Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Senin, 20 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - KERIS TUMBAL WILAYUDA

KERIS TUMBAL WILAYUDA 
PROLOG 

SUARA beradunya berbagai macam senjata, suara bentakan garang ganas yang 
menggeledek di berbagai penjuru, suara pekik jerit kematiansera suara mereka yang merintih 
dalam keadaan terluka parah dan menjelang meregang nyawa, semuanya menjadi satu 
menimbulkan suasana maut yang menggidikkan! 
Di mana-mana darah membanjir! Di mana-mana bertebaran sosok-sosok tubuh tanpa 
nyawa! Bau anyir darah memegapkan nafas, menggerindingkan bulu roma! Pertempuran itu 
berjalan terus, korban semakin banyak yang bergelimpangan, mati dalam cara berbagai rupa. 
Ada yang terbabat putus batang lehernya. Ada yang robek besar perutnya sampai ususnya 
menjela-jela. Kepala yang hampir terbelah, kepala yang pecah, dada yang tertancap tombak. 
Kutungan-kutungan tangan serta kaki! 
Di dalam istana keadaan lebih mengerikan lagi. Mereka yang masih setia dan berjuang 
mempertahnkan tahta kerajaan, yang tak mau menyerah kepada kaum pemberontak meski 
jumlah mereka semakin sedikit, terpaksa menemui kematian, gugur dimakan senjata lawan! 
Istana yang pagi tadi masih diliputi suasana ketenangan dan keindahan, kini tak beda 
seperti suasana dalam neraka! Mayat dn darah kelihatan di mana-mana. Pekik jerit kematian 
tiada kunung henti. Perabotan istana yang serba mewah porak poranda. Pihak yang bertahan 
semakin terdesak. Agaknya dalam waktu sebentar lagi mereka akan tersapu rata dengan lantai 
yang dulu licin berkilat tapi kini dibanjiri oleh darah! 
“Wira Sidolepen dan Braja Paksi, menyerahlah!,” teriak seorang laki-laki berbadan 
kekar dan berkumis melintang. Seperti kedua orang yang dibentaknya itu diapun mengenakan 
pakaian perwira kerajaan. 
Bradja Paksi -- kepala balatentara Banten -- menggerang dan balas membentak. 
"Bangsat pemberontak! Meski nyawaku lepas dari tubuh, terhadapmu aku tak akan 
menyerah!”Parit Wulung -- laki-laki yang berkumis melintang itu -- tertawa bergelak. Sebelumnya 
dia adalah perwira pembantu atau wakil kepala balatentara Banten tapi yang hari itu telah 
tersesat dan memberontak terhadap kerajaan ! 
"Mengingat hubungan kita sebagai ipar, aku masih mau tawarkan keselamatan buat roh 
busukmu! Tapi jika kau sendiri yang hendaki kematian, jangan menyesal!” 
Parit Wulung menerjang ke muka. Pedangnya menyambar mengirimkan satu serangan 
yang cepat dan dahsyat. Tapi dengan sebat Bradja Paksi menangkis dengan Pedangnya pula. 
“Trang!” 
Bunga api berkilauan. 
Tangan Parit Wulung tergetar hebat. Dia mundur selangkah namun lawan menyusuli 
dengan dua rangkai serangan berantai yang membuat gembong pemberontak ini terdesak ke 
tiang besar di ujung kanan. Sebagai kepala Balatentara Banten maka ilmu silat dan kesaktian 
Bradja Paksi lebih tinggi dari wakilnya yang memberontak itu. Bagaimanapun cepat dan 
sebatnya Parit Wulung putar pedang tetap saja dia tak bisa ke luar dari serangan-serangan 
lawan, apalagi ketika dengan kalap Bradja Paksi sertai serangan-serangan pedangnya dengan 
pukulan-pukulan tangan kosong. Namun itu tak berjalan lama. 
Seorang berbadan kate, berselempang kain putih yang kulit mukanya sangat hitam dan 
berkilat serta berambut awut-awutan berkelebat ke muka. Tampangnya seperti singa. 
"Parit Wulung! Biar aku yang bereskan bangsat ini!" 
Melihat siapa yang berkata itu maka Parit Wulung dengan tidak menunggu lebih lama 
segera ke luar dari kalangan pertempuran. "Resi Singo Ireng, rnemang dia pantas sekali untuk 
jadi korbanmu! Cepat rampaslah nyawanya!" 
Manusia muka hitam berbadan kate yang bernama Resi Singo Ireng tertawa buruk. 
Tangan kanannya dihantamkan ke muka. Secarik sinar putih melesat ke arah kepala 
balatentara Banten. 
Bradja Paksi lompat tiga tombak ke atas. "Bergundal pemberontak!". makinya. 
"Nyawamu di ujung pedangku!,” Bradja Paksi menukik ke bawah. Pedangnya berkelebat 
cepat sekali. 
"Bret !" 
Robeklah pakaian putih Singo Ireng ! 
Maka marahlah Resi ini. "Manusia hina dina!. Kalau kau punya Tuhan berteriaklah 
menyebut nama Tuhanmu! Ajalmu hanya sampai di sini!". 
Tangan kiri Singo Ireng terangkat tinggi-tinggi ke atas dan kini berwarna hitam legam.

"Bradja Paksi awas! Itu pukulan wesi item!,” terdangar teriakan seseorang yang tengah 
bertempur dengan segala kehebatannya dekat pintu besar yang menuju ke ruang tengah istana. 
Umurnya sudah agak lanjut namun gerakannya benar-benar tangguh dan. enteng gesit 
mengagumkan! Dia adalah Wira Sidolepen, Patih Kerajaan Banten ! 
Terkejutlah Bradja Paksi mendangar teriakan peringatan itu. Seluruh tenaga dalam 
segera dikerahkan. Pada saat tangan kiri Resi Singo Ireng turun cepat ke bawah maka sinar 
hitam menyambar ke muka. Dan di saat itu pula Bradja Paksi melompat ke samping, putar 
pedang dan hantamkan tangan kiri ke depan. 
Namun meskipun berilmu tinggi, untuk saat itu Bradja Paksi masih belum sanggup 
menerima pukulan wesi item lawan. Tubuhnya mencelat kena disambar sinar hitam, terlempar 
ke dinding istana lalu terhampar di lantai penuh darah tanpa bisa berkutik lagi. Sekujur 
pakaian dan tubuhnya hangus hitam! 
Resi singo Ireng tertawa senang menjijikkan untuk dipandang! 
Melihat kematian Bradja Paksi maka kalaplah patih Wira Sidolepen. Sekali dia 
menerjang, tiga prajurit pemberontak yang menyerangnya berpelantingan dengan tubuh patah-
patah! Sebagai patih kerajaan, tingkat kepandaian Wira Sidolepen memang sudah sempurna 
dan hampir setingkat dengan Singo Ireng. Gesit sekali maka tubuhnya sudah berada di 
hadapan Resi itu. 
"Ha… ha… kau juga mau antarkan nyawa, Wira Sidolepen…” 
"Tak perlu banyak mulut. Terima ini…!" hardik sang patih. Pedangnya bergulung 
dengan sebat. Putaran pedang mengeluarkan angin bersiuran yang melanda tubuh Resi Singo 
Ireng. Terkejutlah Resi ini. Cepat-cepat dia gerakkan badan berkelit. Tahu bahwa tingkat 
kepandaian lawan tidak berada di bawahnya rnaka pagi-pagi Singo Ireng segera keluarkan 
pukulan "wesi ireng"-nya. 
Melihat lawan keluarkan ilmu yang ampuh itu, Wira Sidolepen segera pindahkan 
pedang ke tangan kiri. Mulutnya komat kamit dan jari tangannya mendadak sontak berubah 
rnenjadi putih berkilau. Inilah ilmu pukulan "mutiara penabur nyawa!" Parit Wulung yang 
tahu kehebatan ilmu pukulan ini segera pergunakan ilmu menyusupkan suara memberi 
peringatan pada Singo Ireng. 
"Awas, itu pukulan mutiara penabur nyawa, Resi Singo Ireng !" 
Mendengar ini maka sang Resi lipat gandakan tenaga dalamnya. Dua bentakan nyaring 
sama-sama terdangar menggeledek dari mulut Singo Ireng dan Wira Sidolepen. Sinar hitam 
dan sinar putih berkiblat saling papah



“Akh....” 
Tubuh patih itu terlempar keras ke tiang istana. Sampai di lantai tubuhnya berkelojotan 
seketika lalu diam tak bergerak tanda nyawanya sudah lepas meninggalkan tubuh. 
Sambil gosok-gosok tangan kirinya. Singo Ireng putar kepala ke pintu di sampingnya. 
Di situ melangkah ke arahnya seorang berselempang kain biru. Mukanya coreng moreng 
berbelang tiga yaitu hitam, kuning dan merah. Rambutnya tersisir licin-lincin ke belakang. 
Inilah dia Resi Macan Seta, kakak kandung Resi Singo Ireng. Kalau Singo Ireng memiliki 
tampang seperti singa maka kakaknya sesuai dengan namanya, memiliki tampang persis 
seperti macan! 
"Kau tak bakal kuat menerima pukulan mutiara penabur nyawa itu Singo Ireng, 
sekalipun kau pergunakan ilmu wesi item! Sekurang-kurangnya kau akan terluka di dalam 
Singo Ireng tertawa buruk! Dia tak berkata apaapa karena maklum bahwa ucapan 
kakaknya itu adalah betul. Dan diam-diam dia bersyukur karena Macan Seta telah 
menolongnya dengan pukulan "sinar surya tenggelam" tadi! 
-- == 0O0 ==



SATU


PADA abad ke 15, Kerajaan Demak diperintah oleh Baginda Trenggono. Di bawah 
Trenggono maka Demak mencapai puncak kejayaannya. Di masa itu pula adik perempuan 
Trenggono kawin dengan Fatahillah. 
Untuk meluaskan daerah perdagangan serta kekuasaan Demak maka Trenggono 
merasa perlu untuk menduduki Banten. Maka pada tahun 1527, di bawah pimpinan Fatahillah 
menyerbulah balatentara Demak. Banten jatuh, pelabuhan Sunda Kelapa diduduki dan sebagai 
wakil Demak memerintahlah Fatahillah di Banten. Sebenarnya kurang tepat kalau dikatakan 
bahwa Fatahillah bertindak sebagai wakil Trenggono atau wakil kerajaan Demak karena luas 
lingkup kekuasaan serta pengaruh Fatahillah tak ubahnya seperti Raja. Disamping itu, terlepas 
dari Demak, Fatahillah membentuk balatentara tersendiri. Nama Fatahillah menjadi besar dan 
dihormati. Namun demikian kesetiaannya terhadap kerajaan induk yaitu Demak tetap seperti sediakan Sultan Hasanuddin dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan Banten dibantu 
oleh penasihat utama seorang tua bijaksana bernama Mangkubumi Mitra serta patih Wira 
Sidolepen. Disamping itu bantuan kepala balatentara Banten yang bernama Bradja Paksi patut 
pula disebutkan karena segala sesuatu yang bersangkutan dengan keamanan dan keselamatan 
kerajaan terletak pada tanggung jawabnya sepenuhnya. Apalagi mengingat pada masa itu 
sering kali terjadi bentrokan-bentrokan dengan pihak Pajajaran. Bradja Paksi tadinya adalah 
seorang prajurit biasa di kerajaan Demak. Tapi karena keberanian, kejujuran dan 
kepandaiannya maka dia menjadi orang kesayangan Fatahillah. Ketika Fatahillah pindah ke 
Banten, Bradja Paksi ikut serta. Kemudian dia diangkat jadi kepala balatentara Banten. 
Pangkat itu terus dijabatnya sampai pada suatu hari di mana dia terpaksa mengorbankan 
jiwanya sendiri untuk keselamatan kerajaan dan demi kesetiaan pengabdiannya pada atasan! 
Saat itu belum lagi satu bulan Hasanuddin yang muda belia dinobatkan sebagai Sultan 
atau Raja Banten. Baik patih Wira Sidolepen, maupun penasihat tua Mangkubumi Mitra serta 
kepala balatentara Bradja Paksi, ataupun Sultan sendiri, mereka tak satupun yang tahu kalau di 
batang tubuh kerajaan saat itu terdapat musuh dalam selimut yang berbahaya, yang bergerak 
secara diam-diam! 
Dan siapa yang akan menyangka kalau musuh dalam selimut itu adalah Parit Wulung, 
perwira yang menjadi wakil langsung dari kepala balatentara kerajaan! Hubungan Parit 
Wulung dengan Bradja Paksi bukan saja sebagai bawahan dengan atasan, tetapi juga sebagai 
ipar karena adik perempuan Bradja Paksi kawin dengan Parit Wulung. 
Tapi Parit Wulung telah tersesat. Lupa dia bahwa jabatan yang dipangkunya itu adalah 
berkat diangkat atas kebijaksanaan Bradja Paksi. Lupa dia bahwa kerajaan yang telah memberi 
pangkat kedudukan serta kehormatan dan kehidupan mewah. Nafsu hendak berkuasa sendiri, 
nafsu hendak duduk ditakhta kerajaan sebagai Raja telah merangsang segenap hati dari jiwa 
raganya! 
Dalam mencapai usahanya merebut takhta Kesultanan Banten itu sudah barang tentu 
dia tak bisa bergerak sendiri. Disamping itu dia tahu pula bahwa untuk mencari pengikut-
pengikut dari kalangan pihak dalam yaitu perwira-perwira dan menteri-menteri istana tidak 
mungkin karena semua perwira dan menteri, apalagi patih Wira Sidolepen sangatlah setianya 
kepada Kerajaan dan Sultan Hasanuddin. Karenanya maka perwira pengkhianat itupun 
mencari sekutu di luar Banten. Peluang yang sangat baik dilihatnya datang dari kerajaan 
tetangga yaitu Pajajaran. Beberapa perwira Pajajaran secara diam-diam ditemuinya dan

 perwira-perwira itu sesudah diberikan janji yang muluk-muluk bersedia mengirimkan ratusan 
prajurit untuk membantu pemberontakan bila saatnya sudah tiba kelak. 
Ratusan prajurit masih belum dirasa mencukupi bagi Parit Wulung. Pengkhianat ini 
kemudian mendatangi seorang sakti yaitu Resi Singo Ireng yang berdiam di pantai selatan. 
Resi ini bukan saja mau membantu maksud busuk Parit Wulung karena dijanjikan akan 
dilimpahkan harta kekayaan yang tiada terkira banyaknya, tapi juga mengikut sertakan kakak 
kandungnya yang juga seorang Resi yaitu Resi Matjan Seta. Matjan Seta diam di Teluk 
Keletawar. Tokoh silat ini baru saja membentuk satu partai silat yang dinamainya Partai Api 
Selatan. Meski keduanya adalah Resi namun mereka telah terperangkap oleh kesenangan 
duniawi sehingga masuk ke datam golongan hitam! 
Pada hari yang telah ditentukan maka pecahlah pemberontakan menggulingkan 
kerajaan itu! Ratusan pasukan dari Pajajaran menyerbu. Pertempuran hebat terjadi di seantero 
Kotaraja dan yang paling hebat adalah sekitar halaman istana. 
Sebentar saja kaum pemberontak sudah membobolkan pertahanan Banten. Istana 
dikepung, prajurit-prajurit pemberontak di bawah pimpinan Parit Wulung, Singo Ireng dan 
Matjan Seta menyerbu ke dalam istana. Menteri-menteri dan orang-orang cerdik pandai yang 
terkurung dan tak dapat diselamatkan semuanya menemui ajal dipancung secara kejam. 
Kepala balatentara Banten, patih Wira Sidolepen dan beberapa orang penting lainnya turut 
serta menjadi korban keganasan kaum pemberontak itu ! 
Banten jatuh sebelum hari rembang petang. Prajurit-prajurit Banten yang masih hidup 
dan terpaksa menyerah bersama-sama rakyat disuruh membersihkan semua mayat-mayat yang 
bergeletakan di setiap pelosok. Sedangkan di satu ruangan dalam istana Banten terjadi 
pertemuan panting. Pertemuan penting ini diketuai oleh Parit Wulung. Yang hadir ialah Resi 
Singo Ireng, Resi Matjan Seta, Karma Dipa dan Djuanasuta. Kedua orang terakhir ini adalah 
penrwira-perwira Pajajaran sekutu Parit Wulung ! 
"Resi Singo Ireng, Resi Matjan Seta dan saudara-saudara Karma Dipa, Djuapasuta. 
Kalian lihat sendiri, berkat kerjasama kita maka apa yang kita rencanakan telah berhasil. Kini 
Banten adalah milik kita bersama. Namun ada beberapa hal yang mengecewakan dilaporkan 
oleh seorang perwira penghubung pihak kita. Sultan Hasanuddin lenyap tak diketahui ke mana 
perginya. Kemungkinan besar bersama penasihat tua Mangkubumi Mitra karena orang tua 
inipun tak diketahui di mana dia berada saat ini…". 
Sampai di situ maka Karma Dipa buka suara. "Kalau mereka hendak melarikan diri 
dari Banten adalah mustahil. Seluruh perbatasan dijaga ketat oleh prajurit-prajurit kita!""Itu betul sekali,” jawab Parit Wulung. "Disamping orang-orang kita terus melakukan 
penyelidikan atas jejak kedua orang itu maka kita juga telah menangkap tiga orang yang 
diduga keras mengetahui di mana bersembunyinya Sultan!" 
Parit Wulung bertepuk tiga kali. Pintu ruangan perundingan terbuka. Seorang 
pengawal masuk. "Bawa ke sini Said Ulon !,” kata Parit Wulung pada pengawal itu. 
Pengawal ke luar dengan cepat. Sesaat kemudian masuk lagi bersama seorang 
kawannya membawa seorang laki-laki tua berambut putih. Dialah Said Ulon, kepala rumah 
tangga istana. Kedua pengawal ke luar lagi. 
"Said Ulon, kau tahu dimana Sultan sembunyi, bukan?!" ujar Parit Wulung. 
Orang tua itu memandang ke muka sebentar. Hatinya geram sekali melihat tampang 
Parit Wulung. Dua orang anaknya telah menjadi korban akibat pemberontakan manusia itu. 
Seperti hendak ditelannya bulat-bulat tubuh Parit Wulung saat ini. Kedua tangannya berusaha 
melepaskan ikatan tali tapi tak berhasil. 
Melihat ini Parit Wulung segera berkata. "Jangan khawatir, kau akan kulepaskan dan 
kujamin keselamatanmu bila memberi keterangan di mana Sultan berada...!" 
"Ya… memang aku tahu...” berkata Said Ulon. 
"Haaaa…” Parit Wulung tertawa lebar. "Di mana?," tanyanya. 
Orang tua itu maju ke hadapan Parit Wulung. "Di sini," katanya. Dan habis 
mengucapkan perkataan itu maka diludahinya muka Parit Wulung! 
"Jahanam hina dina!" suara Parit Wulung menggeledek. 
"Sret!" Pedangnya dicabut dan "cras!” maka putuslah leher Said Ulon. Kepalanya 
menggelinding di lantai tepat di muka pintu. Darah muncrat membasahi permadani yang 
menutupi sebagian dari lantai ruangan ! 
Resi Matjan Seta tertawa mengekeh melihat peristiwa itu. 
Karma Dipa berkata dengan suara datar. "Seharusnya kita tak perlu membunuh 
sekaligus manusia itu, Parit Wulung. Kita bisa siksa dia sampai mengaku di mana adanya 
Sultan Hasanuddin!" 
Parit Wulung tak menjawab. Noda darah dipedangnya disapukannya kepakaian Said 
Ulon lalu dimasukkannya ke dalam sarungnya kembali. Kemudian Parit Wulung bertepuk lagi 
tiga kali. 
Pintu terbuka. Pengawal yang masuk tergagau melihat adanya kepala manusia di muka 
pintu. "Bawa masuk tukang kuda itu!" kata Parit Wulung.

Tak lama kemudian pengawal membawa masuk seorang pemuda bermuka pucat pasi. 
Baik Parit Wulung maupun pemuda ini sebelumnya sudah saling mengenal. 
"Siman Tjonet, kau lihat mayat dan kepala di lantai itu?!" 
Siman Tjonet si tukang urus kuda-kuda milik istana mengangguk. 
"Tentunya kau tak ingin bernasib demikian, bukan? Nah coba terangkan di mana 
Sultan bersembunyi...!” 
"Aku tak tahu…". 
"Ah kau musti tahu. Mungkin sekali Sultan telah melarikan diri bersama beberapa 
orang dengan menunggangi kuda. Betul..." 
"Aku tidak tahu..," jawab Siman Tjonet lagi seperti tadi. 
Maka. marahlah Parit Wulung. "Dangar Siman…,” desisnya. "Aku tahu bahwa 
beberapa bulan di muka kau akan kawin. Kalau kau tetap ingin merasakan kenikmatan 
perkawinanmu itu, cepat beri tahu di mana Sultan berada…” 
"Kalau kau kasih keterangan...," menyambung Djuanasuta, "kami akan berikan uang 
serta perhiasan! Kau akan beruntung seumur hidup…" 
"Aku tidak tahu…" 
"Betul-betul tidak tahu...?!" 
"Kalaupun tahu aku tidak akan kasih keterangan pada bergundal pemberontak dan 
pengkhianat macam kau!" 
Parit Wulung tertawa buruk. Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanannya bersitekan 
pada hulu pedang. "Jangan jadi orang tolol Siman Tjonet!" berkata Karma Dipa sementara 
Resi Matjan Seta dan adiknya asyik-asyik makan buah anggur yang terhidang di atas meja. 
"Bicaralah, kau akan selamat dan jadi orang kaya!" 
Siman Tjonet diam saja. 
"Agaknya kau lebih suka mati daripada hidup senang. Siman…?" tanya Parit Wulung. 
"Disangkanya kalau dia mati akan masuk surga dan ketemu bidadari!" berkata Resi 
Matjan Seta sambil tertawa dan mengunyah buah anggur dalam mulutnya. 
"Aku masuk surga atau tidak itu bukan urusan kalian! Sebaliknya kalian semua kelak 
akan menjadi puntung api neraka!" jawab Siman Tjonet dengan beraninya. 
"Wah… kau benar-benar tidak takut mati, anak muda. Tapi bagaimana kalau sebelum 
mati aku siksa kau lebih dahulu, heh?!" 
"Kalian boleh siksa aku tapi di mana Sultan berada tetap kalian tak bisa tahu!"

"He... he... he..,” Resi Matjan Seta berdiri dari duduknya. Mulutnya masih mengunyah 
buah anggur. Dia melangkah ke hadapan Siman Tjonet, Tangan kanannya diletakkannya di 
atas kepala pemuda itu. 
"Manusia bermuka setan, pergi!" hardik Siman Tjonet. Pemuda ini pergunakan kaki 
kanannya untuk menendang tulang kering Resi Matjan Seta. Tapi aneh! Kedua kakinya terasa 
sangat berat dan sukar digerakkan. Sementara itu kepalanya yang dipegang terasa panas bukan 
main. Disamping panas kepalanya juga terasa seperti dicucuki oleh ratusan jarum! Dari kepala 
rasa sakit menjalar ke sekujur tubuh si pemuda. 
Pemuda ini merintih kesakitan. Bila rasa sakit tak tertahankan lagi maka mulailah dia 
menjerit-jerit setinggi langit. Betapa mengerikan suara jeritan itu terdangarnya. Peluh dingin 
membasahi seluruh tubuh Siman Tjonet. 
"Masih belum mau bicara?!" bentak Parit Wulung. 
"Pengkhianat terkutuk! Pembalasan akan datang untuk kalian semua!". 
"Bikin mampus dia Resi Matjan Seta!,” perintah Parit Wulung. 
Sang Resi mengekeh, telapak tangannya semakin keras menekan batok kepala pemuda 
tukang kuda. Asap mengepul dari telapak tangan laki-laki sakti itu. 
Jeritan Siman Tjonet terdangar semakin keras dan berubah menjadi suara erangan. 
Dari telinga, dari mata dan dari lubang hidung serta mulutnya mengalir darah kental. Kedua 
lututnya terlipat dan sesaat kemudian tubuh pemuda itu terhempas ke lantai, nyawanya lepas! 
Resi Matjan Seta mengekeh lagi! 
Dan Parit Wulung bertepuk lagi. Maka tawanan yang ketigapun dibawa masuklah. 
Tawanan ini ternyata seorang perempuan muda berparas rupawan. 
Begitu dia masuk ke, ruangan itu maka menjeritlah dia. Kedua tangannya yang tidak 
terikat dipakai untuk menutupi muka dan matanya. Kengerian membuat tubuhnya gemetar 
ketika menyaksikan kepala dan tubuh Said Ulon serta tubuh pemuda tukang kuda! 
Resi Singo Ireng menunda anggur yang hendak disuapkannya ke dalam mulut. 
Matanya menjalari si perempuan muda mulai dari ujung rambut sampai ke kaki. 
"Ah... ah... ah…! Yang satu ini tak boleh dibunuh, Parit Wulung. Dia cukup pantas 
untuk jadi peliharaanku!,” kata Resi bertampang singa itu. 
Parit Wulung tak ambil perhatian ucapan itu. Dia berkata pada si perempuan muda. 
"Suri Intan, kau tak usah khawatir atau takut. Tidak ada yang akan menyakiti kau…” 
"Aku tak percaya pada kalian! Keluarkan aku dari sini!,” teriak perempuan itu. Suri 
Intan adalah istri Braja Paksi kepala balatentara Banten yarig telah gugur dalam

mempertahankan kerajaan. Karena adik Bradja Paksi kawin dengan si pemberontak Parit Wu-
lung maka dengan sendirinya antara Parit Wulung dengan Suri Intan terdapat hubungan 
keluarga yang dekat. 
Parit Wulung coba tersenyum mendangar ucapan perempuan itu. "Suri, apakah kau 
tahu di mana Sultan Hasanuddin bersembunyi? Juga penasihat tua Mangkubumi Mitra...?!" 
Si perempuan tiada peduli dengan pertanyaan itu. "Keluarkan aku dari sini!" teriaknya. 
"Dewiku manis...!"kata Singo Ireng mengetengahi. "Kau akan ke luar dari sini, aku 
yang akan bawa kau dan kita berdua akan senang-senang di tempatku di pantai utara. Tapi apa 
salahnya sebelum pergi kau suka kasih penuturan apa yang kau ketahui mengenai Sultan…" 
"Aku tidak tahu apa-apa mengenai Sultan. Yang aku tahu ialah bahwa kalian semua 
manusia-manusia pengkhianat terkutuk! Balasan Tuhan akan datang kelak atas diri kalian!" 
"Ah... ah... ah! Bicaramu hebat sekali manisku...!" kata Singo Ireng. Dia berdiri dari 
kursinya. Sambil melangkah mendekati Suri Intan dia meneruskan. "Aku suka pada 
peremppan-perempuan yang pandai bicara…". Dia berdiri dua langkah di hadapan Suri Intan. 
Bola matanya berkilat-kilat memandangi perempuan berparas rupawan itu lalu dia berpaling 
pada Parit Wulung. "Aku yakin betul," katanya pada Parit Wulung. "perempuan ini pasti tidak 
dusta dengan keterangannya. Dia tak tahu apa-apa tentang Sultan. Parit Wulung, biar aku 
minta diri saja siang-siang untuk membawa dia ke kamar sebelah.... he... he... he…!" 
"Singo Ireng! Jangan ribut soal lampiaskan nafsu saja. Kita harus cari dulu Sultan 
Hasanuddin sampai dapat...!" Yang bicara ini adalah Matjan Seta, kakak Singo Ireng. 
"Ladalah..," menyahuti Singo Ireng. "Itu urusan kalian. Aku sudah letih. Tubuhku 
pegal-pegal. Perempuan ini pasti lihay sekali memijit. Bukankah begitu dewiku…?" Dan 
Singo Ireng mencubit dagu Suri Intan. 
"Tua bangka hidung belang!" memaki Suri Intan. Tangannya bergerak hendak 
mencakar muka Singo Ireng. Tapi sekali cekal saja maka perempuan itu sudah tak bisa 
berdaya lagi! 
"Lepaskan aku, lepaskan!,” Suri Intan meronta sekuat tenaga. Entah cekalan Singo 
Ireng yang kemudian agak kurang ketat, entah karena rontakan Suri Intan yang memang 
sangat keras maka perempuan itu berhasil melepaskan diri dari cekalan Singo Ireng. Ke-
mudian secepat kilat dia lari ke pintu. Tapi nyatanya pintu dikunci dari luar oleh pengawal. 
Dalam bingung dan ketakutan sementara itu Suri melihat Singo Ireng mendatanginya dengan 
menyeringai dan bola mata berkilat-kilat sedang hidung kembang kempis. 
"Singo Ireng! Biarkan dulu perempuan itu!" bentak Matjan Seta."Sudah diam sajalah Seta!,” menggerendang Singo Ireng. "Sekarang kau terlalu 
banyak ribut, nanti kalau aku lagi asyik kau dobrak pintu kamar dan minta diberi bagian! 
Puh...!" 
Singo Ireng maju ke muka dan ulurkan tangan. "Jangah jamah aku!,” teriak Suri Intan. 
Dia lari seputar ruangan dan Singo Ireng mengejarnya. Mengejar dengan tertawa terkekeh-
kekeh. "Manisku, kenapa musti main kucing-kucingan? Tampangku memang buruk. Tapi 
nantilah, kalau kau sudah rasakan bagaimana pandainya aku di atas tempat tidur, kau akan 
ketagihan… ha... ha... ha...!" 
Suri Intan semakin kepepet ke sudut ruangan.Tiba-tiba terjadilah hal yang tidak diduga 
oleh Singo Ireng dan siapapun yang ada di ruangan itu. 
Suri Intan melompat ke samping, membenturkan kepalanya ke dinding ruangan! 
Semua orang yang ada di ruangan itu sudah biasa dengan segala macam pemandangan maut, 
sudah biasa melihat kematian manusia. Tapi mendangar suara beradunya kepala perempuan 
itu dengan dinding yang keras, menyaksikan bagaimana kemudian Suri lntan terkapar di lantai 
dengan kepala rengkah berlumuran darah, semuanya sama menjadi merinding bulu 
tengkuknya! Suasana di ruangan itu seperti di pekuburan sunyinya! 
Kesunyian itu kemudian dipecahkan oleh suara Matjan Seta. "Aku bilang apa, Singo 
Ireng! Kau lihat sendiri sekarang. Apa kau masih bernafsu terhadap perempuan itu?!" 
Singo Ireng tak menjawab. Diputarnya badannya. Dia duduk kembali ke tempatnya. 
Dan seperti tak ada apa-apa dia mulai lagi mengunyah buah anggur yang terhidang di atas 
meja! 
Sesudah para pengawal diperintahkan menyeret ketiga mayat itu maka Parit Wulung 
melanjutkan pertemuan dengan membuka pembicaraan. 
"Kurasa mengenai Sultan tak perlu kita bicarakan panjang lebar. Cepat atau lambat 
orang-orang kita akan segera menangkapnya. Tapi apa yang menjadi pikiranku ialah 
lenyapnya keris pusaka kerajaan Tumbal yang menjadi syahnya kedudukanku sebagai seorang 
Raja, nanti!" 
"Keris itu pasti dibawa kabur oleh Sultan Hasanuddin!" kata Resi Matjan Seta pula. 
"Mungkin, tapi mungkin pula dicuri atau dilarikan oleh seorang lain!" 
Singo Ireng mengetengahi. "Tanpa keris Tumbal Wilayuda itupun tak akan seorang 
yang bisa menolak penobatanmu sebagai Raja Banten, Parit Wulung! Kecuali kalau mereka 
mau terima nasib digerogoti cacing di liang kubur

"Soal itu aku tak khawatir. Tapi dalam hal ini kita berhadapan dengan rakyat. Rakyat 
hanya akan mengakui aku sebagai raja, bila keris Tumbal Wilayuda ada di tanganku!" 
"Kenapa ambil pusing dengan rakyat?,” tukas Singo Ireng. Mereka mau terima atau 
tidak, mereka mau mampus sekalipun, kita tak perlu ambil peduli! Rakyat tidak lebih dari 
domba-domba yang bisa kita halau sesuka hati !" 
"Tapi, disamping itu keris Tumbal Wilayuda adalah satu senjata sakti dan keramat…,” 
ujar Parit Wulung. 
"Sakti aku percaya, tapi kalau dikatakan keramat itu adalah takhyul!,” menyahut Singo 
Ireng. Parit Wulung tak berkata apa-apa namun dalam hati dia merasa tidak senang. Maka 
berkatalah dia. "Aku minta pada kalian, terutama Resi Matjan Seta dan Singo Ireng untuk 
mencari Sultan dan menemukan keris Tumbal Wilayuda itu sampai dapat!" 
Singo Ireng mengunyah anggurnya lambat-lambat lalu berkata. "Ini tak termasuk 
dalam hitungan kita Parit Wulung. Tempo hari kau hanya minta aku dan kakakku membantu 
pemberontakan sampai terlaksana. Kini Banten sudah jatuh dan berada di tangamu, perjanjian 
kita beres dan kami sudah saatnya menerima balas jasa!" 
"Mengenai soal balas jasa Resi berdua tak usah cemas, kalian berdua boleh membawa 
segala harta kekayaan apa saja dari Banten ini sebanyak yang kalian bisa bawa. Tapi bila 
kalian bersedia pula membantu mencari dan menangkap Sultan serta menemukan keris pusaka 
Tumbal kerajaan itu, maka bagian kalian tentu akan lipat ganda !" 
Singo Ireng manggut-manggut. "Baiklah,” katanya. "Soal harta aku tidak begitu 
temahak. Tapi setiap perempuan cantik di Banten ini adalah milikku!" 
-- == 0O0 ==

DUA

HARI itu adalah hari kedua sesudah jatuhnya takhta kerajaan Banten ke dalam tangan 
kaum pemberontak pimpinan Parit Wulung. Suasana di Kotaraja yang sehari sebeIumnya 
senantiasa diliputi kepanikan kini mulai mereda. Namun di mana-mana kelihatan berkeliaran 
tentara-tentara pemberontak sedang di setiap tempat yang dianggap penting terutama di 
sepanjang perbatasan senantiasa dijaga ketat oleh tentara.

Pagi itu, pagi ketiga dari berkuasanya kaum pemberontak kelihatanlah dua orang 
berjalan kaki. Yang satu sudah tua dan terbungkuk-bungkuk. Yang satu lagi masih muda. 
Keduanya mengenakan pakaian bertambal-tambal serta kotor. Kulit badan dan muka 
merekapun coreng moreng dan rambut awut-awutan. Dari keadaan kedua orang ini, sepintas 
lalu saja orang segera berkesimpulan bahwa mereka adalah pengemis-pengemis. Dan setiap 
orang yang memapasi mereka tentu saja tak akan mau ambil peduli! Namun siapa nyana kalau 
kedua orang ini adalah dua orang penting yang tengah dicari oleh Parit Wulung dan pentolan-
pentolan pemberontak lainnya! 
Yang tua adalah penasehat istana yaitu Mangkubumi Mintra sedang yang masah sangat 
muda tiada lain daripada Sultan Banten sendiri yakni Hasanuddin! Sewaktu maletusnya 
pemberontakan, sewaktu istana sudah dikepung, dengan melalui jalan rahasia kedua orang ini 
telah berhasil menyelamatkan diri. Dan bukan keselamatan mereka saja yang penting, tapi 
keduanya juga berhasil menyelamatkan keris pusaka tumbal kerajaan yaitu keris Tumbal 
Wilayuda, keris yang menjadi lambang dan ketentuan bahwa siapa pemiliknya maka dialah 
pewaris syah dari takhta kerajaan Banten. Dan juga keris inilah yang pula dicari-cari oleh Parit 
Wulung bersama pemberontak-pemberontak lainnya! Masing-masing mereka sama membawa 
buntalan kecil. Sebenarnya baik Mangkubumi Mintra maupun Sultan Hasanuddin adalah orang-
orang yang berkepandaian silat dan kelas tinggi. Namun menghadapi sekian banyak 
pemberontakan dan demi untuk menyelamatkan keris tumbal kerajaan, keduanya memutuskan 
dengan terpaksa dan berat hati untuk mengundurkan diri. 
Demikianlah, dengan menyamar kedua orang itu meninggalkan Kotaraja. Matahari pagi 
masih belum sanggup memupuskan butiran-butiran embun di daun-daun, namun panasnya 
terasa sudah memerihkan kulit kedua orang itu. Mereka berhasil melewati pintu gerbang 
Kotaraja tanpa halangan sesuatu apa meski pintu gerbang itu dijaga ketat oleh duapuluh orang 
prajurit. 
Si orang tua Mangkubumi Mintra menarik nafas lega demikian juga Sultan. Namun 
penasehat tua ini kemudian berkata dengan perlahan. "Kita masih jauh dari selamat, Sultan. 
Cuma satu pesanku, bila terjadi apa-apa yang tak diingini kau lekaslah menghindar dan lari ke 
tempat keluarganya Wirya Pranata di Ujung Kulon....” 
Si pemuda anggukkan kepala. Namun pada parasnya kelihatan sekelumit rasa jengah 
yang memerahkan kedua pipinya yang kotor itu. lni suatu pertanda bahwa ada sesuatu hubungan 
antara dia dengan keluarga Wirya Pranata di Ujung Kulon itu.

Pemuda atau Sultan menghela nafas lagi. "Mudah-mudahan saja kita bisa terus selamat, 
bapak Mangkubumi,” katanya. 
"Memang itulah yang kita harapkan. Semoga Tuhan melindungi kita". Mereka 
mendekati perbatasan kini. Di sepanjang perbatasan dijumpai prajurit yang mengawal semakin 
banyak. Keduanya diperiksa oleh beberapa orang prajurit. Bungkusan masing-masing digeledah. 
Untunglah Sultan Hasanuddin telah menyembunyikan keris Tumbal Wilayuda di dalam lipatan 
pakaiannya yang dikenakannya saat itu ! Dan kedua orang inipun selamat pula dari 
pemeriksaan. Mereka bergegas menjauhi perbatasan. 
"Aman sekarang…" kata Sultan Hasanuddin. Tapi baru saja dia habis berkata begitu 
maka muncullah serombongan pasukan berkuda. Pimpinan rombongan, seorang perwira 
pemberontak lambaikan tangan memberi isyarat berhenti pada anak-anak buahnya. Perwira ini 
membawa kudanya ke hadapan kedua orang tersebut." 
"Pengemis-pengemis hina dina!,” bentak perwira itu. "Apa kalian lihat dua orang 
pelarian melintas di sini? Keduanya adalah Mangkubumi Mintra penasihat istana dan Sultan 
Hasanuddin". Sambil bertanya begitu mata sang perwira menyorot meneliti kedua orang di 
hadapannya. 
Si orang tua menjawab . "Tak satu orangpun yang kami lihat, Yang mulia…” 
Jawaban yang hormat dan mempergunakan tutur kata yang halus tinggi dari si orang tua 
mencurigakan sang perwira. Biasanya pengemis-pengemis macam mereka bicara dalam bahasa 
rendahan. Maka, terbitlah sekelumit kecurigaan di hati perwira itu. "Kami akan geledah kalian!" 
katanya, 
"Ah…, kami hanya pengemis-pengemis yang hina dan terlantar. Apa untungnya 
menggeledah kami?" 
"Memang tak perlu menggeledah manusia-manusia ini raden,” berkata seorang prajurit 
yang berada di samping sang perwira. "Hanya akan mengotorkan tangan saja! Bau mereka 
sangat menusuk hidung!" 
Si perwira memang menganggap betul katakata bawahannya itu. Tapi bila sepasang 
matanya yang tajam melihat bagaimana telapak dan jari-jari tangan kedua orang yang 
dihadapannya sangat halus, bukan seperti tapak dan jari-jari tangan yang biasa dilihatnya pada 
diri pengemis-pengemis maka memerintahlah dia. "Tangkap manusia-manusia hina dina ini!" 
Mangkubumi Mintra yang tahu bahwa penyamamaran mereka pasti akan terbuka, tanpa 
membuang waktu segera maju ke muka dan berkata "Kalian keterlaluan, manusia-manusia macam kamipun masih hendak kalian ganggu!" Bentakan ini, adalah juga terdorong rasa 
dendam kesumat terhadap kaum pemberontak. 
"Kurang ajar kau berani bicara kasar terhadapku huh!" dengus perwira itu dan segera 
hunus pedangnya sementara setengah lusin bawahannya segera mengurung mereka. 
Mangkubumi Mintra tidak tinggal diam. Dari balik pakaian pengemisnya dikeluarkannya 
sebilah pedang. 
"Hemm… bagus! Sekarang lebih jelas siapa kau adanya kunyuk tua hina-dina!" 
Perwira itu tetakkan pedangnya ke kepala Mangkubumi Mintra. Si orang tua membentak 
nyaring dan mundur beberapa langkah sementara enam prajurit lainnya begitu cabut pedang 
masing-masing segera pula menyerbu. 
Mangkubumi Mintra putar pedang dengan deras. Sinar pedang bergulung-gulung. 
Trang… trang… trang... trang Terdengar suara beradunya pedang susul menyusul! Waktu 
pedangnya beradu dengan pedang prajurit-prajurit, Mangkubumi Mintra tak terasa suatu apa, 
tapi ketika membentur senjata sang perwira maka terkejutlah orang tua itu. Tangannya tergetar 
keras. dan panas! Mangkubumi Mintra mengeluh. Nyatanya sang perwira mempunyai kepandai-
an tingkat atas! 
Maka berserulah Mangkubumi Mintra pada Su1tan Hasanuddin. "Sultan larilah 
selamatkan diri. Biar aku yang hadapi bergundal-bergundal pemberontak ini!" 
"Tidak!" jawab Sultan Hasanuddin. "Mati hihidup kita berdua, bapak!" 
"Jangan bodoh Sultan! Lari kataku!". Si orang tua putar pedangnya lebih sebat. Seorang 
lawan yang mengurung menjerit keras dan melompat nanar dengan dada robek dimakan ujung 
pedang! 
"Keparat!,” maki perwira pemberontak. Dia melompat dari kudanya. Sambil melompat, 
laksana seekor alap-alap dia mengirimkan serangan ganas. 
Pedangnya menderu memepas ke arah batang leher Mangkubumi Mintra. Di saat itu si 
orang tua sedang menangkis serangan seorang prajurit. Tangkisan ini terpaksa dibatalkannya 
dengan melompat dan sebagai gantinya pedangnya diputar untuk menangkis pedang si perwira! 
Tapi si perwira rupanya memiliki ilmu pedang dari Cabang Pantai Selatan yang terkenal 
tangguh karena dengan tak terduga dan sangat cepat sekali serangan yang tadi merupakan satu 
tebasan dengan tiba-tiba sekali berubah menjadi satu tusukan tajam dan cepat! 
Si perwira tertawa mengekeh. Itulah jurus mematikan dari ilmu pedang yang dianutnya, 
yang dinamakan jurus "menabas gunung menusuk bukit!"Tentu saja tangkisan Mangkubumi Mintra tidak mempunyai arti apa-apa. Orang tua ini 
cepat rubah posisi senjatanya namun sia-sia karena ujung pedang lawan lebih dahulu 
menghunjam di dadanya! Maka terdengarlah keluhan mengerikan dari tenggorokan orang tua 
malang itu. 
Di saat itu, Sultan Hasanuddin sudah berhasil ke luar dari kurungan prajurit-prajurit 
pemberontak dan meskipun hatinya berat namun dia terpaksa melarikan diri, bukan saja untuk 
menyelamatkan diri sendiri, tapi juga menyelamatkan keris pusaka Tumbal Wilayuda demi 
untuk menegakkan kembali kelak Kerajaan Banten! Namun sewaktu telinga mendengar keluhan 
Mangkubumi Mintra, Sultan hentikan lari dan putar badan. Maka naik pitamlah dia ketika me-
nyaksikan bagaimana orang tua itu tersungkur di tanah bermandikan darah. 
"Pemberontak-pemberontak durjana! Aku mengadu jiwa dengan kalian!,” seru Sultan 
Hasanuddin. Dia menyerbu ke muka namun belum lagi dia melancarkan serangan maka 
terdengarlah suara mengaung seperti suara tawon. Enam benda putih aneh dan berbentuk 
bintang yang berkilauan melesat deras ke arah pemberontak-pemberontak. Lima prajurit pem-
berontak coba hindarkan diri atau menangkis benda itu namun tiada ampun! Kelimanya menjerit 
keras, rebah ke tanah, kelojotan seketika lalu kaku tegang tiada nyawa! 
Perwira pemberontak dalam terkejutnya dan dengan kepandaiannya yang lebih tinggi 
pergunakan pedang untuk memapaki benda bintang berkilau itu. 
"Trang !" 
Tampang perwira itu menjadi pucat. Pedangnya memang bisa membuat mental benda 
maut yang menyerangnya namun senjatanya sendiri putung dua dihantam benda tersebut ! 
Baik sang perwira maupun Sultan Hasanuddin serentak putar kepala ke arah atas pohon 
besar dari arah mana datangnya senjata-senjata rahasia tadi. 
"Iblis keparat di atas pohon turunlah! Jangan sembunyikan diri!,” bentak sang perwira. 
Sebagai jawaban terdengar suara tertawa bergelak kemudian sesosok tubuh dengan 
entengnya melayang turun ke tanah dari atas pohon besar itu. Nyatanya dia adalah seorang 
pemuda bertampang keren dan berambut gondrong. Umurnya mungkin tiada banyak beda 
dengan Sultan sendiri. Saat itu bajunya tiada terkancing dan angin yang bertiup agak kencang 
menyibak-nyibakkan baju putihnya sehingga jelaslah kelihatan angka 212 tertera di dada 
kanannya Pendekar 212. 
Melihat si pemuda ini menghadapinya dengan tertawa mengejek demikian rupa maka 
membentaklah perwira tadi. "Rupanya kau masih belum tahu dengan siapa berhadapan! Masih 
belum tahu apa akibat campur tanganmu dalam uru...” Ucapan sang perwira cuma sampai disitu. Hampir tak kelihatan Pendekar 212 telah gerakkan tangan dan lemparkan bintang 212 ke 
arah perwira pemberontak yang sedang bicara itu. Maka "heggg,” terdengarlah suara tercekik 
dari rangkungan si perwira ketika senjata rahasia 212 dengan tepatnya masuk ke dalam mulut. 
Senjata rahasia itu lenyap dan darah segera muncrat ke luar dari mulut sang perwira. Nasibnya 
kemudian tidak beda dengan nasib bawahannya yang terdahulu! 
Sultan Hasanuddin segera dekati Pendekar 212. "Saudara, kau telah tolong. Aku…” 
Pendekar 212 memberi isyarat. Dia melangkah cepat dan membungkuk di hadapan 
Mangkubumi Mintra. Ternyata orang tua itu masih bernafas satu-satu. Mulutnya bergerak-gerak. 
"Sultan… mungkin dia mau bicara padamu,” memberi tahu Pendekar 212 atau Wiro 
Sableng. Mendengar itu Sultan Hasanuddin segera pula berlutut di samping tubuh si orang tua 
Mangkubumi Mintra dengan sisa-sisa tenaga yang ada buka kedua matanya yang berbinar-binar. 
Bila pandangannya menyentuh paras Sultan Hasanuddin maka tersenyumlah dia. 
"Sultan, kau tak apa-apa...?" 
"Tidak bapak…". Sultan membelai rambut orang tua itu dan menyeka keringat di 
keningnya. Keringat dan kening itu sangat dingin seperti es. 
"Syukurlah..," desis Mangkubumi Mintra. "Aku yakin di bawahmu Kerajaan Banten 
yang syah akan bisa ditegakkan kembali…" 
Sultan Hasanuddin mengangguk. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi tak jadi karena 
dilihatnya orang tua itu memalingkan kepalanya kepada pemuda yang telah menolongnya. 
"Pendekar muda... aku gembira kau datang. Lebih gembira lagi karena kau telah berhasil 
menyelamatkan Sultan. Tuhan kelak akan membalas jasamu yang besar ini...” Orang tua itu 
terhenti bicaranya sejenak. Agaknya dia tengah mengumpulkan tenaga baru dari sisa-sisa 
tenaganya yang terakhir. Lalu mulutnya terbuka kembali. 
"Yang pasti adalah, bila takhta Banten telah kembali pada pemiliknya yang syah, maka 
Kerajaan dan rakyat Banten tak akan melupakan pertolongan atau jasamu ini...” 
Pendekar 212 coba tersenyum. Dia tahu bahwa keadaan orang tua itu tak mungkin lagi 
untuk ditolong. Maka berkatalah dia. "Menyesal orang tua, aku tak bisa berbuat sesuatu apa 
dengan lukamu…” 
"Ah diriku yang sudah rongsokan ini tak perlu diambil peduli. Aku gembira menemui 
kematian dengan cara begini rupa… Gembira karena di saat menjelang kematian ini aku telah 
dapat melihat sinar terang bahwa Banten pasti akan kembali kepada pewarisnya yang syah…" 
Mangkubumi memutar matanya pada Sultan Hasanuddin. Mulutnya terbuka untuk 
mengatakan sesuatu namun malaekat maut meminta nyawanya lebih dahulu. Air mata

menggenang di kedua mata Sultan Hasanuddin. Digigitnya bibir sendiri untuk menahan 
keluarnya suara isakan. 
Tiba-tiba kening Pendekar 212 kelihatan mengerenyit. Kepalanya diputar ke jurusan 
timur. "Ada apa…?" tanya Sultan yang saat itu masih belum mendengar suara apa-apa. 
"Cecunguk-cecunguk pemberontak itu kurasa...” ujar Pendekar 212. 
Beberapa ketika kemudian barulah Sultan mendengar suara derap kaki kuda yang 
banyak sekali, mendatangi ke arah di mana mereka berada saat itu. Disusul beberapa saat lagi 
maka diantara pohon-pohon dan semak-semak belukar tinggi kelihatanlah kira-kira dua puluh 
prajurit pemberontak yang dipimpin oleh seorang berselempang kain putih bermuka sangat 
hitam dan berambut gondrong acak-acakan. "Sultan, tinggalkan tempat ini cepat!" 
"Tidak bisa sobat! Mangkubumi Mintra terbujur begini rupa dan adalah pengecut sekali 
meninggalkan kau seorang diri. Apalagi kau adalah tuan penolongku !,” membantah Sultan 
ketika dia diminta pergi. "Ini bukan soal pengecut Sultan! Yang penting adalah keselamatan 
dirimu dan keselamatan keris Tumbal Wilayuda yang ada di tanganmu." 
Tentu saja Sultan Hasanuddin menjadi kaget mendengar ucapan Pendekar 212. Sewaktu 
pertama kali pemuda itu memanggilnya dengan sebutan "Sultan" dia telah terkejut dan kini 
bahkan dia mengetahui pula bahwa keris Tumbal Wilayuda berada di tangannya! 
Sementara itu rombongan penunggang-penunggang kuda semakin dekat. Wiro Sableng 
atau Pendekar 212 berkata lagi. "Pergilah cepat sebelum terlambat! Soal jenazah orang tua ini 
aku yang akan urus. Selama gunung masih hijau, kelak kita akan bertemu kembali!" 
Mendengar itu dan lagi memang tak ada lain hal yang bisa diperbuatnya maka Sultan 
Hasanuddin segera tinggalkan tempat itu. 
Begitu dia lenyap di balik semak-semak maka dua puluh prajurit pemberontak di bawah 
pimpinan si muka hitam sampai di tempat itu. Dia memberi isyarat. Prajurit-prajurit menyebar. 
Dan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 kini terkurung di tengah lingkaran dua puluh prajurit 
bersenjata lengkap, di bawah pimpinan seorang tokoh silat yang kosen! 
-- == 0O0 ==

TIGA


DIKURUNG begitu rupa Pendekar 212 tetap tenang-tenang saja seperti saat itu cuma 
dua sendirian saja berada di situ. Si muka hitam yang tak lain Resi Singo Ireng kaki tangan Parit 
Wulung adanya, menyapu tebaran-tebaran mayat di hadapannya dengan pandangan sedingin 
salju. Yang agak mengherankan Resi muka hitam ini ialah mengapa di antara mayat-mayat 
pasukan Parit Wulung juga terdapat mayat Mangkubumi Mintra. Tak mungkin si pemuda 
rambut gondrong itu yang telah menebar mayat kecuali jika dia mempunyai dendam kesumat 
terhadap kedua belah pihak yaitu pihak pasukan dan Mangkubumi Mintra. Disamping itu 
dengan adanya mayat si orang tua tergeletak di situ, pastilah sebelumnya Sultan Hasanuddin 
juga berada di situ! Singo lreng memang berpikiran tajam. Melihat kepada pakaian 
Mangkubumi Mintra tahulah dia bahwa penasihat istana itu berusaha melarikan diri dari Banten 
dengan menyamar sebagai pengemis! 
"Mana Sultan?" bertanya Singo Ireng derrgan suara lantang kasar. 
Pendekar 212 tidak menjawab. Malahan dia memandang seperti tiada melihat apa-apa 
berada-disekelilingnya saat itu! Dia menengadah ke atas memperhatikan matahari yang menaik 
tinggi. 
Melihat sikap yang sangat menghina ini, apa lagi di hadapan sekian banyaknya prajurit 
tentu saja Resi Singa Ireng menjadi sangat penasaran serta malu. Mukanya yang hitam kelihatan 
semakin tambah hitam. "Bocah gondrong! Apa kau tuli atau gagu? Orang bertanya tidak 
dijawab?!" 
Pendekar 212 masih tidak menyahut. Malah kini jari-jari tangan kirinya mencungkil-
cungkil tepi lubang hidungnya kemudian dia berbangkis dua kali berturut-turut! 
"Keparat!" bentak Singo Ireng dengan- suara menggeledek. 
"Eeeeh… kau memaki pada siapakah?!" bertanya Pendekar 212 sambil putar kepala 
seperti baru saat itu disadarinya bahwa dia tidak berada sendirian di tempat itu! 
"Prajurit-prajurit! Tangkap bocah edan ini perintah Resi Singo Ireng dengan geramnya. 
Maka dua puluh prajurit pemberontak melompat turun dari kuda masing-masing, hunus 
senjata dan bergerak cepat mendekati Pendekar 212. 
"Bergundal pemberontak," berseru Wiro Sableng atau Pendekar 212. "Kalau kau ingin 
tangkap aku mengapa tidak turun tangan sendiri?!" 
Di saat itu dua puluh prajurit sudah menyerbu untuk menangkap Pendekar 212. 
"Kalian kunyuk-kunyuk pemberontak hanya datang minta digebuk!" ujar Pendekar 212 
dengan tersenyum. Tapi bila senyumnya itu putus maka mengumandanglah bentakan dahsyat.Lima prajurit yang paling dekat dan hendak turun tangan menangkapnya terpelanting dan 
bergetimpangan di tanah tiada nyawa lagi! 
Tersiraplah darah Resi Singo Ireng! Tiada disangkanya pemuda gondrong bertampang 
bodoh itu mempunyai kehebatan demikian rupa! Maka berserulah dia! "Tak perlu budak hina 
dina ini ditangkap hidup-hidup. Cincang di tempat!" 
Maka lima belas senjata tajam berkiblat ke arah Pendekar 212. 
"Heiyaaah !" 
Tubuh Siro Sableng mencelat tiga tombak ke atas, Seluruh serangan senjata lawan lewat 
di bawah kakinya. Detik senjata-senjata itu menderu memapas angin kosong maka detik itu pula 
dengan kecepatan yang hampir tak sanggup disaksikan oleh mata Pendekar 212 menukik ke 
bawah merampas pedang salah seorang prajurit. Dan ketika pedang itu menderu laksana kitiran 
maka lima prajurit meregang nyawa mandi darah, dua lainnya luka parah! 
Dalam kejutnya menyaksikan gebrakan yang dahsyat itu Resi Singo Ireng melihat satu 
bayangan berkelebat ke arahnya. Dia tarik tali kekang kuda dengan cepat. Namun sebelum 
binatang tunggangannya itu sempat bergerak, tubuh kuda ini sudah angsrok ke tanah! Keempat 
kakinya terbabat putus. Binatang ini berguling di tanah melejang-lejangkan kakinya yang 
buntung dan meringkik tiada henti! Untung saja Resi yang kosen ini Cepat menyadari apa yang 
terjadi sehingga lekas-lekas dia melompat ke samping dan berdiri dengan muka kelam membesi, 
mata menyorot! 
Pendekar 212 tertawa gelak-gelak sementara prajurit-prajurit yang masih hidup dengan 
nyali menciut segera menjauhi ini pemuda yang dianggap mereka sangat berbahaya. 
"Pemuda gondrong! Kehebatanmu cukup untuk dikagumi! Tapi bila kau tahu dengan 
siapa saat ini berhadapan, maka lekaslah berlutut minta ampun!" berkata Singo Ireng. 
"Uh! Sama manusia jelek macam kau buat apa perlu takut!". ujar Wiro Sableng dan 
tawanya semakin menjadi-jadi! 
"Ah... kalau begitu kau sebutkanlah nama! Terhadap manusia-manusia yang punya 
sedikit ilmu, aku tidak begitu senang jika membunuhnya tanpa tahu namanya terlebih dahulu!" 
"Kalau butuh namaku aku tak keberatan. Majulah biar kutulis dijidatmu!" kata Wiro 
Sableng pula sambil acungkan jari telunjuk! 
Menggeramlah sang Resi bermuka hitam itu. Selama dunia terbentang, selama malang 
melintang dalam dunia persilatan, baru hari itulah dia dihina dan direndahkan terus-terusan oleh 
seseorang! Oleh seorang yang berusia jauh lebih muda dari padanya. Dari balik pakaian Resi ini keluarkan sebuah senjata berbentuk aneh yaitu sebuah besi panjang yang ujungnya berbentuk 
Iingkaran. 
"Kalau kau punya senjata pusaka, sebaiknya lekas keluarkan supaya mampus tidak 
rnenyesal!" 
"Tak perlu banyak cerewet!" semprot Pendekar 212. "Majulah! Senjataku cukup pedang 
butut milik cecungukmu yang sudah mampus itu!" 
Resi Singo Ireng yang berbadan kate ini segera maju dan hamburkan serangan dahsyat. 
Senjata anehnya mengeluarkan suara menderu, menimbulkan angin yang deras dan tajam. Ujung 
senjata yang berbentuk lingkaran itu berubah laksana ratusan banyaknya! Searang lawan yang 
berilmu tanggung dan bermata tidak awas akan sulit membedakan mana lingkaran senjata yang asli 
dan mana yang bukan. Dalam lawan kebingungan maka senjata itu akan menyeruak lewat kepalanya 
dan sekali putar saja pastilah patah dan putus batang leher dibuatnya! Inilah kehebatan senjata sang 
Resi dari pantaiselatan itu! 
Namun yang dihadapi Singo Ireng dihari itu bukanlah seorang lawan berilmu tanggung, 
bukan seorang pemuda yang hanya mengenal sejurus dua ilmu silat! Begitu senjata lawan membadai 
menghampiri kepalanya, Wiro Sableng cepat merunduk dan selinapkan satu tusukan deras kearah 
perut sang Resi! 
Kaget Singo Ireng bukan olah-olah! Cepat dia undur dua langkah dan papasi pertengahan 
senjata lawan dengan tongkat besi lingkarannya. 
"Trang" ! 
Dua senjata beradu 
Karena senjata ditangan Singo Ireng adalah senjata mustika sedang pedang ditangan Wiro 
hanya pedang biasa maka patahlah pedang itu! Tapi sebaliknya Singo Ireng merasakan bagaimana 
tangannya tergetar hebat dan panas pada bentrokan itu! Maklumlah dia bahwa pemuda itu 
mempunyai tingkat tenaga dalam yang hebat sekali! Karenanya sang Resi tanpa memberi peluang 
segera lancarkan serangan-serangan dahsyat! Sengaja dikeluarkannya jurus-jurus yang hebat yaitu 
jurus "memetik bunga membelah buah" lalu disusul dengan jurus "delapan gunung meletus gegap 
gempita"! Diserang dengan dua jurus ini berikut pecahan-pecahannya yang tak kalah dahsyat maka 
Pendekar 212 menjadi repot juga. 
Namun bila dia sudah mempercepat gerakannya, bila suara siulan sudah menggema melesat 
dari sela bibirnya maka kelihatanlah kini bagaimana Resi Singo Ireng menjadi terdesak. Meski 
terdesak, Resi ini dengan segala kelihayannya sanggup pertahankan diri sampai sepuluh jurus 
dimuka! "Manusia bermuka jelek! Permainan silatmu baleh juga. Tapi apa kau sanggup menerima 
pukulanku ini?!" tanya Pendekar 212. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas, kedua mata 
dipejam. Kemudian kedua tangan itu mulai berputar-putar dengan sebat! Maka menggemuruhlah 
suara angin. Debu dan pasir beterbangan, membuat gelap pemandangan! 
"Pukulan angin puyuh!" seru Resi Singo Ireng sambil bersurut mundur. Mulutnya komat 
kamit membaca aji penangkis. Kedua kakinya melesak kedalam tanah sampai dua dim! 
Tubuhnya tergetar hebat. Pakaian putih serta rambutnya yang awut-awutan berkibar-kibar! 
Tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan kedua tangannya kemuka. Tubuh 
Singo Ireng mencelat kebelakang sampai lima tombak. Ketika dia berdiri maka tubuhnya 
terbungkuk tertatih-tatih, hidungnya kembang kempis tanda nafasnya memburu tak teratur. 
Nyatalah bahwa Resi kosen ini telah menderita luka parah didalam akibat pukulan Wiro Sableng 
tadi. Senjatanya mental entah kemana! Wiro tertawa mengekeh. 
Sebaliknya lawannya menggeram laksana harimau terluka. Mulut terkatup rapat-rapat, 
rahang bertonjolan, pelipis bergerak-gerak sedang mata menyorot merah! 
"Pemuda, hari ini aku Resi Singo Ireng biarlah mengadu jiwa pada kau!". Sang Resi 
angkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Detik demi detik tangannya itu menjadi hitam legam. 
Tangan ini bergetar karena seluruh tenaga dalamnya dipusatkan kesitu! 
Wiro Sableng tertawa mengejek. "Rupanya kau sengaja mau bunuh diri manusia kate 
bertampang jelek! Dalam keadaan terluka di dalam, melancarkan pukulan demikian rupa kau 
akan konyol sendiri!". 
Singo Ireng memang memaklumi hal itu. Tapi dia sudah kepalang tanggung, sudah 
teramat malu dan sudah meluap amarahnya! "Aku mati tapi kau juga mampus ditanganku, 
keparat!" bentaknya.. Maka tangan kirinyapun turun kebawah dengan cepat. Selarik sinar hitam 
yang menggidikkan menyambar kearah Pendekar 212! Itulah ilmu pukulan "wesi item" yang 
telah membinasakan Braja Paksi, kepala balatentara Banten! 
Pendekar 212 melompat ke atas sampai enam tombak. Angin pukulan "wesi item" terasa 
panas seperti mau melumerkan kedua kakinya. Pendekar ini gigit bibir menahan perih lalu 
1ancarkan serangan balasan yaitu pukulan yang tak asing lagi. "kunyuk melempar buah"! 
Di seberang sana tubuh Resi Singo Ireng kelihatan jungkir balik kemudian jatuh duduk 
di tanah dan muntah darah, lalu rebah tiada sadarkan diri! 
Sebenarnya pukulan "kunyuk melempar buah" itu belum tentu akan mencelakai sang 
Resi. Namun karena dalam keadaan terluka di dalam dia telah rnelancarkan pukulan yang keras

dengan mengandalkan seluruh tenaga dalam maka dia rasa sendiri akibatnya. Masih untung 
nyawanya tidak terbang! 
Wiro Sableng tertawa mengekeh. Dia melangkah mendekati tubuh Resi itu. Prajurit-
prajurit yang masih hidup, yang dedikkan mata melihat bagaimana jago mereka dibikin babak 
belur demikian rupa segera bersurut menjauh. 
"Resi muka arang!,” kata Pendekar 212. "Kau tanya siapa aku. Inilah kutuliskan aku 
punya nama!". Dan habis berkata demikian pendekar ini segera guratkan angka 212 dikulit 
kening yang hitam dari Singo Ireng. Kemudian nendekar ini berdiri kembali. "Kerak-kerak 
pemberontak!,” katanya pada perajurit-perajurit yang masih hidup. "Kalian boleh menggotong 
manusia bermuka pantat kuali ini ke Kotaraja! Jika hari ini aku tiada cabut nyawanya dan nyawa 
kalian, maka di lain hari bila bertemu kembali jangan harap aku akan lepaskan nyawa kalian! 
Sampaikan ini padanya bila dia sudah siuman!". Dan sesudah bicara demikian Wiro Sableng 
segera tinggalkan tempat itu dengan membawa mayat Mangkubumi Mintra. 
-- == 0O0 ==

EMPAT


DENGAN hati penuh duka sedih mengenang kematian Mangkubumi Mintra yang sengaja 
korbankan nyawa untuk selamatkan dirinya, Sultan Hasanuddin berlari sepanjang tepi rimba 
belantara dikaki bukit. Perjuangan memang membutuhkan pengorbanan. Dan ini bukan saja 
menambah besarnya dendam kesumat di hati Sultan terhadap Parit Wulung dan benggolan-
benggolan pemberontak lainnya tapi juga mempertebal tekatnya bahwa disuatu ketika dia pasti akan 
kembali ke Banten dan membangun Kerajaan Banten yang syah! 
Menjelang senja dia mencapai sebuah kota kecil yang terletak di timur Banten. Kota ini 
bernama Asoka. Dulunya hanya merupakan pangkalan-pangkalan pemberhentian para pedagang 
dari pelbagai penjuru sekitar situ. Kemudian pedagang-pedagang itu banyak yang mendirikan 
gudang-gudang untuk barang-barang dagangannya, kemudiannya lagi mereka juga mendirikan 
rumah-rumah sehangga lambat laun dari pangkalan dagang maka berobahlah Asoka menjadi sebuah 
kota. Sebagai kota dagang tentu saja sepanjang hari Asoka selalu sibuk. Kesibukan dan keramaian 
ini terus berlangsung sampai jauh malam.

Sehabis mendapatkan sebuah penginapan, Sultan mengelilingi kota melihat-lihat keramaian 
dan mengisi perut disatu kedai. Ketika bulan sabit di atas langit tertutup oleh awan tebal berwarna 
gelap maka Sultanpun kembali kepenginapannya. Matanya yang tajam segera melihat adanya 
ketidakberesan dalam kamar dimana dia menginap. Seperai agak kusut bantal-bantal tidak terletak 
ditempatnya semula sedang bungkusan kecil yang berisi beberapa potong pakaian serta sejumlah 
uang yang diletakkannya di kolong tempat tidur nyata sekali bekas dibuka dan digeledah orang. 
Namun tidak sepotong barang-barangnyapun yang hilang! 
Sultan merasa masygul. Dia memandang berkeliling. Di dinding sebelah sana terdapat 
sebuah jendela. Jendela itu masih tetap sebagaimana tadi ditinggalkannya. Tak ada tanda-tanda 
bekas pengrusakan. Siapa gerangan yang telah masuk ke dalam kamar dan melakukan 
penggeledahan? Mungkin seseorang, mungkin beberapa orang? Kalau dia atau mereka itu dari 
golongan si tangan panjang atau pencuri, mengapa tidak sepotong barang dan tak sepeser 
uangnyapun yang hilang? Kekhawatiran Sultan Hasanuddin semakin besar karena dia ber-
kesimpulan bahwa siapapun manusianya yang telah memasuki kamarnya pastilah untuk mencari 
dan mencuri keris pusaka Tumbal Wilayuda! 
Sultan Hasanuddin merasa bersyukur karena sewaktu pergi tadi dia telah membawa keris 
tumbal kerajaan itu. Kalau tidak pastilah senjata itu sudah lenyap dilarikan orang! 
Malam itu Sultan sengaja tidur dengan mematikan lampu minyak di dalam kamarnya. 
Matanya hampir terpicing ketika lapat-lapat sepasang telinganya mendengar suara gemerisik di atas 
loteng bangunan. Suara itu pasti sekali bukan suara kucing. Sultan pasang telinganya lebih tajam. 
Suara gemerisik tadi lenyap dan kini dia hanya mendengar suara rintik-rintik hujan gerimis di luar 
sana. Perlahan-lahan Sultan pejamkan matanya kembali. Tapi ketika hampir pulas matanya itu 
terpicing, suara gemerisik tadi didengarnya kembali. Kali ini Sultan bangun dari pembaringan dan 
melangkah kesudut kamar. Dia menunggu dengan tangan kanan menempel erat-erat dihulu pedang. 
Tiba-tiba pintu kamar terbuka! Sultan terkejut. Dia ingat betul bahwa pintu kamar itu 
telah dikuncinya tadi, bagaimana kini bisa terbuka semudah itu tanpa suara dan siapakah yang 
nlembukanya?! Sultan tak menunggu lebih lama. Sesosok tubuh manusia yang sangat pendek 
masuk mengendap-endap ke dalam. Manusia ini memakai jubah panjang. Karena tubuhnya yang 
kate maka jubahnya menjela-jela sampai kelantai. Tiba-tiba orang itu putar tubuh ke kiri dan 
melompat. Sebuah benda besar ditangannya yaitu sebilah golok empat persegi panjang menderu 
ke arah dimana Sultan berdiri. Sultan sendiri yang saat itu memang sudah siap siaga cabut 
pedangnya dengan cepat dan menangkis! 
"Trang"!

Bunga api memercik. Karena kamar itu gelap maka sinar percikan bunga api menjadi 
terang sekali dan menerangi kedua muka manusia yang berada disitu. Keduanya saling meneliti 
paras lawan masing-masing! 
Terkesiaplah Sultan Hasanuddin ketika melihat bagaimana wajah manusia yang 
dihadapinya itu seramnya bukan main. Rambutnya kaku berdiri laksana ijuk. Manusia ini 
memelihara berewok yang meranggas lebat. Alisnya tebal, sepasang matanya besar merah. 
Bibirnya sumbing dan dua buah giginya yang besar tersembul keluar. Manusia ini boleh di-
katakan tiada mernpunyai hidung karena daging hidungnya sama rata dengan pipinya yang 
cekung! Dan bau badannya yang busuk sangat menusuk hidung! 
"Manusia buruk! Jika kau tidak tinggalkan kamar ini dengan cepat, jangan menyesal bila 
kukirim ke akhirat!" ancam Sultan. 
Manusia bermuka seram itu tertawa dingin. 
Dia hembuskan nafasnya yang busuk kemuka. Sultan tutup jalan nafas di hidung dan 
untuk kedua kalinya pergunakan pedang guna menangkis serangan lawan. Tapi kali ini keadaan 
tidak seperti tadi Iagi. Meski Sultan sanggup menangkis senjata lawan namun pedangnya sendiri 
terlepas mental, tangannya tergetar hebat. Tiba-tiba satu tangan mendorongnya hingga dia 
terbanting dengan keras ke dinding! 
Ketika dia imbangi diri kembali, kaget Sultan tiada kepalang. Matanya membeliak 
menyaksikan bagaimana keris Tumbal Wilajuda kini sudah berada di tangan manusia bermuka 
seram itu! 
"Maling hina dina! Kembalikan kerisku!" teriak Sultan. 
Simuka buruk hamburkan tertawa mengekeh. "Masih untung aku hanya minta kerismu 
ini, dan bukan nyawamu!". Habis berkata begini manusia muka seram itu sekali gerakkan badan 
tubuhnya menerjang ke muka mendobrak jendela untuk kemudian lenyap lewat jendela yang 
ambruk itu dikegelapan malam! 
"Pencuri terkutuk!". Sultan melesat pula ke luar jendela. Dia masih sempat melihat 
bayangan pencuri itu di balik sebuah gudang tua dan segera mengejar ke situ. Kejar mengejar itu 
berjalan hanya sebentar saja karena sejurus kemudian si pencuri lenyap seperti gaib ditelan 
bumi! 
Sultan berdiri gemas memandang berkeliling. Ke mana dia harus mengejar dan mencari 
si pencuri di malam buta begini? Apakah manusia tangan panjang itu bukan salah seorang pula 
dari kaki tangan Parit Wulung?!Tengah kebingungan begitu rupa tiba-tiba Sultan menangkap suara bentakan-bentakan 
orang yang tengah berkelahi. Cepat Sultan lari ke balik sebuah bengkel kuda dan dalam 
kegelapan dilihatnyalah dua manusia tengah bertempur dengan hebat. Salah seorang tiada lain 
dari pada si pencuri yang tengah dicari-carinya sedang orang yang kedua sesudah diperhatikan 
dengan teliti ternyata dia adalah pemuda rambut gondrong yang pagi tadi telah menolongnya di 
perbatasan. 
"Sobat! Serahkan pencuri terkutuk ini padaku!" seru Sultan. 
"Ah... selamat jumpa Sultan," menjawab si rambut gondrong alias Pendekar 212. 
"Tak perlu kotorkan tangan pada manusia bau bangkai ini...!" 
"Dia mencuri kerisku, sobat!" memberi tahu Sultan. 
"Aku tahu. Biar aku yang ringkus dia!" 
Begitu mendengar si pemuda yang menyerangnya memanggil "Sultan" 'terhadap laki-
laki yang datang itu terkejutlah si mulut sumbing. Dibalik terkejut hatinya juga senang. "Ha... 
ha... jadi saat ini aku berhadapan dengan Sultan dan tukang pukulnya? Bagus! Kerisnya aku 
sudah dapat, kini Sultannya sendiri datang antarkan diri untuk ditangkap hidup-hidup. Pasti aku 
mendapat hadiah berlipat ganda dari Parit Wulung..." 
"Hem... jadi betul dugaanku bahwa kau kaki tangannya bangsat pemberontak itu huh?! 
Terima pukulanku ini, pencuri hina dina!" 
Sultan lepaskan tiga pukulan sekaligus! Tapi yang diserang ganda tertawa dan kebutkan 
lengan pakaiannya yang bertambal-tambal. Serangkum angin dahsyat rnenyerang ke arah 
Sultan. Namun angin pukulan itu buyar di tengah jalan, kena dihantam angin pukulan lain yang 
datang dari samping! 
Si muka seram menggerong. "Agaknya malam ini Pengemis Bibir Sumbing musti 
rampas dua jiwa sekaligus!". 
Sultan tersurut sewaktu mendengar manusia kate itu kenalkan diri. Pendekar 212 sendiri 
juga terkejut. Nama Pengemis Bibir Sumbing memang sudah sejak lama terkenal sepanjang 
pesisir Jawa Barat. Bersama dua orang lainnya maka Pengemis Bibir Sumbing dikenal sebagai 
pemegang pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam! Tiba-tiba Pengemis Bibir 
Sumbing lemparkan golok besarnya ke arah Pendekar 212. Senjata ini dengan mudah bisa 
dielakkan. Begitu habis lemparkan golok, Pengemis Bibir Sumbing acungkan kedua tangan 
datar-datar ke muka dengan telapak tangan menghadap ke atas. 
"Telapak tangan minta sedekah nyawa!,” seru Pendekar 212 begitu dia kenali pukulan 
yang bakal dilancarkan lawan."Sultan mundurlah!,” serunya kemudian memperingatkan. 
Tapi disaat itu Pengemis Bibir Sumbing sudah mencelat ke muka dan membagi-bagi 
serangan telapak tangannya pada Pendekar 212 dan Sultan! 
Tahu bahwa pukulan lawan sangat berbahaya maka Pendekar 212 segera hantamkan 
tangan kanannya ke muka. Gelombang angin deras memukul ke arah Pengemis Bibir Sumbing. 
Meski tubuhnya sendiri kemudian terpelanting sampai tiga tombak oleh serangan lawan namun 
Pengemis Bibir Sumbing sebelumnya masih sanggup hantamkan telapak tangannya ke dada 
Sultan! 
Sultan Hasanuddin mengetuh tinggi. Tubuhnya bergoncang, dadanya seperti melesak. 
Terbungkuk-bungkuk dia berbatuk. Darah segar menyembur! 
Pendekar 212 bersuit keras! Tubuhnya lenyap pada detik Pengemis Bibir Sumbing coba 
lepaskan pukulan "telapak tangan minta sedekah nyawa" untuk kedua kalinya. 
"Sultan, cepat telan pil ini!" teriak Wiro Sableng. 
Sultan Hasanuddin sambuti pil yang dilemparkan Pendekar 212 lalu menelannya dengan 
cepat Kemudian segera duduk bersila mengatur jalan darah serta pernafasan, juga alirkan tenaga 
dalam kebagian yang terluka. 
Disaat Wiro Sableng berkelabat maka lenyaplah tubuhnya dari penglihatan Pengemis 
Bibir Sumbing. Karena hanya terdengar suaranya saja, maka Pengemis Bibir Sumbing kembali 
lancarkan pukulan ganas dua kali berturut-turut ke arah suara lawan. Tapi Pendekar 212 tidak 
bodoh dan Pengemis Bibir Sumbing salah perhitungan. . 
"Plaak"! 
Pengemis Bibir Sumbing terpental empat tombak ke belakang. Kepalanya serasa pecah 
sedang kulit keningnya laksana terbakar! Dan pada kulit keningnya itu kini kelihatan tiga buah 
angka 212! Pengemis Bibir Sumbing meluap amarahnya. Tanpa hiraukan rasa sakitnya pada 
keningnya dia menerpa kemuka kirimkan lima pukulan empat tendangan! Pendekar 212 
mendengus dan bersiul nyaring. Tangan kanan menghantam ke muka. Angin pukulan menderu, 
menyusup di antara serangan lawan! 
Untuk kedua kalinya Pengemis Bibir Sumbing terpental. Kali ini sampai delapan tombak 
dan kali ini terus terguling ke tanah dengan mulut memuntah darah! Tamatlah riwayatnya! 
Sultan yang menyaksikan pertempuran hebat itu dalam sakitnya leletkan lidah penuh kagum! 
Pendekar 212 mendekati mayat Pengemis Bibir Sumbing, memgambil keris Tumbal 
Wilayuda lalu menyerahkan kemhali pada Sultan."Keris pusaka bagus! Karena senjata ini banyak yang ingini sebaiknya disimpan lebih 
hati-hati, Sultan". 
Sultan menghela nafas panjang. "Terima kasih,” katanya. "Dua kali kau telah 
menolongku sahabat. Siapakah engkau?" 
"Namaku Wiro Sableng,” jawab Pendekar 212. "Kalau aku boleh kasih nasihat, baiknya 
kau tak usah kembali kepenginapan, tapi segera teruskan perjalanan". 
"Mengapa begitu?" tanya Sultan. 
"Terlalu banyak manusia-manusia macam Pengemis Bibir Sumbing ini yang mencarimu 
dan inginkan keris Tumbal Wilayuda". 
Sultan merenung sejurus. "Terima kasih atas nasihatmu, sahabat! Karena kau telah 
berbuat baik kepadaku, perbuatan baik yang tak bakal kulupakan sebagai budi besarmu, 
bagaimana kalau aku tawarkan agar ikut bersamaku meneruskan perjalanan?" 
"Ah... itu satu kehormatan besar bisa seiring denganmu, Sultan" jawab Pendekar 212 
ramah. "Tapi harap maafkan.. Aku masih banyak urusan. Namun demikian, aku berjanji tidak 
akan berada jauh dari padamu…” 
"Kalau begitu baiklah, aku tidak memaksa',” ujar Sultan. Dari balik pakaian samarannya 
yang bertambal-tambal dikeluarkannya sebuah benda yang bercahaya. Diserahkannya benda itu 
kepada Pendekar 212 tapi sang pendekar tak berani menyambutinya. 
"Sobat, terimalah!" kata Sultan pula. 
"Benda apakah ini Sultan?" 
"Terimalah dulu". 
Wiro menerimanya. 
Benda itu ternyata sebuah bintang bersudut delapan yang terbuat dari emas dan di 
tengah-tengahnya dihiasi dengan sebutir berlian yang berkilauan. "Benda itu adalah bintang 
utama Kerajaan Banten, yang diserahkan kepada siapa saja yang telah membuat jasa terhadap 
Raja dan rakyat Banten, Wiro..." 
"Ah... mana aku pantas terima hadiah ini Sultan?" kata Wiro Sableng pula dengan ke-
rendahan. 
Tapi sultan memaksakan juga agar Pendekar 212 menerima anugerah itu. Wiro 
menyimpan benda tersebut baik-baik dibalik pakaiannya. "Terima kasih,” katanya. 
"Lalu karena penyamaraanmu sebagai pengemis sudah diketahui oleh golongan rampok 
dan penjahat, sebaiknya ditukar saja, Sultan" 
"Aku memang sudah merencana begitu" kata Sultan pula.Sekali lagi mereka saling ucapkan terima kasih. Pendekar 212 menjura minta diri dan 
keduanyapun berpisahlah. 
-- == 0O0 ==


LIMA


KELUARGA Wirja Pranata adalah keluarga bangsawan besar di Ujung Kulon. Selagi 
muda antara Wirja Pranata dan Fatahillah terdapat jalinan persahabatan yang erat sehingga di 
suatu ketika kedua sahabat itu berjanji bahwa bila mereka nanti salah satu memiliki anak laki--
laki dan anak perempuan, dikemudian hari kelak keduanya akan dijodohkan. 
Puteri bangsawan Wirja Pranata yaitu Anjarsari memang sudah lama tahu bahwa dirinya 
dijodohkan dengan Raja Banten. Namun sampai sebegitu jauh belum pernah sekalipun dia 
bertemu muka dengan calon suaminya itu. Dan ketika Sultan Hasanuddin muncul di sore hari itu 
maka terkejutlah bangsawan Wirja Pranata. 
"Sultan, apakah yang telah terjadi ? Mengapa datang tanpa pengiring dan dalam pakaian 
begini rupa?” 
Sultan Hasanuddin menggigit bibir menahan gelora hatinya. Sesudah apa yang 
menggejolaki hatinya berkurang maka mulailah dia beri penuturan. 
Hal itu mengejutkan seluruh keluarga bangsawan Wirja Pranata, termasuk Anjarsari 
yang curi mendengar penuturan itu dari balik dinding kamar tidurnya. 
Beberapa lamanya kesunyian menyeling. Bangsawan Wirja Pranata dan isterinya duduk 
termanggu tanpa bisa berkata apa-apa. Sultan sendiri juga terdiam beberapa Iamanya. Ketika 
Sultan dipersilahkan kebelakang untuk membersihkan diri maka diamdiam Anjarsari mencuri 
intip dari sela pintu. Hatinya berdebar dan darahnya berdebur-debur. Ah, nyatanya Sultan yang 
bakal suaminya itu seorang pemuda yang berparas gagah berkulit kuning halus, hampir sehalus 
kulit perempuan! Hatinya berbunga-bunga. Kapan ayah atau ibunya akan menyuruhnya keluar 
dan berkenalan dengan Sultan? Dan mengingat ini dada si gadis semakin menggemuruh. Ketika 
dia menghadap ke kaca maka jelaslah kelihatan bagaimana parasnya ke merah-merahan! 
Ketika senja berlalu dan hari beralih menjadi malam maka barulah Anjarsari disuruh 
keluar oleh ibunya. Pertemuan dengan Sultan benar-benar membuat lututnya gemetar, tapi juga 
membuat hatinya mekar. Gadis ini tundukkan kepala, parasnya bersemu merah. Sultan sendiri juga tundukkan kepala. Apa yang dikatakan ayahnya bahwa calon isterinya adalah seorang gadis 
cantik sekarang menjadi kenyataan. Diam-diam pemuda ini melirik dengan sudut matanya. 
Bangsawan Wirja Pranata berbatuk-batuk. Lalu bertanyalah dia pada calon mantunya itu 
. "Apakah rencana Sultan selanjutnya?" 
"Saya merencanakan untuk pergi ke. Demak dan minta bantuan pasukan serta 
persenjataap selengkapnya....." 
"Itu tepat sekali,” kata Wirja Pranata. “Tapi mengingat Demak masih jauh dari sini dan 
Sultan membawa keris pusaka pula maka sebaiknya Sultan jangan pergi seorang diri" 
Ucapan calon mertuanya itu memang dirasa betul sekali oleh Sultan. Dan diam-diam dia 
teringat pada Wiro Sableng, si pemuda sakti yang telah dua kali menolongnya. Kalau pemuda 
itu berada bersamanya saat itu tentu dia tak usah khawatir bahaya apapun. 
Sebagai orang tua yang tahu di hati anak muda dan juga pernah muda, tak lama 
kemudian Wirja Pranata bersama isterinya mengundurkan diri ke dalam kamar. Maka kini 
tinggallah kedua orang itu. Suasana lain sekali jadinya kini. Suasana itu sungguh tidak enak, tapi 
tidak enak yang enak! Rasa begini rupa baik oleh Anjarsari maupun oleh Sultan sendiri tak 
pernah dialaminya sebelumnya. Cuma sudut-sudut mata mereka saja yang sekali-sekali mencuri 
pandang. Ketika Anjarsari melirik untuk kesekian kalinya maka pada detik itu pula Sultan 
mengerling. Beradulah dua kerlingan mata itu! Anjarsari cepat-cepat menundukkan kepalanya 
menyembunyikan paras yang semu kemerahan! 
Kesunyian masih juga berjalan terus sampai beberapa lamanya. Tiada satupun yang 
berani untuk membuka pembicaraan. Sultan sendiri merasa tenggorokannya seperti tersekat, 
lidahnya seperti kelu dan mulutnya terkancing! 
Namun pada akhirnya Sultan Hasanuddin membuka mulutnya juga. "Kalau tiada terjadi 
pengkhianatan Parit Wulung, mungkin sampai hari ini belum ada kesempatan bagi kita untuk 
bertemu, Sari...” 
"Ya... hemm..., saya sangat terkejut meindengar berita buruk itu, kakak,” berkata Anjar-
sari agak gugup. Kemudian. "Apakah kakak akan segera berangkat ke Demak...?" 
Sultan mengangguk. 
"Memang lebih cepat lebih baik. Ramanda di Cirebon sudah mendapat tahu peristiwa di 
Banten...?" 
"Mudah-mudahan sudah karena ada kukirimkan seorang utusan ke sana". Kemudian 
untuk menghilangkan pembicaraan yang berjalan kaku itu maka Sultan mengajak Anjarsari 
keluar rumah. Di luar ternyata malam itu berpemandangan indah. Bulan purnama empat belas hari bersinar terang, bintang-bintang bertaburan di langit yang biru cerah. Banyak dan sering 
sudah kedua remaja itu melihat bulan purnama pada malam-malam terang bulan sebelumnya 
namun bagi mereka tiada seindah malam itu. 
Di samping gedung besar bangsawan Wirja Pranata terdapat sebuah taman kecil. Di 
dalam taman terletak satu bangku panjang. Kedua remaja ini melangkah seiring ke bangku itu. 
Mendadak Sultan putar kepalanya ketika sepasang telinganya yang tajam dalam kesunyian itu 
mendengar suara bergeresek di atas genting. Sesosok bayangan hitam kelihatan berkelebat ialu 
lenyap di bagian atap gedung yang lain. Meski demikian cepat lenyapnya namun Sultan masih 
sempat melihat bahwa di tangan kirinya sosok tubuh hitam itu memegang sebuah benda yang 
berbentuk keris. 
"Celaka!" kata Sultan dalam hati. Dia berseru dengan keras. "Berhenti!" Tapi bayangan 
sosok tubuh tadi sudah sejak lama lenyap. Ketika disusul kehalaman samping juga tak kelihatan 
lagi. Dalam kebingungannya Sultan sampai lupakan Anjarsari. Dia lari masuk ke dalam gedung, 
terus ke kamar dan melihat bagaimana kasur pembaringan berada dalam keadaan tak karuan. 
Ketika ditariknya kasur itu di bagian kepala tempat tidur, maka keris Tumbal Wilayuda yang 
sebelumnya disimpannya di sana, kini sudah tiada lagi! Lenyap! Dan pastilah sosok tubuh yang 
melarikan diri tadi yang telah mencurinya! 
"Pencuri keparat!" maki Sultan. Dia lari lagi keluar. Ketika sampai di halaman samping 
terkejutlah dia. Anjarsari tak ada lagi di dalam taman! Lenyap! 
"Anjar!" memanggil Sultan. "Anjarsari!" serunya lagi. Tapi tiada jawaban! 
Maka di malam itu hebohlah seisi gedung bangsawan Wirja Pranata. Sultan sendiri 
sesudah memberikan penuturan, singkat segera berkelebat meninggalkan gedung. Keris 
Tumbal Wilayuda lenyap! Tapi kekhawatirannya lebih lagi terhadap Anjarsari yang hilang 
secara aneh itu. Maka dia memutuskan menyelidiki lenyapnya Anjarsari lebih dahulu lalu baru 
mencari jejak si pencuri keris Tumbal Wilayuda! 
Sesaat sesudah kepergian Sultan, Wirja Pranata berkelabat pula ke arah yang 
berlawanan. 
Malam dingin dan angin agak kencang bertiupnya. Wirja Pranata adalah seorang 
bangsawan yang "mempunyai isi" juga. Dalam waktu yang singkat dengan ilmu larinya yang 
sempurna dia telah sampai di luar kota. Karena daerah luar kota merupakan daerah pesawangan 
datar di tambah bulan bersinar terang maka dengan mudah di ujung pesawangan Wirja Pranata 
dapat melihat dua sosok tubuh manusia tengah berlari kencang. Yang di belakang sebat sekali 
larinya dan dalam waktu yang singkat berhasil menyusul yang di muka. Kemudian kelihatan terjadi pertempuran! Tanpa menunggu lebih lama bangsawan Wirja Pranata segera lari ke sana. 
Dia sampai ketika pertempuran tengah berjalan hebat-hebatnya. Kedua orang yang bertempur 
adalah seorang pemuda berambut gondrong berpakaian putih. Gerakannya gesit sekali dan 
menimbulkan angin bersiuran. Lawannya adalah seorang laki-laki jangkung kurus bermuka 
sangat seram berpakaian hitam. Salah satu matanya sangat besar sedang yang lain hanya 
merupakan sebuah rongga hitam cekung yang sangat menggidikkan. Gerakannya juga tak kalah 
hebat dari lawannya. Pakaiannya bertambal-tambal. 
"Berhenti!" seru Wirja Pranata. 
Tapi yang bertempur tidak ambil perduli. Yang bermuka seram malahan lancarkan 
empat serangan dahsyat yang menimbulkan angin tajam dan panas! 
Pemuda rambut gondrong berseru nyaring, lompatkan diri ke udara lalu menukik lagi 
seraya hantamkan tangan kanan ke muka. Angin laksana badai menderu menyerang si muka 
seram. 
"Pukulan kunyuk melempar buah!,” seru si muka seram kaget. Buru-buru dia kebatkan 
lengan pakaian hitamnya. Tapi tubuhnya terduduk di tanah karena angin pukulan lawan 
nyatanya lebih dahsyat. Pemuda rambut gondrong sendiri tersurut ke belakang beberapa 
langkah, dadanya terasa sakit. 
"Manusia muka setan ini ilmunya tinggi sekali dan berbahaya!,” membatin si pemuda. 
Sebaliknya si muka setan yang tahu bahwa lawannya adalah seorang yang sangat 
tangguh segera berseru pada Wirja Pranata. "Sobat! Kenapa diam saja?! Bukankah 
kedatanganmu kemari untuk mencari pencuri keris? Inilah bangsat malingnya! Ayo tunggu apa 
lagi, mari kita labrak!" 
Si pemuda tertawa dingin. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Ketika tangan itu 
turun, segelombang angin menggebubu menyerang tubuh si muka setan dari atas ke bawah! 
Manusia ini segera kebutkan kedua ujung lengan bajunya. Pemuda gondrong sampai melesak 
kedua kakinya sedalam dua senti ke tanah sedang si muka setan terguling di tanah tapi cepat 
bangun lagi! 
Diam-diam si pemuda rambut gondrong terkejut. 
Pukulan yang dilancarkan tadi bukan sembarang dan mempergunakan hampir sepertiga 
tenaga dalamnya tapi lawan ternyata tidak apa-apa malahan bisa bangkit kembali! 
"Wirja Pranata!" berseru si muka setan. "Kalau kau inginkan keris kembali lekas bantu 
aku meringkus maling busuk ini! Apa kau tidak lihat pinggangnya menggembung? Keris itu 
disembunyikannya di sana!"
"Orang tolol!,” maki si pemuda. ''Kenapa terpengaruh omongan manusia muka setan 
ini?! -Dialah Yang mencuri keris Tumbal Wilayuda!" 
Wirja Pranata jadi bingung. Tapi karena sudah terlanjur maka dia teruskan juga 
serangannya. Pernuda rambut gondrong tiada hentinya memaki. 
"Bangsawan Wirja Pranata, sebaiknya mundurlah! Jangan sampai tertipu maling yang 
berteriak pencuri ini!” 
Meski terkejut karena si gondrong ketahui nmaanya namun Wirja Pranata terus juga 
lancarkan serangan-serangan. Si rambut gondrong menggereng. Tiba-tiba bersuit keras. Kedua 
tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas dan diputar-putar. Dia menghadap tepat-tepat pada 
manusia muka setan. Dan manusia ini terkejut sekali "Pukulan angin puyuh!,” serunya, dengan 
wajah tegang. Cepat-cepat dia keruk kantong baju hitamnya, lompat empat tombak dan begitu 
tangannya keluar dari saku maka melesatlah lima benda bersinar hitam ke arah si pemuda. 
"Paku Darah Hitam!,” seru Wirja Pranata ombil surut kebelakang. Hatinya meragu akan 
siapa sebenarnya manusia muka seram itu. 
“Hemm... jadi kau anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam?" gertak pemuda 
rambut gondrong. Sekali dia hantamkan tangan kanan ke muka maka luruhlah paku-paku biru 
itu ke tanah! Ketika dia hendak menyerang kembali si muka setan sudah lenyap! 
-- == 0O0 ==


ENAM

DENGAN sangat penasaran Pendekar 212 putar tubuh. "Kalau kau tidak bertindak 
gegabah pasti pencuri keparat itu sudah kena diringkus!". 
Memang meski hatinya bimbang tapi Wirja Pranata sendiri juga meragu terhadap diri 
Wiro Sableng. "Kau siapa?!" tanyanya. 
"Sudah, saat ini bukan tempatnya untuk bertanya jawab!". Pendekar 212 segera 
berkelebat ke arah larinya si muka setan yang diduganya adalah seorang anggota Perkumpulan 
Pengemis Darah Hitam. Namun dibelakangnya terdengar suara berseru. 
“Tunggu! Berhenti dulu!" 
Karena tahu yang berseru adalah Wirja Pranata maka Wiro tidak ambil perduli 
melainkan lari terus. Namun sesaat kemudian berdesing sejumlah senjata rahasia menyerang kearahnya. Dengan beringas Pendekar 212 putar tubuh dan kebutkan tangan. Senjata-senjata 
rahasia itu berpelantingan. Dan pada ketika itu pula Wirja Pranata sudah berdiri dihadapannya. 
"Jika kau orang baik-baik mengapa tidak berani sebutkan nama terangkan diri?! Pastilah 
kau bangsanya kaki tangan gotongan hitam!". 
Wiro Sableng jadi betul-betul penasaran kini. "Manusia tidak tahu diri! Tidak tahu 
membedakan mana yang putih dan mana yang hitam! Tidak tahu dirinya tengah ditolong, malah 
mencap orang seenaknya! Kalau bukan mengingat bahwa kau calon mertuanya Sultan, aku 
sudah tampar kau punya mulut! Sekarang pergilah!". Wiro gerakkan kedua tangannya. Dan 
tahu-tahu terdoronglah tubuh Wirja Pranata ke belakang sampai empat tombak! Wirja Pranata 
rupanya menjadi kalap. Melihat pemuda rambut gondrong itu hendak angkat kaki kembali 
maka segera dia hunus keris dan dengan cepat kirimkan lima tusukan sekaligus! 
hati sambil hindarkan diri dengan cepat. 
Di lain saat maka tiba-tiba muncullah satu bayangan manusia. 
"Tahan!" 
Kedua orang yang bertempur, yang sama-sama mengenali suara pendatang baru itu 
segera hentikan pertempuran. 
Pendekar 212 putar kepala pada si pendatang lalu berkata. "Sultan, semangat calon 
mertuamu memang hebat! Nyalinya besar tapi sayang pikirannya keliwat pendek!". 
Merahlah paras Wirja Pranata tapi dia juga heran mengetahui bahwa si rambut gondrong 
mengenali Sultan Hasanuddin. Sultan kemudian memperkenalkan kedua orang itu. Barulah saat 
itu Wiro menjura hormat. 
Dengan batuk-batuk Wirja Pranata bertanya pada Sultan. "Bagaimana dengan Anjarsari, 
apakah berhasil ditemui...?" 
Sultan menundukkan paras kecewa lalu gelengkan kepala dengan pelahan. 
“Terkutuk! Terkutuk!,” maki Wirja Pranata dalam hati. Kedua tangannya terkepal 
membentuk tinju. Tentu saja laki-laki ini sangat mengkhawatirkan keselamatan diri anak 
gadisnya itu. 
Dalam pada itu Pendekar 212 mengetengahi. "Bapak Wirja, kau kembalilah ke Ujung 
Kulon. Kami berdua segera akan mengejar bangsat pencuri itu,” 
''Aku turut bersama kalian!" kata Wirja Pranata dengan hati keras. 
"Bapak,” ujar Sultan, "saya tahu bagaimana perasaan dan kecemasan hati Bapak 
terhadap keselamatan Anjarsari. Sayapun lebih kawatir lagi. Tapi percayalah, bersama sahabat ini saya pasti akan dapat mencari Anjarsari dan menemukan keris Tumbal Wilayuda serta 
membekuk bangsat-bangsat pencuri itu!". 
"Kalau kau berkata begitu, baiklah". Wirja Pranata akhirnya mengalah. Maka sesudah itu 
Wiro Sableng dan Sultan Hasanuddinpun berlalu dengan cepat. 
Ketika hari pagi kedua orang itu masih juga belum berhasil meneemui jejak pencuri yang 
mereka cari. Dengan perasaan lesu mereka sampai ke sebuah kota bernama Parangwilis. Seperti 
Asoka maka Parangwilis adalah juga sebuah kota dagang yang besar. Bau makanan yang harum 
menghambur keluar dari sebuah warung nasi. Kedua orang inipun masuklah ke dalam warung 
tersebut. Karena rambutnya yang gondrong dan potongan tubuh yang kekar dari Wiro Sableng 
serta tampang yang gagah dari Sultan Hasanuddin maka kedua orang ini tentu saja menarik 
perhatian isi warung. Tapi tanpa acuh Wiro dan Sultan terus saja menyantap makanan mereka. 
Mendadak suasana dalam warung nasi itu menjadi sunyi hening laksana dipekuburan! 
Wiro Sableng dan Sultan segera merasakan perubahan ini. Sultan putar kepala memandang 
berkeliling sedang Wiro Sableng putar bola matanya memandang cepat ke beberapa jurus. 
Dari pintu muka warung masuk seorang berpakaian kotor compang camping dan 
bertambal-tambal. Dari pintu belakang dua orang lagi, kemudian dari jendela di samping kiri 
kanan masing-masing dua orang lainnya! Muka-muka mereka rata-rata menunjukkan 
kebengisan, rambut kusut masai, kumis serta janggut kasar meranggas! 
Beberapa orang tamu yang sedang makan dalam warung, melihat gelagat yang tidak baik 
ini segera jauhkan diri ke pojok. Sultan dan Pendekar 212 karena merasa tidak ada sangkut paut 
apa-apa dengan kesepuluh manusia itu tanpa ambil perduli terus menyantap hidangan mereka. 
Tiba-tiba salah seorang yang datang dari pintu depan hantamkan tangan kananya ke 
muka. Angin deras melanda meja makan di hadapan Wiro serta Sutan. Meja kayu yang besar 
dan berat itu tak ampun lagi mental melabrak dinding warung. Piring serta gelas di atasnya 
berpelantingan pecah! Namun di saat itu pula baik Pendekar 212 maupun Sultan telah me-
lompat ke samping dan berdiri saling memunggungi ! 
Serentak dengan itu maka sepuluh manusia yang berpakaian compang-camping sudah 
mengurung keduanya dengan rapat. 
"Berhari-hari dicari baru kini kutemui!,” kata laki-laki yang tadi melabrak meja dengan 
pukulannya yang hebat. 
"Kalian siapa?,” tanya Sultan sambil bersiap sedia menjaga segala kemungkinan. Di 
belakang di dengarnya Wiro Sableng mulai bersiul-siul seenaknya.Orang tadi mengekeh. Gigi-giginya hitam dan di sudut bibirnya terselip segumpal susur 
tembakau. "Kami adalah anggota-anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam!,” jawab orang 
itu. 
Terkejutlah Sultan. "Kami berdua tidak merasa punya silang sengketa dengan kalian, 
mengapa datang mengganggu?" 
Anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu mengekeh lagi. "Jangan jual bacot 
mengatakan tiada silang-sengketa. Salah seorang dari kalian telah membunuh pemimpin kami 
Pengemis Bibir Sumbing!" 
"Oh, jadi kalian anak-anak buahnya manusia jahat itu? Setiap manusia jahat akan menemui 
ajalnya secara buruk! Kalian pergilah semua!" 
Anggota Pengemis Darah Hitam semburkan susurnya ke muka Sultan. Meski cuma susur 
tapi bahayanya besar sekali karena mengandung tenaga dalam! Dengan cepat Sultan hantamkan 
tangan kanannya ke depan, maka mentallah susur itu. 
Sebagian dari air susur menjiprat ke muka beberapa orang anggota Perkumpulan Pengemis 
Darah Hitam termasuk laki-laki yang telah menyemburkan susur itu tadi! Maka marahlah dia! Dan 
segera membentak! 
"Tangkap Sultan hidup-hidup! Yang gondrong itu cincang sampai lumat!" 
Sembilan pengemis yang diberi komando segera menyerbu ke muka. Tubuh Sultan dan 
Wiro Sableng lenyap. Hanya suara tertawa Pendekar 212 ini saja yang terdengar. Dan sesaat 
kemudian terdengarlah suara . "bluk . . . . bluk .... bluk ... bluk . . .” 
Empat anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam mencelat dan menggeletak di tanah 
tanpa nyawa! Sekali lagi Pendekar 212 berkelebat dan dua lawan lagi mental ke luar kedai! 
Melihat ini pengemis yang tadi berikan komando segera keluarkan senjatanya berupa 
sebuah cambuk yang berwarna hitam. Melihat ini maka tiga anggota lainnya yang masih hidup 
segera pula keluarkan cambuk masing-masing. Dan sesaat kemudian maka laksana hujan 
menggeletarlah cambuk-cambuk itu ke arah Wiro Sableng dan Sultan. Suasana tiada ubah seperti 
halilintar. Kedai itu seakan-akan hendak hancur Iuluh tenggelam oleh suara cambuk! Dan di saat 
itu tak ada satu tamu lainpun yang masih. berani berada di dalam warung sedang pemilik warung 
sendiri sudah kabur entah ke mana! 
Sultan melompat ke samping kiri untuk hindarkan cambuk salah seorang lawan. Begitu 
terhindar segera dia kirimkan serangan balasan namun dua cambuk lainnya tahu-tahu sudah 
melibat kedua tangannya! Bagaimanapun dicoba oleh Sultan untuk lepaskan diri namun sia-sia 
saja.Di tain pihak Pendekar 212 coba keluarkan diri dari hantaman-hantaman cambuk dua 
orang lawannya yang datang laksana hujan! Tapi memang permainan cambuk empat anggota 
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam ini hebat sekali. Sementara Sultan di sebelah sana sudah 
kena diringkus dan di seret ke pintu muka. Pendekar 212 dibikin sibuk dan kepepet ke bagian 
belakang warung. 
Geram sekali Wiro Sableng lompat tiga tombak ke atas lalu menukik ke bawah seraya 
membagi serangan tangan kiri kanan kepada dua orang lawannya. 
Angin pukulan Pendekar 212 membuat kedua orang itu hanya terdorong seketika karena 
kebutan cambuknya yang begitu dahsyat sanggup membendung hampir sebagian besar angin 
pukulan Wiro ! 
Dengan penasaran Pendekar 212 begitu sampai ke tanah kembali segera menyambar 
sebuah bangku panjang. Dengan bangku panjang sebagai senjatanya maka mengamuklah 
Pendekar 212. Cambuk hitam anggota Pengemis Dara.h Hitam betul-betul luar biasa. Senjata 
keduanya mendera bangku hitam beberapa kali. Dan hancurlah bangku hitam itu ! 
Wiro Sableng menggerung. Kedua tangannya bergetar dan dinaikkan tinggi-tinggi ke 
atas. 
"Wut! Wutt.....!” 
Warung nasi itu berderak derik! Kedua lawan coba putar dan pecutkan cambuk mereka 
lebih deras lagi namun angin yang menyambar dari lengan Pendekar 212 tak sanggup lagi 
mereka tahan. Laksana topan kedua orang itu bermentalan kian ke mari. Cambuk mereka 
terlepas dan tiba-tiba. "krraakkk !" Warung nasi itupun robohlah! 
Sesaat kemudian bangunan ini ambruk, maka Pendekar 212 sudah melabrak dinding dan 
lolos ke luar. Dua orang anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam yang tadi sudah konyol 
tersambar pukulan "angin puyuh" Pendekar 212 tertimbun mentahmentah! 
Di luar warung yang rubuh, Pendekar 212 bingung sendiri karena melihat Sultan 
bersama dua orang anggota Pengemis Darah Hitam sudah lenyap. Dia segera minta beberapa 
keterangan pada orang-orang di luar kemana lenyapnya ketiga orang itu. 
"Kawanmu kena diringkus dan dilarikan ke jurusan sana,” kata seseorang sambil 
menunjuk ke ujung jalan. Maka tanpa membuang waktu Wiro Sableng segera mengejar ke arah 
yang ditunjukkan. 
-- == 0O0 ==

TUJUH


PADA masa itu di Jawa Barat telah sejak lama berdiri sebuah perkumpulan yang 
bernama Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Anggotanya terdiri dari pengemis-pengemis 
yang tersebar di seluruh pelosok dan di setiap kota. Setiap anggota perkumpulan mempunyai 
sebuah pecut hitam dan rata-rara memiliki ilmu silat yang tinggi. Tentu saja karena hampir 
setiap tempat dan daerah anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam ada maka segala sesuatu 
peristiwa besar dan rahasia dengan, sendirinya diketahui oleh mereka. Demikian juga dengan 
peristiwa jatuhnya Banten ke tangan pemberontak dan lenyapnya Sultan serta keris Tumbal 
Wilayuda. Yang terakhir sekali mereka juga mengetahui hubungan Sultan dengan Andjarsari. 
Maka pucuk Pimpinan Perkumpulan segera menyebar anak-anak buahnya untuk mendapatkan 
keris Tumbal Wilayuda mencari Sultan serta menculik Andjarsari! 
Demikian besarnya hasrat mereka untuk berhasil dalam rencana tersebut maka sampai-
sampai salah seorang dari pucuk pimpinan yang terdiri dari tiga pengemis berkepandaian tinggi, 
memutuskan untuk turun tangan. Pucuk pimpinan yang seorang ini ialah Pengemis Bibir 
Sumbing! Sebagaimana yang telah dituturkan sebelumnya, ketika Sultan bermalam di satu 
penginapan maka Pengemis Bibir Sumbing telah mendatanginya dan hampir berhasil membawa 
kabur keris Tumbal Wilayuda jika saja saat itu Pendekar 212 tidak muncul memberikan 
bantuan. Bukan saja Pengemis Bibir Sumbing tiada berhasil dengan niatnya untuk mencuri keris 
pusaka tumbal kerajaan tapi dia juga terpaksa serahkan jiwa! Dibanding dengan dua pucuk 
pimpinan lainnya yaitu Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang maka memang 
kepandaian Pengemis Bibir Sumbing jauh lebih rendah sehingga setelah bertempur beberapa 
gebrakan secara hebat maka akhirnya Pengemis Bibir Sumbing menemui ajalnya di tangan 
Pendekar 212. 
Namun bahaya yang mengancam Sultan serta keris pusaka itu tidak sampai di sana saja. 
Ketika Sultan bermalam di rumah Wirya Pranata, seorang anggota Perkumpulan Pengemis Darah 
Hitam telah berhasil melarikan keris tersebut selagi Sultan berada di taman dengan calon istrinya 
Andjarsari! Dan Andjarsari sendiri kemudian juga telah diculik pula oleh salah seorang anggota 
lain Perkumpulan Pengemis Darah Hitam! 
Adapun markas atau sarang Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu, terletak di dalam 
hutan belantara Riungslaksa. Maka ke sanalah anggota-anggota perkumpulan yang telah berhasil 
membawa orang yang mereka culik dan keris yang berhasil dicuri. Selama beberapa hari itu kedua pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam menanti-nanti juga akan hasil pekerjaan 
anggota-anggota mereka. 
"Ah, lama betul sekali ini anggota-anggota kita menjalankan tugasnya…,” berkata 
Pengemis Mata Buta. Tubuhnya tinggi kurus macam tonggak. Pipinya cekung, rambutnya panjang 
tergerai macam perempuan, sedang kedua matanya hanya merupakan dua buah rongga dalam 
yang hitam sehingga dapat dibayangkan betapa mengerikannya wajah manusia ini! 
"Ya… lama sekali,” jawab Pengemis Kaki Pincang seraya menghela nafas dalam. Di sela 
bibirnya terselip sebuah pipa yang bau tembakaunya busuk sekali! Manusia ini bermuka licin dan 
berkulit sangat pucat laksana mayat! Kaki kanannya pincang. "Bahkan Pengemis Bibir 
Sumbingpun tidak kelihatan mata hidungnya sampai saat ini!" 
"Pengemis Bibir Sumbing macam orang yang tidak percaya saja dengan anggota-anggota 
kita sampai-sampai mau turun tangan sendiri…" 
"Ah.., dia memang dari dulu begitu sifatnya," kata Pengemis Kaki Pincang pula. 
"Saudara Pengemis Mata Buta, apakah menurutmu…” 
Belum habis bicara Pengemis Kaki Pincang maka di luar terdengar seruan. "Para Ketua, 
lihat apa yang aku bawa!" 
Dan sesaat kemudian muncullah seorang anggota Perkumpulan yang berbadan tegap 
kekar. Dibahunya terpanggul sesosok tubuh perempuan muda. Sosok tubuh perempuan ini bukan 
lain Andjarsari, dibaring.
kannya di atas lantai di hadapan kaki kedua pucuk pjmpinan 
Perkumpulan. Saat itu Andjarsari tak dapat bergerak dan juga tidak sadarkan diri karena telah di-
totok. 
Tentu saja sangat gembira hati kedua Ketua Perkumpulan itu. 
"Jasamu kepada Perkumpulan cukup besar Lah Simpong," kata Pengemis Kaki Pincang 
seraja gosok-gosok kedua telapak tangannya. 
Cuping hidung anggota Perkumpulan yang bernama Lah Simpong kelihatan membesar 
dan bergerak-gerak tanda suka cita hatinya. 
"Percayalah, para Ketua," kata Lah Simpong pula. "Dengan berhasilnya gadis ini kita 
tawan, Sultan pasti akan datang ke sini dan kita dengan mudah bisa meringkusnya." 
"Betul sekali!" kata Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang hampir berbarengan. 
Lah Simpong yang dulunya adalah seorang peminta-minta di kota Menes basahkan bibir 
dengan ujung lidah, "Para ketua," katanya "Apa aku boleh terima uang jasa sekai-
ang...?!" 
"Tentu…!" jawab pengemis Kaki Pincang. Dari balik pinggang dikeluarkannya sebuah 
kantong kulit dan ditemparkannya ke hadapan Lah Simpong. Benda itu jatuh dengan mengeluarkan suara berdering di muka kaki Lah Simpong. Dengan. menyeringai gembira maka 
Lah Simpong segera membungkuk dan mengambil kantong uang itu. Dan pada saat itu pulalah 
di luar terdengar seruan seseorang. "Apa artinya hasil yang dibawa Lah Simpong dibandingkan 
dengan apa yang kami bawa ini wahai Para Ketua Perkumpulan?!" 
Dua sosok tubuh mencelat masuk lewat jendela. Ketika mendarat dilantai sedikitpun 
kaki mereka tiada mengeluarkan suara! Baik Pengemis Kaki Pincang maupun Pengemis Mata 
Buta yang meskipun buta tapi mempunyai perasaan dan pendengaran yang tajam luar biasa 
sama-sama bergembira. 
"Siapa yang kalian bawa itu?" tanya Pengemis Mata Buta. 
"Sultan! Sultan!" kata Pengemis Kaki Pincang sambil melompat dari kursinya. 
Pengemis Mata Buta tertawa girang. Dari balik sabuknya dia keluarkan dua buah 
kantong kulit yang besar. "Ini terima!" katanya. Dua orang anggota Pengemis Darah Hitam tadi 
segera menyambutinya. Mereka menjura girang lalu mau putar diri dari situ namun seseorang 
yang melompat masuk lewat pintu muka mengejutkan mereka! 
"Aha... bawaanku memang bukan manusia bernyawa! Bawaanku juga tidak besar cuma 
kecil sekal ! Tapi justru apa yang kubawa ini merupakan satu tanda bahwa siapa pemiliknya 
adalah mempunyai hak untuk menjadi raja di Banten!" 
Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang meloncat dari kursi masing-masing ! 
"Mata Picak! Apakah kau berhasil mencuri keris Tumbal Wilayuda?!" seru Pengemis 
Mata Buta dengan nada gembira. 
Anggota Perkumpulan yang bermata buta sebelah dan bertampang angker itu tertawa 
mengekeh. Nama sebenarnya tak satu anggota atau pemimpin perkumpulan yang tahu. Karena 
itu dia dipanggil dengan gelaran Mata Picak. Di bandingkan dengan Pengemis Bibir Sumbing 
maka kepandaian Mata Picak tiga tingkat lebih tinggi, ditambah lagi bahwa dia mempunyai 
keistimewaan tersendiri yaitu mempunyai senjata rahasia paku beracun! Kepandaiannya ini juga 
diturunkannya kepada anggota perkumpulan termasuk para pucuk pimpinan sehingga lambat 
laun senjata rahasia itupun disebut "paku darah hitam,” sesuai dengan nama perkumpulan 
mereka. Dengan ketinggian ilmu silat ditambah dengan kelihayannya memainkan senjata rahasia 
"paku darah hitam" maka sebenarnya Mata Picak adalah lebih tepat untuk menjadi pimpinan 
perkumpulan daripada Pengemis Bibir Sumbing. Namun Pengemis Bibir Sumbing sudah be-
lasan tahun memasuki Perkumpulan bahkan dialah yang mula-mula mempunyai prakarsa untuk 
mendirikan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu! 
"Kita pesta tuak malam ini!" seru Pengentis Mata Buta."Pesta tuak dan anggur!,” menimpali Pengemis Kaki Pincang. 
Kedua pimpinan Perkumpulan itu sama-sama mengeluarkan sebuah kantung uang dan 
melemparkannya ke hadapan Mata Picak. Memang inilah yang ditunggu-tunggu oleh si Mata 
Picak. Dengan segera kedua kantung uang itu disambutinya. Dia menjura. Belum lagi sempat 
dia berdiri tegak dari menjuranya itu maka dari pintu muka masuklah seorang anggota Per-
kumpulan. Mukanya tak kalah bengis angker, namun di saat itu tampang itu kelihatan sedikit 
pucat, lesu dan kuyu! 
Pengemis Kaki Pincang kerutkan kening melihat anggotanya ini. Tak biasanya 
Kuntawana berparas semurung itu. Maka bertanyalah dia. "Kabar apakah yang agaknya kau 
bawa dari luar rimba, Kutawana?!" 
"Hemm… Kutawana juga sudah kembali?" ujar Pengemis Mata Buta. 
Anggota yang baru datang itu menjura. Dihelanya nafas panjang lalu berkatalah dia . 
"Aku membawa kabar buruk, para Ketua...” 
"Kabar buruk bagaimana?" tanya Pengemis Kaki Pincang sementara yang lain-lainnya 
juga tujukan perhatian terhadap Kuntawarna. 
"Kemarin aku memasuki kota Asoka. Kota itu tengah berada dalam kegemparan karena 
menemukan sesosok mayat di belakang bengkel kuda Ketika aku menyeruak diantara orang 
banyak ternyata mayat itu adalah mayat Ketua Pengemis Bibir Surnbing!" 
Terkejutlah semua orang. 
"Ada keanehan dalam cara matinya…". 
"Keanehan bagaimana maksudmu?!" tanya Pengemis Mata Buta. 
Kulit keningnya hitam, dadanya biru. Sedang pada kulit kening yang hitam itu tertera 
tiga buah angka. Angka 212!" 
Terjadilah perubahan pada air muka pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah 
Hitam. Pengemis Kaki Pincang memandang pada pengemis Mata Buta. Pengemis Mata Buta 
sendiri di saat itu merenung. "Bagaimana pendapatmu, Ketua Pengemis Mata Buta?" bertanya 
Pengemis Kaki Pincang. 
Sejurus lamanya barulah menjawab Pengemis Mata Buta itu. Nada suaranya kentara 
berubah sekali kali ini. "Sesudah hampir empat puluh tahun menghilang tak tentu rimbanya, 
ternyata dia muncul kem-bali. Dia adalah momok yang menakutkan bagi tokoh-tokoh silat 
golongan hitam macam kita ini, Ketua Kaki Pincang. Pastilah dia muncul untuk kembali 
menghancurkan golongan kita seperti empat puluh tahun yang lalu itu…""Maksudmu Pendekar 212 Kapak Maut Naga Geni si Sinto Gendeng itu...?!" tanya 
Pengemis Kaki Pincang. 
"Siapa lagi!" 
“Ah... kalau dia memang muncul untuk maksud yang seperti masa lampau, dia salah 
perhitungah! Dunia persilatan dulu tidak sama dengan dunia persitatan masa sekarang! 
Golongan hitam banyak maju pesat, banyak mempunyai tokoh-tokoh kosen serta lihay dan 
sakti! Sinto Gendeng boleh datang kemari. Dan itu berarti dia antarkan nyawa sendiri!" 
Pengemis Mata Buta menarik nafas dalam, "Kita tak bisa menganggap enteng momok 
perempuan itu, Ketua Kaki Pincang,” kata Pengemis Mata Buta pula. "Ketahuilah, kedua 
mataku yang buta ini, dialah yang telah mengoreknya dulu…". 
Kagetlah Pengemis Kaki Pincang. Matanya mendelik dan dipandanginya paras rekannya 
itu. Akhirnya dia memandang ke jurusan lain karena merinding juga kuduknya memandang 
lama-lama pada rongga rongga mata yang menggidikkan itu! 
Suasana hening seketika. Dan keheningan itu dipecahkan oleh bentakan Pengemis Mata 
Buta. "Kuntawana, apa yang kau telah lakukan terhadap mayat Ketua Pengemis Bibir 
Sumbing...?!" 
Terkejutlah Kuntawana. 
"Jawab! Apa sesudah kau temui lantas kau tinggal begitu saja....?!" 
"Ketua… di saat itu mayat Ketua Pengemis Bibir Sumbing dikerumuni oleh banyak 
orang. Di antaranya beberapa prajurit kerajaan. Tak mungkin bagiku…” 
"Tutup mulut! Kesalahanmu besar! Kau dipecat sebagai anggota Perkumpulan!" 
Muka Kuntawana menjadi pucat. "Ketua…” 
"Diam! Lekas angkat kaki dari sini!" 
"Para Ketua…''. 
"Diam! Berlalulah sebelum amarahku lebih memuncak!" bentak Pengemis Mata Buta. 
Kuntawana menyuruh mundur. "Aku bersedia kembali ke Asoka untuk mengambil 
mayat Ketua Bibir Sumbing…” 
"Tak perlu," jawab Pengemis Mata Buta tetap keras. "Aku bisa suruh anggota yang 
lain!". 
Maka membesilah paras Kuntawana. "Baik, aku akan pergi tapi serahkan dulu uang 
jasaku". "Kurang ajar! Kau berani bicara seenaknya demikian rupa?! Ini bagianmu!". 
Pengemis Mata Buta kebutkan lengan jubah hitamnya. Satu gelombang angin dahsyat 
melanda ke arah Kuntawana. Terkejutlah Kuntawana. Dia tahu betul pukulan yang dilancarkan oleh si Mata Buta itu. Pukulan "seribu topan!"! Dengan cepat Kuntawana melompat ke atas 
namun dia tak bisa melompat tinggi karena bangunan di mana mereka berada mempunyai loteng 
yang rendah! 
"Celaka, mampuslah aku!" kata Kuntawana di dalam hati. 
Namun pada detik yang berbahaya itu dari jendela samping satu larikan sinar merah 
menyambar memapaki angin pukulan seribu topan dan kejapan itu juga buyarlah pukulan 
Pengemis Mata Buta dan selamatlah Kuntawana! 
Pengemis Mata Buta seorang yang mempunyai perasaan luar biasa. Sepasang telinganya 
bukan saja tajam tapi juga merupakan sebagai sepasang mata baginya. 
Dia menoleh ke jendela. "Keparat yang suka ikut campur urusan orang, coba perlihatkan 
diri!" bentaknya. 
Di diluar terdengar suara tertawa bergelak. Sesaat kemudian sesosok tubuh berjubah 
merah dan berkerundung kain merah dengan gerakan yang sangat sebat dan enteng sudah 
menjejakkan kaki di lantai ruangan! 
"Iblis Pencabut Sukma!" teriak Pengemis Kaki Pincang berbarengan dengan anggota-
anggota Perkumpulan lainnya! Wajah mereka mengkerut tegang! 
-- == 0O0 ==


DELAPAN


ORANG berkerundung merah keluarkan suara tertawa mengekeh kembali. Pengemis 
Mata Buta rangkapkan kedua tangannya di muka dada. "Kiranya lblis Pencabut Sukma! 
Pantas keras dan hebat angin pukulannya! Tapi gerangan apakah yang membuat kau datang 
ke sini serta mencampuri urusan Perkumpulan kami?!" 
Laki-laki berkerundung yang merupakan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut 
Sukma lagi-lagi tertawa mengekeh. "Ketua-ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam, 
kuharap tanpa banyak bicara segeralah serahkan Keris Tumbal Wilayuda, Sultan Hasanuddin 
dan gadis itu kepadaku....!". 
"Eh... ini suatu hal yang tidak kami sangka! Rupanya kau juga inginkan semua itu 
heh...?”"Hidung kerbau!," maki Iblis Pencabut Sukma. "Aku bilang jangan banyak bicara! 
Serahkan cepat! Atau seluruh Perkumpulanmu akan kulabrak?!" 
"Ah.... Kalau tak salah kita ini masih sama-sama satu golongan. Kenapa harus bikin 
persoalan begini rupa? Semua manusia berhak memang memiliki keris dan kedua manusia 
yang kau katakan itu! Dan pihakku telah perhasil menguasainya, kau terlambat. Itu adalah 
salahmu sen....." 
"Katakan saja kau tak mau menyerahkan apa yang aku minta!,” memotong lblis 
Pencabut Sukma. 
"Untuk mendapatkan semua itu pihakku sampai korbankan salah seorang ketuanya! 
Sekarang kau seenaknya meminta! Aturan macam mana yang kau pakai?!" kata Pengemis 
Kaki Pincang. 
"Kaki Pincang kau menentukan kematianmu sendiri dengan bicara macam begitu..!" 
Pengemis Kaki Pincang tertawa tawar. "Orang lain mungkin takut pada kau! Tapi aku 
Pengemis Kaki Pincang boleh dicoba nyalinya!". lblis Pencabut Sukma tertawa gelak-gelak. 
Kedua kakinya merenggang. "Dalam satu jurus kau akan konyol ke akherat Pengemis Kaki 
Pincang!" 
"Coba saja, aku mau lihat!" kata Pengemis Kaki Pincang dengan tertawa menghina. 
Sementara itu telinganya mendengar suara rekannya si Mata Buta yang disampaikan dengan 
ilmu menyusupkan suara. "Ketua Kaki Pincang, hati-hatilah. Manusia ini berbahaya....". 
Ketika Iblis Pencabut Sukma angkat tangan kanan ke atas, dan ketika Pengemis Kaki 
Pincang pusatkan tenaga dalamnya ke tangan kiri tiba-tiba Kuntawana melompat antara 
tengah-tengah kedua Orang itu. 
"Manusia sontoloyo! Kau juga minta dikirim keakhirat?!" bentak Iblis Pencabut 
Sukma. Kuntawana menghadap pada Pengemis Mata Buta dan Kaki Pincang. "Para Ketua, 
harap perkenankan aku melayani dajal berkerudung ini sebagai penebus kesalahanku!". 
"Hem…". Pengemis Mata Buta merenung. "Baiklah. Kaki Pincang, kau mundurlah!" 
 Maka Pengemis Kaki Pincangpun mundurlah sedang Kuntawana segera cabut 
cambuk hitamnya. Iblis Pencabut Sukma menyeringai. "Manusia tampangmu cukup tiga 
langkah saja kulayani!". katanya. 
Kuntawana putar cambuknya dengan sebat. 
Iblis Pencabut Sukma maju satu langkah. 
Kuntawana tiba-tiba lepaskan pukulan tangan kiri, sesudah itu laksana hujan 
cambuknya bergelegaran ke arah lawan.Iblis Pencabut Sukma majukan langkah kedua. Jari-jari tangan kanannya terbentang ke 
muka seperti hendak mencaakar sedang tangan kiri mengebut menahan serangan lawan. Pada 
detik dia buat langkah ketiga maka tangan kanannya ditarik ke belakang dengan keras! Inilah 
yang disebut ilmu pukulan pencabut sukma! 
Kuntawana merasakan badannya seperti tersedot! Isi perutnya seperti dibetot! 
"Huah!" 
Sesaat kemudian anggota Pengemis Darah Hitam inipun muntah darahlah! Tubuhnya 
terkapar di lantai tanpa nyawa! 
Berdeburlah darah para anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Pengemis Kaki 
Pincang dan Pengemis Mata Buta tergetar hati masing-masing! Kuntawana adalah anggota 
Perkumpulan yang ilmu kepandaiannya tidak rendah. Tapi Iblis Pencabut Sukma 
membunuhnya hanya dalam tiga langkah! Iblis Pencabut Sukma tengadahkan muka dan tertawa 
bekakakan menegakkan bulu roma!. 
"Siapa yang tidak senang melihat mampusnya kroco itu boleh maju segera!,” katanya. 
Kemudian dia berpaling pada dua orang pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. 
Sepasang matanya kelihatan menyorot berkilat. "Kalian berdua masih belum mau serahkan apa-
apa yang aku minta?!". 
Sebelum kedua Ketua Pengemis Darah Hitam berikan jawaban sesosok tubuh dengan 
gerakan enteng melompat, ke hadapan dua Ketua Pengemis Darah Hitam. 
"Para Ketua, perkenankanlah aku Lah Simpong untuk membasmi iblis yang kesasar 
ini!" 
Pengemis Mata Buta tidak memberikan sahutan. Dia tahu kepandaian Lah Simpong 
memang lebih tinggi dari Kuntawana, tapi untuk menghadap lblis Pencabut Sukma, tingkat 
kepandaian Lah Simpong masih belum dapat diharapkan. Sebaliknya Pengemis Kaki Pincang 
setelah merenung sejurus, lalu anggukkan kepala dan berkata, "Baiklah, tapi hati-hati. Manusia 
ini benar-benar ganas seperti iblis!" 
Setelah diperkenankan begitu rupa maka Lah Simpong segera putar badan. Cambuk di 
tangan kiri, sebuah toya besi di tangan kanan maka diapun maju ke arah Iblis Pencabut Sukma. 
Iblis Pencabut Sukma menyeringai di balik kerundung kain merahnya. "Rupanya Para 
Ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam lebih suka korbankan anggotanya dari pada maju 
sendiri!" 
"Jangan banyak mulut manusia iblis! Lihat cambuk!"Cambuk hitam di tangan kiri Lah Simpong berkelebat. Suaranya menggelegar macam 
petir. Ujung cambuk dengan sangat cepat, sukar dilihat oleh mata biasa, mendera ke muka si 
kerudung merah! Sebelum serangan ini sampai, Lah Simpong susul dengan serangan toya besi 
hitam. Kedua ujung toya menderu berubah seperti ratusan banyaknya dan menyerang keselusin 
bagian tubuh Iblis Pencabut Sukma! 
Yang diserang terkekeh-kekeh. "Keluarkan seuruh kepandaianmu, Lah Simpong! Kalau 
tidak setengah jurus di muka kau akan jadi mayat!". 
"Tubuhmu yang akan terkapar lebih dulu, iblisl". Ujung cambuk menyambar dengan 
dahsyat ke muka Iblis Pencabut Sukma sementara toya besi sedetik lagi pasti akan menghancur 
luluhkan tulang-tulang anggota Iblis Pencabut Sukma! 
Tapi pada kejapan mata itu Iblis Pencabut Sukma kebutkan lengan jubah merahnya. Selarik 
angin pukulan yang hebat menyusup di antara deraan cambuk dan terus melabrak Lah Simpong. 
Tubuh anggota Pengemis Darah Hitam ini jatuh duduk di lantai. Mukanya pucat laksana mayat. Dia 
berusaha bangun. Tubuhnya tertatih-tatih tanda dia terluka parah di dalam! 
"Sekarang pasrahkan ajalmu, Lah Simpong!". Iblis Pencabut Sukma angkat tangan 
kanannya lalu ditarik ke belakang dengan cepat! Tubuh Lah Simpong seperti ditarik besi berani, 
tersedot sampai dua tombak ke muka, lalu jatuh menelungkup. Darah membuih dimulutnya. 
Ajalnya sampai! 
Putihlah wajah dua Ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Para anggota yang lain 
berdiri laksana kaku. Mereka merasa seperti nyawa mereka sendiri yang lepas waktu menyaksikan 
kernatian Lah Simpong itu! 
"Keganasanmu sudah keliwatan sekali, Iblis Pencabut Sukma!,” kata Pengemis Kaki 
Pincang. "Jangan harap kau bakal bisa tinggalkan tempat ini dengan selamat!". Pengemis Kaki 
Pincang maju dua langkah. "Mulailah, Iblis,” tantangnya. 
Iblis Pencabut Sukma tertawa dingin. 
Pengemis Kaki Pincang mendengus. "Kau tidak punya nyali untuk memulai?! Kalau begitu 
sambut pukulanku ini!". 
Pengemis Kaki Pincang angkat tangan kanan. Namun dua anggota Perkumpulan melompat 
ke tengah kalangan. Mereka adalah dua kakak beradik Sepasang Cakar Garuda yang dulunya 
merupakan fakir-fakir miskin di kaki gunung Salak, tapi yang kemudiannya berhasil diseret oleh 
Pengemis Kaki Pincang untuk masuk ke dalam Perkumpulan Pengernis Darah Hitam. 
"Para Ketua, kalau untuk membereskan manusia ini, serahkan pada kami!,” kata Sepasang 
Cakar Garuda yang tertua.Meskipun darahnya sudah mendidih namun Pengemis Kaki Pincang yang percaya akan 
kemampuan kedua anggotanya itu segera bersurut mundur! 
"Bereskanlah cepat!,” katanya. 
"Ah lagi-lagi bangsa-bangsa kroco yang disuruh maju!" menghina Iblis Pencabut Sukma. 
"Kroco atau apa, tapi ketahuilah nyawamu hanya beberapa kejapan mata saja Iblis!" 
1blis Pencabut Sukma mendengus. "Sombongnya!,” katanya. 
Dan disaat itu cambuk-cambuk lawan sudah menderu laksana topan, menyerang ke arah 
leher dan kaki, lalu bergantian secara teratur dan cepat membabat ke dada dan ke perut! Dalam 
seketika saja maka Iblis Pencabut Sukma sudah terbungkus serangan cambuk yang bergelegaran 
itu. Jubah Merah dan kerudungnya berkibar-kibar karena kerasnya sambaran cambuk hitam kedua 
lawan! 
"Hemm... permainan cambuk kalian boleh juga! Tapi aku mau lihat apa bisa menerima 
pukulan menendang langit menjungkir awan ini?!". 
Habis berkata demikian Iblis Pencabut Sukma tendangkan kaki kiri ke muka dan 
hantamkan telapak tangan karian dari bawah ke atas! 
Disaat itu pula maka menggelindinglah kedua anggota Perkumpulan Pengemis Darah 
Hitam itu. Tapi begitu terhampar begitu keduanya bangun lagi meskipun dengan keluarkan 
keringat dingin dan sama menyadari bahwa diri mereka di bagian dalam terluka parah! 
Keduanya sama-sama menggerung. Cambuk hitam mendera ganas. Sedang tangan kiri 
yang membentuk cakar burung garuda dengan kecepatan yang luar biasa menyambar ke muka 
dan ke dada Iblis Pencabut Sukma! 
"Oh jadi kalian adalah Sepasang Cakar Garuda huh?!" ujar Iblis Pencabut Sukma yang 
kenali permainan silat kedua lawannya. 
Sebaliknya dua anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu rupanya tidak mau 
kasih hati lagi. Serangan-serangan mereka yang dahsyat itu mereka susuli dengan empat buah 
tendangan sekaligus! Iblis Pencabut Sukma bersuit keras! Serasa mau pecah gendang-gendang 
telinga mendengarnya! Begitu suitannya lenyap maka dari tangan kirinya menyambarlah sinar 
merah yang menyeruak laksana kipas menyerang Sepasang Cakar Garuda sekaligus! Kedua 
anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu mencelat ke loteng, satu amblas dan 
menyangsrang di papan loteng sedang yang satu lagi jatuh bergedebukan ke lantai. Tubuh 
keduanya merah matang laksana daging panggang! 
Pengemis Kaki Pincang tahan nafas. "Pukulan kipas merah,” membatin ketua Pengemis 
Darah Hitam ini sedang Pengemis Mata Buta meskipun tidak dapat melihat namun perasaannya yang tajam serta pendengarannya yang luar biasa, diam-diam juga mengetahui ilmu pukulan 
apa yang telah dilepaskan lawan! 
Ruangan itu sehening di kuburan. 
Sekali lagi Iblis Pencabut Sukma menengadah dan keluarkan suara tertawa bekakakan. 
Dari arah pintu melangkah enteng seorang anggota Perkumpulan Pengemis Darah 
Hitam. Tubuhnya tinggi kekar. Tampangnya seram. Kumis dan janggutnya tajam meranggas 
sedang salah satu matanya picak. 
"Para Ketua, izinkan aku si Mata Picak membuat perhitungan dengan manusia itu!". 
Baik Pengemis Kaki Pincang maupun Pengemis Mata Buta sama-sama manggutkan 
kepala. Mata Picak adalah anggota yang paling tinggi ilmunya dan mempunyai kelihayan 
dalam memainkan senjata rahasia "paku darah hitam". Karena itu Ketua-ketua Perkumpulan 
pengemis Darah Hitam sama mempercayakan bahwa anggota mereka yang berilmu tinggi ini 
sanggup mengalahkan lawan yang tangguh itu. 
Mata Picak putar tubuh menghadapi Iblis Pencabut Sukma. 
"Iblis Pencabut Sukma," dia berkata, "aku Pengemis Mata Picak mohon diberi beberapa 
jurus Relajaran dari kau!" 
"Aha... Mata Picak, kau punya peradatan sedikit. Bagus aku ampunkan jiwamu! Tapi 
lekas korek kau punya biji mata lalu tinggalkan, tempat ini!" 
Gigi-gigi dan geraham Pengemis Mata Picak bergemeletakan. "Kepongahanmu setinggi 
langit Iblis Pencabut Sukma. Tapi apa kau kira kau punya nyawa rangkap!". 
lblis Pencabut Sukma tertawa bergelak. 
“Dikasih keampunan malah menantang!" 
"Sudahlah! Tiada guna bicara panjang lebar padamu! Mulailah!". 

-- == 0O0 ==

SEMBILAN

“KARENA kau yang minta dikirim keakhirat, maka kau mulailah lebih dulu, Mata 
Picak!" kata Iblis Pencabut Sukma dengan jumawa. 
Mendengar ini Pengemis Mata Picak tidak sungkan-sungkan lagi. Laksana terbang, 
tubuhnya melesat ke muka. Empat tendangan menderu, enam pukulan membadai!Diam-diam Iblis Pencabut Sukma terkejut juga melihat kehebatan lawan yang satu ini. 
Dia membentak garang dan berkelebat cepat. Tubuhnyapun lenyap! Kelebatan tubuhnya 
mengeluarkan angin deras yang membendung keseluruhan serangan lawan. Penuh penasaran 
Pengemis Mata Picak keruk saku bajunya yang bertambal-tambal. 
"Lihat paku!" serunya. 
Dua belas buah paku hitam yang beracun melesat menyerang dua belas bagian tubuh 
Iblis Pencabut Nyawa. Manusia berkerudung ini menggerung dan kebutkan kedua tangannya. 
Maka terdengarlah jeritan Pengemis Mata Picak. Enam dari paku darah hitamnya yang beracun 
berbalik dan menembus tubuhnya sedang enam lainnya mental ke loteng! 
Terbeliaklah mata Pengemis Kaki Pincang dan anggota-anggota Perkumpulan lainnya 
yang masih hidup sedang Pengemis Mata Buta yang tidak punya mata kelihatan wajahnya 
mengkerut tegang. 
"Iblis Pencabut Sukma," buka suara Pengemis Mata Buta. "Kita sama-sama satu 
golongan hitam. Antara pihakku dan pihakmu tiada permusuhan. Mengapa turun tangan sampai 
seganas ini....?!" 
"Ah, aku bosan mendengar bicaramu yang itu ke itu juga! Walau bagaimanapun aku 
tidak sudi disama ratakan satu golongan dengan kau! Aku beri waktu lima kejapan mata 
bagimu dan rekanmu si pincang untuk merenung dan memenuhi permintaanku..." 
Lima kejapan matapun lewat dalam suasana hening tegang. 
"Kalian manusia-manusia keras kepala dan dogol geblek!" bentak Iblis Pencabut 
Sukma, "Lihat ini!" 
Sepasang tangannya terpentang ke muka dan dua larik sinar merah yang menyeruak 
seperti kipas menggebubu ke arah tiga belas orang anggota Perkumpulan Pengemis Darah 
Hitam. Pengemis Kaki Pincang dan Pengemis Mata Buta terkejut. Buru-buru keduanya 
hantamkan tangan untuk memapasi namun luput! Di seberang sana tiga belas anggota 
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam mencelat ke dinding dan jatuh bertumpukan tanpa nyawa. 
Tubuh mereka matang merah laksana dipanggang! 
Maka murkalah kedua pucuk pimpinan perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Keduanya 
maju berbarengan. 
"He... he, dua tokoh silat yang katanya lihay dan terkenal nyatanya hanya nama-nama 
kosong belaka, menyerang main keroyok!,” kata Iblis Pencabut Sukma dengan suara lantang Pengemis Mata Buta, meskipun tokoh silat jahat golongan hitam, tapi mendengar ini 
segera bersurut mundur dan berkata . "Saudara Pengemis Kaki Pincang, bereskan biang 
malapetaka ini!". 
"Tak usah khawatir, Saudara Mata Buta,” menyahut Pengemis Kaki Pincang. "Tapi aku 
tidak begitu senang maenghadapi manusia yang sembunyikan muka dibalik kerudung!". 
Habis berkata begini, dengan keluarkan jurus "garuda sakti,” maka berkelebatlah 
Pengemis Kaki Pincang. Demikian cepat gerakannya sehingga tak terduga sama sekali oleh 
Iblis Pencabut Sukma. 
"Sreet" ! 
Maka robek dan tanggallah kerudung merah Iblis Pencabut Sukma! Dan terkejutlah 
Pengemis Kaki Pincang. Muka Iblis Pencabut Sukma nyatanya benar-benar menyeramkan 
seperti iblis. Keseluruhan mukanya hancur oleh bopeng-bopeng yang besar-besar (bopeng = 
burik). Kedua matanya sangat besar dan menjorok ke muka serta jereng (juling). Hidungnya 
hampir sebesar telapak tangan dan pesek lebar menutupi pipinya yang cekung. Bibirnya sangat 
tebal dan tak bisa dikatupkan sehingga kelihatanlah gigi-giginya yang besar-besar dan busuk! 
Kejut Pengemis Kaki Pincang hanya seketika. Menyusul terdengar suara tertawanya 
membahak. "Aha... kiranya Iblis Pencabut Sukma bermuka terlalu buruk, lebih buruk dari iblis 
sungguhan! Pantas sembunyikan muka dibalik kerudung!". 
Iblis Pencabut Sukma mendongak ke atas. Hidungnya keluarkan suara mendengus. 
"Jangan harap kau bisa selamat dalam tiga jurus, setan alas!,” bentaknya. 
Dan disaat itu Pengemis Kaki Pincang sudah melayang sebat ke mukanya. Dua tangan 
terpentang kemudian membuat enam serangan beruntun yang disusul oleh empat tendangan 
dahsyat! 
Iblis Pencabut Sukma mengaum macam harimau lapar. Sekali dia berkelebat maka 
lenyaplah tubuhnya dan pada sekejapan mata kemudian sinar merah berbentuk kipas 
menggelombang menyerang Pengemis Kaki Pincang. 
"Saudara Kaki Pincang! Hati-hatilah....!". memperingatkan Pengemis Mata Buta. 
"Ah, cuma pukulan picisan begini siapa yang takut!" sahut Pengemis Kaki Piricang 
seraya lompat tiga tombak ke atas. Serangan lawan berhasil dielakkan oleh Pengemis Kaki 
Pincang. Dengan geram Iblis Pencabut Sukma lompatkan diri pula ke udara seraya lancarkan 
jurus "menendang langit menjungkir awan". Karena jurus ini mempergunakan lebih dari 
setengah bagian tenaga dalamnya, maka tak ampun Pengemis Kaki Pincang mencelat ke atas 
panglari (loteng). Loteng bobol! Beringas sekali, sesudah berhasil lepaskan diri dari jepitan papan-papan loteng, Pengemis Kaki Pincang cabut pipa besarnya dari balik pakaian yang 
bertambal-tambal! Sekali menyedot, sekali menghembus maka melesatlah asap pipa yang pekat 
kelabu dan mengandung racun ganas! 
"Ilmu rongsokan macam ini tak perlu dipertontonkan padaku, Kaki Pincang!,” ejek Iblis 
Pencabut Sukma. Tangan kanannya diangkat ke atas lalu ditarik ke belakang! Pukulan pencabut 
sukma! Pengemis Kaki Pincang dengan cepat kerahkan tenaga dalamnya. Tapi apa daya. Dia 
tak bisa selamatkan diri. Isi perutnya serasa dibetot, nafasnya serasa disedot dan "puah...!". 
Pengemis Kaki Pincang muntah darah. Laksana daun kering tubuhnya yang tak 
bernyawa itu melayang ke bawah dan terhampar di lantai! Perkataan Iblis Pencabut Sukma 
yang menyatakan bahwa dia akan membunuh lawan dalam tiga jurus, kini terbukti! 
Dengan tengadahkan mukanya yang seram itu Iblis Pencabut Sukma tertawa panjang 
laksana serigala lapar di malam buta! 
Mengkerutlah wajah Pengemis Mata Buta. 
Urat-urat lehernya menggelembung. Pelipisnya bergerak-gerak sedang rahang-rahangnya 
bertonjolan. "Pengemis Mata Buta, hanya kau yang tinggal kini! Apa masih berkeras kepala untuk 
tidak mau serahkan apa yang kuminta...?!". 
Pengemis Mata Buta rangkapkan tangan di muka dada. Kehebatan Iblis Pencabut Sukma 
memang luar biasa. Setelah merenung sejenak maka buka suaralah dia. 
"Iblis Pencabut Sukma, sekalipun kau punya tiga kepala enam tangan, jangan harap aku 
tidak bernyali untuk melawanmu. Juga jangan harap aku akan kabulkan permintaan gilamu!" 
"Akh... kalau begitu kasihan sekali! Perkumpulan Pengemis Darah Hitam rupanya sudah 
ditakdirkan para iblis musti musnah hari ini!". 
"Perkumpulan Pengemis Darah Hitam tidak musnah! Sebaiknya bersiaplah untuk 
menghadap setan neraka, manusia iblis! Manusia iblis macammu memang tempatnya pantas di 
neraka!". 
Habis berkata demikian maka Pengemis Mata Buta masukkan tangan kanan ke balik jubah 
bertambal-tambalnya. Begitu tangan keluar maka bergemerlaplah sinar hitam sebilah pedang. 
Tergetar juga Iblis Pencabut Sukma melihat sinar senjata ini. 
"Jika kau punya senjata bagusnya lekas dikeluarkan, Iblis!" berkata Pengemis Mata Buta. 
"Untuk menghadapi manusia buta macam kau, perlu apa pakai senjata segala?! Majulah, tanganku 
sudah gatal-gatal untuk mencabut nyawamu!". 
"Jangan mimpi Iblis!" bentak Pengemis Mata Buta. Sekali dia melompat ke muka maka 
berkiblatlah taburan sinar hitam darisambaran pedangnya!Dan... "Plak" 
Tubuh Iblis Pencabut Sukma terdorong beberapa langkah kebelakang! 
Terkejutlah Pengemis Mata Buta ketika mengetahui bahwa lawannya tidak mendapat satu 
celaka apapun akibat ilmu pukulan "telapak tangan minta sedekah" yang sangat diandalkannya itu, 
padahal dalam ilmu pukulan ini dia sudah melatih diri sampaisepuluh tahun! 
Rasa terkejut dan kecewa melihat pukulannya hampa belaka membuat dalam kejapan itu 
Pengemis Mata Buta menjadisedikit lengah. Dan kesempatan ini tiada disia-siakan oleh lawan. 
Iblis Pencabut Sukma kirimkan satu tendangan ke perut lawan. Tak ampun lagi Pengemis 
Mata Buta jatuh duduk terkapar di lantai. Belum lagi dia sempat bangun maka lawan sudah 
gerakkan tangan lancarkan pukulan "pencabut sukma"! 
Pengemis Mata Buta merasakan adanya kekuatan dahsyat yang menyedot tubuhnya, segera 
dia buang diri ke samping. Tapi kasip. Perutnya terbetot menggelegak. Darah segar menyembur 
dari mulut. Tubuhnya kelojotan seketika. Sebelum meregang nyawa, manusia ini masih bisa keruk 
saku jubahnya dan lemparkan selusin paku darah hitam ke arah lawan. Ini tiada artinya bagi Iblis 
Pencabut Sukma. Dengan satu kebutan lengan baju maka mentallah paku-paku beracun itu! 
Selama beberapa ketika terdengarlah suara tertavva Iblis Pencabut Sukma. Tertawa yang 
membuat kedua matanya yang juling menjadi basah oleh air mata. 
Manusia bermuka seram bopeng ini kemudian membungkuk di hadapan Pengemis Mata 
Buta. Tangannya menggeledah di balik jubah bertambal-tambal mencari keris Tumbal 
Wilayuda. Bila bertemu segera diselipkan dibalik pinggangnya. Kemudian dia melangkah ke 
hadapan sosok tubuh Anjarsari yang saat itu tiada sadarkan diri karena telah ditotok jalan 
darahnya sewaktu dilarikan oleh Lah Simpong. 
Iblis Pencabut Sukma memandang dengan mata berkilat-kilat ke tubuh Anjarsari yang 
pakaiannya berada dalam keadaan tak menentu. Dia menyeringai penuh arti. Dibelainya pipi 
gadis itu. Betapa lembut dan halusnya. Dirabanya dadanya. Menggeletar tubuh Iblis Pencabut 
Sukma. Kalau tidak ingat bahwa dia musti lekas-lekas meninggalkan tempat itu maulah dia 
mengikuti segala lampiasan nafsunya. Dipanggulnya tubuh gadis itu di bahu kiri kemudian dia 
melangkah ke hadapan Sultan yang terbujur di lantai dan juga dalam keadaan tak berdaya 
karena ditotok. 
Sewaktu Iblis Pencabut Jiwa membungkuk pula untuk mengempit tubuh Sultan, tiba-
tiba berkelebatlah sesosok bayangan biru dan tahu-tahu tubuh Sultan disambar lalu dibawa lari! 
Kejut Iblis Pencabut Sukma tentu saja tiada terlukiskan. 
"Kurang ajar! Hai, berhenti!" teriaknya memerintah.Tapi bayangan biru itu terus kabur tancap gas. Dengan geram Iblis Pencabut Sukma 
lemparkan tiga puluh jarum merah ke arah simanusia berjubah biru. Yang diserang, tanpa 
menoleh lambaikan tangan kirinya. Ketiga puluh jarum merah itupun mental laksana disapu 
topan! 
Iblis Pencabut Sukma angkat kaki coba mengejar. Tapi bayangan biru sudah lenyap. 
"Setan alas,” memaki dia. "pasti perempuan laknat itu lagi!". 

-- == 0O0 ==

SEPULUH


LARINYA manusia berjubah biru itu sangat cepat sekali laksana angin. Sampai di satu 
puncak bukit, dia berhenti dan lepaskan totokan di tubuh Sultan. Begitu siuman Sultan tentu 
saja sangat terkejut mendapatkan dirinya dikempit oleh seseorang. Ketika dia coba meneliti 
paras orang itu ternyata dia mengenakan kerudung biru. Bau tubuhnya harum semerbak, 
seharum bunga melati yang tengah mekar diambang senja! Sultan merenung sejurus. Otaknya 
berputar mengingat apa yang telah terjadi atas dirinya sebelumnya. Kemudian dicobanya 
melepaskan diri dari kempitan manusia jubah biru itu untuk turun ke tanah. Tapi bagaimanapun 
kerasnya dia gerakkan badan, tetap saja dia tiada sanggup lepaskan diri. 
"Saudara, kau siapakah?,” bertanya Sultan. 
Orang itu tiada menyahut melainkan menjelajahi seantero kaki bukit dengan sepasang 
matanya yang bening. 
"Saudara, kau tentu orang yang telah menolong aku. Tapi siapakah engkau adanya? 
Mohon agar diriku diturunkan,” berkata Sultan Hasanuddin. Orang itu tetap tak menyahut. 
Kemudian dia berkelebat lagi dan tubuhnya lari lagi laksana angin ke arah sebelah timur. 
"Saudara, jika kau tak terangkan siapa kau, tidak menjadi apa. Tapi aku mohon agar 
diturunkan,” berkata Sultan setelah dirinya diajak lari kira-kira setengah jam lamanya. 
Si jubah biru lari terus. 
Dengan rasa penasaran Sultan berkata. "Jika kau tidak mau turunkan aku, terpaksa aku 
berlaku kasar terhadapmu!." 
Namun si jubah biru berkerudung biru tetap tak perdulikan ucapan yang mengancam itu. 
Maka Sultanpun gerakkan tangan kanannya untuk menyikut pinggang manusia jubah biru itu.Tapi anehnya berkali-kali dia lakukan hal itu maka tak satu hantaman sikunyapun yang berhasil 
mengenai sasarannya. 
"Pasti ini manusia sakti luar bisa!" membathin Sultan Hasanuddin. "Saudara, aku ini mau 
dibawa ke mana?" bertanya pula Sultan. 
Agaknya manusia berkerudung kain habis kesabarannya karena ditanya terus menerus. 
"Kau terlalu cerewet, lihat sajalah!". 
“Heh...?!” 
Sultan menjadi kaget. Betapa tidak karena orang yang membawa larinya itu ternyata 
adalah seorang perempuan! Meski suaranya agak membentak namun kemerduannya tiada sirna. 
"Pantas badannya berbau harum..," kata Sultan dalam hati. Dan bila dia menyadari bahwa dirinya 
di kempit dan dibawa lari demikian rupa tentu saja Sultan menjadi malu dan tidak enak. Dia me-
ronta-ronta lagi. Tapi tetap tak berhasil. 
Mereka kemudian memasuki sebuah rimba belantara. Di tengah rimba belantara ini 
terdapat sebuah goa dan ke dalam goa itulah si kerudung biru membawa Sultan. Ternyata di 
dalam goa tiada beda terangnya dengan udara di luar. Gua ini panjang dan mempunyai beberapa 
lorong yang bercabang-cabang, dan makin ke dalam makin menurun. 
Akhirnya mereka berhenti di satu ruang yang berbentuk kamar empat persegi. Disinilah 
baru si jubah biru melepaskan dan menurunkan Sultan. Sultan berdiri dan memandang 
berkeliling. 
Di salah satu dinding Sultan membaca sebuah tulisan yang berbunyi GOA DEWI 
KERUDUNG BI RU, Sultan jadi kaget dan memandang lekat-lekat ke paras si kerudung biru 
yang hanya sepasang matanya yang bening dan berkilat saja yang kelihatan. 
"Jadi saat ini aku berhadapan dengan Dewi Kerudung Biru…?,” kata Sultan pelahan. Tapi 
hatinya agak meragu. 
Di dalam ruangan itu terdapat dua buah batu hitam. Dewi Kerudung Biru pergi duduk ke 
salah satu batu lalu berpaling pada Sultan. 
"Silahkan duduk Sultan," katanya mempersilahkan. 
"Terima kasih," Sultan duduk. "Saudari, kau belum menjawab apakah kau yang selama 
ini dikenal di dunia persilatan dengan nama julukan Dewi Kerudung Biru...?". 
Yang ditanya tertawa merdu berderai laksana taburan mutiara yang berjatuhan ke ubin. 
"Itu tak perlu yang kau tanyakan lagi, kau sudah baca apa yang tertulis di dinding itu, 
bukan?". Dalam berkata begitu sepasang matanya tiada berkesip memandangi paras Sultan,"Ah kalau begitu sungguh tak terduga pertemuan ini. Terima kasih atas pertolonganmu 
Dewi Kerudung Biru...," kemudian sambungnya. "karena kau telah membawa aku ke sini, 
tentulah kau mempunyai maksud tertentu....". 
"Betul" membenarkan Dewi Kerudung Biru. "Aku tahu banyak apa yang telah terjadi 
dengan dirimu...,” 
"Terima kasih kalau Dewi telah mau ambil perhatian terhadap diriku. Mohon petunjuk 
selanjutnya.....” 
"Kau harus cepat pergi ke Demak dan menemui Sultan Trenggono untuk meminta 
bantuan. Kembalilah ke Banten dengan membawa sejumlah pasukan .......". 
"Memang itu sudah menjadi rencanaku Dewi,” kata Sultan pula. 
"Ya, tapi pasukan saja tidak cukup. Parit Wulung mempunyai benggolan-benggolan silat 
golongan hitam yang sakti....''. 
"Mohon petunjuk dari Dewi...". 
"Sebelum pergi kau harus tinggal selama satu hari di sini untuk kuturunkan beberapa ilmu 
silat....". Sultan gembira sekali. "Tapi," katanya. "waktu yang sesingkat itu apakah bisa berhasil 
baik?!". 
"Yang penting dasar-dasarnya, kemudian baru latihannya dan terakhir pelaksanaannya...” 
Sultan mengangguk. "Aku haturkan rasa hormat terhadapmu, Dewi. Mulai hari ini kau 
adalah guruku,” kata Sultan pula. 
Dewi Kerudung Biru geleng-gelengkan kepala. "Diriku tak perlu dihormati. Dan kuharap 
kau jangan salah sangka. Kalau aku wariskan beberapa ilmu kepandaian padamu bukan berarti aku 
telah menjadi guru dan kau telah menjadi murid....". 
"Jadi.....?" tanya Sultan heran. 
"Semuanya adalah semata-mata untuk menolongmu, Sultan". 
"Terima kasih. Aku tak akan melupakan kebaikanmu ini. Demikian juga dengan rakyat 
Banten kelak. Cuma, untuk mengenang wajah penolongku, untuk mengukirnya dalam ingatanku, 
bolehkah aku melihat paras aslimu, Dewi Kerudung Biru…?". 
Dewi Kerudung Biru tertawa lagi seperti mutiara jatuh berderai ke lantai. Merdu sekali 
suara itu membuat Sultan semakin tambah ingin untuk melihat wajah yang ada dibalik kerudung 
itu. 
Namun suara tertawa yang merdu itu segera lenyap ketika di mulut gua terdengar suara 
ribut-*
ribut. 
"Pasti perempuan itu telah membawa Sultan ke sini! Ayo kita selidiki ke dalam!".Dan sesaat kemudian empat sosok tubuh berjubah merah dan berkerudung merah muncul di 
ruangan itu. Sultan terkejut sedang Dewi Kerudung Biru mendengus di balik kerudungnya. 
Salah seorang dari anggota Iblis Pencabut Sukma berseru dan menunjuk ke muka. "Lihat! 
Tidak salah keterangan Wakil Ketua kita Sultan bersama dia!" 
Anggota Iblis Pencabut Sukma yang lain, yaitu yang berbadan tinggi langsing melangkah 
ke muka. "Perempuan laknat! Lekasserahkan rnanusia itu pada kami!".. 
"He... he.... berani memaki berani mampus kunyuk kerudung merah!" kata Dewi Kerudung 
Biru pula. 
"Betina edan, kau andalkan apakah berani berkata demikian?!" membentak si tinggi 
langsing. "Sebaiknya sebutkan nama masing-masing kalian! Aku tidak biasa membunuh kroco-
kroco tanpa tahu namanya!". 
Si tinggi langsing tertawa hambar. Sambil mendongak dan tepuk-tepuk dada dia berkata . 
"Namaku Siralaya. Gelarku Tangan Perenggut Jiwa....!” 
"Hem..bagus… bagus. Gelaranmu boleh juga. Tapi aku anya apakah kau akan maju 
seorang diri atau berempat sekaligus?!" 
Merahlah muka Tangan Perenggut Jiwa. 
"Perempuan sedeng, sambut seranganku ini!" 
Tangan Perenggut Jiwa pukulkan tangan kanannya. Berbarengan dengan itu Dewi 
Kerudung Biru dorongkan pula tangan kirinya ke depan. Si jangkung langsing Tangan Perenggut 
Jiwa terkejut ketika bagaimana angin pukulannya kena didorong oleh angin pukulan lawan 
sehingga membalik menyerangnya! Cepat-cepat dia menghindar kesamping. 
"Siralaya, kau minggirlah. Biar aku yang selesaikan dajal betina ini!". Anggota Iblis 
Pencabut Sukma yang kedua melangkah ke muka. 
"Sebutkan namamu!" bentak Dewi Kerudung Biru. 
"Namaku tidak perlu. Tapi gelarku adalah Si Penggoncang Langit!". 
"Ho... ooo.... gelarmu keliwatan sekali sehingga tidak cocok dengan tubuhmu yang 
kontet itu! Bagusnya kau pakai gelar Kodok Buduk!" mengejek Dewi Kerudung Biru. 
Mulut Si Penggoncang Langit berkemik. Sekali kedua tangannya bergerak maka dua 
gelombang angin yang menggetarkan ruangan itu melesat ke arah Dewi Kerudung Biru. 
Hebatnya, sang Dewi yang saat itu masih tetap duduk di atas batu keluarkan tertawa 
menghina dan kebutkan tangan kanannya. Maka runtuhlah angin pukulan Si Penggoncang Langit!

Penasaran sekali anggota Perkompulan Iblis Pencabut Sukma ini melompat ke muka. Dua 
tangan terpentang lebar dan bergerak bersamaan dalam satu gerakan yang sukar dilihat oleh mata! 
"Manusia busuk macam kau tidak pantas dekat-dekat padaku!" bentak Dewi Kerudung 
Biru. Tangan kanannya memukul. Si Penggoncang Langit mencelat empat tombak terguling di 
tanah, mengeluarkan suara seperti orang muntah, tapi yang keluar dari mulutnya adalah semburan 
darah segar! 
Dalam keadaan begini Si Penggoncang Langit segera keruk saku jubah merahnya, 
keluarkan sebuah pil, menelannya dengan cepat lalu bersemedi pula dengan cepat dalam cara 
yang aneh yaitu kepala ke bawah kaki ke atas! 
Melihat dua kawannya dibikin kalah mentah-mentah maka majulah anggota Perkumpulan 
Iblis Pencabut Sukma yang ketiga. Manusia ini berbadan gemuk. 
"Dewi Kerudung Biru, aku tak akan kasih tahu nama juga tak perlu sebutkan gelaranku 
padamu. Tapi jika kau berpemandangan dan berpengalaman luas lihat seranganku ini!". Sigemuk 
ini menutup kata-katanya dengan gerakkan dua tangannya. Maka enam pisau terbang merah 
melayang ke arah enam bagian tubuh. Dewi Kerudung Biru! Diam-diam Sultan terkejut melihat 
kehebatan serangan pisau ini. Dia khawatir kalau Dewi Kerudung Biru tak sanggup mengelakkan 
keenam pisau itu sekaligus! 
Tapi anehnya yang diserang ganda tertawa semerdu perindu. Pisau terbang yang pertama 
ditangkapnya dengan tangan kanan. Kemudian senjata ini dipergunakannya untuk menangkis 
lima pisau terbang lainnya sehingga pisau yang di tangan maupun yang ditangkisnya patah dua 
dan bermentalan! 
Terbeliaklah mata keempat anggota Iblis Pencabut Sukma itu. Lebih-lebih Si Pisau 
Terbang. Selama hidup baru kali ini dia melihat serangan pisau-pisau terbangnya dihancurkan 
demikian rupa! Dan dalam terkejutnya itu dia melihat Dewi Kerudung Biru lemparkan kuntungan 
pisau kearahnya. Cepat-cepat Si Pisau Terbang berkelit tapi luput! Kuntungan pisau masih 
sempat menyambar telinga kirinya. Dan putuslah daun telinga laki-laki itu! Senjata makan tuan! 
Darah berlelehan. Dewi Kerudung Biru tertawa cekikikan! 
Kalap sekali maka berserulah Si Pisau Terbang. "Kawan-kawan mari kita kermus dajal 
betina ini!". 
Maka menyerbulah keempat anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu. Melihat 
sang Dewi dikeroyok begitu rupa Sultan Hasanuddin tak tinggal diam. Dia menerjang ke muka 
dan lancarkan satu serangan cepat ke arah Tangan Perenggut Jiwa. Namun disaat itu Dewi Kerudung Biru menyibakkan badannya kesamping dengan berkata. "Sultan, kau tenang-tenang 
sajalah. Tak perlu susah-susah mengotorkan diri terhadap kroco-kroco bau tengik ini!". 
Sultan merasa tidak senang. Walau bagaimanapun saktinya Si Kerudung Biru namun 
pengeroyokan curang demikian rupa bertentangan dengan hati kesatrianya. Untuk kali kedua dia 
hendak menyerbu kembali. Namun disaat itu, terdengar jeritan Si Penggoncang Langit. Tubuhnya 
mencelat ke atas ruangan batu. Kepalanya hancur. Belum lagi tubuh Si Penggoncang Langit 
sampai ke lantai maka terdengar pekik anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang kedua. 
Tulang dadanya melesak ke dalam, iga-iganya putus! 
Si Pisau Terbang dan Tangan Perenggut Jiwa mengamuk habis-habisan. Dua puluh jurus 
berlalu sangat cepat. Dalam dua puluh jurus itu keduanya terus menerus mendesak Dewi 
Kerudung Biru dengan hebat. Ruangan bergoncang laksana dilanda lindu! Tiba-tiba Dewi 
Kerudung Biru melengking keras. "Iblis-iblis bau kentut! Minggatlah ke neraka!". 
Sepasang tangan sang Dewi yang halus tapi mengandung hawa kematian yang dahsyat 
membagi serangan dalam jurus dahsyat bernama "sepasang tangan menebar maut". 
Si Pisau Terbang dan Tangan Perenggut Jiwa tiada kesempatan lagi untuk mengelak. 
Menangkis mereka tiada punya nyali. Menghadapi maut di depan mata ini maka menjeritlah 
keduanya! 
Namun disaat itu pula dari luar terdengar suara menggeledek. "Manusia yang berani 
menghina anggota Perkumpulan adalah korbanku yang kedua ratus!". Begitu suara habis maka 
dua larik sinar merah yang panas menyembur ke arah Dewi Kerudung Biru!
 
-- == 0O0 ==

SEBELAS



SULTAN melompat ke samping untuk hindarkan sambaran sinar merah sedang Dewi 
Kerudung Biru sebaliknya malah pentang kedua tangan dan mendorong ke muka. Pertemuan yang 
dahsyat dari dua aliran pukulan menimbulkan goncangan yang hebat laksana dunia ini mau kiamat! 
Dewi Kerudung Biru berdiri tergontai seketika sedang lawan yang lepaskan pukulan tadi, 
yang saat itu hendak masuk ke dalam goa, terdorong kembali keluar mulut goa kena diterpa angin 
pukulan Dewi Kerudung Biru 

Sesaat kemudian ketika manusia yang di luar goa itu masuk ke dalam ternyata dia adalah 
Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Di belakangnya menyusul satu lusin anggota 
lainnya. 
Dengan marah, Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma itu membentak. "Pisau Terbang dan 
Tangan Perenggut Jiwa, kalian memalukan saja tidak sanggup menghadapi betina galak ini. Biar 
aku yang jinakkan dia!". 
Habis berkata begitu maka Iblis Pencabut Sukma segera lancarkan jurus "menendang langit 
menjungkir awan"! Tidak sampai di situ saja maka dia susul serangan itu dengan taburan pukulan 
kipas merah! Betul-betul dua jurus yang sangat menggetarkan dan luar biasa! 
Dewi Kerudung Biru berkelebat cepat. Mulutnya terbuka. 
"Huaaah....!". 
Dari mulut sang Dewi menyembur sinar biru yang dahsyat. 
Iblis Pencabut Sukma terkejut. Bukan saja dua jurus serangannya tadi menjadi buyar, tapi 
serangan lawan dengan hebatnya terus menyerang kearahnya. 
"Asap kencana biru!,” seru Iblis Pencabut Sukma dengan kaget. Cepat sekali dia melesat 
enam tombak ke atas. Sewaktu turun dia sudah cabut sebilah pedang merah kemudian sambil 
menyerang dia berteriak. "Anak-anak, ayo tunggu apa lagi?!". Mendengar ini maka semua anggota 
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma segera menyerbu. Sultan lagi-lagi hendak turut membantu sang 
Dewi, namun setiap saat dia gerakkan badan, setiap kali pula Dewi Kerudung Biru mendorongnya 
ke belakang sehingga dia tak bisa berbuat apa-apa! 
Dewi Kerudung Biru sungguh luar biasa dalam bertahan dan menyerang. Namun lawan-
lawannya banyak sekali, apalagi di bawah pimpinan Wakil Ketua mereka! Sesudah tiga puluh jurus 
berlalu maka sang Dewi mulai terdesak. Dua anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma berhasil 
ditewaskannya namun serangan-serangan lawan bukannya mengendur melainkan bertambah 
dahsyat. Diam-diam Sultan menjadi gelisah. Kali ini sang Dewi pasti tak bisa bertahan lebih dari 
sepuluh jurus lagi, pikirnya. Maka pada saat Dewi Kerudung Biru sibuk menghadapi lawannya, 
terbungkus oleh sinar pedang merah dengan cepat Sultan menerjang ke muka. Bantuan Sultan 
dalam lima jurus di muka sanggup mengimbangi lawan-lawan yang lihay itu. Namun lambat laun 
mulai mengendor. Bersama sang Dewi kembali keduanya terdesak! 
Dewi Kerudung Biru semburkan lagi "asap kencana biru"nya. Namun angin pedang merah 
di tangan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dengan hebatnya berhasil 
membuyarkan asap sakti itu!"Betina galak! Sekarang terimalah kematianmu!" bentak Iblis Pencabut Sukma. Dia 
memberi isyarat pada anak-anak buahnya. Berbarengan mereka sama angkat tangan kanan ke atas 
siap untuk lancarkan pukulan "pencabut sukma". Satu pukulan "pencabut sukma,” saja dahsyatnya 
bukan main, apalagi sekaligus duabelas pukulan, dapat dibayangkan bagaimana luar biasa 
kehebatannya! Dewi Kerudung Biru pentang kedua lengannya dan putar tubuh laksana baling-
baling. Mulutnya tiada henti menghembus-hembus mengeluarkan asap biru. Satu detik lagi maka 
duabelas tangan lawanpun ditarik ke belakang! 
Dalam suasana yang diliputi seribu ketegangan itu, tiba-tiba mengaunglah suara seperti 
suara seribu tawon mendengung. Di antara dengungan itu melengking pula suara siulan yang 
disusul oleh berkiblatnya seputaran sinar putih menyilaukan mata! 
Tiga anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma, termasuk Tangan Perenggut Jiwa 
terpekik dan rebah ke lantai mandi darah. Selarik sinar putih yang disertai raungan dahsyat kembali 
berkiblat dan Wakil Ketua Perkumpulan Pencabut Sukma dan anak-anak buahnya terpaksa 
batalkan serangan dan melompat ke satu pojok. 
"Pendekar 212!" terdengar seruan Sultan begitu dia kenali siapa adanya pendatang baru itu. 
Dewi Kerudung Biru sendiri memandang pada Wiro Sableng dengan sinar mata yang berkilat-kilat. 
Di balik pandangan mata itu seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Wakil Ketua 
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dan anggota-anggota lainnya memandang menyorot penuh 
amarah. 
Pendekar 212 Wiro Sableng sunggingkan senyum di wajahnya yang keren sedang tangan 
kanannya mempermainkan Kapak Maut Naga Geni 212. Melihat pada angka 212 yang tertera pada 
dua mata kapak di tangan si pemuda maka berkatalah Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut 
Sukma, sambil melintangkan pedang di muka dada. "Jadi kaukah yang selama ini dijuiuki Pendekar 
212 itu...?!". 
Jawaban Wiro Sableng hanya tertawa mengekeh. 
"Orang gendeng, apa kau sudah bosan hidup mau campur urusan orang lain....?!,” tanya 
Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma. 
"Atau mungkin masih belum tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!" ujar Si Pisau 
Terbang. 
"Siapapun kalian adanya tak lebih dari babi-babi cacingan yang diberi berjubah dan 
berkerudung merah!,” ejek Pendekar 212 pula!Marahlah Si Pisau Terbang. Tanpa banyak cerita dia lepaskan sekaligus selusin pisau 
terbang beracun ke arah Pendekar 212. Wiro Sableng gerakkan Kapak Maut Naga Geni 212 
membuat setengah lingkaran. 
"Tring... tring.... tring...". 
Kedua belas pisau terbang itu musnah patah-patah. Melototlah mata Si Pisau Terbang. Dia 
menyurut undur dua langkah. 
"Pisau Terbang, kau minggirlah. Biar aku yang antarkan manusia bosan hidup ini ke pintu 
gerbang akhirat!” 
Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma maju dua langkah. Sultan Hasanuddin 
dengan ilmu menyusupkan suara beri peringatan pada Pendekar 212. "Sobat, hati-hatilah 
terhadapnya. Dia saktisekali!"' 
Begitu peringatan Sultan berakhir maka Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma telah lancarkan 
serangan pedang merah dalam jurus yang luar biasa. Jurus ini sekaligus merupakan empat tebasan 
dan empat tusukan! 
"Ah cuma ilmu pedang picisan saja mau diandalkan," Ejek Wiro. Kapak Naga Geni 
ditangannya menderu. Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma tiada berani mengadu 
senjata. Hatinya tergetar ketika merasakan bagaimana sinar putih senjata lawan membuat 
pedangnya tak bisa bergerak leluasa. Manusia ini membatin. "Celaka, paling lama aku hanya bisa 
layani si keparat ini dalam dua puluh lima jurus!". Dan dia segera putar otak untuk cari kesempatan 
larikan diri! 
Pendekar 212 yang tahu gelagat lawan segera lancarkan serangan ganas. Wakil Ketua 
Perkumpulan. Iblis Pencabut Sukma angsurkan pedang merah kemuka untuk menangkis karena 
bertindak berkelit tiada punya kesempatan lagi. 
"Trang"! 
Maka patahlah pedang merah Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu! 
Keringat dingin memercik di kening manusia iblis ini! Nyalinya lumer! Sambil angkat tangan 
kanannya tinggi-tinggi ke atas untuk lepaskan pukulan yang sangat diandalkannya yaitu pukulan 
pencabut sukma, maka dia berseru pada sisa-sisa anak buahnya. 
"Kalian jangan mematung saja! Marisama kita bereskan anjing kurap ini!'". 
Maka delapan anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dengan membentak dahsyat 
segera menerjang ke muka dan langsung lancarkan pukulan pencabut sukma! 
"Wiro! Awas! Mereka hendak lepaskan pukulan pencabut sukma!" seru Dewi Kerudung 
Biru. Bahwasanya sang Dewi mengetahui namanya inilah satu hal yang mengejutkan Pendekar 212 Wiro Sableng! Keterkejutan ini membuat dia menjadi lengah seperempatan detik. Dan itu sudah 
cukup bagi Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma serta anak-anak buahnya! 
"Mampuslah!" 
Dewi Kerudung Biru menjerit! Sultan sendiri pucat lesi parasnya Tiba-tiba Pendekar 212 
meraung laksana halilintar. Dia melompat ke muka Kapak naga Geni 212 menderu. Empat suara 
pekikan seperti mau memecahkan anak telinga. Empat anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma 
terkapar dengan tubuh hampir kuntung! Pendekar 212 ayunkan Kapak Naga Geni 212 sekali lagi 
namun disaat itu Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukmat dan sisa-sisa anak buahnya 
sudah lenyap larikan diri keluar goa. 
Pendekar 212 bediri nanar. Sultan melompat ke muka dan merangkul tubuh Wiro. Di balik 
kerudungnya Dewi Kerudung Biru menggigit bibir. Sepasang matanya yang jeli dipejamkan.Wiro 
ambil sebutir pil dari saku pakaiannya lalu ditelan dengan cepat. Dewi Kerudung Biru kemudian 
berdiri dan kedua tangannya ditekankan ke bahu Pendekar 212 untuk alirkan tenaga dalam guna 
bantu menyembuhkan luka yang diderita Pendekar itu. Namun sesaat kemudian Pendekar 212 
mengerang halus lalu pingsan tiada sadarkan diri! 


-- == 0O0 ==

DUA BELAS


SULTAN cemas sekali melihat keadaan Pendekar 212 demikian rupa. Bersama Dewi 
Kerudung Biru, Wiro dibaringkan di lantai, kepalanya diganjal dengan sehelai kain yang 
dilipat-lipat. 
"Dewi, apakah… apakah dia…?" Sultan tak bisa meneruskan pertanyaannya. 
Dewi Kerudung Biru hela nafas. "Sebenarnya aku yang salah karena aku telah berseru 
memanggil namanya tadi," berkata perempuan itu. Dihelanya lagi satu kali nafas dalam. "Tapi 
lukanya tak begitu parah. Besok pagi dia sudah sembuh kembali. Untung saja berilmu tinggi, 
kalau tidak keseluruhan isi perutnya pasti akan berbusai ke luar dari mulut." 
"Dewi, kau tahu nama pemuda ini. Apakah kalian pernah kenal sebelumnya...?" 
Dewi Kerudung Biru elakkan pertanyaan itu dengan balik menanya. "Kau sendiri punya 
hubungan apa dengan dia…?"Maka Sultan Hasanuddin menuturkan mulai pertama kali dia kenal dan ditolong oleh 
Pendekar 212. Mendengar itu kembali sepasang mata Dewi Kerudung Biru berkilat-kilat. Dan 
hal ini diam-diam diperhatikan oleh Sultan sehingga dia merasa yakin pastilah ada hubungan 
apa-apa antara Dewi Kerudung Biru dengan Pendekar 212 sebelumnya. Tapi untuk bertanya 
lebih jauh Sultan merasa segan. 
"Dia memang sakti sekali, Sultan,” berkata sang Dewi. "Sikapnya kadang-kadang lucu 
tapi juga menyakitkan hati. Bahkan banyak orang yang menyangka dia kurang sehat pikiran. 
Tapi hatinya sepolos permata, seputih kertas, jujur. Beberapa tokoh persilatan telah 
meramalkan bahwa kelak dikemudian hari dia bakal merajai dunia persilatan…" 
Sultan Hasanuddin manggut-manggut. 
"Sultan, dalam hal ini kita tak punya waktu lama. Aku akan ajarkan padamu beberapa 
jurus ilmu silat dan ilmu asap kencana biru… " 
"Aku haturkan ribuan terima kasih Dewi," kata Sultan dengan gembira. 
"Silakan duduk bersila dan pejamkan mata," Dewi Kerudung Biru berkata. 
Sultan menurut. Dia duduk bersila dan pejamkan mata. Dewi Kerudung Biru kemudian 
salurkan tenaga dalamnya ke tubuh Sultan melalui pundak. Selesai menerima saluran tenaga 
dalam itu Sultan merasakan tubuhnya sangat enteng dan segar bugar. "Sekarang aku akan 
ajarkan padamu dua jurus ilmu silat. Dua jurus ilmu silat ini hanya empat orang yang pernah 
memilikinya. Yaitu Pendekar Seberang Lor, Resi Warajana, Dewi Kencana Wungu. Ketiganya 
sudah meninggal. Aku adalah pewarisnya yang keempat dan bila kuajarkan dua jurus itu 
kepadamu maka kau adalah perwaris yang kelima! Jurus yang pertama ialah jurus naga kepala 
seribu mengamuk. Yang kedua, jurus Cakar garuda emas. Keduanya merupakan jurus-jurus 
yang sukar dicari bandingannya dalam dunia persilatan. Jika kau benar-benar meyakininya, per-
cayalah tidak sembarang musuh bisa melayanimu." 
"Terima kasih Dewi… ribuan terima kasih. Jadi kalau begitu Dewi adalah murid dari 
Dewi Kencana Wungu…?" 
Sang Dewi mengangguk. "Mari kita mulai,” katanya. 
Karena Sultan sebelumnya sudah mempunyai dasar ilmu silat yang tinggi juga maka 
kedua jurus yang diajarkan padanya itu dengan mudah dan cepat bisa dipahaminya. Dewi 
Kerudung Biru gembira sekali. Kemudian kepada Sultan diajarkan pula ilmu Asap 
kencana biru. Ilmu ini agak sukar mula-mula dipahami oleh Sultan namun karena 
tekunnya beberapa jam kemudian dia berhasil juga menguasainya."Kecerdasanmu luar biasa sekali, Sultan,” kata Dewi Kerudung Biru. "Malam ini, 
sampai esok pagi teruslah berlatih." 
"Nasihat Dewi akan kuperhatikan,” jawab Sultan. Dan malam itu, seorang diri 
Sultan melatih diri. Dewi Kerudung Biru sementara itu duduk bersemadi. Meskipun dia 
pejamkan mata namun bila ada jurus-jurus yang agak salah dilakukan oleh Sultan dia me-
ngetahuinya dan segera menegur ! 
Keesokan paginya… 
Di luar gua burung-burung berkicau bersahut-sahutan menyambut kedatangan pagi 
yang ditandai munculnya sang surya di ufuk timur. Di dalam gua Sultan tengah duduk 
berhadap-hadapan dengan Dewi Kerudung Biru. 
"Yakini dan pelajari terus ilmu-ilmu yang telah kau milik itu Sultan. Kelak 
kemudian hari kau akan buktikan sendiri kemanfaatannya. Sekarang, selagi hari masih 
pagi, selagi udara masih segar, maka segeralah berangkat ke Demak. Dalam semediku 
malam tadi aku mendapat sedikit renungan petunjuk dari Yang Kuasa bahwa kekuasaan 
kaum pemberontak yang kini bercokol di Banten tidak akan lama....” 
Sultan mengangguk. Dia memandang pada tubuh Pendekar 212 yang sampai saat 
itu masih juga terbaring dalam pingsannya. "Bagaimana dengan sshabatku ini, Dewi? 
Kalau bisa aku ingin berangkat bersama-sama dia...” 
Dewi Kerudung Biru menggeleng. "Dalam rencana untuk menumpas kaum 
pemberontak, dalam usaha menegakkan yang benar dan menghancurkan yang bathil, 
kalian berdua sama satu tekat dan satu hati. Namun dalam mencapainya masing-masing 
kalian mempunyai cara tersendiri. Harap kau bisa merenungi hal ini, Sultan…” 
Sultan Hasanuddin termenung sejenak. Memang ucapan Dewi Kerudung Biru itu 
dapat dipahaminya. 
Dia memandang lagi pada Wiro Sableng. "Apakah dia akan segera siuman dan 
sembuh kembali, Dewi?" bertanya Sultan. 
Sang Dewi mengangguk. 
"Mengenai diri Andjarsari dan keris Tumbal Wilayuda, bisakah kau memberi 
petunjuk…?" 
"Andjarsari diculik oleh komplotan Iblis Pencabut Sukma, Keris Tumbal Wilayuda 
juga mereka yang mencurinya…” 
"Kalau begitu,” kata Sultan dengan kepalkan tinju. "aku akan cari sarang 
mereka...!"Dewi Kerudung Biru gelengkan kepala. "Selain besar bahayanya juga kau mesti 
pergi ke Demak sekarang juga Sultan." 
"Aku tidak takut mati!,” kata Sultan jantan. "Aku rela korbankan jiwa demi 
tegakkan Kerajaan Banten yang syah kembali." 
"Aku puji hati kesatriaan dan kecintaanmu pada Kerajaan Banten, Sultan. Tapi 
ingat, agaknya caramu untuk mencapai rencana itu hanya dengan mengikuti kehendak hati 
sendiri. Salah-salah kau bisa celaka dan Banten tetap dikuasai oleh kaum pemberontak 
Parit Wulung." 
"Kalau begitu katamu, aku menurut,” ujar Sultan Hasanuddin akhirnya. "Tapi 
sebelum pergi perkenankanlah aku melihat parasmu." 
Dewi Kerudung Biru menggeleng. "Sayang, masih belum.saatnya aku 
mengabulkan permintaanmu Sultan. Harap dimaafkan." 
Sultan Hasanuddin menghela nafas dalam. Dia ucapkan lagi rasa terima kasih yang 
sebesar-besarnya. 
"Jasa dan pertolonganmu akan kuingat, akan dikenang oleh rakyat Banten. Disatu ketika 
aku akan datang lagi menyambangimu, Dewi,” Sultan memanggut memberi hormat lalu 
meninggalkan tempat itu. 
Kira-kira tiga kali sepeminuman teh lamanya Sultan meninggalkan Goa Dewi 
Kerudung Biru maka dihadapan jalan yang ditempuhnya tahu-tahu muncullah tiga orang 
penunggang kuda. Ketiganya berjubah dan berkerudung kain merah darah. Anggota-anggota 
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma!” 
Sesaat kemudian merekapun berhadap-hadapanlah. 
Anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Suma yang paling muka buka suara membentak, 
"Lekas mengaku, apa kau Sultan Banten yang melarikan diri itu?!" 
Kawannya yang lain menyela. "Melihat kepada tampangnya pasti tidak salah lagi! Ayo 
kawan-kawan mari kita berebut pahala meringkus manusia ini!" 
Maka ketiga anggota Perkumpullan Iblis itu pun melompatlah dari kuda masing-
masing. Sambil melompat ketiganya sekaligus keluarkan jurus warisan Ketua mereka yang 
dinamai "tiga pasang lengan meremas tangkai bunga teratai" Yang satu datang dari atas, yang 
kedua dari depan dan yang terakhir dari belakang! Tapi Sultan yang sekarang jauh berbeda de-
ngan Sultan sehari sebelumnya. 
Sekali Sultan membentak maka terpentanglah kedua tangannya yang mana disusul 
dengan gerakan sebat laksana ribuan ekor naga menyengat kian ke mari !Melihat ini, terkejutlah ketiga penyerang. Buru-buru mereka batalkan serangan jurus 
pertama dan menyusul dengan jurus "memukul kasur menggeprak bantal!" Ini adalah satu jurus 
yang cukup lihay. Anggota Perkumpulan Iblis yang di atas hantamkan dua telapak tangannya 
sekaligus sedang yang di depan dan di belakang kirimkan pukulan keras ke dada dan ke 
punggung. Tak ayal lagi Sultan segera praktekkah ilmu yang baru diyakininya dari Dewi 
Kerudung Biru yaitu keluarkan jurus "cakar garuda emas!" 
"Brettt... bret!" 
"Kurang ajar! Matipun kau masih cukup pantas untuk diserahkan kepada Ketua kami!" 
bentak anggota Perkumpulan Iblis yang sempat selamatkan diri. Dia memberi isyarat pada dua 
kawannya. Serentak ketiganya menyerbu dan angkat tangan kanan tinggi-tinggi. Namun 
sebelum pukulan "pencabut sukma" itu sempat mereka laksanakan. Sultan buka mulutnya dan 
asap biru menggebubu ke arah ketiga penyerangnya. 
"Asap kencana biru!" seru salah seorang anggota Perkumpulan Iblis dengan terkejut. 
Buru-buru dia tutup jalan nafas. Tapi dua orang kawannya terlambat. Begitu tercium oleh 
keduanya kepulan asap biru yang mengandung racun itu maka hancurlah pembuluh-pembuluh 
darah dan pecahlah paru-paru mereka. Keduanya mati di situ juga! 
"Pemuda, ada hubungan apa kau dengan Dewi Kerudung Biru? Apakah kau 
muridnya?!" bentak anggota Perkumpulan Iblis yang masih hidup. 
Sultan kertakkan rahang. Tubuhnya berkelebat. Dua tangan terpentang lebih dahsyat 
dari yang pertama tadi dan "brak"! Hancurlah mulut yang membentak itu! Tubuh anggota 
Perkumpulan Iblis itu kelojotan sebentar lalu kaku tegang untuk selamalamanya ! 


-- == 0O0 ==


TIGA BELAS


KETIKA Wiro Sableng,
siuman dari pingsannya dirasakannya kepalanya dipangku oleh 
satu paha yang panas sedang hidungnya mencium bau harum menyegarkan. Dibukanya matanya 
dan pandangannya membentur sebuah wajah yang ditutupi kerudung kain biru. Terkejutlah 
pemuda ini. Cepat-cepat dia bangun dan berdiri. Di balik kerudungnya, Dewi Kerudung Biru 
menjadi kemerah-merahan pipinya.Wiro Sableng memandang berkeliling. Ruangan itu telah bersih dari mayat-mayat 
anggota Pepkumpulan IbIis Pencabut Sukma. Sultan sendiri tiada kelihatan.
"Kemana dia...?!" 
tanya Wiro. 
"Dia siapa...?" 
"Sultan!" 
"Sudah pergi pagi tadi. Pergi ke Demak!" Pendekar 212 memandang lama-lama ke muka 
yang ditutup kerudung itu. Suara perempuan di hadapannya ini rasanya pernah didengar dan 
dikenalinya sebelumnya tapi lupa di mana! 
Ketika ingat bahwa perempuan itulah yang telah menolongnya, maka Pendekar 212-pun 
segera menjura. 
"Dewi Kerudung Biru, aku haturkan-terima kasih atas pertolonganmu. Di lain hari kelak 
aku akan balas budi baikmu itu." 
"Aku tak mengharapkan balasan apa-apa…". Dan Dewi Kerudung Biru memandang ke 
jurusan lain ketika untuk kesekian kalinya mata Pendekar 212 memperhatikan sepasang matanya 
lakat-Iekat. Dadanya bergetar. Ditahannya gelora hatinya. 
Melihat sikap sang Dewi, ingat bahwa dia pernah mengenali suara perempuan itu 
sebelumnya maka inginlah Wiro melihat paras di balik kerudung itu. Namun diajukannya dulu 
pertanyaan. "Dewi, mungkin kau bisa memberi petunjuk di mana Andjarsari dan keris Tumbal 
Wilayuda berada…?" 
"Andjarsari diculik oleh komplotan Iblis Pencabut Sukma. Keris Tumbal Wilayuda juga 
ada pada mereka. Kau harus cepat turun tangan Pendekar 212!" 
"Tapi dunia begini luas, dimana aku akan cari mereka?" 
"Komplotan itu bersarang di Lembah Batu Pualam...!” 
"Terima kasih atas keteranganmu Dewi,” Wiro merenung sejenak. Tiba-tiba dia ingat 
sesuatu. "Dewi Kerudung Biru, sewaktu aku bertempur melawan anggota komplotan itu kau telah 
berseru menyebut namaku. Tahu dari manakah...?" 
Tergetarlah hati sang Dewi mendengar pertanyaan ini. Dengan memandang kejurusan 
lain menjawablah dia . "Nama seorang pendekar tentu saja dikenal sampai ke mana-mana…" , 
"Aku bukan pendekar apa-apa..,” kata Wiro merendah. "Dan terus terang saja aku rasa-
rasa pernah bertemu dengan kau sebelumnya. Aku masih bisa ingat dan mengenali suaramu…" 
Dewi Kerudung Biru tundukkan wajah. Matanya yang jeli dan bercahaya kini kelihatan 
redup dan diambangi air mata. Ditekannya perasaannya yang menggelora. Dikerahkannya tenaga 
dalamnya agar tidak gemetar suaranya. "Tidak . . . kita tak pernah bertemu sebelumnya Pendekar 212. Dan di dunia ini mungkin saja ada beberapa manusia yang punya suara hampir bersamaan . . 
. ." 
Wiro Sableng maju satu langkah. 
"Dewi, kalau kau tak mau berterus terang, kasihlah tahu saja siapa namamu sebenarnya." 
"Kau sudah tahu." 
"Ah… Dewi Kerudung Biru itu hanya nama gelaran belaka…,” jawab Wiro pula. 
"Di lain hari mungkin aku baru bisa beri tahu nama. Sekarang harap kau suka 
tinggalkan tempat ini. 
Tapi pemuda itu tetap berkeras. "Dengar Dewi, setiap orang yang pernah menolong aku, 
musti kuketahui siapa dia adanya. Kalau kau tak mau kasih tahu nama tak apa. Namun apakah 
kau juga tak sudi buka kerudung itu sebentar dan memperlihatkan paras…?" 
Dewi Kerudung Biru menghela nafas. "Itu juga tak perlu. Kau akan menyesal…" 
"Menyesal kenapa?" 
"Kau akan terkejut karena mukaku sangat buruk dan mengerikan…". 
"Muka yang buruk tapi hati yang polos dan berbudi seribu kali lebih baik dari wajah 
bagus dan hati busuk jahat." 
"Permintaanmu tak dapat kukabulkan,” kata Dewi Kerudung Biru dengan ketegasan 
yang dipaksakan. 
Pendekar 212 maju lebih dekat. "Kalau begitu..,” katanya, "harap maafkan karena aku 
terpaksa melakukan ini". Wiro ajukan tangan hendak membuka kerudung penutup wajah. 
"Apakah seorang ksatria bersikap sekurang ajar dan tak tahu peradatan?!,” bentak Dewi 
Kerudung Biru. 
Tangan Wiro tertahan seketika. Tapi karena perempuan itu dilihatnya tiada menjauhkan 
kepalanya maka diteruskannya niatnya. 
“Sret!” 
Terbukalah kerudung biru itu! 
Dan terbeliaklah mata Pendekar 212. 
“Anggini.!,” serunya. 
Ternyata paras di balik kerudung itu adalah paras seorang gadis jelita. Gadis jelita yang 
dulu pernah dikenal oleh Pendekar 212 sebagai murid Dewa Tuak! (Baca. "Maut Berjanji di 
Pajajaran"). 
Untuk beberapa lamanya kemudian Wiro Sableng hanya bisa berdiri terlongong-
longong sedang Anggini sendiri tundukkan kepalanya coba menyembunyikan sepasang 
matanya yang berkaca-kaca dan juga sembunyikan parasnya yang membayangkan perasaan serta gelora hatinya. Selama beberapa bulan dia telah berkelana untuk mencari Pendekar 212 
dan baru hari itu mereka jumpa dalam satu suasana yang tak terduga! 
"Apakah dia dapat memaklumi bagaimana perasaan hatiku terhadapnya?" membathin 
Anggini atau Dewi Kerudung Biru. 
"Ini adalah satu hal yang tak terduga. Anggi...ni…,” desis Wiro. 
Anggini anggukkan kepala. "Ya, suatu hal yang tak terduga..,” suaranya yang rawan 
ditindihnya dengan tenaga dalam sehingga getaran hatinya tiada kentara oleh si pemuda. 
"Tapi ini adalah juga merupakan hal yang menggembirakan,” ujar Pendekar 212 pula. 
"Ilmumu maju pesat sekali. Siapa yang menduga kalau Dewi Kerudung Biru itu nyatanya 
adalah engkau sendiri…?!" 
Karena Anggini diam saja dan masih tundukkan kepala maka bertanyalah Wiro. "Aku 
tak mengerti, mengapa tadi kau sengaja mengatakan parasmu buruk…” 
"Ah..... Anggini tarik nafas dalam. 
Pendekar 212 merenung sejenak. Terkenang dia pada satu malam beberapa bulan yang 
lewat ketika dia berada berdua-duaan dengan Anggini yaitu sehabis pertempuran di Gua 
Sanggreng. 
"Selama waktu ini tentu kau telah menuntut ilmu pada seorang guru sakti. Bukankah 
demikian…?" 
Anggini mengangguk. 
"Rupanya kau kurang begitu senang dengan pertemuan ini, Anggini?" tanya Wiro 
Sableng. 
"Jangan menduga yang bukan-bukan, Wiro..,” jawab Anggini dan dalam hatinya dia 
menambahkan. "Kalau kau tahu perasaanku terhadapmu…" 
Setelah termanggu sejurus maka berkatalah Wiro. "Malam menjelang pagi tempo hari 
itu menyesal aku terpaksa meninggalkan kau... Apakah kau sudah kembali dan bertemu dengan 
gurumu Dewa Tuak...?" 
Dewi Kerudung Biru menggeleng. 
"Kenapa . . .?" 
"Mana mungkin aku kembali jika tidak memenuhi perintahnya tempo hari...?" Habis 
mengucapkan kata-kata itu memerahlah kedua pipi Anggini karena jengah. 
Wiro Sableng tertawa. "Ho-oh, jadi rupanya cerita itu masih belum juga selesai sampai 
sekarang... Wiro geleng-gelengkan kepala.” (Sebagaimana diketahui-dalam buku "Maut Ber-
nyanyi di Pajajaran,” guru Anggini yaitu Dewa Tuak berniat keras untuk menjodohkan Anggini dengan Pendekar 212. Tentu saja Pendekar 212 tidak mau. Setelah terjadi beberapa jurus 
pertempuran yang sengaja ditimbulkan oleh Dewa Tuak kemudian memerintahkan Anggini 
untuk mencari Pendekar 212 dan muridnya itu tidak diperkenankan kembali kepertapaan, 
kecuali dengan membawa Pendekar 212 sebagai calon suaminya ! 
"Semustinya kau kembali ke tempat gurumu, Anggini. Siapa tahu dia telah merubah 
niatnya yang kurang bisa diterima itu...!" 
"Aku tahu sifat guruku, Wiro. Sekali dia kasih perintah tak bakal ditariknya kembali! 
Dari jika aku tak bisa melaksanakan perintahnya pulang ke pertapaan berarti hanya untuk 
terima hukuman. 
"Dan karena itu kau tak kembali-kembali kesana . . . ?" . 
"Ya,” lalu tanpa diminta gadis itupun memberi penuturan. "Pagi sesudah kau pergi itu, 
aku terus mencarimu sampai berbulan-bulan hingga pada suatu hari aku bertemu dengan dua 
orang penunggang kuda berkerudung dan berjubah merah. Ternyata dia adalah Ketua 
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dan seorang anak buahnya. Kau sudah lihat bagaimana ke-
ganasan komplotan mereka. Meskipun tak ada silang sengketa namun mereka dengan sengaja 
mencari gara-gara hendak meringkusku. Anak buah Iblis itu berhasil kubunuh tapi untuk 
menghadapi Ketua Iblis Pencabut Suma aku tiada mampu. Dalam keadaan ditotok kemudian 
diriku dilarikan ke sarang mereka di Lembah Batu Pualam, Aku dimasukkan ke sebuah 
kamar…" 
Sampai di sini Anggini tak meneruskan kalimatnya. Ditelannya nafasnya beberapa kali. 
Air mata yang sejak tadi mengambang ke pipinya yang kemerahan. Wiro sendiri merasa 
dadanya dan nafasnya seperti menyesak. Mungkin selama ini baru kali di saat itulah dia berada 
dalam suatu keadaan yang serius demikian rupa. Sifat dan sikapnya yang selama ini selalu lucu 
jenaka lenyap ditelan gelombang perasaan setelah mendengar penuturan Anggini, penuturan 
yang masih belum habis. 
Dengan menguatkan hatinya maka Anggini kemudian meneruskan penuturan. "Ketua 
Iblis Pencabut Sukma laknat itu hendak meperkosaku. Kemudian diriku akan diteruskannya 
pada bawahan-bawahannya. Tapi Tuhan masih melindungiku. Sebelum Ketua Perkumpulan 
laknat itu berhasil melampiaskan maksud terkutuknya, seorang nenek-nenek sakti menerobos 
masuk ke dalam kamar dan melarikanku…" 
Anggini menarik nafas dalam seketika lalu meneruskan. "Ternyata nenek-nenek sakti 
itu adalah Dewi Kencana Wungu. Aku dibawanya kepertapaannya dan diambilnya menjadi 
murid. Sekarang beliau sudah tiada. Sudah meninggal…"Lama kesunyian menjelang. 
"Apakah rencanamu untuk masa mendatang…?" bertanya Pendekar 212. 
"Aku sendiri masih belum tahu. Tapi yang pasti ialah aku harus membuat perhitungan 
dengan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu…" 
"Agaknya kita mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama menghancurkan 
komplotan terkutuk itu." 
Lagi-lagi kesunyian menyeling. 
"Anggini..,” kata Wiro memecah kesunyian itu. "Sekali ini pertemuan kita tak bisa 
berjalan lama...” 
''Kau memang selatu tidak menginginkan pertemuan lama-lama denganku..,” kata 
Anggini atau Dewi Kerudung Biru. 
Pendekar 212 letakkan tangan kirinya di bahu Kanan Anggini. Perawan itu merasakan 
ada hawa aneh yang nikmat dan menenangkan hati mengalir ditubuhnya. 
"Aku sudah bilang tadi bahwa pertemuan ini sangat menggembirakan. Namun kita 
harus sama memaklumi bahwa aku harus menyelamatkan Andjarsari dan merebut kembali 
Keris Tumbal Wilayuda. Di lain hari kelak aku pasti akan menyambangimu di sini…" 
Anggini terdiam. Dipermainkannya kain biru yang tadi merupakan kerudung wajahnya. 
"Aku pergi sekarang, Anggini…" 
"Wiro…,” suara Anggini tersekat ditenggorokan. 
Langkah Pendekar 212 tertahan. Dipandanginya paras jelita di hadapannya. Kemudian 
dilihatnya bagaimana gadis itu menggerakkan tangannya, meremas jari-jari tangannya yang 
diletakkan di bahu. Sekelumit getaran menjalari darah muda Pendekar 212. Dia membungkuk 
dan mencium kening Anggini. Ketika kepalanya hendak ditariknya kembali tiba-tiba gadis itu 
merangkul lehernya erat sekali. 
"Wiro... Wiro... jangan pergi dulu…" bisik Anggini. Nafas mereka saling menghembusi 
wajah masing-masing. Wiro membelai pipi yang halus lembut itu. Ketika Anggini 
memejamkan matanya, Pendekar 212 menempelkan bibirnya ke bibir Anggini. Betapa 
hangatnya pertemuan sepasang bibir itu. Mula-mula bibir itu diam membeku seperti mati. 
Kemudian rangsangan mulai membuat getaran-getaran pada permukaan kulit bibir masing-
masing. Dan bila sudah demikian, maka sepasang bibir itupun mulai menari-nari, saling lumas 
melumas. Keduanya berpagutan erat-erat seperti tak hendak dilepaskan untuk selama-lamanya. 
"Wiro… aku cinta padamu, Wiro. Aku cinta padamu..,” bisik Anggini berulang kali. 
"Hemm..,” Pendekar 212 menggumam. Digigitnya bibir perawan itu."Kaupun cinta padaku bukan...?" 
"Hemmm…,” Wiro menggumam lagi. 
"Jawab Wiro. Katakanlah…,” Dan tanpa disadari saat itu tubuh keduanya sudah 
terbaring berpagutan di lantai. 
"Wiro . . . ." 
"Tiba-tiba di ruangan itu meledaklah suara tertawa yang dahsyat. 
"Ha... ha... sungguh satu pemandangan yang asyik untuk dilihat! Teruskan… 
teruskanlah! Pendekar 212, kenapa tidak kau telanjangi saja tubuh gadis itu?! Itu seribu kali 
lebih nikmat… Ha… ha... ha!" 
Seorang lain kemudian menyambungi suara yang pertama itu. 
"Pendekar 212 nyatanya hanya seorang Pendekar Cabul. Tapi tak apa! Sebelum dikirim 
ke liang kubur tak apa kalau diberi kesempatan dulu bercumbu rayu! Di liang kubur kau hanya 
akan bercumbu dan tidur dengan cacing!" 
Baik Pendekar 212 Wiro Sableng maupun Anggini sama-sama terkejut. Keduanya 
melompat cepat. Anggini merapikan jubah birunya yang terbuka di bagian dada ! 


-- == 0O0 ==




EMPAT BELAS


DI PINTU ruangan berdiri berkacak pinggang dua manusia bermuka buruk angker. 
Yang berselempang kain putih mukanya hitam macam pantat kuali, rambut awut-awutan, tam-
pangnya seperti singa dan dia bukan lain Resi Singo Ireng! Di keningnya tertera tiga angka 212. 
Di sampingnya berselempang kain biru berdiri kakaknya yaitu Resi Macan Seta yang 
tampangnya persis seperti macan. Kulit mukanya coreng moreng belang tiga, kuning, merah 
dan hitam! Kedua pentolan pemberontak kaki tangan Parit Wulung ini telah diperintahkan oleh 
Parit Wulung untuk mencari kembali Keris Tumbal Wilayuda. Dan hari itu mereka sampai di 
Goa Dewi Kerudung Biru di mana mereka telah dapat mencium jejak Pendekar 212. Bukan saja 
kedua Resi ini berprasangka bahwa Keris Tumbal Wiiayuda sudah berada di tangan Pendekar 
212, tapi Resi Singo Ireng sendiri memang mempunyai dendam kesumat terhadap Pendekar 
212 yaitu sewaktu dibikin muntah darah dalam pertempuran di perbatasan Kerajaan Banten tempo hari. Dan dendam kesumat itu masih dibawanya ke mana-mana sampai saat itu dikulit 
keningnya di mana tertera angka pukulan 212! 
"Siapa mereka, Wiro ?,” tanya Anggini dengan ilmu menyusupkan suara. 
"Dua manusia keparat yang membantu Parit Wulung si pemberontak terhadap Banten!,” 
menyahuti Pendekar 212." 
"Eeee… eee... eee. Kenapa acara kalian tidak diteruskan?,” bertanya Resi Singo Ireng 
dengan nada mengejek. 
Pendekar 212 menyengir. "Bicaramu keren sekali manusia muka pantat Kuali. 
Tentunya kau andalkan manusia muka harimau yang disampingrnu itu, huh?!"
Mata Resi Macan Seta membeliak garang. "Pentang kau punya mata, bukalah lebar-
lebar agar tahu dengan siapa berhadapan!" bentaknya. 
"Ah, manusia jelek macammu perlu apa aku kenali. Lagi pula, melihat kepada 
tampangmu, aku kawatir apa kau betul-betul manusia atau harimau jadi-jadian!,” Habis 
berkata begitu maka Pendekar 212 tertawa mengakak. 
"Pemuda besar mulut, aku mau lihat apakah kau sanggup menerima pukulanku ini?" 
bentak Resi Matjan Seta. Kata-kata ini ditutup dengan menghantam tangan kanannya ke 
muka. Maka bertaburlah sinar merah kekuningan ke arah Wiro dan Anggini. Pukulan "siaar 
surya tenggelam." . 
Pendekar 212 dan Anggini melompat ke samping Anggini sementara itu dengan cepat 
mengenakan kembali kerudung birunya. 
Kejut Resi Macan Seta bukan kepalang ketika melihat Pendekar 212 dan si gadis 
sanggup mengelakkan serangannya yang ampuh tadi. Nyatalah bahwa nama Pendekar 212 
bukan kosong belaka. Tidak disesalkan kalau tempo hari adiknya dapat dipecundangi!
Ketika melihat si gadis mengenakan kerudung kejut Resi Matjan.Seta dan Singo Ireng 
lebih-lebih lagi. 
"Kiranya kita berhadapan pula dengan Dewi Kerudung Biru, saudaraku Singo Ireng!". 
kata Matjan Seta. 
"Betul, tapi sang dewi ini biar aku bekuk hidup-hidup. Tampang dan, tubuhnya yang 
montok lumayan sekali untuk dikekapi sehari semalam!" 
Marahlah Wiro mendengar ucapan Singo Ireng itu. "Manusia pantat kuali, angka 212 
di keningmupun belum sanggup kau hapus, sekarang sudah berani-beranian unjuk gigi!" 
Si Singo Ireng tidak ambil peduli ucapan Wiro Sableng tapi segera menyerang Dewi 
Kerudung Biru. Sengaja dikeluarkannya jurus "memetik bunga memotes tangkainya". Jurus ini ialah satu jurus meringkus lawan yang didahului oleh satu totokan jarak jauh yang 
dahsyat! 
Namun dugaan Singo Ireng bahwa dia akan sanggup membekuk hidup-hidup, Dewi 
Kerudung Biru dalam satu jurus hebat itu meleset besar! Dewi Kerudung Biru sambuti 
serangannya dengan jurus "naga kepala seribu mengamuk!" 
Kaget sekali jadinya Resi Singo Ireng ketika menyaksikan bagaimana kedua tangan 
lawan berkelebat sangat cepat naik turun membabat ke samping dan berputar bergelung, 
menyerang ke arahnya. 
Selama malang melintang membuat kejahatan di dunia persilatan baru kali ini dia 
menghadapi jurus aneh ini! Sebaliknya Resi Matjan Seta yang punya lebih banyak 
pengalaman segera berseru. "Singo lreng, awas itu pukulan naga kepala seribu mengamuk!" 
Mendengar ini tersurutlah Resi Singo Ireng. Cepat-cepat dia kemudian melompat ke udara 
ketika menukik ke bawah dia lancarkan empat tendangan empat pukulan. Dalam sekejapan 
saja kedua orang itu sudah terlibat dalam jurus-jurus yang dahsyat. 
"Manusia muka coreng moreng! Apa hanya kalian berdua saja yang datang antarkan 
nyawa ke mari…?" tanya Pendekar 212 pada Matjan Seta. 
"Bocah gila!" bentak Matjan Seta marah sekali sehingga mukanya yang coreng 
moreng itu semakin menyeramkan. 
“Jika kau tidak kepingin mampus, sebaiknya lekas serahkan Keris Tumbal Wilayuda 
dan beri tahu di mana Sultan berada. Niscaya kau punya nyawa akan aku ampunkan!" 
Pendekar 212 bersiul keras. 
"Kau bukan Tuhan yang bisa mengampunkan manusia! Sebaiknya kupertemukan saja 
kau lekas-lekas dengan malaekat maut!" 
Resi Macam Seta mengaum macam harimau terluka. Tubuhnya berkelebatan dan 
lenyap. Angin dahsyat laksana angin prahara menderu ke arah Pendekar 212. Secepat kilat 
Pendekar 212 jatuhkan diri dari berguling di lantai. Tangan kanannya memukul ke atas! 
Pukulan Matjan Seta yang tidak mengenai sasarannya terus melanda dinding batu. Dinding itu 
pecah! Tetapi sebaliknya Resi ini merasakan bagaimana tubuhnya terasa seperti diangkat ke 
atas dan satu angin tajam menyakiti kulit kakinya. Ketika dia memandang ke muka Pendekar 
212 sudah tak ada dihadapannya. 
"Aku di sini, Matjan Seta!" 
Matjan Seta putar tubuh ke belakang. Begitu tubuhnya berputar begitu dan melihat satu 
gumpalan angin yang kerasnya laksana baja menderu ke arahnya. Resi ini tak ayal lagi

melompat empat tombak ke udara. Mendadak didengarnya suara siulan dekat sekali di 
telinganya. Dia hantamkan tangannya ke samping. Tapi.... 
"Bluk!" 
Resi Matjan Seta terpelanting ke lantai. Tulang punggungnya serasa remuk. Dia 
kerahkan tenaga dalamnya dengan cepat ke bagian yang kena dipukul lawan lalu atur jalan 
nafas. Ketika dia berdiri lurus-lurus kembali, muka macannya kelihatan bertambah angker. 
Kedua kakinya terpentang lebar. Tubuhnya sedikit membungkuk ke muka. Kedua tangannya 
yang diangkat ke atas kelihatan bergetar. Wiro maklum bahwa lawannya memusatkan seluruh 
tenaqa dalamnya pada dua tangan itu, dengan segera pendekar ini bersiap-siap pula! 
Tangan kanan Resi Matjan Seta kelihatan berwarna merah kekuningan. Lebih merah 
dan lebih kuning dari yang tadi. Pendekar 212 tahu bahwa lawannya bakal lepaskan lagi 
pukulan "sinar surya tenggelam" tapi yang lebih hebat dari yang pertama tadi. Dan ketika 
melirik pada tangan kiri sang Resi, tangan itupun kini berwarna sangat merah dan mengepulkan 
asap merah! 
Dua pukulan sekaligus tak bisa dianggap enteng! Pendekar 212 tidak mau ambil risiko. 
Segera tangan kanannya ditinggikan ke atas. Dan cepat sekali lengan sampai ke jari-jari tangan 
kanan itu menjadi sangat putih dan menyilaukan laksana perak ditimpa sinar matahari ! 
Mata Resi Matjan Seta membeliak melihat hal itu. "Pukulan sinar matahari!,” keluhnya 
dengan hati tergetar. "Benar-benar pemuda rambut gondrong ini memiliki ilmu kesaktian yang 
tinggi luar biasa! Apakah dia benar-benar telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian Eyang Sinto 
Gendeng…?,” demikian Matjan Seta membathin. 
Namun percaya, bahwa dua, pukulannya yaitu pukulan "inti api" dan pukulan "sinar 
surya tenggelam" akan dapat mengimbangi pukulan lawan maka dengan serta merta dia 
hantamkan kedua tangannya ke muka. Dua gelombang sinar merah pun menderu ke arah 
Pendekar 212. 
Pendekar 212 tunggu sampai dua gelombang sinar itu berada di pertengahan jarak 
antara dia dan lawan. Dan sedetik kemudian tangan kanannyapun turunlah ke bawah. Selarik 
sinar putih yang sangat panas dan menyilaukan menggebubu melabrak dua gelombang sinar 
merah, 
"Bumm !" 
Ruangan batu itu tergoncang hebat. Dinding batu angsrok, Lantai longsor sedang bagian 
atas ambruk! Terdengar keluhan maut Resi Matjan Seta. Di saat yang rasanya seperti mau 
kiamat itu Pendekar 212 berkelebat cepat menyambar tubuh Dewi Kerudung Biru dan dilarikan ke luar goa. Sesaat mereka sampai di luar goa maka runtuhlah Goa Dewi Kerudung Biru. Resi 
Singo Ireng yang tak sempat selamatkan diri, mati tertimbun bersama saudaranya Resi Matjan 
Seta. Di luar goa Pendekar 212 dan Dewi Keradung Biru saling berangkulan. 
"Anggini… sangat disesalkan tempatmu yang bagus menjadi hancur runtuh. Tapi 
sebagiannya masih bisa kau pergunakan...” 
Anggini mengangguk. Disembunyikannya wajahnya di dada yang bidang itu. 
"Anggini,” kata Wiro lagi. Dilepaskannya pelukannya. "Waktuku tak banyak lagi. Aku 
harus segera ke Lembah Batu Pualam tempat bersarangnya Perkumpulan Iblis Pencabut 
Sukma..... Sampai jumpa lagi, Anggini". 
"Aku ikut Wiro....!" seru gadis itu, Tapi Pendekar 212 sudah lenyap dari hadapannya. 
Gadis itu termanggu sejurus. Tapi kemudian segera pula dia berkelebat meninggalkan 
tempat itu. 

-- == 0O0 ==



LIMA BELAS


LEMBAH Batupualam….. 
Lembah ini dikelilingi oleh pegunungan batu pualam yang berkilauan ditimpa sinar 
sang surya. Di mana-mana bahkan sampai ke dasar lembah terdapat gundukan-gundukan batu 
pualam putih. Di tengah dasar lembah kelihatan sebuah gedung besar bertingkat dua yang 
keseluruhannya mulai dari lantai sampai ke atap terbuat dari batu pualam. Gedung ini indah 
sekali bentuknya. Di beberapa bagian di luar dan di dalam gedung batu pualam ini terdapat 
ukiran-ukiran yang bagus sehingga sesungguhnya tak pantaslah bila gedung itu menjadi markas 
atau sarangnya komplotan terkutuk Iblis Pencabut Sukma! 
Pendekar 212 berdiri di ujung timur tepi lembah, berlindung di balik sebuah onggokan 
batu pualam. Dari tempatnya berada dilihatnya gedung itu sepi-sepi saja. Tak ada seorangpun 
anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang kelihatan. 
Dengan berlindung di balik gugusan-gugusan dan puing-puing batu pualam, Pendekar 
212 mulai menuruni lembah. Dia sampai di dasar lembah kini. Jarak antaranya dengan gedung 
batu pualam kurang lebih tiga puluhan tombak. Wiro melompat ke balik gugusan batu pualam yang lain, melompat lagi ke kiri, lalu ke kiri lagi sehingga jaraknya kini dengan gedung itu 
hanya sekira sepuluh tombak. 
Pintu depan gedung terbuka lebar-lebar, demikian juga jendela-jendela di tingkat bawah 
serta atas. Anehnya sampai saat itu suasana masih sunyi senyap seperti tadi. "Mungkin ada 
perundingan di dalam sana…,” pikir Pendekar 212. Dia memutuskan untuk menunggu sampai 
kira-kira sepeminum teh. Sementara itu di tingkat kedua gedung batu pualam..... 
Di sebuah ruangan rahasia kelihatan empat manusia berjubah dan berkerudung merah. 
Salah satu di antaranya jubah dan kerudungnya lebih merah dari yang lain-lain. Dialah Ketua 
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Dia duduk di sebuah kursi, membelakangi sebuah mimbar. 
Dihadapannya duduk tiga orang, satu di antaranya ialah Wakil Ketua Perkumpulan. Yang dua 
anggota anggota Perkumpulan yang berilmu tinggi. Di pangkuan Wakil Ketua Perkumpulan 
saat itu terbaring tubuh Anjarsari. 
Ketua Iblis Pencabut Sukma manggutkan kepala dan Wakilnya segera berdiri. Tubuh 
Andjarsari diletakkannya di kursi lalu dia melangkah kehadapan Ketua dan menjura. 
"Ketua, harap dimaafkan bila aku menjalankan tugas dan kembali ke sini agak 
terlambat. Ada beberapa rintangan di tengah jalan…” 
"Kau berhasil mendapatkan Keris Tumbal Wilajuda?!" bertanya sang Ketua. Suaranya 
berat serak laksana palu godam. 
Wakil Ketua angguKkan kepala lalu keluarkan sebilah keris yang keseluruhannya mulai 
dari sarung sampai ke kerisnya terbuat dari emas. Karena senjata ini senjata mustika maka 
dengan sendirinya memancarkan sinar kuning yang terang! Mata Ketua Iblis Pencabut Sukma 
berkilat-kilat melihat senjata itu. Begitu diterumanya diperhatiKannya sejurus lalu di-
masukkannya ke batik pinggang. 
"Apalagi yang kau bawa?!" tanya sang Ketua. Wakilnya putar tubuh sedikit dan 
menuding pada tubuh Andjarsari yang didudukkan di kursi. "Gadis itu adalah calon isteri Sultan 
Hasanuddin. Aku berhasil menculiknya.......” 
"Sultan sendiri bagaimana . . . . . . , ?". 
“Aku juga sebenarnya hampir berhasil menculik dia waktu berada disarang 
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam tapi tahu-tahu sesosok bayangan biru melarikannya. 
Ketika kuikuti jejaknya ternyata bayangan biru itu adalah Dewi Kerudung Biru. Perempuan 
dajal itu hampir berhasil kutamatkan riwayatnya bersama beberapa orang anggota jika seorang 
pemuda gila bergelar Pendekar 212 tidak muncul di situ!""Hem... memang akhir-akhir ini kudengar kabar selentingan tentang munculnya seorang 
pendatang baru yang aneh dalam dunia persilatan...." 
Ketua Iblis Pencabut-Sukma usap-usap dagunya yang tersembunyi di batik kerudung 
itu. Lalu tanyanya. "Jadi kau dan anak-anak buah tak sanggup membereskan pendekar itu?". 
"Manusia itu sakti sekali. Dia memiliki sebuah kapak bermata dua..... Kapak Maut Naga 
Geni 212!" 
"Hanya sebuah kapak buat penebang pohon saja kau takuti.... Bagaimana dengan Per-
kumpulan Pengemis Darah Hitam....?" 
"Mulanya, karena merasa bahwa kita masih satu golongan dan aliran dengan mereka, 
aku minta agar keris, Andjarsari dan Sultan diserahkan secara baik-baik. Tapi mereka 
membangkang. Terpaksa tak satupun yang aku kasih hidup...." 
"Itu bagus!," kata Ketua Iblis Pencabut Sukma "Dalam waktu dua atau tiga hari dimuka, 
kita akan segera berangkat ke Banten! Sampai saat ini secara tidak langsung, dengan adanya 
Keris Tumbal Wilajuda di tangan kita maka Banten sudah milik kita. Dan sebagai balas jasamu, 
kau boleh ambil itu gadis!". 
Gembiralah hati sang Wakil mendengar itu. Sesaat sesudah sang Ketua meninggalkan 
ruangan disusul oleh dua orang anggota kelas satu tadi maka Wakil iblis Pencabut Sukma segera 
memboyong tubuh Andjarsari ke dalam kamarnya yang terletak dipaling ujung gedung tingkat 
kedua. 
Sepeminum teh telah lewat. 
Wiro mengintai lagi dari balik gugusan batu pualam. Gedung masih tetap sunyi senyap. 
Dengan rasa tak sabar segera pemuda ini kerahkan ilmu mengentengi tubuh dan laksana seekor 
alap-alap melesat ke atas atap gedung batu pualam tingkat kedua. Bagian atas gedung ini rata 
licin. Dan di sebelah sana beberapa tombak jauhnya, dua orang berjubah dan berkerudung merah 
tengah asyik bermain dam. Begitu sudut mata mereka melihat adanya bayangan sesosok tubuh di 
atas atap itu segera keduanya putar kepala. 
"Hai!" seru salah seorang dari mereka. "Siapa kau ?!,” membentak yang kedua. Pendekar 
212 melintangkan jari tetunjuk tangan 
kirinya di atas bibir. "Sssst............. desisnya. Kemudian dengan tiba-tiba tangan kanannya 
dihantamkan ke muka. Tak ampun lagi kedua manusia berjubah merah itu rebah di atas atap 
dengan menyembur darah sedang papan serta buah dam mental di udara jauh sekali. 
Pendekar 212 geli sendiri. Dia memandang berkeliling. Kemudian lapat-lapat dari ujung 
atas sebelah sana didengarnya suara jeritan perempuan. Dengan cepat pemuda ini lari ke ujung. atap. Di bawah atap, persis di atas sebuah jendela terdapat beberapa buah lobang angin. Dari 
salah satu lobang angin ini Wiro mengintai ke dalam gedung! Dan mendidihlah darah Pendekar 
212 sewaktu menyaksikan apa yang terpampang di dalam kamar di bawah atap itu. 
Andjarsari berada dalam keadaan hampir tak berpakaian. Rambutnya yang panjang kusut 
masai menjela-jela. Gadis ini megap-megap dan menjerit-jerit serta meronta. Tapi tak kuasa sama 
sekali untuk menyingkirkan tubuh Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang 
menghimpitnya dari atas! 
Tidak membuang waktu lagi Pendekar 212 melompat turun dan melabrak jendela kamar 
dengah satu tendangan kaki kiri. 
Kejut Wakil Ketua Perkumpulan Iblis itu bukan alang kepalang! Jendela kamar dilihatnya 
hancur berantakan dan sedetik kemudian sesosok tubuh melayang memasuki kamar! 
"Bangsat rendah!" memaki manusia bermuka angker itu. Secepat kilat dia melompat dari 
tempat tidur dan menyambar jubah merahnya. Dia tak sempat mengenakan kerudungnya karena 
pada saat itu Pendekar 212 sudah menyerang dengan ganas! 
Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma sambuti serangan lawan dengan jurus "menendang 
langit menjungkir awan". Begitu hebatnya jurus ini sehingga Pendekar 212 terpaksa tahan 
kegeramannya untuk melanjutkan serangan. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Wakil Ketua 
Iblis Pencabut Sukma untuk lari ke luar kamar! 
"Jalan lari satu-satunya bagimu hanyalah ke neraka manusia durjana!,” bentak Pendekar 
212 lalu memburu dengan sebat. 
Wakil Ketua itu melarikan diri ke sebuah ruangan besar yang di setiap dindingnya 
terdapat lima buah pintu. Begitu injakkan kaki di ruangan ini dia segera berteriak. "Anggota-
anggota Perkumpulan! Gedung ini kebobolan bahaya! Lekas ke luar!" 
Serentak dengan itu maka dua puluh pintu di empat dinding ruangan terbuka lebar dan 
melompatlah dua puluh anggota Perkumpulan. Kesemuanya berjubah dan berkerudung merah 
dan mencekal sebilah pedang merah! Wakil Ketua Perkumpulan sendiri cabut sebuah rujung 
emas dari balik jubahnya. . 
"Cincang pemuda sedeng ini!,” Wakil Ketua beri komando. Kata-katanya ini ditutup 
dengan sambarkan rujung emasnya ke arah Pendekar 212! Masih dalam jarak beberapa tombak 
maka angin pukulan rujung telah menyambar dengan dahsyat ke arah Pendekar 212. Hampir 
bersamaan pula dengan itu maka dua puluh anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma 
menyerbu pula! Duapuluh batang pedang merah berkiblat! Hanya sekejapan mata saja maka 
terbungkuslah Pendekar 212 dalam hujan pedang dan sambaran rujung!Murid Eyang Sinto Gendeng ini menggerung dahsyat. Dengan cepat dia jatuhkan diri ke 
lantai. Begitu jatuh di lantai dua tangannya dihantamkan nembentuk dua lingkaran. Dua 
lingkaran sinar putih panas yang menyilaukan mata menggelombang. Dimana-mana terdengar 
pekikan kematian. Lebih dari separoh anak buah komplotan Iblis Pencabut Sukma terkapar di 
lantai ruangan dengan tubuh hangus tersambar ilmu pukulan "sinar matahari" Pendekar 212! 
Melihat ini mereka yang masih hidup menjadi lumer nyalinya dan mulai pikir-pikir 
untuk undurkan diri. Namun tentu saja mereka juga takut pada pimpinan, terlebih lagi ketika. 
Wakil Ketua mereka membentak. "Ayo! Kalian tak perlu takut! Mari gempur lagi dengan jurus 
menabas gunung menusuk bukit mendobrak bendungan! 
Selama beberapa tahun belakangan ini boleh dikatakan jarang sekali Perkumpulan Iblis 
Pencabut Sukma mengeluarkan jurus "menabas gunung menusuk bukit mendobrak bendungan" 
itu. Kecuali dalam menghadapi lawan yang benar-benar luar biasa tinggi ilmu silat dan 
kesaktiannya. Dan hari itu bila mereka mengeluarkan jurus yang dahsyat itu nyatalah bahwa 
lawan yang mereka hadapi benar-benar hebat! Dan memang begitu kenyataannya! 
Pendekar 212 sendiri begitu dengar nama jurus ini tak ayal lagi segera cabut Kapak 
Maut Naga Geni 212. Selama ini dia cuma pernah dengar dan mengetahui nama jurus yang 
terdiri dari empat untaian kata-kata. Kini lawan menyerangnya dengan jurus enam untaian kata-
kata. Pastilah ini suatu jurus yang luar biasa! 
Maka begitu lawan menyerbu, Pendekar 212 sudah putar Kapak Maut Naga Geni 212-
nya. Lolong kematianpun bergemalah untuk kedua kalinya di ruangan itu! Enam anggota 
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma menggeletak mandi darah. Dua orang yang masih hidup, 
ditambah dengan Wakil Ketua Perkumpulan yang saat itu masih memegangi rujung emasnya 
tapi yang sudah kuntung karena diterabas Kapak Pendekar 212, saling berikan isyarat. Dua 
anggota yang masih hidup ini melompati Wiro dan kirimkan empat serangan berantai sekaligus. 
Wakil Ketua mereka sendiri melompat kesebuah pintu dan menekan satu tombol rahasia! 
Pada detik Pendekar 212 menerabas tubuh kedua lawannya dengan Kapak Maut, maka 
pada detik itu pula tiba-tiba lantai yang dipijaknya terbuka ke samping. Tak ampun lagi 
tubuhnyapun melayang jatuh ke dalam sebuah ruangan sedalam dua puluh tombak sedang 
lantai ruangan yang tadi membuka kini secara aneh tertutup oleh jalur-jalur besi sebesar lengan 
"Ha... ha... ha...!" Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma tertawa bekakakan. 
"Sekalipun kau punya sepuluh kepala dua puluh tangan dan kaki jangan harap kau bisa ke luar 
dari perangkap ini Pendekar 212!""Manusia sialan!" maka Pendekar 212 sangat geram dan penasaran. Dihantamkannya 
tangan kanannya ke atas. Sinar putih berkiblat. Lantai ruangan di atasnya hancur runtuh tapi 
jalur-jalur besi yang menutup lobang perangkap sedikitpun tidak berobah. Wakil Ketua 
Perkumpulan sendiri saat itu dengan cepat sudah menghindar ke samping kemudian dari balik 
jubahnya dia keluarkan sebuah lonceng kecil. Begitu lonceng dibunyikan maka muncullah 
Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma diiringi oleh dua orang anggota klas satu yang 
berkepandaian sangat tinggi. 
Menyaksikan kematian banyak sekali anak buahnva maka menggerenglah Ketua 
Perkumpulan ini. Mukanya yang tersembunyi dibalik kerudung mengkerut tegang, matanya 
berkilat-kilat. Dia melangkah kehadapan sang Wakil. 
"Sesudah seluruh anggota mampus begini rupa baru kau bunyikan lonceng memanggil 
aku? Bagus betul perbuatanmu!" 
Gemetarlah lutut Wakil Ketua mendengar bentakan atasannya itu. "Tapi Ketua, manusia 
itu sakti luar biasa. Namun demikian aku telah berhasil meringkusnya! Lihatlah ke bawah 
sana!" 
"Keberhasilanmu tetap tidak dapat menghindari hukuman yang bakal kau terima kelak!" 
desis Ketua Perkumpulan. Dia melangkah ke tepi perangkap. Namun secepat kilat bersurut 
mundur karena dari dasar perangkap menggebu segumpal angin dahsyat. Atap gedung batu 
pualam yang tadi telah hancur dilanda pukulan sinar matahari kini kembali berpelantingan! 
"Kurang ajar!,” bentak Ketua Perkumpulan. Tangan kanannya dipukulkan ke dasar 
perangkap. Dan menderulati lima lusin jarum merah! Tapi lagi-lagi Ketua Perkumpulan ini 
dikejutkan ketika angin sedahsyat badai membuat jarum-jarum beracunnya itu menderu 
kembali ke atas! Jika tidak lekas pula dia menghindar dari tepi perangkap pastilah senjata 
makan tuan! 
"Budak hina dina! Kau boleh keluarkan seribu ilmu tapi jangan harap kau bakal ke luar 
hidup-hidup dari dalam perangkap ini!" 
Habis berkata begitu dengan ibu jari kaki kanannya Ketua Perkumpulan IbIis Pencabut 
Sukma menginjak sebuah tombol di salah satu sudut perangkap sebelah atas! Di dasar 
perangkap, secara aneh dinding terangkat kira-kira sejengkal dan laksana air bah dari keempat 
celah dinding itu berserabutanlah ratusan binatang berbisa seperti ular, kelabang, lipan dan 
kalajengking! Semuanya menyerbu menyerang Pendekar 212! 
Murid Eyang Sinto Gendeng melompat dua tombak. Begitu tubuhnya mengapung di 
udara tangan kirinya segera mengambil batu api 212 dari balik pinggang. Sekali batu api dan Kapak Naga Geni 212 diadu maka lidah apipun menderulah ke lantai perangkap. Seluruh 
binatang berbisa itu tak satupun yang hidup. Semuanya terbakar musnah dengan mengeluarkan 
bau yang tak nyaman dan memegapkan jalan nafas. 
Pendekar 212 tidak menunggu lebih lama. Jika di luar dengan ilmu mengentengi tubuh 
dia bisa melompat sampai tiga puluhan tombak lebih, mengapa di dalam perangkap yang cuma 
sedalam dua puluh tombak itu dia tak bisa? Cuma yang dikhawatirkannya ialah jika dia tak dapat 
menerobos atau menghancurkan jalur-jalur besi di atas perangkap itu dengan Kapak Maut Naga 
Geni 212-nya ! 
Di atas sana tiba-tiba dilihatnya Ketua dan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut 
Sukma kembali mendekati tepi perangkap. Pendekar 212 segera hantamkan tangan ke atas 
mengirim pukulan matahari dan serentak dengan itu dia melompat ke udara. Kapak Naga Geni 
212 diputar dengan sebat! 
"Trang... trang... trang...!" 
Ternyata Kapak Naga Geni 212 mampu menghancurkan jalur-jalur besi penutup 
perangkap. Pendekar 212 tertawa gembira dan berdiri dengan berkacak tangan kiri dipinggang 
sementara empat lawannya di ruangan itu diam-diam menjadi ngeri melihat kehebatan pemuda 
ini! 
Dari kerudung dan jubahnya yang lebih merah laksana darah. Pendekar 212 segera 
mengenali yang mana adanya Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Maka berkatalah 
pemuda ini dengan membentak. "Lekas serahkan Keris Tumbal Wilajuda. Dan jika kalian 
berjanji untuk kembali ke jalan yang benar niscaya aku masih mau memberi ampun!" 
Ketua Perkumpulan tertawa mendengus. "Usia masih seumur jagung, tubuh masih bau 
amisnya orok, mungkin tidurpun masih ngompol tapi sudah berani bicara membentak dan 
memerintah dihadapanku!" 
"Ucapanmu tidak lucu Ketua Perkumpulan Iblis! Ringkas kata kau mau serahkan Keris 
Tumbal Wilajuda atau tidak?!" 
Perlahan-lahan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma angkat tangannya ke udara. 
Gerakannya ini diikuti oleh Wakil dan dua anggotanya. 
"Baik!,” katanya, "aku akan serahkan Keris Tumbal Wilajuda padamu, tapi serahkan dulu 
kau punya jiwa!" 
Habis berkata demikian maka empat tanganpun sama-sama ditarik melancarkan pukulan 
yang sangat diandalkan oleh Perkumpulan mereka yaitu pukulan pencabut sukma!Dalam keadaan lengah seperti di Goa Dewi Kerudung Biru tempo hari mungkin empat 
pukulan sakti itu akan menamatkan riwayat Pendekar 212. Tapi kali ini keadaan berlainan, 
apalagi saat itu Wiro memegang pula Kapak Maut Naga Geni 212 ditangan! 
Begitu empat angin maut membetot ke arah badannya maka Pendekar 212 berseru 
nyaring! Tubuhnya lenyap! Menyusul suara siulan melengking dan Kapak Maut Naga Geni 212 
membuat putaran putih yang sebat sekali, angin yang ke luar dari Kapak sakti itu melanda hebat 
tarikan angin maut keempat musuh. Dan setengah jurus kemudian dua anggota klas satu 
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma sama menjerit keras! Tubuh mereka rebah ke lantai. Yang 
satu berbusaian isi perutnya, yang satu lagi hampir putus batang lehernya ! 
Ketua dan Wakil Perkumpulan terkutuk sama-sama tersurut! "Apa kau masih belum mau 
serahkan apa yang kuminta?!" bentak Pendekar 212. 
"Aku bilang serahkan nyawamu lebih dulu, budak hina!" balas membentak Ketua Iblis. 
"Manusia tolol, dikasih ampun malah minta mampus!" Gusar sekali Pendekar 212 
jadinya. Tubuhnya berkelebat untuk kesekian kalinya. Kali ini dalam jurus "membuka jendela 
memanah rembulan". Kapak Naga Geni mula-mula menderu sebat ke samping. Dan 
terdengarlah jerit kematian Wakit Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Ketua 
Perkumpulan tersirap dan melompat mundur ketika melihat Wakilnya terhuyung-huyung 
dengan dada mandi darah lalu jatuh duduk di lantai! Namun Pendekar 212 betul-betul tidak 
mau memberikan kesempatan lagi. Kapaknya terus menyelesaikan jurus yang dibuat dan kini 
membabat deras ke udara! 
Ketua Perkumpulan terkutuk itu melolong setinggi langit! Dagunya terbabat putus 
berikut sebagian kerudungnya sekaligus! Tubuhnya terbanting ke dinding! Ketika Kapak Maut 
Naga Geni hendak membalik lagi guna menamatkan riwayat Ketua Perkumpulan durjana itu 
maka tahu-tahu melesatlah sesosok tubuh manusia dan terdengar satu seruan. 
"Bangsat yang satu ini adalah bagianku, Wiro!". 


-- == 0O0 ==

ENAM BELAS

PENDEKAR 212 berpaling yang datang ternyata Dewi Kerudung Biru alias Anggini ! 
"Ah, kau rupanya Anggini. Betul, memang tepat sekali kalau kau yang cabut nyawa 
anjing manusia terkutuk ini! Kau selesaikanlah perhitungan lamamu!”Ketika Pendekar 212 bicara ini, Ketua Perkumpulan Iblis pergunakan kesempatan untuk 
menghambur ke pintu. Tapi secepat kilat Wiro angsurkan kaki kirinya menyerimpung 
pergelangan salah satu kaki Ketua Perkumpulan Iblis itu. Tak ampun lagi tubuhnya tersungkur 
ke lantai! 
"Cepat bangun, manusia iblis agar cepat pula kuantarkan kau punya nyawa menghadap 
penjaga neraka!,” bentak Dewi Kerudung Biru! 
Perlahan-lahan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma berdiri. Tiba-tiba dia 
hantamkan satu pukulan ke arah Dewi Kerudung Biru. Tapi tenaga pukulannya ini sudah 
banyak berkurang akibat luka didagunya yang mengandung bisa dan bisa mana mulai menjalar 
kesegenap pembuluh darahnya! 
Melihat lawan memukul, Dewi Kerudung Biru berkelit cepat dan kirimkan serangan 
balasan yaitu jurus naga kepala seribu mengamuk! Terkejutlah Ketua Perkumpulan Iblis 
melihat jurus yang dahsyat ini. Dia melompat mundur tiga tombak dan berseru. "Dewi 
Kerudung Biru, antara kau dan aku tiada permusuhan, mengapa kita musti bertempur begini 
rupa?!" 
Dewi Kerudung Biru tertawa dingin sedingin salju. "Kau lupa pada seorang gadis yang 
hendak kau perkosa beberapa bulan yang lalu?!" Dewi Kerudung Biru membuka kerudung 
penutup wajahnya! "Apa kau masih lupa dan tidak kenali aku?!" 
Terkejutlah Ketua Iblis Pencabut Sukma melihat paras gadis dihadapannya. Namun rasa 
terkejutnya ini tiada lama. Anggini kembali menyerbu. 
Kali ini dalam jurus "cakar garuda emas". Kedua tangannya terpentang. 
"Breet!" Kuku-kuku yang panjang dari gadis itu menyambar dada sang Ketua. Dan tidak 
sampai di sana saja, Anggini buka mulutnya lebar-lebar. 
"Huaah!" 
Menyemburlah asap kencana biru ke arah Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. 
Manusia ini menjerit. Tubuhnya terhuyung-huyung. Ketika dia rebah ke lantai maka sekujur 
badannya menjadi sangat biru! Tamatlah riwayat manusia yang paling terkutuk dan ganas itu. 
Belum puas sampai di situ, Anggini maju mendekati mayat laki-laki itu lantas menendang 
kepalanya. Tubuh Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma mencelat enam tombak kepalanya 
hancur! 
"Kau hebat sekali, Anggini,” memuji Pendekar 212 seraya melangkah mendekati mayat 
Ketua Iblis Pencabut Sukma. Ketika digeledah di balik pinggangnya diketemukan Keris Tumbal Wilajuda!"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya Wiro?,” bertanya Dewi Kerudung Biru atau 
Anggini. 
Pendekar 212 merenung beberapa lamanya lalu menjawab. "Setelah Keris Tumbal 
kerajaan ini berhasil diketemukan, kurasa ada baiknya aku segera menemui Sultan Banten". 
"Mengapa begitu?,” tanya Anggini. "Bukankahkau sendiri sudah tahu bahwa Sultan 
Hasanuddin pergi ke Demak untuk meminta bantuan balatentara dari Sultan Trenggono guna 
mengusir kaum pemberontak yang kini bercokol di Banten?" 
"Betul, namun saat ini aku ada rencana baru. Rencanaku ini akan sangat banyak 
mengurangi korban-korban yang tiada berdosa.....” 
"Aku tak mengerti maksudmu,” kata Anggini pula. I 
Pendekar 212 tersenyum. "Kau akan mengerti setelah menyaksikannya sendiri nanti. 
Sementara aku menyusul Sultan ke Demak, kuharap kau sudi pergi keperbatasan dan menunggu 
kedatangan kami di sana…” 
Bagi Anggini adalah lebih disukainya bila dia bisa ikut bersama-sama dengan pemuda itu. 
Namun setelah berpikir sejurus akhirnya dia menganggukkan kepala. 
"Sampai jumpa Anggini,” kata Pendekar 212 seraya memegang bahu gadis itu. 
Anggini meremas seketika jari-jari si pemuda dan sebelum tubuhnya lebih dijalari gelora 
darah muda maka Pendekar 212 segera meninggalkan tempat itu. 
Meskipun satu hari terlambat namun dengan ilmu larinya yang sangat lihai, Wiro berhasil 
mendahului Sultan. Hasanuddin yang berangkat ke Demak dengan menunggangi seekor kuda. 
Wiro menunggu kedatangan Sultan di jalan luar kota sebelah timur. Tentu saja Sultan 
Hasanuddin sangat terkejut dan heran bertemu dengan pemuda sahabatnya itu. 
"Sahabat, bagaimana kau tahu-tahu sudah muncul di sini?" tanya Sultan seraya turun dari 
kuda. Dengan ringkas Wiro Sableng segera berikan keterangan. Selesai memberikan 
keterangan maka dikeluarkannyalah Keris Tumbal Wilayuda dan diserahkannya pada 
Sultan. 
Berseri-serilah paras Sultan Hasanuddin. "Sahabat jasamu sungguh tak dapat 
diukur dengan luasnya laut, dengan tingginya gunung. Aku berterima kasih betul 
kepadamu…” 
Wiro memotong ucapan Sultan dengan berkata. "Sultan sebelum memasuki kota 
dan menemui Sultan Trenggono perkenankanlah aku memberikan sedikit rencana....” 
"Boleh saja. Silahkan" kata Sultan seraya sisipkan Keris Tumbal Wilajuda 
dibalik pinggang pakaian. "Dengan membawa balatentra Demak ke Banten berarti akan pecah lagi peperangan dan pertumpahan darah di Banten. Sultan tentu lebih tahu dariku 
bahwa akibat peperangan yang paling buruk ialah jatuhnya beban penderitaan, serta 
kesengsaraan dipundaknya rakyat jelata....” 
"Betul, dalam hal ini aku memang sedapat-dapatnya berusaha agar penduduk 
jangan sampai banyak yang jatuh korban,” kata Sultan pula. 
Wiro mengangguk. "Di samping itu, sebagian besar dari prajurit-prajurit 
pemberontak tiada lain hanya merupakan alat mati yang bisa dikutak kutik oleh atasan! 
Di hati kecil mereka sendiri mungkin tak ingin melakukan pertumpahan darah itu. Tapi 
demi tugas dari atasan, mereka terpaksa melakukan peperangan yang kejam itu. Jadi 
letak tanggung jawab, atau biang racun dari segala kemusnihan dan penderitaan itu tiada 
lain terletak di tangan pentolan-pentolan tinggi pemberontak! Nah, manusia-manusia 
inilah yang harus kita lenyapkan lebih dulu…. yang dibawah soal mudah..Apalagi dua 
bergundalnya pembantu Parit Wulung yaitu Resi Singo Ireng serta Macan Seta telah 
menemui ajal!"
"Apa yang kau katakan itu semua adalah benar sobat,” kata Sultan. "Tapi aku 
masih belum melihat bagaimana caramu yang tepat dan baik dalam merebut kembali 
takhta kerajaan dengan menghindarkan pertumpahan darah...." 
"Kalau Sultan bisa memberikan sedikit kepercayaan kepadaku, pastilah aku akan 
bersedia melaksanakannya... Maka Pendekar 212-pun menuturkan rencananya 
selengkapnya. 


-- == 0O0 ==

TUJUH BELAS


 MALAM itu di satu ruangan rahasia Parit Wulung, Karma Dipa, Djuanasuta dan seorang 
tokoh terkemuka dari Partai Api Setan yaitu suatu partai silat yang dipimpin oleh Resi Matjan Serta 
tengah melakukan perundingan penting. Tokoh silat ini adalah murid terpandai dari Matjan Seta 
yang telah mewarisi seluruh kepandaian Resi itu. Namanya Rana Tikusila. Dia dan selusin anggota 
partai lainnya sengaja diminta datang ke Banten oleh Parit Wulung untuk memperkuat 
kedudukannya dan menjaga segala sesuatu yang tak diingini. Seperti Matjan Seta, muka merekapun 
coreng moreng. Parit Wulung yang duduk dikepala meja segera buka bicara. "Saudara-saudara

pertemuan ini adalah penting sekali sehubungan dengan Keris Tumbal Wilajuda. Sampai seka[ang 
kita masih belum berhasil menemukannya sedang Sultan sendiri tak diketahui jejaknya. Resi Singo 
Ireng dan Resi Matjan Seta tidak pula kunjung ada kabar beritanya. Aku berharap…” 
Parit Wulung tiba-tiba hentikan ucapannya. Dia memandang ke sebuah alat rahasia disudut 
ruangan. Alat itu kelihatan bergerak-gerak. 
"Saudara-saudara bersiaplah,” kata Parit Wulung. Ada tamu yang tak diundang rupanya 
mendengarkan perundingan kita ini di atas loteng!" 
Dan baru saja Parit Wulung selesai mengucapkan kalimat itu, dua lembar papan loteng 
terbuka dan sesosok tubuh laksana seekor alap-alap melayang turun. Suara kedua kakinya sama 
sekali tiada terdengar sewaktu menjajaki lantai! 
Rana Tikusila, Karma Dipa dan Djuanasuta segera cabut senjata. Parit Wulung sendiri 
berdiri dari kursi dan membentak. 
"Manusia atau setan! Apakah kau punya nyawa rangkap berani datang ke sini?!" 
Tamu tak diundang itu keluarkan, suara bersiul yang tak asing lagi yang menandakan bahwa 
dia bukan lain daripada Pendekar 212 adanya. 
"Kau terlalu menghina padaku, Parit Wulung,” menyahuti Pendekar 212. Dia melirik sedikit 
ketika melihat Rana Tikusila melangkah kehadapannya dengan pedang melintang. 
"Lekas katakan apa maksud kedatanganmu ke sini!,” kata Tikusila seraya angkat tinggi-
tinggi tangan kanannya yang memegang pedang. 
"Aku adalah utusan pribadi Sultan Hasanuddin!". 
Maka terkejutlah semua yang , hadir di tempat itu. Dari balik pakaiannya Pendekar 212 
keluarkan segulung kertas dan melemparkan benda itu yang tepat jatuh memalang di atas gelas tuak, 
dihadapan Parit Wulung. 
"Silahkan baca,” kata Pendekar 212 pula. Parit Wulung keretakkan rahang melihat sikap 
yang merendahkan ini tapi gulungan surat di atas gelas diambil dan dibacanya juga. 
Parit Wulung, 
Aku berikan kesempatan padamu untuk menyerahkan diri bersama 
bergundal-bergundal pemberontak lainnya malam ini. Maksud busukmu 
untuk menduduki takhta kerajaan Banten secara tidak syah di atas lumuran 
darah sekian banyak rakyat dan prajurit Banten serta sekian banyak 
pembesar-pembesar istana yang tak berdosa akan sia-sia saja ! , 
Keris Tumbal Witajuda walau bagaimanapun tak bakal kau dapat. Dua 
cecunguk pembantumu yaitu Resi Singo Ireng dan Matjan Seta telah 
menemui ajalnya.

Jika kalian menyerah, hukuman yang bakal dijatuhkan tidak begitu berat. 
Tapi bila kalian membangkang, kepala kalian jadi imbalannya karena walau 
bagaimanapun yang bathil tak akan bisa mengalahkan yang hak, kejahatan 
tak akan bisa mengalahkan, kebenaran ! 
Ingat, waktumu cuma sampai malam ini ! 
Tertanda 
SULTAN HASANUDDIN 
Mengelam wajah Parit Wulung membaca surat itu. Namun kemudian keluarlah suara 
tertawanya bergelak. Diserahkannya surat itu pada Karma Dipa, Karma Dipa meneruskan pada 
Djuanasuta dan Djuanasuta meneruskan lagi pada Rana Tikusila. Dan ruangan itu kemudian 
pecahlah oleh suara tertawa bergelak keempat manusia itu. 
Wiro sendiri mengerendeng dalam hatinya. "Kau utusan Sultan yang tampangmu macam 
orang hutan!" kata Rana Tikusila, "aku mau tanya, Sultanmu itu andalkan apakah sampai berani 
membuat surat ancaman macam begini rupa ?!" 
Wiro tertawa gelak-gelak. "Kau keliwat menghina sobat!" katanya. "Coba lihat ke kaca besar 
di dinding sana, tampangmu yang coreng moreng macam orang gila itu jauh lebih buruk dari 
padaku! Kurasa kalau orang tuamu bukannya macan jadi-jadian pastilah macan kesurupan!" 
Maka marahlah Rana Tikusila rnendengar hinaan ini. 
"Sret,” dicabutnya sebilah pedang lalu dengan, cepat kirimkan satu tusukan mematikan ke 
arah dada Pendekar 212. Tusukan ini adalah sebagian dari jurus paling tangguh dalam ilmu pedang 
Partai Api Setan dan dinamakan jurus "anak panah menembus rembulan!" Selama menghadapi 
lawan-lawan tangguh jarang dari mereka yang sanggup mengelakkannya Kalaupun berhasil maka 
biasanya tak akan mampu untuk mengelakkan jurus susulan yang dinamakan "gendewa menyambar 
puncak gunung". 
Tapi hari itu Rana Tikusila ketemu batunya. Tusukannya tiada tersangka hanya mengenai 
tempat kosong karena berhasil dikelit oleh Pendekar 212. Dengan penasaran dan juga malu pada 
kolega-koleganya di ruangan itu maka,Tikusila segera susul dengan jurus "gendewa menyambar 
puncak gunung". Pedangnya membalik membabat ke arah pinggang lawan! 
Namun nasib anak buah Partai Api Setan ini lebih buruk lagi. Dengan kecepatan yang sukar 
dilihat mata, Pendekar 212 berhasil memukul sambungan siku Tikusila. Pedang mental ke udara, 
Tikusila sendiri meraung kesakitan! Dan sesaat kemudian pedangnya sudah berada di tangan 
Pendekar 212! 
Mata Parit Wulung dan dua orang lainnya membeliak besar. Rana Tikusila sendiri pucat pasi 
wajahnya, memercik keringat dingin di keningnya!"Aku datang ke sini bukan untuk membuat keributan tapi hanya sekedar menyampaikan 
surat Sultan Banten! Aku minta jawaban sekarang juga apakah. kalian sudi menyerah atau tidak?!" 
Parit Wulung merampas surat yang dipegang oleh Rana Tikusila lalu merobek-robeknya. 
"Ini jawaban kami!" kata Parit Wulung pula serta melemparkan robekan surat ke muka Wiro 
Sableng. Pendekar muda ini, tiup robekan surat-surat itu hingge bertebaran di lantai. 
"Besok pagi jangan harap kalian masih bercokol di dalam istana ini.....” 
"Saudara-saudara, sangkap manusia yang satu ini!". Parit Wulung beri perintah. 
Pendekar 212 tertawa mengekeh. Pedang di tangan kanan dilemparkannya ke lampu 
besar yang menerangi ruangan itu. Dengan serta merta gelaplah suasana dan secepat kilat Wiro 
melompat ke atas loteng, lenyap dikegelapan malam. 
Ketika pagi tiba maka gemparlah seluruh penduduk Kotaraja. Bagaimanakah tidak. Di 
halaman depan istana berjejer, bergantungan di tiang langkan muka lima belas manusia yang 
sudah menjadi mayat. Mata semuanya mendelik, lidah terjulur dan pada kening masing-masing 
tertera tiga angka yang tak asing lagi yaitu angka 212 ! 
Kelima belas manusia yang telah menemui ajal dengan cara yang aneh ini ialah Rana 
Tikusila bersama dua belas anggota Partai Api Setan, Djuanasuta dan Karma Dipa, dua pentolan 
pemberontak dari Pajajaran! 
Pada masing-masing leher kelima belas mayat itu tergantung secarik kertas yang 
bertuliskan: 
Kepada kalian telah diberikan syarat keampunan untuk menyerah. 
Tapi kalian sengaja memilih kematian macam begini. Kalian lupa bahwa 
kebathilan akan selalu hancur oleh yang hak. 
Kepada para perajurit dan rakyat Banten yang masih setia pada 
Sultan, hari ini adalah hari kebebasan Banten dari cengkeraman kaum 
pemberontak ! 
Tertanda 
SULTAN HASANUDDIN 
Di balik kegemparan yang menyungkupi setiap diri manusia yang ada di Banten maka 
berbagai pertanyaan timbul pula dikalangan mereka. Siapakah yang telah membunuh dan 
menggantung kelima belas manusia itu? Apakah arti angka 212 dikening mayat-mayat. Apakah 
ada hubungannya dengan peristiwa terbunuhnya beberapa prajurit pemberontak diperbatasan 
tempo hari? Apakah Sultan masih hidup dan, surat itu benar-benar ditandatangani olehnya? 
Kalau betul masih hidup di mana dia berada sekarang? Kemudian di mana pula Resi Singo Ireng

serta Matjan Seta yang menjadi pentolan pembantu utama Parit Wulung? Kalau betul Sultan 
sudah muncul kembali dan turun tangan, mengapa Parit Wulung sendiri tidak digantung?! 
Di dalam suasana yang serba membingungkan dan penuh tanda tanya tak terjawab itu 
sekelumit harapan timbul di kalangan rakyat bahwa mereka betul-betul akan bebas dari kaum 
pernberontak. Sekelumit harapan ini ditunjang pula oleh sebagian besar balatentara Banten 
yang sesungguhnya masih setia pada Sultan. Dan dari hanya sekelumit harapan untuk bebas 
maka menjadilah satu tekat bulat untuk angkat senjata menumbangkan kekuasaan yang tidak 
syah itu. Lagi pula satu-satunya pentolan pemberontak yang masih bercokol di istana saat itu 
cuma tinggal Parit Wulung seorang. Yang lain-lainnya sudah menemui kematian. Singo Ireng 
dan Matjan Seta sudah sejak seminggu lenyap, mungkin juga kini cuma tinggal nama saja! 
Sementara itu di dalam istana begitu menyaksikan lima belas mayat yang digantung itu, 
sekujur tubuh Parit Wulung laksana diserang demam panas dingin. Mukanya sepucat salju. 
Tengkuknya sedingin es. Siapakah yang punya kerja menggantungi pembantu-pembantu 
utamanya demikian rupa? Dugaannya keras pada pemuda yang datang malam tadi! Dalam 
kebingungan dan kengeriannya Parit Wulung sampai lupa untuk memerintahkan agar lima belas 
mayat yang digantung itu diturunkan! 
Bila dia berhasil menguasai dirinya kembali maka diperintahkannyalah beberapa 
kelompok pasukan untuk melakukan pembersihan di seluruh Kotaraja dan menyelidik ke 
perbatasan. Namun sebelum pasukan-pasukan itu bergerak, maka sebagian dari balatentara yang 
masih setia pada Sultan bersama-sama dengan rakyat yang membawa berbagai macam senjata 
sudah menyerbu laksana air bah. Harapan untuk bebas dari kaum pemberontak, tekat bulat untuk 
menegakkan kembali Kerajaan Banten yang syah serta pembalasan dendam kesumat atas sanak 
saudara dan karib kerabat yang mati ditumpas kaum pemberontak tempo hari, itulah semua yang 
membuat mereka tanpa diberi komando lagi, menyerbu dengan dahsyatnya ! 
Dan pada saat pertempuran berkecamuk hebat maka melesatlah tiga sosok tubuh 
manusia dari wuwungan istana. Yang pertama seorang perempuan berkerudung biru, yang 
kedua seorang pemuda berambut gondrong bertampang gagah dan yang ketiga adalah Sultan 
sendiri! Maka semangat tempur para penegak keadilan itupun berlipat gandalah! 
Parit Wulung dan beberapa orang sisa-sisa pembantunya yang berkepandaian tinggi 
bertahan mati-matian di dalam kurungan kira-kira tiga puluh prajurit dan empat puluh rakyat 
jelata. Ketika Sultan, Dewi Kerudung Biru dan Pendekar 212 maju pula ke tengah gelanggang, 
maka hanya beberapa gebrakan saja tewaslah pembantu-pembantu utama Parit Wulung! 
Manusia pengkhianat besar ini dengan putus asa coba bunuh diri dengan hantamkan pedang kekepalanya. Tapi Pendekar 212 lebih cepat merampas senjata itu. Sultan dan Dewi Kerudung 
Biru kemudian meringkus Parit Wulung! Maka hari itu tamatlah riwayat kekuasaan kaum 
pemberontak di bawah pimpinan pengkhianat Parit Wulung dan kawan-kawannya! 
Di mana-mana hanya tebaran mayat yang kelihatan. Di mana-mana hanya suara- gegap 
gempita rakyat dan prajurit-prajurit yang terdengar menyambut kemenangan dan mengeluk-
elukan Sultan Hasanuddin. 
Kemudian diantara rakyat dan prajurit-prajurit Banten banyak yang berteriak. "Gantung 
Parit Wulung!” 
"Cincang tubuhnya sampai lumat!" 
"Hukum picis pengkhianat itu !" 
"Bakar saja hidup-hidup!" teriak kelompok yang lain! 
Sementara itu di langkan istana, di bawah lima belas mayat yang masih tergantung 
berputar-putar di tiup angin pagi, pendekar 212 dan Dewi Kerudung Biru berdiri dihadapan 
Sultan. 
"Sultan kami rasa segala sesuatunya sudah selesai kini. Kami berdua mohon diri....” 
Sultan terkejut. "Tidak bisa!,” kata Sultan setengah berteriak. 
"Kalian berdua musti tinggal dulu di sini beberapa lamanya. Bahkan aku sudah punya 
rencana untuk mengangkat kau sebagai Kepala Balatentara Banten merangkap Pengawal 
Pribadiku, Wiro!". 
Wiro dan Anggini tersenyum. "Hatimu mulia sekali Sultan,” sahut Pendekar 212. "Tapi 
kami berdua adalah orang-orarig persilatan yang suka bertualang. Di lain hari kita akan berjumpa 
dan berkumpul lagi..." 
Sultan merasa kecewa.. Hatinya juga sangat terharu. "Kalian berdua telah berjasa besar 
terhadap Kerajaan dan rakyat Banten. Aku harus umumkan hai ini sekarang juga dihadapan 
rakyat....” 
"Ah, jangan.... tak usah Sultan" kata Anggini dan Wiro pula. 
Sultan mengambil sebuah benda berbentuk bintang bersudut delapan dengan sebuah 
berlian besar di tengahnya. "Anggini,” kata Sultan pada Dewi Kerudung Biru, "benda ini adalah 
bintang utama Kerajaan Banten yang hanya diserahkan pada siapa saja yang telah berjasa pada 
Kerajaan dan Raja Banten. Ini juga sebagai tanda bahwa yang memegangnya adalah sahabat Raja 
dan rakyat Banten. Terimalah....'' 
"Sultan... mana bisa aku yang rendah dan sama sekali tidak membuat jasa apa-apa musti 
menerima bintang penghargaan begitu rupa....?""Terimalah Anggini. Pada Wiro juga sebelumnya telah pernah kuberikan...." 
Dengan malu-malu Anggini kemudian menerima jaga bintang bersudut delapan bermata 
berlian yang terbuat dari emas itu, Tiba-tiba Sultan ingat sesuatu. "Andjarsari, bagaimana 
Andjarsari ...... ?" 
"Dirinya tak perlu dikhawatirkan Sultan,” menjawab Dewi Kerudung Biru. "Saat ini dia 
masih berada di Lembah Batu Pualam dalam keadaan tak kurang suatu apa. Seorang pengemudi 
kereta dan dua prajurit utama telah kami suruh ke sana untuk menjemputnya....” 
"Ah, jasa kalian berdua benar-benar setinggi langit sedalam lautan. Aku betul-betul 
berterima kasih...” 
Pendekar 212 tersenyum. "Bukan kepada kami sebenarnya kau harus berterima kasih 
Sultan. Tapi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita manusia hanya hamba-hamba Tuhan, hanya 
alat Tuhan yang cuma sanggup berusaha sedang ketentuan tetap ditanganNya.......” 
Sultan manggut-manggut. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya Keris Tumbal Wilajuda. 
Dengan ujung senjata itu digoresnya kedua telapak tangannya sehingga mengeluarkan darah. 
"Kuharap kalian berdua juga suka menggores telapak tangan masing-masing…" 
Anggini dan Wiro saling pandang. "Untuk apa kah Sultan?" tanya Wiro pula. 
"Gores sajalah,” desak Sultan. 
Kedua orang itu kemudian sama menggores telapak tangan masing-masing. Wiro 
menggores telapak tangan kanan sedang Anggini tangan kiri. Sultan kemudian menempelkan erat-
rat telapak tangan kanannya ke telapak tangan kanan Wiro sedang telapak tangan kiri ke telapak 
kiri Anggini. Kemudian kedua tangannya diacungkan tinggi-tinggi ke udara. Dan karena tak dapat 
membendung lagi perasaan hatinya maka berserulah Raja Banten ini. 
"Saudara-saudaraku para prajurit dan rakyat Banten! Hari ini di bawah penyaksian kalian, 
aku mengangkat saudara terhadap dua orang yang telah berjasa besar terhadap kita sekalian...." 
"Sultan!" seru Pendekar 212. "Kami .
ini hanya manusia-manusia rendah jelata, bagaimana 
kau sudi mengangkat saudara…” 
Sultan tersenyum. "Darahku dan darah kalian telah bercampur. Tadi kau menyebut 
nama Tuhan, apakah ada perbedaan aniara aku dan kalian sebagai manusia di mata 
Tuhan....?!" 
Dan Sultan berseru lagi. "Yang di sebelah kananku ini adalah Pendekar 212 Wiro 
Sableng dan yang berkerudung adalah Dewi Kerudung Biru Anggini !'' ` 
Maka untuk kesekian kalinya tardengarlah gegap gempitanya suara orang banyak yang 
menyambut ucapan Sultan itu. Dan ketika sekilas Sultan memandang ke arah timur, maka

berserilah parasnya. Nun jauh di sana, di lereng bukit, kelihatan meluncur sebuah kereta. 
Kereta yang membawa Andjarsari, calon permaisurinya. 


T A M A T

penulis : Bastian Tito
created : matjenuh channel
blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive