Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Kamis, 30 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - NYAWA YANG TERHUTANG

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com

1


SUARA BERADUNYA PEDANG terdengar berkepanjangan dilereng bukit Cemoro Sewu padahal hari masih gelap dan udara mencucuk dingin. Binatang hutanpun menyingkir ketakutan. Karena yang terdengar bukan hanya suara beradunya senjata tajam itu namun juga ada bentakan- bentakan serta hentakan-hentakan kaki yang menggetarkan tanah.

Siapa  yang  pagi-pagi  buta   telah   saling  baku  hantam   seolah-olah  tidak   ada  waktu menyelesaikan urusan disianghari?

Di antara kerasnya suara pedang beradu tiba-tibaterdengar suara tawa mengekeh. Lalu ada orang yang bicaradalam kegelapan.

“Bagus! Bagus Wilani! Sepuluh jurus kaubisa bertahan, sepuluh jurus kau balas, mendesak! Bagus! Ilmu pedangmu sudah cukup matang! Yang penting kiniadalah berlatih terus!”

“Terima kasihuntuk pujian itukakek guru! Semua itu berkat gemblengan yang kakek guru berikan!”

Ternyata di lereng bukit Cemoro  Sewu itu bukan terjadi perkelahian, melainkan seorang murid dan guru tengah berlatih ilmu pedang digelap buta menjelang dini hari!

Sang  guru  adalah  seorang  kakek  berambut  putih  panjang.  Dia  mengenakan  pakaian berbentuk selempangseperti pakaian seorang residan berwarna hitam. Gerakan tangannyamemutar pedang sebat sekali. Gerakan kakinya kukuh dan ringan. Sesekali pakaian hitamnya di bagian kaki nampak tersingkap. Astaga!  Ternyata kakek yang memiliki  ilmu  meringankan  tubuh  tinggi  ini hanya mempunyaisatu kaki kanan. Kaki kirinya buntung sebataslutut.

Tapi tak kalah hebatnya sang murid yaitu seorang dara berpakaian serba biru, berambut hitam dikuncir. Meski seluruh pakaiannya basah kuyup tanda dia telah mengerahkan seluruh tenaga, gerakannya berkelebat gesit sekali. Putaran pedangnya mengeluarkan angin menderu-deru, gerakan kedua kakinya tak terdugasehingga setiap bacokan atau tusukan senjatanya sulit diduga.

“Bagus! Bagus! Sekarangaku ingin melihatkaumenutup serangan terakhirmudenganjurus Rembulan MencukurBintang. Lakukan!”

Mendengar ucapan  sang  guru,  gadis  baju  biru bernama  Wilani  membentak  keras.  Lalu tubuhnya melesat ke udara setinggi dua tombak. Ujung pedang di tangan kanan menderu ke arah sebuah cabang pohon berdaun lebat. Terdengar suara merambas beberapa kejapan mata. Ketika si gadis melompat turun kembalikelihatanlahdalam gelapbagaimanaseluruh daundicabang itutelah gundul laksanadipangkas sedangranting-ranting besarnya sedikitpun takada yang rusak.

Kakek kaki buntung tertawagembira.

“Hebat! Luar biasa Wilani!”



“Terima kasih kakek guru!” sang dara menyahutisambil bungkukkantubuh.

“Sekarangaku ingin mengujikehebatan senjatarahasiamu! Siapkankantong jarummu!”

“Sayasudahsiap kakek…,” kata Wilani pula sesaat kemudian.

“Lihat  ke  arahku!”  kata  si  kakek  sambil  mengangkat  tangan  kanannya  dekat-dekat  ke kepalanya sampaisetinggi daun telinga. Telapak tangandan lima jari dikembangkan. Di antara jari- jari tangan yang lima itu terselip empat buahdaun kecil.

“Serangempatdaun yang kujepit di antara jari-jari tangan!”

“Siap guru!”

“Tunggu dulu. Ada syaratnya!” kata si kakek pula.

“Empat helai daun itu harus tembus tetapi tidak selembarpun boleh lepas dari jepitanjariku. Bagaimana? Sanggup?!”

“Akan saya cobakek!”

“Nah hantamlah! Tapi awas! Jangan mata atau hidung atau tanganku yang kau hantam! Hik…hik…hik!”

Wilani  menggerakkan  tangan  kanannya  ke  dalam  kantong.  Sesaat  kemudian  tangan  itu keluarbersama empat buahjarum halus berwarna putih. Lalu tangan itu menghantam ke depan.

Terdengar  suara  berdesing  dalam  kegelapan  malam.  Empat jarum  halus  melesat  tidak kelihatan. Si kakek menunggu laluberseru.

“Hai! Hai! Sudahkah kaumelemparkan senjatarahasiamu, Wilani?!”

“Sudah kek! Harapperiksakeempat daunitu!”

Kakek kaki satu turunkan tangannya dan meneliti. Keempat daun kecil yang dijepitnya di antara jari-jari tangankanannya ternyata sudah berlubang kecildi bagiantengahnya. Melihathal ini kembali orang tua itu tertawa mengekeh.

“Hebat! Luar biasa! Kau memang muridku yang andal!”

“Terima kasih guru. Jangan keliwat memuji!” jawab sang murid tersipu. Waktu tersipu ini adalesung pipit muncul dikedua pipinya.

“Sekarang  ujian  terakhir.  Aku  akan  menggabung  ilmu  meringankan  tubuhmu  dengan kekuatan tenagadalam serta kepekaan perasaanmu. Kau siap?!”

“Mohon petunjukmudulukek. Apa yang harusakulakukan?”

“Hemm…,” si kakekmelompat-lompat ke arah sebuah batu belaslangkah di sebelah kanan. Lalu  dia menunjuk ke cabang  sebuah pohon  setinggi tiga tombak  di  samping muridnya. “Kau melompatlahkeujung cabang itu dengan punggung menghadapke batu.

Putar tubuhmutanpamembuat cabang bergoyang dan hantam batu inisampai hancur!”

“Wah! Susah amat kek!”

“Kalau itusajasusah, berhenti jadi muridku!” jawabsi orang tua itusambil mencibir.



Sang daragaruk-garukkepalanya, memandang padasi kakek dan bertanya. “Sekarang kek?” “Ya sekarang tentu! Apa menunggu sampai malam Jum’at depan!”

Belum habis si kakek berucap, tubuh Wilani kelihatan melesat ke udara.  Setengah jalan sebelum mencapaicabang pohon tubuh ituberputarsehinggakini punggungnya menghadapke arah batu yang akan menjadi sasaran. Kaki kanan menyentuh ujung cabang pohon. Kejapan itu pula Wilani putartubuhnya seraya hantamkan tangankanan.

Wuutt!

Terdengarderu angina laksanamembelahdinginnya malam. Lalu.

Byaar!

Batu hitamdibawah sana hancur berkeping-keping.

Meledak tawasi kakek buntung. Begitu muridnya melayang turun langsung dipeluknya.

“Kau benar-benar hebat Wilani. Aku tidak akan merasa khawatir melepasmu pergi … .”

“Kek,  kau  tahu  aku  sebenarnya  tak  ingin  pergi.  Tak  mau  berpisah  denganmu  sampai kapanpun. Namun….. Jalan nasibkumembuat semua jadi begini … .”

Si kakek lepaskan pelukannya, dia membimbing muridnya duduk di sebatang tumbangan pohon sementara di sebelah timur langit perlahan-lahan tampak mulaiterang.

“Jalan nasib manusia Tuhan Yang Maha Kuasa yang menentukan. Kita manusiahanyabisa  berusaha bagaimana agar bisa melaluinya pada jalan yang lurus dan benar. Pelajaran agama yang  kuberikan padamu harus menjadi pegangan hidupmu sampai mati. Lakukan apa yang diperintah  Gusti Allah,jauhkan apa yang dilarang-Nya. Tetapi ada satu hal muridku. Selama kedua kaki kita  masih menginjak bumi selama itu pula pertanda bahwa kita ini masih hidup di dunia. Hidup di  duniadipengaruhi oleh duahal. Yaitu kebaikandan kejahatan. Dunia penuh dengan hasutdan fitnah. Penuh  dengan  setan-setan  yang  gentayangan.  Setan-setan  yang  tidak  kelihatan,  yang  berupa  mahluk-mahluk halus, tidak perlu kau khawatirkan. Yang harus kau perhatikan justru setan-setan  kasar berwujud manusia. Manusia mahluk paling terpuji. Tapi karena banyak akal maka manusia  juga bisa menjadi mahluk keji. Contohnya itu manusia-manusia yang telah membunuh ayahmu  secara keji. Mereka lebih jahat dari iblis! Lebih busuk dari Setan!”

“Orang-orang itulah yang akanaku carikek!” terdengar suara Wilani agak tersendat.

Si kakek tarik nafas panjang. “Dendam adalah urusan dunia yang tidak pernah habis. Itu tandanya kita hidup di dunia. Membela keluarga, apalagi membela kehormatan dan ayah sendiri sama  saja  dengan  melakukan  perang  sabil. Namun  muridku….  Ketahuilah,  di belakang  setiap dendam  dapat mengendalikannya.  Karena itu Wilani, jika kau membalaskan  sakit hati  dendam kesumat  pembunuhan  atas  diri  ayahmu,  lakukanlah  dengan  penuh  perhitungan  serta  keadilan. Usahakan agar kau jangan sampai membunuh orang-orang itu, kecuali jika tak ada jalan lain atau dalam keadaan sangatterpaksa. Kau dengarkata-kataku ini, Wilani?”



“Aku dengarkek dan akan kujadikan pegangan,” jawab Wilani.

“Bagus! Setelah selesaisembahyang subuh kau boleh meninggalkan Cemoro Sewu ini …”

Wilani memeluk gurunya laluberkata. “Kek,selamadua belastahun akutinggalbersamamu di bukit ini, banyak hal telah kupelajari darimu. Banyak hal telah kuketahui. Namun ada satu hal yang masih gelap bagiku.”

“Ah….. Hal apakahituuridku?” tanya si kakeksambiltersenyum-senyum karena diam-diam dia sudahdapat menduga apa yang bakalditanyakanmuridnya.

“Sampaisaatiniakutidak tahu siapa nama kakek … .”

Orang tuaberkaki buntung itu tertawa mengekeh.

“Nama….! Itujuga salah satu urusan manusia didunia yang fana ini! Siapanamaku apakah adaartinya bagimu?”

“Tentu sajakek! Setiap manusia pasti punya nama,” jawab Wilani.

“Tapiakutidak,” ujarsi kakek pula. “Kau boleh memberi nama siapaatau apa saja. Itu tidak akan merubah diriku. Seorang tua bangka reot berkaki buntung dan akan tetap seperti itu! Hik … hik…hik!”

Wilani terdiam sesaat.

“Baiklah kalaukakektidak mau memberitahu nama … .”

“Bukan tidak mau, karena memang dari kecil bahkan dari orok tidak ada yang memberi nama padaku! Kedua orang tuakumatitenggelam ketikaterjadi banjirbandangpuluhan tahunlalu. Aku dihanyutkanbanjirke dalam sebuah rimbabelantara. Hidup dandibesarkanalam seorang diri. Hanya berteman beberapa ekor monyet dan beberapa ekor biatang buas. Untung kemudian ada seorang pencari kayu yang menemukanku dan memungutkujadi anak. Ketika usia delapan tahun aku diserahkan pada seorang pandai. Tapi orang tua angkatku itujuga alpa. Mereka tidak memberi nama apapun padaku! Hik… hik…. hik!”

“Kalau begitu bolehaku mencarikan nama untuk kakek?”

“Pasti cocokkalau kau yang mencarikannya!” jawab orang tua itu.

“Aku… Hemm… Biar kaukuberi nama Datuk Buntung Cemoro Sewu! Bagaimana?”

“Nama hebat! Aku mengucapkanterimakasihpadamu Wilani. Paling tidak, kalau nanti aku mati, akan ada orang menuliskan nama itu di papan nisanku! Hik… hik… hik!” Si kakek tepuk- tepuk bahu muridnya.

“Kek, sebelum akupergi, aku ingin mengulang nama-nama orang yang harus kucari itu agar tidakkesalahan tangan … .”

“Bagus! Itu memang bagus! Cobalah kau menyebutkan keempatnya, lima denganibutirimu itu … .”



“Pertama Randulawang. Jabatan Ketua Perserikatan Silat Bintang Biru. Usia saat ini sekitar tiga puluh delapan tahun. Kedua Rea Pamungkas, jabatan Ketua Perkumpulan Silat Gading Putih merangkap anggota pengurus Perserikatan  Silat Bintang Biru. Usia  saat ini  sekitar enam puluh tahun. Orang ketiga bernama Wirasaba, jabatan sama dengan Rea Pamungkas merangkap Ketua Perkumpulan Silat Mustika Ratu, berumur sekitar enam puluh lima tahun. Orang ke empat dikenal dengan  nama  Kajenar,  Ketua  perkumpulan  Silat  Elang  Laut.  Juga  menjabat  sebagai  pengurus perserikatan. Umurnya paling lanjut, saat ini sekitar tujuh puluh tahun. Yang terakhir ibu tiriku sendiri bernamaJuminten, usiatiga puluhtahun, sekarangadalahistridariRandulawang.”

Ternyata  kau  masih  ingat  kelima  nama  itu.  Apa  kau  masih  ingat  wajah-wajah  mereka Wilani?”

“Samar-samar, kek. Tapi jika aku bertemu dengan mereka kembali, pasti aku akan dapat mengenali … .”

Si  kakek  mengangguk.  “Ingat  baik-baik  muridku.  Kelima  manusia  itu  sama jahat  dan liciknya. Tapi bukan berartidi luarmereka didunia ini semua orang adalahbaik. Karenanya selalu berhati-hati  dalam  menghadapi  segala  sesuatunya.  Jangan  lekas  percaya  pada  seseorang  yang kelihatannya begitubaik danselaluhendakmenolong. Karena di balikkebaikandan pertolongan itu mungkintersembunyiniat jahat dan hendak menggolong.

Sebaliknya juga jangan  lekas  curiga  pada  seorang  berwajah  buruk  dan  bersikap  aneh. Karena di balikwajah dan sikapitu mungkinadasifatbaik yang tadinya sulit diterka …”

“Terima kasih atas semua nasihatmu, kek. Ijinkan aku mengambil air sembahyang untuk solat Subuh … .”

Si kakek mengangguk. Sekali lagidia memeluk murid tunggalnya itu. Ketika Wilani berlalu, orang tua yang kinimendapat nama Datuk Buntung Cemoro Sewu itu menarik nafas lega.

“Lega rasanya dada ini sekarang. Kalau pun aku mati hari ini, kepandaianku sudah ada yang mewarisi!”


* * *



2


MASA   DUA   BELAS   TAHUN   SEBELUM   WILANI   DILEPAS   OLEH   DATUK

BUNTUNG CEMORO SEWU … … … … … … ..

Perserikatan Silat Bintang Biru sedang naik daun. Namanya menjulang mengatasi belasan perguruan silat yang berdirijauh sebelumnya. Anak murid perserikatan berjumlah ribuan orang, tersebardi delapan penjuru tanah Jawa. Semua ini berkat kepemimpinan Adi Juwono yang dijuluki Raja Tombak Delapan Penjuru Angin. Gelar ini disandangnya tidak percuma karena dia memiliki sebuah senjata pusaka yakni sebuah tombak besi berlapis emas. Dalam keadaan biasa tombak ini panjangnyahanya sekitar tiga jengkal. Tapijikabagian-bagiannya ditarik, senjata inibisa berubah menjadisepuluh jengkal.

Pada  mulanya  Perserikatan  Silat  Bintang  Biru  didirikan  dan  berasal  dari  empat  buah perguruan silat besaryaitu Perkumpulan Silat Bumi Leluhur pimpinan Randulawang, Perkumpulan Silat  Gading  Putih  pimpinan  Rae  Pamungkas,  lalu  Perkumpulan  Silat  Mustika  Ratu  di bawah kepemimpinan Wirasaba dan yang keempat Perkumpulan Silat Elang Laut diketuai oleh Kajenar.

Adi Juwono satu-satunya tokoh persilatan yang tidakmemiliki perguruan atauperkumpulan secara resmi walaupun muridnya bertebaran dimana-mana. Dia menjadi tokoh silat tunggal yang dihormati dan disegani kawan maupun lawan. Dibandingkan dengan ilmu kepandaian para ketua empat perkumpulan silat lainnya, Adi Juwono dua tingkat lebih tinggi dari mereka. Karena itulah ketika kelimanya bergabung di bawah bendera Perserikatan  Silat Bintang Biru semua pimpinan perkumpulan silat sama menyetujui untuk mengangkat Adi Juwono sebagai Ketua mereka. Empat lainnya  memang jabatan  sebagai Wakil  Ketua  dan jabatan  masing-masing  sebagai  Ketua pada perkumpulan silat merekatetap tidak berubah.

Kemajuan yang dicapai oleh Perserikatan tentu  saja mengangkat nama dan derajat  sang ketuayaitu Adi Juwono. Meskipun nama dan derajatempat wakil ketuaikutterangkat namun adadi antara mereka yang merasa iri. Apalagi ketika ada yang mengkobar-kobarkan bahwa Adi Juwono sebenarnya tidak pantas menjadi ketua karena tidak memiliki perkumpulan silat. Lalu ada yang memfitnah  bahwa  sang  ketua  sebenarnya  tidak  melakukan  apa-apa,  yang  bekerja  keras  untuk perserikatanadalahempat wakilketua.

Lama kelamaan,  suasana ini menjadi  seperti api  dalam  sekam yang sewaktu-waktu bisa meledak. Malangnya Adi Juwono sama sekalitidakarif akan apa yang terjadi secara diam-diam di belakangnya.  Hal  ini  karena  semua  orang  dilihatnya  bermanis  muka  dan  berbaik  turun  sapa dihadapannya. Bahkan Adi Juwono sama sekalitidak mengetahui bahwa Juminten, isteri mudanya



yang berusia 18 tahun yang dinikahinya setahun setelahisterituanya meninggal, ikutterlibatdalam komplotan keji yang kelakmenimbulkan bencana bagi diri dan anak-anaknya.


* * *

MALAM ITU HUJAN turun rintik-rintik. Sesosok tubuh tampak bergerak membungkuk- bungkuk  di belakang bangunan besar  lalu menyelinap mendekati kandang kuda.  Di  sini  sosok tersebut diam sejenak, memandang berkeliling meneliti keadaan. Ketika dirasakannya aman maka cepat didorongnya pintu tempat penyimpanan jerami kering lalu menyelinap ke dalam. Orang ini duduk  tak bergerak  di  sudut  ruangan,  di  atas  setumpuk jerami.  Dia  memasang  kedua  telinga, mendengarkan  setiap bunyi  yang  ada  di  luar.  Kemudian  lapat-lapat  dia  mendengar  suara  kaki melangkah mendekati kandang kuda. Diam sesaat. Tak lama kemudian terdengar pintu ruangan jerami berkereketan, lalu masuklah seorang berpakaian hitam tebal yang wajahnya ditutup dengan sehelai sapu tangan besar.

“Di sini….,” terdengar suara berbisik dari sudut ruanganjerami yang gelap.

Orang yang barusan masukmelangkah ke jurusandatangnya suara itulalumenjatuhkandiri di hadapan orang yang mendekam di sudut. Nafasnya terdengarmengengah.

“Mas Randu…. Terlalu berbahaya pertemuan ini. Kalau sampaiada yang melihat….” Orang yang  berusaha  duduk  berbisik.  Ternyata  suaranya  adalah  suara  perempuan.  Dan  ketika  dia membuka  sapu  tangan yang  menutupi  wajahnya,  dalam  gelap  kelihatan  sekilas  wajahnya.  Dia adalah Juminten. Isteri Ketua Perserikatan Silat Bintang Biru. Dan lelaki yang duduk di hadapannya adalahRandulawang, Wakil Ketua Perserikatan.

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan Juminten. Asal kitabicara berbisik-bisik. Semua orang berada di bangsal utama tengah mendengarkan fatwa dari guru agama yang datang dari Demak. Suamimujugamasih belumkembali bukan?”

“Betul.  Para  wakil  ketua  sudah  kuhubungi.  Mereka  sama  menyetujui  walau  aku  masih kurang yakin dengan siKajenaritu. Kita hanya tinggal menyusun rencana sertaharipelaksanaannya saja…. Dan semua itukuncinya berada di tanganmudik Juminten.”

“Di tangan saya…?” tanya perempuan berusia delapan belastahun itukeheranan.

“Benar,”  sahut  Randulawang  seraya  mendekap  pipi  Juminten  dengan  kedua  telapak tangannya lalu merangkul isteri Ketua Perserikatan itu kedadanya. “Apa yang akan kau lakukan sederhana  dan mudah  sekali. Namun  sangat menentukan…..  Setelah  itu  kamisemua yang  akan mengatur.”

“Apa yang harus saya lakukan mas Randu…?”



Randulawang yang berusia dua puluh enam tahun itu tidak segera menjawab melainkan memeluk  dan  menciumi  Juminten  terlebih  dulu penuh  nafsu  hingga  perempuan  itu  kelagapan. Setelah Juminten ikutterpengaruh nafsunya barulah dia membisikkan rencananya.

Juminten terkejut ketikamendengar ucapan Randulawang itu.

“Tak mungkin saya melakukan hal itu, mas Randu.  Sama saja dengan mengkhianatinya. Lagi pula saya tidaktega. Mas Adi Juwono punya anak yang masihkecil-kecil. Wilani enam tahun dan Ario Seno sepuluhtahun…. Kasihan mereka.”

Randulawang tertawa perlahan.  Sambil terus membakar gairah Juminten dengan rabaan- rabaan tangannya dia berkata. “Mengapa musti memperdulikan kedua anak itu. Dia bukan darah dagingmu dik Juminten. Lagi pula kebahagiaan hidup apa yang kau bakal dapat dari suami yang selalu   sakit-sakitan  itu.  Dalam  usianya  yang  hampir  enam  puluh  tahun   dia  lebih  banyak menghabiskanwaktudi rumahdukun untuk berobat dari pada berada didekatmu. Kau masih muda, perlu  hiburan  dan  suamimu  tidak  mampu  memberikan  kebahagiaan  padamu.  Apa  kau  hendak bertahansampaikau sendirinatijadinenek reot? Mas Adi bukan pasanganmu. Dia terlalu tua. Usia kalianterpauthampir empat puluhtahun. Apatidak gila itunamanya?!”

Juminten terdiam dan kembali luluh ketika dipeluk oleh Randulawang dan menggelinjang sewaktu hidung lelaki ini menggeser di belakangtelinganya.

“Kau  lebih  cocok  menjadi  isteriku  Juminten.  Aku  bersumpah  akan  mengambilmu jadi isteriku kalau rencana kita selesai. Kau akan bahagia sebagai isteri Ketua Perserikatan yang baru. Aku bawa kau kemana aku berkunjung. Tidak seperti sekarang kau selalu ditinggal-tinggal oleh

mas Adi Juwono.”

“Mas Randu. Beri akuwaktu untuk berpikir…,” berbisik Juminten seraya tangankanannya mengusapi dadaRandulawang yang penuhditumbuhi bulu.

“Tak  ada  waktu  lagi  Juminten.  Semua  harus  dilakukan  dengan  cepat.  Rencana  untuk mengundangnya  sudah  disiapkan  dua  hari  setelah  dia  kembali  dari  berobat.  Setelah  itu  segala kebahagiaan akan menjadi milikmusayangku … .”

Juminten hanyabisa diam, tak mampu keluarkan ucapan untuk menjawab.

“Aku  tahu…,”  bisik  Randulawang  kembali.  “Walau  kau  tidak  mengeluarkan  sepatah katapun sebagai ucapan tapi aku tahu hatimu menyetujui rencana ini. Hatimu lebih dekat padaku daripada kesuamimu … ..”

Hidung Randulawang menyusup ke celah dada perempuan itu. Juminten menggeliat dan merangkulkan kedua tangannya ke punggung lelaki itu ketika Randulawang merebahkan tubuhnya di atastumpukan jeramikering.


* * *




3


SUATU MALAM YANG SEJUK sebuah kereta tampak meluncur menuju Plered. Yang menjadi sais adalah Adi Juwono sendiri, Ketua Perserikatan  Silat Bintang Biru. Di sampingnya duduk Juminten. Di sebelah belakang sambil tertawa-tawa duduk Wilani dan Ario  Seno, kakak beradik putera-puteri Adi Juwono darimandiangistripertamanya.

“Sahabat-sahabatku itu ada-ada saja,” terdengar Adi Juwono berucap. “Mengundang makan malam di Plered. Katanyaadahiburan serombongan pemain gamelandariPajang segala....”

“Sayadengar salah seorang dari mereka berulang tahun hari ini,” menyahuti Juminten.

“Siapa?” tanya suaminya.

“Mungkin mas Wirasaba.”

Kereta itu meluncur terus tapi sebentar-sebentar kuda coklat yang menarik kereta nampak sepertiliardan meringkik berulang kali.

“Kuda initidak sepertibiasanya. Meringkik terus sejak tadi...,” kata Adi Juwono. Sang istri diam saja.

Di sebuahpendakian, keretaberhenti didepansebuah bangunankayu yang terletak didekat sungai kecil. Siang hari pemandangan di sekitar tempat ini indah sekali. Beberapa lampu minyak besar tampakmenyalamenerangi bangunanitu.

Ketika Adi Juwono menolong istri dan anaknya turun dari kereta, tiga orang keluar dari bangunan. Mereka adalahRandulawang, Wirasaba dan Rae Pamungkas.

“Ada undangan  istimewa malam ini rupanya!” kata  Adi Juwono.  “Siapa yang berulang tahun?”

“Saya mas...,”jawab Wirasaba.

“Selamat  kalau  begitu.”  Lalu  Adi  Juwono  memeluk  sahabatnya  itu.  Kemudian  mereka beriringan menujurumahdi tepi sungai.

Di   sebelah  belakang   Rae   Pamungkas  berbisik  pada   Randalawang.   “Ketua   ternyata membawasertakedua anaknya. Ini diluardugaan, diluar rencana. Bagaimana ini...?”

“Takusahkhawatir. Serahkan padaku...,” jawabRandulawang.

“Aku takmelihat saudaratuakita mas Kajenar,” kata Adi Juwono.

“Dia jadi pelayan didalam. Sibuk menyiapkan hidangan....” Jawab Randulawang.

“Eh, kalau tak salah kalian bilangadahiburan gamelandari Pajang. Mana...? Mengapasepi- sepisaja?”

“Itu yang mengesalkan saya mas Adi,” jawabRandulawang. “Sampai saat ini merekamasih belummuncul. Kabarnyahujan lebat turundi hulu. Mungkin mereka sulit menyeberang sungai.”



“Pesta  ulang  tahun  hanya  kita  saja.  Tidak  mengundang  orang-orang  atau  para  sahabat lainnya?” tanya Adi Juwono lagi.

“Biayanya terbatas mas Adi. Jadi biar kita-kita saja...,” sahut Wirasaba sambil mengulum

senyum.

Rombongan  itu  sampai  di  dalam rumah  dimana telah tersedia  sebuah meja besar berisi berbagai macam hidangandan minuman yang lezat-lezat. Sang ketua duduk dikepala meja sebelah kanan sedang Juminten di kepala meja di seberangnya. Anak-anak Adi Juwono duduk mengapit sang ayah. Wirasaba di samping kanan ketua, disebelah kiri Randulawang, lalu berturut-turut Rae Pamungkas danKajenarsaling berhadapan.

Setelah mengobrol sambil sesekali tertawa bergelak yang kelihatannya begitu akrab maka santap malampun dimulai. Selesai makan masih dihidangkan beberapa penganan dan buah-buah cuci mulut. Sebelum pertemuan ditutup, Kajenar menghidangkan kopi hangat sementara dua anak tampakmulai mengantuk.

Setelah batuk-batuk beberapa kali Rae Pamungkas membuka mulut. Suaranya mula-mula agak bergetar. Namun kemudian ucapnya lancar juga.

“Mas Adi Juwono. Sambil menunggu turunnya panas kopi, mengutarakan sesuatu. Kalau ketua tidak berkeberatan....”

Adi Juwono agak heran mendengar ucapan Rae Pamungkas itu. “Ah, tentu saja. Silakan mengutarakan apa saja. Di sini mungkinkitalebih leluasa, tidak diganggu oleh kesibukansepertidi perkumpulan....”

Rae Pamungkas memandang pada ke tiga wakil ketua. Dua orang nampak duduk dengan sikapgagah, hanyaKajenar yang menundukkan kepala.

“Baik mas Adi.  Saya langsung saja pada pokok masalahnya.  Sejak beberapa waktu lalu kami  mendapat  kabar  disertai  bukti-bukti  bahwa  mas  Adi  ingin  menyingkirkan  kami  dari kedudukan wakilketua Perserikatan....”

“Astaga! Pembicaraan apa  ini  dimas Rae?!” tanya Adi  Juwono dengan  suara keras dan sepasang   mata   membesar.   Wajahnya  jelas   berubah.   Sang   Ketua   memandang   berkeliling. Randulawang dan Wirasaba menatap tak berkesip ke arahnya. Kajenar masih saja menundukkan kepala.

“Tenang mas Adi. Pembicaraan saya belum selesai,” ujar Rae Pemungkas pula. “Maksud untuk menyingkirkan  kami berempat bukan hanya menyangkut kedudukan  kami  sebagai wakil ketua, tetapi bahkan lebih jahat dari itu. Mas Adi hendak menghabisi kamisemua!”

“Ini gila!” teriak Adi Juwono seraya menggebrak meja dan bangkit dari kursinya. Papan mejahancur berantakan. Makanan dan minuman tumpah berpelantingan.



“Ini tidak gila!” teriak Randulawang sambil memukul meja pula dengan tangan kanannya. Untuk kedua kalinya meja itujadiporakporanda. “Ini tidak gila....”

“Kalau tidak gila maka ini adalah fitnah!” teriak Adi Yuwono. “Tidak gila dan juga bukan fitnah!” sahut Randulawang seraya berdiridarikursinya. “Rencana kejihendakmembunuh kami itu secara tidak sengajatelah mas Adi ceritakan pada Juminten. Istri mas Adi sendiri!”

Adi Juwono kinibenar-benarmembelalak.

“Aku, menceritakan maksud jahathendak membunuh kalian pada istriku? Edan!” Kedua ta- ngan ketua perserikatan itu tampak terkepal dandadanya turunnaiktanda ada yang menggelegak di dalamtubuhnya.

Randulawang berpaling pada Juminten laluberkata:

“Dik Juminten, coba katakan denganjelas rencana apa yang dikatakan mas Adi terhadap kami dankapandia mengatakan hal itupada dik Juminten!”

Paras Juminten yang cantik sesaat tampakkemerahan. Tubuhnya sepertimenggigil.

“Tak  usah  takut  dik  Juminten.  Katakan  saja  apa  yang  dik  Juminten  ketahui,”  berkata

Wirasaba.

“Waktu  itu...waktu itu hari pertama bulan haji  sekitar dua minggu lalu. Mas Adi  entah mengapa  menceritakan  pada  saya  bahwa  dia  hendak  menghabisi  riwayat  empat  wakil  ketua perserikatan. Katanya... selama ini mereka selalu merongrong, memfitnah dan menghabiskan harta dan uang perserikatan untuk kepentinganpribadi. Lalu....”

“Kurang  ajar!  Kalian  semua  pasti  telah berkomplot  mengarang  cerita  busuk!  Busuk!!!” Teriak Adi Juwono. Dalam marahnya ketua perserikatan itu membalikkan meja besar. Juminten  menjerit. Dua anak Wilani dan Ario Seno ikut memekiklalumenangis.

“Kau   yang   busuk   Adi    Juwono!”   membentak   Randulawang.    Dari   bawah   meja dikeluarkannya sebuah penggada batu. Dengan benda ini dihantamnya kepala ketua perserikatan dari  belakang.  Adi  Juwono  yang  masih  sempat  melihat  cepat  merunduk  sambil  mengirimkan tumitnya ke perutRandulawang;

Terdengar  dua  kali  suara bergedebuk. Yang pertama  suara penggada yang meleset  dari kepala dan kini menghantam punggung Adi Juwono. Yang kedua  suara tumit  sang ketua yang sempat melabrak perutRandulawanghingga orang initerpentaldangadanyalepas dari tangan.

Juminten menjerit, lalu tersandar ke dinding sebelum melosoh ke lantai. Wilani dan Ario Seno sama memekikketakutan.

Hantaman pada punggungnya yang keras bukan saja membuat tulang punggungnya remuk tapi  mengakibatkan  ketua  perserikatan  itu  terbanting  ke  lantai.  Sebelum  dia  sempat  berdiri Wirasaba sudah mendorong kepalanya. Kembali ketua perserikatan itu terbanting ke lantai. Lalu tampak Wirasaba dan Rae Pamungkas sama-sama mencabut sembilahkeris. Sedang Randulawang



memungut penggada yang terjatuh dilantai. Dua keris dan satu penggada kemudian bertubi-tubi menghantam tubuh Adi Juwono. Darah membasahilantai!

Sambil terus menjerit-jerit Wilani dan Ario Seno larike sudut ruangan, cobabersembunyi di baliksebuahlemaripajangan.

Rae Pamungkascepat memberi isyarat padaRandulawang.

“Tak  ada jalan  lain  dimas Randu. Kedua anak itu harus dihabisi. Kalau tidak bisa jadi masalah dikemudian hari!”

“Dua kurcaciitubiar aku yang membereskan! Kalian teruskan menggebuk ketua keparat itu. Pastikan betul bahwa dia benar-benar mampus baru berhenti membantai!” Habis berkata begitu Randulawang buang penggadanya lalu cabut sebilah pisau. Dia melangkah mendekati Ario Seno. Anak usia sepuluh tahun ini semakin keras jeritannya karena ketakutan. Mulutnya terbuka lebar. Saat itulah seperti telah dirasuk setan, Randulawang tusukkan pisaunya kemulut Ario Seno. Pisau menembus lidah dan tenggorokan anak ini, membabat putus sebagian dari anak lidahnya. Darah mengucur deras. Jeritan anakinisertamertalenyap.

Belum puas Randulawang angkat tubuh Ario Seno lalu lemparkan anakinike dalam sungai yang mengalirdi dekat bangunan.

“Beres  yang  satu.  Sekarang  tinggal  satu  lagi!”  kata  Randulawang  seraya  melompat  ke hadapan si kecil Wilani. Anak perempuan enam tahun ini menjerit setengah mati. Pisau di tangan Randulawang membabat kearahleher.

Sesaat  lagi  senjata  tajam  itu  akan  menggorok  leher  si  kecil  Wilani  tiba-tiba  ada  angin berkesiuran. Randulawang terpekik. Sesuatumenghantam keningnyahingga luka dan mengucurkan darah.  Bersamaan  dengan  itu  pisau  ditangan  kanannya  mental.  Satu  tendangan  mendarat  di pergelangannya.   Selanjutnya   dia   dapatkan   dirinya   seperti   dibanting   ke   dinding   ruangan. Pemandangannya  agak  berkunang  tapi  dia  masih   sempat  melihat  sesosok  bayangan  hitam berkelebat menyambartubuh Wilani. Dia berteriak pada Rae Pamungkas dan Wirasaba. Dua orang yang juga melihat bayangan sosokhitamitu coba mengejar. Namun orang itu telahlenyap bersama Wilani dalam kempitannya.

Terhuyung-huyung  Randulawang  melangkah  ke  tengah  ruangan.  Udara  malam  berbau amisnya darah ini. Tiba-tibaRandulawang membalikkearahKajenar yang sejak tadi hanyaberdiri dekatpintu ruangan dengan mukapucat dantubuh basah keringatan.

“Manusia banci!” teriakRandulawang. “Sejak tadi kau hanya mematung di situ!”

“Jangan harapkau bakaldapat bagian Kajenar!” Ikut berteriak Rae Pamungkas.

“Aku memang tidak ingin bagian apa-apa!” jawab Kajenar yang saat itu berusia 58 tahun. Paling tua diantara mereka semua. “Aku memang ingin jabatan lebih tinggi dan harta serta uang



melimpah. Tapi bukan begini caranya! Dari dulu aku sudah tidak setuju akan maksud keji kalian! Dan ternyata kalian melakukannyalebih biadab dari rencana gila itu!”

“Tutup mulutmu!” teriak Randulawang seraya acungkan tangannya yang memegang pisau berdarah.

“Pergi dari sini sebelum kusobek mulutmu dengankeris ini, Kajenar!” Rae Pamungkas ikut acungkankeris di tangankanannya.

Kejenar menyeringaikecut. “Aku memang akan pergi. Aku muakmelihat kebiadaban kalian. Kalian bertigadan juga perempuan jahanamini boleh mendapatkan hartadan uang sertakedudukan  milik dimas Adi Juwono. Tapi jangan lupa semua harta, uang dankedudukan itubergelimangdarah! Kelak suatuketikahukum karma akan menimpa kalian....”

“Bangsat!”

“Anjing!”

Dua  buah  senjata  tajam  meleset  ke  arah  Kejenar.  Tapi  orang  itu  telah  menyelinap meninggalkan tempat itu. Pisau yang dilemparkan Randulawang menancap di tiang pintu sedang keris yang dilemparkan Rae Pamungkas menghunjam padadaunpintu.


* * *




4


PADA ALIRAN SUNGAI MENJELANG muara itu banyak sekali ditemui kepiting besar yang  berenang  dari  laut  menuju  mulut  sungai  karena  perputaran  air  di  sini  lebih  hangat  dari sekelilingnya. Walaupun kepiting merupakan jenis ikan yang sangat disukai orang dan laku dijual dengan harga tinggi, namun tidak ada para nelayan yang berani datang mencari kepiting ke muara sungai itu. Hal ini disebabkan semua nelayan dan penduduk sekitar muara mengetahui bahwa di tempat itu diam sepasang suamiistri kakek-nenekaneh.

Pagi  itu  langit  agak  mendung.  Ombak  bergulung  besar  dan  kepiting  dari  laut  ratusan banyaknyaberlomba-lomba menuju muara sungai.

Di atas duapotong papan kecil, di muara sungai tampak duduk seseorang kakek dan seorang nenek  sambil bernyanyi-nyanyi.  Pada papan yang mereka duduki dan mengambang di atas air, penuh dengan kepiting-kepiting besar. Malah binatang yang sanggup mencabut daging tubuh itu menjalar sampaike kaki, tubuh dankepala dua orang tua tersebut. Tapi anehnyakeduanyatenang- tenang saja. Malah sambil menyanyi-nyanyi mereka mulai mengambil kepiting-kepiting itu satu demi satu, mencopot kaki-kakinya, merobek kulit badannya yang atos, lalumengorek isitubuhnya yang putih dan menenggaknya mentah-mentah!

“Sudah berapa kau telan?!” Si nenek bertanya. “Baru empat puluh sembilan ekor!” jawab si kakek.

“Si lamban tolol! Aku sudah mau seratus!” berkata sinenek.

“Ah, siapasih yang tidak kenalkaubune! Nenek terakus didunia! Hik... hik... hik!”

Di  ejek  begitu  si  nenek  anteng-anteng  saja  dan  terus  melahap  kepiting-kepiting  yang berjalarandisekujur kaki, badandankepalanya.

Seekor kepiting nakal, entah bagaimana tahu-tahu menyelinap dibalikkain panjang sinenek, terus merayap ke pangkalpahanya!

Si  nenek  terlompat  menjerit  dan   singsingkan  kain  panjangnya  tinggi-tinggi.  Begitu dilihatnyakepiting satu itu segera sajadicantilnyahingga pecah berantakan. Di sinijelasterjadidua keanehan. Pertama ketika melompat, si nenek masih di atas potongan papan yang mengambang. Tapi papan itu sama sekalitidak terbalik dan sinenek tidak sampaikeceburke dalam sungai.

Lalu caranya menyentilkepiting besar tadi, orang biasa mustahil sanggup membuatbinatang berkulit kerasitu hancur berantakan! Lalu mana adamanusia yang makankepiting seperti itu? Dan kepiting bisa menjapit putus jari-jari manusia, binatang-binatang ini juga mengandung racun jahat yang bisamematikan!

“Kepitingsialan! Dikiranya aku ini apa!” mengomel sinenek.



“Mungkin sejak kemarin kau kencing belum cebok bune!”

Kata si kakeklalu dia kembalitertawa cekikikan.

Selagikedua orang tua ini asyik bersantapkepiting, tiba-tibatardengarsi kakekberseru.

“Bune! Lihat ada benda menggelundung kearahmu!”

Si nenek berpaling ke arah yang ditunjuk. Benar. Sebuah benda tampak digulirkan arus su- ngaikearahnya. Si nenekulurkan kaki kirinya menahan benda itu. Ketika matanya memperhatikan terkejutlah perempuan tua ini.

“Astaga!”

“Apa yang astagabune?!” bertanyasi kakek.

Lalu berusahamendekati istrinya.

“Lihat pakne! Benda ini bukan benda sembarangan! Tapi seorang anak manusia!”

Dengan   ujung-ujung   jari   kakinya   si   nenek   menjepit   lengan   kanan   si   anak   lalu menyentakkannyakeatas. Sosok anak itumelayang keudara, begitujatuh segera di tangkapnya.

“Kau betul! Seorang anak manusia! Anak lelaki! Ah, siapa yang tega membuang anak ke dalam sungai?!”

“Mungkin bukan  dibuang, tapi  celaka hanyut!” ujar  si kakek. “Serahkan bocah  itu biar kuperiksa!”

Si nenek lemparkananak yang didapatnya daridalam air dansi kakekcepat menangkapnya. Mula-mula  dipegangnya  anak  itu  pada  kedua  kakinya  lalu  diangkat  tinggi-tinggi  hingga  air kelihatan mengucur keluardari mulutnya.

“Eh,  air  dalam  perut  anak  ini  bercampur  darah!”  seru  si  kakek.  Lalu  cepat  si  anak dipangkunya. Mulut si anak yang terkancing dibukanya lebar-lebar. Si kakek mengerenyit. “Ada bekas  luka  di  lidahnya.  Lidah  ini  hampir  putus!  Tenggorokannya  robek!  Lukanya  seperti mengandung racun! Tampaknya sepertiditusuk dengan senjatatajam beracun....”

“Pakne! Dari tadi kau memeriksa dan menceloteh! Apa sudah kau pastikan anak itu masih hidupatau sudahjadi bangkai?!”

“Eh!” si kakek terkejut. “Kau betul!” Lalu buru-buru dada sianak ditekapkannyaketelinga kirinya. Kedua matanya membelalang.

“Dig-dug... dig-dug... dig-dug! Bune! Bocah inimasih hidup!” seru si kakekkemudian.

“Kalau begitu lekas bawakedarat. Terus sajakerumah kita!Tujuh puluhtahun kawintidak punya anak. Mungkin bocahiturejeki kita dari Gusti Allah!”

“Tentu! Tentu akan kubawa ke darat!” jawab si kakek. Lalu dari atas papan kecil itu si  kakek menggenjot tubuhnya. Kakek tua sambil mengepit anak itu tampakmelesat ke darat. Begitu  mendaratditepi sungai orang tua initeruslarikearah sebuah gubuk di bawah sebatang pohon besar.



Tak lama menunggu muncul istrinya. Tapi  si nenek tidak datang  sendirian. Dia tampak menyeret sesosok tubuh yang sudah jadi mayat! Si kakek memperhatikan tubuh yang diseret si nenek  sesaat  lalu  berseru.  “Yang  sudah  jadi  bangkai  itu  tak  perlu  diurus  dulu!  Bantu  aku menyelamatkan anakini! Dia terluka dibagian mulut dari keracunan!”

Si nenek lalu ikut memeriksa. Lalu dia menghela nafas panjang. “Sulit ditolong walaupun dengan mempergunakan racun kepiting,” berkata sinenek. “Kalaupun diabisa hidup hanya ada satu dari dua pilihan. Anak ini akan gagu seumur hidup, ataugilaselama hayatnya!”

“Lalu mana yang kau pilih?!” bertanyasi kakek.

“Lebih  baik  dia  jadi  orang  gagu  daripada  jadi  manusia  gila!”  Sahut  si  nenek.  Lalu perempuan tua ini larikembalike muara. Ketika kembali dia membawa lebih dari selusinkepiting besar yang mengandung racun.

“Kau buka mulutnya lebar-lebar! Aku akan kucurkan racun kepitinguntukmembunuh racun senjata yang adadalam mulutnya!”

Si kakek lalu buka mulut anak itu lebar-lebar. Istrinya cepat mengambil seekor kepiting. Terdengar suara berderak sewaktukepiting besar itudiremasnya. Lalu tampakcairan putih menetes dan langsung dimasukkan ke dalam mulut si anak. Begitu terus dilakukan sampai semua kepiting yang dibawanyahabis diperas.

“Nyalakan api,” kata si nenek. “Anak ini harusdihangatiterus menerus sampaidiaakhirnya siuman.

Menurut  perhitungan,  melihat  kulitnya  yang  tidak  berdarah  serta  tebalnya  lumut  yang melekat di badannya, paling tidak anak ini sudah satu hari satu malam dihanyutkan air sungai. Hanya   anak   luar  biasa   yang   sanggup  bertahan   hidup   selama   itu.   Anak   ini  bukan   anak sembarangan!”

“Bagaimana dengan mayat  satu itu? Apa kau bisa mengenali  siapa orangnya?” tanya  si kakek.

Sang  istri  menggeleng.  “Mukanya  rusak  berat.  Seperti  dicacah  dengan  senjata  tajam. Sebagiantubuhnyaremuk...”

“Menurutmu apa adahubungan antara bocahlelaki inidengan orang itu?”

“Hemm...” sinenek merenung. “Tidak mustahili” jawabnyakemudian.

“Kalau begitu jenazahnya tidak boleh kitabuang ke sungai ataukelaut. Nanti kitakuburkan sama-sama!”

Si nenek mengangguk tanda setuju akan apa yang dikatakan suaminya. Sepasang matanya beralih kini memandangi anak yang masih pingsan itu. Tiba-tiba matanya membesar dan makin besar.

“Eh, kenapakaubune? Sepertimelihat setan sungai ataujin laut?!” menegur si kakek.



“Kita tolol dan buta! Coba kau perhatikan  susunan tulang anak ini! Menurut taksiranku usianyataklebih sepuluhtahun. Tapi ruas tulangnya sekokoh pemudatujuh belastahun. Dan coba kau perhatikan liku-liku susunan tulangnya! Ayoperiksalah...!”

Si kakek turuti apa yang dikatakan istrinya, lalu dia berpaling memandang pada si nenek. Tiba-tibakedua orang ini sama-sama melompat dansaling berjingkrakan!

“Kita  menemukan  calon  murid! Akhirnya  malah  datang  sendiri!  Bersyukurlah!” ujar  si nenek.

Kedua orang tua itu sama jatuhkan diri berlutut di tanah dan menampungkan kedua tangan ke atas memanjatkan puji syukur pada Yang Maha Kuasa. Setelah itukeduanyakembali melompat dan berjingrak-jingkrak kegirangan!



* * *




5


SESUAI  PETUNJUK  GURUNYA,  Wilani  meninggalkan  bukit  Cemoro  Sewu  dengan menyamar sebagai seorang pemuda. Setelah dua hari dua malam menempuh perjalanan akhirnya murid Datuk Buntung inisampaidi pinggiranKotarajaketikaterjadisuatu keributan. Seekor kerbau besar bertanduk panjang runcingentahsebab apa tiba-tiba mengamuk dan larike tengah pasar.

Karuan  saja  seisi pasar jadi kacau balau. Para pedagang dan orang yang berbelanja lari sambil berteriak ketakutan.  Dua  orang pedagang yang bukannya  lari tapi berusaha membenahi dagangannya mencelat ditanduk binatang yang seperti gila itu. Kedua pedagang itu terguling tak berkutik lagi.  Satu tewas dengan usus membusai,  satunya megap-megap merintih karena tulang pinggulnya sebelah kiri remuk.

Di antara kekacauan itu  seorang pemuda tampak duduk berjuntai di atas  sebuah cabang pohon sambil uncang-uncang kaki dan tertawa-tawa menyaksikan keributan itu. Walau orang lain menderita sengsara bahkan ada yang mati akibat amukan kerbau, tetapi pemuda ini justru tampak gembiramenyaksikan kejadian itu.

“Kurang hebat ... ! Kurang seru! Ayo tanduk terus! Seruduk terus!” Pemuda di atas pohon berteriak-teriak.

Saat itu dibawah pohon kebetulan lewat Wilani dalam samaran sebagai seorang pemuda. Dia terheran-heran melihat kerbau mengamuk, dan lebih heran lagimelihatada orang yang gembira menyaksikan  kejadian  itu.  Maka  diapun  mendongak  hendak  menegur. Namun  dia  ingat  pesan gurunya. Orang susah atau senang adalah urusan pribadinya, tak perlu dicampuri. Dia berpaling ke arah kerbau yang mengamuk. Karena dia satu-satunya orang yang masih tegak di dekat pasar itu, maka  sosok  tubuhnya  dengan  sendirinya  menjadi  sasaran  kerbau  yang  mengamuk.  Setelah melenguh panjang binatang  ini  lalu berlari ke arah Wilani.  Kepalanya yang bertanduk runcing menyeruduk lebih dahulu.

Pemuda di atas pohon tampakgembira dan berseru : “Bagus! Tanduk pemuda yang sedang pasang aksi itu! Patahkan pinggangnya!”

Melihat kerbau datang memburu dan hendak menanduknya, Wilani cepat selamatkan diri dengan  melompat  ke  atas  lalu  bergayut  pada  cabang  pohon  dimana  kebetulan  pemuda  yang bersorak-sorak itu duduk berjuntai. Dan jahatnya, agar Wilani melepaskan gayutnya pada cabang pohon, pemuda itu memukuli jari-jari tangan Wilani sementara di bawah sana kerbau liar sudah menunggu dengan sepasang tanduk runcingnya.



“Ah,  jahat  sekali  pemuda  ini!”  membatin  Wilani.  Lalu  dara  yang  menyamar  sebagai seorang pemuda ini membuat dua kali putarandicabang pohon, sesaat kemudian tubuhnya melesat jauh ketengah pasar.

Pemuda di atas pohon menggerutu. Tetapigerutunya berubah jadipekikankaget ketika tiba- tiba satu siuran angin menderu dan kraak! Cabang pohon yang di duduki pemuda itu patah. Tak ampun tubuhnya melayang jatuh  dan  sepasang tanduk runcing  dibawah  sana bergerak berputar mengikuti arah jatuhnya!

“Tolong .. .!” jeritsipemuda yangjatuh.

Sesaat lagi tubuh si pemuda akan ditembus dua tanduk runcing, Wilani telah lebih dahulu melompat  dan  masih  dalam  keadaan  tubuh  melayang  di  udara,  gadis  ini  hantamkan  tangan kanannya. Inilah pukulan mengandung tenagadalam tinggi yang terakhir sekali dilatihnyabersama gurunya untuk menghancurkan batu hitam  di bukit  Cemoro  Sewu. Apa yang terjadi kemudian membuat semua orang yang adaditempatituberdecakkagum, termasuk seorang pemuda berambut gondrong yang tadi melepaskan pukulan jarakjauh dan mematahkan cabang pohon sehingga men- jatuhkan pemuda yang duduk di atasnya.

Kerbau  jalang   itu  melenguh  tinggi   lalu  tubuhnya   terhuyung-huyung  beberapa  kali. Kepalanya hancur. Salah satu tanduknya tanggal. Binatang ini kemudian terguling roboh. Empat kakinya melejang-lejang beberapa kali lalu akhirnya binatang ini diam kaku tanda nyawanya lepas sudah.

“Pemuda jahat!  Tega-teganya  membunuh kerbau  gila kemasukan  setan!” teriak pemuda yang jatuh dari atas pohon. Padahal dirinya baru saja diselamatkan Wilani dari celaka besar yang bisamembawakematian.

Wilani   sampai   tercekat   mendengar   bentakan   itu.   “Pemuda   aneh,   ditolong   malah mendamprat!” kata sang daradalam hati. Lalu tanpa mengacuhkan lagidiatinggalkan tempat itu.

“Hai tunggu dulu! Jangan pergi seenaknya! Ganti dulukerbauku yang kau bunuh ini!” tiba- tibaterdengarteriakan pemuda itu.

Wilani hentikan langkahnya. Dia menatap wajah pemuda itu sesaat lalu berkata: “Oh,jadi kerbau itu milikmu? Mengapa kau tidak bisa mengurusnya baik-baik? Waktu dia mengamuk tadi, kau  malah bersorak-sorak  gembira.  Padahal  sudah banyak yang jadi  korban  akibat  tanduknya. Bahkan ada yang mati!”

“Betul! Bahkan ada yang mati!” satu suara menyambungi.

Wilani  dan pemuda yang mengaku pemilik kerbau  sama berpaling ke kiri. Disitu tegak seorang pemudagondrong berpakaian putih, bicara cengar-cengir seenaknya.

“Hem, bertambah pula satu pemuda konyol di tempat ini...,” kata Wilani dalam hati. Lalu dilihatnya sigondrongtadimelangkah mendekati bangkai kerbau.



“Hai! Siapa kau yang berani mencampuri urusan orang! Pergi! Jangan dekati kerbauku!” teriak pemuda di hadapan Wilani.

Si gondrong tak perduli. Dia terussajamelangkah.

“Binatang ini bukan mengamuk! Apalagi kemasukan setan! Mana ada sih setan yang mau masukke dalam sosok tubuh kerbau! Ha...ha...ha!” Pemuda gondrong tertawa bergelak. Sementara orang sepasar yang tadi lari menyelamatkandirikini satu demi satu balikkembali dan berkerumun di tempat itu.

Si  gondrong menyambung ucapannya tadi  : “Saksikan! Akan kuperlihatkan pada kalian semua apa sebabnya kerbau ini tadi jadi tak karuan begitu rupa!” Dari salah satu bagian tubuh kerbau yang sudah mati itu si gondrong mencabut sebuah benda berbentuk paku kecil berwarna ungu. Benda itukemudiandiacungkannya tinggi-tinggi. “Inilah penyebabnya. Paku kecil inidicelup dengan sejenis racun beludru yang sanggup membuat binatang atau manusia menjadi seperti gila dan mengamuk lalu akhirnya bisa mati! Pemuda ini sebelumnya telah menancapkan pakuberacun ketubuh kerbau lalumenggiringnya ketengah pasar. Betul begitu?”

Pemuda yang diajak bicara tampak terkesiap. Namun di lain kejap dia membentak marah sekali.

“Gondrong! Siapakau! Kau bukan orang sini! Pandai sekalikaumenyebarfitnah!”

Si Gondrong tertawa lebar.

“Kalau  aku  suruh  orang  sepasar ini menggeledah pakaianmu  lalu menemukan beberapa buahpakulagidalam sakubajumu, bagaimana?!”

Pucatlah paras pemuda itu. Sambil melangkah mundur diaberteriakkeras pura-pura marah. “Pemuda  gondrong!  Ucapanmu  berbisa.  Penuh  hasutan!  Kau  tunggu  disini.  Aku  akan  panggil pasukan untuk menangkapmu!” Habis berkata begitupemudatadi segera putartubuhnyadanambil langkah seribu.

Kini,  dikelilingi  oleh  kerumunan  orang  sepasar,  si  gondrong  tegak  berhadap-hadapan dengan Wilani.

“Saudara, kau hampirsajamembuat pemuda itumatiditembus kerbau, “Wilani berucap.

“Siapa menggali tanduk lobang, dia sendiri terperosok ke dalamnya!” sahut si Gondrong dengan kata berkias.

Wilani yang baru saja meninggalkan bukit Cemoro Sewu dan tidak paham akan pepatah- petitihataupunkataberkiastentusaja heran mendengarkata-kata sigondrong tadi. Diamemandang berkeliling. “Lobang katamu saudara? Siapa yang menggali lobang! Aku sama sekalitidakmelihat lobangdi sekitarsini!”

Semula si gondrong hendak tertawa mengakak. Tapi melihat wajah pemuda di depannya benar-benar serius maka diapun mulai berpikir-pikir. Sepasang matanya memandang tak berkesip



kewajah pemuda di hadapannya itu. Lalu ketikadiperhatikannya bentuk pakaian maka diapunter-

senyum.

Dipandangi  seperti  itu  diam-diam Wilani menjadi jengah  sampai mukanya  merah.  Lalu cepat-cepat diamemutartubuh meninggalkan tempat itu. Semua orang, termasuk sigondrongjelas- jelas melihat pemuda itu melangkah biasa saja. Tapi di lain kejap tahu-tahu dia sudah berada di tempat jauh!

“Hem... Dia bukan orang sembarangan...,” pikir sigondronglalucepat-cepat mengejar.




* * *



UNTUK DAPAT MENGEJAR pemuda itu si gondrongharus mengerahkan ilmu lari “kaki angin” yang dimilikinya. Itupun dia baru bisa mengejar setelah jauh di pinggir Kotaraja sebelah timur. Menyadarikalau ada orang mengikutinya, sipemudacepat membalik dan menataptajam.

“Ah, kau pemuda di pasar itu rupanya! Orang berilmu yang pandai mencabut paku dari tubuh kerbau!” kata Wilani yang menyamar sebagai seorang pemuda itu.

Disambut  dengan  kata-kata  seperti  itu  karuan  saja  si  gondrong  seperti  kelagapan.  Dia menggarukkepalanyabeberapa kali.

“Aku... anu....”

“Kenapa anumu?!”

“Apa...?! Ha... ha... ha...! Anuku tidak apa-apa!”

Jawab sigondrong setelah lebih dahulutertawa mendengar pertanyaan orang.

“Kalau anumu tak apa-apa baiklah. Sekarang katakan mengapa kaumengikutiku!”

“Hemm...,” sigondrong bergumamsambilgaruk-garukkepalanya.

“Kepalamubanyak kuturupanya! Dari tadi kulihat kau menggaruk terus!” sergah Wilani.

Saking tak bisa menjawab  dan juga  saking jengkelnya, pemuda berambut  gondrong itu akhirnya hanya bisatertawa bergelaksampaikeluarkan air mata.

“Eh,  kau  ini  menangis  apa  ketawa?  Ketawa  atau  menangis?!”  pemuda  di  hadapan  si gondrong bertanya.

“Dengar orang muda...,” sigondrong kuasaidirinya.

“Aku tertawa karena melihat kau berpakaian tidak sesuai dengan kodrat sebagaimana kau dilahirkan! Lalu aku menangis karena penyamaran yang kau lakukan dimataku hanya satu kesia- siaan saja! Ha... ha... ha...!”

Kini berobahlah paras Wilani.

“Apamaksudmu dengan ucapan itu?!” tanyanya.

Si  gondrong  melihat  dulu  berkeliling  seolah-olah  khawatir  ada  orang  di  sekitar  situ. Kemudian dengan suara perlahandiaberkata: “Aku tahu kau bukan pemuda betulan!

Juga bukan Banci. Tapikau seorang gadis! Betul kan...?!”

“Mulutmujahildan kurangajarsekali!” Wilanijadimarah. Tapi diam-diam diakagum juga dengan ketajaman matapemuda berambut gondrong itu. Selama dua hari melakukan perjalanan tak seorangpun mengetahui penyamarannya. Tapi pemuda konyol yang mengikutinya ini bagaimana bisa mengetahui?

“Harapmaafmukalau mulutku terlanjur jahildan kurang ajar. Tapi betul kan?”



“Saudara siapa kau ini? Guruku mengatakan di dunia ini ada dua macam setan. Pertama setan yang tidak kelihatan,kedua setan kepala hitamsepertimu ini!”

“Terima kasih untuk persetananmu itu.  Tapi aku bukan setan  seperti tuduhanmu! Lihat, kedua kakiku masih menginjak tanah!” Lalu si gondrong ini gerak-gerakkan kedua kakinya dan goyang-goyangkan pinggulnya.

“Baiklah, apakahkausetanatau bukantidak perludibicarakan panjanglebar! Katakan siapa kauadanya dan mengapa mengikutiku?!”

“Namaku Wiro Sableng....”

“Siapa?!” tanya Wilani.

“Wiro Sableng!!!” jawab Wiro.

“Ahhhh! Pemuda gila kau inirupanya! Pantas!”

“Ternyata mulutmupun jahildan kurang ajar!” menukas Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Sudah! Katakan saja mengapa kaumengikutiku!”

“Pertama akukagum melihat kehebatanmumenghancurkan kepalakerbau tadi,” jawab Wiro polos.

“Kagum  tidak  berarti  harus  mengintili  orang!”  ujar  Wilani  pula.  “Lalu  apa  alasanmu selanjutnya?!”

“Itu tadi.... Penyamaranmu itu!”

“Apa anehnya aku menyamar? Siapa saja bisa dan boleh menyamar. Kau mau menyamar jadi perempuan atau jadi nenek-nenek tidak ada yang melarang! Kenapa kau usilan ingin tahu urusan orang?!”

Wiro   menggaruk   kepalanya.   Terus   terang   dia   jengkel   oleh   ucapan-ucapan   yang menyudutkannya itu. Namun diam-diam dia juga merasa senang dengan sifat dan gaya bicara orang ini.

“Nah kau betul kan banyak kutu? Buktinya kau menggaruk terus. Saudara, aku nasihatkan padamu,  pergi  ke  tempat  yang  banyak  monyetnya  dan  suruh  binatang-binatang  itu  mencari kutumu!”

“Usulmu itu akan aku pertimbangkan,” sahut murid Sinto Gendeng. “Tapi ada cara yang lebih mudah. Bagaimana kalau kau  saja yang mencari  kutuku? Aku  duduk  di tanah  sini.  Kau jongkok di belakangku?!”

Merahlah paras Wilani sementara wirotertawagelak-gelak.

“Manusia bermulut lancang! Biar aku beri pelajaran padamu!” Lalu sekali kedua kakinya bergerak, Wilani sudah melompat ke hadapan Wiro dan plaak! Tangan kanannya menampar pipi kiri sipemuda.



Tamparan  itu  cukup  keras  dan  sempat  membuat  sang  pendekar  nanar beberapa  ketika. Menahan sakit Wiro berkata:

“Ada ujar-ujar mengatakan jika kau  di tampar  di pipi kiri, berikan pipi kananmu! Nah silakan tamparpipi kananku!”

Habis berkata begitulalu Wiro ajukan pipikanannya.

Merasa  ditantang  Wilani  angkat  tangan  kanannya,  siap  untuk  menampar.  Tapi  setelah berpikir  sejenak  akhirnya  dia membatalkan tamparan  itu, perlahan-lahan tangannya  diturunkan. Dihadapannya Wiro tertawagelak-gelak.

“Nah...nah...nah!  Kau  tidak  tega  kan?  Terbukti  kau  memang  perempuan!  Hanya  kaum perempuan yang tidak tegaan!”

“Manusia kampret! Merontokkan gigimupun aku tega!” teriak Wilani. Kalau tadi memang ada rasa kasihan setelah menampar pipi si pemuda, makakini rasa kasihanituberubahjadi jengkel setengah mati.  Dia membuat  gerakan  seperti hendak melangkah pergi.  Tapi tiba-tiba tubuhnya berputardan tahu-tahu kaki kanannyasudah menderukemulut Wiro!

Pendekar   212  belum  pernah   melihat   gerakan   menendang  yang   demikian   cepatnya. Terlambat  sedikit  saja  dia  melangkah  mundur,  hancurlah  mulutnya.  Baru  saja  dia  lolos  dari tendangan ganas itutahu-tahu lawan sudahmenyerbunyakembali. Kali ini dengan pukulan tangan kosongdarijarak lima langkah.

Wuuuttt!

Angin deras menghantam kearah dada Pendekar 212.

Pukulan yang dilepaskan Wilani adalahpukulan yang sanggup menghancurkan batu.

Murid Sinto Gendeng yang sudahmakan asam garam dunia persilatan segera maklum kalau dirinya  tengah   diancam   satu  pukulan  maut.  Kuda-kudanya  tidak  memungkinkannya  untuk selamatkan diri dengan melompat. Maka tidak sungkan-sungkan lagi, Wiropun menangkis dengan pukulan “dindingangin berhembustindih menindih” .

Wilani terkesiapketika mendengarada suara deru angin laksana putingbeliung menyambar. Pakaiannya berkibar-kibar dantubuhnya laksana mengapung tak bisamaju sedangkan pukulannya tadi sepertimembentur tembok besi!

“Ah! Pemuda ini benar-benarmemiliki kepandaian yang tidak rendah!” kata Wilani dalam hati. Maka dialipat gandakan tenagadalamnya dankembali menghantam.

Kini Pendekar 212 yang terkejut. Dia melihat secara perlahan-lahantetapi pastitubuhlawan bergerak maju menembus  angin pukulan  saktinya.  Tubuhnya  sendiri terasa bergetar dan kedua kakinya seperti disapu dan dipaksamundur. Wiro coba bertahan tanpa menambah kekuatantenaga dalamnya. Tetapiakibatnya keringat dingin membasahisekujur tubuhnya.



“Kalau kulipat gandakan tenaga dalamku dan balas menghantam, salah satu-aku atau dia pastiakancelaka!” pikir Wiro. Akhirnya didahuluisatubentakankeras, Pendekar 212 melompat ke atas. Dari atas  dia menghantam pertengahan angin pukulan lawan. Terdengar suara berdentum. Tanah bergetar.  Lalu tampak pasir  dan batu-batu kecil beterbangan.  Di tanah  ini  ada  cegukan sedalam satu jengkal!

Di bawahnya Wiro melihat Wilani hampir terjengkang. Dia sendiri merasakan kesemutan padasekujur tangankanannyasampaike pangkal bahu.

“Kau hebat!” memuji Wiro.

“Pemuda sableng itu masih bisa memuji! Tapi jangan-jangan dia justru mengejekku! Eh! Dimana dia?!” Wilani memandang berkeliling ketika dapatkan Wiro tak ada lagi dihadapannya. Suara pemuda itu tadi terdengardatang dari belakang. Cepat diamembalik. Dan!

“Gila! Betul-betul kurang ajar!” memaki Wilani habis-habisan. Kedua tangannya bergerak kearah kepalanya, memegangrambutnya yang kinitersingkap riap-riapan!

Di hadapannya Pendekar 212 Wiro Sableng tegak silangkan kaki, berkipas-kipas dengan sehelai sapu tangan lebar sambil cengar-cengir! Sapu tangan itu adalahikat kepala yang dikenakan oleh Wilani. Yang tanpa disadari sang dara yang menyamar sebagai pemuda itu tahu-tahu sudah lepas darikepalanyadisambar Wiro Sableng!

Jengkel adamarah pun ada namun yang lebih dirasakan oleh Wilani saat ituialah kenyataan bahwa dua belas tahun digembleng oleh Datuk Buntung Cemoro Sewu ternyata kepandaian yang dimilikinya tidak berdaya menghadapi seorang lawan yang dianggapnya berotak miring! Padahal baru dua hari dia meninggalkan tempat kediaman gurunya. Begini hebatkah dunia persilatan hingga diaseperti seekor katak dibawah tempurung?!

Wilani ingin menjerit! Tapimulutnyaterkancing. Hanya ada butiran air mata terbit dikedua matanya itu Cepat-cepat dia memutar tubuh untuk tinggalkan tempat itu. Namun belum sempat membaliktiba-tibaada orang berseru.

“Kawan-kawan! Ternyata pemuda yang kita kejar ini seorang dara berparas jelita! Tidak disangkadansungguh luarbiasa! Niatku untuk menghajarnyabiarkubatalkanl Kita tangkap saja dia hidup-hidup dan bawake markas! Kita bisa bersenang-senang bersamanya! Setuju?!”

“Setuju!!!” terdengar suara orang banyak menyahuti. Wilani dan juga Wiro jadi terkejut. Ketika mereka memandang berkeliling ternyata di sekitar mereka kini terdapat lima belas orang pemuda berseragam hitam dengan ikat pinggang dan ikat kepala kain merah, enam belas dengan pemuda yang tadi berseru dan bukan lainadalah pemuda yang membuat kegaduhanditengah pasar dengan cara menusuk seekor kerbau hingga mengamuk! Pada dadakiribaju hitam yang dikenakan kelimabelas pemuda ituterdapat gambarduapotong gading putih bersilang.



“Anak muda tak tahu diri!” Wiro mendamprat. “Kalau tadidiatidak turun tangan menolong, kerbau yang kau buat gila itu sudahmembunuhmu! Sekarang malah datang membawarombongan untuk menangkap orang dan berani menyatakanniat kurang ajar!”

“Tutup mulutmu manusia gendeng! Jangan pasang aksi  di depanku! Kau  gantinya yang bakaldi hajar! Lihat sekelilingmu!” bentak pemuda yang datang membawalimabelas temannya.

“Hemmm.... Jadi ini yang kau sebut pasukan itu, hah?! Kalian ini rombongan ketoprak dari mana sebenarnya?!”

Mendengardiri mereka diejek sebagairombongan ketoprak, marahlahkelimabelas pemuda berseragam hitam-hitamitu. Pemuda yang datang membawa merekaterdengarberteriak.

“Sepuluh orang lekas hajar pemuda gondrong itu! Yang lain ikuti aku berbincang-bincang dengangadis cantik yang menyamar sebagailelaki itu!”


* * *




7


PEMUDA YANG MEMBAWA rombongan kawannya lima belas orang ini melangkah ke hadapan Wilani diikuti oleh lima kawannya sementara yang sepuluh orang lagi langsung bergerak

mengurung Pendekar 212 Wiro Sableng.

Di hadapan Wilani pemudataditegak berkacak pinggang. Setelah senyum-senyum sebentar sambil gosok-gosokkankedua telapak tangannyasatu sama laindia berkata.

“Kalau sejak sebelumnya aku tahu kau ini seorang dara beginijelita, pasti tak akan terjadi hura-hura di pasar itu....''

“Lalu sekarang apa maksudmu?!” tanya Wilani penuh jengkel. “Hendak membuat keributan lagi?!”

Si.  pemuda  goyang-goyangkan  tangannya.  “Tidak....  Tentu  saja  tidak.  Malah  aku  akan mengajakmu ke markasku di kaki bukit. Kita bisa bersenang-senang disana. Banyak makanan dan minuman. Pakaian bagus-baguspunadauntukmu. Kau tinggal pilih!”

“Markas...? Markas apa itu?!” tanya Wilani pula. Di seberang  sana  dia melihat  sepuluh orang pemudaberpakaian serba hitam mulai menyerang Wiro Sableng.

“Ah, yang kusebut markas itu adalah sebuah rumah bagus di kaki bukit di sebelah selatan kotaraja. Kau pastiakan senang berada disitu....”

“Bagaimanakalau aku merasa tidak senang?!” tukas Wilani.

“Tidak mungkin! Tak ada gadis yang tidak senang berada di tempat itu.”

“Hemmm....rupanya kausudah biasamembawagadis-gadis markasmu itu hah?!”

“Ah, kawan-kawan, Gadis ini belum apa-apa sudah mulai cemburu,” kata si pemuda pula. Lima orang kawannya tertawagelak-gelak.

“Cemburu berarti cinta!” salah seorang dari mereka berkata lalu kembali mereka tertawa bergelak.

“Kalian  semua  gila!  Tampang  kalian  tidak  satupun  yang  lumayan!  Kambing  betina budukpun tidak bakal naksir pada kalian! Apalagi padamu!” kata Wilani seraya mencibir ke arah pemuda yang tegak di hadapannya. Yang dihinatidakmarahmalah tertawa mengekeh.

Diam-diam  Wilani perhatikan  lima pemuda berpakaian  hitam  di  sekelilingnya. Matanya mengawasigambar duagading putih bersilang didadakiribaju orang-orang itu. Dia rasa-rasa ingat sesuatu. Otaknya bekerjakeras. Tapidiatak mampu mengingat.

“Saudari, waktu kita tidak banyak. Mari ikut bersamaku...,” pemuda di hadapan Wilani membuka mulut.

“Ikut kamukemana?!”



“Ah, jangan berpura-pura. Atau mungkinkaumalu. Kalau begitulimakawanku inibiartak usah berjalan bersama-sama kita jika kau memang malu....”

Lalu enak saja pemuda ini ulurkan tangan hendak menarik lengan Wilani. Wilani ajukan tangankanannya sepertihendak menuruti ajakan sipemuda. Tapi tiba-tiba dengankecepatan yang luar biasa si gadis tarik lengan si pemuda dan dilain kejap pemuda itu sudah terlempar ke udara. Begitujatuh bergedebukanditanah langsung tertelentang dan menggerung kesakitan.

“Kurang  ajar!  Kau  berani  mencelakai  putera  pimpinan  kami!”  salah  seorang  pemuda berpakaian hitamberteriakmarah.

“Gadis binal ini perludiberipelajaran!” kawannya yang lain berkata seraya maju mendekat.

Pemuda yang masih terhenyah di tanah cepat berteriak. “Awas! Jangan  sakiti gadis itu! Jangan cideraidia! Tolong duluaku berdiri! Gadis itu biarnanti aku yang urus!”

Lima pemuda nampak menggerutu. Tapi merekapatuh pada sipemuda yang tadi dibanting Wilani ke tanah. Dua orang segera menolongnya berdiri.

“Jelitaku, aku maafkan kelancanganmu tadi membantingku hingga tulang-tulang ini serasa remuk. Tapi berjanjilah kauakan mengurutdan memijitku begitukitasampaidi markas....”

Plaakkk!

Satu tamparan mendarat di muka si pemuda. Tak ampun lagi untuk kedua kalinya pemuda ini jatuh  terbanting  di  tanah  sambil  teraduh-aduh  kesakitan.  Dari  sela  bibirnya  tampak  darah

mengucur.

Melihat   hal   ini   lima   kawannya   langsung   saja   menyerbu   Wilani.   Gerakan   mereka mengeluarkan suara angin derastandakelimanya memilikitenaga luar yang besar dankeras. Sesaat lagi wilani akan dihantam lima pukulan, tiba-tiba dari samping kiri melesat satu bayangan putih disertai suara aaa... uu... aa... uuu. Lalu terdengar pekik dua pengeroyok. Dua lainnya terpental sambil mengaduh kesakitan. Hanya satu yang sempat melompat mundur selamatkandiri.

Dua pemuda pertama terhuyung-huyung sambil pegangi bahu kiri. Ternyata tulang-tulang bahu mereka telah remuk kena hantam sedang wajah masing-masing tampak merah seperti orang mabokminumankeras!

“Aaa.. uuuu... Aaaaa... uuu....” Kembali terdengar suara aneh itu.

Dua pemuda yang tadi terpental dan terguling di tanah berusaha bangkit sambil pegangi perut. Anehnyamukakeduanyapun tampakmerah.

Satu-satunya  pemuda yang tidak  cidera  memandang  dengan paras berubah  ke  arah  kiri dimana saat itu tampak berdiri seorang pemuda tidak dikenal. Pemuda ini berdiri dengan empat anggotabadan tak bisa diam. Kedua tangannya digerak-gerakkan teruske depan secara aneh yaitu seperti orang berenang. Kedua kakinyapun dijingkat-jingkatkan. Lalu dari mulutnya tiada henti ter- dengar suara “Aaaa... uuu... aaa... uuu!” dan wajahnya menunjukkan kemarahan. Wilani sendiri



selain terkejut juga merasa heran melihat kemunculan pemuda aneh berpakaian lusuh yang jelas- jelas  telah  menolongnya  dari  keroyokan  lima  pemuda  tadi.  Wajahnya  masih  menunjukkan kemarahan. Tapidibalikair mukamarahitu Wilani melihat adanya bayangan penderitaan.

“Bangsat kurang ajar! Siapa kauberanimencideraikawan-kawanku?!” teriak pemuda yang barusan kena gampar Wilani begituberhasilberdiri.

Saat itu tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda berpakaian bagus. Usianya jelas sudah lanjut, mungkin sekitar 60 tahun tapi tampak masih gagah. Tanpa turun dari kudanya orang ini berkata.  “Wiseso!  Pasti  kau  lagi  yang  punya ulah  membuat  keributan.  Sudah  berapa  kali  aku memperingatkan agar jangan berlaku sembrono seenakmu! Apalagi sampai membawa murid-murid perguruan!  Tinggalkan  tempat  ini!  Bawa  semua  temanmu!  Kalian  bodoh  semua!  Tak  habis- habisnya membuat kegaduhan!”

Pemuda yang ternyata bernama Wiseso itu tampak ketakutan. Begitujuga lima kawannya. Tanpa banyak bicaradantanpa menoleh lagi keenamnya segera tinggalkan tempat itu. Diikuti oleh enam orang di bagian lain. Lalu kemana yang empat lagi? Mereka semua bergeletakan di tanah dengan kepala ataumuka benjut dihantam Wiro waktumengeroyok Pendekar 212 itu tadi!

Lelaki di atas kuda memandang ke arah Wilani dan pemuda aneh yang saat itu masih saja tegak  sambil menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakinya. Orang ini lantas berkata: “Harap kalian  memaafkan  kelakuan  puteraku  Wiseso  dan  kawan-kawannya  serta  melupakan  kejadian ini....”

Habis berkata begitu orang inimembawa kudanya ke arah Wiro Sableng yang tegakmasih memegangi sapu tangan besar milik Wilani.

“Anak muda, terima kasih  atas pelajaran yang kau berikan pada murid-muridku.  Harap  maafkan merekadan lupakan kejadian ini....” Orang di ataskuda diam sejenak sepertiberpikir-pikir. Dia melirik pada Wilani dan pemuda aneh yang tadi berhasil menghantam roboh empat  orang  lawannyadalam gebrakan-gebrakan pendek. Lalu setelah merenung sejenak dia berkata pada Wiro.  “Aku  sempat  menyaksikan  permainan  silatmu  tadi.  Jurus-jurusmu  begitu  menawan.  Dengan  kerendahan hati aku mengundangmu untuk datang ke perguruanku di  selatan Kotaraja.  Sekedar  untuk bertukar pengalaman....”

Wiro tak hanya menyeringai tidak menyahut. Orang  di  atas kudapun tampaknya  seperti tidak  perlu  menunggu jawab.  Maka  diapun  berlalu  setelah  lebih  dulu  membentak  pada  empat pemuda yang masih bergeletak di tanah.

“Memalukan sekali! Jika kalian tidak segera bangun dan minggat dari sini, biar kaki-kaki kudaku memecahkandadadan perut kalian!”

Lalu orang itu  sentakan tali kekang kudanya. Meskipun masih dalam keadaan sakit dan nanar akibat hantaman Wiro, namun mendengar ancaman si penunggang kuda, keempat pemuda



yang  bertebaran  di  tanah  buru-buru  berdiri  lalu  dengan  melangkah  huyung  mereka  tinggalkan tempat itu.

Setelah   keempat   orang   itu   melangkah,   barulah   si   penunggang   kuda   menggebrak tunggangannya meninggalkan tempat itu.

Untuk beberapa lamanya Wilani memperhatikan si penunggang kudatanpa berkesip sampai akhirnya orang itu lenyap dikejauhan.

“Aku.... Aku rasa-rasa pernah melihat wajah orang itu. Dimana...?” Sepasang mata Wilani mendadak membesar. “Eh, jangan-jangan memang dia...,” Wilani hendak bergerak namun suara “Aaaa... uuu... aaa... uuu,” disampingnya membuat dia hentikangerakankakidan berpaling.

Pemuda yang tadi menolongnyakinitegak diam, memandang kearahnya. Kedua tangannya dan  kedua  kakinya  tidak  lagi  bergerak.  Mungkin  gerakan-gerakan  yang  dibuatnya  tadi  adalah sejenis gerakan silat aneh, pikir Wilani. Kini dalam keadaan tanpa marah dan tegak berdiam diri seperti itu Wilani dapatkan kenyataan bahwapemuda inimemilikiwajah yang tampan.

“Aaaa... uuu...aaa... uuuu....”

“Kasihan, jangan-jangan pemuda initakbisabicara. Gagu...,” kata Wilani dalam hati.

“Aaaa... uuu... aa... uuu.....!”

Wiro mendatangi dan menegur si gagu. “Ki sanak, gebrakan silatmu luarbiasa sekali. Aku tahusedikit bahasa orang bisu. Maukah kau memberitanda dengangerakan jari-jari tangan biaraku tahu apa yang hendakkaukatakan ...?”

“Aaaa... uuu... aaa.... uuu!” sipemuda gagu menjawab gerakandan tanda.

“Ahhh...!  Aku  mengerti.  Akan  kusampaikan  pada  sahabatku  ini...,”  ujar  Wiro  ketika akhirnya dia dapat membacatanda-tanda jari yang dibuat pemuda gagu.

“Aaaa... uuu... aaa... uuu...!'' Pemuda gagu itu tiba-tiba palingkan tubuhnya dan tinggalkan tempat itu!

“Hai... Tunggu!” seru Wilani. Tapi si gagu sudahlenyap. “Aku hendak menanyakan sesuatu padanyatapi mengapa diapergibegitusaja...?”

“Takusahkecewa. Barusan dia telah meninggalkan pesan lewat bahasa jari...,” ujar Wiro.

“Lekas katakan apa pesannya itu?l” tanya Wilani taksabaran.

“Pertama,  kita  berada  di  kawasan  Kotaraja.  Jangan  bertindak  sembrono.  Kedua jangan ganggu rombongan orang-orang tadi karenamereka adadibawah pengawasannya....”

“Di bawah pengawasannya? Berarti pemuda gagu itu adalah kawan dari orang-orang itu.... Tapi  mengapa  tadi  dia  menghantam  empat  orang  di  antara  mereka  sampai  ada  yang  hancur lengannya?”

“Dengar dulu, penjelasanku belum selesai...,” kata Wiro pula. “Katanya kalau urusannya beres dia akan menemuikitakembali....”



“Hanya itusajapesannya?”

“Ada satulagi. Dia ingintahusiapa namamu.”

Wilani memandangtajam kearah Wiro. Làlu menyeringai. “Ah.... Pesan itu bukan daridia. Tapi kau yang mengarang!” Wiro tertawagelak-gelaklalugaruk-garukkepala.

“Kita bertigabrsahabat. Mengapatidaksaling tahu nama?”

Wilani tak menjawab. Dia tampak tengah berpikir-pikir.

“Eh, kau seperti orang melamun. Atau ada yang sedang kau pikirkan...?” tanya Wiro. Lalu Pendekar 212 melihat sepasang mata sang dara tiba-tiba membear. Wajahnya yang cantik berubah ganas. Kedua tangannya dikepalkan.

“Pasti  dia.... Pasti  dia....! Aku  ingat  sekarang! Tanda  gading bersilang  itu! Pasti!”  Lalu Wilani  bereriak  keras  membuat  Wiro  terkejut.  Tanpa  perdulikan  Wiro  lagi  Wilani  berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Hai tunggu! Kau mau kemana...?!” Wiro memanggil.

Wilani tidak tanggapi seruan orang. Terus saja lari kejurusan lenyapnya rombongan lelaki berkudabersamapemuda-pemudaberseragam hitam tadi.




* * *




8


SETELAH MEMPERTIMBANGKAN apakah dia akan pergi ke arah lenyapnya pemuda gagu atau mengejarkearahlenyapnya gadis jelita itu,akhirnya Wiro memilih yang terakhir.

Hari  mulai  memasuki  rembang petang  ketika  penguntitan yang  dilakukan  murid  Eyang Sinto Gendeng itu membawanyajauh ke pinggiran Kotaraja sebelah selatan. Di depannya gadis yang  diikuti  tampak  berdiri  di  hadapan  pintu  gerbang  besar  sebuah  perguruan  silat  bernama

“Perkumpulan Silat Gading Putih” .

Di sebelah dalampintu gerbang terdapathalaman luassekali yaitu tempat berlatih para anak murid perguruan. Lalu adatigabuah bangunan besar mengapitsebuah rumah kayubertingkat.

Dari tempatnya berdiri Wilani  dapat melihat belasan murid perguruan yang berseragam pakaian hitam dengantandagading putih bersilang didada kiri tengah berlatih jurus-jurusdasar.

Rahang Wilani menggembung. Kedua matanya membersitkan dendam kesumat. “Akhirnya kutemui juga salah satu dari mereka! Orang tua penunggang kudatadipastipembunuhayahku yang bernama Rae Pamungkas!” Sekujur tubuh sang dara bergetar. Aliran darahnya terasa panas dan mengencang. Dadanya turunnaik. Cepat gadis inimenguasaidirinya laludengan langkah tegap dia memasukipintu gerbang.

Ketika  Wilani  mencapai  ujung  depan  lapangan  luas,  beberapa  orang  pemuda  melihat kedatangannya. Salah satu di antara mereka segera larike arah rumah besar itu. Salah satu masukke dalam lalu keluar lagi bersama Wiseso, pemuda yang sempat dihajar habis-habisan oleh Wilani sebelumnya.

Sesaat pemuda ini merasa heran melihat kemunculan si gadis di tempat itu. Kemudian dia tertawa lebar dan cepat-cepat menuruni tangga rumah besar, lari ke arah Wilani. Begitu sampai di hadapan sang dara sambil senyum-senyum Wiseso berkata.

“Gadis cantik, sungguh besar hatiku ternyata kau mau juga datang ke markasku menemui diriku....” Wiseso menjura dalam lalu lanjutnya  : “Mari, silakan masuk. Makanan dan minuman akan segera kusuruhhidangkan. Sementara kau boleh masukke karnarpakaian. Pilih pakaianbagus yang kau inginkan. Aku akan menunggumu di ruangan makan.... Kau tak usah khawatir. Tak ada satu seorang pun yang akan berada disanakecuali aku. Hanyakitaberdua....”

Wilani sebal sekalimelihat pemuda satu ini. Dia menjawab : “Kucing buduk! Aku mencari manusia bernama Raae Pamungkas! Dia pastilelaki berkuda yang kulihatsebelumnya....”

Wiseso terkejut. Dia berpaling padadua anak murid perguruan disamping. “Jadi .... Jadi kau kemari mencariayahku? Bukan mencariaku?!”

“Hemmm,jaditua bangkaitu adalahayahmu! Cepat suruhdia keluar!



Kalau tidakaku akan melabrakke dalam sana!”

Wiseso  geleng-geleng  kepala.  “Bagaimana  ini!  Aku  yang  naksir,  ayahku  yang  dicari!” katanya.  “Ayahku  saat  ini  tengah  menemui  seorang  tamu  penting  dari  Kotaraja.  Dia  tak  bisa  diganggu!”

“Siapa bilang tidak bisa diganggu! Panggil dia sekarang juga! Katakan aku murid Datuk Buntung Cemoro Sewu datang mencarinya!”

“Datuk Buntung Cemoro  Sewu....? Enggg.... Tak pernah aku mendengar nama itu. Tapi gadisku   cantik.  Jika  maksud   kedatanganmu  kemari  untuk  mendaftar  menjadi   anak  murid perkumpulan  silat  kami,  tak usah mencari  ayahku  segala.  Kau tak perlu mendaftar. Aku  akan mengurus semuanya. Nanti kau akandiberilatihankhususditanahlapang sana ataudi atas ranjang bersamaku. Bukan begitukawan-kawan...?”

Dua kawan Wiseso mengiyakan. Lalu ketiga pemuda itu tertawa galak-galak.

Hilanglah kesabaran Wilani. Dalam hati dia menggeram. “Pemuda ini tidak ada sangkut paut dengandosa ayahnya. Tapi kalautidak kuhajar dia tidak akankapok! Pasti sudahbanyakanak gadis orang yang dibawanya ke tempat ini secara paksa dan dicemarinya. Habis membatin begitu Wilani berkelebat dan plaaak... plaaak... plaaak. Tiga kali tangan kanannya bergerak. Tiga kali tamparan  keras  melayang.  Dua  anak  murid  Perkumpulan  Silat  Gading  Putih  terbanting  roboh dengan mulut pecah dan melejang-lejang di kaki tangga  sambil menggerang kesakitan. Wiseso sendirijatuh duduk di lantai serambi rumah besar. Pipi kirinya tampak bengkak merah membiru. Mata kirinyalebam mengucurkandarah.

“Kau masih tidak mau memanggilayahmu?!” bentak Wilani.

“Kau . . . kau. . .!” Tiba-tiba Wiseso keluarkan satu suitankeras. Serta merta dariperbagai penjuru menghambur sosok-sosokberseragam hitam.

“Kurang ajar!” maki Wilani. Dengan cepat dia menghitung. Jumlah anak murid perguruan silat yang datang kearahnyalebih dari duapuluh orang. Saking jengkelnya gadis ini langsung saja tendangkankakikirinyakearah dada Wiseso hingga pemuda ini meraung kesakitandanterkapardi dinding rumah besar. Mulutnyamuntahkandarah segar lalukepalanya miring ke kiri, pingsan!

Lebih dua puluh anak murid perguruan berteriak marah. Langsung mereka menyerbu ke arah Wilani. Justru padasaat itutiba-tibaterdengarkegaduhandaribagian atas rumahkayu tingkat yaitu tempat kediaman pimpinan perkumpulan silat. Sesosok tubuh tampak terlemparkeluar lewat dinding bangunan yang hancur berantakan.

Di saat yang sama, satubayangan putih berkelebat di depan tanggarumah besar, langsung  berdiri  di  samping  Wilani  seraya  membentak  membahana  tanda  orang  ini  kerahkan  tenaga  dalamnyawaktuberteriak. Siapakah orang yang berteriakini? Wilani berpaling ke samping. Astaga! Dia bukan lain pemuda rambut gondrong yang mengaku bernama Wiro Sableng itu!



Merasa orang memandang padanya. Wiro balas berpaling lalu tersenyum sambil kedipkan mata.

“Kau! Kau mengikutiku!” kertak Wilani hendakmarah.

“Sudah! Apapun yang jadi urusanmu selesaikan sana. Biar aku menahan monyet-monyet berpakaian hitamitu!”

Sadar  kalau  orang  bermaksud  baik  dan  hendak  menolongnya  Wilani  anggukan  kepala, memutartubuh dan berkelebat kearah rumah panggung.

“Hajar kedua pengacau itu!” Salah seorang murid perguruan berteriak.

“Yang perempuan tangkap hidup-hidup! Yang  gondrong dicincangpun tak jadi urusan!” teriak yang lain.

Begitu kedua puluh orang itu mendekat, murid Eyang Sinto Gendeng segera menghantam dengan pukulan “Benteng topan melanda samudra” .

Semua anak murid perguruan berseru kaget ketika mendengar ada suara menderu disertai hembusan angin sangat deras. Masing-masing mereka merasakan laksana dihantam angin puting beliung. Bagaimanapun mereka berusaha mempertahankandiri tapi akhirnya mereka semua terseret jauh dan terguling-gulingdi lapangan. Ketika sambaranangin reda dan mereka sanggup berdiri, di hadapan  mereka  terlihat  bagaimana  tanah  lapang  didepan  tangga  bangunan  besar  telah  ceguk sampai setengahjengkal! Sadar kalaumerekaberhadapan dengan seorang pendekarberkepandaian tinggi, kinitaksatupun berani bergerak. Namun padawaktu itu dari samping kiri tampak berkelebat seseorang dandilain kejap dia sudah berada di hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Anak muda! Kedatanganmu  sudah tidak diundang berani pula mengacau! Kalau punya kesaktian andal, mengapa mempergunakan terhadap anak murid perguruan yang baru belajar ilmu silatdasar?!”

Wiro memandang pada orang di hadapannya. Seorang lelaki separoh baya yang memiliki tubuh penuhotot serta cambangbawuk meranggas menutupi wajahnya.

“Sampean inisiapa?” tanya Pendekar 212.

Sambil menjawab orang ituletakkantelapak tangannya di atas dada. “Aku Ronggo Dwikun!

Pelatih Kepala Perkumpulan Silat Gading Putih!”

“Ah, akuberhadapan dengan seorang kepalapelatihrupanya! Kau tentu ahli dalam melatih ilmusilat tapitidakbecus menanamkan sopan santun pada anak buahmu!”

“Apamaksudmu?!” tanya Ronggo Dwikun dengan mukamerah.

“Buktinya kawankutadidatang dan mintaketemu dengan pimpinanmu, malahdiperlakukan secara kurang ajar!”

“Tidak sembarang orang bisa bertemu dengan ketua perkumpulan....”



“Kedengarannya  ketuamu  lebih  hebat  dari  Suiltan!  Sultan  saja  selalu  siap  menerima kunjungan seorang hamba rakyat yang punya kepentingan!”

“Katakan apa maksudkedatanganmu!” Ronggo Dwikun mulaimarah.

“Aku sih cuma jalan-jalan sambil mengantarsahabatkugadiscantik tadi...,” jawab Wiro.

“Kurang  ajar!  Setelah melukai putera Ketua kami  dan beberapa murid perguruan  kowe masih bisa bilang kemari untuk jalan-jalan! Kalau kau benar seorang pendekar aku menantangmu bertarungilmusilat tangan kosong! Jangan hanyaberanimengandalkan pukulan sakti!”

“Kalau itu mintamu aku tak keberatan melayani!” sahut Wiro. Lalu secepat kilat, hampir tidak kelihatan oleh puluhan pasang mata murid-murid perguruan yang ada di lapangan, murid Eyang Sinto Gendeng itumenotokurat besar didada kiri Ronggo Dwikun. Langsung kepala pelatih ini menjadi kaku dan gagu.

Wiro laluberpura pasang kuda-kuda. “Ayopukullah! Cari sasaran yang empuk!” seru Wiro keras-keras agar semua anak murid perguruan mendengar. Tapitentu saja sang kepala pelatih tidak bisa memukul. Bergerakpun bahkan bicara  saja dia tidak mampu! Kagetlah  semua anak murid perguruan melihat kejadian itu dansemakin leleh nyalimerekauntuk berani melakukansesuatu.

Wiro tertawagelak-gelaklalu duduk ditangga bangunan.

“Aku dengar di  dalam sana banyak makanan dan minuman. Lekas dua  di antara kalian segera mengambilnya! Yang beranimembantahakan kugebug!”

Dua  anak murid perkumpulan  silat  segera bergerak melakukan perintah.  “Eittt!  Tunggu dulu!” Wiro menjambak pakaian salah satu dari duamurid perkumpulan.

“Aku juga dengar ada pakaian-pakaian bagus di dalam rumah. Pakaian putihku ini sudah apek. Carikan sepasang pakaian yang bagusuntukku!

Kau dengar...?”

Dengan gemetar anak murid yang dibentak hanya bisa anggukkan kepala. Wiro lepaskan pegangannya. Tak lamakemudian berbagaihidangan lezat termasuk buahdan minumandiantarkan didepan tangga, termasuk sepasang pakaian putih yang bagus. Wiro menyambarsebutirbuahkuini yang harum dan manis. Lalu dia bukabaju putihnya. Sambil tertawa-tawa di hadapan anak murid perkumpulan silat si pendekar sableng ini ganti pakaian putihnya yang sudah lusuh dan kotor de- ngan baju dancelana baru yang dibawakannyauntuknya!

Selesai berpakaian Wiro duduk ditangga bangunan, mulai menyantapi segalahidangan yang diletakkan  disana  lalu  meneguk  minuman.  Waktu  makan  Wiro  sengaja  mengeluarkan  suara berciplakan, ketikaminum diasengajapulamengeluarkan suara cegluk-cegluk sehingga anak murid perkumpulan silat yang melihat jadi jengkel kesal, ada pula yang menelan air liur dengan geram. Namun tak  seorangpun berani bergerak dari tempat masing-masing  sementara  si kepala pelatih masih tegak kaku dan bisudi pinggiran tangga!




9


KETIKA   WILANI   BERLARI   ke   arah   bangunan   bertingkat,   di   depan   tangga   dia menemukan sesosok mayat yang tadi seperti dilemparkan daribagian atas. Mayat iniadalah mayat seorang  lelaki  tua  berambut  dan  berjanggut  putih.  Dia  mengenakan pakaian  robek  dan  penuh berlumurandarah. Wajahnya tidak dapat dikenalilagi. penuh dengan luka-luka menggidikan seperti disobek senjatatajam dan tampakmenggembung bengkakkemerahan.

Sesaat  Wilani  terkesiap  namun  ketika  di  atas  bangunan  sana  didengarnya  ada  suara bentakan-bentakan tanda tengah terjadi satu perkelahian maka gadis ini cepat melompat menaiki tangga yang menujuketingkat atas.

Ketika sampai di bagian atas rumah itu dia menyaksikan perkelahian seru tengah terjadi antara seorang pemuda dengan orang yang tengah dikejarnya, yaitu Rae Pamungkas, salah seorang pembunuh ayahnya. Sedang si pemuda bukan lain adalah  pemuda  gagu  yang  telah  ditemunya sebelumnya.

Dari jalannya perkelahian satu lawan satu itujelas Rae Pamungkas berada dalam keadaan terdesak hebat.

“Apapun alasan pemuda gagu itu hendak membunuh Rae Pamungkas, aku  lebih berhak darinya!” kata Wilani  dalam hati. Lalu  diapun  siap  menyerbu.  Tapi terlambat!  Di hadapannya pemuda  gagu  itu  telah  membuntal  tubuh  Rae  Pamungkas,  sepasang  kakinya  laksana  menjapit pinggang ketua perkumpulan silat gading putih sementara kedua lengannya menyikap leher. Lalu terdengar suara berderak bunyipatahnyatulangleher Rae Pamungkas!

“Aaaa... uuuu.... aaaa.... uuuu!”

Ketika  si  gagu  lepaskan  cekatannya,  tubuh  Rae  Pamungkas  langsung  roboh  ke  lantai. Sekujur  tubuh  itu  termasuk  mukanya  tampak  cabik-cabik  mengerikan  serta  gembung  bengkak kemerahan. Wilani melirik pada sepasang tangan pemuda gagu. Tangan yang berkuku panjang itu tampak penuh lumurandarah.

“Ilmu apakah yang dimiliki pemuda ini sampai kematian Rae Pamungkas begitu dahsyat mengerikan   ...,”  kata  Wilani   dalam  hati.  Tapi  begitu  dia   ingat  bahwa  maksudnya  untuk membalaskan dendam kesumat terhadap Rae Pamungkas tidak kesampaian karena kedahuluan si gagu  maka  gadis  ini  menjerit  keras.  Dia  melompat  ke  arah  mayat  Rae  Pamungkas.  Sekali menendang maka mentallah tubuh ketua perkumpulan silat itu ke arah dinding ruangan. Dinding jebol, tubuh Rae Pamungkas melayang jatuh ke halaman, tergeletak tak berapa jauh dari mayat orang tuaberjanggutdan berambut putih.



Sehabis  menendang  kembali  Wilani  menjerit.  Pemuda  gagu  mendatanginya,  mengelus bahunya.

“Aaa... uu... aaa... uuu...!” Lalu pemuda inigerakkan jari-jari tangannya. Tetapi Wilani tidak mengerti apa yang ingin diucapkan si pemuda lewat gerakan-gerakan jarinya itu. Ketika Wilani merasakan tubuhnya limbung akibatkecewa besar karenadendamnyatakkesampaian, si gagu cepat merangkulnya.

Apakah yang terjadisebelum Wilani naikke tingkat atas bangunanitu?

Saat  itu  Ketua  Perkumpulan  Silat  Gading  Putih  yakni  Rae  Pamungkas,  salah  seorang pembunuh Adi Juwono tengah menerima kunjungan seorang tamu dari Kotaraja. Tamu ini adalah seorang kakek yang karena ketinggian ilmu silatnya telah diangkat sebagai salah satu pimpinan barisan pengawal Sri Baginda, dikenal dengan panggilan Ki Tempur Sakal.

Melihat  ada  seorang  pemuda  tak  dikenal  bisa  masuk  ke  tempat  itu  tanpa  diketahui seorangpun, Ki Tempur  Sakal yang tengah bicara hentikan ucapannya dan berpaling pada tuan rumah.

“Dimas Rae Pamungkas,” bisiknya. “Jika ada orang bisa masukke tempat ini tanpa setahu penjaga, itupertanda sangat lemahnya pengawasan ditempatmu ini!”

Paras Rae Pamungkas tampakmerah. Dia berdiridarikursinya seraya membentak.

“Anak muda! Siapakau?!”

“Aaa... uuu.... aaa.... uuu....!”

“Hemmm.... Dia ternyata gagu, dimas Rae...!”

“Bangsat! Bagaimanakaubisa masukkemari!” kembali Rae Pamungkas membentak.

“Aaa... uuu.... aaa.... uuu....!” Pemuda gagu itu tiba-tiba gerakkan kedua tangan kakinya. Suara   berkesiuran   memenuhi   ruangan   disertai   terasanya   sambaran-sambaran   angin   dingin menggidikkan.

Melihat  gerakan-gerakan  yang  dibuat  kedua  tangan  dan  kedua  kaki  si  pemuda  gagu, terkejutlah Ki Tempur Sakal.

Tokoh silat istana ini melompat dari kursinya seraya berseru: “Ilmu silat kepiting gila!” Orang tua ini majubeberapa langkahlaluberhenti, tak beranilebih mendekat.

“Anak muda! Apa sangkut pautmu dengan Raja dan Ratu Kepiting Sakti di muara sungai wilayah selatan?!”

“Aaa... uuu.... aaa.... uuu....!”

Yang ditanya menjawab aaa... uuu... aaa... uuu sambil menggerak-gerakkan jari tangannya. Ki Tempur Sakal yang kebetulan tahu sedikit arti tanda-tanda yang dibuat oleh jari-jari tangannya itu menjadi terkesiap. Dia berpaling pada Rae Pamungkas.



“Apa yang dikatakan pemuda gagu itu kang mas?    Lekas    beritahu    padaku!” kata Rae

Pamungkas.

“Katanya....  katanya  dia  datang  tidak  untuk  membuat  keonaran.  Dia  tidak  ada  urusan denganku. Tapi punya urusan besar dengan dirimu! Katanya kau telah membunuh ayahnya dua belastahunsilam....”

Kagetlah Rae Pamungkas mendengar penjelasan Ki Tempur Sakal itu.

“Siapa nama ayahmu?!” Tanya Rae Pamungkas menghardik.

Pemuda gagu angkat kedua tangannya. Jarinya bergerak-gerakcepat.

“Kangmas apa yang dikatakannya?!” tanya Rae Pamungkas.

“Katanya kau tak perlu bertanya karena kau tahu jelas siapa yang dimaksudkannya. Dia bertanyaapakah kau sudahsiapuntuk menerimakematian ....?!”

“Jahanam! Enak saja dia berbicara!” Rae pamungkas coba mengingatdengancepat apa yang terjadi dua belas tahun silam. Peristiwa di sebuah Rumah dekat plered. Dia dan Randu Lawang. Lalu disituadaWirasaba, Kajenar dan Juminten!

“Kalau begitu...,” kata Rae Pamungkas dengan paras memucat sesaat. “Pemuda gagu ini adalah Ario Seno, putera Adi Juwono...! Tapibagaimana mungkin? Anak itu bukankah sudah mati dilemparkedalam sungai?!”

Di depan sana kembali si gagu gerak-gerakan jari-jari tangannya.

Ki Tempur Sakal membacadan membacakannya pada Rae Pamungkas.

“Dimas, pemuda ini segera hendakmembunuhmu!”

“Akan  kulihat  sampai  dimana  kehebatannya!  Kepalanya  akan  kupecahkan  sebelum  dia sempat menyentuhtubuhku!”

“Biar aku yang mewakilimu dimas Rae. Ilmusilat kepitinggila yang dimilikinya bukanilmu sembarangan. Selain luar biasa juga mengandung racun kepiting yang bisa membuat orang mati dengantubuh gembung merah!”

“Terima kasih kangmas. Wakili aku! Pecahkan kepalanya!” kata Rae Pamungkas. Dia sama sekalitidak merasa takut. Tapi mengetahui bahwapemuda gagu ituadalah putera Adi Juwono mau tak mau hatinyajaditerpengaruh juga.

Sebagai orang istana tentu saja tingkat kepandaian Ki Tempur Sakal tidak rendah. Tetapi menghadapipemuda gagu yang punya tekad untuk membalaskan dendam kesumat kematian orang tuanya, tokoh istana ini hanya mampu mendesak dua gebrakan saja. Jurus-jurus berikutnya dirinya menjadi bulan-bulanan tangan kaki si gagu, Pakaian, kulit dan daging tubuhnya sampai ke muka robek disambar jari-jari tangan lawan. Darah mengucur dan racun kepiting mulai bekerja hingga sekujur tubuh orang tua ini tampak merah membengkak. Pada puncak pertarungan, pemuda gagu kirimkan satu tendangan ke dada lawannya yang sudah hampir sekarat karena kehabisan darah itu.



Ki Tempur Sakal mencelat ke dinding ruangan, terusamblas keluarbangunan danjatuhdi halaman bawah dekat kaki tangga....

Wilani sadar kalau untuk beberapa lamanya dia telah saling berangkulan dengan pemuda gagu itu. Dengan wajah bersemu merah dia lepaskah pelukannya. Pada saat itulah Pendekar 212 Wiro  Sableng  yang  sudah  kekenyangan  karena  barusan  habis  makan  minum  sampai  gembul memasuki ruangan.

“Darah dimana-mana...,” kata Wirosambil menggarukkepala. Dia memandang pada Wilani dan pemuda gagu. “Eh, kisanak, ternyata kaupunadadisini....”

“Aaaa... uuu... aaa.... uuu....” Si gagu menyahuti seraya gerakkan jari-jari tangannya.

Wiro gelengkan kepalanya.

Lalu tanpaterdugapemuda gagu berkelebattinggalkan tempat itu.

“Ki sanak tunggu dulu...,” seru Wiro. Wilani ikut mengejar ke arah tangga. Tapipemuda itu sudahlenyap.

“Manusia aneh .... Dia mendahului aku ....”

“Mendahului apa maksudmu?” tanya Wiro.

“Lupakan sajahal itu,” sahut Wilani pula.

“Kita inisudah bersahabat. Mengapakaumasihmerahasiakansesuatupadaku...?”

“Aku belum menganggapmu sahabat!” jawab Wilani.

“Kenapa begitu?!” tanya Wiro.

“Sesuai dengan petunjuk guru, jangan-jangan kau initaklebih darisetan kepala hitam ....”

Sesaat murid Sinto Gendeng dari gunung Gede itu jadi melongo. Lalu sambiltersenyum dan rangkapkan kedua tangan di depan dada diaberkata : “Gurumu itu tentu hebat sekali. Apakah kau yakin dia benar-benar pernah melihat setan kepala hitam? Apakah setan itu memang kepalanya hitam, tidakmerahatauhijau? Ha...ha...ha....”

Wiro hentikantawanya. Lalu sambil menarik nafas dalam dia berkata : “Baiklah kalaukau memang tidakingin bersahabat denganku. Aku tetap sajagembira, karenadapat mengenalmu. Aku pergi  sekarang.  Hati-hati  menjaga  diri.  Ingat  pesan  si  gagu  sebelumnya.  Ini  Kotaraja.  Jangan berlakusembrono....” Habis berkata begitu Wiro melangkah ke arah tangga yang menujuke tingkat bawah.

“Wiro...! Tunggu dulu!” tiba-tibaterdengar suara si gadis memanggilnya.

Wiro berhentimelangkah dan berpaling.

“Kau kini bersedia menjadisahabatku....?” tanya Wiro.

“Tidak. Belum ....,” jawab Wilani.

“Kalau begitu ya sudah ....” Wiro kembali menuruni tangga. Tapi si gadis mengejar dan mendahuluinya laluberbalik.



“Tadi,  sebelum  pergi  pemuda  gagu  itu  kulihat  menggerak-gerakkan jari-jari  tangannya seperti menanyakan  sesuatu padamu. Lalu kulihat kau menjawab dengan gelengan kepala. Apa yang ditanyakannya?!”

Wiro  tersenyum  lebar.  “Aku  akan  mengatakannya  padamu.  Kecuali  kau  bersedia jadi sahabatku  dan menceritakan urusan gila apa yang tengah kau hadapi  saat ini. Kelihatannya  ini bukan urusan main-main. Nyawamu sangat terancam. Kau tahu di bawah sana puluhan bahkan ratusananak murid persilatan tengahmarah besar melihat kematian ketuamereka!”

Jari-jari tangan Wilani tampak terkepal. “Baik, akubersediajadisahabatmu. Soal apa urusan yang  tengah  kuhadapi  bisa  kujelaskan  kemudian.  Sekarang jelaskan  dulu  apa  yang  dikatakan pemuda gagu itu tadi!”

“Dia menanyakan siapa namamu, laluaku menjawab dengangelengan kepala ....”

“Kenapakau menggeleng?!”

“Karena  aku memang tidak tahu  siapa namamu! Kau tak pernah mau mengatakannya!” sahut Wiro. Lalu sepertitakacuh Pendekar 212 membalikkantubuh dan menurunitanggakembali.

Wilani  memegang  lengannya.  Dipegang  seperti  karuan  saja  hati  sang  pendekar  jadi berbunga-bunga.

“Kita sekarangbersahabat. Betul?” ujar Wilani.

“Betul!”jawab Wiro.

“Jika kau memang sahabatku tentukau mau menolong!”

“Tergantung pertolongan apa yang mau kau minta!”

“Aku  akan menunggu di reruntuhan  candi  di  sebelah timur.  Tapi kau tak boleh  datang sendirian....”

“Maksudmu?”

“Kau harus membawaserta Wiseso,puteraketua persilatan. Dia terkapar pingsandiserambi bangunan besar....”

Selesai berkata begitu Wilani langsung melompati deretan anak tangga dan lenyap. Wiro hanya  bisa  garuk-garuk  kepala.  Ketika  dia  turun  ke  bawah  didapatinya  puluhan  anak  murid perguruan mendatanginya dengan marah.

“Aku tak ada urusan lagi dengan kalian! Jika kalian mencaripenyakit majulah!” kata Wiro mengancam sambil siapkanpukulan saktiditangankanannya.

Selagi orang banyak tampak meragu, Pendekar 212 segera melompat ke serambi bangunan besar dimana tersandar tubuh Wiseso  dalam keadaan pingsan. Pemuda ini  segera disambarnya, dipangguldi atas bahu.

“Si gondrong itu menculik putera ketuakita! Kejar!” seseorang berteriak.



Tapi takada yang berani bergerak,apalagimengejar. Wiro sendirimelarikan Wiseso kearah timur sambil mengomel.

“Apa maunya gadis itu menyuruhku membawa pemuda ini! Aku juga goblok! Mengapa mau-maunya melakukan apa yang dimintanya!”


* * *




10


WILANI TIDAK MENUNGGU LAMA.  Wiro muncul memanggul sosok Wiseso beberapa saat  setelah  dia  sampai  di  reruntuhan  candi.  Pemuda  yang  masih  dalam  keadaan  pingsan  itu disandarkannya ketembokcandi. Lalu diaberpaling pada Wilani.

“Apa yang kau minta aku kerjakan. Apa yang hendak kau lakukan terhadap putera Rae Pamungkas ini?”

Wilani tak menjawab. Dia melangkah mendekati Wiseso lalu letakkan telapak tangannya di atas  kepala  pemuda  ini.  Perlahan-lahan  Wilani  kerahkan  tenaga  dalamnya  sambil  mengalirkan sejenis hawa sejuk ke dalam tubuh Wiseso. Tak selang berapa lama terdengar suara pemuda itu mengeluh. Lalu tampak diamembukakeduamatanya.

Saat itu matahari hampir tenggelam tetapi di tempat itu keadaan masih terang  sehingga Wiseso dapat melihat siapa yang berdiri di depannya. Rasa takut membuatnya hendak melompat berdiritapikarenalemah, tubuhnya jatuh tertunduk kembali.

Wilani injak tulang kering kaki kiri Wiseso hinggapemuda ini menjerit kesakitan.

“Baru kuinjaksudahmenjerit. Apa mau kupatahkantulang kakimu ini?!” sentak Wilani.

“Ampun! Jangan ....!” teriak Wiseso.

“Bagus, kalaukautak mau kusakiti kau harus menjawabbeberapapertanyaanku....”

“Kau....  kau  boleh  bertanya  apa  saja  asal jangan  menyakitiku.  Aku  harap  kau  segera membebaskan diriku! Dimana aku kau bawasaat ini?!”

“Aku  tidak  ingin  mendengar  segala  macam  pertanyaan.  Justru  aku  yang  akan  ajukan pertanyaan. Kau mengerti?!” Lalu Wilani injak keras-kerastulang kering pemuda ituhingga Wiseso menjerit kesakitan.

“Ayahmu  adalah  salah  seorang wakil ketua Perserikatan  Silat Bintang Biru. Betul......?” Wiseso mengangguk.

“Katakan dimana aku bisa menemuiketua perserikatan yang bernamaRandulawang....”

“Aku sering mendengar nama itutapitidak tahu dimanadia berada....”

“Kau berdusta!” hardik Wilani.

“Sumpah! Aku tidak berdusta!”

“Perserikatan  Silat  Bintang  Biru  punya  nama  besar.  Masakan  kau  tidak  tahu  dimana ketuanya berada!”

“Aku benar-benar tidak dusta. Aku hanya tahu dan mengurusi Perkumpulan Silat Gading Putih. Soal Perserikatan hanyaayahku yang tahu. Kalian bisabertanya padanya ....”

“Ayahmutakbisa menjawab!” berkata Wiro. “Dia sudah mati!”



“Apa...?!” teriak Wiseso. “Pasti kalianyang membunuhnya!”

“Aku memang inginsekalimembunuhnya. Tapiada orang lain yang mendahului....”

“Siapa? Katakan padaku! Siapa...?!”

“Aku membawamu kemari bukan menyangkut urusan kematian ayahmu! Tapi justru karena kematian  ayahku  yang  dibunuh  oleh  ayahmu  dan  kawan-kawannya!”  kata  Wilani  lalu jambak rambut Wiseso keras-kerashinggapemuda ini menggerung kesakitan.

Wiro Sableng terkejut mendengar ucapan Wilani itu. Untuk beberapa lamanya dia hanya bisaberdiam diri.

“Kalau kau tidak tahu dimana ketua perserikatan itu berada, kau pasti tahu dimana adanya tiga wakilketua perserikatan....”

“Setahuku cuma adaduawakil ketua perserikatan,” kata Wiseso pula.

“Coba kausebutkan siapa-siapa mereka!”

“Yang pertama ayahku, lalu Wirasaba....”

“Ada satu orang lagi. Namanya Kajenar!”

“Orang tua itutidak pernah jadi wakilketua perserikatan. Sejak duluakukenal dia sebagai pertapa....”

“Kau tahudimana Wirasaba berada?”

“Satu tahunlalu diamasihmembuka perguruan silat Mustika Ratu di kaki bukit Merak Putih. Lalu pindah ke tempat lain tapi masih membuka perguruan silat itu dan tetap bergabung dalam  perserikatan.... Dimana dia berada sekarang dan memimpin perguruannya akutidak tahu.”

“Dimana letak pertapaan Kajenar?” tanya Wilani selanjutnya.

“Lereng timur bukit Rowogiri, tak jauh daridesa Kalasan,” menjelaskan Wiseso.

Wilani berpaling pada Wiro. “Apakah semua keterangan orang yang satu ini menurutmu bisadipercaya?”

“Hemmm.... Coba kulihat dulutelapak tangankanannya!” sahut Wiro. Lalu dia membentak. “Perlihatkan telapak tangankananmu!”

Ketakutan  Wiseso  ulurkan  tangan  kanannya.  Telapak  dikembangkan.  Wiro  mengurut pertengahan telapak tangan itu dua kali. Selesai diuruttelapak tangan itu tampak bergetar. Wiseso merasa sepertikesemutan. Mula-mula perlahan saja. Tetapi begitu rasa kesemutan itumakinkeras maka menjeritlah diasaking tidaktahannya.

“Semua keteranganmudusta!” sentak Wiro.

Wilani langsung sajahendak menjambak. Tapi Wiro mencegah.

Wiseso menjeritterus. “Demi Tuhan! Aku bersumpah! Aku tidak berusta! Aku tidakbohong! Bebaskan aku! Tolong.... Tolongggg...! Pemuda ini lalupukul-pukulkan tangannya yang kesemutan


ituke batu candi. Tapi rasa kesemutan itu malah semakin bertambah. Akhirnya dia bergulingan di tanah sambilterus menjerit-jerit.

Wiro berbisik pada Wilani. “Kunyuk itu tidak dusta! Mari tinggalkan tempat ini kalau kau memang hendak mencari tempat kediaman Kajenar. Itu tempat yang terdekat darisini....”

“Bagaimana dengan pemuda itu?” tanya wilani pula,

“Biarkan saja. Nanti kesemutan yang dirasakannya akan hilang sendirinya... Mari!”

“Mari kemana?!” tanya Wilani.

“Bukankah kita sekaranghendak mencari tempat kediaman orang bernamaKajenaritu?”

“Itu urusanku! Kau tidak perlu ikut-ikutan kesana!” Wiro tertawa. “Kau sudah mengakui akusebagaisahabat. Berarti urusanmu adalahurusankujuga!”

“Hemm....  bagus  kalau  begitu.  Tapi  apakah  dibalik  semua  maksud  baikmu  ini  tidak tersembunyi maksud lain yang jahat?” tanya Wilani.

Murid Sinto Gendeng diam-diam menggerendeng dalam hati. Dia menjawab : “Pelajaran dari  gurumu rupanya  sangat mempengaruhi  dirimu  secara  salah! Kau lebih percaya pada  setan benaran dari padamanusia benaran!”

Wilani terdiam sesaat. Tiba-tibagadis inikeluarkan seruan pendek dan menghantam kearah tembok di samping kiri reruntuhan candi.

Braaaakkk!

Tembok itu hancur berantakan. Tapi orang yang dilihat Wilani tadi mengendap di balik tembok itu telah lebih dahulu berkelebat dan melarikan diri, lenyap dalam penghujung sore yang mulaimenggelapitu.

Wiro menyaksikan kejadian itutanpa bergerakataupun mengatakan apa-apa. Ketika Wilani memandang ke arahnya murid Eyang Sinto Gendeng ini berkata : “Silahkan pergi. Aku tak akan mengikutimu. Aku tidak akan mencampuri urusanmu!”

“Aku tadi... akutadimelihatada seseorang menyelinap di balik tembok yang hancuritu...,” menjelaskan Wilani.

“Mungkin itu bukan orang. Mungkin itusetan yang dikatakan gurumu!” sahut Pendekar 212.

“Ah, dia pasti tersinggung dengan ucapanku tadi...,” kata Wilani dalam hati. Dia berpikir sejenak.  Akhirnya  perlahan-lahan  membalikkan  diri  lalu  melangkah  meninggalkan  tempat  itu. Setiap lima langkah gadis ini berpaling kebelakang, merigharap Wiro akan mengikutinya. Tapi saat itu Wiro justrumenggeliat lalurebahkantubuhnya dilantai candi berbantalkan lengankanannya.

Wilani hentikan langkahnya. Akhirnya gadis ini berseru : “Wiro! Kau betulantidak mau ikut bersamaku?!”

Pertdekar 212 diam saja.



“Wirol” panggil Wilani kembali. “Aku menghitung sampai tiga! Kalau kautidak menjawab akan kutinggal. Benar-benarkutinggal! Satu....!”

“Dua...Tiga!” terdengar sahutan Wiro dari arah candi. Lalu kelihatan sosok tubuh pendekar 212 melompat berkelebatsambiltertawagelak-gelak.


* * *




11


MALAM HARI BUKIT ROWOGIRI tampak angker. Tapi dua muda-mudi itu bergerak cepat di kegelapan malam tanpa rasa takut sama sekali. Sesuai penjelasan Wiseso mereka menuju kelereng timur bukit yang tidak seberapa tinggi itu.

“Aku melihat nyalapelitadisebelahsana,” Wilani berbisik..

“Aku juga,”  sahut  Wiro.  “Pasti  itu  tempatnya.  Tapi  kita  harus  berlaku  hati-hati.  Kita melangkah terus menujunyalapelita itu. Seratus langkah dari sana kita bersibak. Kau ke kiri, aku ke kanan. Lalu kita sama-sama mendatangidarisamping....”

“Aku setuju,” kata Wilani pula.

Seratus langkah dari nyalapelita yang terlihat dikejauhan, kedua orang itu berpisah. Wiro kemudian  mendatangi  dari  kanan  sementara  Wilani  dari  arah  kiri.  Tak berapa  lama  kemudian keduanya sampai dalam waktu hampir bersamaan di samping nyala pelita yang ternyata adalah sebuahoborkecilterbuatdarikayu hitam yang ditancapkanditanah.

Obor kecil itu tertancap di tanah di dalam sebuah goa. Wiro dan Wilani ulurkan kepala masing-masing, meneliti isi goa. Tidak tampak apa-apa atau siapapun selain oborkayu itu. Ketika Wiro memberi isyarat bahwadia akan masuk duluan, tiba-tibadaridalam goa bergema suara orang.

“Para  tetamu  yang  ada  di  luar  masuklah.  Tak  usah  ragu-ragu.  Goa  ini  tidak  dipasangi peralatan rahasia yang bisamencelakaikalian! Aku sudah sangat letih menunggu. Dua belastahun mendekam disiniakhirnyakaliandatang juga....! Masuklah!”

Wiro dan Wilani sama-sama melengak. Pendekar 212 goyangkan kepalanya. Wilani hanya mengangkat  bahu  sebagai jawaban.  Akhirnya  gadis  ini  dengan  berani  mendahului  melangkah masuk ke dalam goa dengan membungkuk-bungkuk agar kepalanya tidak menyundul bagian atas goa. Ternyata  semakin ke  dalam goa itu  semakin tinggi hingga Wiro  dan Wilani bisa berjalan sepertibiasa.

Hanyamasuk sekitar tiga puluh langkah goa ituberakhirpadasebuahdinding batuberwarna kelabu.  Di  depan  dinding  batu,  di  hadapan  sebuah  obor  kecil  duduk  bersila  seorang  kakek berpakaian serba putih. Tubuhnya halus kurushanya tinggal kulit pembalut tulang. Tapi wajahnya masih kelihatan segar. Pandangan matanya tajam. Di pangkuannya terkembang sebuah kitab kecil bertuliskan huruf-huruf Arab gundul. Begitu Wilani dan Wiro sampai di hadapannya orang tua ini angkat kedua tangannya seraya berucap : “Terima kasih Tuhan, Kau telah membimbing merekake tempat ini ....”



Lalu  orang tua  itu memandang pada  dua muda-mudi  di hadapannya.  Suaranya bergetar ketika berkata pada Wilani : “Kau tentulah Wilani, putri dimas Adi Juwono.” Lalu pada Wiro dia menyapa : “Dan kautentu Ario Seno, putranya.”

Wiro mendehem dan menyahuti. “Maaf orang tua. Aku bukan Ario Seno. Namaku Wiro

Sableng....”

Berubahlah paras si orang tua. Dia menatap wajah Wilani sesaat lalu bertanya : “Dimana kakakmu  Ario  Seno?  Apakah  ini  berarti  nyawanya  tidak  tertolong  lagi  sewaktu  dilemparkan Randulawang ke dalam sungai?”

“Saya tidak tahu dimana dia berada atau apa yang terjadi atas dirinya. Entah masih hidup entah memang sudah menemui ajal.” Sahut Wilani. “Sebaliknya saya ingin tahu, apakah kau ini orang tua yang bernama Kajenar, bekas wakil ketua Perserikatan Silat Bintang Biru merangkap ketua perguruan silatElang laut....?”

Orang tua yang duduk bersilatersenyum. “Kalian berdua duduklah,” katanya.

“Terima kasih. Kami lebihsukaberdiri,” yang menjawab Wiro.

“Terserah kalaukalian lebihsukaberdiri. Tak jadi apa....”

“Orang tua,kaubelum menjawab pertanyaanku!” mengingatkan Wilani.

Sepasang mata si orang tua tampak berkaca-kaca, laluterdengar suaranya agak bergetar.

“Aku memang Kajenar. Dua belastahun lalu aku mengasingkan diri di goa ini. Menunggu dengan pasti bahwa suatu ketika salah seorang anak dimas Adi Juwono pasti akan muncul kemari untuk membalas sakithati dendam kesumat kematian ayahnya. Ternyata kau yang datang. Bagiku itusudah cukup. Wilani.... Kau menyaksikan sendiri apa yang terjadidua belastahun laludisebuah bangunandekat Plered. Kau tentuingatbahwa aku salah seorang dari mereka. Karena itulahsaat ini aku sudah siap menerima hukuman. Mati adalah bagianku. Lebih cepat kau melakukannya lebih baikbagiku!”

Di pelupuk mata Wilani terbayang peristiwa dua belas tahun lalu ketika ayahnya dibunuh oleh Randulawang dankawan-kawannya.

“Orang tua, kau memang berada ditempatpembunuhan itu malam dua belastahun yang lalu. Tapi aku ingat, kau bukan salah satu dari mereka. Aku ingat kau hanya duduk diam ditempatmu, tidak melakukan apa-apa....”

“Tidak melakukan apa-apa berarti sama saja dengan melakukan pembunuhan. Aku tidak bisa mencegah kawan-kawanku yang berniat membunuh ayahmu.... Dosaku sama saja dengandosa mereka!” Air mata menggelinding dipipikeriput Kajenar.

“Orang tua, dengar. Kami datang bukan untuk menghukum apalagi hendak membunuhmu. Kami hanya perluketerangandimanaRandulawang dan Wirasaba saat ini berada.”



Mendengar pertanyaan itu Kajenar berkata  : “Kau hanya bertanyakan Randulawang dan Wirasaba. Berarti kausudahmenemui Rae Pamungkas....”

“Seseorang telah membunuhnya. Kami kedahuluan!” kata Wilani pula. “Saya menunggu keteranganmu, orang tua!”

“Seharusnya aku tidak boleh mengkhianati teman-teman, apapun dosa perbuatan mereka. Tapi kalau hal inibisamengurangi sedikit saja dari dosa-dosaku, aku akan memilih pengampunan di atas penghianatan.”

Kajenar menatapwajah Wilani beberapa lamanya laluberkata : “Randulawang selain masih memegang  jabatan   ketua   perserikatan   silat,   dia   telah   diangkat   menjadi  Ngabehi.   Tempat kediamannyadi pagar selatankawasankeraton. Dia lebih sering berada disitu daripadadi perguruan silat Budi Luhur yang dipimpinnya ....”

“Lalu dimana manusiabernama Wirasaba berada?” tanya Wilani.

“Kau pergilahke air terjun Ungaran. Wirasaba memindahkan perguruan silatnya ke tempat itusekitar duatahun lalu....”

Wilani  berpaling  pada  Wiro.  Ketika  dilihatnya  pemuda  ini  mengangguk  maka  si  gadis berkata  pada  Kajenar.  “Keteranganmu  sangat  menolong.  Saya  dan  sahabat  saya  minta  diri sekarang....”

“Minta diri...?” Kajenar kaget dan berdiri dari duduknya. “Wilani, dosakuterlalu besar. Aku ingin kau menjatuhkan hukuman mati atas diriku saat ini juga!”

Wilani menggeleng. “Saya tahu apa yang terjadi dua belas tahun lalu. Kau mungkin salah satu dari mereka. Tapikautidak turut campur dalam soalpembunuhanayah....”

“Dosaku besar sekali Wilani. Dimas Adi Juwono, bagaimana aku harus menebus dosa...!” kata Kajenar berulang-ulang.

“Orang tua, kalaupun kau merasa berdosa, maka dua belas tahun dalam penderitaan batin sudahmerupakanhukuman bagimu!” Habis berkata begitu Wilani memberi isyarat pada Wiro lalu mendahului melangkah keluar goa.

Di  dalam  goa  Kajenar  menangis  sesenggukan.  “Dosaku  terlalu  besar.  Seharusnya  aku  mencegah mereka saat itu! Gusti Allah aku orang sesat...akutaklayak hidup lebih lama. Dua belas  tahun sudah cukup lama aku tersiksa dalam tekanan batin. Aku tak sanggup merasakannya lebih  lama  lagi....”  Kajenar  menggerung  keras  lalu  hantamkan  kepalanya  sendiri  kedinding  batu.  Hantaman ini keras sekali dan pasti akan membuat kapalanya rengkah lalu menemui ajal. Namun  satu telapak tangantiba-tiba melesat ke depan, menahankepalanyahinggatidakmembentur tembok.

Tentu saja orang tua ituterkejut bukan main. Dia melangkah mundur sambil pegangikening dan memandang melotot ke depan. Orang yang barusan mempergunakan telapak tangannya untuk menahankepalanya ternyata adalah seorang pemuda gagah berambut gondrong.



Sesaat Kajenar memandang tak berkesiap pada pemuda itu. Lalu perlahan-lahan terbayang kembali peristiwa dua belas tahun silam. Adi Juwono datang bersama anak perempuan dan anak lelakinya. Wajah anak lelaki kecil dulu itu jika dia memang masih hidup pastilah sama dengan wajah pemuda yang tegak di hadapannya dan telah menyelamatkannya dari kematian yang sangat aib. Sesat bunuh diri!

“Anak muda ...,” kata Kajenar dengan suara bergetar. “Gusti Allah .... Apakah kau Ario Seno, putera mendiang dimas Adi Juwono ...?”

“Aaaa ....uuu ....aaa...uuu...,” Pemuda yang ditanya menjawab.

“Kasihan, kau tidakbisabicara. Kau gagu! Aku yakin lidahmu cacat! Aku yakin itu akibat tusukan pisauberacunRandulawang! Ya Tuhan! Kau pasti Ario Seno!”

Kajenar ulurkan kedua tangannya hendak memeluk pemuda itu. Tapi dia hanya memeluk angin. Orang yang hendak dipeluk sudahlenyap dari hadapannya!

Orang tua itu memburu ke mulut goa. Hanya kegelapan dan kesunyian yang didapatinya. Kajenarmerasakantubuhnya lunglaidan jatuhterduduk di mulut goa. Hampirtanpa suara orang tua ini mulaimenangis sesenggukan.

Di luar goa Wiro dan Wilani masih sempat mendengar suara Kajenar sayup-sayup sampai. Namun perhatian mereka tidak sepenuhnya tertuju kesitu. Hal ini karena di dalam gelap Wilani tiba-tiba  melihat  satu  sosok  bayangan  berkelebat.  Tanpa  banyak  cerita  kedua  muda-mudi  ini langsung lepaskan pukulan sakti. Tapi bayangan itu ternyata lebih cepat. Hantaman pukulan Wiro dan Wilani hanya sempat menumbangkan duabuahpohondanmemporak-porandakan rerumpunan semakbelukar.

“Aku  menaruh  dugaan perjalanan  kita  sejak  dari  Kotaraja telah  diikuti  orang  ...,” bisik

Wilani.

Wiro mengangguk membenarkan. “Kita tak usah khawatir. Si penguntit itu tak akan bisa sembunyi terus-terusan.

Satu waktukita akan berhasil menggebuk dan menangkapnya hidup-hidup ....”


* * *




12


RUMAH  BESAR  DI  LUAR  TEMBOK  keraton  di  kawasan  selatan  itu  bagian  luarnya diterangi  oleh  banyak  lampu-lampu  minyak  berbentuk  lampion.  Sebaliknya  di  sebelah  dalam suasana kelihatan redup-redup saja, bahkangelappekat di beberapa bagian.

“Kalau inirumahnya, jangan-jangan orangnya sedangtidakada...,” berbisik Wiro.

“Aku akan menunggu sampai manusia biadab itu muncul. Tak dapat kumengertibagaimana seorang jahat seperti Randulawang yang tega membunuh anak kecil dan mengkhianati atasannya sendiri   kini   bisa   punya   kedudukan   sebagai ngabehi!”

Wiro tertawakecil. “Itu namanya dunia, Wilani. Eh...namamu betul Wilani bukan? Begitusi kakekdalam goa memanggilmu!”

“Bukan saatnya bergurau!” sahut Wilani.

“Jangan ketus. Kalau aku kesalahan menyebut namamu nanti kau malah marah. Apa kau mau namamu kusebut Kuini atau Patani...?”

“Kau mintaditampar rupanya....”

“Sudah! Diam. Ada orang datang...,” kata Wiro lalu menarik Wilani ke balik pohon beringin dimanamereka berada.

Tak  lama  kemudian  lewat  seorang  nenek  bungkuk.  Walau  tubuhnya  bungkuk  dan  dia membawa bakul sarat berisi sayuran namun nenek inijalannya cepat sekali. Mulutnya tak henti- hentinya mengunyah susur. Di dekat pohon dia menyemburkan air susur. Hampir mengenahi kaki Wiro. Murid Sinto Gendeng ini memaki dalam hati. Lalu disambarnya tangan sinenek. Ditariknya kebalik pohon.

Mengira  setan  yang  menarik  karuan  saja  si  nenek  lepaskan  bakulnya  lalu  berteriak. Susurnya melompatentahkemana.

“Setan...tolong...! Tol....”

Wiro cepattekap mulut perempuan tua ini.

“Nek, berhentiberteriak! Atau kupencetleher ayammu! Aku bukan setantahu!”

Sepasang mata nenek berputar. “Hemmmm.... Hcmmmm.” Dia hanya bisa bergumam lalu angguk-anggukankepalanya. Perlahan-lahan Wiro lalu lepaskantekapannya.

“Sebelum  kau  kulepas  pergi  katakan  dulu,  apakah  rumah  yang  banyak  lampionnya  itu adalahrumah NgahebiRandulawang...?”

“Ngahebi!” tukas Si nenek. “Bukan Ngahebi! TapiNgabehi!”

“Betul, kau betul! Dari dulu itu memang rumahNgabehi Randulawang!” berkata sinenek.

“Bagus! Kau boleh pergi!” kata Wiro pula lalutepuk pantat sinenek.



“Pemuda kurang ajar! Kau belumlahiraku sudah puluhantahun hidup didunia! Berani kau memegang pantatku!”

Sambil mengomelseperti itusinenek ambil bakul sayurnya. Dia berusaha mencari susurnya yang hilang tapitakberhasil. Masih terus mengomel dia melangkah pergi.

“Kalau  cuma  mau  tanya  rumah  orang,  mengapa  main  betot  seperti  setan  saja!  Lalu memegang pantatkulagi!

Ih...!”

Setelah sinenek lenyap dikejauhan Wilani berbisik :

“Aku akan masukke dalam rumahitu! Aku khawatirkalau kedahuluanlagi!”

“Aku ikut bersamamu. Tapi...! Lekas sembunyi. Ada suara kaki kuda mendatangi...,” kata

Wiro.

Kedua orang itukembali mendekam di balik pohon beringin. Tiga orang penunggang kuda lewat dengancepat. Di sebelah depan seorang lelaki mengenakandestar merah berbajukuning. Dia mengenakankalung dariakar bahardilehernya. Di sebelah depankalung ini diganduli sebuah batu mustika  yang  tampak  bercahaya  walaupun  dalam  gelap.  Dua  penunggang  di  belakangnya kelihatannya adalah para pengiring ataupengawalnya.

Sekelebatan dalam gelap Wilani melihatwajah orang berdestar merah. Tersiraplahdarahnya. Tubuhnya bergetar. Tanpa sadar jari-jarinya menggenggam lengan Wiro.

“Ada apa...?” bisik Pendekar 212.

“Orang berdestardisebelah depan itu. Aku merasa pastidia adalah Wirasaba. Manusia yang menikam  ayahku  dengan  keris  sampai mati!  Padahal  ayah  saat  itu  sudah tidak berdaya  akibat hantaman penggada di tangan Randulawang!” Habis berkata itu Wilani segera hendak melompat keluardari balik pohon.

“Sabar dulu!” bisik Wiro seraya pegang lengan gadis itu. “Jika benar orang itu Wirasaba, berarti Randulawang sedang ada dirumah! Mereka orang-orang berkepandaian tinggi! Kita jangan bertindak gegabah!”

“Aku rela matiasalkan dapat membunuhkedua manusia biadab itu!”

“Kau relatapi akutakrelamelihat kau mati!” sahut Wiro sambiltersenyum.

“Gila! Dalam keadaanseperti inikaumasihsajabisabicarakonyol!” kertak Wilani.

“Kita tunggusaja dulu. Jangan main serbusembarangan. Lihat suasana baru bergerak....”

Meskipun jengkel tapi Wilani akhirnyamengikuti juga ucapan Pendekar 212.

Di hadapan rumah besar tiga penunggang kuda melompat turun dari kudanya. Yang dua tetap  berdiri  di  halaman  sedang  yang  berdestar  merah  tampak  menaiki  tangga.  Orang  ini menggoyang-goyangkan sebuahlonceng yang tergantungdiataspintudepan. Seseorang yang tidak kelihatan  membukakan pintu.  Sang  tamu  masuk.  Tak  lama  kemudian  di  bagian  dalam  rumah



menyala  sebuah  lampu, tapi tak  cukup terang  sehingga baik Wiro maupun Wilani tidak  dapat melihatsiapa yang tegak di hadapan orang berdestar merahitu.

“Tunggu apa lagisekarang?” tanya Wilani sudahtidaksabaran.

Wiro memandang berkeliling  lalu  anggukan kepala.  “Kau masuk  dari pintu  depan,  aku melompat lewat jendela. Tapi sebelum masuk ke dalam rumah dua pengiring itu harus kita suruh tidurdulu....”

Dengan gerakan cepat dan lompatan tanpa  suara, Pendekar 212 Wiro  Sableng tahu-tahu sudah berada di belakang dua pengiring yang asyik mengobrol sambil menikmati rokok kawung. Wiro totok punggung kedua orang ini hingga keduanya tertegak kaku dan tak mampu keluarkan

suara.

Justru pada saat itulah di dalam rumah terdengar suara bentakan-bentakan keras diseling suara beradunyapukulan.

“Apa  kataku!  Kita  kedahuluan  lagi!”  kata  Wilani  lalu  tanpa  perdulikan  Wiro  gadis  ini menghambur ke depan pintu depan rumah besar. Dia tidak pergunakan tangan untuk membuka melainkah mendobraknya dengan tendangan kaki kanan!

Begitupintuitu ambrolgadis ini melompatmasuk. Wiro menyusul sesaat kemudian.

“Wiro!  Lihat! Dia...!” Wilani berseru  seraya menunjuk pada  sosok tubuh  yang  saat  itu tampakmenggerak-gerakkankedua tangan dan kakinya.

“Aaaaa.....uuuu....aaaa...uuu!”

Di ruangan tamu rumah besar itu kelihatan tiga orang lelaki. Yang pertama adalah tuan rumah yang bukan lain memang Randulawang, Ketua Perserikatan Silat Bintang Biru. Orang kedua yakni sang tamu ternyata betul Wirasaba  sedang orang ketiga adalah pemuda gagu yang sudah dikenal oleh Wilani dan Wiro Sableng.

“Pemuda gagu! Jadi dia rupanya!” ujar Wilani. “Dia selalu mendahuluiku! Sasarannya sama dengan sasaranku! Tapi kali iniakutak mau keda-huluanlagi! Dua manusiadurjana itu harus mati di tanganku!” Wilani menggertak. Lupa sudah dia pada pesan gurunya yaitu agar berusaha untuk tidakmembalaskandendam dengan melakukan pembunuhan.

“Ki sanak! kau mundur! Dua manusia itu harus mati di tanganku!” teriak Wilani.

Sebaliknya  si  gagu justru  malah  melompat  ke  hadapan  Randulawang  sambil  berteriak aaa...uuu... aaaa...uuutiada hentinya.

.  “Bangsat!  Tahan  dulu!  Kalian  berani  mencari  mampus  masuk  ke  rumah  Ngabehi

Randulawang!” berteriak Wirasaba.

“Kalian orang-orang gilakesasardarimana?!”

“Wirasaba manusia anjing!” balas berteriak Wilani.



“Apa kau sudah lupa aku? Aku adalah Wilani anak perempuan Adi Juwono yang kalian bunuh dua belastahun lalu!”

Kagetlah Wirasaba dan Randulawang mendengar ucapan itu. Sementara itu si gagu sambil terus keluarkan suara aaa...uuu...aaa...uuukinitampak dia menggerak-gerakkan jari-jari tangannya. Waktu melihat gerakan jari-jari tangan itu karuan saja Pendekar 212 menjadimelengakkaget! Dia hendak mengatakan sesuatu pada Wilani. Tapi sang dara sudah melompat kearah Randu lawang seraya lepaskan satupukulan sakti!

Randulawang terkejutsekalilalucepat menyingkir. Di sampingnyasebuahguci batu hancur berantakandihantampukulan tangan kosong Wilani.

Kini sadarlah sang Ngabehikalau orang memang benar-benaringinkan nyawanya. Maka tak ayallagi diapun balas menghantam dengan satupukulan tangan kosong mengandung tenagadalam tinggi.

Wilani yang sudah nekad ingin membunuh musuh besarnya itu dengan cara apapun lipat gandakanaliran tenagadalamnya di tangankanan lalukembalimemukul.

Bangunan besar ituberderakketikadua pukulan mengandung hawa saktisalingbertabrakan. Randulawang terpental dan tersandar ke dinding. Mukanya pucat. Wilani tegak tergontai-gontai. dadanya terasa sakit. Didahului oleh teriakan keras murid Datuk Buntung Cemoro Sewu ini cabut pedangnya lalumenyerbukearahlawan.

Randulawang  terkesiap  ketika  melihat  kilauan  sinar  pedang  di  tangan  sang  dara.  Dia melompat kekiri, menyambarsebilah tombakbesi berlapis emas.

“Gadis gila!” teriakRandulawang. “Kalau kaubenar anaknya Adi Juwono, lihatbaik-baik! Tombak iniadalah milikayahmu! Dengan senjata ini aku akan membunuhmu!”

Disebut  dirinya  gadis  gila,  apalagi  mendengar  ucapan  Randulawang  bahwa  tombak  di tangannya adalah milikayahnya, Wilani menjerit keras. Lalu tubuhnyalenyap terbungkusbayang- bayang pedangnya sendiri! Sang dara langsung keluarkan jurus-jurus ganas dari ilmu pedangnya. Meskipun memegang tombak mustika di tangan namun segera saja Randulawang terdesak hebat. Ketua   Perserikatan   Silat   Bintang   Biru   ini  menggembor  marah.  Masakan   dia  yang   sudah berpengalaman begitulama dan menyandang nama besar sanggup didesak lawan yang masihhijau. Maka diapun keluarkan jurus-jurus  simpanannya. Dalam satu gebrakan hebat tombak di tangan Randulawang yang tiba-tibabisaberubah panjang berhasilmemukullepaspedang di tangan Wilani. Lalu secepat kilatujung tombak menusuk kearah gadis ini!

“Manusia durjana! Aku mengadu nyawa denganmu !” teriak Wilani.

PuteriAdi Juwono itu melompat sebat ke kiri. Tusukan tombak lewat satu jengkal saja dari dadanya.



Ketika   Randulawang  berbalik   dan  memburu,   gadis   ini  tampak  mengeruk  ke  balik pakaiannya. Di lain kejap ketika dia memukulkan tangan kanannya ke depan, melesatlah belasan senjatarahasiaberbentuk jarum halus berwarna putih!

“Awas senjatarahasiai” teriak Wirasaba memperingatkan. Namun saat itudiapun mendapat serangan darisamping.

“Aaaa....uuuu....aaaa...uuuu.”

Wirasaba menyingkir selamatkan diri. Namun terlambat. Salah satu tangan pemuda gagu yang bergerak aneh berhasil menggapai dadanya. Breet! Pakaian kuning wakil ketua perserikatan ini robekbesarbersimbah darah. Wirasaba menggereng keras antarakesakitan dan marah. Tangan kanannya bergerak ke punggung. Ternyata dia membekal sebentuk senjata berbentuk keris tetapi memiliki  panjang  hampir  empat  jengkal.  Senjata  ini  memancarkan  sinar  hitam  redup  tanda mengandung racun jahat!

“Aaaa...uuuu....aaaa....uuuu...” Pemuda gagu merangsak terustanpaperdulikan senjata yang menderu-derukearahnya. Sementara itu Wirasaba merasakantubuhnya menjadikepanasan sedang mukanya tampak merah dan mulai menggembung. Inilah racun kepiting yang telah mengendap di jalandarahnya yang berasaldaricakaran pemuda gagu.

“Aaaa...uuu...aaa...uuu....” Si gagu sambut tusukankeris dengan tangankanannya. Breeettt! Lengan pakaian pemuda iturobek. Dagingnya tampakmelepuhdandarah yang mengucur kelihatan hitam! Tapi sambil keluarkan suara aaa...uuu... aaa... uuu...pemuda ini menyeringai. Dia usapkan tangan kanannya ke lengan kirinya yang luka besar. Ajaib. Luka itu menutup dan sembuh tanpa bekas!

Melihat hal ini Wirasaba jadi terbeliak kaget.  Sesaat dia berlaku  lengah. Dan ini  sudah cukup bagi si gagu untuk melompatinya lalu menggulungnya dengan dua tangan dan dua kaki! Yang  terdengar  sesudah  itu  hanyalah jeritan  wirasaba  diseling  suara  daging  tubuhnya  seperti dicacah. Tulang-tulangnyaberderak remuk!

Ketika pemuda gagu lepaskan tubuh Wirasaba, tubuh itu sudah tidak seperti tubuh lagi. Hancur bergelimang darah. Mukanya bengkakmerah. Salah satumatanya membusaikeluar! itulah keganasan  “ilmu  kepiting   gila”  yang  didapat pemuda tersebut yang didapat dari sepasang kakek neneksaktidi muara pantai selatan!

Kembali pada perkelahian antara Wilani  dengan Randulawang. Dengan mempergunakan tombak  emas  milik  Adi  Juwono  lelaki  itu  mampu  meruntuhkan  delapan  jarum  emas  yang menggempurnya.  Enam  lainnya  dapat  dielakkannya.  Tapi  dua  buah jarum  berhasil  lolos.  Satu menyusup dipahakirinya,satulagi di bahu kanan.

“Setan alas!  Sudah saatnya kau menyusul bapakmu!” teriak Randulawang. Dia berusaha  mencabut jarum yang menancap di bahukanannyatapi sia-sia. Jarum itu amblassampaikeekornya!



Menggembor marah Randulawang lemparkan tombak emas  di tangan kanannya ke arah Wilani.  Senjata ini melesat laksana anak panah. Dua jengkal lagi ujung tombak akan mencapai kepala sang dara, dari samping datang memapas sebilah pedang.

Traaaang!

Tombak emas mental. Pendekar 212 tegak sambil silangkan pedang milik Wilani di depan dadanya! Wilani hendak mengatakan sesuatu tetapi saat itu Randulawang telah menerjang dengan sebilah senjataanehdi tangankanannya.

Senjata  ini terbuat  dari besi kuning, bergagang  seperti tongkat  sedang ujungnya berupa lingkaran pipih yang luar dan dalamnya sangat tajam. Begitu senjata ini diputar, terdengar suara menderu dahsyat disertaiterpaan angin keras. Wilani merasakan sekujur tubuhnya sepertiberadadi atas sampan yang digoyang ombak besar.

Wuuuttt!

Senjata di tangan Randulawang berkiblat. Wilani melompat mundur. Tapi luar biasanya  senjatadi tangan lawan seperti hidup dankini meluncur kearah kepalanya. Sekali bagian berlubang  dari senjata inisempatmasuk kekepala sang dara, pasti putuslahlehernya begitusenjatadisentakan.

Wuuutt!

SenjataRandulawang kembalimembabat, untuk kedua kalinya Wilani berhasil menghindar. Tapipadakaliketiga gerakannyamengelak tertahan oleh dinding. Sebelum lawan mengejar Wilani hantamkan kedua tangannya. Dua gelombangangin menerpa dahsyat.

Randulawang  ganti  tertawa,  sekali  dia  sapukan  senjatanya,  dua  angin  pukulan  Wilani langsung  buyar  dan  si  gadis  sendiri  terpekik  karena  tubuhnya  kena  dihantam  oleh  angin serangannya yang berbalik. Saat itulah senjataRandulawang datang dari atas lalumelesat kebawah mengincar kepalanya!

“Aaaa...uuu...aaa...uuu!”

Pemuda  gagu  tampak  melompat  ke  udara.  Kaki  kanannya  menendang  laksana  petir menyambar. Kraaaakk!

Terdengar suara patahnyatulanglengankanan Randulawang. Breeett!

Senjata Randulawang yang tadinya bakal membelah kepala Wilani kini terbanting ke atas lalumembabat kebawahdanmasihsempat merobekpakaiandibagian punggung Wilani!

Jeritan Randulawang seperti anjing melolong. Tapi hebatnya manusia ini, dalam keadaan tangan cidera begitu rupa diamasih mampu memindahkan senjatanya ke tangan kiri.

Begitu gagang senjata tergenggam di tangan kirinya langsung dibacokan ke kepala Wilani. Sang dara tidak menyangka kalau lawan mampu melakukan serangan begitucepat.

Untuk  kedua  kalinya  nyawa  gadis  ini  terancam.  Namun  untuk  kedua  kalinya  pula  dia selamatkan. Kali iniolehkapak saktibermatadua milik Pendekar 212 Wiro Sableng.


 mencuatdalam ruangan itu, mengeluarkan suara sepertiratusan tawon mengamuk disertai berkiblatnyasinarmenyilaukan yang menghamparkan hawa panas.

Traaang!

Mata kapak menghantam senjatadi tangan kiri Randulawang. Senjataberbentuk tongkat dan gelang pipih itu mencelat mental dan terjadilah satu hal yang luar biasa yang tidak diduga serta tidak dapat dicegaholehsiapapun!


* * *




13


DALAM SEBUAH KAMAR di ujung ruangan, seoarang perempuan berwajah ayu, berusia sekitar tiga puluhan tersentak bangun dari tidurnya oleh suara gaduh perkelahian yang terjadi di ruangan  depan.  Sesaat  dia  masih  berbaring  di  atas  tempat  tidur,  berpikir  apakah  dia  tengah bermimpi  atau bagaimana.  Tapi  suara bentakan  serta  suara beradunya  senjata jelas  datang  dari ruangan depan. Bahkan dia mengenali suara seruan suaminya.

Perempuan di atas ranjang yang bukan lain adalah Juminten, bekas istri ke dua mendiang Adi  Juwono  turun  dari  pembaringan.  Selama  kawin  dua  belas  tahun  dengan  Randulawang perempuan initidak dikaruniai anak.

Dengan penuh perasaan heran tetapi juga kaget serta kecut Juminten melangkah ke pintu kamar. Pintu kamardibukanya lebar-lebar lalu perempuan inimelangkah keluar.

Malang baginya,  dia keluar  dari  dalam kamar tepat  pada  saat  senjata tongkat berujung lingkaran pipih tajam milik Randulawang yang terlepas dan mental akibat hantaman Kapak Maut Naga Geni 212 mental tepat kearahnya.

“Juminten awas!” teriakRandulawang memberi ingat. Tetapi percuma. Bagiantajam senjata itu menghantampertengahan dadaistrinya dengantelak.

Juminten  terbanting  ke  sanding  pintu.  Dari  tenggorokannya  keluar  suara  seperti  orang mengorok.  Suara  itu  kemudian berganti  dengan  suara jeritan  lalu  tubuhnya melosoh  ke  lantai. Perempuan keji yang pernah menghianatisuami pertamanya itu mati dengan mata mendelik.

“Juminten!” raung Randulawang lalu melompathendak menubruk istrinya.

Ketika Randulawang melompat saat itu pula pemuda melesat lalu memiting pinggangnya. Randulawang hantamkan lututnya. Lutut itutepat menghantam dagupemuda gagu. Namun seperti sama  sekali  tidak  merasakan,  pemuda  itu  terus  saja  menelikung  tubuh  Randulawang  sampai akhirnyakeduanyajatuhtergulingdi lantai ruangan.

Randulawang berusaha melepaskan  diri  dari jepitan “ilmu silat kepiting gila” tapi tidak mampu. Sebagian besar tubuhnya saat itu sudah lukaberkelukuran dicabik jari-jari tangan pemuda gagu yang berkukupanjang.

“Jangan bunuh dia! diaberhutang nyawa ayahku!” teriak Wilani.

Entah mengapa mendengar teriakan itu pemuda gagu lepaskan cengkeraman mautnya lalu melompat berdiri. Merasa dirinya bebas, walaupun terluka parah sekujur badannya dan kulit serta dagingnya mulai bengkakkemerahan Randulawang cepat berusaha bangkit berdiri. Di hadapannya Wilani melangkah mendekati dengan pedangdi tangan.


 menghantam dengan pukulan sakti. Tapi tangan itu tak mampu lagi digerakkan. Dia melangkah mundur, laluberhentikarenakedua kakinyapunkutakbisa lagi dilangkahkan. Racun kepiting gila telah melumpuhkan dirinya secara aneh yaitu tak mampu menggerakkananggotabadan tapimasihbisa berdiridan bicara.

“Jangan!   Ampun!   Ampuni   dosaku!”   teriak   Randulawang   ketika   dilihatnya   Wilani mengangkat tangannya yang memegang pedang.

Namun  senjata  di  tangan  si  gadis  sudah  menderu  ke  bawah.  Luka  panjang  tampak  menyilangdariperutsampaike pinggul. Randulawang menjerit setinggi langit. Tubuhnyatergontai-  gontai. Matanya melotot. Sepertikemasukan setan Wilanibacokan lagi pedangnya. Lagidan lagi....!

Randulawang menjeritdan meraung. Jerit manusiaini menggidikan bulu tengkuk. Lalu hek! Suara jeritan  itu  mendadak  lenyap  ketika  pemuda  gagu  dengan  tiba-tiba  saja  melompat  dan menusuk kan tombak milikmendiang Adi Juwono kemulut Randulawang!

Tombak  itu  menembus   lidah  Randulawang  terus  menusuk   sampai  bagian  belakang tenggorokannya dan akhirnya tembus kebagian belakang kepala! Ketika si gagu terus mendorong dan menusukkantombakituke dinding, tubuh Randulawang terpentang mengerikan seperti disate! “Aaaa...uuu...aaaa...uuu!” Pemuda gagujatuhkandiridan duduk bersimpuhdi lantai. Di sebelahnya agak ke depan  sedikit Wilani telah lebih  dahulu berlutut  sambil tekap wajahnya dengan kedua tangan. Bahunyabergoyang-goyang tanda dia tengah menahan goncangan hati yang sangathebat.

Berada  di belakang Wilani pemuda  gagu perhatikan tubuh  gadis itu.  Tiba-tiba matanya terpentang memperhatikan punggung Wilani yang tersingkap akibat bajunya robek oleh sambaran senjataRandulawang.

“Tanda itu ... Tanda itu!” kata si gagu dalam hati. “Hanya ada satumanusia yang memiliki tanda  seperti itu!” Pemuda ini melompat  dan melangkah ke hadapan Wilani. Kedua tangannya langsung memegang wajah  si gadis. Merasa dipegang orang Wilani turunkan kedua tangannya. Pandangannya beradu dengan sepasang matapemuda gagu.

“Jangan berani berlakukurang ajar menyentuhdiriku!” teriak Wilani hendakmarah.

“Aaa ... uuu ... aaa ... uuu....”

Pendekar  212  Wiro  Sableng  melangkah  di  antara  kedua  orang  itu  lalu  berpaling  pada pemuda gagu.

“Ki sanak, ketika sahabatku ini tadi berteriak pada Randulawang, mengatakan bahwa dia adalahanak Adi Juwono yang dibunuh dua belastahun silam,akumelihat kau meggerak-gerakkan jari tanganmu. Kau menyampaikan tanda mengatakan bahwa kau adalah juga anak mendiang Adi Juwono .... Betul begitu?”



“Aaa ... uuu ... aaa ... uuu!” Pemuda gagu mengangguk berulang kali sedangkeduamatanya memandang kearah Wilani yang saat itutiba-tiba saja jadi terbelalakmendengar ucapan Wiro dan melihat pemuda di hadapannya mengangguk berulang kali.

“Jadi ....Kau mengenalisiapa adanya gadis ini?” tanya Wiro ingin kepastian.

Pemuda  gagu  gerakkan  jari-jari  tangannya  cepat  sekali  sementara  air  mata  tampak berjatuhanke pipinya.

“Wilani, dia mengatakan bahwa dia mengenali tanda biru yang tersingkap dipunggungmu. Tanda biru itukatanya serupa dengantanda yang dimilikiadiknya. Dia yakin kauadalahadiknya!”

Kedua mata Wilani semakin membelalak.

“Jadi....jadi....,”  Wilani  tidak  meneruskan ucapannya. Jerit tangisnya, pecahlebih dahulu. Lalu dia menghambur memeluk tubuh pemuda di hadapannya.

“Kakak Ario.... Kakak Ario Seno! Betul kau inikakakku Ario Seno....?” tangis Wilani.

“Aaa....uuu .... aaa .... uuu....”

Wilani merasakan pemuda yang memeluknya itu menganggukkan kepala.

“Kakak Ario!” jerit Wilani. “Aku ini adikmukak! Aku Wilani....!”

Keduanya berangkulan kencang-kencang dan tenggelam dalam isak tangis. Pendekar 212 hanya bisa tegak sambil garuk-garuk kepala. Lalu, ketika dia memandang ke arah pemuda yang memeluk   Wilani,   dilihatnya   walau   menangis   pemuda   itu   menyeruakkan   senyum.   Dan diperhatikannya  bagaimana  Ario  Seno  menggerakkan jari-jari  tangannya,  menyampaikan  tanda yang berarti : “Jangan cemburu. Aku kakakkandungnya sungguhan!”

Wiro  garuk-garuk kepala lalu balas menggerakkan jari-jari tangannya, mengatakan pada Ario Seno : “Aku tidak cemburu. Cuma sedang mencari akalbagaimana caranya pura-pura terharu laluikut-ikutan memelukadikmu yang cantikitu!”

Ario Seno tertawa lebar dankedipkan mata kanannya. Wiro membalas dengan mengedipkan mata  kirinya.  Tidak terduga  sewaktu  dia  mengedip begitu  sang  dara  palingkan  kepalanya  dan melihat apa yang dilakukan Wiro.

“Ah, celaka! Pasti dia salah sangkalagi. Pasti dia akan mendampratkulagi!”

Namun sangkaan Pendekar 212 kali inikeliru.

Wilani justrutersipu.

Lesung pipit menyeruak di kedua pipinya. Lalu gadis ini kedipkan mata kanannya pada Wiro! Saking senangnya murid Sinto Gendeng ini melompat dan bergelantungan pada kayu atas pintu ruangan sambil mengoncang-ngoncangkan kedua kakinya!

  


                              TAMAT   



Penulis : BASTIAN TITO

CREATED : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive