Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Sabtu, 25 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - SILUMAN TELUK GONGGO

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com







BAB 1


MATAHARI bersinar terik membakar jagat. Pemuda 

berambut gondrong berpakaian serba putih dengan ikat 

kepala juga kain putih merasakan tenggorokannya kering. 

Peluh membasahi sekujur tubuhnya.  Dia merasa  

bersyukur karena sepeminuman teh berlalu akhirnya dia 

sampai di sebuah kampung. Paling tidak dia bisa minta air 

segar pada penduduk. Tapi kebetulan di mulut jalan 

ditemuinya sebuah kedai.

    Pemuda ini masuk ke dalam kedai dan memesan

minuman. Untuk mengurangi rasa panas dia berkipas-

kipas sambil menunggu pesanan. Pada saat itulah tiga

orang penunggang kuda berhenti di depan kedai. Sejenak 

si gondrong  perhatikan ketiga pendatang ini.

Kelihatannya seperti orang-orang yang tengah meng-

adakan perjalanan jauh  dan ingin melepaskan  lelah

sambil membasahi tenggorokan. Si gondrong palingkan 

kepala tak perdulikan orang-orang itu.

    Ketika pelayan meletakkan minuman di hadapan si

pemuda, tahu-tahu ketiga penunggang kuda tadi sudah

melompat dan berdiri di hadapannya. Sekilas si pemuda 

melirik, lalu acuh tak acuh dia terus berkipas-kipas. Salah 

satu tangannya menjangkau gelas minuman. Tapi 

gerakannya tertahan oleh bentakan salah seorang tamu di 

sampingnya.

    "Jadi menurutmu ini bangsatnya?!" Yang membentak 

ini berusia sakitar tiga puiuh tahun, berambut pendek

memelihara berewok dan berbadan tinggi kekar.

    Lelaki di sampingnya, seorang tua berambut kelabu, 

memandang sejenak pada pemuda rambut gondrong, 

sejurus kemudian dia anggukkan kepala.


"Memang dia bangsatnya. Aku pasti betul!" kata si

rambut kelabu.

      Lelaki ke tiga seorang pemuda berbadan tegap lantas 

saja membuka mulut: "Jika dia malingnya tunggu

apalagi?!"

      "Sret!" Dari balik pinggangnya pemuda ini cabut 

sebilah golok dan mengacungkannya ke anjh pemuda

berambut gondrong yang duduk di belakang meja.

      Seperti seorang buta dan tuli layaknya, si gondrong ini 

seolah-olah tak melihat orang-orang di sekitarnya atau tak 

mendengar parcakapan-percakapart di dekatnya. Dia terus 

saja berkipas-kipas dan malah Wnl mengambil gelas berisi 

minuman.

      "Setani Kau berani berlagak tolol piton di depan kami" 

sentak pemuda yang memegang golok. Tangan kanannya 

diayunkan. "Prangl" Gelas di tangan pemuda gondrong 

papas berentakan. Sebagian Isinya tumpah membasahi 

meja serta pakaian pemuda ini. Bagian bawah gelas yang 

papas ditebas golok tajam masih berada dalam 

genggaman tangan idri pamuda itu. Di dalamnya masih 

berada sedikit sisa minuman. Si gondrong goleng-goleng 

kepala lalu menyeringai. Dari mulutnya keluar siulan. Lalu 

seenaknya sisa minuman yang masih ada dalam gelas 

yang tinggal sepotong itu diteguknya sampai habis.

       Semua tamu yang ada di kedai melengak heran 

tetapi diam-diam juga menjadi tegang. Sebaliknya tiga 

lelaki yang berada di hadapan si gondrong jadi naik pitam. 

Dan pemuda yang memegang golok kembali menghardik: 

       "Pencuri tamak! Kau memang layak dicincang!"                            

       Untuk kedua kalinya golok besar itu berkelebat kali 

ini dibacokkan ke kepala si gondrong. Beberapa orang 

tamu mengeluarkan seruan tegang karena sudah

membayangkan sesaat lagi akan belahlah kepala pemuda 

berambut gondrong itu dihantam golok.


Tetapi gilanya manusia yang dirinya terancam bahaya  

maut itu justru kelihatan tenang-tenang saja. Malah 

cengar-cengir.

    Namun apa yang terjadi kemudian benar-benar me-

rupakan satu kejutan.

    Sedetik sebelum golok besar itu menghantam sa-

sarannya, terdengar pekikan keras. Golok kelihatan

mencelat ke atas dan menancap di langit-langit kedai.

Pemuda yang tadi memegang senjata itu terhuyung

empat langkah ke belakang sambil pegangi siku tangan

kanannya. Entah kapan si gondrong Ini bergerak tahu-

tahu dia telah menangkis serangan maut yang dilancarkan 

bahkan memukul tangan sambungan siku orang

yang inginkan jiwa nya.

    "Pelayan! Ambilkan minuman baru.  Rasa hausku belum 

habis, tahu-tahu ada monyet kesasar yang datang 

mengganggui" Si gondrong berseru memanggil pelayan 

sambil salah satu kakinya dinaikkan ke atas kursi.

    "Bangsat pencuri ! Berani kau mencelakai adikku !"

Tiba-tiba lelaki berewok hantamkan tinju kanannya yang 

besar kuat ke dada si gondrong.

    "Bukl"

    Tinju tepat mendarat dengan kerasnya di dada si

gondrong. Tapi yang menjerit kesakitan bukannya 

pemuda itu,malah justru si berewok. Tubuhnya terjajar ke

belakang,  dan  tangan  kanannya  kelihatan  merah

bengkak.

    Marah dan kesakitan si berewok berteriak, "Laknat!

Sekalipun kau punya Ilmu setan, aku mau lihat apa kau

kebal senjata!" Sebilah belati dicabutnya dari pinggang

lalu secepat kilat ditikamkannya ke arah si pemuda.

    Seperti tadi waktu diserang dengan golok, tak kelihatan 

pemuda rambut gondrong itu bergerak tahu-tahu golok 

sudah mental dan penyerang kena dihantam. Kali inipun 

terjadi hal yang sama. Lelaki berewok menjerit kesakitan, 


belati di tangannya mental ke udara dan menancap di 

langit-langit kedai, tepat di samping golok.

    "Pelayan! Mana minuman baru! Lekas, aku benar-

benar kehausan!" teriak si gondrong. Sampai saat itu

sedikit pun dia tidak beringsut dari kursi yang 

didudukinya.

    Kini semua orang dalam kedai itu serta merta menjadi 

maklum. Pemuda berpakaian putih, berambut gondrong, 

bertampang lugu bahkan seperti agak sinting ini, bukan 

manusia sembarangan.

    Pelayan datang  setengah  berlari membawakan

minuman. Kali ini di gelas besar.

    Setelah meneguk isi gelas sampai setengahnya, si

gondrong hembuskan nafas panjang. Perlahan-lahan

dia palingkan kepalanya ke arah lelaki tua berambut

kelabu yang tegak di samping mejanya dengan mulut

menganga dan tampak terkesiap.

    Si gondrong sunggingkan senyum. "Orang tua

berambut kelabu. Apa kau juga hendak turun tangan

terhadapku?!"

    "Maling ternak, kau tunggulah di sini! Sekali kulaporkan 

apa yang kau lakukan, orang-orang Adipati Jepara akan 

datang menghajar dan menangkapmu!"

Orang tua berambut kelabu menjawab sambil 

mengancam. Tampaknya dia tak punya nyali untuk ikut-

ikutan turun tangan.

    Si gondrong tertawa.

    "Gila! Tuduhanmu sungguh tidak enak. Maling ternak! 

Maunya kupecahkan mulutmu dan juga dua kambratmu 

itu! Menuduh seenaknya. Tanpa alasan, tanpa bukti. Tak 

ada saksi!"

    "Saksiku adalah mataku sendiri! Aku masih belum buta!

Memang kau yang mencuri selusin kerbau yang

Kugembalakan di tepi hutan Manuk!"

    "Cc... cc... cc..." si gondrong leletkan lidah.



"Benar kau memang belum buta, orang tua. Tapi

mungkin sudah lamur.Kau pasti salah lihatl"

    'Tidak mungkinl Lekas katakan di mana kau sem-

bunyikan kerbau-kerbau curian itul"

    Si gondrong geleng-geleng kepala,

    "Dengar orang  tua. Namaku  WIRO SABLENG. Mungkin 

aku pemuda gendeng, tapi bukan  pencuri kerbau!"

    "Bukan pencuri kerbau! Puahl Pencuri kerbau bukan, 

tapi maling kerbau yal" mendamprat pemuda yang 

sambungan sikunya copot.

    Si rambut gondrong yang ternyata adalah Pendekar

212 Wlro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dia berpaling 

pada si rambut kelabu. ''Orang tua, coba kaujelaskan

dulu apa yang sebenarnya terjadi?"

    'Tidak perlu!"  potong lelaki berewok. "Jelas kau 

malingnya. Ayahku tak mungkin salah lihatl"

    "Oh, jadi si rambut kelabu ini ayahmu," ujar Wiro.

"Yang ini pasti adikmu. Dengar berewok. Mencuri selusin 

kerbau bukan soal mudah. Paling  sedikit harus dilakukan 

oleh tiga orang. Kalian lihat sendiri. Aku disini cuma 

sendirian."

    "Jangan coba mengelabui kami. Kawan-kawanmu saat 

ini tentu tengah menggiring kerbau-kerbau itu kesatu 

tempat!"

    Lama-lama murid Eyang Sirrto Gendeng ini jadi jengkel 

juga. Seumur hidup malang melintang di dunia persilatan 

baru hari itu dituduh jadi maling, pencuri kerbau! Kembali 

digaruk-garuknya kepalanya. "Mau percaya atau tidak, 

terserah. Aku tidak mencuri kerbau kalian. Aku tak pernah 

berada di sekitar hutan Manuk. Aku datang dari timur 

dan...."

    "Memang mana ada maling mau mengaku" tukas si 

rambut kelabu memberengut.

    Wiro Sableng menyeringai dingin dan si berewok

kembali membuka mulut, "Tanda-tanda yang kami ikuti



menuju  ke tempat ini. Di sini ayahku menemuimu. Ciri-ciri 

pencuri itu tepat seperti dirimu...."

     "Mungkin ayahmu hanya melihat dari jauh," Wiro coba 

membela diri.

      "Jauh atau dekat bukan soal. Yang jelas kau memang 

telah melarikan kerbau-kerbau kamll"

      "Berewok. Jika kau tetep menuduhku sebagai pencuri, 

berarti kau tak bakal menemukan pencuri sebenarnya. 

Kau benar-benar akan kehilangan kerbau-kerbaumu. Jika 

katamu pencuri itu menuju ke jurusan sini, tentu dia atau 

mereka masih belum jauh dari sini. Kailan masih punya 

kesempatan untuk mengejar!" Habis berkata begitu Wiro 

berdiri dan berkata pada adik si berewok. "Mari 

kusambungkan kembali tulang sikumu."

      "Tak perlu" jawab si pamuda sambil pegangi 

lengannya yang cidera.

      "Ya, memang tak perlu," kakaknya yang berewok 

menimpali beringas. Lalu dia mengajak adik dan ayahnya 

segera melapor ke Kadipaten.

       "Kalian ayah dan anak sama saja keras kepalanya. 

Lebih baik untuk sementara kalian jadi patung saja agar 

tidak menggangguku!" Dengan bergerak Cepat Wiro 

Sableng menotok ketiga orang itu hingga tak mampu lagi 

bergerak. Setelah membayar minumannya Wiro lambaikan  

tangan pada ketiga anak beranak itu dan  melangkah 

pergi.

       "Maling kerbau! Jangan lari kau!" teriak si berewok.

       "Bangsat pencuri!" adiknya menimpali. "Sekalipun

kau lari ke ujung dunia akan kukejar dan kucincang!"

       Sang ayah tak ketinggalan berteriak: "Petugas-

petugas Kadipaten akan menangkap dan menghajarmu!"

       Mereka ingin mengejar namun tak mampu bergerak. 

Akhirnya hanya bisa memaki-maki sementara Wiro sudah 

tak kelihatan lagi.

***




JAUH di sebelah timur tampak menjulang gunung 

Muryo. Dengan mempergunakan ilmu lari "Kaki Angin" 

pendekar itu lari kenceng ke jurusan itu. Tujuannya 

adalah Jepara. Di situ dia akan mencari keterangan

mengenai suatu tempat yang hendak didatanginya.

      Sang surya mulai condong ke barat. Di depan sana 

terbentang daerah berbukit-bukit. Sebagaimana lazimnya 

keadaan alam, jika ada  bukit-bukit maka di situ akan 

terdapat pula lembah-lembah.

      Wiro berdiri di puncak sebuah bukit, memandang

berkeliling. Lembah dan bukit di daerah itu tampak hijau 

subur, tetapi masih liar belum dibuka manusia. Sesaat

kemudian, ketika dia siap untuk meneruskan perjalanan, 

mendadak langkahnya tertahan,

      Jauh di bawah sana, di dasar salah satu lembah,

dilihatnya dua penunggang kuda tengah menggiring

serombongan kerbau. Tak dapat dipastikan berapa jumlah 

binatang itu, namun Wiro yakin bahwa ternak tersebut 

pastilah kerbau curian, milik ketiga beranakdi kedai yang 

tadi menuduhnya  sebagai pencuri.

      Sesaat Wlro berpikir. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia 

segera belari menuruni bukit. Sesampainya di lembah 

diam-diam dia mengikuti kedua penggiring ternak itu.  

Mereka masih muda-muda. Seorang diantaranya 

berpakaian putih-putih, berambut gondrong dan memakai 

ikat kepala sapu tangan putih. Sepintas lalu ciri-cirinya 

memang sama dengan Wiro. Murid Sinto Gendeng ini 

merutuk dalam hati. Inilah pangkal persoalannya, 

sehingga Wiro dituduh sebagal pencuri.

      Tidak salah kalau orang tua  berambut  putih itu

menuduh bahwa dialah yang telah mencuri selusin kerbau 

mereka.

      Walau yakin kedua pemuda itu pencuri, namun Wiro 

tidak segera turun tangan. Dia terus mengikuti perjalanan 

mereka dari balik semak belukar. Hal ini tidak sulit 

dilakukan. Walaupun menunggang kuda, tapi karena 


harus menggiring kerbau, dua pemuda itu terpaksa 

bergerak perlahan.

    "Di mana kita akan istirahat?" tanya pemuda pe-

nunggang kuda berambut gondrong.

    "Kita tidak akan istirahat Kunto. Jika kemalaman di

jalan bisa berabel"

    Si gondrong yang bernama Kunto menyahuti: "Kau

selalu khawatir kalau kemalaman. Mengapa tidak lewat

jalan umum saja? Dalam waktu dua jam kita akan sampai 

ke kota. Dan menikmati hasil penjualan kerbau-kerbau ini"

    Sang kawan kelihatan tidak senang. Dia berkata:

"Kau masih terlalu hijau untuk jadi pencuri ternak. Lewat

jalan umum memang lebih cepat tapi sama saja dengan

menyerahkan batang lehermu pada petugas-petugas

Kadipaten, Aku yakin pemilik ternak ini telah melapor

ke Kadipatenl"

    Kunto tertawa. "Ario, kaulah yang  tolol. Apa kau

tidak tahu kalau orang-orang Kadipaten hanya tau

mendengar laporan dan minta uang pada si pelapor tapi

tidak pernah melakukan sesuatu? Apalagi mengurusi

kerbau. Kecuali jika pemilik kerbau itu menjanjikan

separoh dari kerbaunya yang hilang akan diberikan

pada merekal"

    "Ya, aku tahu hal itu," jawab Ario. "Tapi aku tetap tak 

mau cari penyakit. Kalau tidak melapor ke Kadipaten 

bukan mustahil pemilik kerbau itu mengumpulkan orang 

sedesa dan mengejar kita. Sekali tertangkap kita akan  

mereka gebuk sampai lumatl"

    Kunto terdiam sesaat. Lalu bertanya: "Kalau kau sudah 

takut begitu lalu bagaimana kita membawa ternak ini 

langsung ke kota dan menjualnya seolah-olah milik kita?"

    "Aku tidak tolol dan tidak akan melakukan seperti itu. 

Ternak ini aku titipkan dulu di luar kota, jika harga cocok 

baru dibawa ke tempat Sumengkar."

      "Susah-susah ke kota bagaimana kalau kerbau itu aku 

saja yang membeli?' tiba-tiba satu suara menimpal.



Tentu saja Kunto dan Ario kaget bukan main.

      Keduanya sesaat saling pandang. Setan atau ma-

nusiakah yang barusan blcera? Keduanya lalu sama-sama 

berpaling ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Memandang 

berkeliling juga tak seorang pun kelihatan. Aneh. Jelas  

mereka mendengar suara, tapi di mana orangnya? Ario  

dan Kunto kembali  saling pandang. Keduanya 

menunjukkan wajah takut.

      "Kudengar daerah sekitar sini banyak dedemitnya," 

bisik Kunto seraya rapatkan kudanya ke kuda kawannya. 

"Jangan-jangan...."

      "Mungkin kita cuma salah dengar," sahut Ario. Tiupan 

angin kadang-kadang seperti suara manusia. Apalagi kalau 

kita sedang melamun."

      "Kita tidak sedang melamun, Ario. Suara manusia 

mana  bisa sama dengan desau angin. Kalau bukan suara 

manusia itu tadi, pasti suara  setan. Mari kita bergerak 

lebih cepet"

      Kedua orang itu segera menghalau kerbau-kerbau di 

depan mereka.

      "Hail Tunggu dulu!" tiba-tiba suara tadi kembali 

terdengar. Lebih jelas dan keras. "Kalian belum menjawab 

pertanyaanku"

      Kunto menggigil sekujur tubuhnya. Dia ingin

menghambur duluan meninggalkan tempat itu. Ario

pegang hulu goloknya. Dengan mata liar dia memandang 

berkeliling lalu membentak dengan suara bergetar.  

"Setari atau manusiakah yang  bicara?! Harap tunjukkan 

muka"

      Terdengar suara tawa bergelak. Tiba-tiba semak 

belukar di samping kiri jalan tersibak. Seorang pemuda 

berambut gondrong sambil cengar cengir menyeruak ke 

luar.  Dia  bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.

    "Siapa kau?!" bentak Ario. Kunto segera lenyap rasa 

takutnya ketika dilihatnya yang muncul ternyata hanya 

manusia blasa dan sendirian pula.



"Aku manusia blasa, bukan setan bukan dedemit.

Kalian belum jawab pertanyaanku.  Mau jual kerbau-

kerbau ini padaku?"

    Dalam hati Ario membathin. Pemuda di depannya

itu memperlihatkan tindak tanduk seperti orang kurang

waras. Maka dia bertanya: "Kau bergurau atau 

bagaimana, sobat?l"

    "Orang mau  beli kerbau dibilang bergurau!" Wiro

menggerutu.

    "Kau punya uang untuk membeli ternak ini semua?!" 

Kunto ajukan pertanyaan.

    Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan sebuah kantong 

kulit. Ketika digoyangnya kantong itu mengeluarkan suara 

berdering. Kunto dan Ario saling pandang.

Kunto mendekati kawannya dan  berbisik: "Jika bisa

dibereskan di sini kita tak usah susah-susah ke kota."

    Ario mengangguk.

   "Kalau kau punya tiga puluh ringgit perak, kau boleh 

ambil semua kerbau ini!" berkata Ario.

    "Ah, itu terlalu mahal sobat," kata Wiro Sableng.

"Terlalu mahal untuk kerbau-kerbau kurus tak berdaging 

yang  seperti binatang sekat ini. Apalagi kerbau curian 

pula!"

    Paras Ario dan Kunto kontan berubah.

    "Pemuda asing. Apa maksudmu mengatakan kerbau 

curian?!" bentak Ario.

    "Siapa mengatakan apa?" tanya Wiro.

    Kunto jadi jengkel. "Barusan kau menuduh  kami

pencuri kerbau!"

    "Aku tidak menuduh begitu. Aku cuma bilang kerbau ini 

kerbau curian...."

    "Sudahi tak usah bicera panjang lebar. Kalau kau

sanggup bayar dua puluh ringgit perak kau boleh ambil

kerbau-kerbau inll"

    "Itu juga masih keliwat mahal sobat," kata Wiro sambil 

timang-timang uang di dalam kantong.


"Lalu kau mau bayar berapa?!" bentak Ario.

    "Setengah ringgit perak kurasa sudah cukup pan tas 

untuk selusin kerbau ini"

    "Kurang ajari Kau hendak mempermainkan kami!

Bajingan tengik" Kunto menarik tali kekang kudanya 

hingga binatang ini melompat ke hadapan Wiro.

    "Siapa yang kurang ajar? Siapa yang bajingan tengik? 

Siapa pula yang main-main?" tukas Wiro. Dari dalam 

kantong kulit dikeluarkannya sebuah mata uang perak. 

Dengan kedua tangannya enak saja dia mematahkan uang 

perak itu hingga terbelah dua. Tentu saja ini membuat 

Ario dan Kunto terkejut. Karena mematahkan uang perak 

dengan tangan blasa merupakan satu hal yang mustahil.

    Ario jadi curiga. Jika pemuda asing yang  seperti 

kurang waras Ini memiliki kepandaian tinggi, bukan tak

mungkin dia adalah seorang jagoan dari Kadipaten yang 

sengaja menyamar untuk membuntuti mereka.

    "Orang muda,  apakah kau  petugas  Kadipaten? Atau 

dari Kotaraja?" tanya Ario.

    Wiro Sableng tertawa dan garuk-garuk kepalanya.

    "Aku bukan petugas,Kadipaten. Apalagi Kotaraja.Aku 

datang kemari untuk membeli kerbau kalian, Nah ini 

uangnya setengah ringgit. Terimalah!"

    Wiro lalu lemparkan potongan uang yang tadi 

dibelahnya ke arah  Kunto. Lemparan itu kelihatannya 

blasa-blasa saja, perlahan. Tetapi begitu mengenai dada 

Kunto langsung lelaki ini  menjerit kesakitan. Kesakitan 

dan marah Kunto segera hendak cabut goloknya. Tapi 

heran!  Celaka! Dia tidak bisa menggerakkan tangannya. 

Juga bagian-bagian tubuhnya yang lain. Sekujur badannya 

kaku tegangi Masih untung dia bisa membuka mulut dan 

berteriak: "Ario! Bangsat ini menotokku!"

    Kagetlah Ario. Tanpa menunggu lebih lama dia segera 

mencabut goloknya dan membabatkan senjata ini ke 

kepala Pendekar 212 Wiro Sableng.

    "Bajingan tengiki Kau batul-betul ingin mampusl"


"Puah! Kalianlah yang parlu dihajar" damprat Wiro.

    Dia menunduk. Golok Ario berkelebat di atas kepalanya. 

Sesaat kemudian Ario terdengar menjerit dan seperti 

Kunto tubuhnya pun kini kaku kejang dihantam totokan. 

Tanpa perdullkan jeritan dan caci maki kedua orang itu 

Wiro membelintangkan keduanya di atas kuda milik Kunto. 

Dia sendiri lalu naik ke atas kuda Ario lalu menggiring 

kedua pencuri itu bersama selusin kerbau menuju 

kampung di mana Kunto dan Ario telah mencuri binatang-

binatang tersebut.

    Hari telah malam ketika Wiro sampai di kedai di mulut 

jalan itu. Tapi di dalam kedai orang banyak masih

berkumpul menyaksikan pemilik kerbau dan kedua

anaknya yang masih berdiri tegak dalam keadaan kaku.

Tak ada satu orang pun yang tahu bagaimana caranya

melepaskan totokan mereka. Banyak yang mencoba

dengan jalan mengurut-urut atau memukul-mukul, tetapi 

sia-sia. Akhirnya semua orang hanya bisa melihat saja 

tanpa bisa berbuat sesuatu. Dalam keadaan itulah Wiro 

muncul dan masuk kembali ke dalam kedai. Serta merta 

orang banyak menyingkir. Bukan saja mereka merasa 

takut terhadap pemuda ini, tetapi juga kaget melihat dua 

sosok tubuh yang dilemparkan Wiro ke lantai kedai. Apa 

pula yang telah terjadi, pikir semua orang.

    Orang tua berambut kelabu membuka mulut siap untuk 

memaki. Tapi Wiro cepat menutup mulutnya dengan 

tangan kiri sementara dua anaknya memandang dengan 

mata melotot, beringas tetapi tak berani keluarkan suara. 

Kalau saja keduanya tidak dalam keadaan tertotok, 

pastilah keduanya sudah menyerang Wiro.

     "Orang tua," kata Wiro pula. "Kau lihat pemuda

gondrong yang menggeletak di depan kakimu itu? 

Sepintas tampang dan perawakannya mirip aku, bukan?"

     Si rambut kelabu sejenak memandang pemuda yang 

terbujur di lantai dalam keadaan tertotok itu. "Apa 



maksudmu? Siapa mereka?" tanya orang ini begitu Wiro

lepaskan tekanannya dari mulut lelaki itu.

     "Merekalah yang mencuri kerbaumu. Yang gondrong 

itu bernama Ario. Temannya Kunto. Kerbau-kerbaumu ada 

di luar kedail"

     "Kurang ajar! Jadi?"

     "Jadi ya jadi" kata Wiro sambil senyum-senyum.

"Sekarang kalian baru perceya kalau aku bukan pencuri. 

Nah kalian mau berbuat apa terhadap mereka. Mau ke 

Kadipaten itu memang baiknya. Mau digebuk lebih dulu

asal tidak sampai mampus, aku tak mau ikut campurl"

     Habis berkata begitu Wiro lantas lepaskan totokan

pada tubuh orang tua itu dan kedua anaknya. Lalu tanpa

berkata apa-apa lagi dia berkelebat ke pintu.

     "Hai, tunggu dulu!" seru orang tua pemilik kerbau. Dia 

dan kedua anaknya  mengejar ke pintu. Namun sampai di 

luar dia hanya melihat kegelapan. Selusin kerbau mereka 

berkeliaran di halaman kedai.

     "Heran, dia lenyap seperti ditelan bumi!" desis orang 

tua itu.

     "Dia bukan manusia sembarangan, ayah..." bisik 

anaknya yang  berewok. Adiknya mengajak masuk ke

dalam untuk membereskan kedua pencuri itu.

     "Anak-anak kalian ingat. Kedua pencuri itu layak

dihukum dan dihajar. Tapi ada batasnya. Kalau mereka 

sampai mati di tangan kalian kita bisa mendapat urusan 

dengan petugas-patugas Kadipaten!"

     Kedua anaknya seperti tidak mengacuhkan ucapan 

ayah mereka. Begitu masuk ke dalam kedai langsung saja 

menghadlahkan tendangan-tendangan dan bogem-bogem 

mentah hingga kedua pencuri kerbau itu menjerit-jerit 

minta ampun


BAB 2


KIRA-KIRA setengah hari perjalanan dari gunung Muryo 

di sebelah tenggara terdapat sebuah bukit kecil yang amat 

rimbun ditumbuhi semak belukar dan pepohonan liar. 

Menurut penduduk yang tinggal jauh dari situ, konon tak 

pernah seorang manusia pun sejak tiga puluh tahun silam 

berani berada dekat  bukit itu. Apalagi  mencoba 

mendatanginya. Pohon-pohon jati yang tumbuh di situ 

amat  bagus jenisnya. Namun tak seorang pun penebang 

kayu yang mau datang ke situ untuk menebangnya. 

Kenapa sampai terjadi demikian tentu ada sebab 

musababnya.

    Menurut orang-orang tua yang tahu kisahnya, sebelum 

tiga puluh tahun yang lalu, bukit itu seperti bukit-bukit  

lainnya di sekitar situ banyak didatangi orang. Kemudian 

terbetik berita bahwa setiap orang yang berani datang ke 

bukit itu pasti tak akan kembali lagi. Entah hilang kesasar 

entah mati. Yang jelas orang atau mayatnya tak pernah 

ditemui kembali.

    Selama bertahun-tahun terjadi hal semacam itu hingga 

penduduk menjadi takut. Bukit itu dlanggap angker. Tak 

seorang pun lagi berani datang dekat-dekat ke situ. Dan 

entah siapa yang memulai menamakannya, bukit satu itu 

lalu diberi nama Bukit Hantu.

    Pada malam-malam tertentu, terutama ketika sedang 

gelap buian, dari puncak bukit terdengar suara pekik jerit 

aneh dan mengerikan. Sekali-sekali suara jeritan itu 

diseling oleh lolongan anjing. Karena diketahui tak 

saorang pun diam di,bukit itu, maka siapa lagi yang dapat 

menimbulkan suara demikian kalau bukan bangsanya 

hantu atau setan-setan gentayangan. Demikian penduduk 

beranggapan.



Namun hari itu terjadi satu kelainan yang bisa dikata-

kan satu keluarblasaan. sewaktu awan kelabu bergerak 

dan berarak dari arah tenggara, seorang penunggang 

kuda berpakaian mewah tampak memacu kuda 

tunggangannya menuju Bukit Hantu. Apakah dia seorang 

asing yang tidak tahu angker dan bahayanya memasuki 

daerah itu? Tetapi dari gerak gerlk dan caranya orang Ini 

menunggangi kuda menempuh jalan, agaknya dia  

mengetahui betul seluk baluk daerah tersebut. Sekurang-

kurangnya pernah mendatangi tempat itu sebelumnya.

    Di penengahan lereng Bukit Hantu, orang ini hentikan 

kudanya. Sesaat dia memandang berkeliling, lalu

mengelus tengkuk kudanya sambil bergerak turun.

    "Kembalilah pulang. Cukup kau mengantarkan aku

sampai di sini...."

    Sang kuda, yang sejak tadi dari kaki bukit menunjukkan 

sikap aneh, tiba-tiba menaikkan kedua kakinya tinggi-

tinggi dan meringkik keras, lalu membalikkan tubuh dari 

lari meninggalkan tuannya.

    Orang berpakaian bagus dan mahal itu menghela

nafas dalam. Paling tidak usianya sudah mencapai lima

puluh tahun. Meskipun tampangnya sudah mulai keriputan 

tapi juga membayangkan sifat keras dan buas

    Tak lama sesudah kudanya pergi, orang ini melanjutkan 

perjalanannya menuju puncak, bukit dengan jalan kaki. 

Kira-kira sepeminuman teh  lagi dia akan sampai ke 

puncak Bukit Hantu, jalan yang ditempuhnya mulai tidak 

sesukar sebelumnya. Semak belukar hampir tak ada  sama 

sekali seperti pernah ditebang dan dirapikan orang. 

Bahkan di hadapannya kini muncul satu jalan kecil dan 

rata menuju ke puncak. Di mulut jalan kecil mendadak 

sontak sepasang  kaki orang ini berhenti melangkah dan 

laksana dipakukan ke tanahl

    Dia sudah.mendengar seribu satu macam keangkeran 

yang ada di bukit itu. Tapi adalah tidak menduga sama 

sekali kalau apa yang disaksikannya di hadapannya saat 


itu benar-benar akan membuat tubuhnya mengeluarkan 

keringat dingin. Tiga puluh tahun yang silam, selagi dia 

masih seorang pemuda, pemandangan itu belum ada. 

Pastilah apa yang kini dilihatnya berasal dari puluhan 

manusia yang pernah dikabarkan hilang di Bukit Hantu itu.

    Berdiri disitu maulah laki-laki ini membalikkan tubuh 

dan lari meninggalkan bukit tersebut. Namun sesuai 

dengan ketentuan, hari itu adalah "Hari Perjanjian".  Dia  

harus datang sesuai dengan sumpahnya. Kalau dia  

mungkir, maka makhluk aneh mengerikan, yang selalu 

mendatanginya setiap malam Jumat akan datang  lagi  

kepadanya dan sekali ini untuk mencekiknya sampai mati, 

mencopot kepalanya!

    Agaknya tak ada jalan kembali. Memutar haluan berarti 

mati secara mengerikan.

    Sekilas terbayang olehnya istri serta keempat orang 

anak yang disayanginya. Dia akan meninggalkan mereka 

semua untuk selama-lamanya demi memenuhi sumpah 

tiga puluh tahun yang lewat. Tapi tak apa. Dia coba 

menghibur diri. Toh istri dan anak-anaknya kini hidup 

bahagia dalam sebuah rumah besar dan mewah, harta 

berlimpah, sawah ladang luas, ternak berkandang-

kandang. Semua kekayaan itu tak akan habis sampai tujuh 

turunan.

    Dlkatupkannya mulutnya rapat-rapat. Dengan me-

netapkan hati serta pikiran dan melangkah maju kembali. 

Jalan kecil di hadapannya tampak memutih. Putih oleh 

tulang belulang manusia beraneka bentuk. Dan di atas 

jalan tulang belulang inilah kakinya melangkah. Kedua tepi 

jalan kecil itu dibatasi dengan puluhan tengkorak kepala 

manusia. Tubuhnya terasa bergetar. Dia terus melangkah, 

perutnya terasa mual. Akhirnya dia sampai di ujung jalan. 

Di hadapannya tegak kini sebuah bangunan kecil yang

keseluruhannya terbuat dari tulang belulang manusia. 

Berapa puluh atau berapa ratus manusiakah yang telah 

jadi korban di atas bukit ini?



Dari sela-sela dinding tulang kelihatan merambas asap

aneka warna. Hidungnya dilanda oieh bau aneh. Bau

harum aneh yang menggidikkan karena berbaur jadi

satu dengan bau anyir busuk

   Bangunan kecil itu mempunyai sebuah pintu yang tidak 

tertutup. Dari tempatnya berdiri, lelaki tadi dapat melihat 

ke dalam. Di dalam ba ngunan tulang ini tampak duduk 

seorang lelaki kurus bermuka dahsyat. Jika dia masih 

benar seorang manusia maka wajahnya adalah sepuluh 

kali lebih mengerikan dari wajah setan. Manusia ini 

memiliki rambut putih panjang yang menutupi sebagian 

wajahnya. Di belakang tikar kecil di mana manusia ini 

duduk terdapat lima buah belanga. Di dalam belanga ada 

cairan masing-masing berwarna hitam,  merah, biru, ungu 

dan hijau. Dari setiap belanga mengepul asap yang 

warnanya sesuai dengan cairan didalamnya.

   Orang itu menggerakkan kepalanya. Rambut putih

yang menutupi  sebagian wajahnya tersibak. Kini ke-

lihatanlah keseluruhan wajahnya yang mengerikan itu.

   Lelaki di ambang pintu serasa terbang semangatnya 

sewaktu si muka setan tiba-tiba mengeluarkan suara 

seperti lolongan srigala di malam buta. Begitu kerasnya 

lolongan itu hingga bangunan tulang beiulang serta tanah 

yang dipijak terasa bergetar Anehnya mulut si muka setan 

sedikit pun tak kelihatan membuka!

   Sesaat kemudian terdengar suaranya: "Bagus! Kau

datang tepat pada waktunya Sonya! Sebelum kau 

melangkah ke hadapanku, sebelum kau memasuki 

bangunan ini, tanggalkan dulu pakaian bagusmu dan

pakai ini!" Ternyata suara si muka setan halus seperti

perempuan, hanya saja mengandung pengaruh yang

hebat luar blasa, dari balik pakaiannya yang seperti jubah 

berwarna hitam dikeluarkannya satu setel pakaian butut 

penuh tambalan dan bau apek. Pakaian itu dilemparkan-

nya ke hadapan orang di ambang pintu yang dipanggilnya 

dengan nama Sonya.



Setelah lebih dulu menjura, Sonya mengambil pakaian 

butut bau itu Dibukanya pakaian yang dikenakannya, 

dilemparkannya jauh-jauh lalu dikenakannya pakaian yang 

diberikan si muka setan. Setelah berganti pakaian dia pun 

masuk ke dalam bangunan tulang.

     "Duduk"

     Si muka setan tudingkan jarinya yang kurus dan 

berkuku panjang. Sonya lalu duduk di hadapannya.

      "Ceritakan dengan singkat garis kehidupanmu sejak 

tiga puluh tahun silam kau meninggalkan bukit ini!" kata si 

muka setan pula.

      Sonya menelan ludahnya baru menjawab: "Berkat 

ilmu yang Datuk ajarkan aku telah menjadi kaya raya. Aku 

kawin dan punya empat orang anak."

      "Kau senang? Bahagia...?"

      Sonya mengangguk.

      "Pada detik kau duduk di hadapanku ini, kau telah dan 

harus meninggalkan kesenangan dan kebahagiaan itu"

      "Aku tahu Datuk”jawab Sonya

      "Kau bakal dapat kebahagiaan lain. Asal saja kau

tempuh cara hidup seperti yang kuajarkan tiga puluh 

tahun yang lewati"

      "Aku akan tempuh Datuk."

      "Lengkap dengan syarat utamanya"

      "Lengkap dengan syarat utamanya," mengulang 

Sonya.

      "Bagus. Sekarang coba kau katakan syarat utama itu"

      "Syarat utama itu ialah setiap permulaan tahun baru 

aku harus membunuh anakku yang paling kecil dan

lemparkannya ke dalam laut." Suara Sonya bergetar.

      "Bagusi Ternyata kau betul-betul masih ingat syarat

utama itu" kata sang Datuk pula. Lalu dari mulutnya

keluar suara tertawa aneh menggidikkan. Kemudian

sambil menuding ke balakang dia bertanya : "Adakah

kau melihat lima buah belanga itu?"

    "Ada Datuk."


"Berdirilah"

    Sonya berdiri.

  "Di dalam belanga itu terdapat cairan berlainan warna. 

Masing-masing cairan harus kau minum sebanyak tiga 

teguk. Sebagian sisanya diguyurkan ke kepala dan

badanmu. Segera mulai dengan, belanga di ujung kiri "

    Sonya melangkah mendekati belanga di ujung kiri. Di 

situ terdapat cairan berwarna merah pakat, kental dan 

mengepulkan asap. Sesuai dengan perintah sang Datuk 

muka setan maka diminumnya cairan itu sebanyak tiga 

teguk. Belum lagi minum, baru mencium bau cairan, 

perutnya sudah terasa mual dan tenggorokannya mau 

muntah.

    "Kau ragu Sonya?!" suara sang Datuk bernada menegur 

dan mengancam Sonya segera meneguk cairan busuk itu 

tiga teguk. Lalu menyiram kepala dan badannya dengan 

cairan yang sama. Kemudian dia mendekati belanga kedua 

dan seterusnya.

    "Sudah Datuk," suara Sonya seperti tercekik.

    "Bagus. Sekarang duduk di hadapanku!"

    Dengan sekujur kepala serta pakaian basah kuyup

dan berbau busuk, Sonya duduk kembali di hadapan si

muka setan.

    "Pejamkan matamu Sonya"

    Sonya menurut dan pejamkan matanya.

    "Sekarang buka!"

    Sonya buka kedua matanya. Pandangan matanya kini 

membersit aneh. Liar menyeramkan: Bagian mata yang 

tadi putih kini kelihatan merah.

    "Bagaimana perasaanmu?" bertanya Datuk.

    "Tubuhku terasa hangat. Sangat ringan. Di samping itu 

ada perasaan aneh, yang aku tidak tahu, menyelimuti 

diriku...."

   "Itu bukan parasaan aneh. Kau harus dapat 

menerangkannya! Ayo!"


Sonya berpikir kemudian menjawab. "Betul. Bukan 

perasaan aneh. Perasaan Itu adalah nafsu. Nafsu untuk

membunuh. Nafsu untuk ingin melihat kematian manusia 

lain secara mengerikan!"

     Orang tua berambut putih panjang bermuka setan 

tertawa panjang. "Bukan hanya nafsu untuk membunuh

Sonya! Bukan hanya hasrat untuk melihat kematian yang 

menyeramkan. Tapi ada lagi satu nafsu kini mendekam 

dalam tubuhmu. Nafsu kotor!"

     Sonya mengangguk aneh.

     "Ya.  Nafsu kotor," katanya mengulang. "Nafsu 

terhadap perempuan," sambungnya dengan suara 

berdesis.

     Kembali sang Datuk keluarkan suara tertawa panjang.

     "Bila kau sudah meninggalkan tempat ini, kau harus 

hidup menurut kehendak hatimu Sonya. Menurut nafsu 

yang kini tertanam dalam dirimu! Kau boleh membunuh 

semaumu. Kati boleh mengumbar nafsumu terhadap 

perempuan mana saja yang kau inginkan! Tentunya kau 

pilih yang cantik-cantik buksn Sonya? Tak perduli anak 

atau istri orang. Apalagi janda... hik... hik...hik!"

      Sonya hanya bisa mengangguk.

      "Sebelum pergi kau harus tinggal di sini selama satu

minggu. Sesudah itu baru kau boleh pergi. Dengar 

Sonya?"

      "Tentu Datuk."

      "Kelak jika ilmu itu telah kau kuasai, dunia luar akan

menjadi geger! Dan tak satu tokoh silat atau orang 

saktipun di dunia luar yang dapat mengalahkanmu! Itulah

kehebatan ilmu siluman ciptaanku" Sang Datuk tertawa 

lagi panjang dan lama.

      Sonya ikut tertawa.

      Tiba-tiba sang Datuk hentikan tawanya dan berdiri.

      "Kau akan tinggal selama tujuh hari di sini. Selama 

tujuh hari itu kau akan tidur bersamaku, melayaniku 



sambil aku mengajarkan ilmu padamu. Kau dengar dan 

mengerti Sonya?"

      "Dengar Datuk, tapi kurang mengerti...."

      Sang Datuk menyeringai dan tertawa kembali, tiba-

tiba dia buka jubah hitamnya dan kini dia tegak dihadapan

Sonya dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali.

      Sonya terbeliak kaget. Dari sosok tubuh telanjang 

yang berdiri di hadapannya itu tidak disangkanya kalau 

sang datuk ternyata adalah seorang perempuan.

      "Datuk, jadi kau...."

      "Hik... hik... hik. Aku memang seorang perempuan

Sonya. Kau kecewa tubuhku tidak sebagus tubuh 

perempuan muda...?!"

      "Ti.. tidak Datuk," sahut Sonya.  Walau yang 

dilihatnya memang hanya tubuh tinggal kulit pembalut

tulang. Perut dan dada keriput.

      "Sekarang kau harus  lebih dulu melayaniku Sonya..."

      Meski tubuh itu jeiek luar blasa, tapi nafsu aneh yang 

mendekam dalam dirinya telah membakar birahi Sonya.  

Dia mengangguk dan melangkah mendekat. Lalu seperti  

seekor singa lapar dirangkulnya tubuh sang Datuk. 

Keduanya segera saja berguling di lantai!

         

     PAGI hari ke delapan Sonya duduk di hadapan sang 

Datuk muka setan.

     "Semua ilmu baru ciptaanku telah kau kuasai Sonya. 

Sebelum kau meninggalkan tempat ini akan kutegaskan 

lagi beberapa hal kepadamu. Pertama begitu turun dari 

bukit ini kau harus pergi ke TELUK GONGGO di pantai 

utara. Aku telah membangun sebuah tempat di sana yang 

dapat kau tinggali sebagal istana. Dari luar pintu 

bangunan itu hanya merupakan sebuah goa buruk, mudah 

saja mencarinya. Hal kedua yang akan kuberitahukan ialah 

selama dunia terkembang kau tak bakal mengalami 

kematian. Kecuali jika terjadi dua hal. Pertama kau tak 

boleh kena air hujan. Jika itu sampai terjadi ilmu siluman 



yang kau miliki akan luntur dan seseorang dengan mudah 

bakal dapat  membunuhmu! Pantangan kedua  yang bisa 

menyebabkan kematianmu ialah binatang itu...."

     Datuk muka setan mendongak ke atas langit-langit 

bangunan. Di sana di dalam sebuah sangkar yang terbuat 

dari tulang-tulang iga manusia tampak seekor burung Nuri 

merah.

    "Nyawamu adalah juga nyawanya Sonya. Dengan kata 

lain kau baru bisa mati kalau seseorang membunuh 

burung itu"

    "Bagaimana kalau binatang itu sewaktu-waktu sakit dan 

mati. Apakah aku juga akan mati Datuk?"

    "Tidak, kau tidak akan mati. Cuma mampus! Karenanya 

kau harus rawat dia baik-baik!" kata Datuk sambil tertawa  

gelak-gelak. "Dan jangan lupa syarat utama tempo hari. 

Kau tidak diperkenankan menjenguk anak istrimu. Pada  

hari pertama pergantian tahun kau baru boleh mendatangi 

mereka, tapi hanya untuk membunuh anakmu yang paling 

kecil! Tahun berikutnya anakmu yang paling muda, begitu 

seterusnya. Jika keempat anakmu sudah habis maka kau 

harus mencari anak orang lain tapi yang berusia tidak 

boleh lebih dari tiga tahun"

     Sonya mengangguk tanda mengerti.

     "Jika kau lalai melaksanakan syarat itu maka siluman 

peliharaanku akan mendatangimu. Menyiksamu selama 

tujuh tahun sebelum menamatkan riwayatmu"

     Sang Datuk lalu mengambil burung Nuri dalam sangkar 

dan menyerahkannya pada Sonya. "Bawa ini dan simpan 

di istanamu di Teluk Gonggo. Sebelum kau pergi ada satu 

hal yang akan terjadi Sonya."

     "Hal apakah datuk?" tanya Sonya sambil mengambil 

burung Nuri.

    "Nanti kau akan lihat sendiri. Jika hal itu sudah terjadi 

kau bakarilah bangunan ini dengan segala apa yang ada di 

dalamnya! Dengan segala apa yang ada didalamnya! Ingat 

itu baik-baik" Selesai berkata begitu Datuk muka setan 


menyeringai aneh. "Kau puas melayaniku selama satu 

minggu Sonya?"

    "Puas Datuk." Diam-diam Sonya menduga sang Datuk 

akan menyuruhnya lagi melayani nafsu gilanya. Sang 

Datuk melolong panjang.

    "Bagus. Kalau begitu aku akan mati dengan perasaan 

tenang" Selesai berkata begitu sang Datuk hantamkan 

tinju kanannya ke kepalanya sendiri!

    "Prakl"

    Tak ampun lagi kepala itu pun pecah. Darah dan otak 

berhamburan. Tubuhnya terguling tanpa nyawa. Sonya 

kaget bukan main. Tubuhnya bergetar dan dari sela 

bibirnya tiba-tiba melesit suara tertawa aneh disusul suara 

lolongan seperti srigala. Dia tertawa menyaksikan 

kematian menyeramkan gurunya sendiri!

    Sesuai dengan pesan sang guru, semua yang ada di 

dalam bangunan harus dimusnahkan!


BAB 3


BUKIT HANTU...?" kata orang kedai sambil memandang 

tamunya yang duduk mengunyah nasi di hadapannya. 

Wiro mengangguk.

    "Orang muda, rupanya kau belum pernah mendengar 

berita  atau cerita tentang bukit itu hingga menanyakan 

jalan terdekat menuju ke situ!"

    "Banyak sekali yang kudengar pak."

    "Kalau begitu pikiranmu kurang sehat. Selama ini tak 

seorang pun berani dekat-dekat  ke sana, apalagi

bermaksud mengunjunginya. Siapa yang berani mendaki 

bukit itu tak pernah kembali. Jangankan kau yang punya 

satu nyawa, sekaiipun kau punya tiga nyawa pasti ketiga 

nyawamu bakal melayang"

    "Sudahlah pak, kalau kau tak keberatan tunjukkan

saja arahnya. Soal mati biar aku yang tanggung 

akibatnya.”

    Pemilik kedai angkat bahu. Dia menunjuk lewat pintu 

kedai. "Lihat gunung itu?"

    Wiro manggut.

    "Itu gunung Muryo. Pergilah ke arah tenggara. Disana 

akan kau temui daerah berbukit-bukit. Bukit paling tinggi 

itulah Bukit Hantu!"

    Selesai makan, Wiro membayar apa-apa yang 

dipesannya lalu cepat-cepat meninggalkan tempat  itu

diikuti pandangan pemilik kedai. "Masih ada saja orang

yang mencari mati di dunia ini!" gumamnya.

    Dengan mengandalkan ilmu larinya, tak lama setelah 

matahari pagi naik, Pendekar 212 Wiro Sableng sudah 

sampai di puncak Bukit Hantu. Ternyata dia terlambat. 

Hanya sepenanakan nasi sebelumnya Sonya telah 

meninggalkan tempat itu. Yang ditemuinya hanyalah 


tumpukan tulang belulang yang menghitam jadi arang. 

Ketika diperhatikannya lebih teliti, di bawah tumpukan 

tulang belulang putih itu dilihatnya sesosok tubuh manusia  

yang telah gosong. Dengan sebatang cabang kayu kecil 

disibaknya tulang-tulang itu.

   "Pasti ini si keparat Datuk Siluman” kata Wiro dalam 

hati. "Sialan. Aku terlambat. Seseorang telah duluan

membunuhnya!' Meskipun bukan dia yang turun tangan 

namun murid Eyang Sinto Gendeng ini merasa lega juga 

karena manusia penimbul malapetaka besar bagi dunia 

perailatan telah tamat riwayatnya.

   Karena tak ada hal lain yang akan dilakukannya maka 

Wiro segera meninggalkan Bukit Hantu sambil bersiul-siul.

Jalan yang ditempuhnya justru yang sebelumnya juga 

ditempuh oleh Sonya!

   Satu bulan yang lalu, beberapa tokoh sifat di wilayah

timur telah meminta bantuan Pendekar 212 untuk

memusnahkan Datuk Siluman yang bercokol di Bukit

Hantu. Hidup matinya manusia jahat ini amat menen-

tukan ketentraman dunia persilatan. Bukan rahasia lagi

bahwa diketahui Datuk Siluman itu telah menciptakan

suatu ilmu hitam.yang amat hebat, dan kelak akan

menimbulkan malapetaka dahsyat bilamana tidak segera 

dicegah. Nyatanya kini Datuk gotongan hitam itu telah 

menemui ajalnya. Seseorang telah menghancurkan batok 

kepalanya lalu membakar sang Datuk bersama tempat  

kedlamannya. Siapakah yang telah melakukan hal itu? 

Jago atau tokoh silat dari maha? Tentu saja Wiro tidak 

mengetahui kalau Datuk Siluman sengaja bunuh diri 

setelah lebih dulu mewariskan semua ilmu hitam yang 

dimilikinya kepada murid tunggalnya yang cuma 

digembleng selama satu minggu yaitu Sonya.

    Kita tinggalkan dulu perjalanan Wiro dan mengikuti

perjalanan Sonya. Saat itu dia tengah menuju ke pantai

utara, yaitu sesuai dengan perintah gurunya. Dia berada

sekitar dua jam perjalanan di depan Wiro. Menjelang

tengah hari Sonya sampai di tepi sebuah telaga berair 

jernih. Dia berhenti di situ dan duduk di bawah sebuah 

pohon yang rindang. Burung Nuri dalam sangkar tulang

yang jadi pautan nyawanya diletakkan di tanah dijaganya 

hati-hati.

     Udara yang panas seperti saat itu membuat dia ingin 

turun ke telaga dan mandi. Tapi dia khawatir kalau-kalau 

sekitar situ ada binatang buas yang selagi dia mandi 

menyergap burung Nurinya. Sekali burung itu disergap 

binatang maka putus pulalah nyawanya!

     Setelah hilang letihnya, Sonya bersiap meninggalkan 

tepian telaga. Pada saat ftulahlapat-lapat didengarnya 

suara rentak kaki kuda dan gemelatak roda-roda kereta. 

Sonya menyelinap dan bersembunyi ke balik pohon besar. 

Tak lama kemudian kelihatanlah serombongan 

penunggang kuda mengawal sebuah kereta barang. 

Begitu melihat telaga berair jernih dan sejuk, lelaki gemuk 

berpakaian bagus yang duduk di samping kusir kereta 

berseru: "Kita istirahat dulu di sini"

    Maka rombonganpun berhentilah.

    Lelaki gemuk berpakaian bagus itu adalah seorang 

saudagar kaya yang tengah membawa barang dagangan-

nya menuju Jepara. Namanya Raden Mas Kuncoro.

Bersamanya ikut lima orang pengawal yang dipimpin oleh 

Rah Brojo, seorang jago silat berkepandaian tinggi. 

Memang meskipun masa itu daerah Jawa Tengah cukup 

aman, tetapi saudagar seperti Raden Mas Kuncoro mana 

berani mengangkut barang tanpa pengawal. Sudah lazim 

para pedagang menyewa pengawal-pengawal 

berkepandaian tinggi demi keselamatan harta dan nyawa 

selama perjalanan.

    Sang saudagar turun dari kereta. Setelah meneguk

air sejuk dari dalam sebuah kantong kulit yang dibawanya, 

dia pun melangkah ke tepi telaga guna mencuci muka 


serta  kakinya. Saat itulah pandangannya menangkap 

sosok tubuh Sonya yang berdiri di balik pohon besar 

sambil memegangi sebuah sangkar aneh berisi Nuri 

merah.

    Raden Mas Kuncoro adalah seorang saudagar yang 

gemar memelihara burung. Di tempat kedlamannya

sengaja dia membangun sebuah bangunan besar di mana 

dipeliharanya puluhan jenis burung yang bagus-bagus. 

Melihat Sonya berdiri memegangi burung Nuri tertariklah 

hatinya. Dia seperti tidak melihat kelainan pada tampang 

dan pakaian Sonya. Pikirannya hanya tertuju pada burung 

dalam sangkar tulang. Sementara rombongan duduk di 

tapi telaga sebelah lain, Kuncoro melangkah mendatangi 

Sonya.

    "Burung Nuri itu bagus sekali," Raden Mas Kuncoro

menyapa. Sambil tersenyum.

    Sonya diam saja.

    "Burungmu?"

    "Ya. Kenapa?" Sonya balik bertanya.

    "Bagus sekali. Bagus sekali. Belum pernah aku melihat 

Nuri seperti  satu Ini."  Saudagar itu membungkuk agar 

dapat melihat binatang itu lebih jelas. "Sangkarnya kenapa 

aneh begini?"

    "Bagiku tidak aneh," sahut Sonya kaku.

    Kuncoro mengangkat kepalanya. Sikap pemilik burung 

itu dlanggapnya tidak ramah. Membuatnya tidak enak.

Ketika diperhatikannya tampang Sonya, hatinya tambah 

tidak enak. Ada rasa ngeri melihat wajah manusia itu. Lalu 

pakaiannya yang kotor penuh tambalan dan bau busuk 

yang membersit dari tubuh orang itu.

    "Dengar saudara," kata  Kuncoro. "Aku seorang peng-

gemar burung. Kau mau menjual Nuri ini?"

    Sonya seperti kaget. Tetapi sesaat kemudian dia ter-

senyum. Senyum aneh di mata sang saudagar.

    "Katakan saja harganya pasti kubayar," kata Raden

 Mas Kuncoro seraya meraba sabukuang di pinggangnya.



"Burung ini tak kujual!” kata Sonya tandas.

    "Sepuluh ringgit emasl" kata Raden Mas Kuncoro tak 

tanggung-tanggung. Sepuluh ringgit emas adalah harga 

gila dan amat mahal untuk seekor burung meskipun 

sebagus Nuri itu. Tapi bagi seseorang yang senang akan 

suatu benda harga bukan menjadi persoalan. Apalagi bagi 

esorang seperti saudagar itu. Sepuluh ringgit emas bukan 

apa-apa baginya. Dengan tenang Kuncoro keluarkan 

sabuk uangnya.

    Sonya pencongkan mulut dan berkata: "Lima puluh

ringgit emas pun burung ini tak akan kujual!"

    Saudagar itu terkesiap sejenak. Dia berpikir-pikir. Lalu 

sambil tersenyum dia berkata: "Begini saja saudara, kau 

ikut ke rumahku. Di sana kau boleh pilih tiga ekor Nuri 

yang sama seperti ini. Kemudian kutambah dua puluh 

ringgit emas dan serahkan Nuri itu padaku!"

Sang saudagar merasa pasti kali ini Sonya akan 

menyetujui. Tapi jawaban Sonya justru membuat dia 

terkejut.

    "Sekali aku bilang burung ini tidak dijual, tetap tak

akan kujual. Kau tidak tuli bukan?!”

    "Tiga burung Nuri ditambah tiga puluh ringgit emas!" 

kata Raden Mas Kuncoro sambil mengangkat kedua 

tangannya.

    "Sekalipun nyawamu kau berikan padaku tak nanti

burung ini akan kujuai!" sahut Sonya dan memutar tubuh 

meninggalkan tempat itu. Kuncoro cepat memegang 

bahunya.

    "Tawaranku masih belum selesai. Aku bisa menaikkan-

nya lagi. Berapa kau suka, saudara? Kau jangan main-

main...."

    Sonya hentikan langkahnya, berpaling menghadapi 

Kuncoro. Sepasang matanya membersitkan sinar aneh. 

Sinar menggidikkan.

    "Siapa bilang aku main-main. Aku akan buktikan

bahwa aku tidak main-main. Nah mampuslah!"


Sonya mengangkat tangan kanannya. Lima jari tangan 

kanannya yang berkuku panjang terpentang mengerikan. 

Lalu terdengar pekik Raden Mas Kuncoro. Tubuhnya roboh 

di tepi telaga. Mukanya hancur mengerikan. Hampir tak 

dapat dikenali lagi. Dua biji matanya mencuat ke luar. 

Hidungnya tanggal dan mulutnya robek. Itulah keganasan

"Cakar Siluman", Ilmu yang telah dipergunakan Sonya 

untuk menamatkan sang saudagar hanya dengan sekali 

bergerak saja!

    Mendengar jeritan Kuncoro dan melihat sosok tubuh 

saudagar itu roboh ke tanah, lima pengawal tersentak 

kaget dan melompat mendatangi. Rah Brojo paling depan. 

Matanya membelalak melihat kematian sang saudagar.

    Suaranya bergetar rahangnya menggembung.

    "Orang asing! Pasal apakah maka kau sampai 

membunuhnya begini keji?!"

    "Tak ada pasal tak ada lantaran" jawab Sonya.

    "Kenapa kau lalu membunuhnya?"

    "Karena aku ingin membunuhnya. Habis perkara"

    "Kalau begitu kau adalah iblis edan yang harus

dihajar!".

    Rah Brojo hantamkan satu jotosan ke dada Sonya,

Gerakannya cepat dan keras. Yang diserang tertawa aneh. 

Sinar mengerikan kembali membersit di kedua matanya. 

Dia berkelit mengelakkan jotosan lawan. Dilain kejap 

sambil dibarengi teriakan. "Mampuslah!" tangan kanannya 

kirimkan cakaran ke muka kepala pengawal itu.

    Sebagai kepala pengawal kereta dagang Roh Brojo

memiliki ilmu silat tinggi ditambah segudang pengalaman. 

Cepat-cepat dia menghindar ke samping. Cakaran lawan 

berhasil dielakkannya. Tetapi kelima jari tangan itu tiba-

tiba membalik cepat dan memburu ke mukanya. Kali ini 

Rah Brojo tak sanggup lagi berkelit. Jeritannya terdengar.  

Tubuhnya terhempas ke tanah. Dia mati dengan muka 

rusak mengerikan seperti yang barusan dialami Raden Mas 

Kuncoro!


"Manusia biadab. Besiaplah untuk mati" teriak seorang 

pengawai kereta. Bersama tiga kawannya, dengan 

bersenjatakan golok dan dibantu pula oleh kusir kereta 

yang memegang sepotong besi panjang, mereka serentak 

mengurung dan menyerbu Sonya.

      Dikeroyok lima begitu rupa Sonya menunggu dengan 

keluarkan suara tertawa aneh. Dengan tangan kiri masih 

tetap memegang sangkar tulang, lelaki ini berkelebat. 

Kelima penyerangnya terkesiap ketika mendapatkan orang 

yang menjadi sasaran lenyap dari hadapan mereka. 

Senjata masing-masing malah ada yang saling beradu 

satu sama lain. Belum habis rasa kaget mereka tiba-tiba 

terdengar bentakan:

      "Mampuslah!"

      Setelah itu suara pekik terdengar susul-menyusul.

Empat pengawal tersungkur di tanah dengan muka hancur 

mengerikan. Satu-satunya yang masih hidup yakni kusir 

kereta, yang lumer nyalinya, tanpa tunggu lebih lama 

segera  putar badan ambil langkah seribu.

      Tapi nasibnya cuma tertunda tiga langkah. Pada 

langkah ke empat lima jari tangan dengan ganas 

berkelebat di depannya. Untuk keseklan kalinya lima jari 

siluman meminta korban!

     Sonya membersihkan tangannya yang penuh darah. 

Lalu dia menggeledah pakaian para korban, Setiap uang 

dan benda berharga yang ditemuinya diambilnya. Jumlah 

terbanyak yang didapatnya adalah dari tubuh Raden Mas 

Kuncoro.

     Pendekar 212 Wiro Sableng yang sampai di tempat itu 

dua jam kemudian merasa heran menemukan beberapa 

ekor kuda dan kereta tanpa kelihatan seorang manusia 

pun. Namun keheranannya itu berubah menjadi rasa 

terkejut sewaktu menemui tujuh mayat yang

bergelimpangan di tepi telaga. Semuanya mati dengan 

muka hancur mengerikan.


Murid Sinto Gendeng ini mengerenylt, geleng-geleng 

kepala dan garuk rambutnya.

    Apa yang sebenarnya telah terjadi di sini? Rom-

bongan  Itu diserang  rampok? taiu mengapa  kereta

barang tidak diganggu?

    "Gila" maki Wiro dalam hati.

    Setelah mengurus tujuh jenazah itu sebisa yang

dilakukannya dia lalu lanjutkan perjalanan.

***


BAB 4


SONYA sengaja menempuh hutan belantara agar lebih 

cepat sampai ke tujuan yaitu Teluk Gonggo di pantai 

utara. Namun sewaktu malam tiba dan perutnya terasa 

lapar, mau tak mau dia segera mendatangi kampung 

terdekat.

    Kampung Waringin merupakan kampung ramai karena 

terletak di persimpangan tiga jalan arus perdagangan. 

Kampung  ini tidak beda dengan sebuah kota kecil. Di sini 

terdapat sebuah rumah makan yang bagian belakangnya 

disewakan untuk penginapan. Kesinilah Sonya pergi untuk 

mengisi perutnya.

    Di dalam  rumah makan saat itu telah banyak 

pengunjungnya. Kedatangan Sonya tentu saja menarik

perhatian tamu dan pemilik kedai. Bajunya yang kotor

penuh tambalan dan bau badannya yang busuk membuat 

semua orang merasa jijik dan menjauhi. Tapi Sonya 

mengambil tempat duduk tanpa per duli kan hal itu.

    "Pengemis dari mana yang berani-beranian masuk

ke kedaiku!"  kata pemilik kedai dalam hati dengan

mendongkol. Mula-mula hendak disuruhnya Sonya ke

luar. Tapi ketika dilihatnya wajah Sonya yang mem-

bayangkan sinar aneh, beratlah dugaannya bahwa

Sonya adalah seorang pengemis berotak miring. Agar

tidak terjadi keributan maka pemilik kedai ini membiarkan 

saja Sonya duduk di salah satu sudut.

    Sonya berseru memanggil pelayan dan memesan

makanan. Setelah mendengar makanan apa yang diminta 

oleh tamunya, maka bertanyalah pelayan rumah makan 

itu.  

    "Pengemis, apakah kau punya cukup uang untuk

membayar harga makanan mahal yang kau pesan?"


Airmuka Sonya tampak berubah. Kelam membatu dan 

sepasang matanya memberartkan sinar menggidikkan.

    "Katakan berapa harga kepalamu. Aku akan bayar

detik ini juga!" kata Sonya pada si pelayan.

    Karena ngeri, si pelayan cepat-cepat memutar tubuh. 

Ucapan Sonya ini membuat semua orang tambah

memperhatikannya dan juga burung Nuri dalam sangkar 

aneh yang diletakkannya di atas meja.

    Kebetulan saat itu di rumah makan tersebut terdapat 

rombongan Adipati Cokroningrat dari Leles. Sambil 

menyantap makanannya  Adipati memperhatikan gerak 

gerik Sonya. Sekali-sekali dia berbisik pada pembantu 

yang duduk di sampingnya. Selesai makan sang Adipati 

mengatakan sesuatu pada pembantunya itu dan si 

pembantu lalu berdiri, melangkah ke hadapan Sonya yang 

saat itu asyik menggerogoti paha ayam goreng.

    "Pengemis," demikian pembantu Adipati menegur.

"Seiesai makan harap kau menemui atasanku, Adipati

Leles. Beliau ingin bicara soal burung yang kau bawa ini."

    Tidak menjawab apa-apa, seperti tidak mendengar

orang bicara, Sonya terus saja melahap paha ayam.

Pembantu Adipati itu kembali ke tempatnya.  Mereka

menunggu sampai  Sonya selesai makan. Setelah selesai

makan dan kelihatannya Sonya masih tetap saja duduk 

tenang-tenang di tempatnya Cokroningrat berkata pada 

pembantunya.

    "Mungkin dia lupa. Panggil lagi. Suruh ke sini."

    Si pembantu mendatangi Sonya sekali lagi.

    "Pengemis, seperti kataku tadi harap kau lekas

menghadap Adipati”

    Sepasang mata Sonya menyipit.

    "Jika dia yang perlukan aku, suruh dia merangkak

kemari!"


Kata-kata itu diucapkan Sonya dengan suara lantang 

hingga semua orang dalam rumah makan ikut mendengar 

dan terkejut mendengar ucapan yang berani serta kurang 

ajar itu. Adipati Leies sendiri kelihatan berubah wajahnya. 

Serta merta, merasa terhina,dia berdiri dan mendatangi 

meja Sonya. Dia menyeret sebuah kursi dan duduk 

dihadapan lelaki yang diduganya pengemis itu.

     "Kata-katamu tadi kasar dan kurang ajar. Kau tak tahu 

tengah berhadapan dengan siapa, pengemis bau?"

     "Berlalulah dari hadapanku. Atau kusemburkan seribu

kata hina dan kotor di mukamu?"

     Rahang Cokroningrat menggembung. Sebetulnya ingin 

sekali dia manampar muka pengemis itu. Tapi mengingat 

dia ada satu maksud maka ditahannya kemarahannya. Dia 

melirik pada burung Nuri merah.

     "Burung ini milikmu?"

     Sonya mengangguk. Sikapnya tak acuh.

     "Sangkarnya aneh. Dari tulang. Tulang kambing atau 

tulang kerbau?”

     Sonya menyeringai. "Itu bukan tulang kambing. Bukan 

tulang kerbau. Bukan tulang binatang. Itu tulang belulang 

manusiai"

     Adipati Cokroningrat terkejut. Diperhatikannya lagi 

sangkar burung Itu. Dia memang belum pernah melihat

tulang belulang manusia. Tapi kalau itu dikatakan tulang-

tulang manusia tak percaya dia. Pengemis ini agaknya 

berotak miring.

    "Dengar, burung itu tak pantas kau pelihara. Kau pasti 

tak bisa merawatnya. Jual saja padaku...."

    "Oh, itu rupanya maksudmu," ujar Sonya dan lagi-lagi 

sambil menyeringai. "Berapa kau sanggup membelinya, 

Adipati?"

    "Dua ringgit perak"

    Sonya tertawa gelak-gelak.

    "Setan, kenapa pengemis ini tertawa! Dasar gila" maki 

Cokroningrat dalam hati.


Dari baju pakaiannya Sonya mengeluarkan dua ringgit 

emas dan meletakkannya di atas meja.

    Terkejutlah sang Adipati. Juga semua orang yang ada 

di situ. Siapa menduga kalau pengemis edan macam 

begitu memiliki dua ringgit emas?!

    Malu dan terhina Adipati Leles lalu berkata. "Baiklah, 

akan kubayar tiga ringgit emasl"

    Sonya kembaii mengeruk pinggang pakaiannya.

Dikeluarkannya tiga ringgit emas dan diletakkannya di

atas meja.

    "Sudah, kubeli Nurimu dengan enam ringgit emas"

Adipati itu cepat-cepat meletakkan enam ringgit emas

di hadapan Sonya. Sebaliknya Sonya pun keluarkan

enam ringgit emas dan menyodorkannya ke hadapan

Congkroningrat.

     Kini marahlah Adipati itu. Tapi dia berusaha menahan 

diri. "Katakan berapa kau mau jual burung itu"

     Sonya tertawa. Sebuah kantong kulit digebrakkannya 

di atas meja. Ini adalah kantong milik saudagar Kuncoro 

yang telah dibunuh dan dirampoknya. Kantong itu 

digoyang-goyangnya. Terdengar suara berdering.

     "Di dalam kantong ini terdapat lebih dari seratus emas. 

Kau mau...?"

     Gelaplah muka Cokroningrat. Dia benar-benar dibikin 

malu.

     "Pengemis hina dinal Mulut dan sikapmu benar-benar 

keterlaluan!"      .

      "Ambil uangmu dan berlalulah dari hadapanku Paduka 

Adipati sialanl"

      "Haram jadah.  Kalau kau bukan orang sinting sudah 

kupecahkan batok kepalamu"

      "Sinting atau tidak, biar aku beri pelajaran manusia 

kurang ajar inil" Yang berkata adalah pembantu Adipati.

Tapi sang Adipati cepat menarik tangan pembantunya.

Setelah mengambil uangnya yang enam ringgit dari atas 

meja dia kembali ke tempat duduknya semula. Dia tak 


mau terjadi keributan dalam rumah makan itu. Dia

berbisik pada pembantunya: "Kita hadang dia di tengah

jalan." Sang pembantu mengerti dah mengangguk.

    Hampir tak kelihatan Sonya menggerakkan kedua

tangannya. Tiba-tiba saluruh lampu minyak yang ada di

tempat itu padam. Rumah makan gelap gulita untuk

berapa lamanya.

    "Aneh, kenapa lampu pada mati?" ujar pemilik rumah 

makan. Dia memanggil pelayan dan menyuruh agar lampu 

dihidupkan. Karena tak ada jawaban maka lampu-lampu 

itu dihidupkannya sendiri.

    Ketika seluruh rumah makan terang benderang kembali 

maka terkejut dan hebohlah semua orang yang ada di 

situ. Betapa tidak!  Pelayan rumah makan  kedapatan 

menggeletak di lantai dengan muka hancur mengerikan. 

Nyawanya tak disangsikan lagi pasti  sudah melayang! Di 

seberang sana, Adipati Cokroningrat beserta pembantunya 

mengalami nasib yang sama. Mati dalam keadaan masih 

duduk di kursi masing-masing, muka hancur, hidung 

tanggal, biji-biji mata berbusa i dan bibir robek. Tubuh 

sang Adipati dan pembantunya berada dalam keadaan 

kaku tegang, begitu juga si pelayan yang malang. 

Nyatalah behwa ketiganya telah ditotok sebelum dibunuh

    Memandang ke sudut ruangan, pengemis aneh tadi

dan juga burung nurtnya tak ada lagi di situ. Di meja

hanya ada sekeping uang perak. Sesuai dengan harga

makanan yang dipesannya,

    

    SONYA tak mau melewati Jepara karena dia ingin lekas-

lekas sampai di Teluk Gonggo. Dengari Ilmu jarinya yang 

aneh, yang dipelajarinya secara aneh dari Datuk Siluman, 

pada hari ke tiga dia sampai pada suatu daerah liar penuh 

dengan batu-batu. Di sini angin bertiup amat keras- Satu 

pertanda bahwa tak lama lagi dia akan sampai di daerah 

pantai.

    Menjelang rembang petang, ketika dia mendongak


memandang langit, berubahlah paras Sonya. Dari arah

tenggara berarak cepat awan tebai hitam. Dalam waktu

singkat mendung telah menyungkup udara sedang di

kejauhan kifat tampak mulai menyambar, sesekali diselingi 

suara gelegar guntur.

    "Celaka! Kalau aku sampai kehujanan matilah aku!"

Membathin Sonya.  Dia ingat pesan Datuk Sliuman. Kalau 

tubuhnya sampai kena air hujan, bukan saja ilmu yang 

dimilikinya akan menjadi luntur, tetapi berarti umurnya tak 

bakal lama karena seseorang akan dapat membunuhnya 

dengan mudah.

    Dia  berhenti berlari, memandang berkeliling mencari 

tempat untuk berteduh biia hujan turun. Tak ada sebatang 

pohon pun yang tumbuh di daerah berbatu-batu itu. 

Sekalipun ada tak mungkin dia bisa berlindung tanpa 

terkena air hujan.

    Angin bertiup tambah kencang.

    Sonya tambah cemas.

    Burung dalam sangkar tulang kelihatan gelisah. 

Binatang ini menggelepar kian kemari dan mengeluarkan 

suara aneh, membuat Sonya bartambah kecut. Dalam 

keputusasaannya Sonya barlari kencang ke jurusan timur. 

Memang nasibnya baik. Kira-kira sepeminuman teh berlari 

di safah satu sampfng bukit.batu ditemuinya sebuah 

lobang setinggi dada. Tak menunggu lebih lama dia 

segera memasuki lobang ini. Hanya beberapa saat saja 

setelah dia masuk ke dalam lobang hujan lebat turun 

laksana dicurahkan dari langit!

    Sonya menarik nafas lega. Wajahnya yang tadi pucat 

karena ketakutan kini berdarah kembali. Dia coba masuk

lebih jauh ke dalam lobang agar jangan sampai terkena 

templasan atau percikan air hujan. Angin bertiup keras 

dan dingin. Akhirnya dia duduk menjelepok dalam lobang

itu. Setelah duduk bebarapa lama Sonya merasakan 

sesuatu yang aneh. Hawa dingin dari luar tidak terasa lagi 

meskipun angin masih terus bertiup. Di sekitarnya terasa 


hangat. Di samping itu hidungnya mencium bau harum 

semerbak. Tak syak lagi hawa hangat dan bau harum itu 

pastilah datang dari sebelah dalam lobang. Mungkin ada 

makhluk penghuni di dalam sana? Tapi mengapa lobang

itu tampak geiap dan seperti buntu?

     Sambil terus membawa burung Nuri dalam sangkar, 

parlahan-lahan Sonya masuk membungkuk-bungkuk lebih

jauh ke dalam lobang. Tambah ke dalam tambah hangat 

terasa udara dan bau harum semakin keras. Di sebelah 

atas lobang batu itu tampak tambah meninggi hingga 

kalau tadi dia harus membungkuk-bungkuk, kini dia dapat 

berjalan seperti blasa. Langkahnya terhenti di hadapan 

sebuah batu besar hitam dan rata. Semula disangkanya 

dia sudah sampai di ujung lobang dan buntu.  Namun 

sewaktu diperhatikannya baik-baik, di samping kanan batu 

ditemuinya sebuah celah sepemasukan tubuh manusia. 

Sonya melangkah mendekati celah. Hati-hati dia 

mengulurkan kepalanya, mengintai ke ruang di belakang 

batu.

    Sepasang mata Sonya membesar ketika menyaksikan 

pemandangan yang hampir tak dapat dipercayanya. Tepat 

di belakang batu hitam itu terdapet sebuah tangga terbuat 

dari batu marmar putih, menurun menuju sebuah ruangan 

empat persegi yang lantainya dihampari permadani merah 

berbunga-bunga.

    Di  atas permadani itu duduk seorang lelaki tua

bermuka putih, berembut kelabu menjela bahu. Di

hadapannya bersila seorang perempuan berpakaian 

kuning polos yang wajahnya tak dapat dilihat oieh Sonya

karena duduk memunggungi batu.

    Pada saat itu terdengar si orang tua berambut

kelabu berkata:

   "Muridku, betapapun seseorang mendalami ilmu silat 

dan kesaktian harus pula mempelajari ilmu yang

menyangkut keagamaan serta segala sesuatu yang ada


hubungannya dengan budi nurani manusia luhur. Itu

semua akan menjadi semacam kendali baginya untuk

mempergunakan kepandaian silat serta kesaktiannya

hanya untuk maksud kebaikan semata, bukan untuk

berbuat jahat. Agama dan hati nurani luhur mengingatkan 

seseorang untuk tidak menyeleweng dari rel kebenaran, 

menjaganya agar jangan menjadi sesat. Karena itulah, 

meski saat ini kau telah memiliki ilmu silat yang tinggi, 

namun aku beium mengizinkan kau meninggalkan tempat 

ini guna mencari musuh besarmu. Soal balas dendam soai 

mudah Dwiyana. Kau  harus tinggal di sini selama dua 

tahun lagi guna mempelajari agama dan seluk beluk budi 

luhur. Sambil belajar itu semua kau sekaligus dapat pula 

melatih dan memperdalam ilmu silatmu. Bukankah itu 

lebih baik bagimu?"

     "Jika Eyang berpendapat begitu tentu itu memang 

lebih baik. Dan saya akan menurut saja..." jawab perem-

puan berpakaian kuning.

     Kini mengertilah Sonya. Kedua orang itu adalah guru 

dan murid. Dan sang murid dapet dipastikannya adalah 

seorang gadis. Meski dia beium dapat melihat paras gadis 

itu, namun satu hawa jahat telah menggerayangi diri 

Sonya. Sepasang matanya memancarkan  sinar aneh. 

Ujung lidahnya tiada henti dileletkan membasahi bibir 

sedang cuping hidungnya kembang kempis. Nafsu kotor 

mulai membakar manusia ini dengan cepat!

     "Nah muridku, kuharap kau tidak kecewa dengan 

keputusanku ini," kata sang guru.

     "Sama sekali tidak Eyang," menyahut murid yang 

bernama Dwiyana. "Malah saya menghaturkan banyak 

terima kasih atas perhatian dan petunjuk Eyang. Apa yang 

Eyang lakukan semata adalah untuk kebaikan saya."

     Sang guru mengangguk-angguk. Lalu batuk-batuk 

beberapa kali. Sesaat  dia memandang  ke arah batu 

hitam di atas tangga ruangan. Dia tampak tersenyum.

Lalu membuka mulut:


"Kalau ada tamu di luar sana, mengapa berdiri saja?

Silahkan masuk...."

    Sonya terkesiap. Dia menahan nafas. Si rambut kelabu 

itu rupanya memiliki indera keenam. Dengan menyeringai 

kemudian Sonya memasuki celah batu lalu melangkah 

menuruni anak tangga demi anak tangga. Si orang tua 

memberi isyarat pada muridnya. Dwiyana berdiri lalu

duduk di sudut ruangan.

    Di ujung ruangan Sonya hentikan langkah. Sesaat

pandangannya saling beradu dengan mata orang tua itu. 

Sebuah lampu kecil kelihatan terletak di sebuah ruangan 

lain, lalu sebuah pedupaan yang mengeluarkan asap 

harum. Sonya melirik pada Dwiyana. Ternyata gadis itu 

memiliki paras cantik. Tambah barkobarlah nafsu terkutuk 

dalam tubuh murid Datuk Siluman ini. Perlahan-lahan dia 

melangkah ke hadapan orang tua yang duduk bersila di

atas permadani merah.


BAB 5


SEKALI saja melihat paras Sonya baik si orang tua 

maupun Dwiyana segera mengetahui bahwa manusia 

bertampang buruk bengis yang mengenakan baju dekil 

bertambal-tambal ini bukan seorang manusia baik-baik. 

Sinar matanya lebih menunjukkan hal itu. Namun

demikian si orang tua penghuni goa batu mempersilahkan 

tamunya duduk dengan sikap ramah.

    "Tamu aneh yang datang membawa burung Nuri dalam 

sangkar aneh, apakah kau seorang pemburu?"

    "Namaku Sonya. Aku bukan pemburu," jawab Sonya 

dengan nada kaku. "Kau sendiri siapa?" dia balik bertanya.

    Yang ditanya tersenyum.

    "Orang memanggilku Malaikat Berambut Kelabu. Tapi 

walau bagaimanapun aku hanyalah seorang manusia 

blasa. Seorang tua peot keriput yang sudah dimakan usia. 

Namaku Akik Mapei."

    Sonya seperti tidak acuh mendengar jawaban itu. Dia 

lebih tertarik pada gadis yang duduk di sudut ruangan. Dia 

berpaling pada Dwiyana dan memandang lekat-lekat. 

Dipandang begitu rupa dengan hati kesal Dwiyana 

tundukkan kepala.

    Untuk kesekian kalinya Sonya basahi lagi bibirnya

dengan ujung lidah. Akik Mapei juga mulai merasa tak

suka dengan tindak-tanduk tamu yang tidak diundang ini.

    "Gadis itu muridmu?" tanya Sonya.

    Akik Mapei mengangguk. Sejak tadi dia telah men-

cium bau busuk yang keluar dari tubuh dan pakaian

Sonya. Masih untung ruangan itu dlasapi dengan ramu-

an pengharum.

    "Di luar hujan. Aku terpaksa berteduh di sini,"

menerangkan Sonya.


"Aku tahu. Sebenarnya kau datang dari mana dan

hendak menuju ke mana?'

     Sonya melirik lagi pada Dwiyana. Lalu angkat bahu. 

"Aku tidak tahu datang dari mana dan mau kemana."

     "Ah, itu adalah lucu," kata Akik Mapei. Dia 

menggoyangkan kepalanya pada muridnya. "Lekas 

hidangkan minuman untuk tamu kita."

     "Tak usah. Aku tak haus," jawab Sonya cepat.

     Dia khawatir kalau-kalau Akik Mapei sudah menaruh 

curiga dan memasukkan sesuatu ke dalam minumannya. 

Dia malah jadi berpikir-pikir apa segera saja bertindak 

mengumbar keinginan jahat terkutuknya.

    "Burung itu milikmu?" tiba-tiba Akik Mapei bertanya.

    "Lalu punya siapa lagi? Apa kau menginginkannya?!"

    "Tidak. Sama  sekali tidak. Aku hanya ingin tahu

mengapa binatang itu bersangkar aneh."

    "Di dalam dunia ini memang banyak hal yang aneh, 

Akik Mapei.  Dan semua keanehan itu berakhir pada

kematian"

    Kata-kata Sonya itu membuat Akik Mapei kerenyitkan 

kening.

    "Betul tidak, Akik Mapei?"

    Akik Mapei batuk-batuk sebelum menjawab.

    "Mungkin... mungkin betui," jawabnya. Diam-diam dia

mulai meragukan apakah sang tamu memiliki otak sehat.

    "Nah, bagaimana kalau saat ini kukatakan bahwa

sebentar lagi akan terjadi satu keanehan yang berakhir

pada kematian?"

    "Maksudmu Sonya?"

    "Bahwa sebentar lagi kau bakal mati di tanganku?!"

    Akik Mapei menatap wajah tamunya. Sinar aneh

dilihatnya memancar dari sepasang mata Sonya.

    "Kau hendak melakukan keanehan yang mahal Sonya. 

Kalau tidak mau kukatakan gila"

    Sonya tertawa gelak-gelak. Lalu disusul oleh suara

lolongan panjang seperti raungan srigala.


Tiba-tiba laksana kilat tangan kanannya yang berkuku 

panjang meluncur ke depan, mencengkeram kemuka Akik 

Mapei. Orang tua ini kaget bukan kepalang. Cepat-cepat 

tangan kanannya dlangkat ke atas untuk melindungi muka 

sekaligus menepis serangan lawan. Maka terjadilah 

bentrokan dua lengan yang menimbulkan suara keras.

    Akik Mapei merasakan lengannya sakit dan panas.

Tubuhnya terhuyung, hampir jatuh terbanting ke atas

permadani. Di hadapannya dilihatnya Sonya tertawa

menyeringai.  Menandakan bahwa manusia bermuka

setan ini memiliki kepandaian amat tinggi.

    Setelah menenangkan hatinya, Akik Mapei berkata;

"Sonya, aku sejak tadi menduga bahwa kedatanganmu

kemari tidak membawa maksud baik. Ternyata dugaanku 

terbukti!"

    Sonya kembali tertawa panjang. "Apa kau tuli kakek-

kakek pikun? Sudah kukatakan bahwa kau akan mati di 

tanganku!"

    Sekali lagi Sonya menggerakkan tangan kanannya yang 

berkuku panjang. Melancarkan serangan "Cakar Siluman" 

yang sebelumnya telah meminta lebih dari setengah lusin 

korban. Menyadari bahwa lawannya yang berilmu tinggi 

itu benarr-benar ingin mencelakakannya, orang tua  itu 

beringsut ke belakang sambil tundukkan kepala. Begitu 

melompat bangun dia tendangkan kaki kanannya ke 

kepala lawan

     Sonya keluarkan suara lolongan srigala haus daging 

dan darah manusia. Walaupun kaki kanan Akik Mapei 

sudah menderu dekat di depan keningnya, tapi dia sama 

sekali tidak membuat gerakan untuk mengelak. Namun 

tiba-tiba dia tampak menggerakkan kedua tangannya. 

Sesaat kemudian Akik Mapei tersentak kaget ketika 

merasakan bagaimana pergelangan kaki kanannya tahu-

tahu telah dicekal lawan amat kuatnya.

    Betapapun dia berusaha melepaskan kakinya namun 

sia-sia belaka.



Akik Mapei tekuk lutut sambil miringkan tubuh 

kebawah. Tinju kirinya menderu ke dada lawan sedang

tangan kanan mengemplang ke batok kepala Sonya.

inilah gerakan yang dinamakan "Beringin Sakti Tumbang".

    Akan tetapi sebelum kedua tinjunya itu mencapai

sasaran, Akik Mapei merasakan pergelangan kakinya

dipuntir sakit sekali dan tubuhnya melayang berputar

di udara, kemudian terlempar ke dinding ruangan batu!

    Jika saja orang tua itu bukan seorang tokoh silat yang 

lihay,  niscaya tubuhnya akan remuk ketika melabrak 

dinding batu yang luar blasa kerasnya itu!

    Tanpa kehilangan akal karena dilemparkan begitu

rupa, Akik Mapei ulurkan kedua tangannya ke depan

untuk menyentuh dinding batu dengan teiapak tangan

lalu mengandaikan ilmu meringankan tubuhnya yang

tinggi, kakek ini jatuhkan diri, seterusnya bergulingan

dilantai. Dengan cara begini dia berhasil menyelamatkan 

diri.

    Sonya tertawa mengekeh dan perlahan-lahan bangkit 

dari duduknya.

    "Eyang, biar aku yang menghajar manusia busuk ini" 

Dwiyana tiba-tiba melompat dan bergerak mendekati 

Sonya.

    "Kembali ke tempatmu Dwiyana! Kalau belum kugebuk 

dia, belum puas hatiku!" sahut sang guru. Dia sudah 

dapat mengukur kehebatan lawannya dan diam-diam 

menyadari kalau ketinggian ilmunya belum bisa

menandingi ilmu manusia muka setan ini, apalagi

muridnya. Karena  itu dia mencegah tindakan Dwiyana.

    "Betul sekali ucapan gurumu. Gadis cantik molek,

sebaiknya kau tetap di sudut sana. Sayang kalau tubuhmu 

yang mulus itu tergores luka. Apalagi kalau sampai kena 

gebuk"

    "Sonya!" tukas Akik Mapei. "Aku beri kesempatan

padamu untuk meninggalkan goa ini. Kalau tidak, aku

akan betul-betul menggebukmu sampai babak belur"



Sonya hanya tertawa. Dia pejamkan kedua matanya

dan berdiri tanpa bergerak. "Kakek pikun. Kau mau

menggebukku? Silahkan"

    Mau tak mau Akik Mapei jadi tambah marah dan

penasaran. Didahului suara menggembor orang tua ini

menerjang. Gerakan tubuhnya mengeluarkan deru angin 

deras. Kedua tangannya didorongkan ke depan. Dua larik 

angin bersiur keras. Ruangan batu bergoyang laksana 

dilanda lindu. Sonya terhuyung-huyung.

    "Setan alas" maki Sonya marah ketika angin deras

serbuan Akik Mapei membuat sangkar dan burung di

dalamnya terlepas dari pegangannya dan mental ke sudut 

ruangan. Di saat itu pula telapak tangan Akik Mapei telah 

menghantam kearah keningnya, siap untuk menghancur-

kan kepala Sonya.

    Sampai saat itu Akik Mapei mempunyai anggapan

bahwa Sonya adalah seorang berilmu tinggi tetapi

berotak miring. Karenanya sewaktu sarangannya di-

rasakannya betul-betul akan menamatkan riwayat la-

wannya itu, timbullah perasaan tak tega di hati orang

tua ini. Dia  tarik pulang tangannya dan sebagai ganti

mengirimkah totokan kilat Ke arah pangkal leher.

    Sonya mendengus. Dia tahu apa artinya kalau totokan 

itu sempat mendarat di sasarannya. Untuk kesekian 

kalinya manusia muka ibiis ini keluarkan suara lolongan 

serigala. Suara lolongannya lenyap sedetik kemudian. 

Tubuhnya pun ikut.  lenyap! Akik Mapei terkesiap kaget.

    Sebelum orang tua itu mengetahui di mana lawannya 

berada, satu hantaman menghajar tubuhnya sebelah 

belakang. Akik Mapei mengeluh tinggi. Tubuhnya 

terhampar di permadani. Tulang punggungnya sebelah 

kanan hancur!  Dengan susah payah dia mencoba bangun 

sementara di hadapan Sonya berdiri dengan sikap 

mengejek. Tangan kanan bertolak pinggang sedang 

tangan kiri memegang sangkar tulang.


"Manusia gila keparat! Terima ini" Tiba-tiba terdengar 

bentakan Dwiyana. Murid Akik Mapei yang sudah tidak 

sabaran ini menyerbu.

    Sonya yang hendak menyerang AkikMapei, terpaksa 

batalkan gerakannya ketika merasakan siuran angin

serangan datang dari samping. Cepat dia berkelit dan

berpaling, lalu menyeringai.

    "Gadis galak, sebaiknya kau tetap di sudut sana. Aku 

tak ingin membuat tubuhmu yang mulus jadi luka. Aku 

sendiri yang akan rugi nanti jadinya!"

    "Setan jaga batang lehermu!" teriak Dwiyana dengan 

muka merah. Hatinya geram karena serangan tangan 

kosongnya dapat dielakkan lawan dengan mudah. Tidak 

menunggu lebih lama gadis ini segera cabut sebilah 

pedang mustika terbuat dari perak yang tersisip di 

belakang punggungnya. Serangkum sinar putih berkiblat  

ketika senjata ini dibabatkan ke leher Sonya dengan 

dahsyat.

    Di saat muridnya mang gempur dengan pedang, Akik 

Mapei tak tinggal diam. Dia lepaskan satu pukulan

sakti bernama "Sinar Pelangi". Patut diketahui, ilmu

pukulan ini lebih dari sepuluh tahun dipelajari dan

diyakini oleh kakek sakti itu, dan merupakan satu dari

sekian banyak pukulan sakti yang terkenal dan pernah

menggegerkan dunia persilatan. Apalagi saat itu Akik

Mapei mengerahkan lebih tiga perempat kekuatan tenaga 

dalamnya untuk melancarkan pukulan tersebut!

    Tujuh warna pelangi berkiblat. Ruangan batu ber-

goncang keras.

    "Wuuss"

    Sinar pukulan sakti itu menyapu ke seluruh bagian

tubuh Sonya. Di kejap itu pula terdengar bentakan keras. 

Dwiyana merasakan selarikan angin menyambar ke 

arahnya, membuat pedangnya tergeser ke samping.

Tubuhnya terdorong  ke belakang sampai beberapa

langkah. Penasaran gadis ini susul serangannya yang


tadi buyar dengan satu tusukan. Namun dia harus cepat

menjauhkan diri kalau tidak pukulan gurunya sendiri akan 

menghantamnya.

    Akik Mapei hampir tak percaya ketika melihat 

bagaimana Sonya mampu mengelak dan bertahan 

terhadap pukulannya. Selama malang melintang di dunia

persilatan, tak satu lawan pun sebelumnya yang sanggup 

bertahan terhadap pukulan "Sinar Pelangi".

    "Apakah masih ada pukulan saktimu yang lain?" tanya 

Sonya mengejek yang membuat Akik Mapei serasa 

dipanggang. Sebelum dia sempat membuka mulut, 

dilihatnya muridnya sudah menyerbu kembali dengan 

serangan pedang perak.

    Melihat amukan si gadis Sonya mundur beberapa

langkah.  Begitu sambaran senjata lawan lewat, cepat

dia dorongkan tangan kanannya ke dada Dwiyana hingga 

gadis ini jatuh terguling di lantai.

    "Bedebah kurang ajar! Terkutuk!" teriak Dwiyana

Gerakan tangan Sonya tadi bukan hanya sekedar men-

dorong, tetapi sekaligus sengaja meremas payudara si

gadis. Dwiyana melompat beringas dan siap menyerbu

kembali.

    "Sudah! Kau tidurlah enak-enak di sudut sana"

kata Sonya lalu jentikan jari telunjuk tangan kanannya

Selarik asap hitam panjang tak ubahnya seperti seutas

tali meluncur ke arah Dwiyana dan berputar bergelung-

gelung di sekitar kepala si gadis.

    Dwiyana menghantam dengan tangan kirinya.

Angin pukulannya keras sekali. Tetapi asap hitam itu

tak mampu dimusnahkannya malah kini geiungannya 

semakin menyempit, membuat gadis ini terpaksa mundur 

ke sudut ruangan yang diinginkan Sonya. Dalam pada itu 

detik demi detik Dwiyana merasakan kedua kelopak 

matanya menjadi berat, kepalanya pusing dan 

pemandangannya berkunang. Akhirnya secara aneh gadis 

ini terduduk di sudut ruangan batu. Kedua matanya 


terpejam. Punggungnya tersandar. Sikapnya persis seperti 

orang sedang tidur duduk

    Akik Mapei terbeliak melihat kejadian  ini. Seumur

hidup baru sekali itu dia melihat iimu aneh begitu rupa. 

Hatinya berdebar. Bukan karena takut menghadapi lawan 

yang jauh lebih hebat dari dia, tetapi karena sudah dapat 

menduga apa sebenarnya maksud Sonya memperlakukan 

Dwiyana seperti itu.

    Dari balik pakaiannya Akik Mapei cepat keluarkan tasbih 

yang terbuat dari untaian mutiara. Tasbih ini pernah 

direndam selama tiga tahun hingga dari putih kini 

warnanya kelihatan biru gelap dan memancarkan sinar 

angker.

     Sesaat Sonya perhatikan benda di tangan lawannya 

lalu tertawa menyeringai.

     "Hai, itu senjatamu Akik Mapei?" ujar Sonya. Tahu-

tahu dia sudah berkelebat untuk merampas mutiara 

tersebut. Tapi hai ini tidak terlalu mudah untuk melaku-

kannya. Akik Mapei mengelak sebat. Sesaat kemudian

segulung  sinar biru menggidikkan melabrak ke arah 

delapan bagian tubuh Sonya

     Serangan tasbih ini memang hebat dan ganas. Dan 

Akik Mapei jarang sekali mengeluarkan senjata andalan-

nya ini kalau tidak dalam keadaan sangat berbahaya dan 

terdesak.

     Yang diserang keluarkan suara menggereng laksana 

singa lapar teriuka. Dia menyelusup di antara gulungan 

sinar biru. Memang hebat sekali murid Datuk Siluman ini. 

Dia masih sanggup menyelamatkan diri dari gempuran 

sinar maut itu. Bahkan kembali mencoba untuk merampas 

mutiara di tangan Akik Mapei. Ketika untuk kesekian 

kalinya dia tidak mampu merampas tasbih itu, marahlah 

manusia muka setan ini

    Sonya pindahkan sangkar burung ke tangan kanan

dan lambaikan tangan kirinya. Terdengar suara mendesis. 

Asap hitam pekat keluar bergulung dari telapak tangan-nya, menderu dan membungkus ke arah kepala Akik 

Mapei. Si orang tua terbatuk-batuk, tak tahan oleh bau 

sengit asap hitam aneh. Dia kerahkan tenaga dalam dan 

menghembus ke depan. Tapi terlambat. Tubuhnya

dirasakannya menciut, makin kecil makin pendek. 

Sebaliknya tubuh Sonya dilihatnya bertambah besar dan

menjadi tinggi. Dia merasa seperti seekor siput atau

seekor semut yang baru keluar dari lubang.

    "Celaka, ilmu iblis apa pula ini!" keluh orang tua itu.

    "Akik Mapei! Lihat mukaku! Pandang mataku! kata

Sonya. Suaranya lantang, menggema dalam ruangan batu 

itu. Semula dia ingin membunuh kakek ini. Tapi selintas 

pikiran muncul dalam benaknya.

     Akik Mapei yang sudah terpengaruh oleh kekuatan iblis 

mengikuti apa yang dikatakan lawannya. Dia mendongak  

dan memandang ke wajah Sonya, menatap sepasang 

mata itu.

     "Katakan siapa aku!  Katakan lekasl" terdengar suara 

Sonya.

     "Kau Sonya.... Sonya!" sahut Akik Mapei.

     "Sonya siapa?!"

     "Sonya majikanku. Kau tuan besarku!"

     "Dan kau sendiri siapa sekarang huh?!"

     "Aku..? Tentu saja hamba sahayamu." jawab Akik 

Mapef.

     Sonya tertawa gelak-gelak.

     "Sebagai hamba sahaya  kau  harus turut setiap 

perintah majikan. Kau mengerti Akik Mapei"

     "Mengerti. Aku mengerti Sonya!”

    "Bagus!" Sonya lalu lambaikan tangan kirinya. Asap

hitam sedikit demi sedikit lenyap.  Wajah Akik Mapei

yang sebelumnya berwarna putih polos kini kelihatan

menghitam akibat ilmu siluman lawannya.

    "Sekarang kau pergilah keluar! Tunggu aku dimulut 

goa" kata Sonya pula. "Tapi berikan dulu padaku tasbih 

itu"


Akik Mapei menurut. Senjata mustikanya diserahkan 

pada Sonya lalu dia melangkah keluar ruangan.

    "Hai tunggu dulu," seru Sonya.

    "Apa lagi Sonya?"

    "Sialan! Mulai saat ini panggil aku Paduka. Mengerti..?!"

     “Baik. Aku akan panggil kau Paduka...."

    Dengan terbungkuk-bungkuk Akik Mapei meninggalkan 

tempat itu. ilmu siluman telah merubah jalan pikiran 

sehatnya. Dia berdiri di mulut goa seperti yang

diperintahkan. Pandangan matanya kuyu. Di luar hujan

masih terus turun dengan lebatnya.

    Di dalam ruangan batu Sonya melangkah mendekati 

Dwiyana.  Dipandangnya wajah gadis yang sedang 

tertidur itu. Diletakkannya sangkar burung kelantai. Lalu 

tangan kanannya dilambaikan ke wajah Dwiyana. Asap 

hitam bergulung-gulung membungkus kepala si gadis. 

Lalu dia tersentak bangun dan terbatuk-batuk, Sonya 

lambaikan tangannya. Asap hitam lenyap. Matanya dan 

mata Dwiyana saling pandang.

    "Dwiyana. Lihat mukaku. Pandang mataku...."

    Dwiyana mengangkat kepalanya dan menatap

wajah serta mata Sonya.

    "Mulai hari ini kau menjadi gadis peliharaanku,

mengerti?'

Dwiyana mengangguk.

    "Kau harus melayani apa mauku!"

    Dwiyana kembali mengangguk.

    "Kau harus panggil aku paduka!!'

    Si gadis mengangguk lagi.

    "Sekarang berdiri!"

    "Tanggalkan pakaianmu"

    Di luar kesadaran akal sehatnya yang telah disungkup 

oleh kekuatan iblis, Dwiyana mulai membuka pakaiannya. 

Setiap gerakan gadis ini disaksikan Sonya tanpa berkesip  

dan lidah menjulur basah.  Akhirnya Dwiyana berdiri di 


hadapannya tanpa selembar benangpun menutupi 

auratnya.

    Sonya tertawa panjang. Hidungnya kembang kempis.

    "Melangkah lebih dekat ke sini, Dwiyana...."

    Dwiyana mendatangi.

    "Lebih dekat lagi!"

    Si gadis maju hingga tubuhnya beradu dengan badan 

Sonya. Buah dadanya yang kencang tertekan rata sewaktu 

Sonya merangkul punggungnya dengan penuh nafsu. 

Diciumnya wajah gadis itu berulang-ulang.

    "Sekarang kau harus menanggalkan pakaianku.

Dwiyana...."

    Si gadis menurut Dia ulurkan kedua tangannya

dan membuka pakaian Sonya satu demi satu.

    Dipukau oleh Ilmu siluman, sampai jauh malam

Dwiyana terus saja melayani nafsu terkutuk Sonya yang

seperti tidak ada ujungnya itu. Sementara di luar sang

guru duduk termenung. Tak beda seperti seekor anjing

yang bertugas menjaga pintu, dan tak berani masuk ke

dalam tanpa izin majikannya. Malang sekali nasib guru

dan murid itu.


BAB 6



TUJUH HARI sesudah meninggalkan Bukit Hantu maka 

sampailah Sonya ke Teluk Gonggo. Selama perjalanan itu 

belasan manusia telah menjadi korban keganasan ilmu

silumannya. Beberapa orang berkepandaian tinggi dan 

beberapa perempuan berparas cantik dibawanya ke 

tempat kedlamannya yang baru, yang kelak bakal menjadi 

satu markas atau sarang sumber malapetaka yang 

menimpa dunia persilatan.

   Umumnya orang-orang lelaki yang dibawanya itu adalah 

jago-jago silat kelas satu yang berhasil ditundukkannya 

dan diperbudaknya. Sedang orang-orang perempuan 

sebelumnya telah diperkosanya secara keji untuk 

kemudian dijadikannya perempuan peliharaan pemuas 

nafsunya.

  Malapetaka besar itu segera menjadi kenyataan sebulan 

kemudian. Dunia persilatan delapan penjuru angin 

menjadi geger ketika terjadi pembunuhan besar-besaran 

secara mengerikan atas tiga partai silat. Seisi partai mulai 

dari sang ketua sampai murid partai yang paling rendah 

bahkan pelayan, mati dibunuh dengan cara yang sama. 

Yaitu muka hancur. Itulah kebiadaban ilmu "Cakar 

Siluman".

   Kemudian beberapa tokoh terkenal dunia persilatan 

lenyap secara aneh sedang beberapa lainnya ditemukan 

mati dengan muka hancur rusak hampir sulit untuk 

dikenali. Selama berbulan-bulan peristiwa yang

menggemparkan itu berjalan terus tanpa diketahui siapa 

blang pelakunya. Beberapa orang sakti mempunyai

dugaan bahwa segala malapetaka mengerikan itu tak

dapat tidak hanya bisa dilakukan oleh satu orang yakni

Datuk Siluman dari Bukit Hantu. Beramai-ramai mereka

mengadakan perundingan lalu  menyerbu ke puncak


Bukit Hantu. Namun yang mereka temui hanyalah 

reruntuhan bangunan tulang yang telah menghitam jadi

arang.  Sesosok tubuh yang merupakan tengkorak acak-

acakan terjepit di bawah reruntuhan itu.

    "Kalau Datuk Siluman sudah mati, berarti ada seorang 

manusia iblis lainnya yang menjadi blang racun kejahatan 

ini. Tapi siapakah dia?" tanya seorang tokoh sambil 

memandang pada kawan-kawannya.

    "Tidak dapat tidak dia punya sangkut paut tertentu

dengan Datuk Siluman," jawab tokoh yang lain.

    "Kalau manusiaitu seorang muridnya, kurasa mustahil." 

Ikut bicara jago silat lainnya. "Setahuku Datuk Siluman tak 

pernah punya murid."

    Dengan perasaan kecewa tokoh-tokoh silat itu akhirnya 

meninggalkan Bukit Siluman.

    Minggu demi minggu berlalu, berganti bulan ke bulan.  

Bencana yang menimpa rimba persilatan semakin hebat.  

Disamping  terbunuh dan diculiknya tokoh-tokoh silat 

tingkat tinggi, disamping musnahnya beberapa partai  

persilatan, juga diketahui lenyapnya gadis-gadis atau 

perempuan-perempuan cantik dari kampung, desa dan 

kota.

    Usaha-usaha yang dilakukan tokoh-tokoh sakti dunia 

persilatan untuk mencari dan mengejar peiaku yang telah 

membuat keonaran keji itu, sebegitu jauh masih menemui 

jalan buntu. Rasa cemas kini menyelimuti seantero rimba 

persilatan. Namun tidak ada yang  berputus asa.

    Pada permulaan awal bulan dua belas para tokoh silat 

itu mengadakan pertemuan rahasia di suatu tempat di  

utara Sragen. Baru saja pertemuan hendak dibuka tiba-

tiba di pintu yang dikunci terdengar suara ketukan.

     Brajapati, seorang tokoh silat dari pantai selatan

yang memimpin pertemuan itu memandang berkeliling.

Semua undangan telah duduk di kursi masing-masing.



Berarti tak ada yang harus ditunggu atau datang 

terlambat. Semua hadirin menjadi tidak enak. Dan ini jelas

terbayang di wajah masing-masing. Siapa gerangan yang 

mengetuk pintu itu?

    Perlahan-lahan Brajapati berdiri dari kursinya dan

melangkah ke pintu. Meski tokoh-tokoh silat lainnya

masih, tetap duduk di tempat masing-masing tetapi

rata-rata secara diam-diam mereka telah barjaga-jaga

kalau sampai tiba-tiba terjadi hal yang tak diinginkan.

    Tiga langkah dari ambang pintu Brajapati berhenti.

    "Siapa di luar?" tanya jagoan ini sambil tangan 

kanannya dlangkat ke  atas, siap melepaskan satu

pukulan tangan kosong.

    "Aku.." terdengar sahutan dari balik pintu.

    "Aku siapa?!" bentak Brajapati.

    "Perbolehkan aku masuk..."

    "Katakan dulu siapa kau" jawab Brajapati. Tenaga

dalamnya dilipatgandakan dan dialirkan ke tangan

kanannya yang siap menghantam.

    "Aku Hang Juana dari Tegal Alas. Bukankah kalian

Ingin mengetahui siapa yang selama ini menimbulkan

bencana dalam dunia persilatan? Lekas buka pintu!"

    Brajapati dan beberapa tokoh silat di situ sebelumnya 

memang sudah pernah mendengar nama Hang Juana. Itu 

sekitar sepuluh tahun yang silam. Dia dikenal sebagai 

seorang kakek yang ahli membuat berbagai macam 

senjata, terutama senjata pesanan perwira-perwira 

kerajaan.

    Tanpa ragu-ragu Brajapati membuka daun pintu

dengan tangan kirinya. Di bawah pandangan sekian

banyak pasang mata, seorang kakek berpakaian butut

rombeng masuk terbungkuk-bungkuk. Dia berdiri diujung 

meja pertemuan dan memandang berkeliling.

   "Orang tua, silahkan duduk," Brajapati menarik sebuah 

kursi.

   Hang Juana menggeleng.


"Aku tak bisa lama-lama di sini," kata Si kakek pula.

    "Kenapa?” tanya Brajapati. Karena Hang Juana tak

mau menjawab maka dia melanjutkan ucapannya. "Tadi

kau mengeluarkan ucapan yang mengetakan seolah-

olah kau tahu siapa yang menjadi blang racun penimbul

malapetaka selama ini...."

    Hang Juana mengangguk. "Orangnya masih ada

sangkut paut dengan Datuk Siluman dari Bukit Hantu...."

    "Memang sudah kami duga' kata beberapa tokoh silat 

hampir bersamaan.

    "Siapa manusianya dan di mana sarangnya?" tanya

Brajapati.

    "Manusianya bernama..."

    Tiba-tiba laksana ada angin besar melabrak masuk,

semua lampu yang ada di ruangan itu padam! Bau busuk 

menebar menusuk hidung. Ucapan Hang Juana terputus 

digantikan jeritan yang mengerikan.

    Brajapati melihat sesosok bayangan berkelebat di

hadapannya. Secepat kilat jagoan dari pantai selatan ini

hantamkan tangan kanannya ke depan. Sesiur sinar

putih menderu ke arah tubuh yang berkelebat.  Tapi

yang diserang serta merta lenyap dari pemandangan.

Di lain kejap justru terdengar pekik Brajapati setinggi

langit. Lalu suasana di ruangan gelap gulita itu menjadi

sunyi senyap seperti di pekuburan. Ketegangan meng-

gantung di udara hitam.

    "Hidupkan lampu" Seseorang berteriak.

    Beberapa orang segera menyalakan lampu di em

pat sudut ruangan. Begitu lampu menyala maka semua

tokoh silat yang ada di situ melengak ngeri.

    Dua sosok tubuh menggeletak di lantai ruangan

pertemuan. Mereka adalah Hang Juana dan Brajapati

Keduanya tak bergerak dan tak bernapas lagi. Muka

mereka yang berselomotan darah terlalu ngeri untuk

dipandang.

    Meski semua yang hadir di situ adalah tokoh silat


kelas satu berilmu tinggi, namun menyaksikan kematian 

Hang Juana dan Brajapati begitu rupa tak urung membuat 

hati mereka tercekat ngeri. Dada berdebar dan lutut 

bergetar. Dua korban manusia siluman itu kini meng-

geletak di depan mereka. Untung mereka masih hidup. 

Karena sebenarnya jika mau manusia iblis itu pasti mampu 

melakukan hal yang sama terhadap mereka semua!

    Khawatir akan menyusul terjadinya hal-hal yang tak

diingini, dengan membawa mayat Brajapati dan Hang

Juana semua tokoh silat yang hadir segera meninggalkan 

tempat  itu. Dengan demikian untuk kesekian kalinya 

gagal pulalah usaha untuk menyelidiki siapa adanya 

manusia penyebar malapetaka itu.


BAB 7



BULAN PURNAMA telah sejak lama lenyap terlindung di 

balik gumpalan awan hitam. Bintang-bintang pun 

menghilang satu demi satu. Saat itu mendekati tengah 

malam. Jika pertengahan malam kali ini berlalu maka 

berarti untuk kesakian kalinya dunia memasuki tahun 

baru, memasuki usia baru. Bumi Tuhan ini bertambah tua 

juga.

    Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara lolongan

anjing. Pada saat itulah sesosok tubuh kelihatan lari

memasuki kampung Tega Kritis dari jurusan timur. Tak

lama kemudian sampailah orang ini di samping sebuah

tembok tinggi satu bangunan yang paling bagus dan

mewah di kampung tersebut. Tanpa menoleh ke kiri

atau ke kanan  orang ini langsung masuk ke halaman

depan dengan  melompati tembok.

    Gedung besar di hadapannya sunyi senyap tanda

semua penghuni sudah tidur lelap. Hanya pada be-

berapa tempat terdapat iampu-lampu kecil menyala.

Sekali mengenjot tubuh orang ini kemudian melompat

ke genting bangunan. Dengan menerobos genting dan

langit-langit dia masuk ke dalam gedung, sampai ke

sebuah kamar di mana terdapat dua buah tempat tidur

berkelambu putih dan biru muda.

    Di atas tempat tidur barkelambu putih, tiga orang

anak kelihatan tidur dengan nyenyaknya. Sesaat orang

yang barusan menerobos masuk itu memperhatikan wajah 

ketiga anak itu. Dadanya terasa sesak menggemuruh. 

Cepat-cepat dia berpaling dan melangkah kedekat tempat 

tidur yang berkelambu biru.

     Di atas tempat tidur yang satu ini berbaring nyenyak 

seorang perempuan. Wajahnya membayangkan keletihan 

dan keputusasaan hingga lebih tua dari usia sebenarnya. 


Meski demikian kecantikannya masih belum pupus. Di

samping perempuan itu bergelung seorang anak lelaki 

berusia dua tahun. Rambutnya hitam, alis matanya tebal. 

Kembali orang di luar kelambu merasakan dadanya sesak. 

Dipejamkannya kedua matanya.

   "Haruskah kulakukan ini...? Haruskah kulakukan?!"

Pertanyaan itu menghunjam berulang kali dalam hatinya.

   Tiba-tiba ada satu bayangan wajah manusia yang maha 

mengerikan menjelma di ruang matanya.

  "Ingat sumpah utamamu Sonya! Ingat. Itu harus kau 

lakukan! Harus! Kalau tidak aku akan bangkit dari alam 

kematian. Makhluk peliharaanku akan menyiksamu selama 

tujuh tahun!"

   Lelaki di samping tempat tidur itu ternyata adalah 

Sonya. Kedua tangannya terkepal. Rahangnya mengatup 

kencang. Perlahan-lahan dibukanya kembali kedua 

matanya. Kini sepasang mata itu kelihatan membarat sinar 

aneh. Sinar ganas jahat. Kebimbangan yang tadi 

menguasai hatinya serta merta lenyap. Sonya menyibak-

kan kelambu biru. Ditanggalkannya pakaiannya. Lalu 

dibetotnya pakaian perempuan di atas tempat tidur yang 

bukan lain adalah istrinya sendiri. Perempuan itu terkejut 

dan bangun dari tidurnya. Belum sempat dia menjerit, 

Sonya sudah menutup mulutnya dan menaiki tubuhnya. 

Sonya kini memperkosa istrinya sendiri sampai akhirnya 

perempuan itu pingsan!

   Setelah melamplaskan nafsunya Sonya segera mem-

bungkus anak lelaki yang ada di atas tempat tidur anak-

nya sendiri lalu melompat ke atas langit-langit kamar.

Sesaat kemudian ketika perempuan itu siuman dan 

mendapatkan anaknya tak ada lagi maka dia pun

menjerit: "Anakku ! Anakku ! Tolong, penculik!"

   Hari itu murid Eyang Sinto Gendeng sampai di sebuah 

kota kecil bernama Nganglek. Rasa haus mem buat dia 

melangkahkan kaki memasuki sebuah kedai minuman. Di 

jalan besar yang dilaluinya itu terdapat dua buah kedai. 


Yang satu besar dan bersih, lainnya kecil serta kotor. Wiro 

hendak memasuki kedai yang besar ketika di kedai kecil 

sebelah sana dilihatnya suatu hal yang menarik. Pendekar 

ini segera memutar langkah menuju kedai buruk itu. Dia 

duduk di sebuah sudut agak ke dalam.

    Dekat pintu kedai duduk dua orang laki-laki berpakaian 

hitam bermuka kumal takterurus. Pada lengan masing-

masing memakai gelang akar bahar besar. Satu benda 

yang sudah dapat dipastikan gagang senjata menonjol di

balik pinggang pakaian keduanya. Mereka memperhatikan 

Wiro dengan pandangan mata tajam.

    "Hanya seorang pemuda kampung tolol. Tak perlu

dicurigai," berbisik lelaki bermuka hitam kepada kawan

di sebelahnya.

    Kawannya yang mempunyai cacat besar bekas luka di 

pipi kiri masih memandang beberapa lama pada Wiro. 

Akhirnya memalingkan muka dan kembali memperhatikan  

ke arah pintu seperti ada yang tengah ditunggu.

    Wiro meneguk minumannya. Tak selang berapa lama 

masuklah seorang lelaki berbadan kurus pendek. Begitu 

masuk dia langsung menemui dua orang berpakaian serba 

hitam tadi. Mereka bicara berbisik-bisik. Lelaki muka hitam 

mengeluarkan beberapa keping uang perak yang 

kemudian diserahkannya pada si kurus pendek. Orang 

yang menerima uang ini segera berlalu.

     Wiro membayar minumannya. Ketika dia keluar dari 

kedai dilihatnya si kurus tadi sudah berada diujung jalan. 

Agar tidak menimbulkan kecurigaan dua orang di dalam 

kedai, Wiro sengaja mengambil jalan yang berlawanan. 

Namun di balik sebush bangunan cepat pendekar ini 

berputar dan di lain saat dia sudah melangkah cepat 

mengejar si kurus.

    Lelaki kurus pendek itu ternyata menuju ke tepi sungai. 

Di sebuah tikungan sungai yang ditumbuhi pohon-pohon 

bambu amat lebat, tertambat sebuah perahu. Orang  ini 

hentikan langkahnya. Seorang lelaki berbadan tinggi kekar 


melompat enteng dari dalam perahu dan bicara dengan si 

kurus. Yang terakhir ini kemudian cepat-cepat tinggalkan 

tempat itu.

    Setelah menunggu beberapa lamanya, Wiro keluar dari 

balik rerumputan pohon bambu. Dia berdiri di tepi sungai 

dengan sikap seperti seseorang hendak menyeberang. 

Ketika dia melirik ke arah perahu, ternyata di balik atap 

perahu kelihatan tiga pasang kaki. Sementara itu lelaki 

tinggi besar yang masih tegak di tebing sungai 

memperhatikan Pendekar 212 dengan mata melotot 

penuh selidik. Wiro justru melangkah mendekatinya.

    "Saudara, aku ingin menyeberang. Apakah kau bisa

membawaku ke tepi sebelah sana?" berkata Wiro.

  .  Si tinggi ini bernama Prakunto. Dia memandang Wiro

dari rambut gondrong sampai ke kakinya yang kotor, 

melirik pada tiga kawannya dalam perahu lalu tertawa 

bergelak.

    "Pangeran dari mana yang berani memerintahku

seenaknya?"

    "Oh... oh... oh! Aku bukan pangeran, sobat. Agaknya 

kau khawatir soal ongkos. Jangan takut. Aku punya uang 

untuk membayar. Sebutkan saja berapa ongkosnya 

sampai ke seberang!"

    Kembali Prakunto tertawa gelak-gelak.

   "Monyet gondrongi Aku tak butuh uangmu. Lekas

minggat dari sini!"

   "Ah, jangan begitu sobat. Kau tolonglah aku menye-

berang," pinta Wiro pula.

   "Manusia edan. Kau berani memaksaku?!"

   "Tidak. Aku tidak memaksa. Tapi minta tolong!'

    Prakunto ulurkan tangannya meraba dada Wiro Sableng 

hingga pemuda ini bergelinjang kegelian.

    "Ngg... kulihat dadamu cukup kekar," kata Prakunto

pula. "Begini saja. Bagaimana kalau kita adakan perjanjian 

baku jotos. Kalau aku menang serahkan seluruh uang 

yang ada padamu dan berlalu dari sinii"



"Bagaimana kalau aku yang menang?" balik bertanya 

Wiro.

    Prakunto tertawa meledak diikuti oleh ketiga kawannya 

yang ada dalam perahu.

    "Kalau kau yang menang, jangankan ke seberang sana, 

ke neraka pun kau akan kuantar!"

    "Baik. Bagaimana caranya adu jotos ini...?"

    "Kita saling pukul tiga kali. Siapa yang nanti jatuh atau 

terhuyung ke belakang berarti kalah!"

    "Ah, mudah sekali itu..." kata Wiro sambil senyum-

senyum.

    "Siapa yang mulai memukul lebih dulu?!"

    "Silahkan kau yang memukulku lebih dulu" jawab

Prakunto yang tidak memandang sebetah mata pada

pemuda bertampang dungu di hadapannya itu.

    Wiro melangkah ke hadapan Prakunto. Diulurkannya 

tangannya ke dada si tinggi besar ini, meraba-raba

beberapa lamanya hingga Prakunto menjadi kesal.

    "Aku suruh kau memukul dadaku. Bukan memijat-mijat. 

Tolol" hardik Prakunto.

    "Ah, dadamu keliwat lunak. Seperti agar-agar. Aku

khawatir sekali pukul saja dadamu bisa rurak berentakan. 

Nanti kau tak bisa balas memukulku. Bagusnya kau saja 

yang memukulku lebih dulu i"

     Prakunto benar-benar jadi naik darah mendengar

ucapan Wiro Sableng. Sementara itu ketiga kawannya

sudah keluar dari perahu dan tegak mengelilingi mereka.

     "Pemuda ingusan! Mulutmu sombong sekali!" sentak 

Prakunto.

     "Eh, jadi adu jotos ini tidak diteruskan? Nyatanya kau 

cuma seorang pengecut. Badan saja yang tinggi kekar tapi 

nyali selembek tahi ayam!"

     Diejek begitu Prakuto jadi naik pitam. Tiga kawannya 

juga tampak marah.

     "Kau bersiaplah. Sekali pukul nyawamu akan kubuat 

melayang" kata Prakunto.


Wiro mundur beberapa langkah dan berdiri sambil  

tolak pinggang. "Silahkan pukul. Jangan salah. Pilih

tempat yang empuk"

     Tinju kanan Prakunto mengepal besar dan kokoh. Dari 

jarak dua langkah tinjunya itu diayunkan sekuat-kuatnya 

ke dada Pendekar 212 Wiro Sableng.

     "Buk"

     Terdengar suara bergedebuk keras sewaktu tinju yang 

besar itu mendarat di dada Wiro. Baik Prakunto maupun 

tiga kawannya sudah sama membayangkan bagaimana 

jotosan itu akan membuat Wiro terlempar, roboh muntah 

darah dan melayang ke akherat.

     Tapi jangankan terjungkal atau terhuyung, serambut 

pun tubuh pendekar itu tidak bergeming. Di lain pihak 

Prakunto merasakan tinjunya mendarat di sebuah 

permukaan selembut kapas. Membuat lelaki ini ternganga 

keheranan.

     "Heh, kau rupanya punya ilmu juga..." ujar Prakunto 

seraya menyeringai. "Tapi tunggu, masih ada dua pukulan 

lagi. Jaga pukulanku yang kedua" Lalu untuk kedua 

kalinya Prskunto hantamkan tinju kanannya yang beratnya 

tak kurang dari lima puluh kati. Untuk kedua kalinya pula 

terdengar suara "buk!" Dan untuk kesekian kalinya si 

tinggi besar itu terheran-heran karena sasaran yang 

dihantamnya terasa demikian lembut. Dia memandang 

pada Wiro dengan mata melotot sementara murid Eyang  

Sinto Gendeng itu cuma cengar-cengir tak acuh.

    "Pukulan terakhir sobat" seru Prakunto.

    "Keluarkan seluruh tenagamu, luar dalam. Pukulah

lebih keras. Masakan manusia setinggi dan sebesarmu

ini pukulannya tidak terasa apa-apa, seperti orang

menggelitik saja I"

    Muka Prakunto merah padam. Dia merasa malu

terutama terhadap ketiga kawannya. Tenaga dalamnya

disalurkan seluruhnya ke tangan kanan hingga mempunyai 

daya hantam seberat dua ratus kati. Jangankan tubuh 


manusia, tembok tebal atau kepala kerbau pun pasti 

hancur luluh.

    "Kau sudah siap?' tanya Prakunto. Tinju kanannya

tampak bergetar.

    "Sudah sejak tadi-tadi sobat " sahut Wiro seenaknya.

    Prakunto kertakkan rahang.

    "Mampuslah!" bentak Prakunto. Berbarengan dengan 

itu tinju kanannya berkelebat deras sampai mengeluarkan 

suara menderu. Mendarat tepat di dada kiri Pendekar 212, 

pada bagian jantungnya!

    Terdengar satu jerttan setinggi langit

    Prakunto berdiri terbungkuk-bungkuk. Tangan kirinya 

tiada henti mengusap tangan kanan yang tadi dipakai 

meninju. Kalau dua kali pertama tadi memukul dada lawan 

dirasakannya lunak lembut, tetapi kali yang ketiga dada 

pemuda itu seperti berubah menjadi dinding karang yang 

luar blasa keras dan atosnya. Dua buah jari tangan 

kanannya patah, kulitnya terkelupas dan mengucurkan 

darah di bebarapa bagian.

   "Bagaimana sobat? Kau telah memukulku tiga kali

Kini giliranku" kata Wiro.

    "Baik,  baik..." kata Prakunto menahan sakit dan

malu. Dia berdiri memasang kuda-kuda. Wiro mundur

mengambil ancang-ancang untukmemukul.Tiba-tiba

salah seorang kawan Prakunto mendekati lelaki itu dan

berbisik: "Kunto, kita tak ada waktu melayani pemuda

edan ini lebih lama. Sebentar lagi kereta itu akan tiba

    “Kau mau didamprat dan digebuk Jakasempar? 

Seberangkan saja dia agar tidak mengganggu kita lebih

lama”

    "Tapi aku toh musti melayaninya" sahut Prakunto.

    "Persetan! Seberangkan dia"

    Prakunto berpikir sejenak.

    "Hai, mengapa kalian ini? Aku sudah siap memukul" 

Wiro berseru.


"Sobat, biarlah. Walau kau belum memukul tapi aku

mengaku kalah. Aku akan antarkan kau ke seberang,"

kata Prakunto pula.

    Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepalanya.. Dia

melompat ke dalam perahu. Hanya sebentar saja diapun 

sampai ke seberang sungai. Wiro ucapkan terima kasih 

dan naik ke darat sementara Prakunto mengayuh 

perahunya kembali ke seberang yang lain.  Hanya sesaat 

dia mencapai tepi sungai, sepuluh orang berkuda sampai 

di  tempat itu. Rombongan ini dipimpin oleh lelaki muka 

hitam yang dilihat Wiro di kedai di Nganglek.

    "Bagaimana Jaka...?" tanya Prakunto pada si muka 

hitam yang bernama Jakasempar.

    "Kalian bersiap. Cari tempat berlindung yang baik.

Sebentar lagi kereta itu akan lewat ingat, gadis itu tak 

boleh mendapat cidera barang sedikit pun"

    Maka keempat belas orang itu pun bersembunyi di

tempat yang terpencar di tikungan sungai. Kira-kira

sepeminuman teh berlalu, di kejauhan terdengar suara

rentak kaki-kaki kuda dan gemeletak roda kereta. Tak

lama kemudian dari balik tikungan muncullah sebuah

kereta putih, dikawal oleh sepuluh prajurit Kadipaten

dibawah pimpinan seorang lelaki tua gagah bemama

Wilacarta.

    Begitu kereta memperlambat jalannya karena 

memasuki tikungan maka terdengarlah ringkik binatang

penarik kereta itu. Lima pisau terbang menghambur

dan menancap di kaki dua ekor kuda penarik kereta dan

membuatnya tersungkur. Kereta hampir saja terbalik ke

dalam sungai. Bersamaan dengan itu Jakasempar dan

anak buahnya berlompatan dari tempat persembunyian

masing-masing, langsung menyerbu prajurit-prajurit

pengawal dan dengan senjata terhunusi

    Daerah luar kota Jepara akhir-akhir ini memang kurang 

aman. Karenanya malihat kemunculan belasan orang 

bermuka bengis itu, Wilacarta segera maklum kalau 


rombongan tengah dihadang perampok. Tapi karena saat 

itu dia dan anak buahnya sama sekali tidak membawa 

uang atau harta berharga kecuali mengawal Sri Ayu 

Pandan, puteri Adipati Jepara, maka penghadangan itu 

terasa agak aneh di mata Wilacarta. Namun saat itu tak 

ada waktu untuk berpikir panjang. Orang tua gagah ini 

berteriak memberi semangat pada anak buahnya. Lalu

mencabut pedang dari pinggang. Dia sama sekali tidak 

menduga justru rombongan yang menghadang itu 

memang tidak hendak merampok harta atau uang, 

melainkan hendak menculik puteri Adipati Jepara. Setelah 

gadis itu di tangan mereka, Jakasempar akan meminta 

uang tebusan dalam jumlah besar.

    Pertempuran berkecamuk hebat. Pihak Kadipaten

selain kalah jumlah, lawan yang mereka hadapi rata-rata 

memiliki kepandaian silat tinggi hingga dalam tempo 

singkat dua orang prajurit roboh mandi darah.

    Ketika tadi kereta menyungkur tanah karena dua kuda 

yang menariknya roboh, dari dalam kereta terdengar pekik 

perempuan. Tirai jandeia tersingkap dan tampaklah satu 

kepala berambut hitam legam berwajah rupawan. Dialah 

Sri Ayu Pandan, puteri Adipati Jepara. Belum habis kejut 

sang gadis akibat tersungkurnya kereta, tiba-tiba dari 

semak beiukar dilihatnya berlompatan manusia-manusia 

bertampang bengis bersenjata golok atau pedang dan 

mereka ini langsung menyerang para pengawal. Takutnya 

puteri Adipati ini bukan kepalang. Dia berteriak tiada 

henti.

     Wilacarta putar pedangnya dengan sebat. Dia berhasil 

merobohkan seorang lawan dan melukai seorang lainnya. 

Ketika dilihat Jakasempar bergerak mendekati kereta, 

kepala pengawal ini segera menghadang. Namun dia tak  

mampu menghalangi lebih jauh karena secepat kilat tiga 

orang anak buah Jakasempar melompat ke hadapannya 

dan langsung menyerbu.


Kusir kereta yang merasa ikut bertanggung jawab atas 

keselamatan puteri majikannya, dengan bersenjatakan 

sepotong besi panjang menyerang Jakasempar dari 

samping. Serangan itu dengan mudah dapat dielakkan 

oleh Jakasampar. Sebagai balasan Jakasempar mengha-

dlahkan satu tusukan golok yang ganas. Karena memang 

tidakmemiliki kepandaian silat apa-apa, kusir kereta  itu 

akhirnya menemui ajal dengan dada ditembus golok.

    Jakasempar menendang pintu kereta hingga tanggal 

berantakan. Di dalam sana Sri Ayu Pandan menyudut 

ketakutan. Jakasempar tersenyum menyeringai melihat 

tubuh muius dan wajah cantik gadis itu. Dalam benaknya 

sudah muncul pikiran kotor. Puteri itu diculik dan dimintai 

tebusan uang dalam jumlah besar. Tapi apa salahnya 

sebelum dikembalikan pada orang tuanya akan dipakai 

sebagai pamuas nafsu lebih dulu?

    "Gadis cantik. Kau tak usah takut. Mari ikut aku..." kata 

Jakasempar seraya mengulurkan tangan untuk menarik 

Ayu Pandan. Namun sebelum jari-jari tangannya sempat 

menyentuh tubuh gadis itu mendadak dari samping  

melesat sebuah benda besar. Jakasempar cepat bersurut 

mundur. Benda itu menghantam tangga kereta dan 

ternyata adalah sosok tubuh salah seorang anak buahnya 

sandiri yang telah manjadi mayat.

    Terkejut bukan kepalang, Jakasempar palingkan

kepala. Dan membeliaklah mata manusia muka hitam ini. 

Enam langkah di hadapannya berdiri pamuda rambut 

gondrong yang sebelumnya pernah dilihatnya di kedai 

Nganglek. Pakaiannya basah kuyup. Apakah dia yang telah 

melemparkan tubuh anak buahnya it tadi?

    Pemuda berpakaian kuyup itu adalah Wiro Sableng. 

Sesampainya di seberang sungai tadi, dia pura-pura 

berlalu, tetapi diam-diam menyelinap ke balik semak-

semak dan mengintai. Dia yakin sekali orang-orang yang 

ditemuinya di kedai dan di tepi sungai itu  tengah 

merencanakan sesuatu. Sesuatu yang jahat. Dan 


keyakinannya itu tak lama kemudian menjadi kenyataan. 

Yaitu dengan munculnya kereta putih yang telah ditunggu 

untuk dihadang. Pada saat pertempuran mulai berkeca-

muk, Wiro terjun ke sungai, berenang menyeberang, 

itulah sebabnya pakaiannya basah kuyup.

   "Bangsat! Pemuda ini memang sudah kucurigai sejak 

dari Nganglek kertak Jakasempar. Dia melangkah 

mendekati Wiro dan membentak: "Keparat!  Kau berani 

mencampuri urusanku. Berarti kau berani mampus!"                          

    "Wutt"

    Golok besar di tangan Jakasempar menderu. Membabat 

ke dada Wiro Sableng. Ketika Wiro berhasil mengelakkan 

sarangan itu, serta merta serangan kedua dan ketiga 

datang susui menyusui laksana kilat! Kiranya kepala 

rampok ini memiliki ilmu golok yang lihai. Dia mengharap 

dalam beberapa gebrakan saja akan dapat mencincang 

tubuh lawannya. Namun dia tidak tahu, dengan siapa hari 

itu dia berhadapan.

    Jakasempar membuka jurus kedua dengan serangan 

berantai kembali. Wiro berkelebat cepat diantara taburan 

sinar golok tawan. Awai jurus ketiga pendekar ini 

mempercepat gerakannya hingga tubuhnya hanya 

merupakan bayang-bayang dan Jakasempar menjadi 

bingung karena kehilangan lawan. Sambaran goloknya 

terus menerus menghantam tempat kosong.

    Selagi Jakasempar kebingungan Wiro hantamkan

tangan kanannya ke kening penjahat ini. Jakasempar

menjerit. Tubuhnya terbanting ke tanah tak sadarkan diri. 

Keningnya yang memang sudah hitam kini tampak tambah 

hitam karena hangus: Dan pada kening itu kini tertera tiga 

deretan angka 212. Dari maut, hidung serta mulutnya 

mengalir darah.

    Tiga orang anak buah Jakasempar yang melihat 

pemimpin mereka dicelakai begitu rupa dengan cepat 

menyerang.


"Manusia-manusia tak berguna. Bisanya cuma mem-

buat keonaran! Majulah bila minta digebuk" kertak Wiro 

Sableng. Begitu ketiga lawannya berlompatan menyerang 

maka terdengarlah 

    "Plak! Plak! Plak!" Tiga tamparan mendarat di kening 

mereka. Ketiganya menggeletak di tanah menerima nasib 

seperti pemimpin mereka.

      'Pemuda keparat! Makan pedangku ini!" satu suara

membentak. Dikejap yang satu tebasan pedang me-

nyambar batang leher Pendekar 212. Wiro keluarkan 

suara bersiul dan melompat ke belakang. Yang 

menyerangnya dengan ganas, itu ternyata Prakunto. Di

tangannya tergenggam sebilah pedang berlumuran darah. 

Dengan pedang itu dia telah membunuh dua prajurit 

Kadipaten dan melukai parah Wilacarta. Orang tua itu kini 

tergeletak dekat roda kereta, dengan menahan sakit  

bukan kepalang dan darah masih mengucur di bekas 

lukanya.

     "Hai! Rupanya kau masih belum puas dengan adu

jotos tadi?" mengejek Wiro.

     "Baku jotos dan pedang lain, sobat" jawab Prakunto 

sambil tusukkan pedang yang digenggamnya di tangan kiri 

karena tangan kanannya cidera akibat adu jotos dengan 

Wiro tadi.

    Wiro keluarkan satu siulan lagi. Dia berkelit ke kiri.

Begitu ujung pedang lewat di sampingnya, Wiro gerakkan 

tangan kanan memukul siku Prakunto. Lelaki ini terpekik 

karena sambungan sikunya terlepas. Dia kembali menjerit 

sewaktu tapak tangan Pendekar 212 menghantam 

keningnya hingga hangus. Prakunto terbujur ditanah, 

melintang di atas tubuh Jakasempar

    Ketika Wiro memandang berkeliling ternyata pertem-

puran sudah selesai. Kusir kereta dan beberapa

prajurit Kadipaten tewas. Yang lain-lainnya termasuk

Wilacarta menderita luka-luka. Di pihak penjahat empat

orang mati, dua orang melarikan diri sedang delapan


lainnya, di antaranya Jakasempar dan Prakunto men-

derita luka-luka dan pingsan.

    Dari dalam kereta masih terdengar jeritan-jeritan Sri

Ayu  Pandan yang masih diselimuti ketakutan. Wiro

mendatangi.

    "Hentikan jeritanmu. Pertempuran sudah berhenti.

Tak ada yang harus ditakutkan lagil" berkata Wiro.

    Puteri Kadipaten itu turunkan kedua tangannya

yang tadi dipakai untuk menutupi muka. "Kau... kau

siapa?" tanyanya masih takut dan curiga.

    Wiro garuk-garuk kepala. Sebelum dia memberi

jawaban, dari belakang didengarnya seseorang berkata: 

"Pendekar 212, ikutlah bersamaku."

    Murid Eyang Sinto dari Gunung Gede ini terkesiap kaget 

dan berpaling. Di hadapannya berdiri seorang kakek-kakek 

yang mata kirinya picak sedang di sampingnya tegak 

seorang anak ieiaki berusia sekitar lima belas tahun, 

berpakaian serba putih dan berparas cakap. Jika 

seseorang mengenali julukannya, maka orang itu pasti 

bukanlah manusia sembarangan.

    "Orang tua, kau siapa...?1 tanya Wiro.

    "Siapa kau nanti kuterangkan. Yang penting kau harus 

ikut aku sekarang juga"

    "Heh? ikut kau? Kemana? Jalan-jalan...?' tanya

Wiro bergurau.

    "Jangan banyak tanya dan jangan bergurau. Waktuku 

amat singkat," jawab orang tua mata picak.

    "Ngg... kalau begitu kau pergilah sendiri. Siapa sudi

turut denganmu. Aku masih ada tugas mengurusi orang-

orang Kadipaten ini."

    "Biar muridku yang mengurus mereka," kata si picak. 

"Kepentinganku ada hubungannya dengan malapetaka 

yang menimpa dunia persilatan saat ini"

    Ucapan itu membuat Wiro Sableng yang barusan

hendak melangkah tubuh berbaiik kembali.

    "Apa katamu orang tua...?'


Si orang tua tak menjawab melainkan memutar tubuh. 

Setelah mengatakan sesuatu pada anak lelaki di

sebelahnya, dia lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu. 

Tampaknya dia melangkah blasa saja. Namun hanya 

sesaat dia telah lenyap di tikungan jalan. Dengan garuk-

garuk kepala Wiro Sableng terpaksa mengejar si mata 

picak aneh itu. Ternyata orang tua ini menuju Jepara.

***


BAB 8


HARI masih pagi. Sinar sang surya masih kuning

kemerahan tanda belum lama keluar dari tempat

peraduannya. Sura Gandara berdiri di ambang pintu 

rumah makannya, memperhatikan pelayan-pelayan 

membereskan bagian depan rumah makan itu. Di Jepara, 

Sura yang berbadan gemuk macam kerbau bunting itu 

terkenal sebagai pemilik rumah makan paling besar paling 

lezat tetapi murah harganya.

    Dari dalam sabuknya dikeluarkan secuil tembakau dan 

kertas. Maka mulailah dia menggulung sebatang rokok 

klinting. Baru saja dia menyalakan rokok itu, tiba-tiba 

berubahlah parasnya.

    Di seberang jalan tampak empat orang berpakaian

jubah putih yang di bagian dadanya terpampang

sulaman bunga teratai besar berwarna merah darah.

    "Empat Teratai Darah..." kata Sura Gandara dalam hati. 

Rasa tak enak segera menyungkupi dirinya. Sekitar satu 

tahun yang lewat empat manusia itu pernah datang ke 

rumah makannya. Kedatangan meraka hanya membuat 

keonaran. Rumah makan waktu itu menjadi centang 

perenang porak poranda akibat dipakai sebagai tempat 

perkelahian oleh Empat Teratai Darah melawan musuhnya 

Empat Naga Hitam. Meskipun kali ini kedatangan mereka 

belum tentu akan berbuat keonaran lagi, namun tetap 

saja Sura Gandara merasa cemas. Buktinya pagi-pagi 

sekali, selagi rumah makan masih belum buka, mereka 

sudah muncul. Tentu ada apa-apanya.

    Sura Gandara tak bisa berpikir lebih panjang karena 

keempat orang itu sudah berdiri di hadapannya.

    Sura menjura hormat. Dengan senyum  yang di-

paksakan dia berkata: "Satu kehormatan lagi bahwa

kalian orang-orang gagah sudi datang ke tempatku.


Sebenarnya rumah makan masih belum buka dan masih 

kotor. Jika orang-orang gagah tidak keberatan dengan 

keadaan ini, silahkan masuk."

    Kakek-kakek bermuka putih bernama Sumo Kebalen 

yang menjadi pemimpin Empat Teratai Darah anggukkan 

kepala sedikit lalu masuk diikuti ketiga adik

seperguruannya.

    "Suasana begini tak jadi apa," kata Sumo Kebalen

seraya duduk. "Yang penting cepat hidangkan makanan

dan minuman yang lezat"

    "Orang gagah Sumo Kebalen. Jangan khawatir. Apa 

yang kau minta akan segera dihidangkan," jawab Sura 

Gandara. "Mungkin ini satu kelancangan. Tapi jika aku 

yang hina buruk ini boleh bertanya, gerangan apakah 

yang membuat empat orang gagah muncul pagi-pagi 

begini di Jepara?"

    "Kami  tengah menunggu seseorang.  Karenanya

selagi kami makan kuharap kau berdiri di depan pintu.

Larang setiap orang yang mau masuk. Kecuali orang

yang kami tunggu itu...."

   "Celaka, pasti akan terjadi lagi keonaran di tempat ini," 

keluh Sura Gandara ketika mendengar keterangan Sumo 

Kebalen tadi. Namun dia masih kepingin tahu. Karenanya 

dia bertanya kembali. "Maaf Sumo. Siapakah manusianya 

yang orang gagah tunggu itu?'

    "Seorang lelaki bermata buta sebelah. Namanya

Rangga Lelanang. Sudah. Kau jangan banyak tanya Sura.

Lekas hidangkan makanan. Kami sudah lapar"

    "Baik,  baik..." jawab Sura sambil manggut-manggut. 

Lalu dia berteriak memanggil pelayan. Selesai memberi 

perintah, sesuai yang dikatakan Sumo Kebalen, pemilik 

rumah makan ini kemudian pergi berdiri di pintu masuk, 

berjaga-jaga.

    Orang kedua dalam Empat Teratai Darah adalah

seorang nenek-nenek berbadan tinggi kurus bernama

Supit Inten. Nenek-nenek ini merupakan saudara seper-guruan Sumo Kebalen. Dalam dunia persilatan bukan

rahasia lagi bahwa kedua tokoh ini menjalani hidup

bersama tanpa kawin allas kumpul kebo.

   Orang ketiga dan keempat adalah dua gadis kembar 

berbadan langsing. Paras mereka sebenarnya tidak

begitu cantik. Tetapi karena pandai memoles muka

berhlas berlebihan maka jadinya lumayan juga. Gadis

pertama bernama  inang Pini sedang adiknya inang

Resmi.

    Pada dasarnya Empat Teratai Darah tidak dapat

dikatakan sebagai tokoh-tokoh silat golongan putih.

Mereka seringkali diketahui bersekutu dengan jago-jago 

golongan hitam. Dalam malang melintang di rimba

persilatan mereka tak pernah berpisah. Hari itu mereka

datang ke rumah makan Suro Gandars untuk menunggu 

kedatangan  seorang musuh bernama Rangga Lelanang, 

yaitu kakek-kakek lihay yang pernah menghina almarhum 

guru mereka sewaktu diadakan pertemuan antara tokoh-

tokoh silat golongan hitam di puncak gunung Merapi dua 

tahun yang lalu.

    Tidak seorang pun dari Empat Teratai Darah 

sebelumnya pernah melihat atau bertemu dengan Rangga

Lelanang. Namun ciri-ciri si kakek ini sudah mereka

ketahui jelas dari sang guru sebelum menutup mata

delapan belas bulan yang lalu. Dengan memakai seorang

perantara Empat Teratai Darah mengirimkan sepucuk 

surst undangan kepada Rangga Lelanang guna datang ke 

rumah makan itu, untuk menyelesaikan soal malu besar 

penghinaan tempo hari.

   Selagi  Empat Teratai Darah sedang asyik menyantap  

makanan lezat di atas meja, pada saat itu pulalah Wiro 

Sableng dan si kakek mata picak bernama Lor Gambir 

Seta sampai di tempat itu.

    Si kakek sebenarnya tak ingin singgah karena ingin

lekaa-lekas sampai ke tempat tujuan. Tapi Wiro sudah

tak tahan iapar dan memaksa masuk ke rumah makan.



Dengan jengkel si kakek terpaksa mengikuti. Tetapi

baru saja mereka sampai di depan pintu, Sura Gandara

sudah menyongsong dengan sikap menghadang.

    "Harap dimaafkan, rumah makan belum buka. Datang 

saja kalau matahari sudah muiai naik," berkata Sura 

Gandara.

    Wiro Sableng melirik ke dalam rumah makan. Lalu

menyeringai dan berkata: "Kalau betul rumah makan ini

belum buka kenapa kulihat ada empat kunyuk sedang

enak-enakan makan di dalam sana?"

    Paras Sura Gandara berubah. Kalau saja ucapan

Wiro tadi sempat terdengar oleh Empat Teratai Darah bisa 

berabe.

    "Orang muda, harap kau jangan bicara seenaknya.

Empat orang itu adalah tamu-tamu istimewa...."

    "Hai, tamu-tamu istimewa macam bagaimana?"

tanya Wiro. "Kulihat mereka blasa-blasa  saja. Cuma

mungkin memang sedikit aneh. Si kakek itu bermuka

putih seperti singkong rebus. Si nenek sudah peot tapi

agak genit. Dua gadis seperti topeng yang diberi pupur

tebal...!"

    Si gemuk Sura Gandara maju dan mencekal kerah

kemeja Wiro. "Gondrong! Jaga mulutmu kalau tak mau

celaka...."

    Lor Gambir Seta menepuk bahu Wiro dan berkata

agar meraka mencari rumah makan lain saja. Tetapi

pendekar kita tetap tak bergerak. Pemilik rumah makan

itu jadi marah. Ketika dia hendak menampar, tiba-tiba

pandangannya lekat pada wajah Lor Gambir Seta yang

bermata picak. Agaknya manusia inilah musuh besar

yang tengah ditunggu-tunggu Empat Teratai  Darah.

Maka  cepat-cepat dia melepaskan cekalannya dan

membungkuk dalam-dalam.

    "Mohon dimaafkan. Aku tidak melihat dalamnya

laut tingginya gunung. Kalian berdua silahkan masuk...."


Wiro tersenyum sedang Lor Gambir Seta kerenyitkan 

kening. Perubahan sikap Sura Gandars yang tiba-tiba ini 

pasti ada apa-apanya. Namun dia tak bisa berpikir 

panjang karena Wiro sudah melangkah masuk kedalam 

rumah makan sambil bersiul-siul.

    Mendengar suara siulan, Empat Teratai Daerah yang 

asyik bersantap angkat kepala. Dua sosok tubuh tampak 

masuk mengikuti pemilik rumah makan. Ketika melihat Lor 

Gambir Seta, Sumo Kebalen serta merta hentikan 

makannya. Begitu juga tiga saudara seperguruannya.

    "Orang yang kita tunggu telah datang," bisik pemimpin 

Empat Teratai Darah itu.

    Sementara itu Wiro serta Lor Gambir Seta telah 

mengambil tempat duduk di bagian lain rumah makan.

Ketika pelayan datang untuk melayani mereka tiba-tiba 

Sumo Kebalen berseru: "Tak ada seorang tamu lain boleh 

dilayani tanpa izinku"

    Pelayan terkejut dan cepat-cepat masuk ketika 

dilihatnya Sumo Kebalen pelototkan mata.

    Wiro Sableng pencongkan mulut dan batuk-batuk.

Sementara orang tua  bermata picak duduk tenang-

tenang saja, memandang ke luar jendela.

    "Kakek, kau kenal empat kunyuk itu...?" bisik Wiro.

    Tanpa palingkan kepalanya dari jendeia si kakek

mata satu menjawab: "Mereka Empat Teratai Darah."

    Wiro manggut-manggut. Saat itu pandangannya

membentur sebuah kaleng kosong di dekat meja. Maka

pendekar ini mulai bertingkah batuk-batuk, mengeluarkan 

suara seperti orang mau muntah dan meludah beberapa 

kali ke dalam kaleng itu.

    Sumo Kebalen tahu kalau apa yang dilakukan Wiro itu 

tidaklain hanya untuk menghinanya. Wajahnya yang putih 

tampak mengelam. Tanpa berdiri dari duduknya dia 

berkata: "Adik-adikku. Kurasa terlalu banyak meja dan 

kursi malang melintang dalam ruangan ini. Coba kalian 

tolong rapikan"



Dari tempat duduk masing-masing, Supit inten, inang 

Pini dan inang Resmi memukulkan telapak tangan ke arah

meja dan kursi yang ada di situ. Hebat sekali. Benda-

benda itu berpentalan ke tepi ruangan hingga bagian 

tengah rumah makan itu kini terbuka lapang.

    "Bagusi" seru Sumo Kebalen. Lalu dia berdiri dan

melangkah ke tengah ruangan.  Sambil bertolak pinggang 

dia memandang ke jurusan kakek mata picak yang duduk 

di dekat Wiro.

    "Rangga Lalenang! Jangan kau pura-pura tidak tahu 

kami!"

    Wiro berpaling pada Lor Gambir Seta. Orang jelas

bicara padanya tapi si kakek ini duduk tenang-tenang saja 

tanpa berpaling sedikit pun.

    Merasa dlanggap remeh tak diperdulikan, Sumo

Kebalen melompat ke hadapan Wiro dan Gambir Seta.

Tangan kanannya menggebrak meja hingga hancur 

berkeping-keping. Gilanya Lor Gambir Seta masih saja tak 

bergeming dari tempat duduknya sementara Wiro mulai 

naik darah.

    Wiro menatap wajah Sumo Kebalen sesaat lalu berkata: 

"Pangeran tua bermuka putih dari mana yang pagi-pagi 

bagini mengamuk di rumah makan orang? Kau kemasukan 

atau mabuk tuak?i"

    Sepasang mata Sumo Kebalen seperti hendak 

melompat keluar. Rahangnya menggembung. Wiro berdiri

dari kursinya. Lor Gambir Seta masih seperti tadi. Diam

tak bergerak. Supit Inten dan  dua gadis kembar berdiri

dari kursi masing-masing.

    "Bocah bau apek. Kau menyingkirlah dari hadapanku. 

Sekali lagi kau berani buka mulut, kubanting tubuhmu 

sampai melesak di lantai rumah makan ini!"

    Habis berkata begitu Sumo Kebalen lalu gerakkan

tangan kirinya mendorong bahu Pendekar 212 Wiro

Sableng. Dorongan itu kelihatannya blasa-blasa saja.

Tetapi nyatanya mengandung tenaga dalam dahsyat


yang sanggup merobohkan tembok batu Sumo Kebalen 

sengaja hendak memberi pelajaran pada pemuda yang 

dlanggapnya kurang ajar itu. Sekali dorong pasti si 

gondrong ini mencelat mental. Tetapi betapa kagetnya 

manusia muka putih inil

    Wiro sudah maklum kalau dari getaran hawa yang

keluar dari telapak tangan Sumo Kebalen, orang itu bukan 

hanya sekedar mendorong blasa saja. Tapi bermaksud 

hendak mencelakakannya!

    "Orang tua," kata Wiro seraya menghadang tangan

dengan tangan kirinya, "Kalau bicara tak usah pakai

pegang-pegang segala. Aku bukan perempuan!"

    Sesaat kemudian, telapak tangan Pendekar 212 saling 

beradu dengan telapak tangan Sumo Kebalen.

    Kagetlah kepala Empat Teratai Darah ini. Telapak

tangannya terasa panas, lengannya bergetar keras.

Satu tenaga dorongan yang hebat membuat tubuhnya

terhuyung tiga tangkah. Paras Sumo Kebalen membesi.

Kalau tadi dia hanya mengerahkan seperempat tenaga

dalamnya saja maka kini dia lipatkan gandakan menjadi

dua kali atau setengah dari seluruh kekuatan tenaga

dalam yang dimilikinya. Tapi celakanya malah kini dia

dibuat terjajar empat langkah!

    "Keparat!" maki Sumo Kebalen. Dia tak mau dibuat

malu dipecundangi seorang pemuda tak dikenal yang

bertampang gendeng. Maka kini dia alirkan seluruh

tenaga dalamnya ke tangan kanan. Tapi untuk ketiga

kalinya pimpinan Empat Teratai Darah ini tampak 

terhuyung. Malah kini sampai enam langkah. Wiro telah

kerahkan dua pertiga tenaga dalamnya.

    Meski sadar kini kalau pamuda itu bukan sem-

barangan namun Sumo Kebalen tetap membentak untuk 

menutup malunya: "Bangsat! Apa kau muridnya

manusia bernama Rangga Lelanang ini?!" Kalau sang

murid memiliki kepandaian yang begitu tinggi tentu

sang guru lebih hebat lagi.



"Aku bukan muridnya!" jawab Wiro. "Nah, kau mau

tanya apa lagi?!"

    Sumo Kebalen kini palingkan kepalanya pada kakek 

yang duduk di samping Wiro.

    "Tua bangka mata picakl Jangan kau pura-pura tuli!

Empat Teratai Darah datang ke sini untuk membalas

sakit hati penghinaan yang kau lakukan terhadap guru

kami dua tahun lalu di puncak Merapi!"

    Si orang tua mata satu tetap tak bergerak atau

memalingkan kepala.

   Mendidihlah amarah Sumo Kebalen. Seumur hidup

belum pernah dia dihina orang begitu rupa, apalagi di

hadapan adik-adik seperguruannya.

    "Edan!" maki Sumo Kebalen. Kaki kanannya bergerak 

menendang. "Kau makan kakiku ini Rangga Lelanang"

    Karena tendangan kepala Empat Teratai Darah itu

adalah tendangan maut, tentu saja kali ini si kakek mata

satu tak bisa berdiam diri lagi. Dengan gerakan enteng

tapi cepat dia melompat dari kursi. Tendangan meng-

hantam kursi yang tadi didudukinya hingga hancur

berantakan. Ketika kembali hendak mengejar, Sumo

dapatkan si kakek mata satu sudah berdiri menghadang

gerakannya. Untuk pertama kali dia membuka mulut.

    "Sumo Kebalen! Aku bukan Rangga Lelanang. Namaku 

Lor Gambir Seta. Aku sama sekali tak ada urusan dengan 

kalian ataupun guru kalian. Atau juga dengan nenek 

moyang kalian!"

    "Bangsat tua! Jangan dusta!" Sesosok tubuh melompat 

ke hadapan Lor Gambir Seta. Inang Pini. Menyusul Inang 

Resmi dan nenek-nenek bernama Supit Inten. "Kami yakin 

kaulah yang telah menghina guru kami di puncak Merapi 

dua tahun lalu!"

    Lor Gambir Seta tersenyum. "Gadis, parasmu cukup 

cantik. Tapi tidak berkesesuaian dengan mulutmu yang 

kurang ajar! Aku jauh lebih tua darimu. Apa gurumu 


sebelum mampus tidak pernah memberi pelajaran budi 

pekerti padamu?!"

     Inang Pini yang memang sudah dirasuk nafsu balas

dendam menjawab  dengan  mencabut  pedangnya.

    "Mulutku tak seberapa kurang  ajarnya, mata  picakl 

Pedangku justru lebih kurang ajar!"

     Habis berkata begtu Inang  Pini gerakkan pergelangan 

tangan kanannya dan mata pedang berkiblat ganas ke 

arah batang leher Lor Gambir Seta.

    Si kakek goleng-goleng kepala. "Bakatmu rupanya 

memang untuk jadi orang kurang ajar. Jangan salahkan 

aku kalau terpaksa harua memberi pelajaran!"

     Lor Gambir Seta bergerak sewaktu pedang lawan 

hanya tinggal seperempat jengkal dari batang lehernya. 

Tubuhnya lenyap. Pedang lawan menebas tempat kosong.  

Bersamaan  dengan itu terdengar keluhan Inang Pini. 

Gadis itu kini tampak tertegun kaku tak bisa bergerak lagi. 

Satu totokan lihay telah bersarang di tubuhnya.

     "Bagus! Kau sudah beri paiajaran pada adikku mata

picak! Kini aku yang ganti memberi pelajaran padamu!"

     Yang berseru adalah Supit Inten. Dia tutup ucapannya 

dengan satu pukulan mengemplang ke batok kepala Lor 

Gambir Seta.

     "Ah, kau pun nenek sama saja tololnya dengan adikmu 

tadi! Biar aku sekalian beri peiajaran padamul" jawab Lor 

Gambir Seta. Tubuhnya berkelebat. Tangannya bergerak 

dan terdengar keluhan Supit Inten. Detik itu pula

tubuhnya tampak kaku tegang separti Inang Pini!

     "Ada lagi yang minta diberi pelajaran?!" tanya Lor 

Gambir Seta.

     Baru saja orang tua ini berkata Inang Resmi datang 

menyerbu. Dia menghantamkan kedua tangannya 

sekaligus. Dari telapak tangan kanan melesat sinar merah 

sedang dari telapak tangan kiri menghambur dua lusin

senjata rahasia berbentuk paku rebana berwarna hitam.

Senjata rahasia ini sebelumnya telah direndam dalam


racun ular selama satu tahun. Siapa saja yang terkena

paku rebana ini paati akan menemui kematian dalam 

waktu satu jam!

     Menurut Sumo Kebalen, paling tidak enam dari dua

lusin senjata rahasia adik separguruannya akan dapat 

menghantam tubuh Lor Gambir Seta yang dlanggapnya 

Rangga Lelanang itu. Memang dalam ilmu melemparkan 

senjata rahasia Inang Resmi telah digembleng khusus 

selama tiga tahun dan merupakan yang terlihay di antara 

Empat Teratai Darah.

    Lor  Gambir  Seta  maklum  kalau  bahaya besar

mengancamnya. Si gadis benar-benar inginkan nyawanya. 

Sambil melompat dan beraeru nyaring, kakek itu pukulkan 

tangan kirinya. Dua lusin paku rebana hitam mencelat ke 

atas, menancap pada langit-langit rumah makan yang 

terbuat dari papan. Sinar merah yang tadi juga dilepaskan 

si gadis, mengenai tempat kosong, terus melabrak dinding  

rumah makan hingga hancur berhamburan. Sura Gandara, 

si pemilik rumah makan menyumpah panjang pendek 

dalam hati. Hari itu bukan keuntungan yang  didapatnya, 

malah bencana yang merugikan!

    Inang Resmi gigit bibirnya. Dua lusin paku rebana tidak 

berhaail. Dia akan coba tiga lusin sekaligus. Masakan tak 

ada  yang dapat menghantam  tubuh lawan? Gadis ini 

sudah siap melepaskan senjata rahasianya sebanyak tiga 

puluh enam buah ketika tiba-tiba dia terkesiap karena 

dilihatnya lawannya lenyap dari hadapannya.

    "Bangsat tua, kau bersembunyi di mana?!" bentak 

Inang Resmi. Tiba-tiba gadis ini mengeluh pendek.

Tubuhnya terhuyung ke depan lalu tak bergerak lagi.

Punggungnya dilanda totokan lihay. Membuat dia kaku

tegang dengan masih menggenggam tiga  lusin paku

rebana hitam

    Ketua Empat Teratai Darah mengeluh dalam hati.

    Tidak disangkanya kakek mata picak ini begitu

lihaynya. Namun menyerah tidak ada dalam kamusnya.


"Rangga Lelanang! Kalau tidak kubunuh kau hari

ini biar aku mati bunuh diri!" teriak Sumo Kebalen.

    Si kakek ganda tertawa. "Tak pernah kulihat manusia 

setololmu!" katanya. Lelu dengan sikap tak perduli dia 

menarik sebuah kursi dan duduk seenaknya.

    Sumo Kebalen menggereng. Lalu keluarkan suara

bentakan dahsyat. Seluruh bangunan rumah makan

bergetar. Pemilik rumah makan  yang gemuk macam

kerbau bunting itu ketakutan, apa lagi pelayan-pelayan.

    Lor Gambir Seta melompat ke samping. Dinding di

belakangnya hancur berantakan. Sumo Kebalen potong 

gerakan lawan dengan satu tendangan ke arah perut. 

Tetapi tendangan ini hanya tipuan belaka karena secepat 

kilat dia susupkan satu jotosan ke pangkal leher lawan. 

Namun Lor Gambir Seta agaknya memang bukan 

tandingan kakek muka putih ini.

    Sewaktu tendangan lawan dilihatnya mengapung Lor 

Gambir Seta segera maklum kalau serangan itu tipuan 

belaka.  Kemudian ketika dilihatnya jotosan datang 

dengan deras, si picak ini cepat tundukkan kepala dan 

sekaligus menghantam paha kanan lawan dengan

lututnya. Sumo Kebalen terpental. Dia bergulingan di

lantai lalu cepat tegak kembaii.  Namun balum sempat

dia mengimbangi diri satu totokan hinggap di dadanya,

membuat dia  kini kaku tak  berdaya.  Empat Teratai

Darah kini tertegak di tengah rumah makan dalam ke-

adaan kaku tegang tak bisa bergerak. Cukup lucu me-

nyaksikan keadaan mereka saat itu.

     Sumo Kebalen kerahkan tenaga dalamnya ke dada

untuk membuyarkan  totokan. Tapi totokan itu bukan

totokan sembarangan. Kalau bukan Lor Gambir Seta

sendiri yang memusnahkannya, totokan itu baru lenyap

setelah tiga jam.

    "Keparat kau Rangga Lelanang! Pengecut!" maki Sumo 

Kebalen. "Lepaskan totokan ini. Mari kita berkelahi sampai 

seribu jurus!"


Lor Gambir Seta tidak perdulikan ucapan orang,

sebaliknya Wiro Sableng tertawa gelak-gelak dan mencibir 

ke arah Sumo Kebalen. "Kambing muka putih," katanya. 

"Legakmu hebat betui. Hendak berkelahi seribu jurus. 

Nyatanya kau sudah jadi pecundang di bawah sepuluh 

jurus!"

    Saking marahnya Sumo Kebalen lantas meludahi Wiro 

Sableng. Meski sudah mengelak namun tamplasan air 

ludah masih sampat mamercik di muka pandekar ini.

    "Sialan. Benar-benar sialanl" maki Wiro. Dibetotnya

ujung jubah Sumo Kebalen hingga robek. Kakek muka

putih ini terbanting ke lantai dan memaki panjang pendek. 

Wiro seka ludah di mukanya dengan robekan pakaian si 

kakek. Lalu robekan pakaian itu diludahinya berulang-

ulang, setelah itu dibuntainya bulat-bulat dan disumpal-

kannya ke mulut Sumo Kebalen hingga kakek ini megap-

megap, tercekik dan sulit bernafas.

    "Pendekar 212," kata Lor Gambir Seta, "Kalau kau

hendak mengisi perut cepatlah. Kita tak punya waktu

banyak."

    Wiro berteriak memanggil pelayan yang datang dengan

ketakutan. Makanan dan minuman yang dipesan segera 

dihidangkan. Wiro langsung menyantapnya. Lalu dia ingat  

pada orang tua di sebelahnya. "Hai, kau tidak makan?"

    Yang ditanya menggeleng. "Kau saja yang makan. Dan 

cepat"

    Sementara itu Supit inten, inang Pini dan inang Resmi 

tidak hentinya berteriak memaki-maki. Tapi baik Wiro 

maupun Lor Gambir Seta tidak perdulikan.

    "Rangga  Lelanang!" teriak Supit inten. "Aku 

bersumpah akan memisahkan kepala dan tubuhmu!"

    "Nenek-nenek  tolol! Namanya bukan  Rangga 

Lelanang, tapi Lor Gambir Setai" jawab Wiro.

     "Rupanya si mata picak itu terlalu pengecut untuk  

mengakui namanya yang asli!" menukas Inang Resmi.


"Kalian bertiga  perempuan-perempuan cerewet.  Tak 

bisa diam! Mengganggu makanku saja!" damprat Wiro. 

Lalu dari dalam mangkok sayur diambilnya tiga buah 

melinjo dan dilemparkannya ke arah ke tiga perempuan 

itu. Langsung saja ketiganya jadi terbungkam tak bisa 

bicara lagi!

     Sumo Kebalen yang megap-megap di lantai jadi 

terbeliak. Kini disaksikannya sendiri, nyatanya pemuda 

rambut gondrong yang dlanggapnya tolol itu memiliki 

kepandaian menotok yang luar blasa. Pasti ilmunya tidak 

kalah dari si mata picak itu.

     Selesai makan Wiro melangkah mendekati Sumo 

Kebalen dan memeriksa pakaian kakek muka putih ini.

Dan kantong jubah sebelah kanan Wiro menemukan 

beberapa keping uang emas dan perak. Wiro mengambil 

sekeping uang perak menyodorkannya pada  Sura 

Gandara

     "ini pembayar harga makanan dan minuman. Lebih

dan cukup" Lalu dlangsurkannya lagi sekeping uang perak. 

"Dan ini untuk pembayar ganti kerusakan rumah 

makanmu!"

     Si gemuk Sura Gandara yang tahu jelas dari mana asal

uang Hu tentu saja tidak berani menerimanya.

    "Hai, ambilah" kata Wiro.

    "Aku tak berani, itu uang Sumo Kebalen. Nanti aku

dihajarnya" jawab Sura Gandara.

    "Kalau dia berani berbuat begitu, beritahu aku. Aku 

akan ganti menghajarnya!" sahut Wiro pula. Lalu dua 

keping uang perak Hu disusupkannya ke dalam saku 

pakaian pemilik rumah makan. Sura Gandara  merasa 

seolah-olah mengantongi bara panas!

***


BAB 9



SANG surya telah jauh menggelincir ke barat. Sinarnya 

yang sebelumnya putih memerak dan memerihkan jagat 

kini telah berubah redup kekuning-kuningan. Pada saat itu 

Wiro Sableng dan orang tua bermata satu sampai di 

sebuah pedataran berumput liar. Di ujung pedataran 

menunggu sebuah hutan belantara. Sejauh itu berjalan

baik Wiro maupun si orang tua tak satu pun pernah 

bicara.

    Wiro mengikuti saja si mata satu itu memasuki rimba 

belantara. Setelah masuk sejauh perjalanan dua kali 

peminuman teh, di pertengahan rimba nampak sebuah 

pondok kecil. Dinding dan atap bangunan ini sudah

bolong-bolong. Kaadaan pondok reyot ini hanya 

menunggu roboh saja lagi. Dugaan Wiro bahwa si kakek 

akan menuju ke pondok tersebut tidak meleset. Pintu 

pondok mengeluarkan suara berkereketan ketika dibuka. 

Kedua orang ini masuk dan si kakek menutupkan pintu 

kembaii.

    Wiro memandang berkeliling. Tak ada jendeia atau

lobang angin. Lama-lama terasa pengap di dalam situ. Di 

mana-mana abu menebar. Di sudut-sudut pondok tampak 

labah-labah membuat sarangnya.

    "Perlu apa kita masuk ke sini kalau cuma tegak dan

membisu begini rupa?" tanya Wiro akhirnya kesal.

    Orang tua itu tak menjawab. Dia berdiri tanpa bergerak 

dengan kepala setengah mendongak. Kelihatannya dia 

seperti tengah memasang telinga tajam-tajam.

    "Kita menunggu seseorang di sini?" tanya Wiro lagi.

    Tetap tidak ada jawaban, ini menjengkelkan murid 

Sinto Gendeng. Ketika dia  hendak membuka mulut

kembali tiba-tiba Lor Gambir Seta melangkah ke salah


satu sudut pondok. Dilihatnya orang tua ini menggerakkan 

jari-jari tangannya, menekan salah satu bagian dari tlang

pondok yang sudah lapuk dimakan bubuk.

    Wiro terkejut dan hampir tak percaya ketika tiba-tiba 

lantai pondok yang terbuat dari papan itu membuka di 

sebelah tengah dan di bawahnya kelihatan sebuah tangga 

batu, menurun menuju sebuah gang.

    Lor Gambir Seta melangkah menuruni tangga setelah 

terlebih duiu memberi isyarat pada Wiro agar mengikuti. 

Melihat sikap si mata satu ini yang terus-terusan terasa 

aneh, mau tak mau lama-lama pendekar kita jadi curiga.  

Dia tak mau mengikut turun dan tetap di tempatnya.

    "Lekas masuk!" kata Lor Gambir Seta ketika dilihatnya 

Wiro tak bergerak.

    Wiro menggeleng.

    "Terus terang aku mulai curiga terhadapmu, orangtua!"

    "Curiga atau tidak lekas masuk. Aku tak punya waktu 

lama!"

    "Soal waktu itu urusanmu. Cukup aku mengikutimu

sampai di sini. Selamat tinggal" Wiro putar tubuh dan

siap melangkah keluar pondok. Namun ucapan si kakek

membuatnya kemudian batalkan niat.

    "Kau ingin melihat dunia persilatan musnah di tangan 

manusia jahat itu? Kau ingin pembunuhan, penculikan dan  

pemerkosaan berlangsung terus sampai kiamat? Hingga  

kelak pada suatu ketika aku dan juga kau bakal menjadi 

korban keganasannya?"

    Wiro jadi garuk-garuk kepala. Lalu menjawab: "Kakek 

aneh, kalau kau memang punya maksud baik, kenapa kau 

terlalu banyak merahasiakan segala sesuatunya padaku? 

Kau selalu menutup mulut. Tak pernah menjawab setiap 

kutanya. Bukan mustahil kau memang Rangga Lelanang

seperti yang dikatakan oieh Empat Teratai Darah!"

    "Siapa diriku setiap orang boleh menduga seribu cara 

seribu macam. Maksud baikku terhadap dunia persilatan 

tak ada artinya. Tidak beda dengan setetes air yang 


dicemplungkan ke dalam lautan. Kalau kau tak mau ikut 

aku, perduli setan. Asal jangan kau nanti menyesal

seumur hidup sampai ke llang kubur!"

    Habis berkata begitu Lor Gambir Seta kembali 

menuruni tangga batu. Wiro bersiul, garuk-garuk kepala.

    Tiba-tiba dari mulut gang sebelah  bawah tangga

batu menggema satu suara halus tapi amat jelas.

    "Pendekar 212 jangan terlalu banyak bercuriga. Kau 

berada di tengah-tengah orang-orang yang satu haluan..."

    "Heh... siapa pula yang bicara itu?" tanya Wiro

Sableng.  Dilihatnya Lor Gambir Seta terus melangkah

menuruni tangga. Akhirnya pendekar kita melangkah juga 

mengikuti kakek mata satu itu. Begitu sampai di anak 

tangga terakhir,  bagian atas iobang tertutup dengan 

sendirinya. Keadaan kini jadi gelap gulita. Tapi Lor Gambir 

Seta melangkah cepat seperti dalam terang saja, seolah-

olah dia punya mata lebih dari satu! Wiro setengah 

memaki tetapi juga penuh rasa ingin tahu mengikuti terus.  

Lorong itu ternyata amat panjang. Akhirnya mereka 

sampai di hadapan sebuah pintu batu berwarna putih.  

Wiro berpikir-pikir siapa gerangan orang yang tadi 

mengeluarkan suara halus tapi jelas itu. Pasti orangnya 

ada di belakang pintu itu. Dan pastilah dia seorang 

manusia luar blasa karena sanggup mengirimkan suara 

sedemikian jauh.

    Lor Gambir Seta mengetuk pintu batu itu. Pintu

bergeser ke samping secara aneh. Di belakang pintu

kelihatan sebuah lorong panjang diterangi lampu-lampu 

minyak. Keduanya memasuki iorong. Pintu batu putih di 

belakang mereka menutup dengan sendirinya. Pada ujung 

lorong muncui sebuah pintu batu yang kali ini berwarna 

merah. Seperti tadi kembali Lor Gambir Seta mengetuk 

pintu batu ini tiga kaii. Pintu terbuka.

    Di hadapan Wiro tampak sebuah ruangan amat besar 

yang keseluruhan lantai, dinding dan langit-langitnya 

tertutup permadani berbunga-bunga. Di ujung kamar 


terdapat sebuah jendela. Jauh di belakang jendela tampak 

sebuah sungai dengan air terjun yang tinggi. Segaia 

sesuatunya  di luar jendela itu adalah rimba belantara 

yang tak pernah dijejaki manusia.

    Yang menarik perhatian Wiro saat itu ialah dua orang 

yang berada di samping kanan ruangan besar. Yang  satu  

seorang kakek berbadan gemuk macam gentong, tetapi 

mengenakan pakaian yang kekecilan.

Orang ini berbaring melunjur di atas sebuah kursi malas. 

Sebatang pipa terselip di sela bibirnya. Asap pipa itu 

menaburkan bau yang tidak sedap.

    Di sebelah si gemuk duduklah seorang tua berjanggut 

putih. Di pangkuannya terletak dua buah bumbung tuak. 

Meskipun orang ini agak membelakang, tapi Wiro segera 

mengenalinya.

    "Dewa Tuak!" Wiro berseru memanggil.

    Orang yang dipanggil tidak berpaling, melainkan

keluarkan suara tertawa bergelak, lalu berkata: "Cepatlah 

masuk Wlro. Agar kita bisa lebih lekas berunding

mengatur rencana."

    Wiro kerenyitkan kening. Sesaat dia memandang pada

Lor Gambir Seta. Selagi si mata satu ini menutup pintu 

batu merah, Wiro melangkah ke hadapan kakek janggut 

putih yang dipanggilnya Dewa Tuak, lalu menjura dalam, 

dan juga menjura pada  Si gemuk di kursi malas. Menurut 

dugaan Wiro si gemuk inilah tadi yang telah mengirimkan 

suara jarak jauh.

    "Duduk..." si gemuk mempersilahkan. Suaranya halus. 

Wlro duduk di kursi yang terletak di samping Dewa Tuak 

sementara Lor Gambir Seta mengambil kursi lain.

    "Guru, harap maafkan," kata Lor Gambir Seta pada si 

gemuk yang menghisap pipa. "Dua bulan mencari baru 

aku berhasii menemui pemuda ini."

    "Ah, ternyata si gemuk ini guru si picak," kata Wiro

dalam hati.


Si gemuk menyedot pipanya dalan-dalam, lalu me-

niupkan asap tampak dia membuka muiut. Wiro me-

nyangka si gemuk ini hendak muiai bicara. Ternyata dia

menguap lebar-lebar dan lama sekali

    "Jika satu jam saja kalian terlambat, pasti aku sudah 

tidur lagi. Dan segaia sesuatunya akan percuma saja 

karena aku tak akan bangun dalam tempo enam kali bulan 

purnama!" kata si gemuk pula. Suaranya halus dan 

sember.

    "Dapatkah kita mengatur rencana sekarang?' tanya

Dewa Tuak sambil usap-usap bumbung tuaknya.

    Si gemuk untuk kedua kaiinya menguap tebar dan

panjang hingga matanya tampak berair.

    "Dewa Tuak," Wiro menyeling. "Mohon dijelaskan

dengan orang gagah dari manakah saat ini aku ber-

hadapan dan siapa nama atau gelarnya. Lalu bagaimana 

pula kita sampai bisa bertemu di sini."

    "Semuanya telah diatur," memberitahu Lor Gambir

Seta.

    "Ya, ya. Diatur untuk satu rencana besar," sambung

Dewa Tuak.

   "Jelasnya rencana besar apa?" tanya Wiro kembali.

   Si gemuk berdehem beberapa kali. "Aku akan terang-

kan anak muda. Aku akan terangkan." Dia menoleh

pada Dewa Tuak. "Coba terangkan dulu siapa aku ini

padanya...."

    Dewa Tuak mengangguk lalu berkata, "Wiro, saat ini 

kita berada di tempat kediaman tokoh paling tua di dunia 

persilatan. Umurku lebih dari delapan  puluh tahun. Tapi si 

gemuk ini berusia dua kali umurku...."

   "Busetl" terlompat kata-kata itu dari mulut Wiro secara 

tak sengaja saking kagetnya. Menyadari ketidaksopanan-

nya  buru-buru pemuda ini minta maaf. Dan Dewa Tuak 

melanjutkan penjelasannya. "Dia tokoh silat paling tua. 

Juga paling gemuk. Beratnya hampir dua setengah  

kwintal. Di samping itu dia mendapat cap sebagai manusia 



paling malas di seluruh dunia karena sifatnya yang doyan 

tidur, itu sebabnya dalam dunia persilatan dia diberi nama 

Si Raja Penidur!"

    Terbelalaklah Wiro Sableng ketika mendengar siapa 

adanya si gemuk itu. Selagi digembleng di puncak gunung 

Gede oleh gurunya Eyang Sinto Gendeng, sang guru 

pernah menerangkan bahwa satu-satunya manusia yang 

dlanggap paling tinggi ilmu kepandaiannya dalam dunia 

persilatan ialah seorang lelaki gemuk bergelar Si Raja 

Penidur. Usianya sudah amat lanjut. Karena sifatnya yang 

pemalas dan suka tidur, dia jarang muncul dalam rimba 

parsilatan, karenanya kurang dikenal. Menurut Eyang 

Sinto Gendeng kalau sekali Raja Penidur ini tidur maka 

tiga sampai empat bulan mungkin belum bangun-bagun 

sekalipun gunung meletus dibawah ranjangnya.

    Kini Wiro tahu itulah sebabnya Lor Gambir Seta selalu 

mendesak agar cepat-cepat dalam perjalanan. Wiro benar-

benar tidak menduga kalau hari itu dia bakal bertemu 

muka dengan tokoh nomor satu itu.

    "Sekarang soal rencana," kata SrRaja Penidur. Tapi

ucapannya terputus karena lagi-lagi menguap dan kucak-

kucak mata. "Meskipun aku bisanya cuma tidur dan malas-

malasan di sini, tapi apa yang terjadi di dunia persilatan 

tidak luput dari perhatianku. Beberapa tokoh silat 

berkunjung ke sini tiga buian lalu dan menerangkan 

semua kejadian di luar sana.  Kejadian-kejadian yang 

benar-benar menggegerkan,  biadab terkutuk serta tak 

mungkin dibiarkan lebih lama." Si gemuk ini berhenti 

sesaat untuk menguap, baru meneruskan.

    "Menurut hematku hanya ada satu manusia yang 

memiliki ilmu siluman dan mampu terbuat seperti itu yakni

Datuk Siluman dari Bukit Hantu. Maka kusuruh muridku

Lor Gambir Seta untuk melakukan penyelidikan. Siapa

sebenarnya keparat biang bencana itu dan di mana dia

bercokol. Ternyata diketahui Datuk Siluman sudah mati. 

Tertembus di bawah runtuhan rumahnya, atau dibunuh 


orang atau bunuh diri. Ini memberi pengertian bahwa ada 

seorang lain yang jadi penimbul malapetaka itu, dengan 

ilmu mirip sekali seperti yang dimiliki Datuk Siluman. Dan 

penyelidikan muridku ternyata tidak sia-sia.... Ah... aku 

mengantuk. Tak tahan beratnya mata ini. Aku mau 

tidur...."

    "Guru!" berkata Lor Gambir Seta. "Jika kau tidur

percumalah semua ini!"

    Si Raja Penidur menguap, lalu mengulet dan geleng-

gelengkan kepalanya berulang kali untuk membuang 

kantuk. Setelah menyedot pipanya dalam-dalam baru dia 

melanjutkan: "Bangsat penimbul malapetaka keji itu 

bernama Sonya.  Dia bercokol di sebuah goa yang 

bangunan dalamnya tidak beda dengan tempatku ini. Goa 

itu terletak di Teluk Gonggo!" Si gemuk kembali menguap.  

"Sonya memiliki ilmu siluman  yang luar biasa. Mungkin 

dia bukan murid Datuk Siluman karena sejauh kuketahui 

Datuk Siluman tidak punya murid. Tetapi tidak bisa tidak 

manusia biadab ini pasti memiliki hubungan dengan Datuk 

Siluman. Ilmu hitamnya lebih tinggi dari langit, lebih 

dalam dari lautan. Dan celakanya dia tidak bisa mati, tidak 

bisa dibunuh!"

    Wiro batuk-batuk lalu berkata: "Raja Penidur, aku tolol 

ini mohon penjelasanmu. Bagaimana ada manusia yang 

tidak dapat dibunuh, tidak bisa mati!  Setiap makhluk 

hidup pasti mati. Itu hukum Yang Kuasa!"

    Dewa Tuak dan Lor Gambir Seta tersenyum. Rupanya 

kedua orang  ini sudah tahu banyak tentang manusia 

bernama Sonya itu.

    "Apa yang kau katakan itu memang benar, orang

muda," jawab Raja Penidur. "Tapi Sonya bukan manusia

biasa lagi, tak dapat disebutkan manusia. Dia malah sudah 

melebihi siluman. Dan hanya akan mati bila kita meng-

etahui titik kelemahannya atau pantangannya. Kabarnya 

dia punya dua pantangan. Aku cuma tahu satu, sialan 

betul!" Raja Penidur kembali menguap. Dia memandang 


pada Lor Gambir Seta dan berkata: "Muridku, jelaskan 

padanya pantangan itu."

    Lor Gambir Seta mengangguk. "Ketinggian ilmu

kesaktian dan kehebatan ilmu kebal manusia siluman

ini akan punah bilamana tubuhnya terkena air hujan."

    Wiro garuk-garuk kepala sedang Dewa Tuak 

kerenyitkan kening sambil usap-usap janggutnya yang

putih.

    "Aneh dan hampir takmasuk akal..." kata Dewa Tuak.

    "Memang setiap ilmu siluman selalu diselimuti 

keanehan," kata Lor Gambir Seta.

    Raja Penidur menyambung. "Rasanya Sonya tidak

sendirian. Selain memelihara puluhan perempuan

culikan, dia juga dikelilingi oleh tokoh-tokoh silat baik

dari golongan putih maupun hitam. Mereka menjadi

budaknya diluar sadar. Perempuan-perempuan malang

itu harus diselamatkan. Juga tokoh-tokoh silat golongan 

putih. Terhadap mereka dari golongan hitam kalian tak 

usah ragu-ragu bertindak. Jika selama ini mereka sukar 

diatur dan sulit dibasmi, kali ini kalian punya kesempatan 

untuk turun tangan. Persoalannya kuserahkan pada kalian 

bertiga...."

    "Raja Penidur," berkata Wiro. "Kau bilang persoalannya 

kini pada kami bertiga. Jika tokoh-tokoh silat kawakan 

sebelumnya tak berhasil membakuk manusia siluman itu, 

bagaimana mungkin aku yang masih hijau ini bisa turun 

tangan?"

    Si gemuk tertawa mengekeh. "Jangan terlalu me-

rendahkan diri orang muda. Siapa yang tidak tahu Sinto

Gendeng? Siapa yang tidak pernah dengar muridnya

yang berjuluk Pendekar 212? Aku yakin kalian bertiga

bisa bekerjasama membantai manusia siluman terus lagi

pula ingat akan satu ujar-ujar. Kapal besar belum tentu

tenggelam oleh ombak besar. Tetapi mungkin tenggelam 

oleh bocor kecil. Dewa Tuak, ingat, kau bertugas

membawa air hujan dalam bumbung bambumu itu!"


Dewa Tuak usap-usap bumbung bambunya. "Ah,

malang nian nasibku kali ini. Agaknya aku terpaksa

puasa minum tuak selama menjalankan tugas ini!"

    "Lor Gambir Seta, kau punya tugas menyelamatkan

tokoh-tokoh golongan putih yang disekap di Teluk

Gonggo. Dan Wiro, kau berkewajiban membasmi mereka 

yang dari golongan hitam!"

    "Lalu bagaimana dengan perempuan-perempuan

yang puluhan itu dan kabarnya cantik-cantik? Siapa

yang dapat tugas menyelamatkan?" tanya Wiro.

    Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. Lor Gambir Seta

senyum-senyum sedang Si Raja Penidur kembali 

menguap.

    "Mereka sudah barang tentu harus diselamatkan. Aku 

percaya kau bisa mengaturnya Wiro," jawab Si Raja

Penidur kemudian.

    "Kau sendiri tidak ambil bagian dalam tugas besar ini?'

    "Aku...?" ujar Raja Penidur ketika mendengar per-

tanyaan Wiro itu. Dihembuskannya asap pipanya jauh-

jauh. "Perlu  apa aku  turun tangan  mencapaikan diri.

Lebih enak tidur di sini!" Dia menguap kembali.

    "Kalian saksikan sendiri," kata Lor Gambir Seta sambil 

menggoyangkan kepala ke arah gurunya yang

sudah pulas. "Baru delapan minggu yang lalu dia bangun 

setelah tidur selama empat bulan. Dan kini sudah pulas 

lagi. Untung kita lekas sampai di sini. Kalau tidak berarti 

dunia persilatan akan terus tenggelam dalam malapetaka 

sampai beberapa bulan dimuka!"

    Wiro hanya garuk-garuk kepala. Telah banyak di-

lihatnya tokoh-tokoh silat bersifat aneh. Tapi si gemuk

satu ini nomor satu aneh!


BAB 10


ANGIN bertiup kencang, memapasi lari tiga ekor kuda 

yang dipacu menuju ke utara. Dari debu yang melekat di 

tubuh kuda serta para penunggangnya nyata  bahwa 

mereka telah menempuh perjalanan jauh. Sekeluarnya 

dari rimba belantara mereka memasuki daerah berpasir 

yang ditumbuhi pohon kelapa.  Orang-orang ini adalah 

Pendekar 212 Wiro Sableng, Lor Gambir Seta dan Dewa 

Tuak. Meraka menghentikan kuda masing-masing di ujung 

bukit pasir yang terjal.

    "Kita berhenti di sini. Perjalanan dilanjutkan dengan 

jalan kaki," kata Lor Gambir Seta seraya melompat turun 

dari punggung kuda, diikuti dua orang lainnya.

"Tapi ada beberapa hal penting yang harus kuterangkan

pada kalian. Sonya manusia siluman berhati iblis itu

memiliki ilmu-ilmu luar biasa. Tiga di antaranya amat

berbahaya. Pertama  yang  disebut Cakar Siluman.

Karenanya dalam menghadapinya nanti jangan terlalu

dekat. Ilmunya yang kedua  bernama Asap Jalur Penidur. 

Jika seseorang sampai terlingkar oleh asap tersebut pasti 

akan menjadi lemah dan jatuh tidur, ilmu ketiga, ini yang 

paling berbahaya ialah Asap Tenung Siluman. Siapa yang 

sampai menciumnya pasti berubah jalan  pikirannya  dan 

merasa bahwa dia adalah budak atau hamba sahaya 

Sonya. Dengan demikian Sonya bisa menyuruhnya 

berbuat apa saja! Karenanya begitu berhadapan dengan 

manusia siluman itu harus dapat menyiramkan air 

pantangan berupa air hujan ke tubuhnya!"

    Setelah memandang berkeliling sejenak Lor Gambir 

Seta memberi isyarat untuk meneruskan perjalanan.

Pada saat dia dan Wiro mulai melangkah, di sebelah

belakang Dewa Tuak keluarkan dua buli-buli kecil dari


balik pakaiannya. Seperti telah diketahui, karena dua

bumbung bambu yang dibawanya kini diisi air hujan

maka dia terpaksa membawa tuak kegemarannya di

dalam buli-buli tersebut. Dibukanya tutup buli-buli lalu

mendongak dan mulai meneguk minuman itu.

    Tiba-tiba Dewa Tuak turunkan buli-bulinya dan

menyemburkan air minuman dalam mulutnya ke depan.

   Delapan buah pisau terbang yang meluncur ke arah

Lor Gambir Seta dan Wiro Sableng runtuh ke tanah.

    "Bangsat! Siapa yang berani membokong!" bentak

Dewa Tuak. Wiro dan Lor Gambir Seta terkejut, cepat

berpaling dan baru menyadari bahwa keduanya baru

saja diselamatkan oleh kakek janggut putih itu.

    "pisau itu melesat dari arah bawah tebing pasir!

Pasti pembokong itu ada di sana" kata Dewa Tuak. Buli-

buli tuaknya disimpan lalu dia melompat ke bawah bukit 

pasir, diikuti Wiro dan Lor Gambir Seta.

    Selagi ketiganya melayang di udara. Tiga lusin pisau 

terbang menderu lagi ke arah meraka.

    "Keparat!" maki Wlro. Tangan kanannya dlpukulkan

ke depan. Lor Gambir Seta dan Dewa Tuak juga 

dorongkan telapak tangan kanan. Tiga puluh enam pisau 

maut itu mental, jatuh ke pasir.

    "Bangsat! Lekas keluar dari balik batu" teriak Wlro.

Dia melihat jelas, serangan pisau itu keluar dari balik

sebuah batu besar.

    Ketika ditunggu tak ada yang keluar, Wiro lepaskan

pukulan "Kunyuk Melempar Buah". Satu gumpal angin

keras laksana batu karang menghantam batu besar itu

dengan dahsyatnya hingga hancur barantakan. Di saat

itu pula terdengar suara jeritan. Di balik batu besar yang

telah hancur tampak tiga lelaki bermuka hitam.

    Yang satu menggeletak dengan dada hancur. Dua

lainnya masih untung hanya menderita luka dalam.

Setelah terhuyung sasaat, keduanya lantas cabut senjata 

dan menyerbu ke arah Wiro dan kawan-kawan.



"Mereka pasti budak-budak Sonya" seru Lor Gambir 

Seta dan berkelebat menotok lawan yang menyerangnya. 

Sebaliknya Wiro tak memberi ampun. Orang yang coba 

menebaskan senjatanya ke lehernya dihantam di bagian 

dada dengan jotosan tangan kiri hingga muntah darah dan 

terkapar di pasir.

    "Muka hitam!" sentak Lor Gambir Seta seraya 

menjambak rambut orang yang berhasil ditotoknya. "Se-

belum kau jadi budak manusia siluman bernama Sonya,

apakah kau dari golongan hitam atau putih?!"

    "Apa perdulimu, mata picak?!" jawab si muka hitam.

    Lor Gambir Seta  menggereng. Dewa Tuak mem-

bisikkan sesuatu kepadanya. Lor Gambir Seta lalu ber-

kata: "Nyawamu kuampuni. Tapi lekas beri tahu di mana

sarangnya Sonya I"

    Si muka hitam terlawa. "Baik, tapi lepaskan dulu

totokanmu!"

    Tanpa curiga Lor Gambir Seta lepaskan totokan di

tubuh si muka hitam. Tetapi begitu totokannya terlepas

secepat kilat si muka hitam hantamkan tinjunya ke batok 

kepala sendiri! Dia menggeletak mati dengan kepala

rengkah

    "Kalian saksikan sendiri!" ujar kakek mata picak itu

antara terkesiap dan juga penasaran. "Dia sudah men-

jadi kerbau yang sangat, patuh pada Sonya. Lebih suka

bunuh diri daripada berkhianat!"

    Ketiganya lalu melanjutkan perjalanan menempuh

pedataran pasir penuh pohon kelapa. Selang beberapa

lama mereka sampai di tepi pantai  berbentuk cekung

setengah lingkaran. Angin laut bertiup lembut dan air

laut tampak tenang.  Burung elang beterbangan di udara. 

Pemandangan di sini indah sekali. Inilah Teluk Gonggo. Di 

sini pulalah manusia siluman Sonya membuat markasnya. 

Tapi di sebelah mana?

    Ketiga orang ilu bergerak dengan hati-hati. Bukan

mustahil mereka bakal mendapat rintangan-rintangan


Penulis : Bastian Tito

Creatid : matjenuh channel

Blog :https://matjenuh-channel.blogspot.com



"Tapi ada serang gonggonya begitu, mana mungkin?" 

ujar Wiro.

    "itu bukan sembarang gonggo. Aku akan buktikan," 

kata Lor Gambir Seta. Diikuti oieh kedua orang itu dia

menghampiri mulut lobang. Membaui manusia di dekat-

nya, gonggo besar itu mulai menggerakkan kaki-kakinya. 

Pandangan matanya membuas dan dari mulutnya keluar

sebentuk lidah aneh bercabang dua berwarna hijau 

berkilat-kilat tanda mengandung racun jahat.

    Lor Gambir Seta mengambil sehelai sapu tangan. 

Benda ini di buntalnya lalu dilemparkan ke serang gonggo.

Secepat kilat binatang ini menyambar dan menghancur 

luluhkannya.

    Wiro membungkuk mengambil sebuah batu sebesar 

setengah kepalan. Batu ini dilemparkannya ke sarang 

gonggo. Seperti sapu tangan tadi, batu ini pun dilumat 

hancur oleh gonggo itu dalam waktu singkat! Mata 

Pendekar 212 membeliak menyaksikan hal ini.

    "Hebat...! Hebat!" kata Dewa Tuak. "Aku mau tahu 

apakah binatang ini doyan tuakku!" Lalu diteguknya tuak 

dalam buli-buli. Tiga teguk berturut-turut. Tegukan

pertama dan kedua ditelannya. Tegukan ketiga tetap 

dalam mulut dendengan mengerahkan tenaga dalam tuak 

itu disemburkannya ke arah gonggo di lobang batu.

    Kepala binatang itu hancur. Tubuhnya remuk ber-

keping-keping. Kaki-kakinya menggelepar dan putus-

putus. Sarangnya musnah. Sesaat kemudian terjadilah hal

yang aneh. Baik gonggo maupun sarangnya berubah 

menjadi asap hitam  untuk kemudian musnah tak 

berbekas.

    "Gonggo siluman!" desis Wiro.

    Lor Gambir Seta memberi isyarat. Ketiganya segera 

menyelinap ke dalam lobang dengan sangat hati-hati.

Ternyata lobang itu tidak seberapa dalam. Langkah

mereka terhenti oieh sebuah pintu papan.




"Awas, kurasa ini pintu siluman dengan berbagai 

senjata rahasia," kata Dewa Tuak memperingatkan.

    Lor Gambir Seta mengangguk. Dia memberi tanda agar 

kedua orang Ku bertiarap. Lalu tangan kanannya 

dipukulkan ke depan.

    "Braakl"

    Pintu papan hancur berantakan. Dikejap itu pula

beralur lima puluh batang golok terbang di atas tubuh 

ketiga orang yang bertiarap itu. Begitu senjata-senjata

maut itu lewat, ketiga orang teraebut cepat melompat dan 

menerobos masuk lewat pintu yang hancur. Mereka 

sampai ke sebuah ruangan besar yang penuh dengan 

puluhan manusia. Di hadapan mereka berdiri kira-kira dua 

puluh orang lelaki dan setengah lusin perempuan yang 

kesemuanya bermuka hitam. Mereka adalah tokoh-tokoh 

silat golongan putih dan hitam yang telah dicuiik dan 

dijadikan budak oleh Sonya. Dengan muka hitam begitu  

rupa sulit bagi Wiro dan kawan-kawan untuk mengenali 

mereka. Ini berarti mereka tidak mengetahui yang mana 

tokoh golongan hitam dan mana tokoh golongan putih 

yang harus mereka selamatkan.

    Di belakang jejeran orang-orang Itu, di satu lantai yang 

agak tinggi, duduklah seorang lelaki berusia se tengah 

abad, barwajah luar biasa seramnya. Rambutnya awut-

awutan, kumis dan cambang bawuk tidak terurus. 

Sepasang matanya menyorot ganas. Dia mengenakan 

pakaian buruk dekil penuh tambalan. Tubuh dan 

pakaiannya ini menebar bau yang sangat busuk!

    Di sekeliling si bau busuk ini, duduk bersimpuh lima 

belas orang perempuan.  Karena muka mereka tidak hitam 

maka dapat disaksikan bahwa mereka semua adalah 

gadis-gadis berwajah cantik. Dan yang membuat Pendekar 

212 jadi sesak nafas sedang Dewa Tuak serta Lor Gambir 

Seta menjadi jengah ialah bahwa kelima belas gadis itu 

tak satu pun mengenakan pakaian alias bertelanjang 

bulat!


Dari balik sebuah ruangan tiba-tiba muncul seorang

gadis yang parasnya cantik di antara semua gadis di 

ruangan  itu. Dia melangkah tanpa pakaian menghampiri 

lelaki berpakaian buruk dekil itu dan langsung duduk di 

pangkuannya.

    "Gila betul!" kata Wiro dalam hati.

    Gadis itu bukan lain adalah Dwiyana, murid Akik Mapei. 

Akik Mapei sendiri saat itu duduk di sudut ruangan 

beraama yang lain-lainnya. Mereka siap menyerbu tiga 

orang  yang baru datang itu, hanya menunggu perintah 

majikan mereka.

    Lor Gambir Seta berbisik pada Wiro dan Dewa Tuak: 

"Keparat yang berpakaian rombeng busuk Sonya yang 

harus kita lenyapkan. Kita harus bertindak cepat!"

    Sebelum ketiga orang ini bergerak tiba-tiba di antara 

orang banyak menyeruak empat manusia bermuka hitam. 

Satu laki-laki dan tiga perempuan.

    Meski tidak dapat mengenali wajah mereka tetapi

dari jubah putih berbunga teratai merah yang mereka

kenakan, Wiro Sableng serta Lor Gambir Seta segera

mengetahui bahwa keempat orang ini bukan lain adalah

Empat Teratai  Darah yang beberapa hari lalu pernah

bentrokan dengan mereka di sebuah rumah makan.

Bagaimana keempat orang ini tahu-tahu sudah berada

di sarangnya Sonya?

    Tiga jam setelah ditotok oleh Lor Gambir Seta,

totokan di tubuh Empat Teratai Darah punah dengan

sendirinya. Penuh rasa dendam, keempatnya bermaksud 

untuk menemui seorang tokoh silat golongan hitam guna 

minta bantuan. Dalam perjalanan itulah mereka

berpapasan dengan Sonya. Mengetahui bahwa Empat

Teratai  Darah merupakan kelompok berkepandaian tinggi 

dan cukup terkenal dalam peraitatan maka Sonya segera  

menyerang mereka dengan asap tenung siluman. Dalam

keadaan tak sadar keempat orang itu kemudian 

dibawanya ke Teluk Gonggo.


"Rangga Lelanang! Dan kau pemuda gondrong sedeng" 

membentak kepala Empat Teratai Darah yakni Sumo 

Kebalen. "Dicari-cari tidak ketemu. Akhirnya hari ini kailan 

datang mengantar nyawa!"

    "Hai! Kau rupanya “sahut Wiro seraya mencibir.

"Kalau aku tidak salah dulu mukamu putih macam kain

kafan. Sekarang  kenapa berubah jadi pantat dandang?!"  

Wiro lalu tertawa gelak-gelak dan diam-diam tangan 

kanannya meraba gagang Kapak Maut Naga Geni 212 

yang tersembunyi di balik pakaiannya.

    Di sampingnya Dewa Tuak keluarkan buli-bulinya

dan "gluk-gluk-gluk”, dia meneguk minuman itu 

seenaknya seolah-olah sedang berada di tempat per-

jamuan. Lor Gambir Seta sendiri sejak tadi sudah siapkan 

pukulan tangan kosong di tangan kiri sedang di tangan 

kanannya kini tergenggam sebuah senjata aneh yakni 

sebuah tanduk kerbau yang amat besar dan runcing salah 

satu ujungnya.

    "Pendekar 212” bisik Lor Gambir Seta. "Ingat, kita

harus bertindak cepat. Musuh-musuh golongan hitam

harus disingkirkan dulu sebelum Sonya turun tangan."

    Wiro mengangguk.

    Sumo Kebalen menggereng marah mendengar ucapan 

Wiro tadi. Dia melompat diikuti tiga adik seperguruannya. 

Wiro dan Lor Gambir Seta siap menyongsong.

    Wiro cabut senjatanya. Sinar putih berkiblat ketika

Kapak Maut Naga Geni 212 mulai beraksi. Terdengar

suara mengaung laksana seribu tawon mengamuk. Dilain 

kejap Empat Teratai Darah sudah menggeletak dilantai. 

Mereka menemui ajal tanpa mengeluarkan sedikit suara 

pun saking cepatnya sambaran senjata Wiro. Dan mereka 

tidak pernah tahu senjata apa yang telah menamatkan 

riwayat mereka.

    Lor Gambir Seta tertegun melihat gebrakan kilat yang 

dibuat Wiro. Orang tua mata satu ini sudah sejak lama 

mendengar kehebatan pendekar gondrong ini, tapi baru 


hari ini dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jika 

saja bukan di tempat itu terjadinya, pastilah dia akan 

berseru memuji.

    Sementara itu Dewa Tuak yang sudah tahu banyak

tentang Wiro tertawa gejak-gelak dan teguk tuaknya.

Begitu suara tawanya lenyap tempat itu telah berubah

jadi kacau balau. Gadis-gadis yang telanjang berpekikan, 

lelaki-lelaki bermuka hitam menggembor marah.

    Sonya bertepuk tiga kali dan berteriak:  "Hamba

Sahayaku! Bunuh tiga bangsat pangacau itu!"

    Laksana air bah orang-orang bermuka hitam serta

merta menyerbu. Dewa Tuak semburkan tuak dari 

mulutnya. Dua orang penyerang berteriak roboh dengan

tubuh bergelimpang darah. Teman-temannya yang ber-

hasil menyetamatkan diri segera mengeroyok Dewa Tuak. 

Tokoh silat berusia 80 tahun ini putar kedua bumbung 

bambunya. Tiga orang musuh lagi terjelepak oleh 

serangan yang tidak mereka duga ini.

    Baik Wiro maupun Dewa Tuak serta Lor Gambir Seta 

tidak dapat mengetahui mana para penyerang yang 

berasal dari golongan hitam dan mana  dari golongan

putih. Karenanya sebelum pertempuran berlangsung lebih 

jauh Lor Gambir Seta berteriak:

    "Manusia-manusia muka hitam berasal dari golongan 

putih dengar. Kami tidak mau kesalahan tangan.

Lekas mundur, selamatkan diri kailan!"

    Tapi otak manusia-manusia golongan putih itu telah 

terjebak dalam Ilmu siluman Sonya hingga tak satu dari 

mereka yang ambil peduli dan mendengar perintah itu.

    Dewa Tuak menyemburkan tuaknya tenis menerus. 

Tabung bambu dihantamkannya kian kemari. Selagi 

musuh menghindar Dewa Tuak pergunakan kesempatan 

ini untuk mendekati Sonya.

    Sonya melompat ke samping kiri. Matanya tidak lepas 

pada genangan air di lantai. Dari tempat yang

dirasakannya aman, dia keluarkan ilmu silumannya


yang bernama "Asap Jalur Penidur. Asap kecil hitam

melesat bergulung-gulung, melejit ke arah Dewa Tuak,

Lor Gambir Seta dan Wiro Sableng.

    "Lekas menyingkir" teriak Lor Gambir Seta.

***


BAB 11


SAMBIL berteriak Lor Gambir Seta melompat keluar 

menjauhi kalangan pertempuran. Dalam mundur menjauh 

ini dia sempat menotok dua lawan bermuka hitam yang 

menurut dugaannya adalah dari golongan putih.

    Pendekar 212 babatkan kapak saktinya ke depan. Asap 

siluman yang menyerbunya terpental dan buyar hingga 

dia selamat dari malapetaka. Lain halnya dengan Dewa 

Tuak. Tokoh kawakan ini hantamkan tangan kirinya ke 

atas. Asap hitam buyar namun dari samping membalik 

kembali dan menyerbu ke arahnya!

    "Celaka!" keluh Dewa Tuak ketika dirasakanya 

kepalanya mendadak pusing dan sepasang matanya men-

jadi berat laksana dicantoli batu Dia menahan nafas dan

kerahkan tenaga dalam. Lututnya goyah dan tubuhnya

mulai menghuyung. Namun dia masih sanggup bertahan 

dengan menutup seluruh inderanya.

    Melihat Dewa Tuak dalam bahaya Wiro segera 

bertindak cepat. Didahului teriakan menggelegar murid

Eyang Sinto Gendeng ini berkelebat. Tiga orang 

terjungkal. Dua bobol perutnya, satu lagi hampir tanggal 

lehernya. Selagi tubuhnya mengapung di udara, Wiro

lepaskan pukulan sinar matahari yang panas dan me-

nyilaukan. Asap siluman yang hampir menguasai Dewa


Tuak musnah. Dewa Tuak sendiri terpental dan jadi 

kalang kabut ketika sebagian janggut putihnya terbakar

oleh pukulan sinar matahari.

    "Gila! Edan! Ooala” teriak Dewa Tuak dan cepat

padamkan janggutnya yang terbakar.

    "Kurang ajar!" kutuk Sonya geram. Sedang matanya 

membersitkan sinar maut. Tak dapat dipercayanya kalau 

hari itu semua asap-asap ilmu silumannya dapat

dimusnahkan lawan, satu hal yang tak pernah kejadian

sebelumnya.

    Sonya mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara 

lalu kedua telapak tangannya disatukan dan saling 

digesek.

    “Gordal  Keluarlahl  Bunuh pemuda berambut

gondrong itu!"

    Serangkum asap hitam keluar dari celah kedua telapak 

tangan manusia siluman itu mengeluarkan suara 

mendesis. Asap itu kemudian berubah menjadi sesosok 

makhluk yang luar blasa seram dan besarnya. Kepalanya 

menyondok langit-langit ruangan yang tingginya hampir 

tiga meter itu. Sepasang matanya yang merah hampir 

sebesar buah kelapa. Mulutnya menyeringai memperlihat-

kan barisan gigi-gigi raksasa. Dia melangkah mendekati 

Wiro. Setiap langkah yang dibuatnya menggoyangkan 

lantai ruangan!

    Tiba-tiba makhluk bernama Gorda ini ulurkan kedua 

tangannya yang besar dan panjang, berbulu dan berkuku 

runcing. Wiro meskipun agak tergetar tapi cepat babatkan 

Kapak Naga Geni 212. Didahului sinar putih perak, senjata 

mustika itu membabat salah satu tangan Gorda. Makhluk 

ini menggerung dan melangkah mundur. Tangan kirinya 

hampir putus dan anehnya mengeluarkan darah seperti 

darah manusiai

    Menyadari bahwa senjatanya hanya mampu menciderai 

lawan maka murid Eyang Sinto Gendeng ini segera 

menggenjot tubuhnya dan melayang ke udara.


Sekali lagi Kapak Maut Naga Geni 212 berkilat.

    "Craass!"

    Terdengar separti suara ratusan srigala melolong

serentak. Kepala makhluk siluman itu menggelinding.

Darah bergenangan. Namun sessat kemudian sosok

tubuh siluman itu lenyap. Darahnya yang membasahi

lantai pun ikut lenyap tiada bekas!

    Sonya terkesiap melihat apa yang terjadi hingga dia

lengah ketika Pendekar 212 Wiro Sabieng kini menerjang 

ke arahnya dan membacokkan Kapak Maut Naga Geni 

212. Sonya tak punya kesempatan untuk mengelak. 

Senjata warisen Eyang Sinto Gendeng itu mendarat di 

dadanya dan "trangl" Terdengar bunyi keras. Tubuh Sonya 

tak bergerak sedikit pun. Kapak Naga Geni 212 laksana 

menghantam dinding baja yang maha atos. Inilah untuk 

pertama kaitnya senjata mustika sakti itu tidak mempan 

menghadapi kehebatan ilmu kebal siluman yang dimiliki 

Sonya. Dewa Tuak dan Lor Gambir terbeliak.

     Saking kagetnya Wiro sampai lupa penjagaan dirinya. 

Dia. terkesiap dengan mulut ternganga. Justru saat itulah

Sonya melompatinya dengan tangan kanan lancarkan 

serangan "Cakar Siluman yang sudah sama diketahui 

kehebatannya. Jangankan tubuh manusia, tembok besi 

pun pasti hancur dibuatnya. Kini Pendekar 212 lah yang 

tidak punya kesempatan untuk selamatkan diri.

     Satu detik lagi muka Wiro Sableng akan hancur remuk 

diremas cakaran siluman itu, tiba-tiba dari samping 

menderu air hujan yang disemburkan Dewa Tuakl Ketika 

air hujan itu menyirami tubuh  onya, terdengar suara

seperti air disiramkan di atas bara panas. Pakaiannya 

melepuh, kulit dan dagingnya mengelupas matang me-

ngepulkan asap dan mengumbar bau menjijikkan!

    Dewa Tuak semburkan sekali lagi air hujan dalam 

mulutnya. Tubuh Sonya bergetar hebat. Mukanya yang 

angker kelihatan seperti membesar. Pipinya menggem-

bung dan mulutnya tertutup rapat-rapat. Tiba-tiba mulut 


itu membuka dan terdengarlah jeritannya yang me-

ngerikan sepasang matanya membeliak. Dia lari bangun 

jatuh seputar ruangan, kadang-kadang bergulingan. 

Orang-orang bermuka hitam yang keseluruhannya telah 

ditotok oleh Lor Gambir Seta tampak berdiri gelisah. 

Sementara dari ruangan sebelah di mana gadis-gadis 

cantik tadi berkumpul, terdengar suara mereka memekik 

aneh.

    "Lekas kau selesaikan manusia siluman itu Wiro!"

kata Lor Gambir Seta.

    Pendekar kita ragu sejenak. Sambil pandangi Sonya 

dan kapaknya.

    "tak usah ragu. Hantamlah!" kata kakek mata picak itu.

    Wiro bergerak. Kapak Naga Geni 212 berkelebat. Untuk 

kedua kalinya senjata itu menghantam tubuh Sonya. Kalau 

tadi sama sekali tidak mempan, maka sekarang kelihatan 

bagaimana senjata itu hampir membabat putus pinggang 

Sonya. Anehnya dari luka besar di tubuhnya itu sama 

sekal! tidak mengeluarkan darah.

    Sonya terhuyung-huyung, lantai yang diinjaknya

laksana roboh. Tubuhnya terjungkal. Dari tubuh itu kini

mengepul asap, makin tebal dan makin hitam. Dari

mulutnya menggelepar jeritan dahsyat. Jeritan yang tidak 

beda dengan lolongan srigala. Begitu lolongan itu

berhenti maka putuslah nyawa manusia siluman ini.

    Bersamaan dengan matinya Sonya, maka lenyap

pulalah segala macam ilmu siluman yang menguasai

tokoh-tokoh silat yang ada di ruangan itu, yang selama

ini menjadi budak Sonya, disuruh membunuh dan 

menculik. Wajah-wajah yang tadinya hitam berkilat secara

aneh kini parlahan-lahan berubah menjadi muka manusia 

wajar. Mereka tampak terheran-heran begitu lepas dari 

kungkungan ilmu siluman. Memandang wajah-wajah 

mereka,  Wiro, Dewa Tuak dan Lor Gambir Seta segera 

mengenali mana-mana tokoh silat dari golonganputih. 


Murid Si Raja Penidur itu segera melepaskan totokan di 

tubuh mereka.

    Begitu bebas dari totokan, mereka samua menjura

dalam-dalam dan tiada hentinya mengucapkan terima

kasih. Beberapa di antara mereka ada yang berkaca-kaca 

matanya.

    Wiro memandang pada empat tokoh golongan hitam 

yang ada di di tempat itu masih dalam keadaan tertotok.  

"Apa  yang akan kita lakukan terhadap mereka?" tanya 

Wiro.

    "Jika mereka menyesal atas segaia perbuatan mereka 

di masa lampau dan selanjutnya mau menempuhhidup 

baik, aku akan beri ampunan pada mereka!"

jawab Lor Gambir Seta.

    Tanpa ditanya lagi empat tokoh silat itu serempak

membuka mulut, mohon ampun dan berjanji untuk

menempuh hidup baru yang benar. Lor Gambir Seta lalu

lepaskan totokan mereka. Keempatnya menjura, meng-

ucapkan terima kasih lalu tinggalkan tempat itu.

    Dewa Tuak menghela nafas dalam lalu teguk tuaknya. 

Dia menyumpah dan bantingkan buli-buli itu kelantai.

    "Sialan! Tuakku habisi" keluhnya. "Mati aku...!"

    Wiro tertawa gefak-gelak sedang Lor Gambir Seta cuma 

mengulum senyum.

    "Aku tak betah lagi di sini. Aku harus pergi. Aku harus 

dapatkan tuak! Kalau tidak bisa matil"

    "Aku pun harus pergi sekarang," berkata Lor Gambir 

Seta.

    "Hai tunggu!" Wiro tiba-tiba berseru.

    "Ada apa lagi pendekar?" tanya Lor Gambir Seta

sementara Dewa Tuak terus-terusan menggerutu.

    "Bagaimana dengan gadis-gadis cantik di ruangan

sebelah itu?" tanya Wiro.

    Dewa Tuak memandang sebentar pada Lor Gambir

Seta. Dewa Tuak kedipkan mata lalu kedua tokoh silat

itu sama-sama tertawa mengekeh.  Kakek yang ke-bakaran janggut itu lantas berkata: "Kami sudah tua

bangka, mana pantas mengurusi boneka-boneka itu.

Kau uruslah mereka. Tapi ingat, jangan main gila. Jangan 

berbuat apa yang dilakukan manusia siluman bernama 

Sonya  "itu"

    Selesai berkata begitu Dewa Tuak berkelebat pergi.

Disusul oleh Lor Gambir Seta.

   "Tunggu dulu!" seru Wiro. Tapi kedua tokoh itu sudah 

lenyap.

   Wiro garuk-garuk kepala.  Perlahan-Lahan dia 

melangkah ke ruangan sebelah. Ruangan itu ditutup oleh

sebuah pintu. Wiro membuka daun pintu. Begitu pintu

terbuka berpekikkanlah keenam belas gadis cantik tanpa 

pakaian di dalam sana. Kalau sebelumnya mereka tidak 

merasa malu sama sekali, setelah Sonya mati dan ilmu 

silumannya sirna, maka kini setelah kesadarannya pulih, 

gadis-gadis itu jadi kalang kabut. Mereka berusaha 

menutupi aurat masing-masing dengan kedua tangan. 

Tentu saja mereka tak dapat menyembunyikan banyak. 

Wiro menutup pintu dan kembali ke ruangan semula. Dia 

memandang pada tokoh-tokoh silat golongan putih yang 

masih di situ.

    "Dengar, kita butuh pakaian untuk gadis-gadis

itu..." kata Wiro.

    Seorang lelaki bermuka putih maju. Dia bukan  lain

adalah Akik Mapei alias Malaikat Berambut Kelabu.

    "Pendekar," katanya, "Di bawah ruangan ini ada

sebuah gudang. Sonya menyimpan segala macam barang 

di situ, termasuk pakaian gadis-gadis itu. Aku akan segera 

mengambilnya."

    "Cepatlah agar gadis-gadis itu tidak kedinginan,"

kata Wiro pula.

     Akik Mapei menekan sebuah tombol rahasia. Lantai 

ruangan terbuka. Tampak sebuah tangga menuju ke 

sebuah ruangan. Orang tua ini segera masuk. Di sini dia 

mengambil enam belas potong pakaian perempuan. Ketika 


hendak keluar kepalanya membentur sesuatu. Mendongak 

ke atas dilihatnya burung Nuri Merah dalam sangkar 

tulang. Akik Mapei tahu betul binatang ini adalah 

peliharaan kesayangan Sonya. Tak dapat membalas 

dendam terhadap pemiliknya, sebagai gantinya Akik Mapei 

membanting sangkar tulang Itu ke lantai dan

menginjak mati burung di dalamnya.

    Setelah mengenakan pakaian, enam belas orang gadis 

itu keluar dari dalam ruangan. Rata-rata mereka me-

ngucurkan air mata, termasuk Dwiyana, murid Akik Mapei. 

Gadis ini kemudian memimpin kawan-kawan senasibnya 

menghaturkan terima kasih pada Wiro Sableng.

    Pendekar kita jadi jengah dan sambil garuk-garuk

kepala berkata: "Aku tak berani menerima ucapan terima 

kasih kalian. Ada orang lain yang lebih pantas meneri-

manya.  Dialah yang mengatur rencana penyelamatan ini. 

Orangnya berjuluk Si Raja Penidur!

    Tentu saja gadis-gadis itu tidak tahu siapa adanya Raja 

Penidur. Sebaliknya para tokoh silat yang ada tampak 

melengak kaget. Mereka tidak menyangka kalau manusia 

paling lihay di dunia persilatan itu masih hidup.

    "Kalau begitu sebaiknya kita menyambanginya ditempat 

kedlamannya," mengusulkan Akik Mapei. Semuanya 

setuju. Akik Mapei memimpin jalan, diikuti para tokoh 

silat, lalu Wiro Sableng yang diapit oleh keenam belas 

dara-dara cantik itu. Dia berjalan sambil senyum-senyum.

    "Eh, ada apakah?" berpaling Akik Mapei.

    "Ah,  kalian orang-orang tua jalan terus sajalah.

Biarkan kami orang-orang muda berjalan di belakang

sini seenaknya," jawab Wiro Sableng.

    Akik Mapei hanya bisa angkat bahu. Yang lain-lainnya 

mengulum senyum. Dan mereka berjalan terus.Teluk 

Gonggo semakin jauh di belakang mereka.

                     

                                         TAMAT


Penulis : Bastian Tito

Creatid : matjenuh channel


Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive