Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Senin, 20 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - MAUT BERNYANYI DI PAJAJARAN

https://matjenuh-channel.blogspot.com



 

SATU

Di bawah terik panasnya matahari di siang bolong itu maka bertiuplah angin kencang
dan gersang. Debu pasir di pedataran beterbangan ke udara, memekat tebal, menutup
pemandangan beberapa saat lamanya.
Suara siulan aneh yang melengking-lengking membawakan lagu tak menentu terdengar
di lereng bukit di ujung  pedataran. Siulan aneh ini seperti mau menerpa dan
menumbangkan
hembusan angin gersang yang datang dari pedataran.
Tiba-tiba sekali suara siulan aneh ini terhenti!
Sebagai gantinya mengumandangkan suara tertawa mengekeh di seantero bukit.
Pemuda berpakaian putih yang ada di puncak bukit saat itu memandang ke samping.
Sebelum jelas telinganya menangkap suara tertawa tadi sejenis cairan harum telah
melesat ke
arahnya. Kalau saja dia tidak cepat-cepat melompat ke belakang pastilah sebagian
mukanya
kena disambar cairan itu. Cairan yang tak mengenai si pemuda baju putih rambut
gondrong ini
menghatam pohon besar. Bukan olah-olah hebatnya semburan cairan aneh tadi itu!....
Si pemuda sendiri kejutnya bukan kepalang. Baru saja setengah harian berjalan tahu-
tahu sudah ada orang lain yang inginkan nyawanya! Dia memandang ke arah datangnya
semburan cairan aneh tadi. Baru saja dia palingkan kepala mendadak dari atas menderulah
ratusan tetes cairan tadi laksana air hujan yang deras ditiup badai!
Pemuda itu berseru nyaring dan hantamkan tangan kanannya ke atas. Ratusan tetes
cairan itu muncrat kembali ke atas dan ratusan lagi menyibak ke samping. Daun-daun
pohon
tembus berlubang-lubang sedang batang-batang kayu seperti kena tusukan paku!
Gelak mengekeh menggema lagi di seantero puncak bukit. Anehnya si pemuda belum
juga dapat mencari dengan matanya, manusia yang telah mengeluarkan suara tertawa itu.
Padahal
jelas dekat sekali kedengarannya.
Hatinya penasaran sekali. Sambil garuk kepala dia memandang berkeliling. Kedua
matanya kemudian tertuju lekat-lekat pada sebatang pohon raksasa yang tinggi menjulang
ke
langit, mungkin lebih dari tiga puluh meter tingginya. Suara tertawa itu datang dari atas
pohon
tapi orangnya masih tak kelihatan. Mungkin tertutup oleh daun-daun pohon yang lebar-
lebar dan
lebat.
“Manusia di atas pohon!,” bentak pemuda itu: “Kalau berani buka urusan, berani unjuk
diri!” Sehabis berkata begitu pemuda itu pukulkan telapak tangan kanannya ke atas.
Serangkum
angin yang dahsyatnya laksana topan melanda pohon raksasa itu. Ranting dan cabang
berpatahan.

 
Daun-daun berguguran. Hampir sekejapan mata saja maka pohon raksasa yang menjulang
ke
langit itu sudah menjadi ranggas gundul!
Dan di puncak batang pohon yang masih utuh kelihatanlah duduk seorang laki-laki tua
berselempang kain putih. Karena tingginya pohon itu tampangnya tak kentara betul. Tapi

jenggotnya yang panjang sampai ke dada dilihat jelas berkibar-kibar ditiup angin gersang
dari
pedataran. Pada pangkuannya ada sebuah bumbung bambu yang panjangnya sekira satu
meter.
Bumbung bambu seperti itu masih ada satu iagi tergantung di belakang punggungnya. Dan
kedua
bumbung bambu itu berisi tuak murni yang harum sekali dan lezat rasanya. Tuak itulah
tadi yang
telah disemburkannya kepada pemuda yang di bawah pohon!
Pukulan tangan kosong si pemuda yang telah meluruhkan cabang-cabang dan daun-daun
pohon mau tak mau akan membuat mental si orang tua berjanggut putih diatap pohon.
Sekurang-
kurangnya akan membuat terluka tubuhnya di sebelah dalam. Tapi anehnya saat itu si
janggut
putih tetap saja duduk enak-enak berpangku kaki di puncak pohon yang gundul itu,
bahkan
sambil meneguk tuaknya dan tertawa-tawa, seakan-akan tak ada terjadi apa-apa!
Bukan main geramnya pemuda itu. Tapi untuk bertindak gegabah dia tidak mau. Manusia
tua di puncak pohon tinggi berjanggut putih dengan dua buah bumbung tuak itu pernah
diceritakan oleh gurunya waktu dia masih di puncak Gunung Gede. Dia adalah seorang
pendekar
sakti dari empat puluh tahun yang lalu jarang memperlihatkan diri dan dia adalah golongan
persilatan putih, artinya yang mempergunakan ilmu silat dan kesaktian untuk maksud-
maksud
baik. Tapi mengapa tadi dia telah mempergunakan tuaknya untuk menyerang adalah tidak
dimengerti si pemuda rambut gondrong.
“Orang tua!” seru si pemuda. Bibirnya bergetar tanda ucapannya disertai tenaga dalam
agar dapat sampai ke puncak pohon raksasa yang tingginya lebih dari tiga puluh meter.
“Kalau
aku tidak salah lihat bukankah hari ini aku berhadapan dengan seorang tokoh terkenal di
dunia
persilatan yang digelari Dewa Tuak?”
Orang tua di puncak pohon elus jenggotnya sebentar, teguk tuak lalu tertawa lagi macam
tadi. “Orang muda! Matamu sangat tajam dapat mengenali aku yang sudah delapan puluh
tahun
ini! Tapi apakah kau mau terima undanganku untuk datang ke puncak pohon ini dan
meneguk
tuak harum dari Kahyangan bersamaku?” Begitulah. Dewa Tuak menamakan tuaknya dari
“kahyangan”. Memang soal rasa dan harumnya tuak itu sukar dicari tandingan.
Si pemuda tersenyum. “Orang tua, kau baik sekali. Hari ini aku ada keperluan mendesak.

 
Mungkin di lain kali aku bisa terima undanganmu.... Terima kasih atas kebaikanmu dan
sungguh
senang rasanya dapat kenal dengan seorang tokoh persilatan yang selama ini namanya
dikenal di
delapan penjuru angini”
“Ah, kau keliwat memuji, orang muda,” jawab Dewa Tuak pula. “Aku sudah lihat kau
sejak dari ujung pedataran gersang sana. Kutunggu kau sampai kesini. Tapi sampai di
hadapanku
kau menolak undanganku. Mungkin tuakku ini kurang baik? Tidak harum.. .?”
Si pemuda berpikir sebentar. Agaknya tak menjadi halangan kalau dia menerima
undangan Dewa Tuak dan bicara-bicara dengan orang tua itu di puncak pohon.

 Mulutnya
dikatup
rapat-rapat, kedua tangan mengembang ke samping dan kedua kaki menghenjot bumi
maka
laksana seekor elang melayanglah pemuda itu ke puncak pohon. Puncak pohon itu selebar
meja

bundar luasnya. Meski tidak beranting dan bercabang serta tak berdaun lagi namun
ditempat
setinggi itu sejuk juga rasanya.
“Aku terima undanganmu. Dewa Tuak,” kata si pemuda seraya duduk disatu bagian yang
menonjol bekas patahan cabang pohon.
“He... he... he...,” Dewa Tuak girang sekali. “Memang tak ada ruginya menerima
undanganku orang muda. Tuak enak, tempat duduk bagus. Seantero daerah sini bisa kau
tihat
dengan jelas!”

 
Memang ketika duduk di atas pohon itu si pemuda dapat melihat pemandangan indah
sejauh mata memandang. Dewa Tuak segera ambil salah satu bumbung tuaknya dan
memberikannya pada tamunya.
“Kau biasa minum tuak, anak muda?”.
Si pemuda itu menjawab. “Pernah juga”. Padahal seumur hidupnya baru hari itu dia
melihat dan membual serta akan merasakan minuman yang
bernama tuak itu. Disambutinya
bumbung bambu itu dari tangan Dewa Tuak sementara Dewa Tuak mengambil bumbung
yang
satu lagi dia masih juga berpura-pura menikmati pemandangan sekelilingnya.
“Ayo orang muda, silahkan minum!”. Dewa Tuak memperbasakan: “Kau harus tahu,
tuakku tuak murni. Kalau belum biasa nanti kau bisa mabuk atau pusing dan
menggelinding dari
pohon ini!”

 
Si pemuda tertawa. Ditempelkannya bibimya ke tepi bumbung bambu. Sedikit saja tuak
itu menjalari tenggorokannya maka seluruh badannya menjadi hangat, pemandangannya
menjadi
jernih sedang pikirannya terasa tenang!
“Bagaimana rasanya?”.
“Tuakmu betul-betul bagus sekali, orang tua. Tak salah kalau kau namakan tuak dari
kahyangan!“.


Dewa Tuak tertawa senang.
“Kau ini datang dari mana, anak muda?”.
“Barusan dari Jatiwalu...”.
“Jatiwalu kampung jelek. Banyak rampok...,” kata Dewa Tuak pula. “Dan rampoknya
orang situ-situ juga”
Si pemuda berpikir kalau Dewa Tuak tahu apa yang terjadi di Jatiwalu kenapa dia tidak
turun tangan?
Dewa Tuak agaknya maklum apa yang terpikir oleh si pemuda. Lantas dia berkata: “Aku

malas dan bosan dengan urusan-urusan tengik macam begituan. Karenanya kubiarkan saja
apa
yang terjadi di kampung itu. Orang kampung sana agaknya tidak mau perduli dengan
nasib
mereka. Lebih senang ditindas. Nanti keadaan di sana akan baik sendirinya...” Dewa Tuak
meneguk tuaknya kembali.
Setelah diam beberapa lamanya bertanyalah si pemuda: “Dewa Tuak, apakah pohon
besar ini tempat kediamanmu?”
“Kenapa kau tanya begitu?”
“Karena kalau betul berarti aku yang muda telah turun tangan semena-mena membuat
pohon ini jadi gundul begini! Dan aku harus haturkan maaf kepadamu... !”
Dewa Tuak tertawa mengekeh sampai tuaknya berlelehan di tepi mulut.
“Aku senang pada pemuda macammu. Tak percuma satu tahun aku duduk di sini
menunggu. Kau cocok buat jodoh muridku!”
Dewa Tuak meneguk tuaknya lagi tapi sambil meneguk matanya melirik pada si
pemuda.
Akan tetapi si pemuda tentu saja kagetnya tiada terkira, mendengar ucapan DewaTuak

itu. Mukanya merah karena jengah. Rupanya dunia ini terlalu banyak manusia-manusia
aneh,
pikirnya. Diteguknya sedikit lagi tuak harum dalam bumbung. Kemudian bumbung bambu
itu
diserahkannya kepada pemiliknya kembali.
“Dahagaku sudah lepas Dewa Tuak. Tuakmu enak sekali. Aku ucapkan terima kasih
dan sekarang aku minta diri untuk meneruskan perjalanan.,..”
“Ah, orang muda, matahari masih belum bergeser, angin masih sejuk dan pemandangan
indah masih banyak yang belum kau lihat. Kenapa musti kesusu?”.

 
Si pemuda tersenyum. “Kurasa sudah cukup. Di lain hari jika ada kesempatan aku yang
muda ini pasti akan membalas undangan serta suguhan tuakmu yang enak itu...”.
Dewa Tuak letakkan kedua bumbung tuaknya di pungggung. Ditepuknya bahu pemuda
itu. “Kau tak boleh pergi anak muda. Kau musti ketemu dulu dengan muridku. Kau
berjodoh
dengan dia! Mari kita turun!”.
Dewa Tuak menarik lengan si pemuda dan keduanya loncat turun ke tanah laksana dua
ekor burung rajawali. Tapi sampai di tanah si pemuda segera lepaskan tangannya yang
dipegang dengan halus. Dia menjura hormat: “Lain kali kita bertemu lagi, Dewa Tuak.

 
Terima
kasih atas suguhanmu!”
Tapi baru saja si pemuda berlalu beberapa tombak, tubuhnya sudah terhenti dan tertarik
ke belakang kembali. Seutas benang sutera halus telah melilit pinggangnya. Ternyata
Dewa
Tuaklah yang empunya benang itu dan menariknya.
“Anak muda, aku sudah bilang kenapa buru-buru. Kau belum ketemu dengan muridku...
Mari...”
Kalau bukan berhadapan dengan Dewa Tuak mungkin si pemuda sudah keluarkan
semprotan memaki. Namun saat itu dengan menahan hati berkatalah si pemuda: “Dewa
tuak,

 
kita baru saja berkenalan hari ini. Manusia bodoh dan jelek macam aku ini mana pantas
dijodohkan dengan seorang murid pendekar besar macam kau! Masih banyak lain orang
yang
lebih pantas!”
Pemuda itu hendak berlalu lagi tapi benang sutera halus itu masih juga meliliti
pinggangnya. Meneliti sutera halus itu si pemuda bukan tak mampu untuk
memutuskannya.
Tapi dia khawatir itu akan membuat Dewa Tuak tidak bersenang hati. Sementara itu
didengarnya Dewa Tuak mengeluarkan Suara suitan aneh.

 
Sesosok bayangan ungu muncui di hadapan pemuda itu dan nyatanya adalah
seorang gadis berpakaian ungu dan berpita ungu. Metihat paras gadis ini mau tak mau
pemuda rambut gondrong itu tertarik juga.
“Orang muda? Kau lihat sendiri. Muridku toh tidak jelek?! Bagaimana...?”
Paras si pemuda jengah sekali. Gadis baju ungu lebih lagi. Ditundukkannya
kepalanya sampai dagu dan dadanya hampir menempel.
“Muridmu memang cantik Dewa Tuak,” kata si pemuda. “Tapi tampangku yang
terlalu buruk sehingga tidak cocok! Sebaiknya cari pemuda yang dia sukai sendiri.

 
Dewa Tuak. Selamat tinggal!”
Habis berkata demikian si pemuda sentil benang sutera yang melilit pinggangnya.
Benang itu putus!
“Pemuda geblek! Dikasih perawan malahan kabur!,” maki Dewa Tuak. Dia
berseru: “Hai pemuda! Tunggu dulu! Kau masih belum terangkan nama!”.
Orang tua ini keluarkan segulung tali rotan dan dilemparkannya ke arah pinggang
pemuda yang tengah larikan diri. Si pemuda yang tahu dirinya hendak dilibat kembali
pukulkan telapak tangan kanannya ke belakang.

 
Sesiur angin kencang menderu deras, menahan lontaran tali rotan, terus
menyambar ke arah si orang tua. Dewa Tuak terpaksa loncatkan diri ke atas karena
maklum angin yang datang menyambar itu bukan angin biasa. Sambaran angin

memberantakkan semak-belukar rendah kemudian menghantam pohon kayu besar.
“Krak”
Tak ampun lagi pohon raksasa itu tumbang patah dua dengan suara berisiknya
hampir terdengar di seluruh lereng bukit. Dewa Tuak geleng-gelengkan kepalanya.
“Sayang... sayang...,” katanya. “Sayang aku tak dapatkan itu pemuda...”. Ketika
dia memasukkan tali rotannya ke balik pakaiannya, orang tua ini terkejut. Pada bagian
pohon besar yang masih berdiri di tanah tapi akar-akarnya hampir berserabutan ke luar,
kelihatan tertera tiga buah angka 212. Dewa Tuak memandang pada gadis baju ungu
disampingnya lalu memandang lagi pada tiga buah angka dibatang pohon dan leletkan
lidah kemudian merenung.
Tiga deretan angka itu telah menggemparkan dunia persilatan pada dua puluh
tahun yang lalu. Tiga deretan angka yang berarti maut bagi kaum persilatan itu golongan
hitam! Apakah kini angka 212 itu telah muncui kembali?! Dunia persilatan pasti akan
gempar seperti masa dua puluh tahun yang lalu! Tapi yang menjadi tanda tanya besar di
kepala Dewa Tuak saat itu ialah siapa adanya pemuda gagah tadi. Apakah dia muridnya
Eyang Sinto Gendeng? Kalau betul berarti munculnya kembali seorang tokoh gagah
dengan gelar: “Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212...”!
Dewa Tuak palingkan kepala pada anak muridnya.
“Anggini! Kau telah lihat kehebatan itu pemuda. Kau musti cari dan kejar dia!
Musti dapat! Kalau tidak dapat jangan kembali kepertapaan...”
“Tapi guru...”
“Tidak ada tapi-tapian. Anggini! Kejar pemuda itu. Kau ... dengan jalan apa pun
musti bisa ambil dia jadi kawan hidupmu karena dia akan menguasai dunia persilatan
dalam waktu yang singkat!”
Anggini si gadis baju ungu berdiri termanggu.
“Tunggu apa lagi?” tanya gurunya.
Gadis ini tak bisa berkata apa-apa lagi melainkan segera meninggalkan tempat itu
ke jurusan lenyapnya si pemuda yang telah menerakan angka 212 pada batang pohon!
-- == 0O0 == --

DUA

Sang surya sudah lama bergeser ke ufuk barat. Warnanya yang tadi demikian
terik menyilaukan kini memudar merah kekuningan seperti tiada sanggup menahan
diinya dirampas oleh kedatangan sore. Sore yang akan dirampas oleh senja dan senja
yang akan bertekuk lutut di pintu malam.
Jalan yang ditempuh pemuda itu semakin sukar. Berliku dan menanjak. Di kiri
kanan senantiasa mengapit batu karang putih yang tiada berubah dari zaman ke zaman
atas kerasnya. Mendadak dari puncak batu karang di sebelah timur melengking suara
suitan aneh yang menusuk sepasang gendang-gendang telinga si pemuda. Dengan
waspada pemuda ini putar kepala dan mendongak ke atas.
Puncak karang itu tingginya sekira dua puluh lima tombak. Curam dan terjal
sukar didaki. Tapi mata si pemuda yang tajam dapat melihat bekas cungkilan-cungkilan
pada sepanjang lereng karang mulai dari bawah sampai ke atas. Cungkilan-cungkilan itu
merupakan tangga penolong. Meski demikian, jangan harap manusia biasa bisa
mempergunakannya. Sekali tergelincir tubuh akan amblas ke bawah, ditunggu oleh
unggukan batu karang runcing!
Suara suitan aneh itu terdengar lagi lebih keras dan nyaring dari yang pertama.
Dan sesaat mata si pemuda berputar kembali ke puncak batu karang itu dia terkejut
melihat kemunculan seorang tua bermuka brewok yang kaki kanan dan tangan kanannya
buntung. Anggota badan yang buntung ini disambung dengan kayu. Pada ujung kayu
dari lengan menancap sebuah benda berbentuk arit yang bergemerlap ditimpa sinar
matahari di ambang sore itu! Di tangan kirinya ada sebuah tongkat biru dari besi murni.
Karena puncak karang di mana manusia berewok ini berdiri tinggi sekali maka si

pemuda tak dapat mengenali dengan jelas potongan muka orang ini, apalagi tertutup
berewok.
Hanya samar-samar bisa dilihatnya bahwa manusia ini adalah seorang tua yang
bertampang
angker. Melihat kepada berewok yang memenuhi mukanya keraslah hati si pemuda bahwa
dia
sudah dekat ketempat tujuannya. Mungkin juga sudah sampai.
Dipandang tajam-tajam demikian rupa, si muka angker berewok juga memandang
pada si pemuda secara tajam menyorot. Tapi sebegitu jauh tidak buka suara.
Si pemuda yang menjadi tak sabar lambaikan tangan dan menjura hormat sedikit.
“Orang tua, aku yang muda ini mau tanya apakah ini jalannya ke Gua Sanggreng?!”.
Orang yang ditanya kerutkan kening.
“Bocah gondrong, apakah kau yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212...?!”. Pemuda yang berada di bawah batu karang terkejut sekali. Siapakah orang tua
berewok bermuka angker ini? Apakah guru atau kakak seperguruannya Bergola Wungu
yaitu
musuh yang telah mengundangnya untuk datang ke Gua Sanggreng?.
“Aku merasa tak ada orang yang menjuluk demikian, orang tua...!,” menyahuti si
pemuda yang tak lain dari Wiro Sableng adanya.  .
Si muka berewok masih memandang menyorot pada pemuda itu. Memang adalah tak
dapat dipercayanya kalau pemuda ini adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 karena
angka 212 telah menggetarkan dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tapi ciri-
ciri
yang diterangkan muridnya tentang pemuda ini cocok betul. Akhirnya si berewok bersuit
lagi.
Kali ini suara suitannya lain dari dua kali tadi. Dan sesaat kemudian muncullah sosok tubuh
berpakaian hitam. Orang ini mukanya juga berewok dan Wiro dapat mengenalinya sebagai
orang yang dulu telah menantangnya yaitu Bergola Wungu! Kini dia yakin bahwa si kaki
buntung itu punya sangkut-paut erat dengan Bergola Wungu. Dari bawah dilihatnya kedua
orang itu bercakap-cakap sedang si buntung sekali-kali menunjuk-nunjuk dengan tongkat
birunya ke arah Wiro.
Tiba-tiba mengumandanglah tawa bergelak dari si kaki buntung. Daerah sekitar situ
seperti dirobek oleh suara tertawanya. Sambil tertawa diketuk-ketukkannya tongkat di
tangan
kirinya ke atas batu karang. Batu karang itu bergetar dan bagian yang kena ketuk lebur
menjadi pasir!
Kemudian kedua mata orang tua buntung itu kembali memandang tajam pada Wiro
Sableng. “Kalau kau bukan Pendekar 212 palsu pastilah kau muridnya si Sinto Gendeng...:
Ah, kiranya kau tak ubah seperti bocah-bocah ingusan lainnya. Tak ubah seperti gurumu
sendiri! Bego dan keblinger...!”
“Jaga mulutmu, orang tua!,” bentak Wiro marah karena gurunya dimaki. Tapi diam-
diam dia juga heran kalau si muka berewok yang satu ini tahu nama gurunya. Melihat
kepada
umur mungkin kira-kira dia seumur dengan Eyang Sinto Gendeng. Berewok buntung itu
tertawa lagi. Tongkatnya diketuk-ketukkannya lagi.
“Muridku Bergola Wungu bicara terlalu hebat tentang kau. Tapi setelah berhadapan
muka nyatanya kau hanya kosong melompong! Tadinya mendengar kematian tiga muridku
aku ingin mengajaknya bertempur sampai seratus jurus. Hendak kupecahkan kepalanya
dengan tongkat biru besi murni ini! Tapi nyatanya dia adalah seorang bocah pitit, masih
pantas
ngempeng! Pakai baju pun belum becus! Pendekar potongan macammu ini sekali aku
ayunkan
tongkat saja pasti sudah kelojotan!”
Panas hati Wiro Sableng tiada terkirakan. Darah mudanya menggeru dalam
pembuluhnya. “Orang tua!,” serunya. “Bicaramu terlalu sombong! Apakah kau tahu bahwa
semut itu sanggup mengalahkan gajah? Apakah kau juga tahu bahwa manusia itu bisa
terpeles

oleh sebutir batu kecil berlumut...?!”
Si berewok kaki buntung tertawa dingin. “Barangkali kau belum tahu kebalikan
ucapanmu itu, orang muda! Tahukah kau bahwa semut itu sekali dipijak oleh gajah akan
mejret
amblas ke dalam tanah?! Tahukah kau kerikil kecil itu kalau ditendang akan mental jauh
tiada
daya?”
Wiro Sableng keluarkan suara mendengus dari hidung. “Kadangkala manusia keliwat
pintar jadi bicara terbalik-balik macam kau!,” sahutnya. “Tapi tak apa... aku tak ada
urusan
dengan kau. Biar aku bicara dengan Bergola Wungu!”.
Si orang tua tertawa berkekeh.
“Jangan sebut soal tak ada urusan, geblek! Muridku mati tiga orang...”
“Bukan aku yang bunuh...!”.
“Tapi kau turut bertanggung jawab!” Menukas Bergola Wungu.
“Buset!,” kata Wiro.”Di depan hidung gurumu kau bisa buka bacot keras Bergola! Aku
sudah datang untuk menerima tantanganmu!” 
Bergola Wungu tertawa mengejek.
“Ini bukan Gua Sanggreng, Wiro! Bukan di sini ajalmu harus kau pasrahkan!”
“Keren betul kau Bergola! Manusia kalau sudah lupa nasib memang persis macam kau!
Kau tahu bahwa kau dulu anak kampung Jatiwalu kentut?! Yang sekarang punya sedikit
ilmu
lantas jadi kepala rampok! Tapi lantas menantang aku dengan lari kepada gurunya? Kalau
aku
jadi kau lebih baik terjun dari atas puncak karang itu ke bawah, mampus bunuh diri!”
Merah muka Bergola Wungu sampai ke telinga dan ke kuduk. Mulutnya terkatup rapat.
Gerahamnya bergemeletakkan. Namun tak ada suara jawaban dari dia.
Maka berkatalah si berewok tua kaki buntung. “Bocah 212, karena kau bicara begitu
congkak tentu kau punya sedikit ilmu yang diandalkan. Aku yang sudah tua ingin sekali
bertukar pengalaman!”.
Wiro Sableng tertawa-tawa. “Kau yang sebenarnya congkak orang tua! Apakah
umurmu yang sudah bangkotan itu masih belum cukup puas untuk melakukan
pertempuran?
Tapi kalau kau berkeras hati mau iseng-iseng tukar pengalaman katamu, aku yang muda
tidak
keberatan....” Wiro gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain “Tapi aku ingin tahu
nama dan siapa kau lebih dahulu.:..”.
Si orang tua kembali tertawa macam tadi yang menggetarkan seantero daerah batu
karang itu.
“Aku adalah penghuni Gua Sanggreng yang sudah empat puluh tahun malang melintang
dalam rimba persilatan! Kau dengar itu bocah? Dan kalau kau perlu tahu namaku... akulah
yang
bernama Bladra Wikuyana Angin Topan Dari Barat!”.
Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar nama asli serta nama julukan si berewok
kaki buntung itu karena dari gurunya dia mengenai bahwa Angin Topan Dari Barat adalah
satu
tokoh persilatan sakti yang memimpin sebuah perguruan di Jawa Barat, yang namanya
cukup
tenar tapi dicurigai adalah kaki tangan golongan hitam (golongan jahat).
Namun demikian pemuda ini sama sekali tidak unjukkan paras kecut. Malah dia tertawa
bergelak: “Julukanmu hebat juga, orang tua! Tapi setahuku angin itu hanyalah satu benda
kosong
belaka dan berbau busuk bila ke luar dari pantat!”
Bladra Wikuyana bersuit marah.
“Bocah setan! Kau berani kurang ajar terhadap Angin Topan Dari Barat! Terima ini...!”.
“Wuuuuuutt”!

TIGA

Angin sedahsyat topan melanda Pendekar 212. Pemuda ini balas dengan hantaman tangan
ke udara mengirimkan putaran lengan yang mengandung serangkum angin puyuh!
Hal yang hebat sekali terjadilah.
Dua pukulan angin yang sama mengeluarkan suara mengaung itu begitu bentrokkan
menimbulkan letupan udara yang kerasnya bukan kepalang. Bukit-bukit dan puncak-
puncak,
karang bergetar. Semak-belukar dan pohon-pohon rambas ke tanah. Pukulan angin puyuh
Wiro
Sableng telah membuyarkan pukulan angin topan dari tongkat Bladra Wikuyana. Namun
demikian Wiro Sableng masih kena juga diterpa kipratan angin pukulan lawan sehingga
sesaat
tubuhnya menjadi limbung huyung! 
Bladra Wikuyana terbeliak kaget.
Hantaman tongkat birunya tadi telah mempergunakan hampir sepertiga bagian tenaga
dalamnya. Dia sudah memastikan kalau tidak mampus pastilah  sekurang-kurangnya
pemuda itu
kelojotan muntah darah! Tapi kepastiannya itu tidak berkenyataan. Di bawahnya Wiro
Sableng
ditihatnya masih berdiri utuh!
Maka berserulah Bladra Wikuyana: “Orang muda! Ilmumu cukup bagus untuk
diandalkan! Aku tunggu kau di Perguruan Gua Sanggreng!”
Habis berkata begitu manusia ini menarik lengan Bergola Wungu. Sekejapan saja guru
dan murid itu lenyap dari pemandangan Wiro Sableng.
Si pemuda garuk kepala. “Tongkat itu hebat sekali!,” katanya dalam hati. Tapi dia tak
menunggu lebih lama. Segera dia lompatkan diri ke atas puncak karang yang tingginya
puluhan
tombak itu. Puncak karang itu ternyata licin sekali. Kalau saja ilmu meringankan tubuhnya
dari
kelas rendahan pastilah kakinya akan tergelincir!
Wiro memandang berkeliling mencari jejak ke mana larinya kedua orang tadi. Matanya
yang tajam segera menangkap bayangan Bladra Wikuyana dan muridnya di balik karang
sebelah
Timur. Tanpa buang waktu Pendekar 212 segera lompat ke karang yang terdekat. Laksana
seekor
rajawali demikianlah dia melompat kian kemari sampai akhirnya orang yang dikejamya itu
lenyap di sebuah jurang batu karang yang dalam sekali!
Wiro berdiri di tepi jurang batu itu, memandang ke bawah. Untuk melompat turun tidak
mungkin. Jurang itu dalamnya lebih dari seratus tombak. Berarti tidak mungkin pula Bladra
Wikuyana dan Bergola Wungu lenyap turun ke jurang batu itu. Tapi tiba-tiba Wiro melihat
sebuah tangga tali yang kuat di tepi jurang sebelah Selatan. Segera dia menuju ke sana
dan
memeriksa tangga tali itu. Dia berpikir sebentar, kemudian dengan cepat menuruni tangga
tali.
Bagian bawah jurang batu itu hampir merupakan pedataran batu yang sedikit sekali
tetumbuhannya. Penuh waspada Pendekar 212 segera memeriksa keadaan. Tiba-tiba
menggema
suara suitan dari arah Utara yang dibalas pula oleh suara suitan dari arah barat. Wiro
segera
menuju ke Barat!
Sementara itu di atas jurang, sesosok tubuh yang sudah sejak lama menguntit Wiro

Sableng hentikan langkahnya dekat tangga tali, tak berani terus ikut menuruni tangga tali
itu.
Wiro berdiri di balik sebuah batu karang berbentuk pilar. Sekurang-kurangnya batu
karang itu bisa menjadi tameng baginya dari musuh yang menyerang dengan diam-diam.
Dari
balik batu berbentuk pilar ini dia memandang ke muka. Tepat di antara dua batang kayu
besar
yang sangat rendah maka beberapa puluh tombak di mukanya dilihatnya sebuah gua
besar.
Kemudian didengarnya lagi suara suitan. Kali ini dari sebelah belakangnya. Suitan ini
disambut
oleh suitan yang menggema ke luar dari dalam gua.
Pemuda ini menunggu dengan tidak sabar. Ke mana perginya kedua orang tadi? Apakah
masuk ke dalam gua itu? Dan apakah gua Itu yang bernama Gua Sanggreng? Lalu apakah
saat itu
dia sudah berada di Perguruan Gua Sanggreng?
Tiba-tiba terdengar suara suitan yang lebih hebat dari suitan-suitan tadi. Dan Wiro melihat
dari mulut gua ke luar dua lusin manusia, semuanya laki-laki, ada yang berewokan ada
yang tidak
dan semuanya mengenakan pakaian hitam dengan ikat pinggang kain putih. Pada
pinggang
masing-masing tersisip sebatang tongkat biru yang sama bentuknya dengan milik Bladra
Wikuyana. Keduapuluh empat orang itu membentuk dua barisan panjang mulai dari mulut
gua
sampai ke pelataran batu. Tak lama kemudian muncullah Bladra Wikuyana diiringi oleh
Bergola
Wungu.
“Pendekar Kapak Naga Geni 212 tak usah sembunyi di balik pilar! Keluarlah!,” seru
Bladra Wikuyana.
Pemuda itu segera ke luar dari balik tiang batu karang dan berdiri waspada di ujung
pelataran. “Angin Topan Dari Barat! Sandiwara atau tari-tarian apakah yang akan kau
pertunjukkan kepadaku?!”
Bladra Wikuyana tertawa hambar. “Dasar manusia tolol! Ajal sudah di depan mata masih
juga mau jadi badut! Tahukah kau bahwa siapa-siapa yang sudah masuk ke mari berarti
tak ada
lagi jalan keluar! Berarti mampus di sini?!”.
Wiro Sableng menyengir. Katanya: “Kalau begitu kalian semua di sini juga sama-
sama ikut mampus dengan aku!”.
Kembali Bladra Wikuyana tertawa hambar. Ditepukkannya kedua tangannya.
“Turunkan tangga tali,” perintahnya.
Dua orang anak murid Perguruan Gua Sanggreng segera melaksanakan tugas itu.
Bladra Wikuyana berkemik. “Tangga tali telah diturunkan berarti umurmu
semakin singkat. Tapi ada syarat jika kau kepingin hidup terus...”
“Apa?” tanya Wiro Sableng kepingin tahu. “Berlutut minta ampun di hadapanku
dan bergabung denganku!”.
Wiro Sableng tertawa meledak.
“Muridmu Bergola Wungu menantang aku datang kemari untuk bertempur! Tahu-
tahu kini diajak bergabung, disuruh berlutut malah! Enak betul bikin aturan...!”
“Kalau begitu kau datang ke sini betul-betul untuk antarkan jiwa!” kata Bladra
Wikuyana pula. Habis berkata begini dia bertepuk tangan satu kali.
“Bereskan dia dengan gebrakan enam tongkat merenggut nyawa!” bentak Bladra
Wikuyana dengan geram sekali.
Maka enam orang muridnya segera melompat mengurung Pendekar 212 dengan
tongkat di tangan.
“Ketahuilah:..” kata Bladra Wikuyana pula. “Yang akan kalian hajar itu adalah
seorang bocah yang mengaku bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Mulai!”
Bladra Wikuyana bersuit keras. Keenam muridnya juga bersuit keras dan dengan

serentak menyerang Wiro Sableng!
Enam larik sinar biru mengambang di udara kian ke mari dalam gerakan yang
sangat tak menentu, mengeluarkan suara bersiuran dan kesemuanya menyerang
pendekar bertangan kosong itu. Wiro lompat ke udara dan berteriak: “Angin Topan Dari
Barat! Kerapa anak muridmu yang tak ada sangkut paut dengan aku kau suruh.maju?
Apa kau tidak punya nyali?!”.
Biadra Wikuyana menyahut dengan membentak: “Kalau kau ada urusan dengan
salah seorang di sini berarti kau berurusan dengan Perguruan Gua Sanggreng...!”
Saat itu keenam murid Perguruan Gua Sanggreng melompat pula ke udara dan
menyerang Wiro Sableng dengan sebat. Tapi dengan pergunakan jurus: Belut Menyusup
Tanah, maka Pendekar 212 yang diserang oleh mereka telah berdiri di pelataran batu
kembali. Maka bentrokkanlah enam tongkat biru itu di udara!
“Tolol,” makl Bladra Wikuyana pada murid-murudnya: “Aku beri kesempatan
tiga jurus lagi pada kalian! Kalau tak berhasil merubuhkan bangsat itu kalian musti
mundur dan terima hukuman!”.
Ternyata gebrakan enam tongkat merebut nyawa yang dikeluarkan enam murid
Perguruan Gua Sanggreng tadi tidak mampu merubuhkan Pendekar 212. Kini karena
takut terima hukuman dari guru mereka, keenamnya segera putar tongkat dengan sebat
dan lancarkan enam tusukan pada enam bagian tubuh Wiro Sableng!
“Ciaaat!”
Bentakan dahsyat menggema dan menggetarkan jurang batu itu. Bulu-bulu
tengkuk anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng meremang, bukan saja oleh
kedahsyatan bentakan tadi tapi juga menyaksikan bagaimana enam kawan mereka kini
berdiri kaku tegang di tengah pelataran karena tubuh masing-masing sudah kena ditotok
lawan. Sedang Pendekar 212 berdiri saat itu berdiri tenang-tenang bahkan bersiul-siul!
Rasa tak percaya membuat Bladra Wikuyana buka matanya lebar-lebar. Dan hatinya
merutuk. Tiba-tiba dicabutnya tongkat birunya dari pinggang dan disapukannya ke muka.
Keenam tubuh muridnya berpelantingan laksana daun kering tapi sekaiigus angin topan
dashyat
yang keluar dari tongkat ampuh itu telah melepaskan keenamnya dari totokan!
Kemudian Pemimpin atau Ketua Perguruan Gua Sanggreng itu berkata pada Bergola
Wungu: “Kau majulah, pimpin semua muridku yang ada di sini! Bentuk-lingkaran pasang
surut!”.
Mendengar ini Bergola Wungu segera melangkah ke muka seraya cabut golok panjang
dan bersuit keras tiga kali berturut-turut. Maka dua puluh empat manusia berpakaian
hitam-hitam
dengan tongkat di tangan di bawah pimpinan Bergola Wungu yang memegang golok
panjang
segera membentuk dua lapis lingkaran yang disebut lingkaran pasang surut, mengurung
Wiro
Sableng di tengah-tengah. Gilanya, yang mau diserang malah tetap berdiri tenang-tenang,
kemak
kemik dan sambil bersiul-siul.
Tiba-tiba Bergola Wungu bersuit nyaring. Maka berputarlah barisan lingkaran yang
sebelah dalam ke kiri sedang barisan lingkaran sebelah luar berputar ke kanan. Mula-mula
lambat
pelahan kemudian makin lama makin kencang, makin kencang sampai tubuh kedua puluh
empat.
manusia berpakaian hitam itu tidak jelas iagi, hanya merupakan bayang-bayang. Debu
yang
menutupi pelataran menggebu ke atas dan sambil berputar-putar itu Bergola Wungu dan
kawan-
kawannya tiada henti berteriak melengking-lengking.
Karena putaran dua barisan lingkaran itu makin cepat dan saling berlawanan serta diiringi
lengking pekik hiruk pikuk yang memekakkan dan mengacaukan pikiran lambat laun kedua
pandangan mata Pendekar 212 menjadi berkunang. Kepalanya terasa pusing. Dia tertegun
beberapa jurus lamanya. Dan dua baris lingkaran itu kini kelihatan semakin menciut

mendekatinya!
Bergola Wungu melihat lawan muiai terpengaruh dengan bentakan lantang menyerbu dan
tebaskan goloknya ke kepala lawan yang terkurung ditengah lingkaran. Serangan ini
datangnya
secara pengecut yaitu dari belakang!  Dan Wiro Sableng dalam tertegunnya itu masih juga
bersiul-siul seperti orang lupa diri!
-- == 0O0 == --

EMPAT

Dia hanya merasakan datangnya sambaran angin dari arah belakang. Lalu cepat-cepat
menggeser kaki ke muka, bergerak ke samping dan sambil bungkukkan diri balikkan
badan!
Golok panjang Bergola Wungu lewat satu setengah jengkal di atas kepalanya, mengibarkan
rambutnya yang gondrong!
“Dasar pengecut! Sudah main keroyok menyerang dari belakang!,” bentak Wiro
Sableng. Kedua tangannya bergerak ke muka untuk merampas golok lawan. Namun
hampir hal
itu terlaksana, tahu-tahu dua belas ujung tongkat menderu menyerang kedua lengannya.
“Sialan!” maki Pendekar 212 dan terpaksa tarik pulang tangannya sambil hantamkan
kaki membabat ke arah beberapa orang pengeroyok dari barisan sebelah muka. Mereka
yang
diserang tendangan kaki anehnya tidak melakukan sesuatu apa, tapi tiba-tiba dari
belakang
menyeruak kawan-kawan mereka dari barisan kedua, dan menangkis tendangan Wiro
Sableng.
Sejurus kemudian barisan muka kembali menyerang dengan dua belas tongkat biru
mengarah
pada dua belas bagian tubuh Wiro Sableng! Sementara itu dari atas laksana alap-alap
golok
Bergola Wungu kembati membabat! Ini lah kehebatannya lingkaran pasang surut! Ciptaan
Bladra Wikuyana! Dua tahun dia melatih murid-muridnya untuk betul-betul memahami
jurus
tersebut. Meski belum begitu sempurna tapi hasilnya tidak mengecewakan! Sambil
senyum-
senyum dia berdiri menunggu saat di mana matanya akan menyaksikan tubuh Wiro
Sableng
terpancung belasan senjata muridnya, telinganya bakal mendengar pekik kematian
pemuda itu!
Tapi tiada kelihatan, Pendekar 212 terpancung meregang nyawa di tengah pelataran itu!
Tiada terdengar pekik kematian Wiro Sableng! Dengan kecepatan luar biasa yang tiada
terlihat
oleh mata Bladra Wikuyana maka tahu-tahu Wiro Sableng sudah berada di luar serangan
anak-
anak muridnya, berdiri dengan tenang dan kembali bersiul-siul!
Sebenamya pemuda bermata tajam ini sudah dapat melihat di mana letak kelemahan
barisan lingkaran pasang surut yang mengeroyoknya saat itu. Dengan merobohkan dua
atau tiga
orang pengeroyok dari salah satu barisan maka pastilah lingkaran pasang surut itu akan
menjadi
kacau balau! Bisa juga sebagian atau seluruh pengeroyoknya ditumpasnya dengan
hantaman
pukulan angin puyuh atau dinding angin berhembus tindih menindih! Tapi ini pemuda
inginkan
cara lain yang lebih disukainya sendiri.

Maka berserulah Pendekar 212.
“Angin Topan Dari Barat! Apakah kau pernah iihat manusia dipakai jadi senjata untuk
menyerang manusia...?!”
“Bocah gila! Jangan banyak bacot! Nyawamu sudah di depan hidung! Anak-anak
ciutkan lingkaran dalam sepertiga jurus!,” teriak Bladra Wikuyana dengan penasaran
sekali.
Siulan Pendekar 212 tiba-tiba lenyap berganti dengan suara tertawa aneh yang
menegakkan bulu tengkuk. Tubuhnya berkelebat tak kelihatan. Dan tiba-tiba pula Bergola
Wungu merasakan kedua pergelangan kakinya dicengkeram erat sekali. Dicobanya untuk
meronta dan menendang tapi cengkeraman itu laksana japitan besi tak mungkin untuk
di1epaskan. Sementara itu tubuhnya menjadi limbung dan terasa terangkat ke atas!
Dicobanya
membabatkan goloknya! Terdengar satu pekikan! Pekikan kawannya sendiri yang,
kemudian
roboh mandi darah! Sesudah itu Bergola Wungu tak tahu apa-apa lagi!
Wiro Sableng dengan tertawanya yang aneh memegang erat-erat kedua
pergelangan kaki Bergola Wungu lalu memutar tubuh manusia itu laksana kitiran! Pekik
jerit serta seruan-seruan tertahan terdengar di mana-mana! Barisan lingkaran pasang
surut hancur berantakan. Beberapa orang yang masih tak mau menyingkir dan terpukau
oleh kedahsyatan itu terpaksa dihantam kitiran dari tubuh Bergola Wungu! Belasan anak
murid Perguruan Gua Sanggreng bergeletakan di pelataran batu karang dalam keadaan
tubuh luka-luka parah tanpa nyawa. Suara erangan terdengar tiada hentinya. Yang masih
hidup yaitu sekira sembilan orang menyingkir jauh-jauh ke dinding batu karang. 
Suara tertawa Pendekar 212 berhenti.
“Angin Topan Dari Barat! Ini terima bangkai muridmu!”. Tubuh Bergola Wungu
yang tadi dibuat menjadi kitiran untuk melabrak kawan-kawannya sendiri melesat ke
arah Bladra Wikuyana. Orang tua ini lambaikan tangan kirinya dan tubuh Bergola
Wungu terpelanting ke dinding samping. Tentu saja sudah tanpa nyawa lagi karena
sudah sejak tadi kepalanya nyenyar macam pepaya busuk!
Bau anyirnya darah yang mengantarkan regangan-regangan nyawa manusia
menyesak lobang hidung. Wiro Sableng meludah ke tanah. Dan memandang pada Angin
Topan Dari Barat.
“Angin Topan Dari Barat! Murid-muridmu menemui kematian dengan cara yang
tentu kau tidak senangi! Dan mereka mati tanpa ada sangkut-paut kesalahan apa-apa
terhadapku! Kau yang tanggung-jawab semuanya kalau malaekat maut tertanya di liang
kubur!”
“Pemuda iblis!” bentak Bladra Wikuyana. “Tak usah banyak bacot! Terimalah
kematianmu dalam tiga jurus!”. Tampang manusia ini kelihatan membesi dan tambah
angker. Dia melangkah ringan ke hadapan Wiro Sableng dan cabut tongkat birunya!
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan selarik sinar biru melanda Pendekar 212. Pemuda ini
egoskan diri ke samping dengan cepat. Tapi dari samping menderu tangan kanan Bladra
Wikuyana yang disambung
-
dengan kayu dan ujungnya mempunyai senjata berbentuk
Arit!
“Heyyaaa!”.
Pendekar 212 membentak keras. Empat dinding jurang tergetar hebat. Tubuhnya
lenyap dan sambil jatuhkan diri berjongkok pemuda ini hantamkan tangannya ke muka
lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah!
Tapi tongkat biru Bladra Wikuyana sungguh hebat! Pukulan Kunyuk Melempar
Buah yang dilancarkan Pendekar 212 mempergunakan sebahagian tenaga dalamnya
namun sambaran angin tongkat biru membuat angin pukulan Pendekar 212 tersibak ke
samping dan menghantam dinding karang! Dinding karang itu retak-retak pecah!
Kepingan-kepingan karang menghambur ke udara berpelantingan!
Wiro Sableng penasaran sekali. Tenaga dalamnya dilipat-gandakan sampai
tangannya tergetar hebat namun tetap pukulan Kunyuk Melempar Buah yang

dilancarkannya masih sanggup disapu oleh angin tongkat biru lawan!
“Edan!” maki pemuda ini dalam hati. Dia menjerit setinggi langit dan berkelebat
lagi. Kini Pendekar 212 keluarkan jurus Orang Gila Mengebut Lalat! Kedua tangannya
kiri kanan memukul kian kemari dan mengeluarkan angin keras laksana badai!
Untuk dua jurus lamanya Bladra Wikuyana terdesak hebat bahkan kepepet ke
dinding jurang sebelah Timur. Anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng yang ada di
jurusan ini terpaksa menyingkir kecuali kalau mau mampus terkena sambaran-sambaran
angin dahsyat kedua manusia sakti yang bertempur itu!
Angin Topan Dari Barat mengeluh dalam hati! Puluhan tahun hidup di dunia
persilatan baru hari ini menghadapi lawan yang tangguhnya bukan olah-olah! Dan gilanya
lawan itu adalah anak muda hijau yang baru berumur tujuh belas tahun!
Orang tua ini kertakkan gerahamnya. Dari tenggorokkannya keluar suitan kencang.
Dengan serta merta permainan tongkat dan jurus-jurus silatnya berubah. Tongkat biru di
tangan kirinya menderu dan mencurah taksana hujan badai, laksana menjadi ratusan
banyaknya!
Wiro Sableng terkejut sekali melihat keganasan serangan tawan ini! Cepat dia
lompat tiga tombak ke udara.
“Ho-ho! Mau kabur hah?!” bental Bladra Wikuyana. Dan segera manusia ini susul
melompat.
“Angin Topan Dari Barat!,” seru Pendekar 212. “Antara kita sebenarnya tak ada
permusuhan yang berarti...”.
Bladra Wikuyana tertawa buruk. “Ketika nyawa sudah di tenggorokan kau baru
ribut-ribut segata permusuhan yang tak berarti! Sudah kepepet-mulai bicara rendah diri!
Sebaiknya sebut nama Tuhanmu sebentar tagi roh busuk manusia yang mengaku bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 akan minggat ke neraka!” Bladra Wikuyana
menyerang lagi dengan ganas membuat Wiro Sableng kembali terpaksa lompatkan diri
tiga tombak ke belakang.
“Kalau kau yang tua tetap berkeras kepata maka sambutlah pukulanku ini!”
Bladra Wikuyana terbeliak kaget ketika melihat tangan kanan Wiro Sableng
berwarna sangat putih sedang kuku-kuku jarinya memerah menyilaukan!
“Pukulan Sinar Matahari!” teriaknya dengan keras. Sekaligus dia menyerukan pada
murid-muridnya untuk mencari perlindungan sedang seturuh tenaga dalamnya
dialirkannya ke tongkat biru!
Selarik sinar putih yang menyilaukan mata melesat ke depan. Bladra Wikuyana
lompat ke udara sampai tujuh tombak dan sapukan tongkatnya ke bawah! Dua angin keras
beradu hebat. Bladra Wikuyana berseru keras. Tongkatnya hampir terlepas mental sedang
tangan kirinya tergetar hebat! Tiada nyana tenaga dalam lawan yang muda belia itu lebih
tinggi beberapa tingkat dari padanya. Dengan jungkir balik di udara jago tua ini jauhkan
diri untuk atur jatan nafas serta darahnya dengan cepat! Ketika bola matanya berputar
memandang berkeliling terkejutlah ia!
Seluruh sisa anak muridnya yang tadi masih hidup menggeletak bergelimpangan
dipelataran batu karang itu. Tubuh mereka semuanya termasuk yang sudah menemui ajal
lebih dahulu di tangan Wiro Sableng mengepulkan asap dan udara dalam jurang itu kini
pengap bau daging manusia yang hangus!
Ketika Pendekar 212 lepaskan pukulan sinar matahari tadi. Bladra Wikuyana
berhasil mengelakkannya. Angin pukulan menghantam dinding karang di sebelah
tenggara. Bukan saja dinding karang itu menjadi pecah tapi juga hancur berantakan.
Bagian atasnya longsor ke bawah sedang pukulan Sinar Matahari memantul dua kali
berturut-turut di dinding karang. Hawa panas angin pukulan ini telah melabrak sisa-sisa
anak murid Bladra Wikuyana sehingga tubuh mereka tersambar hangus dan menggeletak
mati
di situ juga!
.Dan sementara itu di tepi jurang sebelah atas, sesosok tubuh berpakaian ungu
menyaksikan apa yang terjadi di dalam jurang batu karang itu dengan mulut menganga
dan mata
terbeliak sedang bulu kuduk merinding....
Kembali ke dalam jurang.

Air muka Bladra Wikuyana kelihatan kelam membeku. Tubuhnya laksana patung berdiri
di tengah pelataran. Cambang bawuk atau berewoknya kelihatan meranggas kaku sedang
sepasang matanya menjadi merah angker.
“Pendekar 212!” desis Bladra Wikuyana. “Detik ini jangan harap nyawamu akan
selamat...!” Tongkat birunya diacungkan ke muka lurus-lurus dan kini tongkat itu berubah
menjadi hitam legam. Sinar hitam yang memancar dari senjata ampuh Itu menggidikkan
sekali...
“Bersiaplah untuk minggat ke neraka!” teriak Bladra Wikuyana. Serentak dengan itu
menyerbulah dia ke muka. Seluruh bagian tenaga dalamnya telah mengalir ke dalam
tongkat dan
serangannya kini luar biasa ganasnya! Sambil menyerang itu Bladra Wikuyana tiada
hentinya
bersuit-suit aneh, menggetarkan telinga dan raga!
Wiro Sableng begitu merasakan tekanan serangan yang hebat luar biasa segera percepat
gerakannya. Namun ilmu mengentengi tubuhnya yang sudah sangat tinggi itu masih
sangat terasa
lamban ditindih oleh sinar pukulan Angin Hitam yang ke luar dari tongkat lawan.
“Breet”!
Tersirap darah Pendekar 212. Nyawanya serasa iepas! Ujung tongkat lawan telah
merobek pakaiannya di bagian dada. Angin tongkat membuat tulang-tulang dadanya
seperti
melesak! Pendekar ini berteriak nyaring dan jungkir balik ke belakang ke luar dari
kalangan
pertempuran!

-- == 0O0 == --

LIMA

“Ho ho.... Mau merat ke mana?!” tanya Bladra Wikuyana. “Aku sudah bilang, sekali
masuk ke sini musti lepas nyawa di sini!”
Wiro Sableng tak berikan sahutan. Kalau saja ada sepuluh manusia jahat sesakti
Bladra Wikuyana ini di atas jagat pastilah dunia akan tenggelam dalam kekalutan pikirnya.
Ketika lawan menyerang kembali Pendekar 212 sambut dengan pukulan Benteng
Topan Melanda Samudera. Untuk beberapa ketika lamanya serangan tongkat Bladra
Wikuyana terbendung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro Sableng untuk
melompat
ke udara, menukik kembali dan lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Dentuman
yang
dahsyat terdengar. Wiro terpaksa turun ke pelataran batu karang kembali karena
pukulannya
kena disapu aliran angin hitam tongkat lawan. Pemuda ini kepepet ke dinding jurang
sebelah
Timur!
Pemuda ini merutuk sendiri dalam hatinya. Dalam merutuk itu tongkat lawan
menyapu di atas kepalanya. Wiro lompat ke samping. Tongkat menghantam dinding
karang
sampai hancur berantakan! Ketika Bladra Wikuyana balikkan tubuh siap untuk menyerang
kembali, langkahnya tertahan. Kedua matanya yang merah memandang tak berkedip pada
senjata berbentuk kapak bermata dua yang ada di tangan lawannya.
Bergidik juga Angin Topan Dari Barat melihat senjata tersebut. Dua puluh tahun yang
silam dia pernah saksikan sendiri kehebatan Kapak Maut Naga Geni 212. Kini apakah
sanggup dia menghadapinya?!
“Angin Topan Dari Barat,” Pendekar 212 buka mulut. “Baiknya kau lekas-lekas minta
tobat atas kejahatanmu selama ini. Sebentar lagi tentu sudah tak keburu.... !”
Angin Topan Dari Barat atau Bladra Wikuyana tindih rasa jerihnya dengan tertawa

bergelak. Tahu akan kehebatan senjata di tangan lawan maka dia segera menyerang lebih
dahulu! Sinar hitam bergulung-gulung ke arah Pendekar 212.
Pemuda ini sambut serangan lawan dengan pergunakan jurus: Orang Gila Mengebut
Lalat. Kapak Naga Geni 212 di tangannya berkelebat cepat ke kiri dan ke kanan,
mengeluarkan suara berdengung macam suara ribuan tawon!
Terkejutnya Bladra Wikuyana bukan kepalang ketika merasa bagaimana kini tongkat
saktinya tak dapat lagi bergerak leluasa, tertindih, terbendung dan terpukul angin kapak
bermata dua di tangan lawan!
Bladra Wikuyana percepat permainan tongkatnya dan menyerang dengan jurus-jurus
lihay mematikan. Namun tetap saja tak dapat ke luar dari tindihan senjata lawan. Dan kini
sesudah bertempur di jurus yang kesembilan puluh delapan maka mulailah jago tua ini
terdesak hebat! Diam-diam Bladra Wlikuyana cucurkan keringat dingin. Ditahannya
sedapat-
dapatnya serangan senjata lawan. Satu kali tongkatnya beradu dan tak ampun ujung
tongkat
terbabat puntung! Bladra Wikuyana tak berani lagi bentrokan senjata! Matanya kini liar
mencari kesempatan untuk kabur. Dia menggeram karena telah menyuruh murid-muridnya
menurunkan tangga gantung karena tangga dari tali itulah satu-satunya jalan untuk kabur
ke
luar jurang batu karang!
Karena pikirannya bercabang dua, satu memikir jalan untuk lari, kedua memusatkan
pada serangan lawan maka pertahanan Bladra Wikuyana sering-sering melompong. Hal ini
bukan tak dilihat oleh Pendekar 212, kalau saja dia mau maka sudah sejak tadi dia
melabrak
manusia berewok bertangan dan kaki buntung itu.
Dari mulut Pendekar 212 mulai terdengar siulan membawakan lagu tak menentu!
Sambil kirimkan bacokan ke pinggang, Wiro Sableng putar gagang kapak. Kedua mata
kapak
membuat setengah lingkaran, salah satu dari padanya memapas pergelangan tangan
kanan
Bladra Wikuyana yang terbuat dari kayu! Tangan palsu yang ujungnya berbentuk arit itu
kutung dan lepas! Mental ke udara!
Bladra Wikuyana melompat ke belakang. Mukanya pucat pasi. Dia mengerang karena
aliran aneh yang berhawa panas dari senjata lawan merembes melalui kutungan tangan
kayu ke
dalam tubuhnya!
“Cuma lengan kayumu saja. Angin Topan Dari Barat! Kenapa musti pucat macam
mayat?” Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. “Sekarang aku minta kaki kayumu!”
Habis berkata begitu. Wiro Sableng bersiul dan melompat ke muka. Kapaknya
membabat ke kepala Bladra Wikuyana. Jago tua ini yang tak berani lakukan bentrokan
senjata
cepat-cepat melompat berkelit dan lancarkan serangan balasan dengan pukulan tangan
kosong
yang menimbulkan angin hebat. Namun dengan Kapak Naga Geni 212 di tangan, segala
pukulan tangan kosong bagaimanapun hebatnya dari manusia berewok yang bergelar
Angin
Topan Dari Barat itu tiada artinya lagi!
Kapak Naga Geni 212 membacok ke bahu, berbalik merambas pinggang, menderu lagi
ke kepala membuat tokoh silat tua dan berpengalaman luas itu menjadi sangat sibuk. Dan
ketika
tiba-tiba sekali senjata lawan membabat ke bawah, dia tak punya kesempatan lagi untuk
mengelak!
Untuk kedua kalinya mata kapak membabat anggota badannya yaitu kaki kayu Bladra
Wikuyana sebelah kanan! Meski huyung-huyung tapi laki-laki ini masih sempat lompatkan
diri ke luar dari kalangan pertempuran. Mukanya pucat sekali dan keningnya penuh
keringat!
Di dalam dadanya menggelegak rasa benci, dendam dan nafsu untuk membunuh!

Dengan tahan tubuhnya pada ujung tongkat, Bladra Wikuyana pejamkan mata.
Mulutnya komat kamit.
“Ilmu apa yang kau mau keluarkan Angin Topan Dari Barat? Sebaiknya dengar
omonganku! Aku yang muda ini masih mau kasih ampun kepada kau jika kau berjanji
untuk
bertobat dan hidup di jalan yang benar, tidak lagi berbuat kejahatan tapi mempergunakan
iimumu buat menolong sesama manusia. Bagaimana...?!”
Bladra Wikuyana buka sepasang matanya sedikit. Mulutnya berkemik mengejek.
“Jangan kira kau sudah menang bocah hijau! Aku masih jauh dari kalah! Lihat mukaku
bocah
hijau... lihat mukaku.... “ Mata Wiro Sableng menyipit. Ketika diperhatikannya tampang
Bladra Wikuyana terkejutlah dia. Kepala tokoh silat itu kini rnenjadi enam dan berwarna
hitam, gigi-giginya merupakan caling-caling yang mengerikan, bola-bola matanya besar
sedang lidahnya panjang menjulai sampai ke dada. Dari dua belas mata yang ada di enam
kepala itu memancar sinar hijau.
“Ah... ilmu siluman macam begini hanya pantas untuk menakut-nakuti anak kecil!”
ejek Wiro Sabteng. Disapukannya Kapak Naga Geni 212 ke muka. Angin deras membuat
Bladra Wikuyana terpelanting tapi muka silumannya masih juga seperti tadi malah semakin
menyeramkan. Tiba-tiba dengan menggereng keras laksana harimau terluka menerjanglah
tokoh silat itu didahului oleh dua belas sinar hijau yang ke luar dari mata silumannya!
“Tua bangka geblek! Dikasih ampun malah keluarkan Ilmu yang bukan-bukan!” rutuk
Wiro Sableng. Ditunggunya beberapa detik. Sesaat kemudian berkiblatlah kapak mautnya
dari
atas ke bawah!
Angin Topan Dari Barat terkapar di pelataran batu karang tanpa berkutik, juga tanpa
menjerit. Kepalanya sampai ke dada terbelah dua. Darah membanjir! Tamatlah riwayat
tokoh
silat dari golongan hitam itu yang selama hidupnya telah menebar benih kejahatan dan
mendidik manusia-manusia untuk disesatkan!
Wiro Sableng garuk rambut gondrongnya dan meludah. Jijik juga dia melihat darah
yang membanjir dari tubuh Bladra Wikuyana. Dipandangnya Kapak Maut Naga Geni 212 di
tangan kanannya. Mata kapak itu berlumuran darah. Pemuda ini goleng-goleng kepala.
“Kapak
hebat... kapak hebat....” katanya. Kemudian sekali hembus saja maka noda darah pada
mata
kapak pun lenyaplah! Senjata sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng itu segera
dimasukkannya
ke balik pinggang kembali.
Selama setengah jam Wiro Sableng memasuki dan menggeledah isi Gua Sanggreng. Di
sini ditemuinya banyak sekali persediaan makanan dan uang serta barang-barang
perhiasan.
Menurut pikiran Wiro uang serta perhiasan itu mungkin sekali hasil rampokan yang
ditimbun
menjadi milik Perguruan Gua Sanggreng. Wiro mengambil sejumlah uang dan perhiasan
sekedar bekal di perjalanan. Kemudian pemuda ini duduk di sebuah kursi besar dan
menikmati
makanan yang ada di dalam gua itu. Waktu dia ke luar dari gua dilihatnya langit sudah
sangat
merah kekuningan tanda matahari hampir tenggelam. Pemuda ini segera mencari tangga
tali.
Tangga tali itu kemudian dilemparkannya pada patok runcing batu karang di tepi jurang
sebelah
atas dan mulailah pendekar ini menaiki anak tangga demi anak tangga menuju ke atas.
Dari atas
sebelum berlalu dilayangkannya pandangannya untuk terakhir kali ke dalam jurang batu.
Duapuluh enam mayat bergelimpangan di mana-mana. Pemuda ini garuk dan goleng-
goleng

kepala. Dan mulailah dia melangkah sepembawa kakinya. Malam tiba nanti entah di mana
dia
akan berada. Suara siulannya mengumandang di belantara batu-batu karang. Sambil terus
berjalan. bernyanyilah pendekar ini:
Langit merah angin silir....
Surya tenggelam di ufuk Barat....
Malam yang datang tentu dingin dan gelap.... 
Berjalan seorang diri memang tidak enak....
Tapi selalu diikuti orang lain juga tidak enak....
Nyanyian ini tiada menentu nadanya dan diulang-ulang sampai beberapa kali.
Akhirnya disatu penurunan curam Pendekar 212 hentikan nyanyiannya dan duduk di
sebuah
unggukan batu. Sambil tertawa-tawa berkatalah dia: “Manusia yang ikuti aku kenapa
sembunyi di belakang batu? Coba ke luar unjukkan jidat, apa betul manusia atau
hantu...?”
Wiro memandang pada celah batu karang yang tadi dilewatinya. Suasana hening
saja.
“Ah, manusia di belakang batu tentu seorang pemalu,” katanya. “Biarlah aku sendiri
yang lihat tampangnya!”
Habis berkata begitu Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke arah celah batu.
Sebagian lagi terguling ke bawah. Dan dari balik batu terdengar seruan tertahan!
Apa yang tidak diduga oleh Pendekar 212 ternyata bahwa penguntitnya sejak
dari jurang Gua Sanggreng tadi adalah seorang gadis!

-- == 0O0 == --

ENAM

“Aha… Nyatanya seorang gadis molek! Pantas malu-malu unjukkan diri…!”
kata Wiro Sableng pula dengan tertawa lebar. melihat kepada pakaian ungu yang
dikenakan gadis itu segera pemuda ini mengenali bahwa gadis itu adalah anak murid
Dewa Tuak. “Gadis molek, ada apa kau menguntit aku sejak dari lereng bukit sampai
ke jurang maut sana...?” bertanya Wiro.
Anggini, si gadis baju ungu, tak memberikan jawaban. Mukanya merah karena
malu dan jengah. Wiro Sableng tertawa lagi dan berkata: “Mungkin ada mengandung
suatu maksud tidak baik .... “
“Saudara... a...aku...” Anggini gugup sekali. Apa yang harus dikatakannya pada
pemuda itu? “Apakah gurumu si Dewa Tuak itu juga ikut bersamamu saat ini?
Barangkali juga kalian hendak menjebakku...?”
“Saudara dengarlah...” kata Anggini pula. “Aku sebenarnya tidak mau dengan
semuanya ini...”
“Semuanya ini apa...?” potong Wiro Sableng.
Anggini menggigit bibir. 
“Gurumu bersamamu?”
“Tidak....”
“Gurumu yang menyuruh untuk menguntit aku?”
Gadis itu anggukkan kepala.
“Perlu apa gurumu menyuruh demikian?”
Kembali Anggini menggigit bibir.
“Apa dia belum puas dengan sedikit pertempuran siang tadi...?”
Anggini tetap membungkam. Ya, bagaimana dia harus mengatakan pada si
pemuda bahwa gurunya menyuruhnya mengejar untuk kemudian berusaha menjadi
kawan hidup pemuda itu? Bagaimana dia harus terangkan semua itu! Ingin dia mena-
ngis dan lari dari hadapan pemuda itu. Tapi kepada Dewa Tuak gadis ini takut sekali!
Pendekar 212 kerutkan kening. Mendadak mukanya menjadi merah, semerah
langit yang disaputi sinar sang surya yang mau tenggelam di saat itu. Dia ingat akan

ucapan Dewa Tuak yang mengatakan bahwa dirinya cocok untuk jadi jodoh muridnya!
Pendekar muda ini melirik pada gadis baju ungu. Anggini berparas bujur telur dan
molek. Kulitnya kuning dan potongan tubuhnya sedap dipandang mata. Tapi urusan
jodoh mana ini pemuda berpikir sampai di situ. Tak ada ingatannya sampai sejauh itu.
Bahkan kewajiban berat yang dipikulkan gurunya ke pundaknya, hutang nyawa
dendam seribu karat terhadap Suranyali alias Mahesa Birawa sampai hari ini masih
belum lunas! Masih belum dilaksanakannya!
Wiro Sableng berdiri dari duduknya. Dipandanginya gadis baju ungu itu
seketika lalu mengumandanglah gelak tawanya. “Saudari... apakah penguntitan ini ada
sangkut pautnya dengan ucapan gurumu si Dewa Tuak?”
Paras Anggini semakin merah. “Tadi aku sudah bilang... sebenarnya aku tak
senang dengan semua ini. Tapi guru memaksaku...”
“Memaksa bagaimana?!”
“Katanya aku harus mengejarmu sampai dapat. Kalau tak berhasil tak usah
kembali kepertapaan. Katanya lagi aku harus... harus...” Anggini tak dapat meneruskan
ucapannya.
“Kurasa gurumu itu sudah sinting! Sekurang-kurangnya seperempat sintingl”
Meski Anggini memang tak suka menjalankan apa yang diperintahkan Dewa
Tuak namun mendengar nama gurunya dicaci demikian rupa gadis ini jadi marah.
“Jangan hina guruku, saudara!” bentaknya.
Wiro Sableng garuk kepala. “Ah... guru dan murid sama saja gebleknya!” kata
ini pemuda. “Kalau gurumu suruh kau makan beling dan minum racun, apakah kau
juga akan ikuti ucapannya itu...?!”
“Guruku tidak segila itu!” bentak si gadis.
“Aku memang tidak bilang gurumu gila, tapi sinting!” menukasi Wiro Sableng.
“Sekali lagi kau berani menghina guruku, kutampar mulutmu!” ancam Anggini.
Wiro Sableng keluarkan suara bersiul! “Gurumu memang sinting!” katanya lagi.
Anggini telah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan ketinggian kesaktian
Pendekar 212 waktu terjadi pertempuran di jurang Sanggreng beberapa saat yang lalu.
Dari situ dia dapat menyimpulkan bahwa gurunya sekali pun belum tentu akan dapat
mengalahkan pemuda itu dengan mudah. Namun saat itu kegemasannya tak dapat
ditahan lagi. Tangan kanannya bergerak cepat. Sebaliknya Wiro Sableng malah
angsurkan pipi ke muka!
“Plaak!”
Tamparan mendarat di pipi Wiro Sableng. Pendekar muda ini tertawa. “Betapa
lembutnya jari-jarimu mengelus pipiku..,” katanya dengan pejamkan mata. “Ayo,
tamparlah sekali lagi... dua kali lagi... tiga kali lagi... sesuka hatimulah...!”
Wiro menunggu tapi tamparan berikutnya tak datang dan pemuda ini bukakan
kedua matanya 'kembali. Dilihatnya Anggini berdiri dengan hidung kembang kempis
menahan geram yang menyesaki dadanya. Pendekar 212 tertawa. “Kenapa tidak mau
tampar?” tanyanya sinis.
Karena digemasi terus-terusan Anggini jadi penasaran sekali. Segera dibukanya
selendang ungu yang melilit di pinggangnya yang berpinggul besar. “Eh... saudari kau ini
apa
mau buka pakaian di depanku?” tanya Wiro Sableng sambil kedip-kedipkan mata dengan
ceriwis.
“Pemuda rendah terima selendangku ini!” bentak Anggini. Tangan kanannya bergerak.
Ujung selendang berputar pelahan dan lamban ke arah kepala Wiro Sableng.
Selendang terbuat dari kain yang halus. Bila benda itu bergerak lamban berarti benda itu
dialiri oleh aliran tenaga halus. Dan Wiro tahu bahwa kadangkala tenaga halus lebih
berbahaya
daripada tenaga kasar yang di luarnya kelihatan hebat. Pemuda ini tak mau menyambuti
liuk
liku selendang itu. Dia menggeser kedua kaki dan menjauhkan kepalanya. Masih tertawa
dia
mengejek: “Saudari, tarianmu bagus sekali! Apakah ini juga dari gurumu kau pelajari?!”
Dugaan Pendekar 212 memang tepat. Kalau sekiranya dia mencoba memapasi

selendang yang meliuk-liuk itu maka dengan satu sentakan cepat Anggini akan menarik
selendang dan melesatkan ujungnya ke mata si pemuda. Ini pun sebenarnya belum
ketentuan
Wiro Sableng akan kena dihajar begitu saja. Tapi demikianlah kenyataannya bahwa
kadangkala
ilmu halus dan lembut harus dihadapi dengan kehalusan dan kelembutan pula.
Melihat si pemuda geser kaki menjauh tapi masih dengan sikap mengejek maka kini
Anggini rubah permainan selendangnya. Laksana seekor naga selendang ungu itu meliuk
dan
mematuk kian ke mari. Dan kini barulah Wiro menghadapinya dengan kekasaran pula.
“Saudari, permainan selendangmu patut dikagumi!” memuji Pendekar 212. “Tapi tak
cukup pasal kalau kau sampai menyerangku begini rupa. Aku...” Ucapan Wiro Sableng
terpotong oleh bentakan Anggini.
“Tutup mulut pemuda ceriwis! Lihat selendang!” Ujung selendang ungu dengan sangat
tiba-tiba mematuk ke arah mata kiri Wiro Sableng. Ganda tertawa pemuda ini tundukkan
kepala
untuk mengelak. Sejak tadi meski dia menghadapi serangan-serangan lawan dengan cara
kasar
tapi sesungguhnya Pendekar 212 terus-terusan mengambil sikap mengelak.
Tapi pada saat Wiro Sableng mengelak, pada detik itu pula ujung selendang dengan
sangat cepat turun dan melibat leher! Setengah libatan Pendekar 212 cepat-cepat
pergunakan
tangan kiri untuk rnengibaskan selendang ujung tapi ini tak bisa dilakukannya karena
serentak
dengan itu Anggini kirim satu tusukan dua ujung jari tangan kiri ke dada kiri Wiro Sableng.
Hebat sekali serangan ini sehingga kalau dilihat dari atas maka serentakan dengan
serangan
selendangnya tadi, maka sepasang serangan Anggini tak ubahnya seperti sebuah gunting
besar
yang hendak menggerus tubuh dan leher si pemuda!
“Ah... ah... bagus, bagus sekali saudari! Tak percuma kau jadi murid si Dewa Tuak!”
memuji Wiro Sableng. Tangan kirinya terpaksa dipalangkan untuk menunggu tusukan jari
tangan lawan. Anggini yang tahu bahwa tenaga dalam pemuda itu jauh lebih tinggi darinya
batalkan serangan sebaliknya tangan kanannya siap menyentakkan selendang ungu yang
ujungnya telah melibat setengah leher Wiro Sableng.
Pendekar 212 cepat angsurkan lehernya ke muka untuk mengendurkan selendang
sehingga kalaupun detik itu disentak, sentakan itu tak akan mencelakainya. Kemudian
dengan
tangan kanannya, cepat sekali disampoknya bagian tengah selendang!
Anggini sama sekali tak dapat melihat cepatnya tangan kanan lawan yang menyampoki
senjatanya. Dia hanya tahu tiba-tiba saja bagaimana selendangnya menjadi menegang dan
tertarik ke muka!
Sesaat mengetahui bahwa selendangnya kena terpegang lawan terkejutlah gadis ini, tapi
juga penasaran sekali. Dibetotnya selendang itu namun mana Wiro Sableng mau lepaskan,
malahan sebaliknya pemuda ini tarik selendang tersebut sehingga tubuh Anggini sedikit
demi
sedikit, selangkah demi selangkah ikut tertarik ke hadapannya.
Anggini memaki dalam hati.
“Sambut paku perakku, rnanusia rendah!” bentak gadis itu.
Sekali dia gerakkan tangan kirinya maka selusin benda yang besarnya setengah jengkal,
berbentuk paku dan berwarna putih perak mendesing ke arah Wiro Sableng. Karena jarak
mereka terpisah dekat sekali maka dua belas senjata rahasia ini sangat berbahaya bagi
keselamatan si pemuda. Anggini sendiri tiba-tiba merasa menyesal melepaskan senjata
rahasia
itu karena kawatir si pemuda tak dapat berkelit atau memapakinya, karena bukankah
gurunya
telah berpesan bahwa pemuda itu adalah cocok bakal jadi jodohnya...?!

Sebaliknya yang diserang tenang-tenang saja. Bahkan sambil bersiul dilambaikannya
tangan kirinya. Delapan paku perak luruh ke tanah sedang yang empat lagi dielakkan
dengan
berkelit sedikit ke samping.
Kalau tadi dia merasa menyesal menyerang pemuda itu dengan senjata rahasianya maka
kini setelah si pemuda berhasil selamatkan diri, kembali Anggini menjadi penasaran. Dia
memekik keras, lompat ke atas dan kirimkan dua tendangan jarak dekat susul rnenyusul.
“Ah, tak sangka gadis molek begini galak sekali!” kata Wiro Sableng pula. Dia
melompat ke samping. Membuat gerakan satu putaran, dan sebelum Anggini turun ke
tanah,
kedua kaki gadis itu sudah terlibat selendangnya sendiri! Membuatnya berdiri dengan
terhuyung-huyung tak bisa melangkah!
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Ayo, kenapa berhenti galaknya?” tanyanya mengejek.
Karena sampai saat ini Anggini masih memegang ujung yang lain dari selendangnya
maka dengan cepat dia dapat membukanya kembali. Paras gadis ini merah sekali. Matanya
menyorot memandang kepada Wiro Sableng, sebaliknya Pendekar 212 dengan ceriwis
mengedip-ngedipkan matanya!
“Senjata apa lagi yang bakal kau keluarkan?!” tanya Wiro.
“Lepaskan selendangku!” teriak Anggini.
Wiro hanya tertawa.
“Lepaskan!” teriak gadis itu lagi. Dicobanya menyentakkan selendang itu tapi Wiro
memegangnya erat sekali. Kalau ditariknya keras pasti selendang kain itu akan robek.
Kesal dan gemas akhirnya dengan menghentakkan kaki Anggini lepaskan selendangnya,
putar tubuh dan
lari ke balik sebuah batu besar. Di sini menangislah gadis itu.
“Heh... kenapa jadi nangis?” tanya Wiro ketika dia melangkah dan datang di balik batu
besar. Pemuda ini jadi garuk-garuk kepala. Lalu katanya: “Saudari, lihat, hari sudah senja.
Sebaliknya kau kembalilah ke tempat gurumu! Kalau tidak pasti kau akan sesat di malam
yang
gelap nanti!”
“Aku tak mau kembali! Tak bisa kembali ke pertapaan!” jawab Anggini di antara tangis
sesungguhnya.
“Kenapa tak mau? Kenapa tak bisa?”
“Guruku akan marah!”
“Marah kenapa?” tanya Wiro tagi.
“Sudah... sudah! Kau tidak tahu!” Dan tangis Anggini semakin mengeras.
“Lalu kalau kau tak mau kembali ke tempat gurumu, apa kau bakal nginap di sini?!”
“Tak usah perdulikan aku! Biar aku mau malang mau melintang tak usah ambil pusing!
Pergi dari sini kau...!” Anggini menyeka mata dan pipinya.
“Tak perlu bicara keras macam begitu, Saudari. Antara kita tak ada permusuhan. Ini
semua adalah gara-gara gurumu yang berotak sinting itu!”
“Jangan hinakan guruku!” hardik Anggini.
“Kau seorang murid yang baik. Patuh terhadap guru dan juga hormati Tapi sayang kau
juga turut-turutan bertindak tidak pakai pikiran sehat. Sekarang sudah, kembalilah ke
pertapaan
gurumu sebelum hari menjadi malam...”
“Tidak!”
Wiro Sableng melangkah ke belakang Anggini. Kasihan-kasihan lucu dia merasa saat
itu. Akhirnya pemuda ini berkata juga: “Ini selendangmu. Kalau kau banyak berlatih pasti
kau
menjadi seorang gadis yang hebat....”
Wiro lantas menyampirkan selendang ungu itu di pundak si gadis. Ketika dia meman-
dang ke langit dilihatnya bintang-bintang sudah bermunculan dan bulan sabit kelihatan
samar-
samar di balik awan. “Sudah malam....” desis pemuda ini. Kemudian dia memandang pada

gadis yang berdiri di depannya dengan membelakang itu. “Pergilah cepat, saudari. Nanti
kau
kemalaman di jalan....”
Anggini gelengkan kepala. “Guruku akan marah... akan marah kalau aku kembali.... “
“Kalau begitu ya tak usah kembali saja...” ujar Wiro Sableng.
“Aku memang tak bakal kembali...” kata Anggini pula. 
“Hem... dan kau mau pergi ke mana?”
“Apa urusanmu tanya-tanya?”
“Ah...” Wiro tertawa. Dia melangkah ke hadapan si gadis. Kemudian dipegangnya
pundak Anggini. Si gadis dengan serta merta hendak menyibakkan tangan itu. Tapi
tubuhnya
sudah keburu dijalari perasaan aneh yang menggelora-gelora sampai ke lubuk hatinya. Tak
kuasa dia menyibakkan pegangan tangan pada bahu itu.
“Saudari, dengarlah…” kata Wiro pula. Tangannya masih memegang bahu si gadis
malahan meremas-remasnya dengan lembut. “Dalam hubungan guru dan murid walau
bagaimana pun kau musti kembali ke pertapaan. Kau tak boleh tempuh jalan sehdiri. Kalau
kau
tak kembali malah gurumu akan marah sekali. Kau pasti akan dihukumnya!”
“Tapi bagaimana aku mungkin bisa kembali? Tidak bisa saudara.., kau tidak tahu....”
“Apa yang aku tidak tahu?” tanya Wiro.
Tak mungkin bagi Anggini untuk mengatakannya dengan terus terang. Namun
terluncur juga ucapan dari mulutnya: “Kalau aku musti kembali kata guruku... aku harus
bersamamu...”
Wiro tertawa. Suara tertawanya menggema di daerah sepi dingin di permulaan malam
itu.
“Saudari... namamu siapa?” bertanya Wiro Sableng. Dan karena tadi gadis itu diam
saja diremas bahunya maka tangan Wiro kini meluncur ke pipi, membelai pipi yang masih
belum kering dengan air mata itu. Rasa yang menyentak-nyentak mendebarkan dada si
gadis
kini tambah keras dari tadi. Lagi-lagi tak kuasa dia menyibakkan tangan yang membelai-
belai
itu. Ditundukkannya kepalanya.
“Siapa namamu, saudari...?” tanya Wiro lagi.
“Anggini,” jawab si gadis perlahan.
“Nama bagus... nama bagus,” puji Pendekar 212 dan tangannya semakin berani
membelai muka Anggini. “Dengar Anggini, orang tua macam gurumu itu memang suka
bicara
ngelantur. Sekarang kau kembali saja ke pertapaannya dan katakan bahwa kau tak
berhasil
mengejar atau menemui aku. Habis perkara. Atau kalau tidak katakan saja kau telah
menemuiku
dalam keadaan tak bernyawa mati di jurang Sranggreng!”
“Aku tak bisa berdusta... kalau aku berdusta dia selalu mengetahuinya!” kata Anggini
pula.
“Wah berabe kalau begini!” ujar Pendekar 212 dengan garuk-garuk kepala. Dia
berpikir-pikir apa yang akan diperbuatnya. Kalau ditinggalkannya gadis itu sendirian di
situ, tak tega pula hatinya. Pemuda ini hela nafas panjang. Akhirnya diajaknya gadis itu
duduk di sebuah
batu datar. Daerah belantara di mana mereka berada saat itu serba asing baginya.
Mungkin
sampai ratusan tombak bahkan ribuan tombak perjalanan belum menemui rumah
penduduk.
Apakah dia dan gadis itu terpaksa tinggal terus di tempat itu malam ini?
Angin bertiup dari celah-celah batu-batu yang meruncing memenuhi tempat itu.
“Dingin...?” bisik Pendekar 212.
Anggini mengangguk. Dan tangan kiri Pendekar 212 bergerak di balik punggung si

gadis untuk kemudian merangkul bahu Anggini. Suasana berubah hangat. Dan untuk
beberapa
lamanya mereka tiada bicara.
Wiro memecah kesunyian. “Kalau kau tak mau kembali ke pertapaan dan aku tak bisa
pula meninggalkan kau sendirian maka kita terpaksa bermalam di sini. Tunggulah sebentar
aku
akan cari tempat yang baik....”
“Nanti sajalah.... “ kata Anggini. Diletakkannya tangan kanannya di paha Pendekar 212
dan dia memandang ke angkasa.
“Langit cerah,” kata Wiro. “Kalau nanti turun hujan, memang. kita yang sialan.... !”
Anggini tertawa. Manis sekali tertawa itu. Hati Pendekar 212 sejuk sekali jadinya. Dan
diperketatnya rangkulannya. Kemudian dengan beraninya pendekar ini menggelitiki
tengkuk si
gadis dengan hidungnya.
“Jangan begitu ah....” kata Anggini menggeliat kegelian. Tapi tubuh dan tengkuknya
tidak dijauhkannya.
Malam itu Wiro Sableng sengaja tidak membuat, perapian. Dia khawatir kalau-kalau
nyala api hanya akan mengundang datangnya hal-hal yang tidak diingini. Apalagi kalau
yang
datang itu adalah Dewa Tuak adanya. Meskipun dingin, meskipun mereka hanya terbaring
di
balik batu besar hitam itu dan beratapkan langit luas namun tubuh mereka yang berada
berdekatan itu saling memberi kehangatan. Pendekar 212 ingat pada suatu malam ketika
dia
berada berdua-duaan di sebuah dangau di tengah sawah dengan Nilamsuri. Malam ini tak
ada
bedanya dengan malam yang dulu itu. Sama-sama ada seorang gadis di sampingnya. Tapi
terhadap Anggini, Pendekar 212 masih punya pikiran panjang dan sehat: Meski saat itu
Anggini sudah berbaring pasrahkan seluruh tubuhnya untuknya dan memang sudah hampir
setiap bagian dari tubuh Anggini disentuh oteh Pendekar 212, namun untuk berbuat lebih
jauh
dari itu pemuda ini tidak mau. Tubuh perawan itu laksana bara hangatnya, tangannya
menggapai punggung Wiro dan pahanya melejang-lejang halus. Tapi Pendekar 212 hanya
merangkuli tubuh itu, hanya mengecupi bibirnya yang basah, hanya menciumi matanya
yang
sayu kuyu tapi menyembunyikan hasrat yang meluap itu.
* * *
Sinar matahari yang menyapu mukanya membuat gadis ini terbangun dari kenyenyakan
tidurnya. Dibukanya kedua matanya dengan pelahan, digosoknya beberapa kali kemudian
dipalingkannya kepalanya ke samping. Dia terkejut mendapatkan pemuda itu tak ada di
sampingnya, la segera bangun duduk, lalu berdiri dan memandang ke belakang. Tapi
pemuda
itu tidak kelihatan.
“Wiro,” panggilnya.
Tak ada yang menyahut.
“Wiro.... !” panggilnya sekali lagi lebih keras. Hanya gaung suaranya yang menjawab.
Tiba-tiba ketika matanya memandang ke batu besar di samping pembaringan di mana
dia dan Wiro tidur semalam terbentur olehnya tulisan. Tulisan.
Anggini
Maafkan kalau aku pergi tanpa pamit. Aku terpaksa
meninggalkan kau. Kalau ada umur kita pasti bertemu lagi.
Kembalilah ke tempat gurumu. Terima kasih untuk segala-galanya
malam tadi.

212    
Anggini merasakan dadanya menyesak. Digigit-gigitnya bibirnya. Nyatanya pemuda itu
sudah pergi. Tubuhnya masih terasa hangat oleh pelukan Wiro malam tadi. Seperti masih
terasa
jari-jari tangan pemuda itu mengelusi kulit tubuhnya. Juga kecupan-kecupan yang disertai
gigitan-gigitan kecil.
Terima kasih untuk segala-galanya malam tadi
Anggini membaca lagi tulisan itu. Termangu dia. Diputarnya tubuhnya, parasnya ke
kemerahan, ditambah lagi sentuhan sinar matahari pagi. Tak mungkin baginya untuk
mengejar
pemuda itu kembali. Dia tak tahu apakah Wiro pergi larut malam tadi atau dinihari, atau
pagi
tadi sebelum dia bangun. Gadis ini tarik nafas panjang dan dalam. Ketika dia membetulkan
ikatan selendang ungunya yang di pinggang, maka pada ujung selendang itu dilihatnya
sederetan angka: 212. Sekali lagi gadis ini tarik nafas dalam dan panjang. Lalu dengan
langkah
gontai ditinggalkannya tempat itu.
-- == 0O0 == --

TUJUH

Kerajaan Pajajaran… Pada masa itu Kerajaan Pajajaran masih belum luas pengaruhnya di
Jawa Barat. Bahkan dengan kesultanan Banten di pantai Utara masih terdapat hubungan
baik,
belum ada silang sengketa. Di bawah pemerintahan Prabu Kamandaka maka Kerajaan
Pajajaran
aman tenteram. Penduduk hidup berkecukupan.
Tapi di dunia ini selalu saja ada manusia yang berbusuk hati, yang iri dan dengki. Yang
tidak senang dengan kebahagiaan orang lain, yang tidak suka dengan keberuntungan
orang lain,
yang tidak suka akan kekuasaan orang lain dan ingin meruntuhkan kekuasaan orang lain
itu lalu
ganti menguasainya!
Saat itu satu-satunya manusia di seiuruh Pajajaran yang paling membenci Prabu
Kamandaka ialah Werku Alit. Dalam tambo keturunan raja-raja Pajajaran maka Prabu
Purnawijaya adalah satu-satunya raja pajajaran yang tidak mempunyai keturunan kandung
dari
permaisurinya. Mungkin ini sudah menjadi takdir Dewa-dewa di Kahyangan, dan ini jugalah
yang menjadi pangkal sebab buntut daripada terjadinya banjir darah di Pajajaran.
Ketika Prabu Purnawijaya mangkat maka tokoh-tokoh istana, ahli-ahli agama dan orang-
orang tua kerajaan menyepakati untuk menobatkan Kamandaka, adik kandung Prabu
Purnawijaya, menjadi raja Pajajaran. Kamandaka memang seorang yang bijaksana, pandai
serta
berilmu tinggi, disegani dan dihormati. Memang dia telah menunjukkan bakat untuk
menjadi
seorang pemimpin agung. Lagi pula memang tak ada manusia lain di Pajajaran saat itu
yang
punya hak dan pantas untuk dinobatkan sebagai pengganti mendiang Prabu Purnawijaya.
Dari seorang selirnya, Prabu Purnawijaya mempunyai seorang anak yang bernama
Werku Alit. Werku Alit ini tua beberapa bulan dari Kamandaka. Ketika masih orok
keduanya
sama-sama disusukan pada seorang perempuan penyusu istana sehingga boleh dikatakan
antara
Werku Alit dan Kamandaka terjalin sudah satu pautan tali persaudaraan!

Penulis : Bastian Tito
Creatid : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

sekali diselingi dengan gemeletakkan- gemeletakkan bila roda gerobak menggilas bebatuan
atau
suara kayu-kayu kendaraan itu bergerobyakan ketika salah satu rodanya memasuki lobang
jalanan.
Saat itu masih cukup jauh dari Kotaraja, Pendekar 212 duduk melunjurkan kedua
kakinya di bagian belakang kereta. Matanya terpejam-pejam oleh hembusan angin siang
yang
sejuk. Beberapa kali dia sudah menguap. Orang yang duduk di hadapannya senantiasa
membuang muka, segan atau tepatnya tak senang memandang pada pemuda ini yang
sebentar-
sebentar menguap, sebentar-sebentar menggaruk kepalanya yang berambut gondrong.
Beberapa saat kemudian Wiro Sableng membuka juga kedua matanya. Dia menggeliat.
Ini menambah ketidaksenangan orang yang di hadapannya.
“Saudara, aku minta mentimunmu satu....” kata Wiro Sableng. Dan tidak menunggu
jawaban pemilik sayuran itu langsung saja Wiro Sableng mengambil sebuah mentimun
besar
dan menggerogotinya.
Orang yang di depan Wiro Sableng memaki dalam hati. Rahangnya terkatup rapat-rapat.
“Rara Murni...” seru Wiro Sableng tiba-tiba. “Apakah kau suka makan mentimun?”
Di bagian depan kereta Rara Murni berpaling sebentar tapi tak menjawab.
“Panas-panas begini enak sekali makan mentimun, untuk pelepas haus dan
mendapatkannya tak usah susah payah...”
“Terima kasih... aku tidak haus, Saudara....” Terdengar jawaban gadis itu.
“Hem....” Wiro Sableng menggumam dan terus juga mengunyah mentimun dalam
mulutnya, dan gerobak terus juga bergerak menempuh jalan berdebu dan berlobang serta
berbatu-batu.
Di bagian belakang kereta Wiro Sableng mengusap-usap perutnya. Telah tiga butir
ketimun amblas ke dalam perut itu dan betapa asamnya tampang orang yang di
hadapannya.
Kini kembali Wiro Sableng memejamkan matanya. Kalau perut sudah kenyang memang
kantuk
segera datang.
Mendadak gerobak itu dibelokkan ke sebuah jalan buntu yang  menuju sungai oleh
pengemudinya. Begitu gerobak berhenti maka terdengarlah suara Rara Murni bertanya:
“Saudara, kenapa ke sini dan berhenti di sini?”
Pengemudi gerobak tertawa mengekeh. Tiba-tiba tertawanya yang menjijikkan itu
lenyap dan diganti dengan teriakan Rara Murni. Dan di bagian belakang kereta sendiri
petani
yang duduk dihadapan Wiro Sableng tiba-tiba mencabut sebatang golok dari balik
pinggang.
Begitu golok tercabut keluar dari sarungnya tanpa menungu lebih lama segera dibacokkan
ke
kepala Wiro Sableng yang saat itu masih pejamkan mata, keenakan tidur-tidur ayam
tertiup
angin sejuk sepanjang perjalanan!
Satu jengkal lagi mata gotok yang tajam akan membelah batok kepala pendekar 212,
maka terdengarlah bentakan menggeledek.
“Ciaaat!”
Tubuh petani yang menyerang terpental ke luar gerobak. Goloknya lepas dan tubuh itu
kemudian tergelimpang di tanah dengan perut pecah dihantam tendangan! Manusia ini
hembuskan nafas tanpa keluarkan sedikit suara pun!
Pandangan bola mata pendekar 212 menyorot bersinar. “Kentut betul!” makinya dan
meludahi muka mayat petani ini. “Orang lagi enak-enak tidur mau dibacok, rasakan
sendiri!
Puah...!” Diludahinya lagi muka mayat itu kemudian dipalingkannya kepalanya dengan
cepat.
Rara Murni tengah meronta-ronta melepaskan cekalan petani yang mengemudikan

gerobak sayur.
“Saudara, tolong aku!” teriak gadis itu pada Wiro Sableng.
“Petani sialan!” gerendeng Wiro Sableng seraya melompat dari atas gerobak.
“Budak hina! Pergi dari sini atau kutebas batang lehermu!” teriak laki-laki yang
mencekal Rara Murni. “Sreet!” Dicabutnya sebuah golok dari batik pinggang.
“Hemmm... jadi kau hanyalah seorang rampok bejat yang berkedok sebagai petani huh?
Seekor serigala yang berbulu domba.... Lepaskan gadis itu atau jidatmu kubikin rengkah!”
“Anjing buduk tak tahu diri, dikasih kebebasan malah minta mampus!”
Dengan tangan kirinya pengemudi gerobak itu totok tubuh Rara Murni. Melihat
kelihayan totokan laki-laki itu pendekar 212 segera maklum bahwa orang itu bukanlah
seorang
petani biasa atau pengemudi gerobak yang bodoh, tapi seorang pendekar lihay yang
tengah
menyamar!
Maka ketika senjata lawan berkelebat ke arah kepalanya pendekar 212 bergerak cepat
dan tak mau kasih peluang lagi. Pengemudi gerobak itu buka matanya lebih lebar sewaktu
melihat orang yang diserangnya tenyap dari hadapannya. Sambaran goloknya yang deras
mengenai tempat kosong. Ini membuat laki-laki itu terdorong ke muka dan pada saat
inilah
kedua matanya melihat sosok tubuh kawannya yang menggeletak di tanah dengan perut
pecah!
Berdiri bulu kuduk laki-laki ini. Tapi hanya sebentar saja. Rasa ngeri ini segera digantikan
dengan rasa geram dan amarah yang meluap. Tubuhnya diputar kembali, untuk kedua
kalinya
berkiblatlah senjatanya menyerang Wiro Sableng.
Tapi kali yang kedua ini justru adalah saat kematiannya! Senjatanya lagi-lagi
menghantam angin kosong dan sebelum dia sempat mengirimkan serangan berikutnya
maka
lima jari tangan dilihatnya berkelebat dekat sekali ke arah keningnya, tak bisa dipapaki
dengan
golok, tak bisa dikelit dengan kecepatan yang bagaimanapun!
“Plaaak!”
Telapak tangan kanan pendekar 212 mendarat di kening laki-laki itu, disusul dengan
suara jerit kesakitan. Laki-laki itu terguling ke tanah tidak sadarkan diri lagi. Kulit
keningnya
hitam seperti terbakar dan di bagian tengah kulit kening itu terteralah angka 212. Laki-laki
ini
bernasib masih untung dari kawannya karena pendekar 212 tidak menamatkan
riwayatnya.
Wiro Sableng melepaskan totokan yang mengakukan tubuh Rara Murni. “Hari ini
nasibmu sial terus-terusan rupanya, Rara,” kata pemuda itu dengan senyum-senyum. Si
gadis
tak berkata apa-apa. Mukanya masih agak pucat. Dan Wiro Sableng berkata lagi: “Tapi ada
juga
untungnya. Gerobak ini sekarang jadi milik kita. Ayo kita teruskan perjalanan. Rara Murni
naik
kembali ke atas gerobak. Wiro Sableng mengemudikan gerobak itu. Sepanjang perjalanan
gadis
itu tak habis pikir. Pemuda yang duduk di sampingnya itu bertampang gagah, tapi aneh
dan juga
lucu. Dan di samping itu kehebatan yang telah disaksikan sendiri olehnya tadi diam-diam
membuat dia mengagumi si pemuda. Dan sampai saat ini Rara Murni tidak tahu sama
sekali
siapa nama pemuda itu!
Beberapa jauh di luar tembok kerajaan, Wiro Sableng menghentikan gerobak. Dia
berpaling ke samping. Lalu berkata: “Rara, Pakuan sudah di depan mata. Aku
mengantarkan

hanya sampai di sini. Kau bawalah terus gerobak ini, tak susah untuk
mengemudikannya....”
“Kau sendiri hendak ke mana, Saudara?” tanya Rara Murni heran.
Pendekar 212 tertawa. “Ke mana aku mau pergi itulah satu hal yang aku tidak bisa
jawab,” ujar Wiro Sableng pula. “Cuma pesanku, jangan lupa untuk mengatakan segala
kejadian yang kau alami pada Sang Prabu. Kurasa peristiwa-peristiwa yang kau alami itu
mempunyai latar belakang. Dan bukan mustahil kalau masih ada pembesar-pembesar
istana
lainnya yang menjadi pengkhianat macam Kalasrenggi....”
Rara Murni mengangguk.
Kemudian Wiro Sableng berkata lagi: “Juga jangan lupa mengirimkan sepasukan
prajurit ke kuil di lembah Limanaluk itu untuk membekuk Kalasrenggi....”
Rara Murni mengangguk untuk kedua kalinya. Ketika dilihatnya pemuda rambut
gondrong itu memutar tubuh hendak berlalu, gadis ini cepat-cepat berkata: “Saudara...
tunggu
dulu.”
Pendekar 212 putar tubuhnya kembali. “Ada apakah Rara...?”
“Aku belum bilang terima kasih pada kau...”
“Ah....” Wiro Sableng goyangkan tangannya, “Tak usah... tak usah. Itu hanya
kebetulan saja....”
“Sang Prabu mungkin akan banyak bertanya tentang kau. Kurasa lebih baik kau ikut
sama-sama ke istana.”
“Terima kasih. Tapi aku ada urusan lain Rara....” jawab Wiro Sableng.
“Lalu kalau hem... kalau Sang Prabu bertanya siapa namamu, bagaimana aku musti
menerangkannya?”
Wiro Sableng tertawa. “Nama itu sebenarnya tidak ada arti apa-apa. Rara. Kita semua
dilahirkan tidak bernama. Orang-orang tua kita yang memberi nama dan itu hanya
kebiasaan
saja....”
“Jadi, apakah kau tidak punya nama?” tanya Rara Mumi pula.
Wiro Sableng tertawa lagi. “Namaku tidak penting Rara. Tapi kalau kau penasaran
ingat-ingat angka ini....” Habis berkata begitu ditariknya saja ujung bawah kain yang
dikenakan
Rara Murni. Dan dengan ujung jari tangannya, dengan mempergunakan tenaga dalam
tentunya,
maka dituliskannya tiga rentetan angka 212.
Rara Murni memperhatikan angka itu. “Dua satu dua...:” desisnya. Diangkatnya
kepalanya hendak mengatakan sesuatu pada pemuda itu. Namun dia terkejut dan tak
habis
heran. Si pemuda sudah tak ada lagi di hadapannya, seakan-akan gaib lenyap ditelan
bumi. Rara
Murni memandang berkeliling. Tapi pendekar 212 tetap saja tidak kelihatan.
Gadis itu menghela nafas panjang. “Pemuda aneh... agak ceriwis... tapi berhati polos....”
kata Rara Murni dalam hati. Dicambuknya sapi-sapi penarik gerobak. Gerobak itu pun
bergeraklah menuju pintu gerbang Kotaraja.
Tentu saja Prabu Kamandaka sangat terkejut ketika mendapat keterangan dan
mengetahui apa yang telah terjadi atas diri adiknya. Sepasukan prajurit kerajaan segera
dikirim
ke lembah Limanaluk. Tapi mereka datang terlambat karena saat itu pengkhianat
Kalasrenggi
sudah tak bernafas lagi, mati tergantung dengan darah bercucuran dari hidung, mata serta
telinga!
Rara Murni sendiri, secara diam-diam menyuruh beberapa orang kepercayaannya untuk
mencari jejak Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, namun usaha mereka
sia-
sia belaka.
Hari itu juga di seluruh Kerajaan diadakan pembersihan, termasuk di dalam istana. Tapi

hasilnya tidak memuaskan sama sekali. Bahkan biang racun pengkhianat yaitu Raden
Werku
Alit tetap tenang-tenang saja di tempatnya di dalam gedungnya yang mewah di lingkungan
istana. Siapa yang menduga kalau saudara sepenyusuan dari Sang Prabu sendiri yang
menjadi
tokoh pengkhianat terbesar?
Satu-satunya orang yang ditangkap dalam pembersihan yang diadakan ialah petani yang
menggagahi Rara Murni di tengah jalan sewaktu naik gerobak. Namun sebelum dibawa ke
hadapan Sang Prabu, petani ini berhasil merampas pedang seorang perajurit dan
menghunjamkannya ke batang lehernya. Tak ampun lagi manusia itu meregang nyawa di
situ
juga. Siapakah petani ini sesungguhnya? Siapa pula kawannya yang telah ditamatkan
riwayatnya oleh pendekar 212 sebelumnya? Mengapa pula petani yang satu itu
memutuskan
untuk membunuh diri sendiri? Dia dan kawannya tiada lain adalah mata-mata kaki tangan
kaum
pemberontak yang dikirimkan oleh Mahesa Birawa untuk menemui Raden Werku Alit dan
menyelidiki suasana di Pajajaran menjelang saat-saat penyerangan total diadakan! Seperti
yang
diceritakan di atas, dalam perjalanan menuju ibu kota kerajaan yaitu Pakuan, mereka telah
bertemu dengan Rara Murni, adik Sang Prabu, bersama seorang laki-laki gondrong yang
mereka sangkakan hamba sahaya Rara Murni. Maka saat itu timbullah niat mereka untuk
menculik gadis itu dan membawanya ke tempat persembunyian kaum pemberontak di kaki
Gunung Halimun.
Namun maksud mereka itu membawa celaka kepada diri mereka sendiri. Yang satu mati
dihajar pendekar 212. Yang satu lagi roboh pingsan di tengah jalan kemudian ditangkap
oleh
serdadu-serdadu kerajaan tapi berhasil bunuh diri sebelum dibawa ke hadapan Sang
Prabu,
sebelum dipaksa untuk memberikan keterangan!

-- == 0O0 == -- 

LIMA BELAS

Malam itu untuk kesekian kalinya di dalam kemah besar diadakan pertemuan
kali ini sangat penting sekali rupanya karena di luar kemah itu dijaga dengan ketat
oleh para pengawal. Pertemuan ini bukan saja penting karena datangnya dua tokoh
sekutu dari kaum pemberontak yaitu Adipati Warok Gluduk dari Rajasitu dan Adipati
Tapak Ireng dari Ratujaya, tapi juga karena kabar yang dibawa oleh seorang kurir
Raden Werku Alit dari Kotaraja.
Sebagaimana biasa pertemuan penting ini di:pimpin oleh Mahesa Birawa yang
duduk di kepala meja. Setelah mempersilahkan kelima Adipati meneguk minuman
masing-masing maka Mahesa Birawa segera membuka pembicaraan.
“Pertama sekali perkenankanlah saya atas nama Adipati-Adipati yang terdahulu
datang ke sini dan juga atas nama Raden Werku Alit, mengucapkan selamat datang
pada Adipati Warok Gluduk dan Adipati Tapak Ireng. Kemudian kami juga
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas tekad
Adipati-Adipati berdua untuk bersedia membantu dan bersekutu dalam perjuangan
mencapai cita-cita kita yang besar yaitu menggulingkan Pajajaran, menumbangkan
Kamandaka dari takhta kerajaannya karena sesungguhnya selama Raden Werku Alit
masih hidup maka Kamandaka tidak punya hak sama sekali untuk menjadi Raja
Pajajaran....”
Mahesa Birawa memuntir-muntir kumisnya yang melintang dua tiga kali lalu
melanjutkan bicaranya: “Kedua kalinya, pertemuan ini adalah juga untuk membahas

keterangan yang telah disampaikan kurir dari Kotaraja. Diterangkan bahwa dua orang
mata-mata kita tertangkap. Yang satu terbunuh dan yang satu lagi bunuh diri. Mayat
mereka dibuang ke kali. Mengenai peristiwa ini ada sedikit keterangan yang bersimpang
siur sehingga belum dapat saya menarik satu kesimpulan bagaimana sampai kedua mata-
mata kita itu mengalami nasib demikian rupa. Kabar keterangan yang paling buruk ialah
bahwa salah seorang pembantu utama kita yaitu kepala pasukan Kalasrenggi juga telah
menemui kematiannya. Dia digantung di sebuah kuil tua di lembah Limanaluk.
Mengenai kematian Kalasrenggi ini ada hal-hal aneh dan keterangan yang agak
bersimpang siur. Menurut kurir Raden Werku Alit, ketika pasukan kerajaan datang ke
kuil itu, Kalasrenggi sudah tidak bernafas, digantung kaki ke atas kepala ke bawah dan
pada keningnya tertera guratan-guratan yang membentuk tiga buah angka yaitu angka
212....”
Mahesa Birawa memandang berkeliling dan melihat paras-paras Adipati itu
keheran-heranan.
“Sukar diduga siapa sebenarnya yang membunuh Kalasrenggi dan juga tak dapat
ditafsirkan apa arti angka 212 itu! Di samping itu, sesudah kejadian itu Sang Prabu
memerintahkan pembersihan besar-besaran di kerajaan. Namun semua orang kita sudah
menyingkir. Dan menurut Raden Werku Alit sampai saat dia mengirimkan kurir itu
masih belum ada kecurigaan terhadap dirinya. Namun demikian dalam sehari dua ini dia
akan segera berangkat ke sini untuk berunding terakhir kali, menentukan kapan penye-
rangan dilakukan terhadap Pajajaran. Raden Werku Alit berharap agar kita terus dalam
kesiap siagaan.....”
Sunyi sebentar, Adipati Lanabelong dari Kendil yang berkepala sulah meneguk
tuaknya, mengumur-ngumurkan minuman itu dalam mulutnya beberapa lama, lalu
bertanya: “Sampai saat ini berapakah kekuatan balatentara Pajajaran?”
“Menurut keterangan Kalasrenggi sebelum menemui kematiannya tempo hari sekitar
dua ribu lebih. Memang jumlah kekuatan mereka lebih dari kita. Kita cuma sekitar seribu
enam
ratusan. Tapi janganlah itu menjadi kekhawatiran para Adipati sekalian. Mengapa aku
katakan
tak usah khawatir sebabnya begini. Pertama, dalam peperangan itu jumlah yang besar
tidak
selamanya menentukan untuk mencapai kemenangan. Sering pasukan yang lebih sedikit
sanggup mengalahkan pasukan yang lebih besar. Ini adalah disebabkan bahwa
sesungguhnya
unsur kekuatan atau jumlah tidak terlalu menentukan tapi unsur taktiklah yang lebih
menentukan. Dengan taktik yang tinggi serta matang, dengan mengetahui di mana
kelemahan-
kelemahan pertahanan pasukan Pajajaran, pasti kita dalam sekejapan mata bisa
mengobrak-
abrik mereka!
Kedua, dalam peperangan kecepatan tempur atau waktu penyerangan yang tepat adalah
sangat menentukan. Bila lawan sedang lengah, meskipun jumlahnya besar, sanggup
dikacau
balaukan dan disapu bersih oleh sepasukan kecil saja. Demikian pula dengan kita. Kita
akan
menyerang dengan tiba-tiba, dengan menyergap! Pajajaran hanya baru akan mengetahui
bila
balatentara kita sudah berada di depan mata hidung mereka! Dan saat itu mereka tak
akan ada
waktu lagi untuk mempersiapkan diri. Aku rasa dengan berpegang teguh pada dua hal itu,
tidak
sukar bagi kita untuk membereskan Pajajaran. Apalagi para Adipati di sini bukan pula
manusia-manusia berilmu rendah. Sedikit banyaknya adalah murid-murid dari perguruan-
perguruan silat
yang ternama juga, bukankah demikian?”
Kelima Adipati itu sama mengulum senyum. Memang rata-rata mereka dalah pewaris

ilmu-ilmu silat dari pelbagai cabang dan aliran dan ilmu-ilmu mereka tidaklah dapat
dianggap
ilmu pasaran yang rendah belaka!
“Di samping itu,” kata Mahesa Birawa pula, “Jangan pula kita lupakan bantuan yang
akan diberikan oleh seorang tokoh dunia persilatan yang terkenal yakni Begawan
Sitaraga....”
“Oh, jadi Begawan sakti yang diam di puncak Gunung Halimun itu membantu kita
pula?” tanya Warok Gluduk, Adipati dari Rajasitu.
“Ya,” sahut Mahesa Birawa.
“Bagaimana sampai Begawan ini mau membantu perjuangan kita?” tanya Tapak Ireng.
“Setahuku dia mempunyai pertikaian dengan Toa Kamandaka.... “ jawab Mahesa
Birawa pula. “Kalau benar begitu, satu hari saja Pajajaran pasti sudah sama rata dengan
tanah....” kata Warok Gluduk sambil mengusap-usap dagunya. Dan dibayangkannya
kedudukan
yang bakai diterimanya bila pemberontakan mereka berhasil nanti!
* * *
Waktu itu hari hujan rintik-rintik. Angin malam bertiup kencang dan dingin. Sosok
tubuh itu berjalan dengan acuh tak acuh. Tidak perduli hujan rintik-rintik, tidak perduli
angin
kencang, tidak perduli segala rasa dingin yang menyembilui tulang-tulang sumsum. Dia
berjalan terus bahkan sambil bersiul-siul. Sesampainya di ujung jalan itu maka disusurinya
tembok tinggi dan sekali-sekali, dalam jarak-jarak tertentu dilewatinya seorang pengawal
ber-
senjata lengkap.
Di hadapan sebuah pintu gerbang yang dikawal oleh delapan orang perajurit berhentilah
pemuda itu. Dia memandang ke kiri dan ke kanan, memandang ke atas pintu gerbang lalu
memandang pada barisan pengawal dengan pandangan orang bodoh. Pengawal-pengawal
pintu
gerbang mula-mula memandang saja dengan penuh curiga namun kemudian salah seorang
daripadanya membentak: “Pemuda gondrong! Ada apa kau celangak celinguk di sini?!”
Dibentak malahan pemuda itu tersenyum.
“Apa kau tidak tahu berada di mana saat ini?!” bentak prajurit pengawal yang lain.
“Ah... itulah yang aku mau tanya, saudara. Apakah ini istananya Sang Prabu Raja
Pajajaran?”
Delapan pasang mata prajurit pengawal memandang dari atas ke bawah. Tak ada
kesimpulan lain bagi mereka daripada berpendapat bahwa tentulah pemuda berambut
gondrong
itu seorang yang kurang ingatan.
Seorang prajurit yang agak berumur maju ke muka. “Orang muda, ini memang istana
Raja Pajajaran. Siapapun tak diperkenankan berdiri lama-lama di sekitar sini....”
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. “Kalau berdiri di sini tidak boleh... tentu masuk
lebih tidak boleh lagi.... “ katanya perlahan seperti pada dirinya sendiri.
“Berlalulah dari sini,” kata prajurit tadi.
“Tapi, aku mau bertemu dengan Rara Murni....” kata si pemuda.
Prajurit tua itu tertawa. “Tak seorang pun yang diizinkan bertemu dengan Tuan P.uteri,
apalagi kau....”
“Ini urusan penting sekali, Saudara!” desak si pemuda.
Salah seorang prajurit yang lain, yang sudah tak sabaran berkata: “Pemuda gila,
berlalulah dari sini. Atau pangkal tombakku akan membenjutkan kepalamu!”
Tapi si pemuda tidak memperdulikan ancaman itu. “Saudara pengawal, dengarlah,”
katanya. “Aku pernah kenal dengan Rara Murni. Mungkin aku lebih kenal padanya dari
kalian
semua di sini. Aku musti ketemu dengan dia. Katakan saja bahwa ada seorang pemuda

berambut gondrong bernama 212 mau bertemu dengan dia. Pasti dia tahu dan
mengizinkan aku
masuk....”
Kedelapan prajurit pengawal itu tertawa membahak. Beberapa di antaranya malah
mencibir.
Dan seseorang di antara mereka berkata: “Kau salah alamat, kawan. Mustinya kau
datang ke rumah dukun Gendong di kampung Andawa, minta obat kepadanya agar otakmu
yang geblek sinting itu bisa diperbaikinya!”
“Siapa bilang aku sinting?!” radang si pemuda rambut gondrong.
“Kau memang tidak sinting! Tapi berotak miring atau setengah gila!”
Dan gelak membahak terdengar lagi di depan pintu gerbang istana itu!
“Kalau kalian tidak mau kasih aku masuk, tak apa,” kata si pemuda yang tiada lain
daripada pendekar 212 Wiro Sableng. “Tapi satu hal aku katakan, aku tidak gila. Kalianlah
semua yang gila tertawa tiada pangkal sebab!” Habis berkata begini pemuda itu berlalu,
melangkah sambil bersiul-siul.
Rara Murni seperti tidak percaya pada pemandangannya ketika melihat pintu terbuka
dan dua sosok tubuh masuk ke dalam. Yang seorang adalah inang pengasuhnya, seorang
perempuan tua, sedang yang satu lagi adalah pemuda rambut gondrong yang pernah
menolongnya tempo hari.
“Kita bertemu lagi, Rara,” kata Wiro Sableng. “Di pintu gerbang aku tak diperbolehkan
masuk, terpaksa lompat lewat tembok dan memaksa perempuan tua ini untuk
memberitahukan
kamarmu.... “
“Ada apakah kau datang ke sini, Saudara 212?” tanya Rara Murni.
“Ah... rupanya kau masih belum melupakan angka itu. Bagus sekali! Mengapa aku
datang ke sini.... Untuk bertemu dengan kau tentunya.” kata pendekar 212 pula seraya
menyandarkan punggungnya ke pintu yang tadi ditutupkannya.
Merah paras Rara Murni mendengar kata-kata Wiro Sableng. Tentang diri penolongnya
ini memang tak pernah dilupakannya, terutama mengingat kehebatannya. Maka bertanya
pula dia:
“Mengapa kau ingin ketemu aku...?”
“Oh, jadi tak boleh ketemu?”
“Bukan begitu maksudku, Saudara....”
“Dengar Rara, aku musti bertemu dan bicara dengan Sang Prabu malam ini juga....”
Rara Murni terkejut.
“Ada urusan apa...?”
“Urusan penting. Penting sekali....”
Rara Murni berpikir-pikir. Pemuda ini selama dikenalnya meski ceriwis dan suka bicara
ngelantur tapi hatinya polos. Namun demikian dia masih belum tahu siapa adanya pemuda
ini.
Bukan mustahil dia adalah seorang pengkhianat macam Kalasrenggi tapi yang
menjalankan taktik
secara lain. Purapura menolong pertama kali, kemudian bila tiba saatnya akan
menggolong.
“Katakan saja urusan pentingmu itu, saudara. Nanti aku yang sampaikan kepada Sang
Prabu....”
“Ini bukan urusan perempuan, Rara Murni.” kata Wiro Sableng pula.
Rara Murni yang lebih mementingkan keselamatan kakak kandungnya Prabu Kamandaka
menjawab: “Maaf, walau bagaimanapun aku tak dapat mempertemukan kau dengan Sang
Prabu....”
Wiro Sableng tak berkata apa-apa. Digaruknya kepalanya. “Sukar memang untuk percaya
pada manusia macamku. Tapi biarlah, bertemu dengan kau puas juga hatiku.” Pendekar itu
tertawa dan kembali melihat bagaimana kedua pipi Rara Murni menjadi merah. Tiba-tiba
tangan
kirinya dihantamkan ke muka dengan telunjuk terpentang lurus-lurus. Tanpa keluarkan
suara
inang pengasuh yang tadi berlutut kini rebah tiada sadarkan diri.

Rara Murni hendak menjerit. Tapi mulutnya ditekap oleh Wiro Sableng. Pemuda ini
berkata: “Rara, perempuan itu tak apa-apa. Aku hanya menotoknya agar jangan sampai
dia
membocorkan rahasia. Ketahuilah, istanamu ini kini penuh dengan pengkhianat-
pengkhianat. Aku
tak tahu siapa yang menjadi biang pengkhianat! Kalau tahu siang-siang sudah kupuntir
kepalanya
dan kubawa ke hadapan Sang Prabu. Kuharap besok pagi atau malam ini juga kau bawalah
Sang
Prabu ke kamarmu ini dan baca pesanku ini?”
Habis berkata demikian pendekar 212 melangkah ke dinding dan pergunakan jari
telunjuknya untuk menulis. Menulis serentetan syair yang mengandung nasihat dan
peringatan.
Dalam waktu yang dekat akan pecah pemberontakan
Pemberontakan menggulingkan Sang Prabu dari takhta
kerajaan
Istana penuh dengan pengkhianat-pengkhianat bermuka
jujur tapi berhati seculas setan Siapkan bala tentara di
luar tembok kerajaan
212  
“Samapi ketemu lagi Rara Murni.” kata pendekar 212 Wiro Sableng sehabis menulis
rentetan syair itu. Lalu cepat-cepat ditinggalkannya kamar itu. Rara Murni memburu ke
pintu
tapi si pemuda sudah lenyap.
Ketika malam itu juga Rara Murni menemui Sang Prabu dan menerangkan tentang
kedatangan pemuda aneh itu maka terkejutlah Prabu Kamandaka. Dengan langkah besar-
besar
dan tanpa pengawal sama sekali Raja Pajajaran itu bersama adiknya pergi ke kamar. Dan
memang apa yang tertulis di dinding kamar cocok seperti apa yang diterangkan adiknya.
Dinding kamar itu dari batu dan dilapisi dengan marmer putih yang sangat keras. Dengan
pahat sekalipun akan sukar menuliskan rentetan syair itu. Tapi si pemuda aneh telah
menuliskannya dengan ujung jari!
“Bagaimana pendapat Kanda?” tanya Rara Murni kepada kakaknya.
“Pemuda itu tentu seorang yang sakti luar biasa.” kata Prabu Kamandaka. “Tapi apa
yang dituliskannya di dinding ini, adalah satu hal yang aku belum bisa percaya. Tentara
kerajaan telah mengadakan pembersihan. Dan tak seorang pengkhianat pun ditemukan....”
“Mungkin mereka semua sudah menyingkir dan mempersiapkan diri di satu tempat
yang tersembunyi di luar kerajaan,” kata Rara Murni pula.
Prabu Kamandaka mengusap-usap dagunya. Lalu katanya: “Rahasiakan tentang tulisan
ini, Dinda. Meski aku tak percaya, aku akan mengadakan penyelidikan juga.”
Sesudah itu, keluarlah Kamandaka dari kamar adiknya.

-- == 0O0 == --

ENAM BELAS

“Berhenti!”
“Tahan!”
Enam prajurit maju ke muka, enam ujung tombak ditujukan ke dada dan punggung
manusia berpakaian putih itu.
“Siapa kau?!”
“Aku mau bertemu dengan Mahesa Birawa!”
“Keparat, aku tanya siapa, menjawabnya lain” bentak prajurit itu.
Laki-laki itu menggeram dalam hati. “Tunjukkan kemah Mahesa Birawa. Kalau tidak

antarkan aku kepadanya!”
“ Manusia bau tengik! Kau kira kami ini budakmu? “
“Kau mata-mata Pajajaran ya?!” bentak prajurit yang paling kanan sekali. Ujung
tombaknya kini digeser ke tenggorokan laki-laki asing itu.
“Kalian sontoloyo semua! Aku bicara baik-baik, dibalas dengan bentakan-bentakan!
Sialan!”
Enam ujung tombak dengan serta merta bergerak ke muka. Laki-laki yang hendak
menjadi bahan sasaran ujung senjata itu berkelebat cepat. Satu kali gebrakan saja maka
mentallah keenam prajurit itu! Empat tergelimpang di tanah tak bangun lagi. Satu berdiri
nanar,
sedang yang satu sambil memegang perutnya yang kesakitan, masih sanggup berteriak
memanggil kawan-kawannya. Maka dalam sekejapan mata saja puluhan prajurit dengan
senjata
terhunus sudah mengurung tempat itu, mengurung ketat laki-laki berpakaian serba putih.
Obor-
obor menerangi tempat itu dan jelaslah tampang manusia yang telah menggeprak enam
prajurit
tadi.
Dia memandang berkeliling dengan air muka melontarkan senyum mengejek.
“'Inikah tampangnya manusia-manusia yang hendak memberontak pada
kerajaan....?” Laki-taki itu tertawa mengekeh. “Kalian manusia dogol semua. Mau saja
diperalat oleh segelintir manusia yang hendakkan kekuasaan secara keji! Kalau kalian
kalah,
kalian dan dipancung semua! Kalau kalian menang, kalian dapat apa?!”
Seorang laki-laki berbadan tinggi kekar dan berkulit hitam maju ke hadapan orang
asing itu. Dia adalah seorang pelatih prajurit-prajurit yang hendak memberontak itu. Satu
tangan bertolak pinggang, satu lagi menuding tepat-tepat ke muka si orang asing, dia
berkata:
“Kurasa kau masih belum buta untuk melihat kenyataan, di mana kau berada saat ini!”
kata laki-laki tinggi besar itu.
Si orang asing masih tertawa seperti tadi, mengekeh mengejek. Si tinggi kekar yang
merasa dihina di hadapan orang banyak dengan gemas sekali hantamkan tinju kanannya
ke
perut si orang asing.
Apa yang terjadi kemudian terlalu cepat untuk dilihat oleh mata orang banyak di tempat
itu. Tubuh kepala pelatih yang tinggi besar itu jungkir balik di udara dan jatuh punggung di
tanah. Untuk beberapa lamanya tak dapat bergerak-gerak! Kesunyian karena terkejut dan
keheranan hanya berlangsung beberapa ketika saja. Begitu terdengar seseorang berteriak
maka
menyerbulah puluhan prajurit itu. Suara beradunya senjata riuh dan kacau balau.
“Tahan!,” Seorang prajurit berteriak. “Lihat! Kita menghantam sesama kita! Kunyuk itu
sudah ada di sana!”
Dan ketika semua mata memandang ke jurusan yang ditunjuk maka kelihatanlah orang
asing tadi berjalan seenaknya di sela-sela kemah prajurit!
Sewaktu dirinya diserang, secara bersama-sama tadi, laki-laki itu dengan kecepatan luar
biasa jatuhkan diri di tanah dan lolos di antara selangkangan para penyerangnya. Keadaan
malam yang gelap menolongnya untuk lolos dan melangkah seenaknya di sela-sela kemah.
Metihat bahwa orang yang mereka serang sudah berada di tempat lain, di samping
terkejut tentu saja prajurit-prajurit itu menjadi geram sekali. Apa lagi kepala pelatih yang
tadi
dibikin menggeletak di tanah dalam satu kali gebrakan. Dia berseru memanggil prajurit-
prajurit
lainnya.
“Kurung bangsat itu! Kalau tak mungkin ditangkap hidup-hidup, cincang sampai
lumat!,” perintahnya. Kepala pelatih ini kemudian cabut kerisnya.
Sebelum menyerbu di antara anak buahnya dia memberi perintah pada seorang prajurit
yang kebetulan berada di dekatnya: “Beri tahu hal ini pada Mahesa Birawa....!”

dalam kemah besar itu tengah berlangsung perundingan. Mahesa Birawa tengah
berkata: “Besok Raden Werku Alit sudah berada di sini dan agaknya.... “
Ucapan Mahesa Birawa terputus. Kepalanya berpaling ke kanan dan dari mulutnya
keluarlah suara bentakan: “Pengawal! Apa kamu orang tidak tahu bahwa tidak siapa pun
boleh
masuk ke dalam kemah ini? Keluar.... !”
“Mohon maaf Raden… kata pengawal kemah seraya menjura dua kali. “Seorang
prajurit memberitahukan bahwa terjadi kerusuhan di sebelah timur...”
“Kerusuhan....?!” Mahesa Birawa berdiri dari kursinya.
“Ya, seorang asing diketahui memasuki perkemahan. Ketika dikurung dan ditanyai
dia melawan. Dia merubuhkan enam prajurit! Memukul kepala pelatih Suto Rande dan kini
tengah dikeroyok oleh puluhan prajurit di bawah pimpinan Suto Rande!”
“Hanya seorang asing nyasar ke sini saja kalian tidak bisa membereskan?!
Memalukan sekali!” kertak Mahesa Birawa. Tapi dalam hatinya dia sebagai seorang yang
sudah berpengalaman dalam dunia persilatan memaklumi, kalau seseorang sanggup
merubuhkan enam lawan sekaligus, bahkan memukul jatuh kepala pelatih prajurit ini suatu
tanda bahwa dia bukanlah orang sembarangan, pasti mempunyai ilmu yang diandalkan.
Tapi
siapa adanya orang asing yang
berani datang seorang diri ke perkemahan itu, inilah satu hal
yang ingin diketahui Mahesa Birawa.
Mahesa Birawa berpaling pada Adipati-Adipati yang ada dalam kemah itu dan
berkata: “Harap maafkan. Aku terpaksa meninggalkan persidangan sebentar untuk
membereskan keonaran...”
Semua Adipati menganggukkan kepala. Adipati Tapak Ireng berkata: “Mungkin sekali
perusuh ini seorang mata-mata Pajajaran...”
“Boleh jadi,” sahut Mahesa Birawa seraya menindak ke pintu kemah.
Dan saat itu pengawal kemah berkata: “Orang asing itu berkata bahwa dia ingin
bertemu dengan Raden...”
“Dengan aku?” Mahesa Birawa menuding dadanya sendiri.
Pengawal mengangguk.
Ini membuat Mahesa Birawa tambah ingin lekas-lekas mengetahui siapa adanya
perusuh itu.
Pertempuran berkecamuk seru ketika Mahesa Birawa sampai ke sana bersama seorang
prajurit. Prajurit ini hendak berseru tapi diberi isyarat oleh Mahesa Birawa agar diam saja.
Akan disaksikannya dengan mata kepala sendiri beberapa jurus kehebatan pertempuran
itu. Pekik dan jeritan terdengar hampir setiap saat. Setiap pekikan musti disusul dengan
menggeletaknya tubuh seorang pengeroyok. Menurut taksiran Mahesa Birawa saat itu ada
sekitar tiga puluh prajurit di bawah pimpinan Suto Rande yang mengeroyok si orang asing.
Diam-diam Mahesa Birawa mengagumi juga kehebatan orang asing itu. Masih muda
belia, bertampang keren dan senjatanya sebuah tombak yang diputar seperti kitiran,
menderu
dan setiap saat meminta korban dari pihak pengeroyok! Mahesa Birawa tahu betul, tombak
yang di tangan pemuda itu adalah tombak rampasan. Dan yang membuat Mahesa Birawa
terpaksa leletkan lidah ialah meski dikeroyok puluhan manusia, si pemuda itu dengan
seenaknya saja melayani sambil tertawa dan bersiul!
Beberapa orang lagi rubuh menggeletak dengan perut atau dada terluka parah disambar
ujung tombak. Kemudian terdengar lagi satu pekikan dahsyat. Sesosok tubuh mental,
jatuh tepat
di hadapan Mahesa Birawa. Ketika diteliti oleh Mahesa Birawa ternyata sosok tubuh itu
adalah
sosok tubuh Suto Rande, kepala pelatih prajurit! Nyawanya sudah minggat dan pada
keningnya
kelihatan guratan angka 212…!
Angka ini sekaligus mengingatkan Mahesa Birawa pada keterangan kurir Raden Werku
Alit tentang kematian Kalasrenggi secara aneh, digantung kaki ke atas kepala ke bawah
dan

juga ada angka 212 pada kulit keningnya! Tanpa menunggu lebih banyak korban lagi yang
jatuh
maka berserulah Mahesa Birawa!

-- == 0O0 == --

TUJUH BELAS

“Aku Mahesa Birawa memerintahkan untuk hentikan pertempuran ini!”
Suara yang hampir menggeledek itu dengan serta merta menghentikan pertempuran.
Prajurit-prajurit yang mengeroyok melompat ke luar dari kalangan pertempuran. Si
pemuda
asing masih berdiri di tempat dengan tombak di tangan. Teriakan Mahesa Birawa tadi
membuat dia putar kepala ke arah datangnya suara itu. Dan sepasang matanya segera
membentur sesosok laki-laki berbadan tegap berkumis lebat melintang, berpakaian bagus.
Pada pinggangnya terselip keris.
Dalam hatinya pemuda itu menggumam: “Hem... jadi inilah dia manusianya yang
bernama Mahesa Birawa itu...”. Selagi dia menggumam begitu laki-laki itu melangkah
mendatanginya.
“Orang asing!,” kata Mahesa Birawa dengan nada keren dan lantang. “Meski kau punya
sedikit ilmu yang diandalkan, tapi di sini bukanlah tempat untuk memamerkannya!”
Si pemuda keluarkan suara bersiul. “Betul aku berhadapan dengan Mahesa Birawa saat
ini...?” tanyanya.
“Kau siapa?!,” membentak Mahesa Birawa.
“Namaku tertulis di kening anak buahmu itu!” Si pemuda pendekar 212 menunjuk ke
mayat Suto Rande.
“Hem... bagus kalau begitu!” Mahesa Birawa puntir kumisnya. “Kau yang membunuh
Kalasrenggi, bukan?”
“Tidak! Aku hanya menggantungnya dan Tuhan kemudian mengambil rohnya....”.
Habis berkata begitu pendekar 212 Wiro Sableng tertawa mengekeh.
“Kau tahu Mahesa, manusia macam Kalasrenggi itu tak layak hidup lama-lama di
dunia! Masih kebagusan ada kali untuk tempat pembuang mayatnya! Dan kau tahu... di
atas
bumi ini masih banyak manusia-manusia macam Kalasrenggi malahan lebih terkutuk dari
Kalasrenggi yang musti dilenyapkan!”
Di sini bukan tempat pidato, budak hina!,” bentak Mahesa Birawa.
“Oh, begitu…? Kalau demikian mari kita bicara empat mata Mahesa Birawa. Aku
memang sudah lama mencari kau!”
Mahesa Birawa menyeringai. Kemudian kelihatan bagaimana mukanya menjadi kelam
membesi. “Kalau aku bicara dengan kau maka biar aku terangkan padamu bahwa
kedatanganmu ke sini hanyalah untuk mengantar nyawa!”
Habis berkata demikian Mahesa Birawa hantamkan tangan kanannya ke muka. Setiup
angin yang bukan olah-olah panasnya menggebubu ke arah pendekar 212! Pendekar 212
lompat
tiga tombak ke atas. Angin pukulan lewat di bawahnya dan menghantam sebuah pohon
kayu.
“Buum!”
“Kraak!”
Pohon itu bukan saja tumbang dilanda angin pukulan tapi juga berwarna hitam karena
hangus! Kedua orang itu sama-sama terkejut. Pendekar 212 terkejut melihat kehebatan
pukulan dan tenaga dalam lawan sedang Mahesa Birawa heran tidak menyangka kalau
pukulannya itu dapat dielakkan dengan satu lompatan enteng ke udara!
Dengan penuh waspada Wiro Sableng jejakkan kedua kakinya kembali ke tanah.
“Mahesa Birawa,” katanya, “Soal pertempuran soal mudah. Mudah dimulai, mudah
diakhiri. Tapi aku bilang, aku mau bicara dengan kau! Empat ma....”
“Budak hina! Siapa sudi bicara dengan kau!” potong Mahesa Birawa membentak.

Sekali lagi tangan kanannya dipukulkan ke muka. Kalau tadi dia hanya mempergunakan
sepertiga dari tenaga dalamnya maka kini dialirkan ke dalam pukulannya itu setengah dari
tenaga dalamnya! Namun untuk kedua kalinya pula Mahesa Birawa dibuat gemas karena
Pendekar 212 berhasil pula mengelakkan serangannya yang dahsyat itu.
“Mahesa Birawa, apakah kau yang lebih tua tidak memberikan kesempatan padaku
untuk bicara empat mata?!”tanya Wiro Sableng pula. Kesabarannya mulai terkikis dari
hatinya.
Kalau saja dia tiada ingat pesan gurunya Eyang Sinto Gendeng pastilah saat itu juga
dibalasnya
serangan-serangan Mahesa Birawa tadi!
Untuk tidak terlalu kehilangan muka karena dua pukulannya berhasil dielakkan lawan
maka berkatalah Mahesa Birawa: “Percuma saja kau bicara, toh nantinya nyawamu akan
aku
bikin merat juga dari kau punya badan!”
Pendekar 212 tertawa.
“Dengar Mahesa Birawa…” kata pendekar ini. Rahang-rahangnya bertonjolan.
Pelipisnya bergerak-gerak tanda dia menekan amarahnya dan berusaha mempertahankan
kesabarannya. “Aku membawa pesan dari Eyang Sinto Gendeng…”
Maka terkejutlah Mahesa Birawa mendengar nama itu.
“Kau ini siapa kalau begitu?!” tanyanya.
“Siapa aku masih belum penting. Aku tunggu kau malam ini di bukit Jatimaleh. Seorang
diri, Mahesa Birawa. Datanglah seorang diri....”
“Kau bisa bicara di sini!”
Pendekar 212 menggeleng. “Di bukit Jatimaleh...” desisnya.
“Aku bilang di sini!,” bentak Mahesa Birawa. “Takutkah kau datang ke bukit itu
malam-malam gelap begini? Atau mungkin takut pada dinginnya udara? Atau mungkin
takut
pada roh-roh manusia yang selama ini membayangimu....?!”
Mahesa Birawa kertakkan geraham. Dia memberi isyarat. Bersama puluhan prajurit
yang ada di situ maka menyerbulah dia! Pendekar 212 melompat sampai setinggi tujuh
tombak.
Dia berpegangan pada ujung sebuah cabang pohon, membuat satu kali putaran pada saat
mana
Mahesa Birawa lemparkan sejenis senjata rahasia.
Mahesa Birawa berseru tertahan ketika melihat senjata rahasianya membalik kembali
menyerang dirinya sendiri. Dikebutkannya tangan kirinya. Senjata rahasia itu bermentalan,
menghantam prajurit-prajurit di sekitarnya. Empat orang menggerang dan rebah ke tanah!
Bayangan Wiro Sableng lenyap namun masih terdengarsuara seruannya mengiangi anak
telinga. “Bukit Jatimaleh, Mahesa! Malam ini. Ingat, seorang diri.... !”

-- == 0O0 == --

DELAPAN BELAS

Bukit Jatimaleh tertetak tidak berapa jauh dari perkemahan pemberontak. Ketika
Mahesa Birawa hendak meninggalkan perkemahan, beberapa prajurit menyatakan hendak
ikut
serta tapi Mahesa berkata: “Biar aku sendiri yang membereskan urusan ini! Kalian semua
di sini
bersiap siagalah. Perkuat penjagaan dan lipat gandakan prajurit-prajurit peronda!”
Cuaca malam di atas bukit Jatimaleh gelap gulita. Di langit tiada rembulan tiada
bintang. Udara yang dingin mencucuki daging menyembilui tulang-tulang sampai ke
sungsum.
Dalam kegelapan inilah kelihatan dua sosok tubuh berdiri berhadap-hadapan.
Yang satu membentak lantang: “Cepat terangkan siapa kau adanya budak hina!”
“Ah... jangan bicara memaki terus-terusan Mahesa Birawa. Belum tentu aku lebih hina

dari kau!,” jawab Pendekar 212.
Marahlah Mahesa Birawa. Dia menggeser langkahnya ke muka. Tapi langkahnya segera
pula terhenti ketika didengarnya pemuda di hadapannya berkata: “Pesan Eyang Sinto
Gendeng
ialah agar kau segera kembali ke puncak Gunung Gede dalam waktu secepat-cepatnya!”
“Kembali ke puncak Gunung Gede.... ?!”
“Yeah... Untuk menerima hukuman atas perbuatan-perbuatan jahatmu sejak kau turun
gunung tujuh belas tahun yang silam!”
“Jangan bicara ngaco belo! Ada hubungan apa kau dengan Eyang Sinto Gendeng?!”
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 tertawa datar. “Aku hanya pesuruh buruk saja,
Mahesa....” jawabnya.
“Dusta!,” bentak Mahesa Birawa menggeledek. “Kalau kau tak mau bicara yang
sebetulnya jangan menyesal bila kepalamu kupuntir sampai putus!”
Wiro Sableng bersiul. “Aku tak tahu segala urusan puntir kepala. Aku hanya
menyampaikan perintah Eyang Sinto Gendeng agar kau menghadapnya di puncak Gunung
Gede! Kau dengar Mahesa.... He... he... he....”
Jari-jari tangan Mahesa Birawa mengepal membentuk tinju.
“Aku ingin tahu saat ini juga. Apakah kau bersedia memenuhi perintah itu atau
tidak…?”
“Aku tanya dulu! Apa hubunganmu dengan Eyang Sinto Gendeng? Jangan bikin
kesabaranku habis!”
“Kurasa akulah yang mustinya kehabisan rasa sabar melihat tampangmu saat ini!” tukas
Wiro Sableng. “Katakan saja terus terang bahwa kau tak mau menghadap Eyang Sinto
Gendeng! Itu lebih baik dan lebih jelas....!”
Mahesa Birawa busungkan dada. Katanya: “Kalau orang tua geblek itu butuh ketemu
dengan aku, suruh dia datang ke sini!”
Suara menggeram jelas terdengar di tenggorokan Pendekar 212. Mukanya kelam
membesi. Tanah yang dipijaknya melesak sampai tiga senti!
“Bicaramu terlalu besar Mahesa Birawa! Terlalu pongah! Dosamu sendiri sudah lebih
dari takaran! Hari ini kau hina gurumu sendiri! Guru yang bertahun-tahun telah
memeliharamu,
mengajarmu segala ilmu kepandaian! Guru yang telah kau nodai nama baiknya! Kau
mengandalkan apakah, Mahesa Birawa..... ?! “
“Bocah gila! Terpaksa mulutmu kurobek detik ini juga!” bentak Mahesa Birawa.
Secepat kilat, belum lagi habis bicaranya maka lima jari-jari tangan kanannya bergerak
mencengkeram ke muka. Pendekar 212 tertawa. Tertawa dan bersiul. Bentakan nyaring
menggeledek dari mulutnya dan dia lompat ke samping sambil hantamkan tangan
kirinya. Mahesa Birawa terkejut ketika merasakan satu angin yang deras mendorong
tubuhnya. Cepat-cepat dia pergunakan tangan kanan untuk memapasi dorongan angin itu
tapi tak urung tubuhnya menjadi gontai juga! Maka kini keringat dingin memercik di
kening laki-laki itu!
“Urusan kekerasan urusan mudah, Mahesa!,” kata Wiro Sableng. “Tapi bicaraku
masih belum habis. Tujuh belas tahun yang lewat kau pernah malang melintang di
Jatiwalu. Ingat.... ?”
“Pemuda sedeng! Darimana....”
“Ah... kau masih ingat! Bagus... bagus sekali! Apa kau juga ingat bahwa pada
masa tujuh belas tahun itu kau telah membunuh Ranaweleng, Kepala Kampung
Jatiwalu?! Apakah kau juga masih ingat bahwa pada masa itu kau juga merusak
kehormatan seorang perempuan bernama Suci, isteri Ranaweleng, kemudian karena
malu perempuan itu bunuh diri?! Apa kau juga masih ingat dan sanggup menghitung
berapa banyak jiwa penduduk yang kau renggut, kau bunuh?!”
Mulut Mahesa Birawa terkatup rapat-rapat.
Dan pendekar 212 buka mulut lagi: “Kalau aku tidak ingat pesan Eyang Sinto
Gendeng, pada detik aku melihat tampangmu aku sudah bertekad untuk mengermus
kepalamu! Kini setelah tahu bahwa kau tidak mau diperintahkan untuk menghadap ke
puncak Gunung Gede maka tak ada lagi halangan bagiku untuk membalaskan dendam
kesumat seribu karat, untuk membalaskan sakit hati yang berurat berakar sejak tujuh

belas tahun yang lewat! Ketahuilah Mahesa Birawa, aku adalah anak Ranaweleng. Dan
aku adalah juga murid Eyang Sinto Gendeng! Adik seperguruanmu sendiri, tapi yang
akan memisahkan roh busukmu dengan tubuh bejatmu!” Habis berkata begini maka
tertawalah pendekar 212. Suara tertawanya keras dan panjang, menegakkan bulu roma.
Bergetar hati Mahesa Birawa mendengar suara tertawa yang menegakkan bulu
kuduknya itu. Terbayang olehnya masa tujuh belas tahun yang silam. Begitu cepat waktu
berlalu dan tahu-tahu kini dia berhadapan dengan kenyataan yang pahit! Berhadapan
dengan anak laki-laki dari suami isteri yang pernah menjadi korbannya. Seperti tak
percaya dia akan kenyataan ini!
“Orang muda...!,” kata Mahesa Birawa pula. Suaranya diperbawa dengan aliran
tenaga dalam agar tidak kentara getaran hatinya. “Kuharap kau cepat-cepat saja bangun
dari mimpimu dan tahu berhadapan dengan siapa...!”
Pendekar 212 tertawa lagi seperti tadi. Lebih seram malah! Dan didengarnya
suara Mahesa Birawa, musuh besarnya itu berkata pongah: “Jangankan kau... Eyang
Sinto Gendeng sekalipun tak akan sanggup turun tangan terhadapku! Kalau kau teruskan
niat edanmu, ketahuilah bahwa kedatanganmu sejauh ini dari puncak Gunung Gede
hanyalah untuk mencari mampus sendiri!”
“Kita akan lihat Mahesa Birawa! Kita akan saksikan! Darah siapa di antara kita
yang akan dihisap oleh tanah! Kau telah menentukan kematian ibu bapakku di siang
hari! Disaksikan oleh langit siang dan matahari! Karena itu besok, bila matahari tepat
sampai di puncak ubun-ubun, aku tunggu kau di atas bukit ini! Biar langit dan matahari
yang dulu menyaksikan kematian ibu bapakku, besok menyaksikan pula kematianmu,
menyaksikan pembalasan dendam kesumat seribu karat!”
Mahesa Birawa keluarkan suara mendengus. “Aku bukan manusia yang bisa
menunggu, apa lagi terhadap keroco macam kau! Tapi dengar orang muda... daripada
kau mati tiada guna, aku ada usul baik bagimu. Ikut bersamaku menghancurkan Paja-
jaran, niscaya kau akan kuangkat kelak menjadi seorang pejabat berpangkat tinggi.... !”
Wiro Sableng bersiul. “Aku tidak butuh usul, Mahesa Birawa, juga tidak butuh
apa-apa. Saat ini aku hanya butuh roh busukmu! Besok siang di tempat ini. Mahesa.
Darahmu atau darahku, nyawamu atau nyawaku!”
Maka kini Mahesa Birawa tidak dapat lagi menahan hatinya. “Tak perlu tunggu
sampai besok! Sekarang pun aku bersedia melayani! Terima pukulan seribu badai ini!”
Mahesa Birawa menerjang ke muka. Tangan kanannya memukul dan gelombang
angin yang sangat hebat menderu menyambar ke arah pendekar 212. Yang diserang
tanpa tunggu lebih lama berkelebat dan melompat setinggi tujuh tombak. Kedua kakinya
tergetar dan linu ketika angin pukulan lawan dalam jarak setinggi itu masih sanggup
menyapu kedua kakinya!
Dengan kerahkan setengah dari tenaga dalamnya Wiro Sabteng hantamkan tangan
kanan ke bawah melancarkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera!
Mahesa Birawa berseru tertahan melihat datangnya angin laksana badai ke
arahnya. Cepat-cepat dia melompat ke samping. Tubuhnya hampir terpelanting
diserempet angin pukulan lawan. Dengan kerahkan tenaga dalamnya dia masih sanggup
berdiri di tempat setelah mengelak tadi. Namun demikian kedua kakinya melesak sampai
lima senti ke dalam tanah!
Dalam keterkejutan melihat kehebatan lawan Mahesa Birawa mendengar suara
tertawa pendekar 212. “Kutunggu besok siang Mahesa Birawa. Di sini,di puncak bukit
ini! Satu hal perlu kukatakan. Besok aku menghadapimu bukan sebagai manusia ber-
nama Mahesa Birawa, tapi sebagai Suranyali!”
Wiro Sableng berkelebat.
“Budak hina! Jangan lari!” teriak Mahesa Birawa alias Suranyali. Namun
pendekar 212 sudah lenyap dari pemandangannya ditelan kegelapan malam.


-- == 0O0 == --

SEMBILAN BELAS

Malam itu Mahesa Birawa tak dapat memicingkan mata. Dia gelisah sekali.
Sebentar-sebentar di atas pembaringan dalam kemah dia membalik ke kiri, membalik ke
kanan. Ingatannya mengawang kembali pada masa tujuh belas tahun yang silam.
Terbayang olehnya kematian Ranaweleng. Terbayang olehnya Suci, perempuan yang
bunuh diri itu. Dan ketika ingatannya berpindah pada pemuda yang mengaku anak dari
Ranaweleng itu, tubuhnya seperti dijalari hawa dingin. Meski sudah dapat mengukur
kehebatan lawan namun Mahesa Birawa tidak takut sama sekali untuk menghadapi
pemuda itu. Cuma kemunculan si pemuda yang tidak terdugalah yang benar-benar me-
ngejutkan dan menyirapkan semangatnya.
Hati kecilnya mengutuki kebodohannya sendiri. Pada masa tujuh belas tahun
yang silam itu dia tahu kalau Ranaweleng dan Suci mempunyai seorang putera. Kenapa
dia tidak sekaligus membunuh orok Ranaweleng itu? Tapi saat itu tentu saja dia tidak
mempunyai pikiran panjang seperti waktu sekarang ini.
Mahesa Birawa membalikkan tubuhnya kembali. Dia memandang ke dinding
kemah. Dan pada dinding kemah itu seperti terbayang oleh matanya rentetan kalimat
yang pernah dibacanya pada dinding tempat kediamannya tujuh belas tahun yang lalu
yaitu ketika dia baru saja berhasil melarikan Suci dan memasukkannya ke kamarnya. Di
sana... di dalam ingatan Mahesa Birawa alias Suranyali, seperti tertera kembali rentetan
kalimat itu. Rentetan kalimat yang menjadi kenyataan:
“Apa yang kau lakukan hari ini akan kau terima balasannya
pada tujuh belas tahun mendatang!” 
Mahesa Birawa akhirnya turun dari pembaringan. Beberapa lama dia mondar
mandir didalam kemah besarnya itu. Kemudian teringat dia pada kematian Kalasrenggi
dan dua orang mata-mata yang dikirim ke Kotaraja tempo hari. Mereka menemui
kematian akibat turun tangannya seorang manusia aneh. Kalasrenggi mati dengan
guratan angka 212 pada keningnya. Dan tadi dia juga saksikan sendiri kematian Suto
Rande dalam cara yang sama! Kalau begitu sedikit banyaknya atau mungkin pasti... pasti
sekali pemuda yang mengaku anak Ranaweleng itu, yang sesungguhnya adalah adik
seperguruannya sendiri, pastilah mempunyai sangkut paut atau hubungan dengan
Pajajaran. Dan kalau sudah begini berarti bocornya rencana untuk menggulingkan Prabu
Kamandaka, bocornya rencana untuk memberontak terhadap Kerajaan!
Mahesa Birawa melangkah lagi mondar mandir sambil mengepalkan tinjunya.
Dia harus bertindak cepat sebelum Pajajaran benar-benar tahu keseluruhan rencananya.
Bukan mustahil saat itu balatentara Pajajaran tengah menuju ke perkemahan mereka
untuk menyapu mereka!
Malam itu juga Mahesa Birawa berunding dengan kelima Adipati. Dan malam itu
pula diputuskan untuk menggerakkan seluruh pasukan ke Kotaraja.
Dua orang kurir dikirim terlebih dahulu. Yang pertama untuk menemui Raden
Werku Alit di Kotaraja, memberitahukan bahwa karena sesuatu hal yang mendesak
maka pasukan diberangkatkan malam itu dan direncanakan untuk menggempur Pajajaran
selambat-lambatnya satu dua jam sesudah fajar menyingsing! Kurir yang kedua
berangkat menuju puncak Gunung Halimun, menemui Begawan Sakti Sitaraga yang
sebelumnya telah mengatakan bersedia turun tangan membantu kaum pemberontak! Tapi
kurir ini kemudian tertawan oleh prajurit-prajurit Pajajaran di perbatasan.
Meski tetap berhati bimbang akan kebenaran peringatan yang dibacanya di dinding kamar
adiknya, namun Prabu Kamandaka tak urung menyiapsiagakan balatentara Pajajaran
secara diam-
diam. Dan ketika dini hari itu dia dibangunkan secara mendadak, dilaporkan tentang
terlihatnya sepasukan besar mendatangi Kotaraja. Raja Pajajaran ini benar-benar menjadi
kaget. Benar juga peringatan itu, katanya dalam hati. Kepada Kepala-Kepala Pasukan
Kerajaan segera diberikan perintah kilat: “Kalau pasukan yang datang itu adalah benar
pasukan pemberontak, hadapi mereka di luar tembok Kerajaan!”
Manakala sinar fajar pertama memancar di ufuk timur maka pada saat itu pulalah mulainya

berkecamuk pertempuran yang dahsyat di sepanjang tembok besar yang mengelilingi
Kotaraja.
Yang paling seru adalah pertempuran pada dua buah pintu gerbang. Pihak pemberontak
menyerang
habis-habisan untuk dapat membobolkan pintu gerbang Kotaraja itu. Yang diserang
bertahan mati-matian! Suara beradunya senjata, pekik kematian, lolong manusia-manusia
yang terbabat senjata, bau anyirnya darah, semuanya menjadi satu menimbulkan suasana
yang mengerikan.
Agaknya serangan lawan mulai tak dapat dibendung. Hal ini kelihatan sesudah
pertempuran
berkecamuk hampir setengah jam lebih.
Prabu Kamandaka dengan teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi
semangat pasukan Pajajaran. Prabu ini menunggangi seekor kuda putih dan di tangannya
tergenggam sebilah golok panjang yang berlumuran darah!
Prabu Kamandaka seperti terpukau dan tak mau percaya akan kedua matanya ketika dia
bergerak ke medan pertempuran sebelah timur, dia langsung berhadap-hadapan dengan
Werku Alit,
saudara sepenyusuan sendiri!
“Matakukah yang terbalik atau benarkah kau yang ada di hadapanku ini, Alit?” ujar Sang
Prabu.
Raden Werku Alit tertawa membesi. “Matamu masih belum terbalik, Kamandaka! Cuma
otakmu yang miring sehingga mengambil hak orang lain....!”
“Hak apakah yang aku telah ambil dan siapakah orang lain itu?!”
“Takhta Kerajaan adalah hak syah diriku, Kamandaka!” jawab Werku Alit garang.
Prabu Kamandaka tertawa dingin. “Kau mengigau di slang hari Alit! Tak kusangka, kau
sendiri yang menjadi biang racun pentolan pemberontak yang memberikan perintah untuk
mengeroyok Raja Pajajaran itu!”
Prabu Kamandaka dengan teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi
semangat pasukan Pajajaran. Prabu ini menunggangi kuda putih dan di tangannya
tergenggam
golok panjang yang berlumuran darah!
Agaknya serangan lawan mulai tak dapat dibendung. Hal ini kelihatan sesudah
pertempuran
berkecamuk hampir setengah jam lebih.
Yang diserang bertahan mati-matian! Suara beradunya senjata, pekik kematian, lolong
manusia-manusia yang terbabat senjata bau anyirnya darah, semuanya menjadi satu
menimbulkan
suasana yang mengerikan.
Satu demi satu prajurit yang bertempur bersama rajanya itu gugur bergelimpangan.
Keadaan
Sang Prabu sangat kritis sekali sedang di sebelah barat balatentara pemberontak di bawah
pimpinan Mahesa Birawa sudah hampir berhasil membobolkan pertahanan pintu gerbang!

-- == 0O0 == --

DUA PULUH

Pada saat pertempuran berkecamuk dengan serunya, pada saat pintu gerbang Kotaraja di
sebelah barat hampir bobol dan pada saat keselamatan Prabu Kamandaka sendiri terancam
maka pada saat itulah terdengar suara yang keras laksana guntur mengatasi segala
kecamukan
perang yang mendatangkan maut itu!
“Manusia-manusia bodoh! Hentikan pertempuran ini!”
Hampir semua mereka yang bertempur di medan sebelah timur itu jadi terkejut dan
hampir semua mata pula memandang ke atas tembok Kotaraja di mana kelihatan berdiri
seorang

pemuda berpakaian putih-putih berambut gondrong!
Mungkin sekali Raden Werku Alit adalah orang yang paling terkejut melihat pemuda di
atas tembok itu. Manusia ini tampangnya sama betul dengan pemuda yang tempo hari
ditotoknya sewaktu hujan-hujan di teratak tua!
“Orang-orang mati inginkan hidup, kalian yang hidup mau bertempur sampai mati!
Goblok betul!” terdengar lagi pemuda yang di atas tembok berkata dengan suaranya yang
mengguntur.
Werku Alit kertakkan rahang. Hatinya gusar terhadap si pemuda. Diam-diam dia tahu
bahwa suara yang mengguntur itu pastilah menandakan bahwa si pemuda yang memiliki
tenaga
dalam yang sangat tinggi. Namun bila dia melirik ke samping dan detik itu melihat Prabu
Kamandaka berada dalam keadaan lengah maka kesempatan ini dipergunakan Werku Alit
dengan sebaik-baiknya. Senjatanya berkelebat cepat dan ganas. Satu ujung tajam dari
toja
menyambar ke leher sedang ujung yang lain menyapu ke kaki Prabu Kamandaka!
Melihat datangnya serangan itu Prabu Kamandaka sadar akan keteledorannya berbuat
lengah. Sangat terlambat baginya untuk dapat mengelakkan senjata lawan yang
menyerang
dua tempat itu sekaligus. Salah satu ujung tajam dari senjata lawan pastilah akan
mengenai
badannya. Prabu Kamandaka lemparkan diri ke belakang meski dia tahu bahwa kakinya
akan
disapu ujung toja lawan.
Tapi pada saat itu pula dari atas tembok melesat satu benda putih sekali laksana
bercahaya. Benda ini berbentuk bintang dan mengeluarkan suara mendesing, menghantam
pertengahan toja Werku Alit dengan tepatnya. Toja itu patah dua. Salah satu patahannya
menggores dada Werku Alit sendiri!
Laki-laki ini menjerit kesakitan dan lompat mundur namun diburu dengan sebat oleh
Prabu Kamandaka. Dalam keadaan terluka, bersama orang-orangnya Werku Alit bertahan
dengan hebat. Dua Adipati lainnya yang melihat terdesaknya Werku Alit segera berikan
bantuan sehingga Prabu Kamandaka dan orang-orangnya kembali terdesak hebat!
Werku Alit mengamuk dahsyat. Mengamuk dengan patahan tojanya. Namun keadaan
dirinya mulai payah akibat luka yang dideritanya. Gerakan-gerakannya mulai menjadi
lamban
sehingga dia terpaksa mengambil posisi bertahan dan membiarkan pembantu-
pembantunya
menyerang pihak lawan.
Adipati Tapak Ireng mendekati Werku Alit dan sodorkan sebuah pil. “Telanlah cepat
Raden Alit dan alirkan tenaga dalammu ke bagian yang terluka....”
Werku Alit cepat-cepat telan pil yang berwama hitam itu lalu kerahkan tenaga
dalamnya. Obat yang diberikan oleh Adipati Tapak Ireng memang manjur sekali. Sesaat
kemudian darah pada luka Werku Alit berhenti dan tiada terasa sakit lagi. Maka dengan
cabut
kerisnya Werku Alit kembali maju menghadapi Prabu Kamandaka. Ketika Adipati
Lanabelong
dengan ruyung besi putihnya turut pula membantu Werku Alit maka lebih buruk dari tadi
keadaan Prabu Kamandaka kembali terdesak hebat.
“Kaum pemberontak! Hentikan pertempuran ini!” teriak orang yang di atas tembok.
Tapi tak ada yang memperdulikan malah Adipati Jakaluwing dari Karangtretes menantang:
“Orang gila berambut gondrong kalau mau rasakan toja besiku, turunlah!”
Orang di atas tembok menggerutu penasaran. Dari balik pinggangnya dikeluarkannya
sebuah kapak bermata dua! Mata kapak itu berkilat-kilat ditimpa sinar matahari pagi.
Kemudian
dengan satu gerakan yang sangat enteng dia melompat turun. Dan begitu sampai di tanah
ditempelkannya ujung gagang kapak ke bibirnya. Maka sesaat kemudian menggemalah
suara
seperti seruling. Mula-mula pelahan, kemudian makin keras dan melengking-lengking!

Telinga pihak pemberontak yang mendengar suara lengkingan seruling itu seperti
ditusuk-tusuk sakit sekali. Prajurit-prajurit rendahan menjadi terpukau dan dengan mudah
menjadi korban senjata prajurit-prajurit Pajajaran! Werku Alit dan lima Adipati sekutunya
terkejut ketika merasa bagaimana sakitnya telinga mereka sedang jalan darah mereka
tidak lagi
teratur tapi sesak tersendat-sendat. Dan ketika mereka memandang berkeliling mereka
melihat
bagaimana pasukan mereka di bagian medan mayat prajurit dengan dada mandi darah!
Werku Alit dan Adipati-Adipati yang masih hidup terkejutnya bukan main. Serangan
mereka di samping dijuruskan kepada Prabu Kamandaka kini juga dititikberatkan pada
Wiro
Sableng! Namun bila sekali lagi Kapak Naga Geni 212 berkelebat maka kini giliran Adipati
Jakaluwing pula yang meregang nyawa dengan kepala hampir terbelah dual
Werku Alit dan Adipati-Adipati yang masih hidup menjadi kecut. Mereka saling
berlirikan tajam dan beri isyarat namun pada saat itu pula pendekar 212 yang sudah tahu
maksud mereka membuat gerakan cepat. Rujung besi Ranabelong mental puntung dua ke
udara disusul dengan jerit kematiannya!
Satu-satunya Adipati yang masih hidup yaitu Warok Gluduk boleh dikatakan
sudah tak ada daya lagi sesudah lengan kanannya tadi dibabat puntung oleh Prabu
Kamandaka. Dia memutuskan untuk kabur saja tapi tombak seorang kepala pasukan
Pajajaran lebih dahulu menancap di punggungnya terus menembus sampai ke dada!
Nyali Werku Alit semakin luntur menciut. Di medan pertempuran sebelah timur itu
hanya dia sendiri kini yang menjadi pucuk pimpinan. Kalau tadi dia dan anak-anak
buahnya merupakan pihak penyerang yang mendesak maka kini keadaan terbalik! Di
mana-mana puluhan prajurit-prajuritnya bergeletakan mati. Yang masih hidup bertempur
dengan setengah hati, mundur terus-terusan dan kacau balau! Suara seruling Kapak Naga
Geni 212 yang terus menerus melengking seperti melumpuhkan sekujur tubuh Raden
Werku Alit. Dicobanya mengerahkan tenaga dalamnya namun tenaga dalamnya terasa
laksana punah! Telinganya sakit dan kemudian dirasakannya ada yang meleleh pada kedua
liang telinganya itu! Darah!

-- == 0O0 == --

DUA PULUH SATU

Mahesa Birawa yang ada di medan pertempuran sebelah barat, yang saat itu sudah
hampir berhasil mendesak pasukan Pajajaran dan membobolkan pintu gerbang pertahanan
menjadi terkejut ketika selintas kepalanya dipalingkan ke arah timur! Pasukan pihaknya di
jurusan ini dilihatnya bertempur dengan kacau, malah sebagian besar mundur terdesak
hebat! Beberapa kelompok pasukan bahkan dilihatnya melarikan diri kucar kacir! Dan di
antara semua apa yang disaksikannya itu sayup-sayup telinganya mendengar lengkingan
suara seruling! Jaraknya dengan medan pertempuran sebelah timur terpisah puluhan
tombak tapi suara seruling itu seperti menerpa-nerpa kulit tubuhnya, menyendatkan jalan
darahnya dan menyakitkan anak telinganya. Dan saat demi saat jumlah prajurit yang
bertempur di medan sana itu semakin berkurang juga, banyak yang lari dan banyak yang
tergelimpang mati!
Mahesa Birawa serahkan pimpinan kepada seorang kepala pasukan yang
dipercayainya. Kemudian dengan gerakan sebat dia menuju ke medan pertempuran
sebelah timur. Begitu sampai di medan pertempuran ini dia disambut oleh satu peman-
dangan yang cukup membuat bulu kuduknya merinding. Saat itu, Raden Werku Alit sudah
terdesak hebat dan tak sanggup mengelakkan sambaran pedang Prabu Kamandaka.
jarak yang jauh Mahesa Birawa masih berusaha untuk membokong Prabu Kamandaka
dengan pukulan tangan kosong. Namun angin pukulannya yang dahsyat itu diterpa hebat
oleh satu gelombang angin ganas dari samping! Ketika dia berpaling maka sepasang
matanya membentur pemuda yang tak asing lagi baginya.
Maka membentaklah Mahesa Birawa. Namun bentakannya belum lagi keluar, tahu-tahu

satu benda menggelinding ke arah tempatnya berdiri, dan ketika diperhatikan benda itu
adalah
kepala Raden Werku Alit yang sesaat sebetumnya lehernya kena ditebas pedang Prabu
Kamandaka!
Kemarahan Mahesa Birawa tiada terperikan. Dengan keris di tangan kanan dan gada
berduri yang mempunyai tiga mata rantai berduri pula dia menyerbu ke hadapan Prabu
Kamandaka!
Namun setiup angin dahsyat memotong serangannya itu dari samping. Dan ketika dia
berpaling ternyata lagi-lagi pemuda itu yang menghalanginya!
“Aku lawanmu, Mahesa Birawa!,” teriak pendekar 212 dengan bola mata bersinar-sinar.
“Kutunggu kau di bukit Jatimaleh!”
“Budak hina! Kuburmu adalah di antara tumpukan mayat di tempat ini juga!,” bentak
Mahesa Birawa.
Sementara itu Prabu Kamandaka yang tahu bahwa yang tadi hendak menyerangnya
adalah tokoh pemberontak kaki tangan Werku Alit yang berbahaya segera berteriak
berikan
perintah: “Kurung bangsat-bangsat pemberontak ini!”
Dua lusin prajurit, tiga kepala pasukan dan Prabu Kamandaka sendiri segera mengurung
Mahesa Birawa. Namun pada saat itu pula Wiro Sableng melompat ke muka dan berseru:
“Prabu Kamandaka! Kau memang punya hak untuk menangkap dan membunuh manusia
karena
dia adalah pentolan pemberontak musuh Pajajaran! Tapi aku merasa lebih punya hak
untuk
membereskannya karena dialah pembunuh ayahku dan penyebab kematian ibuku!
Serahkan dia
padaku Prabu Kamandaka!”
Raja Pajajaran meski amarahnya hampir tak dapat dikendalikan lagi, tapi mendengar
ucapan Wiro Sableng itu menahan juga serangannya dan bertanya: “Orang muda gagah,
kau
siapakah?!”
Wiro Sableng senyum sedikit. Diacungkannya kapak yang di tangan kanannya. Dan
pada kedua mata kapak itu jelas kelihatan tiga rentetan angka. 212! Terkejutlah Sang
Prabu!
Tak disangka pemuda itulah kiranya manusia aneh yang telah memberikan peringatan
kepadanya sebelumnya tentang akan pecahnya pemberontakan. Tahu kalau si pemuda
gagah
betul-betul berada di pihaknya sendiri maka Prabu Pajajaran itu tidak keberatan
mengabulkan
permintaan Wiro Sableng. Dia beri isyarat agar prajurit-prajuritnya mundur kembali.
Sementara
itu boleh dikatakan pertempuran sudah hampir berakhir. Balatentara pemberontak yang
kini
tidak berpimpinan lagi sudah mundur jauh dari tembok Kerajaan dan terus dikejar oleh
pasukan
Pajajaran sehingga lari kucar kacir. Dan di antara gelimpangan mayat manusia di atas
tanah
yang banjir darah, di udara yang masih hangat oleh baunya maut maka berhadapanlah
dua
musuh besar, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dengan Suranyali alias Mahesa Birawa!
Pendekar 212 baru saja pasang kuda-kuda dan melintangkan kapak Naga Geni di
muka dada ketika dengan membentak dahsyat Suranyali menerjang ke muka. Keris
menusuk
ke kepala dan gada rantai berduri menyapu ke perut!
“Ciaat!”
Wiro Sableng tak kalah sebat. Tubuhnya berkelebat, Kapak Naga Geni berputar
dahsyat menimbulkan gelombang angin dan mengeluarkan suara mengaung laksana suara

ratusan tawon! Gelombang angin itu sekaligus membentur senjata-senjata Suranyali
membuat
kedua tangan-tangannya laksana kena dipukul mental!
Suranyali alias Mahesa Birawa kini tidak bisa bertempur tanggung-tanggung lagi.
Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan dan untuk kedua kalinya dia menyerbu ke muka!
Serangan kali ini lebih dahsyat dari yang pertama namun pendekar 212 menunggu dengan
tenang!
Setengah tombak tubuh lawan mengapung ke arahnya Wiro Sableng sapukan Kapak
Maut Naga Geni ke muka dalam jurus Orang Gila Mengebut Lalat. Suranyali merasakan
badannya seperti membentur dinding yang tak kelihatan! Dengan andalkan ilmu
mengentengi tubuh yang sudah sempurna sekali, laki-laki ini lompat ke samping. Kapak
Naga Geni melesat di bawahnya dan pada detik itu pula Suranyali kembali menukik dan
babatkan gada berdurinya!
Yang diserang sama sekali tidak mau mengelak, tapi putar Kapak Naga Geninya di
atas kepala. Maka dua senjata bentrokanlah dengan hebat, mengeluarkan suara nyaring!
Kapak Naga Geni memancarkan bunga api, dua dari rantai besi berduri yang bergandul
pada
gada berduri di tangan kiri Suranyali putus! Membuat pemiliknya jadi terkejut sekali! Dan
dalam saat itu pula laksana topan Kapak Naga Geni membalik membabat ke arah
selangkangannya! Suranyali berseru keras dan jungkir balik di udara! Keringat dingin
mengucur di kuduknya!
Prabu Kamandaka leletkan lidah melihat pertempuran yang hebat itu.
Dalam waktu yang singkat kedua orang itu telah bertempur dua puluh jurus! Dan
kentara sekali bagaimana kini Suranyali alias Mahesa Birawa mulai mendapat tekanan-
tekanan hebat! Dan pada saat laki-laki ini terpaksa buang penggada berdurinya karena
senjata
itu dibabat puntung oleh kapak lawan!
Dengan penasaran Suranyali cabut senjatanya yang lain yaitu sebuah tongkat besi yang
ujungnya bercagak dua. Tongkat besi ini memancarkan sinar kehijauan tanda bukan
senjata
sembarangan dan menggndung racun yang hebat! Dengan keris di tangan kanan dan
tongkat
besi bercagak di tangan kiri berkelebatlah Suranyali. Kedua senjatanya memancarkan sinar
dahsyat yang membungkus lawannya.
Namun yang dihadapi Suranyali saat itu bukan manusia berilmu rendah dan bukan pula
yang bersenjatakan senjata biasa! Kapak Naga Geni 212 menderu-deru mengaung
mengeluarkan sinar putih menyilaukan. Tubuh kedua orang itu hanya merupakan bayang-
bayang saja dan tiba-tiba terdengar teriakan Suranyali. Keris di tangan kanannya terlepas
mental patah dua. Kalau saja dia tidak cepat-cepat tarik tangan kanannya pastilah tangan
itu kena pula dibabat kapak lawan! Suranyali melompat ke luar dari kalangan
pertempuran! Mukanya
memucat laksana salju! Cepat-cepat dia atur jalan nafasnya.
Ketika dia melangkah ke muka maka kelihatanlah tangan kanannya sampai ke pangkal
siku berwarna sangat hijau dan bergetar.
“Pemuda hina dina! Kau lihat lengan kananku ini?!” tanya Suranyali sambil acungkan
tangan kanannya. “Tujuh belas tahun yang lalu bapakmu meregang nyawa oleh pukulan
Kelabang Hijau-ku! Kini anaknya akan menerima bagian yang sama pula!”
Wiro Sableng tahu. kalau tujuh belas tahun yang lalu musuh besarnya itu telah memiliki
ilmu pukulan Kelabang Hijau itu maka kini kehebatannya tentu tak dapat dibayangkan.
Namun
hal ini sama sekali tidak menggetarkan hatinya! Kapak Naga Geni 212 dipindahkan ke
tangan
kiri dan tiga perempat bagian tenaga dalamnya dialirkan ke tangan kanan. Dan
kelihatanlah
tangan kanan itu menjadi sangat putih sedang kuku-kuku jarinya bersinar memerah
menyilaukan!
Terkejutlah Suranyali melihat hal ini. Hatinya tergetar. “Pukulan sinar matahari…,”

desisnya. Pendekar 212 tertawa menggumam. “Silahkan mulai dahulu, Suranyali...,”
katanya
menantang! Diam-diam Suranyali alirkan teluruh tenaga dalamnya ke lengan kanan.
Mulutnya
komat-kamit. Kedua kakinya amblas lima senti ke dalam tanah yang basah oleh genangan
darah. Dan sambil lompat sembilan tombak ke atas kemudian laki-laki ini hantamkan
tangan
kanannya ke muka!
Pendekar 212 tetap tak bergerak di tempatnya. Sinar hijau dari pukulan lawan melesat
ke arahnya dan disambutinya dengan pukulan tangan kanan! Dua pukulan dahsyat beradu
di
udara mengeluarkan suara berdentum! Sinar hijau dan putih saling nyambar dan memecah
ke
samping! Pekik jerit dari orang-orang yang berdiri di tepi kalangan pertempuran terdengar
di
mana-mana. Tubuh mereka tergelimpang mati. Ada yang menjadi hijau akibat racun
pukulan
Kelabang Hijau Suranyali dan banyak yang menjadi hangus hitam tersambar pukulan sinar
matahari Wiro Sableng! Prabu Kamandaka sendiri jika tidak cepat-cepat melompat pastilah
akan menjadi korban pula!
Ketika dua sinar itu beradu keras Suranyali merasakan badannya menjadi panas. Celaka!
Keluhnya. Pukulannya kelabang Hijaunya bukan saja musnah oleh pukulan lawan tapi juga
kena dihantam dikembalikan ke arah kedua kakinya. Cepat-cepat laki-laki ini ambil sebuah
pil
dari sabuk di pinggangnya dan menelannya. Kemudian sesaat sesudah itu laksana seekor
elang
dia menukik ke bawah, tusukan besi bercagaknya ke leher Wiro Sableng. Wiro memapasi
dengan kapaknya. Suranyali coba menjepit gagang kapak dengan gagakan besi. Tapi
“trang!”
Sekali kapak itu berkiblat maka patahkan senjata Suranyali. Sebelum dia sempat
menjejakkan
kaki di tanah, sebelum dia sanggup menjauhi lawan maka Kapak Naga Geni 212 menderu
lagi
kali ini tiada ampun membabat kuntung bahu kanan Suranyali! Laki-laki ini melolong
seperti
srigala haus darah! Tubuhnya limbung menghuyung!
Wiro Sableng tertawa mengekeh.
“Itu dari ayahku, Suranyali!” katanya. “Dan ini dari ibuku!” Kapak Naga Geni berkiblat
lagi. Suranyali coba menghindar dengan segala daya tapi tak berhasil. Bahu kirinya
terpapas
mental. Darah menyembur! Sungguh mengerikan menyaksikan tubuh Suranyali yang
tanpa
lengan itu!
“Yang ini dari Eyang Sinto Gendeng, Suranyali!” kata Wiro Sableng pula dengan masih
tertawa mengekeh seperti tadi. Kapak Naga Geni sekali lagi menderu. Tubuh Suranyali
mental
tersandar ke tembok Kerajaan! Dadanya sampai ke perut robek besar. Darah membanjir
dan
ususnya menjela-jela. Pendekar 212 masih belum puas.
“Yang terakhir ini dariku sendiri, Suranyali!,” katanya.
Ketika Kapak Maut Naga Geni 212 itu membelah kepala Suranyali alias Mahesa Birawa
itu, tiada terdengar pekikan atau keluh kematian dari mulutnya.
Tubuhnya masih tersandar sesaat lamanya pada tembok Kerajaan, kemudian merosot ke
bawah dan tergelimpang di atas mayat-mayat pemberontak lainnya. Tapi tubuh itu tak
berada
lama menggeletak di sana. Sekali kaki kanan Wiro Sableng menendang maka mentallah
tubuh

musuh bebuyutannya itu sampai belasan tombak!
Wiro Sableng tertawa mengekeh, lama dan panjang. dimasukkannya Kapak Naga Geni
212 ke balik pinggangnya. Kemudian seperti tak ada kejadian apa-apa, seperti dia bukan
berada
di antara hamparan ratusan mayat, pemuda ini melangkah seenaknya bahkan dengan
bersiul!
“Saudara muda!,” Prabu Kamandaka memburu. “Tunggu dulu.... !”
Pendekar 212 berpaling.
“Ah.... aku sampai lupa minta diri padamu Prabu Kamandaka....”
“Saudara, kau tak boleh pergi dulu...”
“Kenapa?”
“Ikutlah ke istana. Kau telah berjasa besar dan....”
“Jasa hanyalah jasa Sang Prabu. Hanya sekedar kenang-kenangan indah. Bagiku jasa
tidak berarti mengharapkan balas imbalan. Selamat tinggal....”
Prabu Kamandaka memegang bahu pemuda itu. “Kuharap kau sudi datang ke istana
terlebih dahulu, saudara,” katanya.
“Terima kasih Sang Prabu, terima kasih....,” sahut pendekar 212.
“Kalau begitu beri tahu saja namamu....”
Wiro Sableng tersenyum. “Namaku tidak penting Sang Prabu. Cuma ingatlah angka 212.
Mungkin suatu ketika angka itu akan kembali lagi ke Pajajaran ini.... Dan satu hal....
jangan lupa
sampaikan salamku buat adikmu.... Rara Murni....”
“Akan kusampaikan” kata Prabu Kamandaka pula., Dan semua mata kemudian
menyaksikan kepergian pendekar muda itu. Prabu Pajajaran akhirnya geleng-geleng kepala
dan
tarik nafas panjang. “Pemuda hebat.... pemuda gagah....,” katanya. “Pajajaran berhutang
besar
kepadamu. Jasamu tak akan dilupakan sampai turun temurun....”.

                                      TAMAT 
Salam 212

SEMUA HAK KARYA CIPTA CERITA INI ADALAH MILIK
ALMARHUM BASTIAN TITO

Creatid : matjenuh channel
Penulis : Bastian Tito
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive