Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Senin, 27 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - IBLIS BERJANGGUT BIRU

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com



1

DUA  PEMUDA berpakaian  kelabu  dan sama menunggang kuda hitam, memacu kuda  masing-masing  menuju  ke  timur. Di belakang,  di  arah  punggung  mereka sang    surya   yang    hampir    tenggelam membersitkan    sinar    kuning    merah. Ratusan    kelelawar    terbang    berputar- putar  di   arah   selatan  lalu  lenyap  di balik  ketinggian  pohon-pohon  jati  di puncak bukit kecil.

Pemuda  yang  menunggang  kuda  di samping    kiri   bertubuh    ramping    semampai,    memiliki    kehalusan    kulit    seperti peremptlan.  Kepalanya  dibungkus  dengan  sehelai  kain  berwarna  merah.  Kawannya seiring berbadan tegap. Dadanya yang berbulu tersembul di balik bajunya yang tidak berkancing.
Memasuki  jalan  yang  agak  mendaki  di  lereng  bukit,  kuda  tunggangan  pemuda berikat  kepala  merah  tiba-tiba  saja  seperti  ditarik  oleh  satu  kekuatan  dahsyat  dari belakang hingga binatang ini berhenti berlari. Kalau saja penunggangnya tidak cekatan dan sigap merangkul leher kuda itu, niscaya dia akan terlempar.

"Hai ....! Ada apa denganmu Wesi Ireng?!" Si pemuda menegur kuda tunggangannya lalu mengusap-usap leher binatang itu.
"Kudamu  berlaku  aneh!"  berkata  pemuda  bertubuh  tegap.  Namun  dia  sendiri menjadi   kaget   ketika   mendadak   kuda   tunggangannya   meringkik   keras   sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara.
"Tenang! Tenang  Panah  Ireng!"  Pemuda  ini berusaha  menenangkan  kudanya yang bernama  Panah  Ireng.  Dia  memandang  berkeliling.  "Aneh,  tak  biasanya  Panah  Ireng

KARYA                                           1
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


berlaku seperti ini . . . "
"Wesi Ireng juga tak biasa-biasanya begini ..,." Baru saja pemuda itu berkata begitu, kudanya  pun  ikut-ikutan  meringkik.  Dia  memandang  berkeliling.  "Aneh,  tak  ada binatang buas. Mengapa binatang-binatang ini seperti ketakutan?"
Setelah diam sejenak, pemuda bertubuh tegap berkata,
"'Sudahlah  Ratih, tak perlu dirisaukan. Mari kite  melanjutkan perjalanan. Tujuan masihjauh. Mungkin baru besok pagi kita sampai diTegal Jenar..."
"Betul mas Danu. Mari kita lanjutkan perjalanan . . . " kata pemuda yang dipanggil dengan nama Ratih, yang ternyata adalah seorang perempuan berpakaian seperti lelaki.
Kedua  orang  itu  menyentakkan  tali  kekang  kuda  masing-masing  dan  siap  untuk meneruskan  perjalanan.  Tapi  benar-benar  aneh.  Keempat  kaki  kuda  itu  seolah-olah seperti  dipantek  ke  tanah.  Lehernya  mengulur-ulur  ke  depan  seperti  mengumpulkan tenaga berusaha untuk maju dan lari. Tapi tubuh dan kaki tak bisa digerakkan.

"Hatiku jadi tak enak mas. Jangan-jangan⁄"
Baru  saja,  Ratih  berkata  begitu  di  depan  mereka,  dari  arah  atas  terdengar  suara orang mendehem dua kali berturut-turut. Ratih dan Danupaya mendongak mengangkat kepala.  Memandang  ke  depan.  Di  atas  sebuah  cabang  pohon  besar  di  tepi  jalan  di depan mereka tampak   duduk   bersandar   ke   batang   pohon   seorang   lelaki   muda berpakaian  biru.

Meskipun  muda  tapi  dia  memiliki  janggut  lebat.  Tidak  seperti lazimnya janggut yang biasanya berwarna hitam atau memutih bila orangnya sudah tua, maka janggut pemuda ini berwarna biru!
Pemuda  berkening  tinggi  dengan  rahang  menonjol  berjanggut  biru  itu  memiliki sepasang    mata    sangat    tajam,    seperti    hendak    menembus    setiap    benda    yang dipandangnya, tanpa berkesip memperhatikan dua penunggang kuda di bawah pohon.
"Mas Danu ⁄" bisik Ratih, "mungkin orang di atas pohon itu yang membuat kuda- kuda kita ketakutan dan tak berani bergerak maju ...?"
"Mungkin,"  bisik  Danupaya  pula.  "Tapi  mungkin  juga  binatang  ini  bukannya ketakutan   melainkan   seperti   ditenung   hingga   tidak   bisa   bergerak.   Aku   barusan meneliti. Binatang ini sama sekali tidak kena ditotok!"
"Kau kenal orang di atas pohon itu?" bertanya Ratih.
"Baru   sekali   ini   aku   melihatnya.   Sikapnya   dingin   dan   angkuh.   Aku   akan

KARYA                                           2
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


menegurnya ...."
"Biar  aku  yang  menegurnya!"  ujar  Ratih  yang  sejak  tadi  sudah  merasa  jengkel melihat  sikap  orang  berjanggut  biru  di  atas  pohon.  Caranya  duduk  dan  sikapnya mendehem  tadi  jelas  orang  itu  telah  melakukan  sesuatu  hingga  kudanya  dan  kuda Danupaya tidak mampu bergerak maju.
"Orang   di   atas   pohon,   apakan   ada   sesuatu   yang   membuatmu   menghalangi perjalanan  orang?!"  Ratih  berseru.

Suaranya  keras  dan  sama  sekali  terdengar  tidak seperti   suara   perempuan.  Jelas   gadis   ini   menyusupkan   tenaga   dalam   pada  jalan
suaranya.
Pemuda  berjanggut  biru  di  atas  pohon  masih  tetap  memandang  tak  berkesip. Bibirnya  tampak bergerak. Tapi bukan  untuk  menjawab  pertanyaan  orang  melainkan meludah ke tanah!
"Kurang  ajar  sekali  dia.  Ditanya  malah  meludah!"  desis  Danupaya.  "Ki  sanak, apakah   kau   tidak   mendengar   kawanku   bertanya?!   Atau   kau   memang   tak   mau menjawab?!"
"Tuduhan   busuk!   Apakah   kawanmu   itu   ada   bukti   bahwa   aku   menghalangi perjalanan kalian?!"
Pemuda  berjanggut  biru  di  atas  pohon  keluarkan  jawaban.  Suaranya  tandas  tapi bernada tinggi menandakan satu kecongkakan.

"Memang  kami  tidak  punya  bukti!  Tapi  mengapa  binatang-binatang  ini  berlaku aneh dan tak mampu berjalan pada saat kau berada di atas pohon sana?!"
Si pemuda berpakaian  dan berjanggut biru  tertawa bergelak.  "Kalian bodoh! Tapi cukup cerdik...."
"Jadi betul kau yang melakukan sesuatu terhadap kuda-kuda kami?!" tanya Ratih. "Perempuan memang paling bawel di dunia ini!" Pemuda di atas pohon berkata.
Paras  Ratih  menjadi  berubah.  "Astaga  ....  dia  mengenali  diriku!"  membatin  sang dara.
"Siapa kau sebenarnya?!" Ratih bertanya dengan membentak dan galak. "Kau tak layak bertanya!" balas menghardik orang yang dibentak.
"Kalau begitu biarkan kami meneruskan perjalanan!" berkata Danupaya. "Silahkan kalau bisa ...." jawab si janggut biru.

KARYA                                           3
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


Danupaya menyentakkan tali kekang kudanya sementara Ratih menggebrak pinggul kudanya. Tapi kedua binatang itu tetap saja tidak dapat bergerak maju apalagi berlari!
Dari atas pohon terdengar suara tertawa bergelak kembali.
"Kau  berani  mempermainkan  kami!  Apakah  hendak  pamer  ilmu  atau  hendak mencari silang sengketa?!" Ratih berteriak.
"Maumu apa .... ?!"
"Kurang  ajar!  Kau  akan  menyesal  berani  mempermainkanku.  Turunlah  biar  kita bicara lebih blak-blakan!"
Si janggut biru kembali tertawa.

"Orang  seperti  kalian  tidak  layak  duduk  sama  rendah  dan  berdiri  sama  tinggi denganku! Lagi pula aku lebih enak duduk di cabang pohon ini!"
"Apa  yang  harus  kita  lakukan  mas  Danu?"  berbisik  Ratih.  "Bagaimana  kalau kulepaskan pukulan tangan kosong. Biar kuhancurkan cabang pohon yang didudukinya itu . . . . "
"Sebaiknya  jangan  Ratih.  Kita  tidak  tahu  tengah  berhadapan  dengan  siapa.  Tapi jelas orang itu memiliki kepandaian tinggi. Apa kau tidak menyadari, cabang pohon di mana   dia   duduk   begitu   kecil.   Sebenarnya   tidak   mungkin   dapat   menahan   berat tubuhnya. Biar aku yang bicara⁄ .  " Lalu Danupaya mendongak. "Ki sanak, kami adalah orang-orang  yang  mencari  dan  mengutamakan  persahabatan.  Kami  yakin,  kaupun demikian. Perjalanan kami masih jauh.

Sebentar lagi malam akan tiba. Jika ada ucapan kami  yang  tidak  enak  di  telingamu  mohon  dimaafkan.  Kami  hendak  meneruskan perjalanan! Kami harap orang gagah di atas pohon memberi izin!"
"Hemmmm ... Begitu?" Si janggut biru menyeringai. Mungkin sekali ucapan "orang gagah" tadi yang membuatnya senang. "Aku tidak menghalang apalagi melarang kalian meneruskan perjalanan. Tapi sebelum pergi aku perlu menitipkan pesan pada kalian!"
"Dengan senang hati. Kalau kami boleh bertanya, pesan untuk siapa?"
"Bukankan kalian murid-murid Ki Rana Wulung dari Bukit Sawojajar?"
Ratih  dan  Danupaya  tersentak  kaget  dan  saling  pandang.  Hanya  sedikit  sekali orang-orang  yang  tahu  bahwa  mereka  adalah  murid-murid  seorang  kakek  sakti  dari Bukit Sawojajar, kakek bernama Ki Rana Wulung itu! Siapa sebenarnya si janggut biru ini?
KARYA                                           4
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


"Dan   bukankah   kalian   keponakan-keponakan  Tumenggung   Puro   Bekasan   dari Keraton   Surakarta?   Bukankah   pula   kalian   berdua   saudara   sepupu   yang   saling dijodohkan oleh orang tua kalian masing-masing .... ?"
Bertambah   kaget   dan   heran   kedua   pemuda   itu   mendengar   ucapan   pemuda berjanggut biru di atas pohon yang semuanya ternyata betul.
"Siapakah  Ki  Sanak  ini  sebenarnya?  Ki  sanak banyak  tahu  tentang  kami. Apakah orang  dalam  Keraton juga?  Harap  maaf kalau  kami  belum  tahu  siapa  sebenarnya  ki sanak."
Si janggut biru menyeringai lagi.
"Jangan  tanyakan  siapa  diriku.  Kalian  tak  layak  bertanya.  Sekarang  dengar  baik- baik. Aku  berpesan  untuk  gurumu  Ki  Rana Wulung.  Katakan  padanya,  pada  malam bulan purnama besok dia harus menyiapkan peta rahasia telaga emas yang selama ini dipegangnya  sejak  tiga  puluh  tahun  lalu.

Aku  akan  datang  mengambilnya.  Atau mungkin  juga  aku  akan  mengirimkan  seorang  utusan  untuk  mengambil  peta  itu. Pesankan benar-benar padanya agar menyerahkan peta itu dengan sukarela dan ikhlas. Kalau  dia  menolak  dan  tak  mau  memberikan,  mungkin  aku  akan  mengambilnya sekaligus berikut nyawanya!"
"Jika  kau  berani  membunuh  guru,  nyawamu  tak  akan  bebas  dari  tanganku!" berteriak Ratih.
Si  janggut  biru  tertawa  pendek.  "Kau  murid  yang  baik!  Aku  hanya  memintamu menyampaikan    pesan.    Bukan    untuk    mencampuri    urusan    orang!    Salah-salah nyawamupun tidak ada harganya nanti.

Sayang kalau kau mati masih perawan. ha ... ha . . ha ... !"
"Manusia kurang ajar! Rasakan⁄!"ini
Ratih   mengangkat   tangan   kanan   siap   melepaskan   pukulan   tangan   kosong mengandung tenaga dalam. Tapi Danupaya cepat memegang tangannya menghalangi.
"Mengapa kau halangi dia hendak memukul? Aku kepingin tahu kehebatan murid- murid Ki Rana Wulung⁄"
"Maafkan dia ki sanak. Kami tidak hendak mencari silang sengketa. Pesanmu akan kami  sampaikan  pada  guru.  Tapi  kalau  niatmu  kau  teruskan,  mungkin  di  Bukit Sawojajar kita akan bertemu lagi dalam suasana tidak seakrab seperti saat ini!"

KARYA                                           5
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


"Keakraban adalah basa-basi palsu. Di dunia ini yang berlaku adalah segala cerdik, segala akal, segala ilmu! Kalian boleh pergi sekarang!"
Selesai berkata begitu si janggut biru lampaikan tangan kirinya ke bawah. Dua ekor kuda  hitam  yang  masing-masing  ditunggangi  Rati  dan  Danupaya  meringkik  keras. Ketika    disentak    tali    kekang    mereka,    keduanya    segera    melompat    dan   berlan meninggalkan tempat itu.

KARYA                                           6
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


2


"BAGAIMANA kalau kita ikuti orang itu?!" berkata  Ratih ketika dilihatnya orang di atas pohon melompat turun dan melesat ke arah pepohonan di lereng bukit.
"Jangan!  Jangan   membuat   urusan   selagi   kita   dalam   perjalanan   penting   ...." Danupaya cepat menghalangi.
"Sikapnya  kurang  ajar  sekali.  Congkak  dan  menganggap  enteng  kita.  Dan  yang paling  membuatku  marah,  dia  membawa-bawa  nama  guru,  bahkan  mengancam  akan membunuh beliau!"
"Yang harus kita lakukan saat ini ialah cepat-cepat menuju Sawojajar. Jangan sampai keduluan orang itu. Kita harus memberitahu guru apa yang terjadi!"
"Orang itu menyebut peta telaga emas. Apakah mas Danu pernah mendengar peta itu sebelumnya?" bertanya Ratih.
Danupaya menggeleng. "Guru juga tak pernah menceritakannya. Malam ini kita tak usah  berkemah  atau  beristirahat  lama.  Cukup  untuk  sekedar  memberi  istirahat  pada kuda-kuda kita saja. Kita harus lebih cepat sampai di tempat guru ..."
"Aku setuju," sahut Ratih.

Tetapi  malangnya,  malam  itu  mendadak  udara  berubah  buruk.  Angin  bertiup kencang dan dingin. Hujan turun dengan lebatnya. Sungai yang harus mereka seberangi banjir  besar.  Jembatan  bambu,  satu-satunya  tempat  penyeberangan  terdekat,  roboh dilanda  air.  Kedua  orang  ini,  di  bawah  hujan  lebat,  terpaksa  bergerak  ke  arah  hilir untuk  menemukan jembatan yang  lain. Tapi jembatan  kedua  itu pun  ternyata  sudah lenyap dihanyutkan banjir.

"Tak ada jalan lain. Kita harus menunggu sampai banjir reda. Lalu mencari sesuatu untuk dapat menyerang. Kalau tidak terpaksa membuat rakit besok pagi . . . . "
"Hujan  celaka  .  .  .  .  "  gerutu  Ratih  dengan  suara bergetar  karena  tubuhnya yang basah  kuyup  sudah  diselimuti  rasa  dingin.  "Sedang  ada  urusan  penting,  ada  saja halangannya!"
Danupaya  hanya bisa  menarik  napas  mendengar  ucapan  adik  seperguruannya  itu,

KARYA                                           7
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


yang  sekaligus  adalah  kekasih  dan  calon  istrinya.  Selesai  bulan  Syawal  tahun  depan mereka akan melangsungkan perkawinan.
Ketika pagi datang, hujan sudah lama berhenti. Air sungai tidak sederas dan seganas malam tadi. Namun banjir belum surut.

"Agaknya  kita  memang  harus  membuat  rakit  untuk  menyeberang  .  .  .  "  kata Danupaya.  Saat  itu  mereka  berada  di  tepi  sungai  yang  agak  landai.  Pemuda  ini keluarkan sebilah golok pendek dari buntalan perbekalannya. Memandang berkeliling Ratih tidak melihat pohon hambu di sekitar situ. Berarti harus memotong pepohonan lain yang lebih besar dan keras. Berarti memerlukanwaktu lebih lama.
"Setahuku  sungai  ini  tidak  terlalu  dalam. Jika  kita  bisa  menemukan  bagian yang paling dangkal, kita tak perlu membuat rakit penyeberang. Cukup menyeberang dengan menunggang kuda . . . . "
"Kurasa lebih bagus begitu. Kalau saja kita bisa menemukan bagian yang dangkal." Danupaya   menyetujui.   Keduanya   lalu  bergerak  ke  hulu.   Di   satu  tempat   mereka berhenti.  Danu  menunjuk  ke  tengah  sungai.  Di  situ  tampak  ujung  sepucuk  ranting, bergoyang-goyang dipermainkan arus air.
"Kita  bisa  menyeberang  di  sini.  Pohon  yang  tidak  diterjang  banjir  itu  cukup memberi  tanda bagian  ini  dangkal."  Lalu  Danu  naik  ke  atas  punggung  Panah  Ireng. Ratih mengikuti jejak si pemuda, naik pula ke atas Wesi Ireng dan bergerak ai belakang kekasihnya. Keduanya menuruni tepian sungai beriringan.

Ternyata  sungai  di  bagian  situ  memang  tidak  dalam. Air  hanya  mencapai bagian perut Wesi Ireng dan Panah Ireng.
"Syukur  kita  menemukan  tempat  ini  Danu.  Lihat  kudaku  senang  sekali  berada dalam  air.  Dia bergerak  cepat  dan  pasti  menyusul  kudamu!" berkata  Ratih.  Memang Wesi   Ireng   kelihatannya   gembira   berjalan   dalam   air   seperti   itu.   Mungkin   ini pengalamannya yang pertama kali. Binatang ini bergerak lebih cepat dari kawannya di sebelah  depan  hingga  sebentar  kemudian  Panah  Ireng  dapat  disusulnya.  Danupaya merasa  penasaran  melihat  kudanya  yang  bergerak  lambat  seperti  terseok-seok.  Dia
menggebrak pinggul Panah Ireng. Tapi binatang ini tetap saja tak dapat bergerak lebih
cepat.
"Kau kalah mas Danu!  Kau kalah  ...." seru Ratih. Justru di saat itulah mendadak
KARYA                                           8
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


tubuh  kudanya  amblas  ke  bawah  seperti  terperosok  ke  dalam  lubang  yang  dalam. Ternyata  bagian  sungai  yang  dilalui  Wesi  Ireng  dasarnya  tidak  rata  tapi  mendadak menurun  tajam  seperti bibir  sebuah jurang. Tak  ampun  lagi binatang  itu  terperosok jatuh, meringkik keras lalu tenggelam ke dalam air. Ratih sendiri ikut terjerumus. Di saat yang sama dari arah hulu satu gelombang air menderu keras secara tak terduga.

Danupaya masih sempat mendengar suara jeritan kekasihnya berteriak minta tolong sebelum disapu air. Dia sendiri bersama Panah Ireng seperti dibanting ke kiri ketika kena terjangan air. Sebelum jatuh ke dalam air, Danupaya masih sempat melompat dan pergunakan punggung kudanya sebagai penjejak untuk kemudian melompat ke pinggir sungai.
"Ratih . . . . !" teriak pemuda itu ketika gadis itu tak tampak lagi di permukaan air. Ratih  memang  tidak bisa berenang.  Danupaya  sendiri yang juga  tidak bisa berenang lari menyusuri tepi sungai penuh kebingungan.

Saat itu arus air semakin deras. Sesaat dia sempat melihat pakaian Ratih menyembul di permukaan air. Sadar kalau dirinya tidak bisa berenang, tapi didorong oleh rasa ingin menyelamatkan Ratih maka tanpa pikir panjang lagi pemuda itu melompat ke dalam air.
Ternyata   Danu   hanya   mampu   mengapung   beberapa   saat   saja.   Di   lain   kejap tubuhnya terbenam ke dalam air. Kedua tangannya menggapai-gapai di udara. Dia coba memunculkan   tubuh,   tapi   justru   semakin   tertarik   ke   bawah.   Pemuda   ini   me- ngumpulkan  seluruh  tenaganya.  Namun  tenaga  itu  seperti  tersedot.  Dia  sama  sekali tiada  daya  ketika  arus  air  yang  mendadak  deras  itu  menyeretnya  ke  hilir  sekaligus menggulungnya.

Di  saat  yang  sangat  kritis  itu  di  mana  Ratih  sudah  terbenam  lebih  dahulu  dan Danu  menyusul  tenggelam,  sedang  kedua  kuda  mereka yang  juga  ikut  terjerumus  di dalam dasar sungai yang terjal, hanyut ke hilir sambil meringkik-ringkik, dari seberang sungai tampak sesosok bayangan putih berkelebat langsung melompat ke dalam air, me- mapasi  arah  hanyutnya  Ratih  dan  Danupaya.  Gerakan  orang  ini  sebat  sekali  dan tampaknya dia juga sangat mahir berenang. Tidak mudah menolong orang tenggelam di air, apalagi arus sungai yang datang dari hulu menggila seperti itu. Namun dengan cepat si penolong dapat mencekal lengan Ratih, menarik tubuh gadis itu ke atas lalu dengan  gerakan  cepat  membetotnya  ke  samping.  Tubuh  Ratih  mencelat  ke  udara,

KARYA                                           9
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


melayang  ke  arah  tepi  sungai.  Saat  itu  kain  merah  penutup  kepalanya  telah  tanggal hingga rambutnya yang panjang tergerai lepas.

"Astaga! Perempuan rupanya!" seru si penolong, namun suaranya tercekik ketika air sungai   memasuki   mulutnya.   Dia   menyembur   dengan   ceoat.   Tiba-tiba   tubuhnya terpelanting  dihantam  sebuah  benda.  Ketika  diperhatikan  ternyata  benda  itu  adalah sosok tubuh pemuda berpakaian kelabu.
"Untung! Aku tidak perlu susah payah mencarinya!" Si penolong cepat menjambak pinggang  celana  Danupaya  dan  membawanya  berenang  ke  tepi  sungai  dengan  susah payah karena arus air menyeretnya ke hilir.

Dua  sosok  tubuh  itu  dibaringkan  di  tepi  sungai.  Danupaya  pingsan  tak berkutik sementara   Ratih   setengah   siuman.   Si   penolong   menggoyang-goyangkan   kepalanya untuk  membuang  air yang  membasahi  rambut.  Sambil  mengusap  mukanya  beberapa kali dia memperhatikan sosok tubuh si gadis.
"Hemm . . . cantik juga," katanya dalam hati. Lalu orang ini menolong Danupaya. Sesaat ketika pemuda ini mulai siuman, si penolong berdiri.
"Sayang  ada  urusan  yang  lebih  penting.  Menyesal  tak  dapat  berkenalan  dengan sepasang  muda-mudi  ini!"  lalu  tidak  menunggu  lebih  lama  si  penolong  tinggalkan tempat itu menuju ke selatan.

KARYA                                          10
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis BerjanggutBiru

3


BUKIT SAWOJAJAR terletak setengah hari perjalanan kaki dari Tegal Jenar. Di puncak bukit yang berada  di  antara  kaki-kaki  pegunungan  itu  udara  terasa  sangat  sejuk  dan segar sepanjang siang. Bila malam tiba dinginnya udara bukan alang kepalang.
Sebuah  bangunan  kayu  terletak  di  antara  kerapatan  pepohonan.  Bangunan  ini hanya  mempunyai  sebuah  kamar,  selebihnya  merupakan  serambi  terbuka  di  sebelah depannya.
Seorang  lelaki  tua  berpakaian  dan  berikat  kepala  putih  tampak  duduk  di  atas sehelai tikar yang terbentang di serambi bangunan. Di atas pangkuannya terkembang kitab suci Al Qur'an. Nyatalah orang tua ini tengah mengaji meskipun suaranya tiada terdengar saking halus dan perlahannya dia membaca ayat-ayat suci itu.

Menjelang tengah hari, ketika seorang pemuda yang berlari kencang dari arah timur bukit sampai di hadapan bangunan, kakek ini masih saja asyik mengaji. Melihat orang yang hendak ditemuinya dalam keadaan seperti itu, orang yang datang jadi serba salah. Dia merasa tidak enak kalau harus menegur hingga si kakek berhenti dari mengajinya. Tetapi  kalau  tidak  segera  menegur  dan  menyampaikan  maksud  kedatangannya,  dia kawatir keterlambatan itu akan mendatangkan bencana. Sesaat orang yang datang ini hanya tertegak bingung sambil garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong. Baik rambut maupun pakaiannya tampak basah dan kotor.

Setelah menunggu beberapa lama si kakek masih saja terus asyik membaca Qur'an, tamu  muda  ini  jadi  tak  sabaran.  Dia  sengaja  berdehem  beberapa  kali.  Dia  merasa mustahil  kalau  orang  tua  itu  tidak  melihat  kedatangannya  sekalipun  dengan  sudut mata.  Kini  setelah  berdehem,  masakan  dia  masih  tidak  mengetahui  kedatangannya, begitu  si  pemuda  membatin.  Tapi  nyatanya  kakek  itu  masih  saja  terus  melanjutkan mengaji. Tidak mempan dengan deheman, pemuda yang datang duduk di ujung kanan serambi dan mulai batuk-batuk dengan suara keras.
Suara   yang   mengaji   berhenti   sirap.   Orang   tua   itu   menutup   kitab   suci   di pangkuannya lalu meletakkannya di atas sebuah bantal di samping kirinya. Perlahan-

KARYA                                          11
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


lahan dia mengangkat kepala, memandang ke ujung serambi.
"Banyak  cara  untuk  bertemu.  Mengganggu  orang  yang  sedang  membaca  Kitab Tuhan adalah suatu dosa besar ⁄ ." Terdengar orang tua itu berkata.
Pemuda  berambut  gondrong  melengak  kaget.  Sesaat  dia  tak  bisa  berkata  atau berbuat apa-apa selain menggaruk-garuk kepalanya.
"Anak muda kurang ajar, siapa kau yang berani mengganggu orang sedang mengaji?"
"Ah⁄  Aku⁄  Apakah  aku  berhadapan  dengan  orang  pandai  bernama  Ki  Rana Wulung?"  pemuda  dengan  pakaian  basah  kuyup,  itu  bertanya  sambir  menjura  tanda menghormat.

"Aku  tidak  akan  menjawab  pertanyaanmu  sebelum  kau  menjawab  pertanyaanku tadi!" Si orang tua bicara tegas dan tandas.
"Aku Wiro Sableng. Aku  datang  membawa  sepucuk  surat  penting  dari guruku  .... Hanya  saja  suratnya  saat  ini berada  dalam  keadaan basah. Aku  kehujanan  di  tengah jalan ...."
"Siapa dirimu tidak penting bagiku. Soal surat yang basah itujuga perduli amat⁄"
"Heh!"  si  rambut  gondrong Wiro  Sableng  leletkan  lidah.  Selama  tahunan  malang melintang dalam dunia persilatan dan menyandang nama besar, kata-kata si kakek tadi dirasakannya  seperti  sangat  meremehkannya.  Dia  telah  datang jauh-jauh  dari  puncak Gunung  Gede,  menempuh  perjalanan  yang  lama  dan  sulit.  Kini  begitu  sampaih  di tujuan, orang yang hendak ditemuinya justru tidak memandang sebelah mata! Maka dia pun membuka mulut bertanya.
"Lalu apa yang penting bagimu, apa yang membuatmu jadi perduli?!"
"Siapa gurumu ⁄.?"
"Hemmm⁄" Wiro Sableng bergumam dalam hati. "Kini giliranku membalas!" maka dia pun menjawab. "Jika itu yang penting bagimu, maka aku pun berkepentingan untuk mengetahui  siapa  dirimu  lebih  dulu.

Nama  guruku  satu  nama yang  keramat bagiku. Tidak akan kuobral begitu saja. Jika kau tidak mau mengatakan apakah kau Ki Rana Wulung  atau  bukan,  jangan  harap  aku  akan  menyerahkan  surat  yang  kubawa!  Biar orang lain saja nanti yang ganti datang menemuimu!"
Selesai  dengari  ucapannya  itu  Wiro  Sableng  turun  dari  serambi  bangunan  dan melangkahkan  kaki  untuk  pergi.  Diam-diam  dia  melirik  untuk  melihat  bagaimana

KARYA                                          12
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


reaksi orang tua itu. Sebaliknya, diperlakukan seperti itu si kakek keluarkan suara ter- tawa mengekeh.
"Contoh jeleknya  adat  pemuda zaman  sekarang!" berkata  si kakek.  "Sudah  datang tidak  memberi  salam,  kini  malah  meradang  menunjukkan  sikap  congkak.  Silahkan pergi. Aku merasa senang jika tidak menerima kiriman surat apa-apa. Malah kau nanti yang pasti akan dilabrak gurumu karena tidak menyerahkan surat titipannya!"
"Heh?!" untuk kedua kalinya Wiro Sableng jadi melengak. "Orang tua ini ternyata pandai bicara dan pandai membaca situasi! Akan kucoba lagi dia biar tahu rasa!"
"Guruku bukan  manusia yang  tidak  tahu  akal budi  dan  perasaan. Jika  kukatakan padanya  orang  yang  hendak  kutemui  bersikap  masa  bodoh,  bukan  aku  yang  akan dilabrak  tapi  mungkin  kau  sendiri  yang  bakal  diguyur  dengan  caci  maki!  Nah,  aku pergi sekarang!"
Kalau tadi dia cuma melangkah maka kini Wiro Sableng melompat. Hampir saja dia lenyap di balik kerapatan pepohonan di puncak bukit itu, tiba-tiba didengarnya suara orang tua itu memanggil.
"Anak  muda!  Kembalilah!  Gurumu  tentu  mengajarkan  bagaimana  bersilat  lidah! Tapi  jangan  mengira  aku  mau  mengalah  lebih  dulu!  Kalau  namamu  adalah  Wiro Sableng, kau pasti muridnya nenek bawel bernama Sinto Gendeng dari Gunung Gede!"
"Dan kau pastilah Ki Rana Wulung!" ujar Wiro seraya berbalik.
Orang tua itu hanya menjawab dengan tertawa lebar.

"Gurumu   tentu  banyak   memberikan  berbagai   ilmu   kepandaian   padamu.  Tapi agaknya dia lupa bagaimana memberi salam jika menemui seseorang, apalagi seorang tua berusia hampir empat kali usiamu!"
"Kau  betul  kek,  guruku  memang  mengajarkan  seribu  satu  ilmu  kepandaian.  Soal mengucapkan salam atau tidak itu adalah kesalahanku. Harap jangan membawa-bawa nama guru!"
"Ho  ...  ho  ...  ho  ...!  Anak  Sableng!  Aku  mengaku  kalah  berdebat  denganmu! Sekarang  lekas  kau  serahkan  surat yang  dititipkan  gurumu!  Kau  tak  usah  ragu-ragu. Aku memang adalah Ki Rana Wulung, sahabat gurumu sejak empat puluh tahun yang lalu!"
Wiro Sableng menatap wajah orang tua itu beberapa ketika. Dia percaya si kakek

KARYA                                          13
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


tidak berdusta dan bahwa dia memang adalah Ki Rana Wulung orang yang dicarinya. Maka Wiro selinapkan tangan kanannya ke balik pakaian. Sepucuk surat yang berada dalam  keadaan  basah  dikeluarkannya  lalu  diletakkannya  di  atas  tikar  di  hadapan  si kakek.

"Kertasnya   basah   tapi   tulisannya   tidak   luntur   karena   ditulis   dengan   cairan khusus..."menjelaskan Wiro.
"Kau  sudah  menyerahkan  suratnya.  Kau  sudah  bertemu  denganku.  Sekarang  kau boleh pergi⁄"
Wiro menjadi penasaran mendengar kata-kata orang tua itu. Maka cepat-cepat dia menjawab,  "Aku memang tidak suka berada lama-lama  di tempat ini. Napasku terasa pengap. Tapi  aku  harus  menunggu  sampai  kau  membaca  surat  itu  lalu  menyerahkan apa yang diminta guruku. Harap kau suka membaca surat itu. Lebih cepat kau baca, lebih cepat aku meninggalkan tempat ini⁄"
Paras Ki Rana Wulung tampak merah mendengar kata-kata Wiro Sableng itu.

Dalam hatinya  orang  tua  ini  merutuk  panjang  pendek.  Seorang  pendekar yang  menyandang nama  besar  seperti  murid  Sinto  Gendeng  ini  ternyata  memiliki  sifat  pongah  dan kurang ajar. Kalau saja Ki Rana Wulung mau menyadari, sikap yang ditunjukkan oleh Pendekar  212  adalah  akibat  sikapnya  sendiri  yang  tidak  ramah  dalam  menyambut kedatangan, sang pendekar.
Dengan menekan rasa jengkelnya Ki Rana Wulung mengambil surat yang diletakkan di atas tikar. Membukanya dengan hati-hati karena kawatir surat yang basah itu akan robek. Lalu membaca isinya.

Sahabatku Ki Rana Wulung,
Dua kali aku bermimpi badai ganas melanda negeri. Kulihat kau mengayuh perahu seorang diri. Perahu oleng tenggelam sudahlah pasti tak ada jalan menyelamatkan diri kecuali muatan yang  ada  dikeluarkan  dan  kau  serahkan  pada  muridku  yang  membawa  surat  ini.  Jangan bersikap, ragu atau kawatir. Muatan berusia lebih dari 30 tahun itu tidak akan kuambil walau kita pernah berjanji. Jika badaisudah berhenti
Muatan akan kukembalikan adalah pasti.
Sinto Weni (Sinto Gendeng)

KARYA                                          14
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


Selesai  membaca  surat  Ki  Rana Wulung  sesaat  duduk  merenung. Surat  dilipatnya kembali dan diletakkan, di atas pangkuan.
"Orang tua, kulihat kau sudah membaca surat dari guruku. Sesuai pesan beliau kau akan  menitipkan  sesuatu  padaku.  Bisakah  aku  segera  menerima  sesuatu  itu  darimu sokarang agar aku lekas pergi."
Kata-kata Wiro itu membuat Ki Rana Wulung angkat kepalanya, sesaat dia menatap paras Wiro lekat-lekat lalu membuka mulut.
"Ada  beberapa  hal yang  perlu  kukatakan  padamu,  anak  muda.  Pertama  apa yang dipesankan gurumu tidak akan kuberikan padamu. Aku merasa cukup sanggup menjaga barang itu. Kedua aku merasa ragu apakah kau benar-benar murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Masa sekarang ini segala macam tipu daya dapat terjadi ...."
"Orang tua, kau membaca surat itu. Kau pasti tahu itu gurukug yang menulis ...." menyergah Wiro.

Ki  Rana  Wulung  mengangguk.  "Surat  ini  mungkin  tidak  palsu.  Memang  benar sahabatku Sinto Gendeng yang menulisnya. Tapi bagaimana surat ini bisa sampai ke tanganmu dan siapa engkau sebenarnya itu adalah cerita lain!"
"Kau mencurigaiku?!"
"Untuk   selamat,   curiga   itu   perlu.   Karena   itu   aku   akan   mengujimu.   Untuk membuktikan bahwa kau benar-benar murid Sinto Gendeng."
Saking  kesalnya,  sebenarnya  saat  itu Wiro  bermaksud  mengeluarkan  Kapak  Maut Naga  Geni  212  untuk  membuktikan  diri  sebagai  murid  Eyang  Sinto  Gendeng  dari Gunung Gede. Tapi sebelum hal itu sempat dilakukannya, Ki Rana Wulung tiba-tiba keluarkan  membentak  keras.  Tubuhnya  yang  duduk  melesat  dan  tangan  kanannya memukul.
Bukk!

KARYA                                          15
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


4


PENDEKAR 2121 Wiro  Sableng  terpental  hampir  dua  tombak.  Dada  kanannya yang dihantam  jotosan  tak  terduga-duga  dari  Ki  Rana  Wulung  mendenyut  sakit.  Sesaat kepalanya mendenyut dan pemandangannya berbinar-binar. Paling tidak si kakek telah mempergunakan  hampir  sepertiga  dari  tenaga  dalamnya  ketika  melancarkan  pukulan tadi.
Wiro merasakan mulutnya asin dan panas. Ketika dia meludah ternyata ludahnya bercampur darah. Pemuda ini terluka di dalam!
Ki Rana Wulung memandang tak berkesip. Kini dia yakin kalau pemuda berambut gondrong, bicara dan bersikap seenaknya itu adalah benarhenar murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
Orang  lain  pasti  sudah  meregang  nyawa,  paling  tidak  pingsan  dan  luka  parah dihantam tinjunya tadi !
Sambil menahan sakit dan mengerahkan tenaga dalam ke bagian yang kena dipukul, Pendekar  212  perlahan-lahan  berdiri.  Karena  pakaiannya  basah,  ketika  jatuh  tadi pakaian itujadi bertambah kotor oleh bercakan tanah liat.

"Terima kasih atas jotosanmu tadi!" Wiro buka mulut. "Banyak cara untuk mencari tahu   siapa   sebenarnya   seseorang.   Bukan   dengan   menunjukkan   kehebatan   dan mencelakakan  orang  seperti  yang  kau  lakukan.  Sifatmu  bukan  saja  buruk,  ternyata tanganmu pun ringan amat!"
Ki Rana Wulung tersenyum.
"Sekarang hal ketiga yang hendak kutanyakan padamu . . . "
"Persetan  dengan  hal  ketiga  atau  ke  empat!"  membentak Wiro  Sableng.  "Sebelum aku angkat kaki dari sini⁄"
"Hai,  apakah  kau  tidak  ingin  kembali  ke  Gunung  Gede  membawa  kabar  bagi gurumu? Mendengar jawaban dari surat Sinto Gendeng ⁄?"
"Persetan  dengan  segala  macam  surat.  Aku  telah  datang  menyerahkan  surat  itu secara  baik-baik!  Terlalu  baik  sehingga  aku  kauanggap  sebagai  anjing  kotor  untuk

KARYA                                          16
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG                         
Iblis BerjanggutBiru

digebuk seenaknya! Sebelum aku angkat kaki dari  sini, budi baikmu memukulku perlu kubalas dengan sebaik-baiknya!"
Habis  berkata  begitu  Pendekar  212  Wiro  Sableng  kerahkan  tenaga  dalamnya  ke tangan  kanan,  lalu  memukul  ke  arah  enam  bush  kayu  besar  yang  menjadi  tiang bangunan kayu kediaman Ki Rana Wulung.
"Hai! Apa yang hendak kau lakukan?!" seru si kakek.
Baru saja seruannya itu lenyap gumpalan angin laksana batu besar bergulung-gulung melabrak enam tiang kayu itu.

"Pukulan  kunyuk  melempar  buah!"  seru  Ki  Rana  Wulung  ketika  dia  melihat pukulan  yang  dilepaskan  si  pemuda.  Cepat  kakek  ini  melompat  ke  luar  bangunan. Ketika kakinya baru  sempat  menginjak tanah,  di  depanny,  disaksikannya  enam tiang kayu penyangga rumahnya bukan saja patah tapi hancur berantakan! Bangunan kayu itu  sendiri  kini  jatuh  ke  tanah,  terperosok  sedalam  setengah  jengkal  dan  miring  di depan sebelah kiri!
"Manusia kurang ajar!"  Ki Rana Wulung. "Kau rusakkan rumahku!"
Di saat itulah dua sosok bayangan berkelebat. Disertai seruan.
"Guru! Siapa yang berani kurang ajar padamu?!"
Disusul oleh bentakan kedua.

"Guru!   Siapa  yang   telah   merusakkan   rumahmu!     Akan   kuhancurkan   seluruh tubuhnya!"
Ketika  Wiro  dan  Ki  Rana  Wulung  berpaling  ke  samping,  mereka  dapati  yang barusan  datang  adalah  sepasang  muda  mudi berpakaian  kelabu  dalam  keadaan basah kuyup.
"Muridku!   Kalian   datang   di   waktu   yang   tepat!'"   seru   Ki   Rana   Wulung. "Beristirahatlah  sebentar.  Biar  aku  yang  memberi  pelajaran  pada  budak  kurang  ajar ini!"
"Tidak  guru!  Biar  aku yang  memberinya  pelajaran!"  menyahut  pemuda yang baru datang dan bukan lain adalah Danupaya. Sementara itu Ratih setelah tadi membentak kini  agak  tertegun.  Dia  coba  mengingat-ingat.  Sepertinya  dia  pernah  melihat  wajah pemuda berambut gondrong itu. Sebaliknya Wiro sendiri juga menatap polos pada sang dara.  Melihat  kekasihnya  saling  pandang  dengan  pemuda yang  telah  berlaku  kurang

KARYA                                          17
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


ajar  terhadap  gurunya  bahkan  telah  merusak  bangunan  kayu  kediaman  sang  guru, panaslah darah Danupaya oleh rasa amarah bercampur cemburu. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Wiro dan langsung hantamkan tinju kanannya. Pendekar kita menangkis dengan menyilangkan lengan kiri.
Bukk!
Dua tangan saling beradu.
Wiro  terjajar  satu  langkah.  Danupaya  jatuh  duduk  sambil  pegangi  lengan  dan meringis kesakitan.

Kalau Ki Rana Wulung segera menyadari bahwa pemuda anak murid Sinto Gendeng itu bukan lawan muridnya yang bernama Danupaya, maka sebaliknya Danupaya sendiri jadi  semakin  berkobar  amarahnya.  Dia  merasa  dipermalukan  karena  dibuat  jatuh duduk begitu rupa dalam satu gebrakan saja. Kalau tadi dia hanya mempergunakan ta- ngan kosong untuk menyerang Wiro maka kini di dalam hatinya berkobar niat untuk membunuh. Dengan cepat pemuda ini keluarkan golok pendek dari balik pakaiannya
Selain mendapat pelajaran ilmu silat tangan kosong dan berbagai pukulan sakti dari gurunya, Danupaya juga diberi pelaran ilmu golok tingkat tinggi yang dianggap langka pada masa itu. Tidak mengherankan kalau keponakan Tumenggung Puro Bekasan ini sudah  diincar  Baginda  di  Kotaraja  untuk  memegang  sebuah  jabatan  penting  dalam jajaran pasukan istana.
"Saudara⁄ Kau bermaksud membunuhku atau hanya sekedar main-main ....?" Wiro menegur dan tetap berdiri tenang tapi penuh waspada. Sinar yang memancar dari kedua mata  Danupaya  sebenarnya  sudah  cukup  menjadi  jawaban  bagi  Pendekar  212  Wiro Sableng bahwa pemuda di hadapannya itu memang hendak mencincangnya!
"Apakah   manusia   yang   berani   menghina   dan   merusak   rumah   guruku   layak dibiarkan hidup. . . ?!" menghardik Danupaya.
Wiro menyeringai lalu keluarkan suara siulan.
"Guru  dan  murid  sama  saja  tingkahnya!  Sombong  congkak,  tak  punya  pikiran jernih, singkat akal!"
"Keluarkan semua kata-katamu sebelum kukeluarkan isi perutmu!" tukas Danupaya.
Melihat muridnya sungguhan begitu rupa, Ki Rana Wulung cepat berteriak.
"Danu! Simpan senjatamu! Biarkan dia meninggalkan tempat ini!"

KARYA                                          18
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


Namun  saat  itu  Danupaya  sudah  menyergap  ke  depan. Sekali tangannya bergerak goloknya berkiblat membuat tiga serangan kilat. Pertama menusuk ke arah dadz,. lalu membabat ke perut dan ke tiga memapas ke arah leher.
Ratih  tahu  betul.  Paling  tidak  salah  satu  dari  serangan  ganas  itu  pasti  akan mengenai sasarannya.
Di saat yang sama, setelah berpikir-pikir dan mengingat-ingat beberapa ketika baru dia menyadari. Pemuda berambut gondrong yang berada dalam ancaman golok kakak seperguruan  dan  sekaligus  kekasihnya  itu  bukan  lain  adalah  orang  yang  pagi  tadi menyelamatkannya dari bahaya maut tenggelam dalam sungai. Berarti pemuda itu juga yang telah menolong Danupaya.
Maka dengan cepat Ratih berteriak.

"Mas Danu! Hentikan seranganmu! Dia adalah orang yang menyelamatkan kita tadi pagi di sungai!"
Danupaya tersentak kaget. Ki Rana Wulung juga tertegun tercekat. Justru saat itu golok telah memapas ke leher Pendekar 212 Wiro Sableng. Tak mungkin dia menarik pulang serangannya! Ki Rana Wulung menahan napas. Ratih keluarkan seruan tertahan sambil pejamkan mata. Tak berani menyaksikan apa yang bakal terjadi sebentar lagi. Yakni putusnya leher pemuda berambut gondrong itu!
Tetapi yang diserang sendiri tetap tenang.
Sesaat  golok  akan  memis;jhkan  badan  dan  kepalanya,  murid  Sinto  Gendeng  dari Gunung  Gede  itu  tundukkan  kepala.

Tangan  kanan  berkelebat  ke  depan.  Dua  jari tangan menusuk lurus ke dada Danupaya.
"Hek ...!"
Murid Ki Rana Wulung itu mengeluarkan suara seperti tercekik. Di saat itu pula tubuhnya  menjadi  kaku  tegang,  tak  bisa  bergerak  lagi.  Dia  tegak  seperti  patung sementara tangannya yang masih memegang golok menggantung di udara!
Sambil usap-usap rambut gondrongnya Wiro melangkah meninggalkan tempat itu. Ketika   melewati   Ratih   dia   melempar   senyum   seraya  berkata,   "Terima   kasih   kau mengawatirkan keselamatanku!"
"A  .  .  aku⁄ ."  Ratih  hendak  menjawab.  Maksudnya  hendak  mengatakan bahwa  se- harusnya dialah yang berterima kasih karena pagi tadi Wiro telah menyelamatkannya

KARYA                                          19
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


dari bahaya kematian di sungai yang sedang banjir.
Ki   Rana   Wulung   cepat   mendekati   Danupaya   dan   melepaskan   totokan   yang membuat  kaku  muridnya  itu.  Begitu  dirinya  bebas  Danupaya  bertanya.  "Guru,  siapa pemuda tadi .... ?"
"Namanya Wiro Sableng. Dia⁄ Ah, sudahlah. Tak perlu dibicarakan lagi. Dia sudah pergi. Aku senang kau dan Ratih datang kemari ⁄"
"Saya merasa malu tidak dapat membela nama baik guru terhadap kekurangajaran pemuda itu!"
"Kau  tak  usah  malu  Danupaya.  Dia  memang  bukan  tandinganmu.  Juga  bukan tandinganku⁄" menjawab Ki Rana Wulung.
Tentu saja hal itu membuat Danupaya dan Ratih terkejut.

"Maksudmu guru?" tanya Danupaya.
Sang guru  menarik  napas dalam.  "Maksudku di iuar langit masih ada langit lagi. Ilmu yang kita miliki acap kali masih berada di bawah ilmu orang lain. Dan semua ilmu manusia di dunia ini hanya secuil kecil dibandingkan dengan ilmu dan kekuasaan
Tuhan . . . "
Ratih dan Danupaya terdiam. Danupaya melirik pada kekasihnya lalu berkata. "Tadi kau  bilang  pemuda  itu  yang  menyelamatkan  kita  waktu  tenggelam  di  sungai  yang banjir. ....?"
"Betul  ....  Sebelum  dia  pergi  aku  masih  sempat  melihat wajahnya. Aku  tak  cepat mengenalinya tadi. Karena waktu itu aku masih setengah sadar⁄"
"Kalau begitu bukan mustahil kau salah lihat Ratih. Belum tentu pemuda itu yang telah menolong kita⁄"
"Aku yakin memang dia orangnya. Tapi sudahlah, apa perlunya diperdebatkan⁄"
Ki Rana Wulung membawa kedua muridnya ke dalam rumah dan duduk di serarnbi terbuka yang kini berada dalam keadaan agak miring.
"Guru . . . . " kata Danupaya membuka pembicaraan kembali. "Mau tak mau saya masih   ingin   membicarakan   pemuda   tadi.   Saya   kawatir   dia   adalah   orang   yang dikirimkan seorang pemuda berjanggut biru. Yang mempunyai maksud jahat terhadap
guru."
"Pemuda berjanggut biru? Siapa dia ...?Apa maksudmu, Danu?"

KARYA                                          20
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


Maka Danupaya lalu menceritakan pertemuannya dengan seorang lelaki aneh dalam perjalanan. Tidak lupa dia mengatakan pesan orang itu yang menyangkut peta rahasia telaga emas.
Terkejutlah Hana Wulung ketika mendengar muridnya itu menyebut peta tersebut. Dia tidak dapat menyembunyikan perubahan air mukanya.
"Ada apa guru. Kelihatannya guru tidak suka saya membawa berita ini ....?"
Orang tua itu geleng-gelengkan kepala.
"Jadi apakah benar peta rahasia telaga emas itu memang ada .... ?" bertanya Ratih.
"Aku tidak akan menjawab ya atau tidak ..." sahut sang guru yang membuat bingung kedua  muridnya.  "Pemuda  bernama  Wiro  Sableng  itu  justru  jauh-jauh  dikirimkan gurunya untuk meminta peta itu. Kau baca sendiri surat ini, Danu . . . "
Lalu  Ki  Rana  Wulung  menyerahkan  surat  basah  yang  tadi  dibawa  oleh  Wiro
Sableng.

"Saya  tidak  membaca  peta  itu  disebut-sebut  dalam  surat  ini  .  .  .  .  "  berkata Danupaya  begitu  selesai  membaca  surat yanq  dikirimkan  Eyang  Sinto  Gendeng  alias Sinto Mini dari puncak Gunung Gede.
"Tentu  saja  tidak,  muridku.  Benda  itu  adalah  benda  rahasia.  Mengandung  harga yang  tidak  ternilai.  Lebih besar  dari  nilai  kekayaan yang  dimiliki  Keraton Surokerto ditambah Keraton Jogjakarta⁄ ."
Danupaya jadi leletkan lidah sedang Ratih ternganga.
"Kata muatan dalam surat itu merupakan sandi rahasia dari peta telaga emas itu⁄ ." menjelaskan Ki Rana Wulung dengan suara perlahan sekali seolah-olah dia tak ingin ada orang lain mendengarnya.
"Lalu  apa  maksud  kalimat  yang  berbunyi  badai  ganas  melanda  negeri  .  .  .  .  ?" bertanya Ratih.

Ki Rana Wulung diam sejenak, baru menjawab. "Seolah-olah nenek sakti itu melihat ada bahaya yang mengancam diriku. Karena itu dia meminta agar menyerahkan peta rahasia  pada  muridnya,  akan  disimpannya  sampai  keadaan  aman  kembali.  Hanya sayang,  aku,  malah  kita  semua  sempat  bentrokan  dengan  muridnya  itu!"  Ki  Rana Wulung seperti menyesali diri.
"Lalu apakah guru juga mengetahui siapa adanya pemuda berjanggut biru yang kami

KARYA                                          21
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


temui di perjalanan?"
"Sulit kuterka, Danu. Hanya sedikit saja orang yang tahu tentang peta telaga emas itu. Dan boleh dikatakan tak ada yang tahu di mana beradanya selain aku dan Sinto Gendeng. Bahkan murjdnya tadi itu pun sebenarnya tidak tahu harus mengambil benda apa dariku⁄'
"Lelaki  berjanggut  biru  itu,  guru⁄"  berkata  Danupaya.  "Dia  berpesan  agar  guru menyerahkan peta rahasia telaga emas itu padanya nanti malam tatkala bulan purnama. Kalau  dia  tidak  datang,  maka  dia  akan  mengutus  seseorang  ....  Karena  itu  saya berprasangka  apa  bukan  pemuda  itu  tadi  yang  bertindak  selaku  utusan  si  janggut! biru?!"
Kembali Ki Rana Wulung menarik napas dalam.

"Semua kejadian ini serba tak terduga. Dan berbau keanehan!" desisnya.
"Guru, maafkan saya. Jika peta itu memang ada di tangan guru, demi keselamatan guru, lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Kita bersama-sama ke Kotaraja
"Tidak muridku. Siapa adanya si janggut biru itu aku ingin sekali mengetahuinya. Aku akan tetap berada di rumah ini sampai malam nanti..."
"Tapi itu terlalu berbahaya guru!" ujar Ratih.
"Hidup lebih dari tujuh puluh tahun. Berbagai bahaya sudah kuhadang. Mengapa bahaya sekali ini harus kutakuti dan kuhindari dengan melarikan diri ke Kotaraja?!"
"Maksud kami bukan melarikan diri, guru. Tapi menghindar adalah lebih baik dari pada sengaja menyongsong bahaya!" kata Ratih pula.
"Jika  kalian  murid-muridku  takut  menghadapi  bahaya,  tinggalkan  tempat  ini. Kembali saja ke Kotaraja!"
Mendengar kata-kata gurunya itu maka Ratih dan Danupaya serta merta menjawab berbarengan.
"Kami bersedia mati bersama guru di tempat ini!"
Ki Rana Wulung tersenyum.
"Bagus begitu . . . " katanya. "Bersiaplah. Malam sekali ini akan datang lebih cepat

KARYA                                          22
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


5

BULAN  PURNAMA  empat  belas  hari,  terang  dan  bulat.  Sinarnya  menyapu  bukit Sawojajar. Rumah kayu kediaman Ki Rana Wulung yang kini tidak berkolong itu lagi tampak sepi. Ada nyala pelita di dalam kamar tapi tak seorang pun tampak. Juga tak ada  suara  apa-apa  selain  suara  jengkerik  di  kejauhan  atau  gemerisik  kadal  liar  yang meluncur di kaki-kaki semak belukar.

Makin larut malam makin pudar sinar rembulan. Sesekali awan hitam melewati dan menutupinya. Lapat-lapat di kaki bukit terdengar suara lolongan srigala hutan. Angin mulai bertiup kencang  dan hawa  dingin  mulai  merayapi puncak bukit Sawojajar  itu. Kesunyian   mencengkam   menimbulkan   suasana   aneh   kalau   tidak   mau   dikatakan menyembunyikan sesuatu rahasia.
Tepat ketika awan hitam menutupi rembulan untuk kesekian kalinya, dari samping kiri bangunan kayu tiba-tibamenyeruak sesosok tubuh berpakaian biru gelap. Wajahnya tidak   terlihat   jelas   karena   tertutup   oleh   bayangan   bangunan   kayu.   Ketika   dia melangkah  lebih  dekat  ke  arah  serambi,  kini  wajahnya  tampak  jelas. Wajah  seorang pemuda  berdagu  kukuh  dengan  rahang-rahang  menggembung.  Pemuda  ini  ternyata memelihara janggut berwarna biru.
Di  atas  pohon berdaun  rimbun yang gelap  karena  tak  tertembus  sinar  rembulan, tiga sosok tubuh mendekam tak bergerak. Yang seorang berbisik sangat pelan, seperti suara nyamuk mendengung saja.

"Anggukan kepalamu jika itu orangnya yang kau ceritakan siang tadi."
Orang disamping si penanya menganggukkan kepalanya. Baru saja dia mengangguk, si janggut biru di bawah sana terdengar berseru sambil berkacak pinggang.
"Ki Rana Wulung! Aku datang untuk mengambil pesanan⁄"
Sunyi. Sepi.
Tak ada jawaban.
Si  janggut  biru  memandang  lekat-lekat  ke  arah  bangunan  seolah-olah  hendak menembus dinding kayu di mana membersit nyala pelita di antara celah-celah papan

KARYA                                          23
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


dinding.
Sambil mengusap janggutnya dia menyeringai. Lalu mulutnya berseru kembali.
"Aku tahu kau tak ada di dalam sana! Aku juga tahu kalau kau berada di sakitar sini! Jika tak ada yang ditakutkan kenapa bersembunyi?!"
Wuut!
Si janggut biru melompat mundur satu langkah.

Sebilah golok pendek yang tadi menderu ganas hampir memancung tanggorokannya tampak menancap di dinding bangunan.
Paras si janggut biru mengelam. Sepasang matanya seperti menyorotkan nyala api. Tapi   anehnya   manusia   ini  justru   perdengarkan   suara   tertawa   bergelak.  Tawanya kemudian ditutup dengan bentakan lantang.
"Sungguh   tidak   tahu   peradatan!   Begini   caranya   orang   persilatan   menyambut kedatangan tamu! Huh!"
Si janggut biru pegang hulu golok yang menancap di dinding dengan tangan kiri. Sekali sentak saja golok itu lepas. Pergelangan tangan kirinya bergerak aneh dan tahu- tahu golok itu melesat mendesing ke arah pohon besar di depan rumah kayu!
Di lain kejap terdengar suara keluhan!
Tiga sosok tubuh kemudian tampak melayang turun dari atas pohon besar tadi!
Pemuda berpakaian biru menyapu wajah tiga orang itu dengan pandangan mata tak berkesip.  Mereka  bukan  lain  adalah  Ki  Rana  Wulung.  Lalu  Danupaya  dan  Ratih.

Denupaya tampak memegangi bahu kirinya yang terluka akibat sambaran mata golok yang  tadi  dilemparkan  si  janggut  biru.  Masih  untung  tadi waktu  di  atas  pohon  dia berlaku waspada  hingga  ketika  golok  berdesing  dia  sudah  mengambil  ancang-ancang untuk  mengelak.  Nasibnya  masih  baik  karena  golok  yang  seharusnya  menembus dadanya berkat gerakannya yang cepat hanya menyayat bahu kirinya.
"Apakah kalian sudah menyampaikan pesanku pada guru kalian ...?" Si janggut biru ajukan pertanyaan. Pandangan matanya ditujukan ganti berganti ke arah Danupaya dan
Ratih.
"Pesan memang sudah kuterima!" yang menjawab Ki Rana Wulung sendiri. "Tetapi karena pesan itu tak tahu juntrungannya maka aku tidak menanggapi!"
Si janggut biru tertawa bergelak. "Orang tua, kau pandai bicara. Tapi kau hendak

KARYA                                          24
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru

sembunyi di balik sehelai lalang!"

"Siapa kau sebenarnya?!"
"Siapa  aku  kau  tak  layak  bertanya  orang  tua!  Tugasmu  saat  ini  adalah  cepat menyerahkan peta rahasia telaga emas! Serahkan secara suka rela hingga aku tidak perlu menurunkan tangan jahat!"
"Peta  rahasia  telaga  emas!  Eh,  benda  atau  binatang  apa  itu?!"  bertanya  Ki  Rana Wulung dengan mengejek.
"Jangan  bermain  sandiwara  padaku,  Rana Wulung! Aku  tak  punya  banyak waktu bicara   dengan   tua  bangka   sepertimu.   Lekas   serahkan   peta   itu!"   si  janggut   biru tarnpaknya mulai hilang kesabaran. Kedua kakinya dlrenggangkan dan tangan kirinya diletakkan di pinggang.

"Aku  tidak  tahu  menahu  dengan  segala  macam  peta!  Mengapa  kau  memintanya padaku?!"
"Karena  aku  tahu  memang  kau  memilikinya.  Peta  itu  ada  di  tanganmu  sejak  tiga puluh tahun  lalu! Sesuai  dengan bunyi  surat yang pagi tadi kau terima  dari  seorang pemuda gondrong! Bukan begitu . . . . ?!"
Tersirap darah Ki Ranah Wulung. Ratlh dan Danupaya menahan kejut. Ketiganya sama membatin. Bagaimana pemuda berjanggut biru ini tahu tentang surat yang dibawa oleh Wiro Sableng? Jawabnya  satu  di  antara  dua. Mungkin  sekali  sejak pagi  tadi  dia sudah  mendekam  di  tempat  itu  untuk  memata-matai  segala  apa  yang  terjadi.  Yang kedua,  mungkin  dia  ada  sangkut  pautnya  dengan Wiro  Sableng.  Begitu  ketiga  orang tadi menduga-duga.

"Lekas  kau  serahkan  pudaku,  Rana  Wulung!"  Si  janggut  biru  ulurkan  torr,i,rn. "Setelah itu aku akan pergi secara baik-baik⁄"
"Kau   salah   alamat   orang   muda!   Aku   tidak   tahu   soal   peta.   Dan   aku   tidak memilikinya.  Mungkin  si  penulis  surat  itu  yang  memilikinya.  Kenapa  kau  tidak  ke Gunung Gede saja menemui Sinto Gendeng? Kurasa nenek sakti itu yang memilikinya."
Si janggut biru tersenyunr. Sepasang matanya kembali terlihat seperti menyinarkan nyala api.
"Kau  memberi  keterangan  dusta  Rana Wulung!"  ujar  si janggut  biru  seraya  usap- usap telapak tanngannya satu sama lain. "Agaknya kau tidak sayang pada nyawa sendiri.

KARYA                                          25
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


Karena  kalau  kau  tak  mau  memberikan  peta  itu,  aku  akan  mengambilnya  sekaligus bersama nyawamu!"
Ki Rana Wulung rangkapkan kedua tangan di depan dada.
"Aku sudah terlalu tua untuk hidup lebih lama di dunia ini. Liang lahat sudah lama menunggu. Tapi siapa manusia yang ingin mati berpangku tangan .... ?!"
"Bagus! Kalau begitu kau memang sudah saatnya mampus!"
Si janggut biru mundur selangkah. Dia menggerakkan tangan kanannya ke atas lalu menarik  ke bawah  perlahan-lahan  kemudian  dihantamkan  lagi  ke  depan  sambil  lima jari yang tadi membentuk tinju dibuka!
Semula  Ki  Rana Wulung  mengira  dirinyalah yang  akan  menjadi  sasaran  serangan aneh tersebut. Tapi dia tertipu. Di samping kirinya terdengar jeritan Danupaya! Sang murid   tampak   menggelepar-gelepar   sembari   pegangi   perut.   Saat   itu   Danupaya merasakan   seolah-olah   isi   perutnya   dibetot   ke   luar   dan   kepalanya   seolah-olah dikemplang dengan pentungan besi! Darah tampak mengucur dari hidung, mulut dan telinganya. Pemuda ini kembali menjerit. Menjerit dan menjerit lalu roboh terguling ke tanah. Ratih memekik dan jatuhkan diri memeluk kekasihnya itu. Tapi Danupaya telah menjadi mayat!
"Manusia biadab! Terima kematianmu!" teriak Rana Wulung.

KARYA                                          26
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


6


TERNYATA yang menyerbu si janggut biru bukan hanya Ki Rang Wulung. Tetapi juga Ratih. Gadis ini seperti kemasukan setan, sembari menjerit tiada henti dia menyerang dengan  pukulan-pukulan  maut  mengandung  tenaga  dalam  tinggi.  Sang  guru  sendiri menghantam  dengan  pukulan-pukulan  sakti  yang  jauh  lebih  ganas.  Tetapi  hebatnya, semua serangan yang mematikan itu dielakkan si janggut biru dengan sikap congkak meskipun  dada  pakaiannya  sampat  terenggut  robek  oleh  kuku  panjang  Ki  Rana
Wulung.

"Manusia-manusia  tolol!"  teriak  si janggut biru.  "Apa  kematian  pemuda  itu  tidak membuat kalian sadar! Kau tua bangka goblok! Masih tidak mau menyerahkan barang yang kuminta!"
"Anjing  kurap!   Kau   inginkan   nyawaku!  Ambillah   sendiri!   Kalau  tidak   nyawa anjingmu yang akan kubetot dari tubuhmu!" balas berteriak Rana Wulung.
"Kau musti mampus di tanganku musti mampus!" terdengar pula teriakan Ratih. Di tangan  kanannya  kini  dia  mernegang  sebilah  golok.  Sekali  golok  diputar,  suaranya berdcsing  dan  senjata  itu  seperti  berubah  jadi  tujuh  buah  banyaknya!  Karena  Rana Wulung  keluarkan  ilmu  silatnya yang  paling  andal  maka  datam  dun jurus  saja  guru dan murid itu telah mengurung rapat pemuda berjanggut biru. Tetapi hanya dua jurus itulah batas kemampuan Rana Wulung Dan Ratih berbuat.

Didahului satu bentakan buas, si janggut biru berkelebat di antara dua penyerang. Ketika   Ratih   dan   Rana  Wulung   berbalik   untuk   mengejar   sembari   menggempur, ternyata lawan sudah membalikkan diri lebih dahulu seraya kirimkan satu jotosan dan satu sapuan kaki!
Ratih terpekik ketika dia merasakan kaki kanannya sakit bukan kepalang dan tanah yang dipijaknya seperti amblas. Tubuhnya yang ramping terbanting ke tanah. Dengan mengandalkan kegesitan dan keringanan tubuh gadis ini masih sanggup jungkir balik, lalu  sebelum  kakinya  menginjak  tanah,  tangan  kanannya  dengan  satu  gerakan  kilat menusukkan golok ke perut lawan.

KARYA                                          27
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


Si janggut biru yang tidak mengira sang dara sanggup melancarkan serangan seperti itu,  kalau  tidak  lekas  mengelak  hampir  saja  perutnya  tertembus  golok.  Kemarahan membuat  dia  melipatgandakan  pukulan yang  ditujukan  pada  Ki  Rana Wulung.  Dan kakek ini menerima nasib malang. Tubuhnya terpental ketika jotosan si janggut biru dengan  telak  menghantam  dedenya.  Rana Wulung  merasakan  tulang  dadanya  seperti melesak  ke  dalam.  Napasnya  langsung  sesak.  Rasa  sakit  yang  amat  sangat  membuat kepalanya  seperti  pecah.  Orang  tua  ini  jatuh  terduduk  di  tanah  sambil  muntahkan darah  segar.  Menyadari  bahaya  yang  mengancam  dirinya,  Rana  Wulung  rebahkan tubuhnya  ke  tanah  lalu  berguling  menjauhi  si  janggut  biru.  Sewaktu  dia  berhenti berguling di akar pohon besar, memandang ke depan dilihatnya Ratih sudah terbujur di   tanah   dalam   keadaan   tak  berdaya.  Satu   totokan   telah   melumpuhkan   sekujur tubuhgadis ini, bahkan jalan suaranya pun tidak bekerja lagi!
"Tua bangka tolol! Kalau saja kau mau menyerahkan peta itu dari tadi, tak akan kau kehilangan murid lelaki itu. Tak akan muridmu yang perempuan ini mendapat cidera. Dan nyawamu sendiri tak akan tertolong! Apalagi jika kau masih saja bertindak tolol tidak mau menyerahkan peta telaga emas itu!"
"Kau  boleh  membunuhku!  Dan  kau  tetap  tak  akan  mendapatkan  apa-apa  dariku manusia biadab!" menjawab Rana Wulung.
"Kita akan lihat, tua bangka tolol!" sahut si janggut biru.

Selesai berkata begitu  si janggut  biru  gerakkan  kedua  tangannya  untuk  membuka pakaian  birunya. Ternyata  di  balik  pakaian  biru  itu  dia  mengenakan  pakaian  hitam gelap  dengan  gambar  puncak  gunung  berlatar  belakang  matahari  berwarna  merah disertai tiga larik sinar masing-masing berwarna kuning, merah dan hitarn.
Melihat  gambar  pada  dalam  pakaian  si  janggut  biru  itu  pucatlah  paras  Ki  Rana
Wulung.
"Jadi .... jadi kau⁄. kau!"
Si janggut biru menyeringai.
"Kau ini mengenaliku Rana Wulung .... "
"Pangeran Matahari!" Tenggorokan orang tua itu seperti tercekik ketika menyebut nama itu.
"Ha. .. ha ... Tidak salah Rana Wulung! Aku memang Pangeran Matahari. Pangeran

KARYA                                          28
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


dari segala  Pangeran di dunia ini! Datuk dari segala Datuk! Pendekar dari segala licik, segala akal, segala ilmu, segala cerdik dan segala congkak!"
Si  janggut  biru  yang  ternyata  adalah  Pangeran  Matahari,  satu  nama  yang  telah menjadi  momok  dalam  dunia  persilatan  di  masa  itu  melangkah  mendekati  Rana
Wulung.
"Kau masih belum mau menyerahkan peta itu?"
"Aku  sudah  siap  mati!" kata  si orang tua  seraya pejamkan  mata. Sejak dua tahun terakhir ini dia sudah mendengar dan tahu banyak tentang malapetaka yang melanda dunia  persilatan  akibat  munculnya  seorang  pemuda  berkepandaian  silat  tinggi  dan mempergunakan kehebatannya dengan segala kecongkakan untuk melakukan berbagai macam   kejahatan.   Mulai   dari   membunuh   tokoh-tokoh   persilatan   sampai   pada merampok dan menculik. Dia tidak pernah menduga kalau malam itu justru manusia ganas  inilah  yang  muncul  di  puncak  Sawojajar  untuk  merampas  jiwanya.  Dia  tidak takut   mati.

Tapi  bagaimana   dengan   keselamatan   murid  perempuannya?!   Hal   ini membuat   Ki   Rana  Wulung   membukakan   kedua   matanya  yang   tadi   dipejamkan. Puluhan  tahun  dia  memiliki  ilmu  silat,  belajar  dan  belajar,  berlatih  dan  berlatih. Malam  ini  semuanya  itu  tidak  berarti  apa-apa  di  hadapan  pemuda  terkutuk  yang menyebut dirinya sebagai Pangeran Matahari itu!
"Ha . ... ha ... Kau membuka matamu kembali Rana Wulung! Rupanya kau belum rela mati!"
Tiba-tiba,  dalam  keadaan  terluka  di  dalam  cukup  parah,  seperti  mendapat  suatu kekuatan baru  Ki  Rana Wulung  melompat.  Dari  mulutnya bersemburan  darah  segar. Tapi ia tak perduli. Didahului jeritan keras orang tua ini lepaskan pukulan dari jarak dua   langkah   ke   arah   kepala   Pangeran   Matahari.   Satu   gelombang   angin   yang mengeluarkan deru dahsyat menyambar menebar hawa panas!
Wuss!
"Ilmu   picisan   mainan   anak-anak!"   ejek   Pangeran   Matahari.   Tapi   dia   cepat menyingkir karena diam-diam sebenarnya dia merasa terkejut juga melihat kehebatan lawan,  yang  dalam  keadaan  terancam  jiwanya  akibat  luka  dalam,  masih  mampu melepaskan pukuian hebat disertai aliran tenaga dalam tinggi.
"Tua  bangka   edan!   Kau  bukan   saja   tolol   tetapi  juga   edan!"   teriak   Pangeran

KARYA                                          29
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


Matahari.  Angin  pukuian  lawan  sesaat  masih  sempat  menyapu  tubuhnya  hingga  dia tergontai-gontai.   Dalam   keadaan   seperti   itu   Rana   Wulung   dilihatnya   kembali menyerbu. Mukanya tampak angker karena penuh berselemotan darahnya sendiri.
Kali ini Pangeran Matahari tidak memberi kesempatan lagi. Belum sampai serangan Rana Wulung, dia sudah menyongsong dengan pukulan tangan kanan.
Dua lengan beradu tak terelakkan.
Kraak!
Ki  Rana Wulung  terpental.  Untuk  kedua  kalinya  kakek  ini  terbanting  ke  tanah. Keadaannya kini lebih parah lagi karena lengan kanannya patah akibat beradu denqan tangan lawan tadi!
"Bagaimana  .  .  .?  Masih  belum  mau  menyerahkan  peta  itu?"  bertanya  Pangeran Matahari sambil dua tangan bertolak pinggang.

"Terkutuk! Mampuslah kau manusia terkutuk!"
Pangeran Matahari meludah ke tanah. Sekali tendang saja dia dapat menghancurkan kepala orang tua itu. Tetapi mungkin dia akan mengalami kesulitan menemukan peta rahasia   itu.   Pasti   Rana  Wulung   menyembunyikannya   di   satu   tempat  yang   sulit diketahui.
"Kau  akan  melihat  keterkutukanku  Rana  Wulung!  Kau  akan  melihat!  Kau  tidak takut mati! Bagus! Tapi apakah kau tidak takut menyaksikan apa yang bakal kulakukan terhadap murid perempuanmu ini?!"
Pangeran Matahari berbalik, lalu melangkah ke tempat di mana Ratih terbujur di tanah dalam keadaan tegang karena ditotok.

Pemuda berjanggut biru itu membungkuk.
Lalu!
Dada  pakaian  kelabu  yang  dikenakan  Ratih  robek  besar  di  beberapa  bagian. Auratnya terbuka putih membusung.
"Ha . . . ha! Kau akan melihat keterkutukanku! Kau akan melihat!"
Pangeran  Matahari  kembali  membungkuk  dan  ulurkan  tangannya  untuk  menarik pakaian sebelah bawah Ratih.
"Ya  Tuhan!  Laknat  terkutuk!"  teriak  Ki  Rana  Wulung.  "Apa  yang  hendak  kau lakukan! Kau boleh bunuh aku! Tapi jangan sentuh gadis itu!"
Pangeran Matahari hanya tertawa mendengar ucapan Rana Wulung itu. "Yang akan

KARYA                                          30
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


kulakukan bukan hanya  menyentuhnya, lebih dari  itu  Rana Wulung!  Dan kau boleh menyaksikan! Buka matamu lebar-lebar!"
Ki  Rana Wulung coba merangkak mendekati Pangeran Matahari untuk menolong muridnya. Tapi keadaannya sengsara sekali. Jangankan merangkak, beringsut pun dia tak sanggup.
"Demi Tuhan! Jangan kau lakukan itu! Bunuh aku! Bunuh!"
"Aku tidak butuh nyawamu lagi Rana Wulung! Tak kubunuhpun kau akan segera mampus.  Aku   lebih   butuh   tubuh   muridmu  yang   cantik   ini!   Kau   lihatlah!   Hai pernahkah kau melihat tubuh muridmu tanpa  sehelai benangpun  menutupnya  .  .  .  ? Ha⁄ Ha.... ha....
"Tunggu!" teriak Rana Wulung.

KARYA                                          31
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


7

PANGERAN  MATAHARI  yang  sudah  siap  untuk  menelanjang  tubuh  Ratih  yang berada  dalam  keadaan  tertotok  itu  sesaat  hentikan  gerakan  tangannya  dan  berpaling pada orang tua yang menggeletak di tanah itu.
"Apa maumu . . .?" tanyanya.
"Dengar. . . dengar. Demi Tuhan .... Aku akan berikan peta itu padamu. Aku akan berikan peta itu! Asalkan kau berjanji ... tidak, bukan berjanji! Tapi bersumpah! Asal kau mau bersumpah tidak akan mengganggu muridku!"
"Pasti kau hendak menipuku!" sahut Pangeran Matahari dengan sikap tak acuh.
"Aku tidak menipumu! Aku akan berikan peta itu! Bersumpahlah . . . ."
Pangeran Matahari manggut-manggut beberapa kali.

"Baik, serahkan peta itu padaku!"
"Bersumpah dulu!"
"Aku bersumpah!"  ujar  Pangeran  Matahari. Satu  tangan  diangkat  ke  atas,  satunya lagi mengusap-usap janggut birunya. "Nah, mana peta itu!"
"Di  sana.  .  .  .""  Rana  Wulung  menunjuk  dengan  tangan  kiri  gemetar.  Yang ditunjuknya adalah arah pohon besar disamping kanan rumah kayu.
"Di sana di mana maksudmu?!" sentak Pangeran Matahari.
"Di ... di bawah pohon. Tiga langkah ke kanan dari akar yang menonjol. Gali tanah di situ. Kau akan menemukan sebuah kotak besi tipis. Peta itu ada dalam kotak besi."
"Kalau  kau  berdusta  kau  dan  muridmu  tidak  akan  mendapatkan  pengampunan!" mengancam  si  janggut  biru  lalu  dia  melangkah  ke  tempat  yang  dikatakan.  Dengan golok milik Ratih dia menggali tanah sejarak tiga langkah dari tonjolan akar.

Menggali sedalam  dua  jengkal,  ujung  golok  membentur  sebuah  benda  keras.  Ketika  dikorek terlihat sebuah kotak besi yang sudah karatan. Kotak ini dililit dengan sehelai kawat yang juga sudah karatan. Dengan cepat Pangeran Matahari membuka lititan kawat itu lalu  membuka  kotak  besi.  Di  dalam  kotak  itu  kelihatan  sebuah  kertas  tebal  yang berwarna  kekuningan  dimakan  usia.  Dengan  hati-nati  Pangeran  Matahari  membuka

KARYA                                          32
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


lipatan  kertas  tebal  itu.  Di  situ  tergambar  sebuah  sungai  dan  gunung  lalu  lingkaran bengkok-bengkok mungkin merupakan gambaran dari sebuan telaga, lalu tanda silang di sebelah timur telaga.
Pangeran Matahari menyeringai. Peta itu dilipatnya kembali lalu dia bangkit berdiri dan melangkah mendekati Rana Wulung.
Orang tua itu cepat membuka mulut.

"Kau sudah mendapatkan apa yang kau ingini! Sekarang tinggalkan tempat Ini!"
"Percuma aku mempunyai jalan hidup segala cerdik, segala congkak segala akal dan segala licik, kalau aku pergi begitu saja sementara rezeki besar sudah di depan mata⁄"
Paras Rana Wulung yang pucat jadi berubah.
"Apa maksudmu ⁄?"
"Aku telah kepalang tanggung melihat keindahan tubuh muridmu! Tak baik kalau dibiarkan begitu saja. Karena kau telah berbaik hati menyerahkan peta itu, maka aku memberi sedikit keringanan padamu. Aku tak akan bersenang-senang dengan gadis itu di hadapanmu. Tapi aku akan membawanya ke suatu tempat. Ha. .. ha ... ha ..."
"Manusia Iblis!" teriak Rana Wulung. Seperti ada yang memberi kekuatan padanya tubuhnya  yang  sejak  tadi  terkapar  tiba-tiba  bisa  bangkit  berdiri.  Namun  sebeltim mencapai  Pangeran  Matahari  orang  tua  ini  roboh  ke  tanah  dan  tak  sanggup  lagi bangun. "Ya Tuhan ... dosa apa yang telah kuperbuat hingga mqngalami nasib seperti ini ..." mengeluh Rana Wulung dalam hatinya.
"Selamat tinggal orang tua tolol! Muridmu kubawa!"
Pangeran  Matahari  membungkuk  siap  untuk  memanggul  tubuh  Ratih.  Di  saat itulah terdengar suara siulan disusul bentakan menggeledek.

"Dicari-cari tidak bertemu! Ternyata kau menjual lagak di puncak Sawojajar ini!"
Bersamaan dengan itu hemhusan angin kencang menderu deras membuat Pangeran Matahari  sesaat  tergontai-gontai  dan  hampir  saja  jatuh  duduk  kalau  tidak  lekas memasang kuda-kuda pertahanan dengan merenggangkan kedua kakinya.
"Bangsat  dari  mana  yang  berani  mencampuri  urusan  orang!"  hardik  Pangeran
Matahari!
Sesosok  bayangan  berkelebat  dan  tahu-tahu  sosok  tubuh  Ratih  yang  terbaring  di tanah lenyap. Ketika berpaling ke kiri Pangeran Matahari dapatkan gadis itu kini sudah

KARYA                                          33
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


terbaring  di  lantai  serambi  depan  rumah  kayu. Tegak  disampingnya  seorang  pemuda berambut gondrong, berpakaian putih, bersikap seenaknya sambil menyeringai.
"Kau!" seru Pangeran Matahari. Nadanya keras dan marah. Tapi dalam hatinya dia merasa tidak enak kalau tidak mau dikatakan takut. Beberapa kali sebelumnya dia telah bentrokan hebat dengan pemuda yang menyandang pelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni  212  itu.  Dan  dalam  setiap  bentrokan  dia  selalu  berada  di  pihak  yang  kurang menguntungkan.

"Rupanya kau sudah rindu akan kematian hingga mencariku ke tempat ini!"
Wiro Sableng tertawa gelak gelak.
"Kalau pemuda rindukan gadis itu lumrah. Tapi kalau aku rindukan kamu untuk mencari mati. Ha ... ha ... ha⁄! Terbalik perutku!" Habis berkata begitu Wiro berlagak seperti orang mau muntah!
Paras Pangeran Matahari berubah kelam dan membesi.
Dan ejekan Wiro Sableng masih belum habis.
"Eh,  sejak  kapan  kau  pakai  janggut  seperti  itu.  Pandai  juga  kau  mewarnainya. Apakah kau pakai tahi kerbau atau kotoran kuda untuk mewarnai janggutmu hingga jadi biru seperti itu ....?"
"Orang  yang   hendak   mampus   memang   sering   bicara   ngacok!"   kata   Pangeran Matahari  dengan  suara  bergetar.  Dari  tempatnya  berdiri  dia  langsung  hantamkan tangan kanan.

Sinar  merah,  kuning  dan  hitam  berkiblat  di  puncak  bukit  Sawojajar  itu.  Udara terang  benderang  mengerikan  karena  disertai  hembusan  hawa  panas yang  luar  biasa. Sebagian  atap  rumah  kayu  langsung  hangus.  Daun-daun  dan  juga  ranting-ranting pepohonan menghitam.
"Iblis  berjanggut  biru  ini  benar-benar  sakti  luar  biasa!"  membatin  Rana Wulung. Seumur  hidupnya  baru  sekali  itu  dia  melihat  pakulan  sakti  seperti  yang  dilepaskan Pangeran Matahari. Sementara itu di atas serambi rumah, kalau saja dia bisa berteriak pastilah Ratih sudah menjerit melihat bahaya yang mengancam pemuda gondrong yang telah dua kali menyelamatkan dirinya.
Tapi gilanya dia melihat si gondrong malah masih tegak tenang.-tenang saja. Hanya dia  kemudian  menyaksikan  tangan  kanan Wiro berubah  putih berkilau  seperti  perak

KARYA                                          34
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


sampai ke siku. Dan ketika pemuda itu pukulkan tanqannya ke depan, terdengar suara menggeledek disertai bertebarnya sinar putih menyilaukan dan panas luar biasa!
"O.. ladalah! Inikah yang dinamakan pukulan sinar matahari ...?" ujar Rana Wulung dalam hati. Tubuhnya terguling jauh. Begitu juga Ratih, terbanting ke dinding kamar. Asap kelabu kemudian menyungkup seantero tempat itu.

"Bangsat!"  memaki  Pangeran  Matahari  di  dalam  kepulan  asap.  Dia  melompat  ke kiri.  Dendam  kesumatnya  atas  kejadian  di  masa  lalu  terhadap  Wiro  masih  belum terbalaa. Malam itu kembali dia tak mampu merobohkan lawan. Menimbang bahwa dia sudah   mendapatkan   peti   yang   dicarinya   maka   dia   mengambil   keputusan   untuk meninggalkan   tempat   itu.   Selagi   asap   menupi   pemandangan,   Pangeran   Matahari berkelebat dan lenyap dari situ.

KARYA                                          35
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis BerjanggutBiru

8


KI RANA WU LUNG duduk bersandar ke dinding kayu kamarnya. Dadanya masih se- sak dan sakit. Tapi berkat obat yang diberikan Wiro, luka di dalam yang dideritanya menunjukkan  tanda-tanda  membaik.  Darah  tak  lagi  keluar  setiap  dia  batuk  dan meludah.
Ratih duduk di sampingnya, membalut potongan kayu yang ditempelkan ke lengan kanan sang guru yang patah. Hari itu adalah hari kedua sejak terjadi bencana akibat kejahatan Pangeran Matahari.
"Sudah .... Ikatanmu sudah cukup kencang. Kau pergilah mengurus kuburan Danu. Kulihat dari sini timbunan tanah di sebelah kepala agak tenggelam.

"Baik guru . . . ." jawab Ratih perlahan. "Tapi sampai hari ini guru belum memberi petunjuk  apa  yang  hendak  kita  lakukan  atas  manusia  terkutuk  bernama  Pangeran Matahari itu. Jika guru setuju saya bisa meminta bantuan pamanda Tumenggung Puro Bekasan untuk rnengirimkan pasukan Kerajaan mencari dan menangkap orang itu ..,."
Ki Rana Wulung menarik nafas dalam. Sesaat dia melirik pada Pendekar 212 Wiro Sableng yang duduk bersila di dekat pintu kamar lalu gelengkan kepalanya.
"Manusia iblis seperti Pengeran Matahari itu sulit untuk dikejar, apalagi ditangkap sekalipun mengerahkan seluruh pasukan Kerajaan⁄ ."
"Sehebat itukah dia? Bukankah di Kotaraja juga banyak para tokoh silat istana yang bisa dimintakan bantuannya ...?" ujar Ratih dengan agak kecewa.
"Menurut   pendengaranku,   manusia   itu   beberapa   kali   membuat   keonaran   di Kotaraja. Berani mengacau sampai ke dalam Keraton ..."
"Lalu  kita  biarkan  saja  dia  berbuat  kejahatan?  Bahkan  dia  telah  mengambil  peta rahasia yang sangat berharga itu, guru!"
"Dunia ini memang aneh. Dalam keanehan itu aku merasa malu dan ingin minta maaf ... Juga ingin berterima kasih."
"Eh, kau malu karena apa guru. Dan mau minta maaf pada siapa?"

KARYA
BASTIAN TITO

36

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


"Pada pemuda itu ...." jawab Rana Wulung seraya menggoyangkan kepalanya ke arah Wiro. "Anak muda, kau masuklah ke mari."
Karena dipanggil Wiro masuk ke dalam.
"Sebetulnya aku ingin minta diri . . ." berkata Wiro begitu duduk di hadapan Rana
Wulung.
"Jangan   begitu   anak   muda.   Kalau   tidak   kusampaikan   rasanya   akan   menjadi ganjalan. Kukatakan tadi aku malu. Malu karena telah terlanjur bersikap kasar dua hari lalu padamu. Padahal kau yang telah menyelamatkan kedua muridku sewaktu dihanyut- kan  banjir.  Lalu  kau  juga  yang  menyelamatkan  kami  dari  manusia  iblis  bernama Pangeran Matahari itu⁄"
"Memang begitulah maunya keanehan dunia, kek!" jawab Wiro.

Rana  Wulung  tertawa  karena  untuk  pertama  kalinya  pemuda  itu  memanggilnya dengan sebutan kakek.
"Guru," tiba-tiba Ratih menyelak pembicaraan. "Kau masih belum menjawab apakah akan kita biarkan iblis berjanggut biru itu lolos membawa peta rahasia milikmu .... ?"
Rana Wulung memegang bahu muridnya dengan tangan kiri.
"Pangeran  Matahari  mengagulkan  dirinya  sebagai  seorang  yang  terhebat  dalam segala licik, segala akal, segala congkak dan segala akal. Kau tak perlu mengawatirkan peta itu, muridku. Peta yang dirampasnya itu adalah peta palsu!"
Ratih dan Wiro terkejut.

"Kau cerdik guru!Jadi kau masih menyimpan peta yang asli ... ?"
"Ya, dan aku akan memberikannya pada murid Sinto Gendeng ini. Sesuai dengan surat gurunya itu . . . . Tentang Pangeran Matahari aku percaya hukuman bakal jatuh padanya!" Rana Wulung berpaling pada Wiro. "Syukur kau muncul kembali ke tempat ini⁄ "
"Kek, aku kemari bukan untuk meminta peta itu. Bukankah kau sudah memutuskan untuk tidak memberikannya. Aku kembali kemari karena di tengah jalan secara tidak aengaja   melihat   seorang   berpakaian   biru,   berjanggut   biru   dengan   gerak-gerik mencurigakan.  Ketika  aku  rasa-rasa  kenal  akan  wajahnya  walaupun  kini  memakai janggut biru, maka diam-diam aku menguntitnya. Ternyata dia datang kemari. Musuh

KARYA
BASTIAN TITO

37

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


besar yang sangat licik, yang sampai hari ini selalu lolos dari tanganku ...."
"Terlepas  apapun  tujuanmu  kembali  kemari  tapi  aku  sudah  memutuskan  untuk menyerahkan peta rahasia telaga emas itu padamu. Harap kau suka menyampaikannya pada gurumu di puncak Gunung Gede."
"Kalau begitu keputusanmu, aku hanya menurut saja," jawab Wiro.
Ki Rana Wulung membuka kain putih penutup kepalanya. Tampak rambutnya yang berwarna kelabu tergulung membentuk sebuah sanggul kecil di atas kepalanya. Dengan tangan kirinya orang tua ini membuka sanggul itu. Darl dalam sanggul yang terbuka itu  tampak  sehelai  kain  berwarna  hitam  tergulung  rapi  tak  lebih  besar  dari  jari kelingking.

Selagi  Ratih  dan Wiro bertanya-tanya  dalam  hati benda  apa  sebenarnya yang  ada dalam gulungan rambut Ki Rana Wulung, orang tua itu membuka gulungan kain hitam tadi.  Ternyata  lebarnya  kain  ini  hanya  selebar  telapak  tangan.  Dan  di  atas  kain  itu terdapat   sebuah   lukisan   telaga  berwarna   putih.   Di  bawah   lukisan   kecil   ini   ada serangkaian tulisan putih berbunyi :

Berbiduk di atas Bengawan
Dari selatan kearah barat
Dari utara kearah timur
Telaga sejukhanya satu
Beringin saktihanya satu
Duduk bersila di atas batu merah
Menghadap lurus ke utara
Pasti terlihat pohon bersilang
Rahasia tersembunyi di bawahnya
Hanya yang mendapat berkah Ilahi aku mendapatkannya.

"Inikah peta telaga emas itu, guru?" bertanya Ratih.
Sang  guru  mengangguk.  Lalu  kain  hitam  kecil  itu  digulungnya  kembali  dan diulurkannya pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Simpan  baik-baik.  Serahkan   pada   gurumu.   Dia   tak   perlu   mengembalikannya

KARYA
BASTIAN TITO

38

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


padaku. Apa yang akan dilakukannya terhadap harta itu terserah dia. Aku sudah terlalu tua untuk mengurus segala urusan dunia. . ."
"Terima  kasih  atas  kepercayaanmu,  kek."  kata  Wiro  seraya  mengambil  gulungan kain  hitam.  Benda  ini  kemudian  dimasukkannya  ke  dalam  ikatan  ikat  kepalanya  di sebelah belakang.

Rana  Wulung  tersenyum.  "Sepintas  tampangmu  tampak  tolol.  Nyatanya  otakmu cerdik ..."
Wiro garuk-garuk kepala.
"Aku minta diri sekarang kek. Kudoakan kau lekas sembuh . . ."
"Obatmu pasti mujarab. Sekali lagi aku berterima kasih⁄"
Ratih tampak seperti hendak mengatakan sesuatu.
"Ada yang hendak kau sampaikan Ratih ...?"
Sang dara agak gugup. Namun akhirnya dia menggelengkan kepala.
"Kalau tak ada apa-apa lagi, tolong ampilkan Qur'anku. Di umur setua ini apa lagi yang akan kukerjakan kalau bukan berbuat Ibadah ..."

KARYA
BASTIAN TITO

39

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


9


PANGERAN MATAHARI menjadi sangat heran ketika dalam rimba belantara itu tiba- tiba  saja  dia  mendengar  suara  orang  bernyanyi  di  kejauhan.  Nyanyian  itu  diiringi tabuhan gendang dan kerincingan.
"Setan atau manusia yang berpesta di hutan ini?!" ujar sang pangeran dalani hati. Meskipun  dia  menempuh  rimba  belantara  itu  untuk  urusan  penting  dan  memintas jalan, namun keanehan yang didengarnya itu membuat dia memutar langkah menuju arah datangnya suara nyanyian dan tabuhan gendang serta kerincingan.

Di suatu tempat yang leguk, hampir menyerupai lembah kecil, Pangeran Matahari melihat   sepasang   kakek-nenek   asyik   menyanyi   sambil   menari-nari   dalam   gerakan berputar-putar  membentuk  lingkaran.  Masing-masing  memegang  tetabuhan berbentuk rebana yang pada pinggirannya dilingkari lembaran-lembaran kaleng tipis kecil. Setiap rebana itu ditabuh, kerincingan ikut berbunyi.
"Dua tua bangka edan! Kalau tidak edan masakan berada di tempat ini dan menari! Ada-ada saja."
Pangeran  Matahari  hendak  balikkan  diri  guna  melanjutkan  perjalanan.  Namun niatnya  ini  dibatalkan.  Kakek  nenek  di  bawah  sana  dilihatnya  mengeluarkan  sebuah bumbung kecil. Sambil menari keduanya kemudian mendongak ke atas dan tempelkan mulut  bumbung  bambu  itu  ke  bibirnya.  Dari  tempatnya  berdiri  Pangeran  Matahari dapat  mencium  harumnya  bau  minuman  yang  direguk  kedua  orang  tua  itu  sambil menari dan menyanyi.

"Mabuk  ....  Pantas  mereka  seperti  orang  gila.  Tapi  minuman  itu  sungguh  luar biasa.Sejauh itu bau harumnya menebar sampai ke sini. Tenggorokanku kering. Kalau saja aku kebagian barang beberapa teguk .... Ah, aku coba menemui mereka!"
Pangeran Matahari melangkah menuruni bagian rimba yang berbentuk lembah itu. Seperti  tidak  melihat  kedatangan  orang,  dua  kakek  nenek  tadi  terus  saja  menari-nari dan  menyanyi,  menabuh  rebana  dan  meneguk  minuman  harum  di  dalam  bumbung

KARYA
BASTIAN TITO

40

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


bambu.
Tiba-tiba suara nyanyian berhenti. Tabuhan rebana dan suara gemerincing kaleng- kaleng  lenyap.  Dua  kakek  nenek  palingkan  wajah  masing-masing  ke  arah  pemuda berjanggut hiru. Ketika Pangeran Matahari menatap wajah krrdua orang tua itu, astaga! Hatinya tergetar. Kakek dan nenek ini memiliki sepasang mata sengat merah dan tidak memiliki bagian mata berwarna putih!
"Jangan, jangan⁄" Ucapan dalam hati Pangeran Matahari terputus ketika tiba-tiba si nenek berpakaian aneh penuh tambalan itu berkata pada temannya.
"Hai, kedatangan tamu darijauh. Akan diajak minum atau diajak menari ⁄?"
Kawannya si kakek yang juga berpakaian penuh tambalan menjawab setelah lebih dulu tertawa cekikikan.

"Minum dan menari soal kedua. Tapi apakah dia pandai menyanyi ... ?!"
Si nenek kini yang ganti tertawa cekikikan.
"Hai! Apakah kau pandai menyanyi?!" Si kakek ajukan pertanyaan.
Pangeran Matahari menggeleng.
"Ah,  janggutmu  saja  yang  keren  tapi  tak  pandai  menyanyi!"  Si  nenek  tampak kecewa.
"Apa   maumu   datang   ke   mari?!"   Si   kakek   bertanya.   Rebana   di   tangan   kiri diletakkannya  di  atas  kepala  lalu  dia  menurunkan  tubuh,  duduk  bersila  di  tanah. Anehnya rebana yang tadi dijunjungnya tetap berada di batas kepalanya semula, seolah- alah rebana itu tergantung di udara, diikat oleh tali yang tak kelihatan!
Bergetarlah hati Pangeran Matahari. Dadanya berdebar.

Yang dihadapinya saat itu mungkin bukan orang-orang gila, tetapi manusia-manusia sakti dengan kepandaian langka!
"Hai! Di mana rebanaku?!" Tiba-tiba si kakek berseru dan menoleh kian ke mari, lalu memegang-megang kepalanya mencari-cari. Kawannya tertawa terpingkal-pingkal.
"Tua bangka pikun! Itu rebanamu, bukankah kau tinggalkan di puncak gunung?!"
Mendengar  kata-kata  kawannya  itu,  si  kakek  mendongak  ke  atas.  Dia  melihat rebananya mengapung di udara lalu tepuk kening sendiri seraya berkata, "Pelupa benar aku ini. Tolong kau ambilkan rebanaku itu nek!"

KARYA
BASTIAN TITO

41

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


Si  nenek  angguk-anggukkan  kepalanya.  Aneh  sekali.  Rebana  yang  mengapung  di udara itu bergerak turun naik lalu jring! Rebana itu hinggap kembali di atas kepala si kakek! Kedua kakek nenek itu kemudian tertawa terpingkal-pingkal.
"Siapa gerangan dua manusia aneh luar biasa ini ...." membatin Pangeran Matahari. Karena  hatinya  merasa  tidak  enak  maka  dia  memutuskan  untuk  segera  tinggalkan tempat   itu.  Tapi  baru   saja   dia   membalikkan  tubuh,  tahu  tahu   si   nenek   sudah menghadang langkahnya.
"Aih,   datang   baik-baik   kini   hendak   pergi   begitu   saja.   Sungguh   tidak   tahu peradatan⁄"
"Dia mungkin tak suka kita, nek. Biar saja dia pergi!"
"Tidak bisa ... tidak bisa . . . " sahut si nenek sambil geleng-gelengkan kepala. "Aku harus  tahu  dulu  mengapa  dia   datang  ke  mari.  Jangan-jangan  membawa   maksud tersembunyi ..."
"Betul ... betul! Ayo orang muda berjanggut biru. Katakan mengapa kau datang dan mengganggu kami di sini? Kalau kau tidak muncul nyanyi dan tarian kami tak akan
terganggu ..."
"Aku  sama  sekali  tidak  membawa  niat  tersembunyi.  Apalagi  hendak  mengganggu kalian. Hanya saja minuman yang kalian teguk itu baunya harum sekali, menebar jauh menimbulkan selera. Apalagi aku sedang kehausan . . . ."
"Aih, itu rupanya. Mengapa kau tidak bilang dari tadi?" ujar si nenek. "Kalau cuma sebumbung arak harum, masakan aku tidak mau memberi. Asal saja kau minum dan habiskan di tempat ini!"
Dari  balik  pakaian  anehnya  nenek  itu  keluarkan  sebuah  bumbung  bambu  berisi penuh  arak  lalu  menyodorkannya  pada  Pan  geran  Matahari.  "Nah,  kau  minumlah sampai habis sepuasmu. Tapi minum di sini saja, janyan dibawa. Tabungnya aku masih perlu!"
"Terima kasih nek. Aku hanya butuh beberapa teguk. Tak perlu semuanya."
"Terserah padamu. Asal kau minum itu sudah tanda menghormat kami . . . ."
Pangeran  Matahari  menerima  tabung  bambu  itu.  Tiba-tiba  saja  saat  itu  hatinya mendadak  tidak  enak.  Ketika  mulut  bambu  didekatkannya  ke  bibirnya,  hidungnya

KARYA
BASTIAN TITO

42

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


membau sesuatu di antara keharuman arak dalam bambu. Racun!
"Hai!  Kenapa  kau  tidak  segera  minum  ?  Apa  arakku  tidak  enak? Jangan  berani menghina . . ."
"Terima  kasih.  Kau  ambil  kembali  arakmu.  Aku  baru  ingat  berpantang  minum minuman keras . . ." jawab Pangeran Matahari pula.

Kemudian  dilihatnya  paras  si  nenek  membersitkan  kemarahan.  Sepasang  matanya yang merah seperti sambaran api.
"Kalau tidak kau minurn, kubunuh kau!" Perempuan tua itu mengancam.
"Jangan terlalu memaksa! Aku tidak suka dipaksa!" Pangeran Matahari menghardik. Kedua  tangannya  diletakkan  di  pinggang  setelah  lebih  dulu  mencampakkan  tabung arek ke tanah. Terjadi hal yang hebat. Ketika arak dalem tabung terguyur keluar,  tanah dan pohon-pohon kecil yang tersiram tampak menjadi hitam dan mengepulkan asap. Marahlah Pangeran Matahari. Duyaannya betul!
"Tua bangka keparat! Kau hendak membunuhku dengan minuman itu!"
"Hik , . . hikk ... hikkkk," si nenek tertawa cekikikan.

Pangeran Matahari cekal dada pakaian perempuan puan tua ini dan angkat tinggi- tinggi tubuh si nenek lalu menghempaskannya ke tanah. Tapi ternyata si nenek jatuh dengan dua kaki lebih dulu dan tetap dalam keadaan berdiri!
Dari  samping  kawannya  melompat  marah.  "Berani  kau  berlaku  kurang  ajar  pada kawanku? Nyawamu tidak akan kami ampuni! Kau memilih dibunuh atau bunuh diri?!"
Pangeran Matahari tertawa dingin.
"Kalian belum tahu berhadapan dengan siapa!" Lalu dia buka pakaian luarnya yang berwarna biru. Di balik pakaian biru itu tampak pakaian hitam dengan gambar puncak gunung, matahari serta garis-garis sinar berwarna merah.
"Ah,  pakaian  jelek  begitu  hendak  disombongkan!  Kami  sudah  memutuskan  kau harus mampus! Kecuali⁄ ." Si nenek menggantung ucapannya.
"Kecuali apa?!" sentak Pangerun Matahari.
"Kau menyerahkan pada kami peta rahasia telaga emas!"
Terkejutlah  Pangeran  Matahari  mendengar  kata-kata  perempuan  tua  itu. Jelas  dia sudah kena tipu hingga datang menghampiri dua tua bangka edan itu. Tapi bagaimana

KARYA
BASTIAN TITO

43

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


mereka tahu kalau dia membawa peta telaga emas?
"Siapa kalian sebenarnya?!"
Kakek dan nenek tertawa panjang. Lalu sama-sama menjawab seperti sudah diatur dan dihafal baik-baik.
"Dari  utara  sampai  selatan,  dari  timur  sampai  barat,  siapa  tidak  kenal  Sepasang Setan Bermata Api .... ?"
"Celaka!" keluh Pangeran Matahari dalam hati begitu mendengur dan mengetahui siapa adanya kedua kakek nenek itu. "Kalau tidak dengan segala licik dan segala akal aku bisa celaka ..." Lalu dia mundur selangkah seraya berkata. "Ah, tidak tahunya aku berhadapan dengan datuk-datuk dunia hitam yang ditakuti dalam rimba persilatan. Jika kalian yang meminta sesuatu padaku, mana aku berani menolak. Tapi bagaimana kalau kita sama-sama memecahkan teka-teki dalam peta itu. Hasilnya kita bagi tiga."
"Aku setuju!" ujar si kakek.
"Aku  tidak!"  menampik  si  nenek.  "Peta  itu  harus  kau  serahkan  padaku.  Sam  ini juga!"
"Kalau begitu pintamu baiklah . . . ."
Pangeran Matahari masukkan tangannya ke balik pakaian hitam. Tapi di lain kejap tangan  itu  tiba-tiba  melesat  ke  depan  dalam  serangan  kilat  berupa  satu  dorongan telapak  tangan.  Si  nenek  yang  rupanya  juga  tidak  bodoh  dan  telah  waspada,  begitu melihat tangan orang berkelebat, cepat pula gerakkan kedua tangannya sekaligus dan memukul ke depan.
Bukk!
Dua telapak tangan saling beradu. Di saat yang sama tangan kiri si nenek berhasil mencekal  lengan  Pangeran  Matahari.  Sekali  dia  membuat  gerakan  membetot  maka tubuh Pangeran Matahari terlempar ke atas!
Meskipun berhasil membuat Pangeran Matahari jungkir balik di udara, namun si nenek   menerima   nasib   mengenaskan.   Bentrokan   telapak   tangan   tadi   membuat tubuhnya jatuh berlutut. Isi perutnya seperti dibetot-betot. Kepalanya seperti dihantam palu  godam.  Darah  mengucur  dari  kedua  telinga,  hidung  dan  mulut!  Dia  telah menerima hantaman pukulan Merapi Meletus! Meskipun memiliki tenaga dalam tinggi,

KARYA
BASTIAN TITO

44

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


ternyata masih berada di bawah tingkat tenaga dalam Pangeran Matahari. Dalam pada itu si nenek juga kalah kesaktian!
Perlahan-lahan tubuh si nenek terkulai ke depan. Akhirnya roboh ke tanah tanpa nyawa  lagi.  Pukulan  itulah  yang  beberapa  hari  lalu  hampir  menewaskan  Ki  Rana Wulung  di  puncak bukit  Sawojajar  kalau  saja  tidak  diobati  oleh  Pendekar 212 Wiro
Sableng!
Melihat  kawannya  mati,  si  kakek  berteriak  marah.  Kedua  tangannya  membuat gerakan menggapai ke langit. Tetapi anehnya kedua tangan itu seperti mulur menjadi panjang dan di lain saat yang kiri melesat ke tenggorokan Pangeran Matahari sedang tangan yang kanan mencengkeram.ke arah selangkangannya!
Pangeram  Matahari  berseru  kaget  dan  cepat  menghindar  selamatkan  diri  sambil lepaskan  pukulan  Merapi  Meletus.  Tapi  gerakannya  setengah  jaIan  dipapas  secara cerdik  oleh  lawan  dengan  satu  ketukan  pada  sikunya.Pangeran  Matahari  menjerit. Sekujur  tubuhnya  bergeletar.  Tangan  kanannya  terkulai  seperti  lumpuh.  Kagetlah  si janggut biru ini. Sebelum lawan menyerbu untuk kedua kalinya dia segera menghantam dengan  pukulan Telapak  Matahari.  Ini  merupakan  satu  dua  tiga  pukulan  sakti yang dimilikinya.  Angin   deras   menderu  panas.  Si  kakek   menjerit  ketika   dirasakannya tubuhnya seperti terpanggang. Dia memukul ke depan. Tapi semakin dia mengerahkan tenaga  semakin  keras  hawa  panas  yang  membakarnya.  Sekujur  tubuhnya  tampak menjadi merah lalu mcngepul. Kakek bermata merah ini menjerit keras. Itulah suara terakhir yang bisa dilakukannya. Tubuhnya roboh ke tanah, meregang nyawa menyusul kawannya.

"Tua  bangka-tua  bangka  keparat!  Membuang-buang waktuku  saja!"  maki  Pangeran Matahari.  Sesaat  dia  meraba  selangkangannya.  Tengkuknya  terasa  rasa  dingin.  Kalau saja cengkeraman lawan tadi sempat menghancurkan anggota rahasianya, sekalipun dia bisa bertahan hidup maka hidupnya sengsara selama-lamanya!
Pangeran Matahari siap melangko pergi. Mendadak matanya tertancap pada sebuah benda  dalam genggaman  tangan  kanan  lelaki  tua yang  terbujur  di  tanah  itu. Astaga! Pangeran ini memeriksa pakaiannya. Ternyata peta rahasia telaga emas itu tak ada lagi di  tempat  dia  menyembunyikan  di  balik  pakaian.  Bagaimana  benda  itu  kini  berada

KARYA
BASTIAN TITO

45

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


dalam genggaman si kakek? Dia cepat menarik peta itu dari tangan mayat. Tapi ketika dia membungkuk tahu-tahu kaki kanan mayat bergerak menghantam perutnya !
Pangeran Matahari terlempar dan jatuh terguling di tanah! Perutnya seperti pecah. Nafasnya  megap-megap.  Bagaimana  mungkin  mayat  bisa  menendang?  Kecuali  kakek edan itu memang sebenarnya belum mati?!"
Pemuda berjanggut biru ini berdiri. Baru saja berdiri, di depannya si kakek ternyata telah terlebih dulu berdiri. Orang tua bermata merah ini dalam keadaan tubuh seperti hangus acungkan peta rahasia di tangan kanannya.
"Peta ini palsu!" berkata si kakek sambil campakkan benda itu ke tanah. Lalu dia melangkah pergi.
Pangeran Matahari cepat mengambil peta yang dicampakkan dan mengejar si kakek. Secara  licik  dari  belakang  dia  lepaskan  pukulan  Telapak  Matahari.  Kali  ini  dengan kekuatan hampir dua pertiga tenaga dalamnya. Di depan sana tubuh si kakek terpental jatuh. Berguling-guling beberapa kali lalu tak bergerak lagi. Sang pangeran mendekat dan  memeriksa.  Tubuh  si  kakek  sama  sekali  tak  bergerak.  Dada  dan  perutnya  tidak menunjukkan tanda-tanda pernafasan. Tapi dia tak mau tertipu untuk kedua kalinya. Tumit kaki kirinya dihantamkan ke batok kepala si kakek.
Praak!
Kepala itu rengkah!
"Manusia  aneh.  Bagaimana  tadi  jelas-jelas  sudah  mampus  bisa  hidup  lagi  ...?" berkata  Pangeran  Matahari  dalam  hati  penuh  tak  mengerti.  Sambil  melangkah  pergi dan sesekali berpaling ke belakang. Seolah-olah khawatir kalau manusia aneh itu tiba- tiba hidup kembali dan menyerangnya!
Sambil melangkah di dalam rimba belantara itu telinga Pangeran Matahari seperti dingiangi terus menerus ucapan si kakek tadi. Peta itu palsu! Benarkah? Kalau palsu di mana yang asli? Apakah Ki Rana Wulung telah menipunya? Di satu tempat dia duduk menjelepok   di   tanah   dan   kembangkan   peta   rahasia   telaga   emas.    Lama   dia memperhatikan  gambar  gunung,  sungai  dan  lingkaran  bengkok  serta  tanda  silang. Sebelumnya dia sudah meneliti peta itu berulangkali. Terus terang saja memang sulit untuk  mengerti  atau  mendapatkan  petunjuk. Tanda  silang  mungkin  sekali  tempat  di

KARYA
BASTIAN TITO

46

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


mana  harta  berupa  emas  itu  disembunyikan. Tapi  sungai  dan,  gunung,  sungai  mana dan gunung apa?
"Gila! Jangan-jangan peta  ini  memang benarbenar palsu!"  kata  Pangeran Matahari seraya memukulkan tinju kanannya ke dalam telapak tangan kiri. "Bangsat tua itu telah memperdayaiku! Akan dirasakannya pembalasanku!"

KARYA
BASTIAN TITO

47

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


10


MATAHARI telah condong ke barat. Di dalam kamarnya Ki Rena Wulung baru saja memasuki tahajud terakhir sembahyang Asar ketika tiba-tiba pintu kanrar itu didobrak hancur berantakan.
Satu bentakan menggeledak. Sesosok bayangan biru berkelebat.
"Bangsat penipu! Kau akan mampus tersiksa!"
Dalam   kekhusukan   sembahyang   Ki   Rana   Wulung   sama   sekali   tidak   sempat membuat serangan mengelak ketika satu tendangan menghantam dadanya. Orang tua yang  baru  saja  mulai  sembuh  ini  mencelat  menghantam  dinding  di  belakangnya. Dinding itu bukan saja jebol tapi tubuhnyapun terlempar ke luar dan jatuh di halaman samping bangunan!
Pangeran  Matahari  hantamkan  kaki  dan  tangannya  untuk  menerobos  dinding, langsung melompat ke hadapan Ki Rana Wulung yanq saat itu tergeletak megap-megap sementara darah kental menyembur tiada henti dari mulutnya.
"Manusia iblis ...." Rutuk Ki Rana Wulung. Suaranya hampir tak terdengar karena kerongkongannya tersendat oleh darah.
Pangeran Matahari jambak rambut orang tua itu lalu hantamkan kepalanya ke tiang serambi. Rana Wulung mengeluh pendek lalu roboh pingsan. Pangeran Matahari tarik kain sarung yang dikenakan si orang tua. Dengan kain itu diikatnya kedua kaki Rana Wulung lalu kakek malang ini digantungnya kaki ke atas kepala ke bawah pada sebuah balok   melintang   di   serambi   rumah. 

Selesai   melakukan   kebiadaban   itu   Pangeran Matahari memeriksa seluruh bangunan kayu bahkan sampai ke halaman. Setiap benda termasuk  batu,  pepohonan  dan  semak  belukar  ditelitinya.  Tapi  sampai  sang  surya mulai redup di ufuk barat apa yang dicarinya tidak ditemukan.
"Keparat   betul!   Di   mana   disembunyikannya   peta   itu."   Pangeran   Matahari memandang  berkeliling.  Sesaat  dia  menatap  tubuh  tua yang  tergantung  tak  bergerak itu. Entah sudah mati entah masih hidup. Pangeran Matahari, merasa jengkel dan tidak

KARYA
BASTIAN TITO

48

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


puas.  Dia  menggeledah  sekali  lagi.  Mengelilingi  bangunan  untuk  ke  empat  kalinya ketika  tiba-tiba  matanya  melihat  sehelai  kertas  lusuh  terselip  di  bawah  tikar  yang terbentang  di  lantai  serambi  bangunan.  Surat  itu  adalah  surat  yang  disampaikan Pendekar 212 Wiro Sableng dan dikirimkan oleh gurunya di puncak Gunung Gede.

Lama Pangeran Matahari merenung dalam menyelidik isi dan arti surat yang aneh itu. Di balik keanehan itu dia yakin tersembunyi sesuatu.
"Rahasia surat ini tersembunyi di balik kalimat  muatan berusia tiga puluh tahun lebih .... Hemmm..." Bergumam Pangeran Matahari sembari mengusap-usap janggutnya. "Jangan-jangan ... Bukan mustahil yang dimaksud dengan muatan adalah peta rahasia telaga  emas  itu!  Bukankah  peta  itu  sudah berumur  tiga  puluh  tahun  sejak  diketahui muncul  pertama  kali  dalam  rimba  persilatan  ...?  Aku  harus  menyelidik  ke  puncak
Gunung Gede..."
Namun setelah memikir sampai di situ, Pangeran Matahari menjadi gelisah. Datang ke puncak Gunung Gede sama saja masuk ke goa harimau.

Dia  masih  ingat  akan  pesan  gurunya  Si  Muka  Bangkai  alias  Setan  Muka  Pucat sebelum dilepas pergi. Ada tiga tokoh silat muda yang harus diperhatikannya karena memiliki  ilmu  kepandaian  yang  sulit  ditandingi.  Salah  satu  dari  tiga  pendekar  itu adalah Wiro Sableng. Jika Wiro  sudah  dilihatnya begitu hebat, tentu  sang guru jauh lebih berbahaya lagi. Mungkin dia hanya mencari mati jika muncul di Gunung Gede. Apalagijika Wiro ada pula di sana.
"Tetapi  bukan  mutahil  peta  rahasia  itu  diberikannya  pada  murid  perempuannya! Ah,  bagaimana  ini!"  Pangeran  Matahari  tenggelam  dalam jalan  pikiran  penuh  segala duga.   "Apakah  aku  harus  menyelidiki  pula  ke  Kotaraja  dan  mencari  keponakan Tumenggung  Puro  Bekasan  itu  ..."  Kembali  sang  pangeran  merenung.  Otak  iblisnya bekerja. "Pemuda itu .... si gadis! Tolol! Mengapa aku tidak memanfaatkan segala akal, segala licik, segala cerdik!"
Dengan   seringai   muncul  di  wajahnya  yang  keras   angkuh,   Pangeran  Matahari berkelebat tinggalkan tempat itu.

***


KARYA
BASTIAN TITO

49

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru




TUMENGGUNG  PURO  BEKASAN  tengah  mereguk  kopi  hangat  di  cangkir  besar ketika pagi itu pengawal masuk memberi tahu bahwa seorang penebang kayu dari Tegal Jenar datang menghadap. "Seorang penebang kayu... ?" mata Tumenggung Puro Bekasan mendelik    karena    merasa    terhina    ada    seorang    rendahan    dutang    mengganggu ketenteraman dan kenikmatan sarapan paginya.
"Betul Kanjeng Radon Tiimenggung, seorang penebang kayu dariTegal Jenar ..." "Apa keperluannya. Atau kau usir saja dia ..."
"Saya siap melakukan itu Kanjeng Raden. Hanya saja katanya dia datang membawa berita penting tentang Ki Rana Weleng, guru Den Ayu Ratih Weningputri, keponakan
Kanjeng Tumenggung ..."
"Hemm ... Kalau begitu suruh dia masuk tapi panggilkan dulu keponakanku itu!"
Tak  selang  berapa  lama  Ratih  datang  menemui  pamannya  sementara  dari  arah halaman   depan,   pengawal   muncul   membawa   seorang   lelaki   setengah   tua   yang melangkah   terbungkuk-bungkuk.   Di   pinggang   kanannya   terselip   sebuah   kapak. Pakaiannya bukan saja lusuh tapi berselimut debu, juga mukanya yang mulai keriput bercelomong debu. Inilah si penebang kayu dariTegal Jenar.

"Berita apa yang kau bawa ..?" Tumenggung Puro Bekasan langsung bertanya begitu si penebang kayu menghatur sembah.
"Nama  saya  Timbul  Karso,  penebang  kayu  asal  Tegal Jenar.  Seminggu  lalu  saya menebang   kayu   di  puncak  bukit  Sawojajar.  Tidak   seperti  biasanya,  hidung   saya mencium  bau  busuk  dan  di  langit  saya  lihat  banyak  burung  gagak  hitam  pemakan bangkai  terbang  berputar-putar,  menukik  lalu  terbang  lagi  berputar-putar.  Karena merasa  curiga  saya  naik  ke  puncak  bukit.  Saya  tahu  di  situ  diam  orang  tua  sakti bernama  Ki  Rana  Wulung.  Saya  juga  tahu  kalau  keponakan  Kanjeng  Tumenggung adalah salah seorang muridnya . . . ."
"Dari mana kau tahu kalau keponakanku adalah muridnya .... ?"
"Saya acap kali bertemu dengan orang tua itu. Kami sering berbincang-bincang. Satu kali  dia  menerangkan  bahwa  keponakan  Tumenggung  Puro  Bekasan  adalah  salah
seorang muridnya ..."

KARYA
BASTIAN TITO

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


Ratih yang merasa tidak enak ajukan pertanyaan. "Apa yang kau temukan di puncak bukit ...?"
"Mengerikan sekali Den Ayu. Saya tak tega mengatakannya⁄"
"Jangan  konyol!"  sentak  Tumenggung  Puro  Bekasan.  "Kowe  datang  kemari  untuk menyampaikan berita. Sesudah sampai di sini bicara segala macam tidak tega!"
"Maafkan  saya  Kanjeng  Raden  Tumenggung  ..."  kata  si  penebang  kayu  seraya membungkuk-bungkuk.  "Saya  menemukan kakek  itu telah  menjadi  mayat, tergantung kaki ke atas kepala ke bawah. Tubuhnya rusak dipatoki burung-burung gagak dan . . . ."
"Kau tidak memberi keterangan dusta?!" Ratih ajukan pertanyaan setengah berteriak. Matanya membelalak tapi ada genangan air mata mengambang di kelopak matanya.

"Saya bersumpah den ayu. Saya datang dari jauh membawa berita atas apa yang saya saksikan. Saya tidak mengharapkan apa-apa⁄"
"Kau  tahu  siapa  yang  melakukan  perbuatan  keji  itu?"  tanya  Tumenggung  Puro
Bekasan.
Timbul Karso gelengkan kepala. "Saya tidak tahu Kanjeng Raden Tumenggung, saya tidak tahu . . . ."
"Saya tahu siapa yang melakukan itu paman," Ratih menyahuti.  "Ingat penuturan saya tentang manusia iblis berjanggut biru yang mengaku bernama Pangeran Matahari? Siapa lagi kalau bukan dia yang melakukannya!'
"Tapi  menurutmu, bukankan  orang  itu  sudah pergi  setelah  dapatkan peta  rahasia dari gurumu?"
"Betul. Mungkin kemudian dia  mengetahui peta  itu palsu.  Lalu kembali ke bukit Sawojajar  dan  membunuh  guru.  Manusia  iblis!  Saya  akan  mencarinya.  Saya  mohon petunjukmu paman . . ." Ratih menyeka air mau yang meluncur di pipinya.
"Soal  mencari  Pangeran  Matahari  aku  bisa  mengirimkan  pasukan.  Namun  yang penting saat ini adalah mengurus jenazah gurrnnu Ki Rana Wulung . . . ." Tumenggung Puro  Bekasan  berpaling  pada  Timbul  Karso.  "Penebang  kayu,  aku  harap  kau  mau membantu mengurus dan menguburjenazah orang tua itu⁄"
"Jangan  saya  Kanjeng  Raden Tumenggung, jangan  saya. Terlalu  mengerikan.  Saya tidak berani."

KARYA
BASTIAN TITO

51

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


"Cari  orang-orang  desa.Minta bantuan  mereka. Jerih  payah  mereka  akan  kuganjar dengan bayaran setimpal."
"Paman,"  Ratih bersuara.  "Izinkan  saya  pergi  ke Sawojajar.  Biar  saya  sendiri yang mengurus dan mengubur jenazah guru. Kasihan orang tua itu . . ."
Tumenggung Puro Bekasan berpikir sejenak. Akhirnya dia mengangguk. "Kau boleh pergi.  Lima  orang  pengawal  kelas  satu  akan  mendampingimu.  Bawa  kuda-kuda yang kuat.  Berikan  seekor  kuda  pada  penebang  kayu  ini. Juga  sejumlah  uang  atas  budi baiknya . . . ."'
"Saya tidak mengharapkan pamrih apa-apa Kanjeng Raden Tumenggung . . . ." kata si penebang kayu sambil membungkuk.
Tumenggung   Puro   Bekasan   tersenyum.   Dia  bangkit   dari   kvrsinya.   Sesaat   dia menatap paras penebang kayu itu lalu masuk ke dalam.

KARYA
BASTIAN TITO

52

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


11


DI DALAM   KAMARNYA    setelah    Ratih    Weningputri    meninggalkan    Kotaraja, Tumenggung  Puro  Bekasan  duduk  merenung.  Seorang  sebaik  dan  sesakti  seperti  Ki Rana   Wulung   menemui   kematian   secara   mengerikan   begrtu   rupa.   Sulit   bisa dipercayainya.  Sekeji  itukah  dunia  persilatan.  Hatinya  risau  karena  keponakannya Danupaya dibunuh oleh orang persilatan. Dan Ratih, keponakannya yang tinggal satu- satunya,   apakah   akan   mengalami   nasib   sama?   Berpikir   sampai   ke   situ   akhirnya Tumenggung   Puro   Bekasan   memanggil   perwira   muda   kepala   pengawal   gedung ketumenggungan.
"Aku  merasa was-was  dengan  keselamatan  Ratih.  Bawa  enam  orang  pengawal  lagi dan susul rombongan mereka.

Ketika  pengawal  itu  hendak  berlalu,  sang Tumenggung  memanggil  kembali.  "Ada satu  pertanyaan  perwira  muda. Jika  ada  seorang  mengatakan  dirinya  penebang  kayu, bisa  kau  menyebutkan  hal-hal  yang  membuktikan  bahwa  dia  memang  benar-benar penebang kayu . . . ?"
"Pertanyaan  Kanjeng Tumenggung  cukup  sulit. Saya  akan  menjawab  sebisanya  ..." jawab  perwira  muda  itu.  "Pertama,  tentu  saja  orang  itu  akan  memiliki  tubuh  kekar, otat-utot keras mulai dari betis sampai ke pangkal lengan ..."
"Aku setuju dengan pendapatmu!" berkata Tumenggung Puro Bekasan. "Apa lagi ..."
"Biasanya tubuhnya agak miring ke kanan, lehernya juga. Atau ke kiri. Tergantung apakah dia kidal atau tidak. Ini karena setiap menebang sikap tubuhnya akan tertumpu pada tangannya yang lebih kuat...."
"Yang  ini  aku  kurang  setuju.  Tapi  tak  apa.  Mungkinkah  seorang  penebang  kayu bertubuh bungkuk?"
Sang perwira berpikir sejenak.
"Kalau  tubuhnya  bungkuk  ....  Yang  bisa  dilakukannya  adalah  membelah  kayu. Untuk menebang pohon dia akan mengalami kesulitan ....

KARYA
BASTIAN TITO

53

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


"Tepat  seperti  apa yang  ada  di  benakku!"  kata  sang Tumenggung  pula.  "Sekarang tangannya. Bagaimana menurutmu bentuk tangan seorang penebang kayu?"
"Mungkin  tangannya  tidak besar. Tapi walaupun  kecil  akan  tampak  kukuh.  Urat- uratnya  menonjol  di  antara  otot-otot.

Jari-jari  dan  telapak  tangannya  kekar  bahkan biasanya tebal kapalan ... Tumenggung tahu arti kapalan ... ?"
"Dugaanku  tepat!  Timbul  Karso  tidak  memiliki  tangan  seperti  itu!  Dia  bukan penebang  kayu!"  Tumenggung  Puro  Bekasan  hampir  berteriak  ketika  mengucapkan kata-kata itu. Wajahnya jelas sekali membayangkan rasa kawatir.
"Perwira,  siapkan  dua  puluh  pengawal.  Aku  akan  memimpin  sendiri  rombongan mengejar Ratih. Aku punya firasat keponakanku itu berada dalam bahaya!"
Terbungkuk-bungkuk  di  atas  punggung  kuda,  penebang  kayu  itu  ternyata  cekatan menunggang kuda. Sejak meninggalkan Kotaraja kudanya menempel terus di belakang kuda Ratih Weningputri yang berada paling depan. Lima pengawal kelas satu memacu kuda masing-masing di sebelah belakang.
Di satu pedataran jauh di luar Kotaraja, si penebang kayu berseru: "Den Ayu . . . . Saya  tahu  jalan  memintas  menuju  bukit  Sawojajar.  Kita  bisa  sampai  satu  hari  lebih
cepat ...."
Ratih diam saja. Pikirannya tengah terpusat pada suatu hal yang lain.
"Tentunya jika Den Ayu setuju. Saya hanya menyarankan . . . Saya khawatir keadaan jenazah orang tua itu akan tambah rusak oleh cuaca dan burung-burung gagak  . . ."
"Kalau  memang  ada  jalan  yang  lebih  pendek  tentu  saja  aku  setuju,"  terdengar jawaban  Ratih.  "Kau  silahkan  memimpin  di  sebelah  depan!"  Gadis  ini  membawa kudanya ke samping memberi jalan pada kuda Timbul Karso.
Sepanjang  siang  sampai  menjelang  sore  rombongan  itu  bergerak  menyusuri  kaki bukit-bukit kecil,  lalu  menembus hutan jati.  Ketika  keluar  dari hutan jati  menjelang sore tahu-tahu mereka sudah sampai di seberang sebuah sungai. Ratih terkejut. Sungai ini  adalah  sungai  yang  biasa  diseberanginya  bersama  Danupaya  pada  setiap  kali mengunjungi Ki Rana Wulung di puncak Sawojajar.
"Ah, jalan memintas yang kita lalui benar-benar lebih dekat . . ." kata Ratih pada Timbul Karso. "Kalau tahu, tentu dulu-dulu aku akan mengambil jalan ini setiap kali

KARYA
BASTIAN TITO

54

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


menyambangi   guru.   Mari   kita   menyeberangi   sungai.   Sampai   di   seberang   kita beristirahat dulu. Menjelang malam kita teruskan perjalanan."
"Saya mengikut saja Den Ayu ..." jawab Timbul Karso.
Karena  air  sungai  cukup jernih  dan bersih,  lima  pengawal  dalam  rombongan  itu tertarik untuk turun ke air. Mereka membuka pakaian luar masing-masing lalu pergi mandi.  Si  penebang  kayu  duduk  melepaskan  lelah  di  bawah  sebatang  pohon  jati sementara  Ratih  mengasingkan  diri  di  satu  tempat  agak  ketinggian  di  tebing  sungai yang terlindung semak belukar.
Malam mulai turun, udara siang yang panas berubah sejuk, Ratih bangkit berdiri dari  balik  semak  belukar  itu.  Ketika  dia  kembali  ke  tempat  para  pengawal  berada didapatinya  Timbul  Karo  masih  duduk  bersandar  ke  pohon  jati,  kedua  matanya terpejam   dan   dari   mulutnya   keluar   suara   mendengkur.   Gadis   itu   memandang berkeliling. Dia sama sekali tidak melihat para pengawal itu. Menyangka mereka masih asyik-asyikan mandi di tikungan sungai, Ratih membangunkan si penebang kayu.
"Bangun!  Sudah   saatnya   meneruskan  perjalanan.  Tolong   kau  panggilkan  para pengawal!"
Timbul Karso mengusap-usap kedua matanya. Lalu terbungkuk-bungkuk dia berdiri. "Maafkan  saya. Terlalu  letih  sampai  ketiduran.  Saya  akan  panggil  pengawal-pengawal itu . . . ."
Lalu penebang kayu ini melangkah ke tikungan sungai. Sesaat kemudian terdengar teriakannya dari arah tikungan itu. Dia kemudian muncul setengah berlari.
"Den Ayu ... Den Ayu . . ." serunya berulang kali.
Ratih Weningputri segera mendatangi. "Ada apa...?"
"Celaka!  Lihat  sendirilah  ....  Mereka  ...."  Ratih  berlari  cepat  menuju  tikungan sungai.  Timbul  Karso  mengikuti  terbungkuk-bungkuk  dari  belakang.  Gadis  itu  serta merta  hentikan  larinya  ketika  pandangan  matanya  membentur  lima  sosok  tubuh pengawal  kelas  satu  malang  melintang  di  tepi  sungai.  Kelimanya  telah  jadi  mayat dengan kepala pecah!
"Pembunuhan!" teriak Ratih marah sambil kepalkan kedua tinjunya.
"Mungkin binatang buas . . . ."

KARYA
BASTIAN TITO

55

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


"Tidak bisa jadi. Kalau binatang buas pasti ada bagian tubuh mereka yang lenyap digerogot."
"Atau hantu . . . ."
"Bukan hantu! Bukan binatang buas! Mereka mati dibunuh! Benar-benar keji!" Ratih memandang berkeliling.
"Kalau  dibunuh,  siapa  pembunuhnya?"  bertanya  Timbul  Karso  dan  ikut-ikutan memandang berkeliling.

Tentu  saja  Ratih  tak  dapat  menjawab  pertanyaan  itu.  Dia  diam  saja.  Mulutnya terkancing tapi kemarahannya menggelegak. Ketika rasa amarah itu dapat ditekannya dan pikiran sehat kembali muncul, diam-diam gadis ini merasa kawatir. Jika ada orang yang membunuh lima pengawalnya yang berkepandaian tinggi, berarti keselamatannya pun ikut terancam.
"Kita tinggalkan tempat ini sekarang juga!" Ratih memutuskan.
"Mayat lima pengawal itu . . . ?" tanya si penebang kayu.
"Kau ceburkan mereka ke sungai. Biar arus membawanya ke laut!"
Timbul  Karso  melakukan  apa  yang  dikatakan  gadis  itu.  Ketika  dia  kembali  ke tempat Ratih, dilihatnya gadis itu sudah duduk di punggung kuda.
"Lekas naik ke kudamu. Kita berangkat sekarang!"
Ratih  sesaat  terheran  ketika  dilihatnya  si  penebang  kayu  gelengkan  kepala.  Lalu tubuhnya yang  sejak pertama kali  dilihatnya  selalu terbungkuk-bungkuk kini tampak naik melurus. Ternyata dia memiliki badan tinggi semampai.

"Hai!" seru Ratih. "Sandiwara apa yang kau lakukan ini!"
"Terserah kau menamakan sandiwara apa. Tapi sandiwara ini cukup sampai di sini!"
"Suaramupun lain. Tidak seperti sebelumnya!"
Si penebang kayu keluarkan tawa bergelak.
Ratih lebih terkejut. Dia rasa-rasa pernah mengenali atau mendengar suara tertawa seperti itu sebelumnya.
"Ah,  matamu  tidak  terlalu  tajam  untuk  mengetahui  siapa  aku  sebenarnya!"  Si penebang kayu membuka mulut sambil menanggalkan bajunya yang lusuh dan dekil. Ternyata dia mengenakan pakaian lain di bawah pakaian kotor itu. Pakaian berwarna

KARYA
BASTIAN TITO

56

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


biru!
Berubahlah paras Ratih. Dadanya berdebar. "Tak mungkin dia! Pakaian bisa sama tapiwajahnya jelas bukan dia!"
Seperti membaca apa yang ada di hati si gadis, lelaki berpakaian biru yang tadinya mengaku bernama Timbul Karso dan penebang kayu dari Tegal Jenar, gerakkan tangan kirinya ke wajahnya. Ketika tangan itu diturunkan, ada selapis topeng sangat tipis ikut tertarik  dan  tanggal.  Kini  kelihatan  wajahnya  yang  asli.  Satu  wajah  dengan  rahang menggembung  membersitkan  kecongkakan  dan  kekerasan,  tetapi  juas  dihiasi  janggut berwarna biru pada dagunya!
Paras Ratih Weningputri seputih kain kafan! "Kau ..." desis gadis ini dengan lidah hampir kelu.
Pangeran  Matahari tertawa gelak-gelak. "Senang bertemu aku kembali . . . ?"
Tidak  tunggu  lebih  lama  Ratih  gebrak  pinggul  kudanya.  Tapi  seperti  kejadian sewaktu bersama Danupaya dulu, kuda tunggangannya sama sekali tidak bisa bergerak, hanya  leher  binatang  itu  saja  yang  menjulur-julur.  Tubuh  dan  empat  kakinya  tidak bergeming sedikitpun!
"Kau  mau  buru-buru  ke  mana  gadis  jelita?  Perjalananmu  cukup  sampai  di  sini.

Kalaupun kita berangkat maka kau harus menurut ke mana mauku!"
"Manusia iblis! Kau pasti yang telah membunuh kelima pengawalku!"
Mereka  tidak  cukup  pantas  mengawal  gadis  secantik  dan  semulusmu!  Aku  lebih layak!"  Habis  berkata  begitu  Pangeran  Matahari  melompat  ke  punggung  kuda  dan duduk  di  belakang  Ratih.  Kedua  tangannya  langsung  merangkul  dada  gadis  itu. Hidungnya meluncur ke tengkuk putih yang ditumbuhi rambut-rambut halus.
"Iblis terkutuk! Lepaskan!" teriak Ratih. Kedua sikutnya dihantamkarr ke belakang. Tapi disadarinya kalau saat itu dia tak bisa menggerakkan tubuhnya lagi. Hanya jalan suaranya  yang  masih  terbuka.  Pangeran  Matahari  telah  menotoknya!  Bahaya  besar mengancam. Dan kini agaknya tak ada seorang lainpun yang bisa menolongnya! Tidak hantu  tidak  pula  malaikat!  Ratih  menjerit-jerit  sementara  Pangeran  Matahari  terus menciumi dan merabai dadanya.
"Hentikan   jeritanmu!"   bentak   sang   pangeran.   "Dengar   baik-baik!   Nyawa   dan

KARYA
BASTIAN TITO

57

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


kehormatanmu   ada   di   tanganmu!   Nyawa   dan   kehormatanmu   bagiku   tidak   ada harganya. Karenanya jika ingin selamat dengar dan jawab pertanyaanku!"
"Turun  dari  kuda  ini!  Kalau  tidak  aku  tak  akan  menjawab!  Lepaskan  totokan  di tubuhku!"
"Kau  tidak  layak  memerintah!  Kau  yang  harus  mendengar  apa  yang  kukatakan! Menjawab  apa  yang  kutanyakan!  Mengerti?!"  hardik  Pangeran  Matahari.  Kalau  tadi tangannya   hanya   meraba   dari   luar,   kini   dengan   lebih   kurang   ajar   sepuluh  jari tangannya  menyelusup  ke balik pakaian gadis  itu.  Ratih  merasakan tubuhnya  seperti terbakar oleh rasa malu dan amarah yang bukan alang kepalang.
"Di mana peta telaga emas itu ...."
Pangeran Matahari ajukan pertanyaan.
"Tak ada padaku!" sahut Ratih.
"Kalau tak ada padamu dan juga tak ada pada gurumu . . . ."
"Kau telah membunuh guruku!"
"Diam!" teriak Pangeran Matahari sambil sepuluh jarinya meremas.
"Kalau peta itu tak ada padamu, juga tak ada pada gurumu, lantas di mana? Siapa yang memegangnya?!"
"Guru telah memberikan pada pemuda bergelar Pendekar 212 Wiro Sableng itu ...!"
"Hemmm, begitu? Lalu di mana pemuda itu sekarang berada. Kau pasti tahu!"
"Dalam  perjalanan  ke  tempat  kediaman  gurunya  di  puncak  Gunung  Gede!  Kalau kau  inginkan  peta  itu  silahkan  pergi  ke  sana.  Kalau  saja  kau  mampu  merampasnya! Kalau  saja kau tidak takut dia  akan  memecahkan kepalamu  seperti kau  memecahkan kepala pengawal-pengawal itu!"
Pangeran Matahari tertawa mengekeh.
"Apa sulitnya menghadapi pemuda tolol itu!"
"Kecongkakanmu  kosong  belaka!  Buktinya  ketika  dia  menggebrakmu  di  puncak bukit Sawojajar, kau melarikan diri.
"Diam!" hardik  Pangeran Matahari.  "Kau  ikut  aku ke  Gunung  Gede! Jika bangsat bernama  Wiro  Sableng  itu  tidak  mau  berikan  peta  telaga  emas  padaku,  kau  akan kubunuh!"

KARYA
BASTIAN TITO

58

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


Ratih hanya bisa kertakkan geraham.
Saat itulah terdengar suara siulan nyaring dari arah sungai. Lalu suara orang keluar dari air. Sesaat kemudian sesosok tubuh yang rupanya baru saja berenang menyeberang muncul  di  pinggiran  sungai.  Begitu  muncul  orang  ini  keluarkan  ucapan:  "Siapa inginkan peta telaga emas silahkan berurusan denganku! Jangan berlaku seperti banci hanya berani pada perempuan!"
Ratih dan juga Pangeran Matahari segera mengenali suara itu.
"Pendekar 212!" seru sang dara.

KARYA
BASTIAN TITO

59

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


12


YANG  TEGAK,  di  tebinq  sungai  memanglah  Pendekar  Kapak  Maut  Naga  Geni  212 Wiro  Sableng.  Dia  berdiri  bertolak  pinggang  dalam  keadaan  basah  kuyup.  Senyum seenaknya bermain di mulutnya.
"Pangeran Banci! Turun dari kudamu!" menghardik Wiro.
Mendidih darah Pangeran Matahari dipanggil dengan sebutan "Pangeran Banci" itu. Tapi  terlalu  bodoh  jika  dia  harus  memenuhi  permintaan  orang.  Dengan  menguasai Ratih, berarti dia akan menguasai keadaan.

"Pemuda  sedeng! Jika  kau  inginkan  gadis  ini  selamat  lekas  serahkan  peta  telaga emas!"
"Jika  begitu  janjimu,  aku  akan  memenuhi!"  sahut Wiro  tanpa  tedeng  aling-aling. Lalu dia membuka simpul ikatan kain kepalanya.
Melihat hal ini Ratih cepat berteriak, "Jangan serahkan padanya. Demi arwah guru aku bersedia mati dari pada peta jatuh ke tangan iblis berjanggut biru ini!"
"Jangan tolol!" menghardik Wiro. "Harta bisa dicari tapi nyawa dan kehormatan tak ada gantinya!"
Dari ikatan kain kepalanya Wiro keluarkan segulung kain hitam. Itulah peta telaga emas yang diterimanya dulu dari Ki Rana Wulung untuk disampaikan pada gurunya
Sinto Gendeng.

"Kau  pengecut!  Manusia  tidak  berbudi!"  teriak  Ratih  pada  Wiro.  "Guru  terlalu bodoh menyerahkan peta itu padamu!"
Wiro  tidak  perdulikan  teriakan  si  gadis.  Dia  ulurkan  tangan  kanannya  pada Pangeran Matahari. "Ini yang kau inginkan. Ambillah!"
Manusia segala cerdik segala licik dan segala akal seperti Pangeran Matahari tidak sebodoh itu saja mau menerima langsung gulungan kain peta dari tangan Wiro.
"Lemparkan  peta  itu  ke  dekat  batu  hitam  sana.  Lalu  melangkahkah  mundur  dan masuk ke dalam sungai!"

KARYA
BASTIAN TITO

60

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


Wiro  menyeringai.  Seperti yang  diperintahkan  Pangeran  Matahari,  gulungan  kain hitam berisi peta rahasia telaga emas dilemparkannya ke dekat sebuah batu hitam yang terletak  di  tepi  sungai.  Lalu  dia  melangkah  mundur  dan  perlahan-lahan  masuk  ke dalam sungai sampai sebatas dada.

Sambil  memeluk  Ratih,  Pangeran  Matahari  membuat  lompatan  dari  punggung kuda. Tetapi pada saat itu sang kuda yang sejak tadi tertegun tak bisa bergerak, tiba- tiba  saja  seperti  ada  yang  memusnahkan  kekuatan  aneh  yang  menguasai  dirinya. Binatang ini meringkik keras sambil angkat kedua kakinya ke atas. Gerakan melompat yang  dilakukan  Pangeran  Matahari  walaupun  berhasil  namun  tubuh  Ratih  keburu jatuh, tidak melayang bersama-sama tubuhnya. Di saat yang sama Pendekar 212 Wiro Sableng menghambur keluar dari dalam air sungai!

***

Meskipun bergerak kencang seharian suntuk tanpa istirahat tapi rombongan yang dipimpin oleh Tumenggung Puro Bekasan masih belum dapat mengejar atau menemui rombongan  Ratih.  Di  satu  tempat  sang  Tumenggung  memerintahkan  rombongan berhenti dan berunding dengan perwira muda yang ikut bersamanya.
"Mereka pasti tidak menempuh jalan biasa! Ada di antara kalian mengetahui jalan lain ?"
Seorang pengawal maju ke muka.

"Setahun silam ketika saya ikut membasmi gerombolan rampok Warok Kutoireng, saya dan sejumlah perajurit melewati jalan setapak di kakikaki bebukitan. Kalau jalan itu masih ada, mungkin kita bisa lebih cepat sampai di Sawojajar ..."
"Tak ada pilihan lain! Ikuti jalan itu. Kau memimpin di depan!"
Jalan yang mereka lalui ternyata memang jalan yang sebelumnya telah diambil oleh Pangeran Matahari. Ketika Wiro dan sang Pangeran saling berhadapan di tepi sungai, rombongan ini sampai pula di tempat tersebut. Tumenggung  Puro Bekasan langsung memerintahkan puluhan perajurit mengurung tempat itu.
Saat  itu  Pangeran  Matahari  tengah  berpikir  keras  untuk  mengambil  keputusan.

KARYA
BASTIAN TITO

61

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


Apakah  dia  akan  serta  merta  mengambil  peta yang  dicampakkan Wiro  di  atas  tanah atau  terlebih  dahulu  menguasai  Ratih  kembali  untuk  jaminan  keselamatan  dirinya. Namun  ketika  dia  melihat  munculnya  pasukan  dari  Kotaraja  dibawah  pimpinan Tumenggung Puro Bekasan, manusia iblis ini memutuskan untuk langsung mengambil peta yang tercampak di tanah lalu meninggalkan tempat itu.

Maka  diapun  membuat  lompatan  kilat  untuk  mengambil  peta  yang  terbuat  dari kain  tergulung  itu.  Serambut  lagi  jari-jari  tangannya  akan  menyentuh  kain  hitam, mendadak sontak gulungan kain itu mencelat terbang ke arah Wiro Sableng! Kejut sang Pangeran bukan alang kepalang. Wiro sendiri keluarkan suara tertawa mengejek sambil gulung benang hitam yang diikatkannya ke gulungan kain hitam!
"Manusia segala lick segala cerdik segala akal!  Hari ini kau tertipu oleh selembar benang!"
"Bangsat rendah! Mampuslah!" teriak Pangeran Matahari.
Dua  tangannya  dihantamkan  ke  depan.  Satu  ke  arah Wiro  dan  satu  lagi  ke  arah Ratih yang masih terduduk di tanah sehabis jatuh dari kuda tadi.
Sinar kuning, merah dan hitam melesat keluar dari tangan kiri kanan manusia iblis berjanggut  biru  tua.  Ternyata  dia  lepaskan  pukulan  maut  ganas  bernama  Gerhana Matahari! Terdengar suara menggelegar dahsyat disertai hawa panas luar biasa.  Ratih menjerit.  Tumenggung  Puro  Bekasan  keluarkan  seruan  tertahan.  Orang  ini  coba menyerbu  ke  depan  untuk  menolong  keponakannya  tetapi  hawa  panas  membuatnya mundur teratur. Dia tak berani mencoba lagi karena kepandaian apapun yang dimiliki- nya  saat  itu  tidak  sanggup  menembus  sinar  menggidikkan yang  keluar  dari  pukulan sakti  Pangeran  Matahari.  Perwira  muda  dan  para  pengawal  lainnyapun  lebih  tak berdaya lagi.
Wiro berseru tegang. Dari tempatnya berdiri jarak Ratih dengan Pangeran Matahari lebih  dekat  berarti  pukulan  lawan  bisa  sampai  lebih  dulu  dari  pada yang  ditujukan padanya. Tanpa pikir panjang lagi, sambil siapkan pukulan sinar matahari di tangan kiri kanan, Wiro melompat ke depan.
Ratih  kembali  terdengar  menjerit,  ketika  dua  larik  sinar  menyilaukan  yang  juga mengandung hawa panas luar biasa menggebu-gebu menyongsong sinar pukulan maut

KARYA
BASTIAN TITO

62

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


Pangeran Matahari.
Kawasan tepi sungai itu seputar jarak dua pupuluh tombak terang benderang dan menggelegar seperti dilanda gempa. Belasan perajurit pengawal jatuh berkaparan. Ratih terguling-guling tapi selamat. Tumenggung Puro Bekasan dan perwira muda yang tetap disampingnya   tergontai-gontai   lalu   cepat-cepat  berpegangan   ke   pohon   agar   tidak terhempas jatuh.

Ketika  asap  hitam  merah  bercampur  kuning  musnah  dilabrak  cahaya  dahsyat pukulan   sinar   matahari,   kobaran   api   tampak   di   beberapa   pohon.   Asap   hitam bergulung-gulung. Wiro  tak  mau  tertipu  oleh  kelicikan  lawan.  Dia  keluarkan  Kapak Maut Naga Geni 212 lalu melompat masuk ke dalam asap tebal dan sini putar senjata mustikanya   itu   untuk   mencegah   kalau-kalau   Pangeran   Matahari   tanpa   kelihatan lepaskan   pukulan-pukulan   sakti   secara   membokong.   Suara   seperti   ribuan   tawon mengamuk  keluar  dari  desingan  kapak  membuat  suasana  di  tempat  itu  bertambah rnengerikan dan menegangkan.
Perlahan-lahan asap hitam tebal mulai berkurang lalu akhirnya pupus lenyap sama sekali. Api yang  membakar dedaunan dan ranting pepohonan perlahan-lahan padam. Semua orang memandang berkeliling dengan rasa tegang masih menyungkup.

Pendekar   212   Wiro   Sableng   tegak   di   tengah   kalangan   pertempuran   sambil melintangkan Kapak Naga Geni 212 di depan dada. Pangeran Matahari tak tampak lagi di tempat itu. Tetapi di tanah kelihatan gumpalan darah kental. Wiro maklum musuh besarnya itu telah terluka di dalam dan memuntahkan darah segar. Setelah sekali lagi meneliti keadaan sekelilingnya untuk memastikan bahwa Pangeran Matahari betul-betul telah  melarikan  diri  dari  situ, Wiro  masukkan  senjata  mustikanya  ke  balik  pakaian. Lalu  melangkah  mendapatkan  Ratih yang  tengah  diurut-urut  oleh Tumenggung  Puro Bekasan untuk melepaskan totokan yang membuat kaku sekujur tubuhnya. Tapi sang Tumenggung ternyata tidak berkemampuan membebaskan keponakannya itu.
"Maafkan  saya,"  kata  Wiro  seraya  berlutut  di  samping  Ratih.  Dipegangnya  urat besar di leher  sang dara.  Di  situ terasa darah  mengalir  seperti biasa.  Berarti totokan Pangeran  Matahari  tidak  bersarang  di  situ.  Wiro  memeriksa  lagi.  Lalu  garuk-garuk- garuk kepala.

KARYA
BASTIAN TITO

63

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


"Bagaimana  orana  muda,  kau  tak  bisa  menolongnya?"  tanya  Tumenggung  Puro Bekasan dengan cemas.
"Bisa Tumenggung. Tapi tidak di sini. Terlalu banyak mata yang menyaksikan ..." Lalu Wiro mendukung tubuh Ratih dan membawanya ke balik semak belukar. Di sini gadis itu dibaringkannya di tanah.

"Maafkan saya ..." kata Wiro sekali lagi. Lalu dengan cepat membuka dada pakaian si   gadis.   Ratih   mengatupkan   mulutnya   dan   memejamkan   matanya   rapat-rapat. Dirasakannya sepasang tangan pendekar itu mendekapi payudaranya. Ada hawa panas menjalar.  Lalu  ada jari yang  menusuk  pada  sebelah bawah.  Setelah  itu  totokan yang menguasai  tubuhnya  pun  punah.  Gadis  ini  melompat  bangun  seraya  menutup  dada pakaiannya dengan cepat dan paras merah karena jengah.
"Aku  tak  tahu  harus  mengucapkan  apa  padamu, Wiro.  Hutang  budi  dan  hutang nyawa, hutang kehormatan . . . ."
Wiro  tertawa  kecil.  "Soal  hutang  piutang  itu  adalah  urusannya  pedagang,  bukan urusan  kita  orang-orang  tolol!  Aku  harus  pergi  sekarang.  Di  lain  waktu  aku  akan menyambangimu di Kotaraja."
"Tidak! Kau harus ikut kami sekarang ke Kotaraja!" berkata Ratih.

Wiro gelengkan kepala. "Lain kali saja. Aku harus menemui guru guna melaporkan semua yang terjadi. Selamat tinggal sahabat. Jaga dirimu baik-baik ...." Sehabis berkata begitu  Wiro  susupkan  tangan  kanannya  ke  balik  dada  pakaian  sang  dara.  Hal  ini membuat Ratih tersentak kaget. Dia sama sekali tidak marah diperlakukan seperti itu. Tetapi sekurang ajar itukah pemuda satu ini? Sama seperti Pangeran Matahari ...? Ratih mengusap dadanya yang tadi disentuh Pendekar 212. Terasa ada sesuatu yang terselip antara dada dan pakaiannya. Ketika diperiksanya ternyata benda itu adalah gulungan kain hitam yang bukan lain adalah peta rahasia telaga emas! Mengertilah kini sang dara apa sebenarnya maksud pemuda itu tadi meraba dadanya. Bukan untuk sesuatu yang kurang ajar, tapi guna menyelipkan benda berharga itu.
"Pemuda nakal⁄ " desis Ratih. Di bibirnya tersimpul senyum bahagia. "Entah kapan aku bisa melihatnya lagi⁄"
Semak  belukar  di  samping  kiri  Ratih  tiba-tiba  terkuak.  Satu  kepala  muncul.

KARYA
BASTIAN TITO

64

SERIAL WIRO SABLENG
Iblis Berjanggut Biru


Ternyata Tumenggung Puro Bekasan.
"Hai, mana pemuda hebat itu?" bertanya sang Tumenggung.
"Dia lenyap seperti ditelan malam . . ." sahut Ratih.
"Hanya setan yang bisa lenyap secepat itu," ujar Tumenggung Puro Bekasan.
"Atau malaikat⁄ "  sahut  sang  dara  dan senyum  masih  tersimpul  di bibirnya yang merah.

                                    TAMAT

Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

KARYA
BASTIAN TITO



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive