Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Selasa, 28 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - DEWI LEMBAH BANGKAI

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com



LIMA  PERAJURIT  berkuda  berderap  memasuki  halaman  rumah  yang penuh  ditumbuhi  pohon  singkong.  Mereka  memiliki  tampang-tampang galak, membekal golok besar di pinggang masing-masing. Begitu sampai di  depan  rumah  papan  beratap  rumbia,  kelimanya  langsung  melompat turun.  Yang  didepan  sekali  menendang  pintu  rumah  sambil  berteriak: “Adi  Sara!  Kami  perajurit  Kadipaten  datang  membawa  surat  perintah penangkapan!”

Pintu     rumah     terpental     tanggal.    


 Perajurit    yang     menendang langsung masuk diikuti dua orang temannya. Dua lagi menunggu di luar berjaga-jaga dengan tangan menekan hulu golok.

Di   dalam   rumah,   ketika   dikejauhan  terdengar   derap  kaki   lima perajurit  Kadipaten  itu,  seorang  lelaki  tua  berambut  putih  memegang bahu    seorang    pemuda    berusia    dua    puluh    tahun    seraya    berkata: “Anakku Adi! mimpiku semalam mungkin akan menjadi kenyataan. Aku dengar  suara  derap  kaki-kaki  kuda  dikejauhan.  Menuju  ke  rumah  kita ini.


 Hampir pasti itu adalah orang-orang Kadipaten. Aku tidak menyesali perbuatanmu  bercinta  dengan  puteri  Adipati  itu.  Namun jurang  antara dirimu  dengan  dirinya  terlalu  besar.  Kalaupun  kau  bisa  melompatinya, masih  ada  bahaya  lain  yang  menghadang  ditepi  jurang  lainnya.  Dan ternyata  kau  tidak  mampu  melompati jurang  itu  anakku.  Aku  ayahmu juga    tidak    berkekuatan    untuk    menolongmu.    Adipati    pasti    akan menyuruh anak-anak buahnyauntuk menangkapmu. . .”

“Menangkapku    ayah?    Apa    salahku?    Apakah    seseorang    bisa ditangkap   karena   mencinta   dan   dicintai   oleh   orang   lain?!”   Adi   Sara pemuda berwajah tampan itu bertanya.



Sang   ayah   tertawa,   tapi   wajahnya   menunjukkan   kemuraman “Adipati  bisa  mempergunakan  seribu  alasan untuk  menangkapmu, Adi. Bisa    atau    tidaknya     seseorang    ditangkap    tergantung     siapa    yang memegang   kekuasaan.    Dan    kekuasaan    itu    ada    di    tangan   Adipati Sawung  Glingging.  Cepat  kau  tinggalkan  rumah  ini.  Tinggalkan  desa. Menghilanglah, tinggalkan desa dan jangan kembali-kembali lagi. . .”

“Aku  tidak  akan  melakukan  hal  itu  ayah!  Kalaupun  aku  harus pergi, kita musti pergi sama-sama!” jawab Adi Sara.

“Jangan   turutkan   pikiran   tololmu   anakku!   Pergilah!   Sekarang juga!  Selamatkan  dirimu!  Cepat...!”  Wajah  Adi  Sara  tampak  bimbang. Dia    tahu    bahaya   besar   yang    mengancamnya.    L-alu    dia    bertanya: “Bagaimana dengan dirimu sendiri ayah?”

“Jangan  pikirkan  tua  bangka  ini!  Pergi  lekas!  Sambangi  makam ibumu sebelum meninggalkan desa! Lekas Adi!”

Di luar sana lima penunggang kuda sudah memasuki pekarangan.



Adi Sara memegang tangan ayahnya, mencium tangan orang tua itu lalu bergerak  meninggalkan  rumah  lewat  pintu  belakang.   Sebelum   meng- hilang  dibalik  pohon-pohon  besar  di  belakang  rumah  dia  masih  sempat mendengar    suara   pintu   depan    ditendang   bobol.    Hal   ini   membuat langkahnya terhenti. Dia menyelinap dibalik sebatang pohon besar.

Di  dalam  rumah  Sara  Jingga  ayah  Adi  keluar  dari  kamar  tepat pada    saat    tiga    perajurit    bersenjatakan    golok    masuk    dan    sampai dihadapannya.

“Kami  mencari Adi  Sara!  Mana  pemuda  itu?!”  perajurit  di  sebelah depan membentak.



“Anak itu tidak ada disini! Sejak semalam dia tidak pulang!” jawab Sara Jingga.

“Jangan dusta!”

“Sarungkan  golok  kalian!  Bicara  biasa-biasa  saja!  Senjata  tidak akan membantu kalian menemukan anak itu! Karena dia memang tidak ada disini!”

“Kami  membawa  surat  perintah  dari Adipati Tawang  Merto untuk menangkap pemuda itu!”

Terkejutlah    Sara    Jingga    mendengar    keterangan    si    perajurit. “Wilayah  ini  dibawah  kekuasaan  Adipati   Sawung  Glingging!  Mengapa Adipati Tawang Merto yang mengeluarkan surat perintah penangkapan? Dan aku perlu tahu apa salah anakku hinggaxtia mau ditangkap!”

Si   perajurit   mendengus.   “Siapa   saja   yang   mengeluarkan   surat perintah    penangkapan    bukan    soal!   Adipati    Sawung    Glingging    dan AdipatiTawang Merto toh akan saling menjadi besan!”

Mendengar  keterangan  itu  pahamlah  kini  Sara  Jingga.  Rupanya benar  putera  Adipati  Tawang  Merto  hendak  dijodohkan  dengan  puteri Adipati   Sawung   Glingging.   Disitu   pula   pangkal   sebabnya   mengapa anaknya hendak ditangkap.



“Kalian  boleh  geledah  rumah  ini Adi  Sara  tak  ada  disini!  Katakan apa salah anak itu. Kalian belum menjelaskan!”

“Anakmu   diketahui   menjadi   anggota   kelompok   garong   Warok Bekontoro!  Apa  perlu  ditanya  lagi  mengapa  kami  datang  menangkap- nya?!”

“Fitnah!    Anakku    keluar    desapun    belum    pernah.    Bagaimana mungkin diajadi anak buah Bekontoro!”

Si   perajurit   tidak   menjawab.   Dia   memberi   isyarat   pada   dua kawannya.  Kedua  orang  ini  lalu  melakukan  penggeledahan.  Adi  Sara tidak ditemukan. Keduanya kembali dan memberi tahu kawannya tadi.



“Kalau  pemuda  itu  tidak  ada  disini,  kau jadi  gantinya  orang  tua! Kau kami tangkap!”

“Aku  tidak  bersalah,  tidak  berdosa! Jangan  pergunakan  kekuasa- an kalian untuk berlaku  semena-mena!” ujar  Sara Jingga dengan  suara tandas.   Namun   untuk   ucapannya   itu   satu   hantaman   gagang   golok harus  diterimanya  di  bagian  kepala.  Orang  tua  ini  menjerit  kesakitan, lalu terhuyung  antara  sadar  dan tiada. Tubuhnya kemudian  di  seret keluar rumah.

Saat  itulah  terdengar  bentakan  penuh  marah  disertai  berkelebat- nya seseorang.

“Perajurit-perajurit biadab! Lepaskan ayahku!”

Lima perajurit cepat berpaling.

“Adi  Sara!”  seru  perajurit  yang jadi  pimpinan.  “Akhirnya  muncul juga  anak  yang  katanya  tidak  pulang  sedari  tadi  malam!  Kau  tak  usah kawatir!Ayahmu akan kami lepaskan, tapi kau harus kami tangkap!”

Adi  Sara  melihat  bagian  kening  ayahnya  terkoyak  dan  ada  darah yang mengucur. Ini membuatnya kalap.



“Bangsat!    Kalian     apakan    ayahku!”    teriak    pemuda    ini    lalu melompati   perajurit   terdekat.   Pemuda   ini   tidak   memiliki   kepandaian bela  diri  apapun,  apalagi  ilmu  silat  tinggi.  Modalnya  hanya  keberanian dan  kenekatan  yang  dibakar  oleh  kemarahan.  Dia  berhasil  merampas golok   salah   seorang   perajurit.   Namun   sebelum   senjata   itu   sempat dihunusnya,  dua  hantaman  pada  punggung  dan  belakang  kepalanya membuat   Adi    Sara    tersungkur    ke    depan.    Lalu    datang    tendangan bertubi-tubi    menghajar    muka    dan    tubuhnya.    Wajahnya    bengkak membiru.   Dari   hidung   dan   mulutnya   mengucur   darah.   Dua   tulang iganya  patah.  Pemuda  ini  terguling  pingsan  di  samping  sosok  tubuh ayahnya.

“Kita bunuh saja pemuda ini!” berkata seorang perajurit.



“Jangan!   Ingat   perintah   Adipati   Tawang   Merto.   Dia.harus   kita buang ke Lembah Bangkai!”

“Kenapa   mencapaikan    diri    membuangnya   jauh-jauh   kesana?” salah seorang perajurit membuka mulut bertanya.

“Kau  pergilah  tanyakan  sendiri  pada  Adipati  Tawang  Merto!  Jika kau  tidak  mau  menjalankan  perintah,  bersiaplah  untuk  dihukum  dan dipecat!”

Dalam  keadaan  pingsan  tubuh  Adi  Sara  akhirnya  dinaikkan  ke atas   kuda.   Lima   perajurit   itu   kemudian   segera   tinggalkan   tempat tersebut.


AKU   mulai   mencium   bau   busuk   itu.   Kita   segera   sampai   ditempat tujuan! Tutup hidung kalian...” Perajurit yang berkuda di sebelah depan memberi   tahu   dan   cepat   keluarkan   sehelai   sapu   tangan   dari   saku pakaiannya.     Sapu     tangan    ini    diikatkannya    ke     mukanya    hingga menutupi hidung dan mulutnya. Empat kawannya segera mengikuti apa yang  dilakukannya.  Bau  busuk  semakin  keras  setiap  langkah  mereka maju  bergerak.  Jalan  yang  mereka  tempuh  mulai  mendaki.  Di  ujung pendakian, kelimanya berhenti. Disitu menghadang sebuah lembah yang lebih  tepat  dikatakan  sebuah jurang  sedalam  lima  belas  tombak.  Batu- batu   besar   menyembul   dian-tara   kerapatan   pepohonan   dan   semak belukar.  Bau  busuk  menghampar  santar.  Bau  busuknya  bangkai!  Lima perajurit  itu  merasakan  nafas  masing-masing  seperti  sesak.  Tengkuk menjadi dingin oleh rasa angker yang muncul sejak tadi.



“Lemparkan  pemuda  itu  ke  lembah,  lalu  lekas  tinggalkan  tempat ini!”  perajurit  pemimpin  memberi  perintah.  Dia  memandang  berkeliling, berusaha   mencari-cari   dimana   sumber  yang   menebar  bau   busuknya mayat  itu.  Jika  memang  ada  bangkai  binatang  atau  mayat  manusia, mengapa   dia   tidak   melihatnya   dibawah   sana?   Mendadak   tubuhnya bergetar   dan   sekujur   badannya   keluarkan   keringat   dingin.   Dibalik kerapatan  dedaunan  pepohonan  dan  semak  belukar  di  dalam  lembah, dia melihat belasan sosok tubuh yang telah membusuk, ada yang hanya tinggal    tulang-belulang    saja,    tergantung    di    cabang-cabang    pohon! Mayat-mayat    manusia!    Itulah    bangkai    yang    menebar    bau    busuk menyesakkan  jalan  pernafasan!  “Lekas  lemparkan  pemuda  itu!”  teriak perajurit itu.

Rupanya    empat    kawannya   juga    sudah    melihat    mayat-mayat busuk bergantungan  di  pepohonan itu  dan langsung  dirasuk ketakutan setengah mati hingga melupakan apa yang harus mereka kerjakan. Dua diantara  mereka  segera  menurunkan  tubuh  Adi  Sara.  Satu  mencekal kedua kakinya, yang lain menjambak bahu pakaiannya. Tubuh pemuda itu  kemudian  dilemparkan  ke  dalam  lembah.  Adi  Sara  terguling-guling ke   bawah,   lenyap   diantara   semak   belukar   dan   lebatnya   daun-daun pepohonan.



“Lekas tinggalkan tempat ini!” teriak perajurit yang jadi pimpinan. Dua  perajurit  segera  melompat  ke  atas  punggung  kuda  masing-masing. Pada  saat  itulah  tiba-tiba  dari  dalam  lembah  terdengar  suara  sesuatu. Suara   ini   mempunyai   pengaruh   yang   amat   hebat   karena   ke   lima perajurit  itu  begitu  mendengar  begitu  terpukau  dan  seperti  tidak  ingat lagi  untuk   bergerak   meninggalkan   tempat   itu.  Atau   memang   karena tiba-tiba  saja  mereka  tidak  mampu  bergerak,  termasuk  ke  lima  ekor kuda yang mereka tunggangi!

“Suara itu... Suara apa itu...?” bisik seorang perajurit. “Suara kecapi...” yang lain balas berbisik.

“Aneh, siapa yang main kecapi di lembah itu?”

Wajah lima perajurit mendadak sontak menjadi pucat! Makin lama suara petikan kecapi semakinjelas. Pada puncaknya tiba-tiba ada suara nyanyian yang mengalun ditimpali suara kecapi tadi. Suara nyanyian itu terdengar   merdu   sekali.  Tetapi   syair  yang   dibawakan   membuat   lima perajurit Kadipaten jadi berdiri bulu tengkuk mereka.

Lembah Bangkai lembah kematian.

Jangankan menjejakkan kaki.

Melihatnya sajapunsudah cukup alasan Untuk mati!

Tak ada yang datang dan bisa pergi

Tak ada yang pergi membawa nyawa di badan

Lembah Bangkai lembah kematian

Siapa yang datang tak bisa kembali pulang!

Suara nyanyian lenyap, tapi suara kecapi terus berdentringan.



“Hai!   Lihat...!  Apa   itu  yang   melesat   di   udara?!”  tiba-tiba   salah seorang  perajurit  berteriak  seraya  menunjuk  ke  arah  lembah.  Saat  itu dari    bawah    lembah    melesat    seutas    tali    yang    ujungnya    dibuhul berbentuk lingkaran.  Baru  saja perajurit  itu berteriak begitu, tahu-tahu ujung   tali   yang   berbentuk   lingkaran   telah   melesat   ke   arahnya   lalu menjirat batang  lehernya.  Sebelum  dia  bisa berbuat  apa-apa,  tubuhnya sudah  terbetot  dari  atas  kuda, jatuh  ke  bibir  lembah  lalu  tertarik  dan terseret    sepanjang   lereng   lembah   akhirnya    lenyap    diantara    semak belukar dan kerapatan pepohonan.



Melihat  hal  ini  empat  perajurit  lainnya  merasakan  seperti  putus nyawa     masing-masing.     Serentak     mereka     baru     sadar     dan     cepat membedal  kuda   tinggalkan  tempat   itu.   Namun  tiga   orang   terlambat, hanya  satu  yang  sempat  kabur.  Dari  bawah  lembah  tampak  melesat sebat empat utas tali yang ujungnya berbentuk lingkaran. Tiga tali maut ini  langsung  menjirat  leher  tiga  perajurit,  satunya  membentur  pohon dan  ini  menyelamatkan  perajurit  ke  empat  tadi.  Di  lain  saat  tubuh  tiga perajurit tersentak keras lalujatuh dari punggung kuda masing-masing. Selanjutnya tampak tiga tubuh itu terseret ke dasar lembah dan lenyap!

Bersamaan   dengan   itu   suara   petikan   kecapi   lenyap.   Lembah angker  kembali  diselimuti  kesunyian.  Hanya  bau  busuk  bangkai  yang masih  terus  menghampar  bersama  siliran  angin.  Dan  bau  ini  tak  akan pernah lenyap selama lembah angker itu berada disitu!





DARA  BERPAKAIAN  hijau  itu  mengetuk  dinding  gua  sebelah  luar  tiga kali    berturut-turut.    Dia    menunggu    sesaat.    Lalu    dari    dalam    gua menggema suara halus. Suara perempuan. “Masuklah. . .”

Di   atas   sebuah   kesetan   dara   berpakaian   hijau   membersihkan kedua  kakinya  terlebih  dahulu,  lalu  baru  masuk  ke  dalam  gua  batu. Ternyata  gua  itu  tidak  panjang.  Melangkah  sebelas  langkah  sang  dara sampai  di  sebuah  ruangan  kecil  yang  diterangi  oleh  sebuah  pelita.  Di tengah    gua    tampak    duduk    seorang    perempuan    berpakaian    hijau. Wajahnya  sulit  untuk  dilihat  karena  tertutup  sehelai  kain  hijau  tipis. Namun   dari   balik   cadar   yang   tipis   itu,   sepasang   matanya   seperti menyorotkan  sinar  tajam yang  membuat  siapa  saja  merasa  risih untuk berani  menatap.  Di  atas pangkuannya  terletak  sebuah kecapi.  Rupanya orang    inilah    tadi    yang    memetik    kecapi,    mungkin    dia   juga    yang menyanyi.

Kalau   seluruh   lembah   dibuncah   oleh   bau   busuknya   bangkai, maka di dalam gua ini sama sekali tidak tersentuh oleh bau busuk yang menyesakkan  nafas  itu.  Malah  disitu  merambas  bau  harum  semerbak seperti harumnya bau bunga mawar dipagi yang cerah dan segar.

“Hijau Satu, berita apa yang hendak kau sampaikan padaku...?”

Dara  berpakaian  hijau  yang  dipanggil  dengan  nama  Hijau  Satu menjura  hormat  lalu  duduk  bersimpuh  di  hadapan  perempuan  yang memangku kecapi.



“Kita  mendapatkan  empat  tambahan  pajangan  untuk  pepohonan di lembah, Dewi. . .”

Wajah dibalik cadar hijau tersenyum. “Bagus...  Siapa  orang-orang itu?”

“Mereka      adalah      perajurit-perajurit      Kadipaten.      Saya      tidak mengetahui   dari   Kadipaten   mana.   Sebetulnya   mereka   muncul   lima orang.  Tapi yang  satu  sempat  kabur.  Harap  maafkan  atas  kelalaian  ini Dewi...  Kebetulan  hanya  saya  sendiri  yang  ada  di  Lembah.  Hijau  Dua dan HijauTiga masih belum kembali. . .”

Sang  Dewi  anggukkan  kepala.  “Dalam  waktu  singkat  lembah  ini akan  menjadi  momok  nomor  satu  dalam  dunia  persilatan.  Lalu  tokoh- tokoh   persilatan   akan   muncul   disini!   Mereka   datang   dengan   alasan untuk   membasmi   angkara   murka,   menghancurkan   kejahatan!   Tapi mereka  akan  kita   sapu  habis-habisan!   Memang  tidak   semua  mereka melakukan kesalahan dan berdosa besar terhadap diriku!

Tapi   dendamku    setinggi   langit   sedalam   lautan!    Mereka   yang katanya ingin  menegakkan kebenaran,  menolong  orang-orang tertindas, ternyata semua omong kosong belaka! Aku telah jadi korban dari omong kosong itu!”



Sang   Dewi    tutup   kata-katanya   dengan   menjentikkan   jari-jari tangannya  diatas  kawat-kawat  kecapi.  Terdengar  suara  berdentringan disertai berkiblatnya  enam sinar yang menyilaukan. Goa kecil itu terasa bergetar. Hijau  Satu merasakan tubuhnya terhuyung-huyung dan cepat mengimbangi diri  agar  tidakjatuh.  Setelah  getaran  dalam  gua berhenti, Hijau Satu baru membuka mulut kembali.

“Ada kejadian lain yang perlu saya beritahukan Dewi.”

“Ya, katakanlah. . .”

“Sebelum    perajurit-perajurit    Kadipaten    itu    muncul    membawa seorang     pemuda.     Dalam     keadaan     pingsan     pemuda     ini     mereka lemparkan    ke    dalam    lembah.  


  Pemuda    itu    berada    dalam   keadaan sakarat.  Mukanya  babak  belur  dan  berselimut  darah.  Beberapa  tulang iganya  patah.  Bagian  belakang  kepalanya  ada  luka  besar.  Saya  tidak berani berbuat suatu apa tanpa izin Dewi. . .”

“Hijau  Satu,  bukankah  ketentuan  yang  sudah  kuberikan  begitu pasti?   Siapa   saja  yang  berani   berada   didekat   lembah,   apalagi   kalau sampai    masuk    ke    dalam    lembah    harus    dibunuh    dan    digantung mayatnya dipepohonan?!”

“Saya  mengerti  Dewi  dan  tahu  sekali  akan  aturan  itu.  Maafkan saya  kalau  sudah  bertindak  salah.  Saya  tidak  membunuh  pemuda  itu karena  dia  muncul  dilembah  bukan  karena  kemauannya  sendiri.  Dia dibawa  oleh  perajurit-perajurit  Kadipaten  dan  dilemparkan  ke  lembah dalam keadaan pingsan. . .”

“Bagaimana  kalau  kemudian  pemuda  itu  sadar  dari  pingsannya, melihat wajahmu yang cantik dan tubuhmu yang bagus dibalik pakaian hijaumu yang  tipis  itu.  Lalu  dia  merayumu  dan  memperkosamu  seperti kejadian  dulu  atas  dirimu,  atas  Hijau  Dua  dan  Hijau  Tiga,  juga  atas diriku!”

Mendengar   ucapan   itu   Hijau   Satu   terdiam.   Wajahnya   sesaat pucat.  Lalu  dengan  suara  perlahan  dia  berkata:  “Maafkan  saya  Dewi. Saya mengaku bersalah tidak menuruti perintah. . .”

“Katakan,   apa   ada   alasan   lain   sampai   kau   tidak   membunuh pemuda itu. . .”

Hijau Satu tidak bisa menjawab. Tapi sang Dewi diam-diam sudah dapat meraba apa yang menjadi alasan anak buahnya itu. Maka diapun berkata: “Bawa pemuda itu kemari...!”

Walaupun terkejut mendengar ucapan pimpinannya, namun Hijau Satu  cepat  berdiri  dan  tinggalkan  tempat  itu.  Tak  lama  kemudian  dia muncul  kembali  mendukung  sosok  tubuh  Adi  Sara  lalu  membujurkan- nya di atas lantai gua, dihadapkan sang Dewi.



Sesaat  perempuan  bercadar  itu  menatap  wajah  si  pemuda  yang tertutup     darah     mengering.     “Ambil     kain     basah     dan     bersihkan wajahnya. . .”   sang   Dewi   memerintah.   Hijau   Satu   kembali   keluar   dari dalam  gua.  Ketika  masuk  dia  sudah  membawa  sehelai  kain  basah  dan langsung   membersihkan   darah   yang   mengering   di   wajah   Adi   Sara. Begitu wajah itu menjadi bersih kelihatanlah wajah Adi Sara. Sang Dewi terkesiap  dan  terdengar  menarik  nafas  kaget.  Hijau  Satu  ingin  sekali melihat    apa    yang    terjadi,    namun    dia    tak    berani    menatap    wajah pimpinannya itu.

“Sekarang  aku  tahu.  Dugaanku  tidak  meleset.  Hijau  Satu  tidak membunuh  pemuda  ini  karena  dia  memiliki wajah  begini  tampan.  Dan ya Tuhan...Mengapa wajahnya begitu  mirip  dengan...Kalau  saja  dia  ada disini    pasti    akan    sulit    dilihat    perbedaannya!   Ah,    bagaimana    ini? Bagaimana aku harus mengambil keputusan...?!”

Lama sang Dewi terdiam. Lalu dia berpaling pada Hijau Satu.

“Hijau Satu. Kau harus melakukan sesuatu terhadap pemuda ini!” terdengar suara sang Dewi.



“Saya  siap  untuk  membunuhnya  dan  menggantung  mayatnya  di pepohonan, Dewi. . .”

“Tidak...”, berucap sang Dewi dengan suara perlahan. “Kali ini kau kuperintahkanuntuk mengobati dirinya!”

Hijau     Satu     angkat     kepalanya     tapi     cepat-cepat     menunduk. “Perintahmu  akan  saya  laksanakan  Dewi...”  katanya.  Lalu  cepat-cepat dia     mendukung     tubuh     Adi     Sara     dan     meninggalkan     gua     itu, membawanya kesebuah  gua  lain yang  tidakjauh  dari  gua  dimana  sang Dewi berada.



KETIKA   pimpinan   perajurit   itu   muncul,   Adipati   Tawang   Merto   dan Adipati  Sawung  Glingging  saling  pandang  sesaat.  Lalu  Tawang  Merto membuka mulut.

“Rundono,  melihat  tampang  dan  gerak  gerikmu  muncul  saat  ini, agaknya    ada    yang    tidak    beres!    Apakah    kau    sudah    menjalankan tugasmu? Lalu mana empat orang anak buahmu?!”

“Sesuai perintah, Adi  Sara berhasil kami ringkus.  Dalam keadaan pingsan  pemuda  itu  kami  bawa  ke  timur  dan  lemparkan  ke  Lembah Bangkai!  Namun  sebelum  kami  meninggalkan  tempat  itu,  dari  bawah lembah    melesat    sebuah    tali    berbentuk   jiratan.    Seorang    perajurit langsung  terjirat  lehernya  dan  tubuhnya  kemudian  tertarik  ke  dasar lembah!   Lalu   ada   empat   tali   lagi   yang   datang   melesat.   Saya   masih sempat   menyelamatkan   diri.   Namun   tiga   anak   buah   saya   menemui nasib sama. Mereka kena dijirat dan lenyap di tarik ke dalam lembah!”

Kalau   bukan   saja   Rundono   yang   menjadi   orang   kepercayaan mereka  yang  menuturkan  keterangan  itu,  Adipati  Tawang  Merto  dan Sawung   Glingging   mungkin  tak  akan   mau  mempercayainya.   Kembali kedua Adipati ini saling pandang.



“Aku sendiri belum pernah berada di sekitar Lembah Bangkai itu,” berkataTawang Merto. Namun berita yang sampai ketelingaku mengenai  Lembah   Bangkai   itu   macam-macam.   Mulai   dari   baunya  yang  busuk  sampai   pada   adanya   mayat-mayat   yang   bergelantungan   di   cabang-  cabang  pohon.  Lalu  suara-suara  aneh  dan  angker  pada  siang  apalagi  malam hari. Apakah semua itu benar-benar ada. Bukan hanya lamunan  seorang penakut?!”

“Rundono telah menyaksikan  sesuatu yang mengerikan. Dia  telah mencium sendiri bau busuk yang luar biasa! Semua itu bukan lamunan atau cerita bohong sahabatku. Aku punya niat untuk menyelidiki sendiri keadaan lembah yang disebut Lembah Bangkai itu. Ada suatu keanehan di      tempat      itu.      Siapa      tahu      dibalik      keanehan      itu      ada      satu keberuntungan. . .”

“Calon besanku,” menukas Sawung Glingging. “Kau bicara ngacok! Apa maksudmu dengan keberuntungan?”

“Bukan  mustahil  disitu  ada  seorang  berkepandaian  tinggi.  Jika  aku bertemu dengannya siapa tahu aku kebagian ilmu yang aneh-aneh!” sahut AdipatiTawang Merto pula.

Sawung  Glingging  tahu  betul  sifat  sahabat  dan  calon  besannya itu.  Sejak  muda Tawang  Merto  memang  gemar  berkelana  untu  mencari dan  belajar  berbagai  ilmu,  mulai  dari  ilmu  silat  sampai  ilmu  kesaktian. Bahkan  dia juga  memiliki  banyak  ilmu  hitam.  Termasuk  benda-benda sakti mandraguna.


“Siapapun   tidak   melarangmu   untuk   mencari   ilmu   kepandaian walau saat ini kau sudah memilikinya sekarung penuh! Tapi menyelidik dan    pergi    ke    Lembah    Bangkai    kurasa    terlalu    besar    bahayanya sahabatku!”

“Tawang  Merto  tidak  pernah  takut  dengan  siapapun!” jawab  sang sahabat sambil menyeringai dan usap-usap dadanya.

“Maksudku bukan  soal takut  dan berani  sahabat. Tapi ingat,  kita tengah  merencanakan  pesta  besar.  Pesta  perkawinan  anak-anak  kita! Apakah  kau  mau  membuang-buang  waktu  untuk  sesuatu  yang  tidak berguna seperti itu...?”

“Hemm...  Sebenarnya  ini  bukan  suatu  hal  yang  tidak  berguna. Tapi  baiklah.  Pada  saat  hendak  mengatur  hari  perkawinan  anak-anak kita, tidak pada tempatnya memang kalau aku mempunyai rencana lain. Biar  maksudku  menyelidiki  Lembah  Bangkai  itu  diundur  dulu  sampai hari perkawinan anak-anak kita. . .”

Adipati Sawung Glingging tersenyum gembira.

Sambil  menepuk  bahu  sahabat  yang  akan  menjadi  besannya  itu dia  berkata:  “Seharusnya  memang  begitu.  Sekarang  mari  kita  masuk untuk  membicarakan  rencana  besar  ini  bersama  istri-istri  kita. Jangan biarkan orang orang perempuan itu menunggu terlalu lama.  Nanti bisa- bisa mereka mengatur rencana sendiri!”


***

ADI SARA duduk di depan gua. Udara pagi terasa segar. Embun di dedaunan   masih   belum   pupus.   Dia   mengusap   dadanya   yang   masih diberi  lapisan  papan  tipis untuk  menjaga  agar  tulang  iganya yang telah dipertautkan tidak bergeser. Pemuda itu menghirup udara dalam-dalam. Namun  cepat  sekali jalan  nafasnya  menjadi  sesak  begitu  bau  bangkai merasuk  masuk  ke  dalam  penciumannya.  Ketika  dia  beranjak  untuk masuk   kembali   ke   dalam   gua,   dara   berpakaian   hijau   itu   tahu-tahu sudah berada di hadapannya.

“Hijau Satu!” seru Adi Sara seraya cepat bangkit.


“Kau  sudah  bisa  keluar  goa  sendiri.  Itu  tanda  kau  sudah  mulai sembuh. Benar begitu...?”

“Aku    harapkan    begitu    Hijau    Satu.    Sembuh    dan    cepat    bisa meninggalkan   tempat   ini.   Aku   tidak   mau   membuatmu   susah   lebih lama. . .”

“Susah bagaimana maksudmu?”

“Ah,   apakah   bukan    susah    namanya   karena    selama   ini   kau merawat luka-lukaku? Menyediakan makanan dan buah-buahan. . .”

“Semua   itu   bukan   suatu   kesusahan   bagiku.   Lagi   pula   semua sesuai perintah. . .”

“Pasti perintah dari Dewimu itu, bukan?”

Hijau Satu mengangguk.

“Aku sangat berterima kasih padamu Hijau Satu. Aku ingin  sekali bertemu dengan Dewimu itu. . .”

“Belum   saatnya  Adi   Sara.   Belum   saatnya.  Tunggu   sampai  kau sembuh benar.”

“Berarti berapa lama lagi aku harus berada disini?”

“Aku tidak tahu. Dewi nanti yang akan menentukan,” jawab Hijau Satu.  Dalam  hatinya  dara  ini  berkata:  “Aku  kawatir  Adi  Sara, jangan- jangan Dewi tidak mengizinkanmu meninggalkan lembah. . .”

“Hijau Satu... Aku ada beberapa pertanyaan!” Adi Sara berkata.

“Tanyakanlah.   Jika   aku   bisa   menjawab   akan   aku  jawab.   Jika kurasa  Dewi  tidak  berkenan  aku  memberi  jawaban,  maka  aku  tidak akan menjawab.”

“Baiklah,   Dewimu   itu   tentu   seorang   yang   sangat   agung   dan berkuasa. Hingga segala sesuatunya kau harus tunduk padanya.”

“Dia    pimpinan    kami    disini.    Siapa    saja    harus    tunduk    pada pimpinan.”

“Kami...?  Maksudmu  kau  tidak  sendirian  disini?”  tanya Adi  Sara. “Aku tidak melihat siapa-siapa disini!”

“Dewi  punya  tiga  orang  anak  buah.  Aku  Hijau  Satu,  Hijau  Dua dan Hijau Tiga. . .”

“Hemm...Semua bernama Hijau...Hijau.  Mana kawanmu yang dua orang itu?”

“Mereka tengah menjalankan tugas di luar. . .”

“Kau  menyebut  dirimu  Hijau  Satu.  Siapa  namamu  sebenarnya? Apakah   kau   tidak   punya   nama?   Ah,   pasti   kau   punya   nama.   Kikuk bagiku memanggilmu dengan nama Hijau Satu itu!”

Hijau Satu tersenyum. “Apa artinya nama? Aku tidak punya nama lain. Namaku ya itu. Hijau Satu. . .”

Adi    Sara    geleng-geleng   kepala.    “Pasti    Dewimu    itu    lagi   yang melarangmu  memberi  tahu  nama  aslimu.  Tapi  baiklah,  tak  jadi  apa. Sekarang      pertanyaanku      berikutnya.      Dimana      aku      ini      berada sebenarnya?”

“Kau berada di Lembah Bangkai,” memberi tahu Hijau Satu.


“Lembah  Bangkai!  Nama  aneh  dan  menggidikkan.  Pantas   sejak keluar  dari  gua  aku  mencium  bau  yang  sangat  busuk.  Bau  bangkai. . . Nafasku    menjadi    sesak    dan    dadakku    mendenyut    sakit   jika    aku menghirup udara dalam-dalam. . .”

“Sebetulnya kau belum boleh keluar dari dalam gua itu, Adi  Sara. Dan     ingat     satu     pesanku.     Ini     perintah     Dewi.     Kau    tidak    boleh meninggalkan gua lebih dari sepuluh langkah. . .”

“Eh, kenapa begitu?”

“Itu  perintah  dan  tidak  semestinya  ditanya!”   sahut  Hijau   Satu. Lalu dari balik pakaian hijaunya dia  mengeluarkan  sebuah benda kecil, ternyata potongan batang bambu kuning sebesar ibu jari sepanjang satu jengkal. Pada ujung bambu terdapat penyumpal terbuat dari kayu kecil. Hijau  Satu tarik kayu penyumpal lalu menyuruh Adi  Sara mengulurkan tangan  kirinya.  Hijau  Satu  kemudian  menempelkan  ujung  bambu  ke balik  telapak  tangan   si  pemuda.   Sejenis   minyak  yang   sangat  harum leleh ke atas permukaan tangan Adi Sara.

“Gosokkan minyak itu kelobang hidungmu. Seumur-umur kau tak akan mencium lagi bau busuknya bangkai!” Hijau Satu menutup bambu kecil    lalu    menyimpannya    kembali    ke    balik    pakaiannya.    Adi    Sara melakukan   apa  yang   dikatakan.   Telapak   tangannya  yang   berminyak diusapkannya  ke  lobang  hidungnya.  Tercium  bau  yang  sangat  harum. Perlahan-lahan  bau  itu  sirna.  Tapi  kini  Adi  Sara  tidak  lagi  mencium busuknya bau bangkai.



“Minyak ajaib!” ujar Adi  Sara  sambil memandang keheranan pada Hijau Satu.

“Jika  kau  tak  ada  lagi  pertanyaan,  masuklah  kembali  ke  dalam goa. Dan jangan sekali-kali keluarjika tidak kuizinkan. . .”

“Masih   kurang   jelas   bagiku,   mengapa   tahu-tahu   aku   berada disini.    Yang    aku    ingat    adalah    kemunculan    lima    orang    perajurit Kadipaten. Mereka menganiaya ayahku. Aku menyerang mereka. Setelah itu aku tak ingat lagi. . .”

“Memang      perajurit-perajurit      Kadipaten      itulah      yang      telah membawamu   ke   sini   lalu   melemparkan   tubuhmu   ke   dalam   Lembah Bangkai... Katakan mengapa mereka melakukan hal itu terhadapmu...?”

Adi  Sara  tidak  menjawab. Ada  dua  bayangan wajah yang  muncul dipelupuk matanya saat itu. Pertama wajah ayahnya yang tua. Dia ingat sekali karena melihat bagaimana orang tua itu diseret dan dipukuli oleh lima perajurit  Kadipaten. Bagaimana keadaan ayahnya saat ini? Dibawa ke   Kadipaten,   dipenjarakan   atau   sudah   dibunuh   oleh   orang-orang Tawang  Merto?! Lalu wajah yang kedua  adalah wajah  Ningrum, kekasih yang   sangat   dicintainya   dan  juga   mencintai   dirinya.   Hanya   sayang percintaan   mereka   dan   rencana   untuk   membangun   rumah   tangga terhalang oleh jurang lebar. Ningrum adalah puteri Adipati Sawung yang oleh   orang   tuanya   ternyata   dijodohkan   dengan  Tubagus   Kolokaping, putera Adipati Tawang Metro, sahabat Sawung.


 Ketika Ningrum menolak untuk   dikawinkan   dengan   Tubagus   dan   dengan   berani   menyatakan bahwa  calon  suaminya  satu-satunya  hanyalah  Adi  Sara,  putera  petani miskin   di   desa    Sumber    Urip   itu,    maka   marahlah   Tawang    Merto. Bersama   Adipati    Sawung    Glingging    dia    menyusun    rencana    untuk menangkap,  menghukum dan  memenjarakan Adi  Sara  dengan tuduhan sebagai   ikut    terlibat    menjadi   anak    buah    kelompok    garong   Warok Bekontoro.    Tapi    dalam    pelaksanaannya    kemudian    Adi    Sara    tidak ditangkap  dan  dipenjarakan,  melainkan  dibuang  ke   Lembah   Bangkai karena dengan demikian jejak kematian dan lenyapnya pemuda itu tidak akan diketahui orang lain.

“Aku      harus      meninggalkan      tempat      ini!”      kata      Adi      Sara. Bagaimanapun juga dia harus menolong ayahnya.

“Itu tidak mungkin dilakukan!” jawab Hijau Satu.

“Mengapa tidak? Hemm... Aku tahu. Kalau begitu apakah kau bisa menemukan aku pada Dewimu itu?”

Hijau  Satu  menggeleng.  “Selain  aku  dan  Hijau  Dua  serta  Hijau Tiga  tidak  orang  lainpun  boleh  menemui  Dewi.  Kecuali  Dewi  memberi tahukan lain. . .”

“Jika begitu aku terpaksa melarikan diri dari sini!” jawab Adi Sara tandas.

Hijau  Satu  tersenyum.  “Tidak  satu  orangpun  bisa  keluar  hidup- hidup   dari   Lembah   Bangkai. . .”   katanya.   Ketika   dia   hendak   beranjak pergi, dua sosok bayangan hijau berkelebat dan tahu-tahu di tempat itu sudah  berdiri  dua  orang  dara  berpakaian  hijau  seperti yang  dikenakan Hijau Satu. Wajah keduanya tak kalah cantik dengan wajah Hijau Satu.


“Hijau  Dua  dan  Hijau  Tiga”  Bagus,  kalian  sudah  kembali.  Dewi menunggu kedatangan kalian!”

Dua   dara   yang   baru   datang   tidak   segera   menjawab   teguran sahabatnya itu, keduanyajustru menatap tajam-tajam pada Adi Sara.

Hijau Tiga bertanya: “Siapa pemuda berwajah pucat ini?!”

“Namanya  Adi  Sara.  Seminggu  lalu  dia  dilemparkan  orang-orang Kadipaten ke daiam lembah” menerangkan Hijau Satu.

“Lalu kenapa  dia  dibiarkan  hidup? Tidak segera dibunuh?!” tanya Hijau Dua.

“Dewi   memerintahkan   aku   untuk   tidak   membunuhnya   malah merawatnya,” jawab Hijau Satu.



Hijau   Dua   dan   Hijau  Tiga   saling  pandang.   “Hmmm. . .   sungguh sulit  dipercaya  kalau  Dewi  yang  memerintahkan  begitu!”  Dua  dara  itu menatap   tajam-tajam   pada   Hijau   Satu.   “Aku   yakin   ada   hubungan tertentu antara kau dan pemuda ini, Hijau satu. . .”

“Maksudmu?!”

“Kau bisa menjawabnya sendiri!

Kau berlaku tidak jujur! Kau menyukai pemuda ini! Betul kan?!”

“Kau  bicara  melantur!  Jika  kau  menuduhku  begitu  berarti  kau juga menuduh Dewi seperti itu. Jaga mulutmu Hijau Dua!”

Hijau Dua terdiam dan ada rasa takut dalam hatinya karena telah ketelepasan bicara seperti itu. Kawannya HijauTiga mengusap wajahnya sesaat   lalu   berkata:   “Rupanya   peraturan   di   Lembah   Bangkai   sudah berubah...?”

“Dengar kalian berdua. Yang berkuasa disini adalah  Dewi  dan dia pimpinan    kita.    Hitam    katanya    berarti    hitam!    Putih    harus    putih! Sebaiknya   kau   tidak    menghabiskan   waktu   untuk    mengobrol   yang bukan-bukan di tempat ini! Lekas melapor pada Dewi!”

Walau  Hijau  Dua  dan  Hijau  Tiga  tidak  suka  atas  ucapan  Hijau Satu   itu,   bagaimanapun  juga   kedudukan   Hijau   Satu   adalah   diatas mereka  maka  mau  tak  mau  keduanya  segera  meninggalkan  tempat  itu setelah sekali lagi mengerling pada Adi Sara.

“Jangan-jangan  Dewi  terpikat  pada pemuda itu,” bisik  Hijau  Dua. “Wajahnya memang tampan. . .”

“Sssst. . .    Jangan    bicara    terlalu    keras.     Kalau     Dewi     sempat mendengar       celaka       kita       berdua. . .”       ujar       Hijau       Tiga       pula.





DI  HADAPAN  DEWI  bercadar  hijau  dan  memangku  kecapi,  Hijau  Dua dan  Hijau  Tiga  menjura  memberi  hormat  lalu  duduk  dengan  khidmat. Hijau   dua   kemudian   membuka   mulut   bertindak   sebagai  juru   bicara pemberi laporan.

“Sesuai    perintah    kami    telah    menyerbu    markas    Datuk    Sora Gamanda. Tapi  orang  itu  tidak  ada  di  sana.  Kami  disambut  oleh  enam anak  muridnya.  Semua  kami  musnahkan.  Tak  ada  yang  bersisa  hidup dan markas Datuk itu kami bakar!”

“Bagus!”  Dewi  bercadar  hijau  diam  sejenak.  “Apakah  kalian juga meninggalkan pesan disana”!”

“Sesuai  perintah  Dewi,  pesanpun  kami  tancapkan  pada  sebatang pohon, diatas secarik kain hijau bertulis huruf-huruf putih. . .”

“Coba    sebutkan    pesan    yang    kalian    tinggalkan    itu    bunyinya bagaimana?” tanya Dewi pula.

“Jika ingin menuntut balas datanglah ke Lembah Bangkai!”

Dewi  bercadar   angguk-anggukkan   kepala.   “Mulai   sekarang  kita bersiap-siap   untuk   menyambut   munculnya   Datuk   keparat   itu.   Lalu bagaimana dengan dua tugas kalian yang lain?”

“Itupun  sudah  kami  laksanakan  Dewi.  Pendekar  Kaki  Satu  kami buntungkan   kakinya   yang   masih   utuh   sedang   kaki   kayunya   kami hancurkan.    Tiga     muridnya     tewas.     Dua     melarikan     diri.     Sehabis menyelesaikan   urusan   dengan   Pendekar   Kaki   Satu   kami   tidak   lupa menancapkan   pesan.   Setelah   itu   kami   menyerbu   bukit   Walang   di selatan  namun  tidak  menemui  Si  Pedang  Iblis.  Kami  justru  disambut oleh   perempuan   simpanannya   yang   dikenal   dengan   julukan   Nenek Kelabang Biru. . .”

Wajah Dewi dibalik cadar tampak berubah. “Pendekar Pedang Iblis yang berusia tiga puluh tahun itu, kumpul kebo dengan seorang nenek- nenek berusia hampir tujuh puluh tahun? Sulit kupercaya!” Sebenarnya bukan   itu  yang   mengejutkan   sang   Dewi.   Diam-diam   dia   mengetahui kalau   Nenek   Kelabang   Biru   adalah   salah   seorang   momok   golongan hitam yang sejak sepuluh tahun terakhir ini malang melintang di daerah selatan.  Kabarnya  dia juga  mengepalai  para  bajak yang  gentayangan  di pantai selatan.

“Kalian bentrokan dengan nenek itu?” tanya Dewi.

Hijau   Dua   mengangguk.   “Kami   kemudian   mengundurkan   diri. Bukan  saja karena  memang tidak  ada urusan  dengan  dia, tapi ternyata ilmu  kepandaiannya  sungguh  luar  biasa.  Kami  mengeroyoknya  berdua. Dalam    tiga    jurus    dia    bisa    mendesak    dengan    serangan-serangan berbahaya. . .”




Dewi  mengusap  dagunya  lalu  berkata:  “Itu  sebabnya  aku  harus cepat-cepat  menurunkan  lima jurus  ilmu  silat  Lembah  Bangkai.  Kalian harus  sudah  menguasainya  sebelum  para  tetamu  yang  minta  mampus itu   berdatangan    di    lembah   ini.    Dan   jangan   lupa,   lipat    gandakan meminum ramuan kulit pohon yang kuberikan agar tenaga dalam kalian meningkat dengan cepat!”

“Kami  perhatikan  hal  itu  Dewi  dan  terima  kasih  atas  maksudmu menurunkan lima jurus ilmu silat Lembah Bangkai.”

“Jika  tak  ada  lagi yang  hendak  kalian  sampaikan  atau  tanyakan, aku ingin beristirahat dulu. . .”

“Ada satu hal yang ingin kami tanyakan Dewi,” sahut Hijau Dua.


“Katakan!”

“Apakah  aturan  di  Lembah  Bangkai  ini  mengalami  perubahan?” bertanya Hijau Dua. “Maksudmu?”

“Waktu   sampai   kemari   tadi,   kami   menemui   seorang   pemuda bernama   Adi    Sara    tengah   berbincang-bincang    dengan    Hijau    Satu. Menurut  aturan  pemuda  itu  siapapun  dia  dan  bagaimanapun  caranya dia  sampai  disini  haruslah  dibunuh.  Justru  menurut  Hijau  Satu  dia telah menyelamatkannya bahkan merawatnya dari luka-lukanya. . .”

Sesaat  sang  Dewi  agak  terkesiap juga  mendengar  pertanyaan  itu, namun  akhirnya  dia  menjawab juga:  ‘Tak  ada  peraturan yang  berubah di    Lembah    Bangkai   ini.    Orang   luar   yang   datang   harus    dibunuh, terutama  kaum  laki-laki.


  Namun  untuk  maksud  dan  tujuan  kita,  ada kalanya kita harus memperhatikan keadaan. Lagi pula. . .”

Belum  selesai  Dewi  Lembah  Bangkai  mengucapkan  kata-katanya tiba-tiba  ditempat  itu  muncul  Adi  Sara.  Melihat  kedatangan  si  pemuda Hijau   Dua   dan   Hijau   Tiga   cepat   berdiri.   Salah   satu   dari   mereka membentak.

-”Manusia     lancang!     Apakah     kau     tidak     tahu     bahwa     tidak seorangpun boleh masuk ke tempat ini tanpa izin Dewi?!”

Hijau   Tiga    menimpali:    “Lagi-lagi    Hijau    Satu    berlaku    teledor! Pemuda   ini   berada   dibawah   pengawasannya.   Mengapa   bisa   masuk kemari?!”

Saat itu pula Hijau Satu muncul disitu.

“Apa  penjelasanmu  Hijau  Satu?!”  Dewi  bertanya.  Suaranya  tetap halus tapi mengandung ancaman.



“Maafkan  saya  Dewi.  Ketika  pemuda  ini  sudah  masuk  ke  dalam goa, saya kira dia tak akan keluar lagi. Karena saya sudah memesankan aturan  di  Lembah  Bangkai  ini.  Tapi  ternyata  dia  menyelinap  dan  tahu- tahu sudah ada disini. Saya siap menerima hukuman!”

Hijau  Dua  dan  Hijau  Tiga  yang  rupanya  pada  dasarnya  memang tidak   senang   terhadap   Hijau   Satu   mencibirkan   bibir,   berharap   sang Dewi   segera   menjatuhkan   hukuman.   Tapi   diluar   dugaan   pimpinan mereka  itu justru  berpaling  pada  Adi  Sara  dan  berkata:  “Pemuda,  kau menyalahi    aturan.    Memasuki    tempat    orang    tanpa    izin.    Memasuki Lembah Bangkai  saja berarti  mati! Apalagi berani memasuki tempat ini.Apa kepentinganmu? Lekas katakan!”

“Pertama harap jangan salahkan Hijau Satu. Sesuai perintah Dewi dia    telah    merawatku    hingga    saat    ini    meski    belum    sembuh    tapi keadaankujauh  lebih  baik! Aku  berhutang budi  dan  nyawa  bukan  saja padanya,  tetapi  terutama  sekali  pada  Dewi.  Setelah  Dewi  menyelamat- kan   nyawaku,   aku   tidak   yakin   Dewi   kemudian   akan   mengambilnya kembali dengan jalan membunuhku!”

“Dewi!  Pemuda  ini  pandai  bicara!  Mulutnya  berbisa!”  teriak  Hijau Dua.

Dewi   lambaikan   tangan.   “Dia   belum   menjawab   pertanyaanku mengapa dia berani masuk kemari!”

“Untuk itu aku mohon maafmu Dewi! Aku mengerti bahwa tempat ini  adalah  sangat  pribadi. Apalagi  semua yang  ada  disini  adalah  orang- orang  perempuan.   Hijau   Satu   sudah   memberi  tahu   dan   melarangku keluar  dari  gua  perawatan.  Namun  aku  terpaksa  kemari  karena  harus memberi    tahu    bahwa    aku    akan    meninggalkan    tempat    ini    untuk menolong   ayahku!   Orang-orang   Kadipaten   telah   menganiayanya.  Aku harus mengetahui bagaimana keadaannya sekarang. . .”

“Mengapa   orang-orang   Kadipaten   menganiaya   ayahmu?”   tanya sang Dewi pula.



“Waktu    itu    mereka    sebenarnya    hendak    menangkapku.    Tapi karena  yang  ada   di   rumah   cuma  ayah,   maka  mereka   menyeret  dan memukuli orang tua itu. Aku harus pergi. Terima kasih atas. . .”

“Tunggu   dulu!   Kau   harus   menerangkan   mengapa   orang-orang Kadipaten hendak menangkapmu?!”

“Yang  jadi   biang   racunnya   adalah   Adipati   Tawang   Merto   dan Adipati  Sawung  Glingging.  Semua  gara-gara  aku  bermaksud  mengawini Ningrum,    puteri    Adipati    Sawung    yang    ternyata    diam-diam    sudah dijodohkan   ayahnya   dengan   putera   Adipati   Tawang   yang   bernama Tubagus  Kolokaping.  Aku  lalu  difitnah  sebagai  ikut  berkomplot  dengan Warok Bekontroro, ditangkap, dianiaya lalu dibuang ke Lembah Bangkai ini. . .”

“Apakah kau sangat mencintai gadis bernama Ningrum itu?” tanya Dewi.



“Kami  benar-benar   saling  mencinta.  Aku  akan  menempuh  cara apa  saja  untuk  mendapatkannya.  Tetapi  kemampuan  dan  kekuatanku tidak mungkin untuk menghadapi kekuasaan kedua Adipati itu. . .”

Paras  dibalik  cadar  hijau  itu  tampak  berubah  sesaat,  begitu juga paras Hijau Satu.

“Hemm. . .”     terdengar     sang     Dewi     menggumam.     “Kapan     hari perkawinan Ningrum dengan Tubagus itu?”

“Hari  ke  lima  bulan  enam.  Jadi  tiga  hari  lagi.  Begitu  yang  aku dengar,” sahut Adi Sara.

Sang   Dewi   tampak   berpikir-pikir.   Akhirnya   terdengar   kembali suaranya:  “Mengenai  diri  Ningrum  kau  tidak  usah  kawatir.  Gadis  itu akan dibawa kemari. . .”



Terkejutlah  Adi  Sara.  Dan  lebih  terkejut  lagi  adalah  ketiga  gadis berpakaian   hijau.   Sang   Dewi   sebaliknya   tetap   tenang.   “Hijau   Dua, tugasmu  untuk  menculik  gadis  itu  dan  membawanya  kemari.  Untuk menghadapi   para   tetamu   yang   bakal   datang   menyerbu   kita   masih membutuhkan  satu  atau  dua  gadis lagi  sebagai anak  buahku.  Ningrum kujadikan Hijau Empat... Ada yang berkeberatan?”

Baik  Hijau  Satu  maupun  Dua  dan  Tiga  tidak  berani  membuka mulut.   Justru   yang   terdengar   adalah    suara   Adi    sara.   “Dewi,   jika maksudmu   itu   sungguhan,   aku   benar-benar   mengucapkan   banyak terima  kasih...Tapi  jika  gadis  itu   diculik,   ayahku   akan  jadi   sasaran. Keadaannya   sekarang   entah   bagaimana,   dia   pasti   akan   disiksa   dan dibunuh seperti yang mereka lakukan terhadapku!”

“Hijau  Tiga  akan  mengurus  orang  tuamu  itu,” jawab  Dewi  pula. Lalu dia berpaling pada Hijau Satu. “Bawa dia ke dalam goamu kembali! Sekali   ini   aku   tidak   ingin   melihatnya   meninggalkan   goa   itu   tanpa izinku!”

Hijau   Satu   menjura.   Lalu   dia   memberi   isyarat   pada   Adi   Sara untuk  mengikutinya.  Sebelum  meninggalkan  goa  kediaman  sang  Dewi, Adi  Sara  menjura  pada  gadis  bercadar  itu,  juga  pada  Hijau  Dua  dan Hijau Tiga.

“Terima  kasih.  Ternyata  kalian  adalah  manusia-manusia  berbudi tinggi. Aku siap berbakti pada kalian. . .”

“Lupakan  hal  itu!  Disini  tidak  diperlukan  bakti  orang  laki-laki!” sahut Dewi pula.



Setelah  Hijau  Satu  dan  Adi  Sara  tak  ada  lagi  di  situ  sang  Dewi berpaling   pada   Hijau   Dua   dan   berkata:   “Penculikan   itu   harus   kau lakukan   pada   malam   pesta   perkawinan.   Jangan   lupa   meninggalkan pesan.  Adipati  Tawang  dan  Sawung  Glingging  termasuk  kaum  laki-laki yang  harus  dibasmi.  Aku  tahu  betul  Tawang  Merto  memiliki  tiga  istri dan lebih dari setengah lusin gundik peliharaan! Sawung Glingging tidak lebih  baik  dari  pada  calon  besannya  itu.  Walau  tidak  punya  istri  lebih dari  satu  dan  tidak  punya  gundik,  tapi  anak  istri  orang  banyak  yang digerayanginya!   Malam   ini   pelajaran   lima   jurus   ilmu   silat   Lembah Bangkai akan kita mulai. Sampaikan pada Hijau Satu. Dan kalian harus punya   waktu   untuk   beristirahat   karena   pelajaran   itu   akan   sangat menguras tenaga. . .”

“Kami   mohon  diri   dulu   Dewi,”  kata   Hijau   Dua   dan   Hijau  Tiga berbarengan 


PESTA perkawinan  putera-puteri Adipati  itu berlangsung  sangat meriah dan     penuh     kemewahan.    Tamu-tamu    yang     datang     bukan     orang sembarangan,  bukan  saja  kaum  bangsawan  dan  hartawan  tapi  banyak pula  pejabat-pejabat  serta  tokoh-tokoh  penting  dari  Kotaraja.  Hiburan yang menyemarakan pesta perkawinan itupun merupakan hiburan kelas satu yaitu  serombongan  pemain  gamelan  terkenal yang pada  menjelang tengah  malam akan  disambung  dengan  permainan wayang kulit  oleh ki dalang Ronggo Suwito dari Madiun.



Selagi  para  tetamu   siap  untuk   mengambil   santap   malam  yang disediakan  di  sebuah  bangsal  besar,  perhatian  banyak  orang  tertarik oleh  munculnya  seorang  tetamu  gadis jelita  berpakaian  hijau.  Hampir semua   orang   terutama   kaum   lelaki   merasakan   nafas   mereka   seperti tertahan.  Bukan  saja  oleh  kecantikan  dan  kemulusan  kulit  sang  dara, tetapi  lebih  banyak  oleh  pakaian  hijau yang  dikenakannya.  Pakaian  itu begitu tipis sehingga liku-liku bentuk auratnya terlihat denganjelas!

Sepasang pengantin  dan  orang-tua masing-masing yang mengapit mereka ikut  terkesiap  dan  tahu-tahu  tamu tunggal  itu  sudah  berada  di depan pelaminan!

“Bidadari  dari  manakah  yang  turun  ketempat  pesta  perkawinan anakku  ini!”  ujar  Adipati  Tawang  Merto.  Kedua  bola  matanya  terbuka lebar  menggerayangi  dada  dan  bagian  perut  yang  membayang  dibalik pakaian   hijau   tipis   itu.  Tenggorokannya   tampak   turun   naik.  Adipati yang  memang  mata  keranjang  ini  basahi  bibirnya  dengan  ujung  lidah. Ketika   Tawang   Merto   hendak   menegur,   sang   tamu  jelita   lebih   dulu membuka mulut.



“Aku  datang  bukan  untuk  memberi  ucapan  selamat.  Tapi  untuk menjemput  pengantin  perempuan.  Ningrum  tidak  layak  menjadi  suami istri Tubagus Kolokaping!”

Bersamaan   dengan   itu   lampu   besar   di   tengah   bangsal   hancur berantakan.    Dalam    keadaan    yang    tiba-tiba    menjadi    redup    gelap terdengar   pekik   pengantin   perempuan.   Lalu   suara   bentakan   disusul dengan mentalnya beberapa sosok tubuh.

“Penculik! Kejar!”

“Pengantin perempuan diculik!”

AdipatiTawang Merto yang barusan terjajar hampirjatuh ke lantai cepat   berdiri   dan   mengejar.   Dua   kali   membuat   lompatan   dia   sudah berada diujung bangsal dan menghadang si baju hijau.



“Gadis  gila!  Berani  kau  mengacaukan  pesta  perkawinan  anakku! Berani kau menculik puteriku! Rasakan!”

Seperti  diketahui  Tawang  Merto  memang  memiliki  ilmu  silat  dan kesaktian.  Maka  sekali  dia  menggebrak  serangannya  yang  mengeluar- kan angin keras membuat Hijau Dua terkejut!  Gadis ini  cepat mengelak dan   susupkan   satu   tendangan.   Tapi   dengan   mudah   Tawang   Merto menghindari   tendangan   itu   malah   kini   tinjunya   berkelebat   ke   arah kepala  Hijau  Dua.  Sang dara  segera  maklum kalau Adipati  itu  memiliki kepandaian  silat  tinggi,  Dalam  pada  itu  beberapa  orang  sudah  men- datangi  tempat  itu  dan  mengurung.  Beberapa  pengawal  yang  bertugas berjaga-jaga disitu telah pula menghunus senjata masing-masing.



Sebagai  anak  buah  Dewi  Lembah  Bangkai,  Hijau  Dua  tidak  takut menghadapi  orang-orang itu.  Namun yang lebih  penting baginya  adalah menyelesaikan   tugas   dengan   baik   yaitu   membawa   Ningrum   dalam keadaan   selamat   ke   Lembah   Bangkai   sesuai   perintah   pimpinannya. Memikir  sampai  disitu  Hijau  Dua  putar  tubuhnya  dan  menghantam  ke kiri  dimana  Adipati  Tawang  Merto  berada.   Sang  Adipati  yang  berada dalam  keadaan  kalap  langsung  menyongsong  serangan  si  gadis  dengan satu jotosan keras. Dua pukulan saling beradu. Tawang Merto mengeluh kesakitan.  Hijau  Dua  terhuyung  hampir jatuh.  Disaat  itu  dari  samping ada yang  menyerang  dengan  hantaman  kursi. Ternyata Adipati  Sawung Glingging.

Melihat     keadaan     tidak     menguntungkannya,     apalagi     setelah mengetahui   bahwa   Tawang   Merto   memiliki   tenaga   dalam  jauh   lebih tinggi darinya, Hijau Dua memutuskan untuk melarikan diri saja.



Kursi      kayu      yang      dihantamkan      sawung      Glingging      tidak mengenai.sasaran  karena  Hijau  Dua  cepat  mengelak.  Sambil  keluarkan suara   tertawa   aneh,   dara   ini   kebutkan   lengan   baju   hijaunya   yang panjang.  Serta  merta  menghamparlah  bau  busuk  yang  amat  sangat  di tempat itu. Semua orang merasakan nafas menjadi sesak dan dada sakit mendenyut.   Satu   demi   satu   mereka   tampak   terhuyung-huyung   lalu berjatuhan,   tergelimpang   dalam   keadaan   tubuh   lemas   lunglai.   Satu- satunya   yang   masih   mampu   tegak   berdiri   walaupun   dengan   nafas menyengat  adalah  Adipati  Tawang  Merto.  Adipati  ini  memburu  Hijau Dua  dengan  satu  jotosan  ke  arah  dada.  Namun  yang  diserang  sudah memutar tubuh dan berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.

“Bangsat  penculik!  Jangan  kira  kau  bisa  kabur!”  teriak  Tawang Merto.    Dia    hantamkan   tangan    kanannya.  


  Serangkum    angin   deras menderu. Tapi kekuatan pukulan sakti ini hanya mencapai setengahnya saja   karena   keadaan   tubuhnya   yang   menjadi   lemas   akibat   kebutan lengan pakaian Hijau Dua yang menyebarkan bau mayat busuk tadi.

Saat itu  Hijau  Dua  sendiri  sudah larijauh. Yang terdengar  hanya teriakannya dalam kegelapan malam.

“Tawang    Merto!    Kalau    kau    masih    inginkan    anak    mantumu, datanglah ke Lembah Bangkai!”

“Kurang  ajar  haram jadah!”  kertak  Adipati  Tawang  Merto  dengan dua tangan terkepal. Perlahan-lahan tubuhnya terduduk di tanah.

Pesta    perkawinan    yang    tadinya    begitu    semarak    dan    penuh kemewahan kini berubah menjadi kacau dan geger!


***

RASA takut disertai goncanganjiwa yang keras membuat Ningrum jatuh  pingsan   selama   dilarikan   oleh   Hijau   Daun   setengah   malaman. Sebelum mata hari terbit anak buah Dewi Lembah Bangkai itu berharap sudah  bisa  sampai  di  lembah,  namun  dalam  berlari  digelapnya  malam ada  satu  kegelisahan  merasuk  dirinya.  Dia  merasa  ada  seseorang yang membuntutinya   dan   dia  yakin   siapapun   adanya   orang   ini   bukanlah orang   dari   Kadipaten   karena   si   penguntit   muncul   setelah   dia  jauh meninggalkan Kadipaten. Dan kesanggupan menguntit sejauh itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, paling tidak  mempunyai  ilmu  lari  yang  ampuh.  Namun  yang  membuat  Hijau Dua menjadi sebal ialah setiap dia menoleh ke belakang, dia sama sekali tidak  melihat  si  pengejar.  Seolah-olah  orang  itu  sengaja  menyembunyi- kan diri. Maka timbullah niat dalam diri dara itu untuk menjebak.



Di  sebuah  tikungan  jalan,  Hijau  Dua  jatuhkan  selendang  milik pengantin perempuan yang sejak tadi terlibat di leher Ningrum. Lalu dia merambas    semak    belukar    di    kanan    jalan    kemudian    secepatnya menyeberang  ke  kiri jalan  dan  mendekam  di  balik  serumpunan  pohon bambu.  Menunggu  dengan  mempertajam  telinga  dan  sepanjang  mata tak berke-sip.

Ternyata  Hijau  Dua  tidak  menunggu  lama.  Mula-mula  terdengar suara kaki berlari. Perlahan sekali padahal orang itu berlari kencang. Ini sudah satu pertanda bahwa dia bukan saja memiliki ilmu lari cepat tapi sekaligus   ilmu   meringankan   tubuh.   Sesaat   kemudian   muncul   satu sosok tubuh berpakaian putih.  Orang ini berbadan tegap tanda usianya masih  mudah. 


 Rambutnya  gondrong  menjulai  bahu.  Dia  mengenakan ikat     kepala     putih.     Sambil     menggaruk-garuk     kepala     orang     ini memandang berkeliling. Ketika berpaling ke jurusan pohon bambu Hijau Dua  segera  dapat  melihat  raut wajahnya yang  setengah  terlindung  oleh kegelapan.

“Hemm...Seorang    pemuda    bertampang    keren.    Tapi    lagaknya celangak  celinguk  seperti  orang  tolol!”  berkata  Hijau  Dua  dalam  hati. Lalu     dilihatnya     pemuda     itu     membungkuk     memungut     selendang pengantin.

Hijau    Dua    mengomel    dalam    hati    ketika    melihat    si    pemuda menciumi selendang itu berulang kali. “Jangan-jangan pemuda ini salah seorang    yang    tergila-gila    pada    Ningrum,”    pikir     Hijau     Dua.    Dia memperhatikan terus.



Pemuda   berpakaian   putih   tampak   melangkah   ke   arah   semak belukar  yang   tadi   dirambas   Hijau   Dua.   Dia   masuk   ke   balik   semak belukar  itu,  memandang  berkeliling.  Tapi  tidak  menemukan  apa  yang dicarinya.

“Aneh,   tak   mungkin   si  jelita   itu   amblas   ke   dalam   bumi!   Tapi kemana  perginya?   Mengapa  bisa   lenyap?   Dan   selendang   ini,   apakah sengaja ditinggal sebagai tanda dia memang suka diikuti...?!”

“Pemuda geblek!  Siapa  suka padamu!  Kenalpun tidak!”  Hijau  Dua mendamprat    dalam    hati.    Kemudian    didengarnya    lagi    pemuda    tak dikenal itu berkata.



“Biasanya  pemuda  yang  menculik  gadis.   Sekarang  malah  gadis menculik gadis! Mau dijadikan apa? Ha...ha... ha... Semakin aneh dunia ini rupanya!”

“Pemuda   sialan!   Dikiranya   aku   ini   menculik   Ningrum   untuk dijadikan  apa!”  Kembali  Hijau  Dua  mengomel.  Kalau  diperturukannya hatinya yang memberingas mau dia keluar dari balik pohon bambu saat itujuga dan menghajar pemuda bermulut seenaknya itu.



“Ah, nasibku sial! Mungkin dia sudah kabur! Baiknya aku kembali saja  ke  Kadipaten...!”   Si  gondrong  kalungkan  selendang  pengantin  di lehernya   lalu   berbalik   dan   tinggalkan   tempat   itu   ke   arah   mana   dia datang    sebelumnya.    Setelah    menunggu    beberapa    lama    dan   yakin pemuda  tadi  benar-benar   telah   meninggalkan  tempat   itu,   Hijau   Dua keluar     dari     balik     rerumpunan     pohon     bambu     lalu     meneruskan perjalanan menuju Lembah Bangkai.

Dibalik sebatang pohon jati tua, terdengar suara tertawa perlahan. Lalu keluar sosok tubuh pemuda tadi.

“Penipu   tertipu!   Mana   ada   pemuda   sepertiku   ini   bisa   ditipu semudah  itu...!”  Dia  kembali  tertawa  lalu  mulai  mengejar  ke  jurusan lenyapnya Hijau Dua yang memanggul tubuh Ningrum.




UDARA  PAGI yang  seharusnya penuh  kesegaran  itu justru  sama  sekali tidak    dirasakan    Pendekar    212   Wiro    Sableng   ketika   pengejarannya berakhir di pinggir lembah yang merupakan jurang dalam penuh semak belukar    dan    batu-batu    besar    bertonjolan    disana-sini.    Hidungnya mencium   bau   busuk   yang   amat   sangat.   Wiro   memandang   ke   arah lembah.



“Gadis    ini    lenyap    di    sekitar    tempat    ini!    Apakah    dia    kabur menuruni   lembah    busuk   ini?”    Murid    Sinto    Gendeng    dari    puncak Gunung    Gede    itu    meneliti    kembali.    Kemudian    melengaklah    sang pendekar    ketika    kedua    matanya    melihat    sosok-sosok    mayat   yang bergelantungan di cabang-cabang pepohonan!

“Gila!   Tempat   apa   inir   Siapa   yang   digantung   dan   siapa   yang menggantung?!”  Dia  berpikir-pikir  apakah  akan  segera  saja  menuruni lembah    meneruskan    penyelidikan.    Selagi    dia    menimbang-nimbang begitu   rupa   tiba-tiba   terdengar   suara   nyanyian   dari   arah   lembah, ditimpali petikan kecapi.

Lembah Bangkai lembah kematian

Jangankan menjejakkan kaki

Melihatnya sajapunsudah cukup alasan untuk mati!

Tak ada yang datang dan bisa pergi

Tak ada yang pergi membawa nyawa di badan

Lembah Bangkai lembah kematian

Siapa yang datang tak bisa kembali pulang!

“Ah,   ini   baru   kejutan!”   ujar   Wiro   sambil   garuk   kepala.   Kedua matanya memandang tajam ke arah lembah. “Ada  mahluk bermukim  di dasar   lembah   sana.   Mungkin   jin   mungkin   manusia   aneh!   Petikan kecapi,  suara  nyanyian... Jelas  mengandung  tenaga  dalam.  Kalau  tidak mana bisa sampai terdengar sejauh ini...!”

Selagi   Wiro   bicara   sendirian   seperti   itu   tiba-tiba   dia   melihat sesuatu  melesat  sangat  cepat  dari  dasar  lembah.  Ketika  diperhatikan benda  itu  ternyata  seutas  tali  yang  ujungnya  berbentuk  buhul  besar. Dalam waktu  sekejapan  saja  buhul  besar  itu  telah  menyambar  ke  arah kepala  Wiro. 


 Dalam  keterkejutannya  masih  untung  pemuda  ini  sempat jatuhkan diri. Tali lewat di atas kepalanya,jatuh melibat sebatang pohon kecil. Begitu tali melibat pohon, terdengar suara berderak. Batang pohon terangkat   ke   atas,   akarnya   tercabut   berserabutan.   Sesaat   kemudian pohon  itu  terbetot  ke  bawah,  meluncur  ke  dalam  lembah!  Wira  dapat membayangkan kalau batang lehernya tadi sempat dilibat tali aneh itu!

“Ada  orang  sakti  di  dalam  lembah  yang  pergunakan  kepandaiannya   untuk   mencelakai   dan   membunuh   sesama   manusia!”   ujar   Wiro dalam  hati.  “Gadis  berbaju  hijau  yang  menculik  pengantin  perempuan itu...?!”   Menduga   sampai   disitu   membuat   semakin   bulat   tekad   sang pendekaruntuk turun ke dalam lembah. Sementara itu dari bawah sana kembali  terdengar  suara  nyanyian  dan  petikan  kecapi.  Wiro  menunggu sampai  suara  nyanyian  dan  petikan  kecapi  itu  berhenti.  Lalu  pendekar ini  pentang  mulut  keluarkan  suara  nyanyian.  Nadanya  sungguh  tidak sedap   karena   sumbang.   Tapi   syair   seenaknya   yang   dinyanyikannya justru membuat penghuni lembah dibawah sana menjadi tidak enak dan marah.

Lembah indah ciptaan Tuhan

Berselimut bau busuk ciptaan insan

Sungguh memalukan pekerjaan yang kau lakukan

Bukan mensyukuri keindahan alam ciptaan Tuhan

Tapi rnengotori dengan mayat dan kebusukan

Urusan kematian adalah urusan Gusti Allah

Manusia jangan sombong merasa perkasa

Bila ajal sampaisudah

Kaupun akan berkubur di liang tanah

Lembah   Bangkai    diselimuti   kesunyian   begitu    gema   nyanyian Pendekar 212 lenyap. Tapi sepasang mata murid Sinto Gendeng tak bisa ditipu. Tersamar  diantara  kehijauan  daun-daun  pepohonan  dia  melihat dua  bayangan  hijau  bergerak  cepat  menuju  bagian  atas  lembah.  Wiro menunggu. Tapi dua bayangan itu mendadak berhenti di lereng lembah, dan mendekam di suatu tempat seolah-olah menunggu sesuatu.


Di  saat  yang   sama  Wiro  mendengar   suara  derap  kaki  kuda   di belakangnya.  Ketika  dia  berpaling  dilihatnya Adipati  Tawang  Merto  dan Adipati Sawung Glingging sudah berada di tepi lembah beserta lebih dari dua puluh perajurit bersenjata lengkap.

“Orang  muda!  Siapa  kau?! Apakah  kau  penghuni  di  tempat  ini?!” Tawang   Merto   mendekati   Wiro   sambil   menutup   hidung,   tak   tahan  mencium bau busuknya mayat.

“Aku  baru  saja  sampai  di  lembah  ini!” jawab Wird.  “Hemmm,  apa yang  kau  lakukan  pagi-pagi  disini?!”  yang  bertanya  kini  adalah  Adipati Sawung Glingging.



“Aku mencari seseorang,” jawab Wiro lagi.

“Hemm...gerak      gerikmu      mencurigakan!     Jangan-jangan      kau anggota komplotan penculik anakku!”

Wiro  tersenyum  dan  menyahuti:  “Adipati,  jangan  asal  menuduh saja.  Kau  saksikan  sendiri tempat  ini. Angker  dan  menebar  bau  busuk! Inilah Lembah Bangkai!”

“Nah, kau tahu nama lembah ini, pasti kau penghuni disini!”

“Ayah!   Aku   yakin   manusia   satu   ini   terlibat   dalam   penculikan istriku!”  seorang  pemuda  yang  juga  menunggang  kuda  menyeruak  kedepan lalu berteriak: “Pusaka Kadipaten! Tangkap pemuda ini!”

Sepuluh perajurit segera melompat turun dari kuda mereka.

“Kalian   gila   semua   atau   bagaimana?  Tidak   ada  ujung   pangkal hendak  menangkapku?!”  teriak  Wiro jadi  gusar.  Tapi  sepuluh  perajurit itu merangsak maju.

“Bunuh  dia kalau berani  melawan!” berkata  pemuda  diatas  kuda. Dia   bukan   lain   adalah   Tubagus   Kolokaping,   putera   Adipati   Tawang Merto.  Kehilangan  istrinya  disaat  bersanding  dipelaminan  membuatnya ingin membunuh siapa saja saat itu.



Ketika perajurit-perajurit Kadipaten itu hanya tinggal tiga langkah lagi  dari  hadapan  Wiro,  tiba-tiba  dari  dasar  lembah  terdengar  alunan nyanyian dan petikan kecapi. Adipati Tawang Merto dan calon besannya Sawung Glingging terkesiap dan saling pandang. Sepuluh perajurit yang hendak   meringkus   Wiro   seolah-olah   terpukau   dan   hentikan   gerakan mereka.

“Betul apa yang dikatakan Rundono tempo hari. Lembah Bangkai. Ada  bau   busuk.  Ada   suara  nyanyian   aneh   dan   petikan  kecapi  yang menggidikkan...” berbisik Sawung Glingging.

“Jangan  kita  terpengaruh  oleh  pendengaran  yang  bukan-bukan. Tidak  ada jin  atau  setan  yang  pandai  menyanyi  dan  main  kecapi!  Itu pasti  manusia juga.  Aku  yakin  ini  markas  penculik  keparat  itu!”  ujar Tawang  Merto.  Dia  bersiap-siap  mencari jalan  untuk  menuruni  lembah dan memberi isyarat pada perajurit-perajurit yang ada dibelakangnya.



“Perajurit-perajurit    tolol!    Mengapa    kalian    diam    saja?!    Lekas tangkap pemuda gondrong itu!” terdengar Tubagus Kolokaping berteriak marah  ketika  dilihatnya  perajurir-perajurit  yang  tadi  sudah  siap  untuk meringkus Wirio kini malah tegak seperti terpukau!

Dibentak  begitu  rupa  sepuluh  perajurit  itu  seperti  sadar.  Sambil berteriak mereka melompati Pendekar 212 Wiro Sableng.

AdipatiTawang Merto yang sudah siap menuruni bibir lembah jadi menahan  tali  kekang  kudanya  ketika  dia  melihat  enam  dari  sepuluh perajurit Kadipaten yang hendak menangkap pemuda berambut gondrog itu    mencelat    dan    berkaparan    di    tepi    lembah    sambil    mengerang kesakitan. Empat lainnya tertegun ketakutan.

Marahlah   orang-orang   Kadipaten   itu,   terutama   Tawung   Merto, anaknya  Tubagus  Kolokaping  dan  Adipati  Sawung  Glingging.  Langsung saja  Tawang  Merto  memerintahkan  agar  Wiro  dibunuh  saat  itu  juga! Belasan  senjata  dihunus.  Tubagus  Kolokaping  mencekal  sebilah,  golok panjang  erat-erat.  Selain  ayahnya,  dialah yang  paling  mendendam  atas penculikan terhadap Ningrum.


Tawang    Merto    melompat    dari    kudanya.    Justru    inilah    yang menyelamatkannya  dari  seutas  tali  yang  tiba-tiba   melesat  dari  dasar lembah.  Buhul  besar  yang  tadinya  akan   menyambar  kepalanya,  kini hanya  sempat  menjirat  leher  kuda  tunggangan.  Binatang  ini  meringkik keras, melejang-lejangkan keempat kakinya. Lalu dalam keadaan seperti itu tubuhnya terseret menggelinding ke dalam lembah!


Walau  apa  yang  terjadi  dengan  kuda  tunggangannya  itu  sempat membuat  kuduk  Tawang  Merto  mengkirik,  namun   saat  itu  dia  lebih mementingkan pada tekadnya bersama yang lain-lain untuk membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.,

Disaat   yang   menegangkan   itu   tiba-tiba   muncul   dua   bayangan hijau.   Udara  di  bibir  lembah   serta  merta  menjadi  busuk   luar  biasa. Semua     orang     merasakan     nafas     menjadi     sesak.     Yang     memiliki kepandaian tinggi seperti dua Adipati dan puteranya  serta Wiro Sableng segera    menutup    jalan    penciuman.    Tetapi    perajurit-perajurit    yang belasan  jumlahnya   mulai   batuk-batuk,   sakit   mendenyut   pada   dada masing-masing  dan  kedua  kaki  bergetar  lemas,  hampir  tak  kuasa  lagi menunjang  tubuh   mereka.   Sementara   itu   puluhan  kuda   tunggangan yang  ada  disitu  mulai  resah,  meringkik  tiada  henti  bahkan  ada  yang sudah menghambur lari dari tempat itu.

Melihat  munculnya  dua  gadis  berpakaian   tipis  berwarna  hijau, perhatian semua orang terhadap Wiro Sableng menjadi beralih.



“Bangsat  penculik!  Dikejar  kau  datang  sendiri!  Mana  puteriku?!” teriakAdipati Sawung Glingging.

Hijau   Dua,   dara   berpakaian   hijau   tipis   yang   tegak   berkacak pinggang   tersenyum   mencibir.   “Kau   rupanya   ayah   gadis   itu!   Sesuai permohonan    anakmu,    Dewi    telah    memberi    putusan    mengampuni jiwamu! Nah, kau tunggu apa lagi! Lekas minggat dari sini!”

“Dewi...Dewi siapa maksudmu, penculik keparat?!” teriak Tubagus Kolokaping.

Plaakk!

Satu  tamparan  keras  melabrak  pipi  pengantin yang  kecurian  istri itu. 


 Tubuhnya   berputar   terhuyung-huyung   lalu   terbanting   ke   tanah. Bibirnya  pecah  mengucurkan  darah.  Melihat  hal  ini  sang Ayah, Adipati Tawang  Merto  menggerung  marah  dan  lepaskan  satu jotosan  ke  wajah Hijau  Dua.  Dari   samping  Hijau   Satu  memapasi  serangan  Adipati  itu dengan satu tendangan ke arah perut. Membuat Tawang Merto terpaksa batalkan   serangannya   pada   Hijau   Dua   lalu   membalik,   maksudnya untuk  menggebuk  Hijau  Satu.  Akibatnya  bentrokan  dua  lengan  tidak terhindarkan.    Hijau     Satu    terpekik.    Tubuhnya    terhuyung,    lengan kanannya terasa seperti patah. SebaliknyaTawang Merto jatuh duduk di tanah.  Wajahnya  pucat.  Adipati  ini  cepat  melompat  bangkit.  Kalau  tadi dia   mengerahkan   hanya   setengah   bagian   saja   dari   tenaga   dalamya, maka    kini    dia    kerahkan    seluruh    kekuatan    tenaga    dalam    yang dimilikinya.



Akan halnya Wiro, karena merasa orang sudah melupakan dirinya maka     pemuda     ini     melompat     ke     cabang     sebatang     pohon     dan memutuskan   untuk   menonton   saja   apa  yang   terjadi   dibibjr   Lembah Bangkai itu!

Tidak percuma Tawang Merto mempelajari berbagai ilmu silat dan kesaktian        selama        belasan        tahun.        Serangan-serangan        yang dilancarkannya   menimbulkan   deru   angin,   dibelakang   kedua   kakinya debu  beterbangan.  Dalam  waktu  singkat  dia  berhasil  mendesak  Hijau Dua.  Sebetulnya  dalam  ilmu  silat  gadis  muda  anak  buah  Dewi  Lembah Bangkai   itu   tidak   berada   dibawah   tingkat   kepandaian   sang   Adipati. Namun   tenaga   dalam   yang   dikerahkan   penuh   oleh   lawan   membuat Hijau   Dua   harus   berhati-hati   dan   memilih   lebih   baik   mundur   atau berkelit pada saat dia merasakan tidak mungkin mengadu kekuatan.



Berlainan  dengan  Tawang  Merto  yang  menunjukkan  kehebatan- nya    maka    Adipati    Sawung    Glingging    yang    dibantu    oleh    tubagus Kolokaping  sama  sekali  tidak  berdaya  menghadapi  serangan-serangan Hijau   Satu.   Sesuai   dengan   pesan  yang   diterimanya   dari   sang   Dewi, Hijau  Satu tidak mau menciderai  Sawung Glingging yang ayah  Ningrum itu,  sebaliknya  serangannya  dititikberatkan  pada  sang  calon  pengantin pria  yang  sial.  Akibatnya  Tubagus  Kolokaping  menjadi  bulan-bulanan hantaman Hijau Satu. Dalam empat jurus saja pemuda itu sudah babak belur dan tergelimpang di tanah.

Sawung  Glingging  yang  menjadi  kecut  berteriak  pada  perajurit- perajurit Kadipaten. Setengah lusin perajurit maju. Keenam perajurit ini dibikin   babak   belur   dalam   tiga  jurus.   Sawung   Glingging   melompat mundur dengan muka pucat.

“Sekali  lagi  aku  memberi  kesempatan. 


 Apakah  kau  masih  tidak mau minggat dari tempat ini?!”

Mendengar  ucapan  Hijau  Satu  dan  menyadari  bahwa  dia  tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi gadis baju hijau itu  sendirian. Adipati  Sawung Glingging melompat ke atas punggung  seekor kuda lalu menggebrak binatang itu meninggalkan lembah. Beberapa perajurit yang juga  sudah  meleleh  nyalinya  termasuk  Tubagus  Kolokaping  melakukan hal  yang  sama.  Hingga  kini  tinggallah  Adipati  Tawung  Merto  seorang diri, masih ditunggui oleh sebelas perajurit yang rata-rata berada dalam keadaan ketakutan.

Perkelahian  antara  Hijau  Dua  dan  Tawang  Merto  semakin  hebat. Masing-masing    mengeluarkan    kepandaian.   Tawang    Merto    andalkan tenaga  dalam  yang  tinggi  dan  pukulan-pukulan  sakti  tangan  kosong. Sebaliknya Hijau  Dua andalkan kegesitan serta pukulan-pukulan ujung lengan   baju   hitamnya   yang   membersitkan   angin   deras   mengandung hawa  busuk  menyesakkan.  Meskipun  dia  dapat  membendung  semua serangan  lawan  namun  lama-lama  Hijau  Dua yang  kurang  pengalaman itu   mulai   terdesak   dan   beberapa   kali   dia   hampir   kena   hantaman pukulan lawan yang mengandung jebakan-jebakan mematikan.



Melihat  hal  ini,  Hijau  Satu  keluarkan  suara  suitan  nyaring.  Dari dalam  lembah  tiba-tiba  melesat  seutas  tali  yang  ujungnya  membentuk lingkaran  maut.  Ujung  tali  ini  menderu  ke  arah  kepala  Tawang  Merto yang   saat   itu   sama   sekali   tidak   menyadari   karena   dengan   segala dendam  dan  kemarahan  berusaha  menghabisi  Hijau  Dua.  Ketika  tali maut itu hampir lolos melewati kepalanyauntuk menjirat lehernya, tiba- tiba  sebatang  patahan  cabang  kecil  melayang  ke  udara.  Tali  yang  siap menjirat   dan   menyeret   tubuh   Tawang   Merto   terpukul   mental.   Sang Adipati selamat dari maut.



“Bedebah  minta  mampus!  Siapa yang  berani  mencampuri  urusan orang-orang    Lembah    Bangkai!”    teriak    Hijau    Satu    marah.    Sebagai jawaban   terdengar   suara   tawa   mengekah.   Hijau   Satu   berpaling   dan kagetlah gadis ini!


TEGAK  sepuluh  langkah  di  sebelah  kirinya,  Hijau Tiga  melihat  seorang nenek     berpakaian     kuning     bermuka     hitam.     Didada     pakaiannya terpampang   gambar   kelabang   berwarna   biru.   Inilah   Nenek   Kelabang Biru tokoh silat golongan hitam yang ditempur Hijau Tiga dan Hijau Dua beberapawaktu lalu. Kehebatan si nenek membuat dua anak buah Dewi Lembah   Bangkai   terpaksa   mengundurkan   diri.  


 Disamping   si   nenek berdiri  seorang  lelaki  berwajah  tampan  tapi  bersikap  sombong.  Sebilah pedang   tersisip   di   pinggangnya   sebelah   kanan.   Orang   inilah   yang diketahui   hidup   sebagai   suami   istri   dengan   si   nenek   dan   bergelar Pendekar Pedang Iblis.

Si  nenek  masih  terus  tertawa  mengekeh.  Ketika  hentikan  tawa terdengar suaranya yang nyaring.

“Begini-begini     saja     keadaan     Lembah     Bangkai!     Busuk     bau! Ternyata   tidak   ada   apa-apanya.   Kecuali   mayat-mayat   tak   berguna bergelantungan   disana   sini   untuk   menakuti   binatang   hutan!   Hik. . . hik...hik!  Beberapa  waktu  lalu  kalian  berdua  mengunjungiku  di  bukit Walang.   Menjajal   kehebatanku   lalu   lari. 


  Hik...hik...hik!   Saat   ini   aku membawa serta kekasihku! Bukankah dia yang kalian cari?!”

“Kalian   berdua   tunggulah   sampai   kami   menyelesaikan   urusan dengan Adipati Tawang  Merto! Jangan mencoba kabur!  Sekali  datang di Lembah  Bangkai  tak  ada  lagi jalan  pulang!”  menjawab  Hijau  Tiga.  Lalu dia  berkelebat  membantu  Hijau  Dua  yang  tengah  didesak  oleh  Tawang Merto.  Mendapat  dua  lawan  tangguh  begitu  rupa  betapapun  hebatnya sang Adipati, dalam waktu tiga jurus dia segera terdesak hebat.  Dengan mengertakkan   geraham   Tawang   Merto   cabut   senjata   mustika   yang disimpannya  dibalik  pakaian.  Senjata  ini  adalah  sebilah  pisau  bermata dua  yang   berlobang   di   bagian   badannya,   memancarkan   sinar   redup kehitaman tanda mengandung racun jahat.



Melihat  lawan  keluarkan  senjata  berbahaya  Hijau  Dua  dan  Hijau Tiga  segera loloskan  selendang yang dijadikan  ikat pinggang.  Selendang hijau ini dikebut demikian rupa sehingga setiap Tawang Merto menikam atau membabatkan pisaunya dia merasakan seperti ada dorongan angin keras menderanya. Lama-lama Adipati ini menjadi kalang kabut sendiri. Beberapa  kali  ujung  selendang  kedua  lawannya  berhasil  menghantam tubuhnya.   Sang   Adipati   merasakan   ada   hawa   aneh   yang   menjalari dirinya. Keringat dingin mengucur disekujur badannya.

Selagi  terdesak  seperti  itu,  dia  berteriak  pada  sebelas  perajurit yang  masih  ada  disitu  agar  membantu.  Namun  semua  perajurit  tidak ada yang berani bergerak!

“Perajurit-perajurit     pengecut!     Kelak     kalian     akan     kuhukum gantung satu persatu “teriakTawang Merto marah.




“Jika kami berdua menjadi perajurit-perajurit yang berani, hadiah apa yang akan kau berikan pada kami Adipati?!” terdengar  suara nenek Kelabang Biru.

Adipati  Tawang  Merto  melompat  mundur  menjauhi  kedua  lawan- nya dan berpaling. Dia tidak mengenali siapa adanya lelaki disamping si nenek.    Tetapi    melihat    si    nenek    dia    rasa-rasa    pernah    berjumpa sebelumnya. Berpikir sejenak lalu dia ingat.

“Hai,  orang  tua  keren,  bukankah  kau  Nenek  Kelabang  Biru  yang dulu   pernah   membantu   pasukan   Kerajaan   ketika   membasmi   kaum pemberontak di selatan?!”

“Ah...a   h...ah!   Kau   masih   tidak   melupakan   jasa   yang   dibuat kekasihku!”     menyahuti     Si     Pedang     Iblis.     “Kau     belum     menjawab pertanyaannya tadi!”

“Aku...Sekotak   penuh   perhiasan   emas   dan   batu-batu   permata, sepuluh  ringgit  emas  menantimu  di  Kadipaten jika  kau  dan  kekasihmu itu mau membantuku menyingkirkan dua gadis keparat ini!”

“Nenek  Kelabang  Biru!  Jangan  kau  berani  mencampuri  urusan kami!” teriak Hijau Dua memperingatkan.



“Ah,  sudah  terlanjur!  Sudah  terlanjur!  Seharusnya  kau  memberi kehormatan pada kami. Bukankah  secara tidak langsung kalian berdua telah mengundang kami untuk datang kemari?!”

Kawatir   si   nenek   dan   kekasihnya   akan   berubah   pikiran   maka AdipatiTawang Merto cepat berkata: “Tidak perlu bertutur cakap dengan gadis-gadis sesat ini! Mari kita sama-sama membasminya!”

“Aku  sudah  siap!” jawab  si  Nenek  Kelabang  Biru.  Dia  merangkul Pedang  Iblis,  mencium  pipinya  lalu  bertanya:  “Kekasihku!  Kau  sudah siap pula?!”

“Tentu,  tentu!  Sahut  Pedang  Iblis.  Lalu  mengecup  bibir  si  nenek lumat-lumat,  membuat  Hijau  Dua  dan  Hijau  Tiga  merasa jijik  melihat- nya.   Di   atas   pohon   Pendekar   212  Wiro   Sableng   hampir   tidak   dapat menahan tawa melihat kelakuan lelaki muda dan nenek renta itu!

“Gila  gendeng!  Tapi  biar  aku  ikut-ikut  gila  bersama  orang  orang sedeng  itu!”  kata  Wiro.  Ketika  Nenek  Kelabang  Biru  dan  Pedang  Iblis bergerak   maju   mengurung,   Wiro   melompat   turun   dari   atas   cabang pohon.

Saat  itu  sebenarnya  Hijau  Dua  dan  Hijau Tiga  diam-diam  merasa bimbang    apakah    mereka    berdua    mampu    menghadapi    tiga    lawan sekaligus.  Yang  mereka  risaukan  bukannya  Adipati  Tawang  Merto,  tapi justru si nenek dan kekasih mudanya itu!

“Berkelahi  tiga  lawan  dua  bukan  saja  tidak  seimbang  tapi  bisa dianggap  pengecut  main  keroyok!  Biar  aku  membantumu  gadis-gadis jelita!”  Wiro  berseru  lalu  di  udara   dia  membuat  jumpalitan  dua  kali berturut-turut.  Ketika  menjejakkan  kaki  di  tanah,  pendekar  ini  tegak diantara Hijau Dua dan Hijau Tiga.

“Eh, tadi kulihat dua kekasih itu berciuman dulu  sebelum masuk kalangan pertempuran. Apakah kita bertiga tidak berciuman pula?!” ujar Wiro seraya berpaling pada Hijau Dua dan Hijau Tiga lalu tertawa gelak- gelak.

Tentu   saja   paras   Hijau   Dua   dan   Hijau   Tiga   menjadi   merah. Sebaliknya  si  nenek  dan  kekasihnya  yang  merasa  tersinggung  dengan ejekan itu sama membesiwajah masing-masing.

“Pemuda    bertampang    tolol!”    bentak    si    nenek.    “Aku    berani bertaruh,  dua  gadis  itu  tidak  akan  mau  menciummu.  Tubuhmu  saja apeknya  tercium   sampai  kemari!”   Lalu   Nenek   Kelabang  Biru   tertawa gelak-gelak.



Meskipun    hatinya    dongkol    setengah    mati,    namun    kehadiran pemuda  tak  dikenal  itu  mau  tak  mau  dirasakan  sebagai  pertolongan yang tidak terduga  oleh Hijau  Dua  dan  Hijau Tiga.  Melihat  caranya tadi melompat    dari    atas    cabang   pohon   yang   tinggi   jelas    dia    memiliki kepandaian.  Tapi  sampai  ditingkat  mana  kepandaiannya  itu?  Apakah mampu  menghadapi  tiga  lawan,  terutama  si  Nenek  Kelabang  Biru yang berbahaya dan ganas itu?!

“Soal cium mencium dengan dua gadis ini kita lupakan saja!” ujar Wiro.  “Tapi  kalau  kalian  bertiga  nanti   sampai  jatuh  di  tangan  kami, apakah kau akan mau menciumku nek?!” Lagi-lagi Wiro mengejek.

Si       nenek       terdengar       menggereng.       “Jangankan       mukamu, pantatmupun   akan   kucium  jika   aku   sampai   kalah   olehmu!”   kata   si nenek saking marahnya.

“Ha...Ha! Bagus! Semua mendengar! Semua jadi saksi!” seru Wiro.

Nenek  Kelabang  Biru  memberi  isyarat  pada  kekasihnya.  Pedang Iblis  segera  hunus  senjata  andalannya  yakni  sebilah  pedang  panjang yang  berkilat-kilat  ditimpa  sinar  matahari  pagi.  Senjata  itu  diputar  dua kali    berturut-turut!    Dan    terjadilah    hal   yang    hebat!    Belasan    daun pepohonan  yang  terkena  sambaran  pedang  runtuh  ke  tanah.  Gagang- gagang daun tampak putus seperti ditebas benda tajam!

Melihat  hal  ini  diam-diam  Pendekar  212  Wiro  Sableng  mau  tak mau jadi tercekat juga sedang Hijau Dua dan Hijau Tiga merasa gelisah. Dari   apa  yang   dipamerkan   Pedang   Iblis   ternyata   lelaki   itu   memiliki kepandaian diatas si nenek kekasihnya.



Padahal beberapa waktu lalu mereka berdua pernah menempur si nenek  dan  mengundurkan  diri  sebelum  mendapat  celaka.  Hijau  Dua berusaha     membangkitkan     semangat     diri     sendiri     dan     semangat kawannya dengan berbisik: “Tak usah takut  Hijau Tiga! Ini  saatnya kita mengeluarkan  lima  jurus   ilmu   silat   Lembah   Bangkai  yang   diajarkan Dewi!”

Hijau Tiga mengangguk. Keduanya alirkan tenaga dalam ke lengan kanan,   terus   disalurkan   ke   selendang   hijau   yang   mereka   pegang. Selendang yang tadi lemah gemulai itu tiba-tiba berubah seperti sebuah pentungan   besi.   Tapi   bila   dikehendaki   dalam   sekejap   mata   kembali menjadi   lemas   dan   bisa   membelit   atau   menjirat!   Inilah   salah   satu kehebatan ilmu silat yang diajarkan Dewi  Lembah Bangkai pada ke dua anak buahnya itu.



“Kekasihku, apa lagi yang ditunggu! Mari kita berpesta pora!” seru Nenek   Kelabang   Biru.   Dia   berpaling   pada   Tawang   Merto.   “Adipati, jangan bengong  saja!  Pilih  salah  satu darajelita itujadi lawanmu. Yang satu lagi  biar kekasihku yang  melayani!  Pemuda tolol  bau  apak  ini biar aku yang akan menguliti tubuhnya!”

Habis berkata begitu Nenek Kelabang Biru melompat ke arah Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng sempat melihat bagaimana kedua tangan si  nenek  yang  tadinya  hitam  keriputan  tiba-tiba  berubah  menjadi  biru kelam tanda  sudah dialiri tenaga dalam yang menyalurkan racun jahat! Dua  tangan  menggapai  kedepan.  Cepat  sekali.  Satu  tangan  tahu-tahu sudah mencengkeram ke arah tenggorokan sedang satunya menusuk ke jurusan perut!

Pendekar  212  berkelit  ke  kiri  lalu  putar  tubuhnya  dan  mainkan ilmu  silat  orang  gila  yang  didapatnya  dari  tua  gila  karena  menurutnya jurus-jurus    silat   yang    seperti    orang    mabuk    itulah    yang    sanggup menghadapi    serangan   lawan   yang    mengandalkan    sepasang   tangan beracun.



Hijau Tiga tanpa  menunggu lebih  lama  langsung  menghambur  ke arah  Tawang   Merto.   Selendangnya  berkelebat   kian   kemari,   berusaha mementahkan   setiap   tusukan   atau   sambaran   pisau   di   tangan   sang Adipati.

Sementara  itu  Hijau  dua  sudah  terlibat  dalam  perkelahian  yang hebat  dengan  Pedang  Iblis,  Keganasan  ilmu  pedang  lelaki  berusia  tiga puluh  tahun  itu  seolah-olah  terbendung  oleh  kehebatan  selendang  di tangan Hijau Dua yang bisa meliuk mematuk seperti ular atau menderu membelit   siap   menjirat   tangan   atau    senjata   lawan   tapi   juga   bisa berubah seperti sebuah tongkat baja yang keras.



Pedang  Iblis  kertakkan  rahang.  Dia  tidak  menyangka  sama  sekali kalau  gadis jelita yang  hanya  bersenjatakan  sehelai  selendang  hijau  itu akan sanggup menghadapi pedang mustikanya yang tersohor di delapan penjuru   angin!   Maka   sambil   membentak   garang,   Pedang   Iblis   rubah permainan  pedangnya.  Senjata  itu  kini  lenyap berubah  menjadi  sebuah sinar  yang  menusuk,  membabat  atau  membacok  dalam  gerakan  kilat yang   sulit   diduga.   Beberapa   kali   Hijau   Dua   terpekik   karena   ujung selendangnya  berhasil  dirobek  atau  dibabat  putus  oleh  senjata  lawan. Lambat  laun  selendang  itu  hanya  tinggal  tiga  jengkal  saja  lagi.  Hijau Dua  mulai  terdesak.   Dalam  keadaan  kepepet  begitu  rupa   Hijau  Dua segera  keluarkan  lima jurus  ilmu  silat  Lembah  Bangkai yang  baru  saja dipelajarinya    dari    Dewi    Lembah    Bangkai.    Setiap    kedua    lengannya bergerak, dari ujung lengan pakaian hijaunya menghambur angin deras yang   mengeluarkan   hawa   dingin   disertai   sambaran   bau   busuk   luar biasa!  Pedang  Iblis  merasakan  kepalanya  pusing  dan  nafasnya  sesak. Sepasang    matanya    mulai    kabur.    Cepat-cepat    lelaki    ini    menutup penciumannya   lalu   kerahkan   tenaga   dalam   untuk   meredam   hawa beracun yang  coba  menguasai  dirinya.  Pedang  saktinya  diputar  dengan sebat,  namun  sampai  lima jurus  dimuka  tetap  saja  dia  tidak  sanggup menerobos  pertahanan  Hijau  Dua.  Marahlah  lelaki  ini.  Tangan  kirinya diangkat.   Setiap   dia   melancarkan   serangan   dengan   pedang,   tangan kirinya ikut menggempur. Hijau Dua merasa seolah-olah dia dijepit dari kiri  kanan,  Ilmu  silat  Lembah  Bangkai  yang  baru  dikuasainya  menjadi kacau.  Perlahan-lahan  tetapi  pasti  dara  ini  terpaksa  bertindak  mundur terus-terusan dan bertahan mati-matian.



Lain  halnya  perkelahian  antara Tawang  Merto  dengan  Hijau Tiga. Empat jurus berlalu.  Mula-mula terlihat perkelahian berjalan seimbang. Namun    memasuki   jurus    kelima    Adipati    berkepandaian    tinggi    itu membuat gebrakan-gebrakan beruntun.  Hijau tiga terpekik ketika pisau di  tangan  lawan  merobek  besar  dada  pakaiannya.  Payu  daranya  yang putih dan kencang tersingkap lebar membuat sesaat Tawang Merto yang memang  doyan  perempuan  itu jadi  terkesiap,  Dengan  cepat  Hijau  Tiga tutupi   dadanya   dengan    selendang   hijau,   Akibatnya   dia   kini   tidak bersenjata. Didalam hati Adipati Tawang Merto timbullah maksud kotor. Dengan  pisaunya  dia  akan  merobek-robek  seluruh  pakaian  gadis  itu. Maka  dia  menyerbu  kembali.  Tapi  sang  Adipati  kecele.  Saat  itu  Hijau Tiga sudah mulai keluarkan lima jurus ilmu  silat Lembah Bangkai. Bau busuk   menghampar   dan   melabrak   kearah   Tawang   Merto   membuat Adipati ini sulit bernafas.

“Edan!”  teriak  Tawang  Merto  marah.  Tangan  kirinya  dipukulkan ke depan. Serangkum angin panas menderu. Hijau Tiga menekuk kedua lututnya.   Berbarengan   dengan   itu   kedua   tangannya   dipukulkan   ke depan    menyongsong    serangan   lawan.    Kedua   pihak   yang   mengadu kekuatan   tenaga   dalam   lewat   pukulan   sakti   sama-sama   keluarkan seruan tinggi. Tawang Merto terjajar beberapa langkah.


 Dadanya mende- nyut   sakit.  Wajahnya   sepucat   kertas.   Di   depannya   Hijau  Tiga  jatuh terduduk   di   tanah   dengan   wajah   juga   pucat   pasi   dan   ada   darah membersit disela bibirnya. Melihat lawan terluka di dalam Tawang Merto cepat memburu. Pisau beracun di tangan kanannya ditusukkan ke leher Hijau  Tiga.  Gadis  ini  tak  mampu  mengelak.  Dia  coba  memukul  tangan lawan yang  memegang  senjata  maut  dengan  tangan  kiri  karena  tangan kanan dipakai bersrtekan ketanah agar tidakjatuh. Pukulan tangan kiri itupun   luput!   Ujung   pisau   beracun   terus   meluncur   deras   ke   arah lehernya!

Terdengar  pekik  Hijau  Tiga  menyambut  kematian  yang  tak  bisa dihindarinya. Sebaliknya Tawang Merto sendiri tiba-tiba saja merasakan seperti  ada  satu  tembok  besar  yang  menghantam  tubuhnya  hingga  dia tersapu   ke   kiri   dan   jatuh   teguling   di   tanah!   Itulah   pukulan   sakti “benteng topan melanda  samudera” yang dilepaskan Pendekar  212 Wiro Sableng  yang  masih   sempat  melihat  bahaya  maut   mengancam  Hijau Tiga.



Tawang   Merto   berdiri   tertatih-tatih,   Sebagian   tubuhnya   terasa seperti   hancur.   Dalam   keadaan   seperti   itu   dia   sadar   benar   tak   ada gunanya meneruskan pertempuran. Maka Adipati ini cepat menghampiri seekor  kuda  besar.  Namun  sebelum  dia  sempat  naik  ke  atas  punggung Binatang  ini,  tiba-tiba  seutas  tali  menyambar  dari  belakang.  Terdengar suara  patahnya  tulang  leher  Adipati  ini  ketika  jeratan  tali  menyentak dan  tubuhnya  diseret  oleh  satu  kekuatan  besar  masuk  terjerumus  ke dalam Lembah Bangkai!




KARENA   berusaha   menolong    Hijau   tiga,   berarti   Wiro   tidak   dapat memusatkan  seluruh  pematiannya  dalam  menghadapi  Nenek  Kelabang Biru.  Kesempatan  ini  tidak  disia-siakan  lawan.  Dengan  gerakan  kilat perempuan     tua     itu     melesat     ke     depan.     Dua     tangan     kembali mencengkeram  sedang  lutut  kanan  dilipat  dan  sesaat  kemudian  kaki kanan  itu  menendang  ke  arah  dada.  Pendekar  212  terkesiap.  Dari  tiga serangan lawan dia tahu pasti cengkeraman tangan kiri kanan  si nenek adalah yang paling berbahaya karena mengandung racun kelabang yang ganas  dan  mematikan.  Dengan  gerakan  ilmu  silat  orang  gila yang  aneh Wiro   berhasil   selamatkan   kepala   dan   lehernya   dari   serangan   dua tangan.  Untuk  menghindarkan  tendangan  ke  arah  dada  pendekar  ini jatuhkan   diri   ke   belakang.   Ketika   si   nenek   memburu   dengan   geram karena  tiga  serangannya  luput,  Wiro  angkat  kakinya  sebelah  kiri  dan selusupkan  ke   selangkangan   si  nenek   “Manusia  kurang   ajar!”   teriak Nenek  Kelabang  Biru  marah  sekali.  Sambil  membuang  diri  kesamping dia   menghantam   dengan   tangan   kanan.  


 Satu   sinar   biru   menderu bergemuruh!

“Mampus!”  teriak   si  nenek  karena  yakin  dengan  pukulan  sakti yang    selama    ini    tidak    bisa    dihadapi    siapapun    dia    akan    mampu menamatkan riwayat Pendekar 212.

Mencium bau  amis  dan angkernya  sinar pukulan  sakti itu, murid Sinto  gendeng  sudah  maklum  keganasan  serangan  lawan.  Maka  tanpa pikir  panjang  lagi  dia  balas  menghantam  dengan  pukulan  sakti  “orang gila  mengebut lalat”. Tangan kanannya  bergerak tiada  henti  ke  kiri  dan ke kanan. Sinar biru pukulan Nenek Kelabang Biru seolah-olah terbelah dan    terpental    ke    samping,    menghantam    pepohonan    dan    sebuah gundukan  tanah.  Pohon  itu  langsung  menjadi  biru  sedang  gundukan tanah muncrat beterbangan laksana dilanda angin puyuh. Karena masih berusaha   bertahan   untuk   melancarkan   serangan   susulan,   si   nenek merasakan  tubuhnya  terhuyung  ke  kiri  dan  ke  kanan.  Sebelum jatuh, sambil memaki perempuan tua ini cepat melompat mundur.



“Bangsat!  Siapa  kau  sebenarnya?!”  teriak  Nenek  Kelabang  Biru. Seumur  hidup  baru  sekali  ini  dia  menghadapi  musuh  begini  luar  biasa dan  masih  sangat  muda  pula  hingga  dia  merasa  dipermalukan.  Dan didepan mata kekasihnya pula!

“Kau    barusan    memanggilku    bangsat!    Nah,    anggap    saja    itu namaku!” sahut Wiro seraya pasang kuda-kuda baru. “nek, sebelum kau kurobohkan  lebih  baik  cepat-cepat  saja  mencium  pantatku  lalu  bawa pacarmu itu meninggalkan tempat ini!”

“Sombongnya!”   teriak   Nenek   Kelabang   Biru   lalu   meludah   ke tanah.     “Aku     bersumpah     akan     membunuhmu     dan     memperkosa mayatmu!”

“Ih.  ”  Wiro  berseru.  Dia  hendak  tertawa  gelak-gelak  mendengar  ucapan   si  nenek  tapi   dia  melihat   sinar  yang   memancarkan   maut   di  kedua  mata  si  nenek.  “Tua  bangka jelek  ini  tidak  main-main  agaknya,” pikir Wiro. Baru saja dia bersiap-siap untuk menghadapi lawan tiba-tiba  si nenek sudah berteriak nyaring dan hantamkan tangan kanannya.



Tidak    terdengar    suara    deru    kekuatan    tenaga    dalam.    Tidak terdengar siuran angin sakti. Namun saat itu Wiro melihat ada tiga buah benda  aneh  berwarna  biru  menyerbu  ke  arahnya.  Ketika  diperhatikan kagetlah  murid  Sinto  Gendeng  ini.  Tiga  benda  itu  ternyata  adalah  tiga ekor kelabang berwarna biru!

Karena  tidak  menduga  akan  mendapat  serangan  senjata  rahasia berupa   binatang-binatang   beracun   begitu   rupa,   Pendekar   212   tidak mampu   menyelamatkan   diri.   Kelabang   pertama   sempat   dihantamnya dengan   pukulan   tangan   kosong   mengandung   aji   kesaktian   hingga hancur  bermentalan  di  udara.  Kelabang  kedua  terlempar  ke  samping tapi  secara  aneh  tiba-tiba   membalik  dan   menancap  di  bahu  kirinya. Selagi  pemuda  ini  berteriak  kesakitan,  kelabang  ketiga  melesat  ke  arah dada  kirinya,  searah jantung.  Inilah  serangan  yang  sangat  berbahaya! Dan Wiro tak dapat menyelamatkan diri sama sekali!

Dalam  keadaan   seperti  itu  tiba-tiba  terdengar   suara  jentringan kecapi.  Selarik  sinar  putih  menyilaukan  berkiblat. 


 Kelabang  biru  yang sesaat  lagi  akan  menancap  di  dada  Wiro  terus  menembus jantungnya hancur   berantakan   dihantam   sinar   putih   tadi,  Wiro   selamat   namun racun  kelabang  yang  menancap  di  bahunya  mulai  bekerja.  Tubuhnya mulai  terasa  panas.  Pandangan  matanya  mengabur.  Samar  samar  dia melihat  ada  dua  sosok  bayangan  hijau  berkelebat  di  tempat  itu.  Lalu lapat-lapat   sebelum  jatuh   pingsan   dia   mendengar   suara   perempuan berkata:  “Hijau  Satu!  Tolong  pemuda  itu!  Bawa  ke  guaku  dan  berikan obat penawar racun!”

Wiro melihat wajah cantik mendekati dirinya. Samar-samar sekali. Lalu  ada  totokan  di  dadanya,  keras  dan  sakit.  Setelah  itu  dia  tak  ingat apa-apa lagi!

Di  hadapan  Nenek  Kelabang Biru tegak  berdiri  seorang  dara yang wajahnya ditutup cadar hijau tipis.

Pakaian   hijau  yang   menutupi   tubuhnya  yang   tinggi   semampai bergoyang-goyang ditiup angin pagi. Di tangan kirinya dara ini memeluk sebuah kecapi.



Nenek   Kelabang   Biru   memperhatikan   sejenak.   Lalu   terdengar kekehannya disusul ucapan: “Ah! Jadi  inilah  Dewi  Lembah Bangkai itu! Gadis  tolol  yang  ingin  menyombongkan  diri  dengan  perbuatannya yang aneh-aneh!    Sungguh    tidak    disangka    ternyata    dia    hanya    seorang pengamen yang kemana-mana bernyanyi  dan main kecapi! Hai,  cobalah kau   menyanyi   dan   mainkan   kecapimu!   Pasti   aku   akan   membayar mahal! Hik...hik...hik...!”

“Tua  bangka  dajal!  Jangan  kau  kira  aku  tidak  tahu  siapa  kau sebenarnya!”    Dewi    Lembah    Bangkai    menyeringai    dibalik    cadarnya. “Diluar  kau  memang  tampak  seperti  nenek!  Tapi  didalam  kau  adalah dajal lelaki yang berbuat mesum dimana-mana, menyukai sesama lelaki tapi juga memperkosa orang-orang perempuan!”

Nenek  Kelabang  Biru  tersurut  dua  langkah.  Wajahnya  membesi. Tubuhnya  bergetar.   Kedua   matanya   membeliak   dan   memandang  tak berkesip  ke  arah  Dewi  Lembah  Bangkai.  Yang  dipandang  tetap  berlaku tenang.  Malah  tanpa  berpaling  dia  berkata  pada  anak  buahnya  yang tengah didesak habis-habisan oleh Pedang Iblis.



“Hijau  Dua  mundurlah. Tidak  ada  gunanya  menghabiskan  waktu melayani  lelaki  yang  menyediakan  auratnya  untuk  si  tua  bangka  yang sama jenisnya ini!”

Mendengar    ucapan    pimpinannya    itu,     Hijau    Dua    melompat mundur    sementara   Pendekar    Pedang   Iblis    sambil   berteriak   marah hendak   menyerbu   Dewi   Lembah   Bangkai,   tapi   cepat   dicegah   oleh kekasihnya.

“Betina     bercadar!     Mulutmu    kotor!    Jalan     pikiranmu     busuk sebusuk tempat kediamanmu!  Sebelum  kau mampus  dalam kebusukan itu,  katakan   siapa  kau   sebenarnya?!”   Nenek   Kelabang  Biru   bertanya sementara kedua tangannya disilangkan di depan dada.

Dewi   Lembah   Bangkai   melihat   bahwa   kedua   tangan   si   nenek masih berwarna biru tanda setiap saat dia bisa saja melepaskan senjata rahasianyayaitu kelabang-kelabang maut berwarna biru.



“Siapa   aku   tidak   penting.   Yang   lebih   penting   ialah   apa   yang menjadi tugas dan tujuan hidupku di dunia ini...!”

“Sompret!”   memaki   Pedang   Iblis.   “Kau   bicara   seperti   malaikat saja!”

“Mungkin   aku   memang   malaikat   maut   yang   bakal   mencabut nyawamu!  Manusia  yang  suka  bercampur  dengan  manusia  sejenisnya kabarnya paling cocokjadi kayu neraka!”

Si  Pedang  Iblis  tak  dapat  lagi  menahan  amarahnya.  Tanpa  bisa dicegah  oleh  si  nenek,  lelaki  ini  menyerbu  ke  depan.  Pedang  iblisnya berkiblat ke arah batang leher Dewi Lembah Bangkai. Sang Dewi angkat kecapinya. Jari tangannya bergerak. Terdengar suara berjentringan. Tiga sinar putih menyilaukan membelahudara.

Trang!

Pedang   di   tangan   kekasih   Nenek   Kelabang   Biru   terpental   dan patah   dua!   Si   Pedang   Iblis   sendiri   terbanting   ke   kiri,   sempoyongan. Tangan kanannya terasa panas dan kaku. Mukanya sepucat kain kafan.

Nenek Kelabang Biru tertegun tak berkesip menyaksikan kejadian itu.

“Gadis    semuda    ini,    tidak    dikenal    dalam    dunia    persilatan, bagaimana    bisa    memiliki    ilmu    kepandaian    sehebat    ini?!”    Memikir sampai  disitu  si  nenek  mendekati  kekasihnya  dan  berbisik.  “Aku  tidak yakin betina bercadar ini memiliki kepandaian  silat. Andalannya adalah kecapi itu. Kita serbu dia dan rampas kecapinya...!”



Si  Pedang  Iblis  mengangguk  tanda  setuju.  Lalu  dengan  serentak keduanya menyerbu.  Si nenek lepaskan enam kelabang beracun  sedang sang  kekasih  menyusupkan  dua  pukulan  sakti  sambil  coba  merampas kecapi di tangan Dewi Lembah Bangkai!

Sang    Dewi    kebutkan    ujung    lengan    pakaiannya    sebelah    kiri. Tampak   sinar  hijau  membubung  ke  udara  disertai  hawa  busuk  luar biasa.   Pedang   Iblis   terpental   sambil   pegangi   dada.   Nafasnya   sesak. Disaat yang bersamaan ketika tadi dia mengebutkan lengan kiri,

Dewi   Lembah   Bangkai   petik   tali-tali   kecapinya   dengan  jari-jari tangan   kanan. 


 Enam   kawat   kecapi   berdenting.   Enam    sinar   putih berkiblat keudara. Enam kelabang biru maut hancur berkeping-keping!

Putuslah  nyali  si  nenek  dan  kekasihnya  melihat  kejadian  ini.  Si nenek  cepat  menarik  lengan  Pedang  Iblis  seraya  berbisik:  “Kita  kabur saja. Tak ada jalan lain. . .”

Kedua  kekasih  itu  lalu  putar  tubuh  dan  ambil  langkah  seribu. Tapi dari  dasar  lembah  saat itu  tiba-tiba  tampak  melesat dua  gulungan tali  yang  ujungnya  berbentuk jiratan.  Pedang  Iblis  keluarkan  teriakan tercekik.   Lalu   tubuhnya   tertarik   kebelakang,   terguling   di   tanah   dan terseret   masuk   ke   dalam   lembah.   Si   Nenek   Kelabang   Biru   berteriak menggerung.   Dia   lari   mengejar   kekasihnya.  Tapi   salah   satu   kakinya sudah  masuk  dalam  jiratan.  Lalu  seperti  sang  kekasih,  tubuhnyapun terseret  ke  dalam  lembah.  Pekiknya  terdengar  menggema.  Pakaiannya hancur robek-robek.  Ketika kemudian mayatnya digantung kaki  ke atas kepala kebawah dicabang pohon,jelaslah dia memang seorang laki-laki, bukan seorang nenek sebagaimana penampilannya yang palsu!




DEWI  LEMBAH  BANGKAI  menatap  ayah  dan  anak  itu  beberapa  lama lalu  berkata:  “Adi  Sara,  aku  menghargai  maksudmu  yang  tidak  ingin meninggalkan  lembah  ini  setelah  kau  berkumpul  lagi  dengan  ayahmu, bahkan  mendapatkan kembali kekasihmu  Ningrum.  Memang tidak  satu orangpun    boleh    meninggalkan    tempat    ini    sebelum    semua    urusan selesai.  Dan  kau  Ningrum,  berlatihlah  dengan  keras  agar  kau  mampu menguasai  lima  jurus  ilmu  silat  itu.  Dan  minum  ramuan  perangsang penimbul tenaga dalam itu padawaktu waktu yang telah ditentukan. . .”

“Akan  saya  perhatikan  Dewi.  Kami  bertiga  bukan  saja  berhutang budi  tapi juga berhutang  nyawa  dan  masa  depan,”  menjawab  Ningrum. Sebelumnya   dia   sudah   diberi   tahu   bahwa   ayahnya   Adipati   Sawung Glingging telah kembali ke Kadipaten dalam keadaan tidak kurang suatu apa sedangAdipatiTawang Merto telah menemui ajal.

Dewi   Lembah   Bangkai   tinggalkan   ketiga   orang   itu,   masuk   ke dalam   guanya.   Selama   tiga   hari   dia   tidak   tidur   di   dalam   gua  yang dijadikan tempat perawatan Pendekar 212 Wiro Sableng.

Hijau Satu yang bertugas merawat Wiro mendatangi sang Dewi.

“Bagaimana keadaannya?” bertanya Dewi Lembah Bangkai.



“Panasnya  masih  tinggi.  Dia  masih  sering  mengigau.  Tapi  racun  yang   berbahaya   itu   telah   musnah   oleh   obat   yang   Dewi   berikan. . .” menerangkan Hijau Satu.

“Apakah   igauannya   masih   menyebut-nyebut   pemuda   bernama Panji Kondang itu...?”

“Masih...Walau tidak  sesering  satu hari  sebelumnya,” jawab  Hijau Satu pula. “Saya mohon petunjukmu lebih lanjut Dewi. . .”

“Bergabunglah   bersama   kawan-kawanmu   yang   lain.   Lanjutkan melatih lima jurus ilmu silat Lembah Bangkai itu. Hari pembalasan yang aku tunggu-tunggu akan segera datang, cepat atau lambat!”

Hijau   Satu   menjura   lalu   tinggalkan   gua   tersebut.   Diluar   sana dilihatnya     Adi     Sara     tengah     bercakap-cakap     dengan     ayah     dan kekasihnya.



“Kasihan    Dewi. . .   Aku    tahu    dia    menyukai    pemuda    itu.    Tapi anehnya dia sendiri yang mengatur penculikan atas diri Ningrum hingga dua kekasih itu berkumpul kembali. . .”

Di  dalam   gua  Dewi  Lembah  Bangkai   memandangi   Kapak   Naga Geni 212 milik Wiro Sableng yang digantungkan di dinding gua. Lalu dia menatap  kecapi  miliknya  yang  disandarkan  tak  jauh  dari  situ.  “Satu kesaktian dari satu sumber yang sama tapi berbeda wujud...” sang Dewi membathin.    Lalu    dua    berpaling    memandangi    Pendekar    212    yang terbaring di lantai gua beralaskan sehelai tikarjerami tebal.

Ketika malam tiba Wiro bangun dari tidurnya. Dirabanya bahunya sebelah kiri.  Masih ada bekas luka mengering dan  masih terasa adanya denyutan   sakit,   namun   hatinya   lega   karena   panas   ditubuhnya  jauh berkurang. Dan ketika dia mencoba bangun kepalanya tidak pusing lagi serta     pemandangannya     tidak     pula     berkunang-kunang.     Kemudian disadarinya  dia  tidak  berada  sendirian  dalam  gua  yang  diterangi  pelita kecil   itu.   Berpaling   ke   kiri   dilihatnya   Dewi   Lembah   Bangkai   tegak bersandar ke dinding, sepasang mata dibalik cadar menatap ke arahnya. Dua   pasang   mata   saling   bertemu   untuk   beberapa   saat.   Wiro   coba mengingat-ingat  sementara  perutnya  terasa  lapar  dan  tenggorokannya kering.  Dimana  dia  berada  saat  itu  dan  sudah  berapa  lama  dia  berada disitu.  Lalu  perempuan  bercadar  yang  mengenakan  pakaian  tipis  hijau itu...?  Dia  ingat  apa  yang  terjadi. 


 Pertempuran  itu!  “Ah, jangan-jangan inilah  Dewi  Lemoah  Bangkai  yang  mendadak  tersohor  sejak  beberapa bulan   belakangan   ini.    Dimana   gadis-gadis    cantik   lainnya...?”    Lalu dilihatnya   senjata   mustika   miliknya   tergantung   di   dinding   gua.   Dia berdiri    hendak    mengambil    senjata    itu.   Tapi    gadis    bercadar    cepat berkata: “Tak ada yang akan  mengambil kapak mustikamu. Kau berada di tempat aman. . .”

Wiro menatap sang Dewi sesaat lalu memandang ke bahu kirinya. “Kau pasti Dewi Lembah Bangkai yang cantik dan perkasa itu. . .”

“Aku tidak suka dipuji!” kata sang Dewi dingin.

“Bagaimanapun itu  adalah kenyataan yang aku lihat. Juga dilihat semua  orang.  Aku  yakin  kau  dan  anak  buahmu  telah  menyelamatkan diriku dari kelabang maut nenek keparat itu. Aku menghaturkan terima kasih dan tak tahu bagaimana harus membalas budi.”

“Kaupun    telah    menyelamatkan    salah    seorang    anak    buahku. Walau   tidak   saling   mengharapkan   di   dunia   ini   sudah   lumrah   budi dibalas budi, hutang nyawa dibalas nyawa.”  Sang Dewi diam sesaat lalu kembali   berkata:   “Lembah   Bangkai   memiliki   peraturan.   Siapa   yang berani  datang  kemari  berarti   sudah  siap  untuk  mati.  Datang  berarti tidak pernah pulang!”

“Rupanya itu yang bakal terjadi dengan diriku?” tanya Wiro.



Dewi  Lembah  Bangkai  tak  segera  menjawab.  Jari-jari  tangannya digerakkan  diatas  kawat-kawat  kecapi.  Suara  kecap  menggema  dalam gua itu. Dinding terasa bergetar dan api pelita bergoyang-goyang.

“Sampai  beberapa  waktu  lalu  aturan  itu  memang  masih  berlaku. Namun  keadaan  menentukan  lain.  Kau  akan  menemui  beberapa  orang lain   di   luar   sana.   Mereka  juga   tidak   kubunuh.   Aku   ada   beberapa pertanyaanuntukmu Pendekar 212 . . .”

“Jadi kau sudah tahu siapa aku?”

“Kapak   itu  yang   memberi   tahu,”   sahut   Dewi   Lembah   Bangkai. “Pertanyaan   pertama   Kau   mengikuti   anak   buahku   Hijau   Dua   dari Kadipaten!   Apa   maksudmu?!   Apakah   ada   yang   membayarmu   untuk membebaskan pengantin perempuan itu?!”

Wiro  garuk-garuk  kepala.  Perutnya  lapar  sekali  dan  tenggorokan- nya  kering  serta  haus.  Maka  dia  terus  terang  berkata:  “Aku  tidak  tahu berapa   lama   aku   terbaring   pingsan   atau   tidur.   Tapi   saat   ini   yang kuketahui perutku sangat lapar dan haus sekali. . .”

“Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan setelah menjawab pertanyaan-pertanyaanku!” jawab Dewi Lembah Bangkai.

“Hemm...  Rupanya  aku  tidak  ada  pilihan  lain.  Tinggal  di  tempat orang harus tahu diri. Baiklah, aku akan menjawab pertanyaanmu tadi. Maksudku  mengikuti  Hijau  Dua  hanya  ingin  tahu  saja.  Aku  berada  di Kadipaten secara kebetulan. Sama sekali bukan tamu pesta perkawinan. Ketika   pengantin   perempuan   diculik   oleh   seorang   perempuan   muda yang  cantik jelita,  bagiku  ini  adalah  satu  keanehan.  Pertama  ternyata gadis   itu    memiliki   kepandaian   tinggi.    Kedua   biasanya   lelaki   yang menculik     gadis.     Kini     nyatanya     gadis     menculik     gadis!     Nah,     ini membuatku     ingin     tahu     apa     sesungguhnya     yang     terjadi.  


   Dan pertanyaanmu  yang  lain,  sama  sekali  tidak  ada  yang  membayar  atau menyuruhku mengejar anak buahmu!”

“Apakah  bukan  karena  kau  mempunyai  maksud  kotor  terhadap anak   buahku?   Karena   dia   mengenakan   pakaian   yang   begitu   tipis merangsang...?”

Wiro   tertawa   lebar.   “Lelaki   normal   memang   harus   terangsang melihat   yang   begituan.   Tapi   tidak   selalu.   Buktinya   aku   mengagumi wajahmu yang tersembunyi dibali cadar tipis itu. Juga bentuk tubuhmu yang bagus dan dapat kulihat karena ditembus cahaya pelita. . .”

Dewi   Lembah   Bangkai   lambaikan  tangannya.  Api  pelita  padam dan ruangan gua itu serta merta menjadi gelap gulita.

“Dewi,  apakah  pembicaraan  kita  habis  sampai  disini?”  bertanya Wiro.

“Manusia  bicara  dengan  mulut,  bukan  dengan  mata.  Walaupun gelap kau bisa meneruskan kata-katamu. . .”

Dalam gelap Wiro garuk-garuk kepala.  “Baiklah  Dewi, kau dengar baik-baik. Wajahmu yang cantik, auratmu yang bagus sama sekali tidak merangsangku. Mengapa? Karena aku menghormatimu, karena kau dan anak   buahmulah    maka   aku   masih    hidup   saat   ini.    Masakan   aku mempunyai pikiran kotor yang tidak-tidak?”

“Jika kami tidak  menolongmu, berarti pikiran  itu  akan  menancap di benakmu!” ujar Dewi Lembah Bangkai dalam gelap.



Wiro   menarik   nafas   dalam.   “Aku   bukan   manusia   suci,   apalagi malaikat. Tapi seingatku tak pernah aku memperkosa anak gadis orang, tak pernah aku merusak kehormatan istri orang!”

“Siapa yang bisa membuktikan omonganmu!”

“Memang  tidak!  Namun  paling  tidak  aku  telah  membuktikannya ditempat  ini!  Jika  Dewi  menganggapku  manusia  kotor,  aku  siap  untuk pergi.   Apapun    prangsangka    burukmu    terhadapku,    itu    tetap    tidak mengurangi   rasa   hormatku   terhadapmu.   Tidak   menghilangkan   rasa terima kasih atas jasa dan budi besarmu menolongku!”

Habis   berkata   begitu,   walaupun   tubuhnya   masih   lemah,   Wiro Sableng  berdiri  dengan  cepat  lalu  melangkah  ke  dinding  gua  dimana

Kapak   Naga   Geni   212   tergantung.   Ketika   dia   mengulurkan   tangan hendak   mengambil   senjata   itu,   satu   tangan   memegang   lengannya. Tangan   itu   terasa   halus   dan   dingin   sejuk.   Tapi   bagaimanapun   dia mencoba,  Wiro  tak  mampu  melepaskan  pegangan  tersebut  hingga  dia tak bisa mengambil kapaknya.

“Jangan pergi dulu. Masih ada satu pertanyaan penting yang ingin kudapatkan jawabannya dari mu. . .”

Wiro berpaling.  Saat  itu  dia tegak dekat  sekali dengan  sang  Dewi, hingga   dia   dapat   merasakan   hembusan   nafas  yang   hangat   dan   bau tubuh   yang    luar    biasa    harumnya.    Dilain    keadaan    mungkin    sang pendekar  bisa  terangsang.  Tapi  saat  itu justru  dia  berkata:  “Dewi  aku tidak       terangsang       dengan       keharuman       tubuhmu!       Aku       tetap menghormatimu. Izinkan aku pergi. . .”

Pegangan  tangan  sang  Dewi  tidak  lepas. 


 Dia juga  tidak  berusaha menjauh. “Ini  sangat  penting Pendekar  212. Aku  perlu jawabanmu  atas satu hal. . .”

“Katakanlah!”

“Selama   kau   terbaring   sakit   dan   dilanda   demam   panas   akibat racun  kelabang,  kau  mengigau  berulang  kali.  Diantara  kata-kata  yang kau  ucapkan  dalam  igauanmu  adalah  seorang  sahabat  bernama  Panji Kondang.  Berulang  kali  kau  mengatakan  bahwa  sahabatmu  itu  harus mencari kekasihnya sampai dapat dan mengatakan agar  mengawininya, apapun   yang   telah   terjadi.   Katakan   apa   kau   kenal   dengan   orang bernama Panji Kondang itu?!”

Wiro   terdiam    sesaat.    Dia   berpikir-pikir.    “Memang   aku    kenal padanya. Tapi  tidak  lama.  Kami  bertemu  disebuah  rumah  makan.  Saat itu keadaannya  seperti orang linglung. Pakaiannya kumal, mukanya tak tercukur dan dia kehabisan bekal. Dia menceritakan tentang kekasihnya yang  memiliki kepandaian  silat  tinggi. Tapi  kemudian  melenyapkan  diri karena ternyata gurunya telah merusak kehormatannya. . .”

“Apakah   Panji   Kondang   menyebutkan   siapa   nama   kekasihnya itu?”

“Ya...  Kalau  tidak  salah  kekasihnya  itu  bernama  Prantisari.  Ya, Prantisari. . .”

Wiro    merasakan    pegangan    sang    Dewi    di    tangannya    lepas. Bersamaan  dengan  itu  sang  Dewi  meluncur  jatuh  terduduk  di  lantai gua.



“Eh, ada  apa denganmu  Dewi?  Kau  mendadakjatuh. Apakah kau sakit...?”

“Tidak.   Katakan   Pendekar   212...   Apalagi   yang   dikatakan   Panji Kondang dalam pertemuan yang singkat itu. . .”

“Katanya  dia  berniat  untuk  mengarungi   seluruh  jagat  ini  guna mencari kekasihnya itu. Kalau bertemu dia tetap akan mencintainya dan akan mengawininya. . .”

“Tetapi      apakah...apakah      Panji      Kodang      mengetahui      kalau kekasihnya itu kini telah berbadan dua...?!”



“Heh. . .  Bagaimana  kau  bisa  berkata  begitu  Dewi?!”  tanya  Wiro heran.

“Karena..Karena   akulah   Prantisari   itu...!”   Habis   berkata   begitu Dewi   Lembah   Bangkai   terdengar   sesenggukan.   Lalu   suara   tangisnya memenuhi gua itu.

Lama     Wiro     termenung     mendengar     pengakuan     sang     dara disampingnya.  


 Lalu   dengan   suara   meyakinkan   dia   berkata:   “Melihat kesungguhan  hati kekasihmu itu  mencarimu aku yakin  sekali  dia tetap mencintaimu!  Tetap  akan  memperistrikanmu  sekalipun  kemudian  dia mengetahui   bahwa   kau   hamil   akibat   perbuatan   bejat   gurumu   itu! Aneh...benar-benar   aneh.   Bagaimana   aku   bisa   berada   dalam   semua kejadian  ini?” Wiro  lalu  ikut-ikutan  duduk  dilantai  gua  disamping  Dewi Lembah Bangkai.

“Terakhir   sekali   menurut   katamu   Panji   berada,   di   Kadipaten. Sekarang entah dimana dia berada. . .”

“Dia  mengatakan  tujuannya  padaku.  Jika  kau  mau  aku  bersedia mengantarkanmu kesana. . .”

“Tidak,    aku    tidak    akan    meninggalkan    Lembah    ini    sebelum mencabut nyawa manusia terkutuk itu!”

“Kau, kau akan membunuh gurumu sendiri?!” tanya Wiro pula.



“Ya!  Dan  manusia  terkutuk  itu  pasti  akan  datang  mengantarkan nyawanya   sendiri   kemari!   Aku   dan   anak   buahku   telah   menyiapkan penyambutan.   Hijau    Satu,   Dua   dan   Tiga   adalah   gadis-gadis   yang mengalami  nasib  sama  sepertiku.  Bedanya  mereka  dirayu  oleh  kekasih masing-masing  lalu  ditinggal  begitu  saja.  Mereka  masih  untung  karena tak satupun yang hamil. Namun itu tidak mengurangi dendam kesumat mereka terhadap laki-laki. Karenanya jangan coba berlaku usil terhadap mereka!”

“Bagaimana  kalau  mereka yang  berlaku  usil  terhadapku?!”  tanya Wiro.

“Mungkin   mulutmu   perlu   ditampar   agar   tidak   bergurau   dalam keadaan    seperti    ini!”    tukas    Dewi    Lembah    Bangkai   yang    bernama Prantisari.



“Apakah   kau   bakal   sanggup   mengalahkan   gurumu  jika   terjadi perkelahian?” bertanya Wiro.  “Bagaimanapun  dia  pasti  lebih  tinggi  ilmu kepandaiannya!”

“Kau    benar.    Tapi    aku    memijiki    sesuatu    yang    tidak    mudah dikalahkan!”

“Apa itu? Keberanian atau kenekatan?” tanya Wiro pula.

Dalam    gelap    Dewi     Lembah    Bangkai    mengambil    kecapinya, meletakkan  dipangkuan  dan  memetiknya beberapa kali. Alat  bebunyian itu mengeluarkan suara berjentringan yang menggetarkan seantero gua, membuat  telinga  sakit  dan  ada  sinar  putih  menyilaukan  serta  panas keluar dari setiap kawat kecapi.

“Sinar   panas   yang   menyilaukan   itu   berasal   dari   sumber   yang sama  dengan  ilmu  pukulan  sinar  matahari  yang  kau  miliki.  Bedanya pukulan   sinar   matahari   disalurkan   melalui   tangan   sedang   yang   ini melalui tali-tali kawat sebanyak enam buah. . .”

Wiro   berdecak   kagum   mendengarketerangan   itu.   Dia   memamg menyaksikan    bagaimana    Dewi    Lembah    Bangkai    menghajar    patah pedang milik Pendekar Pedang Iblis, dan juga kelabang-kelabang maut si nenek sakti itu sebelum pingsan



SIANG    ITU    teriknya    matahari    bukan    alang    kepalang.    Seolah-olah hendak  membakar  bumi  dan  membuat  busuknya  bau  mayat  di  dalam lembah   menjadi   jadi.   Satu   Hijau   yang   sedang   berlatih   jurus   lima bersama Hijau Dua HijauTiga dan Ningrum mendadak hentikan latihan. “Ada  apa?”  tanya  Hijau  dua. Yang  menjawab  adalah  Wiro  Sableng yang berada  tak jauh  dari  situ  bersama  Adi  Sara  dan  Sara  Jingga  ayah  Adi Sara.

“Ada orang datang!”

Semuanya  memandang  ke  arah  yang  ditunjuk  Pendekar  212.  Di ujung lembah sebelah timur tampak tiga orang penunggang kuda duduk di  punggung kuda  masing-masing,  memandang tajam  ke  dalam lembah sambil  menutup  hidung  masing-masing  dengan  telapak  tangan.  Salah seorang  diantara  mereka  tampak  batuk-batuk  karena  tak  tahan  oleh busuknyaudara.



“Aku akan beri tahu Dewi. Kalian semua tetap disini dan berpura- pura tidak melihat rombongan di atas sana!”

Hijau Satu tinggalkan tempat itu.

Ketika laporan kemunculan tiga orang di tepi lembah disampaikan pada   Dewi   Lembah   Bangkai,   gadis   ini   melangkah   keluar   gua   dan memandang  jauh-jauh   ke   arah   timur   lembah.   Dia   segera   mengenali sosok penunggang kuda yang disebelah tengah.

“Hijau  Satu!  Orang  yang  kita  tunggu  sudah  tiba.  Kau  dan  Hijau tiga lakukan penyambutan  seperti yang sudah aku atur.  Hijau Dua dan Ningrum  agar  berjaga-jaga  di  pedataran.  Yang  lain-lainnya jangan  ada yang berani ikut campur urusan ini!”

Hijau Satu menjura dan cepat berkelebat tinggalkan tempat itu.



Di atas lembah tiga orang penunggang kuda masih duduk di kuda masing-masing  sambil  tiada  hentinya  meneliti.  Yang  di  sebelah  kanan adalah     seorang     kakek    yang     buntung     kedua     kakinya.     Dia     kini mengenakan kaki palsu dari kayu. Dua batang tongkat kayu tergantung di   leher   kudanya.   Orang   kedua   yang   disebelah   tengah   mengenakan jubah putih, bertutup kepala putih. Meskipun usianya sudah lanjut tapi kumis  dan janggutnya  masih  tetap  berwarna  hitam.  Lelaki  yang  ketiga juga    seorang   kakek    berwajah   klimis,   berpakaian   biru   muda   yang pinggangnya dililit seutas rantai perak berwarna putih.

“Aku  yakin  inilah   Lembah  Bangkai  yang  membuat  geger  dunia persilatan   itu.   Bau   busuknya   sudah   tercium   sampai   kemari.   Tapi mengapa      orang      yang      katamu      mengundang      tidak      melakukan penyambutan?!” membuka suara kakek berpakaian biru muda.

Baru  saja dia berucap  begitu, dua bayangan  hijau berkelebat  dan dua gadis berpakaian hijau tipis berwajah cantik tetapi galak muncul di

depan mereka, seolah-olah keluar dari dalam perut lembah!

“Ah...ah...ah!    Panjang   umurnya!    Baru    disebut    sudah   datang! Kaliankah  penghuni  Lembah  Bangkai  ini?!”  kakek  yang  berjubah  putih bertanya.  Matanya  berkilat-kilat  melihat  pakaian yang tembus  pandang itu.

“Kami  berdua  memang  mendapat  tugas  menyambut  para  tetamu dari   jauh!   Silahkan   turun   dari   kuda!   Kami   akan   membawa   kalian menemui Dewi!”

“Dewi...?    Ha...Ha...Ha!    Ingin    sekali    aku    melihat    bagaimana tampang   Dewi   kalian   Ku!”   kata   si  jubah   putih   pula   lalu  turun   dari kudanya.



Kakek  kaki  kayu  tampak  sedari  tadi  membeliak.  Bukan  karena melihat  tubuh  dua  gadis  yang  kentara  jelas  dibalik  pakaian  hijaunya yang tipis, tapi karena dia mengenali. “Hai! Tunggu dulu! Salah satu dari kalian adalah yang dulu menyerbu markasku dan membuntungi kakiku! Rupanya  kau  yang  punya  kerja.  Kau  harus  ganti  kaki  kayuku  dengan kedua  kakimu  yang  mulus  bagus!”  Lalu  kakek  ini  sambar  dua  tongkat dileher   kuda   dan   dengan   gerakan   cepat   dia   melompat   turun   dari punggung   binatang   itu.   Begitu   menjejak   tanah   langsung   menyerang Hijau tiga!

“Pendekar   Kaki   Kayu...  Harap  bersabar   dulu!   Saat  pembalasan pasti  tiba!  Apa  sulitnya  bagi  kita  untuk  menarik  lepas  sepasang  kaki yang  bagus  itu  pengganti  kedua  kakimu.  Biarkan  kita  bertemu  dengan sang  Dewi  dulu.   Ingin  aku   melihat  siapa  dia  sebenarnya?  Berbulan- bulan    membuat    kegegeran    di    dunia    persilatan.    Membunuh    dan membunuh! Menculik...!”

“Orang  tua  berjubah  putih!  Jika  kau  bicara  terus  satu  harian  di tempat  ini  kau  tak  akan  segera  bertemu  pimpinan  kami!  Percayalah, penyambutan  untukmu  pribadi  pasti  yang  paling  meriah!”  ujar  Hijau Satu   pula.   Dia   menunjuk   ke   sebuah  jalan   kecil   berbatu-batu   yang selama   ini    tersembunyi    dikerimbunan    semak   belukar.    “Ikuti   jalan menurun   itu    sampai   kalian   mencapai   sebuah   pedataran    di   dasar lembah.      Selama      perjalanan      kebawah      akan      kami      perlihatkan pemandangan    yang    indah    dimana    kalian    dapat    bertemu    dengan beberapa   sahabat.  Hanya   sayang  kalian  tidak  bisa  bertanya  apa-apa pada sahabat-sahabat itu. Mereka semua sudahjadi mayat busuk!”

Kakek  berpakaian  biru  tampak  kerenyitkan  kening.  Si  kaki  kayu mengomel  panjang  pendek  sedang  si jubah  putih  dengan  tenang  mulai melangkah  turun  mengikuti  Hijau   Satu  disusul  Si  Kaki  Kayu  lalu  si pakaian biru. Disebelah belakang mengikuti Hijau tiga.



Menjelang  mencapai  dasar  lembah  mereka  mulai  melihat  sosok- sosok   tubuh   yang   bergelantungan.   Ada   yang   hanya   tinggal   tulang belulang   alias  jerangkong,   ada   yang   sudah   hancur   membusuk,   tapi masih ada yang baru-baru.

“Yang   ini   manusia   kotor   berjuluk   Nenek   Kelabang   Biru!”   ujar Hijau  Satu  sambil  menunjuk  pada  mayat  yang  tergantung  di  cabang pohon kaki ke atas kepala kebawah.

Kakek  berbaju  biru  seperti  mau  muntah.  Berulang  kali  dia  coba menutup   jalan    penciuman    tapi    tetap    saja    bau    busuk    menembus hidungnya. Kini melihat mayat itu perutnya mendadak menjadi mual. Si jubah  putih  tetap  tenang walau  hatinya  terasa  berdebar  sedang  si  kaki kayu seperti tak acuh. Sesekali dia berpaling kebelakang  seperti hendak menyerbu HijauTiga saat itujuga.

“Yang   itu  jagoan   keji   bergelar   Pendekar   Pedang   Iblis!   Kekasih nenek   Kelabang   Biru!”   kembali   Hijau   Satu   membuka   mulut   seraya menunjuk  ke  sebuah  cabang  pohon  dimana  tergantung  mayat  Pedang Iblis yang sudah membusuk dan belatungan kedua rongga matanya.

“Tempat ini seperti neraka!” bisik kakek baju biru.



“Yang    disitu    mayat    Adipati   Tawang    Merto,    kalian    pasti    tak mengenalinya    karena    sudah    sangat    rusak. . .”    Kembali    Hijau    Satu menjelaskan  seraya  menunjuk  pada  mayat  yang  tergantung  di  pohon sebelah  kiri  jalan  menurun.  “Yang  di  ujung  sana,  yang  hanya  tinggal gumpalan-gumpalan potongan daging adalah mayat Warok Suro Blebek, raja  diraja  rampok  di  utara!  Lalu’yang  itu...  yang  hanya  tinggal  tulang belulang putih  adalah  mayat  Sabrang  Lor,  seorang pendekar yang lebih dikenal   dengan   sebutan  Pendekar   Cabul  Pemetik  Bunga!  Ah,   sayang jalan begini pendek. Kita sudah sampai di pedataran yang dituju!”

Saat  itu  mereka  memang  sudah  sampai  di  dasar  lembah  dimana terdapat  sebuah  pedataran  batu  selebar  delapan  tombak  persegi,  diapit oleh tiga mulut goa. Disitu telah menunggu Hijau Dua dan Ningrum.

Begitu    melihat    Hijau    Dua,    Pendekar    Kaki    Kayu    segera    saja berteriak: “Ini dia iblis betina satunya! Kau tunggulah! Sebentar lagi aku akan mengambil kedua kakimu!”

Orang  tua  berjubah  putih  memandang  berkeliling.  Di  salah  satu mulut  gua  dia  melihat  ada  tiga  orang  lelaki.  Mereka  bukan  lain  adalah Adi Sara, Sara Jingga dan Pendekar 212 Wiro Sableng.



“Ha...ha...  Ternyata  disinipun  terdapat  orang-orang  lelaki  untuk memberi kehangatan pada kalian di tempat yang busuk ini!” berteriak si jubah putih.

Baru  saja  suaranya  sirap,  dari  salah  satu  mulut  goa  terdengar sahutan halus.

“Memang  disini  ada  orang  laki-laki!  Tapi  bukan  bangsa  manusia keji bernafsu kotor yang tega memperkosa murid  sendiri” lalu terdengar suara jentringan kecapi.

Paras  si jubah  putih  berobah  merah.  Dia  memandang  ke  mulut goa  sebelah  kanan.  Saat  itu  tampak  sesosok  tubuh  berpakaian  hijau, memakai  cadar  tipis  dan  membawa  sebuah  kecapi  keluar  dari  mulut goa.

“Hemm...  Jadi  ini  rupanya  Dewi  Lembah  Bangkai  yang  tersohor itu?!” ujar si jubah putih.

“Orang-orang  memanggilku  Dewi.  Tapi  aku  tetap  manusia  biasa! Datuk Sora Gamanda, apakah kau tidak mengenali diriku?!”



“Siapa kenal pada dirimu yang ditutup dengan cadar begitu rupa!” jawab kakek berjubah putih dengan rasa kaget dalam hati karena orang  mengetahui   namanya.   “Hanya   satu  yang  kuketahui,   kau   membunuh  seluruh     murid     perguruanku!     Hari     ini     aku     datang     memenuhi  undanganmu!   Hutang   darah   dibayar   darah,   hutang   nyawa   dibayar  nyawa!”

“Bagaimana    dengan    hutang    kehormatan?    Apakah    kau    bisa membayarnya Datuk cabul?!”

“Perempuan   bermulut   kotor!  Apa   maksudmu   dengan   kata-kata itu?!” teriak Datuk Sora Gamanda. Tubuhnya bergetar karena marah.

Dewi  Lembah  Bangkai  tertawa  panjang.  Tutup  tawanya  dengan jentringan  kecapi.  Lalu  perlahan-lahan  dia  membuka  cadar  hijau  yang menutupi wajahnya.

“Prantisari!” teriak sang Datuk terkejut bukan kepalang.

Dewi Lembah Bangkai kembali tertawa panjang.



Ternyata  kau  belum  lupa  siapa  aku!  Pasti  kau juga  belum  lupa apa  yang  telah  kau  lakukan  terhadapku!  Memperkosa  murid  sendiri! Manusia terkutuk!Apakah kau sudah bersiapuntuk mati?!”

“Muridku. . .”

“Tua bangka bangsat! Aku bukan muridmu!” bentak Dewi Lembah Bangkai.

“Dengar...dengar   dulu.   Aku   mengaku   bersalah.   Aku   mengaku berdosa.  Waktu  itu  aku  benar-benar  khilaf.  Malam  itu  aku  bermaksud membangunkanmu   untuk   menyuruh   berlatih  jurus-jurus   silat   baru. Kutemui  kau  terbaring  di  atas  ranjang  dengan  kain  tersingkap.  Aku dihasut   setan. . .  Aku   melakukan  itu   diluar   sadar,   muridku.   Maafkan gurumu   ini. . .”   Datuk   Sora   Gamanda   melangkah   hendak   mendekati muridnya      tapi      Dewi      Lembah      Bangkai      menyambutnya      dengan menjentikkan     kecapi.     Benda     itu     berjentring     keras,     sinar     putih menyilaukan menyambar dan pedataran batu di depan kaki DatuK Sora Gandama terbongkar. Hancuran batu dan debu berhamburan mengotori jubah putih sang datuk.



“Enak   betul   hidup   didunia   ini  jika   semuanya  berakhir   dengan maaf!  Datuk  bejat!  Jika  kau  masih  punya  Tuhan  minta  maaflah  pada Tuhanmu.   Tapi   pada   aku   anak   manusia   tak   ada   ampun   dan   maaf bagimu!”

“Urusan   apa   sebenarnya   yang   berlangsung   saat   ini?!”   kakek berbaju biru menyeletuk.

Segera  saja  dia  mendapat  dampratan  dari  Dewi  Lembah  Bangkai. “Orang  tua  pakaian  biru,  aku  tahu  kau  adalah  Pendekar  Alam  Sakti yang  datang  kemari  karena  diajak  oleh  manusia  sundal  bergelar  Datuk Sora  Gamanda ini! Aku juga tahu kehidupanmu  selama ini bersih tiada cacat.    Karenanya    kuberikan    waktu    padamu    untuk    meninggalkan Lembah Bangkai saat ini juga!”

“Alam    Sakti!    Jangan    dengarkan    ocehannya!    Kita    tidak    bisa dilecehkan begitu saja! Serahkan tukang pengumpul mayat ini padaku!”,


teriak Kaki Kayu.

Dewi  Lembah  Bangkai  berpaling  pada  Hijau  Satu  dan  Hijau  Dua. “Habisi  manusia  kotor  satu  itu!”  memerintah  sang  Dewi.  Maka  Hijau Satu dan Hijau Dua segera berkelebat, perkelahian pertama berkecamuk di  pedataran  batu  itu.  Begitu  menyerbu  kedua  anak  buah  sang  Dewi langsung  mainkan  lima jurus  ilmu  silat  Lembah  Bangkai.  Dua  pasang lengan   baju   menghantam   tiada   henti.   Bau   bangkai   menghampar   di tempat  itu.  Dibakar  oleh  dendam  kesumat  si  Kaki  Kayu  berkelahi  luar biasa.  Kedua kaki palsunya yang terbuat  dari kayu setiap  saat berubah menjadi   senjata  yang   berbahaya.   Belum   lagi   sepasang   tongkat   yang berada di kedua tangannya. Tiga jurus berlalu dua anak buah sang Dewi belum  mampu  mendesak.  Namun  begitu  mereka  memainkan jurus  ke empat  dan  ke  lima  dari  ilmu  silat yang  baru  mereka  pelajari,  terdengar pekik si Kaki Kayu.



Satu  tendangan  keras  membuat  kaki  kayunya  sebelah kiri  patah. Tubuhnya  terbanting  ke  pedataran  batu.  Dia  berusaha  menusuk  perut Hijau    Dua    dengan    tongkat    di    tangan    kanannya    namun    saat    itu kepalanya   yang   masih   menempel   di   pedataran   batu   sudah   keburu dihantam   tendangan   Hijau   Satu.   Kepala   ini   tanggal   dari   lehernya, mencelat mental sejauh beberapa tombak.

Pendekar  Alam  Sakti  merasakan  tengkuknya  dingin.  Datuk  Sora Gamanda  tercekat  tak  bergerak.  Jelas  kepandaian  dua  gadis  berbaju hijau  itu  luar  biasa.  Tidak  dapat  tidak  pastilah  bekas  muridnya  yang mengajarkan. Tapi dari mana si murid mendapatkan kepandaian itu?

“Bersihkan pendataran!” Dewi Lembah Bangkai berseru.

Hijau   Tiga   cepat   maju.   Mayat   si   Kaki   Kayu   dilemparkannya kesemak belukar.

“Pendekar   Alam   Sakti,   waktumu   hanya   tinggal   sedikit!”   Dewi Lembah Bangkai memberi ingat.



“Dewi...   Maafkan  diriku.   Kau  benar,  aku  kemari  karena   diajak oleh  Datuk  Sora.  Apa  urusan  kalian  baru  disini  aku  ketahui!  Sebagai teman aku tak mungkin meninggalkannya sendirian. Tapi aku tak ingin mencampuri urusan kalian. Biarkan aku tetap disini. Kalau terjadi apa- apa dengan dirinya izinkan aku membawa jenazahnya!”

Dewi   Lembah   Bangkai   tertawa   perlahan.   “Kau   kuizinkan.   Tapi ketahuilah.  Kau  tak  akan  mendapatkan jenazah  utuh!”  Lalu  sang  Dewi berpaling   pada   Datuk   Sora   Gamanda.   “Waktunya   sudah   tiba   guru bejat!”  Dewi  Lembah  Bangkai  melangkah  ke  tengah  pedataran.  Kedua kakinya  terkembang.  Sepasang  matanya  memandang  tak  berkesip  ke arah   bekas   gurunya   itu.   Tak   ada  jalan   lain   bagi   sang   guru   selain menerima tantangan sang murid.

“Lakukan    apa    maumu    Prantisari!    Aku    tak    akan    melawan!” terdengar Datuk Sora Gamanda berkata. Suaranya bergetar.

“Manusia   pengecut!    Keluarkan    kepandaianmu!    Bagaimanapun bejatnya  dirimu,  aku  berikan  hakmu  untuk  membela  diri!  Sudah  bejat janganjadi manusia pengecut pula!”



Terbakar  oleh  kata-kata  Dewi  Lembah  Bangkai  maka  Datuk  Sora Gamanda  menerkam  ke  depan. Jurus  ilmu  silat yang  dilancarkan  sang datuk  sudah  terbaca  dan  diketahui  jelas  oleh  Dewi  Lembah  Bangkai. Bukan  saja  dia  mampu  mengelakkannya  dengan  mudah,  tapi  sebelum lawan   sempat   memasang   kuda-kuda   baru   gadis   itu   telah   menyerbu denganjurus silat yang pernah diterimanya dari sang datuk. Hanya saja gerakannya  lebih  cepat  dan  ganas.  Ketika  sang  guru  membuat  gerakan mengelak,   Dewi   Lembah   Bangkai   langsung   menyerbu   dengan  jurus pertama ilmu silat Lembah Bangkai ciptaannya.

Sewaktu  menjatuhkan  si  Kaki  Kayu  tadi  Datuk  Sora  Gamanda telah  melihat jurus-jurus  ilmu  silat  itu  dimainkan  oleh  Hijau  Satu  dan Hijau  Tiga.  Meski  mampu  mempelejarinya  secara  singkat  namun  sang datuk   tidak   dapat   mengandalkan   pengetahuan   singkatnya   itu  untuk dapat   menghadapi   bekas   muridnya   itu.   Maka   sang   datuk   keluarkan jurus-jurus silat yang selama ini tak pernah diturunkannya pada murid- muridnya, termasuk Prantisari.

“Bagus!  Ternyata  kau  memiliki  ilmu  simpanan!  Keluarkan  semua kepandaianmu datuk cabul!” teriak Dewi Lembah Bangkai.



Semakin   terbakar   amarah   sang   datuk.   Dari   mulutnya   keluar suara menggembor. Tangannya kiri kanan bergerak. Angin  serangannya menderu-deru. Tubuhnya hanya tinggal bayang-bayang putih saja. Sang Dewi    tampak    seperti    terkurung.    Tiba-tiba    terdengar    Dewi    lembah Bangkai berteriak keras, tubuhnya berputar setengah lingkaran. Tangan kirinya   menyambar   seperti   pedang   sedang   kaki   kanan   menghantam laksana  palu  godam.  Inilah  jurus  ketiga  ilmu   silat  Lembah   Bangkai. Guru dan murid bertempur hebat dengan niat saling bunuh. Yang satu     karena dendam yang satu lagi demi untuk menyelamatkan diri!

Ketika Dewi Lembah Bangkai mainkan jurus ke empat dan kelima, Datuk Sore Gamanda tak sanggup lagi bertahan. Dia melompat mundur sambil   keluarkan   senjatanya,   sebilah   golok   pendek   berhulu   gading. Sebagai bekas murid, Dewi Lembah Bangkai tahu betul kehebatan golok tersebut yang merupakan  sebuah senjata mustika sakti.


 Tapi  sang dara tidak   takut.   Dia  yakin   akan   kehebatan   kecapi  yang   dimilikinya.   Dia sengaja  tegak  di  tengah  pedataran  batu,  menunggu  lawan  menyerang. Datuk  Sora  Gamanda  sendiri  hampir  tidak  mempercayai  penglihatan- nya.  Sang  bekas  murid  hendak  menghadapi  senjata  saktinya  dengan alat bebunyian itu. Tapi dia tak mau berpikir lama. Perlahan-lahan sang datuk  angkat  tangan  kanannya  yang  memegang  golok.  Sinar  matahari memantul    membuat    senjata    itu    berkilau-kilau.    Ketika    senjata    ini diayunkan  ada  sinar  terang  menyambar  disertai  letupan  keras  seperti petir menyambar dikejauhan!

Dewi  Lembah  Bangkai  menunggu  sampai  sang  guru  datang  lebih dekat. Begitu sinar golok menyambar dijarak lima jengkel dihadapannya, Dewi  Lembah  Bangkai  acungkan  kecapinya,  sekaligus  memetik  dua  tali kawat   di   sebelah   depan.   Dua   sinar   putih   panas   dan   menyilaukan menyambar!



Terdengar   jeritan   Datuk   Sora   Gamanda.   Tubuhnya   terpental. Lengan  kanannya  putus   sebatas  siku  laksana  ditabas   senjata  tajam. Golok  mustikanya  tampak  seperti  meleleh  dan  jatuh  berdentringan  di pedataran batu.



“Prantisari...Ampuni   selembar  nyawaku!  Aku   mengaku  berdosa! Aku     mengaku     bersalah!”     Datuk     Sora     mencoba     berdiri     sambil menyembah-nyembah.

“Sudah   kukatakan   minta   ampun   pada   Tuhanmu.   Tapi  jangan minta    ampun    pada    diriku!”    ujar    Dewi    Lembah    Bangkai    dengan pandangan  mata  dan  air  muka  ganas.  Perlahan-lahan  dia  melangkah mendekati  sang  guru.  Putus  harapan  berubah  jadi  ketakutan.  Datuk Sora melangkah mundur. Mundur dan mundur terus. Disatu tempat dia membalikkan diri lalu lari menuju lereng lembah sebelah selatan.

“Manusia bejat! Tak ada tempat lari bagimu...” desis Dewi Lembah Bangkai.

Kecapi  itu  terdengar  berdering!  Sinar  putih  menyambar.  Jauh  di depan sana terdengar pekik Datuk Sora Gamanda ketika tangan kirinya sebatas  bahu  putus  dihantam  sinar  putih yang  menyambar  keluar  dari kawat  kecapi.  Seperti  orang  gila  kakek  ini  meraung.  Tubuhnya  melorot kebawah.  Tapi   dengan   segala   kekuatan  yang   ada   dia   coba   mendaki lereng  lembah.  Kecapi  berdentring  lagi.  Kembali  sinar  putih  menerpa ganas.  Kali  ini  kaki  kanan  DatukSora  yang  putus.  Tubuhnya  terguling ke  dasar  lembah.  Dalam  keadaan  mengerikan  seperti  itu  dia  berusaha menggapai-gapai  dengan  kakinya yang  tinggal  satu.  Lalu  kecapi  dipetik sekali lagi.

Jeritan  Datuk  Sora  setinggi  langit.  Tubuhnya  hanya  merupakan gelondongan    saja    kini.    Kaki    kirinya    putus.    Pendekar    Alam    Sakti tundukkan  kepala. Tak  sanggup  menyaksikan kengerian  ini,  sementara tubuh kawannya menyangsrang diantara semak belukar.



Dewi  Lembah  Bangkai  petik  tiga  tali  kecapi  sekaligus.  Terjadilah hal  yang  luar  biasa.  Tiga  sinar  panas  menyilaukan  menyambar  tubuh Datuk  Sora yang menyangsang disemak belukar.  Seperti agar-agar yang dibanting ke lantai tubuh itu hancur berkeping-keping!

“Pendekar   Alam   Sakti,   seperti   kukatakan   tadi,   kau   tak   akan mendapatkan jenazah  sahabatmu  dalam  keadaan  utuh.  Aku  tak  ingin melihatmu lebih lama disini. Silahkan pergi!”

Mendengar    kata-kata    Dewi    Lembah    Bangkai    kali    ini,    kakek berpakaian  biru  tak  mau  berlaku  ayal  lagi.  Cepat-cepat  dia  mengambil golok bengkok milik Datuk Sora lalu tinggalkan tempat itu melalui jalan yang    ditempuhnya    sewaktu    datang    tadi.    Kuduknya    terasa    dingin, hatinya   berdebar.   Kawatir   kalau-kalau   Dewi   Lembah   Bangkai   akan menghantam tubuhnya dengan sinar ganas kecapi sakti itu!

Di pedataran batu saat itu Dewi Lembah Bangkai justru terduduk bersimpuh   dan   tekapan   kedua   tangannya   ke   wajah.   Dia   terdengar sesenggukan.   Tak   ada   yang   berani   bergerak,   tak   ada   yang   berani berbuat    sesuatu    sampai    akhirnya    Pendekar    212    mendatangi    dan bersimpuh   di   hadapan   sang  dewi.   Setelah   menunggu   sampai  isakan tangis gadis itu mereda murid Eyang Sinto Gendeng ini lantas berkata.

“Dewi,   apa  yang   kau   inginkan   telah   kau   dapati.   Saatnya   kita semua meninggalkan tempat ini. . .”

Dewi Lembah Bangkai turunkan kedua tangannya. Dipandanginya wajah   pemuda   itu   sejenak   lalu   berkata:   “Aku   tak   tahu   harus   pergi kemana sekarang. . .”

“Jangan   berkata   begitu.   Apa   kau   lupakan  janjiku?   Aku   akan membawamu ke tempat dimana Panji Kondang berada. Lebih cepat lebih bagus supaya jangan terlalujauh kita mengejarnya. . .”

“Pendekar  212,  kau  sungguhan  mau  mengantarku?”  tanya  Dewi Lembah Maut alias Prasanti.

“Mungkin   hanya   itu   yang   bisa   kulakukan    sebagai   pembayar hutang budi dan hutang nyawa padamu Dewi. . .”

“Dewi...,” desis sang dara. “Aku tak ingin mendengar panggilan itu  lagi.  “Cerita  tentang  Lembah  Bangkai   sudah  berakhir  sampai  disini!” Ketika  Wiro  berdiri  sambil  mengulurkan  tangan,  sang  dara  memegang  lengan  pemuda  itu  lalu  tegak  pula  sambil  mengempit  kecapinya.  Dia  memandang  berkeliling  lalu  berpaling  ke  arah  anak  buahnya.  “Hijau  Satu,  Hijau  Dua  dan  Hijau  Tiga!  Bersama  yang  lain-lainnya  mari  kita  tinggalkan tempat ini. Kalian semua bebas kemana mau pergi. . .”

“Tidak Dewi...” kata Hijau Satu.


“Lupakan panggilan itu. Sebut namaku Prantisari!”

“Kami  tetap  akan  ikut  kemana  kau  pergi.  Tentu  saja  kalau  De. . . maksudku kalau kau mengizinkan...Bukan begitu kawan-kawan?” Hijau Dua dan Hijau Tiga sama menganggukkan kepala.

Prantisari tersenyum  dan usap  air  matanya yang berderai.  “Kalau begitu apa yang aku cita-citakan kan menjadi kenyataan. . .”

“Eh, apa cita-citamu itu?” bertanya Wiro.

“Aku  akan  membuka  perguruan  silat  di  puncak  gunung  Lawu. Maksudku aku dan dua orang gadis sahabatku itu!”

“Kalau  begitu  aku  akan  menjadi  muridmu  yang  pertama!”  kata Wiro pula lalu menggandeng tangan Prantisari menuju ke lereng lembah sebelah   timur,   ketika   sampai   di   puncak   lembah   sebelah   timur  Wiro berpaling pada Prantisari. Boleh kulihat kecapimu?”

“Boleh saja. Apakah kau pandai memainkannya?” tanya Prantisari sambil menyerahkan kecapinya.

“Entahlah.    Mungkin    bisa.   Tapi    petikan    kecapiku   pasti    tidak semerdu petikanmu!”

Wiro ambil kecapi itu dari tangan sang dara. Dia mengarahkannya ke  Lembah  Bangkai.  Diam-diam  perutnya  mengeras  tanda  pendekar  ini mengerahkan  seluruh  tenaga  dalamnya.  Lalu  dia  memetik  ke  enam  tali kawat kecapi sekaligus! Terjadilah hal yang luar biasa! Enam sinar putih menyambar     laksana     enam     petir     menghantam     bumi.     Suaranya menggemuruh    seperti    hendak    meruntuhkan    langit.    Udara    panas membakar  bumi.  Dibawah  sana  enam  larik  sinar  kecapi  menghantam



lereng dan dasar terbawah dari Lembah Bangkai. Tanah, pepohonan dan batu-batu mental setinggi beberapa tombak. Tempat itu laksana kiamat. Masing-masing  merasakan  tubuh  dan  lutut  mereka  bergetar.  Lembah Bangkai seperti sirna kini berubah menjadi timbunan tanah dan batu!

Wiro   garuk-garuk   kepalanya.   Sambil   menyerahkan   kecapi   itu kembali  kepada  Prantisari  dia  berkata:  “Ah,  petikan  kecapiku  ternyata memang     tidak     semerdu     petikanmu.     Memalukan     saja!     Ini     aku kembalikan padamu kecapi ini. . .”

Prantisari  tersenyum.  “Aku  gembira  atas  apa  yang  barusan  kau lakukan Wiro. Lembah Bangkai lenyap dan benar-benar akan dilupakan

orang. . .

                                       TAMAT


Penulis : Bastian Tito

Created : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive