Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Sabtu, 25 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - CINTA ORANG ORANG GAGAH

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com


SATU

SAAT ITU menjelang fajar menyingsing. Kesunyian dirobek oleh suara tawa bergelak
seseorang. Orang ini tengah berlari cepat ke jurusan timur. Jelas suara tawanya bukan
tawa sembarangan. Bukan saja mengejutkan burung-burung serta binatang-binatang lain
yang tengah tertidur nyenyak dalam pelukan udara  dingin, tetapi juga menggetarkan
tanah pada tempat-tempat yang dilajuinya.
    Begitu  cepat manusia  ini berlari hingga dalam waktu  singkat dia  sudah  menempuh
jarak ratusan tombak.  Suara tawanya masih juga terus mengumandang.  Di  lain saat di
ufuk timur merambas sinar terang tanda matahari telah terbit menyembulkan diri. Tanda
malam telah berganti dengan siang.
    Orang itu hentikan larinya. Dibasahinya mukanya dengan air embun yang menempel
pada dedaunan di sekitarnya, Setelah merasakan kesegaran maka dia meneruskan
perjalanan kembali. Seperti tadi  lagi-lagi berlari sambil  mengumbar tawa. Namun sekali
ini suara tawanya tidak berlangsung lama.
    Dua bayangan hijau berkelebat. Satu teguran yang hampir merupakan bentakan
lantang terdengar.
    "Singgar Manik! Gerangan apakah yang membuatmu pagi-pagi begini demikian
gembiranya?!"
     Orang yang lari sambil tertawa hentikan Jari dan memandang ke depan. Begitu
melihat dua manusia berjubah hijau yang berdiri sepuluh  langkah di  hadapannya,
bergetarlah hatinya. Perasaannya serta merta jadi tidak enak.
     Dua orang berjubah hijau itu adalah dua brahmana kembar dari Bali yang dikenal
dengan julukan Sepasang  Kobra Dewata.
     Jubah mereka yang hijau, kepala yang botak plontos ditambah muka  yang lebar serta
tampang-tampang yang tidak sedap untuk dipandang, membuat keduanya benar-benar
hampir menyerupai dua ekor ular kobra yang angker. Siapa tokoh silat di Jawa  Timur
yang tidak kenal dengan dua manusia yang menguasai rimba persilatan di Pulau Dewata
ini?
     Mereka  bukan dari golongan baik-baik.  Inilah yang membuat orang tadi yakni Singgar
Manik merasa tidak enak walau dia sendiri bukan pula tergolong manusia bersih dan
baik!
     Setelah  berbasa basi dan  menjura  pada kedua orang itu Singgar Manik lantas
berkata: "Di pagi begini bertemu dengan Sepasang Kobra Dewata  sungguh merupakan
hal yang tidak terduga. Satu kehormatan bagiku kalian mau menegur bertutur cakap. 
Hendak kemanakah kalian berdua?"
     Nyoka Gandring,  orang tertua dari Sepasang Kobra  Dewata rangkapkan tangan di
muka dada. Sambil mengulum senyum dia berkata: "Angin kegembiraanmu Iah yang 
agaknya telah membawa kami ke mari. Coba kau terangkan apa. yang begitu
menggembirakanmu hingga tertawa bergelak sepanjang jalan? "
    “Ah, sebenarnya tidak ada apa-apa," menjawab Singgar Manik. Hatinya semakin tidak
enak. "Aku tertawa karena menurutku  hidup dengan tawa gembira bisa mendatangkan
kebahagiaan."
    "Betul  sekali!" menyahuti orang kedua dari Sepasang Kora Dewata yaitu Nyoka
Putubayan. "Tetapi kami mendapat firasat bahwa kegembiraanmu kali ini bukan
kegembiraan  biasa. Terangkanlah.  Bagi sedikit kegembiraanmu itu pada kami berdua!"
    Singgar Manik coba tersen

"Jika kalian memang ingin bergembira, mari ikut ke tempat kediamanku biar kujamu
makanan dan minuman yang enak enak! Dan kalau kalian butuh perempuan cantik untuk
hiburan, tak usah kawatir. Katakan saja kalian mau yang bentuk  bagaimana  aku Singgar
Manik pasti menyediakannya!"
     Nyoka  Gand ring mendehem beberapa kali sedang Nyoka Putubayan hanya
menyeringai.
     " Aih, undanganmu sungguh patut untuk diterima, Hanya sayang kami tak punya
waktu banyak. Karenanya kuharap kau sudi membagi kegembiraan mu di sini saja
sobatku Singgar Manik!?
     Singgar Manik coba sembunyikan rasa kagetnya sambil  berkata:  "Kegembiraan 
apakah yang musti kuberikan di sini. Kau ini ada-ada saja, sobatku Nyoka Gandring. Ah,
akupun tidak punya banyak waktu . . . "
     Singgar Manik menjura dalam-dalam lalu siap untuk meninggalkan kedua orang itu.
     Tetapi Nyoka Putubayan cepat bergerak menghadangnya seraya berkata:  "Kenapa
musti terburu-buru Singgar Manik. Siang masih jauh. Lagi pula pembicaraan kita belum
selesai"
      "Harap  maafkan aku sobat-sobatku.  Aku musti cepat kembali  ke tempat
kediamanku. Ada seorang tamu yang bakal datang"
      Nyoka Putubayan kembali menyeringai lalu bertanya:  "Apakah tamumu  itu pemilik
tusuk kundai mustika yang kau  curi dan sekarang berada di balik pakaianmu . . . .  ?!"
      Kini Singgar Manik tak dapat lagi menyembunyikan perubahan  air mukanya.
Meskipun demikian  dia masih menjawab:  "Nyoka Putubayan, aku tidak mengerti. Kau
ini membicarakan soal apakah?"
     Nyoka  Putubayan tersenyum  jumawa. Sambil rangkapkan sepasang tangan di depan
dada dia  lalu berkata: "Seminggu lalu kami ketahui kau berada di sekitar danau
Jembangan. Kau telah mencuri sebentuk tusuk kundai dari tempat kediaman tokoh silat
yang bergelar Si Pemusnah Iblis. Tusuk kundai itu bukan benda sembarangan.
Merupakan satu senjata mustika. sakti. Sejak lama kami dengar kau adalah seorang
pencuri  lihay yang suka  mencuri dan mengumpulkan barang-barang curian itu,
terutama benda-benda mustika, apalagi berupa senjata pasti jadi incaranmu. Sekarang
perlihatkan pada kami tusuk kundai itu!"
     Singgar Manik geleng-geleng kepala sambil berdecak.
     "Pendengaran dan penglihatan kalian benar-benar tajam luar biasa. Memang satu
minggu lalu aku berada di danau  Jembangan. Aku  berniat  hendak mencuri tusuk
kundai yang kau katakan itu. Namun maksudku tidak kesampaian.  Si Pemusnah Iblis
terlalu tinggi ilmunya. Dia memergokiku. Untuk melawannya aku mana punya
kemampuan? Daripada mendapat  celaka lebih baik mengundurkan diri. Lain hari jika
angin baik aku akan berusaha lagi mendapatkannya. Kalau kalian mau ikut sama-sama,
hatiku akan senang sekali! Nah puaskah kalian  atas keteranganku ini?!"
     "Puas! Puas sekali! "sahut Nyoka Putubayan. Lalu  saudaranya  menimpali: "Juga 
puas sekali melihat kecerdikanmu. Tapi jangan  harap kau bisa menipu Sepasang  Kora
Dewata dengan kecerdikanmu itu Singgar Manik.  Keluarkan tusuk kundai itu. Berikan
padaku. Lekas! Jangan berani berbohong!" Habis berkata begitu Nyoka  Gandring
ulurkan tangannya.
    "Nyoka Gandringl Apakah aku harus bersumpah untuk  meyakinkan bahwa aku betul-
betul belum berhasil mendapatkan tusuk kundai mustika itu?"
     "Bersumpah?! Bagus juga. Tapi jangan bersumpah pada  Dewa  atau  Tuhan!
Bersumpahlah  pada setan! Ayo serahkan senjata mustika itu padaku sebelum aku
kehilangan kesabaran!" Nada suara Nyoka Gandring mengandung hawa ancaman.

Singgar Manik terkesima sesaat. Dia menimbang-nimbang. Untuk mengikuti kemauan
Sepasang Kobra. Dewasa  itu  terlalu  berat baginya. Sebaliknya  tidak mengikuti berarti
melawan yang pasti disusul dengan terjadinya bentrokan.  Menghadapi  Sepasang 
Kobra Dewata  yang terkenal hebat  itu bukan satu hal yang mudah.
     Tiba-tiba Nyoka Gandring mendengus. Matanya yang besar  memandang garang pada
Singgar Manik. Kedua kakinya  merenggang sedang sepasang tangannya yang tadi
mendekat di dada perlahan-lahan bergerak diturunkan.
     "Kuhitung sampai tiga.  Jika  tusuk kundai  itu tidak juga kau serahkan, maka
bersiaplah untuk mampus!"
     "Nyoka Gandring! Dengar dulu keteranganku..."
     "Satu!"
     Nyoka Gandring mulai menghitung;
     "Benda itu benar-benar tak ada padaku!"
     "Dua____ !"
     "Aku bersumpah!"
     "Tiga!"
      Singgar Manik bersurut mundur.
      NyokaGandring membentak buas lalu hantamkan tangan kanannya  ke  arah Singgar 
Manik. Serangkum angin deras datang menyambar. Singgar Manik cepat menyingkir
seraya berseru:
     "Antara aku dan kalian tak ada silang sengketa! Kenapa menyerang aku sejahat ini?! "
     “Wus!”
     Serangkum angin lagi menyapu ganas. Kali ini datang dari samping. Untuk, kedua
kalinya Singgar Manik melompat dan berhasil selamatkan diri.
     "Adikku mari kita beg pelajaran pada  pencuri penipu ini!" seru Nyoka Gandring.
     Bersama Nyoka Putubayan maka diapun kembali menyerbu Singgar Manik.
Menghadapi  satu saja dari Sepasang Kobra Dewata sudah  merupakan hal yang sulit
bagi Singgar Manik. Apalagi melawan keduanya sekaligus. Terpaksalah dia harus
bertindak cepat dan hati-hati. Sekali salah gerakan atau  salah  langkah tak ampun lagi
serangan lawan pasti akan mencelakakannya, bahkan mungkin membunuhnya!
     Sambil berkelebat  mengelak Singgar Manik tiada hentinya berteriak  agar Sepasang
Kobra  Dewata menghentikan serangan. Namun  dua brahmana  berjubah hijau ini tidak 
ambil perduli. Malah mereka semakin  memperhebat  serangan masing-masing. Hingga
setelah bertahan susah payah  selama  delapan  jurus Singgar Manik mulai tampak
terdesak!

DUA

DUA  KALI  pukulan  keras  Nyoka  Gandring bersarang  di tubuh Singgar  Manik.  Lalu
satu jotosan  Nyoka   Putubayan  menghantam  rusuknya pula. Singgar  Manik tampak
terhuyung-huyung.  Keningnya  mengerenyit  menandakan  dia tengah menahan rasa
sakit yang amat sangat. Salah satu hantaman  Nyoka Gandring tadi telah  membuat 
tubuhnya terluka di bagian dalam.
     Jika dia bertahan  terus,  cepat atau lambat maut pasti  akan merenggut nyawanya.
Karenanya Singgar Manik sedapat mungkin berusaha mengintai  kelengahan lawan agar
dapat menerobos keluar dari  kurungan mereka lalu melarikan diri.
     Singgar Manik lepas dua pukulan tangan kosong yang dahsyat ke  arah kedua
lawannya. Lalu susul dengan serangan senjata rahasia.
     Sepasang Kobra  Dewata melompat  jauh  untuk mengelakkan pukulan sedang untuk
menangkis serangan  senjata  rahasia, mereka  kebutkan  lengan  jubah hijau  masing-
masing hingga senjata rahasia itu mental berantakan.
     Gerakan-gerakan lawan  inilah yang memang ditunggu  Singgar Manik. Melihat 
adanya kesempatan tanpa tunggu lebih lama pencuri kelas kakap ini segera putar tubuh
dan kabur.
      Namun Sepasang Kora Dewata bukan manusia-manusia kemarin. Dari gerakan yang
dibuat lawan mereka sudah maklum  apa  yang sedang direncanakan Singgar Manik.
Karenanya begitu lawan ambil ancang-ancang untuk larikan  diri, Nyoka Gandring dan
Putubayan cepat berkelebat menghadang.
      Melihat dirinya dihadang begitu rupa hingga ga gal  kabur, dengan penasaran Singgar
Manik lepaskan satu pukulan ke batok kepala Nyoka Gandring. Sambil mendengus yang
diserang  menangkis dan balas menjotos. Dua kepalan beradu mengeluarkan suara
keras. Singgar Manik  terpekik. Tubuhnya terdorong  sampai empat langkah dan ketika
diperhatikan tiga jari, tangan kanannya telah hancur. Di depannya sebaliknya Nyoka
Gandring tegak sambil tolak pinggang dan menyeringai mengejek.
     "Masih juga kau  belum mau menyerahkan tusuk kundai itu?" dengus Nyoka
Gandring.
     "Manusia keparat! Kalau kau mau k an benda  itu, ini kau ambillah!"
     Selesei  berkata begitu  Singgar Manik mengeruk ke balik pakaian. Sesaat kemudian
sebuah benda, yakni sebuah tusuk kundai dari perak berbentuk sederhana berada dalam 
genggamannya. Dengan mengandalkan tusuk kundai ini sebagai senjata diapun
menyerang Nyoka Putubayan.
     Sinar putih yang disertai angin panas menyembur dari tusuk kundai! Nyatalah benda
yang biasanya menjadi hiasan di kepala perempuan itu bukan benda biasa, tetapi 
sebentuk senjata mustika sakti.  Karena kesaktiannya  inilah  Sepasang Kobra  Dewata 
menginginkannya.  Ingin merampas dari Singgar Manik yang mereka anggap sebagai
pencuri dan penipu besar.
     Nyoka Putubayan yang sudah maklum kehebatan tusuk kundai itu tak ayal lagi cepat
menyingkir sambil kebutkan lengan jubahnya.  Sebaliknya Singgar Manik tidak  tinggal 
diam.  Dia teruskan serangannya  dengan membalikkan mata tusuk kundai ke arah
tangan lawan.
    Bret!
    Lengan jubah hijau Nyoka Putubayan robek besar direnggut  bagian runcing  tusuk
kundai! Nyoka Putubayan  sendiri merasakan  lengannya  menjadi ngilu panas. Masih

untung hanya lengan jubahnya saja yang robek. Jika daging tangannya sampai kena
atau terluka oleh senjata itu yang kabarnya menyerap racun jahat, niscaya celakalah
dirinya!
    "Adikku hati-hati!"
    Nyoka Gandring memberi ingat. "Bangsat pencuri senjata itu tak usah kita takutkan.
Tapi terhadap tusuk kundai itu kau harus waspada!"
    Singgar Manik  yang  melihat kejerihan lawan tertawa mengejek.
    "Jika kalian sudah tahu kehebatan tusuk  kundai ini  mengapa tidak lekas-lekas
minggat dari sini? Apa kalian tunggu sampai benar-benar kena kucelakai!"
       "Singgar  Manik! Jangan keliwat  sombong!" teriak Nyoka Putubayan. "Coba kau
terima pukulan ku ini!" Habis berkata begitu Nyoka Putubayan hantamkan  tangan
kannya  ke  depan.  Angin laksana badai menggebu bu ke arah Singgar Manik.
       Ketika merasa tubuhnya tergetar hebat  bahkan hampir roboh oleh  angin pukulan
lawan Singgar Manik serta merta sapukan tusuk kundai yang dipegangnya ke depan. 
Hebat!  Angin pukulan orang kedua dari Sepasang Kobra Dewata itu musnah!
      Kejut Nyoka  Putubayan. bukan kepalang, juga kakaknya ketika menyaksikan
kejadian itu. Pukulan yang  barusan  dilepaskannya  adalah  pukulan  Kobra Sakti 
Mematuk. Merupakan salah satu pukulan simpanannya. Dia bersama kakaknya telah
meyakini ilmu pukulan itu selama  bertahun-tahun, ternyata sanggup dibikin punah oleh
tusuk kundai kecil itu!
     Menyadari  kehebatan tusuk kundai  perak itu, semakin  keraslah hasrat Sepasang
Kobra Dewata untuk memilikinya.  Keduanya  saling  kedipkan  mata memberi  isyarat.
Lalu didahului dengan  bentakan-bentakan nyaring mereka menyerbu. Satu datang dari
samping kiri, satunya lagi dari sebelah kanan.
     Singgar Manik hantamkan tusuk kundainya pada Nyoka Putubayan  yang menyerang
lebih  dulu  dan lebih dekat di hadapannya. Sebelum serangannya sampai brahmana dari
Bali ini tahu-tahu sudah lenyap dari pemandangan. Bersamaan dengan  itu  dari 
samping menderu angin pukulan kencang luar biasa.
     Sekali ini kembali Singgar Manik rasakan tubuhnya tergoncang keras hendak roboh.
Segera dia kiblatkan tusuk kundai perak ke samping. Namun satu pukulan telak
menghantam per gel angan tangan kanannya hingga tulang lengannya patah dan  tusuk
kundai yang tadi dipegangnya terlepas mental!
     Singgar Manik menjerit kesakitan.
     Dia melompat untuk menyambar  tusuk kundai yang mental  di udara dengan tangan
kiri.  Namun tubuhnya segera terbanting ke belakang begitu satu jotosan melanda
dadanya dengan keras!
      Lelaki ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Dengan mengandalkan
kepandaiannya dia berjumpalitan dan cepat berdiri sambil pasang kuda-kuda baru.
Namun dadanya sudah terlanjur sakit. Tenggorokannya terasa  panas. Sesaat kemudian
darah kental mengalir keluar  dari sela bibirnya.  Memandang ke depan dia lihat Nyoka
Putubayan sudah berhasil menguasai tusuk kundai perak itu.
     "Singgar Manik!" kata Nyoka Putubayan seraya acungkan tusuk kundai di tangan
kanannya. "Kami Sepasang Kobra Dewata masih punya rasa kemanusiaan terhadapmu. 
Berlalulah dari hadapan kami sebelum kami berubah pikiran dan minta nyawamu.
     Singgar Manik semburkan darah dan ludah dari mulutnya.
     "Sialan! Kau tunggu apa lagi? Dikasih hidup malah menantang! "hardik Nyoka
Gandring.
     "Bangsat!" kertak Singgar Manik. "Aku mengadu jiwa dengan kalian!"
     Lalu Singgar Manik menyerang ke depan.

"Manusia tolol!" teriak Nyoka Gandring.
     "Benar-benar  minta mampus!" berseru  Nyoka Putubayan  seraya  tusukkan tusuk
kundai di  tangan kanannya. Tanpa bisa mengelak Singgar Manik  keluarkan jeritan 
panjang. Tusuk kundai menghantam tepat di keningnya hingga  berlubang dalam dan
darah  mengucur. Lelaki  ini  menjerit sekali lagi lalu tubuhnya terputar ke samping dan
roboh tak  berkutik lagi, mati dengan mata melotot!
     Nyoka Putubayan seka tusuk kundai yang bernoda darah  dengan ujung lengan
jubahnya. Dia perhatikan Singgar Manik sebentar lalu meludah dan berkata:
"Diberi ampun minta racun! Diberi hidup minta mampus!"
     Orang  kedua dari Sepasang  Kobra Dewata ini memberi  isyarat pada kakaknya.
Kedua brahmana itu kemudian berkelebat tinggalkan tempat itu.

"Manusia tolol!" teriak Nyoka Gandring.
     "Benar-benar  minta mampus!" berseru  Nyoka Putubayan  seraya  tusukkan tusuk
kundai di  tangan kanannya. Tanpa bisa mengelak Singgar Manik  keluarkan jeritan 
panjang. Tusuk kundai menghantam tepat di keningnya hingga  berlubang dalam dan
darah  mengucur. Lelaki  ini  menjerit sekali lagi lalu tubuhnya terputar ke samping dan
roboh tak  berkutik lagi, mati dengan mata melotot!
     Nyoka Putubayan seka tusuk kundai yang bernoda darah  dengan ujung lengan
jubahnya. Dia perhatikan Singgar Manik sebentar lalu meludah dan berkata:
"Diberi ampun minta racun! Diberi hidup minta mampus!"
     Orang  kedua dari Sepasang  Kobra Dewata ini memberi  isyarat pada kakaknya.
Kedua brahmana itu kemudian berkelebat tinggalkan tempat itu.

TIGA

DI ATAS tempat tidur rotan itu duduk bersila seorang tua bermata buta. Kedua kakinya
buntung sebatas lutut sedang kedua tangannya di rangkapkan di muka dada. Kepalanya
menghadap lurus-lurus ke pintu pondok yang terbuka. Rambutnya yang putih melambai-
lambai ditiup angin yang datang dari arah danau.
     "Hentikan tangismu Lestari!" Tiba-tiba orang tua ini berkata  dengan nada keras. 
"Sampai kiamat kau menangis benda yang  hilang itu tak bakal bisa kembali!"
     Dara berbaju putih yang duduk sesenggukan didepan  si orang tua menyusut air
matanya dengan tepi pakaian. Bibirnya  bergetar dan tubuhnya bergoncang menahan
tangis yang seperti hendak meledak.
     "Tusuk kundai itu bukan benda biasa Lestari. Kau tahu hal itu I" berkata lagi si orang
tua.
     Sekali  ini Lestari  menyahuti dengan suara gemetar: "Saya tahu eyang.  Saya tahu
semua salah saya....Saya bersedia dihukum untuk kelalaian ini!"
     "Benda itu bukan hanya merupakan senjata sakti, tapi juga sebagai tanda
perjodohanmu- Kini ketika aku pergi  tusuk kundai itu lenyap!  Amblas dicuri orang.
Dan kau tidak tahu siapa pencurinya!"
     Orang tua'berambut putih  itu diam  sesaat lalu meneruskan  kata-katanya: 
"Bagaimana  aku  musti mempertanggung jawabkan nanti pada Sinto Gendeng!
Tusuk kundai perak itu diberikannya padaku dua tahun yang lalu sebagai tanda
persetujuan ikatan  jodoh antaramu  dengan murid  tunggalnya yaitu Wiro Sableng,
pemuda  sakti bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ayo, coba kau katakan
bagaimana aku musti mempertanggung jawabkannya! Jika  saja  kedua kakiku  ini tidak
buntung pasti sudah sejak lama aku meninggalkan pondok gua   mengejar  pencuri
laknat itu!"
     "Eyang,  saya yang salah ini yang akan  pergi mencari  benda yang hilang itu," Lestari
membuka mulut
"Saya tak akan kembali sebelum dapat...."
     Orang tua itu usap-usap dagunya. Dia tengah menimbang-nimbang. Akhirnya dia
berkata:  'Terserah padamu apapun yang bakal  kau  lakukan. Kau  boleh pergi. Kuharap 
kau  dapat menemukan tusuk kundai itu kembali. Kalau tidak, aku tak tahu  lagi 
bagaimana menghadapi Sinto  Gendeng nanti.
     Gadis bernama  Lestari berdiri. Dia masuk ke da- lam sebuah kamar. Ketika keluar
sudah  berganti pakaian. Kini dia mengenakan pakaian merah ringkas. Di pinggangnya
tergantung sebilah pedang merah.  Rambutnya yang  tadi  panjang tergerai kini diikat
buntut kuda. Meski wajahnya murung  dan kedua matanya merah habis  menangis
namun kecantikannya masih terlihat jelas.
      "Eyang, saya sudah siap untuk berangkat," katanya pada si orang tua.
      Orang  tua itu mengangguk dan memberi isyarat agar  gadis  itu  datang mendekat.
Sambil  menepuk-nepuk bahu Lestari dia berkata: "Pergilah. Lekas kembali jika tusuk
kundai  itu kau temukan."
      "Baik eyang."
      "Ada baiknya jika kau hubungi beberapa tokoh persilatan golongan putih. Mungkin
kau dapat menyirap  keterangan  dari  mereka.  Jangan  lupa meminta bantuan mereka
jika sewaktu-waktu kau ditimpa mara-bahaya dan  kau tak sanggup menghadapinya
seorang diri."
       "Semua nasihat eyang saya perhatikan."

.
Setelah menjura  tiga kali berturut-turut di hadapan gurunya Lestari tinggalkan
pondok itu.
       Ratusan tombak meninggalkan danau Jembangan, di satu tempat yang penuh
dengan pepohonan rindang Lestari  berhenti untuk istirahat.  Dia duduk di bawah
sebatang pohon sambil memikirkan kemana dia harus pergi dan  bagaimana  caranya
dapat mengetahui siapa pencuri tusuk kundai pertanda jodohnya dengan Wiro Sableng.
       Ingat soal jodoh wajah sang dara jadi kemerahan. Sebelum peristiwa besar 
penghancuran Istana Darah beberapa waktu yang lalu  (baca serial Wiro Sableng
Hancurnya  Istana Darah) gadis itu tak pernah tahu kalau dirinya  telah dijodohkan oleh
gurunya dengan Wiro Sableng.  Wiro sendiri agaknya begitu pula ketika secara kebetulan
gurunya  memberi tahu , mengenai urusan perjodohan itu. Bagi Lestari dia tak akan
menolak hal apapun yang dilakukan gurunya karena dia percaya  bahwa  semua  itu
untuk kebaikan dirinya. Namun yang  jadi pertanyaan apakah Pendekar 212 Wiro Sableng 
bersedia mematuhi ikatan jodoh yang tak  pernah diketahuinya  sebelumnya.  Pemuda itu
telah menyelamatkan diri  dan kehormatannya  dari Hulubalang Istana Darah. Hutang
nyawa itu tak mungkin akan dibalasnya. Pembalasan hanya bisa dilakukan dengan
bersedia menjadi istri Wiro, setia dan mengabdi pada suami. Tapi apakah  dia mencintai
pemuda itu?
     Memandang  ke  langit Lestari  melihat matahari telah tinggi. Hari telah bertambah
siang. Akhirnya sang dara lanjutkan perjalanan. Belum sampai seratus tombak jauhnya
murid silat dari danau Jembangan ini lanjutkan perjalanan, mendadak bau amat busuk
menyambar hidungnya. Lestari hentikan langkah dan memandang berkeliling. Dia
dapatkan bau  busuk itu datang dari  jurusan tenggara. Segera dia  melangkah menuju
sumber bau  itu untuk mengetahui lebih jauh.  Mula-mula dia melihat burung-burung
gagak hitam pemakan  bangkai,  terbang berputar-putar  lalu  menukik turun, kemudian
terbang kembali  ke udara, demikian berulang  kali. Berjalan lima puluh langkah lagi
Lestari melihat benda  yang menjadi  sumber bau busuk itu. Yakni sesosok tubuh
manusia yang terbakar di tanah dalam keadaan busuk dan rusak.
     Lestari tak  berani mendekat.  Dari tempatnya berdiri  dia melihat kedua  mata mayat
itu  hanya tinggal  merupakan dua lobang  besar  mengerikan. Hidung dan  bibirnya, 
bahkan hampir  keseluruhan daging pada  wajahnya telah  habis berlubang-lubang
digerogoti  burung-burung  gagak.  Demikian  pula daging di  bagian  tubuh lainnya  yakni 
dada,  perut dan kedua kaki serta tangan.
     Tak dapat Lestari menduga siapa adanya orang yang telah  jadi  mayat ini.  Matanya
yang tajam dapat melihat dua  buah titik lobang pada  kening  mayat serta darah yang
telah keras membeku.
     Mayat busuk yang dijumpai sang dara bukan lain adalah mayat Singgar Manik yang
dibunuh oleh Sepasang Kobra Dewata.
     Karena tak tahan oleh bau busuk yang amat sangat Lestari  segera hendak  tinggalkan 
tempat itu. Namun matanya masih  sempat melihat sepotong kain berwarna hijau. 
Lestari ambil potongan kain ini dan menelitinya. Mungkin sekali ini sobekan ujung lengan
pakaian. Lengan pakaian siapa? Dia memandang pada mayat. Mungkin lengan pakaian
orang yang membunuh? Agaknya telah terjadi perkelahian sebelumnya di tempat itu.
Tanda-tanda memang  menyatakan demikian.
     "Mungkin  ada gunanya jika kusimpan," membatin Lestari. Robekan kain hijau itu lalu
dimasukkannya ke balik pakaian merahnya.
     Dia memandang lagi berkeliling. Karena tak ada lagi yang bisa ditemukannya di
tempat itu sang dara

EMPAT

SEBENARNYA TAMPANG  pemuda itu cukup gagah asal kulit mukanya tidak amat
pucat dan tubuhnya tidak tinggi kerempeng macam tiang bambu. Jika saja dia bukan
putera seorang- bekas perwira kerajaan, niscaya mulut-mulut usil di  kota Jember akan
menggelarinya "Si Jangkung Kerempeng Muka Mayat" atau "Si Pucat Kerempeng" atau
lain sebagainya. Namun karena dia putera bekas perwira tinggi kerajaan yang dulu
dihormati rakyat maka tak ada penduduk yang tega memberi gelar ejekan itu  pada si
pemuda.
    Di samping itu pemuda ini juga memiliki  ilmu pedang yang hebat, yang  dipelajarinya
dari ayahnya; Sebagai seorang perwira tinggi yang pernah mengabdikan diri selama dua
puluh  lima tahun pada kerajaan, sang ayah memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi
hingga semasa jayanya dia mendapat julukan "Raja Pedang Kotaraja".
    Meski sang anak belum mewarisi seluruh kepandaian ayahnya  namun  tingkat 
kepandaiannya cukup mengagumkan. Lima orang  perwira muda  kerajaan yang
mengeroyoknya sekaligus belum  tentu  dapat mengalahkannya  dalam perkelahian  dua
puluh lima jurus!
     Kalaupun pemuda itu tidak sampai diberi julukan mengejek oleh penduduk,  namun
rata-rata banyak penduduk yang tidak suka padanya.  Ini disebabkan kesombongannya.
Dan kesombongan  ini berpangkal pada kepandaiannya memainkan pedang. Menurut dia
selain ayahnya maka  dialah  jago pedang kelas satu di tanah Jawa. Karenanya  semua 
orang harus  hormat dan tunduk padanya. Harus melakukan apa saja yang dimintanya!
     Hari itu Ronggo  Bogoseto, demikian nama putera bekas  perwira kerajaan itu,  berada 
di rumah makan paling besar di kota Jember. Dia duduk di meja besar bersama tiga
orang kawan, asyik menyantap hidangan. Di luar  rumah  makan terdapat sebuah tong
sampah yang telah dua  hari tidak dibersihkan hingga isinya meluber  dan bau  busuk 
menebar serta  lalat datang bergerombolan.  Binatang  ini  ternyata  tidak hanya mencari 
makanan pada tong sampah itu saja, tetapi juga masuk dalam rumah makan, hingga di
atas makanan yang terhidang di meja.
     Sejak tadi Ronggo Bogoseto dan kawan-kawannya terganggu dengan adanya
puluhan lalat ini. Lama-lama pemuda muka pucat ini jadi jengkel. Sambil mengomel dia
berteriak memanggil pelayan. Pelayan datang dengan cepat dan  ketakutan. Dengan
mata melotot dan mulut tersumpal makanan  Ronggo Bogoseto membentak hingga
sebagian makanan dalam mulutnya tersembur mengenai muka dan pakaian si pelayan.
    "Lekas usir lalat-lalat  celaka itu t Kalau tidak aku tak akan mau membayar makananmu
yang jadi kotor dihinggapinya!"
     Tentu saja pelayan segera melakukan  apa yang diperintahkan  si pemuda.  Dia
mempergunakan  dua buah serbet sekaligus, mengusir lalat. Namun baru saja diusir
binatang-binatang ini  kembali datang,  malah lebih banyak.
     'Tolol! Coba kau pasang lampu di atas meja ini! Lalat takut dengan lampu!" bentak
Ronggo Bogoseto seraya menggebrak meja.
     Sebuah lampu  minyak lalu  dinyalakan. Apinya sengaja diperbesar.  Tetapi lalat yang
ada di atas dan sekitar  meja terlalu  banyak  untuk dapat ditakuti dengan lampu itu.
     "Binatang  sialan!" makin salah seorang  kawan Ronggo  Bogoseto. Dia  pergunakan
kedua tangannya menepuki binatang itu.  Dua kawannya melakukan hal yang sama.
Banyak lalat yang mati, tapi tangan mereka jadi kotor sedang jumlah lalat tak banyak
berkurang.
     Ronggo  Bogoseto  jadi  marah. Dia mendengus dan meludah seenaknya di lantai 
rumah makan. Sambil memandang berkeliling dengan mata mendelik dia berteriak.

"Kawan-kawan,  melihat  kalian menepuki binatang celaka itu  aku  jadi ingat pada
cerita tentang seorang yang mampu membunuh tujuh  lalat  dengan sekali tepuk! Hai,
apa kalian pernah dengar cerita itu?!" Ketiga pemuda kawannya itu sama mengatakan
pernah.
       Ronggo tersenyum. Jelas adanya bayangan kesombongan di balik senyumnya itu.
      "Sekarang akan kuperlihatkan pada  kalian bertiga. Juga pada  semua yang ada di
rumah makan jorok ini!  Dengan pedangku aku sanggup membunuh lebih dari tujuh ekor
lalat dalam sekali tebas saja!"
      "Ah, ini bakalan hebat jadinya! "seru  salah seorang pemuda kawan Ronggo.
      "Aku benar-benar ingin  melihat!  Ayo  Ronggo, kau perlihatkan  pada kami dan
semua orang di sini!" menimpali kawannya yang seorang lagi.  Sedang pemuda yang
ketiga ikut berkata: "Aku percaya! Kau pasti mampu melakukan kehebatan itu Ronggo!"
     Ronggo berdiri dari  kursinya.  Dia memandang dulu  berkeliling  lalu sret! Pemuda ini
cabut pedang yang selalu dibawanya.
     "Lihat!  Kalian lihat semual" katanya. "Jangan ada yang  mengedip. Gerakannya
sangat cepat Kalau kalian mengedip,  kalian tak akan sempat menyaksikan
kehebatanku!"
     Lalu wut!
    Pedang di tangan kanan Ronggo Bogoseto mencuit di udara. Sembilan ekor lalat
terkaparan di lantai dan di meja. Semuanya mati dalam keadaan tubuh belah dua!                 
    “Luar biasa!'
     "Hebat!"
    "Gila! Aku hampir tak percaya!"
    Begitu tiga kawan si pemuda berseru seraya berdiri.
    Ronggo Bogoseto menyeringai dan  lagi-lagi meandang berkeliling. Memang mau tak
mau semua yang ada dalam rumah makan itu dan menyaksikan apa yang barusan 
dilakukan si pemuda memuji  kagum. Dan melihat semua orang mengaguminya
bertambah sombonglah  Ronggo. Dia ingin semua orang'benar-benar meyakini bahwa 
dialah jago  pedang nomor  satu sesudah ayahnya di Jember dan seluruh Jawa. Maka dia
kiblatkan pedangnya kembali.
      "Lihat lagi!"
      "Lihat!"
      "Ini lagi!"
      Tiga kali Ronggo Bogoseto berteriak. Tiga kali pedangnya menderu. Masih belum
puas dia susul  lagi dengan  lima  kali gerakan. Ketika dia menghentikan gerakannya, tak
seekor lalat hidup pun bersisa di atas meja makan itu,
      Tiga kawan  Ronggo Bogoseto tegak dari kursi masing-masing sambil leletkan lidah.
Seorang dari mereka berkata:
      "Gila Ronggo! Kurasa ilmu pedangmu jeuh lebih hebat dari ayahmu!"
      Cuping hidung Ronggo tampak mengembang dan bergerak-gerak oleh pujian itu.
Sambil duduk kembali ke kursinya Ronggo berkata: "Sekarang kalian saksikan sendiri
kehebatanku! Mari kita teruskan makan!"
     Keempat pemuda  itu duduk kembali. Salah seorang yang  duduk menghadap pintu 
meneguk minumannya, namun gelas  minuman buru-buru diletakkan seraya berkata: 
"Astaga ronggo!  Bidadari dari mana yang diutus dewa datang ke rumah makan ini?!"
     Ronggo berpaling, memandang ke pintu. Semua orang kini ikut memandang ke
jurusan itu.

Seorang dara bertubuh tinggi semampai, berpakaian ringkas merah, berambut hitam
buntut kuda tampak  memasuki rumah makan. Parasnya cantik sekali. Jangankan para 
pemuda itu, lelaki-lelaki tua yang ada di rumah makan itupun  tak segan memandanginya
dengan hati kagum.
     "Amboi!"  Ronggo sandarkan  punggungnya  ke kursi dan lunjurkan kedua kaki
sedang sepasang mata menyipit. "Itu  bukan bidadari  sobatku," katanya.
"Tapi sekuntum bunga mawar merah segar yang menebar  harum semerbak, terbang 
dihembuskan angin untuk menemui  kita di sini!"
     Tiga kawan Ronggo tertawa.  Sementara dera yang baru  masuk yang  bukan  lain
adalah  Lestari mengambil  tempat duduk tak jauh dari meja mereka.
     "Gadis cantik, jika  kau tak keberatan  sudilah duduk bersama kami di sini. Jangan
kawatir, kau tak usah membayar makanan dan minuman. Kau boleh makan dan minum
sepuasmu!"
     Lestari melirik sesaat pada Ronggo Bogoseto.
     Dilirik begitu si pemuda merasa mendapat perhatian dan berkata pada ketiga
temannya: "Lihat, dia melirik padaku.  Ah,  taksangka hari ini aku bakal melihat bunga
yang begini cantik!"
     Tetapi setelah  melirik  Lestari tidak perdulikan lagi  pemuda bermuka pucat  itu. Dia
melambaikan tangan memanggil pelayan dan memesan makanan.
     "Ronggo, rupanya gadis itu  malu duduk semeja dengan kita. Baiknya kau saja  yang
pergi duduk ke mejanya!" berkata salah seorang kawan Ronggo.
     Putera bekas perwira tinggi itu tersenyum lebar.
     "Kau betul sobatku. Tentu saja dia malu duduk di sini. Kita berempat dia sendiri. Kalau
sendiri lawan sendiri tentu lain lagi!"  kata Ronggo pula seraya berdiri dan melangkah ke
meja Lestari lalu duduk di kursi di hadapan sang dara. Setelah cengar cengir  sebentar
pemuda ini memanggil pelayan.
     "Hidangkan  makanan lezat dan minuman  kelas satu untuk kami berdua! Lekas! "
     Pelayan itu menjura  lalu cepat-cepat masuk kedalam guna menyiapkan pesanan.
     "Darah manis, kau datang dari mana dan  siapa namamu?"  Ronggo  Bogoseto 
bertanya  sementara semua  orang memperhatikan tanpa berani bicara apa-apa.
     Lestari palingkan wajahnya.  Sesaat keduanya saling bertatapan.
      "Aih, betapa bagusnya kedua matanya.  Bening tapi berkilat seperti bintang timur.
Pipinya kemerahan, keningnya  licin, hidungnya kecil mancung. Bibirnya merah seperti
delima merekah!"  kata Ronggo dalam hati memuji. Namun sesaat kemudian dia merasa
terkesima karena  pandangan mata sang dara seperti menusuk.
      "Kau sendiri siapa?" tiba-tiba  Lestari  balik bertanya.
      "Ah! Namaku Ronggo Bogoseto!" sahut Ronggo dengan dada agak dibusungkan.
Dia  merasa senang ditanya seperti itu. Baginya ini satu pertanda bahwa sang dara juga
menaruh perhatian terhadapnya.  "Namaku bagus bukan! Dan tampangku gagah!
Ayahku adalah bekas perwira tinggi kerajaan. Jago pedang kelas satu berjuluk Raja
Pedang Kotaraja. Tapi ada orang yang berpendapat sebenarnya kepandaianku memutar
balik pedang lebih tinggi dari ayahku!"
     "Betul, betul!" salah seorang kawan Ronggo berkata sambil tegak dari kursinya.   
"Sayang kau terlambat datang.Kalau kau muncul lebih tadi-tadi pasti kau akan sempat 
menyaksikan kehebatannya membelah tubuh sembilan ekor lalat hanya sekali
membabatkan pedangnya!"
     "Ah, dia keliwat memuji. Tapi apa yang dikatakannya memang benar!" ujar Ronggo
Bogoseta senang dan cuping hidungnya kembali tampak mekar. Lalu dia berkata: "Kalau

kau suka, di hadapan dara secantikmu ini aku bersedia memperlihatkan kehebatan
permainan pedangku!"
     "Oo begitu . .  . ?" ujar  Lestari sambil angguk-anggukkan kepala. Lalu dalam hati dia
menambahkan:
"Pemuda ini sombong sekali, Mungkin ada yang tidak beres dengan otaknya!"
     Menyangka orang kagum padanya Ronggo lantas berkata: "Jadi kau mau melihat
kehebatanku dengan mata kepala sendiri?!"
     "Silahkan! Siapa yang tidak suka melihat tontonan gratis!" sahut Lestari lalu meneguk
minuman yang dihidangkan pelayan.
     "Kau akan  lihat! Kau akan saksikan!"  Ronggo Bogoseto tegak dari kursi sambil usap-
usap dada.
     Lestari hampir tak melihat kapan-tangan pemuda itu bergerak tahu-tahu dia
merasakan ada sambaran angin di belakang kepalanya. Pita kecil yang mengikat
rambutnya putus. Rambut sang dara yang hitam panjang terlepas dari ikatannya dan
tergerai di bahunya. Di saat yang sama  pedang yang tadi berkelebat kini sudah  kembali
berada dalam sarungnya. Sungguh satu gerakan ilmu pedang yang luar biasa cepatnya.
      "Hebat! Hebat luar biasa!" seru tiga kawan Ronggo seraya bertepuk-tepuk memuji.
      Meskipun  jengkel melihat  tingkah kesombongan pemuda bermuka pucat itu namun
sebagai  orang yang tahu seluk beluk ilmu silat Lestari harus mengakui bahwa ilmu
pedang si pemuda memang luar biasa.
    "Saudari  kau belum memberikan pendapatmu mengenai gerakan ilmu pedangku
tadi!" Ronggo berkata dan pandangi wajah Lestari dengan sepasang bola
mata meliar.
    "Pantas dikagumi!" jawab Lestari sepolosnya.
    Ronggo mendongak  ke  atas dan  tertawa gelak-gelak.
    'Tapi!" katanya kemudian. "Itu belum seberapa. Aku akan lihatkan lagi kehebatan ilmu
pedangku. Nah, kau duduklah tenang-tenang di kursimu!''
     Habis berkata begitu Ronggo Bogoseto kembali gerakkan tangan  kanannya ke
pinggang. Sinar putih berkelebat di depan hidung Lestari dari atas ke bawah dan
terdengarlah suara tring . . .  tring . . .  tring .... tiga kali berturut-turut.
     Ketika Lestari memandang ke bawah ternyata tiga kancing pakaian  merahnya telah
putus tanggai hingga dadanya yang  putih  tersingkap lebar.  Sepasang mata Ronggo
Bogoseto dan juga semua mata lelaki yang ada di situ menyaksikan satu pemandangan
yang membuat mata  mereka  mendelik  dan dada  bergetar.  Lestari cepat-cepat
tutupkan  pakaiannya dan  melompat dari kursi sementara Ronggo serta kawan-
kawannya tertawa gelak-gelak.
     "Pemuda keparat kurang ajar!"  bentak Lestari.
     ''Benar!  Pemuda kerempeng muka mayat! Kau manusia paling kurang ajar yang perlu
diberi pelajaran!" Satu suara menyambungi bentakan Lestari tadi dan datang dari arah
pintu rumah makan
      BESIUR angin menderu keras. Meja tergeser tak karuan dan kursi bermentalan. Kalau
Ronggo Bogoseto tak lekas berkelit  pastilah tubuhnya akan kena disambar angin deras
tersebut!
     Semua orang yang ada  di ruangan itu terkejut. Lebih-lebih pemuda putera bekas
perwira tinggi kerajaan yang sombong itu. Cepat dia berpaling dan memandang ke pintu.
Di situ tegak seorang pemuda berpakaian serba putih. Tampangnya keren sikapnya
gagah.
   "Bangsat! Siapa kau!" Bentak Ronggo. Mukanya yang senantiasa pucat sesaat tampak
membiru.

"Siapa aku bukan  urusanmu! Aku  paling tidak suka pada manusia-manusia  kurang
ajar yang pergunakan kepandaian untuk mempermainkan dan menghina perempuan!
Angkat  kakimu dari  sini. Bawa  kawan-kawanmu!"
"Ahoi! Ada pahlawan pembela hak-hak perempuan  di tempat  ini!"  seru salah seorang 
pemuda kawan Ronggo. Pemuda lainnya langsung mendamprat. "Pemuda hina dina!
Kau bicara keren  amat! Apa tidak tahu kautengah berhadapan dengan siapa?!"
"Siapa kau dan dua kawanmu itu tak lebih dari monyet-monyet! Lalu kawanmu yang
satu lagi, yang berpakaian mewah dan sesumbar sebagai jago pedang kelas satu di Jawa
itu, di mataku tak lebih dari seekor kunyuk yang bertingkah  aneh kalau melihat 
perempuan cantik!"
    Tanpa perdutikan keempat pemuda itu yang jadi mendelik dan marah, si pemuda
melangkah mendekati Lestari. Lestari sendiri yakin sebelumnya pernah melihat pemuda
ini  tapi tidak ingat entah di  mana dan kapan.
     "Lupa?" si pemuda menegur sambil tersenyum.
     "Nggg . .  . Bukankah kau Panji Kenanga? Murid brahmana  Lokapala  dari  gunung
Raung?" tanya Lestari.
     "Ah, ssyukur kau masih ingat padaku!" kata  si pemuda tertawa lega.
     (Baca  serial  Wiro Sableng berjudul Hancurnya Istana Darah. Di situ dikisahkan
bagaimana Panji Kenanga bersama gurunya serta Wiro dan Lestari juga tersama 
gurunya  menghancurkan  Istana Darah. Juga diceritakan Panji Kenangalah yang telah
mengembalikan suling perak milik Lestari yang dicuri oleh  seorang tokoh silat jahat
bernama Tapak Biru).
      Dimaki dan dihina begitu rupa membuat tiga pemuda kawan Ronggo sakit hati dan
marah bukan main. Namun karena mereka tak satupun memiliki  kepandaian silat maka
mereka tak berani bergerak. Lain halnya dengan Ronggo Bogoseto. Pemuda ini
menghardik.
  .   "Bangsat baju putih! Urusanmu dengan aku belum selesai. Jangan enak-enak
bermesraan dengan gadis itu di depanku!"
     Dengan  tersenyum Panji  Kenanga  menjawab. "Oh, rupanya kau masih di situ. Kukira
sudah minggat bersama kawan-kawanmu!"
     "Keparat! Kau belum tahu siapa aku!"
     "Aih,  namamu  Ronggo Bogoseto bukan? Kau putera bekas perwira tinggi kerajaan.
Ayahmu berjuluk Raja Pedang Kotaraja. Mukamu pucat seperti kain kafan,  tingkahmu
pongah! Kau jadi lebih sombong jika melihat gadis cantik seperti kawanku ini!"
     Oo . . . jadi gadis itu kawanmu! Bagus! Di depan kawanmu itu kau akan kuhajar
sampai babak balur!"
     "Seharusnya kau yang layak mendapat hajaran karena tadi telah menghina keji
kawanku ini. Apa kau kira  jika ayahmu bergelar Raja Pedang lalu kau merasa tentunya
kau Pangeran?  Hik. . .  hik!"
     "Setan alas!"
     Amarah Ronggo Bogoseto meledak.
     Sret!
     Ronggo hunus pedangnya.
     "Cincang dia  Ronggo!  Tak seorang  pun boleh menghinamu!" salah  seorang
pemuda berteriak memberi  semangat
     Ronggo luruskan pedangnya di depan hidung. Lalu berkata pada Panji Kenanga.
"Kulihat kaupun membekal pedang. Lekas cabut jika  tak ingin mampus percuma!"
     Panji  Kenanga memang sudah mengetahui kehebatan ilmu pedang pemuda muka
pucat itu. Karenanya tidak sungkan-sungkan diapun segera cabut pedangnya

"Gajah  Biru", sebuah senjata mustika berwarna biru dan gagangnya terbuat dari gading
gajah.
     Ketika melihat badan pedang yang memancarkan sinar  biru, diam-diam Ronggo
Bogoseto  agak bergeming juga. Namun karena dia terlalu yakin akan kepandaiannya
maka dia menyimpan rasa takutnya dan berganti  dengan  sikap percaya diri yang
keterlaluan dan menjadikannya pongah sombongi Dia melangkah mendekati Panji 
Kenanga.  Tiba-tiba didahului  bentakan keras  pedang  di tangannya menyambar.
Demikian sebatnya hingga benda itu kini  berubah menjadi sinar putih  yang bersiur
deras dan bertabur ke  arah kepala Panji Kenanga.
    Yang diserang cepat melompat ke belakang sambil tundukkan kepala, lalu berkelebat
ke kanan sapukan pedang Gajah Biru. Melihat gerakan lawan  seperti itu Ronggo
Bogoseto tertawa mengejek.
    "Pemuda yang mau jadi  pahlawan! Keluarkan seluruh  kepandaianmu! Dalam waktu
tiga jurus  kepalamu akan ku belah dua!"
     "Sombongnya!" balas  mengejek Panji  Kenanga. "Coba kau terima  dulu seranganku
ini!" Lalu  dia susupkan satu tusukan ke tenggorokan lawan.
     "Puah! Hanya tusukan tipuan! Siapa takut!" seru Ronggo.
     Panji Kenanga terkesiap. Serangan yang dilancarkannya tadi memang hanya
merupakan satu tipuan. Bagaimana lawan bisa membaca? Ilmu pedang pemuda muka
pucat itu benar-benar bukan sembarangan. Dari gerakan dan letak tangan musuh dia
sudah mengetahui mana serangan sungguhan, mana yang palsu!
     Setelah mementahkan serangan  lawan,  Ronggo menerjang ke  muka.  Pedangnya
berkelebat bertubi-tubi.  Ilmu pedangnya asing  dan  aneh di mata Panji Kenanga. 
Untung dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi  hingga  dapat mengelakkan 
semua serangan. Di sini tampaklah bahwa di satu pihak Ronggo  Bogoseto memiliki 
ilmu  pedang yang jauh lebih tinggi tetapi rendah  dalam ilmu meringankan tubuh.
Sebaliknya Panji  Kenanga memiliki  ilmu pedang yang lebih rendah namun tingkat ilmu
meringankan tubuhnya jauh melampaui lawan.
     Panji putar pedangnya dengan sebat hingga sinar biru tampak bertabur bergulung-
gulung. Dia coba menerobos ke depan  untuk membuyarkan serangan  pedang lawan
yang seolah-olah membuntal dirinya. Usahanya tak kunjung  berhasil walaupun dia
sudah mengerahkan seluruh  kepandaian. Di jurus  ke sembilan Panji Keanga mulai
menyadari bahwa sambaran angin pedang  lawan  sama sekali  tidak mengandung
tenaga dalam yang  berbahaya. Nyata Ronggo  hanya mengandalkan tenaga luar atau 
tenaga kasar ditambah  dengan kecepatan yang memang luar biasa. Maka di jurus
ke sepuluh Panji ambil keputusan!
     Ketika pedang  Ronggo Bogoseto membacok laksana kilat ke arah bahu kirinya tepat
di pangkal leher. Panji Kenanga kiblatkan pedang Gajah Biru menyongsong serangan.
     Trang!
     Dua pedang saling bentrokan mengeluarkan suara nyaring. Bunga api memercik.
     Ronggo Bogoseto keluarkan seruan tertahan. Mata pedangnya gompal sedang
pedang itu sendiri terlepas mental   dari   genggamannya,  menancap  dilangit-langit
rumah makan. Dengan wajah yang tambah pucat pemuda ini melompat mundur.
Matanya membeliak tak percaya memandang pada Panji Kenanga lalu pada pedangnya
yang ada di langit-langit.  Ketiga kawannya juga  sama terkesiap kaget. Semua orang
yang ada di situ tidak menyangka jago  pedang kelas wahid putera Raja*  Pedang
Kotaraja dapat dikalahkan  oleh seorang lawan muda yang tidak dikenal!
     "Muka pucat! Kenapa kau diam saja!" seru Panji.

"Jika kau  anggap urusan  kita belum selesai silahka ambil pedangmu di  atas sana dan
teruskan perkelahian!"
     Mau rasanya Ronggo berteriak dan memukul kepalanya  sendiri  saking marah  dan 
malu.  Dan  yang membuatnya benar-benar  terpukul saat itu justru rasa malu dan seperti
tak punya muka lagi saat itu!
     "Keparat! Jika kau benar-benar punya nyali besar jangan lari!  Tunggu di sini!" ujar
Ronggo  Bogoseto. Lalu pemuda ini putar tubuh diikuti ketiga kawannya. Mereka
menuju; ke pintu. Namun satu bayangan merah berkelebat dan menghadang.
     "Pangeran sombong!  Sebelum pergi aku akan balas dulu kekurang ajaranmu tadi! "
     "Betina  sialan!  Kau  mau  apa pula?!" bentak Ronggo  begitu mengetahui yang
menghadangnya adalah Lestari.
     "Mauku ini!" sahut Lestari. Lalu cepat sekali tangan kanannya bergerak menampar
muka pemuda itu. Bagaimanapun pucatnya  wajah  Ronggo,  tetap  saja tamparan Lestari
membekas merah di wajahnya! Sudut bibirnya sebelah kiri pecah.
     "Jahanam!" maki Ronggo.  Lalu  meninju dada Lestari.  Namun pukulannya ini dengan
mudah dapat dielakkan Lestari malah kini kembali tangan gadis itu bergerak ke atas. Kali
ini menjambak rambut si pemuda lalu menyentakannya keras-keras. Tak ampun tubuh
ronggo tertarik dan terlempar ke luar pintu rumah makan, jatuh tersungkur di tanah.
Mukanya berkelukuran, lecet  dan  bercelemong tanah. Darah mengucur  dari
hidungnya.
    Sambil  mengerang kesakitan Ronggo  berdiri dibantu oleh tiga temannya. Kedua
tangannya terkepal. Matanya berkilat-kilat oleh hawa amarah.
     "Gadis iblis!  Kau tunggu pembalasanku!" mengancam  Ronggo. Bersama tiga
temannya dia bergerak pergi.
     "Pangeran! Pedangmu  ketinggalan!"  seru Panji Kenanga. Tapi  keempat pemuda itu
tak menoleh lagi. Dari melangkah kini mereka malah mulai berlari.
     Panji geleng-gelengkan  kepala sedang  Lestari hanya tersenyum. Pemuda itu
kemudian dekati si gadis.
     "Lestari, bagaimana kau sampai berada di Jember ini. Apakah gurumu si Pemusnah 
Iblis itu  ada dalam keadaan baik-baik?"
     Lestari mengangguk. Sesaat dia sibuk  membetulkan pakaiannya.
     "Sambil menunggu hidangan  ceritakan apa yang membuatmu meninggalkan danau
Jembangan
     "Panjang kisahnya. Tak dapat  kuceritakan padamu di tempat ini " sahut Lestari.
     "Memangnya  kenapa?"
     "Sebaiknya kita tinggalkan  rumah makan  ini. Aku yakin pemuda muka  pucat itu akan
datang bersama seseorang berkepandaian tinggi!"
     "Lalu, apakah kau  takut?" tanya Panji Kenanga pula.
     "Jauh dari itu" sahut Lestari. "Yang aku kawatirkan adalah kalau-kalau semua yang
terjadi di sini bakal mempersulit urusan atau tugas yang harus  kujalani. .
     "Hemm... tugas'urusan apakah itu?"
     "Aku sudah katakan, tak mungkin hal itu kuceritakan di sini. Hai
Pangeran sedang
itu datang kembali!" seru Lestari ketika dia melihat keluar pintu-rumah makan.

LIMA

PANJI KENANGA memalingkan kepala ke arah pintu. Apa yang dikatakan Lestari betul.
Ronggo Bogoseto bersama tiga kawannya muncul kembali, melangkah cepat ke arah
rumah makan. Di depan mereka melangkah  seorang lelaki berpakaian bagus dan rapi,
berbadan tegap. Rambutnya yang tersembul di bawah blangkon  berwarna memutih.
Menurut taksiran Panji, lelaki ini berusia paling tidak sekitar enam puluh tahun. Dan  pasti 
dia adalah ayah  Ronggo,  manusia yang bergelar Raja Pedang Kotaraja itu!
     Kelima orang itu  sampai di  hadapan Panji dan Lestari.  Lelaki  berpakaian  bagus
sesaat menatap wajah kedua muda mudi  itu lalu melirik ke langit-langit rumah makan 
dimana  dilihatnya  menancap sebilah pedang.
     "Ayah!" Ronggo  tiba-tiba maju dan buka suara. "Inilah monyet yang berani membuat
keonaran.  Membuat malu dan menghina kita!"  Ronggo menunjuk tepat-tepat ke arah
Panji Kenanga.
     Panji  Kenanga  memutar duduknya sedikit lalu bertanya: "Apakah  kami  berhadapan
dengan  bekas perwira tinggi berjuluk Raja Pedang Kotaraja?"
      'Tepat! Tidak meleset dugaanmu anak muda!" jawab orang tua berambut putih.
       Dari sikap dan nada bicaranya Panji maupun Lestari cepat menarik kesimpulan
bahwa orang inipun memiliki sifat sombong  walau  tidak keterlaluan seperti puteranya.
          Panji  Kenanga tersenyum.  Dia  menoleh pada Ronggo dan  berkata:  "Kau sudah
membawa ayahmu kemari. Mengapa tidak membawa ibumu sekalian?!” Merahlah paras 
Ronggo  Bogoseto. Juga wajah sang ayah.
          "Keparat!" maki Ronggo. Dengan adanya ayahnya di  situ dia mendapat keberanian
dan melompat untuk menendang Panji. Tapi ayahnya bergerak mencegah dan
mendorongnya ke samping.
          "Orang  muda! Apa yang  telah  kau lakukan terhadap pu teraku  merupakan 
penghinaan.  Merupakan tindakan kejahatan dan kekerasan. Dan kini di hadapanku kau
masih berani  bicara kurang ajar!  Apa kau punya segudang ilmu hingga berani berlaku
begitu!"
          "Orang  tua,  apa kau  sudah  menyelidik hingga menimpakan  tuduhan  seenak
perutmu sendiri?!" Lestari buka mulut
          Raja Pedang  berpaling pada si gadis dan memandangnya sesaat. "Wajahmu
cantik, tapi rupanya kaupun bukan gadis baik-baik!"
          Panaslah darah Lestari.  Dia  mengambil  baskom kecil berisi air cuci tangan.
          "Kau ayah dan anak coba berkaca dulu dalam air cuci  tangan  ini. Coba kalian lihat
apakah kalian juga orang baik-baik?!"
     Mendidih amarah Raja Pedang.
     "Gadis lancang! Penghinaanmu melewati batas!" Secepat kilat  orang tua ini
layangkan tamparan  ke muka si gadis* Namun baru setengah jalan sebuah benda keras
membentur tangannya hingga tergetar sakit. Ternyata Panji telah menepis dan
menangkis tamparannya itu!
     Raja Pedang Kota raja kaget. Tidak disangkanya kalau pemuda itu memiliki kekuatan
seperti itu. Dengan  penasaran  kini  dia  lancarkan satu  pukulan  kemuka Panji. Namun
serangannya hanya mengenai tempat kosong karena si pemuda sudah berpindah
tempat.
     Di saat ayahnya menampar Panji, Ronggo pergunakan kesempatan  untuk melompat
mengambil pedangnya dari langit-langit  rumah makan.  Dengan senjata ini dia kemudian
memburu ke arah Lestari.

"Gadis liar! Ayo  keluarkan pedangmu! Jangan kira aku tidak tega mencincang
tubuhmu!"
     "Rupanya hajaran kawanku tadi tidak membuatmu kapok! Kau ingin aku ganti
menghajarmu? Memang kalau  tidak  kuhajar  kau  sampai  babak belur belum
puas hatiku!"
     Wut!
     Pedang di tangan Ronggo berkelebat.
      Lestari angkat sebuah  kursi dan menangkis dengan benda ini. Dua kaki kursi putus
dibabat pedang.
       "Sebentar lagi tanganmu . . . . "
       Ronggo tak sempat teruskan ucapannya karena tiba-tiba kursi yang masih dipegang
oleh Lestari menusuk ke arah kepalanya. Kalau tidak cepat dia mengelak, pasti  mukanya
akan cidera berat Dengan sebat dia putar pedangnya. Sinar senjata itu bergulung-gulung
menguning Lestari.
      Sebelumnya  Lestari  sudah  melihat  kehebatan ilmu pedang pemuda itu. Namun dia
juga mengetahui kalau  Ronggo tidak memiliki ilmu silat tangan kosong yang tinggi,
apalagi ilmu meringankan tubuh atau tenaga dalam. Maka  Lestari memanfaatkan
kelemahan lawan dengan bergerak cepat sambil keluarkan jurus-jurus  silat  andalan
yang dipelajarinya dari gurunya Si  Pemusnah Iblis. Setelah dua jurus menyerang tanpa
hasil, Ronggo putar pedangnya lebih sebat. Rahangnya menggembung tanda marah.
Namun kursi di tangan lawan  merupakan senjata yang sulit untuk dihadapinya. Berkali-
kali dia berusaha menghancurkan kursi itu  terlebih dulu. Setiap kali serangannya tidak
membawa hasil. Malah di jurus ketujuh tendangan Lestari tepat menghantam lengan
kanannya.
     Trak!
     Ronggo menjerit kesakitan. Tulang lengannya patah. Pedangnya mental jatuh
bergrompyangan di lantai. Dengan sudut matanya Raja Pedang Kotaraja dapat
menyaksikan apa yang terjadi atas diri puteranya tanpa dapat menolong. Karena saat itu
dia sendiri tengah  mengeluarkan seluruh  kepandaian menghadapi Panji  Kenanga.
Orang tua ini memang lihay sekali memainkan pedangnya. Senjata yang berat dan besar
itu seperti sebuah tongkat enteng yang dapat digerakkannya ke mana saja. Namun
seperti anaknya, diapun kalah dalam kegesitan dan tenaga dalam. Cuma orang tua satu
ini memiliki pengalaman luar  biasa hingga dalam sepuluh jurus dia  dapat  mengunci
Panji  Kenanga di salah satu sudut rumah makan.
      Panji keluarkan  keringan dingin. Kalau  saja  pedang Gajah Biru di tangannya bukan
senjata  mustika pasti sudah sejak  tadi-tadi dia dapat dicelakai lawan. Selama sepuluh
jurus lagi Panji bertahan mati-matian.
      "Kalau tidak ku barengi dengan  pukulan, sulit membuyarkan  serangan  yang
mengurung ini!" kata Panji dalam hati.
      Karenanya memasuki jurus ketiga puluh  empat pemuda  ini keluarkan bentakan
garang dan lepaskan satu pukulan tangan kosong dengan tangan kiri.
      Jago tua  itu terkejut ketika merasakan ada angin yang menyambar dan membuatnya
tergontai. Cepat dia  sapukan pedang  untuk melindungi diri. Namun gerakannya ini
membuat tubuhnya di sebelah bawah jadi terbuka. Justru  ke  arah bagian tubuh inilah
Panji membebatkan pedangnya disertai  tenaga dalam hingga senjata itu menaburkan
sinar biru.
     "Celaka!" seru Raja Pedang Kotaraja. Buru-buru dia melompat menjauhi serangan
lawan. Karena kawatir masih akan terkena sambaran Ujung pedang Panji, orang tua ini
babatkan pedangnya ke bawah.
     Trang!

Dua pedang beradu keras.
     Apa yang diduga bekas perwira tinggi kerajaan itu benar-benar terjadi. Pedangnya
mental, tangannya terasa kaku seperti kesemutan. Kedua matanya melotot. Kembali  dia 
menyurut  beberapa  langkah. Wajahnya gelap. Seumur hidup  baru  kali  ini dia
dipecundangi oleh seorang lawan yang jauh lebih muda darinya.
     "Gila! Aku betul-betul tak punya muka lagi!" kata Raja Pedang dalam hati. Ketika dia
berpaling ke kiri dilihatnya puteranya terduduk di lantai dengan muka penuh benjut,
dikelilingi oleh ketiga kawannya. Panji  Kenanga sarungkan pedang Gajah Biru kembali.
Dia menoleh pada  Lestari. Dilihatnya gadis itu memberi isyarat. Lalu keduanya
melangkah ke pintu.
     "Orang, muda tunggu  dulu!" Tiba-tiba terdengar seruan Raja Pedang Kotaraja
memanggil.
     "Ada apa?!! tanya Panji.
     "Sebelum pergi  harap  kalian  suka memberi tahu nama masing-masing . . . . "
     "Untuk apa?" Kini Lestari yang bertanya.
     "Untuk sekedar jadi kenangan," jawab bekas perwira tinggi  itu. Kalian berdua telah
membuka mataku bahwa kesombongan itu hanyalah satu kepalsuan hidup yang bisa
membawa bencana bagi diri sendiri!"
     "Ah, aku yang tua ini benar-benar merasa mendapat pelajaran dari kalian orang-orang
muda. Mulai saat ini aku tak mau lagi memakai gelar Raja Pedang Kotaraja!" Lalu orang
tua itu memungut pedangnya. Ketika dia  hendak  tinggalkan  rumah makan  pu teranya
yang mengalami patah tangan cepat menghadang seraya berseru.
     "Ayah! Mereka mematahkan lenganku. Kau hendak pergi  begitu  saja  tanpa memberi
hukuman pada mereka?!"
     "Kaulah yang  patut  diberi  hukuman!"  bentak sang ayah dan plak! Tamparannya
melayang menghantam  pipi Ronggo Bogoseto.  Pemuda ini mengeluh kesakitan. Tak
tahan menanggung malu.dia lari lebih dulu meninggalkan tempat itu. Tiga kawannya
menyusul di belakang.

TUJUH

KUDA  PUTIH  polos  bernama Angin Salju itu berlari cepat di kegelapan malam. Di atas
punggungnya di sebelah depan duduk Lestari dan  di belakangnya duduk Panji Kenanga.
Semula sang dara menolak untuk  menunggangi  kuda  besar  itu bersama-sama. Tapi
akhirnya mau juga. Di tepi sebuah telaga mereka berhenti.
      "Kita  bermalam  di  sini dan  membuat perapian. Kau setuju?"
      Lestari tak menjawab.
     "Di samping itu kau bisa memberikan keterangan mengenai  urusan  dan  tugas  yang 
harus kau jalankan itu. . . "
     Setelah berpikir beberapa lamanya akhirnya Lestari menyetujui usul Panji. Sementara
Angin Salju merumput. Panji segera mencari kayu untuk perapian.
     Setelah api menyala, keduanya duduk berhadap-hadapan. Panji menatap paras gadis
di hadapannya  itu. Paras yang tak pernah  dilupakannya sejak perjumpaan pertama
dahulu. Sebenarnya sudah sejak lama pemuda ini  ingin  mengunjungi Lestari di tempat
kediaman gurunya di danau Jembangan. Namun sebelum kesampaian malah bertemu di
Jember.
    "Lestari_____ "
    Dara itu mengangkat kepalanya.
    Sesaat pandangan mereka saling beradu.
    "Kau kedinginan? Duduklah  lebih dekat ke perapian
     "Cukup hangat di sini. Panji'
     "Sekarang coba ceritakan apa urusanmu itu. Jika ada yang bisa ku bantu, pasti akan
kulakukan."
     Lestari memandang nyala  api yang melenggang-lenggok dipermainkan hembusan
angin malam.
     "Seseorang telah  mencuri  senjata mustika milik guru. Hal itu terjadi ketika guru tidak
di rumah. Ini kelalaian ku  sendiri. Guru amat marah. Aku tahu sekali hal  itu walau  dia
tidak memperlihatkannya padaku. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain
meninggalkan danau Jembangan dan mencari senjata mustika itu sampai dapat.
Sebelum dapat aku tak akan kembali."
      "Senjata apakah yang dicuri itu?" tanya Panji Kenanga.
      "Sebuah tusuk kundai. Terbuat dari perak"
      "Pencurinya pasti seorang berkepandaian tinggi."
      "Pasti," membenarkan Lestari. "Guru menasihatkan  agar aku  menghubungi
beberapa tokoh silat golongan  putih untuk mencari keterangan. Sampai saat
ini segala sesuatunya masih gelap bagiku
      "Jelas yang melakukannya seseorang atau beberapa orang dari golongan hitam. Kita
akan menyelidikinya bersama-sama."
     "Kita?" ulang Lestari.
     "Ya____ Kau tak suka aku bantu?"
     "Terima kasih. Aku berterima kasih sekali. Tapi kau  tahu. Ada  puluhan tokoh silat
golongan hitam. Bagaimana kita bisa menemukan pencurinya...."
     "Itulah yang harus kita selidiki Lestari. . . . "
     Sang dara hanya mengangguk pelahan. Dia telah menceritakan hilangnya tusuk
kundai sakti itu. Namun sama sekali  tidak  diberitahukannya kalau  benda itu
adalah pertanda ikatan tali perjodohannya dengan murid Eyang Kunti Kendil yang
bernama Wiro Sableng.

Malam bertambah larut dan dingin. Panji Kenanga mengambil sehelai  tikar kulit dan
selimut tebal dari kantong perbekalan di punggung kudanya. Tikar itu lalu
dibentangkannya dekat perapian.
     "Kau tidurlah di sini. . . . "  katanya pada Lestari.
     "Aku belum mengantuk."
     "Mengantuk atau tidak  kau butuh  istirahat Untuk mencari senjata yang hilang itu
mungkin kita harus mengadakan perjalanan  jauh yang menguras  tenaga... ."
     Lestari  menyadari  bahwa apa yang. Dikatakan Panji itu  benar. Perlahan-lahan
direbahkannya dirinya di atas tikar kulit itu. Panji kemudian menyelimutinya.
     'Terima kasih. Kau baik sekali. . .  ."kata Lestari polos..
     Panji tersenyum.  Dengan bergelung sehelai kain sarung pemuda ini membaringkan
diri di seberang perapian. Sesekali dia melirik dan melihat Lestari masih belum 
memejamkan mata.Kesunyian malam kadang- kadang digemeretaki oleh suatu ranting
kayu yang berderak dimakan api.
     "Ingat peristiwa di Istana Darah dulu _ ?" tiba-tiba Panji bertanya.
     "Ya, kenapa?"
     "Sejak  peristiwa  itu apa  kau pernah  bertemu Wiro ? "
     "Tidak.  Memangnya kenapa?" Lestari bertanya lagi.
     "Pemuda itu  ilmunya tinggi sekali.  Ingin sekali aku bertemu  dengan dia. Selain 
bertukar pengalaman siapa tahu  dia berbaik hati mau memberikan sejurus dua ilmu
baru"
     Yang dipikirkan Lestari saat itu justru bukan ketinggian ilmu Wiro Sableng melainkan
hubungan jodohnya dengan pemuda itu, yang ikatannya diatur oleh guru mereka.
Apakah Wiro mengetahui hal itu?
     Lama  kesunyian   menggantung.  Sayup-sayup terdengar riak air telaga terhembus
angin.
     "Lestari. . . "
     "Hemm . .  . Aku masih ingin  ngobrol.  Entah kalau kau sudah mau tidur. . . . "
     'Tubuhku  memang agak letih. Tapi mata ini masih belum bisa dipicingkan
"
     "Dalam  kehidupanmu yang mencapai usia sekarang ini, apakah kau  pernah
mencintai  dan dicintai seseorang . . . . ? "
      Pertanyaan  Panji Kenanga  ini membuat  Lestari terkejut Dia sadar wajahnya saat itu
pasti menjadi merah.
      "Ada-ada saja yang kau  tanyakan. Kenapa kau bertanya begitu?"
      "Hanya ingin tahu __ "
      "Soal cinta belum terpikir olehku . . . . "
      "Lalu soal seseorang yang mencintaimu?"
      "Mana aku tahu? Kalau ada yang mencintaiku dia tak pernah bilang begitu
     Panji tertawa.
     "Bagaimana  kalau andai kata  kau kemudian mengetahui bahwa ada seseorang yang
mencintaimu dengan sepenuh hati. . . . "
     "Aku harus  tahu yang jatuh cinta ini lelaki atau nenek-nenek.  Atau seekor  kucing
. . . .  Aih, malam-malam begini  bicara soal cintai Siapa orangnya yang mau
mencintaiku.....?"
    "Ada!"
"Sudahlah. Aku tak mau membicarakan hal itu lagi .  . .  ." Kata  Lestari. Namun diam-
diam dia ingin tahu juga siapa orang yang kata Panji ada mencintainya itu. Wiro Sableng?
    "Kau tak ingin tahu siapa orang yang mencintaimu itu Lestari?" tanya Panji.
   "Kalau kau tahu katakanlah."
    "Orangnya saat ini dekat sekali denganmu," kata Panji pula.
     'Tak ada orang lain di sini."
     "Ada. Kau tak melihat? Atau lupa?"
     "Siapa?"
     "Akui" jawab Panji Kenanga.
     Lestari palingkan kepalanya. Kedua matanya terbuka lebar dan memandang tak
berkedip pada Panji Kenanga.  Sesaat kemudian  terdengar suara tawa dara itu.
     "Kau tengah membanyol Panji!"
     "Aku tidak melucu. Apa yang kukatakan adalah sebenarnya. Aku mencintaimu!"
     Lestari merasakah dadanya berdebar.
     "Kau bodoh Panji!"
     "Bodoh? Bodoh bagaimana?"
     "Bodoh  karena  mau-mauan  mencintaiku. Me mangnya aku ini apa sih!"
     "Cinta itu terkadang memang aneh Lestari. Kata orang cinta bisa membuat buta.  Lalu
bodoh seperti katamu itu.  Lalu perasaan bahwa  dunia ini hanya dia yang punya
"
      "Aih,  pengalamanmu tentang cinta rupanya banyak juga "
      "Seperti katamu, mungkin benar aku ini pemuda bodoh. Namun aku tak mau
menyembunyikan sesuatu yang aku rasakan
"
      Sunyi. Lestari tak bisa berkata apa-apa lagi. Panji juga terdiam.  Gadis itu akhirnya
picingkan kedua matanya. Namun dia tidak tidur. Mendadak dirasakannya ada hawa
panas menghembus wajahnya. Ketika kedua matanya dibuka dilihatnya sebuah wajah
dekat sekali ke mukanya. Wajah Panji.
   v "Lestari. . .  ."bisik Panji. "Dengarlah _ " Sambil  bicara dibelainya rambut  gadis itu.
"Aku benar-benar mencintaimu . . . ." Lalu kepala si pemuda datang lebih dekat. Satu
ciuman menyapu kening Lestari.Si gadis merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Itulah
pertama  kali tubuhnya dibelai dan  parasnya dicium lelaki.
     "Panji . . . jangan . . . . "  bisik Lestari ketika ciuman kedua melembut jatuh di pipinya.
     "Jangan . .  ." bisik Lestari lagi. Namun dia  tak berusaha menjauhkan wajahnya. Ketika
bibir pemuda itu menempel di bibirnya. Lestari merasakan nafasnya seperti terbang.
Entah sadar entah tidak kecupan Panji pada bibirnya dibalasnya dengan hangat.
     MENJELANG dinihari baru Lestari bisa memejamkan matanya dan tidur. Panji
Kenanga masih duduk di sampingnya, memandang  dan menjaganya dengan pe-
rasaan penuh kasih sayang.
     Ketika  di  timur kelihatan langit mulai terang barulah pemuda ini  berdiri dan
melangkah  ke telaga. Semalam  suntuk dia tidak  memicingkan mata barang
sekejappun. Namun tubuhnya sama sekali tidak terasa letih.  Kebahagiaan  kasih  sayang
yang  dirasakannya laksana  suatu  kekuatan dalam  dirinya.  Dia maklum kalau sang
dara menyukainya, mungkin juga mengasihinya. Walaupun semua itu tidak  diucapkan
dalam bentuk kata-kata.
    Tak lama setelah Panji mandi di telaga Lestari terbangun.  Dia duduk di samping
perapian yang telah padam.  Kepalanya terasa agak berat. Di telaga dilihatnya Panji
berkecimpung di air  telaga. Begitu  melihat pemuda ini berdebarlah dada sang dara.

Serta merta dia ingat apa yang terjadi  malam tadi. Dia telah  dipeluk dan balas memeluk
pemuda itu. Dia telah dicium dan balas mencium. Bagaimana semua itu bisa terjadi?
    Teringat  Lestari akan  tugas yang  masih harus dijalankannya. Yaitu menemukan
kembali  tusuk kundai perak yang telah dicuri  orang. Benda yang merupakan  tanda 
perjodohannya dengan  Wiro  Sableng. Guru Wiro dan gurunya telah mengadakan 
pengikatan jodoh bagi mereka.  Tapi semalam dia telah bercumbu berkasih mesra
dengan  Panji Kenanga. Apakah ini berarti suatu  dosa?  Apakah  ini merupakan  satu
pengkhianatan terhadap  calon  suaminya yakni  Wiro? Ada rasa dosa dan malu dalam
hati  gadis ini. Lalu apakah dia akan meneruskan perjalanan bersama Panji Kenanga?
Bagaimana  kalau terulang lagi kejadian malam tadi. Terulang lagi malah mungkin lebih
jauh dari itu.
    Lestari merapikan rambut dan pakaiannya. Tekadnya sudah bulat Dia harus
meninggalkan Panji Kenanga dan  menempuh  jalannya sendiri. Tanpa menunggu lebih
lama dia segera lari meninggalkan tempat itu.
     Pada saat matahari pagi muncul di ufuk timur maka Lestari telah berada jauh dari
telaga. Dia sengaja memasuki rimba belantara karena dia tak mengharapkan  agar Panji
Kenanga dapat menyusulnya.  Namun baru saja dia memasuki hutan itu beberapa belas
tombak  mendadak di  belakang terdengar suara  bergemeresik disusul satu teriakan
keras.
     "Randu Wongso! Lihat! Dara berbaju merah itulah yang tengah kita cari-cari!"

DELAPAN

LESTARI terkejut dan cepat Wpaling ke belakang. Kira-kira lima tombak di belakangnya
dilihatnya dua orang lelaki. Yang seorang bertubuh tinggi langsing tak  dikenalnya.
Sedang orang kedua  bukan lain Ronggo Bogoseto, pemuda bermuka pucat sombong
yang  kemarin  dihajarnya di rumah makan Jember.
    Sadar  kalau kedua orang itu mengejarnya dengan maksud yang tidak baik maka
Lestari segera melarikan diri. Dia berhasil meninggalkan Ronggo  Bogoseto jauh di
belakang. Namun si tinggi langsing ternyata memiliki kepandaian  lari. Karena dalam
waktu dekat dia segera dapat mendekati Lestari.
     "Kalau mereka berani berbuat sesuatu  kubunuh keduanya!" kata Lestari dalam hati.
     Sang  dara tidak mengetahui kalau lelaki bertubuh tinggi langsing yang dibawa 
Ronggo Bogoseto itu adalah seorang berkepandaian tinggi.
     Siapakah adanya orang ini?
     Mari kita ikuti apa yang dilakukan  Ronggo setelah dia mendapat hajaran di rumah
makan itu.
     Meskipun ayahnya sudah menganggap selesai pertikaian  dengan Panji  Kenanga 
serta  Lestari  namun ronggo Bogoseto tak dapat melenyapkan rasa sakit hati dendam
kesumatnya  terhadap kedua muda mudi itu. Kini dia tak punya muka lagi di seluruh
Jember. Semua orang seperti memandangnya dengan mengejek.
     Sebenarnya di samping sakit hati  diam-diam pemuda bermuka pucat sangat  tertarik
pada kecantikan Lestari. Telah banyak dia melihat gadis cantik, namun tak ada yang
secantik dan begitu menggiurkan seperti yang satu ini
     Setelah mengobati  mukanya yang babak  belur, dan tangannya yang patah, dengan
menunggangi seekor kuda pemuda ini  meninggalkan  kota menuju ke arah timur. 
Tujuannya adalah sebuah candi tua yang di diami oleh  seorang tokoh silat berilmu
tinggi. Tokoh silat ini  bukanlah  seorang baik-baik. Sering sekali dia mempergunakan 
kepandaiannya  untuk maksud-maksud jahat  Apalagi jika  seseorang mau memberikan
hadiah padanya maka   apapun  akan  dilakukannya. Karena itu  orang  mencapnya 
sebagai tokoh silat golongan hitam.
    Hari telah malam ketika Ronggo, sampai di  candi tua itu. Semula dia kawatir kalau
orang yang dicarinya tak ada di tempat. Tokoh silat itu memang jarang ada di candi 
tersebut. Namun begitu melihat  ada  nyala lampu, maka senanglah hati pemuda ini.
     Di depan candi tua pemuda ini hentikan kuda, begitu turun  langsung masuk ke dalam
candi. Sebagian besar bangunan itu sudah sangat rusak dan kotor. Di salah satu sudut
terletak sebuah lampu minyak. Apinya  bergoyang-goyang  dipermainkan  angin  hingga
membentuk bayang-bayang yang mengerikan di dinding candi. Udara terasa dingin.
Ronggo memandang berkeliling. Orang yang dicarinya tidak nampak.
     "Randu . . . ." panggil si pemuda. "Randu Wongso . . . .  Apakah kau ada di sini. . . . ? "
     Tak ada jawaban.
     Tetapi telinga Ronggo tjba-tiba mendengar suara seseorang.
     Suara perempuan merintih!
     Dia  memandang tak berkedip  ke sudut kiri lalu melangkah ke arah  tumpukan balok-
balok tua yang seperti  membatas bagian depan candi dengan  bagian belakang. 
Ronggo sampai  di susunan balok  setinggi dada dan menjenguk ke balik susunan balok
itu. Kedua matanya  terpentang  lebar ketika apa yang terpampang di depannya, di antara
kesuraman sinar lampu minyak.

Di sana, di  lantai candi yang hanya dialasi tikar jerami butut dilihatnya Randu Wongso
dalam keadaan tanpa pakaian  tengah menggagahi seorang perempuan!
     Perempuan  ini  masih  muda. Parasnya tidak cantik,  berkulit agak hitam. Tetapi dia
memiliki bagian-bagian tubuh yang kencang serta serba besar.
     "Sialan!" rutuk Ronggo Bogoseto. "Randu!" serunya kemudian. "Lekaslah! Aku ada
urusan amat penting perlu dibicarakan!"
     "Sompret anjing kurap!"
      Lelaki bernama Randu Wongso itu memaki.
     "Anak  setan! Siapa kau yang berani mengganggu kesenanganku! Apa mau
kurengkahkan batok kepalamu?!"
      "He .  . .  he . . .  . Tenang  Randu. Tenang. Aku Ronggo Bogoseto!"
      Mendengar nama  itu kemarahan Randu Wongso kontan lenyap. Tetapi tentu  saja dia
tidak mau meninggalkan apa yang tengah dilakukannya saat itu. Apa lagi dia menjelang
akan sampai ke puncak kenikmatannya.
     "Sobat muda! Apa pun urusanmu bisa menunggu! Malah kalau kau  suka bisa
kebagian! Eh, apakah kau membawa uang banyak?"
     "Soal uang kau  tak usah kawatir. Yang penting cepat sudahi pekerjaan dajalmu itu!"
Ronggo benar-benar  tidak  sabaran.  Yang dikawatirkannya adalah Panji dan Lestari jadi 
terlalu jauh untuk dikejar. "Sialan! Perempuan mana  yang digagahinya itu!" Ronggo
melangkah  mundar-mandir di  bangunan candi yang kecil sempit  itu. Telinganya terus
menerus menangkap suara rintihan perempuan itu, diseling oleh suara nafas
Randu Wongso yang memburu.
     Tiba-tiba terdengar suara  Randu Wongso seperti mengerang.
     "Bangsat!" maki  Ronggo.
     Beberapa  saat kemudian   baru  Rando Wongso keluar  dari balik  tumpukan balok.
Tubuhnya penuh keringat  dan dia  hanya mengenakan sehelai cawat kumal.
     "Kelakuan bejatmu masih belum berobah Randu! Perempuan mana puja kali ini yang
kau  rusak kehormatannya? Sudah berapa lama kau peram di tempat ini. Sudah berapa
kali kau tiduri*?!"
     Randu Wongso tertawa gelak-gelak.  Di sekanya keringat yang mengucuri dahinya.
     "Yang satu ini lain,  Ronggo.  Dia mau ikut denganku ke sini. Dan . . .  ha . . .  ha . . .
Sungguh luar biasa. Kau ada minat?"
     "Gila! Aku kemari bukan untuk begituan!"
     "Kau akan menyesal sobat. Yang satu ini benar-benar lain "
     "Kentut! Kau selalu memberikan sisa padaku!"
     "Sisa bukan sembarang sisa. Kau tahu, paling lama aku  hanya memeram  perempuan
dua hari. Tak lebih. Tapi dia .  . . .  sudah lima hari berada di sini. . . "
     Sekilas Ronggo melirik ke balik tumpukan balok. Perempuan muda  itu  masih
terbaring tanpa pakaian. Melihat keadaan tubuhnya yang bagus memang  Ronggo harus
mengakui ucapan  Randu tadi bahwa yang satu ini lain.
      "Hai  sobat!  Jangan  memandang  terlalu  lama! Nanti kau tergiur! Sekarang katakan
apa urusan pentingmu itu!"
       Dengan  singkat  Ronggo Bogoseto  menuturkan apa yang telah dialami dia dan
ayahnya di Jember. Tak lupa dia memperlihatkan bibirnya yang  luka  akibat tamparan
Lestari, lalu tangannya yang dibalut.
    "Lalu  apa  hubungan kejadian*  jtu dengan kedatanganmu kemari?" bertanya Randu
Wongso.
    "Kita harus cari kedua orang itu. Hajar si pemuda dan sang dara itu urusanku...."
    Ronggo tertawa gelak-gelak.

"Nyatanya kau sendiripun masih memiliki nafsu setan. Apakah gadis itu cantik sekali
hingga kau ingin mencarinya?"
    "Cantik luar biasa. Tak  pernah  sebelumnya aku melihat gadis secantik, itu. Ketika
pedangku memutuskan kancing-kancing pakaiannya  hingga dadanya tersingkap . . . .  
Mau mati rasanya aku ketika  melihat dadanya. Putih dan kencang!"
    "Ha . . .  ha . . .  hal Sifat kita tak jauh berbeda sobat! Aku suka hal itu!" ujar Randu
Wongso pula. "Kau tak usah kawatir. Kita cari mereka sama-sama. Tapi..."
Habis berkata  begitu Randu kembangkan telapak tangan kirinya dan
mengangsurkannya kepada Ronggo
    Tanpa banyak bicara Ronggo  keluarkan  sebuah kantong kecil  berisi uang dan
berikan  pada  Randu Wongso.
    "Kita pergi sekarang?" tanya Randu. Ronggo mengangguk.
    "Aku  berpakaian  dulu. Tunggu di sini. Tapi . .Heh, kau benar-benar tidak berhasrat
terhadap  perempuan itu?"
     "Urusanku lebih penting. Kita harus cepat...."
    ' 'Cepat . . . .  cepat! Seperti waktu ini dikejar-kejar setan. Bersama Randu Wongso kau
pasti akan menemukan gadis itu. Kau sungguh tak mau? Urusan beginian kan tidak lama
Ronggo...."
     Pemuda itu jadi bimbang. Dia melirik lagi ke balik tumpukan balok. Memandangi tubuh
perempuan yang gempal kencang itu lambat laun terangsang juga nafsu Ronggo
Bogoseto. Memang bukan  satu. hal baru dia melakukan  hal seperti  itu bersama-sama
Randu Wongso. Randu yang menculik lalu mereka gagahi bergantian.
     Randu tepuk-tepuk bahu pemuda itu. Lalu mendorongnya ke balik tumpukan balok.
     "Pergilah, aku  akan menunggumu sampai selesai . .  . ." bisik Randu Wongso.
Akhirnya sambil  melangkah ke balik susunan balok, Ronggo tanggalkan pakaiannya.
     LESTARI berusaha mempercepat larinya. Namun Randu Wongso cepat sekali
gerakannya. Menyadari bahwa dia  tak mungkin lepas jika terus lari. Lestari
akhirnya berbalik dan  menunggu dengan sikap siap menyerang.
     "Aha!  Akhirnya kami  temui juga kau!" kata Ronggo  dengan  nafas  memburu 
sementara  Randu Wongso tegak tolak pinggang, memandang tak berkedip pada gadis
berbaju merah di hadapannya.
      "Apa maumu?!" sentak Lestari.
     ' 'Wah  Ronggo! Gadismu ini galak  sekali!" kata Randu Wongso.
      "Brengsek! Enak saja kau mengatakan aku gadisnya!" semprot Lestari dengan  mata
melotot.
      "Aih,melotot  marahpun kau malah tambah cantik!" ujar  Randu Wongso semakin
menggoda. Diam-diam dia sudah terpikat pula pada kecantikan gadis ini dan otak
kotornya mulai bekerja. Tangannya diulurkan hendak menjamah tubuh Lestari.
     "Berani kau menyentuh tubuhku akan kubunuh!" mengancam Lestari  seraya tangan
kanannya bergerak ke pinggang d i mana tersisip pedangnya.
     "Ah, mati di tanganmu pun aku senang! Ha . . . ha. . . ha “ ujar Randu Wongso lalu
tertawa gelak-gelak.
     "Mana pemuda keparat kawanmu itu?!" bertanya Ronggo dengan nada garang.
     "Sebentar lagi  dia datang. kau akan dihajarnya seperti kemarin!"
     Kata-kata Lestari itu membuat wajah pucat Ronggo Bogoseto sesaat jadi memerah.
"Gadis cantik, aku  dan sobatku ini tidak tega melihat kau melakukan perjalanan
seorang diri.  Jika terjadi apa-apa denganmu ah, kami rasanya tak tega berlepas  tangan. 
Kami bersedia  menemanimu.  Bahkan aku mau  mendukungmu sampai ke manapun 
kau pergi
     "Manusia edan! Mulutmu kotor! Kurang ajar! damprat Lestari.
     Randu  Wongso  kembali tertawa gelak-gelak dan kali ini sambil kedip-kedipkan
matanya membuat Lestari tambah jijik  melihatnya. Dengan cepat gadis ini putar tubuh.
     "Hai! Kau mau kemana gadisku cantik?!" seru Randu Wongso.
     "Randu sebaiknya cepat kau ringkus dia!" berkata Ronggo yang menjadi tidak
sabaran.
     "Meringkus burung  molek ini perkara mudah sobatku.  Lihat! Aku  akan tangkap
pinggangnya! Ah, betapa nikmatnya merangkul tubuhnya!"
      Setelah berkata begitu dengan satu gerakan Randu Wongso  berkelebat. Begitu
cepatnya gerakan orang ini  tahu-tahu tangan kirinya sudah  meraih  pinggang Lestari
sedang tangan kanan menjamah dadanya!
      "Bangsat kurang  ajar!" teriak Lestari marah sekali.
      Wut

SEMBILAN

SINAR putih menyambar ke arah lambung Randu Wongso disertai suara bersuit.  Kaget
lelaki
       ini  bukan  olah-olah.  Sambaran  angin yang datang sangat berbahaya.  Mau tak mau
segera dia lepaskan pegangannya di pinggang si gadis dan melompat mundur.
     Di hadapannya kini Randu melihat Lestari berdiri memegang  sebuah seruling terbuat
dari perak. Benda ini berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi.
     Randu berpaling pada Ronggo lalu bertanya.
     "Sobatku,  sebenarnya siapakah  si cantik berbaju merah  ini? "Kulihat gerakan ilmu 
pedangnya boleh juga!"
     "Siapa dia  nanti saja  kita bicarakan. Aku tak mau kau membuang waktu.  Lekas
tangkap dia!"
     "Baiklah  sobatku.   Rupanya kau  sudah tidak sabaran!  'Kembali Randu  Wongo
bergerak.
    "Majulah  kalau  ingin  mampus!"  kata  Lestari ketika dilihatnya Randu Wongo datang
mendekat.
     Sambil tertawa Randu Wongso  melangkah menghampiri si gadis.
     Tiba-tiba Randu menyergap ke depan. Lestari menghantamkan sulingnya  ke arah
dada lawan.
     Namun kali ini dia tertipu.
     Serangan Randu Wongso hanya pura-pura  saja karena sedetik  kemudian dia sudah
berpindah kedudukan  dan  berkelebat  ke  jurusan  lain.  Lestari tak kalah cepat. Dia
putar gerakan tangannya dan sulingnya kini justru menusuk ke muka lawan! Ketika
Randu Wongso berkelit untuk menghindarkan mukanya.  Lestari  lepaskan  satu  pukulan 
tangan  kosong  dengan tangan kiri,
     "Eh!"
     Untuk kedua kalinya Randu Wongso dibuat terkejut.  Dia  benar-benar sadar kini kalau
dara berbaju merah  yang  tadi dianggapnya  sepele itu  tak  bisa dipandang  enteng.  Di 
balik wajahnya  yang  jelita, di belakang gerakan tubuhnya yang halus gemulai itu,
tersembunyi satu ilmu silat tinggi!
     "Kalau tak segera kuringkus gadis ini bisa berbahaya!' 'kata  Randu  Wongso  dalam
hati. Dengan gerakan bernama pelangi menggelung langit dia me-
nyambar dari samping, kiri. Gerakannya aneh, perlahan sekali, seperti acuh tak acuh dan
sangat mudah untuk balas dihantam. Namun Lestari  walau tidak  banyak pengalaman
telah digembleng oleh gurunya  Si Pemusnah  Iblis secara meyakinkan. Dia  tegak
menunggu dengan waspada. Ketika lawan sampai di hadapannya baru dia bersurut dua
langkah: Betul saja apa yang diduganya. Lawan tiba-tiba membuat  gerakan susulan.
Baru serangan  Randu bergerak setengah jalan Lestari sudah  menyongsong
mendahului dengan satu tendangan ke  arah  ulu hati  lawan. Tapi serangan  ini hanya
mengenai tempat kosong karena Randu Wongso berhasil mengelakkannya
      Dengan penasaran  Lestari lepaskan pukulan tangan kosong dengan  mengerahkan
tenaga  dalamnya.Randu Wongso juga tak kalah jengkelnya. Dia  ingin tahu sampai di
mana ketinggian ilmu lawan. Serangan Lestari disambutnya dengan pukulan  tangan
kosong pula.
      Dua (arik  angin menderu, saling labrak satu sama  lain.
      Lestari rasakan tubuhnya bergoyang gontai. Serta merta dia lipat gandakan tenaga
dalamnya. Namun ternyata tenaga dalam  lawan  jauh lebih  tinggi.  Sekali

mendorongkan tangan kanannya ke depan maka Lesta ri terjajar ke belakang. Selagi dia
coba mengimbangi diri Randu Wongso menyergap.
     "Celaka! "seru Lestari dalam hati  ketika dilihatnya lawan berhasil merampas suling
peraknya. Dengan senjata ini Randu Wongso kemudian berusaha menotok pundak sang
dara. Sekali totokan itu mengena maka akan lumpuhlah sekujur tubuh Lestari.  Masih
untung gadis ini cepat mengelak hingga terhindar dari bahaya.
     Ronggo  Bogoseto yang sejak  tadi menyaksikan perkelahian  kedua orang  itu 
dengan  berdebar kini mulai was-was  apakah Randu  Wongso  akan mampu menangkap
sang  dara. Sikapnya yang tertawa-tawa cengengesan membuat pemuda ini jadi jengkel.
     ' Randu!  Lakukan  pekerjaanmu dengan  cepat! Kau  berhasil merampas senjatanya.
Masakan menangkapnya saja kau membutuhkan waktu  begitu lama! "
     "Aku  tahu  apa yang  aku kerjakan Ronggo!" Randu Wongso kini  ber balik nampak
kesal. Lalu dia menghadapi Lestari kembali. "Gadisku cantik," katanya. "Jika kau mau
serahkan diri secara baik-baik, aku berjanji tidak akan mencideraimu. Bagaimana . . . ?
Kau tahu pemuda sobatku  ini putera  orang  terpandang, memiliki kekayaan. Jika kau
ikut dengan dia pasti kau bahagia. . . "
     "Baiklah, aku akan menyerah  saja . . . "  kata Lestari. "Tapi makan dulu ini! "
     Hampir tak  terlihat kapan Lestari menggerakkan tangannya tahu-tahu lusinan senjata
rahasia berbentuk jarum merah menderu ke arah Randu Wongso!
     "Wah hebat juga senjatamu ini!" memuji Randu
Wongso.  "Terpaksa  aku memakai suling perakmu untuk menghadapinya!' '
      Randu Wongso sehatkan suling perak milik Lestari yang barusan dirampasnya.
      "Tring . . .  tring . . .  tring. . .
      Semua senjata rahasia berbentuk jarum ini mental dan luruh ke tanah. Berdebarlah
Lestari ketika melihat kejadian itu.
       “Manusia keparat ini tinggi sekali ilmunya! "Ada rasa takut di hati  sang dara kini. Dia
menghantam dengan kedua tangannya lalu  susul  dengan  tendangan. Tapi orang yang
diserang lenyap dari hadapannya.
      "Gadis cantik! Aku di sini!  Mengapa menyerang tempat kosong?!"  ejek Randu.
Suaranya datang dari sebelah kanan. Cepat Lestari memukul ke arah ini.
       "Hai! Lagi-lagi kau menyerang tempat kosong. Aku ada  di sebelah  kirimu! " Kembali
suara  Randu Wongso terdengar dan sekali ini memang datang dari kiri.
     "Setan!" rutuk Lestari. Penasaran gadis ini menghantam ke kiri. Justru di saat itu satu
totokan tiba-tiba bersarang  di punggungnya. Lestari mengeluh pendek. Tubuhnya tak
bisa digerakkan lagi. Kaku  tegang  ditempatnya berdiri. Jalan suaranyapun tertutup!
     Randu  Wongso  melangkah ke hadapan  Lestari sambil  tertawa gelak-gelak.  Ronggo
Bogoseto pun tak kurang  gembiranya.  Dia  berputar-putar  mengelilingi Lestari. Ketika
berhenti di depan si gadis enak saja dia mencuil dagu Lestari dengan tangan kirinya.
     "Gadis  cantik! Akhirnya kau kami ringkus saja! Kalau  tadi-tadi kau  mau menurut
secara baik-baik tentu tak begini jadinya. Nah sekarang kau harus ikut aku ke Jember!
Aku  akan sediakan rumah bagus dan tempat tidur mewah untukmu!" Ronggo berpaling
pada Randu. 'Tolong naikkan dia ke bahu kiriku. "
     "Ronggo, tangan kananmu yang patah itu membuatmu sulit memanggul  nya meski di 
bahu kiri. Biar aku yang mendukungnya!"
     "Tidak  bisa!" sentak  Ronggo Bogoseto. Tentu saja pemuda  ini tak percaya pada
lelaki itu.
    "Kau tak usah cemburu padaku sobat Aku tahu kau ingin bersenang-senang dengan
gadis ini. Tapi kalau kau jadi tambah celaka sebelum sempat melakukannya
apa  enak? Candi  kediamanku lebih dekat dari  sini. Bagaimana kalau kita bawa ke sana
saja? Nanti baru kau pindah ke Jember. "

"Buset!  Gadis  secantik ini  hendak dibawa  ketempatmu yang kotor buruk itu  Jangan
ngaco Randu!" Gadis ini bukan  perempuan  sembarangan!  Jika  dia mau menuruti 
kemauanku  aku  akan  ambil dia jadi istri!' '
     ' WaIah! Jadi aku tidak akan kebagian?!  "
     ' Aku  tidak  suka mendengar ucapanmu itu.  Dia milikku  sendiri!  Kau boleh kembali 
ke Candi  dan meneruskan memuaskan nafsumu dengan gadis berkulit hitam manis itu!"
     ' Tapi aturan macam begitu  tak ada kita janjikan sebelumnya  sobatku! " ujar  Randu 
Wongso pula.
     "Sudahlah!  Kau jangan bicara  melantur terus. Nanti akan kutambahkan uang
untukmu! "kata Ronggo.  Lalu tanpa bantuan Randu  Wongso  pemuda ini panggul tubuh
Lestari di bahu kirinya.
     Baru  saja tubuh  Lestari melintang di bahunya tiba-tiba terdengar satu bentakan.
     "Pemuda keparat! Turunkan gadis itu! "

SEPULUH

RONGGO terkejut.  Rantu  tak kalah kagetnya. Seorang pemuda berpakaian putih-putih
dari balik semak-semak.  Di  belakangnya  mengikuti seeko kuda putih polos tinggi dan
kekar.
     "Hemm . . . Ronggo siapa manusia ini?" bertanya Randu Wongso  tanpa  melepaskan
pandangannya dari pemuda berkuda putih  itu.
     "Dia kunyuk yang mengaku sahabat gadisku ini. Hebat benar lagaknya.  Seperti gadis
ini miliknya. Ayo Randu. Menolongku jangan kepalang tanggung. Hajar dia sampai
mampus!"
   Randu Wongso seorang yang banyak pengalaman. Walau jelas pemuda  dihadapannya
itu tampak sederhana namun dari gerak-geriknya jelas dia membekal ilmu yang tidak
rendah.  Apalagi  suara bentakannya tadi begitu keras menggetarkan liang telinga.
Sebelumnya  diapun  telah mendengar cerita Ronggo bahwa pemuda ini memiliki ilmu
pedang yang jauh lebih tinggi dari yang dikuasai ayahnya. Padahal sang ayah bergelar
Raja Pedang Kotaraja!
     "Orang muda!" tegur Randu  Wongso. "Kulihat tampangmu  cukup  keren. Apa  tak
sayang kalau wajahmu yang  cakap  itu  menjadi cacat seumur hidup? Lebih baik  lekas
angkat  kaki  dari hadapan  kami!"
    Pemuda berkuda  putih alias  Panji Kenanga menyeringati.
     "Bagusnya kalian berdua berlutut minta ampun. Jika itu kalian lakukan aku bersedia
membatalkan niatku untuk menghajar kalian berdua!"
     Randu Wongso tertawa gelak-gelak.
     Tiba-tiba dia  hentikan tawanya dan  berkata.
"Baiklah! Baiklah orang muda. Jika itu maupun aku menurut saja. Aku akan berlutut di
depanmu. Lihat! "
     Kedua lutut Randu Wongso menekuk. Tubuhnya perlahan-lahan  turun ke bawah
seperti orang yang memang siap berlutut.  Namun sesaat sebelum kedua tempurung
lututnya menyentuh tanah, di dahului oleh bentakan yang  menggetarkan Seantero 
belantara, tubuhnya mencelat ke depan. Kaki kanannya kirimkan tendangan keras ke
dada Panji Kenanga!
      Murid mendiang brahmana  Lokapala itu untungnya telah bersiap sedia. Dengan
sigap dia berkelit ke samping. Tendangan lawan lewat. Randu susul dengan pukulan, 
juga  tidak berhasil. Sebagai balasan  Panji lepaskan  dua jotosan.  Satu menghantam ke
salah satu tempurung lutut, lainnya  ke  sambungan siku tangan kanan Randu Wongso.
       Serangan balasan itu  membuat Randu kaget tapi tak dapat membuatnya jadi kecut.
Kaki kirinya yang masih menginjak  tanah  digerakkan sedikit.  Gerakan kaki kirinya yang
masih menginjak tanah digerakkan sedikit Gerakan kaki  ini membuat tubuhnya miring
ke belakang dan meluncur ke bawah.  Sekaligus dia berhasil mengelakkan kedua
serangan  balasan Panji Kenanga.
     Si pemuda tahu  betul bahwa mengelak dengan cara  seperti  yang dilakukan  Randu 
Wongso  adalah sangat  berbahaya dan  hanya  bisa  dilakukan  oleh orang-orang yang
benar-benar berilmu tinggi. Kenyataan ini memberi bukti kepada Panji  Kenanga bahwa
Randu Wongso siapapuri adanya, adalah seorang yang berkepandaian tinggi serta
berbahaya!
    Karenanya begitu Randu  Wongso kembali menerjang ke arahnya pemuda ini segera
menyambut dengan pukulan mega putih.
     Sinar  putih  keabu-abuan melesat deras, bersiur menghantam ke  pertengahan  tubuh
Randu Wongso.

Yang diserang kaget bukan main. Dia sama sekali tidak menyangka kalau lawan yang
masih muda itu memiliki pukulan sakti begitu rupa. Betapapun  gesit dan cepatnya dia 
mengelak membuang diri ke samping kanan namun tak urung bahu  kirinya kena juga
disambar oleh sinar pukulan lawan. Masih untung kenanya tidak begitu tepat. Inipun
sudah cukup membuat Randu Wongso kesakitan setengah  mati. Bahu kirinya terasa
seperti remuk sampai ke dalam.
     Tampang Randu  Wongso kelam  membesi menahan sakit dan juga oleh amarah yang
menggelegak. Sebagai jago  kelas satu  tak pernah  dia mengalami hal seperti ini
sebelumnya. Dihantam lawan hanya dalam beberapa jurus!
      'Pemuda bangsat! Apa yang kau lakukan terhadapku  harus  kau bayar dengan 
nyawa  anjingmu! " menyumpah  Randu Wongso. Tangan kanannya dipentang di depan
dada. Bibirnya  bergetar. Mulutnya berkomat-kamit dan sepasang matanya memandang
kedepan tak berkedip. Panji Kenanga kemudian melihat bagaimana tangan kanan lelaki
itu  mulai  dari ujung jari sampai ke  siku  berubah menjadi hitam, makin
hitam dan gelap legam.
    "Pukulan  mengandung racun jahat! "kata  Panji dalam hati dan  bersiap waspada. 
Tiga perempat tenaga dalamnya  segera  dialirkan ke tangan kanan. Dia menunggu tak
berkedip.
    Randu Wongso berteriak garang. Tangan kanannya dipukulkan  ke arah Panji.
    Murid Brahmana Lokapala itu  sertamerta angkat pula tangan kanannya dan
menghantam sambuti pukulan lawan!
    Dari tangan kanan Randu  Wongso menyembur menggulung sinar hitam yang
menyebarkan bau amat busuk.  Dari tangan  Panji  Kenanga membersit  sinar putih
kelabu yang segera menghantam dan menyapu sinar hitam pukulan lawan. Randu
Wongso yang sadar kalau lawan memiliki tenaga dalam ampuh yang dapat
menghancurkan sinar hitamnya.segera gerakkan tangan kanan membentuk setengah
lingkaran. Sinar hitamnya yang  hampir musnah dihantam sinar mega putih .Panji
Kenanga menyusup ke bawah dan lolos dari hantaman pukulan lawan. Begitu lolos
Randu Wongso secepatnya kembali menghantam dengan tangan kanan. Tangan
kirinya  juga  ikut dipukulkan,  mendorong pukulan tangan  kanan hingga kekuatannya
jadi berlipat ganda. Serangan ini sama sekali tidak  terduga oleh Panji Kenanga!
       Sinar hitam lawan menghantam dada dan menerjang mukanya. Aneh, tak  terasa 
apa-apa seolah-olah sinar pukulan itu hanya merupakan sapuan angin belaka. Namun
begitu rongga hidung Panji Kenanga mencium bau busuk, yang terkandung dalam sinar,
mendadak sontak sekujur tubuhnya seperti kaku, tak dapat  lagi digerakkan. Bukan itu 
saja, nafasnyapun menyesak. Akhirnya tubuhnya roboh terguling di tanah!
       'Celaka!  Tamatlah riwayatku!"  keluh  Panji  Kenanga. Di dalam  pemandangannya 
yang menjadi kabur dilihatnya Ronggo Bogoseto sambil memanggul tubuh Lestari
melangkah kehadapannya.
      Pemuda ini tertawa mengejek.
      "Bangsat!  Hanya sampai disitu  kehebatanmu!  Masih untung aku tak mau
membunuhmu saat ini! Tapi belum  puas  hatiku sebelum melakukan sesuatu
terhadapmu!"
      Ronggo gerakkan kaki kanannya. Tendangannya menghantam muka Panji. Murid
brahmana Lokapala ini merasakan kepalanya seperti meledak. Tubuhnya mencelat
mental dan dia tak ingat apa-apa lagi.
     "Rasakan olehmu!" kata Ronggo Bogoseto seraya  meludahi muka Panji Kenanga.
Ketika dia hendak melangkah pergi Randu Wongso coba membujuknya kembali.
     ' Bawa saja gadis itu ke candiku."
     "Tadi aku sudah bilang, gadis ini milikku.  Kau tak  bisa mengaturku Randu!"

Ronggo melangkah pergi. Saat itulah dilihatnya kuda putih milik Panji  Kenanga. Dari
pada capai-capai jalan kaki atau berlari ke Jember sambil memanggul tubuh  Lestari,
bukanlah lebih baik memanfaatkan binatang itu. Segera Ronggo mendekati kuda ini dan
siap naik ke punggungnya. Namun baru saja dia  mendekat, kuda putih itu tiba-tiba
menghentakkan kaki belakangnya dan tepat mengenai pinggul Ronggo hingga pemuda
ini terpekik  kesakitan. Tubuhnya melintir dan jatuh bersama Lestari yang dipanggulnya.
Kuda putih itu sendiri meringkik keras lalu lari.
     "Binatang  keparat!" maki  Ronggo  sementara Randu Wongso tertawa membabak
dan melangkah ke arah Lestari untuk menolong gadis itu.
     "Randu! Awas! Jangan sentuh gadis itu. Bukan dia tapi aku yang harus kau tolong
dulu!" teriak Ronggo Bogoseto ketika dilihatnya Randu Wongso hendak memegang
lengan Lestari.
       Mendengar ucapan  Ronggo itu terpaksa Randu membatalkan niatnya menolong
Lestari. Kini dia membantu Ronggo berdiri.
       "Nasibmu amat sial hari ini, Ronggo. Kudapun berani menyerangmu!"
       "Tutup mulutmu!" tukas Ronggo kesal. Tangan kanannya yang patah terasa sakit.
Untung saja balutan kain dan kayu penopang lengan itu cukup kuat, kalau tidak patahan
tulang yang berusaha disambungkan itu akan terbuka kembali. Dengan susah payah dia
mengangkat  tubuh Lestari, lalu berlutut dan menaikkan kembali gadis itu ke bahu
kirinya.
        "Aku akan ikut kau ke Jember!" Randu Wongo mengambil keputusan.
     "Aku tak butuh kau lagi Randu. Kau boleh kembali ke candimu dan meneruskan
pekerjaanmu menggeluti tubuh perempuan hitam manis itu!" kata Ronggo yang tak
senang akan maksud Randu mengikutinya.
     "Sobatku! Apa kau lupa janji yang kau ucapkan? Kau  akan memberi tambahan uang
karena aku telah bantu meringkus gadis itu . . . ' '
     Mendengar kata-kata  Randu  itu  Ronggo jadi jengkel. 'Tahumu  hanya uang dan 
perempuan . . . "
     "Eh, apakah  ada hal  lain yang diperlukan manusia di dunia ini selain uang dan
perempuan . . .  ?" ujar Randu pula.
     Ronggo tak  menjawab.  Dia  juga  tak  melarang ketika dilihatnya Randu berlari
mengikutinya.

SEBELAS

D I   LERENG  bukit  itu terdengar  suara siulan  membawa lagu tak menentu. Suara
siulan ini akan aneh terasa jika ada orang lain mendengarkan. Bukan saja karena lagu
serta irama yang disiulkannya tidak menentu, tetapi suara siulan itu sendiri demikian
kencangnya hingga mengalahkan deru angin yang bertiup dari barat ke timur.
      Yang bersiul adalah seorang pemuda berpakaian putih dan agak lusuh. Dia
mengenakan  ikat kepala putih dan saat itu sambil bersiul dia berlari cepat menuju
puncak bukit.
      Sampai di puncak  bukit dia hentikan  lari, berdiri  sambil memandang  berkeliling.
Rambutnya yang gondrong menjela bahu melambai-lambai ditiup angin.
      "Sialan.'  Tak satu bangunanpun kulihat!' 'pemuda ini memaki pada dirinya sendiri.
"Di mana sebenarnya letak candi laknat itu . . .  ?"
      Pemuda  ini  menyelidik ke ujung puncak bukit sebelah timur. Dengan penasaran
sambil garuk-garuk kepala dia kemudian lari ke bagian barat. Tetap  saja tak  satu
bangunanpun yang tampak dari tempat  itu. Dia  lantas berpikir-pikir. Apakah sebaiknya
dia menuruni bukit  itu dan langsung menuju Jember. Mungkin di situ dia bisa
mendapatkan keterangan tentang letak candi tua tempat kediaman Randu Wongso, 
seorang tokoh silat jahat dan mesum yang sudah lama dicarinya.
       "Tapi kalau sampai di Jember, jauh-jauh aku tak bisa  mendapatkan secuil
keterangan pun,  berarti  aku  harus kembali ke sini!" Pemuda ini kembali  garuk-garuk
kepalanya. "Padahal keterangan  yang kudapat candi  itu terletak di  bukit sialan ini! 
Bagusnya  aku menyelidik dulu
      Keputusan yang  diambilnya ternyata tidak  sia-sia.  Setelah  menyelidik hampir
sepenanakan nasi, candi yang dicarinya  itu akhirnya ditemuinya di lereng bukit sebelah
timur, terletak di balik lindungan pohon-pohon besar.
      Pemuda  ini tidak segera  memasuki  candi. Dia memutari bangunan tua  itu beberapa
kali  sambil memasang mata dan  telinga. Tak ada  terdengar  suara apa-apa, juga
takkelihatan  tanda-tanda ada orang di dalam sana.
     "Jangan-jangan bangsat itu  tak ada di sini," menduga si pemuda dalam hati. Setelah
mengelilingi candi itu sekali lagi,  dia melangkah ke bagian depan candi dan langsung
masuk ke dalam bangunan tua ini.
     Sepi. Tapi di sudut candi sebelah sana dilihatnya sebuah lampu minyak menyala,
hampir padam karena minyaknya tinggal sedikit.
      Lampu itu . . . " desis si pemuda. Baginya ini berarti si penghuni candi tua tersebut tak
ada di situ. Pergi  tanpa mematikan  lampu.  Dan  perginya  pasti sudah lama. Paling tidak
sejak malam tadi.
    "Sialan!  Aku  tunggu saja di  luar. Kalau sampai sore dia tak muncul baru aku ke
Jember. . . "
     Ketika hendak  melangkah meninggalkan bangunan  itu tiba-tiba telinganya
menangkap suara  seperti tarikan nafas.  Suara ini datang dari balik tumpukan
balok-balok kayu. Sekali lompat saja dia sudah berada di  atas tumpukan balok itu.
Memandang ke bawah berubahlah paras pemuda ini.
     Di sana, di atas lantai candi yang beralaskan tikar jerami butut terbaring sosok tubuh
perempuan muda tanpa  pakaian.  Kedua matanya terpejam,  tubuhnya tak bergerak,
dadanya turun  naik  sedang wajahnya membayangkan seperti menahan rasa sakit yang
amat sangat. Sebagai seorang lelaki pemandangan itu mau tak mau membuat  darahnya
jadi panas juga.  Apalagi perempuan itu memiliki tubuh yang sekal dengan sepasang
payu dara yang besar kencang. Pada kedua payudara itu tampak tanda-tanda merah
seperti bekas gigitan. Walaupun terangsang namun  rasa kasihan lebih mempengaruhi

hati si pemuda. Dia  turun dari atas balon kayu,  melangkah  ke sudut ruangan. Di sini
dilihatnya gulungan pakaian perempuan.  Diambilnya pakaian itu lalu ditutupkannya ke
tubuh yang terbaring itu.
      Merasakan ada  sesuatu diletakkan di atas auratnya,  perempuan itu buka kedua
matanya. Mata itu kuyu sekali. Tiba-tiba membesar sesaat,  seperti ketakutan, lalu kuyu
kembali.                  i
      "Jangan  takut.  Aku tak akan menyakitimu. Aku ingin menolong . . .  " berkata si
pemuda.
       “Ha  .. . haus  . .  . Aku . . .  minum . . . "  lapat lapat terdengar suara keluar dari sela
bibir perempuan muda itu.
     ' Air, di mana akan kudapat air di tempat ini. . .  ?" Pemuda itu memandang berkeliling.
Dilihatnya sebuah kendi. Diambilnya dan diguncangnya. Terdengar suara air di dalam
kendi itu. Segera pemuda ini berlutut dan menempelkan bibir  kendi ke  bibir perempuan
itu. Setelah  minum  beberapa  teguk dengan susah  payah wajahnya tampak agak
segaran.  Pemuda itu menunggu beberapa ketika lalu berkata.
     "Kalau  kau bisa  bicara, katakan  apa yang terjadi..."
     "Kau . . .  kau . . .  siapa ?"
      'Namaku Wiro Sableng. Kau tak usah takut. . . "
     ' Kalau bukannya  orang jahat? Atau kawan lelaki yang memperkosaku tadi malam? ”
     "Siapa yang memperkosamu . . .  ?"
     "Ada dua orang. . . "
     "Ya, dua orang. Siapa  mereka?"
     "Aku tidak kenal. Aku tidak ingat. . . "
     "Kau  harus  ingat. Kalau tidak bagaimana aku bisa menolongmu. . . "
     "Kepalaku sakit. Sekujur badanku sakit . . . "
Perempuan itu meraba wajahnya, lalu meraba dada dan badannya. Kemudian dia mulai
terisak menangis.
     Si  pemuda yakni  murid Eyang Sinto Gendong menggigit bibir den garuk-garuk
kepala.
     "Kau mau minum lagi?" tanyanya kemudian.
     Yang ditanya  mengangguk.  Wiro  memberinya beberapa teguk lagi air kendi yang
sejuk itu.           .
     "Siapa namamu . . . "
     "Warsih. . . "
     Dari  balik  pakaiannya Wiro keluarkan sebutir obat. Obat ini  diminumkannya pada
perempuan itu. Lalu  katanya:  "Warsih,  kau  harus  bisa mengingat siapa mereka itu.
Paling tidak keduanya satu sama lain tentu saling memanggil nama . . . "
     "Sulit sekali mengingatnya. Mereka.... Tunggu . . . Kudengar yang datang belakangan
itu menyebut satu nama. Randu . . .  ya Randu . . . "
     "Bagus, kau ingat kini Warsih. Lalu siapa nama yang satu lagi?
     Perempuan itu  pejamkan mata  mengingat-ingat.
     "Ronggo  . . . "  katanya kemudian sambil membuka mata.”
     "Di mana kedua orang itu sekarang ...T'
      "Pergi..."
      "Kau tahu pergi ke mana . . ?" tanya Wiro lagi. "Dan kapan mereka pergi. . . "
      "Tadi malam. Ke mana mereka pergi aku  tidak tahu..."
      "Orang yang bernama Randu itu yang membawamu ke tempat ini?"
      "Ya . . .  Aku diculiknya dari desa . . . "

"Di mana desamu?"
      "Paritwangi."
      "Aku  akan tolong kau kembali ke desa itu."
     "Tidak, aku tak mau kembali. Memalukan kembali ke rumah. Semua orang desa akan
tahu apa yang terjadi. Aku ingin mati saja. Lebih baik mati!"
     "Jangan berpikiran  pendek begitu.  Yang  mati kalau bisa ingin hidup . . . "
     "Tapi hidup dengan menanggung malu besar begini siapa  sudi. Apalagi  kalau
sempat aku hamil . . . " Perempuan itu kembali menangis.
     "Dengar Warsih.  Kau harus hidup. Paling tidak untuk  melihat atau mengetahui bahwa
manusia bernama Randu serta kawannya yang bernama Ronggo itu telah menerima
pembalasan atas dosa-dosanya . . . " kata Wiro pula.
     "Pembalasan  . . . Siapa yang akan membalaskan kejahatan terkutuk mereka? Sejak
dulu pejabat-pejabat kadipaten tak ada yang turun tangan. Manusia bernama Randu itu
pasti  telah sering melakukan perbuatan keji ini!"                         '
     "Aku sudah bilang, aku akan menolongmu. Aku memang sudah lama mencari
manusia bernama Randu itu..."
    "Kalau begitu kau temannya . . . "   .
    "Bukan. Justru  aku mau menghajarnya.  Kini menyaksikan penderitaanmu aku
bersumpah untuk menghajar manusia itu sampai mati . . .  Sekarang, kalau kau sudah
cukup kuat berdirilah. Kenakan pakaian mu kembali. Kita sama-sama ke Paritwangi."
    Wiro  lalu tinggalkan tempat  itu  untuk memberi kesempatan pada Warsih berpakaian.
     Tetapi baru  saja dia  berada di balik tumpukanbalok, mendadak didengarnya satu suara 
benturan,disusul oleh suara jatuhnya sesosok tubuh ke lantai.
Pendekar 212  melompat  ke balik tumpukan balok.Namun terlambat. Di lantai dilihatnya tubuh
Warsih— masih belum berpakaian  — terkapar dengan kepala rengkah bedarah. Perempuan
malang ini memutuskan lebih baik mati dari pada hidup menanggung aib. Dia telah
membenturkan  kepalanya sendiri ke dinding candi!                                         v
      Wiro tertegun beberapa saat. Mayat Warsih ditutupnya dengan tikar jerami. Tak ada
kesempatan baginya untuk  mengurusi jenazah itu. Cepat-cepat pendekar ini tinggalkan candi.

DUA BELAS

PENDEKAR  212 Wiro Sableng tak dapat memastikan  berapa jauh dia telah
meninggalkan candi  kediaman Randu Wongso ketika  tiba-tiba dia mendengar suara
ringkikan kuda. Wiro segera lari ke jurusan datangnya suara binatang ini.
     Di tepi sebuah telaga berair jernih tampak seekor kuda putih polos tegak tak bisa diam
dan meringkik terus menerus. Di bagian lain dari telaga kelihatan bekas perapian.
     Murid eyang  Sinto  Gendeng  ini berpikir-pikir. Sebetulnya dia merasa pasti pernah
melihat kuda  putih itu. Tapi di mana dan kuda milik siapa? Tiba-tiba pendekar  ini tepuk
keningnya.  Dia ingat. Binatang  itu adalah milik Panji Kenanga, murid brahmana
Lokapala dari gunung  Raung.  Bersama pemuda  itu dulu  dia menghancurkan  Istana
Darah. Kalau dia  tidak  salah ingat, kuda ini bernama Angin Salju.
     Jika Angin  Salju ada di situ pasti Panji Kenanga juga ada di tempat itu. Sambil
memandang berkeliling Wiro melangkah mendekati Angin Salju. Binatang ini
masih terus meringkik. Ketika didekati dia merundukkan kepala dan men g geser-
geserkan lehernya yang berbulu tebal ke bahu Pendekar 212.
     "Tenang sobat.  Kau tampak gelisah. Mana tuanmu?"  kata  Wiro sambil mengelus-
elus  leher Angin Salju.
     Binatang itu memutar-mutarkan ekornya. Kedua kakinya diangkat tinggi-tinggi dan
kembali dia meringkik.  Wiro menyelidik lagi berkeliling. Tak ada tanda-tanda adanya
Panji Kenangan di situ. Ini satu hal yang mengherankan.
     Tingkah laku Angin Salju membawa firasat yang tidak enak bagi pendekar itu. Dia
memandang ke tengah telaga. Apakah Panji tenggelam?
  .   "Sesuatu  telah terjadi  dengan  majikan binatang ini," pikir Wiro.
     Tiba-tiba Angin  Salju meringkik keras. Lalu berputar dan lari meninggalkan telaga.
Wiro Sableng segera mengikuti binatang ini. Kuda putih itu  lari masuk ke dalam hutan.
Makin dalam  dan makin jauh. Di satu tempat  dia  jatuhkan diri, melosoh  ke tanah.  Tepat
dekat sesosok tubuh yang menggeletak tak bergerak.
     Sekali  lompat saja Wiro sudah berada dekat sosok tubuh itu. Ketika ditelitinya
terkejutlah pemuda ini.
     "Panji  Kenanga!" desisnya. Didukungnya pemuda itu dan dipindahkannya ke tempat
yang lebih baik.
     Muka  Panji Kenanga penuh oleh darah yang hampir mengering.  Darah itu tampaknya
mengucur  keluar dari hidung. Salah  satu pipinya bengkak  membiru. Mungkin bekas
pukulan  keras. Dari sela bibir membuih cairan hitam, Wiro mendekatkan hidungnya ke
cairan itu. Ada bau aneh. Dirabanya tubuh Panji Kenanga.  Terasa tegang. Tapi bukan
tegang karena totokan.
      "Dia  keracunan . . . "  ujar Wiro memastikan. Apa yang terjadi? Wiro meneliti
keadaan sekitar tempat itu. Jelas terlihat tanda-tanda perkelahian. Setahunya  Panji
Kenanga memiliki ilmu  silat dan kesaktian tinggi. Jika dia dapat dikalahkan dan berada
dalam keadaan  seperti ini pasti lawannya jauh lebih hebat. Bukan mustahil dia
dikeroyok.
     Wiro pegang  per gel angan tangan  kiri Panji Kenanga.  Masih ada denyutan walaupun
sangat perlahan. Dengan pengetahuan ilmu pengobatan yang dimilikinya murid Sinto
Gendeng itu segera menotok tubuh Panji Kenanga di beberapa bagian. Adapun racun
yang menyerap dalam tubuh pemuda  itu harus cepat-cepat dikeluarkan. Jika sampai
terlambat nyawanya tak akan tertolong lagi.

Dengan  sehelai  daun keladi hutan Wiro menampung  air telaga. Air ini dicampurnya 
dengan sejenis bubuk obat yang selalu dibawanya di balik pakaian. Setelah diaduk,
cairan obat itu sedikit demi sedikit dituangkannya ke mulut Panji  Kenanga. Sesudah
menunggu  beberapa  saat Wiro lantas  keluarkan Kapak Naga Gen i 212. Mata kapak
ditempelkannya pada kedua ujung telapak kaki Panji Kenanga.
   Sambil mengalirkan tenaga dalamnya Wiro mengusapi tubuh Panji dengan mata
kapak. Mulai dari kaki, betis, paha, keperut, ke dada, lalu tenggorokan. Ketika mata kapak
menyentuh mulut, dari mulut Panji Kenanga  mengalir cairan hitam  banyak  sekali.  Wiro
menekan  perut dan dada pemuda ini. Cairan hitam makin banyak keluar. Wiro baru
berhenti menekan setelah tak ada lagi cairan hitam yang keluar.
     Tak  lama kemudian  kelihatan kepala Panji Kenanga bergerak.  Kedua  matanya 
terbuka,  tampak kuyu. Lama dia memandang ke langit, ke arah cabang-cabang pohon
dan dedaunan yang rapat.  Kemudian matanya beralih memandang Wiro.
      "Di  . . .  dimana aku .  . . Sakitnya kepala ini . . .Kau ... . kau siapa?" kata-kata itu
meluncur dari mulut Panji Kenanga.
      "Aku  sobat  lamamu. Panji. Aku Wiro Sableng," menyahuti  murid Sinto Gendeng.
      Panji  Kenanga menatap Pendekar 212 lama sekali.
Sesaat setelah pandangannya   mulai jelas dan jalan pikirannya menjadi jernih, perlahan-
lahan pemuda itu anggukkan kepala dan kedipkan matanya.
       "Ya . . . aku ingat kau. Apa yang terjadi dengan diriku .  . . ?" Panji meraba mukanya
lalu memperhatikan tangannya. "Darah . . . "   desisnya kemudian.  Dia  mencoba bangkit.
Tetapi terbaring kembali. Tubuhnya terasa lemas seolah-olah tidak bertulang.
       "Tenang dan berbaring sajalah . . . "  kata Wiro Sableng. "Kau telah melewati saat-
saat gawat . . . "
       "Bagaimana kau bisa muncul dr sini. Apakah . . apakah  aku akan menemui ajal
seandainya  kau tidak datang? Kau pasti menolongku . . . "
     "Soal  nyawa adalah urusan Tuhan. Hanya manusia tidak boleh terima nasib begitu
saja. Harus berusaha. Aku tengah mencari sarang  mesum manusia dajal bernama
Randu Wongso. Candinya kudapati dalam keadaan kosong. . . "
     "Ah! Kita berurusan dengan  manusia yang sama. . . "  ujar Panji Kenanga. Kini
dikumpulkannya seluruh tenaganya.  Dengan susah payah  dia mencoba bangun.  Wiro 
membantu  dan  menyandarkannya  kebatang pohon kelapa  pendek.  "Wiro .    . kau
tahu.
Manusia dajal bernama Randu Wongso itu ikut membantu Ronggo Bogoseto menculik
Lestari. . . "
     Terkejutlah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dadanya bergetar. Lestari!  Dara  yang suka
berbaju merah itu, yang dulu  pernah diselamatkannya dan kini ternyata diculik orang!
Hampir dua tahun dia tidak pernah bertemu dengan dara jelita itu.
     Dalam kehidupannya Wiro telah menemui  banyak sekali gadis-gadis cantik. Namun
entah mengapa dara yang satu ini  begitu menarik perhatiannya, tak pernah bisa pupus 
dari ingatannya. Berkali-kali timbul hasrat dalam hatinya untuk menyambangi Lestari di 
tempat kediaman gurunya, tetapi hal itu tak pernah dilakukannya  karena merasa malu.
Gila!  Biasanya dia selalu bersikap berani terhadap setiap gadis atau perempuan yang
ditemuinya. Hanya pada yang satu ini dia seperti merasa  takut. Bukan, bukan takut tetapi
mati kutu! Rasanya dia melakukan apa saja yang dikatakan gadis itu! Tak dapat
dipungkirinya bahwa dia telah terpikat pada Lestari. Diam-diam ada rasa kawatir dalam
dirinya akan kehilangan gadis itu.
     Dan  kini didengarnya dari Panji Kenanga gadis itu diculik oleh seseorang, dibantu
oleh Randu Wongso, tokoh  silat yang terkenal sebagai tokoh cabul  bejat. Lestari berada
dalam keadaan bahaya. Jika dia sampai diapa-apakan hancurlah masa depannya..
     "Siapa Ronggo Bogoseto itu?" tanya Wiro.

"Seorang pemuda brengsek, putera  bekas perwira tinggi kerajaan yang tinggal di
Jember . . .  "Dia memiliki jlmu pedang yang tinggi tetapi tidak punya dasar ilmu silat
yang dapat diandalkan . . . "
     "Kau  tahu  ke  mana kira-kira  Lestari dilarikan?"
     "Tak dapat kupastikan. Mungkin ke Jember atau candi tua di sebuah lereng bukit. . . "     
"Aku sudah menyelidik ke candi itu. Kosong . . . " Wiro tidak menceritakan pertemuannya
dengan  Warsih yang malang.
     "Kalau  begitu pasti  Lestari dibawa ke Jember. Tidak  sulit  mencari rumah bekas 
perwira  tinggi itu. Semua orang di Jember pasti  tahu  letak rumahnya."
     "Kalau begitu aku  harus  ke  sana  saat ini juga. Hanya, bagaimana dengan kau . . .  ?"
     "Tak usah  pikirkan diriku!" ujar Panji Kenanga.
      "Yang penting selamatkan gadis itu dari bencana. Demi Tuhan aku  harus berterus
terang padamu Wiro. Aku mencintai Lestari. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan dirinya.
Tolong selamatkan dia. Jasamu tak akan ku lupakan dunia akhirat!"
       "Aku mencintai Lestari!"
       "Tiga  rangkai kata itu mengiang lama di  kedua telinga Wiro Sableng. Dadanya terasa
menyesak. Jika Panji Kenanga mencintai Lestari,  apakah Lestari juga mencintai pemuda
ini?
      "Katamu kau mencintai Lestari, Panji?" Wiro bertanya ingin menegaskan.
      " Y a . . . "                   1
      "Apakah Lestari juga mencintaimu?" tanya Wiro lagi.
      "Aku  tidak tahu. Tak pernah hal  itu  dikatakannya. Tapi aku yakin dia juga
menyayangiku. Aku bisa melihat dari gerak-geriknya . . . "
      Wiro merasa dadanya makin sesak. Dia terduduk disamping Panji. Untuk  sesaat  tak
bisa berkata apa-apa.  "Pemuda ini tidak tahu kalau akupun  mencintai gadis itu."
     "Wiro, tolong.  Selamatkan  Lestari,"  terdengar suara Panji Kenanga. "Jika terjadi apa-
apa dengan diri-nya, rasanya  tak ada gunanya lagi aku hidup di dunia ini..."
     "Sahabatku  Panji Kenanga  . . . "  sahut Wiro. Suaranya kali  ini agak  bergetar
karena menahan gejolak dalam dadanya.  "Kau benar-benar mencintai gadis  itu.
Maksudku dengan cinta murni, dengan setulus jiwa ragamu . . .  ?"
     "Demi dia aku  rela menyerahkan jiwa ragaku, Wiro. Aku  bersumpah  jika memang itu
baru dapat membuatmu percaya. . . "
     Perlahan-lahan  Wiro  berdiri.   Lututnya terasa goyah.  Tak terpikir lagi olehnya saat itu
bagaimana Panji Kenanga dan Lestari bertemu di tempat itu. Tak  tertanyakan  lagi 
bagaimana  Panji dan Lestari sampai bentrokan dengan Randu Wongso dan pemuda
bernama Ronggo Bogoseto itu.
      "Pergilah Wiro. Kau harus bertindak cepat!" kata Panji Kenanga yang tak dapat
membaca apa sebenarnya terjadi dalam diri pemuda yang tegak seperti linglung di
hadapannya itu.
      "Baik! Tentu Panji! Aku segera pergi. Semoga aku tidak  terlambat. Kau terpaksa
kutinggalkan di sini. Hati-hatilah . . . "
      Semua kata-kata itu  diucapkan Wiro dengan peraaan bergalau.
      Dia  ingin menyelamatkan Lestari. Bukan  karena permintaan yang disampaikan Panji
Kenanga.  Tetapi karena diapun ingin melihat gadis itu selamat.  Karena diapun
mencintai Lestari.  Tetapi Panji Kenangapun mencintai gadis itu. Bagaimana kalau
kemudian diapun mengetahui bahwa Lestari mencintai Panji? Akan sanggupkah dia
menghadapi kenyataan itu?!
        Jika dia mengikuti bisikan setan yang mulai merasuk  hatinya, maulah dia saat itu 
mencelakakan Panji Kenanga. Mungkin  juga membunuhnya. Namun sebagai seorang

pendekar berjiwa besar pantaskah  hal itu dilakukannya? Kalaupun dia  berhasil 
mendapatkan Lestari  lalu kemudian mengetahui  bahwa gadis itu tidak  mencintainya,
apakah jadinya kelak kehidupan mereka?
    "Wiro!  Kau melamun!" seru Panji Kenanga yang sudah tidak sabaran.
    "Ti... tidak! Aku segera pergi Panji!" sahut Wiro. Lalu  segera  ditinggalkannya  tempat
itu, lari secepat yang bisa dilakukannya menuju Jember.

TIGA BELAS

SEPERTI  yang dikatakan Panji  Kenanga  memang tidak sukar bagi Wiro Sableng  untuk
mencari gedung  kedi akan Ronggo Bogoseto. Sekali  bertanya saja dengan mudah dia
menemukan gedung itu, terletak tak berapa jauh dari pusat keramaian kota.  Bagian
depan rumah  besar yang berhalaman luas  ini dibatasi dengan  pagar besi berwarna
hitam.
     Seluruh  halaman ditumbuhi rumput dan  aneka ragam  bunga. Di sebelah tengah
terlihat sebuah  kolam dengan hiasan patung perempuan setengah  telanjang memegang
dua ekor burung merpati.
     Di samping bangunan  besar megah itu terdapat sebuah gedung  kecil beratap  merah.
Tepat di  depan gedung besar  behenti dua  buah kereta. Suasana di tempat itu tampak
sunyi-sunyi saja.  Lewat   pintu halaman  yang tidak dikunci Wiro  Sableng masuk ke
dalam. Ketika dia sampai di  dekat dua buah kereta, muncullah seorang lelaki tua.
     "Bapak, siapakah raden Ronggo ada di rumah?" tanya Wiro.
     "Anak muda, kau siapakah . . .'?" tanya orangtua itu.  Nada suaranya  tidak 
menunjukkan  kecurigaan.
      "Saya sahabat raden  Ronggo," sahut Wiro berdusta.
      "Ah, kalau begitu kau pergilah ke gedung kecil sebelah  sana.  Itu tempat  kediaman
raden Ronggo."
      Wiro tersenyum  lalu  malangkah tanpa terburu-buru agar tidak  menimbulkan 
kecurigaan. Seperti di rumah  besar, gedung kecil inipun  tampak sunyi. Dia tegak
meneliti sesaat. Terkadang kesunyian bisa menipu seseorang. Matanya yang tajam
melihat pintu depan gedung kecil itu tidak  dikunci, hanya  ditutupkan dan itupun tidak
rapat. Lewat celah pintu, ketika Wiro mendekat dia melihat seorang  lelaki bertubuh tinggi
kurus melangkah mundar  mandir di ruangan depan. Sikapnya jelas menunjukkan
ketidak sabaran.  Dan ternyata orang ini memiliki pendengaran tajam.
     Begitu Wiro  sampai di  langkan gedung, dia memburu ke pintu dan keluar seraya
membentak.
     "Siapa kau?!"
     Melihat  pada pakaian yang terbuat  dari jenis murahan, air muka yang kusam serta
sikap yang kasar Wiro segera menduga orang ini bukan penghuni gedung itu, jadi  bukan
Ronggo Bogoseto. Tampaknya diapun bukan penjaga atau pengawal gedung. Tetapi
mengapa sikapnya begini galak. Atau apakah ini ayah  Ronggo yang berjuluk Raja
Pedang Kotaraja itu? Tak bisa jadi. Wiro segera mengatur siasat.
     Murid Sinto Gendeng itu cepat menjura lalu ber- kata:  "Aku ingin  bertemu  dengan
Ronggo Bogoseto
    "Hmm, Katakan dulu siapa kau!'  '
    "Aku sahabat lamanya. . . "
    "Dia tak ada di rumah. Sedang keluar!' '
    Wiro garuk kepalanya.  "Lelaki tua di luar sana bilang Ronggo ada di sini. Aku datang
dari jauh. Ada urusan penting. Tolong beritakan padanya.'  '
    'Tidak mungkin .  . .  " kata lelaki tinggi kurus yang bukan lain adalah Randu Wongso.
    "Kalau kedatanganku tidak diberitahu, aku kawatir dia nanti akan marah, ini
menyangkut urusan yang benar-benar penting," ujar Wiro.
     ' Justru Ronggo  saat ini sedang ada urusan. Tak bisa diganggu oleh siapapun!"
     "Kalau begitu  biarlah aku menunggu sampai urusannya selesai," kata Wiro pula. Lalu
seperti  tak acuh enak  saja  dia  hendak  menyelinap masuk ke dalam gedung.

"Eit!  Orang  muda! Jangan bertindak  lancang seenakmu!" bentak Randu Wongso.
     "Lancang'bagaimana?" tanya Wiro lagi-lagi  sambil garuk kepala.
     "Meski kau mengaku kawan Ronggo Bogoseto, tapi kalau mau  menunggu  bukan di
sini tempatnya. Di sana, di luar pagar halaman! "
      "Ah, di luar  sana panas sekali. Bagaimana kalau aku menunggu di langkan sini
saja?!"
      "Kurang ajar! Kau berani membantah perintahku .Mau  kupuntir kepalamu . ?!"ancam
Randu
     "Jangan! Jangan sobat. Jangan galak begitu . . . " Wiro pura-pura ketakutan.
     Randu Wongso menyeringai.
     "Kalau tak ingin kupuntir kepalamu lekas pergi!"
     "Baik, tapi dengan siapakah sebenarnya aku yang bodoh ini berhadapan?"
     Yang ditanya tertawa lebar dan menjawab sambil berkacak pinggang.
     "Apa  kau tak pernah mendengar nama Randu Wongso? Tokoh  silat kelas satu yang
ditakuti di delapan penjuru Jawa Timur?!"
     "Ah!  Inilah dia keparat yang kucari-cari!" kata Wiro  dalam hati.  Tubuhnya  bergetar. 
Jika  diturutkannya hawa amarah yang merangsak dirinya saat itu maulah dia menghajar
Randu Wongso detik itu juga. Namun tujuan utamanya datang ke situ adalah untuk
menyelamatkan Lestari. Dan kini dia yakin gadis itu pasti berada di gedung kecil itu,
berada dalam sekapan Ronggo Bogoseto di bawah pengawalan si keparat ini!
     "Aduh! Tak kusangka hari ini aku dapat berhadapan  dengan  tokoh yang sangat
terkenal  ini. Harap maafkan kalau aku tadi berlaku kurang hormat," kata Wiro lalu
menjura sampai beberapa kali. Padahal dalam hati dia menyumpah setengah mati!
     "Nah, kalau sudah tahu siapa aku, lekas minggat. Tunggu di luar pagar sana!"
     "Baik  . .  . baik . . .  ," kata Wiro. Sekali lagi dia menjura. Tetapi  gerakannya kali  ini
bukan  gerakan menghormat sembarangan. Sambil merunduk tangan kanannya 
menyusup ke depan dengan dua jari terpentang lurus.
     Randu  Wongso tak sempat  keluarkan  seruan. Urat  besar dipangkal lehernya
sebelah kanan  telah ditotok pemuda yang mengaku sahabat Ronggo Bogoseto itu.
Kontan detik itu juga Randu Wongso tak dapat bergerak lagi, juga tak bisa bersuara.
Kedua matanya membeliak. Seumur hidupnya baru  hari itu dia bisa dibokong  orang
secara berhadap-hadapan. Seribu caci maki kutuk serapah menggeru-geru  dalam dada
lelaki ini.
     Sambil tersenyum dan  tepuk-tepuk pipi Randu Wongso, Pendekar 212 Wiro Sableng
berkata.
     "Monyet  jangkung, sebetulnya  ingin  sekali aku mematahkan  lehermu  saat  ini. 
Kejahatanmu sudah lewat takaran.  Kebejatanmu  sudah  selangit tembus. Tapi  biar
kuberikan kesempatan  beberapa saat  lagi bagimu untuk bernafas. . . "
     Dengan ujung  jari  tangan kanannya yang dialiri tenaga dalam tinggi  serta hawa amat
panas, Wiro menggurat tiga buah  angka di kening Randu Wongso: 212. Lelaki  ini
merasa seperti ditoreh dengan besi panas. Kalau saja dia tidak ditotok  saat itu pastilah
dia akan mengeluarkan jerit kesakitan luar biasa. Dalam hatinya dia bersumpah: 
'Pemuda haram jadah! Kelak kau bakal kucincang. Lalu  kubakar!"
      "Randu!  Sekarang kaulah yang harus menunggu di luar pagar sana!"
      Habis berkata begitu enak saja Wiro jambak rambut Randu Wongso dan seret lelaki
itu ke luar pagar.
      'Tubuhmu  bau!  Pakaianmu  kumal!  Kau  lebih layak berada di sini! "ujar Wiro lalu
hempaskan Randu Wongso ke tepi jalan yang panas dan berdebu. Kemudian dia  segera
masuk ke dalam gedung kecil  kembali. Setelah  melewati  ruangan depan dan  ruangan

tengah yang penuh dengan berbagai macam  perabotan  dan lemari  pajangan,  Wiro 
sampai di sebuah ruangan di mana berderet beberapa kamar dengan  pintu dalam
keadaan tertutup. Di dalam kamar yang mana Lestari disekap?  Dia  melangkah
perlahan-iahan,  memasang telinga serta mata. Di hadapan pintu ke empat deretan
sebelah  kiri pendekar ini hentikan langkah. Dari balik pintu jelas terdengar  suara  berisik.
Wiro tempelkan telinganya ke daun pintu. Setelah merasa pasti maka sekali tendang 
pintu yang terbuat dari kayu jati itu hancur berantakan. Secepat kilat Wiro melompat
masuk ke dalam kamar.
     Apa yang diperkirakannya tidak meleset.
     Di  atas  sebuah  tempat  tidur besar  bekelambu biru muda berseperai putih  serta
penuh keharuman tampak  seorang pemuda bermuka pucat yang tangan kanannya
dibalut, dan  hanya mengenakan  celana dalam tengah menggeluti sesosok tubuh
perempuan yang  saat  itu  berada  dalam keadaan tak  berdaya dan tidak mengenakan
pakaian atau penutup apapun.
    "Manusia keparat  haram jadah!" teriak  Wiro Sableng menggelegar. Dia menerjang ke
atas tempat tidur.
    "Wiro!" jerit Lestari. Namun jeritan itu tependam di tenggorokannya karena sampai
saat itu tubuhnya masih tertotok, membuat dia tak bisa bergerak ataupun bersuara.
     Sejak  hancurnya pintu kamar kaget Ronggo bukan kepalang. Apalagi  ketika  melihat
seseorang  melompat ke  atas tempat tidur. Tapi karena merasa berada di rumah sendiri
ditambah di luar sana ada Randu Wongso maka dengan marah pemuda ini membentak.
     ' Bangsat! Maling atau pencuri kau?!"
     "Aku  memang maling  yang  hendak  mencuri nyawamu!" teriak Wiro.
     Kaki kanannya menyambar ke depan,  tepat pada saat Ronggo mencoba berdiri.
Pahanya tepat dihantam tendangan.  Terdengar  suara  krak!   Dibarengi  jerit kesakitan
dan mentalnya tubuh pemuda bermuka pucat itu!
     Seperti diketahui  Ronggo Bogoseto meski memiliki ilmu  pedang yang tangguh
namun tidak mempunyai dasar ilmu  silat yang bisa diandalkan. Apalagi saat itu dia
diselimuti rasa terkejut hingga sama sekali tak mampu membuat gerakan mengelak. Dia
terbanting ke lantai.  Ketakutan setengah mati dia menggulingkan diri ke pintu kamar
sambil berteriak.
      "Randu! Randu! Tolong . . .  !" Tak ada jawaban,
     Ronggo Bogoseto  berdiri  dengan susah payah. Baru saja dia setengah
membungkuk, satu cengkeraman mencengkam  lehernya dari belakang. Cekikan  itu
makin keras, makin keras. Ronggo Bogoseto tak dapat bernafas. Matanya  mendelik,
lidahnya menjulur dan ludah membuih keluar dari mulutnya.
     Tiba-tiba dengan sekuat tenaga Wiro hantamkan muka pemuda itu ke dinding kamar.
     Prak!
     Darah muncrat.
     Muka  Ronggo  Bogoseto remuk. Batok kepalanya rengkah. Nyawanya lepas sebelum
tubuhnya mencium lantai.
     Wiro tutup  tubuh  Lestari  dengan seperai lalu lepaskan totokan di tubuh gadis itu. Dia 
kemudian menghindar  ke  pintu seraya membelakangi dan berkata: "Lekas cari dan 
kenakanan pakaianmu.  Kita harus segera pergi dari sini!"
     Lestari  menemukan  pakaian merahnya di ujung kaki tempat tidur dan segera
mengenakannya.
     "Bagaimana kau tahu aku  ada di sini Wiro?" tanya Lestari.
Ingin sekali dia menjatuhkan tubuhnya ke dada pemuda itu, memeluk bahkan
menciumnya sebagai pernyataan terima  kasih karena telah menyelamatkan diri dan  kehormatannya. Namun  sekejap bayangan wajah Panji Kenanga muncul. Maksud si
gadis tertahan.
     "Nanti saja kuterangkan. Kita harus pergi. Mari!" sahut Wiro lalu mendahului menuju
keluar.
     Di luar pagar di tepi jalan tampak beberapa orang mengerumuni Randu Wongso yang
terkapar di tanah.
     'Orang ini gagu dan lumpuh!" seseorang berkata.
     Lelaki disampingnya menyahuti: "Kurasa dia bukan lumpuh. Tapi ditotok. Kalau tak
salah dia kawannya Ronggo . . . "
     "Kalau begitu  beri tahu pada  pemuda itu apa yang terjadi!" kata yang lain.
     Baru saja mereka ramai-ramai bicara begitu sesosok bayangan putih dan merah
berkelebat. Empat orang terpelanting. Ada yang berseru kaget. Ketika memandang ke
depan mereka lihat sosok tubuh Randu Wongso  telah  dibawa lari  oleh seorang lelaki
berpakaian putih. Di belakangnya mengikuti seorang perempuan berpakaian merah.

EMPAT BELAS

WIRO  SABLENG membawa  Randu Wongso ke candi tua tempat kediamannya di
mana sosok tubuh Warsih  masih  terkapar tak bernyawa akibat bunuh diri karena tak
sanggup hidup  menanggung malu setelah diperkosa  oleh  manusia bejat itu.
     "Wiro, aku ingin membunuh keparat ini sekarang juga! Ketika  melarikanku  ke
Jember, sepanjang perjalanan dia berlaku kurang ajar! "berkata Lestari begitu Wiro
melemparkan tubuh  Randu  Wongso ke  lantai candi.
     "Sabar Lestari.  Jangan berikan kematian terlalu enak padanya.  Kita  harus mengatur
kematian paling bagus hingga  dia benar-benar merasakan pembalasan atas segala
dosa-dosanya. Kau  tunggu  dulu di  sini."
     "Kau mau ke mana?"
     Wiro menerangkan pertemuannya dengan  Panji Kenanga.
     "Aku  akan bawa  pemuda itu  kemari. Kau bisa merawat luka-lukanya . . . "
     Sesaat Wiro melihat wajah Lestari tiba-tiba menjadi merah. Namun dia pura-pura tidak
tahu malah berkata: "Dia mencintaimu Lestari. Kurasa kau juga sudah tahu. Kau harus
merawatnya  baik-baik hingga cepat sembuh. . . "
     "Wiro, ada sesuatu yang perlu kujelaskan. Yaitu mengapa aku mengadakah perjalanan
ini. . . "
     "Itu  bisa kau terangkan jika Panji sudah ada di sini nanti. Dia sudah terlalu lama
kutinggalkan. Aku kawatir keadaannya akan lebih parah kalau tidak lekas
ditolong."
     Lestari  hendak bertanya lagi. Tapi Wiro  sudah berkelebat pergi.-"Heran, bagaimana
dia tahu kalau Panji mencintaiku . . . ?" membatin Lestari. "Apakah dia sudah tahu kalau
antara aku dan dia ada  ikatan jodoh . . . ? Ah bagaimana jadinya ini . . . "  Gadis itu
geleng-gelengkan kepalanya.  Kemudian pandangannya membentur sosok tubuh Randu
Wongso. Rahang  Lestari menggembung.  Dia melangkah besar-besar dan duk!
Tendangannya menghantam muka  Randu  Wongso hingga terpental ke dinding.
Hidungnya remuk mengucurkan darah. Tiga buah giginya tanggal dan bibirnya
pecah.
     Jika diikutinya  dendam kesumat sakit hatinya mau Lestari menggorok leher Randu
Wongso saat itu. Namun sebelum dia  sempat menjadi kesetanan Wiro Sableng telah
muncul kembali mendukung tubuh Panji Kenanga. Meski menanggung sakit dan masih
berceiomotan darah di bagian mukanya namun melihat Lestari tak kurang suatu apa
pemuda itu tampak lega. Sambil duduk bersandar ke dinding dia coba tersenyum dan
berkata:  "Syukur kau selamat Lestari. Kau . . .   maksudku kita, harus berterima kasih
pada Wiro . . . "
      Lestari tak menjawab. Jika saja saat itu tak ada Wiro  di situ mungkin dia telah
melompat untuk merangkul tubuh Panji  Kenanga dan merawat lukanya.
     "Kau ingin menyelesaikan urusan dengan Randu Rongso?" Wiro bertanya.
     "Dia harus mampus di tanganku!" jawab Lestari. Wiro melangkah. Dia menggeledah
pakaian Randu Wongso. Di situ dia menemui beberapa buah kantong kain berisi uang
dan juga sebatang suling perak. Wiro menimang-nimang  benda itu  lalu 
menyerahkannya pada Lestari. Ini adalah kali kedua pemuda itu mengembalikan senjata
itu  kepada si gadis.  Pertama sewaktu peristiwa penghancuran Istana Darah.
     Setelah menyerahkan suling perak itu Wiro kemudian lepaskan totokan di tubuh
Randu Wongso.

Begitu totokannya lepas, tubuh Randu Wongso tiba-tiba laksana seekor harimau
mencelat dan mengirimkan serangan berupa tendangan maut ke selangkangan Wiro
Sableng!
     Pendekar kita memang  sudah menduga hal itu. Karenanya dia bersikap penuh 
waspada  dan ketika Randu  Wongso membuat gerakan yang  mengawali serangan Wiro
sudah lebih dulu menyingkir. Tendangan lelaki itu mengenai tempat kosong.
    Marah dan penasaran serangan mautnya gagal, Randu Wongso kini berpaling pada
Lestari.
     'Satu di  antara kalian layak mampus lebih dahulu" geram Randu Wongso. Mulutnya
komat-kamit. Tangan kanannya mendadak berubah menjadi hitam.  Melihat hal  ini Wiro
cepat melompat ke hadapan Randu Wongso, sekaligus membelakangi Lestari.
     "Wiro,  awas!" memperingatkan  gadis itu. "Dia hendak melepaskan pukulan
berbahaya! "
     "Tak usah kawatir," jawab Wiro. "Manusia dajal! ini akan menemui kematian di sarang 
mesumnya ini!"
     "Kau yang mampus lebih dulu! "teriak  Randu Wongso lalu pukulkan tangan
kanannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
     Sinar hitam menyambar dahsyat.
     Wiro cepat tutup  jalan pernafasannya. Serentak dengan  itu  tangan kannya 
menghantam ke  depan. Ruangan candi menjadi terang benderang oleh sinar putih
menyilaukan yang keluar dari telapak tangan murid eyang Sinto Gelung itu.
     "Pukulan  sinar matahari!"  seru Randu Wongso kaget sekali. Cepat-cepat dia
susupkan pukulan sinar hitamnya ke bawah hingga  sinar itu kini berbuntal-buntal 
seperti  gurita  yang  hendak  merobek-robek tubuh Wiro.
     Sebelumnya  Wiro  sudah mendengar kehebatan ilmu Randu Wongso ini. Karenanya
dia  harus menghadapi tidak  kepalang tanggung. Dengan tangan kiri Wiro lepaskan
pukulan pemagar diri sekaligus merupakan  serangan  ganas  yakni  pukulan  dewa
topan menggusur gunung!
       Kembali Randu Wongso keluarkan seruan tegang. Cepat dia kerahkan tenaga 
dalam. Namun tak urung tubuhnya mental ke luar candi terseret hawa pukulan yang
dilepaskan Wiro.
       Dengan dada  berdenyut keras Randu  Wongso sesaat tegak untuk mengatur jalan
darahnya.
      "Jadi kau adalah muridnya nenek busuk Sinto Gendeng  itu hah!"  ujar Randu
Wongso. Sret!  Dia cabut sebilah golok yang terbuat dari  kuningan dan mengandung
racun jahat sekali.
      Mendengar nama gurunya disebut  secara kurang ajar  marahlah Wiro.  Entah  kapan
dia bergerak tahu-tahu  Randu Wongso  telah  menerima  dua pukulan. Satu  mendarat  di
dadanya,  satu lagi di ulu hatinya. Lelaki mesum  ini keluarkan  suara seperti mau
muntah.  Yang menyembur dari  mulutnya  adalah darah kental. Tidak perduIikan
keadaan dirinya yang terluka parah di  sebelah dalam Randu Wongso membabat ganas
ke arah Wiro. Golok besarnya bersiuran. Namun dia hanya  mampu membuat dua kali
gerakan  pulang balik. Di kali yang ketiga terdengar suara krak! Tulang lengan kanannya
patah disambar tepi telapak tangan kiri  Wiro.  Golok  kuningannya mental,  langsung 
disambar Wiro. Senjata ini dilemparkannya ke arah Lestari  seraya  berkata:  "Lestari, 
selesaikan  urusanmu dengan manusia terkutuk itu! "
     Lestari yang tahu apa maksud ucapan Wiro segera menangkap hulu golok, lalu
secepat kilat melompat ke arah Randu  Wongso. Golok di tangan  kanannya
menyambar ke arah leher lelaki itu.
     Cras!

Lestari  terpekik sendiri ketika menyaksikan hasil tabasannya.  Kepala Randu Wongso
menggelinding dilantai candi. Darah muncrat dari lehernya yang kutung. Tubuhnya
terjungkal jatuh.  Bergerak-gerak beberapa ama lalu diam tak berkutik lagi.
    MALAM itu udara dingin sekali. Untuk menolak hawa yang membuat tubuh menggigil
ini Wiro menyalakan  api unggun.  Saat itu mereka berada di sebuah mata air kecil, di kaki
sebuah bukit yang penuh ditumbuhi pohon jati.
     Sebenarnya ingin sekali Lestari menuturkan persoalan yang tengah dihadapinya
kepada Wiro. Namun dia terpaksa menunggu sampai Panji Kenanga tertidur.
Lewat tengah  malam setelah  pemuda itu kelihatan memejamkan  mata.  Lestari lalu 
duduk  mendekati Wiro dan menceritakan tentang hilangnya tusuk kundai perak.
     "Tusuk kundai itu, bukan hiasan rambut biasa. Tapi sebuah senjata mustika. 
Diberikan oleh gurumu pada guruku beberapa tahun yang silam . . . "
      Wiro kaget mendengar keterangan ini. Setelah merenung sejenak diapun
menanggapi: "Kalau tak salah, gurumu dulu  pernah bilang bahwa dia adalah saudara
angkat guruku.  Eyang tidak akan memberikan tusuk kundai  itu pada sembarang orang.
Pasti ada tujuan tertentu . . . "
      Lestari terdiam sejenak. "Harus kukatakan sekarang," dia membatin mengambil
keputusan.
      "Mungkin kau masih belum tahu Wiro."
      "Belum tahu apa?" bertanya Wiro.
      "Tusuk kundai itu diberikan gurumu pada guruku sebagai tanda ikatan jodoh kita
. . . "
     Wiro  Sableng sampai terbangkit dari duduknya mendengar ucapan Lestari yang tidak
disangka-sangka ini.
     "Kau tidak bergurau Lestari?"
     Sang dara menggeleng.  "Karena itulah guru sangat marah terhadapku. Dan aku
sudah bertekad tak akan  kembali  ke tempat guru  sebelum  menemukan kembali tusuk
kundai itu . . . "
     Perlahan-lahan Wiro duduk kembali di depan api unggun.  Lama dia termenung. 
"Ikatan jodoh  itu memang tak pernah kuketahui. Mereka menghubungkan kita secara
diam-diam. . . "
    Wiro memandangi wajah Lestari. Yang dipandang menunduk  lalu berpaling ke jurusan 
lain. Justru pandangannya   membentur  Panji Kenanga yang tengah tertidur.  Pada
dasarnya Lestari  lebih tertarik  pada Panji  Kenanga yang wajahnya memang lebih
tampan dari pada Wiro. Namun mengingat dia telah dijodohkan dengan Wiro, apalagi
mengingat Wiro baru saja menyelamatkannya dari perbuatan terkutuk  Ronggo
Bogoseto maka terpaksa dengan berat hati dipupuskannya segenap rasa terhadap Panji 
Kenanga.  Kini dicobanya untuk menggantikan tempat Panji dengan Wiro.
     Sebaliknya  setelah  mengetahui  Panji  Kenanga mencintai Lesdari  dan dari  gerak-
gerik si gadis, Wiro meyakini bahwa Lestari lebih menyukai Panji Kenanga dari dirinya,
maka betapapun  dia  menyayangi gadis ini  dia harus melupakan perasaan itu. Dan ini
merupakan satu hal yang berat. Seolah-olah dia tengah menghancurkan dirinya sendiri!
     "Kalau Lestari bisa lebih berbahagia dengan Panji, kenapa aku harus berkeras kepala .
. . ," pikir Wiro coba  menghibur  diri.  "Itu  mungkin  lebih  baik  bagi mereka.  Tapi 
urusan jodoh  yang diikatkan oleh  para guru?  Ah,  inilah akibat kalau  pihak-pihak 
berkepentingan tidak diberi tahu lebih dulu!"
     Setelah berpikir dalam-dalam dan setenang mungkin akhirnya Wiro berkata. "Lestari,
soal ikatan jodoh kita sebaiknya  kita tunda  dulu untuk dibicarakan. Yang penting sekarang adalah mencari tusuk kundai itu. Kita bertiga harus mencari seorang kenalan
lamaku. Aku  tak tahu  namanya,  dia  berjuluk  si Segala Tahu.  Siapa tahu dia  bisa
memberi keterangan siapa pencuri benda pusaka itu dan di mana bisa ditemukan . . . "
     "Orang  saktikah  dia  atau  tukang ramal  atau dukun . . .  ?" tanya Lestari.
     "Tak  dapat kupastikan.  Tapi  dia  punya semacam kepandaian  aneh yang dapat 
melihat  kejadian di  masa silam  serta apa yang bakal terjadi  di  masa mendatang.  Nah, 
malam  sudah larut.  Kau  tidurlah . . . "
     Baik  Wiro maupun  Lestari tak  satupun  dari mereka  yang  mengetahui  kalau 
sementara mereka bicara tadi sesungguhnya Panji Kenanga hanya pura-pura tidur.
Segala apa yang dibicarakan  kedua orang itu  didengar jelas oleh Panji Kenanga. Betapa
remuk hati pemuda ini  sewaktu  mengetahui bahwa gadis yang dikasihinya itu ternyata
telah dijodohkan dengan Wiro Sableng.  Dia  mengeluh,   meratap  dalam  hati. Ingin
sekali dia mati saat itu juga!
     "SEBAIKNYA kalian segera saja berangkat tanpa menunggu kesembuhanku  . . . "
kata Panji  Kenanga keesokan harinya.
     ' Kau akan segera sembuh Panji. Kita berangkat sama-sama," jawab Wiro.
     "Aku hanya kawatir kalau-kalau tusuk kundai itu semakin jauh dilarikan pencuri," ujar
Panji Kenanga. Empat hari kemudian kesehatan Panji Kenanga telah pulih  kembali.
Apalagi Wiro membantunya dengan  beberapa jenis  obat dan aliran  tenaga dalam.
Sebenarnya  sejak  dia tahu hubungan jodoh  antara Lestari dan  Wiro,  pemuda ini  tak
ada lagi semangat untuk meneruskan perjalanan bersama-sama. Namun untuk pergi
begitu  saja  dirasakannya kurang  enak. Pada  hari ke  lima mereka memulai  perjalanan.
Panji menolak  keras  ketika  disuruh menunggangi  Angin Salju.  Dia lebih suka
Lestarilah  yang menaiki kuda itu.  Karena  Lestari  juga  menolak akhirnya terpaksa Panji 
naik ke punggung kudanya.
     Sesuai  rencana  mereka bergerak ke sekitar kaki gunung Lamongan. Menurut
perkiraan di situ kemungkinan bisa  menemui Si Segala Tahu.  Karena sering-sering
berhenti,  hampir seminggu kemudian baru mereka sampai di tujuan.

LIMA BELAS

DI SEBELAH timur gunung Lamongan terdapat sebuah bukit kapur yang dari jauh
kelihatan memutih.  Wiro,  Lestari  dan  Panji Kenanga segera menuju ke bukit kapur ini.
Hawa sekitar bukit terasa panas.  Tiba-tiba Wiro memberi isyarat agar berhenti. Dia
menunjuk  ke puncak bukit kapur.  Di atas sana seseorang berjalan terbungkuk-bungkuk. 
Di tangan kirinya ada sebuah tongkat. Dia mengenakan topi lebar dan melenggang
seenaknya menuju ujung bukit  sebelah timur. Sesekali  terdengar  suara
berkerontangan.
     "Itu dia! Pasti dia!" seru  Wiro girang. Ketiga orang  ini serta merta menuju puncak 
bukit  sebelah timur. Meskipun orang di atas bukit melangkah bungkuk seenaknya,
namun cukup memakan waktu  lama baru mereka berhasil mengejarnya.
     "Bapak  segaia Tahu!  Tunggu!  Berhenti dulu!" teriak Wiro.  Dia  sengaja
mengerahkan tenaga dalam agar suaranya dapat didengar.  Namun orang yang berjalan 
terus saja melangkah sambil kerontangan kaleng buruk berisi batu kerikil di tangan
kirinya. Terpaksa Wiro  dan Lestari  mempercepat  lari  sementara  Panji Kenanga
membedal Angin Salju.
     Sebelumnya Wiro telah pernah bertemu dengan Si  Segala Tahu  dan tak heran
melihat perangai orang tua ini.  Orang berjuluk Si Segala Tahu ini berpakaian compang
camping dan memakai topi lebar. Di kempitnya sebelah  kanan ada sebuah buntalan.
Tampak dia memindahkan  tongkat dari tangan kanan  ke tangan kiri.  Kaleng butut  kini
berada  di tangan kanannya dan terus menerus d ikerontang-kerontangkannya. Kedua
matanya buta. Tapi di manapun dia berada, tongkatnya menjadi sepasang mata hingga
dia tak pernah nyasar ataupun terperosok.
     "Bapak Segala Tahu! Tunggu! "seru Wiro kembali.
     "Panas-panas begini siapa yang memanggil  aku? Beraninya mengganggu aku  yang
tengah menikmati pemandangan  indah di puncak  bukit!" Hebat juga orang tua ini 
menggerutu. Menikmati  pemandangan katanya padahal kedua matanya buta!
     Wiro sampai di hadapan si orang tua. Lestari dan Panji Kenanga berada di
sampingnya.
     "Bapak  Segala  Tahu, harap manfaatkan kalau aku dan  kawan-kawan  mengganggu
tamasyamu. Kami betul-betul membutuhkan pertolongan.  Ada satu persoalan penting 
yang harus kami tanyakan.  Kuharap kau bisa menolong."
     "Aih, panas-panas begini kau membicarakan soal penting.  Soal apakah .  . . ? Hai
tunggu dulu! Kalau tak salah ingat,  delapan  belas bulan  lalu kita pernah bertemu.
Kupingku  hafal  suaramu!" berkata Si Segala  Tahu.
       "Betul  sekali!  Kau belum lupa!" jawab Wiro.
       "Waktu itu aku ramalkan kau bakal dapat banyak susah. Terutama karena sifatmu
yang mata keranjang, tidak  boleh  melihat jidat  licin, tak boleh melihat perempuan cantik
. . .  Betul?!"
      Wiro Sableng tertawa. Tapi mukanya merah.
      Si Segala Tahu kerontangkan kalengnya.
      "Nah, saat ini apakah kau mau mendengar ramalan baru tentang dirimu?"
      "Tentu saja!" sahut Wiro Sableng.
      "Ulurkan tangan kirimu!"
      Wiro lantas ulurkan telapak tangan  kirinya.  Si Segala Tahu  kerontangkan  kalengnya 
lalu meraba-raba telapak tangan pemuda itu.

"Ah, nyatanya nasibmu kali ini pun masih malang, orang muda!"
     "Malang bagaimana?" Wiro kepingin tahu.
     "Kau tengah menghadapi persoalan pribadi yang pelik! "Si Segala  Tahu kembali
kerontangkan kalengnya.
     'Tersoalan pribadi  apa  maksudmu pak?"  tanya Wiro berdebar.
     "Aih, kau jangan berpura-pura anak muda. Kukatakan saja blak-blakan! Persoalan
pribadi menyangkut ihwal asmara!" -
     Berubahlah paras Pendekar 212. Dia tak berani memandang ke arah Lestari ataupun
Panji Kenanga. Si Segala Tahu melanjutkan.
     "Kau mencintai seorang gadis. Tapi gadis rtu menyukai orang lain. Lalu kau bertekad
memperlihatkan pribadi dan jiwa besarmu yang luhur. Mengundurkan diri  demi
kebahagiaan  orang  yang kau kasihi itu. Betul...?!"
     Wiro  garuk-garuk  kepala. Apa yang dikatakan orang tua itu  betul. Tapi mana berani
dia membenarkan.
      "Entahlah  pak  tua. Aku  tak begitu  mengarti persoalan yang kau katakan itu!"
      Si Segala Tahu tertawa.
      "Kau pandai menyembunyikan rahasia hatimu orang muda. Aku menghormati
manusia-manusia berjiwa besar sepertimu! Rela berkorban untuk kebahagiaan  orang
lain. Nah, sekerang katakan kau hendak tanyakan apa padaku!"
      Wiro lalu menuturkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai perak sebagaimana yang
didengarnya dari  Lestari sementara Panji Kenanga sudah turun dari punggung Angin
Salju.
      "Karena gadis murid  si Pemusnah Iblis itu ada di  sini sebaiknya biar dia saja yang
menceritakan sekali lagi, biar jelas," kata Si Segala Tahu sambil kerontang-kerontangkan
kaleng bututnya. "Tapi sebelumnya apakah kau  mau kuramalkan  nasib perjalanan
hidupmu? Kau boleh  percaya boleh tidak pada apa yang nanti akan kukatakan."
     "Terima kasih bapak segala tahu," jawab Lestari menolak secara halus. Dia kawatir
ramalan orang tua itu akan membuka rahasia pribadinya di hadapan dua pemuda itu.
"Lebih penting kalau aku dapat menerangkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai."
     "Baik, baik . . . Sekarang terangkan kisah lenyapnya benda itu termasuk perjalananmu
sampai kemari. Jangan satu hal pun kau lupakan."
     Lestari lalu memberi keterangan. Baru  setengah bagian  mengenai  perjalanannya
dituturkan Si Segala Tahu memotong dengan kerontangkan kalengnya.
     "Cukup. Sekarang coba keluarkan  carikan kain hijau  yang  kau  temukan dekat mayat 
busuk  pada petang hari pertama kau meninggalkan danau Jembangan."
     Lestari keluarkan secaraik  kain  hijau dari balik pakaiannya dan menyerahkannya
pada Si  Segala Tahu.
    Sambil meremas-remas  robekan kain hijau itu dengan  tangan kirinya orang tua ini
mendongak ke langit dan  goyangkan kalengnya tiada  henti.  Lama sekali, setelah
mukanya keringatan baru dia hentikan kerontangan kalengnya dan  berpaling pada 
Lestari.
    "Kalian bertiga dengarlah baik-baik. Tusuk  kundai itu pada mulanya memang dicuri
oleh seorang yang punya kelihayan mencuri. Katakanlah raja paling  tingkat tinggi, Mayat
yang ditemukan oleh gadis ini itulah mayat si raja maling. Jika aku tidak salah  hanya ada
satu  raja maling  di rimba persilatan  masa ini yakni manusia  bernama Singgar Manik.
Mengapa dia jadi mayat? Bukan mati  karena sakit. Dia dibunuh orang. Singgar Manik
bukan  seorang berkepandaian rendah. Aku merasa pasti dia dihadang oleh lebih dari
satu orang yang juga menginginkan tusuk kundai itu. Terjadi perkelahian. Singgar Manik
jadi korban. Tusuk kundai dirampas oleh pencuri-pencuri baru . . . "
     'Apakah  kau tahu  siapa orang-orang itu . . . ?" tanya Lestari penuh harapan.

"Siapa mereka  itu? Hemm . . .  Karena kejadian ini  di  wilayah timur, ditambah bukti
cabikan kain hijau, berat dugaanku tusuk  kundai itu kini berada
di tangan dua bersaudara Nyoka Gandring dan Nyoka Putubayan!"
     "Siapa mereka ini?" tanya Wiro.
     'Dua saudara kembar. Keduanya brahmana sesat. Mereka   berseragam pakaian  hijau, 
Bermuka seperti ular. Karena itu mereka diberi julukan Sepasang Kobra Dewata!  Selain 
berilmu  tinggi  juga diketahui  gemar mengumpulkan senjata  atau  benda-benda
mustika!"
     "Terima  kasih. K eter angan mu  sangat,  berguna. Tanpa petunjukmu  tak  mungkin
kami bisa menemukan kembali kedua senjata itu," ujar Wiro. Lestari pun mengucapkan 
terima kasih berulang kali.
     "Bapak Segala Tahu, berapa kami harus membayarmu?1 tiba-tiba Lestari bertanya.
      Si  orang tua tertawa mengekeh. "Pertanyaanmu lucu sekali anak gadis. Selucu
tindakanmu menghadapi kenyataan yang  menyangkut dirimu  akhir-akhir  ini. Kau tak
perlu menanyakan soal bayaran. Jika Sepasang Kobra Dewata dapat kaliat tamatkan
riwayatnya maka itu adalah lebih dari bayaran. Manusia-manusia seperti mereka harus
dilenyapkan agar dunia yang indah permai ini menjadi tenang tenteram . . . "
     "Budi baik dan pertolonganmu tak akan kulupakan," kata Lestari lalu menjura dalam-
dalam.
     Si Segala Tahu angkat bahu, kerontangkan kalengnya lalu tinggalkan tempat itu.
Kelihatannya dia cuma melangkah biasa.  Namun sesaat kemudian dia sudah berada
jauh di ujung bukit.
      Astaga!  Kita tidak  menanyakan di mana harus mencari Sepasang Kobra Dewata!"
seru Panji Kenanga.
     "Tak usah kawatir.  Aku tahu di mana sarang mereka. Kita harus segera  berangkat ke 
Banyuwangi! jawab Wiro Sableng.

ENAM BELAS

DUA BELAS hari mengadakan perjalanan baru ketiga orang muda itu sampai ke
Banyuwangi, kota paling ujung di timur pulau Jawa. Saat itu  Banyuwangi  tengah
menyambut dengan upacara besar-besaran  kedatangan  Adipati  Surabaya  yang
berkunjung untuk meresmikan pengangkatan Adipati pembantu  di  Banyuwangi. 
Adipati Surabaya datang dengan sebuah kapal layar. Karenanya suasana di pelabuhan
Banyuwangi ramai bukan main.
     Di   antara  keramaian  itu  menyelinaplah  Wiro, Lestari dan Panji Kenanga.  Menurut
keterangan yang mereka  peroleh  dari beberapa orang di tengah jalan, Sepasang Kobra
Dewata berada di  sebuah rumah makan  di tengah  pantai. Rupanya kedua orang ini
bermaksud menyambut kedatangan Adipati Surabaya. Mungkin bukan  sekedar
menyambut, tapi sambil mencari mangsa kalau-kalau ada benda berharga yang bisa
disikat.
      Meskipun rumah  makan itu ramai sekali namun tiga  muda mudi yang masuk segera 
dapat mengenali dua  orang yang mereka cari.  Dua  lelaki berkepala botak, bermuka
angker dan mengenakan pakaian hijau duduk  di sebuah meja yang agak terpisah di
tengah ruangan besar. Agaknya para pengunjung yang lain merasa segan atau mungkin
takut duduk dekat-dekat meja mereka.
   *  Nyoka Gandring  dan Nyoka  Putubayan  serta merta  melayangkan pandangannya
pada  dara berbaju merah yang barusan masuk bersama dua pemuda.
     Nyoka Putubayan menyentuh lutut kakaknya seraya berkata perlahan. "Heh, lihat,
gadis cantik berbaju merah itu seperti sengaja menuju ke arah  kita. Kau kenal dia?"
     'Eh, betul. Siapa  bidadari ini adanya? Aku bisa setengah mati  tergila-gila padanya!"
sahut  Nyonya Gandring.
     Begitu sampai di hadapan kedua orang itu  Wiro segera  menegur. "Apakah kami 
berhadapan dengan Sepasang Kobra Dewata?"
     Baik  Nyonya  Gandring maupun Putubayan saat itu  hanya memandang ke pada
Lestari. Tanpa mengalihkan pandangannya  Putubayan bertanya:  "Kalian siapa?"
     Seenaknya Nyoka  Gandring menimpali. "Apa kalian datang untuk mengantar gadis
jelita  ini?"
     Wiro tertawa lebar. "Betul, dara jelita ini memang untuk kalian. Tapi ada syaratnya
. . . "
     "Ah, katakan cepat syaratnya!"  ujar Nyoka Gandring pula.
     "Mudah saja!" yang menyahut Panji Kenanga. "Serahkan dulu tusuk kundai perak
yang kau curi dari tempat Si Pemusnah Iblis di danau Jembangan . . . !"
     "Ah!" Sepasang Kobra Dewata sama-sama terkejut. Nyonya Gandring berkata: "Aku
tidak begitu suka membicarakan persoalan itu. Aku lebih  suka kalian pergi dari sini tapi
tinggalkan si cantik ini!"
     "Kawan-kawan ... . " kata Wiro sambil memandang pada Lestari dan Panji  Kenanga
dan  kedipkan matanya. "Agaknya terpaksa kita  harus meninggalkan gadis ini pada dua
manusia botak  ini. Tapi bagaimana kalau kita minta tebusan nyawa mereka?!"
     "Setuju!" jawab Lestari dan Panji Kenanga. Sang dara segera keluarkan suling perak
yang menjadi senjatanya. Melihat benda  ini Nyoka Putubayan menyeringai. "Hari ini
rejeki kita besar sekali. Dapat gadis cantik dan tambahan senjata baru . . .  !"
     "Manusia ular jelek . . . Kalian hanya ada satu pilihan!"  membentak Wiro. "Tusuk
kundai  itu atau nyawa kalian!"

"Bangsat kurang ajar!" teriak Nyoka Putubayan jadi  marah. Tanpa berdiri dari
kursinya dia pukulkan tangan kanannya ke depan. Seguluhg angin  menerpa dahsyat.
Tiga muda-mudi itu cepat menyingkir. Namun seorang  tamu yang  duduk jauh di
belakang mereka menjadi korban. Tubuhnya mencelat dengan kepala kelihatan
membiru!
     "Kalian  memang  minta racun!" teriak  murid Sinto Gendeng lalu  sekali  bergerak dia
balikkan meja besar  di hadapan  kedua  brahmana sesat  itu.  Serta merta kacaulah
rumah  makan  besar itu. Perkelahian tiga lawan dua terjadi. Lestari tak mau mundur
walau Wiro dan Panji memperingati. Wiro menghadapi Nyoka Gandring sedang Panji dan
Lestari  melayani Nyoka Putubayan.
      Orang ramai yang ada di pelabuhan begitu mengetahui perkelahian di rumah makan
itu serta merta datang  berlarian  untuk menyaksikan dan  melupakan penyambutan
terhadap Adipati Surabaya. Mereka hanya berani menonton dari jauh karena takut akan
terkena pukulan-pukulan maut yang saling dilepaskan.
      Semula  Sepasang  Kobra  Dewata  menganggap remeh  tiga muda mudi itu. Dua
jurus paling banyak mereka pasti akan merobohkan  Wiro  serta Panji dan melumpuhkan 
Lestari. Namun dua saudara kembar ini  jadi terkejut  ketika setelah tujuh  jurus tak  satu
serangan  merekapun  yang  berhasil. Malah  tekanan lawan mulai dirasakan dan ini 
membuat keduanya jadi penasaran.
     Nyoka Putubayan keluarkan jurus-jurus simpanannya lebih dulu. Didahului bentakan
keras dia  menyerbu  dengan jurus kobra sakti mengamuk. Sejak jurus ke delapan itu
hamburan  serangannya membuat gerakan Lestari dan Panji  Kenanga seperti
terbendung.
     Di  lain  pihak Nyoka  Gandring yang berkelahi menghadapi Wiro  Sableng yang mulai
terdesak hebat juga sejak  tadi-tadi sudah keluarkan jurus-jurus silat andalannya.
Beberapa kali  dia melepaskan pukulan saktinya  yang menebar sinar beracun. Namun
Wiro yang sudah  mendapat  peringatan dari Panji Kenanga berlaku waspada hingga tak
satu serangan lawanpun mampu mencelakainya. Melirik  ke  kiri  Nyoka Gandring melihat
adiknya mengucurkan  darah dari pelipis kiri. Tusukan suling  Lestari telah berhasil
menyerempet kepalanya. Hatinya jadi was-was. Sadar dia kini kalau tiga lawan yang 
mereka hadapi bukan pemuda-pemuda  biasa. Mereka pasti murid-murid tokoh silat
tingkat tinggi.
     Berada dalam was-was begitu membuat Nyonya Gandring menjadi lengah. Akibatnya
satu jotosan Wiro tak sempat dikelitnya.
     Bu k!
     Nyoka Gandring  terpental  dan terguling di atas meja di belakangnya. Sambil
menahan sakit dia kirimkan tendangan untuk mencegah lawan mendekat.
Tenggorokannya terasa panas tanda-tanda darah yang hendak mengalir keluar.
      Baik Nyoka Gandring maupun Nyoka Putubayan adalah dua tokoh silat yang hanya
mengandalkan kehebatan ilmu silat tangan kosong termasuk tenaga dalam dan pukulan-
pukulan sakti. Namun setelah habis-habisan menghantam tak  satu pun serangan
mereka mengenai sasaran malah kini mereka mulai terdesak hebat bahkan kena digebuk, 
maka keduanya benar-benar  jadi marah.  Selama  ini  memang tak satu lawanpun dapat
bertahan  lama  menghadapi  salah  satu dari  mereka, apalagi jika  turun  berdua 
sekaligus. Hari ini mereka ternyata bertemu tembok baja!
    "Monyet  gondrong!" maki  Nyoka  Gandring.
    "Jika kau  inginkan  benda ini  ambillah! " terdengar seruan Nyoka Gandring.
     Satu  sinar perak menyilaukan disertai semburan angin panas berkelebat ke
arah Wiro Sableng. Tusuk kundai perak mencari maut!
     Wiro  sudah  tahu kehebatan benda rnilik gurunya itu  cepat  menyingkir. Dia
tak mau menunggu lebih lama. Senjata  itu  hanya bisa  dihadapi  oleh senjata

gurunya yang  lain yakni Kapak Naga Geni 212. Maka Wiro segera keluarkan
senjata ini.
     Ketika  Kapak Maut Naga Geni 212 dikiblatkan ke depan terdengar suara
seperti seribu tawon mengamuk. Orang banyak yang menonton tambah
ketakutan dan  tutup  kuping  mereka. Sinar putih menggelombang menyongsong
hantaman sinar perak. Rumah makan  besar  itu seperti diguncang gempa.
Dentuman dahsyat meruntuhkan sebagian atap. Jeritan maut yang keluar dari
mulut Nyoka Gandring lenyap begitu tubuhnya tertimbun runtuhan  atap. Tangan
kanannya yang terbabat putus oleh Kapak Maut Naga Geni 212 mental dan  jatuh 
di atas  sebuah  meja. Tusuk  kundai masih tergenggam dalam  kutungan  tangan
itu. Wiro segera ambil senjata mustika itu. Setelah memperhatikan  sejenak
dengan perasaan getir benda lambang perjodohannya itu Wiro lalu  masukkan ke
balik pinggang pakaiannya.
     Nyoka Putubayan  seperti  gila ketika menyaksikan kematian kakaknya.  Dia
tinggalkan Lestari dan Panji  Kenanga,  langsung  menyerbu Wiro  Sableng. Namun
mengalihkan  serangan  kepada Pendekar 212 justru  hanya  mempercepat  kematiannya. 
Setelah membuat gerakan mengelak  dua kali berturut-turut, Wiro yang  masih
memegang Kapak Naga  Geni 212 segera hantamkan senjata itu ke kepala Nyoka
Putubayan. Tak ada rasa belas kasihan lagi di hati pemuda ini. Baginya Nyoka Putubayan
dan Nyoka  Gandring disamping  Singgar Manik   adalah  manusia-manusia penimbul
bencana  hingga tali perjodohannya dengan Lestari berantakan  begitu saja. Kalau tusuk
kundai itu tidak mereka curi, tak akan Lestari meninggalkan tempat kediaman gurunya, 
yang akhirnya membawa pertemuan kembali sang dara dengan Panji Kenanga!
     Nyoka Putubayan  ajal dengan kepala hampir ter-belah!
      Rumah makan itu menjadi gempar. Bahkan seluruh pelabuhan jadi  geger. Diantara
keramaian itu Panji berbisik.  'Lestari, aku  tak melihat Wiro lagi. Kemana lenyapnya?"
      Gadis  itu terkejut dan memandang berkeliling. "Mungkin dia sudah  keluar  lebih
dulu. Kita  cari ke tempat penambatan kuda . . .  I"
      Lestari dan Panji  Kenanga  segera meninggalkan rumah  makan. Orang banyak
menyingkir memberi jalan. Di tempat Panji menambatkan Angin Salju juga tak kelihatan 
orang yang mereka  cari.  Ada  firasat tak  enak dalam hati Panji dan dikatakannya terus
terang pada Lestari.
     "Jangan-jangan  Wiro sudah pergi. Sengaja meninggalkan kita. . . "
     "Panji, ada kertas di leher kudamu . . . "  Lestari berkata sambil menunjuk pada
secarik kertas yang digantungkan dengan sehelai benang ke leher Angin Salju. Panji
Kenanga segera mengambil kertas itu, membuka lipatannya. Ternyata sepucuk  surat
yang kelihatannya sudah disiapkan Wiro selama sebelumnya.
Sahabatku Panji dan Lestari,
     Bagaimanapun  ikatan jodoh  tidak  ada arti dan tuahnya  dibanding dengan kasih
sayang  murni yang kalian tanamkan dalam hati masing-masing. Kudoakan kalian
berbahagia dalam menghadapi masa depan.
     Cinta  murni  lebih agung  dan  suci dari ikatan jodoh yang d/atur:  Karenanya tusuk
kundai perak terpaksa kubawa untuk kuserahkan kembali pada guruku.
     Selamat  tinggal.  Tuhan akan memberkahi kalian.
                   Sahabat kalian,
                    Wiro Sableng

Panji  menoleh dan menyerahkan surat itu pada Lestari. Sang dara tak  berani menerima
surat itu. Kedua matanya berkaca-kaca. Untuk beberapa lamanya tak satu pun diantara
mereka bisa bicara. Di pelabuhan kapal  layar Adipati Surabaya  telah  merapat. Tapi
orang banyak masih saja berkerumun di dalam  dan di luar rumah makan. :
     Akhirnya  Panji memegang lengan  Lestari  dan berkata.  "Kukira Wiro satu-satunya
manusia berjiwa paling besar di  dunia. ini. Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita harus ke
danau Jembangan menemui gurumu. Kita harus menceritakan apa yang telah terjadi . . . "
   .  Lestari hanya mengangguk  perlahan lalu naik kepunggung Angin Salju, Panji duduk
di belakangnya. Sesaat kemudian keduanya  lenyap  di tikungan jalan, meninggalkan
kepulan debu yang diterjang kaki kuda.

                                      T A M A T

Penulis : Bastian Tito
Creatid : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
                  


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive