SATU
SAAT ITU menjelang fajar menyingsing. Kesunyian dirobek oleh suara tawa bergelak
seseorang. Orang ini tengah berlari cepat ke jurusan timur. Jelas suara tawanya bukan
tawa sembarangan. Bukan saja mengejutkan burung-burung serta binatang-binatang lain
yang tengah tertidur nyenyak dalam pelukan udara dingin, tetapi juga menggetarkan
tanah pada tempat-tempat yang dilajuinya.
Begitu cepat manusia ini berlari hingga dalam waktu singkat dia sudah menempuh
jarak ratusan tombak. Suara tawanya masih juga terus mengumandang. Di lain saat di
ufuk timur merambas sinar terang tanda matahari telah terbit menyembulkan diri. Tanda
malam telah berganti dengan siang.
Orang itu hentikan larinya. Dibasahinya mukanya dengan air embun yang menempel
pada dedaunan di sekitarnya, Setelah merasakan kesegaran maka dia meneruskan
perjalanan kembali. Seperti tadi lagi-lagi berlari sambil mengumbar tawa. Namun sekali
ini suara tawanya tidak berlangsung lama.
Dua bayangan hijau berkelebat. Satu teguran yang hampir merupakan bentakan
lantang terdengar.
"Singgar Manik! Gerangan apakah yang membuatmu pagi-pagi begini demikian
gembiranya?!"
Orang yang lari sambil tertawa hentikan Jari dan memandang ke depan. Begitu
melihat dua manusia berjubah hijau yang berdiri sepuluh langkah di hadapannya,
bergetarlah hatinya. Perasaannya serta merta jadi tidak enak.
Dua orang berjubah hijau itu adalah dua brahmana kembar dari Bali yang dikenal
dengan julukan Sepasang Kobra Dewata.
Jubah mereka yang hijau, kepala yang botak plontos ditambah muka yang lebar serta
tampang-tampang yang tidak sedap untuk dipandang, membuat keduanya benar-benar
hampir menyerupai dua ekor ular kobra yang angker. Siapa tokoh silat di Jawa Timur
yang tidak kenal dengan dua manusia yang menguasai rimba persilatan di Pulau Dewata
ini?
Mereka bukan dari golongan baik-baik. Inilah yang membuat orang tadi yakni Singgar
Manik merasa tidak enak walau dia sendiri bukan pula tergolong manusia bersih dan
baik!
Setelah berbasa basi dan menjura pada kedua orang itu Singgar Manik lantas
berkata: "Di pagi begini bertemu dengan Sepasang Kobra Dewata sungguh merupakan
hal yang tidak terduga. Satu kehormatan bagiku kalian mau menegur bertutur cakap.
Hendak kemanakah kalian berdua?"
Nyoka Gandring, orang tertua dari Sepasang Kobra Dewata rangkapkan tangan di
muka dada. Sambil mengulum senyum dia berkata: "Angin kegembiraanmu Iah yang
agaknya telah membawa kami ke mari. Coba kau terangkan apa. yang begitu
menggembirakanmu hingga tertawa bergelak sepanjang jalan? "
“Ah, sebenarnya tidak ada apa-apa," menjawab Singgar Manik. Hatinya semakin tidak
enak. "Aku tertawa karena menurutku hidup dengan tawa gembira bisa mendatangkan
kebahagiaan."
"Betul sekali!" menyahuti orang kedua dari Sepasang Kora Dewata yaitu Nyoka
Putubayan. "Tetapi kami mendapat firasat bahwa kegembiraanmu kali ini bukan
kegembiraan biasa. Terangkanlah. Bagi sedikit kegembiraanmu itu pada kami berdua!"
Singgar Manik coba tersen
"Jika kalian memang ingin bergembira, mari ikut ke tempat kediamanku biar kujamu
makanan dan minuman yang enak enak! Dan kalau kalian butuh perempuan cantik untuk
hiburan, tak usah kawatir. Katakan saja kalian mau yang bentuk bagaimana aku Singgar
Manik pasti menyediakannya!"
Nyoka Gand ring mendehem beberapa kali sedang Nyoka Putubayan hanya
menyeringai.
" Aih, undanganmu sungguh patut untuk diterima, Hanya sayang kami tak punya
waktu banyak. Karenanya kuharap kau sudi membagi kegembiraan mu di sini saja
sobatku Singgar Manik!?
Singgar Manik coba sembunyikan rasa kagetnya sambil berkata: "Kegembiraan
apakah yang musti kuberikan di sini. Kau ini ada-ada saja, sobatku Nyoka Gandring. Ah,
akupun tidak punya banyak waktu . . . "
Singgar Manik menjura dalam-dalam lalu siap untuk meninggalkan kedua orang itu.
Tetapi Nyoka Putubayan cepat bergerak menghadangnya seraya berkata: "Kenapa
musti terburu-buru Singgar Manik. Siang masih jauh. Lagi pula pembicaraan kita belum
selesai"
"Harap maafkan aku sobat-sobatku. Aku musti cepat kembali ke tempat
kediamanku. Ada seorang tamu yang bakal datang"
Nyoka Putubayan kembali menyeringai lalu bertanya: "Apakah tamumu itu pemilik
tusuk kundai mustika yang kau curi dan sekarang berada di balik pakaianmu . . . . ?!"
Kini Singgar Manik tak dapat lagi menyembunyikan perubahan air mukanya.
Meskipun demikian dia masih menjawab: "Nyoka Putubayan, aku tidak mengerti. Kau
ini membicarakan soal apakah?"
Nyoka Putubayan tersenyum jumawa. Sambil rangkapkan sepasang tangan di depan
dada dia lalu berkata: "Seminggu lalu kami ketahui kau berada di sekitar danau
Jembangan. Kau telah mencuri sebentuk tusuk kundai dari tempat kediaman tokoh silat
yang bergelar Si Pemusnah Iblis. Tusuk kundai itu bukan benda sembarangan.
Merupakan satu senjata mustika. sakti. Sejak lama kami dengar kau adalah seorang
pencuri lihay yang suka mencuri dan mengumpulkan barang-barang curian itu,
terutama benda-benda mustika, apalagi berupa senjata pasti jadi incaranmu. Sekarang
perlihatkan pada kami tusuk kundai itu!"
Singgar Manik geleng-geleng kepala sambil berdecak.
"Pendengaran dan penglihatan kalian benar-benar tajam luar biasa. Memang satu
minggu lalu aku berada di danau Jembangan. Aku berniat hendak mencuri tusuk
kundai yang kau katakan itu. Namun maksudku tidak kesampaian. Si Pemusnah Iblis
terlalu tinggi ilmunya. Dia memergokiku. Untuk melawannya aku mana punya
kemampuan? Daripada mendapat celaka lebih baik mengundurkan diri. Lain hari jika
angin baik aku akan berusaha lagi mendapatkannya. Kalau kalian mau ikut sama-sama,
hatiku akan senang sekali! Nah puaskah kalian atas keteranganku ini?!"
"Puas! Puas sekali! "sahut Nyoka Putubayan. Lalu saudaranya menimpali: "Juga
puas sekali melihat kecerdikanmu. Tapi jangan harap kau bisa menipu Sepasang Kora
Dewata dengan kecerdikanmu itu Singgar Manik. Keluarkan tusuk kundai itu. Berikan
padaku. Lekas! Jangan berani berbohong!" Habis berkata begitu Nyoka Gandring
ulurkan tangannya.
"Nyoka Gandringl Apakah aku harus bersumpah untuk meyakinkan bahwa aku betul-
betul belum berhasil mendapatkan tusuk kundai mustika itu?"
"Bersumpah?! Bagus juga. Tapi jangan bersumpah pada Dewa atau Tuhan!
Bersumpahlah pada setan! Ayo serahkan senjata mustika itu padaku sebelum aku
kehilangan kesabaran!" Nada suara Nyoka Gandring mengandung hawa ancaman.
Singgar Manik terkesima sesaat. Dia menimbang-nimbang. Untuk mengikuti kemauan
Sepasang Kobra. Dewasa itu terlalu berat baginya. Sebaliknya tidak mengikuti berarti
melawan yang pasti disusul dengan terjadinya bentrokan. Menghadapi Sepasang
Kobra Dewata yang terkenal hebat itu bukan satu hal yang mudah.
Tiba-tiba Nyoka Gandring mendengus. Matanya yang besar memandang garang pada
Singgar Manik. Kedua kakinya merenggang sedang sepasang tangannya yang tadi
mendekat di dada perlahan-lahan bergerak diturunkan.
"Kuhitung sampai tiga. Jika tusuk kundai itu tidak juga kau serahkan, maka
bersiaplah untuk mampus!"
"Nyoka Gandring! Dengar dulu keteranganku..."
"Satu!"
Nyoka Gandring mulai menghitung;
"Benda itu benar-benar tak ada padaku!"
"Dua____ !"
"Aku bersumpah!"
"Tiga!"
Singgar Manik bersurut mundur.
NyokaGandring membentak buas lalu hantamkan tangan kanannya ke arah Singgar
Manik. Serangkum angin deras datang menyambar. Singgar Manik cepat menyingkir
seraya berseru:
"Antara aku dan kalian tak ada silang sengketa! Kenapa menyerang aku sejahat ini?! "
“Wus!”
Serangkum angin lagi menyapu ganas. Kali ini datang dari samping. Untuk, kedua
kalinya Singgar Manik melompat dan berhasil selamatkan diri.
"Adikku mari kita beg pelajaran pada pencuri penipu ini!" seru Nyoka Gandring.
Bersama Nyoka Putubayan maka diapun kembali menyerbu Singgar Manik.
Menghadapi satu saja dari Sepasang Kobra Dewata sudah merupakan hal yang sulit
bagi Singgar Manik. Apalagi melawan keduanya sekaligus. Terpaksalah dia harus
bertindak cepat dan hati-hati. Sekali salah gerakan atau salah langkah tak ampun lagi
serangan lawan pasti akan mencelakakannya, bahkan mungkin membunuhnya!
Sambil berkelebat mengelak Singgar Manik tiada hentinya berteriak agar Sepasang
Kobra Dewata menghentikan serangan. Namun dua brahmana berjubah hijau ini tidak
ambil perduli. Malah mereka semakin memperhebat serangan masing-masing. Hingga
setelah bertahan susah payah selama delapan jurus Singgar Manik mulai tampak
terdesak!
DUA
DUA KALI pukulan keras Nyoka Gandring bersarang di tubuh Singgar Manik. Lalu
satu jotosan Nyoka Putubayan menghantam rusuknya pula. Singgar Manik tampak
terhuyung-huyung. Keningnya mengerenyit menandakan dia tengah menahan rasa
sakit yang amat sangat. Salah satu hantaman Nyoka Gandring tadi telah membuat
tubuhnya terluka di bagian dalam.
Jika dia bertahan terus, cepat atau lambat maut pasti akan merenggut nyawanya.
Karenanya Singgar Manik sedapat mungkin berusaha mengintai kelengahan lawan agar
dapat menerobos keluar dari kurungan mereka lalu melarikan diri.
Singgar Manik lepas dua pukulan tangan kosong yang dahsyat ke arah kedua
lawannya. Lalu susul dengan serangan senjata rahasia.
Sepasang Kobra Dewata melompat jauh untuk mengelakkan pukulan sedang untuk
menangkis serangan senjata rahasia, mereka kebutkan lengan jubah hijau masing-
masing hingga senjata rahasia itu mental berantakan.
Gerakan-gerakan lawan inilah yang memang ditunggu Singgar Manik. Melihat
adanya kesempatan tanpa tunggu lebih lama pencuri kelas kakap ini segera putar tubuh
dan kabur.
Namun Sepasang Kora Dewata bukan manusia-manusia kemarin. Dari gerakan yang
dibuat lawan mereka sudah maklum apa yang sedang direncanakan Singgar Manik.
Karenanya begitu lawan ambil ancang-ancang untuk larikan diri, Nyoka Gandring dan
Putubayan cepat berkelebat menghadang.
Melihat dirinya dihadang begitu rupa hingga ga gal kabur, dengan penasaran Singgar
Manik lepaskan satu pukulan ke batok kepala Nyoka Gandring. Sambil mendengus yang
diserang menangkis dan balas menjotos. Dua kepalan beradu mengeluarkan suara
keras. Singgar Manik terpekik. Tubuhnya terdorong sampai empat langkah dan ketika
diperhatikan tiga jari, tangan kanannya telah hancur. Di depannya sebaliknya Nyoka
Gandring tegak sambil tolak pinggang dan menyeringai mengejek.
"Masih juga kau belum mau menyerahkan tusuk kundai itu?" dengus Nyoka
Gandring.
"Manusia keparat! Kalau kau mau k an benda itu, ini kau ambillah!"
Selesei berkata begitu Singgar Manik mengeruk ke balik pakaian. Sesaat kemudian
sebuah benda, yakni sebuah tusuk kundai dari perak berbentuk sederhana berada dalam
genggamannya. Dengan mengandalkan tusuk kundai ini sebagai senjata diapun
menyerang Nyoka Putubayan.
Sinar putih yang disertai angin panas menyembur dari tusuk kundai! Nyatalah benda
yang biasanya menjadi hiasan di kepala perempuan itu bukan benda biasa, tetapi
sebentuk senjata mustika sakti. Karena kesaktiannya inilah Sepasang Kobra Dewata
menginginkannya. Ingin merampas dari Singgar Manik yang mereka anggap sebagai
pencuri dan penipu besar.
Nyoka Putubayan yang sudah maklum kehebatan tusuk kundai itu tak ayal lagi cepat
menyingkir sambil kebutkan lengan jubahnya. Sebaliknya Singgar Manik tidak tinggal
diam. Dia teruskan serangannya dengan membalikkan mata tusuk kundai ke arah
tangan lawan.
Bret!
Lengan jubah hijau Nyoka Putubayan robek besar direnggut bagian runcing tusuk
kundai! Nyoka Putubayan sendiri merasakan lengannya menjadi ngilu panas. Masih
untung hanya lengan jubahnya saja yang robek. Jika daging tangannya sampai kena
atau terluka oleh senjata itu yang kabarnya menyerap racun jahat, niscaya celakalah
dirinya!
"Adikku hati-hati!"
Nyoka Gandring memberi ingat. "Bangsat pencuri senjata itu tak usah kita takutkan.
Tapi terhadap tusuk kundai itu kau harus waspada!"
Singgar Manik yang melihat kejerihan lawan tertawa mengejek.
"Jika kalian sudah tahu kehebatan tusuk kundai ini mengapa tidak lekas-lekas
minggat dari sini? Apa kalian tunggu sampai benar-benar kena kucelakai!"
"Singgar Manik! Jangan keliwat sombong!" teriak Nyoka Putubayan. "Coba kau
terima pukulan ku ini!" Habis berkata begitu Nyoka Putubayan hantamkan tangan
kannya ke depan. Angin laksana badai menggebu bu ke arah Singgar Manik.
Ketika merasa tubuhnya tergetar hebat bahkan hampir roboh oleh angin pukulan
lawan Singgar Manik serta merta sapukan tusuk kundai yang dipegangnya ke depan.
Hebat! Angin pukulan orang kedua dari Sepasang Kobra Dewata itu musnah!
Kejut Nyoka Putubayan. bukan kepalang, juga kakaknya ketika menyaksikan
kejadian itu. Pukulan yang barusan dilepaskannya adalah pukulan Kobra Sakti
Mematuk. Merupakan salah satu pukulan simpanannya. Dia bersama kakaknya telah
meyakini ilmu pukulan itu selama bertahun-tahun, ternyata sanggup dibikin punah oleh
tusuk kundai kecil itu!
Menyadari kehebatan tusuk kundai perak itu, semakin keraslah hasrat Sepasang
Kobra Dewata untuk memilikinya. Keduanya saling kedipkan mata memberi isyarat.
Lalu didahului dengan bentakan-bentakan nyaring mereka menyerbu. Satu datang dari
samping kiri, satunya lagi dari sebelah kanan.
Singgar Manik hantamkan tusuk kundainya pada Nyoka Putubayan yang menyerang
lebih dulu dan lebih dekat di hadapannya. Sebelum serangannya sampai brahmana dari
Bali ini tahu-tahu sudah lenyap dari pemandangan. Bersamaan dengan itu dari
samping menderu angin pukulan kencang luar biasa.
Sekali ini kembali Singgar Manik rasakan tubuhnya tergoncang keras hendak roboh.
Segera dia kiblatkan tusuk kundai perak ke samping. Namun satu pukulan telak
menghantam per gel angan tangan kanannya hingga tulang lengannya patah dan tusuk
kundai yang tadi dipegangnya terlepas mental!
Singgar Manik menjerit kesakitan.
Dia melompat untuk menyambar tusuk kundai yang mental di udara dengan tangan
kiri. Namun tubuhnya segera terbanting ke belakang begitu satu jotosan melanda
dadanya dengan keras!
Lelaki ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Dengan mengandalkan
kepandaiannya dia berjumpalitan dan cepat berdiri sambil pasang kuda-kuda baru.
Namun dadanya sudah terlanjur sakit. Tenggorokannya terasa panas. Sesaat kemudian
darah kental mengalir keluar dari sela bibirnya. Memandang ke depan dia lihat Nyoka
Putubayan sudah berhasil menguasai tusuk kundai perak itu.
"Singgar Manik!" kata Nyoka Putubayan seraya acungkan tusuk kundai di tangan
kanannya. "Kami Sepasang Kobra Dewata masih punya rasa kemanusiaan terhadapmu.
Berlalulah dari hadapan kami sebelum kami berubah pikiran dan minta nyawamu.
Singgar Manik semburkan darah dan ludah dari mulutnya.
"Sialan! Kau tunggu apa lagi? Dikasih hidup malah menantang! "hardik Nyoka
Gandring.
"Bangsat!" kertak Singgar Manik. "Aku mengadu jiwa dengan kalian!"
Lalu Singgar Manik menyerang ke depan.
"Manusia tolol!" teriak Nyoka Gandring.
"Benar-benar minta mampus!" berseru Nyoka Putubayan seraya tusukkan tusuk
kundai di tangan kanannya. Tanpa bisa mengelak Singgar Manik keluarkan jeritan
panjang. Tusuk kundai menghantam tepat di keningnya hingga berlubang dalam dan
darah mengucur. Lelaki ini menjerit sekali lagi lalu tubuhnya terputar ke samping dan
roboh tak berkutik lagi, mati dengan mata melotot!
Nyoka Putubayan seka tusuk kundai yang bernoda darah dengan ujung lengan
jubahnya. Dia perhatikan Singgar Manik sebentar lalu meludah dan berkata:
"Diberi ampun minta racun! Diberi hidup minta mampus!"
Orang kedua dari Sepasang Kobra Dewata ini memberi isyarat pada kakaknya.
Kedua brahmana itu kemudian berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Manusia tolol!" teriak Nyoka Gandring.
"Benar-benar minta mampus!" berseru Nyoka Putubayan seraya tusukkan tusuk
kundai di tangan kanannya. Tanpa bisa mengelak Singgar Manik keluarkan jeritan
panjang. Tusuk kundai menghantam tepat di keningnya hingga berlubang dalam dan
darah mengucur. Lelaki ini menjerit sekali lagi lalu tubuhnya terputar ke samping dan
roboh tak berkutik lagi, mati dengan mata melotot!
Nyoka Putubayan seka tusuk kundai yang bernoda darah dengan ujung lengan
jubahnya. Dia perhatikan Singgar Manik sebentar lalu meludah dan berkata:
"Diberi ampun minta racun! Diberi hidup minta mampus!"
Orang kedua dari Sepasang Kobra Dewata ini memberi isyarat pada kakaknya.
Kedua brahmana itu kemudian berkelebat tinggalkan tempat itu.
TIGA
DI ATAS tempat tidur rotan itu duduk bersila seorang tua bermata buta. Kedua kakinya
buntung sebatas lutut sedang kedua tangannya di rangkapkan di muka dada. Kepalanya
menghadap lurus-lurus ke pintu pondok yang terbuka. Rambutnya yang putih melambai-
lambai ditiup angin yang datang dari arah danau.
"Hentikan tangismu Lestari!" Tiba-tiba orang tua ini berkata dengan nada keras.
"Sampai kiamat kau menangis benda yang hilang itu tak bakal bisa kembali!"
Dara berbaju putih yang duduk sesenggukan didepan si orang tua menyusut air
matanya dengan tepi pakaian. Bibirnya bergetar dan tubuhnya bergoncang menahan
tangis yang seperti hendak meledak.
"Tusuk kundai itu bukan benda biasa Lestari. Kau tahu hal itu I" berkata lagi si orang
tua.
Sekali ini Lestari menyahuti dengan suara gemetar: "Saya tahu eyang. Saya tahu
semua salah saya....Saya bersedia dihukum untuk kelalaian ini!"
"Benda itu bukan hanya merupakan senjata sakti, tapi juga sebagai tanda
perjodohanmu- Kini ketika aku pergi tusuk kundai itu lenyap! Amblas dicuri orang.
Dan kau tidak tahu siapa pencurinya!"
Orang tua'berambut putih itu diam sesaat lalu meneruskan kata-katanya:
"Bagaimana aku musti mempertanggung jawabkan nanti pada Sinto Gendeng!
Tusuk kundai perak itu diberikannya padaku dua tahun yang lalu sebagai tanda
persetujuan ikatan jodoh antaramu dengan murid tunggalnya yaitu Wiro Sableng,
pemuda sakti bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ayo, coba kau katakan
bagaimana aku musti mempertanggung jawabkannya! Jika saja kedua kakiku ini tidak
buntung pasti sudah sejak lama aku meninggalkan pondok gua mengejar pencuri
laknat itu!"
"Eyang, saya yang salah ini yang akan pergi mencari benda yang hilang itu," Lestari
membuka mulut
"Saya tak akan kembali sebelum dapat...."
Orang tua itu usap-usap dagunya. Dia tengah menimbang-nimbang. Akhirnya dia
berkata: 'Terserah padamu apapun yang bakal kau lakukan. Kau boleh pergi. Kuharap
kau dapat menemukan tusuk kundai itu kembali. Kalau tidak, aku tak tahu lagi
bagaimana menghadapi Sinto Gendeng nanti.
Gadis bernama Lestari berdiri. Dia masuk ke da- lam sebuah kamar. Ketika keluar
sudah berganti pakaian. Kini dia mengenakan pakaian merah ringkas. Di pinggangnya
tergantung sebilah pedang merah. Rambutnya yang tadi panjang tergerai kini diikat
buntut kuda. Meski wajahnya murung dan kedua matanya merah habis menangis
namun kecantikannya masih terlihat jelas.
"Eyang, saya sudah siap untuk berangkat," katanya pada si orang tua.
Orang tua itu mengangguk dan memberi isyarat agar gadis itu datang mendekat.
Sambil menepuk-nepuk bahu Lestari dia berkata: "Pergilah. Lekas kembali jika tusuk
kundai itu kau temukan."
"Baik eyang."
"Ada baiknya jika kau hubungi beberapa tokoh persilatan golongan putih. Mungkin
kau dapat menyirap keterangan dari mereka. Jangan lupa meminta bantuan mereka
jika sewaktu-waktu kau ditimpa mara-bahaya dan kau tak sanggup menghadapinya
seorang diri."
"Semua nasihat eyang saya perhatikan."
.
Setelah menjura tiga kali berturut-turut di hadapan gurunya Lestari tinggalkan
pondok itu.
Ratusan tombak meninggalkan danau Jembangan, di satu tempat yang penuh
dengan pepohonan rindang Lestari berhenti untuk istirahat. Dia duduk di bawah
sebatang pohon sambil memikirkan kemana dia harus pergi dan bagaimana caranya
dapat mengetahui siapa pencuri tusuk kundai pertanda jodohnya dengan Wiro Sableng.
Ingat soal jodoh wajah sang dara jadi kemerahan. Sebelum peristiwa besar
penghancuran Istana Darah beberapa waktu yang lalu (baca serial Wiro Sableng
Hancurnya Istana Darah) gadis itu tak pernah tahu kalau dirinya telah dijodohkan oleh
gurunya dengan Wiro Sableng. Wiro sendiri agaknya begitu pula ketika secara kebetulan
gurunya memberi tahu , mengenai urusan perjodohan itu. Bagi Lestari dia tak akan
menolak hal apapun yang dilakukan gurunya karena dia percaya bahwa semua itu
untuk kebaikan dirinya. Namun yang jadi pertanyaan apakah Pendekar 212 Wiro Sableng
bersedia mematuhi ikatan jodoh yang tak pernah diketahuinya sebelumnya. Pemuda itu
telah menyelamatkan diri dan kehormatannya dari Hulubalang Istana Darah. Hutang
nyawa itu tak mungkin akan dibalasnya. Pembalasan hanya bisa dilakukan dengan
bersedia menjadi istri Wiro, setia dan mengabdi pada suami. Tapi apakah dia mencintai
pemuda itu?
Memandang ke langit Lestari melihat matahari telah tinggi. Hari telah bertambah
siang. Akhirnya sang dara lanjutkan perjalanan. Belum sampai seratus tombak jauhnya
murid silat dari danau Jembangan ini lanjutkan perjalanan, mendadak bau amat busuk
menyambar hidungnya. Lestari hentikan langkah dan memandang berkeliling. Dia
dapatkan bau busuk itu datang dari jurusan tenggara. Segera dia melangkah menuju
sumber bau itu untuk mengetahui lebih jauh. Mula-mula dia melihat burung-burung
gagak hitam pemakan bangkai, terbang berputar-putar lalu menukik turun, kemudian
terbang kembali ke udara, demikian berulang kali. Berjalan lima puluh langkah lagi
Lestari melihat benda yang menjadi sumber bau busuk itu. Yakni sesosok tubuh
manusia yang terbakar di tanah dalam keadaan busuk dan rusak.
Lestari tak berani mendekat. Dari tempatnya berdiri dia melihat kedua mata mayat
itu hanya tinggal merupakan dua lobang besar mengerikan. Hidung dan bibirnya,
bahkan hampir keseluruhan daging pada wajahnya telah habis berlubang-lubang
digerogoti burung-burung gagak. Demikian pula daging di bagian tubuh lainnya yakni
dada, perut dan kedua kaki serta tangan.
Tak dapat Lestari menduga siapa adanya orang yang telah jadi mayat ini. Matanya
yang tajam dapat melihat dua buah titik lobang pada kening mayat serta darah yang
telah keras membeku.
Mayat busuk yang dijumpai sang dara bukan lain adalah mayat Singgar Manik yang
dibunuh oleh Sepasang Kobra Dewata.
Karena tak tahan oleh bau busuk yang amat sangat Lestari segera hendak tinggalkan
tempat itu. Namun matanya masih sempat melihat sepotong kain berwarna hijau.
Lestari ambil potongan kain ini dan menelitinya. Mungkin sekali ini sobekan ujung lengan
pakaian. Lengan pakaian siapa? Dia memandang pada mayat. Mungkin lengan pakaian
orang yang membunuh? Agaknya telah terjadi perkelahian sebelumnya di tempat itu.
Tanda-tanda memang menyatakan demikian.
"Mungkin ada gunanya jika kusimpan," membatin Lestari. Robekan kain hijau itu lalu
dimasukkannya ke balik pakaian merahnya.
Dia memandang lagi berkeliling. Karena tak ada lagi yang bisa ditemukannya di
tempat itu sang dara
EMPAT
SEBENARNYA TAMPANG pemuda itu cukup gagah asal kulit mukanya tidak amat
pucat dan tubuhnya tidak tinggi kerempeng macam tiang bambu. Jika saja dia bukan
putera seorang- bekas perwira kerajaan, niscaya mulut-mulut usil di kota Jember akan
menggelarinya "Si Jangkung Kerempeng Muka Mayat" atau "Si Pucat Kerempeng" atau
lain sebagainya. Namun karena dia putera bekas perwira tinggi kerajaan yang dulu
dihormati rakyat maka tak ada penduduk yang tega memberi gelar ejekan itu pada si
pemuda.
Di samping itu pemuda ini juga memiliki ilmu pedang yang hebat, yang dipelajarinya
dari ayahnya; Sebagai seorang perwira tinggi yang pernah mengabdikan diri selama dua
puluh lima tahun pada kerajaan, sang ayah memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi
hingga semasa jayanya dia mendapat julukan "Raja Pedang Kotaraja".
Meski sang anak belum mewarisi seluruh kepandaian ayahnya namun tingkat
kepandaiannya cukup mengagumkan. Lima orang perwira muda kerajaan yang
mengeroyoknya sekaligus belum tentu dapat mengalahkannya dalam perkelahian dua
puluh lima jurus!
Kalaupun pemuda itu tidak sampai diberi julukan mengejek oleh penduduk, namun
rata-rata banyak penduduk yang tidak suka padanya. Ini disebabkan kesombongannya.
Dan kesombongan ini berpangkal pada kepandaiannya memainkan pedang. Menurut dia
selain ayahnya maka dialah jago pedang kelas satu di tanah Jawa. Karenanya semua
orang harus hormat dan tunduk padanya. Harus melakukan apa saja yang dimintanya!
Hari itu Ronggo Bogoseto, demikian nama putera bekas perwira kerajaan itu, berada
di rumah makan paling besar di kota Jember. Dia duduk di meja besar bersama tiga
orang kawan, asyik menyantap hidangan. Di luar rumah makan terdapat sebuah tong
sampah yang telah dua hari tidak dibersihkan hingga isinya meluber dan bau busuk
menebar serta lalat datang bergerombolan. Binatang ini ternyata tidak hanya mencari
makanan pada tong sampah itu saja, tetapi juga masuk dalam rumah makan, hingga di
atas makanan yang terhidang di meja.
Sejak tadi Ronggo Bogoseto dan kawan-kawannya terganggu dengan adanya
puluhan lalat ini. Lama-lama pemuda muka pucat ini jadi jengkel. Sambil mengomel dia
berteriak memanggil pelayan. Pelayan datang dengan cepat dan ketakutan. Dengan
mata melotot dan mulut tersumpal makanan Ronggo Bogoseto membentak hingga
sebagian makanan dalam mulutnya tersembur mengenai muka dan pakaian si pelayan.
"Lekas usir lalat-lalat celaka itu t Kalau tidak aku tak akan mau membayar makananmu
yang jadi kotor dihinggapinya!"
Tentu saja pelayan segera melakukan apa yang diperintahkan si pemuda. Dia
mempergunakan dua buah serbet sekaligus, mengusir lalat. Namun baru saja diusir
binatang-binatang ini kembali datang, malah lebih banyak.
'Tolol! Coba kau pasang lampu di atas meja ini! Lalat takut dengan lampu!" bentak
Ronggo Bogoseto seraya menggebrak meja.
Sebuah lampu minyak lalu dinyalakan. Apinya sengaja diperbesar. Tetapi lalat yang
ada di atas dan sekitar meja terlalu banyak untuk dapat ditakuti dengan lampu itu.
"Binatang sialan!" makin salah seorang kawan Ronggo Bogoseto. Dia pergunakan
kedua tangannya menepuki binatang itu. Dua kawannya melakukan hal yang sama.
Banyak lalat yang mati, tapi tangan mereka jadi kotor sedang jumlah lalat tak banyak
berkurang.
Ronggo Bogoseto jadi marah. Dia mendengus dan meludah seenaknya di lantai
rumah makan. Sambil memandang berkeliling dengan mata mendelik dia berteriak.
"Kawan-kawan, melihat kalian menepuki binatang celaka itu aku jadi ingat pada
cerita tentang seorang yang mampu membunuh tujuh lalat dengan sekali tepuk! Hai,
apa kalian pernah dengar cerita itu?!" Ketiga pemuda kawannya itu sama mengatakan
pernah.
Ronggo tersenyum. Jelas adanya bayangan kesombongan di balik senyumnya itu.
"Sekarang akan kuperlihatkan pada kalian bertiga. Juga pada semua yang ada di
rumah makan jorok ini! Dengan pedangku aku sanggup membunuh lebih dari tujuh ekor
lalat dalam sekali tebas saja!"
"Ah, ini bakalan hebat jadinya! "seru salah seorang pemuda kawan Ronggo.
"Aku benar-benar ingin melihat! Ayo Ronggo, kau perlihatkan pada kami dan
semua orang di sini!" menimpali kawannya yang seorang lagi. Sedang pemuda yang
ketiga ikut berkata: "Aku percaya! Kau pasti mampu melakukan kehebatan itu Ronggo!"
Ronggo berdiri dari kursinya. Dia memandang dulu berkeliling lalu sret! Pemuda ini
cabut pedang yang selalu dibawanya.
"Lihat! Kalian lihat semual" katanya. "Jangan ada yang mengedip. Gerakannya
sangat cepat Kalau kalian mengedip, kalian tak akan sempat menyaksikan
kehebatanku!"
Lalu wut!
Pedang di tangan kanan Ronggo Bogoseto mencuit di udara. Sembilan ekor lalat
terkaparan di lantai dan di meja. Semuanya mati dalam keadaan tubuh belah dua!
“Luar biasa!'
"Hebat!"
"Gila! Aku hampir tak percaya!"
Begitu tiga kawan si pemuda berseru seraya berdiri.
Ronggo Bogoseto menyeringai dan lagi-lagi meandang berkeliling. Memang mau tak
mau semua yang ada dalam rumah makan itu dan menyaksikan apa yang barusan
dilakukan si pemuda memuji kagum. Dan melihat semua orang mengaguminya
bertambah sombonglah Ronggo. Dia ingin semua orang'benar-benar meyakini bahwa
dialah jago pedang nomor satu sesudah ayahnya di Jember dan seluruh Jawa. Maka dia
kiblatkan pedangnya kembali.
"Lihat lagi!"
"Lihat!"
"Ini lagi!"
Tiga kali Ronggo Bogoseto berteriak. Tiga kali pedangnya menderu. Masih belum
puas dia susul lagi dengan lima kali gerakan. Ketika dia menghentikan gerakannya, tak
seekor lalat hidup pun bersisa di atas meja makan itu,
Tiga kawan Ronggo Bogoseto tegak dari kursi masing-masing sambil leletkan lidah.
Seorang dari mereka berkata:
"Gila Ronggo! Kurasa ilmu pedangmu jeuh lebih hebat dari ayahmu!"
Cuping hidung Ronggo tampak mengembang dan bergerak-gerak oleh pujian itu.
Sambil duduk kembali ke kursinya Ronggo berkata: "Sekarang kalian saksikan sendiri
kehebatanku! Mari kita teruskan makan!"
Keempat pemuda itu duduk kembali. Salah seorang yang duduk menghadap pintu
meneguk minumannya, namun gelas minuman buru-buru diletakkan seraya berkata:
"Astaga ronggo! Bidadari dari mana yang diutus dewa datang ke rumah makan ini?!"
Ronggo berpaling, memandang ke pintu. Semua orang kini ikut memandang ke
jurusan itu.
Seorang dara bertubuh tinggi semampai, berpakaian ringkas merah, berambut hitam
buntut kuda tampak memasuki rumah makan. Parasnya cantik sekali. Jangankan para
pemuda itu, lelaki-lelaki tua yang ada di rumah makan itupun tak segan memandanginya
dengan hati kagum.
"Amboi!" Ronggo sandarkan punggungnya ke kursi dan lunjurkan kedua kaki
sedang sepasang mata menyipit. "Itu bukan bidadari sobatku," katanya.
"Tapi sekuntum bunga mawar merah segar yang menebar harum semerbak, terbang
dihembuskan angin untuk menemui kita di sini!"
Tiga kawan Ronggo tertawa. Sementara dera yang baru masuk yang bukan lain
adalah Lestari mengambil tempat duduk tak jauh dari meja mereka.
"Gadis cantik, jika kau tak keberatan sudilah duduk bersama kami di sini. Jangan
kawatir, kau tak usah membayar makanan dan minuman. Kau boleh makan dan minum
sepuasmu!"
Lestari melirik sesaat pada Ronggo Bogoseto.
Dilirik begitu si pemuda merasa mendapat perhatian dan berkata pada ketiga
temannya: "Lihat, dia melirik padaku. Ah, taksangka hari ini aku bakal melihat bunga
yang begini cantik!"
Tetapi setelah melirik Lestari tidak perdulikan lagi pemuda bermuka pucat itu. Dia
melambaikan tangan memanggil pelayan dan memesan makanan.
"Ronggo, rupanya gadis itu malu duduk semeja dengan kita. Baiknya kau saja yang
pergi duduk ke mejanya!" berkata salah seorang kawan Ronggo.
Putera bekas perwira tinggi itu tersenyum lebar.
"Kau betul sobatku. Tentu saja dia malu duduk di sini. Kita berempat dia sendiri. Kalau
sendiri lawan sendiri tentu lain lagi!" kata Ronggo pula seraya berdiri dan melangkah ke
meja Lestari lalu duduk di kursi di hadapan sang dara. Setelah cengar cengir sebentar
pemuda ini memanggil pelayan.
"Hidangkan makanan lezat dan minuman kelas satu untuk kami berdua! Lekas! "
Pelayan itu menjura lalu cepat-cepat masuk kedalam guna menyiapkan pesanan.
"Darah manis, kau datang dari mana dan siapa namamu?" Ronggo Bogoseto
bertanya sementara semua orang memperhatikan tanpa berani bicara apa-apa.
Lestari palingkan wajahnya. Sesaat keduanya saling bertatapan.
"Aih, betapa bagusnya kedua matanya. Bening tapi berkilat seperti bintang timur.
Pipinya kemerahan, keningnya licin, hidungnya kecil mancung. Bibirnya merah seperti
delima merekah!" kata Ronggo dalam hati memuji. Namun sesaat kemudian dia merasa
terkesima karena pandangan mata sang dara seperti menusuk.
"Kau sendiri siapa?" tiba-tiba Lestari balik bertanya.
"Ah! Namaku Ronggo Bogoseto!" sahut Ronggo dengan dada agak dibusungkan.
Dia merasa senang ditanya seperti itu. Baginya ini satu pertanda bahwa sang dara juga
menaruh perhatian terhadapnya. "Namaku bagus bukan! Dan tampangku gagah!
Ayahku adalah bekas perwira tinggi kerajaan. Jago pedang kelas satu berjuluk Raja
Pedang Kotaraja. Tapi ada orang yang berpendapat sebenarnya kepandaianku memutar
balik pedang lebih tinggi dari ayahku!"
"Betul, betul!" salah seorang kawan Ronggo berkata sambil tegak dari kursinya.
"Sayang kau terlambat datang.Kalau kau muncul lebih tadi-tadi pasti kau akan sempat
menyaksikan kehebatannya membelah tubuh sembilan ekor lalat hanya sekali
membabatkan pedangnya!"
"Ah, dia keliwat memuji. Tapi apa yang dikatakannya memang benar!" ujar Ronggo
Bogoseta senang dan cuping hidungnya kembali tampak mekar. Lalu dia berkata: "Kalau
kau suka, di hadapan dara secantikmu ini aku bersedia memperlihatkan kehebatan
permainan pedangku!"
"Oo begitu . . . ?" ujar Lestari sambil angguk-anggukkan kepala. Lalu dalam hati dia
menambahkan:
"Pemuda ini sombong sekali, Mungkin ada yang tidak beres dengan otaknya!"
Menyangka orang kagum padanya Ronggo lantas berkata: "Jadi kau mau melihat
kehebatanku dengan mata kepala sendiri?!"
"Silahkan! Siapa yang tidak suka melihat tontonan gratis!" sahut Lestari lalu meneguk
minuman yang dihidangkan pelayan.
"Kau akan lihat! Kau akan saksikan!" Ronggo Bogoseto tegak dari kursi sambil usap-
usap dada.
Lestari hampir tak melihat kapan-tangan pemuda itu bergerak tahu-tahu dia
merasakan ada sambaran angin di belakang kepalanya. Pita kecil yang mengikat
rambutnya putus. Rambut sang dara yang hitam panjang terlepas dari ikatannya dan
tergerai di bahunya. Di saat yang sama pedang yang tadi berkelebat kini sudah kembali
berada dalam sarungnya. Sungguh satu gerakan ilmu pedang yang luar biasa cepatnya.
"Hebat! Hebat luar biasa!" seru tiga kawan Ronggo seraya bertepuk-tepuk memuji.
Meskipun jengkel melihat tingkah kesombongan pemuda bermuka pucat itu namun
sebagai orang yang tahu seluk beluk ilmu silat Lestari harus mengakui bahwa ilmu
pedang si pemuda memang luar biasa.
"Saudari kau belum memberikan pendapatmu mengenai gerakan ilmu pedangku
tadi!" Ronggo berkata dan pandangi wajah Lestari dengan sepasang bola
mata meliar.
"Pantas dikagumi!" jawab Lestari sepolosnya.
Ronggo mendongak ke atas dan tertawa gelak-gelak.
'Tapi!" katanya kemudian. "Itu belum seberapa. Aku akan lihatkan lagi kehebatan ilmu
pedangku. Nah, kau duduklah tenang-tenang di kursimu!''
Habis berkata begitu Ronggo Bogoseto kembali gerakkan tangan kanannya ke
pinggang. Sinar putih berkelebat di depan hidung Lestari dari atas ke bawah dan
terdengarlah suara tring . . . tring . . . tring .... tiga kali berturut-turut.
Ketika Lestari memandang ke bawah ternyata tiga kancing pakaian merahnya telah
putus tanggai hingga dadanya yang putih tersingkap lebar. Sepasang mata Ronggo
Bogoseto dan juga semua mata lelaki yang ada di situ menyaksikan satu pemandangan
yang membuat mata mereka mendelik dan dada bergetar. Lestari cepat-cepat
tutupkan pakaiannya dan melompat dari kursi sementara Ronggo serta kawan-
kawannya tertawa gelak-gelak.
"Pemuda keparat kurang ajar!" bentak Lestari.
''Benar! Pemuda kerempeng muka mayat! Kau manusia paling kurang ajar yang perlu
diberi pelajaran!" Satu suara menyambungi bentakan Lestari tadi dan datang dari arah
pintu rumah makan
BESIUR angin menderu keras. Meja tergeser tak karuan dan kursi bermentalan. Kalau
Ronggo Bogoseto tak lekas berkelit pastilah tubuhnya akan kena disambar angin deras
tersebut!
Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut. Lebih-lebih pemuda putera bekas
perwira tinggi kerajaan yang sombong itu. Cepat dia berpaling dan memandang ke pintu.
Di situ tegak seorang pemuda berpakaian serba putih. Tampangnya keren sikapnya
gagah.
"Bangsat! Siapa kau!" Bentak Ronggo. Mukanya yang senantiasa pucat sesaat tampak
membiru.
"Siapa aku bukan urusanmu! Aku paling tidak suka pada manusia-manusia kurang
ajar yang pergunakan kepandaian untuk mempermainkan dan menghina perempuan!
Angkat kakimu dari sini. Bawa kawan-kawanmu!"
"Ahoi! Ada pahlawan pembela hak-hak perempuan di tempat ini!" seru salah seorang
pemuda kawan Ronggo. Pemuda lainnya langsung mendamprat. "Pemuda hina dina!
Kau bicara keren amat! Apa tidak tahu kautengah berhadapan dengan siapa?!"
"Siapa kau dan dua kawanmu itu tak lebih dari monyet-monyet! Lalu kawanmu yang
satu lagi, yang berpakaian mewah dan sesumbar sebagai jago pedang kelas satu di Jawa
itu, di mataku tak lebih dari seekor kunyuk yang bertingkah aneh kalau melihat
perempuan cantik!"
Tanpa perdutikan keempat pemuda itu yang jadi mendelik dan marah, si pemuda
melangkah mendekati Lestari. Lestari sendiri yakin sebelumnya pernah melihat pemuda
ini tapi tidak ingat entah di mana dan kapan.
"Lupa?" si pemuda menegur sambil tersenyum.
"Nggg . . . Bukankah kau Panji Kenanga? Murid brahmana Lokapala dari gunung
Raung?" tanya Lestari.
"Ah, ssyukur kau masih ingat padaku!" kata si pemuda tertawa lega.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Hancurnya Istana Darah. Di situ dikisahkan
bagaimana Panji Kenanga bersama gurunya serta Wiro dan Lestari juga tersama
gurunya menghancurkan Istana Darah. Juga diceritakan Panji Kenangalah yang telah
mengembalikan suling perak milik Lestari yang dicuri oleh seorang tokoh silat jahat
bernama Tapak Biru).
Dimaki dan dihina begitu rupa membuat tiga pemuda kawan Ronggo sakit hati dan
marah bukan main. Namun karena mereka tak satupun memiliki kepandaian silat maka
mereka tak berani bergerak. Lain halnya dengan Ronggo Bogoseto. Pemuda ini
menghardik.
. "Bangsat baju putih! Urusanmu dengan aku belum selesai. Jangan enak-enak
bermesraan dengan gadis itu di depanku!"
Dengan tersenyum Panji Kenanga menjawab. "Oh, rupanya kau masih di situ. Kukira
sudah minggat bersama kawan-kawanmu!"
"Keparat! Kau belum tahu siapa aku!"
"Aih, namamu Ronggo Bogoseto bukan? Kau putera bekas perwira tinggi kerajaan.
Ayahmu berjuluk Raja Pedang Kotaraja. Mukamu pucat seperti kain kafan, tingkahmu
pongah! Kau jadi lebih sombong jika melihat gadis cantik seperti kawanku ini!"
Oo . . . jadi gadis itu kawanmu! Bagus! Di depan kawanmu itu kau akan kuhajar
sampai babak balur!"
"Seharusnya kau yang layak mendapat hajaran karena tadi telah menghina keji
kawanku ini. Apa kau kira jika ayahmu bergelar Raja Pedang lalu kau merasa tentunya
kau Pangeran? Hik. . . hik!"
"Setan alas!"
Amarah Ronggo Bogoseto meledak.
Sret!
Ronggo hunus pedangnya.
"Cincang dia Ronggo! Tak seorang pun boleh menghinamu!" salah seorang
pemuda berteriak memberi semangat
Ronggo luruskan pedangnya di depan hidung. Lalu berkata pada Panji Kenanga.
"Kulihat kaupun membekal pedang. Lekas cabut jika tak ingin mampus percuma!"
Panji Kenanga memang sudah mengetahui kehebatan ilmu pedang pemuda muka
pucat itu. Karenanya tidak sungkan-sungkan diapun segera cabut pedangnya
"Gajah Biru", sebuah senjata mustika berwarna biru dan gagangnya terbuat dari gading
gajah.
Ketika melihat badan pedang yang memancarkan sinar biru, diam-diam Ronggo
Bogoseto agak bergeming juga. Namun karena dia terlalu yakin akan kepandaiannya
maka dia menyimpan rasa takutnya dan berganti dengan sikap percaya diri yang
keterlaluan dan menjadikannya pongah sombongi Dia melangkah mendekati Panji
Kenanga. Tiba-tiba didahului bentakan keras pedang di tangannya menyambar.
Demikian sebatnya hingga benda itu kini berubah menjadi sinar putih yang bersiur
deras dan bertabur ke arah kepala Panji Kenanga.
Yang diserang cepat melompat ke belakang sambil tundukkan kepala, lalu berkelebat
ke kanan sapukan pedang Gajah Biru. Melihat gerakan lawan seperti itu Ronggo
Bogoseto tertawa mengejek.
"Pemuda yang mau jadi pahlawan! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Dalam waktu
tiga jurus kepalamu akan ku belah dua!"
"Sombongnya!" balas mengejek Panji Kenanga. "Coba kau terima dulu seranganku
ini!" Lalu dia susupkan satu tusukan ke tenggorokan lawan.
"Puah! Hanya tusukan tipuan! Siapa takut!" seru Ronggo.
Panji Kenanga terkesiap. Serangan yang dilancarkannya tadi memang hanya
merupakan satu tipuan. Bagaimana lawan bisa membaca? Ilmu pedang pemuda muka
pucat itu benar-benar bukan sembarangan. Dari gerakan dan letak tangan musuh dia
sudah mengetahui mana serangan sungguhan, mana yang palsu!
Setelah mementahkan serangan lawan, Ronggo menerjang ke muka. Pedangnya
berkelebat bertubi-tubi. Ilmu pedangnya asing dan aneh di mata Panji Kenanga.
Untung dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi hingga dapat mengelakkan
semua serangan. Di sini tampaklah bahwa di satu pihak Ronggo Bogoseto memiliki
ilmu pedang yang jauh lebih tinggi tetapi rendah dalam ilmu meringankan tubuh.
Sebaliknya Panji Kenanga memiliki ilmu pedang yang lebih rendah namun tingkat ilmu
meringankan tubuhnya jauh melampaui lawan.
Panji putar pedangnya dengan sebat hingga sinar biru tampak bertabur bergulung-
gulung. Dia coba menerobos ke depan untuk membuyarkan serangan pedang lawan
yang seolah-olah membuntal dirinya. Usahanya tak kunjung berhasil walaupun dia
sudah mengerahkan seluruh kepandaian. Di jurus ke sembilan Panji Keanga mulai
menyadari bahwa sambaran angin pedang lawan sama sekali tidak mengandung
tenaga dalam yang berbahaya. Nyata Ronggo hanya mengandalkan tenaga luar atau
tenaga kasar ditambah dengan kecepatan yang memang luar biasa. Maka di jurus
ke sepuluh Panji ambil keputusan!
Ketika pedang Ronggo Bogoseto membacok laksana kilat ke arah bahu kirinya tepat
di pangkal leher. Panji Kenanga kiblatkan pedang Gajah Biru menyongsong serangan.
Trang!
Dua pedang saling bentrokan mengeluarkan suara nyaring. Bunga api memercik.
Ronggo Bogoseto keluarkan seruan tertahan. Mata pedangnya gompal sedang
pedang itu sendiri terlepas mental dari genggamannya, menancap dilangit-langit
rumah makan. Dengan wajah yang tambah pucat pemuda ini melompat mundur.
Matanya membeliak tak percaya memandang pada Panji Kenanga lalu pada pedangnya
yang ada di langit-langit. Ketiga kawannya juga sama terkesiap kaget. Semua orang
yang ada di situ tidak menyangka jago pedang kelas wahid putera Raja* Pedang
Kotaraja dapat dikalahkan oleh seorang lawan muda yang tidak dikenal!
"Muka pucat! Kenapa kau diam saja!" seru Panji.
"Jika kau anggap urusan kita belum selesai silahka ambil pedangmu di atas sana dan
teruskan perkelahian!"
Mau rasanya Ronggo berteriak dan memukul kepalanya sendiri saking marah dan
malu. Dan yang membuatnya benar-benar terpukul saat itu justru rasa malu dan seperti
tak punya muka lagi saat itu!
"Keparat! Jika kau benar-benar punya nyali besar jangan lari! Tunggu di sini!" ujar
Ronggo Bogoseto. Lalu pemuda ini putar tubuh diikuti ketiga kawannya. Mereka
menuju; ke pintu. Namun satu bayangan merah berkelebat dan menghadang.
"Pangeran sombong! Sebelum pergi aku akan balas dulu kekurang ajaranmu tadi! "
"Betina sialan! Kau mau apa pula?!" bentak Ronggo begitu mengetahui yang
menghadangnya adalah Lestari.
"Mauku ini!" sahut Lestari. Lalu cepat sekali tangan kanannya bergerak menampar
muka pemuda itu. Bagaimanapun pucatnya wajah Ronggo, tetap saja tamparan Lestari
membekas merah di wajahnya! Sudut bibirnya sebelah kiri pecah.
"Jahanam!" maki Ronggo. Lalu meninju dada Lestari. Namun pukulannya ini dengan
mudah dapat dielakkan Lestari malah kini kembali tangan gadis itu bergerak ke atas. Kali
ini menjambak rambut si pemuda lalu menyentakannya keras-keras. Tak ampun tubuh
ronggo tertarik dan terlempar ke luar pintu rumah makan, jatuh tersungkur di tanah.
Mukanya berkelukuran, lecet dan bercelemong tanah. Darah mengucur dari
hidungnya.
Sambil mengerang kesakitan Ronggo berdiri dibantu oleh tiga temannya. Kedua
tangannya terkepal. Matanya berkilat-kilat oleh hawa amarah.
"Gadis iblis! Kau tunggu pembalasanku!" mengancam Ronggo. Bersama tiga
temannya dia bergerak pergi.
"Pangeran! Pedangmu ketinggalan!" seru Panji Kenanga. Tapi keempat pemuda itu
tak menoleh lagi. Dari melangkah kini mereka malah mulai berlari.
Panji geleng-gelengkan kepala sedang Lestari hanya tersenyum. Pemuda itu
kemudian dekati si gadis.
"Lestari, bagaimana kau sampai berada di Jember ini. Apakah gurumu si Pemusnah
Iblis itu ada dalam keadaan baik-baik?"
Lestari mengangguk. Sesaat dia sibuk membetulkan pakaiannya.
"Sambil menunggu hidangan ceritakan apa yang membuatmu meninggalkan danau
Jembangan
"Panjang kisahnya. Tak dapat kuceritakan padamu di tempat ini " sahut Lestari.
"Memangnya kenapa?"
"Sebaiknya kita tinggalkan rumah makan ini. Aku yakin pemuda muka pucat itu akan
datang bersama seseorang berkepandaian tinggi!"
"Lalu, apakah kau takut?" tanya Panji Kenanga pula.
"Jauh dari itu" sahut Lestari. "Yang aku kawatirkan adalah kalau-kalau semua yang
terjadi di sini bakal mempersulit urusan atau tugas yang harus kujalani. .
"Hemm... tugas'urusan apakah itu?"
"Aku sudah katakan, tak mungkin hal itu kuceritakan di sini. Hai
Pangeran sedang
itu datang kembali!" seru Lestari ketika dia melihat keluar pintu-rumah makan.
LIMA
PANJI KENANGA memalingkan kepala ke arah pintu. Apa yang dikatakan Lestari betul.
Ronggo Bogoseto bersama tiga kawannya muncul kembali, melangkah cepat ke arah
rumah makan. Di depan mereka melangkah seorang lelaki berpakaian bagus dan rapi,
berbadan tegap. Rambutnya yang tersembul di bawah blangkon berwarna memutih.
Menurut taksiran Panji, lelaki ini berusia paling tidak sekitar enam puluh tahun. Dan pasti
dia adalah ayah Ronggo, manusia yang bergelar Raja Pedang Kotaraja itu!
Kelima orang itu sampai di hadapan Panji dan Lestari. Lelaki berpakaian bagus
sesaat menatap wajah kedua muda mudi itu lalu melirik ke langit-langit rumah makan
dimana dilihatnya menancap sebilah pedang.
"Ayah!" Ronggo tiba-tiba maju dan buka suara. "Inilah monyet yang berani membuat
keonaran. Membuat malu dan menghina kita!" Ronggo menunjuk tepat-tepat ke arah
Panji Kenanga.
Panji Kenanga memutar duduknya sedikit lalu bertanya: "Apakah kami berhadapan
dengan bekas perwira tinggi berjuluk Raja Pedang Kotaraja?"
'Tepat! Tidak meleset dugaanmu anak muda!" jawab orang tua berambut putih.
Dari sikap dan nada bicaranya Panji maupun Lestari cepat menarik kesimpulan
bahwa orang inipun memiliki sifat sombong walau tidak keterlaluan seperti puteranya.
Panji Kenanga tersenyum. Dia menoleh pada Ronggo dan berkata: "Kau sudah
membawa ayahmu kemari. Mengapa tidak membawa ibumu sekalian?!” Merahlah paras
Ronggo Bogoseto. Juga wajah sang ayah.
"Keparat!" maki Ronggo. Dengan adanya ayahnya di situ dia mendapat keberanian
dan melompat untuk menendang Panji. Tapi ayahnya bergerak mencegah dan
mendorongnya ke samping.
"Orang muda! Apa yang telah kau lakukan terhadap pu teraku merupakan
penghinaan. Merupakan tindakan kejahatan dan kekerasan. Dan kini di hadapanku kau
masih berani bicara kurang ajar! Apa kau punya segudang ilmu hingga berani berlaku
begitu!"
"Orang tua, apa kau sudah menyelidik hingga menimpakan tuduhan seenak
perutmu sendiri?!" Lestari buka mulut
Raja Pedang berpaling pada si gadis dan memandangnya sesaat. "Wajahmu
cantik, tapi rupanya kaupun bukan gadis baik-baik!"
Panaslah darah Lestari. Dia mengambil baskom kecil berisi air cuci tangan.
"Kau ayah dan anak coba berkaca dulu dalam air cuci tangan ini. Coba kalian lihat
apakah kalian juga orang baik-baik?!"
Mendidih amarah Raja Pedang.
"Gadis lancang! Penghinaanmu melewati batas!" Secepat kilat orang tua ini
layangkan tamparan ke muka si gadis* Namun baru setengah jalan sebuah benda keras
membentur tangannya hingga tergetar sakit. Ternyata Panji telah menepis dan
menangkis tamparannya itu!
Raja Pedang Kota raja kaget. Tidak disangkanya kalau pemuda itu memiliki kekuatan
seperti itu. Dengan penasaran kini dia lancarkan satu pukulan kemuka Panji. Namun
serangannya hanya mengenai tempat kosong karena si pemuda sudah berpindah
tempat.
Di saat ayahnya menampar Panji, Ronggo pergunakan kesempatan untuk melompat
mengambil pedangnya dari langit-langit rumah makan. Dengan senjata ini dia kemudian
memburu ke arah Lestari.
"Gadis liar! Ayo keluarkan pedangmu! Jangan kira aku tidak tega mencincang
tubuhmu!"
"Rupanya hajaran kawanku tadi tidak membuatmu kapok! Kau ingin aku ganti
menghajarmu? Memang kalau tidak kuhajar kau sampai babak belur belum
puas hatiku!"
Wut!
Pedang di tangan Ronggo berkelebat.
Lestari angkat sebuah kursi dan menangkis dengan benda ini. Dua kaki kursi putus
dibabat pedang.
"Sebentar lagi tanganmu . . . . "
Ronggo tak sempat teruskan ucapannya karena tiba-tiba kursi yang masih dipegang
oleh Lestari menusuk ke arah kepalanya. Kalau tidak cepat dia mengelak, pasti mukanya
akan cidera berat Dengan sebat dia putar pedangnya. Sinar senjata itu bergulung-gulung
menguning Lestari.
Sebelumnya Lestari sudah melihat kehebatan ilmu pedang pemuda itu. Namun dia
juga mengetahui kalau Ronggo tidak memiliki ilmu silat tangan kosong yang tinggi,
apalagi ilmu meringankan tubuh atau tenaga dalam. Maka Lestari memanfaatkan
kelemahan lawan dengan bergerak cepat sambil keluarkan jurus-jurus silat andalan
yang dipelajarinya dari gurunya Si Pemusnah Iblis. Setelah dua jurus menyerang tanpa
hasil, Ronggo putar pedangnya lebih sebat. Rahangnya menggembung tanda marah.
Namun kursi di tangan lawan merupakan senjata yang sulit untuk dihadapinya. Berkali-
kali dia berusaha menghancurkan kursi itu terlebih dulu. Setiap kali serangannya tidak
membawa hasil. Malah di jurus ketujuh tendangan Lestari tepat menghantam lengan
kanannya.
Trak!
Ronggo menjerit kesakitan. Tulang lengannya patah. Pedangnya mental jatuh
bergrompyangan di lantai. Dengan sudut matanya Raja Pedang Kotaraja dapat
menyaksikan apa yang terjadi atas diri puteranya tanpa dapat menolong. Karena saat itu
dia sendiri tengah mengeluarkan seluruh kepandaian menghadapi Panji Kenanga.
Orang tua ini memang lihay sekali memainkan pedangnya. Senjata yang berat dan besar
itu seperti sebuah tongkat enteng yang dapat digerakkannya ke mana saja. Namun
seperti anaknya, diapun kalah dalam kegesitan dan tenaga dalam. Cuma orang tua satu
ini memiliki pengalaman luar biasa hingga dalam sepuluh jurus dia dapat mengunci
Panji Kenanga di salah satu sudut rumah makan.
Panji keluarkan keringan dingin. Kalau saja pedang Gajah Biru di tangannya bukan
senjata mustika pasti sudah sejak tadi-tadi dia dapat dicelakai lawan. Selama sepuluh
jurus lagi Panji bertahan mati-matian.
"Kalau tidak ku barengi dengan pukulan, sulit membuyarkan serangan yang
mengurung ini!" kata Panji dalam hati.
Karenanya memasuki jurus ketiga puluh empat pemuda ini keluarkan bentakan
garang dan lepaskan satu pukulan tangan kosong dengan tangan kiri.
Jago tua itu terkejut ketika merasakan ada angin yang menyambar dan membuatnya
tergontai. Cepat dia sapukan pedang untuk melindungi diri. Namun gerakannya ini
membuat tubuhnya di sebelah bawah jadi terbuka. Justru ke arah bagian tubuh inilah
Panji membebatkan pedangnya disertai tenaga dalam hingga senjata itu menaburkan
sinar biru.
"Celaka!" seru Raja Pedang Kotaraja. Buru-buru dia melompat menjauhi serangan
lawan. Karena kawatir masih akan terkena sambaran Ujung pedang Panji, orang tua ini
babatkan pedangnya ke bawah.
Trang!
Dua pedang beradu keras.
Apa yang diduga bekas perwira tinggi kerajaan itu benar-benar terjadi. Pedangnya
mental, tangannya terasa kaku seperti kesemutan. Kedua matanya melotot. Kembali dia
menyurut beberapa langkah. Wajahnya gelap. Seumur hidup baru kali ini dia
dipecundangi oleh seorang lawan yang jauh lebih muda darinya.
"Gila! Aku betul-betul tak punya muka lagi!" kata Raja Pedang dalam hati. Ketika dia
berpaling ke kiri dilihatnya puteranya terduduk di lantai dengan muka penuh benjut,
dikelilingi oleh ketiga kawannya. Panji Kenanga sarungkan pedang Gajah Biru kembali.
Dia menoleh pada Lestari. Dilihatnya gadis itu memberi isyarat. Lalu keduanya
melangkah ke pintu.
"Orang, muda tunggu dulu!" Tiba-tiba terdengar seruan Raja Pedang Kotaraja
memanggil.
"Ada apa?!! tanya Panji.
"Sebelum pergi harap kalian suka memberi tahu nama masing-masing . . . . "
"Untuk apa?" Kini Lestari yang bertanya.
"Untuk sekedar jadi kenangan," jawab bekas perwira tinggi itu. Kalian berdua telah
membuka mataku bahwa kesombongan itu hanyalah satu kepalsuan hidup yang bisa
membawa bencana bagi diri sendiri!"
"Ah, aku yang tua ini benar-benar merasa mendapat pelajaran dari kalian orang-orang
muda. Mulai saat ini aku tak mau lagi memakai gelar Raja Pedang Kotaraja!" Lalu orang
tua itu memungut pedangnya. Ketika dia hendak tinggalkan rumah makan pu teranya
yang mengalami patah tangan cepat menghadang seraya berseru.
"Ayah! Mereka mematahkan lenganku. Kau hendak pergi begitu saja tanpa memberi
hukuman pada mereka?!"
"Kaulah yang patut diberi hukuman!" bentak sang ayah dan plak! Tamparannya
melayang menghantam pipi Ronggo Bogoseto. Pemuda ini mengeluh kesakitan. Tak
tahan menanggung malu.dia lari lebih dulu meninggalkan tempat itu. Tiga kawannya
menyusul di belakang.
TUJUH
KUDA PUTIH polos bernama Angin Salju itu berlari cepat di kegelapan malam. Di atas
punggungnya di sebelah depan duduk Lestari dan di belakangnya duduk Panji Kenanga.
Semula sang dara menolak untuk menunggangi kuda besar itu bersama-sama. Tapi
akhirnya mau juga. Di tepi sebuah telaga mereka berhenti.
"Kita bermalam di sini dan membuat perapian. Kau setuju?"
Lestari tak menjawab.
"Di samping itu kau bisa memberikan keterangan mengenai urusan dan tugas yang
harus kau jalankan itu. . . "
Setelah berpikir beberapa lamanya akhirnya Lestari menyetujui usul Panji. Sementara
Angin Salju merumput. Panji segera mencari kayu untuk perapian.
Setelah api menyala, keduanya duduk berhadap-hadapan. Panji menatap paras gadis
di hadapannya itu. Paras yang tak pernah dilupakannya sejak perjumpaan pertama
dahulu. Sebenarnya sudah sejak lama pemuda ini ingin mengunjungi Lestari di tempat
kediaman gurunya di danau Jembangan. Namun sebelum kesampaian malah bertemu di
Jember.
"Lestari_____ "
Dara itu mengangkat kepalanya.
Sesaat pandangan mereka saling beradu.
"Kau kedinginan? Duduklah lebih dekat ke perapian
"Cukup hangat di sini. Panji'
"Sekarang coba ceritakan apa urusanmu itu. Jika ada yang bisa ku bantu, pasti akan
kulakukan."
Lestari memandang nyala api yang melenggang-lenggok dipermainkan hembusan
angin malam.
"Seseorang telah mencuri senjata mustika milik guru. Hal itu terjadi ketika guru tidak
di rumah. Ini kelalaian ku sendiri. Guru amat marah. Aku tahu sekali hal itu walau dia
tidak memperlihatkannya padaku. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain
meninggalkan danau Jembangan dan mencari senjata mustika itu sampai dapat.
Sebelum dapat aku tak akan kembali."
"Senjata apakah yang dicuri itu?" tanya Panji Kenanga.
"Sebuah tusuk kundai. Terbuat dari perak"
"Pencurinya pasti seorang berkepandaian tinggi."
"Pasti," membenarkan Lestari. "Guru menasihatkan agar aku menghubungi
beberapa tokoh silat golongan putih untuk mencari keterangan. Sampai saat
ini segala sesuatunya masih gelap bagiku
"Jelas yang melakukannya seseorang atau beberapa orang dari golongan hitam. Kita
akan menyelidikinya bersama-sama."
"Kita?" ulang Lestari.
"Ya____ Kau tak suka aku bantu?"
"Terima kasih. Aku berterima kasih sekali. Tapi kau tahu. Ada puluhan tokoh silat
golongan hitam. Bagaimana kita bisa menemukan pencurinya...."
"Itulah yang harus kita selidiki Lestari. . . . "
Sang dara hanya mengangguk pelahan. Dia telah menceritakan hilangnya tusuk
kundai sakti itu. Namun sama sekali tidak diberitahukannya kalau benda itu
adalah pertanda ikatan tali perjodohannya dengan murid Eyang Kunti Kendil yang
bernama Wiro Sableng.
Malam bertambah larut dan dingin. Panji Kenanga mengambil sehelai tikar kulit dan
selimut tebal dari kantong perbekalan di punggung kudanya. Tikar itu lalu
dibentangkannya dekat perapian.
"Kau tidurlah di sini. . . . " katanya pada Lestari.
"Aku belum mengantuk."
"Mengantuk atau tidak kau butuh istirahat Untuk mencari senjata yang hilang itu
mungkin kita harus mengadakan perjalanan jauh yang menguras tenaga... ."
Lestari menyadari bahwa apa yang. Dikatakan Panji itu benar. Perlahan-lahan
direbahkannya dirinya di atas tikar kulit itu. Panji kemudian menyelimutinya.
'Terima kasih. Kau baik sekali. . . ."kata Lestari polos..
Panji tersenyum. Dengan bergelung sehelai kain sarung pemuda ini membaringkan
diri di seberang perapian. Sesekali dia melirik dan melihat Lestari masih belum
memejamkan mata.Kesunyian malam kadang- kadang digemeretaki oleh suatu ranting
kayu yang berderak dimakan api.
"Ingat peristiwa di Istana Darah dulu _ ?" tiba-tiba Panji bertanya.
"Ya, kenapa?"
"Sejak peristiwa itu apa kau pernah bertemu Wiro ? "
"Tidak. Memangnya kenapa?" Lestari bertanya lagi.
"Pemuda itu ilmunya tinggi sekali. Ingin sekali aku bertemu dengan dia. Selain
bertukar pengalaman siapa tahu dia berbaik hati mau memberikan sejurus dua ilmu
baru"
Yang dipikirkan Lestari saat itu justru bukan ketinggian ilmu Wiro Sableng melainkan
hubungan jodohnya dengan pemuda itu, yang ikatannya diatur oleh guru mereka.
Apakah Wiro mengetahui hal itu?
Lama kesunyian menggantung. Sayup-sayup terdengar riak air telaga terhembus
angin.
"Lestari. . . "
"Hemm . . . Aku masih ingin ngobrol. Entah kalau kau sudah mau tidur. . . . "
'Tubuhku memang agak letih. Tapi mata ini masih belum bisa dipicingkan
"
"Dalam kehidupanmu yang mencapai usia sekarang ini, apakah kau pernah
mencintai dan dicintai seseorang . . . . ? "
Pertanyaan Panji Kenanga ini membuat Lestari terkejut Dia sadar wajahnya saat itu
pasti menjadi merah.
"Ada-ada saja yang kau tanyakan. Kenapa kau bertanya begitu?"
"Hanya ingin tahu __ "
"Soal cinta belum terpikir olehku . . . . "
"Lalu soal seseorang yang mencintaimu?"
"Mana aku tahu? Kalau ada yang mencintaiku dia tak pernah bilang begitu
Panji tertawa.
"Bagaimana kalau andai kata kau kemudian mengetahui bahwa ada seseorang yang
mencintaimu dengan sepenuh hati. . . . "
"Aku harus tahu yang jatuh cinta ini lelaki atau nenek-nenek. Atau seekor kucing
. . . . Aih, malam-malam begini bicara soal cintai Siapa orangnya yang mau
mencintaiku.....?"
"Ada!"
"Sudahlah. Aku tak mau membicarakan hal itu lagi . . . ." Kata Lestari. Namun diam-
diam dia ingin tahu juga siapa orang yang kata Panji ada mencintainya itu. Wiro Sableng?
"Kau tak ingin tahu siapa orang yang mencintaimu itu Lestari?" tanya Panji.
"Kalau kau tahu katakanlah."
"Orangnya saat ini dekat sekali denganmu," kata Panji pula.
'Tak ada orang lain di sini."
"Ada. Kau tak melihat? Atau lupa?"
"Siapa?"
"Akui" jawab Panji Kenanga.
Lestari palingkan kepalanya. Kedua matanya terbuka lebar dan memandang tak
berkedip pada Panji Kenanga. Sesaat kemudian terdengar suara tawa dara itu.
"Kau tengah membanyol Panji!"
"Aku tidak melucu. Apa yang kukatakan adalah sebenarnya. Aku mencintaimu!"
Lestari merasakah dadanya berdebar.
"Kau bodoh Panji!"
"Bodoh? Bodoh bagaimana?"
"Bodoh karena mau-mauan mencintaiku. Me mangnya aku ini apa sih!"
"Cinta itu terkadang memang aneh Lestari. Kata orang cinta bisa membuat buta. Lalu
bodoh seperti katamu itu. Lalu perasaan bahwa dunia ini hanya dia yang punya
"
"Aih, pengalamanmu tentang cinta rupanya banyak juga "
"Seperti katamu, mungkin benar aku ini pemuda bodoh. Namun aku tak mau
menyembunyikan sesuatu yang aku rasakan
"
Sunyi. Lestari tak bisa berkata apa-apa lagi. Panji juga terdiam. Gadis itu akhirnya
picingkan kedua matanya. Namun dia tidak tidur. Mendadak dirasakannya ada hawa
panas menghembus wajahnya. Ketika kedua matanya dibuka dilihatnya sebuah wajah
dekat sekali ke mukanya. Wajah Panji.
v "Lestari. . . ."bisik Panji. "Dengarlah _ " Sambil bicara dibelainya rambut gadis itu.
"Aku benar-benar mencintaimu . . . ." Lalu kepala si pemuda datang lebih dekat. Satu
ciuman menyapu kening Lestari.Si gadis merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Itulah
pertama kali tubuhnya dibelai dan parasnya dicium lelaki.
"Panji . . . jangan . . . . " bisik Lestari ketika ciuman kedua melembut jatuh di pipinya.
"Jangan . . ." bisik Lestari lagi. Namun dia tak berusaha menjauhkan wajahnya. Ketika
bibir pemuda itu menempel di bibirnya. Lestari merasakan nafasnya seperti terbang.
Entah sadar entah tidak kecupan Panji pada bibirnya dibalasnya dengan hangat.
MENJELANG dinihari baru Lestari bisa memejamkan matanya dan tidur. Panji
Kenanga masih duduk di sampingnya, memandang dan menjaganya dengan pe-
rasaan penuh kasih sayang.
Ketika di timur kelihatan langit mulai terang barulah pemuda ini berdiri dan
melangkah ke telaga. Semalam suntuk dia tidak memicingkan mata barang
sekejappun. Namun tubuhnya sama sekali tidak terasa letih. Kebahagiaan kasih sayang
yang dirasakannya laksana suatu kekuatan dalam dirinya. Dia maklum kalau sang
dara menyukainya, mungkin juga mengasihinya. Walaupun semua itu tidak diucapkan
dalam bentuk kata-kata.
Tak lama setelah Panji mandi di telaga Lestari terbangun. Dia duduk di samping
perapian yang telah padam. Kepalanya terasa agak berat. Di telaga dilihatnya Panji
berkecimpung di air telaga. Begitu melihat pemuda ini berdebarlah dada sang dara.
Serta merta dia ingat apa yang terjadi malam tadi. Dia telah dipeluk dan balas memeluk
pemuda itu. Dia telah dicium dan balas mencium. Bagaimana semua itu bisa terjadi?
Teringat Lestari akan tugas yang masih harus dijalankannya. Yaitu menemukan
kembali tusuk kundai perak yang telah dicuri orang. Benda yang merupakan tanda
perjodohannya dengan Wiro Sableng. Guru Wiro dan gurunya telah mengadakan
pengikatan jodoh bagi mereka. Tapi semalam dia telah bercumbu berkasih mesra
dengan Panji Kenanga. Apakah ini berarti suatu dosa? Apakah ini merupakan satu
pengkhianatan terhadap calon suaminya yakni Wiro? Ada rasa dosa dan malu dalam
hati gadis ini. Lalu apakah dia akan meneruskan perjalanan bersama Panji Kenanga?
Bagaimana kalau terulang lagi kejadian malam tadi. Terulang lagi malah mungkin lebih
jauh dari itu.
Lestari merapikan rambut dan pakaiannya. Tekadnya sudah bulat Dia harus
meninggalkan Panji Kenanga dan menempuh jalannya sendiri. Tanpa menunggu lebih
lama dia segera lari meninggalkan tempat itu.
Pada saat matahari pagi muncul di ufuk timur maka Lestari telah berada jauh dari
telaga. Dia sengaja memasuki rimba belantara karena dia tak mengharapkan agar Panji
Kenanga dapat menyusulnya. Namun baru saja dia memasuki hutan itu beberapa belas
tombak mendadak di belakang terdengar suara bergemeresik disusul satu teriakan
keras.
"Randu Wongso! Lihat! Dara berbaju merah itulah yang tengah kita cari-cari!"
DELAPAN
LESTARI terkejut dan cepat Wpaling ke belakang. Kira-kira lima tombak di belakangnya
dilihatnya dua orang lelaki. Yang seorang bertubuh tinggi langsing tak dikenalnya.
Sedang orang kedua bukan lain Ronggo Bogoseto, pemuda bermuka pucat sombong
yang kemarin dihajarnya di rumah makan Jember.
Sadar kalau kedua orang itu mengejarnya dengan maksud yang tidak baik maka
Lestari segera melarikan diri. Dia berhasil meninggalkan Ronggo Bogoseto jauh di
belakang. Namun si tinggi langsing ternyata memiliki kepandaian lari. Karena dalam
waktu dekat dia segera dapat mendekati Lestari.
"Kalau mereka berani berbuat sesuatu kubunuh keduanya!" kata Lestari dalam hati.
Sang dara tidak mengetahui kalau lelaki bertubuh tinggi langsing yang dibawa
Ronggo Bogoseto itu adalah seorang berkepandaian tinggi.
Siapakah adanya orang ini?
Mari kita ikuti apa yang dilakukan Ronggo setelah dia mendapat hajaran di rumah
makan itu.
Meskipun ayahnya sudah menganggap selesai pertikaian dengan Panji Kenanga
serta Lestari namun ronggo Bogoseto tak dapat melenyapkan rasa sakit hati dendam
kesumatnya terhadap kedua muda mudi itu. Kini dia tak punya muka lagi di seluruh
Jember. Semua orang seperti memandangnya dengan mengejek.
Sebenarnya di samping sakit hati diam-diam pemuda bermuka pucat sangat tertarik
pada kecantikan Lestari. Telah banyak dia melihat gadis cantik, namun tak ada yang
secantik dan begitu menggiurkan seperti yang satu ini
Setelah mengobati mukanya yang babak belur, dan tangannya yang patah, dengan
menunggangi seekor kuda pemuda ini meninggalkan kota menuju ke arah timur.
Tujuannya adalah sebuah candi tua yang di diami oleh seorang tokoh silat berilmu
tinggi. Tokoh silat ini bukanlah seorang baik-baik. Sering sekali dia mempergunakan
kepandaiannya untuk maksud-maksud jahat Apalagi jika seseorang mau memberikan
hadiah padanya maka apapun akan dilakukannya. Karena itu orang mencapnya
sebagai tokoh silat golongan hitam.
Hari telah malam ketika Ronggo, sampai di candi tua itu. Semula dia kawatir kalau
orang yang dicarinya tak ada di tempat. Tokoh silat itu memang jarang ada di candi
tersebut. Namun begitu melihat ada nyala lampu, maka senanglah hati pemuda ini.
Di depan candi tua pemuda ini hentikan kuda, begitu turun langsung masuk ke dalam
candi. Sebagian besar bangunan itu sudah sangat rusak dan kotor. Di salah satu sudut
terletak sebuah lampu minyak. Apinya bergoyang-goyang dipermainkan angin hingga
membentuk bayang-bayang yang mengerikan di dinding candi. Udara terasa dingin.
Ronggo memandang berkeliling. Orang yang dicarinya tidak nampak.
"Randu . . . ." panggil si pemuda. "Randu Wongso . . . . Apakah kau ada di sini. . . . ? "
Tak ada jawaban.
Tetapi telinga Ronggo tjba-tiba mendengar suara seseorang.
Suara perempuan merintih!
Dia memandang tak berkedip ke sudut kiri lalu melangkah ke arah tumpukan balok-
balok tua yang seperti membatas bagian depan candi dengan bagian belakang.
Ronggo sampai di susunan balok setinggi dada dan menjenguk ke balik susunan balok
itu. Kedua matanya terpentang lebar ketika apa yang terpampang di depannya, di antara
kesuraman sinar lampu minyak.
Di sana, di lantai candi yang hanya dialasi tikar jerami butut dilihatnya Randu Wongso
dalam keadaan tanpa pakaian tengah menggagahi seorang perempuan!
Perempuan ini masih muda. Parasnya tidak cantik, berkulit agak hitam. Tetapi dia
memiliki bagian-bagian tubuh yang kencang serta serba besar.
"Sialan!" rutuk Ronggo Bogoseto. "Randu!" serunya kemudian. "Lekaslah! Aku ada
urusan amat penting perlu dibicarakan!"
"Sompret anjing kurap!"
Lelaki bernama Randu Wongso itu memaki.
"Anak setan! Siapa kau yang berani mengganggu kesenanganku! Apa mau
kurengkahkan batok kepalamu?!"
"He . . . he . . . . Tenang Randu. Tenang. Aku Ronggo Bogoseto!"
Mendengar nama itu kemarahan Randu Wongso kontan lenyap. Tetapi tentu saja dia
tidak mau meninggalkan apa yang tengah dilakukannya saat itu. Apa lagi dia menjelang
akan sampai ke puncak kenikmatannya.
"Sobat muda! Apa pun urusanmu bisa menunggu! Malah kalau kau suka bisa
kebagian! Eh, apakah kau membawa uang banyak?"
"Soal uang kau tak usah kawatir. Yang penting cepat sudahi pekerjaan dajalmu itu!"
Ronggo benar-benar tidak sabaran. Yang dikawatirkannya adalah Panji dan Lestari jadi
terlalu jauh untuk dikejar. "Sialan! Perempuan mana yang digagahinya itu!" Ronggo
melangkah mundar-mandir di bangunan candi yang kecil sempit itu. Telinganya terus
menerus menangkap suara rintihan perempuan itu, diseling oleh suara nafas
Randu Wongso yang memburu.
Tiba-tiba terdengar suara Randu Wongso seperti mengerang.
"Bangsat!" maki Ronggo.
Beberapa saat kemudian baru Rando Wongso keluar dari balik tumpukan balok.
Tubuhnya penuh keringat dan dia hanya mengenakan sehelai cawat kumal.
"Kelakuan bejatmu masih belum berobah Randu! Perempuan mana puja kali ini yang
kau rusak kehormatannya? Sudah berapa lama kau peram di tempat ini. Sudah berapa
kali kau tiduri*?!"
Randu Wongso tertawa gelak-gelak. Di sekanya keringat yang mengucuri dahinya.
"Yang satu ini lain, Ronggo. Dia mau ikut denganku ke sini. Dan . . . ha . . . ha . . .
Sungguh luar biasa. Kau ada minat?"
"Gila! Aku kemari bukan untuk begituan!"
"Kau akan menyesal sobat. Yang satu ini benar-benar lain "
"Kentut! Kau selalu memberikan sisa padaku!"
"Sisa bukan sembarang sisa. Kau tahu, paling lama aku hanya memeram perempuan
dua hari. Tak lebih. Tapi dia . . . . sudah lima hari berada di sini. . . "
Sekilas Ronggo melirik ke balik tumpukan balok. Perempuan muda itu masih
terbaring tanpa pakaian. Melihat keadaan tubuhnya yang bagus memang Ronggo harus
mengakui ucapan Randu tadi bahwa yang satu ini lain.
"Hai sobat! Jangan memandang terlalu lama! Nanti kau tergiur! Sekarang katakan
apa urusan pentingmu itu!"
Dengan singkat Ronggo Bogoseto menuturkan apa yang telah dialami dia dan
ayahnya di Jember. Tak lupa dia memperlihatkan bibirnya yang luka akibat tamparan
Lestari, lalu tangannya yang dibalut.
"Lalu apa hubungan kejadian* jtu dengan kedatanganmu kemari?" bertanya Randu
Wongso.
"Kita harus cari kedua orang itu. Hajar si pemuda dan sang dara itu urusanku...."
Ronggo tertawa gelak-gelak.
"Nyatanya kau sendiripun masih memiliki nafsu setan. Apakah gadis itu cantik sekali
hingga kau ingin mencarinya?"
"Cantik luar biasa. Tak pernah sebelumnya aku melihat gadis secantik, itu. Ketika
pedangku memutuskan kancing-kancing pakaiannya hingga dadanya tersingkap . . . .
Mau mati rasanya aku ketika melihat dadanya. Putih dan kencang!"
"Ha . . . ha . . . hal Sifat kita tak jauh berbeda sobat! Aku suka hal itu!" ujar Randu
Wongso pula. "Kau tak usah kawatir. Kita cari mereka sama-sama. Tapi..."
Habis berkata begitu Randu kembangkan telapak tangan kirinya dan
mengangsurkannya kepada Ronggo
Tanpa banyak bicara Ronggo keluarkan sebuah kantong kecil berisi uang dan
berikan pada Randu Wongso.
"Kita pergi sekarang?" tanya Randu. Ronggo mengangguk.
"Aku berpakaian dulu. Tunggu di sini. Tapi . .Heh, kau benar-benar tidak berhasrat
terhadap perempuan itu?"
"Urusanku lebih penting. Kita harus cepat...."
' 'Cepat . . . . cepat! Seperti waktu ini dikejar-kejar setan. Bersama Randu Wongso kau
pasti akan menemukan gadis itu. Kau sungguh tak mau? Urusan beginian kan tidak lama
Ronggo...."
Pemuda itu jadi bimbang. Dia melirik lagi ke balik tumpukan balok. Memandangi tubuh
perempuan yang gempal kencang itu lambat laun terangsang juga nafsu Ronggo
Bogoseto. Memang bukan satu. hal baru dia melakukan hal seperti itu bersama-sama
Randu Wongso. Randu yang menculik lalu mereka gagahi bergantian.
Randu tepuk-tepuk bahu pemuda itu. Lalu mendorongnya ke balik tumpukan balok.
"Pergilah, aku akan menunggumu sampai selesai . . . ." bisik Randu Wongso.
Akhirnya sambil melangkah ke balik susunan balok, Ronggo tanggalkan pakaiannya.
LESTARI berusaha mempercepat larinya. Namun Randu Wongso cepat sekali
gerakannya. Menyadari bahwa dia tak mungkin lepas jika terus lari. Lestari
akhirnya berbalik dan menunggu dengan sikap siap menyerang.
"Aha! Akhirnya kami temui juga kau!" kata Ronggo dengan nafas memburu
sementara Randu Wongso tegak tolak pinggang, memandang tak berkedip pada gadis
berbaju merah di hadapannya.
"Apa maumu?!" sentak Lestari.
' 'Wah Ronggo! Gadismu ini galak sekali!" kata Randu Wongso.
"Brengsek! Enak saja kau mengatakan aku gadisnya!" semprot Lestari dengan mata
melotot.
"Aih,melotot marahpun kau malah tambah cantik!" ujar Randu Wongso semakin
menggoda. Diam-diam dia sudah terpikat pula pada kecantikan gadis ini dan otak
kotornya mulai bekerja. Tangannya diulurkan hendak menjamah tubuh Lestari.
"Berani kau menyentuh tubuhku akan kubunuh!" mengancam Lestari seraya tangan
kanannya bergerak ke pinggang d i mana tersisip pedangnya.
"Ah, mati di tanganmu pun aku senang! Ha . . . ha. . . ha “ ujar Randu Wongso lalu
tertawa gelak-gelak.
"Mana pemuda keparat kawanmu itu?!" bertanya Ronggo dengan nada garang.
"Sebentar lagi dia datang. kau akan dihajarnya seperti kemarin!"
Kata-kata Lestari itu membuat wajah pucat Ronggo Bogoseto sesaat jadi memerah.
"Gadis cantik, aku dan sobatku ini tidak tega melihat kau melakukan perjalanan
seorang diri. Jika terjadi apa-apa denganmu ah, kami rasanya tak tega berlepas tangan.
Kami bersedia menemanimu. Bahkan aku mau mendukungmu sampai ke manapun
kau pergi
"Manusia edan! Mulutmu kotor! Kurang ajar! damprat Lestari.
Randu Wongso kembali tertawa gelak-gelak dan kali ini sambil kedip-kedipkan
matanya membuat Lestari tambah jijik melihatnya. Dengan cepat gadis ini putar tubuh.
"Hai! Kau mau kemana gadisku cantik?!" seru Randu Wongso.
"Randu sebaiknya cepat kau ringkus dia!" berkata Ronggo yang menjadi tidak
sabaran.
"Meringkus burung molek ini perkara mudah sobatku. Lihat! Aku akan tangkap
pinggangnya! Ah, betapa nikmatnya merangkul tubuhnya!"
Setelah berkata begitu dengan satu gerakan Randu Wongso berkelebat. Begitu
cepatnya gerakan orang ini tahu-tahu tangan kirinya sudah meraih pinggang Lestari
sedang tangan kanan menjamah dadanya!
"Bangsat kurang ajar!" teriak Lestari marah sekali.
Wut
SEMBILAN
SINAR putih menyambar ke arah lambung Randu Wongso disertai suara bersuit. Kaget
lelaki
ini bukan olah-olah. Sambaran angin yang datang sangat berbahaya. Mau tak mau
segera dia lepaskan pegangannya di pinggang si gadis dan melompat mundur.
Di hadapannya kini Randu melihat Lestari berdiri memegang sebuah seruling terbuat
dari perak. Benda ini berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi.
Randu berpaling pada Ronggo lalu bertanya.
"Sobatku, sebenarnya siapakah si cantik berbaju merah ini? "Kulihat gerakan ilmu
pedangnya boleh juga!"
"Siapa dia nanti saja kita bicarakan. Aku tak mau kau membuang waktu. Lekas
tangkap dia!"
"Baiklah sobatku. Rupanya kau sudah tidak sabaran! 'Kembali Randu Wongo
bergerak.
"Majulah kalau ingin mampus!" kata Lestari ketika dilihatnya Randu Wongo datang
mendekat.
Sambil tertawa Randu Wongso melangkah menghampiri si gadis.
Tiba-tiba Randu menyergap ke depan. Lestari menghantamkan sulingnya ke arah
dada lawan.
Namun kali ini dia tertipu.
Serangan Randu Wongso hanya pura-pura saja karena sedetik kemudian dia sudah
berpindah kedudukan dan berkelebat ke jurusan lain. Lestari tak kalah cepat. Dia
putar gerakan tangannya dan sulingnya kini justru menusuk ke muka lawan! Ketika
Randu Wongso berkelit untuk menghindarkan mukanya. Lestari lepaskan satu pukulan
tangan kosong dengan tangan kiri,
"Eh!"
Untuk kedua kalinya Randu Wongso dibuat terkejut. Dia benar-benar sadar kini kalau
dara berbaju merah yang tadi dianggapnya sepele itu tak bisa dipandang enteng. Di
balik wajahnya yang jelita, di belakang gerakan tubuhnya yang halus gemulai itu,
tersembunyi satu ilmu silat tinggi!
"Kalau tak segera kuringkus gadis ini bisa berbahaya!' 'kata Randu Wongso dalam
hati. Dengan gerakan bernama pelangi menggelung langit dia me-
nyambar dari samping, kiri. Gerakannya aneh, perlahan sekali, seperti acuh tak acuh dan
sangat mudah untuk balas dihantam. Namun Lestari walau tidak banyak pengalaman
telah digembleng oleh gurunya Si Pemusnah Iblis secara meyakinkan. Dia tegak
menunggu dengan waspada. Ketika lawan sampai di hadapannya baru dia bersurut dua
langkah: Betul saja apa yang diduganya. Lawan tiba-tiba membuat gerakan susulan.
Baru serangan Randu bergerak setengah jalan Lestari sudah menyongsong
mendahului dengan satu tendangan ke arah ulu hati lawan. Tapi serangan ini hanya
mengenai tempat kosong karena Randu Wongso berhasil mengelakkannya
Dengan penasaran Lestari lepaskan pukulan tangan kosong dengan mengerahkan
tenaga dalamnya.Randu Wongso juga tak kalah jengkelnya. Dia ingin tahu sampai di
mana ketinggian ilmu lawan. Serangan Lestari disambutnya dengan pukulan tangan
kosong pula.
Dua (arik angin menderu, saling labrak satu sama lain.
Lestari rasakan tubuhnya bergoyang gontai. Serta merta dia lipat gandakan tenaga
dalamnya. Namun ternyata tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi. Sekali
mendorongkan tangan kanannya ke depan maka Lesta ri terjajar ke belakang. Selagi dia
coba mengimbangi diri Randu Wongso menyergap.
"Celaka! "seru Lestari dalam hati ketika dilihatnya lawan berhasil merampas suling
peraknya. Dengan senjata ini Randu Wongso kemudian berusaha menotok pundak sang
dara. Sekali totokan itu mengena maka akan lumpuhlah sekujur tubuh Lestari. Masih
untung gadis ini cepat mengelak hingga terhindar dari bahaya.
Ronggo Bogoseto yang sejak tadi menyaksikan perkelahian kedua orang itu
dengan berdebar kini mulai was-was apakah Randu Wongso akan mampu menangkap
sang dara. Sikapnya yang tertawa-tawa cengengesan membuat pemuda ini jadi jengkel.
' Randu! Lakukan pekerjaanmu dengan cepat! Kau berhasil merampas senjatanya.
Masakan menangkapnya saja kau membutuhkan waktu begitu lama! "
"Aku tahu apa yang aku kerjakan Ronggo!" Randu Wongso kini ber balik nampak
kesal. Lalu dia menghadapi Lestari kembali. "Gadisku cantik," katanya. "Jika kau mau
serahkan diri secara baik-baik, aku berjanji tidak akan mencideraimu. Bagaimana . . . ?
Kau tahu pemuda sobatku ini putera orang terpandang, memiliki kekayaan. Jika kau
ikut dengan dia pasti kau bahagia. . . "
"Baiklah, aku akan menyerah saja . . . " kata Lestari. "Tapi makan dulu ini! "
Hampir tak terlihat kapan Lestari menggerakkan tangannya tahu-tahu lusinan senjata
rahasia berbentuk jarum merah menderu ke arah Randu Wongso!
"Wah hebat juga senjatamu ini!" memuji Randu
Wongso. "Terpaksa aku memakai suling perakmu untuk menghadapinya!' '
Randu Wongso sehatkan suling perak milik Lestari yang barusan dirampasnya.
"Tring . . . tring . . . tring. . .
Semua senjata rahasia berbentuk jarum ini mental dan luruh ke tanah. Berdebarlah
Lestari ketika melihat kejadian itu.
“Manusia keparat ini tinggi sekali ilmunya! "Ada rasa takut di hati sang dara kini. Dia
menghantam dengan kedua tangannya lalu susul dengan tendangan. Tapi orang yang
diserang lenyap dari hadapannya.
"Gadis cantik! Aku di sini! Mengapa menyerang tempat kosong?!" ejek Randu.
Suaranya datang dari sebelah kanan. Cepat Lestari memukul ke arah ini.
"Hai! Lagi-lagi kau menyerang tempat kosong. Aku ada di sebelah kirimu! " Kembali
suara Randu Wongso terdengar dan sekali ini memang datang dari kiri.
"Setan!" rutuk Lestari. Penasaran gadis ini menghantam ke kiri. Justru di saat itu satu
totokan tiba-tiba bersarang di punggungnya. Lestari mengeluh pendek. Tubuhnya tak
bisa digerakkan lagi. Kaku tegang ditempatnya berdiri. Jalan suaranyapun tertutup!
Randu Wongso melangkah ke hadapan Lestari sambil tertawa gelak-gelak. Ronggo
Bogoseto pun tak kurang gembiranya. Dia berputar-putar mengelilingi Lestari. Ketika
berhenti di depan si gadis enak saja dia mencuil dagu Lestari dengan tangan kirinya.
"Gadis cantik! Akhirnya kau kami ringkus saja! Kalau tadi-tadi kau mau menurut
secara baik-baik tentu tak begini jadinya. Nah sekarang kau harus ikut aku ke Jember!
Aku akan sediakan rumah bagus dan tempat tidur mewah untukmu!" Ronggo berpaling
pada Randu. 'Tolong naikkan dia ke bahu kiriku. "
"Ronggo, tangan kananmu yang patah itu membuatmu sulit memanggul nya meski di
bahu kiri. Biar aku yang mendukungnya!"
"Tidak bisa!" sentak Ronggo Bogoseto. Tentu saja pemuda ini tak percaya pada
lelaki itu.
"Kau tak usah cemburu padaku sobat Aku tahu kau ingin bersenang-senang dengan
gadis ini. Tapi kalau kau jadi tambah celaka sebelum sempat melakukannya
apa enak? Candi kediamanku lebih dekat dari sini. Bagaimana kalau kita bawa ke sana
saja? Nanti baru kau pindah ke Jember. "
"Buset! Gadis secantik ini hendak dibawa ketempatmu yang kotor buruk itu Jangan
ngaco Randu!" Gadis ini bukan perempuan sembarangan! Jika dia mau menuruti
kemauanku aku akan ambil dia jadi istri!' '
' WaIah! Jadi aku tidak akan kebagian?! "
' Aku tidak suka mendengar ucapanmu itu. Dia milikku sendiri! Kau boleh kembali
ke Candi dan meneruskan memuaskan nafsumu dengan gadis berkulit hitam manis itu!"
' Tapi aturan macam begitu tak ada kita janjikan sebelumnya sobatku! " ujar Randu
Wongso pula.
"Sudahlah! Kau jangan bicara melantur terus. Nanti akan kutambahkan uang
untukmu! "kata Ronggo. Lalu tanpa bantuan Randu Wongso pemuda ini panggul tubuh
Lestari di bahu kirinya.
Baru saja tubuh Lestari melintang di bahunya tiba-tiba terdengar satu bentakan.
"Pemuda keparat! Turunkan gadis itu! "
SEPULUH
RONGGO terkejut. Rantu tak kalah kagetnya. Seorang pemuda berpakaian putih-putih
dari balik semak-semak. Di belakangnya mengikuti seeko kuda putih polos tinggi dan
kekar.
"Hemm . . . Ronggo siapa manusia ini?" bertanya Randu Wongso tanpa melepaskan
pandangannya dari pemuda berkuda putih itu.
"Dia kunyuk yang mengaku sahabat gadisku ini. Hebat benar lagaknya. Seperti gadis
ini miliknya. Ayo Randu. Menolongku jangan kepalang tanggung. Hajar dia sampai
mampus!"
Randu Wongso seorang yang banyak pengalaman. Walau jelas pemuda dihadapannya
itu tampak sederhana namun dari gerak-geriknya jelas dia membekal ilmu yang tidak
rendah. Apalagi suara bentakannya tadi begitu keras menggetarkan liang telinga.
Sebelumnya diapun telah mendengar cerita Ronggo bahwa pemuda ini memiliki ilmu
pedang yang jauh lebih tinggi dari yang dikuasai ayahnya. Padahal sang ayah bergelar
Raja Pedang Kotaraja!
"Orang muda!" tegur Randu Wongso. "Kulihat tampangmu cukup keren. Apa tak
sayang kalau wajahmu yang cakap itu menjadi cacat seumur hidup? Lebih baik lekas
angkat kaki dari hadapan kami!"
Pemuda berkuda putih alias Panji Kenanga menyeringati.
"Bagusnya kalian berdua berlutut minta ampun. Jika itu kalian lakukan aku bersedia
membatalkan niatku untuk menghajar kalian berdua!"
Randu Wongso tertawa gelak-gelak.
Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan berkata.
"Baiklah! Baiklah orang muda. Jika itu maupun aku menurut saja. Aku akan berlutut di
depanmu. Lihat! "
Kedua lutut Randu Wongso menekuk. Tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah
seperti orang yang memang siap berlutut. Namun sesaat sebelum kedua tempurung
lututnya menyentuh tanah, di dahului oleh bentakan yang menggetarkan Seantero
belantara, tubuhnya mencelat ke depan. Kaki kanannya kirimkan tendangan keras ke
dada Panji Kenanga!
Murid mendiang brahmana Lokapala itu untungnya telah bersiap sedia. Dengan
sigap dia berkelit ke samping. Tendangan lawan lewat. Randu susul dengan pukulan,
juga tidak berhasil. Sebagai balasan Panji lepaskan dua jotosan. Satu menghantam ke
salah satu tempurung lutut, lainnya ke sambungan siku tangan kanan Randu Wongso.
Serangan balasan itu membuat Randu kaget tapi tak dapat membuatnya jadi kecut.
Kaki kirinya yang masih menginjak tanah digerakkan sedikit. Gerakan kaki kirinya yang
masih menginjak tanah digerakkan sedikit Gerakan kaki ini membuat tubuhnya miring
ke belakang dan meluncur ke bawah. Sekaligus dia berhasil mengelakkan kedua
serangan balasan Panji Kenanga.
Si pemuda tahu betul bahwa mengelak dengan cara seperti yang dilakukan Randu
Wongso adalah sangat berbahaya dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang
benar-benar berilmu tinggi. Kenyataan ini memberi bukti kepada Panji Kenanga bahwa
Randu Wongso siapapuri adanya, adalah seorang yang berkepandaian tinggi serta
berbahaya!
Karenanya begitu Randu Wongso kembali menerjang ke arahnya pemuda ini segera
menyambut dengan pukulan mega putih.
Sinar putih keabu-abuan melesat deras, bersiur menghantam ke pertengahan tubuh
Randu Wongso.
Yang diserang kaget bukan main. Dia sama sekali tidak menyangka kalau lawan yang
masih muda itu memiliki pukulan sakti begitu rupa. Betapapun gesit dan cepatnya dia
mengelak membuang diri ke samping kanan namun tak urung bahu kirinya kena juga
disambar oleh sinar pukulan lawan. Masih untung kenanya tidak begitu tepat. Inipun
sudah cukup membuat Randu Wongso kesakitan setengah mati. Bahu kirinya terasa
seperti remuk sampai ke dalam.
Tampang Randu Wongso kelam membesi menahan sakit dan juga oleh amarah yang
menggelegak. Sebagai jago kelas satu tak pernah dia mengalami hal seperti ini
sebelumnya. Dihantam lawan hanya dalam beberapa jurus!
'Pemuda bangsat! Apa yang kau lakukan terhadapku harus kau bayar dengan
nyawa anjingmu! " menyumpah Randu Wongso. Tangan kanannya dipentang di depan
dada. Bibirnya bergetar. Mulutnya berkomat-kamit dan sepasang matanya memandang
kedepan tak berkedip. Panji Kenanga kemudian melihat bagaimana tangan kanan lelaki
itu mulai dari ujung jari sampai ke siku berubah menjadi hitam, makin
hitam dan gelap legam.
"Pukulan mengandung racun jahat! "kata Panji dalam hati dan bersiap waspada.
Tiga perempat tenaga dalamnya segera dialirkan ke tangan kanan. Dia menunggu tak
berkedip.
Randu Wongso berteriak garang. Tangan kanannya dipukulkan ke arah Panji.
Murid Brahmana Lokapala itu sertamerta angkat pula tangan kanannya dan
menghantam sambuti pukulan lawan!
Dari tangan kanan Randu Wongso menyembur menggulung sinar hitam yang
menyebarkan bau amat busuk. Dari tangan Panji Kenanga membersit sinar putih
kelabu yang segera menghantam dan menyapu sinar hitam pukulan lawan. Randu
Wongso yang sadar kalau lawan memiliki tenaga dalam ampuh yang dapat
menghancurkan sinar hitamnya.segera gerakkan tangan kanan membentuk setengah
lingkaran. Sinar hitamnya yang hampir musnah dihantam sinar mega putih .Panji
Kenanga menyusup ke bawah dan lolos dari hantaman pukulan lawan. Begitu lolos
Randu Wongso secepatnya kembali menghantam dengan tangan kanan. Tangan
kirinya juga ikut dipukulkan, mendorong pukulan tangan kanan hingga kekuatannya
jadi berlipat ganda. Serangan ini sama sekali tidak terduga oleh Panji Kenanga!
Sinar hitam lawan menghantam dada dan menerjang mukanya. Aneh, tak terasa
apa-apa seolah-olah sinar pukulan itu hanya merupakan sapuan angin belaka. Namun
begitu rongga hidung Panji Kenanga mencium bau busuk, yang terkandung dalam sinar,
mendadak sontak sekujur tubuhnya seperti kaku, tak dapat lagi digerakkan. Bukan itu
saja, nafasnyapun menyesak. Akhirnya tubuhnya roboh terguling di tanah!
'Celaka! Tamatlah riwayatku!" keluh Panji Kenanga. Di dalam pemandangannya
yang menjadi kabur dilihatnya Ronggo Bogoseto sambil memanggul tubuh Lestari
melangkah kehadapannya.
Pemuda ini tertawa mengejek.
"Bangsat! Hanya sampai disitu kehebatanmu! Masih untung aku tak mau
membunuhmu saat ini! Tapi belum puas hatiku sebelum melakukan sesuatu
terhadapmu!"
Ronggo gerakkan kaki kanannya. Tendangannya menghantam muka Panji. Murid
brahmana Lokapala ini merasakan kepalanya seperti meledak. Tubuhnya mencelat
mental dan dia tak ingat apa-apa lagi.
"Rasakan olehmu!" kata Ronggo Bogoseto seraya meludahi muka Panji Kenanga.
Ketika dia hendak melangkah pergi Randu Wongso coba membujuknya kembali.
' Bawa saja gadis itu ke candiku."
"Tadi aku sudah bilang, gadis ini milikku. Kau tak bisa mengaturku Randu!"
Ronggo melangkah pergi. Saat itulah dilihatnya kuda putih milik Panji Kenanga. Dari
pada capai-capai jalan kaki atau berlari ke Jember sambil memanggul tubuh Lestari,
bukanlah lebih baik memanfaatkan binatang itu. Segera Ronggo mendekati kuda ini dan
siap naik ke punggungnya. Namun baru saja dia mendekat, kuda putih itu tiba-tiba
menghentakkan kaki belakangnya dan tepat mengenai pinggul Ronggo hingga pemuda
ini terpekik kesakitan. Tubuhnya melintir dan jatuh bersama Lestari yang dipanggulnya.
Kuda putih itu sendiri meringkik keras lalu lari.
"Binatang keparat!" maki Ronggo sementara Randu Wongso tertawa membabak
dan melangkah ke arah Lestari untuk menolong gadis itu.
"Randu! Awas! Jangan sentuh gadis itu. Bukan dia tapi aku yang harus kau tolong
dulu!" teriak Ronggo Bogoseto ketika dilihatnya Randu Wongso hendak memegang
lengan Lestari.
Mendengar ucapan Ronggo itu terpaksa Randu membatalkan niatnya menolong
Lestari. Kini dia membantu Ronggo berdiri.
"Nasibmu amat sial hari ini, Ronggo. Kudapun berani menyerangmu!"
"Tutup mulutmu!" tukas Ronggo kesal. Tangan kanannya yang patah terasa sakit.
Untung saja balutan kain dan kayu penopang lengan itu cukup kuat, kalau tidak patahan
tulang yang berusaha disambungkan itu akan terbuka kembali. Dengan susah payah dia
mengangkat tubuh Lestari, lalu berlutut dan menaikkan kembali gadis itu ke bahu
kirinya.
"Aku akan ikut kau ke Jember!" Randu Wongo mengambil keputusan.
"Aku tak butuh kau lagi Randu. Kau boleh kembali ke candimu dan meneruskan
pekerjaanmu menggeluti tubuh perempuan hitam manis itu!" kata Ronggo yang tak
senang akan maksud Randu mengikutinya.
"Sobatku! Apa kau lupa janji yang kau ucapkan? Kau akan memberi tambahan uang
karena aku telah bantu meringkus gadis itu . . . ' '
Mendengar kata-kata Randu itu Ronggo jadi jengkel. 'Tahumu hanya uang dan
perempuan . . . "
"Eh, apakah ada hal lain yang diperlukan manusia di dunia ini selain uang dan
perempuan . . . ?" ujar Randu pula.
Ronggo tak menjawab. Dia juga tak melarang ketika dilihatnya Randu berlari
mengikutinya.
SEBELAS
D I LERENG bukit itu terdengar suara siulan membawa lagu tak menentu. Suara
siulan ini akan aneh terasa jika ada orang lain mendengarkan. Bukan saja karena lagu
serta irama yang disiulkannya tidak menentu, tetapi suara siulan itu sendiri demikian
kencangnya hingga mengalahkan deru angin yang bertiup dari barat ke timur.
Yang bersiul adalah seorang pemuda berpakaian putih dan agak lusuh. Dia
mengenakan ikat kepala putih dan saat itu sambil bersiul dia berlari cepat menuju
puncak bukit.
Sampai di puncak bukit dia hentikan lari, berdiri sambil memandang berkeliling.
Rambutnya yang gondrong menjela bahu melambai-lambai ditiup angin.
"Sialan.' Tak satu bangunanpun kulihat!' 'pemuda ini memaki pada dirinya sendiri.
"Di mana sebenarnya letak candi laknat itu . . . ?"
Pemuda ini menyelidik ke ujung puncak bukit sebelah timur. Dengan penasaran
sambil garuk-garuk kepala dia kemudian lari ke bagian barat. Tetap saja tak satu
bangunanpun yang tampak dari tempat itu. Dia lantas berpikir-pikir. Apakah sebaiknya
dia menuruni bukit itu dan langsung menuju Jember. Mungkin di situ dia bisa
mendapatkan keterangan tentang letak candi tua tempat kediaman Randu Wongso,
seorang tokoh silat jahat dan mesum yang sudah lama dicarinya.
"Tapi kalau sampai di Jember, jauh-jauh aku tak bisa mendapatkan secuil
keterangan pun, berarti aku harus kembali ke sini!" Pemuda ini kembali garuk-garuk
kepalanya. "Padahal keterangan yang kudapat candi itu terletak di bukit sialan ini!
Bagusnya aku menyelidik dulu
Keputusan yang diambilnya ternyata tidak sia-sia. Setelah menyelidik hampir
sepenanakan nasi, candi yang dicarinya itu akhirnya ditemuinya di lereng bukit sebelah
timur, terletak di balik lindungan pohon-pohon besar.
Pemuda ini tidak segera memasuki candi. Dia memutari bangunan tua itu beberapa
kali sambil memasang mata dan telinga. Tak ada terdengar suara apa-apa, juga
takkelihatan tanda-tanda ada orang di dalam sana.
"Jangan-jangan bangsat itu tak ada di sini," menduga si pemuda dalam hati. Setelah
mengelilingi candi itu sekali lagi, dia melangkah ke bagian depan candi dan langsung
masuk ke dalam bangunan tua ini.
Sepi. Tapi di sudut candi sebelah sana dilihatnya sebuah lampu minyak menyala,
hampir padam karena minyaknya tinggal sedikit.
Lampu itu . . . " desis si pemuda. Baginya ini berarti si penghuni candi tua tersebut tak
ada di situ. Pergi tanpa mematikan lampu. Dan perginya pasti sudah lama. Paling tidak
sejak malam tadi.
"Sialan! Aku tunggu saja di luar. Kalau sampai sore dia tak muncul baru aku ke
Jember. . . "
Ketika hendak melangkah meninggalkan bangunan itu tiba-tiba telinganya
menangkap suara seperti tarikan nafas. Suara ini datang dari balik tumpukan
balok-balok kayu. Sekali lompat saja dia sudah berada di atas tumpukan balok itu.
Memandang ke bawah berubahlah paras pemuda ini.
Di sana, di atas lantai candi yang beralaskan tikar jerami butut terbaring sosok tubuh
perempuan muda tanpa pakaian. Kedua matanya terpejam, tubuhnya tak bergerak,
dadanya turun naik sedang wajahnya membayangkan seperti menahan rasa sakit yang
amat sangat. Sebagai seorang lelaki pemandangan itu mau tak mau membuat darahnya
jadi panas juga. Apalagi perempuan itu memiliki tubuh yang sekal dengan sepasang
payu dara yang besar kencang. Pada kedua payudara itu tampak tanda-tanda merah
seperti bekas gigitan. Walaupun terangsang namun rasa kasihan lebih mempengaruhi
hati si pemuda. Dia turun dari atas balon kayu, melangkah ke sudut ruangan. Di sini
dilihatnya gulungan pakaian perempuan. Diambilnya pakaian itu lalu ditutupkannya ke
tubuh yang terbaring itu.
Merasakan ada sesuatu diletakkan di atas auratnya, perempuan itu buka kedua
matanya. Mata itu kuyu sekali. Tiba-tiba membesar sesaat, seperti ketakutan, lalu kuyu
kembali. i
"Jangan takut. Aku tak akan menyakitimu. Aku ingin menolong . . . " berkata si
pemuda.
“Ha .. . haus . . . Aku . . . minum . . . " lapat lapat terdengar suara keluar dari sela
bibir perempuan muda itu.
' Air, di mana akan kudapat air di tempat ini. . . ?" Pemuda itu memandang berkeliling.
Dilihatnya sebuah kendi. Diambilnya dan diguncangnya. Terdengar suara air di dalam
kendi itu. Segera pemuda ini berlutut dan menempelkan bibir kendi ke bibir perempuan
itu. Setelah minum beberapa teguk dengan susah payah wajahnya tampak agak
segaran. Pemuda itu menunggu beberapa ketika lalu berkata.
"Kalau kau bisa bicara, katakan apa yang terjadi..."
"Kau . . . kau . . . siapa ?"
'Namaku Wiro Sableng. Kau tak usah takut. . . "
' Kalau bukannya orang jahat? Atau kawan lelaki yang memperkosaku tadi malam? ”
"Siapa yang memperkosamu . . . ?"
"Ada dua orang. . . "
"Ya, dua orang. Siapa mereka?"
"Aku tidak kenal. Aku tidak ingat. . . "
"Kau harus ingat. Kalau tidak bagaimana aku bisa menolongmu. . . "
"Kepalaku sakit. Sekujur badanku sakit . . . "
Perempuan itu meraba wajahnya, lalu meraba dada dan badannya. Kemudian dia mulai
terisak menangis.
Si pemuda yakni murid Eyang Sinto Gendong menggigit bibir den garuk-garuk
kepala.
"Kau mau minum lagi?" tanyanya kemudian.
Yang ditanya mengangguk. Wiro memberinya beberapa teguk lagi air kendi yang
sejuk itu. .
"Siapa namamu . . . "
"Warsih. . . "
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan sebutir obat. Obat ini diminumkannya pada
perempuan itu. Lalu katanya: "Warsih, kau harus bisa mengingat siapa mereka itu.
Paling tidak keduanya satu sama lain tentu saling memanggil nama . . . "
"Sulit sekali mengingatnya. Mereka.... Tunggu . . . Kudengar yang datang belakangan
itu menyebut satu nama. Randu . . . ya Randu . . . "
"Bagus, kau ingat kini Warsih. Lalu siapa nama yang satu lagi?
Perempuan itu pejamkan mata mengingat-ingat.
"Ronggo . . . " katanya kemudian sambil membuka mata.”
"Di mana kedua orang itu sekarang ...T'
"Pergi..."
"Kau tahu pergi ke mana . . ?" tanya Wiro lagi. "Dan kapan mereka pergi. . . "
"Tadi malam. Ke mana mereka pergi aku tidak tahu..."
"Orang yang bernama Randu itu yang membawamu ke tempat ini?"
"Ya . . . Aku diculiknya dari desa . . . "
"Di mana desamu?"
"Paritwangi."
"Aku akan tolong kau kembali ke desa itu."
"Tidak, aku tak mau kembali. Memalukan kembali ke rumah. Semua orang desa akan
tahu apa yang terjadi. Aku ingin mati saja. Lebih baik mati!"
"Jangan berpikiran pendek begitu. Yang mati kalau bisa ingin hidup . . . "
"Tapi hidup dengan menanggung malu besar begini siapa sudi. Apalagi kalau
sempat aku hamil . . . " Perempuan itu kembali menangis.
"Dengar Warsih. Kau harus hidup. Paling tidak untuk melihat atau mengetahui bahwa
manusia bernama Randu serta kawannya yang bernama Ronggo itu telah menerima
pembalasan atas dosa-dosanya . . . " kata Wiro pula.
"Pembalasan . . . Siapa yang akan membalaskan kejahatan terkutuk mereka? Sejak
dulu pejabat-pejabat kadipaten tak ada yang turun tangan. Manusia bernama Randu itu
pasti telah sering melakukan perbuatan keji ini!" '
"Aku sudah bilang, aku akan menolongmu. Aku memang sudah lama mencari
manusia bernama Randu itu..."
"Kalau begitu kau temannya . . . " .
"Bukan. Justru aku mau menghajarnya. Kini menyaksikan penderitaanmu aku
bersumpah untuk menghajar manusia itu sampai mati . . . Sekarang, kalau kau sudah
cukup kuat berdirilah. Kenakan pakaian mu kembali. Kita sama-sama ke Paritwangi."
Wiro lalu tinggalkan tempat itu untuk memberi kesempatan pada Warsih berpakaian.
Tetapi baru saja dia berada di balik tumpukanbalok, mendadak didengarnya satu suara
benturan,disusul oleh suara jatuhnya sesosok tubuh ke lantai.
Pendekar 212 melompat ke balik tumpukan balok.Namun terlambat. Di lantai dilihatnya tubuh
Warsih— masih belum berpakaian — terkapar dengan kepala rengkah bedarah. Perempuan
malang ini memutuskan lebih baik mati dari pada hidup menanggung aib. Dia telah
membenturkan kepalanya sendiri ke dinding candi! v
Wiro tertegun beberapa saat. Mayat Warsih ditutupnya dengan tikar jerami. Tak ada
kesempatan baginya untuk mengurusi jenazah itu. Cepat-cepat pendekar ini tinggalkan candi.
DUA BELAS
PENDEKAR 212 Wiro Sableng tak dapat memastikan berapa jauh dia telah
meninggalkan candi kediaman Randu Wongso ketika tiba-tiba dia mendengar suara
ringkikan kuda. Wiro segera lari ke jurusan datangnya suara binatang ini.
Di tepi sebuah telaga berair jernih tampak seekor kuda putih polos tegak tak bisa diam
dan meringkik terus menerus. Di bagian lain dari telaga kelihatan bekas perapian.
Murid eyang Sinto Gendeng ini berpikir-pikir. Sebetulnya dia merasa pasti pernah
melihat kuda putih itu. Tapi di mana dan kuda milik siapa? Tiba-tiba pendekar ini tepuk
keningnya. Dia ingat. Binatang itu adalah milik Panji Kenanga, murid brahmana
Lokapala dari gunung Raung. Bersama pemuda itu dulu dia menghancurkan Istana
Darah. Kalau dia tidak salah ingat, kuda ini bernama Angin Salju.
Jika Angin Salju ada di situ pasti Panji Kenanga juga ada di tempat itu. Sambil
memandang berkeliling Wiro melangkah mendekati Angin Salju. Binatang ini
masih terus meringkik. Ketika didekati dia merundukkan kepala dan men g geser-
geserkan lehernya yang berbulu tebal ke bahu Pendekar 212.
"Tenang sobat. Kau tampak gelisah. Mana tuanmu?" kata Wiro sambil mengelus-
elus leher Angin Salju.
Binatang itu memutar-mutarkan ekornya. Kedua kakinya diangkat tinggi-tinggi dan
kembali dia meringkik. Wiro menyelidik lagi berkeliling. Tak ada tanda-tanda adanya
Panji Kenangan di situ. Ini satu hal yang mengherankan.
Tingkah laku Angin Salju membawa firasat yang tidak enak bagi pendekar itu. Dia
memandang ke tengah telaga. Apakah Panji tenggelam?
. "Sesuatu telah terjadi dengan majikan binatang ini," pikir Wiro.
Tiba-tiba Angin Salju meringkik keras. Lalu berputar dan lari meninggalkan telaga.
Wiro Sableng segera mengikuti binatang ini. Kuda putih itu lari masuk ke dalam hutan.
Makin dalam dan makin jauh. Di satu tempat dia jatuhkan diri, melosoh ke tanah. Tepat
dekat sesosok tubuh yang menggeletak tak bergerak.
Sekali lompat saja Wiro sudah berada dekat sosok tubuh itu. Ketika ditelitinya
terkejutlah pemuda ini.
"Panji Kenanga!" desisnya. Didukungnya pemuda itu dan dipindahkannya ke tempat
yang lebih baik.
Muka Panji Kenanga penuh oleh darah yang hampir mengering. Darah itu tampaknya
mengucur keluar dari hidung. Salah satu pipinya bengkak membiru. Mungkin bekas
pukulan keras. Dari sela bibir membuih cairan hitam, Wiro mendekatkan hidungnya ke
cairan itu. Ada bau aneh. Dirabanya tubuh Panji Kenanga. Terasa tegang. Tapi bukan
tegang karena totokan.
"Dia keracunan . . . " ujar Wiro memastikan. Apa yang terjadi? Wiro meneliti
keadaan sekitar tempat itu. Jelas terlihat tanda-tanda perkelahian. Setahunya Panji
Kenanga memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Jika dia dapat dikalahkan dan berada
dalam keadaan seperti ini pasti lawannya jauh lebih hebat. Bukan mustahil dia
dikeroyok.
Wiro pegang per gel angan tangan kiri Panji Kenanga. Masih ada denyutan walaupun
sangat perlahan. Dengan pengetahuan ilmu pengobatan yang dimilikinya murid Sinto
Gendeng itu segera menotok tubuh Panji Kenanga di beberapa bagian. Adapun racun
yang menyerap dalam tubuh pemuda itu harus cepat-cepat dikeluarkan. Jika sampai
terlambat nyawanya tak akan tertolong lagi.
Dengan sehelai daun keladi hutan Wiro menampung air telaga. Air ini dicampurnya
dengan sejenis bubuk obat yang selalu dibawanya di balik pakaian. Setelah diaduk,
cairan obat itu sedikit demi sedikit dituangkannya ke mulut Panji Kenanga. Sesudah
menunggu beberapa saat Wiro lantas keluarkan Kapak Naga Gen i 212. Mata kapak
ditempelkannya pada kedua ujung telapak kaki Panji Kenanga.
Sambil mengalirkan tenaga dalamnya Wiro mengusapi tubuh Panji dengan mata
kapak. Mulai dari kaki, betis, paha, keperut, ke dada, lalu tenggorokan. Ketika mata kapak
menyentuh mulut, dari mulut Panji Kenanga mengalir cairan hitam banyak sekali. Wiro
menekan perut dan dada pemuda ini. Cairan hitam makin banyak keluar. Wiro baru
berhenti menekan setelah tak ada lagi cairan hitam yang keluar.
Tak lama kemudian kelihatan kepala Panji Kenanga bergerak. Kedua matanya
terbuka, tampak kuyu. Lama dia memandang ke langit, ke arah cabang-cabang pohon
dan dedaunan yang rapat. Kemudian matanya beralih memandang Wiro.
"Di . . . dimana aku . . . Sakitnya kepala ini . . .Kau ... . kau siapa?" kata-kata itu
meluncur dari mulut Panji Kenanga.
"Aku sobat lamamu. Panji. Aku Wiro Sableng," menyahuti murid Sinto Gendeng.
Panji Kenanga menatap Pendekar 212 lama sekali.
Sesaat setelah pandangannya mulai jelas dan jalan pikirannya menjadi jernih, perlahan-
lahan pemuda itu anggukkan kepala dan kedipkan matanya.
"Ya . . . aku ingat kau. Apa yang terjadi dengan diriku . . . ?" Panji meraba mukanya
lalu memperhatikan tangannya. "Darah . . . " desisnya kemudian. Dia mencoba bangkit.
Tetapi terbaring kembali. Tubuhnya terasa lemas seolah-olah tidak bertulang.
"Tenang dan berbaring sajalah . . . " kata Wiro Sableng. "Kau telah melewati saat-
saat gawat . . . "
"Bagaimana kau bisa muncul dr sini. Apakah . . apakah aku akan menemui ajal
seandainya kau tidak datang? Kau pasti menolongku . . . "
"Soal nyawa adalah urusan Tuhan. Hanya manusia tidak boleh terima nasib begitu
saja. Harus berusaha. Aku tengah mencari sarang mesum manusia dajal bernama
Randu Wongso. Candinya kudapati dalam keadaan kosong. . . "
"Ah! Kita berurusan dengan manusia yang sama. . . " ujar Panji Kenanga. Kini
dikumpulkannya seluruh tenaganya. Dengan susah payah dia mencoba bangun. Wiro
membantu dan menyandarkannya kebatang pohon kelapa pendek. "Wiro . . kau
tahu.
Manusia dajal bernama Randu Wongso itu ikut membantu Ronggo Bogoseto menculik
Lestari. . . "
Terkejutlah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dadanya bergetar. Lestari! Dara yang suka
berbaju merah itu, yang dulu pernah diselamatkannya dan kini ternyata diculik orang!
Hampir dua tahun dia tidak pernah bertemu dengan dara jelita itu.
Dalam kehidupannya Wiro telah menemui banyak sekali gadis-gadis cantik. Namun
entah mengapa dara yang satu ini begitu menarik perhatiannya, tak pernah bisa pupus
dari ingatannya. Berkali-kali timbul hasrat dalam hatinya untuk menyambangi Lestari di
tempat kediaman gurunya, tetapi hal itu tak pernah dilakukannya karena merasa malu.
Gila! Biasanya dia selalu bersikap berani terhadap setiap gadis atau perempuan yang
ditemuinya. Hanya pada yang satu ini dia seperti merasa takut. Bukan, bukan takut tetapi
mati kutu! Rasanya dia melakukan apa saja yang dikatakan gadis itu! Tak dapat
dipungkirinya bahwa dia telah terpikat pada Lestari. Diam-diam ada rasa kawatir dalam
dirinya akan kehilangan gadis itu.
Dan kini didengarnya dari Panji Kenanga gadis itu diculik oleh seseorang, dibantu
oleh Randu Wongso, tokoh silat yang terkenal sebagai tokoh cabul bejat. Lestari berada
dalam keadaan bahaya. Jika dia sampai diapa-apakan hancurlah masa depannya..
"Siapa Ronggo Bogoseto itu?" tanya Wiro.
"Seorang pemuda brengsek, putera bekas perwira tinggi kerajaan yang tinggal di
Jember . . . "Dia memiliki jlmu pedang yang tinggi tetapi tidak punya dasar ilmu silat
yang dapat diandalkan . . . "
"Kau tahu ke mana kira-kira Lestari dilarikan?"
"Tak dapat kupastikan. Mungkin ke Jember atau candi tua di sebuah lereng bukit. . . "
"Aku sudah menyelidik ke candi itu. Kosong . . . " Wiro tidak menceritakan pertemuannya
dengan Warsih yang malang.
"Kalau begitu pasti Lestari dibawa ke Jember. Tidak sulit mencari rumah bekas
perwira tinggi itu. Semua orang di Jember pasti tahu letak rumahnya."
"Kalau begitu aku harus ke sana saat ini juga. Hanya, bagaimana dengan kau . . . ?"
"Tak usah pikirkan diriku!" ujar Panji Kenanga.
"Yang penting selamatkan gadis itu dari bencana. Demi Tuhan aku harus berterus
terang padamu Wiro. Aku mencintai Lestari. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan dirinya.
Tolong selamatkan dia. Jasamu tak akan ku lupakan dunia akhirat!"
"Aku mencintai Lestari!"
"Tiga rangkai kata itu mengiang lama di kedua telinga Wiro Sableng. Dadanya terasa
menyesak. Jika Panji Kenanga mencintai Lestari, apakah Lestari juga mencintai pemuda
ini?
"Katamu kau mencintai Lestari, Panji?" Wiro bertanya ingin menegaskan.
" Y a . . . " 1
"Apakah Lestari juga mencintaimu?" tanya Wiro lagi.
"Aku tidak tahu. Tak pernah hal itu dikatakannya. Tapi aku yakin dia juga
menyayangiku. Aku bisa melihat dari gerak-geriknya . . . "
Wiro merasa dadanya makin sesak. Dia terduduk disamping Panji. Untuk sesaat tak
bisa berkata apa-apa. "Pemuda ini tidak tahu kalau akupun mencintai gadis itu."
"Wiro, tolong. Selamatkan Lestari," terdengar suara Panji Kenanga. "Jika terjadi apa-
apa dengan diri-nya, rasanya tak ada gunanya lagi aku hidup di dunia ini..."
"Sahabatku Panji Kenanga . . . " sahut Wiro. Suaranya kali ini agak bergetar
karena menahan gejolak dalam dadanya. "Kau benar-benar mencintai gadis itu.
Maksudku dengan cinta murni, dengan setulus jiwa ragamu . . . ?"
"Demi dia aku rela menyerahkan jiwa ragaku, Wiro. Aku bersumpah jika memang itu
baru dapat membuatmu percaya. . . "
Perlahan-lahan Wiro berdiri. Lututnya terasa goyah. Tak terpikir lagi olehnya saat itu
bagaimana Panji Kenanga dan Lestari bertemu di tempat itu. Tak tertanyakan lagi
bagaimana Panji dan Lestari sampai bentrokan dengan Randu Wongso dan pemuda
bernama Ronggo Bogoseto itu.
"Pergilah Wiro. Kau harus bertindak cepat!" kata Panji Kenanga yang tak dapat
membaca apa sebenarnya terjadi dalam diri pemuda yang tegak seperti linglung di
hadapannya itu.
"Baik! Tentu Panji! Aku segera pergi. Semoga aku tidak terlambat. Kau terpaksa
kutinggalkan di sini. Hati-hatilah . . . "
Semua kata-kata itu diucapkan Wiro dengan peraaan bergalau.
Dia ingin menyelamatkan Lestari. Bukan karena permintaan yang disampaikan Panji
Kenanga. Tetapi karena diapun ingin melihat gadis itu selamat. Karena diapun
mencintai Lestari. Tetapi Panji Kenangapun mencintai gadis itu. Bagaimana kalau
kemudian diapun mengetahui bahwa Lestari mencintai Panji? Akan sanggupkah dia
menghadapi kenyataan itu?!
Jika dia mengikuti bisikan setan yang mulai merasuk hatinya, maulah dia saat itu
mencelakakan Panji Kenanga. Mungkin juga membunuhnya. Namun sebagai seorang
pendekar berjiwa besar pantaskah hal itu dilakukannya? Kalaupun dia berhasil
mendapatkan Lestari lalu kemudian mengetahui bahwa gadis itu tidak mencintainya,
apakah jadinya kelak kehidupan mereka?
"Wiro! Kau melamun!" seru Panji Kenanga yang sudah tidak sabaran.
"Ti... tidak! Aku segera pergi Panji!" sahut Wiro. Lalu segera ditinggalkannya tempat
itu, lari secepat yang bisa dilakukannya menuju Jember.
TIGA BELAS
SEPERTI yang dikatakan Panji Kenanga memang tidak sukar bagi Wiro Sableng untuk
mencari gedung kedi akan Ronggo Bogoseto. Sekali bertanya saja dengan mudah dia
menemukan gedung itu, terletak tak berapa jauh dari pusat keramaian kota. Bagian
depan rumah besar yang berhalaman luas ini dibatasi dengan pagar besi berwarna
hitam.
Seluruh halaman ditumbuhi rumput dan aneka ragam bunga. Di sebelah tengah
terlihat sebuah kolam dengan hiasan patung perempuan setengah telanjang memegang
dua ekor burung merpati.
Di samping bangunan besar megah itu terdapat sebuah gedung kecil beratap merah.
Tepat di depan gedung besar behenti dua buah kereta. Suasana di tempat itu tampak
sunyi-sunyi saja. Lewat pintu halaman yang tidak dikunci Wiro Sableng masuk ke
dalam. Ketika dia sampai di dekat dua buah kereta, muncullah seorang lelaki tua.
"Bapak, siapakah raden Ronggo ada di rumah?" tanya Wiro.
"Anak muda, kau siapakah . . .'?" tanya orangtua itu. Nada suaranya tidak
menunjukkan kecurigaan.
"Saya sahabat raden Ronggo," sahut Wiro berdusta.
"Ah, kalau begitu kau pergilah ke gedung kecil sebelah sana. Itu tempat kediaman
raden Ronggo."
Wiro tersenyum lalu malangkah tanpa terburu-buru agar tidak menimbulkan
kecurigaan. Seperti di rumah besar, gedung kecil inipun tampak sunyi. Dia tegak
meneliti sesaat. Terkadang kesunyian bisa menipu seseorang. Matanya yang tajam
melihat pintu depan gedung kecil itu tidak dikunci, hanya ditutupkan dan itupun tidak
rapat. Lewat celah pintu, ketika Wiro mendekat dia melihat seorang lelaki bertubuh tinggi
kurus melangkah mundar mandir di ruangan depan. Sikapnya jelas menunjukkan
ketidak sabaran. Dan ternyata orang ini memiliki pendengaran tajam.
Begitu Wiro sampai di langkan gedung, dia memburu ke pintu dan keluar seraya
membentak.
"Siapa kau?!"
Melihat pada pakaian yang terbuat dari jenis murahan, air muka yang kusam serta
sikap yang kasar Wiro segera menduga orang ini bukan penghuni gedung itu, jadi bukan
Ronggo Bogoseto. Tampaknya diapun bukan penjaga atau pengawal gedung. Tetapi
mengapa sikapnya begini galak. Atau apakah ini ayah Ronggo yang berjuluk Raja
Pedang Kotaraja itu? Tak bisa jadi. Wiro segera mengatur siasat.
Murid Sinto Gendeng itu cepat menjura lalu ber- kata: "Aku ingin bertemu dengan
Ronggo Bogoseto
"Hmm, Katakan dulu siapa kau!' '
"Aku sahabat lamanya. . . "
"Dia tak ada di rumah. Sedang keluar!' '
Wiro garuk kepalanya. "Lelaki tua di luar sana bilang Ronggo ada di sini. Aku datang
dari jauh. Ada urusan penting. Tolong beritakan padanya.' '
'Tidak mungkin . . . " kata lelaki tinggi kurus yang bukan lain adalah Randu Wongso.
"Kalau kedatanganku tidak diberitahu, aku kawatir dia nanti akan marah, ini
menyangkut urusan yang benar-benar penting," ujar Wiro.
' Justru Ronggo saat ini sedang ada urusan. Tak bisa diganggu oleh siapapun!"
"Kalau begitu biarlah aku menunggu sampai urusannya selesai," kata Wiro pula. Lalu
seperti tak acuh enak saja dia hendak menyelinap masuk ke dalam gedung.
"Eit! Orang muda! Jangan bertindak lancang seenakmu!" bentak Randu Wongso.
"Lancang'bagaimana?" tanya Wiro lagi-lagi sambil garuk kepala.
"Meski kau mengaku kawan Ronggo Bogoseto, tapi kalau mau menunggu bukan di
sini tempatnya. Di sana, di luar pagar halaman! "
"Ah, di luar sana panas sekali. Bagaimana kalau aku menunggu di langkan sini
saja?!"
"Kurang ajar! Kau berani membantah perintahku .Mau kupuntir kepalamu . ?!"ancam
Randu
"Jangan! Jangan sobat. Jangan galak begitu . . . " Wiro pura-pura ketakutan.
Randu Wongso menyeringai.
"Kalau tak ingin kupuntir kepalamu lekas pergi!"
"Baik, tapi dengan siapakah sebenarnya aku yang bodoh ini berhadapan?"
Yang ditanya tertawa lebar dan menjawab sambil berkacak pinggang.
"Apa kau tak pernah mendengar nama Randu Wongso? Tokoh silat kelas satu yang
ditakuti di delapan penjuru Jawa Timur?!"
"Ah! Inilah dia keparat yang kucari-cari!" kata Wiro dalam hati. Tubuhnya bergetar.
Jika diturutkannya hawa amarah yang merangsak dirinya saat itu maulah dia menghajar
Randu Wongso detik itu juga. Namun tujuan utamanya datang ke situ adalah untuk
menyelamatkan Lestari. Dan kini dia yakin gadis itu pasti berada di gedung kecil itu,
berada dalam sekapan Ronggo Bogoseto di bawah pengawalan si keparat ini!
"Aduh! Tak kusangka hari ini aku dapat berhadapan dengan tokoh yang sangat
terkenal ini. Harap maafkan kalau aku tadi berlaku kurang hormat," kata Wiro lalu
menjura sampai beberapa kali. Padahal dalam hati dia menyumpah setengah mati!
"Nah, kalau sudah tahu siapa aku, lekas minggat. Tunggu di luar pagar sana!"
"Baik . . . baik . . . ," kata Wiro. Sekali lagi dia menjura. Tetapi gerakannya kali ini
bukan gerakan menghormat sembarangan. Sambil merunduk tangan kanannya
menyusup ke depan dengan dua jari terpentang lurus.
Randu Wongso tak sempat keluarkan seruan. Urat besar dipangkal lehernya
sebelah kanan telah ditotok pemuda yang mengaku sahabat Ronggo Bogoseto itu.
Kontan detik itu juga Randu Wongso tak dapat bergerak lagi, juga tak bisa bersuara.
Kedua matanya membeliak. Seumur hidupnya baru hari itu dia bisa dibokong orang
secara berhadap-hadapan. Seribu caci maki kutuk serapah menggeru-geru dalam dada
lelaki ini.
Sambil tersenyum dan tepuk-tepuk pipi Randu Wongso, Pendekar 212 Wiro Sableng
berkata.
"Monyet jangkung, sebetulnya ingin sekali aku mematahkan lehermu saat ini.
Kejahatanmu sudah lewat takaran. Kebejatanmu sudah selangit tembus. Tapi biar
kuberikan kesempatan beberapa saat lagi bagimu untuk bernafas. . . "
Dengan ujung jari tangan kanannya yang dialiri tenaga dalam tinggi serta hawa amat
panas, Wiro menggurat tiga buah angka di kening Randu Wongso: 212. Lelaki ini
merasa seperti ditoreh dengan besi panas. Kalau saja dia tidak ditotok saat itu pastilah
dia akan mengeluarkan jerit kesakitan luar biasa. Dalam hatinya dia bersumpah:
'Pemuda haram jadah! Kelak kau bakal kucincang. Lalu kubakar!"
"Randu! Sekarang kaulah yang harus menunggu di luar pagar sana!"
Habis berkata begitu enak saja Wiro jambak rambut Randu Wongso dan seret lelaki
itu ke luar pagar.
'Tubuhmu bau! Pakaianmu kumal! Kau lebih layak berada di sini! "ujar Wiro lalu
hempaskan Randu Wongso ke tepi jalan yang panas dan berdebu. Kemudian dia segera
masuk ke dalam gedung kecil kembali. Setelah melewati ruangan depan dan ruangan
tengah yang penuh dengan berbagai macam perabotan dan lemari pajangan, Wiro
sampai di sebuah ruangan di mana berderet beberapa kamar dengan pintu dalam
keadaan tertutup. Di dalam kamar yang mana Lestari disekap? Dia melangkah
perlahan-iahan, memasang telinga serta mata. Di hadapan pintu ke empat deretan
sebelah kiri pendekar ini hentikan langkah. Dari balik pintu jelas terdengar suara berisik.
Wiro tempelkan telinganya ke daun pintu. Setelah merasa pasti maka sekali tendang
pintu yang terbuat dari kayu jati itu hancur berantakan. Secepat kilat Wiro melompat
masuk ke dalam kamar.
Apa yang diperkirakannya tidak meleset.
Di atas sebuah tempat tidur besar bekelambu biru muda berseperai putih serta
penuh keharuman tampak seorang pemuda bermuka pucat yang tangan kanannya
dibalut, dan hanya mengenakan celana dalam tengah menggeluti sesosok tubuh
perempuan yang saat itu berada dalam keadaan tak berdaya dan tidak mengenakan
pakaian atau penutup apapun.
"Manusia keparat haram jadah!" teriak Wiro Sableng menggelegar. Dia menerjang ke
atas tempat tidur.
"Wiro!" jerit Lestari. Namun jeritan itu tependam di tenggorokannya karena sampai
saat itu tubuhnya masih tertotok, membuat dia tak bisa bergerak ataupun bersuara.
Sejak hancurnya pintu kamar kaget Ronggo bukan kepalang. Apalagi ketika melihat
seseorang melompat ke atas tempat tidur. Tapi karena merasa berada di rumah sendiri
ditambah di luar sana ada Randu Wongso maka dengan marah pemuda ini membentak.
' Bangsat! Maling atau pencuri kau?!"
"Aku memang maling yang hendak mencuri nyawamu!" teriak Wiro.
Kaki kanannya menyambar ke depan, tepat pada saat Ronggo mencoba berdiri.
Pahanya tepat dihantam tendangan. Terdengar suara krak! Dibarengi jerit kesakitan
dan mentalnya tubuh pemuda bermuka pucat itu!
Seperti diketahui Ronggo Bogoseto meski memiliki ilmu pedang yang tangguh
namun tidak mempunyai dasar ilmu silat yang bisa diandalkan. Apalagi saat itu dia
diselimuti rasa terkejut hingga sama sekali tak mampu membuat gerakan mengelak. Dia
terbanting ke lantai. Ketakutan setengah mati dia menggulingkan diri ke pintu kamar
sambil berteriak.
"Randu! Randu! Tolong . . . !" Tak ada jawaban,
Ronggo Bogoseto berdiri dengan susah payah. Baru saja dia setengah
membungkuk, satu cengkeraman mencengkam lehernya dari belakang. Cekikan itu
makin keras, makin keras. Ronggo Bogoseto tak dapat bernafas. Matanya mendelik,
lidahnya menjulur dan ludah membuih keluar dari mulutnya.
Tiba-tiba dengan sekuat tenaga Wiro hantamkan muka pemuda itu ke dinding kamar.
Prak!
Darah muncrat.
Muka Ronggo Bogoseto remuk. Batok kepalanya rengkah. Nyawanya lepas sebelum
tubuhnya mencium lantai.
Wiro tutup tubuh Lestari dengan seperai lalu lepaskan totokan di tubuh gadis itu. Dia
kemudian menghindar ke pintu seraya membelakangi dan berkata: "Lekas cari dan
kenakanan pakaianmu. Kita harus segera pergi dari sini!"
Lestari menemukan pakaian merahnya di ujung kaki tempat tidur dan segera
mengenakannya.
"Bagaimana kau tahu aku ada di sini Wiro?" tanya Lestari.
Ingin sekali dia menjatuhkan tubuhnya ke dada pemuda itu, memeluk bahkan
menciumnya sebagai pernyataan terima kasih karena telah menyelamatkan diri dan kehormatannya. Namun sekejap bayangan wajah Panji Kenanga muncul. Maksud si
gadis tertahan.
"Nanti saja kuterangkan. Kita harus pergi. Mari!" sahut Wiro lalu mendahului menuju
keluar.
Di luar pagar di tepi jalan tampak beberapa orang mengerumuni Randu Wongso yang
terkapar di tanah.
'Orang ini gagu dan lumpuh!" seseorang berkata.
Lelaki disampingnya menyahuti: "Kurasa dia bukan lumpuh. Tapi ditotok. Kalau tak
salah dia kawannya Ronggo . . . "
"Kalau begitu beri tahu pada pemuda itu apa yang terjadi!" kata yang lain.
Baru saja mereka ramai-ramai bicara begitu sesosok bayangan putih dan merah
berkelebat. Empat orang terpelanting. Ada yang berseru kaget. Ketika memandang ke
depan mereka lihat sosok tubuh Randu Wongso telah dibawa lari oleh seorang lelaki
berpakaian putih. Di belakangnya mengikuti seorang perempuan berpakaian merah.
EMPAT BELAS
WIRO SABLENG membawa Randu Wongso ke candi tua tempat kediamannya di
mana sosok tubuh Warsih masih terkapar tak bernyawa akibat bunuh diri karena tak
sanggup hidup menanggung malu setelah diperkosa oleh manusia bejat itu.
"Wiro, aku ingin membunuh keparat ini sekarang juga! Ketika melarikanku ke
Jember, sepanjang perjalanan dia berlaku kurang ajar! "berkata Lestari begitu Wiro
melemparkan tubuh Randu Wongso ke lantai candi.
"Sabar Lestari. Jangan berikan kematian terlalu enak padanya. Kita harus mengatur
kematian paling bagus hingga dia benar-benar merasakan pembalasan atas segala
dosa-dosanya. Kau tunggu dulu di sini."
"Kau mau ke mana?"
Wiro menerangkan pertemuannya dengan Panji Kenanga.
"Aku akan bawa pemuda itu kemari. Kau bisa merawat luka-lukanya . . . "
Sesaat Wiro melihat wajah Lestari tiba-tiba menjadi merah. Namun dia pura-pura tidak
tahu malah berkata: "Dia mencintaimu Lestari. Kurasa kau juga sudah tahu. Kau harus
merawatnya baik-baik hingga cepat sembuh. . . "
"Wiro, ada sesuatu yang perlu kujelaskan. Yaitu mengapa aku mengadakah perjalanan
ini. . . "
"Itu bisa kau terangkan jika Panji sudah ada di sini nanti. Dia sudah terlalu lama
kutinggalkan. Aku kawatir keadaannya akan lebih parah kalau tidak lekas
ditolong."
Lestari hendak bertanya lagi. Tapi Wiro sudah berkelebat pergi.-"Heran, bagaimana
dia tahu kalau Panji mencintaiku . . . ?" membatin Lestari. "Apakah dia sudah tahu kalau
antara aku dan dia ada ikatan jodoh . . . ? Ah bagaimana jadinya ini . . . " Gadis itu
geleng-gelengkan kepalanya. Kemudian pandangannya membentur sosok tubuh Randu
Wongso. Rahang Lestari menggembung. Dia melangkah besar-besar dan duk!
Tendangannya menghantam muka Randu Wongso hingga terpental ke dinding.
Hidungnya remuk mengucurkan darah. Tiga buah giginya tanggal dan bibirnya
pecah.
Jika diikutinya dendam kesumat sakit hatinya mau Lestari menggorok leher Randu
Wongso saat itu. Namun sebelum dia sempat menjadi kesetanan Wiro Sableng telah
muncul kembali mendukung tubuh Panji Kenanga. Meski menanggung sakit dan masih
berceiomotan darah di bagian mukanya namun melihat Lestari tak kurang suatu apa
pemuda itu tampak lega. Sambil duduk bersandar ke dinding dia coba tersenyum dan
berkata: "Syukur kau selamat Lestari. Kau . . . maksudku kita, harus berterima kasih
pada Wiro . . . "
Lestari tak menjawab. Jika saja saat itu tak ada Wiro di situ mungkin dia telah
melompat untuk merangkul tubuh Panji Kenanga dan merawat lukanya.
"Kau ingin menyelesaikan urusan dengan Randu Rongso?" Wiro bertanya.
"Dia harus mampus di tanganku!" jawab Lestari. Wiro melangkah. Dia menggeledah
pakaian Randu Wongso. Di situ dia menemui beberapa buah kantong kain berisi uang
dan juga sebatang suling perak. Wiro menimang-nimang benda itu lalu
menyerahkannya pada Lestari. Ini adalah kali kedua pemuda itu mengembalikan senjata
itu kepada si gadis. Pertama sewaktu peristiwa penghancuran Istana Darah.
Setelah menyerahkan suling perak itu Wiro kemudian lepaskan totokan di tubuh
Randu Wongso.
Begitu totokannya lepas, tubuh Randu Wongso tiba-tiba laksana seekor harimau
mencelat dan mengirimkan serangan berupa tendangan maut ke selangkangan Wiro
Sableng!
Pendekar kita memang sudah menduga hal itu. Karenanya dia bersikap penuh
waspada dan ketika Randu Wongso membuat gerakan yang mengawali serangan Wiro
sudah lebih dulu menyingkir. Tendangan lelaki itu mengenai tempat kosong.
Marah dan penasaran serangan mautnya gagal, Randu Wongso kini berpaling pada
Lestari.
'Satu di antara kalian layak mampus lebih dahulu" geram Randu Wongso. Mulutnya
komat-kamit. Tangan kanannya mendadak berubah menjadi hitam. Melihat hal ini Wiro
cepat melompat ke hadapan Randu Wongso, sekaligus membelakangi Lestari.
"Wiro, awas!" memperingatkan gadis itu. "Dia hendak melepaskan pukulan
berbahaya! "
"Tak usah kawatir," jawab Wiro. "Manusia dajal! ini akan menemui kematian di sarang
mesumnya ini!"
"Kau yang mampus lebih dulu! "teriak Randu Wongso lalu pukulkan tangan
kanannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sinar hitam menyambar dahsyat.
Wiro cepat tutup jalan pernafasannya. Serentak dengan itu tangan kannya
menghantam ke depan. Ruangan candi menjadi terang benderang oleh sinar putih
menyilaukan yang keluar dari telapak tangan murid eyang Sinto Gelung itu.
"Pukulan sinar matahari!" seru Randu Wongso kaget sekali. Cepat-cepat dia
susupkan pukulan sinar hitamnya ke bawah hingga sinar itu kini berbuntal-buntal
seperti gurita yang hendak merobek-robek tubuh Wiro.
Sebelumnya Wiro sudah mendengar kehebatan ilmu Randu Wongso ini. Karenanya
dia harus menghadapi tidak kepalang tanggung. Dengan tangan kiri Wiro lepaskan
pukulan pemagar diri sekaligus merupakan serangan ganas yakni pukulan dewa
topan menggusur gunung!
Kembali Randu Wongso keluarkan seruan tegang. Cepat dia kerahkan tenaga
dalam. Namun tak urung tubuhnya mental ke luar candi terseret hawa pukulan yang
dilepaskan Wiro.
Dengan dada berdenyut keras Randu Wongso sesaat tegak untuk mengatur jalan
darahnya.
"Jadi kau adalah muridnya nenek busuk Sinto Gendeng itu hah!" ujar Randu
Wongso. Sret! Dia cabut sebilah golok yang terbuat dari kuningan dan mengandung
racun jahat sekali.
Mendengar nama gurunya disebut secara kurang ajar marahlah Wiro. Entah kapan
dia bergerak tahu-tahu Randu Wongso telah menerima dua pukulan. Satu mendarat di
dadanya, satu lagi di ulu hatinya. Lelaki mesum ini keluarkan suara seperti mau
muntah. Yang menyembur dari mulutnya adalah darah kental. Tidak perduIikan
keadaan dirinya yang terluka parah di sebelah dalam Randu Wongso membabat ganas
ke arah Wiro. Golok besarnya bersiuran. Namun dia hanya mampu membuat dua kali
gerakan pulang balik. Di kali yang ketiga terdengar suara krak! Tulang lengan kanannya
patah disambar tepi telapak tangan kiri Wiro. Golok kuningannya mental, langsung
disambar Wiro. Senjata ini dilemparkannya ke arah Lestari seraya berkata: "Lestari,
selesaikan urusanmu dengan manusia terkutuk itu! "
Lestari yang tahu apa maksud ucapan Wiro segera menangkap hulu golok, lalu
secepat kilat melompat ke arah Randu Wongso. Golok di tangan kanannya
menyambar ke arah leher lelaki itu.
Cras!
Lestari terpekik sendiri ketika menyaksikan hasil tabasannya. Kepala Randu Wongso
menggelinding dilantai candi. Darah muncrat dari lehernya yang kutung. Tubuhnya
terjungkal jatuh. Bergerak-gerak beberapa ama lalu diam tak berkutik lagi.
MALAM itu udara dingin sekali. Untuk menolak hawa yang membuat tubuh menggigil
ini Wiro menyalakan api unggun. Saat itu mereka berada di sebuah mata air kecil, di kaki
sebuah bukit yang penuh ditumbuhi pohon jati.
Sebenarnya ingin sekali Lestari menuturkan persoalan yang tengah dihadapinya
kepada Wiro. Namun dia terpaksa menunggu sampai Panji Kenanga tertidur.
Lewat tengah malam setelah pemuda itu kelihatan memejamkan mata. Lestari lalu
duduk mendekati Wiro dan menceritakan tentang hilangnya tusuk kundai perak.
"Tusuk kundai itu, bukan hiasan rambut biasa. Tapi sebuah senjata mustika.
Diberikan oleh gurumu pada guruku beberapa tahun yang silam . . . "
Wiro kaget mendengar keterangan ini. Setelah merenung sejenak diapun
menanggapi: "Kalau tak salah, gurumu dulu pernah bilang bahwa dia adalah saudara
angkat guruku. Eyang tidak akan memberikan tusuk kundai itu pada sembarang orang.
Pasti ada tujuan tertentu . . . "
Lestari terdiam sejenak. "Harus kukatakan sekarang," dia membatin mengambil
keputusan.
"Mungkin kau masih belum tahu Wiro."
"Belum tahu apa?" bertanya Wiro.
"Tusuk kundai itu diberikan gurumu pada guruku sebagai tanda ikatan jodoh kita
. . . "
Wiro Sableng sampai terbangkit dari duduknya mendengar ucapan Lestari yang tidak
disangka-sangka ini.
"Kau tidak bergurau Lestari?"
Sang dara menggeleng. "Karena itulah guru sangat marah terhadapku. Dan aku
sudah bertekad tak akan kembali ke tempat guru sebelum menemukan kembali tusuk
kundai itu . . . "
Perlahan-lahan Wiro duduk kembali di depan api unggun. Lama dia termenung.
"Ikatan jodoh itu memang tak pernah kuketahui. Mereka menghubungkan kita secara
diam-diam. . . "
Wiro memandangi wajah Lestari. Yang dipandang menunduk lalu berpaling ke jurusan
lain. Justru pandangannya membentur Panji Kenanga yang tengah tertidur. Pada
dasarnya Lestari lebih tertarik pada Panji Kenanga yang wajahnya memang lebih
tampan dari pada Wiro. Namun mengingat dia telah dijodohkan dengan Wiro, apalagi
mengingat Wiro baru saja menyelamatkannya dari perbuatan terkutuk Ronggo
Bogoseto maka terpaksa dengan berat hati dipupuskannya segenap rasa terhadap Panji
Kenanga. Kini dicobanya untuk menggantikan tempat Panji dengan Wiro.
Sebaliknya setelah mengetahui Panji Kenanga mencintai Lesdari dan dari gerak-
gerik si gadis, Wiro meyakini bahwa Lestari lebih menyukai Panji Kenanga dari dirinya,
maka betapapun dia menyayangi gadis ini dia harus melupakan perasaan itu. Dan ini
merupakan satu hal yang berat. Seolah-olah dia tengah menghancurkan dirinya sendiri!
"Kalau Lestari bisa lebih berbahagia dengan Panji, kenapa aku harus berkeras kepala .
. . ," pikir Wiro coba menghibur diri. "Itu mungkin lebih baik bagi mereka. Tapi
urusan jodoh yang diikatkan oleh para guru? Ah, inilah akibat kalau pihak-pihak
berkepentingan tidak diberi tahu lebih dulu!"
Setelah berpikir dalam-dalam dan setenang mungkin akhirnya Wiro berkata. "Lestari,
soal ikatan jodoh kita sebaiknya kita tunda dulu untuk dibicarakan. Yang penting sekarang adalah mencari tusuk kundai itu. Kita bertiga harus mencari seorang kenalan
lamaku. Aku tak tahu namanya, dia berjuluk si Segala Tahu. Siapa tahu dia bisa
memberi keterangan siapa pencuri benda pusaka itu dan di mana bisa ditemukan . . . "
"Orang saktikah dia atau tukang ramal atau dukun . . . ?" tanya Lestari.
"Tak dapat kupastikan. Tapi dia punya semacam kepandaian aneh yang dapat
melihat kejadian di masa silam serta apa yang bakal terjadi di masa mendatang. Nah,
malam sudah larut. Kau tidurlah . . . "
Baik Wiro maupun Lestari tak satupun dari mereka yang mengetahui kalau
sementara mereka bicara tadi sesungguhnya Panji Kenanga hanya pura-pura tidur.
Segala apa yang dibicarakan kedua orang itu didengar jelas oleh Panji Kenanga. Betapa
remuk hati pemuda ini sewaktu mengetahui bahwa gadis yang dikasihinya itu ternyata
telah dijodohkan dengan Wiro Sableng. Dia mengeluh, meratap dalam hati. Ingin
sekali dia mati saat itu juga!
"SEBAIKNYA kalian segera saja berangkat tanpa menunggu kesembuhanku . . . "
kata Panji Kenanga keesokan harinya.
' Kau akan segera sembuh Panji. Kita berangkat sama-sama," jawab Wiro.
"Aku hanya kawatir kalau-kalau tusuk kundai itu semakin jauh dilarikan pencuri," ujar
Panji Kenanga. Empat hari kemudian kesehatan Panji Kenanga telah pulih kembali.
Apalagi Wiro membantunya dengan beberapa jenis obat dan aliran tenaga dalam.
Sebenarnya sejak dia tahu hubungan jodoh antara Lestari dan Wiro, pemuda ini tak
ada lagi semangat untuk meneruskan perjalanan bersama-sama. Namun untuk pergi
begitu saja dirasakannya kurang enak. Pada hari ke lima mereka memulai perjalanan.
Panji menolak keras ketika disuruh menunggangi Angin Salju. Dia lebih suka
Lestarilah yang menaiki kuda itu. Karena Lestari juga menolak akhirnya terpaksa Panji
naik ke punggung kudanya.
Sesuai rencana mereka bergerak ke sekitar kaki gunung Lamongan. Menurut
perkiraan di situ kemungkinan bisa menemui Si Segala Tahu. Karena sering-sering
berhenti, hampir seminggu kemudian baru mereka sampai di tujuan.
LIMA BELAS
DI SEBELAH timur gunung Lamongan terdapat sebuah bukit kapur yang dari jauh
kelihatan memutih. Wiro, Lestari dan Panji Kenanga segera menuju ke bukit kapur ini.
Hawa sekitar bukit terasa panas. Tiba-tiba Wiro memberi isyarat agar berhenti. Dia
menunjuk ke puncak bukit kapur. Di atas sana seseorang berjalan terbungkuk-bungkuk.
Di tangan kirinya ada sebuah tongkat. Dia mengenakan topi lebar dan melenggang
seenaknya menuju ujung bukit sebelah timur. Sesekali terdengar suara
berkerontangan.
"Itu dia! Pasti dia!" seru Wiro girang. Ketiga orang ini serta merta menuju puncak
bukit sebelah timur. Meskipun orang di atas bukit melangkah bungkuk seenaknya,
namun cukup memakan waktu lama baru mereka berhasil mengejarnya.
"Bapak segaia Tahu! Tunggu! Berhenti dulu!" teriak Wiro. Dia sengaja
mengerahkan tenaga dalam agar suaranya dapat didengar. Namun orang yang berjalan
terus saja melangkah sambil kerontangan kaleng buruk berisi batu kerikil di tangan
kirinya. Terpaksa Wiro dan Lestari mempercepat lari sementara Panji Kenanga
membedal Angin Salju.
Sebelumnya Wiro telah pernah bertemu dengan Si Segala Tahu dan tak heran
melihat perangai orang tua ini. Orang berjuluk Si Segala Tahu ini berpakaian compang
camping dan memakai topi lebar. Di kempitnya sebelah kanan ada sebuah buntalan.
Tampak dia memindahkan tongkat dari tangan kanan ke tangan kiri. Kaleng butut kini
berada di tangan kanannya dan terus menerus d ikerontang-kerontangkannya. Kedua
matanya buta. Tapi di manapun dia berada, tongkatnya menjadi sepasang mata hingga
dia tak pernah nyasar ataupun terperosok.
"Bapak Segala Tahu! Tunggu! "seru Wiro kembali.
"Panas-panas begini siapa yang memanggil aku? Beraninya mengganggu aku yang
tengah menikmati pemandangan indah di puncak bukit!" Hebat juga orang tua ini
menggerutu. Menikmati pemandangan katanya padahal kedua matanya buta!
Wiro sampai di hadapan si orang tua. Lestari dan Panji Kenanga berada di
sampingnya.
"Bapak Segala Tahu, harap manfaatkan kalau aku dan kawan-kawan mengganggu
tamasyamu. Kami betul-betul membutuhkan pertolongan. Ada satu persoalan penting
yang harus kami tanyakan. Kuharap kau bisa menolong."
"Aih, panas-panas begini kau membicarakan soal penting. Soal apakah . . . ? Hai
tunggu dulu! Kalau tak salah ingat, delapan belas bulan lalu kita pernah bertemu.
Kupingku hafal suaramu!" berkata Si Segala Tahu.
"Betul sekali! Kau belum lupa!" jawab Wiro.
"Waktu itu aku ramalkan kau bakal dapat banyak susah. Terutama karena sifatmu
yang mata keranjang, tidak boleh melihat jidat licin, tak boleh melihat perempuan cantik
. . . Betul?!"
Wiro Sableng tertawa. Tapi mukanya merah.
Si Segala Tahu kerontangkan kalengnya.
"Nah, saat ini apakah kau mau mendengar ramalan baru tentang dirimu?"
"Tentu saja!" sahut Wiro Sableng.
"Ulurkan tangan kirimu!"
Wiro lantas ulurkan telapak tangan kirinya. Si Segala Tahu kerontangkan kalengnya
lalu meraba-raba telapak tangan pemuda itu.
"Ah, nyatanya nasibmu kali ini pun masih malang, orang muda!"
"Malang bagaimana?" Wiro kepingin tahu.
"Kau tengah menghadapi persoalan pribadi yang pelik! "Si Segala Tahu kembali
kerontangkan kalengnya.
'Tersoalan pribadi apa maksudmu pak?" tanya Wiro berdebar.
"Aih, kau jangan berpura-pura anak muda. Kukatakan saja blak-blakan! Persoalan
pribadi menyangkut ihwal asmara!" -
Berubahlah paras Pendekar 212. Dia tak berani memandang ke arah Lestari ataupun
Panji Kenanga. Si Segala Tahu melanjutkan.
"Kau mencintai seorang gadis. Tapi gadis rtu menyukai orang lain. Lalu kau bertekad
memperlihatkan pribadi dan jiwa besarmu yang luhur. Mengundurkan diri demi
kebahagiaan orang yang kau kasihi itu. Betul...?!"
Wiro garuk-garuk kepala. Apa yang dikatakan orang tua itu betul. Tapi mana berani
dia membenarkan.
"Entahlah pak tua. Aku tak begitu mengarti persoalan yang kau katakan itu!"
Si Segala Tahu tertawa.
"Kau pandai menyembunyikan rahasia hatimu orang muda. Aku menghormati
manusia-manusia berjiwa besar sepertimu! Rela berkorban untuk kebahagiaan orang
lain. Nah, sekerang katakan kau hendak tanyakan apa padaku!"
Wiro lalu menuturkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai perak sebagaimana yang
didengarnya dari Lestari sementara Panji Kenanga sudah turun dari punggung Angin
Salju.
"Karena gadis murid si Pemusnah Iblis itu ada di sini sebaiknya biar dia saja yang
menceritakan sekali lagi, biar jelas," kata Si Segala Tahu sambil kerontang-kerontangkan
kaleng bututnya. "Tapi sebelumnya apakah kau mau kuramalkan nasib perjalanan
hidupmu? Kau boleh percaya boleh tidak pada apa yang nanti akan kukatakan."
"Terima kasih bapak segala tahu," jawab Lestari menolak secara halus. Dia kawatir
ramalan orang tua itu akan membuka rahasia pribadinya di hadapan dua pemuda itu.
"Lebih penting kalau aku dapat menerangkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai."
"Baik, baik . . . Sekarang terangkan kisah lenyapnya benda itu termasuk perjalananmu
sampai kemari. Jangan satu hal pun kau lupakan."
Lestari lalu memberi keterangan. Baru setengah bagian mengenai perjalanannya
dituturkan Si Segala Tahu memotong dengan kerontangkan kalengnya.
"Cukup. Sekarang coba keluarkan carikan kain hijau yang kau temukan dekat mayat
busuk pada petang hari pertama kau meninggalkan danau Jembangan."
Lestari keluarkan secaraik kain hijau dari balik pakaiannya dan menyerahkannya
pada Si Segala Tahu.
Sambil meremas-remas robekan kain hijau itu dengan tangan kirinya orang tua ini
mendongak ke langit dan goyangkan kalengnya tiada henti. Lama sekali, setelah
mukanya keringatan baru dia hentikan kerontangan kalengnya dan berpaling pada
Lestari.
"Kalian bertiga dengarlah baik-baik. Tusuk kundai itu pada mulanya memang dicuri
oleh seorang yang punya kelihayan mencuri. Katakanlah raja paling tingkat tinggi, Mayat
yang ditemukan oleh gadis ini itulah mayat si raja maling. Jika aku tidak salah hanya ada
satu raja maling di rimba persilatan masa ini yakni manusia bernama Singgar Manik.
Mengapa dia jadi mayat? Bukan mati karena sakit. Dia dibunuh orang. Singgar Manik
bukan seorang berkepandaian rendah. Aku merasa pasti dia dihadang oleh lebih dari
satu orang yang juga menginginkan tusuk kundai itu. Terjadi perkelahian. Singgar Manik
jadi korban. Tusuk kundai dirampas oleh pencuri-pencuri baru . . . "
'Apakah kau tahu siapa orang-orang itu . . . ?" tanya Lestari penuh harapan.
"Siapa mereka itu? Hemm . . . Karena kejadian ini di wilayah timur, ditambah bukti
cabikan kain hijau, berat dugaanku tusuk kundai itu kini berada
di tangan dua bersaudara Nyoka Gandring dan Nyoka Putubayan!"
"Siapa mereka ini?" tanya Wiro.
'Dua saudara kembar. Keduanya brahmana sesat. Mereka berseragam pakaian hijau,
Bermuka seperti ular. Karena itu mereka diberi julukan Sepasang Kobra Dewata! Selain
berilmu tinggi juga diketahui gemar mengumpulkan senjata atau benda-benda
mustika!"
"Terima kasih. K eter angan mu sangat, berguna. Tanpa petunjukmu tak mungkin
kami bisa menemukan kembali kedua senjata itu," ujar Wiro. Lestari pun mengucapkan
terima kasih berulang kali.
"Bapak Segala Tahu, berapa kami harus membayarmu?1 tiba-tiba Lestari bertanya.
Si orang tua tertawa mengekeh. "Pertanyaanmu lucu sekali anak gadis. Selucu
tindakanmu menghadapi kenyataan yang menyangkut dirimu akhir-akhir ini. Kau tak
perlu menanyakan soal bayaran. Jika Sepasang Kobra Dewata dapat kaliat tamatkan
riwayatnya maka itu adalah lebih dari bayaran. Manusia-manusia seperti mereka harus
dilenyapkan agar dunia yang indah permai ini menjadi tenang tenteram . . . "
"Budi baik dan pertolonganmu tak akan kulupakan," kata Lestari lalu menjura dalam-
dalam.
Si Segala Tahu angkat bahu, kerontangkan kalengnya lalu tinggalkan tempat itu.
Kelihatannya dia cuma melangkah biasa. Namun sesaat kemudian dia sudah berada
jauh di ujung bukit.
Astaga! Kita tidak menanyakan di mana harus mencari Sepasang Kobra Dewata!"
seru Panji Kenanga.
"Tak usah kawatir. Aku tahu di mana sarang mereka. Kita harus segera berangkat ke
Banyuwangi! jawab Wiro Sableng.
ENAM BELAS
DUA BELAS hari mengadakan perjalanan baru ketiga orang muda itu sampai ke
Banyuwangi, kota paling ujung di timur pulau Jawa. Saat itu Banyuwangi tengah
menyambut dengan upacara besar-besaran kedatangan Adipati Surabaya yang
berkunjung untuk meresmikan pengangkatan Adipati pembantu di Banyuwangi.
Adipati Surabaya datang dengan sebuah kapal layar. Karenanya suasana di pelabuhan
Banyuwangi ramai bukan main.
Di antara keramaian itu menyelinaplah Wiro, Lestari dan Panji Kenanga. Menurut
keterangan yang mereka peroleh dari beberapa orang di tengah jalan, Sepasang Kobra
Dewata berada di sebuah rumah makan di tengah pantai. Rupanya kedua orang ini
bermaksud menyambut kedatangan Adipati Surabaya. Mungkin bukan sekedar
menyambut, tapi sambil mencari mangsa kalau-kalau ada benda berharga yang bisa
disikat.
Meskipun rumah makan itu ramai sekali namun tiga muda mudi yang masuk segera
dapat mengenali dua orang yang mereka cari. Dua lelaki berkepala botak, bermuka
angker dan mengenakan pakaian hijau duduk di sebuah meja yang agak terpisah di
tengah ruangan besar. Agaknya para pengunjung yang lain merasa segan atau mungkin
takut duduk dekat-dekat meja mereka.
* Nyoka Gandring dan Nyoka Putubayan serta merta melayangkan pandangannya
pada dara berbaju merah yang barusan masuk bersama dua pemuda.
Nyoka Putubayan menyentuh lutut kakaknya seraya berkata perlahan. "Heh, lihat,
gadis cantik berbaju merah itu seperti sengaja menuju ke arah kita. Kau kenal dia?"
'Eh, betul. Siapa bidadari ini adanya? Aku bisa setengah mati tergila-gila padanya!"
sahut Nyonya Gandring.
Begitu sampai di hadapan kedua orang itu Wiro segera menegur. "Apakah kami
berhadapan dengan Sepasang Kobra Dewata?"
Baik Nyonya Gandring maupun Putubayan saat itu hanya memandang ke pada
Lestari. Tanpa mengalihkan pandangannya Putubayan bertanya: "Kalian siapa?"
Seenaknya Nyoka Gandring menimpali. "Apa kalian datang untuk mengantar gadis
jelita ini?"
Wiro tertawa lebar. "Betul, dara jelita ini memang untuk kalian. Tapi ada syaratnya
. . . "
"Ah, katakan cepat syaratnya!" ujar Nyoka Gandring pula.
"Mudah saja!" yang menyahut Panji Kenanga. "Serahkan dulu tusuk kundai perak
yang kau curi dari tempat Si Pemusnah Iblis di danau Jembangan . . . !"
"Ah!" Sepasang Kobra Dewata sama-sama terkejut. Nyonya Gandring berkata: "Aku
tidak begitu suka membicarakan persoalan itu. Aku lebih suka kalian pergi dari sini tapi
tinggalkan si cantik ini!"
"Kawan-kawan ... . " kata Wiro sambil memandang pada Lestari dan Panji Kenanga
dan kedipkan matanya. "Agaknya terpaksa kita harus meninggalkan gadis ini pada dua
manusia botak ini. Tapi bagaimana kalau kita minta tebusan nyawa mereka?!"
"Setuju!" jawab Lestari dan Panji Kenanga. Sang dara segera keluarkan suling perak
yang menjadi senjatanya. Melihat benda ini Nyoka Putubayan menyeringai. "Hari ini
rejeki kita besar sekali. Dapat gadis cantik dan tambahan senjata baru . . . !"
"Manusia ular jelek . . . Kalian hanya ada satu pilihan!" membentak Wiro. "Tusuk
kundai itu atau nyawa kalian!"
"Bangsat kurang ajar!" teriak Nyoka Putubayan jadi marah. Tanpa berdiri dari
kursinya dia pukulkan tangan kanannya ke depan. Seguluhg angin menerpa dahsyat.
Tiga muda-mudi itu cepat menyingkir. Namun seorang tamu yang duduk jauh di
belakang mereka menjadi korban. Tubuhnya mencelat dengan kepala kelihatan
membiru!
"Kalian memang minta racun!" teriak murid Sinto Gendeng lalu sekali bergerak dia
balikkan meja besar di hadapan kedua brahmana sesat itu. Serta merta kacaulah
rumah makan besar itu. Perkelahian tiga lawan dua terjadi. Lestari tak mau mundur
walau Wiro dan Panji memperingati. Wiro menghadapi Nyoka Gandring sedang Panji dan
Lestari melayani Nyoka Putubayan.
Orang ramai yang ada di pelabuhan begitu mengetahui perkelahian di rumah makan
itu serta merta datang berlarian untuk menyaksikan dan melupakan penyambutan
terhadap Adipati Surabaya. Mereka hanya berani menonton dari jauh karena takut akan
terkena pukulan-pukulan maut yang saling dilepaskan.
Semula Sepasang Kobra Dewata menganggap remeh tiga muda mudi itu. Dua
jurus paling banyak mereka pasti akan merobohkan Wiro serta Panji dan melumpuhkan
Lestari. Namun dua saudara kembar ini jadi terkejut ketika setelah tujuh jurus tak satu
serangan merekapun yang berhasil. Malah tekanan lawan mulai dirasakan dan ini
membuat keduanya jadi penasaran.
Nyoka Putubayan keluarkan jurus-jurus simpanannya lebih dulu. Didahului bentakan
keras dia menyerbu dengan jurus kobra sakti mengamuk. Sejak jurus ke delapan itu
hamburan serangannya membuat gerakan Lestari dan Panji Kenanga seperti
terbendung.
Di lain pihak Nyoka Gandring yang berkelahi menghadapi Wiro Sableng yang mulai
terdesak hebat juga sejak tadi-tadi sudah keluarkan jurus-jurus silat andalannya.
Beberapa kali dia melepaskan pukulan saktinya yang menebar sinar beracun. Namun
Wiro yang sudah mendapat peringatan dari Panji Kenanga berlaku waspada hingga tak
satu serangan lawanpun mampu mencelakainya. Melirik ke kiri Nyoka Gandring melihat
adiknya mengucurkan darah dari pelipis kiri. Tusukan suling Lestari telah berhasil
menyerempet kepalanya. Hatinya jadi was-was. Sadar dia kini kalau tiga lawan yang
mereka hadapi bukan pemuda-pemuda biasa. Mereka pasti murid-murid tokoh silat
tingkat tinggi.
Berada dalam was-was begitu membuat Nyonya Gandring menjadi lengah. Akibatnya
satu jotosan Wiro tak sempat dikelitnya.
Bu k!
Nyoka Gandring terpental dan terguling di atas meja di belakangnya. Sambil
menahan sakit dia kirimkan tendangan untuk mencegah lawan mendekat.
Tenggorokannya terasa panas tanda-tanda darah yang hendak mengalir keluar.
Baik Nyoka Gandring maupun Nyoka Putubayan adalah dua tokoh silat yang hanya
mengandalkan kehebatan ilmu silat tangan kosong termasuk tenaga dalam dan pukulan-
pukulan sakti. Namun setelah habis-habisan menghantam tak satu pun serangan
mereka mengenai sasaran malah kini mereka mulai terdesak hebat bahkan kena digebuk,
maka keduanya benar-benar jadi marah. Selama ini memang tak satu lawanpun dapat
bertahan lama menghadapi salah satu dari mereka, apalagi jika turun berdua
sekaligus. Hari ini mereka ternyata bertemu tembok baja!
"Monyet gondrong!" maki Nyoka Gandring.
"Jika kau inginkan benda ini ambillah! " terdengar seruan Nyoka Gandring.
Satu sinar perak menyilaukan disertai semburan angin panas berkelebat ke
arah Wiro Sableng. Tusuk kundai perak mencari maut!
Wiro sudah tahu kehebatan benda rnilik gurunya itu cepat menyingkir. Dia
tak mau menunggu lebih lama. Senjata itu hanya bisa dihadapi oleh senjata
gurunya yang lain yakni Kapak Naga Geni 212. Maka Wiro segera keluarkan
senjata ini.
Ketika Kapak Maut Naga Geni 212 dikiblatkan ke depan terdengar suara
seperti seribu tawon mengamuk. Orang banyak yang menonton tambah
ketakutan dan tutup kuping mereka. Sinar putih menggelombang menyongsong
hantaman sinar perak. Rumah makan besar itu seperti diguncang gempa.
Dentuman dahsyat meruntuhkan sebagian atap. Jeritan maut yang keluar dari
mulut Nyoka Gandring lenyap begitu tubuhnya tertimbun runtuhan atap. Tangan
kanannya yang terbabat putus oleh Kapak Maut Naga Geni 212 mental dan jatuh
di atas sebuah meja. Tusuk kundai masih tergenggam dalam kutungan tangan
itu. Wiro segera ambil senjata mustika itu. Setelah memperhatikan sejenak
dengan perasaan getir benda lambang perjodohannya itu Wiro lalu masukkan ke
balik pinggang pakaiannya.
Nyoka Putubayan seperti gila ketika menyaksikan kematian kakaknya. Dia
tinggalkan Lestari dan Panji Kenanga, langsung menyerbu Wiro Sableng. Namun
mengalihkan serangan kepada Pendekar 212 justru hanya mempercepat kematiannya.
Setelah membuat gerakan mengelak dua kali berturut-turut, Wiro yang masih
memegang Kapak Naga Geni 212 segera hantamkan senjata itu ke kepala Nyoka
Putubayan. Tak ada rasa belas kasihan lagi di hati pemuda ini. Baginya Nyoka Putubayan
dan Nyoka Gandring disamping Singgar Manik adalah manusia-manusia penimbul
bencana hingga tali perjodohannya dengan Lestari berantakan begitu saja. Kalau tusuk
kundai itu tidak mereka curi, tak akan Lestari meninggalkan tempat kediaman gurunya,
yang akhirnya membawa pertemuan kembali sang dara dengan Panji Kenanga!
Nyoka Putubayan ajal dengan kepala hampir ter-belah!
Rumah makan itu menjadi gempar. Bahkan seluruh pelabuhan jadi geger. Diantara
keramaian itu Panji berbisik. 'Lestari, aku tak melihat Wiro lagi. Kemana lenyapnya?"
Gadis itu terkejut dan memandang berkeliling. "Mungkin dia sudah keluar lebih
dulu. Kita cari ke tempat penambatan kuda . . . I"
Lestari dan Panji Kenanga segera meninggalkan rumah makan. Orang banyak
menyingkir memberi jalan. Di tempat Panji menambatkan Angin Salju juga tak kelihatan
orang yang mereka cari. Ada firasat tak enak dalam hati Panji dan dikatakannya terus
terang pada Lestari.
"Jangan-jangan Wiro sudah pergi. Sengaja meninggalkan kita. . . "
"Panji, ada kertas di leher kudamu . . . " Lestari berkata sambil menunjuk pada
secarik kertas yang digantungkan dengan sehelai benang ke leher Angin Salju. Panji
Kenanga segera mengambil kertas itu, membuka lipatannya. Ternyata sepucuk surat
yang kelihatannya sudah disiapkan Wiro selama sebelumnya.
Sahabatku Panji dan Lestari,
Bagaimanapun ikatan jodoh tidak ada arti dan tuahnya dibanding dengan kasih
sayang murni yang kalian tanamkan dalam hati masing-masing. Kudoakan kalian
berbahagia dalam menghadapi masa depan.
Cinta murni lebih agung dan suci dari ikatan jodoh yang d/atur: Karenanya tusuk
kundai perak terpaksa kubawa untuk kuserahkan kembali pada guruku.
Selamat tinggal. Tuhan akan memberkahi kalian.
Sahabat kalian,
Wiro Sableng
Panji menoleh dan menyerahkan surat itu pada Lestari. Sang dara tak berani menerima
surat itu. Kedua matanya berkaca-kaca. Untuk beberapa lamanya tak satu pun diantara
mereka bisa bicara. Di pelabuhan kapal layar Adipati Surabaya telah merapat. Tapi
orang banyak masih saja berkerumun di dalam dan di luar rumah makan. :
Akhirnya Panji memegang lengan Lestari dan berkata. "Kukira Wiro satu-satunya
manusia berjiwa paling besar di dunia. ini. Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita harus ke
danau Jembangan menemui gurumu. Kita harus menceritakan apa yang telah terjadi . . . "
. Lestari hanya mengangguk perlahan lalu naik kepunggung Angin Salju, Panji duduk
di belakangnya. Sesaat kemudian keduanya lenyap di tikungan jalan, meninggalkan
kepulan debu yang diterjang kaki kuda.
T A M A T
Penulis : Bastian Tito
Creatid : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar