Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Kamis, 30 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - PETI MATI DARI JEPARA

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com


DI    LAUT   OMBAK    BERGULUNG    DAHSYAT    BERPACU MEMECAH   MENUJU   PANTAI.   LANGIT   MALAM  TAMPAK HITAM   DISAPUT   AWAN   GELAP   DAN   TEBAL.   ANGIN MENDERU    KENCANG    MENIMBULKAN   SUARA   ANEH MENGGIDIKKAN.
Di  daratan  Jepara  udara  malam  dingin  mencucuk. Kesunyian    dipecah    oleh    suara    desau    daun-daun pepohonantertiupangin yang datang dariarah laut. Hujan rintik-rintik mulai turun. Di kejauhanterdengar suara lolong anjing bersahut-sahutan. Malam itu adalah malam Jum'at Keliwon!
Di  antara  desau  angin  malam  dan  gemerisik  suara daun-daun pepohonan yang sesekali dirobek oleh lengking lolongan   anjing,   dari   arah   timur   Jepara   terdengar gemeretak suara roda-roda kereta mengiringi derap kaki- kaki kuda yang menariknya.
Dalam   kegelapan   malam,  sebuah   kereta,   laksana kereta  hantu  meluncur  keluar dari sebuah  lembah yang rapat oleh pohon-pohon besar dan semak belukar. Kereta terbuka  ini  bergerak  perlahan  tetapi  pasti.  Sais  yang mengendalikan  dua  ekor  kuda  penarik  kereta  agaknya sengaja bergerak lambat perlahan. Orang ini mengenakan ikatan  kepala tebal  dari  kain  putih.  Baju  putihnya yang tidak  dikancing  tersibak  ditiup  angin  malam,  membuat dadanya  tersingkap.  Tiga  deretan  angka  samar-samar tampak  tertera   di   dada  yang   penuh   otot   itu.   212.

Pandangan  matanya jarang  berkesip.  Wajahnya  tampak keras menahangejolak dendam kesumat sakithati.
Kedua  orang  tuanya  dulu  tewas  akibat   kejahatan manusia-manusia durjana.  Kini  manusia-manusia seperti itu pula yang menghancurkan kehidupan keluarga paman- nya. Sumiati, saudara sepupunya diculik, diperkosa  ber- gantian secara keji dan tidak diketahui berada di mana. Kakeknya  menemui ajal  di tangan seorang  pengkhianat yang bersekutu dengan tiga manusia dajal: Ganco Langit, Ganco Bumi dan Ganco Laut!
Kapan  kejahatan akan  berakhir di dunia ini? Apakah orang-orang dunia bersilatansepertidia yang selalu harus turun  tangan  sementara  mereka  yang  berwenang  dan berkuasa  seolah-olah  buta  mata  dan  buta  hati  tidak melihat dan merasakan semua apa yang menyengsarakan rakyat? Malah secara diam-diam bersekutu dan menerima hadiahdari persekutuan jahanam itu!
Memasuki mulut jalan yang menuju kota, Pendekar 212 Wiro Sableng semakin memperlambat lari dua ekor kuda penarik kereta. Malam ini dia akan mulai melakukan satu pekerjaan besar dan berbahaya.
Di belakangnya di atas kereta yang terbuka, mendekam angker sebuah  peti  mati sangat  besar,  berwarna  hitam pekat.
Pada kayu penutup peti mati kelihatan deretan angka 212,  ditera  besar-besar  dengan  cat  putih.  Angka-angka seperti itujuga terdapat padatiapsisi peti mati.
Di atas peti mati hitamitu duduk Ken Cilik. Tidak seperti biasanya,   saat   itu   binatang   ini   sama   sekali   tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Dia duduk tak bergerak. Kedua   matanya   memandang   ke   depan.   Seolah-olah mahluk ini paham apa yang akandilakukan Pendekar 212 Wiro   Sableng,   orang  yang   kini   dianggapnya   sebagai tuannya  sejak  Ranalegowo  tewas  dibunuh  orang-orang

Ganco Item.
Kereta  semakin jauh  masuk  ke  dalam  kota,  Jepara diselimuti kesunyian. Kereta bergerak menuju pusat kota dan akhirnya berhenti di pintu gerbang sebuah bangunan besaryangtidak lainadalah gedung Kadipaten.
Saat  itu  Adipati  Jepara  sedang  bertugas  di  selatan. Karena itu penjagaan di gedung tidak seberapa ketat. Di pintu  gerbang  sama  sekali  tidak  ada  pengawal.  Satu- satunya  pegawai  tampak  tidur  mendengkur  dekat  kaki tanggagedung.
Pendekar 212 memasang telinganya. Lalu memandang berkeliling. Sepi, tak ada sesuatupun yang bergerak. Wiro tepuk pinggul duaekor kuda penarik kereta.
Kedua  binatang  ini  melangkah  perlahan.  Kereta  ber- gerak  melewati  pintu  gerbang  lalu  berhenti  di  depan tangga, tak berapa jauh darisebuah arca.
Dari  lantai  kereta  Wiro  mengambil sebuah  potongan kayu.  Benda  ini  dilemparkannya  ke  arah  pengawal  ber- muka bopeng yang tertidur mengorok. Potongan kayu itu tepat jatuh dan masukke dalam mulut pengawal yang me- nganga.
Sesaat  masih terdengar suara dengkur  pengawal  itu, lalu  diam.  Menyusul  suara  seperti  tercekik.  Kemudian tampak  pengawal  itu  menggapai-gapai  kelagapan. Sadar ada  sesuatu  di  dalam  mulutnya,  cepat-cepat  dia  me- muntahkan. Potongan kayu melesat dari dalam mulutnya, jatuh ke dekat kakinya. Dengan rasa tak percaya, penuh heran pengawal ini mengambil potongan kayu itu.
"Edan!" rutuknya. "Bagaimana kayu ini bisa ada dalam mulutku..."
Justru  pada  saat  memaki  itulah  pengawal  ini  baru menyadari kalau di depannya ada sebuah kereta di tarik dua ekor kuda besar. Di atas kereta duduk tak bergerak seorang pemuda berambut gondrong, berikat kepala kain

putih.  Lalu  pengawal  ini jadi  mengkeret  ketika  matanya membentur peti mati besar di atas kerta. Tak pernah dia melihat petimatisebesar danseangkeritu. Seekor monyet duduk di atas peti mati itu, memandang dengan sepasang matanya  yang  berkilat-kilat  walaupun  dalam  kegelapan malam.
Si pengawal menggosok kedua matanya beberapa kali. Dia mengira tengah bermimpi. Ketika kereta dan saisnya tetapterpampang didepannya sadarlah pengawal ini kalau dia tidak bermimpi. Tiba-tiba saja dia ingat bahwa malam itu adalah malam Jum'at Kliwon!
"Kereta  hantu!"  itu  kini yang terpikir dalam  benak si pengawal.  Kuduknya  mendadak  sontak  menjadi  dingin. Segenap persendiannya jadi bergetar. Dia berusahaberdiri, tapi pandangan mata sais kereta membuatnya laksana di pantekketangga batu dimana dia duduk saat itu!
Dalam keadaan seperti itu pengawal ini coba memper- hatikan  kaki-kaki dua ekor  kuda  penarik  kereta. Semua kaki-kaki binatang itu ternyata menginjak tanah. Pertanda bahwa yang datang  bukanlah setan atau  hantu.  Hal  ini membuat keberaniannya pulih kembali.
"Orang jelek!  Kau  pengawal yang bertugas di gedung Kadipaten  ini?!"  Pendekar  212  Wiro  Sableng  bertanya dengan suara garang.
Dipanggil dengansebutan orang jelek membuat penga- walitumarah.
"Orang di atas  kereta!  Mulutmu  kurang ajar! Apa  ke- perluanmu  datang  ke  gedung  Kadipaten  malam-malam. Hanya  setan  yang   masih   gentayangan   malam-malam begini! Kau ini manusia atau setan?!"
"Dua-duanya!" jawab  Pendekar  212  dari  atas  kereta. Tangan  kanannya  memutar-mutar cambuk  panjang yang dipegangnya  hingga  mengeluarkan suara  berdesing  ber- ulang-ulang.

Mendengar  jawaban  Wiro  sesaat  pengawal  itu  jadi melengak.  "Jangan  berani  main-main  dengan  pengawal Kadipaten!" kertaknya. Lalu dengan marah tangannya dige- rakkan ke pinggang untuk mencabut goloknya.
Cambuk  di  tangan  Wiro  melesat.  Ujung  cambuk  ini cepat sekalitelah melibat pergelangan tangan si pengawal, terangkat begitu rupa hingga dia tidakbisa menggerakkan- nya  untuk  menghunus senjatanya.  Pengawal  ini jadi ter- nganga dan berubah tampangnya.
"Kalau  kau cabut golokmu, aku akan jadi setan yang akan menjiratbatanglehermu!"
Wiro gerakkan tangannya. Ujung cambuk yang melibat lengan pengawalterlepas.
Ancaman Wiro tadimembuat si pengawal menjadi ragu. Tetapi  begitu jiratan  pada  lengannya  lepas,  dia  malah membentak.
"Setan manusia! Jangan kau beranimembuat keonaran digedung Kadipaten!"
"Siapa yang  membikin  onar!  Bukan  kau  duluan yang hendak mencabut goiok menyerangku?"
"Setan manusia! Kau memasuki tempat ini tanpa izin- ku!" Wiro menyeringati.
"Setan  manusia tidak  perlu  minta  izin  pada  manusia jelek sepertimu!" sahut Wiro. "Aku datang mencari seorang Bintara  bernama  Anggoro!  Aku  tahu  dia  ada  di  dalam gedung. Lekas panggil ke mari!"
"Bintoro Anggoro atasanku! Keperluan apa kau mencari- nya?!"
"Tak perlu banyak tanya. Kau panggil saja Bintara itu. Cepat!"
"Bintoro Anggoro sedangtidur."
"Kalau begitubangunkan!"
Pengawal bopeng ituterdengar menggrendeng. "Kurang ajar! Kau ini serta manusia berotak miring rupanya! Lekas

minggat dari hadapanku! Atau kauakan menyesal!"
Untuk   kedua   kalinya   pengawal   ini   menggerakkan tangannya ke pinggang. Sekali ini dia sempat mencabut senjatanya.   Namun  sebelum  dia   bergerak   lebih  jauh cambuk di tangan kanan Pendekar 212 kembaliberkelebat dan tahu-tahu batanglehernya sudah terjirat kencang.
"Kau panggil Anggoro atau kuremuk batang lehermu!" mengancam Wiro.
Lidah pengawal yang lehernya terjirat cambuk itu mulai menjulur.  Matanya  mulai  mendelik.  Goloknya  terlepas jatuh. Tersendat-sendat terdengar suaranya.
"Ja...jangan.  Aku...aku  akan  panggil  Bintoro  Anggoro. Aduh...Lepaskan..."
Wiro lepas dan jiratan cambuk. "Katakan pada atasan- mu itubahwa Malaikat Maut menunggunya di tempat ini!"
"Malaikat...malaikat Maut?"
"Ya,   Malaikat   Maut!"  jawab   Pendekar  212.  "Lekas panggil Bintara itu!" hardiknyakemudian.
Sambil pegangilehernyayang masihsakitakibatjeratan cambuk tadi, pengawal ini larimasuk ke dalam.
Saat itu sesosok tubuh mendatangi dari ruang dalam, langsung  memapasi.  "Pengawal!  Ada  apa  kau  bergegas memasuki  gedung!  Tugasmu  berjaga-jaga  di  luar!  Tadi kudengar kauseperti bicara dengan seseorang! Ada siapa diluar sana?!"
Ucapan dan pertanyaan yang beruntun ini membuat si pengawal jadi tergagap sesaat.
"Hai! Ada siapadi luar?" bentak orang tadi.
"Malaikat Maut!" si pengawalakhirnya menjawab.
Orang  yang  tadi  bertanya  kertakan  rahang.  "Malam- malam begini akutidak suka ada orang bicara main-main denganku!"
"Maafkan aku Perwira. Tapi di luar sana memang ada seorang  mengaku  Malaikat  Maut.  Dia  mencari  Bintoro

Anggoro."
Orang yang dipanggil Perwira itu menatap ke arah pintu depan yang terbuka. Lewat pintu dia melihat di luar sana ada dua ekor  kuda, sebagian  ujung kereta  lalu seorang pemuda  duduk  di  atas  kereta.  Dari  tempatnya  berdiri perwira ini tidak dapat melihat peti mati besar di bagian belakang   kereta.   Namun  dia  sempat   melihat  seekor monyet duduk menangkring di atas bahu kiri pemuda yang bertindak selakusais kereta itu.
"Datang    malam-malam    begini,    membawa   seekor monyet. Tamu aneh..." kata si perwiradaiam hati. Lalu dia berpaling pada pengawal tadi. "Kau teruskan memberitahu Bintoro Anggoro. Aku akan menemui tamu tak diundang itu."
Perwira tadi lalu cepat-cepat menuju ke bagian depan gedung Kadipaten. Langkahnya serta merta terhenti begitu dia  melihat  apa  yang  ada  di  atas  kereta,  di  belakang pemuda yang duduk memegang cambuk.
"Peti mati. Besar sekali…" kata perwira ini dalam hati. Lalu dia berpaling menatap heran pada pemuda di atas kereta. Beberapa saat kemudiandia menegur.
"Aku Ario Gelem, Perwira Muda Kadipaten Jepara."
Wiro angguk-anggukkan kepala. Matanya memperhati- kan Ario Gelem tapitidak berkata apa-apa.
Sikap Pendekar 212 itu membuat sang perwira merasa tidak enak. Maka diapun melanjutkankata-katanya.
"Saudara,  kau  memasuki  kawasan gedung  Kadipaten malam-malam begini. Membawa seekor moyet dansebuah peti mati besar. Apa keperluanmu?!"
"Aku Malaikat Maut! Datang mencari Bintoro bernama Anggoro untukminta pertanggungan jawab!" jawab Wiro.
Perwira  muda  itu  terkesiap  sesaat.  Dia  mengusap dagunya  beberapa  kali. Setelah  bergumam  dia  berkata, "Aku tidak tahu apakah saat ini aku berhadapan dengan

orang gila atau apa. Tapi  kuharap jangan  berani  bicara main-main. Lekas pergidarisini!"
"Malaikat Maut tidak ada yang gila! Ingat hal itu baik- baik  Perwira!"  kata  Wiro  pula  sambil  menyeringai.  "Aku datang untuk minta nyawa Bintoro Anggoro!"
Ario Gelem  hendak tertawa  mendengar  kata-kata  itu. Namun ketika dilihatnya wajah Pendekar 212 memancar- kan sikap dingin dan kedua matanya memancarkan sinar maut, bahkan seringainya juga menebar hawa kematian, perwira inijadi tercekat juga.
"Ada  urusan spa  kau dengan  bawahanku  itu?" tanya Perwira Muda Ario Gelem.
"Kau akan dengar sendiri kalau dia sudah muncul di sini!" jawab Wiro.
Dua orang melangkah  keluar dari  ruangan dalam.  Di sebelah  belakang  adalah  pengawal  muka  bopeng  tadi sedang  di  depannya  seorang  lelaki  muda  yang  hanya mengenakan sehelaipakaiantidur. Di tangan kanannya dia membawa sebilah pedang.
"Anggoro, orang ini mencarimu. Kau kenal dia?" berkata Ario Gelem.
Bintara itu memandangi wajah Wiro sesaat lalu meng- gelengkan kepala.
Saat  itu  Ken  Cilik  yang  ada  di  bahu  Pendekar  212 keluarkan  suara  pekikan  tiada  henti.  Kedua  matanya melotot memandang Bintoro Anggoro. Binatang ini tiba-tiba melompat menerkam kepala Bintara itu.
"Monyet  sialani  Kau  minta  kugebuk!"  maki  Anggoro. Tinju kanannya dihantamkan kekepala Ken Cilik.
Diatas kereta Pendekar 212 gerakkan tangan kanannya sedikit. Serangkum  angin  deras  menerpa  ke  arah  dada Anggoro.  Bintara  ini  terjajar  setengah  langkah.  Hal  ini menyebabkan jotosannya kearah kepala Ken Cilik tak ber- hasil menemui sasaran.

"Ken Cilik! Kembali!" Wiro memanggil.
Monyet coklat itu menjerit beberapa kali, menjatuhkan dirike lantailalumelompat-lompat ke atas punggung salah seekor kuda penarik kereta. Dari sini Ken Cilik melompat kembali  ke  atas  bahu  Wiro.  Wiro  usap-usap  punggung binatang ini seraya berkata, "Tenang sahabatku. Aku tahu kau sudah mengenalisipembunuh itu. Tenang..."
Ketika tadi Wiro menggerakkan tangan melepas pukul- an tangan kosong yang mengandung tenaga dalam untuk menyelamatkan  Ken Cilik dari  pukulan Anggoro,  Perwira Muda bernama Ario Gelem itu sempat melihat gerakan ini. Dalam hati dia segera memaklumi kalaupemudagondrong di atas kereta adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Perwira ini berpaling padaAnggoro laluberkata.
"Dia mengaku bernama  Malalkat  Maut.  Punya urusan denganmu!" sambung Ario Gelem.
"Orang gila! Katakan apa kepentinganmu membangun- kanku malam-malam begini?!" membentak Anggoro.
"Sekitar sepuluh hari lalu kau membunuh seorang tua bernama  Kioro  Mertan  di  sebuah  hutan  dekat  Kudus. Benar?!"
Paras Bintoro Anggoro berubah. Sesaat diamelirik pada Perwira Muda disampingnya lalumenghardik kearah Wiro.
"Pertanyaan gila apa yang kau ajukan ini?!"
Paras  Wiro  tidak  bergeming.  "Aku  hanya  ingin  men- dengar apa yang kukatakan tadi benar atau tidak!"
Anggoro  tidak   menyahut.   Tangan   kanannya   meng- genggam pedangnya kuat-kuat.
"Memang benar!" tiba-tiba Anggoro menjawab. "Sepuluh hari laluaku membunuh seorang lelaki tua bernama Kioro Mertan! Tapi dia adalah  kaki tangan gerombolan Ganco Item!"
"Bintoro Anggoro! Kau bukan saja pandai membunuh dengan pedangmutapi juga pandai bersilat lidah memutar

balik kenyataan!"
"Bangsat!Apa maksudmu!"
"Orang  tua  korban  pembunuhan  kejimu  itu  adalah kakekku.  Dia  adalah  juga  mertua  dari  Rana  Legowo pamanku yang  menjadi  kepala  desa Jatingaleh.  Gerom- bolan  Ganco  Item  menyerbu  desa,  membakari  rumah penduduk,   merampok   dan   membunuh.   Ketika   Kioro Mertan melakukan pengejarankau secara kejimembunuh- nya!"
"Aku tidak segila  itu  membunuh orang!  Kioro  Mertan pantas mati karena dia memang kaki tangan gerombolan Ganco Item!"
"Bukan kakekku itu yang jadi kaki tangan gerombolan Ganco Item. Tapi kau! Kau menerima sejumlah uang untuk persekutuan  bejatmu  dengan  manusia-manusia  durjana itu!"
"Kurang ajar!  Pembohong  besar!  Fitnah jahat!" teriak Bintoro Anggoro lalu menghunus pedangnya dan langsung menyerbu Wiro yang masih duduk di atas kereta.
Wiro putar tangannya. Cambuk panjang berkelebat di udara  mengeluarkan suara  keras,  menghantam  ke arah mukaAnggoro. Bintara ini terpaksa pergunakan pedangnya yang tadi dipakai  membacok  untuk  menangkis. Cambuk dan  pedang saling beradu. Ujung cambuk dengan cepat melilit badan pedang. Tapi dengan cerdik Bintara ini tarik pedangnya  kuat-kuat  hingga  cambuk  putus  menjadi  be- berapa potongan.
"Kau pasti kaki tangan Ganco Item! Kau juga pantas kuhabisi  saat  ini!"  teriak  Bintoro  Anggoro.  Kembali  dia menyerbu  Wiro  yang  saat  itu  masih  tetap  duduk  tak bergerak di bagiandepankereta sementara duaekor kuda penarik  kereta  mulai  gelisah  sedang  Ken  Cilik  mulai memekik-mekik.
Pedang menderu. Wiro miringkan pinggangnya yang jadi

sasaran Brett! Pakaian putihnya masih sempat disambar ujung pedang. Ketika Anggoro berusahamembuat gerakan membalik untuk membacok kedua kalinya, Pendekar 212 mendahului  dengan  menghunjamkan  kaki  kanannya  ke dada Bintara ini.
Anggoro  memekik  keras.  Tubuhnya  terpental  empat langkah. Pedangnya lepas, mental ke udara.
Ketika jatuh kembali, Wiro sudah ulurkan tangan dan menangkap pedang itu.
"Dengan  pedang  ini  dulu  kau  membunuh  kakekku! Dengan  pedang  ini  pula  nyawamu  akan  kuhabisi!"  kata Wiro masih dari atas kereta. Sementara Anggoro tampak berdiri terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dadanya yang serasa pecah. "Bintoro Anggoro! Sebelum kau mati, jawab dulu satu pertanyaanku! Gerombolan Ganco Item menculik anakgadiskepaladesa Jatingaleh! Kau pasti tahu ke mana mereka   membawanya!   Kau  hanya   punya  waktu  satu kejapan mata!"
"Tunggu!" Tiba-tiba Perwira Muda bernama Ario Gelem berseru.   Dia   maju  dan  tegak  antara   kereta  dengan Anggoro, "Saudara! Apapun urusanmu denganbawahanku! Tidak  berarti  kau  bisa  bertindak  seenaknya!  Aku  yakin Bintoro  Anggoro  punya  cukup  bukti-bukti  bahwa  Kioro Mertan adatah kaki tangan gerombolan Ganco Item. Dia membunuh orang tua itudalam menjalankan tugas!"
"Tugas?  Apakah  kau  yang  memberikannya  tugas  itu Perwira Muda? Kau tak perlu menyebut seribu bukti. Aku tahu  siapa   kakekku!  Tanyakan   pada  bawahanmu  itu berapa uang yang didapatnya rnenjadi kaki tangan Ganco Item! Ada perajurit-perajurit Kadipaten yang menjadisaksi hidup!  Adalah  tolol  kalau  kau  tidak  mengetahui  siapa sebenarnya anak buahmu yang satu ini!"
Merah padam wajah Ario Gelem.
"Siapa  dia  nanti  bisa  kuperiksa. Sekarang  harap  kau

segera tinggalkan tempat ini!" kata Perwira Muda itu pula.
Wiro menyeringai. "Aku tidak akan meninggalkan tem- pat ini tanpa jazad kotornya!" jawab Pendekar 212. Lalu tangan kanannya menarik sebuah palang kecil di bagian kanan kereta. Terdengar suara berkereketan. Penutup peti mati hitam secara aneh bergerak membuka.
Tampang Bintoro Anggoro menjadi pucat mengkerut.
Wiro melompat turun dari atas kereta. Tapigerakannya dihalangi oleh Ario Gelem.
"Kau   membuat   aku   kehabisan   kesabaran   Perwira Muda!" ujar Wiro.
"Tinggalkan tempat ini! Itu perintahku!"
"Persetan dengan perintahmu! Aku bukan bawahanmu!"
"Kalau  begitu  kau  minta  digebuk!"  mengancam  Ario Gelem.
"Perwira tolol! Kau makan dulu ini!" teriak Wiro marah. Lalu tangan  kanannya  menyambar  ke dada Ario Gelem. Perwira  ini  cepat  menghindar  sambil  memukul  lengan Pendekar  212  dari  bawah.  Lalu  terdengar  Ario  Gelem mengeluh.  Perwira  ini  mundur  sambil  pegangi  lengan kanannya yang saat itu tampakbengkakkemerahan. Sam- bil menahan sakit, dengan beringas Ario Gelem kerahkan tenaga dalam lalu lepaskan satu pukulan setelah terlebih dahulu merapal satu ajikesaktian.
Biasanya diajarangmengeluarkanilmunya ini tetapi se- telah bentrokan tadi dan sebelumnya dia telah pula me- nyaksikanbagaimana Wiro me lepaskantenaga dalam yang dapat membuat Anggoro terjajar, maka dia lalu menghan- tam sambilkerahkan tenaga dalam.
Dua  kuda  penarik  kereta  meringkik  keras.  Monyet di atas  bahu  Wiro  ikut  memekik  lalu  melompat  ke  atas penutup petimati yang telah terbuka.
Wiro merasakan ada hawa yang sangat dingin meng- hantam kearahnya. Dia cepat menghindarsambil siapkan

tangan  kiri  untuk  menangkis  serangan  lawan  dengan pukulan  tangan  kosong  pula.  Tapi  begitu  dia  kerahkan tenaga dalam, hawa dingin yang datang menyerbu men- dadak  berubah  menjadi  hawa sangat  panas!  Perubahan secara mendadak dari dingin ke panas ini membuat Wiro merasakansekujur tubuhnya sepertidisengat.
Jika diikutinya nafsu amarahnya saat itu ingin saja dia melepas  pukulan  sinar  matahari.  Namun  karena  lebih mementingkan balas dendamnya terhadap Anggoro maka Wiro cepat keluarkan ilmu silat Orang Gila yang dipelajari- nya dari Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya sempoyongan hebatsepertihendak roboh. Tangan kanannya yang meme- gang pedang milik Anggoro diangkat ke atas. Untuk sesaat senjata itu tampakbergoyang keras akibat terjanganangin pukulan Ario  Gelem.  Perwira  ini sendiri tampak terkejut ketikamelihatbagaimana pedang itu secara aneh bergerak kian kemari lalu tiba-tiba sekali menyusup di antara angin pukulannya dan menusuk kearah perutnya!
Sambil  berseru  keras Ario Gelem terpaksa  melompat mundur langsung cabut golok di pinggangnya.
Trang!
Terdengar suara berdentrangan ketika golok di tangan Ario Gelem dan pedang di tangan Wiro saling bentrokan. Wiro  merasakan  tangannya  bergetar  keras.  Ario  Gelem merasa bahwa dia memiliki tenaga luardan tenaga dalam yang lebih ampuh dari lawannya.  Langsung saja  Perwira Muda ini hendak kirimkan satu bacokan ke bahu lawannya. Tapialangkah kagetnya dia ketikadisadarinyadiatidaklagi dapat menggerakkan tangan kanannya yang mengacung- kangolok itu.
Apa yang terjadi atas dirinya? Dicobanya mengangkat kaki kiri. Tak bisa. Kaki kanan. Juga tak bisa. Tangan kiri. Sama  saja.  Astaga!  Ternyata  dia  telah  berada  dibawah pengaruh satu totokan yang hebat! Sekujur tubuhnya tak

bisa digerakkan lagi. Dia tegak seperti patung yang tengah mengacungkan senjata!
"Perwira tolol! Seharusnya  kau  menghukum  bawahan seperti ini! Bukan malah melindunginya!"
"Kalau kauberanimelakukan sesuatu terhadap Bintara itu, aku akan mencarimu sampai dapat dan menghukum- mu!"
Wiro tertawa mendengar ucapan Ario Gelem itu. "Hukum hanya  berlaku  untuk  orang-orang tolol  sepertimu!"  kata Pendekar  212.  Lalu  dia  me langkah  mendekati  Anggoro yang saat itu berdiri dalam keadaan ketakutan setengah mati.   Ken   Cilik   menjerit   keras.   Monyet   ini   tiba-tiba melompat  ke arah  Bintara  itu,  mencengkeramkan  kuku- kukunya di bahu lalu menghunjamkan taringnya di leher Anggoro.  Bintara  ini  menjerit  kesakitan  Darah  mengucur dari luka-luka kecildi bahu dan lehernya.
"Ken Cilik! Lepaskan orang itu! Dia harus mati dengan cara lain!" kata Wiro seraya angkat tangan kanannya yang memegang pedang.
Ken Cilik memekik keras lalu melompat ke atas bahu Wiro.
"Apa  yang  hendak  kau  lakukan  padaku...?!"  tanya Anggoro dengan suara gemetar.
"Ke  mana  gerombolan  Ganco  Item  membawa  anak gadis Ranalegowo?! Jawab!"
"Aku...aku  tidak  tahu.  Tapi  gerombolan  itu  kudengar menuju ke selatan. Mereka...mereka..."
"Mereka apa?!" bentak Wiro. Tangan kirinya menjambak rambutAnggoro.
"Mereka...mereka    hendak    merampok    benda-benda pusaka Keraton Demak yang disimpan di Mesjid Besar..."
Wiro lepaskan jambakannya. Dia berpaling kearah Ario Gelem. "Perwira, kaudengarsendiri ucapan itu keluardari mulutnya.   Kalau   bawahanmu   ini   bukan   kaki  tangan

gerombolan  Ganco  Item,  bagaimana  dia tahu  apa yang akan dilakukan orang-orang itu?! Lalu apakah dia pernah melaporkan padamu gerakandan rencana kejahatan yang hendak  dilakukan  gerombolan  Ganco  Item  itu?!"  Wiro menyeringai.  "Aku  tak  perlu  jawabanmu  Perwira.  Tapi sekarang kau  punya otak  untuk  memikirkan siapa anak buahmu ini sebenarnya!"
Paras Ario Gelem tampakkelam membesi.
Selagi Wiro bicara kepada Perwira Muda itu, Anggoro berusaha mencari kesempatan untuk melarikan diri. Tapi Wiro  bukannya  tidak  tahu.  Baru  saja  orang  ini  sempat memutar tubuhnya, Pendekar 212 dengan cepat menusuk- kan pedang milik Anggoro yang adaditangan kanannya.
Bintara  itu terdengar  menjerit  keras. Ario  Gelem ter- beliak menyaksikan kejadian itu. Darah tampak mengucur dari  lambung  yang  tertembus  pedang.  Anggoro  hanya mampu tegak sesaat Tubuhnya kemudian rebah dekat kaki tangga. Suara jeritannya makin perlahan lalu berubahjadi erangan. Ketika nyawanya putus, Wiro cabut pedang yang menancap di perut orang itu. Lalu mayatAnggoro dilempar- kannyakedalam peti mati.
Wiro melompat ke atas kereta. Ken Cilik melompat pula ke  atas  punggung  salah  seekor  kuda  penarik  kereta. Binatang ini memandang menyeringai kearah Ario Gelem. Di atas kereta Wiro mengambilsebuahkantong tebal berisi bubuk berwarna abu-abu. Bubuk ini ditebarkannya di atas mayatAnggoro.
Itulah bubuk penangkal bau busuk yang didapat Wiro dari Haji Tan si penjualpetimati.
"Perwira Muda...," kata Pendekar 212 kemudian pada Ario Gelem. "Ingat baik-baik. Jika kau berusaha mengejar- ku,  peti  mati  ini  masih cukup  besar  untuk  ketambahan mayatmu!"
Ario Gelem tidak mengeluarkan suara apa-apa. Hanya

matanya  saja  yang  memandang  berapi-api  pada  Wiro, Pendekar 212  mendorong palang  kayu di  bagian  kanan kereta.   Terdengar   suara   berkereketan   ketika   papan penutup peti mati yang bertuliskanangka 212 itu bergerak meninggalkan halaman gedung Kadipaten.
Wiro usap kepala monyet yang kini duduk di sebelah- nya.
"Baru satu Ken Cilik. Baru satu! Masih ada tiga mayat lagi akan mengisi peti mati itu, kecuali jika ada yang mau ikutan!  Mari,  Ken Cilik.  Kita akan  mengambil  mereka di selatan..."
Ken Cilik  menyeringai  lalu  membuka  mulutnya  lebar- lebar.  "Kwik...kwik...Kwiikkkkkl"  Kera  ini  memekik  dan melompat duduk di samping Wiro.
ANGIN BERTIUP KENCANG. HUJAN YANG TADI HANYA TURUN   RINTIK-RINTIK   KINf   MULAI   MEMBESAR   LALU MENCURAH   LEBAT.   KERETA   ITU   MELUNCUR   TERUS SEPERTI  TIDAK  PERDULI  AKAN  LEBATNYA  HUJAN  DAN PEKATNYA  KEGELAPAN  MALAM.  BENAR-BENAR  SEPERTI KERETA HANTU!
***


WIRO SABLENG

PETI MATI DARI JEPARA


1

PENDEKAR   212   Wiro   Sableng   berdiri   di   depan rerumpunan    pohon    bambu    di    puncak    bukit. Memandang ke depan, jauh di bawahnya terhampar pemandangan yang sangat indah berupa suatu pedataran yang dipenuhipetak-petak tanah persawahan.
Sebuah sungai kecil berair bening yang berkilauan ter- timpasinar matahari pagi membelah pedataran persawah- an dan daerah perumahan penduduk. Sungal kecil itu se- lanjutnya mengalirke barat, melewatitambak-tambak IKan danakhirnya bermuara di laut biru.
Wiro memalingkan kepalanya ketika di ujung jalan kecil di bawahnya terdengar suara hiruk pikuk. Seorang lelaki tua  dilihatnya  berjalan  terburrogkuk-bungkuk.  Di  tangan kanannya  ada sebatang  kayu  kecil yang selalu  dikibas- kibaskan. Sedang didepannya  berjalan  beriringan sambil mengeluarkan suara riuhtiada hentiserombongan itik yang jumlahnyalebih dari tiga puluhekor.
Wiro segera  menuruni  bukit,  menghampiri  orang tua pengangon  itik  dan  melangkah  di  sampingnya.  Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangi si pemuda lalu sepertitakacuhdia terus sajaberjalan.
"Bapak  tua,  "Wiro  menegur.  "Apakah  yang  di  bawah sana itu kampung Jatingaleh?"
Yang ditanya berpaling sambii kerenyitkan kening dan kibas-kibaskan tongkat kayu di tangan kanannya.
"Kampung   katamu?   Dulu   memang   hanya   sebuah kampung. Tapi  kini telah  berubah  menjadi sebuah desa

besar. Subur makmurdan tentram. Penduduknyabercocok tanam, punya tambak dansawahladang. Juga banyak yang jadinelayan."
"Ah, akutidakkelirudatang ketujuan," kata Wiro dalam hati  dan  penuh  gembira.  Desa  Jatingaleh.  Dulu  hanya merupakan sebuah kampung. Di situ menurut gurunya dia punyai seorang paman bernarna Ranalegowo, Wiro benar- benar merasa gembira.
Sebentar lagidia akan bertemu adikmendiangayahnya. Mungkin  juga  dengan  saudara-saudara  sepupunya.  Dia tidak tahu pamannya punya anak berapa. Selama ini dia merasa hidup sebatang kara, tidak kadang tidak saudara. Namun hari ini dia akan bertemu dengan seorang paman, laluseorang bibi tentunya.
Wiro   ingat   ucapan   gurunya   beberapa   tahun   lalu.
"Menurut  apa  yang  kuketahui...,"  berkata  Eyang  Sinto Gendeng saat sebelum  melepas  muridnya  itu  pergi.  "Di kampung  Jatingaleh  dekat  Jepara  kau  punyai  seorang paman.   Namanya...nggg…   kalau   tak   salah   namanya Ranalegowo.  Bila  kau  punyai  waktu  sambangi  dia.  Itu tandanya  kita  orang  Jawa  yang  tidak  lupa  dan  selalu menghormat pada orang tua."
"Kau bukan orang sini..." kata orang tua pengangon itik.
Wiro tersenyum. Saat itu dia sampai di sebuah telaga berair dangkai. Orang tua tadi kembali mengibas-kibaskan tongkatnya, malah kini berteriak, "Mandi, ayo mandi! Cari cacing sekenyang kalian! Hari ini kita harus pulang lebih cepat."
Puluhan  itik  itu  tampak  berserabutan  hangar-bingar masukke dalam telaga. Ada yang berenang berputar-putar sambil mengeluarkan suara memekakan telinga. Ada yang mencelupkan  kepalanya  berulang  kali. Tapi yang  paling banyak adalah menyudu dengan paruhnya di sepanjang tepi  telaga,  mencari  cacing-cacing  besar  yang  memang

banyak terdapat disitu.
Sambil duduk di sebatang tumbangan pohon orang tua pengangon  itik  mulai  menggulung sebatang  rokok. Wiro ikut duduk di sebelahnya.
"Saya memang bukan orang sini," kata Wiro. "Saya ke mari untuk menyambangi seorang paman. Adik ayah saya."
Orang tua itu menoleh sebentar. Dia tidak berkata apa- apa, seperti menunggu Wiro berceritalebih lanjut.
"Saya belum pernah bertemu dengan paman saya itu. Saya tak kenal dia,dia tentu jugatidakkenal saya."
"Kau   mencari   seorang   paman...,"   Pengangon   itik nyalakan rokok yang barusandigulungnya. "Mengapa tidak mencari orang tuamu sendiri?"
"Kedua orang tua saya sudah sejak lama meninggal," jawab  Wiro.  "Mereka  dimakamkan jauh  di  tanah  barat sana."
"Siapa paman yang kau cari itu?"
"Namanya Ranalegowo."
Orang tua yang hendak menghisaprokoknya itunampak berubah    parasnya.    Rokoknya    tak   jadi    dihisapnya. "Ranalegowo katamu, anak muda?" Wiro mengangguk.
"Dia adalah  kepala  desa  kami sejak  lebih  dua  puluh tahunlalu."
"Kalau  begitu saya  beruntung  punya  paman seorang kepala  desa.  Rumahnya  tentu  besar,  kudanya  banyak, ternaknya tidak terhitung..."
Orang tua itu tertawa.
"Rumah kepala desa Jatingaleh memang besar. Tapi dia hidup sederhana.  Dia tidak  memiliki sawah atau  ladang berpetak-petak. Dia tidak memelihara ternak berkandang- kandang. dia  bekerja  keras  memang. Tapi  bukan  untuk menumpuk  kekayaan.  Melainkan  untuk  memberi  hidup yang berarti bagi keluarganya serta membantu penduduk membangun desa."

Orang tua itu hisap rokoknya dalam-dalam, lalu berdiri dan  memandang  lekat-lekat  pada Wiro. Si  pemuda jadi ikut-ikutan berdiri.
"Siapa namamu anak?"
"Wiro,   "jawab   murid   Sinto   Gendeng   tanpa   mau menambahkan Sableng karena dia kawatir orang tua ini bisa punya pikiran macam-macam terhadapnya.
"Anak muda, tahukah kau siapa aku...?" bertanya orang tua bungkuk itu.
"Mana saya bisa menduga," jawab Wiro.
"Namaku   Kioro   Mertan.  Aku   adalah   ayah   mertua pamanmu! Anak perempuanku kawin dengan Ranalegowo. Mereka  punya  seorang  anak  tunggal  yang  kini  sudah menjadi gadis jelitasebayamu. Bernama Sumiati."
Mendengar kata-kata orang tua itu Pendekar 212 Wiro Sableng segera membungkuk dalam-dalam.
"Gusti Allah memang Maha Besar!" kata Kioro Mertan sambil menepuk-nepuk bahu Wiro. "Kalau begitukita harus pulang  ke desa sekarang jugal Agar  kau  lekas  bertemu dengan paman dan bibimu serta cucuku Sumiati itu!"
Orang tua itu memutar tubuhnya. Dengan muka penuh gembira sesaat dia berpaling ke arah kejauhan di mana terlihat  desa  Jatingaleh  dengan  hamparan  sawah  yang padinyamulaimenguning.
Mendadak air muka Kioro Mertan berubah. "Ya Tuhan! Apa yang terjadi didesa!"
Wiro berpaling dan memandang ke jurusan desa. Dari tempat mereka berdiri ditepitelaga itu keduanya melihat asap   hitam   mengepul   dari   atap   beberapa   rumah. Penduduk  tampak  berlarian  kian  kemari.  Di  beberapa jurusan   desa   kelihatan   penunggang-penunggang   kuda bergerak dalam suasana yang onar. Sayup-sayup terdengar pekik jeritdiselingioleh suara ringkik kuda.
"Kebakaran! Desa diamuk api!" teriak Kioro Mertan.

Wiro  menatap tajam  lalu  berkata,  "Kalau ada empat lima  rumah  yang  berjauhan  dimakan  api  dalam  waktu bersamaan,  lalu  penduduk tampak  berlarian sambil  ber- teriak-teriak,   itu   bukan   kebakaran.   Rumah-rumah   itu sengajadibakar! Lihat orang-orang yang menunggang kuda itu!"
Kioro Mertan tidak mendengar lagi apa yang dikatakan Wiro. Dia juga melupakan itik-itiknya yang ada di telaga. Orang   tua   ini   dengan   seluruh   tenaga   yang   biasa dikumpulkannya lari menuruni bukit menujuke desa.
Ketika Wiro dandan orang tua itu sampaidi Jatingaleh mereka  hanya  menemukan  sisa-sisa  kejahatan  biadab menghampar di antara reruntuhan rumah penduduk yang masih dikobari api. Jerit tangis terdengar dimana-mana. Tubuh-tubuh bergelimpangan. Ada yang sudahjadi mayat. Ada yang  masih  meregang  nyawa dengan  badan  penuh luka bekas bacokan atau tusukan.
Kioro  Mertan  menemukan  rumahnya termasuk salah satu yang musnah dimakanapi. Dia berteriak-teriakseperti orang   gila   memanggil-manggil   istrinya.   Dekat  sebuah lumbung  padi  yang  telah  berubah  menjadi  puing-puing hitamtergeletak sosok tubuh seorang perempuan tua. Ada guratan luka yang sangat dalam dipelipis dan pipi kirinya.
"Bune  Wini...!"  teriak   Kioro   Mertan   begitu   melihat istrinya.  Dia  menghambur  dan jatuhkan  diri,  merangkul perempuan itu. "Apa yang terjadi bune. Katakan apa yang terjadi...!"  Dengan  bajunya  Kioro  Mertan  menyeka darah yang membasahiwajahistrinya.
Perempuan itu mengerang panjang tak tahan rasa sakit yang dideritanya. Kedua matanya terpejam.
"Bune...! Bune...! Kau jangan mati bune! Kau tidak boleh mati!"  teriak  Kioro  Mertan  sesenggukan.  Tubuh  istrinya diguncang-guncangnya berulang kali. Saat itu setelah me- mandang  berkeliling  beberapa  kali, Wiro  ikut jongkok di

samping kedua orang itu.
"Pake  ...syukur  kau datang..." terdengar suara sangat perlahan keluar dari mulut perempuan tua itu. Dia bicara dengan kedua mata masih tetap memicing.
"Katakan  apa  yang  terjadi  bune.  Bicara  bune!  Ya Tuhan!"
"Orang-orang jahat itu pakne. Gerombolan Ganco Item! Mereka menyerbu desa. Membakar... merampok... Lekas ke  rumah  anak  kita  pakne  ...  Aku  kawatir..:"  Ucapan perempuan tua ituhanyasampaidisitu.
Kioro Mertan meraung dan mengguncang tubuh itu.
Wiro menyaksikan kejadian it u dengan tanganterkepal.
"Masih  saja  ada  manusia-manusia jahat  biadab  ber- keliaran menimbulkan malapetaka..." katanya geram.
"Bapak tua...," kata Wiro. "Mari saya bantu mendukung istrimu  ke gubuk sana. Ada  balai-balai di depan gubuk. Baiknya kitabaringkan diadi atas balai-balai itu."
"Aku...aku   masih   sanggup   mendukungnya   sendiri," jawab Kioro Mertan. Dan orang tua bungkuk ini memang ternyata mampu mendukung lalu membaringkan jenazah istrinya dialas balai-balai.
"Bapak,  tunjukkan  pada  saya  di  arah  mana  rumah kepaladesa menantumu itu."
Kioro Mertan menyekakedua matanya yang basah. Lalu dengan menggigitbibirdiusap nya keningdan rambut putih istrinya.
Orang tua ini berpaling pada Wiro. Dengan suara ber- getar dia berkata, "Ikuti aku!"
Rumah  besar  di  tengah  desa  itu  tenggelam  dalam korban api.
"Rana!  Rawini!  Sum...!  Dimana  kalian?!"  teriak  Kioro Mertan. Tak ada sahutan. Orang tua ituberteriaksekalilagi sementara Wiro melangkah cepat mengelilingi rumah yang sewaktu-waktu siap ambruk itu, dari atas sebuah pohon

dekatrumah besar yang terbakar terdengar suara pekikan- pekikan aneh. Wiro berpaling. Tampak seekor monyet ber- bulucoklat melompat-lompat kian kemari sambil memekik tiada  henti. Wiro alihkan  pandangannya  ke arah  rumah yang terbakar  kembali. Tiba-tiba dibalik  kobaran api dia melihat adadua sosok tubuh saling berangkulan, tersandar ke dinding bangunan.
Wiro tidak dapat memastikanapakah kedua orang yang saling  berangkulan  itu  satu  lelaki,  satunya  perempuan masih    berada   datam    keadaan    hidup.   Sulit    untuk menerobos masuk ke dalam bangunan yang tengahdilalap api itu. Namun Pendekar 212 masih dapat melihat satu celah  kemungkinan.  Dia  siap  melompat  ketika  tiba-tiba dilihatnya  Kioro  Mertan  dari  jurusan  yang  lain  hendak melakukan  hal  yang  sama.  Namun  orang  tua  ini  tidak menyadari kalau bagian atap dari arah mana dia hendak melompat, akan segera roboh.
"Bapak Kioro! Jangan!" teriak Wiro memperingatkan.
Namun  orang  tua  itu  sudah  nekad.  Wiro  terpaksa bergerak  memutar  lalu  melompat.  Dia  masih  sempat mencekal  lengan  Kioro  Mertan  sebelum  orang  tua  itu melompat.   Begitu  tangannya   memegang  lengan,  Wiro segera  menarik  kencang-kencang. Orang tua itu terseret keras.  Tubuhnya  dan  tubuh  Wiro jatuh  saling  tindih  di tanah.  Hanya  sekejap  setelah  keduanya  terhampar  di tanah, atap bangunan yang dikobari api jatuh ke bawah. Api dan asap hitam menggebubu ke udara. Wiro menarik tubuh Kioro Mertan menjauhi bangunan.
Lalu ditinggalkan orang tua itu, lari ke samping kanan bangunan dandari sini menyusup ke dalam rumah.
Dikeliiingi  oleh  kobaran  api,  tidak  mudah  bagi  Wiro untuk mengangkat dua sosok tubuh itu. Doengan susah payah sementara ujung bajunya ada yang hangus dimakan api sedanglengan kirinya tergurat bendalancip mengucur-

kan  darah,  Wiro  akhirnya  berhasil juga  membawa  dua sosok tubuh itu keluar dari bangunan yang terbakar. Baru saja dia membaringkan tubuh-tubuh itudi tanah terdepgar suara menggemuruh. Seluruh bangunan besar itu roboh. Api  menderu  ke  atas  beberapa tombak. Asap  hitam  di- barengi suara letupanletupan ikut mencuat keudara.
"Rana!   Rawini   anakku!"   terdengar   teriakan   Kioro Mertan. Orang tua ini menghamburke tempat itu, langsung jatuhkan diri di antara dua sosok tubuh yang barusan di- baringkan Wiro di tanah.
Wiro sendiri saat  itu tegak tak  bergerak sambil  me- nekap  luka  berdarah  di  lengan  kirinya.  Kedua  matanya memperhatikandua orang yang barusan ditolongnya. Yang perempuan pastiitu Rawini, anak perempuan Kioro Mertan jelastidak tertolong lagi. Perempuan malang ini telah jadi mayat.   Ada   luka-luka   dalam   berbentuk   aneh   dan mengerikan di beberapa bagiantubuhnya. Luka yang sama juga  kelihatan  di  sekujur  tubuh  suaminya  yaitu  Rana- legowo. Daging pada luka itu bukan saja kelihatanditoreh, tetapi juga seperti dikoyak dan tercongkel ke atas. Rana- legowo ternyata masih bernafas walaupun keadaanya tak mungkin diselamatkan lagi.
Dari   mulutnya  terdengar  suara  erangan.   Menyebut nama seseorang yang tidak begitujelasterdengarnya.
"Legowo...Legowo!   Mana  Sumi...!   Mana  cucuku...?!" Kioro Mertan bertanya dengan suara keras. Orang tua ini membuka bajunya dan menutupkannya ke tubuh Rawini yang penuh luka-luka mengerikan.
"Bapak.." terdengar Ranalegowo berucap.
"Orang-orang  Ganco  Item  menculik  Sumiati.  Mereka juga merampok uang lumbung desa! Tolong... Selamatkan. Jangan pikirkan saya..."
"Jahanam!" kutuk Kioro Mertan.
Wiro berlutut dekat-dekat tubuh Ranalegowo.

"Paman..."   berucap   Wiro   Sableng   dengan   suara tersendat.
Paras Ranalegowo mengernyit. Entah karena menahan sakit atau terkejut oleh suara  Pendekar 212 tadi. Yang jelas kedua matanya yang sejak tadi terpejam kini tampak terbuka.
Wiro melihat tak ada lagi sinar kehidupan pada kedua bola matanya itu. Wiro memegang lengan Ranalegowo.
Ranalegowo   masih   bisa   melihat  walaupun   peman- dangannya  tidak  jelas  lagi.  Samar-samar  dia  melihat seorang pemuda berambut gondrong disampingnya.
"Siapa kau yang memanggilku... pa... paman."
"Sa... Saya Wiro Saksana." jawab Wiro menyebut nama aslinya. "Saya putera Ranawelang, kakak paman..."
Kembali wajah  Ranalegowo  kelihatan mengernyit.  Dia coba berpikir tetapidikala maut hendak datang merenggut jiwanyaituotaknya tak lagibekerja.
"Rana.... welang..." desisnya.
Wiro  usap-usap  kepala  pamannya  "Betul,  saya  anak Ranawelang, kakak paman yang tinggal di barat." Semula Wiro  hendak  menotok  bagian-bagian tertentu dari tubuh Ranalegowo.
Namun  dilihatnya  keadaan  pamannya  itu sulit  untuk ditolong.
Maka dia hanyabisa memandangi dengan hati pedih.
Ketika hidup dia tak pernah mengenal orang ini. Namun dari air mukanya Wiro mengetahui bahwa pamannya peker- ja keras berhati baja. Seorang yang memiliki sikapjantan dan jujur. Bersedia melupakan kesulitan sendiri untuk me- nolong orang lain. "Dia seorang paman yang baik. Sayang aku  hanya  bisa  melihatnya sesaat saja. Apakah ayahku jugamemiliki ciri-ciriseperti paman?" bertanya Wiro dalam hati.
Di atas pohon kembali terdengar pekik monyet coklat

tadi.   Kemudian   terdengar   suara   sesunggukan   Kioro Mertan. Wiro segera tahu apa yang terjadi.  Ranalegowo adikayahnya telah menyusulistrinya.
Dari atas pohon monyet coklat tiba-tiba memekik keras lalu  melompat  ke tanah dan  mengelilingi jenazah  Rana- legowo.
"Ken Cilik  hentikan jeritanmu! Aku tahu  perasaanmu! Kita semua merasa sangat kehilangan..." Terdengar Kioro Mertan berkata sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan.
"Ken Cilik..." kata Wiro dalam hati. "Pasti monyet coklat ini yang dimaksudkan si orang tua. Mungkin binatang ini peliharaan pamanku. Binatang terkadang memiliki perasa- an lebih tajamdan lebih halus dari manusia."
Monyet itutiba-tiba melompat ke atas bahu kanan Kioro Mertan.   Orang   tua   ini   mengusap-usap   punggungnya beberapa kali. Wiro jadi terkejut ketika Ken Cilik tiba-tiba secara tak terduga  melompat  ke atas  bahu  kirinya  lalu menjerit keras membuat sakit telinga sang pendekar. Wiro tak  berani  bergerak,  kawatir  monyet  itu  mencakar  atau menggigitnya.
"Putus telingku!" kata Pendekar 212 dalam hati. Namun setelah  menjerit  lagi  beberapa  kali  monyet  itu  hanya bertengger  diam  di  pundak  Wiro,  malah  menyurukkan kepalanya ke balik rambut gondrong sang pendekar sambil mengeluskan  suara  seperti   merintih.   Walau   dia  jadi merinding kegelian tapi Wiro kini bisa menarik nafas lega.
Dicobanya mengusap kuduk dan punggung Ken Cilik.
Monyet  ini semakin  menempelkan tubuhnya  ke  bahu wiro.  Binatang  itu tampak jinak  namun tetap saja  Wiro merasa agak merinding.
Wiro dan Kioro Mertan melihat kini banyak orang ber- kerumun  berkeliling  di  tempat  itu.  Mereka  adalah  pen- duduk desa yang baru saja mengalami malapetaka hebat

itu. Wajah merekamasih pucat membayangkan ketakutan. Anak-anak menangis dalam dukungan ibu mereka. Semua menatap  pedih  pada  Kioro  Mertan  dan  sosok jenazah kepaladesamereka beserta istrinyayang ikut jadikorban.
"Orang-orang jahatitusudah pergi. Untuk sementara tak adayang perlu ditakutkan," Wiro coba menenteramkan.
"Bantu aku mengurus jenazah warga desa yang menjadi korban," berkata Kioro Mertan dengan hati pedih. Lalu dia ingat  sesuatu.  Orang  tua  ini   memandang  berkeliling. "Gerombolan rampok Ganco Item telah menculik Sumiati cucuku.  Ada  yang  tahu  ke  arah  mana  para  penjahat melarikannya?"
Dua orang menunjuk ke jurusan tenggara.
Kioro Mertan mengangguk. "Memang ada kabar-kabar bahwa  mereka  bermarkas di tenggara.  Di sekitar  hutan belantara  dekat  Kudus. Aku  akan  mengejar  mereka  ke sana. Bahkan sampaike perut bumisekalipun!"
Penduduk desa yang tewas akibat keganasan gerombol- an rampok Ganco Item berjumlah enam belas orang. Sem- bilan letaki, lima perempuan dandua orang anak-anak. Di luar desa Jatingaleh di mana terletak daerah pekuburan kini kelihatan empat belas kubur baru. Dua anak yang jadi korbandikubur satu dengan ibumasing-masing.
Suasana hening mencekam. Di langit sang surya ber- sinar terik menyengat kulit. Tapi agaknya tak seorangpun mau beranjak sampalakhirnya Kioro Mertan, orang paling tua yang adaditempat ituberkata.
"Kalian  semua  kembali  ke  desa.  Lakukan  apa  saja untuk memperbaikikeadaan..."
Satu demi satu orang desaberanjak dari tempatnya.
Namun ada enam orang pemuda dan tiga orang lelaki baya tetap  berada di  pekuburan  itu. Salah seorang dari merekaberkata.
"Bapak Kioro. Kami tadi mendengar maksudmu hendak

mengejar para penjahat. Kami semua disini slap ikut ber- samamu melakukan pengejaran."
"Kalian semua orang-orang jantan yang gagah perkasa;" kata Kioro Mertan dengan hati terharu. "Tapi kalian lebih diperlukan di desa untuk membantu membangun rumah- rumah  yang  musnah.  Biar  aku  sendiri  yang  mencari manusia-manusia puntung neraka itu!"
Sembilan lelaki itu nampak kecewa mendengar ucapan Kioro  Mertan.  Sementara  itu  Wiro  sendiri  dalam  hati bertanya-tanya. "Orang tua bungkuk ini, dia siapakah dan bisa mengandalkan apakah hingga berkataingin mengejar sendiri para penjahat yang telah menculik cucunya itu?"
Satu demi satu  ke sembilan orang  itu  meninggalkan pekuburan.  Ketika  mereka  hanya  tinggal  berdua,  Kioro Mertan berpaling pada Wiro laluberkata.
"Pertemuan kita hanya sampai disini. Aku harus pergi mencari manusia-manusia jahat itu. Aku akan kembali ke desauntuk mengambilkuda."
Lalu  tanpa  menunggu  jawaban  Wiro  orang  tua  itu melangkah ke jurusanduabuahkuburan baru yaitu kubur- an anaknya dan  menantunya. Wiro  mengikuti dari  belakang.
***

WIRO SABLENG

PETI MATI DARI JEPARA

2

Dihadapan   kedua   kuburan   itu   Kioro   Mertan merenung beberapa lamanya. Wiro mengikuti dari belakang.

Di hadapan kedua kuburan itu Kioro Mertan merenung beberapa lamanya. Kemudian terdengar suara orang tua ini berkata.
"Nasibmu tidak beruntung, Wiro. Kau tak sempat mene- mui paman dan bibimu."
"Mungkin   memang   begitu  takdir  saya.  Takdir   kita semua."
Kioro Mertan tersenyum pedih. "Ini cobaan berat buat- ku. Terkadang kita manusia bisa salah berpikir dan men- jadi sesat dalam penderitaan. Mengapa Tuhan mengambil begitu  cepat  orang-orang  baik  seperti  menantuku  dan anakku,  penduduk desa yang tidak  berdosa. Sementara manusia-manusia jahat dibiarkan gentayangan melakukan kekejamantiada taranya..."
"Jangan berpikir sepertiitu bapak. Salah-salah kita bisa jadikehilangan iman terhadap Gusti Allah," kata Wiro.
Kioro Mertan menarik nafas dalam.
"Selamat tinggalanak muda. Aku harus pergi."
"Bapak, tunggu dulu. Saya ingin mengatakan sesuatu," kata Wiro pula.
"Apayang hendakkaukatakan, Wiro?"
"Ranalegowo  adalah  pamanku.  Istrinya  adalah  bibiku dan Sumiati putri mereka adalahsaudara sepupuku. Saya

merasa  punya  kewajiban  untuk  menuntut  balas.  Mohon dimaafkan. Mengingat usiamu yang sudah lanjut, maukah kau mewakilkan kepada saya untuk melakukan pengejar- an?"
Orang tua itu menatap Wiro lama sekali. Lalu dia ber- kata,  "Kepolosan  hati  dan  keberanianmu  sama  dengan menantuku. Pasti ayahmu memilikisifat jantanseperti itu juga. Tetapi tidak anak muda. Urusan  balas dendam ini adalahurusanku. Usiaku memang tua tapi untuk menuntut balas soal umur tidak meniadimasalah.
"Saya  mengerti  bapak  tua.  Namun  yang  kau  hadapi adalah segerombolan manusia-manusia jahat. Yang tidak segan-segan membunuh orang sekalipun perempuan atau anak-anak."
"Kau betul. Siapa yang tidak kenaldengan gerombolan Ganco Item. Kejahatan dan kekejaman merekaiebih ganas dari iblis..."
"Siapa  sebenarnya  penjahat-penjahat  itu,  pak  tua?" tanya Wiro.
"Mereka terdiri dari tiga orang yang memegang pucuk pimpinan. Dua di antaranya bersaudarayaitu Ganco Langit sang kakak, lalu adiknya Ganco Bumi. Yang ketiga dikenal dengan nama Ganco Laut. Ketiganya berkulit hitam legam. Itu sebabnya mereka menyebut diri Ganco Item. Mereka tidak punya tempat tetap. Tapi ada kabar bahwa mereka suka bermarkas di sebuah hutan di timur Kudus. Mereka bisa keluar masuk kota-kota di pesisir utara ini tanpa ada yang berani menganggu..."
"Termasuk  pasukan  atau  perajurit  Kadipaten?" tanya Wiro.
"Jangankan pasukan Kadipaten. Balatentara dari Kota rajapuntidakberani turun tangan..."
"Pasti ada apa-apanya."
"Itu bukan rahasia lagi. Ada kabar yang kusirap bahwa

sebagian dari hasil kejahatan mereka dikirimkan sebagai upeti kepada beberapa orang Adipati di pesisir utara ini, juga dikirim pada pejabat-pejabat tertentu di Kotaraja! Lain dari   itu   kabarnya   mereka  juga   bekerjasama   dengan komplotan  lanun  Tengkorak  Darah  yang  sering  malang melintang di Laut Jawa."
"Bekerjasama bagaimanamaksudmu, pak tua?"
"Bajak  laut Tengkorak  Darah  menjual sebagian  hasil bajakan  mereka  dengan  harga  murah  pada  komplotan Ganco Item. Ganco Item tidakmembayardengan uang, tapi menyerahkan segala kebutuhan makanan atau minuman bagi para bajak. Termasuk perempuan-perempuan!"
Sampai di situ  Kioro  Mertan terdiam.  Dia  ingat  pada cucunya yang diculik.
"Sumiati..." desisnya. "Aku harus melakukan pengejaran sekarang juga!"
Lalu tanpa berkata apa-apa lagipada Wiro orang tua ini lari ke arah desa. Sesaat Wiro perhatikan cara lari Kioro Mertan. Ada  rasa  heran, dalam  diri  Pendekar  212  kini. Orang  tua  bungkuk  itu  bukan  lari  seperti  orang  biasa. Sebentar saja dia sudah lenyap di tikungan jalan di ujung pekuburan.
"Ah, orang tua itu pasti punya ilmu kepandaian. Larinya saja  sebat  sekali.  Aku  telah  menduga  salah  padanya. Untung dia tidak tersinggung. Namun tak bisa kupercayai dia  bakal  mampu  menghadapi  komplotan  Ganco  Item seorang diri. Aku harus menyertainya. Bukankah dia bisa kuanggapsebagai kakek sendiri?" Serta merta Wiro tinggal- kan pula pekuburan itu.
Tapi  baru  bergerak  dua  langkah  tiba-tiba  terdengar suara pekik-pekik keras. Sebuah benda melayang kearah Wiro. Mengira ada yang hendak membokongnya Pendekar 212 segera hendak mengantam. Tapi hup!
Benda yang melayang itu hingga di bahu kirinya. Wiro

berpaling. Dia melihat satu kepala kecil, sepasang mata coklat   yang   bersinar-sinar   lalu   sebuah   mulut   yang menyeringai  memperlihatkan  barisan  gigi-gigi  kecil  putih dan runcing.
"Ken Cilik...! Kau mengejutkanku saja!" kata Wiro.
Monyet di atas bahu kiri Wiro menyeringai lalu memekik beberapa kali.
"Anak  nakal! Apa  kau  mau  ikut  kemana aku  hendak mencari manusia-manusia jahat itu?!"
Monyet coklat itu memekik tiga kali.
"Bagus,  kau  mengerti apa yang aku bilang.  Kau  bisa membantuku. Paling tidak mengenali tiga orang gembong Ganco Item itu."
"Kuik... kuik... kuik..." Ken Cilik kembali memekik.
***

WIRO SABLENG

PETI MATI DARI JEPARA


3

DALAM  hutan  belantara di sebelah timur  Kudus Ganco Langit menyambut kedatangan adiknya dan Ganco Laut yang baru saja kembali dari penjarahan
di Jatingaleh.
Begitu  Ganco  Bumi  melompat  turun  dari  kudanya, Ganco  Langit  memeluk  adik nya  ini  dan  menepuk-nepuk bahunya.
"Bagus!  Kau  ternyata  mampu  bergerak  sendiri!  Satu pertanda bahwa kitasemakin kuat!" kata Ganco Langit.
Ganco  Bumi tertawa  sambil  mengusap-usap  dagunya yang ditumbuhi janggutkasar.
Ganco  Langit  melangkah  mendekati  Ganco  Laut.  Dia juga menepuk bahu kawannya ini seraya bertanya, "Kalian tidak menemui kesulitan?"
"Sama sekali tidak. Pasukan Kerajaan tidak kelihatan mata hidungnya. Apalagi pasukan Kadipaten." jawab Ganco Laut.
Ganco Langit tertawa gelak-gelak. "Mana mereka berani terhadap  kita.  Baru  melihatmu  saja  mereka  sudah  ter- kencing-kencing  ketakutan.  Kalaupun  mereka  tahu  kita hendak menuju satu sasaran, merekasengaja menghindar ke jurusan lain, pura-pura tidak tahu!" Ganco Langit tertawa lagi.
"Eh…  banyakkah  hasil  kita  kali  ini?"  Dia  memandang berkeliling.
"Rejeki  kita  besar  sekali  hari  ini  Langit,"  menjawab Ganco Bumi si adik. "Apa yang kita sangka tidak meleset.

Jatingaleh memang desa kaya. Lihat ini!"
Ganco  Bumi  melangkah  ke  kuda  tunggangannya  ke dekat  kaki  kanannya.  Terdengar  suara  gemerincing  se- waktukantong itujatuhdi tanah.
Ganco  Langit  membungkuk,  membetot  lepas  ikatan kantong  kain  lalu  memasukkan  tangannya  ke  dalam kantong.  Ketika  tangannya  itu  diangkat  kelihatan  dia menggenggam uang perak dan beberapa potong perhiasan dari emas!
Kedua mata Ganco Langit tampakberkilat-kilat.
"Kita  akan  rayakan  peristiwa  besar  ini  nanti  malam!" kata Ganco Langit.
"Cocok!" teriak Ganco Bumi. "Tapi kau belum melihat. Ada  lagi  barang antik yang  kudapat di Jatingaleh!"  kata Ganco Bumi. Dia mengangkat tangannya, memberi tanda pada Ganco Laut.
Orang ketiga dari komplotan Ganco Item ini bertepuk dua kali, seorang anggota komplotan muncul menarik se- ekor  kuda.  Di  punggung  binatang  ini  membelintang se- sosok tubuh yang ditutupi dengan sehelai selimut besar.
Anggota komplotan itu membawa kuda yang ditariknya ke  hadapan Ganco  Langit. Ganco  Bumi  kemudian  men- dekat dan menarik selimut yang menutupi. Begitu selimut tersingkap kelihatanlah sesosok tubuh seorang gadis, ter- geletak menelungkup di atas punggung kuda.
"Walah!  Bokongnya  besar  amat!"  kata  Ganco  Langit. Kedua matanya berkilat-kilat.
Ganco Laut dan Ganco Bumi sampai tertawa bergelak.
"Kau  baru  melihat  bokongnya.  Belum  menyaksikan wajahnya!" kata Ganco Bumi. Lalu di baliknya tubuh yang menelungkup dan masih dalam keadaan pingsan itu. Kini kelihatan  Wajah  gadis  yang  pingsan  itu.  Pakaiannya  di sebelah  dada  terbuka  membuat  payudaranya  tersibak menggelembung  padat.  Rambutnya  yang  panjang  hitam

tergeraihampir menyetuh tanah.
"Wah!  Betul-betul  cantik!"  kata  Ganco  Langit.  "Belum pernah aku melihat perawan secantik ini! Eh, dia masih perawan?"  tanya  Ganco  Langit  seraya  berpaling  pada adiknya.
"Aku jamin Langit," jawab Ganco Bumi.
"Perawan tulen!" kata Ganco Laut pula.
"Anak siapa dia?"
"Ranalegowo."
"Hemmm,  tidak  sangka  kepala  desa  itu  menyimpan barang antik begini rupa. Berkali-kali kite meminta uang perlindungan padanya. Selalu ditolak. Kini malahdia bukan saja  memberikan  uang dan  perhiasan, tetapi juga anak gadisnya!" Tiga pimpinan gerombolan Ganco Item tertawa mengekeh. "Jadikita pesta malam ini?"
"Pesta semalam suntuk!" jawab Ganco Bumi. Anggota komplotan yang adadisekitar situ dan mendengar hal itu serta merta bertempik sorak gembira.
"Karena kalian yang berbuat jasa, kuserahkangadis ini pada  kalian  berdua.  Kalian  boleh  menggarapnya  ber- gantian sepuas hati. Sekali ini akutak apa mendapatsisa. Setelah kita puas, aku akan menyerahkannya pada sese- orang. Aku ada rencana bagus!"
Ganco  Bumi dan Ganco  Laut sesaat saling  pandang. Tidak menyangka pimpinan mereka mau mengalahseperti itu. Saking gembiranya Ganco Bumi dan Ganco Laut saling berpelukan lalu tertawa gelak-gelak.
Ganco Langit menyelinap masuk ke sebuah tenda. Di sini berbaring seorang perempuan muda berbadan gemuk tapi  berdaging  padat.  Tubuhnya  harus  ditutup  dengan sehelai  kain,  itupun  hanya  sebatas  pusat  hingga  payu- daranya yang besarkelihatan putih menantang.
"Saya  tadi  mengintai,"  kata  perempuan  itu  seraya bangkit  dan  duduk.  Payudaranya  yang  besar  kelihatan

memberat kebawah.
"Mengintai?  Lalu  ape  yang  kau  lihat?"  tanya  Ganco Langit.
"Kawan-kawan Ganco Langit datang membawa seorang gadis  berambut  panjang.  Pasti  malam  ini  Ganco  Langit akan  melupakan  saya  dan  berpuas-puas  dengan  gadis baru itu."
"Dia  memang cantik. Tapi aku  lebih suka  menggeluti tubuhnya Jaminten. Gadis itu biar menjadi bagian Ganco Bumi dan Ganco Laut."
"Betul itu?" tanya perempuan itu.
"Rebahkan  tubuhmu  di  sampingku.  Akan  kubuktikan bahwaaku lebih menyukai dirimu:'
Perempuan  gemuk  bernama  Jaminten  tampak  ter- senyum lalu merebah dirinya di atas tikar. Kedua tangan- nya diangkat dan dijadikan bantal pengganjal kepala. Ke- dua ketiaknya yang putih tampak penuh ditumbuhi bulu- buluhitam lebat.
Ganco Langitsuka sekali pada bulu-buluitu. Hidungnya diselusupkan ke ketiak kiri Jaminten. Perempuan itu ter- pekik kecil. Kain yang menutupi auratnya sebelah bawah ditendangnya. Kini dia menelentang terdengar memburu.
Ganco Langit membalik. Nafasnyaterdengarmemburu.
Orang-orang Ganco Item mempunyaikebiasaan tertentu setiap  habis  melakukan  perampokan  Mereka  melarikan dirike tempat persembunyian dengan meninggalkan paling tidak tiga orang anggota di satu tempat. Ketiga anggota komplotan penjahat itu ditugaskan untuk memantau apa- kahada yang melakukan pengejaran. Jika adadan jumlah mereka  tidak  terlalu  banyak  maka  mereka  diharuskan untuk menyerang para pengejar itu.
Sebaliknya  jika  kekuatan  pihak  pengejar  jauh  lebih besar   maka   mereka  akan   membuat  gerakan-gerakan tipuan  sehingga  para  pengejar  memburu  ke  arah  yang

salah.
Hari  itu,  setelah  menyerbu  dan  menjarah  desa  Jati- ngaleh Ganco Bumi menempatkan tiga orang anak buah- nya di sebuah tikungan jalan jauh dari sungai kecil yang membelah desa. Menurut perhitungan Ganco Bumi di Jati- ngaleh yang merupakan desa petani dan peternak tidak ada  orangorang  yang  perlu  ditakuti.  Kepala  desa  yang membekalilmu silat sudah terbunuh. Karenanya tiga orang saja  sudah  dirasakan  cukup  untuk  melakukan  peng- hadangan.  Ketiga  anggota  gerombolan  ini  menunggangi kuda.
Sampai matahari tinggi, tiga orang penjahat itu tidak melihat  adanya  tanda-tanda  bakal  ada  yang  akan  me- lakukan pengejaran.
"Bagaimana kalaukita segera menujuke Kudus saja?"
Salah seorang anggota komplotan berkata.
"Pimpinan memerintahkan kita tetap berada di sekitar tempat ini sampaimenjelang sore. Jika kau mau melanggar perintah dan ingin mendapatkan hajarandari Ganco Bumi, kau boleh saja pergike mana kausuka."
"Tentu saja aku tak berani melanggar perintah. Cuma aku selalu sial. Mengapa aku yang selalu ditugaskan me- lakukan  penghadangan  setiap  kita  selesai  merampok. Sementara  yang  lain-lain  bersenang-senang  menikmati hasil jarahan."
Dua kawanannya tidakmenyahuti.
Tiba-tibaterdengar derap kaki kuda.
"Ada orang datang. Tampaknya cuma sendirian. Kalian bersiaplah!" kata anggota komplotan
Ganco Item yang bertindak sebagai atasan dari kedua anggota lainnya itu. Mereka masuk lebih dalam ke balik tikungan  jalan.  Masing-masing  memegang  hulu  senjata mereka yang  berbentuk  aneh yakni sebatang  besi yang ujungnya melengkung seperti arit tetapi runcing dan agak

pipih. Senjata  ini  mereka se but  Ganco. Senjata  dengan bentuk yang aneh itu mempunyai kemampuan luar biasa. Selain dapat digunakan untuk membacok atau menusuk, Ganco Besi itu bisa pula mencungkil tubuh lawan hingga hatinya  terbetol  keluar.  Dapat  dibayangkan jika  senjata berujung  runcing  berkelik  itu  menancap  di  leher  atau menembus perut lawan. Isinya pasti terbongkarl Selain itu Ganco tersebut bisadiberi bertali atau rantaikecilsehingga dapat dipakai untuk menyerang lawan yang berada dalam jarakjauh.
Derap  kaki  kuda terdengar semakin  keras. Tak  lama kemudian  muncul  seorang  penunggang  kuda  yang  me- macu tunggangannya dengan kencang.
"Cuma  seorang  tua  renta  berambut  putih!"  memberi tahu salah seorang komplotan.
"Bagaimana, akan kitakerjakan?"
Yang  bertindak sebagal  pimpinan di tempat  itu tidak menjawab. Dia tahu apa yang harus dilakukannya. Ganco besi  dipinggangnya  dicabut.  Ternyata  ganco  ini  telah dihubungkan dengan seutas rantai kecil sepanjang hampir duatombak.
Ketika kuda bersama penunggangnya melewatitikung- an,   ganco   besi   itu   diputar   kencang-kencang   lalu   di lemparkan ke depan. Besi berkait ini melesat kearah kaki kudayang berlari cepat.
Lalu terjadilah  hal yang  hebat.  Ujung berkeluk ganco besi mengait kaki kanan depan kuda tunggangan orang tua berambut putih. Binatang ini meringkik keras. Bagiantajam besi  menancap tepat  di  atas sambungan  lututnya.  Lalu ketika ganco itu ditotok keras, binatang yang berlari ken-, cang  ini jadi  hilang  keseimbangannya.  Kuda  itu  masih sempat meringkik sekali lagisebelumjatuhtersungkurdan melemparkan penunggangnyal.
Tiga orang anggota  komplotan Ganco  Item sama  me-

mastikan bahwa orang tua berambut putih itu akan cidera berat  akibat  terpelanting  jatuh  dari  kuda  yang  tengah berlarikencang.Tapi merekakecele.
Si  orang  tua  yang  bukan  lain  adalah  Kioro  Mertan membuat gerakan jungkir balik, menyentuh tanah dengan kedua telapak tangannya  lalu  mengikuti arah  mentalnya dia bergulinganditanah. Di lain saat diasudah melompat tegak dan sebilah parang tergenggam di tangannya. Kedua matanya tampakberkilat-kilat.
"Hemmm... Tua bangka ini boleh juga!" berkata orang yang bertindak selaku pimpinan. "Lekas kalian bereskan dia agar kitabisa bergabung dengan teman-teman!"
Dua anggota Ganco Item majukan kuda masing-masing ke arah Kioro Mertan. Yang satu mendatangi dari kanan, kawannyadarisebelah kirf. Ganco besiditangan keduanya tampak    berputarputar    hingga    mengeluarkan    suara menderu.   Di   dahului  satu   bentakan,   dua   ganco   itu berkelebat deras. Yang di sebelah kanan menderu ke arah leher sedang yang dari kiri menyambar kepelipis.
***

WIRO SABLENG

PETI MATI DARI JEPARA


4

KIORO  Mertan sabatkan  parangnya  ke atas  untuk menangkis serangan ke arah leher. Sambil tunduk- kan  kepala  dia  berusaha  mengelakkan  serangan ganco menderu kekepalanya.
Trang!
Di  atas  kuda,  anggota  komplotan  yang  bentrokan senjata dengan Kioro Mertan jadi terkejut ketika merasa- kan tangannya bergetar keras. Dia cepat mundur sambil menggenggam ganconya yang hampir terlepas. Tapi Kioro Mertan  memang sudah  mengincar  lawan yang satu  ini, begitu ganco yang  menyambar  kepala  lewat di atasnya, orang tua ini memburukedepan.
Parangnya berkelebat.
Orang di atas kuda berteriak keras ketika parang Kioro Mertan   bersarang   dalam   di   paha   kanannya.   Darah mengucur  deras.  Sakit  dan  bingung  orang  yang  cidera berat ini sentakkan kudanya menjauh tapi binatang yang sudah terlanjur ketakutan ini meringkik keras dan berputar ke  kiri  hingga  penunggangnya terhuyung  lalu jatuh  ber- gedebuk ke tanah. Sebelum dia sempat bangun tendangan kaki kiri Kioro Mertan mendarat di kepalanya. Tak ampun lagi orang ini kembali roboh. Kali ini pingsantak berkutik.
"Tua  bangka  jahanam!"  membentak  anggota  Ganco Item  yang  bertindak  sebagai  pimpinan.  Kalau  tadi  dia hanya  memerintah  maka  kini  dia  sendiri  turun  tangan. Kudanya melompat ke depan. Ganco di tangan kanannya menyambar  ke  dada  Kioro  Mertan.  Si  orang tua  cepat

sorongkan parangnya menangkis. Tapi dari belakang satu tendangan menghantam punggungnya.
Kioro Mertan terbanting ke depan.
Trang!
Orang  tua  ini  masih  sempat  menangkis  ganco  yang menyambar  ke dadanya. Selagi  lawan di atas  kuda ter- huyung dankaget dapatkan tangannya terasa pedas orang tua itu cepat balikkandiri tepat pada saat lawan yang tadi menendangnya  dari  belakang  hendak  mengait  lehernya dengan ujung besi berkeluk!
Kioro  Mertan  tusukkan  parangnya  ke  perut  lawan. Orang di atas kuda menjerit keras, ganconya lepas. Kedua tangannya dipakai menekap perut yang ditembus senjata Kioro Mertan. Dia menjerit sekali lagi lalu roboh dan ter- gelimpangdi tanah. Sesaat orang ini tampak megap-megap dan melejang-lejangkan kedua kakinya sebelum nyawanya putus.
Satu-satunya anggota komplotan yang masih berada di atas punggung kudanya mau tak mau menjadi terkesiap melihat kejadian itu. "Orang tua ini tidakbisadibuat main," katanya dalam hati.
Meski  rasa  was-was  kini  menyelinapi  dirinya  namun kematian kawannya tadi membuat darahnya mendidih.
"Orang tua! Kalau aku tidak salah menerka, bukankah kauayah mertua Ranalegowo?"
Kioro  Mertan  menyeringai. "Bagus! Sebelum  mampus kau   sudah   tahu   siapa   diriku!   Kau   dan   komplotan membunuh menantu dan anak perempuanku! Kalian juga menculik Sumiati cucuku! Susulkawanmu!"
Orang  tua   itu  gerakkan  tangan   kanannya.   Parang menderu  ke  arah  pinggang  anggota  komplotan.  Karena merasa tidak  leluasa  menghadapi  lawan dari atas  kuda maka anggota komplotan Ganco Item segera melompat ke tanah. Kioro Mertan tak mau memberikesempatan. Begitu

lawan   menjejak   tanah   parangnya   segera   berkelebat. Serangan-serangan   orang  tua   ini   benar-benar   ganas. Dalam waktu dua jurus saja lawannya segera terdesak dan anak buah Ganco Langit ini berseru tegang ketika senjata terpukul  lepas.  Sambil  mundur  dia  keluarkan  sebuah belati. Kalau dengan ganco yang lebih besar dan panjang dia tidak sanggup menghadapi Kioro Mertan, apalagi harya dengan mengandalkan pisau seperti itu. Beberapa kali saja menerima serangan akhirnya dia mati langkah. Dia hanya bisa   keluarkan  seruan   pendek  dan  terbelalak   ketika parang di tangan kanan orang tua bungkuk itu menembus perlengahandadanya!
Anggota   komplotan   yang   pertama   kali   menerima hajaran  Kioro  Mertan dan  masih tergelimpang di tanah, sebenarnyatelah siuman dari pingsannya. Luka dipahanya sakit bukan kepalang. Darah masih mengucur. Kepalanya yang tadi kena di tendang mendenyut tiada henti, mem- buatpemandangannya berkunang. Meskipun samar-samar ternyata dia sempat menyaksikan kematian kedua kawan- nya tadi. Hal ini membuat dia ingin segera lariselamatkan diri.  Namun jika dia  kalah cepat  pasti dirinya akan jadi korban  yang  ke  tiga.  Dengan  cerdik  akhirnya  dia  me- mutuskan berpura-pura pingsan terus. Syukur-syukur kalau orang tua itu menyangkanya sudah mati.
Kioro Mertan memandang berkeliling. Seperti yang di- harapkan  anggota  komplotan  Ganco  Item  yang  masih hidup, dia ternyata memang menyangka orang itu sudah mati. Sambil menyarungkan parangnya, orang tua ini men- dekati salah seekor dari tiga kuda anggota penjahat lalu melompat ke atas punggung binatang ini dan tinggal-kan tempat itu.
Setelah merasa aman, penjahat yang luka pahanyaber- usaha  berdiri.  Dia  harus  segera  menuju  keperkemahan untuk melaporkan apa yang terjadi. Tapi orang ini serta

merta jatuhkan dirinya ke tanah kembali ketika tiba-tiba dia  mendengar ada suara derap  kaki  kuda  mendatangi. Lewat matanya yang dibukanyasedikit diamelihat seorang pemuda  berpakaian dan  berikat  kepala  putih  muncul di tempat itu menunggang kuda coklat. Di atas bahu kirinya, dengan satu tangan bergelantungan ke leher pemuda itu, ada  seekor  monyet  yang  tiada  hentinya  mengeluarkan suara berisik memekakkantelinga.
"Tenang Ken Cilik. Jangan ribut. Kita pasti menemukan kakekmu itu..." kata pemuda di atas kuda lalu mengelus monyet di bahunya beberapa kali. Monyet ini berhenti ber- teriak,  hanya  kepalanya  saja  yang  berputar-putar  kian kemaritakbisa diam.
"Hemmm... Siapa yang punya pekerjaan ini?" terdengar pemuda itu kembali berkata sambil menggaruk rambutnya yang gondrong. Sesaat dia memandang berkeliling. Mem- perhatikan sosok tubuh yang bergeletakan di tanah satu persatu.  Penjahat  yang  masih  hidup  merasa  nafasnya seolah-olah sudah mau putus. Kedua matanya dipejamkan. Dia tak berani bergerak bahkan untuk beberapa saat dia menahan nafas sedapat-dapatnya.
Ketika didengarnya suara kaki-kaki kuda dipacu men- jauh tanda pemuda tadi sudah meninggalkan tempat itu baru anggota komplotan Ganco item yang masih hidup ini berani   membuka   mata   dan   perlahan-lahan   mencoba bangkit.  Dia  menggigit  bibir  melihat  luka  besar di  paha kanannya. Dirobeknya bajunya lalu dengan robekan baju itudibalutnya luka yang menganga dan masih berdarahitu. Dengan terbungkuk-bungkuk dan terpincang-pincang me- nahan sakit dia melangkah lalu naikke atas kudanya.
Jauh  di  sebelah  depan  Pendekar  212  Wiro  Sableng memacu   kuda  coklat  yang  ditungganginya.  Tujuannya adalah  Kudus  di  mana  didengarnya  gerombolan  Ganco Item berada. Dia tidak berhasil menemui Kioro Mertan, tapi

dia yakin orang tua yang juga  merupakan  kakeknya  itu telah lebih dulu menuju ke sana. Wiro tidak mengetahui apa yang diandalkannya orang tua lanjutusia dan bungkuk ituhingga nekadmengejar para penjahat. Apapun kehebat- an yang dimilikinya mendatangi markas gerombolan sama saja  dengan  mendatangi  sarang  macan.  Orang  tua  itu harusditolong. Ini dirasakansebagai satu kewajiban besar bagi  Pendekar  212.  Apalagi  cucunya  yang  masih  ada hubungandarah sangat erat dengan Wiro telah pula diculik oleh orang-orang jahat itu.
Wiro   menggebrak   kuda   coklatnya   agar   lari   lebih kencang.  Namun  dia tidak  menyadari  bahwa  arah yang ditempuhnya   menyimpang  cukup  jauh  dari  tujuannya hingga ketika akhirnya dia sampai di markas komplotan Ganca Item malapetaka besartelah menimpa Kioro Mertan dan Sumiati.
***
Rombongan pasukan Kadipaten Jepara itu terdiri dari lima  orang.  Empat  orang  prajurit  dan  seorang  bintara bernama Anggoro yang  bertindak selaku  pimpinan.  Dari cara  mereka  memacu  kuda  demikian  cepat  agaknya pasukan  ini  mempunyai  satu  urusan  penting.  Saat  itu mereka tengah bergerak menuju ke timur sementara sinar matahari yang menggelincir ke ufuk tenggelamnya mulai terasa meredup.
Di sebuahkalikecil rombongan berhenti untuk memberi minuman  dan  mengistirahatkan  kuda  sebentar.  Ketika hendak melanjutkan perjalanan bintara yang bertindak se- bagai pimpinan mengangkat tangan memberitanda.
"Ada orang datang!" katanya.
Empat perajurit segera letakkan tangan di hulu senjata masing-masing.  Di  seberang  kali,  dari  arah  mana  tadi

mereka datang  kelihatan seorang  penunggang  kuda  be- rambut  putih.  Penunggang  kuda  ini  rupanya juga sudah melihat  rombongan  pasukan  Kadipaten  itu  karena  dia sengaja mengarahkan kudanya ke tempat rombongan ber- ada di tepi  kali. Sebelum orang  berambut  putih datang dekat,  baik  bintara  maupun  empat  perajurit  itu  segera mengenalisiapa adanya orang yang datang itu.
"Bintoro Anggoro!" tiba-tiba  orang  berambut  putih  itu berseru. "Aku gembira bisa bertemu denganmu di tempat ini. Sebelumnya aku tidak sempat melapor ke Kadipaten. Tapiaku yakin saat ini sudahdilakukan pengusutan."
Anggoro  memandang  pada  keempat  bawahannya se- saat lalu berpaling pada penunggang kuda yang kini sudah sampaidan berhenti didepannya. ;
"Pak tua Kioro Mertan, akutidak menyangka akan ber- temu kau di tempat sejauh ini! Sedang menuju ke mana- kah pak tua gerangan?"
"Jadi  betul  dugaanku  kau dan  rombongan tidak tahu apa yangtelah terjadidiJatingaleh!?"
Bintoro Anggoro menggeiengkan kepala. "Lekaskatakan apa yang terjadi. Eh, kulihat ada bercak-bercak darah di pakaianmul"
"Gerombolan  Ganco  Item  menyerbu  desa  menjelang siang tadi.  manusia-manusia  biadab  itu  merampok  dan membunuh.  Kepala  Desa  dan  istrinya  tewas.  Cucuku Sumiati diculik. Saat ini aku tengah melakukan pengejaran. Para  penjahat  itu  membuat  markas  sementara  di  luar Kudus. Aku bersyukur menemui kalian di sini. Aku perlu bantuan  kalian!"  kata  orang  tua  berambut  putih  yang ternyata adaiah Kioro Mertan.
"Kurang ajar! Jadi gerombolan Ganco Item sudah meng- ganas pula. Bahkan berani menyerbu Jatingaleh!" Bintara Anggoro  kepalkan  tinjunya.  Wajahnya  menunjukkan  ke- marahan.

"Kita tidak punya waktu lama. Ikut aku ke Kudus. Aku perlu bantuan kaliani!" kata Kioro Mertan yang ingin segera melanjutkan pengejaran.
"Kami akan membantu!" jawab Anggoro. "Tapi kekuatan gerombolan itu cukup besar. Selain tiga pimpinan mereka yang berkepandaian sangat tinggi, gerombolan itumemiliki lebin dari dualusin anggota."
"Kita bisa menyusun rencana seperti ini," sahut Kioro Mertan pula. "Kau dan tiga orangmu bersamaku langsung menuju tempat persembunyian para penjahat. Anak buah- mu yang keempat kau perintahkan ke  Kadipaten  Kudus untuk meminta bantuan. Begitu bantuan datang kita terus menyerbu."
Sesaat Anggorotidak berkata apa-apa.
Kioro Mertanjadi jengkel dan berkata.
"Bintoro, urusan ini adalah tanggung jawabmu. Tapi jika kau   merasa   ragu-ragu   aku   tidak   takut   melakukan penyerbuan  seorang  diri.  Demi  darah  dan  nyawa  anak cucuku!"
"Jangan salah menduga pak tua," kata Anggoro pula. "Aku  setuju  pendapatmu.  Mari  kita  berangkat  sekarang juga."
Lalu Bintara ini berkata padasalah seorang anak buah- nya.  "Kau  langsung  menuju  Kudus.  Laporkan  apa  yang terjadidiJatingalehdan katakan apa rencana kita."
Prajurit  itu  mengangguk  sambil  menunjukkan  sikap siap. Dia juga melihat bagaimana Bintara Anggoro atasan- nya  itu  mengedipkan  mata  kirinya  ketika  memberikan perintah.
***
Hutan belantara ituterang benderang olehcahayaobor. Makanan dan minuman berlimpah ruah. Setiap anggota

gerombolan Ganco Item bisa makandan minum sepuasnya serta  bersenang-senang  dengan  perempuan-perempuan yang ada di situ. Kebanyakan perempuan-perempuan ini adalah perempuan-perempuan penghibur yang datang dari pantai utara. Namun ada pula diantara mereka yang diculik dandilarikandaridesa atau kampung yang pernah diserbu oleh gerombolan Ganco Item.
Ganco Langit tegak didepan tenda sambil mengenakan baju  hitamnya.  Dia  mengusap  keringat yang membasahi dadanyalalu memandang ke jurusandi mana Ganco Bumi dan   Ganco    Laut   duduk    memperhatikannya   sambil menyeringai.
Kepala  gerombolan  penjahat  itu  balas  menyeringai. Ketika Ganco  Bumi dan Ganco  Laut mendatangi, Ganco Langit berkata setengah berbisik.
"Tidak  mengecewakan.  Tubuh  bagus,  semua  serba keras. Betul-betul tidak mengecewakan walau aku cuma dapat bekas kalian! Ha.... ha... ha... ha ...!"
"Seperti  rencana,  menjelang  pagi  kita  segera  akan meninggalkan  hutan  ini  menuju  ke  selatan.  Bagaimana dengan gadis itu. Kau ingin kita membawanya serta?" ber- tanya Ganco Laut.
"Aku sudah cukup puas menikmatitubuhnya tadi. Lagi pula aku masih punya Jaminten yang hebat itu. Terserah kalian. Jika kalian masih senang, kalian bisamembawanya. Saat ini kurasadia masihsetengah pingsan."
Ganco Laut yang masihdikuasainafsu,apalagi barusan habis meneguk banyak minuman keras menyibakkan kain penutup tenda. Di dalam sana dilihatnya Sumiati tergeletak tak bergerak tanpa selembar benangpun menutupi tubuh- nya. Dari mulut gadis malang anak kepala desa Jatingaleh ituterdengar suara erangan. Manusia beradab akan luluh hati  dan  perasaannya  melihat  keadaan  dan  mendengar erangan  yang  memilukan  itu.  Tetapi  manusia  durjana

seperti Ganco Laut justru merasa terbakar nafsunya.
"Puaskan dirimu Ganco Laut. Kita masih punya banyak waktu.  Tapi  ingat,  besok  kita  ada  pekerjaan  besar  di Selatan!" berkata Ganco Langit yang sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan sobatnya itu.
Ganco  Laut  menyeringai.  Dia  memegang  bahu Ganco Langit lalumelangkah masuk dalam tenda.
Namun langkahnyaterhentiketikatiba-tibaada seorang anggota komplotan muncul dan berkata.
"Ganco   Langit,   anggota   pengintai   melihat   ada  se- rombongan orang berkuda bergerakke jurusansini!"
"Sudah diketahui atau sudah diselidiki siapa mereka?" tanya Ganco Langit.
"Mereka berjumlah lima orang. Yang satu adalah Kioro Mertan, ayah kepala Desa Jatingaleh. lalu seorang bintara dari Kadipaten Jepara dan tiga orang prajurit anak buah- nya."
"Hemmm... " Ganco Langit menatap Ganco Bumi dari Ganco  Lout  sesaat  lalu  berkata,  "Kioro  Mertan  pasti hendak membuat keonaran di sini untuk menyelamatkan cucunya.  Orang  tua  itu  ternyata  punya  nyali.  Biarkan mereka datang ke mari! Rapatkan penjagaan di titik-titik rawan.  Siapa  tahu  ada  lagi  orang-orang  tak  diundang berani muncul di sini!"
Dari bagian hutan yang gelap lima penunggang kuda muncul.   Kioro   Mertan  di  depan  sekali.   Meski  sadar keadaan dirinya berada di bawah ancaman besar namun dengan berani orang tua bungkuk ini melompat dari kuda- nya dan melangkah cepat ke arah tenda. Sebilah parang tergenggam di tangan kanannya. Bintoro Anggoro memberi isyarat,  mengikuti  langkah  Kioro dengan cepat.  Dia juga telah menghunus senjatanyayaknisebatang pedang yang ujungnya berkeluk.
Diam-diam Ganco Langit dan dua pimpinan gerombolan

Ganco  Item  lainnya  jadi  bertanya-tanya  ketika  melihat parang  bernoda darah  kering yang dipegang oleh  Kioro Mertan.
"Apa yang telah dilakukan orang tua in!?" tanya Ganco Bumi dalam hati.
Kioro  Mertan  dan  Bintoro  Anggoro  sampai  di  depan tenda. Sepasang mata orang tua itu berapi-api. Dia tahu tiga orang yang tegak di depannya itu pastilah para pe- mimpin  gerombolan  biadap  Ganco  Item tapi tidak tahu yang mana Ganco Langit. Maka dia pun membentak.
"Mana di antara kalian yang bernama Ganco Langit?!"
"Tua bangka buruk! Kau berani mati bicara keras dan menjual lagak di hadapan kami?!" hardik Ganco Laut lalu tangannya  bergerak  hendak  menjambak  rambut  putih orang tua itu.
Ganco  Langit  menghalangi  dan  berkata,  "Aku  Ganco Langit!  Kau  punya  nyali  besar  berani  datang  ke  mari Bukankah kau orang tua yang bernama Kioro Mertan, ayah mantu kepaladesa Jatingaleh? Apa perlumu menyasarkan diridatang kemari?!"
"Aku  tidak  datang   menyasarkan  diri.  Aku  sengaja mencarimu!  Kau  manusia  iblis  masih  bisa  bertanya apa keperluanku   kemari!   Bangsat!   Kau   membunuh   anak menantuku! Kau juga membunuh lebih dari selusin pen- duduk Jatilengah. Perempuan dan anak-anak! Merampok! Menculik cucuku Sumiati!"
"Penjelasanmu cukup lengkap. Sekarang katakan saja apa maumu Kioro Mertan?!"
"Bebaskan  cucuku!  Jika  sesuatu  terjadi  atas  dirinya akan kugorok batang lehermu! Lihat! Darah di parang ini masih kelihatanjelas! Ini adalah darah tiga anak buahmu yang sudah kuhabisi!"
Tampang tiga  pimpinan Ganco  Item tampak  berubah sesaat. Tanda tanya parang berdarahitutelah terjawab.

"Kalau  kau  datang  untuk  meminta  cucumu,  itu soal kecil. Kau bisamendapatkannya kembali!"
"Ganco Langit.... "
Ucapan  Ganco  Laut tertahan.  Ganco  Langit  memberi tanda agar dia diam laluberpaling pada Kioro Mertan.
"Kau akan mendapatkan cucumu kembali, bapak tua."
"Mendapatkannya kembali dalam keadaan selamat. Tak kurang suatu apapuni Jika..."
"Kau akan mendapatkannyaseperti kataku tadi. Hanya saja  rnungkin ada yang kurang sedikit.  Mungkin dia  ku- kembalikandalam keadaantidak berpakaian lagi..." Ganco Langit lalu tertawa gelak-gelak. Ganco Bumi ikut tertawa sedang Ganco  Laut  hanya  bisa  menyeringai. Jika Ganco Langit benar-benar hendak mengembalikan gadis itu ber- arti   dia  tidak   punyai   kesempatan   untuk   mengulangi maksud  bejatnya.  Ganco  Laut  tak  dapat  menerka  apa sebenarnya yang adadi benakkepalanya itu.
Ganco   Langit   menjetikkan  jari-jari   tangannya   dan anggukkan  kepala  pada Ganco  Bumi.  Melihat  isyarat  ini Ganco Bumi segera masuk ke dalam tenda. Ketika keluar kelihatandiamemapah sesosok tubuh tanpa pakaian,
Kioro   Mertan   seperti   disambar   petir   melihat   pe- mandangan yang menusuk mata itu.
"Sumi!" teriak orang tua ini.
"Ka...  kakek..."  suara  Sumiati  sehalus  bisikan.  Gadis malang telah dirusak kehormatannya ini secara keji ber- gantiantegak terhuyung-huyung.
"Kau mau cucumu, ambillah. Lalu lekas pergidarisini!" kata Ganco Bumi. Tubuh Sumiati didorongnyakeras-keras.
Kioro Mertan cepat memeluk tubuh cucunya sebelum jatuh ke tanah. Dia menyambar kain tirai penutup pintu tenda lalu menutupi kain ituketubuh Sumiati yang saat itu
inkdrri kh. t matanya t

bayangan-bayangan  menyeramkan  yang  gentayangan  di depannya.
Dari tenggorokan Kioro Mertan terdengar suara meng- gembor.  Dari  keadaan Sumiati saat  itu  dia sudah tahu malapetaka apa yangtelah menimpa cucunya itu.
"Iblis durjana!" teriak  Kioro  Mertan.  Dia melompat ke hadapan Ganco Langit. Parang di tangannya membabat ke arahleher kepalagerombolan itu.
Trang!
Sebilah  senjata  disorongan  dari  samping  menangkis bacokan parangsi orang tua.
Kioro Mertan tersentak kaget. Di mundur satu langkah dan berpaling lalumembentakkeras.
"Bintoto Anggoro! Apa-apan kau ini!" Kedua mata Kioro Mertan seperti  hendak  melompat dari sarangnya saking marah dan kaget tak percaya. "Mengapa kau menangkis seranganku! Menolong durjana keparat ini?!"
Bintoro Anggoro menyeringai. Ganco Langit mendehem beberapa  kali  sementara  Ganco  Bumi  dan  Ganco  Laut mulaikeluarkan suara tertawa mengekeh.
Kioro  Mertan  memandang  berkeliling. Apa yang tidak dimengertinyadiamendapatkan jawaban sesaat kemudian ketika dia mendengar ucapan Bintaro Anggoro yang mem- buatnya laksana dipanggang api amarah.
"Orang tua  pikun!  Kau terlalu tolol  untuk  mengetahui bahwakita sebenarnya bukan dipihak sama!"
"Bangsat! Jadi maksudmu...."
"Maksudku  ini!"  jawab  Bintoro  Anggoro.  Lalu  tanpa terduga sama sekalibintara Kadipaten Jepara ini tusukkan
pedangnya ke perut Kioro Mertan.              .
Dalam   keterkejutannya  orang  tua   itu  jadi   berlaku lengah.  Dia  baru  sadar  ketika  ujung  pedang  Anggoro masukke dalam perutnya sedalamsepertiga jengkal!
"Pengkhianat keparat!" teriak Kioro Mertan sementara

darahmulai mengucur dari perutnya.
Anggoro terpaksa menarik tangan tak berani menerus- kan tusukannya karena dengan ganas, setelah keluarkan suara  menggembor  Kioro  Mertan  menghantam  dengan parangnya.
Dengan perut terluka dandarah mengucur orang tua ini terus  menerjang  kalap.  Parangnya  menderu  mengurung bintara Kadipaten Jepara itu. Dia tidak menyesalkan ke- matiandirinya asalkan dia dapat membunuh orang itu.
Dalam   waktu  singkat   bintara   itu  terdesak   hebat. Anggoro bertahan mati-matian. Selama ini dia sama sekali tidak mengetahui kalau Kioro Mertan yang dikenalnya se- bagai  petani  dan  peternak  biasa  ternyata  memiliki  ke- pandaian tidak sembarangan.  Dia  bertahan  mati-matian dan keluarkan jurus-jurus tipuan mematikan. Namun ter- nyata  kepandaian  Kioro  Mertan  hampir  dua  tingkat  di atasnya. Ketika dia berhasil mengelakkan satu bacokan, dari kiri tendangan kaki orang tua bungkuk itu tak dapat dieiakkannya. Tubuhnya melintir terhuyung dan dikejapan itupula parang lawan membabat kelehernya!
"Tua bungkuk ini boleh juga!" kata Ganco Langit. Seperti Bintoro Anggoro dan juga dua pimpinan komplotan Ganco Item lainnya, diapuntidak menyangka kalau Kioro Mertan bukan saja punya nyali, tapi memang juga punya kepandai- an.  Melihat  bintara  itu  terancam  keselamatannya,  dia memberitanda pada Ganco Laut.
Orang ketiga dalam jajaran geromboian Ganco Item ini berkelebat ke depan. Dia masuk ke kalangan perkelahian hanya  dengan  mengandalkan tangan  kosong.  Di  antara ketiga   pimpinan   komplotan  Ganco   Item,  Ganco   Laut memang menguasaiilmu silat tangan kosong paling tinggi. Walaupun dia  memiliki senjata sebuah ganco  besi yang besar  dan  berat  namun  dia  lebih  senang  membunuh lawan-lawannya dengan tangan telanjang.

Kedua tangan Ganco laut berkelebatan mengeluarkan deru angin yang keras dan dingin.  Hal ini sudah cukup membuat Kioro Mertan bertaku hati-hati. Tangan kosong Ganco Lout bisa lebih berbahaya dari senjata di tangan Bintoro Anggoro.
Nasib Kioro Mertan ditentukan oleh jotosan ganco Laut pertama yang bersarang tepat diperutnya yang luka. Darah muncrat  dan  sempat  membasahi  pakaian  hitam  Ganco Laut. Selagi  orang tua  itu terhuyung-huyung  kaki  kanan Ganco Laut melesat ke udara, mendarat dengan tepat di rahang Kioro Mertan. Tubuh bungkuk ituterpelanting. Ber- samaan dengan itu  pedang Bintoro Anggoro  menetak di punggungnya. Kioro Mertan terpekik. Tubuhnya terbanting menelungkup di tanah. Ganco Langit siap untuk menginjak kepala  orang  tua  Itu  sedang  Bontoro  Anggoro  sudah mengangkat  tangan   untuk   meletakkan   pedangnya   ke batangleher lawanyang sudahtidak berdaya.
"Cukup!"  tiba-tiba  terdengar  Ganco   Langit   berseru. "Tidak  kalian  hajarpun  umurnya  tak  bakal  lama.  Seret tubuhnya dari depan tenda!"
Dua  orang  anggota  komplotan  segera  menggotong tubuh Kioro Mertan yang berada dalam keadaan sekarat ituke tepiperkemahan. Ganco Langit tengah memandangi tubuh  Sumiati  yang terbujur  di  tanah  bertutupkan  kain ketika Bintoro Anggoro mendatanginya.
Ganco   Langit  tertawa   lebar  dan  tepuk-tepuk   bahu Bintara itu.
"Aku  memang  sudah  lama  ingin  bertemu  denganmu sobatku. Kau datang membawakabar apa?"
"Aku dan anak-anak memang tengah dalam perjalanan ke  mari  ketika  di jalan  bertemu  dengan  Kioro  Mertan. Sebenarnya  aku  bisa  membokongnya  dalam  perjalanan. Tapi aku Ingin kau sendiri menyaksikan bahwakitaselama ini selalu punya kerjasama yang baik."

Ganco Langit tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata Bintara Kadipaten Jepara itu.
"Sejak dulu-dulu aku memang selalu percaya padamu, Bintoro Anggoro. Nah, ada kabar apa saja yang bisa kau berikan?" tanya Ganco Langit. "Atau kau ingin kitabicaradi dalam tenda sana?'
"Di sini saja tidak jadi apa. Aku tak akan lama Ganco Langit.  Apa  yang terjadi  di  Jatingaleh  sudah  sampal  di Kadipaten Jepara. Kau tak usah kawatir terhadap Adipati Moro Gantolo. Dia sedang berada diselatan seat ini. Tapi kita harus berjaga-jagaterhadap Perwira Muda yang men- jadi tangan kanannya."
"Maksudmu Ario Gelem?"
"Betul," jawabAnggoro.
"Perwira  keparat  itu!  Kenapa  kita  tidak  pernah  bisa menariknya  agar  bergabung?"  Ganco  Langit  mengkepal- kepal tinju kanannya lalumemukulkannya berulang kali ke telapak tangan kirinya.
"Kita sudah mencoba membujuknya secara halus ber- ulang kali. Tapi hasilnya nihil. Kurasa sudah saatnya kita menyingkirkannya sebelum dia macam-macam dan bikin susahkita!" kata Ganco Bumi pula.
"Mungkin   kau   benar   Bumi.   Sudah   saatnya   kita menyingkirkan   kutu   busuk   itu.   Malam   ini  akan   kita bicarakan cara yang baik untuk melakukan hal yang itu." Lalu  Ganco  Bumi  berpaling  pada Anggoro  dan  bertanya kalau ada hallain yang hendak dikatakannya.
"Aku  menyarankan  agar  saat  ini juga  meninggalkan tempat ini. Ario Gelem bisa melakukan hal-hal yang tidak terduga. Meskipun kekuatan yang bisa dihimpunnya tidak seberapa namun masalahnya bisa merambat. Sekali ter- siardi Kotaraja kita semua bisacelaka..."
Ganco Langit tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Kau yang  bakal  celaka  Bintoro  Anggoro!  Bukan  aku!  Tapi

nasihatnya memang perludiperhatikan."
"Hanya itusajayang kau katakan Bintoro?"
"Saat ini hanya itu saja Ganco Langit. Aku haruskembali ke Jepara sebelummatahari terbit.
"Baiklah,"  kata  Ganco  Langit.  Dia  masuk  ke  dalam tenda.  Ketika  keluar  di tangannya  ada sebuah  kantong kecil.  Kantong  ini  disusupkannya  ke  pinggang  Anggoro. Bintara itu mengucapkan terima kasih berulang kali lalu kembali  ke tempat dia  meninggalkan kudanya.  Bersama tiga orang anak buahnya dia segera berlalu dari hutan itu.
Ganco Langit berpaling pada Ganco Bumi dan Ganco Laut. "Pesta kita hentikan sampai di sini. Beri tahu anak- anak  bahwa  kita  berangkat  ke  selatan  sekarang juga. Tanganku  sudah  gatal  untuk  memegang  barang-barang antik yang terbuat dari tempat itu!"
"Ganco Langit," Ganco Bumi berkata, "Jika kita bergerak ke selatan lebih dahulu, apakah kita masih punya waktu untuk bertemu dengan sobat kita si Tengkorak Darah di Rembang?"
"Tak  usah  kawatir,  aku  sudah  mengirimkan  utusan memberi  tahu  Tengkorak  Darah.  Jika  satu  hari  setelah mendaratdi pantai Rembang kita tidak muncul, pertemuan berikutnya adalah  di  pantai  Demak. Soal  makanan dari perempuan yang  perlu dikirimkan  padanya sudah diatur oleh orang di Tanjung Bugel."
"Kalau  begitu  tak  ada  yang  dikawatirkan.  Kita  bisa berangkat saat  ini juga,"  kata  Ganco  Langit,  "Aku  akan perintahkan semua anak buah agar bersiap-siap."
"Sebentar!" menyela Ganco Laut yang sejak tadi hanya berdiam diri, "Aku masih ingin mempertanyakan si cantik itu. Apakah aku bisamembawanya serta dalam rombongan kita?"
Ganco Langit tertawa lebar. "Rupanya kau masih belum melupakan kekerasan tubuh anak gadis Ranalegowo itu.

Kau  bisa  membawanya  ke  mana  kau  suka.  Mungkin sewaktu-waktu akupun membutuhkannya. Hidup ini harus dibumbui dengan selingan.  Bukankah  begitu?  Ha...  ha... ha..."
Suara  tawa  Ganco  Langit  terhenti  ketika  ada  satu tangan memegang dan meremas bahunya. Lalu ada suara perempuan terdengar ketus.
"Saya   tidak   mau   lihat   gadis   itu   berada   dalam rombongan kita!"
Ganco    laut   gelengkan    kepala.    Mukanya   tampak cemberut.
Ganco   langit   membalik   dan   berhadapan   dengan Jaminten, perempuan gemuk yang selama ini membuatnya tergila-gila dankadang-kadang jadi tak berkutik.
Saat  itu  Jaminten  hanya  mengenakan  sehelai  baju panjang  yang  tipis.  Cahaya  api  obor  yang  menembus pakaian tipis itu membuat sekujur auratnya nyaris terlihat jelas.
Nafsu Ganco Langit jadi terbakar.
"Kau takusah kawatirdia akan menyaingimu Jaminten," kata   Ganco   Langit   membujuk  sambil   membelai   pipi Jaminten.
"Gadis itu perlu dibawa bukan untuk diriku dan teman- teman, tapiada satu rencana yang harusdijalankan."
"Siapa percaya padadirimu. Siangtadi Ganco mengata- kan lebihsuka menggeluti tubuh saya. Tapiternyata malam ini Ganco langit menidurinya. Jangan kira saya tidak tahu!" Jaminten lalu pasang wajah cemberut.
Ganco Langit tersenyum lalumenciumiwajah Jaminten. "Seribu gadis boleh hadir, tapi kau tetap pasangan yang tak bakal  kulepaskan!  Mereka tidak  memiliki apa yang  kau miliki! Mereka dingin seperti barang pisang! Tak ada yang pandai menggigitdan menggerung sepertimu!"
Jaminten melepaskan dirinya dari pelukan Ganco langit

lalu berkata. "Sebelum pergi aku ingin pergi ke kali lebih dulu."
"Ya, sebaiknya kau membersihkandiri baik-baik. Dalam perjalananke selatan mungkin kau tak punya kesempatan melakukan hal itu."
Jaminten melangkah pergi. Ketika lewat di depan Ganco Laut   dia   kedipkan   matanya.   Ganco   Laut   kemudian terdengar berkata pada Ganco Langit. "Aku akan beritahu anak buah agar segera bersiap-siap."
"Lakukan  dengan  cepat  Laut.  Bumi,  siapkan  seekor kudauntuk membawagadisitu."
Tak berapa jauh dari tempat gerombolan itu berkemah terdapat  sebuah  kali  kecil  berair  jernih.  Jaminten  me- langkah cepat-cepat menuju kali ini. Di satu tempat yang kelindungan diaberhenti tapitidak segera masukke dalam air  untuk  mandi atau  membersihkan dirinya.  Dia  berdiri dalam  gelap  seperti   menunggu  seseorang.  Tak   lama kemudiandiamendengar suara orang mendatangi.
"Kenapa  lama  betul! Aku sudah tidak sabaran!"  kata Jaminten.
"Sstt, jangan keras-keras. Nanti terdengar orang," men- jawablelaki yang barusandatang.
"Lekas  tanggalkan   pakaianmu.   Kita  turun   ke   air." Jaminten melepas baju tipisnya.
"Tidak ditebing saja?"
"Aku  ingin  di  dalam  air.  Sudah  lama  kubayangkan. Sekalian aku  bisa  membersihkan  diri,"  bisik  perempuan bertubuh gemuk tapipadat itu.
"Terserah, aku hanyamengikuti apa maumu."
Tanpa  pakaian  kedua  orang yang  berlainan jenis  itu turun ke dalam kali. Air kali terasa sejuk sekali. Jaminten memagut  leher  lelaki  itu  lalu  menempelkan  tubuhnya rapat-rapat. Mulutnya bertanya, "Kau ingin kuremas sampai pingsan?"

"Eh, apa maksudmu?"
"Kenapa  kau tadi  kudengar  Ingin  membawa gadis  itu dalam rombongan?"
"Aku hanya pura-pura, agar Ganco Langit tidakcuriga."
Jaminten tertawa kecil. "Kau memang cerdik."
"Pujian itu tidak cukup. Benarkah aku lebih hebat dari Ganco Langit seperti katamu tempo hari?"
"Yang satu  itu  memang tidak tertandingi oleh  Ganco langit. Nafsunya besar tapi kekuatannya seperti lilin yang meleleh terbakar apinya sendiri." Jaminten lalu turunkan tangan-tangannya kirinya ke bawah. Tangan itu lenyap di dalam air.
Di  balik serumpun semak  belukar  di tepi  kali,  pada bagian  yang sangat  gelap  sepasang  mata  menyaksikan kedua orang yang bergulung-gulung dalam air itu dengan penuh geram.
"Keparat! Aku memang sudahlamamencium perbuatan mereka ini! Kalian berdua akan mati secara tersiksa. Tapi tidak  cepat-cepat.  Aku  masih  membutuhkan  lelaki  itu sampai urusan diselatan selesai."
Ketika  orang  ini  hendak  beranjak  dari  balik  semak belukar tempat dia mengintai didengarnya suara Jaminten menggerung dari arah kali.
"Bangsat! Perempuan bangsat!" kutuk serapah meledak keluardari mulut orang itu.
***
Dinginnya  udara  malam  menambahkan  siksaan  bagi Kioro Mertan yang berada dalam keadaan mati dan hidup, tergeletak di antara semak belukar, dibungkus kegelapan. Di antara suara erangannya terdengar dia  berulang  kali memanggil nama Tuhan.
"Tuhan... kenapa tidak Kau cabut nyawaku saat ini juga!

Aku rela mati! Tapi Tuhan, aku mohon selamatkan cucuku Sumiati. Apapun nasib buruk yang telah menimpa dirinya selamatkan dia..."  kata-kata  itu diucapkan  Kioro  Mertan berulang kali dalam hatinya.
Ketika  tubuhnya  terasa  sangat  lemah  dan  nafasnya mulai  megap-megap  mendadak  telinganya  sayup-sayup mendengar   langkah   kaki   kuda   di   kejauhan.   Dengan pemandangan  yang  samar-samar  dicobanya  menembus kegelapan.   Hutan   belantara   itu   sunyi   senyap   sejak gerombolan  Ganco  Item  meninggalkan  tempat  itu  be- berapawaktulalu. Masih ada dua buahoboryang menyala, mungkin terlupa dipadamkan.
Kioro Mertan sadar tidak ada harapan baginya untuk hidup.  Darahnya terlalu  banyak  mengucur.  Namun  rasa ingin tahu siapa penunggang kuda yang datang itu mem- buat  orang  tua  ini  berusaha  keras  membuka  kedua matanya. Dalam kegelapan kemudiandilihatnya kuda ber- sama penunggangnya, makin dekat, makin dekat. kedua matanya masih bisa mengenali orang itu.  Dia membuka mulut hendak berseru memanggil, tetapi yang keluar hanya suara erangan.
Mulutnya bergerak. "Wiro...! Aku di sini! Wiro...! Aku di sini!" namun ucapan itu hanya menggema dalam hatinya. Tapi orang tua ini tidak putus asa. Dengan sisa tenaganya dia  berusaha  menggerakkan  kaki,  menggoyang  semak belukar  dia  berusaha  menggerakkan  kaki,  menggoyang semak   belukar   di   hadapannya.   Dia   berhasil!   Suara gemerisik semak  belukar yang tergeser kakinya menarik perhatian  Pendekar  212.  Semula  Wiro  merasa  kecewa karena dia hanya mendapat sisa-sisa bekas perkemahan. Gerombolan Ganco Item pastitelah meninggalkan tempat ituselagidiabersesat menempun jalan.
Ken Cilik, monyet coklat yang bergelantungan di leher- nya keluarkan suara memekik tiada henti. Wiro berpaling

kearah semakbelukardalam kegelapan.
"Siapa  di  situ?!"  Wiro  membentak  dan  memandang tajam ke arah semak belukar yang bergoyang-goyang itu. Pukulan  tangan   kosong   disiapkannya   untuk   menjaga segala kemungkinan.
***

WIRO SABLENG

PETI MATI DARI JEPARA


6

EMAK belukar itu tampak bergoyang lagi. Lalu Wiro mendengar suara erangan. Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini segera melompat dari atas kuda,
melangkah  mendekati  rumpunan semak  belukar.  Ketika matanya berhasil menembus kegelapan malam terkejutlah pemuda ini begitu melihat siapa yang tergeletak di balik semakbelukar itu.
"Pak tua Kioro Mertan!" Wiro menyebut nama orang tua itu lalu melompat danjatuhkandiri merangkul tubuh Kioro Merton. "Pak tua, katakan apa yang terjadi!"
Dari mulut orang tua itu hanya terdengar suara meng- erang.  Wiro  melihat  luka  besar  di  perut  Kioro  Merton. Tengkuknya bergidik. Luka itu parah sekali. Orang tua ini tak akan  bertahan  lama. Wiro segera  mendukung  Kioro Merton ke arah salah satu obor yang masih menyala. Di tanah  yang  agak  datar  dibaringkannya  orang  tua  yang tengah sekarat ini. Lalu diamenotok tubuh Kioro Mertan di dua tempat. Orang tua in merasakan sakit pada luka di perutnya berkurang sedikit. Dfa merasa ada hawa sejuk mengalir  ke  keningnya  ketika Wiro  menekankan telapak tangannya  di  kepala.  Perlahan-lahan  orang tua  ini  bisa membuka kedua matanya kembaii. Dia merasa adasedikit kekuatan yang membuatnya sanggup mengeluarkan kata- kata walaupunterputus-putus.
"Wiro...  tolong...  Selamatkan  Sumiati.  Dia …  dilarikan orang-orang Ganco Item..."
"Kakek tahu kemana mereka membawa cucumu itu?"

tanya Wiro.
"Aku tidak tahu... Aku mendengar mereka me... menuju ke sela... tan.  Kau...  harus  membalaskan sakit  hati  ini, Wiro..."
"Saya bersumpah, demi kakek, paman serta bibi! Demi semua penduduk Jatingaleh yang jadi korban keganasan Ganco Item..."
"Kau harus hati-hati Wiro. Ternyata gerombolan itu ti... tidak bergeraksendirian..."
Wiro diam, menunggu ucapan orang tua itulebih lanjut. Tapi Kioro Mertan juga diam.
"Kakek apa maksudmu merekatidak sendirian?'
Wiro cepat ajukan pertanyaan ketika dilihatnya kedua mata Kioro Mertan hendak terpejamkembali.
"Ger....   gerombolan   itu   dibantu   oleh   orangorang Kadipaten  Jepara.  Seorang   Bintara   bernama  Anggoro secara khianat menusukkan pedangnya ke perutku..."
"Keparat  itu  tak  akan  kulepaskan.  Begitu  juga  tiga pimpinan Ganco item!"
"Yang  penting selamatkan Sumiati.  Dari Anggoro  kau bisa mengorek keterangan kemana cucuku dibawa. Hati- hati  Wiro,  kurasa  bukan  cuma  orang-orang  Kadipaten Jepara saja yang terlibat. Mungkin juga orang-orang besar di  kotaraja.  Gerombolan  itu  punya  banyak  kaki tangan. Aku..."
Terdengar suara sepertitercekik. Lalu tak terdengar lagi suara ucapan Kioro Mertan. Pendekar 212 Wiro Sableng merasakantubuhnya bergelatar. Pertama paman dan bibi- nya.  Kini  orang  tua  yang  dianggapnya  sebagai  kakek sendiri itu menemu ikematian didepan matanya.
***

Sebuah  papan  besar tergantung  di  depan  bangunan beratap seng yang pintu-pintunya masih tertutup. Di atas papan Itu tertera tulisan dari cat hitam berbunyi Haji Yan. Penjual Peti Mati kayu Jati Asli.
Ketika jalan mulai ramai oleh orang yang lalu lalang, tampak   papan-papan   depan   bangunan   terbuka   satu persatu. Seorang  lelaki  berkopiah  putih,  berjanggut  dan berkumis jarang, berkulit kuning dan bermata sangat sipit sibuk menyusun papan-papan yang dibukanya satu persatu dan  menyandarkannya  di  sebelah  luar  bangunan.  Kini kelihatan  ruangan dalam yang  penuh dengan tumpukan petipeti mati. Semuanya terbuatdarikayujati.
Orang berkopiah putih ini adalah Tan Siu Kong, pemilik tempat penjualan peti mati itu. Kakek moyangnya sudah tinggal turun temurun di Jepara. Semua turunan mencari hidup dengan menjualpeti-peti mati. Tan Siu Kong merupa- kan turunan yang keempat. Meskipun lahir dandibesarkan di situ  namun  kalau  bicara  dialek tanah  leluhurnya tak pernah berubah.
Yan Siu Kong kawin dengan seorang perempuan Jepara asli dan memeluk agama Islam. Beberapa tahun lalu dia naik haji ke Mekkah. Sejak itu pedagangan peti mati ini lebih dikenal dengan panggilan Haji Tan.
Baru saja Haji Tan selesai membuka seluruh papan di bagian   depan   bangunan,   seorang   pemuda   berambut gondrong dengan seekor  monyet  bertengger di  bahunya turun dari kuda, langsung menemui Haji Tan. Binatang di bahunya  memekik  tiada  henti  lalu  melompat  ke  atas sebuah peti, pindah ke peti lain, begituberulang kali.
"Hayyya..." kata Haji Tan dalam hati. "Pagi-pagi pula ada tamu aneh. Mau bikin susah atawa mau kasihuntung!"
Meski  hatinya  agak  was-was  melihat  potongan tamu yang   datang   membawa   monyet   ini   namun   sebagai pedagang yang baikhaji Tan membungkuk sambil memberi

salam.
"Saya mau pesan peti mati," berkata pesan tamu yang bukan lainadalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Pesan...?  Buat  apa  pesan?  Yang  sudah  jadi  ada banyak.  Situ  silakan  pilih..."  Haji  Tan  menunjuk  pada susunan peti-peti mati yang di ruangan itu, yang berjumlah tidak kurang dari dua puluh buah.
Wiro  perhatikan  peti-peti  itu sebentar  lalu  gelengkan kepala. "Peti-peti itu terlalu kecil. Aku ingin yang tiga kali lebih besar."
Tentu saja Haji Tan terheran-heran mendengar ucapan tamunya itu. "Hayya... Peti mati begitu besal buat isi apa? Manusia mati atawa kalebo?"
"Haji Tan, kau takusahabanyak tanya. Siapkan sebuah peti mati tiga kali ukuran biasa. Aku juga membutuhkan sebuah kerekaterbuka untuk mengangkut peti mati besar itu. Lengkap dengan dua ekor kuda yang kuat. Lalu bubuk penangkalbau busuk mayat. Ini bayarannya!"
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan sebuah kantong kain.   Kantong  ini  dilemparkannya   ke  arah   Haji  Tan. Pedagang  peti  mati  ini cepat  menyambutnya. Terdengar suara   berdering.   Haji  Tan  cepat   membuka  tali   kain pengikat kanton. Tanpa menghitung, dengan hanya melihat sekilas saja  pedagang ini sudah  maklum  berapa jumlah uang perak yang ada dalam  kantong itu.  Banyak sekali. Lebih dari cukup untuk bisa menyediakan semua yang di- mintatamunya itu.
Setelah berdecakbeberapa kali Haji Tan berkata. "Anak muda, soal semua yang situ pesan situ tidak usah kawatil. Owe cuma ada alasan helan. Peti mati sebegitubesal..."
Wiro cepat memotong. "Haji Tan, kau siapkansaja apa yang aku pesan. Aku datang lagi tiga hari di muka untuk mengambilnya!"
"Hayya! Apa...?! Tiga Hali?! Mana wole hah? Paling tidak

owe pelusepuluhhali..."
"Lima hali. Jangan belani tawal-tawal. Atawa owe kasi batal  itu  pesanan!"  kata Wiro  dengan  menirukan  dialek Cinanya Tan Siu Kong, lalu dia ulurkan tangan pura-pura hendak meminta kantong uang yang dipegang pedagang petimati itu.
"Oooo  jangan  kasi  watal.  Hayyaa...  Lima  hali.  Owe telima!" Lalu Haji Tan cepat-cepat masukkan kantong uang ke dalamsaku baju putihnya.
"Ken Cilikl" Wiro memanggil monyet yang masih enak- enak   duduk   di   salah   satu   peti   mati.   binatang   ini menyeringai. Ketika Wiro melangkah ke luar Ken Cilik cepat melompat ke bahu sang pendekar baru saja Wiro berlaku, Haji Tan berteriak memanggilistinya.
"Tumini! Tumini!"
Sang istri yang sedang menyiangi sayur lobak di dapur keluar  tergopoh-gopoh.  Tan  Siu   Kong  acungkan   dan goyang-goyangkan kantong uang itu di depan wajah istri- nya.  Sang  istri  ikut  goyang-goyangkan  kepala  menuruti ayunan kantong uang.
"Saya  lagi  banyak  kerjaan  di  dapur.  Pagi-pagi  sudah bercanda. Apa-apaan ini?"
"Eeee, ini bukan becanda Tumini," kata Haji Tan pula. "Ada olang gila datang! Pesan peti mati, satu buahgelobak, dua ekol  kuda tamba  bumbu  mayat!  Kasih  uang  begini banyak! Untung besal Tumini. Kita untung wesal. Ini ambil. Simpan baik-baik!" Haji Tan serahkan kantong uang pada istrinya. Setelah  memberikan  beberapa  pesan  pedagang peti  mati  ini  tinggalkan  rumahnya.  Dia  berjalan  sambil senyum-senyum  karena  memperoleh  untung  yang  tidak terduga. Tetapi dia jugatidakhabis pikir. Pemuda gondrong yang tidak dikenalnya itu, muncul menunggang kuda, mem- bawaseekor monyet dan memesan peti mati sebesar itu.

Untuk  apa?  Sampai  saat  itu  dia  sama  sekali  tidak mendengar kabar ada keluarga di Jepara yang kematian sanakkeluarganya memerlukan peti mati.
***

WIRO SABLENG

PETI MATI DARI JEPARA


7

UBUK itu terletak di kaki bukit tak berapa jauh dari Undaan  yaitu  antara  Kudus  dan  Demak.  Ganco Langit duduk bersila di hadapan Ganco Bumi dan
Ganco  Laut.  Di  salah  satu  sudut  gubuk  tergolek  sosok tubuh Jaminten. Perempuan ini berbaring seenaknya se- hinggasebagian auratnya sebatas pangkalpahake bawah tersingkap. Saat itu walau kedua matanya terpejam tapi Jaminten tidak tidur. Diam-diam dia mendengarkan pem- bicaraantigapucuk pimpinan gerombolan Ganco Item itu.
Perjalananjauh sepanjang siang tadi membuat sekujur badannya terasa letih. Namun diatak bisa memincingkan mata. Apalagi tadi Ganco Langit sudah berbisik padanya bahwa malam ini, sebelum mereka melakukan pekerjaan besar besok siang, dia ingin Jaminten melayaninya.
"Ganco  Bumi,  apa  kau sudah siap  berangkat  malam ini?" terdengar suara Ganco Langit bertanya padaadiknya.
Ganco Bumi mendehembeberapa kali lalumenjawab.
"Sudah. Aku  membawa serta  lima  orang anak  buah. Sebetulnya aku  lebih suka jika tugas  ini dilakukan oleh Ganco Laut."
Ganco Laut yang duduk di sebelah Ganco Bumi diam saja.  Hanya  kedua  matanya  saja  yang  melirik  ke  arah Ganco Langit.
"Ganco Laut bakaldapat tugas lain.." kata Ganco Langit. "Lakukan tugasmu dengan baik. Ingat, kita bergabung di lembah sebelahtimur Kuto Ulir padatengahharibesok."
Ganco  Bumi  mengangguk  perlahan  lalu  berdiri  dan

tinggalkangubukitu. Setelah merekatinggalberdua Ganco Laut bertanya. "Kau bilang bakal ada tugas lain untukku. Tugas apa Ganco Langit?"
"Itu   masih   kupikirkan.   Aku   ingin   istirahat   dulu..." Jawaban Ganco  Langit  itu cukup  membuat  maklum apa yang akan dilakukan oleh Ganco Langit. Ganco Laut berdiri. Dia  melirik sesaat  pada tubuh Jaminten yang terbaring mengangkang kemudian keluardari gubuk.
Ganco Langit menutup pintu gubuk lalu merebahkandiri di  samping  Jaminten.  Perempuan  itu  membalik.  Nafas mereka saling  hembus.  Lalu tangan Ganco  Langit  mulai bergerak. Jaminten menggeliat kegelian. Geliatan ini me- nambah   rangsangan   Ganco   Langit.   Dipeluknya  tubuh gemuk itu seperti hendak melumat. Jaminten membalas seperti penuh bernafsu. Tapidalam hatinya perempuan ini berkata, "Puaskan hatimu! Kalaubarang-barangpusakaitu sudahdidapat, berartiajalmu sudah dekat Ganco Langitl"
***
Pagi-pagi sekali  ketika  hari  masih gelap gerobak ter- tutup itusudah masukke dalam halamansebuah rumahdi luar timur Demak. Rumah ini meskipun kecil tapi sangat bagus bangunannya, memiliki halaman besar dan selusin orang lelaki rata-rata bertubuh kekar tampak melakukan pengawalan.
Lima orang anggota gerombolanyang bertindak menjadi pengawal  dengan tubuh  letih  melompat  dari  atas  kuda masing-masing. Ganco Bumi yang duduk didepan gerobak meneguk tuak dari dalam sebuah  bumbung  bambu  lalu melompat turun.
Dua   orang   berbadan   kekar   yang   agaknya   telah mengenal Ganco Bumi segera datang menyongsong.
Keduanya  memberi  hormat  Ganco  Bumi  lalu  salah

seorang  memberi  tahu  bahwa  Adipati  Demak,  Bando Wiseso  sudah  siap  menunggu  kedatangannya  di  dalam rumah. Ganco Bumi memberi isyarat pada anak buahnya. Dua orang menyingkapkan kain penutup bagian belakang gerobak. Sesaat kemudian tampak kedua orang itu meng- gotong sebuah usungan kayu di atas mana terbaring se- sosok tubuh yang diselimutlsampal sebatas leher.
Wajah  yang  tersembul  dari  balik  selimut  itu  adalah wajah seorang gadis. Walaupun  parasnya tampak  pucat dandiasepertidalam keadaantidur namun jelaskelihatan paras itu cantik sekali. Dia bukan lainadalah Sumiati, cucu Kioro Mertan, puteri tunggal kepala desa Jatingaleh yang telah diculik dan dirusak kehormatannya secara keji oleh Ganco Langit, Ganco Bumi dan Ganco Laut. Ada apakah kini gadis itu dibawa ke tempat tersebut? Dimana telah menunggu seorang  pejabat tinggi  Kerajaan yaitu Adipati Bandoro Wiseso?
***

WIRO SABLENG

PETI MATI DARI JEPARA

8

KEDUA lelaki  memasuki   gerombolan Bumi  di  sebelah  memasuki sebuah

berbadankekar melangkah mendahuiui rumah,   diikuti   oleh   due   anggota yang  mengusung Sumiati  lalu  Ganco belakang.  Gadis  malang  itu  diusung kamar. Disitu telah menunggu Adipati

Bandoro yang hanya mengenakan pakaiantidur, bertubuh kerempeng  tapi jangkung  dan  memelihara  kumis  tebal melintang yangtidak sesuaidengan tampangnya yang kecil panjang  dan  cekung  pada  kedua  pipinya.  Giginya  yang tonggos  menambah  keburukan tampangnya.  Dia  menye- ringai  ketika  melihat  paras  gadis  di  atas  usungan  lalu berpaling pada Ganco Laut. Tubuh Sumiati diletakkan di atas pembaringan. Setelah due pengusung keluar, lelaki tinggi  kurus  ini  melangkah  mendekai  Ganco  Bumi  dan menepuk-nepuk bahu pimpinan gerombolan itu.
"Cantik sekali. Tapi kenapawajahnya agak pucat?"
Ganco Bumi tersenyum mendengar kata-kata orang di depannya itu. "Perjalanan jauh membuat tubuhnya sangat letih. Sebelumnya dia galak sekali, beberapa kali berusaha melarikandiri, Kami terpaksa menotoknya."
"Ah...." Bandoro Wiseso mengangguk. "Aku mengucap- kan terima kasih. Kalian selalu memberikan yang terbaik untukku. Kakakmu Ganco Langit tidak datang?"
Ganco Bumi menggeieng. "Dia menitip pesan padamu Adipati.  Dia  berharap Adipati  bisa  bersenang-senang se- panjang pagisampal malam nanti. Lalu dia juga meminta agar tidak adas pengawal atau perajurit atau orang-orang

Kadipaten bertugas disekitar tenggara kitasiang ini."
"Hemm... apakah yang hendak kalian lakukan?" tanya Adipati Demak pula.
Ganco Bumi tidak menjawab. Wajahnya menunjukkan rasa tidak senang dengan pertanyaan tadi. Adipati Bandoro Wiseso batuk-batuk beberapa kali.
"Ah, maafkan aku. Sesuai perjanjian diantara kita aku tak boleh terlalu banyak tanya dan ingintahu. Namun se- panjang  kalian  tidak  keterlaluan,  aku  tak  akan  pernah keberatan.  Daerah  tenggara  memang  kediaman  orang- orang  bangsawan dan orang-orang  kaya.  Itukah sasaran kalian kali ini?"
Ganco Bumi menjawab sambil tersenyum. "Dugaanmu tepat  Adipati.  Demak  sudah  dipenuhi  oleh  bangsawan- bangsawan kaya raya. Sementara rakyat miskin semakin banyak  akibat  tanahnya  dirampas  secara  halus.  Sudah saatnya kekayaan mereka itu kita ambildan dibagikembali kepada rakyat. Bukan begitu Adipati?"
"Betul! Betul sekali Ganco Bumi!" jawab Adipati Bandoro Wiseso. "Aku setuju agar sebagian harta kekayaan orang- orang kaya itu dibagikan pada rakyat jelata. Tapi kuharap jangan  melupakan  perjanjian  kita,  Jika  kalian  berbuat sesuatu   di   luar   Demak  tapi   masih   dalam   kawasan kekuasaanku,  bagianku  adalah  seperlima.  Kalau  kalian menjarah  dalam  kota  Demak,  maka  bagianku  adalah empat perlima. Katakan itupada Ganco Langit!"
Ganco  Bumi  mengangguk.  "Tak  usah  kawatir.  Kami orang-orang Ganco Item selalu menepati perjanjian asal- kanada bantuan timbal balik."
Dari dalamsaku baju hitamnya Ganco Hitam keluarkan sebuah kantong berisi uang lalu dimasukkannya kedalam genggaman Adipati Bandoro Wiseso.
"Itu  pembagian sisa terdahulu. Sekarang saya  minta diri." kata Ganco Bumi. Lalu dia menoleh ke arah sosok

Sumiati  di  atas  tempat  tidur.  Sebenarnya  Ganco  Bumi masih ingin melampiaskan nafsu bejatnya terhadap gadis itu. Tadi dia hendak melakukannyaditengah jalan. Namun rencana besar yang akandilakukannya bersama kakaknya lebih  penting.  Ganco  Bumi  memandang  pada  Bandoro Wiseso  kembali  dan  berkata.  "Dia  masih  sangat  hijau Adipati. Jangan terlalugalak. Beberapa saat lagi totokandi tubuhnya akanterlepas. Setelah itu kau bisa berbuat apa saja terhadapnya. Dua hari di muka orang-orangku akan menjemputnya."
"Dua  hari  katamu Ganco  Bumi?  Dua  hari? Ah! Untuk gadis secantik  ini  paling tidak  lima  hari!"  kata  Bandoro Wiseso dan tenggorokannya tampak turun naik. Matanya memandang berkilat-kilat kearah tempattidur.
"Jika begitu maumu, kau boleh memilikinya selama satu minggu!"
"Kau  benar-benar  kawan  yang  hebat!"  kata  Bandoro Wiseso  dengan  tawa  lebar.  Seperti  tadi  kembali  dia menepuk-nepuk bahu Ganco Bumi.
"Siapa nama gadis itu Ganco?"
"Sumiati."
"Sumiati... Sumiati,"  kata  Bandoro Wiseso  mengulang beberapa kali. Dia mengantarkan pimpinangerombolan itu sampaikepintudepan. Belum lagi Ganco Bumi dan orang- orangnya  keluar dari  halaman  rumah, Adipati  Demak ini sudah  menutup  pintu  dan  setengah  berlari  dia  masuk kembali  ke dalam  kamar. Selimut yang  menutupi tubuh Surniati  disingkapkannya.  Sepasang  mata  lelaki  berusia enam puluh tahun ini sepertisilauketikamelihat bahwadi balik selimut  itu tak  ada  apapun yang  menutupi tubuh bagus sigadis.
Meski  sudah   diberi  tahu   bahwa  totokan   di  tubuh sekujur  tubuh  gadis  itu. Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi Adipati ini akhirnya  berhasil  mengetahui  di  bagian  mana  Sumiati ditotok. Dengan mengerahkan tenaga dalam dia mengurut urat  besar  dekat  ketiak  kiri  si  gadis.  Sesaat  kemudian tubuh Sumiati tampak bergerak. Kedua matanya perlahan- lahan membuka.

Melihat  tampang  Adipati  itu  Sumiati  seperti  melihat setan. Mendengar suara bisikannya Sumiati seolah men- dengar suara hantu. Maka gadis ini pun menjerit keras!
***

WIRO SABLENG

PETI MATI DARI JEPARA


9

ADIPATI   Bandoro   Wiseso   cepat   menutup   mulut Sumiati. gadis ini berusaha melompattetapisekujur tubuhnya  lemah  lunglai  tak  bertenaga.  Dia  hanya bisa  menggulingkan  diri  ke  samping  kiri  tempat  tidur. Sementara itu Bandoro Wiseso dengan cepat menanggal- kan pakaian tidurnya. Lalu sekali lompatsajaditerkamnya tubuh gadis itu.
Namun seperti mendengar suara petir begitu kagetnya sang Adipati  ketika  pintu  kamar tiba-tiba  hancur  beran- takan  di  hantam  orang  dari  kuar.  Dan  terkejut  seperti melihat hantu dia membeliak sambil melangkah mundur. Di hadapannya bergerak mendekat seorang pemuda be- rambut gondrong yang tidak dikenalnya. Rahang pemuda ini mengembung. Gerahamnya terdengar bergemeletakan. Kedua  tangannya  terpentang  seolah  slap  hendak  men- cekiknya.
Dua belas pengawal yang bertebaran di sekitar rumah terheran-heran ketika melihat sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda memasuki halaman. Tidak kusir atau sais ada di atas kereta itu. Yang kelihatan hanya seekor monyet coklat, duduk di bagiandepankereta. Lalu ini yang membuat semua orang di situ dari heran menjaditerkejut.
Selagi  perhatian  semua  pengawal  itu  tertuju  pada kereta  tersebut,  tanpa  mereka  ketahui  sesosok  bayang putih berkelebat masukke dalam rumah!
Di atas kereta adasebuah peti mati kayujati berwarna hitam,  berukuran  besar  luar  biasa.  Pada dinding-dinding

peti  mati  itu  terdapat  angka  212  yang  tidak  mereka mengerti apa artinya.
Kayu di sebelah atas atau penutup peti mati tampak terbuka.  Ketika  kereta  itu  akhirnya  berhenti  di  tengah halaman,keduabelas pengawal sesaat melangkah menge- lilingi kereta itu. Kemudian seperti diberi isyarat mereka sama berserabutan untuk melihat dari dekat apa isi peti mati  itu.  Begitu  mereka  mengulurkan  kepala,  serentak kepala   masing-masing   seperti   disentak   setan.   Paras mereka  menjadi  berubah.  Ada  yang  merasa jijik,  tetapi lebih banyak yang merasa mengkirik!
"Ada mayat dalam peti itu…" desis salah seorang dari mereka.
"Mayat siapa...?" yang lain bertanyadengan suara agak gemetar.
Ada seorang  diantara  mereka yang  berani  dan  coba melorigok  kedalam  peti  mati  kembali.  Lalu  kepalanya cepat-cepat  dipalingkan.  "Aku  rasa-rasa  pernah  melihat mayat ini..." katanya seraya berpikir keras. Lalu dia ingat. "Astagal ini mayatAnggoro! Bintara di KadipatenJepara!"
"Berarti peti mati ini datang dari Jepara!"' kata yang lain.
"Siapa yang mengirimkannya...? Tidak mungkin kereta ini bisa menempuh jarak sejauh itu tanpa ada kusirnya! Keanehan apa yang kita saksikan hari ini!" kata yang lain.
Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba ada suara men- jawabdariarah rumah. "Peti mati itu memang datang dari Jepara! Aku yang membawanya kemari! Kalian tidak me- lihat keanehan hari ini! Yang kalian saksikan adalahsiapa berbuat  kejahatan  dan  kebejatan  akan  menerima  pem- balasan setimpal!"
Serempak   kedua   belas  orang   pengawal   palingkan kepala. Apa yang  mereka saksikan  kemudian  membuat semuanyajadimelotot.
Seorang pemudaberpakaian serba putih dan berambut

gondrong tegak di depan rumah sambil mendukung dua sosok tubuh. Yang pertama adalah tubuh gadis yang pagi tadi dibawa oleh Ganco Bumi dan orang-orangnya. Tubuh gadis ituberadadalam keadaan tidak bergerak di bahu kiri si pemuda, mungkin pingsan dalam keadaan tertotok. Dia mengenakan pakaian milik Adipati Bandoro Wiseso.
Sosok tubuh kedua, dan ini yang membuat dua belas pengawal  itu terkejut  dan terbelalak,  ialah sosok tubuh Adipati mereka sendiri. Sang Adipati hanya mengenakan celanatidur. Kepalanyaterkulaike bawah. Leher itu patah! Dan dari mulut Bandoro Wiseso jelas kelihatan mengucur darah!
"Pemuda  itu  membunuh  Adipati  Bandoro!"  seorang pengawalberteriak. Semuanya menjadi gempar. Lalu sadar apa yang harus mereka lakukan, kedua belasnya serentak menyerbu!
Kita kembali ke kamar di dalam rumah untuk menge- tahui  apa  yang  terjadi  sebelum  Pendekar  212  keluar dengan mendukung tubuh Sumiati dan Bandoro Wiseso.
"Manusia  keparat!" teriak Wiro  begitu dia  menerobos masuk ke dalam kamar dan mendapatkan Adipati tinggi kurus berkumis melintang dan tonggos itu berada dalam keadaan siap hendak berbuat keji terhadap Sumiati. Dia merasa bersyukurtelah mengambil keputusan yang tepat. Sebelumnya dia sempat ragu untuk memilih apakah akan mencegat Ganco Bumi dan orang-orangnya yang barusan dari  Demak atau  langsung menuju  Demak guna  menye- lamatkan saudara sepupunya itu. Wiro memilihuntuk mela- kukan yang kedua. Ternyata dia datang pada saat yang tepat.
"Kurang ajar! Siapa  kau?!"  balas  membentak Adipati Bandoro Wiseso.
"Tua bangka bejat!" kembali Wiro mendamprat. "Tubuh sudah bau tanah masihsajaberbuat keji!"

"Bangsat! Jawab pertanyaanku! Kau siapa yang berani masuk membobol pintu?!" bentak Bandoro Wiseso.
Si gondrong menyeringai. "Namaku Wiro Sableng! Tapi aku  datang  sebagai  Malaikat  Maut!  Perbuatan  kejimu selama  ini  menentukan  bahwa sudah  saatnya  kau  me- nerima hukuman. Hari ini adalahharikematianmu."
"Malaikat Maut?!" belalak Bandoro Wiseso. Dia hendak tertawa  bergelak  namun  saat  itu  dia  baru  sadar  kalau dirinya sama sekalitidak mengenakan apa-apa.
Dia  cepat  menyambar  celana  tidurnya.  Wiro  biarkan orang  itu  mengenakan  celananya.  Selesai  mengenakan celana   dengan   tampak   beringas   dia   melangkah   ke hadapan Wiro. Sementara itu Sumiati berusaha menutupi tubuhnya dengankain alastempattidur.
"Orang gila! Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!"
"Lebih  dari  tahu!"  jawab  Wiro  sambil  sunggingkan senyum   mengejek.  "Aku   berhadapan  dengan  seorang Adipati yang seharusnya menjadi abdi rakyat. Tapi malah bersekutu dengan gerombolan penjahat untuk mencelakai rakyat!  Kau  makan  uang  sogokan!  Malah  sampai  hati hendak  merusak  kehormatan  gadis  tidak  berdaya  yang diberikan oleh komplotan Ganco item!"
"Bangsat! Berani kau memfitnahdiriku!"
"Manusia jahanam! Bukti didepan mata masihbisa kau bilang  fitnah!  Manusia  bejat  sepertimu  pantas  segera disingkirkan!" kertak Wiro.
"Pengawal!"  teriak  Adipati  Bandoro  Wiseso.  Namun teriakannya   hanya   keluar   sepotong   karena   saat   itu Pendekar 212 sudah meiompatinya dan menghantamkan satu jotosankemuka Adipati Demak ini.
Bandoro Wiseso berkelit ke samping. Tangan kananya susupkan satu jotosan ke perut Wiro. Bersamaan dengan itu kaki kanannya ikut menendang. Ternyata Adipati Demak

ini menguasaiilmu silat yang tidakbisadibuat main. Begitu Wiro  mengelak  dia  kembali  memburu  dengan serangan bertubi-tubi. Dua jotosannya sempat melabrak perut dan dadamurid Eyang Sinto Gendeng ini.
Wiro merasakan perutnya seperti pecah dan dadanya seolah  melesak.  Dia  tidak  punya  banyak  waktu  untuk melayani manusia satu ini karena harus segera mengejar Ganco Bumi sebelum orang itu sempat bergabung kedua kambratnya.
Ketika   Bandoro   Wisese   kembali   menggempurnya dengan  serangan  berantai  Pendekar  212  langsung  me- nyongsong   dengan  jurus   "Di   balik   gunung   memukul halilintar!" tangan kirinya diangkat untuk menangkis. Ber- samaan  dengan  itu  tangan  kanan  yang  sudah  dialiri kekuatan  tenaga  dalam  tinggi  lepaskan  satu  pukulan tangan kosong yang dahsyat. Inilah jurus silat yang diwarisi- nya dari Eyang Sinto Gendeng di Gunung Gede.
Ketika  ada  angin  yang  mendahului  pukulan  tangan kanan lawan, Bandoro Wiseso maklum kalau Wiro hendak menghantamnya  dengan  pukulan  maut.  Maka  Adipati Demak yang cukup punya pengalaman ini cepa-cepat me- lompat  ke  samping  kiri.  Lima jari  tangannya  membuat gerakan merenggut kearah tenggorokan Wiro.
Serangan balasan sang Adipati ternyata mampu men- capai sasaran lebih dulu dari hantaman tangan kanan yang hendak dilepaskan Wiro. Hal ini membuat Wiro mau tak mau harus menarik serangannya seraya membuat gerakan menjatuhkan lehernya dari serangan ganas lawan. Begitu dia  bisa  menyelamatkan  leher  Wiro  melompat  ke  atas tempat tidur. Dari sinidia molompat kearah lawan sambil mengeluarkan jurus silat yang didapatnya dari Tua Gila di Pulau Andalas yaitu  "Kilat  menyambar  puncak  Gunung." Yang diincarnya adalahbatokkepala Adipati itu.
Bandoro  Wiseso  tidak  mengira  serangan  kedua  ini

datang begitu cepatnya. Tak ada kesempatan untuk me- nangkis,  lelaki  ini jatuhkan dirinya.  Begitu  punggungnya menyentuh lantai maka dia akan hantamkan kaki kanan- nya ke perut lawan. Tapi ternyata Pendekar 212 mengikuti arah  jatuhnya  ke  samping  kiri.  Dari  arah  ini  tebasan tangannya  masih  terus  menderu  dengan  deras.  Batok kepala Bandoro Wiseso memang luput dari serangannya tapi kini gantinyajustruadalah batangleher Adipati itu!
Kraak!
Tulang leher Bandoro Wiseso berdetak patah!
Tubuhnya  langsung  terhuyung  roboh.  Nyawanya  se- benarnya sudah putus saat Itu juga. Namun saking geram- nya, sebelumtubuh itujatuh ke lantai, murid Eyang Sinto Gendeng ini hantamkan tumitnya ke dada Bandoro Wiseso.
Tak ampun lagi tubuh yang sudahjadi mayat itu men- celat  menghantam  dinding.  Dari  mulutnya yang terbuka kelihatandarah memuncrat!
Jika dituruti nafsu amarahnya saat itu mau rasanya Wiro menghancurluluhkan   kepala  dan  sekujur  tubuh  serta semua anggota badan Adipati itu. Namun dia merasa tak ada gunanya. Mayat utuh sang Adipati lebih baik dipakai sebagai penambahisi petimatinya!
Wiro  tersadar  oleh  suatu  erangan  dari  arah  tempat tidur. Dia berpaling. Gadis it u setengah terduduk. Wajahnya pucat. Gadis itu berusaha menutupkan kain alas tempat tidur ketubuhnya. Wiro mendekat.
"Sumiati... Jangantakut. Aku datang menolongmu … "
"Kau...Kau siapa?" Suara gadisitu antara terdengardan tiada. Dia berusaha beringsut menjauhkan diri. Bencana yang dialaminya membuat dia tidak bisa percaya dengan siapalagi didunia ini, apalagi yang namanya laki-laki.
"Aku Wiro. Aku saudara sepupumu," jawab  Pendekar 212.
"Sau… saudara sepupu...? Seumur hidup aku tidak per-

nah  punya  saudara  sepupu.  Kau  pasti  salah  satu  dari manusia-manusiaterkutuk itu!"
Wiro mendekat sambilgaruk-garukkepala.
"Jangan sentuh tubuhku! Bunuh! Lebih baik kau bunuh diriku! Aku ingin mati! Aku ingin mati!" teriak Sumiati.
Sesaat Pendekar 212 jadi terkesiaptak tahu apa yang harus dilakukan. Namun kemudian disadarinya bahwa dia harus bertindak cepat.
"Aku tak punya waktu banyak. Nanti saja aku terang- kan."  Habis  berkata  begitu Wiro segera  menotok tubuh Sumiati. Dari dalamsebuah lemari di kamar itu dia hanya menemukan  pakaian-pakaian  lelaki  yaitu  milik  Bandoro Wiseso. Bagaimanapun pakaian itu lebih baik dipakaikan ke tubuh saudara sepupunya dari pada hanya dibungkus dengan selimut atau kain alas tempat tidur.
***



WIRO SABLENG

PETI MATI DARI JEPARA


10

MENGHADAPI dua belas pengeroyok dengan   me- mikul dua sosok t.ubuh bukan peke,jaan mudah bagi Pendekar 212 Wiro Sabieng meskipuntidak
terlihat satupun dari mereka memegang senjata.
Selagi  orang-orang  itu  menebar  dan  bergerak  men- dekatinya Wiro gerakkan  bahu  kanannya  dengan  keras. Mayat  Bandoro  Wiseso  yang  ada  di  bahu  kanan  itu tersentak keras dan melayang di udara. Tentu saja hal ini membuat  kedua  belas  pengawal  tadi  sama  keluarkan seruan tertahan  saking terkejutnya. Ada yang  berusaha untuk menangkap tubuh Adipati mereka itu. Namun tubuh itu melayang di atas kepala mereka ke arah kereta lalu dengan   suara   bergedebuk   keras   menggidikkan  jatuh masukke dalam petimati yang terbuka! Ken Cilik yang ada di atas kereta memekik beberapa kali sedang dua kuda
penarik kereta meringkik panjang.              ,
"Kawan-kawan!"   salah   seorang   pengawal   berteriak. "Mari kitabunuhpemuda ini!"
Maka  dua  belas  orang  yang  tadi  terhenti  gerakan mereka sesaat kini kembali menyerbu. Beberapa orang di antaranya kelihatan mencabut senjata. Mereka tampaknya tidak ragu-ragu sekaiipun serangan mereka mungkin akan mencelakai gadis yang adadi bahu kiri Wiro.
Dalam  keadaan  seperti  ini  menyerang  lebih  dahulu adalahlebih baik dari pada menunggu.
Pendekar  212  melompat  ke  kiri. Tangan  kirinya  me- megang  pinggang Sumiati. Tangan  kanan  lepaskan satu

jotosan. Sasarannya adalah pengawal berhidung besar di ujung  kiri.  Namun  dari samping  kawan si  pengawal  ini datang membabatkan goloknya. Wiro terpaksa membuat gerakan berputar. Kaki kanannya berkelebat.
Bukk!
Pengawal  yang  tadi  hendak  membacoknya  terpental sambil   keluarkan   suara   mengeluh   tinggi.   Rahangnya rengkah.
Tubuhnya terhempas ke tanah. Sebelas kawannya ber- teriak marah dan menyerang laksana air bah. Wiro meng- geser    kedudukannya    memunggungi    kereta.    Dengan demikian   dia   berusaha   menghindari   serangan   dari belakang. Begitu mencapal kereta Wiro lepaskan pukulan "benteng topan  melanda  samudera".  Walau  pukulan  ini dilepaskan dengan mengerahkan hanya sepertiga tenaga dalamnya   tapi   sudah   cukup   untuk   membuat   para penyerang berteriakkaget. Tiga di antara mereka terpental dan terguling-guling di tanah sementara debu dan  pasir bertebaran disapu angin pukulan.
Seorang pengeroyok menyelinapke samping keretalalu melompat ke atas kendaraan ini. Dengan golok di tangan dia bermaksud menyerang Wiro dari belakang. Tapi begitu dia  naik  di  atas  kereta,  Ken  Cilik  melompat  ke  atas bahunya,  menggigit  telinga  kirinya  kuat-kuat.  Orang  ini menjerit   keras.   Golok   terlepas   dari   tangannya.   Dia melompat   ke   tanah   dengan   darah   bercucuran   dari telinganya.  Ketika  telinga  itu  dirabanya  ternyata  daun telinganya robek besar bahkan hampir putus!
Selagi para pengeroyok tertegun melihat apa yang ter- jadi, Wiro cepat melompat ke atas kereta. Tubuh Sumiati dibaringkannya  di  lantai  di  sebelah  belakang  tempat duduk.
Sambil tegak bertolak pinggang di atas kereta dia ber- kata, "Jika ada yang masih punya nyali silahkan mencoba!"

Lalu sekali lagi dia lepaskan pukulan sakti tadi.  Kali  ini dengan mengerahkan hampir setengah tenaga dalamnya. Karena tidak berniat untuk membunuh semua pengawal yang adadisitu maka Wiro sengaja mengarahkan pukulan- nya ke tanah. Para pengawal merasa seolah-olah tempat itu dilanda angin puting beliung. Tubuh mereka bergetar keras sedang kaki masing-masing terasa goyah. Beberapa orang tampak jatuh terbanting.  Debu  pasir  beterbangan menutupipemandangan.
Terdengar  suara  cambuk  dipecutkan.  Lalu  gemertak roda-roda kereta. Ketika debu dan pasir surut ke tanah, kereta yang ditarik duaekor kudaitubersama penumpang- nya sudah takada lagidi tempat itu. Tak ada satupun dari para pengawal ituberani bergerakuntukmengikuti apa lagi coba mengejar.
***
Meskipun   rombongan   Ganco   Bumi   meninggalkan Demak  lebih dahulu,  namun dengan  memacu dua ekor kuda   penarik   kereta  sekencang-kencangnya   dan   me- nempuh  jalan   memotong   menyeberangi   sebuah   kali dangkal, di sebuah jalan tanah yang kiri kanannya sarat dengan pepohonan jati, Pendekar 212 berhasil memapaki perjalanan Ganco Bumi dan lima anak buahnya.
Ganco  Bumi  yang  tengah  memacu  kudanya  dengan kencang  mengangkat  tangan   memberi  tanda.   Namun gerak-gerik   keenam   binatang   ini   jelas   menunjukkan keresahan.  Kuda-kuda itu  kelihatan  menggerak-gerakkan ekor  mereka  tiada  henti.  Kaki  masing-masing  tak  bisa diam. Di antaranya adayang meringkik seolah ketakutan.
Sesaat  keenam  orang  itu  hanya  memandangi  kereta yang melintang di tengah jatan  itu. Orang yang menjadi kusir kereta seenaknya memandang ke arah hutan jati di

depannya sambil  mengusap-usap  monyet yang duduk di sampingnya. Dia seolah-olah tidakmelihat atau mendengar kemunculan Ganco Gumi dan anak buahnya. Padahal jelas- jelas  dia  memelintangkan  kereta  untuk  mencegat  rom- bongan itu.
Setelah  mengalihkan  pandangannya  pada  peti  mati besar di atas  kereta, Ganco Bumi yang tidak dapat  lagi menahan  kemarahannya  karena  perjalanannya  sengaja diganggu  pemuda  tak  dikenal  itu  menghardik  dengan keras.
"Orang gila dari mana mencarimatiberani menghadang perjalananku!"
Pendekar 212 terus mengusap kuduk Ken Cilik. Tanpa berpaling  ke arah  rombongan Ganco  Bumi dia  bertanya pada monyet disampingnya.
"Ken Cilik, apakah ini salah seorang dari calon isi peti mati kita?!"
Ken Cilik putar kepalanya. Kedua matanya memandang besar-besar ke arah Ganco Bumi. Lalu binatang ini mulai berteriak-teriak sambil melompat-lompat.
Pendekar 212 manggut-manggut.
"Bagus!  Jadi  kau  sudah  mengenali  salah  satu  dari manusia-manusiadurjana itu!" ujar Wiro. Tangan kanannya diturunkan  menarik  sebuah  palang  kayu.  Tangan  kiri menjangkau cambuk kereta.
Terdengar suara berkereketan.
Ganco  Bumi  yang  kembali  hendak  membentak  jadi terkancing mulutnya. Dia mengernyit sementara lima anak buahnyaterperangah ketikamenyaksikan bagaimana kayu penutup peti mati terbuka perlahan-lahan dengan menge- luarkan suara menggidikkan.
Ketika penutup peti mati terpentang lebar dan Ganco Bumi serta lima anak buahnya melihat dua sosok tubuh yang tergelimpang didalamnya, karuan sajakeenam orang

ini keluarkan seruan tertahan. Mereka menyaksikan dua sosok  mayat  di  dalam  peti  mati  itu.  Mayat  di samping kanan adalah mayat Adipati Demak Bandoro Wiseso.
"Demi setan! Apa yang terjadi dengan Adipati inil" kata Ganco Bumi dengan mata mendelik. Pagi tadi dia masih menemui Adipati  itu  dalam  keadaan  hidup  dan tertawa gembira  karena diberi  hadiah seorang gadis cantik.  Kini tahu-tahu sudahjadi mayat!
Mayat kedua yang tampakmulaimembusukmasihbisa dikenali oleh Ganco Bumi yait u tidak lain dari pada mayat Bintara Anggoro, salah seorang dari sekian banyaksekutu- sekutukomplotannya.
"Ini benar-benar gilal" Ganco Bumi memaki dalam hati. "Aneh,  mayat  Bintara  itu  jelas  mulai  membusuk,  tapi mengapatidak menebar bau?!"
Saat itu balk Ganco Bumi maupun para anak buahnya tidak dapat melihat sosok tubuh Sumiati yang dibaringkan Wiro disisikereta sebelah kiri, terhalang oleh peti mati.
"Manusia berkulit hitam! Berpakaian serba hitam! Aku tahu kau adalah salah satu dari tiga anjing Ganco Item! Katakan kau ini Ganco yang mana?! Ganco Langit, Bumi atau  Laut?!" Wiro bicara dengan tetap tidak bergerak di atas tempat duduk kereta dan menatap ke arah hutan jati.
Ditanya seperti itu tentu saja Ganco Bumi menjadi me- radang berang.
"Bangsat kurang ajar!" teriaknya memaki. "Aku Ganco Bumi bisasajamembungkam mulutmudan menjebloskan- mu ke dalam peti mati itusemudah membalikkantelapak tangan! Tapi buat apa harus mengotori tangan melayani cecunguk macammu?!"
Makiannya  ini  dijawab  oleh  Ken  Cilik  dengan jeritan- jeritankeras.
"Anak-anak! Lekas kalian bikin lumat pemuda gila itu!" teriak Ganco Bumi.

Lima  anak  buah  gerombolan  Ganco  Item  turun  dari kuda   masing-masing,   lalu  sambil   menghunus  senjata mereka yaitu ganco besi yang ujungnya runcing mengeri- kan, kelimanya melompat ke atas kereta. Lima ganco maut berkelebat diudara!
Pendekar 212 keluarkan suara mendengus.
"Ganco Bumi! Aku telah bersumpah untuk membunuh- mu!  Peti  mati  itu  kusediakan  untuk  dirimu  serta  dua saudaramu!"
Ganco  Bumi  tertawa  bergelak.  "Sudah  macam  orang gila, bicarapunseperti mimpi!"
Wiro balas tertawaan orang dengan cibiran.
"Nyawamu tak bakal lolos dariku Ganco Bumi! Tapi jika kau  memang  mngumpan  anak  buahmu  untuk  menyem- bunyikan kepengecutanmu, li hat saja apa yang akan ter- jadi!"
Tubuh Wiro tampakberdiritapikedua kakinya tidak ber- geser sedikitpun. Tangan kirinya yang memegang cambuk bergerak. Terdengar suara cambuk itu berkelebat di udara laksanagelegar petir. Bersamaan dengan itu Wiro hantam- kan tangan kanannya. Lalu kaki kirinya membuat gerakan menendang.
***



WIRO SABLENG

PETI MATI DARI JEPARA


11

TIGA jeritan menggema sampai ke dalam hutan jati. Tiga penyerang jatuhterkapardi tanah. Satu pegangi mukanya yang mengucurkan darah. Muka itu robek akibat  hantaman  cambuk.  Yang  lain  merintih  di  tanah sambil pegangi dada yang dilabrak jotosan. Dari mulutnya membusa ludah bercampur darah. Orang yang ketiga ter- geletak di tanah sarnbil rnelejang-lejangkan kaki lalutidak bergeming lagi.
Mati  dengan  kemaluan  pecah  disambar  tendangan Pendekar 212!
Belum habis rasa terkejut Ganco Bumi melihat apa yang terjadi, di atas kereta Wiro kembaligerakan tangan kirinya sambil membungkuk untuk menghindari ganco besi yang menyambarkearahlehernya.
Cambuk  kereta  itu  meletup  keras.  Menyusul  jeritan korban yang ke empat. Seperti kawannya tadi, penyerang yang ke empat jatuh bergulingan ditanah sambil pegangi mukanya yang berlumurandarah. Hantaman cambuk mem- buat  luka  membelintang  dalam  di  mukanya,  mulai  dari pinggiran mata kiri sampaikedagukanan!
Penyerang ke lima yang datang dari belakang agaknya akan berhesil manancapkan ganco besinya ke punggung Wiro. Ganco Sumi menyeringai.
"Kini baru tahu rasa pemuda gila itu." katanya dalam hati. Tapi seringai Ganco Bumi menjadi lenyap ketikatiba- tiba  di  atas  kereta  Pendekar  212  balikkan    tubuhnya. Tangan   kanannya   dengan   cepat   menjambak   rambut

penyerangnya lalu dihempaskan ke samping. Ganco yang tadi ditikamkan lewat hanya seujung kuku di depan dada Wiro namun sempat merobek pakaian sang pendekar.
Wiro tarik  kepala orang yang dijambaknya  ke depan. Begitu  kepala  itu tertarik Wiro  hantamkan  keningnya  ke kening  lawan. Orang  itu  menjerit setinggi  langit.  Peman- dangannya gelap. Keningnya mengucurkan darah. Senjata- nya  lepas dari tangan.  Dengan satu sentakan saja Wiro membanting tubuh orang itukebawah kereta!
"Keparat! Ganco Bumi akan melomat tubuhmu!" teriak Ganco   Bumi  seraya   menggebrak   kudanya   mendekati kereta.  Di  tangan  kanannya  sudah  tergenggam  sebuah ganco besi yang memancarkan warna hitamtanda senjata itu bukan senjata sembarangan.
"Manusia durjana bernama Ganco Bumi!" teriak Wiro. "Untuk  ke  neraka  kau tidak  memerlukan  kuda!"  bentak Wiro. Cambuk di tangan kirinya berkelebat. Mengira dirinya yang hendak jadi sasaran, Ganco  Bumi cepat  miringkan tubuh ke kiri. Tapi cambukitu ternyata menyambarkearah kepalakuda.
Craass!
Mata kanan kuda itupecah.
Binatang tunggangan Ganco Bumi ini meringkik keras sambil  angkat  ke  dua  kaki  depannya  tinggi-tinggi,  me- lemparkan Ganco Bumi dari punggungnya!
"Bangsat! Makan ini!" teriak Ganco Bumi. Sambil jungkir balik di udara tangan kirinya dihantamkan ke arah Wiro. Lima  buah senjata  rahasia terbuat  dari  besi  hitam  ber- bentuk bintang bersudut tiga melesat ke arah  Pendekar 212.
Melihat datangnya serangan ganas ini Wiro segera me- lompat dari atas kereta. Tapi begitu kedua kakinya meng- injak tanah dari samping Ganco Bumi sudah menerkam dengan ganco besinya.

Wuuut!
Ujung tajam senjata di tangan Ganco  Bumi  menderu menyambar kearahtenggorokan Wiro. Serangan ini sama sekalitidak terduga dan sangat cepat.
Pendekar  212  berseru tegang.  Dia  melompat sambil miringkan  kepala  untuk selamatkan  leher.  Dia  berhasil. Tapi  lagi-lagi  tidak  terduga  ganco  besi  itu  menukik  ke bawah, menyapu ke arah bawah perutnya!
Untuk kedua kalinya Wiro berkelit dengan melompat ke belakang. Meskipun dia sempat menyelamatkan anggota rahasianya yang hendak direnggut senjata lawan, namun Wiro tidak mampu menyelamatkan paha kanannya. Ujung tajam ganco  besi  merobek dan  menembus  paha celana Pendekar 212 lalumelukaidaging pahanya.
Wiro mengerenyit. Torehan luka itu terasa seperti api membara.  Murid  Eyang  Sinto  Gendeng  ini  sadar  kalau senjata lawan memiliki racun sangat jahat!
Di depannya Ganco Bumi tertawa bergelak.
"Pemuda gila! Ternyata hanya sebegitusaja kehebatan- mu! Kau tunggulah beberapa kejapan mata! Racun ganco besiku  akan  menghancurkan  jantungmu!  Tapi  sebelum mampus harap kau beritahu mengapa kau menghadang perjalananku!"
"Manusia  iblis! Jangan terlalu  cepat  gembira!" jawab Wiro. Meskipun Eyang Sinto Gendeng menyatakan dirinya kebalterhadap segala macam racun namun Wiro tak mau bertindak gegabah. Dia cepat menotok pahanya yang ter- luka guna mencegah menjalarnya racun ke dalam aliran darahnya.
"Aku  bukan cuma  menghadang jalanmu tetapi  meng- hadang nyawa busukmu!"
"Setan alas! Kau masih belum menjawab pertanyaanku! Apa kautidak tahu kalau sebentar lagi nyawamu bakalan putus?!"

Wiro sunggingkan seringai mengejek.
"Beberapa waktu lalu kaudan dua saudaramu menyer- bu desa Jatingaleh.  Kalian  bukan saja  merampok  harta benda  penduduk,  tapi  juga  membunuh  dan  menculiki Kepala  desa  dan  istrinya  ikut jadi  korban.  Anak  gadis mereka  kalian  culik  dan  kalian  rusak  kehormatannya! Kakek gadis itu dibunuh secara keji oleh Bintoro Anggoro. Anak gadis kepala desa Jatingaleh kemudian kau berikan pada  Adipati  Demak  sebagai  hadiah  dan  umpan  keji! Sekarang  kau  lihat  sendiri  pembalasan  bagi  manusia- manusia terkutuk itu! Anggoro dan  Bandoro Wiseso ada dalam   peti   mati.   Peti   itu   masih  cukup   besar   untuk menyumpalkan mayatmu dan mayat dua pimpinan Ganco Item lainnya!"
Sesaat Ganco Bumi jadi terkesiap mendengar ucapan Wiro.  Namun  di  lain  kejap  manusia  bermuka  hitam  ini membentak garang.
"Bangsat! Rupanya kau bangsa manusia yang ingin jadi pahlawan!  Lalu  apa  urusanmu  sebenarnya  melakukan semua ini?!"
"Ranalegowo, kepala desa Jatingaleh adalah pamanku. Istrinya adalah bibiku! Kioro Mertan adatah kakekku dan gadis  yang  kau  culik  itu  adalah  sepupuku!  Apa  perlu penjelasan lagi manusiamuka pantat kuali?!"
"Hemm....  Jadi  kau  rupanya  muncul  untuk  menuntut balas!" Ganco Bumi kembali tertawa gelak-gelak. "Kau tak punya waktu! Nyawamu keburu putus sebelumkau sempat menghitung sampai sepuluh!"
Ganco Bumi menunggu beberapa saat. Pada perkiraan hitungan yang kesepuluhhatinya mulairisau dan tampang- nya berubah. Pemuda di hadapannya itu masih tegak ber- diri. Sama sekali tidak  menemui  kematian akibat  racun ganas ganco besinya!
Tak ada jalan.  Dia  harus  benar-benar  melumat tubuh

pemuda itu. Maka didahulul satu bentakan keras Ganco Bumi menyerbu dengan senjata beracunnya. Serangannya sungguh luar biasa. Ganco besi di tangannya lenyap, ber- ubah menjadi lingkaran-lingkaran yang sabung menyabung mengurung Pendekar 212 dari segala penjuru.
Sebagai  orang  kedua  dalam  komplotan  Ganco  Item memang  Ganco  Bumi  memiliki  kepandaian yang sangat tinggi. Antara  dia  dengan  kakaknya  hanya terpaut  satu tingkat saja. Tetapi Ganco Langit memiliki satu kehebatan yang tidak dimiliki oleh Ganco Bumi yakni semacam ilmu kebal yang membuatnya tidak mempan pukulan maupun senjata.  Tubuhnya  bisa  dibuat  babak  belur  tetapi  tidak mungkin untuk membunuhnya selama tidak diketahul ke- lemahannya.  Ganco  Bumi  telah  berulang  kali  meminta padakakaknya itu agar dia diberipetunjuk bagaimana cara mendapatkan  ilmu  kebal tersebut.  Namun Ganco  Langit tak pernah mengabulkan permintaan adiknya itu.
Untuk beberapa lamanya Wiro merasakan dirinya ter- tekan  dan  seolah-olah  tak  bisa  keluar  dari  buntalan serangan  lawan.  Hanya  kecepatan  geraknya  saja  yang mampu   mengimbangi  serangan  Ganco   Bumi.  Setelah didesak terus selama  empat jurus  Pendekar  212  mulai berusaha  mengirimkan  serangan-serangan  balasan.  Dia mainkan jurus-jurus silat  Gila Tua yang terkenal ampuh dalam bertahan. Secara bersamaan dia keluarkan jurus- jurus silat Eyang Sinto Gendeng. Tenaga dalam dialirkan pada keduatelapak tangannya.
Ternyata Ganco Bumi mengetahui apa yang dilakukan lawannya.  Karenanya, sebelum  Wiro  mulai  melancarkan serangan yang  mengandung tenaga dalam, Ganco  Bumi melipatgandakan kecepatan serangannya. Kini bukan saja senjatanya  yang  lenyap,  tubuhnyapun  berubah  menjadi bayang-bayang.
Wiro  menghantam  sebat  beberapa  kali,  tapi  hanya

mendapatkan  pukulan-pukulannya  menghantam  tempat kosong. Tak ada jalan lain. Dia harus menjagajarak ter- hadap lawan. Dengan kata lain dia harus menjauhkan diri hingga punya kesempatan untuk melancarkan serangan.
Wiro keluarkan suitan nyaring. Tubuhnya berkelebat ke arah kerapatan pohon-pohon jati. Ganco Bumi mengejar. Wiro   melompat   kebalik   pepohonan  yang   lain.   Begitu dilakukannya berulang kali.
"Pengecut!"  teriak   Ganco   Bumi.   Ganco   di  tangan kanannya  menderu  kian  kemari.  Batang-batang  pohon berlubang-lubang  dan  terbongkar  berantakan.  Dapat  di- bayangkan kalau senjata Itu sempat mengoyak tubuh Wiro.
Ketika Ganco Bumi mengejar terus dan jarak mereka terpisah tiga pohon, Wiro pergunakan kesempatan untuk melepaskan pukulan "segulung ombak menerpa karang".
Ganco  Bumi  terkesiap  ketika  mendengar  ada  deru angin  laksana gemuruh  badai  menghantam  ke arahnya. Cepat-cepat dia melompat ke balik pohon jati besar. Dua pohon jati didepannya tampak bergetar hebat, hampir ter- cabut dariakarnya.
"Keparat! Yang  kuhadapi  bukan  manusia!  Bagaimana dia  bisa  memiliki  kekuatan sehebat itul"  berucap Ganco Bumi dalam hati. Dia segera mengeruk saku pakaiannya mengambil senjata  rahasia  besi  bintang tiga. Selagi dia mengintai mencari kesempatan untuk melepaskan senjata rahasia itu,dariseberang sana Wiro kembali menghantam dengan pukulan sakti tadi.
Ganco Bumi memaki habis-habisan. Dia selamatkandiri dengan membuat lompatan berputar hingga akhirnya dia beradatepat di belakang Wiro.
"Sekarang tamat  riwayatmu!"  kertak  Ganco  Bumi.  Di- dahului dengan melemparkan lima senjata rahasia berupa besi berbentuk bintang tiga itu,
Ganco  Bumi  kemudian  menyerbu  dengan  ganco  be-

racun.
Saat  dia  melompat  itulah,  sebuah  bends  tiba-tiba melayang dari atas pohon di sampingnya. Lalu terdengar suara  pekik  melengking  keras. Ternyata  Ken  Cilik telah meninggalkan kereta dan naluri binatang ini menginginkan dirinya untuk ikut membantu Wiro membunuh orang yang telah membunuh tuannya.
Ken Cilik berhasil bergayut di punggung Ganco Bumi. Kuku-kukunya mencengkeram dan taring-taringnya dihun- jamkan   ke   daging   Ganco   Bumi.   Orang   ini   menjerit kesakitan.
"Binatang  keparat!"  Ganco  Bumi  pergunakan  tangan kirinya menangkap tubuh Ken Cilik. Dia berhasil menceng- keram kuduk monyet ini lalumembantingkannyake tanah. Ken Cilik memekik keras dan berguling-gulingdi tanah.
Pendekar 212 Wiro Sambleng pukulkan tangan kanan- nya. Dua senjata rahasia lawan mencelat mental. Yang tiga lainnya  dihindarkan  dengan  menjatuhkan  diri  ke tanah. Selagi Wiro bergulingan Ganco Bumi cepat mendatangani sambilayunkan ganconya ke perut Wiro.
Kaki kanan Pendekar 212 melesat ke atas lebih cepat.
Kraakkk!
Tulang  sambungan  siku  tangan  kanan  Ganco  Bumi hancur. Ganco yang digenggamnya terlepas mental jeritan orang ini seperti merobek langit. Dengan kalap tangan kiri- nya mengeruk saku pakaiannya untuk mengambil senjata rahasianya. Namun kembali kaki kanan Wiro bergerak. Kali ini menyapu kedua pergelangan kakinya. Tak ampun lag! Ganco  Bumi terbanting terbanting tertelentang di tanah. Sewaktu dia mencoba bangun lutut kiri Wiro sudah mene- kan perutnya. Lalu terjadilah pembalasandendam itu.
Tinju Wiro kiri kanan menderu bertubi-tubi menghantam dada  dan  muka  Ganco  Bumi. Tulang-tulang  iganya  ber- patahan.  Tulang  dada  melesak  remuk.  Mukanya  babak

belur.  Darah  mengucur  dari  mulut,  hidung  dan  kedua matanya!
Wiro tidak tahu  berapa  lama  dia  menghujani  Ganco Bumi dengan hantaman-hantaman keras itu. Dia baru ber- henti  ketika  kedua  tangannya  terasa  sakit.  Tapi  begitu mendengar suara erangan tanda orang itu masih belum mati, Wiro jambak rambut Ganco Bumi lalu menghantam- kannya ke batang pohon jati. Terdengar suara menggidik- kan ketikabatokkepala Ganco Bumi beradu dengan pohon jati dan rengkah!
Ken cilik memekik panjang.
Wiro angkat tubuh Ganco Bumi yang sudahjadi mayat itu lalu melemparkannya ke dalam peti mati. Tiga mayat kihi memenuhi peti mati hitam besar itul Sesaat Pendekar 212  memandang  berkeliling  sambil  menggaruk  kepala. Pandangannya   membentur  salah  seorang  anak   buah Ganco Bumi yang tadi dihantamnya dengan cambuk dan saat itu masih terkapar di tanah dengan luka panjang di wajahnya dan masih mengucurkandarah.
Wiro dekati anggota komplotan penjahat ini, cekal kerah bajunya  kuat-kuat sementara tangan  kanannya diangkat tinggi-tinggi  siap  untuk  menghantam  muka  yang  cidera berat itu.
"Jangan! Ampuni selembar  nyawaku!"  ratap orang  itu yang sebelumnyatelah menyaksikan secara menggidikkan bagaimana Wiro membunuh pimpinannya dengan tangan kosong.
Wiro menyiringai.
"Kalau  kau  masih  ingin  hidup,  turut  apa  yang  aku perintahkan!" katanya. Lalu anak buah komplotan penjahat itudilemparkannya kebagian depan kereta.
***



WIRO SABLENG

PETI MATI DARI JEPARA


12

GANCO LANGIT melangkah mundar-mandir. Sebentar- sebentar tangan  kanannya  dipukulkan  ke  batang- batang  pohon  yang  ada  di  dekatnya  hingga  kulit
pohon itumelesat atau pecah terkelupas. Dia sedang kesa! dan marah.
"Keparat  Ganco  Bumi  itu!  Sudah  siang  begini  masih belumkelihatan pangkal hidungnya!"
Jaminten yang tegak di sebelahnya  berkata, "Jangan- jangan adikmu itu tidak membawa gadis itu langsung ke tujuan, tapi  mampir  dulu  di satu tempat  melampiaskan nafsunya!"
Tampang   hitam   Ganco   Langit   kelihatan   membesi. "Kalau  itu dilakukannya aku akan  menghajarnya sampai dia tahu rasa!" Lalu pimpinan gerombolan Ganco Item ini mendongakke atas. Sang surya tampak mulaicondong ke barat. Sasuai perjanjian Ganco Bumi harus sudah berada di lembah itupalinglambattengah hari.
"Ganco  Langit,"  Ganco  Laut  buka  suara.  "Dari  pada menunggu  menghabiskan  waktu,  bagaimana  kalau  kita bergerak  saja  ke  Demak  sekarang juga.  Seorang  anak buah kita tinggalkandisini. Kalau Ganco Bumi datang dia bisa memberitahu agar menyusulkita."
Ganco  Langit  bimbang  sesaat.  Namun  akhirnya  dia menyetujui  pendapat  Ganco  Laut  itu.  Seorang  anggota gerombolanditinggalkan di lembah guna menunggu Ganco Bumi. Tak ada seorangpun di antara mereka yang bakal menduga  kalau  kelak  Ganco  Bumi  akan  muncul  hanya

tinggaltubuh kasarnyasajadalam keadaan memar hancur.
Rombongan berkuda itu bergerak cepat menuju Demak. Di depan sekali Ganco Langit dan Ganco Laut. Disebelah belakang mengikuti sepuluh orang anak buah mereka. Lalu sebuah gerobak ditarik duaekor kuda. Jaminten berada di atas gerobak ini, duduk di samping kusir. Setelah gerobak menyusul sepuluh orang lagi anggota gerombolan.
Tepat  pada  saat  matahari  tenggelam,  setelah  me- nempuh   perjalanan   begitu  jauh   rombongan   akhirnya sampai di pinggir timur Demak. Dari sini mereka sengaja mengambil jalan mengitari pinggiran kota untuk sampaidi sebuah tanah datardimanaterdapatsebuah Masjid Besar.
Masjid  ini,  memiliki  halaman  luas.  Bangunannya  pun luas sekali. Di salah satu bagian mesjid terdapat sebuah ruangan dimana secara rahasia dan hanya beberapa orang saja yang tahu, disimpan beberapa barang pusaka Keraja- an. Barang-barang Itu antara lain adalah sebuah tameng emas yang bagian tengahnya dihias dengan sebuah batu merah  delima  sebesar  telur  burung.  Pada  pinggirannya ditaburi  dengan  berbagai  batu  permata  mutu  manikam serta mutiara. Laiu adasebuah gong yang jugaterbuat dari emas,  sebuah  rompi  emas  berhiaskan  berlian.  Sebelah keris bernama Kiyai Plered yang juga terbuat dari emas. Kemudianadapula seperangkatalat-alatminumdari emas yang  konon  kabarnya  merupakan  hadiah  dari  seorang kaisar di Tiongkok yang memerintah sekitar seratus tahun silam.
Entah   bagaimana   komplotan   Ganco   Item   berhasil mengetahul tentang  barang-barang  pusaka  berharga  itu. Mereka melakukan penyelidikan. Ternyata Mesjid Besar itu hanya  dijaga  oleh tujuh  orang  perajurit yang sehari-hari selalu berpakaian santri dan seorang tua yang dipanggil dengan nama Syekh  Martani.  Di mata Ganco langit dan kawan-kawannya pengawalan seperti itu sama sekali tak

ada artinya.
Dalam  Mesjid  Besar  Syekh  Martani  tengah  menjadi Imam  pemimpin solat  Magrib.  Hanya ada dua  perigawal berjaga-jaga  dekat  ruangan  penyimpanan  benda-benda pusaka. Kesempatan ini dipergunakan dengan sebaik-baik- nya  oleh  Ganco  Langit  dan  kawan-kawannya.  Mereka memasuki  pintu  halaman  Mesjid  Besar  hampir  tanpa suara. Di bawah pimpinan Ganco Langit dan Ganco Laut lima  belas  orang  anggota  gerombolan  bergerak  menuju ruangan tempat penyimpanan barang-barang bdrharga itu. Lima anggota lainnya dan juga Jaminten tetap berada di halaman belakang mesjid.
Dua penjaga yang ada di tempat itu disergap lalu di- habisi nyawa mereka tanpa banyak susah. Ganco Langit lalu  berusaha  mencari  kunci  pintu  ruang  penyimpanan barang pusaka. Beberapa orang menggeledah mayat dua penjaga. Tapi merekatak berhasil menemukan anak kunci. Dengan  tidak  sabaran  Ganco  Langit  mendobrak  pintu ruangan hingga jebol. Begitu pintu terpentang Ganco Langit memberi isyarat pada tiga orang anak buahnya lalumasuk ke dalam setelah menyuruh Ganco Laut tetap di luar untuk berjaga-jaga. Ganco bumi sengaja berbuat begitu karena ada  rasa  kawatir  kalau-kalau  Ganco  Laut  akan  berbuat curang,    mencuri    dan    menyelinapkan    barang-barang berhargayang adadisitu.
Ruangan  yang  dimasuki  itu  berada  dalam  keadaan gelap.  Satu-satunya  cahaya  yang  masuk  adalah  berkas cahaya  dari  ruangan  sembahyang.  Tapi  mata  manusia- manusia   penjahat   seperti   Ganco   Langit   yang  sudah terbiasa dengan kegelapan, tidak menemui kesulitan. Dia dan  anak  buahnya segera  dapat  melihat  barang-barang berharga itu tersusun rapidi atas sebuah rak panjang.
"Cepat ambil! Masukkan ke dalam kereta!" kata Ganco Langit lalu menyambar perisai emas dan gong emas. Tiga

anak  buahnya  cepat-cepat  membenahi  semua  barang- barangpusaka di atas rak.
"Cepat!" kata Ganco Langit lalumendahului keluar.
Ketika   Ganco    Langit    mendobrak    pintu    ruangan penyimpanan   barang,  suara  jebolnya   pintu  terdengar sampai di ruangan sembahyang yang luas. Mau tak mau Syekh Martani dan para jamaahlainnya menjadi terganggu kekhusukan sembahyang  mereka.  Lima  orang  pengawal yang  tengah  solat  Magrib  saat  itu  menjadi  curiga  dan merekatidak bisa menguasai diri lagi. Kelimanya lari ber- serabutan  ke  bagian  belakang  mesjid.  Mereka  terkejut sewaktu  mendapatkan  dua  teman  mereka  terkapar  di depan   ruangan   penyimpanan   barang  dalam   keadaan berlurnurandarah dan tak bernyawa lagi. Kelimanya masih sempat melihat punggung beberapa orang yang melarikan diri  ke  halaman  belakang  mesjid  sambil  memboyong barang-barang berharga. Langsung saja para pengawal ini berteriak  lalu  mengejar.  Namun  saat  itu  mereks  tidak membawa senjata. Enam orang anggota gerombolan yang bersenjatakan   ganco   besi   segera   menghadang   dan menyerang. Hanya beberapa gebrakan saja para pengawal itu jatuh  bersungkuran  dengan  luka-luka  mengerikan  di kepala, leher atau badan mereka! Mesjid Besar menjadi geger!
Syekh Martani menyelesaikan solatnya dalam keadaan sangat tidak khusuk. Begitu memberi salam orang tua ini cepat menyambarsebuah tongkat yang ujungnya ditancapi besi lancip. Sekali berkelebat dia sudah berada dihalaman belakang Mesjid Besar.
"Pencuri-pencuri  terkutuk!"  teriak  Syekh  Martani.  Dia mengira   yang   memboyong   barang-barang   pusaka   itu adalahpencuri-pencuri biasa.
"Ganco Laut! Bereskan orang tua itu!" berteria Ganco Langit.

Ganco  Laut  bukannya  langsung  melakukan apa yang dikatakan Ganco Langit, tapi malah menyuruh tiga orang anak buahnya untuk mencegat Syekh Martani. Dia sendiri kemudian ikut lari menujukereta.
Ketika ada tiga orang menghadangnya lalu menyerang dengan senjata  berupa ganco-ganco  besi  barulah Syekh Martani menyadari bahwa yang dikejarnya bukan pencuri- pencuri biasa. Orang tua ini begitumelihat senjata yang ter- genggam  di  tangan  tiga   penghadangnya  serta   merta merasakandarahnya berdesir.
"Gerombolan  Ganco  Item!"  katanya  dengan  hati  ter- getar. Sebagai penjaga keselamatanbarangbarang pusaka itu  tak  ada  jalan  lain.  Dia  harus  mengorbankan  jiwa raganya untuk mendapatkannyakembali!
Syekh   Martani   putar  tongkatnya   begitu  tiga   lawan menyerbu.
Tiga anak buah gerombolan Ganco Item sama terkejut ketika senjata masing-masing bentrokan dengan tongkat di tangan  si  orang  tua.  Tangan  mereka  tergetar  hebat. Dengan kertakan rahang ketiganya kembali menyerang.
***



WIRO SABLENG

PETI MATI DARI JEPARA


13

AMPIR   bersamaan  dengan  saat  Syekh   Martani dihadang oleh tiga orang anak buah Ganco Langit, di bawahudara yang mulai berangsurgelap,sebuah
keretaditarik duaekor kuda memasukipintu pagar Mesjid Besar.  Kendaraan  ini  berhenti  di  pintu  pagar  seperti sengajahendak menutupi jalan.
Di atas kereta, duduk sebagai kusir seorang lelaki yang ada  luka  melintang di  Mukanya.  Noda darah yang telah mengering pada muka itu membuat tampangnya menjadi
seram.
Di atas kereta itu terlihat sebuah peti mati hitam dan besar.   Papannya   sebelah   atas   nampak   tertutup.   Di samping kanan peti mati duduk seorang gadis berwajah pucat.   Rambutnya   riap-riapan.   Kedua   matanya   me- mandang lurus-lurus ke depan. Tubuhnya tidak bergerak sedikitpun. Dia duduk di lantal kereta seperti patung peri yang angker. Seekor monyet coklat duduk di pangkuannya.
Seperti  gadis  itu,  binatang  inipun  memandang  lurus- lurus  ke  depan.  Dari  mulutnya  keluar suara  mengerang halus.
Ketika dia melihat sosok Ganco Langit dan Ganco Bumi binatang ini langsung meiornpat dan berteriak-teriak.
Semua barang rampokan sudah dimaSukkan kedalam kereta. Ganco Langit memberi tandatinggalkan tempat itu. Namun  dari  terheran-heran  kemudian  menjadi  marah ketika melihat ada sebuah kereta berhenti di pintu pagar menghalangi jalan keluar.

"Kurang ajar!Singkirkan keretasialan itu!" teriak Ganco Langit.
Pada saat itu puladi bagian belakang Masjid Besar ter- dengar suara pekikan-pekikan. Ketika Ganco Langit, Ganco Bumi dan anggota-anggota Ganco Item lainnya berpaling, mereka bagaimana tiga orang kawan mereka satu demi satu tersungkur di tanah sambil pegangi perut dan dada yang ditembus tongkat Syekh Martani!
"Haram jadahl" maki Ganco Langit. Dia berpaling pada Ganco  Laut.  "Tadi  aku  perintahkan  kau  membereskan orang tua itu!" teriak Ganco Langit beringas.
"Ternyata Syekh Martani bukan orang tua sembarangan Ganco Langit," menjawab Ganco Laut.
"Perduli setan siapa dia kusuruh untuk menghabisinya saat ini juga!" bentak Ganco Langit. Dia berpaling ke arah kereta yang menutupi pintu.
Tiba-tiba    gerobak    yang    dimuati    barang-barang rampokan bergerak kencang ke arah kiri, melabrak pagar bambu dan terus menghambur dalam ke gelapan malam. Jaminten   yang   bertindak   sebagai   kusir   gerobak   itu mencambuki  dua  kuda  penarik  sekuat-kuatnya  hingga keduabinatang itularisepertikesetanan.
"Hail  Jamintenl"  teriak  Ganco  Langit.  Belum  sempat terpikir  oleh  benaknya  apa  yang  tengah  berlangsung, mengapa Jaminten melarikan gerobak yang sarat dengan barang-barang berharga itu. Baru saja dia hendak berlari ke kudanya untuk mengejar tiba-tiba orang yang duduk di atas    kereta    melompat    turun    dan    berteriak-teriak memanggil namanya.
"Ganco Langit! Ganco...!" Orang itu lari ke arah Ganco Langit pada saat Ganco Langit baru saja naik ke punggung kudanya. Dalam keadaan sepertiitu Ganco Langit langsung sajatendang orangyang mendatangisambil memanggilnya itu. Tendangan  itu agak  meleset  hingga  meskipun jatuh

yang   ditendang   masih   sempat   bangun   dan   kembali berteriak.
"Ganco Langit... Ganco Bumi mati dibunuh ...!"
"Hah! Apa  katamu?!" Ganco  Langit tahan tali  kekang kudanya dan menoleh. Baru saat Itu dia mengenaliwajah yang luka mengerikan itu.
"Astaga!   Bukankah   kau   salah   seorang   yang   ikut bersama   Ganco   Bumi   ke   tempat   kediaman   Adipati Demak?! Mana adikku?!"
"D...dia..." Orang itu menunjuk ke arah kereta di pintu pagar.
"Ganco Bumi mati...mati dibunuh … "
"Bangsat! Jangan kauberani bergurau!"
"Saya tidak bergurau Ganco...lihatsendiri! Mayat Ganco Bumi ada di atas kereta itu...!"
Ganco Langit sentakan tali di ujung sana. Begitu sampai didekat kereta, terkejutlah Ganco Langit. Perempuan yang duduk  tak  bergerak  di  atas  kereta  itu  ternyata  adalah Sumiati, anak gadis Ranalegowol Bukankah diaseharusnya berada di tempat kediamanAdipati Demak saat itu?
Monyet   di   atas   kereta  tiba-tiba   menjerit-jerit   dan melompat-lompat kembali. Ganco Langit merutuk. Matanya mencari-cari tapi dia tidak menemukan adiknya di situ. Dia memandang lekat-lekat padapetimati hitam.
Tiba-tiba terdengar suara  berkeretakan.  Penutup  peti mati perlahan-lahan terbuka. Ganco Langit mencium bau tidak  enak.  Bau  amisnya  darah!  Matanya  membeliak memperhatikan penutup peti
mati yang terus membuka hingga akhirnya terpentang lebar.   Kedua   mata   Ganco   Langit   kini   bukan   cuma membeliak, tapisepertihendak terbongkar dari rongganya!
Di dalam peti mati itu! Qia melihat sosok tubuh yang hancur  memar  tapi  masih  bisa  dikenalinya.  Itu  adalah sosok tubuh adiknya yang sudah jadi mayat! Di sebelah

mayat  adiknya  masih  ada  mayat  lain, juga  di  sebelah bawah. Tapi dia tidak perduli pada mayat-mayat lain itu. Dia hanya perdulipada mayat adiknya.
"Ganco Bumi!" teriak Ganco Langit menggeledek. "Siapa yang membunuhmu!" Dia hendak melompat dari punggung kudanya  ke  atas  kereta.  Tapi  tiba-tiba  dilihatnya  sosok mayat adiknya bergerak kaku ke atas! Bulu kuduk Ganco Langit merinding. Adiknya jadi mayat hidup!
***


WIRO SABLENG

PETI MATI DARI JEPARA

14

MENDADAK mayat Ganco Bumi disangka bergerak hidup itujatuhterhempas kedalam peti kembali! Bersamaan   dengan   itu   sesosok   tubuh   lain
menyeruak  muncul  dari  dalam  peti  di  iringi  suara  tawa bergerak!
Ganco Langit mundurkan kudanya ketika menyasikan bagaimanasesosok tubuh pemudaberpakaian putih kumal dan penuh dengan noda-noda darah bergerak tegak lalu berdiri di atas peti mati. Saat itulah Ganco Langit sempat melihat mayat Bintara Anggoro dan mayat Adipati Demak Bandoro   Wiseso.   Seganas-ganasnya   manusia   seperti Ganco Langit, mau tak mau diajaditercekat.
"Siapa kau?!" dia menghardik padapemuda yang masih berdiri didalam peti mati.
Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai.
"Aku Malaikat Maut yang telah mengambil nyawa busuk adikmu  serta  dua  sekutumu!  Sekarang  giliranmu  untuk kujemput!" Dosa kalian sedalam lautansetinggi langit!"
"Orang gila keparat!" maki Ganco Langit. Dia berpaling pada  Ganco  Laut.  "Kau  bereskan orang sinting  ini! Aku akan mengejar perempuan gemuk yang kabur membawa barang-barangpusakaitu!"
"Kau   saja   yang   membereskannya.   Biar   aku   yang mengejar Jaminten!" menjawab Ganco Laut.
"Turut perintahku! Jangan berani membantah!"
"Sekali ini aku terpaksa membangkang Ganco Langit! Aku sudah memutuskan untuk tidak bergabung lagfdalam komplotan Ganco Item!"
"Keparat  kau Ganco  Laut!" teriak Ganco  Langit. "Aku tahu apa yang.ada di benakmu!" Ganco Langit ingat pada

kejadian beberapa waktulalu. Malam-malam ketika Ganco Laut dan Jaminten diintainya mandi-mandidan bersenang- senang dikali kecil.
Ganco Laut tak mau berdebat panjang dengan Ganco Langit. Dia menggerakkan kudanya.
"Mau kemana kau Ganco Laut? Jangan kira aku tidak tahu persekongkolankalian! Kau dan Jaminten sama-sama pengkhianat! Jangan kauberanimeninggalkan tempat ini!"
"Aku pergi!" kata Ganco Laut. Dengan cepat Ganco Laut menangkap tangan itu. Untuk sesaat keduanyasaling men- cengkeram dan saling melotot satu sama lain.
"Mengingat  hubungan kita dimasa  lalu, aku tak suka kita saling melakukan kekerasan, Ganco Langit. Itu bukan berarti aku takut padamu. Aku tahu kau manusia kebal macam senjata dan pukulan. Tapi akujuga tahu di mana rahasia kelemahanmu! Jadi jangan coba-coba mencegah!"
"Anjing  kurap!  Lebih  cepat  kau  mampus  lebih  baik!" teriak Ganco Langit. Lalu dia hunus ganconya. Sinar putih berkelebat  dalam  gelapnya   malam.  Ganco  di  tangan pimpinan penjahat itu terbust dari besi putih.
"Apa maumu akan kulayani Ganco Langit!" tukas Ganco Laut.  Lalu diapun  mencabut ganconya yang terbuat dari besi hitamseperti yang dimiliki Ganco Langit. Masih di atas kuda  kedua  pimpinan gerombolan  ini  mulai saling  baku hantam.   Sementara   anak   buah   mereka   meyaksikan dengan terheran-heran spa yang terjadi.  Kebencian satu sama lain serta keserakahan telah membuat Ganco Langit dan Ganco Laut melupakan bahwaseharusnya merekaber- gabung  untuk  menghadapi  Wiro  yang  telah  membunuh Ganco Bumi!
Di  atas  kereta  Pendekar  212  Wiro  Sableng  meng- gerendeng.  Dia  tak  Ingin  kedua  orang  itu  saling  ber- bunuhan. Kalau mereka harus mati maka dialah yang akan membunuhnya.   Demi   untuk   membalaskan  sakit   hati dendam kesumat kematian kakeknya, paman, bibi serta sejuta  penderitaan yang kini dirasakan Sumiati saudara sepupunya.

Wiro   memegang   bahu   Sumiati   yang   sebelumnya memang sengaja  didudukkan Wiro setelah  ditotok  lebih dahulu. Dia ingin Sumiati me nyaksikan pembalasan yang akan dilakukannya terhadap dua dari tiga manusia yang telah membunuh kedua orang tuanya dan kakeknya serta merusakkehormatangadis itu secara keji!
Ken Cilik memekik keras.
Tubuh Pendekar 212 melesat dari atas kereta.
Sesaat kemudian terdengar suara dua kuda meringkik kesakitan.  Binatang-binatang  ini  menyentakan  kaki-kaki depannya tinggi-tinggi sehingga Ganco Langit dan Ganco Laut yang  menunggunya tercampak  ke tanah  walaupun merekabisajatuh dengandengan keduakakidahulu. Saat itu  keduanya  baru  sadar  bahwa  yang  harus  mereka lakukanialah menghadapi Pendekar 212.
"Ganco Laut! Untuk sementara lupakan dulu pertikaian kita! Bantu aku menghabisi bangsat yang telah membunuh adikku ini!"
Sesaat   Ganco   Laut   tampak   agak   ragu.   Namun kemudian tanpa berkata apa-apa dia malah mendahului melompat menyerang Wiro.
"Tahan!" mendadak terdengar suara seruan.
Syekh Martani muncul di tempat itu. Dia memandang ke arah Ganco Langit dan Ganco Laut dengan mata berapi- api.
"Kalian   merampok   harta   pusaka   Kerajaan!   Lekas kembalikan  atau  kalian  akan  kutebas seperti tiga  anak buahkalian!"
"Tua  bangka  tak  berguna!'  Kau  mampuslah  duluan!' bentak Ganco Laut. Senjatanya yaitu sebuah ganco besi hitamberkelebat.
Syekh  Martani tusukkan tongkat  kayu yang  berujung besi lancip. Tapi mendadak dia merasakan leher pakaian- nya ditarik orang ke belakang hinggabaik tusukan tongkat- nya  maupun  hantaman  ganco  Ganco  Laut  yang  hanya mengenaiudara kosong.
Berpaling ke belakang Syekh Martani dapatkan bahwa

pemuda berambut gondrong itulah yang barusan menarik- nya.
"Lepaskan peganganmu! Apa-apaan ini?!" teriak orang tua itu.
"Jika  kau  ingin  dapatkan  barang-barang  itu  kembali, cepat  menuju  ke timur.  Kejar sebuah  gerobak yang  di- kendarai oleh seorang perempuan gemuk! Barang-barang itu adadalam gerobak!" Wiro tarik lagileher pakaian orang tua  itu  hingga Syekh  Martani  kembali terjajar  ke  dekat pintu  pagar.  Merasa  apa  yang  dikatakan  si  pemuda memang betul maka orang tua ini cepat melompat ke atas punggung seekor kuda. Tapi enam orang anak buah Ganco Langit sudah mengurungnya.
"Apa kau sudah siap untuk mati, pemuda gila?" Ganco Langit  bertanya  dengan  nada  mengejek  pada  Pendekar 212. Dia tidak lagi memperdulikan Syekh Martani karena anak buahnyasudah mengurung orang tua itu.
Wiro tertawa  kecil. "Terbalik!"  katanya. "Justru akulah yang  telah  menyediakan  peti  mati  bagi  kalian  berdua. Bersama tiga orang yang sudah ada di dalam sana kalian bisa berangkat ke neraka!"
Murid Eyang Sinto Gendeng ini lalu cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Ganco Langit dan Ganco Laut tak mau menunggu lebih lama. Ganco Langit bergerak  lebih  dahulu,  disusul  oleh  Ganco  Laut.  Kedua orang ini baru sadar bahwa senjata di tangan lawannya bukanlah senjata sembarangan ketika Wiro mulai alirkan tenaga  dalamnya  ke  tangan  kanan.  Kapak  itu  tampak mengeluarkan cahayalebih terang dalam gelapnya malam.
Ganco  Langit  dan  Ganco  Laut  keluarkan seruan ter- tahan ketikasinar menyilaukan membabat di udara diser- tai  menghamparnya  hawa  panas  menyengat  ditambah menderunya   suara   aneh   se perti   ada   ribuan   tawon menyerbu.
Ganco  Laut  cepat tarik tangannya guna  menghindari bentrokan   senjata.   Dia   maklum   bukan   saja   senjata berbentuk kapak bermatadua di tangan pemuda gondrong

itu adalah sebuah senjata muslika tetapi lawan jugajelas memilikitingkat tenaga dalam yang tinggi.
Lain halnya dengan Ganco Langit. Merasa memiliki ilmu kebal yang tidakbisaditandingi apa Jan siapapun dia coba menggaet senjata lawan dengan ganco besi putihnya. Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Cahaya yang memancar dari Kapak Naga Geni 212 semakinmenyilaukan. Dia terus membabat. Dan trang!
Ganco  Laut  berseru  kaget sambil  melompat  mundur. Ganco  besi  putihnya  kini  hanya tinggal  gagangnya  saja yang  ads  dalam  genggamannya.  Bagian yang  lain telah amblas putus di hantam senjata lawan.
Selagi Ganco Langit terkesima oleh kejadian yang tidak pernah disangkanya  itu,  Kapak  Naga Geni 212  berbalik lalumenghantam kearah dadanya. Ganco Langitterlambat untuk mengelak.
Bukkk!
Mata  Kapak  Maut naga Geni 212 melabrak dadanya dengan telak. Kepala gerombolan Ini mengeluh. Tubuhnya terjengkang di tanah. Dada baju hitamnya tampak robek dan hangus! Tapi hebatnya Ganco Langit tampak berdiri kembalimeskipun agak terhuyung-huyung.
Sesaat Pendekar 212 jadi bingung menyaksikan bagai- mana senjata mustikanya tidak mempan terhadap Ganco Langit.
"Durjana  ini  rupanya  memiliki  ilmu  kebal  luar  biasa!" membatin   Wiro.   "Adiknya   tidak   memiliki   ilmu   kebal. Bagaimanadengan Ganco yang satu?"
Saat   itulah  tiba-tiba  Ganco   Langit   menerjang  dan hantamkan  tinjunya  kiri-kanan  bertubi-tubi.  Wiro  terjajar beberapa langkah akibat tinju Ganco Langit yang berhasil menderadadadan pipi kirinya!
Dengan  darah  mendidih  Wiro  bacokkan  senjatanya. Hebatnya   sambil   tertawa-tawa   Ganco   Langit   seperti sengaja  memasang  diri.   Kapak   Naga  Geni  212  ber- gedebukan  di  tubuhnya.  Tubuh  Ganco  Langit  memang terpental atau terbanting berkali-kali. Tapi jangankan luka,

tergores   sajapun   tidak.   Hanya   pakaian   hitam   yang dikenakannya saja yang penuh robek serta hangus disana- sini.
"Puaskan hatimusebelum kepaiamu kupuntirsebentar lagi!"  kata Ganco  Langit  masih terus  mengumbar suara tawa.
"Bangsat  ini  benar-benar  hebat.  Kalau  kapakku  saja sudah tidak tembus naga-naganya aku bisa celaka!" pikir Wiro. "Aku harus cariakal. Putar siasat!"
Wiro melirik kearah Ganco Laut. "Kuharap saja bangsat satu ini tidakmemiliki ilmukebal yang sama!"
Memikir begitu Wiro iancarkan serangan kearah Ganco Laut. Serangannya seperti orang kalap, ganas luar biasa. Ganco Laut dibuat berjingkrak-jingkrak untuk dapat meng- elakkan senjata lawan.
Ganco Langit mendatangi dari samping. Wiro maklum dia harus segera membereskan Ganco Laut lebih dahulu. Apa dia bisa menghadapiGanco Langitsesudah itu adalah urusan nanti.
Ganco Laut bukanlah seorang penjahat sembarangan. Dia memilikidasarilmu silat yang tinggi dan tenaga dalam yang ampuh. Namun diserang secara bertubi-tubi seperti itu lama-lama membuat dia kelabakan juga. Pada jurus ke sembilan,  Kapak  Maut  Naga  Geni  212  memapas  bahu kirinya. Ganco Laut terpekik. Tubuhnya terasa panas dan darah   mulal   mengucur!   Selagi   dia   terhuyung-huyung senjatamustika di tangan Wiro itukembali membabat.
Untuk kedua kalinya Ganco Laut terpekik. Kali ini dada- nya yang amblas dilandakapak. Tubuhnya terhuyung, kaku diarubuh ke tanah, tersandar ke roda kereta.
Untuk  dapat  mendaratkan  kapaknya  ke  dada  Ganco Laut  tadi  Wiro  harus  membayar  mahal.  Tubuhnya yang tidak terlindung  berhasil  dijotos  Ganco  Langit  di  bagian perut. Tubuh Pendekar 212 terlipat ke depan. Ganco Langit hendak merampas Kapak Naga Deni 212 dari tangan Wiro, tapipemuda ini dengan cepat sodokkan gagang senjatanya ke  ulu  hati  Ganco  Langit.  Orang  ini  hanya  mengeluh

pendek. Setelah  itu dia  kembali  menyerbu Wiro.  Berapa kali  jotosannya   mampir  di  tubuh   murid   Eyang  Sinto Gendeng, itu. Satu kali tendangan padapinggangnya mem- buat Wiro terjajar danjatuh. Selagi dia mencoba bangun satu tendangan lagi menghantam punggungnya.
Pendekar 212 semburkan darah segar dari mulutnya. Pemandangannya   gelap   beberapa  saat.   Ketika   peng- lihatannya  pulih  kembali  teryata  dia  terduduk  di  tanah dekat sosok Ganco Laut.
Ganco Laut sendiri saat itusudahmenyadaribahwadia tak   bakal   hidup   lama.   Maksudnya   untuk   merampas Jaminten  tak   akan   kesampaian.   Rencananya   dengan perempuan    itu    melarikan    barang-barang    rampokan memang  berhasil. Tapi dia tak akan  pernah  merasakan hasil  rampokan  itu.  Jaminten  sendiri  entah  di  mana sekarang. Sakit hatinyaterhadap Ganco Langit yang pasti akan  hidup senang bersama Jaminten apakah dapat di- balaskan?
Dia  menoleh,  sesaat  memperhatikan  Wiro  yang  ter- duduk di sebelahnyadalam keadaan babak belur. Tiba-tiba Ganco Laut ingat. Ada satu cara untuk dapat membalaskan sakit  hatinya  terhadap  Ganco  Laut.  Kalau  memang  dia akan segera menemui ajal dia merasa tidak takut untuk mati. Tapi Ganco Langit juga harusikutmatibersamanya.
"Anak  muda,"  bisiknya  pada Wiro.  "Apapun yang  kau lakukan, kau tak bakaldapat membunuh lawanmu itu. Dia memiliki ilmu kebal. Kecuali jika kau bisa menusuk atau menghancurkan mata kirinya dengan telak.  Di situ letak kelemahannya!"
"Terima  kasih…" sahut Wiro. "Tapi  kau tetap  menjadi penghuni  peti  matiku!" Siku  kanannya  dihantamkam  ke dada kiri Ganco Laut, tepat diarah jantungnya. Tak ampun lagi orang ini langsung meregang nyawal
Ketika Wiro mencoba berdiri. Saat itu dilihatnya Ganco Langit mendatangi dengan cepat. Wiro tekan mata kepala naga  Kapak  Naga  Geni  212.  Dua  lusin  jarum  halus berwarna putih melesat dari mulut kepala naga padaujung

gagang  kapak.  Meskipun  Ganco  Langit  kebal  terhadap segala  macam senjata  namun terperangah juga  melihat datangnya serangan itu. Lalu menyeruak senyum sinis di wajahnya.  Dia  membiarkan  saja  jarum-jarum  putih  itu menghantam tubuhnya. Tak satupun yang bisa menancap. Semuanya kemudian luruh ke tanah.
Meskipun jarumnya  tidak  berhasii  mencelakai  lawan tapi tujuan utama Wiro adalah menipu perhatian lawan. Selagi  jarum-jarum  putih  berluruhan  dan  selagi  Ganco Langit  tertawa  mengejek  Wiro  lemparkan  Kapak  Maut Naga Geni 212 kearah kepala orang itu.
Pemimpin gerombolan Ganco Item ini meraung dahsyat lalujatuh dan berguling-guling di tanah. Kapak Naga Geni 212 masih menancap di mata kirinya. Wiro bangkit berdiri. Dia melangkah mendekati Ganco Langit. Begitu sampai di hadapannya  Wiro  hantamkan  kaki  kanannya  ke selang- kangan orang lain ini. Untuk kedua lalinya Ganco Langit meraung. Tubuhnya kelojotan beberapa kali lalu diam tak bergerak lagi.
Di atas kereta air mata tampak mengucur dari kedua mata Sumiati. Ken Cilik merundukan kepalaseolah dapat merasakan penderitaangadis mat!.
Satu  demi  satu  mayat  Ganco  Laut  dan  Ganco  Bumi dilemparkan Wiro ke dalam peti mati.
Di halaman kiri Mesjid Besar Syekh Martani memper- tahankan  diri  mati-matian  dari  keroyokan  anak  buah gerombolan.  Tubuhnya   luka-luka  di   beberapa   bagian. Sebelum Wiro sempat membantu orang tua ini, tiba-tiba sebuah gerobak diiringi oleh  hampir tiga  puluh  perajurit Kerajaan  memasuki  halaman  melalui  pagar  yang  telah roboh  diterjang  gerobak  yang  dilarikan  Jaminten.  Kini gerobak itu pulalah yang kembali.
Ario Gelem, Perwira Muda dari Kadipaten Jepara dialah yang menjadisais gerobak. Di sampingnya Jaminten duduk tersandar   dalam   keadaan   terikat   ke   tiang   gerobak. Mukanya   yang   gemuk   tampak   sembab   tanda   habis menangis.

"Hentikan   perkelahlan!"   teriak   Arlo   Gelem.   Anak buahnya  segera  mengurung  para  penjahat  yang tengah mengeroyok  Syekh  Martani.  Melihat  siapa  yang  datang membawa pasukan begitu banyak, para penjahat seperti merasa   putus   asa.   Apalagi   tak   seorang   pimpinan merekapun yang masih hidup. Dengan demikian selamat- lah nyawa Syekh Martani.
Bagaimana Jaminten  bisa digiring  kembali  ke  Mesjid Besar  bersama  gerobak  yang  memuat  seluruh  barang- barangrampokan itu?
Sejak siang harl itu, Perwira Muda Arlo Gelem bersama serombongan  pasukan  yang  didatangkan  dari  Kotaraja telah melakukan pengawasan di beberapa tempat. Mereka kemudian   mendapat   kabar   tentang   adanya   rencana perampokan harta benda Kerajaan yang disimpan dalam Mesjid Besar. Karena itulah Aria Gelem kemudian memim- pin  pasukan  tersebut  menuju  Demak.  Di  tengah  jalan mereka   berpapasan   dengan   Jaminten   yang   memacu sendiri  gerobak  yang  dilarikannya.  Karena  curiga  Ario Gelem  memerintahkan  Jaminten  menghentikan  gerobak untuk diperiksa. Mula-mula perempuan gemuk itumenolak bahkan melawan untuk diperiksa. Namun setelah benda- benda pusaka Kerajaan ditemui dalam gerobak itu, maka diapunditangkap dandibawa kembalike Demak.
Pendekar 212 Wiro Sableng mengusap kepala Ken Cilik Sumiati  kemudian dibaringkannya  kembali di atas  lantai kereta.
"Saatnya kita meninggalkan tempat ini, Ken Cilik. Peti kita sudah penuh. Manusia-manusia jahat yang kita cari sudahlengkap masuk didalamnya."
Ken Cilik menggembor haluslalumemekik tiga kali.
Ketika kereta itu mulai bergerak untuk meninggalkan halaman Mesjid Besar tiba-tiba Perwira Muda bernama Ario Gelem   mengangkat   tangannya   memberi   tanda   agar berhenti.
Wiro tahan tali kekang duakuda penarik kereta.
"Saudara, kau terpaksa kami tangkap!" kata Ario Gelem.

Wiro  menatap  wajah  Perwira  Muda  Itu  sesaat  lalu bertanya, "Katakan apa kesalahanku!"
"Kau melakukan pembunuhan atas diri lima orang yang kini berada dalam peti mati itu!" jawab Ario Gelem.
"Perwira   Muda,"   kata  Wiro   pula.   "Coba  terangkan padaku siapa-siaps saja adanya ke lima orang yang adadi dalam peti mati itu."
"Aku merasa tidakwajib menjawah-pertanyaanmu."
Siapapun  adanya  mereka  bukan  dalih  bagiku  untuk membatalkan penangkapan!"
"Perwira, kalau kaudapat mengembalikan kedua orang tua gadis malang sepupuku ini, kalau kau bisa mengem- balikan   Kioro   Mertan   kakek   kami,   kalau   kau   bisa mengembalikan  penduduk Jatingaleh yang dibunuh oleh gerombolan  Ganco   item,  saat   ini  juga  aku   bersedia ditangkap!"
"Kau  bicara  ngaco!  Mana  mungkin  aku  bisa  meng- hidupkan orangyang sudah mati?!" ujar Ario Gelem pula.
Pendekar 212 tertawa lebar. "Kalau begitu menurutmu, kuharap kau tidak menjadikan hal itu sebagal persoalan lagi! Kau seorang Perwira yang baik. Untuk itu aku akan berikan satu hadiah besar padamu!"
Habis berkata begitu Wiro bergerak, ke belakang kereta. Dengan sekuat tenaga didorongnya peti mati berisi lima mayat ituhinggaakhirnya jatuh ke tanah.
"Itu hadiah yang kukatakan tadi." ujar Wiro lalu tertawa gelak-gelak. Ario Gelem hanya bisa berdiri seperti patung ketika  Wiro   membawa   kereta   meninggalkan   halaman Mesjid Besar. Dia tetap tak bergerak sampaigerobak dan penumpangnya  itu  lenyap  dikejauhan  dalam  kegelapan malam.

                                TAMAT
Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive