![]() |
KERIS TUMBAL WILAYUDA
PROLOG
SUARA beradunya berbagai macam senjata, suara bentakan garang ganas yang
menggeledek di berbagai penjuru, suara pekik jerit kematiansera suara mereka yang merintih
dalam keadaan terluka parah dan menjelang meregang nyawa, semuanya menjadi satu
menimbulkan suasana maut yang menggidikkan!
Di mana-mana darah membanjir! Di mana-mana bertebaran sosok-sosok tubuh tanpa
nyawa! Bau anyir darah memegapkan nafas, menggerindingkan bulu roma! Pertempuran itu
berjalan terus, korban semakin banyak yang bergelimpangan, mati dalam cara berbagai rupa.
Ada yang terbabat putus batang lehernya. Ada yang robek besar perutnya sampai ususnya
menjela-jela. Kepala yang hampir terbelah, kepala yang pecah, dada yang tertancap tombak.
Kutungan-kutungan tangan serta kaki!
Di dalam istana keadaan lebih mengerikan lagi. Mereka yang masih setia dan berjuang
mempertahnkan tahta kerajaan, yang tak mau menyerah kepada kaum pemberontak meski
jumlah mereka semakin sedikit, terpaksa menemui kematian, gugur dimakan senjata lawan!
Istana yang pagi tadi masih diliputi suasana ketenangan dan keindahan, kini tak beda
seperti suasana dalam neraka! Mayat dn darah kelihatan di mana-mana. Pekik jerit kematian
tiada kunung henti. Perabotan istana yang serba mewah porak poranda. Pihak yang bertahan
semakin terdesak. Agaknya dalam waktu sebentar lagi mereka akan tersapu rata dengan lantai
yang dulu licin berkilat tapi kini dibanjiri oleh darah!
“Wira Sidolepen dan Braja Paksi, menyerahlah!,” teriak seorang laki-laki berbadan
kekar dan berkumis melintang. Seperti kedua orang yang dibentaknya itu diapun mengenakan
pakaian perwira kerajaan.
Bradja Paksi -- kepala balatentara Banten -- menggerang dan balas membentak.
"Bangsat pemberontak! Meski nyawaku lepas dari tubuh, terhadapmu aku tak akan
menyerah!”Parit Wulung -- laki-laki yang berkumis melintang itu -- tertawa bergelak. Sebelumnya
dia adalah perwira pembantu atau wakil kepala balatentara Banten tapi yang hari itu telah
tersesat dan memberontak terhadap kerajaan !
"Mengingat hubungan kita sebagai ipar, aku masih mau tawarkan keselamatan buat roh
busukmu! Tapi jika kau sendiri yang hendaki kematian, jangan menyesal!”
Parit Wulung menerjang ke muka. Pedangnya menyambar mengirimkan satu serangan
yang cepat dan dahsyat. Tapi dengan sebat Bradja Paksi menangkis dengan Pedangnya pula.
“Trang!”
Bunga api berkilauan.
Tangan Parit Wulung tergetar hebat. Dia mundur selangkah namun lawan menyusuli
dengan dua rangkai serangan berantai yang membuat gembong pemberontak ini terdesak ke
tiang besar di ujung kanan. Sebagai kepala Balatentara Banten maka ilmu silat dan kesaktian
Bradja Paksi lebih tinggi dari wakilnya yang memberontak itu. Bagaimanapun cepat dan
sebatnya Parit Wulung putar pedang tetap saja dia tak bisa ke luar dari serangan-serangan
lawan, apalagi ketika dengan kalap Bradja Paksi sertai serangan-serangan pedangnya dengan
pukulan-pukulan tangan kosong. Namun itu tak berjalan lama.
Seorang berbadan kate, berselempang kain putih yang kulit mukanya sangat hitam dan
berkilat serta berambut awut-awutan berkelebat ke muka. Tampangnya seperti singa.
"Parit Wulung! Biar aku yang bereskan bangsat ini!"
Melihat siapa yang berkata itu maka Parit Wulung dengan tidak menunggu lebih lama
segera ke luar dari kalangan pertempuran. "Resi Singo Ireng, rnemang dia pantas sekali untuk
jadi korbanmu! Cepat rampaslah nyawanya!"
Manusia muka hitam berbadan kate yang bernama Resi Singo Ireng tertawa buruk.
Tangan kanannya dihantamkan ke muka. Secarik sinar putih melesat ke arah kepala
balatentara Banten.
Bradja Paksi lompat tiga tombak ke atas. "Bergundal pemberontak!". makinya.
"Nyawamu di ujung pedangku!,” Bradja Paksi menukik ke bawah. Pedangnya berkelebat
cepat sekali.
"Bret !"
Robeklah pakaian putih Singo Ireng !
Maka marahlah Resi ini. "Manusia hina dina!. Kalau kau punya Tuhan berteriaklah
menyebut nama Tuhanmu! Ajalmu hanya sampai di sini!".
Tangan kiri Singo Ireng terangkat tinggi-tinggi ke atas dan kini berwarna hitam legam.
"Bradja Paksi awas! Itu pukulan wesi item!,” terdangar teriakan seseorang yang tengah
bertempur dengan segala kehebatannya dekat pintu besar yang menuju ke ruang tengah istana.
Umurnya sudah agak lanjut namun gerakannya benar-benar tangguh dan. enteng gesit
mengagumkan! Dia adalah Wira Sidolepen, Patih Kerajaan Banten !
Terkejutlah Bradja Paksi mendangar teriakan peringatan itu. Seluruh tenaga dalam
segera dikerahkan. Pada saat tangan kiri Resi Singo Ireng turun cepat ke bawah maka sinar
hitam menyambar ke muka. Dan di saat itu pula Bradja Paksi melompat ke samping, putar
pedang dan hantamkan tangan kiri ke depan.
Namun meskipun berilmu tinggi, untuk saat itu Bradja Paksi masih belum sanggup
menerima pukulan wesi item lawan. Tubuhnya mencelat kena disambar sinar hitam, terlempar
ke dinding istana lalu terhampar di lantai penuh darah tanpa bisa berkutik lagi. Sekujur
pakaian dan tubuhnya hangus hitam!
Resi singo Ireng tertawa senang menjijikkan untuk dipandang!
Melihat kematian Bradja Paksi maka kalaplah patih Wira Sidolepen. Sekali dia
menerjang, tiga prajurit pemberontak yang menyerangnya berpelantingan dengan tubuh patah-
patah! Sebagai patih kerajaan, tingkat kepandaian Wira Sidolepen memang sudah sempurna
dan hampir setingkat dengan Singo Ireng. Gesit sekali maka tubuhnya sudah berada di
hadapan Resi itu.
"Ha… ha… kau juga mau antarkan nyawa, Wira Sidolepen…”
"Tak perlu banyak mulut. Terima ini…!" hardik sang patih. Pedangnya bergulung
dengan sebat. Putaran pedang mengeluarkan angin bersiuran yang melanda tubuh Resi Singo
Ireng. Terkejutlah Resi ini. Cepat-cepat dia gerakkan badan berkelit. Tahu bahwa tingkat
kepandaian lawan tidak berada di bawahnya rnaka pagi-pagi Singo Ireng segera keluarkan
pukulan "wesi ireng"-nya.
Melihat lawan keluarkan ilmu yang ampuh itu, Wira Sidolepen segera pindahkan
pedang ke tangan kiri. Mulutnya komat kamit dan jari tangannya mendadak sontak berubah
rnenjadi putih berkilau. Inilah ilmu pukulan "mutiara penabur nyawa!" Parit Wulung yang
tahu kehebatan ilmu pukulan ini segera pergunakan ilmu menyusupkan suara memberi
peringatan pada Singo Ireng.
"Awas, itu pukulan mutiara penabur nyawa, Resi Singo Ireng !"
Mendengar ini maka sang Resi lipat gandakan tenaga dalamnya. Dua bentakan nyaring
sama-sama terdangar menggeledek dari mulut Singo Ireng dan Wira Sidolepen. Sinar hitam
dan sinar putih berkiblat saling papah
“Akh....”
Tubuh patih itu terlempar keras ke tiang istana. Sampai di lantai tubuhnya berkelojotan
seketika lalu diam tak bergerak tanda nyawanya sudah lepas meninggalkan tubuh.
Sambil gosok-gosok tangan kirinya. Singo Ireng putar kepala ke pintu di sampingnya.
Di situ melangkah ke arahnya seorang berselempang kain biru. Mukanya coreng moreng
berbelang tiga yaitu hitam, kuning dan merah. Rambutnya tersisir licin-lincin ke belakang.
Inilah dia Resi Macan Seta, kakak kandung Resi Singo Ireng. Kalau Singo Ireng memiliki
tampang seperti singa maka kakaknya sesuai dengan namanya, memiliki tampang persis
seperti macan!
"Kau tak bakal kuat menerima pukulan mutiara penabur nyawa itu Singo Ireng,
sekalipun kau pergunakan ilmu wesi item! Sekurang-kurangnya kau akan terluka di dalam
Singo Ireng tertawa buruk! Dia tak berkata apaapa karena maklum bahwa ucapan
kakaknya itu adalah betul. Dan diam-diam dia bersyukur karena Macan Seta telah
menolongnya dengan pukulan "sinar surya tenggelam" tadi!
-- == 0O0 ==
SATU
PADA abad ke 15, Kerajaan Demak diperintah oleh Baginda Trenggono. Di bawah
Trenggono maka Demak mencapai puncak kejayaannya. Di masa itu pula adik perempuan
Trenggono kawin dengan Fatahillah.
Untuk meluaskan daerah perdagangan serta kekuasaan Demak maka Trenggono
merasa perlu untuk menduduki Banten. Maka pada tahun 1527, di bawah pimpinan Fatahillah
menyerbulah balatentara Demak. Banten jatuh, pelabuhan Sunda Kelapa diduduki dan sebagai
wakil Demak memerintahlah Fatahillah di Banten. Sebenarnya kurang tepat kalau dikatakan
bahwa Fatahillah bertindak sebagai wakil Trenggono atau wakil kerajaan Demak karena luas
lingkup kekuasaan serta pengaruh Fatahillah tak ubahnya seperti Raja. Disamping itu, terlepas
dari Demak, Fatahillah membentuk balatentara tersendiri. Nama Fatahillah menjadi besar dan
dihormati. Namun demikian kesetiaannya terhadap kerajaan induk yaitu Demak tetap seperti sediakan Sultan Hasanuddin dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan Banten dibantu
oleh penasihat utama seorang tua bijaksana bernama Mangkubumi Mitra serta patih Wira
Sidolepen. Disamping itu bantuan kepala balatentara Banten yang bernama Bradja Paksi patut
pula disebutkan karena segala sesuatu yang bersangkutan dengan keamanan dan keselamatan
kerajaan terletak pada tanggung jawabnya sepenuhnya. Apalagi mengingat pada masa itu
sering kali terjadi bentrokan-bentrokan dengan pihak Pajajaran. Bradja Paksi tadinya adalah
seorang prajurit biasa di kerajaan Demak. Tapi karena keberanian, kejujuran dan
kepandaiannya maka dia menjadi orang kesayangan Fatahillah. Ketika Fatahillah pindah ke
Banten, Bradja Paksi ikut serta. Kemudian dia diangkat jadi kepala balatentara Banten.
Pangkat itu terus dijabatnya sampai pada suatu hari di mana dia terpaksa mengorbankan
jiwanya sendiri untuk keselamatan kerajaan dan demi kesetiaan pengabdiannya pada atasan!
Saat itu belum lagi satu bulan Hasanuddin yang muda belia dinobatkan sebagai Sultan
atau Raja Banten. Baik patih Wira Sidolepen, maupun penasihat tua Mangkubumi Mitra serta
kepala balatentara Bradja Paksi, ataupun Sultan sendiri, mereka tak satupun yang tahu kalau di
batang tubuh kerajaan saat itu terdapat musuh dalam selimut yang berbahaya, yang bergerak
secara diam-diam!
Dan siapa yang akan menyangka kalau musuh dalam selimut itu adalah Parit Wulung,
perwira yang menjadi wakil langsung dari kepala balatentara kerajaan! Hubungan Parit
Wulung dengan Bradja Paksi bukan saja sebagai bawahan dengan atasan, tetapi juga sebagai
ipar karena adik perempuan Bradja Paksi kawin dengan Parit Wulung.
Tapi Parit Wulung telah tersesat. Lupa dia bahwa jabatan yang dipangkunya itu adalah
berkat diangkat atas kebijaksanaan Bradja Paksi. Lupa dia bahwa kerajaan yang telah memberi
pangkat kedudukan serta kehormatan dan kehidupan mewah. Nafsu hendak berkuasa sendiri,
nafsu hendak duduk ditakhta kerajaan sebagai Raja telah merangsang segenap hati dari jiwa
raganya!
Dalam mencapai usahanya merebut takhta Kesultanan Banten itu sudah barang tentu
dia tak bisa bergerak sendiri. Disamping itu dia tahu pula bahwa untuk mencari pengikut-
pengikut dari kalangan pihak dalam yaitu perwira-perwira dan menteri-menteri istana tidak
mungkin karena semua perwira dan menteri, apalagi patih Wira Sidolepen sangatlah setianya
kepada Kerajaan dan Sultan Hasanuddin. Karenanya maka perwira pengkhianat itupun
mencari sekutu di luar Banten. Peluang yang sangat baik dilihatnya datang dari kerajaan
tetangga yaitu Pajajaran. Beberapa perwira Pajajaran secara diam-diam ditemuinya dan
perwira-perwira itu sesudah diberikan janji yang muluk-muluk bersedia mengirimkan ratusan
prajurit untuk membantu pemberontakan bila saatnya sudah tiba kelak.
Ratusan prajurit masih belum dirasa mencukupi bagi Parit Wulung. Pengkhianat ini
kemudian mendatangi seorang sakti yaitu Resi Singo Ireng yang berdiam di pantai selatan.
Resi ini bukan saja mau membantu maksud busuk Parit Wulung karena dijanjikan akan
dilimpahkan harta kekayaan yang tiada terkira banyaknya, tapi juga mengikut sertakan kakak
kandungnya yang juga seorang Resi yaitu Resi Matjan Seta. Matjan Seta diam di Teluk
Keletawar. Tokoh silat ini baru saja membentuk satu partai silat yang dinamainya Partai Api
Selatan. Meski keduanya adalah Resi namun mereka telah terperangkap oleh kesenangan
duniawi sehingga masuk ke datam golongan hitam!
Pada hari yang telah ditentukan maka pecahlah pemberontakan menggulingkan
kerajaan itu! Ratusan pasukan dari Pajajaran menyerbu. Pertempuran hebat terjadi di seantero
Kotaraja dan yang paling hebat adalah sekitar halaman istana.
Sebentar saja kaum pemberontak sudah membobolkan pertahanan Banten. Istana
dikepung, prajurit-prajurit pemberontak di bawah pimpinan Parit Wulung, Singo Ireng dan
Matjan Seta menyerbu ke dalam istana. Menteri-menteri dan orang-orang cerdik pandai yang
terkurung dan tak dapat diselamatkan semuanya menemui ajal dipancung secara kejam.
Kepala balatentara Banten, patih Wira Sidolepen dan beberapa orang penting lainnya turut
serta menjadi korban keganasan kaum pemberontak itu !
Banten jatuh sebelum hari rembang petang. Prajurit-prajurit Banten yang masih hidup
dan terpaksa menyerah bersama-sama rakyat disuruh membersihkan semua mayat-mayat yang
bergeletakan di setiap pelosok. Sedangkan di satu ruangan dalam istana Banten terjadi
pertemuan panting. Pertemuan penting ini diketuai oleh Parit Wulung. Yang hadir ialah Resi
Singo Ireng, Resi Matjan Seta, Karma Dipa dan Djuanasuta. Kedua orang terakhir ini adalah
penrwira-perwira Pajajaran sekutu Parit Wulung !
"Resi Singo Ireng, Resi Matjan Seta dan saudara-saudara Karma Dipa, Djuapasuta.
Kalian lihat sendiri, berkat kerjasama kita maka apa yang kita rencanakan telah berhasil. Kini
Banten adalah milik kita bersama. Namun ada beberapa hal yang mengecewakan dilaporkan
oleh seorang perwira penghubung pihak kita. Sultan Hasanuddin lenyap tak diketahui ke mana
perginya. Kemungkinan besar bersama penasihat tua Mangkubumi Mitra karena orang tua
inipun tak diketahui di mana dia berada saat ini…".
Sampai di situ maka Karma Dipa buka suara. "Kalau mereka hendak melarikan diri
dari Banten adalah mustahil. Seluruh perbatasan dijaga ketat oleh prajurit-prajurit kita!""Itu betul sekali,” jawab Parit Wulung. "Disamping orang-orang kita terus melakukan
penyelidikan atas jejak kedua orang itu maka kita juga telah menangkap tiga orang yang
diduga keras mengetahui di mana bersembunyinya Sultan!"
Parit Wulung bertepuk tiga kali. Pintu ruangan perundingan terbuka. Seorang
pengawal masuk. "Bawa ke sini Said Ulon !,” kata Parit Wulung pada pengawal itu.
Pengawal ke luar dengan cepat. Sesaat kemudian masuk lagi bersama seorang
kawannya membawa seorang laki-laki tua berambut putih. Dialah Said Ulon, kepala rumah
tangga istana. Kedua pengawal ke luar lagi.
"Said Ulon, kau tahu dimana Sultan sembunyi, bukan?!" ujar Parit Wulung.
Orang tua itu memandang ke muka sebentar. Hatinya geram sekali melihat tampang
Parit Wulung. Dua orang anaknya telah menjadi korban akibat pemberontakan manusia itu.
Seperti hendak ditelannya bulat-bulat tubuh Parit Wulung saat ini. Kedua tangannya berusaha
melepaskan ikatan tali tapi tak berhasil.
Melihat ini Parit Wulung segera berkata. "Jangan khawatir, kau akan kulepaskan dan
kujamin keselamatanmu bila memberi keterangan di mana Sultan berada...!"
"Ya… memang aku tahu...” berkata Said Ulon.
"Haaaa…” Parit Wulung tertawa lebar. "Di mana?," tanyanya.
Orang tua itu maju ke hadapan Parit Wulung. "Di sini," katanya. Dan habis
mengucapkan perkataan itu maka diludahinya muka Parit Wulung!
"Jahanam hina dina!" suara Parit Wulung menggeledek.
"Sret!" Pedangnya dicabut dan "cras!” maka putuslah leher Said Ulon. Kepalanya
menggelinding di lantai tepat di muka pintu. Darah muncrat membasahi permadani yang
menutupi sebagian dari lantai ruangan !
Resi Matjan Seta tertawa mengekeh melihat peristiwa itu.
Karma Dipa berkata dengan suara datar. "Seharusnya kita tak perlu membunuh
sekaligus manusia itu, Parit Wulung. Kita bisa siksa dia sampai mengaku di mana adanya
Sultan Hasanuddin!"
Parit Wulung tak menjawab. Noda darah dipedangnya disapukannya kepakaian Said
Ulon lalu dimasukkannya ke dalam sarungnya kembali. Kemudian Parit Wulung bertepuk lagi
tiga kali.
Pintu terbuka. Pengawal yang masuk tergagau melihat adanya kepala manusia di muka
pintu. "Bawa masuk tukang kuda itu!" kata Parit Wulung.
Tak lama kemudian pengawal membawa masuk seorang pemuda bermuka pucat pasi.
Baik Parit Wulung maupun pemuda ini sebelumnya sudah saling mengenal.
"Siman Tjonet, kau lihat mayat dan kepala di lantai itu?!"
Siman Tjonet si tukang urus kuda-kuda milik istana mengangguk.
"Tentunya kau tak ingin bernasib demikian, bukan? Nah coba terangkan di mana
Sultan bersembunyi...!”
"Aku tak tahu…".
"Ah kau musti tahu. Mungkin sekali Sultan telah melarikan diri bersama beberapa
orang dengan menunggangi kuda. Betul..."
"Aku tidak tahu..," jawab Siman Tjonet lagi seperti tadi.
Maka. marahlah Parit Wulung. "Dangar Siman…,” desisnya. "Aku tahu bahwa
beberapa bulan di muka kau akan kawin. Kalau kau tetap ingin merasakan kenikmatan
perkawinanmu itu, cepat beri tahu di mana Sultan berada…”
"Kalau kau kasih keterangan...," menyambung Djuanasuta, "kami akan berikan uang
serta perhiasan! Kau akan beruntung seumur hidup…"
"Aku tidak tahu…"
"Betul-betul tidak tahu...?!"
"Kalaupun tahu aku tidak akan kasih keterangan pada bergundal pemberontak dan
pengkhianat macam kau!"
Parit Wulung tertawa buruk. Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanannya bersitekan
pada hulu pedang. "Jangan jadi orang tolol Siman Tjonet!" berkata Karma Dipa sementara
Resi Matjan Seta dan adiknya asyik-asyik makan buah anggur yang terhidang di atas meja.
"Bicaralah, kau akan selamat dan jadi orang kaya!"
Siman Tjonet diam saja.
"Agaknya kau lebih suka mati daripada hidup senang. Siman…?" tanya Parit Wulung.
"Disangkanya kalau dia mati akan masuk surga dan ketemu bidadari!" berkata Resi
Matjan Seta sambil tertawa dan mengunyah buah anggur dalam mulutnya.
"Aku masuk surga atau tidak itu bukan urusan kalian! Sebaliknya kalian semua kelak
akan menjadi puntung api neraka!" jawab Siman Tjonet dengan beraninya.
"Wah… kau benar-benar tidak takut mati, anak muda. Tapi bagaimana kalau sebelum
mati aku siksa kau lebih dahulu, heh?!"
"Kalian boleh siksa aku tapi di mana Sultan berada tetap kalian tak bisa tahu!"
"He... he... he..,” Resi Matjan Seta berdiri dari duduknya. Mulutnya masih mengunyah
buah anggur. Dia melangkah ke hadapan Siman Tjonet, Tangan kanannya diletakkannya di
atas kepala pemuda itu.
"Manusia bermuka setan, pergi!" hardik Siman Tjonet. Pemuda ini pergunakan kaki
kanannya untuk menendang tulang kering Resi Matjan Seta. Tapi aneh! Kedua kakinya terasa
sangat berat dan sukar digerakkan. Sementara itu kepalanya yang dipegang terasa panas bukan
main. Disamping panas kepalanya juga terasa seperti dicucuki oleh ratusan jarum! Dari kepala
rasa sakit menjalar ke sekujur tubuh si pemuda.
Pemuda ini merintih kesakitan. Bila rasa sakit tak tertahankan lagi maka mulailah dia
menjerit-jerit setinggi langit. Betapa mengerikan suara jeritan itu terdangarnya. Peluh dingin
membasahi seluruh tubuh Siman Tjonet.
"Masih belum mau bicara?!" bentak Parit Wulung.
"Pengkhianat terkutuk! Pembalasan akan datang untuk kalian semua!".
"Bikin mampus dia Resi Matjan Seta!,” perintah Parit Wulung.
Sang Resi mengekeh, telapak tangannya semakin keras menekan batok kepala pemuda
tukang kuda. Asap mengepul dari telapak tangan laki-laki sakti itu.
Jeritan Siman Tjonet terdangar semakin keras dan berubah menjadi suara erangan.
Dari telinga, dari mata dan dari lubang hidung serta mulutnya mengalir darah kental. Kedua
lututnya terlipat dan sesaat kemudian tubuh pemuda itu terhempas ke lantai, nyawanya lepas!
Resi Matjan Seta mengekeh lagi!
Dan Parit Wulung bertepuk lagi. Maka tawanan yang ketigapun dibawa masuklah.
Tawanan ini ternyata seorang perempuan muda berparas rupawan.
Begitu dia masuk ke, ruangan itu maka menjeritlah dia. Kedua tangannya yang tidak
terikat dipakai untuk menutupi muka dan matanya. Kengerian membuat tubuhnya gemetar
ketika menyaksikan kepala dan tubuh Said Ulon serta tubuh pemuda tukang kuda!
Resi Singo Ireng menunda anggur yang hendak disuapkannya ke dalam mulut.
Matanya menjalari si perempuan muda mulai dari ujung rambut sampai ke kaki.
"Ah... ah... ah…! Yang satu ini tak boleh dibunuh, Parit Wulung. Dia cukup pantas
untuk jadi peliharaanku!,” kata Resi bertampang singa itu.
Parit Wulung tak ambil perhatian ucapan itu. Dia berkata pada si perempuan muda.
"Suri Intan, kau tak usah khawatir atau takut. Tidak ada yang akan menyakiti kau…”
"Aku tak percaya pada kalian! Keluarkan aku dari sini!,” teriak perempuan itu. Suri
Intan adalah istri Braja Paksi kepala balatentara Banten yarig telah gugur dalam
mempertahankan kerajaan. Karena adik Bradja Paksi kawin dengan si pemberontak Parit Wu-
lung maka dengan sendirinya antara Parit Wulung dengan Suri Intan terdapat hubungan
keluarga yang dekat.
Parit Wulung coba tersenyum mendangar ucapan perempuan itu. "Suri, apakah kau
tahu di mana Sultan Hasanuddin bersembunyi? Juga penasihat tua Mangkubumi Mitra...?!"
Si perempuan tiada peduli dengan pertanyaan itu. "Keluarkan aku dari sini!" teriaknya.
"Dewiku manis...!"kata Singo Ireng mengetengahi. "Kau akan ke luar dari sini, aku
yang akan bawa kau dan kita berdua akan senang-senang di tempatku di pantai utara. Tapi apa
salahnya sebelum pergi kau suka kasih penuturan apa yang kau ketahui mengenai Sultan…"
"Aku tidak tahu apa-apa mengenai Sultan. Yang aku tahu ialah bahwa kalian semua
manusia-manusia pengkhianat terkutuk! Balasan Tuhan akan datang kelak atas diri kalian!"
"Ah... ah... ah! Bicaramu hebat sekali manisku...!" kata Singo Ireng. Dia berdiri dari
kursinya. Sambil melangkah mendekati Suri Intan dia meneruskan. "Aku suka pada
peremppan-perempuan yang pandai bicara…". Dia berdiri dua langkah di hadapan Suri Intan.
Bola matanya berkilat-kilat memandangi perempuan berparas rupawan itu lalu dia berpaling
pada Parit Wulung. "Aku yakin betul," katanya pada Parit Wulung. "perempuan ini pasti tidak
dusta dengan keterangannya. Dia tak tahu apa-apa tentang Sultan. Parit Wulung, biar aku
minta diri saja siang-siang untuk membawa dia ke kamar sebelah.... he... he... he…!"
"Singo Ireng! Jangan ribut soal lampiaskan nafsu saja. Kita harus cari dulu Sultan
Hasanuddin sampai dapat...!" Yang bicara ini adalah Matjan Seta, kakak Singo Ireng.
"Ladalah..," menyahuti Singo Ireng. "Itu urusan kalian. Aku sudah letih. Tubuhku
pegal-pegal. Perempuan ini pasti lihay sekali memijit. Bukankah begitu dewiku…?" Dan
Singo Ireng mencubit dagu Suri Intan.
"Tua bangka hidung belang!" memaki Suri Intan. Tangannya bergerak hendak
mencakar muka Singo Ireng. Tapi sekali cekal saja maka perempuan itu sudah tak bisa
berdaya lagi!
"Lepaskan aku, lepaskan!,” Suri Intan meronta sekuat tenaga. Entah cekalan Singo
Ireng yang kemudian agak kurang ketat, entah karena rontakan Suri Intan yang memang
sangat keras maka perempuan itu berhasil melepaskan diri dari cekalan Singo Ireng. Ke-
mudian secepat kilat dia lari ke pintu. Tapi nyatanya pintu dikunci dari luar oleh pengawal.
Dalam bingung dan ketakutan sementara itu Suri melihat Singo Ireng mendatanginya dengan
menyeringai dan bola mata berkilat-kilat sedang hidung kembang kempis.
"Singo Ireng! Biarkan dulu perempuan itu!" bentak Matjan Seta."Sudah diam sajalah Seta!,” menggerendang Singo Ireng. "Sekarang kau terlalu
banyak ribut, nanti kalau aku lagi asyik kau dobrak pintu kamar dan minta diberi bagian!
Puh...!"
Singo Ireng maju ke muka dan ulurkan tangan. "Jangah jamah aku!,” teriak Suri Intan.
Dia lari seputar ruangan dan Singo Ireng mengejarnya. Mengejar dengan tertawa terkekeh-
kekeh. "Manisku, kenapa musti main kucing-kucingan? Tampangku memang buruk. Tapi
nantilah, kalau kau sudah rasakan bagaimana pandainya aku di atas tempat tidur, kau akan
ketagihan… ha... ha... ha...!"
Suri Intan semakin kepepet ke sudut ruangan.Tiba-tiba terjadilah hal yang tidak diduga
oleh Singo Ireng dan siapapun yang ada di ruangan itu.
Suri Intan melompat ke samping, membenturkan kepalanya ke dinding ruangan!
Semua orang yang ada di ruangan itu sudah biasa dengan segala macam pemandangan maut,
sudah biasa melihat kematian manusia. Tapi mendangar suara beradunya kepala perempuan
itu dengan dinding yang keras, menyaksikan bagaimana kemudian Suri lntan terkapar di lantai
dengan kepala rengkah berlumuran darah, semuanya sama menjadi merinding bulu
tengkuknya! Suasana di ruangan itu seperti di pekuburan sunyinya!
Kesunyian itu kemudian dipecahkan oleh suara Matjan Seta. "Aku bilang apa, Singo
Ireng! Kau lihat sendiri sekarang. Apa kau masih bernafsu terhadap perempuan itu?!"
Singo Ireng tak menjawab. Diputarnya badannya. Dia duduk kembali ke tempatnya.
Dan seperti tak ada apa-apa dia mulai lagi mengunyah buah anggur yang terhidang di atas
meja!
Sesudah para pengawal diperintahkan menyeret ketiga mayat itu maka Parit Wulung
melanjutkan pertemuan dengan membuka pembicaraan.
"Kurasa mengenai Sultan tak perlu kita bicarakan panjang lebar. Cepat atau lambat
orang-orang kita akan segera menangkapnya. Tapi apa yang menjadi pikiranku ialah
lenyapnya keris pusaka kerajaan Tumbal yang menjadi syahnya kedudukanku sebagai seorang
Raja, nanti!"
"Keris itu pasti dibawa kabur oleh Sultan Hasanuddin!" kata Resi Matjan Seta pula.
"Mungkin, tapi mungkin pula dicuri atau dilarikan oleh seorang lain!"
Singo Ireng mengetengahi. "Tanpa keris Tumbal Wilayuda itupun tak akan seorang
yang bisa menolak penobatanmu sebagai Raja Banten, Parit Wulung! Kecuali kalau mereka
mau terima nasib digerogoti cacing di liang kubur
"Soal itu aku tak khawatir. Tapi dalam hal ini kita berhadapan dengan rakyat. Rakyat
hanya akan mengakui aku sebagai raja, bila keris Tumbal Wilayuda ada di tanganku!"
"Kenapa ambil pusing dengan rakyat?,” tukas Singo Ireng. Mereka mau terima atau
tidak, mereka mau mampus sekalipun, kita tak perlu ambil peduli! Rakyat tidak lebih dari
domba-domba yang bisa kita halau sesuka hati !"
"Tapi, disamping itu keris Tumbal Wilayuda adalah satu senjata sakti dan keramat…,”
ujar Parit Wulung.
"Sakti aku percaya, tapi kalau dikatakan keramat itu adalah takhyul!,” menyahut Singo
Ireng. Parit Wulung tak berkata apa-apa namun dalam hati dia merasa tidak senang. Maka
berkatalah dia. "Aku minta pada kalian, terutama Resi Matjan Seta dan Singo Ireng untuk
mencari Sultan dan menemukan keris Tumbal Wilayuda itu sampai dapat!"
Singo Ireng mengunyah anggurnya lambat-lambat lalu berkata. "Ini tak termasuk
dalam hitungan kita Parit Wulung. Tempo hari kau hanya minta aku dan kakakku membantu
pemberontakan sampai terlaksana. Kini Banten sudah jatuh dan berada di tangamu, perjanjian
kita beres dan kami sudah saatnya menerima balas jasa!"
"Mengenai soal balas jasa Resi berdua tak usah cemas, kalian berdua boleh membawa
segala harta kekayaan apa saja dari Banten ini sebanyak yang kalian bisa bawa. Tapi bila
kalian bersedia pula membantu mencari dan menangkap Sultan serta menemukan keris pusaka
Tumbal kerajaan itu, maka bagian kalian tentu akan lipat ganda !"
Singo Ireng manggut-manggut. "Baiklah,” katanya. "Soal harta aku tidak begitu
temahak. Tapi setiap perempuan cantik di Banten ini adalah milikku!"
-- == 0O0 ==
DUA
HARI itu adalah hari kedua sesudah jatuhnya takhta kerajaan Banten ke dalam tangan
kaum pemberontak pimpinan Parit Wulung. Suasana di Kotaraja yang sehari sebeIumnya
senantiasa diliputi kepanikan kini mulai mereda. Namun di mana-mana kelihatan berkeliaran
tentara-tentara pemberontak sedang di setiap tempat yang dianggap penting terutama di
sepanjang perbatasan senantiasa dijaga ketat oleh tentara.
Pagi itu, pagi ketiga dari berkuasanya kaum pemberontak kelihatanlah dua orang
berjalan kaki. Yang satu sudah tua dan terbungkuk-bungkuk. Yang satu lagi masih muda.
Keduanya mengenakan pakaian bertambal-tambal serta kotor. Kulit badan dan muka
merekapun coreng moreng dan rambut awut-awutan. Dari keadaan kedua orang ini, sepintas
lalu saja orang segera berkesimpulan bahwa mereka adalah pengemis-pengemis. Dan setiap
orang yang memapasi mereka tentu saja tak akan mau ambil peduli! Namun siapa nyana kalau
kedua orang ini adalah dua orang penting yang tengah dicari oleh Parit Wulung dan pentolan-
pentolan pemberontak lainnya!
Yang tua adalah penasehat istana yaitu Mangkubumi Mintra sedang yang masah sangat
muda tiada lain daripada Sultan Banten sendiri yakni Hasanuddin! Sewaktu maletusnya
pemberontakan, sewaktu istana sudah dikepung, dengan melalui jalan rahasia kedua orang ini
telah berhasil menyelamatkan diri. Dan bukan keselamatan mereka saja yang penting, tapi
keduanya juga berhasil menyelamatkan keris pusaka tumbal kerajaan yaitu keris Tumbal
Wilayuda, keris yang menjadi lambang dan ketentuan bahwa siapa pemiliknya maka dialah
pewaris syah dari takhta kerajaan Banten. Dan juga keris inilah yang pula dicari-cari oleh Parit
Wulung bersama pemberontak-pemberontak lainnya! Masing-masing mereka sama membawa
buntalan kecil. Sebenarnya baik Mangkubumi Mintra maupun Sultan Hasanuddin adalah orang-
orang yang berkepandaian silat dan kelas tinggi. Namun menghadapi sekian banyak
pemberontakan dan demi untuk menyelamatkan keris tumbal kerajaan, keduanya memutuskan
dengan terpaksa dan berat hati untuk mengundurkan diri.
Demikianlah, dengan menyamar kedua orang itu meninggalkan Kotaraja. Matahari pagi
masih belum sanggup memupuskan butiran-butiran embun di daun-daun, namun panasnya
terasa sudah memerihkan kulit kedua orang itu. Mereka berhasil melewati pintu gerbang
Kotaraja tanpa halangan sesuatu apa meski pintu gerbang itu dijaga ketat oleh duapuluh orang
prajurit.
Si orang tua Mangkubumi Mintra menarik nafas lega demikian juga Sultan. Namun
penasehat tua ini kemudian berkata dengan perlahan. "Kita masih jauh dari selamat, Sultan.
Cuma satu pesanku, bila terjadi apa-apa yang tak diingini kau lekaslah menghindar dan lari ke
tempat keluarganya Wirya Pranata di Ujung Kulon....”
Si pemuda anggukkan kepala. Namun pada parasnya kelihatan sekelumit rasa jengah
yang memerahkan kedua pipinya yang kotor itu. lni suatu pertanda bahwa ada sesuatu hubungan
antara dia dengan keluarga Wirya Pranata di Ujung Kulon itu.
Pemuda atau Sultan menghela nafas lagi. "Mudah-mudahan saja kita bisa terus selamat,
bapak Mangkubumi,” katanya.
"Memang itulah yang kita harapkan. Semoga Tuhan melindungi kita". Mereka
mendekati perbatasan kini. Di sepanjang perbatasan dijumpai prajurit yang mengawal semakin
banyak. Keduanya diperiksa oleh beberapa orang prajurit. Bungkusan masing-masing digeledah.
Untunglah Sultan Hasanuddin telah menyembunyikan keris Tumbal Wilayuda di dalam lipatan
pakaiannya yang dikenakannya saat itu ! Dan kedua orang inipun selamat pula dari
pemeriksaan. Mereka bergegas menjauhi perbatasan.
"Aman sekarang…" kata Sultan Hasanuddin. Tapi baru saja dia habis berkata begitu
maka muncullah serombongan pasukan berkuda. Pimpinan rombongan, seorang perwira
pemberontak lambaikan tangan memberi isyarat berhenti pada anak-anak buahnya. Perwira ini
membawa kudanya ke hadapan kedua orang tersebut."
"Pengemis-pengemis hina dina!,” bentak perwira itu. "Apa kalian lihat dua orang
pelarian melintas di sini? Keduanya adalah Mangkubumi Mintra penasihat istana dan Sultan
Hasanuddin". Sambil bertanya begitu mata sang perwira menyorot meneliti kedua orang di
hadapannya.
Si orang tua menjawab . "Tak satu orangpun yang kami lihat, Yang mulia…”
Jawaban yang hormat dan mempergunakan tutur kata yang halus tinggi dari si orang tua
mencurigakan sang perwira. Biasanya pengemis-pengemis macam mereka bicara dalam bahasa
rendahan. Maka, terbitlah sekelumit kecurigaan di hati perwira itu. "Kami akan geledah kalian!"
katanya,
"Ah…, kami hanya pengemis-pengemis yang hina dan terlantar. Apa untungnya
menggeledah kami?"
"Memang tak perlu menggeledah manusia-manusia ini raden,” berkata seorang prajurit
yang berada di samping sang perwira. "Hanya akan mengotorkan tangan saja! Bau mereka
sangat menusuk hidung!"
Si perwira memang menganggap betul katakata bawahannya itu. Tapi bila sepasang
matanya yang tajam melihat bagaimana telapak dan jari-jari tangan kedua orang yang
dihadapannya sangat halus, bukan seperti tapak dan jari-jari tangan yang biasa dilihatnya pada
diri pengemis-pengemis maka memerintahlah dia. "Tangkap manusia-manusia hina dina ini!"
Mangkubumi Mintra yang tahu bahwa penyamamaran mereka pasti akan terbuka, tanpa
membuang waktu segera maju ke muka dan berkata "Kalian keterlaluan, manusia-manusia macam kamipun masih hendak kalian ganggu!" Bentakan ini, adalah juga terdorong rasa
dendam kesumat terhadap kaum pemberontak.
"Kurang ajar kau berani bicara kasar terhadapku huh!" dengus perwira itu dan segera
hunus pedangnya sementara setengah lusin bawahannya segera mengurung mereka.
Mangkubumi Mintra tidak tinggal diam. Dari balik pakaian pengemisnya dikeluarkannya
sebilah pedang.
"Hemm… bagus! Sekarang lebih jelas siapa kau adanya kunyuk tua hina-dina!"
Perwira itu tetakkan pedangnya ke kepala Mangkubumi Mintra. Si orang tua membentak
nyaring dan mundur beberapa langkah sementara enam prajurit lainnya begitu cabut pedang
masing-masing segera pula menyerbu.
Mangkubumi Mintra putar pedang dengan deras. Sinar pedang bergulung-gulung.
Trang… trang… trang... trang Terdengar suara beradunya pedang susul menyusul! Waktu
pedangnya beradu dengan pedang prajurit-prajurit, Mangkubumi Mintra tak terasa suatu apa,
tapi ketika membentur senjata sang perwira maka terkejutlah orang tua itu. Tangannya tergetar
keras. dan panas! Mangkubumi Mintra mengeluh. Nyatanya sang perwira mempunyai kepandai-
an tingkat atas!
Maka berserulah Mangkubumi Mintra pada Su1tan Hasanuddin. "Sultan larilah
selamatkan diri. Biar aku yang hadapi bergundal-bergundal pemberontak ini!"
"Tidak!" jawab Sultan Hasanuddin. "Mati hihidup kita berdua, bapak!"
"Jangan bodoh Sultan! Lari kataku!". Si orang tua putar pedangnya lebih sebat. Seorang
lawan yang mengurung menjerit keras dan melompat nanar dengan dada robek dimakan ujung
pedang!
"Keparat!,” maki perwira pemberontak. Dia melompat dari kudanya. Sambil melompat,
laksana seekor alap-alap dia mengirimkan serangan ganas.
Pedangnya menderu memepas ke arah batang leher Mangkubumi Mintra. Di saat itu si
orang tua sedang menangkis serangan seorang prajurit. Tangkisan ini terpaksa dibatalkannya
dengan melompat dan sebagai gantinya pedangnya diputar untuk menangkis pedang si perwira!
Tapi si perwira rupanya memiliki ilmu pedang dari Cabang Pantai Selatan yang terkenal
tangguh karena dengan tak terduga dan sangat cepat sekali serangan yang tadi merupakan satu
tebasan dengan tiba-tiba sekali berubah menjadi satu tusukan tajam dan cepat!
Si perwira tertawa mengekeh. Itulah jurus mematikan dari ilmu pedang yang dianutnya,
yang dinamakan jurus "menabas gunung menusuk bukit!"Tentu saja tangkisan Mangkubumi Mintra tidak mempunyai arti apa-apa. Orang tua ini
cepat rubah posisi senjatanya namun sia-sia karena ujung pedang lawan lebih dahulu
menghunjam di dadanya! Maka terdengarlah keluhan mengerikan dari tenggorokan orang tua
malang itu.
Di saat itu, Sultan Hasanuddin sudah berhasil ke luar dari kurungan prajurit-prajurit
pemberontak dan meskipun hatinya berat namun dia terpaksa melarikan diri, bukan saja untuk
menyelamatkan diri sendiri, tapi juga menyelamatkan keris pusaka Tumbal Wilayuda demi
untuk menegakkan kembali kelak Kerajaan Banten! Namun sewaktu telinga mendengar keluhan
Mangkubumi Mintra, Sultan hentikan lari dan putar badan. Maka naik pitamlah dia ketika me-
nyaksikan bagaimana orang tua itu tersungkur di tanah bermandikan darah.
"Pemberontak-pemberontak durjana! Aku mengadu jiwa dengan kalian!,” seru Sultan
Hasanuddin. Dia menyerbu ke muka namun belum lagi dia melancarkan serangan maka
terdengarlah suara mengaung seperti suara tawon. Enam benda putih aneh dan berbentuk
bintang yang berkilauan melesat deras ke arah pemberontak-pemberontak. Lima prajurit pem-
berontak coba hindarkan diri atau menangkis benda itu namun tiada ampun! Kelimanya menjerit
keras, rebah ke tanah, kelojotan seketika lalu kaku tegang tiada nyawa!
Perwira pemberontak dalam terkejutnya dan dengan kepandaiannya yang lebih tinggi
pergunakan pedang untuk memapaki benda bintang berkilau itu.
"Trang !"
Tampang perwira itu menjadi pucat. Pedangnya memang bisa membuat mental benda
maut yang menyerangnya namun senjatanya sendiri putung dua dihantam benda tersebut !
Baik sang perwira maupun Sultan Hasanuddin serentak putar kepala ke arah atas pohon
besar dari arah mana datangnya senjata-senjata rahasia tadi.
"Iblis keparat di atas pohon turunlah! Jangan sembunyikan diri!,” bentak sang perwira.
Sebagai jawaban terdengar suara tertawa bergelak kemudian sesosok tubuh dengan
entengnya melayang turun ke tanah dari atas pohon besar itu. Nyatanya dia adalah seorang
pemuda bertampang keren dan berambut gondrong. Umurnya mungkin tiada banyak beda
dengan Sultan sendiri. Saat itu bajunya tiada terkancing dan angin yang bertiup agak kencang
menyibak-nyibakkan baju putihnya sehingga jelaslah kelihatan angka 212 tertera di dada
kanannya Pendekar 212.
Melihat si pemuda ini menghadapinya dengan tertawa mengejek demikian rupa maka
membentaklah perwira tadi. "Rupanya kau masih belum tahu dengan siapa berhadapan! Masih
belum tahu apa akibat campur tanganmu dalam uru...” Ucapan sang perwira cuma sampai disitu. Hampir tak kelihatan Pendekar 212 telah gerakkan tangan dan lemparkan bintang 212 ke
arah perwira pemberontak yang sedang bicara itu. Maka "heggg,” terdengarlah suara tercekik
dari rangkungan si perwira ketika senjata rahasia 212 dengan tepatnya masuk ke dalam mulut.
Senjata rahasia itu lenyap dan darah segera muncrat ke luar dari mulut sang perwira. Nasibnya
kemudian tidak beda dengan nasib bawahannya yang terdahulu!
Sultan Hasanuddin segera dekati Pendekar 212. "Saudara, kau telah tolong. Aku…”
Pendekar 212 memberi isyarat. Dia melangkah cepat dan membungkuk di hadapan
Mangkubumi Mintra. Ternyata orang tua itu masih bernafas satu-satu. Mulutnya bergerak-gerak.
"Sultan… mungkin dia mau bicara padamu,” memberi tahu Pendekar 212 atau Wiro
Sableng. Mendengar itu Sultan Hasanuddin segera pula berlutut di samping tubuh si orang tua
Mangkubumi Mintra dengan sisa-sisa tenaga yang ada buka kedua matanya yang berbinar-binar.
Bila pandangannya menyentuh paras Sultan Hasanuddin maka tersenyumlah dia.
"Sultan, kau tak apa-apa...?"
"Tidak bapak…". Sultan membelai rambut orang tua itu dan menyeka keringat di
keningnya. Keringat dan kening itu sangat dingin seperti es.
"Syukurlah..," desis Mangkubumi Mintra. "Aku yakin di bawahmu Kerajaan Banten
yang syah akan bisa ditegakkan kembali…"
Sultan Hasanuddin mengangguk. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi tak jadi karena
dilihatnya orang tua itu memalingkan kepalanya kepada pemuda yang telah menolongnya.
"Pendekar muda... aku gembira kau datang. Lebih gembira lagi karena kau telah berhasil
menyelamatkan Sultan. Tuhan kelak akan membalas jasamu yang besar ini...” Orang tua itu
terhenti bicaranya sejenak. Agaknya dia tengah mengumpulkan tenaga baru dari sisa-sisa
tenaganya yang terakhir. Lalu mulutnya terbuka kembali.
"Yang pasti adalah, bila takhta Banten telah kembali pada pemiliknya yang syah, maka
Kerajaan dan rakyat Banten tak akan melupakan pertolongan atau jasamu ini...”
Pendekar 212 coba tersenyum. Dia tahu bahwa keadaan orang tua itu tak mungkin lagi
untuk ditolong. Maka berkatalah dia. "Menyesal orang tua, aku tak bisa berbuat sesuatu apa
dengan lukamu…”
"Ah diriku yang sudah rongsokan ini tak perlu diambil peduli. Aku gembira menemui
kematian dengan cara begini rupa… Gembira karena di saat menjelang kematian ini aku telah
dapat melihat sinar terang bahwa Banten pasti akan kembali kepada pewarisnya yang syah…"
Mangkubumi memutar matanya pada Sultan Hasanuddin. Mulutnya terbuka untuk
mengatakan sesuatu namun malaekat maut meminta nyawanya lebih dahulu. Air mata
menggenang di kedua mata Sultan Hasanuddin. Digigitnya bibir sendiri untuk menahan
keluarnya suara isakan.
Tiba-tiba kening Pendekar 212 kelihatan mengerenyit. Kepalanya diputar ke jurusan
timur. "Ada apa…?" tanya Sultan yang saat itu masih belum mendengar suara apa-apa.
"Cecunguk-cecunguk pemberontak itu kurasa...” ujar Pendekar 212.
Beberapa ketika kemudian barulah Sultan mendengar suara derap kaki kuda yang
banyak sekali, mendatangi ke arah di mana mereka berada saat itu. Disusul beberapa saat lagi
maka diantara pohon-pohon dan semak-semak belukar tinggi kelihatanlah kira-kira dua puluh
prajurit pemberontak yang dipimpin oleh seorang berselempang kain putih bermuka sangat
hitam dan berambut gondrong acak-acakan. "Sultan, tinggalkan tempat ini cepat!"
"Tidak bisa sobat! Mangkubumi Mintra terbujur begini rupa dan adalah pengecut sekali
meninggalkan kau seorang diri. Apalagi kau adalah tuan penolongku !,” membantah Sultan
ketika dia diminta pergi. "Ini bukan soal pengecut Sultan! Yang penting adalah keselamatan
dirimu dan keselamatan keris Tumbal Wilayuda yang ada di tanganmu."
Tentu saja Sultan Hasanuddin menjadi kaget mendengar ucapan Pendekar 212. Sewaktu
pertama kali pemuda itu memanggilnya dengan sebutan "Sultan" dia telah terkejut dan kini
bahkan dia mengetahui pula bahwa keris Tumbal Wilayuda berada di tangannya!
Sementara itu rombongan penunggang-penunggang kuda semakin dekat. Wiro Sableng
atau Pendekar 212 berkata lagi. "Pergilah cepat sebelum terlambat! Soal jenazah orang tua ini
aku yang akan urus. Selama gunung masih hijau, kelak kita akan bertemu kembali!"
Mendengar itu dan lagi memang tak ada lain hal yang bisa diperbuatnya maka Sultan
Hasanuddin segera tinggalkan tempat itu.
Begitu dia lenyap di balik semak-semak maka dua puluh prajurit pemberontak di bawah
pimpinan si muka hitam sampai di tempat itu. Dia memberi isyarat. Prajurit-prajurit menyebar.
Dan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 kini terkurung di tengah lingkaran dua puluh prajurit
bersenjata lengkap, di bawah pimpinan seorang tokoh silat yang kosen!
-- == 0O0 ==
TIGA
DIKURUNG begitu rupa Pendekar 212 tetap tenang-tenang saja seperti saat itu cuma
dua sendirian saja berada di situ. Si muka hitam yang tak lain Resi Singo Ireng kaki tangan Parit
Wulung adanya, menyapu tebaran-tebaran mayat di hadapannya dengan pandangan sedingin
salju. Yang agak mengherankan Resi muka hitam ini ialah mengapa di antara mayat-mayat
pasukan Parit Wulung juga terdapat mayat Mangkubumi Mintra. Tak mungkin si pemuda
rambut gondrong itu yang telah menebar mayat kecuali jika dia mempunyai dendam kesumat
terhadap kedua belah pihak yaitu pihak pasukan dan Mangkubumi Mintra. Disamping itu
dengan adanya mayat si orang tua tergeletak di situ, pastilah sebelumnya Sultan Hasanuddin
juga berada di situ! Singo lreng memang berpikiran tajam. Melihat kepada pakaian
Mangkubumi Mintra tahulah dia bahwa penasihat istana itu berusaha melarikan diri dari Banten
dengan menyamar sebagai pengemis!
"Mana Sultan?" bertanya Singo Ireng derrgan suara lantang kasar.
Pendekar 212 tidak menjawab. Malahan dia memandang seperti tiada melihat apa-apa
berada-disekelilingnya saat itu! Dia menengadah ke atas memperhatikan matahari yang menaik
tinggi.
Melihat sikap yang sangat menghina ini, apa lagi di hadapan sekian banyaknya prajurit
tentu saja Resi Singa Ireng menjadi sangat penasaran serta malu. Mukanya yang hitam kelihatan
semakin tambah hitam. "Bocah gondrong! Apa kau tuli atau gagu? Orang bertanya tidak
dijawab?!"
Pendekar 212 masih tidak menyahut. Malah kini jari-jari tangan kirinya mencungkil-
cungkil tepi lubang hidungnya kemudian dia berbangkis dua kali berturut-turut!
"Keparat!" bentak Singo Ireng dengan- suara menggeledek.
"Eeeeh… kau memaki pada siapakah?!" bertanya Pendekar 212 sambil putar kepala
seperti baru saat itu disadarinya bahwa dia tidak berada sendirian di tempat itu!
"Prajurit-prajurit! Tangkap bocah edan ini perintah Resi Singo Ireng dengan geramnya.
Maka dua puluh prajurit pemberontak melompat turun dari kuda masing-masing, hunus
senjata dan bergerak cepat mendekati Pendekar 212.
"Bergundal pemberontak," berseru Wiro Sableng atau Pendekar 212. "Kalau kau ingin
tangkap aku mengapa tidak turun tangan sendiri?!"
Di saat itu dua puluh prajurit sudah menyerbu untuk menangkap Pendekar 212.
"Kalian kunyuk-kunyuk pemberontak hanya datang minta digebuk!" ujar Pendekar 212
dengan tersenyum. Tapi bila senyumnya itu putus maka mengumandanglah bentakan dahsyat.Lima prajurit yang paling dekat dan hendak turun tangan menangkapnya terpelanting dan
bergetimpangan di tanah tiada nyawa lagi!
Tersiraplah darah Resi Singo Ireng! Tiada disangkanya pemuda gondrong bertampang
bodoh itu mempunyai kehebatan demikian rupa! Maka berserulah dia! "Tak perlu budak hina
dina ini ditangkap hidup-hidup. Cincang di tempat!"
Maka lima belas senjata tajam berkiblat ke arah Pendekar 212.
"Heiyaaah !"
Tubuh Siro Sableng mencelat tiga tombak ke atas, Seluruh serangan senjata lawan lewat
di bawah kakinya. Detik senjata-senjata itu menderu memapas angin kosong maka detik itu pula
dengan kecepatan yang hampir tak sanggup disaksikan oleh mata Pendekar 212 menukik ke
bawah merampas pedang salah seorang prajurit. Dan ketika pedang itu menderu laksana kitiran
maka lima prajurit meregang nyawa mandi darah, dua lainnya luka parah!
Dalam kejutnya menyaksikan gebrakan yang dahsyat itu Resi Singo Ireng melihat satu
bayangan berkelebat ke arahnya. Dia tarik tali kekang kuda dengan cepat. Namun sebelum
binatang tunggangannya itu sempat bergerak, tubuh kuda ini sudah angsrok ke tanah! Keempat
kakinya terbabat putus. Binatang ini berguling di tanah melejang-lejangkan kakinya yang
buntung dan meringkik tiada henti! Untung saja Resi yang kosen ini Cepat menyadari apa yang
terjadi sehingga lekas-lekas dia melompat ke samping dan berdiri dengan muka kelam membesi,
mata menyorot!
Pendekar 212 tertawa gelak-gelak sementara prajurit-prajurit yang masih hidup dengan
nyali menciut segera menjauhi ini pemuda yang dianggap mereka sangat berbahaya.
"Pemuda gondrong! Kehebatanmu cukup untuk dikagumi! Tapi bila kau tahu dengan
siapa saat ini berhadapan, maka lekaslah berlutut minta ampun!" berkata Singo Ireng.
"Uh! Sama manusia jelek macam kau buat apa perlu takut!". ujar Wiro Sableng dan
tawanya semakin menjadi-jadi!
"Ah... kalau begitu kau sebutkanlah nama! Terhadap manusia-manusia yang punya
sedikit ilmu, aku tidak begitu senang jika membunuhnya tanpa tahu namanya terlebih dahulu!"
"Kalau butuh namaku aku tak keberatan. Majulah biar kutulis dijidatmu!" kata Wiro
Sableng pula sambil acungkan jari telunjuk!
Menggeramlah sang Resi bermuka hitam itu. Selama dunia terbentang, selama malang
melintang dalam dunia persilatan, baru hari itulah dia dihina dan direndahkan terus-terusan oleh
seseorang! Oleh seorang yang berusia jauh lebih muda dari padanya. Dari balik pakaian Resi ini keluarkan sebuah senjata berbentuk aneh yaitu sebuah besi panjang yang ujungnya berbentuk
Iingkaran.
"Kalau kau punya senjata pusaka, sebaiknya lekas keluarkan supaya mampus tidak
rnenyesal!"
"Tak perlu banyak cerewet!" semprot Pendekar 212. "Majulah! Senjataku cukup pedang
butut milik cecungukmu yang sudah mampus itu!"
Resi Singo Ireng yang berbadan kate ini segera maju dan hamburkan serangan dahsyat.
Senjata anehnya mengeluarkan suara menderu, menimbulkan angin yang deras dan tajam. Ujung
senjata yang berbentuk lingkaran itu berubah laksana ratusan banyaknya! Searang lawan yang
berilmu tanggung dan bermata tidak awas akan sulit membedakan mana lingkaran senjata yang asli
dan mana yang bukan. Dalam lawan kebingungan maka senjata itu akan menyeruak lewat kepalanya
dan sekali putar saja pastilah patah dan putus batang leher dibuatnya! Inilah kehebatan senjata sang
Resi dari pantaiselatan itu!
Namun yang dihadapi Singo Ireng dihari itu bukanlah seorang lawan berilmu tanggung,
bukan seorang pemuda yang hanya mengenal sejurus dua ilmu silat! Begitu senjata lawan membadai
menghampiri kepalanya, Wiro Sableng cepat merunduk dan selinapkan satu tusukan deras kearah
perut sang Resi!
Kaget Singo Ireng bukan olah-olah! Cepat dia undur dua langkah dan papasi pertengahan
senjata lawan dengan tongkat besi lingkarannya.
"Trang" !
Dua senjata beradu
Karena senjata ditangan Singo Ireng adalah senjata mustika sedang pedang ditangan Wiro
hanya pedang biasa maka patahlah pedang itu! Tapi sebaliknya Singo Ireng merasakan bagaimana
tangannya tergetar hebat dan panas pada bentrokan itu! Maklumlah dia bahwa pemuda itu
mempunyai tingkat tenaga dalam yang hebat sekali! Karenanya sang Resi tanpa memberi peluang
segera lancarkan serangan-serangan dahsyat! Sengaja dikeluarkannya jurus-jurus yang hebat yaitu
jurus "memetik bunga membelah buah" lalu disusul dengan jurus "delapan gunung meletus gegap
gempita"! Diserang dengan dua jurus ini berikut pecahan-pecahannya yang tak kalah dahsyat maka
Pendekar 212 menjadi repot juga.
Namun bila dia sudah mempercepat gerakannya, bila suara siulan sudah menggema melesat
dari sela bibirnya maka kelihatanlah kini bagaimana Resi Singo Ireng menjadi terdesak. Meski
terdesak, Resi ini dengan segala kelihayannya sanggup pertahankan diri sampai sepuluh jurus
dimuka! "Manusia bermuka jelek! Permainan silatmu baleh juga. Tapi apa kau sanggup menerima
pukulanku ini?!" tanya Pendekar 212. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas, kedua mata
dipejam. Kemudian kedua tangan itu mulai berputar-putar dengan sebat! Maka menggemuruhlah
suara angin. Debu dan pasir beterbangan, membuat gelap pemandangan!
"Pukulan angin puyuh!" seru Resi Singo Ireng sambil bersurut mundur. Mulutnya komat
kamit membaca aji penangkis. Kedua kakinya melesak kedalam tanah sampai dua dim!
Tubuhnya tergetar hebat. Pakaian putih serta rambutnya yang awut-awutan berkibar-kibar!
Tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan kedua tangannya kemuka. Tubuh
Singo Ireng mencelat kebelakang sampai lima tombak. Ketika dia berdiri maka tubuhnya
terbungkuk tertatih-tatih, hidungnya kembang kempis tanda nafasnya memburu tak teratur.
Nyatalah bahwa Resi kosen ini telah menderita luka parah didalam akibat pukulan Wiro Sableng
tadi. Senjatanya mental entah kemana! Wiro tertawa mengekeh.
Sebaliknya lawannya menggeram laksana harimau terluka. Mulut terkatup rapat-rapat,
rahang bertonjolan, pelipis bergerak-gerak sedang mata menyorot merah!
"Pemuda, hari ini aku Resi Singo Ireng biarlah mengadu jiwa pada kau!". Sang Resi
angkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Detik demi detik tangannya itu menjadi hitam legam.
Tangan ini bergetar karena seluruh tenaga dalamnya dipusatkan kesitu!
Wiro Sableng tertawa mengejek. "Rupanya kau sengaja mau bunuh diri manusia kate
bertampang jelek! Dalam keadaan terluka di dalam, melancarkan pukulan demikian rupa kau
akan konyol sendiri!".
Singo Ireng memang memaklumi hal itu. Tapi dia sudah kepalang tanggung, sudah
teramat malu dan sudah meluap amarahnya! "Aku mati tapi kau juga mampus ditanganku,
keparat!" bentaknya.. Maka tangan kirinyapun turun kebawah dengan cepat. Selarik sinar hitam
yang menggidikkan menyambar kearah Pendekar 212! Itulah ilmu pukulan "wesi item" yang
telah membinasakan Braja Paksi, kepala balatentara Banten!
Pendekar 212 melompat ke atas sampai enam tombak. Angin pukulan "wesi item" terasa
panas seperti mau melumerkan kedua kakinya. Pendekar ini gigit bibir menahan perih lalu
1ancarkan serangan balasan yaitu pukulan yang tak asing lagi. "kunyuk melempar buah"!
Di seberang sana tubuh Resi Singo Ireng kelihatan jungkir balik kemudian jatuh duduk
di tanah dan muntah darah, lalu rebah tiada sadarkan diri!
Sebenarnya pukulan "kunyuk melempar buah" itu belum tentu akan mencelakai sang
Resi. Namun karena dalam keadaan terluka di dalam dia telah rnelancarkan pukulan yang keras
dengan mengandalkan seluruh tenaga dalam maka dia rasa sendiri akibatnya. Masih untung
nyawanya tidak terbang!
Wiro Sableng tertawa mengekeh. Dia melangkah mendekati tubuh Resi itu. Prajurit-
prajurit yang masih hidup, yang dedikkan mata melihat bagaimana jago mereka dibikin babak
belur demikian rupa segera bersurut menjauh.
"Resi muka arang!,” kata Pendekar 212. "Kau tanya siapa aku. Inilah kutuliskan aku
punya nama!". Dan habis berkata demikian pendekar ini segera guratkan angka 212 dikulit
kening yang hitam dari Singo Ireng. Kemudian nendekar ini berdiri kembali. "Kerak-kerak
pemberontak!,” katanya pada perajurit-perajurit yang masih hidup. "Kalian boleh menggotong
manusia bermuka pantat kuali ini ke Kotaraja! Jika hari ini aku tiada cabut nyawanya dan nyawa
kalian, maka di lain hari bila bertemu kembali jangan harap aku akan lepaskan nyawa kalian!
Sampaikan ini padanya bila dia sudah siuman!". Dan sesudah bicara demikian Wiro Sableng
segera tinggalkan tempat itu dengan membawa mayat Mangkubumi Mintra.
-- == 0O0 ==
EMPAT
DENGAN hati penuh duka sedih mengenang kematian Mangkubumi Mintra yang sengaja
korbankan nyawa untuk selamatkan dirinya, Sultan Hasanuddin berlari sepanjang tepi rimba
belantara dikaki bukit. Perjuangan memang membutuhkan pengorbanan. Dan ini bukan saja
menambah besarnya dendam kesumat di hati Sultan terhadap Parit Wulung dan benggolan-
benggolan pemberontak lainnya tapi juga mempertebal tekatnya bahwa disuatu ketika dia pasti akan
kembali ke Banten dan membangun Kerajaan Banten yang syah!
Menjelang senja dia mencapai sebuah kota kecil yang terletak di timur Banten. Kota ini
bernama Asoka. Dulunya hanya merupakan pangkalan-pangkalan pemberhentian para pedagang
dari pelbagai penjuru sekitar situ. Kemudian pedagang-pedagang itu banyak yang mendirikan
gudang-gudang untuk barang-barang dagangannya, kemudiannya lagi mereka juga mendirikan
rumah-rumah sehangga lambat laun dari pangkalan dagang maka berobahlah Asoka menjadi sebuah
kota. Sebagai kota dagang tentu saja sepanjang hari Asoka selalu sibuk. Kesibukan dan keramaian
ini terus berlangsung sampai jauh malam.
Sehabis mendapatkan sebuah penginapan, Sultan mengelilingi kota melihat-lihat keramaian
dan mengisi perut disatu kedai. Ketika bulan sabit di atas langit tertutup oleh awan tebal berwarna
gelap maka Sultanpun kembali kepenginapannya. Matanya yang tajam segera melihat adanya
ketidakberesan dalam kamar dimana dia menginap. Seperai agak kusut bantal-bantal tidak terletak
ditempatnya semula sedang bungkusan kecil yang berisi beberapa potong pakaian serta sejumlah
uang yang diletakkannya di kolong tempat tidur nyata sekali bekas dibuka dan digeledah orang.
Namun tidak sepotong barang-barangnyapun yang hilang!
Sultan merasa masygul. Dia memandang berkeliling. Di dinding sebelah sana terdapat
sebuah jendela. Jendela itu masih tetap sebagaimana tadi ditinggalkannya. Tak ada tanda-tanda
bekas pengrusakan. Siapa gerangan yang telah masuk ke dalam kamar dan melakukan
penggeledahan? Mungkin seseorang, mungkin beberapa orang? Kalau dia atau mereka itu dari
golongan si tangan panjang atau pencuri, mengapa tidak sepotong barang dan tak sepeser
uangnyapun yang hilang? Kekhawatiran Sultan Hasanuddin semakin besar karena dia ber-
kesimpulan bahwa siapapun manusianya yang telah memasuki kamarnya pastilah untuk mencari
dan mencuri keris pusaka Tumbal Wilayuda!
Sultan Hasanuddin merasa bersyukur karena sewaktu pergi tadi dia telah membawa keris
tumbal kerajaan itu. Kalau tidak pastilah senjata itu sudah lenyap dilarikan orang!
Malam itu Sultan sengaja tidur dengan mematikan lampu minyak di dalam kamarnya.
Matanya hampir terpicing ketika lapat-lapat sepasang telinganya mendengar suara gemerisik di atas
loteng bangunan. Suara itu pasti sekali bukan suara kucing. Sultan pasang telinganya lebih tajam.
Suara gemerisik tadi lenyap dan kini dia hanya mendengar suara rintik-rintik hujan gerimis di luar
sana. Perlahan-lahan Sultan pejamkan matanya kembali. Tapi ketika hampir pulas matanya itu
terpicing, suara gemerisik tadi didengarnya kembali. Kali ini Sultan bangun dari pembaringan dan
melangkah kesudut kamar. Dia menunggu dengan tangan kanan menempel erat-erat dihulu pedang.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka! Sultan terkejut. Dia ingat betul bahwa pintu kamar itu
telah dikuncinya tadi, bagaimana kini bisa terbuka semudah itu tanpa suara dan siapakah yang
nlembukanya?! Sultan tak menunggu lebih lama. Sesosok tubuh manusia yang sangat pendek
masuk mengendap-endap ke dalam. Manusia ini memakai jubah panjang. Karena tubuhnya yang
kate maka jubahnya menjela-jela sampai kelantai. Tiba-tiba orang itu putar tubuh ke kiri dan
melompat. Sebuah benda besar ditangannya yaitu sebilah golok empat persegi panjang menderu
ke arah dimana Sultan berdiri. Sultan sendiri yang saat itu memang sudah siap siaga cabut
pedangnya dengan cepat dan menangkis!
"Trang"!
Bunga api memercik. Karena kamar itu gelap maka sinar percikan bunga api menjadi
terang sekali dan menerangi kedua muka manusia yang berada disitu. Keduanya saling meneliti
paras lawan masing-masing!
Terkesiaplah Sultan Hasanuddin ketika melihat bagaimana wajah manusia yang
dihadapinya itu seramnya bukan main. Rambutnya kaku berdiri laksana ijuk. Manusia ini
memelihara berewok yang meranggas lebat. Alisnya tebal, sepasang matanya besar merah.
Bibirnya sumbing dan dua buah giginya yang besar tersembul keluar. Manusia ini boleh di-
katakan tiada mernpunyai hidung karena daging hidungnya sama rata dengan pipinya yang
cekung! Dan bau badannya yang busuk sangat menusuk hidung!
"Manusia buruk! Jika kau tidak tinggalkan kamar ini dengan cepat, jangan menyesal bila
kukirim ke akhirat!" ancam Sultan.
Manusia bermuka seram itu tertawa dingin.
Dia hembuskan nafasnya yang busuk kemuka. Sultan tutup jalan nafas di hidung dan
untuk kedua kalinya pergunakan pedang guna menangkis serangan lawan. Tapi kali ini keadaan
tidak seperti tadi Iagi. Meski Sultan sanggup menangkis senjata lawan namun pedangnya sendiri
terlepas mental, tangannya tergetar hebat. Tiba-tiba satu tangan mendorongnya hingga dia
terbanting dengan keras ke dinding!
Ketika dia imbangi diri kembali, kaget Sultan tiada kepalang. Matanya membeliak
menyaksikan bagaimana keris Tumbal Wilajuda kini sudah berada di tangan manusia bermuka
seram itu!
"Maling hina dina! Kembalikan kerisku!" teriak Sultan.
Simuka buruk hamburkan tertawa mengekeh. "Masih untung aku hanya minta kerismu
ini, dan bukan nyawamu!". Habis berkata begini manusia muka seram itu sekali gerakkan badan
tubuhnya menerjang ke muka mendobrak jendela untuk kemudian lenyap lewat jendela yang
ambruk itu dikegelapan malam!
"Pencuri terkutuk!". Sultan melesat pula ke luar jendela. Dia masih sempat melihat
bayangan pencuri itu di balik sebuah gudang tua dan segera mengejar ke situ. Kejar mengejar itu
berjalan hanya sebentar saja karena sejurus kemudian si pencuri lenyap seperti gaib ditelan
bumi!
Sultan berdiri gemas memandang berkeliling. Ke mana dia harus mengejar dan mencari
si pencuri di malam buta begini? Apakah manusia tangan panjang itu bukan salah seorang pula
dari kaki tangan Parit Wulung?!Tengah kebingungan begitu rupa tiba-tiba Sultan menangkap suara bentakan-bentakan
orang yang tengah berkelahi. Cepat Sultan lari ke balik sebuah bengkel kuda dan dalam
kegelapan dilihatnyalah dua manusia tengah bertempur dengan hebat. Salah seorang tiada lain
dari pada si pencuri yang tengah dicari-carinya sedang orang yang kedua sesudah diperhatikan
dengan teliti ternyata dia adalah pemuda rambut gondrong yang pagi tadi telah menolongnya di
perbatasan.
"Sobat! Serahkan pencuri terkutuk ini padaku!" seru Sultan.
"Ah... selamat jumpa Sultan," menjawab si rambut gondrong alias Pendekar 212.
"Tak perlu kotorkan tangan pada manusia bau bangkai ini...!"
"Dia mencuri kerisku, sobat!" memberi tahu Sultan.
"Aku tahu. Biar aku yang ringkus dia!"
Begitu mendengar si pemuda yang menyerangnya memanggil "Sultan" 'terhadap laki-
laki yang datang itu terkejutlah si mulut sumbing. Dibalik terkejut hatinya juga senang. "Ha...
ha... jadi saat ini aku berhadapan dengan Sultan dan tukang pukulnya? Bagus! Kerisnya aku
sudah dapat, kini Sultannya sendiri datang antarkan diri untuk ditangkap hidup-hidup. Pasti aku
mendapat hadiah berlipat ganda dari Parit Wulung..."
"Hem... jadi betul dugaanku bahwa kau kaki tangannya bangsat pemberontak itu huh?!
Terima pukulanku ini, pencuri hina dina!"
Sultan lepaskan tiga pukulan sekaligus! Tapi yang diserang ganda tertawa dan kebutkan
lengan pakaiannya yang bertambal-tambal. Serangkum angin dahsyat rnenyerang ke arah
Sultan. Namun angin pukulan itu buyar di tengah jalan, kena dihantam angin pukulan lain yang
datang dari samping!
Si muka seram menggerong. "Agaknya malam ini Pengemis Bibir Sumbing musti
rampas dua jiwa sekaligus!".
Sultan tersurut sewaktu mendengar manusia kate itu kenalkan diri. Pendekar 212 sendiri
juga terkejut. Nama Pengemis Bibir Sumbing memang sudah sejak lama terkenal sepanjang
pesisir Jawa Barat. Bersama dua orang lainnya maka Pengemis Bibir Sumbing dikenal sebagai
pemegang pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam! Tiba-tiba Pengemis Bibir
Sumbing lemparkan golok besarnya ke arah Pendekar 212. Senjata ini dengan mudah bisa
dielakkan. Begitu habis lemparkan golok, Pengemis Bibir Sumbing acungkan kedua tangan
datar-datar ke muka dengan telapak tangan menghadap ke atas.
"Telapak tangan minta sedekah nyawa!,” seru Pendekar 212 begitu dia kenali pukulan
yang bakal dilancarkan lawan."Sultan mundurlah!,” serunya kemudian memperingatkan.
Tapi disaat itu Pengemis Bibir Sumbing sudah mencelat ke muka dan membagi-bagi
serangan telapak tangannya pada Pendekar 212 dan Sultan!
Tahu bahwa pukulan lawan sangat berbahaya maka Pendekar 212 segera hantamkan
tangan kanannya ke muka. Gelombang angin deras memukul ke arah Pengemis Bibir Sumbing.
Meski tubuhnya sendiri kemudian terpelanting sampai tiga tombak oleh serangan lawan namun
Pengemis Bibir Sumbing sebelumnya masih sanggup hantamkan telapak tangannya ke dada
Sultan!
Sultan Hasanuddin mengetuh tinggi. Tubuhnya bergoncang, dadanya seperti melesak.
Terbungkuk-bungkuk dia berbatuk. Darah segar menyembur!
Pendekar 212 bersuit keras! Tubuhnya lenyap pada detik Pengemis Bibir Sumbing coba
lepaskan pukulan "telapak tangan minta sedekah nyawa" untuk kedua kalinya.
"Sultan, cepat telan pil ini!" teriak Wiro Sableng.
Sultan Hasanuddin sambuti pil yang dilemparkan Pendekar 212 lalu menelannya dengan
cepat Kemudian segera duduk bersila mengatur jalan darah serta pernafasan, juga alirkan tenaga
dalam kebagian yang terluka.
Disaat Wiro Sableng berkelabat maka lenyaplah tubuhnya dari penglihatan Pengemis
Bibir Sumbing. Karena hanya terdengar suaranya saja, maka Pengemis Bibir Sumbing kembali
lancarkan pukulan ganas dua kali berturut-turut ke arah suara lawan. Tapi Pendekar 212 tidak
bodoh dan Pengemis Bibir Sumbing salah perhitungan. .
"Plaak"!
Pengemis Bibir Sumbing terpental empat tombak ke belakang. Kepalanya serasa pecah
sedang kulit keningnya laksana terbakar! Dan pada kulit keningnya itu kini kelihatan tiga buah
angka 212! Pengemis Bibir Sumbing meluap amarahnya. Tanpa hiraukan rasa sakitnya pada
keningnya dia menerpa kemuka kirimkan lima pukulan empat tendangan! Pendekar 212
mendengus dan bersiul nyaring. Tangan kanan menghantam ke muka. Angin pukulan menderu,
menyusup di antara serangan lawan!
Untuk kedua kalinya Pengemis Bibir Sumbing terpental. Kali ini sampai delapan tombak
dan kali ini terus terguling ke tanah dengan mulut memuntah darah! Tamatlah riwayatnya!
Sultan yang menyaksikan pertempuran hebat itu dalam sakitnya leletkan lidah penuh kagum!
Pendekar 212 mendekati mayat Pengemis Bibir Sumbing, memgambil keris Tumbal
Wilayuda lalu menyerahkan kemhali pada Sultan."Keris pusaka bagus! Karena senjata ini banyak yang ingini sebaiknya disimpan lebih
hati-hati, Sultan".
Sultan menghela nafas panjang. "Terima kasih,” katanya. "Dua kali kau telah
menolongku sahabat. Siapakah engkau?"
"Namaku Wiro Sableng,” jawab Pendekar 212. "Kalau aku boleh kasih nasihat, baiknya
kau tak usah kembali kepenginapan, tapi segera teruskan perjalanan".
"Mengapa begitu?" tanya Sultan.
"Terlalu banyak manusia-manusia macam Pengemis Bibir Sumbing ini yang mencarimu
dan inginkan keris Tumbal Wilayuda".
Sultan merenung sejurus. "Terima kasih atas nasihatmu, sahabat! Karena kau telah
berbuat baik kepadaku, perbuatan baik yang tak bakal kulupakan sebagai budi besarmu,
bagaimana kalau aku tawarkan agar ikut bersamaku meneruskan perjalanan?"
"Ah... itu satu kehormatan besar bisa seiring denganmu, Sultan" jawab Pendekar 212
ramah. "Tapi harap maafkan.. Aku masih banyak urusan. Namun demikian, aku berjanji tidak
akan berada jauh dari padamu…”
"Kalau begitu baiklah, aku tidak memaksa',” ujar Sultan. Dari balik pakaian samarannya
yang bertambal-tambal dikeluarkannya sebuah benda yang bercahaya. Diserahkannya benda itu
kepada Pendekar 212 tapi sang pendekar tak berani menyambutinya.
"Sobat, terimalah!" kata Sultan pula.
"Benda apakah ini Sultan?"
"Terimalah dulu".
Wiro menerimanya.
Benda itu ternyata sebuah bintang bersudut delapan yang terbuat dari emas dan di
tengah-tengahnya dihiasi dengan sebutir berlian yang berkilauan. "Benda itu adalah bintang
utama Kerajaan Banten, yang diserahkan kepada siapa saja yang telah membuat jasa terhadap
Raja dan rakyat Banten, Wiro..."
"Ah... mana aku pantas terima hadiah ini Sultan?" kata Wiro Sableng pula dengan ke-
rendahan.
Tapi sultan memaksakan juga agar Pendekar 212 menerima anugerah itu. Wiro
menyimpan benda tersebut baik-baik dibalik pakaiannya. "Terima kasih,” katanya.
"Lalu karena penyamaraanmu sebagai pengemis sudah diketahui oleh golongan rampok
dan penjahat, sebaiknya ditukar saja, Sultan"
"Aku memang sudah merencana begitu" kata Sultan pula.Sekali lagi mereka saling ucapkan terima kasih. Pendekar 212 menjura minta diri dan
keduanyapun berpisahlah.
-- == 0O0 ==
LIMA
KELUARGA Wirja Pranata adalah keluarga bangsawan besar di Ujung Kulon. Selagi
muda antara Wirja Pranata dan Fatahillah terdapat jalinan persahabatan yang erat sehingga di
suatu ketika kedua sahabat itu berjanji bahwa bila mereka nanti salah satu memiliki anak laki--
laki dan anak perempuan, dikemudian hari kelak keduanya akan dijodohkan.
Puteri bangsawan Wirja Pranata yaitu Anjarsari memang sudah lama tahu bahwa dirinya
dijodohkan dengan Raja Banten. Namun sampai sebegitu jauh belum pernah sekalipun dia
bertemu muka dengan calon suaminya itu. Dan ketika Sultan Hasanuddin muncul di sore hari itu
maka terkejutlah bangsawan Wirja Pranata.
"Sultan, apakah yang telah terjadi ? Mengapa datang tanpa pengiring dan dalam pakaian
begini rupa?”
Sultan Hasanuddin menggigit bibir menahan gelora hatinya. Sesudah apa yang
menggejolaki hatinya berkurang maka mulailah dia beri penuturan.
Hal itu mengejutkan seluruh keluarga bangsawan Wirja Pranata, termasuk Anjarsari
yang curi mendengar penuturan itu dari balik dinding kamar tidurnya.
Beberapa lamanya kesunyian menyeling. Bangsawan Wirja Pranata dan isterinya duduk
termanggu tanpa bisa berkata apa-apa. Sultan sendiri juga terdiam beberapa Iamanya. Ketika
Sultan dipersilahkan kebelakang untuk membersihkan diri maka diamdiam Anjarsari mencuri
intip dari sela pintu. Hatinya berdebar dan darahnya berdebur-debur. Ah, nyatanya Sultan yang
bakal suaminya itu seorang pemuda yang berparas gagah berkulit kuning halus, hampir sehalus
kulit perempuan! Hatinya berbunga-bunga. Kapan ayah atau ibunya akan menyuruhnya keluar
dan berkenalan dengan Sultan? Dan mengingat ini dada si gadis semakin menggemuruh. Ketika
dia menghadap ke kaca maka jelaslah kelihatan bagaimana parasnya ke merah-merahan!
Ketika senja berlalu dan hari beralih menjadi malam maka barulah Anjarsari disuruh
keluar oleh ibunya. Pertemuan dengan Sultan benar-benar membuat lututnya gemetar, tapi juga
membuat hatinya mekar. Gadis ini tundukkan kepala, parasnya bersemu merah. Sultan sendiri juga tundukkan kepala. Apa yang dikatakan ayahnya bahwa calon isterinya adalah seorang gadis
cantik sekarang menjadi kenyataan. Diam-diam pemuda ini melirik dengan sudut matanya.
Bangsawan Wirja Pranata berbatuk-batuk. Lalu bertanyalah dia pada calon mantunya itu
. "Apakah rencana Sultan selanjutnya?"
"Saya merencanakan untuk pergi ke. Demak dan minta bantuan pasukan serta
persenjataap selengkapnya....."
"Itu tepat sekali,” kata Wirja Pranata. “Tapi mengingat Demak masih jauh dari sini dan
Sultan membawa keris pusaka pula maka sebaiknya Sultan jangan pergi seorang diri"
Ucapan calon mertuanya itu memang dirasa betul sekali oleh Sultan. Dan diam-diam dia
teringat pada Wiro Sableng, si pemuda sakti yang telah dua kali menolongnya. Kalau pemuda
itu berada bersamanya saat itu tentu dia tak usah khawatir bahaya apapun.
Sebagai orang tua yang tahu di hati anak muda dan juga pernah muda, tak lama
kemudian Wirja Pranata bersama isterinya mengundurkan diri ke dalam kamar. Maka kini
tinggallah kedua orang itu. Suasana lain sekali jadinya kini. Suasana itu sungguh tidak enak, tapi
tidak enak yang enak! Rasa begini rupa baik oleh Anjarsari maupun oleh Sultan sendiri tak
pernah dialaminya sebelumnya. Cuma sudut-sudut mata mereka saja yang sekali-sekali mencuri
pandang. Ketika Anjarsari melirik untuk kesekian kalinya maka pada detik itu pula Sultan
mengerling. Beradulah dua kerlingan mata itu! Anjarsari cepat-cepat menundukkan kepalanya
menyembunyikan paras yang semu kemerahan!
Kesunyian masih juga berjalan terus sampai beberapa lamanya. Tiada satupun yang
berani untuk membuka pembicaraan. Sultan sendiri merasa tenggorokannya seperti tersekat,
lidahnya seperti kelu dan mulutnya terkancing!
Namun pada akhirnya Sultan Hasanuddin membuka mulutnya juga. "Kalau tiada terjadi
pengkhianatan Parit Wulung, mungkin sampai hari ini belum ada kesempatan bagi kita untuk
bertemu, Sari...”
"Ya... hemm..., saya sangat terkejut meindengar berita buruk itu, kakak,” berkata Anjar-
sari agak gugup. Kemudian. "Apakah kakak akan segera berangkat ke Demak...?"
Sultan mengangguk.
"Memang lebih cepat lebih baik. Ramanda di Cirebon sudah mendapat tahu peristiwa di
Banten...?"
"Mudah-mudahan sudah karena ada kukirimkan seorang utusan ke sana". Kemudian
untuk menghilangkan pembicaraan yang berjalan kaku itu maka Sultan mengajak Anjarsari
keluar rumah. Di luar ternyata malam itu berpemandangan indah. Bulan purnama empat belas hari bersinar terang, bintang-bintang bertaburan di langit yang biru cerah. Banyak dan sering
sudah kedua remaja itu melihat bulan purnama pada malam-malam terang bulan sebelumnya
namun bagi mereka tiada seindah malam itu.
Di samping gedung besar bangsawan Wirja Pranata terdapat sebuah taman kecil. Di
dalam taman terletak satu bangku panjang. Kedua remaja ini melangkah seiring ke bangku itu.
Mendadak Sultan putar kepalanya ketika sepasang telinganya yang tajam dalam kesunyian itu
mendengar suara bergeresek di atas genting. Sesosok bayangan hitam kelihatan berkelebat ialu
lenyap di bagian atap gedung yang lain. Meski demikian cepat lenyapnya namun Sultan masih
sempat melihat bahwa di tangan kirinya sosok tubuh hitam itu memegang sebuah benda yang
berbentuk keris.
"Celaka!" kata Sultan dalam hati. Dia berseru dengan keras. "Berhenti!" Tapi bayangan
sosok tubuh tadi sudah sejak lama lenyap. Ketika disusul kehalaman samping juga tak kelihatan
lagi. Dalam kebingungannya Sultan sampai lupakan Anjarsari. Dia lari masuk ke dalam gedung,
terus ke kamar dan melihat bagaimana kasur pembaringan berada dalam keadaan tak karuan.
Ketika ditariknya kasur itu di bagian kepala tempat tidur, maka keris Tumbal Wilayuda yang
sebelumnya disimpannya di sana, kini sudah tiada lagi! Lenyap! Dan pastilah sosok tubuh yang
melarikan diri tadi yang telah mencurinya!
"Pencuri keparat!" maki Sultan. Dia lari lagi keluar. Ketika sampai di halaman samping
terkejutlah dia. Anjarsari tak ada lagi di dalam taman! Lenyap!
"Anjar!" memanggil Sultan. "Anjarsari!" serunya lagi. Tapi tiada jawaban!
Maka di malam itu hebohlah seisi gedung bangsawan Wirja Pranata. Sultan sendiri
sesudah memberikan penuturan, singkat segera berkelebat meninggalkan gedung. Keris
Tumbal Wilayuda lenyap! Tapi kekhawatirannya lebih lagi terhadap Anjarsari yang hilang
secara aneh itu. Maka dia memutuskan menyelidiki lenyapnya Anjarsari lebih dahulu lalu baru
mencari jejak si pencuri keris Tumbal Wilayuda!
Sesaat sesudah kepergian Sultan, Wirja Pranata berkelabat pula ke arah yang
berlawanan.
Malam dingin dan angin agak kencang bertiupnya. Wirja Pranata adalah seorang
bangsawan yang "mempunyai isi" juga. Dalam waktu yang singkat dengan ilmu larinya yang
sempurna dia telah sampai di luar kota. Karena daerah luar kota merupakan daerah pesawangan
datar di tambah bulan bersinar terang maka dengan mudah di ujung pesawangan Wirja Pranata
dapat melihat dua sosok tubuh manusia tengah berlari kencang. Yang di belakang sebat sekali
larinya dan dalam waktu yang singkat berhasil menyusul yang di muka. Kemudian kelihatan terjadi pertempuran! Tanpa menunggu lebih lama bangsawan Wirja Pranata segera lari ke sana.
Dia sampai ketika pertempuran tengah berjalan hebat-hebatnya. Kedua orang yang bertempur
adalah seorang pemuda berambut gondrong berpakaian putih. Gerakannya gesit sekali dan
menimbulkan angin bersiuran. Lawannya adalah seorang laki-laki jangkung kurus bermuka
sangat seram berpakaian hitam. Salah satu matanya sangat besar sedang yang lain hanya
merupakan sebuah rongga hitam cekung yang sangat menggidikkan. Gerakannya juga tak kalah
hebat dari lawannya. Pakaiannya bertambal-tambal.
"Berhenti!" seru Wirja Pranata.
Tapi yang bertempur tidak ambil perduli. Yang bermuka seram malahan lancarkan
empat serangan dahsyat yang menimbulkan angin tajam dan panas!
Pemuda rambut gondrong berseru nyaring, lompatkan diri ke udara lalu menukik lagi
seraya hantamkan tangan kanan ke muka. Angin laksana badai menderu menyerang si muka
seram.
"Pukulan kunyuk melempar buah!,” seru si muka seram kaget. Buru-buru dia kebatkan
lengan pakaian hitamnya. Tapi tubuhnya terduduk di tanah karena angin pukulan lawan
nyatanya lebih dahsyat. Pemuda rambut gondrong sendiri tersurut ke belakang beberapa
langkah, dadanya terasa sakit.
"Manusia muka setan ini ilmunya tinggi sekali dan berbahaya!,” membatin si pemuda.
Sebaliknya si muka setan yang tahu bahwa lawannya adalah seorang yang sangat
tangguh segera berseru pada Wirja Pranata. "Sobat! Kenapa diam saja?! Bukankah
kedatanganmu kemari untuk mencari pencuri keris? Inilah bangsat malingnya! Ayo tunggu apa
lagi, mari kita labrak!"
Si pemuda tertawa dingin. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Ketika tangan itu
turun, segelombang angin menggebubu menyerang tubuh si muka setan dari atas ke bawah!
Manusia ini segera kebutkan kedua ujung lengan bajunya. Pemuda gondrong sampai melesak
kedua kakinya sedalam dua senti ke tanah sedang si muka setan terguling di tanah tapi cepat
bangun lagi!
Diam-diam si pemuda rambut gondrong terkejut.
Pukulan yang dilancarkan tadi bukan sembarang dan mempergunakan hampir sepertiga
tenaga dalamnya tapi lawan ternyata tidak apa-apa malahan bisa bangkit kembali!
"Wirja Pranata!" berseru si muka setan. "Kalau kau inginkan keris kembali lekas bantu
aku meringkus maling busuk ini! Apa kau tidak lihat pinggangnya menggembung? Keris itu
disembunyikannya di sana!"
"Orang tolol!,” maki si pemuda. ''Kenapa terpengaruh omongan manusia muka setan
ini?! -Dialah Yang mencuri keris Tumbal Wilayuda!"
Wirja Pranata jadi bingung. Tapi karena sudah terlanjur maka dia teruskan juga
serangannya. Pernuda rambut gondrong tiada hentinya memaki.
"Bangsawan Wirja Pranata, sebaiknya mundurlah! Jangan sampai tertipu maling yang
berteriak pencuri ini!”
Meski terkejut karena si gondrong ketahui nmaanya namun Wirja Pranata terus juga
lancarkan serangan-serangan. Si rambut gondrong menggereng. Tiba-tiba bersuit keras. Kedua
tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas dan diputar-putar. Dia menghadap tepat-tepat pada
manusia muka setan. Dan manusia ini terkejut sekali "Pukulan angin puyuh!,” serunya, dengan
wajah tegang. Cepat-cepat dia keruk kantong baju hitamnya, lompat empat tombak dan begitu
tangannya keluar dari saku maka melesatlah lima benda bersinar hitam ke arah si pemuda.
"Paku Darah Hitam!,” seru Wirja Pranata ombil surut kebelakang. Hatinya meragu akan
siapa sebenarnya manusia muka seram itu.
“Hemm... jadi kau anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam?" gertak pemuda
rambut gondrong. Sekali dia hantamkan tangan kanan ke muka maka luruhlah paku-paku biru
itu ke tanah! Ketika dia hendak menyerang kembali si muka setan sudah lenyap!
-- == 0O0 ==
ENAM
DENGAN sangat penasaran Pendekar 212 putar tubuh. "Kalau kau tidak bertindak
gegabah pasti pencuri keparat itu sudah kena diringkus!".
Memang meski hatinya bimbang tapi Wirja Pranata sendiri juga meragu terhadap diri
Wiro Sableng. "Kau siapa?!" tanyanya.
"Sudah, saat ini bukan tempatnya untuk bertanya jawab!". Pendekar 212 segera
berkelebat ke arah larinya si muka setan yang diduganya adalah seorang anggota Perkumpulan
Pengemis Darah Hitam. Namun dibelakangnya terdengar suara berseru.
“Tunggu! Berhenti dulu!"
Karena tahu yang berseru adalah Wirja Pranata maka Wiro tidak ambil perduli
melainkan lari terus. Namun sesaat kemudian berdesing sejumlah senjata rahasia menyerang kearahnya. Dengan beringas Pendekar 212 putar tubuh dan kebutkan tangan. Senjata-senjata
rahasia itu berpelantingan. Dan pada ketika itu pula Wirja Pranata sudah berdiri dihadapannya.
"Jika kau orang baik-baik mengapa tidak berani sebutkan nama terangkan diri?! Pastilah
kau bangsanya kaki tangan gotongan hitam!".
Wiro Sableng jadi betul-betul penasaran kini. "Manusia tidak tahu diri! Tidak tahu
membedakan mana yang putih dan mana yang hitam! Tidak tahu dirinya tengah ditolong, malah
mencap orang seenaknya! Kalau bukan mengingat bahwa kau calon mertuanya Sultan, aku
sudah tampar kau punya mulut! Sekarang pergilah!". Wiro gerakkan kedua tangannya. Dan
tahu-tahu terdoronglah tubuh Wirja Pranata ke belakang sampai empat tombak! Wirja Pranata
rupanya menjadi kalap. Melihat pemuda rambut gondrong itu hendak angkat kaki kembali
maka segera dia hunus keris dan dengan cepat kirimkan lima tusukan sekaligus!
hati sambil hindarkan diri dengan cepat.
Di lain saat maka tiba-tiba muncullah satu bayangan manusia.
"Tahan!"
Kedua orang yang bertempur, yang sama-sama mengenali suara pendatang baru itu
segera hentikan pertempuran.
Pendekar 212 putar kepala pada si pendatang lalu berkata. "Sultan, semangat calon
mertuamu memang hebat! Nyalinya besar tapi sayang pikirannya keliwat pendek!".
Merahlah paras Wirja Pranata tapi dia juga heran mengetahui bahwa si rambut gondrong
mengenali Sultan Hasanuddin. Sultan kemudian memperkenalkan kedua orang itu. Barulah saat
itu Wiro menjura hormat.
Dengan batuk-batuk Wirja Pranata bertanya pada Sultan. "Bagaimana dengan Anjarsari,
apakah berhasil ditemui...?"
Sultan menundukkan paras kecewa lalu gelengkan kepala dengan pelahan.
“Terkutuk! Terkutuk!,” maki Wirja Pranata dalam hati. Kedua tangannya terkepal
membentuk tinju. Tentu saja laki-laki ini sangat mengkhawatirkan keselamatan diri anak
gadisnya itu.
Dalam pada itu Pendekar 212 mengetengahi. "Bapak Wirja, kau kembalilah ke Ujung
Kulon. Kami berdua segera akan mengejar bangsat pencuri itu,”
''Aku turut bersama kalian!" kata Wirja Pranata dengan hati keras.
"Bapak,” ujar Sultan, "saya tahu bagaimana perasaan dan kecemasan hati Bapak
terhadap keselamatan Anjarsari. Sayapun lebih kawatir lagi. Tapi percayalah, bersama sahabat ini saya pasti akan dapat mencari Anjarsari dan menemukan keris Tumbal Wilayuda serta
membekuk bangsat-bangsat pencuri itu!".
"Kalau kau berkata begitu, baiklah". Wirja Pranata akhirnya mengalah. Maka sesudah itu
Wiro Sableng dan Sultan Hasanuddinpun berlalu dengan cepat.
Ketika hari pagi kedua orang itu masih juga belum berhasil meneemui jejak pencuri yang
mereka cari. Dengan perasaan lesu mereka sampai ke sebuah kota bernama Parangwilis. Seperti
Asoka maka Parangwilis adalah juga sebuah kota dagang yang besar. Bau makanan yang harum
menghambur keluar dari sebuah warung nasi. Kedua orang inipun masuklah ke dalam warung
tersebut. Karena rambutnya yang gondrong dan potongan tubuh yang kekar dari Wiro Sableng
serta tampang yang gagah dari Sultan Hasanuddin maka kedua orang ini tentu saja menarik
perhatian isi warung. Tapi tanpa acuh Wiro dan Sultan terus saja menyantap makanan mereka.
Mendadak suasana dalam warung nasi itu menjadi sunyi hening laksana dipekuburan!
Wiro Sableng dan Sultan segera merasakan perubahan ini. Sultan putar kepala memandang
berkeliling sedang Wiro Sableng putar bola matanya memandang cepat ke beberapa jurus.
Dari pintu muka warung masuk seorang berpakaian kotor compang camping dan
bertambal-tambal. Dari pintu belakang dua orang lagi, kemudian dari jendela di samping kiri
kanan masing-masing dua orang lainnya! Muka-muka mereka rata-rata menunjukkan
kebengisan, rambut kusut masai, kumis serta janggut kasar meranggas!
Beberapa orang tamu yang sedang makan dalam warung, melihat gelagat yang tidak baik
ini segera jauhkan diri ke pojok. Sultan dan Pendekar 212 karena merasa tidak ada sangkut paut
apa-apa dengan kesepuluh manusia itu tanpa ambil perduli terus menyantap hidangan mereka.
Tiba-tiba salah seorang yang datang dari pintu depan hantamkan tangan kananya ke
muka. Angin deras melanda meja makan di hadapan Wiro serta Sutan. Meja kayu yang besar
dan berat itu tak ampun lagi mental melabrak dinding warung. Piring serta gelas di atasnya
berpelantingan pecah! Namun di saat itu pula baik Pendekar 212 maupun Sultan telah me-
lompat ke samping dan berdiri saling memunggungi !
Serentak dengan itu maka sepuluh manusia yang berpakaian compang-camping sudah
mengurung keduanya dengan rapat.
"Berhari-hari dicari baru kini kutemui!,” kata laki-laki yang tadi melabrak meja dengan
pukulannya yang hebat.
"Kalian siapa?,” tanya Sultan sambil bersiap sedia menjaga segala kemungkinan. Di
belakang di dengarnya Wiro Sableng mulai bersiul-siul seenaknya.Orang tadi mengekeh. Gigi-giginya hitam dan di sudut bibirnya terselip segumpal susur
tembakau. "Kami adalah anggota-anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam!,” jawab orang
itu.
Terkejutlah Sultan. "Kami berdua tidak merasa punya silang sengketa dengan kalian,
mengapa datang mengganggu?"
Anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu mengekeh lagi. "Jangan jual bacot
mengatakan tiada silang-sengketa. Salah seorang dari kalian telah membunuh pemimpin kami
Pengemis Bibir Sumbing!"
"Oh, jadi kalian anak-anak buahnya manusia jahat itu? Setiap manusia jahat akan menemui
ajalnya secara buruk! Kalian pergilah semua!"
Anggota Pengemis Darah Hitam semburkan susurnya ke muka Sultan. Meski cuma susur
tapi bahayanya besar sekali karena mengandung tenaga dalam! Dengan cepat Sultan hantamkan
tangan kanannya ke depan, maka mentallah susur itu.
Sebagian dari air susur menjiprat ke muka beberapa orang anggota Perkumpulan Pengemis
Darah Hitam termasuk laki-laki yang telah menyemburkan susur itu tadi! Maka marahlah dia! Dan
segera membentak!
"Tangkap Sultan hidup-hidup! Yang gondrong itu cincang sampai lumat!"
Sembilan pengemis yang diberi komando segera menyerbu ke muka. Tubuh Sultan dan
Wiro Sableng lenyap. Hanya suara tertawa Pendekar 212 ini saja yang terdengar. Dan sesaat
kemudian terdengarlah suara . "bluk . . . . bluk .... bluk ... bluk . . .”
Empat anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam mencelat dan menggeletak di tanah
tanpa nyawa! Sekali lagi Pendekar 212 berkelebat dan dua lawan lagi mental ke luar kedai!
Melihat ini pengemis yang tadi berikan komando segera keluarkan senjatanya berupa
sebuah cambuk yang berwarna hitam. Melihat ini maka tiga anggota lainnya yang masih hidup
segera pula keluarkan cambuk masing-masing. Dan sesaat kemudian maka laksana hujan
menggeletarlah cambuk-cambuk itu ke arah Wiro Sableng dan Sultan. Suasana tiada ubah seperti
halilintar. Kedai itu seakan-akan hendak hancur Iuluh tenggelam oleh suara cambuk! Dan di saat
itu tak ada satu tamu lainpun yang masih. berani berada di dalam warung sedang pemilik warung
sendiri sudah kabur entah ke mana!
Sultan melompat ke samping kiri untuk hindarkan cambuk salah seorang lawan. Begitu
terhindar segera dia kirimkan serangan balasan namun dua cambuk lainnya tahu-tahu sudah
melibat kedua tangannya! Bagaimanapun dicoba oleh Sultan untuk lepaskan diri namun sia-sia
saja.Di tain pihak Pendekar 212 coba keluarkan diri dari hantaman-hantaman cambuk dua
orang lawannya yang datang laksana hujan! Tapi memang permainan cambuk empat anggota
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam ini hebat sekali. Sementara Sultan di sebelah sana sudah
kena diringkus dan di seret ke pintu muka. Pendekar 212 dibikin sibuk dan kepepet ke bagian
belakang warung.
Geram sekali Wiro Sableng lompat tiga tombak ke atas lalu menukik ke bawah seraya
membagi serangan tangan kiri kanan kepada dua orang lawannya.
Angin pukulan Pendekar 212 membuat kedua orang itu hanya terdorong seketika karena
kebutan cambuknya yang begitu dahsyat sanggup membendung hampir sebagian besar angin
pukulan Wiro !
Dengan penasaran Pendekar 212 begitu sampai ke tanah kembali segera menyambar
sebuah bangku panjang. Dengan bangku panjang sebagai senjatanya maka mengamuklah
Pendekar 212. Cambuk hitam anggota Pengemis Dara.h Hitam betul-betul luar biasa. Senjata
keduanya mendera bangku hitam beberapa kali. Dan hancurlah bangku hitam itu !
Wiro Sableng menggerung. Kedua tangannya bergetar dan dinaikkan tinggi-tinggi ke
atas.
"Wut! Wutt.....!”
Warung nasi itu berderak derik! Kedua lawan coba putar dan pecutkan cambuk mereka
lebih deras lagi namun angin yang menyambar dari lengan Pendekar 212 tak sanggup lagi
mereka tahan. Laksana topan kedua orang itu bermentalan kian ke mari. Cambuk mereka
terlepas dan tiba-tiba. "krraakkk !" Warung nasi itupun robohlah!
Sesaat kemudian bangunan ini ambruk, maka Pendekar 212 sudah melabrak dinding dan
lolos ke luar. Dua orang anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam yang tadi sudah konyol
tersambar pukulan "angin puyuh" Pendekar 212 tertimbun mentahmentah!
Di luar warung yang rubuh, Pendekar 212 bingung sendiri karena melihat Sultan
bersama dua orang anggota Pengemis Darah Hitam sudah lenyap. Dia segera minta beberapa
keterangan pada orang-orang di luar kemana lenyapnya ketiga orang itu.
"Kawanmu kena diringkus dan dilarikan ke jurusan sana,” kata seseorang sambil
menunjuk ke ujung jalan. Maka tanpa membuang waktu Wiro Sableng segera mengejar ke arah
yang ditunjukkan.
-- == 0O0 ==
TUJUH
PADA masa itu di Jawa Barat telah sejak lama berdiri sebuah perkumpulan yang
bernama Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Anggotanya terdiri dari pengemis-pengemis
yang tersebar di seluruh pelosok dan di setiap kota. Setiap anggota perkumpulan mempunyai
sebuah pecut hitam dan rata-rara memiliki ilmu silat yang tinggi. Tentu saja karena hampir
setiap tempat dan daerah anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam ada maka segala sesuatu
peristiwa besar dan rahasia dengan, sendirinya diketahui oleh mereka. Demikian juga dengan
peristiwa jatuhnya Banten ke tangan pemberontak dan lenyapnya Sultan serta keris Tumbal
Wilayuda. Yang terakhir sekali mereka juga mengetahui hubungan Sultan dengan Andjarsari.
Maka pucuk Pimpinan Perkumpulan segera menyebar anak-anak buahnya untuk mendapatkan
keris Tumbal Wilayuda mencari Sultan serta menculik Andjarsari!
Demikian besarnya hasrat mereka untuk berhasil dalam rencana tersebut maka sampai-
sampai salah seorang dari pucuk pimpinan yang terdiri dari tiga pengemis berkepandaian tinggi,
memutuskan untuk turun tangan. Pucuk pimpinan yang seorang ini ialah Pengemis Bibir
Sumbing! Sebagaimana yang telah dituturkan sebelumnya, ketika Sultan bermalam di satu
penginapan maka Pengemis Bibir Sumbing telah mendatanginya dan hampir berhasil membawa
kabur keris Tumbal Wilayuda jika saja saat itu Pendekar 212 tidak muncul memberikan
bantuan. Bukan saja Pengemis Bibir Sumbing tiada berhasil dengan niatnya untuk mencuri keris
pusaka tumbal kerajaan tapi dia juga terpaksa serahkan jiwa! Dibanding dengan dua pucuk
pimpinan lainnya yaitu Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang maka memang
kepandaian Pengemis Bibir Sumbing jauh lebih rendah sehingga setelah bertempur beberapa
gebrakan secara hebat maka akhirnya Pengemis Bibir Sumbing menemui ajalnya di tangan
Pendekar 212.
Namun bahaya yang mengancam Sultan serta keris pusaka itu tidak sampai di sana saja.
Ketika Sultan bermalam di rumah Wirya Pranata, seorang anggota Perkumpulan Pengemis Darah
Hitam telah berhasil melarikan keris tersebut selagi Sultan berada di taman dengan calon istrinya
Andjarsari! Dan Andjarsari sendiri kemudian juga telah diculik pula oleh salah seorang anggota
lain Perkumpulan Pengemis Darah Hitam!
Adapun markas atau sarang Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu, terletak di dalam
hutan belantara Riungslaksa. Maka ke sanalah anggota-anggota perkumpulan yang telah berhasil
membawa orang yang mereka culik dan keris yang berhasil dicuri. Selama beberapa hari itu kedua pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam menanti-nanti juga akan hasil pekerjaan
anggota-anggota mereka.
"Ah, lama betul sekali ini anggota-anggota kita menjalankan tugasnya…,” berkata
Pengemis Mata Buta. Tubuhnya tinggi kurus macam tonggak. Pipinya cekung, rambutnya panjang
tergerai macam perempuan, sedang kedua matanya hanya merupakan dua buah rongga dalam
yang hitam sehingga dapat dibayangkan betapa mengerikannya wajah manusia ini!
"Ya… lama sekali,” jawab Pengemis Kaki Pincang seraya menghela nafas dalam. Di sela
bibirnya terselip sebuah pipa yang bau tembakaunya busuk sekali! Manusia ini bermuka licin dan
berkulit sangat pucat laksana mayat! Kaki kanannya pincang. "Bahkan Pengemis Bibir
Sumbingpun tidak kelihatan mata hidungnya sampai saat ini!"
"Pengemis Bibir Sumbing macam orang yang tidak percaya saja dengan anggota-anggota
kita sampai-sampai mau turun tangan sendiri…"
"Ah.., dia memang dari dulu begitu sifatnya," kata Pengemis Kaki Pincang pula.
"Saudara Pengemis Mata Buta, apakah menurutmu…”
Belum habis bicara Pengemis Kaki Pincang maka di luar terdengar seruan. "Para Ketua,
lihat apa yang aku bawa!"
Dan sesaat kemudian muncullah seorang anggota Perkumpulan yang berbadan tegap
kekar. Dibahunya terpanggul sesosok tubuh perempuan muda. Sosok tubuh perempuan ini bukan
lain Andjarsari, dibaring.
kannya di atas lantai di hadapan kaki kedua pucuk pjmpinan
Perkumpulan. Saat itu Andjarsari tak dapat bergerak dan juga tidak sadarkan diri karena telah di-
totok.
Tentu saja sangat gembira hati kedua Ketua Perkumpulan itu.
"Jasamu kepada Perkumpulan cukup besar Lah Simpong," kata Pengemis Kaki Pincang
seraja gosok-gosok kedua telapak tangannya.
Cuping hidung anggota Perkumpulan yang bernama Lah Simpong kelihatan membesar
dan bergerak-gerak tanda suka cita hatinya.
"Percayalah, para Ketua," kata Lah Simpong pula. "Dengan berhasilnya gadis ini kita
tawan, Sultan pasti akan datang ke sini dan kita dengan mudah bisa meringkusnya."
"Betul sekali!" kata Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang hampir berbarengan.
Lah Simpong yang dulunya adalah seorang peminta-minta di kota Menes basahkan bibir
dengan ujung lidah, "Para ketua," katanya "Apa aku boleh terima uang jasa sekai-
ang...?!"
"Tentu…!" jawab pengemis Kaki Pincang. Dari balik pinggang dikeluarkannya sebuah
kantong kulit dan ditemparkannya ke hadapan Lah Simpong. Benda itu jatuh dengan mengeluarkan suara berdering di muka kaki Lah Simpong. Dengan. menyeringai gembira maka
Lah Simpong segera membungkuk dan mengambil kantong uang itu. Dan pada saat itu pulalah
di luar terdengar seruan seseorang. "Apa artinya hasil yang dibawa Lah Simpong dibandingkan
dengan apa yang kami bawa ini wahai Para Ketua Perkumpulan?!"
Dua sosok tubuh mencelat masuk lewat jendela. Ketika mendarat dilantai sedikitpun
kaki mereka tiada mengeluarkan suara! Baik Pengemis Kaki Pincang maupun Pengemis Mata
Buta yang meskipun buta tapi mempunyai perasaan dan pendengaran yang tajam luar biasa
sama-sama bergembira.
"Siapa yang kalian bawa itu?" tanya Pengemis Mata Buta.
"Sultan! Sultan!" kata Pengemis Kaki Pincang sambil melompat dari kursinya.
Pengemis Mata Buta tertawa girang. Dari balik sabuknya dia keluarkan dua buah
kantong kulit yang besar. "Ini terima!" katanya. Dua orang anggota Pengemis Darah Hitam tadi
segera menyambutinya. Mereka menjura girang lalu mau putar diri dari situ namun seseorang
yang melompat masuk lewat pintu muka mengejutkan mereka!
"Aha... bawaanku memang bukan manusia bernyawa! Bawaanku juga tidak besar cuma
kecil sekal ! Tapi justru apa yang kubawa ini merupakan satu tanda bahwa siapa pemiliknya
adalah mempunyai hak untuk menjadi raja di Banten!"
Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang meloncat dari kursi masing-masing !
"Mata Picak! Apakah kau berhasil mencuri keris Tumbal Wilayuda?!" seru Pengemis
Mata Buta dengan nada gembira.
Anggota Perkumpulan yang bermata buta sebelah dan bertampang angker itu tertawa
mengekeh. Nama sebenarnya tak satu anggota atau pemimpin perkumpulan yang tahu. Karena
itu dia dipanggil dengan gelaran Mata Picak. Di bandingkan dengan Pengemis Bibir Sumbing
maka kepandaian Mata Picak tiga tingkat lebih tinggi, ditambah lagi bahwa dia mempunyai
keistimewaan tersendiri yaitu mempunyai senjata rahasia paku beracun! Kepandaiannya ini juga
diturunkannya kepada anggota perkumpulan termasuk para pucuk pimpinan sehingga lambat
laun senjata rahasia itupun disebut "paku darah hitam,” sesuai dengan nama perkumpulan
mereka. Dengan ketinggian ilmu silat ditambah dengan kelihayannya memainkan senjata rahasia
"paku darah hitam" maka sebenarnya Mata Picak adalah lebih tepat untuk menjadi pimpinan
perkumpulan daripada Pengemis Bibir Sumbing. Namun Pengemis Bibir Sumbing sudah be-
lasan tahun memasuki Perkumpulan bahkan dialah yang mula-mula mempunyai prakarsa untuk
mendirikan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu!
"Kita pesta tuak malam ini!" seru Pengentis Mata Buta."Pesta tuak dan anggur!,” menimpali Pengemis Kaki Pincang.
Kedua pimpinan Perkumpulan itu sama-sama mengeluarkan sebuah kantung uang dan
melemparkannya ke hadapan Mata Picak. Memang inilah yang ditunggu-tunggu oleh si Mata
Picak. Dengan segera kedua kantung uang itu disambutinya. Dia menjura. Belum lagi sempat
dia berdiri tegak dari menjuranya itu maka dari pintu muka masuklah seorang anggota Per-
kumpulan. Mukanya tak kalah bengis angker, namun di saat itu tampang itu kelihatan sedikit
pucat, lesu dan kuyu!
Pengemis Kaki Pincang kerutkan kening melihat anggotanya ini. Tak biasanya
Kuntawana berparas semurung itu. Maka bertanyalah dia. "Kabar apakah yang agaknya kau
bawa dari luar rimba, Kutawana?!"
"Hemm… Kutawana juga sudah kembali?" ujar Pengemis Mata Buta.
Anggota yang baru datang itu menjura. Dihelanya nafas panjang lalu berkatalah dia .
"Aku membawa kabar buruk, para Ketua...”
"Kabar buruk bagaimana?" tanya Pengemis Kaki Pincang sementara yang lain-lainnya
juga tujukan perhatian terhadap Kuntawarna.
"Kemarin aku memasuki kota Asoka. Kota itu tengah berada dalam kegemparan karena
menemukan sesosok mayat di belakang bengkel kuda Ketika aku menyeruak diantara orang
banyak ternyata mayat itu adalah mayat Ketua Pengemis Bibir Surnbing!"
Terkejutlah semua orang.
"Ada keanehan dalam cara matinya…".
"Keanehan bagaimana maksudmu?!" tanya Pengemis Mata Buta.
Kulit keningnya hitam, dadanya biru. Sedang pada kulit kening yang hitam itu tertera
tiga buah angka. Angka 212!"
Terjadilah perubahan pada air muka pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah
Hitam. Pengemis Kaki Pincang memandang pada pengemis Mata Buta. Pengemis Mata Buta
sendiri di saat itu merenung. "Bagaimana pendapatmu, Ketua Pengemis Mata Buta?" bertanya
Pengemis Kaki Pincang.
Sejurus lamanya barulah menjawab Pengemis Mata Buta itu. Nada suaranya kentara
berubah sekali kali ini. "Sesudah hampir empat puluh tahun menghilang tak tentu rimbanya,
ternyata dia muncul kem-bali. Dia adalah momok yang menakutkan bagi tokoh-tokoh silat
golongan hitam macam kita ini, Ketua Kaki Pincang. Pastilah dia muncul untuk kembali
menghancurkan golongan kita seperti empat puluh tahun yang lalu itu…""Maksudmu Pendekar 212 Kapak Maut Naga Geni si Sinto Gendeng itu...?!" tanya
Pengemis Kaki Pincang.
"Siapa lagi!"
“Ah... kalau dia memang muncul untuk maksud yang seperti masa lampau, dia salah
perhitungah! Dunia persilatan dulu tidak sama dengan dunia persitatan masa sekarang!
Golongan hitam banyak maju pesat, banyak mempunyai tokoh-tokoh kosen serta lihay dan
sakti! Sinto Gendeng boleh datang kemari. Dan itu berarti dia antarkan nyawa sendiri!"
Pengemis Mata Buta menarik nafas dalam, "Kita tak bisa menganggap enteng momok
perempuan itu, Ketua Kaki Pincang,” kata Pengemis Mata Buta pula. "Ketahuilah, kedua
mataku yang buta ini, dialah yang telah mengoreknya dulu…".
Kagetlah Pengemis Kaki Pincang. Matanya mendelik dan dipandanginya paras rekannya
itu. Akhirnya dia memandang ke jurusan lain karena merinding juga kuduknya memandang
lama-lama pada rongga rongga mata yang menggidikkan itu!
Suasana hening seketika. Dan keheningan itu dipecahkan oleh bentakan Pengemis Mata
Buta. "Kuntawana, apa yang kau telah lakukan terhadap mayat Ketua Pengemis Bibir
Sumbing...?!"
Terkejutlah Kuntawana.
"Jawab! Apa sesudah kau temui lantas kau tinggal begitu saja....?!"
"Ketua… di saat itu mayat Ketua Pengemis Bibir Sumbing dikerumuni oleh banyak
orang. Di antaranya beberapa prajurit kerajaan. Tak mungkin bagiku…”
"Tutup mulut! Kesalahanmu besar! Kau dipecat sebagai anggota Perkumpulan!"
Muka Kuntawana menjadi pucat. "Ketua…”
"Diam! Lekas angkat kaki dari sini!"
"Para Ketua…''.
"Diam! Berlalulah sebelum amarahku lebih memuncak!" bentak Pengemis Mata Buta.
Kuntawana menyuruh mundur. "Aku bersedia kembali ke Asoka untuk mengambil
mayat Ketua Bibir Sumbing…”
"Tak perlu," jawab Pengemis Mata Buta tetap keras. "Aku bisa suruh anggota yang
lain!".
Maka membesilah paras Kuntawana. "Baik, aku akan pergi tapi serahkan dulu uang
jasaku". "Kurang ajar! Kau berani bicara seenaknya demikian rupa?! Ini bagianmu!".
Pengemis Mata Buta kebutkan lengan jubah hitamnya. Satu gelombang angin dahsyat
melanda ke arah Kuntawana. Terkejutlah Kuntawana. Dia tahu betul pukulan yang dilancarkan oleh si Mata Buta itu. Pukulan "seribu topan!"! Dengan cepat Kuntawana melompat ke atas
namun dia tak bisa melompat tinggi karena bangunan di mana mereka berada mempunyai loteng
yang rendah!
"Celaka, mampuslah aku!" kata Kuntawana di dalam hati.
Namun pada detik yang berbahaya itu dari jendela samping satu larikan sinar merah
menyambar memapaki angin pukulan seribu topan dan kejapan itu juga buyarlah pukulan
Pengemis Mata Buta dan selamatlah Kuntawana!
Pengemis Mata Buta seorang yang mempunyai perasaan luar biasa. Sepasang telinganya
bukan saja tajam tapi juga merupakan sebagai sepasang mata baginya.
Dia menoleh ke jendela. "Keparat yang suka ikut campur urusan orang, coba perlihatkan
diri!" bentaknya.
Di diluar terdengar suara tertawa bergelak. Sesaat kemudian sesosok tubuh berjubah
merah dan berkerundung kain merah dengan gerakan yang sangat sebat dan enteng sudah
menjejakkan kaki di lantai ruangan!
"Iblis Pencabut Sukma!" teriak Pengemis Kaki Pincang berbarengan dengan anggota-
anggota Perkumpulan lainnya! Wajah mereka mengkerut tegang!
-- == 0O0 ==
DELAPAN
ORANG berkerundung merah keluarkan suara tertawa mengekeh kembali. Pengemis
Mata Buta rangkapkan kedua tangannya di muka dada. "Kiranya lblis Pencabut Sukma!
Pantas keras dan hebat angin pukulannya! Tapi gerangan apakah yang membuat kau datang
ke sini serta mencampuri urusan Perkumpulan kami?!"
Laki-laki berkerundung yang merupakan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut
Sukma lagi-lagi tertawa mengekeh. "Ketua-ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam,
kuharap tanpa banyak bicara segeralah serahkan Keris Tumbal Wilayuda, Sultan Hasanuddin
dan gadis itu kepadaku....!".
"Eh... ini suatu hal yang tidak kami sangka! Rupanya kau juga inginkan semua itu
heh...?”"Hidung kerbau!," maki Iblis Pencabut Sukma. "Aku bilang jangan banyak bicara!
Serahkan cepat! Atau seluruh Perkumpulanmu akan kulabrak?!"
"Ah.... Kalau tak salah kita ini masih sama-sama satu golongan. Kenapa harus bikin
persoalan begini rupa? Semua manusia berhak memang memiliki keris dan kedua manusia
yang kau katakan itu! Dan pihakku telah perhasil menguasainya, kau terlambat. Itu adalah
salahmu sen....."
"Katakan saja kau tak mau menyerahkan apa yang aku minta!,” memotong lblis
Pencabut Sukma.
"Untuk mendapatkan semua itu pihakku sampai korbankan salah seorang ketuanya!
Sekarang kau seenaknya meminta! Aturan macam mana yang kau pakai?!" kata Pengemis
Kaki Pincang.
"Kaki Pincang kau menentukan kematianmu sendiri dengan bicara macam begitu..!"
Pengemis Kaki Pincang tertawa tawar. "Orang lain mungkin takut pada kau! Tapi aku
Pengemis Kaki Pincang boleh dicoba nyalinya!". lblis Pencabut Sukma tertawa gelak-gelak.
Kedua kakinya merenggang. "Dalam satu jurus kau akan konyol ke akherat Pengemis Kaki
Pincang!"
"Coba saja, aku mau lihat!" kata Pengemis Kaki Pincang dengan tertawa menghina.
Sementara itu telinganya mendengar suara rekannya si Mata Buta yang disampaikan dengan
ilmu menyusupkan suara. "Ketua Kaki Pincang, hati-hatilah. Manusia ini berbahaya....".
Ketika Iblis Pencabut Sukma angkat tangan kanan ke atas, dan ketika Pengemis Kaki
Pincang pusatkan tenaga dalamnya ke tangan kiri tiba-tiba Kuntawana melompat antara
tengah-tengah kedua Orang itu.
"Manusia sontoloyo! Kau juga minta dikirim keakhirat?!" bentak Iblis Pencabut
Sukma. Kuntawana menghadap pada Pengemis Mata Buta dan Kaki Pincang. "Para Ketua,
harap perkenankan aku melayani dajal berkerudung ini sebagai penebus kesalahanku!".
"Hem…". Pengemis Mata Buta merenung. "Baiklah. Kaki Pincang, kau mundurlah!"
Maka Pengemis Kaki Pincangpun mundurlah sedang Kuntawana segera cabut
cambuk hitamnya. Iblis Pencabut Sukma menyeringai. "Manusia tampangmu cukup tiga
langkah saja kulayani!". katanya.
Kuntawana putar cambuknya dengan sebat.
Iblis Pencabut Sukma maju satu langkah.
Kuntawana tiba-tiba lepaskan pukulan tangan kiri, sesudah itu laksana hujan
cambuknya bergelegaran ke arah lawan.Iblis Pencabut Sukma majukan langkah kedua. Jari-jari tangan kanannya terbentang ke
muka seperti hendak mencaakar sedang tangan kiri mengebut menahan serangan lawan. Pada
detik dia buat langkah ketiga maka tangan kanannya ditarik ke belakang dengan keras! Inilah
yang disebut ilmu pukulan pencabut sukma!
Kuntawana merasakan badannya seperti tersedot! Isi perutnya seperti dibetot!
"Huah!"
Sesaat kemudian anggota Pengemis Darah Hitam inipun muntah darahlah! Tubuhnya
terkapar di lantai tanpa nyawa!
Berdeburlah darah para anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Pengemis Kaki
Pincang dan Pengemis Mata Buta tergetar hati masing-masing! Kuntawana adalah anggota
Perkumpulan yang ilmu kepandaiannya tidak rendah. Tapi Iblis Pencabut Sukma
membunuhnya hanya dalam tiga langkah! Iblis Pencabut Sukma tengadahkan muka dan tertawa
bekakakan menegakkan bulu roma!.
"Siapa yang tidak senang melihat mampusnya kroco itu boleh maju segera!,” katanya.
Kemudian dia berpaling pada dua orang pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam.
Sepasang matanya kelihatan menyorot berkilat. "Kalian berdua masih belum mau serahkan apa-
apa yang aku minta?!".
Sebelum kedua Ketua Pengemis Darah Hitam berikan jawaban sesosok tubuh dengan
gerakan enteng melompat, ke hadapan dua Ketua Pengemis Darah Hitam.
"Para Ketua, perkenankanlah aku Lah Simpong untuk membasmi iblis yang kesasar
ini!"
Pengemis Mata Buta tidak memberikan sahutan. Dia tahu kepandaian Lah Simpong
memang lebih tinggi dari Kuntawana, tapi untuk menghadap lblis Pencabut Sukma, tingkat
kepandaian Lah Simpong masih belum dapat diharapkan. Sebaliknya Pengemis Kaki Pincang
setelah merenung sejurus, lalu anggukkan kepala dan berkata, "Baiklah, tapi hati-hati. Manusia
ini benar-benar ganas seperti iblis!"
Setelah diperkenankan begitu rupa maka Lah Simpong segera putar badan. Cambuk di
tangan kiri, sebuah toya besi di tangan kanan maka diapun maju ke arah Iblis Pencabut Sukma.
Iblis Pencabut Sukma menyeringai di balik kerundung kain merahnya. "Rupanya Para
Ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam lebih suka korbankan anggotanya dari pada maju
sendiri!"
"Jangan banyak mulut manusia iblis! Lihat cambuk!"Cambuk hitam di tangan kiri Lah Simpong berkelebat. Suaranya menggelegar macam
petir. Ujung cambuk dengan sangat cepat, sukar dilihat oleh mata biasa, mendera ke muka si
kerudung merah! Sebelum serangan ini sampai, Lah Simpong susul dengan serangan toya besi
hitam. Kedua ujung toya menderu berubah seperti ratusan banyaknya dan menyerang keselusin
bagian tubuh Iblis Pencabut Sukma!
Yang diserang terkekeh-kekeh. "Keluarkan seuruh kepandaianmu, Lah Simpong! Kalau
tidak setengah jurus di muka kau akan jadi mayat!".
"Tubuhmu yang akan terkapar lebih dulu, iblisl". Ujung cambuk menyambar dengan
dahsyat ke muka Iblis Pencabut Sukma sementara toya besi sedetik lagi pasti akan menghancur
luluhkan tulang-tulang anggota Iblis Pencabut Sukma!
Tapi pada kejapan mata itu Iblis Pencabut Sukma kebutkan lengan jubah merahnya. Selarik
angin pukulan yang hebat menyusup di antara deraan cambuk dan terus melabrak Lah Simpong.
Tubuh anggota Pengemis Darah Hitam ini jatuh duduk di lantai. Mukanya pucat laksana mayat. Dia
berusaha bangun. Tubuhnya tertatih-tatih tanda dia terluka parah di dalam!
"Sekarang pasrahkan ajalmu, Lah Simpong!". Iblis Pencabut Sukma angkat tangan
kanannya lalu ditarik ke belakang dengan cepat! Tubuh Lah Simpong seperti ditarik besi berani,
tersedot sampai dua tombak ke muka, lalu jatuh menelungkup. Darah membuih dimulutnya.
Ajalnya sampai!
Putihlah wajah dua Ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Para anggota yang lain
berdiri laksana kaku. Mereka merasa seperti nyawa mereka sendiri yang lepas waktu menyaksikan
kernatian Lah Simpong itu!
"Keganasanmu sudah keliwatan sekali, Iblis Pencabut Sukma!,” kata Pengemis Kaki
Pincang. "Jangan harap kau bakal bisa tinggalkan tempat ini dengan selamat!". Pengemis Kaki
Pincang maju dua langkah. "Mulailah, Iblis,” tantangnya.
Iblis Pencabut Sukma tertawa dingin.
Pengemis Kaki Pincang mendengus. "Kau tidak punya nyali untuk memulai?! Kalau begitu
sambut pukulanku ini!".
Pengemis Kaki Pincang angkat tangan kanan. Namun dua anggota Perkumpulan melompat
ke tengah kalangan. Mereka adalah dua kakak beradik Sepasang Cakar Garuda yang dulunya
merupakan fakir-fakir miskin di kaki gunung Salak, tapi yang kemudiannya berhasil diseret oleh
Pengemis Kaki Pincang untuk masuk ke dalam Perkumpulan Pengernis Darah Hitam.
"Para Ketua, kalau untuk membereskan manusia ini, serahkan pada kami!,” kata Sepasang
Cakar Garuda yang tertua.Meskipun darahnya sudah mendidih namun Pengemis Kaki Pincang yang percaya akan
kemampuan kedua anggotanya itu segera bersurut mundur!
"Bereskanlah cepat!,” katanya.
"Ah lagi-lagi bangsa-bangsa kroco yang disuruh maju!" menghina Iblis Pencabut Sukma.
"Kroco atau apa, tapi ketahuilah nyawamu hanya beberapa kejapan mata saja Iblis!"
1blis Pencabut Sukma mendengus. "Sombongnya!,” katanya.
Dan disaat itu cambuk-cambuk lawan sudah menderu laksana topan, menyerang ke arah
leher dan kaki, lalu bergantian secara teratur dan cepat membabat ke dada dan ke perut! Dalam
seketika saja maka Iblis Pencabut Sukma sudah terbungkus serangan cambuk yang bergelegaran
itu. Jubah Merah dan kerudungnya berkibar-kibar karena kerasnya sambaran cambuk hitam kedua
lawan!
"Hemm... permainan cambuk kalian boleh juga! Tapi aku mau lihat apa bisa menerima
pukulan menendang langit menjungkir awan ini?!".
Habis berkata demikian Iblis Pencabut Sukma tendangkan kaki kiri ke muka dan
hantamkan telapak tangan karian dari bawah ke atas!
Disaat itu pula maka menggelindinglah kedua anggota Perkumpulan Pengemis Darah
Hitam itu. Tapi begitu terhampar begitu keduanya bangun lagi meskipun dengan keluarkan
keringat dingin dan sama menyadari bahwa diri mereka di bagian dalam terluka parah!
Keduanya sama-sama menggerung. Cambuk hitam mendera ganas. Sedang tangan kiri
yang membentuk cakar burung garuda dengan kecepatan yang luar biasa menyambar ke muka
dan ke dada Iblis Pencabut Sukma!
"Oh jadi kalian adalah Sepasang Cakar Garuda huh?!" ujar Iblis Pencabut Sukma yang
kenali permainan silat kedua lawannya.
Sebaliknya dua anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu rupanya tidak mau
kasih hati lagi. Serangan-serangan mereka yang dahsyat itu mereka susuli dengan empat buah
tendangan sekaligus! Iblis Pencabut Sukma bersuit keras! Serasa mau pecah gendang-gendang
telinga mendengarnya! Begitu suitannya lenyap maka dari tangan kirinya menyambarlah sinar
merah yang menyeruak laksana kipas menyerang Sepasang Cakar Garuda sekaligus! Kedua
anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu mencelat ke loteng, satu amblas dan
menyangsrang di papan loteng sedang yang satu lagi jatuh bergedebukan ke lantai. Tubuh
keduanya merah matang laksana daging panggang!
Pengemis Kaki Pincang tahan nafas. "Pukulan kipas merah,” membatin ketua Pengemis
Darah Hitam ini sedang Pengemis Mata Buta meskipun tidak dapat melihat namun perasaannya yang tajam serta pendengarannya yang luar biasa, diam-diam juga mengetahui ilmu pukulan
apa yang telah dilepaskan lawan!
Ruangan itu sehening di kuburan.
Sekali lagi Iblis Pencabut Sukma menengadah dan keluarkan suara tertawa bekakakan.
Dari arah pintu melangkah enteng seorang anggota Perkumpulan Pengemis Darah
Hitam. Tubuhnya tinggi kekar. Tampangnya seram. Kumis dan janggutnya tajam meranggas
sedang salah satu matanya picak.
"Para Ketua, izinkan aku si Mata Picak membuat perhitungan dengan manusia itu!".
Baik Pengemis Kaki Pincang maupun Pengemis Mata Buta sama-sama manggutkan
kepala. Mata Picak adalah anggota yang paling tinggi ilmunya dan mempunyai kelihayan
dalam memainkan senjata rahasia "paku darah hitam". Karena itu Ketua-ketua Perkumpulan
pengemis Darah Hitam sama mempercayakan bahwa anggota mereka yang berilmu tinggi ini
sanggup mengalahkan lawan yang tangguh itu.
Mata Picak putar tubuh menghadapi Iblis Pencabut Sukma.
"Iblis Pencabut Sukma," dia berkata, "aku Pengemis Mata Picak mohon diberi beberapa
jurus Relajaran dari kau!"
"Aha... Mata Picak, kau punya peradatan sedikit. Bagus aku ampunkan jiwamu! Tapi
lekas korek kau punya biji mata lalu tinggalkan, tempat ini!"
Gigi-gigi dan geraham Pengemis Mata Picak bergemeletakan. "Kepongahanmu setinggi
langit Iblis Pencabut Sukma. Tapi apa kau kira kau punya nyawa rangkap!".
lblis Pencabut Sukma tertawa bergelak.
“Dikasih keampunan malah menantang!"
"Sudahlah! Tiada guna bicara panjang lebar padamu! Mulailah!".
-- == 0O0 ==
SEMBILAN
“KARENA kau yang minta dikirim keakhirat, maka kau mulailah lebih dulu, Mata
Picak!" kata Iblis Pencabut Sukma dengan jumawa.
Mendengar ini Pengemis Mata Picak tidak sungkan-sungkan lagi. Laksana terbang,
tubuhnya melesat ke muka. Empat tendangan menderu, enam pukulan membadai!Diam-diam Iblis Pencabut Sukma terkejut juga melihat kehebatan lawan yang satu ini.
Dia membentak garang dan berkelebat cepat. Tubuhnyapun lenyap! Kelebatan tubuhnya
mengeluarkan angin deras yang membendung keseluruhan serangan lawan. Penuh penasaran
Pengemis Mata Picak keruk saku bajunya yang bertambal-tambal.
"Lihat paku!" serunya.
Dua belas buah paku hitam yang beracun melesat menyerang dua belas bagian tubuh
Iblis Pencabut Nyawa. Manusia berkerudung ini menggerung dan kebutkan kedua tangannya.
Maka terdengarlah jeritan Pengemis Mata Picak. Enam dari paku darah hitamnya yang beracun
berbalik dan menembus tubuhnya sedang enam lainnya mental ke loteng!
Terbeliaklah mata Pengemis Kaki Pincang dan anggota-anggota Perkumpulan lainnya
yang masih hidup sedang Pengemis Mata Buta yang tidak punya mata kelihatan wajahnya
mengkerut tegang.
"Iblis Pencabut Sukma," buka suara Pengemis Mata Buta. "Kita sama-sama satu
golongan hitam. Antara pihakku dan pihakmu tiada permusuhan. Mengapa turun tangan sampai
seganas ini....?!"
"Ah, aku bosan mendengar bicaramu yang itu ke itu juga! Walau bagaimanapun aku
tidak sudi disama ratakan satu golongan dengan kau! Aku beri waktu lima kejapan mata
bagimu dan rekanmu si pincang untuk merenung dan memenuhi permintaanku..."
Lima kejapan matapun lewat dalam suasana hening tegang.
"Kalian manusia-manusia keras kepala dan dogol geblek!" bentak Iblis Pencabut
Sukma, "Lihat ini!"
Sepasang tangannya terpentang ke muka dan dua larik sinar merah yang menyeruak
seperti kipas menggebubu ke arah tiga belas orang anggota Perkumpulan Pengemis Darah
Hitam. Pengemis Kaki Pincang dan Pengemis Mata Buta terkejut. Buru-buru keduanya
hantamkan tangan untuk memapasi namun luput! Di seberang sana tiga belas anggota
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam mencelat ke dinding dan jatuh bertumpukan tanpa nyawa.
Tubuh mereka matang merah laksana dipanggang!
Maka murkalah kedua pucuk pimpinan perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Keduanya
maju berbarengan.
"He... he, dua tokoh silat yang katanya lihay dan terkenal nyatanya hanya nama-nama
kosong belaka, menyerang main keroyok!,” kata Iblis Pencabut Sukma dengan suara lantang Pengemis Mata Buta, meskipun tokoh silat jahat golongan hitam, tapi mendengar ini
segera bersurut mundur dan berkata . "Saudara Pengemis Kaki Pincang, bereskan biang
malapetaka ini!".
"Tak usah khawatir, Saudara Mata Buta,” menyahut Pengemis Kaki Pincang. "Tapi aku
tidak begitu senang maenghadapi manusia yang sembunyikan muka dibalik kerudung!".
Habis berkata begini, dengan keluarkan jurus "garuda sakti,” maka berkelebatlah
Pengemis Kaki Pincang. Demikian cepat gerakannya sehingga tak terduga sama sekali oleh
Iblis Pencabut Sukma.
"Sreet" !
Maka robek dan tanggallah kerudung merah Iblis Pencabut Sukma! Dan terkejutlah
Pengemis Kaki Pincang. Muka Iblis Pencabut Sukma nyatanya benar-benar menyeramkan
seperti iblis. Keseluruhan mukanya hancur oleh bopeng-bopeng yang besar-besar (bopeng =
burik). Kedua matanya sangat besar dan menjorok ke muka serta jereng (juling). Hidungnya
hampir sebesar telapak tangan dan pesek lebar menutupi pipinya yang cekung. Bibirnya sangat
tebal dan tak bisa dikatupkan sehingga kelihatanlah gigi-giginya yang besar-besar dan busuk!
Kejut Pengemis Kaki Pincang hanya seketika. Menyusul terdengar suara tertawanya
membahak. "Aha... kiranya Iblis Pencabut Sukma bermuka terlalu buruk, lebih buruk dari iblis
sungguhan! Pantas sembunyikan muka dibalik kerudung!".
Iblis Pencabut Sukma mendongak ke atas. Hidungnya keluarkan suara mendengus.
"Jangan harap kau bisa selamat dalam tiga jurus, setan alas!,” bentaknya.
Dan disaat itu Pengemis Kaki Pincang sudah melayang sebat ke mukanya. Dua tangan
terpentang kemudian membuat enam serangan beruntun yang disusul oleh empat tendangan
dahsyat!
Iblis Pencabut Sukma mengaum macam harimau lapar. Sekali dia berkelebat maka
lenyaplah tubuhnya dan pada sekejapan mata kemudian sinar merah berbentuk kipas
menggelombang menyerang Pengemis Kaki Pincang.
"Saudara Kaki Pincang! Hati-hatilah....!". memperingatkan Pengemis Mata Buta.
"Ah, cuma pukulan picisan begini siapa yang takut!" sahut Pengemis Kaki Piricang
seraya lompat tiga tombak ke atas. Serangan lawan berhasil dielakkan oleh Pengemis Kaki
Pincang. Dengan geram Iblis Pencabut Sukma lompatkan diri pula ke udara seraya lancarkan
jurus "menendang langit menjungkir awan". Karena jurus ini mempergunakan lebih dari
setengah bagian tenaga dalamnya, maka tak ampun Pengemis Kaki Pincang mencelat ke atas
panglari (loteng). Loteng bobol! Beringas sekali, sesudah berhasil lepaskan diri dari jepitan papan-papan loteng, Pengemis Kaki Pincang cabut pipa besarnya dari balik pakaian yang
bertambal-tambal! Sekali menyedot, sekali menghembus maka melesatlah asap pipa yang pekat
kelabu dan mengandung racun ganas!
"Ilmu rongsokan macam ini tak perlu dipertontonkan padaku, Kaki Pincang!,” ejek Iblis
Pencabut Sukma. Tangan kanannya diangkat ke atas lalu ditarik ke belakang! Pukulan pencabut
sukma! Pengemis Kaki Pincang dengan cepat kerahkan tenaga dalamnya. Tapi apa daya. Dia
tak bisa selamatkan diri. Isi perutnya serasa dibetot, nafasnya serasa disedot dan "puah...!".
Pengemis Kaki Pincang muntah darah. Laksana daun kering tubuhnya yang tak
bernyawa itu melayang ke bawah dan terhampar di lantai! Perkataan Iblis Pencabut Sukma
yang menyatakan bahwa dia akan membunuh lawan dalam tiga jurus, kini terbukti!
Dengan tengadahkan mukanya yang seram itu Iblis Pencabut Sukma tertawa panjang
laksana serigala lapar di malam buta!
Mengkerutlah wajah Pengemis Mata Buta.
Urat-urat lehernya menggelembung. Pelipisnya bergerak-gerak sedang rahang-rahangnya
bertonjolan. "Pengemis Mata Buta, hanya kau yang tinggal kini! Apa masih berkeras kepala untuk
tidak mau serahkan apa yang kuminta...?!".
Pengemis Mata Buta rangkapkan tangan di muka dada. Kehebatan Iblis Pencabut Sukma
memang luar biasa. Setelah merenung sejenak maka buka suaralah dia.
"Iblis Pencabut Sukma, sekalipun kau punya tiga kepala enam tangan, jangan harap aku
tidak bernyali untuk melawanmu. Juga jangan harap aku akan kabulkan permintaan gilamu!"
"Akh... kalau begitu kasihan sekali! Perkumpulan Pengemis Darah Hitam rupanya sudah
ditakdirkan para iblis musti musnah hari ini!".
"Perkumpulan Pengemis Darah Hitam tidak musnah! Sebaiknya bersiaplah untuk
menghadap setan neraka, manusia iblis! Manusia iblis macammu memang tempatnya pantas di
neraka!".
Habis berkata demikian maka Pengemis Mata Buta masukkan tangan kanan ke balik jubah
bertambal-tambalnya. Begitu tangan keluar maka bergemerlaplah sinar hitam sebilah pedang.
Tergetar juga Iblis Pencabut Sukma melihat sinar senjata ini.
"Jika kau punya senjata bagusnya lekas dikeluarkan, Iblis!" berkata Pengemis Mata Buta.
"Untuk menghadapi manusia buta macam kau, perlu apa pakai senjata segala?! Majulah, tanganku
sudah gatal-gatal untuk mencabut nyawamu!".
"Jangan mimpi Iblis!" bentak Pengemis Mata Buta. Sekali dia melompat ke muka maka
berkiblatlah taburan sinar hitam darisambaran pedangnya!Dan... "Plak"
Tubuh Iblis Pencabut Sukma terdorong beberapa langkah kebelakang!
Terkejutlah Pengemis Mata Buta ketika mengetahui bahwa lawannya tidak mendapat satu
celaka apapun akibat ilmu pukulan "telapak tangan minta sedekah" yang sangat diandalkannya itu,
padahal dalam ilmu pukulan ini dia sudah melatih diri sampaisepuluh tahun!
Rasa terkejut dan kecewa melihat pukulannya hampa belaka membuat dalam kejapan itu
Pengemis Mata Buta menjadisedikit lengah. Dan kesempatan ini tiada disia-siakan oleh lawan.
Iblis Pencabut Sukma kirimkan satu tendangan ke perut lawan. Tak ampun lagi Pengemis
Mata Buta jatuh duduk terkapar di lantai. Belum lagi dia sempat bangun maka lawan sudah
gerakkan tangan lancarkan pukulan "pencabut sukma"!
Pengemis Mata Buta merasakan adanya kekuatan dahsyat yang menyedot tubuhnya, segera
dia buang diri ke samping. Tapi kasip. Perutnya terbetot menggelegak. Darah segar menyembur
dari mulut. Tubuhnya kelojotan seketika. Sebelum meregang nyawa, manusia ini masih bisa keruk
saku jubahnya dan lemparkan selusin paku darah hitam ke arah lawan. Ini tiada artinya bagi Iblis
Pencabut Sukma. Dengan satu kebutan lengan baju maka mentallah paku-paku beracun itu!
Selama beberapa ketika terdengarlah suara tertavva Iblis Pencabut Sukma. Tertawa yang
membuat kedua matanya yang juling menjadi basah oleh air mata.
Manusia bermuka seram bopeng ini kemudian membungkuk di hadapan Pengemis Mata
Buta. Tangannya menggeledah di balik jubah bertambal-tambal mencari keris Tumbal
Wilayuda. Bila bertemu segera diselipkan dibalik pinggangnya. Kemudian dia melangkah ke
hadapan sosok tubuh Anjarsari yang saat itu tiada sadarkan diri karena telah ditotok jalan
darahnya sewaktu dilarikan oleh Lah Simpong.
Iblis Pencabut Sukma memandang dengan mata berkilat-kilat ke tubuh Anjarsari yang
pakaiannya berada dalam keadaan tak menentu. Dia menyeringai penuh arti. Dibelainya pipi
gadis itu. Betapa lembut dan halusnya. Dirabanya dadanya. Menggeletar tubuh Iblis Pencabut
Sukma. Kalau tidak ingat bahwa dia musti lekas-lekas meninggalkan tempat itu maulah dia
mengikuti segala lampiasan nafsunya. Dipanggulnya tubuh gadis itu di bahu kiri kemudian dia
melangkah ke hadapan Sultan yang terbujur di lantai dan juga dalam keadaan tak berdaya
karena ditotok.
Sewaktu Iblis Pencabut Jiwa membungkuk pula untuk mengempit tubuh Sultan, tiba-
tiba berkelebatlah sesosok bayangan biru dan tahu-tahu tubuh Sultan disambar lalu dibawa lari!
Kejut Iblis Pencabut Sukma tentu saja tiada terlukiskan.
"Kurang ajar! Hai, berhenti!" teriaknya memerintah.Tapi bayangan biru itu terus kabur tancap gas. Dengan geram Iblis Pencabut Sukma
lemparkan tiga puluh jarum merah ke arah simanusia berjubah biru. Yang diserang, tanpa
menoleh lambaikan tangan kirinya. Ketiga puluh jarum merah itupun mental laksana disapu
topan!
Iblis Pencabut Sukma angkat kaki coba mengejar. Tapi bayangan biru sudah lenyap.
"Setan alas,” memaki dia. "pasti perempuan laknat itu lagi!".
-- == 0O0 ==
SEPULUH
LARINYA manusia berjubah biru itu sangat cepat sekali laksana angin. Sampai di satu
puncak bukit, dia berhenti dan lepaskan totokan di tubuh Sultan. Begitu siuman Sultan tentu
saja sangat terkejut mendapatkan dirinya dikempit oleh seseorang. Ketika dia coba meneliti
paras orang itu ternyata dia mengenakan kerudung biru. Bau tubuhnya harum semerbak,
seharum bunga melati yang tengah mekar diambang senja! Sultan merenung sejurus. Otaknya
berputar mengingat apa yang telah terjadi atas dirinya sebelumnya. Kemudian dicobanya
melepaskan diri dari kempitan manusia jubah biru itu untuk turun ke tanah. Tapi bagaimanapun
kerasnya dia gerakkan badan, tetap saja dia tiada sanggup lepaskan diri.
"Saudara, kau siapakah?,” bertanya Sultan.
Orang itu tiada menyahut melainkan menjelajahi seantero kaki bukit dengan sepasang
matanya yang bening.
"Saudara, kau tentu orang yang telah menolong aku. Tapi siapakah engkau adanya?
Mohon agar diriku diturunkan,” berkata Sultan Hasanuddin. Orang itu tetap tak menyahut.
Kemudian dia berkelebat lagi dan tubuhnya lari lagi laksana angin ke arah sebelah timur.
"Saudara, jika kau tak terangkan siapa kau, tidak menjadi apa. Tapi aku mohon agar
diturunkan,” berkata Sultan setelah dirinya diajak lari kira-kira setengah jam lamanya.
Si jubah biru lari terus.
Dengan rasa penasaran Sultan berkata. "Jika kau tidak mau turunkan aku, terpaksa aku
berlaku kasar terhadapmu!."
Namun si jubah biru berkerudung biru tetap tak perdulikan ucapan yang mengancam itu.
Maka Sultanpun gerakkan tangan kanannya untuk menyikut pinggang manusia jubah biru itu.Tapi anehnya berkali-kali dia lakukan hal itu maka tak satu hantaman sikunyapun yang berhasil
mengenai sasarannya.
"Pasti ini manusia sakti luar bisa!" membathin Sultan Hasanuddin. "Saudara, aku ini mau
dibawa ke mana?" bertanya pula Sultan.
Agaknya manusia berkerudung kain habis kesabarannya karena ditanya terus menerus.
"Kau terlalu cerewet, lihat sajalah!".
“Heh...?!”
Sultan menjadi kaget. Betapa tidak karena orang yang membawa larinya itu ternyata
adalah seorang perempuan! Meski suaranya agak membentak namun kemerduannya tiada sirna.
"Pantas badannya berbau harum..," kata Sultan dalam hati. Dan bila dia menyadari bahwa dirinya
di kempit dan dibawa lari demikian rupa tentu saja Sultan menjadi malu dan tidak enak. Dia me-
ronta-ronta lagi. Tapi tetap tak berhasil.
Mereka kemudian memasuki sebuah rimba belantara. Di tengah rimba belantara ini
terdapat sebuah goa dan ke dalam goa itulah si kerudung biru membawa Sultan. Ternyata di
dalam goa tiada beda terangnya dengan udara di luar. Gua ini panjang dan mempunyai beberapa
lorong yang bercabang-cabang, dan makin ke dalam makin menurun.
Akhirnya mereka berhenti di satu ruang yang berbentuk kamar empat persegi. Disinilah
baru si jubah biru melepaskan dan menurunkan Sultan. Sultan berdiri dan memandang
berkeliling.
Di salah satu dinding Sultan membaca sebuah tulisan yang berbunyi GOA DEWI
KERUDUNG BI RU, Sultan jadi kaget dan memandang lekat-lekat ke paras si kerudung biru
yang hanya sepasang matanya yang bening dan berkilat saja yang kelihatan.
"Jadi saat ini aku berhadapan dengan Dewi Kerudung Biru…?,” kata Sultan pelahan. Tapi
hatinya agak meragu.
Di dalam ruangan itu terdapat dua buah batu hitam. Dewi Kerudung Biru pergi duduk ke
salah satu batu lalu berpaling pada Sultan.
"Silahkan duduk Sultan," katanya mempersilahkan.
"Terima kasih," Sultan duduk. "Saudari, kau belum menjawab apakah kau yang selama
ini dikenal di dunia persilatan dengan nama julukan Dewi Kerudung Biru...?".
Yang ditanya tertawa merdu berderai laksana taburan mutiara yang berjatuhan ke ubin.
"Itu tak perlu yang kau tanyakan lagi, kau sudah baca apa yang tertulis di dinding itu,
bukan?". Dalam berkata begitu sepasang matanya tiada berkesip memandangi paras Sultan,"Ah kalau begitu sungguh tak terduga pertemuan ini. Terima kasih atas pertolonganmu
Dewi Kerudung Biru...," kemudian sambungnya. "karena kau telah membawa aku ke sini,
tentulah kau mempunyai maksud tertentu....".
"Betul" membenarkan Dewi Kerudung Biru. "Aku tahu banyak apa yang telah terjadi
dengan dirimu...,”
"Terima kasih kalau Dewi telah mau ambil perhatian terhadap diriku. Mohon petunjuk
selanjutnya.....”
"Kau harus cepat pergi ke Demak dan menemui Sultan Trenggono untuk meminta
bantuan. Kembalilah ke Banten dengan membawa sejumlah pasukan .......".
"Memang itu sudah menjadi rencanaku Dewi,” kata Sultan pula.
"Ya, tapi pasukan saja tidak cukup. Parit Wulung mempunyai benggolan-benggolan silat
golongan hitam yang sakti....''.
"Mohon petunjuk dari Dewi...".
"Sebelum pergi kau harus tinggal selama satu hari di sini untuk kuturunkan beberapa ilmu
silat....". Sultan gembira sekali. "Tapi," katanya. "waktu yang sesingkat itu apakah bisa berhasil
baik?!".
"Yang penting dasar-dasarnya, kemudian baru latihannya dan terakhir pelaksanaannya...”
Sultan mengangguk. "Aku haturkan rasa hormat terhadapmu, Dewi. Mulai hari ini kau
adalah guruku,” kata Sultan pula.
Dewi Kerudung Biru geleng-gelengkan kepala. "Diriku tak perlu dihormati. Dan kuharap
kau jangan salah sangka. Kalau aku wariskan beberapa ilmu kepandaian padamu bukan berarti aku
telah menjadi guru dan kau telah menjadi murid....".
"Jadi.....?" tanya Sultan heran.
"Semuanya adalah semata-mata untuk menolongmu, Sultan".
"Terima kasih. Aku tak akan melupakan kebaikanmu ini. Demikian juga dengan rakyat
Banten kelak. Cuma, untuk mengenang wajah penolongku, untuk mengukirnya dalam ingatanku,
bolehkah aku melihat paras aslimu, Dewi Kerudung Biru…?".
Dewi Kerudung Biru tertawa lagi seperti mutiara jatuh berderai ke lantai. Merdu sekali
suara itu membuat Sultan semakin tambah ingin untuk melihat wajah yang ada dibalik kerudung
itu.
Namun suara tertawa yang merdu itu segera lenyap ketika di mulut gua terdengar suara
ribut-*
ribut.
"Pasti perempuan itu telah membawa Sultan ke sini! Ayo kita selidiki ke dalam!".Dan sesaat kemudian empat sosok tubuh berjubah merah dan berkerudung merah muncul di
ruangan itu. Sultan terkejut sedang Dewi Kerudung Biru mendengus di balik kerudungnya.
Salah seorang dari anggota Iblis Pencabut Sukma berseru dan menunjuk ke muka. "Lihat!
Tidak salah keterangan Wakil Ketua kita Sultan bersama dia!"
Anggota Iblis Pencabut Sukma yang lain, yaitu yang berbadan tinggi langsing melangkah
ke muka. "Perempuan laknat! Lekasserahkan rnanusia itu pada kami!"..
"He... he.... berani memaki berani mampus kunyuk kerudung merah!" kata Dewi Kerudung
Biru pula.
"Betina edan, kau andalkan apakah berani berkata demikian?!" membentak si tinggi
langsing. "Sebaiknya sebutkan nama masing-masing kalian! Aku tidak biasa membunuh kroco-
kroco tanpa tahu namanya!".
Si tinggi langsing tertawa hambar. Sambil mendongak dan tepuk-tepuk dada dia berkata .
"Namaku Siralaya. Gelarku Tangan Perenggut Jiwa....!”
"Hem..bagus… bagus. Gelaranmu boleh juga. Tapi aku anya apakah kau akan maju
seorang diri atau berempat sekaligus?!"
Merahlah muka Tangan Perenggut Jiwa.
"Perempuan sedeng, sambut seranganku ini!"
Tangan Perenggut Jiwa pukulkan tangan kanannya. Berbarengan dengan itu Dewi
Kerudung Biru dorongkan pula tangan kirinya ke depan. Si jangkung langsing Tangan Perenggut
Jiwa terkejut ketika bagaimana angin pukulannya kena didorong oleh angin pukulan lawan
sehingga membalik menyerangnya! Cepat-cepat dia menghindar kesamping.
"Siralaya, kau minggirlah. Biar aku yang selesaikan dajal betina ini!". Anggota Iblis
Pencabut Sukma yang kedua melangkah ke muka.
"Sebutkan namamu!" bentak Dewi Kerudung Biru.
"Namaku tidak perlu. Tapi gelarku adalah Si Penggoncang Langit!".
"Ho... ooo.... gelarmu keliwatan sekali sehingga tidak cocok dengan tubuhmu yang
kontet itu! Bagusnya kau pakai gelar Kodok Buduk!" mengejek Dewi Kerudung Biru.
Mulut Si Penggoncang Langit berkemik. Sekali kedua tangannya bergerak maka dua
gelombang angin yang menggetarkan ruangan itu melesat ke arah Dewi Kerudung Biru.
Hebatnya, sang Dewi yang saat itu masih tetap duduk di atas batu keluarkan tertawa
menghina dan kebutkan tangan kanannya. Maka runtuhlah angin pukulan Si Penggoncang Langit!
Penasaran sekali anggota Perkompulan Iblis Pencabut Sukma ini melompat ke muka. Dua
tangan terpentang lebar dan bergerak bersamaan dalam satu gerakan yang sukar dilihat oleh mata!
"Manusia busuk macam kau tidak pantas dekat-dekat padaku!" bentak Dewi Kerudung
Biru. Tangan kanannya memukul. Si Penggoncang Langit mencelat empat tombak terguling di
tanah, mengeluarkan suara seperti orang muntah, tapi yang keluar dari mulutnya adalah semburan
darah segar!
Dalam keadaan begini Si Penggoncang Langit segera keruk saku jubah merahnya,
keluarkan sebuah pil, menelannya dengan cepat lalu bersemedi pula dengan cepat dalam cara
yang aneh yaitu kepala ke bawah kaki ke atas!
Melihat dua kawannya dibikin kalah mentah-mentah maka majulah anggota Perkumpulan
Iblis Pencabut Sukma yang ketiga. Manusia ini berbadan gemuk.
"Dewi Kerudung Biru, aku tak akan kasih tahu nama juga tak perlu sebutkan gelaranku
padamu. Tapi jika kau berpemandangan dan berpengalaman luas lihat seranganku ini!". Sigemuk
ini menutup kata-katanya dengan gerakkan dua tangannya. Maka enam pisau terbang merah
melayang ke arah enam bagian tubuh. Dewi Kerudung Biru! Diam-diam Sultan terkejut melihat
kehebatan serangan pisau ini. Dia khawatir kalau Dewi Kerudung Biru tak sanggup mengelakkan
keenam pisau itu sekaligus!
Tapi anehnya yang diserang ganda tertawa semerdu perindu. Pisau terbang yang pertama
ditangkapnya dengan tangan kanan. Kemudian senjata ini dipergunakannya untuk menangkis
lima pisau terbang lainnya sehingga pisau yang di tangan maupun yang ditangkisnya patah dua
dan bermentalan!
Terbeliaklah mata keempat anggota Iblis Pencabut Sukma itu. Lebih-lebih Si Pisau
Terbang. Selama hidup baru kali ini dia melihat serangan pisau-pisau terbangnya dihancurkan
demikian rupa! Dan dalam terkejutnya itu dia melihat Dewi Kerudung Biru lemparkan kuntungan
pisau kearahnya. Cepat-cepat Si Pisau Terbang berkelit tapi luput! Kuntungan pisau masih
sempat menyambar telinga kirinya. Dan putuslah daun telinga laki-laki itu! Senjata makan tuan!
Darah berlelehan. Dewi Kerudung Biru tertawa cekikikan!
Kalap sekali maka berserulah Si Pisau Terbang. "Kawan-kawan mari kita kermus dajal
betina ini!".
Maka menyerbulah keempat anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu. Melihat
sang Dewi dikeroyok begitu rupa Sultan Hasanuddin tak tinggal diam. Dia menerjang ke muka
dan lancarkan satu serangan cepat ke arah Tangan Perenggut Jiwa. Namun disaat itu Dewi Kerudung Biru menyibakkan badannya kesamping dengan berkata. "Sultan, kau tenang-tenang
sajalah. Tak perlu susah-susah mengotorkan diri terhadap kroco-kroco bau tengik ini!".
Sultan merasa tidak senang. Walau bagaimanapun saktinya Si Kerudung Biru namun
pengeroyokan curang demikian rupa bertentangan dengan hati kesatrianya. Untuk kali kedua dia
hendak menyerbu kembali. Namun disaat itu, terdengar jeritan Si Penggoncang Langit. Tubuhnya
mencelat ke atas ruangan batu. Kepalanya hancur. Belum lagi tubuh Si Penggoncang Langit
sampai ke lantai maka terdengar pekik anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang kedua.
Tulang dadanya melesak ke dalam, iga-iganya putus!
Si Pisau Terbang dan Tangan Perenggut Jiwa mengamuk habis-habisan. Dua puluh jurus
berlalu sangat cepat. Dalam dua puluh jurus itu keduanya terus menerus mendesak Dewi
Kerudung Biru dengan hebat. Ruangan bergoncang laksana dilanda lindu! Tiba-tiba Dewi
Kerudung Biru melengking keras. "Iblis-iblis bau kentut! Minggatlah ke neraka!".
Sepasang tangan sang Dewi yang halus tapi mengandung hawa kematian yang dahsyat
membagi serangan dalam jurus dahsyat bernama "sepasang tangan menebar maut".
Si Pisau Terbang dan Tangan Perenggut Jiwa tiada kesempatan lagi untuk mengelak.
Menangkis mereka tiada punya nyali. Menghadapi maut di depan mata ini maka menjeritlah
keduanya!
Namun disaat itu pula dari luar terdengar suara menggeledek. "Manusia yang berani
menghina anggota Perkumpulan adalah korbanku yang kedua ratus!". Begitu suara habis maka
dua larik sinar merah yang panas menyembur ke arah Dewi Kerudung Biru!
-- == 0O0 ==
SEBELAS
SULTAN melompat ke samping untuk hindarkan sambaran sinar merah sedang Dewi
Kerudung Biru sebaliknya malah pentang kedua tangan dan mendorong ke muka. Pertemuan yang
dahsyat dari dua aliran pukulan menimbulkan goncangan yang hebat laksana dunia ini mau kiamat!
Dewi Kerudung Biru berdiri tergontai seketika sedang lawan yang lepaskan pukulan tadi,
yang saat itu hendak masuk ke dalam goa, terdorong kembali keluar mulut goa kena diterpa angin
pukulan Dewi Kerudung Biru
Sesaat kemudian ketika manusia yang di luar goa itu masuk ke dalam ternyata dia adalah
Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Di belakangnya menyusul satu lusin anggota
lainnya.
Dengan marah, Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma itu membentak. "Pisau Terbang dan
Tangan Perenggut Jiwa, kalian memalukan saja tidak sanggup menghadapi betina galak ini. Biar
aku yang jinakkan dia!".
Habis berkata begitu maka Iblis Pencabut Sukma segera lancarkan jurus "menendang langit
menjungkir awan"! Tidak sampai di situ saja maka dia susul serangan itu dengan taburan pukulan
kipas merah! Betul-betul dua jurus yang sangat menggetarkan dan luar biasa!
Dewi Kerudung Biru berkelebat cepat. Mulutnya terbuka.
"Huaaah....!".
Dari mulut sang Dewi menyembur sinar biru yang dahsyat.
Iblis Pencabut Sukma terkejut. Bukan saja dua jurus serangannya tadi menjadi buyar, tapi
serangan lawan dengan hebatnya terus menyerang kearahnya.
"Asap kencana biru!,” seru Iblis Pencabut Sukma dengan kaget. Cepat sekali dia melesat
enam tombak ke atas. Sewaktu turun dia sudah cabut sebilah pedang merah kemudian sambil
menyerang dia berteriak. "Anak-anak, ayo tunggu apa lagi?!". Mendengar ini maka semua anggota
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma segera menyerbu. Sultan lagi-lagi hendak turut membantu sang
Dewi, namun setiap saat dia gerakkan badan, setiap kali pula Dewi Kerudung Biru mendorongnya
ke belakang sehingga dia tak bisa berbuat apa-apa!
Dewi Kerudung Biru sungguh luar biasa dalam bertahan dan menyerang. Namun lawan-
lawannya banyak sekali, apalagi di bawah pimpinan Wakil Ketua mereka! Sesudah tiga puluh jurus
berlalu maka sang Dewi mulai terdesak. Dua anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma berhasil
ditewaskannya namun serangan-serangan lawan bukannya mengendur melainkan bertambah
dahsyat. Diam-diam Sultan menjadi gelisah. Kali ini sang Dewi pasti tak bisa bertahan lebih dari
sepuluh jurus lagi, pikirnya. Maka pada saat Dewi Kerudung Biru sibuk menghadapi lawannya,
terbungkus oleh sinar pedang merah dengan cepat Sultan menerjang ke muka. Bantuan Sultan
dalam lima jurus di muka sanggup mengimbangi lawan-lawan yang lihay itu. Namun lambat laun
mulai mengendor. Bersama sang Dewi kembali keduanya terdesak!
Dewi Kerudung Biru semburkan lagi "asap kencana biru"nya. Namun angin pedang merah
di tangan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dengan hebatnya berhasil
membuyarkan asap sakti itu!"Betina galak! Sekarang terimalah kematianmu!" bentak Iblis Pencabut Sukma. Dia
memberi isyarat pada anak-anak buahnya. Berbarengan mereka sama angkat tangan kanan ke atas
siap untuk lancarkan pukulan "pencabut sukma". Satu pukulan "pencabut sukma,” saja dahsyatnya
bukan main, apalagi sekaligus duabelas pukulan, dapat dibayangkan bagaimana luar biasa
kehebatannya! Dewi Kerudung Biru pentang kedua lengannya dan putar tubuh laksana baling-
baling. Mulutnya tiada henti menghembus-hembus mengeluarkan asap biru. Satu detik lagi maka
duabelas tangan lawanpun ditarik ke belakang!
Dalam suasana yang diliputi seribu ketegangan itu, tiba-tiba mengaunglah suara seperti
suara seribu tawon mendengung. Di antara dengungan itu melengking pula suara siulan yang
disusul oleh berkiblatnya seputaran sinar putih menyilaukan mata!
Tiga anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma, termasuk Tangan Perenggut Jiwa
terpekik dan rebah ke lantai mandi darah. Selarik sinar putih yang disertai raungan dahsyat kembali
berkiblat dan Wakil Ketua Perkumpulan Pencabut Sukma dan anak-anak buahnya terpaksa
batalkan serangan dan melompat ke satu pojok.
"Pendekar 212!" terdengar seruan Sultan begitu dia kenali siapa adanya pendatang baru itu.
Dewi Kerudung Biru sendiri memandang pada Wiro Sableng dengan sinar mata yang berkilat-kilat.
Di balik pandangan mata itu seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Wakil Ketua
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dan anggota-anggota lainnya memandang menyorot penuh
amarah.
Pendekar 212 Wiro Sableng sunggingkan senyum di wajahnya yang keren sedang tangan
kanannya mempermainkan Kapak Maut Naga Geni 212. Melihat pada angka 212 yang tertera pada
dua mata kapak di tangan si pemuda maka berkatalah Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut
Sukma, sambil melintangkan pedang di muka dada. "Jadi kaukah yang selama ini dijuiuki Pendekar
212 itu...?!".
Jawaban Wiro Sableng hanya tertawa mengekeh.
"Orang gendeng, apa kau sudah bosan hidup mau campur urusan orang lain....?!,” tanya
Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma.
"Atau mungkin masih belum tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!" ujar Si Pisau
Terbang.
"Siapapun kalian adanya tak lebih dari babi-babi cacingan yang diberi berjubah dan
berkerudung merah!,” ejek Pendekar 212 pula!Marahlah Si Pisau Terbang. Tanpa banyak cerita dia lepaskan sekaligus selusin pisau
terbang beracun ke arah Pendekar 212. Wiro Sableng gerakkan Kapak Maut Naga Geni 212
membuat setengah lingkaran.
"Tring... tring.... tring...".
Kedua belas pisau terbang itu musnah patah-patah. Melototlah mata Si Pisau Terbang. Dia
menyurut undur dua langkah.
"Pisau Terbang, kau minggirlah. Biar aku yang antarkan manusia bosan hidup ini ke pintu
gerbang akhirat!”
Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma maju dua langkah. Sultan Hasanuddin
dengan ilmu menyusupkan suara beri peringatan pada Pendekar 212. "Sobat, hati-hatilah
terhadapnya. Dia saktisekali!"'
Begitu peringatan Sultan berakhir maka Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma telah lancarkan
serangan pedang merah dalam jurus yang luar biasa. Jurus ini sekaligus merupakan empat tebasan
dan empat tusukan!
"Ah cuma ilmu pedang picisan saja mau diandalkan," Ejek Wiro. Kapak Naga Geni
ditangannya menderu. Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma tiada berani mengadu
senjata. Hatinya tergetar ketika merasakan bagaimana sinar putih senjata lawan membuat
pedangnya tak bisa bergerak leluasa. Manusia ini membatin. "Celaka, paling lama aku hanya bisa
layani si keparat ini dalam dua puluh lima jurus!". Dan dia segera putar otak untuk cari kesempatan
larikan diri!
Pendekar 212 yang tahu gelagat lawan segera lancarkan serangan ganas. Wakil Ketua
Perkumpulan. Iblis Pencabut Sukma angsurkan pedang merah kemuka untuk menangkis karena
bertindak berkelit tiada punya kesempatan lagi.
"Trang"!
Maka patahlah pedang merah Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu!
Keringat dingin memercik di kening manusia iblis ini! Nyalinya lumer! Sambil angkat tangan
kanannya tinggi-tinggi ke atas untuk lepaskan pukulan yang sangat diandalkannya yaitu pukulan
pencabut sukma, maka dia berseru pada sisa-sisa anak buahnya.
"Kalian jangan mematung saja! Marisama kita bereskan anjing kurap ini!'".
Maka delapan anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dengan membentak dahsyat
segera menerjang ke muka dan langsung lancarkan pukulan pencabut sukma!
"Wiro! Awas! Mereka hendak lepaskan pukulan pencabut sukma!" seru Dewi Kerudung
Biru. Bahwasanya sang Dewi mengetahui namanya inilah satu hal yang mengejutkan Pendekar 212 Wiro Sableng! Keterkejutan ini membuat dia menjadi lengah seperempatan detik. Dan itu sudah
cukup bagi Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma serta anak-anak buahnya!
"Mampuslah!"
Dewi Kerudung Biru menjerit! Sultan sendiri pucat lesi parasnya Tiba-tiba Pendekar 212
meraung laksana halilintar. Dia melompat ke muka Kapak naga Geni 212 menderu. Empat suara
pekikan seperti mau memecahkan anak telinga. Empat anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma
terkapar dengan tubuh hampir kuntung! Pendekar 212 ayunkan Kapak Naga Geni 212 sekali lagi
namun disaat itu Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukmat dan sisa-sisa anak buahnya
sudah lenyap larikan diri keluar goa.
Pendekar 212 bediri nanar. Sultan melompat ke muka dan merangkul tubuh Wiro. Di balik
kerudungnya Dewi Kerudung Biru menggigit bibir. Sepasang matanya yang jeli dipejamkan.Wiro
ambil sebutir pil dari saku pakaiannya lalu ditelan dengan cepat. Dewi Kerudung Biru kemudian
berdiri dan kedua tangannya ditekankan ke bahu Pendekar 212 untuk alirkan tenaga dalam guna
bantu menyembuhkan luka yang diderita Pendekar itu. Namun sesaat kemudian Pendekar 212
mengerang halus lalu pingsan tiada sadarkan diri!
-- == 0O0 ==
DUA BELAS
SULTAN cemas sekali melihat keadaan Pendekar 212 demikian rupa. Bersama Dewi
Kerudung Biru, Wiro dibaringkan di lantai, kepalanya diganjal dengan sehelai kain yang
dilipat-lipat.
"Dewi, apakah… apakah dia…?" Sultan tak bisa meneruskan pertanyaannya.
Dewi Kerudung Biru hela nafas. "Sebenarnya aku yang salah karena aku telah berseru
memanggil namanya tadi," berkata perempuan itu. Dihelanya lagi satu kali nafas dalam. "Tapi
lukanya tak begitu parah. Besok pagi dia sudah sembuh kembali. Untung saja berilmu tinggi,
kalau tidak keseluruhan isi perutnya pasti akan berbusai ke luar dari mulut."
"Dewi, kau tahu nama pemuda ini. Apakah kalian pernah kenal sebelumnya...?"
Dewi Kerudung Biru elakkan pertanyaan itu dengan balik menanya. "Kau sendiri punya
hubungan apa dengan dia…?"Maka Sultan Hasanuddin menuturkan mulai pertama kali dia kenal dan ditolong oleh
Pendekar 212. Mendengar itu kembali sepasang mata Dewi Kerudung Biru berkilat-kilat. Dan
hal ini diam-diam diperhatikan oleh Sultan sehingga dia merasa yakin pastilah ada hubungan
apa-apa antara Dewi Kerudung Biru dengan Pendekar 212 sebelumnya. Tapi untuk bertanya
lebih jauh Sultan merasa segan.
"Dia memang sakti sekali, Sultan,” berkata sang Dewi. "Sikapnya kadang-kadang lucu
tapi juga menyakitkan hati. Bahkan banyak orang yang menyangka dia kurang sehat pikiran.
Tapi hatinya sepolos permata, seputih kertas, jujur. Beberapa tokoh persilatan telah
meramalkan bahwa kelak dikemudian hari dia bakal merajai dunia persilatan…"
Sultan Hasanuddin manggut-manggut.
"Sultan, dalam hal ini kita tak punya waktu lama. Aku akan ajarkan padamu beberapa
jurus ilmu silat dan ilmu asap kencana biru… "
"Aku haturkan ribuan terima kasih Dewi," kata Sultan dengan gembira.
"Silakan duduk bersila dan pejamkan mata," Dewi Kerudung Biru berkata.
Sultan menurut. Dia duduk bersila dan pejamkan mata. Dewi Kerudung Biru kemudian
salurkan tenaga dalamnya ke tubuh Sultan melalui pundak. Selesai menerima saluran tenaga
dalam itu Sultan merasakan tubuhnya sangat enteng dan segar bugar. "Sekarang aku akan
ajarkan padamu dua jurus ilmu silat. Dua jurus ilmu silat ini hanya empat orang yang pernah
memilikinya. Yaitu Pendekar Seberang Lor, Resi Warajana, Dewi Kencana Wungu. Ketiganya
sudah meninggal. Aku adalah pewarisnya yang keempat dan bila kuajarkan dua jurus itu
kepadamu maka kau adalah perwaris yang kelima! Jurus yang pertama ialah jurus naga kepala
seribu mengamuk. Yang kedua, jurus Cakar garuda emas. Keduanya merupakan jurus-jurus
yang sukar dicari bandingannya dalam dunia persilatan. Jika kau benar-benar meyakininya, per-
cayalah tidak sembarang musuh bisa melayanimu."
"Terima kasih Dewi… ribuan terima kasih. Jadi kalau begitu Dewi adalah murid dari
Dewi Kencana Wungu…?"
Sang Dewi mengangguk. "Mari kita mulai,” katanya.
Karena Sultan sebelumnya sudah mempunyai dasar ilmu silat yang tinggi juga maka
kedua jurus yang diajarkan padanya itu dengan mudah dan cepat bisa dipahaminya. Dewi
Kerudung Biru gembira sekali. Kemudian kepada Sultan diajarkan pula ilmu Asap
kencana biru. Ilmu ini agak sukar mula-mula dipahami oleh Sultan namun karena
tekunnya beberapa jam kemudian dia berhasil juga menguasainya."Kecerdasanmu luar biasa sekali, Sultan,” kata Dewi Kerudung Biru. "Malam ini,
sampai esok pagi teruslah berlatih."
"Nasihat Dewi akan kuperhatikan,” jawab Sultan. Dan malam itu, seorang diri
Sultan melatih diri. Dewi Kerudung Biru sementara itu duduk bersemadi. Meskipun dia
pejamkan mata namun bila ada jurus-jurus yang agak salah dilakukan oleh Sultan dia me-
ngetahuinya dan segera menegur !
Keesokan paginya…
Di luar gua burung-burung berkicau bersahut-sahutan menyambut kedatangan pagi
yang ditandai munculnya sang surya di ufuk timur. Di dalam gua Sultan tengah duduk
berhadap-hadapan dengan Dewi Kerudung Biru.
"Yakini dan pelajari terus ilmu-ilmu yang telah kau milik itu Sultan. Kelak
kemudian hari kau akan buktikan sendiri kemanfaatannya. Sekarang, selagi hari masih
pagi, selagi udara masih segar, maka segeralah berangkat ke Demak. Dalam semediku
malam tadi aku mendapat sedikit renungan petunjuk dari Yang Kuasa bahwa kekuasaan
kaum pemberontak yang kini bercokol di Banten tidak akan lama....”
Sultan mengangguk. Dia memandang pada tubuh Pendekar 212 yang sampai saat
itu masih juga terbaring dalam pingsannya. "Bagaimana dengan sshabatku ini, Dewi?
Kalau bisa aku ingin berangkat bersama-sama dia...”
Dewi Kerudung Biru menggeleng. "Dalam rencana untuk menumpas kaum
pemberontak, dalam usaha menegakkan yang benar dan menghancurkan yang bathil,
kalian berdua sama satu tekat dan satu hati. Namun dalam mencapainya masing-masing
kalian mempunyai cara tersendiri. Harap kau bisa merenungi hal ini, Sultan…”
Sultan Hasanuddin termenung sejenak. Memang ucapan Dewi Kerudung Biru itu
dapat dipahaminya.
Dia memandang lagi pada Wiro Sableng. "Apakah dia akan segera siuman dan
sembuh kembali, Dewi?" bertanya Sultan.
Sang Dewi mengangguk.
"Mengenai diri Andjarsari dan keris Tumbal Wilayuda, bisakah kau memberi
petunjuk…?"
"Andjarsari diculik oleh komplotan Iblis Pencabut Sukma, Keris Tumbal Wilayuda
juga mereka yang mencurinya…”
"Kalau begitu,” kata Sultan dengan kepalkan tinju. "aku akan cari sarang
mereka...!"Dewi Kerudung Biru gelengkan kepala. "Selain besar bahayanya juga kau mesti
pergi ke Demak sekarang juga Sultan."
"Aku tidak takut mati!,” kata Sultan jantan. "Aku rela korbankan jiwa demi
tegakkan Kerajaan Banten yang syah kembali."
"Aku puji hati kesatriaan dan kecintaanmu pada Kerajaan Banten, Sultan. Tapi
ingat, agaknya caramu untuk mencapai rencana itu hanya dengan mengikuti kehendak hati
sendiri. Salah-salah kau bisa celaka dan Banten tetap dikuasai oleh kaum pemberontak
Parit Wulung."
"Kalau begitu katamu, aku menurut,” ujar Sultan Hasanuddin akhirnya. "Tapi
sebelum pergi perkenankanlah aku melihat parasmu."
Dewi Kerudung Biru menggeleng. "Sayang, masih belum.saatnya aku
mengabulkan permintaanmu Sultan. Harap dimaafkan."
Sultan Hasanuddin menghela nafas dalam. Dia ucapkan lagi rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya.
"Jasa dan pertolonganmu akan kuingat, akan dikenang oleh rakyat Banten. Disatu ketika
aku akan datang lagi menyambangimu, Dewi,” Sultan memanggut memberi hormat lalu
meninggalkan tempat itu.
Kira-kira tiga kali sepeminuman teh lamanya Sultan meninggalkan Goa Dewi
Kerudung Biru maka dihadapan jalan yang ditempuhnya tahu-tahu muncullah tiga orang
penunggang kuda. Ketiganya berjubah dan berkerudung kain merah darah. Anggota-anggota
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma!”
Sesaat kemudian merekapun berhadap-hadapanlah.
Anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Suma yang paling muka buka suara membentak,
"Lekas mengaku, apa kau Sultan Banten yang melarikan diri itu?!"
Kawannya yang lain menyela. "Melihat kepada tampangnya pasti tidak salah lagi! Ayo
kawan-kawan mari kita berebut pahala meringkus manusia ini!"
Maka ketiga anggota Perkumpullan Iblis itu pun melompatlah dari kuda masing-
masing. Sambil melompat ketiganya sekaligus keluarkan jurus warisan Ketua mereka yang
dinamai "tiga pasang lengan meremas tangkai bunga teratai" Yang satu datang dari atas, yang
kedua dari depan dan yang terakhir dari belakang! Tapi Sultan yang sekarang jauh berbeda de-
ngan Sultan sehari sebelumnya.
Sekali Sultan membentak maka terpentanglah kedua tangannya yang mana disusul
dengan gerakan sebat laksana ribuan ekor naga menyengat kian ke mari !Melihat ini, terkejutlah ketiga penyerang. Buru-buru mereka batalkan serangan jurus
pertama dan menyusul dengan jurus "memukul kasur menggeprak bantal!" Ini adalah satu jurus
yang cukup lihay. Anggota Perkumpulan Iblis yang di atas hantamkan dua telapak tangannya
sekaligus sedang yang di depan dan di belakang kirimkan pukulan keras ke dada dan ke
punggung. Tak ayal lagi Sultan segera praktekkah ilmu yang baru diyakininya dari Dewi
Kerudung Biru yaitu keluarkan jurus "cakar garuda emas!"
"Brettt... bret!"
"Kurang ajar! Matipun kau masih cukup pantas untuk diserahkan kepada Ketua kami!"
bentak anggota Perkumpulan Iblis yang sempat selamatkan diri. Dia memberi isyarat pada dua
kawannya. Serentak ketiganya menyerbu dan angkat tangan kanan tinggi-tinggi. Namun
sebelum pukulan "pencabut sukma" itu sempat mereka laksanakan. Sultan buka mulutnya dan
asap biru menggebubu ke arah ketiga penyerangnya.
"Asap kencana biru!" seru salah seorang anggota Perkumpulan Iblis dengan terkejut.
Buru-buru dia tutup jalan nafas. Tapi dua orang kawannya terlambat. Begitu tercium oleh
keduanya kepulan asap biru yang mengandung racun itu maka hancurlah pembuluh-pembuluh
darah dan pecahlah paru-paru mereka. Keduanya mati di situ juga!
"Pemuda, ada hubungan apa kau dengan Dewi Kerudung Biru? Apakah kau
muridnya?!" bentak anggota Perkumpulan Iblis yang masih hidup.
Sultan kertakkan rahang. Tubuhnya berkelebat. Dua tangan terpentang lebih dahsyat
dari yang pertama tadi dan "brak"! Hancurlah mulut yang membentak itu! Tubuh anggota
Perkumpulan Iblis itu kelojotan sebentar lalu kaku tegang untuk selamalamanya !
-- == 0O0 ==
TIGA BELAS
KETIKA Wiro Sableng,
siuman dari pingsannya dirasakannya kepalanya dipangku oleh
satu paha yang panas sedang hidungnya mencium bau harum menyegarkan. Dibukanya matanya
dan pandangannya membentur sebuah wajah yang ditutupi kerudung kain biru. Terkejutlah
pemuda ini. Cepat-cepat dia bangun dan berdiri. Di balik kerudungnya, Dewi Kerudung Biru
menjadi kemerah-merahan pipinya.Wiro Sableng memandang berkeliling. Ruangan itu telah bersih dari mayat-mayat
anggota Pepkumpulan IbIis Pencabut Sukma. Sultan sendiri tiada kelihatan.
"Kemana dia...?!"
tanya Wiro.
"Dia siapa...?"
"Sultan!"
"Sudah pergi pagi tadi. Pergi ke Demak!" Pendekar 212 memandang lama-lama ke muka
yang ditutup kerudung itu. Suara perempuan di hadapannya ini rasanya pernah didengar dan
dikenalinya sebelumnya tapi lupa di mana!
Ketika ingat bahwa perempuan itulah yang telah menolongnya, maka Pendekar 212-pun
segera menjura.
"Dewi Kerudung Biru, aku haturkan-terima kasih atas pertolonganmu. Di lain hari kelak
aku akan balas budi baikmu itu."
"Aku tak mengharapkan balasan apa-apa…". Dan Dewi Kerudung Biru memandang ke
jurusan lain ketika untuk kesekian kalinya mata Pendekar 212 memperhatikan sepasang matanya
lakat-Iekat. Dadanya bergetar. Ditahannya gelora hatinya.
Melihat sikap sang Dewi, ingat bahwa dia pernah mengenali suara perempuan itu
sebelumnya maka inginlah Wiro melihat paras di balik kerudung itu. Namun diajukannya dulu
pertanyaan. "Dewi, mungkin kau bisa memberi petunjuk di mana Andjarsari dan keris Tumbal
Wilayuda berada…?"
"Andjarsari diculik oleh komplotan Iblis Pencabut Sukma. Keris Tumbal Wilayuda juga
ada pada mereka. Kau harus cepat turun tangan Pendekar 212!"
"Tapi dunia begini luas, dimana aku akan cari mereka?"
"Komplotan itu bersarang di Lembah Batu Pualam...!”
"Terima kasih atas keteranganmu Dewi,” Wiro merenung sejenak. Tiba-tiba dia ingat
sesuatu. "Dewi Kerudung Biru, sewaktu aku bertempur melawan anggota komplotan itu kau telah
berseru menyebut namaku. Tahu dari manakah...?"
Tergetarlah hati sang Dewi mendengar pertanyaan ini. Dengan memandang kejurusan
lain menjawablah dia . "Nama seorang pendekar tentu saja dikenal sampai ke mana-mana…" ,
"Aku bukan pendekar apa-apa..,” kata Wiro merendah. "Dan terus terang saja aku rasa-
rasa pernah bertemu dengan kau sebelumnya. Aku masih bisa ingat dan mengenali suaramu…"
Dewi Kerudung Biru tundukkan wajah. Matanya yang jeli dan bercahaya kini kelihatan
redup dan diambangi air mata. Ditekannya perasaannya yang menggelora. Dikerahkannya tenaga
dalamnya agar tidak gemetar suaranya. "Tidak . . . kita tak pernah bertemu sebelumnya Pendekar 212. Dan di dunia ini mungkin saja ada beberapa manusia yang punya suara hampir bersamaan . .
. ."
Wiro Sableng maju satu langkah.
"Dewi, kalau kau tak mau berterus terang, kasihlah tahu saja siapa namamu sebenarnya."
"Kau sudah tahu."
"Ah… Dewi Kerudung Biru itu hanya nama gelaran belaka…,” jawab Wiro pula.
"Di lain hari mungkin aku baru bisa beri tahu nama. Sekarang harap kau suka
tinggalkan tempat ini.
Tapi pemuda itu tetap berkeras. "Dengar Dewi, setiap orang yang pernah menolong aku,
musti kuketahui siapa dia adanya. Kalau kau tak mau kasih tahu nama tak apa. Namun apakah
kau juga tak sudi buka kerudung itu sebentar dan memperlihatkan paras…?"
Dewi Kerudung Biru menghela nafas. "Itu juga tak perlu. Kau akan menyesal…"
"Menyesal kenapa?"
"Kau akan terkejut karena mukaku sangat buruk dan mengerikan…".
"Muka yang buruk tapi hati yang polos dan berbudi seribu kali lebih baik dari wajah
bagus dan hati busuk jahat."
"Permintaanmu tak dapat kukabulkan,” kata Dewi Kerudung Biru dengan ketegasan
yang dipaksakan.
Pendekar 212 maju lebih dekat. "Kalau begitu..,” katanya, "harap maafkan karena aku
terpaksa melakukan ini". Wiro ajukan tangan hendak membuka kerudung penutup wajah.
"Apakah seorang ksatria bersikap sekurang ajar dan tak tahu peradatan?!,” bentak Dewi
Kerudung Biru.
Tangan Wiro tertahan seketika. Tapi karena perempuan itu dilihatnya tiada menjauhkan
kepalanya maka diteruskannya niatnya.
“Sret!”
Terbukalah kerudung biru itu!
Dan terbeliaklah mata Pendekar 212.
“Anggini.!,” serunya.
Ternyata paras di balik kerudung itu adalah paras seorang gadis jelita. Gadis jelita yang
dulu pernah dikenal oleh Pendekar 212 sebagai murid Dewa Tuak! (Baca. "Maut Berjanji di
Pajajaran").
Untuk beberapa lamanya kemudian Wiro Sableng hanya bisa berdiri terlongong-
longong sedang Anggini sendiri tundukkan kepalanya coba menyembunyikan sepasang
matanya yang berkaca-kaca dan juga sembunyikan parasnya yang membayangkan perasaan serta gelora hatinya. Selama beberapa bulan dia telah berkelana untuk mencari Pendekar 212
dan baru hari itu mereka jumpa dalam satu suasana yang tak terduga!
"Apakah dia dapat memaklumi bagaimana perasaan hatiku terhadapnya?" membathin
Anggini atau Dewi Kerudung Biru.
"Ini adalah satu hal yang tak terduga. Anggi...ni…,” desis Wiro.
Anggini anggukkan kepala. "Ya, suatu hal yang tak terduga..,” suaranya yang rawan
ditindihnya dengan tenaga dalam sehingga getaran hatinya tiada kentara oleh si pemuda.
"Tapi ini adalah juga merupakan hal yang menggembirakan,” ujar Pendekar 212 pula.
"Ilmumu maju pesat sekali. Siapa yang menduga kalau Dewi Kerudung Biru itu nyatanya
adalah engkau sendiri…?!"
Karena Anggini diam saja dan masih tundukkan kepala maka bertanyalah Wiro. "Aku
tak mengerti, mengapa tadi kau sengaja mengatakan parasmu buruk…”
"Ah..... Anggini tarik nafas dalam.
Pendekar 212 merenung sejenak. Terkenang dia pada satu malam beberapa bulan yang
lewat ketika dia berada berdua-duaan dengan Anggini yaitu sehabis pertempuran di Gua
Sanggreng.
"Selama waktu ini tentu kau telah menuntut ilmu pada seorang guru sakti. Bukankah
demikian…?"
Anggini mengangguk.
"Rupanya kau kurang begitu senang dengan pertemuan ini, Anggini?" tanya Wiro
Sableng.
"Jangan menduga yang bukan-bukan, Wiro..,” jawab Anggini dan dalam hatinya dia
menambahkan. "Kalau kau tahu perasaanku terhadapmu…"
Setelah termanggu sejurus maka berkatalah Wiro. "Malam menjelang pagi tempo hari
itu menyesal aku terpaksa meninggalkan kau... Apakah kau sudah kembali dan bertemu dengan
gurumu Dewa Tuak...?"
Dewi Kerudung Biru menggeleng.
"Kenapa . . .?"
"Mana mungkin aku kembali jika tidak memenuhi perintahnya tempo hari...?" Habis
mengucapkan kata-kata itu memerahlah kedua pipi Anggini karena jengah.
Wiro Sableng tertawa. "Ho-oh, jadi rupanya cerita itu masih belum juga selesai sampai
sekarang... Wiro geleng-gelengkan kepala.” (Sebagaimana diketahui-dalam buku "Maut Ber-
nyanyi di Pajajaran,” guru Anggini yaitu Dewa Tuak berniat keras untuk menjodohkan Anggini dengan Pendekar 212. Tentu saja Pendekar 212 tidak mau. Setelah terjadi beberapa jurus
pertempuran yang sengaja ditimbulkan oleh Dewa Tuak kemudian memerintahkan Anggini
untuk mencari Pendekar 212 dan muridnya itu tidak diperkenankan kembali kepertapaan,
kecuali dengan membawa Pendekar 212 sebagai calon suaminya !
"Semustinya kau kembali ke tempat gurumu, Anggini. Siapa tahu dia telah merubah
niatnya yang kurang bisa diterima itu...!"
"Aku tahu sifat guruku, Wiro. Sekali dia kasih perintah tak bakal ditariknya kembali!
Dari jika aku tak bisa melaksanakan perintahnya pulang ke pertapaan berarti hanya untuk
terima hukuman.
"Dan karena itu kau tak kembali-kembali kesana . . . ?" .
"Ya,” lalu tanpa diminta gadis itupun memberi penuturan. "Pagi sesudah kau pergi itu,
aku terus mencarimu sampai berbulan-bulan hingga pada suatu hari aku bertemu dengan dua
orang penunggang kuda berkerudung dan berjubah merah. Ternyata dia adalah Ketua
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dan seorang anak buahnya. Kau sudah lihat bagaimana ke-
ganasan komplotan mereka. Meskipun tak ada silang sengketa namun mereka dengan sengaja
mencari gara-gara hendak meringkusku. Anak buah Iblis itu berhasil kubunuh tapi untuk
menghadapi Ketua Iblis Pencabut Suma aku tiada mampu. Dalam keadaan ditotok kemudian
diriku dilarikan ke sarang mereka di Lembah Batu Pualam, Aku dimasukkan ke sebuah
kamar…"
Sampai di sini Anggini tak meneruskan kalimatnya. Ditelannya nafasnya beberapa kali.
Air mata yang sejak tadi mengambang ke pipinya yang kemerahan. Wiro sendiri merasa
dadanya dan nafasnya seperti menyesak. Mungkin selama ini baru kali di saat itulah dia berada
dalam suatu keadaan yang serius demikian rupa. Sifat dan sikapnya yang selama ini selalu lucu
jenaka lenyap ditelan gelombang perasaan setelah mendengar penuturan Anggini, penuturan
yang masih belum habis.
Dengan menguatkan hatinya maka Anggini kemudian meneruskan penuturan. "Ketua
Iblis Pencabut Sukma laknat itu hendak meperkosaku. Kemudian diriku akan diteruskannya
pada bawahan-bawahannya. Tapi Tuhan masih melindungiku. Sebelum Ketua Perkumpulan
laknat itu berhasil melampiaskan maksud terkutuknya, seorang nenek-nenek sakti menerobos
masuk ke dalam kamar dan melarikanku…"
Anggini menarik nafas dalam seketika lalu meneruskan. "Ternyata nenek-nenek sakti
itu adalah Dewi Kencana Wungu. Aku dibawanya kepertapaannya dan diambilnya menjadi
murid. Sekarang beliau sudah tiada. Sudah meninggal…"Lama kesunyian menjelang.
"Apakah rencanamu untuk masa mendatang…?" bertanya Pendekar 212.
"Aku sendiri masih belum tahu. Tapi yang pasti ialah aku harus membuat perhitungan
dengan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu…"
"Agaknya kita mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama menghancurkan
komplotan terkutuk itu."
Lagi-lagi kesunyian menyeling.
"Anggini..,” kata Wiro memecah kesunyian itu. "Sekali ini pertemuan kita tak bisa
berjalan lama...”
''Kau memang selatu tidak menginginkan pertemuan lama-lama denganku..,” kata
Anggini atau Dewi Kerudung Biru.
Pendekar 212 letakkan tangan kirinya di bahu Kanan Anggini. Perawan itu merasakan
ada hawa aneh yang nikmat dan menenangkan hati mengalir ditubuhnya.
"Aku sudah bilang tadi bahwa pertemuan ini sangat menggembirakan. Namun kita
harus sama memaklumi bahwa aku harus menyelamatkan Andjarsari dan merebut kembali
Keris Tumbal Wilayuda. Di lain hari kelak aku pasti akan menyambangimu di sini…"
Anggini terdiam. Dipermainkannya kain biru yang tadi merupakan kerudung wajahnya.
"Aku pergi sekarang, Anggini…"
"Wiro…,” suara Anggini tersekat ditenggorokan.
Langkah Pendekar 212 tertahan. Dipandanginya paras jelita di hadapannya. Kemudian
dilihatnya bagaimana gadis itu menggerakkan tangannya, meremas jari-jari tangannya yang
diletakkan di bahu. Sekelumit getaran menjalari darah muda Pendekar 212. Dia membungkuk
dan mencium kening Anggini. Ketika kepalanya hendak ditariknya kembali tiba-tiba gadis itu
merangkul lehernya erat sekali.
"Wiro... Wiro... jangan pergi dulu…" bisik Anggini. Nafas mereka saling menghembusi
wajah masing-masing. Wiro membelai pipi yang halus lembut itu. Ketika Anggini
memejamkan matanya, Pendekar 212 menempelkan bibirnya ke bibir Anggini. Betapa
hangatnya pertemuan sepasang bibir itu. Mula-mula bibir itu diam membeku seperti mati.
Kemudian rangsangan mulai membuat getaran-getaran pada permukaan kulit bibir masing-
masing. Dan bila sudah demikian, maka sepasang bibir itupun mulai menari-nari, saling lumas
melumas. Keduanya berpagutan erat-erat seperti tak hendak dilepaskan untuk selama-lamanya.
"Wiro… aku cinta padamu, Wiro. Aku cinta padamu..,” bisik Anggini berulang kali.
"Hemm..,” Pendekar 212 menggumam. Digigitnya bibir perawan itu."Kaupun cinta padaku bukan...?"
"Hemmm…,” Wiro menggumam lagi.
"Jawab Wiro. Katakanlah…,” Dan tanpa disadari saat itu tubuh keduanya sudah
terbaring berpagutan di lantai.
"Wiro . . . ."
"Tiba-tiba di ruangan itu meledaklah suara tertawa yang dahsyat.
"Ha... ha... sungguh satu pemandangan yang asyik untuk dilihat! Teruskan…
teruskanlah! Pendekar 212, kenapa tidak kau telanjangi saja tubuh gadis itu?! Itu seribu kali
lebih nikmat… Ha… ha... ha!"
Seorang lain kemudian menyambungi suara yang pertama itu.
"Pendekar 212 nyatanya hanya seorang Pendekar Cabul. Tapi tak apa! Sebelum dikirim
ke liang kubur tak apa kalau diberi kesempatan dulu bercumbu rayu! Di liang kubur kau hanya
akan bercumbu dan tidur dengan cacing!"
Baik Pendekar 212 Wiro Sableng maupun Anggini sama-sama terkejut. Keduanya
melompat cepat. Anggini merapikan jubah birunya yang terbuka di bagian dada !
-- == 0O0 ==
EMPAT BELAS
DI PINTU ruangan berdiri berkacak pinggang dua manusia bermuka buruk angker.
Yang berselempang kain putih mukanya hitam macam pantat kuali, rambut awut-awutan, tam-
pangnya seperti singa dan dia bukan lain Resi Singo Ireng! Di keningnya tertera tiga angka 212.
Di sampingnya berselempang kain biru berdiri kakaknya yaitu Resi Macan Seta yang
tampangnya persis seperti macan. Kulit mukanya coreng moreng belang tiga, kuning, merah
dan hitam! Kedua pentolan pemberontak kaki tangan Parit Wulung ini telah diperintahkan oleh
Parit Wulung untuk mencari kembali Keris Tumbal Wilayuda. Dan hari itu mereka sampai di
Goa Dewi Kerudung Biru di mana mereka telah dapat mencium jejak Pendekar 212. Bukan saja
kedua Resi ini berprasangka bahwa Keris Tumbal Wiiayuda sudah berada di tangan Pendekar
212, tapi Resi Singo Ireng sendiri memang mempunyai dendam kesumat terhadap Pendekar
212 yaitu sewaktu dibikin muntah darah dalam pertempuran di perbatasan Kerajaan Banten tempo hari. Dan dendam kesumat itu masih dibawanya ke mana-mana sampai saat itu dikulit
keningnya di mana tertera angka pukulan 212!
"Siapa mereka, Wiro ?,” tanya Anggini dengan ilmu menyusupkan suara.
"Dua manusia keparat yang membantu Parit Wulung si pemberontak terhadap Banten!,”
menyahuti Pendekar 212."
"Eeee… eee... eee. Kenapa acara kalian tidak diteruskan?,” bertanya Resi Singo Ireng
dengan nada mengejek.
Pendekar 212 menyengir. "Bicaramu keren sekali manusia muka pantat Kuali.
Tentunya kau andalkan manusia muka harimau yang disampingrnu itu, huh?!"
Mata Resi Macan Seta membeliak garang. "Pentang kau punya mata, bukalah lebar-
lebar agar tahu dengan siapa berhadapan!" bentaknya.
"Ah, manusia jelek macammu perlu apa aku kenali. Lagi pula, melihat kepada
tampangmu, aku kawatir apa kau betul-betul manusia atau harimau jadi-jadian!,” Habis
berkata begitu maka Pendekar 212 tertawa mengakak.
"Pemuda besar mulut, aku mau lihat apakah kau sanggup menerima pukulanku ini?"
bentak Resi Matjan Seta. Kata-kata ini ditutup dengan menghantam tangan kanannya ke
muka. Maka bertaburlah sinar merah kekuningan ke arah Wiro dan Anggini. Pukulan "siaar
surya tenggelam." .
Pendekar 212 dan Anggini melompat ke samping Anggini sementara itu dengan cepat
mengenakan kembali kerudung birunya.
Kejut Resi Macan Seta bukan kepalang ketika melihat Pendekar 212 dan si gadis
sanggup mengelakkan serangannya yang ampuh tadi. Nyatalah bahwa nama Pendekar 212
bukan kosong belaka. Tidak disesalkan kalau tempo hari adiknya dapat dipecundangi!
Ketika melihat si gadis mengenakan kerudung kejut Resi Matjan.Seta dan Singo Ireng
lebih-lebih lagi.
"Kiranya kita berhadapan pula dengan Dewi Kerudung Biru, saudaraku Singo Ireng!".
kata Matjan Seta.
"Betul, tapi sang dewi ini biar aku bekuk hidup-hidup. Tampang dan, tubuhnya yang
montok lumayan sekali untuk dikekapi sehari semalam!"
Marahlah Wiro mendengar ucapan Singo Ireng itu. "Manusia pantat kuali, angka 212
di keningmupun belum sanggup kau hapus, sekarang sudah berani-beranian unjuk gigi!"
Si Singo Ireng tidak ambil peduli ucapan Wiro Sableng tapi segera menyerang Dewi
Kerudung Biru. Sengaja dikeluarkannya jurus "memetik bunga memotes tangkainya". Jurus ini ialah satu jurus meringkus lawan yang didahului oleh satu totokan jarak jauh yang
dahsyat!
Namun dugaan Singo Ireng bahwa dia akan sanggup membekuk hidup-hidup, Dewi
Kerudung Biru dalam satu jurus hebat itu meleset besar! Dewi Kerudung Biru sambuti
serangannya dengan jurus "naga kepala seribu mengamuk!"
Kaget sekali jadinya Resi Singo Ireng ketika menyaksikan bagaimana kedua tangan
lawan berkelebat sangat cepat naik turun membabat ke samping dan berputar bergelung,
menyerang ke arahnya.
Selama malang melintang membuat kejahatan di dunia persilatan baru kali ini dia
menghadapi jurus aneh ini! Sebaliknya Resi Matjan Seta yang punya lebih banyak
pengalaman segera berseru. "Singo lreng, awas itu pukulan naga kepala seribu mengamuk!"
Mendengar ini tersurutlah Resi Singo Ireng. Cepat-cepat dia kemudian melompat ke udara
ketika menukik ke bawah dia lancarkan empat tendangan empat pukulan. Dalam sekejapan
saja kedua orang itu sudah terlibat dalam jurus-jurus yang dahsyat.
"Manusia muka coreng moreng! Apa hanya kalian berdua saja yang datang antarkan
nyawa ke mari…?" tanya Pendekar 212 pada Matjan Seta.
"Bocah gila!" bentak Matjan Seta marah sekali sehingga mukanya yang coreng
moreng itu semakin menyeramkan.
“Jika kau tidak kepingin mampus, sebaiknya lekas serahkan Keris Tumbal Wilayuda
dan beri tahu di mana Sultan berada. Niscaya kau punya nyawa akan aku ampunkan!"
Pendekar 212 bersiul keras.
"Kau bukan Tuhan yang bisa mengampunkan manusia! Sebaiknya kupertemukan saja
kau lekas-lekas dengan malaekat maut!"
Resi Macam Seta mengaum macam harimau terluka. Tubuhnya berkelebatan dan
lenyap. Angin dahsyat laksana angin prahara menderu ke arah Pendekar 212. Secepat kilat
Pendekar 212 jatuhkan diri dari berguling di lantai. Tangan kanannya memukul ke atas!
Pukulan Matjan Seta yang tidak mengenai sasarannya terus melanda dinding batu. Dinding itu
pecah! Tetapi sebaliknya Resi ini merasakan bagaimana tubuhnya terasa seperti diangkat ke
atas dan satu angin tajam menyakiti kulit kakinya. Ketika dia memandang ke muka Pendekar
212 sudah tak ada dihadapannya.
"Aku di sini, Matjan Seta!"
Matjan Seta putar tubuh ke belakang. Begitu tubuhnya berputar begitu dan melihat satu
gumpalan angin yang kerasnya laksana baja menderu ke arahnya. Resi ini tak ayal lagi
melompat empat tombak ke udara. Mendadak didengarnya suara siulan dekat sekali di
telinganya. Dia hantamkan tangannya ke samping. Tapi....
"Bluk!"
Resi Matjan Seta terpelanting ke lantai. Tulang punggungnya serasa remuk. Dia
kerahkan tenaga dalamnya dengan cepat ke bagian yang kena dipukul lawan lalu atur jalan
nafas. Ketika dia berdiri lurus-lurus kembali, muka macannya kelihatan bertambah angker.
Kedua kakinya terpentang lebar. Tubuhnya sedikit membungkuk ke muka. Kedua tangannya
yang diangkat ke atas kelihatan bergetar. Wiro maklum bahwa lawannya memusatkan seluruh
tenaqa dalamnya pada dua tangan itu, dengan segera pendekar ini bersiap-siap pula!
Tangan kanan Resi Matjan Seta kelihatan berwarna merah kekuningan. Lebih merah
dan lebih kuning dari yang tadi. Pendekar 212 tahu bahwa lawannya bakal lepaskan lagi
pukulan "sinar surya tenggelam" tapi yang lebih hebat dari yang pertama tadi. Dan ketika
melirik pada tangan kiri sang Resi, tangan itupun kini berwarna sangat merah dan mengepulkan
asap merah!
Dua pukulan sekaligus tak bisa dianggap enteng! Pendekar 212 tidak mau ambil risiko.
Segera tangan kanannya ditinggikan ke atas. Dan cepat sekali lengan sampai ke jari-jari tangan
kanan itu menjadi sangat putih dan menyilaukan laksana perak ditimpa sinar matahari !
Mata Resi Matjan Seta membeliak melihat hal itu. "Pukulan sinar matahari!,” keluhnya
dengan hati tergetar. "Benar-benar pemuda rambut gondrong ini memiliki ilmu kesaktian yang
tinggi luar biasa! Apakah dia benar-benar telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian Eyang Sinto
Gendeng…?,” demikian Matjan Seta membathin.
Namun percaya, bahwa dua, pukulannya yaitu pukulan "inti api" dan pukulan "sinar
surya tenggelam" akan dapat mengimbangi pukulan lawan maka dengan serta merta dia
hantamkan kedua tangannya ke muka. Dua gelombang sinar merah pun menderu ke arah
Pendekar 212.
Pendekar 212 tunggu sampai dua gelombang sinar itu berada di pertengahan jarak
antara dia dan lawan. Dan sedetik kemudian tangan kanannyapun turunlah ke bawah. Selarik
sinar putih yang sangat panas dan menyilaukan menggebubu melabrak dua gelombang sinar
merah,
"Bumm !"
Ruangan batu itu tergoncang hebat. Dinding batu angsrok, Lantai longsor sedang bagian
atas ambruk! Terdengar keluhan maut Resi Matjan Seta. Di saat yang rasanya seperti mau
kiamat itu Pendekar 212 berkelebat cepat menyambar tubuh Dewi Kerudung Biru dan dilarikan ke luar goa. Sesaat mereka sampai di luar goa maka runtuhlah Goa Dewi Kerudung Biru. Resi
Singo Ireng yang tak sempat selamatkan diri, mati tertimbun bersama saudaranya Resi Matjan
Seta. Di luar goa Pendekar 212 dan Dewi Keradung Biru saling berangkulan.
"Anggini… sangat disesalkan tempatmu yang bagus menjadi hancur runtuh. Tapi
sebagiannya masih bisa kau pergunakan...”
Anggini mengangguk. Disembunyikannya wajahnya di dada yang bidang itu.
"Anggini,” kata Wiro lagi. Dilepaskannya pelukannya. "Waktuku tak banyak lagi. Aku
harus segera ke Lembah Batu Pualam tempat bersarangnya Perkumpulan Iblis Pencabut
Sukma..... Sampai jumpa lagi, Anggini".
"Aku ikut Wiro....!" seru gadis itu, Tapi Pendekar 212 sudah lenyap dari hadapannya.
Gadis itu termanggu sejurus. Tapi kemudian segera pula dia berkelebat meninggalkan
tempat itu.
-- == 0O0 ==
LIMA BELAS
LEMBAH Batupualam…..
Lembah ini dikelilingi oleh pegunungan batu pualam yang berkilauan ditimpa sinar
sang surya. Di mana-mana bahkan sampai ke dasar lembah terdapat gundukan-gundukan batu
pualam putih. Di tengah dasar lembah kelihatan sebuah gedung besar bertingkat dua yang
keseluruhannya mulai dari lantai sampai ke atap terbuat dari batu pualam. Gedung ini indah
sekali bentuknya. Di beberapa bagian di luar dan di dalam gedung batu pualam ini terdapat
ukiran-ukiran yang bagus sehingga sesungguhnya tak pantaslah bila gedung itu menjadi markas
atau sarangnya komplotan terkutuk Iblis Pencabut Sukma!
Pendekar 212 berdiri di ujung timur tepi lembah, berlindung di balik sebuah onggokan
batu pualam. Dari tempatnya berada dilihatnya gedung itu sepi-sepi saja. Tak ada seorangpun
anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang kelihatan.
Dengan berlindung di balik gugusan-gugusan dan puing-puing batu pualam, Pendekar
212 mulai menuruni lembah. Dia sampai di dasar lembah kini. Jarak antaranya dengan gedung
batu pualam kurang lebih tiga puluhan tombak. Wiro melompat ke balik gugusan batu pualam yang lain, melompat lagi ke kiri, lalu ke kiri lagi sehingga jaraknya kini dengan gedung itu
hanya sekira sepuluh tombak.
Pintu depan gedung terbuka lebar-lebar, demikian juga jendela-jendela di tingkat bawah
serta atas. Anehnya sampai saat itu suasana masih sunyi senyap seperti tadi. "Mungkin ada
perundingan di dalam sana…,” pikir Pendekar 212. Dia memutuskan untuk menunggu sampai
kira-kira sepeminum teh. Sementara itu di tingkat kedua gedung batu pualam.....
Di sebuah ruangan rahasia kelihatan empat manusia berjubah dan berkerudung merah.
Salah satu di antaranya jubah dan kerudungnya lebih merah dari yang lain-lain. Dialah Ketua
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Dia duduk di sebuah kursi, membelakangi sebuah mimbar.
Dihadapannya duduk tiga orang, satu di antaranya ialah Wakil Ketua Perkumpulan. Yang dua
anggota anggota Perkumpulan yang berilmu tinggi. Di pangkuan Wakil Ketua Perkumpulan
saat itu terbaring tubuh Anjarsari.
Ketua Iblis Pencabut Sukma manggutkan kepala dan Wakilnya segera berdiri. Tubuh
Andjarsari diletakkannya di kursi lalu dia melangkah kehadapan Ketua dan menjura.
"Ketua, harap dimaafkan bila aku menjalankan tugas dan kembali ke sini agak
terlambat. Ada beberapa rintangan di tengah jalan…”
"Kau berhasil mendapatkan Keris Tumbal Wilajuda?!" bertanya sang Ketua. Suaranya
berat serak laksana palu godam.
Wakil Ketua angguKkan kepala lalu keluarkan sebilah keris yang keseluruhannya mulai
dari sarung sampai ke kerisnya terbuat dari emas. Karena senjata ini senjata mustika maka
dengan sendirinya memancarkan sinar kuning yang terang! Mata Ketua Iblis Pencabut Sukma
berkilat-kilat melihat senjata itu. Begitu diterumanya diperhatiKannya sejurus lalu di-
masukkannya ke batik pinggang.
"Apalagi yang kau bawa?!" tanya sang Ketua. Wakilnya putar tubuh sedikit dan
menuding pada tubuh Andjarsari yang didudukkan di kursi. "Gadis itu adalah calon isteri Sultan
Hasanuddin. Aku berhasil menculiknya.......”
"Sultan sendiri bagaimana . . . . . . , ?".
“Aku juga sebenarnya hampir berhasil menculik dia waktu berada disarang
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam tapi tahu-tahu sesosok bayangan biru melarikannya.
Ketika kuikuti jejaknya ternyata bayangan biru itu adalah Dewi Kerudung Biru. Perempuan
dajal itu hampir berhasil kutamatkan riwayatnya bersama beberapa orang anggota jika seorang
pemuda gila bergelar Pendekar 212 tidak muncul di situ!""Hem... memang akhir-akhir ini kudengar kabar selentingan tentang munculnya seorang
pendatang baru yang aneh dalam dunia persilatan...."
Ketua Iblis Pencabut-Sukma usap-usap dagunya yang tersembunyi di batik kerudung
itu. Lalu tanyanya. "Jadi kau dan anak-anak buah tak sanggup membereskan pendekar itu?".
"Manusia itu sakti sekali. Dia memiliki sebuah kapak bermata dua..... Kapak Maut Naga
Geni 212!"
"Hanya sebuah kapak buat penebang pohon saja kau takuti.... Bagaimana dengan Per-
kumpulan Pengemis Darah Hitam....?"
"Mulanya, karena merasa bahwa kita masih satu golongan dan aliran dengan mereka,
aku minta agar keris, Andjarsari dan Sultan diserahkan secara baik-baik. Tapi mereka
membangkang. Terpaksa tak satupun yang aku kasih hidup...."
"Itu bagus!," kata Ketua Iblis Pencabut Sukma "Dalam waktu dua atau tiga hari dimuka,
kita akan segera berangkat ke Banten! Sampai saat ini secara tidak langsung, dengan adanya
Keris Tumbal Wilajuda di tangan kita maka Banten sudah milik kita. Dan sebagai balas jasamu,
kau boleh ambil itu gadis!".
Gembiralah hati sang Wakil mendengar itu. Sesaat sesudah sang Ketua meninggalkan
ruangan disusul oleh dua orang anggota kelas satu tadi maka Wakil iblis Pencabut Sukma segera
memboyong tubuh Andjarsari ke dalam kamarnya yang terletak dipaling ujung gedung tingkat
kedua.
Sepeminum teh telah lewat.
Wiro mengintai lagi dari balik gugusan batu pualam. Gedung masih tetap sunyi senyap.
Dengan rasa tak sabar segera pemuda ini kerahkan ilmu mengentengi tubuh dan laksana seekor
alap-alap melesat ke atas atap gedung batu pualam tingkat kedua. Bagian atas gedung ini rata
licin. Dan di sebelah sana beberapa tombak jauhnya, dua orang berjubah dan berkerudung merah
tengah asyik bermain dam. Begitu sudut mata mereka melihat adanya bayangan sesosok tubuh di
atas atap itu segera keduanya putar kepala.
"Hai!" seru salah seorang dari mereka. "Siapa kau ?!,” membentak yang kedua. Pendekar
212 melintangkan jari tetunjuk tangan
kirinya di atas bibir. "Sssst............. desisnya. Kemudian dengan tiba-tiba tangan kanannya
dihantamkan ke muka. Tak ampun lagi kedua manusia berjubah merah itu rebah di atas atap
dengan menyembur darah sedang papan serta buah dam mental di udara jauh sekali.
Pendekar 212 geli sendiri. Dia memandang berkeliling. Kemudian lapat-lapat dari ujung
atas sebelah sana didengarnya suara jeritan perempuan. Dengan cepat pemuda ini lari ke ujung. atap. Di bawah atap, persis di atas sebuah jendela terdapat beberapa buah lobang angin. Dari
salah satu lobang angin ini Wiro mengintai ke dalam gedung! Dan mendidihlah darah Pendekar
212 sewaktu menyaksikan apa yang terpampang di dalam kamar di bawah atap itu.
Andjarsari berada dalam keadaan hampir tak berpakaian. Rambutnya yang panjang kusut
masai menjela-jela. Gadis ini megap-megap dan menjerit-jerit serta meronta. Tapi tak kuasa sama
sekali untuk menyingkirkan tubuh Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang
menghimpitnya dari atas!
Tidak membuang waktu lagi Pendekar 212 melompat turun dan melabrak jendela kamar
dengah satu tendangan kaki kiri.
Kejut Wakil Ketua Perkumpulan Iblis itu bukan alang kepalang! Jendela kamar dilihatnya
hancur berantakan dan sedetik kemudian sesosok tubuh melayang memasuki kamar!
"Bangsat rendah!" memaki manusia bermuka angker itu. Secepat kilat dia melompat dari
tempat tidur dan menyambar jubah merahnya. Dia tak sempat mengenakan kerudungnya karena
pada saat itu Pendekar 212 sudah menyerang dengan ganas!
Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma sambuti serangan lawan dengan jurus "menendang
langit menjungkir awan". Begitu hebatnya jurus ini sehingga Pendekar 212 terpaksa tahan
kegeramannya untuk melanjutkan serangan. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Wakil Ketua
Iblis Pencabut Sukma untuk lari ke luar kamar!
"Jalan lari satu-satunya bagimu hanyalah ke neraka manusia durjana!,” bentak Pendekar
212 lalu memburu dengan sebat.
Wakil Ketua itu melarikan diri ke sebuah ruangan besar yang di setiap dindingnya
terdapat lima buah pintu. Begitu injakkan kaki di ruangan ini dia segera berteriak. "Anggota-
anggota Perkumpulan! Gedung ini kebobolan bahaya! Lekas ke luar!"
Serentak dengan itu maka dua puluh pintu di empat dinding ruangan terbuka lebar dan
melompatlah dua puluh anggota Perkumpulan. Kesemuanya berjubah dan berkerudung merah
dan mencekal sebilah pedang merah! Wakil Ketua Perkumpulan sendiri cabut sebuah rujung
emas dari balik jubahnya. .
"Cincang pemuda sedeng ini!,” Wakil Ketua beri komando. Kata-katanya ini ditutup
dengan sambarkan rujung emasnya ke arah Pendekar 212! Masih dalam jarak beberapa tombak
maka angin pukulan rujung telah menyambar dengan dahsyat ke arah Pendekar 212. Hampir
bersamaan pula dengan itu maka dua puluh anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma
menyerbu pula! Duapuluh batang pedang merah berkiblat! Hanya sekejapan mata saja maka
terbungkuslah Pendekar 212 dalam hujan pedang dan sambaran rujung!Murid Eyang Sinto Gendeng ini menggerung dahsyat. Dengan cepat dia jatuhkan diri ke
lantai. Begitu jatuh di lantai dua tangannya dihantamkan nembentuk dua lingkaran. Dua
lingkaran sinar putih panas yang menyilaukan mata menggelombang. Dimana-mana terdengar
pekikan kematian. Lebih dari separoh anak buah komplotan Iblis Pencabut Sukma terkapar di
lantai ruangan dengan tubuh hangus tersambar ilmu pukulan "sinar matahari" Pendekar 212!
Melihat ini mereka yang masih hidup menjadi lumer nyalinya dan mulai pikir-pikir
untuk undurkan diri. Namun tentu saja mereka juga takut pada pimpinan, terlebih lagi ketika.
Wakil Ketua mereka membentak. "Ayo! Kalian tak perlu takut! Mari gempur lagi dengan jurus
menabas gunung menusuk bukit mendobrak bendungan!
Selama beberapa tahun belakangan ini boleh dikatakan jarang sekali Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma mengeluarkan jurus "menabas gunung menusuk bukit mendobrak bendungan"
itu. Kecuali dalam menghadapi lawan yang benar-benar luar biasa tinggi ilmu silat dan
kesaktiannya. Dan hari itu bila mereka mengeluarkan jurus yang dahsyat itu nyatalah bahwa
lawan yang mereka hadapi benar-benar hebat! Dan memang begitu kenyataannya!
Pendekar 212 sendiri begitu dengar nama jurus ini tak ayal lagi segera cabut Kapak
Maut Naga Geni 212. Selama ini dia cuma pernah dengar dan mengetahui nama jurus yang
terdiri dari empat untaian kata-kata. Kini lawan menyerangnya dengan jurus enam untaian kata-
kata. Pastilah ini suatu jurus yang luar biasa!
Maka begitu lawan menyerbu, Pendekar 212 sudah putar Kapak Maut Naga Geni 212-
nya. Lolong kematianpun bergemalah untuk kedua kalinya di ruangan itu! Enam anggota
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma menggeletak mandi darah. Dua orang yang masih hidup,
ditambah dengan Wakil Ketua Perkumpulan yang saat itu masih memegangi rujung emasnya
tapi yang sudah kuntung karena diterabas Kapak Pendekar 212, saling berikan isyarat. Dua
anggota yang masih hidup ini melompati Wiro dan kirimkan empat serangan berantai sekaligus.
Wakil Ketua mereka sendiri melompat kesebuah pintu dan menekan satu tombol rahasia!
Pada detik Pendekar 212 menerabas tubuh kedua lawannya dengan Kapak Maut, maka
pada detik itu pula tiba-tiba lantai yang dipijaknya terbuka ke samping. Tak ampun lagi
tubuhnyapun melayang jatuh ke dalam sebuah ruangan sedalam dua puluh tombak sedang
lantai ruangan yang tadi membuka kini secara aneh tertutup oleh jalur-jalur besi sebesar lengan
!
"Ha... ha... ha...!" Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma tertawa bekakakan.
"Sekalipun kau punya sepuluh kepala dua puluh tangan dan kaki jangan harap kau bisa ke luar
dari perangkap ini Pendekar 212!""Manusia sialan!" maka Pendekar 212 sangat geram dan penasaran. Dihantamkannya
tangan kanannya ke atas. Sinar putih berkiblat. Lantai ruangan di atasnya hancur runtuh tapi
jalur-jalur besi yang menutup lobang perangkap sedikitpun tidak berobah. Wakil Ketua
Perkumpulan sendiri saat itu dengan cepat sudah menghindar ke samping kemudian dari balik
jubahnya dia keluarkan sebuah lonceng kecil. Begitu lonceng dibunyikan maka muncullah
Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma diiringi oleh dua orang anggota klas satu yang
berkepandaian sangat tinggi.
Menyaksikan kematian banyak sekali anak buahnva maka menggerenglah Ketua
Perkumpulan ini. Mukanya yang tersembunyi dibalik kerudung mengkerut tegang, matanya
berkilat-kilat. Dia melangkah kehadapan sang Wakil.
"Sesudah seluruh anggota mampus begini rupa baru kau bunyikan lonceng memanggil
aku? Bagus betul perbuatanmu!"
Gemetarlah lutut Wakil Ketua mendengar bentakan atasannya itu. "Tapi Ketua, manusia
itu sakti luar biasa. Namun demikian aku telah berhasil meringkusnya! Lihatlah ke bawah
sana!"
"Keberhasilanmu tetap tidak dapat menghindari hukuman yang bakal kau terima kelak!"
desis Ketua Perkumpulan. Dia melangkah ke tepi perangkap. Namun secepat kilat bersurut
mundur karena dari dasar perangkap menggebu segumpal angin dahsyat. Atap gedung batu
pualam yang tadi telah hancur dilanda pukulan sinar matahari kini kembali berpelantingan!
"Kurang ajar!,” bentak Ketua Perkumpulan. Tangan kanannya dipukulkan ke dasar
perangkap. Dan menderulati lima lusin jarum merah! Tapi lagi-lagi Ketua Perkumpulan ini
dikejutkan ketika angin sedahsyat badai membuat jarum-jarum beracunnya itu menderu
kembali ke atas! Jika tidak lekas pula dia menghindar dari tepi perangkap pastilah senjata
makan tuan!
"Budak hina dina! Kau boleh keluarkan seribu ilmu tapi jangan harap kau bakal ke luar
hidup-hidup dari dalam perangkap ini!"
Habis berkata begitu dengan ibu jari kaki kanannya Ketua Perkumpulan IbIis Pencabut
Sukma menginjak sebuah tombol di salah satu sudut perangkap sebelah atas! Di dasar
perangkap, secara aneh dinding terangkat kira-kira sejengkal dan laksana air bah dari keempat
celah dinding itu berserabutanlah ratusan binatang berbisa seperti ular, kelabang, lipan dan
kalajengking! Semuanya menyerbu menyerang Pendekar 212!
Murid Eyang Sinto Gendeng melompat dua tombak. Begitu tubuhnya mengapung di
udara tangan kirinya segera mengambil batu api 212 dari balik pinggang. Sekali batu api dan Kapak Naga Geni 212 diadu maka lidah apipun menderulah ke lantai perangkap. Seluruh
binatang berbisa itu tak satupun yang hidup. Semuanya terbakar musnah dengan mengeluarkan
bau yang tak nyaman dan memegapkan jalan nafas.
Pendekar 212 tidak menunggu lebih lama. Jika di luar dengan ilmu mengentengi tubuh
dia bisa melompat sampai tiga puluhan tombak lebih, mengapa di dalam perangkap yang cuma
sedalam dua puluh tombak itu dia tak bisa? Cuma yang dikhawatirkannya ialah jika dia tak dapat
menerobos atau menghancurkan jalur-jalur besi di atas perangkap itu dengan Kapak Maut Naga
Geni 212-nya !
Di atas sana tiba-tiba dilihatnya Ketua dan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut
Sukma kembali mendekati tepi perangkap. Pendekar 212 segera hantamkan tangan ke atas
mengirim pukulan matahari dan serentak dengan itu dia melompat ke udara. Kapak Naga Geni
212 diputar dengan sebat!
"Trang... trang... trang...!"
Ternyata Kapak Naga Geni 212 mampu menghancurkan jalur-jalur besi penutup
perangkap. Pendekar 212 tertawa gembira dan berdiri dengan berkacak tangan kiri dipinggang
sementara empat lawannya di ruangan itu diam-diam menjadi ngeri melihat kehebatan pemuda
ini!
Dari kerudung dan jubahnya yang lebih merah laksana darah. Pendekar 212 segera
mengenali yang mana adanya Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Maka berkatalah
pemuda ini dengan membentak. "Lekas serahkan Keris Tumbal Wilajuda. Dan jika kalian
berjanji untuk kembali ke jalan yang benar niscaya aku masih mau memberi ampun!"
Ketua Perkumpulan tertawa mendengus. "Usia masih seumur jagung, tubuh masih bau
amisnya orok, mungkin tidurpun masih ngompol tapi sudah berani bicara membentak dan
memerintah dihadapanku!"
"Ucapanmu tidak lucu Ketua Perkumpulan Iblis! Ringkas kata kau mau serahkan Keris
Tumbal Wilajuda atau tidak?!"
Perlahan-lahan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma angkat tangannya ke udara.
Gerakannya ini diikuti oleh Wakil dan dua anggotanya.
"Baik!,” katanya, "aku akan serahkan Keris Tumbal Wilajuda padamu, tapi serahkan dulu
kau punya jiwa!"
Habis berkata demikian maka empat tanganpun sama-sama ditarik melancarkan pukulan
yang sangat diandalkan oleh Perkumpulan mereka yaitu pukulan pencabut sukma!Dalam keadaan lengah seperti di Goa Dewi Kerudung Biru tempo hari mungkin empat
pukulan sakti itu akan menamatkan riwayat Pendekar 212. Tapi kali ini keadaan berlainan,
apalagi saat itu Wiro memegang pula Kapak Maut Naga Geni 212 ditangan!
Begitu empat angin maut membetot ke arah badannya maka Pendekar 212 berseru
nyaring! Tubuhnya lenyap! Menyusul suara siulan melengking dan Kapak Maut Naga Geni 212
membuat putaran putih yang sebat sekali, angin yang ke luar dari Kapak sakti itu melanda hebat
tarikan angin maut keempat musuh. Dan setengah jurus kemudian dua anggota klas satu
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma sama menjerit keras! Tubuh mereka rebah ke lantai. Yang
satu berbusaian isi perutnya, yang satu lagi hampir putus batang lehernya !
Ketua dan Wakil Perkumpulan terkutuk sama-sama tersurut! "Apa kau masih belum mau
serahkan apa yang kuminta?!" bentak Pendekar 212.
"Aku bilang serahkan nyawamu lebih dulu, budak hina!" balas membentak Ketua Iblis.
"Manusia tolol, dikasih ampun malah minta mampus!" Gusar sekali Pendekar 212
jadinya. Tubuhnya berkelebat untuk kesekian kalinya. Kali ini dalam jurus "membuka jendela
memanah rembulan". Kapak Naga Geni mula-mula menderu sebat ke samping. Dan
terdengarlah jerit kematian Wakit Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Ketua
Perkumpulan tersirap dan melompat mundur ketika melihat Wakilnya terhuyung-huyung
dengan dada mandi darah lalu jatuh duduk di lantai! Namun Pendekar 212 betul-betul tidak
mau memberikan kesempatan lagi. Kapaknya terus menyelesaikan jurus yang dibuat dan kini
membabat deras ke udara!
Ketua Perkumpulan terkutuk itu melolong setinggi langit! Dagunya terbabat putus
berikut sebagian kerudungnya sekaligus! Tubuhnya terbanting ke dinding! Ketika Kapak Maut
Naga Geni hendak membalik lagi guna menamatkan riwayat Ketua Perkumpulan durjana itu
maka tahu-tahu melesatlah sesosok tubuh manusia dan terdengar satu seruan.
"Bangsat yang satu ini adalah bagianku, Wiro!".
-- == 0O0 ==
ENAM BELAS
PENDEKAR 212 berpaling yang datang ternyata Dewi Kerudung Biru alias Anggini !
"Ah, kau rupanya Anggini. Betul, memang tepat sekali kalau kau yang cabut nyawa
anjing manusia terkutuk ini! Kau selesaikanlah perhitungan lamamu!”Ketika Pendekar 212 bicara ini, Ketua Perkumpulan Iblis pergunakan kesempatan untuk
menghambur ke pintu. Tapi secepat kilat Wiro angsurkan kaki kirinya menyerimpung
pergelangan salah satu kaki Ketua Perkumpulan Iblis itu. Tak ampun lagi tubuhnya tersungkur
ke lantai!
"Cepat bangun, manusia iblis agar cepat pula kuantarkan kau punya nyawa menghadap
penjaga neraka!,” bentak Dewi Kerudung Biru!
Perlahan-lahan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma berdiri. Tiba-tiba dia
hantamkan satu pukulan ke arah Dewi Kerudung Biru. Tapi tenaga pukulannya ini sudah
banyak berkurang akibat luka didagunya yang mengandung bisa dan bisa mana mulai menjalar
kesegenap pembuluh darahnya!
Melihat lawan memukul, Dewi Kerudung Biru berkelit cepat dan kirimkan serangan
balasan yaitu jurus naga kepala seribu mengamuk! Terkejutlah Ketua Perkumpulan Iblis
melihat jurus yang dahsyat ini. Dia melompat mundur tiga tombak dan berseru. "Dewi
Kerudung Biru, antara kau dan aku tiada permusuhan, mengapa kita musti bertempur begini
rupa?!"
Dewi Kerudung Biru tertawa dingin sedingin salju. "Kau lupa pada seorang gadis yang
hendak kau perkosa beberapa bulan yang lalu?!" Dewi Kerudung Biru membuka kerudung
penutup wajahnya! "Apa kau masih lupa dan tidak kenali aku?!"
Terkejutlah Ketua Iblis Pencabut Sukma melihat paras gadis dihadapannya. Namun rasa
terkejutnya ini tiada lama. Anggini kembali menyerbu.
Kali ini dalam jurus "cakar garuda emas". Kedua tangannya terpentang.
"Breet!" Kuku-kuku yang panjang dari gadis itu menyambar dada sang Ketua. Dan tidak
sampai di sana saja, Anggini buka mulutnya lebar-lebar.
"Huaah!"
Menyemburlah asap kencana biru ke arah Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma.
Manusia ini menjerit. Tubuhnya terhuyung-huyung. Ketika dia rebah ke lantai maka sekujur
badannya menjadi sangat biru! Tamatlah riwayat manusia yang paling terkutuk dan ganas itu.
Belum puas sampai di situ, Anggini maju mendekati mayat laki-laki itu lantas menendang
kepalanya. Tubuh Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma mencelat enam tombak kepalanya
hancur!
"Kau hebat sekali, Anggini,” memuji Pendekar 212 seraya melangkah mendekati mayat
Ketua Iblis Pencabut Sukma. Ketika digeledah di balik pinggangnya diketemukan Keris Tumbal Wilajuda!"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya Wiro?,” bertanya Dewi Kerudung Biru atau
Anggini.
Pendekar 212 merenung beberapa lamanya lalu menjawab. "Setelah Keris Tumbal
kerajaan ini berhasil diketemukan, kurasa ada baiknya aku segera menemui Sultan Banten".
"Mengapa begitu?,” tanya Anggini. "Bukankahkau sendiri sudah tahu bahwa Sultan
Hasanuddin pergi ke Demak untuk meminta bantuan balatentara dari Sultan Trenggono guna
mengusir kaum pemberontak yang kini bercokol di Banten?"
"Betul, namun saat ini aku ada rencana baru. Rencanaku ini akan sangat banyak
mengurangi korban-korban yang tiada berdosa.....”
"Aku tak mengerti maksudmu,” kata Anggini pula. I
Pendekar 212 tersenyum. "Kau akan mengerti setelah menyaksikannya sendiri nanti.
Sementara aku menyusul Sultan ke Demak, kuharap kau sudi pergi keperbatasan dan menunggu
kedatangan kami di sana…”
Bagi Anggini adalah lebih disukainya bila dia bisa ikut bersama-sama dengan pemuda itu.
Namun setelah berpikir sejurus akhirnya dia menganggukkan kepala.
"Sampai jumpa Anggini,” kata Pendekar 212 seraya memegang bahu gadis itu.
Anggini meremas seketika jari-jari si pemuda dan sebelum tubuhnya lebih dijalari gelora
darah muda maka Pendekar 212 segera meninggalkan tempat itu.
Meskipun satu hari terlambat namun dengan ilmu larinya yang sangat lihai, Wiro berhasil
mendahului Sultan. Hasanuddin yang berangkat ke Demak dengan menunggangi seekor kuda.
Wiro menunggu kedatangan Sultan di jalan luar kota sebelah timur. Tentu saja Sultan
Hasanuddin sangat terkejut dan heran bertemu dengan pemuda sahabatnya itu.
"Sahabat, bagaimana kau tahu-tahu sudah muncul di sini?" tanya Sultan seraya turun dari
kuda. Dengan ringkas Wiro Sableng segera berikan keterangan. Selesai memberikan
keterangan maka dikeluarkannyalah Keris Tumbal Wilayuda dan diserahkannya pada
Sultan.
Berseri-serilah paras Sultan Hasanuddin. "Sahabat jasamu sungguh tak dapat
diukur dengan luasnya laut, dengan tingginya gunung. Aku berterima kasih betul
kepadamu…”
Wiro memotong ucapan Sultan dengan berkata. "Sultan sebelum memasuki kota
dan menemui Sultan Trenggono perkenankanlah aku memberikan sedikit rencana....”
"Boleh saja. Silahkan" kata Sultan seraya sisipkan Keris Tumbal Wilajuda
dibalik pinggang pakaian. "Dengan membawa balatentra Demak ke Banten berarti akan pecah lagi peperangan dan pertumpahan darah di Banten. Sultan tentu lebih tahu dariku
bahwa akibat peperangan yang paling buruk ialah jatuhnya beban penderitaan, serta
kesengsaraan dipundaknya rakyat jelata....”
"Betul, dalam hal ini aku memang sedapat-dapatnya berusaha agar penduduk
jangan sampai banyak yang jatuh korban,” kata Sultan pula.
Wiro mengangguk. "Di samping itu, sebagian besar dari prajurit-prajurit
pemberontak tiada lain hanya merupakan alat mati yang bisa dikutak kutik oleh atasan!
Di hati kecil mereka sendiri mungkin tak ingin melakukan pertumpahan darah itu. Tapi
demi tugas dari atasan, mereka terpaksa melakukan peperangan yang kejam itu. Jadi
letak tanggung jawab, atau biang racun dari segala kemusnihan dan penderitaan itu tiada
lain terletak di tangan pentolan-pentolan tinggi pemberontak! Nah, manusia-manusia
inilah yang harus kita lenyapkan lebih dulu…. yang dibawah soal mudah..Apalagi dua
bergundalnya pembantu Parit Wulung yaitu Resi Singo Ireng serta Macan Seta telah
menemui ajal!"
"Apa yang kau katakan itu semua adalah benar sobat,” kata Sultan. "Tapi aku
masih belum melihat bagaimana caramu yang tepat dan baik dalam merebut kembali
takhta kerajaan dengan menghindarkan pertumpahan darah...."
"Kalau Sultan bisa memberikan sedikit kepercayaan kepadaku, pastilah aku akan
bersedia melaksanakannya... Maka Pendekar 212-pun menuturkan rencananya
selengkapnya.
-- == 0O0 ==
TUJUH BELAS
MALAM itu di satu ruangan rahasia Parit Wulung, Karma Dipa, Djuanasuta dan seorang
tokoh terkemuka dari Partai Api Setan yaitu suatu partai silat yang dipimpin oleh Resi Matjan Serta
tengah melakukan perundingan penting. Tokoh silat ini adalah murid terpandai dari Matjan Seta
yang telah mewarisi seluruh kepandaian Resi itu. Namanya Rana Tikusila. Dia dan selusin anggota
partai lainnya sengaja diminta datang ke Banten oleh Parit Wulung untuk memperkuat
kedudukannya dan menjaga segala sesuatu yang tak diingini. Seperti Matjan Seta, muka merekapun
coreng moreng. Parit Wulung yang duduk dikepala meja segera buka bicara. "Saudara-saudara
pertemuan ini adalah penting sekali sehubungan dengan Keris Tumbal Wilajuda. Sampai seka[ang
kita masih belum berhasil menemukannya sedang Sultan sendiri tak diketahui jejaknya. Resi Singo
Ireng dan Resi Matjan Seta tidak pula kunjung ada kabar beritanya. Aku berharap…”
Parit Wulung tiba-tiba hentikan ucapannya. Dia memandang ke sebuah alat rahasia disudut
ruangan. Alat itu kelihatan bergerak-gerak.
"Saudara-saudara bersiaplah,” kata Parit Wulung. Ada tamu yang tak diundang rupanya
mendengarkan perundingan kita ini di atas loteng!"
Dan baru saja Parit Wulung selesai mengucapkan kalimat itu, dua lembar papan loteng
terbuka dan sesosok tubuh laksana seekor alap-alap melayang turun. Suara kedua kakinya sama
sekali tiada terdengar sewaktu menjajaki lantai!
Rana Tikusila, Karma Dipa dan Djuanasuta segera cabut senjata. Parit Wulung sendiri
berdiri dari kursi dan membentak.
"Manusia atau setan! Apakah kau punya nyawa rangkap berani datang ke sini?!"
Tamu tak diundang itu keluarkan, suara bersiul yang tak asing lagi yang menandakan bahwa
dia bukan lain daripada Pendekar 212 adanya.
"Kau terlalu menghina padaku, Parit Wulung,” menyahuti Pendekar 212. Dia melirik sedikit
ketika melihat Rana Tikusila melangkah kehadapannya dengan pedang melintang.
"Lekas katakan apa maksud kedatanganmu ke sini!,” kata Tikusila seraya angkat tinggi-
tinggi tangan kanannya yang memegang pedang.
"Aku adalah utusan pribadi Sultan Hasanuddin!".
Maka terkejutlah semua yang , hadir di tempat itu. Dari balik pakaiannya Pendekar 212
keluarkan segulung kertas dan melemparkan benda itu yang tepat jatuh memalang di atas gelas tuak,
dihadapan Parit Wulung.
"Silahkan baca,” kata Pendekar 212 pula. Parit Wulung keretakkan rahang melihat sikap
yang merendahkan ini tapi gulungan surat di atas gelas diambil dan dibacanya juga.
Parit Wulung,
Aku berikan kesempatan padamu untuk menyerahkan diri bersama
bergundal-bergundal pemberontak lainnya malam ini. Maksud busukmu
untuk menduduki takhta kerajaan Banten secara tidak syah di atas lumuran
darah sekian banyak rakyat dan prajurit Banten serta sekian banyak
pembesar-pembesar istana yang tak berdosa akan sia-sia saja ! ,
Keris Tumbal Witajuda walau bagaimanapun tak bakal kau dapat. Dua
cecunguk pembantumu yaitu Resi Singo Ireng dan Matjan Seta telah
menemui ajalnya.
Jika kalian menyerah, hukuman yang bakal dijatuhkan tidak begitu berat.
Tapi bila kalian membangkang, kepala kalian jadi imbalannya karena walau
bagaimanapun yang bathil tak akan bisa mengalahkan yang hak, kejahatan
tak akan bisa mengalahkan, kebenaran !
Ingat, waktumu cuma sampai malam ini !
Tertanda
SULTAN HASANUDDIN
Mengelam wajah Parit Wulung membaca surat itu. Namun kemudian keluarlah suara
tertawanya bergelak. Diserahkannya surat itu pada Karma Dipa, Karma Dipa meneruskan pada
Djuanasuta dan Djuanasuta meneruskan lagi pada Rana Tikusila. Dan ruangan itu kemudian
pecahlah oleh suara tertawa bergelak keempat manusia itu.
Wiro sendiri mengerendeng dalam hatinya. "Kau utusan Sultan yang tampangmu macam
orang hutan!" kata Rana Tikusila, "aku mau tanya, Sultanmu itu andalkan apakah sampai berani
membuat surat ancaman macam begini rupa ?!"
Wiro tertawa gelak-gelak. "Kau keliwat menghina sobat!" katanya. "Coba lihat ke kaca besar
di dinding sana, tampangmu yang coreng moreng macam orang gila itu jauh lebih buruk dari
padaku! Kurasa kalau orang tuamu bukannya macan jadi-jadian pastilah macan kesurupan!"
Maka marahlah Rana Tikusila rnendengar hinaan ini.
"Sret,” dicabutnya sebilah pedang lalu dengan, cepat kirimkan satu tusukan mematikan ke
arah dada Pendekar 212. Tusukan ini adalah sebagian dari jurus paling tangguh dalam ilmu pedang
Partai Api Setan dan dinamakan jurus "anak panah menembus rembulan!" Selama menghadapi
lawan-lawan tangguh jarang dari mereka yang sanggup mengelakkannya Kalaupun berhasil maka
biasanya tak akan mampu untuk mengelakkan jurus susulan yang dinamakan "gendewa menyambar
puncak gunung".
Tapi hari itu Rana Tikusila ketemu batunya. Tusukannya tiada tersangka hanya mengenai
tempat kosong karena berhasil dikelit oleh Pendekar 212. Dengan penasaran dan juga malu pada
kolega-koleganya di ruangan itu maka,Tikusila segera susul dengan jurus "gendewa menyambar
puncak gunung". Pedangnya membalik membabat ke arah pinggang lawan!
Namun nasib anak buah Partai Api Setan ini lebih buruk lagi. Dengan kecepatan yang sukar
dilihat mata, Pendekar 212 berhasil memukul sambungan siku Tikusila. Pedang mental ke udara,
Tikusila sendiri meraung kesakitan! Dan sesaat kemudian pedangnya sudah berada di tangan
Pendekar 212!
Mata Parit Wulung dan dua orang lainnya membeliak besar. Rana Tikusila sendiri pucat pasi
wajahnya, memercik keringat dingin di keningnya!"Aku datang ke sini bukan untuk membuat keributan tapi hanya sekedar menyampaikan
surat Sultan Banten! Aku minta jawaban sekarang juga apakah. kalian sudi menyerah atau tidak?!"
Parit Wulung merampas surat yang dipegang oleh Rana Tikusila lalu merobek-robeknya.
"Ini jawaban kami!" kata Parit Wulung pula serta melemparkan robekan surat ke muka Wiro
Sableng. Pendekar muda ini, tiup robekan surat-surat itu hingge bertebaran di lantai.
"Besok pagi jangan harap kalian masih bercokol di dalam istana ini.....”
"Saudara-saudara, sangkap manusia yang satu ini!". Parit Wulung beri perintah.
Pendekar 212 tertawa mengekeh. Pedang di tangan kanan dilemparkannya ke lampu
besar yang menerangi ruangan itu. Dengan serta merta gelaplah suasana dan secepat kilat Wiro
melompat ke atas loteng, lenyap dikegelapan malam.
Ketika pagi tiba maka gemparlah seluruh penduduk Kotaraja. Bagaimanakah tidak. Di
halaman depan istana berjejer, bergantungan di tiang langkan muka lima belas manusia yang
sudah menjadi mayat. Mata semuanya mendelik, lidah terjulur dan pada kening masing-masing
tertera tiga angka yang tak asing lagi yaitu angka 212 !
Kelima belas manusia yang telah menemui ajal dengan cara yang aneh ini ialah Rana
Tikusila bersama dua belas anggota Partai Api Setan, Djuanasuta dan Karma Dipa, dua pentolan
pemberontak dari Pajajaran!
Pada masing-masing leher kelima belas mayat itu tergantung secarik kertas yang
bertuliskan:
Kepada kalian telah diberikan syarat keampunan untuk menyerah.
Tapi kalian sengaja memilih kematian macam begini. Kalian lupa bahwa
kebathilan akan selalu hancur oleh yang hak.
Kepada para perajurit dan rakyat Banten yang masih setia pada
Sultan, hari ini adalah hari kebebasan Banten dari cengkeraman kaum
pemberontak !
Tertanda
SULTAN HASANUDDIN
Di balik kegemparan yang menyungkupi setiap diri manusia yang ada di Banten maka
berbagai pertanyaan timbul pula dikalangan mereka. Siapakah yang telah membunuh dan
menggantung kelima belas manusia itu? Apakah arti angka 212 dikening mayat-mayat. Apakah
ada hubungannya dengan peristiwa terbunuhnya beberapa prajurit pemberontak diperbatasan
tempo hari? Apakah Sultan masih hidup dan, surat itu benar-benar ditandatangani olehnya?
Kalau betul masih hidup di mana dia berada sekarang? Kemudian di mana pula Resi Singo Ireng
serta Matjan Seta yang menjadi pentolan pembantu utama Parit Wulung? Kalau betul Sultan
sudah muncul kembali dan turun tangan, mengapa Parit Wulung sendiri tidak digantung?!
Di dalam suasana yang serba membingungkan dan penuh tanda tanya tak terjawab itu
sekelumit harapan timbul di kalangan rakyat bahwa mereka betul-betul akan bebas dari kaum
pernberontak. Sekelumit harapan ini ditunjang pula oleh sebagian besar balatentara Banten
yang sesungguhnya masih setia pada Sultan. Dan dari hanya sekelumit harapan untuk bebas
maka menjadilah satu tekat bulat untuk angkat senjata menumbangkan kekuasaan yang tidak
syah itu. Lagi pula satu-satunya pentolan pemberontak yang masih bercokol di istana saat itu
cuma tinggal Parit Wulung seorang. Yang lain-lainnya sudah menemui kematian. Singo Ireng
dan Matjan Seta sudah sejak seminggu lenyap, mungkin juga kini cuma tinggal nama saja!
Sementara itu di dalam istana begitu menyaksikan lima belas mayat yang digantung itu,
sekujur tubuh Parit Wulung laksana diserang demam panas dingin. Mukanya sepucat salju.
Tengkuknya sedingin es. Siapakah yang punya kerja menggantungi pembantu-pembantu
utamanya demikian rupa? Dugaannya keras pada pemuda yang datang malam tadi! Dalam
kebingungan dan kengeriannya Parit Wulung sampai lupa untuk memerintahkan agar lima belas
mayat yang digantung itu diturunkan!
Bila dia berhasil menguasai dirinya kembali maka diperintahkannyalah beberapa
kelompok pasukan untuk melakukan pembersihan di seluruh Kotaraja dan menyelidik ke
perbatasan. Namun sebelum pasukan-pasukan itu bergerak, maka sebagian dari balatentara yang
masih setia pada Sultan bersama-sama dengan rakyat yang membawa berbagai macam senjata
sudah menyerbu laksana air bah. Harapan untuk bebas dari kaum pemberontak, tekat bulat untuk
menegakkan kembali Kerajaan Banten yang syah serta pembalasan dendam kesumat atas sanak
saudara dan karib kerabat yang mati ditumpas kaum pemberontak tempo hari, itulah semua yang
membuat mereka tanpa diberi komando lagi, menyerbu dengan dahsyatnya !
Dan pada saat pertempuran berkecamuk hebat maka melesatlah tiga sosok tubuh
manusia dari wuwungan istana. Yang pertama seorang perempuan berkerudung biru, yang
kedua seorang pemuda berambut gondrong bertampang gagah dan yang ketiga adalah Sultan
sendiri! Maka semangat tempur para penegak keadilan itupun berlipat gandalah!
Parit Wulung dan beberapa orang sisa-sisa pembantunya yang berkepandaian tinggi
bertahan mati-matian di dalam kurungan kira-kira tiga puluh prajurit dan empat puluh rakyat
jelata. Ketika Sultan, Dewi Kerudung Biru dan Pendekar 212 maju pula ke tengah gelanggang,
maka hanya beberapa gebrakan saja tewaslah pembantu-pembantu utama Parit Wulung!
Manusia pengkhianat besar ini dengan putus asa coba bunuh diri dengan hantamkan pedang kekepalanya. Tapi Pendekar 212 lebih cepat merampas senjata itu. Sultan dan Dewi Kerudung
Biru kemudian meringkus Parit Wulung! Maka hari itu tamatlah riwayat kekuasaan kaum
pemberontak di bawah pimpinan pengkhianat Parit Wulung dan kawan-kawannya!
Di mana-mana hanya tebaran mayat yang kelihatan. Di mana-mana hanya suara- gegap
gempita rakyat dan prajurit-prajurit yang terdengar menyambut kemenangan dan mengeluk-
elukan Sultan Hasanuddin.
Kemudian diantara rakyat dan prajurit-prajurit Banten banyak yang berteriak. "Gantung
Parit Wulung!”
"Cincang tubuhnya sampai lumat!"
"Hukum picis pengkhianat itu !"
"Bakar saja hidup-hidup!" teriak kelompok yang lain!
Sementara itu di langkan istana, di bawah lima belas mayat yang masih tergantung
berputar-putar di tiup angin pagi, pendekar 212 dan Dewi Kerudung Biru berdiri dihadapan
Sultan.
"Sultan kami rasa segala sesuatunya sudah selesai kini. Kami berdua mohon diri....”
Sultan terkejut. "Tidak bisa!,” kata Sultan setengah berteriak.
"Kalian berdua musti tinggal dulu di sini beberapa lamanya. Bahkan aku sudah punya
rencana untuk mengangkat kau sebagai Kepala Balatentara Banten merangkap Pengawal
Pribadiku, Wiro!".
Wiro dan Anggini tersenyum. "Hatimu mulia sekali Sultan,” sahut Pendekar 212. "Tapi
kami berdua adalah orang-orarig persilatan yang suka bertualang. Di lain hari kita akan berjumpa
dan berkumpul lagi..."
Sultan merasa kecewa.. Hatinya juga sangat terharu. "Kalian berdua telah berjasa besar
terhadap Kerajaan dan rakyat Banten. Aku harus umumkan hai ini sekarang juga dihadapan
rakyat....”
"Ah, jangan.... tak usah Sultan" kata Anggini dan Wiro pula.
Sultan mengambil sebuah benda berbentuk bintang bersudut delapan dengan sebuah
berlian besar di tengahnya. "Anggini,” kata Sultan pada Dewi Kerudung Biru, "benda ini adalah
bintang utama Kerajaan Banten yang hanya diserahkan pada siapa saja yang telah berjasa pada
Kerajaan dan Raja Banten. Ini juga sebagai tanda bahwa yang memegangnya adalah sahabat Raja
dan rakyat Banten. Terimalah....''
"Sultan... mana bisa aku yang rendah dan sama sekali tidak membuat jasa apa-apa musti
menerima bintang penghargaan begitu rupa....?""Terimalah Anggini. Pada Wiro juga sebelumnya telah pernah kuberikan...."
Dengan malu-malu Anggini kemudian menerima jaga bintang bersudut delapan bermata
berlian yang terbuat dari emas itu, Tiba-tiba Sultan ingat sesuatu. "Andjarsari, bagaimana
Andjarsari ...... ?"
"Dirinya tak perlu dikhawatirkan Sultan,” menjawab Dewi Kerudung Biru. "Saat ini dia
masih berada di Lembah Batu Pualam dalam keadaan tak kurang suatu apa. Seorang pengemudi
kereta dan dua prajurit utama telah kami suruh ke sana untuk menjemputnya....”
"Ah, jasa kalian berdua benar-benar setinggi langit sedalam lautan. Aku betul-betul
berterima kasih...”
Pendekar 212 tersenyum. "Bukan kepada kami sebenarnya kau harus berterima kasih
Sultan. Tapi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita manusia hanya hamba-hamba Tuhan, hanya
alat Tuhan yang cuma sanggup berusaha sedang ketentuan tetap ditanganNya.......”
Sultan manggut-manggut. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya Keris Tumbal Wilajuda.
Dengan ujung senjata itu digoresnya kedua telapak tangannya sehingga mengeluarkan darah.
"Kuharap kalian berdua juga suka menggores telapak tangan masing-masing…"
Anggini dan Wiro saling pandang. "Untuk apa kah Sultan?" tanya Wiro pula.
"Gores sajalah,” desak Sultan.
Kedua orang itu kemudian sama menggores telapak tangan masing-masing. Wiro
menggores telapak tangan kanan sedang Anggini tangan kiri. Sultan kemudian menempelkan erat-
rat telapak tangan kanannya ke telapak tangan kanan Wiro sedang telapak tangan kiri ke telapak
kiri Anggini. Kemudian kedua tangannya diacungkan tinggi-tinggi ke udara. Dan karena tak dapat
membendung lagi perasaan hatinya maka berserulah Raja Banten ini.
"Saudara-saudaraku para prajurit dan rakyat Banten! Hari ini di bawah penyaksian kalian,
aku mengangkat saudara terhadap dua orang yang telah berjasa besar terhadap kita sekalian...."
"Sultan!" seru Pendekar 212. "Kami .
ini hanya manusia-manusia rendah jelata, bagaimana
kau sudi mengangkat saudara…”
Sultan tersenyum. "Darahku dan darah kalian telah bercampur. Tadi kau menyebut
nama Tuhan, apakah ada perbedaan aniara aku dan kalian sebagai manusia di mata
Tuhan....?!"
Dan Sultan berseru lagi. "Yang di sebelah kananku ini adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng dan yang berkerudung adalah Dewi Kerudung Biru Anggini !'' `
Maka untuk kesekian kalinya tardengarlah gegap gempitanya suara orang banyak yang
menyambut ucapan Sultan itu. Dan ketika sekilas Sultan memandang ke arah timur, maka
berserilah parasnya. Nun jauh di sana, di lereng bukit, kelihatan meluncur sebuah kereta.
Kereta yang membawa Andjarsari, calon permaisurinya.
T A M A T
penulis : Bastian Tito
created : matjenuh channel
blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar