Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Sabtu, 25 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - PENCULIK MAYAT HUTAN ROBAN

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com


Ketika perempuan tua pengurus jenazah memberitahu bahwa kain kafan 

siap untuk ditutupkan, Sri Surti Purwani meraung keras dan menubruk jenazah 

puterinya. Dipeluknya kuat-kuat seperti tak akan dilepaskan apapun yang terjadi. 

Orang-orang perempuan yang ada di ruangan besar itu tak dapat menahan keharuan 

dan ikut mengucurkan air mata. Seorang lelaki bertubuh kurus, mengenakan blangkon 

coklat berbunga hitam dan baju lurik hitam bergaris kuning coklat, menyeruak di 

antara mereka yang hadir lalu memegang bahu Surti Purwani, berusaha menariknya 

seraya mengucapkan kata-kata membujuk. 

“Sudah bune. Cukup….. Relakan anak kita pergi. Biar arwahnya tenang di 

alam baka…” 

Setelah membujuk berulang kali dan menarik tubuh permpuan itu dengan 

susah payah, akhirnya lelaki tadi—Sumo Kabelan, suami Surti Purwani berhasil 

menjauhkan istrinya dari jenazah. Namun begitu terpisah perempuan ini langsung 

pingsan hingga terpaksa digotong ke kamar. 

Sumo Kabelan Mengusap mukanya beberapa kali. Namun air mata tak 

kunjung terbendung. Sebelum kain kafan ditutup dia masih sempat mencium kedua 

pipi jenazah. Lalu dia tegak bersandar ke tiang besar ruangan dengan wajah yang 

ditutup dengan kedua tangan, menangis terisak-isak. 

“Witri…. Witri… Malang nian nasibmu. Mengapa Gusti Allah datang 

menjemputmu dalam usia semuda ini…” 

“Dimas Sumo….” Datang suara dari samping. Yang bicara adalah seorang 

lelaki pendek gemuk, berkumis tebal. Dia adalah kakak Sumo Kabelan yang hari itu 

menerima musibah, kematian puterinya – anak tunggalnya – yang baru saja 

menginjak usia delapan belas tahun. “Gusti Allah mengambil Witri tentu karena Dia 

saying. Gusti Allah pasti tahu apa yang diperbuatNya. Kita dan yang lain-lainnya 

kelak akan berkumpul lagi di akhirat…” 

“Kasihan Witri… Kasihan anakku…” kata Sumo Kabelan berulang kali. 

Begitu kain kafan ditutup dan diikat pada ujung kepala dan ujung kaki, 

beberapa orang masuk membawa usungan. Jenazah dimasukkan ke dalam usungan, 

ditutup dengan beberapa lapis kain batik, lalu di atas sekali kain hijau berumabi-

rumbai benang kuning emas. 

Seorang pemuda berkulit kuning yang sejak tadi tampak ikut mengucurkan air 

mata beberapa kali merapikan kain hijau penutup usungan. Dia adalah Jalatunda, 

pemuda yang seyogyanya menjadi calon jodoh atau calon suami Suwitri, gadis yang 

meninggal itu. 

Tak lama kemudian jenazah di bawa ke mesjid besar untuk disembahyangkan. 

Selesai disembahyangkan, sebelum diberangkakan menuju pemakaman, lelaki gemuk 

berkumis tadi – kakak Sumo Kabelan menyampaikan sambutan pendek, mengharap 

aga kedua orang tua dan sanak keluarga yang ditinggalkan bersikap tabah menghadapi 

musibah itu, memohon aga almarhumah dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya, lalu 

mendoakan agar almarhumah diberi tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah. 


Selesai upacara pendek itu, jenazahpun diusung ke pemakaman yang terletak 

cukup jauh. Di depan sekali Jalatunda berjalan membawa paying besar untuk 

melindungi usungan dari teriknya sengatan matahari di siang itu. 

Selewatnya tengah hari rombongan yang terdiri hampir seratus orang itu 

sampai di pintu gerbang pemakaman. Seorang pengemis tua tampak duduk 

menjelepok dekat pintu dan menadahkan tangannya minta dikasihani. Namun tak 

seorangpun mengacuhkan pengemis ini. Di saat para pengantar semua berada dalam 

kesedihan siapa pula yang akan tergerak untuk memberi uang pada tukang minta-

minta itu. 

Ketika rombongan pengantar yang panjang sampai di bagian tengah, pengemis 

tadi ulurkan tangan menarik pakaian seorang pengantar. 

“Hai…siapakah yang meninggal?” pengemis itu bertanya. Suaranya halus 

hampir tak terdengar. Mungkin karena keletihan duduk di bawah terik matahari, 

mungkin juga dikarenakan usianya yang sudah lanjut. 

“Ah pengemis tua, apa perlumu bertanya. Lepaskan bajuku!” kata lelaki yang 

bajunya ditarik lalu menyentakkan tangan si pengemis. 

“Bertanya saja tidak boleh…” sang pengemis tampak jengkel. 

Seorang pengantar yang mendengar gerutuan pengemis itu walau tak acuh 

mau juga menjawab. 

“Yang meninggal adalah anak gadis Sumo Kabelan, tuan tanah dari desa 

Ambarwangi…” 

“Ah kasihan…kasihan. Apakah dia sudah kawin…?” pengemis tadi bertanya. 

Yang menjawab adalah pengantar lainnya, yang terpisah tiga orang di 

belakang pengantar yang memberi keterangan tadi. 

“Pengemis tolol! Namanya saja masih gadis. Masakan kalau sudah kawin 

dikatakan gadis!” 

“Ah, aku memang tolol! Kasihan gadis itu….” 

Pengemis itu geleng-gelengkan kepala. Perlahan-lahan dia berdiri. Sesaat dia 

pandangi rombongan pengantar jenazah sambil tepok-tepok pantat pakaiannya yang 

kotor penuh debu. Ketika kepala rombongan sampai di liang lahat yang telah 

disiapkan untuk jenazah, dengan langkah terserok-serok pengemis tadi mendatangi. 

Sambil melangkah mulutnya tiada henti mengucapkan kata-kata kasihan. 

Usungan diturunkan, diletakkan di tepi liang lahat. Satu demi satu kain 

penutup usungan dibuka. Sambil tiada hentinya mwlafatkan doa-doa, jenazah 

kemudian dikeluarkan dari usungan, diangkat oleh empat orang sementara tiga orang 

lainnya sudah lebih dulu masuk ke dalam kuburan, menunggu dan menyambut 

jenazah. 

Saat itulah, ketika jenazah hendak diterimakan dari tangan empat orang ke 

tangan tiga orang tadi mendadak orang banyak yang berkerumun mengelilingi liang 

lahat terkuak, terjerongkang jatuh bahkan ada yang terpental. 

“Hai! Apa-apaan ini!” teriak Sumo Kabelan hampir saja jatuh terjerambab ke 

dalam liang lahat. 

“Pengemis itu! Gila dia rupanya!” 

“Usir pengemis itu!” Terdengar teriakan-teriakan. 

Orang yang roboh berjatuhan dan terpental semakin banyak. Pengemis yang 

tadi duduk dekat pintu makam mendesak masuk. Seorang pengantar menarik 

lengannya. Tapi orang ini segera roboh kena sikut. Seorang lain yang jadi marah 

menarik leher pakaiannya. Tapi diapun terjerongkang kena tendangan. Setelah itu 

orang banyak yang menjadi marah cepat mengurung malah muali mengeroyok 

pengemis tersebut. Namun semuanya terpental dan berteriak kesakitan. Sebelum 


sesuatu dapat dilakukan, pengemis itu melompat ke muka langsung merangkul 

jenazah Suwitri di bagian pinggang lalu menaikkan ke bahu kirinya. 

“Pengemis keparat! Apa yang hendak kau lakukan?!” teriak Sumo Kabelan. 

Sementara kakaknya yang gemuk sudah menyambar sebuah pacul dan siap 

menghantamkannya. Namun hebat sekali gerakan pengemis itu. Meski bahunya 

diberati jenazah kaki kanannya melesat cepat menendang tangan sigemuk hingga 

patah dan pacul terlepas mental dari pegangannya. Sumo Kabelan sendiri langsung 

jatuh ketika satu pukulan melabrak dadanya. Dengan gerakan aneh pengemis itu 

melompat ke atas. Di lain kejap dia sudah ke luar dari kurungan orang ramai. 

“Pneculik jenazah” 

“Penculik mayat!” 

“Hai! Hendak kau larikan ke mana jenazah gadis itu!” 

Orang ramai mengejar. Sesaat pengemis itu balikkan diri, tegak menunggu 

dengan sikap menanang. Sambil menyeringai dia berkata 

“Kalian inginkan mayat ini? Ambillah kalau bisa!” 

Jalatunda, pemuda yang tadinya adalah calon suami Suwitri lari mengejar 

paling depan. Dia sampai pertama sekali di hadapan pengemis itu. Begitu dekat 

pemuda ini langsung melayangkan tinjunya ke muka si pengemis. Ganda tertawa 

penemis tua itu tangkap tinju kanan Jalatunda denga telapak tangan kirinya lalu 

diputar kuat-kuat. Jalatunda terpekik. Tulang telapak tangannya remuk, pergelangan 

tangannya lepas. 

“Anak muda! Aku tidak heran kau membela gadis ini walau sudah jadi mayat! 

Tapi tidak kau atau siapapun boleh merampasnya dariku…!” berkata pengemis tua itu 

dengan tampang galak. 

“Keparat penculik! Tinggalkan jenazah itu!” 

Si pengemis tertawa. 

“Kalau kau memang sangat menginginkannya datanglah satu hari di muka ke 

hutan Roban sebelah timur! Kau akan mendapatkan mayat kekasihmu kembali!” 

“Jahanam! Lebih baik kubunuh kau saat ini juga!” teriak Jalatunda. Lalu 

melompati pengemis itu. 

Entah dai mana dapatnya, saat itu tampak pemuda ini telah memegang di 

tangan kirinya sebilah parang berkarat. Senjata ini dibacokkannya ke pinggang 

pengemis. Tapi dengan mudah dapat dielakkan. Penuh luapan amarah Jalatunda 

tusukkan ujung parang ke dada pengemis itu. Yang diserang gerakkan tangan kirinya, 

memukul badan parang dari samping. Senjata itu patah dua dan terlepas mental dari 

tangan Jalatunda. 

Si Pengemis tertawa panjang. 

 Ketika orang banyak sampai di tempat itu, penculik mayat itu telah lenyap. 

Hanya suara tawanya yang masih tertinggal dalam bentuk gema menggidikkan. 


BAB 2


Satu hari dimuka, ratusan penduduk desa Ambarwangi kelihatan 

berkelompok di ujung timur hutan Roban. Penduduk desa-desa sekitarnya, yang 

mendengar kejadian dilarikannya mayat Suwitri oleh seorang pengemis aneh, ikut 

pula mendatangi tempat itu. Keadaan di situ tidak bedanya seperti orang yang sedang 

mengungsi. Banyak yang mendirikan gubuk atau kemah sementara sambil menunggu 

apa yang akan terjadi. 

Seperti kata pennculik sebelum lenyap bersama jenazah Suwitri, jika jenazah 

itu memang diinginkan kembali, maka satu hari dimuka orang-orang itu disuruh 

datang ke ujung timur hutan Roban. Jalatunda, calon suami Suwitri beserta Sumo 

Kabelan – ayah si gadis – lebih dulu datang ke tempat itu. Sejak Suwitri dilarikan dan 

setelah penculik mengeluarkan ucapan begitu keduanya langsung menuju tempat yang 

dikatakan. Menunggu dan bermalam di situ dengan hati berdebar, menantikan apa 

yang bakal terjadi. 

Bersama beberapa orang kawannya Jalatunda coba menyelidik agak jauh ke 

dalam hutan sebelah timur. Namun mereka tidak menemukan apa-apa. Hutan Roban 

sejak lama terkenal keangkerannya. Bukan saja penduduk sekitar itu menganggap 

rimba belantar itu sarang segala macam makhluk halus, mulai dari jin sampai dedemit, 

mulai dari setan pelayangan sampai hantu iblis, tetapi deketahui pula bahwa di dalam 

hutan itu bercokol beberapa kelompok rampok ganas. Belum lagi binatang buas 

termasuk ular berbisa! Karena itu Jalatunda dan kawan-kawannya tidak berani masuk 

terlalu jauh ke dalam hutan. 

Matahari telah jauh condong ke barat. Saat yang dikatakan si penculik yakni 

satu hari dimuka, sudah hampir mendekat. Namun tak ada tanda-tanda akan terjadi 

sesuatu.Orang ramai mulai gelisah, tegang dan tampak  banyak pula yang merasa 

cemas. Jelatunda melangkah mundar mandir. Sebentar-sebentar tangannya meraba 

hulu golok besar yang diikatkannya ke pinggang. Dia sudah bertekad bulat. Jika 

pengemis penculik itu muncul, pemuda ini akan menyerangnya, membunuhnya 

sampai mati. Kalau perlu dia mau mengorbankan diri asal jenazah kekasihnya bisa 

didapat kembali. 

Di bagian yang lain Sumo Kabelan tegak dengan wajah gelisah, tiada lepas-

lepas memandang kea rah hutan yang kini mulai kelihatan meredup gelap karena sang 

surya tidak lagi memancarkan cahayanya di bagian ujung timur itu. 

Di udara sekelompok urung gagak hitam terbang berputar-putar sambil tidak 

henti-hentinya menguik. 

“Burung-burung nazar itu….” kata Sumo Kabelan dengan paras berubah. 

“Pertanda yang tidak baik….” Sambungnya kemudian perlahan. 

Burung-burung itu masih terus berputar dan menguik. Tiba-tiba lebih keras 

dari kuik binatang-binatang itu dari dalam rimba belantara terdengar suara tawa 

melengking, menggetarkan serta membuat setiap mereka yang mendengar jadi 

mengkirik ketakutan. 

“Orang-orang Ambarwangi!” ketika suara tertawa lenyap berganti terdengar 

suara orang berseru. 

“Aku tahu kalian sudah lama menunggu! Ambillah kembali jenazah gadis 

ini…!” 


Sebuah benda putih melayang di udara, melesat ke luar hutan Roban di mana 

ratusan orang menunggu. Benda ini sesaat kemudian terayun membalik masuk lagi ke 

dalam hutan. Ternyata bedna itu terikat di ujung seutas tali. Dan tali ini ditambatkan 

pada cabang sebatang pohon besar. Ketika diperhatikan benda yang terayun-ayun itu, 

ternyata adalah sosok tubuh yang terbungkus kain kafan! 

“Astaga! Pasti itu jenazah Suwitri!” teriak seseorang. 

“Darah!” seorang lain ikut bereriak. 

Jalatunda telah lebih dahulu lari ke dalam hutan. 

Dengan tangan kiri dia menahan pocong yang teryaun-ayun. Begitu derasnya 

ayunan pocong membuat pemuda itu hampir jatuh terseret. Namun cepat dia 

mencabut golok dan menebas tali pengikat ujung kain kafan. Jenazah yang jatuh cepat 

disambutnya dengan bahu kirinya lalu melarikannya ke luar hutan. Orang ramai 

segera menyongsong. Beramai-ramai jenazah diturunkan dari bahu Jalatunda, 

dibaringkan hati-hati di tanah. 

“Kenapa kain kafan berdarah! Pasti terjadi sesuatu!” kata Sumo Kabelan. Lalu 

lelaki ini membungkuk untuk memeriksa. 

Jalatunda bergerak lebih dulu. Tali kain pengikat ujung-ujung dan bagian 

tengah jenazah dibukanya. 

Bau busuk menyebar santar begitu kain kafan tersingkap. Wajah Suwitri 

tampak utuh meski pucat dan membiru di beberapa bagian. Tetapi ketika kain kafan 

sebelah bawah dibuka lebih lebar, Jalatunda, Sumo Kabelan dan yang lain-lainnya 

terperangah mundur. Bagian dada serta perut mayat tampak berlubang besar. Darah 

membeku di mana-mana. 

“Jantung dan hatinya lenyap!” teriak kakak Sumo Kabelan. 

“Ya Tuhan! Apa yang terjadi dengan jenazah anakku!” seru Sumo Kabelan. 

Tubuhnya bergetar keras. Lututnya goyah. Dia hampir roboh kalau tidak lekas ditahan. 

“Sudah meninggal kenapa jenazahnya masih dirusak…? Anakku…. Suwitri 

anakku….!” 

Jalatunda duduk pejamkan mata tak tega menyaksikan pemandangan yang 

mengerikan serta menusuk hati itu. Namun disaat yang sama kemarahannya juga 

menggelegak. Tiba-tiba seperti orang kemasukan setan dia berteriak keras. Melompat 

tegak. Kedua matanya mendadak menjadi merah. Wajahnya membesi. Dia cabut 

kembali golok yang tadi disarungkannya. Senjata ini ditabaskannya kian kemari. Dari 

mulutnya keluar suara menggerung berkepanjangan disertai ludah membusah di sela 

bibir. 

Orang banyak serta merta mundur menjauh. 

“Jalatunda kemasukan setan!” seseorang berteriak. 

“Awas! Mungkin dia mau mengamuk!” 

“Menjauh!” teriak seorang yang lainnya. 

“Jala, tenang…. Kuatkan hatimu!” Sumo Kabelan mendekat sambil 

membujuk. 

“Jala! Sarungkan golokmu kembali!” kata Sumo Kabelan. Kali ini dengan 

suara keras. 

“Keparat! Bangsat!” teriak Jalatunda tiba-tiba. 

“Kemanapun akan kucari! Akan kubunuh!” 

Lalu pemuda ini balikkan tubuhnya, lari masuk ke dalam hutan Roban. 

“Jala! Kembali!” teriak Sumo Kabelan. Yang lain-lain juga berseru 

memanggil. Namun pemuda itu lari terus sambil acung-acungkan golok dan berteriak-

teriak. Sesaat kemudian diapun lenyap dalam kerapatan pepohonan. 


BAB 3


Nyi Ageng Jeliteng memandang dengan kesal pada puterinya yang sampai 

saat ini masih saja menangis sambil menelungkup di atas tempat tidur. 

“Rukmi tak ada gunanya kau menangis. Sekalipun sampai keluar air mata 

darah itu tidak akan merubah pendirian ibu. Apalagi ayahmu!” 

Tejarukmi, gadis enam blas tahun yang menangis di atas ranjang itu membalik 

dan menutupi wajahnya dengan bantal besar. Tangisnya kini malah menjadi-jadi. 

“Sikap tingkahmu hanya akan memberi malu orang tuamu Rukmi. Percayalah, 

kami ayah dan ibumu ingin melihat kau bahagia…” 

Tejarukmi campakkan bantal dari mukanya, setengah duduk dia berkata 

dengan muka balut “Kalau ibu ingin melihat aku bahagia, mengapa memaksa saya 

harus kawin dengan lelaki yang tiga puluh tahun lebih tua dari saya itu!” 

Nyi Ageng Jeliteng geleng-gelengkan kepala. “Kau masih belum mengerti 

nak…” 

“Saya cukup mengerti iu. Lebih dari mengerti. Yang ibu dan ayah pikirkan 

adalah kepentingan kalian berdua, bukan kepentingan saya!” 

“Lho, yang akan kawin itu kau, bukan kami Rukmi. Jadi kau sendiri yang 

kelak akan merasakan kebahagiaan itu…” 

“Siapa orang tuanya yang bahagia kalau dikawin paksa! Dengan tua bangka 

beranak empat pula!” 

Tejarukmi bantingkan kedua kakinya ke atas tempat tidur. 

“Dengar Rukmi anakku. Kami tidak memasksa kau kawin saat ini juga. Tapi 

tahun depan. Di bulan Sura. Ketika usiamu genap mencapai tujuh belas tahun!” 

“Saya tidak akan kawin dengan tua bangka itu!” 

“Raden Jarot bukan orang sembarangan Rukmi. Dia termasuk kerabat Istana, 

keponakan Pangeran Dirjo Samekto….” 

“Sekalipun dia raja diraja saya tidak suka! Saya tidak mau kawin dengan dia!” 

“Ibu tahu mengapa kau menolak!” Nyi Ageng Jeliteng mulai tampak kesal. Ini 

kentara dari nada suaranya. 

Dan perempuan itu lebih jengkel lagi ketika puterinya menukas “Kalau ibu 

sudah tahu saya menolak, mengapa masih memaksa?!” 

“Orang tua mana! Bangsawan mana yang sudi anaknya bercinta dengan 

seorang anak petani miskin! Jangan lupa turunan kita! Ayahmu bengsawan kelas satu. 

Orang tuaku juga turunan bangsawan terhormat. Dan keu hendak mengotori darah 

bangsawanmu dengan darah pemuda miskin yang hanya pandai mencangkul itu….?” 

“Hanya kebetulan saja kakak Wiguno seorang anak petani miskin. Tapia pa 

bedanya dia dengan kita? Sama-sama manusia….?” 

Nyi Ageng Jeliteng tertawa mendengar kata-kata puterinya itu. 

“Kau sudah terlalu jatuh larut dalam dunia cinta. Ketahuilah bahwa dunia 

cinta itu adalah dunianya orang-orang gila dengan seribu angan-angan muluk. Aku 

kawin dengan ayahmu tanpa mengenal cinta. Tapi setelah kawin, apa yang kami 

rasakan jauh lebih bahagia dari cinta…..” 

“Kalau masa muda inbu tidak mengenal cinta, pantas saja ibu bisa berkata 

begitu!” 

Hampir Nyi Ageng Jeliteng menampar mulut anaknya itu. 


“Tak ada gunanya menasehatimu. Biar ayahmu yang nanti bicara. Dan kau 

tahu. Kalau ayahmu sempat naik pitam, tangan dan kakinya akan melayang ke 

tubuhmu. Itu rupanya yang kau kehendaki!” 

“Dipukul sampai matipun saya tidak takut.” Jawab Tejarukmi. 

“Anak durhaka!” kata Nyi Ageng Jeliteng marah lalu berdiri dan tinggalkan 

kamar itu. 

Keesokan harinya gedung besar kediaman bangsawan Mangun Sarabean 

heboh ketika seisi gedung mengetahui bahwa den ayu Tejarukmi lenyap. Beberapa 

potong pakaiannya berikut sejumlah perhiasan miliknya yang ada dalam lemari ikut 

lenyap. 

“Anak itu pasti meinggat!” kata Raden Mas Mangun Sarabean sambil 

menggebrak meja. Dia lalu berteriak memanggil pembantunya. Kepada para 

pembantu itu diminta agar menghubungi Raden Jarot, meminta bantuan sejmulah 

pasukan untuk mencari anaknya yang lenyap. 

“Periksa ke rumah pemuda petani itu!” kata Mangun Sarabean. “Aku yakin 

Tejarukmi kabur bersama pemuda keparat itu. Anakku harus kembali. Dan Wiguna 

kalau perlu dibikin mampus saja! Dia yang jadi pangkal bahala semua ini!” 

Mangun Sarabean lalu masuk ke dalam menemui istrinya yang menangis 

menggerung-gerung. 

Para pembantu yang disuruh segera berangkat ke tempat kediaman Raden 

Jarot, lelaki yang sudah dicalonkan untuk menjadi suami Tejarukmi. Sesuai dengan 

permintaan Mangun Sarabean maka Raden Jarot menghubungi pamannya yaitu 

pangeran Dirjo Samekto guna mendapatkan sejmulah pasukan untuk mencari 

Tejarukmi. 

Pasukan yang dikerahkan pangeran Dirjo Samketo ternyata adalah dari 

kelompok yang berpengalaman dan merupakan andalan kerajaan. Karenanya tidak 

mengherankan Tejarukmi dan Wiguna di sebuah pondok tua di dalam lembah 

Gilimanuk yang terletak sekitar setengah hari perjalanan dari desa Ambarwangi. 

Ketika ditemukan sepasang merpati yang saling mencinta ini berusaha 

melarikan diri dari kepungan. 

Namun sia-sia. Wiguno, pemuda petani miskin itu berusaha mempertahankan 

Tejarukmi, tetapi apa dayanya menghadapi puluhan prjaurit tangkas bersenjata 

lengkap sedangkan dia hanya mengandalkan tangan kosong. Dalam keadaan luka 

parah, atas perintah Mangun Sarabean, Wiguno akhirnya tewas terbunuh! Mati di 

hadapan mata kepala Tejarukmi yang membuat gadis itu langsung menjerit dan jatuh 

pingsan. 

Selama beberapa hari Tejarukmi mengunci diri dalam kamar. Tak mau makan, 

minumpun hanya sekedar membasahi bibir. Lambat lau tubuhnya jadi kurus lemas, 

parasnya semakin pucat. 

Suatu pagi ketika Nyi Ageng Jeliteng bersama seorang pembantu membuka 

pintu kamar gadis itu dengan paksa sambil membawa makanan, mereka dapati 

Tejarukmi terbujur di lantai. Dekat kepalanya terletak sebuah mangkuk berisi 

warangan yang masih tersisa. Mulutnya mengeluarkan busa. Tak ada lagi tanda-tanda 

kehidupan. Gadis ini mati bunuh diri dengan jalan minum racun keras. 

Dalam suasana heboh kematian Tejarukmi itu, selagi gedung besar penuh 

didatangi penduduk sedesa serta kerabat dekat, belum lagi jenazah sempat 

dimandikan di tangga depan gedung tampak seorang pengemis tua yang anehnya 

muncul dengan menunggang seekor kuda jantan warna coklat. Diikuti pandangan 

mata sekian banyak orang yang terheran-heran, pengemis itu turun dari kudanya lalu 

berkata “Kedatanganku sebenarnya ingin minta sedekah. Tapi ada kejadian apakah di 


rumah besar ini hingga orang begini banyak dan kudengar ada suara orang meratap di 

dalam sana….” 

“Pengemis berkuda,” seseorang menjawab. “Bukan saatnya kau datang 

meminta-minta. Orang sedang ditimpa musibah. Pergilah dari sini….” 

“Musibah….ah….ah….ah. sungguh kasihan. Rumah besar mentereng seperti 

ini seharusnya siisi dengan suasana meriah ceriah. Bukan tangisan. Musibah apakah 

yang datang menimpa penghuni gedung ini….?’ 

Meskipun kesal melihat pengemis yang banyak tanya ini namun orang itu 

kembali menjawab “Den Ayu Tejarukmi, puteri Nyi Ageng Jeliteng meninggal 

dunia.” 

“Aih sungguh kasihan. Masih mudakah dia? Saktikah dia hingga sempai ajal 

secepat itu….” 

Seorang tinggi besar yaitu pembantu merangkap penjaga gedung kediaman 

Mangun Sarabean memegang bahu pengemis itu dan menyentakknnya ke belakang. 

“Pengemis buruk! Bawa kudamu! Pergi dari sini!” 

Pembantu itu terkejut ketika sentakannya tidak berhasil membuat pengemis 

tadi tertarik ke belakang. Malah dirasakannya tiba-tiba tangannya kesemutan dan 

kaku tak bisa digerakkan lagi. Dia berteriak memberitahu kawan-kawannya ketika 

pengems itu melangkah menaiki tangga depan gedung. Maka empat orang segera 

menghadang si pengemis. 

“Kalian mengapa berlaku kasar padaku!” kata si pengemis. “Aku datang 

bukan untuk membuat keributan ataupun mengganggu!” 

“Pengemis buruk! Tempatmu bukan di sini! Kau sengaja memaksa masuk. 

Jika kau inginkan sedekah kami akan memberi. Tapi jika kau memaksa, kami 

terpaksa menggebukmu!” salah seorang dari empat lelaki yang menghadang berkata. 

“Aku hanya ingin melihat Den Ayu Tejarukmi. Kudengar dia bunuh diri. Tapi 

apakah dia benar-benar sudah mati? Tak bernafas lagi? Jika aku diperbolehkan 

melihat, siapa tahu aku bisa mwnolong!” 

“Menolong menghidupkannya?!” ejek lelaki tadi. 

“Kau tentu bergurau. Hanya Gusti Allah yang bisa menghidupkan manusia 

dan mematikannya jika memang dikehendakiNya. Yang aku ingin katakana siapa tahu 

gadis itu hanya pingsan. Masih belum mati. Mungkin aku bisa menolongnya” 

“Pengemis ngaco! Lekas pergi. Jangan membuat ulah yang bukan-bukan di 

tempat berkabung ini!” Satu suara membentak. Keras dan garang. 

Si pengemis memalingkan kepalanya. Di sebelah kirinya berdiri seorang 

bertubuh tinggi ramping, mengenakan pakaian bagus dan mahal, lengkap dengan topi 

tinggi berwarna hitam. 

Si pengemis manggut-manggut, lalu menjawab “Aku mengerti, aku 

mengerti….”katanya. “Kau pantas marah. Bukankah kau Raden Jarot, duda anak 

empat calon suami Den Ayu Tejarukmi yang gagal…?” 

Orang tinggi ramping itu terkejut. Bagaimana pengemis yang tidak dia 

kenalnya tahu siapa dirinya adanya? 

“Kalau kau sudah tahu siapa aku, maka lekas pergi dari sini!” kata Raden Jarot 

pula. 

“Tapi aku ingin menolong calon istrimu itu!” 

“Aku dan siapapun di sini tidak butuh pertolonganmu!” bentak Raden Jarot. 

“Kalau begitu kau tidak cinta pada gais itu. Kau tak ingin melihat dia hidup 

kembali. Padahal sebelumnya kau secara halus memaksa kedua orang tuanya agar 

gadis itu bisa kau jadikan istrimu….! 



Merah paras Raden Jarot mendengar kata-kata terakhir pengemis itu. Tentu 

saja dia ingin melihat Tejarukmi hidup kembali. Namun mana masuk akal kalau gadis 

yang sudah mati itu bisa ditolong. Maka dia memberi isyarat pada empat lelaki yang 

mengurung si pengemis agar menyeret orang tua itu. Selesai memberi isyarat maka 

diapun masuk ke dalam gedung. Tapi langkahnya tertahan ketika di belakangnya 

terdengar suara bak-buk-bak-buk disusul keluh kesakitan. Ketika dia menoleh 

kembali, empat lelaki tadi dilihatnya terkapar di tanggga gedung. Ada yang 

memegang perut, dada dan ada pula yang menutupi wajah dengan kedua tangan. 

Semuanya masih meringis dan mengeluh kesakitan. 

“Kurang ajar! Kau berani memukul orang-orangku!” teriak Raden Jarot marah. 

Sekali tubuhnya berkelebat, tinju kanannya menderu ke muka pengemis tua itu. 

Sebagai orang yang dekat dengan kalangan Istana, Raden Jarot memiliki 

kepandaian silat yang cukup tinggi. Bahkan keris yang tersisip di pinggangnya 

diketahui adalah pemberian seorang petinggi Istana yang dekat dengan Sri Baginda. 

Melihat pukulan yan dihantamkan Raen Jarot, semua orang yang hadir di 

tempat itu sama menduga si pengemis tua akan terpental dengan kepala remuk, paling 

tidak bengkak berdarah mukanya. Tetapi alangkah herannya mereka ketika dengan 

acuh tak acuh pengemis itu angkat tangan kirinya, telapak tangan dikembangkan. 

Buk! 

Tinju Raden Jarot menghantam telapak tangan yang dipakai untuk melindungi 

muka dari pukulan. 

Lelaki ini merasakan tangannya seperti menghantam tembok. Jika tidak malu 

pastilah dia akan menjerit kesakitan. Tangannya tampak merah dan lecet-lecet. 

Melihat kenyataan ini Raden Jarot segera maklum, siapapun adanya pengemis 

tua itu, dia adalah seorang yang memliki kepandaian tinggi. Dan dengan 

memperlakukannya seperti itu jelas dia membawa maksud yang tidak baik. Sambil 

menghunus kerisnya Raden Jarot berteriak. 

“Semua lelaki yang ada di sini, Bantu aku meringkus pengemis keparat ini! 

Dia datang dengan maksud jahat!” 

Lebih dari selusin lelaki segera melompat mengurung. Dua di antaranya 

adalah anggota pasukan yang sebelumnya ikut melakukan pencarian ketika Tejarukmi 

minggat bersama Wiguno. 

Melihat dirinya dikurung begitu rupa, pengemis itu berkacak pinggang dan 

tertawa aneh. 

“Usir kudanya! Jangan sampai pengemis tua bangka keparat ini lolos!” teriak 

Raden Jarot. 

Seseorang kemudian dengan cepat menggebrak tubuh kuda coklat yang tadi 

ditunggangi di pengemis. Binatang ini meringkik lalu lari kencang dan menghilang di 

kejauhan. 

“Aku hanya memberi nasehat pada kalian!” katanya kemudian pada orang-

orang yang mengurungnya. 

“Menyingkirlah jika ingin selamat!” 

“Serbu! Ringkus pengemis keparat ini! Bunuh jika perlu!” teriak Raden Jarot. 

Pada saat itu tuan rumah yang sedang berduka yakni Mangun Sarabean ke luar 

ruangan dalam. Melihat seorang ttua berpakaian kotor penuh tambalan dikurung 

demikian rupa maka diapun menegur. 

“Apa yang terjadi di sini?!” 

Raden Jarot menerangkan dengan cepat. Mangun Sarabean sesaat 

memperhatikan tangan kanan calon mantunya yang lecet akibat tangkisan pengemis 

aneh itu. Lalu dengan suara perlahan tapi tegas dia berkata 


“Berikan pakaian bekas, dua kaleng beras dan sejumlah uang padanya. Lalu 

biarkan dia pergi….!” 

Habis berkata begitu Mangun Sarabean melangkah masuk ke dalam kembali. 

Tapi kata-kata si pengemis membuatnya hentikan gerakan dan berpaling 

“Tuan rumah, sampeyan ternyata baik sekali. Pakaianku memang kotor penuh 

tambalan. Tubuhku kurus tak terurus. Tapi aku datang ke mari bukan untuk minta 

belas kasihan…. Apalagi minta pakaian, uang dan beras…..!” 

“Lalu apa maumu….?” Tanya Mangun Sarabean. Ucapan si pengemis yang 

memanggilnya dengan sebutan sampeyan serta nadanya yang kasar membuat Mangun 

Sarabean tersinggung. Hatinya kesal. Apalagi dia ditimpa musibah besar kematian 

puterinya. 

“Aku datang untuk melihat jenazah Den Ayu Tejarukmi,” menjawab si 

pengemis. 

“He, dia bukan sanak bukan kerabatmu. Mengapa ingi melihat?” tanya 

Mangun Sarabean. Sebelum dia membuka mulut membentak, Raden Jarot sudah 

mendahului. 

“Pengemis edan! Jangan kau bicara segala macam aturan. Di sini berlaku 

aturan yang dibuat tuan rumah! Tubuhmu yan gbabak belur akan kami lempatkan ke 

jalan sana!” 

“Kalau memang begitu, biar kau yang kugebuk lebih dulu!” 

Tubuh pengemis kurus itu berkelebat. 


BAB 4


Raden Jarot melihat gerakan pengemis itu begitu cepat hingga sulit 

mengetahui dengan apa dan baian mana dari tubuhnya yan gmenjadi sasaran serangan. 

Untuk melindungi diri dia babat keris di tangan kanannya lurus rata dari kiri ke kanan. 

Demikian derasnya hingga badan keris mengeluarkan suara menderu. Tidak 

dapat tidak salah satu bagian tubuh lawan pasti akan tersayat. Namun sesaat kemudian 

terdengar pekik Raden Jarot. Keris di tangan kanannya mental ke atas dan menancap 

di langit-langit serambi depan. Kemudain tubuhnya tampak terjerongkang ke 

belakang, hampir jatuh duduk. Satu pukulan melabrak dadanya di sebelah tengah! 

Mangun Sarabean kaget bukan main. Dia tahu betul calon menantunya itu 

memiliki kepandaian silat tinggi. Tapi bagaimana pengemis tua bertubuh kecil itu 

dapat menghantamnya dalam satu kali gebrakan. 

Sambil menahan sakit dan megap-megap karena nafasnya sesak Raden Jarot 

mencoba berdiri lalu berteriak pada orang-orang di sekelilingnya. 

“Tunggu apa lagi?! Bunuh bangsat pengacau itu!” 

Kini lebih dari selusin orang menyerbu. Termasuk Mangun Sarabean yang 

tidak dapat lagi menahan amarahnya. ORang ini tanggalkan ikat peinggang besat 

yang terbuat dari kulit. Mangun Sarabean diketahui bukanlah seorang yang memiliki 

ilmu silat atau kesaktian. Namun ada yang mempercayai bahwa dalam salah satu 

kantong ikat pinggang kulit itu tersimpan sebuah jimat yang konon didapat Mangun 

Sarabean dari seorang empu di puncak gunung Merapi. Ada jimat ataupun tidak si 

pengemis sama sekali tidak memandang sebelah mata pada ikat pinggang itu. Dan 

nyatanya =demikian. Dalam beberapa kali gerakan kilat si pengemis itu menggebrak 

ke kiri dank e kanan. Terdengar pekik susul menyusul. Empat pengeroyok 

tergelimpang di lantai serambi. Dua lainnya terguling sambil pegangi perut. Lalu ada 

yang terhempas ke dinding, melorot tak berkutik. Mangun Sarabean sendiri tampak 

tagak terhuyung-huyung. Ikat pinggang besarnya tampak telah putus jadi dua. Yang 

lain-lain, termasuk Raden Jarot tegak terkesiap. Tak tahu mau berbuat apa. Bukan saja 

karena merasa ragu-ragu untuk menyerang kembali tapi lebih banyak jadi merasa 

takut. 

Pengemis itu tegak berkacak pinggang dan tertawa panjang. Lalu tubuhnya 

lenyap, berkelebat kea rah pintu dalam. Sesaat kemudian di sebelah dalam terdengar 

pekik orang-orang perempuan. 

“Tolong! Penculik!” 

“Jenazah den ayu diculik!” 

“Jenazah anakku dilarikan! Tolong!” 

Apakah yang terjadi? 

Pengemis aneh itu tadi ternyata masuk ke ruangan pembaringan jenazah. 

Mayat Tejarukmi uang terbujur di atas kasur berseperai hijau berbunga emas, yang 

masih belum dimandikan atau dikafani, dan hanya ditutup dengan sehelai kain batik 

dan sutera, disambar oleh pengemis tadi dan dipanggulnya di bahu kiri. Sesaat dia 

memandang berkeliling sambil menyeringai memperhatikan orang-orang perempuan 

yang menjerit-jerit. 

Nyi Ageng Jeliteng berteriak sambil melompat. 

“Penculik busuk! Kembalikan anakku!” perempuan ini lalu mendorong si 

pengemis dengan tangan kiri sementara tangan kanannya berusaha memegang 

pinggang jenazah puterinya. Tapi sekali balas mendorong pengemis itu membuat Nyi  Ageng Jeliteng terjatuh roboh dan terpekik. Sebelum pengemis itu berkelebat pergi 

bersama mayat Tejarukmi, seorang perempuan tua yang akan bertindak sebagai 

pemandi dan pengurus jenazh berusaha menghalangi mencakar kedua tangannya ke 

tubuh penculik. 

Bret! 

Pakaian kotor bertambal-tambal di bagian punggung pengemis itu robek. Hal 

ini membuat di pengemis marah sekali. Dengan tumit kirinya ditendangnya 

perempuan tua itu hingga terjengkang pingsan! 

“Jangan coba-coba menghalangiku!” si pengemis berteriak memberi 

peringatan. “Jika kalian masih butuhkan jenazah ini, silahkan ambil besok sore di 

hutan Roban sebelah tenggara!” 

Habis berkata begitu si pengemis tertawa panjang. Seperti melaynga, tubuhnya 

melesat ke jendela samping. Jenazah Tejatukmi lenyap bersama lenyapnya pengemis 

itu. 

Rumah besar keidaman Mangun Sarabean menjadi gempar. Beberapa orang 

coba mengejar. Ada yang manunggang kuda dan membawa senjata. Namun mau 

dikejar ke mana? Pengemis itu lenyap laksana ditelan bumi! 

“Tak mungkin kita meneruskan pengejaran!” kata Mangun Sarabean di atas 

punggung kuda hitam. Tangan kirinya terkepal tanda hatinya geram sekali. 

Raden Jarot yang juga berkuda dan berada di sebelahnya mengangguk 

perlahan tanda maklum. 

“Pengemis itu!” katanya. “Siapa dia sebenarnya!” 

“Dan mengapa dia menculik mayat Tejarukmi? Kalau Wiguno masih hidup 

mungkin kita bisa menuduhnya yang melakukan penculikan. Tapi pemuda itu sudah 

mati….” Sesaat Mangun Sarabean termangu duduk di atas punggung kuda sementara 

rombongan pengejar yang berjumlah hampir dua puluh orang itu berada di belakang 

menunggu perintah selanjutnya. “Mungkin ini dosa kita karena pemuda itu sampai 

terbunuh….?” Ujar Mangun Sarabean kemudian. 

Kata-kata itu membuat paras Raden Jarot berubah. 

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Mangun Sarabean kemudian. 

“Saya memutuskan pergi ke hutan Roban sebelah tenggara! Pengemis keparat 

itu menyebut tempat tersebut sebelum kabur!” kata Raden Jarot. 

“Jangan, terlalu berkhayal!” kata Mangun Sarabean. “Kau pasti tahu hutan itu 

bukan saja angker tapi penuh binatang buas dan segala macam rampok!” 

“Saya tahu betul hal itu. Karenanya saya akan minta bantuan pasukan dari 

paaman Dirjo Samekto….” 

“Kalau begitu aku kembali ke Ambarwangi. Kau meneruskan ke tempat 

kediaman pamanmu itu…” 

Raden Jarot memberi hormat lalu bersama beberapa orang pengiringnya dia 

meninggalkan tempat itu sedang Mangun Sarabean kembali ke rumahnya di 

Ambarwangi. 

LEpas lohor hari itu tampak serombongan pasukan berjumlah hampir tiga 

puluh orang, bergerak menuju hutan Roban sebelah tenggara. Di sebelah muka 

menunggang kuda Raden Jarot didampingi seorang perwira muda bernama Rangga 

Pangestu. Di dalam jajaran pengawal Pangeran Dirjo Samekto perwira itu memegang 

tampuk pimpinan dan memiliki kepandaian yang sudah dikenal kehebatannya di 

mana-mana. Di samping itu pengalamannya juga cukup luas. Atas perintahnya 

seluruh anggota pasukan termasuk dia dan Raden Jarot diharuskan membawa perisai. 

Dia tahu betul, memasuki hutan Roban berarti menantang maut. Serangan kaum 


perampok bisa terjadi secara mendadak. Dan itu bisa berupa hujan panah atau 

lemparan tombak. Karenanya perisai sangat diperlukan. 

Rembang petang rombongan sampai di tepi hutan Roban sebelah tenggara. 

Mereka masuk ke dalam hutan sejauh beberapa ratus tomabak, lalu membuat 

perkemahan. Di sini Rangga Pangestu mengatur rencana gerakan selanjutnya. 

Pertama sekali harus diingat, mereka memasuki rimba belantara itu untuk 

mencari jenazah Tejarukmi, menangkap hidup-hidup atau membunuh pengemis yang 

telah menculiknya. Berarti sepanjang yang mereka bisa lakukan ialah menghindarai 

bentrokan dengan para perampok. Kecuali jika mereka diserang, maka tak ada jalan 

lain mereka harus menumpas penjahat itu. 

  Sore itu mereka akan menyelidik bagian hutan di sebelah tenggara. Sebelum 

hari gelap mereka harus sudak kembali ke kemah. Lalu keesokan paginya baru 

penyelidikan diteruskan. Rombongan dibagi tiga kelompok. Masing-masing 

kelompok berjumlah sekitar sepuluh orang. Namun sampai hari menjadi gelap mereka 

tak menemukan apa-apa. Jangankan jenazah Tejarukmi, tanda-tanda sedikitpun tak 

berhasil mereka dapatkan. Menduga si penculik asal saja menyebut bagian tenggara 

hutan Roban atau sengaja menyiasati, ditambah hari mulai gelap maka ketiga 

kelompok penyelidik itu sesuai perjanjian kembali ke perkemahan. Ketika sampai di 

perkemahan mereka dikejutkan mendapatkan puluhan orang berpakaian dan berikat 

kepala serba hitam menduduki dan mengurung perkemahan. Bahkan sampai di atas-

atas pohon sekitar kemah tampak sosok-sosok tubuh yang sama. 

“Geromblan rampok….” Bisik Raden Jarot. 

Rangga Pangestu mengangguk. Dia meneliti keadaa kemah dengan cepat. Tak 

ada tanda-tanda kerusakan atau kekerasan. Ini satu tanda baik. Tanpa turun dari 

kudanya perwira itu berseru. 

“Tamu dari mana yang datang menyambangi perkemahan kami?!” 

Seorang lelaki berpakaian hitam, bertubuh kekar maju dua langkah. Dia masih 

muda, tetapi wajahnya penuh cambang bawuk dan berkumis tebal. 

“Kami anak buah Warok Kunto Rekso! Ingin tahu apa yang dibuat 

sekelompok pasukan kerajaan di hutan Roban ini!” 

“Aku perwira muda wilayah timur bernama Rangga Pangestu. Di sebelahku 

ini adalah Raden Jarot. Keponakan Pangeran Dirjo Samekto. Mana pimpinan kalina . 

AKu ingin bicara dengannya!” 

Rangga Pangestu sengaja menerangkan dirinya dan siapa pula Raden Jarot 

untuk membuat para perompok tidak berlaku sembarangan. Dia kenal betul keganasan 

perampok hutan Roban. Nyawa manusia sama saja dengan nyawa seekor nyamuk! 

Anggota perampok yang tadi bicara memang tampak sedikit terkesiap begitu 

mendengar ucapan Rangga Pangestu itu. Namun hanya seketika karena kemudian 

dengan suara lantang dia berkata 

“Katakan apa maksud kalian berada di sini!” 

“Aku hanya bicara kalau pimpinanmu ada di sini!” balas Rangga Pangestu. 

Dia sudah dapat membaca situai kalau para permpok itu tidak akan bertindak gegabah. 

“Aku ada di sini perwira muda!” Satu keras tapi serak datang dari arah pohon 

besar di samping kanan.  

Rangga Pangestu dan semua rombongan mendongak ke atas. Pada sebuah 

cabang besar duduk seorang lelaki berpakaian dan berikat kepala hitam sambil 

menyedot sebuah pipa berbentuk aneh. Rambutnya panjang sebatas bahu. Mukanya 

tertutup kumis dan cambang bawuk lebat. Tampangnya menggetarkan, ditambah 

dengan barisan gigi-giginya yan gbesar nyaris membentuk taring pada kedua sudut 

depan, maka tampangnya hampir menyerupai seorang raksasa. 



“Sekarang apakah kau ma menerangkan tujuan kalian berada dalam hutan 

kekuasaanku?” Warok Kunto Rekso buka suara lalu hembuskan asap pipanya ke 

udara. 

Rangga Pangestu tahu betul di dalam hutan Roban yang membentang dri barat 

sampai ke timur itu terdapat beberapa kelompok rampok ganas. Seluruh kelompok 

berada di bawah pimpinan Kunto Rekso. Bukan saja karena kepala rampok yang satu 

ini memiliki jumlah anggota paling besar, tetapi juga karena mempunyai kepandaian 

tinggi setingkat perwira madya. 

Sebenarnya baik Rangga Pangestu maupun Raden Jarot merasa tersinggung 

dengan sikap kepala rampok yang bicara duduk di atas pohon sambil menghisap pipa 

seenaknya. Tapi mereka juga menyadari, bangsa rampok hutan seperti itu mana 

mengenal segala macam peradatan. Maka perwira muda itu membuka mulut memberi 

keterangan. 

“Kami tengah mengejar seorang penculik!” 

Kunto Rekso cabut pipanya. Menatap sesaat pada Rangga Pangestu lalu 

berkata “Mengejar seorang penculik? Adalah aneh! Orang lua mana yang berani 

masuk ke hutan Roban?!” 

“Kami tidak tahu jelas siapa penculik itu adanya. Dia berpakaian seperti 

pengemis!” Yang bicara Raden Jarot. 

“Apalagi seorang pengemis!” ujar Kunto Rekso lalu tetawa sember. “Sulit 

bagiku mempercayai keteranganmu, perwira muda!” 

“Kami tidak berdusta. Seorang pengemis tua menculik jenazah puteri 

bangsawan Mangun Sarabean dari Ambarwangi….” Lalu Rangga Pangestu 

memberikan keterangan singkat aas apa yang telah terjadi. 

Sesaat kepala rampok di atas pohon itu terdiam sambil usap-usap dagunya. 

Dia ingat kejadian hampir satu bulan lalu. Ketika seorang pemuda bernama Jalatunda 

memasuki hutan Roban dalam keadaan seperti gila sambil mengacung-acungkan 

golok. Pemuda itu kini berada di markasnya menjadi pembantu juru masak.Ketika 

hampir dibunuh Jalatunda menerangkan apa yang telah terjadi. Jenazah kekasihnya 

diculik seorang pengemis tua. Jenazah ini kemudian ditemukan di hutan Roban 

sebelah timur tanpa jantung dan hati. Apakah penculik jenazah puteri Mangun 

Sarabean itu pengemis yang sama? 

Melihat orang terdiam, Rangga Pangestu berkata “Agaknya kau mengetahui 

sesuatu Warok….!” 

“Jika daerah kekuasaanku dikotori seseorang, aku harus mencari dan 

membunuh orang itu. Tapi jika kalian mempunyai maksud terselubung, kalian tak 

akan keluar hidup-hidup dari hutan ini!” 

“Maksud terselubung apa?” tanya Rangga Pangestu. 

“Sebelumnya aku mengetahui telah terjadi satu peristiwa penculikan. Bukan 

mustahil kajadian itu kalian pergunakan sebagai topeng untuk melakukan penyerbuan 

terhadap kami orang-orang Roban!” 

“Jangan berprasangka terlalu jauh. Jika maksud kami hendak membasmi 

kalian, sudad tadi-tadi hal itu kami lakukan!” ujar perwira muda itu. 

Warok Kunto Rekso tertawa sember. 

“Malah kalau kau suka, kami ingin minta bantuan kerja samamu!” Raden Jarot 

berkata. 

“Bantuan maccam mana….?” Tanya si kepala rampok acuh tak acuh. 

“Ikut mencari pengemis penculik itu. Dan menemukan kembali jenazah puteri 

Mangun Sarabean. 

Kembali Warok Kunto Rekso tertawa. 


“Selama ini tak pernah kejadian ada kerja sama antara kami orang-orang hutan 

Roban dengan orang-orang kerajaan. Malah kalian selalu mengejar hendak 

membasmi kami. Sampai kejadian sebelum bulan Maulud tahun lalu yaitu ketika 

hampir lima puluh perajurit kerajaan menemui ajal dan tiga puluh anggota kami tewas. 

Aku tetap menaruh syakwasangka kalian memanfaatkan situasi untuk melakukan 

sesuatu terhadap kami!” 

“Jika kau berpikir seperti itu adalah salah!” ujar Rangga Pangestu. 

“Warok!” kata Raden Jarot. “Jika kau dan orang-orangmu mau membantu kau 

boleh ambil cincinku ini!” lalu Raden Jarot loloskan cincin emas bermata jambrut 

besar dari jari manis tangan kanannya. 

Benda itu dilemparkannya ke atas pohon yang segera ditangkap oleh si kepala 

rampok. 

“Cincin bagus….!” Kata Warok Kunto Rekso sambil memperhatikan cincin 

itu dalam kegelapan di atas pohon. Lalu cincin tersebut dimasukkannya ke jari manis 

tangan kirinya sambil menyeringai tiada henti. “Kua baik hati Raden Jarot. Terima 

kasih atas pemberianmu…” 

Dari mulutnya kemudian terdengar suara suitan keras. Serentak dengan itu 

puluhan anggota rampok yang berada di sekitar perkemahan bergerak cepat dan 

lenyap masuk ke dlaam hutan. Warok Kunto Rekso sendiri sudah lebih dulu melayang 

turun. 

“Kejar kepala rampok itu!” teriak Raden Jarot yang merasa tertipu oleh 

kesalahannya sendiri. 

Tapi Rangga Pangestu cepat berseru. “Semua tetap di tempat!” 

“Cincinku!” ujar Raden Jarot. 

Rangga Pangetu hanya mengangkat bahu. Benda apapun yang telah dilarikan 

kepala rampok itu dan berapapun nilainya dia tak akan mau memerintahkan orang-

orangnya melakukan pengejaran. Seperti yang ditandaskannya semula, mereka 

memasuki hutan Roban yang penuh bahaya itu bukan untuk membuat bentrokan 

dengan para perampok. Tapi untuk mencari jenazah Tejarukmi yang diculik pengemis 

misterius! 

 

 

BAB 5


Keesokan harinya ketika dia bangun pagi-pagi sekali, perwira muda 

Rangga Pangestu terkejut sewaktu seorang prajurit datang melapor bahwa Raden 

Jarot telah pergi. 

“Pergi? Pergi ke mana?!” tanya Rangga Pangestu. 

“Masuk ke dalam hutan sebelah sana. Dia membawa serta selusin anggota 

pasukan. Katanya hendak mencari Warok Kunto Rekso yang telah melarikan cincin 

jambrutnya!” 

“Celaka! Manusia tolol!” ujar Rangga Pangestu. 

“Dia lebih sayangkan cincin itu dari nyawanya. Bahkan melupakan tugas 

semula! Mencari jenazah Den Ayu Tejarukmi!” 

Sisa pasukan yang ada disiapkan. Setelah diberi beberapa petunjuk kemah 

dibongkar lalu rombongan itu masuk ke dalam hutan Roban. Kini tugas yang dihadapi 

bertambah satu yakni mencari Raden Jarot. Mereka bergerak dengan hati-hati tanpa 

memecah rombongan. Dalam jumlah yang kini menjadi sedikit itu sebenarnya ke 

adaan mereka jadi sangat berbahaya. Sekali diserang gerombolan rampok sulit untuk 

bertahan. Jika saja bukan Raden Jarot yang lenyap, mungkin Raden Rangga Pangestu 

memilihlebih baik keluar dari hutan Roban dan kembali lagi jika sudah dapat 

tambahan pasukan. Mau tidak mau Pangeran Dirjo Samekto pasti akan membebankan 

tanggung jawab padanya jika terjadi apa-apa dengan Raden Jarot. 

Menjelang tengah hari belum kelihatan jejak pasukan yang dibawa Raden 

Jarot. Rombongan terpaksa berhenti karena tak dapat menahan lapar. Selesai makan 

mereka istirahat sebentar. Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang anggot 

pasukan membuang hajat ke sebuah kali dangkal tak jauh dari tempa itu. Namun niat 

mereka untuk buang hajat menjadi batal. Keduanya lari tergopoh-gopoh ke induk 

pasukan, langsung menemui Rangga Pangestu. 

“Ada apa…. Kalian seperti dikejar setan?!” tanya Rangga Pangestu. Diam-

diam dia sudah maklum kalau sesuatu yang hebat telah dialami kedua anggota 

pasukan itu. 

“Raden Jarot,” kata salah seorang dari dua prajurit. Dia manrik nafas dalam 

dulu baru menyambung “Mayatnya kami temukan dekat kali dangkal sebelah sana. 

Bersama anggota pasukan yang dibawanya!” 

Rangga Pangestu melompat dari batang kayu yang didudukinya, langsung lari 

mendahului dua prajurit itu. Yang lainnya menyusul. 

Di tepi kali dangkal berair kebiruan perwira muda itu merasakan kedua 

kakinya seperti dipantek. Tubuh Raden Jarot terbujur setengah menelungkup. Ada 

luka besar di pelipis kirinya lalu di pangkal leher. Tangan kanannya hampir [utus. 

Dan pada jari manis tangan kanan itu tampak cincin emas berbatu jambrut besar yang 

malam tadi diberikannya pada Warok Kunto Rekso . Rupanya kelompok pasukan 

yang dipimpin Raden Jarot berhasil menemui gerombolan rampok itu dan terjadi 

pertempuran. Warok Kunto Rakso mengembalikan cincin yang diambilnya tetapi 

sekaligus juga meminta nyawa Raden Jarot sebagai gantinya! 

Dua belas orang prajurit juga tampak tergelimpang di sepanjang tapi kali. 

Sebelas diantaranya sudah menemui ajal. Satu yang masih hidup berada dalam 

keadaan luka berat dan sekarat. Dua anggota rampok tampak terkapar tanpa nyawa di 

deka


Rangga Pangestu memerintahkan orang-orangnya mengurus mayat Raden 

Jarot. Mayat yang lain dikuburkan di tepi kali itu. Selesai penguburan jenazah Raden 

Jarot segera diusung menuju Ambarwangi. Perwira muda itu sudah dapat 

membayangkan apa yang akan dilakukan Pangeran Dirjo Samekto begitu mengetahui 

keponakannya menemui ajal di tangan rampok hutan Roban. 

Menjelang sore rombongan yang kembali dengan membawa mayat Raden 

Jarot itu sampai di bagian tenggara hutan, di mana sebelumnya mereka berkemah. 

Rangga Pangestu yang menunggang kuda di sebelah depan mangangkat 

tangan memberi tanda agar rombongan berhenti. 

“Aku mencium bau tidak enak….” Katanya sambil memandang berkeliling. 

Dia turun dari kudanya, melangkah ke sederetan semak belukar lebat. Entah mengapa 

dadanya berdebar. Bukankah daerah itu begian tenggara hutan Raoban, tempat yang 

dikatakan oleh pengemis penculik sebagai tempat jenazah Tejarukmi dapat diambil 

kembali? Dan bukankah saat itu sudah sore yakni saat yang dijanjikan oleh si 

penculik? 

Semakin dekat ke semak-semak semakin sentar bau tidak enak itu. Rangga 

Pangestu menyibakkan ranting-ranting berdaun  liar dengan tangan kanannya. Begitu 

semak belukar tersibak, tubuhnya lasana tersengat. Di sebelah sana dilihatnya sosok 

tubuh Tejarukmi dalam keadaan hampir tidak tertutup. Bagian dada kiri dan perutnya 

nampak robek besar. Darah membeku di bagian luka itu. Luka dan darah beku inilah 

yang menebar bau busuk! 

“Gusti Allah!” sseru Rangga Pangestu. “Manusia biadab macam mana yang 

tega melakukan hal ini!” Perwira muda ini tahu sekali kalau luka besar pada bagian 

dada dan perut jenazah Tejarukmi bukanlah akibat dikoyak binatang buas. Tapi 

diobol oleh tangan manusia, mungkin memakai pisau besar yang tajam dan hatinya 

lenyap! 

“Cari kain!” kata Rangga Pangestu dengan suara bergetar. “Tutup jenazah 

itu!” 

Seorang kemudian menutupi tubuh Tejrukmi dengan kain tenda kemah karena 

memang hanya itulah yang ada. Lalu sebuah usungan kayu dibuat dengan cepat. 

Dengan demikian kini ada dua jenazah yang diusung menuju Ambarwangi. Jenazah 

Raden Jarot dan jenazah Tejarukmi yang malang. 

Seperti yang sudah dibayangkan Rangga Pangestu sebelumnya, kematian 

Raden Jarot menimbulkan kemarahan besar atas diri Pangeran Dirjo Samekto. 

“Tak ada jalan lain! Rampok-rampok hutan Roban itu harus dibasmi, 

dimusnahkan. Kalau perlu hutan Roban dibumi hanguskan! Bagaimanapun mahal 

tantangannya!” Begitu kata-kata sang pangeran di hadapan para pembantunya. 

Namun sebelum keputusan itu dijalankan dia berangakt dulu ke kotapraja guna 

mendapat persetujuan Sri Baginda. Ternyata jalan yang hendak ditempuhnya itu 

disetujui raja. Maka lebih dari tiga ratus perajurit yang kemudian dibagi dalam tiga 

kelompok besar di bawah pimpinan tiga sampai empat perwira muda dan perwira 

tingi, beberapa hari kemudian membanjir masuk ke dalam hutan Roban. 

Empat perkampungan rampok dihancur leburkan. Seratue anggota rampok 

yang mengadakan perlawanan menemui kematian, sisanya yang masih hidup akhirnya 

melarikan diri. Namun ketika mereka menyerbu ke perkampungan yan jadi makas 

kelompok Warok Kunto Rekso, perkampungan itu ditemui dalam keadaan kosong. 

Rupanya sang Warok tidak bodoh dan sudah dapat mencium apa yang bakal terjadi 

setelah kematian Raden Jarot. Maka sehari sebelum balatentara datang menyerbu 

mereka sudah meninggalakan perkampungan, mengungsi ke satu tempat yang tidak 

diketahui. 


BAB 6



Sejak lima bulan terakhir kawasan sekitar hutan Roban, mulai di wilayah 

timur maupun di barat, di sebelah selatan ataupun bagian pantai utara dicekam oleh 

kegegeran yang menakutkan. Terutama bagi keluarga yang memiliki anak gadis dan 

berada dalam keadaan sakit. Jika gadis sakit itu akhirnya meninggal dunia bukan 

mustahil dia akan menjadi korban penculikan manusia jahat yang sering muncul 

sebagai pengemis. 

Kegelisahan rakyat itu terasa juga sampai ke dalam tembok Istana. Setelah 

peristiwa penumpasan besar-besaran para perampok hutan Roban maka pihak Istana 

telah menurunkan perintah, meneliti setiap pengemis yang ada dipelbagai pelosok dan 

menahan mereka yang dicurigai. Namun usaha itu ternyata belum menampakkan hasil. 

Malah dua minggu yan gsilam ketika seorang perawan di dukuh Jembar meninggal 

dunia mati tenggelam di kali yan gsedang banjir, mayatnya diculik sebelum sempat 

dibawa ke kubur. Dua hari kemudian mayat itu ditemukan di hutan Roban sebelah 

barat dalam keadaan persisi sama seperti mayat-mayat lainnya. Tanpa jantung dan 

tanpa hati! Ini adalah korban yang ke enam. Masih berapa korban lagi yang 

menunggu?! 

Kita kembali dulu ke hutan Roban pada saat sehari sebelum balatentara 

kerajaan menyerbu. 

Pagi 

itu 

Warok 

Kunto 

Rekso 

memanggil 

 

pembantu-pembantu 

kepercayaannya. Dia memerintahkan agar pagi itu juga merea segera meninggalkan 

perkampungan. Dia tidak mengatakan pengungsian itu. Sebelum berangkat terjadi 

cekcok yang membuat kepala rampok naik darah. Jalatunda, pemuda yang danggap 

kurang waras karena peristiwa penculikan Sueitri menolak untuk meninggalkan 

perkampungan. 

Jalatunda coba membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi dia tak 

mampu mengeluarkan sepotong suarapun. Maka dia hanya balas melambaikan tangan. 

“Jala…” kembali terdengar suara gadis itu. “Jika kau ingin bertemu dnganku 

teruskan perjalananmu menuju ke barat. Ikuti arah tiga pohon beringin besar sampai 

akhirnya kau mencapai sebuah bukit kecil. Di puncak bukit ini ada daerah berbatu-

batu. Pada sebelah bawah akan kau temui sebuah telaga berair hijau biru. Kau akan 

malihatku di situ Jala….” Suwitri melambaikan tangannya. Tersenyum untuk terakhir 

kali lalu lenyap. 

Jalatunda terbangun dari tidurnya. 

“Witri….”desis pemuda ini. Dia duduk termenung dan mengingat-ingat apa 

yang barusan dimimpikannya. Tiba-tiba pemuda ini berdiri. Dalam tubuhnya yang 

letih dan lapar itu seolah-olah ada sau kekuatan baru. Sesuai dengan petunjuk mimpi, 

di malam gelap dalam rimba belantara lebat pekat itu dia berjalan menuju ke barat. 

Dalam perjalanan memang dia menemukan tiga buah pohon beringin besar seperti 

yang dikatakn Suwitri dalam mimpi. Lalu tepat di ujung pohon beringin yan gterakhir, 

sekitar seratur tombak di depan sana kelihatan bukit batu, menghitam dalam 

kegelapan. Batu-batu besar yang membentuk  bukit itu tertutup lumut tebal. Licinnya 

luar biasa. Jalatunda berulang kali tergelincir sebelum akhirnya sampai di puncak 

bukit. Dia tak berani berdiri di atas batu yang licin itu. Merangkak dengan kedua lutut 

dan telapak tangan menjejak batu. Memandang ke bawah si pemuda melihat sebuah 

telaga berair hijau kebiruan. Telaga itu tak seberapa besar. Di bagian tengah terdapat 


sebuah batu rata hampir menyerupai meja besar dan di atas batu ini duduklah sesosok 

tubuh tanpa pakaian. Tampaknya seprti tengah berlangir, tengah mandi. 

“Gila, Siapa malam buta begini mandi di tempat seperti ini!” pikir Jalatunda. 

Meskipun orang itu berambut panjang namun tidak dipastikan oleh Jalatunda 

dia seorang perempuan atau seorang lelaki. Pada masa itu banyak kaum lelaki yan 

memelihara rambut cukup panjang menyerupai perempuan. Oran gyang duduk di atas 

batu rata menggosok badannya dengan segumpal benda. Bagian tubuh dan muka yang 

digosok dengan gumpalan itu kelihatan menjadi merah. Sekilas ketika orang tersebut 

memalingkan mukanya ke kiri jelas kelihatan bagian mulutnya sangat merah. Selesai 

menggosoki badannya, benda tadi dibuangnya ke dalam telaga lalu dia mengambil 

lagi sebuah gumpalan merah yang sebelumnya terletak di atas ujung batu. 

“Orang yang mandi itu jelas bukan Suwitri….” Kata Jalatunda dalam hati. 

“Tapi dia mengatakan aku akan menemuinya di telaga ini…” Si pemuda meragu 

apakah dia akan berseru memanggil atau bagaimana. Saat itu tiba-tiba orang yang 

sedang mandi melihat sosok tubuh Jalatunda di ats batu yang ketinggian. 

“Bangsat keparat! Berani mengintai orang mandi!” kutuknya marah sekali. 

Dia terjun ke dalam telaga. Metika muncul di tangan kanannya tergenggam sebuah 

batu sebesar kepalan. Batu ini dilemparkannya kea rah Jalatunda, tepat mengenai 

kepala si pemuda. Keningnya pecah. Darah menyembur. Tubuh Jalatunda roboh 

terguling, jatuh menggelinding ke kaki bukit. Hantaman batu itu sebenarnya tidak 

akan membuat mati Jalatunda. Tapi waktu terguling tadi lehenya patah dihantam batu. 

Dia megap-megap sesaat lalu diam tak berkutik lai! Mati! 


BAB 7



Sebuah perahu kayu besar merapat di Tanjung Karangwelang. Meskipun 

hanya merupakan sebuah pelabuhan kecil tapi laut di sini tenang hingga banyak 

perahu dari pelbagai jurusan lebih suka merapat di sini. Di samping itu sarana  

perhubungan berupa jalan dan jembatan terpelihara baik hingga  lalu lintas ke barat, 

timur dan selatan berjalan lancar. 

Kemunculan perahu besar ini menarik perhatian banyak orang di sekitar 

pelabuhan. Boleh dikatakan jarang sekali perahu besar berlabuh di Tanjung 

Karangwelang. Tersiar kabar yang bersumber dari para awak kapal bahwa perahu 

besar itu adalah milik seorang saudagar berlian di Martapura yang datang ke situ 

membawa salah seorang puterinya yang sedang sakit keras. 

Setelah perahu merapat maka sebuah tandu besar diturunkan, diusung ke darat 

langsung dinaikkan ke atas sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Saudagar 

berlian itu, seorang Cina she Wong, bersama istri dan anak lelakinya ikut naik kereta. 

Beberapa orang lelaki tampaknya bertindak sebagai pengawal mengiringi kereta 

tersebut. Tujuan mereka adalah kediaman seorang tabib yang tinggal di Kaliwungu. 

Karena jalan yang baik maka sebelum tengah hari rombongan itu telah sampai ke 

rumah sang tabib yang juga keturunan Cina she Chou bernama Ap Yang. 

Tabib Chou memang sudah terkenal sampai jauh ke luar tanah Jawa akan 

keahliannya mengobati berbagai macam penyakit serta kemujaraban obatnya. Setelah 

hampir enam bulan  mengobati penyakit puterinya keluarga Wong memutuskan untuk  

membawa puteri mereka  Wong Cui Lan ke tanah Jawa, agar dapat diobati langsung 

oleh tabib Chou tadi. 

Mengetahui tamu datang dari jauh maka tabib Chou memberikan sambutan 

yang sebaik-baiknya. Sementara para pembantunya menyiapkan minuman dan 

hidangan kecil maka dia meminta agar si sakit langsung dibawa masuk ke dalam 

kamar periksa, dibaringkan di atas sebuah ranjang tinggi. 

Wong Cui Lan tampak pucat sekali, kurus dan tertidur pulas. Wong Tam Pie, 

ayah si sakit segera menuturkan sakit anaknya yang diderita sejak enam bulan lalu. 

Berbagai obat telah diberikan. Bermacam-macam ahli pengobatan telah dimintakan 

bantuannya. 

Namun sakitnya Cui Lan tidak berkurang, malah keadaan gadis anak ketiga 

keluarga Wong itu semakin parah. Setelah mendengar kemasyuran tabib Chou maka 

mereka memutuskan untuk membawa Cui Lan pada tabib itu. 

Setelah menatap sesaat wajah si sakit, tabib Chou bertanya “Saudara Wong, 

para ahli pengobatan terdahulu apakah mereka ada mengatakan anakmu mengidap 

sakit apa…?” 

Wong Tam Pie gelengkan kepala. “Tak ada seorangpun yang tahu. Mereka 

hanya menduga-duga. Malah ada yang bilang anakku ini penyakitnya aneh….” 

“Ada yang menduga dia diguna-guna orang,” nyonya Wong ikut bicara. 

Tabib Chou memperhatikan bibir si sakit yang berwarna kebiru-biruan lalu 

berkata “Anak kalian tidak sakit karena guna-guna. Dia menderita kelainan jantung. 

Hanya saja….” 

“Hanya saja bagaimana?” tanya Wong Tam Pei ketika dilihatnya sang tabib 

tidak meneruskan ucapannya. 

“Hanya saja kalian datang terlambat…. Mohon dimaafkan saudara Wong” 

“Apa maksudmu saudara tabib…?” 

“Puterimu sudah meninggal. Mungkin sekitar satu jam yang lalu.” 

Nyonya Wong langsung menjerit dan meraung. Wong Tam Pei dan puteranya 

berusaha berlaku tenang. 

“Kau… Kau belum lagi memeriksanya, bagaimana bisa bilang puteriku sudah 

meninggal?” 

“Bibirnya kering dan biru. Itu tanda yang sangat pasti. Tapi agar kau puas 

biarlah kuperiksa.” Maka tabib Chou lalu memegang pergelangan tangan Cui Lan. 

Dia mengambil beberapa peralatan dan melakukan beberapa kali pemeriksaan. 

Kemudain dia berpaling kepada ayah, ibu dan anak itu sambil geleng-gelengkan 

kepala. 

Wong Tam Pie terduduk meneteskan air mata. Begitu juga puteranya. 

Sementara Nyonya Wong terus menangis keras dan sambil memeluki dan menciumi 

wajah anak gadisnya. 

“Apa yang kami lakukan sekarang?” tanya anak lelaki Wong. 

“Kalian beristirahat saja dulu. Aku akan memberikan obat pengawet agar 

jenazah tetap utuh sampai di Martapura. Cuma kalau aku boleh memberi nasehat, 

makin cepat kalian membawa jenazah ke perahu dan berlayar akan makin baik.” 

“Eh, kenapa begitu?” tanya Wong Tam Pie. 

Tabib Chou menarik nafas panjang. “Kalian mungkin tak percaya….. Tapi 

inilah ceritanya” Lalu tabib Chou menuturkan peristiwa-peristiwa penculikan atas 

jenazah enam orang gadis yang menggemparkan dan mengerikan itu. 

Tentu saja keluarga Wong cemas bukan main mendengar penuturan itu. 

Mereka tak ingin Cui Lan mengalami nasib yang sama. 

“Kami mohon petunjukmu saudara tabib. Kurasa kedatangan kami dengan 

perahu layar besar telah menarik perhatian orang. Tak mungkin membendung rahasia. 

Kalau sang penculik sampai mengetahui kejadian ini celaka kita….” 

Tabib Chou merenung sejenak. Sesaat kemudian dia berkata. “Ada baiknya 

kita menyimpan dua buah peti mati. Satu besar dan satu lagi kecil dan ringan. Peti 

mati yang besar dibawa dengan kereta terbuka hingga semua orang dapat melihat. 

Tapi jenazah puterimu tidak dimasukkan dalam peti itu. Melainkan dalam peti mati 

yang kecil. Peti ini diangkut dengan gerobak barang, ditutupi dengan sayuran. Nah, 

kalau penculik muncul, pasti dia akan melarikan kereta yang membawa peti mati 

besar…” 

Wong Pie segera dapat menangkap jalan pikiran tabib Chou. Maka segera apa 

yang dinasehatkan tabib itupun dituruti dan segera dilaksanakan. 

Udara di pelabuhan terasa sangat panas. Angin mengandung garam bertiup 

gersang. Kecuali para pekerja, kebanyakan orang lebih suka berada dalam bangunan. 

Sederetan kedai nasi dan minuman di sepanjang pelabuhan dipenuhi oleh para tamu. 

Kebanyakan dari mereka duduk menikmati makanan atau secangkir kopi sambil 

ngobrol ngalor ngidul. Namun siang itu pembicaraan semua orang hampir tidak 

banyak berbeda di setiap kedai. Mereka membicarakan perahu besar milik saudagar 

berlian dari Martapura. Agaknya hampir semua orang mengetahui kalau perahu milik 

saudagar Wong itu membawa anak gadis yang sedang saki untuk diobati oleh tabib 

Chou. 

Dalam salah satu kedai, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng 

nampak menyantap nasi rawonnya dengan lahap. Sesekali kedua matanya malirik 

pada seorang perempuan yang juga berada di kedai itu tengah bersantap. Kalau saja 

perempuan ini tidak muda dan cantik tidak nanti murid Sinto Gendeng itu melirik 

terus menerus. Yang dilirik tampaknya tahu benar kalau dirinya diperhatikan orang, 

namun dia seperti tak perduli. Dari pakaian biru ringkas yang dikenakan perempuan 


itu Wiro maklum kalau si jelita  berkulit kuning langsat ini adalah seorang dari 

kalangan persilatan. Maka timbullah niatnya untuk ingin berkenalan. Apalagi wajah 

perempuan muda ini mengingatkannya pada wajah Anggini, murid Dewa Tuak yang 

pernah dikenalnya beberapa waktu yang lalu (Baca serial Wiro Sableng “Maut 

Bernyanyi di Pajajaran”) Namun sebelum maksdunya kesampaian di luar kedai 

terdengar ada kehebohan. Banyak orang berbondong-bondong menuju dermaga. 

“Apa yang terjadi…?” tanya pemilik kedai pada seseorang yang kebetulan 

lewat. 

Orang itu menjawab “Puteri saudagar Cina yang datang dari seberang itu 

meninggal. Tabib Chou tak keburu menolongnya!” 

“Ah kasihan….!” Terdengar desah perempuan berbaju biru tadi. Lalu seperti 

tamu lainnya dia berdiri dan melangkah keluar kedai untuk melihat rombongan 

pembawa jenazah. Wiropun segera tinggalkan tempat duduknya. 

Sebuah kereta terbuka tampak ditarik oleh dua ekor kuda, bergerak menuju 

dermaga di mana perahu besar berada. Di belakangnya ada sebuah kereta lain 

ditumpangi keluarga Wong. Wong Tam Pie duduk dengan kepala tertunfuk, 

mengucurkan air mata, menangis tanpa suara. Di sebelahnya duduk istrinya yang 

sepanjang jalan menangis keras tiada henti. Lalu putera mereka duduk di sebelah 

kusir kereta dengan kepala tegak tapi mata merah. 

Di kiri kanan kereta mengawal enam orang. Di sebelah belakang sekali, jauh 

tertinggal dari rombongan induk menyusul sebuah gerobak sarat berisi sayur. Orang 

banyak ikut mengiringi rombongan itu menuju tepi dermaga. Wiro tegak di samping 

perempuan cantik berbaju biru. Dia tengah berpikir-pikir bagaimana cara yang baik 

untuk menegur perempuan ini. Tiba-tiba si baju biru berpaling padanya, tersenyum. 

Ah pucuk dicinta ulam tiba, pikir Wiro Sableng. Dia balas tersenyum. Perempuan itu 

mengulurkan tangannya menyerahkan sejumlah uang kecil. 

“Sahabat, kau tentu mau menolongku.” 

“Tentu saja. Eh, apa ini?” 

Si baju biru memasukkan uang receh itu ke dalam genggaman Wiro seraya 

berkata “Aku ada keperluan penting. Tolong berikan uang ini pada pemilik kedai 

pembayar makanan yang tadi kusantap!” 

Senyum lebar penuh harapan yang tadi menyeruak di mulut Wiro serta merta 

lenyap ketika dia mengetahui apa maksud perempuan cantik itu. Sebelum dia sempat 

berbuat atau mengatakan sesuatu, si baju biru telah lenyap di antara orang banyak. 

Dengan jengkel Wiro timang-timang uang itu dan akhirnya melangkah menuju kedai 

tempat dia makan tadi. Tetapi langkahnya belum jauh ketika mendadak dari arah 

dermaga terdengar suara keributan. 


BAB 8



Saat itu Wiro melihat kusir kereta yang membawa peti mati mencelat 

mental dan terhempas di jalanan dihantam tendangan seorang lelaki yang pakaiannya 

tampak seperti pengemis. Orang ini kemudian menyambar tali kekang dua ekor kuda 

lalu menggebarak kedua binatang itu. Sebelum kereta mayat menghambur, dua orang 

tampak berusaha menghalangi. Keduanya adalah Wong Tam Pie dan puteranya. 

Masing-masign membawa sebatang tongkat. Enam orang berkuda ikut pula mencegat. 

Tapi pengemis di atas keeta mayat hebat sekali. Dia pergunakan cambuk kuda untuk 

menghantam oran-orang itu. Tongkat di tangan Wong Tam Pie mental sedang tongkat 

di tangan puteranya patah daua. Lalu enam orang pengawal dihajar dengan cambukan 

hingga luka-luka melintir kesakitan. 

Peristiwa itu berlangsung cepat sekali. Hingga ketika Wiro Sableng sampai di 

tempat itu si pengemis yang melarikan kereta mayat sudah lenyap di tikungan jalan. 

“Kejar!” teriak salah seorang pengawal. Mukanya tampak luka bekas 

hantaman cambuk. 

“Tidak usah!” Wong Tam Pie mencegah yang membuat pengawal itu serta 

kawan-kawannya keheranan. 

“Orang itu melarikan peti mati jenazah puterimu seudagar Wong!”lkata si 

pengawal. 

“Biarkan dia mencuri peti dan jenazh anakku. Semua segera naik ke atas 

perahu! Dahulukan gerobak sayur itu…!” 

Wogn Tam Pie, isterinya dan anak laki-lakinya segera naik keatas perahu 

besar. Para awak perahu dibantu oleh enam pengawal tadi menaikkan gerobak sayur 

ke dalam perahu. Tak lama kemudian perahu besar itu pun mulai merenggang 

meninggalkan dermaga. 

Di atas anjungan Wong Tam Pie nemapak berdiri dengan wajah lega. 

“Untung tabib Chou menyusun siasat jitu. Kalau tidak pasti jenazah Cui Lan 

sudah kena diculik penjahat!” 

“Heran…” kata puteranya sang saudagar. “Siapa sebenarnya pencuri tadi. 

Tampaknya seperti peminta-minta. Apa perlunya mencuri mayat orang?” 

“Akupun tidak mengerti. Dunia ini semakin tua. Segala kejahatan dan 

keanehan bisa saja terjadi” kata saudagar Wong lalu dia masuk beranjak 

meninggalkan anjungan. 

Kita kembali ke pelabuhan. Ada dua hal yang dirasa aneh oleh murid Sinto 

Gendeng. PErtama orang berpakaian pengemis itu melarikan peti mati berisi jenazah 

puteri saudagar Cina itu. Kedua mengapa sang saudagar sendiri mencegah para 

pengawalnya mengejar si pencuri dan memerintahkan cepat-cepat naik keatas perahu 

besar. Karena tidak mendapatkan jawabannya maka Wiro Sableng akhirnya 

memutuskan untuk mengejar sendiri kereta mayat yang dibawa kabur itu. Dia 

menyambar seekor kuda yang tertambat tak jauh dari situ lalu membedal binatang ini 

ke arah lenyapnya kereta tadi. 

Kira-kira beberapa ratus tombak dari tikungan jalan Wiro menemukan kereta 

itu berhenti di tepi jalan. Penutup peti mati berada dalam keadaan terbuka. Ketika dia 

meneliti ke dalam peti ternyata peti itu kosong! 

“Jenazh puteri saudagar itu dilarikan….” Membatin Wiro. Dia coba meneliti 

keadaan sekitarnya. Tak ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk kemana jenazah 

itu dibawa kabur. Berarti rasa ingintahunya menemui jalan buntu hanya sampai di situ. 


Sementara itu selagi Wiro berusaha meneylidiki kejadian itu, di pelabuhan 

telah terjadi lagi kegemparan. Saat itu orang benyak masih berkumpul di sepanjang 

dermaga. Mereka membicarakan apa yang barusan terjadi sambil memandangi perahu 

besar semakin menjauh ke tengah laut. Saat itulah seseorang terdengar berteriak. 

“Hai! Orang yang melarikan kereta mayat itu ada di sana! Lihat dia 

menendang pemilik perahu pukat!” 

Semua orang memalingkan kepala ke jurusan yang ditunjuk. Benar, mereka 

menyaksikan seorang pemilik perahu kecil yang biasa dipakai untuk manangkap ikan 

terjatuh ke dalam air akibat tendangan lelaki berpakaian pengemis yang tadi diketahui 

melarikan kereta pembawa peti mati. Oang itu kemudian mendayung perahu menuju 

ke tangah laut, kea rah perahu besar milik saudagar Wong. Yang luar biasanya ialah 

dia menggunakan kedua tangannya sebagai pendayung. 

Perahu pukat itu seperti melesat membelah air laut, meluncur cepat di atas air 

menuju perahu besar. Membuat semua orang hampir tak mempercayai pemandangan 

mata meeka sendiri! 

“Tak ada manusia yang mampumendayung perahu dengan tangan seperti itu!” 

kata seseorang. 

“Kalau bukan malaikat pasti dia seorang sakti luar biasa!” kata seorang 

lainnya. 

Lalu ada seorarng lainnya lagi yang seprti bertanya “Eh, bukankah tadi dia 

melarikan peti mati berisi jenazah puteri Cina itu! Sekarang seperti hendak mengejar 

perahu besar! Apa yang hendak dilakukannya?!” 

Orang banyak semakin berjejalan di sepanjangan dermaga. Tak lama 

kemudian pukat itu berhasil menyusul perahu besar, lalu tak selang berapa lama 

setelah itu tampak asap hitam mengepul di atas perahu besar. 

“Perahu besar itu terbakar!” teriak orang banyak berbarengan. 

Pada saat itulah Wiro sampai kembali ke pelabuhan, dan ikut menyaksikan 

perahu besar dimakan kobaran api. Perahu pukat tadi untuk beberapa lamanya tidak 

kelihatan lagi. Namun seseorang kemudian melihat dan berseru ketika pukat itu 

tampak seperti menyeruak di antara kepulan asap hitam, meluncur ke arah timur dan 

akhirya lenyap di titik batas pemadangan. 

“Apakah kalian semua di sini hanya bisa menonton tanpa melakukan sesutau 

untuk menolong?!” Satu suara terdengar di antara kerumunan orang banyak. Yang 

bicara ternyata adalah seorang kakek mengenakan kain dan selempang putih. 

Mulutnya komat kamit. Kedua matanya yang kelabu menatap jau ke tengah lautan, 

kea rah perahu besar yang diamuk api. 

“Ah, empu Tembikar tupanya….” Kata seseorang. Orang ini seperti sadar 

segera berteriak. “Yang memiliki perahu besar itu!” Lalu dia mendahului lebih dari 

selusin perahu kecil didayung cepat menuju perahu kayu yang terbakar. Namun nyala 

api besar sekali. Sebelum orang0orang itu berhasil mendekat, perahu telah hampir 

musnah. Di antara isinya, hanya dua orang awak kapal yang sempat menyelamatkan 

diri, terjun ke laut lalu berenang sambil berpegangan pada potongan papan. Keduanya 

segera ditolong dan dibawa ke darat. Sampai di darat mereka segera dihujani 

pertanyaan apa yang terjadi. Kenapa perahu itu sampai terbakar. Salah seorang dari 

awak perahu memberi keterangan tak jelas dari mana asalnya api. Ketika kebakaran 

itu diketahui, kobaran api telah mengamuk hebat. Dan ini terjadi pada tiga bagian 

perahu. Yakni buritan, bagian palka tengah lalu anjungan. Persediaan air di perahu itu 

ternyata tidak mencukupi karena sewaktu berlabuh di Tanjung Karangwelang belum 

sempat mengisi air. 


Di dalam suasana kacau beberapa orang awak kapal sempat melihat 

kemunculan tiba-tiba pengemis yang sebelumnya diketahui telah melarikan kereta 

pembawa peti jenazah Cui Lan. Dia tampak mengobrak abrik beberapa bagian perahu 

tanpa seorangpun awak kapal atau keluarga saudagar Wong dan para pengawalnya 

dapat mencegah. Karena saat itu masing-masing berusaha memadamkan api bahkan 

lebih banyak ingin menyelamatkan diri dalam kebingungan. Pengemis tadi kemudian 

menemukan sebuha peti kayu yang tersembunyi di bawah tumpukan sayur mayur 

dalam gerobak. Dia langsung membukanya dan mengambil jenazah Cui Lan, puteri 

Saudagar Wong. Begitu dia mendapatkan jenazah itu pengemis tersebut segera 

meninggalkan perahu besar, melompat ke dalam perahu pukat, mengayuhnya 

menjauhi perahu besar dan lenyap! 

Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala mendengar keterangan awak 

perahu itu. Sejak beberapa bulan lalu dia memang pernah mendengar peristiwa-

peristiwa menggemparkan tentang dicuri atau diculiknya jenazah anak gadis atau 

perempuan muda yang belum kawin. Apakah artinya semua ini. Apa perlunya 

seseorang menculik mayat?  Dan kabarnya penculik itu adalah seorang pengemis, 

seperti manusia yang tadi disaksikannya melairkan kereta mayat! 

Di tengah laut perahu besar itu hanya tinggal tiang-tiangnya saja yan 

gkelihatan. Baian lainnya sudah musnah dimakan api dan enggelam ceraiberai ke 

dalam air laut. Asap hitam masih mengepul-ngepul. Wiro yang saat itu ikut 

memandang kea rah kapal yang hampir lenyap tiba-tiba dikagetkan oleh sesosok 

tubuh yan gtahu-tahu sudah tegak tepat di depannya. 

Ternyata yang berdiri di hadapannya saat itu adalah kakek berpakaian putih 

yang tadi didengarnya dipanggil dengan sebutan Empu Tembikar. 

Orang tua ini memandang tak berkedip tepat ke wajah Wiro dengan sepasang 

matanya yang kelabu. 

“Kau orang pandai. Tapi hanya berpangku tangan!” Orang tua ini berkata. 

Suaranya tandas seperti menghukum. 

Wiro 

berkedip. 

Hendak 

menjawab. 

Tapi 

Empu 

Tembikar 

sudah 

meninggalkannya. Penasaran maka Wiro Sableng mengikuti orang tua itu. Jauh sekali 

dia berjalan mengikuti hingga akhirnya sampai di sebuah tambak ikan asin. Di sini 

Empu Tembikar membalikkan tubuhnya dan bertanya “Mengapa kau mengikutiku?!” 

“Ingin tahu apa maksud ucapanmu tadi, orang tua?” balik bertanya murid 

Sinto Gendeng. 

“Oh, jadi kau masih tidak tahu. Ternyata kau tolol melompong. Aku tak suka 

bicara dengan orang pandir. Apalagi orang pandir yang tidak tahu kebodohannya 

sendiri!” 

“Kebodohan apa yang telah kuperbuat?!” tanya Wiro dengan menahan jengkel. 

“Aku tahu kau mampu menolong orang-orang di kapal yang terbakar tadi itu. 

Tapi mengapa kau tidak melakukan sesuatu….?” 

Wiro garuk lagi kepalanya. Lalu menjawab “Mampu belum tentu bisa. Perahu 

besar itu terbakar cepat sekali. Ketika aku sampai di dermaga sudah hampir musnah. 

Kulihat banyak yang mencoba turun ke laut untuk emnolong. Nyatanya mereka tidak 

dapat melakukan apa-apa. Aku sama saja dengan manusia-manusia itu. Bukan orang 

pandai atau dewa yang mempu malakukan pertolongan ajaib….!” 

Si kakek bermata kelabu tiba-tiba tertawa. 

“Kau pandai bicara mencari alas an. Ketika kereta pembawa peti mati 

dilarikan orang, kaupun bertindak lalai….” 

“Aku mengejar. Tapi kutemui peti mati itu telah kosong,” menerangkan Wiro. 


“Itu karena kau bertindak terlambat. Apakah gurumu tak pernah mengajarkan 

bahwa soal waktu itu bisa sama harganya dengan selembar nyawa manusia….?” 

“Kau menyebut-nyebut guruku. Apakah kau kenal dia?” 

Si kakek angkat bahu lalu melangkah pergi. Tapi Wiro cepat pegang bahunya. 

“Orang tua, tunggu dulu. Tadi kau menyebut aku berpangku tangan. Bodoh, 

pandir, lalai dan sebagainya. Aku mau tanya. Apa saja yang telah kau lakukan selama 

kejadian-kejadian yang menggemparkan di pelabuhan itu. Hanya bicara….?” 

Paras orang tua itu sekilas berubah. Kemudian dia tampak tersenyum. 

“Orang tua adalah tempat bertanya. Orang tua sumber petunjuk. Sebaliknya 

orang muda seperti kau adalah para pelaksana….” 

“Kalau begitu alangkah enaknya jadi orang tua. Hanya tinggal bicara lalu 

menyalahkan orang muda….!” 

“Terserah kalau kau berpendapat seperti itu…” 

Wiro tak mengacuhkan kata-kata si mata kelabu itu. Dia berkata “Kalau 

katamu orang tua tempat bertanya, orang tua sumber petunjuk. Lalu petunjuk apa 

yang dapat kau berikan saat ini?!” 

“Bagus kau bertanya begitu. Apakah kau ada mendengar peristiwa-peristiwa 

buruk yang dialami jenazah para gadis di kawasan ini?” 

“Tidak,” jawab Wiro sengaja berdusta. “Apa petunjukmu selanjutnya?” 

“Kejahatan itu harus dihentikan!” jawab Empu Tembikar. 

“Kenapa kau tidak menghentikan?” 

“Karena ada seorang lain yang harus menghentikannya?” 

“Siapa?” tanya Wiro. 

“Kau….!” 

Wiro melengak kaget. 

“Mengapa musti aku?” 

“Aku tidak tahu!” 

“Kau tahu siapa pelaku kejahatan itu? Pendulik itu?” 

“Aku tidak tahu” jawab Empu Tembikar. 

“Kau mungkin tahu dimana kediamannya?” tanya Wiro lagi. 

“Aku tidak tahu. Tapi ada petunjuk dia selalu membuang jenazah culikannya 

di arah timur, tenggara atau timur lautan utan Roban.” 

“Kalau dia menculik kemudian membuang jenazah begitu saja, apa perlunya 

dia melakukan itu?” 

“Untuk mengambil jantung dan hati gadis yang mati itu!” 

Wiro merasa tengkuknya jadi dingin. 

“Apa guna jantung dan hati itu? Untuk disantap? Ih!” 

Empu Tembikar mengeluarkan segulung kertas dari balik selempang kain 

putihnya. 

“Seseorang memberikan kertas surat ini tiga tahun lalu padaku. Ambil dan 

bacalah isinya. Mungkin kau akan mendapat petunjuk lebih lanjut….” 

Habis berkata begitu Empu Tembikar melangkah pergi tanpa menoleh lagi. 


BAB 9


Wiro Sableng mencari pohon rindang dan duduk di bawahnya, pada 

pematang tambak ikan asin. Meskipun matahari sore bersinar terik tapi tiupan angin 

yang sepoi-sepoi membuat udara cukup nyaman. Pendekar ini membuka gulungan 

keras yang tadi diberikan Embpu Tembikar. Tulisan di kertas itu cukup panjang, 

ditulis dengan huruf-huruf yang membentuk tulisan bagus sekali. Wiro mulai 

membaca. 

INTI SARI KEHIDUPAN INDAH KAUM PEREMPUAN 

Sejak dunia terkembang, sejak perempuan dilahirkan di dunia, diciptakan dari 

tulang rusuk nabi Adam, ada satu kekuatan yang selalu menghantui kaum perempuan. 

Mereka takut dimakan usia. Mereka takut menghadapi kenyataan bahwa mereka akan 

menjadi…… 

Belum sampai Wiro menyelesaikan membaca kalimat terakhir itu tiba-tiba dia 

merasa ada angin yang menyambar dari belakang kiri. Pendekar ini cepat 

menghantam dengan tangan kirinya namun dia hanya memukul tempat kosong. 

Bersamaan dengan itu hidungnya mencium bau harum. Sudut matanya 

menangkap gerakan sosok tubuh di samping kanan. Secepat kilat murid Sinto 

Gendeng lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Satu gelombang angin deras 

membuntal. Tapi lagi-lagi pendekar ini kecele. Ternyata kembali dia menghantam 

tempat kosong. Malah saat itu satu dorongan yang luar biasa hebatnya membuat 

terhuyung-huyung ke kiri. 

“Setan alas keparat!” maki Wiro. 

Selagi dia berusaha mengimbangi diri, kertas yang ada dalam pegangan tangan 

kirinya tahu-tahu disambar lepas. Dia kembali melihat gerakan orang sangat cepat dan 

berusaha menelikung dengan tangan kanann sambil memukul denagn tangan kiri. 

Pess…!!! 

Terdengar suara mendesis. Wiro Sableng masih belum sempat melihat siapa 

adanya orang yang menyerang dan merampas kertas tahu-tahu di sekelilingnya 

membuntal asap hitam berbau harum aneh. Pemuda ini bukan saja jadi tertutup 

pemandangannya namun juga merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas. Untung 

dia cepat sadar. Sambil tutup jalan pernafasan, tangan kanan cepat memegang hulu 

Kapak Naga Geni 212. Hawa panas segera menjalar dari hulu kapak. Tubuhnya yang 

kebal racun kini samakin terlindungi oleh hawa panas mujizat yang keluar dari senjata 

mustika itu. Perlahan-lahan kekuatannya pulih. 

Asap hitam juga mulai lenyap. Pemandangannya terang kembali. Tapi orang 

yang tadi belum sempat dilihatnya dengan jelas, jangankan mukanya, sosok tubuhnya 

hampir tak terlihat, telah lenyap dari tempat itu. Wiro Sableng memaki panjang 

pendek. Bagaimana hal itu bisa terjadi. Bagaimana mungkin dia tidak bisa atau tidak 

punya kesempatan melihat siapa adanya orang yang muncul dengan tiba-tiba lalu 

merampas kertas yang sedang dibacanya. Wiro diam-diam menyadari. 

Dan ini membuat tengkuknya dingin. Jika orang tadi siapa pun adanya mau 

mencelakainya atau membunuhnya, pasti halitu dapat dilakukannya. 

Wiro memandang jauh ke depan, kea rah tambak ikan asin yang luas 

sementara matahari sore semakin redup. Pendekar ini geleng-geleng kepala. 

“Guru sendiri tidak sehebat itu gerakannya. Belum pernah kujumpai manusia 

yang dapat bergerak demikina cepat seperti kilat. Heh, apa betul dia manusia….? 

Bukan setan maghrib yang kesasar? Dan bau harum aneh itu….?” 


Pendekar 212 Wiro Sableng cepat berdiri. Dia memandang berkeliling. Lalu 

dengan perasaan tetap tidak enak dia segera tinggalkan tempat itu. 

 

Warok Kunto Rekso yang berjalan paling depan memimpin hampir lima puluh 

orang anak buahnya hentikan langkah, mendongak kea rah bukit di ujung pohon 

beringin. Hari itu adalah hari ketiga pengungsian yang mereka lakukan sejak pasukan 

kerajaan menyerbu hutan Roban, menghancurkan kelompok gerombolan rampok 

yang ada di situ. Jika saja dia tidak bertindak cepat pasti kelompok yang dipimpinnya 

juga akan mengalami bencana yang sama. Setelah masih jauh ke dalam hutan Roban, 

berputar-putar di pedalaman yang sebelumnya tak pernah dijejakinya akhirnya siang 

itu mereka sampai di tempat itu. 

Kunto Rekso menyuruh anak buahnya beristirahat sementara dia sendiri mulai 

memanjat bukit batu untuk menyelisiki kadaan di atas sana. Namun tiba-tiba 

hidungnya mencium bau busuk. Kepala rampok yang sudah berpengalaman ini segera 

mengetahui bau busuk itu adalah bau bangkai manusia. Dia memandang berkeliling, 

lalu bergerak ke jurusan kiri dari arah mana bau busuk daang dengan santar. Kunto 

Rekso tak perlu mencari susah payah. Sosok tubuh itu segera ditemuinya. Terkapar 

melintang di bawah sebtanag pohon berlumut. Betapa kagetnya kepala rampok ini 

ketika mengeahui mayat busuk itu ternyata adalah mayat Jalatunda, pemuda 

pembantu juru masak yang dianggapnya gila dan membangkang untuk ikut 

bersamanya. 

“Buang mayat ini jauh-jauh dari sini,” kata Kunto Rekso pada anak buahnya. 

“Aku akan menyelidiki ke atas bukit sana. Jika keadaan di sini cukup baik, aku 

memilih kita mendirikan perkampungan baru di sini.” Lalu kepala rampok ini 

meneruskan maksudnya semula menyelidiki ke puncak bukit batu. Penciumannya 

merasakan di atas sana ada air. Dan betul memang. Ketika dia sampai di puncak bukit 

batu, di sebelah bawah seberang depannya dilihatnya sebuah telaga berair hijau 

membiru. Di tengah telaga tampak sebuah batu licin rat hampir berbentuk sebuah 

meja. 

Kunto Rekso menarik nafas dalam-dalam. Udara di tempat itu ternyata sejuk 

dan segar sekali. 

“Ini tempat yang baik! Sangat cocok untuk markas baruku!” Lalu kepala 

rampok ini mengeluarkan suara suitan nyaring, memberi isyarat pada anak buahnya 

untuk segera naik ke atas. 

Siang itu juga Kunto Rekso memerintahkan anak buahnya untuk 

mempersiapkan pembangunan perkampungan. Beberapa pohon besar ditebang untuk 

diambil kayunya. Menjelang malam tiba baru mereka berhenti bekerja. Besok pagi 

pekerjaan itu akan diteruskan. 

Akan tetapi pada pagi harinya justru terjadi kegemparan di antara rombongan 

perampok pimpinan Warok Kunto Rekso. Sang pimpinan masih mengorok ketika 

seorang anak buahnya membangunkan. 

“Keparat jaah! Mau kupecahkan kepalamu berani membangunkanku?!” 

“Warok, ada kejadian hebat. Lima orang anggota kita kedapatan mati!” kata 

anggota rampok yang membangunkan lalu cepat-cepat melompat mundur karena 

takut dihantam jotosan pemimpinnya. 

“Apa katamu?!” Waro Kunto Rekso melompat dari tidurnya. “Sipa yang 

amti…?!” 

“Mereka dibunuh!” kata seorang anggota lainnya.Lalu membawa Kunto 

Rekso ke kaki bukit batu di ujung kanan. Di situ tergelimpang lima anak buahnya 

yang telah jadi mayat. Ketika diperiksa apa yang dilaporkan tadi memang betul. Lima 


anggota rampok itu mati dibunuh. Leher masing-masing tampak ketakutan tampak 

terkulai tanda patah! 

“Keparta! Edan! Siapa yang melakukan….?!” Sentak Kunto Rekso. Kunto 

Rekso berpaling di batang pohon itu tampak tertempel sehelai kertas yang dibubuhi 

tulisan. Sambil menggereng menahan geram Kunto Rekso renggutkan kertas itu lalu 

membacanya dengan pelipis bergerak-gerak. 

Lima mayat itu adalah peringatan pertama dan terakhir. Daerah ini adalah 

daerah kekuasaanku. Tak seorangpun boleh menginjakkan kaki di sini. Apalagi 

hendak membangun perkampungan. Sebelum matahari tinggi pagi ini, segera 

tinggalkan tempat! 

“Setan alas!” kutuk Kunto Rekso. “Siapa yang membuat surat ini pengecut! 

Tak berani memberitahu nama!” Kepala rampok itu remas kertas itu sampai lumat. 

Berkali-kali dia membuat gerakan seperti hendak mencabut golok besar di 

pinggangnya. Gerahamnya terdengar jelas bergemeletakan. 

“Pemimpin, apa yang harus kita lakukan….?” Seorang anak buahnya bertanya. 

“Apa yang harus kita lakukan? Tolol! Tentu saja meneruskan pembangunan 

perkampungan! Di sini! Di tempat ini!” 

“Tapi surat itu.” 

“Keparat! Apa kau harus takut pada selembar kertas?!” Kunto Rekso 

bantingkan kertas yang tadi diremasnya ke tanah. “Semua teruskan pekerjaan! Aku 

akan mengawasi. Ku mau lihat siapa manusianya yang berani membunuhi anak 

buahku! Jika dia muncul kucincang tubuhnya dari kepala sampai kaki!” 

Begitulah sementara beberapa orang mengurus maya lima anggota rampok 

yang terbunuh secara aneh itu, yang lain-lainnya meneruskan pekerjaan membangun 

perumahan. Warok Kunto Rekso mengawasi dari atas pohon. Sesekali dia turun ke 

bawah dan berkeliling meneliti keadaan. Sampai sore hari, bahkan ketika siang 

berganti malam tak terjadi apa-apa. Tak ada yang muncul mengganggu atau 

menghalangi. Meskipun hanya lega sedikit namun Kunto Rekso tetap merasa was-was. 

Mengingat kematian lima anak buahnya itu, dia ingat pula pada mayat Jalatunda yang 

ditemuinya sebelumnya. Bukan mustahil Jalatunda mati dibunuh oleh orang yang 

sama. Tapi orang itu sendiri siapa? 

Begitu malam tiba Kunto Rekso berjaga-jaga di atas pohon sementara selusin 

anak buahnya berganti-ganti melakukan penjagaan di sebelah bawah. Tampaknya 

malam hari itupun akan berlalu dengan tenang. Namun ternyata tidak! 

Belum lagi sinar matahari pagi sempat menembus kelebatan dedaunan 

pepohonan di kaki bukit batu itu, kehebohan terjadi. Lima dari selusin anggota 

rampok yang melakukan pengawalan ditemui telah menjadi mayat. Mati dengan cara 

yang sama seperti lima kawannya terdahulu. Yakni dengan leher patah! 

“Keparat anjing kurap!” teriak Kunto Rekso menggeledek seraya cabut golok 

besarnya. Senjata ini diputarnya berdesing-desing di atas kepala. Anak buahnya 

menjauh ketakutan. 

“Ini 

sudah 

keterlaluan! 

Keparat! 

Manusia 

pengecut! 

Keluar 

dari 

persembunyianmu! Jangan hanya berani membunuh secara membokong!” 

Sesaat setelah bentakan kepala rampok itu berakhir, mendadak terdengar suara 

tertawa mwlwngking. Tak dapat diduga apakah itu suara manusia, lelaki atau 

perempuan, ataukah suara jin pelayangan! 

“Lihat!” seorang anggota rampok berseru seraya menunjuk ke atas. 

Semua orang termasuk Warok Kunto Rekso sama mendongak. Entah dari 

mana datangnya saat itu tampak melayang sehelai kertas. Sekali lompat saja kertas itu 


sudah di tangkap Kunto Rekso dengan tangan kirinya. Di situ terdapat beberapa baris 

tulisan. 

Peringatan telah diabaikan. 

Hukuman harus dijatuhkan. 

Sebelah mata sudah berkecukupan. 

Jika masih membangkang jantung jadi imbalan! 

Bergetar sekujur tubuh kepala rampok itu. Bukan karena dia takut membaca 

surat tersebut, tetapi karena menahan amarah yang tidak tahu hendak dilampiaskan 

pada siapa. Sambil meremas kertas dengan tangan kiri dan sepasang mata 

memandang berkelilnga ke atas, rahang menggembung dan geraham bergemeletukan, 

Warok Kunto Rekso tiba-tiba lemparkan golok besarnya kea rah mana tadi datangnya 

suara tertawa aneh itu. Golok besar dan berat itu melesat laksana anak panah, 

menembus kerapatan daun pepohonan dan menancap di cabang bercagak tiga. 

“Bangsat! Keparat!” maki Kunto Rekso begitu mengetahui lemparan goloknya 

tidak mengenai sasaran apa-apa. 

Di saat itu justru kembali terdengar suara tawa mwlwngking. Lalu tiba-tiba 

saja meluncur sebuah benda putih berkilat sepanjang ukuran jari kelingking. Begitu 

cepatnya benda ini melesat hingga sukar dilihat bentuknya. Yang jelas itu adalah 

sebuah senjata rahasia. 

Ketika melihat benda ini Warok Kunto Rekso meskipun menggebrak marah 

tapi mengenggap enteng. Kalau cuma satu senjata rahasia yang terlihat jelas seperti 

itu siapa takut, kertaknya. Lalu kepala rampok hutan Roban yang ditakuti ini secepat 

kilat  menyambar golok seorang anak buahnya. Dengan senjata ini dia memapas ke 

depan untuk menghantam senjata rahasia yang melesat ke arah kepalanya. 

Tring! 

Golok dan senjata rahasia bentrokan di udara keluarkan suara nyaring.Warok 

Kunto merasakan tangannya bergetar hebat sementara goloknya patah dua tapi dirinya 

selamat dari serangan senjata rahasia itu. Sementara itu matanya yang tajam kembali 

dapat menangkap gerakan sesosok tubuh di atas pohon sebelah kiri. Secepat kilat 

patahan golok yang masih digenggamnya dilemparkan ke arah gerakan itu. Namun 

baru saja golok melesar lepas mendadak dari samping kembali melesat sebuah benda 

putih berkilat. Betapapun hebat dan cepatnya kepala rampok itu kali ini taak mungkin 

baginya untuk menyelamatkan kepalanya. Bahkan seorang anak buahnya yang 

berusaha membantu dengan hantaman pedang gagal. Senjata rahasia itu menderu dan 

menancap tepat di mata kirinya, menembus sampai belakang telinga! 

Sang Warok meraung setinggi langit. Darah muncrat membasahi mukanya. 

Dia lari kian kemari, berteriak tiada henti dan memukul apa saja yang berada di 

dekatnya. Seorang anak buahnya yang berkepandaian cukup tinggi segera menotok 

pelipis dan urat leher pimpinannya ini. Meskipun darah terus mengucur namun rasa 

sakit berkurang sedikit. 

“Setan! Tempat ini dikuasai setan! Ada setannya!” kata Kunto Rekso. Dia 

merobek bajunya dan menggunakan potongan kain ini untuk menutupi matanya yang 

bocor. 

“Tinggalkan tempat ini! Semua tinggalkan tempat ini!” perintahnya. 

“Kami siap Warok. Tapi kita  menuju kemana?” bertanya seorang anggota 

rampok. 

“Jalan saja dulu!” sahut Kunto Rekso. “Mungkin kita menuju ke utara. Aku 

tak pasti. Yang penting tinggalkan tempat celaka ini!” 

Maka rombongan rampok yang telah kehilangan sepuluh anggotanya itu 

segera tinggalkan tempat tersebut. Mereka kemudian memang menuju ke utara. Di 


Penulis : Bastian Tito

Creatid : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com



daerah pantai mereka membangun sebuah perkampungan. Kelak di kemudian hari 

Warok Kunto Rekso merobah jalan hidupnya yang sesat, dari rampok hutan daratan, 

menjadi perampok lautan. Dia kemudian dikenal dengan julukan Bajak Laut Mata 

Satu. 

Sementara mereka berlalu, di kejauhan terdengar tawa melengking, panjang 

dan membuat bulu kuduk para penjahat itu menjadi dingin. Masing-masing 

mempercepat langkah. Bukan meustahil bencana yang lebih celaka akan menimpa 

mereka. 

 

 

 BAB 10


Desa Wonotunggal terletak di daerah berbukit-bukit yang sangat subur. 

Hasil sayur mayurnya yang segar-segar dan beraneka macam menyebabkan desa ini 

terkenal di sepanjang pantai utara Jawa Tengah bahkan sampai jauh ke pedalaman. 

Dari hasil lading maupun sawah dan peternakan, rata-rata  penduduk Wonotunggal 

hidup berkecukpan. Di samping itu ada hal lain yang membuat desa ini terkenal jauh 

sampai kemana-mana. Hal ini ialah tentang para gadisnya  yang rata-rata berkulit 

putih, senang memelihara rambut panjang, berparas jelita ditambah dengan raut tubuh 

yang elok mempesona. 

Hal yang satu ini menyebabkan banyak pemuda-pemuda dari desa-desa lain 

sering datang ke situ atau orang tua sengaja pergi ke sana untuk meninjau menjajagi 

kemungkinan bagi mereka atau putera mereka untuk mendapatka jodoh yang 

diidamkan. Umumnya para pemuda dan orang tua tidak mengalami kekecewaan. 

Mereka dating dan selalu kembali dengan berita bagus, mendapatkan calon yang apat 

dipersunting beberapa bulan mendatang. Memang mereka harus cepat melaksanakan 

hajat baik itu, kalau tidak sang dara akan jatuh ke tangan orang lain. Karenanya desa 

Wonotunggal boleh dikatakan hampir setiap bulan selalu diramaikan dengan adanya 

pesta perkawinan di sertai hiburan seperti wayang eong, wayang kulit atau ketoprak. 

Dari sekian banyak bunga harum jelita desa Wonotunggal, ada satu sekuntum 

yang memiliki kelebihan dari pada dara-dara lainnya hingga dia menjadi primadona, 

bunga tercantik dari segala bunga indah. Gadis ini anak seorang pemilik kebun tebu, 

berusia menjelang delapan belas tahun. Melihat kepada usia pada masa itu banyak 

para gadis telah berumah tangga pada umur enam belas atau tujuh belas. Bahkan 

terkadang di usia lima atau empat belas. Karenanya usia dara yang satu ini, yang 

menjelang delapan belas dianggap sudah melewati batas keharusan untuk kawin. 

Namun demikian sang dara sendiri ataupun orang tuanya tidak menganggap demikian. 

Malah semakin bertambah usianya, semakin semarak bentuk badannya, semakin jelita 

parasnya dan semakin matang sikap lakunya. Semua ini membuat semakin banyak 

pemuda yang tergila-gila. Semakin banyak orang tua yang ingin agar putera mereka 

dapat mempersunting sang dara. Namun Wilani, demikian nama sang dara kabarnya 

masih belum mendapatkan pemuda yang berkenan di hatinya. Kabarnya pula sang 

orang tua belum mendapatkan calon menantu yang cocok. Akibatnya lambat laun 

penduduk desa menganggap Wilani dan orang tuanya jual mahal, ingin mencari suami 

yang gagah serta kaya. Padahal tidak demikian adanya. Dan segala anggap 

pergunjingan yang dilakukan orang banyak membuat nama gadis itu semakin tambah 

terkenal. 

Memang Wilani memiliki banyak kelebihan dari gadis-gadis Wonotunggal 

lainnya. Parasnya bulat telur, kulitnya licin putih dan mulus. Rambutnya hitam 

panjang sepinggang, selalu kelihatan berkilat dan menabur bau minyak yang harum. 

Sepasang matanya bening seperti bersinar laksana bintang timur, dihiasi oleh 

sepasang alis tebal bak bulan sabit dan sebaris bulu mata hitam lentik. Hidungnya 

kecil mancung. Pipinya selalu merah seperti pauh dilayang. Bibirnya tak pernah 

memakai gincu tetapi senantiasa merah oleh kesegaran yang memancar dari dalam 

tubuhnya. Barisan gigi-giginya rata dan putih. Kalau dia tersenyum, cantiknya bukan 

main. Siapa yang melihat pasti akan merasakan nafasnya sesak sesaat. Raut tubuhnya 

ramping di pinggang besar di dada dan pinggul. Kalau berjalan lenggoknya membuat 

para pemuda menelan air ludah. Banyak yang berusaha untuk mencuri pandang pada 


sepasang betisnya yang terkadang tersingkap dari balik kain panjang yang 

dikenakannya. 

Segala kesemarakan kecantikan dan keindahan tubuh Wilani itu tiba-tiba saja 

menjadi redup. desa Wonotunggal kini diselimuti kesedihan. Sejak seminggu 

berselang dikabarkanWilani telah jatuh sakit. Telah berbagai macam obat diberikan 

namun sakitnya tidak berkurang, malah makin bertambah. Makanan maupun 

minuman sulit melewati mulutnya. Akibatnya dikabarkan tubuhnya yang dulu bagus 

itu kini menjadi kurus. Wajahnya yang dulu cantik jelita itu kini menjadi cekung. 

Beberapa orang pandai termasuk para dukun ahli pengobatan kabarnya telah 

pula dipanggil. Tapi sampai hari kedua puluh satu sakit sang dara masih belum dapat 

dipulihkan. Banyak para pemuda yang ingin datang menjenguk melihat si sakit. 

Namun menurut orang tua Wilani, anak mereka itu mengidap sejens penyakit menular. 

Hingga semua orang yang ingin melihat dimintakan untuk tidak masuk ke dalam 

kamar di mana gadis itu terbaring. Kalau Wilani sampai akhirnya meninggal dunia 

sebelum sempat menginjak jenjang perkawinan, alangkah malangnya nasib gadis itu. 

Demikian orang sedesa berpendapat dengan rasa haru kasihan tentunya. 

Suatu malam, Ronocula, lelaki yang menjadi kepala desa Wonotunggal datang 

menemui kedua orang tua Wilani. Selama ini telah beberapa kali dia mengunjungi 

mereka namun sebegitu jauh tidaak mendapat kesempatan untuk melihat sendiri si 

sakit. Diapun tidak memaksa karena kalau memang Wilani menderita penyakit 

menular, siapa mau kebagian penyakit berbahaya itu. 

“Mas Prayit….” Kata Ronocula pada ayah Wilani. “Aku dan orang sedesa 

selalu mendoakan agar puterimu yang sedang loro itu ditolong oleh Gusti Allah dan 

dapat cepat disembuhkan dari penyakitnya….” 

“Terima kasih dimas Ronocula,” jawab Prayit. 

Ucapan seperti itu sudah berulang kali didengarnya dari mulut sang kepala 

desa. 

“Kami tidak mengharapkan musibah menimpa keluargamu mas. Hanya saja, 

kalau puterimu diambil oleh Yang Kuasa, ada satu hal yang harus kita perhatikan. 

Kau kita semua harus berjaga-jaga….” 

“Berjaga-jaga bagaimana maksudmu dimas Ronocula?” 

Lalu kepala desa itu menerangkan tentang kisah tujuh gadis yang 

menggegerkan. Ketujuh jenazah gadis itu diculik oleh seorang aneh yang selalu 

muncul seperti pengemis. Selang satu dua hari kemudian mayatnya ditemukan 

kembali di pinggiran hutan Roban. Tapi hati dan jantungnya telah lenyap dan 

jenazahnya rusak mengerikan. 

“Aku memang ada juga mendengar hal itu,” kata Prayit. “Tapi kukira semua 

itu hanya cerita kosong belaka…. Apa perlunya orang menculik mayat…” 

“Jangan bicara seperti itu mas Prayit. Dunia sekarang ini semakin aneh. 

Berbagai kejadian yang tak masuk akal bisa terjadi. Kejahatan di luar batas 

kemanusiaan berlangsung sulit dipercaya. Nyawa manusia hampir tak ada harganya. 

Kau ingat penuturan kepala desa terdahulu, tentang orang-orang yang tengah 

mencoba kehebatan ilmunya? Membunuh orang lain secara semena-mena demi untuk 

kepentingan ilmunya….?” 

Prayit terdiam sesaat. Lalu dengan datar karena keletihan lelaki ini berkata 

“Kalau cerita penculikan itu memang benar, kuharap puteriku tidak akan mengalami 

nasib seperti itu…” 

“Itu yang kita harapkan mas. Namun berharap tanpa melakukan sesuatu, jika 

nanti sudah kejadian maka jangan sampai ada penyesalan seumur hidup…” 

“Lalu bagaimana menurutmu? Apa yang baik yang harus kita lakukan…?’ 


“Kita harus membentukbarisan pengamanan. Aku sendiri yang akan 

mengepalainya. Barisan ini terdiri dari lima orang anak buahku, ditambah dengan 

guru silat Bagus Menakdari dukuh Jatiwangi….” 

“Terima kasih kalau kau mau melakukan itu dimas,” kata Prayit gembira. Dia 

tahu sebagai kepala desa Ronocula memiliki kepandaian silat yang dapat diandalkan, 

memiliki jimat yang kabarnya membuat dirinya kebal segala macam senjata. Apalagi 

kalau guru silat Bagus Menak bersama anak-anak muridnya itu membantu. “Aku akan 

merasa aman….” Katanya menambahkan. “Hanya saja, yang paling baik adalah kalau 

puteriku dapat disembuhkan. Kau dan yang lain-lainnya tak perlu bersusah payah….” 

“Itulah yang selalu kami doa dan harapkan,” sahut Ronocula. 

Tapi doa dan harapan orang sedesa Wonotunggal itu tidak tercapai. Dua hari 

setelah kedatangan kepala desa tersebut, pada suatu pagi, belum lagi sang surya 

muncul, seisi desa telah mendengar kabar duka datang dari rumah keluarga pemilik 

perkebunan tebu itu, Wilani, puteri mereka telah meninggal dunia. Hampir seluruh 

penduduk desa datang melayat dengan harapan dapat melihat paras gadis yang 

malang itu untuk terakhir kali. Namun mereka kecewa karena ternyata jenazah telah 

dimandikan dan dikafani. Menurut keluarga hal itu perlu dilakukan dengan cepat 

mengingat kekhawatiran penyakit menular yang diderita si sakit akan menebar. 

Di luar rumah, di antara puluhan pelayat kelihatan kepala desa Ronocula 

duduk berdampingan dengan seorang lelaki bertopi merah, berpakaian serba putih. 

Sehelai kain sarung tersilang di bahunya. Orang yang bersikap pendiam tak banyak 

bicara ini adalah guru silat Bagus Menak yang telah datang bersama sembilan 

muridnya. Kesembilan murid silat ini bersama-saa lima pembantu kepala desa 

senantiasa berkeliling menjaga keamanan sesuai dengan yang direncanakan. 

Karena pekuburan terletak cukup jauh di luar desa maka setelah jenazah 

disembahyangkan dan dimasukkan ke dalam usungan lalu dinaikkan ke atas sebuah 

gerobak terbuka, ditarik oleh dua ekor sapi, dikusiri oleh seorang lelaki tua berwajah 

kotor dan berpakaian tebal. Agaknya kusir gerobak ini memakai lebih dari sehelai 

pakaian. Namun karena semua perhatian orang lebih tertuju pada keluarga yang 

ditimpa musibah itu maka tak seorangpun yang memperhatikan keanehan pakaian 

kusir gerobak itu. Juga tidak seorangpun yang menyadari kalau kusir gerobak tersbut 

bukanlah penduduk desa Wonotunggal ataupun desa tetangga. Juga tak seoran[un 

ingin atau merasa perlu tahu bagaimana kusir bersama gerobaknya tahu-tahu sudah 

ada di sana, padahal bukan kusir dan gerobak itulah yang semula dipesan. 

Di bawah matahari pagi rombongan pengantar jenazah bergerak menuju 

pekuburan,  mengikuti gerobak sapi yang berjalan perlahan. Sesampai di pekuburan, 

udara yang tadi cerah tampak mendung. Prayit memberi isyarat agar pemakaman 

segera dilakukan secepatnya sebelum hujan turun. Maka usungan diturunkan dari 

gerobak sapi, jenazah dikeluarkan dan segera dimasukkan ke liang lahat. Pada saat 

jenazah dikeluarkan inilah tiba-tiba kusir gerobak menanggalkan pakaiannya. Di balik 

pakaian itu kelihatan pakaian lain yang penuh tambalan, kotor dan bau! 

“Pengemis penculik!” teriak Ronocula yang entah kenapa sejak memasuki 

tanah pemakaman tiba-tiba saja dia menjadi curiga terhadap kusir gerobak itu. 

Semua orang terkejut. Guru silat Bagus Menak memberi isyarat ada sembilan 

anak buahnya. Maka enam belas orang, termasuk Ronocula segera mengurung kusir 

gerobak itu. 

Sang kusir berdiri di atas gerobak, menyeringai lalu tertawa panjang. Tawanya 

lenyap ketika tiba-tiba Ronocula berteriak “Ringkus manusia itu!” 

Para pengurung serta merta menyerbu. Tak ada satupun yan gmenggunakan 

senjata. Mereka berpikir, untuk menangkap seorang pengemis tua seperti itu, apa 


perlunya pakai senjata. Tapi ketika empat orang terpental dan terjengkang roboh kena 

tendangan kaki serta hantaman pengemis itu barulah mereka sadar. Ronocula segera 

cabut kerisnya, Bagus Menak tanggalkan kain sarungnya yang ternyata di bagian 

dalam diisi dengan potongan besi lentur. 

Pengemis tadi kembali tertawa. Kini dia mendahului menyerang. Bagus 

Menak sambut dengan hantaman kain sarung, Ronocula datang dari samping dengan 

tusukan keris. Enam orang lainnya menggebuk dengan berbagai senjata, mulai dari 

pisau, kelewang atau golok. Sementara itu hujan rintik-rintik mulai turun. Prayit 

memperhatikan semua apa yang terjadi dengan wajah pucat sementara kebanyakan 

para pengantar berusaha menjauhkan diri dan memperhatikan apa yang selanjutnya 

terjadi dengan penuh cemas. 

Hantaman kain sarung Bagus Menak mengeluarkanangin deras. Tusukan keris 

Ronocula membuat angin berdesing. Belum lagi senjata-senjata yang lain yang datang 

membabat. Tak dapat tidak kusir gerobak itu akan tersatai dan tercincang 

tubuhnya.Tapi apa yang kemudian terjadi justru kebalikannya. 

Bagus Menak, guru silat lihay berseru kaget ketika kain sarung dibetot lawan 

dan dia tak dapat mempertahankan. Cepat orang ini gerakkan potongan besi yang 

terlindung di balik kain sarung. Potongan besi itu kemudian melentur keras dan 

melesat kea rah perut kusir gerobak. Tapi sebelum mencapai sasarannya pengemis di 

atas gerobak lepaskan betotan pada kain sarung. Akibatnya Bagus Menak terhuyung 

ke belakang oleh daya tarik kekuatannya sendiri sedang potongan besi melenceng ke 

samping menghantam dua orang muridnya. Kedua orang ini terpekik kesakitan. 

Kepala dan wajah keduanya tampak benjut. 

Ronocula yakin sekali tusukan kerisnya akan menancap di dada kiri pengemis. 

Hanya saja keyakinan ini berubah jadi keterkejutan ketika orang yang diserangnya 

tiba-tiba melompat dan dengan sekali menggerakkan tangan kanan senjata itu berhasil 

dirampasnya. Ronocula keluarkan keringat dingin. Dia melihat empat senjata orang-

orang yang ada di pihaknya masih terus memburu lawan. Karenanya dia merasa ada 

kesempatan untuk menyerbu sekalipun dengan tangan kosong. 

Pengemis di atas gerobak kembali melompat. Dua penyerang kembali mental 

sambil menjerit kesakitan. 

“Makan kerismu ini!” pengemis itu tiba-tiba berteriak dan tusukkan keris 

kepala desa kepada pemiliknya sendiri. Dan sekian puluh pasang mata menyaksikan 

bahwa Ronocula sebenarnya tidak kebal senjata. Keris miliknya sendiri menancap di 

dada, tepat di bawah tenggorokannya. 

Sebelum roboh kepala desa ini masih sempat berteriak “Lindungi jenazah! 

Lindungi jenazah!” 

Tapi percuma saja. Sebelum ada yang sempat bergerak untuk melindungi 

jenazah Wilani, manusia berpakain pengemis itu sudah lebih dulu berkelebat 

merampas jenazah lalu dipanggulnya di bahu kiri. 

Bagus Menak cepat menyerbu. Masih dengan menggunakan kain sarung. Tapi 

kali ini nasibnya jauh lebih buruk dari tadi. Tendangan si penculik jenazah mendarat 

sangat cepat di dadanya. Tubuhnya terpuruk ke kolong gerobak muntah darah lalau 

tak bergerak lagi, entah pingsan entah mati. 

“He….he….!” Pengemis penculik tertawa. “Jika perlu di antara kalian yang 

masih merasa memerlukan mayat gadis ini, silakan datang ke hutan Roban sebelah 

timur besok malam!” 

Habis berkata begitu penculik ini cepat berkelebat. Tetapi empat orang anak 

murid Bagus Menak yang menjadi kalap melihat kematian guru mereka, meskipun 


sadar bahwa penculik itu bukanlah tandingan mereka, tetap saja menghadang dan 

menyerbu dengan senjata di tangan. 

“Manusia-manusia tolol!” maki pengemis penculik. “Mencari mati dengan 

percuma!” Tangan kanannya menghantam. Kakinya sebelah kiri menyusul 

menendang. Dua anak murid Bagus Menak di sebelah kanan terpelanting muntah 

darah. 

“Ada lagi yang minta mampus?!” Si pengemis menantang sambil menyeringai. 

Tak ada yang berani membuka suara. Tak ada yang bergerak. Prayit, ayah 

Wilani terduduk setengah pingsan di tanah dan digotong orang ke bawah pohon. Si 

penculik keluarkan tawa melengkingnya lalu berkelebat dan cepat sekali tubuhnya 

bersama jenazah Wilani lenyap di ujung pekuburan. 


BAB 11



Begitu keluar dari daerah pekuburan pengemis penculik itu melarikan diri 

ke jurusan selatan, memasuki hutan Roban yang angker. Dia berlari terus tanpa 

berhenti, tanpa merasa kebaratan oleh sosok jenazah yang berada di bahu kirinya. 

Semakin ke dalam hutan itu semakin rapat. Sinar matahari semakin sulit menembus 

kelebatan daun-daun pepohonan, udara bertambah lembab dan gelap. Tapi si 

pengemis dapat berlari sangat cepat. Jelas dia tahu sekali seluk beluk belantara ini. 

Di satu bagian hutan yang tidak pernah didatangi manusia si penculik 

membelok tajam ke kanan hingga akhirnya dia sampai ke kaki sebuah bukit batu. Di 

sini barulah dia menghentikan larinya, tapi hanya sesaat. Seringai aneh tersungging di 

mulutnya. Dari tenggorokannya terdengar suara suitan keras. Lalu mulutnya berteriak. 

“Pengusaha hari tua! Aku datang membawa obat penawar usia!” 

Habis berkata begitu dia melompat mendaki bukit batu. Bukan hal yang 

mudah mendaki bukti batu berlumut licin itu, apalagi secepat yang dilakukan si 

pengemis. Ditambah pula dengan beban berat jenazah manusia pada bahu kirinya. 

Tapi nyatanya semua itu dilakukan dengan mudah oleh si penculik. Sampai di puncak 

bukit dia memandang ke bawah. Ke arah telaga berair hijau kebiruan. Inilah bukit 

batu dan telaga yang beberapa waktu lalu hendak dijadikan markas oleh Warok Kunto 

Rek0so. 

Sepasang mata si pengemis tampak bersinar-sinar. Dari mulutnya kembali 

terdengar suara siutan. Lalu dia melompat ke bawah, menuruni bukit batu hingga 

akhirnya sampai di tepi telaga. Dengan satu lompatan besar dia berhasil mencapai 

pertengahan telaga dimana terdapat sebuah batu besar rata berbentuk meja. 

Jenazah Wilani diturunkannya lalu dibaringkan di atas batu besar itu. Sekilas 

tampak dia menyeringai sambil pandangi sosok jenazah yang masih tertutup rapi oleh 

kain kafan. Beberapa kali jenazah itu dibelai dan ditepuk-tepuknya. 

“Bersabarlah…..bersabarlah…..” katanya. “Aku akan ganti pakaian dulu. Aku 

akan berdandan dan berhias….” Lalu pengemis ini putar tubuhnya dan melompat ke 

tepi telaga sebelah timur di mana tumbuh sekelompok tanaman berbunga putih kecil-

kecil. Di sebelah belakang terdapat lamping bebatuan menghitam datar.  

Dengan tangan kirinya pengemis itu mendorong lampingan batu datar. Aneh, 

batu itu perlahan-lahan menggeser ke samping. Di bekas dudukan batu itu kini 

tampak sebuah pintu dan di belakang pintu batu ini muncul sebuah ruangan batu yang 

berwarna kelabu. Merapat ke dinding tengah sebelah dalam ada sebuah pembaringan 

yang terbuat dari batu beralaskan kain lembut tebal hampir menyerupai permadani. 

Lalu ada dua buah kursi mengapit sebuah meja kecil yang juga terbua dari batu. Di 

sudut lain terdapat ruangan cekung pada dinding menyerupai lemari tanpa pintu. 

Dalam lemari ini kelihatan tergantung pakaian yang kebanyakan berwarna biru. 

Ternyata ruangan batu itu tidak bedanya dengan sebuah kamar tidur! Ada asap 

tipis keluar di sudut kanan yang menebar bau harum semerbak. Pengemis tadi 

melangkah masuk. Dari dalam lemari batu diturunkannya sehelai jubah panjang 

berwarna biru. Dengan jubah ini dia menutupi sekujur tubuhnya mulai dari kepala 

sampai kaki. Pada bagian kepala jubah terdapat dua buah lobang. Rupanya lobang-

lobang ini dibuat demikian rupa agar si pemakai jubah dapat melihat ke luar. 

Setelah mengenakan jubah biru, pengemis tadi melangkah ke luar kamar. 

Tanpa menutup kembali pintu batu dia menuju ke telaga di hadapan pintu yang 

terbuka. Dari sebuah celah dia mengeluarkan beberapa potong kayu warna warni lalu 


dedaunan seperti ramuan obat. Terakhir dia mengambil pula sebuah cawan batu berisi 

minyak yang sangat harum. Tanpa menganggalkan jubah ataupun pakaian 

pengemisnya orang ini masuk ke dalam telaga. Tampaknya dia hendak mandi. 

Berlangir mungkin. Sampai matahari di luar hutan menjadi redup dan ambang sore 

siap memasuki malam si pengemis masih belum keluar dari air telaga. Tak lama 

kemudian terdenganr suara nyanyian. Suara nyanyian ini begitu perlahan dan halus 

sehingga sulit ditangkap kata-kata yang dilafalkannya. Namun jelas suara itu adalah 

suara perempuan. 

Tempat itu semakin gelap. Tiba-tiba si pengemis keluar dari dalam air. 

Tubuhnya masih tertutup jubah rapat. Kini tubuh itu mengeluarkan bau yang sangat 

harum. Sekeluarnya dari dalam telaga, pengemis tadi tidak segera menuju ke ruangan 

batu, tapi dari sebuah tempat di ujung barat telaga dia mengeluarkan hampir dua lusin 

potongan bambu yang ternyata adalah obor. Ketika obor itu dinyalakannya dan 

dipasang sekeliling telaga, keadaan di tempat itu menjadi terang, tetapi deperti 

dikungkung oleh kesunyian yang menegakkan bulu roma. Sesaat pengemis berjubah 

menatap ke arah batu di atas telaga di mana masih terbaring jenazah Wilani. 

Kemudian agak tergegas dia melangkah menuju pintu batu. Membukanya, masuk ke 

dalam ruangan batu dan menutupnya. Lapat-lapat kemudian kembali terdengar suara 

nyanyian itu  terdengar tak putus-putusnya. Tepat ketika malam sampai pada 

pertengahan suara nyanyian itu lenyap dengan tiba-tiba. Sesaat kemudian pintu batu 

tampak bergeser ke samping. Di ambang pintu batu itu  kini tampak berdiri sesosok 

tubuh. 

Orang ini tidak berpakaian pengemis ataupun berjubah. Tetapi mengenakan 

pakaian biru yang terbuat dari bahan sangat tipis. Dan ternyata dia adalah seorang 

dara berparas sangat cantik, berkulit putih mulus. Demikian tipisnya pakaian biru yan 

gdikenakannya hingga nyala  obor di sekeliling telaga membuat pakaian itu menjadi 

tembus pandang dan auratnya yang ramping bagus kelihatan membayang jelas! 

Dengan langkah ringan dan wajah berseri-seri dara jelita ini melangkah ke tepi 

telaga. Ada sebuah benda di tangan kanannya yan gberkilauan tertimpa api obor. 

Benda ini ternyata adalah sebilah pisau besar yang sangat tajam matanya dan runcing 

ujungnya. 

Waktu sampai di tepi telaga sang dara hentikan langakh. Dia mendongak ke 

atas dan pejamkan kedua matanya. Mulutnya kelihatan begerak-gerak seperti tengah 

melafatkan sesuatu. Mantera? Sesaat kemudaian kepala itu diturunkan perlahan-lahan. 

Sepasang mata dibuka kembali dan kini memandang tepat-tepat tak berkedip ke arah 

jenazah di atas batu hitam. Satu suitan nyaring seperti menembus langit di atas rimba 

belantara gelap itu. Bersamaan dengan itu sosok tubuh berpakaian biru itu melesat ke 

tengah telaga, mendarat tepat di atas batu besar. 

“Penguasa hari tua!” sang dara baju biru tiba-tiba berteriak. “Dipertengahan 

malam dingin ini aku kembali datang! Obat penawar usia sudah tersedia! Tiba saatnya 

untuk melakukan hajat!” 

Dara jelita angkat tinggi-tinggi pisau di tangan kanannya ke atas. Beberapa 

kalai senjata ini dibolang-balingkannya dalam gerakan menusuk, membabat, 

membacok ataupun menikam. Setiap sambaran pisau mengeluarkan suara bersiuran 

disertai kalauan akibat pantulan nyala obor sekeliling telaga. 

Sesaat kemudian gerakan-gerakan itu berubah menjadi lamban. Lalu perlahan-

lahan pisau besar diletakkan di atas batu, tepat di kepala jenazah. Sang dara sesaat 

pejamkan mata,kembali mulutnya bergerk-gerak. Lalu kelihatan jari-jari tangannya 

bergerak ke tubuh jenazah. Sambil membuka kedua mata dia mulai mambuka tali kain 

putih pengikat jenazah di bagian perut. Nafasnya memburu dan panas. Dadanya turun   


naik tanda dia tengah diselubungi satu gejolak yang dahsyat. Selesai membuka tali 

pengikat di bagian perut, kini jari-jari tangannya pindah ke atas siap untuk membuka 

tali pengikat di atas kepala! 

Ketika kain kafan di bagian kepala jenazah tersingkap lebar, deua manusia 

sama-sama tersentak kaget! Sang dara sampai tersurut beberapa langkah. Hampir 

jatuh ke dalam telaga! 

“Keparat! Siapa kau?!” 

“Setan alas! Kau sendiri siapa?!” 

Dua bentakan menggeledek di malam buta! 


BAB 12



Sosok jenazah di atas batu besar di tengah telaga tiba-tiba melesat tegak. 

Bret….! Bret….! Bret….! Kain kafan putih yang membungkusnya robek-robek mulai 

dari ujung kaki sampai kepala. Mengerikam! Apakah jasad Wilani yang sudah jadi 

mayat itu kini hidup kembali?!  Tetapi sosok tubuh yang kemudian tampak tegak di 

atas batu besar itu bukanlah sosok tubuh Wilani. Melainkan sosok tubuh seorang 

pemuda berambut gondrong. Dia mengenakan pakaian putih dengan baju tersingkap 

hingga dadanya yang telanjang kelihatan tegap penuh otot. Di dada kanan ada guratan 

biru kehitaman susunan tiga angka yakni 212. Di pinggang kirinya tersisip sebuah 

senjata berupa kapak bermata dua yang berkilau-kilau tertimpa cahaya obor! 

Pemuda di atas batu – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 – menyeringai 

tapi penuh waspada. 

“Jadi kau rupanya!” desisnya. “Tidak disangka gadis secantikmu ternyata 

penculik hutan Roban yang ganas itu! Bukankah kau gadis yang kutemui di kedai di 

Tanjung Karangwelang?!” 

Gadis berbaju biru tipis tak menjawab. Sepasang matanya tampak seperti 

dikobari api, memandang tak berkedip pada Wiro Sableng. Wajahnya yang 

memebersitkan hawa ganas itu justru membuatnya tambah cantik di mata pendekar 

kita! Diam-diam dia ingat bau harum yang pernah tercium olehnya beberapa waktu 

yang lalu. Bau yang sama kini berada di sekelilingnya, bersumber oada tubuh yang 

bagus mulus itu. 

“Kau juga orangnya yang merampas surat yang kuterima dari Empu 

Tembikar! Pasti…!” kata Wiro Sableng. Lalu dia geleng-gelengkan kepala. “Kalau 

tidak turun tangan dan melihat dengan mata kepala sendiri sulit dipercaya. Kau yang 

begini cantik ternyata seorang manusia iblis! Tujuh mayat gadis sudah kau lahap jadi 

korban! Aku hampir jadi korban yang kedelapan! Tapi….ha….ha….ha….!” Wiro 

tertawa bergelak. “Kau tentu tidak doyan jantung dan hati lelaki jelek sepertiku ini! 

ha…ha…ha….! Hari ini kedokmu terbuka! Riwayatmu tamat sudah!” 

Entah mengapa sang dara masih tak membuka mulut. Mungkin masih 

terkesiap oleh rasa tak percaya atas apa yang terjadi dan disaksikannya saat itu. 

“Pemuda keparat! Penipu!” tiba-tiba meluncur ucapan itu dari mulut sang dara. 

“Menipu jauh lebih baik dari pada pembongkar jenazah!” tukas Wiro Sableng. 

“Lagi pula kalau tidak menyamar jadi mayat, bagaimana mungkin aku bisa 

menjbakmu seperti ini…!” 

“Selanjutnya kau tak perlu menyamar lagi! Kau benar-benar akan jadi mayat!” 

desis gadis berbaju biru. “Sebelum mampus katakan siapa namamu!” 

Wiro tersenyum. 

“Namaku jelek. Tak pantas diberi tahu pada gadis secantikmu. Hanya saja 

orang-orang tolol di luar sana menyebutku Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!” 

“Aku sudah menyangka! Jadi kau adalah murid nenek keparat Sinto Gendeng 

dari gunung Gede itu!” 

“Hemm… Kau tahu juga asal usul guruku!” ujar Wiro meski diam-diam 

merasa heran.”Tahukah kau bahwa hari ini kau harus menebus semua kejahatanmu 

dengan selembar jiwamu?!” Namun dalam hatinya Wiro bertanya-tanya akan tegakah 

dia membunuh seorang dara paling cantik yang pernah ditemuinya ini? Di samping 

itu dia merasa perlu untuk mengorek keterangan sebanyak-banyaknya dari perempuan 


ini. “Dengar, aku ada satu pertanyaan. Mengapa kau melakukan semua kejahatan 

itu….?” 

“Kau tidak layak bertanya! Kau hanya layak mampus detik ini juga!” 

Begitu bentakannya lenyap dara baju biru itu langsung berkelebat. Tubuhnya 

lenyap dan tahu-tahu satu hantaman angin yang luar biasa kerasnya menerpa 

Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Ketika terjadi perampasan surat Empu Tembikar di tambak ikan, Wiro sudah 

tahu jelas bahwa si perampas memiliki kecepatan gerak luar biasa hingga tubuhnya 

sulit dilihat dengan jelas. Saat itu dia kembali berhadapan dengan manusia lihay 

tersebut. Ilmu meringankan tubuh sang dara jelas berada di atas tingkat 

kepandaiannya. Kalau sang dara juga memiliki ilmu silat dan kesaktian di atasnya, 

celakanya aku pikir Wiro. 

Begitu angin datang menerpa Wiro Sableng melompat ke atas, jungkir balik 

lalu balas menghantam dengan tangan kanan. Lepaskan pukulan Kunyuk Melempar 

Buah. Gumpalan angin dahsyat bergulung laksana batu besar menggelundung. 

Byarr! 

Pukulan murid Sinto Gendeng hanya mengenai air telaga hingga muncrat 

belasan tombak ke atas. Dikejap itu pula dia melihat bayangan biru berkelebat dan 

satu sodokan siku menghantam perutnya. Meskipun dia bisa mengelak namaun tak 

urung siku lawan masih menyerempet. Perutnya terasa seperti mau pecah. Selagi dia 

menahan sakit satu jotosan menyusul melabrak dada kirinya. Tubuhnya terhempas 

jauh dari atas batu besar, masuk ke dalam telaga. Ternyata telaga itu hanya sedalam 

pinggang Wiro. Murid Sinto Gendeng menahan sakit sambil menyumpah. Seumur 

hidup baru sekali itu dia menghadapi lawan yang demikian hebat hingga dalam 

gebrakan pertama saja dia sudah menerima dua hantaman! 

Sadar kalau lawan tak mungkin diimbangi kecepatan gerakannya maka dari 

dalam telaga Wiro lepaskan pukulan-pukulan saktinya. Dia membuka serangan 

dengan pukulan Topan Melanda Samudra. Suara seperti angin punting beliung 

menderu mengeirkan. Api obor sepanjang tepi telaga berkelap kelip. Air telaga seperti 

mendidih dan muncrat di sana sini. Daun-daun pepohonan jatuh berguguran. 

Gadis baju biru yang berada di ujung batu besar merasakan tubuhnya seperti 

hendak digulung ombak besar. Dia melengking keras lalu menghantam dengan kedua 

tangan. Dua larik sinar biru menggebubu, memporak porandakan serangan Wiro, 

membuat pendekar ini kaget setengah mati. Ternyata sang dara memiliki pukulan 

sakti yang sanggup memusnahkan serangannya tadi! 

“Celaka! Gadis gila ini memiliki pukulan sakti luar biasa! Ah, apakah aku 

harus mampus di tangannya? Gila!” rutuk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. 

Kalau tadi dia mengandalkan setengah bagian saja dari tenaga dalamnya maka 

kini dia mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Kedua tangannya. 

Sepanjang ingatan Wiro baru sekali itu dia mengerahkan seluruh tenaga dalam utnuk 

menghadapi lawan. 

Sesaat sebelum dua larik sinar biru menghantam dada dan kepalanya Wiro 

Sableng pukulkan kedua tangannya. Terdengar suara menderu-deru susul menyusul. 

Gadis baju biru tersentak kaget ketika melihat sinar pukulannya tertahan saja. Karena 

sedetik kemudian deru angin yang tidak berhenti itu menggulung balik dua larik sinar 

pukulannya, menyertnya ke belakang lalu menghempaskannya ke arah diri sendiri. 

Sang dara berteriak keras. Tubuhnya mencelat ke udara. Gerakannya hampir tak 

terlihat, tapi suaranya jelas terdengar membuat Wiro mengetahui dimana lawan 

berada. Maka pukulan sakti bernama Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih 

yang tadi telah dilepaskannya kembali kini dihantamkan ke ats ke arah lawan. 


Dengan cerdik si baju biru layangkan tubuhnya ke kiri. Menyangka lawan 

hendak larikan diri Wiro berseru “Pengecut! Jangan kabur!” 

“Keparat! Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum nyawamu lepas 

meninggalkan tubuh!” teriak sang dara. Lalu dalam satu gerakan aneh, laksana seekor 

burung pemakan mayat, tubuhnya menyambar ke bawah. Tangan kanan menusuk ke 

arah mata, tangan kiri mencari sasaran di tenggorokan Wiro. 

Murid Sinto Gendeng yang menahan kekuatan tenaga dalam penuh melompat 

keluar dari air. Sambut serangan lawan dengan memukulkan kedua lengannya. 

Dua pasang tangan beradu! 

Wiro kembali terhempas ke dalam telaga, hampir terjengkang ke dalam air. 

Sekujur tubuhnya terasa panas. Di lain pihak dilihatnya dara berpakaian biru terpental 

satu tombak sambil keluarkan suara menjerit tapi cepat jatuhkan diri di atas batu besar. 

Dari gerakannya menjatuhkan diri Wiro dapat memastikan gadis ini menderita cidera 

yang tidak enteng. Maka dia segera memburu untuk membekuknya hidup-hidup. Tapi 

baru saja bergerak ke arah batu, lima bauh benda putih berkilat menyambar ke 

arahnya! 

“Senjata rahasia! Pengecut!” teriak Wiro. 

Sang dara keluarkan tawa mengekeh. Selama ini paling banyak dia hanya 

mengeluarkan tiga buah senjaa rahasia seperti itu dalam menghadapi lawan tangguh. 

Dan tak pernah satu pun lawan yang luput dari kematian. Kini lima senjata rahasia 

berbentuk paku itu dilepaskan sekaligus! Masakan tidak akan dapat manghantam 

lawan barang satupun? 

Namun hari itu sang dara menyaksikan bahwa kehebatan senjata rahasianya 

tidak berdaya ketika Wiro tanpa tedeng aling-aling lepaskan pukulan Sinar Matahari 

dengan tangan kanannya. Terdengar suara menggelegar disertai kiblatan sinar 

menyilaukan. Air telaga menggejolak tinggi. Batu besar hitam ditengah sana hancur 

lebur. Sang dara berseru tegang. Tubuhnya tampak melesat ke kiri. Kecepatan 

gerakannya menyelamatkan dirinya dari kematian. Namun tak urung bahu pakaian 

birunya yang terserempet sinar pukulan terbakar hangus. Daging bahunya ikut terluka. 

Sakitnya bukan kepalang, laksana tertempel besi panas! 

Selagi lawan kesakitan, Wiro pergunakan kesempatan untuk menerkam. Kaki 

kanannya mencelat lebih dulu. Namun saat itu terdengar suara pesss….! Asap hitam 

mendadak sontak membuntal menutupi seantero telaga. 

Ketika terjadi perampasan surat di tambak ikan, Wiro telah mengalami hal 

yang sama. Dia tak mau tertpu untuk kedua kali. Lawan hendak melarikan diri dengan 

menutupi tabir pemandangan denga asap hitam berbau harum aneh itu. Maka murid 

Sinto Gendeng cepat melesat ke udara, melompat naik ke atas cabang sebatang pohon. 

Dari sini dia dapat melihat jelas keadaan di bawah telaga sampai jauh ke tepi sana. 

Dan saat itu dilihatnya gadis berbaju biru berkelebat ke jurusan timur. Serta merta 

Wiro melayang turun, memapasi dan menghadang sang dara! Kagetnya si gadis 

bukan kepalang. 

Marah, penasaran tapi diam-diam juga kagm melihat kehebatan pemuda itu,  

dia lepaskan lagi senjata rahasianya. Kali ini sepuluh paku berkilat sekaligus! 

“Curang!” maki Wiro. Tangan kanannya bergerak ke pinggang dimana tersisip 

Kapak Maut Naga Geni 212. Sekali senjata itu diputar maka berkiblatlah sinar putih 

menggidikkan. Sepuluh senjata rahasia luruh, jatuh ke tanah dan telaga dalam 

keadaan luluh lantak! 

Kini luluh pula nyali sang dara. Namun untuk menyerah tak ada dalam kamus 

hidupnya. Dia lebih suka mengadu jiwa dengan pemuda itu, maka segera dia 

menyerbu lagi. Tetapi sesuatu tiba-tiba dirasakannya menempel di lehernya. Dingin 


menggidikkan. Memandang ke depan kini tengkuknyalah yang dingin. Si pemuda 

tegak sambil menyeringai. Kapak Naga Geni 212 tergenggam di tangan kanannya. 

Salah satu mata kapak menempel ke batang tenggorokan gadis itu, mulai mengiris 

bagian kulit yang halus hingga sang dara mengerenyit kesakitan. 

“Bunuh! Bunuhlah! Aku tidak takut mati!” kata gadis itu. 

Wiro Sableng masih tegak menyeringai. Dalam rimba persilatan, manusia iblis 

seperti gadis ini tak banyak cerita lagi harus segera dibunuh dimusnahkan. Tetapi 

entah mengapa tangan yang memegang kapak itu tidak juga mau bergerak. Kemudian 

Wiro melihat sepasang mata si gadis mulai berkaca-kaca. Susah payah dia berusaha 

menahan tangis. Bagaimanapun jahatnya, dia tetap saja seorang perempuan. Air mata 

menetes membasahi kedua pipinya. 

“Bunuhlah….. Lekas bunuh!” terdengar kata-kata itu meluncur berulang kali 

dari mulutnya. Namun kini tidak sekeras tadi, semakin perlahan semakin memilukan. 

Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak. Mata kapak melesat tapi 

menjauhi leher. Di lain kejap, bagian  gagangnya yang tumpul membalik, menusuk ke 

depan, menotok tepat bagian leher dekat dada kiri sang dara. Tak ampun tubuh gadis 

ini melosoh jatuh, tak bisa bergerak lagi. Tapi jalan suaranya tetap terbuka tidak putus. 

Sepasang matanya yang basah menatap ke arah Wiro. 

“Kenapa tidak kau bunuh? Bukankah kau sengaja menjebakku agar dapat 

membunuhku….?” Berkata sang dara. 

Saat itu Wiro sudah sisipkan Kapak Maut Naga Geni 212 kembali ke 

pinggangnya. 

“Dosamu memang sudah lewat takaran. Kematian memang yang paling pantas 

bagimu. Namun aku perlu beberapa keterangan….” 

“Jangan mengoceh! Saat ini bukan tempatnya untuk bertutur cakap. Cabut 

kapakmu tetakkan ke kepalaku!” 

Wiro gelengkan kepala. 

“Aku ingin tahu kenapa kau melakukan itu semua? Menculik mayat para gadis. 

Mengorek jantung dan hatinya….!” 

“Itu bukan urusanmu!” 

“Kau betul, itu bukan urusanku,” ujar Wiro. 

“Lalu kenapa tidak kau bunuh aku saat ini?!” 

“Kau juga merampas surat yang kudapat daari Empu Tembikar…. 

Mengapa….. Itu bukan suratmu atau surat kekasihmu…..!” 

“Jangan coba melucu! Demi penguasa usia, bunuh aku detik ini juga. Sekali 

aku lepas aku akan membunuhmu….!” 

Wiro tertawa. 

“Katakan, siapa yang kau sebut penguasa usia itu….!” 

Paras sang dara berubah. Dia baru sadar kalau telah ketelepasan bicara. Tapi 

dia bungkam seribu bahasa. 

“Ketika sore tadi kau sampai ke tempat ini, kau juga berteriak menyebut nama 

itu. Apakah dia sebangsa makhluk yang menjerumuskanmu ke dalam perbuatan iblis 

itu?!” 

“Dia tidak menjerumuskanku! Semua yang terjadi adalah kemauan dan 

sumpahku sendiri!” 

“Aku tak ingin bicara lebih banyak. Yang aku inginkan saat ini adalah mati! 

Bunuh aku!” 

“Dalam usia semuda ini, dengan paras begini cantik, apakah kau tidak takut 

mati…..?” 

“Aku bukan manusia kecoak pengecut yang takut mati sepertimu!” 


“Jangan bicara takabur orang cantik. Tak ada satu manusiapun yang tidak 

takut pada kematian. Termasuk kau! Jika kau mati, bukankah apa yang kau lakukan 

selama ini hanya berarti kesia-siaan belaka?!” 

“Aku telah menemukan apa yang kuinginkan. Matipun kini aku tidak takut!” 

“Kalau begitu katakan apa yang telah kau temukan itu!” 

“Bangsat ini pandai bicara mengorek keterangan!” maki si gadis dalam 

hati. ”Lebih baik aku mengunci mulut!” Maka diapun tidak bicara apa-apa lagi. 

Wiro pegang bahu sang dara sesaat. Kedua mata si gadis tampak melotot. 

“Jangan kau berani menyentuh tubuhku!” sentaknya. 

“Dengar, aku tak mungkin membunuh lawan yang tidak berdaya seperti 

keadaanmu ini. Kalau kau mau memberi keterangan, mungkin aku akan 

mempertimbangkan utnuk melepaskanmu…..” 

Si gadis tertawa. 

“Aku tahu jenis pemuda macammu ini. Merayu untuk mendapatakan sesuatu. 

Begitu dapat ……Cis!” 

Wiro tetawa panjang, lalu berkata “Kau tak mau bicara tak apa. Aku akan 

pergi dari sini….” 

“Tidak! Kau tak boleh pergi sebelum membunuhku!” 

“Aku memang akan kembali,” jawab Wiro. “Tapi kembali membawa binatang 

buas dan berbisa! Biar harimau dan serigala lapar mencabik-cabik tubuhmu! Biar ular 

dan laba-laba seta kalajengking berbisa mematuki dagingmu yang putih…” Lalu 

tanpa mengacuhkan lagi murid Sinto Gendeng melangkah meninggalkan sang dara. 

Kedua mata sang gadis kembali tampak melotot. Kemudian terdengar 

suaranya meratap memilukan hati. Wiro berjalan terus sampai akhirnya tiba-tiba dia 

mendengar gadis itu berseru “Jangan pergi! Kembalilah….. Aku akan terangkan apa 

yang kau minta….” 

Sekali lompat saja Wiro sudah berada di hadapan gadis itu kembali. 

“Nah, sekarang katakanlah riwayatmu yang menggegerkan itu! Asal muasal 

sampai kau melakukan kejahatab ganas luar biasa!” 

Sesaat sang dara masih tersedu-sedu. Namun perlahan-lahan dia kemudian 

mulai memberi keterangan. 

“Semua berasal dari keinginan gila…. Tidak, tidak gila. Sebenarnya wajar-

wajar saja. Setiap perempuan tak ingin jadi tua. Takut dimakan usia…..” 

“Hemm…. Aku ingat bunyi surat yang kau rampas itu. Sama dengan 

keteranganmu. Perempuan takut dimakan usia….” 

“Aku sengaja merampas surat itu. Karena kawatir dapat kau jadikan bahan 

untuk menyelidiki diriku. Aku sudah curiga tindak tandukmu sejak di Tanjung 

Karangwelang…. Hanya saja aku yang bodoh. Ketika jenazah yang kukira jenazah 

Wilani itu kuculik, seharusnya aku sadar mengapa jenazah itu begitu berat. Padahal 

tubuhnya pasti kurus karena dia menderita sakit sekian lama….” Kini aku tahu, kau 

yang mengatur semua itu bukan?” 

Wiro mengangguk. “Apa hubungan antara kejahatan yang kau lakukan dengan 

rasa takutmu dimakan usia….?’ 

“Seseorang mengatakan, jika seorang perempuan berusia di bawah dua puluh 

tiga tahun inginkan tetap awet muda sampai akhir hayatnya maka dia harus 

melakukan sesuatu. Sesuatu itu adalah….” 

“Menculik anak perawan yang mati, mengambil jantung dan hatinya lalu 

memakannya!” potong Wiro. 

“Aku memang menculik dan mengambil hati serta jantung mereka. Tapi aku 

tidak memakannya!” sahut sang dara. 



“Lalu?” 

“Hati dan jantung harus kuambil paling sedikit tujuh kali untuk digosokkan 

pada muka dan sekujur tubuh. Itulah kekuatan mukjizat yang sanggup membuat 

seseorang perempuan menjadi tetap muda seumur hidupnya….” 

“Kau percaya pada kekuatan gila itu?!” 

Si gadis tak menjawab. 

“Siapa yang menanamkan kepercayaan itu padamu?” tanya Wiro. 

“Empu Tembikar!” 

“Edan! Tapi mengapa dia memberikan padaku surat yang bisa membuka 

rahasia dirimu itu! Mengapa dia menyuruh aku bertindak ketika terjadi kebakaran di 

atas perahu Cina itu…?” 

“Mungkin….mungkin dia menyesal telah memberitahukan hal itu padaku. 

Atau mungkin dia menyadari berlangir dengan hati dan jantung anak perawan tidak 

mungkin dapat menahan ketuaan….” 

“Lalu siapa penguasa usia yang beberapa kali kau pekikkan itu?” 

“Aku tidak tahu. Empu mengatakan aku harus mengeluarkan ucapan itu setiap 

aku mendapat jenazah baru…” 

Wiro menarik nafas dalam. “Dunia penuh keanehan. Terkadang keanehan itu 

terselubung tangan iblis utnuk menimbulkan bencana.” Sesaat Wiro menatap paras si 

gadis. “Katamu kau mendapatkan ilmu awer muda itu dari Empu Tembikar. Apakah 

dia juga yang mengajarkan ilmu silat hebat itu padamu…?” 

“Kau bunuhpun aku tak bakal memberi tahu siapa guruku dalam ilmu silat dan 

kesaktian. Beliau tidak ada sangkut pautnya dngan kejahatan yang kuperbuat!” 

“Kau murid yang baik,” kata Wiro. 

Si gadis tundukkan pandangannya. “Sekarang kau sudah tahu semua 

riwayatku….” 

“Belum semua.” 

“Maksudmu?” 

“Aku belum tahu siapa namamu…?” 

“Lebih baik kau tak perlu tahu namaku…” 

“Begitu? Umur dunia masih panjang. Usia kita memungkinkan sewaktu-waktu 

kita bertemu lagi. Sungguh tidak enak kalau aku tidak tahu namamu…” 

“Ucapanmu seperti kau memang bena-benar tak ingin membunuhku. Malah 

ingin bertemu lagi…” 

Wiro angkat tangan kirinya. Jari-jari tangannya diluruskan. Lalu dengan 

gerakan perlahan  dia melepaskan totokan di dada si gadis. Meskipun totokannya kini 

terlepas namun si gadis itu tidak segera berdiri atau melompat menjauh. Sepasang 

matanya kembali tampak berkaca-kaca. 

“Kau bebas sekarang. Kau boleh pergi kemana kau suka. Asal saja kau 

berjanji tidak akan mengulangi perbuatanmu dulu. Menyamar jadi pengemis lalu 

menculik anak perawan orang…. Ha…ha…ha. Tahu-tahu yang terculik anak jejaka!” 

Sang dara tutup wajahnya dengan kedua tangan. Wiro membantunya berdiri. 

“Aku tak akan melupakan kebesaran jiwa dan kebaikan hatimu ini,” kata sang 

dara sambil tundukkan kepala. “Kuharap di kemudian hari aku bakal membalasnya.” 

Wiro tersenyum mendengar basa-basi kuno itu. Dia melangkah menuju tepian 

telaga dimana terletak pintu yang menuju ruangan batu. Sebelum masuk ke dalam 

diambilnya dua buah obor dan diletakkannya di sudut ruangan, lalu pergi duduk di 

salah satu kursi batu. Sesaat kemudian gadis baju biru itu muncul di ambang pintu. 

“Biar hatimu puas akan kukatakan apa yang kau minta. Namaku Mantini. 

Malam ini juga aku akan berangkat ke Tanjung Karangwelang….” 


“Ah, namamu bagus. Tak pernah kudengar nama sebagus itu.” 

Sang dara kelihatan merah parasnya. 

“Untuk apa kau ke Tanjung Karangwelang?” tanya Wiro kemudian. 

“Mencari Empu Tembikar. Kalau tidak karena dia, aku tak akan melakukan 

kejahatan itu….” 

“Tak ada gunanya. Dia hanya memberi tahu apa yang diketahuinya. Tinggal 

kita si pendengar harus mencerna dalam jalan pikiran yang sehat….” 

“Tapi walau bagaimanpun dia yang membuatku sesat. Dia harus bertanggung 

jawab!” 

“Terserah padamu. Tapi malam-malam begini pergi apa perlunya. Kau butuh 

istirahat dari kegoncangan jiwa yang besar ini. Dan bukankah kau berjanji pada 

orang-orang dari desa Wonotunggal untuk mengembalikan jenazahku besok 

malam….?” 

Untuk pertama kalinya gadis bernama Mantini itu tersenyum. “Aku ingin 

pergi ke puncak sebuah gunung. Bertobat dan minta ampun di sana! Mudah-mudahan 

Tuahn masi mau mengampuniku…” kata Mantini sesaat kemudian. 

“Bagus kalau begitu. Pagi masih lama. Kau tidurlah, tutup pintu batu itu. Aku 

lebih suka tidur di tepi telaga…” 

“Jika kau suka, kau boleh tidur dalam ruangan ini…” 

Wiro menggeleng. 

“Kau takut aku membokongmu secara pengecut?” tanya Mantini. 

“Justru kau yang harus takut kalau aku yang membokongmu!” kata Wiro pula 

lalu tertawa gelak-gelak. 

Keesokan harinya, ketika mereka sampai ke tempat kediaman Empu Tembikar 

di Tanjung Karangwelang mereka dapatkan orang tua itu dalam keadaan tak 

bernyawa dalam kamarnya. Sebilah keris beracun menancap di lehernya. Tak dapat 

dipastikan apakah dia bunuh diri atau dibunuh orang. 

 

 

                                        TAMAT 


Penulis : Bastian Tito

Creatid : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com






Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive