Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Rabu, 29 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - SERIGALA IBLIS

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com


SERIAL WIRO SABLENG
Srigala Iblis


1

KAPILATU  DUDUK  MENCANGKUNG  di  depan  Kiai  Talang  Bungsu  sambil mengipas kayu api penjarang air. Sang Kiai sendiri duduk bersila di atas selembar tikar butut yang  terletak  di  langkan  sebuah  gubuk  terbuat  dari  bambu.  Kedua  matanya  terpejam, mulutnya berkemik menggumam sementara jari-jari tangannya meluncur satu persatu di atas seuntai tasbih berwarna putih kehijauan.
Saat itu hampir menjelang tengah hari. Di puncak bukit yang tinggi itu teriknya sinar matahari  dikalahkan  oleh  sejuknya  udara segar. Justru  saat  itulah  Kapilatu  si pembantu melihat sesuatu yang tidak dimengerti nya. Sambil terus mengipasi kayu api dan matanya memandang  ke  arah  kanan,  mulutnya  berucap,  “Aneh,  siang-siang  begini  ada  kabut  di
bukit... ”
Sepasang mata Kiai Tawang Bungsu bergerak, tapi tidak membuka. Jari-jarinya yang menyelusuri untaian tasbih berhenti bergerak.
“Kau melihat kabut katamu, Latu...?” bertanya Kiai Talang Bungsu.
“Benar sekali Kiai,” jawab si pembantu.
“Di jurusan mana?” bertanya lagi sang Kiai.
“Kira-kira  dua puluh  langkah  di  sebelah  kanan  gubuk kita,  Kiai.  Searah  matahari terbit. Paras Kiai Talang Bungsu berubah.
“Yang kau lihat bukan kabut Latu. Ada seorang besar datang berkunjung...” kata Kiai Talang Bungsu. Kedua matanya perlahan-lahan dibuka. Tasbih dimasukkannya ke dalam sakujubah putihnya, lalu orang tua ini bangkit berdiri dan melangkah turun dari langkan ke tanah. Dia berjalan tujuh langkah ke arah timur diikuti pandangan mata Kapilatu yang terheran-heran.  Dalam hatinya pembantu ini berkata:  “Makin lanjut  usia orang tua ini, semakin banyak keanehan yang diperlihatkannya. Aku menampak kabut di seberang sana. Eh, dia bilang ada orang besar datang! Orang besar siapa...?“

Tepat  pada  langkah  ke  tujuh  Kiai  Talang  Bungsu  hentikan  langkahnya.  Dia memandang tak berkesip ke arah kabut putih yang menyelubung semakin banyak sejarak lebih sepuluh langkah di hadapannya.
Makin lama selubung kabut itu semakin tebal dan mendadak saja udara di bukit itu menjadi lebih dingin dari biasanya. Selebung kabut bergerak dan berubah aneh padabagian tengah  sampai  ke  atas.  Lalu  membentuk  seperti  bayang-bayang  manusia.  Dari  bayang- bayang berubah lebih jelas membentuk satu sosok tubuh yang hanya terdiri dari bagian pinggang ke atas. Bagian bawah tenggelam dalam selubung kabut aneh. Orang itu laksana melayang di awan.
Kapilatu terkesiap dan ternganga saking tidak percaya akan apa yang disaksikannya. Di-antara selubung kabut itu dia melihat satu sosok tubuh seorang tua berwajah gagah dan kelimis meskipun rambutnya yang disanggul kecil dan juga alis matanya berwarna putih keseluruhannya. Pada tangan kanannya dia memegang sebuah tombak emas bermata tiga yang memancarkan sinar kuning berkilauan.
“Manusia  atau  mahluk  jejadiankah  ini...?”  ujar  Kapilatu  dan  tengkuknya  terasa bergeming dingin. Perlahan-lahan dia beringsut ke belakang.
Ketika sosok tubuh yang muncul dari dalam kabut itu semakin jelas terlihat hingga hampir tidak beda dengan keadaan manusia biasa, Kiai Talang Bungsu menjura dalam- dalam lalu berucap:  “Sang Prabu, salam sejahtera untukmu. Ada gerangan  apakah  Sang Prabu berkenan berkunjung ke tempat saya yang buruk ini...?”
Orang tua berselempang kain putih menggerakkan tangan kanannya yang memegang tombak emas bermata tiga. Sinar kuning menyambar ke arah wajah Kapilatu. Langsung saja pembantu ini rebah ke tanah dan terbujur seperti orang tidur!
“Kiai Talang Bungsu, aku datang tidak lama. Di alam arwah aku merasa tidak tenang karena ada orang-orang titisan darahku dalam menjalani masa kutukan telah menambah dosa mereka dengan melakukan kejahatan keji. Membunuh dan menyiksa orang-orang tidak berdaya dan tidak berdosa. Semua terjadi karena keserakahan menuruti kata hati, hendak menguasai manusia lainnya demi kepentingansendiri, diatas kepentingan saudara bahkan di-

atas kepentingan orang tua! Mereka telah mencorengkanarang busuk ke mukaku, yang tak mungkindipupus oleh tabib manapun, tak mungkin hilang sampai aku masuk liang kubur
sekalipun!  Mereka  telah  terlanjur  hidup  dalam  kutukan,  menjadi                      separuh
manusia  separuh  iblis.  Keputusasaan  membuat  mereka  melakukan  perbuatan-perbuatan lebih jahat dari setan, lebih ganas dari iblis, lebih mengerikan dari pada hantu! Aku merasa tidak tenteram sebelum mereka dihancurkan sampai keakar-akarnya!”
“Sang Prabu, apa yang jadi perintahmu akan saya laksanakan. Hanya saja, kalau saya  boleh bertanya apakah insan separuh manusia separuh iblis yang sang Prabu maksudkan itu  adalah manusia-manusia srigala yang banyak gentayangan di rimba belantara Rekso Pratolo?” bertanya Kiai Talang Bungsu.
“Betul Kiai. Hancurkan mereka. Cuma, jangan samaratakan mereka. Ada beberapa
gelintir yang menjadi mahluk iblis karena kemurkaan         kutukanku. Tapi mereka tidak
melakukan    kejahatan.    Untuk    mereka                       mendatang    menjadi    saat-saat

pengampunan...
“Saya mohon petunjuk lebih lanjut, Sang Prabu...” kata Kiai Talang Bungsu pula.
“Dengar baik-baik Kiai. Saat ini juga kau harus pergi ke hutan Rekso Pratolo. Pergi ke bekas gubuk peristirahatanku. Gubuk itu berusia lebih dari dua ratus tahun. Masih untung kalau kau  dapat menemukan bekas-bekasnya saja!  Kau tunggu  di gubuk itu. Menjelang matahari menggelincir ke barat besok, akan muncul seorang pemuda. Dia akan datang dalam keadaan kehausan. Berikan buah kelapa ini padanya. Setelah kau lihat dia meminumnya kau baru boleh meninggalkannya. Hanya itu saja yangjaditugasmu!”
Orang tua yang dipanggil sebutan Sang Prabu itu gerakkan tangan kirinya. Tahu-tahu di tangan itu ada sebutir kelapa hijau. Buah kelapa ini diserahkannya pada Kiai Talang
Bungsu.
Sambil menerima buah kelapa itu sang Kiai bertanya: “Sang Prabu, pemuda yang kau sebutkan itu bagaimanakah ciri-cirinya?”
“Kau bertanya begitu karena takut kesalahan, bukan? Kau tak usah khawatir Kiai. Hanya dia satu-satunya pemuda yang berani masuk ke dalam rimba Rekso Pratolo. Akan

ciri-cirinya dia berambut gondrong,  berbaju  dan bercelana putih.  Begitu yang aku lihat dalam petunjuk para Dewa. Tapi siapa namanya itulah yang tak sempat aku tanyakan atau diberitahukan para Dewa. Semua sudahjelas, aku pergi sekarang, Kiai... ”
Kiai  Talang  Bungsu  mengangguk  dan  men-jura  dalam.  Ketika  dia  mengangkat kepalanya kembali  Sang Prabu sudah lenyap. Kabut yang tadi menyungkupi tempat itu perlahan-lahan lenyap. Ketika keadaan terang kembali, disam-pingnya Kiai Talang Bungsu mendengar suarapembantunya Kapilatu yang tiba-tiba saja terbangun. Entah bangun dari tidur entah bangun dari pingsan.
Pembantu  ini  mengucak-ucak  kedua  matanya  dan  memandang  berkeliling.  “Eh, tertidurkah aku barusan...?” tanyanya ketika matanya membentur Kiai Talang Bungsu yang
tegak memegang buah kelapa.
“Ya, kau memang barusan tertidur Kapilatu,” jawab sang Kiai.
Sang pembantu garuk-garuk kepalanya. “Aneh, tak habis pikir jadinya. Bagaimana aku bisa tertidur. Padahal...” Dia berpaling ketika mendengarsuara air mendidih. “Ah! Padahal jelas tadi aku tengah menjerang air. Kini air itu sudah masak mendidih!” Kapilatu berpikir keras. Lalu dia ingat. “Kiai, tadi aku melihat sosok tubuh seorang lelaki tua di antara kabut. Dia mengenakan selempang kain putih. Memegang sebatang tombak emas bermata tiga. Kau menyebutnya sebagai seorang besar. Sekarang kemanakah dia?”
“Orang besar itu sudah pergi, Kapilatu...” sahut Kiai Talang Bungsu.
“Pergi... Benar-benar aneh. Siapakah dia Kiai, kalau aku boleh bertanya?” Pembantu itu bertanya lagi.
“Dia adalah sosok Sang Prabu Raja Blambangan yang muncul menjelma dari alam arwahnya.“
Sulit bagi Kapilatu mencerna penjelasan Kiai Talang Bungsu itu. Bagaimana mungkin orang yang sudah lama mati hampir dua ratus tahun lalu tiba-tiba saja bisa muncul begitu rupa. Kapilatu geleng-geleng kepala. Kemudian dilihatnya buah kelapa yang ada di tangan
kanan sang Kiai...

“Ribuan  tombak  di  seantero  bukit  ini,  tak  ada  pohon  kelapa.  Dari  mana  kau mendapatkan buah itu Kiai?” tanya si pembantu yang kembali jadi heran.
“Sang Prabu yang memberikannyapadaku,” jawab Kiai Talang Bungsu polos.
“Sang Prabu! Benar-benar luar biasa... Dia membawanya dari alam arwah! Pasti itu buah kelapa ajaib! Buah kelapa jejadian...Bolehkah aku melihat dan memegangnya Kiai?”
Kiai Talang Bungsugelengkan kepala.
“Kita harus pergi sekarang jugaKapilatu... ”
“Kita harus pergi katamu Kiai? Pergi kemana...?”
“Antarkan aku ke hutan Rekso Pratolo.”
“Hutan Rekso Pratolo!” mengulang Kapilatu dengan wajah berubah dan suaraterkejut. “Itu hutan tempat sarang segala mahluk halus jejadian yang menakutkan! Mulai dari dedemit bermuka raksasa setinggi pohon sampai tuyul sebesar jempol. Mulai dari mahluk jejadian bertaring besar  bermata  merah  dan  berlidah yang selalu  mengucurkan  darah  sampai jin perempuan bermuka sepucat mayat. Mahluk-mahluk itu akan mencekik kita sampai mati! jangankan manusia, setan sungguhanpun tak akan berani memasuki hutan seribu keangkeran
itu!”
Kiai  Talang  Bungsu   tersenyum.  Walau   dalam  hati   dia  membenarkan   ucapan pembantunya,  namun  tetap  saja  dia  berkata,  “Itu  hanya  omongan  orang  saja  Kapilatu. Hutan itu tak ada apa-apanya. Nah, kita berangkat sekarang supaya menjelangsiang besok bisa sampai kesana... ”
“Lalu bagaimana dengan air panas ini. Aku masih belum membuatkan kopi untukmu
Kiai.”
“Lupakan sajakopi itu. Urusan kita lebih penting!” sahut Kiai Talang Bungsu.
“Ini bukan urusan penting Kiai. Tapi urusan mencari penyakit!’ kata Kapilatu pula. Tapi  dia  terus  saja  bangkit  sambil  tepuk-tepuk  pantat  celananya.  Dari  dalam  saku pakaiannya  dikeluarkannya  sebuah  topi  beludru  hitam.  Lalu  topi  ini  dikenakannya  ke kepalanya. Karena kebesaran maka topi itu jadikupluk sampai ke batas alisnya.


Kiai dan pembantunya itu menuruni bukit ke arah timur. Satu hari perjalanan baru mereka akan sampai di hutan Rekso Pratolo. Kiai Talang Bungsu tak maudatang terlambat di tempat tujuan.  Dia sadar tugas besar yang harus dijalankannya demi menyelamatkan manusia dari kehidupan alam sesat yang penuh kengerian.

***

“KIAI, SUDAH LAMA SEKALI kita berada di tempat ini. Tengkukku sudah sejak tadi  terasa beku dan dingin. Perutku keroncongan. Siapa sebenarnya yang kita tunggu disini...?” begituKapilatubertanya.
Saat itu mereka berada dalam hutan Rekso Pratolo yang redup karena sinar matahari tak  sanggup  menembus  lebat  dan  rimbunnya  pohon-pohon  besar.  Keduanya  duduk  di tanah, di depan sebuah bangunankayu yang hanya tinggal tiang-tiang lapuk serta dinding yang sudah hancur dimakan usia bahkan nyaris jadi bubuk. Konon itulah dulu bangunan tempat  istirahat  Prabu  Blambangan  pada  saat  dia  melakukan  perburuan  dalam  rimba
belantara.
Saat itu menjelang tengah hari. Kiai Talang Bungsu diam-diam merasacemas. Apakah pemuda yang dikatakan Sang Prabu dalam penjelmaannyasiang kemarin akan benar-benar muncul di tempat itu? Pertanyaan pembantunya membuat dia menjadi tidak enak. Karena sang Kiai tidak menjawab pertanyaannya Kapilatu tidak maumengulang. Dalam hatinya dia tetap tak habis pikir, apa sebenarnyatujuan Kiai Talang Bungsudatang ke tempat itu, untuk apa  pula  dia  membawa  buah  kelapa  hijau  yang  katanya  didapat  dari  Sang  Prabu Blambangan. Lalu siapasebenarnya yang tengahditunggu sang Kiai?
“Kiai...”  Karena tak tahan membisu  Kapilatu kembali membuka mulut. Tapi  Kiai
Talang Bungsu cepat menukas.
“Diam Kapilatu! Aku mendengarsuara orang bersiul di hutan ini. Bukan suara siulan biasa.   Gendang-gendang   telingaku   terasa   bergetar.  Jangan-jangan   inilah   orang  yang
dikatakan Sang Prabu... ”
Kalau sang Kiai berkata begitu maka Kapilatu saat itu sama sekali tidak mendengar suara siulan. Ini cukup memberi pertanda bahwa Kiai Talang Bungsu memiliki ketajaman pendengaran dan ilmu yang tinggi. Beberapa saat kemudian ketika pembantu itu akhirnya

bisa mendengarsuara siulan tersebut,telinganya terasa laksana ditusuk dan mendenyut sakit. Cepat-cepat Kapilatu tekap kedua telinganya dengantelapak tangan.
Kiai Talang Bungsu bangkit berdiri. Matanya memandang ke arah kanan, dari jurusan mana datangnya suara siulan itu. Tak selang berapa lama dia melihat kepala orang yang bersiul itu, lalu dadanya. Ternyata dia seorang pemuda berikat kepala kain putih. Dibawah ikat kepala, tampak rambutnya yang gondrong menjulai bahu. Bajunya berwarna putih. Ketika  pemuda  ini  melihat  Kiai Talang  Bungsu  dan  Kapilatu  serta  merta  dia  hentikan siulannya, memandang sesaat lalu melangkah mendekati kedua orang itu.
“Salam untuk kalian berdua...” Si pemudamenegur. “Setengah harian tersesat dalam rimba belantara tidak sangka bertemu orang.” Pemuda ini tersenyum lebar pada Kiai Talang Bungsu dan Kapilatu. “Orang tua, sedang apakah kau di tempat ini? Tampaknya seperti sedang menunggu seseorang... ”
Kiai Talang Bungsu perhatikan pemuda di-hadapannya dengan seksama beberapa
lalu  menjawab,  “Aku  memang  tengah  menunggu  seseorang.  Aku  Kiai  Talang  Bungsu. Siapakahengkauadanya, anak muda?”
“Namaku Wiro Sableng.” jawab si pemuda yang ternyata adalah Pendekar 212 dari
Gunung Gede.
Dalam hati Kiai Talang Bungsu berkata:
“Tampangnya tidak meyakinkan. Namanya malah lebih tidak meyakinkan. Jangan- jangan bukan manusia satu ini yang dimaksudkan oleh Sang Prabu. Tapi melihat keadaan hari, saat ini sang surya telah condong ke barat. Kemunculannya tepat waktunyaseperti yang dikatakan Prabu. Bagaimana ini? Lebih baik aku langsung bertanya saja... ”
“Anak muda, katamu tadi kau tersesat masuk ke dalam hutan ini. Bagaimana bisa terjadi begitu?” bertanya Kiai Talang Bungsu.
“Pagi tadi ada dua ekor anak rusa lucu-lucu di tepi hutan ini. Keduanyajinak sekali. Mereka mengikuti ke mana aku pergi. Menjilati betisku. Melompat-lompat di hadapanku lalu berlari-lari masuk ke hutan. Ketika ku-ikuti, dalam hutan keduanya lenyap begitusaja. Aku kembali ke tempat semula tapi ada hal yang aneh. Aku tak mampu keluar dari hutan

ini! Makin kucoba mencari jalan keluar, makin jauh aku tersesat masuk ke dalam rimba
belantara ini. Gila betul!”
“Tersesat berarti berada dalam kesulitan. Tapi mengapa tadi kudengar kau bersiul-siul seperti orang gembirasaja?” tanya Kiai Talang Bungsu.
Wiro garukkepala. “Pikiranku sedang kalut. Dengan bersiul mungkin aku bisa tenang dan mampu mencari jalan keluar. Tahu-tahu aku bertemu kau dan kawanmu ini disini... ”
“Tahukah  engkau kalau hutan ini merupakan hutan paling angker, penuh  dengan  segala mahluk halus dan jejadian yang setiap saat bisa muncul mencekikmu sampai mati?”
Yang berkata adalah Kapilatu.
“Eh... Apa betul begitu orang tua?” tanya Wiro.
Kiai Talang Bungsu mengangguk.
Wiro kini perhatikan kedua orang di hadapannya itu. “Kalau begitu... Jangan-jangan kalian berdua ini adalah mahluk jejadian itu... ”
Sang Kiai tersenyum tapi Kapilatu mendamprat. “Enak dan lancang amat mulutmu! Apa kau lihat muka kami seperti dedemit dan kedua kaki kami tidak menginjak tanah?!”
“Aku  hanya  bergurau,”  berkata  Wiro.  “Perutku  lapar.  Tapi  rasa  haus  membuat tenggorokanku seperti terbakar. Aneh, padahal hutan ini redup dan tidak panas...” Kedua mata Wiro mengerlingpada buah kelapa yang ada di tangan kanan Kiai Talang Bungsu.
“Jika kuberikan buah kelapa ini padamu, apakah kau maumeminumnya?” tanya Kiai
Talang Bungsu sambil mengangkat buah kelapa itu dekat-dekat ke hadapan Wiro.
“Ah,   kau   baik   sekali   orang   tua.   Aku   memang   haus.   Tapi   aku   tak   akan
menghabiskannya seorang diri. Kita bagi tiga air kelapa itu... ”
“Tak usah berbasa-basi. Kami sudah minum sebelumnya. Kelapa satu ini silahkan kau habiskan sendirian.” kata Kiai Talang Bungsu pula. Lalu dia berpaling pada pembantunya dan berkata: “Buatlah lobang untuk minum sahabat kita ini... ”
“Kiai,   bagaimana   kau   ini... ”   Kapilatu   berkata   terheran-heran.   “Kau   hendak memberikan kelapa ini padanya. Padahal kita berdua saat ini jugatengah keha... ”

“Lakukan saja apa yang aku perintahkan Kapilatu!” Kiai Talang Bungsu memotong ucapan pembantunya dengan keras.
Meski dalam hati Kapilatu menggerendeng tapi pembantu ini mengerjakan juga apa yang dikatakan sang Kiai. Dari balik pakaiannya Kapilatu keluarkan sebuah golok kecil. Dengan golok ini dipapasnya ujung kelapa pada bagian tangkainya lalu dibuatnya lobang. Air kelapa tampak bening dan segar.
Kiai Talang Bungsu lalu menyerahkan kelapa itu pada Wiro.
“Terima kasih, kau benar-benar baik Kiai,” kata Wiro menerima kelapa. Lalu tanpa menunggu lebih lama air kelapa segar itu langsung diminumnya sampai setengahnya. “Manis sekali!” kata Wiro sambil menyeka mulut dengan belakang tangannya.
“Kenapa tidak kau habiskan sekaligus?” ujar Kiai Talang Bungsu pula.
“Jangan  kawatir. Air  kelapa  seenak  ini  pasti  akan  kuhabiskan!”  sahut  Wiro.  Lalu kembali dia meneguk air kelapa itu. Saking asyiknya minum,
Wiro  tak sempat  lagi  melihat  gerakkan yang  dibuat  Kiai Talang  Bungsu  bersama
pembantunya. Ketika air kelapa         diminumnya habis dan buah kelapa itu diturunkannya
dari mulutnya, terkejutlah pendekar ini. Baik sang Kiai maupun pembantunya yang berpeci kupluk itu, tak ada lagi di situ. Dia memandang berkeliling bahkan melangkah menyibak semak belukar. Kedua orang tadi lenyap seperti ditelan hutan!
Wiro  Sableng  bantingkan  kepala  di  tangan  kanannya  ke  tanah.  “Heran...kemana lenyapnya  kedua  orang  itu.  Kalaupun  pergi  mengapa  pergi  begitu  saja!  Jangan-jangan keduanya  betul-betul  mahluk jejadian  seperti  yang  kubilang  tadi.  Dan  air  kelapa  yang kuminum itu, jangan-jangan air kencing setan!” Memikir disitu Wiro pungut kembali kelapa
yang  tadi  dicampakkanya         dihantamnya  dengan  tangan  kanan  hingga  terbelah  dua.
Tampakbagiandaging kelapa yang putih. Ketika daging kelapa itu dikorek dan digigitnya, terasa manis dan legit.
“Ini kelapa betulan...” ujar Wiro. Tambah bingung murid Eyang Sinto Gendeng ini.

Dia menyeruak lagi beberapa kelompok semak belukar bahkan mencoba naik ke atas sebatangpohon dan meninjauberkeliling. Tapi Kiai Talang Bungsu dan Kapilatu tetap tidak
kelihatan.
Wiro melompat turun ke tanah. Pada saat ke dua kakinya baru menginjak tanah itulah murid Sinto Gendeng ini melengak kaget. Karena di depan bangunan gubuk yang hanya tinggal reruntuhan itu tiba-tiba saja dilihatnya ada seorang lelaki duduk bersila di tanah membelakanginya.  Orang  ini  hanya  mengenakan  sehelai  celana  berwarna  biru  gelap, punggungnya   telanjang.   Rambutnya   digulung   dan   diikat   di   atas   kepala.   Karena membelakangi  Wiro  tak  dapat  melihat  wajahnya.  Apa  yang  membuat  Wiro  jadi  lebih tercekat ialah adanya seekor ular hitam berbelang hijau yang melingkar dan meliuk-liuk membelit lehernya!
“Orang itu...” kata Wiro dalam hati. “Tadi dia tak ada di situ. Mengapa tahu-tahu muncul...?!” Sambil menjaga jarak agar jangan terlalu dekat Wiro melangkah ke sebelah kanan, terus maju ke bagiandepan orangyang bersila agar dia dapat melihatwajahnya.

***

WIRO  SAMPAI  DI  HADAPAN  orang  yang  duduk  bersila  itu.  Ternyata  dia  seorang pemuda berwajah cukup tampan. Kumis dan janggutnya meranggas kasar dan lebat. Kedua matanya terbuka tetapimemandang kosong seperti buta. Kedua tangannya terletak di paha. Sikapnya seperti orang bersamadi. Tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Kedua matanya tak pernah berkesip.
“Ki sanak... Siapakah kau?Apakah tengah bersamadi?” Wiro berseru.
Ssssssssssssh!!!
Yang ditanya tidak menjawab. Yang terdengar adalah desisan ular hitam belang hijau. Binatang  ini  menegakkan  kepala,  mulutnya membuka,  sikapnya siap hendak menerkam
Wiro!
“Ki sanak!” Wiro berseru kembali.
Ular yang melingkar di leher pemuda          duduk bersila mendesis keras. Kepalanya
terpentang, gelungannya membuka dan tiba-tiba sekali binatang ini melesat terbang laksana sebatang anak panah menderu ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng! Untung saja murid Sinto Gendeng ini sudah bersikap hati-hati sejak tadi. Begitu dilihatnya ular hitam hijaumembuka libatannya  di  leher  orang  dan  melesat  ke  arahnya, Wiro  langsung  menghantam  dengan pukulan  kosong  tangan  kanan  mengandung  tenaga  dalam.  Pukulan yang  dilepaskannya adalah pukulan “kunyuk melempar buah”
Begitupukulan sakti itu menghantam kepala dan tubuhnya, tak ampun lagi ular hitam belang hijau itu mental di udara dalam keadaan cerai berai. Tetapi begitu hancuran tubuh jatuh menyentuh tanah, satu persatu hancuran itu lenyapseperti ditelan tanah belantara! Di saat itu pula di dalam rimba terdengarsuara orok menangis, melengking keras dan panjang.

Wiro merasakan bulu romanya berdiri, “Ular itu... Binatang jejadian...” katanya dalam hati. “Begitujatuh di tanah terus lenyap. Dan suarabayi menangis itu...Keanehan apa yang tengah kuhadapi ini!” Wiro memandang ber keliling sampai akhirnyapandangannya kembali membentur pemuda yang duduk bersila tak bergerak, bermata nyalang tapi tak pernah ber- kesip.
Perlahan-lahan Wiro melangkah mendekati tubuh yang seperti tengah bersamadi itu. Satu langkah dari orang itu Wiro mendadak tersentak kaget. Kedua kakinya laksana ditancap ke  dalam  tanah.  Kedua  matanya  terpentang  lebar,  hampir  tak  percaya  akan  apa  yang dilihatnya.  Diulurkannya  tangan  kanannya-memegang  bahu  si  pemuda.  Dipegangnya dengan keras, lebih keras. Dari hanya memegang kini Wiro mengetuk-ngetuk bahu itu, memukulnya.  Keras!  Dengan  tangan  gemetar  Wiro  meraba  naik  ke  wajah  yang  penuh ditumbuhi kumis serta cambang bawuk yang lebat. Juga terasa keras. Dan dua mata yang terbuka itu bukan seperti mata semula. Seluruhnya telah berubah keras. Tubuh, anggota badan, kepala termasuk rambut dan mata telah berubah keras!
“Batu...! Manusia ini telah berubah jadi patung batu! Ya Tuhan! Bagaimana mungkin ini bisa terjadi...!” ujar Wiro sambil menyurut satu langkah. Selain rasa aneh dan heran, Pendekar 212 merasa ada hawa yang menakutkan merasuki dirinya. “Hai!” Wiro seperti terlonjak. Dari sepasang mata yang telah berubah menjadi batu keras itu dia melihat ada tetesan air mata jatuh berderai, menggelinding diatas pipi yang juga telah berubah jadi batu!
Wiro ulurkan tangan kirinya yang gemetaran untuk menyentuh air mata yang berderai di pipi. Terasajari-jari tangannya basah.
“Manusia batu ini benar-benar menangis...” bisik Wiro. Saat itulah dia mendengar suara seperti anjing melolong dikejauhan. Panjang dan menggidikkan. “Lolongan anjing. Bukan! Bukan lolongan anjing. Itu lolongan srigala...” Murid Sinto Gendeng memandang berkeliling.   Tiba-tiba   saja   dia   merasa   seperti   ada   puluhan   pasang   mata   yang memperhatikannya. Puluhan pasang mata yang tidak terlihat oleh mata biasa, oleh matanya sendiri! Rasa ngeri membuat keringat dingin mengucuri tubuhnya. Menghadapi musuh yang bagaimanapun seramnya selagi masih bisa dilihat mata telanjang, Pendekar 212 tidak pernah

merasa takut. Tetapi menghadapi mahluk-mahluk yang tidak terlihat, benar-benar membuat Wiro merasa lebih baik dia segera meninggalkan tempat itu. Dia menyurut beberapa langkah lalu balikkan diri dan tinggalkan tempat itu setengah berlari. Berlari beberapa jauh Wiro berpaling ke belakang. Astaga! Larinya terhenti sesaat. Manusia yang berubah jadi patung itu, tak ada lagi di tempatnya semula. Bahkan bekas reruntuhan gubukitupun tak tampak Segi
di tempat itu!
Pendekar 212 Wiro Sableng tidak tahu berapa lama dia berlari, dalam lari itu dia merasa seolah-olah ada yang mengikutinya. Namun setiap dia menoleh kebelakang sama sekali tidakkelihatan ada orangyang menguntit!
“Orangnya tak kelihatan. Tapi aku yakin ada yang mengikutiku. Bukan cuma satu orang...” kata Wiro dalam hati lalu mempercepat larinya.
Di hadapan sebuah pohon besar murid Sinto Gendeng ini akhirnya hentikan larinya. Nafasnya mengengah dan keringat membasahi tubuh serta pakaiannya.
Di atas pohon dua mahluk yang tidak kelihatan perwujudannya di mata manusia biasa termasuk Wiro saling berbisik satu sama lain.
“Dayang, kita mengikuti dan mengamati pemuda itu sejak tadi. Aku yakin memang dialah   orang  yang   kulihat   dalam   alam   luar   pandangku.   Dialah   orang  yang   akan menyelamatkan kita ke dalam perwujudan semula... ”
“Aku memang berpendapat dan berharap sepertimu Dewi. Menyelamatkan kita tapi juga menghancurkan mahluk-mahluk iblis itu! Selama mereka masih ada di muka bumi, dunia ini tidak akan pernahaman. Orang-orang sesat akan bertambah berlipat ganda. Sudah
saatnya kita melakukan sesuatu Dewi!”
Mahluk tanpawujud yang dipanggil Dewi mengiyakan.
“Saatnya kita memperlihatkan diri pada pemuda itu  dan bicara padanya.”  Dayang merasakan tangannya ditarik. Ketika melayang turun dari atas pohon dimana dia berada, Dayang memandang ke bawah lalu berseruterkejut seraya menunjuk.
“Dewi! Lihat apa yang dilakukan pemuda


Dewi berpaling ke arah yang ditunjuk dan ikut kaget. “Astaga! Dia...! Ah! Mengapa dia
melakukan hal itu disini! Celaka!”
“Kita harus mencegahnya Dewi!”
“Percuma!  Sudah  terlambat!  Dia  telah  melakukannya!”  ujar  Dewi  dengan  suara
tercekat.
“Nasib kita tak akan berubah. Kita akan tetap hidup di alam gelap ini...” Terdengar suaraDayang sesenggukan, lalu dia memeluk Dewi kencang-kencang. Dua mahluk ini saling berangkulan dan teteskan air mata dalam alam mereka.
Di bawah pohon saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng tampak tengah membuangair kecil. Minum air kelapa begitu banyak ditambah berlari cukup jauh membuat tubuhnya sebelah  bawah  terasa  berat  dan  tidak  dapat  lagi  menahan  kencing.  Lalu  pemuda  ini membuang hajatnya di bawah pohon besar itu!
“Apa yang harus kita lakukan sekarang Dewi?” bertanya Dayang. “Pemuda itu telah melanggar pantangan! Mengotori pohon besar dengan air kencingnya. Sebentar lagi Srigala- srigala iblis pasti akan muncul disini...!”
“Mereka sudah datang, Dayang. Aku sudah melihat mereka muncul dari arah kanan sana. Mari tinggalkan tempat ini... ”
“Tapi Dewi, bagaimana dengan pemuda itu. Bagaimanapun juga dia harapan kita satu- satunya. Kita harus menolongnya...!”
“Tidak Dayang. Kita tak mungkin menolongnya. Kau tahu hal itu. Saat ini tak satu kekuatan pun sanggup melawan srigala-srigala iblis itu. Kita harus pergi... ”
Dayang tak bisa berkata apa-apa lagi. Diamengikuti sang Dewi masih dalam keadaan menangis sesenggukan.
Di  bawah  pohon  selesai  membuang  hajat  Wiro  Sableng  rapikan  celananya  lalu memutar tubuh. Pada saat itulah suasan sunyi dalam hutan Rekso Pratolo dirobek oleh suara lolongan riuh, panjang dan keras. Wiro merasakan tubuhnyabergetar keras. Suara lolongan itu bukan lolongan biasa. Ada satu kekuatan aneh tapi juga terasa mengerikan menyertai lolongan itu.

“Lolongan srigala...” ujar Wiro dalam hati.
“Bukan  hanya  seekor...  Mungkin  puluhan.  Tapi  dimana  binatang-binatang  itu... ” Wiro  memandang berkeliling.  Suara lolongan  semakin keras  tanda semakin  dekat. Tapi  mahluk yang melolong tetap saja tidak kelihatan. Murid Sinto Gendeng gerakkan tangan  kanan  memegang  hulu  senjata  mustikanya,  Kapak  Maut  Naga  Geni  212.  Bersiap-siap  menjagasegalakemungkinan.
Suara lolongan riuh srigala yang mengerikan mendadak lenyap. Dalam kesunyian yang mencekam tiba-tiba membahana suara tanpa rupa.
“Anak manusia! Kau telah lancang dan kurang ajar mengotori istanaku! Bersiaplah meninggalkan alam kasarmu! Bersiaplah menerima hukuman berat!”

*   *   *

PENDEKAR  212   WIRO   SABLENG   memandang   berkeliling.   Suara   yang   barusan membertak garang telah lenyaptapi gaungannya masih terdengar membahanamenggetarkan
seantero hutan Rekso Pratolo. Wiro merasakan daun-daun pepohonan bergemerisik aneh.   “Suara tanpa rupa!” Wiro balas berseru. “Kepadasiapa ucapanmu tadi kau tujukan?!”
Terdengarsuaramendengus lalu bentakan keras, “Manusia tolol! Apa ada manusia lain di sampingmu saat ini?!”
“Aku memang sendirian di sini!” sahut Wiro. Kembali terdengarsuara mendengus.
“Berarti  memang  kaulah  manusianya  yang  kurang  ajar  itu.  Lancang  mengotori istanaku! Hukuman berat bagimu anak manusia!”
Wiro garuk-garukkepalanya. Dalam hati dia membatin. “Suara itu aneh, menegakkan bulu  roma.  Tapi  masih  mirip-mirip  suara  perempuan.  Setelah  berpikir  sejenak,  Wiro kembali membuka mulut. “Aku tidak melihat istana di tempat ini. Apalagi mengotorinya!
Aku juga tidak mengerti soal hukuman berat
Terdengarsuara menggereng banyak sekali.
“Kau mengencingi istana kami bangsat!!” terdengarsuara teriakan.
Lalu terdengar suara tadi,  “Kepalamu kulihat cukup keras! Cukup baik untuk jadi ganjalan  tiang istanaku!  Hik... hik... hik!” Lalu menyusul suara lolongan  tunggal.  Suara lolongan srigala! Dan lolongan tunggal ini kemudian ditimpali oleh suara lolongan srigala banyak menggemuruh.
Wiro usap-usap kepalanya.
“Mahluk  yang  hendak  menjadikan  kepalaku  ganjalan  tiang  istana!  Siapa  kau
sebenarnya! Mengapa tidakmau tampakkan muka?!” berteriak Pendekar 212.
“Kau akan lihat... Kau akan lihat!” menjawab suara itu. Lalu terdengar suara keras laksana   guntur   menggelegar.   Begitu   suara   gelegar   ini   sirna,   asap   putih   mengepul

membumbung  ke  udara  setinggi  lutut.  Asap  itu  membentuk  satu  lingkaran  besar  dan Pendekar 212 Wiro Sableng berada tepat di tengah lingkaran.
“Eh,  kemana  lenyapnya  pohon-pohon  besar  itu!”  Wiro  terkejut  ketika  dia  tidak melihat lagipohon-pohon ataupun semak belukar hutan Rekso Pratolo. Yang dilihatnya kini hanyalah kepulan asap putih mengurungnya. Tapi tidak! Bukan hanyakepulan asap putih setinggi lutut itu yang saja yang kelihatan! Ada lagi benda lain yang tampak! Dan Pendekar 212 merasalututnya sepertigoyah ketika menyadari mahluk apa yang mengelilinginya!
Mahluk-mahluk itu memiliki kepala berupa binatang yaitu kepala srigala, bertelinga runcing  ke  atas,  bermulut  panjang  yang  selalu  menganga  memperlihatkan  taring-taring runcing dan lidah yang basah. Sepasang mata merah laksana menyala. Anehnya mahluk yang berkepala  srigala  hitam  ini  memiliki  tubuh  sebatas  leher  kebawah  sama  dengan  tubuh manusia,  kecuali  sepasang  tangan  yang  memiliki  jari-jari  berkuku  runcing  mengerikan! Seperti manusia adanya mereka mengenakan celana hitam sebatas lutut. Dari keadaan dada mereka yang telanjang Wiro segera tahu kalau mahluk-mahluk setengah binatang setengah manusia itu adaiah mahluk-mahluk jantan.
Menurut dugaan Pendekar 212 paling tidak ada sekitar tiga puluh mahluk berkepala srigala mengurungnya saat itu. Semua memandang dengan buas ke arahnya.
“Yang tadi mengeluarkansuarajelas suara perempuan. Tapi aku tidak melihat mahluk
betina di antara mereka...” kata Wiro dalam hati sambil matanya mencari-cari.
“Berikan jalan pada Ratu!” tiba-tiba terdengar seruan sementara kepulan asap putih masih terus mengambang setinggi lutut.
Kelompok mahluk manusia srigala di sebelah kanan menyibak.Bau harum semerbak memenuhi tempat itu. Disaat itu pula Wiro melihat satu sosok manusia srigala bertubuh tinggi  melangkah  mendatangi.  Pada  bagian  atas  kepalanya  ada  sebentuk  mahkota  kecil dihiasi batu-batu permata yang-memancarkan sinar berkilauan:
Mahluk satu  ini  ternyata  adalah  manusia  srigala  betina.  Dia  mengenakan  pakaian sebentuk kemben di sebelah atas sedang di sebelah bawah memakai celana hitam yang bagian atasnya lebih pendek hingga sebagian perutnya yang putih tampak tersembul. Mahluk ini

miliki payudara yang luar biasa besarnya, putih menyembul diatas kemben. Di belakangnya mengiring  tiga  manusia  srigala  betina  yang  tampaknya  adalah  pengiring-pengiringnya. Semua manusia srigala jantan menjura dalam begitusrigala betina bermahkota ini muncul.
“Hem... Yang betina ini agaknyapemimpin mereka!” ujar Wiro dalam hati. “Dadanya tampak montok, sayang kepalanya kepala seekor srigala!” Dalam keadaan seperti itu Wiro masih saja sempat berpikir yang bukan-bukan.
“Berlutut di hadapan Ratu kami!” satu suara membentak memerintah pada Wiro. Tapi sang pendekar tetap saja berdiri sambil pandangi dada montok di bawah kepala berbentuk srigala hitam itu!
Melihat orang tak mau berlutut, sang Ratu tampak marah. Dia berpaling pada salah seorang pembantu betinanya dan memerintahkan. “Hajar dan paksa dia berlutut!”
Yang  diperintah  melangkah  maju  tapi  berbalik  kembali  dan  berbisik.  “Jika  dia melawan,apakah harus dibunuh?”
Sang Ratu tampak bimbang sesaat. Lalu menjawab, “Kita sudah tahu bencana apa yang
bisa dilakukannya terhadap kita dengan kemunculannya. Tapi kau tak usah kawatir
Satu. Kau akan sanggup menguasainya. Lakukan apa yang kuperintah!”
Srigala  betina yang  dipanggil  dengan  nama  Sari  Gaii  Satu  anggukkan  kepala  lalu melompat  ke  hadapan  Wiro.  Pendekar  212  melihat  bagaimana  lompatan  yang  dibuat mahluk itu bukan seperti manusia biasa melompat, tapi lebih menyerupai lompatan seekor binatang. Lompatan srigala! Dua tangan yang memiliki jari-jari berkuku panjang mengerikan berkelebat  ke  arah  kepala Wiro.  Murid  Eyang  Sinto  Gendeng  cepat  membuat  gerakan mengelak sambil satu tangannya menangkis sekaligus memukul lengan Sari Gali Satu. Tapi dia jadi terperangah karena begitupukulannya mengena dia seolah-oleh hanya menghantam angin atau udara kosong atau seperti melabrak airsaja! Dan justruselagi dia terkejut begitu rupa dirasakannya kedua betisnya dihantam kerassehinggalututnya tertekuk dan tak ampun lagi  tubuhnya  roboh  ke  tanah  dalam  keadaan  berlutut.  Ketika  dicobanya  untuk berdiri ternyata sekujurbadannya tak bisa lagi digerakkan. Tangan dan kakinya tegang kaku!


“Celaka! Ilmu apa yang dipergunakan srigala betina ini membuat aku berlutut kaku seperti ini?!” keluh Wiro.
Sari  Gali  Satu berpaling pada sang Ratu  dan  berkata,  “Tugas sudah  dilaksanakan, mohon petunjukmu lebih lanjut, Ratu!”
Sepasang mata srigala sang Ratu memandang tak berkesip ke arah Pendekar 212. Lalu terdengar dia berucap, “Geledah pakaiannya. Aku yakin dia membawa senjata. Begitu kau temui ambil senjata itu dan serahkan padaku!”
Sari Gali Satu memeriksa pakaian Pendekar 212. Begitu melihat sebilah senjataberupa kapak bermata dua segera diambilnya lalu diserahkannya pada sang Ratu.
“Kembalikan senjataku!” teriakWiro dengan keras.
Ratu srigala membuka mulutnya lebar-lebar seolah menyeringai. “Aku mau lihat kau
mampu berbuat apa kalau ini tidak kukembalikan!”
Wiro kertakkan rahang, kumpulkan seluruh tenaga dan kerahkan tenaga dalam. Tapi tidak ada otot-otot yang bisa digerakkan, tak ada hawa tenaga dalam yang bisa dialirkan.
Ratu  srigala  keluarkan  suara  melolong  panjang.  Begitu  lolongannya  lenyap  dia memerintah. “Bawa dia ke istana! Aku akan menentukan hukuman apa yang pantas baginya! Dan Sari  Gali Dua, simpan senjata ini di ruang benda-benda mustika!” Sang Ratu lalu menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212 pada pengiringnya yang berdiri di sampingnya. Setelah itu sang Ratu memandang sekilas pada Wiro, balikkan tubuh dan tinggalkan tempat itu diikuti oleh dua pengiringnya.
Wiro merasa ada yang menepuk punggungnya. Lalu tubuhnya tertarik ke atas hingga dia tertegaklurus. Kedua kakinya kini bisa digerakkantapi sebatas pinggang ke atas termasuk
kedua tangannya tetap saja         tak bisadigerakkan.
“Jalan!” Sari Gali Satu memerintah.

Seperti kerbau dicucuk hidung Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah mengikuti sang Ratu bersama dua pengiringnya. Di sebelah belakang, sekitar tiga puluh manusia srigala jantan mengikuti bergerak, berjalan dalam bentuk setengah lingkaran seperti ladam kuda. Jelas mereka sengaja membentuk barisan seperti itu untuk menjaga segalakemungkinan agar tawanan satu itu tidak bisa melarikan diri.

*******
SETIAP LANGKAH YANG DIBUATNYA dirasakan seperti tambah menyesakkan dada bagi  murid  Sinto  Gendeng.  Bulu  tengkuknya  merinding,  keringat  dingin  membungkus badannya.   Berulang  kali   dicobanya   untuk   membebaskan   diri   dari   rasa   kaku  yang menghimpit tubuhnya sebelah atas. Tapi sia-sia belaka. Dia tetap saja melangkah seperti orang berjalan dalam mimpiatauseperti mayat hidup! Gerak kedua kakinya hanya mampu untuk sekedarberjalan saja, ketika dicoba berlari kedua kaki itu seperti diganduli batu besar hingga dia :ak mampu melakukannya. Kalaupun dia bisa lari, kecil pulakemungkinan untuk dapat menembus kepungan manusia-manusia srigala hitam yang bergerak dalam bentuk ladam kuda itu  Lalu  apa yang membuat Wiro  Sableng semakin  merinding ialah ketika menyaksikan bagaimana semua mahluk setengah manusia setengah srigala itu melangkah dengan kedua kaki tidak menyentuh tanah sama sekali! Telapak kaki mereka tampak putih pucat, seperti kaki mayat!
Wiro  melangkah  dengan  kedua  mata  jelalatan  kian  kemari.  Bagaimanapun  juga keadaannya yang tidak berdaya saat itu dia harus terus berlaku hati-hati, paling tidak melihat
apa yang  ada  di  sekitarnya.  Dia yakin  sekali  saat
ataupun semak belukar. Dia sama sekali tidak melihat tanaman apapun. Yang dilihatnya adalah tanah yang dilangkahinya, berupa tanah merah kecoklatan. Lalu bagian kiri kanan dan atas yang seperti  sebuah  terowongan  panjang  berlapis  kabut  tipis  tak tembus  pandang.  Sepanjang perjalanan yang penuh ketegangan itu Wiro tiada hentinya mendengar suara aneh. Mulai dari  lolongan  srigala  yang  mencekam,  suara  tangis  orok,  suara  mahluk  aneh  tertawa mengerikan, suara erangan  orang-orang yang seperti berada dalam keadaan  tersiksa atau sekarat. Sesekali lapat-lapat terdengar gema gamelan!


“Gusti Allah dimana aku ini berada. Kemana aku ini mau dibawa...” ujar Wiro dalam hati menyebut nama Tuhan. Baru saja dia berkata begitu mendadak terdengar suara keras seperti  guntur  menggelegar.  Wiro  merasakan  kakinya  yang  menginjak  tanah  merah kecoklatan bergetar keras. Ada hawa aneh menjalar masuk ke dalam tubuhnya. Tapi hanya sesaat.  Di  sekitarnya  manusia-manusia  srigala  tampak  mendongakkan  kepala  ke  atas, meraung melolong panjang. Wajah mereka tampakcemas.
“Ya  Tuhan,  apa  pula  ini!”  Seru  Wiro  kembali  dalam  hati.  Untuk  kedua  kalinya menggelegarsuara guntur di tempat itu. Lalu kembali ada hawa aneh yang mengalir masuk dari dalam tanah ke tubuh Wiro lewat kedua kakinya. Rasa sesak yang menghimpit dadanya berkurang sedikit. Begitu jugarasa berat yang mengganduli kakinya jugaberkurang,namun masih belum cukup untuk membuatnya mampu berlari.
Tiba-tiba saja Wiro mencium bau harum semerbak dan tiba-tiba saja Ratu srigala telah berada  di  hadapannya.  Mahluk  aneh  ini  memandang  dan  berkata:  “Jangan  kau  berani mempunyai pikiran dan mengucap yang bukan dalam hatimu! Atau kucabut lidahmu saat ini juga dan kutambah hukuman beratmu!”
Murid Sinto Gendeng hendak balas memaki tapi sang Ratu telah membalikkan diri dan tinggalkan tempat itu,hanya bau harum tubuhnyasaja yang masih tertinggal di tempat itu! Hanya bisa memaki panjang pendek dalam hati, Wiro lanjutkan langkahnya.
Berjalan kira-kira selama sepeminuman teh, di sebelah depan terdengar suara orang berseru. “Rombongan telah sampai di gerbang Istana!”
Seruan itu disambut oleh suaralolongansemua manusia srigala yang ada ditempat itu. Karena jengkel dan juga sekadar untuk mengurangi rasa takutnya murid Sinto Gendeng ikut-ikutan keluarkan suara meniru lolongan itu. Hanya saja suara lolongannya terdengar berbeda dan agak terlambat. Ketika semua manusia srigala telah berhenti melolong, suara lolongan Wiro tertinggal sendirian.
Plaaakkkk!

Satu  tamparan  keras  menghantam  pipi  kanan  Pendekar  212.  Demikian  kerasnya tamparan itu hingga tubuhnya terbanting ke tanah. Sudut bibirnya pecah, pipinya bengkak
membiru!
“Keparat!  Kupecahkan  kepalamu!”  teriak  Wiro  geram.  Dia  bangkit  berdiri  dan gerakkan   tangan   kanannya   untuk   memukul.   Tapi   bukan   saja   dia   tidak   mampu menggerakkan tangannya yang kaku, dia juga tidak tahu siapa yang telah menamparnya tadi. Wiro memandang berkeliling. Saat itulah dia mendengar satu suaraberucap, ‘Anak manusia! Jangan  kau  berani  lagi  meniru  melolong!  Itu  penghinaan  besar  bagi  kami  orang-orang Kerajaan Srigala!”
“Setan alas! Kalian semuasrigala iblis!” Makian itu hanya bisa diucapkan Wiro dalam hati  karena  kawatir  kalau  diucapkan  keras-keras  tamparan  atau  pukulan  akan  mendera dirinya kembali! Dalam keadaan tak berdayaseperti itu adalah konyol kalau dirinyaakhirnya babak be-lur dihantami mahluk-mahluk srigala bertubuh manusia itu.
Wiro melangkah terus. Darah dari pecahan bibirnya jatuh ke dagu lalu menetes ke pakaian putihnya. Belasan manusia srigala tampak beringas melihat darah itu. Salah satu diantaranya tiba-tiba menerkam Wiro. Pendekar ini berteriak menyangka kepalanya akan digerogot, ternyata mahluk itu hanya ingin menjilat darah di dagu dan di bajunya!
“Edan!” maki Wiro dengan tubuh tambah merinding. “Mahluk-mahluk ini ternyata pelahap darah!”
Rombongan  bergerak maju sampai  akhirnya Wiro melihat  apa yang disebut pintu
gerbang istana itu! Pintu gerbang ini ternyata adalah sebuah                                         kepala
seekor  srigala hitam yang mengangakan  mulutnya lebar-lebar.  Gigi  dan  taring-taringnya membentuk pagar pintu sedanglidahnya merupakan tangga pendek jalan masuk.
Wiro melangkahmasuk, mengikuti mahluk-mahluk yang melewati pintu gerbang itu.
Begitu  sampai  di  sebelah  dalam,  pemuda                                              sama  sekali  tidak
menemukan   atau   melihat   sebuah   bangunan   istana   menjulang   megah,   tapi   yang disaksikannya adalah sebuah pedataran luas, ditumbuhi sekitar seratus pohon pohon besar. Di sebelah tengah terdapat pohon paling besar dan paling tinggi. Rata-ratapepohonan ini

bercabang banyak, memiliki dedaunan yang rimbun hingga pedataran itu tampak suram menggidikan. Paling tidak pohon-pohon itu berusia rata-rata seratus tahunan!
Terdengarsuara tawa mengekeh. Lalu menyusul lolongan panjang. Itu adalah tawa dan lolongan sang Ratu.
“Anak manusia! Kau pasti kecele! Kau pasti menyangka akan melihat gedung besar megah  sebagai  bangunan  Istana!  Yang  kau  saksikan  justru  hanya  pohon-pohon  besar! Hik...hik... hik. Buka matamu lebih lebar! Kau belum melihat apa yang ada di keseluruhan
tempat ini! Saksikan sendiri kehebatan istanaku!”
Wiro kedip-kedipkan matanya lalu memandang berkeliling. Begitu matanya terbiasa dengan keredupan di tempat itu maka mulutnya pun berseru tegang, matanya mendelik. Apa yang dilihatnya benar-benar mengerikan. Berada di nerakakah dia saat ini?!”
Di bawah pohon, terjepit antara batang dan akar besar-besar tampak kepala-kepala manusia dibuat sebagai ganjalan. Setiap kepala tampak bergelimang darah mata mendelik dan  ada  erangan  keluar  dari  mulut  mereka.  Bagian  leher  hanya  merupakan  kutungan mengerikan karena urat-uratnya tampak jelas berserabutan, melentik-lentik memercikkan darah! Setiappohon ada dua sampaitiga kepala yang berada dalam keadaan seperti itu. Yang paling banyak adalah kutungan kepala di bawah pohon paling besar. Di situ terdapat lebih dari lima kepala! Jika di tempat itu terdapat seratus pohon berarti paling tidak ada dua ratus lima puluh kepala yang dibuat jadiganjalan seperti itu!
Kengerian  itu  bukan  hanya  sampai  disitu.  Di  atas  pepohonan Wiro  menyaksikan kengerian lain lagi. Disitu tampak beberapa sosok tubuh digantung berbagai cara. Ada yang dengan kaki ke atas kepala ke bawah. Ada yang lehernya diikat langsung ke cabang pohon. Yang paling mengerikan ialah manusia-manusia yang digantung ke cabang pohon dengan lidahnya sendiri! Kelihatannya lidah mereka ditarik keluar lalu lidah itu dikatikan ke cabang pohon! Banyak diantara mayat yang tergantung itu berada dalam keadaan perut terbuai hingga isi perutnya kelihatan jelas memberojot keluar. Soal darah jangan disebut lagi. Rata- rata semua tubuh penuh gelimangan darah!


“Gila! Apakah saat ini aku masih berada di dunia atau di neraka?!” membatin Wiro. Dia memandang berkeliling lalu kembali melengak. Di bawah salah satu pohon dia melihat satu sosok tubuh lelaki duduk bersila membelakanginya. Di lehernya melilit seekor ular hitam belang hijau.
Walau  tidak  melihat  wajah  orang  itu  tapi  Wiro  yakin  itu  adalah  pemuda  yang ditemuinya  di  hutan  Rekso  Pratolo,  di  depan  reruntuhan  gubuk  tua.  Pemuda  yang kemudian secara aneh berubah menjadi arca batu!
“Anak manusia! Akhirnya kau lihat juga pemuda itu! Juga ular itu! Binatang itulah yang telah kau bunuh lima hari lalu...!” terdengarsuara sang Ra’tu. Sosoknya tidak kelihatan
entah dimana.
“Lima  hari...?!”  Wiro  mengulang  terheran.  Dia  merasa  yakin  peristiwa  itu  baru berlangsung siang tadi. Mengapa sang Ratu celaka itu menyebutnya lima hari lalu?
Terdengar tawa mengikik lalu suara lolongan srigala. “Kau tentu heran anak manusia! Di tempat ini waktu berjalan lebih cepat dari waktu di alam kasarmu! Satu hari di sana, lima hari disini. Dan ketahuilah di sini tidak ada siang ataupun malam...!
“Tidak ada siang tidak ada malam! Lalu bagaimana kalian tidur...?!”
Terdengar tawa dan lolongan riuh.
“Kami manusia-manusia Kerajaan Srigala tidak pernah mengenal apa yang dikatakan tidur!  Dan  kaupun  seumur-umur  di  sini  tak  akan  bisa  tidur  anak  manusia!”  terdengar
sahutan sang Ratu.
“Seumur-umur?! Aku tak akan seumur-umur berada di tempat celaka ini! Aku akan keluar dari sini dan dengar...Apa yang kalian lakukan padaku akan kubalas setimpal berikut bunganya!” teriak Wiro pula.
Suara lolongan srigala yang riuh dan panjang menyambut ucapan Pendekar 212 itu. Lalu terdengarsuara Ratu srigala. “Mengangkat tanganmupun kau tidak sanggup, bagaimana mungkin keluar dari tempat ini dan melakukan pembalasan?! Anak manusia, apakah kau masih belum sadar bahwa kau saat ini tidak lagi berada dalam alam kasarmu? Kau sudah
berada dalam alam mahluk halus! Dan kau adalah satu orang tawanan kami. Lihat, saksikan

berkeliling.  Dua  hari  di  muka  nasibmu  akan  sama  seperti  tawanan-tawanan  lainnya, mungkin lebih buruk karena kau lebih berbahaya dari mereka!”
“Mengapa kau menawanku?! Aku yakin bukan soal kencing di bawah pohon itu saja yang jadi alasan!”
Ratu srigala tertawa lalu melolong.
“Tampangmu tolol tapiotakmu cerdik juga! Memang kencing di pohon lima hari lalu hanya  pangkal  sebab  kesalahanmu.  Justru  memang  ada  yang  lebih  penting  dan  lebih berbahaya dari itu. Kau hendak menghancurkan, meruntuhkan Kerajaanku!”
“Mahluk jejadian. Ternyata kau juga tolol...!”
Satu bayangan melompat ke arah Wiro. Terdengarsuara sang Ratu. “Jangan hajar dia. Biarkan dia terus berbicara! Anak manusia, lanjutkanucapanmu!”
Bayangan yang tadi hendak menghantam mundur dengan cepat.
“Ayo lanjutkan kata-katamu. Mengapa kau katakan aku tolol?” terdengar suara Ratu srigala.
“Aku  datang  dari  alam  lain,  sesuai  ucapanmu!  Mana  aku  tahu  menahu  tentang Kerajaanmu!Apalagi berniat menghancurkannya! Apa itu tidak tolol?!”
“Anak manusia, kau tahu apa tentang alam halus dimana kau sekarang berada. Kau sama sekali tidak tahu kalau dijadikan perkakas. Dijadikan alat orang-orang di alam sana untuk menghancurkan kami. Sudahlah, apapun yang aku jelaskan kau tak akan mengerti. Para prajurit, siapkan hidangan kelas satu untuk tawanan satu ini! Dia pasti lapar dan haus!”
Hanya sekejapan mata saja tahu-tahu dihadapan Wiro sudah terhidang di atas daun setumpuk nasi putih yang masih mengepul hangat, setumpuk sayur kangkung yang ditumis dan  menebar  bau  sedap,  lalu  sebuah  bumbung  bambu  berisi  tuak  yang  harum  sekali! Tenggorokan Pendekar 212 turun naik. Air liurnya terbit membasahi mulutnya yang masih
berdarah. Tapi ada rasajijik dalam dirinya melihat hidangan
“Anak manusia, silahkan makan. Anak buahku akan menolongmu. Sari  Gali Dua, suapi dia!’

Sementara itu bersernbunyi di salah satu pohon yang jauh dari tempat itu, dua mahluk yang tak kelihatan berbisik satu sama lain.
“Dewi, apa yang bisa kita lakukan. Kalau makanan dan minuman itu sampaidisantap pemuda itu, makin parah keadaannya dan makin sulit kita menolongnya!”
“Aku tahu Dayang, aku tahu. Kita memang berada dalam kesulitan. Kita tak mungkin menolongnya.  Kita  harus  menunggu  sambil  mencari  akal.  Apakah  kau  ada  membawa potongan kemenyan itu...?”
“Ada  Dewi,  tapi  bagaimana  kita  bisa  memberikan  padanya,  apalagi  menyuruhnya menelannya?”
Dewi berpikir keras. Lalu dia berbisik, “Kau pergilah ke bagian timur. Timbulkan keributan  di  sana  pada  saat  mereka  lengah,  akan  kucoba  melemparkan  sepotong  kecil kemenyan ke dalam sayur kangkung itu... ”
Dayang  mengangguk.  Dia  menyerahkan  sepotong  kemenyan  pada  sang  Dewi  lalu tinggalkan tempat itu.
Tak lama kemudian...
Puluhan mahluk srigala berbadan manusia yang berjaga-jaga di bagian timur apa yang disebutkan Istana itu tiba-tiba berseru dan melolong kaget ketika salah satu pohon tiba-tiba bergoyang keras mengeluarkan suara berkereketan. Enam mayat yang digantung di cabang pohon itu berpelantingan kian kemari lalujatuh bergedebukan ke tanah.
Mendengar  ribut-ribut  itu  sang  Ratu  melolong  keras  dan  memerintahkan  anak buahnya untuk menyelidik. Di saat itulah, tanpa ada satu pun yang tahu, sebuah benda sebesar ujung jari kelingking melayang di udara danjatuh tepat di atas sayur kangkung yang terletak di atas daun di hadapan Wiro.
Seorang manusia srigaladatang menghadap.
“Apa yang terjadi prajurit?!” tanya Ratu srigala.
“Pohon di sebelah sana tiba-tiba saja bergoyang keras seperti mau tumbang. Enam mayat yang digantung jatuh ke tanah. Dua kepala yang jadiganjalan mencelat mental! Tapi



keadaan sudah kita kuasai Ratu walau kami tidak dapat mengetahui apapenyebabkejadian
itu... ”
“Perintahkan semuaprajurit untuk lebih berjaga-jaga. Aku yakin itu pekerjaan mahluk putus asasrigala putih dan pembantunya!”
Sementara itu di bawah sana...
Ada rasa tidak enak membuat Wiro tak maumemakan hidangan yang disediakan. Tapi dalam ketidakberdayaannya dia tidak mampu menolak. Nasi dan sayur disuapkan dengan paksa  kedalam  mulutnya.  Ketika  dia  hendak  meludahkan  makanan  itu  tenggorokannya dicekik hingga  akhirnya  mau  tak  mau  sayur  dan  nasi  itu  lewat juga  dirangkungannya. Ternyata hidangan yang disantapnya itu sedap sekali rasanya. Hingga kalau tadi Wiro merasa tidak suka, kini nasi dan sayur itu disantapnya dengan lahap sampai habis termasuk secuil kemenyan yang  ada  di  dalam  sayur.  Lalu  tuak  dalam  bumbung  bambupun  diteguknya sampai habis.
“Ratu, tawanan selesai bersantap. Menunggu perintahmu selanjutnya!” Sari Gali Dua melapor.
“Bawa dia ke ruang penantian. Dua hari di muka akan aku putuskan hukuman apa yang bakal dijatuhkan. Jadiganjalan tiang istana atau jadikembang gantung penghiaslangit- langit Istana!”
Sari  Gali  Dua menarik tengkuk pakaian putih Wiro.  Dua  orang prajurit  manusia srigala memegang lengannya. Terdengarsuaralolongan panjang. Wiro merasakan tubuhnya seperti dibawa terbang. Dia melayang ke atas sebatang pohon. Tubuhnya disandarkan ke batang pohon sebelah atas, lalu segulung tali aneh dilibatkan ke tubuhnya mulai dari kaki sampai ke dada, membuatnya laksanadipantek jadi satu denganbatang pohon. Hanya satu jangkauan dari hadapannya, dua mayat tergantung bergoyang-goyang. Satu digantung kaki ke  atas  kepala  ke-bawah,  lainnya  digantung  pada  lehernya  dan  mukanya  dengan  mata
mendelik dan         mencelet menghadap ke arah Wiro!
Wiro hendak mengucap menyebut nama Tuhan, tapi aneh lidahnya terasa seperti kelu. Ini bukan lain disebabkan oleh nasi dan sayur serta tuak yang disantapnya barusan. Masih

KARYA                                        30
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Srigala Iblis

Created by syauqy_arr@yahoo.co.id

untung ada secuil kemenyan yang ikut tertelan, kalau tidak keadaannya akan lebih parah. Bukan saja dia akan lupapada Yang Maha Kuasa, tapi dia juga bisa lupaterhadap dirinya sendiri. Berada dalam keadaan terikat di atas pohon setinggi itu dalam keadaan tubuh lemah lunglai, Pendekar 212 Wiro Sableng berusaha menguatkan diri. Tapi sia-sia saja. Tak berapa lama kemudian kelihatan kepalanya terkulai ke bawah. Pendekar ini jatuh pingsan.

***

“DEWI,  KULIHAT  KEADAAN  DI  ISTANA  srigala  iblis  sunyi.  Sebagian  dari  mereka berburu tawanan baru di rimba Rekso Pratolo sebelah selatan. Sang Ratu keparat itu tengah berbincang-bincang dengan tiga pembantunya. Mungkin tengah menetapkan hukum-, an apa yang bakal dijatuhkan terhadap tawanan baru itu. Kurasa inilah saatnya kita berusaha menyelinap menolong tawanan itu... ”
Sang  Dewi  terdiam  beberapa  ketika,  lalu  berkata:  “Aku  kawatir jangan-jangan  ini adalah satu perangkap yang sengaja dibuat oleh Ratu celaka itu. Kita harus berhati-hati Dayang. Ingat luka di punggungmu masih belum sembuh ketika anak buah srigala iblis itu memergokipenyelinapan kita tigaminggu lalu dan sempat mencakar punggungmu?!”
“Apa yang telah kualami tidak membuatku takut, Dewi. Aku bersedia melakukan dan mengorbankan apa saja, bahkan nyawa sekalipun. Asal bisa terlepas dan keluar dari alam
mahluk halus ini!”
“Aku terharu mendengar ucapanmu dan menyaksikan kesetiaanmu Dayang. Mudah- mudahan para Dewa akan menolong kita. Mari kita melakukan pengintaian. Ingat, jika kita
sampai ketahuan, kita harus lari berpencar agar mereka lebih susah mengejar
Dayang  mengangguk.  Lalu  kedua  mahluk  tanpa  wujud  itu  berkelebat  menuju kelompok pepohonan yang menjadi kawasan Istana Ratu srigala hitam.
“Kita tak bisa menembus lapisan kabut di kiri kanan dan atas belakang kawasan Istana. Kita harus lewat pintu gerbang kepala srigala. Hati-hatilah Dayang...” bisik Dewi.
Saat itu ada dua penjaga berdiri di mulut pintu gerbang. Keduanya adalah manusia- manusia  srigala  berkepandaian  tinggi  dalam  ilmu  hitam.  Ketika  Dewi  dan  Dayang
mendekati pintu gerbang itu,keduanya segera mencium bau para pendatang
Ratu kita.” kata
salah seorang dari manusia srigala itu. Dia mendongak ke atas tapi tak melihat apa-apa. Lalu

dia  memberi  isyarat  pada  temannya.  Kedua  manusia  srigala  ini  segera  melangkah  ke pertengahan pintu gerbang, mengangkat kedua tangan ke atas menutup jalan masuk.
“Dayang, kita tak bisa melewati kedua pengawal itu. Kita harus melakukan sesuatu
untuk membuat mereka beranjak dari pintu gerbang itu!”
Dayang menghela nafas dalam. “Inilah nasib                              sumpahjadi mahluk
halus, tak terlihat oleh mata siapapun tapi tetap saja tubuh kasar kita tak bisa menyelinap seperti hembusan angin... ”
“Kau  tak usah putus  asa  Dayang.  Keadaan  itu membedakan kita dengan mahluk- mahluk halus sepertisrigala-srigala iblis itu. Berarti walau entah kapansekalipun kita masih bisa kembali ke alam dunia kita semula,” kata sang Dewi pula.
“Dewi, aku akan menyalakan api di depan pintu gerbang lalu mengerang seperti orang sekarat minta tolong. Begitumereka bergerak meninggalkan pintu gerbang, kita harus cepat- cepat menyelinap... ”
“Otakmu cerdik. Lekas lakukan hal itu. Aku menunggu di samping pintu gerbang, menjagasegalakemungkinan!”
Dayang tinggalkan sang Dewi.  Sejarak lima tombak dari pintu gerbang berbentuk kepala srigala raksasa itu dia membakar semak belukar lalu keluarkan suara minta tolong
sambil mengerang.
Apa  yang  terjadi  di  depan  pintu  gerbang  itu  serta  merta  menarik  perhatian  dua
pengawal.
“Ada api di sebelah sana...!”
“Aku mendengarsuara perempuan mengerang... ”
“Aku juga! Mari kita menyelidik!”
Dua prajurit penjaga pintu gerbang melompat. Pada saat itulah Dewi dan Dayang masuk menyelinap.
“Kurang.ajar! Kita tertipu!” seru salah seorang manusia srigala ketika api yang tadi terlihat  dari  jauh  tiba-tiba  saja  lenyap  begitu  juga  suara  erangan  minta  tolong!  “Lekas kembali ke pintu gerbang!” Kedua manusia srigala itu cepat kembali ke pintu gerbang, tapi

mereka menyadari kalau sudah kebobolan. Keduanya mencium bau harum di sekitar pintu gerbang itu.
“Lekas lapor pada Ratu!” kata salah seorang diantara mereka dengan suara bergetar karena takut. Dia tahu hukuman apa yang bakal dijatuhkan terhadapnya dan kawannya.
Ketika peristiwa itu disampaikan pada Ratu srigala, marahlah manusia srigala bertubuh
perempuan ini.
“Ganti  penjagaan  di  pintu  gerbang.  Seret  dua  pengawal  ceroboh  itu  ke  tiang gantungan!” perintah Ratu.
Dua pengawal jatuhkan diri berlutut minta ampun. Tapi sang Ratu tidak perdulikan. Dia memberi isyarat. Lima prajurit segera bergerak jalankan perintah di bawah pimpinan Sari  Gali  Tiga.  Dua  puluh  prajurit  disebar  ke  berbagai  penjuru  untuk  melakukan penyelidikan dan pengawasan. Sang Ratu sendiri melayang ke atas pohon besar yang menjadi tempat ketidurannya. Dari sini dia memandangtajam dan kerahkan penciumannya. Ada bau harum masuk ke dalam jalan pernafasannya. Pertanda Istananya memang telah kemasukan
musuh!
“Lipat gandakan penjagaan di pintu gerbang! Penyusup sudah masuk ke tempat kita! Jangan sampai lolos keluar!” teriak Ratu srigala lalu laksana terbang tubuhnya melesat ke arah pohon dimana Pendekar 212 berada. Di pohon itu dilihatnya Wiro Sableng masih berada dalam keadaan terikat dan pingsan. Dia memandang berkeliling. Tak tampak mahluk lain di sekitar situ. Tapi dia yakin ada yang telah menyusup!
Maka Ratu srigala ini lantas berteriak: “Dewi! Dayang! Jangan kalian kira aku tidak tahu kehadiranmu disini! Kalian terlalu pengecut untuk memperlihatkan diri!Apakah kalian
sangka bias         keluar dari sini?! Sampai kiamat kalian tidak akan mampu kembali ke ujud
semula! Ha… ha...ha...!”
Tak  ada jawaban. Yang  terdengar  hanya  suara  sitiran  angin  bergemerisik  di  daun pepohonan. Saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng yang tadi pingsan mulai sadarkan diri. Dia mampu  melihat  sosok tubuh  berupa kepala  srigala  bertubuh perempuan  di hadapannya


walau dalam keadaan samar-samar. Ketika Ratu srigalamemandang ke jurusannya pendekar ini kembali berpura-pura pingsan.
Ratu srigala mendengus.  “Jangan berpura-pura. Kau kira aku tidak tahu kalau kau sudah siuman!” bentak sang Ratu lalu jambak rambut Wiro hingga pemuda ini menyeringai
kesakitan.
“Besok hukuman atas dirimu dijatuhkan! Tamat sudah riwayatmu, anak manusia! Kau tak bakal  dapat kembali ke  duniamu!  Seumur-umur  tubuhmu  akan  tersiksa,  mati  tidak hiduppun tidak!”
Wiro buka kedua matanya. Lalu menjawab. “Bagiku hidup atau mati samasaja. Yang aku kawatirkan justru keadaan dirimu, Ratu srigala... ”
Mulut  Ratu  sengaja  membuka  lebar,  lidahnya  menjulur  dan  sepasang  matanya mendelikke arah Wiro yang terikat dan terpentang di batang pohon.
“Anak manusia, apa maksudmu?!” sentak Ratu srigala.
“Menyiksa atau membunuh diriku tak ada artinya... Itu tidak akan membuat dirimu bisa kembali ke bentukmu semula! Seumur-umur kau tetap akan jadi perempuan srigala!”
“Manusia keparat, jangan kau berani berkata lancang padaku!”
“Aku tidaklancang! Justru aku ingin menolongmu!” sahut Wiro.
Ratu   srigala   mendengus   lalu   tertawa   panjang   dan   diakhiri   dengan   lolongan menggidikkan.
“Apa yang bisa kau tolong anak manusia? Apakemampuanmu?! Saat ini membebaskan dirimu saja kau tidak sanggup!”
“Memang  aku  tidak  sanggup.  Tapi  kau  sendiri  yang  akan  menolong  melepaskan diriku. Lihat saja nanti!”
“Apa maksudmu?!”
Wiro tertawa lebar walaupun untuk tertawa begitu bibirnya yang pecah terasa sakit.
“Kau hidup  di  Istana  megah  ini  sebagai  seorang  Ratu. Tapi  apa yang kau  dapat? Apakah kau mendapat kebahagiaan dan kesenangan?!”
“Aku Ratu srigala tidak butuh kesenangan atau kebahagiaan!”

“Jangan membohongi diri sendiri. Yang namanya mahluk, biar manusia atau setan dan jin, ataupun mahluk jejadian tetap membutuhkan kesenangan dan kebahagiaan! Dan sebagai seorang  perempuan  apakah  kau  tidak  pernah  memikirkan  seorang  lelaki  pendamping?
Seorang suami?!”
Ratu srigala tertawa panjang.
sini
bisa jadi suami setiap saat aku ataupun pembantu-pembantuku maui” ujar Ratu srigalapula.
“Seorang Ratu secantikmu, bersuamikan lelaki berkepalasrigala, apa itu lucu...?”
“Kurobek mulutmu!”
“Dengar Ratu, jika kau mau membebaskan aku, aku bersedia menjadi pendampinmu
di Kerajaan ini... ”
“Manusia tidak tahu diri!” sentak Ratu srigala. Tangankanannya bergerak.
Plaak!
Satu tamparan mendarat di muka Pendekar 212 Wiro Sableng. Pemuda ini mengeluh pendek lalu jatuh pingsan. Ratu srigalapandangi Wiro sesaat kemudian tinggalkan tempat
itu.

***"""
“RATU  KEPARAT  ITU  SUDAH  PERGI,  DAYANG...mari  kita  dekati  pemuda  itu... ” Dewi berbisik pada pembantunya. Kedua mahluk tanpa wujud ini keluar dari balik pohon  besar, melayang ke atas cabang pohon di mana Pendekar 212 berada dalam keadaan terikat.
“Dia masih pingsan Dewi. Tamparan Ratu srigala tadi keras sekali! Biar kutolong agar dia sadar...” berkata Dayang. Lalu dia mengurut beberapa bagian di kepala Pendekar 212, juga urat besar pada pangkallehernya. Dari balik kembennya Dayang kemudian keluarkan sehelai sapu tangan yang menebar bau harum. Sapu tangan ini diusapkannya ke hidung Wiro. Sesaat kemudian Pendekar 212 terbatuk-batuk. Dayang cepat tekap mulut pemuda itu agar suarabatuknya tidak terdengar.
Merasa ada yang memegang kepalanya Wiro buka kedua mata. Dia sama sekali tidak melihat siapapun. Tapijelas terasa adayang menekap mulutnya!
“Hantu atau jin apa pula ini?!” ujar Wiro. Dibukanya mulutnya lalu digigitnya tangan yang menekap. Terdengarsuara jeritan. Suarajerit perempuan!
“Pemuda nakal! Orang hendak menolong mengapa kau gigit tanganku?!” ujar Dayang lalu lepaskantekapannya.
“Siapa kau? Aku tidak melihat siapa-siapa!” ujar Wiro.
“Ssst...Bicara  lebih  perlahan.  Jangan  sampai  terdengar  srigala-srigala  iblis!”  yang
berbisik Dewi.
“Hemm... Ada  dua perempuan  di  dekatku! Tampang  dan  sosoknya  tidak kulihat. Kalian pasti mahluk-mahluk halus yang kesasar ke pohon ini...!”
“Dengar, kami berdua bermaksud menolongmu. Dengan perjanjian bahwa kau juga bersedia menolong kami!” berkata Dayang.
“Kami... Kami! Siapa kalian berdua ini?” tanya Wiro tambah heran. “Aku mencium
bau harum semerbak. Kalian bukan anak buahnya Ratu srigala itu?”

“Justru mereka adalah musuh-musuh kami!” jawab Dewi.
“Kalian belum menerangkan siapa diri kalian.”
“Aku Dewi … ”
“Aku Dayang, pembantu Dewi... ”
“Aku Wiro Sableng. Tawanan Ratu srigala. Soal tolong menolong apa yang kalian
bicarakan ini?”
“Jika kita bergabung, kita pasti bisa keiuar dari Kerajaan iblis ini... ”
“Eh, baiknya kalian perlihatkan dulu tampang-tampang kalian. Aku tidak sudi bicara denganangin!”
“Kami bukan angin,” sahut Dayang. “Kami tidak bisa memperlihatkan diri karena sekali terlihat oleh Ratu srigala atau anak buahnya bisa celaka!”
“Penderitaanku  saat  ini  bukan  olah-olah.  Jangan  tambah  dengan  segala  macam keanehan edan!Aku tidak bersedia berurusandengan segalamacam setan!”
“Mulutmu lancang sekali. Pantas Ratu srigalamenamparmu tadi!” kata sang Dewi.
“Dengar, jika kita tidak saling kerja sama, sampai kiamat kita akan berada dalam alam gelap hitam dan sesat ini. Dan besok kau bakal dijatuhi hukaman. Berarti sampai kiamat kau akan  tersiksa.  Mati  tidak  hiduppun  tidak.  Mungkin  kepalamu  akan  dijadikan  ganjalan pohon besar kediaman Ratu srigala. Mungkinjuga digantung kaki ke atas kepala ke bawah! Apa kau suka dibuat seperti itu?!”
“Jangan-jangan kalian kaki tangan Ratu srigala yang hendak menjebakku!” kata Wiro.
“Akalmu pendek amat. Kau tahu, kalau Dewiku tidak menolongmu keadaanmu saat ini pastijauh lebih parah. Daging tubuhmu akan mengkerut dan otakmu tak bisa bekerja wajarlagi … ”
“Begitu...? Pertolonganapa yang sudah dilakukan Dewimu itu?” tanya Wiro.
“Dia telah melemparkan sepotong kemenyan mujizat ke dalam sayur yang tadi kau santap. Tanpa kemenyan itu ikut tertelan olehmunasibmu seperti yang aku bilang tadi!”
“Bagaiman aku bisa percaya apa yang kau katakana itu tidak dusta?!” ujar Wiro pula. “Kau masih saja tidak percaya pada kami.” Kata Dayang hampir putus asa.

“Katakan saja apa sebenarnya yang tadi disantap dan diminumnya itu!” terdengarsuara
sang Dewi.
“Memangnya apa yang sudah kumakan dan kuminum?!” tanya Wiro.
Maka Dayangpun menjawan, “Apa yang kau lihat sebagai nasi putih mengepul bukan lain adalah kotoran mahluk-mahluk srigala.”
“Apa?!” Kedua mata Wiro membelalak.
“Sayur yang kau lahap adalah cacing-cacing tanah!”
“Ah! Tidak mungkin!” seru Wiro. Perutnya jadi mual.
“Sstttt! Jangan membuka mulut keras-keras!” memperingatkan Dewi.
Lagi  Dayang menyambung,  “Dan  tuak dalam bumbung yang kau  teguk habis  itu adalah air kencing manusia-manusia srigala itu!”
Wiro ternganga. “Aku tidak percaya...” katanya. “Aku jelas-jelas melihat nasi putih, sayur kangkung dan tuakharum!”
Sang  Dewi  tertawa  lalu  berkata:  “Dalam  dunia  halus,  mata  orang  biasa  menjadi terbalik. Apa yang dilihatnya bisa tidak samadengan yang sebenarnya. Dan itu yang terjadi dengan dirimu... ”
“Kalau  memang  begitu,  dan  kau  punya  niat  menolongku,  mengapa  kau  tidak mencegah aku menyantap kotoran,cacing dan air kencing itu....?”
“Kami berdua tidak punyakemampuan untuk melakukannya!”
“Kalau begitu berarti kau bohong besar mengatakan hendak bergabung dan saling menolong! Kau tidakmampu!”
“Kami berdua memang tidak mungkin. Tapi bersamamu kami bisa! Kau mempunyai kesaktian luar biasa untuk bisa menghancurkanKerajaan srigala iblis... ”
“Dalam  keadaan  tidak  berdaya  begini  apa  yang  bisa  kulakukan  selain  menerima
nasib...!”
“Jangan   buru-buru   putus   asa!   Bukankah   sudah   kami   katakan   kami   akan
menolongmu?” ujarDayang.


“Selama aku tidak melihat ujud kalian berdua, aku tak akan percaya. Apalagi saling tolong menolong!”
Dayang  dan  Dewi  saling pandang,  lalu  saling  berbisik.  Kemudian  terdengar  suara Dewi.   “Jika  kami  perlihatkan  wujud  kami,   apakah  kau   tidak  akan   menyesal   dan membatalkan perjanjian saling menolong?”
“Aku akan memegang janji!” jawab Wiro.
“Kalau  begitu  lihatlah  baik-baik.  Kami  hanya  bisa  memperlihatkan  diri  dalam sekejapan mata saja!” kata Dewi.
Wiro buka matanya besar-besar. Ada angin bersiur di hadapannya. Sesaat kemudian dua sosok tubuh muncul di depannya. Keduanya berupa sosok perempuan berkepalasrigala. Bedanya dengan manusia-manusia srigala sebelumnya dua srigala ini berbulu putih. Yang satu memiliki tubuh dan kulit serta pakaian bagus. Seperti Ratu srigala, srigala putih yang satu ini juga memiliki mahkota kecil di kepalanya. Tubuhnya memancarkan bau harum
semerbak.
Ketika dua sosok itu lenyap, Pendekar 212 Wiro Sableng masih ternganga bengong. “Kalian berbulu putih, siapa kalian ini sebenarnya ...?” ujar Wiro.
“Aku adalah puteri Prabu Blambangan. Terkena kutukan karena berbuat kesalahan besar, memberi malu sang Prabu. Dayang adalah pembantuku yang setia... ”
“Sulit  kupercaya!  Kerajaan  Blambangan  hadir  dua  ratus  tahun  silam.  Bagaimana mungkin kini kalian masih gentayangan...?”
“Memang  sulit  dipercaya,  tapi  itulah  kenyataannya.  Selama  dua  ratus  tahun  kami hidup dalam keadaan seperti ini. Menurut mimpi yang kualami, engkaulah satu-satunya orang  yang  bisa  mengeluarkan  kami  dari  malapetaka  ini,  kembali  ke  alam  yang Jebih
sempurna... ”
“Kesalahan apakah maka sang Prabu sampai mengutuk kalian beginirupa?”
Dayang dan Dewi saling pandang. Akhirnya sang Dewi menjelaskan dalam alam tanpa wujudnya. “Sebagai anak dan puteri bungsu, aku menjalin cinta dengan seorang pemuda bernama Dharmasala. Celakanyapemuda itu sudah dijodohkandengan puteri sulung, yakni

kakak  perempuanku  sendiri.  Karena  Dharmasala  tidak  mencintai  kakakku,  maka  kami berdua menempuh jalan sesat untuk membatalkan perkawinan kakakku dengan Dharmasala. Kami sengaja melakukan hubungan badan sampai aku melahirkan seorang anak perempuan. Di  Kerajaan  kami  memang  ada  semacam  adat  kebiasaan.  Bila  lahir  seorang  bayi  dari hubungan tidak syah, maka kedua orang tuanya wajib dikawinkan. Ternyata perkawinan itu tidak terjadi.
Sang Prabu sangat marah. Beliau mengutuk aku dan Dayang menjadi srigala putih sedang Dharmasala dikutuk menjadi batu... ”
“Tunggu  dulu!”  ujar  Wiro  memotong.  “Aku  menemui  seorang  pemuda  di  hutan Rekso. Lehernya digelungi ular. Tapi dia kemudian berubah jadi patung batu. Anehnya patung itu bisamenangis! Itukah kekasihmu Dharmasala?!”
“Betul sekali. Saat ini dia berada di bawah pohon sana, tak jauh dari pohon kediaman Ratu srigala. Ular yang selalu bergelung dilehernya adalah ular penjaganya hingga dia tak mungkin melarikan diri... ”
“Aku   sudah   membunuh   binatang   itu.   Meng-hancurkannya   sampai   berkeping- keping... ”
“Binatang itu tak bisa dibunuh, kecuali oleh kami. Tapi kami tidak berdaya. Selama masih dalam wujud kutukan ini, kami tak bakal dapat melakukannya.”
“Aku sepertimendengar orang bercerita tentang mimpinya... ”
“Ini bukan mimpi. Ini adalah kenyataan yang sudah terjadisejak dua ratus tahun lalu!”
sahut Dayang.
“Setelah   kalian   berdua   dimakan   kutuk,   lalu   apa   yang   terjadi   dengan   kakak perempuanmu?” bertanya Wiro kemudian.
“Diapun terkena kutuk. Termasuk tiga pembantu dan puluhan pengikutnya. Dialah
yang kau         sebagai Ratu penguasaKerajaan Iblis ini!”
“Astaga! Dia rupanya!” ujar Wiro sampai le-letkan lidah.
“Waktu di hutan beberapa hari lalu, adakah kau mendengarsuarabayi menangis...?!”
Dewi.

“Ya, memang kudengar. Apakah —”
“Itu adalah suara tangis orokku. Bayi malang itu dibunuh oleh kakak perempuanku. Tujuannya adalah untuk mencegah agar aku kawin dengan Dharmasala. Tanpa bayisebagai bukti aku tak akan bisa kawin, Tapi ayah kemudian mengutuknya. Dia bersama pembantu dan  pengikutnya  menjadi  srigala-srigala  hitam.  Hidup  dalam  alam  sesat,  melakukan pembunuhan dan penganiayaan keji tiada taranya!”
Wirojadi termangu mendengar semua penuturan itu.
Lalu dia berkata, “Sekarang, apa yang bisa kulakukan dalam keadaan tak berdaya ini?!”
“Kami tahu kau hilang kekuatan karena mantera jahat Ratu srigala. Kau tak mampu menggerakkanbagian tubuhmu sebelah atas. Kau tidak mampu mengerahkan tenaga dalam. Dewi akan menolongmu agar kekuatanmu pulih kembali... Lekas kau makan obat dari Dewi ini!” kata Dayang. Wiro melihat sebuah benda berbentuk hijau sebesar ujung jari kelingking bergerak ke arah mulutnya. Karena sudah percaya kalau mahluk-mahluk itu memang berniat baik untuk menolong, maka Wiro tidak menolak ketika benda hijau dimasukkan ke dalam mulutnya. Begitu masuklangsung ditelan. “Sebentar lagi keadaanmu akan pulih. Kami... ”
“Awas! ada yang datang!” terdengarseruan Dewi. “Dayang, lekas tinggalkan tempat ini! Sahabat lekas kau berpura-pura pingsan kembali!”
Wiro merasaangin berdesir dihadapannya. Dewi dan Dayang berkelebat lenyap dalam alam gaibnya. Sesosok, tubuh melayang ke atas pohon. Ternyata dia adalah Sari Gali Satu, pembantu utama Ratu srigala.
Manusia  srigala  betina  ini  memandang kian  kemari  lalu  dia  bergerak lebih  dekat. Setelah memperhatikan keadaan Wiro yang pingsan itu, dia ulurkan tangan, memijat kening dan urat besar di leher si pemuda. Caranya melakukan jni persis samaseperti yang dilakukan Dayang. Hanyabedanyawaktu Dayang melakukan itu Wiro benar-benar pingsansedangkan saat itu dia hanya berpura-pura saja.
Manusia srigala itu merasa lega ketika melihat Wiro buka kedua matanya tanda mulai siuman. Lalu dia tepuk-tepuk pipi Wiro dan berkata: “Pendekar muda... Kedatanganmu memang   sudah   kutunggu   sejak   puluhan   tahun   lalu.   Kau   satu-satunya   yang   bisa

mengeluarkan  aku  dari  alam  gelap  ini.  Aku  bersumpah  akan  menyerahkan  diri  dan
mengabdi padamu seumur dunia jika kita sudah keluar dari alam ini     ”
Wiro  menghela  nafas  panjang.  “Kau  srigala  aku  manusia,  mana  mungkin  aku menerima penyerahan dirimu... ”
“Kalau kita sudah bebas dari alam ini, aku akan kembali ke wujudkusemula. Jika kau mau, sekarang pun aku bisa menunjukkan rupa asliku. Tapi tidak di sini dan hanyabeberapa kejapan saat saja... ”
“Aku tidak percaya padamu. Kau mungkinmenjebakku!” kata Wiro. “Tidak pendekar. Percaya padaku!”
“Tidak, kecuali jika kau bisa membuktikan lebih dulu. Kembalikan senjata mustika
milikku yang diambil Ratumu... ”
“Saat  ini  tak  mungkin  aku  lakukan.  Dewi  sedang  berada  di  ruang  penyimpanan senjata. Aku berjanji akan mendapatkannya untukmu. Tanpa senjata itupun kita mampu
keluar   dari   sini.  Yaitu   setelah   aku   memulihkan   kekuatan   tubuhmu.   Mari   kubuka
ikatanmu... ”
Sari Gali Satu membuka ikatan yang melilit sekujur tubuh Wiro ke batang pohon. Begitu  terlepas  segera  dia  mendukung  pemuda  ini  di  bahu  kirinya.  Wiro  merasakan tubuhnya dibawa melayang. Di lain kejap Wiro dapatkan dirinya berada di puncak pohon sangat  tinggi.  Saat  itu  obat  yang  diberikan  Dayang  telah  mulai  bekerja.  Wiro  dapat menggerakkan jari-jari tangannya, bahkan mengalirkan tenaga dalam dari pusat tubuhnya yaitu di bagian perut. Namun dia sengajaberpura-pura tetap seperti lumpuh.
Sari  Gali  Satu mendudukkan Wiro  di sebuah  cabang besar yang diberi potongan- potongan kayu, dibentuk demikian rupa merupakan tempat tidur kayu.  Di hadapannya manusia srigala betina itu tegak dengan kedua kaki mengangkang dan tangan mendekap ke dada. Kepalasrigalanya mendongak ke atas, kedua matanya terpejam dan lidahnya menjulur basah. Dari mulutnya terdengar suara mendesau seperti gerengan halus. Wiro kemudian
itu
lenyap. Bersamaan dengan itu bentuk kepalasrigala itupun berubah, berubah terus hingga

muncul kepala seorang perempuan muda berkulit hitam manis dengan tubuh sekal pada bagian dada dan bagian pinggul. Dan yang membuat murid Sinto Gendeng jadi menahan nafas  ialah  tubuh  yang  tadi  pakai  kemben  itu  kini  tampak  tidak  tertutup  selembar benangpun!
“Waktuku tidak lama! Lekas berdiri. Tempelkan tubuhmu ke tubuhku! Kekuatanmu akan segera kembali!” berseru Sari Gali Satu.
Seperti  berada  dalam  tenungan  mantera,  Pendekar  212 Wiro  Sableng  berdiri  dan melangkah  mendekati  Sari  Gali  Satu.  Ketika sesaat lagi  tubuhnya  akan  menempel pada tubuh  telanjang itu  tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek:  “Bagus! Jadi  ini kerjamu disini pengkhianat busuk!”

***

TUBUH TELANJANG SARI GALI SATU tersentak. Begitu mengenal suara dan melihat siapa yang ada di hadapannya, manusia jejadian ini langsung jatuhkan diri berlutut.
“Ratu, harap maafkan diriku! Bukan maksudku mengkhianatimu... ”
“Tutup   mulutmu!”   hardik   Ratu   srigala   marah   sekali.   “Gerak-gerikmu   sudah kuperhatikan   sejak  kau   melepas   ikatan   pemuda   itu.   Semua   pembicaraanmu   sudah kutangkap! Kau hendak memakai manusia ini sebagai penyelamat kehidupanmu! Padahal kita  semua  sudah  bersumpah  untuk  tidak  akan  kembali  ke  alam  semula! Apapun yang terjadi! Kita sudah dikutuk sejak dua ratus tahun lalu! Dan kau berani melanggar sumpah
bersama itu!”
“Mohon ampunmu Ratu. Aku... ”
“Cukup! Aku tidak suka mendengarsuaramulagi! Aku tidak sudi melihat tampangmu lagi! Hukuman bagimu sudah kutetapkan! Kau harus mampus dan berpindah ke alam setan pelayangan!”
“Ratu! Jangan lakukan itu... Aku minta ampun!” teriak Sari Gali Satu.
Tapi   sang   Ratu   srigala   tidak   memperdulikan.   Dari   mulutnya   keluar   suara menggembor. Mulutnya terbuka lebar, lidah  terjulur, gigi-gigi  dan  taringnya yang besar runcing bergemeletukan sedang kedua matanya membara merah. Dari mulut Ratu srigala itu tiba-tiba  terdengar  suara  lolongan  keras.  Kedua  tangannya  yang  memiliki  kuku-kuku panjang dan runcing melesat ke depan.
Terdengar suara seperti kain dirobek berulang-ulang, dibarengi oleh suara pekik Sari Gali Satu. Tubuh mahluk ini terhuyung-huyung lalujatuh ke tanah dengansuara berdebum. Wiro  memandang ke  bawah. Tengkuknya mengkirik.  Sosok tubuh  Sari  Gali  Satu yang
masih dalam keadaan telanjang itu tampakmandi darah. Muka,                 perutnya sampai
ke paha penuh robekan-robekan mengerikan! Di hadapannya Ratu srigala tampak tegak

dengan tangan basah oleh darah. Kedua matanya diarahkan sesaat pada Wiro lalu berpaling kebawah. Tiba-tiba dia pukulkan tangan kanannya seraya berteriak. “Mahluk pengkhianat!
Pergi kau ke alam lain!”
Serangkum asap hitam menderu dari tangan kanan sang Ratu, menghantam sosok tubuh Sari Gali Satu di bawah pohon. Tubuh itu lenyap ditelan asap disertai terdengarnya suara letusan keras. Terdengarsuara jerit! Bukansuara jeritsrigala, tapisuara jeritan manusia. Ketika asap hitam pupus, sosok tubuh Sari Gali Satu tak tampaklagi di tempatnya terbujur semula! Lapat-lapat terdengar suaraseperti perempuan menangis.
Ratu srigala bertepuk dua kali. Dua pembantunya yakni Sari Gali Dua dan Sari Gali Tiga tiba-tiba saja sudah ada di tempat itu.
“Ikat manusia ini kembali di tempat semula!”
Dua pembantu segerajalankan perintah.
“Ingat baik-baik! Setiap saat kalian bisa mengalami nasib celaka seperti Sari Gali Satu jika berani mengkhianatiku!” mengingatkan Ratu srigala. Sari Gali Dua dan Tiga hanya diam saja.
Saat itu obat aneh yang diberikan Dewi dan telah ditelan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng  telah  mulai  bekerja.  Dia  merasa  tubuhnya  sebelah  atas  perlahan-lahan  menjadi enteng tanda kaku dan tegang yang menguasainya telah punah. Kedua tangannya jelas pasti sudah bias digerakkan. Tetapi dia tetap berpura-pura seperti orang lumpuh sebelah. Diam- diam dia mengerahkan tenaga dalam. Tangan kanannya segera dialiri dengan aji kesaktian untuk melepaspukulan sinar matahari yang paling diandalkannya.
Tapi justrusaat itu Wiro mendengarada suaramengiang di telinga kirinya.
“Jangan lakukan! Belum saatnya! Kau tak akan bisa membunuh atau menghancurkan mereka!” Itu adalah suara Dewi si srigala putih. Lalu terdengar suara Dayang pembantunya. “Terus  saja  berpura-pura  dalam  keadaan  lumpuh.  Ikuti  apa  yang  mereka  lakukan  atas dirimu. Di saat yang baik kami akan mendatangimu!”

Mau tak mau Wiro mengikuti apa yang dikatakan manusia srigala putih tanpa wujud itu. Dia biarkan tubuhnya dikempit, dibawa terbang ke pohon besar dimana dia sebelumnya
diikat.
Ratu srigalamengikuti di belakang. Begitu Wiro selesai diikat ke batang pohon, sang Ratu berkata: “Nafasmu hanya tinggal setengah hari saja! Kau bisa melihat sendiri kepalamu terpisah  dengan  badan.  Tubuhmu  akan  jadi  santapan  binatang  hutan!  Kepalamu  akan kujadikan ganjalan tiangpohon besar istana kediamanku! Hik... hik...hik!” Lalu sang Ratu melolong panjang.
Karena  merasa  dirinya  telah  tertolong  oleh  dua  manusia  srigala  putih  itu,  timbul keberanian dankekonyolan murid Sinto Gendeng itu untuk membalas ucapan sang Ratu.
“Aku  menawarkan  kesenangan  hidup  suami  istri  padamu.  Tapi  kau  menjatuhkan kematian padaku! Kau akan menyesal seumur-umur! Aku tahu betul, hanya aku manusia yang  bisa  mengembalikanmu  ke  alam  semula!  Menjadikanmu  sebagai  manusia-manusia seperti  dua  ratus  tahun  lalu!”  Habis  berkata  begitu  lalu  Wiro  keluarkan  suara  meniru lolongan srigafa sambil kedip-kedipkan matanya pada sang Ratu.
Sang  Ratu  mendengus.  “Itu  yang  dikatakan  Sari  Gali  Satu  padamu!  Dia  hanya menipumu agar kau mau menidurinya! Sumpah dan kutukan atas diri kami tidak mungkin
dirubah!”
“Lalu kau sendiri apakah tidak ingin bersenang-senang tidur bersamaku?!” tanya Wiro pula.
Kalau saat itu tidak ada Gali Dua dan Tiga, mungkin Ratu srigala tidak akan semarah itu mendengar kata-kata Wiro. Tangan kanannya yang berkuku runcing panjang meluncur ke depan.
Breettt!
Terdengar  suara  robek disertai  pekik keras  Pendekar  212.  Dada pakaian  putihnya robek besar dan lima guratan luka yang cukup dalam membelintang di dadanya. Darah mengucur!

“Mahluk jahanam!” teriak Wiro. Baru saja dia hendak kerahkan tenaga untuk lepaskan dirinya dari ikatan tali dansiap menghantam manusia srigala itu tiba-tiba kembali terdengar suara  Dayang.  “Jangan!  Kau  masih  belum  mampu  menghadapinya!  Jangan  bertindak
bodoh!”
Saking  geramnya  Wiro   kembali   keluarkan   teriakan   keras,   delikkan   mata   dan pencongkan mulut serta hidungnya, lalu pluk, kepalanya terkulai ke samping, berpura-pura pingsan. Pada hal saat itu sakit di dadanya yang luka bukan kepalang!
Ratu srigala menggembor, berpaling ke  arah  Sari  Gali  Dua dan berkata,  “Siapkan upacara hukuman bagimanusia paling celaka ini!”

***

“KITA TAK PUNYA WAKTU LAMA, DAYANG LEKAS!” kata Dewi begitu dilihatnya Ratu  srigala  berkelebat  pergi  sementara  dua  pembantunya  sesuai  perintah  menyiapkan upacara pelaksanan hukuman bagi Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kedua   mahluk   tanpa   rupa   itu   cepat   keluar   dari   balik   pohon   besar   tempat persembunyian  mereka,  melayang  ke  arah  pohon  di  mana Wiro  berada  dalam  keadaan terikat dan terluka di bagian dada.
“Aku  tidak  mengerti,”  berbisik  Sari  Gali  Dua  pada  kawannya.  “Untuk  pemuda bertampang  tolol  dan  banyak  cakap  itu  mengapa  sampai  Ratu  kita  mengadakan  segala
upacara...?”
“Hati-hati kalau bicara!” sahut Sari Gali Tiga.
“Sempat terdengar Ratu, kau bisa celaka. Menurutku jika pemuda itu hanya seorang
tolol biasa,                 Ratu memerintahkan  melakukan  upacara penghukuman.  Kau  tahu
sendiri, sampai saat ini, sejak dua ratus tahun berlalu, baru dua kali kita melakukan upacara dalam menjatuhkan hukuman. Pertama terhadapPangeranAjibarang. Kedua atas diri Datuk dunia persilatangolongan hitam bergelar Seribu Racun. Dan pemuda ini adalah yang ketiga. Berarti dia termasuk korbancabang atas! Sudahlah, sebaiknya kita tidak usah banyak bicara. Lakukan sajaperintah Ratu... ”
Kita  tinggalkan  dulu  dua  pembantu  utama  Ratu  srigala  yang  tengah  menyiapkan upacara kematian Pendekar 212 Wiro Sableng. Kita kembali pada Dewi dan Dayang.
“Sssttt kami datang kembali. Terus saja berpura-pura pingsan,” berbisik Dayang dari alam tanpawujudnya.
“Mereka siap membunuhku. Kalian selalu mencegah aku untuk turun tangan. Apa aku jadi setan dulu baru melawan?!” ujar Wiro. Kepalanya terus terkulai dan dia masih berpura- pura pingsan. Dibukanya matanya sedikit. Namun dia tidak melihat apa-apa.

“Dengar, kami tak punya waktu lama. Untuk berjaga-jaga kami akan menyusupkan sebuah benda ke balik pakaianmu!” terdengarsuaraDayang kembali.
Wiro  bukakan  kedua  matanya  sedikit.  Dilihatnya  sebuah  benda  bergerak  seperti melayang ke arah dadanya. Ketika diperhatikan ternyata sebuah boneka kayu sebesar ibu jari.
“Eh, apa artinya ini! Untuk apa boneka kayu itu kalian susupkan ke balik pakaianku?!”
tanya Wiro.
“Sudah kami katakan, untuk berjaga-jaga.” Yang berkata kali ini adalah sang Dewi. “Kami mungkin tidak punya waktu banyak. Seandainya Ratu srigala iblis itu atau anak buahnyadatang sebelum kami selesai dengan pekerjaan kami, maka kau sudah kami pagari dengan boneka itu. Jika sampai kau dipancung, maka boneka kayu itu yang akan mati!”
“Aku tidak mengerti. Boneka kayu itu jelas benda mati! Bagaimana lantas kau bilang
dia yang akan mati?!”
“Kami tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan. Lekas telan ini!” kata Dayang. Lalu Wiro melihat sebuah benda sebesar ujung jari berwarna coklat keputihan bergerakcepat ke  arah  mulutnya.  Sebelum  dia  sempat  menolak  benda  itu  sudah  menyusup  ke  dalam mulutnya. Lalu sepertiada cekikkan di lehernya, yang membuatnya terpaksa menelan benda
tadi.
“Kemenyan!” desis Wiro.
“Memang kemenyan. Benda itu akan membuatmu kebal dari segalakelumpuhan otak  dan aurat atau kekakuan akibat racun jahat atau totokan manusia-manusia srigala iblis,” menjelaskan Dewi.
“Sekaranggulungan kertas ini akan kami susupkan ke dalam tubuhmu!” Dayang yang
kini bicara.
Wiro melihat secarik kertas sepanjang jari kelingking yang digulung sangat kecil,hanya dua kali besarnya lidi bergerak di udara, melesat ke arah perutnya. Dia hendak berteriak tapi bless! Secara aneh gulungan kertas itu amblas masuk ke dalam tubuhnya di bagian perut tanpa dia merasa sakit sedikitpun!
“Hai! Kertas apa yang kalian tancapkan dalam tubuhku ini?!” tanya Wiro.

“Itu tameng terakhir yang bakal menjaga dirimu. Di dalamnya ada serangkaian ayat- ayat  suci!  Dengan  ada  kertas  itu  dalam  tubuhmu,  pukulan  atau  senjata  apapun  yang dihunjamkan  ke  tubuhmu  tidak  akan  mempan!  Ingat  satu  hal  baik-baik. Jika  upacara kematianmu   mulai   dilaksanakan,   sering-sering   menyebut   nama   Tuhanmu.   Dengan mengucap begituKerajaan Srigala iblis dan penghuninya akan sangat terganggu. Satu hal lagi perlu kami beritahukan, segala ilmu kepandaian dan kesaktian yang kau miliki baru bisa bekerja setelah sekujur tubuhmu menyentuh tanah dan tanganmu mampu memegang kepala Datuk Seribu Racun yang menjadi ganjalan pohon besar kediaman Ratu srigala. Jadi kau harus mengusahakan untuk bisa bergulingan di tanah!”
“Edan! Bagaimana aku tahu yang mana kepala Datuk Seribu Racun itu!” berkata Wiro penuh jengkel. Hati kecilnya saat itu inginsaja dia melepaskan diri dari ikatannya kebatang pohon, lalu langsung menyerbu Ratu srigala. Tapi diam-diam dia menyadari bahwa dia bukan berada dalam dunianya sendiri. Melainkan dalam satu alam penuh keanehan yang dibungkus dengan darah dan maut yang penuh kengerian.
“Lagi pula perlu apa aku harus memegang kepala manusia yang sudah jadi bangkai hidup itu!” sambung Wiro sesaat kemudian.
“Mengapa kau harus memegang kepala sang Datuk tak dapat kami katakan saat ini karena tak ada waktu dankaupun mungkin sulit bisa mengerti. Kepala Datuk itu ada pada bagian bawah sebelah kanan pohon.  Kepala dengan kedua bola memberojol keluar  dari rongga mata, memiliki kumis dan cambang bawuk, telinga kanan sumplung dan pipi kiri hancur robek sampai ke telinga!”
“Dayang, kita harus pergisekarang... ”
“Tunggu dulu!” ujar Wiro cepat. “Senjata mustikaku, Kapak Naga Geni 212 telah mereka rampas. Aku minta bantuan kalian untuk mendapatkannya kembali!”
“Jangan  kawatir.  Pada  saat  upacara  penjatuhan  hukuman  atas  dirimu,  manusia- manusia srigala iblis itu pasti akan memusatkan perhatian pada jalannya upacara. Kami akan punya kesempatan untuk menyelinap ke dalam kamar penyimpanan senjata Ratu srigala... ”
“Kamar penyimpanan, katamu...?” tanya Wiro heran.

“Kamar itu bukan kamar sungguhan. Tapi sebuah pohon besar penuh dengan senjata- senjata rampasan milik para korban perburuan Ratu srigala!”
“Perburuan, siapa yang diburu?!” tanya Wiro tambah tidakmengerti.
“Kami  tidak punya waktu  untuk menerangkan.  Tapi  kau  saksikan  sendiri  kepala- kepala yang dijadikan ganjalan pohon! Tubuh-tubuh yang digantung secara mengerikan! Itulah korban pemburuan Ratu iblis itu dan kami... ”
“Dewi” Dayang memutus ucapan sang Dewi. “Mereka datang, kita harus menyingkir!”
Dua sosok tubuh manusia srigala perempuan melayang ke  atas pohon. Tidak lain adalah  Sari  Gali Dua dan Tiga.  Sari  Gali Dua yang memiliki penciuman sangat tajam, mendongakkan kepalasrigalanya ke atas dan menyerap udara di sekitarnya, lalu menggereng, “Aku mencium bau harum di tempat ini. Pasti mahluk putus asa itu ada disini! Aku yakin sesuatu telah terjadi ditempat ini! Sari Tiga, mari kita menghantam membersihkan tempat!”
“Apa yang perlu dikawatirkan Sari Gali Dua?!” jawab Sari Gali Tiga. “Mereka tidak mampu melakukan  apa-apa terhadap kita.  Lalu  sekali mereka masuk ke  dalam kawasan Istana, mereka tak akan sanggup keluar lagi!”
“Aku tetap merasa kawatir. Jika kita tidak melakukan sesuatu kemudian terjadi apa-apa dan Ratu mengetahui, nasib kita bisa sama dengan Sari Gali Satu! Ikuti perintahku. Mari kita menghantam membersihkan tempat! Kau empat jurus mata angin sebelah kiri, aku empat jurus mata angin sebelah kanan!”
Kedua perempuan berkepala srigala hitam itu lalu mengapung diudara saling beradu punggung. Keduanya kemudian menghantamkan tangan kiri kanan empat kali berturut- turut ke arah empat jurusan. Delapansuara gelegar menggoncang udara dan tanah. Pohon- pohon besar bergoyang. Ketika gelegar dan riuh gemerisik daun-daun pepohonan lenyap di udara yang mendadak menjadi pengap terdengar dua jeritan. Lalu sunyi kembali.
Sari Gali Dua danTigasaling berpandangan.
“Apa  kataku!”  ujar  Sari  Gali  Satu.  “Mereka  ternyata  memang  ada  di  tempat  ini.
Keduanya telah terkena hantaman kita!”



“Gali  Dua,  jangan  biarkan  Ratu  kita  menunggu  di  tempat  upacara.  Saatnya  kita menyeret tawanan ke tempat upacara pembantaian!” berkata Sari Gali Tiga.
Sari Gali Tiga menggereng. Lidahnya menjulur, matanya yang merah seperti membara. Lalu  terdengar  dia  berucap,  “Kuharap  Ratu  mengizinkan  aku  pertama  kali  menghirup darahnya  begitu  lehernya  putus!”  Lalu  manusia  srigala  perempuan  ini  keluarkan  suara lolongan panjang!

*   *   *

SUARA GENDERANG ANEH terdengar riuh ketika tubuh Wiro Sableng yang dicekal oleh Sari Gali Dua dan Tiga dibawa melayang turun ke tanah. Tempat upacara pelaksanaan hukuman itu adalah sepetak tanah yang terletak di hadapan pohon besar tempat bersemayam Ratu srigala.
Memandang berkeliling murid Sinto Gen-deng itu merasakan nyawanya seolah-olah lepas.  Dia  sudah  hampir  terbiasa  dengan  kepala-kepala  srigala  yang  menyeramkan  itu, namun apa yang disaksikannya di sekelilingnya saat itu sungguh luar biasa mengerikan. Diantara  deru  genderang  menyeling  suara  tangis  bayi  dari  lolongan  panjang.  Lalu disekitarnya puluhan muka dan tubuh setan melayang-layang, seolah menari-nari mengikuti tabuhan genderang.
Lima buah kepala botak bertanduk dengan mata merah sebesar tinju dan memberodol keluar disertai mulut terbuka penuh cairan darah melayang mengelilinginya. Sesekali kepala- kepala itu membuka mulutnya lebih lebar lalu meneriakkan suara lengking mengerikan. Darah membersit  dari mulut yang berteriak. Wiro berusaha menjauh ketika dua kepala melesat ke arahnya tapi tak bisa melepaskan diri dari cekalan dua pembantu Ratu srigala. Satu jengkal dari mukanya, dua kepala itu tersentak berhenti lalu tertawa bergerak. Darah menyembur menyiprati muka dan pakaian putih Pendekar 212.
Belum habis rasa takut dankagetnya, dari samping terdengarsuarapekik keras sekali. Ketika  berpaling Wiro  melihat  dua  mahluk  setinggi  pohon  yang  memiliki  lidah  sangat panjang, menjulai ke bawah seperti belalai gajah. Lidah yang penuh duri dan bergelimang darah itu bergerak-gerak kian kemari, tiba-tiba melesat seperti hendak membelit tubun dan
lehernya.


Wiro  berseru  tegang.  Lidah  panjang  melesat  menjauhinya.  Bersamaan  dengan  itu terdengar suara tawa bekakakan. Baru saja dua lidah menjulai lenyap mendadak muncul sosok tubuh bayi raksasa dengan wajah aneh menyeramkan. Bayi ini menggapai-gapaikan kedua tangannya ke arah Wiro. Tiba-tiba dari kedua matanya, dari lubang-lubang hidung serta telinga dan dari mulut, melesat keluar kepala dan tubuh ular hitam belang hijau. Tujuh ekor ularjejadian ini langsung mematuk ke arah kepala dan tubuh Pendekar 212.
“Ya Tuhan! Tolong diriku!” seru Wiro ketika dia tak sanggup berontak dari pegangan
Sari Gali Dua dan Tiga.
Saat itu juga terdengar suara seperti guntur menggelegar. Tanah bergoyang, pohon- pohon berderik-derik sepertimautumbang. Murid Eyang Sinto Gendeng lantas ingat akan ucapan Dayang. Yaitu agar dia banyak-banyak mengucap menyebut nama Tuhan. Maka dia segera mengulang-ulang menyeru nama Tuhan. Kawasan yang jadi Istana kediaman Ratu srigala itu laksana dilanda gempa. Semua manusia srigala melolong panjang. Di atas pohon dimana dia berada Ratu srigala berteriakkeras.
“Gali  Dua.  Gali Tiga!  Kalian  tunggu  apa  lagi,  lekas  laksanakan  hukuman!  Bantai pemudacelaka itu sebelum dia menyebut lebih banyak nama Tuhannya!”
Mendengar teriakan sang Ratu, Gali Dua langsung angkat tangannya kirinya ke atas Ketika tangan :tu dibantingkan kebawah, di hadapannya Wiro melihat sebuah tiang batu setinggi dua tombak tiba-tiba saja muncul di tempat itu. Di bagian atas tiang bergelung seekor ular hitam belang hijaudengan mulut terbuka menunjukkan gigi-gigi serta taring dan lidahnya yang menyeramkan. Binatang ini hampirsamadengan ular yang menggelungi leher serta tubuh pemuda batu Dharmasala, kekasih Dewi, hanya saja yang ada di atas tonggak batu dua kali lebih panjang dan dua kali lebih besar!
Pendekar 212 merasakan keringat dingin membasahi sekujur tubuh dan wajahnya. Dia jelas merasa takut melihat ular besar dan panjang itu. Tapi yang membuatnya lebih merasa ngeri ialah ketika melihat Sari Gali Tiga tahu-tahu sudah memegang sebilah senjata untuk memancung lehernya. Dan celakanya senjata itu bukan lain adalah Kapak Maut Naga Geni 212 miliknya sendiri! Berarti dengan senjata mustika pemberian gurunya itulah nyawanya

bakal dihabisi. Lalu apakah benar gulungan kertas bertuliskan ayat-ayat suci entah ayat-aya suci apa yang disusupkan oleh Dayang sampai amblas ke dalam perutnya yang katanya akan membuat dirinya kebal terhadapsegala macam senjata, benar-benar akan membuat lehernya tidak  mempan  dibacok? Juga  apakah  boneka  kayu  jelek  itu  benar-benar  akan  sanggup membentengi dirinya, menjadi pengganti dirinya yang hendak dibantai? Murid Eyang Sinto Gendeng banyak mengetahui berbagai ilmu kesaktian, baik yang sudah dikuasainya maupun yang dilihatnya dimiliki oleh orang-orang lain. Tapi ilmu yang mengandalkan kekuatan boneka kayu  butut,  ilmu yang mengandalkan kemenyan  serta ilmu yang mengandalkan gulungan kertas, benar-benar sangat diragukannya. Di saat itu dia memilih untuk lebih baik bertindak  mengandalkan  kekuatan  dan  kemampuan  sendiri,  dari  pada  mengandalkan kekuatan lain yang sulit dipercaya dan belum pernah disaksikannya. Maka ketika dua srigala perempuan di sampingnya berlaku agak lengah, Wiro kerahkan seluruh kekuatan dan tenaga dalam lalu menghantam ke kiri dan ke kanan!
Gali Dua dan Gali Tiga merasakan tubuhnya seperti di dorong tembok keras. Wiro terkesiap  ketika  melihat  dua  manusia  srigala  itu  hanya  terjajar  satu  langkah,  padahal
diperkirakannyakeduanya akan terpental roboh
Dewi dan Dayang yang menyaksikan kejadian itu dari tempat persembunyian mereka tampak terkesiapkaget.
“Celaka!   Pemuda   itu   tidak  melakukan   apa  yang  kita  katakan   Dia   bertindak mengandalkan  kekuatannya  sendiri!  Padahal  percuma!  Semua  rencana  bisa  berantakan!
Celaka kita Dewi!”
Sang Dewi tak bisa berkata apa-apa. Diam-diam dia meresa tegang.
Di atas pohon besar Ratu srigala tampak terkejut.
“Bagaimana  mungkin  pemuda  celaka  itu  bisa  bergerak  dan  memiliki  kekuatan mendorong begitu besar?!” serunya. “Padahal tubuh bagian atasnya lumpuh! Pasti ada yang
tidak beres!”

Sambil  melolong  keras  Ratu  srigala  melayang  turun  dan  menghantamkan  tangan kirinya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu melihat sang Ratu dan ada angin yang menyambar   ke   arahnya,  Wiro   balas   menghantam   dengan   tangan   kanan.   Lepaskan pukulan.sinar matahari. Tapi yang terdengar hanyasuara des... des... des! Pukulan sakti itu tak sanggup dikeluarkannya. Tubuhnya sendiri saat itu langsung kaku, tak bisa digerakkan lagi. Namun sesaat kemudian, daya kekuatan aneh dari kemenyan yang sebelumnya ditelan oleh Pendekar ini perlahan-lahan memusnahkan kekuatan aneh yang membuat tubuhnya jadi tegang seperti batu itu. Dalam keadaan tubuhnya mulai pulihseperti itu, terdengar suara teriakan Ratu srigala.
“Datuk Ular! Lekas laksanakan tugasmu!”
Ular hitam hijau yang bergelung di atas tonggak batu langsung melepas gelungannya.
Sekali binatang ini bergerak, mulutnya telah menjambak rambut gondrong pendekar
kali liukan. Dan tahu-tahu sekujur tubuh Pendekar 212 sudah terikat oleh gelungan ke tiang batu. Kepalanya terpentang tegak oleh gelungan ke tiang batu. Kepalanya terpentang tegak oleh jambakan mulut ular sedanglehernya yang bakal jadisasaran perlindungan ikut terpentang.
Wiro kini sadar kalau kekuatannya sendiri tidak bakal mampu menyelamatkandirinya dari bahaya maut yang megancam. Harapannya kini benar-benar tinggal pada segala ilmu kesaktian aneh Dewi dan Dayang. Tapi yang lebih besar harapannya serta kepercayaannya ialah pada pertolongan dan kekuasaan Tuhan! Kini tergelung ke tiang batu tanpa daya, Pendekar 212 menunggu dengan pasrah apa yang terjadi.
Di seberang sana,  dibawah pohon paling besar  dilihatnya potongan, kepala Datuk Seribu Racun yang dua matanya keluar bergelantungan, muka robek mengerikan. Kepala itulah kelak yang harus dipegangnya tanpa dia mengertimengapa harus begitu. Dan saat itu dia tak bisa berpikir lebih jauh karena di hadapannya Ratu srigala mengambil Kapak Naga Geni 212 dari tangan Sari Gali Tiga. Dengan mulut menganga, lidah terjulur dan mata mendelik merah, manusia srigala perempuan ini melangkah ke hadapan Wiro. Satu langkah di depan si pemuda, sang Ratu angkat tangan kanannya yang memegang Kapak Naga Geni 212.  Tangan  itu  kemudian  diayunkan  keras-keras.  Sinar  putih  menyilaukan  berkelebat disertai hawa panas dan suarasepertiseribu tawon mengamuk!
Mata kapak yang sangat tajammenghantambatang leher Pendekar 212. Crass! Kapak menembus masuk ke leher, tertahan oleh tiang batu di belakang leher. Darah muncrat!

***

PENDEKAR  212  MELIHAT  darah  yang  muncrat  dari  lehernya!  Darah  itu  memercik mengenaikepala Ratu srigala yang berdiri di hadapannya. Bahkan hampir tak percaya, Wiro melihat sendiri kepalanya yang ditebas putus menggelinding di tanah!
Saat itu sang Pendekar tidak lagi sempat berpikirapakah yang terjadi dan dilihatnya itu bisa diterima oleh akal sehat. Melihat kepalanya sendiri menggelinding begitu rupa, murid Sinto Gendeng ini langsung berteriak menyebut nama Tuhan. Saat itu juga tanah bergetar dan  pohon-pohon  bergoncang  keras.  Puluhan  manusia  srigala  melolong  panjang.  Ratu srigala  dan  dua  pembantunya  berdiri  tegang,  Ular  yang  tadi  menjambak  rambut  Wiro keluarkan suara mendesis keras. Mulutnya lepaskancengkeraman di rambut sang pendekar tapitubuhnya tetap menggelung badan Wiro.
Takut, ngeri luar biasa Wiro kembali menatap kepalanya yang tergeletak di tanah.
ada di tanah mendadak sontak berubah menjadi sepotong kepala boneka kayu kecil terbuat dari kayu. Bagian badan boneka tergeletak takjauh dari potongan kepala!
“Ini pasti perbuatan si keparat Dewi dan pembantunya!” teriak Ratu srigala marah. Kedua matanya laksana menyala menatap boneka kayu yang buntung itu.
Teriakan itu menyadarkan Pendekar 212 Wiro Sableng apa yang barusan terjadi. Lebih dari itu kini dia baru bisa percaya keampuhan gulungan kertas bertuliskan ayat-ayat suci yang ditancapkan ke dalam perutnya. Dan juga akan kekuatan aneh yang ada pada boneka kecil terbuat dari kayu itu!
Meskipun demikian tetap saja Wiro pegangi lehernya yang tadi dirasakannya putus.
Ternyata leher itu masih utuh.
“Sungguh gila! Sekarangsaatnya aku harus bertindak sesuai yang dikatakan duasrigala putih itu,” ujur Wiro dalam hati. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada, memukul ke

atas sedang kaki kirinya menginjak ekor ular keras-keras. Binatang ini menggeliat hebat. Meski pukulan  dan  tendangan yang dilakukan  oleh Wiro  bukan  sembarangan,  sanggup menghancurkan tembok dan meremuk batu, tapi ternyata semua itu tidak berbekas pada ular  hitam  belang  hijau.  Binatang  ini  malah  langsung  buka  mulutnya  lebar-lebar  lalu keluarkan suara mendesis. Serangkum asap hijau menderu menyelubungi kepala Pendekar 212. Itulah racun yang luar biasa ganasnya. Tak ada satu mahluk bernafaspun yang sanggup bertahan sekejapan mata terhadapracun itu. Ratu srigala sendiri sempat berseru, “Mati kau sekarang!”
Tetapi  sang  Ratu  melengak  kaget  ketika  melihat  bagaimana  racun  ular  itu  tidak mematikan si pemuda. Ini tidak lain adalah akibat kekuatan kemenyan serta gulungan kertas yang ada dalam tubuh sang pendekar. Malah kini dilihatnya Wiro telah meloloskan diri dari gelungan ular besar. Ratu srigala segera menyerbudengan. Kapak Naga Geni 212 di tangan kanan dan satu pukulan sakti di tangan kiri.
“Lekas jatuhkan  dirimu  ke  tanah  dan  berguling  ke  pohon  besar!”  terdengar  suara mengiang di telingaWiro. Itulah suaranya sang Dewi.
“Betul! Lakukan lekas! Begitu sampai di pohon cepat kau pegang kepala Datuk Seribu Racun!” Yang terdengar kali ini adalah suara si Dayang.
Mendengarsemua ucapan itu Pendekar 212 iangsung jatuhkan diri ke tanah, berguling ke arah pohon secepat yang dilakukannya. Pukulan tangan kosong sang ratu lewat. Tapi srigala betina ini memburu dengan Kapak 212. Berkali-kali terdengar suara bergedebukan ketika mata kapak menghantam perut, punggung atau dada Wirol Ternyata senjata itu tidak sanggup melukai pemiliknya sendiri! Wiro kebal akibat kemenyan dan gulungan kertas yang ada dalam tubuhnya!
Wiro berhenti bergulingan tepat di bawah pohon besar kediaman Ratu srigala dimana terdapat lebih dari lima kepala yang dijadikan sebagai ganjalan! Karena sudah diberi tahu lebih dulu, tidaksulit bagi Wiro untuk mengenali kepala Datuk Seribu Racun. Dengan cepat
dia ulurkan tangan memegang kepala


Tiba-tiba dua buah tangan berwarna sangat hitam dan penuh bulu mencuat dari dalam tanah,   langsung   memegang   bahu   Pendekar   212!   Sementara   potongan   kepala  yang mengerikan dan tadinyaterjepit dibawah besar pohon diantara akar-akar melayang ke atas!

***

TAHU-TAHU SATU SOSOK tubuh setinggi hampir dua tombak mengangkat Pendekar 212, menegakkannya di tanah. Sambil pegang bahu Wiro dengan tangan kirinya mahluk jangkung  ini  pergunakan  tangan  kanannya  untuk  memasukkan  kedua  matanya  yang memberojol ke luar, ke dalam dua rongga mata yang tadinya oblong mengerikan. Sambil melakukan  itu  dari  mulutnya  tiada  nenti  terdengar  suara  tawa  parau  sementara  darah becucuran dari hampir seluruh bagian kepalanya, termasuk dua buah mata yang baru saja “diperbaikinya”!
Wiro yang sudah tak sanggup menahan rasa takut berusaha mundur lepaskan diri. Tapi astaga! Dia sama sekali tidak sanggup membebaskan diri dari pegangan tangan kiri mahluk jangkung menyeramkan itu! Si mahluk tertawa panjang.
“Anak muda! Jangan takut! Aku bukan setan jejadian yang akan mengunyah batok kepalamu! Ha... ha... ha...! Aku Datuk Seribu Racun! Aku sangat berterima kasih kau telah selamatkan aku dari siksa alam durjana dengan jalan memegang kepalaku tadi! Sahabat- sahabatku sang Dewi dan si Dayang pasti yang memintamu melakukan hal itu! Kalau tidak karena kalian sampai ratusan tahun aku akan tetap jadi ganjalan pohon celaka itu! Ha...
ha...ha...!”
Tiba-tiba ada suara menggereng di belakangnya. Wiro cepat berpaiing. Ratu srigala dengan Kapak Maui Naga Geni 212 di tangan kanan bersama Sari Gali Dua dan Tiga melangkah  mendatangi.  Mata  mereka  tampak berapi-api  dan  rahang yang penuh  taring runcing terdengar bergemeletakan.
“Bagus! Jadi kalian ternyata telah berkomplot. Komplotan kalian tak akan berjalan lama! Datuk Seribu Racun, kau akan kembali ke tempatmu semula! Jadi ganjalan tiang Istanaku! Dan kau pemuda celaka! Kau akan menjadi pendamping abadi si Datuk! Malah

kau akan mendapat kehormatan tambahan! Seratus kala jengking akan menggerogoti batok kepalamu! Sisa potongan tubuhmu akan kugantung di atas pohon dengansepuluh ular terus menerus me-matukimu! Kau akan menderita siksa lebih hebat dari neraka seumur-umurmu!
Hik... hik... hik!”
Habis tertawa cekikikan sang Ratu lalu melolong. Kemudian dari mulutnya terdengar suara suitan panjang. Puluhan manusia srigala balas melolong. Lalu laksana air bah mereka menyerbu Pendekar 212 dan Datuk Seribu Racun.
“Celaka!”  seru  Wiro.  Bagaimana  mungkin  mereka  berdua  sanggup  menghadapi serbuan mahluk-mahluk jejadianseperti itu!
“Jangan  putus  nyali  pendekar  muda!”  berkata  Datuk  Seribu  Racun  dengan  suara paraunya. “Aku akan rampas kembali senjata mustikamu! Lihat!”
Datuk  Seribu  Racun  keluarkan  pekik  aneh.  Tangan  kirinya  mendadak  berubah panjang dan keluarkan cahaya hitam menggidikkan.
“Ratu! Awas  racun  hitam  perenggut  sukma!”  teriak  Sari  Gali  Dua  ketika  melihat cahaya hitam legammemancar dari tangan kiri Datuk Seribu Racun.
Ratu srigala mendengus keras dan kiblatkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke arah sang Datuk, Manusia jangkung ini tertawa keras ketika melihat ada sinar perak menyilaukan menerpa  disertai  suara  seperti  tawon  mengamuk.  Tangan  kirinya  berkelebat  ke  depan.
Terdengar raungan Ratu srigala ketika menyadari Kapak Naga Geni 212 tak ada lagi di
tangannya.
“Pendekar, terima senjatamu kembali!” berseru Datuk Seribu Racun.
Kapak  Naga  Geni  212  tampak  melayang  di  udara.  Wiro  cepat  melompat  untuk mengambil. Tapi saat itu dari samping Sari Gali Tiga ikut melompat untuk merebut senjata mustika itu. Wiro yang sejak sudah siapkan pukulan sinar matahari di tangan kiri segera menghantam. Terdengarsuara menggelegar disertai hawa panas dan berkibtatnya sinar putih perak  menyilaukan.  Tapi  bukan  kepalang  terkejutnya  murid  Sinto  Gendeng  ini  ketika melihat bagaimanapukulan saktinya itu seolah-olah menghantam udara kosong saja. Sosok

tubuh  Sari  Gali  Tiga  hanya  tsrgoyang  tergontai-gontai  laksana  asap,  sama  sekali  tidak mempan oleh hantaman pukulan sinar matahari!
Meskipun  perempuan  srigala  itu  tidak  hancur  lebur  atau  mati,  namun  Wiro mempunyaikesempatan untuk menyambar Kapak Maut Naga Geni 212 yang melayang di udara. Begitu senjata mustika tergenggam di tangannya dia langsung membabatkan ke arah Sari Gali Tiga yang masih agak sempoyongan. Wuuttt!
Kapak Maut Naga Geni 212 menyambarbatang leher manusiasrigala betina itu. Tapi senjata itu lewat begitusaja seolah-olah membabat udara kosong atau membacok air! Kejut Pendekar 212 bukan kepalang. Di hadapannya Sari Gali Tigamenyeringai memperlihatkan lidah  merah  dan  taring  runcing.  Dari  mulutnya  menggelegar  suara  lolongan  panjang. Dengan kedua tangan terpentang dia menyerbu ke arah Wiro.
Saat  itulah  terdengar  Datuk  Seribu  Racun  berkata,  “Pendekar,  arahkan  serangan kapakmu pada pinggul kiri lawan! Hanya di situ bagian tubuh mereka yang tidak kebal! Dan
hanya senjata di tanganmu itu saja         mampu membantai mereka!”
“Datuk  keparat!  Kau  membuka  rahasia  kelemahan  kami!”  terdengar  Ratu  srigala
berteriak marah!         tangannya di hantamkan ke depan. Mulutnya membuka lebar lalu dia
menyembur!
Lidah api keluar menderu dari mulut sang Ratu sedang kedua tangannya yang berkuku panjang hitam menyambar ganas ke arah leher dan dada sang Datuk!
Sebelumnya dua mahluk ini satu manusia satunya lagi mahluk jejadian telah pernah bertempur.  Itu  terjadi sekitar sembilan  tahun silam.  Sang Datuk ternyata tidak mampu menghadapi  manusia  srigala  betina  itu.  Mukanya  dicabik  salah  satu  kupingnya  dibuat buntung,  kedua  matanya  dikorek  secara  ganas.  Lehernya  kemudian  ditebas.  Tapi  entah dengan  ilmu  apa,  sang  Datuk  tidak  dibuat  mati,  tetap  hidup walau  kepala  dan  badan terpisah, tersiksa hebat selama bertahun-tahun, mati tidak hiduppun tidak!
Kini  saling  berhadapan  kembali, walau  membekal  dendam  hebat  namun  ada  rasa kawatir dalam hati manusia bergelar Seribu Racun itu. Satu-satunya harapannya untuk dapat membalaskan sakit hati bahkan menghancur musnahkan Kerajaan Ratu srigala itu bersama

seluruh isinya terletak di tangan Pendekar 212 Wiro Sableng yang memiliki senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212, Itulah sebabnya dia harus cepat memberi tahu kelemahan mahluk-mahluk manusia berkepala srigala itu. Dan kekebalan mereka hanya akan musnah oleh Kapak warisan Eyang Sinto Gendeng itu. Selain dari itu tak satu senjatapun sanggup menghancurkan mereka. Karenanya dapat dibayangkan bagaimana marahnya Ratu srigala ketika sang Datuk berteriak membuka rahasia kelemahannya dan anak buahnya.
Datuk Seribu Racun cepat melompat menghindari sambaran lidah api dan dua cakaran lawan sambil membalas dengan pukulan sakti mengandung racun jahat berwarna hitam.
Ratu srigala melolong tinggi. Sekali dia gerakkan tangannya, musnahlah cahaya hitam yang keluar dari pukulan Datuk Seribu Racun. Malah kini lidah api terus menggebu menjilat dadanya. Terdengar raung Datuk Seribu Racun. Sebelum kepalanya ikut terbakar, Datuk ini
cepat membuang diri ke kiri,jatuhkan tubuh ke tanah lalu bergulingan menjauhi
Di saat yang sama, begitu rahasia kelemahannya diketahui lawan, Sari Gali Tiga jadi lumer nyalinya. Dia mundur terus-terusan menghindari sambaran, bacokan maupun babatan senjata mustika di tangan Wiro. Namun dia tak bisa bertahan lama. Satu kali Kapak Naga Geni 212 tepat menghantam pinggul kirinya.
Srigala betina itu melolong setinggi langit! Terjadilah hal yang aneh. Tubuh Sari Gali Tiga tampak bergoyang hebat dan perlahan-lahan berubah jadi kepulan asap hitam pekat. Warna hitam ini kemudian berubah jadi kelabu. Lalu terdengar suara berdentum. Asap kelabu lenyap dan tampak terhampar sosok jerangkong putih!
Ratu srigala berteriak keras melihat kejadian itu. Dia sampai membatalkan serangan
susulan yang  tadinya hendak dilakukannya  terhadap  Datuk  Seribu  Racun yang  saat
berada dalam keadaan luka parah yakni terbakar di bagian dada. Teriakan sang Ratu diikuti oleh lolongan Sari Gali Dua dan puluhansrigala jantan lainnya. Di lain kejapsemua mahluk berkepalasrigala itu menyerbu ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Murid Sinto Gendeng mengamuk dengan senjata mustikanya. Setiap menyerang yang dihantamnya   adalah   pinggul   kiri   lawan.   Satu   demi   satu   mahluk  srigala   itu  jatuh bergelimpangan,jadi asap lalu berubahjadi tengkorak! Namun jumlah mereka banyak sekali.

Wiro tiba-tiba sajaingat pesan Dewi dan Dayang yakni agar terus menerus menyebut nama Tuhan. Maka sambil berteriak, “Gusti Allah, tolong aku! Tuhan Maha Kuasa tolong aku menghancurkan  mahluk-mahluk  terkutuk  ini!”  Begitu  dia  terus  menerus  menyebut  dan menyeru Tuhannya. Dan setiap teriakan membuat tempat itu laksana dilanda gempa. Tanah bergetar keras, pohon-pohon bergoncangan dan mahluk-mahluk srigala seperti dipanggang berteriak-teriak   hingar   bingar.   Dalam   keadaan   kacau   balau   begitulah   Wiro   terus menghantam dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Beberapa kali manusia srigala itu sempat memukul,  menendang  bahkan  mencakarnya.  Namun  berkat  kekuatan  kemenyan  dan gulungan kertas yang ada dalam tubuhnya semua serangan lawan tidak mempan. Ratu srigala melolong tiada henti ketika dapatkan semburan api, cakaran kuku dan pukulan-pukulan mautnya sama sekali tidak berbekas! Memandang berkeliling dia dapatkan sudah lebih dari lima belas anak buahnya menjadi korban amukan Wiro. Korban terakhir saat itu adalah pembantunya Sari Gali Dua!
“Hentikan pertempuran!” teriak Ratu srigala tiba-tiba. Semua anak buahnya melompat menjauhi Wiro. Sang Ratu melangkah mendekati Pendekar 212 lalu menjura dalam-dalam.
“Eh, apa maumu...?” bertanya Wiro keheranan.
“Aku   bersedia   memenuhi   permintaanmu   tempo   hari.   Asalkan   kau   berhenti
membunuhi anak buahku!” berkata sang Ratu.
“Eh, permintaanku yang mana...?” tanya Wiro lagi tambah heran.
“Kita hidup berdampingan di Kerajaan ini. Aku Ratu dan kau Raja...Bagaimanana?!”    “Ah!” tentu saja Pendekar 212 terkejut mendengar kata-kata sang Ratu. Namun di lain
saat dia tertawagelak-gelak. Pada saat dia tertawa itulah terdengar suara Datuk Seribu
berseru, “Pendekarl Hati-hati! Jangantertipu omongannya!”
“Ratu...  Dulu  aku  memang  memintamu  begitu.  Tapi  sekarang  semuanya  sudah terlambat... !“ ujar Wiro.
“Jadi kau bukan seorang manusia yang mampu memegang janji. Pendekar apa kau ini! Kau menolak karena aku mahluk bertubuh perempuan tapi berkepala srigala...? Apa kau kira


aku  ini  memang  sejelek  yang  kau  lihat?  Buka  matamu  lebar-lebar.  Lihat  siapa  aku sebenarnya!”
Habis berkata begitu Ratu srigala angkat kedua tangannya. Kelihat ketiaknya yang putih ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat. Sepasang payu daranya yang besar bergerak turun
naik.
Sesaat  kemudian  kepala  srigalanya  lenyap,  berubah  dengan  kepala  seorang  dara berparas cantik sekali, bermata bening, berhidung mancung dan berdagu terbelah! Mau tak mau Wiro jadi berdecah juga melihat kecantikan mahluk ini.  “Aku berjanji, setiap kita bermesraan aku akan memperlihatkan diri seperti ini... Bagaimana, apa kau masih menolak? Atau masih tidak cantikkah diriku ini di matamu...?!” ujar Ratu srigala.
Wiro garuk-garukkepala. “Hem... Kau memang cantik. Tapi kau sebenarnya adalah bangkai hidup! Siapa sudi bermesraan dan tidur dengan bangkai!”
Mendengar  kata-kata  yang  sangat  merendahkan  itu,  marahlah  Ratu  srigala.  Dari mulutnya menderu lidah api, menyambar ke arah Wiro. Pendekar 212 cepat-cepat babatkan Kapak Naga Geni 212. Sinar perak putih menyambar. Lidah api menderu berbalik ke arah yang melepaskannya. Ratu srigala berteriak keras. Melompat ke atas. Justru saat itu pula Wiro sudah menyerbu ke depan sambil menghantamkan Kapak Naga Geni 212 ke arah pinggul sang Ratu.
Crasss!
Bagian  tajam  dari  senjata  mustika  itu  menancap  tepat  di  pinggulnya.  Darah memuncrat. Bukan berwarnamerah, tapi darah berwarna hitam pekat menggidikkan! Dari mulut srigalanya terdengarlolongansetinggi langit. Tempat itu laksana mau runtuh ketika puluhan manusia srigala lainnya ikut melolong menggidikkan. Sosok tubuh Ratu srigala bergoyang  keras  lalu  berubah  menjadi  asap  hitam.  Dari  hitam  berubah  jadi  kelabu. Terdengar  dentuman  dahsyat.  Pohon-pohon  bergoncang,  tanah  bergetar.  Lapat-lapat terdengarsuara orok menangis. Lalu ada jerit pekik manusia, banyak sekali!
Pada saat sosok tubuh Ratu srigala berubah menjadi asap kelabu, dua sosok tubuh tampak melayang turun dari sebuah pohon besar.

Ternyata keduanya adalah dua perempuan berkepalasrigala berbulu putih. Dewi dan Dayang. Dewi, yaitusrigala yang bermahkota cepat memburu ke arah kepulan asap kelabu seraya berteriak, “Kakak Suli! Kau tak boleh mati! Kau tak boleh jadi tengkorak!” Dewi merangkul asap kelabu danmenyemburkan sejenis cairan harum dari mulutnya ke arah asap kelabu. Sosok tubuh Ratu srigala yang tadi telah berubah menjadi asap kelabu tiba-tiba kembali berbentuk sosok srigala bertubuh perempuan.
“Dewi adikku... Aku tahu maksud luhurmu! Tapi dosaku sudah seluas lautan setinggi langit. Tak mungkin bagiku hidup di alam manapun! Biarkan aku pergi adikku. Aku doakan kau berbahagia. Aku...” Sosok Ratu srigala lenyapjadi asap kelabu kembali. Lalu terdengar suara  berdentum  laksana  gunung  meletus.  Ketika  dentuman  lenyap  dan  daun-daun pepohonan melayang jatuh, di tanah tampak lagi sebuah tengkorak putih. Itulah jerangkong Ratu srigala. Tetapi saat itu bukan hanya sang Ratu yang berubah menjadi jerangkong. Puluhan pengikutnya yang tadi masih hidup juga telah berubah jadi tengkorak. Bertebaran di  perbagai  penjuru  hingga  tempat  itu  seperti  lautan  tengkorak!  Mereka  yang  berubah menjadi tengkorak bersamaan dengan sang Ratu, tampak tengkorak mereka terbujurdengan kedua tangan mencekik leher. Apa yang terjadi? Para pengikut sang Ratu, begitu melihat pimpinan mereka telah berubah jadi asap kelabu, serta merta mencekik laher masing-masing,
melakukan bunuh diri!
Srigala  putih  bermahkota  emas  bertahtakan  batu-batu  permata  duduk  di
menangisi  jerangkong  sang  Ratu.  Bagaimanapun  jahatnya  sang  kakak  di  masa  hidup, ternyata melihat kematiannya yang mengenaskan begitu rupa membuat tetap saja sang adik tidak sanggup menahan tangis dan kesedihannya.
Wiro tegak tertegun memandangisrigala putih itu sesaat lalu memandang berkeliling. Tiba-tiba dia melihat ada yang bergerak di dekat pohon besar bekas kediaman sang Ratu. Pendekar 212 siapkan Kapak Naga Geni 212 seraya memberi isyarat pada Datuk Seribu Racun. Mahluk dekat pohon itu ternyata melangkah ke jurusan mereka!

***

MAHLUK  ITU  MELANGKAH  dengan  pandangan  mata  tertuju  pada  srigala  putih bermahkota tanpa berkesip. “Eh, bukankah dia pemuda yang jadi batu itu...?” ujar Wiro.
Mendengar ucapan Wiro, srigala putih bermahkota palingkan kepala lalu melolong tinggi ketika melihat pemuda itu.
“Kakak Dharmasala!” pekik srigala putih alias Dewi lalu dia lari menubruk si pemuda. Dharmasala merangkul srigala putih itu dengan air mata berlinang-linang.
“Syukur  kau  bisa  kembali  ke  alam  ini,  kakak  Dharma.  Syukur  kau  bisa  hidup
kembali!”
Wiro melangkah mendekati. “Saudara, betul kau yang sebelumnya jadi batu... ”
Pemuda bernama Dharmasala, kekasih Dewi itu mengangguk. “Sahabat, terimakasih kau  telah  menolong  kami  semua”  Dia  berpaling  pada  Datuk  Seribu  Racun.  “Juga terimakasihku untukmu...” Datuk Seribu Racun hanya bisa manggut-manggut karena saat itu luka bakar di dadanya terasa sangat sakit.
“Mana ular hitam hijau yang menggelung lehermu?” tanya Wiro pula.
Dharmasala menunjuk ke arah pohon besar sebelah kanan. Disitu tampak teronggok rangka seekor ular besar.
“Begitu Ratu srigala mati... binatang itu langsung ikut berubah jadikerangka... ”
“Aneh, sungguh serba aneh dan mengerikan!” ujar Pendekar 212.
“Semua  keanehan  ini  belum  berakhir.  Kita  harus  segera  tinggalkan  tempat  ini. Ketahuilah kita semua masih terkungkung dalam Kerajaan Iblis Ratu srigala. Sebelum pergi aku akan mengobati dulu kalian berdua...” kata Dewi. Lalu srigala putih ini mendekati Datuk Seribu Racun. Dia mengusap wajah dan dada Patuk Seribu Racun beberapa kali. Begitu selesai diusap, luka bakar di dada segera sembuh tanpa bekas sedangwajah yang robek



penuh darah kini tampak licin bersih, hanya telinga yang buntung tak bisa dikembalikan ke asalnya.
“Dewi, perkenankan saya yang mengobati luka di dada pendekaritu,” berkata srigala bernama Dayang ketika sang Dewi hendak mengobati luka bekas cakaran Ratu srigala di
dada murid Sinto Gendeng itu.
Wiro  hanya  tegak  berdiam  diri  ketika  tangan  berbulu  putih  dengan  kuku-kuko panjang runcing itu mengusapi bekas cakaran menggurat dadanya. Tiga kali diusap luka-luka itupun lenyap.
Wiro  pandangi  mata  bening  Dayang  lalu  berkata,  “Terima  kasih.  Kesaktianmu sungguh luar biasa... ”
Dayang  balas  menatap  mata  si  pemuda  lalu  tundukkan  kepala  dan  melangkah menghampiri sang Dewi.
“Kita pergisekarang...” kata Dewi.
“Tunggu, aku harus menyelamatkan senjata-senjata sakti milik orang-orang yang jadi korban Ratu srigala!” terdengar kata-kata Datuk Seribu Racun.
“Ah, senjata itu. Aku baru ingat,” ujar Dewi pula. “Senjata-senjata itu disembunyikan di atas pohon besar sana. Bagaimana kau mau naikke atasnya, Datuk?”
“Dengan jalan memanjatnya tentunya...” jawab Datuk Seribu Racun.
Dewi  tertawa  dan  berkata,  “Akan  memakan  waktu  lama  Datuk.  Biar  Dayang melakukannya lalu menyerahkan senjata-senjata itu padamu.” Sang Dewi berpaling pada Dayang. Sang pembantu tanpa tunggu lebih lama segera melayang ke atas pohon besar. Hanyabeberapa kejapan saja dia telah kembali mengepit sebuah keranjang terbuat dari daun. Di  dalam  keranjang  ini  terdapat  beberapa  bilah  senjata  milik  orang-orang  yang  lelah dibunuh oleh Ratu srigala. Salah satu senjata itu adalah sebentuk keris berluk tujuh milik Pangeran Ajibarang.  Dayang lalu  memberikan  keranjang  senjata  itu  pada  Datuk  Seribu
Racun.
“Kita pergisekarang!” ujar Dewi.
“Eh, sebentar!” Wiro membuka mulut.


“Ada apa lagipendekar?” tanya Dewi dan Datuk Seribu Racun hampir berbarengan.
“Harap maafkan, aku tak punya maksud apa-apa. Tapi apakah kita akan pergi dalam keadaan rupa kalian masih seperti itu?”
Dewi  terdengar  batuk-batuk.  “Saat  ini  kami  berdua  tidak  punya  kekuatan  untuk mengubah diri. Kita masih berada dalam kawasan bekas Kerajaan Ratu srigala. Meski dia sudah  mati  bersama  seluruh  pengikutnya,  namun  kekuatan  gaib  masih  tetap  menguasai
tempat ini... ”
“Jadi  kalian  berdua  akan  tetap  seperti  itu  seumur-umur?”  Sambil  berkata  Wiro memandang pada Dharmasala.
Pemuda kekasih Dewi tampak bingung.
“Kau akan lihat sendiri nanti, pendekar. Jika sudah tiba saatnya, kami berdua akan kembali kebentuk asli kami!” jawab Dewi, lalu dia menarik tangan Dayang dan memberi isyarat pada Wiro, Dharmasala dan Datuk Seribu Racun agarberjalan lebih dulu di sebelah
depan.
Berjalan beberapa lama, rombongan itu akhirnyasampai di pintu gerbang Istana srigala iblis. Wiro melangkah melewati pintu gerbang sambil memperhatikan pintu gerbang yang ber-bentuk kepala srigala raksasa yang tengah membuka mulutnya. Menyusul Dharmasala lalu Datuk Seribu Racun. Setelah itu dua srigala putih yaitu Dewi diikuti oleh pembantunya
yang setia Dayang.
Begitu kedua kaki Dayang meninggalkan lidah srigala yang berbentuk tangga, tiba-tiba di atas rimba belantara Rekso Pratolo berkilat halilintar disusul suara menggemuruh yang meng-goncangkan  tanah.  Sekejapan  hutan  yang  selalu  gelap  redup  itu  tampak  terang benderang. Ketika suara menggemuruh hilang dan. hutan kembali diselimuti keredupan, entah dari mana datangnya, hutan itu kini dilanda tiupan angin yang luar biasa kerasnya. Semua yang ada di-situ jatuhkan diri ke tanah agar tidak dihempaskanangin. Ada yang coba berpegangan   pada   akar-akar   pohon.   Dedaunan   rontok   mengeluarkan   suara   aneh mengerikan.
Dua jeritanterdengar.

“Dewi! Dayang! Di mana kalian?!” berseru Dharmasala. Pemuda ini bersama-saima Wiro dan Datuk Seribu Racun melihat bagaimana dua sosok srigala putih itu terpental tinggi ke udara menembus kerapatan daun-daun pepohonan dan lenyap!
“Dewi!” teriak Dharmasala kembali.
“Dayang!” Wiro ikut berseru.
Sementara itu tiupan  angin mulai mereda dan  daun-daun tak ada lagi yang jatuh
luruh.
“Lihat!” tiba-tiba Datuk Seribu Racun berteriak seraya menunjukke atas. Wiro dan Dharmasala samamendongak.
Di antara kerapatan daun-daun pepohonan tampak dua cahaya, satu berwarna biru, satu lagi berwarna hijau. Cahaya itu melayang turun perlahan-lahan dan sementara turun tampak  bertambah  besar.  Ketika  dua  cahaya  ini  jatuh  ke  tanah,  maka  berubahlah  dia menjadi dua sosok tubuh gadis yang luar biasa cantiknya! Wiro sampai berdecak kedip- kedipkan mata sementara Datuk Seribu Racun usap-usap dagu sambil geleng-geleng kepala.
Gadis pertama mengenakan pakaian biru gelap indah sekait bersulam benang emas. Rambutnya  yang  panjang  hitam  tergerai  di  punggung.  Di  atas  kepalanya  ada  sebuah mahkota  emas  bertaburkan  batu-batu  permata  yang  berkilau-kilau.  Wiro  ingat  betul mahkota itu sama bentuknya dengan mahkota yang ada di kepala srigala putih bernama Dewi. Apakah ini berarti sang dara yang jelita ini adalah sang Dewi itu?
Baru sajaWiro berpikir begitu tiba-tibaterdengarseruan Dharmasala.
“Dewi!” Pemuda itu berlari menghampiri dara berpakaian biru lalu memeluknya erat- erat. Sang dara menangis terisak-isak dalam pelukan si pemuda.
“Dewi dan Dharmasala... Satunya pernah jadi patung batu satunya hidup dalam alam aneh bertubuh manusia berkepalasrigala. Aneh! Bagaimana mungkin...!” Wiro garuk-garuk
kepala         pandangannya  bertemu  dengan  dara  kedua yang  mengenakan  pakaian  serba
hijau.   Dia   tidak   mengenakan   mahkota,   rambutnya   disanggul,   kulitnya   putih   dan kecantikannya, menurut Wiro lebih dari sang Dewi. Gadis satu ini berdiri tundukkan kepala dan terdengar menangis sesenggukan.

Wiro melangkah mendekati si baju hijau ini dan menegur. “Kau pasti Dayang yang berilmu tinggi itu... ”
Sang dara turunkan kedua tangannya, angkat kepala dan pandangannya beradu dengan sepasang mata Pendekar 212. Lalu perlahan-lahan gadis ini mengangguk.
“Ah... 7 ah...ah! Ketika kulihat rupamu dalam sosok srigala putih itu, aku tak pernah menduga parasmu cantik luar biasaseperti ini...” Memuji Wiro dengan polos membuat hati Dayang berbunga-bungatapi tetap tak kuasa hentikan sesenggukannya.
“Kami kembali ke bentuk asal seperti ini setelah kita keluar dari kawasan Istana Ratu srigala. Yaitu pada saat kita keluar dari pintu gerbang tadi...” Menerangkan Dewi.
“Aku tak habis pikir. Benar-benar tak habis pikir...” kata Wiro sambil memandang pada Dewi dan Dayang.
“Mohon  dimaafkan.  Para  sahabat,  kami  bertiga  tak punya waktu  lama.  Mari  kita  tinggalkan tempat ini. Kita harus segera keluar dari hutan sebelum sang surya tenggelam... ” berkata Dewi lalu mendahului melangkah, didampingi oleh kekasihnyayaitu Dharmasala,  diikuti oleh Datuk Seribu Racun lalu Dayang. Disamping Dayang melangkah Pendekar 212  Wiro Sableng yang tidak henti-hentinya mengerling memandangi, darajelita itu.
“Kita sudah sampai  ditepi hutan.  Di barat  matahari  segera akan  tenggelam.  Kami terpaksa meninggalkan kalian sahabat-sahabat yang berjasa besar. Kami harus kembali...*
“Kembali kemana...?” tanya Wiro heran.
Sebelum pertanyaan itu terjawab, tiba-tiba ada sinar kuning menerangi tempat itu. Semua orang memandang ke arah kanan. Disitu diatas gelombang asap yang menyerupai awan tampak seorang tua berselempang kain putih, bertampang gagah kelimis. Di tangan kanannya ada sebatang tombak emas bermata tiga. Tombak emas inilah yang memancarkan sinar kuning itu.
“Sang Prabu menjemput kita!” seru Dayang latu jatuhkan diri berlutut. Dewi dan Dharmasala  melakukan  hal yang  sama  sementara Wiro  dan  Datuk  Seribu  Racun  tegak terbengong-bengong.



Pendekar  212  yang  tak  tahan  melihat  semua  keanehan  ini  melangkah  mendekati Dayang, lalu berlutut disamping sang dara seraya berbisik. “Apa-apaan ini semua...? Kau bisa menerangkan padaku?”
Dayang tersenyum dan pegang lengan Wiro. “Orang tua itu adalah Sang Prabu, ayah junjunganku. Dia memperlihatkan diri tanda menjemput kedatangan puterinya. Jika dia memperlihatkan diri berarti dia telah memaafkan dan melupakan apa yang terjadi dua ratus
tahun lalu.”
“Dua ratus tahun lalu...?!” Wiro ternganga.
“Dayang,  kita  pergi  sekarang.  Selamat  tinggal  sahabat-sahabatku!  Budi  baik  dan pertolongan besar yang telah kalian berikan tak akan kami lupakan. Kalian bukan sajaberjasa pada kami, tapi jugaberjasa untuk KerajaanBlambangan.”
Dayang bangkit berdiri. Wiro juga berdiri dengan perasaan sesak. “Eh, tunggu dulu!” ujar Wiro sambiil memegang jari-jari tangan Dayang. “Kalau kalian pergibagaimana dengan  aku! Ingat... Aku sudah menelan kemenyan dan dalam perutku masih ada gulungan kertas  ajaib itu. Apa kalian tidak akan mengeluarkan kemenyan dan gulungan kertas itu dulu...?”
Dewi tertawa lebar. “Begitu kita keluar dari pintu gerbang Istana srigala, kemenyan dan gulungan kertas itu ikut lenyap. Kalau kau tak percaya teliti saja perutmu...!”
Wiro singkapkan pakaiannya yang robek-robek. “Memang... memang aku tak melihat apa-apa, kecuali pusarku sendiri yang bolong...!
Dewi dan Dayang tertawa cekikikan.
“Wiro, sahabatku... Aku pergi sekarang,” bisik Dayang. Suaranyaagak tersendat.
“Kalau...  kalau  aku  ikut  bersama  kalian,  apakah  kalian  mengizinkan?”  tiba-tiba meluncursaja pertanyaan itu dari mulut Sinto Gendeng.
Dayang tak bisa menjawab. Dia berpaling pada Dewi dengan penuh harapan. Sang Dewi merenung sejenak lalu menjawab,  “Kami tidak keberatan kau ikut bersama kami, sahabat Wiro. Tapi dunia kita saling berbeda. Kami hidup di alam dua ratus tahun lalu.
Apakah kau sanggup memasuki alam         serba asing bagimu itu?”
“Alam dua ratus tahun lalu...?” Wiro terbelalak. “Tak dapat kubayangkan!”

“Itulah, bukan kami tak ingin bergaul lebih lama denganmu dan juga Datuk Seribu Racun. Namun kita tak mungkin berkumpul dalam alam yang berbeda... ”
Dayang memandang sendu pada Wiro. Murid Sinto Gendeng pegangi jari-jari tangan gadis itu malah kini menciuminya tiada henti. Jari-jari itu terasa harum sekali. Ketika Wiro memandangi wajah Dayang, dilihatnya mata sang dara berkaca-kaca. Kemudian terdengar suara Dayang setengah berbisik, mungkin dara ini tak mau ucapannya didengar yang lain- lain.  “Wiro, jari-jari  tanganmu  telah  bersentuhan  dengan jari-jari  tanganku.  Bau harum semerbak tubuhku akan ikut berpindah ke dalam tanganmu sebelah kanan itu. Pada saat-saat tertentu, terutama jika kau berada dalam kesulitan, ciumlah jari-jarimu. Jika mencium bau harum berarti aku berada didekatmu... Sekarang izinkan aku pergi... ”
Wiro  mencium  lagi  jari-jari  tangan  sang  dara  untuk  terakhir  kali.  Kemudian pegangannya  terlepas.  Dia  merasakan  ada  hembusan  angin.  Lalu  ada  kecupan  hangat menyentuh pipi kirinya. Memandang ke samping Dayang tak ada lagi disebelahnya. Juga Dewi  dan  Dharmasala.  Ketika Wiro  dan  Datuk Seribu  Racun  berpaling ke  arah  depan tampak ketiga  orang  itu  sudah  berkumpul  bersama lelaki  tua  berselempang kain  putih. Keempatnya laksana terbang mengapung di atas asap sambil melambai-lambaikan tangan. Pada saat sinar kuning sang surya menyirami tubuh mereka, keempatnyapun lenyap tak
berbekas.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang Datuk?” tanya Wiro.
“Tugas pertamaku adalah mengembalikan semua senjata yang ada dalam keranjang daun ini padapewarisnya. Setelah itu aku akan menempuh hidup baru … ”
“Hidup baru maksudmu kawin Datuk?”
Sang Datuk tertawa gelak-gelak. “Bukan kawin pendekar muda sahabatku. Dulu aku adalah manusia paling buas dan paling bejat.  Sekarang setelah aku bisa kembali ke asal seperti ini, terlepas dari dunia hitam celaka itu, aku bertobat dan berjanji akan jadi orang baik-baik.  Nah  itulah  hidup  baru yang  aku  maksudkan...! Jadi  bukannya  kawin  seperti
katamu tadi! Ha...ha......ha...!

Sang  Datuk  hentikan  tawanya  ketika  dilihatnya  Pendekar  212  menciumi  jari-jari tangan kanannya.
“Bagaimana baunya...?” bertanya sang Datuk ingin tahu.
“Masih harum Datuk. Masih harum!” sahut Wiro. Lalu dengan nada datar seolah-olah menyesali dia berkata: “Sayang aku dan dia terpisah oleh jarak dua ratus tahun. Ah, kenapa
aku tidak dilahirkan dua ratus tahun lalu...?”

                                    TAMAT

Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive