Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Kamis, 30 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - RAJA SESAT PENYEBAR RACUN

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com


PENDEKAR  212  WIRO  SABLENG  memandang  berkeliling  dengan  heran. Betulkan ikat kepala kain putihnya lalu menggaruk rambut.
“Aneh... Setahuku setiap hari Ahad pasar ini selalu ramai oleh penjual dan pembeli. Tapi kali ini jangankan manusia, jangankan orang yang berjualan dan mereka yang  mau  membeli.  Nyamuk dan  lalatpun tidak kelihatan! Apa yang terjadi... Perutku sudah lapar, aku membayangkan akan makan ketan bakar di sudut sana. Nyatanya pasar ini sudah berubah jadi kentut! Eh, kentutpun masih ada bunyi-bunyi dan baunya! Tapi disini takada bunyi. Sepi! Tak ada bau!”
Wiro menyeringai geleng-geleng kepala.
Akhirnya diatinggalkan pasar itu. lanjutkan  perjalanan  memasuki  kampung  terdekat  di  pinggir  pasar.  Begitu memasuki  mulut  kampung  sebuah  gerobak  yang  ditarik  seekor  sapi  putih bergerak deras kearahnya.
“Awas! Minggir! Anakku... istriku... Tolong! Minggir!” teriak orang yang mengemudikan gerobak,itu.
Wiro cepat menyingkir ke tepi jalan. Gerobak lewat disampingnya dengan cepat. Sekilas Pedekar 212 melihat dua sosok tubuh terbujur di atas gerobak sapi itu. Yang di sebelah kiri seorang anak lelaki berusia lima tahun, terbaring menelentang  tanpa  baju.  Muka  dan  terutama  bibirnya  tampak  biru.  Kedua matanya membeliak sedang tangan dan kakinya tampak tegang kaku. Sekujur tubuhnya tidak bergeraksedikitpun. Disela bibirnya tampakbusah melueh
Yang kedua seorang perempuan ibu si anak lelaki juga terbaring dengan muka  dan  bibir  biru  Dan  mulutnya yang  berbusah terdengar  suara  erangan Tubuhnya menggeliat-geliat kejang. Bagian hitam matanya terbalik-balik
Awas!  Minggir!  Tolong!  Tolong  anak  istriku  kembali  terdengar  suara pengemudigerobak sapi berteriak
Sesaat  Wiro  masih  tertegak  heran  di  tepi jalan.  Lalu  di  depan  sana dilihatnya seorang pejalan kaki memandang ke arah lenyapnya gerobak sapi di tikungan jalan. Wiro dekati orang ini yang ternyata seorang kakek mengenakan celana panjang hitam dan kain sarung di bahunya.
“Kek...,” menegur Wiro. “Kau barusan melihat gerobak sapi itu... Kau tahu apa yang terjadi?”
Si kakek menatap sesaat pada Wiro lalu menjawab. “Ah, sampean tentu bukan penduduk sekitarsini. Jadi tidak pernah mendengar apa yang terjadisejak satu bulan belakangan ini. Dedemit Karang Gontor sedang murka. Puluhan jiwa penduduk telahdisedotnya.”
“Dedemit Karang Gontor? Menyedot jiwa penduduk...?”
“Betul’ anak muda. Anak serta istri orang yang membedal gerobak sapi tadi pastilah korban-korban barudedemit itu!” berkatasi kakek.
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Aku tak mengerti kek. Bagaimana bisa ada

dedemit menyedot jiwa manusia...”
“Itu  karena  ulah  manusia  sendiri,  anak  muda.  Manusia-manusia  disini sudah bertumpuk dosanya. Bumi Tuhan menjadi kotor. Dedemit yang bermukim di  Karang  Gontor jadi  gerah,  lalu  murka.  Satu  persatu  dia  mencari  korban. Menyedot nyawa korbannya lewat mulut. Itu sebabnya mereka yang jadi korban pada biru bibirdan mukanyasampai ke leher...”
“Gila Sulit dipercaya! Ada dedemit kegerahan lalu minta nyawa manusia! Gila! ujar Wiro.
“Gila atau tidak, itulah yang terjadi. Dan kau setiap saat bisa saja jadi korbannya!  Aku  yang  sudah  tua  begini  kalau  sampai jadi  korban  tak  akan menyesal. Lebih baikcepat matidari pada hidup menderita...!”
“Kek, apa ada orang yang  pernah  melihat dedemit yang  kau  katakan itu...?” Wiro bertanya.
“Anak muda, pertanyaanmu sungguh totol. Tidak melihat saja nyawanya sudah bisa disedot, apalagi kalau sampai melihat! Heh... kau lihat pasar di ujung sana?  Sepi.  Tak  ada  yang  berani  berjualan  karena  takut  akan jadi  korban dedemit. Semua orang pada mendekam dalam rumah karena ketakutan. Banyak yang sudah mengungsi ke tempat jauh yang aman. Kampung ini saja hampir kosong tidak didiami lagi!”
“Lalu, orang yang memacu gerobak sapi tadi, mau dibawanya kemana anak dan istrinya itu...?”
“Di kaki bukit sebelahtimur sana, ada seorang dukun. Namanya Ki Dukun Japara. Pasti dia membawa anak istrinya kesana untuk minta tolong. Namun seperti  yang  sudah-sudah,  nyawa  orang-orang  yang  kena  pencet  Dedemit Karang Gontor takbakal bisadiselamatkan lagi...!”
“Kek, tadi kau bilang dedemit itu menyedot nyawa, kini memencet. Mana yang betul kek...?” tanya Wiro pula.
Si  kakek  menyeringai. “Dedemit  itu  kalau  inginkan  nyawa  manusia ya suka-sukanya saja. Mau menyedot lewat bibir atau pantat, mau mencekek leher atau memencet kemaluan korbannya, yah itu terserahdia. Pokoknya korban mati dan dia puas.  Kau sendiri mau mati cara  mana anak muda...? Di sedot... di cekek... ataudipencet anumu itu...?”
Wiro  menjawab.  Sambil geleng-geleng  kepala  dia  memutar tubuh  lalu berkelebat menuju ke arah lenyapnya gerobak sapi tadi. Si kakek tersentakkaget ketika pemuda dengan siapadia tadi bicara kini berkelebat lenyap dan tahu-tahu sudahadaditikungan jalan sana. Pucatlah wajah orang tua ini.
“Astaga...” katanyadengan suara gemetar.
“Jangan-jangan  pemuda  itu  penjelmaan  Dedemit  Karang Gontor!” Lalu dirabanya  ubun-ubunnya  Dipegangnya  bibirnya.  Disentuhnya  lehernya  dan terakhir sekali dirabanya  bagian  bawah  perutnya. “Ah...  masih ada... Untung anuku tidak dipencetnya!” Dengan terbungkuk-bungkuk orang tua ini bergegas meninggalkan tempat itu.
WALAUPUN GEROBAK SAPI itu tidak kelihatan lagi namun dari jejak roda

yang  membekas  jelas  di  tanah  jalanan  Pendekar  212  Wiro  Sableng  dapat mengetahui ke arah mana perginya gerobak itu. Dengan mengandalkan ilmu lari kaki angin warisan Eyang Sinto Gendeng. Wiro berkelebat ke arah timur. Dia sengaja  mengambil  jalan  memotong.  Di  satu  bukit  kecil  dia  dapat  melihai gerobak sapi yang di muati dua orang korban Dedemit Karang Gontor meluncur di jalan berbelok-belok diantara kaki-kaki bebukitan.
Di hadapan sebuah rumah panggung yang mulai dari tiang, lantai dan dinding  sampai  ke  atapnya  terbuat  dari  bambu,  orang  yang  memacu  sapi hentikangerobaknya.
“Ki  Dukun!  Ki  Dukun Japara! Tolong  Lekas! Tolong  istri dan anakku!” berteriak kusir gerobak itu. Lalu dia melompat turun dari gerobak, menarik sosok tubuh anak  lelakinya,  mendukungnya  lalu  membawanya  naik  ke atas  rumah  panggung.
“Ki   Dukun!   Tolong...!   teriak   kusir   gerobak   itu   kembali.   Anaknya dibaringkan di lantai rumah bambu, dihadapan sebuah pintu. Pintu ini kemudian digedornya berulang kalisambilterus berteriak.
Pintu terbuka. Seorang tua  bermata juling,  mengenakan  pakaian serta destar hitam keluar sambil memuntir-muntir kumis mablangnya dengan tangan kiri sedang jari-jari tangan kanan mempermainkan sebuah tahi lalat besar yang menonjoldidagusebelah kanan.
“Astaga! Juminto! Kowe rupanya! Eh, apa yang terjadi...!”
“Anakku Ki Dukun! Tolong! Selamatkan jiwanya Jangan biarkan Dedemit Karang  Gontor  mengambil  nyawanya!”  Habis  berkata  begitu  lelaki  bernama Juminto itu berbaliklalu lari menurunitangga bambu
“Hai! Kowe mau kemana Juminto?!” memanggil orang tua bermata juling yang ternyata adalah Ki Dukun Japara.
“Istriku!   Istriku  juga   disedot   Dedemit   Karang   Gontor!   Aku   akan membawanya keatas rumah iniTapitolong dulu anakku! Selamatkanjiwanya!’
“Ah...Lagi-lagi  Dedemit  Karang Gontor...” ujar  Ki  Dukun  lalu  menghela natas  panjang dan tampak  masygul.  :.”Puluhan  korban sudah jatuh.  Sampai kapan bencana ini akan berakhir...?” Lalu Ki Dukun Japara berlutut. Dia usap kening serta pegang dada anak lelaki yang terbujur di lantai bambu. Diamatinya bibir  si  anak,  lalu  sepasang  matanya  yang  terbalik.  Kembali  orang  tua  ini gelengkan kepaladenganwajah masygul.
Saat itu Juminto sudah  naik kembali  keatas rumah  panggung.  Kali  ini mendukung istrinyadan membaringkannyadi lantaidisampinganaklelakinya.
Berbeda dengan si anak yang tampak kaku tak bergerak, si ibu masih terdengar mengerang dan melejang-lejang.
‘Ki Dukun! Tolong! Tolong mereka cepat!” teriak Juminto. “Jangan cuma melihatsaja! Tolong, selamatkananakistriku...!”
“Ki Dukun Japara memeriksa keadaan istri Juminto. Sesaat kemudian dia berpaling pada lelaki itudangelengkan kepalanya, lalu berkata : “Juminto, sudah puluhan orang kulihat dalam keadaan seperti ini. Semua takbisa kutolong. Sekali Dedemit Karang Gontor murka dan minta korban takada satu kekuatanpun yang

bisa menghalanginya! Sebaiknya kau relakan saja kepergian mereka Juminto...”
Juminto  jatuhkan  dirinya  di  lantai   bambu.  Setengah  meratap,  dia memohon: “Tolong Ki Dukun. Tolong...!”
“Aku  tidak   mampu   menolongnya,  Juminto.  Tidak   mampu!  Jangan memaksa!”
“Ki   Dukun...   Percuma!   Percuma   kau  jadi  dukun   kalau  tidak  bisa  menolong!” teriak  Juminto.  Pemandangannya jadi  gelap.  Dia  melompat  dan  mencekal leher baju Ki Dukun dengan kedua tanganya. “Kau harus bisa... Kau  harus  bisa  mengobatinya!  Harus!  Kalau tidak  kau akan  kubunuh  Ki  Dukun!” Juminto mengancam dalam kalapnya. “Akan kubunuh! Kau dengar ucapanku?!”
Sepasang mata juling Ki Dukun Japara tampak membeliak dan wajahnya jadi beringas. “Kau boleh membunuhku seratus kali! Tapi sekali aku bilang tidak mampu, aku tetap tidak mampu! Bahkan anakmu kulihat sudah tak punya nafas lagi. Istrimu sebentar lagi pasti jugadibawa Dedemit Karang Gontor itu!
Mendengar ucapan itu Juminto meraung lalu jatuhkan diri ke lantai. Saat itulah terdengarsatu suara.
“Jika diizinkan Gusti Allah, mungkinaku bisa menolong istri Juminto itu, Ki Dukun!”
Ki  Dukun dan Juminto sama  berpaling  ke arah tangga.  Seorang tidak dikenal  tampak  menaiki  tangga  bambu  dan  akhirnya  sampai  di  atas  rumah panggung.

ORANG   YANG   DATANG   dan   barusan   bicara   adalah   seorang   pemuda berpakaian putih. Rambutnya gondrong sebahu sedang kepalanya diikat dengan kain putih. Baik Ki Dukun Japara maupun Juminto sama-sama tidak mengenali siapaadanya pemuda ini yang bukan lainadalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Karena  kedua  orang  itu  masih  terheran-heran  melihat  kemunculan pemuda yang tidak dikenal atau belum pernah dilihatnya sebelumnya dan tidak memberikan jawaban apa-apa, maka Wiro langsung berlutut didepantubuh anak lelaki yang terbujur di-lantai bambu. Dipandanginya anak itu sebentar lalu dia menggaruk kepaladan berpaling pada Juminto, berkata: :.”Anakmu tak mungkin kutolong. Dia sudah meninggal. Aku mungkin bisa menolong istrimu. Keadaanya gawatsekali. Tapi Tuhan punya kuasa, biar kucoba...”
Wiro beringsut mendekati tubuh Istri Juminto.
“Jangan sentuh istriku!” bentak Juminto dengan garang.
“Ah,  kalau  kau tak  mengijinkan.  akupun tidak  berani  melakukan apa- apa...” sahut Pendekar 212 pula lalu berdiri.
“Aku tidak kenal siapa dirimu. Tahu-tahu muncul dan bertindak herdak menolong...”
“Aku melihatmu waktu memacu gerobak sapi menuju kemari. Seseorang di  tengah jalan  memberi  tahu  bahwa  anak  istrimu  pasti  sudah jadi  korban Dedemit Karang Gontor. Aku datang kemari hanya ingin tahu apa sebetulnya yang terjadidan. siapatahuaku bisa menolong...”
“Apa kau seorang dukun, atau tahu seluk beluk pengobatan? Bahkan Ki Dukun Japara disampingku initidak mampu mengobati istriku...!” kata Juminto.
“Betul...Tak mungkin bagiku mengobati orang yang jadi korban Dedemit Karang Gontor. Sudah puluhan yang menemui nasib seperti ini. Tak seorangpun yang bisa menolong...”
“Dedemit Karang Gontor! Bukan main...” geleng-geleng kepala pendekar 212. “Ingin  aku  melihat  bagaimana  tampangnya.  Bagaimana  dia  mencelakai korbannyaseperti ini...”
“Anak  muda!”  ujar  Ki  Dukun  Japara  dengan  kedua  mata  yang juling mengawasi Wiro mulaidari kepala sampai ke kaki. “Jangan bicara takabur! Sekali Dedemit Karang Gontor mendengarnya, nyawamu tak ketolongan lagi!”
Wiro  hanya  tersenyum  kecil  mendengar  kata-kata  orang  tua  bermata juling itu laludia berpaling pada Juminto dan berkata: “Menurutku, istrimu bukan dicekikataudisedot Dedemit, setan ataupun jingandaruwo! Istrimu keracunan!”
Juminto terkesiap  kaget  sedang  Ki  Dukun Japara tampak  berubah  air mukanya.
“Bagaimana  kau  bisa  tahu?!”  tanya  Juminto.  Dia  memandang  pada istrinya yang  masih  melejang-lejang, tapi  saat demi  saat  lejangan tubuhnya semakin perlahan.

“Aku memang tidak tahu bagaimana dia keracunan. Tapi dari wajahnya yang membiru sampai ke leher, terutama pada bagian bibir dan ujung-ujung telinga, aku dapat menduga istridananakmu initelah keracunan.”
“Anak muda, siapa kau sebenarnya? Sikapmu bicara seolah-olah sebagai orang yang mengetahuiseluk beluk ilmu pengobatan!”
“Namaku Wiro Sableng...”
“Wiro... Sableng?!” ujar Ki Dukun Japara. “Kemunculanmu yang tiba-tiba begitu aneh. Sikap dan bicaramu juga aneh. Dan kini namamu juga ternyata aneh. Wiro Sableng, coba terangkan dari mana kau datang? Apa kau tinggal di sekitarsini?”
“Aku datang dari Gunung Gede...”
“Ah, kalau kau cuma seorang pemuda gunung di udik sana, mana ada kemampuan  untuk  mengobati  istriku!”  kata  Juminto  pula   penuh  jengkel sementara Ki Dukun Japara menyeringai. Lalu orang tua ini berkata: “Tinggalkan kami berdua. Biar istri orang ini meninggal dengantenang...”
Wiro memandang pada Juminto. “Waktunya tidak lama lagi, saudara. Jika istrimu tidak segera ditolong maka dia benar-benar akan menemui kematian. Dan kau akan kehilangandua orang yang sangat kau kasihi...”
“Anak  muda,  kau  seperti  orang  hendak  memaksakan  kehendak.  Kami tidakmemerlukan pertolonganmu!” kata Ki Dukun Japara pula.
“Tidak   ada   yang   memaksa,   orang   tua.   Aku   menduga-duga   kau sebenarnya mengetahui apa yang dialami perempuan ini. Tapi sengaja memberi keterangan yang salah...”
“Eh! Apa maksudmu dengan ucapanmu itu!” bentak Ki Dukun Japara lalu melangkah mendekati Wiro dan berkacak pinggang dihadapan pemuda ini.
“Kau seorang dukun. Jadi kurasa kautahu kalau istri orang ini keracunan, bukandicekik segala macam Dedemit!”
Setelah berkata begitu Wiro memutar tubuh dan melangkah menuju ke tangga. Sesaat Juminto tampakbingung.
“Jangan percaya pemuda tak dikenal itu Juminto! Suratan Tuhan berlaku atas  dirimu  hari  ini.  Kau  harus  merelakan  kepergian  anak  dan  istrimu...” terdengar Ki Dukun Japara berkata.
Juminto anggukkan kepalanya. Tapi tiba-tiba dia berpaling dan berseru: “Saudara! Jika kau memang mampu mengobati istriku, tolonglah!”
Wiro  yang  berada  dipertengahan  tangga,  hentikan  langkahnya  lalu menjawab: “Aku tidak punya kemampuan apa-apa, saudara. Semua Tuhan yang punya kuasadan menentukan!”
Lalu  Pendekar  212  naik  keatas  rumah  punggung  kembali.  Langsung berlutut disamping tubuh istri Juminto Dengan jari-jari tangannya dia melakukan totokan  pada  pangkal  leher  dan  pertengahan  dada  perempuan  itu.  Gerakan melejang-lejang  perempuan  itu  serta  merta  berhenti.  Kedua  matanya  masih membeliak, tapi suara erangan dari mulutnya tak terdengar lagi.
“Mati!” teriak  Ki  Dukun  Japara. “Juminto!  Apa  kataku!  Istrimu  malah dibikinnya mati lebih cepat!”


“Bangsat  kurang  ajar!  Penipu  keparat!”teriak  Juminto  marah  karena mengira apa yang dikatakan Ki Dukun itu benar. Kaki kanannya langsung diten- dangkannya ke punggung Wiro. Namun setengah jalan dia merasa seperti ada angin  yang  menyambar.  Kakinya  yang  menendang  terasa  tiba-tiba  menjadi seberat batu besar dan mau tak mau kaki itu terhenyak turun kelantai bambu!
Ki  Dukun  Japara  tidak  tahu  pasti  apa  yang  terjadi  dengan  Juminto. Sementara itu dilihatnya pemuda bernama Wiro Sableng itu menekankan telapak tangan  kanannya  pelan-pelan  diatas  perut  istri  Juminto.  Lalu  tekanan  itu mendadak disentakkan menjadi keras sekali. Tubuh istri Juminto seperti hendak terlipat. Saat itu terdengar suara menggeru keluar dari perut nya seperti cacing- cacing gelang dalam ususnya Begitu suara di perut lenyap, kini berganti suara menggeru seperti orang muntah.
Dari mulut perempuan itu menyembur cairan berwarna biru kehitaman dan  sangat  kental.  Bersamaan  dengan  itu  kedua  matanya  yang  tadi  terus menerus membeliak, kinitampak menjadi kuyu dan kelopaknya mengendur.
Wiro   membalikkan  tubuh  istri  Juminto   hingga  perempuan  itu   kini menelungkup. Karena keadaan tubuh serta kepalanya yang menelungkup seperti itu, semakin banyak cairan biru kehitaman mengucur keluardari mulutnya.
Pendekar  212  garuk  kepalanya,  mengusap  peluh  yang  mengucur  di keningnya lalu bangkit berdiri.
“Saudara...Istrimu tertolong. Kalau dia siuman nanti minumkan perasan airdaun sirih...”
Penuh  rasa  tidak  percaya  Juminto  berlutut  disamping  istrinya,  usapi pundak dan kening perempuan itu. Lalu dengari mata berkaca-kaca dia berkata: “Saudara, bagaimana aku harus mengucapkanterima kasih...”
Wiro  tersenyum.  Dia  tundingkan  jari  telunjuknya  ke  atas.  “Jangan berterima kasih padaku. Ucapkan pujisyukur pada Dia yang diatas sana...”
Juminto mengganguk.
“Satu pesanku, saudara. Dan juga berlaku untukmu Ki Dukun. Sebarkan pemberitahuan kepada seluruh penduduk. Di daerah ini tak ada dedemit yang marah,  tak  ada  dedemit  yang  mencekik  dan  menyedot  nyawa  manusia. Barangkali ada wabah penyakit berbahaya berjangkit disini, tetapi kecil sekali kemungkinannya. Yang kulihat kenyataannya adalah anak dan istrimu keracunan sesuatu yang sangat ganas. Mungkin racun belirang, mungkin juga racun daun beludru atau sejenis jelaga renggutjiwo. Karena itu semua orang harus berhati- hati memakan makanandan meminum air...”
“Anak muda!” tiba-tiba Ki Dukun Japara memotong. Meskipun kau mampu menolong istri Juminto, tapi aku tidak suka kau bertindak lebih jauh. Menyuruh penduduk agar tidak percaya pada bencana yang disebabkan Dedemit Karang Gontor. Malah menyuruh Juminto untuk menyebar luaskan kabar adanya bahaya racun ganas. Kau hendak membuat penduduk tambah gelisah dan ketakutan? Saat ini saja sudah ratusan penduduk yang meninggalkan tempat kediamannya. Mengungsi ke tempat lain, menghindarkan bencana Dedemit karang Gontor...!

“Ki Dukun... Dedemit yang kau katakan itu, dimanakah sarangnya. Biar kudatangi agar dapat kulihat rupanya!” sahut Pendekar 212 pula mulaijengkel.
“Manusia takabur! Kuharap Dedemit Karang Gontor mendengar ucapanmu tadi. Dan tunggulah nasibcelaka yang bakal menimpamu...”
Baru  saja  Ki  Dukun  Japara  berkata  begitu  tiba-tiba  di  bawah  sana terdengar suara hiruk pikuk dan teriakan-teriakan disertai derap kaki-kaki kuda dangemuruh roda-roda kereta serta gerobak.
Wiro   berpaling,   melangkah  cepat   ke  tangga   rumah   panggung.dan memandang ke bawah. Hampir tak percaya dia apa yang dilihatnya. Belasan gerobak  dan  bendi  tanpa  atap  berhenti  di  pekarangan  rumah  panggung. Kendaraan-kendaraan itu dipenuhi oleh sosok tubuh yang bergeletakan malang melintang. Ada orang tua, ada lelaki dan perempuan baya sedang anak-anak hampir tak terhitung jumlahnya. Wajah dan bibir mereka sangat biru. Banyak yang  bergeletakan  tanpa  bergerak,  entah  pingsan  entah  sudah  mati.  Yang mengerang terdengar hampirdari semua jurusan.
Orang-orang  yang  mengemudikan  gerobak  dan  bendi  itu  berteriak memanggil-manggil Ki Dukun Japara. Banyak diantara mereka yang menyertai rombongan itu dengan berkuda sudah melompat turun lalu menggendong satu demi satu orang-orang yang berada dalam keadaan sekarat itu seraya berseru: Ki Dukun...Tolong...Selamatkan orang-orang ini!”
Wiro melompati anak tangga. Begitu turun di tanah dia bertanya pada orang terdekat: “Apa yang terjadi?!”
“Dedemit  Karang Gontor  menjatuhkan  bencana di desa  kami!  Puluhan orang dicekikdandisedot hingga matang biru!”
“Hai! Minggirlah! Jangan menghalangi! Jangan ngobrol! Lebih baik bantu kami menurunkan orang-orang yang kena bencana itu!” seseorang berteriak.
“Ki Dukun... Ki Dukun Japara! Apa kau ada di rumah?!” terdengar lain orang berteriakmemanggil.
Lalu ada suara perempuan dan anak-anak menggerung menangis ketika mengetahui suami dan ayah mereka ternyata telah menghembuskan nafas. Mau tak mau untuk sesaat Pendekar 212 |adi terkesima menyaksikan pemandangan yang terjadidi hadapannya.
“Satu desa keracunan begini! Gila! Ada sesuatu yang tidak beres...” ujar Wiro.  Lalu  dia  meiompat  menghadang  orang  pertama yang  hendak  menaiki tanggasambil mendukung dua orang anakkeoisekaligus.
“Bangsat! Jangan menghalangi jalan!” teriak lelaki yang mendukung dua anak.
“Tak ada guna  mencari  Ki  Dukun Japara.  Dia tidak mampu  menolong  kalian!  Lekas  baringkan  semua  korban  di  tanah.  Cari  daun  sirih  sebanyak-  banyaknya. Aku akan menolong kalian semampunya! berteriak Wiro Sableng.  Lalu dalam hati dia mengeluh: “Celaka, begini banyak yang harus kutolong Ya  Tuhan, malapetaka apa sebenarnya yang terjadi ini? Mengapa  begini banyak orang                                        yang                                        keracunan...?!”

KERATON  BARAT.  Hari  itu,  pagi-pagi  sekali  Raden  Mas  Singaranu  telah menghadap Sri  Baginda  Raja yang sengaja  menerimanya di taman  belakang Keraton karena ada masalah sangat penting yang perludilaporkannya.
Patih  tua  berkumis  dan  berjanggut  putih  ini  membuka  pembicaraan dengan berkata: “Keadaan dibeberapa desa di pinggiran Kotaraja semakin tidak karuan Sri  Baginda.  Puluhan  bahkan  ratusan  penduduk  menemui ajal secara mengenaskan. Mereka mati dalam cara yang sama yaitu kejang-kejang, muka dan  bibir   membiru.  Sesuai  petunjuk  Sri   Baginda  orang-orang   kita  telah melakukan penyelidikan. Tapi hasil yang dicapai masih sangatsedikit. Sementara korban  yang  berjatuhan  semakin  banyak.  Beberapa  kampung  malah  telah lengang  karena  ditinggalkan  penghuninya.  Mereka  berada  dalam  keadaan gelisah dan ketakutan. Hal ini memudahkan masuknya segala macam hasutan yang selama ini ditiup-tiupkan oleh Karaton di Timur. Dan celakanya, penduduk yang mengungsi itu kebanyakan justru pergi ke timur...”
“Apakah  sudah  diketahui  sebab  musabab  rakyat  mati  dengan  tubuh kejang dan muka membiru itu, Paman Patih...?” bertanya Sri Baginda.
“Ada berbagai petunjuk. Namun semuanya harus diselidiki lebih jauh. Ada petunjuk yang menyatakan bahwa apa yang dialami penduduk adalah akibat penyakit menular yang sangat berbahaya. Setelah diselidiki pendapat itu tidak betul. Lalu saya sudah memerintahkan orang-orang kita melakukan penyelidikan ke  Karang Gontor. Saya  bahkan  mengirimkan dua orang tokoh silat  Keraton kesana...”
“Karang  Gontor?”  mengulang  Sri  Baginda. “Apa  perlunya  penyelidikan dilakukanditempat di pantai selatan itu?”
“Sebagian besar rakyat saat ini mempercayai kalau kematian itu berasal dari kemurkaan Dedemit penghuni Karang Gontor...”
“Kepercayaan gila!” teriak Sri Baginda. “Bagaimana mereka bisa bersikap seperti itu?!”
Patih Raden Mas Singaranuterdiamtakbisa menjawab.
“Aku yakin ada yang segaja menebarkan berita kosong itu. Karang Gontor memang tempatangker.
Tapi selama ini belum pernahada Dedemit yang murka...”
“Saya sependapat dengan Sri Baginda. Hanya saja ditengah kepercayaan sesat itu, rakyat dicekoki pula dengan hasutan orang-orang Keraton Timur yang mengatakan bahwa  melapetaka itu adalah akibat ingkar janjinya Sri  Baginda untuk menyerahkan kekuasaan pada Gusti Bandoro Pangeran Harjokusumo...”
“Hasutan  busuk!  Fitnah jahat!  Cerita  sesat!”  ujar  Sri  Baginda  dengan rahang menggembung. “Kau sendiri tahu Paman Singaranu! Cerita bahwa Raja Tua pernah mengatakan aku harus turun tahta dan menyerahkan kekuasaan pada adikku  Harjokusumo  itu jika aku sudah  berusia enam  puluh tahun tak

pernah  ada.  Isapan  jempol  yang  dibuat-buat  saja!  Berapa  lama  umurnya manusia? Aku takmungkin akan memerintah sampai usiaseratustahun!”
“Mungkin sekali adik Sri Baginda Pangeran Harjokusumo itu tidak sabar menunggu datangnya giliran jadi raja. Mungkin juga saat ini kurang puas kalau hanya menjadi Raja Kecil di Keraton Timur yang dianggap masih berada dibawah kekuasaandan kewenangan Keraton Barat...
“Mungkin sekali begitu. Tapi bukankah adikku itu masih sangat muda? Dia bisa menunggu dan sementara itu banyak belajar dari pada para sesepuh Keraton. Tentang ilmu peperangan, ilmu sastra, ilmu agama, ilmu kebatinan dan kesaktian serta ilmu persilatan.
Jika  dia  menimba  ilmu  sebanyak-banyaknya  saat  ini  maka  kelak  tiba saatnya dia dinobatkan menjadi Raja sebagai penggantiku. dia benar-benar akan menjadi seorang Raja yang matang, arif bijaksana, memiliki ilmu dunia dan ilmu akhirat!”
Raden Mas Singaranu merenung sejenak. Lalu berkata: Jalan pikiran Sri Baginda  mungkin tidak  sama  dengan yang  dipunyai  Pangeran  Harjokusumo. Saya rasa dia mempunyai kekawatiran dengan lahirnya putera Sri Baginda...”
Sri  Baginda  geleng-geleng  kepala.  “Adikku  itu  terlalu  picik.  Puteraku Kanjeng  Gusti  Pangeran  Haryo  belum  berusia  empat  puluh  hari.  Apa  yang ditakutkannya? Bukankah tatakrama Keraton kita menjamin haknya sebagai Raja sampai puteraku itu berusia dua puluh satu tahun? Jangan jangan adikku itu mulai punya pikiran macam-macam keserakahan, gila kekuasaan...”
“Bukan  itu  saja  Sri  Baginda...  Mata-mata  kita  pernah  melihat  bahwa balatentara  Keraton  Timur  pernah  mendapat  petunjuk  dan  latihan  perang- perangan dan sekelompok orang-orang seberang laut yang datang satu kapal penuh...”
Paras Sri Baginda langsung berubah. “Kalau begitu jangan-jangan Keraton Timur  tengah  menyiapkan  satu  pemberontakan.  Menyiapkan  makar  untuk merebut tahta Kerajaan secara kekerasan...!
“Itu yang saya dan  Kepala  Balatentara  Raden  Mas Janggolo dugakan. Karena itu pula Janggolotelah memperkuat penjagaandi perbatasan...”
“Paman Patih, aku mengharap agar malapetaka yang menimpa rakyat kita cepat  disingkapkan  sebab  musababnya.  Itu  tugasmu  paling  utama  karena kekuatan kita bersumber pada rakyat. Kalau rakyat kacau, Kerajaan akan ikut kacau  dan  kaum  penyusup,  mereka  yang  tidak  senang  akan  mengambil keuntungan.  Tugas  kedua  awasi  dengan  ketat  gerak  gerik  orang-orang  di Keraton Timur. Kalau perlu selinap-kan seorang atau beberapa orang mata-mata langsung ke dalam Keraton!”
“Tugas akan saya jalankan Sri Baginda.” Raden Mas Singaranu bangkit dari bangkutaman yang didudukinya, membungkuk dalam-dalam lalu tinggalkan tempat itu.

KERATON TIMUR.
Tumenggung Jalak  Karso  membungkuk dalam-dalam di  hadapan Gusti

Bandoro  Pangeran Harjokusumo  lalu berkata: “Ada  kabar penting yang perlu saya beritahukan pada Sri Baginda.”
Pangeran Harjokusumo lalu memberi isyarat pada permaisuri yang duduk disampingnya agar  masuk  ke  ruangan  dalam.  Setelah  hanya tinggal  mereka berduasajaditempat itu maka sang Tumenggung baru membuka mulut.
“Rakyat di Barat berada dalam keadaan gelisah ketakutan. Ratusan orang menemui ajal secara aneh. Muka dan bibir biru, mata mendelik dantubuh kejang kaku.  Mereka  mempercayai  bahwa  itu  adalah  akibat  kemurkaan  Dedemit penghuni Karang Gontor. Banyak pengungsi yang terpaksa ditampung di desa- desasekitar perbatasan...”
Pangeran Harjokusumo, Raja Kecil di Keraton wilayah Timur termenung sesaat lalu berucap: “Ya...apa yang harus kukatakan. Kakakku yang berkuasa di Barat tidakbaik hubungannya dengan kita disini. Aku cuma bisa merasa kasihan. Mungkin apa yang terjadi disana merupakan satu kutukan atas keingkarannya terhadap pesan Raja Tua.” Sang Raja diam sejenak lalu bertanya: “Apa keluarga Keraton ada yang turut menjadi korban?”
“Sebegitu  jauh  dari  beberapa  keluarga  abdi  dalem  telah  ikut  jadi korban...” menerangkan Jalak Karso.
Tumenggung, walau kita prihatin atas apa yang terjadi di Barat, namun itu adalah urusan orang-orang disana. Mereka punya Raja yang tentunya akan bertindak melakukan sesuatu Kita di Timur ini harus selalu waspada. Pasukan disekitar  perbatasan  harus  lebih  meningkatkan  penjagaan.  Mengenai  para pengungsi biarkan mereka masuk dan menetap di wilayah  kita. Tapi mereka harus  tunduk  pada  peraturan  dan  perintah  kita.  Kelak jika  tenaga  mereka diperlukan untuk diambil sebagai prajurit, mereka harus siap tempur. Kalau tidak sebaiknya pagi-pagi mereka diusir masukkembali ke Barat...’
Saya  mengerti  Sri  Baginda.  Saya  akan  meneruskan  perintah  ini  pada seluruh jajaran pasukan kataTumenggung Jalak Karso.
Bagaimana dengan latihan ketentaraan?Apakah ada kemajuan.-?
Banyak  sekali  Sri  Baginda  Daium  waktu  satu  bulan  dimuka  segala sesuatunya akan rampung dan para pelatih itu bisa meninggalkan kita...”
Satu bulan terlalu lama Tumenggung. Sesuatu bisa terjadi secara cepat. Apalagi saat ini seperti yanq kau laporkan tengah terjadi kekacauan di kalangan penduduk  wilayah  Baiat  Katakan  pada  pucuk  pimpinan  pelatih  agar jadwal latihandapatdiselesaidalam waktutiga minggu dimuka
“Akan  saya  sampaikan  Sri  Baginda.”  Lalu  Tumenggung  Jalak  Karso menjura dalam-dalamdan berlalu dari hadapan Pangeran Harjokusumo.

RUMAH PANGGUNG Ki Dukun Japara nampak gelap gulita. Di kolong rumah mendekam sosok tubuh hampir tak bergerak. Sikapnya seperti orang bersamadi. Namun ternyata  sosok  ini sengaja  duduk tak  bergerak di atas  sebuah  kayu potongan batang pohon. Dia  bukan lain adalah Ki Dukun Japara sendiri. Dia tengah menunggu kedatangan seseorang.
Malam  berlalu  dengan  cepat.  Dingin  dan  sunyi.  Dikejauhan  terdengar salak anjing. Sejak beberapa hari belakangan ini tak ada lagi penduduk yang datang  untuk  minta  pertolongan  karena  memang semua  penghuni desa dan kampung  sekitar  situ  sudah  meninggalkan  tempat  kediaman  masing-masing tanpa dapat dicegah. Kematian aneh yang berturut-turut dialami oleh keluarga mereka membuat penduduk menjadi sangat takut untuk menetap lebih lama. Lagi  pula  sebagian  besar  penduduk  disitu  sudah  mengetahui  bahwa  dalam menghadapi malapetaka kematian aneh itu Ki Dukun tidak mampu memberikan pertolongan.
Di kejauhan kembali terdengar salakan anjing. Sunyi kembali. Lalu lapat- lapat terdengar suara derap kaki kuda. Makin lama makin keras tanda makin dekat.  Tak  lama  kemudian  sosok  kuda  bersama  penunggangnya  muncul memasuki pekarangan rumah Ki  Dukun Japara. Orang tua bermata juling ini cepat bangkit berdiri dan menyongsong kedatangan si penunggang kuda, yang saat itu telah berhenti sejarak sepuluh langkah dibawah bayang-bayang gelap pohon besardisamping rumah panggung.
“Saya menunggu petunjukmu lebih lanjut, Ki Sanak...” berkata Ki Dukun Japara begitu sampai di hadapan si penunggang kuda yang berpakaian serba hitam dan ternyata menutup kepalanya dengan sehelai kain hitam hingga hanya sepasang matanyasaja yang kelihatan.
“Apakah kau menjalankan tugasmu dengan baik Ki Dukun Japara?” Orang diatas kuda bertanyadengan suara datar.
“Sesuai permintaan Ki Sanak tempo hari, semua sudah saya lakukan...”
“Berapa korban yang kau dapat...?”
“Keseluruhannya seharusnya dua ratus sembilan belas orang. Namun tiga puluh dua orang diselamatkandandapat hidup kembali...”
Sepasang mata penunggang kuda nampak membeliak. “Apa maksudmu tiga puluh orang diselamatkan dan hidup kembali?!” Suara orang yang wajahnya tidakkelihatan itu menyentak dan berubah galak.
“Sesuatu terjadi empat malam lalu,” menerangkan Ki Dukun Japara. “Ada sekitar  lima  lusin  penduduk datang  kemari  untuk  minta  pertolongan. Seperti petunjukmu, saya mengatakan tak bisa menolong karena ini adalah perbuatan Dedemit  Karang  Gontor  yang  tengah  murka.  Namun  saat  itu  tiba-tiba  saja muncul seorang pemuda tak dikenal yang mampu menolong lebih dari separoh korban yang berdatangan kemari...”

“Siapa adanya pemuda itu?!”
“Saya tidak mengenal sebelumnya. Dia mengaku orang gunung. Bernama Wiro Sableng...”
“Kau  melakukan  kesalahan  besar  Ki  Dukun...!”  Orang  di  atas  kuda mendengus.
“Ke...kesalahan apa yang saya buat Ki Sanak?” tanya Ki Dukun Japara dengan suara tercekat.
“Mengapa kau biarkan orang itu memberikan pertolongan?!”
“Saya sudah berusaha mencegahnya Ki Sanak, namun dia bertindak cepat sekali. Dan celakanya keluarga para korban ikut membantu...”
“Jelaskan bagaimana caranya pemuda itu memberikan pertolongan? Apa dia membawa obatatau apa...?”
“Mula-mula dia  menotok tubuh  para  korban di  beberapa  bagian.  Lalu menekan bagian perut hingga korban siuman dan memuntahkan ludah hitam pekat. Setelah itudia memberikanair perasan daun sirih...!”
“Menotok! Memberi minuman air sirih! Dan kau diamkan saja melakukan itu!”
“Saya  mencegahnya  Ki Sanak. Tapi tak  berhasil.  Lagi  pula saat  itu  si pemuda tampaknya mulai curiga pada saya. Dia banyak bertanya pada orang- orang yang ditolongnya. Dan dia mengatakan bahwa apa yang dialami orang- orang  itu  bukan  karena  dicekik  atau  disedot  dedemit,  melainkan  karena keracunan!”
“Ki Dukun Japara...” Suara orang diatas kuda bergetar menahan amarah. “Kau harus mencari pemuda itudan membunuhnya! Kau harus melakukan hal itu dalam waktu tujuh hari! Kalau tidak lidahmu terpaksa kucabut agar kau tidak bisa membuka mulut! Itu yang paling ringan hukuman bagimu. Jangan kira aku tidak mau menebas batang lehermu!”
“Ki Dukun Japara tertunduk dan lututnyaterasagoyah.
“Apakah   kau   telah   mendapatkan   para   pembantu   seperti   yang kuperintahkan tempo hari...?” Orang diatas kuda bertanya.
“Sudah Ki Sanak, Saya mendapatkan tiga orang. Mereka telah menyebar kemana-mana...”
“Tiga orang masih kurang. Paling tidak kau harus mendapatkan sepuluh orang. Dan masing-masing satu dari sepuluh itu harus mendapatkan lagi paling tidaklima pembantu! Kau mengerti Ki Dukun Japara?!”
“Saya mengerti Ki Sanak...” jawab orang tua bermata juling itu.
Dari  kantong  besar  di  pelana  kudanya  orang  berpakaian  serba  hitam mengeluarkan sebuah  kantong  kain yang tampak  berat  lalu  melemparkan di depan kaki Ki Dukun Japara.
“Itu bekal tugasmu yang baru. Bagikan pada semua pembantumu. Mulai saat ini gerakan kalian bukan hanya di pinggiran Kotaraja, bukan cuma di desa- desa atau di kampung-kampung, tapi harus menyusup ke dalam Kotaraja. Dan jika kau mampu masuk ke dalam Keraton di Barat, imbalan bagimu akan kulipat gandakan sampai lima kali!”

Ki Dukun Japara tak berani menjawab karena dia tahu adalah mustahil baginya menyusup ke dalam Keraton melakukan apa yang diinginkan orang itu.
Dari balik pakaiannya si penunggang kuda mengeluarkan sebuah kantong kecil yang ketika dipegang terdengar mengeluarkan suara berdering.
“Karena telah  membuat  kesalahan, imbalanmu  kali ini hanya sepertiga dari yang dijanjikan. Itu masih lebih baik dari pada kau menerima hukuman!”
Kantong kain kecil berisi uang itu dilemparkan ke muka Ki Dukun Japara. Karena  tak  berani   menyambuti,  kantong,   itu  jatuh   ke  tanah.   Ketika  si penunggang  kuda  hendak  berlalu,  Ki  Dukun Japara  beranikan  diri  membuka mulut.
“Ki Sanak, aku mengulangi lagi pertanyaanku tempo hari. Siapakah kau ini sebenarnya...?!”
“Ki Dukun Japara, jika aku datang sekali lagi dan kau berani mengulangi pertanyaan itu kembali, maka hanya ada satu hukuman bagimu. Mampus!”
Habis  berkata  begitu  orang  berpakaian  serba  hitam  yang  wajahnya tersembunyi   dibalik   kain   hentakkan   Tali   kekang   kudanya.   Binatang   itu menghambur ke depan, menyerempet  Ki Dukun Japara hingga orang tua itu terpelanting  dan  jatuh  jungkir  balik  di  tanah.  Ketika  dengan  kesaktian  dia berusaha  bangkit si  penunggang  kuda sudah  lenyap. Tertatih-tatih  Ki  Dukun Japara  mengambil  kantong  besar  dan  kantong  kecil  berisi  uang.  Sesaat  dia tertegak diam. Lalu kantong uang dimasukkannya ke balik pinggang pakaian. Dengan  tangan  gemetar  dia  kemudian  membuka  ikatan  kantong  kain  yang besar. Meskipun halaman itu gelap namun benda yang ada di dalam kantong, berupa bdbuk putih kelabu nampak berkilauan.
“Bubuk racun celaka...” desis Ki Dukun Japara.
“Ah, mengapa akujadi terlibat dalam urusan jahanam ini...” Dia menghela nafas  panjang  berulang  kali.  Namun disadarinya tak ada gunanya  menyesal. Ratusan   rakyat   yang   tidak   berdosa   telah   jadi   korbannya   dan   para pembantunya!..

ANGIN LAUT SELATAN bertiup kencang dari arah teluk. Menerpa ke daratan, melewati  pucuk-pucuk  pepohonan  kelapa  lalu  menghantam  bukit  batu  yang menghitam angker dalam  kegelapan  malam.  Di atas  bukit  batu  paling tinggi tampak  sebuah  batu  karang  besar.  Selama  ratusan  bahkan  mungkin  ribuan tahun batu karang itu tegak menjulang di tempat tersebut, dikikis angin setiap saat, diterpa panas pada siang hari, dihantam hujan, sehingga akhirnya secara aneh  alam  membentuk  batu  karang  itu  menyerupai  seorang  lelaki  memakai caping dan duduk menghadap ke laut.
Ombak di teluk selalu besar dan deras sepanjang tahun. Itu sebabnya tak kelihatan sebuahpun rumah penduduk disitu. Bagian teluk yang hanya dipenuhi oleh bebukitan batu itu  membuat hampir tak ada orang yang datang kesitu. Bukan saja karena memang sulit untuk mendaki bukit batu tersebut, namun juga disebabkan oleh tersiarnya cerita bahwa daerah tersebut adalah tempat bercokol atau sarangnya dedemit.  Penduduk menyebut bukit itu dengan nama Karang Gontor dan dengan sendirinya dedemit yang menghuninya disebut juga Dedemit Karang Gontor.
Walau  tadi  dikatakan  Karang  Gontor  hampir  tak  pernah  didatangi manusia, namun adalah satu keluar kebiasaan kalau hari Kamis malam Jum’at Kliwon itu tampak dua penunggang kuda melesat diatas kuda masing-masing menuju kaki bukit. Disalah satu bagian bukit mereka meninggalkan tunggangan mereka lalu meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Dan arah yang mereka tuju adalah justru puncak bukit tertinggi. Puncak Karang Gontor!
Melihat pada cara mereka mendaki bukit batu yang setengah berlari,jelas kedua orang itu memiliki ilmu lari serta ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Ketika  bulan  di  langit  muncul  dibalik  awan  kelabu,  wajah  kedua  orang  itu kelihatan lebih jelas. Ternyata mereka adalah dua orang tua lanjut usia yang telah sama-sama berambut putih.
Yang satu memakai pakaian ringkas berwarna biru muda. Satunya lagi biru gelap dan membawa sebuah bungkusan. Ketika kembali rembulan disaput awan dan keadaan di Seantero bukit batu menjadi gelap. Dua orang tua itu mempercepat lari masing-masing hingga tak berapa lama kemudian keduanya sampaidi puncak bukit batu dimanaterdapat batu karang tinggi besar berbentuk orang duduk  memakai caping. Terpaan angin  keras sekali dan dingin  bukan main. Tapi dua orang tua itu tenang-tenang saja. Pakaian dan rambut putih mereka tampak berkibar-kibar. Untuk beberapa lamanya mereka memandangi batu karang besar didepan mereka. Lalu memandang berkeliling.
Orang tua di sebelah kanan, yang berpakaian biru muda memandang ke arah teluk. Laut tampak hitam dalam kegelapan. Ombak besar mendebur keras diatas  pasir  teluk.  Orang  tua  ini  berpaling  pada  kawan  disampingnya  lalu

bertanya: “Bagaimana, bisa kita mulai...?
“Sebaiknya kita mulaisaja. Agar cepat selesaidan kembali ke Kotaraja...”
“Terus terang aku menyangsikanadanya mahluk halus yang mendekam di sini.  Kalau  bukan  Sri  Baginda yang  memerintahkan, jangan  harap  aku  mau melaksanakannya!”
“Apa  yang  kau  katakan juga  merupakan  pendapatku,  Suro  Markum,” menyahuti kakek satunya. Lalu orang tua berpakaian biru gelap ini membuka  bungkusan yang dibawanya. Isinya ternyata sebuah pendupaan lengkap dengan  arangnya.  Pendupaan  itu diletakkannya di atas  batu, tepat di  hadapan  batu  karang besar tinggi. Lalu dibantu oleh kawannya, dengan susah payah dia mulai  menyalakan arang di dalam potong arang dapat dibakar hidup. Potongan arang  yang telah hidup merembet membakar potongan-potongan arang lainnya hingga  kesudahannyaseluruh arang dalam pendupaan itu menyalaterang.
Dari   dalam   saku   pakaiannya   orang   tua   bernama   Suro   Markum mengeluarkan  sebongkah  kemenyan.  Benda  ini  diremasnya  hingga  menjadi kepingan-kepingan kecil lalu dengan mulut komat kamit membacakan sesuatu, hancuran kemenyan ituditebarkannya diatas bara yang menyala. Sekejapan saja Seantero  puncak  Karang  Gontor  itu  telah  tenggelam  dalam  bau  kemenyan hingga suasana ditempat itu menjaditerasa sangatangker.
Orang tua bernama Suro Markum berbisik pada kawannya “Tapak Jingga, kau membaca doa pertamadan ketiga, aku doa kedua dan keempat.
Lalu-kita sama-sama mengakhiridengandoa kelima...”
Orang tua bernama Tapak Jingga mengangguk. Lalu dua orang itu duduk bersila di atas batu, letakkan tangan diatas ujung lutut dengan tapak membuka menghadap ke atas. Masing-masing sama memejamkan mata dan Tapak Jingga mulai melaratkandoa pertama.
Selesai doa kelima yang dibacakan bersama-sama Suro Markum angkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas dan mulutnya menyerukan kalimat demi kalimat.
“Penghuni Karang Gontor...Siapapun engkau adanya,  mahluk gaib atau mahluk halus, kami berdua Suro Markum dan Tapak Jingga datang membawa salam persahabatan. Jika kau memang mahluk yang disebut Dedemit Karang Gontor maka ketahuilah, kedatangan kami kemari bukan untuk mengganggumu. Kami  diutus  oleh  Sri  Baginda  Raja  untuk  menyampaikan  pesan,  agar  kau Dedemit Karang Gontor sudilah untuk tidak lagi mengganggu rakyat Kerajaan. Jika selama ini ada hal-hal yang tidak berkenaan dan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan, kami mohon maafmu. Kami datang membawa kembang tujuh rupa, telur ayam tujuh butir, madutujuh mangkuk dan rokok putih tujuh batang.
Lalu dari bungkusan yang tadi dibawa Tapak Jingga dikeluarkan benda- benda yang disebutkan itu, diletakkan diatas daun beralaskan kain putih dan dikembangkan  di  atas  batu.  Suro  Markum  memberi  isyarat  pada  kawannya. Tapak Jingga lalu mengangkat tangan dan meneruskan kata-kata Suro Markum tadi.
“Dedemit Karang Gontor, Raja kami percaya bahwa kau adalah sahabat

Sri Baginda dan Kerajaan. Kami semua percaya kautidak akan mengganggu lagi rakyat.   Kerajaan   dengan   kematian-kematian   aneh   itu.   Kami   minta   diri sekarang...”
ketika kedua orang tua itu bersiap-siap untuk bangkit, tiba-tiba ada suara menderu disertai sesuatu yang melesat ke arah pendupaan. Lalu wuuuuusss! Bara menyaladiatas pendupaan padam dan asap mengepul!
“Ada yang menyiramkan air...!” bisik Tapak Jingga dengan suara kelu. Baik dia maupun kawannya menjadi sama-sama pucatsaking kagetnya.
“Cerita tentang  Dedemit  Karang Gontor ternyata  bukan  isapan jempol belaka...Mahluk itu benar-benarada!” balas berbisik Suro Markum.
Tengkuk kedua orang tua ituserta merta menjadidingin!
Saat itulah terdengar suara tawa mengekeh dari balik batu karang tinggi besar. Bukan suara tawa mengekeh biasa, karena jelas  bukit batu itu terasa bergetar! Makin pucatlah wajah kedua orang tua utusan Sri Baginda itu. Tapak Jingga seperti hendak terkencingdi celananya!
“Dedemit  Karang Gontor...Rupanya...rupanya  kau ada disini.  Kau tentu telah mendengar kata-kata kami tadi. Kami datang sebagaisahabat...” berkata
Suro Markum.
“Be...  benar...Kami  datang  membawa  salam  persahabatan  dari  Sri Baginda...” menimpaliTapak Jingga.
Tawa mengekeh dari balik batu karang besar semakin keras.-Makin keras lalu  tiba-tiba  lenyap.  “Berganti  dengan  suara  membentak  yang  membahana diantara deru angihdariteluk.
“Dua tua bangkatolol! Sejak kapan Dedemit Karang Gontor doyan makan kembang...!
Tapak Jingga  dan  Suro  Markum  saling  pandang  dengan  muka  pucat. “Lekas kau jawab...” bisikTapak Jingga.
“Dedemit Karang Gontor, harap dimaafkan. Kembang tujuh rupa itu kami bawa memang bukan untuk dimakan”
“Tolol!” terdengar suara memaki dari balik batu. “Lalu telur ayam mentah itu, apa kau kira aku Dedemit Karang Gontor suka makan telur mentah? Kenapa tidakkalian rebus atau goreng lebih dahutusebelumdibawa kemari?! Tolol!”
“Mohon kami dimaafkan Dedemit...” kata Suro Markum ketakutan.
“Tujuh mangkuk madu racun itu buat apa?! Tolol! Kalian kira aku Dedemit Karang Gontor doyan makan madutanpa roti?! Tolol!”
“Maafkan kami Dedemit Karang Gontor...” kiniTapak Jingga yang bicara.
“Rokok putih sebesar lidi itu untuk apa? Untuk mengorektelingaku? Tolol! Kalian  seharusnya  membawa  serutu  besar!  Bukan  rokok  putih  kecil!  Biar kusumpalkantujuh batang rokok itu ke mata kalian!”
“Maafkan  kami  Dedemit  Karang Gontor!” seru Tapak Jingga dan  Suro Markum  berbarengan  seraya  beringsut  mundur.  Masing-masing  sama  alirkan tenaga  dalam  ke  tangan  kiri  kanan.  Jika  mahluk  itu  benar-benar  hendak mencelakai mereka, takada jalan lain. Melawan sebelumdibikin konyol!
“Dua tua bangka tolol” Malam ini aku masih mau mengampunkan tindak-

tanduk kalian. Tapi dengan satu syarat. Kalian telan habis semua persembahan yang kalian bawa itu. Kembang, rokok, madu dan telur! Lakukan cepat! Kalau tidakkalian berduatakakan kembali lagi ke Kotaraja!”
“Celaka kita Suro...” bisikTapak Jingga.
Suro Markum memberanikan diri berkata: “Kami akan lakukan apa yang kau  perintahkan  Dedemit  Karang  Gontor.  Madu dan telur akan  kami  makan habis. Tapi mohon maafmu. Mana mungkin kami menelan rokok dan kembang itu!”
“Kalau begitu biar tubuh kalian berdua yang akan kutelan. Daging kalian pasti sudah alot! Tapi malam malam lapar dan dingin begini lebih baik dari pada makan  angin...” Terdengar  suara  tawa  mengekeh.  Kembali  bukit  karang  itu bergetar.  Lalu terdengar  suara  bergemeletakan  seperti  suara  geraham  yang saling  bergeseran  satu  sama  lain.  Menyusul  suara  menggeram  macam  ada harimau yang hendak menerkam!
“Dedemit Karang Gontor!” pekik Tapak Jingga. “Jangan telan kami...Kami akan lakukan apa yang kau katakan...” Lalu orang tua  ini cepat  menyambar mangkuk madu. Suro Markum mengikuti apa yang dilakukan kawannya. Satu demi  satu  madu dalam  mangkok  mereka  minum. Setelah  habis  mereka  lalu pecahkantujuh butirtelur dantelan isinya. Kini tinggal kembang dan rokok!
Dari  balik batu  karang terdengar suara  keras: “Bagus! Sekarang  lekas telan kembang lalu rokokitu! Berani membangkang kucabik tubuh kalian!”
Karena benar-benar  ketakutan setengah mati Suro Markum dan Tapak Jingga  langsung  meraup  kembang  dan  menyumpalkannya  ke  mulut  masing- masing. Baru sekali mereka mengunyah dari balik batu karang besar terdengar suara tertawa bergelak. Suara tawa kali ini sangat lain dengan suara mengekeh tadi. Suara tawa yang mereka dengar kini adalah suara tawa manusia!
Bersamaan dengan itu dari balik batu karang muncul sesosok tubuh! Suro Markum danTapak Jingga semburkan kembang tujuh rupa yang barusan hendak mereka telan.  Memandang tajam-tajam  kedepan.  Setelah  pasti  sekali  bahwa sosok tubuh yang  melangkah sambil tertawa  ke  hadapan  mereka  itu adalah manusia biasa adanya, maka membentaklah kedua orang tua ini dengan marah. “Bangsat siapa kau?!”


YANG DIBENTAK kembalitertawa bergelak. Sementara Tapak Jingga dan Suro  Markum memandang dengan mata berapi-api. “Seperti yang kalian lihat sendiri!” berkata orang yang muncul dari balik batu karang besar. “Aku manusia biasa  seperti  kalian.  Bukan  mahluk  halus  atau  mahluk  gaib.  Bukan  pula  Dedemit  Karang Gontor yang barusansesajennya kalian lahap! Ha...ha...ha...!”
Sebagai dua orang tokohsilat istana, walaupun dari tingkat ke tiga, bukan saja dua orang tua itu  menjadi sangat  malu,  namun sekaligus juga  menjadi sangat marah karena merasa dipermainkan!
“Anak muda! Kau telah lancang mempermainkan kami! Bersiaplah untuk menerima  pembalasan!” teriak Tapak Jingga.  Lalu  dia  melompat  ke  arah  si pemuda dan menghantam dengan tangan kanannya. Suro Markum tidak tinggal diam. Dia menghambursambil lepaskan satu jotosan!
Dua  serangan  itu  ternyata  bukan  serangan  biasa.  Tapi  yang  bisa membawa risiko kematian. Karena Tapak Jingga menghantam ke arah dada di bagian jantung sedang Suro Markum menggebuk kearah batokkepala!
“Sabar! Tunggu dulu!” berseru si pemuda. Lalu dengan gerakan aneh, seperti orang mabok terhuyung-huyung dia sudah berpindah tempat, menjauh beberapatombak. Dua serangan tadi hanyasempat melabrak tempat kosong!
Inilah ilmu silat “orang gila” ciptaan kakek sakti bernama Tua Gila yang merupakan salah seorang datuk silat di pulau Andalas. Ketika berkelana di pulau itu murid Sinto Gendeng sempat bertemu dengan Tua Gila bahkan menerima beberapa jurus  utama  ilmu  silat “orang gila” tersebut.  Dalam  perkelahian di tempat sempit seperti di puncak bukit karang itu, ilmu silat ini sangat cocok dipakai menghadapi lawan!
Kini kagetlah kedua orang tua itu melihat bagaimana serangan mereka mampu dielakkan lawandengangerakansepertiacuhtakacuh saja!
“Kalian  berdua dengar dulu!” kembali si pemuda berseru. “Jika  kalian berdua memang orang-orang Kerajaan maka kita adalah orang satu golongan! Kenapa ribut-ribut harus berkelahi?!”
“Kami tidak mengenal  manusia kurang ajar sepertimu! Apalagi  merasa satu golongan!” bentak Suro Markum. Lalu dia berkata pada kawannya. “Tapak Jingga, mari kita bunuh pemuda kurang ajar ini biar rohnya benar-benar jadi dedemitdi tempat ini!”
“Walah! Kalau aku jadi dedemit, kalian berdualah yang akan kucari lebih dulu! Kusedot ubun-ubunnyasampai mampus dengan muka biru mata mendelik!
Suro Markam dan Tapak Jingga yang kembali hendak menyerbu menjadi terkejut danseseat hentikan serangan mereka.
“Tapak Jingga...Kelihatannya  pemuda  ini ada  sangkut  pautnya  dengan kematian aneh ratusan rakyat di Kerajaan!”

“Jangan-jangan  dialah  yang  menjadi  pangkal  bahalanya!”  menyahuti Tapak Jingga.
“Pemuda  kurang  ajar!  sebelum  nyawamu  lepas  dan  bangkaimu  kami buang ke teluk di bawah sana, lekas katakan siapa dirimu. Apa sangkut pautmu dengan kematian aneh penduduk Kerajaan!”
Si pemudatertawa lebar mendengar bentakan Suro Markum itu.
“Aku tidak punya sangkut paut dengan  kematian rakyat  Kerajaan itu!” jawabnya.
“Beri tahu namamu! Juga gelar kalau kau memilikinya! menghardikTapak Jingga.
“Namaku Wiro Sableng. Orang sableng macamku tentu sajatidak memiliki gelar!” jawab si pemuda yang ternyata adalah murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
“Pemuda konyol kurang ajar! Jika kau tidak ada sangkut paut dengan malapetaka aneh di Kerajaan, mengapa kau mengetahuinya dan ada keperluan apa kau berada di Karang Gontor ini?!”
“Aku kesini untuk menyelidiki hal ihwal dedemit itu. Tapi caranya tidak sama dengan kalian. Kalian berdua memulai dengan dasar mempercayai bahwa mahluk bernama Dedemit Karang Gontor itu memang ada! Sedang aku untuk membuktikan  bahwa  mahluk  itu  sama  sekali  tidak  ada,  sekaligus  untuk menyelidiki siapa sebenarnya yang menjadi biang keladi, bersembunyi dibalik sandiwara maut ini!”
“Siapa percaya ucapanmu!” bentakTapak Jingga.
“Siapa  minta  kau  percaya  ucapanku!” tukas  Pendekar  212  pula. “Dua tokoh silat istana mau-mauan percaya pada dedemit, mengantar sesajen segala, berdoa yang bukan-bukan! Kalau kusebut kalian berdua tololapakah salah?!”
Merah padam wajah kedua orang tua itu. Karena tak sanggup menahan marah, keduanya kembali menyerbu Wiro. Kembali pendekar itu keluarkan jurus- jurus silat Tua Gila. Tubuhnya sempoyongan,  berputar-putar,  kadang-kadang berjingkrak kian kemari! Dan semua gerakan aneh serta lucu yang dibuat oleh Wiro selalu berhasil mengelakkan keroyokan serangan dua tokoh silat Kerajaan itu!
Sebelas jurus menyerang terus tanpa hasil lalu lima jurus lagi dan tetap tak berhasil, Suro Markum dan Tapak Jingga saling memberi isyarat. Keduanya keluarkan  suitan  keras  dan  dikejapan  itu juga  tubuh  mereka  seolah  lenyap ditelan kegelapan.
Walau  kini   kehilangan  kedua  lawannya  namun  sepasang  telingnga Pendekar 212 dapat mendengarsiuran-siuran angin disekitarnya pertanda bahwa dua  lawan  itu  masih  ada disitu  dan terus  menyerangnya. Wiro  lindungi  diri dengan   lepaskan  terus   rnenerus   pukulan  sakti  bernama  “benteng  angin berhembustindih menindih” Deru angin menggelegar di puncak bukit karang itu. Dua tokoh silat istana sama terkejut ketika setiap kali berusaha mendekat untuk melancarkan  serangan,  tubuh  mereka  terpental  disapu  oleh  angin  pukulan lawan!

Sambil  berteriak  marah  Suro  Markum  dan  Tapak  Jingga  perlihatkan  kembali sosok tubuh mereka. Keduanya tidak menyangka ilmu “lenyap selaksa” yang barusan mereka keluarkan begitu mudahdipatahkan lawan hinggaterpaksa  keduanya memperlihatkan diri kembali dan lanjutkan serangan-serangan. Jurus-  jurus yang  mereka  pergunakan  kali  ini adalah jurus serangan  berantai yang  dilancarkan   sambil   memutari   lawan.   Di   tempat   sempit   seperti   di   atas  bukit,karang tersebut, jurus-jurus serangan ini memang ampuh karena sedikit  demi sedikit mereka memperciut lingkaran serangan dan akhirnya Pendekar 212  terjepit di tengah-tengah!
Beberapa kali serangan lawan mulai menyengat menghajar murid sinto Gendeng. Sambil menahansakit Wiro bergerak menuju pinggiran pedataran batu sebelah kanan. Begitu dia sampai di pinggiran batu, serta merta dua penyerang tak bisa lagi mengelilinginya, kecuali mau jatuh ke teluk dibawah sana!
Suro Markum memaki melihat kecerdikan pemuda ini. Mau tak mau dia dan Tapak Jingga harus berkelahi lagi secara berhadap-hadapan. Namun baik Tapak Jingga maupun Suro Markum mereka kini melihat adanya peluang untuk mencelakakan lawan. Sekalipun mereka sulit untuk menggebuk langsung, asal mereka bisa menggeser kedudukan kedua kaki Wiro ke belakang, maka pemuda itu tak ampun lagi akan jatuh ke dasar teluk! Itulah sebabnya kini kedua tokoh silat istana itu melancarkantendangan bertubi-tubi kearah kedua kaki Wiro.
Berulang  kali  Pendekar  212  harus  melompat  ke atas  sambil  membagi serangan balasan pada kedua penyerangnya. Tapi dua orang itu selalu berhasil mengelak  bahkan  terus  menyerbu  tak  mau  memberi  kesempatan  bagi  Wiro untuk dapat menyingkir daritepi bukit batu.
“Edan,  tadi  aku  mengharap  bisa  lepas  dari  serangan  melingkar  dan menjepit. Kini malah keadaanku tambah berbahaya!” memaki Wiro dalam hati. Sambil melayani dengan hati-hati serangan dua lawan, Wiro memutar otaknya. Dia sebenarnya tidak ada silang sengketa dengan dua orang tokoh silat istana itu. Tidak ada gunanya melepaskan pukulan-pukulan sakti seperti pukulan “sinar matahari” Namun jika dia terdesak terus dan tak sanggup keluar dari pinggir “bukit batu itu, lambat laundia pasti kenagebuk atautergelincirjatuh!
Setelah memutar otak beberapa lama, tiba-tiba Wiro keluarkan bentakan keras. Meskipun dua lawan berpengalaman itu tidak terpengaruh oleh bentakan itu, Wiro teruskan apa yang direncanakannya. Secepat kilat dia jatuhkan diri di pinggiran  bukit  batu.  Bersamaan  dengan jatuhnya  tubuhnya  kebawah,  Wiro menelikung  kedua  kaki  Suro  Markum  dengan  tangan  kiri  sedang  kakinya menjepit salah satu kakiTapak Jingga.
Dua orang itu terkejut ketika tubuh mereka tertarik ke pinggiran bukit batu. Selagi mereka berusaha melepaskan diri. Wiro sudah lebih dulu menotok tubuh Suro Markum hingga orang tua  ini jatuh tak berkutik dalam  kempitan tangan kirinya. Sebagian tubuh Suro Markum berada diatas batu, sebagiannya lagiyaitusebatas pinggang keatastergantung diatasteluk! Tentu saja orang tua ini  ketakutan  setengah  mati  kalau  dirinya  dalam  keadaan  tertotok  kaku  itu sempat jatuh kearah batu-batu karangdibawah sana!

Tapak Jingga berhasil  lepaskan dirinya dari jepitan kaki Wiro dan siap menghujamkan satu tendangan kearah bawah perut pendekar itu. Namun orang ini batalkan serangannya. Meskipun diasempat menciderai Wiro, belum tentudia bisa   menyelamatkan   kawannya.   Sekali   tubuh   Wiro   mencelat   dihantam tendangannya, maka Suro Markum yang ada dalam jepitan tangan kiri Wiro akan ikut mencelat jatuh ke bawah teluk!
Melihat  lawan  ragu,  kesempatan  ini  dipergunakan  oleh  Wiro  untuk balikkantubuh lalu berdiridengan cepat. Ketika berdiri, tubuh kaku Suro Markum sudah berada di bahu kanannya!
“Tapak Jingga! Sedikit saja kau bergerak hendak menyerangku, kulempar tubuh kawanmu ini ke batu-batu karangdibawah teluk!”
“Manusia licik” makiTapak Jingga.
Wiro” tertawa lebar. “Sekali-kali perlu kelicikan. dalam hidup ini! Apa kau dan kawanmutidak merasa licik? Sebagai tokoh silat istana mengeroyok seorang lawan?!”
Tapak Jingga tidak  menjawab.  Hanya  mukanya  saja yang jadi  merah dalam kegelapan.
Pendekar  212  perlahan-lahan  turunkan  tubuh  kaku  dan  bisu  Suro Markum.  Bagitu  kedua  kaki  Suro  menginjak  tanah,  Wiro  lepaskan  totokan ditubuh orang tua itu lalu mendorongnya kuat-kuat ke arah kawannya. Tapak Jingga cepat menahan tubuh Suro Markum. “Kau tak apa-apa Suro...?”
“Aku tidak cidera.  Siapa  sebenarnya  pemuda  itu?  Ilmu  silatnya  aneh.  Kalau dia mau tadi dia bisa melemparkanku ke jurang batu di bawah teluk...” kata Suro Markum pula.
“Aku  berniat  menyerangnya  lagi.  Kita  belum  mencoba jurus-jurus ilmu silatselusin tangan besi...” menyahutiTapak Jingga.
“Aku tak punya selera lagi meneruskan perkelahian ini Tapak Jingga, lagi pula aku punya firasat, kita berdua belum tentu mampu mengalahkan pemuda gondrong itu...”
“Kalau begitu sebaiknya kitatinggalkan bukit Karang Gontor ini! Aku tidak mau  pemuda  sableng  itu  mengejek  dan  mempermainkan  kita  seperti  tadi!” Tapak Jingga memberi isyarat pada kawannya. Tapi Suro Markum tetap berdiridi tempatnya bahkan menegur Pendekar 212.
“Anak muda, siapa kau sebenarnya? Tadi kau menyebut sebagai orang segolongandengan kami. Apa maksudmu...?”
“Bukankah kalian tengah menyelidiki perkara malapetaka kematian begitu banyak penduduk yang terjadiakhir-akhir ini...?”
Tapak Jingga dan Suro Markum sama mengiyakan.
“Nah   akupun   melakukan   hal  yang   sama.   Penyelidikanku   memberi kenyataan bahwa semua korban yang mati biru itu bukan karena dicekik atau disedotdedemit. Tapi semua mati keracunan!”
“Keracunan?!” mengulang Suro Markum.
“Ada  orang  yang  sengaja  meracun.  Entah  makanan  atau  minuman mereka.  Karena  Dedemit  Karang  Gontor disebut-sebut  dan dikaitkan  dengan

peristiwa ini maka aku menyelidik sampai disini. Ternyata aku tidak menemukan apa-apa. Kecuali kalian berdua yang mula-mula sempat kusangka kaki tangan dedemit itu!”
“Jika rakyat yang mati memang adalah korban keracunan seperti katamu, ini adalah satu hal aneh luar biasa!” ujar Suro Markum. “Pertama, siapa yang mau-mauan,     begitu     tega     meracuni     rakyat?     Kedua     apa     maksud mereka...melakukan peracunan...?”
“Kutambahkan  satu  pertanyaan  lagi!”  menyambung Wiro. “Di  Kotaraja dan di  Keraton  begitu  banyak ahli  pengobatan.  Mengapa tak satu orangpun mengetahui dan  mengatakan  bahwa  korban adalah akibat  keracunan,  bukan dibunuh oleh dedemit!”
Mendengar kata-kata Wiro itu Suro Markum dan Tapak Jingga jadi saling pandang.
“Pemuda ini benar, Tapak Jingga. Ada yang tidak beres di Kotaraja. Kita harus cepat kembali...” bisik Suro Markum pada kawannya. Lalu dia berpaling pada Wiro. “Anak muda, malam ini kami yang tua mendapat pelajaran berguna darimu.  Kami tidak akan  melupakan  hal  ini.  Kami  berharap  dapat  berjumpa denganmudi lain kesempatan...”
“Kalau  boleh  aku  bertanya,  untuk  siapakah  kau  bekerja  melakukan penyelidikan?” tanya Tapak Jingga.
“Untuk orang-orang yang jadi korban itu. Untuk kebenaran...!” jawab Wiro lalu memutardiridantinggalkan kedua erang tua itu lebih dahulu.

HUJAN  GERIMIS  TURUN  bersamaan  dengan  lenyapnya  rembulan dibalik awan tebal. Udara dingin mencucuk tulang dan kesunyian mencengkam desa Tanggul Rejo yang terletakjauhdi tenggara Kotaraja.
Bersamaan dengan bertiupnya angin malam, dari kelokan jalan muncul dua  penunggang  kuda.  Keduanya  mengenakan  pakaian  hitam  dan  wajah masing-masing  ditutup  dengan  cadar  sebatas  mata.  Anehnya  dua  orang  ini sengaja  menunggang  kuda  dengan  langkah sangat  perlahan  sehingga derap delapan  kaki  kuda  tunggangan  itu  hampir  tidak terdengar.  Sambil  bergerak keduanya memandang kekiri dan ke kanan, memperhatikan setiap bidang tanah yang  mereka  lewati,  meneliti  rumah-rumah  penduduk  yang  terletak  saling berjauhan.
“Kau lihat tambak ikan di sebelah sana...,” penunggang kuda disebelah kanan berbisik pada kawannya.
“Ah, matamu tajam sekali kawan. Itu sasaran paling empuk yang kita temui malam ini. Kau atau aku...?”
“Jika kau mau silahkan saja...”
Mendengar  ucapan  kawannya  itu  penunggang  kuda  disebelah  kanan segera turun dari kudanya. “Tunggu aku di tempat gelap sana. Awasi keadaan sekitar sini. Jika ada bahaya lekas beri tanda...” kata orang itu begitu turun dari kuda.  Lalu  dia  melangkah  mengendap-endap  ke  arah  sebuah  tambak  ikan. Dikejauhan kelihatan sebuah rumah berada dalam keadaangelap.
Begitu sampaidi-tepi, tambak ikan, orang ini memandang dulu berkeliling. Ketika dirasakannya aman, cepat-cepat dia mengeluarkan sebuah kantong kecil terbuat  dari  kulit  kerbau  yang  ujungnya  diikat  kencang  dengan  seutas  tali. Dengan  cepat  dibukanya  tali  ini  lalu  dari  dalam  kantong  yang  kini  terbuka ditebarkannya sejenis bubuk berwarna putih kelabu ke dalam tambak. Setelah itu kantong kulit diikatnya kuat-kuat lalu dengan cepat dia kembali menemui kawannya.
“Selesai...? bertanya kawan yang menunggu.
“Beres!” jawabnya seraya melompat naik ke atas punggung kuda. Dari situ  kedua orang  bercadar  hitam  itu  melanjutkan  perjalanan  memasuki desa Tanggul Rejo lebih ke dalam. ‘Seperti tadi, keduanya tak mau memacu kuda tunggangan, melainkan bergerak perlahan”
“Sebentar lagisudah lewattengah malam...” ‘Penunggang kudadi sebelah kiri berkata. “Menurut penyelidikanku ada sekitar empat puluh rumah di desa ini. Berarti ada empat puluh sumur yang harus kita kerjakan. Menurutmu apa kita punya waktu melakukannya...?”
“Sesuai  petunjuk,  tak  perlu  semua  sumur  kita  kerjakan.  Jika  dapat separuhnya saja itu sudah cukup...Nah, lihat. Di depan sana ada rumah. Kulihat

sebuah sumur di sebelah belakang. Giliranmu turun tangan, kawan...Aku akan mendatangi   rumah  di  sebelah  sana.   Lekas   bergabung  jika   pekerjaanmu selesai...”
Dua penunggang kuda berpisah. Satu jalan terus, lainnya membelok ke kanan,  memasuki  pekarangan  besar  sebuah  rumah,  langsung  menuju  ke halaman belakangdimanaterdapatsebuah sumur.
Di tepi sumur, tanpa turun dari kudanya orang itu mengeluarkan sebuah kantong kulit, membuka ikatannya. Lalu bubuk putih kelabu yang ada dalam kantong dituangkannya sedikit ke dalam sumur! Sehabis memasukkan bubuk itu ke  dalam  sumur,  dia  cepat-cepat  mengikat  kantong  kulit,  simpan  kembali kantong itu dibalik pakaiannya lalu bergerak memutar kudanya. Pada saat itulah terdengar suara anjing menggonggong. Mula-mula hanya seekor saja, namun sesaat kemudian ada setengah lusin anjing yang berlompatan dari tempat gelap. Keenam anjing itu mengerubungi kudasambilterus menyalak.
“Celaka!” keluh si penunggang kuda. Dia cepat menyentakkan tali kekang kuda tungganggannya. Binatang ini meringkik keras. Hampir bersamaan dengan ringkikan itu, dari arah rumah terdengar suara membentak: “Siapa diluar?!” Lalu terdengar  suara  pintu terbuka.  Menyusul  suara tongtong yang  dipukul terus menerus. Suara tongtongan dari arah rumah itu dalam waktu cepat mendapat sambutandari berbagaijurusan.
Si  penunggang  kuda  menjadi  panik.  Dia  memacu  kudanya sekencang- kencangnya  tetapi  enam  ekor  anjing  tadi  ternyata  ikut  mengejar.  Hatinya tercekat ketika di depan sana dilihatnya ada serombongan orang. Tangan kiri memegang obor, tangan kanan. membawa berbagai macam senjata!
Melihat hal ini penunggang kuda itu cepat memutar kudanya ke arah dari mana dia datang sebelumnya.  Namun dari arah  itupun  bermunculan  banyak sekali orang yang membawa obor serta senjata! Dari kedua ujung jalan dua rombongan orang itu mendatangidengancepat seraya berteriak-teriak.
‘Tangkap! Bunuh penebar racun!”
“Cincang sampai lumat!”
“Gantung kaki keatas kepala ke bawah!”
Jantung si penunggang kuda bercadar serasa copot. Terlebih lagi ketika dilihatnya dari bagian gelap di kiri kanan jalan bermunculan pula orang-orang yang membawa obor dan senjata. Menyadari dirinyaterkurung di-tengah-tengah dan  terancam   bahaya   maut   mengerikan   orang   itu   menjadi   nekad.   Dia menggebrak kudanya berusaha menerobos kepungan orang di sebelah selatan jalan.   Dua   orang   pengurung   terjengkang   dihantam   kaki   kuda.   Tapi penunggangnya sendiri tak berhasil lolos. Seseorang sempat menarik kakinya hinggatubuhnya terlontardan jatuhterbanting ke jalanan.
“Cincang!”
“Bunuh!”
Sebatang   golok   menyambar   membabat   dada.   Sebatang   tombak menyorong ke depan. Traang!
Golok  yang  seharusnya  membacok  kepala  itu  tertahan  oleh  batang

tombak. Bersamaan dengan itu ada orang yang berteriak.
“Tunggu!”
Ternyata dia adalah Kepala Desa Tanggul Rejo.
Kepala Desa ini pula yang tadi menangkis bacokan golok. Orang banyak mengeluarkan suara kemarahan dan kutuk serapah ditujukan pada Kepala Desa itu.
Kepala  Desa  cepat  menguasai  keadaan dengan  berteriak: “Membunuh keparat  penyebar  racun  ini  mudah  saja!  Aku  ingin  cepat-cepat  menggorok lehernya mencincang kepalanya! Tapi dengar! Kita harus menyelidik! Dia harus dipaksa memberi keterangan mengapa dia menebarkan racun di desa kita! Siapa yang menyuruh!”
Mendengar kata-kata Kepala Desa itu, orang banyak mengendur sedikit kemarahan  mereka.  Namun  seseorang  masih  sempat  membetot  Tepas  kain hitam yang menutupi wajah lelaki yang terbujur di tanah setengah bergelung.
Tak satu orangpun mengenali tampang manusia itu. Berarti dia bukan penduduk desa Tanggul Rejo.
Selagi orang desa menahan amarah dan selagi Kepala Desa berbicara, orang yang terguling di jalanan itu tidak sia-siakan kesempatan. Mati disadarinya memang sudahjadi bagiannya. Tapi dia tidak mau mati dicincang dan ditembus puluhan senjata. Maka dengan cepat dia keluarkan kantong kulit yang ada di balik pinggangnya.
Lalu cepat sekali dia menuangkan bubuk putih kelabu yang ada dalam kantong kedalam mulutnya yang dibuka lebar-lebar. Kejadian itu berlangsung cepatsekali, tidak terduga oleh semua orang yang adaditempat itu.
Tidak perlu menunggu lama. Orang ini mulai melejang-lejang. Mukanya menjadi biru sampai ke bibir. Sepasang mata membeliak. Dari tenggorokannya ada suara menggeru lalu menyembur busahdan air berwarna hitam pekat.
“Kurang  ajar!  Bangsat  itu  menenggak  racun yang  dibawanya  sendiri!” teriak seseorang.
“Dia bunuhdiri!”
“Kita  terlambat!” teriak  kepala  desa  lalu  dengan  marah  ditendangnya kepala  orang  itu.  Apa  yang  terjadi  kemudian  sungguh  mengerikan.  Puluhan macam senjata berkelebat menusuk dan menghunjam di sekujur tubuh orang itu. Mukanyatakbisa dikenali lagi!
“Aku yakin bangsat itu tidak datang sendirian!” seorang lelaki yang hanya mengenakan celana  pendek hitam berkata.  Dia menurunkan obornya kesalah satu bagian jalanan. Yang jauh dari kerumunan orang banyak. “Lihat!” katanya. “Ditanah ada jejak-jejak lebih dari seekor kuda. Paling tidak ada dua kuda yang lewatdisini!”
“Kalau begitu kita harus menyebar lalu memeriksa setiap pelosok desa!” kata Kepala Desa pula
“Aku setuju!” seseorang menyahuti.
“jika  bangsat satu itu  ketemu, tak perlu diberi waktu  untuk bertanya segala. Gorok lehernya! Cincang kepala dan tubuhnya! Habis perkara!” seorang
penduduk desa menimpali.

DI MALAM YANG SAMA, di desa Lebak Wangi yang terletak disebelah barat Kotaraja, seorang penunggang kuda sejak tadi mendekam dibalik lumbung padi yang  terletak  di  pekarangan  belakang  sebuah  rumah  besar  milik  seorang hartawan yang  puteranya  menjadi salah seorang  Kepala  Pasukan di  Keraton Barat.
Di halaman belakang  itu, seorang lelaki tua tampak tengah merapikan susunan  kayu api. Orang yang  mendekam dibalik lumbung  padi sudah tidak sabaran.  Matanya pulang balik memperhatikan si orang tua dan sumur yang terletak hanya sepuluh tombak saja di sebelah kiri lumbung padi. Tapi karena sumur itu berada di halaman terbuka, jika dia mendekati mustahil orang tua itu takakan melihatnya.
“Orang  tua  celaka   itu  ada-ada  saja  yang  dikerjakan!”  memaki  si penunggang kuda. “Apa perlu kubereskan saja dia lebih dulu...”
Walaupun  sudah  punya  pikiran  seperti  itu,  nyatanya  orang  dibalik lumbung memutuskan untuk menunggu saja sampai orang tua di sebelah sana selesai dengan pekerjaanya. “Kalau kayu api itu sudah disusunnya dengan rapi, pasti dia akan masuk ke dalam rumah. “Begitu orang dibalik lumbung berpikir. Tetapi, setelah selesai merapikan kayu api, orang tuatadi kini malah mengambil sebuah sapu lidi besar dan mulai menyapu.
“Sialan!”  runtuk  orang  dibalik  lumbung...  Dia  raba  golok  di  pinggang kirinya. Lalu bergerakkeluardari baliklumbung.
Orang  tua  yang  tengah   menyapu  halaman  angkat  kepalanya  dan berpaling   ketika   mendengar   ada   suara   telapak   kaki   kuda   mendatangi. Disangkanya putera majikannya yang. datang.
“Raden...Kaukah itu...?” tegurnya.
Namun   begitu   penunggang   kuda   tersebut   sampai   di   hadapannya terkejutlah  orang tua  itu.  Si  penunggang  kuda ternyata  seorang  berpakaian serba hitam yang wajahnya ditutup dengan kain berwarna hitam pula!
“Rampok!”  desis  orang  tua  itu.  Sapu  di  tangannya  dilemparkan.  Dia memutar tubuh untuk lari seraya berteriak. Namun dia hanya sempat memutar tubuhnya sedikit saja dan sebelum mulutnya bisa berteriak, sebilah golok telah berkelebat dalam kegelapan malam. Orang tua yang malang ituterhuyung nanar sambil  menggapai-gapai  ke  udara.  Pangkal  lehernya  hampir  putus.  Darah mengucur.  Dia  berusaha  keras  untuk  berteriak,  tapi  hanya  lidahnya  yang terjulur. Setelah itutubuhnya terhempas jatuh ke tanah!
Orang   berkuda   sarungkan   kembali   golok   berdarah,   lalu   bergerak mendekati sumur.  Di tepi sumur dia  mengeluarkan sebuah  benda  berbentuk bulat sepanjang satu setengah jengkal yang ternyata adalah sebatang bambu kecil.  Dengan cepat  dibukanya sumbat  kain di  salah  satu  ujung  bambu  lalu

bubuk putih kelabu yang ada dalam bambu itu dipercikkan-nya ke dalam sumur. Selagi dia melakukan hal itu tiba-tiba dari dalam sumur melesat keluar dua buah tangan yang langung mencekal pergelangan tangan si penunggang kuda.
Penunggang kuda itu berteriaksaking kagetnya.
Lalu terdengar suara kraaakk!
Untuk kedua kalinya orang di atas kuda berteriak. Kali ini karena tulang lengangnya telah dipatahkan oleh dua tangan yang mencuat keluar dari dalam sumur. Tabung bambu berisi bubuk racun yang dipegangnya terlepas dan jatuh di  pinggir sumur. Tubuhnya sendiri terbetot jatuh dari atas  punggung  kuda. Ketika  dia  berusaha  bangkit  berdiri  di  hadapannya  berdiri  sesosok  tubuh berpakaian serba putih.
“Kurang  ajar!  Bangsat  ini  rupanya!  Bagaimana  dia  bisa  mendekam sembunyi didalam sumur itu!” me-runtuk orang yang patah tangannya. Tadi dia menyangka yang keluar dari dalam sumur itu adalah sebangsa setan atau hantu malam!
“Ha...ha!  Matamu  yang juling  cukup  kukenali! Tapi  aku  perlu  melihat tampangmu!”
Sekali tangannya bergerak, orang berpakaian putih berhasil menjambret lepas kain hitam penutup wajah lelakidi hadapannya.
“Ki Dukun Japara! Benar kau rupanya!”
“Pemuda sableng! Kau ikut campur terlalu jauh! Nyawamu atau jiwaku!” Si pakaian  hitam yang ternyata adalah  Ki  Dukun Japara, pergunakan tangan  kirinya untuk mencabut golok. Namun sebelum dia sempat menyentuh senjata itu, satu totokan membuat tubuhnya menjadi kaku dan mulutnya menjadi bisu.
“Dukun bejat penebar racun! Sekarang kau ikut aku ke Kotaraja! Disitu nanti kau harus bicara banyak sebelum Sri Baginda memerintah memisahkan kepaladantubuhmu!”
Ki Dukun Japara yang berada dalam keadaan kaku dan gagu hanya bisa memaki dalam hati. Orang berpakaian putih yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro  Sableng   memungut  tabung   bambu  yang  tercampak  di  tanah  dan menyumpalkan penutupnya. Tabung berisi racun itu disisipkannya di pinggang kiri. Lalu Wiro memanggui tubuh Ki Dukun Japara dan meletakkannya diatas punggung  kuda.  Saat  itulah  melesat  sebuah  benda  dalam  kegelapan.  Wiro rundukkan kepala. Benda yang melesat lewat seujung kuku dari pipi kanannya lalu menancap tepat di punggung kanan Ki  Dukun Japara yang menggeletak melintang diatas kuda! Benda itu ternyata adalahsebatang panah!.
“Pembokong keparat!” maki Wiro. Dia lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam dahsyat ke jurusan dari mana datangnya panah itu. Beberapa pohon kecil dan semak belukar rambas namun si pembokong telah lebih dahulu melarikan diri. Di kejauhan terdengar suara derap kaki kudanya menjauh.
Wiro segera memeriksa keadaan. Ki Dukun Japara dan jaditerkejut ketika melihat wajah orang tua itu berubah kebiruan. Dirobeknya punggung pakaian Ki Dukun. Kulit punggung itupun tampakmembiru!

“Panah beracun!” kertak Wiro. Dia menotoklagi beberapa bagiantubuh Ki Dukun Japara.  Lalu perlahan-lahan anak panah yang menancap di punggung orang tua itu dicabutnya. Ketika diperhatikannya ujung runcing panah, tampak bagian itu juga berwarna biru kehitaman.
“Aneh,  siapa  yang  menginginkan  nyawa  dukun  keparat  ini?”  pikir Pendekar 212 sambil garuk-garuk kepala. “Dia ternyata menjadi penyebar racun. Pasti  cuma  kaki tangan  atau  pelaku  biasa  saja.  Lalu yang jadi  biang  kerok mengotaki semua kegilaan ini...?! Di Kotaraja semua akan tersingkap. Aku harus membawadukunsialan ini kesanasecepatnya!”
Baru saja Wiro hendak naik ke atas kuda dimana tubuh Ki Dukun Japara menggeletak  tiba-tiba  dua  penunggang  kuda  muncul  di  tempat  itu.  Yang pertama  seorang  pemuda  berseragam  Perwira  Muda  Kerajaan,  satunya  lagi seorang dara berpakaian jingga yang rambutnya dikuncirdan pada punggungnya tersembul gagang sebilah pedang.
“Hai! Siapa kau?! Apa yang terjadi disini?!” bertanya Perwira Muda itu dengan suara membentak sedang sang dara memandang dengan mata penuh selidik pada murid Sinto Gendeng yang tertegak sambil pegangi anak panah.



DARA DI ATAS KUDA tiba-tiba berseru kaget ketika melihat dan mengenali sosok tubuh  yang  menggeletak  di  halaman  belakang. “Astaga!  Itu  si  kakek Samino! Apa yang terjadi dengan dirinya?!” Sang dara melompat dari atas kuda, langsung berlari ke arah mayat orang tua yang terbujur di tanah. Lalu terdengar teriaknya  “Kakak  Primadi!  Pembantu  kita  ini  sudah  mati!  Ada  luka  besar dipangkal lehernya!”
Pemuda  yang  mengenakan  seragam  Perwira  Muda  Kerajaan  itu  jadi terkejut lalu melompat turun dari punggung kudanya.
“Jelas dia dibunuh!” desis Perwira Muda bernama Primadi itu.
Sreett!
Gadis berpakaian jingga hunus pedangnya. Meskipun halaman belakang itu agak gelap namun sinar pedang yang berwarna kebiruanjelas terlihat tanda pedang itu adalah sebilah senjata mustika. Dan demikian cepatnya gerakan si gadis, tahu-tahu ujung pedang sudah menempel di perut Pendekar 212!
“Ah...Urusan inijadi kapiran!” keluh murid Sinto Gendeng dalam hati.
“Aku tidakmembunuhnya!” kata Wiro pula.
“Kami tidak bertanya! Tapi hanya ada satu orang disini! Kau!” bentak sang dara.
“Itu satu lagi yang menggeletak di atas kuda! Pingsan ditancap panah beracun!” Wiro menuding ke arah tubuh Ki  Dukun Japara yang menggeletak diatas kudadalam keadaantertotok dan luka di punggungnya.
“Ditancap panah katamu! Tapi mengapa anak panah itu ada ditanganmu, bukan menancap ditubuhnya?!” bertanyasi Perwira Muda.
“Aku  barusan  mencabut anak  panah  itu dari  punggungnya!  Panah  itu beracun!”
“Bagaimana kau tahu panah itu beracun?!” tanya sang dara baju jingga. Nada suaranya terus saja keras dangalak.
“Kalian lihat saja punggung dan mukanya. Biru kehitaman!” jawab Wiro pula.
Sepasang  muda  mudi  yang  ternyata  adalah  kakak  beradik  itu  saling pandang seketika. Lalu sang dara berkata pada kakaknya “Aku curiga...Jangan- jangan manusia satu inisalah seorang penyebar racun maut itu!”
“Aku juga berpikir begitu,” sahut kakak si gadis. “Dan pasti dia pula yang membunuh pembantu kita itu!”
“Walah! Kalau menuduh jangan keliwatan!” ujar Wiro mulai jengkel tapi diam-diam juga merasa kawatir. Ujung pedang yang diacungkan gadis berbaju jingga itu menempel ketat di perutnya. Membuat Wiro merasa ragu-ragu untuk melakukansesuatu.
“Orang tua itu dibunuh oleh orang yang ada di atas kuda.” Wiro coba menerangkan.

“Kami  tidak  melihat,  jadi  tidak  bisa  mempercayai  ucapanmu!”  kata Primadi.
“Kakak sebaiknya cepat kau geledah dia!” ujar si adik. Lalu pada Wiro dia mengancam. “Jika kau berani bergerak, kutembus perutmudengan pedang ini!”
Dibawah  ancaman   pedang   Pendekar   212  terpaksa   biarkan   dirinya digeledah oleh Perwira Muda itu. Dan celakanya yang pertama sekali ditemukan oleh sang perwira adalah tabung bambu berisi racun milik Ki Dukun Japara yang diselipkan Wiro di balik pinggangnya!
Perwira  itu  mengamati  tabung  yang  disumpal  dengan  kain  sebagai tutupnya, berpaling sesaat pada adiknya lalu membuka kain penyumpal. Ketika penutup tabung bambu terbuka, bau yang tajam membersit ke luar. Si Perwira yang sudah tak asing lagi dengan bau seperti itu segera tunggingkan bagian mulut tabung. Sejumlah bubuk.putih kelabu berjatuhan ke tanah.
“Racun merang putih!” seru perwira itu begitu dia mengenali bubuk yang keluardaritabung. Rupanya dia seorang yang ahli dalam segala macam racun.
“Apa kataku!” teriak dara adik sang perwira. “Aku sudah curiga! Dia pasti adalah manusia jahanam penyebar racun! Kini terbukti!”
“Racun dalam tabung itu bukan  milikku.  Benda  itu dibawa oleh orang yang kini menggeletak di atas kuda sana. Dia yang membunuh pembantu kalian. Lalu ketika dia hendak menuangkan bubuk racun ke dalam sumur dimana saat itu aku bersembunyi, kupatahkan tangannya. Tubuhnya lalu kutotok...”
‘Kau bersembunyi di dalam sumur? Ha...ha...ha! Sungguh gila dan tolol sekali  ucapanmu!  Mana ada orang  bisa bersembunyi didalam sumur, apalagi sumur itu airnya dalam. Paling tidak dua kali tinggi manusia!” ujar dara berbaju jingga.
“Memang hanya orang tolol yang mau mati bersembunyi dalam sumur sedalam itu. Tapi aku tidak tolol! Lihat sendiri apa yang aku palangkan di dalam sumur!”
Mendengar ucapan Wiro itu, Primadi si perwira melangkah ke dekat sumur lalu menjenguk ke dalam. Meskipun bagian dalam sumur cukup gelap, namun matanya  yang  sudah  terlatih  masih  dapat  melihat  sebuah  batang  pohon melintang di  pertengahan sumur.  Karena  makin  kebawah sumur  itu semakin menyempit,  maka  batang  pohon  itu  dapat  melintang  dengan  kokoh  walau dibebanitubuh manusia.
“Aneh! Bukan pekerjaan mudah menempatkan batang pohon seperti itu dalam  sumur...Siapa  sebenarnya  pemuda  berambut  gondrong  itu?!”  Primadi melangkah mendekati Wiro kembali. Adiknya yang bertanya tidak diacuhkannya. Dia kembali menggeledah Wiro dan kali ini ditemukannya Kapak Maut Naga Geni 212 di  belakang  pinggang  sang  pendekar! Sesaat sang  perwira  dan adiknya terkesiap  melihat  sinar  yang  keluar  dari  mata  kapak.  Bukan  saja  membuat mereka merasa angker tapi sinar kapak mustika itu ternyata membuat redup sinar biru yang memancar dari pedang di tangan sang dara!
Primadi  memperhatikan  senjata  di  tangannya  itu  dengan  mata  tak berkesip.  Dia  antara  mendengar  dan  tidak  kata-kata  yang  diucapkan  Wiro.

“Perwira Muda, kalau senjata itu kau rampas, aku bersumpah membunuh kau danadikmu!”
Si perwira sesaat masih memandang lekat-lekat pada senjataditangannya lalu berpaling pada Wiro. “Aku pernah mendengar riwayat besar dari senjata ini. Kau...kau Pendekar 212...?!” Suara sang perwira bergetar dan tangannya yang memegang senjata mustika itu mendadakterasaseperti kesemutan...
Wiro  mengangguk perlahan.  Perwira itu cepat-cepat  kembalikan  Kapak Naga Geni 212 lalu  menoleh pada adiknya. “Sarungkan pedangmu.  Mari kita menghatur maaf pada Pendekar 212 yang punya nama besar di seantero tanah Jawa ini...”
“Pendekar  212...?”  mengulang  sang  adik. “Jadi  dia...pendekar  sableng yang terkenal itu...?”
Wiro  tertawa  lepas  dan  cepat  menyambuti  kapak  yang  dikembalikan padanya.
“Untung kalian lekas mengenali si manusia jelek ini! Kalau tidak urusan bisa bertele-tele!”
“Pendekar 212, aku Primadi dan adikku Primarani mohon maafmu. Tadi kami sungguh-sungguh tidaktahu berhadapan dengan siapa. Empat tahun yang silam  bukankah  kau  pernah  menyelamatkan  Kerajaan  dari  tangan  kaum pemberontak. Aku tidak melupakan hal itu. Waktu itu aku masih sebagai kepala penjaga pintu gerbangselatan Kotaraja...”
Wiro kembali tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan tangan kanan  yang juga  memegang  anak  panah  yang  sebelumnya  dicabutnya  dari punggung Ki Dukun Japara.
“Eh, itu anak panah yang katamu  menancap di  punggung orang itu?” bertanya Primadi
Wiro mengangguk.
“Boleh kulihat...?
Wiro berikan anak panah yang dipegangnya pada Primadi. Perwira muda ini memeriksanya dengan teliti. Lalu dia berpaling pada adiknya dengan paras berubah. Wiro melihat perubahan paras ini langsung bertanya.
“Perwira, kau mengenali anak panah ini?”
Mula-mula  perwira  itu  tak  mau  menjawab.  Namun  setelah  adiknya membisikkan sesuatu maka diapun berkata: “Ini adalah anak panah yang biasa dipergunakan oleh Sri Baginda di Kerajaan Timur terutama pada saat berburu. Dan  beliau  dikenal  sebagai  ahli  panah  nomor  satu.  Aku  tahu  betul.  Ketika hubungan  antara  Kerajaan  Barat  dan  Timur  masih  baik,  aku  sering  ikut mengawal Sri Baginda Kerajaan Timur pergi berburu! Karena itu aku mengenali sekali  anak  panah  ini.  Lihat,  cetakan  tiga  buah  bintang  pada  besi  bagian belakang kepala anak panah. Ini adalah lambang Kerajaan Timur!”
“Lalu jika anak panah yang sama seperti ini yang dipergunakan untuk- membunuh manusia penebar racun disana itu, apa kira-kira yang adadibenakmu Perwira Muda...?” tanya Pendekar 212.

“Aku takberani menjawab!” Sahut Primadi.
Justru adiknya Primarani yang membuka mulut: ‘Tidak masuk akal kalau Raja di Timur ada sangkut paut dalam peristiwa ini. Tapi...” Sang dara tidak teruskan ucapannya.
“Bukankah antara Sri Baginda di Timur dengan kakaknya di Barat tengah terjadisilang sengketa?” ujar Pendekar 212.
“Betul, tapi tetap aku tidak bisa percaya bahwa Raja di Timur bertindak sejauh ini!”
“Setiap  manusia  bisa  silat.  Mungkin  karena  harta  atau  pangkat,  atau perempuan. Mungkin pula karenatahtadan kekuasaan...”
“Pendekar  212,  jika  kau  memang  tengah  menyelidiki  masalah  besar menyangkut kematian, ratusan rakyat karena diracun ini, mari kita bekerjasama. Aku  memang  ditugaskan  untuk  melakukan  penyelidikan  bersama  adikku...” Primadi memotong ucapan Wiro.
“Begitu...? Siapa yang menugaskanmu? Sri Baginda Kerajaan Barat...?
Perwira Muda itu menggeleng. “Mapatih Singaranu...,” jawabnya.
Wiro memandang pada Ki Dukun Japara yang adadi atas punggung kuda. “Manusia itu mungkin bisa memberi keterangan. Bagaimana kalau kita bawa dia sekarang juga ke Kotaraja dandihadapkan pada Sri Baginda?”
“Sri Baginda takada di Keraton. Saat ini beliautelah berangkat memimpin ratusan  pasukan  untuk  menyerbu  Kerajaan  Timur.  Aku  diperintahkan  untuk menghubungi pusat pasukan di selatan. Sebelum menuju kesana aku mampir duludisini.”
“Kerajaan Barat menyerbu Kerajaan Timur? Berarti perang saudara segera pecah!” ujar Wiro.
“Kita tidakbisa menyalahkan Raja di Barat,” ikut bicara Primarani. “Raja di Barat sudah cukup memberikan kekuasaan dan kepercayaan pada adiknya di Timur. Sang adik ternyata menjadi serakah, ingin menjadi Raja besar di seluruh Kerajaan. Menyebar fitnah serta memutar balikkan kenyataan dan malah diduga keras   sebagai   melakukan   pengacauan   di   Barat   dengan   menebar   racun pembunuh  melalui  kaki  tangannya.  Kini  dengan  ditemuinya  anak  panah  ini terbukti bahwa dia memang yang jadidalang kekacauan belakangan ini. Ratusan rakyat yang tidak berdosa  menemui  kematian akibat  keganasannya  menebar racun maut! Aku inginsekali menghajar kaki tangannya yang menggeletak diatas kuda itu!”
“Kau harus bersabar dulu, saudari,! kata Wiro pula. “Kita harus mengorek keterangan dan bukti-bukti dari dia. Dan itu harus dilakukan di hadapan Raja. Paling tidak diketahui oleh Mapatih Kerajaan!”
“Pendekar 212 betul! Kita harus segera membawa orang itu ke Kotaraja! Kita pergi bersama-sama!”
“Kau  punya  tugas  menghubungi  pasukan  di  selatan”  mengingatkan Primarani.
“Aku punya firasat bahwa ke Kotaraja lebih penting dari pada ke selatan. Kita berangkat sekarang juga!”

SEBELUM MATAHARI TERBIT  Wiro, Primadi dan Primarani yang membawa Ki Dukun Ja-’ para dalam keadaan masih kaku dan gagu karena ditotok Pendekar 212 memasuki Kotaraja. Mereka langsung menuju Keraton menemui Patih Raden Mas Singaranu. bisudi atas punggung kuda memasuki Kotaraja Kerajaan Barat.
Keraton  nampak  sepi,  hanya  tiga  orang  pengawal  kelihatan  di  pintu depan. Ketiga orang itu diantar masuk ke dalam sebuah ruangan tertutup. Wiro yang memanggul tubuh Ki Dukun Japara mendudukkan si mata juling ini diatas sebuah kursi besar hingga dia tak beda dengan sebuah patung, tidak bergerak dantidak berkesip.
Tak lama kemudian Patih Singaranu memasuki ruangan. Dia memandang pada kedua kakak beradik itu sesaat, melirik pada Pendekar 212 lalu berpaling ke arah sosok orang yang duduk di  kursi besar. Sesaat patih lanjut usia itu menatap wajah Ki Dukun Japara lalu berpaling pada Perwira Muda disamping- nya.
“Perwira Primadi, bukankah kau mendapat tugas menghimpun pasukan di selatandan membawanya ke timur?” menegur Patih Singaranu.
“Betul sekali Mapatih. Namun ada sesuatu yang lebih penting...” sahut Perwira Muda itu.
“Tunggu  dulu!  Siapa  orang  yang  kau  dudukkan  di  atas  kursi  sana?  Keadaannya seperti ditotok dan tangan kanannya kulihat seperti patah. Lalu...” sang patih memandang pada Pendekar 212, “Siapa pula pemuda ini? Aku rasa-  rasa pernah melihatnya sebelumnya. Atau mungkinaku salah...”
“Tidak Mapatih. Kau tidak salah. Pemuda ini adalah Pendekar 212 dari Gunung Gede. Dialah yang empat tahun lalu ikut menyelamatkan Kerajaan dari kaum pemberontak.”
“Pendekar 212 Wiro Sableng! Aku tidak pernah melupakan nama yang berjasa  besar  itu!  Benar-benar tidak diduga,  dalam  Kerajaan  seperti  ini  kau muncul  seperti  membawa  bakti  baru  menyelamatkan  Kerjaan  untuk  kedua kalinya!”  Patih  Singaranu  melangkah  kehadapan  Wiro  dan  memegang  bahu Pendekar 212 dengan kedua tangannya.
“Sekarang terangkan siapa adanya orang berwajah biru yang duduk di kursi itu!”
“Namanya Ki Dukun Japara,” memberitahu Primadi lalu meneruskan:
“Dia tertangkap  basah oleh  Pendekar  212  ketika  hendak  memasukkan racun ke dalam sumur di rumah kediaman kami!” Perwira itu memperlihatkan tabung bambu berisi racun pada sang patih.
“Ah! Rupanya Pendekar 212 diam-diam juga telah mengikuti apa yang tengah terjadidi Kerajaan!” ujar Patih Singaranu. Lalu dia melangkah kehadapan

orang yang duduk di kursi. Memperlihatkannya sejenak. “Perwira! Bagaimana ini! Menurutmu dia menyebarkan racun, tapidiasendiri keracunan!”
Pendekar 212 lalu menerangkan apa yang terjadi sebelumnya. Setelah mendengar  itu,  Patih  Singaranu  yang  juga  merupakan  seorang  dedengkot persilatan segera  lepaskan totokan-totokan di tubuh  Ki Dukun Japara.  Begitu totokannya lepas, orang tua itu hampir saja jatuh terjerembab. Dari mulutnya terdengar suara mengerang kesakitan karena tangannya yang patah.
“Namamu Ki Dukun Japara?!” Mapatih menegur. Bukannya menjawab, Ki Dukun Japara  malah  langsung jatuhkan diri,  berlutut  memegangi  kedua  kaki sang patih laiu meratap: “Mohon ampunmu ‘Mapatih...Mohon ampunmu...!”
“Apa betul kau menyebarkan racun yang telah menimbulkan kekacauan dan menyebabkan kemati-an ratusan rakyat yang tidakberdosa...?”
“Mohon ampunmu Mapatih! Mohon...”
Perwira Muda Primadi jadi jengkel. Dijambaknya rambut orang tua itu lalu membentak: “Jika kau masih terus berucap seperti itu, kupecahkan kepalamu saat ini juga! Jawab pertanyaan Patih Kerajaan! Kau menebarkan racun dimana- mana! Kau pastisalah seorang pentolannya.”
“Memang...memang  aku  melakukan  itu.  Tapi...tapi  aku  hanya  orang suruhansaja...” membuka mulut Ki Dukun Japara.
“Siapa yang menyuruhmu?!” tanya Patih Kerajaan.
“Aku...aku...tidak tahu jelas...”
“Jangan coba berdusta Ki Dukun!” yang bicara adalah Wiro. “Racun panah itu masih bekerja dalam tubuhmu. Jika kau mau mengaku akan kami beri obat penawar. Kalau tidak nyawamu tidak akan tertolong. Kau hanya bisa bernafas sampai tengah hari nanti! Dan sebelum mati kauakan sangat menderita!”
Tubuh Ki Dukun Japara menggigil. Dalam keadaan terduduk di lantai dia berkata:  “Aku...aku  tidak  berdusta.  Aku  tidak  tahu  orang  itu.  Kami  hanya bertemu  tiga  kali  pada  malam  hari.  Dia  menutupi  wajahnya  dengan  kain hitam...”
“Apa yang dilakukan orang itu setiap kali kau menemuinya?!” bertanya Primadi.
“Dia menyerahkan sekantung racun, memberiku uang lalu memberikan perintah-perintah...”  jawab  Ki  Dukun  Japara.  Lalu  dia  menyambung:  “Aku bersumpah, aku benar-benartidak tahu siapa orang itu.”
“Kau pasti ingatciri-cirinya. Jika dia bicara denganmu kau pasti mengenali suaranya jika bertemu lagi dengandia...” berkata Patih Singaranu.
“Ciri-cirinyatidakjelas. Setiap pertemuan selalu malam hari dandi tempat yang gelap. Suaranya mungkin kukenali lagi jika bertemu...”
“Coba  kau ingat-ingat.  Pasti ada sesuatu yang bisa  kau ingat tentang orang itu...” Patih Singaranu mendesaktapi dengan berpura-pura membujuk.
“Dia...dia  selalu  mengenakan  pakaian  hitam.  Wajahnya  tak  kelihatan karena  ditutupi  kain.  Perawakannya  sedang-sedang  saja.  Dia  selalu  muncul menunggang kuda...” Ki Dukun Japara terdiam sejenak. “Aku ingat...! Orang itu selalu membawa busur dansekantonganak panah di punggungnya...!”

Perwira  Muda  Kerajaan itu terkejut dan  perlahan-lahan  berpaling  pada adiknya. Lalu diambilnya anak panah yang sejak tadi diselipkan adiknya pada sarung   pedang   dan   diperlihatkannya   pada   Patih   Singaranu.   Sang   patih mengambil panah itu,  menimang-nimangnya sambil memperlihatkan.  Lalu dia berpaling  pada  Primadi dan  berkata dengan suara tegang: “Hanya ada  satu orang   yang   memiliki   anak   panah   seperti   ini.   Gusti   Bandoro   Pangeran Harjokusumo, Raja di Timur!”
“Betul Mapatih. Memang itu yang saya ketahui...” jawab sang perwira pula dan ikut tegang.
“Jika  begitu adalah tepat sekali  kalau  kini  Raja  kita sampai  menyerbu Keraton Timur.  Dari situlah sumber  bencana maut beracun itu!” kertak Patih Singaranu.
“Saya akan menyusu! ke timur bersama Primarani. Saya percaya Pendekar 212 mau bergabung bersama kami...”
“Tunggu! Jangan pergidulu...!” berseru Ki Dukun Japara.
“Apa maksudmu’ Minta diobati lebih dulu?!” tanya Wiro.
Ki  Dukun  Japara  menggeleng. “Aku  menyesal.  Dihukum  matipun  aku pasrah! Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku ingat sesuatu...” Ketika Patih Singaranu memegang dan menimang-nimang anak panah beracun yang pernah menancap  di  punggungnya  itu,  Ki  Dukun  Japara,  setiap  penunggang  kuda bercadar menyerahkan bungkusan racun kepadanya,
Perwira  Muda  Primadi  hanya  bisa  memaki  panjang  pendek  sambil membanting-banting kaki


DI LUAR KOTARAJA sebelum memasuki perbatasan menuju Kerajaan Timur, Patih  Raden  Mas  Singaranu  yang  menunggang  kudanya  di  sebelah  depan mengangkat tangan kanan ke atas, memberi tanda. Seluruh rombongan serta merta berhenti. Dia memutar kudanya dan memandang pada selusin pengawal, lalu pada sosok Ki Dukun Japara yang berada di atas seekor kuda, tergeletak melintang tak  berkutik  karena  sebelum  berangkat  sang  patih  telah  menotok tubuhnya sampai kaku, tak bisa bergerak. Hanya mulutnya saja yang masih bisa membuka suara.
“Mapatih, mohon petunjukmu. Ada apa kita berhenti?” seorang perajurit kepala ajukan pertanyaan dia selalu memperhatikan tangan  kanan orang itu. Antara  ibu jari  dan jari  telunjuknya  terdapat  sebuah  tahi  lalat  lebar,  hitam berbulu. Ketika hal itu diberitahukannya pada orang-orang yang ada dihadapan- nya,  Primadi  dan  adiknya  tampak  merenung  berpikir-pikir  sementara  Patih Singaranu sesaat memandang tak berkesip pada Ki Dukun Japara lalu melangkah mundar mandir.
“Tak pernah kulihat ada orang dengan tanda seperti itu. Kau tidak salah lihat...?” tanya sang Patih kemudian.
Ki Dukun Japara gelengkan kepala.
Tiba-tiba  Patih  Raden  Mas  Singaranu  mengambil  keputusan: “Perwira Muda Primadi! Ini perintah. Kau dan adikmu serta Pendekar 212 Wiro Sableng tetap berada disini.
Keraton  perlu dijaga  karena semua  Perwira dan  para tokoh  persilatan berada di medan perang bersama Sri Baginda. Lain dari pada itu, Keraton penuh dengan harta pusaka yang harus dijaga baik-baik! Aku sendiri akan berangkat sekarang juga ke timur. Manusia keparat penebar racun ini harus kubawa serta dan akan  kuhadapkan  pada  Sri  Baginda.  Dia  satu-satunya  saksi  atas  segala kejahatan yang dilakukan Raja di Keraton Timur!”
Habis  berkata  begitu  Patih  Singaranu  berteriak  memanggil  pengawal. “Siapkan kudaku. Aku butuh selusin pengawal dan angkut orang yang duduk di kursi sana. Kita berangkat ke timur saat ini juga!”
“Mapatih...,”  ujar  Perwira  Muda  Primadi.  Tapi  patih  tua  itu  sudah melangkah cepat meninggalkan mereka.
Hanya beberapa saat saja setelah rombongan Patih Singaranu bergerak meninggalkan  Keraton,  Pendekar  212  mendekati  Primadi  dan  berkata:  “Aku bukan prajurit Kerajaan atau petugas Keraton. Jadi perintah Mapatih tadi tidak berlaku untukku! Aku harus pergi ke Timur!”
“Hai! Mana bisa begitu!” seru Primadi. “Kau harustetap berada di Keraton ini, Pendekar 212!”
Tapi Wiro tertawa lebar dan lambaikan tangannya.
“Kakak Primadi, dia benar. Dia orang luar yang tidakterikat segala aturan

dan perintah siapapun. Sama dengan aku. Jadi aku akan berangkat bersamanya menuju ke timur!”
Kedua mata Perwira Muda Primadi jadi membelalang mendengar ucapan adik. perempuannya itu. “Kau beradadibawah perintah Primarani! Kau adikku!”
“Aku memang adikmu! Tapi aku bukan bawahanmu!” sahut Primarani lalu tertawa panjang dan berkelebat menyusul Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Manusia  keparat penyebar racun itu!” sahut sang patih. “Merepotkan saja membawanya ke timur. Kuputuskan agar nyawanya dihabisidisinisaja...!
Mendengar ucapan itu Ki Dukun Japara berseru  : “Patih Kerajaan! Aku memang sudah pasrah menerima kematian! Tapi bukankah aku akan dijadikan saksidihadapan Raja?!”
Patih Singaranu mendengus. “Sri Baginda tidak membutuhkan kesaksian manusia  busuk  sepertimu!”  sahut  Singaranu.  Lalu  dia  berteriak  :  “Perajurit Kepala! Penggal kepala orang itu!”
Perajurit  yang  diperintahkan  segera  hunus  pedangnya  lalu  dekati  Ki Dukun Japara yang tergeletak tak berdaya. Orang ini hanya bisa pejamkan mata ketika pedang tajam berkilau membabat kearah lehernya!
Saat itu, entah dari mana datangnyaterdengar suara siulan. Lalu patahan sebatang  cabang  pohon  melesat  menghantam  kepala  perajurit  yang  hendak memancung Ki Dukun Japara. Perajurit ini menjerit keras. Keningnya robek besar dan mengucurkan darah deras. Tubuhnya terjengkang dari atas kuda. Dia jatuh ke tanah bersama pedang yang terlepas dari genggamannya.
Sebelas perajurit terbeliak kaget. Patih Raden Mas Singaranu memandang berkeliling  dengan  paras  membesi.  Di  saat  itu  pula  sebuah  batu  melayang menghantam  pinggul  kuda  yang  membawa  Ki  Dukun  Japara.  Terkejut  dan meringkik, binatang ini lalu menghambur dan lari ke arah timur.
“Lekas kejar! Tahan kuda itu!” teriak Patih Singaranu. Namun terlambat. Kuda yang membawa Ki dukun Japara telah mencapaitikungan. Patih Singaranu hantamkan  tangan  kanannya.  Satu  gelombang  angin  dahsyat  menderu  ke depan. Merambas semak belukar dan pepohonan di tepi jalan, membuat debu pasir dan bebatuan beterbangan ke udara. Namun Ki Dukun Japara dan kudanya tetap saja lolos. Malah ketika Singaranu dan sebelas perajurit menggebrak kuda masing-masing untuk melakukan pengejaran, dari samping kiri tiba-tiba seperti adaangin punting beliung menyambar. Dua pohon tumbang menutup jalan. Dua lobang  besar  membelintang  di  tengah  jalan.  Sebelas  perajurit  terpelanting berkaparan. Sang patih sendiri kalau tidak lekas melompat dari atas kudanya, pastitak mampu bertahandari kejatuhan.
“Bangsat   rendah   siapa   yang   punya   pekerjaan   ini?!”   menyumpah Singaranu dengan  mata  merah  memandang  berkeliling. “Ah...  pasti dia! Aku mengenali pukulan sakti tadi. Pukulan benteng topan melanda samudera! Pasti dia!  Kalau  begini,  naga-naganya  urusan  bisa jadi  kapiran!”  Patih  Singaranu berteriak. Memerintahkan agar sebelas perajurit yang babak belur karena jatuh dari tunggangan mereka agar segera naik ke atas kuda masing-masing. Lalu rombongan itu terpaksa mengambil jalan menyamping untuk menghindari dua

pohon yang melintang serta dua lobang besar di tengah jalan.
SEPERTI  TELAH  DITUTURKAN,  Keraton  Timur  hanya  merupakan  satu pusat Kerajaan Kecil/dibandingkan dengan Keraton di Barat yang menjadi pusat Kerajaan Barat, kecildalamartian wilayah dan juga kekuatan balatentaranya.
Karena itutidak mengherankan ketika pasukan Barat menyerbu, meskipun para perajurit di timur bertahan mati-matian, namun akhirnya mereka terdesak juga. Saat demisaat pasukan penyerbu semakin mendekati Keraton Timur. Pekik jerit mereka yang terluka, erangan orang-orang yang meregang nyawa, suara teriakan  para  Kepala  Pasukan,  ringkikan  kuda  dan  suara  beradunya  senjata semua bergabung menjadisatu.
Pada saat perang saudara berkecamuk seperti itulah Pendekar 212 Wiro Sableng,  Primarani dan  Ki  Dukun Japara  muncul dari arah  barat.  Dukun tua bermata  juling  ini  tidak  lagi  berada  dalam  keadaan  tertotok  karena  sudah dilepaskan  oleh  Wiro.  Bagai  mana  dia  tahu-tahu  berada  bersama  Wiro  dan Primarani?   Jawabnya   lain   tidak   karena   kedua   orang   itulah   tadi   yang menimbulkan halangan bagi rombongan Patih Singaranu, setelah terlebih dahulu Pendekar 212 Wiro Sableng menyelamatkan sang dukun dari tabasan pedang perajurit atas perintah Pafih Singaranu.
Primarani  kemudian  melempar  pinggul  kuda  Ki  Dukun  Japara  hingga binatang ini menghambur lari. Karena mereka berada di seberang jalan, dengan mudah Wiro serta Primarani memepet kuda yang membawa Ki Dukun Japara lalu melarikannya menuju ke timur, mendahului rombongan Patih Singaranu.
Wiro dan Primarani berusaha mendekati Keraton Timur dari arah yang paling aman yaitudi sebelah selatan. Saat itu pintu gerbang Keraton Timur telah bobol dan  pasukan dari  Barat  mulai  memasuki  halaman  luas  Keraton sambil berteriak-teriak.
“Aku tidakmelihat Sri Baginda Kerajaan Barat!” berseru Wiro.
Primarani memandang berkeliling lalu menyahuti; “Aku juga tidak! Kita harus  cepat  menerobos  ke  dalam  Keraton.  Kemungkinan  besar  Sri  Baginda bersama    para   tokoh    persilatan   sudah    menyelusup    masuk.    Pangeran Harjokusumo pasti sudah terkepung! Kita masuk sekarang Wiro! Jangan tunggu sampai Patih Singaranu muncul disini. Keadaan nanti bisa berubah!”
Wiro mengangguk lalu berpaling pada Ki Dukun Japara.
“Dengar  kau dukun  kampret!” hardik Wiro. “Ikuti  kemana  kami  pergi. Jangan coba melarikan diri karena itu sama saja kau bunuh diri! Racun dalam tubuhmu masih bekerja!”
“Jangan kawatir... Aku tak akan menjadi pengkhianat untuk kedua kali...” jawab Ki Dukun Japara.
Wiro memberi isyarat pada Primarani. “Kau yang tahu seluk beluk Keraton Timur, silakan jalan duluan...”
Ketika  ketiga  orang  itu  berhasil  menerobos  masuk  ke  dalam  Keraton Timur   lewat   pintu   samping,   ruangan   besar   dimana   biasanya   diadakan pertemuan-pertemuan penting sudah berubah menjadi arena pertempuran yang mengerikan.

Lebih dari dua puluh mayat perajurit kedua belah pihak bergeletakan di lantai:  Beberapa  orang  pengawal  Keraton  Timur  masih  berusaha  bertahan dibawah   pimpinan   Tumenggung   Jalak   Karso,   orang   kesetiaan   Pangeran Harjokusumo. Di hadapan mereka empat tokoh silat Keraton Barat mengamuk menebar maut dan bukan merupakan lawan Tumenggung Harjokusumo serta para pengawal yang tinggalsedikit itu.
Dibelakang kelompok penyerbu tegak seorang lelaki berusia sekitar enam puluh  tahun,   berpakaian   kebesaran   lengkap   dengan  topi   tingginya   dan memegang sebilah pedang berlumuran darahdi tangan kanannya yang memakai sarung tangan dari  kain  berwarna  merah.  Dia tiada  hentinya  berteriak-teriak memberi semangat para tokoh silat dan dua Perwira Tinggi berhasil mendesak lawannyayaitu pihak Keraton Timur.
“Orang berpakaian mewah dan selalu berteriak-teriak itu, bukankah dia Sri   Baginda   Keraton   Barat?”  bertanya  Wiro   pada   Primarani.  Sang  dara mengangguk. “Air  mukanya  kulihat pucat.  Padahal...” Wiro tidak meneruskan ucapannya karena di ujung sana dilihatnya patih Singaranu muncul dan langsung mendekati Sri Baginda, membisikkan sesuatu seraya menunjuk ke arah Wiro dan Primarani berada.
“Pendekar 212... Patih Singaranu pasti menginginkan kematianku saat ini juga.  Aku  tidak  tahu  mengapa.  Tapi  ada  sesuatu  yang  ingin  kukatakan padamu...”
“Apa dan katakancepat!” jawab Wiro pula.
“Orang berpakaian  mewah itu. Suaranya... sangat sama dengan suara orang yang menemuiku sebanyak tiga kali. Orang yang memberikan perintah menebar racun...!”
“Kau jangan main main Ki Dukun Japara! Kau sama saja menuduh Sri Baginda melakukan kekejian itu...!” bentak Primarani.
“Mungkin  dia  tidak  main-main...”  satu  suara  terdengar  dari  samping. Ketiga orang itu berpaling.
“Kakak  Primad»,  bukankah  tugasmu  menjaga  Keraton?  Mengapa  kau berani  muncul  disini!?  seru  Primarani  begitu  melihat  siapa  yang  ada  di sebelahnya.
“Persetan dengan Keraton. Aku bukan kacung penjaga gedung Keratoni. Aku ingin menyaksikan sendiri akhirkah semua kegilaan ini!” jawab Perwira Muda Primadi.
Sementara   itu   Pangeran   Harjokusumo,   yang   mengenakan   pakaian serderhana saja bertahan mati-matian sementara satu demi satu para pengawal yang   mengelilinginya  mulai  berguguran.   Ketika  Tumenggung  Jalak  Karso akhirnya  tersungkur  tewas,   Pangeran   itu   dengan   putus   asa  campakkan pedangnya  dan  berteriak  keras  :  “Sri  Baginda  Keraton  Barat!  Kau  yang menginginkan pertumpahan darah ini! Aku ingin agar kau juga yang menghabisi nyawaku saat ini!” Lalu dengan langkah tegap Pangeran yang berusia 29 tahun itu bergerak menuju ke hadapan Sri Baginda  Keraton  Barat yang bukan lain adalah kakakkandungnya sendiri.

“Pendekar 212...” berbisik Primadi, “ucapanmu tadi benar. Aku tak pernah melihat Sri Baginda berwajah sepucat itu. Memang aku sudah lama tidak pernah bertemu muka dengan dia. Tapi dia keiihatan seperti orang sehat yang sakit. Lalu, aku tak pernah melihat Sri Baginda memakai sarung tangan hitam seperti itu...”
“Astaga! Jangan-jangan suaranya yang sama seperti yang dikatakan Ki Dukun ini ada sangkut pautnya dengan tangan kanan yang disarungi itu! ujar Wiro pula.
“Kau benar!” ujar Primarani. “Tapi bagaimana membuktikannya ?”
“Harus  ada  seseorang yang  bisa  membetot  lepas  sarung tangan  itu!” sahut Wiro. “Aku akan melakukannya!”
Di  depan  sana  Pangeran  harjokusumo  telah  sampai  di  hadapan  Sri Baginda.
Saat   itu   terdengar   Sri    Baginda   berkata:   “Harjokusumo,   walau bagaimanapun kau tetap adik kandungku! Tapi dosa dan kesalahanmu sangat besar. Bukan hanya terhadapku, tetapi juga terhadap rakyat dan Kerajaan. Kau membunuh  ratusan  rakyat dengan jalan  menyuruh  kaki tanganmu  menyebar

racun...
“Itu tak pernah kulakukan! Itu fitnah keji!” teriak Pangeran Harjokusmo.
Sri  Baginda  tertawa   lalu  berkata  pada   Patih  Singaranu  yang  ada disampingnya. “Perlihatkan anak panah yang kau bawa itu, paman Patih.”
Patih   Singaranu   memperlihatkan   anak   panah   yang   ada   cap   tiga bintangnya.  “Ini   milikmu!   Dipakai   untuk   membunuh   salah   seorang   kaki tanganmu guna menutup rahasia...!”
“Busuk!” teriak  Pangeran  Harjokusumo. “Sebuah  busur  dan  sekantong anak  panah  milikku  lenyap  secara  aneh  sebulan  yang  lalu.  Si  pencuri  pasti menyalah gunakannya...”
“Dalihmu setipis angin pagi, adikku! Kau menginginkan kekuasaan yang tebih  besar.  Ingin  menggulingkan tahtaku  dengan  membuat  kekacauan  keji! Membunuh rakyat di timur yang berdosa dengan harapan agar kami menjadi lemah dan kacau. Lalu kau menyusup melakukan penyerbuan. Tapi aku lebih cepatadikku! Kami melumpuhkanmuseperti yang terjadisaat ini!”
“Aku tak ingin mendengar ucapan-ucapanmu lagi Sri Baginda. Aku siap menerima kematian!”
“Itu  memang  sudah  jadi  bagianmu!”  jawab  Sri  Baginda.  Pedang  di tangannya diangkat tinggi-tinggi.


SELESAI MENGATAKAN hendak berusaha menanggalkan sarung tangan hitam yang dipakai Sri baginda, Pendekar 212 Wiro Sableng segera melangkah. Namun baru bergerak dua tindak, tiga orang menghadang jalannya. Mereka bukan lain adalah  seorang  Perwira Tinggi  Kerajaan Timur  beserta  dua tokoh  silat.  Dua tokohsilat initernyata adalahTapak Jingga dan Suro Markum!
“Kalian  berempat  kami  tangkap!  Jangan  berani  melawan!”  begitu  si Perwira Tinggi membentak.
Wiro  sadar   benar,  waktunya  sangat  sempit   untuk   menyelamatkan Pangeran Harjokusumo apalagi untuk menanggalkan sarung tangan Sri Baginda. Maka tanpa banyak bicaradiajatuhkandiri seraya berkata;
“Kami tidak tahu melakukan kesalahan apa, tapi sesuai perintahmu aku menyerahkan diri!” Selesai berkata begitu Wiro dengan satu gerakan kilat cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dan hantamkan gagang senjata mustika ini ke perut si Perwira Tinggi. Orang ini menjerit keras, mencelat diantara Tapak Jingga dan Suro Markum lalutergeletak di lantaitanpa kabarkandiri lagi.
Suro Markum dan Tapak Jingga, walau sudah tahu kehebatan murid Sinto Gendeng, namun tak bisa berbuat lain dari pada tetap harus menyerbu. Dan akibatnya mereka harus merasakan hantaman keras gagang senjata di tangan Wiro. Keduanya roboh menyusul si Perwira Tinggi tadi. Pendekar 212 memang sengaja tidak mau membunuh ketiga orang itu karena dia yakin ada sesuatu yang tidakberes yang nanti perludikorek dari mulut mereka.
Ruangan besar dalam Keraton itu menjadi geger ketika Kapak naga Geni 212 berkiblat memancarkan sinar menyilaukan. Udara menjadi panas dan dalam ruangan  menderu  suara  seperti  ribuan  tawon  mengamuk!  Tidak  kepalang tanggung, Wiro juga lepaskan dua kali pukulan sinar matahari ke arah dinding keraton sebelah kiri hingga hancur berantakan.  Dalam  keadaan kacau begitu Wiro  Sableng  melompat  ke  arah  Pangeran  Harjokusumo  dan  mendorong pangeran  ini  keras-keras  kesamping,  tepat  pada  saat  pedang  di  tangan  Sri Baginda membabat kearah lehernya dengansebat!
“Bangsat  rendah!  Siapa  kau?!”  teriak  Sri  Baginda  marah  sekali  lalu memburu dengan pedangnya kearah Wiro.
“Ah, dulu pernah kutolong. Hendak mengangkatku jadi Kepala Pasukan Kotaraja sebagai balas jasa! Tapi saat inidiatidak mengenaliku, malah memburu dengan pedang! Orang ini pasti bukan Sri Baginda! Bangsat!” maki Wiro. Dia membuang diri kesamping ketika pedang menikam ke dadanya. Sekali lagi Sri Baginda menghunjamkan senjatanya ke arah perut namun saat itu Wiro sudah menghantam dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata di tangan Sri Baginda terpental  patah  dua  dan  leleh  ujung-ujungnya.  Sri  baginda  sendiri  terjatuh tumpang tindih dengan Patih Singaranu. Sang patih walau dalam keadaan jatuh


masih sempat lepaskan satu hantaman tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi.  Namun dengan sekali  menyapukan  kapak mustikanya serangan  lawan amblas dan sang patih mengerang karenadadanyasepertiditusuk ratusanjarum panas!
Terhuyung-huyung Sri Baginda: mencoba berdiri. Saat itulah Wiro cekal tangan kanannya dan memuntirnya kebelakang. Dengan sekali tarik saja Wiro berhasil  menanggalkan  sarung  tangan  hitam  di  tangan  kanan  Sri  Baginda. Terlihatlah sebuahtahi lalat lebar, hitamdan berbulu!
‘Semua yang hadir disini!” Wiro berteriak dengan mengerahkan tenaga dalamtiingga semua orang tergagapdan sama berpaling kepadanya,
“Apakah  Sri  Baginda  kalian  memiliki  tahi  lalat  seperti  ini  di  tangan kanannya?! “Wiro laluacungkan tangan yang dipuntirnya itu kedepan.
Semua orang menatap tajam, lalu saling pandang. Satu demi satu mulai gelengkan kepaladalam herannya.
“Kalau begitu dia bukan Raja kalian. Tapi monyet yang menyamar! Mari kita lihat tampangnya yang asli!”
Breet...bre,ettt...brett!
Sri Baginda menjerit keras.  Entah mengapa Patih Singaranu juga ikut- ikutan berteriak. Semua yang hadir ditempat itu melengak kaget ketika Wiro pergunakan tangan kanannya untuk merobek sehelai topeng yang sangat tipis di wajah Sri Baginda. Begitu topeng tersebut tanggal, kelihatanlah wajahnya yang asli!
“Raden Anom Wiraculo!” semua orang berseru hampir berbarangan.
“Aha!”  seru  Wiro  pula.  “Ternyata  monyet  ini  bernama  Raden  Anom Wiraculo! Putera  Mapatih Raden Mas Singaranu!” Wiro lalu lepaskan puntrian tangannya,  dorong  orang  itu  kedepan  hingga  terhuyung-huyung.  Puluhan manusia  segera  menyerbu  untuk  menghajarnya  tapi  Pangeran  Harjokusumo cepat menghalangi.
“Dia dan ayahnya jelas menjadi dalang pertumpahan darah ini! Niatnya jelas, menginginkantahta Kerajaan secara sangat licik. Mereka berdua pastitahu dimana kakakku berada! Lekas katakan dimana Sri Baginda kalian sandera?!”
“Beliau... beliau ada di ruang bawah tanah Keraton Barat jawab Raden Anom Wiraculo.
Terdengar jeritan keras. Semua orang berpaling. Pangeran Harjokusumo berteriak mencegah tapi sia-sia saja. Kalau dia masih bisa melindungi sang pu- tera,  namun sang ayah yaitu  Patih Singaranu tak sempat  lagi diselamatkan. Puluhan senjata menancap ditubuh patih tua itu.
Disuatu sudut Perwira Muda Primadi masih tegak tertegun seakan-akan tak  percaya  dengan  apa  yang  disaksikannya.  Dia  merasa  ada  seseorang menyelipkan sesuatu di tangan kirinya. Tapi baru beberapa lama kemudian dia menjadari  ada  sesuatu  dalam  genggamannya   itu.   Ketika  dia   ingat  dan memeriksanya, ternyata sehelai surai ‘pendek, berbunyi:
Sahabat, ruangan initerlalupengap baudarah dankematian. Akupergi

45                                                                          051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212

TIRAIKASIH – http://cerita-silat.co.cc/

dulu mencari tempat yang  lebih menyenangkan.  Adikmu  Primarani ikut menemaniku. Jangan marah... WiroSableng
Perwira   Muda   Primadi   hanya   bisa  geleng-geleng   kepala.  “Manusia sableng! Benar-benar sableng! Bagaimana dalam keadaan seperti ini dia masih sempat-sempatnya membuat surat. Dan menggaetadikku...!”

       

                                 TAMAT

Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh-channel.blogspot.com
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive