Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Jumat, 31 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - MAKAM TANPA NISAN

https://matjenuh-channel.blogspot.com


MATAHARI  belum  lama  tenggelam.  Namun  pulau kecil di pantai barat pesisir Andalas itu telah ter- bungkus kegelapan. Kesunyian yang mencengkam
dibayang-bayangi oleh deru angin laut dan debur ombak yang memecah di pasir pulau. Sesekali kunang-kunang beterbangan di udara, sesaat menjadi titik-titik terang yang tak ada artinya  lalu  menghilang lenyap dan  kembali ke- gelapan kelam menghantu.
Sesosok tubuh berjalan terbungkuk-bungkuk dalam ke- gelapan. Gerakan kedua kakinya enteng dan hampir tidak terdengar.   Namun  binatang binatang  melata  yang  ber- telinga tajam  dan  ada  disekitar situ  masih  dapat  men- dengar  gerakan  langkah  kaki  orang  ini  lalu  cepat-cepat melarikan diri menjauh.
Di samping serumpun pohon bakau orang ini hentikan langkahnya. Telinganya dipasang tajam tajam. Kedua mata- nya memandang tak berkesip ke muka. Di depannyadalam kegelapan dia melihat, ada mata air keciljernih, yang mem- bentuk sebuah  parit dangkal.  Dia  mengikuti  parit  itu  ke arah seberang sana hingga pandangan matanya tertumbuk pada akar sebuah pohon yang sangat besar.
Lama  orang  ini  menatap  pohon  besar  yang  tegak menyeramkan sejarak dua puluh langkah dari tempatnya berdiri. Matanya memandang ke arah batang pohon yang besarnya  lebih dari tiga  pemelukan tangan  manusia  itu. Lalu dia menyeringai dan gelengkan kepala. Dari mulutnya terdengar ucapan perlahan.

"Di saat orang hendak melakukan kebaikan, menjenguk sahabat yang berpulang, masihsaja ada makhluk-makhluk lain hendak berbuat kejahatan."
Orang ini kembali memandang ke arah pohon, lalu dia berseru. "Manusia dibalik pohon! Apa maksudmu sengaja sembunyi disitul Hendak menghadangdan membokong?!"
Tak ada sahutan.
Angin  laut  bertiup  kencang. Semak-semak dan daun- daun  pepohonan  terdengar  bergemerisik.  Seekor  kadal hutan melintas cepat didepan kaki orangyang tegak dekat mata air.
"Ah, dia tak mau menjawab..." kata orang yang barusan bicara.  "Kalau  begitu  terpaksa  aku  harus  meneruskan langkah."   Dengan  tangan   kanannya  dia   mematahkan sebuah  ranting  kecil  di  samping.   Lalu  bertongkatkan ranting ini, orang itu meneruskan langkahnya. Melompati parit kecil didepannya. Sesaat kemudiandiatelah sampai di hadapan pohon besar. Sosok tubuhnya masihsaja tetap terbungkuk-bungkuk seperti tadi. Namun sepasang mata dan telinganya dipasang benar-benar.
Satu langkah dia akan melewati pohon besar, tiba-tiba laksana setan keluar dari sarangnya satu bayangan putih melompat  keluar  dari  balik  pohorl.  Sebuah  benda  ber- bentuk tombak yang memiliki dua mata menderu ke arah kepalanya!
"Membokong adalah pekerjaan pengecut!" seru orang yang diserang. tangan kanannya yang memegang ranting digerakkan dengan sebat  ke atas. Orang ini tahu sekali bahwa  ranting  yang  dipegangnya  tidak  akan  menang melawan  tombak  besi  yang  menghantam  ke  arahnya. Karena itu dia sengaja tidak mau menangkis tetapi ber- usaha memukul lengan yang memegang tombak bermata duaitu.
Si penyerang gelap rupanya tahu apa yang hendak di-

perbuat lawan. Sambil menggeser kakinya dan miringkan tubuh ke kanan, tombaknya yang tadi mengemplang kini ditusukkan ke dada. Tak ada jalan lain. Mau tak mau yang diserang sekarang terpaksa pergunakan rantingnya untuk menangkis. Ranting kecil itu menyelusup ke depan, masuk di antara dua mata tombak.
Orang  memegang tombak terkejut  ketika  merasakan bagaimanatombak besinya laksana ditahan satu kekuatan dahsyat  membuatnya  tidak  mampu  untuk  mendorong walau sudah kerahkan seluruh tenaganya. Dengan nekad kalautadidiahanya andalkan tenaga luar, orang ini kerah- kan tenaga dalam lalu sambil mendorong dia keluarkan bentakan keras.
Kraaakkkk!
Ranting kayuberderak patah. Tapitongkat bermatadua terpelanting  ke  kiri,  nyaris  terlepas.  Si  pemilik  tombak mundur tiga langkah, matanya memandang ke depan, coba menembus  kegelapan  untuk dapat  melihat wajah orang yang gagal diserangnya itu. Tapi sia-sia saja.  kegelapan malam begitu pekat sehingga walau berada cukup dekat dia tidak bisa melihatwajah orang itu, apalagi mengenali- nya.
Maka diapun bertanya membentak. "Siapadisitu?!"
Jawaban yang didapatnya justru  bentakan  pula. "Kau yang menghadang dan menyerang! Aku yang lebih layak menanyakan siapadirimu!"
Orang dibalikpohon keluarkan suara mendengus.
"Aku Kiyai Surah Ungu dari Banten! Katakan siapa diri- mu?!"
"Kiyai  Surah  Ungu  dari  Banten...?"  mengulang  orang yang  masih  memegang  patahan  ranting.  "Ah...  ah...  ah! Bukankah  kau  orangnya yang  bergelar  Pangeran Tanpa Mahkota, yang  menjauhkan  diri  dari  Kesultanan  karena tidak suka dengan  kehidupan  Keraton yang  menurutmu

menjijikkan?"
Dalam  gelap  berubahlah  paras  orang  dibalik  pohon. Rasa terkejut membuat dia mengeluarkan seruan tertahan.
"Kau  telah  mengetahui  siapa  diriku,  lalu  kau  sendiri siapaadanya?!" tanya Kiyai Surah Ungu.
"Aku  belum  mau  memberi  tahu  sebelum  aku  men- dengar  apa   keperluanmu  jauh-jauh  datang   ke   pulau terpencil ini!"
"Kau keliwat mendesak. Tapi takjadi apa karena kau ada  di  atas  angin.  Aku  kemari  untuk  melayat  seorang kawan yang kabarnya meninggal beberapa waktu lalu dan dimakamkan di pulau ini! Nah aku sudahmengatakan yang sebetulnya  padamu,  sekarang  giliranmu  memberi  tahu siapa dirimu dan apa pula keperluanmu gentayangan di tempat ini!"
Orang yang ditanya tertawa  pendek. "Belum....  Belum Kiyai. Aku  belum  akan  menjawab  pertanyaanmu.  Masih ads pertanyaan-pertanyaan lain yang perlukuajukan.... '
"Kau membuat akujadi jengkel dan marah! Apa kaukira diriku  ini  seorang  pesakitan yang tengah  diperiksa  dan perluditanyaisegala-galanya?!"
"Jangan cepat jengkel,apalagimarah Kiyai Surah Ungu. Di  malam  yang  gelap  begini  dimana  kita  tidak  dapat melihat  wajah  satu  sama  lain,  tipu  menipu  bisa  saja terjadi!"
"Apa  maksudmu  dengan  kata-kata  itu?!"  tanya  Kiyai Surah Ungu.
""Lupakan  saja  ucapanku tadi.  Aku  ingin  tahu  siapa sahabat yang kau katakan meninggal dan dimakamkan di pulau ini … "
"Kau pasti kenal. Dia seorang tokohsilat nomor satu di kawasan Andalas ini, Pernah membuat nama besar dan menggegerkan seantero tanah Jawa beberapa puluhtahun lalu. Dia pernah menyandang gelar Pendekar Gila Patah

Hati. Adapula yang memberinya julukan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Namun di kalangan golongan putih dia lebih dikenal dengan panggilan Si Tua Gila. Nah sekarang apakah kau sudah  puas  atau  masih  hendak  merahasiakan  dirimu sendiri?!"
"Ah, rupanya kita mempunyai tujuanyang sama!"
Kiyai  Surah  Ungu  merasa  heran.  Tujuan  yang  sama belum  tentu   berarti   hati  yang  sama!   ""Katakan  apa maksudmu...?"
"Aku merasa kau ikuti sejak aku menjejakkan kaki di pulau ini. Kecurigaan membuatku sengaja menghadangmu di balik pohon ini. "
"Begitu...?" Orang itubatuk-batuk beberapa kali.
"Kita ternyata adalah dua sahabat lama yang puluhan tahuntak pernah bertemul"
Kiyai Surah Ungu majudualangkah.
"Aku  memang rasa-rasa  pernah  mendengar suaramu. Rasa-rasa mengenali. Tapi...Ah! Otakku sudah agak pikun. Sulit bagiku menerka kalaukautidak segera memberi tahu slapadirimul"
"Aku Ramadi Watampone dari Bugis!"
"Astaga! Betul kiranya aku berhadapan dengan kawan sendiri! Bukankah kau yang di timur dikenal dengan nama besar Pendekar Badik Emas?!"
Orang  yang  mengaku  bernama  Ramadi  Watampone tertawa  perlahan.  "Ulah  manusia  memang  banyak,  aku kebagian menerima ulahdalambentuk gelarseperti itu!"
Kiyai  Surah   Ungu  sisipkan  tombak   pendeknya   di pinggang.  Dia  menyalami  Ra madi  Watampone.  Kedua orang ini kemudian malahsaling berangkulan.
"Puluhan  tahun  tidak   bertemu.  Sekali   bertemu  di tempat gelap di pulau terpencil begini! Siapa yang tidak saling  curiga!"  kata  Kiyai  dari  Banten  itu.  "Nah,  kukira kehadiranmu disini tentulah juga untuk melayat sahabat

yang mendahului kita."
"Kau betul Kiyai Surah. Hanya sayang, kita sama-sama tidak  sempat  melihat  wajah  Tua  Gila  penghabisan  kali sebelumdikubur..."
"Ada baiknyakita segera sama-sama menujuke makam sahabat kita itu. Biar akuberjalan duluan … "
"Kalau   begitu  aku   mengikuti  dari   belakang,"   kata Ramadi Watampone.
Dalam  gelap  kedua  orang  yang  sama-sama  berusia hampir tujuh puluh tahun itu berjalan beriringan menuju bagian pulau sebelah timur. Tak berapa lama kemudian merekakeluar darikerapatan pepohonan dan sampaipada sebuah  lapangan  kecil  yang  dikelitingi  oleh  batu-batu karang runcing diseling oleh batu-batu cadas membentuk dinding setengah lingkaran.
Karena  tempat  ini  agak  terbuka  maka  kepekatan malam  masih  bisa ditembus  pandangan  mata.  Di  ujung depan, di sebelah tengah lapangan tampak dua gundukan tanah kuburan yang masihmerah.
Dari  dua  makam  itu  hanya  satu  yang  memiliki  batu nisan.
Kiyai Surah Ungu dan Ramadi Watampone melangkah kearahmakam namun di tengah lapangan langkah kedua orang ini mendadak tertahan. Ada dua sosok tubuh meng- geletak  tak  berapa jauh  dari  makam.  Ketika  diperiksa keduanya ternyata tidak bernyawa lagi. Wajah mereka ter- tutup darah yang mulai mengering. Pada kening masing- masing kelihatansebuahlobang sebesar kuku ibu jari. Dari lobang inilah darahsebelumnya mengucur.
"Kiyai  Surah...  Kau  mengenali  siapa  adanya  mayat- mayat ini?!"
Yang   ditanya   menggeleng.   Malah   balik   bertanya "Kau…?"
"Tak pernah kulihat wajah keduanya sebelumnya. Tapi

dari dandanan mereka pasti yang seorang dari dunia per- silatan  dan  satu  lagi  yang  masih  menggenggam  keris seperti  orang  bangsawan.  Mungkin  juga  pejabat  dari sebuahkerajaan..."
Kiyai Surah  mengambil  keris dari genggaman  mayat. Meneliti badan dan hulusenjata itu lalu berkata, "Gagang keris menunjukkan senjata ini berasal dari Istana Gading di selatan..."
"Kita  menghadapi satu  peristiwa  pembunuhan,  Kiyai!" kata Ramadi Watampone alias Pendekar Badik Emas.
"Itulah yang ada dibenakku..." jawab Kiayi Surah Ungu seraya  memandang  berkeliling.  Hanya  pepohonan  dan batu-batu  cadas  serta  batu-batu  karang  yang  tampak menghitamdalam kegelapan.
"Sulit, dipercaya, pada saat kita hendak menyambangi makam  seorang  sahabat,  tahu-tahu  dihadapkan  pada peristiwa seperti ini. Siapa yang dibunuh dan siapa yang membunuh?'
Ramadi Watampone memegang tubuh salah satu mayat lalu berkata, "Meski darah di  mukanya mulai  mengering tapi  tubuhnya  masih  agak  hangat.  Pertanda  orang  ini belum lama menemuikematian … "
"Jangan-jangan pembunuhnya masih berada di sekitar sini... " ujar Kiyai Surah lalu memandang berkeliling sekali lagi.  Kemudian dia berpaling pada  Ramadi dan berkata, "Sahabatku,  ingat  waktu  kukatakan  padamu  ada  sese- orang yang  mengikutiku sejak  aku  menjejakkan  kaki  di pulau  ini?  Aku  tadinya  menduga  kau  yang  menguntit. Sekarang  aku  punya  dugaan  lain.  Mungkin sekali  pem- bunuh itulah yang mengikutiku...!"

***

ntuk beberapa lamanya kedua orang tua itu sama- sama jongkok dan saling pandang dengan perasaan tidakenak. "Aku punya firasat ada orang lain tengah
memperhatikan gerak gerik kita saat ini…" berbisik Kiayi Surah Ungu.
Ramadi Watamponejadi merasa tidak enak mendengar kata-kata itu. Tengkuknya seperti dihembus angin dingin. Setelah  berdiam sesaat  dia  lalu  berkata,  "Apapun yang terjadi  di  tempat  ini  harus  kita  lupakan  dulu.  Maksud utama kita kemariadalah untuk berziarah melihat makam sahabat kita Tua Gila. Mari kita ke makam sana ..."
"Tunggu dulusahabat," berkata Kiyai Surah seraya me- megang  lengan  Ramadi.  "Kalau  kita  berada  di  makam, punggung  kita  harus  membelakangi  dinding  batu-batu cadas  dan  batu-batu  karang.  Dengan  begitu  kita  tak mungkin  dibokong  orang.  Siapapun  yang  hendak  mem- bunuh kita pasti akan muncul diarah depan..."
"Kau betul. Kita harus berhati-hati..." kata Ramadi pula. "Sebaiknya melangkah mundur."
Kedua orang itu kemudian mendekati duabuahmakam dan  melangkah  mundur  dalarn  gelap.  Begitu  sampai keduanya mengambil kedudukan di belakang batu nisan. Mereka memperhatikan keadaan sekeliling beberapa saat.
"Aneh..." kata Ramadi Watampone. "Mengapa ada dua makamditempat ini?"
"Keanehan itu sudah kupertanyakan dalam hati sejak pertama kali aku melihat dua makam ini tadi," menyahuti

Kiyai Surah Ungu. "Yang satu ada nisannya. Terbuat dari batu hitam. Di sini digurat nama Tua Gila. Tapi makam satu di sebelahnya ini sama sekali tidakmemiliki batu nisan … "
"Apakah sahabat kita Tua Gila mempunyai istri?" tanya Ramadi Watampone.
Kiayl Surah menggeleng. "Setahuku kakek-kakekitu tak pernah  punya  istri...  Kalaupun  ini  makam  istrinya,  lalu mengapa tidak ada batu nisannya?"
"Hemmm,  sulit  diduga  makam  siapa  yang  satu  ini," berkata Pendekar Badik Emas.
"Ada satu keanehan lagi…" ujar Kiyai Surah.
"Apa?"
"Kedua kuburan ini sama-sama masih merah tanahnya. Berarti  siapapun  yang  dimakamkan  di  dua  kubur  ini waktunyatidak berbedabanyak ..."
"Kau  benar,"  kata  Ramadi  dan  hatinya  merasa tidak enak.  lalu setengah  berbisik  dia  bertanya:  "Apakah  kau menciumbau sesuatu...?"
Kiayi Surah Ungu menatap Ramadi sesaat lalu meng- hirup udara malam dalam-dalam, coba membaui sesuatu yang dimaksudkan Ramadi Watampone.
"Memang  ada  bau  sesuatu.  Tapi  sulit  kuterka  bau apa..." kata sang Kiayi kemudian. "Bau apa yang tercium oleh hidungmu, Pendekar Badik Emas?"
"Seperti bau asap..." jawab Ramadi pula. "Baunya ada tapi bentuknya tidakkelihatan."
"Sudahlah. Mari kita membaca doadan apa saja untuk almarhum sahabat kita Tua Gila. Mudahmudahan dia di- berikan tempat yang paling baikoleh Yang Maha Kuasa."
Ramadi mengangguk. Kedua orang tua itu lalu mem- baca berbagai surat suci dan memanjatkan doa panjang bag! Tua Gila.  Menjelang dini  hari  baru  mereka selesai. Ramadi Watampone memandang pada sang Kiyai lalu ber- tanya apa yang akan merekalakukan sekarang.

"Sesudah menengok makam Tua Gila sebenarnya kita bisa  saja  segera  meninggalkan  pulau  ini.  Tetapi  tidak pantas rasanya kalau kita tidak mengurusi jenazah kedua orang ini..." berkata Kiyai Surah.
"Kalau begitu kita terpaksa menunggu sampai pagi."
"Kita tidak punya peralatan cukup untuk menggali kubur dan menanam jenazah mereka. Aku punya cara yang lebih gampang.  Kita  memanggul  masing-masing  seorang  dari keduanya. Membawanya ke atas perahu. Lalu membuang- nya di tengahlautan. Itu lebih balk dari pada meninggalkan mereka membusuk atau dirusak binatang di tempat ini."
Baru saja Kiyai Surah berkata begitutiba-tiba dikejauh- an   terdengar   suara   raungan   anjing,   panjang   meng- gidikkan.
Kiyai  Surah  merapatkan  kerah  jubahnya.  "Aneh...  Di pulauseperti ini ada anjing..:" katanya.
"Makin  lama berada di  pulau ini semakin tidak enak perasaanku," berucap RamadiWatampone berterus-terang. "Kita berangkat sekarang?"
Kiyai Surah mengangguk.
Kedua orang itu lalu membungkuk, untuk memanggul masing-masing   satu  jenazah.   Namun   belum   sempat mereka menyentuhtubuh-tubuh tak bernyawa itutiba-tiba keduanya  merasa  ada  seseorang  bergerak  di  belakang mereka.
Kiyai Surah dan Ramadi Watampone segera membalik. Keduanya sama melengak kaget. Hanya delapan langkah di  hadapan  mereka  tegak  sesosok  tubuh  tinggi  besar. Selain pakaian warna kuning yang dikenakannya, orang ini juga bermantel hitam dalam sebatas lutut. Wajahnya ter- lindung oleh kepekatan malam hingga tak bisa dikenali. Di kepalanyabertenggersebuah topi tinggi
"Hati-hati...  Mungkin  sekali  kita  tengah  berhadapan dengan pembunuh kedua orang itu, Ramadi ..." bisik KiyaiSurah.
"Aku malah memastikan orang di depan kita ini pem- bunuh kedua orang ini," sahut Ramadi Watampone. Lalu tangannya  digeser  ke  letak  dimana  senjatanya  terselip yaitusebilah badik berbadandanbergagang emas.
Kiyai Surah Ungu melakukan hal yang sama. Berjaga- jaga dengan mendekatkan tangan kanannya padatombak bermatadua yang tersisip di pinggangnya.
"Kalian mau bawa ke mana dua mayat itu?!" Tiba-tiba sosok yang tegak didepan sana bertanya.
Suaranya garang dan keras.
"Kami bermaksud mengurus jenazah-jenazah ini. Mem- buangnyadi tengahlaut," menjawab Kiyai Surah.
"Kalian tidak akan sempat melakukan itu!" Orang tinggi besar berkata.
"Kenapatidak?!" tanya Ramadi Watampone.
"Karena  kutuk  telah jatuh  terhadap  siapa  saja  yang menjejakkan kaki di pulau ini. terhadap siapa saja yang Menziarahi makam Tua Gila! Dalam beberapa saat kalian berdua akan menemuikematiansepertikedua orang itu!"
Terkejutlah Kiyal Surah dan Pendekar Badik Emas.
"Jadi  kau  yang  membunuh  kedua  orang  itu?!"  tanya Kiyai  Surah  puia.  Tangannya  telah  memegang  batang tombak erat-erat.
"Kamu sudah tahu kenapa bertanya?!"
"Katakan siapa kauadanya!" tanya Ramadi.
"Kalian tak layak bertanya! Manusia-manusia sahabat Tua  Gila sudah  kusumpah  untuk  mati  di tempat  inil  Di depan makam Tua Gila sendiri!"
"Kita tidak bersilang sengketa, mengapa menginginkan jiwa kami?!" tanya Kiyai Surah.
Si  tinggi  tertawa  pendek.  "Kematian  memang  tidak selalu disebabkan oleh silang sengketa. Tetapi Tua Gila telah  menanam  bahala  dan  silang  sengketa  beberapa

tahun yang silam.  Dan aku telah  bersumpah siapa saja sahabat Tua Gila yang muncul disini akan kuhabisi nyawa- nya. Termasuk kalian berdua!"
Sehabis berkata begitu orang tinggi besar itumelompat ke depan. Kedua tangannya membuat gerakan aneh dan menimbulkan angin deras. Kedua kakinya yang melompat menimbulkan getaran sewaktu menjejak di tanah.
Kiyai Surah dan Ramadi yang sejak tadi memang sudah berjaga-jaga cepat menghindarke samping. Dari kiri kanan merekalalubalas menyerang.
Tapi angin yang menyambar dari kedua tangan orang tinggi  besar  itu  membuat  dua  orang tua  ini  terhuyung- huyung.
Pendekar Badik Emas dan Kiyai Surah Ungu serta merta kerahkan seluruh tenaga dalam yang  mereka  miliki  lalu menghantam secara bersamaan.
Orang yang diserang jadi terkejut juga. Dari mulutnya keluar suara seperti menggereng. Kernbali kedua tangan- nya bergerakuntuk menangkisserangan kedualawannya.
Bukkk!
Bukkk!
Terdengar  dua  kali  suara  bergedebuk  begitu  tangan masing-masing beradu keras. Kiyai Surah Ungu terpental empat  langkah.  Lengannya  seperti  dihantam  potongan besi.  Paras  sang  Kiyai  berubah  pucat.  Pendekar  Badik Emas mengalami hal yang sama. Tubuhnya mencelat tiga langkah dan dari mulutnyaterdengar seruan kesakitan.
Si tinggibesar tertawa bergelak.
"Aku senang melihat manusia-manusia seperti kalian. Walau  ilmu  kepandaian cuma sejengkal tapi  berani  me- nantang!"
Bukan  main  panasnya  hati  Kiayi  Surah  Ungu  dan Pendekar Badik Emas. Mereka telah mendalami ilmu silat, tenaga dalam  bahkan  kesaktian selama  bertahun-tahun.

Dalam dunia persilatan merekadihormati dan menjadidua tokoh yang disegani. Kini seorang tak dikenal enak saja mengejekkepandaian mereka!
"Manusia sombong! Lekas beri tahu siapa kausebenar- nya?!"  membentak  Ramadi  Watampone  alias  Pendekar Badik Emas.
Yang dibentakmalah tertawa.
"Bukankah  kau  manusianya  yang  bergelar  Pendekar Badik   Emas   dan   kawanmu   itu   Si   Pangeran   Tanpa Mahkota?"
Kiyai Surah Ungu dan Ramadi Watampone sama-sama terkesiap mendengarkata-kataitu. Dan sitinggibesar me- lanjutkankata-katanya.
"Memandang  nama  besar  kalian,  aku  memberi  ke- longgaran  memperpanjang sedikit seat  kematian  kalian. Kalian    berdua    kupersilahkan    mengeluarkan   senjata masing-masing.  Perlihatkan  Tombak  Dwi  Sula-mu  Kiyai Surah Ungu. Dan kau Pendekar Badik Emas, bukankah kau datang darijauh? Sangat sayang kalau aku sampai tidak melihat senjata mustikamu. Tunjukkan padaku kehebatan badik emasmu!"
Dua  orang tua  kembali terkesiap  karena  orang yang tidak mereka kenal itu ternyata tahu banyak tentang diri mereka,  termasuk  senjata-senjata  yang  mereka  miliki. Namun   merasa   diejek   dan   dianggap   remeh   bahkan ditantang maka baik Kiyai Surah maupun Pendekar Badik Emas ini tidak merasa sungkan lagi.
Keduanya  keluarkan  senjata  masing-masing.  Sesaat kemudian sebilah badik emas sudah tergenggam di tangan Ramadi Watampone yang bergelar Pendekar Badik Emas sedang sebatang tombak bermata dua tampak menyilang di depan dada Kiayi Surah Ungu yang dijuluki Pangeran Tanpa Mahkota.
"Bagus...! Kalian boleh majuberbarengan!"

Dua orang tua  itu  menunggu sesaat.  Ketika si tinggi besar tidak tampak mengeluarkan senjatanya makakedua orang itupun serta merta menyerbu. Badik emas berkiblat menaburkan  sinar  kekuning-kuningan  dalam  kegelapan malam. Tombak  Dwi Sula  menderu  mencari sasaran  di tenggorokan lawan.
Serangan   dua  tokoh  silat   kelas  tinggi   itu   bukan serangan  main-main. Siapapun  lawan  pastilah  nyawanya akan sangat terancam jika diserang demikian rupa. Tapi lagi-lagi si tinggi besar keluarkan suara tertawa. Lalu dia gerakkan tangannya kiri kanan.
Dua  benda  hitam  sebesar  ujung jari  kelingking  ber- bentuk bulat melesat dalam kegelapan malam. Baik Kiyai Surah  Ungu  maupun  Ramadi  Watampone  hanya  men- dengar suara berdesing tapitidakmelihat bendanya.
Ketika  mereka  kemudian  menyadari ada  benda yang melesat kearah mereka, Kiyai Surah sapukan tombak ber- mata duanyake atas. Ramadi Watampone babatkanbadik- nya  di  udara.  Namun  gerakan  kedua  orang  ini  sudah sangatterlambat.
Di   lain   kejap   terdengar   jeritan   mereka   merobek kegelapan malam hampir bersamaan.
Tubuh keduajago tua ini terkapardi tanah di hadapan dua  buah  makam.  Satu  di  belakang  makam  Tua  Gila, satunya  di   belakang   makam  tanpa   nisan!   Keduanya menemuiajal dengan mata membeliak!
Di   kening   masing-masing   tampak   sebuah   lubang mengerikan sebesar ujung ibu jari tangan. Dari lubang ini mengalir keluardarah yang segera saja membasahiwajah dan mata mereka!
Begitu kedua orang itu meregang nyawa sosok tinggi tadi menyelinap dan lenyap di celah antara batu karang dan batu cadasl Tak lama kemudian dikejauhan kembali ter-dengar suara panjanglolongananjing.

Angin malam bertiup tambah keras dan tambah dingin. Ombak di pantai pulau berdebar semakin keras.

***

PUNCAK  Gunung  Singgalang  disaput  awan  kelabu sejak pagi. Semakin lama awan kelabu ini semakin tebal  dan  akhirnya  membuat  suasana  mendung menutupi  daerah  luas  sekitar  gunung.  Namun  sampai sianghujan tak kunjung turun.
Di lereng barat Gunung Singgalang, seorang tua duduk termenung di ruang depan rumah kayu berkolong tinggi. Di halaman  seorang  lelaki tengah  asyik  membakar  seekor ikan besar sambil menyanyi dan sekali-kali melirik ke arah orang tua di atas  rumah.  Bau sedap  ikan  panggang  ini menebarkemana-mana.
Orang yang membakar ikan untuk kesekian kalinya me- mandang kearah orang tua di atas rumah. Dalam hatinya dia  berkata, "Kasihan orang tua  Itu. Sulit diduga sudah berapa  tahun  uslanya.  Kelihatannya  dia  sudah  pasrah untuk meninggalkan dunia. Tapi Yang Kuasa masih belum Jugs mengutus mataikat maut..."
Bagi orang yang baru pertama kali melihat orang tua di atas rumah, mungkin bisa serasa terbang nyawanya oleh rasa takut. Tapi si pembakar ikan yang sudah bertahun- tahun tinggal bersamanya menjadi kawan dan pembantu, tidak lagi merasa ngerimelihatwajahitu.
Wajah dan keadaan tubuh orang tua tersebut memang menyeramkan untuk dipandang. Mukanya pucat berkerut dan  sangat  cekung.  Kedua  matanya  hanya  merupakan sepasang  rongga  besar  yang  menggidikan.  Salah  satu telinganya  sumplung.  Dimulutnya  tak  sepotong  gigipun

bersisa. Kedua tangannya kiri kanan buntung sebatas per- gelangan.
"Saringgih...." tiba-tiba  terdengar  suara  orang tua  itu. Halus melengking.
"Ambo  Nyanyuk..."  menyahuti  lelaki  yang  membakar Man. Dia berhentimengipas bara api pemanggang ikan.
"Akan lamakah pekerjaanmu ituselesai?"
"Ah,  Nyanyuk sudah  lapar sekali  rupanya!"  Orang tua bermataseperti setan gelengkan kepala.
"Aku  belum  ingin  makan Saringgih. Ada sesuatu yang aku pikirkan."
"Ah,  pantas  sejak  tadi  ambo  lihat  Nyanyuk  duduk termenung- menung:
"Aku merasa kita harus segera meninggalkan Gunung Singgalang ini."
Singgih tercenung  mendengar  ucapan  orang tua  itu. Kipas bambudiletakkannyaditanahlalu die melangkah ke dekat  tangga.  "Angan-angan  apa  yang  ada  di  pikiran Nyanyuk?"
"Nyanyuk  Amber  tidak  pernah  berangan-angan.  Aku mendapat firasat yang tidak enak. Juga ada isyarat mimpi yang   kuterima   malam   tadi … "   Jawab   orang   tua   itu sementara   angin   meniup-niup   rambutnya   yang   putih jarang.
"Kalau begitu ceritakanlah pada ambo mimpi Nyanyuk itu,"  kata  Saringgih  lalu  menaiki  tangga  dan  duduk  di hadapan orang tua bernama Nyanyuk Amber.
"Malam tadi aku mimpi melihat udara hitam kelam di pantai pulau ini. Paginya ketika akuterjaga entah mengapa akutiba-tiba sajateringat pada seorang sahabat lama yang tinggal  di  sebuah  pulau  di  barat Andalas. Aku  berpikir, jangan-jangan  ada  sesuatu  terjadi  atas  dirinya.  Usianya lebih  tua  dariku.  Sudah  sakit-sakitan.  Sejak  beberapa tahun berselang akutidak pernah mendengar kabarberita-

nya. Kau sendirisudah beberapa lama tidak pernah turun gunung untuk menyirap kabar dan segala kejadian yang ada  di  luaran. Aku  khawatir  kalau-kalau sesuatu terjadi atas dirinya..."
"Jalan pikiran Nyanyuk selama ini biasanyatidak pernah meleset," kata Saringgih. "Jadi akan berangkatkah kita hari ini, Nyanyuk?"
"Tidak... Tidak hari ini Saringgih, Tapisekarang!"
"Sekarang Nyanyuk? Ah, kenapasecepat itu?"
"Kau tahu perjsianan ke sana sangat jauh. Kau harus membawaku melalul perjalanan darat paling tidakselama dua hari: Lalu mengarungi laut hari. Kalau keberangkatan ditunda-tunda, kapan akan sampainyadi sana Saringgih?'
"Kalau  begitu  Nyanyuk  bilang, ambo  hanya  mengikut saja. Tapi biar saya selesaikan panggangan ikan Itu. Kita makandulubaruberangkat. Begitu kan Nyanyuk?"
"Tidak,  tidak  begitu  Saringgih.  Ikan  bakarmu  sudah cukup matang. Bungkusdan kita makan di perjalanan … "
Saringgih ternganga, garuk-garuk kepala namun akhir- nya hanyabisamengangkat bahu.
"Selesal  kau  membungkus  ikan  itu,  siapkan  jubah hitamkuSaringgih," terdengar Nyanyuk Amber berkata.
"Jubah hitamkatamu Nyanyuk?"
"Kau sudah dengardan akutidak perlu mengatakannya sampaidua kaIi!"
"Agaknya kita akan menghadapi urusan besar lagi kali ini Nyanyuk?" tanya Saringgih.
"Betul.  Urusan  besar.  Mungkin  sangat  besar  dalam hidupku.  Karenanya  kau  juga  kupinta  menyiapkan  diri dengan kerismu yang bernama Pusaka Dewa itu … "
"Balk Nyanyuk, saya akan membungkus ikan bakar itu. Menyiapkan  baju  hitammu  dan  membekal  keris  Pusako
Lalu dia naik atas rumah, masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil sebilah keris. Setelah Itu dia masuk ke dalam kamarTdyanyuk Amber dan mengambilsehelaibaju hitam lengan panjang terbuat dari kain sangat tebai. Baju yang berupa jubah  pendekar ini dikenakannya  ke tubuh Nyanyuk Amber.
Pada bagian bahu kiri kananbaju hitam ini terdapat se- buahsaku. Dan pada masing-masingsakutersisipselusin senjata berbentuk anak panah kecil sepanjang seterrgah jengkal, terbuat dari perak putih.
"Kau sudahsiapSaringgih?"
"Siap Nyanyuk?"
"Tak ada yang ketinggalan?"
Saringgih  berpikir  sejenak  lalu  menjawab.  "Rasanya tidakada Nyanyuk."
"Bagus kalau begitu. Jangan lupa ikan bakarmu. Bisa- bisa kita kelaparan di tengah jalan."
Saringgih mengangguk lalu jongkok di hadapan orang tua yang sejak tadi duduk saja di lantai. Ketika si pem- bantu  ini  mendukung  Nyanyuk  Amber  di  punggungnya kelihatanlah kini keadaan tubuhnya di sebelah sepasang tangan buntung tetapikedua kakinyapun juga bunting!
Siapakah sebenarnya orang tua yang memiliki banyak cacat ini?
Nyanyuk Amber adalah salah satu dari beberapa tokoh silat tingkat tinggi yang paling disegani di pulau Andalas. Dia memiliki seorang murid yang kemudian dijuluki Raja Rencong Dari Utara. Celakanya sang murid tergoda oleh nafsu  hendak  menguasai  dunia  persilatan.  Cara  yang ditempuhnya  adalah  sesat  dan  keji  yaitu  mengundang semua tokoh persilatan di pulau Andalas untuk datang ke tempat  kediamannya,  lalu  membunuh  mereka  secara masal!

Sebagaf seorang guru tentu saja Nyanyuk Amber meng- halangi  maksud jahat  muridnya  itu. Ternyata  kesetanan Raja  Rencong  sudah  sedemikian jauhnya  sehingga  dia kemudlan tega membuat butakedua mata Nyanyuk Amber, memotong tangan dan kaki orang tua itu. Meskipun dalam usia tua dan tidak berdaya seperti itu, namun kemudian Nyanyuk   Amber   bersama-sama   Pendekar   212   Wiro Sableng berhasil menumpas dan menamatkan riwayat Raja Rencong  Dad  Utara.  (Baca serial Wiro Sableng  berjudul Raja Rencong Dari Utara).
Setelah dua hari menempuh perjalanan darat akhirnya Saringgih dan Nyanyuk Amber sampaidi pantal barat pulau Andalas. Saringgih segera mencarl perahu yang bisa meng- angkut mereka ke tempat tujuan yaitu sebuah pulau tak jauh  dari  pesisir  barat.  Tapi  ternyata  tak  ada  seorang pemilik perahupun yang mau mengantarkan mereka.
"Aneh!"  kata  Nyanyuk  Amber.  "Apakah  mereka  takut melihat tampangku atau mungkin pemilik perahu itusudah kebanyakan uangsehingga tak mau lagibekerja. Saringgih, kau tahu mengapa mereka tidak mau mengantarkan kita ke pulau?"
"Mereka  tidak  mau  mengatakan,  Nyanyuk.  Tapi  dari gelagat ambo kira orang-orang itu merasa kawatir..." jawab Saringgih.
"Apa yang  mereka  kawatirkan? Temui salah seorang dari mereka. Katakan kita akan membayardua kali lipat."
"Ambo   justru   menjanjikan   bayaran   tiga   kali   lipat Nyanyuk. Tapi semua merekatetap menggeleng."
"Kalau begitu kita sewa perahu saja dan. Kau terpaksa jaditukang kayuh,"
"Ambo   tak   keberatan   Nyanyuk.   Cuma   disewapun merekatidak mau!"
"Kapuyuak!"   mengomel   Nyanyuk  Amber.   "Apa   pun alasan mereka kali ini?"

"Salah seorang memberitahu, ada empat kawan mereka yang telah menyewakan perahu. Tujuan para penyewa itu sama dengantujuan kita yaitu ke pulau. Tapi sampal hari ini  keempat  penyewa  itu  tak  pernah  kembali.  Perahu mereka itu lenyap! Orangorang di pantai menduga keras ada  malapetaka yang telah  menimpa  keempat  penyewa perahu itu!"
Nyanyuk Amber yang didudukkan Saringgihdi bawah se- batang pohon tampak termenung sambil mengusap-usap dagunyayang ditumbuhi janggut tipis putih.
"Mereka tak mau mengantar, Mereka jugatak mau kita sewa perahu mereka. Sudah, kalau begitu kita beli saja satu! Habis perkaral Bukankah kau cukup membawa uang, Saringgih?"
"Kira-kira  begitu. Tapi seandainya tidak  cukup  bagai- mana Nyanyuk?"
"Mudah saja! Gadaikan  keris  Pusako  Dewa  milikmu!" sahut Nyanyuk Amber.
"Apa…? Ini bukan senjata sembarangan Nyanyuk. Tapi senjata pusaka tujuh turunan. Dan Nyanyuk sendiri sudah ikut menambahkantuahnya!"
"Kita dalam kesulitan Saringgih. Kau boleh pilih. Gadai- kan kerisitu atau kaugadaikan kepalamu..." habis berkata begitu  Nysnyuk  Amber  tertawa  terkekeh-kekeh  hingga kelihatangusinyayangtidak bergigi sama sekali.
Saringgih geleng-geleng kepala. Dia menggaruk seluruh saku pakaiannya, mengambii semua uang yang dibawanya Ialu menghitung.
"Mudah-mudahan uang ini cukup. Dari padamenggadai- kan keris atau kepala! Bagusnya si tua ini saja yang di- gadaikan! Tapi... siapa  pula yang mau menerima  kepala setan itu...!" kata Saringgih mengomel sendirian.
"Kepala   si   tua   siapa   yang   kau   maksudkan   itu Saringgih?" Rupanya ucapan pembantunya tadi terdengar

oleh Nyanyuk Amber.
"Ah, tidak. Anu Nyanyuk. Bukan kepalasiapa-siapa. Tapi kepala ambo yang dibawa…" jawab Saringgih lalu cepat- cepat meninggalkan tempat itu sambiltersenyum-senyum.

***

Menjelang  matahari  tenggelam  perahu  yang  di- dayung  Saringgih  sampal  di  pulau  tujuan.  Di bagian   air   lout   yang   dangkal   pembantu   itu
melompat turun lalumendorong perahu ke pasir pantai. "Kita sudahsampai Nyanyuk... "
"Aku  tahu.  Apa  yang  kau  lihat  sekitar  tempat  ini, Saringgih?"
Si  pembantu  memandang  berkeliling.  "Laut,  pantai, sang surya yang hendak tenggelam, pepohonan, batu-batu karang…"
"Hanya  itu...?!"  ujar  Nyanyuk  Amber.  "Kedua  mataku tidak melihat karena buta. Tapi kautidak melihat sesuatu yang penting dan kau tidak buta! Jangan tolol Saringgih! Buka matamu lebar-lebar!"
Saringgih memandang lagi berkeliling. "Ah, orang tua ini memang  benar,  mengapa  aku  sampai  tidak  melihatnya tadi," kata pembantu itudalam hati. "Saya memang melihat sesuatu Nyanyuk. Ada tiga... Tidak... Bukan tiga tapi ada empat buah perahukecil jauhdi sebelah sana … "
Nyanyuk Amber usap-usap dagunya. "Ada empat perahu di   pantai  sini.   Berarti   keempat   penyewa   perahu   itu memang telahsampal di sini. Tapi tak pernah kembali ke pulau besar. Mereka raib secara aneh."
"Kita perluberhati-hati Nyanyuk..."
"Betul.  Karena  itu  buka  matamu  lebar-lebar.  Apakah kauadamelihat jejak-jejak kaki di pasir pantai?"
"Tak  dapat  saya  pastikan  Nyanyuk.  Kita  harus  me-

nyelidikike dekat empat perahu itu … "
"Dukung aku ke sana!"
Saringgih lalumendukung Nyanyuk Amber di punggung- nya melangkah ke tempat empat perahu yang berada di tempat pasir pulau.
"Nah sekarang katakan apa yang kau lihat!"
"Ada empat perahu di bagian pulau ini, Nyanyuk. Yang dua didepan kita, dualainnya tak jauhdi sebelah sana."
"Berarti, dua perahu yang pertama datang bersamaan. Dua perahulainnyaberbeda waktu... Apa lagiSaringgih?"
"Di atas pasir memang kelihatan ada legukan-legukan. Tapi tidak begitujelas apakah bekas jejak manusia atau jejak kaki binatang…"
Nyanyuk Amber mengangguk. Dia mendongak ke langit beberapa saat.  Hidungnya  menghirup  udara  laut dalam- dalam. Tercium udara yang mengandung garam.  Namun indera yang tajam dari orang tua ini jugamembaui sesuatu. Dia berpaling ke deretan pohon-pohon lalu barkata, "Kita masuk ke dalam pulau Saringgih. Melangkah saja lurus- lurus   ke   depan.  Jangan   membelok.  Jangan   berhenti sebelumaku memberitanda..."
"Tidakkah sebaiknya kita makan dulu di sini Nyanyuk? Persediaan makanan kita masih banyak…"
"Pikiranmu tidak  lain  ke  perut  saja  Saringgih.  Dasar gadang lambuang! kau boleh makan sambil mendukung- ku!" kata Nyanyuk Amber pula.
Makin jauh  mereka  masuk  ke  dalam  pulau  kecil  itu semakin berkurang kencangnya tiupan angin laut. Udara pun tidak  mengandung garam  lagi.  Namun ada sesuatu yang mencucuk liang hidung dan rongga pernafasankedua orang itu.
"Kau   mencium   bau   sesuatu   Saringgih?"   bertanya Nyanyuk Amber.
"Betul Nyanyuk. Bau busuk... " jawabsipembantu. Saat

itusebenarnya dia sudah keletihan mendukung orang tua itudi punggungnyatapi dia tak beranimengatakan.
"Bau busuk yang berasal dari apa menurutmu Saring- gih?" bertanya lagi Nyanyuk Amber.
"Sulit diterka, Nyanyuk. Mungkin itu berasal dari bang- kai binatang…"
"Kau betul," berkata Nyanyuk Amber. "Itu memang bau bangkai binatang. Binatang berkaki dua!"
"Maksud Nyanyuk...?"
"Maksudku  adalah  bau  bangkai  manusia!  Kau  tahu, bangkai  manusia  adalah yang  paling  busuk  dari segala bangkai yang ada didunia ini!"
Saringgih hentikan langkahnya.
"Jangan-jangan  itu  adalah  bangkai  orang-orang  yang menyewa perahu..."
"Kukira begitu. Jalan terus Saringgih. Kita akan segera melihat sesuatu. Agaknya hari mulai gelap. Buka matamu lebar-lebar. Jangan sampai terserandung. Aku tak mau ter- sungkur ke tanah karena ketololanmu!"
Saringgih melangkah terus sambil mendukung si orang tua di punggungnya. Dia melewati sebuah mata air jernih dansejuk. Tenggorokannya yang kering membuat dia ingin sekali   berhenti   sebentar,   meneguk   air   membasahi rangkungan dan juga membasahi mukanya yang saat itu terasa tebal akibatseharian penuh disapu angin laut.
"Jalan terus Saringgih! Kalau akutidak bilang berhenti, jangan berani berhenti!"
Terdengar suara Nyanyuk Amber dekat telinga Saring- gih. Pembantu ini diam-diam mengomeldalam hati. "Orang tua ini seperti bisa membaca apa yang ada dalam benak- ku!"
Melanjutkan  perjalanan  di  sela-sela  pepohonan  dan semak belukar sekitar seratus langkah lebih di mana bau busuk terciumsemakin santar sementara keadaan tambah

gelap, mendadak sontak Saringgih hentikan langkahnya. Orang  tua  yang  dipunggungnya  hampir  terlepas  dari pegangannya.
"Saringgih! Kau berhenti melangkah tanpa perintahku! Dadamu  berdebar  keras.  Kedua  lututmu  terasa  goyah. Kudukmu  terasa  dingin.  Apa  yang  kau  lihat  di  depan matamu?!" Nyanyuk Amber cepat ajukan pertanyaan.
Saat itu memang Saringgih merasakan jantungnya ber- debarkeras, sepasang lutut goyahdan tengkuk, merinding dingin sedang sepasang  matanya  membeliak  kasar.  Dia hendak menjawab namun sesaat lidahnya terasa kelu.
"Cepat    katakan   apa   yang    kau    lihat   Saringgih! Keselamatan kita di tempat asing ini banyak tergantung dari cepat lambatnya kau memberitahu aku!"
"Nyanyuk... didepan kita adalapangankecil … "
"Kantuik! Persetan dengan tanah lapang itu! Pasti ada hallain yang lebih penting dari tanah lapangsialan itu!"
"Kau... kau benar Nyanyuk. Di ujung lapangan ada dua buahkuburan. Satu pakaibatu nisan hitam, satunya tidak. Tapi... di samping kiri dan kanan kedua makam itu ada masing-masing lima tiang kayu. Pada empat tiang, dua di kiri dua di  kanan terikat sesosok  mayat.  Rusak,  busuk, mulai berbelatungan..."
"Ada yang kau kenali diantara keempat mayat itu?"
"Sulit Nyanyuk. Wajah merekatertutup darahmengering dan sudah sangat rusak..:"
"Melangkah  lebih  dekat.  Perhatikan  apa  yang  me- nyebabkan  kematian  mereka.  Diracun,  ditusuk  senjata tajam atau terkenapukulan sakti..."
Sambil  mendukung  Nyanyuk  Amber,  Saringgih  me- langkah  lebih  dekat  ke  arah  kedua  makam.  Dibukanya matanya  besar-besar.  Selain  sulit  untuk  meneliti  sebab kematian keempat orang diikattegakketiang kayu itu, juga saat itu hari bertambah gelap.

"Keempat orang ini agaknya menemui kematian dalam cara   yang   sama   Nyanyuk.   Muka   mereka   bersimbah darah..."
"Berarti  sebab  musabab  kematian  ada  pada  bagian kepala. Ayo kau perhatikan lagilebih teliti … "
Untuk bisa melihat lebih jelasterpaksa Saringgih maju lagi dua  langkah  padahal saat  itu  perutnya sudah  mau meledak muntah dan hidungnya tak sanggup lagi didera bau busuk yang luarbiasa.
"Nyanyuk...  Ambo  melihat  ada  lobang  kecil  sebesar ujung  jari  pada  setiap  kening  mayat…"  kata  Saringgih ketika  pada  akhirnya  dia  melihat  lobang-lobang  aneh dalam ukuran dan bentuk yang bersamaan pada kening masing-masing mayat!
"Bagus Saringgih. Sekarang coba kau perhatikan ciri-ciri keempat  orang  itu,  termasuk  pakaiannya  lalu  katakan padaku. Siapa tahuaku bisa mendugasiapa-siapa mereka yang menemui ajal secara anehdi pulau ini!"
"Sulit  diberi  tahu  Nyanyuk.  Soalnya  keempat  mayat sudah  sangat  rusak.  Pakaian  merekapun  sudah  tidak karuan lagi. Tapi, ambo melihatada tiga buah senjata ter- geletak  di  tanah.   Kelihatannya   bukan  senjata-senjata sembarangan."
"Coba kau ceritakan senjata apa yang kau lihat itu!"
"Yang di sebelah kanan terletak di depan kaki mayat, berupa    sebuah    tombak    pendek    bermata    dua..." menerangkanSaringgih.
"Tongkat  pendek  bermata  dua...  Hemmmmmm."  ber- guman Nyanyuk Amber. "Bagian bawah tempat pegangan- nya dilapisi kulit…"
"Betul Nyanyuk..."
"Itu adalah Tombak Dwi Sula dari Banten! Berarti mayat di  depan  senjata  ini  adalah  mayat  Kiyai  Surah  Ungu! Seorang Pangeran Banten yang menyingkir dari keraton!"

Nyanyuk  Amber  terdiam  sesaat  lalu,  "Ceritakan  tentang senjata yang kedua..." katanya.
"Sebilah   badik   Nyanyuk.   Berwarna   kuning   legam. Mungkinterbuat dari emas..."
"Kuning sampaike hulunya?" tanya Nyanyuk Amber.
Ketika Saringgih membenarkan, wajah tua cekung itu nampak menjadi kelam. "Pendekar Badik Emas dari Bugis ternyatatelah jadikorban pula," kata si orang tua perlahan. "Lalu apa senjata yang ketigaSaringgih?"
"Sebilah kerisbergagang gading..."
"Hemm...  Tak   bisa   kuduga  siapa   pemiliknya.  Tapi senjata  ini  biasanya  merupakan senjata  andalan  orang- orang penting Istana Gading di pesisirselatan! Sulit diduga apa sebenarnya yang terjadi di pulau ini. Saringgih, tadi kau bilangadadua makam diujung lapangan."
"Benar Nyanyuk..."
"Satu adabatu nisan hitam. Satunyatanpa nisan … "
"Betul Nyanyuk."
"Apa yang tertulis pada makam yang ada batu nisan- nya?" bertanya lagi Nyanyuk Amber.
Saringgih majukankepalanya sedikit untuk dapat mem- baca guratan pada batu nisan. "Disini hanya tertulis Tua Gila. Tak ada tulisan lain ..."
"Ada... bagiku itusudah cukup. Ternyata benartelah ter- jadi  sesuatu  atas  diri  sabahatku.  Tua  Gila  aku  tidak menyangka  kau  bakal  mendahuluiku … "  Untuk  beberapa lamanya Nyanyuk Amber termenung larut dalam kesedih-
an.
"Tak ada tanda-tanda pada makam yang katamutidak bernisan itu, Saringgih?" Si orang tua kemudianajukan per- tanyaan.
"Sama sekalitidakada. Namun sepertikuburannya Tua Gila, kubur satu inipuntanahnya masihmerah … "
"Aneh.  Siapa  yang  dikubur  disamping  kuburnya  Tua

Gila?  Istrinya...?  Setahuku  dia  tidak  beristri!  Muridnya? Hemmm...?  Aku  memang  pernah  mendengar  Tua  Gila mengambil seorang murid. Tapi masih sangat kecil. Paling tidak usia muridnya itu baru sekitar enam tahun. Lalu di mana anak itu? Di dalam kubur yang satu ini...? Saringgih, kubur tanpa nisan ituapakah sama besar dengan makam Tua Gila? Atau lebih kecil?"
"Sama besar Nyanyuk..." sahutSaringgih.
"Berarti ini makam orang gede! Ah, sulit kuduga siapa yang  dikubur  disini..."  kata  Nyanyuk Amber  lalu setelah diam sesaat orang tua ini berkata.
"Saringgih kau ambilobat pelawanbaupusuk yang ada dalamsaku baju celanakusebelah kanan. Teteskan cairan yang ada di dalamnya ke kaki setiap mayat. Setelah itu kembalikanobat itupadaku … "
Si pembantu merogoh saku kanan Nyanyuk Amber. Di saku  ini  ditemuinya  sebuah  botol  kecil.  Botol  ini  berisi cairan berwarnacoklat.
"Kau   pergi   teteskan   obat   itu.   Tapi   lebih   dahulu dudukkan  aku  di  depan  makam  Tua  Gila.  Aku  ingin mengheningkan cipta dan berdoa..."
"Nyanyuk terus terang sejak menginjakkankaki di pulau ini  hatiku  merasa  tidak  enak.  Begitu  selesai  Nyanyuk berdoa sebaiknya lekas-lekas saja kita tinggalkan tempat ini."
Nyanyuk Amber tidak berkata apa-apa. Saringgih  me- nundukkan  mukanya  di  depan  makam  Tua  Gila  lalu melangkah mendekati mayat- mayat yang diikat di tiang. Dengan tengkuk merinding ketakutan setengah mati dan sambil menekap hidung pembantu ini teteskan cairan di dalambotolmasing-masing satu tetes ke setiap kaki mayat yang membusuk itu.
Begitu   cairan   menyentuh   kaki   mayat,   terdengar letupan.... Lalu mengepul asap coklat yang perlahan-lahan

naikke atas menutupi sosok mayat. Sesaat kemudian asap itu menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Bersamaan dengan lenyapnya asap coklat, bau busuk yang mengham- par di tempat itupunsirna perlahan-lahan.
"Obat   aneh …"   kata   Saringgih   dalam   hati   sambil menutup botol kecil itu kembaii. Pembantu ini tahu bahwa walaupun  mempunyai  daya  pemusnah  bau  busuk  yang ampuh namun kekuatan obat itu hanya mampu bertahan selama satu hari satu malam. Setelah itu bau busuk pasti akan muncul kembali.
Setelah pembantunya memasukkan botolobat kembali itu dalam saku celananya, Nyanyuk Amber mulai berdoa untukarwah Tua Gila. Dalam berdoaseperti itudiatiba-tiba mencium bau sesuatu. Bau asap rokok. Meskipun hatinya kini menjadi tidak tenang namun orang tua ini meneruskan juga membaca doasampaiselesai. Begitu selesaidia ber- tanya.  "Saringgih…! Aku tahu  kau tidak  merokok. Tetapi aneh, aku menciumbau asap di tempat ini … "
"Ambo juga menciumnya Nyanyuk," menyahuti si pem- bantu sambil memandang berkeliling.
Tengkuknya terasa lebih dingin.
"Aku merasa adamahluk bernafas disekitar tempat ini." kata Nyanyuk Amber yang membuat Saringgihtambah me- rinding. "Aku juga mendengar ada suara ketukarr-ketukan sangat halus. Seolah-olah datang dari perut pulau..."
"Nyanyuk,  bukankah  lebih  baik  kita segera  pergi saja darisini?" kata Saringgih pula.
"Diam Saringgih... Aku mendengar ada suara sesuatu di kejauhan... Seperti suara langkahlangkah kaki!"
Tiba-tiba kedua orang itu sama-sama tercekat. Saring- gih   malah  sampai  tersentak  saking   kagetnya.  Suara raungan anjing memecah kesunyian. Panjang dan meng- gidikkan.
"Suara anjing di pulau sekecil ini. Sungguh aneh..." kata

Nyanyuk Amber seraya memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan.
"Nyanyuk…"  kata  Saringgih  dengan  suara  bergetar. "Ambo bisa kencing dicelana kalau masih terus berada di tempat ini … "
"Kita akan segera pergi. Tapi tunggu sampai aku me- mastikan bahwa yang kudengar sebelum raungan anjing tadi adalahbenar-benar suara kaki manusia … "
Kalau saja bukan orang tua itu yang harus dijaga dan diikuti ucapannya mungkin saat itu Saringgih sudah me- lompat dan lari meninggalkan tempat itu.
"Tak ada suara apa-apa Nyanyuk. Pastilah...! Mungkin suara desau angin  laut atau gemerisik  pepohonan yang tadi kaudengar... Bukan suara langkah kaki..."
"Aneh, akuseperti yakin itu adalah suara langkah kaki. Telapaknya bergerak sangat perlahan. Disengaja agar di- miringkan. Telinganya dipasang baik-baik."
Saringgih  kembali  memandang  berkeliling.  Pertama sekali ke arah pepohonan dan semak belukar dari jurusan mana tadi  mereka  datang. Tak  kelihatan  apa-apa.  Lalu pembantu  ini  mengalihkan  pandangannya  ke arah  batu- batu cadas hitam dan batu-batu karang tinggi yang mem- bentuk dinding setengah lingkaran di sebelah kiri. Tepat ketika dia memandang di sebuah celah antara dua batu karang tinggi mendadak diamelihat bayangan hitam besar bergerak.
"Nyanyuk..." suara pembantu flu tersendat dantercekat.
"Ada apa Saringgih?"
"Ambo melihat sesuatu. Ada sosok bayangan besar di celah batu karang di kiri kita … ."
"Itu bayangan batu-batu karangsaja agaknya Saringglh. Kenapa kau musti merasa takut?"
"Tidak   Nyanyuk.   Bayangan   batu   pasti   diam.   Tapi bayangan   yang   saya   lihat   bergerak   perlahan-lahan!

Nyanyuk! Ada orang tinggi besar  melangkah  keluar dari celah batu karang!" seru Saringgih dengan muka pucat.

***

yanyuk   Amber    meskipun   terkejut    mendengar ucapan  pembantunya  itu  namun  tetap  berlaku tenang  dan  berkata.  "Jangan takut. Tenang saja.
Lekas beri tahu aku ciri-ciri orang itu... Kalau dia memang manusia,bukannya setan!"
Kedua  mata Saringgih terpentang  lebar  kearah celah batu karang.  Bayangan besar pada batu bergerak terus.
Perlahan tapi pasti. Lalu bayangan itu lenyap dan kini sebagal gantinya muncul sesosok tubuh tinggi besar. Orang ini  berewokan,  mengenakan  baju  kuning  serta  sehelai mantel panjang berwarna hitam. Di kepalanya ada sebuah topi tinggi.
"Apa yang kau lihat Saringgih... Lekaskatakan padaku!" desis  Nyanyuk  Amber.  Dengan  suara  tersendat-sendat pembantu itu segera mengatakan ciri-ciri orang tinggi besar yang melangkah mendatangi itu. Dalam takutnya Saringgih melangkah  ke  dekat  Nyanyuk Amber. tiba-tiba sosok  di depan  sana  keluarkan  suara  membentak  garang  dan keras.
"Janganada yang berani bergerak!"
Gerak langkah Saringgih tertahan.
"Si...  siapa  kau...?"  Saringgih  beranikan  diri  bertanya walau suaranya gagap.
"Budak! Kau tak layak bertanya!" si tinggi besar mem- bentak. Tujuh langkah dari hadapan makam dia berhenti. Lalu dia berpaling pada Nyanyuk Amber yang masih duduk bersila di kaki makam Tua Gita. "Kakek buta! Apakah kau

sudah selesaiberdoa?!"
Ditanya  sekasar  itu  Nyanyuk  Amber  batuk-batuk  be- berapa kali lalu balik bertanya, "Siapatanyasiapa?!"
"Kurang ajar! Aku tuan  rumah di  pulau  ini! Aku yang layak bertanya!"
"Hemm, aku tidak tahu kalau kau tuan rumah di pulau ini. Setahuku sahabatku Tua Gila yang tinggaldisini..."
"Jadi… Tua Gila sahabatmu, hah? Apakah kacungmu ini tidak mengatakan bahwadisini adamakam Tuan Gila yang menyatakan  bahwa  sahabatmu  itu  sudah  mampus  dan dikubur?!"
Nyanyuk  Amber  sunggingkan  senyum.  "Sebagai  tuan rumah rupanya kau tidak pandaibicara sopan dan lunak…"
"Pertu   apa   bicara   dengan   manusia-manusia   yang sebentar lagiakanjadi bangkai!" sentaksi tinggi besar. Dia bergerak maju satu langkah.
Nyanyuk Amber tertawa mengekeh. Sebaliknya Saring- gih menyumpah dalam hati. "Gila!! Dalam keadaan seperti ini diamasihbisa tertawa seenaknya!"
"Semua  manusia  pasti  akan jadi  bangkai.  Itu  sudah ketentuan   Tuhan.   Tapi   bukan   berarti   manusia   bisa mendahului Tuhan, mencabut nyawa manusia sesamanya! Cakapmu yang sombong menyatakan bahwa kaulah yang telah membunuh keempat orang itu, lalu mayatnya kau ikat ditiang!"
"Ha ...ha...ha! Matamu butatapi banyak melihat!Apakah kau  sadar  kalau  sebentar  lagi jumlah  mayat  akan  ber- tambah menjadi enam? Kau dan kacungmu itu lalu akan kuikat ketiang-tiang kayu sana!"
"Bagus kautelah memberi tahu!" sahut Nyanyuk Amber seenaknya. "Tua bangka sepertiku memang tidak berguna lagi hidup didunia. Tubuhku sudah karatan. Lalu apa yang ditakutkan menemuikematian?!"
Mendengar ucapan Nyanyuk Amber itu kembali Saring-

gih menyumpah dalam hati. "Kau tidak takut mati! Tapi aku masih kepingin hidup!"
"Kalau kau memang sudahsiap untuk mati berartiaku tidak terlalu susahpayah membunuhmu!" kata orang tinggi besarbertopidan bermantel hitam.
"Tidak... Kau tidak akan susah membunuh tua bangka sepertiku.  Hanya  saja  sebelum  mati  aku  kepingin  tahu mengapa  kau  menginginkan  nyawaku?  Juga  nyawa  ke- empat orang yang kau bunuh terdahu!u!"
"Jawabnya mudahdan singkat! Kutuk telahjatuh bahwa semua sahabat Tua  Gila yang  menginjakkan  kakinya  di tempat ini akan menemuikematian! Mati di tanganku!"
"Ah... Kau ini malaikat maut jadi-jadian rupanya!" ujar Nyanyuk Amber. "Tapi hari ini kauberhadapan dengan aku raja diraja segala  malaikat jadi-jadian!  Lekas  berlutut di hadapanku,  terangkan  siapa  dirimu.  Minta  ampun  dan bunuh diri!"
Merah padam wajah sitinggi besarbermantel hitamitu. Tangan  kanannya  dipukulkan  ke  arah  Nyanyuk  Amber. Serangkum  angin  menderu  menghajar  orang  tua  itu. Saringgih berseru memberi ingat.
Orang   tua   bermata   buta,   bertangan   dan   berkaki buntung   itu   gerakkan   bahu   kanannya.   Gerakan   ini menyentakkan lengan panjang jubah yang dikenakannya. Dari ujung lenganjubah itumelesat keluar satu gelombang angin  yang  mengeluarkan  suara  bersiuran.  Dua  angin dahsyat salingtabrak diudara.
Saringgih melihat bagaimana bentrokan angin pukulan mengandung tenaga dalam tinggi  itu  membuat  Nyanyuk Amber  terbanting jatuh  punggung  di  tanah.  Sebaliknya orang  bermantel  hitam  terjajar  jauh  ke  belakang  dan tersandarkedinding karang.
"Kurang ajar1 Tingkat tenaga dalam tua bangka buruk itu tidak  rendah.  Kalau tidak segera  kuhantam  dengan

pukulan melumpuhkan, bisa-bisa akumendapat celaka se- belum menghabisi nyawanya!"
Orang ini lalu menanggalkan mantelnya. Saringgih yang saat itu sudah melompat ke dekat Nyanyuk Amber segera memberitahu apa yang dilihatnya.
"Saringgih, kau menjauhlah. Cari perlindungan di balik pohon atau batu..."
"L.ebih baik Nyanyuk saya dukung dan larikan darisini saat ini juga!" kataSaringgih.
"Kalau kau mau selamat ikuti ucapanku!" si orang tua membentak  halus.  Mendengar  itu Saringgih tak  berlaku ayallagi. Dia melompat ke baliksebuahpohon.
Tepat pada saat dia sampai dibaJik pohon, di depan sana   orang   bertubuh   tinggi   besar   kebutkan   mantel hitamnya. Terdengarnya suara menggemuruh laksana ads tanah  longsor.  Bersamaan  dengan  itu  satu  gelombang angin  laksana  hantaman topan  menghampar ganas  me- nebar   hawa  panas.   Batu   pasir   berhamburan.  Semak belukar rambas. Tanah bergetar dan daun-daun pepohon- an jatuh  luruh,  batang dan cabang-cabangnya  berderak- derak!
Nyanyuk Amber  berseru  keras.  Dia  kerahkan tenaga dalam  penuh  lalu  goyangkan  bahunya  kiri  kanan.  Dua gelombang  angin  melesat  menyongsong  gemuruh  angin lawan.  Namun sambaran angin yang  keluar dari  mantel hitam lawan ternyata lebih dahsyat, membuat orang tua cacat ini tak bisa bertahan. Dengan tubuh mandi keringat karena   berusaha   menahan   serangan   lawan   akhirnya Nyanyuk Amber terdorong lalu terseret  mental  beberapa jauh.
Nyanyuk Amber kini dapat membaca keadaan.
Dia segera berteriakpada pembantunya.
"Saringgih! Lekas larike perahu!"
"Nyanyuk! Kau sendiri bagaimana… Ambo akandukung

kau. Kita lari sama-sama!" kata pembantu yang setia itu.
Sambil berguling-gulingsi orang tua berteriak. "Lakukan apa yang aku bilang! Tunggu aku diperahu!"
Mendengar   ini   Saringgih   segera   tancap   diri,   lari sekencang yang bisa dilakukannya menuju perahu di tepi pantai.
Ketika melihat lawan tersapu jauh oleh pukulan angin mantel hitamnya, si tinggi besar gerakkan tangannya ke sebuahkantongdi pinggang kiri. Ketika tangan itu digerak- kan ke depan, melesatlah dua buah benda hitamsebesar ujung  jari  kelingking.  Dalam  gelapnya  malam  senjata rahasia berwarna hitam ini sulit untuk dapat dilihat. Tapi telinga Nyanyuk Amber sudah dapat mendengar ada se- suatu yang melesat kearahnya dalam kegelapan malam.
Pada saat tubuhnya dihantam angin dahsyat tadi dan menyadari bahwa dirinya tak bisa bertahan, begitutubuh- nya kena disapu, dengan cerdik orang tua ini lipat tubuh- nya lalu gulingkan dirinyake belakang. Tangan dan kakinya yang buntung membuat tubuhnya bisa mengkerut menjadi bulat laksanasebuahbola. Hal ini membuat daya gulingnya jadi berlipat ganda. Selagi dia bergulingan itulah dia men- dengarada bendamelesat kearah kepalanya!
Nyanyuk Amber tundukkan kepalanya ke bahu kanan. Mulutnya  menarik  sebatang  senjata  rahasia  berbentuk anak panah kecil yang tersisip disaku jubah pendek yang dikenakannya.  Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam- nya ke tenggorokan, orang tua ini meniup keras-keras.
Anak panah perak itumelesat dalam kegelapan malam, memapas  ke  arah  datangnya  suara  berdesing.  Sesaat kemudian  terdengar  suara  berdentingan.  Anak  panah Nyanyuk Amber  berhasil  menghantam  benda  bulat yang menyambar  di  udara.  Walaupun  anak  panah  perak  itu
hhtan na  i a

rahasia  lawan  yang  diarahkan  ke  keningnya!  Nyanyuk Amber dengan cepat terus menggulingkan dirinyasehingga akhirnya dia sampaiditepi pasir.
Dengan  mengeluarkan  suara  menggereng  geram  si tinggi  besar  mengejar.  Dia  mengeruk  lagi  kantong  di pinggang  kirinya  lalu sambil  lari  dia  hantamkan senjata rahasianya. Untuk kedua kalinya pula Nyanyuk Amber me- nangkis   dengan   panah   peraknya.   Namun   sekali   ini tangkisannya meleset. Senjata rahasia lawan berdesing ke arah  kepalanya.  Dalam saat yang sangat  berbahaya  itu bahu   Nyanyuk   Amber   menyerempet   gundukan   batu. Dengan cepat orang tua ini memutar tubuhnya lalujatuh- kan diri di balik gundukan batu itu. Dia selamat. Senjata rahasia lawan Iewat seujung kuku di atas kepalanya! Tanpa menunggu lebih lama lagi orang tua ini kembali gulingkan diridi atas pasir.
Saringgih  yang  menunggu  di  atas  perahu  berteriak keras.
"Nyanyuk! Ambo disini!"
Teriakan  ini sudah cukup  bagi  Nyanyuk Amber  untuk mengetahui arah di mana pembantunya berada. Orang tua ini lipat tubuhnya lebih dalam. Lalu tubuh itumelentingdan mencelat di  udara, jatuh tepat diatas  perahu. Seringgih serta merta mendayung perahu itu cepat-cepat ke tengah lautan.
Orang tinggi besar menggeram keras. Dia berusaha iari mengejar  masuk  ke  dalam  laut  sampai  tubuhnya  teng- gelam  sebatas  pinggang.  Namun  perahu  yang  dikayuh Saringgih  telah jauh  ditengah.  Dengan  geram  orang  ini masih  berusaha  melepaskan  lagi  satu  senjata  rahasia. Namun senjata rahasianya itu hanya sempat menghantam bagian belakang perahudan menancap dikayu perahu itu.
Kembali orang ini menggeram.
"Kakek cacat itu ternyata memiliki kepandaian hebat.

Baru  dia  seorang  yang  sanggup  menangkis  serangan senjata rahasiaku! Aku belum pernah melihatnya sebelum- nya.  Tapi  dari  ciri-cirinya...  Jangan-jangan  dia  adalah Nyanyuk Amber, tokohsilat dari puncak Singgalang, bekas guru Raja Rencong Dari Utara! Kurang ajar! Mengapa tadi aku tidak  menghantamnya dengan  lima senjata  rahasia sekaligus! Kalau dia berani muncul lagi, tak akan kuberi ampun bangsat tua itu!" Lalu sambil mengepalkan kedua tinjunya orang ini memutar tubuh dan lenyap dalam ke- gelapan malam.
Sementara itudi atas perahu.
"Manusia itu luar biasa... Serangahnya ganas memati- kan! Hampir saja aku benar-benar hendak dibuatnya jadi bangkai!"  kata  Nyanyuk  Amber  seraya  berusaha  duduk sementara  perahu  meluncur  denan  cepat.  "Kita  sudah cukup jauh ke tengah. Manusia itu pasti tidak dapat lagi melihat kita. Sekarang putar arah perahu ini, Saringgih!"
Tentu sajasipembantu menjadi heran.
"Di putar kemana Nyanyuk? Bukankah kita kembali ke pulau besar?"
"Tidak. Kita kembalike pulau itu!"
Saringgih  tersentak  kaget  dan  hentikan  mendayung perahu.
"Ambo  yang  salah  dengar  atau  Nyanyuk  yang  salah ucap?!"
"Kau tidak salah  dengar! Aku tidak salah  ucap!  Kita kembali  ke  pulau  menyelinap  lewat  arah  selatan  pada bagianyang berbatu-batubarang..."
"Nyanyuk! Kau barusansaja lepas dari maut! Sekarang malahhendak kembalike tempat cilaka itu!"
"Saringgih tugaskumenyelidikikematian sahabatku Tua Gila. Aku merasa ada sesuatu yang anehdi balikkematian- nya itu. Jika kau takut kembalike pulau, antarkan saja aku sampai di pantai selatan. Biar aku naik ke pulau seorang

diri. Kau boleh kembali ke Gunung Singgalang!"
Saringgih jadi merasa tidak enak mendengar kata-kata
itu.  maka  diapun  menyahuti.  "Nyanyuk,  kita  pergi sama- sama. Pulangpun harus sama-sama..."
Nyanyuk Amber tersenyum lalu rebahkan tubuhnya di lantai perahu.

***

Karena  pulau  itu  tidak  terlalu  besar  maka  dalam waktutakselang berapa lama perahu yang dikayuh Saringgih telah sampaidi bagian barat yaitu bagian yang  pantainya  penuh  dengan  batu-batu  karang  tinggi diseling  batu-batu  cadas  hitam.  Saat  itu  tengah  terjadi pasang naik sehingga merekabisa masukjauh ke daratan.
Angin laut menerpa bebatuan di sepanjang pantai me- nimbulkan suara aneh ditelingaSaringgih.
"Ceritakan   padaku   keadaan   di   sekitar   sini."   kata Nyanyuk Amber begitudia merasa perahu mulai meluncur perlahan.
"Air laut sedang pasang naik Nyanyuk. kita bisa masuk terus ke pedalaman pulau. Pesisir di sini penuh dengan batu-batu karang menjulang tinggi serta batu-batu cadas hitam..."
"Bagus, berartikitasampaidiarah yang tepat. Di bagian belakang kawasan makam Tua Gila. Kau harus menyem- bunyikan perahu ini. Cari tempat yang baik untuk kita. Dan jangan meninggalkan jejak atau tanda-tandasedikitpun!"
Di celah batu-batu besar hitam Saringgih menghentikan perahunya, lalu dia mendukung Nyanyuk Amber turun ke darat.
"Nyanyuk, ambo melihat ada lengkungan dalam salah satu dinding karang. Mungkin sekali goa..."
"Bawa dan tinggalkan aku disana. Lalu kau lekas cari tempat yang  baik  untuk  menyembunyikan  perahu."  kata Nyanyuk Amber pula.

Saringgih mendukung orang tua itu menuju lengkungan batu. Ternyata lengkungan itu bukan sebuah goa melain- kan  lengkungan  biasa  saja  namun  cukup  besar  untuk merekaberdua.
Sebelum  Saringgih  pergi  mencari  tempat  untuk  me- nyembunyikan perahu Nyanyuk Amber meminta agar pem- bantunya itu  mencari  ranting-ranting dan semak  belukar sebanyak   mungkin   untuk   menutupi   bagian   terbuka ruangan  batu  yang  akan  mereka  jadikan  tempat  ber- sembunyi  sekaligus  guna  menghalangi  kerasnya  tiupan angin dari laut.
"Nyanyuk, apa kita benar-benar akan menuju makam Tua  Gila  malam  ini  juga?"  bertanya  Saringgih  sambil menancapkan   ranting-ranting,  serta   belukar  di  depan legukan batu karang.
"Aku sudah memikirkan hal itu kembali. Malam ini kita tetap disini saja. Kau tentu letih, perlu istirahat dan tidur," jawab Nyanyuk Amber, "Besok saja, kalau matahari telah terbit kitakembalike lapangan yang adaduamakamitu..."
Paginya ketikamatahari muncul dan pasang telah turun ternyata tempat  mereka  berada cukup jauh dari  pantai. Dari situ mereka dapat melihat pantai dengan jelas. Se- baliknya seseorang yang datang dariarah pantai agak sulit melihat  mereka  karena ada sebuah  batu  karang cukup tinggi menghalangi pemandangan.
"Nyanyuk, kau ingin ambo mencari ikan dan membakar- nya untuk sarapan pagi?" bertanya Saringgih.
"Jangan jadi  orang tolol! Aku tak  ingin  mahluk yang katanya  kini  menguasai  pulau  ini  melihatmu.  Membakar ikan sama saja mengundang kedatangan mahluk celaka itukemari!"
Saringgih   terdiam   menyadari   ketololannya   sendiri. Dalam hati dia berkata " Alamat akan kosong perutku pagi ini."

"Ada hallebih pentingyang haruskita lakukan … "
"Hal apa Nyanyuk?"
"Dukung akuke tempat kau menyembunyikan perahu."
Begitu sampai di tempat perahu disembunyikan, yaitu dibalik sebuah batu karang lancip orang tua itu minta di- turunkan lalupada pembantunya dia berkata.
"Malam  tadi  salah  sebuah  senjata  rahasia  yang  di- lemparkan kearah kita mengenaibagian belakang perahu. Senjata rahasia itu pasti  masih menancap disana. Coba kauperiksa!"
Saringgih melakukan apa yang diperintahkan Nyanyuk Amber. Sesaat kemudian terdengar pembantu ini berkata. "Kau  betul  Nyanyuk. Ada  bagian  kayu  perahu yang  ber- lobang tetapi tidak sampai tembus. Sebuah benda bulat menancap  di  dalamnya.  Ambo  sudah  berusaha  men- cungkil, tapisulitsekali..."
"Kalau  kau cungkil dengan  mulut atau jari tanganmu tentu saja sulit,Saringgih. Pergunakan ujung kerismu!"
"Nyanyuk,  keris  Pusako  Dewa  milikku  bukan  senjata sembarangan. Masakan dipakai untuk mencungkil … "
Nyanyuk Amber cepat memotong kata-kata pembantu- nya  itu.  "Benda  yang  hendak  kau  cungkil  juga  bukan senjata   sembarangan   Saringgih!   Paling  tidak   senjata seperti itutelah menewaskan empat tokoh yang kau lihat telahjadi mayat itu! Bahkan nyaris membunuhku! Keluar- kankerismudan cungkil senjata rahasia itu dengan hati- hati!"
Saringgihtakbisaberkata apa-apa lagi. Dikeluarkannya keris  pusaka  yang  terselip  di  pinggangnya  lalu  dengan ujung senjata  ini dia  mulai  mencungkil  benda yang me- nancap di kayu belakang perahu. Setelah beberapa lama terdengar suara pembantu ituberkata.
"Ambo    berhasil    mencungkil   senjata    rahasia    ini, Nyanyuk! Bentuknya seperti kelereng..."

"Kelereng…?" mengulang Nyanyuk Amber.
Dengan tangan gemetar si pembantu menggenggamnya lalu  memegang-megang  benda  bulat  itu  dengan  ujung jarinya. Benda bulat terasa licin dan besarnya seujung jari kelingking.
"Hemmm..."  Nyanyuk  Amber  bergumam,  Otaknya  be- kerjakerasuntuk menerka senjata rahasia yang dikatakan Saringgih itu. Lalu dia bertanya. "Saringgih, katakan pada- ku apa warna benda bulat yang besarnya lebih kecil dari kelereng ini?"
"Hitam  legam.  Mengeluarkan  sinar  redup  menggidik- kan!" sahutSaringgih.
Paras orang tua bermata buta itu berubah.
"Mutiara  Setan..."  desisnya.  "Pasti  ini  Mutiara  Setan! Senjata ini tidakberacun. Tetapi sekali menancap ditubuh manusia  dia  akan  bergerak  menutup jalan  darah,  me- nembus   dan   menghancurkan   urat-urat   besar   hingga korban tak  mungkin ditolong. Apalagi  kalau sampai  me- nembus kepala. Korban pasti akan mati seketika! Itulah yang terjadidengan empat tokohsilat yang sekarangtelah menjadi mayat!"
"Nyanyuk, kalau kausudah tahu nama senjata rahasia itu   berarti   kau  juga  tahu  siapa   pemiliknya,"   berkata Saringgih.
Si orang tua mengangguk. "Kita harus hati-hati. Sangat hati-hati. Manusia yang kita hadapi saat ini sejahat iblis selicik setan!"
"Siapa orangnya. Nyanyuk?" tanya Saringgih ingintahu.
"Nanti sajakau lihat sendiri. Kita berangkat sekarang!"
Walaupun  masih  ingin  berlama-lama  di  tempat  itu namun  Saringgih  tak  bisa  membantah,  Dia jongkok  di hadapan si orang tua. Ketika dia siap untuk mendukung tiba-tibaSaringgih melihat sesuatu di tengah taut.
"Nyanyuk, ada perahusedang menujuke arah pulau … "

"Pasti  sahabat  yang  hendak  menziarahi  makam  Tua Gila. Ada beberapa orang kau lihat di atas perahu?"
"Masih terlalujauh. Kurang jelas. Tapi ambo kira cuma satu orang…"
"Tunggu saja beberapa saat lagi. Begitu perahu men- darat kau lekas katakan ciri-ciri orangyang datang."
Saringgih  menunggu.  Sesaat  demi  sesaat  perahu  di tengah taut semakin mendekat ke pulau danakhirnyaber- henti tertahan di pasir pantai. Penumpangnya melompat turun ke pasir lalu menyeret perahunya ke dekat sebuah batu. Seutas tali yang terikat pada ujung perahu dilibat- libatkannya ke batu dan dibuhulnya kuat-kuat. Orang ini tampak  mengangkat  kedua  tangannya  tinggi-tinggi  lalu menggeliat  beberapa  kali.  Sambil  bersiul-siul  dia  me- langkah meninggalkan pantai.
"Saringgih  lekas  katakan  siapa  orang  yang  barusan datang itu! Dan tengah menujuke mana dia!"
"Ambo tak  kenal.  Belum  pernah  melihatnya sebelum- nya.  Orangnya  masih  muda  Nyanyuk.  Berpakaian  serba putih.  Ikat  kepalanya  juga  putih.  Rambutnya  menjulai gondrong. Dia melangkah seenaknya. Sambil bersiul-siul. Agaknya dia tidak tahu malapetaka apa yang bisa menimpa dirinyadi pulau ini! Saat ini dia melangkah terus memasuki pulau.  Dia  melompati  batu-batu  besar  dengan  gerakan enteng"
"Pakaian putih ikat kepala putih. Rambut gondrong. Ber- jalan seenaknyamalah sambil bersiul-siul!" Nyanyuk Amber mengulangi  ucapan  pembantunya  tadi.  Otaknya  bekerja keras mengingat-ingat. Dan tiba-tiba saja dia ingat. Mulut- nya yang  kempot tersenyum.  Lalu  orang tua  ini segera hendak berteriak menyebut nama orang itu. Namun begitu dia  sadar  terlakannya  pasti  akan  didengar  orang tinggi besar di dalam pulau, Nyanyuk Amber segera kancingkan mulutnya rapat-rapat.

"Lekas kitasusul pemuda itu!" katanyapadapembantu- nya.
Namun  saat  itu  tiba-tiba  saja  angin  bertiup  sangat kencang. Langit di atas pulau dan taut di sekitarnyaditutup gumpalan awan kelabu kehitaman. Udara serta merta men- jadi gelap.  Lalu terdengar guntur menyambar.  Di tengah lautkilat bersabung sambar menyambar.
"Celaka  Nyanyuk!  Badai  menyerang  pulau  ini!" teriak Saringgih lalu cepat-cepat berpegangan padadinding batu disamping agartidak terpentaldi hantamangin.
"Siapa takutkan  badai.  Lekas  dukung aku  dan susul pemuda tadi!" kata Nyanyuk Amber keras-keras di antara deru angin yang menggelegar.
Saringgih terpaksa segera  mendukung orang tua  itu. Namun ketika diabarusajamelangkah keluardarilegukan batu,  satu  sambaran  angin   melabrak  dengan   keras. Saringgih  dan  Nyanyuk  Amber  terpelanting  ke  dalam legukan lalu sama-sama jatuh ke tanah. Nyanyuk Amber terdengar   menyerapah  sedang  Saringgih   meringis   ke- sakitan sambil memegangi baglan keningnya yang benjol terantuk dinding batu.

***

Pendekar 212 Wiro Sableng lunjurkan kedua kakinya di  lantai  perahu,  berhenti  mendayung  dan  mem- biarkan perahu itu meluncur dihanyutkangelombang ke arah pantai. Semakin dekat ke pantai pulau semakin jelas  kelihatan  barisan  batu-batu  karang  dan  batu-batu cadas di tepi pasir. Sepasang mata murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini memandang tak berkesip pada dua buah  batu  karang yang  menjulang  lancip  ke  udara dan paling tinggi diantara  batu-batu  karang yang terdapat di teluk sempit di pulau itu. Ingatannya kembali pada masa
beberapa tahun silam ketika diadigembleng secara
oleh kakek saktibergelar Tua Gila.
Waktu itu sore hari. Air laut sedang pasang naik. Dia dibawa ke teluk. Tubuhnya diikat dengan sejenis benang sakti berwarna putih yang disebut Benang Kayangan. Lalu dia  disuruh  memanjat  naik  ke  puncak  salah  satu  batu karang yang tinggi terjal itu. Tua Gila sendirikemudiannaik ke atas batu karang yang satu lagi. Berulang kali tubuh Pendekar 212 mencelat mental dihantam ombak. Setiap kali tubuhnya terlempar Tua Gila  menyentakkan  benang sakti yang dipegangnya hingga Wiro kembaliterlempar ke puncak  karang.  Dengan susah  payah akhirnya Wiro  ber- hasil tegak di atas  batu  karang  itu  namun saat  itu dia sudahsampai pada batas kekuatannya. Darah keluardari mata,  hidung dan telinganya  dan akhirnya  pendekar  ini jatuh  pingsan tidak  sadarkan  diri  lagi.  Dikemudian  hari Wiro baru maklum bahwa apa yang dilakukan Tua Gila atas

dirinya  menjadi  dasar  ilmu  silat tangguh yang tak  ada tandingannya yang  kemudian diajarkan  kepadanya yaitu Ilmu Silat Orang Gila.
Kini setelah  bertahun-tahun  dari  kejauhan  dia  dapat melihat dua puncak karangtidak beds sepertikeadaannya dulu.  Luapan  rasa  gembira  tercermin  di  wajah  sang pendekar. Sebentar lagidia akan bertemu dengan Tua Gila, manusia aneh bermulut kasar tetapi berhati polos. Rupa- nya dia tidak tahu kalau sesuatu telah terjadidengan orang tua itu.
Begitu  bagian  bawah  perahu  bergeser  dengan  pasir Wiro  segera  melompat  turun.  Perahu  itu  diseretnya  ke darat laludilkatkannyake sebuah batu. Di tepi pantai Wiro tegak sejenak, mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi menghirup Wars dalam-dalam dan menggeliatkan badan- nya beberapa kali.
Lalu  dengan  setengah  berlari  dia  masuk  kebagian dalam  pulau  melewati  daerah  berbatu-batu.  Pada  saat itulah   udara  tiba-tiba   menjadi  gelap.   Mendung  tebal menyungkup pulau. Angin kencong bertiup dahsyat. Guruh menggelegar dan kilat sabung menyabung.
"Badai celaka!" maki Pendekar 212 Wiro Sableng dan terus  lari  bahkan  kini  sambil  berteriak.  "Tua  Gila!  Aku dating! Tua Gila! Aku Wiro Sableng datang menyambangi- mu!"
Namun  suara  teriakan  Wiro  itu  tenggelam  diteIan gelegar guntur danderu badai yang amat keras. Pendekar ituberjalan terus walaupun tersaruk-saruk karenagelapnya udarayangtidak beda dengan kepekatan malam.
"Tua Gila! Aku Wiro Sableng datang! Tua Gila!" kembali Wiro  berteriak.  Dia  bergerak  di  antara  lamping-lamping batu karang tinggi, memanjat batu-batu cadas besar dan akhirnya sampal di satu tempat terbuka yaitu  lapangan kecildi mana terletak dua makam.

Murid Sinto Gendeng ini hendak berteriak kembali me- manggil Tua  Gila  namun  mulutnya serta  merta terkunci ketika tiba-tiba  di  bawah  hujan  lebat  dan tiupan  angin keras serta gelapnya udaradiamelihat empat sosok tubuh yang telahjadi mayat dan sangat rusakterikat pada empat tiang kayu.
"Astaga!  Aku   belum  sampal   ke   neraka!   Mengapa pemandangan mengerikan beginibisa adadl pulau ini! Gila dan  aneh!  Mayat  rusak  begitu  mengapa  tidak  berbau busuk?"  Tentu  saja  sang  pendekar  tidak  tahu  kalau Nyanyuk  Amber  telah  meneteskan  sejenis  cairan  yang mampu  melenyapkan  bau  busuk  untuk  beberapa waktu lamanya.  Belum  habis  keterkejutan  murid  Eyang  Sinto Gendeng itu,  pandangan  matanya  kemudian  membentur duo  buah  makam  yang  terletak  di  depan  tiang-tiang kematian!
"Eh,  kuburan  siapa  ini...?"  bertanya  Pendekar  212 dalam hati. Mendadak saja dia menjadi merasa tidakenak. "Jangan-jangan orang tua itu … "
Wiro  melompat  ke  hadapan  makam  bernisan  batu hitam. Dia berputar untuk dapat melihat guratan tulisan yang adadibatu itu.
"Tua Gila...!" desis Wiro ketika samar-samar dia dapat membaca tulisan yang tergurat di atas batu nisan. Tubuh- nya terasa lemas dan pendekar ini langsung jatuh berlutut disamping makam. Kedua matanya berkaca-kaca. "Orang tua...  Kenapa  kau  pergi  begitu  cepat..."  Wiro  menutup mukanya dengan kedua tangan lalu mengusap wajahnya yang basah berulang kali. Sambil liiemegangi batu nisan hitam murid Sinto Gendeng memandang berkeliling. Kini baru disadarinya bahwa tanah makam itu masih merah. Begitu  juga  tanah  kubur  yang  disebelahnya.  Lalu  dia melihat pula keanehan lain itu.
"Mengapa  kubur yang satu  ini tidak ada  batu  nisan?

Kubur siapa pula ini.?" Wiro coba menduga-duga. Dia ingat pada anak  kecil  berusia dua tahun  lalu yang  kemudian diambil muridoleh Tua Gila.
Jika  anak  itu  masih  hidup  uslanya  sekarang  sekitar enam tahun.  Dimana anak  Itu  kini? Apakah  kubur yang satu ini kuburannya?
"Tanah kubur masih merah. Berarti duo jenazah yang ada  di  sini  belum  lama  dimakamkan.  Lalu  siapa  yang menguburkan mereka?"
Wiro menatapi kedua makam itu lama-lama. Kemudian diamelihat adakabut tipis disekitarmakam.
"Aneh, setahukutak pernahadakabut di pulau inil"
Hujan  menders  deras.  Apa  yang  disangkakan  Wiro sebagai  kabut  itu  lenyap.  Kini tinggal  bau sesuatu yang merasuk  hidungnya. "Sepertinya yang kulihat tadi  bukan kabut. Tapi asap... Ada bau rokok sekitar tempat init" Wiro memandang  berkeliling.  "Aneh...  Setan  atau jin  lautkah yang merokok.. . ?°
Tak lama setelah asap lenyap, bau rokokpun ikut sirna. Lalu lapat-lapat, seolah-olah datang dari suatu terowongan jauh di perut bumi Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng  mendengar suara  ketukan-ketukan sangat halus.  Semula  dia  menyangka  telinganya  salah  dengar. Namun  ketika  diperhatikannya  baik-baik,  diantara  deru badai  memang  ada  suara  ketukan  halus  terdengar  be- berapa kali. Lenyap sebentar laluterdengar lagi.
Murid Sinto Gendeng menggeser tubuhnya lebih dekat ke makam. Lalu perlahan-lahantelinga kirinya didekatkan ke  batu  nisan  hitam.  Kembali terdengar suara  ketukan. Lewat batu nisan itu kini matah ketukan itu terdengar lebih jelas. Wiro mengorek sebuah batu kecil. Dengan batu itu dia  mengetuk  batu  nisan  hitam  beberapa  kali.  Suara ketukan yang tadi  lenyap kini terdengar  lagi.  Lalu diam. Wiro mengetuk lebih keras. Seperti dibalas dia mendengar

jawaban  suara  ketukan.  Ketika  Wiro  hendak  mengetuk sekali  lagi,  saat  itulah  dia  melihat  dalam  kegelapan sepasang  kaki  berkasut  kulit sampai sebatas  lutut  me- langkah di atas tanah yang  becek. Setiap  langkah yang dibuatnya  menimbulkan  getaran  di  tanah.  Wiro  angkat kepala Pendekar 212 melengak kaget ketika melihat satu sosok tubuh tinggi besar bermantel hitarritahu-tahu sudah tegak  di  hadapannya.  Orang  ini  bermuka  panjang yang tertutup kumis dan berewokan liar, mengenakan topi tinggi. Sepasang  matanya  sangat  besar.  Desauan  nafas  yang keluar dari mulutnya seperti suara gerengan harimau. Di ketiak  kirinya  orang  tinggi  besar  ini  mengepit  sebuah benda hitam.
Tiba-tiba  orang   ini   menyeringai.   Mulutnya  terbuka. Kelihatan  gigi-giginya  yang   besar  serta  taring  seperti harimau. Seringai lenyap. Dari mulut orang ini kini keluar suara tawa berkakakan.
"Manusia  kutuk  sumpah!  Akhirnya  kau  datang juga! Ha... ha... ha .... Sahabatmu Tua Gila memang sudah lama menunggu! Ha... ha... ha...!"
Perlahan-lahan Wiro bangkit berdiri.
"Siapa kau?!" Wiro membentak.
Yang  ditanya  menjawab  dengan  tawa  bergelak.  Lalu benda hitam yang sejak tadi di kempitnya diturunkan dan secepat kilat ditancapkannya di bagian kepala makam di samping makam Tua Gila. Ternyata benda yang ditancap- kannya  itu  adalah sebuah  batu  nisan yang  bentuk  dan ukurannya sama dengan nisan yang ada di makam Tua Gila!
Menurut taksiran Wiro batu hitam itu beratnya puluhan kati. Orang bermantel sanggup menancapkannya sampai setengahnya berarti diamemiliki kekuatan luarbiasa!
Makam yang tadi tidak bernisan itu kini lengkap sudafi dengan batu nisannya!

Sepasang  mata   Pendekar  212   membelalak   ketika melihat nama yang tergurat di atas batu nisan. Ternyata itu adalah namanya sendiri. Wiro Sablengt Berarti makam itu adalahkuburannya sendiri!
Orang bermantel hitammasih tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya  berhenti dan terdengar  ucapannya "Bagus,  kau telah  datang  untuk  melihat  makammu sendiri!"  Dengan kaki kirinya yang berkasut kulit orang ini menginjak sebuah batu yang menonjoldidekat kepalanisan. Terdengar suara berdesir.  Lalu terjadilah  hal  yang  aneh.  Tanah  kuburan yang baru ditancapi batu nisan perlahan- lahan kelihatan terangkat. Ternyata tanah merah itu di bagian bawahnya adalah  sebuah  batu  tebal  empat  persegi  panjang yang tidak bedadengansebuah pintupenutup!
Ketika  besi  penutup  terbuka  lebar  Wiro  melirik  ke bawah. Dalam gelap dia dapat melihat lobang kosong itu berdinding  dan  bertantai  batu  tebal.  Sebuah  pipa  kecil aneh terdapat dibagianbawah besi penutup.
"Liang kuburmu sudah kusediakan Pendekar 212! Kau mau masuk secara baik-baik atau perlu aku bantu meng- gotongmu kedalam?!"
"Bangsat keparat ini tidak bersenda gurau!" kata Wiro dalam hati. Dia melirik ke makamdisebelah kiri. Rahang- nya menggembung. "Berarti kaujuga yang telah memasuk- kan sahabatku Tua Gila ke dalam makam yang satu ini!" katanya menuduh.
"Ha ...ha... ha...! Dugaanmu tepat..."
"Di mana murid Tua Gila yang berusia enam tahun? Apa kaupendam juga dimakam ini?!"
"Untuk sementara anak itu adadi bawah kekuasaanku. Nyawanya tergantung pada gurunya si Tua Gila. Ha... ha... ha... Silahkan masuk Pendekar 212. Tapi serahkan dulu senjata  mustika  Kapak  Maut  Naga  Geni  212  padaku. Lemparkan senjata itu kehadapanku. Juga berikan padaku

buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan. Jangan coba mem- bangkang  apa  lagi  melawan.  Aku  bisa  membunuhmu secepat aku membalikkantelapak tangan! kapak dan buku itu! Lekas!"
"Hujan begini deras. Badai melanda begini hebat! Tapi belum pernahaku melihat orang yang gilanya sehebatmu! Kau memendam sahabatku Tua Gila! Kau menculik murid- nya!  Kini  menyuruh  aku  masuk  ke  dalam  liang  kubur! Malah mengemis dulu minta senjata dan buku!"
"Mulutmu pandai bicara! Aku mau lihat apa kau masih bisabicara kalu mulutmu itusudah kurobek!"
Tiba-tiba orang bermantel putar tubuhnya sambil me- mukulkan  kedua  tangannya  sekaligus  ke  depan.  Dua gelombang angin yang sangat keras melabrak murid Sinto Gendeng. Tubuh  pendekar  ini terdorong  ke arah  lobang kubur.
Wiro membentakkeras lalu cepat menghantam dengan pukulan Tameng sakti menerpa hujan.

***

RANG  bertopi  tinggi  berseru  kaget  ketika  melihat bagaimana  serangan  balasan  lawan  bukan  saja membuyarkan  hantamannya  tetapi juga  membuat
kedua  kakinya  goyang  bergetar.  Dia  menyeka  mukanya yang basah olehair hujan dengan tangan kiri lalumencoba menyergap Wiro dengan satu lompatan.
Pendekar 212 sambut serangan lawan dengan jotosan kearah perut. Jotosan itu mendaratdi sasarannya dengan telaktapi si tinggibesartidak bergeming sedikitpun. Malah dia menyeringai memperlihatkan taringnya. Wiro membuat gerakan berputar setengah  lingkaran.  Laksana  kilat kaki kanannya melesat ke atas.
Bukkk!
Kaki  kanan  itu  menghantam  rahang  lawan  dengan keras, membuat orang ituterpelanting dan jatuhterbanting di tanah yang becek. Paling tidak pasti tulang rahangnya pecah, begitu Wiro berpikir. Tapi murid Sinto Gendeng ini jadi tercengang ketika dilihatnya orang itu berdiri kembali tanpa menunjukkan rasa sakit apalagi cidera. Hanya topi tingginya  yang   lepas  dan  jatuh   ke  tanah.   Kelihatan rambutnya yang panjang lebat riap-riapan, dan basah oleh air hujan.
Dengan tenang dia mengambil topinya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk menendang kearah kepala. Dari  mulut si tinggi  besar terdengar suara  menggereng. Lalu  tangan   kirinya   bergerak   cepat   menangkap   per- gelangan  kaki Wiro yang  menendang.  Begitu tertangkap

orang  ini  membuat  gerakan  aneh  dan  tahu-tahu  tubuh Pendekar 212 sudah terangkat ke atas lalu dibantingkan ke bawah. Tubuh pendekar itujatuh tepat di dalam liang kubur.
Sambil  menyeringai si tinggi  besar  melompat  hendak menekan  batu  di  kepala  makam.  Maksudnya  segera hendak  menurunkan  batu tebal  penutup  kuburan.  Wiro yang tahu apa artinya kalau dia sampai terperangkap di datam liang kubur itu segerar melompat sambil lepaskan pukulan yang dipelajarinya dari Tua Gila yaitu Kincir padi Berputar.  Tangan  kanannya  menabas  pergelangan  kaki lawan   yang   hendak   menekan   batu   rahasia.   Melihat serangan yang bisa memutus kakinya itu si tinggi besar cepat melompat selamatkan diri. Kesempatan ini segera dipergunakan oleh Wiro untuk melompat keluardaridalam kuburan.
Di  bawah  hujan  lebat  dan  badai  kedua  orang  itu kembali  berhadap-hadapan.  Sesast  keduanya  berputar- putar. Wiro membuka serangan dengan jurus kepala naga menyusup  awan.  L.engan  kanannya  berkelebat  ke  atas- seperti hendak menghajar dagu tetapi disaat yang sama jotosan kanan menyusup kearah dada lawan.
Yang diserang keluarkan suara mendengus. TUbuhnya berkelebat  ke  kiri.  Dua  tangannya  disilangkan.  Begitu silangandibuka maka tangan kanan Wiro terjepit diantara kedua  lengannya  laksana jepitan  besi!  Selagi  Pendekar 212  berusaha  melepaskan jepitan itu  kaki  kanan  lawan menderumenghantam perutnya.
Murid Sinto Gendeng mengeluh tinggi. Tubuhnya men- celat sampaiduatombak. Sebelum diabisa berdiridengan benar, dua jotosan melanda mukanya. Kembali pendekar ini terpental. Hidungnya mengucurkan darah sedang mata kirinyalebam membiru.
Si tinggibesarkeluarkan suara tawa bergerak dan men-

dekati Wiro dengan kedua tangan terpentang. Baru lawan sempat  maju  dua  langkah  Wiro segera sambut  dengan jurus  segulung  ombak  menerpa  karang.  Serangan  ini dibuka  dengan  satu  tendangan  tipuan,   ketika   lawan mengelak Wiro susul dengan satu lompatan seraya tangan kiri membabat keleher.
"Serangan tak berguna! Terima pukulanku!" ejek lawan lalu cepat sekali tangan kanannya melesat ke dada Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat menangkis tapi luput. Jotosan lawan menghantam dadanya dengan telak. Pendekar 212 terbanting  jatuh   punggung   di   tanah.   Dari   mulutnya kelihatan   ada   darah   keluar.   Tulang-tulangnya   serasa berantakan. Ketika lawan datang hendak menendangnya wiro segera menimbun seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan. Tangan itu sebatas lengan sampal ke ujung-ujung jari berubah menjadi putih perak menyilaukan. Udara yang tadi dingin berubah menjadi panas.
Si tinggibesar mengekeh.
"Aku  mau  lihat  pukulan sinar  matahari yang terkenal itu!" katanya mengejek lalutegak berkacak pinggang.
"Leleh tubuhmu!" teriak Wiro seraya menghantam.
Sinar putih berkilat. Hawa panas menghampar. Si tinggi besar masih tegak bertolak pinggang. Malah kini kembali keluarkan suara tawa bergelak. Tiba-tiba dia menggerak- kan kedua tangannya. Dua telapak tangan menghadap ke depan  dan  didorongkan  perlahan  saja. Ada  hawa  aneh yang   memancarkan   sinar   hitam   redup   menyongsong pukulan sinarmalahari. Lalu bummmm!
Satu ledakan keras berdentum laksana merobek langit. Pukulan sinar matahari buyar berantakan. Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan seruan kaget. Tubuhnya terguling beberapa langkah. Dari mulutnya kelihatan lebih banyak
ael ibagian liipag

hangus hitam sebagiantetapitubuhnya sendiritidak apa- apa, begitujuga mantel hitam yang dikenakannya!
"Saatmu untuk masuk ke liang kubur Pendekar 212!" kata si tinggi besar. Lalu kaki kanannya ditendangkan ke tubuh Wiro.
Dalam keadaan terlukaseperti itu Pendekar 212 masih sempat menghindar dengan menggulingkan diri lalu cepat berdiri.  Baru tegak dan belum sempat  memasang kuda- kuda   lawannya   sudah   menyerbu   dengan   serangan- serangan tangan kosong yang ganas. Wiro keluarkan jurus- jurus silat Tua Gila yang didapatnya Tua Gila. Tapi lawan menyambut dengan taws mengejek.
"Keluarkan   seluruh   jurus   silat   orang   Gila!   kalau penciptanya  saja  bisa  kuhajar  apalagi  kau  yang  cuma cecunguknya!"
Lalu   serangan   lawan   datang   menghantam   susul menyusul. Semua gerak silat orang Gila yang selama ini tidakadaduanya dibuat mentah. Wiro terdesak hebat dan mundur terus. Tanpa disadari dia mundur membelakangi liang  kubur  yang  menganga.  Tiba-tiba  lawan  membuka mantel  hitamnya  lalu  mengebutkan  mantel  ini  ke  arah Wiro.
Murid Sinto Gendeng seperti mendengar gemuruh suara air bah. Angin sedahsyat topan keluar dari mantel yang dikebutkan  menyapu  tubuhnya.  Wiro  membentak  dan lindungidiridengan pukulan sakti benteng topan melanda samudera!  Tapi  tak  ads  gunanya.  Tubuhnya  telah  te- rjengkang lebih dahulu, lalu tersapu mental. Kapak Muat Naga Geni 212 yang terselip di pinggangnya ikuttersapu ke udara. Wiro berusaha melompat untuk menggapai senjata mustika itu. Namun di depan sana lawan kembalikebutkan mantelnya. Tak ampun lagi murid Eyang Sinto Gendeng itu mencelat   masuk   ke   dalam   Hang   kubur.   Kepalanya membentur dinding makam yang terbuat dari batu tebal.

Pemandangannya seperti gelap. Di saat itu pula si tinggi besar  meiompat. Tangannya  menempel  pada  batu yang menyembuldl kepala makam.
"Pendekar 212! Sebelum meregang nyawa kau dengar baik-baik.  Beberapa  tahun  lalu  kau  telah  membunuh adikku Datuk Sipatoka di bukit Tambun Tulang! Hari ini kau terima pembalasan dariku. Kau hanyabisa bertahan empat hari dalam liang kubur ini. Tapi jika kau mau memberitahu di   mana   kau   menyimpan   buku  Seribu   Macam   limu Pengobatan,  nyawamu  akan  kuselamatkan.  Beri  tanda dengan tiga  ketukan  pada  batu  penutup  makam!  Kalau kau keras kepala dan tak mau memberi tahu, kau akan jadi bangkai secara perlahan-lahandalammakamitu! Ha... ha... ha ...!"
Orang yang mengaku kakak Datuk Sipatoka itu tertawa bergelak  lalu  tekan  batu  yang  menyembul  di  kepala makam. Batu tebal penutup makam serta merta jatuh ke bawah. Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang berada dalam  keadaan  antara  sadar  dan  tiada  terpendam  di dalamnya!
Sesaat sebelum penutup batu itujatuh mendadak ter- dengarseseorang berteriak.
"Wiro!"
Manusia tinggi  besar tersentak  kaget.  Dia cepat  me- nyambar Kapak Maut Naga Geni 212 yang tercampak di tanah lalumemandang berkeliling.
Saat itu badai dan hujan telah mereda. Udara beralih terang sedikit demi sedikit. Sepasang mata lebar si tinggi besar jelalatan kian kemari. Tapi diatidak berhasilmelihat dimana adanya orang yang  barusan  berteriak  menyebut nama Pendekar 212. Maka diapun membentak.
"Siaps yang berteriak! Lekas unjukkan diri!"
Tak   ads  jawaban.   Dia   memandang   pada  senjata mustika yang ada dalam genggamannya.  Perlahan-lahan

disalurkan tenaga  dalam  ke tangan  kanan.  Lalu  Kapak Maut Naga Geni 212 dibabatkannya beberapa kall. Sinar menyilaukan   berkelibat   disertai   suara   seperti   lebah mengamuk  dan  menclerunya  haws  panas.  Pohon-pohon berderak patah dan hangus. Semak belukar rambas dan mengepulkan asap. Batu-batu karangdan batu-batu cadas yang kena hantaman sinar senjata mustika itu retak lalu mental berkeping-keping.
"Senjataluarbiasal" kata sitinggibesardalam hati. Dia memandang  berkeliling.  Tempat  itu  kini  sunyi  senyap. Hanya deburombak terdengardi kejauhan. Dan dia masih belum dapat mengetahui siapa atau di mana orang yang tadi berteriak.
"Suara yang berteriak tadi jelas suara perempuan... Atau mungkin telingaku keliru menangkap bunyi suara...?!" Dia memandang sekali  lagi  berkeliling  lalu  berteriak,  "Hantu atau jin perempuan! Kau tak berani unjukkan diri! Jangan kira  kau  bisa  bersembunyi!  Aku  akan  menemukanmu! Masih banyak tiang-tiang kosong mengikat bangkaimu di tempat ini!"
Habis berteriak begitu orang ini cepat berkelebat dan tubuhnya  yang  tinggi  besar  kemudian  lenyap  di  celah antara dua batu karang.

***

Siapakahsebenarnya orang tinggi besar yang memiliki ilmu silat hebat serta kesaktian luar biasa itu? Yang sanggup  menghajar  Pendekar  212  sampai  babak belur bahkan memendamnya di liang makam yang agaknya memang telahsejak lamadisiapkan.
Untuk  menjawab  hal  ini  kita  kembali  pada  masa  be- berapa tahun silam  ketika  Pendekar  212 Wiro Sableng mengarungi  laut Jawa  untuk  sempai  ke  pulau Andalas. Seorang  tokoh  silat  dari  pulau  Madura  bernama  Kiai Bangkalan ditemui mati terbunuh di tempat kediamannya di Goa  Belerang.  Dari penyelidikan yang dilakukan Wiro, diketahui  bahwa  pembunuhnya  adalah  Datuk  Sipatoka seorang tokoh silat jahat di pulau Andalas yang diam di Bukit Tambun Tulang.
Wiro segera berlayarke pulau Andalas untuk mencari si pembunuh.  Ternyata  Datuk  Sipatoka  bukan  saja  mem- bunuh Kiai Bangkalan tetapi juga mencuri sebuah kitab, langkaberjudul Seribu Macam Ilmu Pengobatan.
Dalam pelayaran perahu yang ditumpangi Wiro diserang badai  hingga terbalik. Wiro  berhasil  menyelamatkan  diri dengan sebuah papan. Selagi terkatung-katung di tengah laut yang diamuk gelombang  besar dia  melihat seorang anak  kecil  timbul  tenggelam  dipermainkan  ombak.  Ter- nyata anak itu masih hidup dan segera diikatkannya ke papan. Dia sendiritidak memikirkan keselamatannya lagi. Sesaat sebetum Wiro tenggelam ditelan gelombang tiba- tiba  muncul sebuah  perahu  berpenumpang kakek aneh.

Orang tua ini menyelamatkan Wiro dan anakkecil tadi.
Ternyata  kakek  itu  adalah  seorang  tokoh  silat  sakti mandraguna  yang  diam  di  sebuah  pulau  dan  dikenal dengan nama Tua Gila. Dari orang tua ini Wiro kemudian mendapat pelajaran beberapa jurus ilmu silat langkayaitu Ilmu Silat  Orang  Gila sedang si  anak  kecil  diambil jadi muridnya.
Berkat beberapa petunjuk yang diberikan Tua Gila Wiro akhirnya sampal di sarang Datuk Sipatoka. Ternyata sang datuk memang bukan manusiasembarangan. Selain tinggi ilmu  silatnya  orang  ini juga  memiliki  berbagai  pukulan sakti. Untung saja saat itu Tua Gila muncul. Bersama-sama mereka  kemudian  menumpas  manusia jahat  itu.  Datuk Sipatoka   terbunuh   dan   buku   Seribu   Macam   Ilmu Pengobatan ditemukan oleh Tua Gila lalu diberikan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kematian   Datuk   Sipatoka   dan   hancurnya   sarang manusia jahat itu ternyata tidak habis sampai disitu saja. Kematian Datuk Sipatoka menimbulkan dendam kesumat pada seorang sakti dan jahat yaitu kakak kandung sang Datuk bernama Datuk Tinggi Raja Di Langit yang diam di Kepulauan Pagai.
Namun  ketika  mengetahui  bahwa  adiknya  terbunuh oleh Tua Gila dan Pendekar Kapak Maut naga Geni 212 yang  merupakan  orang-orang  dunia  persilatan  dengan name besar maka Datuk Tinggi terpaksamenahan hati dan bersabar.  Die  maklum  tak  bakal  menang  menghadapi kedua  lawan  yang  berkepandaian  tinggi  itu.  Maka  dia menyusun   satu   rencana   sambil   memperdalam   ilmu kepandalannya  sendiri.  Dia  mempelajari  pula  ilmu  silat Orang  Gila  ciptaan  Tub  Gila  tetapi  khusus  menekuni kelemahan-kelemahannya. Dengan care begitu jika kelak dia  berhadapan  dengan  musuh  besarnya  itu  dia  akan mudah menentukan segala serangannya.

Untuk menghdapai Pendekar 212 Wlro Sableng. Datuk Tinggi Raja Di langit menggembleng tenaga dalamnya dan membuat sebuah mantel hitam yang kelak akan menjadi senjata yang dapat diandalkannya.  Di samping  itu sang datuk telah  menciptakan pula semacam senjata  rahasia yang bakal menggemparkan dunia persllahn, yang terbuat dari mutiara hitam dan kelak oleh orang-orang persilatan disebut sebagal Mutiara Setan.
Setelah empat tahunmenyiapkandiri, diam-diam Datuk Tinggi  Raja  Di  Langit  berangkat ke  pulau  kediaman Tua Gila. Dalam perjalanandia menyebarkabarbahwa Tua Gila telah  meninggal  dunia.  Hal  ini  untuk  mengundang  para sahabat  Tua  Gila  datang  ke  pulau  itu  untuk  berziarah. Datuk Tinggi ternyata bukan sajamendendamuntuk mem- bunuh Tua Gila, tetapi juga semua sahabat orang tua itu akan  dilenyapkannya.  Dan  tujuan  utamanya  menyebar berita palsu itu adalah agar Pendekar 212 Wiro Sableng yang menjadi musuh utamanya muncul pula di pulau itu untuk  dihabisinya.  Di samping  itu  Datuk Tinggi  Raja  Di Langit  juga  sangat   berminat   untuk   memiliki   Benang Kayangan milik Tua Gila, Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro serta mencaritahudi mana kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan  yang  dulu  pernah  dimiliki  adiknya  Datuk Sipatoka.
Ketika Datuk Tinggi sampaidi pulau kediaman Tua Gila ternyata orang tua itubelumkembali dari suatu perjalanan jauh. Dia hanya menemukan murid Tua Gila, seorang anak lelaki yang baru berusia enam tahun. Dengan mudah Datuk Tinggi meringkus anak ini, mengikatnya dan membawanya ke sebuah goa sempit di antara celah-celah batu karang dimanadia bersembunyi.
Datuk   Tinggl   kemudian   menggeledah   gubuk   kayu kediaman Tua Gila. Benda yang dicarinyayaitu buku Seribu Macam Ilmu Pengobatantidak ditemukan.

"Berarti benar kabar yang kuterima di luaran, Kitab Itu telah  diberikan  dan  berada  di  tangan  Pendekar  Kapak maut Naga Geni 212!" kata Datuk Tinggi dalam hati. Lalu cepat-cepat dia meninggalkan gubuk tersebut.
Sambil  menunggu  kedatangan Tua Gila,  Datuk Tinggi pergunakan kesempatan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan rencananya. Dia membuat dua buah makam yang diberi peralatan rahasia. Bagian atas makam dilapisi batu yang  bisa  dibuka  dan  ditutup  jika  sebuah  batu  pada masing-masing kepalamakam di tekan. Lantai dandinding makam juga  dilapisi  dengan  batu-batu  tebal.  Di  kedua makam ini kelak dia akan menjebloskan dan mendekam Tua Gila serta Pendekar 212 Wiro Sableng sampai kedua orang itu menemui ajal secara perlahan-lahan. Dua buah batu  nisan  hitam  bertuliskan  nama  Tua  gila  dan  Wiro Sableng tak lupa disiapkannyal
Setelah  menunggu  hampir satu  minggu akhirnya Tua Gila muncul pada suatu malam. Dia langsung menuju ke tempat   kediamannya   sebuah   gubuk   kayu   di   bagian tenggara pulau. Ada dua hal yang membuat Tua Gila ter- kejut begitu memasuki gubuk. Pertama isi gubuknya ke- lihatan berantakan seperti ada yang membongkar setiap sudut tempat itu. Hal kedua diatidak menemukan murid- nya, anaklelaki yang baru berusia enam tahunitu.
"Heran, ke mana anak itu? Kalau masihsiang pastidia tengah bermain-main di hutankecil atau di lapangan. Atau ditepi pantai. Tapi malam-malam begini...?" membatin Tua Gila. Maka diapunkeluar gubuk mulal mencarisambiltiada hentinyaberteriak memanggil muridnya itu.
"Malin... Malin Sati! Di mana kau...?"
Mula-mula  Tua  Gila  mencari  sepanjang  tepi  pantai terdekat. Ketika sang murid tidak dijumpai orang tua ini kembalimemasuki pulau dan akhirnyasampaidilapangan kecil.   Disini   dua   menghentikan   langkah   sambil   me-

mandang  terheran-heran.  Ada  dua  gundukan  tanah  di- lihatnya diujung lapangan.
"Dua buah kuburan..." desis tua Gila. "Kuburan siapa..." Satu berbatu nisan. Satunya tidak..."
Tua Gila bergegas mendatangi. Dihadapan makam ber- nisan langkahnya tertahan. Meskipun malam gelap namun matanya masih dapat membaca nama yang tertulis di atas batu itu. Tua Gila! Namanya sendiri!
Tua Gila menyeringai.
"Siapa pula yang bercanda dengan segalakegilaan ini?" katanya dalam hati. Namun sesaat kemudian seringainya lenyap.  Parasnya  berubah.  "Mungkin  ini  bukan  senda gurau... " Dia berjalan mengelilingikeduamakamitu.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara raungan anjing. Tua Gila terkesiap.
"Puluhan tahun hidup di pulau ini baru kali ini aku men- dengar suara  lolongan anjing! Tak  pernah ada anjing di pulau ini. Atau itu suara hantulaut? Mungkinjuga binatang jadi-jadian...?" Tua Gila memandang berkeliling. Orang tua sakti  ini  kemudian  menyadari, walau dia  belum  melihat sosok tubuh lain di tempat itu tapi dia merasa pasti ada seseorang  yang  tengah  memperhatikan  gerak  geriknya saat  itu.  Perlahan-lahan Tua  Gila  menatap tajam setiap sudut  gelap  yang  ada  disekitarnya.  Tiba-tiba  dia  meng- hantam kearah celah dua batu karangdi depan sana.
Serangkum   gelombang   angin   menderu.   Dua   batu karang bergetar. Tua Gila hendak menghantam sekali lagi. Pada saat itulahdaricelah batu karang muncul melompat sesosok tubuh tinggi besar yang langsung menyergapnya.
Tua   Gila   cepat   menyingkir  seraya   memukul.  Tapi serangannya hanya mengenai tempat kosong karena yang diserang tahu-tahu sudah melompat ke samping dan dari samping lepaskan satu pukulan mengandung gelombang angin  yang  hebat  sehingga  Tua  Gila  terhuyung-huyung

hampirjatuh!
"Tenaga dalamdan pukulan orang ini luar biasasekali!" kata  Tua  Gila  lalu  dia  melompat  mundur  seraya  mem- bentak. "Penyerang tak dikenal!" Kau mencari mati berani menginjakkan kakidi pulauku! Katakan siapadirimu!"
Yang ditanya menjawab dengan suara tawa bergelak. Orang ini bertubuh tinggi besar. Mengenakan baju kuning yang disebelah luardilapisi mantel dalam berwarna hitam. Dia memakai kasut kulit sampaisebatas lutut. Di Kepala- nya ada sebuah topi tinggi. Mukanya tertutup kumis dan berewok sedang sepasang matanya besar sekali.
"Mulutmu busuk, taringmuseperti harimau! Jangan ter- tawa  keras-keras  di  hadapanku!  Pasti  kau  binatangnya yang telah mengobrak-abrik isigubukku...!"
Suara tawa orang tinggi itusemakin keras.
Tua gila ingat pada Malin Sati. Rahang dan pelipis orang tua  ini  langsung  mengembung.  Mukanya  yang  hanya tinggal kulit pembalut tengkorak nampak berubah.
"Pasti kaujuga telah menculik muridku! Lekas kembali- kan Malin Sati! Jika anak itu sampai tergores saja kulitnya akan kupatahkan batanglehermu!"
"Memang aku yang membongkarisirumahmu. Aku juga yang menculik muridmu..."
Mendengar  pengakuan  si  tinggi  itu,  Tua  Gila  meng- gembor    marah.   Tubuhnya   melayang   sebat,   tangan kanannya bergerakmembabat kearah batang leher orang.
Si tinggi  besar  cepat  membungkuk  lalu  balas  meng- hantam ke arah perut Tua Gila. Orang tua ini terkesiap, cepat berkelit. Setelah itu dia kembali menyerbu dengan mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat orang gila. Tubuhnya gerabak gerubuk seperti orang mabok. Tapi setiap tangan atau kakinya bergerak, itu adalah gerakan menyerang yang sulit diduga dan sangat berbahaya.
"Ilmu silat orang gila!" seru si tinggi bermantel hitam.

"Dulu  memang  ditakuti  orang! Tapi  bagiku  ilmu silatmu tidaklebih dari gerakan seekor ayam yang tertelankaret!"
Habis  berkata  begitu  orang  bermantel  itu  lalu  meng- hadapi Tua Gila denganjurus-jurustakkalah anehnya.
Tua Gila terkesiap  ketika  melihat jurus-jurus yang di- mainkan lawannya adalah kebalikan dari setiap gerakan ilmu  silatnya.  Dengan  sendirinya jurus  apapun  yang  di- keluarkannya  untuk  menyerang,  dengan  sangat  mudah dapat dimentahkan lawan.
Melihat  Tua  Gila  terkesiap  orang  tinggi  itu  tertawa bergelak. Dia melangkah ke kepala makam di sebelah kiri di mana terdapat sebuah batu sebesar kepalan. Batu ini ternyata  dibenamkan  ke tanah  dan dihubungan dengan sebuahalat rahasia. Ketika batu di tekan terdengar suara berdesir lalu secara aneh bagian atas kuburan sebelah kiri yang bertanah merah bergerak ke atas. Di sebelah bawah tanah merah ini terdapat lapisan batu sangat tebal. Kini Tua Gila dapat melihat bagiandalam makam. Dinding dan lantainya berlapiskan batu tebal. Makanr itu hampir dua tombaklebih dalamnya.
"Sudah saatnya aku mengucapkan selamat jalan pada- mu Tua Gila!"
"Eh, setan ini tahu namaku!" rutuk Tua Gila.
"Kau kaget aku tahu siapa dirimu?! Tua Gila, dengar baik-baik.  Kematianmu tak  dapat  dihindari.  Liang  kubur sudah  kusediakan.  Aku  tadinya  ingin  membunuh  dan mencincang tubuhmusampailumat. Tapi aku mau berbaik hati agar  kau  bisa  mati wajar-wajar saja.  Untuk  itu  kau harus  menyerahkan  padaku  senjatamu  berupa  benang sakti Benang Kayangan … "
"Manusia  kadal! Jadi  itu  maksudmu datang ke  pulau ini?!"
"Bukan itusaja Tua Gila! Di luaran aku telah menyebar kabar  bahwa  kau  telah  meninggal  dunia!  Berarti  akan

banyak tokoh silat para sahabatmu berdatangan kemari. Mereka termasuk  manusia-manusia yang  kena  kutukku! Siapapunsahabatmu akan kubunuh mati ditempat ini!"
"Gilal" teriak Tua Gila.
"Tidak... Aku belum gila!"
"Kalau tidak gila apa alasanmu membunuh orang-orang yang tidakada dosakesalahan itu?!"
"Apa alasanku akan kukatakannanti. Kau harus dengar dulu maksudku yang lain datang ke tempat ini. Aku minta kau   juga   menyerahkan   kitab   Seribu   Macam   Ilmu Pengobatan!"
Tua Gila tertawa mengekeh.
"Rupanya kau jenis pencuritengik!" ejek Tua Gila. "Buku yang kau caritidak ada padaku. Kalau pun ada masakan aku mau memberikannya padamu!"
"Bagus,  pengakuanmu  itu  menyatakan  bahwa  kitab tersebut memang benar berada di tangan Pendekar 212 Wiro Sableng! Tapi masih harus kita buktikan. Muridmu itu pasti akan segera pula muncul di sini begitu mendengar kabarkematianmu!"
"Dia bukan muridku! Aku hanya mengajarkan beberapa jurusilmusilat padanya!"
Si tinggibesar tertawa bergumam.
"Sekarang kukatakan padamu mengapa aku mengingin- kanjiwamu! Juga ingin menghabisisiapasaja yang menjadi sahabatmu, termasuk dan terutama sekali Pendekar 212 Wiro Sableng!"
"Hebat! Lekas kaukatakan!"
"Beberapa tahun yang lalu kau bersama Pendekar 212 rnenyerbu bukit Tambun Tulang, menghancurkan tempat itu dan membunuh Datuk Sipatoka! Betul begitu atau kau berani berdusta?!"
"Iblis!   Seumur   hidup   aku   tidak   pernah   berdusta! Memang benar aku membantu Pendekar 212 membunuh

Datuk Sipatoka penguasa bukit Tambun tulang! Manusia keji itu pantas untuk disingkirkandarimukabumii"
Orang  berbadan tinggi  besar  keluarkan suara seperti menggereng.
"Karena kau penyebab kematian Datuk Sipatoka, make hari  ini  aku  membalaskan  dendam  kesumat  sakit  hati kematiannya! Aku adalah kakak kandung Datuk Sipatoka, bergelar Datuk Tinggi Raja Di Langit!"
"Aha...  Raja  di  langit  sudah  turun  ke  bumi  mencari penyakit!" teriak Tua Gila mengejek.
"Sebelum kaukupendamdalam makam batu itu, lekas serahkan Benang Kayangan padaku!" Datuk Tinggi berkata sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Kau inginkan benang sakti it u. kauterimalah!" kata Tua Gila sambil menggerakan tangan ke balik pakaian putih- nya. Ketika tangan itu keluar dari balik pakaian tiba-tiba melesat  sebuah  benda  putih  berbuntal-buntal  hendak menggelung tangan kanan Datuk Tinggi. Orang yang sudah mengetahui  sekali  kehebatan  benang  putih  itu  cepat menarik pulang tangannya. Sekali terlambat dan sampai lengannya   digulung   Benang   Kayangan   pasti   tanggal anggotatubuhnya itu!
Sambil menghindar Datuk Tinggi Raja Di Langit pukul- kan  tangan  kiri.  Tua  Gila  terkejut  besar  ketika  melihat bagaimana   angin   pukulan   lawan   sanggup   membuat benang   saktinya   tergoyang-goyang   dan   tak   berhasil menyambar apalagi menggulung tangan kanan lawan. Dia gerakkan tangan yang memegang benang. Ujung benang melesat dan menyambar ganas kearah leher Datuk Tinggi Raja Di Langit.
Kini sang datuklah yang jaditerkejut. Sambil keluarkan seruan  keras  manusla tinggi  besar  itu jatuhkan  diri  ke tanah, lalu dengan satu gerakan sangat cepat dia mem- buka mantel hitamnya. Sambil menyeringaidiabertanya.

"Kau mau memberikan Benang kayangan itu atau tidak, Tua Gila?!"
Sebagai  jawaban  Tua   Gila   kembali   menggerakkan tangan kanannya. Benang Kayangan kelihatan berkilauan tanda  prang tua  itu telah  mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Senjata ini melesat kearah mulut Datuk Tinggi, siap untuk menggulung lidahnya. Begitu tergulung, sekali sentaksajalidah orang itu akanterbetot tanggal!
Tapi  lebih  cepat  dari  datangnya  sambaran  Benang Kayangan,  Datuk Tinggi  Raja  Di  Langit sudah  kebutkan mantel hitamnya.
Tua Gila mendengar seperti air bah bergulung kearah- nya. Lalu ada angin sangat dahsyat badai menyambar ke arahnya. Tubuh dan kedua kakinya serta merta bergoyang sedang Benang Kayangan membalik seperti menyerang ke arah dirinyasendiri.
Tua Gila menggeram. Tangan kirinya lepaskan pukulan sakti yang jugamengeluarkanangin dahsyat.
Datuk  Tinggi   Raja   Di   langit  tersenyum   mengejek. "Pukulan Dewa Topan menggusur gunung! Apa hebatnya!" katanya., mantel di tangannya berkelebat.
Wusss!
Tua  Gila  berteriak  keras.  Tubuhnya  tersapu  angin serangan lawan. Dia berusaha bertahan tapi sia-sia saja. Orang  tua  itu  terlempar  masuk  ke  dalam  liang  kubur berlantaidan berdinding batu. Dia cepat hendak melompat keluar tapi tubuhnya terasa lemas. Darah mengucur dari hidungnya.
Datuk  Tinggi  Raja  Di  Langit  tertawa  mengekeh  dan tegak ditepimakam.
"Berikan Benang Kayangan itupadaku Tua Gilal"
"Iblisl kau ambillah sendiri!" jawab Tua Gila. Orang tua ini  buka  mulutnya  lebar-lebar  lalu  benang  putih  yang menjadi  senjatanya  itu  dibuntalnya  dan  dimasukkan  ke

dalam    mulut    lalu    cepat-cepat    ditelannya!    Sambil memegang-megang perutnya Tua Gila berkata, "Kau harus membelah   perutku   lebih   dahulu   untuk   mendapatkan benang sakti itul"
Datuk tinggi  mendengus geram.  Dia  menjawab.  "Aku tidak telalu terburu-buru.  Bagaimanapun juga  aku  akan mendapatkan  benang  itu.  Kelak  kau  sendiri  yang  akan memuntahkan  dan  memberikannya  padakut  Ingat,  kau hanyabisa bertahanselamatujuh hari Tua Gila! Ketuk batu penutup  makammu  jika  kau  memang  kepingin  hidup! Jangan lupa, muridmu berada di tanganku!'
Lalu dengan gerakan sangat cepat Datuk tinggi Raja Di Langit diinjak batu hitam yang menonjoldi belakang kepala makam. Tanah  msnh yang  berlapiskan  batu tebal jatuh dengan  keras Tua  Gila  coba  menahan  batu  itu  dengan kakinya,  tapi  terlambat.  Orang  tua  ini  masih  sempat mendengar suara tawa bekakakan Datuk Tinggi sebelum dirinyaterpendamdalam liang kubur batu itu!

***

PADA  saat  badai  mulai  melanda  pulau  kecil  itu, dibagian pantai sebelah timur,sebuah biduk tampak diombang-diambingkan    ombak    yang    bergulung menggemuruh.  DI  atas  biduk  kecil  in!,  penumpangnya seorang dara  berpakaian  ungu yang  menutupi wajahnya dengan cadar ungu sedang rambut hitam panjang tergerai lepas  melambai-lambai  di  tiup  angin  mendayung  inati- matian agar biduknya jangan sampai tenggelam. Namun beberapa ratus langkah sebelum mencapai pasir pantai, biduk ituakhirnyaterbalik.
Biduk dan penumpang lenyap dilamun ombak. Tak lama kemudian  baru  kelihatan  kepala  gadis  itu  menyembul. Cadarnya terlepas  dari wajahnya.  kini tampak wajahnya yang jelita, beralis hitam lengkung dan berhidung mancung. Wajah cantik  ini  nampak tegang.  Dia  menghitung jarak, menduga-duga   apakah   dia   akan   sanggup   berenang mencapai pantai.
Ombak raksasa kembali bergulung menghantam gadis berpakaian  ungu.  Kembali sosok tubuh  itu  lenyap.  Lalu timbul lagi untuk kemudian dihempaskan ombak. Ketika dia  hendak  mulai  mencoba  berenang,  dara  ini tiba-tiba sadar. Berenang melawan ombak yang menggila seperti itu hanya akan  menghabiskan tenaga.  Bukankah  lebih  balk mengambangkan    tubuh    saja,    membiarkan    ombak memukul dan menyeretnya kearah pantai?
Maka  gadis  itu  lalu  mengambil  sikap  menelentang. Tangandan kakinya digerakkan perlahan secara beraturan.

Tubuhnya tampak  mengambang.  Dalam  keadaan seperti itu  ombak  besar  kembali  datang.  Kecerdikan  si  gadis ternyata membawa hasil. Begitu ombak mendera dirinya, tubuhnya  yang  mengambang  itu  mencelat  di  atas  air, terlempar ke arah daratan.  Begitu terjadi sampai empat kali. Kali yang kelima akhirnya kakinya terasa menyentuh dasar lautdi bagian yang dangkal. Sang dara balikkan did lalu menjejakkan kakinya dan melangkah di dasar lautan menujutepi pasir.
"Badai   celaka!   Untung   Tuhan   masih   menolongku selamat sampaike pantai! Kalau tidak untuk melihat kubur seorang sahabat tak akan aku menyiksa diri menantang maut seperti  ini," kata si gadis  lalu gerakkan  kepalanya untuk mengibas air laut yang membasahi rambutnya. Dia memandangi  pakaiannya  yang  basah  kuyup.  Di  bawah hujan  lebat  dan  angin  keras  dia  lalu  berlari  memasuki pulau. Sebelumnya dia tidak pernah datang ke pulau itu. Tapi mencari sebuah makam di pulau sekecil itu rasanya tak bakal sulit. Sang dara terus menyusup diantara semak belukar dan akhirnya sampai di bagian pulau yang penuh dengan batubatucadashitam serta batu-batu karang.
Di salah satu bagian kawasan pulau berbatu-batu ini dia melihat  sebuah  lobang  pada  salah  satu  lamping  batu karang. Si gadis cepat menuju ke arah lobang ini dengan maksud  beristirahat sebentar sambil  menunggu  redanya badai.
Ketika dia sampai di mulut goa sang dara dikejutkan oleh apa yang dilihatnya didalam goa  batu  itu. Seorang anaklelaki berusia sekitar enam tahun duduk tersandarke dinding goa. Mulutnya ditutup dengan sehelai kain hingga dia tidak  bisa  mengeluarkan suara.  Pergelangan tangan dankakinya diikat dengantali yang dibuat dari sambungan akar-akar pohon.
Si  anak  lelaki  tak  kalah  terkejutnya  ketika  melihat

munculnya  seorang  gadis  cantik  berpakaian  ungu  yang tidak dikenalnya dalam keadaan basah kuyup. Di pinggang- nya ada sebuah saluang. Semula si anak  mengira yang datang adalah manusia tinggi besar dan berewokan yang telah menculiknya. Anak ini goyang-goyangkan kepalanya memberitanda.
Dara  berbaju  ungu  segera  buka  ikatan  kain  yang menutup mulut anak itu. Belum sempat dia bertanya, si anaksudahmembuka mulut.
"Kakak yang  baik. Terima  kasih  kau telah  menolong. Says Malin Sati, murld kakek bernama Tuan Gila..."
"Ah...  Kau  murid  Tua  Gila!  Justru  aku  datang  untuk menyambangimakam gurumu itu!"
Si anak tampak terkejut. "Guru... Kakek Tua Gila… Kata kakak kau hendak menyambangi makam guru? Apa yang terjadidengan beliau...?"
"Anak, katamu kau murid Tua Gila. Gurumu meninggal kau tidak tahu! Aneh!"
"Apa...?!"  anak   itu  seperti   hendak   menjerit.   "Tidak mungkin. Bukankah guru tengah melakukan perjalanan?"
"Eh, bagaimana ini? Berita yang tersiar di luaran ialah bahwa Tua Gila telahmeninggal dunia dandimakamkan di pulau tempat kediamannya ini."
"Kakak tolong kau lepaskan dulu ikatan pada tangan dan  kaki  saya.  Orang jahat  itu  telah  mengikatku  sejak empat harilalu. Saya hanyadiberinyamakansedikit!"
"Siapa orang jahat yang mau kau katakan itu Malin?" tanya gadis itu sambil melepaskan ikatan pada kaki dan tangan Malin Sati.
"Seorang  tinggi  besar  bermuka  buas,  berkumis  dan berjenggot  lebat.  Saya  ditangkapnya  sewaktu  sedang bermain di pantai. Lalu diikat dan dibawa ke dalam goa ini … "
"Kau tahu mengapa orang itu menangkap dan meng-

ikatmu lalu membawamu ke sini?" tanya dara berpakaian ungu   sambil   menggoyang-goyangkan   rambutnya   yang basah.
"Saya tidak tahu kakak," jawab murid Tua Gila. "Lalu di mana orangyang mengikatmu itusekarang?"
"Dia  pasti  masih  berada.  di  pulau  ini.  Karena  pada waktu-waktu tertentu dia setalu kemari untuk melihat dan mengawasi saysa.."
Gadis baju ungu tampakberpikir-pikir.
"Kakak, kau ini siapa? Ada hubunganmudengan guru?' bertanya malin Sati.
"Namaku  Pandansuri.  Aku  datang  dari  Wars,  Aku berhutang  budi  bahkan  nyawa  pada  gurumu.  Beberapa tahun  lalu  gurumu  bersama  seorang  pendekar  muda pernah menyelamatkandiriku. ltutah sebabnya aku merasa sangat pentinguntuk menziarahimakamnya."
"Tidak, tidak mungkin! Guru jelas sedang pergi, tak ada di pulau. Bagaimana mungkin kakak mengatakan hendak menziarahi makamnya? Di pulau ini sama sekalitidakada kuburan!"
"Ini  adalah  aneh!  Sebagai   murid   kau  tentu  tidak berdusta mengatakan bahwa gurumu masih hidup," Kata Pandansari pula. "Kalau begitu mari kita cari orang yang telah menangkap dan menyekapmudi goa ini!"
"Hati-hati, manusia itujahatsekali. Ilmu kepandaiannya pasti tidak rendah. Dan saya yakin ilmunya dipergunakan untuk berbuat jahat!"
Pandansuri pegang kepala anak itu lalu berkata, "Kita pergisebentar lagikalau badaimulaireda."
Malin Sati bangkit berdiri. "Maafkan saya kakak. Saya tidak bisa menunggu. Saya harus menyelidiki apakah guru telahkembali, laluapakah benarada makamdi pulau ini."
"Kau  murid  baik,  Malin.  Mari  kita  sama-sama  me- nyelidik."

Dibawah hujan lebat dan angin kencang kedua orang flu tinggalkan goa didinding batu karang.
"Kau tentu tahu setiap sudut  pulau  ini.  Kau jalan  di depan," kata Pandansari.
Malin Sati berjalan di sebelah depan. Sang dara meng- ikuti  dari  belakang.  Tak  selang  berapa  lama  keduanya sampaidigubukkediaman Tua Gila. Si anak terkejut ketika melihat isi gubuk berantakan sedang gurunya tak ada di situ.
"Pasti ini perbuatan manusia jahat itu!" kata Malin Sati dengan  kepalan  tinjunya.  Dia  melangkah  keluar  gubuk. Saat itu hujan mulai reda tapi tiupan angin masih keras dan mengeluarkan suara menggidikkan.
"Saya harus menyelidiki seluruh pulau! Orang jahat itu jangan-jangan telah mencuri sesuatu dari gubuk guru!"
Tanpa berpaling pada Pandansuri Malin Sati langsung melangkah pergi.
Sang dara cepat memegang bahu anak itu lalu berkata. "Seperti katamu, orang jahat yang menyekapmu itu pasti masih ada di pulau ini. Kita harus berhati-bati. Biar aku yang  di  depan  sekarang.  Bisakah  kau  berjalan  tanpa mengeluarkansuara?"
Malin   Sati   mengangguk.   Lalu   seolah-olah   seperti hendak   membuktikan   dia   melangkah   cepat   diantara semak  belukar sedang di tanah jejak  kakinya  kelihatan tidakmelesak dalam.
"Ah, Tua Gila tentu telah mengajarkan ilmu meringan- kantubuh pada anak ini…" kata Pandansuri dalam hati.
Kedua orang itu bergerak menuju bagiantengah pulau. Pandansuri di sebelah depan, Malin Sati di belakangnya. Kadang-kadang  anak  ini  karena  ingin  lebih  cepat,  me- langkah mendahului. Terpaksa si gadis menariknya cepat- cepat. Di suatu tempat Pandansurihentikan langkahnya.
"Aku  mendengar  suara  orang  tertawa  di  kejauhan.

Apakah kaumendengarnya?"
Malin  Sati  gelengkan  kepala  mendengar  pertanyaan Pandansuri itu.
"Ikuti aku. Tapi harus lebih hati-hati..." kata Pandansuri lalu  bergerak  ke jurusan  di  mana  dia  tadi  mendengar datingnya suara orang tertawa.
Pandansuri  sampai  di  depan  sebuah  lapangan  kecil yang becek. Gadis ini cepat menekapmulut Malin Sati dan menariknya  ke  balik  sebatang  pohon  besar  ketika  di- dengarnya si anak sempat mengeluarkan suara tercekat sewaktumelihatpemandangan didepannya.
Kalau Malin Sati terkejut dan bergidik melihat empat sosok mayat rusak yang terikat ditiang serta adanya dua buah makam dimana salah satunya terbuka secara aneh, maka  Pandansuri  lebih terkesiap  pada  perkelahian yang terjadi  antara  seorang  manusia  bertubuh  tinggi  besar dengan seorang pemuda yang segera dikenalinya sebagai pemuda bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212.
Pemuda inilah yang dulu menyelamatkannya bersama Tua Gila dari tangan ayah angkatnya yang sesat yaitu Raja Rencong Dari Utara.
Seat  itu  Pandansuri  menyaksikan  bagaimana  tubuh Wiro terpental masuk ke dalam liang kubur batu akibat hantaman mantelsakti orang tinggi besar. Ketika orang itu tampak menekan sesuatu di kepala makam. Ketika batu penutup makamterhempas jatuh Pandansuri secara tidak sadar keluarkan seruan memanggil nama pendekaritu.
"Wiro!"
Suara teriakan Pandansuri inilah yang membuat Datuk Tinggl  Raja  Di  Langit  jadi  tersentak  dan  dia  segera menyadaribahwaada orang lain di tempat itu.
Pandansuri  sendiri  begitu  sadar  telah  berbuat  ke- salahan segera menarik lengan Malin Sati lalu berkelebat meninggalkan pohon tepat pada saat Datuk Tinggi kiblat-

kan  Kapak  Naga Geni 212 yang memporak-porandakan pepohonandan bebatuanditempat itu.

***


Di dalam liang makam batu yang gelap itu bahkan tangan didepan matapun tidakkelihatan- Pendekar 212 Wiro Sableng  masih  berada  dalam  keadaan setengah sadar. Hantaman mantelsakti Datuk Tinggi Raja Di Langit bukan main dahsyatnya. Di samping itukepalanya jugatelah membentur dinding batu dengankeras.
Selang beberapa lama setelah kesadarannya kembali pulih,  murid  Eyang  Sinto  Gendeng  ini  berusaha  berdiri. Kedua tangannya coba mendorong g, batu tebal penutup makam Tapi batu yang berat itu tidak bergeming sedikit pun. Akhirnya dia hanya bisategak tersandar memikirkan bagaimana  mencari  jalan  keluar  dari  sekapan.  Aneh, tubuhnya  terasa  sangat  letih.  Dicobanya  mengerahkan tenaga dalam tapitidak berhasil. Ada sesuatu yang menye- babkan hal itu dandiatidak tahu apa.
Perlahan-lahan Wiro  kembali duduk di  lantai  makam. Dalam gelap dia  pergunakan  lengan  bajunya  untuk  me- nyekadarah yang mulai mengeringdi bawah hidung dan di sudut  bibirnya.  Saat  itu  hidungnya  mencium  bau  aneh dalam ruangan batu itu, Dia lalu ingat pada pipakecil yang adadi batu tebaldi atasnya. Dalam gelapdia merabadan berhasil menyentuh pipa itu. Wiro berpikir-pikir apa keguna- an  pipa  itu,  Mungkin  untuk  keluar  masuknya  udara? Dengan pipa sekecilitubeberapa lama dia bisa bertahandi tempat itu? Datuk Tinggi memberinya waktu empat hari. Berarti  itulah   batas  kehidupannya!   Empat  hari  tanpa makan tanpa minum. Dan disekapdi ruang batuseperti itu

terasa udaramenjadi makin panas saat demi saat.
"Bangsat  itu  minta  kitab  Seribu  Macam  Ilmu  Peng- obatan! Gila! Kalaupun aku membawa kitab itu tak bakal aku serahkan  padanya! Agaknya  aku sudah  ditakdirkan menemuikematiandengan cara begini rupa..."
Pikiran Pendekar 212 menjadi kacau. Sekujur tubuhnya terasa sakitdan lemas. Kepalanya juga masih mendenyut- denyut. Pakaiannya basah oleh keringat. Tiba-tibadia ingat makam di sebelahnya. Sebelumnya dia telah mendengar suara ketukan sayup-sayup datang daridalam makam itu. Ketika dia mengetuk, dari dalamterdengar suara ketukan balasan. lalu dia ingat pula pada asap seperti asap rokok yang adadisekitarmakam.
"Kalau  diriku  dijebloskan  hidup-hidup  begini, jangan- jangan Tua Gila juga mengalami nasib sama..." Wiro lalu keluarkan  batu  hitam  pasangan  Kapak  Maut  Naga Geni 212  yang  masih  tersisip  di  pinggangnya.  Dengan  batu hitam itudiketuknya dinding batu sebelah kanan, dua kali berturut-turut. Lalu dia menunggu. Tak ada jawaban.
"Mungkin orang tua itu sudah ..." Wiro tidak teruskan ucapannya,  kembali  dia  mengetuk.  Tiba-tiba  dari  balik dinding batu ada suara ketukan balasan. Perlahan sekali.
"Kakek Tua Gila! Kau adadisitu?!" Wiro berteriakkeras- keras.
Jawaban yang terdengar hanya ketukan halus.
"Kakek Tua Gila! Kau yang mengetuk...!?"
"Siapayang menyebut namaku?!"
Ada suara menyahuti. Halus danjauh tetapicukup jelas terdengaroleh murid Sinto Gendeng:
"Aku Wiro Sab!eng!" Wiro berteriak keras-keras. Hatinya gembiramendapatkan jawaban. Lalu keningnya jagi meng- kerut  ketika didengarnya suara di  kejauhan  itu  berkata. "Nasib kita sama jeleknya! Tidak, aku lebih jelek. Kau tentu barusajadijebloskandalam makam batu! Aku sudahsejak

tiga hari lalu...!" Terdengar suara tawa mengekeh.
"Ah, benar rupanya oratig tua itudijebloskan di makam sebelah! Gila! Dalam keadaan seperti itu dia masih bisa tertawa," kata Wiro dalam hati. Lalu pendekar ini bertanya. "Bagaimana kaubisa bertahan hidup kek?"
"Hanya karena belaskasihan Yang Kuasa!"
"Selagi di luar aku melihat dan mencium seperti asap rokok,Apakah kau yang merokok?!"
"Tidak sa!ah! Hanya itu yang bisa menjadi penyumpal mulut dan  perutku! Tapi aku tidak akan  biasa  bertahan lama.  Paling  lama  empat  hari  lagi  malaikat  maut  pasti menemuiku! Mengapa kau tahu-tahu muncul di pulau ini. Kemunculan yang  membawa celaka dirimu! Tua  bangka sepertiku mati di tempat ini tidak menjadi apa. Tapi kau masih muda...!"
Wiro terdiam sesaat mendengar kata-kata terakhir Tua Gila itu. Lalu dia membuka mulut.
"Di luaran tersebar berita bahwa kau telah meninggal dunia. Itu sebabnya kuperlukandatang kemari. Ternyata ini jebakan  belaka!  Apa  betul  keparat  yang  menjebloskan diriku  itu adalah  kakak  Datuk Sipatoka yang  kita  habisi beberapatahun laludi Bukit Tambun Tulang?! Siapa nama bangsat itu?!"
"Namanya akutidak tahu. Dia menyebut dirinya dengan gelar Datuk Tinggi Raja Di Langit! Dia memang kakak Datuk Sipatoka...! Dia muncul membawadendam kesumat!"
"Bagaimana  kau  bisa  dikalahkan  lalu  dijebloskan  ke dalammakam batu itukek?!"
"Mantel  hitamnya  itu!  mantel  itu  merupakan  senjata hebat    luar    biasa!    Tua    bangka    ini    tak    sanggup menghadapinya! Siapapun tak  bakal sanggup  mengalah- kannya! Kecuali ada yang berhasil menarik lepas mantel hitam saktinya itu!"
Wiro teringat pada jubah Kencono Geni milik keraton di

Jawa.  Siapa  saja  yang  mengenakan jubah  itu  tak  satu kekuatanpun sanggup mengalahkannya.
"Di samping itu," terdengar lagi suara Tua Gila. "Datuk Tinggi  memiliki  senjata  rahasia  yang  luar  biasa.  Orang- orang dalam dunia persilatan di Andalas menyebut senjata itu Mutiara Setan. Senjatanya memang mutiarasungguhan tapi berwarna hitam. Tidak beracun namun ganas sekali. Siapa saja yang sampaiditancapi Mutiara Setan tubuhnya pasti  akan  menemui  kematian  dalam  waktu sekejapan. Datuk Tinggi selalu mencari sasaran dikening lawan!"
"Mutiara Setan!" desis Wiro. "Senjata aneh dan mahal harganya!"
"Anak  muda,  apakah  datuk  keparat  itu  minta  buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan padamu?!" bertanya Tua Gila dari makam sebelah.
"BetuI!" jawab Wiro. "Tentu saja aku tidak  membawa buku itu ke mana-mana. Sekalipun kubawa tak akan ku- berikan padanya!"
"Padaku dia jugamintabuku itu! Kukatakan kalau buku itu tidak ada  padaku.  Lalu dia  minta senjataku  Benang Kayangan.  Tapi  dia  tidak  bisa  mendapatkannya  karena benang sakti itu keburu kumasukkan ke dalam mulut dan kutelan! Kini senjata langka itu aman dalam perutku!" Tua Gila tertawa mengekeh. Lalu dia meneruskan ucapannya. "Iblis tinggi itu memberikan waktutujuh hari padaku! Jika akutidak memberitanda dengan ketukan maka tamatlah riwayatku!"
Wiro menghela nafas panjang. "Kalau begitu aku lebih celaka  darimu,  kek!  Datuk  Tinggi  berhasil  merampas senjata warisan Eyang Sinto Gendeng!"
"Maksudmu Kapak Naga Geni 212?!"
"Betul kek!"
"Ahl  Padahal jika,  senjata  itu  ada  padamu  saat  ini, mungkin bisa dipergunakan untuk memboboldinding atau

atap  makam  keparat  ini!"  kata  Tua  Gila  pula.  Tapi  dia segera menyambung. "Mungkin jugatidak! Senjata itutidak akan ada gunanya di dalam tempat ini. Karena kita tidak bisa mengerahkan tenaga dalam!"
"Betul kek. Aku tadi coba mengerahkan tenaga dalam tapitidak berhasil!Apayang adadi tempat celaka ini?!"
"Datuk Tinggi  menaburi semacam obat. Tidakkah  kau membauihawa aneh dalammakammu?!"
"Memangadahawaanehdisini!"
"Hawa itulah yang membuat peredaran darah kita tak bisa  dipacu  sehingga  tenaga  dalam  tak  bisa  dialirkan. Haws itu pula yang membuat sekujur tubuh kita menjadi lemah!"
"Apa   daya   kita   sekarang   kek?   Apakah   kita  tidak mungkin bisa keluar dari tempat celaka ini?!"
"Tipis sekali kemungkinannyal Mungkin satu berbanding seribu! Kita akan sama-sama berkubur di tempat ini! Kita berdua  pasti  banyak  dosa!  Berdoa  sajalah  dan  mints ampun pada Yang Kuasa atas segala dosa-dosa kita! Ha... Ha... ha ...!"
Wiro terdiam.
"Anak  muda!  Kau takut  menghadapi  kematian?!" ter- dengar Tua Gila bertanya.
"Semua  orang  akan  mati  kek.  Tapi  kalau  kematian datangnya seperti  ini,  perlahan-lahan dan tersiksa,  lebih baikaku memilihdipancung saja! Kita harus mencariakal kek!"
"Aku sudah tiga harl mencari akal. Sampai persediaan rokokkuhabis!Tapisia-siasaja!" jawab Tua Gila.
"Waktu  aku  sampal  di  tempat  ini,  aku  melihat  ada empat sosok mayat diikat ketiang kayu!"
"Pasti  korban-korban jebakan  Datuk Tinggi!  Kau  kenal
sia a mereka?emeriksa  Datuk  keparat  itu  sudah

muncul! Tapi ada satu  hal. Sewaktu aku dijebloskan  ke dalam  makam  ini,  aku  masih sempat  mendengar sese- orang berterlak menyebut namaku! Mudah-mudahan saja adayang bakal menolong kita!"
"Jangan terlalu berharap anak muda! Yang memanggil- mu itu bukan mustahil adalah malaikat maut yang sudah mengenalimu!"  kata Tua  Gila  pula  lalu  kembali tertawa gelak-gelak.   Dalam   hatinya   Pendekar   212  jadi   me- nyumpah. Dia duduk bersandar ke dinding batu dan ulur- kan keduakakinyalurus-lurus. Hawa di tempat itu semakin panas. Jangan-jangan dia tidak mampu bertahan sampai empat hari."
"Kek!  Demi  menyelamatkan  nyawamu  aku  bersedia memberikan kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan itu!"
"Jangan  tolol!"   membentak   Tua   Gila   dari   makam sebelah. "Sekalipun kau berikan seribu buku dan seribu senjata mustika pada Datuk Tinggi, manusia keparat itu tetap  saja  akan  membunuh  kita!  Keinginan  utamanya adalah membalaskandendam kesumat kematian adiknya. Yaitu membunuhkitaberdua dan semua sahabat kita yang tertipu muncul di pulau ini! Kalau memang ingin selamat sudahsejak kemarin-kemarin kuberikan Benang Kayangan padanya!"
"Jadi  beginilah  perjalailan  hidupku!"  kata Wiro.  Untuk pertama kalinya dia menggaruk kepalanya berulang kali. "Mati terjebak dalammakam batu!"
"Kau  terlalu  mengawatirkan  kematian  dirimu!  Apalah kau sudah punya anak?!" Tua Gila bertanyadarisebelah.
"Kawin  saja  belum!  Bagaimana  punya  anak?!"  sahut Wiro setengah mengomel.
Tua Gila terdengar tertawa gelak-gelak.
Wiro memaki panjang pendek dalam hati. Lalu dia me- lengak ketika lapat-lapat dia mendengar suara orang me- ngorok!

"Pasti itu si Tua Gila! Edan! Bagaimana dalam keadaan seperti ini diamasihbisaenak-enakan tidur! Malah sampai ngorok segala!" kata Wiro dalam hati merutuk tidak henti- hentinya.
Pendekar 212 berusaha mengatur jalan nafas dan per- edaran darah. Lalu berusaha menghimpun tenaga dalam. Tapi setiap  dikerahkan selalu tidak  berhasil. Sementara tubuhnya terasa semakin lemas.
Pendekar ini tidak tahu berapa lama dia telah berada dalampendaman makam batu ituketika tiba-tibadia men- dengar suara berdesir. Sesaat kemudianadaangin bertiup masuk ke dalam liang batu itu. Lalu Wiro melihat sedikit cahayadan menyusul terbukanya atap batu makam!
"Kakek  Tua  Gila!  Batu  penutup  makamku  terbuka!" teriak Wiro memberitahu. Lalu cepat berdiri.
Tapi untuk melompat keluardarimakam yang dalamnya lebih  tinggi  dari  tubuhnya  itu  dia  tidak  sanggup  oleh keadaan  tubuhnya   yang   lemas.   Wiro   berjingkat   dan berusaha  menghirup  udara  segar  sebanyak-banyaknya. Hujan  dan  badai  tak  ada  lagi.  Tapi  udara  di  atasnya diselimuti kegelapan walautidak segelapdalam liang batu tadi.  Ini  memberi  pertanda  bahwa  saat  itu  hari  telah malam.
Wiro berusaha lagi untuk bisa keluardaridalam lobang itu.  Namun  sia-sia.  Tubuhnya  masih  sangat  lemas.  Dia mendongak  ke  atas  don  melihat sepasang  kaki  di tepi makam batu. Lalu ada tangan yang diulurkan untuk mem- bantunya keluar dari makam. Dalam gelap Wiro dapat me- lihat orang yang hendak menolongnya itu. Dia tidak kenal lelaki ini. Tapi jelas bukan Datuk Tinggi. Maka Pendekar 212  ulurkan  pula tangannya siap  untuk ditarik  ke atas. Sesaat kemudian Wiro telah keluardaridalam liang maut. itu.
"Pandeka  mudo,  Nyanyuk  Amber  berpesan  agar  kau

lekas  mengatur jalan darah dan  pernafasan.  Menghirup udara segar sebanyak-banyaknya agar dapat menghimpun tenaga dalam!"
"Nyanyuk Amber? Orang tua itu adadisini?!" tanya Wiro.
"Pandeka akan bertemu dengan beliau. Lekas lakukan apa yang beliaupesankan."
"Sahabat,  kau sendiri siapa? Terima  kasih  kau telah menolongku!"
"Ambo  Saringgih,  pembantu  Nyanyuk  Amber.  Ambo harus menolong Tua Gila dimakam sebelah!" lalu Saringgih tinggalkan  Wiro.  Pendekar  212  segera  duduk  bersila, mengatur jalan nafas, darah dan mulai coba mengalirkan tenaga dalamnya. Hal itutidak dapat dilakukannya dengan cepat karena lebih darisetengah hariandiri sudah sempat dipendamdalam makam batu.
Sementara itu Saringgihtelah bergerakke makam yang satunya. Sesuai petunjuk Pandansuri pembantu Nyanyuk Amber  ini segera  menekan  batu  kecil yang  menonjol di belakang  kepala  makam. Terdengar suara  berdesir,  lalu perlahan-lahan bagian atas makam berikut batu nisannya bergerak ke atas. Terdengar suara orang tersentakkaget di dasar makam. Lalu dalam gelap tampak dua tangan kurus tinggal  kulit  pembalut  tulang  menggapai-gapai  di  tepi lobang batu. Saringgih cepat menangkap salah satu lengan Itu lalumenariknya kuat-kuat ke atas.
Pembantu  Nyanyuk Amber  ini  merasakan jantungnya seperti copot ketika melihat sosok dan wajah orang yang barusan ditolongnya. Dia telah terbiasa dengan keangker- an wajah Nyanyuk Amber. Namun manusia yang kini ter- duduk di hadapannya ini memiliki tubuh dan kepala yang tidak   bedanya  seperti  jerangkong   hidup!  Orang  yang barusan  ditolongnya  ini  menatap  padanya  dengan  se- pasang   matanya  yang  sangat  cekung.   Pandangannya dingin  mengerikan.  Dan  dia  sama  sekali  tidak  meng-

ucapkan satu patah katapun, apalagi mengatakan terima kasih!  Seperti  Wiro  orang  ini  kemudian  duduk  bersila mengatur jalan nafas dandarah serta menghimpun tenaga dalam.

***

MARI  kita  ikuti  apa  yang  terjadi  sebelum  batu penutup makam Pendekar 212 Wiro Sablengtiba- tiba terbuka. Seperti dituturkan ketika mengenali
bahwa  pemuda  yang  terpental  masuk  ke  dalam  liang makam adalah Wiro Sableng yang dikenalnya, Pandansuri anak angkat Raja Rencong Dari Utara tanpa sadar telah berteriak memanggil nama Wiro. Teriakannya ini mengejut- kan Datuk Tinggi Raja Di Langit. Apalagi suara yang ber- teriakjelas suara perempuan. Dia menantang agar orang yang berteriak unjukkan diri. Tapi Pandansuri tidak mau muncul. Karena sama-sama dari utara Pandansuri sudah tahu  betul siapa adanya  Datuk Tinggi. Satu  lawan yang berat untuk dihadapi, apalagi saat itu dia bersama Malin Sati, murid Si Tua Gila yang baru berusia enam tahun.
Ketika Datuk Tinggi menghantamkan Kapak Maut Naga Geni  212  yang  membuat  pepohonan  dan  batu-batu  di tempat itu menjadi berantakan, Pandansuri cepat menarik lengan Malin Sati, Kedua orang ini melarikan diri dibawah cuaca yang  masih  buruk.  Udara yang  masih  gelap  ikut membantu hinggawalau masih mengejar di belakang tapi Datuk Tinggi telah tertinggal jauh.
Pandansuri  sengaja  menempuh  bagian  pulau  yangt rapat dengan pepohonan, lalu membelok ke arah dimana Nyanyuk  Amber  dan  Saringgih  berada  dalam  sebuah legukanbatuberbentuk goa.
Saat  itu  karena  badai  dirasakan  mulai  reda  maka Nyanyuk Amber yang sudahtidak sabaran untuk mengejar

pemudaberpakaian putih berambut gondrong seperti yang dilihat dan diberitahukan oleh Saringgih kepadanya. Ber- dasarkanciri-ciri yang dikatakan pembantunya itu Nyanyuk Amber sudahdapat menduga bahwasi pemudabukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, dengan siapa dia be- berapa tahun lalu menghancurkan sarang Datuk Sipatoka dan membunuh manusia jahat itudi Bukit Tambun Tulang.  "Saringgih!  Lekas  dukung  aku!  Kita  harus  mengejar pemuda yang kau lihat itu. Badai kurasa sudah mulaireda!'
Saringgih   segera   lakukan   apa   yang   diperintahkan Nyanyuk Amber. Baru satu langkah dia keluardari legukan batu, pembantu ini cepat bersurutkembali.
"Eh, ada apa Saringgih?!" tanya si orang tua. Telinganya di pasang.
"Ada  orang  mendatangi  dari  jurusan  pantai  sebelah kanan!" melapor sang pembantu.
"Cepat katakan ciri-cirinyal"
"Ada   dua   orang   Nyanyuk.   Yang   pertama   seorang perempuan berambut panjang, berpakaian serba ungu … "
"Seorang  perempuan  berpakaian serba  ungu! Apakah wajahnya ditutupi dengan cadarungu?"
"Tidak Nyanyuk. Wajahnya tidak ditutup apa-apa. Dari sini jelas  terlihat  parasnya  cantik.  Di  pinggangnya  ada sebuahsaluang."
"Tak  ada  dugaan  lain.  Orang  ini  adalah  Pandansuri, anak angkat Raja Rencong. Tetapi kenapa tidak bercadar? Ah mungkin dia sudah mengikuti perkembangan zaman! Saringgih, lekaskatakan ciri-ciri orang kedua!"
"Seorang anak lelakikecil. Umurnya belumsampaitujuh tahun."
"Anak  lelaki?  Di  pulau  ini  ada  anak  lelaki?!  Pasti  itu muridsi Tua Gila!"
"Kedua  orang  itu  sudah  mendekat  kemari  Nyanyuk. Kelihatannya merekaseperti dikejarsesuatu!"

Telinga  Nyanyuk  Amber  menangkap  suara  kaki-kaki yang berlari itu mendekati legukan batu, maka dia cepat berseru.
"Pandansuri, lekas masukke dalam legukan batu!"
Pandansuri  tentu  saja jadi  terkejut  ketika  dia  men- dengar  ada  suara  menyebut  namanya.  Dia  memegang lengan  Malin Sati  erat-erat seraya  memandang  ke arah legukan batu yang tertutup rapat oleh pohon-pohon kecil serta semakbelukar.
Semak belukar terkuak. Saringgih muncul. Tentu saja Pandansuri  tidak  mengenali  orang  ini.  Tapi  dia  seperti pernah mendengar suara orang yang tadi menyebut nama- nya.
"Malin, kau kenal orang itu?" tanya Pandansuri. Malin Sati menggeleng.
"Saudara... Siapa kau?!" tanya Pandansuri.
Dari dalam legukan batu kembaliterdengar suara halus tadi. "Pandansuri,  lekas  masuk.  Untuk sementara  kalian akan aman beradadisini!"
Saringgih  menguak semak  belukar  lebih  lebar.  mata Pandansuri kemudian melihat sosok tubuh yang duduk di lantailegukan batu.
Gadis ini terkejut dan jugagirang. Dia berseru.
"Nyanyuk Amber!" Lalu bersama Malin Sati Pandansuri masuk  dengan  cepat  kedalam  legukan  batu.  Saringgih segera menutup tempat itukembali dengan semak belukar dan pohon-pohonkecil.
Sampai  di  dalam  Pandansuri  langsung jatuhkan  did, bersimpuh   di   hadapan   Nyanyuk   Amber.   Sementara Saringgih dan Malin Sati terheran-heran. Sepasang mata Saringgih tidak berkedip memandang Pandansuri. Belum pernah diamelihat gadis secantik yang satu ini.
"Kakek guru, apakahkaubaik-baiksaja?" bertanya sang dara.

"Alhamdulillah. Aku seperti apa yang kau lihat. Kuharap kau begitujuga. Apakah kau kini sudah tidak mengenakan cadar ungu lag! Pandan?"
Sang  dara  memegang  wajahnya.  _"Cadar  itu  lepas ketika saya menuju pantai..."
"Kedatanganmu  kemari  pasti  dengan  maksud  yang sama. Menyambangi makam Tua Gila..."
"Betul  Nyanyuk.  Tapi  saya  melihat  banyak  keanehan dan hal-hal menggidikkan di pulau ini..."
"Aku sudah tahu apa yang kau maksudkan itu. Empat orang tokoh silat  dibunuh  dan  mayatnya  dilkat  di tiang kayu. Ada dua makam. Satu bernisan Tua Gila. Satunya tanpa nisan..:'
"Rupanya kakek guru sudah tahu semua apa yang ter- jadi. Tapi apakah kakek juga tahu bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng barusansajadijebloskan Datuk Tinggi Raja Di Langit ke dalam makam kedua?!"
Terkejutlah    Nyanyuk   Amber    mendengar    kata-kata Pandansuri itu.
"Celaka!"  ujar  si  orang  tNa.  "Aku  baru  saja  hendak mengejarnya.  Padahal aku tadinya  berharap dialah yang bakaldapat menghajar Datuk Tinggi Raja Di Langit keparat itu!"
"Kakak  Datuk  Sipatoka  itu  memang  bukan  manusia sembarangan..." kata Pandansuri pula.
"Pandan, kau dan si datuk itu sama-sama dari utara. Apa saja yang kau ketahui tentang dirinya. Sepak terjang- nya sangat meresahkan orang-orang rimba persilatan!"
"Manusia itu memang biang racun segala malapetaka. Dia   bercita-cita   menguasai  dunia   persilatan  di   Pulau Andalas. Untuk itu dia telah membekali diri dengan ber- bagai ilmu. Antaranya senjata rahasia Mutiara Setan yang sangat berbahaya. lalusebuah jubah berupa mantel hitam yang dapatmengeluarkan angin sedahsyat badai … "

"Mantel itu memang luarbiasa. Aku sudah sempat kena hantamannya:.:"  kata  Nyanyuk Amber  lalu  menceritakan pada  Pandansuri  bagaimana  dirinya  hampir  celaka  di tangan Datuk Tinggi Raja Di Langit.
"Kita menghadapi masalah besar. Tua Gila dikabarkan meninggal. Makamnya diliputi keanehan. Beberapa tokoh silat menemuiajal Pendekar 212 dipendam dalam makam batu!  Kita  harus  menghentikan  Datuk  Tinggi.  Ini  bukan pekerjaan mudah. kita harus mempergunakan akal..."
"Kau betul kakek guru. Datuk Tinggi punya segudang ilmu.  Dia  ahli  segala  peralatan  rahasia.  Termasuk  me- rancang dua makam batu yang bisa dibuka dan ditutup bagian atasnya!" Pandansuri pula. "Disamping itu senjata andalan Wiro yakni Kapak Maut Naga Geni 212 telahjatuh ke tangan Datuk Tinggi..."
"Ah, celaka! Banar-benar celaka!"
"Kakek guru! Saya tahu letak alat rahasia untuk mem- buka dan menutup makam Pendekar 212. Saya sempat melihat  Datuk Tinggi  menjalankan  alat  .  itu.  Kalau  kita biasa  membebaskan  Wiro,  pasti  lebih  mudah  bagi  kita menghadapi  Datuk  Tinggi.  Hanya  ada  satu  cara  untuk dapat mengalahkannya. Menanggalkan mantel hitam yang melekatditubuhnya!"
"Hal   itu  sama  saja  dengan   kita   hendak   menguliti harimau hidup!" kata Nyanyuk Amber.
"Tak ada jalan lain kakek guru. Dia tak mempan ditotok. Selama  mantel  itu  masih  melekat  ditubuhnya  tak  ada senjata atau pukulan saktipun yang mempan atas dirinya!"
Nyanyuk Amber menghelanafaspanjang. Orang tua ber- mata buta ini lama termenung tapiotaknya bekerja keras. Sesaat kemudian orang tua ini angkat kepalanya.
"Hanya  ada  satu  orang  untuk  dapat  mengalahkan manusia  keparat  itu,  Pandansuri.  Dan  ini semua sangat tergantung pada kesediaan dirimu untuk melakukannya... "

"Katakan apa yang harus saya lakukan kakek guru," ujar Pandansuri.
Nyanyuk Amber tampak sepertibimbang.
"Tak usah ragu-ragu, kek!"
Orang tua itu memberi isyarat dengan anggukan kepala agar sigadis mendekat. Lalu Nyanyuk Amber membisikkan sesuatu ke telinga Pandansuri. Serta merta kelihatan paras sang dara menjadi sangat merah.

***

SETELAH berusaha mencari orang yang tadi berteriak namun tak berhasil menemuinya Datuk Tinggi Raja Dl Langit segera menuju ke goa kecil di mana dia me-
ninggalkan Malin Sati. Saat itu hujan mulaireda dan angin tidak sekencang sebelumnya pertanda badal akan segera berhenti.
Begitu  masuk  ke dalam goa, terkejutlah sang datuk. Murid Tua Gila yang ditinggalkannyadalam keadaan terikat tak ada lagi di tempat itu! Di lantai goa bertebaran akar- akar pohon yang dijadikantali untuk pengikat kedua kaki dan tangan anak itu.
Paras seram Datuk Tinggi berubah tambahangker. Dia ingat  kembali  pada  suara  seruan  perempuan  sewaktu Pendekar 212 dijebloskan ke dalam makam batu.
"Seseorang  telah  melepaskan  anak  itu!  Dia  pasti! Bagaimana  aku tidak  bisa  mengetahui  kemunculannya? Badai celaka tadi yang jadi ulah! Sekali kutemukan anak itusebaiknya kuhabisisaja!"
Datuk Tinggi segera membalikkan tubuh. Dia kembali menuju   ke   lapangan  di   mana  dua   makam  terletak. Menurutnya siapapun yang ada di pulau itu pastilah akan berada di tempat itu. Mungkin untuk menziarahi makam Tua Gila, tetapi mungkin sekali untuk berusaha melepas- kan orang tua yang disekapnya dalammakam batu.
Sampai  di  lapangan  Datuk  Tinggi  segera  menyelidik setiapsudut. Setelah berpikir sesaat din lalu naik ke atas sebatang pohon besar berdaun lebat. Dia akan mendekam

dan  bersembunyi  di atas  pohon  itu.  Cepat atau  lambat pasti akan muncul orang yang ditunggunya.
Sampai siang bahkan menjelang rembang petang tak ada yang muncul.  Keadaan sekitar  lapangan sunyi sepi. Dikejauhan terdengardeburan ombak memecah di pantai. Datuk  Tinggi  mulai   merasa  tak  sabar.  Sebentar  lagi matahari akan segera tenggelam dan slang akan berganti malam. Dia mulai berpikir-pikir apakah akan segera turun saja dari atas pohon.
"Tidak  mustahil  orang  itu  justru  menunggu  sampai malam turun. Baru muncul di tempat ini!" Berpikir begitu Datuk Tinggi memutuskan untuk tetap saja beradadi atas pohon sementara  per!ahanlahan  udara  mulai tenggelam dalam kegelapan. Malam mulai merayap.
Tiba-tiba Datuk Tinggi Raja Dl Langit. dongakkan kepala. Kedw telinganya dipasang baik-baik. Dia mendengar suara sesuatu.
teli ! ia!aIsaluang di pulauli
Siapa pula yang meniupnya?!"
Datuk Tinggi menunggu sesaat. Suara yang didengarnya semakin jelas.  Orang  ini segera turun  dari  atas  pohon, melangkah  ke arah  barat yaitu clad arah  mana asalnya suara tiupan saluang itu.
Beberapa saat saja Datuk Tinggi meninggalkan tempat itu,  sesosok  tubuh  menyelinap  keluar  clad  rerumpunan semak   belukar.   Orang   ini  ternyata  adalah  Saringgih, pembantu Tua Gila. Mengendap-endap dia mendekati dua buah makam di ujung lapangan. Sesuai dengan petunjuk Pandansuri dia segera mencari batu hitam yang tersembul keluar di belakang kepala makam bernisan Wiro Sableng. Karena sudah  diberi  petunjuk tidak sulit  bagi Saringgih untuk   menemukan   batu   hitam   itu.   Begitu   dilihatnya langsung ditekannya kuat-kuat. Terdengar suara berdesir

dan  perlahan-iahan  bagian atas  makam  berderak  membuka!
Datuk   Tinggi   melangkah   dengan   hati-hati   tanpa mengeluarkan suara. Semakin dekat dia ke pantal pulau sebelah baratsemakin jelasterdengar suara tiupan salung itu.  Bahkan  kini  dia  mendengar  suara  orang  menyanyi. Suara perempuan!
Datuk Tinggi  menyelinap dibalik  batu-batu  karang.  Di bagian batu karang paling ujung yang dekat ke pantai dia hentikan langkah. Dari sini diamelihat seorang perempuan duduk  di  atas  sebuah  batu  hitam  membelakanginya. Rambutnya yang panjang terurai di punggung pakaiannya yang berwarna ungu. Kedua tangannya memegang sebuah saluang  yang  ditiupnya  dengan  suara  merdu,  diselingi dengan suara nyanyian yang berhiba-hiba.
Indak disangkolarinyo ruso
larinya kancang ka dalam guo
Indak disangkoka cando Iko
Nasib sangsaro sabatang karo
Tinggi-tinggi simatohari
Ayambakokok di tanah Cino
Baiko bana buruakno diri
Ayah tiado bundopuntiado
Urang Piaman pal ka koto
Urang Talu manjunjung balango
Sangsarodatang siliahbatimpo
Kakasiahdicinto lah hilangpulo
(Tidak disangkalarinya rusa)
(Larinya kencang ke dalam goa)
(Tidak disangka akan seperti ini)
(Nasib sengsara sebatang kara)
(Tlnggi-tinggi simatahari)
(Ayam berkokok di tanah Cino)
(Beginibenar nasibnya diri)
(Ayah tidakibupuntiada)

(Orang Piaman pergike kota)
(Orang Talu menjunjung belanga)
(Sengsara dating silih bergant)i
(Kekasih tercinta telah pergi pula)
Sehabis  menyanyi  perempuan  yang  duduk  di  batu kembali  meniup  saluangnya.  Kali  ini  tiupan  gadis  itu terdengar tersendat sendat. Sambil menangis sesengguk- an dia meletakkan saluangnya di atas batu. Lalu perlahan- lahandia melangkah ke arah laut. Di tepi pasir perempuan itu tegak tidak bergerak. Angin laut melambai-lambaikan rambutnya yang panjang. Lalu dia memalingkan kepalanya ke   kiri.   Sesaat   Datuk   Tinggi   dapat   melihat   wajah perempuan itu. Temyata dia seorang gadis berparas cantik jelita.
"Siapa adanya gadis ini..?" bertanya sang datuk dalam hati.  "Agaknya  dia  muncul  di  sini  bukan  untuk  melihat makam Tua  Gila.  Berarti  dia  bukan  karib  atau sahabat orang  tua  itu.  Dari  syair  yang  dinyanyikannya jelas  dia meratapi  nasib dirinya yang sebatang  kara. Tanpa ayah tanpa ibu. Kekasih yang dicintai pergi pula. Hemmm … "
Datuk  Tinggi  usap  dagunya yang  ditumbuhi  berewok lebat. Dia sudahsiap melangkahuntuk mendekati gadis itu namun niatnya terhenti  ketika tiba-tiba dia  menyaksikan sesuatu  yang  membuat  darahnya  menjadi  panas  dan mengalir cepat. Rangsangan nafsu segera menjalarisetiap sudut tubuhnya yang tinggi besar. Sudah cukup lama dia tidak   pemah   melihat  tubuh   perempuan,  apalagi   me- nyentuhnya.
Di alas pasir sana, selagi buihombak membasahi kaki- nya, gadis berambut panjang itu tampak membuka baju ungunya.  Baju  yang  ditanggalkan  dicampakkan  di  atas pasir. Kelihatan punggungnya yang putih mulus.
Nafas Datuk Tinggi Raja Di Langit mulai memburu. Dari mulutnya  keluar  suara  menggeram.  Matanya  dipentang

lebar-lebar. Lalu tampak gadis itu mulai membuka ikatan celana ungunya. Celana itu merosot sampal ke pinggul.
Lalu tampak si  gadis  melangkah  memasuki  air  laut. Setiap   langkah  yang  dibuatnya   membuat   pakaiannya semakin merosot jatuh ke bawah. Di dalam air gadis itu kemudian    kelihatan    melemparkan    pakaiannya   yang terakhir ke dekat baju yang tadi dicampakkannya di atas pasir. Berarti didalam air lautitutak sepotong pakaianpun lagimelekatdibadannya!
Dengan tubuh bergetar dilandanafsu Datuk Tinggi Raja Di Langit. melompat keluar dari balik batu karang dan lari menujulaut.
Gadis didalam air serta merta balikkan tubuhnya ketika mendengar  ads  orang  mendatangi.  Dia  terpekik  sambil cepat-cepat menutupi bagiandadanya yang berada di atas batasan air laut. Sepasang mata Datuk Tinggi membeliak melihat kepadatantubuh sang dara.
"Orang gagah bertubuh tinggi besar! Si... siapa kau...?!" sigadis bertanyadengan gagap.
"Aku  Datuk  Tinggi  Raja  Di  Langit!  Jangan  takut!  Aku tidak menyakitimu...!"
"Tapi  Datuk  mengintip  saya  mandi  di  laut!  Sekarang malahdatang mendekati Datuk nakalsekali!"
Datuk Tinggi tertawa lebar. Dari nada ucapan si gadis jelas diatidakmarah. maka Datuk Tinggipun bertanya.
"Gadis  cantik,  siapa  namamu.  Bagaimana  tahu-tahu muncul disini. Apa kaudiamdi pulau ini?"
"Saya   gadis   malang   Datuk.  Says  tengah   mencari kekasih yang pergi. Entah masih hidupentahsudah tiada. Dan... dan... saya terkejut..."
"Terkejut melihatku?!'
"Betul... Terkejut  karena... karena wajah kekasih yang hilang itumiripsekali dengan Datuk..."
"Ah...!  Kalau  begitu  biarla h  diriku  menjadi  pengganti-

nya!" kata Datuk Tinggi pula lalumasuk ke daiamlaut.
"Datuk    Apakah    Datuk    hendak    menemani    saya mandi...?"
"Ya... Aku akan menemanimu mandi di laut yang sejuk itul" jawab Datuk Tinggi sambil terus melangkah. Air laut mencapai betisnya.
"Tidak adakah orang yang akan melihat kita berdua-dua disini?!" tanya sigadis.
"Jangan kawatir. Pulau ini tidak berpenghuni!"
"Ah... Tapi, apakah  Datuk akan  mandi dengan  masih berpakaian seperti itu? Lucu...!"
Datuk Tinggi tertawa bergelak. "Pucuk dicinta ulam tibal Gadis  itu jelas  minta agar aku  menanggalkan  pakaian!" kata  sang  datuk  dalam  hati.  Lalu  tanpa  pikir  panjang dengan cepat sekali dia menanggalkan mantel hitamnya. Melemparkan mantel ini ke atas pasir. Mencapakkan topi tingginya.
Kemudian membuka baju kuningnya. Kapak Naga Geni 212  yang  diselipkannya  di  pinggang  juga  dilemparkan dekat mentelnya hitamnya. Tak ketinggalan kantong kain berisi  senjata  rahasianya  yaitu  Mutiara  Setan.  Terakhir sekalikasut kulit yang masih merekat dikakinya terbang di udara.
Sambil tertawa lebar dan mengangkat kedua tangannya Datuk Tinggi mendekati sigadis.
"Datuk! Kejar saya!" kata si gadis lalu dia menyelam ke dalam air.
"Kau akan kukejar kekasihku!" jawab Datuk Tinggi pula seraya masuk ke dalam lautlebih tengah.
Pada saat itulah tiba-tiba dari balik batu-batu karang yang gelap  berkelebat tiga sosok tubuh. Orang  pertama maju menyambar Kapak Naga Geni 212 dan pakaian ungu sedang orang kedua melompat menyambar mantel hitam milik  Datuk Tinggi. Orang yang ketiga membuat gerakan

aneh yaitu  berguling seperti  bola  dan  cepat sekali  dia menyambar  kantong  kain  berisi  Mutiara  Setan  dengan mulutnya! Ketiga orang ini kemudian berjejerditepi pasir. Dua  tegak  berkacak  pinggang  sedang  yang  yang  tadi menyambar  kantong  senjata  rahasia  dengan  mulutnya duduk di pasir! Kantong kain itu dijatuhkan dipangkuannya tapisebelumnya dia telah memasukkan lima butir Mutiara Setan kedalam mulutnyal

***



atuk Tinggi Raja Di Langit melompatdalamairuntuk dapat menangkap tubuh gadis tadi. Tapi dia hanya menangkapair karena dengan cepat sekali gadisitu
berenang ke tepi pasir. Begitu tubuhnya keluar laut orang yang tegak di tepi  pasir sambil  memegang  Kapak  Naga Geni 212 melemparkan pakaian ungunya.
Dalam gelap malam gadis itu lari ke balik batu karang dan cepat-cepat mengenakan pakaiannya kembali. Sesaat kemudiandia sudah bergabung dengan tiga orang tadi.
Datuk Tinggi tentu sajaterkejut besar melihat apa yang terjadi.  Dia  berenang  ke  tepi  pasir  tapi  kedua  kakinya kemudian berhentiketika menyadaribahwa dirinya saat itu sama sekali tidakberpakaian.
Sepuluh langkah dihadapannya berdiri orang tua ber- tubuh dan bermuka jerangkong yang bukan lainadalah Tua Gila. Di sebelahnyategak Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu duduk bersila adalah Nyanyuk Amber, kakek sakti tanpa mata, tanpa tangan dan tanpa kaki. Dari balikbatukarang kemudian   muncul   Pandansuri   yang   saat   itu   telah mengenakan  pakalan  ungunya  kembali. Gadis  ini  meng- ambilsaluangnya dari atas batu lalu berdiridisamping Tua Gila. Agak disebelah belakang Datuk Tinggi melihat murid Tua Gila berdirl di sebelah pembantu Nyanyuk Amber.
"Celaka  besar!  Bagaimana  bisa  begini  kejadiannya?! Bagaimana kedua orong yang disekapdalam makam batu Itu bisalolos?! Mantelku...! Mutiaraku...!"
Datuk Mata Tinggi memandang melotot pada Tua Gila yang memegang mantelnya,  lalu  memperhatikan dengan dadamembara padakantong senjata rahasianya yang ada

di pangkuan Nyanyuk Amber.
"Celaka!  Bagaimana  aku  bisa  lolos?!"  Datuk  Tinggi melirikke arah pakaiannyayang tercampak di pasir.
"Datuk  Tinggil"  terdengar  Tua  Gila   berkata.  "Kami memberi   kesempatan   padamu   agar   kau   bisa   mati berpakaian   lengkap!"   Orang   tua   ini   menganggukkan kepalanya pada Pandansuri.
Si gadis maju lalu dengan ujung saluangnya satu per- satu pakaian Datuk Tinggi termasuk topi dan kasutnya di lemparkannya ke arah si pemilik. Pakaian, topi dan kasut itu terapung-apung diairlaut. Datuk Tinggi belumbergerak untuk mengambilnya.
"Ayo   lekas   kenakan   pakaian,  topi   dan   kasutmu!" beteriak  Wiro.  "Terlalu  lama  telanjang  kau  bisa  masuk angin!  Atau  mungkin  minta  sahabatku  gadis  cantik  ini membantumu mengenakan pakaianmu satu persatu?!"
Tua Gila dan Nyanyuk Amber tertawa gelak-gelak.
Paras Datuk Tinggi mengelam sedangwajah Pandansuri bersemu merah.
"Kembalikan mantel hitam dan kantong kain itu!" mem- buka mulut Datuk Tinggi untuk pertama kalinya.
"Keluar   dari   dalam   laut!   Kau   bisa   mengambilnya sendiri!" jawab Tua Gila.
Datuk Tinggi tidak bergerak. Mulutnya keluarkan suara menggeram. Tiba-tiba orang ini berlaku nekad. Dia keluar dari  dalam  air  laut  tanpa  mengenakan  pakaian  sama sekali. Pandansuri cepat palingkan muka.
"Kalian  mau  membunuhku  lakukanlah  cepat!"  teriak Datuk Tinggi. Dia melangkah mendekat. Tiba-tiba dia me- nubruk  ke arah  Nyanyuk Amber yaitu orang yang paling dekat. tangan kananya menyambar ke arah pangkuan si orang tua dimana dilihatnya terletak kantong kain berisi Mutiara Setan.
Mulut  kempot  Nyanyuk  Amber  mengembung.  Lalu kelihatan  orang  tua  ini  meniup.  Sebuah  benda  hitam melesat  di  udara.  Datuk  Tinggi  berseru  kaget  ketika mengenali benda itu bukan lainadalah senjata rahasianya

sendiri! Terpaksa di membuang diri ke samping. Mutiara hitam melesat membabat rambut diatastelinganya. Datuk tinggi keluarkan keringat dingin!
Datuk  Tinggi  ternyata  masih  dapat  mempergunakan akalnya dalam keadaan kepepet Itu. Sambit mengelakan serangan senjata rahasia yang melesat dari mulut Nyanyuk Amber, dia sengaja membuat diri ke arah Tua Gila yang memegang  mantel  hitamnya.  Dengan  gerakan  kilat  dia berusaha merampas senjata Itu. Tap! Tua Gila tidakbodoh. Mantel ditangannya dikebutkan satu kali!
Terdengar teriakan Datuk Tinggi. Tubuhnya terpentaldi- hantamangin laksana badai yang keluardari mantelsakti itu. Darah tampak mengucur dari hldungnya. Datuk Tinggi menggerang.   Dengan   kalap  dia   bangkit  dan   kembali hendak  menyergap Tua Gila. Sekali  ini gerakkannya ter- tahan oleh tendangan kaki kiri Pendekar 212. Tubuhnya terlipat  lalu tersungkur di  pasir,  megap-megap sulit  ber- nafas.
"Kalian  bunuh saja  diriku!  Bunuh saja!" teriak  Datuk Tinggi.   "Manusia-manusia   pengecut!   Beraninya   main keroyok!"
Tua  Gila  mendengus.  Mantel  ditangannya  diserahkan pada Pendekar 212.
"Kalau  kau  ingin  perkelahian  satu  lawan  satu,  tua bangka  ini  siap  melayanimu!  Coba  perlihatkan  kembali ilmu silat Orang Gila ciptaanmu itu!"
Seperti  diketahui,  selama  empat  tahun  Datuk  Tinggi memang  telah  menyiapkan  did  merancang  sendirl  Ilmu pemunah    ilmu   silat   Tua    Gila.    Merasa    mendapat kesempatan   maka   Datuk   Tinggi   segera   berdiri   lalu menyerbu Tua Gila. Tapi dia lupa, kekuatan tenaga dalam- nya sebenarnya ada  pada  mentel  hitam sakti yang  kini tidak  dimilikinya  lagi.  Setelah  menempur  dengan jurus- jurus hebat selama beberapa kali gebrakan akhirnya Tua Gila berhasil menghantamkan tangan kanannya, ke dada Datuk Tinggi.
Darah muncrat dari Datuk Tinggi. Tubuhnya terjengkang

di pasir. Pada seat itu sambil tertawa mengekeh Tua Gila tunjukkan kesaktiannya. Benang Kayangan yang ditelannya dan  mendekap  dalam  perutnya sejak  beberapa  hari  di- muntahkannya kembali. Lalu dengan benang sakti itu di- ringkusnya kedua kaki Datuk Tinggi. Sekali dia melangkah maka terseretlah tubuh Datuk Tinggi. Wiro segera meng- ikuti.  Saringgih  cepat  mendukung  Nyanyuk  Amber  dan Malin Sati mengikuti dari belakang.
Selama  tubuhnya  diseret  Datuk  Tinggi  menjerit-jerit tiada henti. Sekujur tubuh den mukanya luka berkelukuran. Rombongan orang-orang itu akhimya sampai di lapangan kecil di tengah pulau di mana dua makamterletak dalam keadaanterbuka.
Datuk Tinggi segera maklum apa yang akan terjadi atas dirinya. Maka diapun meraung setinggi langit!
Tua  Gila   menyeringai.  Tangannya  yang   memegang benang  sakti  digerakkan.  Benang  menggeletar.  Tubuh Datuk  Sakti  terbetot  lalu  melayang  masuk  ke  dalam makamdi mana Tua Gila disekapsebelumnya!
"Jangan!   Keluarkan  aku!  Ampun!  Aku   masih   ingin hidup!" teriak Datuk Tinggi berulang kali sampai suaranya parau.
Tua Gila berpaling pada muridnya. "Sati! Kau tahu apa tugasmu!"
Anak  enam  tahun  ini  segera  melompat  ke  bagian belakang  kepala  makam.  Dengan  kakinya  dia  menekan kuat-kuat batu hitam yang merupakanalat rahasia penutup bagian atas makam. Terdengar suara berdesir. Lalu batu penutup makam itupun jatuh dengan suara keras! Jeritan Datuk Tinggi sertat merta lenyap.
Pendekar  212  menggaruk  kepalanya.  Mantel  hitam yang  sejak  tadi  pegangnya  dilemparkannya  ke  dalam makam batu di mana sebelumnya dia disekap. Nyanyuk Amber mengatakan sesuatu pada pembantunya. Saringgih kemudian  mengambil  kantong kain  berisi  Mutiara Setan dari    balik    pinggang    pakaian    orang   tua    itu    lalu melemparkannya kedalam makam.

"Semuanya   berakhir  sudah…!"   kata  Tua   Gila   dan kembali  dia  memberi  isyarat  pada  muridnya.  Malin Sati sekali  lagi  pergunakan  kaki untuk  menekan  batu  hitam. Sekali ini yang terletak di belakang makam dimana Wiro sebelumnya  mendekam.  Bagian  atas  makam  menderu turun setelah lebih dahuluterdengar suara berdesir.
Sesaat   keadaan   di   tempat   itu   tenggelam   dalam kesunyian.   Tiba-tiba  terdengar   suara   Nyanyuk  Amber bergumamsepertimenelan sesuatu.
"Senjata  setan  itu  masih  tertinggal  dimulutku!"  kata Nyanyuk Amber,  lalu dia  meniup  keras-keras.  Dua  buah mutiara   hitam   menyambar   dalam   gelapnya   malam. Terdengar  suara  benda  keras  pecah  berantakan.  Yang hancuradalah batu hitamalat rahasia yang dapat menutup dan  mernbuka  makam  batu  di sebelah  kiri.  Sekali  lagi orang tua itu menlup. Dan buah mutiara setan yang masih bersisa  dalam  mulutnya  meleset  menghancurkan  batu hitamkeduadi belakang makamsebelah kanan.
"Sekarang  urusan  benar-benar  beres!"  kata  Nyanyuk Amber. "Manusia iblis itu tak mungkin keluar selamatkan diri!  Mantel dan senjata setannya tak mungkin jatuh  ke tangan orang lain!"
"Masih ada yang perlu dirapihkan!" Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan ucapan sambil mencabut Kapak Maut Naga  Geni  212  dari  pinggangnya.  "Tua  Gila  dan  Wiro Sableng belum pernah mati!"
Lalu  senjata  itu  berkiblat  dua  kali.  Suara  gemuruh seperti tawon mengamuk disertalsinar panas menyilaukan berkelebat.
Traaakkk!
Traaakkk!
Duo batu nisan hitam masih tampak berdiri di kepala kedua makam batu. Tapi bagian atas yang bergurat nama Tua Gila dan Wiro Sableng telah dipapas putus!
Sambil  menyeringal  dan  garuk  kepala  Pendekar  212 berpaling ke arah Pandansuri yang tegak disampingnya.
"Aku ini manuslatidak sopan. Sejak tadi belum sempat

menegurmu. Apa kabar sahabatku cantik jelilta? Apakah kau  hendak mengajakku mandi bersama di  laut  malam ini?!"
Paras Pandansuri menjadi cemberut. Gadis ini meng- angkat tangannya hendak menampar wajah Pendekar 212. Tapi Wiro melihat gerakan itu perlahan saja tanda sang dara tidak sungguhan hendak menamparnya. Wiro cepat menangkap tangan itu lalu mendekatkannya ke hidungnya dan menciumnya dengan mesra.

                                   TAMAT

Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive