Sabtu, 18 Mei 2024
Home »
Wiro Sableng
» PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - MAYAT PERSEMBAHAN
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - MAYAT PERSEMBAHAN
Telaga Malakaji diselimuti kesunyian. Riak air telaga
yang tertiup angin bahkan tidak mengeluarkan suara.
Di balik sebatang pohon besar dalam kegelapan,
mendekam satu sosok berpakaian gelap. Sejak tadi
sepasang mata orang ini memperhatikan ke arah
pondok di tepi telaga di seberang sana. Dia melihat ada
cahaya pelita suram menerangi bagian dalam pondok
berdinding bambu.
Setelah sekian lama berada di balik pohon perlahan-
lahan orang tadi bergerak keluar. Melangkah cepat
menyusuri tepian telaga hingga akhirnya sampai di
samping pondok. Dia memeriksa bagian belakang
bangunan tempat pembakaran besi. Tak ada bara
menyala di tungku pelebur besi.
"Tak mungkin senjata itu ditinggal di luar sini," orang
berpakaian gelap berkata dalam hati. "Pasti dibawa ke
dalam. Menurut Kakek Sarontang senjata itu saat ini
pasti sudah selesai dibuat."
Orang berpakaian geiap melangkah ke pintu
pondok. Untuk beberapa lama dia berdiri di depan
pintu itu. Di tanah dekat tangga dilihatnya ada
sepotong belahan bambu. Diambilnya, lalu dimasukkan
ke celah pinggiran pintu, dipergunakan untuk membuka
kayu kecil pemalang pintu.
Daun pintu mengeluarkan suara berkereket halus
ketika didorong. Sinar terang nyala lampu minyak
menyeruak keluar. Orang itu tak segera masuk,
berhenti dulu di ambang pintu. Sepasang matanya
berputar cepat, memandang memperhatikan keadaan
dalam pondok. Cahaya lampu yang menerangi
wajahnya memperlihatkan bahwa dia adalah seorang
pemuda.
Lampu minyak itu terletak di atas sebuah meja
kayu. Berkelap-kelip pertanda minyaknya tinggal
sedikit. Di sudut kiri ada sebuah lemari kecil yang
bagian atasnya berbentuk rak. Lalu di samping
lemari ini, agak terlindung dari cahaya lampu minyak
terdapat sebuah balai-balai kayu. Di atas balai-balai
itu terbujur sosok seorang berjubah merah,
menghadap ke dinding. Walau tidak melihat wajah
orang yang tidur tapi pemuda yang barusan masuk
sudah tahu siapa adanya orang itu.
Untuk beberapa lamanya pemuda itu masih
tegak tak bergerak di ambang pintu. Telinga
dipasang seperti berusaha mendengar baik-baik
hembusan nafas orang yang tidur. Sesaat kemudian
baru dia langkahkan kaki. Yang didekatinya pertama
kali adalah meja kecil dimana lampu minyak
menyala.
Orang ini sudah sering datang ke pondok itu. Dia
tahu betul, di sebelah bawah meja kayu ada sebuah
laci. Benda yang dicarinya mungkin disimpan dalam
laci itu. Sesaat dia berpaling memperhatikan sosok
yang tidur di atas balai-balai kayu. Lalu hati-hati
ditariknya laci di bawah meja. Ada beberapa benda di
dalam laci meja. Diantaranya dua bilah pisau berkeluk
tanpa sarung. Dia memeriksa lagi sambil
membungkuk agar bisa melihat lebih jelas. Benda yang
dicarinya tak ada di situ.
Perhatiannya kini tertuju pada lemari di samping
balai-balai kayu. Tanpa suara dia melangkah
mendekati lemari itu. Dalam rak di sebelah atas
lemari kosong hanya ada sebuah kendi tua terbuat
dari tanah. Dipandanginya pintu penutup lemari.
Dadanya berdebar. Dia tahu, dia pernah beberapa
kali melihat lemari itu dibuka. Setiap dibuka lemari
mengeluarkan suara berderik keras. Sesaat hatinya
meragu. Tapi kalau lemari itu tidak diperiksa, kawatir
benda itu benar-benar berada di dalamnya. Apa
boleh buat.
Ternyata memang benar. Engsel pintu lemari
mengeluarkan suara berderik keras ketika dibuka.
Orang yang membuka menoleh ke arah balai-balai.
Sosok yang tidur tidak bergerak. Dia meneruskan
membuka lemari. Gelap. Bagian dalam lemari gelap,
dia tak bisa melihat jelas. Terpaksa orang ini me-
ngambil lampu minyak di atas meja, membawanya
ke bagian depan lemari. Dia menggerutu dalam hati.
Dalam lemari hanya ada beberapa potong pakaian
tua. Yang dicari masih belum ditemukan.
"Jangan-jangan orang tua itu menyimpan benda
itu dalam saku jubahnya. Atau mungkin dibawah
bantal. Bagaimana aku bisa mengambilnya..."
membatin orang di dalam pondok. Lalu hatinya
kembali berucap. "Tapi itu bukan kebiasaan Daeng
Wattansopeng. Dia tak pernah membawa tidur
barang bertuah. Juga tak pernah meletakkan benda-
benda seperti itu dibawah bantal. Atau mungkin
sekali ini ada pengecualian?"
Orang itu memandang ke arah rak di atas lemari.
Matanya untuk kesekian kalinya membentur kendi
tanah di atas rak. Otaknya menduga-duga.
"Kendi tinggi. Lehernya besar. Cukup besar
untuk menyimpan benda itu..." Lampu minyak
diletakkan di atas rak. Lalu tangannya mengambil
kendi tanah. Kendi didekatkan ke telinga kiri.
Diguncang perlahan. Ada suara bergemeletakan.
"Pasti ..." desis orang itu. Mulut kendi dijungkirkan
dibawah. Telapak tangan kiri menampung. Sebuah
benda jatuh ke atas telapak tangan.
"Ah..." Si pemuda keluarkan seruan kecewa.
"Bukan!" Yang keluar dari dalam kendi adalah
sepotong lempengan besi berwarna hitam kebiru-
biruan. Agak kesal orang itu memasukkan
lempengan besi ke dalam kendi. Kendi kemudian
dikembalikan ke tempatnya semula. Belum sempat
kendi diletakkan di atas rak tiba-tiba di sebelah
belakang ada suara menegur.
"Bontolebang, apakah benda ini yang kau cari?"
Saking kagetnya kendi yang hendak diletakkan
di atas rak jatuh ke bawah, pecah berkeningan di
lantai pondok. Si pemuda cepat membalik. Di depan
sana, orang berjubah merah yang tadi terbujur tidur
kini dilihatnya duduk di tepi balai-balai kayu.
Menyeringai sambil memegang sebuah benda
panjang satu setengah jengkel, memancarkan
cahaya hitam kebiru-biruan. Itulah benda yang
dicarinya. Badik Sumpah Darah!
Bontolebang, pemuda berpakaian biru gelap
yang menyelinap masuk ke dalam pondok hanya
bisa tegak tertegun. Mulut terbuka tapi tak ada
suara yang mampu keluar.
Perlahan-lahan orang tua berjanggut putih
menjela dada yang duduk di tepi balai-balai kayu
bangkit berdiri. Dia bergerak mendekati Bontolebang
dan berhenti sejarak dua langkah dari hadapan
pemuda itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku Bontolebang.
Aku Daeng Wattansopeng bertanya. Apa badik ini yang
kau cari?"
Pucatlah wajah si pemuda. Lututnya goyah.
Kalau tidak menguatkan diri saat itu mungkin dia sudah
jatuh terduduk. Kepalanya digeleng ke kiri ke kanan.
"Hemmm... jadi kau bukan mencari senjata bertuah
ini. Lalu menyelinap masuk ke pondokku, membuka
laci meja, memeriksa lemari, memeriksa kendi, kau
mencari apa?"
"Astaga, jadi semua apa yang kulakukan dia tahu,
dia melihat," kata Bontolebang dalam hati. Kepala si
pemuda yang tadi menggeleng kini mengangguk-
angguk.
"Saya... saya disuruh Kakek Sarontang..."
Bontolebang berucap terbata-bata.
"Kau disuruh Kakek Sarontang katamu?"
Sepasang mata Daeng Wattansopeng menatap tajam
ke dalam mata si pemuda, seolah hendak
menembusnya. Dua bola mata Bontolebang berputar-
putar. Memandang ke arah lain, tak berani melihat mata
orang tua di hadapannya. Si kakek tersenyum.
"Air mukamu pucat, bicaramu gagap. Lututmu
bergetar goyah. Kau berdusta," berkata Daeng
Wattansopeng. "Katakan hal yang sebenarnya."
"Saya...saya memang mencari badik itu..."
Bontolebang akhirnya mengaku.
"Hemmm ..." gumam serta senyum bermain di bibir
Daeng Wattansopeng.
"Saya, saya memang tidak disuruh Kakek Sarontang.
Saya datang atas kemauan sendiri."
"Bagus, kau sudah bicara hal yang sebenarnya. Aku
ingin tahu, mengapa kau menginginkan badik ini?"
"Saya, saya benci pada Kakek Sarontang..."
"Benci?" Daeng Wattansopeng kerenyitkan kening.
Dia sudah sejak lama tahu, selain merupakan cucu,
antara pemuda itu dengan sang kakek ada satu
hubungan tidak terpuji. Sarontang memperlakukan
Bontolebang sebagai kekasih. Daeng Wattansopeng
yang menganggap Sarontang sebagai saudara sendiri,
sudah berulang kali menegur dan menasihati
Sarontang agar menghentikan perbuatan mesum dan
maksiat besar itu. Namun Sarontang tak pernah
mendengar. Bahkan diketahui Sarontang juga punya
kekasih-kekasih lain selain Bontolebang.
"Bontolebang, kenapa kau membenci kakekmu itu?"
Bertanya Daeng Wattansopeng. (Baca Episode
pertama berjudul "Badik Sumpah Darah)”
"Dia ingkar janji." Menjawab si pemuda.
"Janji apa?"
"Dulu dia pernah berkata. Kalau satu ketika Kakek
Daeng Wattansopeng membuat sebilah badik bertuah,
maka senjata itu akan dimintakannya dan diberikan
pada saya. Ternyata senjata itu akan diberikannya
pada orang yang barusan datang dari tanah Jawa."
"Oh, jadi orang dari Tanah Jawa itu sudah sampai
di Tanah Bugis ini?"
Bontolebang mengangguk.
Daeng Wattansopeng membelai kumis dan janggut
putihnya sesaat lalu berkata.
"Aku tidak keberatan memberikan badik bertuah ini
padamu, jika memang senjata sakti ini berjodoh dengan
dirimu."
Ada rasa kaget dan heran tapi juga gembira dalam
diri Bontolebang. Hal ini kentara dari air mukanya
yang langsung berubah.
"Saya, saya... tidak mengerti maksud Kakek..."
Daeng Wattansopeng ulurkan tangannya yang
memegang badik tak bergagang.
"Ulurkan tanganmu, terima senjata ini."
Bontolebang merasa ragu.
"Mengapa bimbang? Kau inginkan badik ini
bukan? Nah, ambillah!"
Dengan tangan kirinya Daeng Wattansopeng
menarik tangan kanan Bontolebang. Telapak tangan
dibalikkan ke atas. Lalu badik tak bergagang yang
sejak tadi dipegangnya diletakkan di atas telapak
tangan kanan, jari-jari digenggamkan. Badik tak
bergagang tenggelam dalam genggaman si pemuda.
Hanya sesaat badik tergenggam, tiba-tiba
Bontolebang merasakan ada hawa panas luar biasa
seolah bara menyala memanggang tangannya. Asap
mengepul. Bontolebang mengeluh keras. Tangannya
bergetar hebat. Jari-jari terpentang membuka.
Bersamaan dengan itu badik tak bergagang yang
barusan dipegangnya melayang ke atas setinggi satu
tombak, hampir menyentuh langit-langit pondok. Tiba-
tiba senjata itu melesat, menukik ke bawah,
menyambar ke arah dada Bontolebang. Si pemuda
berseru kaget. Cepat menyingkir.
"Breeettt!"
Tak urung dada baju birunya tersambar robek.
Keringat dingin memercik di muka Bontolebang yang
berubah pucat pasi. Belum habis kaget dan ngerinya
tiba-tiba badik tak bergagang kembali menderu. Kali
ini melesat mengarah kepalanya.
Bontolebang jatuhkan diri ke lantai pondok.
Terlambat!
"Crasss!"
Daun telinga kiri pemuda itu kucurkan darah.
Badik tak bergagang sempat menyambar daun
telinganya lalu melesat lagi ke langit-langit kamar
siap untuk kembali menyerang.
Si pemuda cepat jatuhkan diri, berlutut di lantai
pondok. Tangan kiri pegangi daun telinga yang
luka, tangan kanan diletakkan di atas dada. Sambil
membungkuk dia berkata.
"Kakek Daeng Wattansopeng. Saya mengaku
salah. Maafkan saya..."
Kakek berjubah merah tersenyum. Dia angkat
tangan kanannya. Badik tak bergagang melayang
turun, segera dijangkau dengan tangan kanan.
"Badik ini tidak berjodoh denganmu Bontolebang."
"Saya tahu, saya mengerti..." jawab Bontolebang
begitu mendengar ucapan Daeng Wattansopeng.
"Nasibmu masih untung Bontolebang. Badik ini
masih belum diberi tuba. Kalau sudah bertuba, luka
ditelingamu itu bisa membuat umurmu hanya tinggal
beberapa kejapan mata saja..."
"Saya mengaku salah. Maafkan dan ampuni saya,"
kata Bontolebang dengan suara bergetar dan tengkuk
dingin.
Daeng Wattansopeng duduk di tepi balai-balai kayu.
"Kau boleh meninggalkan tempat ini. Temui
Sarontang. Kaiau orang dari tanah Jawa itu memang
sudah datang, katakan pada Kakekmu itu agar
membawanya ke sini pagi tiga hari dari sekarang.
Sebelum fajar menyingsing. Ingat, tiga hari dari
sekarang, pagi hari sebelum fajar menyingsing."
"Perintah Kakek saya lakukan. Saya mohon diri..."
Bontolebang membungkuk dalam lalu berdiri dan
cepat-cepat tinggalkan pondok itu. Daeng
Wattansopeng benar. Kalau saja tubuh badik tak
bergagang itu telah diberi beracun, saat itu dirinya
pasti sudah menjadi mayat dengan kulit matang
biru. Selain itu Bontolebang maklum, Daeng
Wattansopeng memaafkan dirinya semata-mata
hanya mengingat dia adalah cucu Kakek Sarontang.
Daeng Wattansopeng dalam setiap sikap dan
ucapannya selalu tampak lembut. Tapi pada keadaan
tertentu dia bisa bersikap tegas. Kalau saja dia
bukan cucu Sarontang bukan mustahil tangan
kanannya telah ditabas putus oleh Daeng
Wattansopeng dengan badik tak bergagang itu.
*********
Tanah Jawa. Hampir dua puluh lima tahun sebelum
Badik Sumpah Darah diciptakan oleh Daeng
Wattansopeng di Tanah Bugis...
Sejak pagi puncak Gunung Lawu diselimuti awan
tebal kelabu. Dimana-mana mendung menggumpal.
Namun kemendungan yang membungkus wajah
orang yang duduk bersila di dalam goa itu lebih tebal
dan lebih gelap. Entah berapa lama Ki Sulung
Kertogomo memandangi wajah itu sampai akhirnya
dia membuka mulut berkata.
"Dimas Aryo Probo, memang kehidupan dunia
menawarkan banyak kenikmatan. Nikmat harta,
nikmat perempuan, nikmat pangkat dan jabatan.
Untuk itu manusia perlu banyak sabar, eling waspada
dan lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta, agar
tidak terperangkap masuk ke dalam jurang
kehancuran. Karena sekali seseorang tercebur masuk
jurang tersebut, sukar untuk dapat keluar lagi.
Aku mengerti sulit bagimu untuk melepas begitu
saja tahta Keraton Pakubuwon. Kau merasa berhak
untuk menduduki tahta itu. Kau merasa terusik sakit
hati. Rasa sakit hati menimbulkan dendam. Karena
kini tahta dikuasai oleh orang lain. Yang sebenarnya
adalah masih keponakanmu sendiri. Kalau saja kau
bisa membersihkan hati dan pikiran, bukankah lebih
baik bagimu untuk melupakan tahta dan hidup
sebagai Pangeran biasa. Dimana mungkin jalan
hidupmu akan jauh lebih tenteram dan bahagia..."
"Mana aku bisa tenteram bahagia Kangmas
Sulung. Tahta itu dirampas dengan cara membunuh
kakakku Raden Pangestu. Lalu aku dihina dengan
sebutan Pangeran Comberan. Kalaupun aku bisa
melupakan tahta, tapi tidak mungkin bagiku
melupakan kematian kakakku serta penghinaan atas
diriku. Aku sudah bersumpah untuk menumpas
penguasa keji yang bercokol di Keraton Pakubuwon.
Namun diri buruk ini tidak punya kekuasaan, juga
tidak punya ilmu kepandaian apa-apa. Si penguasa
dikelilingi oleh belasan tokoh silat berkepandaian
tinggi. Jika aku berlaku nekad, kepalaku mungkin
sudah lebih dulu menggelinding sebelum sempat
menginjak tangga Istana. Itu sebabnya aku
menemuimu untuk terakhir kali. Karena kau yang
punya petunjuk atas apa yang harus aku lakukan.
Kalau aku memang perlu mengarungi lautan ke
tanah seberang, jangankan lautan air, lautan apipun
akan aku sabung. Aku sangat butuh pertolonganmu
Kangmas Sulung."
Ki Sulung Kertogomo, orang tua yang duduk di
atas tikar kulit harimau terdiam beberapa lama lalu
menghela nafas dalam.
"Dimas Aryo Probo, kalau tekadmu sudah bulat,
apa lagi sudah sampai pada mengangkat sumpah,
aku merasa bersalah kalau tidak menolongmu. Tapi
petunjuk yang aku lihat sungguh berat untuk
dilaksanakan..."
"Kangmas Sulung, seperti aku katakan tadi,
aku sanggup menyabung nyawa," kata Aryo Probo
sang Pangeran. "Katakan saja kemana aku harus
pergi, siapa yang harus kutemui."
"Di bekas Kerajaan Blambangan ada beberapa
orang sakti. Di tanah Bali ada banyak tokoh utama
berkepandaian tinggi. Di tanah Banten juga
bertebaran orang-orang hebat. Namun petunjuk
mengatakan bahwa Dimas tidak mungkin mem-
pergunakan dan mendapatkan kepandaian dari
semua orang-orang itu. Dimas ditentukan untuk
harus berjalan jauh, menyeberangi lautan ke satu
tempat di arah timur laut. Petunjuk menyatakan
tanah itu adalah Tanah Bugis, Tanah Mengkasar,
hampir dua bulan perjalanan dari sini, melalui darat
dan mengarungi lautan luas."
"Jika petunjuk mengatakan begitu, aku akan
melakukan. Tak ada kebimbangan dan keraguan di
hatiku Ki Sulung."
"Yang akan jadi masalah bukan cuma jauhnya
tempat tujuan, tetapi juga lamanya waktu yang harus
Dimas nantikan."
"Maksud Kangmas?" tanya Aryo Probo.
"Dimas harus menunggu selama dua ratus
delapan puluh delapan purnama atau hampir dua
puluh empat tahun untuk mendapatkan sebilah sakti
mandraguna. Hanya dengan senjata sakti itulah
Dimas sanggup merebut dan menguasai tahta
Pakubuwon."
Terkejutlah Pangeran Aryo Probo mendengar
ucapan Ki Sulung Kertogomo itu.
"Konon, menurut petunjuk kemunculan senjata itu
akan berbarengan dengan kemunculan seseorang
di Tanah Bugis. Dialah kelak yang akan berjodoh
mendapatkan senjata itu. Tapi dia hanya bisa
memegang senjata tersebut untuk beberapa lama,
yaitu sampai niat dan tujuannya tercapai. Setelah
itu senjata tersebut akan menjadi milik Dimas, tapi
juga hanya untuk waktu tertentu. Setelah itu senjata
harus dikembalikan kepada si pembuat."
Termenung Pangeran Aryo Probo mendengar
keterangan orang tua yang duduk di atas tikar kulit
harimau itu.
"Kangmas Sulung, senjata yang ada dalam
petunjuk itu, berupa apakah? Sebilah pedang, keris,
golok mungkin?"
"Senjata itu berupa sebilah badik," jawab Ki Sulung
Kertogomo.
Kembali Aryo Probo terdiam.
"Dimas Aryo, kalau boleh aku bertanya, berapakah
usiamu saat ini?" Ki Sulung Kertogomo ajukan
pertanyaan.
"Empat puluh lima tahun," jawab orang yang ditanya.
"Berarti pada saat Dimas Aryo mendapatkan senjata
bertuah pembuka jalan untuk mendapatkan tahta
Kerajaan Pakubuwon, usia Dimas Aryo akan sekitar
tujuh puluh tahun. Di usia setua itu, apakah Dimas
masih menginginkan tahta? Lagi pula selama
seperempat abad Dimas harus meninggalkan Tanah
Jawa ini, harus berada di Tanah Bugis."
Lama Aryo Probo berdiam diri. Ketika akhirnya dia
bicara suaranya agak bergetar. "Mungkin itu satu-
satunya jalan atau takdir yang harus aku terima. Berada
di Tanah Jawa ini seolah menginjak bara panas. Aku
tidak akan mundur sekalipun harus menunggu
seperempat abad. Waktu sekian lama bisa aku
pergunakan untuk menimba ilmu kesaktian. Lalu jika
kemudian tahta Pakubuwon memang tidak aku
dapatkan, paling tidak kelak ada orang lain yang
memang pantas dan berhak untuk menguasainya."
Ki Sulung Kertogomo menatap wajah Pangeran
Aryo Probo sejenak. Pada wajah dan sepasang
mata orang itu dia melihat tekad membara, gelegak
dendam yang tak bisa diluluhkan. Maka orang tua
inipun berkata. "Baiklah Dimas Aryo. Kalau tekadmu
sudah bulat, aku tak berani melarang. Besok pagi-
pagi, sebelum fajar menyingsing datanglah
menemuiku. Akan aku katakan padamu Tanah Bugis
mana yang harus kau tuju dan siapa yang harus kau
temui."
"Terima kasih Kangmas Sulung. Aku minta diri
dulu. Besok sebelum fajar aku akan datang kembali."
Kata Pangeran Aryo Probo pula sambil bangkit berdiri.
"Ada satu hal lagi perlu kukatakan Dimas Aryo,"
ujar Ki Sulung Kertogomo. "Jika kelak kau sudah
menjejakkan kaki di Tanah Bugis, maka kau harus
melenyapkan jati dirimu sebagai orang Jawa. Bahkan
kau harus mengganti nama."
"Mengapa begitu Kangmas Sulung?" tanya Aryo
Probo.
Begitulah ketentuan yang kulihat dan harus
kau jalani, Dimas."
"Kalau memang demikian, aku akan melakukan."
Ki Sulung Kertogomo anggukkan kepala. Dia
ikuti kepergian Pangeran itu dengan pandangan
matanya. Dalam hati orang tua ini berucap. "Kasihan,
aku melihat bukan tahta yang bakal didapatnya tapi
satu kehidupan gelap di tepi jurang neraka. Apa lagi
selama ini dia diketahui menjalani hidup sesat. Usia
hampir setengah abad namun tak pernah menikah.
Hidup bergelimang maksiat dengan sesama jenis.
Apakah pantas orang seperti dia menjadi penguasa
Kerajaan? Mudah-mudahan Illahi mau menolong.
Membuat dia membatalkan apa yang menjadi niat di
hatinya."
Sesuai petunjuk Ki Sulung Kertogomo, Pangeran
Aryo Probo seorang diri meninggalkan Tanah Jawa,
berangkat berlayar menuju Tanah Bugis. Perahu
tumpangannya berlabuh di Teluk Bantaeng. Hari telah
gelap ketika gerobak sapi yang disewanya sampai di
ujung satu rimba belantara.
"Saya hanya mengantar sampai di sini," kata kusir
gerobak seorang pemuda bertubuh kerempeng
berambut lebat hitam. "Jika Bapak berjalan terus dan
lurus, pasti akan sampai di telaga. Berdiri di tepi telaga
Bapak akan melihat sebuah pondok. Itulah tempat
kediaman orang sakti yang Bapak cari."
"Mengapa kau tidak mengantarkan aku sampai
ke pondok itu?" tanya Aryo Probo.
Kusir gerobak menggeleng. "Penghuni pondok itu
orang tua aneh. Bila dia tidak suka pada seseorang,
enak saja dia membunuh orang itu. Tidak jarang dia
memasukkan manusia hidup-hidup ke dalam tungku
pelebur besi. Dijadikan kayu pembakar!"
"Omong kosong, mana ada manusia sejahat itu."
"Terserah Bapak mau percaya atau tidak. Saya
hanya mengantar sampai di sini. Harap Bapak
memberikan bayaran sewa gerobak."
Walau agak kesal Aryo Probo turun dari gerobak
sapi. Dari dalam buntalan dikeluarkannya sekeping
perak dan diserahkannya pada kusir gerobak.
Suara derak roda-roda gerobak lenyap dikejauhan.
Sendirian di dalam gelap sambil memanggul buntalan
di bahu kiri Aryo Probo memandang berkeliling. Lelaki
ini terkejut dan keluarkan seruan tertahan ketika tiba-
tiba di hadapannya berdiri satu sosok bungkuk
sambil mengumbar suara tawa mengekeh.
Orang di hadapan Aryo Probo mengenakan
jubah dalam hitam. Di kepalanya bertengger sebuah
topi hitam berbentuk tarbus dan di bawah topi ini
menjulai panjang rambut kelabu awut-awutan.
Wajahnya yang cekung tak berdaging nyaris
menyerupai tengkorak, ditumbuhi janggut dan kumis
lebat memutih seperti kapas. Malam begitu gelap
namun sepasang mata orang ini seperti
mengeluarkan cahaya, terlihat jelas, memandang Aryo
Probo berputar turun naik dari atas ke bawah.
Tawa mengekeh terputus. Si jubah hitam luruskan
tubuhnya yang bungkuk. Aryo Probo melengak kaget.
Ternyata dalam keadaan lurus sosok orang itu sangat
tinggi. Kepala Aryo Probo hanya sampai sebatas
dadanya.
"Orang dari seberang di tanah asing. Apakah kau
manusianya yang bernama Aryo Probo?"
Tentu saja Aryo Probo menjadi kaget mendengar
orang tahu dan menyebut namanya. Dia tidak
menjawab, tak berani mengangguk. Hatinya
membatin.
"Dia tahu aku orang seberang. Bahkan tahu
namaku. Jangan-jangan sudah menguntit sejak dari
teluk. Lalu muncul seperti hantu."
Aryo Probo pegang buntalan yang dibawanya
erat-erat. Di dalam buntalan itu selain membawa
beberapa potong pakaian dia juga membawa
kepingan-kepingan perak dan emas sebagai bekal.
Setelah perhatikan orang Aryo Probo bertanya.
"Orang tua berjubah hitam. Kau mengejutkan diriku."
"Begitu? Ha... ha... ha...! Baru melihat manusia kau
sudah terkejut. Bagaimana kalau melihat setan!"
"Siapa kau, orang tua? Ada maksud apa muncul
seperti sengaja menghadangku."
Si orang tua mendongak lalu kembali keluarkan
tawa mengekeh.
"Namaku Pattirobajo. Tapi sudah lama aku tidak
memakai nama itu. Di negeri ini aku lebih dikenal
dengan julukan Iblis Seribu Nyawa."
*******
julukan seperti itu. Gelar aneh tak masuk akal tapi
menyeramkan.
"Julukan hebat. Apa alasan orang menjuluki kau
begitu rupa? Kau pasti cuma punya satu nyawa,
tidak seribu."
Si jubah hitam terkekeh panjang dan manggut-
manggut.
"Saat ini usiaku sudah mencapai seratus dua
puluh tahun lebih! Puluhan kali maut menghadang
diriku! Puluhan kali musuh berusaha membunuhku.
Dengan menantang terang-terangan. Dengan ilmu
hitam. Tapi aku tidak mati-mati! Aku sudah bosan
hidup!"
"Kalau tak ada musuh yang sanggup mem-
bunuh. Kalau kau memang sudah bosan hidup,
mengapa tidak bunuh diri saja?!" ujar Pangeran
Aryo Probo pula.
Si orang tua terkekeh panjang. Dua tangannya
di angkat ke udara. Tahu-tahu entah dari mana
datangnya dalam genggaman dua tangannya telah
terhunus dua bilah golok pendek yang saking
tajamnya memancarkan cahaya berkilau walau
dalam gelap.
"Ilmu hitam, orang ini punya ilmu hitam. Kalau
tidak dari mana dia tahu-tahu bisa memegang dua
bilah golok begitu rupa," kata Arya Probo dalam
hati.
"Kau menyuruh aku bunuh diri! Akan aku
lakukan ! Lihat!"
Dua tangan yang memegang golok berkelebat.
"Craaaass!"
"Kraaaaaakkk!"
Satu semak belukar rimbun rambas amblas.
Sebatang pohon putus terbabat lalu tumbang. Si
jubah hitam ini seolah hendak membuktikan bahwa
dua bilah golok yang dipegangnya bukanlah barang
mainan. Sambil silangkan sepasang senjata itu di
depan dada, dia keluarkan tawa panjang. Lalu dua
bilah golok digorokkan ke lehernya kiri kanan.
"Greekk... greeeekkk... greeekkk... greeeekkk."
Dua golok tajam itu laksana menggorok
batangan besi.
Aryo Probo membeliak besar menyaksikan
kejadian itu.
Si orang tua rubah cara dia memegang gagana
golok. Senjata hf>ruiung lancip itu kemudian
ditusukkannya ke perut berulang kali.
"Duukk... duuuukkkk... duuukkk... tiukkk!"
Dua golok seperti menghunjam p»Ha dinding
batu atos!
Kembali Aryo Probo terkesiap.
Orang tua beijubah hitam melompat satu
tombak ke udara. Sambil melompat dia bacokkan
dua bilah golok ke batok kepalanya.
"Traang... traang... traang... traaaang!"
Golok-golok tajam seolah menghantam bola
besi!
Belum puas memperlihatkan bahwa seluruh
tubuhnya kebal tak mempan senjata tajam si orang
tua tarik ujung rambutnya dengan tangan kiri lalu
golok di tangan kanan ditabaskan.
"Tringg....!"
Rambut panjang kelabu tidak putus. Mata golok
laksana mambabat kawat baja.
"Kau lihat? Kau saksikan sendiri!" Si orang tua
berkata setengah berteriak dan delikkan mata ke
arah Aryo Probo. "Dua golok jahanam ini tidak
berguna! Tidak mampu membunuhku!" Lalu orang
tua yang mengaku bernama Pattirobajo bergelar
Iblis Seribu Nyawa bantingkan dua golok ke tanah.
"Bless! Bless!"
Dua golok amblas masuk ke dalam tanah.
Lenyap seolah ditelan bumi!
"Orang tua, senjata tajam tidak mempan, kau
tidak cidera apa lagi mati. Itu berarti kau memiliki
ilmu kesaktian yang melindungi dirimu hingga tak
mempan senjata tajam. Dibacok, ditusuk sampai
sejuta kalipun kau akan tetap hidup. Apa anehnya?!"
"Anehnya aku ingin mati tapi tak bisa mati!"
"Buang ilmu kesaktianmu, kau pasti bisa mati
hanya dengan tusukan sehelai rumput!"
Iblis Seribu Nyawa menyeringai.
"Aryo Probo, dengar baik-baik. Aku sudah
sepuluh tahun lebih menyirap kedatangan dirimu.
Sudah sepuluh tahun lebih aku menunggumu! Luar
biasanya kau benar-benar muncul di Tanah Bugis
ini! Setelah kau muncul apa aku akan melepaskan
dirimu begitu saja?! Kau wakil malaikat maut yang
sanggup mengakhiri hidupku!"
"Aneh, bagaimana bisa kejadian seperti itu. Kau
menyirap kabar, kau menungguku. Menganggapku
wakil malaikat maut!'
"Tak usah mempersoalkan segala macam
keanehan. Sarontang, sekarang kau harus ikut aku
ke lereng timur Gunung Lompobatang. Jangan
barani menolak!"
"Sarontang? Siapa Sarontang?" tanya Aryo
Probo sambil memandang ke samping kiri kanan
lalu menoleh ke belakang karena mengira ada orang
lain di sekitar situ.
"Sarontang. Itu nama barumu! Apa kau tidak
ingat pesan Ki Sulung Kertogomo? Bahwa begitu
kau menginjakkan kaki di Tanah Bugis kau harus
mengganti nama?!"
Kejut heran Aryo Probo bukan kepalang.
"Orang tua, bagaimana kau bisa tahu semua.
Kau kenal dengan Ki Sulung Kertogomo?"
"Orang tua itu telah berpulang sewaktu kau
masih mengarungi lautan menuju ke sini..."
"Astaga... Jangan kau berani bergurau. Ki
Sulung Kertogomo sudah seperti kakak kandung
bagiku!" bentak Aryo Probo.
"Siapa berani bergurau dengan nyawa dan roh
manusia? Orang yang kau anggap sebagai kakak
itu benar-benar telah meninggal sewaktu kau dalam
perjalanan ke sini. Ketika suatu malam aku mencoba
masuk ke dalam alam roh gaib, terjadi sambung
rasa antara petunjuk yang pernah aku dapatkan
dengan roh kakakmu. Aku sempat bertemu dan
bertutur sapa dengan Ki Sulung..."
Aryo Probo terdiam. Sulit baginya untuk
mempercayai ucapan si orang tua. Dia mengalihkan
pembicaraan.
"Urusan apa aku harus ikut bersamamu?"
"Karena hanya engkau satu-satunya manusia
yang ditakdirkan bisa membunuh dan mengakhiri
hudupku! Aku tahu apa tujuanmu datang ke Tanah
Bugis ini..."
"Apa? Coba sebutkan," ucap Aryo Probo ingin
menguji.
"Kau ingin menemui kakek yang tinggal di tepi
Telaga Mala kaji. Kau ingin menemui Daeng
Wattansopeng, kakek sakti pembuat senjata bertuah.
Kau ingin mendapatkan sebilah senjata. Sebilah
badik. Badik Sumpah Darah!"
Aryo Probo benar-benar heran. Bagaimana
orang ini bisa tahu begitu banyak tentang diri dan
perjalanannya?
"Aryo Probo, Pangeran dari Keraton Paku-
buwon. Dengar baik-baik. Badik Sumpah Darah. Itu
satu-satunya senjata yang bisa menamatkan
riwayatku. Tetapi aku hanya bisa menemui kematian
kalau kau yang menikamkan badik itu pada diriku..."
Aryo Probo ternganga, geleng-gelengkan kepala,
Tak bisa keluarkan suara.
"Aku tak ingin mati di tempat sembarangan.
Aku ingin mati di tempat ibuku melahirkan diriku. Di
tebing batu di lereng timur Gunung Lompobatang.
Aku akan membawamu ke sana agar kau tahu
tempatnya. Jika kau sudah mendapatkan Badik
Sumpah Darah maka kau harus mendatangi diriku
di lereng gunung tempat kediamanku. Membunuhku.
Menghabisi diriku!"
"Bagaimana... Bagaimana kalau sesudah
mendapatkan badik itu aku tidak datang ke tempat
kediamanmu, tidak membunuhmu?" bertanya Aryo
Probo.
Si kakek delikkan mata lalu tertawa mengekeh.
"Itu satu pertanyaan tolol. Lebih tolol jika kau tidak
melakukan apa yang aku katakan! Dengar Pangeran,
jika kau tidak membunuhku, kau akan ditimpa kualat
seumur-umur. Dirimu akan termakan sumpah
kutukku. Apa yang menjadi tujuanmu tidak akan
kesampaian. Malah kau akan celaka sengsara
seumur-umur..."
Aryo Probo tak ingin mau mempercayai ucapan
Pattirobajo alias Iblis Seribu Nyawa. Tapi tak urung
bulu kuduknya berdiri juga.
"Sekarang kau jangan banyak bicara. Aku akan
membawa ke Gunung Lompobatang!"
Habis berkata begitu tiba-tiba si orang tua
luruskan tubuhnya. Sosok Iblis Seribu Nyawa
berubah jangkung. Tangan kanannya laksana kilat
menyambar tengkuk baju Aryo Probo.
"Lepaskan!" teriak Aryo Probo.
Iblis Seribu Nyawa menjawab dengan sung-
gingan seringai. Aryo Probo hantamkan jotosan
keras ke dada si orang tua. Tapi dia menjerit sendiri
kesakitan amat sangat seolah barusan memukul
batu keras.
Si orang tua tertawa mengekeh. Dengan dua
jari tangan kirinya dia tusuk kening Aryo Probo.
Kejap itu juga Pangeran dari Pakubuwon ini
mendadak kaku sekujur tubuhnya.
"Iblis Seribu Nyawa, jika kau berani menyakiti
diriku, aku bersumpah akan membalas seribu kali
lebih hebat!" mengancam Aryo Probo.
Pattirobajo tidak perdulikan ancaman orang.
"Aryo Probo. Kau beri kematian padaku. Sebagai
balasan aku akan memberikan satu ilmu kesaktian
hebat padamu. Kau cukup membalasnya dengan
Mayat Persembahan."
"Mayat persembahan? Apa pula itu? Apa
maksudmu?" tanya Aryo Probo.
"Setiap bulan mati kau berkewajiban menye-
rahkan seorang pemuda, lajang, belum kawin
padaku. Pemuda itu harus dalam keadaan mati, tak
bernyawa. Bila tiba saatnya kau dapat mewakilkan
kewajiban itu pada orang lain. Orang lain itu yang
kelak harus menyerahkan mayat seorang pemuda
padamu."
Aryo Probo terdiam. Tengkuknya terasa dingin.
"Gila..." katanya kemudian.
Iblis Seribu Nyawa tertawa bergelak. "Sarontang,
dunia ini memang dipenuhi seribu satu kegilaan.
Kita harus ikut berlaku gila agar dianggap orang
sebagai manusia wajar. Ingat hal itu baik-baik!"
******
SEJAK sore udara di kawasan Telaga Malakaji
dipenuhi oleh kelelawar yang beterbangan kian kemari.
Sampai matahari terbenam dan malam datang
membawa kegelapan binatang-binatang itu masih
berkeliaran. Suara kepak sayap lebar disertai sesekali
suara kuikan keras terdengar tak berkeputusan.
Dini hari menjelang datangnya Subuh, di atas
balai-balai tidurnya Daeng Wattansopeng terbaring
pejamkan mata. Orang tua ini tidak sedang tidur
karena getaran bibirnya memberi pertanda bahwa
dia tiada henti berzikir menyebut nama Allah. Di
tangan kanannya ada seuntai tasbih berwarna hijau.
Tiba-tiba getaran bibir terdiam. Suara hati terhenti.
Sepasang mata yang sejak tadi terpejam membuka
nyalang, menatap tajam ke arah langit-langit pondok
kayu di atasnya.
Barusan telinganya menangkap suara sesuatu
berkelebat halus sekali di atas sana. Daeng
Wattangsopeng tahu betul itu bukan suara kepak
sayap kelelawar. Orang tua ini seorang berke-
pandaian tinggi yang kemampuan pendengarannya
luar biasa. Dia sanggup mendengar suara gesekan
daun di jarak belasan tombak. Jika tadi dia hanya
bisa mendengar suara kelebat sangat halus, berarti
siapapun adanya mahluk di atas atap maka dia juga
memiliki kepandaian hebat.
Perlahan-lahan Daeng Wattansopeng bangun dari
tidurnya. Duduk di pinggiran balai-balai kayu. Dua
matanya masih terus mengawasi langit-langit pondok.
"Ada orang di atas atap." kata Daeng Wattansopeng
dalam hati. "Aneh, seumur hidup baru kali ini aku
kedatangan tamu bukan muncul di pintu tapi melayang
di atas atap..."
Orang tua ini ingat janjinya dengan Sarontang
yang disampaikan lewat Bontolebang. Lalu dia
menghitung hari.
'Tidak mungkin Sarontang datang menyalahi
janji. Menurut hitunganku hari ini baru hari kedua
sebelum fajar menyingsing. Janjiku, meminta dia
datang pada hari ke tiga sebelum fajar. Lagi pula
Sarontang tidak akan datang dengan cara seperti
ini. Naik ke atas atap. Dan Sarontang datang tidak
akan sendirian. Karena sudah diketahui dia akan
membawa tamu yang datang dari Tanah Jawa."
Daeng Wattansopeng usap-usap janggut pulih
yang menjulai sampai di dadanya. Dia coba
menduga-duga siapa gerangan orang yang datang,
seperti seekor burung hinggap menjejakkan kaki di atas
atap pondok. Berpikir cukup lama, Daeng
Wattansopeng tak bisa menduga siapa adanya orang
di atas sana. Dia merasa tidak ada janji dengan
orang lain. Cara datang yang aneh membuat si
orang tua merasa risau tapi tetap berlaku tenang.
Tasbih di tangan kanan yang sejak tadi dipegangnya
dimasukkan ke dalam kantung jubah merah. Dia
menatap kembali di atas atap lalu menegur.
Suaranya keras tapi nadanya lembut.
"Tamu di atas atap, silakan turun. Pintu pondok
terbuka menerima kedatanganmu."
Setelah ditegur begitu rupa Daeng Wattansopeng
mengira orang yang ada di atas atap akan melayang
turun dan menuju pintu pondok. Tapi apa yang
kemudian terjadi membuat orang tua ini terkejut. Atap
pondok di atasnya mendadak jebol besar. Dari jebolan
atap melayang turun satu sosok serba putih.
Ketika sosok itu berdiri tegak di lantai pondok,
Daeng Wattansopeng dapatkan dirinya berhadapan
dengan seorang yang tak dikenal. Orang ini berusia
sekitar empat puluhan, bermuka putih, mengenakan
pakaian panjang sampai ke kaki berwarna putih.
Kepalanya ditutup sehelai kerudung kain putih tebal
yang menjulai menutup sampai ke bagian belakang
kepala terus ke punggung. Kerudung putih ini
kelihatan agak aneh karena di bagian belakang
kepala ada dua buah lobang kecil. Luar biasanya
setiap orang ini menghembuskan nafas terasa
sambaran angin panas.
"Aku berhadapan dengan seseorang berke-
pandaian tinggi," membatin Daeng Wattansopeng.
"Melihat pada cara masuk dan gerak-geriknya aku
kawatir dia tidak berhati baik. Datang membekal
niat buruk."
Setelah pandangi orang di hadapannya sejurus
lamanya, Daeng Wattansopeng lalu menegur.
"Kerabat tak dikenal, siapa dirimu adanya.
Mengapa masuk ke pondokku dengan cara
merusak? Menjebol atap padahal ada pintu?"
Orang yang ditegur diam saja, menatap tajam
ke arah Daeng Wattansopeng. Ketika Daeng
Wattansopeng balas menatap terkejutlah orang tua
ini. Astaga! Dia baru melihat, baru menyadari!
Manusia tak dikenal di depannya itu memiliki bola
mata aneh. Dua bola matanya bukannya bulat tetapi
berbentuk segit tiga dan berwarna hijau.
"Luar biasa, harimau jejadianpun matanya tidak
seperti ini," membatin Daeng Wattansopeng. Dia
mulai berlaku waspada. Agaknya tamu tak dikenal
ini benar-benar datang tidak membawa maksud baik.
Mungkin menginginkan senjata sakti yang baru saja
selesai dibuatnya!
"Daeng Wattansopeng," tiba-tiba si jubah putih
berkerudung aneh berucap. "Aku menyirap kabar
bahwa dalam beberapa hari ini kau menunggu
kedatangan saudaramu bernama Sarontang yang
akan membawa seorang tamu dari Tanah Jawa.
Benar?"
Daeng Wattansopeng tidak segera menjawab.
Tamu tak dikenal ternyata tahu bahwa dia tengah
menunggu kedatangan orang. Yakni Sarontang yang
akan membawa tamu dari Tanah Jawa.
"Benar," Daeng Wattansopeng akhirnya berikan
jawaban.
"Apakah tamu itu seorang pemuda bernama
Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212?"
Kening Daeng Wattansopeng mengerenyit.
Kepalanya digelengkan. "Aku tidak pernah mengenal
orang dengan nama dan julukan yang kau sebutkan
itu."
Mata berbentuk segitiga menatap tajam dan
pancarkan cahaya angker seolah hendak menjajagi
apakah Daeng Wattansopeng bicara benar atau
dusta. Orang lain dipandang seperti itu mungkin
akan tergetar hati dan ciut nyalinya. Tapi Daeng
Wattansopeng tetap tenang. Tiba-tiba orang tua ini
merasakan ada getaran aneh di lantai pondok. Lalu
satu hawa panas menyusup masuk ke telapak kakinya.
Dalam kagetnya orang tua ini cepat
kerahkan tenaga dalam. Hawa panas masih terus
menjalar naik ke kaki, naik lagi ke paha. Ketika
mencapai perut di mana terletak pusat tenaga dalam
yang dimiliki Daeng Wattansopeng, hawa panas itu
tak mampu menembus.
"Desss!"
Satu letupan halus menggema. Asap putih
mengepul-dari balik jubah merah Daeng
Wattansopeng. Orang tua ini perhatikan wajah dan
sepasang mata orang di hadapannya. Dia maklum,
jelas barusan tamu tak dikenal itu tengah menguji
kekuatannya dengan cara menghantamkan hawa
sakti melalui lantai pondok. Daeng Wattansopeng
tengah berpikir apakah dia perlu membalas
kelancangan orang. Tiba-tiba seperti tadi kembali
dia merasa lantai pondok bergetar. Lalu ada hawa
dingin luar biasa merasuk masuk ke telapak kaki
kiri. Membuat orang tua ini bergetar sekujur tubuh
dan bergemeratakan rahangnya. Hawa dingin
mencoba naik ke atas, menenbus pusat tenaga
dalam dibagian perut. Wattansopeng kencangkan
perutnya, tahan nafas, kerahkan tenaga dalam.
"Desss!"
Seperti tadi terdengar letupan. Dari balik jubah
Daeng Wattansopeng mengepul asap kehitaman. Di
depan sana lelaki berkerudung putih kelihatan
bergoncang tubuhnya lalu tersurut dua langkah.
Dari mulutnya keluar suara bergumam. Lalu ada
suara lain seperti memaki halus.
"Aneh, aku mendengar ada dua suara," membatin
Daeng Wattansopeng. "Siapa sebenarnya tamu
lancang tak diundang ini. Saatnya aku memberi
pelajaran."
Kalau orang menjajal dirinya secara diam-diam
maka lain halnya dengan Daeng Wattansopeng. Dia
tak mau membokong lawan secara pengecut. Sambil
letakkan dua telapak tangan di depan dada, sambil
membungkuk orang tua ahli pembuat senjata
bertuah ini berkata.
"Kerabat tak dikenal, terima kasih kau telah
sudi memberi pelajaran padaku. Aku Daeng
Wattansopeng ingin belajar lebih jauh padamu."
Habis berkata begitu Daeng Wattansopeng
mendongak ke arah atap pondok yang jebol. Dari
tempatnya berdiri dia dapat melihat langit gelap
kelam di atas sana. Saat itu enam ekor kelelawar
besar tengah berkelebat terbang di atas atap. Daeng
Wattansopeng kedipkan dua matanya. Bersamaan
dengan itu tangan kanannya diturunkan ke bawah,
telapak disentakkan ke arah lantai pondok. Enam
ekor kelelawar besar yang melewati atap pondok
yang jebol, laksana disedot satu kekuatan dahsyat
keluarkan suara menguik keras lalu melesat ke
bawah. Sayap-sayap mereka berubah seperti
tebasan senjata tajam. Kuku-kuku mereka mencakar
ganas. Enam binatang ini menyerang orang
berkerudung putih dari enam jurusan. Tiga di bagian
kepala, tiga di arah badan!
Orang yang mendapat serangan berseru kaget.
Dua kepala didongakkan, tangan kanan dihan-
tamkan. Dua larik sinar hijau angker melesat dari
sepasang matanya. Tiga ekor kelelawar besar yang
menyerang bagian kepala hancur berantakan. Asap
hijau sesaat menutupi pondok.
"Bukk! Bukkk!"
Dua ekor kelelawar yang menyerang bagian
badan remuk, terpelanting dan amblas masuk ke
dalam dinding. Kelelawar ke enam satu-satunya
yang lolos, sempat menghunjamkan cakarnya ke
bagian dada orang berjubah putih.
"Breettt!"
Jubah robek besar. Orang yang diserang keluarkan
seruan keras. Tangan kirinya menghantam. Kelelawar
menguik dan terkapar di tanah dalam keadaan hancur.
"Terima kasih, kau telah sudi memberi pelajaran
padaku," kata Daeng Wattansopeng lalu membungkuk.
Muka putih orang berjubah kelihatan merah kelam
membesi. Mulutnya berkomat-kamit keluarkan suara
menggerutu. Saat itu secara aneh Daeng
Wattansopeng kembali mendengar suara lain. Dia
berusaha mencari tahu siapa yang bicara tapi tak
berhasil.
"Daeng Wattansopeng, kau merobek pakaianku...."
"Ah, harap maafkan. Bukan aku yang melakukan
tapi kelelawar itu," jawab Daeng Wattansopeng
sambil tersenyum.
"Aku tidak akan melupakan, aku tidak akan
memaafkan."
"Kerabat tak dikenal, kalau cuma jubah yang robek
aku bisa menggantinya. Apakah kau bersedia
memperbaiki atap pondokku yang telah kau rusak?"
"Aku tak punya waktu untuk memperbaiki atapmu!"
"Hemmm. Kalau begitu harap kau memberi tahu
siapa dirimu adanya. Dari logat bicaramu aku bisa
menduga kau bukan orang sini. Juga bukan orang
dari Tanah Jawa."
"Aku merasa tidak perlu menjawab pertanyaanmu.
Aku akan pergi. Tapi ingat, aku akan kembali lagi
untuk memastikan siapa adanya tamu yang datang dari
Tanah Jawa bersama Sarontang."
"Tadi kau memberi tahu kalau kau mencari seorang
pemuda bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212. Ketahuilah, tamu yang
dibawa Sarontang bukan orang yang kau cari. Tapi jika
kau mau tahu dan ingin melihat dengan mata kepala
sendiri, silahkan datang besok pagi. Hanya kuharap
kau datang membawa bahan untuk memperbaiki
atapku yang kau rusak. Syukur-syukur kau datang
membawa seorang tukang sekalian...." Daeng
Wattansopeng berkata sambil sunggingkan senyum
mengejek.
Merasa diejek si jubah putih berkata.
"Daeng Wattansopeng. Membuat aku tersurut satu
langkah dalam adu kekuatan tadi, jangan mengira ilmu
kepandaianmu ada di atasku. Jangan memandang
sebelah mata padaku. Kalau orang dari Tanah Jawa itu
memang Wiro Sableng adanya, kau harus
menyerahkannya padaku. Jika kau berani menolak,
bukan cuma pondokmu yang kuhancurkan, tapi juga
tubuhmu!"
"Sungguh tak dinyana. Betapa mudahnya kau
mencari lantai terjungkat, membuat permusuhan tanpa
mau menyadari kesalahan sendiri' merusak rumah
orang! Kau bicara hebat bahkan terlalu takabur. Tapi
terlalu pengecut untuk memberi tahu siapa dirimu dan
kau datang dari mana!"
"Aku datang dari negeri jauh. Aku jelaskanpun
kau tidak bakal mengerti!"
"Kalau begitu katakan saja siapa namamu, juga
gelar julukanmu jika kau punya."
"Namaku Lajundai. Aku datang dari Negeri
Latanahsilam! Aku berjuluk Hantu Muka Dua. Wiro
Sableng adalah musuh besarku. Dia menghancurkan
Istana miliki. Membuat aku terpesat ke negeri ini. Di
Latanahsilam aku tak berhasil membunuhnya. Mungkin
dia ditakdirkan harus mati di negeri sendiri."
"Kalau pemuda bernama Wiro Sableng itu memang
musuh besar yang ingin kau habisi, mengapa tidak
langsung datang mencarinya ke Tanah Jawa?"
"Aku tidak tahu di mana letak Tanah Jawa. Dari
Latanahsilam, negeri seribu dua ratus tahun silam,
aku terpesat ke Tanah Bugis ini. Mendengar kabar
bahwa ada seseorang yang akan datang ke sini,
bersama seorang pemuda dari Tanah Jawa, apa
salahnya aku menunggu sampai orang itu muncul.
Kalaupun dia bukan Wiro Sableng, masih ada
kesempatan untuk bertanya padanya di mana musuh
besarku itu berada."
Habis berkata begitu sosok berjubah putih bergerak
berputar lalu melesat ke atas atap yang berlubang. Di
atas atap dia tidak terus berkelebat pergi melainkan
tegak di pinggiran jebolan atap dan berkata.
"Daeng, ingat. Aku akan datang kembali." Saat itu
Daeng Wattansopeng ingin sekali menghantam si
jubah putih berkerudung dengan pukulan sakti, namun
dia berusaha mempersabar diri. Hanya memperhatikan
sampai orang di atas sana berkelebat pergi.
"Negeri Latanahsilam..." kata Daeng Wattansopeng
perlahan. "Di manakah itu? Tadi waktu sosoknya
berputar aku sempat melihat ada dua buah lobang
pada kerudung di bagian belakang kepalanya.
Sebelumnya aku mendengar seperti ada suara orang
lain. Hantu Muka Dua.... Apakah orang tadi benar-
benar memiliki dua buah muka sesuai dengan
julukannya?" (Mengenai Hantu Muka Dua harap baca
riwayat petualangan Pendekar 212 Wiro Sableng di
Negeri Latanahsilam mulai dari Episode "Bola-Bola
Iblis" s/d Episode "Istana Kebahagiaan" terdiri dari 18
episode).
******
SEBELUM sampai pada hari ke tiga, hari perjanjian
di mana Sarontang dan Adipati Jatilegowo akan datang
ke tempat kediaman Daeng Wattansopeng di Telaga
Malakaji, kita kembali dulu pada satu peristiwa yang
terjadi di tanah Jawa beberapa waktu lalu.
Dalam Episode berjudul "Senandung Kematian"
dituturkan terjadinya satu pertempuran hidup mati
antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Damar
Wulung alias Adisaka yang dibantu Pangeran
Matahari musuh bebuyutan murid Sinto Gendeng.
Wiro akhirnya berhasil merampas kembali keris
pusaka Keraton yakni Keris Naga Kopek yang dicuri
Damar Wulung. Senjata mustika sakti itu kemudian
diserahkannya pada Sutri Kaliangan, putri Patih
Kerajaan.
Sebenarnya Sutri ingin sekali berada lebih lama
bersama Wiro. Bukan saja karena diam-diam gadis
rupawan ini telah terpikat hatinya pada Pendekar
212, tapi dia juga ingin kepastian bahwa Wiro benar-
benar akan mencarikan obat untuk menyembuhkan
sakit berat yang diderita ayahnya. Namun Sutri
Kaliangan menyaksikan, di tempat itu ada tiga orang
gadis cantik yang diketahuinya sama-sama mencintai
Wiro. Maka walau dengan berat hati, di samping harus
segera menyerahkan keris pusaka Keraton pada Sri
Baginda, Sutri Kaliangan terpaksa meninggalkan
Pendekar 212.
"Gadis itu, seorang diri kau biarkan membawa
senjata pusaka Kerajaan, apakah tidak berbahaya?
Aku kawatir...." Naga Kuning yang tegak di samping
Setan Ngompol berkata.
"Seharusnya kau minta aku menemaninya," kata
Setan Ngompol. "Aku tak keberatan duduk
menunggang kuda bersamanya. Ha... ha... ha!" Setan
Ngompol tertawa bergelak lalu cepat tekap bagian
bawah perutnya yang siap hendak mengucur.
"Kotaraja tak jauh dari sini. Lagi pula keadaan
kurasa sudah cukup aman. Dan Sutri memiliki ilmu
pedang yang bisa diandalkan," ujar Wiro pula. Dia
memandang pada bocah jabrik, melirik pada nenek
bermuka setan yang dikenal dengan julukan
Gondorowo Patah Hati.
"Naga Kuning sahabatku, ada beberapa hal
penting yang harus aku kerjakan. Tak mungkin
kulakukan seorang diri. Aku minta kau dan Setan
Ngompol ikut membantu...."
"Kalau memberi pekerjaan jangan yang susah-
susah. Nantiaku sulit kencing!" kata Setan Ngompol.
Wiro tersenyum.
"Membantumu boleh-boleh saja. Tapi apa kau
tega...." Naga Kuning pegang dan elus-elus tangan
Gondorowo Patah Hati hingga si nenek tersipu malu
dan cepat tarik tangannya. Bidadari Angin Timur,
Ratu Duyung dan Anggini jadi sama-sama tertawa
melihat kelakuan si bocah. "Puluhan tahun aku tak
pernah bertemu dengan dia, begitu bertemu kau
hendak memisahkan kami dengan memberikan satu
pekerjaan."
"Aku tidak bermaksud memisahkan kalian.
Syukur-syukur Nenek Gondorowo Patah Hati mau
membantu."
"Katakan pekerjaan apa yang harus kami
lakukan?" bertanya Setan Ngompol.
"Pekerjaan mudah, menyirap kabar di mana
beradanya bunga melati hitam...."
"Melati hitam?" Setan Ngompol dan Naga
Kuning berucap berbarengan.
"Di mana-mana yang namanya kembang melati
itu warnanya putih," kata Naga Kuning. "Ini bukan
pekerjaan mudah!"
"Mungkin ada kembang melati yang gosong?!"
ujar Setan Ngompol lalu tertawa bergelak. "Ada-ada
saja!"
"Kalau urusan kembang seharusnya c.urus oleh
orang-orang perempuan. Bukan kami orang laki-
laki!" ujar Naga Kuning. Dia melirik pada tiga gadis
cantik di depannya. "Wiro, mengapa tidak mereka
saja yang kau tugasi menyirap di mana beradanya
kembang melati gosong itu?"
Wiro terdiam tapi palingkan wajahnya me-
mandang pada Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung
dan Anggini yang juga sama memandang ke
arahnya.
"Wiro, jika kau memang ingin kami yang mencari
bunga melati hitam itu, kami bersedia saja
melakukan...." berkata Ratu Duyung. Anggini
mengiyakan sementara Bidadari Angin Timur diam
saja.
Pendekar 212 menggaruk kepalanya.
"Sebenarnya ada hal lain yang jadi tanggung
jawabku dan perlu kuselidiki. Tapi waktuku sempit
dan seperti tadi aku katakan, tak mungkin semua
urusan kutangani sendiri. Kalau kalian bertiga sudi
menolong...."
"Katakan mengenai apa?" tanya Ratu Duyung.
"Pedang Naga Suci 212. Senjata mustika itu
tidak ditemukan pada jenazah Puti Andini.
Seseorang telah mencurinya."
"Pangeran Matahari!" kata tiga gadis serempak.
"Pasti dia yang telah mencuri pedang itu setelah
membunuh Puti Andini." (Mengenai kematian Puti
Andini harap baca serial Wiro Sableng Episode
berjudul "Makam Ke Tiga" dan "Senandung
Kematian")'
"Ini urusan sangat berbahaya. Setiap hal yang
ada sangkut pautnya dengan pangeran jahanam itu
maut tantangannya...."
"Kami bertiga tidak takut. Malah kalau kami
bisa membunuh mahluk terkutuk itu rasanya kami
sudah berbuat jasa besar untuk rimba persilatan
Tanah Jawa ini," kata Anggini murid Dewa Tuak
bersemangat.
"Kami bertiga akan menyelidik dan mencari
pedang keramat itu," kata Ratu Duyung ikut
bersemangat.
Bidadari Angin Timur anggukkan kepala namun
dalam hatinya gadis ini mengeluh. "Sekian lama
terpisah, tercerai berai oleh berbagai kejadian,
setelah bertemu mengapa sampai hati menginginkan
perpisahan ini? Aku tahu semua yang kau katakan
adalah urusan penting. Tapi apakah tidak ada sedikit
waktu luang bagi kita berdua untuk bersepi diri,
bercakap-cakap membicarakan hal yang selama ini
masih belum sempat saling kita ungkapkan? Lebih
dari dua puluh empat purnama kau pergi, sekarang
pada saat perjumpaan apakah tak ada sedikit
kesempatan dapat kau berikan padaku...."
Wiro mengangguk dan mengucapkan terima
kasih berulang kali pada tiga gadis cantik itu tanpa
mampu memperhatikan kelainan sikap Bidadari
Angin Timur. Lalu dia berpaling, memandang pada
Naga Kuning, Setan Ngompol dan Gondorowo Patah
Hati.
"Wiro," Setan Ngompol berucap. "Aku pernah
muda, juga pernah tua. Bercinta di masa tua jauh
nikmatnya dibanding bercinta di masa muda'.
Kuharap kau tidak membebani kakek nenek jelek ini
untuk melewati hari-hari bahagia mereka. Biar aku
mewakili keduanya menyirap dan mencari bunga
melati hitam itu."
Dibilang nenek jelek Gondorowo Patah Hati yang
aslinya bernama Ning Intan Lestari pelototkan
matanya pada Setan Ngompol hingga kakek satu ini
tersurut dan pancarkan air kencing. Tapi Naga
Kuning sendiri kelihatan senyum-senyum senang.
Soporti diketahui bocah ini sebenarnya adalah
seorang kakek berusia sekitar seratus dua puluh
tahun dikenal dengan panggilan Kiai Paus Samudera
Biru. Sewaktu muda dia pernah menjalin cinta
dengan Ning Intan Lestari namun nasib memisahkan
mereka satu sama lain selama puluhan tahun.
Walau Setan Ngompol berucap begitu namun
Wiro merasa ragu kakek konyol tukang kencing ini
akan benar-benar mau membantunya.
Saat itu tiba-tiba untuk pertama kalinya
Gondorowo Patah Hati berkata. "Tiga puluh tahun
lalu aku pernah mendengar riwayat tentang bunga
melati hitam itu. Bunga itu dikenal dengan nama
Melati Tujuh Racun. Kalau tidak terjadi perubahan,
walau sangat sulit mungkin aku masih bisa
menyelidik di mana bunga itu beradanya. Kalau aku
boleh bertanya, untuk apakah bunga melati hitam
itu bagimu? kalau aku menemukan, berapa kembang
harus kuambil?"
"Saat ini aku belum bisa memberi tahu untuk
apa bagiku melati hitam itu. Nek, kau cukup hanya
memberi tahu padaku di mana beradanya bunga itu.
Biar nanti aku sendiri yang akan mengambilnya.
Mengenai jumlahnya kalau kau bisa menemukan
cukup satu tangkai saja. Nek, kalau kau bisa
menolong, aku benar-benar sangat berterima kasih...."
Gondorowo Patah Hati berpaling pada Naga
Kuning. Si bocah menghela nafas panjang,
bersungut-sungut lalu berkata.
"Orang bercinta seharusnya mencari bunga mawar
merah, bukan melati gosong!"
Diiringi gelak tawa tiga gadis cantik Naga Kuning
dan Gondorowo Patah Hati segera tinggalkan tempat
itu. Setan Ngompol sesaat tegak termangu sambil
pegangi bagian bawah perutnya yang basah kuyup.
Akhirnya kakek ini berkelebat pula ke arah lenyapnya
Naga Kuning dan Gondorowo Patah Hati.
Setelah orang-orang itu pergi Wiro berpaling
pada tiga gadis cantik di hadapannya.
"Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung, Anggini.
Kita terpaksa berpisah di tempat ini. Dalam
menyelidik Pedang Naga Suci 212 berlakulah hati-
hati. Aku berharap, pada purnama tiga minggu di
muka kita bisa bertemu di puncak Bukit Menoreh di
selatan Kotaraja...."
"Kau sendiri hendak ke mana dan mau
melakukan apa Wiro?" tanya Bidadari Angin Timur.
"Sesuatu yang tak kalah penting dan
berbahayanya dengan apa yang akan kalian lakukan.
Sekali lagi hati-hatilah...."
Saat itu ingin sekali Wiro memeluk ke tiga gadis
itu satu persatu namun dia sadar hal itu tidak
mungkin dilakukan. Dia hanya bisa menatap tiga
wajah gadis cantik jelita itu lalu akhirnya tinggalkan
tempat itu.
"Aneh," kata Anggini. "Dia tidak memberi tahu
untuk apa bunga melati hitam itu."
"Benar, bukankah Wiro telah berjanji pada putri
Patih Selo Kaliangan bahwa dia akan mencari obat
penyembuh racun ular yang mendekam di tubuh
sang patih yang menyebabkan orang ke dua di
Kerajaan itu saat ini terbaring sakit dan lumpuh,"
ikut bicara Ratu Duyung.
"Yang jadi pertanyaan, dari mana Wiro dapat
petunjuk bahwa bunga melati hitam itu merupakan
obat bagi kesembuhan Patih Kerajaan? Setahuku
selama ini dia tidak pernah bertemu orang pandai,"
ujar Anggini pula sambil memandang pada Ratu
Duyung dan Bidadari Angin Timur. Ratu Duyung
mengangkat bahu. Sedang Bidadari Angin Timur
tak menjawab. Gadis ini palingkan wajah,
memandang ke jurusan lain.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" bertanya
Ratu Duyung. "Langsung tinggalkan tempat ini
menyelidik lenyapnya Pedang Naga Suci 212?"
"Makin cepat kita mulai menyelidik makin baik,"
menyahuti Anggini.
"Tunggu dulu," kata Bidadari Angin Timur. "Wiro
tidak mau memberi tahu apa yang hendak
dikerjakannya. Tadi aku memperhatikan. Sewaktu
meninggalkan tempat ini tadi, Wiro pergi ke arah
yang sama dengan perginya Sutri Kaliangan.
Jangan-jangan sebenarnya dia hendak menyusul
gadis itu...."
Jelas ada rasa cemburu terbayang pada ucapan
Bidadari Angin Timur.
"Mungkin sebelumnya antara mereka sudah saling
janji," kata Ratu Duyung pula yang ikutan jadl cemburu.
Tiga gadis merasa cemburu wajar-wajar saja
karena Sutri Kaliangan memiliki wajah jelita dan
seorang puteri Patih Kerajaan pula.
"Kita harus menyelidik. Apa sebenarnya yang
dilakukan Wiro," kata Bidadari Angin Timur. Dia
memberi isyarat pada dua sahabatnya. Ke tiga gadis
tinggalkan tempat itu, berkelebat ke arah lenyapnya
Sutri Kaliangan dan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Belum lama berlari tiba-tiba Ratu Duyung yang
berada di sebelah belakang berkata.
"Kawan-kawan. Ada orang mengikuti kita. Lekas
sembunyi!"
Tiga gadis cantik segera menyelinap ke balik
serumpun semak belukar lebat. Tak lama kemudian
muncul orang yang menguntit. Dada turun naik,
nafas memburu dan dua tangan pegangi perut.
"Heran, tiga-tiganya bisa lenyap. Melesat ke
langit atau amblas ke dalam tanah? Tidak mungkin...
tidak mungkin. Pasti sembunyi sekitar sini! Ha...
ha... aku si tua bangka masakan bisa ditipu tiga
gadis ingusan!" Sepasang mata belok orang ini
memperhatikan ke atas pohon besar. Dia tidak
melihat orang-orang yang dicarinya.
Di balik semak belukar Bidadari Angin Timur
setengah jengkel berkata. "Huh... tua bangka itu
rupanya!" Bersama dua gadis lainnya dia keluar
dari balik semak belukar.
"Kakek Setan Ngompol!" tegur Bidadari Angin
Timur. Si kakek yang celingukan mencari-cari
langsung pancarkan air kencing saking kagetnya.
"Kek! Bukankah sebelumnya kau ikut bersama Naga
Kuning dan Gondorowo Patah Hati? Sekarang
mengapa menguntit kami dan muncul di sini?"
"Kalian jangan curiga. Tadinya aku memang
ikutan sama nenek angker dan bocah konyol itu.
Tapi kupikir-pikir apa untungnya mengikuti dua orang
yang sedang mabok cinta. Salah-salah aku bisa
jadi ngiler sendiri. Ha... ha... ha." Menjawab Setan
Ngompol. Habis tertawa langsung saja kencingnya
terpancar hingga tiga gadis berteriak dan cepat
menjauh. "Dari pada mengikuti mereka bukankah
lebih untung ikut kalian saja?!"
"Untungnya apa?" tanya Bidadari Angin Timur.
"Pertama kalian cantik-cantik! Berarti setiap saat
aku melihat pemandangan indah. Kedua...."
"Sudah! Jangan bicara melantur!" tukas Ratu
Duyung. "Kawan-kawan, apa kalian sudi jalan
bersama kakek ini?"
"Sudi tak sudi asal dia mau menurut apa kata
kita ya boleh-boleh saja...." jawab Anggini.
"Aku tahu... aku tahu kalian tak bisa menolak.
Bukan karena aku memaksa tapi karena aku dulu
juga pernah muda dan ganteng...."
"Uhhhh!" ucap tiga gadis berbarengan.
"Mata belok, kuping kanan terbalik tak karuan!" kata
Bidadari Angin Timur menggoda.
"Tampang keriputan. Badan bau pesing!" Ratu
Duyung ikut menggoda.
"Sudah... sudah!" kata Setan Ngompol.
"Bukankah kalian mau mengejar Wiro? Berlama-
lama di sini nanti kehilangan jejak."
"Eh, bagaimana kau bisa tahu kami hendak
mengejar Wiro?" tanya Bidadari Angin Timur curiga.
Setan Ngompol menyeringai. "Apa ada pemuda
lain yang pantas kalian kejar? Kalau saja aku masih
muda...."
"Uhhhh...!"
"Ha... ha... ha!" Setan Ngompol tertawa bergelak
dan kembali terkencing-kencing.
******
SEKARANG kita ikuti perjalanan Sutri Kaliangan,
putri Patih Kerajaan. Seorang diri gadis ini memacu
kudanya menuju Kotaraja. Saat itu hari masih pagi.
Udara terasa segar. Untuk mempercepat sampai ke
Kotaraja Sutri sengaja mengambil jalan memotong,
melewati sebuah lembah, menembus satu rimba
belantara kecil. Sekeluarnya dari rimba itu Kotaraja tak
jauh lagi. Namun tak terduga seseorang telah
menunggu kemunculannya di tepi rimba.
Orang ini hanya mengenakan sehelai celana
komprang hitam. Tangan dan dada ditumbuhi bulu
lebat. Kulit muka kebiru-biruan. Sepasang mata
berwarna merah. Di sudut bibir mencuat taring.
Masing-masing mata memiliki dua buah alis
berwarna merah. Satu di atas satu di bawah mata.
yang paling aneh adalah kepalanya. Mulai dari
kening ke atas kepala orang ini berbentuk segi
empat, berwarna kelabu kehitaman dan keras atos.
DI atas kepala ada sebuah pendupaan yang selalu
mengepulkan asap menebar bau kemenyan. Di
pinggangnya tergantung sebuah guci berleher
panjang terbuat dari tembaga.
Orang menghadang di tengah jalan, Sutri Kaliangan
terpaksa hentikan kudanya. Tunggangan si gadis ini
meringkik beberapa kali sambil mengangkat dua kaki
depan pertanda binatang ini mencium bahaya
mengancam tuannya. Sutri sendiri sudah merasa
kalau orang punya niat jahat terhadapnya. Dia melirik
pada guci tembaga yang tergantung di pinggang orang.
Dia ingat keterangan Wiro bahwa seorang gadis
sahabatnya dari alam roh telah disekap di dalam guci
ini. Sutri sedikit agak bingung. Menurut Wiro guci itu
terbuat dari perak sedang yang dilihatnya adalah guci
tembaga.
Sutri yang sudah kenal siapa adanya si penghadang
segera menegur.
"Iblis Kepala Batu Alis Empat! Beberapa lama ini kau
menghilang entah ke mana. Tahu-tahu muncul di
pinggir rimba belantara. Bukankah tugasmu seharusnya
berada di kawasan Istana?"
"Terus-menerus berada di sekitar Istana lama-lama
membuat diriku jenuh. Apa salahnya sekali-sekali
aku keluyuran dan nasib mujur bertemu gadis
secantik dirimu! Ha... ha... ha!"
"Hem.... Cara bicaramu tidak pantas. Apa kau
lupa berhadapan dengan puteri seorang Patih
Kerajaan yang harus kau hormati? Melihat caramu
berdiri di tengah jalan, sikapmu seperti menghadang.
Atau mungkin aku salah menduga?"
Orang yang ditegur menyeringai. Mulutnya
komat-kamit. Asap menebar bau kemenyan
mengepul dari pendupaan di atas kepalanya yang
berbentuk empat persegi.
"Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan!
Dugaanmu tidak keliru! Aku sudah mengikutimu
sejak dari air terjun Jurang Mungkung. Sengaja
menghadangmu di pinggir rimba belantara ini. Ada
satu persoalan yang ingin kubicarakan denganmu!"
"Hemmm. Mengikuti orang lalu menghadang.
Kini berkata ingin bicara. Sungguh perbuatan tidak
pantas. Aku dapat membaca dari air mukamu! Kau
punya niat tidak baik! Iblis Kepala Batu Alis Empat,
hati-hati bicara dan bersikap padaku. Ayahku bisa
menjatuhkan hukuman berat atas dirimu! Ingat itu!"
Iblis Kepala Batu tertawa bergelak.
"Ayahmu memang Patih Kerajaan. Tapi saat ini
apa yang bisa dilakukannya. Tubuhnya tergolek
lumpuh di atas pembaringan. Kau masih ingin
mengandalkannya dirinya? Tak lama lagi dia akan
dicopot dari jabatannya, digantikan oleh orang lain!"
"Mulutmu lancang, ucapanmu kurang ajar! Lekas
menyingkir dari hadapanku!" bentak Sutri Kaliangan.
"Sutri Kaliangan, aku ingin tahu, apa kepentinganmu
hingga memberi tahu pada Pendekar 212 tempat
kediamanku di Kali Mungkung. Pendekar keparat itu
telah menghancurkan tempat kediamanku. Apa kau
mengerti kalau kau harus ikut bertanggung jawab atas
perbuatannya itu?"
"Bicara soal tanggung jawab memang satu hal yang
tidak enak," jawab Sutri Kaliangan sambil pasang
air muka sinis. "Karenanya aku juga ingin bertanya,
apa kau juga punya rasa tanggung jawab, menculik
seorang gadis alam roh dan menyekapnya dalam
guci perunggu itu?"
"Ha... ha... ha!" iblis Kepala Batu Alis Empat alias
Iblis Kepala Batu Pemasung Roh tertawa bergelak.
Asap menggebubu dari dalam pendupaan di atas
kepalanya. "Pendekar 212 jelas-jelas musuh Kerajaan.
Buronan yang harus ditangkap hidup atau mati. Bahkan
manusia itu telah mencelakai ayahmu, Patih Kerajaan.
Tapi justru aku lihat saat ini kau membelanya!
Sungguh keanehan luar biasa! Tapi mungkin bukan
keanehan kalau kau sudah jatuh cinta padanya."
Wajah cantik Sutri Kaliangan serta merta
bersemu merah.
"Iblis Kepala Batu. Kepala batu berarti otakmu juga
batu! Tidak heran kalau perbuatan dan bicaramu
seenaknya! Lekas menyingkir dari hadapanku! Atau
kaki-kaki kudaku akan menghancurkan kepala
batumu!"
Kembali Iblis Kepala Batu Alis Empat keluarkan
tawa bergelak. "Aku menyirap kabar kau pernah
diculik pendekar itu. Jangan-jangan ha... ha! Kalian
berdua sudah ber ha... ha... ha! Itu sebabnya kau
kini ingin membela pemuda itu!"
Merah padam wajah Sutri Kaliangan. Bergetar
tubuhnya. Tangan kanannya bergerak, menekan
ujung gagang pedang yang tergantung di pinggang.
Iblis Kepala Batu menyeringai. Bukannya
menyingkir malah dia rentang dua kaki dan tegak
berkacak pinggang.
"Dasar iblis! Bicara kurang ajar! Tak mau menyingkir!
Jangan menyesal kalau kupecahkan kepalamu!"
Puteri Patih Kerajaan itu sentakkan tali kekang
kudanya. Binatang tinggi besar itu meringkik keras.
Dua kaki depannya melesat ke atas. Menyambar ke
arah kepala orang yang berdiri di depannya.
Sambil menyeringai Iblis Kepala Batu Alis Empat
gerakkan dua kakinya. Tubuhnya melesat miring ke
atas. Tendangan kuda tunggangan puteri Patih
Kerajaan tak mengenai sasaran. Bersamaan dengan
itu Iblis Kepala Batu tendangkan kaki kanannya.
"Bukkk! Praaakk!"
Kuda besar meringkik keras. Tubuhnya terlempar
satu tombak lalu terguling di tanah, melejang-lejang
akhirnya diam, meregang nyawa dengan kepala
pecah!
Sutri Kaliangan menjerit keras. Sebelum kudanya
tergelimpang di tanah gadis ini telah melompat dari
punggung kuda, mencabut pedang lalu dari atas
menyerbu Iblis Kepala Batu Alis Empat dengan satu
bacokan ganas.
"Traangg!"
Pedang di tangan Sutri Kaliangan menghancurkan
pendupaan di atas kepala Iblis Kepala Batu Alis
Empat. Kejut dan marah manusia ini bukan alang
kepalang. Pendupaan di atas kepalanya itu merupakan
salah satu benda penunjang kekuatannya. Tubuh
orang ini langsung bergetar karena salah satu kekuatan
yang dimilikinya telah musnah. Dia cepat menguasai
diri dengan mengerahkan tenaga dalam.
"Keparat jahanam!" gertak Iblis Kepala Batu.
Selama ini dia memang tahu kalau puteri Patih
Kerajaan itu memiliki ilmu pedang tapi tidak
menyangka begitu hebatnya hingga sanggup
menghancurkan pendupaan di atas kepalanya dalam
satu jurus saja!
"Sutri Kaliangan! Kau telah menghancurkan
pendupaan di atas kepalaku! Orang lain pasti akan
kubunuh saat ini juga! Tapi terhadapmu aku masih
punya belas kasihan! Aku ampuni selembar
nyawamu kalau kau mau menyerahkan Keris Naga
Kopek padaku!"
"Apa?!" sentak Sutri Kaliangan. "Jadi senjata
pusaka itu rupanya yang jadi incaranmu! Hemmm....
Selama ini kau dikenal sebagai tokoh silat Istana.
kini jelas belangmu. Ternyata kau adalah musuh
dalam selimut!"
"Jangan banyak bicara! Aku justru ingin
menyelamatkan senjata itu. Banyak orang yang
mengincar. Lekas serahkan dan kau akan selamat!"
"Senjata pusaka itu tidak ada padaku! Ada pada
Pendekar 212 Wiro Sableng!"
"Aku sudah mengampuni nyawamu! Kau masih
berani bicara dusta! Terpaksa aku memisahkan
kepala dengan badanmu!"
Habis berkata begitu Iblis Kepala Batu Alis Empat
melompat ke depan. Dua tangan bergerak cepat. Sutri
babatkan pedangnya.
"Traangg! Traangg!"
Pedang menghantam dua tangan Iblis Kepala
Batu. Senjata itu seperti membacok batu atos. Kejut
Sutri bukan alang-kepalang. Dia tidak pernah tahu
kalau musuh memiliki ilmu kebal dahsyat begitu
rupa. Untung pedangnya tidak sampai patah.
"Iblis Kepala Batu! Patih Kerajaan akan
menghukummu atas apa yang kau lakukan
terhadapku! Lekas pergi dari sini!"
"Ayahmu yang terbaring sakit punya daya apa
saat ini? Jangan bicara sombong padaku! Dalam
waktu dekat Sri Baginda akan mencopot jabatannya
sebagai Patih Kerajaan!" Iblis Kepala Batu Alis
Empat mengulang ucapannya tadi. Lalu dia
membentak. "Mana Keris Naga Kopek?!"
"Kau ingin keris? Makan dulu pedangku!" jawab
Sutri Kaliangan. Didahului teriakan keras si gadis
kiblatkan pedangnya. Senjata itu lenyap dari
pemandangan yang kelihatan hanya satu cahaya
berkilau deru angin menggidikkan. Sutri sengaja
mengeluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu
pedangnya. Dimulai dengan jurus pertama bernama
"Menusuk Puncak Gunung" disusul gebrakan kedua
bernama "Menikam Dasar Samudera" lalu diteruskan
dengan jurus ketiga bernama "Membelah Rembulan
Di Puncak Langit."
Serangan Sutri Kaliangan memang luar biasa
ganas. Sesuai dengan nama jurusnya mula-mula
senjata itu menusuk ke arah tenggorokan lawan.
Begitu lawan mengelak pedang memburu dengan
tikaman ke arah perut. Sekali lagi lawan berkelit
pedang mengejar dari bawah ke atas, siap
menggorok leher terus membelah dagu sampai
kepala.
Orang lain, tidak pada jurus pertama atau kedua,
pada jurus ke tiga pasti akan jebol pertahanannya.
Namun yang jadi lawan Sutri Kaliangan saat itu
adalah tokoh silat Istana yang menjadi salah satu
dedengkot para tokoh rimba persilatan pada masa
itu.
Iblis Kepala batu membuat empat kali gebrakan.
Telapak tangan kirinya didorongkan ke depan.
"Desss!"
Sutri Kaliangan menjerit keras. Dadanya laksana
dihantam batu besar. Tubuhnya terpental. Pedang
terlepas dari genggaman. Ketika terguling di tanah,
dari mulutnya kelihatan ada lelehan darah. Si gadis
terluka di dalam cukup parah.
"Kau masih belum mau menyerahkan Keris
Naga Kopek?! Mau mati sekarang juga?!" bentak
Iblis Kepala Batu seraya melangkah mendekati Sutri.
Puteri Patih Kerajaan itu ludahkan darah di
mulutnya. Lalu melompat bangkit, tegak terhuyung-
huyung, keluarkan ucapan.
"Siapa takut kau bunuh! Lihat tangan!"
Entah gerakan apa yang dilakukan Sutri Kaliangan,
tubuh gadis ini tiba-tiba melesat, tangannya sebelah
kanan menyambar ke arah mata kiri sebelah bawah
Iblis Kepala Batu.
Iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala
Batu Pemasung Roh berseru kaget. Dengan cepat
dia melompat mundur dan melintangkan telapak
tangan kiri melindungi mata kiri.
"Gadis jahanam ini. Apakah dia tahu...."
Iblis' Kepala Batu tak bisa berpikir dan berucap
lebih panjang. Saat itu Sutri Kaliangan kembali
menyerbu. Setiap serangan yang dilancarkannya
selalu mengarah ke pipi kiri di bawah mata lawan.
"Jahanam! Kalau tidak kuhajar sekarang juga
bisa berbahaya. Sepertinya dia tahu... dia tahu!
Mungkin ayahnya yang memberi tahu! Aku harus
bertindak cepat!"
Iblis Kepala Batu angkat dua tangannya ke atas.
Mulutnya berkomat-kamit. Ketika dua tangan itu
dipukulkan menghantam udara kosong terdengar
suara mendesis dua kali berturut-turut. Di lain kejap
dua mahluk raksasa entah dari mana datangnya
muncul 'di kiri kanan Iblis Kepala Batu. Dua mahluk
ini hanya mengenakan cawat. Memiliki rambut
panjang dikepang sampai ke punggung. Mula-mula
Sutri hanya samar-samar melihat dua mahluk
raksasa ini.Namun ketika iblis Kepala Batu berseru
"Ringkus gadis itu!" baru Sutri melihat kemunculan
dua mahluk raksasa dahsyat mengerikan itu.
Sebelum dia bisa berbuat apa tahu-tahu dua mahluk
itu telah mencekal tangannya kiri kanan.
"Sekap dia dalam Kantong Akhirat!" Iblis Kepala
Batu kembali memerintah.
Salah satu dari mahluk raksasa keluarkan
sebuah kantong aneh berwarna merah. Begitu
dikembangkan, kantong ini langsung melesat siap
untuk membungkus sosok Sutri Kaliangan. Si gadis
coba berontak lepaskan pegangan dua mahluk
raksasa. Tapi sia-sia saja. Sesaat lagi kepalanya
akan tenggelam ke dalam kantong merah yang
disebut Kantong Akhirat tiba-tiba satu lidah api
meyambar dari balik batang pohon besar di ujung
rimba belantara.
Dua mahluk besar keluarkan jeritan dahsyat.
Tubuh mereka disabung kobaran api lalu seperti
leleh dan akhirnya berubah menjadi asap. Sekali
lagi dua mahluk itu menjerit keras lalu lenyap dari
pemandangan.
Kejut Iblis Kepala Batu bukan alang kepalang.
"Kurang ajar! Siapa berani mati menyerang jin
peliharaanku?!" teriaknya marah. Dia hantamkan
tangannya ke arah pohon besar. Selarik angin
dahsyat menggebubu.
"Bummmm!" satu ledakan keras menggelegar.
"Kraaakkk!"
Pohon besar berderak patah dan tumbang. Dari
balik pohon yang kemudian roboh melesat keluar
seorang berpakaian serba putih.
"Jahanam keparat! Kau rupanya!" teriak Iblis Kepala
Batu marah. Dia tidak takut pada orang yang barusan
muncul ini, malah mendendam setengah mati. Tapi
saat itu jika dia punya kesempatan untuk mendapatkan
Keris Naga Kopek, mengapa menghabiskan waktu
melayani orang itu. Maka tidak pikir panjang lagi Iblis
Kepala Batu jentikkan jari telunjuk tangan kirinya.
Sutri Kaliangan merasakan ada angin aneh
laksana tusukan jarum menyambar urat besar di
leher kirinya. Di lain saat gadis ini dapatkan dirinya
tak mampu lagi bergerak maupun bersuara. Iblis
Kepala Batu Alis Empat cepat memanggul Sutri dan
berkelebat dari tempat itu.
"Mahluk jahanam! Kau mau lari ke mana!" teriak
orang berpakaian serba putih yang bukan lain adalah
Pendekar 212 adanya segera mengejar. Tapi Iblis
Kepala Batu sudah lenyap laksana ditelan bumi.
Wiro memburu sambil kerahkan ilmu "Menembus
Pandang" pemberian Ratu Duyung. Dia berhasil
melihat sosok Iblis Kepala Batu dan Sutri Kaliangan,
namun agak samar-samar, kemudian lenyap.
"Mahluk jahanam! Kau sudah menyekap Bunga,
kini melarikan Sutri! Aku bersumpah membunuhmu!"
Murid Sinto Gendeng kerahkan ilmu warisan gurunya
yang disebut Kaki Angin. Pohon-pohon di sekitarnya
laksana beterbangan. Debu dan pasir bertaburan
*****
BELUM lama Wiro melakukan pengejaran, tiba-tiba
di depannya, menghalang di jalan yang hendak
dilaluinya, duduk bersila seorang nenek berpakaian
aneh, terbuat dari akar dan serat kulit pohon berwarna
coklat. Dari mulutnya keluar suara meracau tak
berkeputusan. Tak jelas apa yang diracaunya.
Mungkin melafalkan mantera, mungkin juga tengah
menyanyi. Yang hebatnya di atas kepala si nenek ada
kepulan asap merah berbentuk kerucut terbalik.
Keanehan lain orang tua ini memiliki sepasang mata
berbentuk kerucut merah yang bisa bergerak keluar
masuk, membuat tampangnya yang sudah seram jadi
bertambah angker.
Wiro hentikan larinya. Selain si nenek memang
menghalangi jalan, dia juga terkesima karena
sepertinya dia mengenali orang tua ini. Garuk-garuk
kepala murid Sinto Gendeng berpikir keras, coba
mengingat-ingat.
"Astaga!" Pendekar 212 tersurut satu langkah
dan pukul jidatnya sendiri. "Kalau memang dia,
bagaimana bisa berada di sini?" Wiro berpikir lagi.
Dia ingat. "Tapi mengapa aku harus heran. Beberapa
orang tokoh dari Negeri Latanahsilam kabarnya juga
sudah berada di Tanah Jawa. Aku malah telah
bertemu dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab...." Wiro garuk-garuk kepala bergerak
mendekat, lalu jongkok di samping si nenek yang
sampai saat itu masih terus meracau, bersikap
seolah tidak ada orang lain di tempat itu. Dua bola
matanya yang lancip bergerak keluar masuk.
"Nek...." Wiro menggamit bahu kanan si nenek.
"Wusss!" Digamit orang si nenek tak bergerak,
tidak melirik. Tapi dari batok kepalanya mengepul
keluar asap merah sedang asap merah berbentuk
kerucut terbalik yang menggantung di atas
kepalanya bergerak ke atas setinggi lima jengkal
lalu perlahan-lahan kembali ke tempatnya semula!
Murid Sinto Gendeng garuk kepala.
"Nek," Wiro memanggil lagi. Tapi kali ini tak
berani menggamit bahu atau lengan si nenek. Karena
orang seperti tidak perduli terus saja meracau maka
Wiro lanjutkan ucapannya, bertanya. "Nek, kalau
aku tak salah duga, bukankah kau ini tokoh dari
negeri Latanahsilam, negeri seribu dua ratus silam?"
Suara meracau lenyap dari mulut si nenek yang
ditanya. Berganti dengan suara tawa mengekeh
panjang.
"kau masih mengenali diriku. Berarti kau masih
ingat budi orang. Kau sendiri bukankah pemuda
dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang yang
dulu pernah tersesat di Negeri Latanahsilam dan
memikat habis semua gadis-gadis cantik bahkan
para janda muda di negeri itu?"
Wiro undurkan tubuh ke belakang, kerenyitkan
kening dan garuk-garuk kepala lalu tertawa lebar.
"Kau bisa saja Nek. Dulu di Negeri Latanahsilam,
kalau aku tak sempat mengucapkan terima kasih
padamu, maka saat ini aku ingin menyampaikannya.
Banyak budi pertolonganmu kuterima selama
tersesat di negeri itu. Nek, aku tak mau kesalahan
menduga, kau ini bukankah tokoh bernama
Luhniknik, berjuluk Hantu Penjunjung Roh?"
Si nenek tertawa kembali.
"Bagus, kau rupanya memang masih ingat diriku."
"Bagaimana, bagaimana kau bisa tersesat ke
Tanah Jawa ini Nek?" tanya murid Sinto Gendeng.
"Jangan kau pura-pura tidak tahu...."
"Maksudmu Nek?"
"Waktu Istana Kebahagiaan meledak hancur,
semua orang yang ada di dalam Istana gila itu
termasuk dirimu melesat ke udara, menembus langit
lalu jatuh berhamparan di berbagai kawasan negeri
seribu dua ratus tahun mendatang ini."
"Jadi selain kau, siapa lagi yang berada di negeri ini?
Yang aku tahu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab...."
"Banyak... banyak! Hampir semua. Termasuk si
jahanam Hantu Muka Dua. Cuma aku tidak tahu
mereka berada di mana. Tapi satu ketika mereka
pasti muncul satu persatu. Termasuk para gadis
cantik yang pasti akan mencarimu. Hik... hik... hik."
(Mengenai riwayat Luhniknik yang bergelar
Hantu Penjunjung Roh ini serta negeri Latanahsilam
harap baca serial petualangan Wiro di negeri
Latanahsilam mulai dari Episode "Bola-Bola Iblis"
sampai "Istana Kebahagiaan.")
"Nek, aku sebenarnya, aku ingin bicara banyak
denganmu. Tapi saat ini aku ada urusan penting.
Bagaimana kalau kita berjanji dua hari di muka di
tempat ini?" Habis berkata Wiro hendak bangkit
berdiri. Tapi si nenek cepat pegang bahu si pemuda
hingga bagaimanapun Wiro mengerahkan tenaga
luar dia tak sanggup bergerak. Ketika Wiro hendak
kerahkan tenaga dalamnya si nenek berkata.
"Aku tahu, kau tengah mengejar seseorang...."
"Syukur kalau kau sudah tahu. Jadi aku minta
diri dulu. Nanti kita bertemu lagi."
Si nenek gelengkan kepala dan pegang lengan
Wiro kuat-kuat. "Dengar," katanya. "Aku tak ingin
kau mengejar orang itu."
"Apa katamu Nek?!" kejut Wiro. "Orang yang
aku kejar adalah mahluk jahat. Berjuluk Iblis Kepala
Batu Alis Empat. Dia juga dikenal dengan gelaran
Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. Dia menyekap
seorang gadis dan barusan melarikan lagi seorang
gadis...."
"Aku sudah tahu, sudah tahu...."
"Kalau kau tahu mengapa melarang aku
mengejarnya?!"
"Aku berjanji akan bantu membebaskan orang
yang disekap dan gadis yang diculik. Asalkan kau
berjanji tidak mengejarnya...."
"Mengapa kau melarangku, mengapa aku harus
berjanji? Bagaimana mungkin kau bisa membantu?
Kalau kau punya niat baik hendak membantu
lepaskan tanganku. Mari kita sama-sama
mengejarnya!" kata Wiro.
"Anak muda, aku tak ingin terjadi sesuatu
dengan orang yang kau kejar...."
"Nek, mulutku bisa berbusa bicara denganmu.
Agaknya kau tidak mengerti apa yang telah
terjadi...."
"Aku lebih dari mengerti...."
Wiro kerahkan tenaga dalamnya. Sekali dia
menyentakkan tangan, terlepaslah pegangan si
nenek. Tapi ketika dia hendak berkelebat pergi si
nenek cepat sekali sudah menghadang di depannya.
Sepasang matanya yang berbentuk kerucut merah
terjulur keluar, pancarkan cahaya mengerikan.
"Dengar Wiro. Orang yang kau kejar adalah
adik kandungku. Waktu aku diberi nama Hantu
Penjunjung Roh dia mendapat nama Hantu
Pemasung Roh. Belasan tahun silam dia berhasil
mendapatkan satu kekuatan hebat hingga mampu
melesat keluar dari Negeri Latanahsilam dan tersesat
ke Tanah Jawa ini. Karena kejahatan yang dibuatnya
dia dijuluki Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. Rimba
persilatan Tanah Jawa memberikan gelar lain
padanya yakni Iblis Kepala Batu Alis Empat. Aku
belum lama tersesat ke negeri ini. Aku belum sempat
bicara banyak dengan adikku itu. Jika sampai dia
menemui ajal sebelum aku bisa bertemu dan bicara
dengan dia, aku akan menyesal seumur-umur. Siapa
tahu aku bisa membujuknya, melepaskan orang
yang disekapnya dalam guci dan melepaskan gadis
yang barusan diculiknya...."
"Siapa tahu...." kata Wiro mengulang ucapan si
nenek. "Maafkan aku Nek, waktuku sudah terbuang
banyak. Aku harus segera mengejar Iblis Kepala Batu."
"Aku terpaksa menghalangimu," kata si nenek pula.
"Nek, di negerimu antara kita tidak ada permusuhan.
Mengapa sesampainya di sini hatimu keras sekali untuk
menghalangiku?"
"Bagaimanapun juga aku lebih menyayangi adik
kandungku dari pada orang lain...."
"Kau mau berbuat apa Nek?!"
"Terserah maumu! Aku sudah beri peringatan."
Jawab si nenek berjuluk Hantu Penjunjung Roh.
"Kalau begitu.... Apa boleh buat," ujar murid
Sinto Gendeng. Secepat kilat dua jari tangan
kanannya berkelebat menotok urat besar di leher si
nenek. Yang ditotok ganda tertawa dan tahan nafas.
Begitu nafas dilepas kembali maka desss! Totokan
di leher serta merta musnah!
Dalam kagetnya melihat kehebatan si nenek
murid Sinto Gendeng tanpa sungkan-sungkan lagi
segera saja menyerbu Hantu Penjunjung Roh
dengan serangan berantai. Sebenarnya serangan
ini hanyalah pancingan belaka. Begitu si nenek
lengah dia akan pergunakan kesempatan untuk me-
ninggalkan tempat itu. Tapi celakanya si nenek
sudah dapat membaca apa yang ada di benak
Pendekar 212. Maka dia hadapi serangan Wiro
dengan bergerak membuat lingkaran seputar tubuh
pemuda itu. Dari sepasang matanya menyembur
kilatan cahaya merah menebar panas luar biasa.
Dalam waktu singkat Wiro sudah terkurung serangan
lawan. Sadar kalau dia tidak bisa main-main lagi
Pendekar 212 segera rubah jurus-jurus ilmu silatnya.
Ilmu silat warisan Tua Gila dipadu dengan ilmu silat
ajaran Sinto Gendeng, lalu dipadu lagi dengan ilmu
silat yang dipelajarinya dari Kitab Putih Wasiat Dewa.
Hantu Penjunjung Roh jadi bingung sendiri.
Berputar lebih cepat untuk mengurung lawan tapi
lawan yang dikurung mendadak lenyap entah ke
mana. Ketika dia memutar tubuh tahu-tahu Wiro
sudah berada dekat sekali di depannya, bergerak
seperti orang mabok. Bagitu diserang sosok pemuda
ini lenyap dan dia merasa ada angin menyambar
dari samping. Ketika dia memukul ke samping, lawan
sudah bergerak ke tempat lain!
"Anak muda! Kau boleh punya ilmu silat aneh!
Jangan harap bisa lolos dari asap mautku!"
Habis berkata begitu Hantu Penjunjung Roh
hembuskan nafas panjang. Asap merah berbentuk
kerucut terbalik di atas kepalanya serta merta
menebar lebar lalu bergerak ke bawah, siap
membungkus dan meringkus Pendekar 212. Masih
jauh tebaran asap merah itu dari tubuhnya namun
Wiro sudah merasa ada getaran hebat yang
membuat tenaganya seolah disedot.
Murid Sinto Gendeng cepat jatuhkan diri ke
tanah. Semula dia bermaksud hendak menghajar
nenek ini dengan satu pukulan sakti, tapi hati
kecilnya merasa tidak tega dan malah entah
bagaimana di benaknya muncul satu pikiran untuk
mempermainkan Hantu Penjunjung Roh.
"Nek, kau pakai celana dalam apa tidak?"
"Jahanam kurang ajar! Apa maksudmu?! Lancang
sangat mulutmu!" teriak Hantu Penjunjung Roh. Dia
meniup keras-keras. Asap merah menderu lebih
cepat ke arah Wiro. Tapi mendadak terdengar suara
kreekkk... kreekkk. Bersamaan dengan itu tubuhnya
tertarik keras ke bawah. Si nenek menjerit ketika
melihat ke bawah,'sebagian pakaiannya yang terbuat
dari akar dan kulit pohon telah robek besar. Pinggul
dan pahanya sebelah kiri tersingkap, nyaris bugil!
Si nenek kalang kabut menutupi auratnya sambil
berteriak, menjerit dan memaki panjang pendek.
"Wahail" Wiro meniru ucapan orang di Negeri
Latanahsilam. "Aku sudah menduga. Ternyata benar!
Kau tidak pakai celana Nek! Ha... ha... ha!"
"Pemandangan bagus! Pemandangan bagus!"
tiba-tiba ada orang berseru. "Wiro, serahkan nenek
ini padaku. Aku memang sudah lama tidak melihat
nenek-nenek bugil! Anak gadis tidak pernah, nenek-
nenekpun jadilah! Ha... ha... ha!"
Pendekar 212 kenali suara orang yang berseru.
Untuk memastikan dia palingkan kepala lalu tertawa
lebar. "Sobatku kakek konyol! Rejekimu memang
besar! Silahkan menikmati! Ha... ha... ha!" Habis
berkata begitu sambil tertawa Wiro segera berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Sambil menutupi auratnya Hantu Penjunjung Roh
delikkan matanya yang berbentuk kerucut merah.
"Jahanam, dia rupanya!" maki si nenek.
Sepasang matanya menjulur keluar. Kemarahan
terhadap Wiro ditumpahkan pada orang yang
barusan datang. Tangan kiri dipergunakan untuk
memegangi pakaian yang tersingkap, tangan kanan
dihantamkan ke depan.
"Wusss!"
Serangkum angin keras menderu. Si kakek yang
diserang, bukan lain Setan Ngompol karuan saja
jadi kaget. Terkencing-kencing dia melompat
selamatkan diri sambil berseru.
"Tidak ada permusuhan, sebelumnya kita
bersahabat Hantu Penjunjung Roh, mengapa kau
menyerangku?!"
"Tua bangka tukang kencing! Sejak kau kesasar
di Latanahsilam bersama pemuda itu mulutmu sudah
kurang ajar! Aku tidak pernah merasa bersahabat
denganmu!" bentak Hantu Penjunjung Roh.
"Walah! Sialnya diriku! Maksud hati melihat
pemandangan bagus, ternyata malah mau digebuk!
Nenek dari negeri Latanahsilam, aku tidak mau
berkelahi denganmu. Kalau kau masih penasaran
silahkan menghadapi tiga orang anak buahku!"
Setan Ngompol melompat menjauhi si nenek.
Lalu berpaling pada Bidadari Angin Timur, Ratu
Duyung dan Anggini. Sambil rangkapkan dua tangan
di depan dada, kepala mendongak ke atas, dengan
sikap seperti seorang tuan besar memerintah
bawahannya, si kakek berkata.
"Anak-anak, harap kalian beri pelajaran pada
nenek jelek itu!"
Hantu Penjunjung Roh palingkan kepala,
pandangi tiga gadis. Amarahnya berkurang ketika
dia melihat kecantikan wajah Bidadari Angin Timur
dan dua kawannya. Malah dia hampir mengira, Ratu
Duyung yang bermata biru adalah Peri Angsa Putih
dari negeri Latanahsilam.
"Tiga gadis cantik, menjadi anak buah kakek
konyol tukang kencing, sulit aku mempercayai,"
membatin Hantu Penjunjung Roh. Dia bertanya pada
Bidadari Angin Timur. "Gadis rambut pirang. Apa
benar kau dan dua kawanmu anak buah kakek
tukang kencing itu?!"
"Mengapa percaya ucapannya! Justru dia adalah
kacung pembantu kami!" jawab Bidadari Angin
Timur. Lalu tertawa gelak-gelak diikuti Anggini dan
Ratu Duyung.
Setan Ngompol terlonjak mendengar ucapan
Bidadari Angin Timur. Satu tangan pegangi bagian
perutnya, satu lagi garuk-garuk kepala. Mulut
bersungut cemberut.
"Nek, kami tidak kenal siapa dirimu. Pakaianmu
aneh. Kau ini siapa sebenarnya dan kenapa tadi
bertempur melawan Pendekar 212 Wiro Sableng?"
Bertanya Ratu Duyung.
Si nenek tidak mau menjawab.
Anggini diam-diam merasa kasihan melihat
keadaan pakaian si nenek. Pakaian itu terbuat dari
akar dan kulit pepohonan dan robek besar hingga
dia kerepotan berusaha menutupi auratnya. Dari
kantong perbekalannya gadis ini keluarkan sehelai
pakaian.
"Nek, kuharap kau suka mengenakan pakaian ini
Anggini menyerahkan pakaian itu tapi si nenek
tak mau menanggapi. Malah bertanya. "Apa
hubungan kalian dengan pemuda bernama Wiro
Sableng itu?"
"Kami adalah sahabat-sahabatnya...."
"Hemmm... Ambil saja kembali. Aku tak akan
menerima pakaian itu."
"Kami tidak tahu apa silang sengketamu dengan
Wiro. Tapi soal pakaian ini tidak ada sangkut
pautnya dengan pemuda itu."
Karena si nenek tetap tidak mau menerima
pakaian yang diserahkan akhirnya Anggini letakkan
pakaian itu di tanah. Dia memberi isyarat pada
kawan-kawannya. Bersama Bidadari Angin Timur
dan Ratu Duyung Anggini tinggalkan tempat itu.
Setan Ngompol mengikuti kemudian.
Berada sendirian Hantu Penjunjugn Roh tegak
termangu pandangi pakaian yang teronggok di
tanah. Dia memandang berkeliling. Agaknya
pikirannya mulai berubah. Nenek ini melangkah
mendekati pakaian itu lalu mengambilnya.
Dikembangkan dan dipandangi penuh rasa kagum
lalu diukur dipatut-patutkan ke badan. Dari wajahnya
kelihatan terpancar rasa senang.
"Tiga gadis cantik tadi, mereka baik-baik semua.
Menyesal aku bertindak kasar. Apakah semua orang di
negeri seribu Hua ratus tahun mendatang ini punya
sifat baik? Bagaimana aku mencari jalan keluar
urusanku dengan Pendekar 212. Kalau tidak kubantu
adikku, pasti pemuda itu akan menghabisinya. Dia
memiliki kesaktian luar biasa. Sebenarnya aku sendiri
belum tentu bisa menghadapinya. Hantu Pemasung
Roh, apa salah kedua orang tua kita hingga kau
tersesat ke Tanah Jawa dan jadi orang jahat begitu
rupa...."
Si nenek kembali mematut-matut pakaian yang
diberikan Anggini ke tubuhnya. Entah karena senang
entah karena menduga memang tak ada lagi orang
lain di tempat itu, tanpa berlindung ke balik pohon
atau semak belukar si nenek tanggalkan pakaiannya
yang terbuat dari akar dan kulit pohon.
Saat itulah satu kepala menyembul dari balik
batang pohon. "Sahabatku, agaknya kau perlu
bantuan bagaimana cara mengenakan pakaian
bagus itu?"
Si nenek terkejut dan terpekik. Kalang kabut dia
lari ke balik semak belukar. Dari balik semak belukar
dia memaki habis-habisan.
"Tua bangka kurang ajar! Beraninya mengintip
orang! Aku bersumpah akan mengorek dua biji
matamu!"
Di balik pohon Setan Ngompol tertawa terkekeh
kekeh. Tentu saja sambil beser.
"Untung cuma dua biji mataku yang hendak
kau korek. Bagaimana dengan biji-bijian lainnya?
Apa hendak kau korek juga? Ha... ha... ha!"
Si nenek marah besar mendengar ucapan itu.
Tangan kanannya dihantamkan ke arah pohon. Satu
gelombang angin dahsyat menderu.
"Kraakkk! Buuummm!"
Pohon besar patah lalu tumbang menggemuruh.
Tapi Setan Ngompol sudah berkelebat selamatkan
diri dan kabur masih tertawa-tawa dan terkencing-
kencing.
"Aneh nenek satu itu. Mukanya jelek tapi
badannya masih bagus. Tidak ada rempelannya.
Tidak rugi tadi aku mengintip! Ha... ha... ha."
*****
KEMBALI ke Tanah Bugis.
Hari ke tiga, hari perjanjian, Sebelum fajar menyingsing.
Telaga Malakaji diselimuti kegelapan. Kesunyian
mencekam. Hawa dingin menyayat kulit mencucuk
tulang.
Daeng Wattansopeng duduk bersila di atas balai-
balai kayu. Sepasang mata terpejam. Dua tangan
diletakkan di atas lutut. Di hadapannya terbentang
sehelai kain hitam empat persegi. Di atas kain hitam
itu terletak sebilah badik belum bergagang,
didampingi sarungnya.
Desiran angin dingin menerobos masuk dari
jebolan atap yang masih belum diperbaiki, menyapu
kepala, wajah dan tubuh orang tua ahli pembuat
senjata sakti itu. Bukan angin dingin itu yang
membuat dia membuka mata tetapi suara yang
barusan ditangkapnya. Suara orang berlari cepat,
berkelebat di dalam malam gelap.
"Mereka datang...." bisik suara hati Wattansopeng.
Orang tua ini memandang ke arah pintu pondok.
Dengan kesaktian yang dimilikinya, dengan pandangan
mata saja dia sanggup membuka kayu palang pengunci
pintu. Perlahan-lahan dengan suara berkereketan pintu
pondok itu bergerak membuka.
Baru saja daun pintu terpentang lebar, dua
sosok berkelebat muncul tapi tak segera masuk.
Yang berdiri di sebelah kanan, berambut biru
berminyak, kening diikat lilitan tali, itulah orang tua
bernama Sarontang. Orang yang telah dianggap
sebagai saudara oleh Daeng Wattansopeng walau
banyak perilaku perbuatan Sarontang yang sangat
tidak disukai Wattansopeng. Di sebelahnya berdiri
seorang lelaki tinggi besar berkumis melintang.
Orangi ini bukan lain Jatilegowo, Adipati Salatiga.
"Saudaraku Daeng Wattansopeng, aku datang
memenuhi janji. Bersamaku ikut orang dari Tanah
Jawa."
"Kalian berdua sudah kutunggu. Pintu terbuka
silahkan masuk." Daeng Wattansopeng berucap.
Sarontang memberi isyarat pada orang di
sampingnya lalu mendahului masuk. Sampai di
dalam pondok dia memberi tanda pada Jatilegowo.
Adipati Salatiga ini segera membungkuk memberi
penghormatan.
"Orang tua, saya menghaturkan banyak terima
kasih bahwa kau sudi menerima kedatangan saya.
Lebih dari itu saya juga berterima kasih bahwa kau
bersedia membuat dan memberikan sebuah senjata
sakti bertuah untuk saya...."
Daeng Wattansopeng angkat kepala, memandang
orang yang berdiri di depannya. Air muka orang tua ini
berubah kaget ketika menyaksikan wajah Jatilegowo.
Hidung yang seharusnya berada di atas mulut, secara
aneh terletak menempel di kening. Untuk beberapa
lamanya Daeng Wattansopeng hanya bisa
memandang, tak mampu berkata apa-apa. Tidak
pernah menyangka kalau orang yang akan
menemuinya itu memiliki keadaan wajah seperti itu.
Merasa tidak enak, setelah melirik pada senjata
yang terletak di atas kain hitam empat persegi,
Jatilegowo segera berkata.
”Orang tua, maafkan kalau keadaan wajah saya
tidak sedap untuk dipandang. Justru karena keadaan
yang seperti inilah tekad saya semakin kuat datang
ke Tanah Bugis ini menemuimu guna meminta
tolong....”
Daeng Wattansopeng memandang sebentar
pada Sarontang lalu berpaling pada orang yang
barusan bicara padanya, bertanya.
”Orang dari tanah seberang, siapa namamu?”
“Saya Jatilegowo….”
“Daeng, orang ini adalah Adipati di Salatiga.”
Sarontang menambahkan.
“Jatilegowo, apakah cacat di mukamu itu kau
dapat sejak lahir?” tanya Daeng Wattansopeng pula.
Jatilegowo gelengkan kepala.
“Seseorang mencelakai saya,” katanya.
“Aneh, mencelakaimu dengan cara seperti itu.
Baru sekali ini aku melihat kejadian seperti ini.
Apakah ada silang sengketa antara kau dengan
orang itu? Atau mungkin dia seorang dukun jahat,
seorang penebar guna-guna?”
”Dia seorang pemuda berkepandaian tinggi.
Entah ilmu apa yang dimilikinya hingga mampu
menghina mencelakai saya seperti ini.”
”Dalam sengketa itu, apakah kau berada di
pihak yang benar?”
”Saya menganggap begitu. Mungkin orang lain
menganggap tidak....”
”Siapa nama pemuda berkepandaian tinggi itu?”
tanya Daeng Wattansopeng selanjutnya.
”Namanya Wiro Sableng, bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212. Dia adalah murid Sinto gendeng
seorang nenek sakti dari Gunung Gede....”
Wajah jernih Daeng Wattansopeng berubah.
Orang tua ini elus janggutnya beberapa kali. Melihat
perubahan air muka saudara angkatnya itu,
Sarontang lantas bertanya.
”Saudaraku, apakah kau mengenal pemuda itu?”
”Aku tak pernah bertemu muka dengan Wiro
Sableng. Tapi dengan gurunya, Sinto Gendeng, aku
pernah berkenalan. Peristiwanya sekitar lima puluh
tahun silam. Sewaktu aku masih muda, mengembara
ke Tanah Jawa. Dalam satu pertemuan para tokoh
silat di puncak Pegunungan Dieng aku bertemu
dengan nenek sakti itu. Saat itu aku ingin menjajal
sampai di mana kehebatannya. Bukan untuk
menantang tapi sekedar untuk mengetahui setinggi
apa ilmu yang telah aku miliki. Sekaligus mencari
pelajaran dan pengalaman berguna. Saat itu kami
boleh dikatakan masih sama-sama muda. Usia
sekitar tiga puluhan. Sinto Gendeng mungkin belum
mencapai tiga puluh karena dia beberapa tahun
lebih muda dariku.”
Dari dalam saku jubah sebelah kiri Daeng
Wattansopeng keluarkan sesuatu. Benda ini ternyata
adalah sebuah tusuk konde berkilau, terbuat dari
perak murni.
”Memandang tusuk konde ini, seolah terbayang
jelas kembali dalam ingatan dan pandangan mataku
peristiwa setengah abad yang silam....”
*******
ARENA pertemuan para tokoh rimba persilatan
delapan penjuru angin di salah satu puncak
pegunungan Dieng lima puluh tahun silam.
Daeng Wattansopeng menjura di hadapan Sinto
Gendeng yang memandang padanya sambil senyum-
senyum. Dalam rimba persilatan Sinto terkenal genit.
Banyak pemuda yang terpikat padanya. Sebaliknya
dia juga pernah jatuh hati pada beberapa pemuda
gagah.
"Sahabatku Sinto, aku sudah lama mendengar
nama besarmu. Kehebatanmu tersiar sampai ke
tanah kelahiranku di Bugis sana. Kalau kau tidak
keberatan ingin 6ekali aku yang bodoh ini minta
pelajaran menimba pengalaman darimu...."
"Tanah Bugis tanah bertuah. Banyak tokoh silat
ternama berasal dari sana. Salah seorang di
antaranya yang aku kenal baik adalah Karaeng
Jeneponto."
"Karaeng Jeneponto, dia tokoh terhebat kawasan
selatan. Selama bertahun-tahun dia dianggap sebagai
pimpinan para tokoh silat Tanah Bugis." Berkata
Daeng Wattansopeng.
"Jeneponto orangnya baik. Ilmu tinggi, rendah
hati. Suatu ketika dia minta aku bertukar pengalaman.
Kami bersilat selama lima jurus. Jeneponto hebat
sekali. Dia sanggup mengambil dua dari lima tusuk
konde perak yang ada di kepalaku. Tapi aku sempat
menjahilinya. Mendodorkan celana hitamnya hingga dia
setengah telanjang. Untung Jeneponto masih pakai
celana dalam butut. Kalau tidak. Hik... hik... hik...." Sinto
Gendeng tertawa cekikikan.
Daeng Wattansopeng tersenyum tapi otaknya
berpikir. "Ilmu kesaktian dan kepandaian silat
Karaeng Jeneponto dua tingkat bahkan mungkin
tiga tingkat di atas kepandaianku. Bagaimana
mungkin aku barusan berani menantang Sinto
Gendeng? Ah, aku mencari penyakit sendiri. Tapi
jika aku membatalkan niat, bagaimana aku
menyembunyikan rasa malu?"
Saat itu Sinto Gendeng yang masih muda,
berkulit hitam manis dan cantik berkata.
"Sahabat Daeng Wattansopeng, benar kau ingin
bermain-main denganku barang sejurus dua jurus?"
Sudah terlanjur menantang Daeng Wattansopeng
menjawab. "Kalau kau tidak keberatan memberi
petunjuk, aku akan sangat berterima kasih Sinto.
Aku tahu tingkat kepandaianku jauh di bawah
ketinggian ilmumu. Jadi harap kau jangan
menelanjangiku seperti kau lakukan pada Karaeng
Jeneponto."
Sinto Gendeng tertawa cekikikan. Diam-diam dia
merasa suka pada tokoh silat dari Tanah Bugis itu.
"Aku tahu diri. Tidak akan mempermalukanmu
di depan orang banyak," jawab Sinto Gendeng. Saat
itu banyak tokoh silat berkumpul membuat lingkaran
besar, ingin menyaksikan jalannya adu kepandaian
antara ke dua orang tersebut. "Tapi aku lebih dulu
ingin membuat satu perjanjian denganmu."
Sambung Sinto Gendeng.
"Perjanjian apa?" tanya Daeng Wattansopeng.
"Jika aku kalah, kau harus mengambil diriku
sebagai istrimu."
Tentu saja Daeng Wattansopeng melengak kaget
dan ternganga mendengar ucapan Sinto Gendeng.
Tempat itu sesaat diselimuti kesunyian. Kemudian
mulai terdengar siulan-siulan. Disusul suara tawa
satu persatu. Selanjutnya tempat itu penuh dengan
gemuruh suara orang banyak tertawa bergelak.
Salah seorang di antara para tokoh malah berseru.
"Terima saja Daeng! Di Tanah Bugis belum
tentu kau menemukan perempuan secantik dan
sepandai Sinto Gendeng!"
Daeng Wattansopeng sebelumnya memang
sudah mendengar kalau Sinto Gendeng orangnya
aneh, bicara suka melantur tak karuan. Tapi dia
mana pernah mengira kalau si hitam manis cantik
itu begini rupa kelakuannya. Untuk beberapa
lamanya Daeng Wattansopeng tak bisa menjawab.
Hanya wajahnya saja yang kelihatan berubah merah.
"Bagaimana? Kau terima perjanjian itu atau tidak?"
"Mungkin... mungkin dia sudah punya istri di
kampung!" Seseorang berteriak.
"Tidak! Aku belum beristri!" jawab Daeng
Wattansopeng. Lalu dia memaki dirinya sendiri.
Telah berlaku bodoh mengeluarkan ucapan seperti
itu.
"Kalau begitu, mengapa tidak mau menerima
perjanjian?"
"Punya dua istri juga tidak apa-apa! Siang lain
malam lain! Ha... ha... ha!"
"Sinto juga belum pernah kawin! Satu perjaka
satu perawan! Tunggu apa lagi!"
Suara tawa kembali menggemuruh di puncak
Dieng itu.
"Hai, kau terima perjanjian atau tidak?!" Sinto
Gendeng bertanya sambil berkacak pinggang dan
kedipkan matanya.
"Aku menerima...." Daeng Wattansopeng tak
bisa berkelit akhirnya menjawab. "Namun dengan
satu syarat."
"Syarat apa?"
"Kejujuran."
"Heh!" Sinto Gendeng kelihatan heran.
"Kejujuran bagaimana maksudmu, sahabat
Daeng Wattansopeng?"
"Kau tidak boleh sengaja mengalah."
Sepasang mata Sinto Gendeng membesar.
Perempuan muda ini lalu tertawa panjang.
"Baik.... Baik, aku tidak akan mengalah. Kau
juga bertempur harus sungguh-sungguh."
Maka disaksikan banyak tokoh silat yang ada di
tempat itu Sinto Gendeng dan Daeng Wattansopeng
menguji kepandaian masing-masing. Dari rencana
hanya bertempur lama lama jurus akhirnya
berkembang sampai dua belas jurus dan masih
terus.
Serangan yang dilancarkan Daeng Wattansopeng
deras laksana curahan hujan. Ilmu silat Bugis memang
cepat dan ganas gerakannya. Orang lain mungkin
sudah sejak tadi kena dihantamnya.
Tetapi setiap dia merasa pukulan atau tendangannya
akan mengenai lawan, gerakannya serta merta
seperti sengaja ditahan. Orang banyak tertawa dan
berseru.
"Daeng Wattan! Pukul saja!"
"Teruskan tendanganmu Daeng!"
"Ah! Dia takut menang! Takut kawin dengan
Sinto Gendeng!"
Merasa malu dan tak enak hati mendengar
ucapan-ucapan orang Daeng Wattansopeng
keluarkan seluruh kepandaian, menyerbu Sinto
Gendeng tanpa sungkan-sungkan lagi.
Dalam jurus ke dua puluh satu, dengan gerakan
silat bernama Membabat Bumi Menghunjam Langit
Daeng Wattansopeng berhasil membobol
pertahanan lawan. Kaki kanan menyapu ganas ke
arah dua kaki Sinto Gendeng. Jangankan kaki
perempuan, batang kelapapun akan hancur tumbang
dihantam tendangan itu. Ketika Sinto Gendeng
melompat ke atas untuk selamatkan kaki, tangan
kanan Daeng Wattansopeng secepat kilat melesat,
menjotos masuk ke arah perutnya.
"Bukkk!"
Tubuh Sinto Gendeng terpental sampai satu
tombak. Tapi dia tidak tergelimpang jatuh, masih
sanggup menjejak tanah dengan dua kaki terpentang
kokoh. Wajahnya kelihatan sedikit pucat pertanda
menahan sakit.
"Astaga! Aku telah mencelakai orang!" Daeng
Wattansopeng menyesal setengah mati. Tapi bukan
itu yang ditakutinya. Dia berhasil mengalahkan Sinto
Gendeng. Berarti sesuai perjanjian dia harus
mengawini perempuan muda itu!
"Celaka aku!" keluh Daeng Wattansopeng.
Untuk beberapa lamanya dia hanya bisa berdiri
dengan mulut ternganga dan mata terpentang
melotot. Para tokoh yang membentuk lingkaran
bersorak riuh!
"Kita bakal pesta besar! Dua tokoh bertemu
jodoh!"
"Potong sapi potong kerbau!"
"Pesta tiga hari tiga malam!"
Wajah Daeng Wattansopeng merah seperti saga.
Perjanjian sudah dibuat! Dia mengalahkan Sinto
Gendeng! Tak ada cara untuk mengelak. Tak
mungkin dia menghindar memenuhi perjanjian. Dia
harus mengawini Sinto Gendeng. Dalam kalut kacau
hati serta pikirannya dilihatnya Sinto Gendeng
melangkah mendekatinya sambil tersenyum-
senyum. Salah satu tangannya yaitu tangan kiri
berada di belakang pinggang. Wattansopeng salah
tingkah. Makin riuh sorak sorai para tokoh.
Dua langkah di hadapan Daeng Wattansopeng
Sinto Gendeng berhenti. Bibirnya mengulum
senyum.
"Daeng, aku Sinto Gendeng mengaku kalah...."
"Aku... aku...."
"Daeng! Jangan pura-pura malu!" teriak seorang
tokoh silat.
"Kami tahu kau sebenarnya sudah lama suka
pada Sinto!" berseru tokoh silat lainnya.
"Daeng, aku mengaku kalah," kata Sinto sekali
lagi. "Untuk itu aku akan kembalikan sorbanmu."
Tangan kiri yang sejak tadi berada di balik pinggang
bergerak ke depan. Di tangan itu ternyata Sinto
Gendeng memegang sorban merah milik Daeng
Wattansopeng.
"Astaga!" Daeng Wattansopeng terkejut besar.
Dua tangannya bergerak ke kepala. Sorbannya tak
ada lagi. Sorban yang di tangan Sinto Gendeng
memang miliknya. Merah padam wajah Daeng
Wattansopeng tapi diam-diam hatinya merasa
gembira. Ternyata dia tidak benar-benar
mengalahkan perempuan cantik hitam manis itu.
Cepat-cepat Daeng Wattansopeng mengambil
sorban merahnya.
"Sinto, terima kasih atas petunjuk dan pelajaran
yang kau berikan...."
"Ya... ya, lalu bagaimana dengan perjanjian kita?"
Pertanyaan Sinto Gendeng itu membuat Daeng
Wattansopeng terkejut. Sinto Gendeng tersenyum.
Dia layangkan pandangan pada para tokoh rimba
persilatan yang masih membentuk lingkaran.
"Para sahabat, menurutku aku tidak kalah dan
Daeng Wattansopeng tidak menang. Bagaimana
menurut kalian."
"Ya.... Bagaimana lagi," kata seorang tokoh
dengan nada lesu. "Kelihatannya pertempuran ini
sudah diatur. Tak ada yang kalah tak ada yang
menang! Sama-sama imbang!"
"Pesta besar batal! Makan besar batal!"
Para tokoh tertawa dan bersorak riuh. Semua
mereka merasa senang. Walau tak jadi pesta tapi
mereka telah melihat satu pertandingan silat tingkat
tinggi yang jarang terjadi. Satu persatu mereka
tinggalkan tempat itu dengan hati puas.
Sambil merapikan letak sorban di atas kepalanya,
Daeng Wattansopeng mendekati Sinto Gendeng.
Perempuan muda ini senyum-senyum saja didekati
begitu rupa. Malah enak saja mulutnya berucap.
"Perjanjian sudah batal. Apa kau berencana
membuat perjanjian baru? Mengapa susah-susah.
Mengapa tidak langsung saja melamarku saat ini?"
Wajah Daeng Wattansopeng bersemu merah.
"Sinto, hari ini biar aku mengangkat dirimu
sebagai saudara...."
"Saudara?" kening Sinto Gendeng mengerenyit.
Sepasang alisnya naik ke atas. Perempuan muda ini
menutup mulut dengan jari-jari tangannya. "Saudara
apa? Saudara kandung? Pasti tidak mungkin.
Saudara sepupu, saudara misan...?"
"Saudara lain ayah lain ibu," jawab Daeng
Wattansopeng.
Sinto Gendeng angguk-anggukkan kepala.
Tertawa panjang lalu ulurkan tangan. Tidak malu
malu dia pegang lengan Daeng Wattansopeng.
"Sinto, kau.... Kalau orang lain melihat...."
"Hueh! Kenapa malu-malu? Sama saudara 'kan
tidak apa-apa saling pegangan tangan?!" ujar Sinto
Gendeng pula. Membuat Daeng Wattansopeng salah
tingkah. Sinto lepaskan pegangannya.
"Sinto, kalau aku boleh bertanya. Apa nama
jurus yang tadi kau pergunakan untuk mengambil
sorbanku?"
Sinto Gendeng tertawa. "Daeng, kau masih
penasaran rupanya. Baik, aku akan beri tahu. Jurus
yang aku pergunakan untuk mengambil sorbanmu
bernama Di balik Gunung Memukul Halilintar."
"Di balik Gunung Memukul Halilintar...." Daeng
Wattansopeng mengulang nama jurus itu. Lalu
wajahnya berubah. Dia memandang tak berkesip
pada Sinto Gendeng. "Saudaraku.... Menyimak nama
jurus itu, sebenarnya jika kau mau kau tadi bisa
memukul pecah kepalaku. Tapi kau tidak melakukan.
Pukulan kau ganti dengan sambaran mengambil
sorbanku. Kau... kau sungguh baik hati...."
"Yang benar saja Daeng. Masakan aku mau
memukul pecah kepala saudara sendiri. Hik...hik...hik."
"Sinto, ternyata tidak sia-sia aku menyeberang
lautan datang ke tempat ini. Hari ini aku mendapat
satu pelajaran sangat berharga darimu. Bagaimana
aku harus membalas budi baikmu."
Sinto Gendeng tersenyum. "Aku merasa bahagia
punya saudara sebaik dirimu. Sayang waktuku tidak
banyak. Sebagai tanda persaudaraan dan kenang
kenangan, aku menitipkan sesuatu dalam saku
jubahmu sebelah kanan. Selamat tinggal Daeng.
Kalau umur sama panjang kita pasti bertemu lagi."
Sinto Gendeng pegang lengan Daeng Wattansopeng.
Daeng Wattansopeng balas mengusap jari-jari tangan
perempuan itu. Lalu sekali berkelebat Sinto Gendeng
lenyap dari tempat itu. Lama Daeng Wattansopeng
tertegun di tempatnya berdiri. Kemudian dia ingat
pada ucapan Sinto Gendeng. Cepat dia masukkan
tangan ke saku jubah sebelah kanan. Ada sebuah
benda dalam saku itu. Ketika dikeluarkannya ternyata
sebuah tusuk konde perak.
"Benar-benar di luar langit masih ada langit."
Daeng Wattansopeng geleng-gelengkan kepala. Dia
memandang ke arah lenyapnya Sinto Gendeng. "Aku
benar-benar tidak tahu. Tidak merasa. Bagaimana
dia mampu memasukkan tusuk konde perak ini ke
dalam saku jubahku?"
*****
SELESAI menutur riwayat pertemuannya dengan
Sinto Gendeng, sesaat Daeng Wattansopeng masih
pandangi tusuk konde perak pemberian perempuan
itu, lalu memasukkannya kembali ke saku jubah.
Mengetahui bahwa Daeng Wattansopeng punya
hubungan baik dengan Sinto Gendeng, Jatilegowo
jadi tidak enak. Bagaimana mungkin orang ini akan
membantunya padahal kedatangannya justru meminta
senjata untuk dipakai antara lain menghabisi
Pendekar 212, murid Sinto Gendeng sendiri!
"Jatilegowo," tiba-tiba Daeng Wattansopeng
menegur. "Melihat tingginya jabatanmu sebagai
Adipati di Tanah Jawa, serta jauh dan sulitnya
perjalanan ke tempat kediamanku ini, tentunya kau
datang ke sini membawa satu masalah besar. Harap
kau mau menceritakan apa masalahmu, apa sebab-
nya kau menginginkan senjata bertuah yang baru
aku buat."
Jatilegowo berpaling pada Kakek Sarontang yang
berdiri di sebelahnya. Orang tua satu ini maklum apa
yang ada dalam pikiran dan hati sang Adipati setelah
mengetahui hubungan Daeng Wattansopeng dengan
Sinto Gendeng. Maka diapun berkata.
"Tak usah ragu. Jangan bimbang. Jangan
jadikan perjalanan jauhmu ini satu kesia-siaan.
Ceritakan semua riwayatmu, jangan ada yang
disembunyikan."
Jatilegowo mengangguk. Lalu berikan penuturan.
Mulai dari maksudnya hendak menikahi Nyi Larasati,
janda almarhum Adipati Temanggung.
"Niat baik saya ditolak mentah-mentah oleh Nyi
Larasati. Saya merasa dihina. Selain itu Sarwo
Ladoyo sesepuh Kadipaten Temanggung menyerang
saya. Terpaksa saya menjatuhkan tangan keras
terhadap orang tua itu. Karena orang-orang Kadi-
paten Temanggung menunjukkan sikap menantang
maka dengan persetujuan Kotaraja saya menyerbu
Temanggung. Tapi tak terduga di situ muncul dua
orang muda berkepandaian tinggi, menolong orang-
orang Temanggung. Pemuda pertama bertubuh
gendut luar biasa. Dikenal dengan julukan Bujang
Gila Tapak Sakti. Yang kedua adalah Pendekar 212
Wiro Sableng. Saya dan para perwira Kadipaten
Salatiga tidak mampu menghadapi mereka. Dalam
keadaan babak belur kami terpaksa mundur. Saya
bukan saja dihina dipermalukan tetapi diperlakukan
secara keji. Wiro Sableng murid Sinto Gendeng
memindah hidung saya ke kening. Dendam saya
terhadap Wiro Sableng tidak akan lebur sekalipun
kelak tubuh saya tinggal tulang-belulang di dalam
kubur. Selain mempecundangi dan menghina serta
memperlakukan saya seperti ini, dia juga telah
berbuat mesum terhadap salah seorang istri saya."
(Baca Episode sebelumnya berjudul "Badik Sumpah
Darah").
Terkejutlah Daeng Wattansopeng mendengar
ucapan terakhir Jatilegowo itu. Dalam hati dia
membatin. "Sinto Gendeng kuketahui memang
punya watak aneh. Tidak heran kalau muridnya juga
aneh. Sang guru gendeng sang murid sableng.
Tetapi kalau dia sampai berbuat mesum dengan
istri orang, ini satu hal yang sulit dipercaya."
Daeng Wattansopeng memandang Jatilegowo
lalu berkata.
"Setahuku Sinto Gendeng tidak memiliki ilmu
aneh begitu rupa," kata Daeng Wattansopeng pula.
"Berarti sang murid mendapatkan ilmu aneh itu dari
orang lain."
"Kakek Daeng Wattansopeng, kini jelas bagimu
latar belakang maksud kedatangan saya. Pertama
untuk mengambil badik sakti bertuah yang kau
janjikan melalui Kakek Sarontang. Kedua, saya
berharap dengan kesaktianmu hidung saya yang
ada di kening bisa dipindah ke tempat semula di
atas bibir."
Daeng Wattansopeng terdiam sejenak, mata
dipejam seolah merenung. Kemudian orang tua ini
tarik nafas dalam dan berkata.
"Jatilegowo, ketika saudaraku Sarontang minta
dibuatkan badik sakti bertuah untukmu, aku tidak
pernah menduga latar belakang permintaanmu itu
ada sangkut pautnya dengan murid Sinto Gendng...."
"Saya maklum perasaanmu, Kakek Daeng
Wattansopeng. Apakah berarti kau tidak akan
menyerahkan badik itu pada saya?" tanya
Jatilegowo pula.Sebelum Daeng Wattansopeng
menjawab, Sarontang mendahului berucap.
"Adipati Jatilegowo, jangan kau berkawatir
terlalu jauh. Saudaraku tak pernah mengecewakan
siapapun selama hidupnya."
Daeng Wattansopeng tersenyum kecil.
Dipandanginya badik tak bergagang di atas kain
hitam empat persegi. Dalam hati dia berkat
"Agaknya sekali ini aku membuat senjata bertuah
untuk sesuatu yang keliru. Ya Rabbi Ya Tuhan Yang
Maha Kuasa, jika saya salah, ampuni kesalahan
saya." Orang tua ini angkat kepalanya, menatap
pada Sarontang lalu memandang pada Jatilegowo
dan berucap.
"Aku sudah berjanji. Pantang bagiku tidak
menepati janji. Sebelum aku mendengar kisahmu,
sebenarnya ada syarat-syarat yang harus kau
lakukan di atas sumpah, yakni sebelum badik sakti
bertuah aku berikan padamu. Kini setelah aku tahu
silang sengketamu dengan Wiro Sableng murid Sinto
Gendeng yang sudah saling angkat saudara
denganku, maka ada satu syarat tambahan lagi
yang harus kau terima di atas sumpah."
"Kalau Kakek Daeng Wattansopeng mau
mengatakan sekarang, sekarang pula saya akan
mengangkat sumpah memenuhi permintaan Kakek.
kata Jatilegowo.
"Aku sangat menghargai ucapan dan
tindakanmu. Tapi sumpah itu baru boleh kau
ucapkan lusa pagi, bersamaan dengan terbitnya
matahari di ufuk timur. Sekarang, sebelum fajar
menyingsing kau bersama Kakek Sarontang ikuti
aku ke rimba Seratus Pohon Tuba. Badik tak
bergagang ini perlu dibenamkan selama satu hari
satu malam dalam Pohon Tuba, agar racun
menyelimutinya luar dalam. Agar kesaktiannya
bangkit di atas segala kesaktian. Hingga kelak
jangankan tertusuk, tergores sedikit saja lawan akan
menemui kematian."
Dengan hati-hati Daeng Wattansopeng melipat
kain hitam empat persegi. Badik berikut sarungnya
yang terbungkus kain hitam ini dimasukkannya ke
saku jubah. Lalu orang tua ini turun dari pembaringan.
Memberi isyarat pada Sarontang dan Jatilegowo
untuk mengikutinya.
SANG surya belum muncul. Hari masih gelap ketika
ke tiga orang itu sampai di satu rimba belantara. Di
bagian rimba sebelah tengah ada satu pedataran tinggi.
Di sini tumbuh seratus buah pohon besar yang disebut
Pohon Tuba. Daeng Wattansopeng mendatangi pohon
paling besar. Di sini dia melangkah memutari pohon
sampai tujuh kali. Sambil memutari pohon dari
mulutnya tak putus- putus keluar suara mengucap
sesuatu. Di akhir putaran ke tujuh orang tua ini hentikan
langkah. Badik tak bergagang dikeluarkan dari dalam
saku.
Lipatan kain dibuka, sarung badik diselipkan pada
ikat pinggang jubah, kain hitam dipegang dengan
tangan kiri sementara badik dipegang dengan tangan
kanan. Tangan kiri Daeng Wattansopeng bergerak.
Terdengar suara seperti kepakan sayap burung
besar ketika kain hitam empat persegi itu melesat
ke udara, menabas daun-daun dan rerantingan lalu
lenyap dalam kegelapan.
Daeng Wattansopeng letakkan badik tak
bergagang di atas keningnya. Mata dipejamkan,
mulut komat-kamit melafatkan sesuatu. Bersamaan
dengan itu tangan kanan yang memegang badik
perlahan-lahan bergerak. Ujung runcing badik hitam
kebiru-biruan ditusukkan ke batang Pohon Tuba.
Sedikit demi sedikit badik itu amblas masuk ke
dalam batang pohon hingga akhirnya lenyap sama
sekali.
Jatilegowo memperhatikan apa yang tadi
dilakukan Daeng Wattansopeng. Diam-diam dia
menaruh kagum. Bukan pekerjaan gampang
memasukkan sebuah benda hingga amblas ke dalam
pohon tanpa bekas. Tidak semua tokoh rimba
persilatan sekalipun memiliki tenaga dalam tinggi
sanggup melakukan hal seperti itu.
Daeng Wattansopeng berpaling pada dua orang
yang ada di belakangnya.
"Kalian berdua carilah tempat yang baik untuk
menunggu. Mulai saat ini sampai pagi satu usapan
muka aku akan mengheningkan daya dan rasa. Jika
kalian tidak suka menunggu di sini, kaliann boleh
menunggu di pondok.'
"Daeng, kalau kau tidak keberatan dan memberi
izin biar kami menunggu sekitar sini," menjawab
Sarontang.
Mendengar jawaban orang, tanpa banyak bicara
lagi Daeng Wattansopeng mencari tempat yang baik
dan bersih lalu melaksanakan sembahyang sunat
dua rakaat. Selesai sembahyang dia duduk bersila
di tanah, di bawah Pohon Tuba. Dua tangan
diletakkan di atas lutut, wajah dan tubuh dihadapkan
ke arah matahari tenggelam.
Menjelang pagi hari kedua, baik Sarontang
maupun Jatilegowo tidak memicingkan mata. Mereka
memperhatikan sosok Daeng Wattansopeng yang
masih duduk bersila tak bergerak, mata terpejam. Di
ufuk timur fajar masih belum menyingsing. Keadaan
di tempat itu masih gelap. Ketika terdengar
hembusan nafas panjang dari hidung Daeng
Wattansopeng, Sarontang dan Jatilegowo saling
melirik. Lalu perlahan-lahan kelihatan si orang tua
membuka sepasang matanya.
Kakek ini yang masih dalam keadaan suci
wudhu bangkit berdiri lalu sembahyang sunat dua
rakaat. Selesai sembahyang dia melangkah
mendekati Pohon Tuba. Sarontang dan Jatilegowo
segera berdiri, mengikuti langkah si orang tua tapi
menjaga jarak, tidak mau terlalu dekat.
Di hadapan Pohon Tuba Daeng Wattansopeng
tundukkan kepala membaca sesuatu. Lalu dua
tangannya ditempelkan ke batang pohon, tepat di
mana sehari semalam sebelumnya dia memasukkan
badik yang dibuatnya ke dalam pohon beracun itu.
Beberapa saat berlalu dalam cekaman kesunyian.
Sarontang dan Jatilegowo menunggu dengan dada
berdebar. Tiba-tiba ada cahaya terang kehijauan
memancar pada batang Pohon Tuba, tepat pada
bagian yang ditempeli dua telapak tangan Daeng
Wattansopeng. Lalu ada asap mengepul disertai
tebaran bau wangi membuat Sarontang dan Jatilegowo
jadi tercekat.
TAK SELANG berapa lama terdengar Daeng
Wattansopeng mengucap Basmallah lalu dua
tangannya yang sejak tadi ditempelkan ke batang
pohon perlahan-lahan ditarik ke belakang. Dalam
jepitan dua telapak tangan Daeng Wattansopeng saat
itu kelihatan badik tak bergagang menyembul keluar
dari batang pohon lalu tertarik keluar. Badik yang
sebelumnya berwarna hitam kebiruan itu kini berubah
warna menjadi hitam kehijauan. Pertanda racun
Pohon Tuba telah menyatu dalam tubuh badik.
"Sarontang, berikan padaku gagang dari gading
yang sudah kau siapkan untuk hulu senjata ini."
Daeng Wattansopeng berkata.
Dari balik pakaiannya Sarontang segera
mengeluarkan gagang terbuat dari gading gajah
lalu menyerahkannya pada Daeng Wattansopeng.
Hati-hati Daeng Wattansopeng masukkan dan
sambungkan gagang gading ke ujung sebelah
bawah badik. Ternyata gagang dan badik cocok
satu sama lainnya, bersatu kuat membentuk satu
senjata mustika sakti yang utuh.
"Badik Sumpah Darah...." bisik Sarontang.
Matanya berkilat-kilat.
"Jatilegowo, mendekatlah ke hadapanku,"
terdengar Daeng Wattansopeng berucap. Adipati
Salatiga Jatilegowo segera melangkah ke hadapan
si orang tua. Wajahnya tegang dan dadanya
berdebar.
"Berdoalah pada Yang Maha Kuasa, agar
wajahmu diberi kesembuhan. Anggukkan kepalamu
jika kau selesai berdoa."
Dalam hati Jatilegowo segera melakukan apa
yang dikatakan si orang tua. Selesai berdoa dia
anggukkan kepala.
Perlahan-lahan Daeng Wattansopeng angkat
tangan kanannya yang memegang badik, didekatkan
ke wajah Jatilegowo, ditempelkan pada hidung yang
ada di kening.
Jatilegowo merasa ada hawa panas menjalar ke
hidung merambas ke keningnya. Dia keluarkan suara
mengeluh karena hawa panas seperti melelehkan
seluruh wajahnya. Tubuhnya bergetar menahan
sakit. Perlahan-lahan hawa panas lenyap, berganti
dengan hawa sejuk. Perubahan panas dengan sejuk
menimbulkan kepulan asap yang menyelubungi
seluruh kepala Jatilegowo. Adipati Salatiga ini
merasakan ada sesuatu bergerak di keningnya lalu
gerakan serupa terasa di atas bibirnya.
Daeng Wattansopeng meniup. Kepulan asap
yang membungkus kepala Jatilegowo lenyap.
Sarontang keluarkan suara tercekat. Matanya
menyaksikan seperti tak percaya. Hidung Jatilegowo
yang tadinya ada di kening kini telah kembali ke
tempatnya semula di atas bibir. Pada kening
kelihatan sedikit goresan yang mengeluarkan darah.
Ketika diusap oleh Daeng Wattansopeng dengan
badan badik, goresan itu serta-merta lenyap.
Jatilegowo telah melihat pada perubahan air
muka Kakek Sarontang. Dadanya berdebar.
Kemudian didengarnya orang tua itu berkata.
"Jatilegowo, Tuhan telah mengabulkan doa
pintamu."
Jatilegowo angkat ke dua tangannya, meraba
wajah, kening dan bagian atas bibirnya. Dia
merasakan hidungnya yang sebelumnya menempel
di kening kini telah kembali ke tempat seharusnya
di atas bibir.
"Ah...." Lelaki ini keluarkan seruan gembira,
langsung jatuhkan diri di hadapan Daeng
Wattansopeng.
"Berdirilah Jatilegowo. Bersyukur dan berterima
kasih pada Allah. Dia yang telah menolong dirimu...."
"Tapi Kakek Daeng, kalau bukan engkau...."
"Aku hanya hamba Allah, yang dipercayakan
jadi kepanjangan tanganNya untuk menolongmu...."
"Kakek Daeng, saya bersyukur, saya berterima
kasih," ucap Jatilegowo penuh haru sedang dua
matanya kelihatan berlinang. Sarontang berdiri
menyaksikan sambil usap-usap dagunya.
"Sarontang mendekat ke mari." Kata Daeng
Wattansopeng sambil mengeluarkan sarung badik
dari saku jubahnya. Setelah Sarontang berada di
hadapannya, berdiri di samping Jatilegowo Daeng
Wattansopeng berkata.
"Kalian dengar baik-baik. Sebelum badik bertuah
ini aku masukkan ke dalam sarungnya, sebelum
senjata mustika sakti ini aku berikan pada kalian.
aku ingatkan kembali pada kalian berdua. Ada janji
yang disebut sumpah, harus kalian ingat dan
laksanakan. Pertama, senjata bernama Badik Sumpah
Darah ini akan kuserahkan padamu Jatilegowo. Kau
hanya boleh memilikinya selama tiga purnama. Itu
sudah cukup bagimu untuk melakukan apa saja dalam
mewujudkan segala niatmu. Mulai dari memperistrikan
Nyi Larasati, sampai kau mendapat kekuasaan penuh
di Temanggung dan Salatiga. Bilamana semua apa
yang kau inginkan itu sudah tercapai, Badik Sumpah
Darah harus kau serahkan pada Sarontang. Sarontang
juga akan memiliki senjata ini selama tiga purnama.
Waktu yang cukup untuk mewujudkan cita-citamu
mendapatkan tahta kerajaan Pakubuwon. Tapi ingat
baik-baik akan satu hal. Jangan kalian berani
mengganggu Sinto Gendeng ataupun muridnya yang
bernama Wiro Sableng...."
"Kakek Daeng, saya...." Jatilegowo memotong
ucapan si orang tua.
"Aku tahu, Wiro Sableng adalah musuh besarmu.
Tetapi begitulah bunyi perjanjian yang akan diikat
dengan sumpah."
"Jatilegowo," kata Sarontang sambil memegang
bahu lelaki itu. "Walau Wiro adalah musuhmu tapi
maksud utamamu adalah mendapatkan Nyi Larasati
dan kekuasaan di dua Kadipaten. Kau harus
mengerti dan menurut apa yang dikatakan Kakek
Daeng...."
Jatilegowo akhirnya anggukkan kepala.
Si orang tua melanjutkan ucapannya yang tadi
terputus. "Setelah apa yang kalian inginkan tercapai,
senjata ini harus kalian kembalikan ke sini, serahkan
langsung ke tanganku."
"Kakek Daeng, bagaimana kalau selama waktu
yang ditetapkan kami tidak mampu mewujudkan
niat...."
Sarontang menyentuh kaki Jatilegowo dengan
kakinya, membuat ucapan Adipati itu terputus.
"Jatilegowo, Kakek Daeng Wattansopeng lebih
luas penglihatan dan pengalamannya dari pada kita.
Lakukan saja apa yang dikatakannya...."
"Baik kalau begitu. Harap maafkan saya Kakek
Daeng," kata Jatilegowo.
"Jika kau sudah menerima janji maka saatnya
kita mengikat diri dengan sumpah darah. Majulah
lebih dekat."
Jatilegowo dan Sarontang bergerak lebih dekat.
Daeng Wattansopeng tempelkan ujung gagang badik
yang agak runcing ke lengan kanan Jatilegowo.
Begitu digores, lengan itu tersayat halus dan kucurkan
darah. Hal yang sama kemudian dilakukan Daeng
Wattansopeng pada lengan kanan Sarontang.
"Jangan kalian bersihkan darah di lengan kalian.
Pada saatnya darah itu akan lenyap dengan
sendirinya."
"Saudaraku Daeng Wattansopeng, ada sesuatu
yang hendak aku sampaikan padamu. Sekaligus
meminta petunjukmu," berkata Sarontang, kakek
berambut biru berminyak.
"Katakanlah, mudah-mudahan aku bisa
membantu," jawab Daeng Wattansopeng.
"Pada saat aku menginjakkan kaki pertama kali
di Tanah Bugis ini sekitar seperempat abad yang
lalu, aku bertemu dengan seorang kakek bernama
Pattirobajo, mengaku berjuluk Iblis Seribu Nyawa...."
"Aku tahu banyak riwayat orang itu. Apa yang
dimintanya darimu, Sarontang?" tanya Daeng
Wattansopeng pula.
"Dia meminta aku untuk membunuhnya dengan
Badik Sumpah Darah. Menurut pengakuannya dia
sudah terlalu lama hidup dan tidak mati-mati. Katanya,
hanya badik bertuah itulah yang bisa menamatkan
riwayatnya. Asal saja aku yang menikamkan
ketubuhnya. Aku terlanjur berjanji akan memenuhi
permintaannya itu. Selama hampir dua puluh lima tahun
berada di Tanah Bugis ini aku telah menerima banyak
budi dari dia. Antaranya sebuah jimat yang membuat
aku memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Aku minta
izinmu, sebelum berangkat ke Tanah Jawa bersama
Jatilegowo aku akan mampir lebih dulu di lereng timur
Gunung Lompobatang untuk memenuhi permintaan
Iblis Seribu Nyawa."
Daeng Wattansopeng merenung sejenak lalu
berkata. "Membunuh seseorang tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan adalah satu dosa
besar. Aku menasihatkan agar kau tidak melakukan
hal itu, tidak memenuhi permintaan Iblis Seribu
Nyawa...."
"Lalu bagaimana dengan budi yang telah aku
terima?"
"Anggap saja itu sebagai berkah atau sedekah
seseorang padamu yang wajib kau syukuri. Tapi
jika kau tidak berkenan, boleh saja kau kembalikan
pada si pemberi. Lagi pula setelah dua puluh lima
tahun berlalu, apakah Iblis Seribu Nyawa masih
hidup?"
"Dia memang masih hidup. Keadaannya separuh
lumpuh, tinggal kulit pembalut tulang. Tapi dia tak
kunjung menemui ajal," jawab Sarontang.
"Saudaraku, aku tetap menganjurkan agar kau
melupakan saja permintaan Iblis Seribu Nyawa.
Ketahuilah Badik Sumpah Darah aku ciptakan bukan
untuk membunuh secara sembarangan. Kalian
berdua ingat hal itu baik-baik."
Sarontang lalu berdiam diri. Daeng Wattansopeng
tidak bisa menerka apakah saudara angkatnya ini
akan mengikuti nasihatnya. Dia berpaling pada
Jatilegowo lalu berkata.
"Tubuhmu akan kusapu dan kugosok dengan
Badik Sumpah Darah agar mendapat kekebalan luar
dalam. Berbaringlah di tanah, menelungkup."
Jatilegowo lakukan apa yang diperintahkan si
orang tua. Dia berbaring menelungkup di tanah.
Daeng Wattansopeng berjongkok di sampingnya.
Dengan badik telanjang, sambil melafatkan bacaan
sakti Daeng Wattansopeng sapu dan usapkan
senjata itu ke tubuh belakang Jatilegowo, mulai dari
kepala sampai ke ujung kaki.
"Balik, menelentang," kata Daeng Wattansopeng.
Jatilegowo membalikkan badan, kini berbaring
menelentang. Seperti tadi dia mengusapkan senjata
bertuah itu ke tubuh Jatilegowo mulai dari kepala,
bagian muka turun ke dada terus ke perut. Sampai
di bawah perut membelok ke kanan mengusap kaki
kanan sampai ke ujung bawah lalu naik ke atas
pada kaki kiri. Pada saat itulah Sarontang memberikan
isyarat kedipan mata ke arah Jatilegowo.
Melihat isyarat ini Jatilegowo tiba-tiba tendangkan
kaki kanannya ke dada Daeng Wattansopeng. Di
saat yang bersamaan dari samping belakang
Sarontang hantamkan tangan kanannya ke tengkuk
si orang tua!
*****
TENDANGAN kaki kanan Jatilegowo
menghancurkan tulang dada Daeng Wattansopeng.
Tubuh orang tua itu terpental ke atas tapi kembali
terbanting ke bawah begitu pukulan yang dilepaskan
Sarontang mendarat telak di tengkuknya.
"Kraaakk!"
Tulang pangkal leher orang tua itu patah. Dia jadi
sulit bernafas. Badik Sumpah Darah terlepas dari
genggamannya, jatuh tercampak di tanah. Megap-
megap dia berusaha sambil menunjuk ke arah
Jatilegowo dan Sarontang.
"Kalian...." darah mengucur dari mulut Daeng
Wattansopeng. "Kalian tel... telah berbu... at... dosa
bessarr...."
"Jatilegowo, tunggu apa lagi. Lekas habisi dia! Tikam
dengan badik!" Sarontang berteriak.
Mendengar teriakan itu Jatilegowo segera
mengambil Badik Sumpah Darah yang tergeletak di
tanah. Dengan senjata sakti bertuah yang telah
mengandung racun hebat ini Jatilegowo kemudian
menikam Daeng Wattansopeng tepat di arah
jantungnya.
"Ahhhh...."
Daeng Wattansopeng keluarkan keluhan panjang.
Tubuhnya terkapar di tanah. Mata membeliak, wajah
menunjukkan rasa tak percaya. Tak percaya kalau
dirinya akan menemui kematian oleh sejata buatannya
sendiri. Tak percaya kalau yang menikam
membunuhnya adalah Jatilegowo kepada siapa senjata
itu akan diserahkannya. Hanya sesaat setelah
nyawanya melayang, kulit Daeng Wattansopeng mulai
dari muka sampai ke kaki kelihatan berwarna hijau.
Jatilegowo dan Sarontang sesaat pandangi mayat
Daeng Wattansopeng lalu keduanya sama-sama
tertawa bergelak. Selagi Sarontang masih tertawa
gelak-gelak Jatilegowo cepat mengambil sarung
badik. Badik telanjang bernoda darah dimasukkanya
ke dalam sarung itu. Lalu tanpa setahu Sarontang di
dalam gelap Jatilegowo membuat satu gerakan cepat.
"Orang tua tolol!" kata Sarontang. "Siapa sudi
menelan janji dan sumpahmu!"
mandraguna ini tanpa ada batas waktu!" ucap
Jatilegowo. "Sesuai apa yang dikatakan Daeng
Wattansopeng, aku pertama kali akan memiliki
senjata itu. Jika semua niat dan urusanku selesai
akan kuserahkan padamu."
"Memang begitu ucapan Daeng Wattansopeng.
Tapi apakah kau lupa perjanjian di antara kita?" ujar
Sarontang lalu tertawa mengekeh dan ulurkan
tangannya.
Jatilegowo terdiam mendengar kata-kata
Sarontang itu lalu anggukkan kepala dan menjawab
perlahan. "Ya, saya ingat."
"Sesuai dengan apa yang pernah aku katakan
padamu, mulai saat ini kewajiban untuk menyediakan
Mayat Persembahan menjadi tanggung jawabmu.
Sebelum kita berangkat ke Tanah Jawa, kau sudah
harus menyerahkan satu mayat pemuda lajang padaku.
Seteiah itu setiap bulan mati, enam kali berturut-turut.
Sampai tujuh kali kau menyerahkan mayat
persembahan maka impaslah janjimu. Aku tunggu kau
di Gua Nipanipa. Begitu mayat persembahan kau
serahkan, aku akan menyerahkan badik ini padamu!
Dan ingat Jatilegowo. Jika mayat persembahan tidak
aku serahkan sebelum berangkat ke Tanah Jawa, kutuk
dan kualat akan jatuh atas dirimu." Habis berkata
begitu Sarontang berkelebat pergi.
"Licik, aku sudah menduga dia akan berbuat licik,"
kata Jatilegowo. Satu seringai tersungging di mulutnya.
Dia kemudian pandangi sejurus jenazah Daeng
Wattansopeng tanpa ada penyesalan di dalam hatinya,
lalu tinggalkan tempat itu.
Hanya sesaat setelah lenyapnya Sarontang disusul
kepergian Adipati Jatilegowo, dari kerimbunan semak
belukar yang dibungkus kegelapan melesat keluar
satu sosok berjubah dan berkerudung putih. Orang ini
perhatikan mayat Daeng Wattansopeng, melangkah
memutari mayat itu sampai dua kali sambil mulutnya
berucap perlahan.
Orang yang datang bersama Sarontang itu jelas
bukan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ada baiknya aku
bersiap-siap mengadakan perjalanan menuju teluk.
Aku hanya tinggal menunggu. Salah satu dari
mereka akan menunjukkan jalan ke Tanah Jawa
padaku."
Ucapannya berhenti. Langkahnya juga terhenti.
Kembali dia pandangi sosok Daeng Wattansopeng.
sambil menyeringai dia berkata.
"Daeng, negerimu memang berbeda dengan
negeriku. Di negeriku kepercayaan tidak datang
begitu mudah. Di negerimu kepercayaan terlalu
mudah diberikan hingga disalahgunakan. Dan
terkadang berakhir pada kematian. Buktinya hari ini
kau mengalami sendiri."
GOA Nipanipa.
Sarontang bersandar ke dinding, tidur-tidur
ayam di mulut goa sebelah dalam. Saat itu sang
surya belum lama tenggelam. Tapi udara cepat
menjadi gelap karena langit tertutup awan mendung.
Di atas pangkuannya terletak satu kantong
perbekalan besar. Di dalam kantong .itu, terbungkus
dalam lipatan sehelai kain kasar, Badik Sumpah
Darah disimpannya. Rupanya dia sudah siap
meninggalkan goa yang telah dihuninya selama
hampir dua puluh lima tahun itu. Dia hanya tinggal
menunggu kedatangan Jatilegowo membawa mayat
persembahan. Sejak pagi tadi dia menunggu, sampai
siang berganti malam yang ditunggu belum juga
muncul.
Di luar goa angin bertiup kencang. Hujan mulai
seharusnya memancarkan sinar hitam kehijauan
kelihatan redup.
Sarontang delikkan mata. Tidak percaya. Tangannya
bergetar. Tengkuknya mendadak dingin. Matanya
semakin membesar seolah mau melompat keluar dari
rongganya.
"Palsu...." desis Sarontang. "Badik ini bukan Badik
Sumpah Darah. Tapi badik palsu! Jatilegowo jahanam!
Sungguh tolol diriku! Bagaimana dia bisa menipu aku?!
Jahanam! Keparat jahanam!" Saking marahnya
Sarontang hantamkan tangan kanan yang memegang
badik ke dinding goa. Badik Sumpah Darah palsu patah
tiga, sarungnya hancur. Dinding goa pecah berantakan!
"Jatilegowo! Jangan kira kau bisa lari dari tanganku!
Dunia ini sempit. Ke manapun kau pergi akan kukejar!
Aku bersumpah membunuhmu! Jangan kira kau sudah
menjadi manusia kebal! Aku tahu di mana
kelemahanmu! Kau harus mati ditanganku!"
KETIKA Sarontang sampai di Teluk Bantaeng
keesokan sorenya dia melihat banyak orang
berkerumun di dermaga kayu. Teluk Bantaeng pada
masa itu merupakan salah satu pangkalan perahu
barang dan penumpang yang mengarungi jalur
pelayaran ke Tanah Jawa. Kerumunan orang di
dermaga begitu banyak, tidak seperti biasanya. Di
beberapa tempat ada pula kelompok-kelompok orang
bercakap-cakap. Sarontang mendekati salahsatu
kerumunan orang untuk mencari tahu apa yang
terjadi. Ternyata orang-orang itu tengah membicarakan
satu peristiwa hebat yang belum lama terjadi.
Belasan perahu besar yang biasa berlayar ke
Tanah Jawa telah dirusak oleh seorang tak dikenal.
Ada yang dibakar bagian haluannya. Ada yang
dihancurkan bagian dasar tiang-tiang layar. Lalu
ada pula yang dihancurkan dilubangi di bagian
buritan. Orang yang melakukan perbuatan itu
kemudian melarikan diri dengan sebuah perahu layar
yang rupanya telah disiapkan. Beberapa anak perahu
yang perahunya dirusak coba mengejar tapi tak
berhasil karena perahu mereka lebih kecil.
Pada seorang awak perahu yang berdiri di
dekatnya Sarontang bertanya bagaimana ciri-ciri
orang yang merusak sekian banyak perahu itu.
"Badannya tinggi besar. Kumis lebat. Rambut
panjang sebahu...."
"Jatilegowo," kata Sarontang dalam hati.
"Kalian begini banyak, tapi tidak mampu
menghalang atau menangkap orang itu...."
Sarontang berucap setengah menyesali setengah
mengejek.
"Pak Tua, jumlah kami boleh banyak tapi orang
itu mempunyai ilmu kesaktian hebat. Setiap dua
tangannya dipukulkan pasti ada korban manusia
berkaparan. Atau ada perahu yang hancur! Siapa
mau menyabung nyawa melawan manusia ber-
kekuatan seperti setan dia!"
"Pukulan Dua Gunung Meroboh Langit. Aku
tahu dia memiliki pukulan sakti itu. Dia telah
mempergunakan pukulan itu." Kembali Sarontang
berucap dalam hati. Orang tua ini memandang ke
arah laut lepas. Dia tahu mengapa Jatilegowo
merusak perahu-perahu di dermaga. Agar dirinya
tak bisa mengejar. "Jatilegowo, kau mengira telah
berlaku cerdik. Memang saat ini aku tidak bisa
segera mengejarmu. Tapi kau lupa. Dunia ini begini
sempit. Kau mau melarikan diri ke mana? Aku akan
mengejarmu dan satu waktu pasti kau akan kutemui!
Kalau tahta Kerajaan Pakubuwon telah berada di
tanganku, aku bisa mengerahkan seribu orang untuk
mencarimu! Kau akan jadi manusia paling celaka di
dunia ini!"
Sarontang terpaksa bermalam di Teluk,
menunggu perahu yang datang dari Jawa atau dari
pelabuhan lain. Menjelang siang keesokannya baru
ada perahu besar yang berlayar ke Jawa. Sarontang
menumpang perahu ini tanpa mengetahui bahwa
salah seorang penumpang dalam perahu itu adalah
seorang lelaki berjubah dan berkerudung putih yang
bukan lain adalah Lajundai alias Hantu Muka Dua,
dedengkot negeri seribu dua ratus tahun silam yang
pernah menyatakan dirinya sebagai raja di raja
Negeri Latanahsilam.
Siang Sarontang berlayar ke Jawa, pada malam
harinya Iblis Seribu Nyawa yang diam di lereng
timur Gunung Lompobatang sebelah timur punya
firasat dan merasa kalau Aryo Probo alias Sarontang
tidak memenuhi janjinya. Tidak datang ke tempat
kediamannya untuk membunuh menghabisi dirinya.
"Aryo Probo, Pangeran Pakubuwon. Aku telah
terlanjur memberikan budi baik padamu dan sebagai
balasan meminta sedikit pertolongan. Tapi kau ingkari
janji. Hampir dua puluh lima tahun aku menunggu.
Kau khianati diriku. Kau kabur ke Tanah Jawa tanpa
datang ke sini membawa Badik Sumpah Darah untuk
membunuhku. Aku tidak ihlas atas semua itu! Aku akan
mencarimu, mengambil kembali semua ilmu
kepandaian yang sudah aku ajarkan. Termasuk jimat
batu Combong Dewa yang telah aku berikan padamu.
Akan aku ambil kembali bersama-sama jiwamu!
Kalaupun aku tidak kesampaian maksud
membunuhmu, kutuk dan sumpahku akan jauh lebih
ganas menimpa dirimu!"
Habis berkata begitu Iblis Seribu Nyawa bertepuk
dua kali. Dari balik dinding batu tempat kediamannya
serta merta keluar dua orang lelaki berkepala botak.
Mengenakan pakaian kelabu gelap berkulit hitam
bertubuh tinggi besar. Tampang keduanya garang
angker tapi gerak gerik, langkah serta putaran mata
mereka kelihatan kaku aneh. Mereka tak ubahnya
seperti dua boneka kayu besar.
"Siapkan tandu! Bawa aku ke Teluk. Kita
berangkat ke Tanah Jawa hari ini juga!" kata Iblis
Seribu Nyawa.
Dua orang hitam anggukkan kepala, lenyap ke balik
dinding. Tak lama kemudian muncul lagi membawa
sebuah tandu yang pada bagian tangannya ada kursi
rendah untuk dudukan dilengkapi bantalan kain tebal.
Ketika muncul kembali, dua lelaki botak itu
mengenakan sorban tebal di atas kepala masing-
masing.
Iblis Seribu Nyawa naik ke atas tandu, duduk di
kursi rendah. Dua orang hitam segera menggotong
tandu. Satu di depan satu di belakang. Ternyata
mereka tidak memanggul atau memikul tandu itu,
melainkan menjunjungnya di atas kepala yang
dilapisi dengan sorban tebal!
Di atas tandu Iblis Seribu Nyawa berucap.
"Sarontang, aku tahu hitam busuk keji
kehidupanmu selama ini. Puluhan anak muda telah
jadi korban nafsu bejatmu! Mereka kemudian kau
bunuh, kau jadikan Mayat Persembahan. Sekarang
giliran dirimu aku jadikan Mayat Persembahan!"
******
IBLIS Kepala Batu Alis Empat melangkah mengitari
kursi batu di mana Sutri Kaliangan didudukkannya
dalam keadaan kaku.
"Iblis Keparat, kau bakal mendapat hukuman
berat dari Patih Kerajaan. Aku sendiri sudah
bersumpah akan membunuhmu!"
Setiap kata-kata itu diucapkan si gadis, Iblis
Kepala Batu keluarkan tawa mengekeh.
"Jadi kau tidak mau menyerahkan Keris Naga
Kopek dengan tanganmu sendiri! Tidak jadi apa!
Aku malah senang! Aku akan menggerayangi tubuh
bagusmu, mencari keris itu dan mengambilnya. Ha...
ha... ha...!"
"Jahanam kurang ajar!" hardik Sutri.
Gadis itu terpekik ketika Iblis Kepala Batu
melompat ke hadapannya dan memegang ke dua
bahunya.
"Pergi! Jangan sentuh!"
"Ha... ha... ha. Di sebelah mana bagian tubuhmu
kau sembunyikan Keris Naga Kopek itu?!"
"Iblis jahanam! Pergi! Jangan pegang tubuhku!"
"Kau tak mau memberi tahu. Berarti memang
minta dan suka aku gerayangi! Ha... ha... ha!"
"Manusia terkutuk, mendekatlah, aku akan
membisikkan sesuatu ke telingamu!" kata Sutri
Kaliangan.
"Eh, mengapa kau berubah jadi lembut?"
Mahluk berkepala empat persegi dan memiliki alis
empat buah itu merasa heran. Tapi kepalanya
dirundukkan juga mendekati wajah si gadis.
Begitu muka Iblis Kepala Batu berada dekat di
depannya Sutri Kaliangan ludahi muka itu.
"Gadis liar keparat!" teriak Iblis Kepala Batu.
Tangan kanannya bergerak.
"Plaaakkk!"
Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Sutri
Kaliangan. Gadis ini terpekik, kepalanya lunglai di
sandaran kursi batu. Lelehan darah mengucur keluar
dari sudut bibirnya yang pecah.
Iblis Kepala Batu jambak rambut si gadis. "Aku
tahu, Keris Naga Kopek kau sembunyikan di balik
pakaianmu. Kau tidak mau menyerahkan tidak jadi
apa. Nanti aku akan kembali. Akan kugerayangi
tubuhmu untuk mengambil keris itu!" Iblis Kepala
Batu lalu sentakkan jambakannya hingga bagian
belakang kepala Sutri membentur sandaran kursi
batu. Tak ampun lagi gadis ini serta merta jatuh
pingsan.
Sambil menyeka ludah yang membasahi mukanya
Iblis Kepala Batu tinggalkan ruangan itu, melangkah
memasuki ruangan lain yang bersebelahan. Agaknya
ruangan ini adalah kamar tidur sang iblis. Segala
sesuatunya terbuat dari batu. Mulai dari tempat tidur,
kursi dan meja. Tempat tidur batu dialasi semacam
kasur yang diisi dengan rumput kering.
Di atas meja ada sebilah pelita aneh. Terbuat
dari kayu berminyak yang ditancapkan dalam sebuah
jambangan batu. Di sebelah pelita kayu itu terletak
sebuah guci tembaga berdampingan dengan kendi
tanah berisi tuak keras.
Begitu masuk ke dalam ruangan Iblis Kepala
Batu langsung menyambar kendi, meneguk isinya
hingga mukanya yang biru angker berubah merah
seperti udang rebus. Setelah meletakkan kendi
setengah kosong di atas meja, Iblis Kepala Batu
ambil guci tembaga. "Dewi Bunga Mayat, kau yang
juga bernama Suci dan Bunga. Kau dengar suaraku?
Aku ingin bicara denganmu!"
Iblis Kepala Batu dekatkan guci tembaga itu ke
depan wajahnya. Tak ada suara jawaban."Bunga,
gadis alam roh! Ini untuk terakhir kali aku memberi
kesempatan. Jika kau tak mau bicara, guci akan
kulemparkan ke dalam laut, kau akan kupasung
sampai kiamat di dalamnya!"
Masih tak ada jawaban. Iblis Kepala Batu dekatkan
guci ke telinga kirinya. Guci lalu digoncang kuat-kuat.
Di dalam guci terdengar suara jeritan-jeritan halus.
Iblis Kepala Batu menyeringai.
"Kau merasa sakit? Ha... ha... ha.... itu belum
seberapa. Aku bisa memasukkan asap penyiksa roh
ke dalam guci. Kau akan tersiksa hebat, kulitmu
akan mengelupas. Darah akan mengucur dari setiap
lubang tubuhmu!"
"Mahluk iblis! Aku tidak takut ancamanmu!
Buang aku ke laut! Sekarang juga! Masukkan asap
penyiksa roh sekarang juga!" Dari dalam guci keluar
suara perempuan, halus seolah datang dari
kejauhan. Itulah suara Bunga gadis alam roh yang
disekap Iblis Kepala Batu di dalam guci tembaga.
Iblis Kepala Batu terdiam mendengar jawaban
Bunga lalu geleng-geleng kepala.
"Dengar, aku akan mengatakan permintaanku
padamu satu kali lagi."
"Aku sudah bosan mendengar! Kau mahluk
iblis jahat tidak tahu malu!"
"Kau akan kukeluarkan dari dalam guci ini, jika
kau bersedia kujadikan gundik peliharaanku!"
"Mulutmu kotor! Otakmu busuk! Hatimu keji!
Siapa sudi jadi peliharaanmu! Buang saja aku ke
lautan!"
"Semasa aku hidup di negeri seribu dua ratus
tahun silam Latanahsilam, aku mendengar tentang
dirimu. Seorang gadis alam roh yang memiliki
kecantikan luar biasa. Aku tidak pernah melihat
wajahmu. Tapi dalam hatiku timbul niat untuk
mencarimu. Aku berusaha keras agar bisa keluar
dari negeriku, masuk ke negerimu. Aku berusaha
keras selama belasan tahun dan berhasil. AKu
berhasil menemuimu. Setelah bertemu apa yang
aku niatkan tidak kesampaian karena kau menolak
menjadi peliharaanku! Kau harus tahu Bunga, aku
tidak bisa hidup dengan manusia biasa. Aku hanya
bisa berhubungan dengan mahluk roh sepertimu.
Itu sumpah ilmu kesaktian yang aku miliki sewaktu
aku keluar dari alamku memasuki alam yang
sekarang."
"Persetan dengan sumpahmu! Kau boleh pergi
ke dalam rimba belantara. Kau bisa mencari puluhan
bahkan ratusan setan dan jin perempuan di sana
yang bisa kau jadikan peliharaanmu!"
"Kau tidak mengerti Bunga. Dengar...."
"Iblis keparat! Pergilah ke neraka! Aku tak mau
bicara denganmu lagi!"
"Bunga... Bunga?"
Tak ada jawaban dari dalam guci.
Iblis Kepala Batu Alis Empat menarik nafas
panjang, geleng-gelengkan kepala. "Aku tidak tega
dan tidak mau melakukan. Tapi kau tak mau
mengerti. Aku terpaksa memasukkan asap penyiksa
roh ke dalam guci."
Iblis Kepala Batu menunggu sesaat. Dia
berharap ada jawaban dari dalam guci. Dia berharap
ancamannya akan membuat takut gadis dari alam
roh itu. Ternyata tetap saja tak ada suara jawaban
dari dalam guci tembaga. Iblis Kepala Batu
tumpahkan rasa kesalnya dengan meneguk habis
tuak dalam kendi. Mukanya bertambah merah dan
darahnya menjadi semakin panas.
"Apa boleh buat...." katanya. "Yang satu ini
terpaksa kusiksa sampai dia mau menyerahkan diri.
Untuk sementara biar aku bersenang-senang dulu
dengan puteri Patih Kerajaan itu."
Dari balik cawatnya Iblis Kepala Batu keluarkan
sebuah tabung berwarna merah, terbuat dari bambu.
Di dalam tabung ini tersimpan sejenis asap beracun
yang disebut asap penyiksa roh. Jika asap itu
dimasukkan ke dalam guci tembaga di mana Bunga
disekap maka gadis dari alam roh itu akan
merasakan siksaan yang luar biasa hebatnya.
Iblis Kepala Batu buka sumbat penutup tabung
bambu merah. Asap tipis warna merah mengepul
keluar. Ketika dia hendak membuka penutup guci
tembaga tempat Bunga disekap mendadak dia
merasa ada kelainan pada hawa di ruangan di mana
saat itu dia berada.
”Aneh, mengapa ruangan ini terasa panas?”
Iblis Kepala Batu sumbat kembali tabung bambu
merah, masukkan ke balik cawatnya. Guci tembaga
digantungkan kembali di pinggang. Lalu dia
bergegas keluar dari dalam ruangan menuju sebuah
tangga batu.
******
DALAM mengejar Iblis Kepala Batu Pendekar
212 terus menerapkan ilmu Menembus Pandang.
Beberapa kali dia berhasil melihat sosok orang
yang dikejarnya serta tubuh Sutri Kaliangan yang
dipanggul di atas bahunya. Namun apa yang
dilihatnya berubah samar lalu lenyap. Agaknya tubuh
Iblis Kepala Batu memiliki hawa sakti yang bisa
membendung kekuatan ilmu yang diterapkan Wiro.
Di satu tempat Wiro melihat orang yang
dikejarnya lari menembus satu kawasan ditumbuhi
lalang kering setinggi bahu. Baik dengan ilmu
Menembus Pandang maupun dengan mata kasar
Wiro dapat melihat jelas Iblis Kepala Batu. Tapi
pada saat dia mencapai padang lalang, sosok Iblis
Kepala Batu lenyap. Wiro terus lari memasuki
kerimbunan padang lalang. Di bagian tengah dia
hentikan langkah. Memandang berkeliling sambil
kembali terapkan ilmu Menembus Pandang.
"Hilang... lenyap. Tak mungkin dia amblas ke
dalam tanah. Kalaupun dia punya kesaktian seperti,
Sutri pasti tak bisa dibawanya serta." Murid Sinto
Gendeng garuk-garuk kepala. "Lalang, hanya ada
lalang di sekitar sini. Tapi apa iyya...?"
Wiro garukkan tangannya ke pingggang mencabut
Kapak Maut Naga Geni 212 lalu keluarkan batu sakti
hitam.
"Iblis Kepala Batu! Kau boleh punya ilmu tikus,
sembunyi dalam tanah. Aku mau lihat sampai di
mana kehebatanmu!" Habis berkata begitu Wiro
adukan batu hitam ke mata kapak.
"Wusss!"
Lidah api menderu menyambar lalang kering.
Lalang terbakar. Saat itu juga kawasan itu dilamun
api. Asap tebal membumbung ke udara.
IBLIS Kepala Batu mendorong batu besar
penutup pintu lorong rahasia bawah tanah yang
terletak di ujung tangga. Asap tebal dan hawa panas
menerpa dirinya begitu dia keluar dari lobang.
Melihat ke depan dia terkejut. Padang lalang di
sebelah sana telah berubah menjadi padang api!
Pantas saja hawa panas mendera masuk sampai ke
tempat rahasia di mana dia tadi berada.
"Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan!" Iblis
Kepala Batu menggeram marah. Sekelompok asap
tebal menutup pemandangannya. Dia kerahkan
tenaga dalam lalu meniup. Namun begitu asap
tersibak menebar dan dia dapat melihat cukup jelas
ke depan tiba-tiba satu jotosan melanda dadanya.
"Bukkk!"
Iblis Kepala Batu terpental hampir dua tombak.
Mulutnya keluarkan raung kesakitan. Di hadapannya
berdiri berkacak pinggang pemuda berambut
gondrong.
"Tikus tanah! Akhirnya keluar juga kau dari
persembunyianmu!" Wiro membentak sambil melirik
pada guci tembaga yang tergantung di pinggang
Iblis Kepala Batu. Dulu dia keliru mengira guci itu
terbuat dari perak.
"Pendekar 212 jahanam!" teriak Iblis Kepala
Batu. Dia cepat melompat sambil lepaskan satu
pukulan tangan kosong. Bersamaan dengan itu Wiro
juga melompat dan hantamkan satu tendangan
mengarah kepala.
Terpaksa Iblis Kepala Batu jatuhkan diri ke
tanah kembali. Pukulannya yang tadi diarahkan ke
depan kini diputar ke atas, mencari sasaran di betis
si pemuda.Murid Sinto Gendeng tahu betul kekuatan
lawan. Dia tidak berani adu tendangan kaki dengan
pukulan tangan. Sambil lipat lututnya ke atas Wiro
ganti tendangan dengan pukulan Tangan Dewa
Menghantam Tanah. Ini adalah pukulan sakti yang
didapatnya dari Kitab "Kitab Putih Wasiat Dewa
berintikan "Delapan Sabda Dewa."
Angin laksana topan melabrak ke arah Iblis Kepala
Batu. Sambil berteriak keras, dia kerahkan seluruh
tenaga dalam yang dimilikinya lalu kedipkan mata dan
bersamaan dengan itu pukulkan dua tangan ke atas.
Dua larik sinar merah melesat keluar dari sepasang
mata Iblis Kepala Batu sedang dari dua tangannya
menyembur cahaya juga berwarna merah dan lebih
besar.
"Bummm! Bummm!"
Dua letusan keras menggelegar. Satu gelombang
angin luar biasa derasnya menyambar ke arah kobaran
api yang melalap padang lalang. Begitu hebatnya
gelombang angin, padang lalang yang terbakar
terangkat berserabutan, melayang ke udara dan mati.
Asap mengepul hampir di segala penjuru.
BENTROKAN pukulan sakti berkekuatan tenaga
dalam tinggi membuat Iblis Kepala Batu cidera dalam
cukup parah. Dada mendenyut sakit, tubuh gontai
seolah hilang keseimbangan.
"Pemuda keparat itu. Ilmunya benar-benar tinggi.
Aku tadi melepaskan Sepasang Sinar Pemasung
Nyawa dari mata, sekaligus menghantamkan pukulan
Dua Iblis Menjebol Tembok Roh. Tidak ada satu tokoh
silatpun yang bisa selamat dari serangan itu. Apa dia
lebih hebat dari semua tokoh yang pernah
kupecundangi?!"
Iblis Kepala Batu Pemasung Roh batuk-batuk.
Dia meludah. Ludahnya ternyata bercampur darah.
"Kalau saja pendupaan di atas kepalaku tidak
dihancurkan oleh gadis jahanam itu, mungkin lukaku
tidak separah ini," Iblis Kepala Batu merutuk.
Ingat pada Sutri Kaliangan dan sadar saat itu
terlalu berbahaya baginya untuk melanjutkan
pertempuran melawan Pendekar 212, selagi kepulan
asap melindungi dirinya Iblis Kepala Batu cepat
melompat masuk ke dalam lobang di dekatnya.
Kejutnya bukan alang kepalang ketika masuk ke
ruang bawah tanah. Sutri Kaliangan tidak ada lagi di
kursi batu di mana dia didudukkan dalam keadaan
tertotok.
"Tidak mungkin gadis itu melarikan diri. Pasti
ada seseorang yang menolong! Kurang ajar!" Iblis
Kepala Batu memeriksa kamar tidurnya. Kamar itu
kosong. Tapi alas tempat tidur batu yakni kain tebal
berisi rumput kering tercampak di lantai. Kejut Iblis
Kepala Batu bukan kepalang. Dia memeriksa ujung
kiri tempat tidur batu.
Sebuah alat rahasia yang berada di ujung kiri
tempat tidur telah bergeser dari kedudukan semula.
"Jahanam! Ada yang mempergunakan pintu
rahasia!" Iblis Kepala Batu cepat memutar alat
rahasia itu. Saat itu juga lapisan batu tempat tidur
bergeser ke samping. Sebuah lobang menganga. Di
luar sana suara langkah-langkah kaki memasuki
ruang bawah tanah semakin jelas. Tidak menunggu
lebih lama lagi Iblis Kepala Batu segera masuk ke
dalam lobang di lantai ruangan. Tempat tidur batu
bergeser kembali menutup lobang.
WIRO terkapar di tanah bekas lalang terbakar. Rasa
panas membuat dia tersentak dan cepat melompat
bangkit. Tangan kanannya yang tadi melepas pukulan
dan bentrokan dengan pukulan lawan terasa bergetar.
Ada rasa ngilu di sekujur tulang lengannya sampai ke
bahu. Ketika dia memperhatikan ke depan, Iblis Kepala
Batu tidak kelihatan.
"Lari ke mana mahluk keparat itu?" pikir Wiro sambil
memandang berkeliling. "Tak mungkin dia kabur tanpa
membawa Sutri." Wiro lalu melihat lobang besar di
tanah. Dia memeriksa. Ada tangga batu menuju ke
bawah. Tanpa pikir panjang dia segera memasuki
lobang, menuruni tangga. Di bawah tanah dia hanya
menemui dua buah ruang kosong. Iblis Kepala Batu
tidak kelihatan. Begitu juga Sutri. Tiba-tiba Wiro
mendengar suara menggemuruh. Ruangan di mana
dia berada mendadak menjadi gelap dan udara
berubah pengap.
"Celaka, apa yang terjadi?!" pikir Wiro.
Lapat-lapat di luar sana dia mendengar suara tawa
bergelak Iblis Kepala Batu.
"Pendekar 212! Aku menguburmu hidup-hidup!
Tamat sudah riwayatmu! Ha... ha... ha!"
"Aku terjebak...." desis murid Sinto Gendeng. Dia
berusaha tenang. Tapi bagaimana bisa tenang. Dia
berada dalam kegelapan. Jari tangan di depan matapun
tidak kelihatan. Tengkuknya mulai terasa dingin.
TAMAT
Ke mana lenyapnya Sutri Kaliangan puteri Patih
Kerajaan? Masih bisakah Pendekar 212
menyelamatkan Bunga dari sekapan guci maut Iblis
Kepala Batu sementara dirinya sendiri terjebak
dalam kuburan maut bawah tanah?
Ikuti serial selanjutnya berjudul :
SI CANTIK DALAM GUCI
https://drive.google.com/file/d/1ZZ-kHqBTL2U1jBwGHUgj5GlD9snU13Fh/view?usp=drivesdk

0 comments:
Posting Komentar