Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Rabu, 29 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - SERIKAT SETAN MERAH

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com


WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Serikat Setan Merah

SATU

Pendekar  212 Wiro  Sableng duduk  seperti  dihenyakkan  di bangku panjang  itu. Perutnya  kenyang  sekali  dan  kantuknya  mendadak  saja  muncul  tak  tertahankan. Matanya terasa berat dan sebentar-sebentar dia menguap lebar.
“Aneh, kenapa akujadi mengantuk seperti ini. Dan sekujur tubuhku terasa letih…..” membatin sang pendekar, lalu dia garuk-garuk kepalanya. Seharusnya dia sudah  membayar  makan  dan  minuman  yang  disantapnya  sejak  tadi,  tetapi  entah mengapa  dia  masih  saja  duduk  di  rumah  makan  besar  itu.  Setiap  saat  matanya menatap pada cangkir tanah berisi minuman.  Semakin dipandangnya minuman itu semakin besar hasratnya untuk mereguk. Dan buktinya dia sudah menghabiskan tiga cangkir besar.
“Minuman apa ini. Harum, manis. Tuak aneh…… Jangan-jangan minuman ini  yang   membuat   mataku   mengatuk … … .”   Diangkatnya   cangkir   tanah   itu   lalu  didekatkannya   ke   hidungnya.   Ketika   dia   mencium   minuman   itu   dalam-dalam  memang terasa seperti adahawa aneh yang ikut masukke dalam hidungnya dan terus  menjalar ke tenggorokan. Bersamaan dengan itu kedua matanya menjadi tambah berat. Tapi   saat   itu   pula   hasratnya   untuk   meneguk   tuak   itu   tidak   tertahankan.  Gluk….gluk….gluk.  Beberapa  kali     teguk  saja  minuman  itu  amblas  ke  dalam  perutnya. Baru saja cengkir  tanahdiletakkannya di atas meja dari samping terdengar  pelayan menegur.
“Tuaknya tambah den……?”
Wiro berpaling. Pelayan perempuan ini! Tadi waktu masuk tampangnya jelek, tapikini mengapa kelihatan begitu cantik menawan? “Ini pasti pengaruh tuakkeparat itu…..!” ujar Wiro dalam hati. “Pasti pemilikkedai menaruh sesuatu dalam minuman ini. Bangsat … ..!” Wiro memaki dalam hati. Dia memandang lagi pada pelayan di sampingnya yang siap mengisi cangkir tanah dengan tuakbaru. Tangan kanan sang pendekar bergerakhendak memegang tangan si pelayan. Namun murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gedeini masih dapat menguasaidiri. Dia menggeleng seraya berkata “Cukup. Perutku sudah kenyang dan rasa hausku sudah lepas …… Sebentar lagi aku akan pergi … ..”
“Ah mengapa begitu buru-buru, den? Kelihatannya raden ini keletihan   dan mengantuk. Jika ingin istirahat, di belakang ada kamar untuk berbaring-baring … ..”
“Hem … .. begitu?” ujar Wiro. Dalam hatinya dia mulai menduga-duga jangan- jangan rumah makan besar inidi sebelah belakangnya merangkap rumahbordil alias tempat pelacuran!
“Bagaimana,  raden  hendak  istirahat  dulu?  Saya punya  banyak  teman  yang cantik-cantik  yang pandai  memijat  raden hingga  segar  bugar  kembali …..” berkata pelayan di samping Wiro.
“Tak meleset dugaanku……” kata Wiro dalam hati. Kembali dia menggeleng. “Sudah, kau layani  saja tamu-tamu yang lain….” Kata Wiro pula. Ketika pelayan berlalu Wiro memandang ke kanan. Diujung bangku panjang di sampingnya duduk seorang lelaki  separuh baya berbelangkon dan berpakaian bagus.  Orang ini duduk dengan satu tangan menopang dagunya. Kedua matanya setengah terpejam, kepala dan  tubunya tergontai-gontai.  Jelas  dia juga tengah  dilanda kantuk  setelah makan kenyang dan minum banyak.

BASTIAN TITO                                                                                                            2

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pelayan yang tadi menawarkan tuak pada Wiro melangkah mendekati orang ini  lalu  menepuk-nepuk bahunya  dengan  keras hingga  dia  tergagap  dan  tersentak bangun.
“Bapak…..  Kalau  kau  sudah  kenyang  dan  puas  minum  sebaiknya  segera  membayar dan pergi saja! Masihbanyak tamu lain yang butuh tempat duduk di sini!” kata si pelayan dengan kasar.
Ditegur  begitu  itu  orang  tersebut  tampak  seperti  sadar  diri  dan  buru-buru mengeluarkan  koceknya  lalu  menyerahkan  sejumlah  uang.  Si  pelayan  mengambil uang itu dengan kasar. Lalu dengan muka cemberut dia berkata “Uang sejumlah ini mana cukup membayar semua makanan dan minuman yang kau habiskan! Ayo bayar lebih banyak … .”
Sang tamu seperti mau membantah. Tapi mukanya yang kuyu dan keadaanya yang  mengantuk  itu  membuat  dia  seperti  tak  berdaya  menampik.  Dan  ketika  si pelayan enak saja menarik kocek uang itu dari tangannya, dia seperti pasrah saja. Lalu berdiri dari bangku dan dengan langkah terhuyung-huyung berjalan ke pintu diikuti pandangan galak dan tampang cemberut si pelayan. Bahkan terdengar suara memaki “Tamu tolol! Makan sebakul minum segentong, mau membayar se-upil!” lalu pelayan itu membalikkan tubuh menuju ke sudur rumah makan di mana duduk seorang lelaki berpakaian serba hitam, berbadan gemukdengn muka selalu berminyak tapi garang.
Kepada  lelaki  ini  si  pelayan  menyerahkan  kocek  uang.  Yang  menerima tertawa lebar dan menepuk-nepuk bahu si pelayan. Lalu tampak dia memandang ke pintu  dan  cepat-cepat  berdiri  ketika  melihat  ada  seorang  tamu  masuk.  Sebelum meninggalkan tempatnya sibaju hitam ini masih sempat berbisik pada pelayan tadi. “Dengar, untuk tamu yang satu ini jangan kau berikan tuak yang dibubuhi obat itu. Dan jangan kau berani meminta bayaran!”
Si  pelayan  mengangguk  tanda  mengerti.  Orang  berpakaian  hitam  cepat melangkah  ke  pintu  menyambut  tamunya.  Wiro  berpaling  mengikuti  langkah  si gemuk. Ahai! Ternyata tamu yang disambut  oleh  lelaki pemilik rumah makan  itu adalah seorang dara cantik jelita berkulit putih mengenakan pakaian tingkas berwarna merah. Kepalanya diikat dengan sehelai sapu tangan kecilberwarna merah pula.
“Sungguh satu kehormatan besar dara ayu berkenan singgah dan bersantap di rumah makan saya yang buruk ini. Silahkan….silahkan masuk … ..”
Pemilik  rumah  makan  itu  menjura  dalam-dalam.  Sang  dara  tampak  seperti kikuk menerima sambutan itu. Dua orang tamu yang duduk di sebuah meja tengah menunggu pesanan mereka tiba-tiba saja dibentak oleh pemilikkedai.
“Sampean berdua silahkan duduk di pojok sana! Ada tamu penting yang akan duduk di sini!”
“Tapi … ..  kami  sudah  dulu  duduk  di  sini.  Dan  sudah  pesan!”  sahut  salah seorang tamu dengan nada marah.
“Manusia tidak tahu diri!” hardik pemilik rumah makan.  “Aku tidak butuh uangmu!  Kalau tidak  suka  silahkan keluar!”  lalu pemilik kedai tangkap pinggang tamunya itu, mengangkatnya dan melemparkannya ke sudut ruangan dimana terletak sebuah bangku panjang. Melihat gelagat yang tidakbaik ini orang yang satu cepat- cepat berdiri, menghampirikawannya yang tersandar ke dinding rumah makan lalu menarik tangannya. Keduanya keluar dari tempat itu sambil menggerutu.
Dengan sehelai serbet besar pemilikkedai bersihkan meja dan kursi lalu dia berpaling padadara berpakaian merah yang masih tertegak di ambang pintu, menjura dan berkata “Silahkan duduk di sini rara ayu…. Mari. Hidangan lezat dan minuman nikmat segera saya suruh siapkan . Silahkan duduk … ..”

BASTIAN TITO                                                                                                            3

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Walaupun disambut dengan penghormatan yang membuatnya kikuk itu, tapi sang  dara  tampak  sangat  tenang.  Tanpa  ada  perubahan  pada  wajahnya  apalagi tersenyum, dia melangkah dan duduk dikursi yang disediakan. Pemilik rumah makan kembali menjura lalu cepat-cepat masukke dalam.
Wiro garuk-garukkepalanya. Adanya “bunga” jelita dalam rumah makan itu membuat kantuknya tiba-tiba saja lenyap. Dan dalam hati pemuda ini bertanya-tanya siapa  gerangan  adanya  dara  cantik  berpakaian  merah  itu.  puteri  seorang  petinggi Kerajaan  atau  puteri  seorang  Pangeran  atau  anak  gadis  seorang  hartawan?  Tapi mengapa seorang diri dan caranya mengenakan pakaian ringkas seperti itu hanyalah kebiasaan orang-orang persilatan.
“Pssst ……” Wiro  keluarkan  suara  mendesis untuk  menarik perhatian  sang  dara.  Tapi  si  baju  merah  menolehpun  tidak.  Wiro  menyengir  seraya  garuk-garuk  kepala. Ketika dia memandang berkeliling pemuda inijadikeheranan karena saat itu  dilihatnya satu demi satu para tamu yag adadi tempat itu meninggalkan rumah makan. Yang masih setengah makan bahkan cepat-cepat mencuci tangan lalu pergi. Selagi  berpikir-pikir  apa  yang  sebenarnya  terjadi  di  tempat  itu  Wiro  melihat  pelayan  perempuan keluar dari ruangan dalam bersama seorang kawannya. Mereka masing-  masing  membawa  sebuah  nampan besar  berisi  penuh  makanan  dan  minuman.  Di  belakang kedua pelayan ini berjalan si gemuk pemilik rumah makan.
“Luar biasa! Makanan yang dihidangkan begitua banyak, serba lezat dan cepat. Siapa sebenarnya gadis baju merah ini. Kalau dia salah serang kawan yang dikatakn pelayan itu sebagai gadis-gadis yang pandai memijat, hemmmm …… Menyesal aku kalau tidak sempat berkenalan dengannya!” Begitu Wiro berpikir-pikir dalam hati.
Wiro memperhatikan makanan yang dihidangkan di atas meja dengan penuh hormat lalu pemilik rumah makan membungkuk-bungkuk mempersilahkan tamunya mulai bersantap.
Tanpa menoleh, tanpa perubahan pada wajahnya dara berbaju merah segera saja  menyantap  hidangan  dimulai  dengan  meneguk  minuman  sementara  pemilik rumah makan pergi  duduk  di  sudut ruangan  dan  dua pelayan tegak tak jauh  dari tempat itu, menunggu kalau-kalau ada yang harus dilakukan … …
Wiro batuk-batuk beberapa kali. Si gemuk berpaling. Saat itulah pemilikkedai ini menyadari kalau di situ masih ada duduk seorang tamu. Serta merta dia berdiri menghampiri Wiro.
“Tamu tak tahu diri. Lekas minggat dari tempat ini. Tapi bayar dulu makanan dan minumanmu!”
Tentu  saja  Wiro  terheran-heran  diperlakukan  seperti  itu.  “Ada  keanehan terjadidi tempat ini sejak sijelita itu muncul! Siapa sihdia?!” ujar Wiro masih tetap duduk di bangku panjang malahkini kaki kanannya dinaikkan seenaknya.
Melihat hal  ini pmilik rumah makan jadi marah  sekali.  “Bayar dan pergi!” teriaknya  seraya  mendorong  bahu  Wiro.  Pendekar  kita  tidak  melawan,  karena  itu  waktu didorong tubuhnya langsung jatuh terduduk di lantai rumah makan.
Berpura-pura bodoh Wiro bengkit berdiri sambil tepuk-tepuk pantat celananya.
“Kalau sampeyan suruh pergi ya aku pergi,” kata Wiro pula. “Tapi aku tidak mau bayar!”
“Patah  lehermu  berani  tak  membayar!”  mengancam  pemilik  rumah  makan sambil mengulurkan kedua tangannya bersikap hendak mencekik.
Tenang dan enak saja Wiro menjawab. “Kawan yang duduk di sampingku tadi sudah   membayari   makanan   dan   minumanku.   Bukankah   pelayanmu   itu   telah merampok seluruh isikoceknya tadi?!” Lalu dia kembali duduk di bangku.

BASTIAN TITO                                                                                                            4

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Paras   si   gemuk   itu   tampak   berubah.   Rahangnya   menggembung   dan gerahamnya terdengar bergemeletakan.
“Kowe    memang    minta    mampus!”    kertaknya.    Tangan    kananya    yang membentuk tinju langsung diayunkan kekepala Wiro.
Tentu saja Pendekar 212 tidak mau kepalanya dijadikan bulan-bulanan jotosan lawan. Tubuhnya yang duduk di pertengahan bangku panjang tiba-tiba meluncur ke ujung  kiri.  Keseimbangan  pada  bangku  lenyap  dan  bangku  panjang  itu  tempat mencuat ke atas, tepat pada saat tinju pemilik rumah makan sampai.
Bukk! Tinju itu menghantam kayu bangku.
Langsung  si  gemuk terpekik.  Tangan kanannya bengkak merah,  tulang jari kelingkingnya bahkan patah!
“Pemuda   haram  jadah!”   teriak   pemilik   rumah   makan.   Kaki   kanannya menendang, namun saat itu Wiro Sableng sudah melompat ke pintu dan lenyap!
Sambil  mengerenyit  menahan  sakit  pemilik  kedai  mendatangi  dara berbaju merah, membungkuk berulang kali lalu berkata. “Mohon maafkalau santap siangmu terganggu oleh pemuda kurang ajar tadi … .”
Sesaat gadis itu melirik ke arah tangan kanan lelaki gemuk di hadapannya. Lalu tanpa berkata apa-apa dia meneruskan makan. Selesai makan dia mengeluarkan sejumlah uang  dan meletakkannya  di  atas meja. Melihat hal ini  si pemilik rumah makan cepat mendatangi. Seraya membungkuk dia berkata. “Rara, aku Kecak Ronggo yang rendah mana berani menerima pembayaran darimu. Simpan kembali uang itu rara.   Segala  perlindungan  yang   diberikan  padaku   sudah   cukup  membuat   aku berhutang  budi  seumur  hidup.  Ambil  kembali  uang  itu  rara.  Saya  tidak  berani menerimanya … ..”
Gadis berbaju merah mengangkat kepalanya sedikit menatap tampang Kecak Ronggo, lalu tanpa berkata apa-apa dia berdiridarikursinya, membalikkan tubuh dan bergegas menuju ke pintu. Sampaidi luar dia langsung naikke atas punggung seekor kuda putih.
“Ah, celaka aku! Celaka aku!” ujar Kecak Ronggo berulang kali. Uang di atas  meja diambilnya lalu dia larike pintu ssambilberteriak-teriak. “Rara, jangan! Ambil  uang inikembali … ..” Tapi sampai dipintu gadis berbaju merah itu sudah memacu  kudanya menuju ujung jalan. Kecak Ronggo masih terus berteriak-teriak memanggil  sambil acungkan tangan kirinya yang memegang uang. Namun sang dara lenyap di  kejauahn. Ketika pemilik rumah makan itu hanya bisa berdiri bengong tiba-tiba dari  samping berkelebat satu tangan dan tahu-tahu uang yang ada dalam genggamannya  lenyap.  Ketika  dia berpaling ke kiri  dia mendengar  satu  suara  siulan,  di lain  saat  dilihatnya pemuda berambut gondrong tadi tahu-tahu sudah berada di atas kuda coklat.
“Berani kau mengambil uang itu! Pemuda rampok! Kau tak tahu siapa gadis berbaju merahitu! Orang-orangnya pasti akan mencincangmu sampailumat!”
Dari  atas punggung kuda Pendekar  212 menyeringai  seraya timang-timang uang  yang  dirampasnya  dari  Kecak  Ronggo.  Kudanya  di  putar  dengan    cepat. Binatang itu sudah melompat dan lari jauh ketika Kecak Ronggo coba mengejar.

BASTIAN TITO                                                                                                            5

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

DUA

Kuda  putih  yang  ditumpangi  dara  berpakaian  merah  itu  larinya  sebat  sekali. Bagaimanapun  Wiro  menggebrak  kuda  coklatnya  tetap   saja  dia  tidak  mampu mengejar. Ketika memasuki daerah berbukit-bukit yang dikirikanannya diapit oleh rimbabelantara tak begitu lebat, murid Sinto Gendeng itu mulai mencari akal. Di satu daerah  ketinggian  dia  dapat  melihat  bahwa jalan  yang  ditempuh  sang  dara  akan menikung  di  sebuah  penurunan  maka  dia  harus  memotong  dengan  membelok  ke kanan memasuki hutan.
Ketika Wiro mencapai tikungan di penurunan itu dan menunggu, dia menjadi heran  karena  orang  yang  ditunggunya  tak  kunjung  muncul.  Padahal  dia  sudah memperhitungkan masak-masakkalau kudanya pasti sampailebih dulu di tempat itu karena  tadi  dia  menempuh  jalan  memotong  yang  lebih  dekat  jadi  lebih  cepat. Pendekar kita jadi garuk-garukkepala. Melihat kenyataan ini semakin besar hasratnya untuk mengetahui siapa adanya dara berbaju merahitu.
Wiro memutuskan menunggu lagi sampai beberapa saat. Ketika yang ditunggu tetap tak kunjung muncul denan penasaran pendekar ini akhirnya menepuk pinggul kuda   coklat  dan  meneruskan  perjalanan.  Belum   seratus   langkah  menunggangi kudanya, tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik. Wiro berpaling ke kanan, ke arah bagian bukit yang agak gundul. Di atas sebuahbatu besar yang rata tampak seekor kuda putih dengan kepala mendongakke langit dan meringkik beberapa kali.
“Itu  kudanya!  Tapi  di  mana  orangnya … ..?”  ujar  Wiro.  Dia  memandang berkeliling,   tetap   saja  tidak  melihat   sang   dara  berpakaian   merah.   “Dia  pasti bersembunyi di satu tempat dan saat ini pasti memperhatikan gerak gerikku!” pikir Wiro  pula.  Maka  sambil  bersiul-siul  kecil  dia  mendaki  bukit  menuju  batu  besar tempat kuda putih berada.  Sampai di situ kuda putih itu kembali meringkik. Wiro melompat turun darikudanya, menghampirikudapuihdan mengelus-elus bulu tebal dileher binatang ini.
“Tenang sobatku. Tenang. Tak ada apa-apa di tempat ini. Mana tuanmu yang cantik jelita itu…..” kata Wiro seraya memandang berkeliling mencari-cari.
“Ah,   di   situ   dia   rupanya … ..!”   Pendekar   212   Wiro   Sableng   akhirnya menemukan juga si gadis. Saat itu si baju merah ini tengah membasuhkedua tangan dan mukanya di sebuah mata air jernih yang membentukkolam kecil dengan dasar batu batuan hitam. Tidak menunggu lebih lama lagi Wiro segera menuju ke mata air itu.
Pendekar  kita  membuka  pembicaraan  dengan  suatu  pujian.  “Saudari,  kuda putihmu itu hebat sekali. Larinya kencang luar biasa!”
Yang ditegur diam saja, berpalingpun tidak. Terus saja sang gadis membasuh mukanya dengan air yang jernih dan sejuk itu. Murid Eyang Sinto Gendeng garuk- garuk kepala.  “Jangan-jangan gadis ini tuli dan bisu.” Pikirnya.  “Waktu di rumah makan tadi, tak sepotong katapun keluar dari mulutnya ……” memikir begitu Wiro ikut berjongkok di tepi mata air dan membasuh kedua tangan serta mukanya pula, seperti yang dilakukan si gadis.
Karena sampai sekian lama gadis itu tidak mengacuhkan kehadirannya di sana, Wiro lalu keluarkan uang logam milik si gadis yang diambilnya dari Kecak Ronggo si pemilik rumah makan. Uang logam itu diletakkannya di atas sebuah batu dekat kaki si baju  merah.  Sang  dara  hanya  melirik  sesaat  lalu  meneruskan  mencuci  mukanya.

BASTIAN TITO                                                                                                            6

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Kemudian perlahan-lahan dia berdiri sambil mengeringkan wajahnya dengan sehelai sapu tangan.
Wiro  ambil  kembali  uang  yang  diletakkannya  di  atas  batu,  menimang- nimangnya beberapa kali lalu mendehem.
“Saudari,  itu uang milikmu yang  dikembalikan oleh pemilik rumah makan. Mengapa kau tak mau mengambilnya … ..?” bertanya Wiro.
Si  gadis  tidak  menjawab  malah  melangkah  menuju  ke  kudnya.  Wiro jadi geleng-geleng  kepala.  Kalau  orang  memang  tidak   suka  diajak  bicara,   apalagi berkenalan diapun tak akan memaksa. Semula uang di atas batu hendak diambilnya. Tapi karena jengkel dibiarkannya saja. Sambil melangkah menuju ke kudanya sendiri dia berkata setengah menggerendang.
“Sayang dan kasihan. Cantik-cantik begitu ternyata tuli dan bisu … ..!”
Baru  saja  Wiro  berkata  demikian  tiba-tiba  terdengar  suara  bentakan  dari samping.
“Siapa yang tuli! Siapa yang bisu?!”
“Eh!”  Wiro  tergagap  kaget.  Dia  berpaling.  Yang  membentak  adalah  gadis berbaju merahitu. “Astaga!”
“Astaga apa?!” kembali si gadis menghardik dengan mata mmbeliak.
“Jadi ……?”
“Jadi apa?!”
“Ternyata kau tidak tuli. Juga tidak bisu!  Maafkan  diriku yang menyangka keliru. Habis sejak kulihat pertama kali di rumah makan itu, tidak sepotong suarapun keluar dari mulutmu…….!”
“Katakan  mengapa  kau  mengejar  dan  mengikutiku?!”  sang  dara  bertanya. Kedua matanya tidak berkedip.
“Aku tidak bermaksudburuk,” sahut Wiro pula.
“Mana  mungkin!”  tukas  si  gadis.  “Kenalpun  tidak,  lalu  mengikuti  diriku. Mengejar dengan mengambil jalan memotong! Kau mau membegalku?!”
Wiro tertawa lebar dan garuk-garukkepala. “Jangan menduga seperti itu. aku hanya ingin tahudirimu sebenarnya. Waktu di rumah makan kulihat pemilik rumah makan   menyambutmu   secara   istimewa.   Para   tamu   ketakutan   dan   cepat-cepat meninggalkan tempat itu. yang tak mau pergi dilempar  oleh Kecak Ronggo. Lalu kulihat hidangan luar biasa diberikan padamu. Dan waktu kau mau bayar, pemilik kedai menolaknya dengan ketakutan. Jika kau bukan seorang luar biasa pasti tidak demikian perlakuan orang. Nah itu saja yang ingin kuketahui … ..”
“Siapa  percaya  pada  keteranganmu.  Ada  dua  macam  orang jahat  di  dunia ini … .” berkata si gadis.
“Maksudmu?” tanya Wiro.
“Yang  pertama,  mereka  yang  memperlihatkan  kejahatannya  secara  terus terang. Langsug. Misal bangsa maling dan rampok. Yang kedua yang berkedok pura- pura jadi orang baik. Kaku  kurasa temasuk orang yang kedua!”
Wiro menggeleng.  “Dugaanmu meleset. Aku buka  orang jahat.  Juga bukan orang baik. Saudari, kulihat kau tidak begitu suka terhadapku. Lebih baik aku pergi saja. Maafkan kalau aku telah mengganggu diridan waktumu … ..”
Si  gadis  melirik pada uang  logam yang  tadi  diletakkan  Wiro  di  atas batu. “Sebelum  pergi  harap  kau  ambil  uang  di  atas  batu  itu.  Paling  tidak  penambah bekalmu dalam perjalanan … …”
Dari  nada  ucapan   sang   dara  Wiro  maklum  kalau  kata-kata   itu  bukan menunjukkan rasa kebaikan, tapi bermaksud menghinanya. Maka diapun menjawab

BASTIAN TITO                                                                                                            7

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Terima kasih. Aku tidak butuh uangmu. Berikan saja pada pengemis. Merekalebih membutuhkan dariku … .”
Habis berkata begitu Wiro lantas melangkah pergi. Baru saja dia hendak naik ke atas punggung kudanya, dari lereng bukit sebelah kiri tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Wiro berpaling. Dia melihat empat lelaki penunggang kuda mendatangi tempat  dia dan  si  gadis berada dengan  cepat.  Sesaat kemudian keempat orang ini sudah  berada  di  depan  gadis  itu.  keempatnya  mengenakan  pakaian  serba  merah, membekal pedang dan golok. Mereka memandang dengan curiga ke arah Wiro lalu berpaling pada si gadis dan serentak menjura memberi penghormatan.
“Tidak  disangka bertemu  dengan  kawan  segolongan  di tempat  ini. Apakah saudari  berada  di  sekitar  sini  dalam  rangka  persiapan  pertemuan  besar  di  puncak Bukit Batu Merah…..? ’
Gadis yang ditanya diam saja kemudian mengangkat bahu dan tak beranjak dari tempatnya berdiri. Sebaliknya saat itu Wiro yang tadi hendak naikke kudanya kini melangkah ke dekat mata air, lalu duduk di atas batu di mana masih terletak uang logam milik gadis berpakaian merahitu.
Karena yang ditanya tak menjawab, tentu saja keempat orang itu merasa tidak enak.  Yang  berkumis  dan  berjanggut  pendek  berpaling  ke  arah  Wiro.  Saat  itu Pendekar 212 tampak duduk di atas batu sambil cengar-cengir dan menimang-nimang uang logam di tangan kanannya.
“Saudari,  apakah  pemuda  berotak  miring  itu  mengganggumu?”  si  kumis bertanya.
Daru berbaju merah melirik ke arah Wiro. Lalu tiba-tiba saja dia menjawab. “Betul!  Dia  sejak  tadi  menggangguku!  Bahkan  mengikuti  perjalananku!  Pemuda kurang ajar! Sinting tak tahu diri!”
“Eh……!” Wiro melengakkaget mendengar kata-kata si gadis.
Sebaliknya  si  kumis  berbaju  merah  terdengar  berkata.  “Kawan,  tak  usah kawatir.  Biar  aku  memberi  pelajaran  sopan  santun  pada  pemuda  geblek  itu.  kau inginkan dia hanya disiksa atau langsung dibikin mati?!”
Mendengar  kata-kata  itu  sang  dara  jelas  tampak  agak  kaget.  Tapi  sesaat kemudian  dia  menjawab  “Terserah padamu  dan kawan-kawan!  Saat  ini  aku harus melanjutkan perjalanan!”
“Silahkan melanjutkan perjalanan saudari. Kita akan berjumpa lagi di Bukit Batu Merah padaharikelima bulan kelima! Pemuda ini serahkan padaku dn teman- teman. Selamat jalan!”
Gadis  berbaju   merah   tertawa   lebar.   Dia  berpaling  pada  Wiro.   Sambil melangkah ke kudanya dia berkata. “Rasakan olehmu sekarang! Itu akibat kalau suka mengintili perempuan! Habis awakmu!” Sang dara lalu keluarkan suara tertawa dan melompat ke punggung kudanya lalu menghambur tinggalkan tempat itu. Tinggal kini Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat ini tengah didatangiolehlelaki berkumis dan berjanggut  pendek.  Orang  ini  melangkah  dengan  muka  galak  dan  tangan  kanan terkepal!

BASTIAN TITO                                                                                                             8

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

TIGA

Pendekar  212  masih  saja  tenang-tenang  duduk  di  atas batu  sambil menimang- nimang uang logam dengn tangan kanannya. Merasa dianggap enteng amarahlelaki berkumis dan berjanggut pendek menjadi menggelegak.
Wuuuutttt!
Kepalan  tangan  kanan  yang  keras  terdengar  menderu  mengeluarkan  angin tanda jotosan yang  dilakukan penuh marah  itu disertai kekuatan tenaga  luar yang dahsyat.
Tiga orang berpakaian serba merah yang masih berada di atas kuda masing- masing tampakheran dan kaget ketika melihat kawan mereka si kumis melintir ke kiri lalu  sempoyongan  hampir  terbanting  ke  tanah!  Sementara  itu  pemuda  yang  tadi hendak  dijotosnya  tetap  saja  duduk  di  atas  batu  sambil  cengar-cengir  dan  masih menimang-nimang uang logam!
“Keparat! Kau berani mempermainkanku!” orang berkumis membentak marah sekali.
Tiga kawannya melompat dari atas kuda, langsung mengurung murid  Sinto Gendeng.
Apa  sebenarnya yang terjadi? Ketika si kumis melayangkan tinjunya untuk menghantam  muka  Wiro,  pendekar  kita  miringkan  kepalanya  sedikit  hingga  tinju orang  lewaT  seujung  kuku  di  pipi  kanannya.  Karena  pukulan  yang  mengerahkan tenaga   luar   yang   keras   itu   tidak   mengenai   sasarannya,   si   kumis   kehilangan keseimbangan  oleh  dorongan  kekuatannya  sendiri.  Akibatnya  tubuhnya  terhuyung deras hampir terpelanting jatuh!
“Sangaji, rupanya pemuda gila ini tidak tahu kita ini siapa! Beritahu saja agar dia tidak bersikap lebih kurang ajar!” salah seorang kawan si kumis membuka mulut.
“Kau  saja  yang  memberi tahu  Galut!” jawab  si kumis  sambil  menggulung lengan  baju  merahnya  tanda  dia  siap  untuk  menghajar  kembali  si  gondong  di hadapannya.
Orang yang bernama Galut melangkah ke hadapan Wiro dan berkata “Pemuda gila! Kowe tahu tengah berhadapan dengan siapa kau saat ini? Kowe tahu siapa kami ini? Dan kowe tahu siapa gadis yang tadi berani kau ganggu?!”
Wiro goleng-golengkan kepala lalu menyahut “Siapa kalian mana aku tahu! Dan aku tidak merasa mengganggu gadis tadi!” jawab Wiro polos.
Si kumis yang bernama Sangaji langsung melompat dan layangkan tinjunya. Tapikawannya Galut cepat menahan dan berkata pada Wiro dengan suara bergetar. “Kami  adalah  anggota-anggota Serikat Setan Merah!  Gadis  itu  salah  satu  anggota kami! Dan kau berani berlakukurang ajar terhadap anakbuah Serikat Setan Merah! Sungguh berani mati!”
“Serikat Setan Merah!” seru Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia belum pernah mendengar  nama perkumpulan  itu. Namun  di hadapan  keempat  orang  yang  tidak dikenalnya  itu  dia  menyahuti  “Nama  Serikat  Setan  Merah  memang  sudah  lama kudengar! Tapi apakahkalian sadar tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!”
“Anjing kurap!” teriak Sangaji marah besar. “Katakan siapa dirimu!”
Wiro menyeringai. Dia memandangikeempat orang itu satu persatu. Tangan kanannya    masih    menimang-nimang    mata    uang.    Tiba-tiba    mata    uang    itu dilemparkannya tingg-tinggi keudara. Lalu ketika mata uang mulaijatuh kebawah dia  menengadahkan  kepalanya.  Uang  logam  tepat jatuh  di  mata  kirinya.  Dengan

BASTIAN TITO                                                                                                            9

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

tangan kirinya Wiro usap uang logam dan matanya. Ketika tangannya diangkat uang logam itu telahlenyap dari atas mata kirinya.
“Uang logam itu telahkubikin amblas kedalam mata kiriku!” ujar Pendekar 212 lalu tertawa gelak-gelak.
“Bangsat!  Kau  kira bisa  menipu  kami?!  Uang  itu  kau  sembunyikan  dalam genggaman  tangan  kirimu!”  salah  seorang  anggota  Serikat  Setan  Merah  berseru. Rupanya dia telah memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Wiro.
Wiro kembali tertawa bergelak. Dia buka tangan kirinya yang tergenggam. Ternyata uang logam itu tak ada dalam genggamannya.
“Pemuda  keparat!   Jangan   coba  mengalihkan  urusan   dengan   ilmu   sulap picisan!” teriak Sangaji.
Wiro tersenyum lebar. Lalu berkata “Kalian kulihat begitu bagga menyebut diri  sebagai anggota-anggota Serikat  Setan Merah! Ilmu kalian tentu tidak rendah. Tapi  di mana uang  logam  itu berada kalian tak mampu mengetahuinya.  Sungguh memalukan! Berlagak punya nama besar tapi sebenarnya goblok!”
“Kurang ajar! Berani kau menghina kami!” teriak Galut.
“Sabar!  Jangan  cepat  naik  darah  sobat!”  ujar  Wiro.  “Uang  logam  itu  kini berada dalam saku baju kirimu Galut!”
Meskipun  sangat  marah  dan  tidak percaya  tapi  Galut  mengeruk juga  saku bajunya. Ketika tangannya merabakedalam saku, astaga! Uang itu ternyata memang ada dalam saku itu dan perlahan-lahan dikeluarkannya. Tiga orang kawannya tentu saja tampak terheran-heran. Tapi Sangaji cepat berkata. “Permainan sulapmu cukup bagus! Tapi itu tidak membuat kami mengampuni segala kekurang ajaranmu!” Habis berkata begitu Sangaji melompat untuk mengirimkan jotosan ke arahjantung Wiro. Tapilagi-lagi Galut mencegahnya.
“Orang ini takbakalan lolos dari tangan kita Sangaji. Biarkan dulu dia kita berikesempatan untuk menerangkan siapa dia adanya! Ayo gondrong! Lekas katakan siapa dirimu!”
Wiro masukkan uang logam ke saku pakaian lalu tegak berdiri sambilletakkan kedua tangan  di pinggang.  “Aku  adalah Ketua Serikat Setan Putih!  Ketua  Serikat Setan Merah adalah adik seperguruanku! Nah, setelah tahu siapa aku, apakah masih berani berlakukurang ajar tidak mau segera berlutut minta ampun?!”
“Penipu besar bermulut busuk! Siapa percaya omonganmu!” teriak Galut.
“Ketua kami tidak pernah menerangkan kalau punya kakak seperguruan yang memimpin Serikat Setan Putih! Galut! Mari kita ganyang pemuda sedeng ini!”
Maka  Sangaji  dan  Galut  langsung  menyerbu  Pendekar  212.  Wiro  sudah maklum kalau orang-orang yang menyerangnya bukan saja memiliki tenaga luar yang hebat tapi  juga membekal tenaga dalam. Maka cepat-cepat dia menyingkir dengan melompat ke kiri. Begitu turun kaki kanannya sengaja menginjak mata air hingga air muncrat dan dengan deras memercik di muka Sangajidan Galut.
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Pemuda iblis! Akubersumpah membunuhmu!” teriak Sangajilalu dorongkan tangan  kanannya  ke  depan.  Inilah  tanda  dia  tengah  melancarkan  pukulan  tangan kosong yang mengandung tenaga dalam. Murid Sinto Gendeng cepat selamatkan diri sebelum  tubuhnya  tersambar  angin  pukulan  lawan.  Namun  saat  itu  dari  samping serangan Galut berupa jotosan datang menyusup dengan cepat ke bahu  kiri Pendekar 212.
Buukkkkk!
Pukulan  yang  tanpa  kekuatan  tenaga  dalam  itu  menghantam  bahu  Wiro dengan keras. Pendekar 212 terjajar ke kanan.  Sebaliknya  saat itu terdengar pekik

BASTIAN TITO                                                                                                           10

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Galut. Orang ini tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangan kanannya. Jari-jari tangannya tampak  gembung merah dan  lecet  sedang tulang pegelangan tangannya lepas dari persendian. Tangan kanan Galut sebatas lengan kebawah tampak terguntai- guntaidan sakitnya yang bukan main membuat Galut mengeluh tinggi berulang kali.
Ketika Wiro terjajar ke kanan akibat pukulan Galut tadi, kesempatan ini tidak disia-siakan   oleh   Sangaji.   Kedua  tangannya   di   dorong   ke   depan.  Pelipis   dan rahangnya menggembung.
“Kunyuk ini mengerahkan seluruh tenaga dalamnya!” kata Wiro dalam hati. Diapun langsung menyalurkan tenaga dalam dari perut ke tangan kanan lalu angkat telapak tangan itu ke atas menyambuti serangan lawan.
Dua   angin   menderu  menghantam   ke   arah   Wiro   tetapi  tertahan   begitu membentur serangkum angin yang keluar dari telapak tangan Pendekar 212. Perlahan- lahan  Wio  dorongkan  telapak  tangan  kanannya  ke  depan.  Sangaji  terkejut  ketika merasakan ada satu kekuatan dahsyat laksana satu tembokbatu mendorong tubuhnya ke belakang. Dia coba bertahan dengan sekuat tenaga tapi kedua lututnya menjadi goyah, tubuhnya bergetar dan dadanya mendenyut sakit.
“Celaka!” keluh Sangaji. Dia berseru keras lalu melompat setinggi dua tombak menghindari  gempuran kekuatan  dahsyat yang  seperti hendak merontokkan tulang belulangnya. Dari atas Sangaji membuat gerakan menukik, tubuhnya berkelebat ke arah Wiro. Saat itu di tangan kanannya sudah tergenggam sebilah golok. Senjata ini menderu keras, membabat ke arahleher Pendekar 212!
Serangan yang dilancarkan Sangaji memang hebat dan bagus untuk disaksikan. Tubuhnya  laksana  seekor  burung  walet  menyambar  mengsanya.  Tapi  kehebatan serangan ini tidak ditunjang oleh gerakan yang cepat, padahal gerakan cepat adalah dasar kesempurnaan setiapjurus silat.
Golok menyambar di atas kepala Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu senjata lawan lewat kedua tangan Wiro melesat ke atas. Sangaji terkejut ketikadisadarinya pergelangan  tangannya  telah  dicengkeram  lawan  namun  tidak  ada  kesempatan baginya untuk melepaskan diri. Tahu-tahu tubuhnya sudahdibetot keras ke samping. Tak ampun lagi tubuh  Sangaji terlempar  sejauh beberapa tombak, begitu jatuh ke tanah langsung berguling-guling!
Dalam keadaan tubuh dan pakaian serta mukababak belur Sangaji berusaha berdiri. Goloknya lepas mental entah kemana. Dia berpaling padakedua kawannya yang tegak terkesiap lalu berteriak marah. “Kalian menunggu sampai aku dan Galut mampus dulu baru membantu?!”
Dua anggota Serikat Setan Merah yang dibentak seekan tersadar. Keduanya segera  menghunus  senjata  masing-masing  yakni  golok  dan  pedang  pendek  lalu langsung  menyerang  Wiro.  Satu  dari  samping  kanan,  satunya  dari  sebelah  kiri. Karena masih segar bugar belum cidera serangan dua anggota Serikat Setan Merah ini tampak sebat dan berbahaya. Wiro tak mau berlaku ayal. Dia segera berkelebat cepat untuk hindari diri. Tubuhnya bergerak ke kiri, berpindah ke kanan, membalik dan tahu-tahu kaki kanannya melesat menghantam dagu  salah  seorang penyerang.  Tak ampun lagi orang ini terpental, tergelimpang di tanah dalam keadaan pingsan dan mulut  berdarah!  Kawannya  yang  satu  lagi  nampak  panik  tapi  masih  berusaha menyerbudengan menusukkan pedangnya ke perut Wiro.
Pendekar 212 tendang siku penyerangnya dengan kaki kiri.
Terdengar suara berderak disertai jeritan setinggi langit.
Pedang  pendek  terlepas  mental  ke  udara.  Anggota  Serikat  Setan  Merah mundur menjauhi Wiro. Mukanya tampak mengerenyit pucat. Akhirnya dia tersandar pada sebuahlamping batu sambil pegangi tangan kanannya yang patah!

BASTIAN TITO                                                                                                           11

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro memandang berkeliling sambilbertolak pinggang.
“Serikat  Setan  Merah!”  katanya  sambil  mencibir.  “Dari  sikap  dan  tindak tanduk  kalian  aku  tahu  kalian bukanlah  manusia-manusia  dari  perkumpulan baik- baik! Hari ini aku hanya memberi pelajaran secukupnya. Tapi lain kali jika kalian masih  berani  bertindak  sewenang-wenang  dengan  mengandalkan  nama  komplotan kalian, kalian akan kuhajar babak belur lalu kutelanjangi hingga kalian bukan lagi sebagai Setan Merah tapi Setan Telanjang!”
Wiro mendengus lalu melangkah mendekati kudanya. Sebelum berlalu masih sempat   didengarkannya   Sangaji  berteriak.   “Pemuda  keparat!   Kami  tidak  akan melupakan   apa  yang  terjadi  hari   ini!  kami  akan  mencarimu  untuk  membuat perhitungan! Jangan harap kau akan bisa bernafas jika bertemu kami sekalilagi!”
“Manusia sombong! Urusi dulu muka dan pakaianmu yang compang camping berkelukuran tanah!” sahut Wiro pula lalu gebrakkan kuda coklatnya dan tinggalkan tempat itu.

Sesaat setelah meninggalkan bukit dimana Wiro kini harus menghadapi empat orang lelaki berseragam merah, dara penunggang kuda putih yang juga berpakaian serba merah sebenarnya merasa heran. Mengapa rombongan empat orang itu begitu menghormatinya,  memanggil  dirinya  sebagai  kawan  segolongan  lalu  menyebut- nyebut pertemuan di Bukit Batu Merah tanggal lima bulan kelima. Apa arti semua ini? dia menghubungkan pula dengan kejadian di rumah makan  sebelumnya. Lalu ingat pada pemuda gondrong berpakain putih itu . Siapa pula pemuda ini sebenarnya. Mengapa dia mengikuti dirinya. Semua pertanyaan itu belum terjawabdan sulit akan terjawab  kalau  dia  tidak  menyelidiki  sendiri.  Perlahan-lahan  sang  dara  hentikan kudanya.    Dia   berpikir-pikir   beberapa   ketika.    Akhirnya    dia   putar   kembali tunggangannya itu dan memacunya menuju bebukitan dimana tadi dia berada. Dari balik  sebuah  batu  yang  terlindung  oleh  semak  belukar,  gadis  berbaju  merah  ini memperhatikan  apa  yang  terjadi.  Semua  yang  berlangsung  di  situ  disaksikannya dengan    terheran-heran.     Terlebih-lebih    ketika     dilihatnya    begaimana    Wiro memperhatikan keempat lelaki berseragam yang mengaku anggota-anggota  Serikat Merahlalu menghajar mereka satu demi satu!
“Pemuda   itu   agaknya   tidak   berotak   miring … ..”   membatin   sang   dara. “Kepandaiannya  luar  biasa.  Ada  keanehan  pada  dirinya.  Mungkin  dia  sengaja menyembunyikan kehebtan dirinya di balik sikap yang konyol seperti orang geblek begitu? Ah, peduli apa aku dengan dirinya.” Akhirnya gadis ini memutar kudanya dan tinggalkan tempat itu.

BASTIAN TITO                                                                                                           12

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

EMPAT

Kuda putih itu berlarikencang meninggalkan kepulan debujalaan di belakangnya. Bagaimanapun  dara  berpakaian  merah  itu  tidak  ingin  mengingat-ingat  apa  yang disaksikannya di bukit gundul tadi namun tetap saja apa yang terjadi terbayang di pelupuk matanya.  Sesekali  dia tampak tersenyum ketika  ingat bagaimana pemuda berambut gondrong itu mempermainkan empat anggota Sereikat Setan Merah dengan permainan uang logamnya.
“Ah,  baru  tiga  hari  aku  turun  gunung,  banyak  keanehan  yang  kutemui  di tengah jalan!” berkata sang dara dalam hati. Dia mengusap leher kuda tunggangannya seraya berkata. “Ayo, Putih, percepat larimu! Kita harus sampaidi Solotigo sebelum matahari terbenam!”
Seakan  mengerti  ucapan  penunggangnya  kuda  putih  itu  keluarkan  suara meringkikkecillalu percepat larinya.
“Bagus! Kau memang kuda yang baik!” memuji sang dara.
Baru  saja  dia  berkata  begitu  tiba-tiba  binatang  tunggangannya  meringkik panjang lalu hentikan lari sambil angkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Jika saja sang dara tidak cepat bergayut padalehernya, pastilahdia akan jatuh terpelanting ke tanah.
“Tenang Putih! Apa yang kau takutkan…..?!” ujar gadis berpakaian merah seraya mengusap-usap leher kuda putihnya. Perlahan-lahan kudanya melangkah ke depan.   Di   balik   sebuah   tikungan   pada   jalan   yang   akan   dilalui   sang   dara, membelintang  sebuah  pohonn  besar.  Untung  saja  kuda  tunggangannya  memiliki perasaan tajam sehingga meskipun pohon itu berada di tikungan jalan yang belum kelihatan   tapi   binatang   ini   telah   mengetahui   adanya   bahaya   dan   langsung menghentikan larinya.
“Hemmmm … ..  Ada  yang  sengaja  menghadang  perjalanan  kita ……”  bisik sang  dara  pada  kuda  putihnya.  Lalu  dia  melompat  turun.  Baru  saja  sang  dara menjejakkan kedua kakinya di tanah dari balik semakbelukar   yang mengapit jalan tanah itu tiba-tibaberlompatan enam orang yang tak satupun dikenal oleh si gadis.
Orang pertama seorang kakek berpakain compang-camping, berambut kotor acak-acakan. Di tangan kanannya dia memegang sebatang tongkat yang terbuat dari sejenis  akar  pohon.  Berbeda  dengan  keadaan  si  kakek,  lima  orang  lain  yang mengurung  tempat  itu  adalah  empat  orang  pemuda  dan  seorang  pemudi.  Mereka semua  mengenakan pakaian biru  muda  dan rata-rata bertampang  gagah  sedang  si gadis yang memakai baju biru tua, memiliki wajah jelita berkulit putih mulus.
Si kakekberbaju compang camping menuh tambalan tertawa mengekeh tapidi balik  tawanya  itu  jelas  dia  menyimpan  satu  kemarahan  besar  karena  sepasang matanya tampakberkilat-kilat.
“Anak-anak, akhirnya kita temui juga salah seorang dari mereka!” berkata si kakek. “Lekas kalian ringkus dia kemudian kita tanyai!”
“Dan jika  dia  tidak  mau  memberitahu  dimana  Griyati  berada,  habisi  saja nyawanya!” Yang menimpali kata-kata si kakek adalah dara berbaju biru tua.
Lalu empat pemuda dan  satu gadis yang melakukan pengurungan itu tanpa menunggu lebih lama segera menyerbudara berbaju merah.
“Tunggu!” si baju merah berseru. “Apa-apaan ini?! Aku tidak kenal kalian. Mengapa hendak meringkusdiriku?!”

BASTIAN TITO                                                                                                           13

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Si kakek tertawa lalu mendengus. “Tiga hari lalu kalian orang-orang Serikat  Setan Merah menyerbu tempat kediaman kami karena kami tidak mau bergabung  dengan kalian! Lalu kalian membunuh beberapa anak muridku! Juga menculik Griyati, muridku  paling  muda  dan  paling  kami  sayangi!  Kini  kami  bisa  menghadangmu,  apakah kami akan menyia-nyiakan kesempatan?! Kau dengar sendiri! Jika kau  tidak  memberitahu  di  mana  Griyati  berada,  apalagi  kalau  sampai  gadis  itu  mengalami  cidera,   kaupun   akan   kami   cincang   sebagai   pembalasan   dan   kepalamu   kami  pancangkan  di tengah pasar  di  Solotigo agar  semua  anggota  Serikat  Setan Merah  mengetahuidan tidakberani lagi melakukan kejahatan seenak perutnya!”
“Orang tua,  aku kasihan pada dirimu!” kata dara berpakaian merah  sambil gelengkan kepala. “Tapi kau dan murid-muridmu salah sangka. Aku bukan anggota Serikat  Setan Merah. Aku juga  tidak  tahu  di mana  muridmu bernama  Griyati  itu berada!”
Lima murid orang tua berpakaian compang-camping mendengus dan unjukkan muka berang. Si kakek  sendiri tertawa perlahan. “Biasa begitu,” katanya. “Setelah terkurung dan takbisa lolos, seseorang selalu berusaha mencari jalan menyelamatkan diridengan mengatakan seribukebohongan!”
“Terserah padakalian untuk percaya atau tidak! Aku sudah bilang aku bukan anggota segala macam Serikat Setan atau Serikat Iblis. Aku tidak tahu di mana murid perempuanmu berada! Sekarang beri jalan. Orang tua harap kau perintahkan murid- muridmu menyeret pohon itu ke tepi agar aku bisa lewat!”
“Gadis setan!” teriak dara berbaju biru tua. Dia mendahului keempat saudara seperguruannya  menyerang   si  baju  merah.  Perkelahian   satu   lawan   lima  tidak terhindarkan lagi. Dalam waktu  singkat  si baju merah  segera terdesak hebat.  Tapi gadis itu tampak tenang sekali. Penuh percaya diri dia hadapikelima pengeroyoknya dengna tabah. Gerakannya tampaklembut. Tapidi balikkelembutan itu terdapat satu kekuatan  yang  dahsyat.  Dan  kelembutan  itu  sendiri  bisa  berubah  secara  tiba-tiba menjadi gerakan yang sangat cepat serta tidak terduga.
Setelah lebih dari enam jurus didesakhabis-habisan, si baju merahkeluarkan seruan nyaring.  Tubuhnya berkelebat  seperti lenyap. Kini hanya bayangan pakaian merahnya saja yang tampak bergerak kian kemari.
Kakek bertongkat akar pohon terkesiap ketika dia mendengar salah seorang muridnya keluarkan jerit kesakitan lalu tampak tubuhnya terhuyung sambil pegangi perut. Tendangan dara berbaju merah rupanya telah menghantam perutnya hingga dia terpaksa keluar darikalangan perkelahian dan duduk di tepi jalan menahan sakit. Si kakek cepat mendatangi untuk menolong muridnya yang cidera itu tapi gerakannya tertahan  ketika  sekali  lagi  dia  mendengar  jeritan  muridnya.  Belum  sempat  dia berpaling memutar kepala, satu sosok tubuh mencelat ke arahnya, lalu tergelimpang di tanah sambil mengerang kesakitan. Mata kiri muridkedua yang jadikorban tampak bengkak merah. Mau tak mau orang tua itu jadi tercekat dan memandang ke arah kelanagan perkelahian.
Kalau tadi si baju merah kena didesak hebat maka kini di mana dia hanya menghadapi tiga orang pengeroyok, serangan-serangan balasannya tidak tertahankan lagi.  Korban  ketiga  adalah  murid  perempuan  si  kakek.  Si  baju  merah  berhasil menjambak rambutnya hingga sanggulnya terlepas. Bagitu rambut gadis ini tergerai, si baju merah menariknya kuat-kuat lalu membantingkannya ke tanah.
Dara   berbaju   biru   tua   terpekik   kesakitan.   Masih   untung   dia   sanggup mengimbangi tubuh hingga tidakjatuh punggung ke tanah. Degnan rambut masih terurai, penuh amarah gadis inikembali melompat untuk menyerbu!

BASTIAN TITO                                                                                                           14

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Sarti!” seru si kakek. “Mundurlah. Tolong dua saudaramu yang cidera!” lalu  sambil melangkah terbungkuk-bungkuk orang tua ini mendekatikelangan perkelahian. Kembali dia berseru. “Kalian berdua juga mundur! Biar aku yang menghadapi gadis  binal ini!”
Dua murid si kakek yang masih berusaha menghadapi si baju merah dengan muka merahkarena malu cepat-cepat melompat mundur. Salah seorang dari mereka masih sempat menjura dan berkata. “Guru, maafkan kami tidakbisa meringkusnya!”
“Sudah, menjauh sana! Apa sih sulitnya meringkus tikusbau pesing seperti gadis ini … ..?!” ujar si kakek pula.
Mendengar dirinya disebut “gadis binal” lalu “tikusbau pesing” dara berbaju merah menjadi marah dan balas mendamprat. “Tua bangkabau tahikuda! Majulah lebih dekat biar kusumpal mulutmu yang lancang itu dengan kepalan!”
Si  kakek  tertawa  pendek.  Tanpa  bilang  apa-apa  lagi  dia  langsung  putar tongkatnya. Gerakannya biasa-biasa saja. Tapi tahu-tahu ujung tongkat telah menusuk ke  arah  tengorakannya.  Si  gadis  sampai  keluarkan  pekikan  kaget  dan  buru-buru melompat  mundur.  Tapi  tongkat  si  kakek  kembali  memburunya.  Setiap  kali  dia melompat  atau  membuat  gerakan  mengelak.  Ujung  tongkat  itu  selalu  bergerak menghadangnya. Begitu kejadian terus menerus hingga lama-lama si gadis menjadi kewalahan!
Selagi  keadaan  si  baju  merah  terdesak  seperti  iu  tiba-tiba  terdengar  suara orang tertawa di atas pohon. Yang tengah berkelahi tentu saja tidak berani palingkan kepala. Tapi empat murid sikakek serentakberpaling dan mendongakke tas sebuah pohon. Di atas sebatang cabang yang tingginya sekitar tiga tombak dari tanah, tampak duduk seorang pemudaberpakaian putih tertawa-tawa sambil menggeragoti sebatang tebu.
“Perkelahian seru!” ujar pemuda di atas pohon. “Kucing tua melawan cerurut merah!  Ha……ha ……ha!  Tentu  saja  kucing  tua  yang  bakal  menang!  Tapi  kalau cerurut  merah  mau  pakai  akal,  pasti  kucing  tua  itu  bisa  dibuat  tak  berdaya! Ha … ..ha ……ha … … .!”
Kakek tua itu marah sekali dirinya disebut sebagai kucing tua. Begitu juga sang dara baju merah yang dikatakan sebagai cerurut merah. Empat murid si kakek memandang  melotot  penuh  marah  pada pemuda  di  atas  pohon  tapi  mereka  tidak berani melakukan sesuatu selagi guru mereka terlihat berkelahi dengna gadis berbaju merahitu.
Karena ingin menyelesaikan perkelahian dengan cepat lalu memberi pelajaran pada  orang yang menyebutnya kucing tua,  si kakek putar tongkat akarnya  dengan cepat. Kini makin terdesaklah si baju merah.
“Hai! Tidak juga kau pergunakan akalmu cerurut merah! Atau kau memang sudah  kehabisan  akal!  Kalau  begitu  biar  aku  memberikan  petunjuk!”  terdengar pemuda  di atas pohon berucap.  “Cerurut merah,  lekas kau masuk ke balik  semak belukar  di tepi jalan  di belakangmu!  Tongkat butut kucing tua  itu pasti tak  akan banyak gunanya dan kau akan lebih leluasa menghadapinya!”
Meskipun tidak sukadiperintah orang, namun petunjuk yang diterima dalam keadaan terdesak begitu rupa mau tak mau diikuti juga oleh si gadis berbaju merah. Dia  melompat  ke  balik  semak  belukar.  Si  kakek  memburu.  Tapi  seperti  yang dikatakan orang di atas pohon didalam semakbelukar yang lebat begitu rupa tongkat di tangan orang tua itu tidak bisa berbuat banyak. Setiap dia hendak memukul atau membabat, rerantingan dan semakbelukar menghalangi gerakan tongkatnya. Jika dia coba menusuk. Lengan dan tangan pakaiannya tertahan oleh semak-semak!

BASTIAN TITO                                                                                                           15

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Kurang ajar! Siapa yang beraniikut campur urusan orang?!” bentak si kakek marah. Dia berpaling ke arah pohon di belakangnya. Begitu melihat pemuda yang duduk di cabang pohon sambil mengunyah-ngunyah tabu orang tua ini menjadi sangat jengkel. “Pemudalancang! Kau tetap di situ! Jangan lari! Setelah gadis ini kuringkus, giliranmu akan kugebuk kuberi pelajaran!”
Pemuda di atas pohon tertawa. “Orang tua!”  serunya membalas.  “Mengapa berlaku tolol! Dara itu bilang dia bukan anggota Serikat Setan Merah! Juga tidak tahu di mana muridmu bernama Griyatiitu berada! Mengapa masihingin meringkusnya? Eh…..  jangan-jangan  kau  punya  maksud  lain!  Kau  naksir  pada  gadis  itu  ya? Ha … .ha … ..ha!  Tua  bangka  tak  tahu  diri.  Seharusnya  kau  berkaca  dulu  sebelum punya pikiran seperti itu!”
“Mulutmu  kotor! Aku  bersumpah  akan  merobek mulutmu  itu!  Jangan  lari! Aku akan selesaikan urusanku dengan gadis ini!” teriak si kakek.
“Biar kami yang menghajar pemuda  lancang bermulut keji itu,  guru!” kata salah seorang murid si kakek.
“Tidak, kau dan saudara-saudaramu awasi saja dia jangan sampai lari! Nanti aku sendiri yang akan menghajarnya!”
Sebenarnya si kakekitu sudah maklum siapapun adanya pemuda di atas pohon itu, kalau kehadirannya tidak seorangpun sempat mengetahui sebelumnya, pastilahdia memilikikepandaian tinggi. Karena ada rasa kawatir dalam hatinya, itulah sebabnya si kakek memperingatikelima muridnya untuk tidak bertindak mendahului.
Ketika  tadi  si  kakek  berpaling  dan  bicara  dengan  pemuda  di  atas  pohon, kesempatan  ini  dipergunakan pula  oleh  dara berbaju  merah  untuk  melirik  ke  atas pohon.
“Ah, dia rupanya!” kata sang dara dalam hatiketika mengenali siapa adanya orang di atas pohon. Pemuda itu bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang sebelumnya ditemuinya di kedai dan beberapa waktu lalu dijebaknya hingga harus menghadapi empat orang anggota-anggota Serikat Merah!
Si  kakek  berpaling  kembali  kepada  dara  baju  merah  yang  berada  di  balik semakbelukar. Rahangnya mengembung. “Apa kau kira akan bisa berlindung terus di balik semakbelukar hah?!” kertaknya.
“Kakek  bau!  Kau  tak bakal  menang  menghadapiku!  Bagaimana  kalau  kau melayani dulu kacungku yang di atas pohon sana! Kalau kau bisa mengalahkannya maka aku akan menyerahkan diri tanpa perlawanan padamu!”
“Gadis edan!” maki Wiro dengan suara tertahan dan melengakjengkel. “Enak saja  dia  menyebutku  kacungnya!  Lagi-lagi  dia  hendak  pergunakan  otak  liciknya! Sebelumnya aku dijebakhingga harus berkelahi dengan empat lelaki berpakaian serba merahitu! Kinidia hendak mengadu aku dengan kakek berpakain compang camping itu! Sungguh cerdik!”
“Hemm ……  jadi  monyet  gondrong  di  atas  pohon  itu  adalah  kacungmu  ya … ..?!”   kakek   bertongkat   akar   pohon   manggut-manggut.   “Aku   lebih   suka  menggebuk tuannya lebih dulu, urusan dengan kacungmu itu biar kuselesaikan nanti!” Habis berkata begitu si kakek selipkan tongkatnya diketiak kiri lalu dia membungkuk. Apa yang dilakukan orang tua itu sungguh luar biasa! Dengan kedua tangannya dalam  gerakan yang cepat dia mencabuti semakbelukar yang adadi tempat itu hingga dalam  waktu  singkat  semak belukar yang tadi menjadi perlindungan bagi  sang  dara kini  rambas dan tempat itu jadi terbuka. Dalam marahnya rupanya si kakek merasa tak ada  jalan lain untuk dapat mencapai dan megnalahkan  si gadis  selain harus merambas  semakbelukar yang adadi sekitar situ.

BASTIAN TITO                                                                                                           16

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Ha … .ha … ..ha! Cerurut merah! Kemana kau hendak sembunyi sekarang?!” kekeh  si kakek lalu tangan kanannya bergerak dan tongkat akar kayunya kembali  berkiblat. Kali ini tampaknya dia tidak mau membuang waktu lagi karena serangan  tongkatnya  bukan  saja  cepat  luar  biasa  tapi  gerakan  yang  dibuatnya  merupakan  gerakan-gerakan ganas mematikan. Rupanya orang tua ini tidak perduli apakah dia  bisa meringkus sang dara dalam keadaan hidup atau mati!
Beberapa kali terdengar dara berbaju merah keluarkan suara pekikan karena tongkat  lawan hampir menusuk tubuh  atau memukul kepalanya.  Serangan tongkat yang laksana curahan mati-matian.
Breetttt!
Bahu  pakaian  sang  dara  robek.  Kulit  bahunya  tergaris  perih.  Gadis  ini meringis  kesakitan.  Tiba-tiba  dia  keluarkan  keritan  keras  dan  pukulkan  tangan kanannya ke arah lawan. Serangkum sinar kelabu menggebubu, membuat si kakek kaget sekali dan buru-buru menyingkir. Sinar kelabu lewat di depan dadanya yang menebar  hawa  dingin.  Kakek  berpakaian  compang  camping  itu  kiblatkan  tongkat kayunya ke atas. Tongkat itu tergetar keras tapi sinar kelabu langsung musnah. Di saat yang sama ujung tongkat menyambar deras dan cepat ke arah tonggorakan si baju merah.
Serangan tongkat lawan sekali ini sama sekali tidak terduga oleh sang dara baju merah. Tapidia menyangkabahwa pukulan tangan kosongnya yang mengandung ajikesaktian yang selama ini selalu menjadi andalannya pasti akan membuat lawan roboh, paling tidak mental dan menderita cidera berat. Tapi pukulan bernama “awan kelabu” itu ternyata mampu dielakkan si kakek. Tercekat   oleh kegagalan pukulan saktinya,  sang  dara  jadi  bertindak  lengah.  Dan  dalam  kelengahan  yang  hanya sepersekian kejapan mata itulahujung tongkat lawan menusuk ke arahlehernya tanpa dia mempunyaikesempatan untuk berkelit ataupun menangkis!
“Cerurut merah! Mengapa tusukan tongkat butut begitu saja kau tak sanggup mengelakkan……?!”  terdengar  suara  Pendekar  212  dari  atas  pohon.  Lalu  sebuah benda sepanjang duajengkal melesat kebawah, menghantam ujung tongkat di tangan si kakek.
Traak!
Benda  yang  menghanam  tongkat  kayu  itu  patah  dua  dan  ternyata  adalah batangan tebu.  Tongkat  di tangan  si kakek  sendiri tergetar keras  dan  si  orang tua sempat terjajar satu langkah. Telapak tangannya terasa panas.
Terkejut dan marah si baju compang camping ini bukan kepalang. Terkejut karena  menyadari  lemparan  batang  tebu  itu  bukanlah  lemparan  biasa  dan  yang melemparkannya  jelas  adalah  pemuda  di  atas  pohon  sana.  Marah  karena  ujung tongkatnya yang seharusnya akan menusuk paling tidak merobek daging leher dara berbaju merah akibat lemparan tebu tadijadi meleset sampai tigajengkal!
“Setan  alas” teriak  orang tua  itu  sementara  si baju merah  cepat melompar mundur  dengan  wajah  pucat!  Saat  itu  dia punya  kesempatan  untuk  melompat  ke punggung kuda putihnya dan tinggalkan tempat itu. Namun hal itu tidak dilakukannya karena  dia  ingin  melihat  apa  yang  kini  bakal  terjadi  antara  si  kakek  dengan  si gondrong.

BASTIAN TITO                                                                                                           17

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

LIMA

Didahului oleh suara menggemborkeras sepertiharimau terluka kakekberpakaian compang camping melompat ke atas cabang di mana Pendekar 212 duduk berjuntai. Tubuhnya laksana terbang. Tongkat akar kayu di tangan kanannya berputar laksana titiran, mengeluarkan angin deras sekali hingga daun-daun pohon rontokberjatuhan. Jelas kakekini menggerakkan tongkatnya disertai tenaga dalam penuh.
Trak….trak….traaakkkk!
Cabang pohon yang  diduduki Wiro patah berkeping-keping.  Tapi  si kakek terdengar berseru kaget. Yang diharapkannya ialah patah tulang belulang si pemuda berambut gondrong tapi yang dihantamnya ternyata hanyalah cabang pohon . Kemana pemuda itu lenyapnya?!
Sebenarnya, ketika orang tua itu melesat ke cabang pohon  , Pendekar 212 sendiri justru membuat gerakan menjatuhkan diri kebawah, berjungkir balik diudara lalu melompat ke tanah dan turun tepat di samping dara berbaju merah!   Dan dasar konyolnya murid Sinto Gendeng ini, ketika melompat turun dia tidakhanya sekedar melompat saja, tapi tangan kanannya secara jahil menarik celana si kakekke bawah. Celakanya yang punya   diri tidak menyadari apa yang terjadi. Begitu mendapatkan Wiro tak ada lagi di atas pohon, dia langsung melompat turun dan ketika tegak di tanah celananya masih dalam keadaan melorot ke bawah hingga tentu saja anggota tubuhnya yang paling rahasia terpampang dengan jelas.
“Guru!”  tiga  orang  anak  murid  si  orang  tua  berseru  hampir  berbaregan sementara Sarti si murid perempuan berpaling dengan muka jengah!
Dilain pihak, begitu melompat ke samping si baju merah Wiro tertawa lebar dan menjura seraya menegur “Saudari, kita berjumpa lagi. Apa kabarmu saat ini …..?”
Kalau  sebelumnya    sang  dara  memang  tidak  menyukai  Wiro,  kini  setelah dirinya diselamatkan dari serangan maut tadi mau tak mau sikapnya jadi berubah. Apalagi  dilihatnya  tingkah  laku  dan  segala perbuatan  si  pemuda  yang  konyol  itu membuat tertawa gelidalam hati.
“Aku baik-baik saja,  saudara!” si gadis menjawab.  “Terima kasih kau telah menyelamatkan diriku!”
Wiro kembali tersenyum  lebar.  Sambil   garuk-garuk kepalanya  dia berkata “Saudari, omong-omong apa kau ada melihat seekor burung gagakkesasar di sekitar sini……?!”
Si  baju  merah  sebenarnya  sudah  tahu  apa  yang  terjadi  yaitu    apa  yang dilakukan oleh Wiro terhadap kakekberpakaian rombeng. Jika saat itu bukan tengah menghadapi  perkelahian  mungkin  dia  sudah  tertawa  terpingkal-pingkal.  Sambil melengos dari pemandangan menusuk mata di hadapannya dia menjawab. “Tak ada kulihat  burung  gagak  kesasar  di  sekitar  sini  saudara.  Yang  kulihat  hanya  seekor burung hantu! ”
Mendengar  ucapan   si  gadis  Wiro  tertawa  gelak-gealk.   Sang  dara  baju merahpun tak dapat menahan tawanya lalu ikut tertawa terpingkal-pingkal. Kudanya tertawa sampai mengeluarkan air mata.
Karena orang tua itu masih belum juga sadar apa yang terjadi atas dirinya  maka salah seorang muridnya melompat ke hadapan gurunya dan menunjuk kebawah. Ketika orang tua itu menoleh ke arah yang ditunjuk pada tubuhnya di bawah perut,  barulahdia sadar apa yang terjadi!

BASTIAN TITO                                                                                                           18

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Bangsat rendah! Manusia kurang ajar! Penghinaan iniharus kau balas dengan nyawa busukmu!” teriak kakekitu marah. Cepat-cepat dia tarik celananya ke atas lalu melompat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Lima orang muridnya yang merasa terhina  oleh  perlakuan  itu  ikut  menyerbu.  Salah  seorang  dari  mereka  berkelebat sambilberteriak “Guru! Izinkan kami menghancurkan tulang belulangnya!”
Kalau sebelumnya si orang tua melarang murid-muridnya untukikut campur, kini dalam kemarahannya yang meluap dan rasa malu yang amat  sangat dia tidak perdulikan lagi. Makin cepat dia bisa menghajar si gondrong kurang ajar itu makin puas hatinya! Maka enam orang disaat yang sama serentak menyerbu Pendekar 212 Wiro Sableng.
Gerakan enam penyerang itu sebat sekali. Entahkapan murid-murid orang tua itu   mengeluarkan   senjata   masing-masing,   tahu-tahu   Wiro   melihat   enam   buah bayangan  tongkat  berkiblat  ke  arahnya,  menggebuk  dan  menusuk  ke  arah  enam bagian tubuh,  dua diantaranya menyambar ke arah kepala! Melihat  serangan yang bukan  main-main  ini,  Pendekar  212  yang  tadi  masih  cengar  cengir,  kini  cepat bergerak. Sebelum dia sempat melakukan sesuatu dari samping terdengar bentakan perempuan.
“Manusia-manusia  curang!  Beraninya  kalian  main  keroyok!  Jaga  kepala kalian!”
Bersamaan  dengan  itu  satu  bayangan  merah  menyambar  dari  arah  kanan sedang dari samping kiri menderu sinar abu-abu menebar hawa dingin. Melirik ke samping Wiro saksikan bhwa yang membentakbukan lain adalahdara berbaju merah jelita  itu.  Di  tangan  kanannya  dia  memegang  secarik  kain  merah  yang  tadinya merupakan kain  ikat kepalanya. Dengan kain  inilah  dia memapasi  serangan  enam tongkat sedang dalam waktu yang bersamaan tangan kirinya ikut bekerja melepaskan pukulan saktibernama “awan kelabu”
Dua orang pemuda yang berada di jurusan sambaran pukulan sakti sang dara cepat menghindar. Berarti dua pengeroyok tak dapat meneruskan serangannya. Ujung kain  merah  di  tangan  sang  dara  berkelebat  menyambar  ke  arah  kepala  empat pengeroyoklainnya.
Tak…..tak…..tak…..tak! terdengar  suara berdetak  empat  kali  berturut-turut ketikaujung kain beradu dengan ujung tongkat kayu di tangan lawan. Lalu menyusul suara kain robek. Kemudian suara seruan tertahan dara berbaju merah. Di saat yang bersamaan terdengar pula keluhan salah seorang penyerang.
Wiro melihat semua yang terjadidengan cepat. Dua ujung tongkat kayu murid kakek   berpakaian   compang   camping   tampak   hancur.   Murid   ketiga   kelihatan terhuyung  mundur  sambil  pegangi  keningnya  yang  mengucurkan  darah  akibat hantaman ujung kain merah. Orang ini adalah yang sebelumnya sudah babak belur mata  kirinya  kena  jotosan.  Tapi  sang  dara  sendiri  tidak  berada  dalam  keadaan menguntungkan.  Malah  keadaan  kini  berbalik membahayakan  dirinya.  Dua  ujung tongkat, satu milik si kakekdan satunya milik muridnyaberhasil menjepit ujung kain merah  yang jadi  senjata  dara berbaju merah.  Ketika  dua  tongkat  itu  sama  ditarik dengan keras, bukan saja kain merah menjadi robek, tapi tersentaklepas dari tangan pemiliknya. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah. Selagidara baju merah terkesiap kaget sambilimbangi tubuh, tiga tongkat kayu datang menghantam. Sang dara masih bisa berkelit dari serangan tongkat di sebelah kanan, tapi yang datang daridepan yaitu tusukan  tongkat  si  kakek  dan  yang  menggeprak  dari  samping  kiri  tak  kuasa dihindarinya.  Dalam  waktu  sekejap  saja perutnya  akan  tertambus tusukan  tongkat yang datang daridepan sedang tongkat yang meyambar dari samping kiri sudahdapat dipastikan akan menggebukhancur pangkal bahunya!

BASTIAN TITO                                                                                                           19

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Dalam  keadaan  yang  sangat  berbahaya  itu  tiba-tiba  menderu  suara  seperti tawon mengamuk disertai berkiblatnya sinar putih menyilaukan dan menghamparnya hawa panas!
Si kakek masih  sanggup untuk menahan teriakan kekagetan, tapi wajahnya yang pucat tak dapat disembunyikan. Dia melompat mundur sambil melotot pandangi tongkat  akar  kayunya  yang  kini  hanya  tinggal  kutungan  sepanjang  dua jengkal. Tangannya sendiri terasa sepertikesemutan dan ada hawa panas aneh yang membuat persendian tangan kanan itu seperti kaku. Cepat-cepat dia menekan beberapa bagian tangannya seraya kerahkan tenaga dalam. Di samping kirinya dilihatnya salah seorang muridnya terkapar jatuhdi tanah dengan muka seputih kertas. Tongkatnya patah dua dan mentak entah kemana.
Dara berbaju merah yang tadi merasakan seperti sudah copot jantungnya, kini menjadi  lega  begitu  menyadari  dirinya  baru  saja  lolos  dari  bahaya  maut  walau tengkuknya terasa dingin.
Memandang ke depan kakek dan murid-muridnya melihat pemudagondrong berpakaian putih itu tegak dengan kaki terkembang dan kedua tangan bersilang di depan dada. Tangan yang kanan memegang sebuah senjata berupa kapak bermata dua yang memancarkan sinar menyilaukan. Pada masing-masin mata kapak jelas kelihatan tertera tiga rangkaian angka yaitu angka 212.
“Apakah  benar   aku  berhadapan   dengan   orang  yang  menyandang   gelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212……?” terdengar si kakekberucap seolah-olah tidak  percaya.  Lima  muridnya,  dua  diantaranya  yang  mengalami  cidera  tampak terkejut mendengar kata-kata guru mereka, memandang dengan mata besar ke arah Wiro. Seperti juga sang guru mereka sama-sama tidak mempercayai kalau pemuda gondrong di hadapan merekaitu adalah Pendear 212 Wiro Sableng.
Wiro  menyeringai.  “Aku  dilahirkan  hanya  membawa  nama.   Soal  segala macam  gelar  itu  adalah  urusan  orang-orang persilatan  yang  tolol!” berucap murid Sinto Gendeng itu.
“Hemmmmm ……   kau   betul   pendekar.    Orang-orang   rimba   persilatan terkadang bersifat tolol! Satu di antaranya adalahkau sendiri!”
“Siapa menyangka,  pendekar yang selama ini punya nama besar dan dikenal sebagai tokoh dari golongan putih, pembela kebenaran penegak keadilan, penolong orang-orang  yang  lemah  dan  tertindas,  tahu-tahu  kini  kulihat  berkomplot  dengan orang-orang Serikat Setan Merah!” menjawab si kakek dengan rahang menggembung dan mata membeliak.
Wiro tertawa gelak-gelak lalu berkata. “Aku tidak munafik mengakui diriku memang tolol. Tapikupikir kau jauhlebih tolol. Juga lima muridmu yang tidak mau mempergunakan  akal  dan  pikiran  hingga  mau  ikut-ikutan jadi  orang  tolol  seperti gurunya!”  Lima  murid  si  orang  tua  tampak jadi  beringas  tapi  mereka  tak  berani bergerak  ataupun  melakukan   sesuatu.   “Gadis  sahabatku  ini   sudah  mengatakan sejujurnya  bahwa  dia  bukan  anggota  Serikat  Setan  Merah,  tapi  kau  dan  murid- muridmu tetap saja menuduhnya sebagai anggota komplotan itu! Lalu menyerangnya, mengeroyok! Ingin membunuhnya! Juga hendak membunuhku! Apa itu tidak tolol?! Apakah  kau  bisa  membuktikan bahwa  dia  memang  anggota  Serikat  Setan  Merah itu…….?”
“Dia  mengenakan  pakaian  dan  ikat  kepala  seeba  merah.  Seragam  setiap anggota Serikat Setan Merah!”
Wiro berpaling padadara berbaju merahdi sampingnya lalu geleng-gelengkan kepala. Ketika dia menggeser kedua kakinya dan menggerakkan tangan kanan yang

BASTIAN TITO                                                                                                          20

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

memegang kapak, si kakek dan murid-muridnya bergerak mundur menajuhi seolah- olah bersiap-siap menjaga segala kemungkinan.
“Orang tua, harap maafkan diriku kalau aku bilang ucapanmu tadi jelas-jelas menunjukkan  kebodohanmu!  Jika  ada  kambing  atau  anjing  diberi  pakaian  serba merah, menurut jalan pikiranmu yang tolol itu tentu kau akan menuduh binatang- binatang itu sebagai anggota Serikat Setan Merah … … .!”
Paras  si  kakek  tampak  mejadi  merah  di  tempelak  ucapan  Wiro  tadi.  Dia  berpaling pada kelima muridnya lalu berkata. “Mari kita tinggalkan tempat ini … ..” lalu  pada  Wiro  dia  berkata.  “Apa  yang  terjadi  hari  ini  akan  kusampaikan  pada  pertemuan para tokoh silat golongan putih bulan dua belas yang akan datang! Kau tak  bakalbisa lari dari hukuman yang bakaldijatuhkan, pendekar sesat!”
“Tunggu dulu!” seru Wiro ketika si kakek dan murid-muridnyahendakberlalu. “Aku dan sahabatku ini tidak mengetahui apa dan siapa adanya Serikat Setan Merah itu. dapatkan kau memberi penjelasan……?!”
“Jangan pura-pura tidak tahu!” bentak gadis bebraju biru tua bernama Sarti.
Tapi  sang  guru  cepat  menimpali.  “Ada baiknya kuterangkan padamu  anak muda! Serikat Setan Merah merupakan komplotan pemeras dan penganiaya rakyat. Mereka merampok dan membunuh siapa saja yang tidak mau menyerahkan uang atau harta sesuai dengan aturan yang mereka buat! Lebih keji dari itu mereka menculik istri dan anak gadis orang! Komplotan biadab ini baru muncul beberapa bulan saja! Tapikejahatan dan angkara murka yang merekalakukan telah lewat takaran! Selangit tembus!”
“Dan komplotan itulah yang hendakkau lindungi! Pendekar macam apa kau!” ikut membentak murid perempuan si kakekdengan wajah beringas. “Nama besarmu  yang selama ini disegani di delapan penjuru angin ternyata tidaklebih dari seorang  pendekar  busuk!  Kau  menjadi  kaki  tangan  komplotan  yang  membunuh  saudara-  saudara   seperguruanku!  Kau  berkomplot  degnan  manusia-manusia  laknat  yang  menculik  Griyati,  saudara  seperguruanku!  Sungguh  rendah  sekali  perbuatanmu!” Wiro menyeringaidan kedipkan  mata kirinya pada sibaju biru lalu berkata “Murid  dan guru sama saja tololnya!” gerendeng sang pendekar.
“Hai!”  tiba-tiba  dara  berbaju  merah  berkata  “Jika  kalian  masih  penasaran silahkan datang ke Bukit Batu Merah pada harikelima bulan kelima. Di situ akan diadakan pertemuan rahasia para anggota Serikat Setan Merah. Kalian akan melihat apakah kami ini memang orang-orang yang kalian tuduhkan itu!”
Murid perempuan si kakek tampak mencibir, lalu dia menarik lengan gurunya. Bersama empat murid lainnya mereka bergerak tinggalkan tempat itu.
“Sebelum  pergi,  harap  kau  suka  memberitahu  siapa  dirimu  adanya,  orang tua!” berkata Wiro.
Meski sangat marahdan dendam besar, kakekberpakaian compang camping menjawab juga. “Aku tua bangkaburuk ini adalah Pengemis Budiman … ..!”
Wiro Sableng terkejut “Jadi kau! Ah … … .”
Murid Sinto Gendeng tidak sempat meneruskan kata-katanya karena si orang tua dan lima muridnya sudah meninggalkan tempat itu.
“Kau kenal orang tua itu?” bertanya dara baju merah.
“Tidak,”  wahut Wiro  sambil  menggeleng.  “Tapi  saudara  tuanya  aku kenal baik.   Dia   seorang   bergelar  Si  Segala   Tahu.  Kalau  pengemis   tua   itu   sempat mengadukan tindak-tandukku, patibisa terjadikesalah pahaman…..” Wiro berpaling padadara jelita ini. “Tadi kau menyuruh mereka pergike bukit Batu Merah, apakah kau juga berniat pergike sana … ..?”

BASTIAN TITO                                                                                                          21

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Yang    ditanya    mengangguk.    “Aku    merasa    ada    baiknya    melakukan penyelidikan. Bagaimana caranya itu urusan nani … ..”
“Aku  juga  berminat  melakukan  hal  itu,”  kata  Wiro  pula.  “Namun  untuk sementara  kurasa  kau perlu  mengganti  pakaian  merahmu  agar  tidak  menimbulkan urusan baru!”
“Itu soal mudah! Aku memang membekal sehelai pakaian warna kuning … ..”
“Sekarang kemanakah tujuanmu?” tanya Wiro.
“Solotigo,”  jawab   sang  dara.  “Apa  kau  bermaksud  hendak  mengikutiku lagi … .”
Wiro tersenyum lebar. “Akuberjanji tidak akan menguntit kemana kau pergi. Asalkau mau memberitau namamu”
“Panggil aku Kemala … ..” jawa sang dara.
“Kemala ……” mengulang Wiro. “Namamu bagus … .. Sebagus orangnya.”
Saat itu sang dara berbaju merah sudah melompat ke atas kuda putihnya. Wiro tak  mau  tertinggal,  cepat-cepat  dia  melompat  ke  punggung  uda  coklatnya  dan mengejar Kemala.

BASTIAN TITO                                                                                                          22

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

ENAM

Saat itu matahari telah condong kebarat. Kemala memacu kuda utihnya menuju bukit kecil di sebelah timur. Gadis ini tahu bahwa di balik bukit itu terdaat sebuah sungai. Dan sepanjang sungai pada kaki bukit terletakdesa Kalimukus yang terkenal sebagai  desa  subur.  Penduduknya  hidup  dari  mata  pencaharian  bercocok  tanam, memelihara tambakikan serta beternak. Kira-kira setangah hari perjalanan daridesa itu, ke arah barat terletak Solotigo, kota yang menjadi tujuan Kemala.
“Tak  mungkin  aku  sampai  di  Solotigo  sebelum  malam  tiba …..”  berkata Kemala dalam hati. “Agaknya lebih baik bermalam saja di Kalimukus. Besok pagi baru berangkat ke Solotigo … ..”
Di   lereng   bukit   Kemala   menoleh   ke   belakang.   Kuda   coklat   bersama penunggangnya yaitu Wiro Sabelng masih terus mengikutinya terpisah beberapa belas tombak. Dia berusaha mencari akalbagaimana dapat meloloskan diridari pemuda iut. Namun niatnya itu tidak dilakukannya karena ketika dia mencapai puncak bukit, di bawah sana dia melihat satu pemandangan yang mengejutkan.
Desa Kalimukus tampakhanya tinggal tumpukan malapetaka belaka. Rumah- rumah penduduk musnah dalam kobaran api. Asap mengepul hitam ke udara. Dari atas bukit tampak orang-orang berlarian di antara ternak yang berhamburan ketakutan kian kemari.
“Itu bukan  kebakaran biasa!  Desa  itu  seperti  sengaja  dibakar!”  Satu  suara terdengar di samping Kemala. Berpaling ke kiri sang dara dapatkan Pendekar 212 Wiro  Sableng  bersama  kuda  coklatnya  sudah  berada  di  sampingnya.  Kemala  tak menjawab. Wiro letakkan tangan kirinya di atas kening untuk menghidarkan silaunya sinar matahari. “Astaga! Aku melihat adabeberapa sosok tubuh tergantung! Satu di pohon.  Dua  lainnya  di  pintu rumah  yang  sedang  terbakar!”  Wiro  gebrak pinggul kudanya. Kuda coklat itu menghamburke depan lalu berlarikencang menuruni bukit menuju desa yang dilamun api. Kemala cepat mengikuti. Begitu keduanya sampaidi desa yang terbakar itu apa yang tadi mereka saksikan darikejauhan di atas bukit, kini terpampang lebih jelas dan mengerikan.
Beberapa sosok mayat bergelimpangan di tepi jalan, di halaman rumah,di tepi kali.  Tubuh mereka penuh bekas bacokan  senjata tajam.  Lalu  di beberapa tempat terdengar  suara  erangan  orang-orang yang tergelimpang  dalam keadaan  luka-luka. Suara  lenguh  sapi  yang  ketakutan  dan  embik  kambing  bercampur  baur  dengan gaduhnya suara ayam serta itik yang berhamburan kian kemari, jadi satu dengan jerit pekik penduduk  yang berlarian  dalam  kekalutan.  Kebanyakan  dari mereka  adalah orang-orang perempuan dan laki-laki tua serta anak-anak.
Ketika Kemala muncul bersama Wiro, beberapa orang penduduk lari menjauh ketakutan. Seorang di antaranya berteriak. “Merekadatang lagi! Merekadatang lagi! Lari! Selamatkan diri kalian! Selamatkan anak-anak……!”
Wiro     kerenyitkan    kening.     “Kemala … ..     Orang-orang     itu     ketakutan melihatmu!” ujar Wiro.
“Ada yang tidak beres!” manyahuti  Kemala.  Dia melompat turun  dari  atas kuda.  Menghadang  seorang  lalki  tua  yag  lari  ka  belik  rumah  sambil  mendukung seorang anak perempuan lalu mencekal tangannya.
“Demi  Tuhan!  Jangan  bunuh!  Jangan  bunuh  diriku……!  Jangan  bunuh cucuku!” lelaki tua  itu menjerit berulang kali sambilberusaha melepaskan pegangan Kemala.

BASTIAN TITO                                                                                                          23

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Tidak  ada  yang  akan  membunuhmu  atau  mengganggu  cucumu!  Lekas
katakan apa yang terjadi … … ..!” berseru Kemala.
Si kakek tampak melotot lalu kembali menjerit dan meronta-ronta. “Manusia macam  apa  kau  ini!”  Orang  tua  itu  berkata  dengan  suara  gemetar  dan  tubuh menggeletar. “Setelah kau dan kawan-kawanmu membunuh, merampok dan menculik masihbisa bertanya apa yang terjadi?! Mengapa kau kembali? Apa masih belum puas membakari rumah-rumah kami?! Apa masih murang jarahan yang kalian rampas?!”
“Orang  tua,  kami  baru  saja  sampai  di  desa  ini.  siapa  yang  melakukan perampokan dan pembunuhan serta penculikan itu?!” Wiro ikut bicara.
“Ya,   lekas  katakan   siapa  yang   melakuan  pembakaran   di   tempat   ini?!” menyambung Kemala.
Orang  tua  itu  tidak  menyahut.  Dia  mengereahkan  seluruh  tenaganya  lalu menarik kuat-kuat hingga pegangan Kemala terlepas. “Manusia iblis! Dosamu tidak berampun! Kutukan Tuhan akan datang atas dirimu dan komplotanmu!” habis berkata begitu orang tua itu lari meninggalkan Wiro dan Kemala. Si gadis hendak mengejar. Tapi Wiro mencegah dan memberi isyarat agar mengikutinya. Di pintu depan dua buah rumah yang terbakar mereka melihat dua sosok tubuh digantung. Salah satu di antaranya mulai dijilat kobaran api. Lalu takberapa jauh dari tempat itu sosok tubuh ketiga tampak digantung pada cabang sebuahpohon, kaku ke atas kepala ke bawah. Wajah orang yang tergantung ini tertutup lumuran darah yang masih mengucur dari luka besar di batang lehernya.
Tiab-tiba   Wiro   mendengar   suara   berdesing.   Dia   cepat   membungkuk menyambar  potongan  kayu  dan  melemparkannya  ke  belakang.  Terdengar  suara berdentrangan.  Ketika  berpaling  ke  belakang  Kemala  sempat  melihat  bagaimana potongan kayu itu menghantam mental sebatang tombak yang semula melesat ke arah punggungnya!
“Kurang ajar! Siapa yang berani membokong?!” teriak Kemala matrah. Dia melihat  satu  sosok  berpakaian  hitam  berkelebat  menghilang  di  balik  reruntuhan rumah besar yang masih diamukkobaran api. Tanpa tunggu lebih lama si gadis yang diikuti  Wiro  cepat  mengejar.  Orang berpakaian hitam  itu ternyata  adalah  seorang pemuda yang lengan kirinya luka parah hampir putus  sedang kepalanya di bagian kening tampakkoyak. Darah yang mengucur membasahi mukanya sehingga kelihatan menggidikkan.
“Kau  masih  bisa  bertahan  hidup!  Tapi  jika  tidak  segera  memberi  tahu  mengapa  kau  hendak  membunuhku,  kupatahkan  batang  lehermu  saat  ini  juga!” mengancam Kemala.
“Kau  apakan  diriku  aku  tidak  takut!  Kau  dan  orang-orangmu  membunuh ayahku!  Istriku  kalian  culik!  Bunuh!  Ayo  bunuh!”  Pemuda  itu  tiba-tiba berteriak seperti gila. Lalu tubuhnya tersungkur jatuh, lemah karena terlalu banyak darah yang mengucur dari luka di tangan dan keningnya.
“Siapa yang kau maksudkan dengan kalian?!” membentak Kemala.
Pemuda  yang  terduduk  di  tanah  menyeringai.  Dia  mengeluarkan  tangan hendak mencakar muka Kemala tapi tubuhnya yang terlalu lemah membuat dia tidak mampu menggerakkan tangan kanannya. “Perempuan iblis … . Kau masihbisa pura- pura  bertanya.  Memang  belasan  mayat  yang  kalian  bunuh  tidak  bisa  memberi kesaksian. Kepala desa dan dua pamong desa yang kalian gantung tidakbisa bicara! Tapi aku Gentolo menyaksikan sendiri apa yang kau lakukan bersama komplotanmu Serikat Setan Merah!”
“Ah!” Kemala mengeluarkan seruan tertahan sementara Wiro kepalkan tangan.

BASTIAN TITO                                                                                                          24

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Saudara, kau salah sangka. Kawanku ini bukan anggota komplotan Serikat Setan Merah. Hanya kebetulan saja dia mengenakan pakaian marah!” berkata Wiro. Lalu dia menotokbeberapa bagian tubuh si pemudahingga darah berhenti mengucur. Wiro juga salurkan tenaga dalam dingin ke tubuh Gentolo. Kalau tadi pemuda malang ini merasakan tubuhnya lemah dan panas, kini ada hawa  sejuk yang membuat dia sanggup bertahan.
“Saudara, mengapa orang-orang  Serikat  Setan Merah melakukan keganasan ini……?” bertanya Kemala.
“Tanyakn sendiri pada pimpinanmu!”sahut Gentolo. “Aku tidak percaya kau bukan anggota Serikat Setan Merah! Mengapa kau tidak membunuhku saja saat ini! Jika kau biarkan aku hidup, akubersumpah menuntut balas! Menabas batang lehermu, mencincang mayatmu!”
“Jangan jadi orang tolol!” bentak Wiro. “Jika kawanku ini anggota komplotan biadab itu, sudah sejak tadikepalamu menggelinding di tanah! Ayo jelaskan mengapa orang-orang Serikat Setan Merah berbuat seganas ini?!”
“Ya! Juga siapa mereka sebenarnya?!” menyambung Kemala.
Gentolo mula-mula tak mau membuka mulut. Namun akhirnya dia bicara juga. “Siapa mereka aku tidak tahu! Tidak ada seorangpun yang tahu….. Yang kami tahu mereka  mula-mula  muncul  dan  bertindak  selaku  pelindung  di  desa  ini.  untuk  itu penduduk harus membayar apa yang mereka  sebut uang perlindungan. Dan bukan uang  saja,  mereka juga  meminta  harta  atau  ternak  atau  hasil  ladang  seenaknya. Lambat  laun jumlah  yang  mereka  minta  semakin  banyak  hingga  penduduk  tidak mampu  untuk  memberikan.  Lalu  mereka  mulai  bertindak  keras.  Memaksa  dan menghajar siapa saja yang tidak mau memberikan apa yang mereka minta!   Ketika banyak  penduduk  yang  mencoba  melawan,  mereka  membunuhi  orang-orang  desa seperti membunuh lalat saja! Kekeian merekabukan cuma sampai di situ! Anggota Serikat Setan Merah juga menculik anak gadis atau istri orang! Mereka melakukan kejahatan bukan cuma didesa ini saja tapi juga di banyak kampung dan desa … … .!”
“Sejak   pertama   mereka   muncul   mengapa   kalian   tidak   melaporkan   ke Kadipaten……?” tanya Kemala pula.
Gentolo    menyeringai    pahit.    “Setiap    yang   melapor    mengalami    nasib mengerikan. Hari ini melapor, besok ditemui mati terkapar seperti anjing di tengah jalan. Tubuhnya penuh bacokan atau tusukan benda tajam!”
“Kemala,  kau  ingat  pada  rombongan-rombongan  orang-orang  berpakaian merah yang kita temuidi bukit beberapa waktu lalu……?” tanya Wiro.
Kemala mengangguk. “Mereka pasti orang-orang Serikat Setan Merah! Dua di antaranya bernama Sangajidan Galut! Kau kenal dua nama itu……? ’
Gentolo menggeleng. “Merekabisa punya seribu nama, seribu muka … …”
“Ada keanehan yang tidak ku mengerti,” kata Wiro seraya garuk-garukkepala. “Orang-orang   Serikat   Setan  Merah  berani  melakukan  kejahatan   secara  terang- terangan. Gentayangan di siang bolong! Apa betul aparat Kadipaten tidak mengetahui macam beginibahkan seharusnya sudah sampaike Kotaraja!”
“Memang   sebelumnya   pernah   ada   dua   kali   serombongan   pasukan   dari Kotaraja  melakukan  pengejaran  dan  penyergapan.  Tapi  orang-orang  Serikat  Setan Merah cepat sekali menghilang sebelum pasukan sampai … … .” Menjelaskan Gentolo.
Kemala berpaling pada Wiro dan berkata. “Kita harus mengurus mayat-mayat yang malang itu, menolong penduduk yang cidera … …”
“Hanya kita berdua apa kau kita bakalan sanggup melakukan itu?” ujar Wiro.


BASTIAN TITO                                                                                                          25

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Gentolo!  Kau harus menolong memanggil penduduk  yang kabur!  Mereka harus  kembali  kemari  untuk  membantu  kami ……!”  berkata  Kemala.  Lalu  tangan lelaki muda bernama Gentolo itu ditariknya disuruhnya berdiri.
“Wiro…….”  Kata  Kemala  menyebut  nama  sang  pendekar  untuk  pertama  kalinya. “Salah seorang lelaki berpakaian merah yang kita temuidi bukit mengatakan  tentang pertemuan harikelima bulan kelima di Bukit Batu Merah. Aku memutuskan  untuk datang ke sana! Akubersumpah untuk membasmi manusia-manusia laknat itu!  Aku  bersumpah  menghancurkan  Serikat  Setan  Merah  sampai  ke  akar-akarnya!” Kemala  mengepalkan  tangan  kanannya  dan  meninju-ninjukan  ke  telapak  tangan  kirinya.
“Kalau   begitu,   akupun   ikut   bersumpah   sepertimu!”   ujar   Wiro   seraya mengangkat  tangan  kanannya  ke  atas.  Lalu  dia  melanjutkan  ucapannya.  “Tapi sebelum segala sumpah dilaksanakan, sebaiknyakau tukar dulu baju merahmu itu! semua  orang  ketakutan  melihatmu  karena  menyangka  kau  anggota  Serikat  Setan Merah! Kecuali aku…. Ha … .ha … ..ha ……ha … ..! Adalah tolol kalau takut melihat gadis secantik dirimu ha …ha … .ha … ..!”

BASTIAN TITO                                                                                                          26

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

TUJUH

Adipati Suro Kenanga duduk mendengarkan apa yang disampaikan pembantunya bernama Martobiru itu lalu menganggukkan kepala dan berkata. “Aku membenarkan apa yang kau lakukan itu Marto. Jika tidak begitu eadaan bisa berbahaya bagi kita. Harap   kau   memberitahu   pada   kawan-kawan   agar   mereka   memasang   telinga mementang mata, menyirap kabar atau gerakan apa  saja yang  sewaktu-waktu bisa terjadi … …”
“Akan saya lakukan Adipati. Selanjutnya perlu juga saya beritahukan … ..”
“Cukup sampai di sini dulu Marto. Ada orang datang……” memotong Suro Kenanga.
Martobiru  berdiri  dari  kursi  lalu  meninggalkan  serambi  depan  Kadipaten Solotigo yang berlantaibatu mar-mar mengkilap itu. Sesaat sang Adipati masih tetap duduk dikursinya, memperhatikan dua penunggang kuda menambatkan tunggangan masing-masing  lalu  berbicara  dengan  seorang  pengawal.  Pengawal  ini  kemudian mengantarkan kedua tamu tersebut menuju gedung Kadipaten.
Suro  Kenanga  tidak  mengenali  kedua  tamunya.  Yang  berjalan  di  sebelah depan adalah seorang gadis cantikjelita berpakaian kuning, rambutnya yang hitam berkilat   dikuncir   di  belakang  kepala.   Langkahnya  ringan   dan   gerak   geriknya menjelaskan pada sang Adipatibahwa gadis ini adalah seorang dari rimba persilatan. Di belakang  sang  dara melangkah  seorang pemuda  gondrong,  tampangnya  seperti orang tolol dan celangak celinguk sambil sesekali menyengir.
“Gedung Kadipaten ini luar biasa bagusnya! Tak pernah au melihat gedung sebagus  ini  sebelumnya!” terdengar pemuda  gondrong  itu berkata  sambil berhenti sejenak dan memandangi bagian depan gedung mulai dari atap sampaike tangannya yang berkilat.
Dara berpakaian  kuning  melangkah  menaiki  tangga,  lalu  berhenti  di  ujung serambi dan membungkuk pada Suro Kenanga yang duduk dikursi.
“Apakah saya berhadapan dengan Adipati Solotigo, Raden Suro Kenanga?”
Suro Kenanga bangkit dari duduknya, menatap wajah gadis yang menegurnya itu sesaat lalu menjawab “Benar, aku Suro Kenanga, Adipati Solotigo. Siapa dirimu, apa maksudkedatanganmu ke mari?”
Sang dara tersenyum, membuat Adipati jadi terheran.
“Rupanyapaman lupa pada saya … ..?”  ujar si gadis pula.
“Eh, siapa kau ini sebenarnya gadis manis. Aku seperti ……” Suro Kenanga memijit-mijit keningnya. “Kau……kau……” dia menunjuk-nunjuk tapi takberhasil mengingat atau mengenali siapa adanya gadis di hadapannya itu.
Maka  si  gadis  langsung berkata.  “Saya Kemala,  anak tunggal  Suro Abang, kakakkandung Adipati sendiri!”
Adipati  itu  seperti  terlonjak  dari  lantai.  “Astaga!  Ya  Tuhan!  Kau rupanya! Keponakan sendiri aku sampai tidak mengenali!”
Kedua orang itu sama melangkah mendekati lalu saling rangkul. Adipati Suro kenanga mengelus dan menepuk-nepuk bahu sang dara berulang kali.
Didekat tangga, pemuda berambut gondrong menggarukkepalanya beberapa kali. Dalam hati dia menggerendeng. “Keponakan sihkeponakan. Tapi jangan main peluk lama-lama begitu … …”
“Kemala, terakhir sekali aku melihatmu sembilan, mungkin sepuluh tahun yan lalu. Ketika ayahmu mampir dalam perjalanan mengantarkanmu ke Kaliurang. Kau

BASTIAN TITO                                                                                                          27

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

masih  begitu  kecil  waktu  itu.  dan  sekarang  sudah  beubah  menjadi  seorang  gadis cantik jelita! Jangan salahkan kalau tadi aku tidakbisa mengenalimu! Parasmu mirip ibumu. Eh, apakahkedua orang tuamu adabaik-baik, Kemala ……?”
“Saya belum sempat kembali pulang, paman. Baru saja turun gunung dilepas
KiAgeng Kuncoro Bekti … … ..”
“Ah, rupanya jadi juga kau berguru pada orang tua sakti itu! Ilmumu tentu sudah  setinggi  langit  saat  ini!”  Suro  Kenanga  tampak  gembira  sekali  mendengar penjelasan keponakannya itu.
“Tak ada ilmu paling tinggi didunia ini paman, kecuali ilmunya Gusti Allah,” menyahuti Kemala.
“Bagus! Aku suka mendengar ucapanmu itu, bukan saja kau memperlihatkan kerendahan hati dan ketinggian budi. Tapikau juga memperlihatkan tasa takwa dan iman pada Tuhan Yang Maha Kuasa!  Sekarang kau akan kuajak masuk ke dalam menemui bibimu……. Eh, siapa pemuda yang datang bersamamu itu…..?”
“Dia sahabat saya paman. Namanya Wiro,” menerangkan Kemala.
Mendengar orang memperkenalkan dirinya, Wiro  Sableng maju ke hadapan Adipati    Solotigo    itu    dan    menjura    dalam-dalam.    Sang    Adipati    membalas penghormatan itu dengan anggukkan kepala.
“Mari Kemala, kita temui bibimu…..” kata Adipatikemudian setelah memberi isyarat pada Wiro agar duduk dikursi serambi depan itu.
Sambil melangkah Kemala berkata “Dalam perjalanan kemari kami menemui malapetaka besar menimpa sebuah desa di selatan Solotigo … … .”
Adipati  Suro Kenanga meraba  dagunya  dan hentikan  langkah.  “Malapetaka apa maksudmu? Bencana alam … .? ’
“Bukan   paman,   Desa   itu,   Desa   Kalimukus   diserbu   perampok.   Rumah penduduk dibakari, mereka bukan  saja dijarah harta bendanya tapi juga di bunuh. Kepala desa bersama dua pembantunya digantung secara keji! Para penjahat itu juga menculik anak gadis dan istri orang……!”
“Desa  Kalimukus  berada  dalam  wilayah  Kadipaten  Solotigo!”  ujar  Suro Kenanga pula. “Bagaimana mungkin tidak ada satu orang aparatkupun yang datang memberikan  laporan?!  Kurang  ajar!  Ada  yang  tidak  beres!  Perampok-perampok memang banyak merajalela akhir-akhir inidi seluruh silayah selatan. Malah mereka berani muncul di sekitar Kotaraja … ..”
“Tapi merekabukan perampok-perampok biasa paman … … ..”
“Maksudmu Kemala … ..?” tanya Suro Kenanga.
“Mereka   adalah   penjahat-penjahat   yang   selalu   muncul   dengan  pakaian seragam merah. Mereka tergabung dalam komplotan yang dinamakan Serikat Setan Merah  dan  mereka  berani  muncul  secara  terang-terangan.  Saya  dan  sahabat  saya bahkan sempat bertemu dengan beberapa orang diantara mereka. Kalau saat itu saya tahu  bahwa  mereka  adalah  manusia-manusia  baiadab  sebuas  apa  yang  mereka lakukan terhadap penduduk Kalimukus,  saya tak  akan memberi kesempatan hidup pada mereka!”
Adipati Suro Kenanga menghela nafas panjang. “Nama Serikat Setan Merah memang  sudah  sejak  beberapa  bulan  ini  aku  dengar.  Pasukan  Kadipaten,  bahkan serombongan dari Kotaraja pernah mengejar dan mengepung mereka. Tapi mereka berhasil meloloskan diri ……!”
“Itu satu pertandabahwa mereka mempunyaijaringan yang rapi, mempunyai mata-mata  di  mana-mana … ..  Orang-orang  seperti  kita  harus  dapat  menangkap pemimpinnya dan membawanya ke tiang gantungan atau mencincangnya di hadapan rakyat banyak!”

BASTIAN TITO                                                                                                          28

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Adipati Suro Kenanga tersenyum. Sambil memegang bahukeponakannya dia berkata. “Akubangga punya keponakan yang bicara dan punyajiwa besar sepertimu, Kemala.  Darah  ksatria  sudah  benar-benar  mengalir  dalam  tubuhmu……..  Tapi ketahuilah, kedatanganmu kemari adalah untuk bergembira karena sekian tahunkita tak pernah bertemu.  Selanjutnya  kau harus  cepat-cepat  menuju Kejaten, menemui kedua orang tuamu.  Sejak ayahmu mampir sembilan tahun lalu di  sini,  dia belum pernah datang lagi. Kau harus cepat-cepat menemui mereka. Ayah ibumu pasti sudah sangat rindu padamu … … .”
“Memang benar kata paman. Saya harus cepat-cepat kembalike Kejaten. Tapi ada satu hal yang akan saya lakukan sebelum pulang … ..”
“Hem … ..apa  pula  itu  Kemala?  Apa  yang  hendak  kau  lakukan?!” bertanya Suro Kenanga.
“Adakabar rahasia bahwa padaharikelima bulan lima Serikat Setan Merah akan mengadakan pertemuan besar di Bukit Batu Merah. Saya dan sahabat saya tu akan muncul di sana.  Saya yakin banyak para pendekar golongan putih yang juga akan muncul di sana … …”
“Jika kau muncul di sana, apa yang akan kau lakukan Kemala?”
“Saya  akan  mengobrak  abrik pertemuan  itu.  Menangkap pimpinan mereka. Menyerahkannya  pada  Kerajaan,  kalau  tidak  mungkin  menangkapnya  hidup-hidup maka akan saya cincang di situ juga!”
“Anak hebat!” memuji Suro Kenanga. “Tapi kau harus berpikir panjang dan hati-hati  keponakanku. Jika Serikat Setan Merah adalah satu komplotan besar berarti mereka mempunyai orang-orang cabang atas yang memilikikepandaian tinggi. Dan jumlah mereka   pasti tidak sedikit. Jika keteranganmu itu betul, biar urusan Serikat Setan Merahitu serahkan saja padaku.” Suro Kenanga lalu melirik ke arah Wiro lalu bertanya “Kemala, apakah temanmu yang seperti orang tolol dan sebentar-sebentar menggarukkepala itu adalah juga orang persilatan……?”
Kemala mengangguk. “Tampang dan geriknya memang begitu paman. Tapi dia   bukan   pemuda   sembarangan.   Paman   pernah   mendengar   seorang   bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212? Dialah orangnya!”
Paras Adipati  Solotigo  itu  tampak berubah.  Lalu  dia  tersenyum.  “Kemala! Lupakan  dulu  segala  macam  urusan  dengan  Serikat  Setan  Merah  itu.  mari  temui bibimu … … .”

BASTIAN TITO                                                                                                          29

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

DELAPAN

Karena sahabat dari Kemala maka malam itu Wiro diberikan sebuahkamar yang  bagus di sebuah bangunan berbentuk joglo kecildi halam belakang gedung Kadipaten. Dasar orang rimba persilatan, pendekar itu merasa risih tidur didalam kamar tersebut.  Sepanjang malam dia tak bisa memicingkan mata. Lampu minyak dipadamkannya  namun teteap saja dia takbisa tidur. Akhirnya diam-diam sang pendekar keluar dari  kamar. Keluarnyapun tidak lewat pintu melainkan melalui jendela.
Saat itu lewat tengah malam. Udara di luar dingin. Pendekar 212 duduk di sebuah bangku batu yang terletak dalam taman kecil di belakang gedung.  Seluruh gedung diselimutikesunyian dan gelap. Wiro duduk mendekam seperti patung batu. Ketika dia hendak bangkit berdiri untuk masukkembalikedalam kamar, saat itulah dia  melihat  ada  dua  bayangan  manusia  muncul  dari  balik  tembok  belakang  lalu melompat masukke dalam halaman belakang gedung. Meskipun tempat sekitar situ gelap   namun   Wiro   dapat   melihat   kedua   orang   yang   menyelinap   masuk   itu mengenakan pakaian dan ikat kepala merah.
“Anggota-anggota Serikat Setan Merah!” desis Wiro tak pelak lagi. “Berani benar mereka menyusup ke tempat kediaman Adipati! Mau merampok?! Heran … .. mana pengawal gedung? Tak satupun kelihatan batang hidungnya! Dua bedebahini harus  dibekuk  hidup-hidup biar  diketahui  siapa  dedengkot  mereka!  Tapi  sebelum dibekuk biar kuhajar dulu sampai babak belur!”
Wiro   segera  bergerak  bangkit.  Menyusup  ke  tempat  yang  lebih  gelap, memintas gerakan dua orang di sebelah sana dari arah kiri. Tapi gerakan Pendekar 212 segera terhentiketika dilihatnya dua orang berpakaian merahitu melangkah cepat justru ke arahkamar tidurnya. Di tangan masing-masing kini tampak terhunus sebilah golok panjang.
“Heh…..  apa tujuan mereka  sebenarnya?” tanya Wiro dalam hati dan terus memperhatikan.
Dua penyusup  itu  tidak  menuju  ke pintu  kamar melainkan  menyelinap  ke samping  ke  arah jendela  kamar.  Jendela  yang  memang  tidak  terkunci  itu  dengan mudah merekabuka. Keduanya lalu melompat masukke dalam kamar. Wiro bergerak cepat ke arah pintu kamar dan menunggu di sana sambil rangkapkan kedua tangan d depan dada.
Didalam kamar terdengar suara “Keparat! Kamar inikosong!”
“Kemana perginya manusia itu?!” suara lain menyahuti.
Sesaat kemudian pintu kamar terbuka, menyusul ucapan orang yang membuka pintu itu daridalam. “Tak mungkin dia  pergibegitu saja. Pasti adadi sekitar sini … ..”
“Aku  ada  di  depanmu kisanak!”  Wiro  Sableng yang  tegak  di  depan pintu membuka  mulut  membuat  orang  ayang  tadi  bicara  tersentak  kaget  sebelu  sempat bersurut mundur satu jotosan mendera mata kanannya! Orang ini melolong kesakitan, tubuhnya seperti dibanting ke belakang lalu roboh di lantai kamar. Goloknya telah lebih dulu berdentrangan jatuhdi lantai. Dia tak kuasa berdirilagi. Matanya sebelah kanan bengkaklebam dan mengucurkan darah. Kawannya walaupun kaget tapibisa cepat menguasaikeadaan. Golok panjang di tangannya segera menderu dibabatkan ke arah kepala murid Sinto Gendeng.
Wuuuuuuttttt!!
Sambaran golok deras dan dingin. Membuat Wiro terkejut dan sadar sibaju merah yang satu ini memilikikepandaian yang tidak sembarangan. Cepat-cepat dia

BASTIAN TITO                                                                                                          30

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

rundukkan kepala. Begitu senjata lewat berdesir di atas kepalanya, Wiro susupkan satu sodokan ke arah perut penyerang. Namun golok panjang itu tiba-tiba membalik kebawah, memapas dengan ganas.
“Edan!” maki Wiro. Dia membuang dirike samping seraya dorongkan tangan kiri,  melepaskan  pukulan  tangan  kosong  yang  disertai  tenaga  dalam.  Orang  yang memegang golok tampak tergontai-gontai. Tangannya yang membacok seperti kaku, dan dia berusaha menahan diri dari dorongan keras angin pukulan yang dilepaskan Wiro.  Sesaat  kemudian tanagn  kanannya yang tadi  tampak kaku  tiba-tiba mampu bergerakkembali. Kiniujung golok ditusukkan ke arah dada Wiro.
“Ah,  yang  satu  ini tidak  sembarangan!”  membatin  Wiro  seraya  menggeser kuda-kuda kedua kakinya ke samping lalu secepat kilat pukulkan tangan kiri untuk menghantam sambungan siku lawan.
Ternyata si pemegang golok tidakbodoh. Dia seperti sudah membaca gerakan Wiro. Dengan memutar kedudukan lengannya maka pukulan Wiro berhasil dikelit sebaliknyagolok di tangan kanannya menggelicir ke atas. Kalau tadi menusuk ke arah dada maka kini bagian ujung dan tajam dari  senjata itu melesat menyambar bahu kanan.
Breeett!
Buuukk!!
Dua suara itu disusul dengan suara berkerontangannya golok jatuh kelantai.
Bahu kanan pakaian putih Pendekar 212 robek besar. Wiro melompat mundur dengan  paras  berubah.  Terlambat  saja  dia  mengatur  gerakan  tidak  dapat  tidak bahunya pasti akan putus, paling tidak luka parah. Didepannya orang berbaju merah tampak tersandar ke tiang bangunan sambil pegangi dadanya yang sesak. Dadanya sakit bukan main. Mukanya tampak pucat. Dia terbatuk dua kali, bukan ludah yang keluar tapi darah yang membersit dari mulutnya.
“Manusia jahanam……!” merutuk  orang  itu.  tiba-tiba kaki kanan bergerak menendang goloknya yang tercampak dilantai. Ini bukan satu tendangan biasa karena begitu ditendang golok tersebut mencelat dengan bagian tajamnya melesat lebih dulu ke arah Wiro, tidak beda seperti sebilah tombak yang dilemparkan.
Wiro  berseru  kaget  dan  marah,  membuat  lompatan  untuk  selamatkan  diri. Golok menderu lewat, menancap  di tiang bangunan.  Ketika Pendekar 212 hendak mengebrakke depan, orang beraju merahitu ternyata sudah melarikan diri melompati tembok.  Wiro  lepaskan  pukulan  tanagn  kosong  “kunyuk  melempar  buah” .  Satu gelombang angin menderu dahsyat menghantam bagian atas tembok hingga hancur berantakan.  Tapi  orang  yang  diarah  berhasil  meloloskan  diri  dan  lenyap  dalam kegelapan.
“Apa yang terjadidi sini?!” satu bentakan keras menggeledak terdengar. Wiro berpaling. Yang membentak adalah Adipati Suro Kenanga yang datang bersama tiga orang pengawal. Wiro menggoyangkan kepalanya ke arah lelaki berpakaian merah yang menggeletak dilantai dengan mata kanan mengucurkan darah.
“Dua   anggota   Serikat   Setan   Merah   berusaha   menyusup   ke   sini … ..” menjelaskan Wiro. Lalu dia membungkuk dan menarik kaki orang itu, menyeretnya  keluar kamar yang lebih terang agar sang Adipatidapat melihat lebih jelas.
“Kurang  ajar!  Benar-benar  berani  mampus!”  rutuk  Suro  Kenanga  marah. “Manusia seperi ini tidak pantas dibiarkan hidup!” lalu tiba-tiba sekali sang Adipati merampas tombak yang berada dalam genggaman salah seorang pengawalnya.
“Tunggu! Jangan dibunuh dulu!” seru Wiro mencegah.

BASTIAN TITO                                                                                                          31

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Tapi tombakitu sudahdihunjamkan oleh Adipati Solotigo ke dadalelaki yang terkapar di lantai. Tepat di arah jantungnya. Orang ini membeliakkan matanya besar- besar lalu nyawanya putus tiada suara keluar dari mulutnya.
“Sayang……sayang … ..”   kata   Wiro   berulang   kali   seraya   garuk-garuk kepalanya. “Kalau saja dia bisa dibiarkan hidup sesaat, pastibisa dikorekketerangan di mana markas mereka dan  siapa pemimpin mereka.  Sialnya lagi, yang  satu tadi sempat melarikan diri!” Pendekar 212 kembali garuk-garukkepalanya.

BASTIAN TITO                                                                                                          32

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

SEMBILAN

Bukit Batu Merah terletak di kaki timur gunung Merbabu, merupakan satu bukit tandus  yang  hanya  ditumbuhi  semak  belukar  liar,  diselang  seling  oleh  bebatuan berwarna merah. Pernah serombongan petani dari desa terdekat mencoba membuka semakbelukar itu untuk bercocok tanam. Tapi apa yang ditanam di sana tak pernah bisa tumbuh, mati. Karena itulah tak pernah lagi ada orang yang mau pergi mendaki bukit itu.
Hari itu harikelima di bulan lima. Kalau tadidikatakan tidak pernah ada orang ang  naik  ke  atas bukit  maka  hari  itu  adalah  aneh,  sejak pagi-pagi  sekali  tampak belasan orang datang dari pelbagai penjuru mendaki naik menuju puncak bukit. Ada yang brelari atau berjalan cepat. Tapi adapula yang melangkah santai seperti tengah berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan dibawah kaki bukit dan kaki gunung. Yang  menarik perhatian  ialah bahwa  semua  orang  yang menuju puncak bukit  itu mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna merah.
Hari lima bulan lima. Itulah hari yang ditentukan oleh  Serikat  Setan Merah sebagai hari pertemuan seluruh anggota dan pimpinan mereka.
Di   puncak   Bukit   Batu  Merah   sebelah   timur  tampak   dibangun   sebuah panggung kecil. Di atas panggung terdapat tiga buahkursibesar dan lima kursikeil yang  dibuat  dari potongan-potongan batang kelapa.  Di depan panggung  ,  diantara semak  belukar  liar  terdapat  bangku-bangku  panjang  dalam  jumlah  banyak,  juga terbuat daribatang-batang kelapa. Diujung deretan kursi-kursiitu berdiri tiga orang berpakaian  merah  darah,  menyandang  golok  di  pinggang.  Ketiganya    bertindak sebagai penerima tamu.
Setiap tamu yang datang dipersilahkan ambil tempat duduk. Yang paling dulu datang diberikan tempat dideretan bangku sebelah depan,   tetapibanyak tamu yang memilih duduk di bagian tengah atau sebelah belakang.
Dari arah selatan lereng Bukit Batu Merah dua orang berpakaian merah berlari cepat menuju puncak bukit. Yang pertama seorang nenekberambut putih, bersarung tangan dan berkasut kain keras. Diikat pinggang pakaiannya tersisip sebatang tongkat bambu kuning sebesar ibu jari sepanjang sepuluh jengkal. Mendampinginya adalah seorang  kakek  yang  juga  berambut  putih.  Seperti  si  nenek  dia  juga  membekal sebatang tongkat bambukuning dengan besar dan panjang yang sama. Kedua tangan dan kakinya juga mengenakan sarung serta ka sut kain keras. Dari cara berlarinya si kakekjelas bahwa  salah  satu kakinya pincang.  Meskipun  demikian  larinya bukan main cepatnya hingga berulang kali si nenek tertinggaldi belakang.
“Wiro!” tiba-tiba si nenekberseru. Yang diserunya tentu saja kakekpincang di depannya. Yang bukan lain memang adalah murid Sinto Gendeng, Pendekar Kapak maut  Naga  Geni  212  Wiro  Sableng!  “Aku  benar-benar  jengkel  dengan  semua penyamaran ini! Kepalaku terasa gatal oleh jelaga berwarna putih ini. Mukaku terasa kaku oleh kanji dicampur bedak tebal! Benar-benar konyol!”
Wiro memperlambat larinya lalu menyahuti “Lebih bagus konyol begini dari pada  mati  konyol!  Kau  tahu  apa  yang  kita  lakukan  ini  adalah  memasuki  sarang harimau! Sekali mereka mengenali kita, bisa berabe urusannya!”
“Ah, ternyata kau sepengecut itu!” ujar si nenek.
“Kemala, jangan sokjadi orang jago kalau hanya mencari penyakit!” tukas Wiro   Sabelng  pula.  “Penyamaran  ini  adalah  satu-satunya  jalan  agar  kita  bisa menyusup  masuk  ke  tempat  pertemuan!  Wajahmu  dan  tampangku  sudah  cukup

BASTIAN TITO                                                                                                          33

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

dikenal oleh beberapa orang anggota  Serikat  Setan Merah ang kita temui di bukit tempo hari! Kau mungkin akan  disambut  dengan  segala penghormatan! Tapi aku, belum dipersilahkan duduk mungkin sudah merekajegal lebih dulu! Lagi pula ada alasanku mengapa kita harus menyamar begini rupa … .”
Si  nenek  ternyata  adalah  Kemala,  keponakan  Adipati  Suro  Kenanga  dari Solotigo, murid Ki Ageng Kuncoro Bekti dari Ungaran!
“Katakan apa alasanmu itu.” sang dara berkata.
“Tak dapat kukatakan sekarang!”
“Hemm … .. Mengapa begitu?” tanya Kemala penasaran.
“Aku  takut  terlalu  lancang  menduga-duga  yang  tidak  karuan.  Tapi  sejak kejadian ada orang yang hendak membunuhku malam itu, aku punya firasat, jangan- jangan…….” Wiro tak meneruskan ucapannya.
Kemala tambah penasaran. “Jangan-jangan apa?!”
“Sudahlah, kita sudah sampai. Ingat, dalam segala hal aku yang akan mewakili bicara.  Kau harus mengunci mulut rapat-rapat. Aku kawatir kau kesalahan  omong atau keterlepasan bicara. Kedok kita bisa terbuka. Kau mengerti ……? ’
“Hamba mengerti Pangeran Sableng!” jawab Kemala pula.
“Kau anak bagus! Aku senang kau mau mengikuti usulku pura-pura pulang ke Kejaten dan bilang pada pamanmu bahwa kau tidak punya niat menghadiri pertemuan Serikat Setan Merah … …”
Keduanya  sampai  di  puncak buki  tempat pertemuan.  Tiga  orang penerima tamu segera menyabut mereka. Salah seorang diantaranya segera merekakenali yaitu si kumis dan janggut pendek bernama Sangaji. Di wajahnya masih tampak bekas- bekas hajaran Wiro tempo hari.
“Sepasang nenek dan kakek gagah! Atas nama Pimpinan, kemi mengucapkan selamat datang di Bukit Batu Merah. Tempat pertemuan yang bakal mencatat sejarah dalam  dunia  persilatan…..”  Sangaji  selaku  tuan  rumah  menyampaikan  kata-kata sambutan.
Lupa pada perjanjiannya, Kemala lengsung saja ajukan pertanyaan. “Siapakah pimpinan kalian…..?”
Wiro  cepat   menginjak kaki  gadis  itu  seraya berkata.  “Maksud nenek peot pacarku ini apakah kami boleh mengambil tempat duduk. Berlarijauh mendaki bukit benar-benar sangat melelahkan…….!”
“Ah,jadi  nenek  ini  adalah pacarmu  kakek  gagah.  Pasti  kalian  sudah  lama berpacaran!”  Sangaji berkata. Mulutnya tersenyum tapi matanya mengawasi kedua orang itu dengan tajam.
“Sudah…. Memang sudah lama kami pacaran. Dan ssstttt … ..” Wiro melirik ke kiri dan ke kanan,  seolah-olah takut ada  orang  lain mendengar  apa yang  akan dikatakannya. “Kalian mau tahu. Kami pacaran sejak masih muda hingga tua bangka begini   rupa.   Kami    ……   kami   bukan   pacaran.    Tapi   juga   kumpul   kebo! Ha…ha …ha … .” Wiro tertawa gelak-gelak.
“Hik…hik….hik!” Kemala ikut-ikutan tertawa.
Sangaji dan kawan-kawannya juga turut tertawa gelak-gelak. “Kalian kakek dan  nenek  hebat!”  Sangaji  memuji.  Lalu  meneruskan  “Sesuai  peraturan  sebelum kalian mengambil tempat duduk, harap memberi tahu siapa nama atau gelar kalian!”
“Ah, sungguh kami tua bangka tidak tahu peradatan. Sudah diundang orang tapi  lupa memperkenalkan  diri!” menyahuti Wiro.  Lalu  dia memberi  isyarat pada Kemala. Keduanya kemudian membungkuk dalam-dalam lalu Wiro berkata. “Kami dua tua bangka yang sudah bau tanah ini biasa dipanggil dengan gelaran Sepasang

BASTIAN TITO                                                                                                          34

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Tua Bangka Bertongkat Bambu Kuning. Lihat, senjata kami memang adalah sebatang tongkat bambu!”
Sambil berkata begitu Wiro  cabut tongkat bambunya  dari pinggang. Entah kapan dia menggerakkan tangan tahu-tahu tongkat itu sudah menyusup diketiak salah seorang anggota Serikat Setan Merah yang ada di samping Sangaji. Orang ini sempat tersentak  kaget.  Wiro  tarik  kembali  tongkat  bambunya  lalu  mendekatkan  ujung bambu yang tadi terselip diketiak orang itu ke arahhidungnya.
“Hueekkk…..!  Ketiakmu  bau  amat!”  kata  Pendekar  itu  setelah  lebih  dulu keluarkan suara seperti  orang muntah. Si nenek tertawa cekikikan lalu tarik tangan si kakek dan mencari tempat duduk di antara para tamu.
“Sepasang  tua  bangka  gila!”  maki  anggota  Serikat  Setan  Merah  yang  tadi ketiaknya sempat disusupi tongkat bambu.
“Merekabukan manusia-manusia gila!” menyahuti Sangaji. “Ketikakeduanya tertawa gelak-gelak, lewat mulut mereka yang terbuka aku dapat melihat barisan gigi- gigi  mereka.  Tapi  dan  utuh,  tak  ada  satupun  yang  ompong!  Tua  bangka  seumur mereka mana mungkin punya gigi seperti itu?! Beri tahu Kepala Keamanan, awasi kedua orang itu dengan ketat! Bilamana pertemuan selesai jangan izinkan keduanya pergi. Kita harus memeriksa mereka. Kalau perlu menelanjanginya!”
Anggota Serikat Setan Merah yang diperintahkan segera tinggalkan tempat itu.

Semakin tinggi baiknya  sang  surya  semakin banyak para tamu mendatangi tempat pertemuan di Bukit Batu Merah itu. Wiro dan Kemala duduk pada deretan bangkukayu keenam di barisan sebelah kanan. Memandang berkeliling sesaat, Wiro kemudian berbisik pada Kemala. “Aku melihat Pengemis Budiman di deretan kursi paling belakang baris sebelah kiri. Dia membawa beberapa orang muridnya. Kakek inibenar-benar berani mati, datang ke sarang macan tanpa menyamar!”
“Dia lebih menunjukkan jiwa kesatria dari padakita!” tukas Kemala.
Wiro hendak menyahuti. Tapi terpaksa batalkan ucapannya karena tiba-tiba terdengar  suara  seperti bunyi gong.  Keras, menggema  dan menggaung panjang di seantero puncak bukit. Pada saat itu tampak seorang lelaki separuh baya, berpakaian dan berikat kepala merah darah melangkah naik ke atas panggung. Di belakangnya menyusul  seorang  lelaki yang juga mengenakan pakaian merah. Namun  orang ini menutupi  wajahnya  dengan  sebuah  kantong  kain  berwarna  merah  yang  diberi berlobang padabagian mata dan bawah hidung.
Begitu sampai di atas panggung, orang pertama berbalik menghadap ke arah para tetamu yang duduk di bangku-bangku panjang lalu mengangkat tangan kanannya dengan telapak terkembang. Pada saat itulah Wiro segera mengenali orang ini. dia berbisik pada Kemala.  “Bangsat yang mengangkat tangan itu aku ingat betul. Dia salah  seorang  yang  menyusup  ke  kamar  tidurku  tapi  kemudian  sempat  melarikan diri … .” Wiro masih hendak bicara panjang tapi orang di atas panggung terdengar kembaliberseru.
“Saudara-saudara para tetamu orang-orang gagah yang kami hormati, selamat datang di Bukit Batu Merah, selamat dan berbahagia berada di antara kamu orang- orang Serikat Setan Merah! Sesuai dengan rencana semula, hari ini akan dijadikan bersejarah bagi  dunia persilatan.  Hanya  sayang  seribu  kali  sayang,  pertemuan  ini dicemarioleh menyusupnya tamu-tamu yang datang ke tempat ini dengan hatiburuk dan maksud busuk! Menyadari suasana ini maka acara pertemuan terpaksa ditunda beberapa saat. Atas nama Pimpinan Serikat Setan Merah, para tetamu yang merasa

BASTIAN TITO                                                                                                          35

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

membawa   maksud   jahat   dan   hendak   menimbulkan   kekacauan   dipersilahkan menunjukkan diri. Pemimpin, harap sudi memberi aba-aba … …”
Orang yang kepalanya ditutup kain mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu berseru. “Aku memberikesempatan sampai sepuluhhitungan! Jika di antara para tamu tak ada yang mau menyerahkan diri, terpaksa kami menurunkan tangan keras! Bahkan hukuman pancung!”
Wiro dan Kemala saling berpandangan sesaat.
“Aku rasa-rasa mengenali suara orang berkedokkain itu…..” bisik Kemala.
“Tunggu dulu!” tiba-tibadi bawah panggung ada orang yang berteriak seraya bangkit dari duduknya. Ternyata dia adalah  Si Pengemis Budiman! “Soal pancung memancung bisa kita bicarakan kemudian. Aku minta agar kau sudi memperkenalkan diridan memperlihatkan wajahmu yang tersembunyi di balikkantong kain itu!”
Lelaki  pendamping  Pemimpin  Seikat  Setan  Merah  menjawab  ucapan  itu dengan kata-kata. “Di tempat ini kami yang membuat peraturan! Para tetamu tidak layak menyampaikan kehendak yang bukan-bukan! Orang tua harap beritahu siapa kau adanya! Katakan nama atau gelarmu!”
“Orang  memanggilku  Pengemis  Budiman.  Beberapa  waktu  lalu  anggota- anggota  Serikat  Setan  Merah  menyerbu perguruanku  tanpa  alasan  tanpa  lantaran! Kalian membunuh beberapa orang murid-muridku dan menculik murid perempuanku bernama Griyati!”
Langsung  suasana  di  tempat  itu  menjadi  gaduh.  Orang  di  atas  panggung mengangkat tangannya. Lalu dia berkata dengan suara lantang “Orang-orang kami memang sengaja melakukan itu. Karena kau dan murid-muridmu bukan saja bicara kotor tentang Serikat kami, tapi juga menolak memberikan uang perlindungan serta membangkang tak mau bergabung dengan kami!”
“Siapa  sudi  bergabung  dengan  iblis-iblis  macam  kalian!  Aku  Pengemis Budiman  datang  untuk menuntut balas!  Hutang  darah bayar  darah, hutang nyawa bayar  nyawa!  Katakan  di mana  Griyati?!” Bersamaan  dengan berakhirnya ucapan orang tua itu enam orang berpakaian merah segera bangkit di kiri kanan Pengemis Budiman. Lalu secara bersamaan, dengan gerakan cepat mereka membuka pakaian merah  yang  mereka  kenakan.  Di  balik pakaian  merah  itu  kelihatanlah pakaian  si kakek  yang  compang-camping,  lalu  pakaian  enam  muridnya  yang  berwarna  biru muda.
“Bagus! Kalian sudah menunjukkan diri masing-masing!  Sekarang atas izin Pemimpin aku akan menunjukkan jalan kematian bagi kalian bertujuh! Para tetamu dan  para  sahabat  tolong  dijaga  agar  tujuh  pengacau  itu  tidak  seorangpun  sempat melarikan diri!”
Habis berkata begitu orang ini keluarkan  suitan keras. Di  sekitar panggung tiba-tiba  saja  muncul  mengepung  hampir  lima puluh  orang  anggota  Serikat  Setan Merah, rata-rata bertampang liar dan buas!
“Bunuh  ketujuh  orang  itu!”  Pemimpin  Serikat  Setan  Merah  berteriak  dari balik kain penutup kepalanya. Dia berpaling ke arah Wiro dan Kemala lalu sambil menunjuk dia kembaliberteriak
“Bunuh juga kakekdan nenek itu!”

BASTIAN TITO                                                                                                          36

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

SEPULUH

“Celaka!  Dia  dan  orang-orang  Serikat  Setan  Merah  sudah  tahu  penyamaran kita!” berbisik Kemala.
“Tenang saja!” balas berbisik Wiro lalu dia berdiri. Kemala ikut bangkit.
Terdengar   suara   berkerontangan   ketika   lima   puluh   pengepung   tempat pertemuan sama-sama mencabut senjata masing-masing yaitu sebilah golok panjang!
“Siapkan pukulan  sakti yang mengeluarkan cahaya abu-abu itu…..” berkata Wiro.
“Mana mungkin kita menghadapi bangsat-bangsat bergolok sebanyakini!”
“Tak ada yang tidak mungkin di dunia termasuk di puncak bukit ini!” sahut Wiro.
Baru saja dia berkata begitu, di atas panggung lelaki pendamping pimpinan Serikat Setan Merahberseru. “Saudara-saudara para tetamu yang terhormat! Ini saat kita  menunjukkan  bakti  pada  Perserikatan!  Bantu  kami  menghancurkan  kaum penyusup!”
Melihat hal ini Pendekar 212 Wiro Sableng kembali berbisik “Kau tetap di sini.  Aku  harus  membuat  gebrakan!”  Murid  Sinto  Gendeng  ini  kerahkan  tenaga dalamnya hingga suaranya menggelegar ketikadia berteriak. “Para orang gagah rimba persilatan! Jika kalian masih menjunjung kebenaran mari bergabung bersama kami dan Pengemis Budiman untuk menghancurkan komplotan keji Setan Merah ini!”
Diantara  para  tamu  memang  hanya  merupakan  undangan  biasa  saja  yang bukan   merupakan   anggota   Serikat  Merah.   Meski   banyak   dari   mereka   sangat membenci  segala  apa  yang  telah  dilakukan  Serikat  bejat  itu namun  sebagai  tamu mereka merasa sungkan, hingga hanya adadua orang saja yang berdirilalu melompat ke dekat Wiro tegak. Habis berteriak begitu Wiro melompat ke atas bangku kayu yang kosong, dari sinidia melesat ke atas panggung melewatikepala para tetamu. Di saat tubuhnya melesat di udara, terdengar suara mendengung laksana ribuan tawon mengamuk. Cahaya putih menyilaukan berkiblat disertai menyambarnya hawa panas. Semua  orang  yang  duduk  cepat  rundukkan  kepala  bahkan  ada  yang  bertiarap. Beberapa  diantara  anggota   Serikat   Setan  Merah  yang  baru  bersiap-siap  untuk menyerbudan terkena sambaran cahaya panas menyilaukan itu langusng terjengkang dan roboh dengan bagian tubuhhangus melepuh!
Ketika Wiro mendarat di atas panggung,  orang banyak melihat “kakek” itu tegak  berdiri   dengan   kaki  terpentang.   Di  tangan   kanannya   ada   seuah   senjata berbentuk kapak bermata dua.
“Kapak  Maut Naga  Geni  212!”  terdengar  beberapa  mulut  yang  mengenali berseru.  Tapi  sekaligus  mereka  terheran-heran.  Bagaimana  senjata  mustika  dunia persilatan yang ditakuti dan diketahui milik Pendekar 212 Wiro Sabelgn kini berada di tangan si kakek yang tidak dikenal?!
“Tua  bangka  pengacau!  Siapa  kau  sebenarnya!”  bentak  Pimpinan  Serikat Setan Merah sementara pendampingnya bersurut keder dualangkah.
Si kakek mengumbar  suara tertawa.  Tangan kirinya merengut ke wajahnya beberapa kali.  Kanji kering yang menutupi wajahnya terkelupas.  Kini kelihatanlah mukanya yang asli.
“Kau!” teriak pemimpin Serikat Setan Merah terkejut. Dia langsung berpaling ke arah si nenek yang tegak diantara para tamu. “Jangan-jangan … ..”

BASTIAN TITO                                                                                                          37

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Semua dengar!” teriak Wiro. “Aku berusaha mencegah pertumpahan darah dan ingin menangkap manusia biang racun ini hidup-hidup. Tapi siapa ingin mencari mati silahkan maju!” Wiro melambaikan tangan kirinya ke arah Pengemis Budiman dan berseru. “Kakek sahabatku, apakahkau dan murid-muridmu sudah siap?!”
“Kami sudah siap dari tadi! Hanya saja kalau kau inginkan bangsat itu hidup- hidup,  aku lebih  suka mencincang tubuhnya  sampai lumat!”   menjawab Pengemis Budiman yang meskipun senang melihat pendekar konyol berkepandaian tinggi ini berada dipihanya tapi diam-diam dia masih mendendam atas perbuatan Wiro tempo hari  yang  mempermalukannya  di  depan  murid-muridnya  sendiri  yaitu  menarik celananya hingga auratnya yang terlarang tersingkap jelas!
“Boronowo! Kau tunggu apa lagi! Lekas bunuh pengacau satu ini! yang lain- lain  cincang  pendekar  Budiman  bersama  murid-muridnya!  Bunuh  siapa  saja  yang berani menantang Serikat Setan Merah!”
Yang berteriak adalah pemimpin  Serikat  Setan Merah yang  sampai  saat ini masih menyembunyikan kepala wajahnya di balikkain merah.
Orang di atas panggung yang bernama Boronowo, yang merupakan tangan kanan  sang  pemimpin  dan  sekaligus  menjabat  sebagai  Kepala  Keamanan  Serikat Setan  Merah  sesaat  tampak  ragu.  Tentu  saja  hatinya  merasa  kecut  karena  malam ketika  dia  hendak  melakukan  pembunuhan  atas  diri  Wiro  Sabelng,    murid  Sinto Gendeng  itu telah menghajarnya hingga mutah darah  dan terluka parah  di dalam. Sampai saat itu lukadalamnya masih belum sembuh. Dadanya kerap kali sesak dan setiap bernafas dalam dan panjang terasa mendenyut  sakit.  Saat itu dia lebih suka berada  di  tempat  lain.  Tapi    di  atas panggung    dan  diperintah begitu rupa  mana mungkin bagi Boronowo untuk menghindar. Maka mau tak mau dai lalu loloskan goloknyakarena memang ilmu golok adalah kepandaian yang paling diandalkannya. Di  samping  itu  untuk  membentengi  diri  tenaga  dalamnya  langsung  di  alirkan  di tangan  kiri.  Boronowo  membuka  serangan  dengan  satu  bentakan  keras  sambil membabatkan senjatanya ke pinggang Pendekar 212 Wiro Sableng!
Di bagian lain, lima puluh anggota Serikat Setan Merah ditambah beberapa tokoh persilatan yang tersesat masuk bergabung dengan komplotan itu sudah bergeark pula menyerbu Pendekar Budiman dan enam muridnya yang dibantu oleh beberapa orang persilatan yang memang sengaja datang untuk membuat perhitungan dengan Serikat Setan Merah. Si “nenek” Kemala yang adadi antara orang-orang itu tentu saja menjadi sasaran serangan pula. Tanpa tunggu lebihlama gadis ini hantamkan kedua tangannya kedepan.
Wusssss!
Wusssss!
Dua gelombang sinat abu-abu yang menghampar hawa dingin menggebu ke arah  para  penyerang.  Empat  orang  anggota  Serikat  Setan  Merah  berteriak  keras. Tubuh mereka terpental sampai dua tombak lalu roboh terjengkang di tanah tanpa mampu bergeraklagi. Masing-masing menjadi kaku dan sekujur tubuh terasa dingin laksana  dibungkus  es!  Rahang  mereka  menggembung,  geraham  bergemelatakan. Akhirnya  keempat  orang  ini  menemui  ajal  dengan  muka  mengkerut  dan  mulut menganga.
Betapapun tingginya tingkat kepandaian Kemala, namun dikeroyokoleh lebih sepuluh orang lawan membuat gadis ini serta merta terdesak hebat. Dengan nekad dia merampas golok salah seorang anggota Serikat Setan Merah. Lalu dengan golok di tangan kanan dan tongkat bambu kuning di tangan kiri, gadis ini mengamuk. Dua orang rebah mandi darah. Namun serangan bukannya berkurang. Empat orang lagi datang  menyerbu  hingga  kini  ada  dua  belas  orang  yang  mengeroyok  sang  dara,

BASTIAN TITO                                                                                                          38

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

kemudian di tambah lagioleh seorang tokoh silat bertubuh bungkuk yang merangsak dengan  sebuah  senjata berbentuk celurit besar. Kembali murid Ki Ageng Kuncoro Bekti ini terdesak hebat.
Pendekar  Budiman  dan  enam  muridnya  serta  tiga  tokoh  silat  yang  ikut membantunya  saat  itu  harus  menghadapi  gempuran  lebih  dari  tiga  puluh  orang anggota Serikat Setan Merah. Dua diantara mereka adalah Sangajidan Galut.
Pendekar budiman mengamuk dengan senjatanya yaitu tongkat akar pohon. Benda  ini berkelebat kian kemari, menggebuk  dan menusuk. Dua korban pertama segara menjadi korban  si kakek.  Satu pecah kepalanya,  satu  lagi ambrol perutnya ditembus  ujung  tongkat!  Namun  seperti juga  Kemala,  keadaan  pendekar  tua  dan murid-muridnya itu segera terjepit dalam kurungan para pengeroyok.
Si kakek kertakkan rahang. Tongkatnya diputar secara aneh hingga berubah seperti sebuah titiran. Terdengar pekikdi sana sini. Korban jatuh lagidipihak anggota Serikat  Setan  Merah.  Tapi  salah  seorang  murid  Pendekar  Budiman  saat  itu  tidak mampu loloskan diridari satu serangan serentak yang dilancarkan tiga  orang anggota komplotan serta seorang tokoh silat golongan hitam. Tubuhnya terkutung di bagian bahu kiri, roboh mandidarah. Lalu selagi dia mengerang kesakitan satu tusukan golok menembus lehernya!
Pendekar Budiman menggembor marah menyaksikan kematian muridnya itu. tongkat akar kayu terus di putar sementara tangan kirinya dengan cepat menyusup ke balik pakaian. Begitu dikeluarkan langsung dihantamkan ke depan. Terdengar suara berdesing sewaktu selusin pakuhalus menderu di udara. Lima anggota Serikat Setan Merah terpekik. Tujuh lainna masih sempat melihat melesatnya  senjata rahasia itu lalu cepat-cepat jatuhkan diri cari selamat.
Meski banyak dari kawan-kawan mereka sudah menemui ajal tapi anggota- anggota Serikat Setan Merahbenar-benar nekad. Mereka terus merangksek dan entah darimana munculnya tahu-tahu ada sepuluh lagi orang berpakaian merah memasuki ajang pertempuran.

BASTIAN TITO                                                                                                          39

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

SEBELAS

Kembalike atas panggung. Ketikagolok lawan menyambar ke arah pinggangnya Wiro sengaja tidak menangkis dengan Kapak Naga Geni 212. Dia hindarkan serangan orang dengan melompat ke samping. Begitu serangannya luput, Boronowo langsung susul  dengan  serangan  tangan  kosong  mengandung  tenaga  dalam  tinggi.  Namun pengerahan tenaga  dalam yang begitu besar membuat  luka  dalamnya yang masih belum sembuh menjadi kambuh kembali. Dadanya langsung menyesak sakit! Tapi orang ini berlaku nekad! Dalam keadaan begitu rupa dia masih berusaha lepaskan pukulan.
Wuuuuuttt!
Angin deras menerpa ke arah Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng ini balas menangkis dengan pukulan tangan kosong yaitu tangan kiri. Sang pendekar tampak tergontai-gontai sebaliknya Boronowo terjajar beberapa langkah. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah mengucur yang kemudian diludahkannya ke bawah panggung. Tangan kirinya diangkat memegangi dada.
“Kucing  buduk!”  Wiro  berkata  seenaknya.  “Jika  kau  mau  memerintahkan anak-anak buahmu menghentikan perkelahian, akan kuampuni selembar nyawamu!”
“Setan alas! Bangsat rendah!” menyumpah Boronowo. “Kalau malam itu aku tak  dapat  membunuhmu,  saat  ini  jangan  harap  nyawa  anjingmu  bisa  lolos  dari tanganku!”
Lalu dia melompat ke depan. Goloknyaberputar ganas dan aneh. Rupanya dia tengah  mengeluarkan jurus-jurus  ilmu  goloknya  yang  paling  hebat.  Wiro  merasa seperti ada selusin golok mencurah ke arah tubuhnya mulai dari kepala sampai ke pinggang. Murid Sinto Gendeng dipaksa harus bergerak cepat untuk selamatkan diri. Dia melompat kian kemari namun tubuhnya seperti satu magnit yang menarik senjata lawan. Golok itu terus mengikutikemana dia bergerak.
Breet……brrreeeeeettt!
Pakaian Pendekar 212 robek besar di bagian dadadan perut. Wiro melompat jauh   sambil   meringis   kecut.   Tengkuknya   terasa   dingin.   Baru   sekali   ini   dia menghadapi   orang   memiliki   ilmu   golok  begitu   luar   biasa!   Karenanya   ketika Boronowo  kembali  menyerbunya  tanpa  tunggu  lebih  lama  murid  Sinto  Gendeng angkat tangan kanannya.
Terdengar    suara    menggaung    disertai    berkilatnya    sinar    putih    perak menyilaukan.
Traang!
Golok  di  tangan  Boronowo  patah  dua  dan  terpental  lepas  dari  tangannya. Bersamaan dengan itu tubuhnya jatuh duduk di lantai panggung. Tangan kanannya terasa kaku dan panas. Dia berusaha bangkit tapi belum lagi tubuhnya terangkat satu tendangan  melabrak  dadanya!  Tubuh  Boronowo  tercampak  ke  bawah  panggung, bergulingan beberapa kali lalu terhenti didepan serumpun semakbelukar liar.
Buuukk!
Satu pukulan keras menghajar tengkuk Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng tersungkur ke puanggung. Pangkal lehernya seperti patah dan sakitnya bukan main. Tapikemarahan pendekar inipun bukan olah-olah. Sambil gulingkan dirike kiri dia menyaksikan  pemimpin  Serikat  Setan  Merah  siap  menghujamkan  sebuah  senjata berbentuk tombak pendekke arah perutnya!

BASTIAN TITO                                                                                                          40

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Setan Merahkeparat! Beranimu membokong dari belakang! Rasakan kapak Naga  Geni  212  ini!” teriak Wiro marah.  Setangah berlutut  dia hantamkan  senjata mustikanya ke depan, menyongsong tusukan tombak. Untuk kedua kalinya ditempat itu terdengar suara berdentrangan. Tombak di tangan pemimpin Serikat Setan Merah patah  tiga  dan  patahannya  mencelat  ke  udara.  Pemiliknya  sendiri  tampak  sudah melompat dengan muka pucat. Sekujur tangan kanannya terasa panas sekali!
“Sudah  saatmu membuka kain penutup kepala  itu!  Perlihatkan tampangmu manusia  setan!”  ujar  Wiro  seraya  melangkah  mendekati.  Yang  didekati  tiba-tiba membuka tangan kirinya dan melemparkan sesuatu yang sejak tadi dipegangnya.
Wuss!
Terdengar suara mendesis keras. Saat itu juga panggung itu terbungkus oleh asap tebal berwarna kebiruan, membuat pemandangan Pendekar 212 jadi terhalang, pemimpin Serikat Setan Merah ini segea melompat dari panggung, berkelebat ke arah kiri!
Kalau di atas panggung Wiro tidak dapat melihat kemana lenyapnya lawannya,  lain halnya dengan  orang-orang yang bradajauhdi bawah panggung. Hampir semua  orang  diantaranya  Kemala  dan  Pendekar  Budiman,  sempat  melihat  kearah  mana  kaburnya pimpinan Serikat Setan Merahitu. Merasa tidak ada gunanya meneruskan  perkelahian, apalagidia dalam keadaan terdesak pula maka Kemala yang sampai saat  itu  masih berada  dalam  penyamaran  sebagai  seorang  “nenek”  keluarkan bentakan  keras, menghantam dengan bambu serta golok rampasan yang ada dikedua tangannya. Begitu lawan tersibak, kesempatan inidipergunakan si gadis untuk menyelinap keluar  darikalangan perkelahian dan larike jurusan timur.
Sambillari Kemala berteriak “Wiro ikuti aku! Bangsat itu larike arahlereng timur!”
Dalam keadaan terbatuk-batuk keluar dari kepungan asap lalu melompat ke jurusan  di  mana  dilihatnya  Kemala  berkelebat.  Hal  yang  sama  juga  dilakukan Pendekar  Budiman  begitu  mendengar  teriakan  Kemala.  Jauh-jauh  datang  untuk menuntut balas malah ada anak muridnya yang sudah  jadikorban maka kalau sampai kehilangan musuh besarnya itu, dia akan mati penasaran! Dilain pihak, mengetahui bahwa  pimpinan  mereka  melarikan   diri,   apalagi   setelah  menyaksikan  matinya Boronowo, para anggoa Serikat Setan Merah menjadi patah semangat kalau tak mau dikatakan putus nyali.  Semuanya memilih melarikan  diri.  Mereka berserabutan ke berbagai penjuru Bukit Batu Merahitu.
Ternyata pemimpin Serikat Setan Merah yang melarikan diri tidak memiliki ilmu  lari  yang  bisa  menyelamatkan  dirinya.  Dalam  waktu  sebentar  saja  Kemala berhasil mengejarnya, lalu Wiro dan terakhir menyusul Pendekar Budiman.
“Manusia setan! Permainanmu berakhir saat ini! cepat kau bukakain merah  penutup  kepalamu!  Atau  aku  yang  membukanya  bersama-sama  batang  lehermu!” berkata Wiro sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 didepan dada.
Sepasang mata di balikkain merahitu tampak melotot ketakutan. Dia melirik ke kiri dan ke kanan.
“Jangan harap bisa lolos dari tangan kami!” membentak Pendekar Budiman. “Lekas katakan di mana muridku Griyatikau sekap!”
“Kalau….. kalau kuberi tahudi mana gadis itu berada, kalian harus berjanji untuk  tidak  membunuhku  dan  membiarkan  aku pergi!”  berkata  pemimpin  Serikat Setan Merah.
Kemala  melengak  kaget  ketika  mendengar  suara  pemimpin  Serikat  Setan Merah. Sebelumnya dia hanya mendengar darikejauhan. Berada sedekat seperti saat

BASTIAN TITO                                                                                                          41

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

itu  dia  seperti  mengenali  suara  orang  iu.  Tiba-tiba  degnan  kecepatan  seperti  kilat
Kemala melompat ke depan. Tangan kirinya menyambar dan !
“Paman   Suro  Kenanga!”  teriak  Kemala  ketika  kain  pembunkus  kepala pemimpin  Serikat  Setan  Merah  berhasil  direnggutnya  dan  dia  serta  Wiro  dan Pendekar Budiman kinidapat melihat jelas kepala serta wajah orang itu! “Aku tidak bermimpi ……” desis Kemala seraya menggosok-gosokkedua matanya. Ketika ingat kalau  saat  itu  dia  masih menyamar  sebagai  nenek,  dengan tangan  kirnya Kemala menanggalkan topeng kanji yang menutupi wajahnya.
“Kemala, keponakanku….. Aku sudah duga. Memang kau rupanya … ..” Suro Kenanga merasakan lututnya seperti goyah, akhirnya dia terduduk di tanah. Wiro dan Pendekar  Budiman  tertegak  bengong.  Tapi  di  lain  kejap  orang  tua  berpakaian compang camping itu sudah melompat ke depan dan menekankan ujung tongkat akar kayunya ke tonggorokan adipati Solotigo itu. Sekali dia menekan menusukkan maka tertembuslahleher sang Adipati.
“Lekas  katakan  di  mana  murid  perempuanku!  Atau  kubunuh  kau  saat  ini juga!” mengancam Pendekar Budiman dengan suara bergetar menahan amarah dan dendam kesumat.
“Paman…..!” berseru Kemala. “Bagaimana inibisa terjadi! Benar kau menjadi pemimpin  komplotan  orang-orang  jahat  yang  menamakan   Serikat  Setan  Merah itu…..?!”
“Kau melihat sendiri Kemala, memang begitu kenyataannya … ..” jawab Suro Kenanga  dengan  suara  perlahan  dan  sekujur  tubuh  kuyu.  “Dosaku  keliwat  besar! Silahkan kalian membunuhku saat ini juga!”
“Bangsat! Kau harus mengatakan lebih dulu di mana murid perempuanku!” teriak Pendekar Budiman.
“Muridmu berada dalam keadaan aman. Tidak kurang suatu apa. Tak ada yang menyentuh dirinya atau menodainya … ..”
“Aku  tidak bisa percaya  kata-katamu Adipati  laknat!  Sebelum  aku  melihat sendirikeadaan muridku!” sentak Pendekar Budiman lalu menekankan ujung kayu ke leher Suro Kenanga hingga Adipati ini meringis kesakitan.
“Aku   bersumpah   tidak   mendustaimu.   Muridmu   berada   di   ruang   bawah
bangunan berbentuk candidi halaman belakang gedung Kadipaten … … …”
Pendekar  Budiman  kembali  hendak  membentak  tetap  Kemala  lebih  dulu membuka mulut “Paman, saya takhabis mengertidan sangat menyesalkan. Mengapa kau melakukan semua ini … ..”
Sepasang    mata    Suro    Kenanga    tampak   berkaca-kaca.    “Aku    ……aku melakukannya karena butuh sejumlah besar uang dan harta … ..”
“Uang dan harta … ..? Untuk apa paman?!” tanya Kemala.
“Aku harus menyediakan dan memberikan uang serta harta atau apa saja yang berharga pada seseorang di Kotaraja. Jumlahnya terlalu besar dan aku tak sanggup mendapatkannya  kecuali  melakukan  pemerasan  dan  penindasan  terhadap  rakyat. Merampas dan merampok. Ketikakeadaanku terancam, aku terpaksa memerintahkan orang-orangku  melakukan  kejahatan  itu.  lambat  laun  mereka  berubah  menjadi penjahat beneran. Lalu menyusup segala macam maling dan penjarah! Jumlah mereka jadi tambah banyak. Aku tak sanggup lagi mengendalikan mereka … .. Ah Gusti Allah. Dosaku terlalu besar dan berat!”
“Paman, kau belum mengatakan untuk apa uang dan harta itu? Lalu kepada siapa kau berikan?” bertanya Kemala

BASTIAN TITO                                                                                                          42

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Uang dan harta itu sebagai suapan agar aku tetap mendudukijabatan Adipati seumur  hidup.  Kepada  siapa  aku  memberikannya  tak  mungkin  aku beri  tahu. Ya Tuhan…. Aku sadar aku inigila jabatan. Gila kekuasaan … ..”
Wiro Sableng garuk-garukkepala. Sebelumnya dia memang sudah bercuriga bahwa  pemimpin  Serikat  Setan  Merah  itu  adalah  Suro  Kenanga.  Dia  tidak  mau memberi  tahukannya  pada  Kemala.  Takut  kesalahan.  Ternyata  dugaanya  tidak meleset!
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya Wiro meminta pendapat Pendekar Budiman.
Tapi orang tua itu tidak membuka mulut. Yang menjawab adalah Kemala.
“Paman, kami terpaksa membawamu ke Kadipaten, terus ke Kotaraja. Tak ada jalan lain. Mudah-mudahan Sri Baginda mengurangi hukuman bagimu … .”
Suro Kenanga menggelengkan kapala. “Berjalan jauh-jauh ke Kotaraja hanya untuk mendapat tiang gantungan. Kalau aku harus mati menebus dosa-dosaku, lebih baik matidi tempat ini saja. Sekarang!”
Tiba-tiba  sekali  Suro  Kenanga  menarik  dan  menghujamkan  keras-keras  ke lehernya   sendiri   tongkat   akar   kayu   milik  Pendekar   Budiman  yang   sejak  tadi menempel dilehernya!
Darah  muncrat.  Kemala  berteriak.  Pendekar  Budiman  dan  Wiro  terkesiap kaget.  Perlahan-lahan  kedua  tangan  yang  memegang  kencang  tongkat  kayu  itu terkulai  lemas  dan  jatuh  ke   samping.  Pendekar  Budiman  tak  berani  menarik tongkatnya.  Ketika  senjata  andalannya  itu  dilepasnya,  sosok  tubuh  Adipati  Suro Kenanga yang sudahjadi mayat itu langsung jatuh terlentang di tanah. Lereng bukit itu sesunyi di pekuburan. Hanya suara isak tangis Kemala yang terdengar di antara siliran angin yang berhembus.

                             TAMAT

Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

                                                                


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive