PENDEKAR 212 WIRO SABLENG
EPISODE PEMBALASAN RATU LAUT UTARA
BAB I
DJAROT Pangestumandi sepuas hatinya dibawah pancuran. Kedua tangannya sibuk menggosok daki tebal yang menyelimuti sekujur muka dan wajahnya yang bertampang menyeramkan oleh sebuah cacat guratan bekas luka yang dalam melintang, mulai dari mata kiri turun kebawah dekat hidung sampai bibir.
Seorang lelaki tua terbungkuk-bungkuk mendatangi membawa sebuah sarung lusuh. “ Selamat bagimu Djarot!” kata orang tua itu keras-keras agardapat meningkahi suara air pancuranyang deras.
Djarot Pangestu berpaling sedikit lalu berkata datar. “ Selamat untuk apa!?”
“ Bukankah siang ini kau akan keluar dari penjara? Menjadi manusia bebas kembali?!”
Djarot Pangestumenyemburkan air dari mulutnya, mengusap wajahnya yang penuh berewok dan kumis liar, laluberkata. “ Dua puluh tahun jadi bangkai hidup mendekam di penjara celaka ini ketika
akhirnya dibebaskan, apakah itu satu hal yang menggembirakan?!”
Si orang tua bungkuk melemparkankain sarung bututnyake atas batu. Dia memandang kearah kedua kaki Djarot Pangestu di mana seuntai rantaibesi yang berat mengikat pergelangan kaki kiri dan kanan
lelaki itu satu sama lain. Dua puluhtahun menjadi budak penjara. Duapuluh tahun pula rantai besi itutelah menggantuli sepasang kaki Djarot pangestu.
“ Bagaimanapun di luar sana adalah jauh lebih baik daripada didalam sini. Kau bisa merasa jadi manusiakembali. Dibandingkan dengandiriku, pembunuhdan pemerkosa! Seumur hidup sampai mati aku akan tetap mendekam disini!” Orang tua itu menarik nafas panjang.
Tidak seperti Djarot,kedua kakinya tidak dirantai. Namunitu bukan berarti dia mempunyai kesempatan untuk lari. Sejak sepuluh tahun lalu,ketika badannya semakin rapuh, rantaiseperti itu ditanggalkan dari kedua kakinya. Dan dengan tubuh serapuh itu mana sanggup dia melarikan diri. Hasrat untuk lari pun
sudah tenggelam bersama keuzuran usianya. Lagi pula apa yang diharapkannya di luarsana? Lain dengan Djarot yang saat itubarumencapaiusiasekitar 45 tahun.
Setelah membuka bajunya, dengancelana kolor orang tua ini tegak disamping Djarotdibawah pancuran. Tubuhnya langsung menggigil oleh air gunung yang dingin itu.
Di sela deruair pancuranorang tua ituberkata lagi. “ Kau akan bertemu dengan istrimu kembali. Kau akan bahagia Djarot …”
“ Setelah duapuluh tahun berpisah, takada kabar takada berita, apa kau kiraperempuan itu
masih menungguku? Aku takakan pulang ke rumah istriku. Percuma saja! Perempuan itu tak
akan ada di situ. Kalaupunada, dia pasti sudah kawin lagi! Selama aku disini, tidak satu kali pun dia menjenguk ku! Istri macam apa itu!”
“ Lalu apa yang akan kau lakukan begitu keluar dari penjarak erajaan ini, Djarot?!”
“ Bapak tua, akupernah menceritakan riwayat sampai aku dijebloskan ke tempat ini! Nah kau bisa menerka apayang akan kulakukan!”
“ Mencari MenakSrenggi, Adipati Ambarawa itu?!”
“ Apa lagi kalau bukan itupak tua!”
“ Ah, dia mungkin sudah meninggal. Kalaupun masih hidup usianya paling tidak sudah mencapai tujuh puluh tahun.”
“ Hidup atau mati aku tetap mencari bangsat itu. Aku memang manusia keparat di masa muda. Jadi kepala rampok, raja penyamun dan pimpinan bajak! Tapi aku tidak pernah membuat urusan dengan kerajaan!Aku tidak pernah memberontak! Dan si MenakSrenggij ahanam itu telah
memfitnahku sebagai gembong pemberontak! Membuat cacat wajahku dan mengirim aku ke penjara ini untuk hidup bersama tikus tikus dan kecoakselama duapuluh tahun!”
Djarot Pangestukeluarkan suara mendengus, lalukembaliterdengar suaranyameradang. “ Menak Srenggi, aku tahu kau bukan manusia baik-baik. Hanya pangkatmusebagaiAdipati yang
memberikan kekuasaan padamu untuk bertindak seenakutilmu! Tapi tunggulah, utilmu itu, perutmu itu akan kubedol sampai ususmu berbusaian! Kepalamu akan kugorok!”
“ Tapi kalau dia memang sudah mati, apanya yang akan kau bedol? Usus mananya yang akan kau busai, Djarot?!” tanya sibapak tua.
“ Kalaupun dia sudahjadi tanah, tentu istri atau anak cucunya masih hidup! Mereka cukup pantas untuk tempatku membalaskan dendam kesumat!”
“ Ah, aku rasa itupekerjaan salah Djarot! Kalau orangyang kau anggap sebagai musuh
besarmu sudah tidakada, mengapa anak istri bahkan cucunya yang tidakberdosajadi ajang pembalasan dendammu? Lebih baikkau melupakan masa lalumu. Kau masih muda dan bisa memulai hidup baru kembali!”
Djarot Pangestu tertawa gelak-gelak. “ Bapak tua… bapak tua. Kau tahu apa tentang hidup baru! Hidupku sudahsejak lama terkubur. Sejak duapuluh tahun lalu! Kalaupun aku masih hidup,
maka hidup baru yang kau maksudkan itu adalah hidup penuh darah dan nyawa!”
Terdengar suara bergemerincingrantai berat ketikaDjarot menggerakkankedua kakinya dan melangkah turun dari batu datardi bawahair pancuran.
BAB II
DESA Kaliwungumerupakan desaberhawasejuk. Kebanyakan penduduknya hidup dari bercocok
tanam. Sebagian besar sawahladangyang adadidesa itu adalah milik Menak Srenggi, bekasAdipati Ambarawayang kini berusia hampirtujuh puluhtahun.
Meskipunsudahlanjutusia begituMenak Srenggimasihkelihatan gagahdan kukuh. Tubuhnyayang tinggi tidakkelihatan bungkuk walaupunkalauberjalan diaselaludibantu oleh sebuah tongkat berhulu gading putih kekuningan. Rambut dan kumisnyatelah memutihsepertikapas.
Di samping rumahkayu besarkediaman Menak Srenggi,terdapatsebuahhalaman luas di mana
anak-anak tetanggasering bermain-main di tempat itu. Pagiitu enam anak perempuan rata-rata berusia sepuluhtahuntampak bermain galah asin . Suarapekik tawa merekaterdengarsampaijauh.
Seorang penumpang kudaberpakaianseperti seragampasukankraton muncul dariarah timur. Di pinggang kirinya diamembekal sebatang golok. Di hadapan rumah besar diaberhentisejenak. Lalu membawa kudanya mendekatianak-anak perempuanyang sedang bermain.
“ Anak-anak!” Orang ituberseru. Dia mengangkat tangan kirinya menunjuk kearah rumah besar. “ Apakah ini rumahnya MenakSrenggi bekasAdipati Ambarawa itu?”
Anak-anak yang tengahasyik bermain hentikan permainan merekadan hendak menjawabmengiyakan. Namun ketikamelihatwajah si penunggang kudayang bertanya, semuanyajaditercekat ketakutan.Ada yang tertegun,adayang melangkah mundur.
Orang di ataskuda itumemilikiwajah menyeramkan.Adaguratan bekas luka dipipi kirinya,
membelintang dari mata kiri sampaike atas bibir. Mata kirinya agak mencuat dan berwarnamerah.
Kumis serta cambangbawuknya meranggas liar,ditambah dengan rambutnyayang panjang awut-awutan maka anak-anak itumelihatnya sepertimelihat setan.
“ Hai! Kalian tak perlu takut!Aku hanya bertanya benar ini rumah MenakSrenggi yang dulu pernah jadiAdipatiAmbarawa…?” Lalu orang itumelemparkan sekepinguang ke tanah. “ Ambil uang itu untuk membeli penganan dan bagi-bagi!” katanya.
Salah seorang dari enam anak perempuan itumemungutuangyang adaditanahlalu memberanikandiri menjawab. “ Memang betul. Itu rumahnya kakekSrenggi.”
Seorang anak perempuan berambut hitampanjang tiba-tiba memotongucapan kawannya itu. “ Kita tidak tahu siapa orang itu, mengapa kau lancang menjawab pertanyaannya?!”
“ Gadis cilikberambut hitam. Siapa kau?Apa masih ada sangkut paut dengan MenakSrenggi?” orang di atas kuda bertanya.
“ Dia cucu kakekSrenggi!” Lagi-lagi yang menjawabadalah anak perempuan tadi yang kinitegak sambil memegang kepinganuang.
“ Kembali kau bertindaklancang, Muti!”
Anak yang disebut sebagai cucu Menak Srenggi tampakgelisah dantakut. Lebih lebih ketika dilihatnya orang berwajah seram di atas kudamemandang tak berkedip kearahnya.
“ Hemm… anak ini termasuk salah satu yang harus kusingkirkan. Tapi dia bisa kuselesaikan
kemudian. Yang penting mencari jahanam MenakSrenggi itu dulu…” membatin orang di ataskuda. “ Apakah kakekmu ada di rumah, anakmanis?” tanyanya padagadiscilik yang dikatakan sebagai
cucu MenakSrenggi itu.
Si anak berambut panjangtidak menjawab.
Lagi-lagitemannyayangtadimalah yang membuka mulut. “ KakekSrenggi orang tua yang baik.
Kami sering bermain-main dengannya. Kami suka diberi gulali. Pagi-pagi begini biasanya kakek Srenggi duduk di kursi goyang diserambi belakang rumah. Minum kopi ditemani nenek …”
“ Ah! Kau anak pandai. Teruskan permainanmudengan kawan-kawan…” kata orang di atas kuda. Dia mengerling sekilas pada cucu Menak Srenggi, lalumenyentakkantalikekang kudadan bergerak
menujubagian depan rumahkayu. Cucu Menak Srenggimemperhatikanorang itubeberapa lamanya.
Ketika orangyang diperhatikanturun darikudanyagadiskecil ini mendengarteman-temannya memanggil. Maka dia pun membalikkantubuh dan bergabung kembali dengan kawan-kawannya meneruskan permainan galah asin .
Setelah main beberapa lamanya, gadiskecil initiba-tibasaja merasa tidakenak. Setiap saatterbayang kembali olehnya muka seram orang itudan mengapapagi-pagi begitu mencari kakeknya?Akhirnya gadis kecil itukeluardarikalangan permainandan lari kebagian belakangrumah besar.
“ Ayu! Kau curang! Sudah kalah mengapa lari?” seorang temannyaberteriakmemanggil. Yang lain berseru: “ Mau ke mana Ayu?!”
“ Aku pulang dulu! Aku haus! Sebentar aku kembali lagi!” jawabAyuLestari, serayaterus larilalu masukke pekarangan belakangrumahlewat sebuah pintupagardaribambu.
Begitu sepasang kaki kecilitubertindak masukke dalampekarangansejauhlimalangkah, langsung kaki-kaki ituberhenti laksanadipakudandari mulutAyuLestariterdengar pekikkeras!
“ Kakek…!Nenek…Ibu!!”
BAB III
DI serambi belakang rumahitumenggeletak tiga sosok tubuh. Dua diantaranyasaling tumpang tindih
berangkulan. Yang pertama adalah kakekAyuLestariyaitu Menak Srenggi. Orang tua ini menggeletak telentang dengan leher hampir putus sementara darahmasih mengucurdari luka mengangadilehernya itu. Luka kedua mengoyak perutnyahinggatampakususnya menyembul bergerak-gerak. AyuLestarimasih sempat mendengar kakeknyamengerang, lalunyawanya putus. Orang tua ini mati dengan mata melotot!
Membelintang di atas dada Menak Srenggiadalah seorang perempuan tua yang bukan lain ialahistrinya. Perempuan ini tampakmelejang-lejangkankakikirinya beberapa kali. Tangan kirinya merangkul tubuhsi kakek seolah-olah berusahamelindunginya. Sesaat kemudiannenek inipun lepas pulanyawanya. Dua
bacokan, satu di punggung, satu lagi di pangkallehernya tampakmenggidikkan.
Sosok tubuh ke tiga yang membuat AyuLestari menjerit kerasadalah sosok tubuhibunyasendiri.
Perempuan separuh baya initersandarditeraliserambi. Mukanyatertutup gelimangandarah. Didadanya tampak satu lukamenganga.
“ Gusti Allah…! Gusti Allah…!” terdengarperempuan inimenyebut nama Tuhannya beberapa kali. Lalulehernya terkulaike kiri. Nyawanyamelayang.
AyuLestarikembali menjeritdan melompat langsung menubrukibunya. Diatidakmemperhatikan lagi bagaimana muka, tubuh dan pakaiannya jadi berselomotandarah. Sama sekali takada rasa takutdalam diri anakini. Dia memeluk mayat ibunya, menangis dan menjerit keras-keras.
“ Ha… ha...! Ini dia! Cucu keparat MenakSrenggi inipun harus kusingkirkan! Biar tuntas semua dendamku!” Terdengar suara mendengus lalu langkah-langkah kaki mendatangi. AyuLestarilepaskan rangkulan padatubuh ibunyadan berpaling.
Beberapa langkah di sebelah kirinyategak lelaki berwajah setan itu. Orangyang tadi datang
menunggang kudadan menanyakan padanya serta kawan-kawan mengenai kakeknya. Pakaiannyayang seragampasukankeraton itupenuh percikandarah. Darah juga tampak menempel padamukanyahingga tampangnya jaditambah mengerikan. Di tangankanannya adasebilah golok yang masih basah dan merah oleh darah! Simuka setan ini menyeringai. Rahangnyaterdengarbergemeletukan.
“ Pembunuh! Orang jahatpembunuh!” teriakAyuLestari. Gadiscilik sepuluhtahun ini melompat dan melangkah mundur menuju tanggaserambi.
“ He…eee! Kowe mau lari ke mana monyet kecil!” kata simuka setan. Kaki kanannya bergerak menendang. Duk! Tubuh MenakSrenggimencelat kearah AyuLestari. Anakiniterpekiklalu
menghamburke arah tanggadan lari kehalaman, tepat pada saat golok besar di tangan orang itu membabatdan lewathanyaseujung jari di ataskepalanya!
“ Setan alas! Kau kira bisa kaburke mana huh?!” Orang itumengejar. Untung bagi Ayu, orangyang hendak mengejar tergelincirkakinyaketika menginjak genangandarah dilantai. Tubuhnya tersungkurdi tanggaserambi. Tapidia segera bangkit, melompati pagar rendah halaman belakanglalumeneruskan
mengejarAyu!
“ Pembunuh!Pembunuh!” teriakAyuLestaritiada hentisambilberlarike arahlapangandi mana
kawan-kawannyamasih bermain galah asin . Kelimagadiscilikitu tentu sajaterkejut mendengarpekik Ayu. Dan lebih terkejut lagisewaktumelihat kawan merekaituberlari ketakutan. Baju, tangandan
wajahnya bercelemongandarah. Di belakangnya ada seoranglelakimengejardengangolok di tangan.
“ Pembunuh! Orang jahat itu membunuh kakek nenek! Membunuh ibuku! Kawan kawan … Tolong!” teriakAyuLestari.
Tapi mana mungkinlimagadiscilikitu memberikan pertolongan. Merekamalahikut menjerit ketakutan lalulariberserabutan. Dalam takutdan bingung, salah seorang di antara merekamalahlarikearahorang yang memegang golok. Keduanyasalingbertabrakan.
“ Setan alas!” Simuka setan memakimarah. Anak yang jatuh akibattabrakan itu langsung ditendangnya di bagiandadahinggamencelat jauh. Tulangiganya patah berantakan, jantungnyaberhentiberdenyut.
Anakini meregang nyawadengandarah mengucurdari mulutnya!
Empat gadiskecillainnyasudahlari jauhkeujung lapangan sementara AyuLestarimerasakan kedua
kakinya sepertikejang karena ketakutanyang amat sangat. Orang berewokanyang mengejarnya tambah dekat. Akhirnya anakinitak sangguplagiberlari. Ayujatuhterjerembabdi tanah. Dan saat itusi pengejar sampaiditempat itu, langsung menjambakrambut AyuLestari. Tangankanannya yang memegang golok membabat kearah pinggang.
AyuLestari menjerit. Anakinisudahlebih dulupingsan sebelumgolok menghantam tubuhnya!
Di saat itutiba-tiba adaderucahaya kekuningan berkelebat. Menyusul suara trang! Golok besar di
tangan simuka setanterpentalkeatas, hampir lepas dari tangannya. Salah satubagiannyayangtajam
gompal besar. Di saat yang bersamaan pula orang ini merasakantubuhnya didorong kerashingga dia
hampirterjengkang ke tanah. Tangan kirinyayang menjambakrambut AyuLestariterkembang dangadis kecil itulepas daricengkeramannya!
“ Bangsat kurang ajar! Siapayang minta mampus berani menghalangiku membunuh bocah itu!” teriaksi muka setan marahsekali. Goloknya diputarsebat.
“ Wut… wut… wut…!” Diamembabat tiga kaliberturut-turut, tapihanya menghantamangin!
BAB IV
“ HARAMjadah!” simuka setan kembalimemaki. Ketika dia hendak menghantamkangoloknya sekali lagi, gerakannyatertahan. Keduamatanya memandang melototkedepan.
Enam langkah di hadapannya berdiri seorang nenek keriputtapi bersihdan kelimis. Nenekini
mendukung gadiscilikyanghendak dibunuhnya itudi tangan kiri sedang tangankanan memegang
sebatang pipabulatterbuat dari besikuningan. Inilahrupanya senjata sinenek yang tadisempat
menggebuk golok besarnya. Padaujung sebelah atas, pipa kuningan ituberkeluk membentuklingkaran besarsedikitdarikepala manusia.
Nenekitu mengenakan kebaya panjang berwarna putih. Kainnya jugaterbuatdarikain putih.
Rambutnyayang putih disanggul rapike belakang. Dilehernya adaseuntai kalungyang terbuat dari untaian bungamelati. Bungainimenebarbauharum semerbak ke mana-mana.
“ Nenekedan! Siapa kowe?!” bentaksimuka setan.
Yang dibentakmalah tersenyumsambilterus mendukung AyuLestaridi bahu kirinyayang saat itumasih berada dalam keadaan pingsan. Ketikatersenyum, meskipun sudah begitutua, ternyatasinenekmasih memiliki barisan gigi-gigi yangutuh dan putih berkilatsepertimutiara! Diabenar-benarseorang nenek
cantik!
“Yang edan aku atau sampean…?!” sinenek membuka mulut sementara senyum masih mengulumdi bibirnya.
“Tua bangkasinting! Kau minta mampus!” teriaksi muka setan.
“Djarot Pangestu! Djarot… Djarot…! Mana adamanusia yang sengajamintamampus dimuka bumi ini. Akusekali punsudah tua renta begini, masih belum mau mati! Masihingin panjang umur dan hidup lama. Hik… hik… hik…!”
Simuka setanyang memang Djarot Pangestu adanyajaditerkejut ketikamendengarorang menyebut namanya.
“Neneksinting! Siapakau! Bagaimanabisa tahu namaku?!” teriak Djarot Pangestudengankeras.
“Anak manusia, aku bukan cuma tahu namamu! Tapi juga tahu asal-usulmu! Baru sajakeluardari
penjara sudah berani dantega-teganya menebarmaut! Iblispuntidak sebiadabmu! Apa dosa anakini hinggakauhendakmembunuhnya?!” Sinenek bertanya. Suaranyamendadak keras. Senyumnya lenyap dan sepasangmatanya memandangtajam-tajam kearah Djarot Pangestuhinggalelaki ini diam-diam
merasa tergetarhatinya.
“Kalaukautidak mau memberitahusiapadirimu, maka kau minta mampus secara percuma! Aku akan membunuhmubersama anak itu!”
TangankananDjarotPangestubergerak. Golok besar menderuganaskearahleher sinenek dan sekaligus jugaleher AyuLestari!
Perempuantuaberpakaian serba putih itusedikit puntidak bergeserdaritempat tegaknya. Dia
mengangkat tangankanannya yang memegang pipa kuningan, menyambut kedatangan golok mautDjarot Pangestu.
“Trang!!!”
Terdengar suara pipa kuningan beradu keras dengan golok di tanganDjarotPangestu. Suara
berdentrang itudisertai pula oleh suara mengalun panjang, keluardari lobang pipa kuningan sebelah
bawah. Sinenek mendengar suara alunan ituseperti alunan genta yang merdu, sebaliknyaDjarot
Pangestusepertimendengar suara dentumanyang meledak-ledakhinggakeduatelinganyaterasa sakit!
Selain rasa sakit mendenyutpadakedua liang telinganya. Djarot Pangestujugamerasakan saling bentrokan senjatataditelah membuat tangankanannyaseperti kaku kesemutan!
Jengkelbercampur marahkarena merasa sinenek mempermainkannyaDjarot Pangestumajudua
langkahlalukembali dia menghantamkangoloknya. Kali ini senjata itudibabatkan kearah pinggangsi nenek. Ini cuma satu gerakkan tipuan karena setengah jalan tiba-tibaarah golok berubah dankini
membacokke arah punggungAyuLestari.
“Juruskilatmembalik di belakang awan!” Seru sinenek sambil tersenyumlaluangkat pipa kuningnya.
Djarot Pangestusampaibatalkan serangandantersurut dualangkah saking kagetnya ketikamendengar sinenek menyebut jurus ilmugolok yang barusandimainkannya.
“Tua bangkasinting ini! Bagaimana diabisa tahu jurus ilmugolokku!” ujarDjarotdalam hati. “Siapadia sebenarnya…? Jangan-jangan masihada pertaliandarah dengan gurukudulu. Tapi… Akutidak percaya! Kalautidak lekas dibereskannaga-naganya tua bangkainibisamembuataku susah!”
Didahului suara membentak Djarot Pangestukembali menyerbudengangoloknya. Kali inidia
mengerahkan tenagadalamnya penuh-penuh ke tangankanan hinggagolok berdarah yang dipegangnya tampak bergetarkeras dan mengeluarkan suara berkesiuranketikadibabatkan.
Dengantenang sinenek berwajah bersih cantik mengangkat pipa besikuningannya. Gerakan tangannya tampaklemah dan perlahansaja. Tapi pipa kuningan itutiba-tibaterlihat melesatsepertisebuahtitiran dan,
“Trang!!Trang!!”
Golok berdarahdi tanganDjarot Pangestupatahdua, mentalkeudara. Pipa kuningan kembaliterdengar mengeluarkan suara seperti genta mengalun sedangditelingaDjarot Pangestusepertiadayang
menusuk-nusuk! Tangankanannya laksana berubah jadikayu, kaku tak bisa digerakkanlagi!
Kinikecutlahnyalimanusiaini. Diabenar-benarmenyadarikalau sinenek tak dikenal itu, yang melayaninyasambil mendukung anakkecil, dantanpa menggeserkan kedua kakinya sedikit pun, jelas-jelasadalah seorang berkepandaian tinggi.
Tanpapikir panjang lagiDjarotPangestuputartubuhnya dan melompat kearah kudanya, siapuntuk kabur. Namun baru dualangkah bergerak tahu-tahu ujung pipa kuninganyang berbentuk bulat telah mengalung lehernyahinggadiatakbisa bergeraklagi,kecuali kalaulehernya mau terbetot patah!
“Manusia kejam! Hatimusejahatiblis! Tapi baru begitusudah putus nyalidan hendakmelarikandiri. Hik… hik… hik!” sinenek mengejek lalutertawa cekikikan.
“Nenekedan! Lebih baikkaubunuhdiriku saat ini juga! Jangan memberi maludiriku lebih lama!” teriak Djarot Pangestu.
“Hik… hik! Tahu malujuga bergundaliblis ini!” mengejek lagisinenek.
“Bunuh saja aku!” teriak Djarot Pangestu
“He… he… he…!Akutidak akan membunuhmu saat iniDjarotPangestu. Bakalada yang melakukannya dikemudian hari. Anak perempuandalam dukunganku inilah yang kelak akan memisahkan kepaladan badanmu…” kata sinenek pula.
“Tua bangka pengecut!Kau tak beranimembunuhku! Pengecut!”
Sinenek tertawa panjang mendengarkata-kata Djarot Pangestu itu. Dia menggerakkan pipa
kuningannyayang menjerat leherDjarot. Mendadak sontak Djarot merasakantubuhnyaterangkat tapi tahu-tahu kepalanya menghadapke bawah sedang kaki ke atas! Dia dapatkan bumi inisepertiterbalik! Dia merasa seperti digantung kaki ke atas kepalake bawah. Ketika dia hendak berteriak dan memaki, tahu-tahu dia sudahditurunkan kembali dan pipa kuningan itutidak lagi menggelung dilehernya.
“Djarot Pangestu! Lekas berlalu dari hadapanku! Tinggalkan tempat ini!”
“Neneksinting! Kau kelak akan menyesal mengambilkeputusan membebaskan diriku hari ini. Aku
bersumpahakan menuntutilmulebih tinggi! Setelah itukudapatkanaku akan mencarimu! Dan hari itulah penyesalanmuberakhir diujung kematian!”
“Akusebalmelihat tampangmuDjarot! Disuruh pergimalah bersyair! Pergisana!”
Nenek cantik ituketukkanujung pipa kuningannya ke tanah. Terdengar suara genta mengalun keras
yang diseraisambaranangin dari ujung pipa sebelah bawah. Anginaneh ini menyambarkearahDjarot Pangestu. Begitusambaranangin menghantamnya, takampun lagiDjarotPangestu terlemparsampaitiga tombak.
Sambilkeluarkan suara cekikikannenek itu balikkantubuhnya. Dia menekankanujung pipanya ke
tanah. Sepertianak panah lepas dari busurnya, seperti itu pulalah tubuhnya tampakmelesat dan lenyapdi kejauhan bersama AyuLestari yang masih pingsandi bahu kirinya.
Djarot Pangestu bangkit berdiridengan mukapucat. Terpincang-pincangdia setengah berlari
mendapatkan kudanya. Sementara itu dari berbagaijurusan penduduk desa mulaiber datangan kearah rumah Menak Srenggi.
BAB V
NENEK berkebaya putih itumembaringkanAyuLestaridi atas pasir pantai yang bersih, di bawah kerindanganbayang-bayang deretan pohon kelapa. Walaupunsinarmatahari cukup terik namun angin laut yang sejuk membuat udaratidakterasa panas.
Untuk beberapa lama nenekitumemandangigadiscilik yang masih berada dalam keadaan pingsan itu
laluberlututdisampingnya. Dia mengangkat tangankanan AyuLestarilalumemperhatikantelapak tangan anak perempuan itu.
“Ahhh…!” sinenek mendesahkagum. “Apa yang dikatakan ratubenaradanya. Anakinimemiliki ruas tangankanan bertandasilang. Menurut ratuhanya ada empat orang di jagat inimemiliki tanganseperti itu. Satu sudahmeninggal seratustahunsilam. Tiga masih hidup ternyata salah satunya adalah anakini! Ah, ternyata merekabukan orang-orang sembarangan!”
Setelah memandangiwajahAyusekali lagisinenek menepuk-nepuk pipigadiscilikituhinggaakhirnya Ayu siuman dari pingsannya. Begitu sadar anakini langsung menjerit. Dalambenak dan pelupuk matanya masih terbayang tiga orangyang dikasihinya itu, terutama ibunya. Jugamasih terpampangwajahangker Djarot Pangestu yang hendakmembunuhnya. Ayumemejamkan matanyakembali dan menutup wajahnya dengankedua telapak tangannya.
“Anakmanis… Berhentimenjerit. Takada yang perluditakutkan…”
Ayumendengar suara itu. Rupanyatadidiabelummelihat nenekberpakaian putih yangadadi
sampingnya. Perlahan-lahandia menurunkan kedua tangannya dan membuka sepasang matanya. Ketika diamemalingkan kepalanya ke kiri, pandangannya bertemu dengan sosok tubuh danwajah tuatapi
kelimis serta cantikitu.
“Nenek…!” Ayumemanggil, yang terbayangolehnya adalahneneknya sendiri. Namunkemudian disadarinya bahwaperempuan tua itu bukanneneknya. Lalu dilihatnya deretan pohon kelapadi atas kepalanya, langit biru, merasakan hembusan anginsejuk dan mendengardeburan ombak di pasir. Perlahan-lahan anakini bangkit duduk, memandang berkeliling.
“Laut…” katanya heran. Sebelumnya diapernah satu kali diajakayahnya melihatlaut. Ayumemandang pada sinenek. “Nek, kau siapa…? Mengapa Ayuberadaditepilautini?Ayutakut…! Orang jahat itu… Diamembunuhibu… membunuh kakekdannenek…” LaluAyuLestarimenangis keras.
“Anak, nasibmumemangmalang. Ayahmumeninggal beberapawaktulalu. Barusansajaibudannenek serta kakekmudibunuhorang. Tapi kau tak boleh menangis dan bersedih terus-terusan. Aku akan
membawamu ke satu tempat yang indah. Disitu semua akan mengasihimu, akan menghormatimu. Dan kau boleh menganggapakusebagai pengganti nenekmu yang hilang…”
Lalu sinenek menggendongAyuLestaridi bahu kirinya. Sambil mengusutairmatanya, Ayubertanya, “Aku ingin pulang nek!Bawa aku pulang nek… Bawa Ayupulang ke Kaliwungu…”
“Ayu, di Kaliwungu kau tak punya siapa-siapalagi. Itulah sebabnyakaukubawa, sesuai perintah Ratu…”
“Ratu…? Hai, Ratukatamunek?” tanya AyuLestari.
“Betul. RatukudanRatumujuga kelak…”
“Akutakmengertiucapanmunek…, ratu apa yang kau katakan itu?”
“saat inikaumemang tak perlumengerti Ayu. Kau ikut saja bersamaku,” kata sinenek pula.
“Ikutmu?Ikut ke mana?”
“Aku akan membawamu ke satu tempat yang indah. Yang tak pernah kau lihat sebelumnya. Kerajaan Ratu Laut Utara!”
SemakintidakmengertiAyuLestariakanapa yang diucapkan sinenek itu. Laludirasakannyasinenek mulaimelangkah. Berjalan kearahlaut. Ketika sepasang kaki sinenek mulaitenggelamkedalamairlaut,
lalukainnya mulai basah,AyuLestaritersentak dan berseru. “Nek! Kau salah jalan! Mengapa melangkah ke dalam. Nantikitaberduamati tenggelam…!”
Tubuh sinenek kinitenggelamsebatas pinggang. Kedua kaki AyuLestarimulai masukke dalamairlaut. “Nek!” PekikAyuLestariketakutandan ketika air mulaisampaike pinggangnya, anakini meronta
mencoba melepaskandiri, namun tak berhasil. Air lautkininaik sampaisebahu sinenek, membasahi punggung sigadiscilik.
“Nek!” pekikAyukembali. Di saat itusinenekmenekanurat besar dipunggungAyu. Gadis ini langsung terkulai. Tubuh sinenek melangkah semakindalam. Selangkah demiselangkahair lautnaik sampaike lehernya, lalunaik lagisampaimuka dankepala. Rambutnyayang putih dan juga kepala AyuLestari
lenyapdibawahair laut. Kinihanya tinggaltongkat pipa kuningannyasajayangmasihkelihatan. Sesaat kemudian tongkat itupun lenyapdibawah permukaan air laut!
BAB VI
NENEKberwajah cantikitumemijaturat besar di punggungAyuLestari. Saat itujuga anakini
sadarkandiridandapatkansekujur tubuh dan pakaiannyayang basah kuyup. Dilihatnya tubuh, rambut serta pakaian putih sinenekpun basah juga. Ketika dirinyaditurunkandaridukungan,AyuLestari
memandang berkeliling denganterheran-heran.
“Huah nek! Berada di mana kita ini?!” seru AyuLestari herandankagum. Saat itu didapatinyadirinya berada dalamsebuah bangunan sangat besarberatap tinggi. Pada kiri kanan bangunanyang berdinding batupualam ituberjejermasing-masing duabelas buah pilar putih berukiran indahsekali. Laludi antara jejeran dua belastiang ini, pada pertengahan lantaiterbentangsehelai permadanitebalberwarnabiru membujur dari tanggadisebelah depan bangunandekat mana dia dan sinenek berada. Permadani ini membujurteruskearahbagian ujung lain dari bangunan besar itu.
Di sebelahujung sana tampaktanggaterdiri dari lima undakan, dandiundakan paling atas lantainya ditutupisehelai permadanitebalberwarnamerah. Di tengah-tengah ruangan besar di atas tanggaitu terdapatsebuahkursibesarberukirankepalanagapadakedua tangannya dan ukirankepalaburung garuda padasandarannya sebelah atas.
Di kiri kanan kursi,sebuahpayung tinggi dan besar sertaberjumbai-jumbai benang emas memayungi kursi besar. Di langit-langitruangan menyalapuluhan lampukecil yang tersusun padasebuah jambangan indah terbuat dari perak dan memancarkan sinarberkilau-kilau, tergantungtepat di ataskursi besar.
Padadinding ruangan kiri kanan tampak tiga buahpintuberwarna putih. Di ataspintumenyala lampu-lampuaneh berwarnabiru,merah, kuning, hijau, abu-abudan cokelat.
“Nek, kita ini berada di mana…?” tanya AyuLestarilagi, sambil memegang kebaya sinenek, dan masih memandang berkeliling terkagum-kagum. Sementara cuping hidungnyakembang kempis karenadia
menciumbau yang harum semerbak di tempat itu.
“InilahistanaRatuLaut Utara…”jawab sinenek setengah berbisik.
“Jangan-janganakubermimpi…,” sigadisciliklalutarik kuat-kuat telinganyasendiri. “Aduh!” dia terpekikkesakitan. “Ternyata Ayutidak bermimpi. Jadi semuanya inibenar nek…! Nek…”
“Ssst, diamlah! Sudahada yang menjemput kita…” bisik sinenek.
Saat ituAyuLestarimelihat pintuputih yang di atasnya ada lampuberwarnamerah terbuka, lalu
menyusul pintu putih di sebelah kiri yangada lampuhijau. Dua orang gadis berparas cantik berkulit putih, satu memakai bajupanjang warna hijau, satunya warna merahmelangkah kearah sinenek danAyu.
Pakaianyang dikenakankeduagadis initerbukalebardi bagian punggung dan sangatrendahdi bagian dadasehingga punggungnyayang putih tersingkap dansebagian payu daranya tersembul diujung atas pakaian sebelah depan. Padapinggir kiri pakaian panjang ituterdapat belahan tinggi sampaike pangkal paha. Karenanya, setiaplangkah yang dibuat menyebabkan aurat gadis-gadis cantikinitersingkap lebar memperlihatkanauratnya sebelah kiri, putih dan sangat mulus.
“Nek, bidadarikah yang datang ini……?” tanya AyuLestari. Sinenek tidak menjawab,hanya tersenyum.
Di hadapan kedua orang itu, gadis bajumerahdan hijaumenganggukan kepaladengankhidmat lalu yang bajumerah berkata: “Ayu, mari ikut dengan saya,” laludipegangnya tangan AyuLestari.
“Nek…” Ayumemanggil.
“IkutisajaRoroMerahitu, Ayu. Dia akan menggantikan pakaianmu yang basah dengan pakaianyang bagus,” berkata sinenek, ketika dilihatnya AyuLestari sepertihendak menampik. “Kau takusah takut.
Seperti yangaku bilang, semua orang disinimenghormatimudan juga mengasihimu…”
Mendengarkata-kata sinenek itu, baru Ayu mau melangkah mengikuti daraberbajumerah.
“NenekCempaka, giliranmu ikut saya… Kau juga harus berganti pakaian,” terdengar suara gadis
berbajuhijau. Sinenek tersenyumlalumelangkah menujupintuberlampu hijaumengikuti gadis cantik di depannya.
Tak lamakemudian perempuan tua yang dipanggil denganNenek Cempaka itu tampakkeluardaripintu berwarnahijau,diiringi oleh gadis berbajuhijau tadi. Sinenek ternyatatelah bersalin. Kini diabukan saja mengenakansehelaikebaya panjang dankain putih, namun wajahnya jugadiberipupur, pemerah pipi,
penghitamalis, sertapewarnabibir. Nenekyangdasarnya memang cantik inijadi tampaklebih segar. Dia melangkah sambil membawa pipa kuninganditangan kiri.
Bersamagadis berbaju hijauNenek Cempaka duduk di atas permadanidi bawah tangga, tepat di
hadapan kursi besar. Tak lamakemudianterdengar suara bebunyian mengalundiiringioleh suara seperti deburan ombak di atas pasir pantai. Tiraiunguyang tergantungdi belakang kursimembukake samping. Di saat itulah tampak seorang gadis berpakaian birukeluardari baliktirai. Dia melangkah mendekati
NenekCempaka laluberkata: “Nenek,kaudipersilahkan masuk.”
NenekCempaka sertamertaberdiri, menaiki tanggalalumengikuti gadis baju birumelangkah melewati tirai yang terbuka. Begitulewat, tirai itupun menutupkembali.
Di baliktiraiternyata ada satu ruangan besar yang luarbiasa bagusnya. Seluruh dinding dilukis dengan pemandangan laut yang indah, termasuk tetumbuhandan binatang-binatangnya. Di salah satu sudut
terletaksebuah pembaringandandi ataspembaringan ini bergolek seorang perempuan muda berwajah sungguhrupawan.
Kulitnya kuning langsat. Diamemiliki rambut hitamberkilat. Sepasangmatanya bening tapimenyorotkan pandangantajam. Perempuan ini mengenakan pakaian ungu gelap yang tipis dandi ataskepalanya ada sebuah mahkota emas bertaburan batu-batu permata. Kedualengannyadihiasidengan kumpulangelang yang berderet-deretsampaike dekat siku.
Yang menarikialahsebuah permatasebesar ujung ibu jari yang melekatdi pertengahankeningnya,
seolah-olah membenam danjadi satu dengan kulit dandaging keningnya. Ketikamelihat Nenek
Cempaka masuk diiringi gadis bajubiru, perempuandi ataspembaringan bangkit dan duduk bersandar padasebuah bantal besar.
NenekCempakacepat menjura penuhhormat, begitujugagadis berpakaian biru. Setelah menghormat gadis initinggalkan ruangan. Kinitinggal sinenek dan perempuandi ataspembaringanditempat itu.
“Cempaka…!” perempuanjelitabermahkota di atas pembaringan memanggil nama tanpasebutan
nenek. “Aku sudahmelihat kemunculanmu tadi bersama anak itu lewatombak saktipenyambung mata. Benargadiscilikitu orangyang kitacari?”
“Benar Sri Ratu. Memang dia orangnya. Dia bernama AyuLestari…” Lalu secara singkat sinenek menuturkan peristiwa yang terjadiditempat kediamanAyudi Kaliwungu.
“Kasihananak itu. Tapiyanglebih pentingapakah kau sudah menelititelapak tangankanannya…?” tanya perempuan cantik di atas pembaringanyang dipanggil dengansebutan Sri Ratu.
“Sudah SriRatu. Sesuai petunjuk Sri Ratumemang ruas telapak tangankanananak itu adatanda silangnya…”
“Aku lega sekarang. Berartikitasudahmenemukan penerusdan pewaris Kerajaan Laut Utara ini. Berartiaku bisakembalike asalkudan beristirahat dengantenang …”
“Tapi bukankah menurut Sriratukita harus menunggu tujuhtahun. Yaitusampaianakituberusiatujuh belas…?”
“Betul Cempaka. Tapi masa tujuh tahuntidak lama. Karena itukita harus mempersiapkannya dengan cermat dantepat mulaidarisekarang. Itu semua menjadi tugasmudan enam gadispembantuku…”
“Akan saya ingatdan perhatikan sertajalankan hal itubaik-baik Sri Ratu…”
Tiraiungu terbuka. Gadis berbajubirumasuk, membungkukhormat laluberkata memberitahu, “Gadis kecil itusudah berada didepan tahtakerajaan. Jika Sri Ratuberkenan melihat dan menemuinya…”
Sri Ratu mengangguk lalu turun dari pembaringan.
DIruang luas yang bertiang besar sebanyak duapuluhempat buahitu,AyuLestari duduk didepan kursi besar,ditemaniolehRoroMerah. Gadiscilikitukinitampak mengenakansehelai pakaian baru yang
bagus, dan sampai saat itumasihsajacelingak-celinguk terkagum-kagum memperhatikan keindahan ruangan besar itu.
Sesaat kemudiandilihatnyatiraiungu terbuka dan seorang perempuan muda yang luarbiasa cantiknya, mengenakan pakaian ungu tipis melangkah keluardari baliktiraidiiringilimadara masing-masing
berpakaian biru, kuning, hijau, abu-abudan coklat. Di samping kiri tampak perempuantuaberpakaian putih itu.
“Eh… Nek…!” seru AyuLestari. “Kemarilah!Aih… Kau habis berdandan, rupanya! Wajahmu jadi sepertimudadan tambah cantik!” imbuh Ayu. Sinenekhanyatersenyum sambilpalangkan jari
telunjuknya didepan bibir, memberitanda agar AyuLestari jangan bicaraterus.
Saat ituAyumelihat perempuan mudaberbaju ungutelah duduk di ataskursi besar sementara limagadis tegak di samping kiri kanan kursidan sinenek sendirimelangkah menurunitanggamenjemputnya. Dia
memberi isyarat pada Ayu agarberdiri. Gadiskecil itu segera berdiridiikuti olehRoroMerah.
“Nek, siapakahorang yang duduk di ataskursi besar itu…?” berbisikAyuLestari.
“DialahRatuLaut Utara… Pemimpinkita diKerajaanbawahlaut ini …”
AyuLestarilantasingat ketika dia dibawa melangkah ke dalamlaut. “Kerajaanbawahlaut katamunek? Apakah saat inikitaberadadibawahlaut…?Ayutidakmelihat air laut sama sekali. Dankita semua
tidak tenggelam…”
“Betul, kita memang berada didasarlaut,” jawab sinenek. “Dengar,akutidak akan menceritakan apa-apa dulu. Lekas beripenghormatan pada SriRatu…”
Sebagaianak desa, cara penghormatanyang diketahui Ayubukanlah menjura atauberlutut, melainkan mencium tangan orang. Maka begitumendengar kata-kata sinenek tadi, gadiscilikini segera lari menaiki tanggadan begitusampaidi hadapanSriRatu diamenyalaminya lalumencium tangan Sri Ratu.
NenekCempaka dan enam orang darasemula menjaditercekat khawatirkalau-kalautindakangadis cilikitutidak berkenandi hati Sriratu. Namun ketika merekamelihat SriRatumengulurkan tangan
menyambut salamAyusambiltersenyum, legalah semua orangyang adadisitu.
Untuk beberapa lamanya, setelah mencium tangan Sri Ratu,Ayumasih memegangitangan itudan
menatapwajah yang cantik jelita itu. Belumpernah diamelihat perempuan secantikitu. Mulutnyayang poloslangsung sajamenyatakankekaguman.
“Sri Ratu, wajahmu cantik sekali. Matamu bagusdan bersinar. Ayukagum melihatmu…”
Sri Ratutersenyum lebar. “Anakbaik, kepolosanmumenyatakan kejujuranmu. Apakah kau ingin punya mata sebagusku…?”
“Tentusaja mau SriRatu. Tapi mana mungkin Ayubisa punyamata sebagus dansebening matamu…”
“Kauakan memilikinyaketikakauberusiatujuh belastahun Ayu…”
“Ah, betulkah itu?”
Sri Ratu mengangguk. Lalubertanya, “Apakahkausuka tinggaldisini?”
“SukasekaliRatu. Tapinenek ituhanya membawaAyusekedarmelihat-lihat. Ayu harus kembalike Kaliwungu. Ibu Ayu…”
Sampaidisitu, anakiniingatapayang terjadi atas diriibu, nenek dan kakek, serta salah seorang kawannyayang mati dibunuh Djarot Pangestu. Wajahnya menjadimerahdandia berusaha menahan isakan.
“Ayu, kami semua sudahmemutuskan bahwakautidak akan kembalike Kaliwungu. Jangankhawatir akan jenazahorang-orangyang kau cintai itu. Mereka semua sudahada yang mengurusnya. Kau tinggal disini,ikuti segalapetunjuk NenekCempaka dan enam pembantuku….”
SriRatumengusapkepala AyuLestari dengan tangan kirinya. Tangankanannyaditarik genggaman Ayu. Saat itulah SriRatumelihatsendiri ruas bersilang padatelapak tangangadiskecil itu.
“Kalian boleh pergisekarang…” kata Sri Ratu.
NenekCempaka memeganglenganAyuLestari. Sebelum meninggalkan tempat itugadiskecil ini bertanya, “Sri Ratu, kapan Ayuboleh melihatmulagi?”
“Tujuhtahundi muka Ayu,” jawab SriRatu.
SelagiAyuterheran-heran mendengar jawaban itu, Sri Ratu sudahmembalikkandiridan masukkembali kebiliktirai ungubersama enam gadis jelitapembantunya.
Diujung ruangan,AyuLestari berhentimelangkah dan berpalingpadaNenek Cempaka. “Nek, Ayu heran…”
“Apa yang kau herankan Ayu?”
“Menurutcerita-cerita yang pernahAyu dengar, yang namanyakerajaan itupasti ada pasukannya. Pasti adaprajurit pengawal dansebagainya. TapiAyutidakmelihat seoranglelakipundisini ….”
“Ah, matamukurang mengawasi,” jawab sinenek. “Cobalah kau memandang berkeliling. Lalukatakan apa yang kau lihat…” sinenek mengusap mukanya tiga kali.
AyuLestarimemandang berkeliling. Dan heranlah anakini. Diseputarruangandiakinimelihat puluhan prajurit gagah bersenjatakan pedang dan tombak tegak dengan sikap mengawal.
“Apa yang kau lihatAyu?” tanya sinenek.
“Ayumelihat prajurit-prajurit banyaksekali. Mereka sangat gagah, memegang tombak putih berkilat,
membekal pedangdi pinggang masing-masing. Tapieh… Kini mereka semua lenyap Nek, menghilang ke mana mereka?!” seru AyuLestari.
Sinenek menarik tangananak itu seraya menjawab, “Itulah salah satu keanehandan keajaibandi KerajaanBawahLaut ini, Ayu. Akal manusia biasatidak akan bisamemecahkannya.”
BAB VII
ORANG tua bertubuh tinggi kurus itumemandang ke langit. Saat itu tengahharidi mana sang surya memancarkan sinarnya denganterik. Meski dia berada di bukit yang cukup tinggi namun kesejukan udaradi situ kalaholehpanasnya cahayamatahari.
Awan berarak di sebelah tenggara. Diarah selatan rombongan burung terbang menujuke barat. Di puncak bukit itu suasana sunyidan panas. Lelakitua itumasih menunggu. Tepat ketika sang surya mencapaititik tertingginya maka dia pun mematahkansebatangcabang pohon kecillalulaksanakilat berlarike puncak bukit.
Di puncak bukit ituterdapat setumpuk timbunan batu-batu cadas. Dengancabang pohon di tangan
kanannya orang tua inimemukul batu-batu itu. Satu demi satu batu itumencelat mental, ketika batu
terakhir terlempar jauh, maka di tanah tampak terbujur sesosok tubuh yang hanya mengenakansehelai celana pendek warna hitam. Sosok tubuh itu sama sekalitidak bergerak. Takada tampak tarikan nafas pada dada ataupun perutnya. Sekujur tubuhnyamulaidarikakisampaike muka tampak penuh dengan luka-luka.
“Anak manusiaberhati keras! Masih hidup atau sudahmatikahengkau?” Si orang tuaberseru. Takada jawaban. Dialalumembungkuk mendekatkantelinga kirinyake dada diarah jantung. “Luarbiasa! Empat puluhhariditanam jantungnyamasih berdetak!”
Orang tua itulalu bangkit dan pandangisosok tubuh yang tergeletak sambilgeleng-gelngkan kepalanya.
“Huah!” tiba-tiba orangyang terbujur itukeluarkan suara keras. Detikitu pula tubuhnya melompat dan tahu-tahu dia sudah berdiridi hadapan lelakitua. Orang ini berbadan tinggi tapidi hadapansi orang tua, tingginyahanyasampaikedadanya.
“Raja Batu Di Batu!” seru orangyang barusandikubur di bawah tumpukan puing batu “Akuberhasil!”
“Kau memang hebat Djarot Pangestu. Selama seratus limapuluhtahun usiaku, kauadalahorang kedua yangsanggup lulus dari ujian berat ini! Sekarang kau menguasaiilmu kesaktian itu. Kau telah menjadi manusia batu!”
Ternyata orangyang barusanditimbun batu-batu itu adalahDjarotPangestu. Manusia jahat yang begitu keluardaripenjaratelah membunuh bekasAdipati Ambarawadan istrinya, serta membunuhibu Ayu Lestaridan jugamembunuh seorang anakkecil tidakberdosa, kawan AyuLestari.
“Terimakasih kakek. Itu semua berkat keikhlasanmumewariskanilmu kesaktian itupadaku….”
“Dan kekerasanhatimu untuk membalas dendam!”
Djarot Pangestu mengangguk.
“Dandemi tugas yangaku bebankan padamu. Membunuh neneksaktiCempaka itu!”
“Akanakujalankan tugasmudenganbaik!” ujarDjarotPangestu pula. “Sekarang bolehkahaku mencobakehebatanilmu baruku?”
“Silahkan!” jawablelakitua yang disebut dengangelar Raja Batu Di Batu.
Djarot Pangestumelangkah mendekatisebuah batu besar. Kaki kanannyatiba-tibaditendangkan.
“Braakkk!!!” Batu besar ituhancur berantakan. Dia merasa belumpuas. Didekatinyasebuah batu besar lainnya. Laludengan tangan kirinya dihantamnya batu itu, “Braaaakk!!!” Hal yang sama terjadi. Batu itu pecah berkeping-keping. Raja Batu Di Batu tertawa mengekeh.
“Jika kau masih belumpercaya, lihat ini!” kata si kakekberseru. Lalu diamenyambarsebuahpotongan batusebesartetampahseberat hampir lima puluh kati. Batu inidihancurkannya kekepalaDjarot
Pangestu. Djarotagakkaget dan berusaha menghindar. Tapi batu menghantam kepalanyalebih cepat. Djarot tampak terhuyung-huyung dandia menyaksikanbagaimana batu yang dihantamkan kekepalanya pecah berantakan. Dia sendiri merasakansepertiditepuk padakepalanya yang dihantam batu tadi.
Tidakada luka, benjut puntidak!
“Raja Batu Di Batu! Aku benar-benar percaya pada kesaktianyang kiniakumiliki. Aku sangat
berterimakasihpadamu!” Habis berkata begituDjarot Pangestulaluberlutut di hadapan orang tua berusia 150 tahunitu.
“Setelah memilikiilmu kesaktian itu, kau tentu ingincepat-cepat menyeberang ke Tanah Jawa.
Membalaskan sakithatimu pada Cempaka, meneruskandendam kesumatmudengan menghabiskan sisa turunan MenakSrenggi yang menurutmu lolos darikematian karenaditolong oleh sinenek yang
kemudian mengalahkanmu! Kau boleh pergisekarang jugaDjarot. Tanah Bugis ini sangat jauh dari Ambarawa. Kau harus menghabiskanwaktupalingtidak duapuluhharipelayaran untuk kembalike sana.”
“Jika Raja Batu Di Batuberkenan, aku memangakan berangkat saat ini juga…”
“Pergilah,balaskan jugasakithatidandendam kesumatku pada tua bangka bernamaCempaka itu…”
“Kalau aku boleh tahu Raja Batu Di Batu, dendam kesumat apakahyang ada antara kau dengan dia…?” bertanyaDjarot.
Lelakitua itu tertawa lebar. “Urusan tolol di masa muda. Aku suka dia, dia tidaksuka aku. Ituhalbiasa saja. Akutidak memaksa. Kalaudiamenolakwajar-wajarsaja,akutidak akan sakithati. Tapidia
mempermalukanakudi hadapan orang banyak, diantaranyabeberapa tokoh persilatandiTanah Jawa. Kemudiandiakawin dengan pemudalain. Dalam keadaan mata gelap, suaminya itukubunuhdi satu
tempat di pantai utara Jawa. Diamembalas dendam dan membunuhistriku, padahalistriku saat itu
sedanghamil muda. Nah,apakahtidak pantaskalau hubungan kita ini membuataku memintamu mencari dan membunuhnya?Apalagikaupun adasilang sengketa dengandia!”
“Jangankhawatir Raja Batu Di Batu. Nenekkeparat itu akan mendapatkanhukumannya… Akupergi sekarang…!”
“Ada satu hal yang perluaku beritahukan padamusebelum kau pergi, Djarot,” berkataRajaBatuDi Batu. “Turutpendengaranku, tingkat kepandaian Cempaka saat inijauh lebih tinggi dari ketika dulu dia masih muda. Namun jangan membuatmumenjadigentar. Hanyasajaingatbaik-baik bahwasejak
beberapa puluhtahun yang laludiatelah bergabung dengan RatuLaut Utara, yakniperempuan cantik berkepandaian tinggi yang menjadiRatupada KerajaanbawahLaut. Jika kau mencarinya, berati kau harus masukke wilayah kekuasaan RatuLaut Utara. Dan ini sangat berbahaya. Kau harus berhati-hati. Tingkat kepandaian sang Ratujauhlebih tinggi dari sinenek itu!”
“Terimakasih ataspemberitahuanmuRajaBatuDi Batu.. Percayalah, kesaktianyang kau berikan tak akan kusia-siakan. Aku akan menghancurkan siapasaja yang beranimenghalangi!”
“Memangilmukesaktian batu yang kinikau milikimembuatmu menjadiseorang manusiatanpa
tandingan. Namun untuk berjaga-jagaseandainyakausampai bentrokandenganRatulaut Utara,
bawalah inisebagai bekal. Kunyahdan hadapimusuhmu, pastidia akan kewalahandan babak belur!”
Raja Batu Di Batu lalu memberikan sebuah bendaberwarna putih, ternyata adalahsebutirbawang putih. Djarot Pangestumenyimpanbawang putih itu baikbaik di balik pinggang celananya laluberlututdan
menyembah tiga kali di hadapansi kakek baru tinggalkan puncak bukit itu.
BAB VIII
TUJUHtahun berlalusejak kedatangan Ayulestari yang dibawanenek Cempaka keKerajaanBawah LautdiLaut utara. Hari itudi ruangan besarterdengar suara alunan gamelan yang tidak berhenti-henti sejak di atas laut sang surya terbit. Ini satupertandaakanada satu kejadian besar diKerajaanBawah Lautwalau keadaan tampak biasa-biasasaja, yakni yang terlihat oleh mata biasahanyalah sang Sri ratu bersama enam pembantunyayang jelita, lalunenek CempakadanAyuLestari, yang kinitelah berubah menjadigadistujuh belastahun bertubuh tinggi semampaidan berwajah cantik.
Seperti yang dipersiapkansejak tujuhtahun lalu, hari ini adalah hari di mana Sri RatupenguasaLaut Utara akan menyerahkan ataumewariskan kekuasaannya padaAyuLestari, gadis yang kini berusia 17 tahundan merupakan satu-satunyayang dianggap paling tepat untuk mewariskan kekuasaan itukarena pembawaannyayangdimilikinyasejak lahirdantidakmungkindimilikiolehorang lain.
Upacara penyerahankekuasaandan pengangkatanAyuLestari menjadi Sriratu yang baruberlangsung singkat,hanyadihadiri oleh Sri ratu sendiri, laluAyuLestari,kemudian enam pembantu Sri Ratudan
terakhiradalahorang kepercayaan Sri ratu yaitunenek Cempaka. Walaupunupacaraberlangsung singkat namun sangat sakral. Pada upacara itupulaterjadi hal-halluarbiasayang sulit dipercaya oleh akalsehat manusia biasa, termasukAyuLestari.
“Ayu, hari ini akubersyukur bahwaaku akhirnyadapat menyerahkan tahtakerajaanbawahlaut
padamu. Pegang danjalankan tahtakerajaan ini dengan sebaik-baiknya. EnamRorodannenek
Cempaka akan selalumenjadi pendampingmu yang setiasebagaimana merekatelah mendampingiku selama hampirempatratus tahun…”
“Empatratus tahun!” ujarAyudalam hati. “Apakahaku juga akan punya umur sepanjang itu. Empat ratustahuntanpawajah berubah menjadi keriputsepertinenek-nenek!”
Laluterdengarkembali suara SriRatu. “Sesuaikehendak Sang Penciptamelaluisumpahkedua orang tuaku, maka aku akan kembali pada asal dan ujudkusemula…” Sri ratumemandang sesaat pada Ayu, lalumenoleh padaRoro Cokelat, yaitudaracantik berpakaian coklat.
Mendapat isyarat dari sangRatu, dara initinggalkan tempat itu. Ketikamuncul kembali dia membawa
sebuahdulang emas di atas mana terdapatsebuahangloberisiarang merahmembara. Anglo ini
diletakkandidepannenek Cempaka. Sinenek lalumengeluarkansekeping kemenyandari balik
sabuknyadan menebarkan kemenyan inidi atas bara api. Sertamertaruangan besar itudipenuhi bau harumnya bau kemenyan.
“Cempaka, silakan melafatkan doa…” berkata SriRatu dengan suara bergetar, sementara enam pembantunya secara bersamaantundukkan kepala. Ayu jugaikut-ikutan menundukkan kepala.
NenekCempaka tampak mengangkat kedua tangannyake atas. Keduamatanyadipejamkansedangkan mulutnya melafatkanucapan-ucapan panjangyang tidak dimengerti oleh Ayu. Lama sekali sinenek
membacakan doanya itu. Begitudoa selesai, nenekCempaka membawaAyuLestari berdirilebih dekat di hadapan SriRatu.
Dengan tangankanannya SriRatu memegang batu permata besar yang selamaratusan tahunmelekat di kulit keningnya. Perlahan-lahanbatu permata yang berkilau-kilauan ituditanggalkannya. Pada saat itudi kejauhanterdengar suara deburan ombak yang luarbiasakerasnya diserai suara tiupanangin seperti
seruling.
“Pejamkankedua matamuAyu…,” kata Sri Ratu.
Ayu pejamkankeduamatanya. Sri Ratumeletakan batu permata itudi pertengahankening Ayulalu
menekannya. Batu itu masukke dalam kulit keningAyu. Di saat itu pula AyuLestarimerasakan kelainan terjadi atas dirinya. Tubuhnyaterasa sangat ringan. Pendengarannya menjadi luarbiasatajam.
“Kau boleh membukamatamu sekarangAyu,” kembaliterdengar suara SriRatu.
AyuLestari membukakeduamatanya. Astaga! Pemandangannya menjadi luarbiasatajamnya. Diakini melihatapa yang selamainitak mungkindilihatnya dengan mata biasa.
“Apa yang kau lihatAyu?” tanya Sri Ratu.
“Saya…, saya melihatratusanprajuritdi luar sana. Melakukan pengawalandengan rapi. Sayabisa melihatlautan luas di atas sana. Ada perahu-perahu nelayan. Ada pulau-pulau, adaburung-burung. Bagaimana inibisaterjadi…?”
Sri Ratutersenyum. “Itu semua hanyabisaterjadikarena batu permata yang melekat dikeningmudan juga karenaadanyadasarkekuatandalam dirimu.” SriRatulalumemandang berkeliling. “Sejak saat ini, AyuLestari adalah SriRatu kalianyang baru. Kalian harus berbaktidan setia padanya. Sudah saatnya akupergidan mengucapkan selamattinggal pada kalian…”
NenekCempaka dan enam gadis jelita menjura dalampada SriRatulalu juga padaAyuLrestari,
membuat gadis ini menjadisalahtingkah. Lalu SriRatumelangkah mendekati nenekCempaka,
merangkul perempuan tua ini erat-erat. Dikedua mata sang Sri Ratu tampakkeluarmerebakair mata. Laludia jugamemeluk dan mencium satu persatu enam gadispembantunya. Enam gadis ini juga tampak terharu dan berusaha menahan isak, sementara nenekCempakatertegak tundukkan kepala.
Terakhirsekali Sri ratu memeluk dan menciumkeduapipiAyuLestari. “Jagakerajaan kitabaik-baik Ayu…”
“Terimakasih ataskepercayaan besar ini SriRatu. Jika sewaktu-waktuAyu ingin bertemu,apakahitu bisadilakukan?”
“Aku akanselalumunculpada saat-saat penting. Kau bisa memberitahu Cempaka jika kau ingin
bertemu denganku. Tanpadiminta, jika kaliandalam bahayamisalnya, aku akan muncul mendampingi kalian…”
Sri Ratumelepaskan rangkulannya. Dia melangkah mundur tiga langkahlaluberkata. “Ayu,ingat dulu bagaimana kau mengatakaningin memilikimata sebening dansebagusmataku? Hari inikebeningandan kebagusan itutelah kau miliki …”
SebelumAyusempat mengatakan sesuatu SriRatulama menjurai memberi penghormatan padanya, lalu Sri Ratulama ini menjauh sampaisepuluh langkah. Sambil melangkah dia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas. Sesaat kemudian tampakada asapkeluardari tubuhnya. Pakaian ungu tipis yang
membungkusauratnya perlahan-lahansirna. Tubuhtanpapakaian itukini perlahan-lahan berubah menjadi pucat, makin pucat danakhirnya menjadi putih sama sekali.
Dilain kejap Ayu hampirkeluarkan seruan tertahan kalausajatidak cepat menutup mulutnya sendiri.
Bagaimanakah tidak! Sosok tubuh Sri Ratu dilihatnyakinitelah berubah menjadiseekor buaya putih dan perlahan-lahan meluncurturun kebawahlalumelatadi atas permadaniruangan.
Sesaat buaya putih itumemandang kearah tujuhorang yang tegak tak bergerakitu. Lalubinatang ini
meluncur melewatibagianbawah kursi besar tahtakerajaanbawahlaut, menuruni lima undakan tangga, meluncur cepat di sepanjang permadanitebalberwarnabirudan akhirnyalenyap diujung ruangan besar.
Tak lamakemudianterdengar suara sepertiadabendaberat masukke dalam air. AyuLestari yang kini memilikipandangan matatajam luarbiasa, bukan sajamemiliki daya pandang jauhtapi juga punya daya tembus yang hebat,arahkan pandangannyakedepan. Gadistujuh belastahun yang kini menjadi SriRatu baru itumelihat bagaimanabuaya putih tadi meluncur masukke dalamlaut, berenangcepat kearah utara danakhirnyalenyap dikejauhan.
BAB IX
SAMBIL bersiul-siulPendekar 212 Wiro Sableng berjalan menimang-nimang bungkusandaun berisi nasi. Sesekali nasi itudilemparkannyakeudara laluditangkapnyakembali. Dia merasa adanya
perbedaanudara,tanda saat itudiasemakindekat dengan pantai utara. Udarapedalaman yang penuh kesegaran pohon-pohon menghijaukini berganti dengan udaralaut yang mengandung garam. Lapat-lapat pendekarini mulaimendengar suara deburan ombak di pasir.
“Ah, laut… laut! Sudah lamasekali akutidak melihatlaut. Aku akan makan berenak-enak ditepi pantai sambil memandang kelaut, laluberenang sepuas-puasnya. Orangyang kutunggu paling cepat baru
muncul saat matahari menggelincirke barat…”
Akhirnya muridEyang Sinto Gendeng dari Gunung Gedeitusampai juga ketepi pantaiLaut Utara. Satu tangan memegang bungkusan nasi, satunya lagimenggaruk-garukkepala, diategak di atas pasir,
memandang kelaut yang menyajikan pemandangan indah sementara air lautdan buihombak membasahi kedua kakinya.
Setelah puas tegak-tegak di atas pasir bermain ombak, Wiromelangkah kearah tumbangan pohon
kelapayang tergeletak di bagian ketinggian lalu duduk di batang kelapa itu. Sambilterus menatapke arah laut perlahan-lahandiamembuka bungkusan nasi yang sejak tadidibawanya. Begitudaunterbuka
kelihatanlahnasi putih yang masih hangat,sepotong ikanbakarlalusambalterasidanduabuah mentimun segar!
“Ah, di mana aku akan mencuci tangan…?” Wiromemandang berkeliling. “Dicuci dengan air lautpasti membuat tangandan nasi inijadiasin. Ah sudahlah. Tidakcuci tanganpuntidakapa-apa! Tidakada yang marah! Ha…ha…ha!” Wirolalu mulai menyantap nasi bungkusnya. Belum lagisuappertamasampaike mulutnya, sepasang telinganyamendengar langkah-langkah kaki di belakangnya.
Pendekarinicepat berpaling dan pandangannya bertemu dengan sosok tubuh seorang nenekberambut putih acak-acakan, berpakaian compang-camping. Langkahnyaterseok-seok. Kalau sajadiatidak
bertopang pada tongkatnyaniscayasudah beberapa kali dia jatuhtergelimpang. Dantongkat yang
berada di tangan sinenek bermuka kotor celemongan inisungguhanehdi mata murid Sinto Gendeng.
Seorang nenekrombengseperti itumembawasebatang tongkatyangujungnya berkeluk. Tongkat ini terbuat dari pipa kuninganyang memantulkan sinarkekuning-kuningan akibatsiraman sinarmatahari. Walaupundirinya jelastidak terawat namun tampaknyasinenektelahmerawat baik-baik tongkat
antiknya itu.
Perempuan tua itutegak terbungkuk-bungkuk di hadapan Wiro, bertopang pada tongkat pipa
kuningannya. Dadanya turunnaik dannafasnyaterdengarmenyegal. Dia terbatuk-batuk beberapa kali. Wirojadi ingat pada gurunyayaituEyang Sinto Gendeng.
Perempuan itu menatap sayuke arah Wirobeberapa lamanya. Lalukeduamatanyaberputardan
memandanglekat-lekatpadanasidi atas daun yang adaditangan kiri sipemuda. Tampak dia beberapa kali menjulurkan lidah,membasahibibir sementara tenggorokannya turunnaik.
Wiromenunggu sampaisinenekmengatakan sesuatu. Tapi justru orang ituterus sajategak berdiamdiri. Dankeduamatanyamasih menataptakberkesip padamakanandi atas daun.
“Nek,apakahkaulapar…?” akhirnyaWiroyangmenegur.
Sesaat perempuan tua itumasihmemandanginasi yang dipegang Wiro. Tak lamakemudianterdengar suaranyaseperti orang menggigil. “Sudah dua hari akutidakmelihat nasi …”
Wiromenggarukkepalanya. “Kalaukuberikan nasi inipadanya,alamataku Cuma akan makanangin laut…” kata Wirodalam hati. Kembaliterbayangwajah gurunya. Akhirnyatanpa banyak pertimbangan lagiPendekar 212 pindahkan nasi ituke tangankanannya lalumengangsurkannyapada sinenek.
“Kauambillah nasiku ini, nek. Akusebenarnyatidaklapar,” kata Wiro.
“Kitabagi duasajanasiitu, anak muda,” menjawab sinenek serayamaju satu langkah.
“Tidak, kau boleh ambil semua. Ini rezekimu, jangan menolak…”
Sinenek tertawa sayu. “Akutidaksukamenerimakebaikanorang tanpamembalasnya dengan kebaikan pula. Sebungkus nasimu itu akan kutukardengan tongkat kuninganku ini!Bawake marinasiitudan kau ambil tongkat ini!”
Wirotertawa dangelengkan kepala. “Nasi sebungkusinikuberikandenganikhlas, tidak meminta balasan apa-apa.”
“Jangan menolak. Tongkat ini adalahrezekimu!” kata sinenek pula.
“Terimakasih nek. Kau orangyang sangat memperhatikan budi. Namun akutakberanimenerima tongkatmu itu. Benda itulebih berguna bagi dirimu terutamauntuk dipakai berjalan…”
“Kalaubegitubaiklah.” Sinenek lalumengambil bungkusan nasi. Lalutanpa sungkan-sungkandia duduk di samping Wirodi atas batang kelapa itu. Tongkatnya dibelitkandisampingnya dandia mulai menyantap nasi, ikan, sambalterasidan mentimun.
Ternyatasinenekmakannya “riuh” sekali. Suaraciplakannyaterdengarkeras. Pendekar 212 Wiro
Sablenghanyabisamelirik memperhatikan sinenek yang begituasyik bersantap. Hanyadalamwaktu singkat nasi sebungkusitu puntandaskedalam perut sinenek. Kini perempuan itu duduk menjulurkan kakinya. Daun pisangpembungkus nasi dirapikannyakembali laludiaberpaling pada Wiro, dan berkata seraya menyerahkan bungkusandaun nasi yang telah kosong itu.
“Aku sudah kenyang. Sekarang giliranmumakananak muda!” Laluenak saja bungkusan itu diletakannya di atas pangkuan Wiro.
“Perempuan tua inigeblek ataupikun. Nasiku sudahdisikatnyahabis, kini bungkusankosong itu diserahkannya padaku. Aku disuruhnyamakan!” Wiromembatin.
“Hai, makanlah!Apakau malumakandi hadapanku? Akutaditidakmalu-malumakandi hadapanmu. Malah suara ciplakankuterdengarsampaikedalamlaut, sempat mengejutkanikan-ikandi sana.
Hik…hik…hik! Nah,selamat makananak muda!”
“Nek,apayanghendak kumakan? Bukankahnasidalamdaunitusudah kau habiskantadi…?”
“Ah, kau pastimenyesal memberikan nasi itupadaku!” sinenek tampakmemancing.
“Sungguh mati akutidak menyesal. Akusenang danikhlas menolongmu,” jawab Wiro pula.
“Kalaubegitukaumakanlahnasi itu!”
“Nasi yang mana nek?”
“Nasi dalam bungkusdaun. Yangadadi pangkuanmu itu!Apakaumelihat bungkusan nasi yang lain?!”
“Astaga nek, bungkusaninikosong. Isinya Cumatulangikan. Sebaiknyakubuang saja…”
“Jangandibuang anak muda. Kaubelummembukanya. Belummelihat isinya. Bagaimanakaubisa mengatakandaunitu isinya cuma tulangikan?”
“Akutadimelihat kau menyantap habis nasi itu,ikannya, sambalterasidanduapotong ketimun. Yang kau sisakan hanyatulangikan…!”
Sinenek tertawa cekikikan.
“Eh, apa pula yang kau tertawakan, nek?” tanya Wiro.
“Anak muda, kauseolah-olah punyamata yang bisamenembus daun pisangpembungkusitu. Hingga begitu yakin isinyahanyasepotong tulangikan! Cobalah dulukau buka dan periksa. Apa yang kau
katakan mungkintidakdemikian. Nah,apakah kau takingin memeriksanya?”
“kalaukau bilang begitu,baiklah…” Wirolalumembuka bungkusandaunitu. Danterkejutlah sang
pendekar! Bungkusanyang disangkanya kosong hanyaberisikantulang belulangikan bakarternyata ketika dibuka yang tampakadalahnasi putih masih mengepul, sepotongikan bakar, sambalterasi, dan duabuahketimunsegar! Persis seperti yang sebelumnya dilihat Wirodandiserahkan padasineneklalu dimakan sampai habis!
Wirotidak percaya padamatanyasendiri. Dipegangnya nasi itu. Terasapanas dan memang nasi betulan. Diangkatnyaikan bakar itu, diciumnya. Terasaharum segarnyaikan bakar.
“Ituikan betulananak muda! Buah mentimunitu jugabuah betulan! Sambalterasi itujugasambal
betulan. Jika kau tidak percaya silahkan peperkankematamu!Nanti kau baru yakin akanucapanku! Hik…hik…hik…”
“Nek, kau ini ahli sulap atau tukang sihir…?” tanya Wiro.
Sinenek tertawa panjang. “Tidakkedua-duanya, anak muda. Nah kau makanlah!” katanya.
Dengan perasaan penuh raguWiromenyuapnasi dansecuilikan. Ketika dikunyahdanditelannya
memang nasi danikan betulan. “Laluapayangtadidimakannenek itu?!” tanya Wirosambil mengunyah terheran-heran. Sementara sinenek sendiri duduk tenang-tenangsajamemandang kelautlepas. Selagi Wirobersantap danselagisinenek duduk santai begiturupa, tiba-tibaterdengar satu bentakankeras.
“Tua bangkakeparat!Akhirnyakutemui jugakaudi tempat ini! Jangan kira kau bisamenipuku dengan menyamarsebagainenek-nenekrombeng!”
BAB X
KALAUPendekar 212 Wiro Sableng meskipunkagettetap duduk di atas batang kelapa, sebaliknyasi nenekcepat menyambartongkat besikuningannya dan melompat. Wiro segera melihat perubahan
gerak-gerik perempuan tua ini. Kalau tadinya tampak lambandan lemah, kinigerakannya menunjukkan kegesitan penuh waspada.
“Setelah tujuhtahun berlalu, bangsat ini muncul kembali! Bagaimanadia tahu diriku!” sinenek membatin. Kemudiandiaingat padatongkat pipa kuninganyang dipegangnyadi tangankanan. “Ah, pasti senjataku inilah yang dikenalinya!”
“Tua bangkaburuk! Sebelum nyawamu kukirim keakherat lekaskatakandi mana cucu perempuan bekasAdipati Ambarawa Menak Sringgi itukini berada?!”
“Djarot Pangestu…, Kau bilangaku nenekburuk, memangaku sudah tua danjelek. Tapidirimukulihat lebih jelek. Tangandan mukamu penuh cacat! Siapayangtelah menghajarmusampai hancur-hancuran beginirupa?” Habis berkata begitusinenek lalutertawa cekikikan.
“Tua bangkasedeng! Lekaskatakandi mana anak perempuanituberada?!”
“Ada urusan apa kau mencarinya?Apamasih belum cukup menebarmaut menumpahdarah orang-orang tak berdosa?!”
“Puah! Jangan bicara tentang manusia-manusiatakberdosa! DosaMenak Sringgiterhadapku turun temurun sampaike anak cucunya. Adalah pantas kalauseluruh darahdaging keturunannya harus
kubasmi!” ujarDjarotPangestu pula.
“Sampaikeujung langitsekali punkau mencari, tak bakalkau menjumpainya! Dankalaukauberhasil menemuinya dia akan menghajarmusemudahdia membalikkantelapak tangannya!”
“Begitu…?” kata Djarot Pangestulalumeludah ke pasir. “Biar lehermu yang kubaliklebih dahulu!”
Djarot tutupucapannya dengan menyerbudan lancarkan pukulan tangan kosong kearah kepalasi nenek. Nenekberambut putih ini sertamerta gerakkan tangankanannya, menangkis serangan lawandengan
tongkat pipa kuningan.
Sebelumnya Djarot Pangestusudah tahu kehebatan senjata lawan itu. Namunkinisetelah menguasaiilmu kesaktianyang didapatnya dari Raja Batu Di Batu di Tanah Bugis, maka dia bermaksuduntuk menjajal sampaidi mana kehebatan ilmukesaktian itu. Begitu tangannyamemukul, tangan itu berubah hitam legam dankeras luarbiasaseperti batu!
“Traaaang…!”
Tongkat kuningandan tangan saling beradu, mengeluarkan suara berdentranganyang keras. Sinenek
keluarkan seruan kaget. Bukan sajatubuhnya terhuyung keras ke belakang tapitongkat pipa besi
kuningannya tampak peyokpada bekas yang terkenahantaman tanganDjarotPangestu. Sedanglelaki itu sendirihanya tampaktergontai-gontaisambil menyeringai.
“Manusia satu ini pastisudah berguru pada seorang saktimandraguna, sesuai ancamannya tempo hari…” pikir sinenek. Walaupundarahnyaterkesiapmelihat kehebatan lawan namun dia menunggu dengan sikaptenang.
KetikaDjarot Pangestu menyerbukembali, dia ketukkantongkat pipanya ke tanah. Terdengar suara
bergemalaksanagenta mengalun. Satu gelombangangin yang deras menghantam kearah Djarot
Pangestu. Wiroturut merasakan kehebatanangin senjatadi tangan sinenek. Tubuhnya terhuyung ke kiri. Diacepat bergulinglalutegak melompat.
“Ilmukesaktianmutiada guna, nenek jelek!” ejek Djarot Pangestu. Dia dorongkan kedua tangannya. Kedua tangan itu sertamertaberubah menghitamseperti batu.
“Braaak!”
Terdengar suara anehseperti dua bendakeras saling benturketikagelombangangin yang keluardari ujung tombak pipa kuningan sinenek bertemu dengandua telapak tanganDjarotPangestu. Djarot
terhempas ke belakang sebaliknyasinenek terdengarkeluarkan suara mengeluh. Tanah yang dipijaknya sepertiamblas. Tubuhnya terbanting jatuh sedangmukanya tampak pucat!
“Sekarang terimakematianmu tua bangkasedeng!” teriak Djarot Pangestu. Tangankanannya laksana palugodam dihantamkan kekepalasi nenek. Dengansusahpayah perempuan itu melintangkantongkat pipa kuningannya di ataskepalaguna melindungidiri.
“Traaaaang!”
Untuk kedua kalinyaterdengar suara berdentrangan. Tongkat pipa kuningan itupatahdua. Sinenek
terpental duatombak, tergulingdi atas pasir dandiguyurolehombak yang memecah di pantai. Selagi dia mencoba bangkit dengansusahpayah, Djarot Pangestusudahmelompat ke hadapannya.
“Pergi!” teriak sinenek sambil tusukkan jari telunjuk tangannya kearah dada lawan.
Djarot pangestu merasa seolah-olahada besipanas berputarmenusuk tembus ke dadanya. Jantungnya sepertidibor! Lelakiituberteriakkesakitan, keluarkankeringat dingin. Dengancepat dia rangkapkandua tangandidepandada. Sepasangmatanya membeliak. Rambutnyayang awut-awutan berjingkrak ke atas sepertiterpanggang. Mukanya dansekujur tubuhnyamendadak berubah menjadi hitamaneh. Hitam
mengeras seperti batu. Rahangnya menggembung dan dari mulutnyaterdengar suara bergemeletakan.
“Pergi!” Teriak sinenek sekali lagisambillipatgandakan tenagadalamnya. Tusukansepertibesi berputar kembali menyambarganas bagiandadaDjarotPangestu. Tapikinisepertimenderatembok baja, tusukan itu tak dapatterus, malahmembalikpadapemiliknya.
Terdengarpekik sinenek. Tubuhnya jatuhtergulingdi atas pasir. Dari mulutnya tampak mengalirdarah segar. Djarot Pangestumembuat langkah-langkah kaku yanganehseolah tubuhnya benar-benartelah berubah menjadi batu. Begitusampaidi hadapan sinenek diaangkat kaki kanannya tinggi-tinggi lalu
dihujamkan kekepala perempuan tua itu!
BAB XI
NENEKCempaka meskipundalam keadaanterluka parahdi sebelahdalam namun masihsempat melihat datangnya hantamankakiDjarotPangestu yang akan menghujam kepalanya. Dia berusaha menyingkir. Tapisepertiadahawa aneh yang membuatnyatakmampu bergerak. Perempuan tua ini hanya pasrah menunggu datangnyamaut!
Hanya sesaat lagitapak kaki Djarot Pangestu akan menghancurkan kepalasi nenek, tiba-tiba dari
sampingseperti adaanginputingbeliungyang menyambar. Pasir terbang keudaradanairlaut muncrat tinggi. Tubuh Djarot Pangestu yang hanya bertumpupada kaki kiri, meskipuntidak terangkat mental dan hanyaterpuntirkekiri namun inisudah cukup menyelamatkan kepalasi nenek dari hantaman kakinya.
Kaki itukini mendaratdi atas pasir pantai. Untuk kedua kalinya pasir menghamburke udaradanditanah pantai tampaksebuahlobang besar.
Ketikaberpaling ke kananDjarot Pangestusaksikantubuh nenekCempaka sudahberadadalam dukungan Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kaumuridnya atau siapa! Lekas beri tahu!” bentak Djarot Pangestu serayamajudualangkah. Sampai saat ituwajah dansekujur badannyasampaikekakimasih tampakhitam membatu.
“Aku dannenek initidak punyahubunganapa-apa. Sangkut pautku dengandirinya adalah sangkut paut kemanusiaan!” jawab Wiro. “Mengapakauhendakmembunuhnya?!”
“Mengapaakuhendakmembunuhnya itu bukan urusanmu! Lemparkantubuhnya ke pasir!” menghardik Djarot Pangestu.
“Kau sudah mengalahkannya,apamasih belumpuas?!”
“Bangsat!” Djarot Pangestujadimeledakamarahnya. “Biarkalian berduakubunuhsekaligus!” Lalu
lelaki inidorongkan kedua tangannyakeras-keras kearah murid Sinto Gendengyang memanggulsi nenekdi bahu kirinya.
Tadi untuk menyelamatkanNenek Cempaka, Wirotelah lepaskan pukulan saktibernama “Benteng
Topan Melanda Samudra”. Sebelumnya, siapasaja yang sempattersambar pukulan sakti itupasti akan mencelat mental dankalautidak remuk sekujur tubuhnya, paling tidakakan menderitaluka dalam yang parah. Namun kenyataannya Djarot Pangestuhanyaterpuntirke samping. Jelas manusia satu inimemiliki ilmukepandaiandan kesaktian sangat tinggi.
KinimelihatDjarothantamkankedua tangannya kearah dirinya yang sedang memanggul Nenek Cempaka. Pendekar 212 Wiro Sablengtanpaayallagi segeralepaskan Pukulan SinarMatahari!
Sinarseputih perak dan menyilaukan serta menebar hawa panas berkiblat menghantam kearahangin sakti yang keluardaridua telapak tanganDjarotPangestu. Dua kekuatan sakti tingkat tinggi saling
bentrokan. Terdengar suara berdentum. Pasir pantai beterbangankeudara. Ombak yang bergulung dan hendak memecah di pantai tersapu dan membalikkembalike arahlaut.
Pendekar 212 rasakantubuhnya sepertidijebit oleh dinding batu dariarah depan serta kiri kanan.
Kedualututnya goyah. Dia tak sanggup bertahanakhirnyaterpental dua tombakke belakang, terhempas di atas pasir tapimasihsanggup memegang erat tubuh sinenekhinggakeduanyajatuh salingtindih. Wiro cepat bangkit walaudadanyaterasa sesak dan masihdalam keadaan mendukung sinenek di bahu
kirinya!
Ketikapukulan sinarmatahari menghantam, sesaat tubuh batu Djarot Pangestu yang berwarna
kehitamanituberubah menjadi putih dan mengepulkanasap. Keduamatanya merahmembara. Dia
menjerit keras sebelumtubuhnya terhempas ke pasir laluterguling sampai delapan langkah. Namun
tampaknya orang initidak mengalamicedera. Meskipunterhuyung-huyung dia berusaha bangkit. Sekujur tubuhnyayang memutihdan mengepulkanasapitumengeluarkan suara bergemeretakanseperti suara
batu bergeser.
“Anak muda…” Wiromendengarsinenek berbisik padanya. “Lekastinggalkan tempat ini. Kau tak
sanggup mengalahkan manusia itu. Akutahuilmu apayangdimilikinya. Sebelumterlambat lekasturunkan diriku danselamatkandirimu!”
“Akutakmungkinmeninggalkankaudisini begitusajanek,” ujar Wiro. “Keparat itupasti akan membunuhmu!”
“Mungkin memang sudah begitu suratan takdirku!”
“Jangan mendahului kemauanTuhannek!Akumasih punya ilmusimpanan. Juga senjata mustikauntuk menghajarnya!”
“Jangan tolol!” mendamprat nenekCempaka. “Sekalipunkau punya segudang kesaktiandan seribu
macam senjata, dia takakan sanggup kau kalahkan. Dia manusia batu yang kebal segala macam pukulan dan senjata. Lekas kau turunkandiriku!”
“Tidak!” jawab Wiroberkeras, sementara itudi depannyaDjarotPangestudengankedua tangan
terpentang mulaimelangkah mendekat. Kedua tangannya dirangkapkan secara aneh didepandada. Dan tubuhnyayang tadi berwarna keputihan perlahan-lahankinikembali menjadi hitam membatu!
“Anak muda kau tolol amat sih!” terdengar suara NenekCempakakembali. “Tapisudahlah, jika kau
memang mau menolongku, cepat melangkah ke dalamlaut. Akumelihat dikejauhanadadua orang dari para sahabatkutengahmelesatdaridasarlaut menujuke tempat ini. Merekatakbisa mengalahkan lelaki itu, namun keduanya sanggup menghalangisehinggakitasempat menyelinap masukke dalamlaut!Ayo lekas masukke dalamlaut!”
“Nek!” seru Wiro. “Kau memang sakitterluka didalam. Tapi kau bukan sakit panas. Lalumengapa kau bicaraseperti orang mengigau?!”
“Mengigau macam mana maksudmu?!” Sentak sinenek. “Lekaslakukanapa yang kubilang. Waktukita hanyasedikit!”
“Kau menyuruhaku masukke dalamlaut!Apaitubukan mengigau?! Lalukau bilangmelihat adadua darasahabatmumelesatdaridasarlaut! Apa itujugabukan mengigau? Akutidakmelihatsiapa-siapa, apalagidua dara itu….”
Wiro putuskanucapannya ketika tiba-tibadaribawah permukaan lauthampir tak dapat dipercayanya melesat keluardua sosok tubuh berpakaian birudan hijau. Dankeduanya ternyata adalah sepasang dara berparas cantik jelita, berkulit sangat putih dansepertiberkilauanditimpasinarmatahari.
Yang membuat Wirojadi menahannafasadalahpakaiankedua dara ini. Sisikiribajupanjangyang
dikenakandua dara itu terbelahtinggisampaike pangkalpahanyahinggasebagian auratnyakelihatan
terpampang ketikaangin laut menyibakkan bajumereka! Sesaat Wirotegak tertegun sementara Djarot Pangestu yang semulamelangkah mendekati Wirountukbeberapa saat lamanya menatapkearahkedua gadis itu dengantajam dankedua kaki batunyaberhentimelangkah.
Wirotepuk pantat sinenek. “Pemuda kurang ajar! Apa-apaan kau ini?!” menghardik sinenek.
“Gadis berbajuhijaudan biru itu. Mereka yang kau katakan para sahabatmu?!”
“Betul! Tapisekarang kita tak punyawaktubanyak untuk bicarapanjanglebar. Biarkandua dara itu menghadang. Kau lekas melangkah ke dalamlaut…”
“Nenekini begitumemaksa… Aneh! Diatidakmengigau. Kalau akuturuti perintahnya apa aku mau mati tenggelam…?!”
Selagi Wiroberpikir-pikir sepertisinenek gerak-gerakan kedua kakinya sementara tangankanannya
menekan punggung murid Sinto Gendeng. Anehseperti didorongoleh suatukekuatangaib, Pendekar
212 terdorong ke depandanbagaimanapun dia berusaha melawan, tetapsajatubuhnya terdorongmalah makin dilawantambahkeras.
TanpadisadarinyaakhirnyaWiromelangkah ke dalamlaut. Makindalam, makindalam dansewaktu air lautsudahsampaike dadanyamalah mulai mendekati leher, nenekitumenekan kuat-kuat salah satu urat besar di punggung Wiro. Murid Sinto Gendeng terus melangkah, masukke dalamlautdan lenyap dari pemandangan!
BAB XII
MURID Sinto Gendeng itunyaris tak percayakalautidak dapat mengalamisendiribagaimanadirinya bisamelangkah bahkan melayang didalamairlaut bahkan bernafasseolah-olah dia berada diudara
terbukasaja!
Hanyapemandangannya saja yang mula-mulaterasa agak berkabut dan matanyasedikit perih. Namun beberapa saat kemudian diamampu melihat seterangdi luar. Hal initak lain karena totokananeh yang dilakukannenek Cempaka padabagian punggungnya.
Wirohendakmembuka mulut menanyakan sesuatu. Tapi sadar berada didalam laut, dankhawatir air masukke dalam mulutnya, maka pendekarinikancing mulutnya rapat-rapat.
Setelah melayang beberapa lama didalam laut, nenekyangdipanggul menunjuk jauh kebawah, kearah dasarlaut. Wiromemandang kearah yang ditunjuk. Diamelihatsebuah bangunan besaryangmemiliki beberapa atap-atap tinggi berbentuk joglo. Sinenek terus memberitanda agar Wirobergerakke arah bangunanitu.
Ketika hampir mencapaibangunan besar tersebut, dua orang tampakmelesat dari depan. Ternyatadua orang gadismasing-masing berpakaian merahdan cokelat. Sebentarsaja mereka sudahsampaike dekat
Wiro. Lalupendekarini mendengarada suara mengiang ditelinganya.
“Ikuti kami...”
Duagadistadimemandang sesaat pada Wiro, laluberbalik dan berenang mendahului menujuke
bangunan besar. Begitusudahsampaidibawah atap bangunan, air laut sertamerta lenyapdan Wiro
dapatkan dirinyadalam keadaan basah kuyup berada di bagiandepan bangunan besar. Memandang ke dalam diamelihat satu ruangan bertiang duabelas buahdi kiri kanan, lantainyaberalaskan permadanidan jauh diujung sana adasebuahkursibesardibawah duabuahpayung.
“Nek, segalasesuatunya serbaajaib!Akutakhabis percayabagaimana aku bisamampu melayang dan bernafasdalamairlaut. Laludi mana kita berada saat ini....?”
“Kita berada diKerajaanBawahLaut, anak muda. Hanya itu yang bisakuterangkan saat ini...” terdengarsinenek menjawab.
KetikaWirohendak bertanya lagi, daraberpakaian cokelatsudahmendatangidan berkata, “Serahkan nenekitupadaku!” Lalutanpa menunggu dia mengambil nenekCempaka dari bahu kiri Wirodan
memanggulnya menujusebuahpintu yang diatasnya adalampu cokelat.
Gadis berbajumerah memberi isyarat agar Wiromengikutinya. Saat itupakaian Wiro basah kuyup, begitujugatadi sinenek. Tapi mengapadara yang melangkah didepannya itu sama sekalitidak basah? Padahal tadi jelas dia berenang didalam laut menyongsong kedatangannyabersama sinenek.
“Jangan-jangan akuberadadi sarangnya dedemit ataujin laut,” pikir Wiro.
“Didalam kamaradaseperangkat pakaian. Ganti pakaianmu yang basah. Jika sudah selesai, keluardari kamarinidan duduk didepan tanggadiseberang kursi besar diujung ruangan...”
“Kau sendiritidakmasuk ke dalamkamar...?”
Wajah sang dara tampak menjadimerah. “Jika Sri Ratutidak menganggap dirimusebagai seorang tamu yang berjasa danterhormat, cukup alasan bagiku untuk menjatuhkan hukuman atas mulutmu yang
lancang itu!” kata daraberpakaian merah yang dipanggil dengan nama RoroMerahitu.
Wirobarusadarkalau ucapannya tadi sangat menyinggung perasaan si bajumerah, padahal sebenarnya
tidak adamaksud apa-apa. Cepat-cepat diatundukkan kepaladan berkata:
“Saudari, harapmaafkan. Aku .... hemm...akutidak bermaksud yang bukan-bukan. Segalasesuatunya di tempat ini serbaaneh walaupun menakjubkan. Berada seorang diriditempat ini, maksudku dikamar ituakukhawatir melakukan kesalahandan melanggar aturan. Tadi sinenek mengatakanakuberadadi KerajaanBawahLaut. Apa benar begitu? Lalu siapa raja dikerajaan ini? Aku benar-benarmengalami hal-hal yang luarbiasa. Bayangkan, orang tolol sepertiku inibisaberjalan didalam laut, bisabernafas! Padahal, jelek-jelek begini, aku bukan turunan ikan atau kura-kura!”
Mendengarucapanyang polos dan lucu ituRoroMerahkinitampak tersenyum. “Saudara...,” katanya. “Memang benar saat inikauberada diKerajaanBawahLaut. Kami tidak punya rajatapimemiliki
seorangratu yang kami sebut dengan panggilan Sri RatuAyuLestari. Kau bisaberjalan didalam lautdan bernafassepertidiudarabiasakarena nenekCempakamenotok salah satu urat di punggungmu...”
Pendekar 212 tentu sajatercengang mendengarketerangan itu. Diageleng-geleng kepala. “Ilmutotokan apa yang sungguh luarbiasa itu...” katanyasambil menggarukkepala. “Ah, kaliandisinitentunya
manusia-manusia saktimandraguna. Aku benar-benarmengaguminya. Dan mohon maafkalaudengan sejujurnya aku harus memujibahwa kau dankawanmu tadi, jugadua dara yang melesat menghadang Djarot Pangestu, semuanya cantik-cantik dan memiliki sepasang mata yang luarbiasa indahnya. Cuma, yangaku heran, kalaumemang benar inisebuahkerajaan, mengapa suasana sepi-sepisaja? Dan
bangunanini pastisebuahistana. Laludi mana para penjaga? Para pengawal...?”
“Kau melewatimereka, tapitidakmelihat mereka. Cobalah memandang berkeliling sekalilagi...” kata RoroMerah. Wirolakukan apayangdikatakangadisitu.
“Astaga...!” ucapnya ketika dia menyaksikanbagaimanaruangan itu mulaidaribagian depan sampaidi sekitarkursibesardibawah payung penuh dengan pengawalbersenjata lengkap.
“Aneh, bagaimana tadi akutidakmelihat mereka semua...?” Diamemandang berkeliling sekalilagi.
Mendadaksajamuncul rasa kecut dalam dirinyaketika saat itudiatidaklagimelihat para pengawal itu!
“Silakan masukke dalam kamardan ganti pakaianmulalukeluarmenuju hadapan TahtaKerajaan...” berkata Roro Merah.
Didalam kamaryang dinding dan langit-langitnyaberwarnamerah dan harus semerbak Wirodapatkan sebuahranjangyang sangat bagus. Di atas ranjang ini adaseperangkat pakaian lelakiterdiridaricelana panjangdanbaju tangan panjang berwarnamerah dengan hiasan berupasulamandari benang emas. Di samping pakaian, terdapat pula topi tinggi berwarnamerah, laluikat pinggang besarberbentuk rantai
yang ketikaditelitinyamembuat pendekarinijadimelengak karenaikat pinggang itu terbuat dari emas!
Wirotermangu sesaat. Takada hallain yang bisa dilakukannyakecualimemang mengenakan harus pakaian merahitu. Diamembuka pakaian putih dekilnya yang basah kuyup. Namun sesaat dia
memandang ke pintu, khawatiradayangmasuk. Dia jugamemandang ke seantero kamar, takutada yang mengintip!Akhirnya dengan senyum-senyum Wirotanggalkan pakaian putihnya laludengancepat
mengenakanbaju dancelanamerah, lengkap denganikat pinggang dan topinya. Kapak Naga Geni 212 diselipkannyadi pinggang di bawahbaju, begitujugabatuhitam saktikawanankapak mustika itu.
Didinding sebelah kiriterdapatsebuahkaca besar. Wiropandangi dirinya didalam kaca itudan menyeringaisendiriketikamenyaksikantampangnya. “Gagah jugadiriku ini! Tak kalah dari seorang pangeran!Pangeran Sableng...? Huh!?” Dia tertawa sendirian lalumelangkah ke pintu. Tapicepat berpaling ketika ingat pakaiannyayang basah. Dan melangkah pendekar kita.
Pakaian putih basah itu tadi jelas-jelas ditanggalkannyadandiletakkannyadilantai. Tapikinipakaian itu takada lagidisitu, lenyaptanpa bekas, bahkan bekas-bekas air puntakkelihatan lagidilantai!
Dengantubuh agak bergetar, Pendekar 212 keluardaridalam kamar. Begituberadadiruangan besar, diujung sana dilihatnya nenekCempakabersamaRoroMerahtelah duduk di hadapan kursi besar. Di atas sana tampak duduk seorang dara cantik luarbiasa, mengenakan pakaian unguyang sangat tipis. Di kepalanya adasebuah mahkota emas bertaburkan permata. sedangdi keningnya menempelsebuah batu permata besar.
Wiro ingat pesan RoroMerah tadi, laludia segera melangkah keujung ruangan. Sadar kalaudia pasti berhadapan dengan Sri Ratu penguasa Kerajaan Bawah Laut, dankhawatir berbuat kesalahan lagi maka murid Sinto Gendengcepat menjura. Setelah itudiamelirikpadanenek Cempaka. Perempuan tua ini
dilihatnya baik-baiksaja, malah tersenyum tidakseperti orangyang menderitaluka parah didalam akibat hantamanDjarotPangestu tadi.
Malahdia pun melihatsinenektelah berdandan hinggawajahnyayang tua itu tampak cantik,ditambah dengan pakaian putih yang bagus. Tidak dapattidak, sinenek pastisudahmendapat pengobatanyang mujarabhinggabisasembuh secepat itu.
“Nek, kausehat-sehatsaja...” akhirnyaWiromembuka mulut. Sinenek tersenyum dananggukkan kepala. Wiromemandang kearah gadis di ataskursi. Adasinaragungyang memancar dari sepasang matanya, yang membuat Wirotak kuasa menataplebih lama.
Inilah SriRatuAyuLestari, daraberusiatujuh belastahun, cucu Menak Srenggi yang secara tidak diduganya sama sekalitelahditunjuk sebagai penguasaLaut Utara.
Selagi Wiro salahtingkah karenataktahu mau berbuat atauberkata apa, terdengar SriRatuberkata, “Saudara, kami ingin menyampaikan rasa terimakasih karenakautelah menyelamatkannenek Cempaka dari bahayamaut keganasanDjarotPangestu. Sebagai balas jasa, katakanlah apa yang kau inginkandari kami...?”
Wirotak menyangka akan mendapat pertanyaanseperti itu. Sesaat dia menatapwajah Sri Ratu, tapi sekali lagisinaryang keluardarimata gadis muda itumembuat dia tak sanggup bertahandantundukkan kepala. Dalam hatinya muridSinto Gendeng menggerendeng. “Sialan, belumpernahaku melihatsinar mata yang begini berwibawa. Masakanakutaksanggup memandangnya lama-lama...?!”
“Maafkandiriku Sri Ratu. Akutidakmemintabalas jasa apa-apa. Tolong menolong sesama manusia adalah halyanglumrah. Apalaginenekitu seorangyang baik...” berkataWiro. “Lagipula kaliantelah berbaikhatimeminjamkanseperangkat pakaian merah yang bagus ini, lengkap dengan topi danikat pinggangnya. Dari emas pula! Seumur hidup barusekali ini aku mengenakan pakaian sebagus ini!”
NenekCempakatersenyum, begitujuga SriRatuAyuLestari. Pada saat itulahtiba-tiba seorang dara berbajukuning keluardari baliktirai ungudan berkata, “Sri Ratu, Roro hijaumengalamicederaberat. Tubuhnya tak berkutik, entah pingsan, entah tewas! Roro Biru tengahmelarikannyake mari!”
Sri Ratu, NenekCempaka dan RoroMerah serta merta bangkit berdiri. “PindahkanOmbak Penyambung Matake ruangan ini!” berseru SriRatu.
RoroKuning, daraberbajukuning tadi, silangkan kedualengannya di ataskepala. Mulutnya merapal sesuatu. Ketikakedualengan ituditarik dandipukulkan kesamping, Wiromendadakmendengar suara
sepertiombak berdeburkeras. Memandang kearah pertengahan ruangan, diamelihat satu keanehan lagi di tempat itu!
BAB XIII
DI tengah ruangantiba-tibasajaterlihat satu gulunganombak besar, membentanglebartak bergerak
laksanasebuahlayar kaca. Didalam layarombak ituWiromelihat bayangan seorang daraberbajubiru tengah berenang didalam laut, memanggultubuh kawannyayang mengenakan pakaian hijau. Dua dara ini yang sebelumnya dilihat Wiromelesat keluardaridalam laut.
Semua orang KerajaanBawahLaut yang adaditempat itu tampak cemas. Sri RatuAyuLestari
berpaling pada pembantunyayang berpakaian kuningdan berkata: “RoroKuning, cepat songsong Roro Birudan katakan agar segera membawaRoroHijaukeruang pengobatan. Aku akan menyusulke sana.”
BegituRoroKuning berlalu, Sri RatuAyuLestari jentikkanibujaridan jari tengah tangankanannya. Layarombak di tengah ruangan berdesirdanbergulung ke atas. Sesaat kemudian layar itu menyajikan pemandanganyang lain.
“Luarbiasa…” ujar Wirokagum dalam hati. Kini diamelihat pemandangantepi pantai. Lalu tampak
sosok tubuh manusia batu Djarot Pangestutegak berkacak pinggang. Mulutnya terbuka dankelihatannya diasepertitengahmemaki. Perlahan-lahantubuhnyayang menghitamdan membatu itukembalike bentuk semula.
Sri Ratu tampakkepalkan tangankanannya. Seolah-olah berada seorang diridiaterdengarberucap: “Wajah dan tubuhaslimupenuh denganguratan cacat. Kau boleh berubah menjadi manusia batu. Tapi aku akantetap mengenali Djarot Pangestu! Manusia biadab pembunuh kakekdannenekku!Pembunuh ibudanseorang kawanku! Hari inikau muncul diLaut Utara! Hari ini hari pembalasan bagimu!”
Lalu sangRatuberpaling pada pembantunyayang berpakaian merahdan berkata: “Roromerah kau awasiterus ombak penyambung mata itu. Aku dannenek Cempaka akannaikkedarat untuk
menyelesaikan perhitungandenganDjarotPangestu!”
NenekCempaka memegang lengan Sri RatuAyuLestari serayaberkata: “Sri Ratukita harus berlaku hati-hati. Djarot Pangestubukan manusiasepertitujuh tahunlalu. Melihatilmu yang dikeluarkannya
ketika menghadapikujelas sekarangdia menjadi manusia sangat berbahayadan sulit ditaklukkan. Aku tahu dari siapadiamendapatkanilmu batu sakti itu…”
“Katakan siapa gurunya NenekCempaka,” ujar SriRatu pula.
“Dari seorang musuh besarkudi masa muda. Namanya KaraengWatuampu, seorang tokohsilat sakti mandraguna dari Tanah Bugis, bergelarRajaBatuDi Batu. Diamemiliki ilmu batu. Takada ilmu lawan yangsanggup menghadapinya. Biarkan aku dan beberapa pembantumu menghadapinyalebih dulu…”
Sri RatuAyuLestariwalaupun masih sangat belia, namun selamatujuh tahundia mendapat gemblengan dari Sri Ratuterdahuludibantu oleh enam Roro dan siNenek Cempaka sendiri. Kecerdasanotaknya
sertaketabahandankerajinannya mempelajari semua ilmutelah menjadikannya seorang gadis muda yang matang dalamilmudan pemikiran.
SangRatugelengkan kepala. “Akuberterimakasihpadakesetiaan kalian membela diriku danKerajaan
Laut Utara ini, Nek. Tapimelihat bagaimanadia sanggup mencederaimudan jugaRoroHijau, aku merasa khawatir. Lagipula akumelihat adasebuahtitikmerahpadasaku pakaiannya sebelah kiri. Cobalah kau perhatikan…”
NenekCempakaletakkan tangankanannyadi ataskeduamatanyaseolah-olah seperti orangyang
memandang kearah sumberyang tersilau atau sinarmatahari. Apa yang dikatakan Ratu ternyata benar. Diakinidapat melihat adatandaberupatitikmerahdisakukiripakaianDjarotPangestu. Pucatlahwajah sinenek.
“Hanya ada satu benda yang bisamenimbulkancahayaperingatanseperti itu…” desis sinenek. “Benda pantanganyang sangat berbahaya. Bawang putih…!”
“Kita harusdapat merampas bawang putih itu!” ujarSriRatu. “Tapisekali kita menyentuhbawang itu, tubuh kita akan menjadi lumpuh bahkannyawa puntak tertolong lagi …”
“Aku akan merampasnya, Sri Ratu!” ujar RoroMerah berjibaku.
“Biaraku yang melakukannya!” satu suara terdengardarisamping. Semua orang berpaling. Yang barusan bicarabukan lainadalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sri RatudanNenek Cempakasaling pandang. Selagikedua orang itubelumsempat memberikan jawaban Wirosudahmelangkah pergi. Tapi begitusampaiditangga istana terdepandia jadi bingung sendiri. Di hadapannya,air lautmembentang laksanatembokraksasa.
“Eh,apakah totokan saktisinenekitumasih bekerja? Kalautidakaku bisakonyoldidalam laut
sebelum mencapai permukaan!” Wiroberpaling pada sinenek. Perempuan tua itumaklum apa yang
dipikirkandandikhawatirkan sangpendekarmaka dia pun berkata, “Takada yang perlukaugelisahkan anak muda. Tubuhmumasih terlindung oleh totokan itu!”
Mendengarucapan ituPendekar 212 tanparagu-ragu langsung menceburmasukke dalamtembokair.
Sesaat setelah Wiro Sableng meninggalkan IstanaRatuLaut Utara ituRoroKuning datang terburu-buru dari ruangan pengobatan.
“Sri Ratu, mohon maafmu. Saya dan Roro Birutelah berusahamenolong Roro Hijau,agaknya nyawanyatidak tertolong lagi …”
Mendengarketerangan itu. Sri Ratudannenek Cempaka segera bergegas menujuRuangan Pengobatan sementara RoroMerah tetap berada di tempat itu guna mengawasiombak penyambung mata.
Didalam Ruangan Pengobatan, Roro Biru tampak cemas tegak di sampingsebuah pembaringandi mana terbujur sosok tubuh Roro Hijau. Air mata tampak beruraidi pipiRoroBiru. Sri RatudanNenek
Cempakacepat memeriksakeadaan tubuh Roro Hijau. DenyutanJantungnya perlahansekali. Wajahnya seputih kertas dan pada sela bibirnya adadarahmengering. Sri Ratumenyibakkandadapakaian Roro Hujau. Tampaklah warna membirudi payudaraRoroHijausebelah kiri.
Paras Sri Ratu langsung berubah. “Kita tak mungkinmenyelamatkannya…” desis Sri ratutercekat.
“Akutahu SriRatu…” ujarnenek Cempaka dengannadasedih. Pukulan ilmu batu Djarot Pangestu memang luarbiasaberbahaya.
Pada saat ituterdengar suara seperti sesuatukeluardari air. Lalu ada sesuatu yang meluncurkelantai. Ketika semua orang berpaling, merekalangsung menjura dantundukkan kepala serayaberseru
berbarengan: “Sri Ratu! Kau datang…!”
Dilantairuangan meluncurseekor buaya putih yang bukan lainadalah penjelmaan Sri RatuKerajaan Laut Utara yang terdahulu. Buaya ininaikke atas pembaringan. Moncongnya menjulur kearah dada Roro Hijau. Mulutnya dibukalaluludahnya menjulurdan menjilatipayudara sebelah kiri Roro Hijau.
Selesai melakukanitubuaya putih initurun dari pembaringan. Kepalanyaditegakkan sesaat. Kedua matanya menatap orang-orangyang adadalam ruangan itu. Laluaneh, terdengar suaranya, suara
manusia, suara perempuan. “Takusah cemas danjanganada yang menangis. Roro Hijau akan segera sembuh…”
“Sri Ratu, kami sangat berterimakasih…” kata Sri RatuAyuLestari seraya menjura dalam-dalam.
Buaya putih masih menegakkankepalanya. Kembali dia keluarkan suara: “Djarot Pangestumemang manusia sakti. Kepandaiannya setinggi langit. Tapiketahuilahdi atas langit adalangit lagi. Secepatnya pemuda ituberhasil merampas bawang putih kalian harus segeranaikkedarat untuk membuat
perhitungan. Sri RatuAyuLestari, tangankananmu yang berjarahmenyilang merupakan satu kekuatan yang berada di atas langit. Hadapilahmusuh besarmu itu dengan penuh kepercayaan. Ulurkan tangan kananmu,kembangkantelapaknya…”
Mendengar perintah sang ratu, Sri RatuAyuLestari segeraulurkantelapak tangannya. Buaya putih itu lalumenjilati telapak tangankanan Sri ratu Ayu Lestari tujuh kali pulang balik, lalu kepalanya meluncur turun. Dia mengucapkan selamattinggallalu meluncurkeluardari ruangan itudiikutitundukkan kepala penuhhormat dari semua merekayangadadisitu.
Baru sajabuaya putih ituberlalu, dariarah pembaringanterdengar suara tarikannafas. Ketika semua orang berpaling, Roro Hijau ternyatatelah duduk di atas pembaringan. Wajahnya tidakseputih kertas lagi.
BAB XIV
WIRO melesat didalam airdandalam waktu sesaat saja sudah muncul di permukaan laut. Dalam
keadaan badandan pakaian basah kuyup dia melangkah menujupantailalu duduk bersila di atas pasir, menghadapke arahmatahari.
Duatelapak tangandirapatkan didepanwajahnya,keduamatanyadipejamkan. Sikapnyatidakbeda seperti orang tengah bersemedi. Sang Pendekartidak menunggu lama. Telinganya menangkap suara orang mendatangi. Djarot Pangestu!
“Manusiaberpakaian merah! Kulihat kau barusankeluardaridalam laut! Mengapabersemedidisini?!” Terdengar suara DjarotPangestu. Orang ini memperhatikantajam-tajamwajah Wiro. Sepertinya dia
pernah melihat pemuda inisebelumnya. Yang bersamanenek Cempaka? Tapipemuda ituberpakaian putih sedangyang duduk di atas pasir ini mengenakan pakaiandan topimerah,ditambahsebuahikat pinggang yang membuat Djarot Pangestu menjadi mendelikkarenadia mengenaliikat pinggang
berbentuk rantai itu adalah emas murni!
Perlahan-lahan Wirobukakeduamatanya. Keduatelapak tangan masih tetap dirapatkan didepan
wajahnyauntuk menutupi karenadia khawatir sebelumsempat bertindak orang sudahkeburumengetahui siapadirinya.
Wiroperhatikan tampangDjarot Pangestu sesaat. Jelas tampaklelaki initengah berpikirkeras,
mengingat-ingat. Makacepatiaberkata, “AkuPangerandariLaut Selatan. Sengajabersemedidisini untuk mendapat petunjuk di mana letakistanaBawahLaut RatuLaut Utara. Barusan aku menyelam
sampaikedasar laut namun tak berhasil menemukan istana itu. Aku akan meneruskansemadiku, jangan mengganggu…!”
“Tunggu dulu! Kenapakau ingin mengetahuiletak IstanaRatuLaut Utara itu?” bertanyaDjarot Pangestu. “Aku punyadendam kesumat besar terhadap sangratu. Dia menculikkekasihku untuk dijadikan hambasahayanya…” jawab Wiro.
“Ah, kalaubegitukita berada dipihak yang sama!” kata Djarot Pangestu pula.
“Apamaksudmu?!” bertanya Pendekar 212.
"Aku pun punyadendam kesumatterhadap salah seorang pembantu Sri Ratu. Seorang nenek jelek
bernamaCempaka. Beberapawaktulaluakuberhasil melukainya. Seorang pemuda menyelamatkannya ke dalamlaut. Eh….! Kau! Aku mengenali tampangmukiniwalau kau tutupi dengankedua tangan!
Bukankahkaupemudabersamanenekitu…?!”
“Keparat ini mengenaliku!” runtuk Wiro. Takada jalan lain, dia harus bertindak merampas bawang putih yang adadisaku bajusebelah kiri Djarot Pangestusekarang juga!
Dengan satu gerakancepat Wiromelompat. Tangankanannyamenyambar. Djarot Pangestutersentak kaget, melompat kesamping dengancepat.
“Breeettt!!!”
Sakupakaian kiri Djarot Pangesturobek besar. Wiroberhasil mengambilbawang putih didalamsaku itu. Namun ketikaditelititernyata ada satu ruas bawangyang terkelupas dan lenyap dari tempatnya!
“Bangsatrendah! Kembalikanbawang putih itu!” teriak Djarot Pangestumarahsekali. Diamemeriksa sakupakaiannyayang robek. Ternyatamasihada satu ruas kecilbawang putih yang tertinggaldalam
sakunya. Namun hal initidakmembuatamarahnya jadimereda. Sertamerta dia menyerbukearah Wiro sambillepaskan pukulan tangan kosong yang menderukanangin dahsyat!
Murid Sinto Gendeng sudah berhadapan denganDjarot Pangestusebelumnya. Pukulan sakti “Benteng Melanda Samudera” bahkan pukulan “SinarMatahari” takmampu merobohkan manusiaini. Maka dia cepat menghindarkandiridari serangandengan melompat kesampinglalucepat-cepat mencabut kapak Naga Geni 212 dari balik sakupakaiannya.
Sementara itudi IstanaRatuLaut Utara, RoroMerah yang terus mengawasiombak penyambung mata melihatapa yang telahdilakukan Wiro. Dia segera memberitahu kepada Sriratu apayangtelah terjadi.
“Sri Ratu, pemuda itutelah berhasil mengambilbawang putih darisaku Djarot Pangestu!” Dia sama
sekalitidak mengetahuikalaudalam sakupakaianDjarot Pangestumasih tertinggal seruas kecil bawang putih!
Mendengaritu SriRatu segera memberi isyaratpadanenek Cempaka dan RoroMerah serta RoroBiru.
“Ikuti aku. Kitanaikkedaratsekarang juga!”
BAB XV
Kembalike pantai...
“Pemuda keparat! Aku memang sudahmenyangka kauadalah kaki tangan nenekkeparat itu! Kali ini jangan harapbisalolos dari tanganku!” Rahang Djarot pangestu mengembung, matanya membeliak merah.
NamunbarusajaDjarot Pangestuberkata begitu, tiba-tibadaribawah permukaan laut melesatempat sosok tubuh. Merekaternyata adalah SriRatuAyuLestaridanNenek Cempaka serta RoroMerah dan Roro Biru. Di saat yang sama puluhanprajurit bersenjatakan tombak dan pedangdalam keadaan aneh, yaitusepertitersamar di bawah kabuttebal, tampak mengurung pantai.
“Wuuuttt!!!” Seranganganas Djarot Pangestulewat di samping Wiro. Murid Sinto Gendeng segera kiblatkanKapak Maut Naga Geni 212. Terdengar suara sepertiribuantawon mengamuk disertai sambaran sinar perak putih menyilaukandan menghamparnya hawa panas luarbiasa.
Sesaat Djarot Pangestuterkesiap jugamelihat kehebatan senjatasaktidi tangan lawan. Namun
kemudiandia tampak menyeringai. Mulutnya berkomat-kamit. Tangankananyadiangkat. Saat itujuga tangan initelah berubah menjadi batu hitam yangatos!
Menyangkamusuhhendakmerampas senjatanya, Wiro Sablengtukikkanarah serangannya kebawah untuk membacok lengan lawan.
“Traaang!!!”
Kapak dantangansaling bentrokan. Bungaapimemercik menyilaukan mata. Djarot Pangestuterjajar ke belakang tanpacederasedikit pun pada lengannyayang kenadihantam Kapak Naga Geni 212.Wiro
sendiri terpentalempat langkah. Senjata mustikanya hampirsajaterpentaldari gengamannya. Dadanya mendenyut sakit. Mau tak mau Wirojadimerasakan dingin tengkuknyamelihat kenyataan ini! Ketika dengankalap dia hendakmendahului menyerbu, terdengar SriRatuAyuLestari berseru.
“Saudara, serahkan manusiapembunuh bejat itupadaku!”
ParasPendekar 212 merah tenggelam. Dia hampir tak dapat menerima kenyataan kalauKapak Naga Geni 212 yang sangat diandalkannya itu ternyatatidakmempan menghantam tangan batu Djarot
Pangestu. Karenanya, tanpa banyak bicara murid Sinto Gendeng terpaksamelompat mundur walaupun dengan hati jengkelsetengah mati!
Djarot Pangestuberpaling kearah Sri Ratu. Matanyaterpentanglebarketikamelihat aurat SriRatu yang terbayangdi balikpakaianungu tipis yang dikenakannya. Wajahitu cantik luarbiasa dan sepasang
matanya mendebarkan untuk ditatap.
“Tentunya saat iniakuberhadapan dengan RatuLaut Utara yang kesohor itu!” berkataDjarot Pangestu. Keduamatanya menggerayangisekujur tubuh sang ratu. Pikiran kotornya lantas muncul. Laludiaberkata sambil menyeringai. “DengarRatu! Jika kaubersedia hidup bersamaku, aku akan melupakan segala
dendam kesumatku terhadap nenek jelek pembantumu ini!”
“Manusia kotor! Kau tak lebih dari seekor kutu busuk! Jangan beranibicarakurang ajar terhadapratu kami!” teriakRoroMerah.
“Ah, kau jugadaraberbajumerah. Yang itu, yang berbajubiru juga boleh menjadi pendampingku di
saat akuperlubelaian tangan kalian. Ternyata kalian berduatidakkalah cantik dan berbadan mulus pula! Ha…ha…ha…! BagaimanaRatu. Kauterima permintaanku?!”
“Djarot Pangestu! Dosamu selangit tembusterhadapku. Dendan kesumatku lebih panas dari bara
neraka!Bukamatamu lebar-lebar… Apakautidak mengenalisiapadiriku?!” tanya Sri ratuAyuLestari.
“Yang kulihat adalah seorang gadis berkulit putih mulus, berparas cantik dantubuhnyayang bagus terbayang indahmenggiurkandi balikpakaianyang tipis!” jawabDjarotPangestu, lalutertawa
gelak-gelak.
“Ah, ternyatakeduamatamu walaupun besar tapitelah mulailamur. Kepalamuwalaupunkeningnya
lebar ternyata otaknyasudah mulaitumpul! Dengarbaik-baik Djarot Pangestu. Aku adalah cucu Menak Srenggi yang kau bunuhtujuhtahun lalubersama istrinyadidesa Kaliwungu. Kaujugamembunuhibuku dan seorang kawanku!”
Tentu sajaucapan Sri ratu itumembuat Djarot Pangestuterkejut hampir tak percaya. “Dicari-carimalah muncul sendiri! Eh, gadis cantik, siapa punkau adanya akutetappada ucapankutadi. Hidup bersamaku, akan kulupakan segaladendam kesumatku dan kuampuniselembar jiwanenek jelek ituwalau guruku
Raja Batu Di Batu memerintahkanaku untuk membunuhnya.”
NenekCempakajaditerkejut mendengarkata-kata Djarot Pangestu itu sementara Sriratu AyuLestari cepat membuka mulut.
“Kau boleh mengatakan hal itupada penjaga-penjaganeraka!” sahut SriRatu. “Bersiaplahuntuk menerimakematianmu!” Laludengan tangankananterpentang SriRatumelangkah mendekati Djarot Pangestu.
Djarot Pangestusendiri sesaatmasih tegak sepertitertegun. Gadisciliktujuhtahun laluapakah benarkini menjadiRatuLaut Utara, yang menurut gurunya Raja Batu Di Batu memilikikesaktian luarbiasa? “Saat bagiku untuk menjajalnya!Akutidak percayagadissemuda inimemilikikehebatanseperti yang
dikatakan guru!”
Sehabis berpikir begituDjarot Pangestuhantamkan tangankanannya kearah sang ratu. Yang diincarnya adalahpayu dara sebelah kanan. Dan kurang ajarnya, seranganganas itusebenarnyahanyalahtipuan
belaka karenamaksudsesungguhnya adalahhendak meremas payudara sangratu yang menonjol besar dan kencang! Di samping itu, karena menganggap enteng orang, Djarot Pangestuhanya andalkan tenaga luar, sama sekalitidakmempergunakan tenagadalam ataupunkeluarkanilmu batunya.
Sesaat lagitanganyang kurangajarituakansempat menyentuhpayudara Sri Ratu, tiba-tiba sangRatu angkat tangankanannya. Dari telapak tangan Sriratumenyambar asap putih. Djarot Pangestuberteriak kesakitan,tarik pulang tangannya dan melompat mundur. Ketikatangankanannyadiperhatikanternyata sebagian kulitnyatelah melepuhlecet!
Berubahlah paras Djarot Pangestu. Namun bersamaandengan itu amarahnya jugamenggelegak. Mulutnya merapal jejampai. Tangankanan itu sertamertaberubah menjadi batu hitam.
“Ratukeparat! Terimakematianmu!” teriak Djarot Pangestu. Tangankanannyaberkelebat menghantam kearah kepala.
Dengantenang Sri ratu miringkantubuh ke kiri lalutangankanannyasecepat kilat melesat ke atas dan tahu-tahu pergelangan tanganDjarot pangestusudah kena dicekal!
Djarot Pangestumerasakan tangannya sepertiberadadalam timbunanbara panas. Terdengar suara
berderak! Lapisan batu hitamanehyangadadilengannya merengkah pecahlaluberjatuhanke pasir
pantai. Djarot berteriaksekalilagidan sentakkancekalan sang ratu. Begitu terlepas dia segera melompat jauh.
“Ilmukesaktiankutidakmempan...!” kata Djarot Pangestudalam hati. Nyalinya menjadilumer. Namun tiba-tibasaja dia ingatakan sisabawang putih yangadadalam sakupakaiannya. Dia juga ingat pesan gurunya Raja Batu Di Batu. Dengancepat bawang putih seruas itu dikeluarkannya darisakulalu
diacungkannyakearah Sriratu. Bersamaandengan itu jari-jari tangannya meremas hancurbawang itu hinggakinibautajambawang putih menghampardi tempat itu.
Sri RatuAyuLestari berserutegang, sedangnenek Cempakatercekat sementara RoroMerahdan Roro Biru sertamertamerasakantubuhnya bergetar dari lutut menggoyah. Bau bawang putih yang merasukke saluran pernafasan membuat tubuh merekamenjadipanas sedangdadamendenyut sakit luarbiasa. Roro Merahdan Roro Birumenjerit keras, laluterhuyung danjatuhtergelimpangdi pasir.
Sri Ratu danNenek Cempakacepat tutuppenciuman merekadan berusahakeras bertahan. Namun terlambat! Merekatelah terlebih dahulumenciumudarayang mengandungbawang putih, benda yang merupakan pantangan mematikan bagi orang-orang Kerajaan Laut Utara.
Disekeliling tempat ituterdengar suara hiruk pikuk. Ternyata bawang putih yang berada di tangan Djarot Pangestutelah pula membawapengaruh padaprajurit kerajaanyang terlihatseperti
bayang-bayang itu. Merekamenjeritdan berserabutansepertiterkurungdalam ruanganyang terbakar. Lalu satu demi satu sosok tubuh merekaroboh ke pantai!
BAB XV
Sri RatuAyuLestariangkat tangankanannya. Maksudnya hendakmelancarkan pukulan. Tapidia terkejutsekaliketika dapatkan tangankanannyatakmampu digerakkanlagi. Terasaberat. Tangan itu ternyatatelah lumpuh! Sungguhdahsyat akibatdaripantanganterhadapbawang putih itu.
NenekCempaka sendiri tidakbisaberbuat apa-apa pula. Keduatelinganya mengiang sakit dan
pemandangan matanya mulai berkunang-kunang karenakeduamatanyakinimengeluarkan air danterasa perih.
Djarot Pangestukeluarkan suara tertawa penuh kemenangan. Dia melangkah menghampiri SriRatu
sambilberkata, “Jika kau dananak-anak buahmubersedia hidup bersamadan melayaniku, kalian akan kubebaskan dari siksaanbawang putih yang mematikan ini!” LaluDjarotPangestu acungkan tangannya yang memegang bawang putih kearahwajah Sri ratu. Sang ratu terpekik. Tubuhnya menjadi limbung!
SelagiDjarotPangestu mengacungkanbawang putih begiturupa, Wiroyang saat itumasih tegak
memegang Kapak Naga Geni 212 berpikir dan berkatadalam hati. “Kapakku jelastidakmempan
terhadaptubuh manusia keparat itu. Tapiuntukmemusnahkanbawang putih yang dipegangnyamasakan
tidakbisa?!”
Berpikir sampaidisituWirokeluarkan teriakankeras. SelagiDjarotPangestu terbagi perhatian. Murid Sinto Gendengtelah berkelebat. Kapak Naga Geni 212 menderumengiblatkanhawapanas, sinar
menyilaukandan suara sepertitawon mengamuk.
Djarot Pangestumenyeringai lebar. Diabiarkan saja tangannyamasihmengacung begiturupa karena
sudah tahu kalausenjatasakti sangpendekartakkanmempanterhadaptubuhnya. Namundia sama
sekalitidak menyangka kalauhantamanhawapanas dansinarmenyilaukanKapak Naga Geni 212
membuathancurdan musnah potongan kecilbawang putih yangadadalampegangan jari-jari tangannya.
Begitubawang putih tersingkir lenyaptanpa bekas, Sri RatudanNenek Cempaka segerakuasaidiri
masing-masing kembali. Roro Merahdan Roro Biru yang tergelimpang perlahan-lahan tampak bergerak siuman. Begitujugapuluhanprajurit Kerajaan Laut Utara yang tadi berjatuhan tumpang tindihkini bangun lagi dansegera mengurung tempat itu!
Djarot Pangestumengerangmarah. Kini seluruh kemarahannya ituditumpahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Manusia anjing kurap! Kulumattubuhmu!” kertaknya. Mulutnya bergerakkomat-kamit. Sekujur
tubuhnya mulai dari rambut sampaikakimendadak berubah menjadi batu. Setiapgerakandan langkah yang dibuatnyamengeluarkan suara sepertibatuberderak!
Begitukedua tangannya bergerak,Wiro segera menyingkir. Tapicelaka!Adahawa aneh yang membuat kedua kakinyaseperti dipantek. Dan hawaaneh inikeluardari tubuh batu Djarot Pangestu!
“Kreteeeekkkk!!!”
Duatangan batu Djarot Pangestumelesat ke depan. Wiroberusahasetengah mati untuk menghindartapi sia-siasaja!
“Tobat, tamatriwayatku ditangan jahanamini!” keluh Wiro. Laludiahanyatertegak pasrah.
Di saat itulah dari samping SriRatuAyuLestaridatang dengancepat. Tangankanannya dengantelapak terkembang menggebuk kearah bahu kiri Djarot Pangestu.
Terdengar suara meletup keras disertaimenggebubunya asaphitamkeudara. Berbarengandengan itu terdengar pula jeritanDjarotPangestu. Dia terhuyung keras kesamping kanan. Tubuhnyayanghitam
membatu terdengarberderaklalu tampak retak-retak. Retakan-retakan itu satu demi satu jatuh ke pasir. Ketikalapisan batu hitamitu tanggal keseluruhannya, tampaklah tubuhnyamengeluas merahseperti
dipanggang! Orang ini menjerit lagilalujatuhterduduk di pasir.
Sri RatuAyuLestarimelangkah menghampiri. “Inidariibuku!” teriaksangratu. Kaki kanannya menendang perutDjarotPangestu. Bukan sajatubuhlelaki itu terpentalsampaitiga tombak, tapi perutnya puntampak ambrol mengerikan.
Sri Ratu mendekati lagi. “Ini dari kakekdannenekku!” katanya. Sekalilagi kaki kanannya menendang. Terdengar suara berderakketikatulangdadaDjarot Pangestupatahdanremuk.
“Inidarikawanku!” teriakRatukembali. Tendangannyayang ketigamembabat pinggang Djarot pangestu. Tubuh Djarotterlipat danterhempas ke pasir.
“Dan inidariku!” teriakSriRatulebih keras. Tangankanannya yang memilikikesaktian aneh karena adanyadua ruas tanganyang saling bersilang menggebuk kearah batokkepalaDjarotPangestu.
“Praaaakkkk!!!”
Batokkepala itu bukan sajahancur mengerikan, tapi hancurnya jugamengepulkan asaphitam menggidikkan.
Sri RatuAyuLestarijatuhkandiri berlutut, tekapwajahnya dengankedua tangandan berusahakeras menahan tangis. NenekCempakamendatangi, membantu Sri Ratuberdiri. Setelah hening sejenak, si nenekberbisik, “Saatnyakitakembalikedasarlaut, Sri ratu...”
Sri Ratu mengangguk perlahan laluberpaling dan memandang kearah Pendekar 212 Wiro Sableng. Untuk sesaat,keduanyasalingbertatapan. Dan untuk pertama kalinya Wiromerasakan sanggup balas memandang mata yang bagus bening dan bersinar penuh wibawaitu.
“Nenek… kita harus membawapemuda ituke istana kembali…” berbisik Sri Ratu.
“Maksudmu SriRatu…?” tanya sinenek serayamemandang sekilas pada wiro.
“Kita harus mengundangnya. Dia memberikan bantuan besar yang sangat menentukan ketika dia menghancurkanbawang putih yang dipegang Djarot Pangestu….”
“Perintahmu akan saya sampaikan padanya. Namun setelah sampaidiIstanananti layananapa yang akan kitaberikan padanya?”
Dalam hatinyaSriRatuAyuLestarimengeluh. “Pembantuku yang tua ini banyaksekalitanyanya. Apa diatidakmerasakankalau aku merasa suka terhadappemuda itu? Kedudukanku sebagaiRatu tak
memungkinkan aku mengatakan kepadasiapa pun secara terbuka. Ah… kupikirjauhlebih baikjadi manusia biasasaja…”
“Sri Ratu, kami mohon petunjukmulebih lanjut…” terdengar suara Nenek Cempaka.
Sang ratutersadarkalau barusandia dibawa oleh perasaannya sendiri. Pada saat itu dilihatnya Wiro melangkah mendatangi. Sesaat sang pendekarmenatapwajah sang ratu, lalukatanya, “Sri Ratu… Aku ingin memulangkan bajumerah yang bagus inipadamu. Tapiakutak punyasalinan lain. Terpaksa aku harus memintanya…”
“Pakaian itumemanguntukmusaudara…”
“Terimakasih. Tapiakuharus mengembalikanikat pinggang emas ini!” ujar Wiro pula.
“Itupununtukmujuga. Tak perlu dikembalikan,” berkata sangratu.
Wiromenggeleng. “Akutidak beranimenerimanyaSriRatu… Iniikat pinggang yang sangat mahal. Orang sepertikutidak pantas memakainya,apalagimemilikinya….”
Sri Ratutidak berikan jawaban. Diamalah memegang lengan sinenek dan menariknya melangkah menujuke dalamlaut,diikuti oleh Roro Merahdan Roro Biru.
Sesaat Wirotegak tertegunsambilpegangiikat pinggang emas. Ketika air lautsampaike bahu empat orang itu, Wiromengejarserayaberseru, “Sri Ratu, ikat pinggang emas ini. Ambilkembali! Kau baik
sekali! Tapiakutidak beranimenerimanya…!”
Dikejauhan sangRatuhanya tampak tersenyum.
“NenekCempaka…!” Panggil Wiro.
Sinenek berpaling. Laluterdengarseruannya. “Anak muda! Kalaukau ingin mengembalikanikat pinggang emas itu, silakan mengantar sendirike Istana Kerajaan laut Utara!”
Wiromelengak. “Mengantar sendiri…?” ujarnya. Dia jadi bingung. “Apakah totokananehitumasih
melekatdi punggungku…?” dia bertanya-tanya sendiri. Didepan sana keempatorang ituhanyakelihatan tinggal kepalasaja. Ketika empat kepala itu lenyapdibawah permukaan air laut,akhirnyaWiro pun
melompat menghamburkantubuhnya ke dalamlaut.
Ternyata totokan saktiNenek Cempaka masihdi punggungnya. Dan ini yang membuatnyabisabernafas dan melihatsepertibiasa didalam laut. SertamertaWiromelesat didalam airmenyusulkeempat orang menuju istanaRatuLaut Utara.
TAMAT
PENULIS : BASTIAN TITO
CREATED : MATJENUH CHANNEL
BLOG : https://matjenuh-channel.blogspot.com
***
0 comments:
Posting Komentar