringai. Sekali lompat dia sudah 

berada di hadapan Wiro. 

"Pendekar keparat! Terima kematianmu!" Badik 

Sumpah Darah dihunjamkan ke batok kepala Wiro. 

Setengah jengkal lagi senjata sakti mandraguna itu 

akan menancap di kepala Wiro, tiba-tiba sang pendekar 

rebahkan tubuh ke belakang, kaki kanan menderu ke atas 

menendang perut lawan. Jatilegowo berteriak kaget, dia 

tarik tusukan badik ke kepala. Senjata itu kini dibabatkan 

ke kaki lawan. Tapi saat itu Wiro sudah membuat gerakan 

meliuk. Masih setengah berputar di tanah tubuhnya 

melompat ke atas. Wiro ingat pesan yang disampaikan Sri 

Kemuning. Namun kedudukan dirinya tidak memungkinkan 

untuk menendang atau membacok bagian bawah perut 

lawan. Maka murid Sinto Gendeng ini keluarkan jurus Kilat 

Menyambar Puncak Gunung. Kapak Maut Naga Geni 212 

menderu. Yang jadi sasaran adalah batang leher lawan dan 

kena! 

"Deesss! Craassss!" 

Leher Jatilegowo putus! Kepalanya menggelinding di 

tanah keras membatu. Badannya terkapar menelungkup. 

Para gadis terpekik ngeri. Setan Ngompol terkencing habis-

habisan. Semua orany merasa lega. Tapi hanya sesaat. 

Tiba-tiba tangan kanan Jatilegowo yang masih memegang 

badik bergerak ke arah leher yang buntung dan masih 

mengucurkan darah. Badik bergerak mengusap bagian 

atas kutungan leher. Dan terjadilah satu peristiwa yangsulit dipercaya. 

Kepala Jatilegowo yang tadi putus dan menggelinding 

jauh tiba-tiba melesat dan menempel kembali ke leher. 

Semua orang menjadi geger! Setan Ngompol menenga-

dah ke langit, pejamkan mata. Dua tangan menekap 

bagian bawah perut kencang-kencang. 

Sambil keluarkan tawa bergelak perlahan-lahan sosok 

Jatilegowo bangkit berdiri. Wiro memperhatikan dengan 

mata mendelik besar. Dia memutar otak. 

"Ilmu jahanam apa yang dimiliki keparat ini! Kepala 

jelas-jelas putus. Darah menyembur. Tapi bisa menclok 

kembali ke leher. Dan hidup! Gila!" 

Ketika Jatilegowo melangkah ke arahnya, Wiro 

bergerak mendahului. Kapak Maut Naga Geni 212 

dibabatkan ke bawah perut, yang menurut Sri Kemuning 

adalah titik kelemahan sang Adipati. Tapi lebih cepat sang 

Adipati melesat ke udara hingga serangan Wiro hanya 

mengenai tempat kosong. Penasaran Wiro mengejar 

dengan membuat lompatan yang lebih tinggi. Kapak Naga 

Geni 212 kembali menderu. Jatilegowo gerakkan tangan 

kanan, sengaja hendak menangkis dengan badik karena 

dia tahu bahwa senjatanya memiliki kehebatan jauh di atas 

senjata lawan. Namun kali ini dia kecele. Wiro bukan saja 

menghindari bentrokan senjata, tapi dengan memutar 

kapak demikian rupa dia berhasil membabat pergelangan 

tangan lawan. 

Tangan yang putus dan masih memegang Badik 

Sumpah Darah melayang ke udara. Saat itulah tiba-tiba 

dari balik tiang batu besar setinggi dua tombak, melesat 

sosok seorang berjubah hitam, mengenakan tarbus hitam 

berjumbai. Sekali tangannya bergerak memukul, jari-jari 

potongan tangan Jatilegowo yang memegang Badik 

Sumpah Darah terpentang membuka. Senjata sakti itu 

melayang jatuh, langsung disambuti oleh si iubah hitam 

yang ternyata adalah kakek dari tanah seberang yang 

sebelumnya memperkenalkan diri dengan nama Pattiro-

bajo."lblis Seribu Nyawa!" seru Wiro dan Ratu Duyung 

berbarengan. 

Sambil berdiri acungkan Badik Sumpah Darah tinggi-

tinggi ke atas, si kakek tertawa mengekeh. 

"Badik sakti badik kematian! Akhirnya aku dapatkan 

dirimu! Semua roh di langit dan di bumi! Saksikan! Inilah 

akhir hidup seratus dua puluh tahun Pattirobajo, berjuluk 

iblis Seribu Nyawa!" Si kakek palingkan kepalanya ke arah 

Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia menyeringai dan kedipkan 

mata. "Anak muda, aku berterima kasih padamu! Kau telah 

menolong aku mendapatkan senjata pengakhir hayat ini!" 

Habis berkata begitu Pattirobajo pegang gagang badik 

dengan dua tangan sekaligus. Tubuhnya yang pendek 

diluruskan hingga kelihatan tinggi sekali. Lalu kembali dia 

mengumbar tawa panjang, Tiba-tiba suara tawanya 

berhenti. Badik Sumpah Darah ditusukkannya ke dada 

kirinya hingga menancap dalam, menembus sampai ke 

jantung! 

Kakek berjubah hitam itu keluarkan suara mengerang 

panjang. Perlahan-lahan tubuhnya menyusut pendek 

kembali lalu jatuh punggung di tanah. Dua matanya 

menatap langit gelap. Sesaat dua tangan masih 

memegangi gagang badik yang menancap di dada. Lalu 

dua tangan itu terkulai jatuh ke sisi. Perlahan-lahan kulit 

tubuhnya berubah hitam. Satu senyum menyeruak di mulut 

si kakek. Bersamaan dengan itu nyawanya melayang. 

Dari tenggorokan Jatilegowo keluar suara meng-

gembor. Dia melangkah mendekati mayat Pattirobajo untuk 

mengambil Badik Sumpah Darah. Namun sebelum 

tangannya sempat menyentuh gagang senjata yang ber-

lumuran darah itu, tiba-tiba terjadi lagi satu peristiwa aneh. 

Dari sosok mayat Pattirobajo keluar kepulan asap yang 

dengan cepat membentuk sosok seorang kakek berjubah 

merah, berambut, berkumis dan berjanggut putih. 

Jatilegowo melengak kaget. Langkahnya terhenti. 

Mulutnya bergetar ketika berucap. "Kakek... Kakek Daeng 

Wattansopeng...""Wiro!" Seru Sri Kemuning. "Kakek itu yang mendatangi 

diriku dalam mimpi!" 

Wiro terkejut. Semua orang memandang sesaat pada 

Sri Kemuning yang saat itu telah membuang dasternya dan 

membiarkan rambutnya yang panjang hitam tergerai lepas. 

Di depan sana, sosok kakek berjubah yang keluar dari 

mayat Pattirobajo membungkuk mencabut Badik Sumpah 

Darah yang menancap di dada Iblis Seribu Nyawa. Dia 

memandang ke arah Jatilegowo. Sambil melangkah men-

dekati Adipati itu dia berkata. 

"Jatilegowo, matamu masih terang bisa mengenali 

diriku. Mulutmu masih fasih menyebut namaku. Allah Maha 

Besar, Maha Adil dan Maha Mengetahui. Dia telah berlaku 

seribu benar. Ketika kau membunuhku dengan badik ini, 

aku belum menyempurnakan usapan kekebalan di seluruh 

tubuhmu. Ada satu bagian yang masih tersisa. Di tempat 

itulah terletak titik kelemahanmu!" 

Habis berkata begitu sosok kakek berjubah merah, 

entah makhluk apa sebenarnya dirinya, menggerakkan 

sepasang kaki dan tahu-tahu dia sudah berada di hadapan 

Jatilegowo. Badik di tangan kanan dihunjamkan ke bawah 

perut Adipati itu, tepat di antara dua pangkal paha. Mulut 

Jatilegowo terbuka lebar, tenganga tapi tidak keluarkan 

suara. Matanya membeliak besar tapi tidak melihat apa-

apa. Ketika Badik dicabut tubuhnya sesaat masih tertegak. 

Kakek berjubah merah gerakkan tangan kanan yang 

memegang badik, membuat tanda silang di depan wajah 

Jatilegowo lalu keluarkan ucapan. 

"Sampai hari Kiamat rohmu akan tergantung antara 

langit dan bumi! Semoga ummat terbebas dari kejahatan 

yang bersumber dari dirimu." 

Begitu selesai ucapannya sosok orang tua inipun 

berubah menjadi asap tipis dan akhirnya sirna. Sementara 

itu sosok Jatilegowo yang tadi masih berdiri, perlahan-lahan 

jatuh tersungkur. Sekujur kulit tubuhnya berubah menjadi 

hitam mengepulkan asap. Inilah akhir kehidupan jahat dan 

keji seorang AdipatDikisahkan kemudian bahwa Keris Kiai Naga Kopek 

dikembalikan ke Istana. Jenazah Jatilegowo dibawa ke 

Salatiga oleh satu-satunya pengawal yang masih hidup. 

Mayat Pattirobajo dikubur di kaki bukit oleh tiga orang 

pengiringnya. Nyi Larasati yang ternyata telah ditotok oleh 

Sarontang dan pernah mempunyai kaul akan mengawini 

orang yang menolong dirinya, akhirnya melangsungkan 

perkawinan dengan Loh Gatra. Pemuda ini memang pantas 

menerima bahagia besar itu karena dia sejak lama 

mencintai Nyi Larasati dan telah beberapa kali mengorban-

kan diri untuk menyelamatkan sang janda. Patih Kerajaan 

berhasil disembuhkan dengan minuman air godokan bunga 

Melati Tujuh Racun. Sang Patih menawarkan jabatan 

Panglima Kerajaan pada Pendekar 212 Wiro Sableng, 

namun murid Sinto Gendeng ini lebih suka meneruskan 

perjalanan bersama para sahabatnya. Apa lagi dia masih 

punya beberapa tugas berat. Antara lain menemukan 

Pedang Naga Suci212 dan mencari Kitab Seribu 

Pengobatan milik gurunya yang lenyap dicuri orang. Rana 

Suwarte yang dititipkan di rumah penduduk desa, entah 

bagaimana berhasil melarikan diri hingga selamat dari 

hukuman Kerajaan. 


TAMAT 

penulis : bastian tito

create : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com


SEGERA TERBIT EPISODE PERTAMA DARI 

RANGKAIAN SERIAL WIRO SABLENG 

BERIKUTNYA : 

113 LORONG KEMATIAN



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive